Manajemen dan Kinerja Pembangunan Pertanian REFORMASI KEBIJAKAN PERDAGANGAN MENUJU KEMANDIRIAN DAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL Erwidodo PENDAHULUAN Terlepas dari berbagai keberhasilan yang telah dicapai, namun harus diakui masih banyak permasalahan dan tantangan yang harus dihadapi untuk membuat sektor pertanian Indonesia berdaya saing sehingga dapat memenangkan persaingan di era perdagangan global yang semakin ketat. Tantangan yang harus dihadapi tidak hanya untuk bersaing di pasar ekspor namun juga untuk mampu bersaing dengan produk pertanian impor di pasar domestik. Kata kunci untuk memenangkan persaingan adalah “daya saing” yakni kemampuan Indonesia untuk menghasilkan produk pertanian, termasuk pangan, secara efisien dan berkualitas sehingga mampu bersaing dengan produk pertanian dan pangan negara lain. Situasi beberapa tahun terakhir memperlihatkan masih rendahnya daya saing produk pangan nasional. Terus meningkatnya impor pangan menggambarkan masih banyaknya masalah yang dihadapi untuk meningkatkan produksi dan produktivitas pangan nasional, disamping karena dipacu oleh alasan terus meningkatnya permintaan seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk berikut pendapatan masyarakat. Laju peningkatan produksi pangan nasional tidak dapat mengimbangi laju permintaan sehingga, akibatnya, defisit neraca perdagangan produk pangan terus meningkat. Kalau situasi ini tidak menjadi perhatian pemerintah, hampir dapat dipastikan Indonesia akan semakin tergantung kepada produk pangan impor, menjauh dari target nasional untuk mencapai ketahanan pangan yang berkemandirian. Ketergantungan penuh terhadap produk pangan impor sangat beresiko terjadinya gejolak politik dan keresahan masyarakat manakala harga pangan di pasar dunia meningkat. Situasi inilah yang nampaknya melatarbelakangi lahirnya Undang-Undang (UU) No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, yang mengamanatkan pemerintah untuk mewujudkan kedaulatan, kemandirian dan ketahanan pangan nasional. Namun demikian, telah terjadi perbedaan interpretasi dalam memaknai tekad dan tujuan nasional tersebut. Beberapa pihak memandang tujuan ini merupakan perintah konstitusi yang harus dilaksanakan apapun konsekuensinya, artinya harus dicapai at all cost, kalau perlu dengan mengabaikan aturan perdagangan internasional yang telah diratifikasi dalam UU nasional. Beberapa pihak lainnya memandang bahwa perintah konstitusi ini harus dilaksanakan dengan tetap mengacu kepada asas efisiensi dan keunggulan komparatif serta tanpa harus melanggar amanat konstitusi/UU lainnya. Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian 207 Reformasi Kebijakan Perdagangan Menuju Kemandirian dan Ketahanan Pangan Nasional Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan tentang reformasi kebijakan perdagangan yang diperlukan untuk mencapai kemandirian dan ketahanan pangan nasional. Pada bagian pertama secara singkat dibahas makna kedaulatan, kemandirian dan ketahanan pangan dalam UU No. 18/2012, dilanjutkan bagian kedua dengan pemaknaan arti perlindungan dan pemberdayaan petani dalam UU No. 19/2013. Pada bagian ketiga dibahas keberadaan UU No. 18/2012 tersebut dan konsistensinya dengan aturan WTO mengingat kemunculannya sempat dipertanyakan oleh anggota WTO. Situasi kemandirian dan ketahanan pangan nasional dibahas pada bagian keempat, dilanjutkan dengan pembahasan tentang perlunya reformasi pola pikir dan reformasi kebijakan produksi pangan nasional. Selanjutnya dibahas reformasi kebijakan perdagangan yang diperlukan untuk memberdayakan petani serta Sistem Resi Gudang (SRG) dan upaya meningkatkan mutu produk pangan. Pada bagian terakhir, sebelum kesimpulan dan rekomendasi kebijakan, dipaparkan perlunya kebijakan dan program peningkatan infrastruktur dan sistem logistik untuk meningkatkan daya saing perekonomian nasional. MEMAKNAI UU NO 18/2012 TENTANG KEDAULATAN, KEMANDIRIAN DAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL Sebelum membahas lebih lanjut ketahanan pangan (food security) yang menjadi fokus bahasan makalah ini, ada baiknya memperjelas beberapa definisi terkait lainnya, yaitu kedaulatan pangan, kemandirian pangan, swasembada pangan dan keamanan pangan sebagaimana tertuang dalam UU No. 18/2012, sebagai berikut: x ‘Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal’. x ‘Kemandirian Pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi Pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat’. x ‘Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan’. x ‘Keamanan Pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah Pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi’. 208 Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian Manajemen dan Kinerja Pembangunan Pertanian Kata kedaulatan, sebagaimana diuraikan dalam bagian penjelasan, merupakan landasan filosofis yang memberikan pesan bahwa sebagai negara merdeka dan berdaulat maka Indonesia punya kebebasan atau kedaulatan untuk menentukan strategi, kebijakan dan program serta sistem pangan sesuai dengan potensi sumber daya yang dimilikinya, tidak dapat atau tidak boleh diatur, didekte atau diintervensi oleh negara lain. Namun demikian, perlu dicatat bahwa keanggotaan Indonesia di organisasi perdagangan internasional (WTO) yang telah diratifikasi dalam UU nasional, memberikan makna bahwa ‘kebebasan atau kedaulatan’ tersebut tidak lagi penuh dalam menentukan ‘instrumen kebijakan perdagangan’ tetapi harus disesuaikan atau konsisten dengan aturan WTO yang telah disepakati dan diratifikasi dalam UU Republik Indonesia (Erwidodo, 2013). Kata kemandirian menjelaskan perlunya kemampuan negara dan bangsa untuk memproduksi sendiri pangan yang beraneka ragam di dalam negeri dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam di dalam negeri. Definisi ini perlu interpretasi secara hati-hati karena dapat mengarah ke interpretasi bahwa Indonesia harus memproduksi beragam pangan sendiri at all cost dan adanya impor pangan adalah suatu bentuk kegagalan sehingga harus dibatasi atau dilarang. Untuk menghindari hal ini, menurut penulis, kemandirian harus dimaknai dengan kemampuan untuk memproduksi produk pangan secara efisien dan berdaya-saing. Kalau pemaknaan ini berlaku maka impor dengan sendirinya akan berkurang dan terbuka peluang Indonesia menjadi eksportir produk pangan di masa mendatang. Hal lain yang juga mengkawatirkan dan perlu diluruskan adalah interpretasi bahwa untuk memproduksi dan mencukupi kebutuhan pangan nasional adalah tanggung jawab sepenuhnya Kementerian Pertanian, sementara para Menteri terkait tidak secara langsung turut bertanggung-jawab. Contoh nyata dari situasi ini adalah terus berlangsungnya konversi lahan pertanian/sawah di Jawa sementara pembukaan lahan pertanian dan pencetakan sawah baru di luar Jawa berjalan sangat lambat. Kementerian keuangan, Bappenas dan kementerian PU tidak menganggap situasi ini sebagai situasi darurat yang harus disikapi bersama dengan menyusun program nasional pencetakan sawah. Hal ini menunjukkan bahwa politik pangan nasional untuk mencapai kemandirian pangan masih sebatas wacana. Definisi ketahanan pangan dalam UU No. 18/2012 di atas merupakan penyempurnaan dan ‘pengkayaan cakupan’ dari definisi dalam UU No. 7 Tahun 1996 yang memasukan ‘perorangan’ dan ‘sesuai keyakinan agama’ serta ‘budaya’ bangsa. Definisi UU No. 18/2012 secara substantif sejalan dengan definisi ketahanan pangan dari FAO yang menyatakan bahwa ketahanan pangan sebagai suatu kondisi dimana setiap orang sepanjang waktu, baik fisik maupun ekonomi, memiliki akses terhadap pangan yang cukup, aman, dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan gizi sehari-hari sesuai preferensinya. Satu lagi definisi yang kita kenal, namun tidak disebut di dalam UU No. 18/2012, adalah swasembada pangan, yakni merujuk kepada suatu keadaan dimana suatu negara dapat mencukupi seluruh atau sebagian besar kebutuhan pangan Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian 209 Reformasi Kebijakan Perdagangan Menuju Kemandirian dan Ketahanan Pangan Nasional penduduknya dari produksi dalam negeri1. Dalam kaitan dengan komoditas beras, Indonesia pernah pertama kali mencapai swasembada pada tahun 1984 dan berhasil mengekspor sebagian berasnya. Namun beberapa tahun kemudian status swasembada beras secara perlahan tergerus seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan meluruhnya kapasitas produksi beras dalam negeri. Selanjutnya dan sampai sekarang, Indonesia menggunakan istilah swasembada on trend dengan membuka kemungkinan untuk impor maksimal 10 persen dari jumlah konsumsi. Penjelasan lebih detail yang tertuang dalam bagian ‘Penjelasan’ dari UU No. 18/2012 tidak cukup jelas bagaimana keterkaitan antara Kedaulatan, Kemandirian dan ketahanan pangan. Menurut penulis ketiga definisi tersebut harus dimaknai secara bersama-sama dalam satu kesatuan. Sesuai judul makalah ini, penulis fokus kepada kemandirian dan ketahanan pangan, yakni membahas reformasi kebijakan perdagangan yang diperlukan untuk mencapai ketahanan pangan yang berkemandirian. Bagi Indonesia, sebagai negara berdaulat dan berpenduduk lebih dari 245 juta, diperlukan langkah konkrit dan berkelanjutan untuk meningkatkan kapasitas produksi pangan nasional yang efisien dan berdaya saing sehingga tercapai ketahanan dan sekaligus kemandirian pangan. Semakin besar ‘kapasitas’ nasional untuk memproduksi produk pangan secara efisien dan berdaya saing maka semakin besar peluang Indonesia mencapai ketahanan dan kemandirian pangan secara berkelanjutan. Polemik dan ‘pro-kons’ terkait dengan definisi menjadi tidak lagi muncul. MEMAKNAI UU NO. 19/2013 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN PETANI Definisi kata ‘perlindungan’ dan ‘pemberdayaan’ berikut penjabaran dan penjelasannya tertuang di dalam UU No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Namun demikian masih dipandang perlu untuk memaknainya dalam kontek implementasi dan pemilihan instrumen kebijakan. Definisi perlindungan dan pemberdayaan petani adalah sebagai berikut: x ‘Perlindungan Petani adalah segala upaya untuk membantu Petani dalam menghadapi permasalahan kesulitan memperoleh prasarana dan sarana produksi, kepastian usaha, risiko harga, kegagalan panen, praktik ekonomi biaya tinggi, dan perubahan iklim’. x ‘Pemberdayaan Petani adalah segala upaya untuk meningkatkan kemampuan Petani untuk melaksanakan Usaha Tani yang lebih baik melalui pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan pendampingan, pengembangan sistem dan sarana pemasaran hasil Pertanian, konsolidasi dan jaminan luasan lahan pertanian, 1 Yang menarik, definisi ‘swasembada pangan’ tidak masuk dalam UU no 18 2012. Alasannya adalah bahwa definisi ‘kemandirian’ dinilai lebih penting dan mencakup kondisi swasembada, dimana kemandirian dapat mencapai 100 persen (swasembada), kurang atau lebih dari 100 persen. 210 Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian Manajemen dan Kinerja Pembangunan Pertanian kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi, serta penguatan Kelembagaan Petani’. Di dalam penjelasan disebutkan bahwa perlindungan dan pemberdayaan petani bertujuan untuk mewujudkan kedaulatan dan kemandirian petani dalam rangka meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas, dan kehidupan yang lebih baik, melindungi petani dari kegagalan panen dan risiko harga, menyediakan prasarana dan sarana pertanian yang dibutuhkan dalam mengembangkan usahatani, menumbuhkembangkan kelembagaan pembiayaan pertanian yang melayani kepentingan usahatani, meningkatkan kemampuan dan kapasitas petani serta kelembagaan petani dalam menjalankan usahatani yang produktif, maju, modern, bernilai tambah, berdaya-saing, mempunyai pangsa pasar dan berkelanjutan, serta memberikan kepastian hukum bagi terselenggaranya usahatani. Dalam konteks tulisan ini, menurut penulis, kata kunci dari ungkapan memberikan ‘perlindungan’ dan ‘pemberdayaan’ petani adalah memfasilitasi petani agar ‘berdaya-saing’, artinya bagaimana kebijakan (perdagangan) pemerintah dapat memberikan perlindungan kepada petani dari praktek perdagangan tidak adil dan sekaligus mampu memfasilitasi petani untuk menghasilkan produk pangan secara efisien, memenuhi standar-mutu sehingga berdaya-saing tinggi. Untuk itu perlu percermatan kebijakan perdagangan di pintu masuk untuk mengontrol impor/ekspor dan kebijakan perdagangan lain di dalam negeri dalam rangka memberdayakan petani dan melindungi petani dari kemerosotan harga pada saat musim panen. Kebijakan perlindungan dengan membatasi impor tanpa disertai kebijakan pemberdayaan tidak mungkin dapat membuat petani berdaya-saing secara nyata2. Pertanyaannya adalah kebijakan pemberdayaan apa saja yang diperlukan dan cost effective untuk mengantar petani produk pangan di Indonesia efisien dan berdaya saing. ATURAN WTO, PERLINDUNGAN PETANI, DAN KETAHANAN PANGAN Aturan WTO tidak melarang negara anggota bercita-cita untuk mewujudkan kemandirian dan ketahanan pangan. Sama halnya, aturan WTO juga tidak melarang negara anggota untuk menerapkan kebijakan stabilisasi harga pangan. Namun demikian, aturan WTO mengharuskan setiap negara anggota untuk memilih dan menerapkan instrumen kebijakan yang sesuai dengan aturan WTO. Aturan WTO masih memberikan kelonggaran bagi negara berkembang untuk mengeluarkan pembiyaan kategori green box untuk meningkatkan kapasitas produksi pangan nasional dan pembiayaan subsidi kategori amber box untuk memberikan perlindungan dan pemberdayaan petani. 2 Border measures, misalnya dengan tariff impor dan subsidi ekspor, dapat membuat petani berdaya saing secara artifisial tetapi sangat konsumen dan membebani perekonomian. Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian 211 Reformasi Kebijakan Perdagangan Menuju Kemandirian dan Ketahanan Pangan Nasional Mengapa UU Pangan No 18/2012 sempat dipertanyakan oleh beberapa anggota WTO di sidang reguler Committee of Agriculture (COA) dan Council for Trade in Good (CTG)? Apakah pertanyaan dari negara anggota WTO tersebut merupakan bentuk intervensi negara lain kepada negara berdaulat? Proses mempertanyakan kebijakan perdagangan di negara anggota WTO yang dipandang merugikan negara lain merupakan proses yang diatur dalam aturan WTO. Setiap negara anggota WTO mempunyai hak untuk mempertanyakan kebijakan perdagangan negara lain yang dipandang menyalahi aturan WTO dan merugikan negara lain. Proses untuk mempertanyakan dan meminta mengklarifikasi dilakukan dalam sidang regular komisi di WTO. Jika dalam proses ini pertanyaan tidak terjawab dengan baik, maka dapat diteruskan ke proses konsultasi mengarah ke proses penyelesaian sengketa dagang. Dari penelusuran pasal-per-pasal dari UU No 18/2012, terdapat beberapa pasal yang dianggap tidak senafas dengan aturan WTO. Sebagai contoh, Pasal 36, ayat 1 yang berbunyi Impor pangan hanya dapat dilakukan apabila produk pangan dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri, dipandang sebagai bentuk pelarangan impor yang menyalahi aturan WTO. Demikian pula, Pasal 36 ayat 2, yang berbunyi impor pangan pokok hanya dapat dilakukan apabila produksi pangan dalam negeri dan cadangan pangan nasional tidak mencukupi3, dinilai oleh sebagian anggota WTO sebagai bentuk larangan impor yang tidak konsisten dengan aturan WTO. Meskipun secara formal belum dipertanyakan di sidang regular WTO, beberapa pasal dalam UU No. 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan petani berpotensi dipertanyakan oleh negara anggota WTO karena tidak sesuai dengan aturan WTO, misalnya Pasal 15 (Bab IV) ayat 1 dan ayat 2 yang memperlihatkan perlakuan diskriminatif yang mengutamakan produksi domestik, serta Pasal 30 ayat 1 yang melarang impor komoditas pertanian, sebagai berikut: Pasal 15 (Bab IV) x ayat (1): Pemerintah berkewajiban mengutamakan produksi pertanian dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional, berpotensi dipertanyakan anggota karena diskriminatif sehingga menyalahi aturan WTO terkait prinsip national treatment. x ayat (2): Kewajiban mengutamakan produksi pertanian dalam negeri sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan melalui pengaturan impor komoditas pertanian sesuai musim panen dan/atau kebutuhan konsumsi dalam negeri, dinilai merupakan bentuk larangan impor antar waktu. Pasal 30: x ayat (1): Setiap orang dilarang mengimpor komoditas pertanian pada saat ketersediaan komoditas pertanian dalam negeri sudah mencukupi kebutuhan 3 Kecukupan produksi pangan pokok dalam negeri dan cadangan pangan pemerintah ditetapkan oleh menteri atau lembaga pemerintah yang melaksanakan tugas pemerintahan bidang pangan. 212 Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian Manajemen dan Kinerja Pembangunan Pertanian konsumsi dan/atau cadangan pangan pemerintah, dipertanyakan anggota WTO sebagai bentuk melarang impor. Pertanyaan ataupun keberatan dari negara anggota tidak selalu berakhir dalam proses sengketa dagang di DSB. Jika penjelasan atau klarifikasi dapat diberikan dan memuaskan negara penggugat maka proses konsultasi dapat berakhir tanpa perlu ke pembentukan panel proses penyelesaian sengketa. Namun demikian, Indonesia sebaiknya menyiapkan diri untuk menghadapi proses sengketa dagang manakala jawaban dan klarifikasi tidak memuaskan negara penggugat. MENCERMATI SITUASI KEMANDIRIAN DAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL Terlepas dari apapun pilihan kebijakan perdagangan yang akan diambil, yang paling penting adalah mencermati situasi kemandirian dan ketahanan pangan nasional secara obyektif. Apakah Indonesia semakin mendekati atau menjauh dari situasi berkemandirian dan berketahanan pangan? Perkembangan neraca perdagangan komoditas pangan dapat menjadi salah satu indikator perkembangan kemandirian pangan nasional. Sesuai definisi kemandirian, semakin besar defisit neraca perdagangan produk pangan semakin rendah tingkat kamandirian pangan, atau sebaliknya. Tabel 1 memperlihatkan defisit neraca perdagangan komoditas pangan terus meningkat. Ada dua kemungkinan untuk menjelaskan hal ini. Pertama, kemungkinan penurunan produksi akibat menurunnya kapasitas produksi pangan nasional, sementara permintaan terus meningkat, sehingga harus dipenuhi dari impor. Kedua, peningkatan permintaan yang jauh lebih besar dibandingkan peningkatan produksi pangan nasional. Apakah kapasitas produksi pangan nasional terus meningkat atau semakin menurun? Pertanyaan ini penting diajukan untuk melihat perspektif jangka panjang tentang peluang keberhasilan dalam mencapai target ketahanan pangan yang berkemandirian. Kapasitas produksi pangan nasional perlu dibangun, dipertahankan dan ditingkatkan agar kemandirian pangan dapat dicapai. Tidak hanya terbatas kepada Tabel 1. Perkembangan Neraca Perdagangan Pertanian, 2009-2012 (USD juta) Jenis tanaman 2009 2010 2011 2012 Tan pangan -2,417 -3,416 -6,439 -6,156 Hortikultura Perkebunan Peternakan Total pertanian -697 17,632 1,378 13,140 -902 24,675 -1,817 18,540 -1,195 31,846 -1,446 22,706 -1,309 27,960 -2,142 18,354 Sumber: BPS, Statistik Indonesia. Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian 213 Reformasi Kebijakan Perdagangan Menuju Kemandirian dan Ketahanan Pangan Nasional kuantitas, kebijakan dan program harus diarahkan untuk dapat menghasilkan kualitas produk pangan yang lebih baik dan memenuhi standar mutu sehingga dapat bersaing menghadapi produk pangan impor. Adapun kapasitas produksi pangan nasional dapat dievaluasi dari perkembangan faktor-faktor penentunya, dengan rumusan sebagai berikut: Qi = Ai*Yi Qi = (LBL * CI)i * Yi gQi = gLBLi + gCIi + gYi Q A LBL CI Y : : : : : total produksi komoditas-i Luas Panen komoditas-I Luas baku lahan komoditas-I Intensitas tanam komoditas-I produktivitas komoditas-I gQ gA gLBL gCI gY : growth produksi komoditas-i : growth luas panen komoditas-i : growth luas Baku lahan komoditas-i : growth intens tanam komoditas-i : growth produktivitas komoditas-i Kapasitas produksi pangan nasional meningkat bilamana semua faktor-faktor produksi mengalami pertumbuhan, yakni luas baku lahan meningkat (gLBL >0), intensitas tanam meningkat (gCIi >0) dan dan produktivitas juga meningkat (gYi>0), atau salah satu meningkat lebih besar meskipun faktor lain menurun. Analisis faktor produksi pangan yang dilakukan terdahulu memperlihatkan bahwa luas lahan tanaman pangan dan lahan baku sawah, khususnya di jawa, mengalami penurunan baik kuantitas maupun kualitas irigasinya akibat konversi lahan yang mengalami percepatan sepuluh tahun terakhir (Simatupang, Rusastra dan Maulana, 2004; Sumarno, 2013; Erwidodo, 2013). Data luas lahan sawah yang meningkat di Jawa dipertanyakan banyak pihak, mengingat tidak sesuai dengan situasi di lapangan yang justru memperlihatkan terus menyusutnya lahan sawah di-semua wilayah Jawa. Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa lahan sawah irigasi secara umum selama kurun waktu 2005-2010 mengalami peningkatan sebesar 1,6 persen per tahun, meskipun di Jawa Barat dan Yogyakarta menurun sekitar 2-3 persen per tahun. Pertumbuhan lahan sawah irigasi di Jawa Tengah dan Banten yang relatif tinggi (5,6%/thn dan 6,9%/thn) dipertanyakan banyak pihak. Kondisi sebaliknya terjadi untuk lahan sawah tadah hujan yang selama periode yang sama mengalami penurunan sebesar 0,8 persen per tahun. Penurunan lahan sawah tadah hujan tertinggi terjadi di Banten yang mencapai 11,4 persen per tahun, sementara di Jawa Tengah turun sekitar 6,3 persen per tahun. Pertumbuhan lahan sawah tadah hujan di DI Yogyakarta yang mencapai 46,7 persen per tahun juga memicu pertanyaan sejumlah pihak. Produktivitas atau tingkat hasil per hektar bervariasi antar jenis tanaman pangan dan antar wilayah. Untuk padi, tingkat hasil di Indonesia, khususnya di Jawa, sudah mendekati tingkat hasil maksimal. Artinya, upaya untuk meningkatkan produksi beras di Jawa tidak mungkin lagi dicapai melalui peningkatan produktivitas, kecuali digunakan varietas baru dengan produktivitas lebih tinggi. Data FAO, seperti disajikan pada Tabel 3, memperlihatan tingkat produktivitas padi (gabah) Indonesia pada tahun 2010 menduduki peringkat tertinggi ke-3 setelah China dan Vietnam. Sementara itu, 214 Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian Manajemen dan Kinerja Pembangunan Pertanian Tabel 2. Perkembangan Luas Sawah di Jawa, 2005-2010 (ribu Ha) Tipe Lahan Sawah 2005 Irigasi Jawa Barat Banten Jawa Tengah Yogyakarta Jawa Timur Tadah Hujan Jawa Barat Banten Jawa Tengah Yogyakarta Jawa Timur Growth (%/thn) 1,6 -2 6,9 5.,6 -2,9 1 -0.,8 8,3 -11,4 -6,3 46,7 0,7 2010 2483,9 748,3 116,7 704,3 47,9 866,7 791,8 177,6 79,5 291,6 9,3 233,8 2.684,6 674 156,9 902,3 40,9 910,5 758,5 251,6 34,1 199,5 31 242,3 Sumber: BPS, Statistik Indonesia. Tabel 3. Produktivitas Padi di Negara Produsen Padi Dunia, 1980-2010 (Kg/ha). Negara China India Indonesia Pakistan Philippines Thailand Viet Nam 1980 1990 2000 2010 4.144 2.000 3.293 2.424 2.211 1.888 2.080 5.717 2.613 4.302 2.315 2.979 1.956 3.182 6.264 2.851 4.401 3.031 3.068 2.613 4.243 6.548 3.359 5.015 3.059 3.622 2.936 5.342 Sumber: FAOSTAT, FAO Statistics Division 2014. upaya untuk meningkatkan produktivitas di Luar Jawa menghadapi banyak kendala, khususnya kendala ketersediaan sarana irigasi dan ketersediaan tenaga kerja. Kendala yang sama juga dihadapi dalam upaya meningkatkan intensitas tanam padi di Luar Jawa (Simatupang, Rusastra dan Maulana, 2004; Erwidodo, 2013) Untuk jagung,Tabel 4 memperlihatkan tingkat hasil di Indonesia tahun 2012 (4,9 ton/ha) tergolong rendah dibandingkan tingkat hasil jagung di Amerika Serikat (7,7 ton/ha), China (5,8 ton/ha) dan Brazil (5,0 ton/ha), tetapi sudah tergolong cukup tinggi dibandingkan negara ASEAN lain. Namun untuk kedele, sebagaimana tersaji pada tabel yang sama, tingkat hasil kedele di Indonesia jauh lebih rendah dibandingan tingkat hasil kedele di negara eksportir kedele dunia, seperti Brazil, Amerika Serikat dan Mexico, lebih rendah dibandingkan tingkat hasil kedele China dan Thailand, sedikit lebih tinggi dibandingkan tingkat hasil di beberapa negara ASEAN lain. Data Tabel 4 ini memperlihatkan masih terbuka peluang untuk meningkatan produksi kedele lewat peningkatan produktivitas yakni dengan menggunakan varietas unggul dan teknik budidaya yang lebih baik. Disamping itu, relatif tingginya produktivitas kedele di beberapa wilayah sentra produksi kedele di Indonesia, seperti Jawa Timur dan NAD menyiratkan peluang untuk dapat meningkatkan produksi kedele nasional. Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian 215 Reformasi Kebijakan Perdagangan Menuju Kemandirian dan Ketahanan Pangan Nasional Tabel 4. Produktivitas Jagung dan Kedele di Beberapa Negara, 2010-2012 (Kg/Ha) Negara Brazil China India Indonesia Mexico Myanmar Philipina Thailand Amerika Serikat Vietnam Jagung Kedele 2010 2012 2010 2012 4.367 5.460 2.540 4.436 3.260 3.537 2.552 4.180 9.592 4.090 5.006 5.870 2.556 4.899 3.187 3.615 2.856 4.323 7.744 4.295 2.948 1.771 1.333 1.373 1.093 1.563 1.393 1.973 2.922 1.510 2.637 1.933 1.353 1.485 1.739 1.228 1.307 1.800 2.664 1.452 Sumber: FAO, 2014. Untuk padi/beras, mencermati data produksi, produktivitas, neraca perdagangan, dan merujuk kepada hasil kajian terdahulu, dapat disimpulkan bahwa kapasitas produksi padi/beras nasional mengalami stagnasi atau bahkan kemerosotan atas dasar indikator berikut: (1) luas lahan pertanian pangan dan sawah irigasi (khususnya di Jawa) terus berkurang akibat konversi lahan, (2) intensitas tanam di Jawa hampir mencapai batas maksimum, sedangkan di luar Jawa menghadapi banyak keterbatasan untuk ditingkatkan, dan (3) teknologi peningkatan produktivitas untuk Jawa mendekati batas maksimum (frontier), sedangkan luar jawa menghadapi banyak hambatan dan keterbatasan untuk meningkatkannya. Situasi serupa dihadapi komoditas jagung dan kedele, dimana kendala utama untuk peningkatan produksi adalah ketersediaan lahan, karena semakin ketatnya persaingan penggunaan lahan yang semakin terbatas ketersediaannya. Oleh karena itu, langkah untuk meningkatkan luas lahan pangan, pencetakan sawah baru serta penyediaan sarana irigasi yang layak merupakan suatu keharusan untuk mencapai ‘kemandirian’ nasional terhadap padi, jagung dan kedele. Kebijakan perdagangan diperlukan untuk memberdayakan petani dan men-safeguard keberlangsungan langkah ini agar tidak terganggu oleh banjirnya produk impor. Satu hal yang perlu diperhatikan, target kemandirian tidak mungkin dicapai hanya dengan kebijakan perdagangan. REFORMASI POLA PIKIR MENUJU KEMANDIRIAN PANGAN Untuk dapat merealisasi target nasional ketahanan pangan yang berkemandirian, sangat diperlukan perubahan cara pandang dan pola pikir semua pihak, termasuk pemerintah selaku pembuat kebijakan, khususnya terhadap (kebijakan) perdagangan internasional. Ada beberapa kebiasaan dan cara pandang yang pada akhirnya menjebak kita semua dalam situasi yang justru menjauhkan Indonesia dari kemandirian. Jebakan pertama adalah kebiasaan selalu mencari 216 Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian Manajemen dan Kinerja Pembangunan Pertanian kambing hitam, menyalahkan pihak dan/atau negara lain untuk mengelak dari tanggung jawab dan menyembunyikan kekurangan kita. Kebiasaan ini membuat Indonesia selalu terlambat dalam mengantisipasi perubahan lingkungan strategis dalam perekonomi global yang terjadi. Kebiasaan ini membuat para-pihak di Indonesia alpa untuk mengerjakan tupoksi dan pekerjaan rumahnya, hanya mengharapkan pihak lain/negara lain akan berbuat baik dan/atau mengharapkan adanya keajaiban yang berpihak ke Indonesia. Reaksi berlebihan dan sentimen protektif belakangan menjamur dan cenderung emosional dalam menyikapi defisit necara perdagangan produk pangan. Produk hukum yang dihasilkan DPR belakangan ini, misalnya UU No. 18/2012 dan UU No. 19/2013, diwarnai emosi anti-impor yang mengabaikan UU nasional lain (misalnya UU No. 7/1994 tentang Ratifikasi WTO) yang masih berlaku. Akibatnya, tidak hanya berpotensi untuk dipermasalahkan oleh anggota WTO lain, UU Pangan No. 18/2012 dan UU No. 19/2013 dikhawatirkan tidak efektif karena aturan implementasi tidak kunjung dihasilkan. Jika kemandirian dan ketahanan pangan menjadi tujuan nasional, sebagaimana amanat konstitusi, maka sudah waktunya pemerintah lebih serius dan konsisten dalam upaya meningkatkan produksi, produktivitas, dan kualitas produk pangan nasional. Oleh karena tujuan ini merupakan tujuan nasional maka harus menjadi kebijakan dan program nasional, melibatkan koordinasi antar kementerian dan lembaga dengan komando langsung dari Presiden. Harus ada pemahaman bahwa tujuan ini tidak mungkin dicapai secara instant dengan cara mengatur, membatasi dan melarang impor. Melalui pemahaman ini, diharapkan Kementerian Pertanian akan kembali fokus kepada upaya peningkatan kapasitasa produksi pangan nasional yang mencakup peningkatan produksi, produktivitas, dan kualitas pangan, tidak lagi disibukan dengan kegiatan untuk menentukan dan mengalokasikan impor. Menjadi tanggung jawab Kementan untuk berkoordinasi dengan Kemendag dan Kemenkeu dalam menerapkan kebijakan pengaturan/pembatasan impor agar mampu menjamin harga yang layak bagi petani produsen untuk berproduksi secara berkesinambungan. Perlu ada pemahaman umum, khususnya birokrasi lingkup Kementan, bahwa perdagangan internasional merupakan sumber pertumbuhan sektor pertanian dan kesejahteraan petani produsen dan konsumen. Perdagangan internasional memacu efisiensi alokasi sumber daya dan efisiensi produksi serta menyediakan tambahan pasar (outlet) bagi produk yang dihasilkan. Perdagangan internasional juga akan memacu peningkatan kualitas produk pangan dan membantu petani untuk memperoleh ‘harga premium’ sesuai mutu yang dihasilkan. Untuk itu, harus ada perubahan pola pikir para-pihak untuk menghasilkan produk pangan berkualitas dan memenuhi standar mutu yang diminta pasar, tidak sekedar berproduksi untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik. Produksi pangan berorientasi ekspor akan membiasakan petani dan para-pihak untuk menghasilkan produk berkualitas sehingga berdaya-saing baik di pasar ekspor maupun pasar dalam negeri. Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian 217 Reformasi Kebijakan Perdagangan Menuju Kemandirian dan Ketahanan Pangan Nasional REFORMASI KEBIJAKAN PRODUKSI PANGAN NASIONAL Dalam situasi kapasitas produksi pangan nasional seperti diuraikan di atas, kemandirian pangan tidak akan mungkin terwujud. Ketahanan pangan masih mungkin terwujud namun kondisi ketahanan pangan yang tergantung pada produk pangan impor. Dalam kondisi pasokan pangan di pasar dunia berlebih atau harga pangan di pasar dunia rendah maka kebutuhan pangan dengan mudah diperoleh dan ketahanan pangan dapat dicapai tanpa biaya ekonomi besar. Namun, jika situasi sebaliknya terjadi, yakni bila harga pangan di pasar dunia melonjak akibat berkurangnya pasokan pangan di pasar dunia, maka produk impor akan menjadi sangat mahal sehingga tidak dapat dijangkau oleh masyarakat, khususnya kelompok miskin. Jika hal ini terjadi sangat mungkin menimbulkan keresahan sosial dan instabilitas politik. Kondisi kapasitas produksi pangan saat ini jelas jauh dari kondisi kemandirian karena kenyataannya sebagian kebutuhan pangan utama (beras, jagung, dan kedele) masih harus dipenuhi dari impor. Impor jagung dan kedele cenderung terus meningkat seiring dengan peningkatan permintaan kedua produk pangan tersebut. Oleh karena itu, untuk mewujudkan ketahanan pangan yang berkemandirian tidak ada cara lain kecuali secara sistematis, konsisten dan berkelanjutan membangun dan meningkatkan kapasitas produksi pangan nasional, yakni dengan meningkatkan produksi, produktivitas dan kualitas serta daya saing produk pangan utama tersebut. Langkah untuk melakukan pencetakan sawah baru, membangun waduk dan bendungan serta jaringan irigasi menjadi kebutuhan dan sekaligus keharusan agar program ekstensifikasi dan intensifikasi produksi pangan dapat dilaksanakan. Langkah untuk meningkatkan kualitas produk juga menjadi keharusan agar produk pangan nasional memiliki daya saing, baik di pasar ekspor maupun di pasar domestik untuk menghadapi produk pangan impor. Program ekstensifikasi produksi pangan harus diarahkan ke luar jawa. Kementerian Agraria/Badan Pertanahan nasional bersama Kementan, Kemenhut dan Kemen-PU perlu segera memetakan lahan pertanian baru di luar Jawa, termasuk lahan hutan konversi maupun lahan marginal yang tidak dibudidayakan, untuk ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan baru. Upaya ini dapat dikaitkan dengan program transmigrasi yang akan kembali digalakkan. Program pencetakan sawah harus disikronkan dengan program pembangunan waduk dan bendungan serta jaringan irigasi. Ketersediaan air dan sarana irigasi tidak hanya untuk pertanian padi tetapi juga diperlukan untuk pertanian pangan dan hortikultura lahan kering. Pola contract farming maupun inti-plasma perlu dihidupkan kembali atau direvitalisasi untuk meningkatkan produksi, produktivitas, dan kualitas produk pangan di wilayah transmigrasi. Jika pemerintah ingin meningkatkan produksi gula nasional, misalnya, pola inti-plasma bisa menjadi pilihan dimana suplai tebu untuk pabrik gula (PG) milik inti sebagian diperoleh dari kebun inti tetapi sebagian lainnya dari tebu petani plasma. Disamping program ekstensifikasi, pemerintah perlu kembali menggulirkan program intensifikasi, baik di Jawa maupun luar Jawa, mulai dari peningkatan intensitas tanam, pemilihan, dan penggunaan varietas berdaya hasil tinggi sampai 218 Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian Manajemen dan Kinerja Pembangunan Pertanian kepada upaya untuk penggunaan input produksi secara optimal. Konsep ‘panca-usaha’ tani kalau perlu dilihat kembali dan/atau disempurnakan untuk diterapkan dalam upaya memacu peningkatan produksi dan produktivitas pangan, khususnya di wilayah transmigrasi dan wilayah bukaan baru di luar Jawa. Namun demikian, dalam menyempurnakan paket produksi pemerintah perlu mengacu kepada tehnik pertanian yang baik (good agricultural practices-GAP) agar produk pangan yang dihasilkan memenuhi persyaratan ramah lingkungan dan standar mutu yang diinginkan pasar. Hal lain yang tidak kalah pentingnya, bahkan menjadi sangat penting di era pasar tunggal ASEAN, adalah pemenuhan standar mutu karena menjadi salah satu sarat aliran barang antar negara ASEAN. Kemampuan untuk menghasilkan produk pangan berkualitas yang memenuhi standar mutu menentukan kemampuan bersaing Indonesia baik di pasar tujuan ekspor (ASEAN) maupun pasar domestik (ASEAN, 2009). Pemenuhan standar mutu menjadi salah satu persyaratan aliran produk/barang antar negara ASEAN karena tarif impor 99 persen tariff lines sudah nol atau sangat rendah. Dengan berlakunya Mutual Recognition Agreement (MRA) standar yang berlaku di satu negara ASEAN diakui oleh negara lain (ASEAN, 1998a; ASEAN, 1998b). Standar mutu ini harus diberlakukan tanpa diskriminasi, artinya berlaku baik untuk produk impor maupun produksi domestik. Agar terarah, konsisten, dan kontinu pelaksanaannya, Kementan (Ditjen Tanaman Pangan dan Ditjen Hortikultura) perlu segera menyusun road-map peningkatan produksi dan produktivitas produk pangan strategis dan hortikultura unggulan, mencakup komoditas apa, dimana, berapa luas dan jadwal pelaksanaannya dalam 5-10 tahun ke depan? Road-map peningkatan produksi dan produktivitas ini perlu ditunjang road-map inovasi dan pengembangan teknologi produksi, panen, dan pascapanen (penyimpanan dan pengolahan) dari Badan Litbang Pertanian. Dokumen lain yang juga harus disusun adalah road-map peningkatan kualitas dan road-map penerapan standar mutu produk pangan serta sosialisasinya kepada petani dan stakeholders lainnya. KEBIJAKAN PERDAGANGAN MENINGKATKAN DAYA SAING Kebijakan perdagangan diperlukan untuk mengkoreksi “kegagalan” pasar bukan sebaliknya membuat pasar semakin terdistorsi dan tidak kompetitif. Kebijakan perdagangan harus mampu melindungi petani produsen dari praktek perdagangan internasional yang tidak adil dan sekaligus memberdayakan petani agar mampu menghasilkan produk pangan secara efisien dan berdaya-saing. Selain itu, kebijakan perdagangan juga harus mampu menjamin kecukupan pasokan pangan dengan harga terjangkau oleh masyarakat, khususnya kelompok miskin. Secara garis besar kebijakan perdagangan dapat dikelompokan sebagai berikut (Erwidodo, 2013): (1) Border measures, yakni kebijakan perdagangan mengontrol impor untuk melindungi petani dari produk impor dan praktek unfair trading, dan (2) Behind the border measures, yakni kebijakan perdagangan untuk melindungi dan memberdayakan petani, antara Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian 219 Reformasi Kebijakan Perdagangan Menuju Kemandirian dan Ketahanan Pangan Nasional lain kebijakan stabilisasi harga pangan, kebijakan harga input produksi, kebijakan pengembangan jasa pergudangan dan Sistem Resi Gudang (SRG), serta kebijakan pengembangan pasar lelang dan bursa komoditas. Secara garis besar, instrumen kebijakan pengaturan dan pembatasan ekspor/impor terdiri dari tarif dan non-tarif. Namun, sebagai negara anggota WTO, kebijakan pembatasan dan pengaturan impor/ekspor harus konsisten dengan aturan WTO. Aturan WTO melarang pemerintah melakukan pembatasan impor dengan menggunakan instrumen pembatasan kuantitatif, termasuk kuota. Penerapan kuota impor dapat dipastikan akan dipertanyakan oleh negara anggota lain, khususnya negara yang secara potensial dirugikan oleh kebijakan kuota impor yang diterapkan Indonesia. Aturan WTO menyediakan instrumen pembatasan impor dalam kategori trade remedies untuk membendung lonjakan impor dan trade defence instruments, termasuk instrumen perlidungan terhadap ancaman kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan yang tercakup dalam aturan WTO tentangSanitary and Phytosanitary (SPS). Salah satu behind the border measures adalah kebijakan stabilisasi harga pangan. Produk pertanian di seluruh dunia, pada umumnya, selalu rentan terhadap fluktuasi harga musiman. Di negara berkembang khususnya, harga komoditas pangan biasanya merosot tajam pada saat musim panen raya dan melonjak harganya saat di luar musim atau masa paceklik. Situasi lebih parah terjadi di usahatani hortikultura, baik sayuran maupun buah-buahan, karena sifatnya yang mudah rusak. Sifat mudah rusak ini tidak jarang membuat petani mengalami kerugian justru pada saat terjadi panen raya dan produksi melimpah. Keberadaan gudang dan teknologi pascapanen, termasuk teknologi penyimpanan dan pengolahan, menjadi sangat vital untuk mengurangi fluktuasi harga dan melindungi petani dari kerugian akibat kemerosotan harga saat panen raya. Dalam situasi seperti ini, pemerintah harus hadir untuk mengurangi fluktuasi harga dan menjamin harga yang layak bagi petani untuk berproduksi tetapi tetap terjangkau oleh konsumen secara umum. Instabilitas harga menjadi isu sensitif dan kebijakan stabilisasi harga pangan menjadi isu penting kebijakan pangan di banyak negara. Tidak hanya di negara berkembang, pemerintah di negara maju seperti Singapura dan Korea Selatan juga menerapkan kebijakan stabilisasi harga pangan. Bedanya adalah bahwa stabilisasi harga pangan di negara berkembang umumnya menggunakan cara konvensional lewat penerapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP), pengelolan stok pangan pemerintah (Public Stock Holding) dan pengaturan impor, sedangkan di negara maju menggunakan market driven instruments seperti Sistem Resi Gudang dan Bursa berjangka komoditas, ditunjang dengan pengembangan teknologi pengolahan dan value chains. Bukti empiris di seluruh dunia memperlihatkan bahwa keberadaan gudang (warehouse) merupakan ukuran kemajuan dari sistem usaha pertanian (agribisnis). Di negara maju dan di beberapa negara berkembang, termasuk China dan India, sistem pergudangan telah berkembang pesat dengan berdirinya gudang-gudang modern dan silo-silo untuk menyimpan komoditas serealia dalam kapasitas besar. Situasi ini yang mengantar negara-negara tersebut menjadi pemain eksportir/importir berkelas dunia. Pertanyaannya, apakah pertanian Indonesia, khususnya pertanian 220 Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian Manajemen dan Kinerja Pembangunan Pertanian pangan sudah ditopang oleh sistem pergudangan? Mengapa Sistem Resi Gudang (SRG) yang telah diundangkan dalam UU No. 9 tahun 2006 sampai sekarang tidak berkembang? Sampai saat ini, kebijakan stabilisasi harga pangan di Indonesia baru diberlakukan secara penuh untuk komoditas gabah/beras. Dalam melaksanakan stabilisasi harga gabah/beras pemerintah menerapkan beberapa instrumen berikut: (1) Harga Pembelian Pemerintah (HPP), (2) patokan Harga Jual Pemerintah (HJP) bagi BULOG untuk operasi pasar, (3) pengelolaan stok penyangga oleh BULOG dan operasi pasar sesuai HPP dan HJP, dan (4) pengendalian dan pembatasan impor melalui penjadwalan impor, pengenaan tarif impor (Rp 450/kg), kuota impor dan lisensi impor. Perum BULOG menjadi pelaksana operasi pengadaan beras, pengelolaan stok beras pemerintah, pelaksana impor (importir tunggal) untuk beras kualitas medium. Secara umum, kinerja pemerintah dan BULOG dalam menstabilisasi harga gabah/beras dinilai berhasil, dimana disatu pihak telah mampu menjamin petani menerima harga yang layak (diatas HPP) dan dilain pihak menjamin konsumen untuk membeli beras dengan harga wajar yang tidak membebani mereka dan perekonomian nasional. Disamping itu, program beras untuk orang miskin (Raskin), terlepas disinyalir kurang cost efficient juga dinilai cukup efektif dalam menolong kelompok miskin untuk memperoleh beras. Meski pemerintah, dalam rapat Kabinet awal tahun 2013, telah memutuskan dan mengumumkan akan menerapkan kebijakan stabilisasi harga kedele, jagung, gula dan daging sapi, tetapi belum dilaksanakan secara penuh. Agak mirip dengan beras, pemerintah menetapkan harga patokan gula tani yang merupakan tingkat harga minimum yang harus diterima petani tebu pemilik gula tani. Disamping harga patokan gula pemerintah memperkenalkan sistem dana talangan, yakni dana dari PG-PTPN dan swasta yang diberikan kepada petani (pemilik gula tani) sebelum dilakukan pelelangan gula tani. Petani pemilik gula tani akan memperoleh tambahan penerimaan dengan proporsi tertentu (60:40) bilamana harga lelang lebih tinggi dari harga patokan. Untuk melindungi konsumen dari kemungkinan lonjakan harga eceran, pemerintah melakukan pengaturan impor gula. Dengan kebijakan ini, konsumen gula terlindungi dari lonjakan harga gula dan petani tebu menerima harga gula layak untuk kelangsungan usahatani tebunya. Ada yang menarik untuk dipertanyakan dan dikritisi, yaitu untuk komoditas pangan selain gabah/beras pemerintah, sebagaimana diuraikan dalam Kebijakan Operasional Badan Ketahanan Pangan-Kementan, berkomitmen melakukan stabilisasi harga pangan tingkat konsumen, tetapi tidak stabilisasi harga pangan tingkat produsen (Suryana, 2014). Stabilisasi harga jagung, kedele, daging sapi, bawang merah, dan cabe dilakukan pemerintah dengan cara mengatur (membatasi, menutup, dan membuka) kran impor. Pemerintah lepas tangan atau tidak berdaya, saat harga cabe, bawang merah, dan jagung merosot ketika musim panen raya tiba. Pemerintah hanya bisa menghimbau dan mengharap pedagang untuk tidak mempermainkan harga. Mengapa pemerintah hanya berpihak kepada konsumen tetapi tidak berpihak kepada petani? Langkah pemerintah seperti ini jelas-jelas melanggar amanat UU No. 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani sebagaimana diuraikan di atas. Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian 221 Reformasi Kebijakan Perdagangan Menuju Kemandirian dan Ketahanan Pangan Nasional Pengalaman di negara lain, termasuk negara maju, memperlihatkan bahwa kebijakan stabilisasi harga pangan pokok melalui kombinasi pengelolaan stok penyangga dan kebijakan impor secara terbuka dan transparan (pengenaan tarif dan lisensi impor otomatis) dapat efektif tanpa perlu anggaran pemerintah yang besar. Sementara stabilisasi harga pangan lain dari fluktuasi harga musiman dilakukan pemerintah dengan menggunakan pedekatan pasar mulai dari mengembangkan jasa pergudangan, menerapkan Sistem Resi Gudang (SRG), mengembangkan bursa dan pasar berjangka komoditas. SRG membantu petani melakukan tunda jual, memperoleh pembiayaan usahatani dan menerima harga produk lebih tinggi dibandingkan harga yang berlaku pada saat panen. SRG memfasilitasi petani pemilik RG untuk berpartisipasi dalam pasar lelang tanpa harus membawa produknya ke lokasi lelang, cukup dengan membawa RG yang dipunyai. Keberadaan stok petani di gudang pengelola resi gudang dapat memperkuat keberadaan stok komoditas pangan tersebut untuk memenuhi pasokan dan sekaligus stabilisasi harga saat paceklik. Lebih jauh, hanya dengan pengembangan jasa pergudangan dan penerapan SRG, keberlangsungan pasokan untuk kebutuhan industri dalam negeri dan ekspor dapat direalisasikan. SISTEM RESI GUDANG DAN PENINGKATAN STANDAR MUTU Sifat musiman dari produksi pertanian sangat rentan terhadap gejolak harga. Situasi ini terjadi di seluruh dunia. Harga jatuh pada saat musim panen raya dan naik pada saat di luar musim panen. Bedanya banyak negara, khususnya negara maju dan beberapa negara berkembang eksportir komoditas pertanian, permasalahan gejolak harga musiman ini sudah dapat diatasi. Negara-negara ini telah berhasil mengembangkan teknologi penyimpanan, pengawetan dan sistem pergudangan secara efisien. Negara-negara ini telah berhasil menyebar-luaskan penerapan Sistem Resi Gudang-RSG (warehouse receipt system), sistem kontrak serah (future contract) sampai ke bursa berjangka komoditas (Hollinger, F., L Rutten, K. Kirikov, 2009; Coulter, J dan G. Onumah, 2012). Ketiga sistem ini sudah lama diterapkan di banyak negara berkembang pengekspor produk pertanian, termasuk China, India, Thailand, dan Vietnam (Blandina, Kilana 2013; Mahanta, D, 2012). SRG baru mulai dikenal di Indonesia sejak terbitnya UU No 9/2006 tentang Resi Gudang dan mulai diterapkan secara bertahap sejak tahun 2007 (PSEKP, 2007; Erwidodo, 2014). Resi Gudang (RG) adalah dokumen bukti kepemilikan barang yang disimpan di suatu gudang yang diterbitkan oleh pengelola gudang dan merupakan sekuriti yang menjadi instrumen perdagangan. RG merupakan surat berharga yang dapat diperdagangkan, diperjual-belikan, dipertukarkan atau digunakan sebagai jaminan bagi pinjaman maupun dapat dipergunakan untuk pengiriman barang dalam transaksi derivatif seperti halnya kontrak serah (future contract). RG dapat digunakan oleh petani untuk memperoleh kredit pembiayaaan dari perbankan untuk kegiatan usahataninya. Setiap produk yang akan disimpan di gudang harus memenuhi standar 222 Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian Manajemen dan Kinerja Pembangunan Pertanian mutu tertentu sehingga Pengelola SRG dapat meng-issued RG sesuai dengan nilai produk yang disimpan. Sesuai Permendag No 26/M-DAG/PER/2007, pemerintah telah menetapkan 8 komoditas pertanian sebagai produk yang dapat disimpan di gudang dalam penyelenggaraan SRG, yaitu: gabah, beras, kopi, kakao, lada, karet, rumput laut dan jagung, belakangan (2010) menyusul dua tambahan produk yaitu rotan dan garam. Adapun persyaratan produk yang diresi-gudangkan adalah: (1) memiliki daya simpan minimal 3 bulan, (2) memenuhi standar mutu tertentu, dan (3) memenuhi jumlah minimum yang disimpan. Bank dan Lembaga Keuangan yang telah berpartisipasi dalam menyalurkan pembiayaan resi gudang, antara lain, Bank BRI, Bank Jabar, Bank Jatim, Bank Kalsel. Data resmi dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), Kementerian Perdagangan, memperlihatkan bahwa pelaksanaan SRG masih terbatas, meskipun terjadi peningkatan cukup nyata dalam penerbitan resi gudang selama tiga tahun terakhir. Sejak 2008-November 2013, dilaporkan 1.216 resi gudang telah diterbitkan dengan total nilai Rp 237 miliar, mencakup 1.070 RG untuk gabah dengan nilai Rp 197 miliar, 77 RG untuk beras dengan nilai Rp 32 miliar, 45 RG untuk jagung dengan nilai Rp 4 miliar, sisanya 24 RG untuk produk lain dengan nilai Rp 3,1 miliar. Dari total RG yang telah diterbitkan, sebanyak 975 pemilik RG memperoleh kredit dari lembaga keuangan/perbankan dengan total nilai kredit Rp 141 miliar. Dari total nasabah penerima kredit 863 pemilik RG gabah dan 61 pemilik RG beras dengan total nilai kredit masing-masing sebesar Rp 119 miliar dan Rp 17 miliar. Perkembangan dan akumulasi jumlah penerbitan dan nilai RG serta nilai pembiayaan selama 2008 hingga November 2013 disajikan dalam Tabel 5. Menurut Menteri Perdagangan (2013) baru ada 81 unit gudang dan hanya mampu menampung 5 persen kebutuhan pangan (beras) nasional. Kondisi ini sangat merugikan petani, yang sulit mendapatkan kepercayaan kredit dari bank, karena tak ada bukti kepemilikan hasil produksi yang dapat dijadikan jaminan (agunan) untuk memperoleh kredit perbankan. Tabel 5. Perkembangan Penerbitan dan Nilai RG serta Nilai Pembiayaan 2008-2013 Penerbitan Pembiayaan Tahun Jumlah RG Nilai (Juta Rp) Jumlah RG Nilai (juta Rp) 2008 2009 2010 2011 2012 2013 16 13 57 271 379 480 1.432 553 8.679 40.068 93.183 93.210 6 5 35 218 334 377 313 136 4.216 24.050 58.654 53.363 Total 1.216 237.124 975 140.733 Sumber: Bappebti, Kementerian Perdagangan Keberhasilan dalam penyebar-luasan SRG tidak berdiri sendiri tetapi disertai dengan kebijakan lain, termasuk kebijakan untuk mengembangkan koperasi dan Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian 223 Reformasi Kebijakan Perdagangan Menuju Kemandirian dan Ketahanan Pangan Nasional kelompok tani. Sempitnya pemilikan lahan usaha, membuat usaha tani tidak mencapai skala ekonomis termasuk dalam memanfaatkan SRG. Untuk meningkatan skala usaha, petani perlu berkelompok, khususnya dalam mengangkut produknya ke Gudang pengelola RG. Untuk mempercepat penyebar-luasan SRG, diperlukan kebijakan pemberian insentif bagi pengelola resi gudang, misalnya lewat subsidi bunga, keringanan atau pembebasan pajak. Lewat kebijakan subsidi dan insentif seperti ini, pemerintah dapat mendorong pengelola SRG untuk membangun gudang-gudang yang berlokasi di sentra-sentra produksi. Dalam tahap awal penerapan SRG, pemerintah dapat menugaskan BUMN perdagangan sebagai pionir pengelola SRG. Keberhasilan BUMN dalam mengelola resi gudang secara efisien dapat dijadikan percontohan. Jika pemerintah benar-benar serius untuk membangun sektor pertanian, membantu dan melindungi petani dari masalah anjloknya harga saat musim panen serta memfasilitasi petani untuk memperoleh kredit perbankan maka sudah seharusnya pemerintah melaksanakan amanat UU SRG No. 9/2006 secara penuh untuk mendorong/memfasilitasi penyebarluasan SRG di seluruh wilayah tanah air. Jika SRG diterapkan secara meluas di seluruh provinsi, maka akan mendorong pengembangan teknologi penyimpanan, mengurangi instabilitas harga produk pangan, meningkatkan pendapatan/keuntungan petani produsen, memudahkan petani untuk memperoleh kredit perbankan untuk usahataninya. Selain itu, jika SRG meluas penerapannya, Pemerintah tidak harus melakukan program stabilisasi harga secara konvensional dengan mengelola stok penyangga sebagaimana terjadi pada komoditas beras yang memerlukan anggaran besar. Stok penyangga pemerintah (yang dikelola BULOG) tidak perlu terlalu besar, digantikan oleh stok swasta dan petani yang terbentuk lewat SRG. Disamping itu, penerapan SRG yang memerlukan syarat ‘standar mutu’ akan membudayakan petani untuk menghasilkan produk pangan yang memenuhi standar mutu. KEBIJAKAN MENINGKATKAN DAYA SAING PEREKONOMI NASIONAL Apakah Indonesia memiliki daya saing dalam memproduksi produk pertanian? Daya saing petani dan sektor pertanian tidak berdiri sendiri, tetapi terkait dengan daya saing perekonomian secara keseluruhan. Indonesia sebenarnya memiliki keunggulan komparatif dalam menghasilkan beberapa produk pertanian, karena ketersediaan sumber daya pertanian yang dimiliki baik sumber daya lahan, manusia dan kapital. Masalahnya, sampai sekarang Indonesia tidak memiliki daya-saing, dikarenakan kesalahan dalam kebijakan pemerintah (policy failures). Sangat terbatasnya sarana jalan, transportasi, pelabuhan, listrik dan energi serta tidak efisiennya sistem logistik nasional merupakan kesalahan pemerintah dalam menciptakan iklim investasi. Alhasil, biaya bongkar muat barang, ongkos angkut dan biaya logistik lainnya menjadi sangat mahal yang mengakibatkan daya saing Indonesia rendah, jauh lebih rendah dibandingkan negara ASEAN lainya (Erwidodo, 2013). 224 Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian Manajemen dan Kinerja Pembangunan Pertanian Index Ease of Doing Business tahun 2012 sebagai indikator daya saing yang dipublikasi Bank Dunia, menempatkan Indonesia di urutan 128 dari 185 Negara, jauh dibawah Singapura (1), Malaysia (12), Thailand (18) dan Vietnam (99), sedikit di atas Kamboja (133), Philipina (138). Index kemudahan berbisnis Indonesia juga jauh di bawah mitra dagang ASEAN, seperti Selandia Baru (3), Amerika Serikat (4), Korea Selatan (8), dan Australia (10), serta sedikit di atas India (132). Info lain yang menarik adalah index ‘memperoleh kredit’, dimana Indonesia ada di urutan 129, di bawah Malaysia (1), Singapura (12), dan Thailand (70). Ranking index ‘memperoleh kredit’ di Indonesia juga jauh di bawah negara mitra ASEAN, demikian juga index perdagangan lintas batas. Namun yang menarik index perdagangan lintas batas Indonesia cukup bagus, berada di urutan 37 dari 185 negara, di bawah Singapura yang menduduki urutan ke 1, Malaysia ke 11, dan Thailand ke 20, serta di atas negara anggota ASEAN lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pembenahan urusan bea-cukai (Custom) di Indonesia cukup berhasil Relatif rendahnya daya saing Indonesia di pasar ASEAN dan Global juga diperlihatkan dalam Index Daya Saing Global (Global Competitiveness Index) yang dipublikasikan oleh World Economic Forum 2013, yang menempatkan Indonesia pada urutan ke 38, jauh di bawah Singapura (2), Malaysia (24), dan Brunei (26). Ranking Indonesia di bawah Thailand (37) dan di atas Philipina (59), Vietnam (70), dan negara ASEAN lainnya. Situasi ini menjadi salah satu penjelas mengapa Indonesia kalah bersaing di pasar ASEAN maupun global, dan pasar Indonesia dibanjiri oleh produk impor dari Thailand, China, Korea Selatan, dan mitra dagang ASEAN lainnya. Kenaikan indeks daya saing Indonesia dari urutan ke-50 (2012) menjadi urutan ke-38 (2013) lebih banyak didorong oleh indikator terkait sektor swasta, sementara indikator yang terkait kinerja pemerintah mengalami perubahan sangat kecil. Indikator terkait dengan infrastruktur publik dan perizinan, tidak mengalami perubahan yang berarti (Erwidodo, 2013). Untuk itu, menjadi sangat penting dan mendesak bagi pemerintah untuk segera melakukan reformasi birokrasi, menyederhanakan proses dan memangkas waktu mengurus perizinan, serta meningkatkan infrastruktur publik agar sistem logistik nasional menjadi lebih efisien. Tidak ada alasan lagi untuk menundanya, bila Indonesia ingin menjadi Champion di era persaingan global, khususnya era MEA 2015 (ASEAN, 2009a; ASEAN, 2009b). Keputusan Gubernur DKI Jakarta menyelesaikan masalah kemacetan Jakarta dan sekitarnya, merupakan langkah konkrit yang harus didukung oleh pemerintah pusat. Harus diakui, kegamangan dalam mengambil keputusan dan kelambanan dalam melaksanakan rencana/program menjadi titik lemah pemerintahan satu dekade lalu. Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian 225 Reformasi Kebijakan Perdagangan Menuju Kemandirian dan Ketahanan Pangan Nasional KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN 1. Kemandirian dan ketahanan pangan tidak mungkin dicapai hanya dengan kebijakan perdagangan yang bertumpu kepada pembatasan dan pelarangan impor. Ketahanan pangan yang berkemandirian memerlukan reformasi pola pikir dan reformasi kebijakan secara menyeluruh dan program terintegrasi, mulai dari kebijakan dan program peningkatan kapasitas produksi pangan nasional, kebijakan dan program pemberdayaan petani agar mampu menghasilkan produk pangan secara efisien dan berdaya saing sampai ke kebijakan dan program peningkatan daya saing perekonomian. 2. Diperlukan reformasi pola pikir dan cara pandang semua pihak, khususnya termasuk pemerintah sebagai pembuat kebijakan, antara lain sebagai berikut : (1) berhenti dari kebiasaan untuk selalu mencari kambing hitam, menyalahkan pihak dan/atau negara lain, (2) kemandirian pangan hanya dapat dicapai jika negara/pemerintah serius dan konsisten dalam upaya meningkatkan produksi, produktivitas dan kualitas produk pangan nasional, (3) kemandirian dan ketahanan pangan harus menjadi kebijakan dan program nasional dibawah komando langsung Presiden, (4) tujuan ini tidak mungkin dicapai secara instan’ hanya dengan cara mengatur, membatasi dan melarang impor, (5) bahwa perdagangan internasional merupakan sumber pertumbuhan sektor pertanian dan kesejahteraan petani produsen dan konsumen, dan (6) menghasilkan produk pangan berkualitas dan berorientasi ekspor, tidak sekedar berproduksi untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik. 3. Kondisi kapasitas produksi pangan nasional saat ini jelas jauh dari kondisi kemandirian dan sebagian kebutuhan pangan utama (beras, jagung, dan kedele) masih harus dipenuhi dari impor yang cenderung terus meningkat. Oleh karenanya, tidak ada cara lain untuk mewujudkan kemandirian pangan kecuali secara sistematis dan konsisten membangun dan meningkatkan kapasitas produksi pangan nasional melalui program ekstensifikasi, intensifikasi, dan peningkatan kualitas produk pangan. Langkah untuk melakukan pencetakan sawah baru, membangun waduk dan bendungan serta jaringan irigasi menjadi keharusan. 4. Program ekstensifikasi produksi pangan harus diarahkan ke luar jawa. Program pencetakan sawah harus disikronkan dengan program pembangunan waduk, bendungan dan jaringan irigasi. Pola contract farming maupun inti-plasma perlu dihidupkan kembali atau di-revitalisasi untuk meningkatkan produksi, produktivitas dan kualitas produk pangan di wilayah transmigrasi. 5. Disamping program ekstensifikasi, pemerintah perlu kembali menggulirkan program intensifikasi baik di Jawa maupun di luar Jawa, mulai dari peningkatan intensitas tanam, pemilihan, dan penggunaan varietas berdaya hasil tinggi sampai kepada upaya untuk penggunaan input produksi secara optimal. Konsep ‘panca usahatani’ kalau perlu dilihat kembali dan disempurnakan untuk memacu 226 Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian Manajemen dan Kinerja Pembangunan Pertanian peningkatan produksi dan produktivitas pangan, khususnya di wilayah transmigrasi dan wilayah bukaan baru di luar Jawa. Penyempurnaan paket produksi perlu mengacu kepada tehnik produksi yang lebih baik (good agricultural practices-GAP) agar produksi yang dihasilkan memenuhi persyaratan standar mutu yang diinginkan pasar. 6. Peningkatan kualitas menjadi sangat penting di era pasar tunggal ASEAN. Kemampuan untuk menghasilkan produk pangan berkualitas dan memenuhi standar mutu menjadi kebutuhan karena menentukan kemampuan bersaing Indonesia baik di pasar tujuan ekspor (ASEAN) maupun pasar domestik. Standar mutu ini harus diberlakukan tanpa diskriminasi, artinya berlaku baik untuk produk impor maupun produksi domestik. 7. Agar terarah, konsisten dan kontinu pelaksanaannya, Kementan perlu segera menyusun road-map peningkatan produksi dan produktivitas produk pangan strategis mencakup komoditas apa, dimana, berapa luas dan jadwal pelaksanaannya dalam 5-10 tahun ke depan? Road-map peningkatan produksi dan produktivitas ini perlu ditunjang road-map inovasi dan pengembangan teknologi produksi, panen dan pasca-panen (penyimpanan dan pengolahan) dari Badan Litbang Pertanian. Dokumen lain yang juga harus disusun adalah road-map peningkatan kualitas dan road-map penerapan standar mutu produk pangan serta sosialisinya kepada petani dan pihak-terkait lainnya. 8. Kebijakan perdagangan diperlukan untuk mengkoreksi “kegagalan” pasar bukan sebaliknya membuat pasar semakin terdistorsi dan tidak kompetitif. Kebijakan perdagangan harus mampu melindungi petani produsen dari praktek perdagangan tidak adil dan sekaligus memberdayakan petani agar mampu menghasilkan produk pangan secara efisien dan berdaya-saing. Kebijakan perdagangan juga harus mampu menjamin kecukupan pasokan pangan dengan harga terjangkau oleh masyarakat, khususnya kelompok miskin. 9. Secara garis besar kebijakan perdagangan dapat dikelompokan menjadi: (1) Border measures, yakni kebijakan perdagangan untuk mengontrol impor untuk melindungi petani dari produk impor dan praktek perdagangan tidak adil dan (2) Behind the border measures, yakni kebijakan perdagangan untuk melindungi dan memberdayakan petani, antara lain kebijakan stabilisasi harga pangan, kebijakan harga input produksi, kebijakan jasa pergudangan dan sistem resi gudang, kebijakan pasar lelang dan bursa komoditas. 10. Pengembangan jasa pergudangan dan SRG merupakan langkah vital menuju pertanian pangan berdaya-saing untuk mewujudkan kemandirian dan ketahanan pangan nasional. Keberadaan jasa pergudangan dan SRG yang ditopang dengan kesiapan teknologi penyimpanan, pengawetan dan pengolahan merupakan faktor penentu keberhasilan program stabilisasi harga pangan dan penjamin kontinuitas pasokan. Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian 227 Reformasi Kebijakan Perdagangan Menuju Kemandirian dan Ketahanan Pangan Nasional 11. SRG adalah instrumen ‘tunda jual’ untuk menghindarkan petani dari masalah anjloknya harga saat musim panen, membiasakan petani menghasilkan standar mutu produk, memfasilitasi petani untuk berpartisipasi di pasar lelang dan memfasilitasi petani untuk memperoleh pembiayaan/kredit dari perbankan. 12. Keberhasilan dalam penyebar-luasan SRG tidak berdiri sendiri tetapi disertai dengan kebijakan untuk mengembangkan koperasi, kelompok tani dan rekayasa kelembagaan lain dalam upaya mencapai skala usaha ekonomis. Untuk mempercepat penyebar-luasan SRG agar menjangkau sentra-sentra produksi pangan, diperlukan kebijakan pemberian insentif bagi pengelola resi gudang, misalnya lewat subsidi bunga, keringanan atau pembebasan pajak. Dalam tahap awal penerapan SRG, pemerintah dapat menugaskan BUMN perdagangan sebagai pionir pengelola SRG. Keberhasilan BUMN dalam mengelola resi gudang secara efisien dapat dijadikan percontohan. 13. Menjadi sangat penting dan mendesak bagi pemerintah untuk melakukan reformasi birokrasi, menyederhanakan proses dan memangkas waktu mengurus perizinan untuk menekan biaya untuk memulai bisnis, serta membangun infrastruktur publik dan jaringan transportasi agar sistem logistik nasional menjadi lebih efisien. DAFTAR PUSTAKA ASEAN, 1998 (a). ASEAN Task Force on Codex. ASEAN Ministerial Meeting on Agriculture and Forestry (AMAF). ASEAN, 1998 (b). Expert Group on Harmonization of Phytosanitary Measures in ASEAN. ASEAN Ministerial Meeting on Agriculture and Forestry (AMAF). ASEAN, 2009. ASEAN Trade in Good Agreement (ATIGA). ASEAN Free Trade Area (AFTA) Council. Briones, R.M, and S. Bahri, 2014. Competitiveness of Selected Crops of Indonesia: Policy Analysis Matrix Approach. World Bank, Jakarta. Coulter, J and G. E. Onumah, 2002. The Role of Warehouse Receipt System in Enhanced Commodity marketing and Rural Livelihoods in Africa. Food Policy 27 (2002). Natural Resource Institute, Chatham Maritime, Kent, UK. Erwidodo, 2013(a). Kebijakan Perdagangan Mendukung Upaya Peningkatan Daya Saing Komoditas Pangan di Era MEA 2015. Prosiding, Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia (HPS) ke-33 “Optimalisasi Sumber daya Loka Melalui Diversifikasi Pangan Menuju Kemandirian Pangan dan Perbaikan Gizi Masyarakat Menyonsong MEA 2015”, Padang, Sumatera Barat, 21-22 Oktober 2013. 228 Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian Manajemen dan Kinerja Pembangunan Pertanian Erwidodo, 2013(b). Kebijakan Perdagangan Mendukung Kemandirian dan Ketahanan Pangan Nasional. Dalam: Ariani, M., Kedi, S., Nono,S.S., Rachmat, H., Haryono,S., Effendi, P., 2013 (eds). Diversifikasi Pangan dan Transformasi Pembangunan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. IAARD Press, Jakarta. Erwidodo dan B. Sayaka. 2013. Kebijakan Impor dan Stabilisasi Harga Mendukung Peningkatan Produksi Hortikultura. Dalam: Ariani, M., Kedi, S., Nono,S.S., Rachmat, H., Haryono,S., Effendi, P., 2013 (eds). Diversifikasi Pangan dan Transformasi Pembangunan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. IAARD Press Erwidodo, 2014. Meningkatkan Daya Saing Produk Hortikultura: Strategi Menghadapi MEA 2015. Draft Makalah kontribusi dalam Buku Peningkatan Daya Saing Produk Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Hollinger, Frank, L. Rutten, K. Kiriakov. 2009. The Use of Warehouse Receipt Finance in Agriculture in Transistion Countries. A working paper, FAO Investment Center, FAO, Rome. IFAD, 2010. Empowering Farmers in Tanzania through the Warehouse Resceipt System. IFAD. Kilama, Blandina. 2013. The Diverging South: Comparing the Cashew Sector of Tanzania and Vietnam. Universiteit of Leiden. Mahanta, Devajit, 2012. Review of Warehouse Receipt as an Investment for Financing in India. International Journal of Scientific & Technology Reasearch. Vol 1, No.9, October 2012. Onumah, G.E. 2013. The Benefits of Warehouse Receipt Financing. Natural Resources Institute (NRI), Unviversity of Greenwich, UK. Onumah, G.E. 2013. Better Grain Marketing with Warehouse Receipt System. Focus, Rural21. Natural Resources Institute (NRI), Unviversity of Greenwich, UK. PSEKP, 2007. Resi Gudang: Alternatif Model Pemasaran Komoditas Pertanian. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Vol 29, No.4, 2007. Pascal, Robert. 2010. NMB Experience in Warehouse Receipt System-Financing in Tanzania. National Microfinance bank (NMB). Sumarno, 2010. Ketersediaan Sumber daya Lahan Pertanian dan Ketahanan Pangan Nasional. Dalam: Nizam, M. Munir, dan A.M. Fauzi (eds). Menuju Kedaulatan Pangan. Klaster Ketahanan Pangan. Ditjen-Dikti, Kementerian Pendidikan Nasional, Jakarta. Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian 229 Reformasi Kebijakan Perdagangan Menuju Kemandirian dan Ketahanan Pangan Nasional Sumarno, 2013. Evolusi Kemajuan Usaha Pertanian Tanaman Pangan. Dalam : Ariani, M., Kedi, S., Nono,S.S., Rachmat, H., Haryono,S., Effendi, P., 2013 (eds). Diversifikasi Pangan dan Transformasi Pembangunan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. IAARD Press. Simatupang, P, I.W. Rusastra, M.Maulana. 2004. How to Solve Supply Bottleneck in Agricultural Sector. Analisis Kebijakan Pertanian, Volume 2, No 4, Desember 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Suryana, A. 2014. Dinamika Ketahanan Pangan Indonesia. Bahan presentasi (ppt) disampaikan pada Diskusi Panel Refleksi 12 tahun Ketahanan Pangan Indonesia, diselenggarakan oleh PP PERHEPI, Jakarta 2 Oktober 2014. 230 Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian