BAB 02 : PEMANFAATAN SDA MILIK UMUM DAN PILIHAN KEBIJAKAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN PERIKANAN DAN KELAUTAN Adam Smith dalam bukunya : "TheWealth of Nations, 1776” mempopulerkan "tangan gaib", suatu gagasan yang mengatakan bahwa orang yang "bermaksud hanya mencari keuntungan sendiri", seolah-olah "dituntun oleh tangan gaib untuk memajukan ... kepentingan umum". Adam Smith tidak menyatakan dengan tegas bahwa ini selalu benar, dan mungkin juga tidak pernah dikatakan oleh para pengikutnya. Tetapi itu telah memdorong suatu keputusan-keputusan kecenderungan yang dicapai umum secara untuk beranggapan perseorangan akan bahwa merupakan keputusan-keputusan yang terbaik untuk seluruh masyarakat. Kalau anggapan ini benar, maka gagasan ini akan membenarkan kelangsungan kebijaksanaan laissez-faire yang kita lakukan dalam segala hal kehidupan kita. 2.1. Tragedi Kebebasan Dalam Kebersamaan Kata "tragedi" mengutip pandangan filsuf Whitehead dari Garett Hardin bahwa: "Intisari dari tragedi dramatis bukanlah ketidakbahagiaan, tetapi terletak pada berlakunya keadaan-keadaan yang benar-benar kejam". Nasib yang tak terhindarkan ini dapat dilukiskan berkaitan dengan drama kehidupan manusia, dimana insiden-insiden yang menyebabkan ketidakbahagiaan terjadi. Dalam drama kehidupan demikian, maka pelarian dari kenyataan tersebut sebagai tindakan yang sia-sia”. Garett Hardin menjelaskan terjadinya tragedi kebersaniaan pada hakekatnya berkembang dari perilaku “kebebasan tanpa kendali”. Bayangkanlah suatu padang rumput yang tersedia untuk semua orang. Dapat dibayangkan bahwa setiap gembala akan mencoba menggembalakan sebanyak mungkin sapi di padang rumput itu. Penyelenggaraan yang demikian berlangsung dengan cukup memuaskan selama berabad-abad, karena perang antar suku, pemburuan semaunya dan penyakit, masih mempertahankan jumlah manusia dan hewan tetap berada di bawah daya dukung lahan. Namun akhirnya tibalah masa dimana stabilitas sosial yang telah lama dicita-citakan 2 menjadi kenyataan. Pada saat itu logika kebebasan dalam kebersamaan tanpa belas kasihan menimbulkan tragedi. Sebagai inakhluk yang berakal, setiap gembala akan berusaha untuk memaksimumkan keuntungan yang mungkin diperolehnya. Dengan tegas atau diam-diam, setengah sadar, ia akan bertanya dalam hatinya apa manfaatnya yang akan diperolch dengan menambahkan satu atau lebih kawanan ternaknya. Manfaat itu mempunyai komponen negatif dan positif, yaitu : (1) Komponen positif itu ialah fungsi tambahan satu hewan. Karena si penggembala memperoleh pendapatannya dari penjualan tambahan ternak itu, manfaat positif itu ialah plus satu. (2) Komponen yang negatif ialah fungsi penambahan rerumputan yang disebabkan bertambalmya seekor hewan lagi. Hanya saja akibat tambahan hewan gembala untuk memanfaatkan kelebihan rerumputan akan sama-sama diderita oleh semua penggembala. Kegunaan negatif bagi suatu penggembala tertentu yang membuat keputusan itu adalah satu bagian, yaitu minus satu. Dengan menjumlahkan manfaat parsial komponen itu, penggembala yang rasional akan berkesimpulan bahwa satu-satunya jalan yang terbaik untuk dilakukan ialah menambahkan hewan ke dalam kawanan ternaknya. Tetapi ini adalah kesimpulan setiap dan semua penggembala berakal dari anggota kebersamaan tersebut. Di sinilah letak terjadinya tragedi itu. Setiap orang terikat oleh suatu sistem yang mendorong untuk memperbesar kawanan ternaknya tanpa batas di dunia padang rumput yang justru terbatas. Kehancuran adalah nasib yang akan dihadapi semua orang, masing-masing mengejar kepentingannya sendiri dengan sebaik-baiknya, demi kebebasan yang dihormati bersama. Kebebasan dalam kebersamaan membawa kehancuran kepada semua. Mungkin kita akan mengatakan bahwa pernyataan tersebut adalah kata-kata hampa. Walaupun hal itu telah diketahui ribuan tahun yang lalu, tetapi perilaku manusia lebih menyukai penolakan. Keuntungan pribadi yang diperoleh perseorangan karena kemampuannya cenderung mengingkari kebenaran, walaupun nyata-nyata masyarakat secara keseluruhan menjadi menderita karenanya. Pendidikan mungkin dapat melawan kecenderungan alamiah berbuat salah tersebut, tetapi pergantian generasi yang tak dapat dihindarkan menuntut agar pemahaman ini terus-menerus disegarkan kembali. 3 Dalam hubungannya dengan kebebasan dalam kebersamaan tersebut, Hardin menyelipkan cerita menarik. Katanya, suatu kejadian sederhana di Leeminster, Massachusetts. Selama musim berbelanja menjelang Natal, tiang meteran parkir di daerah pusat perdagangan ditutup dengan kantong-kantong plastik yang bertuliskan : “Jangan dibuka sampai sesudah Natal. Pelayanan parkir cuma-cuma dari Walikota dan Dewan Kota”. Nampaknya Bapak Wali Kota ingin melembagakan sistem kebersamaan, sementara tempat parkir semakin sempit. Kita bisa bayangkan akibatnya yang akan diderita oleh kita semua. Dengan cara yang agak sama, pengertian kebersamaan dipahami dalam pemanfaatan lahan pertanian, mungkin sejak pertanian dikenal atau sejak dikenalnya milik pribadi dalam harta benda yang tidak bergerak. Demikian pula dengan samuderasamudera di dunia sampai saat ini masih menjadi korban oleh adanya filsafat kebebasan dalam kebersamaan. Bangsa bahari mungkin akan terusik jika semboyan :”kebebasan di lautan” dipersoalkan, karena keyakinannya bahwa :”sumberdaya ikan di samudera tidak akan pernah habis”. Banyak bangsa bahari “bertarung mengadu nasib di lautan dengan semboyan kebebasan”, sementara ikan paus secara tidak disadari semakin mendekati kemusnahannya. Apa daya kita untuk mengamankan itu semua ?. Apa yang dapat kita lakukan agar sumberdaya itu semua dapat kita wariskan untuk anak cucu kita seperti yang kita nikmati sekarang ???. Jawabnya macam-macam. Misalnya, ada yang berpendapat agar kita dapat menjualnya menjadi milik perorangan atau kita tetap mempertahankannya menjdi milik umum dengan cara membuat penjatahan untuk menggunakannya. Penjatahan dapat dilakukan dengan lelang atau atas dasar kemanfaatan dengan berbagai tolok ukur yang disetujui. Atau mungkin, boleh juga dengan cara lotere. Atau juga berdasarkan asas siapa yang datang terdahulu mendapat pelayanan yang pertama, yang diselenggarakan dalam suatu urutan yang disepakati. Semua kemungkinan itu adalah wajar-wajar saja dilakukan. Itu semua mungkin saja tidak sepenuhnya disetujui. Yang pasti, kita harus melakukan pilihan atau kalau tidak demikian berarti kita secara diam-diam menyetujui penghancuran milik bersama tersebut. Mungkin kita sering mendengar kata “pencemaran”. Secara terbalik, tragedi kebersamaan ini muncul dalam persoalan pencemaran lingkungan. Dalam hal ini soal 4 yang kita hadapi bukan mengambil sesuatu dari hak milik bersama tetapi memberikan dalam berbagai bentuk limbah kotoran kimia, radio aktif, dan panas ke dalam air, gas-gas beracun dan berbahaya ke udara, papan dan lampu-1ampu reklame yang mengganggu dan merusak pemandangan. Penghitungan kemanfaatan sama dengan sebelumnya. Orang yang berakal mengetahui bahwa bagian biaya yang harus dikeluarkan untuk limbah yang dibuang ke dalam lingkungan bersama adalah kurang dari biaya yang dikeluarkan seandainya limbah itu dibersihkan lebih dahulu sebelum dibuang. Karena semua orang berpikir demikian, kita terperangkap dalam suatu sistem : "mencemari tempat sendiri", selama kita bersikap sebagai pengusaha perseorangan, bebas, rasional. Sekali lagi, kebebasan dalam kebersamaan membawa akibat buruk terhadap kita bersama. Udara dan air yang melingkungi kita tidak dapat dipagari. Oleh karena itu tragedi kebersamaan harus dapat dicegah menjadi tangki WC dengan cara lain, seperti pemaksaan melalui undang-undang dan mengenakan pemajakan yang memungkinkan terjadinya keadaan dimana akan lebih murah bagi si pencemar untuk membersihkan bahan-bahan pencemarnya, daripada membuangnya sebelum dibersihkan. Kita mengenal konsep milik pribadi, yang menyokong atau tidak peduli dengan pencemaran. Pemilik pabrik di pinggir sungai, yang miliknya terentang luas sampai ke tengah sungai, sering kesulitan untuk dapat memahami kenapa bukan menjadi hak yang wajar baginya untuk mengotori air yang melewati miliknya. Hukum selalu ketinggalan. Ia memerlukan waktu untuk menyusun dan meninjau kembali aturan untuk disesuaikan dengan munculnya pengertian baru tentang kebersamaan itu. Persoalan pencemaran sebagai akibat yang ditimbulkan oleh penduduk selalu dikatakan oleh kakek-kakek kita bahwa : "air yang mengalir membersihkan dirinya sendiri dalam setiap jarak sepuluh mil". Dongeng ini cukup mendekati kebenaran waktu kita masih anak-anak, karena pada waktu itu orang belum begitu banyak. Tetapi setelah penduduk menjadi padat, dan daur ulang kimiawi dan biologis secara alami telah menimbulkan beban terlampau berat, maka pengertian hak milik memerlukan peninjauan kembali. Persoalan kita kemudian adalah menjawab pertanyaan, bagaimana mengundangkan tingkah laku ???. Dengan menggunakan milik umum sebagai tangki WC 5 mungkin tidak merugikan banyak orang, kalau hal itu terjadi di daerah pinggiran kota, karena di wilayah itu tidak ada khalayak ramai. Namun perbuatan yang sama dan terjadi di daerah metropolis seperti Surabaya atau Jakarta akan tidak dapat ditolerir. Seseorang mungkin tidak mengetahui apakah membunuh gajah, membakar padang rumput atau hutan merugikan orang lain kalau tidak diketahui sistem keseluruhan di mana tindakan itu dilakukan. Hukum masyarakat kita mengikuti pola etika sebelumnya, dan karena itu sering tidak sesuai untuk mengatur suatu dunia yang rumit, penuh sesak, dan berubah. Cara pemecahannya adalah menambah kekuatan undang-undang dengan peraturan peraturan administratif. Hanya saja hukum administratif mendatangkan persoalan baru : "siapa yang akan mengawasi si pengawas". Solusinya adalah kita harus mempunyai pemerintahan yang tunduk pada undang-undang bukan pada orang-orang. Pejabat-pejabat yang mencoba menilai tindakan nyata di lapangan dapat saja dihinggapi korupsi dan dengan demikian mengakibatkan pemerintahan oleh orang-orang dan bukan lagi oleh undang-undang. Larangan mudah dibuat melalui undang-undang, tetapi bagaimana kita dapat membuat undang-undang tentang tingkah laku. Tantangan besar yang kita hadapi sekarang dalam menggunakan sumberdaya milik bersama ialah menemukan umpan-balik pengawasan yang diperlukan untuk memelihara kejujuran petugas. Kita harus menemukan cara untuk mengesahkan wewenang yang diperlukan oleh para petugas dan umpan-balik pengawasan dari masyarakat kedua-duanya.Kerugian jangka panjang dari himbauan kepada hati nurani, juga mempunyai kerugian jangka pendek yang serius. Kalau kita meminta seseorang yang menguras atau merusak milik umum supaya berhenti : "atas nama hati nurani", yang sebenarnya kita minta adalah tanggung jawabnya. Menggugah hati nurani orang lain merupakan harapan bagi setiap orang yang berhasrat memperluas pengawasannya melampaui batas-batas hukum. Banyak pemimpin dari tingkat paling tinggi berlindung dibalik harapan ini. Presiden atau Ketua MPR tak henti-hentinya menyerukan “berantas KKN”. Kebiasaan retorika demikian ditujukan untuk membangkitkan perasaan bersalah pada mereka yang tidak mau meninggalkan KKN atau penghancuran milik umum tanpa tindakan hukum. 6 Paul Goodman berbicara soal dampak himbauan :”atas nama hati nurani”, mengatakan: "tidak ada sesuatu yang baik pernah datang dari perasaan bersalah, juga inteligensia, kebijaksanaan maupun keharusan. Mereka yang bersalah tidak memperhatikan obyek, tetapi hanya diri mereka sendiri, kecuali barangkali terbatas menyentuh pada perasaan gelisah saja. Jika kita menggunakan kata “tanggungjawab sosial” tanpa disertai oleh sanksi-sanksi yang nyata adalah tidak ada bedanya dengan menggertak anak kecil yang egois yang sedang bermain bebas dalam suatu kerumunan kebersamaan, kemudian secara diam-diam atau setengah sadar bertindak menentang kita. Kata filsuf Charles Frankel : "pertanggung jawaban" dalam konteks sosial haruslah dipahami sebagai :"produk dari persetujuan-persetujuan sosial tertentu", bukan retorika, propaganda atau himbauan apapun. Persetujuan sosial persetujuan-persetujuan yang yang menghasilkan menciptakan pertanggungjawaban suatu jenis paksaan. itu adalah Perhatikanlah perampokan bank. Moralitas perampokan bank sangat mudah dipahami, karena kita sepenulmya menerima larangan kegiatan seperti ini. Kita dapat mengatakan : "jangan merampok bank" tanpa memberikan pengecualian. Tetapi pengendalian diri dapat juga diciptakan dengan paksaan. Mengenakan cukai adalah salah satu bentuk alat paksaan yang baik untuk membuat para pembelanja di kota menahan diri dalam memakai tempat parkir. Kita mengadakan alat pengukur waktu parkir untuk waktu singkat, dan mengenakan denda bagi pemakaian yang terlampau lama. Kita tidak perlu melarang orang menggunakan tempat parkir berapa lama yang ia kehendaki, tetapi untuk sekedar membuatnya mengeluarkan biaya yang lebih mahal kalau ia berbuat demikian. Bukan larangan, tetapi kebebasan pilihian kita tawarkan kepadanya. Paksaan mengkin dianggap sebagai kata-kata kotor bagi sebagian besar kaum reformasi kini, tetapi hal itu tentu tidak harus selamanya demikian. Kekotoran kata itu dapat dibersihkan dengan menjelaskannya, dengan mengatakan berulang kali tanpa permintaan maaf dan malu-malu. Bagi banyak orang, kata paksaan mengandung arti tindakan sewenang-wenang dan tidak bertanggung jawab. Namun pasti tidak berlaku terhadap paksaan timbal-balik, yang disetujui bersama oleh sebagian besar orang yang bersangkutan. 7 Kita sama-sama menyetujui paksaan, tidak berarti kita perlu menyukainya atau kebalikannya, yaitu berpura-pura menyukainya. Siapa yang inenyukai pajak? Kita semua mengeluh tentang itu. Tetapi kita mnerima kewajiban membayar pajak, karena pajak sukarela akan nienguntungkan orang yang tidak mempunyai kesadaran. Kita melembagakan dan dengan bersungut-sungut “mendukung” berbagai aneka pajak dan alat paksaan lainnya untuk melepaskan diri dari tragedi kebersamaan yang jelas menakutkan. Suatu alternatif kebersamaan tentu tidak perlu benar-benar lebih baik. Mengenai real estate dan harta tak bergerak lainnya, alternatif yang kita pilih adalah kelembagaan milik perseorangan, yang digabungkan dengan hukum warisan. Apakah sistem ini betul-betul tepat? Mungkin ada banyak beda pendapat tentang ini. Namun, kalau terdapat perbedaan-perbedaan dalam pembagian warisan tertentu, pemilikan berdasarkan hukum harus betul-betul logis, misalnya : bahwa mereka yang secara biologis lebih layak menjadi pemelihara harta benda dan kekuasaan tentu harus mewarisi leblh banyak secara hukum, walaupun boleh terjadi seorang dungu dapat mewarisi jutaan, dan suatu dana perwalian dapat memelihara harta tersebut. Harus diakui bahwa sistem hukum kita tentang hak milik perseorangan ditambah soal warisan itu mungkin tidak tepat, tetapi kita mempertahankannya, karena kita tidak yakin bahwa telah ada orang yang menemukan suatu sistem yang lebih baik. Sayang sekali, harus diketahui kesalahan kita terhadap “hak milik bersama” jauh lebih mengerikan akibatnya. Ketidak-adilan mungkin lebih dapat diterima daripada kehancuran total. Salah satu kepelikan dari pertarungan politik untuk memberlakukan tindakan tegas kepada para pelanggar penggunaan hak milik umum, antara penganut reformasi dan status quo ialah kalau diusulkan suatu tindakan pengubahan suatu aturan yang berpengaruh terhadap perilaku kita atau pendukung “suara politik”, sering dikalahkan oleh lawan yang menolaknya yang berhasil menemukan suatu kekurangan di dalamnya. Pemuja status quo terkadang menyatakan secara tidak langsung bahwa tidak mungkin diadakan perubahan tanpa persetujuan yang bulat, suatu pengertian yang bertentangan dengan kenyataan kehidupan keseharian kita. Penolakan serta merta terhadap perubahan yang diusulkan, umumnya dilandasi oleh satu atau dua anggapan yang tidak disadari, yaitu : (1) bahwa status quo sudah 8 cukup baik; dan (2) pilihan yang dihadapi antara perubahan dan tidak berbuat sesuatu. Kalau perubahan yang diusulkan tidak sempurna, kita mungkin tidak akan berbuat apa-apa, sambil menunggu adanya usul yang sempurna. Apabila kita sadar bahwa status quo menjadi lemah, kita dapat memperhitungkan manfaat dan kerugian yang dapat ditemukan dengan manfaat dan kerugian yang dapat diramalkan dari perubahan aturan yang ditawarkan, dengan sedapat mungkin kita mengabaikan kekurangan pengalaman kita. Berdasarkan perbandingan yang demikian, kita dapat membuat keputusan yang rasional yang tidak akan menyangkut perkiraan yang tak dapat dilaksanakan bahwa hanya aturan yang sempurna saja yang dapat diterima. Saat ini kita telah banyak mencoba menghapuskan kebersamaan dalam pengumpulan bahan makanan, menjadi kewajiban perorangan, termasuk tanah garapan dan membuat pembatasan dalam penggunaan tempat penggembalaan, berburu, dan penangkapan ikan. Pembatasan-pembatasan ini belum selesai di seluruh dunia. FAO mempopulerkan CCRF sebuah singkatan darai Code of Conduct for Responsible Fisheries, semacam penerapan etika dalam memanfaatan sumberdaya perikanan. Kemudian kita lihat bahwa milik umum seperti tempat pembuangan limbah harus juga dihapuskan. Pembatasan-pembatasan atas pembuangan aliran limbah rumah tangga telah diterima luas di dunia kita melalui WC-WC pribadi. Kita masih berjuang untuk menutup milik umum dari pencemaran oleh kendaraan bermotor, pabrik-pabrik, penyemprotan insektisida, kegiatan-kegiatan pemupukan, dan instalasi-instalasi energi nuklir. Mungkin masih belum populer tentang penerimaan kita atas keburukan kebersamaan dalam hal kesenangan. Hampir tidak ada pembatasan dalam perambatan gelombang-gelombang suara dalam media umum atau hubungan bebas antara lelaki dan wanita, bahkan disyahkan dalam bentuk lokalosasi. Masyarakat yang berbelanja dijejali dengan musik tanpa persetujuan mereka sendiri. Pemerintah mengijinkan berjuta-juta mobil untuk memudahkan perjalanan kita, tanpa dipikirkan “keracunan bersama” akibat asap knalpot yang tidak diatur dengan tindakan yang tegas. lklan-iklan mengotori gelombang udara radio dan televisi dan mencemari pandangan pejalan kaki. Nampaknya kita masih jauh dari melarang dengan hukum untuk mengendalikan “kebersamaan dalam soal-soal kesenangan”. 9 Haruslah kita sadari, bahwa setiap bentuk yang bernuansa “menutup kebersamaan” akan menyangkut pelanggaran terhadap kebebasan pribadi seseorang lainnya. Jauh sebelumnya, pelanggaran ini diterima karena tidak ada orang mengeluh telah merasa dirugikan. Jeritan tentang "hak" dan "kebebasan" memenuhi udara. Tetapi apa arti 'kebebasan" kalau orang sama-sama menyetujui penetapan undang-undang tentang “persetujuan” terhadap KKN dan perampokan, agar umat manusia semakin lebih bebas. Orang yang terikat dalam logika kebebasan dalam kebersamaan sama halnya dengan bebas menimbulkan kehancuran universal. Hanya dengan membatasi kebebasan tertentu saja, maka dengan demikian kita akan dapat menghentikan tragedi dari kebersamaan ini. 2.2. Kebijakan Pemanfaatan Sumberdaya Milik Umum Dalam Regime Ekonomi Pasar Sebuah pengertian yang menyesatkan tentang “milik bersama” menurut CiriacyWantrup dan Bishop (1986) sempat terpikirkan oleh banyak pakar ekonomi, bahwa milik bersama dipahami sebagai : "milik semua orang yang berarti tidak menjadi milik siapa pun". Dengan pengertian demikian, jika suatu sumberdaya secara fisik dan hukum dapat digunakan oleh lebih dari seorang pemakai, sehingga sumberdaya itu boleh digunakan oleh siapa pun, di mana para pemakai bersaing satu dengan yang lainnya untuk mendapat bagian yang lebih besar daripada sumberdaya itu, akhirnya merugikan mereka sendiri, sumberdaya itu sendiri dan masyarakat secara keseluruhan. Gagasan ini telah diterapkan hampir banyak terjadi pada sekelompok sumberdaya di negara sedang berkembanag diantaranya perikanan, padang penggembalaan, hutan, air tanah, udara, bahkan jalan raya, dan gelombang radio. Para pakar mengatakan bahwa "keadaan milik bersama" merupakan biang keladi kesalahan bagi berbagai keruwetan sosial-ekonomi termasuk pengurasan sumberdaya, pencemaran, penghamburan surplus ekonomi, kemiskinan pada pengguna sumberdaya, keterbelakangan teknologi, alokasi yang salah dari SDM dan modal. Pemecahan persoalan yang diusulkan para ekonom menuju ke dua arah, yaitu : 10 (1) Pertama adalah mengubah sumberdaya "milik bersama" yang bersangkutan menjadi milik tiap individu pengguna, yang melalui "tangan yang tak kelihatan", akan mengelola sumberdaya tersebut demi kebajikan masyarakat. (2) Kedua adalah alternatif untuk dipecahkan dengan campur tangan pemerintah, melalui penarikan pajak atau pemberian subsidi yang ditujukan untuk menyeimbangkan antara biaya perseorangan dan biaya sosial atau kalau ini gagal, selanjutnya ditempuh dengan pengendalian input atau output atau keduanya langsung oleh pemerintah. Nampaknya definisi kata “pemilikan” perlu mendapat penjelasn. “Milik” yang diterapkan pada sumberdaya alam adalah suatu kelembagaan sosial "primer” baik karena pentingnya maupun karena beberapa kelembagaan lain seperti perpajakan, kredit dan penyewaan tanah. "Milik" nienunjuk kepada kumpulan hak-hak dalam penggunaan dan pengalihan (melalui penjualan, peiiyewaan, pewarisan) atas sumberdaya alam. Hak-hak lain dapat terbagi dalam macam-macam kombinasi antar perseorangan dan badan hukum, kelonipok dari beberapa badan milik umum termasuk banyak dinas pemerintah. Dengan demikian istilah “milik bersama" merujuk pada pembagian hak milik atas sumberdaya dimana beberapa pemilik niempunyai hak yang sama untuk menggunakan sumberdaya tersebut. Ini berarti bahwa haknya tidak akan hilang karena tidak digunakan. Ini tidak berarti bahwa beberapa permilik yang mempunyai hak yang sama itu dalam kurun waktu tertentu masing-masing harus pula sama banyak menggunakan sumberdaya itu. Dalam hal ini merujuk pada pengertian sumberdaya yang dapat dikenakan hak untuk penggunaan bersama dan bukan untuk hak penggunaan khusus yang dipunyai oleh beberapa pemilik. Dalam kepustakaan ilinu hukum, perbedaan ini nampak sebagai “Iahan umum” di satu pihak dan "penguasaan bersama” di pihak lain. Pengertian konsep "milik bersama" ini telah mantap pada kelembagaan resmi. Pengertian ini juga telah mantap dalam persetujuan-persetujuan kelembagaan tak resmi yang berdasarkan pada adat, tradisi, kekeluargaan dan kebiasaan sosial yang lain. Kelembagaan maupun sumberdaya yang tunduk kepada lingkungan lembaga yang bersangkutan disebut sebagai "kebersamaan". Para ekonom tidak bebas seenaknya menggunakan konsep "sumberdaya milik bersama" atau "kebersamaan" jika tidak ada 11 persetujuan kelembagaan. Milik bersama tidaklah sama dengan "milik semua orang". Konsep itu memberi arti bahwa pemakai sumberdaya yang potensial hanyalah anggota kelompok dari pemilik bersama yang sama derajat. Untuk diketahui bahawa konsep “pemilikan” tak punya arti apa-apa tanpa nienyertakan semua mereka yang bukan pemilik atau yang mempunyai persetujuan tertentu dengan pemilik untuk menggunakan sumberdaya yang bersanglcutan. MisaInya sumberdaya yang tak ada pemiliknya sebagai milik bersama seperti yang telah dilakukan oleh banyak orang mengenai perikanan samudra. Persoalan mengelola perikanan di perairan teritorial dan di perairan samudera mempunyai persamaan, bahwa keduanya adalah sumberdaya yang berpindah, namun berbeda dalam kemungkinan pengaturan oleh suatu kelembagaan. Oleh karena itu, kajian sumberdaya yang mempunyai perbedaan yang besar, seperti antara udara dan perikanan ke dalam konsep "sumberdaya milik bersama" dapat menyesatkan pengertian kita, terlebih lagi jika kita akan menggkaji manfaat sosial suatu kelembagaan, dalam perspektif kebijakan sumberdaya tersebut. Kelembagaan dapat diartikan sebagai sistem pengambilan keputusan pada tingkatan kedua dari tiga tingkat hirarki sistem pengambilan keputusan. Pada tingkat pertama atau paling rendah, pengambilan keputusan berhubungan dengan input, output, dan kumpulan keputusan yang dibuat oleh lembaga ekonomi fungsional, yaitu : perorangan, perusahaan, industri, dan perusahaan milik pemerintah. Tingkat sistem pengambilan keputusan ini dapat disebut "tingkat operasional". Sistem pengambilan keputusan pada tingkat kedua mencakup peraturan kelembagaan untuk pengambilan keputusan atas tingkat pertama. Kita dapat menyebut tingkat pengambilan keputusan ini sebagai "tingkat kelembagaan". Pada tingkat ketiga perubahan dalam kelembagaan pada tingkat kedua menjadi sasaran dari pengambilan keputusan. Tingkat dari pengambilan keputusan ini dapat disebut sebagai "tingkat kebijakan”. Sistem pengambilan keputusan pada tiap tingkat dapat dianalisis sehubungan dengan susunan, cara kerja, dan dayagunanya. Tujuan pengambilan keputusan pada tingkat “kelembagaan” tidaklah untuk menentukan input dan output secara langsung pada tingkat operasional, juga tidak untuk niencapai kesejahteraan optimum dalam jangka panjang. Ukuran dayaguna sistem pengambilan keputusan pada tingkat kedua (kelembagaan) tidak untuk mencapai kesejahteraan optimum, tapi lebih cenderung untuk 12 mempertahankan dan meningkatkan kesejahteraan dengan mempengaruhi pengambilan keputusan pada tingkat bawah secara berkesinambungan menurut syarat-syarat yang selalu berubah. Pengalaman umat manusia dengan pemilikan bersama dari sumberdaya alam dimulai dengan masyarakat berburu dan mengumpulkan bahan makanan komunal. Apakah kesejahteraan menurun dalam kelembagaan milik bersama? Khususnya, apakah terdapat kccenderungan pada masyarakat itu untuk menguras sumberdaya mereka karena pemilikan bersama? Masyarakat pemburu dan pengumpul bahan makanan sendiri cukup menarik dan memungkinkan kita membuat kesimpulan tentang sejarah ekonomi kita sendiri. Beberapa ahli antropologi telah menunjukkan perhatian besar pada masyarakat yang hilang dengan cepat tersebut. Dalam masyarakat demikian, susunan dan fungsi kelembagaan yang mengatur sumberdaya lebih didasarkan pada kebiasaan, larangan-larangan, dan kekeluargaan daripada hubungan formal seperti perundang-undangan dan keputusan-keputusan pengadilan yang lebih mencirikan masyarakat maju. Walaupun begitu, kelembagaan tak resmi ini memberi hak yang sama seperti hak untuk menggunakan sumberdaya pada anggota kelompok dan melarang orang lain, seperti pada kelembagaan formal yang modern. Pada masyarakat pemburu dan pengumpul bahan makanan komunal, tanpa adanya pasar untuk menjual kelebihan, dengan tekanan pada pembagian merata di antara anggota kclompok, cenderung melenyapkan hasrat menimbun. Masyarakat ini mengatasi kepadatan penduduk yang meningkat melalui kebiasaan dan larangan yang mengatur perkawinan, menyusui anak, dan bentuk-bentuk perilaku yang lain. Proses yang paling penting adalah pemecahan kelompok. Apabila kelompok makin besar, kelompok cenderung untuk pecah dan menetap di daerah-daerah baru. Proses ini dapat dianggap sebagai sifat umum dari masyarakat pemburu dan pengumpul bahan makanan. Kelembagaan seperti itu ternyata efektif untuk niengelola sumberdaya atas dasar hasil lestari. Populasi tidak dikendalikan menurut teori kelangkaan dari Malthus. Pada kenyataannya, makanan cenderung lebih dari cukup. Beberapa penulis melukiskan masyarakat seperti itu bahkan kaya menurut skala kebudayaan mereka. Pemilikan bersama sumberdaya dianggap sebagai faktor penentu untuk mempertahankan keadaan 13 ini. Peraturan untuk berbagi dengan yang lain niengurangi dorongan untuk menghabiskan sumberdaya untuk keuntungan perseorangan. Proses pemecahan kelompok dipercepat karena tidak ada hak milik perseorangan yang harus diselesaikan. Banyak masyarakat seperti ini menetap di satu tempat atau berpindah dalam suatu daerah terbatas sesuai dengan perubahan musim yang mempengaruhi persediaan makanan bagi binatang buruan dan makanan mereka. Masyarakat seperti itu mampu bertahan sampai waktu yang lama dalam keseimbangan dengan sumberdayanya kalau tidak diganggu oleh perubahan lingkungan yang luar biasa atau campur tangan dari luar. Campur tangan dari luar yang paling penting pada masyarakat ini ialah kontak dengan ekonomi pasar dan aspek-aspek lain dari kebudayaan modern. Pada umumnya, sumberdaya menjadi tipis sebagai akibat kontak-kontak ini. Dua hal perlu dibahas, dalam hal ini. (1) Pertama, kelompok yang menghabiskan sumberdaya bukan selaku pemburu dan pengumpul komunal. (2) Kedua, masyarakat pemburu dan pengumpul yang swasembada mempunyai kelemahan-kelemahan bawaan dalam menyesuaikan diri terhadap kontak dengan pasar. Kelemahan ini tak ada hubungannya dengan pemilikan bersama. Skenario penting yang mempengaruhi biasanya melibatkan para pemburu dan pengumpul menggunakan sumberdaya mereka secara berlebihan untuk mendapatkan barang dagangan dan perkenalan dengan pajak yang dibayar dengan uang. Uang hanya dapat diperoleh dengan cara menggunakan sumberdaya yang berlebihan untuk dapat memperoleh kelebihan yang dapat dipasarkan. Jika demikian, timbul pertanyaan, dapatkah pemilikan bersama sumberdaya berfungsi dengan baik dalam ekonomi pasar? Untuk menjawab pertanyaan itu, selanjutnya kita melancak berbagai barang umum di Eropa yang beberapa di antaranya tetap ada sampai sekarang. Sampai sekarang kita masih dapat menyaksikan beberapa tanah penggembalaan dan hutan di Eropa dikelola sebagai sumberdaya milik bersama. Susunan, cara kerja, dan dayaguna kelembagaan ini bahkan telah bertahan dalam kurun waktu yang lebih lama daripada kelembagaan masyarakat pemburu dan pengumpul bahan makanan. 14 Penggembalaan di lahan umum menurut pengalaman berbagai negara di Eropa adalah musiman, dimana permulaan dan akhir musim penggembalaan ditentukan seragam yang sama haknya sesuai dengan tersedianya makanan ternak. Penggembalaan hanya diizinkan siang hari. Pengawasan yang keras dalam penggembalaan dipertahankan dengan persyaratan yang sederhana bahwa setiap pemilik ternak masing-inasing mempunyai persediaan pokok makanan ternak yang cukup untuk ternaknya di luar musim penggembalaan dan untuk malam hari. Keadaan penggembalaan yang berlebihan akan merupakan ancaman. Pembatasan basis makanan ternak karena intensifikasi pertanian, para pengguna bersama padang penggembalaan umum ditetapkan kuota ternak yang boleh merumput selama musim penggembalaan, misalnya seekor kuda, dua ekor sapi, sepuluh ekor babi, enam ekor angsa, suatu proses yang oleh orang Inggris disebut stinting. Pengurangan lahan umum di Britania Raya penyebabnya ternyata bukan penggembalaan yang berlebihan. Faktor penting adalah kenaikan keuntungan tuan tanah dari penggembalaan domba untuk produksi bulu domba komersial. Banyak tanah yang sebelumnya digarap oleh petani untuk tanaman bahan makanan untuk konsumsi rumah tangga, maupun penggembalaan umum, masuk dalam daftar pengelolaan langsung oleh para tuan tanah. Faktor lain adalah sistem lahan terbuka sebagai akibat dari kemajuan pertanian. Bagian-bagian dari kegiatan ekonomi petani saling berhubungan. Setelah panen, ternak dapat digembalakan di tanah yang telah kosong dan makan jerami di tempat terbuka. Setelah pertanian menjadi semakin intensif, lapangan terbuka dipagar dan petani diusir paksa oleh para tuan tanah feodal. Selanjutnya lahan ini sekarang memainkan peranan yang baru, yang kian bertambah penting dari tahun ke tahun sebagai tempat berlindung bagi pemukim kota yang sesak dan tercemar. Pengalaman dengan lahan hutan umum di daratan Eropa pada umumnya sama dengan penggunaan padang penggembalaan di Britania Raya. Dengan semakin bertambah menguntungkan tanah hutan sebagai sumber kayu untuk perdagangan, berbeda dengan peranan tradisionalnya sebagai sumber makanan ternak, kayu bakar keperluan rumah tangga dan bahan bangunan untuk desa pertanian. Para tuan tanah 15 feodal kemudian berubah dari penguasa dan pelindung nienjadi pengusaha pengejar untung.. Hak tuan tanah feodal atas hutan umum semula terbatas pada hak berburu, yang hanya diperuntukkan khusus sendiri, dari hak menggembalakan dan lain-lain yang dimilikinya dengan sederajat bersama penduduk desa. Ketika penggunaan kayu makin menguntungkan, penggembalaan dan pengumpulan kayu menjadi penghalang bagi produksi kayu. Tuan tanah feodal mempunyai alasan untuk mengurangi dan menghilangkan hak nienggembalaan dan hak-hak lainnya di atas lahan umum. Selanjutnya faktor-faktor yang sama seperti yang disebut di atas, dalam hubungannya dengan penutupan tanah berlangsung di Inggris. Dalam hal ini telah melemahkan sistem desa dan perampasan hak kaum petani. Para petani diubah dari pemilik bersama yang sederajat atas tanah umum dengan kedudukan kemudian sebagai buruh tak bertanah di tanah feodal. Sistem feodal tidak pernah berkembang di beberapa bagian daratan Eropa, seperti misalnya di bagian Jerman Barat dan Swis. Dengan makin meiiguntungkannya produksi kayu, beberapa tanah umum di daerah ini dibagi-bagi antara para penduduk desa dan menjadi persil hutan petani perseorangan. Tetapi lahan umum itu tetap utuh dan menjadi basis hutan-hutan kotapraja yang modern. Tanah umum yang tetap utuh merupakan beberapa contoh terbaik dari pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Di pihak lain. lahan umum yang dibagi menjadi hutan-hutan milik pribadi, umumnya terlalu kecil untuk usaha perhutanan yang efisien. Dengan campur tangan pemerintah melalui peraturan, bantuan dan pendidikan keadaan menjadi berubah. Hasilnya ternyata berlawanan dengan apa yang diharapkan terjadi dengan dasar teori sumberdaya milik bersama. Penggantian pemilikan bersama dengan pemilikan pribadi ternyta bukanlah perubahan yang secara sosial bermanfaat. Akhirnya kita dapat menyebutkan keberhasilan dari padang penggembalaan umum di daerah padang rumput Alpen yang sangat produktif misahiya, di Swis, Austria, dan Bavaria bagian Selatan. Daerah ini terdapat di atas garis hutan dan karena itu tak terpengaruh oleh perubahan-perubahan yang menguntungkian usaha perhutanan dalam kondisi ekonomi pasar. Disini kelembagaan milik bersama tak berubah banyak sejak abad pertengahan. Penggembalaan musiman dan keharusan mempunyai persediaan minimal 16 makanan ternak di rumah, tetap menjadi hal paling penting. Satu-satunya perbedaan yang ada dengan sistem penggembalaan feodal seperti diutarakan di atas, hanya terjadi sekali dalam setahun. Dengan demikian tetap berfungsinya lahan umum baik di Inggris dan di daratan Eropa menjawab pertanyaan yang diajukan, apakah milik bersama dapat bertahan dalam sistem pasar ???. Tanah milik bersama. dengan peraturan kelembagaan yang dikandungnya ternyata mampu menunjukkan dayagunanya yang memuaskan dalain pengelolaan sumberdaya alam, seperti padang penggembalaan dan tanah hutan dalam ekonomi pasar. Hal itu dapat ditunjukkan bahwa konsep milik bersama dapat digunakan untuk membantu memecahkan persoalan kebijakan sumberdaya. Kelembagaan pemanfaatan sungai untuk mengatur penggunaan air permukaan sungai di Inggris dan di daratan Eropa, lama sebelum hukum pemanfaatan sungai yang resmi berkembang dalam hukum kebiasaan Inggris dan undang~undang agraria Jerman. Pendapat bahwa para pernakai sumber air permukaan umum adalah sama haknya telah berakar pada adat dan kebiasaan lama dan ada sebelum undang-undang pemanfaatan sungai yang dikodifikasi dan menurut hukum formal. Salah satu faktor yang meenguntungkan perkembangan ini adalah pengalaman yang lama mengenai lahan umum dalam sumber-sumber daya penggembalaan dan hutan. Sementara pemecahan persoalan penggunaan air permukaan dengan kelembagaan pemanfaatan sungai sudah lama, sedangkan persoalan yang ditimbulkan oleh penggunaan air tanah adalah baru. Memang penggunaan air tanah juga telah lama, seperti misalnya pada kebanyakan negara-negara Timur Tengah. Memompa air dengan roda model Parsi tidak menimbulkan persoalan karena dangkalnya dan kapasitasnya kecil. Keadaan berubah secara radikal dengan datangnya teknologi pompa modern yang berdasarkan pada pompa sumur dalam dengan daya listrik yang tinggi yang berakibat pada pengurasan sumberdaya, naiknya biaya pemompaan dan investasi berlebihan.. Persoalan ini pertama kali dipecahkan di California dengan menerapkan apa yang dikenal dengan doktrin hukum yang dilaksanakan melalui keputusan hakim sebagai turunan langsung dari hukum pemanfaatan sungai, yang seperti kita ketahui adalah berdasarkan konsep milik bersama, dimana semua pemompa dari sumber air tanah tertentu dianggap mempunyai hak sama yang sederajat, tetapi ditetapkan secara hukum, 17 dalam batas hasil aman dari lembah sungai sesuai dengan perbandingan penggunaannya pada waktu lampau. Dalam proses keputusan hakim itu penggunaan untuk keperluan rumah tangga yang pokok dan kecil biasanya tak diperhatikan, dan penggunaan baru semacam ini diperkenankan. Untuk keperluan rumahtangga, tak ada "pembatasan ikut serta" untuk pengguna kecil. Prosedur yang sama dengan keputusan hakim berdasarkan konsep milik bersama dan penentuan "kuota" secara kuantitatif dari sumberdaya, juga terdapat dalam perikanan. Situasi perikanan menarik perhatian karena "teori sumberdaya milik bersama” dapat ditelusuri dalam kepustakaan ekonomi perikanan. Penangkapan ikan secara berleblhan telah terjadi dengan frekuensi yang bertambah besar dalam abad terakhir ini. Sebagian besar pendapat menyalahkan persoalan ini terjadi karena keadaan sumberdaya milik bersama. Nyatanya, kelembagaan milik bersama sepanjang evolusinya dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan terbukti dapat menanggulangi situasi penangkapan ikan berleblhan. Misalnya, pembatasan musim penangkapan ikan adalah metoda yang diterapkan secara luas untuk pengaturan perikanan. Secara ideal musim penangkapan dibuka cukup lama untuk memberi kesempatan kepada para nelayan untuk penangkapan hasil maksimum lestari, kemudian ditutup sampai penangkapan selanjutnya dikehendaki. Tegas kelihatan adanya kesejajaran antara musim penangkapan ikan dan musim penggembalaan di lahan umum Eropa. Bagian penting dari evolusi lahan umum di Eropa adalah penentuan batas padang penggembalaan dari tiap desa dan penentuan siapa yang mempunyai dan siapa yang tidak mempunyai hak yang sama dan bersama untuk menggembala. Perluasan zona perikanan nasional eksklusif sampai sejauh 200 mil dari pantai adalah sama halnya dengan penentuan batas penggembalaan. Sementara zona perikanan eksklusif yang luas menimbulkan banyak persoalan, zona ini merupakan basis satu kelembagaan alternatif dalam pengelolaan perikanan yang lebih baik. Kesejajaran menarik lainnya antara lahan umum dengan perkembangan dalam pengaturan penangkapan ikan adalah pada penentuan kuota. Sistem seperti ini telah berlaku selama bertahun-tahun mengikuti Konvensi Perlindungan dan Perluasan Ikan Salem Daerah Perairan Sungai Fraser, dimana penangkapan yang telah ditentukan 18 sebelumnya atas dasar penangkapan batas maksinium lestari dibagi rata di antara para nelayan dari Amerika Serikat dan Kanada. Suatu sistem kuota untuk beberapa jenis ikan telah diterapkan oleh International Commission for Northwest Atlantic Fisheries (Komisi Internasional untuk Perikanan Atlantik Barat Daya). Kedua cara pengelolaan ini berjalan sejajar dengan penentuan jumlah hewan gembalaan (stinting) pada lahan penggembalaan umum yang telah lama menjadi kebiasaan di Britania Raya. Ketika harga- harga hasil ikan naik dan teknologi penangkapan ikan semakin maju, persoalan-persoalan timbul mengenai usaha untuk mengatur perikanan dengan sistem musim penangkapan saja. Dalam keadaan ekstrem seluruh hasil maksimum lestari terambil dalam beberapa minggu saja, sehingga mengakibatkan nelayan dan peralatannya menganggur paling sedikit untuk sebagian dari sisa tahun itu. Kejadian tersebut memberi ancaman besar bagi fasilitas pengolahan. Para nelayan kemudian melakukan tekanan politik pada dinas-dinas pengatur waktu untuk memperparjang musim penangkapan dan membolehkan penangkapan jenis-ienis yang dilindungi di luar musim penangkapan yang biasa. Sebagai akibat dari tekanan ini, sumberdaya dapat terkuras. Pendekatan secara milik bersama menyarankan suatu pemecahan untuk memberi kuota kepada perorangan nelayan sedemikian rupa sehingga membuat jumlah seluruh kuota sama dengan tangkapan total yang diidamkan yang dalam jangka panjang biasanya akan sama dengan tangkapan lestari. Dengan demikian, maka sama seperti pada kasus air tanah, nelayan kecil dapat dlkecualikan dari sistem kuota ini dalam perikanan, karena mereka menangkap bagian yang kecil saja dari seluruh tangkapan. Bahkan mungkin lebih baik lagi kalau kuota ini dapat dijual. Perincian pelaksanaannya akan berbeda antara satu kasus dan lainnya. Hanya untuk menentukan siapa nelaya dan berhak mendapat suatu kuota, akan memerlukan pengkajian yang cermat di setiap situasi. Terdapat persamaan antara sistem kuota seperti di atas dan pernbatasan ikut serta seperti.yang dibicarakan yang lebih teoretis dalam ekonomi perikanan. Tetapi dalarn pelaksanaannya, program pembatasan ikut serta menekankan pada pembatasan input produksi. Di British Columbia misalnya, pembatasan diterapkan pada tonage kapal. Hal ini menekankan pada agar alokasi modal dan tenaga kerja antara perikanan dan ekonomi lainnya dapat dioptimumkan. Dengan demikian, tujuan dari pernbatasan ikut 19 serta adalah untuk mengeluarkan modal dan tenaga kerja dari penangkapan ikan dan memasukkan ke dalam industri lain sampai keseimbangan yang efisien tercapai. Dengan sistem kuota seperti dianjurkan di atas, tekanannya adalah pada ouput produksi. Suatu sistem kuota akan memberi tekanan pada tempat dimana diperlukan untuk melindungi sumberdaya, dan jika dikehendaki dipersiapkan adanya pekerjaan untuk para nelayan, terutania mereka yang berpendapatan rendah dan hanya sedikit mempunyai pilihan kerja lain. Masih banyak lagi yang harus dilakukan sebelum perikanan komersial dunia dapat dikelola dengan sempurna. Tetapi. contoh ini nienunjukkan bahwa pendekatan milik bersama dapat memenuhi peranan yang penting. Dengan mengikuti pendapat mereka yang percaya bahwa perikanan samudera harus diperlakukan sebagai warisan bersama dari scluruh manusia, timbul pertanyaan apakah pemecahan akhirnya adalah memperlakukan sumberdaya ini sebagal milik umum raksasa yang dikelola sebagai suatu perwalian oleh semacam badan internasional. Ringkasnya, penggembalaan yang berlebihan, penangkapan berlebihan, penipisan terus-menerus air tanah, pencemaran udara, dan sejenisnya adalah persoalan-persoalan masa kini yang serius, yang memerlukan perhatian para ekonom. Sumberdaya yang ada di mana-mana seperti udara, cahaya matahari, hujan dan angin adalah sumberdaya yang sampai taraf perkembangan tertentu ekonomi saat ini adalah tidak langka. Tak seorang pun dapat dihalangi untuk menggunakannya. Lembaga-lembaga yang mengatur penggunaannya dan alokasi sinar matahari jelas tidak diperlukan sebelum taraf perkembangan ekonomi tertentu dicapai. Dalam kasus udara taraf itu telah tercapai, dan lembaga yang mengatur penggunaannya telah berkembang. Sumberdaya yang cepat berpindah adalah sumberdaya yang bergerak dan harus ditangkap sebelum dapat dialokasikan kepada perorangan. Penangkapan dan alokasi seperti itu senantiasa menimbulkan masalah tentang pembatasan dan karena itu pengaturan kelembagaan cenderung perlu dikembangkan lebih dini. Kelembagaan milik bersama, seperti yang dimaksud disini adalah suatu cara pengaturan yang terpenting. Konsep milik bersama lebih banyak membantu daripada menghambat. Kelembagaan yang cukup meluas di berbagai negara maju saat ini adalah “perwalian umum”. Dengan beberapa perkecualian sumberdaya air, garis pantai, daerah 20 pertamanan, ikan, binatang buruan, dan sumber daya alam lainnya berada di bawah perwalian banyak negara bagian atau banyak propinsi atau banyak kabupaten. Untuk keperluan kebijakan sumberdaya alam, sumberdaya perwalian umum perlu dibedakan dari sumberdaya milik umum, yaitu : (1) Pertama, larangan hukum untuk pengalihan sumberdaya perwalian dan perubahan-perubahan penggunaannya lebih keras daripada atas sumberdaya milik umum yang tidak tunduk kepada doktrin perwalian. (2) Kedua, sumberdaya di bawah doktrin perwalian umum tunduk pada pengaturan oleh pemerintah tanpa kendala "diambil untuk kepentingan umum” dan karena itu tidak menyangkut penggantian kerugian. Dari segi kebijakan sumberdaya alam, pendekatan perwalian umum lebih memberikan manfaat yang lebih mantap daripada pendekatan milik umum. Sering kali ketentuan penggunaan sumberdaya milik umum dibatalkan atau penggunaannya berubah akibat pengaruh kepentingan sempit birokrasi pernerintahan, misalnya kepentingan-kepentingan militer, Kantor Urusan Reklamasi, Kantor Agraria, dan Dinas Urusan Jalan Raya dari negara-negara bagian atau propinsi. Penerapan doktrin perwalian umum akan memaksa birokrasi untuk niemperhatikan kepentingan yang lebih luas. Doktrin perwalian umum dapat diterapkan pada banyak persoalan tentang "kualitas" sumberdaya , jika penggunaan sumberdaya berdasarkan metoda milik umum akan kurang efektif atau terlalu mahal. Persoalan kualitas air dan udara adalah contoh yang telah banyak dikaji. Selain itu, beberapa kepentingan umum yang lebih luas, yaitu tentang lingkungan, dapat dilindungi dengan menerapkan doktrin perwalian unium. Perlindungan jenis-jenis satwa liar yang terancam kepunahan dan keindahan tentang alam, dapat dipecahkan dengan metode perwalian umum. 2.3. Alokasi Sumberdaya Milik Umum Perbedaan pandangan yang terjadi mengenai alokasi air, kayu, perikanan, batubara dan lahan adalah berkenaan dengan susunan insentif kelembagaan tertentu dimana orang per orang yang rasional bertindak bertentangan dengan kepentingan kolektifnya. Persoalan semacam ini dikenal sebagal “dilema kebersamaan". Dalam contoh Hardin, padang penggembalaan itu terbuka bagi sermua penggembala dan dirumput sampai batas 21 kemampuannya. Dengan menambah ternak untuk merumput justeru akan merusak padang penggembalaan itu. Hardin menunjukkan bahwa penggembala yang rasional akan melihat situasi itu dan sadar bahwa dengan penambahan ternak untuk merumput di penggembalaan umum itu, ia akan mendapat semua pencrimaan dari penjualan ternak, tetapi akan berbagi biaya dari penggembalaan ternak, yaitu akibat negatif yang disebabkan oleh merumput yang berlebihan oleh ternak tambahan dari semua penggembala. Sayangnya semua penggembala yang rasional akan sampai pada kesimpulan yang sama dan kesemuanya akan terus menambah ternaknya sampai padang penggembalaan umum itu rusak. Memetik kata-kata Hardin : Letak tragedi milik umum adalah bahwa setiap orang terperangkap dalam suatu sistem yang memaksanya menambah kawanan ternaknya tanpa batas dalam suatu dunia yang terbatas. Kehancuran adalah sebuah keniscayaan, setiap orang mengejar kepentingannya sendiri, mengejar kebebasan dalam kebersamaan. Kebebasan dalam suatu kebersamaan membawa kehancuran bagi semua. Pemecahan dilema kebersamaan berkisar dari kediktatoran sampai demokrasi, dan dari menggantungkan nasib yang lebih besar kepada pasar atau perencanaan pemerintah. Penggambaran padang penggembalaan umum oleh. Hardin memberi gambaran sebuah dilema kolektif yang lebih besar dan rumit, dan untuk menunjukkan bahwa usul untuk memecahkan dilema ini harus memperhitungkan (1) sifat-sifat dari sumber daya yang bersangkutan; (2) perbedaan dalam bentuk insentif dari orang-orang yang dipengaruhi oleh penggunaan sumberdaya itu; dan (3) kendala-kendala yang wajar pada perubahan kelembagaan. Secara teori, dilema kebersamaan terjadi karena dua keadaan, yaitu : (1) kalau kerasionalan perorangan mengakibatkan suatu situasi yang tidak memaksimumkan fungsi kesejahteraan sosial; atau (2) kerasionalan perorangan tak menjurus ke hasil optimal Pareto. Menurut Godwin dan Shepard (1986), contoh paling baik yang diketahui dari dilema kebersamaan adalah Permainan Dilema antara Narapidana (Prisoner's Dilema Game, PDG). Dilema ini menunjuk pada kisah dua orang perampok bank yang tertangkap dan dituntut karena merampok. Karena polisi tidak memperoleh cukup bukti 22 guna penuntutannya oleh jaksa, dia mengisolasi kedua narapidana itu dan kepada masing-inasing narapidana ditawarri perjanjian seperti berikut : Kalau salah scorang narapidana mengaku dan kawannya tidak, narapidana yang mengaku hanya akan dihukum enam bulan dan yang tidak mengaku akan menerima hukuman dua puluh tahun. Kalau keduanya mengaku, masing-masing akan dihukum sepuluh tahun, dan kalau keduanya tidak mengaku, masing-masing akan dihukum satu tahun karena membawa senjata gelap tanpa izin. Bentuk hasil akhir seperti ditunjukkan pada Gambar 1, dilema disebabkan oleh keadaan bahwa masing-masing narapidana akan bernasib lebili baik dengan mengaku tidak peduli apa yang dilakukan oleh pihak lainnya. Contoh yang digunakan Hardin tentang padang penggembalaan umum adalah dilema PDG dengan sejumlah n-orang berupa rangsangan tidak wajar yang sama. Setiap pengguna penggembalaan umum akan berkeadaan lebih baik dengan menambah ternak ke dalam penggembalaan umum jauh melampaui titik dimana batas manfaat sosial dari seekor ternak tambahan sama dengan marginal biaya sosial. Segi terpenting dari pemecahan dilema bersama ialah bahwa penetapan kelembagaan harus dapat mengubah bentuk insentif sedemikian rupa sehingga cukup banyak orang yang akan berpendapat adalah rasional untuk “bekerja sama" guna memelihara sumber daya milik bersama. Dalam ilmu ekonomi "milik bersama" merujuk kepada semua sumberdaya yang tidak khusus dan yang dapat dipergunakan oleh seseorang atas dasar siapa datang dahulu akan mendapatkan kesempatan pertama. Sumberdaya yang termasuk dalam hak milik bersama lambat laun akan mengalami penyusutan kualitas dan menimbulkan “tragedi kebersamaan". Definisi dari milik bersama yang dapat menimbulkan tragedi di atas menghadapi dua persoalan yang berlainan untuk impilkasinya dalam analisis kebijakan. (1) Pertama, semua sumberdaya dimana biaya pengeluaran lebih besar daripada manfaat pencegahan yang bersangkutan. (2) Kedua bahwa definisi itu melanggar arti dasar dari istilah “milik". “Milik” merujuk kepada seperanglcat hak dalam penggunaan dan pengalihan sumberdaya. Tahanan B 23 Mengaku Menyangkal 10 20 Mengaku Tahanan A 10 1/2 1/2 1 Menyangkal...... ................. 20 1 Gambar 2.1. Permainan Dilema Tahanan (PDG). Pengertian ganda definisi milik bersama ditunjukkan dengan tidak diikutkannya lembaga-lembaga dimana istilah ini lebih tepat digunakan. Sumberdaya yang dimiliki oleh beberapa orang melalui susunan kelembagaan yang telah ada seperti sanak-kerabat, adatistiadat, dan kebiasaan sosial adalah tidak sesuai dengan definisi milik bersama dalam ilmu ekonomi). Akan lebih tepat jika digunakan istilah "sumberdaya tidak khusus" untuk merujuk pada setiap sumberdaya dimana hak milik tidak ada atau pengkhususan karena tidak sah menurut hukum. "Milik yang dipunyai bersama" merujuk pada sumberdaya yang dimiliki oleh lebih dari satu orang dimana pemakai lain dapat tidak diperkenankan. Sumberdaya "yang dimiliki" oleh seluruh warga negara melalui kelenibagaan pemerintah (umpamanya hutan negara) diberi nama "sumber daya umum”. Dalam hal ini pemerintah dapat menghalangi masuk dan mengatur pemakai sumberdaya dengan menetapkan bea izin penggunaan, penjualan kayu dan pengawasan oleh dinas pemerintah. Selanjutnya kita perhatikan Gambar 2.2. Tak Bergerak Mengembara 24 Ada di mana-mana Kayu (sebelum tahun 2000) Angin sinar matahari Kayu (sekarang) Air sungai Tanah Umum Inggris Satwa liar bermigrasi Langka Gambar 2.2 Tipologi Sumberdaya Bersama (Godwin dan Shepard, 1986) Untuk membedakan berbagai karakteristik sumberdaya dapat didasarkan pada apakah sumberdaya itu “tak bergerak" atau "mengembara" merupakan satu dimensi dari tipologi dan kelangkaan relatif. Air sungai dan satwa liar yang bermigrasi merupakan contoh sumberdaya mengembara. Sifat mobilitas sumberdaya ini mengakibatkan lebih sukar untuk menangkap dan mengkhususkannya dan efek eksternalitas lebih mungkin terjadi. Sumberdaya yang ada di mana-mana adalah seperti udara, angin dan sinar matahari sampai taraf tertentu secra ekonomi adalah tidak langka. Dengan alasan ini, maka tak seorangpun yang.dapat menghalangi untuk menggunakannya, dan tidak diperlukan lembaga untuk mengatur alokasi sumberdaya ini. Karena penggunaannya kelihatan tidak mempunyai biaya, sumberdaya ini merupakan daerah baru untuk diusahakan. Hanya saja, jika aktivitas ekonomi meningkat yang membuat sumberdaya menjadi langka, seperti kasus yang sekarang terjadi dengan udara, kita dapat mengharapkan kelembagaan baru terbentuk untuk menjatah surnber daya itu. Sifat-sifat dari sumberdaya yang berbeda yang disebut oleh Wantrup dan Bishop menuju keragaman pada jenis kelembagaan dan hak untuk mengurus alokasi dari sumberdaya itu. Keragaman dalam hak dan kelembagaan yang berhubungan dengan lahan dan air memberi gambaran akan hal itu. 25 Pemilikan lahan biasanya mempunyai seperangkat hak yang lebih banyak berhubungan dengan pemilikan itu daripada pemilikan air. Pemilikan lahan biasanya termasuk hak menggunakan dan nienukarkan. Tetapi hak atas air hanya terbatas pada hak menggunakan dan menikmati hasilnya saja. Seseorang dapat memakai air tidak saja bergantung pada banyaknya air yang tersedia tetapi juga pada prioritas yang diberikan untuk penggunaan perorangan. Perbedaan ini dapat dipakai untuk menyelesaikan persoalan apakah hak ini dimiliki secara pribadi atau bersama. Seorang petani yang mempunyai hak penggembalaan di tanah umum Inggris adalah pemilik dengan hak sama dan bersama atas sumberdaya itu. Pelembagan penggunaan kebersamaan itu dikembangkan dan ditetapkan oleh para pemilik bersama. Pengaturan sendiri dimungkinkan karena jumlah pemilik yang relatif keciI dan relatif tidak ada efek keluar lahan bersama ke tanah dan sumberdaya lain. Hak atas air permukaan, apakah diperuntukkan pribadi atau kelompok, bukanlah bersama. Derajat arus sungai, kandungan oksigen dan kemurnian air, dapat berperan dalam melindungi ikan, satwa liar dan penggunaan lainnya. Pemegang hak air dapat menggunakan haknya hanya setelah syarat ini dipenuhi. .Pemakai air di hulu dapat menimbulkan pencemaran bagi pemakai di hilir, pemakai di hilir dapat menangkap ikan anadromus, seperti ikan salem dan dengan cara ini mereka membuat sumberdaya ini tidak dapat dimanfaatkan oleh pemakai air di hulu. Saling ketergantungan dalam hal air memerlukan kesadaran atas perlunya mendirikan kelembagaan untuk mengatur sumberdaya ini. 2.4 Kebijakan Kelembagaan Pengelolaan Milik Umum : Kasus Perikanan dan Kelautan Sumberdaya ikan adalah merupakan sumberdaya milik bersama (common property resources). Istilah “milik bersama” tidak berarti “dimiliki” dalam pengertian “hak milik individu” yang bermakna sumberdaya yang dapat dikapling atau dibagi-bagi, dimana masing-masing nelayan memiliki hak untuk memindahkan tangankan, memperjual-belikan, mewariskan atau menghalangi orang lain untuk memanfaatkannya. Istilah “milik bersama” juga tidak berarti dimiliki secara bersama dengan pengertian “tidak ada pemiliknya”. Kata Ciriacy-Wantrup dan Bishop (1975) pengertian common 26 property resources sempat disalah artikan oleh para ahli ekonomi, seperti yang dilontarkan oleh Garret Hardin dalam tulisanya : ”Tragedy of the Common” (Hardin, 1968). Menurut Ciriacy-Wantrup dan Bishop (1975) “institusi” memegang peranan penting dalam pemanfaatan sumberdaya milik bersama. Dengan adanya „institusi milik bersama” pada hakekatnya “tidak ada kebebasan” bagi setiap orang untuk memanfaatakan sumberdaya. Ini sangat berbeda dengan “sumberdaya yang tidak dimiliki” dimana setiap orang bebas untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut. “Ketidak bebasan pemanfaatan sumberdaya milik bersama” seharusnya nampak pada cara-cara pemanfaatannya. Pemanfaatan sumberdaya milik bersama tidak harus bersifat terbuka (open access) dalam pengertian “semaunya” saja. Setiap orang yang masuk untuk memanfaatakan sumberdaya tersebut harus mentaati aturan yang dibuat oleh “institusi bersama”. Bahkan “sumberdaya milik bersama” bisa dimengerti secara bersama jika masyarakat yang memang memegang hak memanfaatkan atas sumberdaya itu dapat dibedakan dan dipisahkan pada cara-cara pemanfaatannya dari masyarakat lain yang tidak memanfaatkan bersama” bagi pengguna memanfaatkan sumberdaya sumberdaya itu. Kebutuhan untuk mentaati “institusi sumberdaya milik bersama akan sangat jelas ketika kita “udara” sebagai milik bersama untuk tempat buangan “limbah asap” mobil kita. Sebenarnya kita seharusnya “tidak bebas” memanfaatkan sumberdaya milik bersama dalam hal ini “udara” yang kita hirup bersama. Tapi kita bebas memanfatakan “cahaya matahari” karena cahaya matahari merupakan sumberdaya “tidak ada pemiliknya”. Udara adalah milik kita bersama, bukan tidak ada pemiliknya. Sedangkan sinar matahari adalah sumberdaya tidak ada pemiliknya. Dalam bahasa agama, sinar matahari adalah milik Allah SWT. Oleh karena itu, pada hakekatnya, kita “tidak bebas” dalam pengertian semau kita, bahkan dalam memanfaatan sumberdaya “tidak ada pemiliknya” seprti sinar matahari. . Kelembagaan “akses terbuka” pada hakekatnya tidak ada pengaturan oleh lembaga apapun, termasuk tidak ada regulasi pasar yang menentukan pemanfaatan sumberdaya itu. Jika sumberdaya mendapat tekanan karena pemanfatan maka berlebihan, akses terbuka akan berakhir pada “tragedi milik bersama”, yaitu kerusakan 27 sumberdaya, penurunan produktifitas dan kemiskinan nelayan. Prinsip akses terbuka mengisyaratkan setiap orang memiliki kebebasan memutuskan untuk masuk atau keluar dari pemanfaatan sumberdaya tersebut. Asumsi akses terbuka adalah setiap individu memiliki informasi yang sama tentang kondisi sumberdaya, tingkat pemanfaatan dan keuntungan ekonomi yang dapat diperoleh. Akses terbuka berharap berlangsungnya seleksi alam dan akan berlangsung peran serta “tangan-tangan yang tidak kelihatan (invisible hand)”. Persaingan antara peara pelaku yang memanfaatakan sumberdaya berlangsung secara bebas. Kelembagaan pengelolaan sumberdaya melalui pengaturan oleh pemerintah adalah tipe pengelolaan yang sepenuhnya diatur oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Kelembagaan pengelolaan tipe ini dapat dilakukan oleh pemerintah secara langsung, atau pemerintah menetapkan “perusahaan pemerintah” untuk mengelola pemanfatan sumberdaya tersebut. Kelembagaan juga bisa mempercayakan kepada masyarakat, tapi kendali pemerintah sangan dominan, yaitu melalui kuasa dan otoritas pemerintah. Kelembagaan pengelolaan berbasis masyarakat yang diatur oleh masyarakat adalah tipe pengelolaan yang sepenuhnya berada di tangan masyarakat lokal. Sebagian besar aktifitas dan tindakan masyarakat berkenaan dengan pemanfaatan sumberdaya marupakan aksi kolektif dengan mengnandalkan jearifan lokal. Eksistensi kelembagaan lokal ini tumbuh sejalan dengan perkembangan budaya dan tradisi lokal. Atau tumbuh karena budaya pasar atau pengaturan oleh pemerintah tidak sesuai dengan harapan atau gagal mencapai tujuan pengelolaan itu sendiri. Kelembagaan pengelolaan sumberdaya melalui pengaturan bersama antara pemerintah dan masyarakat dilakukan dengan management) cara kerja sama pengelolaan (co- antara pemerintah dan masyarakat. Salah satu dari pemerintah atau masyarakat mengajukan rencana pengelolaan sumberdaya, kemudian semua “stake holder” membahas rencana pengelolaan yang ada untuk diputskan bersama antara pemerintah dan masyarakat. Kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan berdasarkan regulasi pasar identik dengan pengelolaan sumberdaya “milik swasta”. Dalam hal ini, mekanisme pasar diyakini sebagai instrumen untuk mengupayakan kegiatan bisnis yang semakin efisien. 28 Masalahnya adalah adanya kenyataan bahwa pengelolaan sumberdaya milik bersama selalu saja dibayangi oleh “kegagalan pasar (market failure)” yang mungkin saja terjadi karena mekanisme pasar yang tidak berjalan, adanya eksternalitas atau sebab lain yang hanya bisa dideteksi dalam jangka panjang. Regulasi pasar bisa mengikuti struktur pasar persaingan sempurna atau dibayangi atau dibarengi oleh intervensi kebijakan pengelolaan oleh pemerintah pusat maupun daerah. Dengan demikian pengelolaan sumberdaya perikanan selalu saja kita jumpai adanya interaksi kegiatan pengelolaan antara berbagai tipe kelembagaan yang ada. Untuk maksud penyederhanaan, pembahasan pengelolaan sumberdaya milik bersama dapat dikelompokkan menjadi beberapa tipe : 1. Pengelolaan Sumberdaya Open Access (Bebas Masuk) 2. Pengelolaan Sumberdaya Oleh Pemerintah 3. Pengelolaan Sumberdaya Berbasis Masyarakat 4. Pengelolaan Sumberdaya Berbasis Kolaborasi Antara Masyarakat dan Pemerintah 5. Pengelolaan Sumberdaya Berbasis Mekanisme Pasar 2.4.1 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Open Access Suatu pengelolaan sumberdaya perikanan dikatakan open access , jika stok ikan dipanen oleh banyak nelayan dilakukan tanpa aturan yang harus ditaati. Nelayan bersaing secara bebas tanpa rintangan, bebas keluar dan masuk dalam menangkap ikan. Secara intuitif kondisi open access dalam pemanfaaatan perikanan hampir tidak ada. Bahkan banyak contoh suatu masyarakat perikanan di suatu lokasi tertentu membuat berbagai aturan tidak formal yang disetujui oleh komunitas nelayan tersebut. Kita misalkan Xt menyatakan biomassa atau jumlah individu stok ikan atau populasi, Et adalah tingkat fishing effort untuk mempanen stok tersebut dan Yt adalah tingkatan jumlah panen atau hasil tangkapan total selama tahun ke t. Proses produksi yang deterministik dapat kita tulis dengan persamaan Yt = H(Xt, Et), dimana Xt dan Et merupakan faktor input dari fungsi H(.) berbentuk concave. Ada dua kemungkinan bentuk fungsi H(X,E.), yaitu : (1) Pertama : model Cobb-Douglas, fungsi Yt = α Xtβ. Etγ dan 29 (2) Kedua : exponential, fungsi Yt = Xt (1 – e–qEt) dimana α, β, γ dan q positif, β + γ ≥ 1. Kita misalkan perubahan stok ikan pada dua periode berbeda ditulis sebagaimana pada persamaan (2.1). X t+1 - Xt = F(Xt) - H (Xt, Et) (2.1) dimana F(Xt) merupakan fungsi pertumbuhan bersih (surplus) sebagai pertambahan stok ikan secara biologis, sebelum dipanen. Stok pada periode ke (t+1) akan berubah, yaitu : (1) Meningkat sebesar (X t+1 - Xt > 0) , jika pertumbuhan bersih melampaui panen pada tahun ke t; (2) Yang tinggal tidak berubah, yaitu (X t+1 - Xt = 0), jika pertumbuhan bersih sama dengan yang dipanen; atau (3) Menurun, yaitu (X t+1 - Xt < 0), jika jumlah yang dipanen melampau pertumbuhan bersih stok ikan. Ada dua kemungkinan bentuk F(Xt) (kembali ke persamaan, yaitu : (1) Model Schaefer, yaitu : F(Xt) = r Xt (1 – Xt/K), dan (2) Model exponential, yaitu : : F(Xt) = Xt e r(1 – Xt/K) . dimana K = carrying capacity dan r = pertumbuhan intrinsik). Persamaan (2.1) menggambarkan respon sumberdaya terhadap panen. Untuk menggambarkan perilaku respon nelayan, diasumsikan bahwa fishing effort terus meningkat jika keuntungan positif dan terjadi pengurangan jika keuntungannya negatif. Untuk maksud penyederhanaan, kita anggap p sebagai harga output yang konstan. Jika fishing effort menyesuaikan dengan dasar keuntungan dan kerugian tahun sebelumnya, maka : E t+1 – Et = η [ p H(Xt, Et) - c Et] (2.2) 30 dimana η > 0 adalah parameter penyesuaian (adjustment parameter) yang diukur dari responsifitas fishing effort terhadap keuntungan dan kerugian usaha. Adapun c = biiaya per unit fishing effort. Secara bersama, persamaan (2.1) dan (2.2) menghasilkan sistem persamaan dinamik. Jika kita tetapkan kondisi awal (X0, E0), maka persamaan (2.1) dan (2.2) dapat di-iterasi (dulang-ulang) terhadap waktu dengan hasil untuk setiap Xt dan Et. Dengan dasar bentuk persamaan H (.) = q Xt Et dan F(.) = r Xt (1 – Xt/ K), dimana q > 0 disebut koefisien hasil tangkap (catchability coeffient) dalam sistem pemgelolaan bebas masuk, maka persamaan (2.1) dan (2.2) dapat dijadikan menjadi satu sistem persamaan (2.3). X t+1 = [ 1 + r ( 1 – Xt /K – q Et] Xt E t+1 = [ 1 + η [ pq H(Xt, Et) - c ] Et (2.3) Dengan dasar persamaan (2.3) tersebut kita dapat melakukan iterasi dalam sistem open access menurut perubahan waktu. Untuk nilai tertentu parameter r, K, q, η, p dan c dengan dasar kondisi awal (X 0, E0), maka iterasi pertama kita akan peroleh nilai (X1,E1). Kemudian kita substitusikan (X1,E1) ke dalam persamaan sebelah kanan, kita akan memperoleh nilai (X2, E2),. Dan begitu seterusnya. Selanjutnya kita buat plot titik-titik (Xt, Et) dalam salib sumbu X -- E untuk t = 1, 2, 3 ................. T. Diantara titik-titik (Xt, Et) terjadi suatu keadaan dimana untuk berbagai waktu kapan saja, hasil Xt dan Et berada pada titik yang tetap (fixed point) yang selanjutnya kita sebut dalam keadaan keseimbangan yang mantap (steady state equilibrium). Titik tersebut berada pada keseimbangan Xt+1 = Xt = X dan Et+1 = Et = E. Keseimbangan mantap pada titik bukan nol, persamaan (2.1) memerlukan persyaratan jumlah ikan yang dipanen = pertumbuhan stok ikan (surplus) bersih, dan persamaan (2.2) memerlukan syarat keuntungan = nol. Dengan menggunakan persamaan (2.3) keadaan mantap membawa implikasi menghasilkan garis E = r ( 1 – X/K)/q dan nilai sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.3. X = c/pq 31 E (2) r/q E t+1 = Et = E E∞ ...................... (1) Xt+1 = Xt = X X X∞ = c / pq 0 Gambar 2.3 : K Kondisi keseimbangan dan dinamika sumberdaya open access (Conrad, 1995) Garis pada Gambar 2.3 disebut garis “isocline”, karena titik – titik pada garis pertama menghasilkan nilai X tidak berubah, dan yang kedua (vertikal) menghasilkan nilai E tidak berubah. Untuk berbagai nilai parameter r, K, q, η, p dan c untuk kondisi awal (X0, E0), sistem persamaan (2.3) mampu menunjukkan perilaku dinamiknya. Dua titik sasaran diperlihatkan pada Gambar 2.4, yaitu titik sasaran (1) dan (2). Titik sasaran (1) memperlihatkan dalam bentuk konvergensi spiral menuju keadaan keseimbangan open access pada X∞ = c/pq dan nilai E∞ = r (1- c/ pqK) / q. Nilai E∞ didefinisikan sebagai “ambang batas” besarnya stok ikan. Oleh karena itu untuk : (1) Xt > X∞ , keuntungan positif dan effort meningkat; (2) Xt < X∞ , keuntungan negatif (rugi) dan effort menurun. Jika effort keluar dari inhdustri meninggalkan usaha penagkapan ikan cukup segera, maka panen ikan berada dibawah pertumbuhan (surplus) stok ikan, pada tahap selanjutnya stok mulai meningkat dan konvergensi spiral pada keseimbangan open access kemungkinan terjadi lagi. Titik sasaran (2) adalah keadaan dimana terjadi proses pempunahan stok ikan pada regim open access. Keadaan demikian terjadi ketika effort yang keluar dari industri 32 penangkapan ikan yang tidak menguntungkan berlangsung lambat. Kemungkinan ketiga tidak ditunjukkan pada Gambar 1.3, yaitu ketika “siklus batas” ketika stok dan effort beranjak secara berlawanan arah pada titik keseimbvangan open access (E∞ , X∞ ). Stok X∞ merupakan ukuran stok pada titik impas. Sebagai catatan titik ini cenderung tidak pernah tercapai. Secara teori perilaku ini tidak mungkin dalam kondisi perubahan stok secara kontinue. Dinamika open access pada Gambar 2.3 mengasumsikan bahwa nilai parameter r, K, q, η, p dan c adalah konstan. Dalam dunia nyata adalah berubah dan keseimbangan open access tidak terjadi, sebagaimana contoh punahnya ikan paus di perairan Antartika Bagian Barat. Meskipun ancaman pempunahan stok dapat dihindari, namun para ahli ekonomi sumberdaya menyatakan bahwa bagaimanapun juga, keseimbangan open access cenderung dibawah optimal. Yang menjadi pertanyaan kebijakn apa yang dapat membantu agar keadaan optimal dicapai ???. 2.4.2 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Oleh Pemerintah Pemerintah di banyak negara, yaitu pemerintah pusat maupun daerah, terutama negara sedang berkembang memiliki otoritas tinggi dalam mengelola sumberdaya perikanan. Pemerintah dengan segala otoritas yang ada melakukan semua tahapan pengelolaan sumberdaya perikanan, mulai dari pengumpulan informasi sumberdaya, perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengendalian, pemantauan, eval;uasi dan penegakan peraturan. Dalam hal ini, pemerintah memiliki seluruh hak dan wewenang berkenaan dengan memanfaatkan, mengatur, bahkan mengalihkan sebagian atau seluruh hak yang dimilikinya. Hak pemerintah tersebut dapat digunakan sendiri melalui badan usaha milik negara (BUMN) atau dialihkan kepada rakyat, swasta nasional bahkan asing. 1. Tujuan Pengelolaan Optimal Pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa, bumi, air dan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah milik negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sejalan dengan penegasan ini, Undang-Undang No. 31 tahun 2004 33 tentang perikanan ditegaskan bahwa pemerintah melaksanakan pengelolaan sumberdaya ikan secara terpadu dan terarah dengan melestarikan sumberdaya ikan beserta lingkungannya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menata pemanfaatan sumberdaya perikanan sehingga rakyat memperoleh manfaat secara maksimum. Dalam model bioekonomi, pemerintah memaksimumkan pencapaian tujuan dengan ukuran nilai ekonomi (kesejahteraan) dengan kendali dinamika sumberdaya yang tersedia. Dalam hal ini, pemerintah dapat menggunakan ukuran manfaat sosial bersih sebagai ukuran nilai ekonomi yang ingin kita capai. Kita misalkan , pada periode ke t, nilai manfaat sosial bersih adalah : πt = π (Xt, Yt) πt merupakan fungsi manfaat bersih berbentuk konkave. Manfaat bersih akan meningkat sepanjang Xt, atau Yt. Peningkatan dalam Xt dapat dianggap biaya panen yang lebih rendah, sementara tambahan dalam Yt mempunyai nilai positif bagi produsen maupun konsumen. Kita misalkan jadwal panen Yt untuk t = 0, 1, 2, . . . . . T. Kita tulis kembali persamaan (2.3), yaitu : Xt+1 = Xt + F(Xt) – Yt (2.3) Kemudian kita tentukan kondisi awal X0, maka dengan melakukan iterasi untuk memperoleh jalur waktu untuk Xt . Manfaat sosial bersih yang telah didiskonto dapat dihitung dengan persamaan (2.4). πt = T  ρtπ (Xt, Yt) (2.4) t 0 dimana ρ = 1 / ( 1 + δ) sebagai faktor diskonto dan δ sebagai tingkat diskonto tahuanan (bergantung pada tingkat suku bunga yang kita gunakan). 34 Misalkan kita ingin mendapatkan nilai Yt yang bertujuan untuk : Maksimisasi oo πt =  ρtπ (Xt, Yt) t 0 Xt+1 - Xt = F(Xt) – Yt Dengan kendala X0 (2.5) = tertentu Permasalahan pada persamaan (2.5) selanjutnya kita sebut sebagai masalah dengan horison waktu tidak terbatas dengan fungsi π (.) dan F (.) berbentuk konkave dalam kondisi optimum mantap dari (X*, Y*). Untuk mencari solusi optimum kita dekati dengan multiplier Lagrang λt sehingga persamaan Lagrangian dari masalah ini dapat kita tulis pada persamaan (2.6). oo L =  ρt [π (Xt, Yt) + ρ λt+1 { Xt + F(Xt) – Yt - Xt+1 }] (2.6) t 0 Multiplier Lagrange tersebut dapat diinterpretyasi nilai harga bayangan wakta sekarang (current value shadow prices) yang menunjukkan n nilai tambahan satu satuan sumberdaya ikan pada tahun tertentu. Dalam masalah ini, kita dapat memikirkan tingakat Xt+1 yang dapat diperoleh pada periode (t+1). Nilai tambahan Xt+1 pada periode (t+1) adalah λt+1 . Keadaan tersebut menggambarkan tidak hanya pada periode (t+1), tapi untuk seluruh horison waktu, dengan anggapan bahwa sumberdaya perikanan dikelola secara optimal. Setelah persamaan Lagrange terbentuk, kita membuat fungsi turunan partial = 0. Keseluruhan turunan tersebut digunakin untuk memcahkan masalah optimalisasi Yt, Xt, dan λt pada kondisi keseimbangan bio-ekonomi secara optimum. Persamaan turunan dan hasil yang diperoleh ditunjukkan pada persamaan (2.7) (2.9) dan (2.10) - (2.12). ∂L/ ∂Yt = ρt [ ∂ π (. )/ ∂Yt - ρ λt+1 = 0 (2..7) 35 ∂L/ ∂Xt = ρt [ ∂ π (. )/ ∂Xt - ρ λt+1 { 1 + F(.) }] - ρ λt = 0 (2.8) ∂L/ ∂( ρ λt+1 ) = ρt { Xt + F(Xt) – Yt - Xt+1 } (2.9) = 0 Selanjutnya menjadi : ∂ π (. )/ ∂Yt = ρ λt+1 (2.10) ∂ π (. )/ ∂Xt - ρ λt+1 { 1 + F(.) }= λt (2.11) Xt+1 - Xt Sebelah kanan persamaan (2.10) = F(Xt) – Yt (2.12) menunjukkan nilai marginal manfaat bersih karena kenaikan satu unit sumberdaya perikanan yang dipanen pada tahun ke t. Untuk strategi panen optimal jika nilai tersebut sama dengan discountrd shadow price (yang selanjutnya disebut user cost ) dari suatu unit sumberdaya perikanan pada periode (t +1), yaitu sebeesar ρ λt+1 . Oleh karena itu persamaan (2.10) memenuhi perhitungan dua macam biaya, yaitu marginal cost dari panen untuk waktu sekarang, dan yang kedua adalah user cost yang menghasilkan tambahan panen dari satu unit dari sumberdaya perikanan, juga pada saat sekarang. Adapun sisi kanan pada persamaan (2.11) kita mempunyai nilai λt yaitu nilai dari tambahan satu unit sumberdaya perikanan pada tahun ke t yang besarnya sama dengan manfaat marginal bersih pada periode sekarang, yaitu : ∂ π (. )/ ∂Yt ditambah dengan manfaat marginal yang tidak dipanen, yaitu : ρ λt+1 { 1 + F(.), yang akan dimanfaatkan untuk periode selanjutnya. Dengan menggunakan persamaan (2.10) – (2.12) kita akan dapat memcahkan nilai optimal Yt, Xt dan λt . Untuk maksud tersebut kita memerlukan dua titik pembatas, yaitu nilai X0, sebut saja nilainya = a, dan nilai ( ρt λt Xt ) mendekati nol pada waktu t mendekati waktu tidak terhingga. Dalam keadaan mantap, dimana nilai Yt, Xt dan λt tidak berubah, maka persamaan (2.10) – (2.12) mengandung implikasi pada persamaan (2.13) – (2.15). 36 ∂ π (. )/ ∂Yt = ρλ - ∂π (. )/ ∂Xt = (2.13) λ { 1 + F(.) – (1 + δ)} (2.14) Y = F(X) (2.15) Kita lakukan substitusi nilai ( ρ λ ) dari persamaan (2.13) ke dalam persamaan (2.14) kemudian diusahakan agar nilai δ berada di sisi kanan persamaan, sehingga menghasilkan persamaan (2.16). ∂π (. )/ ∂X Ft (X) + ---------------- = δ (2.16) ∂ π (. )/ ∂Y Persamaan (4.16) menurut Conrad disebut sebagai : “fundamental equation of renewable resources”.Sepanjang sesuai dengan persamaan (2.15) , nilai X dan Y berada dalam keadaan optimal mantap. Persamaan (2.16) mengandung interpretasi ekonomi yang menarik, yaitu nilai Ft (X) menunjukkan pertumbuhan stok marginal, sedeangkan bagian kedua pada sisi kiri persamaan (2.16) adalah ∂π (. )/ ∂X -------------- (2.16) ∂ π (. )/ ∂Y yang selanjutnya disebut oleh Clark dan Munro (Conrad, 1996) dengan istilah : “marginal stock effect”yaitu : ukuran nilai stok marginal relatif terhadap nilai panen marginal. Kedua bagian sisi kiri pada persamaan (2.16) selanjutnya disebut sebagai “resources internal rate of return”. Dari persamaan (2.16) dapat kita jelaskan bahwa 37 nilai X dan Y pada tingkat optimal mantap akan menyebabkan “resources rate of return” adalah sama dengan “ discount rate, δ”. Nilai δ tersebut adalah sama dengan return on investment (ROI) dalam teori ekonomi yang lazim. Atas dasar pemikiran demikian, maka sumberdaya alam yang dapat diperbaharui pada dasarnya adalah “kapital” atau aset (modal) sumberdaya suatu lingkungan. Dengan dasar fungsi implisit, maka persamaan (2.16) selanjutnya dapat kita buat suatu kurva dalam bidang X---Y. Dengan asumsi fungsi F (X) dan π (X,Y) bentuk konkave dalam bidang X – Y, maka slope kurva tersebut positif. Bentuk yang pasti dari fungsi F (X) dan π (X,Y) dalam bidang X – Y ditentukan oleh parameter fungsi tersebut dan oleh discount rate. Berbagai kemungkinan kurva, sebut saja kurva Φ, yaitu garis Φ 1, Φ2, dan Φ3 sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.4. Dalam gambar tersebut disajikan pula kurva pertumbuhan stok bersih, Y = F(X) = rX( 1 X/K). Perpotongan antara F(X) dan kurva Φ tertentu menggambarkan solusi persamaan (2.15) dan (2.16), yaitu sumberdaya dalam keadaan mantap (steady state) dan optimum secara bio-ekonomi. Gambar 1.4 menunjukkan empat titik keseimbangan, terdiri dari tiga buah titik optimum bio-ekonomi dan sebuah titik maximum sustainable yield (MSY) . Titik-titik tersebut menggambarkan hal berikut : (1) Perpotongan antara Φ1 dan F(X) pada keadaan dimana pengurasan sumberdaya mencapai optimal. Keseimbangan semacam ini terjadi jikia sumberdaya tumbuh perlahan, sementara tingkat suku bunga diskonto cukup tinggi dan biaya panen populasi ikan terakhir adalah lebih kecil dari harga pasar; (2) Perpotongan antara Φ2 dan F(X) pada keadaan stok optimal pada titik X2 bernilai positif, tapi lebih rendah dari K/2 yang mendukung tingkat MSY = rK/4. Pada tingkat ini efek stok marginal lebih rendah dari tingkat suku bunga dikonto; dan (3) Kurva Φ3 dimana efek stok marginal cukup besar, yaitu dengan besaran lebih tinggi dari tingkat suku bungan diskonto. Ini terjadi jika stok ikan yang dipanen dalam jumlah lebih rendah memerlukan ongkos yang semakin meningkat secara signifikan. Φ1 Φ2 Φ3 38 MSY= rK/4 .......................................... Y3 ............................................... Y2 ............................. F(X) = r X (1 – X/K) X O X2 K/2 X3 K Gambar 2.4. Tingkat MSY dan tiga titk bio-ekonomi optimum (Conrad, 1995) Kesimpulan dari uraian diatas adalah bahwa pengelolaan stok optimal atas dasar model bio-ekonomi akan berada pada tingkat lebih rendah atau sedikit lebih tinggi dari tingkat MSY. Dengan dasar kesimpulan tersebut, maka untuk pendekatan kehati-hatian, dalam menjaga kelestarian sumberdaya perikanan, tingkat panen optimal menggunakan ukuran 80% MSY. Pengelolaan sumberdaya perikanan pada tingkat panen optimal ( 80% MSY) selanjutnya disebut tingkat Total Allowable Catch (TAC). 2. Penentu Keberhasilan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Dengan dasar uraian diatas, maka keberhasilan pengelolaan sumberdaya oleh pemerintah ditentukan oleh berbagai hal, antara lain : (1) Validitas hasil pendugaan tingkat MSY yang akan digunakan sebagai dasar untuk menetapkan TAC sebagai dasar untuk menetapkan berbagai kebijakan pengelolaan seperti penetapan quota, ijin kapal penagkapan maupun kebijakan yang bersifat bioekonomi lainnya. Jika hasil pendugaan MSY “salah atau tidak valid” maka implikasi kebijakan yang akan kita buat juga akan tidak valid. Dalam hubungannya dengan penetapan TAC ini, memerlukan dukungan managemen sistem informasi (SIM) sumberdaya perikanan secara valid. 39 (2) Kepercayaan atas penegakan peraturan. Dalam hal ini, penegakan peraturan sangat penting. Dengan adanya kepercayaan terhadap tegaknya peraturan, maka masyarakat pengguna sumberdaya akan bertindak rasional. Akan terjadi sebaliknya, jika peraturan tidak ditegakkan. (3) Peraturan secara tertulis yang diberlakukan untuk seluruh wilayah pengelolaan. Sekalipun masyarakat nelayan pada umumnya berkomunikasi dakam meresopon peraturan secara verbal, namun peraturan tertulis yang disyahkan atau dibuat oleh pemerintah memudahkan masyarakat untuk mentaatinya. (4) Kejelasan teknologi yang diijinkan. Adanya penggunaan teknologi di luar skala atau jenis teknologi yang diijinkan akan memacu timbulnya pelanggaran penggunaan teknologi yang secara nyata mengarah pada teknologi yang lebih menguntungkan. (5) Pembangunan industri perikanan sering berdampak negatif terhadap penggunaan teknologi melaut karena pertimbangan efisiensi dan produktifitas yang semakin besar dapat melalaikan para pengelola sumberdaya perikanan tidak mensinkronisasikan penggunaan teknologi dengan pelaksanaan pengelolaan sumberdaya perikanan. Pembangunan perikanan dan pengelolaan sumberdaya sejak awal harus dilakukan secara komplementer. (6) Perdagangan dan harga jenis ikan tertentu yang tinggi akan mendorong nelayan untuk mengeksplotasi sumberdaya tersebut secara berlebihan. Oleh karena itu diperlukan berlangsungnya melkanisme harga ikan yang “wajar” untuk menjaga agar nelayan tidak melakukan pelanggaran dalam eksploitasi sumberdaya ikan karena alasan ekonomi. 3. Kelebihan dan Kelemahan Pengelolaan Sumberdaya Oleh Pemerintah Pengelolaan sumberdaya perikanan oleh pemerintah memiliki kelebihan kelemahan. Adapun kelebihannya dapat disebutkan antara lain : (1) Mengatasi masalah interkomunitas dan 40 Pengelolan sumberdaya yang dikelola pemerintah secara nasional maupun pada tingkat, masalah-masalah yang bersifat interkomunitas akan dapat diselesaikan. Kita menyadari bahwa ikan adalah makhluk air yang bergerak. Sebagian bergerak secara lokal, antar kabupaten, antar propinsi bahkan antar negara. Dengan adanya pengelolaan sumberdaya oleh pemerintah yang memiliki kewenagan pengelolaan, khususnya tingkat nasional, maka permasalahan yang timbul karena migrasi ikan antar propinsi akan dapat terpecahkan. (2) Bersifat nasional Sifat ikan yang bergerak berakibat masalah lebih tangkap tidak mudah diatasi dengan membatasi diri pada kewenangan lokal. Sebut saja pengelolaan ikan layang di Laut Jawa, jelas tidak bisa diatasi hanya kewenangan propinsi tertentu. Kita mengetahui bahwa ikan layang di Laut Jawa memijah di Laut Flores, kemudian ikan layang kecil terbawa arus dan besar di Laut Jawa. Dengan demikian pengelolaan sumberdaya ikan layang harus dikelola oleh kelembagaan antar propinsi. Contoh lain, seperti pengelolaan ikan lemuru di Selat Bali adalah melibatkan tanggung jawab nelayan Banyuwangi, Propinsi Jawa Timur dan nelayan di Propinsi Bali. Dalam hal demikian pengelolaan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali tidak bisa lepas dari kewenangan pemerintah Propinsi Jawa Timur dan Bali, termasuk pemerintah pusat secara nasional. (3) Pengaruh eksternal dapat dikendalikan secara nasional Beberapa faktor eksternal yang berpengaruh terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan yang dapat dikendalikan secara nasional, dapat disebutkan, antara lain : (a) mobilitas nelayan antar wilayah propinsi, (b) gejolak moneter atau kebijakan publik yang berada di luar kendali sektor perikanan, misalnya kebijakan harga BBM, atau (c) perkembangan perdagangan bebas pada skala regional yang berdampak luas terhadap dinamika pemanfaatan sumberdaya di tingkat lokal, hanya bisa dikendalikan secara nasional. (4) Pertimbangan skala ekonomi 41 Pengelolaan sumberdaya perikanan pada skala nasional yang dilanjutkan dengan pembagian wilayah pengelolan sumberdaya di tingkat regional akan mengurangi biaya kelembagaan, sehingga secara ekonomi akan menguntungkan dan menjadi lebih efisien jika dibandingkan dengan pengelolaan sumberdaya secara lokal. Sekalipun terdapat kelebihan-kelebihan yang dapat kita peroleh karena kelembagaan pengelolaan yang bersifat nasional, namun kita jumpai beberapa kelemahan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan secara nasional, antara lain sebagai berikut : (1) Tidak mudah memenuhi aspirasi lokal. Kita mengetahui bahwa pada kenyataannya di lapangan banyak kebiasaan lokal bahkan sering bervariasi antar komunitas dalam masyarakat untuk landasan pengelolaan sumberdaya perikanan. Pengelolaan sumberdaya berbasis kelembagaan pemerintah nasional cenderung tidak berhasil mengatasi masalah yang timbul pada skala komunitas lokal. (2) Tidak diterima masyarakat lokal Pengelolaan yang bersifat nasional oleh pemerintah, dapat saja terjadi tidak diterima oleh masyarakat lokal. Adanya konflik kepentingan antara pemerintah lokal (sebut saja pada skala desa) dan pemerintah pusat sering berakibat membawa ketidak berhasilan pengelolaan sumberdaya perikanan. Pelanggaran yang semakin serius dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, sering ditengarai karena aturan yang dibuat secara nasional tidak dapat diterima oleh masyarakat lokal. Ini berakibat sumberdaya perikanan secara sistematis terkuras habis. (3) Pengawasan pengelolaan sumberdaya sangat sukar dan biaya tinggi Indonesia dengan hampir lebih dari 17.000 pulau, bisa dipastikan betapa biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah pusat (nasional) maupun daerah untuk mengawasi pelaksanaan pengelolaan sumberdaya perikanan oleh pemerintah. Disamping biaya tinggi juga akan banyak menghadapi kesukaran. Pelanggaran yang terjadi di tingkat lokal dan tidak mudah terdeteksi daerah. oleh pemerintah secara nasional maupun 42 2.4.3 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan (PSBM) Berbasis Masyarakat Tindakan rasional secara ekonomi dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan “milik bersama , common property” bisa berdampak irrasional, kata Hardin dapat menimbulkan tragedy of the common. Pada tingkat komunitas, masyarakat dengan kearifan lokal memungkinkan untuk membangun tindakan rasional secara sosial melalui kelembagaan kerjasama yang berbasis masyarakat. Dalam pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat terjadi suatu proses pemberian wewenang, hak dan tanggung jawab masyarakat untuk mengelola sumberdaya perikanan oleh, dari dan untuk masyarakat sendiri. Dalam hal ini, kerjasama merupakan solusi untuk menghindarkan diri masyarakat dari tragedi yang tidak diinginkan. Dengan adanya kerjasama, masyarakat dalam konsep PSBM adalah komunitas atau kelompok orang yang memiliki tujuan yang sama. Dari sudut pandang wilayah, masyarakat disini adalah mereka yang tinggal di suatu kawasan tertentu. Kawasan yang dimaksud dapat mencakup beberapa pemukiman, desa, kecamatan, kota, kabupaten, propinsi atau negara. Masyarakat Teluk Jakarta adalah masyarakat yang berasal dari beberapa dusun, desa, pulau, kecamatan, kabupaten/kota atau propinsi bergantung pada cakupan wilayah yang kita maksudkan. Selat Bali didiami oleh warga nelayan mencakup penduduk Propinsi Jawa Timur dan Bali. Kawasan Selat Madura mencakup kawasan nelayan dari penduduk Kabupaten/Kota yang membatasi Selat Madura, seperti Sumenep, Pamekasan, Probolinggo, Situbondo dan Banyuwanngi dengan adat istiadat dan kebiasaan yang berbeda. Dari sudut pandang status sosial dan pekerjaan, masyarakat yang tinggal di kawasan tertentu, orang yang berkepentingan dengan pengelolaan sumberdaya perikanan dapat terdiri dari para nelayan, pedagang ikan, pembudidaya ikan/ rumput laut, pengolah ikan, pemilik kapal, tokoh adat ataupun pimpinan formal. Dengan adanya klasifikasi masyarakat yang berbeda, maka PSBM dapat dibedakan atas dasar : (1) Administrasi pemerintahan/ kawasan : PSBM dusun, desa, kecamatan, kabupaten, propinsi atau kawasan Selat/ Teluk tertentu; 43 (2) Kegiatan ekonomi masyarakat : PSBM gill-net, petani rumput laut dan lainlainnya. Menurut Nikijuluw (2002) kelembagaan PSBM dapat tumbuh melalui tiga cara, dengan proses dan jastifikais sebagai berikut : (1) Pemerintah mengakui praktik pengelolaan sumberdaya perikanan yang selama ini telah dilakukan masyarakat turun-temurun dan merupakan adat yang dianut oleh masyarakat; (2) Pemerintah bersama masyarakat membangkitkan kembali adat dan budaya lokal yang sempat ada untuk mengelola sumberdaya perikanan di kawasan tertentu; dan (3) Pemerintah berdasarkan kewenagan yang ada menyediakan kesempatan dan tanggung jawab serta wewenang penuh oleh masyarakat untuk mengelola sumberdaya perikanan yang ada di wilayahnya. Praktik dan proses pembentukan untuk berbagai jenis PSBM di berbagai lokasi perikanan dijelaskan oleh Nikijuluw (2002) (pengelompokan disusun oleh penulis) sebagai berikut : 1. Praktik adat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan (a) Sasi di Pulau Saparua Di pedesaan Pulau Saparua, Maluku, pemanfaatan sumberdaya laut pesisir dan hutan umumnya dikelola dengan sistem sasi. PSBM Sasi adalah suatu kelembagaan yang mengatur masyarakat desa untuk tidak menangkap ikan di daerah dan waktu tertentu, disamping hakk eksklusif yang dapat dialihkan kepada orang lain. Tujuan larangan ini adalah supaya ikan dapat berkembang biak, tumbuh mencapai ukuran tertentu, tetap tersedia sehingga dapat ditangkap pada waktu yang lama, sumberdaya ikan lestari dan dapat dimanfaatan oleh generasi yang akan datang dengan kondisi seperti yang dimanfaatkan sekarang. Desa mengenakan kewajiban kepada pemegang hak ekslusif di kawasan desanya berupa “pajak” tertentu yang dikumpulkan oleh petaugas desa untuk pendapatan desa. 44 (b) Pengelolaan Perairan Peisisir Desa Tanjung Barari (Biak) Di desa Tanjung Barari, Biak, Papua, pemanfaatan sumberdaya perikanan di depan desa warga sepenuhnya diperuntukkan bagi warga desa dengan hak ekslusif. Bagi warga di luar desa izin diberikan dengan membayar “pajak” sejumlah uang tertentu untuk setiap operasi penangkapan dilakukan atau menebang mangrove. Jika terjadi pelanggaran proses disiplin terhadap peraturan ditempuh, seperti teguran atau penyitaan alat tangkap. 2. Praktik menumbuhkan adat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan (a) Pengelolaan terumbu karang di Jemluk, Bali Pada awalnya ditengarai perairan di depan desa jempuk, Karang Asem, Bali mengelami tekanan pemanfaatan sumberdaya secara berlebihan. Lingkungan menjadi rusak, karena nelayan menambang karang untuk berbagai kepentingan. Akibatnya hasil penagkapan ikan menurun. Rusaknya terumbu karang berpengaruh terhadap kunjungan wisata laut. Untuk mengatsi agar kerusakan tidak berlanjut, Kelompok Nelayan Tunas Mekar (KNTM) dibentuk menyambut program pemerintah membuat terumbu karang buatan. Untuk mengamankan terumbu karang buatan ini KNTM membuat aturan yang harus diatati. Bagi para pelanggar dikenakan beban sejumlah uang tertentu. Pada tingkat awal, wilayah “karang buatan” ini tertutup untuk semua kegiatan penagkapan ikan. Namun kemudian, setelah terumbu karang buatan terbentu, banyak ikan berdiam, maka nelayan diberi kesempatan untuk melakukan penangkapan ikan di wilayah terumbu karang tersebut. Kedatangan wisatawan ke desa ini juga menambah sumber pendapatan alternatif bagi nelayan setempat, sehingga pendapatan nelayan menjadi meningkat. (b) PSBM San Pablo, Philipina 45 PSBM di San Pablo diawali dengan pembentukan Resource Management Council (RMC) untuk mengurangi konflik antara nelayan dan petani ikan keramba apung di danau. RMC membuat petunjuk pemanfaatan danau dimulai dengan kajian tentang potensi sumberdaya ikan dan kualitas air danau. Kemudian dilakukan implimentasi dan penegakan hukum, program sosial dan penyelesaian konflik yang mungkin timbul. Juga membantu pemerintah dalam menentukan ijin bagi nelayan, penetapan zonasi penangkapan ikan. (c) Managemen Danau Sentarum, Kalimantan Barat Pada awalnya ada kasus kematian ikan karena menurunya ikan di danau. penggunaan tuba dan semakin Pemerintah bersama masyarakat berkumpul membuat kesepakatan sepeti : (i) Larangan menggunakan tuba; (ii) Dilarang penggunaan jermal dengan mata lebih kecil dari 2 inci; (iii) Dilarang menggunakan jaring dengan mata jaring kurang dari 2 inci; (iv) Dilarang menagkap ikan ukuran kurang dari 20 cm; dan (v) Setiap pelanggaran akan diadili secara adat atau diadili oleh insansi pemerintah yang berwenang. Semua kesepakatan yang disetujui menjadi dasar pengelolaan sumberdaya perikanan di danau Sentarum. (d) Managemen rumpon di Brondong, Jawa Timur Pada awalnya banyak nelayan yang suka “mencuri: ikan” di rumpon milik orang lain. Untuk mengelola rumpon agar tidak merugikan nelayan pemilik rumpon , maka bagi mereka yang menangkap ikan di rumpon milik orang lain ada kewajiban menyisihkan hasil tangkapan sampai 10% bagi pemilik rumpon tersebut. Bagi saksi yang menunjukkan bukti bahwa seseorang telah melakukan penangkapan ikan di rumpon bukan miliknya tanpa ijin juga mendapat bagian dari hasil tangkapan tersebut. 3.Pembentukan PSBM Atas Dasar Undang-Undang /Ketentuan Pemerintah 46 Contoh yang bagus dari model ini adalah pengaturan hak penangkapan ikan di Pedesaan Jepang. Dibawah Undang – Undang Perikanan Jepang tahun 1949, pengelolaan sumberdaya perikanan dibagai ke dalam tiga kategori, yaitu (1) Perikanan berdasarkan hak penangkapan ikan (2) Perikanan berdasarkan ijin penangkapan ikan (3) Perikanan terbuka atau bebas (masuk) Klasifikasi perikanan menurut UU Perikanan Jepang Tahun 1949 disajikan pada Gambar 2.5. Perikanan berdasarkan hak penagkapan ikan adalah pemberian hak penagkapan ikan oleh Gubernur propinsi kepada koperasi perikanan. Hak tersebut berlaku selama 10 tahun. Di setiap propinsi, Gubernur dibantu oleh suatu Komisi pengaturan Perikanan propinsi yang anggotanya dipilih dari organisasi dan kopersi nelayan serta ahli perikanan yang ada di propinsi yang bersangkutan. Komisi mengadakan dengar pendapat dengan publik, mengumpulkan saran-saran dari masyarakat terutama yang berkaitan dengan pembagian, pemberian dan pelaksanaan hak di masa yang akan datang. Tugas Komisi adalah memberikan saran kepada Gubernur dalam mengevaluasi pelaksanaan hak yang telah diberikan kepada masyarakat serta kemungkinan hak tersebut diperpanjang setelah habis masa berlakunya. 47 Perikanan Laut Perikanan Berdasarkan Hak Perikanan Bebas (Masuk) Perikanan Berdasarkan Izin Izin Oleh Pemerintah Pusat Hak Pemanfaatan Milik Bersama Izin Oleh Pemerintah Propinsi Hak Penggunaan Jaring Bubu Hak Pemanfaatan Jenis Ikan Sedentari Hak Budidaya Laut Hak Menggunakan Jaring Bubu dan Jaring Insang Ukuran kecil Hak Menggunakan Pukat Pantai dan Terumbu Karang Buatan Gambar 2.5. Klasifikasi Perikanan Jepang (Nikijuluw, 2002) Hak penangkapan ikan oleh koperasi perikanan dan anggotanya dibagi dalam tiga kelompok, yaitu : (1) Hak pemanfaatan milik bersama; (2) Hak penggunaan jaring bubu; dan (3) Hak budidaya laut. Hak pemanfaaatn milik bersama dikelompokkan menjadi tiga, yaitu : (1) Hak pemanfaatan jenis-jenis ikan yang “menetap” di suatu wilayah (sedentari); 48 (2) Hak menggunakan jaring bubu, alat tangkap menetap dan jaring insang skala kecil; dan (3) Hak menggunakan pukat pantai, pukat lain yang dioperasikan dengan perahu tanpa motor, alat tangkap tradisional untuk ikan-ikan di perairan dekat pantai dan penagkapan ikan di sekitar terumbu karang buatan. Hak penggunaan jaring bubu diperuntukkan bagi kegiatan perikanan pada kedalaman air 27 m atau lebih. Adapun hak budidaya laut diberikan kepada koperasi atau anggota kopersi yang melakukan budidaya laut di daerah yang telah ditentukan. Koperasi nelayan berkewajiban membuat aturan lokal untuk setiap hak pemanfaatan sumberdaya perikanan. Aturan lokal ini harus diputuskan oleh rapat pleno koperasi dan harus disetujui oleh pemerintah propinsi. Selain sistem pengelolaan perikanan berdasarkan hak, pemerintah propinsi memiliki juga wewenang dalam sistem oengelolaan sumberdaya perikanan berdasarkan izin.Sistem izin diberlakukan untuk perikanan trawl dan pukat cincin yang beroperasi di perairan laut Jepang dan di luar Jepang. Izin diberikan atas nama kapal dan nama nelayan. 4. Kelebihan dan Kelemahan PSBM Kelebihan PSBM dapat disebutkan antara lain : (1) Sesuai aspirasi dan budaya lokal, sehingga akan berdampak positif pada masyarakat lokal. Jika dalam pelaksanaannya kurang berhasil, maka dengan segera masyarakat akan menyesuaikan dengan keinginannya. (2) Diteima oleh masyarakat lokal, karena sepenuhnya berdasarkan pada adat kebiasaan dan komitmen masyarakat tingkat lokal. (3) Pengawasan dilakukan dengan mudah, karena masyarakat sendiri yang melakukan pengawasan. Disamping terdapat keunggulan PSBM, masih juga mengandung kelemahan, antara lain : (1) Mudah dipengaruhi oleh perubahan eksternal. Misalnya saja, ketika terjadi kenaikan harga ikan, masyarakat mudah terprovokasi untuk mencoba merubah aturan yang 49 berlaku mengikuti perubahan kondisi ekternal. Konflik kepentingan dapat memporak-porandakan peraturan yang telah disepakati sebelumnya. (2) Bersifat lokal sehingga masalah yang cakupannya lebih luas dari kondisi lokal sulit diatasi oleh PSBM. (3) Secara individu mungkin banyak mendatangkan manfaat, namun secara bersamasama (kelompok) bisa tidak ekonmis. Biaya pengelolaan institusi boleh jadi tidak tertanggungkan, karena skala ekonomi yang rendah. (4) PSBM ada kemungkinan tidak mampu memecahkan permasalahan antar komunitas dalam masyarakat, karena PSBM hanya diakui oleh satu komunitas, sehingga masalah yang timbul antar komunitas tidak mudah diselesaikan oleh masing-masing PSBM. 2.4.4 Kolaborasi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan : Management Co – Kelembagaan ko-managemen merupakan rezim derivatif yang mempertemukan pendistribusian tanggaung jawab dan wewenang antara pemerintah dan masyarakat lokal dalam mengelola sumberdaya perikanan. Tujuan utama kelembagaan ko-managemen adalah pengelolaan sumberdaya perikanan yang lebih efisien dan lebih demokratis melalui proses aktif dalam keterlibatan masyarakat untuk pelaksanaan pembangunan perikanan lebih efektif. Tingkatan tanggung jawab, wewenag dan keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan akan menentukan tipe ko-managemen yang dipilih. Beberapa ahli mengelompokkan bentuk kelembagaan komanagemen atas dasar besar kecilnya keterlibatan masyarakat menjadi beberapa tipe, yaitu : (1) Tipe instruksi, (2) konsultasi, (3) koperasi, (4) advokasi, dan (5) tipe informasi. (1) Pertama : pada ko-managemen tipe instruktif tidak banyak informasi yang saling dipertukarkan antara pemerintah dan masyarakat. Pada tipe ini, pemerintah menginformasikan rumusan pengelolaan sumberdaya yang direncanakan oleh pemerintah untuk dilaksanakan oleh nelayan/ masyarakat perikanan. 50 (2) Kedua : pada tipe konsultatif, hubungan antara masyarakat dan pemerintah saling berkonsultasi. Masyarakat dan pemerintah saling mendampingi, namun keputusan ackir ada di tangan pemerintah. Dengan demikian peran pemerintah masih cukup lebih besar dari peran dan tanggung jawab pemerintah. (3) Ketiga : pada tipe kooperatif, hubungan antara pemerintah dan masyarakat sederajad. Semua tahapan managemen berada dalam tanggung jawab di kedua belah pihak. Dalam hal ini masyarakat nelayan merupakan mitra pemerintah. (4) Keempat : tipe pendampingan atau advokasi. Peran dan tanggung jawab masyarakat nelayan lebih besar dari peran pemerintah. Masyarakat dapat mengajukan usulan keputusan pengelolaan sumberdaya perikanan yang akan dilaksanakan oleh masyarakat. Peran pemerintah lebih banyak bersifat mendampingi masyarakat. (5) Kelima : tipe ko-managemen informasi. Dalam hal ini pemerintah hanya memberikan informasi kepada masyarakat. Masyarakat secara mandiri memanfaatkan semua informasi untuk memutuskan sendiri dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Berdasarkan pada berbagai bentuk tipe proses pengambilan keputusan tadi, maka ko-managemen akan lahir karena adanya kemauan dan inisiatif pemerintah danmasyarakat. Kemauan bersama atau inisiatif muncul yang disadari memerlukan dimulai karena ada permasalahan kersama antara kedua belah pihak untuk memecahkannya. Bentuk-bentuk kelembagaan untuk melaksanakan perikanan yang mengacu pada berbagai tipe pengelolaan sumberdaya ko-managemen tersebut disajikan pada Tabel 2.1 (Nikijuluw, 2002). No Tabel 2.1 Contoh kegiatan ko.managemen di berbagai lokasi di dunia Tipe ko- Lokasi Referensi Keterangan 51 managemn 1 Instruktif 2 Konsultatif Perairan Umum- Ahmed, 1995 Bangladesh Danau Karibia, Zambia Malasha, 1996 Donda, 1995 3 Kooperatif Danau Malombe, Malawi Pameroy, 1995 Katon, 1995 Teluk San Miguel, Filipina Hanna, 1992 4 Advokatif Kawasan lindung laut, P. San Salvador, Filipina Nielsen, 1995 Pengelolaan perikanan Pasifik Amerika Serekat 5 Informatif Dimulai kebijakan pemerintah didukung LSM Implimentasi penggunaan gill-net kecil di danau Ada gejala lebih tangkap. Komite dibentuk,nelayan dilatih, rumusan kebijakan oleh pemrintah. Proses, idem Berawal PSBM. Penghasilan nelayan turun, ada prakarsa L:SM dan pemerintah medukung Dewan pengelola melibatkan pengguna. dan pemerintah mendukung Ada kelompok kerja masyarakat. Ada masalah. Rumusan oleh kelompok kerja minta persetujuan pemerintah Hubungan antara nelayan dan pemerintah buruk. Nelayan mengatur kelompok, dan pemerintah terima informasi Komite Herring Denmark, Norwegia dan Swedia. Pemerinth terima informasi Regulasi waktu penangkapan, Smith, 1995 Denmark Produsen ikan sebelah, Belanda Perikanan herring, Denmark Nielsen, 1995 Nikijuluw (2002) : Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan (diringkas). 52 Kelembagaan ko-managemen dinilai lebih demokratis, karena pemerintah secara sadar mempersiapakan partisipasi aktif masyarakat. Adapun kawasan pengelolaan perikanan dan kelautan Indonesia disajikan pada Gambar 2.6. Gambar 2.6 : Kawasan pengelolaan perikanan Indonesia (GKP, 2007) 2.4.5 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Mekanisme Pasar : Program Individual Transferable Quota (ITQ). Sasaran pengelolaan optimal sering berbeda diantara para ahli perikanan. Perdebatan pengelolaan optimal tersebut sering kali menghadapi kesulitan ketika kita menggunakan berbagai istilah seperti “preservasi” dan “konservasi”. Interpretasi “preservasi” dapat berarti “kita tidak menggunakan sumberdaya” , sedangkan konservasi berarti “menggunakan sumberdaya dengan bijaksana”, dimana sumberdaya dipanen tanpa berakibat punahnya sumberdaya tersebut. Sekalipun konsep konservasi diterima secara operasional, namun ketika kita persoalkan tentang ukuran maksimum penerimaan bersih, surplus konsumen dan 53 produsen yang dianggap cocok dan penilaian atas resiko kepunahan kesimpulannya selalu kontroversia. Kesamaan pengertian tersebut sangat penting, karena terkait dengan penetuan “insentif” ekonomi dan pilihan kebijakan pemerintah yang efektif dan mampu menyesuaikan dengan perubahan lingkungan (Conrad, 1995). Sebagaimana telah diuraikan pada Bab-Bab sebelumnya, bahwa sekurang- kurangnya ada empat jenis kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan yang menekankan pendekatan biologis, yaitu : (a) musim tertutup untuk penangkapan ikan, (b) pembatasan alat tangkap, (c) ijin masuk, dan (d) quota penangkapan ikan. Kebijakan tersebut kurang memperhatikan kekuatan ekonomi, seperti harga-harga dan biaya-biaya input atau kebijakan publik yang lain. Akibatnya pada tataran opersional, kebijakan yang semata-mata hanya menggunakan pendekatan bio-teknis menjadi tidak efektif. Pada tataran opersional, untuk melaksanakan ketiga bentuk kebijakan bioteknis tersebut, kita sering lemah dalam hal penegakan peraturan sehingga pelaksanaannya tidak efektif. Bahkan jika sekiranya kebijakan pembatasan fishing effort dan penetapan quota pada awalnya berhasil (contoh : pengaturan quota purse seine ikan lemuru di Selat Bali), namun kemudian para nelayan cenderung tergoda dan mengarah pada penggunaan kapal atau alat tangkap yang lebih besar, dengan harpan hasil lebih besar, tentu pada akhirnya akan berakibat musim penagkapan yang lebih pendek. Dari serba kesulitan tersebut diatas, para ahli kemudian memikirkan kemungkinan pengenalan “pajak penagkapan” seperti yang dilakukan oleh PSBM sasi atau bentuk lain dengan cara penerapan program Individual Transferable Quota (ITQ). Secara teori ITQ dapat dijelaskan dari model bio-ekonomi, dimana panen optimal pada periode ke t dicapai pada saat : ∂ π (. )/ ∂Yt = ρ λt+1 dimana ∂ π (. )/ ∂Yt adalah manfaat nilai sekarang (present value) panen bersih yang besarnya adalah : ∂ π (. )/ ∂Yt = p - MCt 54 dimana p adalah harga ikan yang dipanen per satuan, sedangkan MCt adalah biaya marginal (lihat pada persamaan 4.10). dengan demikian kita perlu menyusun kebijakan yang dapat mendorong nelayan memperoleh harga output yang sama secara kolektif, yaitu pada tingkat harga yang besarnya = marginal cost (MC) + user cost . Atau : p = MCt + ρ λt+1 Secara teori, baik pajak penangkapan (landing tax) (kita mengenal beban non- pajak/ retribusi yang didasarkan pada hasil tangkap, bukan pada kuota hasil tangkap) maupun sistem ITQ akan dapat menduga nilai ρ λt+1 dan akan dapat mendorong panen optimal. Pengenalan ITQ ke dalam pengendalian usaha penangkapan ikan dengan program “pembatasan ijin masuk” akan lebih menumbuhkan industri perikanan yang “professional” bagi semua pihak dan lebih mudah diadministrasi jika dibandingkan dengan sitem landing tax (retribusi hasil tangkap). Cara opersi sistem ITQ tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : (a) Setiap pemilik kapal dengan program ijin masuk untuk melakukan penagkapan ikan memperoleh sejenis sertifikat ijin yang menyebutkan sejumlah panen ikan sebesar fraksi tertentu dari TAC tahun tertentu, misalnya 2% (bervariasi dari tahun ke tahun) misalnya dari TAC 200.000 ton, maka nelayan tersebut dapat menagkap ikan kapan saja untuk tahun itu sebesar 4.000 ton. Para pemilik kapal dapat menyewa kapal atau menjual ijin tersebut seluruhnya atau sebagian. Jika pemilik kapal menjual seluruhnya, berarti ia meninggalkan usaha penangkapannya. (b) Menteri Perikanan atau yang ditunjuk mencatat pemilikan ITQ, persewaan, penjualan dan juga dapat membantu para broker, yaitu dengan menfasilitasi pencatatan harga. (c) Pemegang ijin ITQ harus banyak, demikian juga para pembeli ITQ juga harus didorong agar juga banyak, sehingga harga kuota, P Q, benar-benar mewakili harga pasar ikan dan biaya penangkapan, yang tentu saja bergantung pada ukuran stok ikan yang tersedia. Harga untuk akuisisi permanen untuk tambahan satu satuan ITQ diasumsikan merefleksikan ekspektasi industri perikanan tentang harga ikan yang akan datang, juga biaya panen, ukuran stok ikan dan kesanggupan pengelola sumberdaya perikanan secara berkelanjutan. 55 (d) mengingat ITQ bisa dijual dan dapat dipakai sebagai dasar untuk menyewa kapal diharapkan dapat mendorong harga ikan per satuan quota di pasar quota mencapai sama dengan “user cost”, yaitu PQ - ρ λt+1 . Agar kondisi panen ikan secara optimal dicapai, nilai bersih dari tambahan satu satuan quota harus dijual pada tingkat harga yang sama dengan yang terjadi di pasar quota, maka : p - MCt = PQ = ρ λt+1 Dalam pelaksanaannya para pengelola perikanan akan dapat bekerja cukup sederhana, yaitu atas dasar model bio-ekonomi yang deterministik. Dengan demikian para pengelola akan bisa berfikir agar panen dan biomassa dapat dikelola secara optimal. Sebenarnya hal tersebut tidak akan menghadapi kesulitan yang serius, asal saja para ahli perikanan dapat menyepakati tentang TAC secara tepat, kemudian digunakn sebagai dasar penentuan tonage untuk masing-masing ITQ. Dengan monitoring jumlah ikan yang didaratkan secara benar dan riset sungguhsungguh untuk menghasilkan dugaan yang tepat dari stok ikan yang tersedia dengan data time series , pada akhirnya kita akan dapat memelihara dan menjamin stok ikan yang tersedia dan dikelola pada tingkat optimal. Kelembagaan pemanfaaatn sumberdaya perikanan dengan pendekatan ITQ nampaknya cukup cocok untuk suatu program pengelolaan sumberdaya perikanan bahkan dalam keadaan dimana pengertian berbagai konsep managemen perikanan masih simpang siur. Bahkan sekiranya pendugaan stok tahun sebelumnya gagal, maka atas dasar kegagalan pendugaan stok pada tahun sebelumnya, penetapan jumlah ikan yang boleh ditangkap ( TAC ) akan dapat diperbaiki secara terarah. Atas dasar uraian tersebut diatas, maka dalam pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis mekanisme pasar, pemerintah menempatkan dirinya sebagai pengatur masyarakat. Kegiatan yang bersifat bisnis memperoleh otonomi luas. Melalui program ITQ yang pelaksanaannya berbasis pada maknisme pasar diharapkan pengelolaan sumberdaya perikanan menjadi semakin efisien dan berkelanjutan. Dalam program ITQ pemerintah memperoleh pendapatan melaui pajak, sedangkan “swasta” memperoleh 56 keuntungan yang wajar, sedangkan sumberdaya akan termanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan. 1. Permasalahan Desain Program ITQ Perbedaan mendasar antara program ITQ dengan pengelolaan sumberdaya perikanan secara tradisional, bahwa dalam program ITQ diciptakan adanya hak pemilikan atas pengelolaan sumberdaya. Bentuk pemilikan bisa diubah atau dibatasi untuk memmenuhi tujuan keberlanjutan secara biologis, managerial dan kultural. Unsur dasar dari hak pemilikan tersebut adalah memiliki sifat yang layak untuk dimiliki, mengandung durasi mpenggunaan, dapat dipindahkan dan pemilikan bisa terbatas. Kelayakan untuk dipilih dapat diperluas menjadi kepemilikan yang dapat dilindungi hukum. Pemilikan hak dapat permanen atau terbatas. Dengan hak permanen dimaksudkan untuk mengamankan perencanaan dan akan memiliki insentif yang lebih baik untuk membuat investasi menjadi lebih efisien. Adanya pemilikan yang terbatas membantu dalam pengendalian jangka panjang terhadap sumberdaya. Masalah yang sangat mendasar dari penerapan ITQ ini adalah karena ITQ dapat dipindahkan, walauan sebagian ahli masih ada yang menolaknya, mengingat sumberdaya milik publik.. Jika tanpa adanya kemungkinan untuk dipindahkan, sementara diperlukan, yaitu jika pemiliknya meninggal atau berhenti dari usaha penangkapan ikan. Pada alokasi awal ITQ bisa berbeda-beda karena tipe alat tangkap, ukuran besarnya kapal, besarnya perusahaan, tipe dari produk akhir, pangkalan pendaratan ikan dan lainnya. Dengan tidak dibatasinya pemindahan hak diantara individu yang terlibat akan menghasilkan perubahan dalam aspek industri dan budaya dalam pengelolaan perikanan. Mengingat dalam keadaan tertentu boleh terjadi keadaan dimana ITQ bisa dikuasai oleh beberapa partisipan, maka UU Anti Trust atau anti monopoli juga ahrus diberlakukan. Unit pengelolaan juga merupakan bagian penting dalam program pengelolaan sumberdaya. Yang dimaksud unit pengelolaan adalah spesies, stok atau agregasi untuk kepentingan formulasi TAC untuk dasar penetuan hak panen terhadap stok tersebut. Ada dua pertanyaan penting berkaitan dengan unit pengelolaan tersebut, yaitu : 57 (a) Berapa jenis ikan yang tercakup dalam program tersebut, sekalipun beda spesies tapi terkait sebaiknya dijadikan satu program ITQ, dan (b) bagaimana pengelompokan dilakukan terhadap spesies secara geografis atau stok yang berbeda, seklipun dari satu spesies, sehingga dapatdipisahkan dengan program ITQ yang berbeda ?. Bagaimanapun juga kemampuan pengeelola sumberdaya, makin luas jangkauan unit pengelolaan akan semakin sukar dalam mengelolan program ITQ. Masalah lain yang tidak kalah pentingnya adalah monitoring dan penegakan aturan. Dalam pengawasan program ITQ yang terpenting adalah menjaga agar total panen tidak melebihi jumlah quota yang dimiliki. Dan ini memerlukan pengawasan secara langsung pada para pemegang ITQ. Pengawasan untuk setiap individu partisipan adalah sangat penting. Namun sistem monitoring ynag sukses perlu memperoleh dukungan sistem komputerisasi data pengelolaan. Seharusnya pencatatan menggunakan dual-entry report. Satu data diperoleh dari “pemanen” dan yang kedua dicatat dari “penerima hasil panen” yang selanjutnya diadakan cheking silang dari kedua sumber tersebut. Monitoring di tengah laut sejauh mungkin dilakukan sesedikit mungkin. Kegiatan yang bersifat pembukuan dapat diperkuat. Mengingat para pemilik ITQ dapat menggunakan untuk jangka panjang, maka penegakan aturan sangat penting, agar jangan sampai ada partisipan dirugikan. Adanya ijin untuk partisipan maupun pengolah yang akan membeli hasil panen akan memperkuat program ITQ tersebut. Pinalti bagi pelanggar harus ditegakkan. Jantung dari ITQ adalah penilaian TAC. Kesemuanya diarahkan pada konservasi sumberdaya. Pengukuran ITQ dapat dilakukan dengan dasar persentase TAC atau jumlah ton ikan yang dihasilkan per tahun. Mengingat stok ikan di alam sangat sukar diestimasi dengan tepat, maka harus ada kerja sama yang efektif antara otoritas pengelola dan nelayan dalam memanfaatkan data fluktuasi produksi dari waktu ke waktu. Alokasi awal untuyk menetpkan quota sangat penting. Hal tersebut sangat ditentukan oleh partisipan awal dari usaha penangkapan ikan yang dikelola. Ada dua cara untuk memulai langkah awal dari penerapan ITQ, yaitu : dengan cara dijual atau dibagi-bagikan kepada partisipan berdasar historis, ukuran kapal yang digunakan saat ini atau indikator lain dalam kegiatan penangkapan ikan. 58 2. Problema Potensial Beberapa ahli mengatakan bahwa program ITQ tidak akan dapat dilakukan dalam perikanan salmon dan udang karena sangat sukar untuk menetapkan nilai TAC nya. Penetapan TAC memang mengandung problema potensial, tapi dalam hal perikanan udang, menurut Anderson, masalahnya bukan di TAC. Besarnya stok udang sekarang tidak sepenuhnya ditentukan oleh tekanan penangkapan pada tahun sebelumnya, tapi juga karena adanya pemborosan sumberdaya karena respon dinamik dari kapal penmangkapan itu sendiri yang tidak digunakan secara penuh sehingga menimbulkan bentuk pemborosan yang lain. Problema lainnya adalah tingkat recovery. Yang dimaksud tingkat recovery adalah persentase berat hidup dari ikan yang tertangkap yang didaratkan pada berat total biomassa, sehingga cara menghitung apakah quota sudah dilampaui atau belum perlu diperhitungkan atas dasar tingkat recovery nya. Problema potensial lain yang tidak kalah pentingnya adalah highgrading dengan maksud menghasilkan mutu terbaik, maka bisa saja nelayan mensortir dan membuang hasil penen di tengah laut untuk ikan-ikan yang harganya dianggap murah. Masalah ini dampaknya bervariasi bergantung pada sejauh mana pengaruhnya terhadap keuntungan, jika ikan-ikan nilai rendah disortir di tengah laut. Dalam menghadapi problema tersebut diperlukan pengawasan yang ketat dan tepat. Atas dasar pengalaman dapat diperkirakan berapa prosentase yang disortir dan dibuang di tengah laut. Jika jumlah yang diperkirakan dibuang tidak diperhitungkan, maka hal tersebut jelas akan berdampak negatif terhadap perhitungan quota apabila didasarkan pada pencatatan panen di pelabuhan perikanan saja. Problema yang cukup rumit adalah menyangkut perhitungan quota untuk ikanikan multipesies yang merupakan ciri khususu perikanan tropis seperti di Indonesia. Hal tersebut secara kira-kira dapat diatasi dengan perbandingan tertentu antara spesies yang tercakup dalam ketentuan quota. Jika ikan yang tertangkap secara simultan sangat banyak jenisnya akan lebih rumit lagi. Terlepas dari semua potensi problema tersebut, maka upaya sumberdaya perikanan dengan pendekatan program ITQ dalam praktek pengelolaan akan kita peroleh manfaat lebih banyak dibandingkan dengan bentuk pengelolaan tradisional 59 lainnya. Oleh karena itu, menurut Anderson menyatakan bahwa persoalannya bukan mempersoalkan kelemahan yang melekat pada berbagai teknik pengelolaan yang ada, tapi teknik mana saja yang dapat diadopsi dapat dilakukan dan dapat diperkuat serta dapat dipilih sehingga menunjukkan pencapaian yang makin dekat pada tujuan pengelolaan sumberdaya, yaitu cadangan dan kelimpahan stok dapat dikelola secara optimal dan berkelanjutan. 2.5 Catatan Ringkasan (1) Pembahasan tentang ekonomi milik umum/ bersama, dilema kebersamaan dan permasalahan pemanfaatan sumberdaya perikanan adalah penting untuk mengurangi kesalahan yang sering terjadi ketika kita menggunakan analogi lahan penggembalaan milik bersama dengan berbagai pemakai sumberdaya yang sangat berbeda-beda yang tidak memasukkan unsur kelembagaan yang sangat penting dalam kehidupan sosial kita. Kita sering cepat menggunakan acuan PDG (Prisoner’s Dilemma Game) untuk diterapkan pada persoalan dimana terdapat konflik rasionalitas perorangan dengan keadaan optimaum Pareto atau maksimisasi kesejahteraan sosial. Kekeliruan lain yang kerap dilakukan ialah memandang sumberdaya yang mengembara seakan-akan sumberdaya yang menetap. (2) Hak yang berkenaan dengan sumberdaya apakah sumberdaya itu tidak khusus, dipunyai bersama atau milik umum mempengaruhi dan merupakan faktor penting dalam perubahan kelembagaan. Ketika hutan berubah dari sumberdaya yang ada di mana-mana menjadi sumberdaya langka, kelembagaan yang menyediakan hutan umum dibatasi oleh sifat pemilikan umum. Dilema yang timbul ketika hutan menjadi tempat rekresai ditanggulangi melalui mekanisme pasar, sedangkan pergeseran hutan negara menjadi hutan rakyat ditanggulangi melalui pengaturan melalui kelembagaan politik. (3) Dilema itu tidak statis, tetapi berubah sejalan dengan perubahan aspek teknis, hukum dan permintaan akan sumberdaya. Penggambaran Hardin tentang padang penggembalaan bersama hanya salah satu contoh dari bidang persoalan yang ternyata lebih luas lagi. Analisis persoalan ekonomi milik umum/ bersama dengan demikian beragam menurut jenis sumberdaya dan jarang kita jumpai kemiripan dengan padang 60 penggembalaan bersama seperti yang dicontohkan oleh Hardin atau Prisoner’s Dilemma Game (PDG) yang kita kenal. (4) Pilihan kelembagaan pengelolaan adalah : (a) open access, (b) oleh pemerintah, (c) oleh masyarakat, (d) co-management pemerintah dan masyarakat, dan (e) mekanisme pasar melalui ITQ. 2.6 Soal Latihan dan Diskusi