BAB II KAJIAN TEORI A. Tinjauan Tentang Masyarakat 1. Pengertian Masyarakat Banyak deskripsi yang dituliskan oleh para pakar mengenai pengertian masyarakat. Dalam bahasa Inggris dipakai istilah society yang berasal dari kata Latin socius, berarti “kawan”. Istilah masyarakat sendiri berasal dari akar kata Arab syaraka yang berarti “ikut serta, berpartisipasi”. Masyarakat adalah sekumpulan manusia saling “bergaul”, atau dengan istilah ilmiah, saling “berinteraksi” (Koentjaraningrat, 2009: 116). Menurut Phil Astrid S. Susanto (1999: 6), masyarakat atau society merupakan manusia sebagai satuan sosial dan suatu keteraturan yang ditemukan secara berulangulang, sedangkan menurut Dannerius Sinaga (1988: 143), masyarakat merupakan orang yang menempati suatu wilayah baik langsung maupun tidak langsung saling berhubungan sebagai usaha pemenuhan kebutuhan, terkait sebagai satuan sosial melalui perasaan solidaritas karena latar belakang sejarah, politik ataupun kebudayaan yang sama. Dari beberapa pengertian tersebut, dapat dimaknai bahwa masyarakat merupakan kesatuan atau kelompok yang mempunyai hubungan serta beberapa kesamaan seperti sikap, tradisi, perasaan dan budaya yang membentuk suatu keteraturan. Adapun macam-macam masyarakat yaitu: 12 13 a. Masyarakat modern Masyarakat modern merupakan masyarakat yang sudah tidak terikat pada adat-istiadat. Adat-istiadat yang menghambat kemajuan segera ditinggalkan untuk mengadopsi nila-nilai baru yang secara rasional diyakini membawa kemajuan, sehingga mudah menerima ide-ide baru (Dannerius Sinaga, 1988: 156). Berdasar pada pandangan hukum, Amiruddin (2010: 205), menjelaskan bahwa dalam masyarakat modern mempunyai solidaritas sosial organis. Menurut OK. Chairuddin (1993: 116), solidaritas organis didasarkan atas spesialisasi. Solidaritas ini muncul karena rasa saling ketergantungan secara fungsional antara yang satu dengan yang lain dalam satu kelompok masyarakat. Spesialisasi dan perbedaan fungsional yang seperti diungkapkan tersebut memang kerap dijumpai pada masyarakat modern. Selain adanya solidaritas organis, Amiruddin (2010: 206) juga menjelaskan bahwa hukum yang terdapat dalam masyarakat modern merupakan hukum restruktif yaitu hukum berfungsi untuk mengembalikan keadaan seperti semula dan untuk membentuk kembali hubungan yang sukar atau kacau kearah atau menjadi normal. Jadi masyarakat modern merupakan yang sudah tidak terpaku pada adat-istiadat dan cenderung mempunyai solidaritas organis karena mereka saling membutuhkan serta hukum yang ada bersifat restruktif. 14 b. Masyarakat tradisional Masyarakat tradisional merupakan masyarakat yang masih terikat dengan kebiasaan atau adat-istiadat yang telah turun-temurun. Keterikatan tersebut menjadikan masyarakat mudah curiga terhadap hal baru yang menuntut sikap rasional, sehingga sikap masyarakat tradisional kurang kritis (Dannerius Sinaga, 1988: 152). Menurut Rentelu, Pollis dan Shcaw yang dikutip dalam (P. J Bouman. 1980: 53) masyarakat tradisional merupakan masyarakat yang statis tidak ada perubahan dan dinamika yang timbul dalam kehidupan. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat tradisional merupakan masyarakat yang melangsungkan kehidupannya berdasar pada patokan kebiasaan adat-istiadat yang ada di dalam lingkungannya. Kehidupan mereka belum terlalu dipengaruhi oleh perubahan-perubahan yang berasal dari luar lingkungan sosialnya, sehingga kehidupan masyarakat tradisional cenderung statis. Menurut P. J Bouman (1980: 54-58) hal yang membedakan masyarakat tradisional dengan masyarakat modern adalah ketergantungan masyarakat terhadap lingkungan alam sekitarnya. Faktor ketergantungan masyarakat tradisional terhadap alam ditandai dengan proses penyesuaian terhadap lingkungan alam. Oleh karena itu masyarakat tradisional mempunyai karakteristik tertentu yang menjadi ciri pembeda dari masyarakat modern. Adapun karakteristik pada masyarakat tradisional diantaranya: 15 1. Orientasi terhadap nilai kepercayaan kebiasaan dan hukum alam tercermin dalam pola berpikirnya 2. Kegiatan ekonomi masyarakat bertumpu pada sektor agraris 3. Fasilitas pendidikan dan tingkat pendidikan rendah 4. Cenderung tergolong dalam masyarakat agraris dan pada kehidupannya tergantung pada alam sekitar 5. Ikatan kekeluargaan dan solidaritas masih kuat 6. Pola hubungan sosial berdasar kekeluargaan, akrab dan saling mengenal 7. Kepadatan penduduk rata-rata perkilo meter masih kecil 8. Pemimpin cenderung ditentukan oleh kualitas pribadi individu dan faktor keturunan (Dannerius Sinaga, 1988: 156). Berbeda dengan karakteristik yang diungkapkan oleh Dannerius sinaga, Selo Soemardjan (1993: 62-68) mencirikan masyarakat tradisional berdasarkan pandangan sosiologis. Berikut karakteristiknya: a. Masyarakat yang cenderung homogen b. Adanya rasa kekeluargaan, kesetiakawanan dan rasa percaya yang kuat antar para warga c. Sistem sosial yang masih diwarnai dengan kesadaran kepentingan kolektif d. Pranata adat yang efektif untuk menghidupkan disiplin sosial e. Shame culture (budaya malu) sebagai pengawas sosial langsung dari lingkungan sosial manusia, rasa malu menganggu jiwa jika ada orang lain yang mengetahui penyimpangan sistem nilai dalam adat-istiadat. Ciri-ciri masyarakat tradisional berdasarkan pandangan sosial berbeda dengan ciri masyarakat berdasarkan pandangan hukum. Karakteristik masyarakat tradisional berdasarkan hukum dapat dilihat pada pendapat yang dikemukakan oleh Amiruddin (2010: 205), bahwa 16 masyarakat tradisional cenderung mempunyai solidaritas sosial mekanis. Solidaritas mekanis merupakan solidaritas yang muncul atas kesamaan (keserupaan), konsensus dan dapatnya saling dipertukarkan antara individu yang satu dengan individu yang lain berada dalam kelompok itu. Tidak ada kekhususan pada masing-masing individu (OK. Chairuddin, 1993: 115). Berbeda dengan pendapat Selo Soemardjan (1993: 186) disiplin hukum masyarakat tradisional terhadap hukum negara lemah. Akan tetapi disiplin terhadap hukum adat cukup kuat. Sosial control dan disiplin hukum adat akan digunakan oleh masyarakat untuk mengatur ketertiban tata hidup sosialnya. Dari penjelasan tersebut, dapat dimaknai keseragaman masyarakat sering di jumpai pada masyarakat tradisional lebih patuh terhadap hukum adat daripada negara atau hukum nasional. Dalam masyarakat tradisional hukum yang ada bersifat represif. Hukum dengan sanksi represif memperoleh pernyataan hukumnya yang utama dalam kejahatan dan hukuman. Pelanggaran peraturan-peraturan sosial berarti kejahatan dan menimbulkan hukuman (Amiruddin, 2010: 204). 2. Masyarakat Tani a. Masyarakat Desa Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia masyarakat adalah sejumlah manusia dalam arti yang seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama. Sedangkan masyarakat desa yang penduduknya mempunyai mata pencaharian dari sektor pertanian, peternakan, perikanan 17 atau gabungan dari kesemuanya itu dan yang sistem budaya dan sistem sosialnya mendukung mata pencaharan itu. Soerjono Soekanto (2006: 162), istilah community dapat diterjemahkan sebagai masyarakat setempat. Masyarakat setempat adalah wilayah kehidupan sosial ang ditandai oleh suatu derajat hubungan sosial yang tertentu. Dasar dasar dari masyarakat setempat adalah lokalitas dan perasaan semasyarakat setempat tersebut. Ciri-ciri pokok suatu masyarakat yaitu manusia yang hidup bersama, bercampur untuk waktu yang cukup lama, mereka sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan, dan merupakan suatu sistem hidup bersama. Menurut Soerjono Soekanto (2006: 166-167) masyarakat pedesaan pada hakikatnya bersifat gradual. Warga suatu masyarakat pedesaan memupunyai hubungan yang lebih erat dan lebih mendalam ketimbang hubungan mereka dengan warga masyarakat pedesaan lainnya. Sistem kehidupannya berkelompok atas dasar sistem kekeluargaan. Penduduk masyarakat desa pada umumnya hidup dari pertanian, walaupun terlihat adanya tukang kayu, tukang membuat genteng dan bata, tukang bangunan, akan tetapi inti pekerjaan penduduk pedesaan adalah pertanian. Masyarakat ditandai oleh ciri-ciri, yaitu adanya interaksi, ikatan pola tingkah laku yang khas didalam semua aspek kehidupan yang bersifat mantap dan kontinyu, dan adanya rasa identitas terhadap kelompok, dimana individu yang bersangkutan menjadi anggota kelompoknya. 18 1. Ciri-ciri masyarakat desa Menurut Abdul Syani dalam Basrowi (2005 :41) menyebutkan bahwa masyarakat ditandai oleh empat ciri, yaitu adanya interaksi, ikatan pola tingkah laku yang khas didalam semua aspek kehidupan yang bersifat mantap dan kontinyu, serta adanya rasa identtas terhadap kelompok, dimana individu yang bersangkutan menjadi anggota kelompoknya. Sedangkan Soerjono Soekanto (2006: 156-157) menyatakan bahwa sebagai suatu pergaulan hidup atau suatu bentuk kehidupan bersama manusia, maka masyarakat itu mempunyai ciri-ciri pokok sebagai berikut : a. Manusia yang hidup bersama. Di dalam ilmu sosial tak ada ukuran yang mutlak ataupun angka yang pasti untuk menentukan berapa jumlah manusia yang harus ada. Akan tetapi, secara teoritis angka minimumnya ada dua orang yang hidup bersama. b. Bercampur untuk wilayah yang cukup lama. Kumpulan dari manusia tidaklah sama dengan kumpulan benda-benda mati, seperti kursi, meja dan sebagainya, karena berkumpulnya manusia akan timbul manusia-manusia baru. Manusia itu juga dapat bercakap-cakap, kesan-kesan atau perasaanperasaannya. Sebagai akibat hidup bersama itu timbulah sistem komunikasi dan timbulah peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antar manusia dalam kelompok tersebut. c. Mereka sadar merupakan sebuah kesatuan. 19 d. Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama. Sistem kehidupan bersama menimbulkan kebudayaan, oleh karena setiap anggota kelompok merasa dirinya terikat satu dengan yang lainnya. Ciri-ciri masyarakat diatas selaras dengan definisi masyarakat yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa masyarakat adalah kelompok manusia yang terbesar dan mempunyai kebiasan, tradisi, sikap dan perasaan yang sama. Masyarakat itu meliputi pengelompokan-pengelompokan yang lebih kecil yang mempunyai hubungan yang erat satu sama lain. Sedangkan ciri-ciri masyarakat menurut Munandar Soelaman (1992:73) ialah adanya sejumlah orang, tinggal dalam suatu daerah tertentu, adanya sistem hubungan, ikatan atas dasar kepentingan bersama, tujuan dan bekerja bersama, ikatan atas dasar unsur unsur sebelumnya, rasa solidaritas, sadar akan adanya interdependensi, adanya norma-norma dan kebudayaan. Kesemua ciri-ciri masyarakat ini dicoba ditransformasikan pada realitas desa dan kota, dengan menitikberatkan pada kehidupannya. Dalam buku sosiologi karangan Ruman Sumadilaga seorang ahli sosiologi Talcot Parsons menggambarkan masyarakat desa sebagai masyarakat tradisional (Gemeinschaft) yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : 1) Afektifitas ada hubungannya dengan perasaan kasih sayang, cinta, kesetiaan dan kemesraan. Perwujudannya dalam sikap dan perbuatan tolong-menolong, menyatakan simpati terhadap musibah yang diderita orang lain dan menolongnya tanpa pamrih. 20 2) Orientasi kolektif sifat ini merupakan konsekuensi dari afektifitas, yaitu mereka mementingkan kebersamaan, tidak suka menonjolkan diri, tidak suka akan orang yang berbeda pendapat, intinya semua harus memperlihatkan keseragaman persamaan. 3) Partikularisme pada dasarnya adalah semua hal yang ada hubungannya dengan keberlakuan khusus untuk suatu tempat atau daerah tertentu. Perasaan subyektif, perasaan kebersamaan sesungguhnya yang hanya berlaku untuk kelompok tertentu saja (lawannya Universalisme). 4) Askripsi yaitu berhubungan dengan mutu atau sifat khusus yang tidak diperoleh berdasarkan suatu usaha yang tidak disengaja, tetapi merupakan suatu keadaan yang sudah merupakan kebiasaan atau keturunan (lawanya prestasi). 5) Kekabaran (diffuseness), sesuatu yang tidak jelas terutama dalam hubungan antara pribadi tanpa ketegasan yang dinyatakan eksplisit. Masyarakat desa menggunakan bahasa tidak langsung, untuk menunjukkan sesuatu. Dari uraian tersebut dapat terlihat pada desa-desa yang masih murni masyarakatnya tanpa pengaruh dari luar. Masyarakat yang menjadi fokus peneliti adalah masyarakat desa yakni desa Mungseng. Masyarakat desa merupakan kelompok orang yang menghuni wilayah desa, pada umumnya mata pencaharian utama penduduknya adalah petani atau nelayan, sedangkan bagi desa Mungseng bertani menjadi mata pencaharian utama warga masyarakatnya. 21 Masyarakat desa erat kaitannya dengan bidang pertanian, sebab mayoritas pedesaan di negara kita masih bergantung pada bidang pertanian. Sayangnya, masyarakat desa yang terkenal sebagai penghasil pangan justru terkenal pula akan kemiskinannya. Desa, pertanian dan kemiskinan sangat erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat tani. Masyarakat tani adalah mereka yang berprofesi sebagai petani dan tergabung dalam komunitas tani di suatu wilayah, sehingga ada ungkapan bahwa secara umum kehidupan masyarakat tani memang sangat miskin dan rentan terhadap gejolak sekecil apapun yang menimpa mereka. Sebagian besar petani kita merupakan buruh tani dan petani gurem, mereka bercocok tanam hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup keluargannya dan sebgian besar tidak mampu mencukupi kebutuhan tersebut. Meskipun demikian, pertanian adalah hal yang sangat penting, sebab pertanian merupakan salah satu sektor dari seluruh perekonomian (CE. Bishop dan WD Toussaint, 1979: 28). B. Tinjauan tentang Petani 1. Pengertian pertanian Secara etimologi pertanian, berasal dari kata agriculture, dimana ager artinya lahan atau tanah dan cultura artinya memelihara atau menggarap. Menurut A.T Mosher (1968: 19) pertanian adalah sejenis proses produksi khas yang didasarkan atas proses pertumbuhan tanaman dan hewan. Bagi Indonesia sebagai negara berkembang, sektor peetanian merupakan mata pencaharian utama bagi sebagian besar penduduk dan merupakan sasaran 22 pembangunan di pedasaan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh M. Suhartono dalam Harumiasih (2002: 23) prioritas pembangunan masyarakat di pedesaan dijatuhkan pada sektor ekonomi pertanian. Hal tersebut disebabkan karena mata pencaharian sebagai petani di Indonesia identik dengan kehidupan masyarakat pedesaan. Tidak bisa disanggah lagi bahwa sebagian besar penduduk Indonesia adalah penduduk pedesaan yang bekerja pada sektor agraris atau pertanian sebagai mata pencaharian utamanya. Kegiatan-kegiatan produksi didalam setiap usaha tani merupakan suatu bagian usaha, dimana biaya dan penerimaan adalah penting. Tumbuhan merupakan pabrik pertanian yang primer. Ia mengambil gas karbondioksida dari udara melalui daunnya. Diambilnya air dan hara kimia dari dalam tanah melalui akarnya. Dari bahan-bahan ini, dengan menggunakan sinar matahari, ia membuat biji, buah, serat dan minyak yang dapat digunakan oleh manusia. Pertumbuhan tumbuhan dan hewan liar berlangsung di alam tanpa campur tangan manusia. Beribu-ribu macam tumbuhan di berbagai bagian dunia telah mengalami evolusi sepanjang masa sebagai reaksi terhadap adanya perbedaan dalam penyinaran matahari, suhu, jumlah air atau kelembaban yang tersedia serta sifat tanah. Tiap jenis tumbuhan menghendaki syarat-syarat tersendiri terutama tumbuhnya pada musim tertentu. Tumbuhan yang tumbuh di suatu daerah menentukan jenis-jenis hewan apakah yang hidup di daerah tersebut, karena beberapa di antara hewan itu memakan tumbuhan yang terdapat di daerah tersebut, sedangkan lainnya memakan 23 hewan lain. Sebagai akibatnya terdapatlah kombinasi tumbuhan dan hewan di berbagai dunia. Pertanian dalam arti sempit adalah sebagai pertanian rakyat, yaitu usaha pertanian keluarga, dimana produksi bahan makanan utama seperti beras, palawija dan tanaman hortikultura. Sedangkan pertanian dalam arti luas mencakup pertanian rakyat, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan. Pertanian juga merupakan kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang dilakukan manusia untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri, atau sumber energi, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya. Manusia membutuhkan energi untuk mempertahankan ketahanan tubuhnya. Nasi merupakan salah satu bahan makanan pokok yang mudah diolah, mudah disajikan, enak, lagi pula nilai energi yang terkandung di dalamnya cukup tinggi, sehingga berpengaruh besar terhadap aktivitas tubuh atau kesehatan. Padi merupakan bahan makanan yang menghasilkan beras. Menurut cara tanamnya, padi dapat dibagi menjadi padi sawah dan padi gogo. Padi sawah adalah padi yang ditanam di sawah dengan pengairannya sepanjang musim atau setiap saat. Sedangkan padi gogo adalah padi yang diusahakan di tanah tegalan kering secara menetap. Padi gogo diusahakan dengan menerapkan teknik budidaya seperti pengolahan tanah, pemupukan, dan pergiliran tanaman. Dibawah ini bentuk-bentuk dari pertanian di Indonesia : 24 a. Sawah Sawah adalah suatu bentuk pertanian yang dilakukan di lahan basah dan memerlukan banyak air baik sawah irigasi, sawah lebak, sawah tadah hujan maupun sawah pasang surut. b. Tegalan Tegalan adalah suatu daerah dengan lahan kering yang bergantung pada pengairan air hujan, ditanami tanaman musiman atau tahunan dan terpisah dari lingkungan dlam sekitar rumah. Lahan tegalan tanahnya sulit untuk dibuat pengairan irigasi karena permukaan yang tidak rata. Pada saat musim kemarau lahan tegalan akan kering dan sulit untuk ditumbuhi tanaman pertanian. c. Pekarangan Pekarangan adalah suatu lahan yang berada di lingkungan dalam rumah atau biasanya dipagari dan masuk ke wilayah rumah yang dimanfaatkan/digunakan untuk ditanami tanaman pertanian. d. Ladang Berpindah Ladang berpindah adalah suatu kegiatan pertanian yang dilakukan di banyak lahan hasil pembukaan hutan atau semak dimana setelah beberapa kali panen atau ditanami, maka tanah sudah tidak subur sehingga perlu pindah ke lahan lain yang subur atau lahan yang sudah lama tidak digarap. 25 2. Pengertian Petani Petani adalah orang yang bercocok tanam untuk memenuhi sebagian atau seluruh kebutuhan kehidupannya dibidang pertanian. Dalam arti luas yang meliputi usaha tani pertanian pangan, peternakan, perikanan (termasuk penangkapan ikan) dan pemungutan hasil laut (Fadholi Hernanto, 1996: 26). Berdasarkan bidang usahanya, petani di Indonesia menurut Sandy (1985: 107) dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: a. Petani pemilik adalah petani yang mengusahakan sendiri tanahnya b. Petani penggarap adalah petani yang mengusahakan tanah orang lain atas dasar bagi hasil c. Buruh tani adalah orang yang menyewakan tenaganya di bidang pertanian, untuk usahanya itu dia menerima upah sesuai dengan kesepakatan. Berdasarkan kutipan di atas bahwa bidang-bidang usaha petani itu sangat menentukan hasil yang diperoleh misalkan jika bidang usaha mereka sebagai pemilik lahan pertanian maka hasil produksi tidak akan berkurang karena adanya biaya sewa lahan, namun jika bidang usahanya sebagai penggarap maka ketentuan hasil produksi akan dikurangi biaya sewa lahan karena lahan ini milik orang lain apalagi jika bidang usaha sebagai buruh tani maka hanya memiliki upah bila ada orang (petani) yang memerlukan jasanya. Jumlah rumah tangga petani di Indonesia didominasi patani kecil, sebagaimana diungkapkan Soekartawi (1986: 1), bahwa karakteristik petani kecil di Indonesia ialah sebagai berikut: 26 1. Petani yang pendapatanya rendah, yaitu kurang dari setara 240 kg beras per kapita pertahun 2. Petani yang memiliki lahan sempit, yaitu lebih kecil dari 0,25 hektar lahan sawah di Jawa atau 0,5 hektar di luar Jawa. Bila petani tersebut juga mempunyai lahan tegal, maka luasnya 0,5 hektar di Jawa dan 1,0 hektar di luar Jawa 3. Petani yang kekurangan modal dam memiliki tabungan yang terbatas 4. Petani yang memiliki pengetahuan terbatas dan kurang dinamik. Berdasarkan pendapat di atas, dapat diketahui bahwa ciri yang paling dominan dari petani kecil yaitu dilihat tingkat pendapatan yang rendah, luas lahan garapan yang sempit, kurangnya modal serta minimnya pengetahuan bertani sehingga kurang adanya inovasi dan cenderung monoton dalam mengolah lahan pertaniannya. Sementara itu, menurut Suriapermana petani di Indonesia diklasifikasikan ke dalam empat golongan yaitu: a. Petani penggarap atau buruh tani: pria dan wanita dalam batas usia produktif (15-50 tahun), yang memiliki satu atau lebih wadah dari satuan usaha, tetapi karena hasilnya tidak cukup menunjang kebutuhan hidup keluarganya atau karena ingin menambaha penghasilan, bekerja kepada petani lain, mereka yang memiliki lahan biasanya mulai memburuh setelah menggarap lahan miliknya sendiri b. Petani penyekap : kepala keluarga yang memiliki modal tetapi tidak cukup memiliki wadah dari salah satu satuan usaha sehingga mengerjakan lahan milik orang lain (tegalan atau sawah) dengan cara sewa, sewa dengan batas waktu tidak menentu (gadai), atau bagi hasil c. Petani pemilik-penggarap: petani yang mengelola lahannya sendiri, adakalanya mengupah buruh tani apabila tenaga keluarganya tidak cukup untuk mengerjakan seluruh lahan miliknya, tetapi ada juga yang menyewakan sebagian lahan miliknya jika tidak cukup modal untuk mengupah buruh tani d. Petani pemilik-bukan penggarap: mereka memiliki lahan, tetapi karena mempunyai usaha lain (pedagang, industrialis, pegawai negeri/swasta, 27 ABRI), menyekapkan tanahnya kepada orang lain, biasanya tanah miliknya terletak agak jauh dari rumahnya (Hanafi, 2007: 35). Menurut pengertian di atas, petani di Indonesia diklasifikasikan lebih rinci yaitu petani pemilik yang mengolah lahanya sendiri, petani pemilik yang tidak mengolah lahannya sendiri, petani yang menyewa lahan milik orang lain dan petani yang selain menggarap lahannya sendiri, juga menjadi buruh di tempat lain. C. Tinjauan tentang Hukum Adat 1. Pengertian Hukum Adat Hukum adat merupakan istilah teknis ilmiah, yang menunjukkan aturan-aturan kebiasaan yang berlaku di kalangan masyarakat yang tidak berbentuk peraturan-perundangan yang dibentuk oleh penguasa pemerintahan (Hilman Hadikusuma, 1992: 8). Menurut Cornelis van Vollenhoven hukum adat adalah himpunan peraturan tentang perilaku yang berlaku bagi orang pribumi dan timur asing pada satu pihak yang mempunyai sanksi (karena bersifat hukum) dan pada pihak lain berada dalam keadaan tidak dikodifikasikan (karena adat). Tetapi rumusan Van Vallenhoven dimaksud memang cocok untuk mendeskripsikan apa yang dinamakan adat recht pada jaman tersebut bukan untuk hukum adat pada masa kini (Abdulrahman, 1984: 17-18). Pendapat tersebut bisa dipahami bahwa dahulu masyarakat masih kental dengan banyak tradisi dan budaya, jadi menurut beliau menyebutnya dengan adat recht pada jamannya, akan tetapi tidak cocok bila dikaitkan dengan jaman sekarang yang masyarakatnya sudah modern. Sukanto dalam 28 Abdulrahman (1984: 17-18) berpendapat bahwa hukum adat adalah kompleks adat-adat yang pada umumnya tidak dikitabkan, tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi jadi mempunyai akibat hukum. Sedangkan menurut Soepomo hukum adat adalah hukum tidak tertulis didalam peraturan tidak tertulis, meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib tetapi ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum (Abdulrahman, 1984: 17-18). Dari batasan-batasan yang dikemukakan di atas, maka terlihat unsurunsur dari pada hukum adat sebagai berikut : a. Adanya tingkah laku yang terus menerus dilakukan oleh masyarakat b. Tingkah laku tersebut teratur dan sistematis c. Tingkah laku tersebut mempunyai nilai sakral d. Adanya keputusan kepala adat e. Adanya sanksi/ akibat hukum f. Tidak tertulis g. Ditaati dalam masyarakat. Pengertian dan batasan diatas dapat dijadikan pedoman untuk membahas suatu tradisi yang ada di salah satu masyarakat tani di tengahtengah masyarakat modern. Salah satu contoh tradisi yang akan dibahas adalah sistem bawon. Bawon yang merupakan warisan turun-temurun dari nenek moyang para petani sudah memenuhi unsur hukum adat karena 29 merupakan aktifitas atau kegiatan yang dilakukan secara terus-menerus oleh masyarakat tani. 2. Corak-Corak Hukum Adat Indonesia Menurut Hilman Hadikusuma (1992: 33), corak hukum adalah hukum adat Indonesia yang normatif pada umumnya menunjukkan corak yang kepercayaan, tradisional, kebersamaan, konkrit dan visual. Sistem keseluruhan hidup bersama yang tersusun dari berbagai bagian dimana antara bagian satu dengan bagian yang lain saling bertautan atau berhubungan. Tiap hukum merupakan suatu sistem, sebagai suatu sistem yang kompleks dari norma-norma, yang merupakan suatu kebulatan sebagai wujud dari kesatuan alam pikiran yang hidup dalam masyarakat yang bersendi atas dasar alam pikiran yang berkaitan dengan unsur-unsur yang menjadi dasar corak sistem hukum adat (I Gede A.B Wiranata 2003: 57-58). Adapun corak-corak dalam hukum adat sebagai berikut: a. Kepercayaan (Religio Magis) Kepercayaan (Religio Magis) merupakan perilaku hukum atau kaidah-kaidah hukumnya berkaitan dengan kepercayaan terhadap yang gaib dan atau berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Hilman Hadikusuma 1992: 33). Tiap-tiap masyarakat diliputi oleh kekuatan gaib yang harus dipelihara agar masyarakat itu tetap aman tentram bahagia dan lain-lain. Tidak ada pembatasan antara dunia lahir dan dunia gaib serta tidak ada pemisahan antara berbagai macam lapangan kehidupan, seperti kehidupan manusia, alam, arwah-arwah nenek moyang dan kehidupan 30 makhluk-makhluk lainnya. Adanya pemujaan-pemujaan khususnya terhadap arwah-arwah dari nenek moyang sebagai pelindung adat-istiadat yang diperlukan bagi kebahagiaan masyarakat. Setiap kegiatan atau perbuatan-perbuatan bersama seperti membuka tanah, membangun rumah, menanam dan peristiwa-peristiwa penting lainnya selalu diadakan upacaraupacara religius yang bertujuan agar mendapat berkah, tidak ada halangan dan selalu berhasil dengan baik. Arti religio magis adalah : 1. bersifat kesatuan batin 2. ada kesatuan dunia lahir dan dunia gaib 3. ada hubungan dengan arwah-arwah nenek moyang dan maklukmakluk halus lainnya 4. percaya adanya kekuatan gaib 5. pemujaan terhadap arwah-arwah nenek moyang setiap kegiatan selalu diadakan upacara-upacara relegius 6. percaya adnya roh-roh halus, hatu-hantu yang menempati alam semesta seperti terjadi gejala-gejala alam, tumbuh-tumbuhan, binatang, batu dan lain sebagainya 7. percaya adanya kekuatan sakti 8. adanya beberapa pantangan-pantangan. b. Kebersamaan (Komunal) Bercorak kebersamaan (komunal) artinya bahwa kehidupan manusia selalu dilihat dalam wujud kelompok, sebagai satu kesatuan yang utuh. Individu satu dengan yang lainnya tidak dapat hidup sendiri, manusia 31 adalah makhluk sosial, manusia selalu hidup bermasyarakat yaitu kepentingan bersama lebih diutamakan daripada kepentingan perseorangan. Hal ini berarti bahwa kepentingan individu dalam hukum adat diimbangi oleh hak-hak umum (Soleman B. Taneko, 1984: 89). Corak komunal atau kebersamaan ini terlihat apabila warga desa melakukan kerja bakti atau gugur gunung, nampak sekali adanya kebiasaan hidup bergotong royong, solidaritas yang tinggi atau saling bantu-membantu. Rasa solidaritas yang tinggi menyebabkan orang selalu lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan diri sendiri. Bahkan pada suku bangsa jawa terdapat pepatah adat yang dengan tepat menggambarkan corak komunal yaitu: dudu sanak dudu kadang, ning yen mati melu kelangan (bukan anggota keluarga bukan saudara sekandung, tetapi kalau ia meninggal merasa turut kehilangan). c. Tradisional Hukum adat mempunyai corak tradisional, artinya bersifat turuntemurun dari zaman nenek moyang sampai ke anak cucu sekarang, keadaannya masih tetap berlaku dan dipertahankan oleh masyarakat yang bersangkutan (Hilman Hadikusuma, 1992: 33). Perilaku turun-temurun dan tradisional cenderung mewarnai kehidupan masyarakat hukum adat. Berbagai tatanan kebiasaan telah ada bahkan tetap dipertahankan namun ada rasa kurang nyaman apabila tidak dilaksanakan apalagi harus ditinggalkan. Salah satu contoh corak tradisional yang masih dilakukan di suku Jawa adalah upacara pada malam 1 Sura. Dalam pelaksanaan upacara 32 adat tradisional 1 Sura masing-masing daerah mempunyai ritual yang berbeda-beda, sehingga terdapat pula makna yang berbeda-beda dalam ritual tersebut bagi masyarakat. Namun masyarakat yang terlibat, belum tentu paham dengan makna, nilai serta simbol yang terkandung di dalam pelaksanaan upacara adat tersebut mereka hanya sekedar ikut-ikutan tanpa mengetahui makna serta manfaatnya (Wahyudi Pantja Sunjata, 1997: 2). d. Konkrit dan Visual Artinya adanya tanda yang kelihatan yaitu tiap-tiap perbuatan atau keinginan dalam setiap hubungan-hubungan hukum tertentu harus dinyatakan dengan benda-benda yang berwujud. Tidak ada janji yang dibayar dengan janji, semuanya harus disertai tindakan nyata, tidak ada saling mencurigai satu dengan yang lainnya. Hukum adat juga sangat memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnya hubungan-hubungan hidup yang kongkrit. Sistem hukum adat mempergunakan hubunganhubungan yang kongkrit tadi dalam pengatur pergaulan hidup (Soepomo, 1997: 140-141). Sedangkan visual berarti dapat terlihat, tanpak, terbuka, terang dan tunai. Visual juga merupakan pemberian sebuah tanda yang kelihatan untuk bukti penegasan atau peneguhan atas apa yang akan terjadi atau telah terjadi. Contohnya saat kita memberikan jaminan baik dalam bentuk barang maupun uang atas sesuatu yang telah kita beli, dimana kita tidak dapat membelinya secara tunai saat itu (panjer). 33 e. Tidak dikodifikasikan Artinya hukum adat sebagian besar tidak tertulis (Non Statutair). Sebagian besar hukum adat merupakan hukum yang tidak tertulis, semua masyarakatnya melakukanya secara sadar dan spontan. Mereka dapat menjadikan itu sebuah hukum walaupun tidak ada sebuah peraturan yang tertulis, karena hukum tersebut mereka dapat secara turun-temurun, dan sudah menjadi kebiasaan bagi mereka dalam kehidupan sehari-hari. Dalam upacara adat kebanyakan juga tidak tertulis, walaupun ada juga yang dicatat dalam daerah, bahkan ada yang dibukukan dengan cara yang sistematis, namun hanya sekedar sebagai pedoman dan sekedar dilaksanakan. Oleh karena itu, hukum adat mudah berubah, dan dapat disesuaikan dengan perkembangan masyarakat (Hilman hadikusuma, 1992: 38). D. Tinjauan Tentang Sistem Bawon Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata bawon mempunyai arti pembagian upah menuai padi yang berdasarkan banyak sedikitnya padi yang dipotong. Collier et.al (1974: 10) menyebutkan pada sistem bawon tradisional, bawon merupakan upah natura yang diberikan pemilik lahan kepada buruh tani khususnya untuk kegiatan panen yang merupakan bagian tertentu dari hasil panen. Panen padi merupakan aktifitas komunitas yang dapat diikuti oleh semua atau kebanyakan anggota komunitas dan menerima bagian tertentu dari hasil. Menurut hasil di beberapa tempat petani tidak dapat membatasi jumlah orang yang ikut memanen. Sistem tersebut merupakan 34 bawon yang benar-benar terbuka dalam arti setiap orang diijinkan ikut memanen (Hayami dan Kikuchi, 1981: 50). Sistem bawon adalah suatu sistem upah yang berlaku di pedesaan di pulau jawa, dimana pemetik padi disawah orang lain akan mendapatkan bagian hasil padi sebanyak 20 % dari padi yang berhasil dipetiknya, yang dinamakan bawon. Pemberian bawon 20 % ini tidak mutlak, tetapi kebanyakan di beberapa daerah atau beberapa desa dipulau jawa biasanya memberikan bawon sebesar 20 % atau 1/5 bagian (Kasihono Arumbinang, 1993: 17-18). Terdapat beberapa tinjauan tentang sistem bawon yaitu : 1. Sistem bawon ditinjau dari segi sejarah Diperkirakan sistem bawon itu sudah dilaksanakan di pulau jawa sejak zaman kerajaaan Mataram bahkan mungkin juga sudah dimulai semenjak zaman kerajaan Majapahit. Sistem pemberian upah dengan sebagian buah yang berhasil dipetik sebetulnya tidak hanya terjadi pada buah padi saja, tetapi terjadi juga pada buah kelapa, buah kopi, buah cengkeh dan lain-lain. Hal ini terjadi karena memang lebih praktis untuk mengupah buruh petik dengan sebagian buah yang berhasil dipetiknya, daripada pemilik sawah atau pemilik kebun harus mencari uang terlebih dahulu untuk keperluan membayar para buruh petik. Kesimpulannya sistem upah seperti ini merupakan peninggalan budaya nenek moyang kita yang masih relevan untuk dipakai sampai hari ini dan perlu dilestarikan. 35 2. Sistem bawon ditinjau dari segi hukum Sistem bawon ini berdasarkan “Hukum Adat” karena sistem bawon ini merupakan adat-istiadat yang punya akibat hukum bagi yang melanggar. Peraturan bawon ini sampai sekarang belum pernah ditulis oleh nenek moyang kita, bahwa untuk melaksanakan panen padi yang sudah menguning disawah para pemilik sawah luas harus memanggil tetangga-tetangganya untuk bergotong-royong memetik padi disawahnya dengan upah padi yang dinaamakan bawon. Jadi walaupun sistem bawon ini sampai sekarang belum pernah tertulis, tetapi masyarakat pedesaan tetap melaksanakannya sampai sekarang terutama di Pulau Jawa karena merupakan adat-istiadat. 3. Sistem bawon ditinjau dari segi sosial Pemberian upah berupa bawon itu adalah merupakan suatu cara yang dipakai oleh nenek moyang kita dalam rangka pemerataan pendapatan untuk memberikan kesejahteraan hidup atau kesejahteraan sosial pada masyarakat miskin di pedesaan ynag sesuai dengan kemampuannya atau kepandaiannya. Walaupun petani yang ikut menderep atau menuai padi itu tidak punya sawah, tetapi di waktu musim panen tiba petani tadi akan memiliki padi seperti padi yang dimiliki oleh si pemilik sawah. Jadi walaupun jumlah kepemilikan padi antara si penderep dengan pemilik sawah luas tidak sama, tetapi kalau si penderep atau si petani miskin itu pada musim panen bisa mendapatkan bawon setiap hari dari 36 pemilik sawah yang luas yang lain, maka si petani miskin tadi akan cukup banyak memiliki padi di rumahnya yang cukup untuk dimakan beberapa minggu, bahkan mungkin cukup untuk dimakan beberapa bulan dengan rasa yang sama dengan padi yang dimakan oleh si pemilik sawah atau si petani kaya. Selain itu gotong-royong untuk memetik padi di sawah luas milik petani kaya merupakan suatu pekerjaan yang ditunggu-tunggu petani miskin di desa, yang merupakan pekerjaan padat karya, sebab di musim panen tiba hampir semua petani miskin akan turun ke sawah untuk bekerja sebagai pemetik padi atau penderep. 4. Sistem bawon ditinjau dari segi ekonomi Ditinjau dari segi ekonomi, jelas-jelas bawon ini sangat mendukung ekonomi petani miskin. Sebab tanpa memiliki sawah satu meter persegi pun petani miskin setiap panen tiba akan memiliki padi yang berupa bawon tadi, dan bawon ini selan untuk dimakan juga bisa dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup yang lain, yaitu sandang dan papan. Jadi dengan adanya bawon yang berupa padi, yang memang merupakan makanan pokok orang Jawa maka salah satu kebutuhan pokok manusia yang berupa pangan sudah terpenuhi.