6 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Goal-Setting Theory Goal

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Goal-Setting Theory
Goal-setting theory mengisyaratkan bahwa seorang individu berkomitmen
pada tujuan, yang berarti seorang individu memutuskan untuk tidak merendahkan
atau mengabaikan tujuannya. Berdasarkan hal tersebut berarti seorang individu
bisa dan ingin mencapai tujuannya. Komitmen pencapaian tujuan kemungkinan
besar muncul ketika tujuan-tujuan diumumkan, ketika individu-individu memiliki
pengendalian internal, dan ketika tujuan ditentukan sendiri (Robbins and Judge,
2008:237).
Karyawan dalam mencapai tujuannya dipengaruhi oleh komitmen dan
tindakannya. Komitmen dalam mencapai tujuan yang ditetapkan merupakan
dorongan kuat dalam mewujudkan kinerjanya. Perilaku pegawai dan kinerja
dalam
organisasi
dipengaruhi
oleh
tujuannya
(Locke,
1968).
Tujuan
mempengaruhi kinerja melalui empat mekanisme. Pertama, tujuan melayani
fungsi direktif yaitu mereka mengarahkan perhatian dan upaya ke arah kegiatan
yang relevan. Kedua, tujuan memiliki fungsi energi, yaitu untuk mencapai tujuan
besar diperlukan usaha yang besar. Ketiga, tujuan mempengaruhi ketekunan,
ketika peserta diberikan kontrol waktu mereka akan menggunakan itu untuk
menyelesaikan tugas yang diberikan. Keempat, tujuan mempengaruhi tindakan
tidak langsung berupa semangat, dan pengembangan pengetahuan untuk
penyelesaian tugas (Locke dan Latham, 2002)
6
7
Dalam menggunakan theory of goal setting ini, kinerja pegawai
merupakan tujuan yang ingin dicapai, sedangkan variabel motivasi, budaya
organisasi, dan spiritualitas merupakan faktor penentu. Dengan faktor penentu
yang semakin tinggi, kemungkinan akan semakin tinggi pula kemungkinan
pencapaian tujuan.
2.2 Kinerja Pegawai
2.2.1 Definisi Kinerja
Penelitian ini berawal dari permasalahan perilaku yang memengaruhi
kinerja. Menurut Suartana (2010) akuntansi keperilakuan merupakan cabang ilmu
akuntansi yang mempelajari hubungan antara perilaku manusia dengan sistem
informasi akuntansi. Sistem informasi tersebut meliputi seluruh desain alat
pengendalian
manajemen
yang
meliputi
sistem
pengendalian,
sistem
penganggaran, desain akuntansi pertanggungjawaban, desain organisasi seperti
desentralisasi atau sentralisasi, desain kolektibilitas biaya, penilaian kinerja, serta
laporan keuangan.
Mardiasmo (2009) menyatakan kinerja (performance) adalah gambaran
tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan / kebijakan dalam mewujudkan
sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam rencana strategis
(strategic planning) suatu organisasi. Istilah kinerja yang sering digunakan untuk
menyebutkan prestasi atau tingkat
keberhasilan individu maupun kelompok
individu. Kinerja bisa diketahui hanya jika individu atau kelompok individu
tersebut mempunyai kriteria keberhasilan yang telah ditetapkan. Kriteria
keberhasilan ini merupakan tujuan atau target-target tertentu yang hendak dicapai.
8
Tanpa adanya tujuan atau target, kinerja seseorang atau organisasi tidak mungkin
dapat diketahui karena tidak ada tolok ukur.
Kinerja (performance) merupakan hasil atau tingkat keberhasilan
seseorang secara keseluruhan selama periode tertentu dalam melaksanakan tugas
berdasarkan standar hasil kerja atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu.
Manusia bekerja untuk mengubah keadaan tertentu. Dalam bekerja manusia
memiliki tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat material
maupun yang nonmaterial (Rivai, 2008:13).
2.2.2 Indikator Kinerja
Furtwengler (2002:1) mengungkapkan bahwa ada sejumlah aspek yang
dapat dijadikan indikator kinerja, yaitu:
1) Kecepatan
Hal ini terkait dengan pemahaman mengenai pentingnya kecepatan dalam
menghadapi perubahan kondisi lingkungan, melakukan pekerjaan dengan
baik, menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan jadwal, dan mencari cara
penyelesaian pekerjaan dengan lebih cepat. Kecepatan penting bagi
keunggulan bersaing perusahaan atau organisasi;
2) Kualitas
Kualitas pekerjaan dapat dilihat dari beberapa unsur seperti: bangga terhadap
pekerjaannya, melakukan pekerjaan dengan benar sejak awal, dan mencari
cara-cara untuk memperbaiki kualitas pekerjaannya; Kualitas tidak dapat
dikorbankan demi kecepatan.
9
3) Layanan
Layanan dapat dilihat melalui hal-hal berikut: pemahaman pentingnya
melayani pelanggan, menunjukkan keinginan untuk melayani dengan baik,
merespon pelanggan dengan tepat waktu, dan kemampuan memberikan
sesuatu yang lebih dari yang diharapkan oleh pelanggan;
4) Nilai
Paling tidak ada dua hal yang tercakup dalam aspek nilai, yaitu: tindakan
yang mengindikasikan pemahaman konsep nilai, dan menjadikan nilai
sebagai sesuatu yang dipertimbangkan dalam mengambil keputusan;
5) Keterampilan interpersonal
Hal ini dapat ditinjau dari hal-hal: menunjukkan empati,
memberikan
semangat kepada orang lain, bersedia membantu orang lain, dan merespon
keberhasilan orang lain dengan tulus;
6) Mental untuk sukses
Memiliki sikap can do (keyakinan untuk dapat melakukan apapun), berusaha
untuk menambah pengetahuan, berusaha untuk memperbanyak pengalaman,
dan realistis dalam mengukur kemampuan;
7) Terbuka untuk berubah
Kondisi ini terkait dengan hal-hal seperti: bersedia menerima perubahan,
tindakan yang mengindikasikan rasa ingin tahu, dan memandang perannya
sebagai peran yang berarti;
10
8) Kreativitas
Kreativitas dapat dilihat dari beberapa hal, seperti: kreativitas dalam
pemecahan masalah, kemampuan melihat hubungan antara masalah-masalah
yang kelihatannya tidak berkaitan, kemampuan membuat konsep abstrak
kemudian menjadikannya konsep yang dapat diterapkan, dan kemampuan
menerapkan kreativitasnya dalam pekerjaan sehari-hari;
9) Keterampilan berkomunikasi
Keterampilan berkomunikasi meliputi: kemampuan menampilkan gagasan
logis dalam bahasa yang mudah dipahami, kemampuan menyatakan
ketidaksetujuan
tanpa
menciptakan
konflik,
kemampuan
menulis
mengunakan kata-kata yang jelas dan tepat, serta kemampuan menggunakan
bahasa yang bernada optimis/positif;
10) Inisiatif
Inisiatif pegawai mencakup hal-hal berikut: selalu bersedia membantu orang
lain, ingin selalu terlibat dalam kegiatan yang baru, selalu berusaha
mengembangkan keterampilannya dan membuat gagasan untuk perbaikan
kinerja;
11) Perencanaan dan organisasi
Kemampuan perencanaan dan organisasi misalnya: selalu membuat jadwal
personal, bekerja berdasarkan jadwal tersebut, dan selalu memutuskan lebih
dahulu pendekatan yang akan digunakan pada suatu tugas sebelum
memulainya.
11
Selanjutnya penelitian ini akan mengacu pada 7 indikator dari 11 indikator yang
disampaikan, yaitu indikator kecepatan, pelayanan, nilai, terbuka untuk berubah,
kreativitas, inisiatif dan perencanaan organisasi. Indikator ini dipilih karena sudah
mencukupi untuk keperluan pengukuran kinerja di instansi pemerintah, dibuktikan
secara empiris dalam penelitian Ladia (2009).
2.3 Motivasi
2.3.1 Pengertian Motivasi
Robbins and Judge (2008:222) mendefinisikan motivasi sebagai proses
yang menjelaskan intensitas, arah, dan ketekunan usaha untuk mencapai suatu
tujuan. Motivasi merupakan hasil interaksi antara individu dengan situasi. Setiap
individu memiliki dorongan motivasional yang berbeda-beda.
Motivasi bisa digambarkan sebagai mengendalikan suatu kekuatan
sehingga individu dapat mencapai kondisi terbaik yang bisa dilakukan. Konsep
motivasi tidak bisa dipaksakan dengan ancaman. Ancaman dapat membuat
ketakutan dan kebencian bagi karyawan yang mungkin tidak efektif dalam jangka
panjang. Sebaiknya individu dikondisikan termotivasi karena dengan kondisi
tersebut individu dapat mencapai prestasinya. Pengakuan dan pemberian terima
kasih mungkin cukup dapat membangun perbedaan dalam kinerja karyawan.
Motivasi mengarah pada peningkatan kinerja karyawan ke tingkat yang lebih baik
(Saleem, et al, 2010)
Salah satu aset penting organisasi adalah sumber daya manusia. Motivasi
menjadi faktor yang dominan dalam mempengaruhi sumber daya manusia dalam
upaya pencapaian tujuan organisasi. Motivasi mempunyai peran penting dalam
12
pencapaian tujuan organisasi sektor privat maupun organisasi sektor publik
McClelland membuat konsep tentang kebutuhan manusia akan pencapaian tujuan.
Secara ringkas kebutuhan manusia berupa penghindaran kegagalan dan keinginan
yang kuat untuk sukses (Zameer, et al, 2014).
Motivasi menjadi penting karena motivasi menyebabkan, menyalurkan,
dan mendukung perilaku manusia supaya manusia antusias bekerja untuk
mencapai hasil yang optimal. Motivasi menjadi lebih penting lagi karena
diperlukan oleh pimpinan untuk menggerakkan bawahannya dalam mencapai
tujuan organisasi (Hasibuan, 2013:141).
2.3.2 Teori Motivasi
Hasibuan (2013:152) mengelompokkan teori-teori motivasi menjadi 3,
yaitu:
1) Teori kepuasan (content theory) yang memusatkan pada apanya yang
dimotivasi.
Teori ini mendasarkan pendekatannya pada faktor kebutuhan dan kepuasan
atas individu yang menyebabkan bertindak dengan caranya. Faktor dalam diri
manusia yang menjadi pusat perhatian teori ini antara lain, hal yang
menguatkan, mengarahkan, mendukung, dan menghentikan perilaku. Imbalan
materiil maupun non materiil yang menjadi pendorong semangat kerja.
Semakin memuaskan imbalan yang diterima, semakin tinggi semangat
kerjanya. Penganut-penganut teori kepuasan antara lain: Taylor dengan teori
motivasi klasik, Maslow dengan theory human motivation, Herzberg dengan
13
teori dua faktor, Mc. Gregor dengan teori X dan teori Y, McClelland dengan
teori kebutuhan, dan George dengan teori motivasi.
2) Teori Motivasi Proses (Process Theory) yang memusatkan pada bagaimananya motivasi.
Teori ini pada dasarnya berusaha menjawab pertanyaan bagaimana
menguatkan, mengarahkan, memelihara dan menghentikan perilaku individu
agar setiap individu bekerja sesuai dengan keinginan manajer. Teori ini
merupakan proses sebab akibat bagaimana seseorang bekerja serta hasil apa
yang akan diperolehnya. Apabila hari ini bekerja dengan baik maka hasilnya
nanti juga baik. Hasil baik yang akan dicapai tercermin bagaimana proses
kegiatan dilakukan.
3) Teori Pengukuhan (Reinforcement Theory) yang menitikberatkan pada cara
dimana perilaku dipelajari.
Teori ini didasarkan atas hubungan sebab dan akibat dari perilaku dengan
pemberian kompensasi. Misalnya promosi tergantung dari prestasi yang selalu
dipertahankan. Sifat ketergantungan tersebut berkaitan dengan hubungan
antara perilaku dan kejadian yang mengikuti perilaku itu.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini merupakan teori kepuasan yang
merupakan bagian dari kelompok teori motivasi. McClelland sebagai penganut
teori kepuasan mengembangkan teori kebutuhan yang merupakan bagian dari teori
kepuasan. Penelitian ini selanjutnya mengacu pada teori kebutuhan yang
dikemukakan oleh McClelland, yaitu: kebutuhan akan prestasi (need for
achievement), kebutuhan akan afiliasi (need of affiliation) dan kebutuhan akan
14
kekuasaan (need for power). Orang yang memiliki kebutuhan berprestasi yang
tinggi cenderung termotivasi dengan situasi kerja yang penuh tantangan dan
persaingan, sebaliknya orang yang mempunyai kebutuhan prestasi yang rendah
cenderung berprestasi jelek dalam situasi kerja yang sama. Kebutuhan akan
afiliasi meliputi perasaan diterima oleh orang lain, perasaan dihormati, perasaan
maju, dan perasaan ikut serta dalam lingkungan. Kebutuhan terhadap kekuasaan
dalam pandangan McClelland menyangkut tingkat kendali yang diinginkan
seseorang atas situasi yang dihadapi berupa kegagalan dan keberhasilan.
2.4 Budaya Organisasi
2.4.1 Pengertian Budaya Organisasi
Koentjaraningrat (2009:144) berpendapat bahwa budaya merupakan halhal yang berkaitan dengan akal, keseluruhan gagasan, tindakan dan hasil karya
manusia yang merupakan hasil dari belajar dan menjadi milik masyarakat.
Koentjaraningrat (2009:150) membagi wujud budaya dalam tiga wujud, yaitu:
pertama, wujud ideal yang sifatnya abstrak misalnya ide atau gagasan. Wujud
kedua, sistem sosial yang merupakan tindakan berpola dari manusia yang terdiri
dari aktivitas-aktivitas berinteraksi dan bergaul satu dengan yang lain dari waktu
ke waktu menurut pola tertentu berdasarkan adat dan tata kelakuan. Wujud ketiga,
kebudayaan fisik merupakan seluruh hasil karya, aktivitas dan perbuatan manusia
dalam masyarakat.
Budaya organisasi merupakan sesuatu yang sulit untuk didefinisikan akan
tetapi apabila dilihat akan dapat diketahui. Penelitian mengenai budaya organisasi
menjadi penting karena berusaha mengukur bagaimana pandangan karyawan
15
terhadap organisasinya. Apakah organisasi itu mendorong kerja tim? Apakah
menghargai inovasi? Atau justru melumpuhkan prakarsa? (Robbins and Judge,
2008:248).
Budaya organisasi menuntun pada peningkatan kinerja organisasi, dengan
kata lain budaya organisasi merupakan aspek penting bagi organisasi yang dapat
mempengaruhi nilai dan perilaku karyawan (Ehtesham, et al. 2011). Pemahaman
mengenai budaya organisasi akan membantu karyawan dalam penyelesaian tugas
dengan lebih mudah (Adewale and Anthonia, 2013).
Menurut Schein (2004), budaya organisasi adalah pola asumsi dasar yang
ditemukan atau dikembangkan oleh sekelompok orang dalam penyelesaian
persoalan yang dihadapi, menyesuaikan diri dengan lingkungan eksternal, dan
berintegrasi dengan lingkungan internal. Asumsi dasar tersebut telah terbukti
dapat diterapkan dengan baik untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya dan
dianggap valid. Oleh karena itu, hal tersebut diajarkan kepada anggota baru
sebagai cara yang tepat untuk mempersepsikan, berpikir dan memiliki
pemahaman yang kuat dalam hubungan pemahaman suatu persoalan bersama.
Menurut Robbins and Judge (2008:247) budaya organisasi mengacu ke
sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan
organisasi itu dari organisasi-organisasi lain. Struktur organisasi yang berbeda
akan menghasilkan budaya organisasi yang berbeda juga (satow and wang, 1994).
Budaya telah menjadi konsep penting dalam memahami masyarakat dan
kelompok manusia untuk waktu yang panjang. Budaya dalam arti anthropologi
dan sejarah adalah inti dari kelompok dan masyarakat yang berbeda mengenai
16
cara pandang anggotanya yang saling berinteraksi dengan orang luar serta
bagaimana mereka menyelesaikan apa yang dilakukannya (Rivai, 2008).
Menurut Robbins and Judge (2008:253), budaya organisasi menjalankan
sejumlah fungsi dalam organisasi. Pertama, menetapkan tapal batas, yaitu
menciptakan pembeda yang jelas antara organisasi yang satu dengan organisasi
yang
lain. Kedua, menjadi identitas bagi anggota organisasi. Ketiga,
mempermudah terjadinya komitmen yang lebih luas dibandingkan kepentingan
pribadi. Keempat, budaya akan meningkatkan kemantapan sistem sosial. Secara
ringkasnya budaya organisasi membuat makna dan kendali dalam membentuk
sikap serta perilaku karyawan.
Tika (2014:149) mengungkapkan organisasi yang kinerjanya meningkat,
dicirikan dengan budaya organisasi sebagai berikut:
1) Peranan pemimpin
Pimpinan puncak sangat berperan dalam melakukan perubahan budaya
organisasi. Pemimpin dapat membangun visi baru dan perangkat strategi
untuk mencapai visi tersebut. Untuk mencapai visi tersebut pemimpin harus
dapat menggerakkan anggota organisasinya dalam pencapaian tujuan;
2) Peran manajer
Memastikan setiap anggota organisasi dan setiap kebijakannya selalu
berorientasi pada kepuasan pelanggan/stakeholder
3) Menghargai proses
Penghargaan atas inovasi dan perubahan hasil kerja.
4) Budaya adaptif
17
Perubahan lingkungan diantisipasi dengan fleksibilitas dalam budaya
organisasi.
5) Nilai-nilai
Nilai yang menjadi budaya organisasi dijaga dan dilaksanakan secara bersama
oleh seluruh anggota organisasi.
2.4.2 Karakteristik Budaya Organisasi
Robbins and Judge (2008) menjelaskan bahwa organisasi mempunyai
kepribadian seperti halnya individu. Kepribadian tersebut merupakan budaya
organisasi. Budaya mengimplikasikan adanya dimensi atau karakteristik tertentu
yang berhubungan secara erat interdependen. Dengan demikian dimensi bagi
sebuah organisasi harus mencolok, dapat didefinisikan, dan dapat diukur. Robbins
and Judge (2008:248) menegaskan ada tujuh karakteristik utama yang dapat
menjadi pembeda budaya organisasi, yaitu :
1) Inovasi dan pengambilan risiko, yaitu sejauh mana karyawan diharapkan
didorong untuk bersikap inovatif dan berani mengambil resiko.
2) Perhatian ke rincian, yaitu sejauh mana karyawan diharapkan menjalankan
kecermatan, analisis, dan perhatian pada hal-hal detil.
3) Berorientasi hasil, yaitu sejauh mana manajemen berfokus lebih pada hasil
ketimbang teknik atau proses yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut.
4) Berorientasi orang, yaitu sejauh mana keputusan-keputusan manajemen
mempertimbangkan efek dari hasil tersebut atas orang yang ada di dalam
organisasi.
18
5) Berorientasi tim, yaitu sejauh mana kegiatan-kegiatan kerja diorganisasi pada
tim bukan pada individu-individu.
6) Keagresifan, yaitu sejauh mana orang bersikap agresif dan kompetitif
ketimbang santai.
7) Stabilitas yaitu sejauh mana kegiatan-kegiatan organisasi menekankan
dipertahankannya status quo dalam perbandingannya dengan pertumbuhan.
Gambaran organisasi akan dapat diperoleh dengan melakukan penilaian
berdasarkan pada tujuh karakteristik tersebut. Pemahaman anggota organisasi atas
budaya organisasinya akan memberikan pemahaman juga tentang bagaimana
suatu persoalan diselesaikan.
2.5 Spiritualitas
2.5.1 Pengertian Spiritualitas
Spiritualitas
didefinisikan
sebagai
perjalanan
untuk
menemukan
pemahaman yang berkelanjutan, otentik, bermakna, holistik dan mendalam dari
diri dan hubungannya dengan transenden (sesuatu yang melampaui apa yang
terlihat dan sulit dipahami oleh manusia). Spiritualitas lebih pada perasaan
manusia yang universal bukan pada agama. Spiritualitas meningkatkan
kesejahteraan karyawan dan kualitas hidup, spiritualitas memberikan rasa lebih
bermakna dalam hidup, spiritualitas meningkatkan rasa kebersamaan dalam
komunitas (Karakas, 2010)
Ashmos and Duchon (2000) mengartikan spiritualitas di tempat kerja
sebagai suatu pengenalan bahwa karyawan memiliki ”kehidupan dalam” yang
memelihara dan dipelihara oleh pekerjaan yang bermakna yang mengambil tempat
19
dimana dalam konteks ini adalah komunitas. Hal tersebut ditekankan bahwa
spiritualitas di tempat kerja bukan tentang agama, walaupun orang terkadang
mengekspresikan kepercayaan agama mereka di tempat kerja.
Spiritualitas mengekspresikan keinginan kita untuk menemukan makna
dan tujuan dalam hidup. Spiritualitas merupakan seperangkat nilai yang dipegang
teguh. Spiritualitas di tempat kerja melibatkan upaya untuk menemukan tujuan
utama seseorang
dalam hidup, untuk mengembangkan hubungan yang kuat
dengan rekan kerja dan orang lain yang terkait dengan pekerjaan, dan memiliki
keselarasan antara keyakinan dan nilai-nilai organisasi. Spiritualitas di lapangan
kerja dapat dilihat dari tiga perspektif. Pertama perspektif sumber daya manusia,
dalam perspektif ini spiritualitas meningkatkan kesejahteraan karyawan dan
kualitas hidup. Kedua perspektif filosofis, dari perspektif ini spiritualitas
memberikan perasaan lebih bermakna ditempat kerja. Ketiga, perspektif
interpersonal, dalam perspektif ini spiritualitas memberikan rasa keterkaitan
dengan masyarakat disekitarnya (Malikehbeheshtifar and Zare, 2013)
Dalam organisasi, spiritualitas merujuk pada sejenis budaya organisasi
yang diperoleh dari misi, kepemimpinan, bentuk usaha, dan nilai sosial yang
membuat organisasi berkembang dan membentuk spiritualitas karyawan. Dari
perspektif individu, spiritualitas menuntun karyawan pada pekerjaan yang bernilai
dan menjadi jalan bagi mereka untuk mencapai nilai-nilai diri, kreativitas,
perasaan dan kecerdasan maupun aspek kehidupan lainnya (Javanmard, 2012)
Pengakuan spiritualitas di tempat kerja berarti mengakui bahwa ditempat
kerja berisi orang-orang yang memiliki pikiran, jiwa, dan percaya bahwa
20
perkembangan spiritualitas adalah hal penting. Dengan spiritualitas pegawai
merasa terlibat dalam organisasi dan lebih memiliki makna hidup. Spiritualitas
memahami bahwa manusia terdiri dari aspek lahiriah dan batiniah. Spiritualitas di
tempat kerja juga tentang gagasan perlunya hubungan dengan manusia lainnya.
Spiritualitas memiliki peran dalam meningkatkan produktivitas organisasi
(Ashmosh and Duchon, 2000). Kebijakan organisasi yang memberikan kebebasan
spiritual akan mendorong karyawan mengembangkan potensi mereka sepenuhnya.
Hal ini akan menyebabkan pekerjaan dan kinerja yang lebih baik (Krishnakumar
and Neck, 2002).
Spiritualitas ditempat kerja bukan hanya menyoroti tentang kegunaan
spiritualitas tetapi juga tentang keyakinan dan praktiknya. Keyakinan dan praktik
keagamaan terhubung dalam kehidupan dan cara bekerja dengan cara yang kuat
dan unik, spiritualitas sebaiknya dipahami secara holistik. Dengan memahami
substansi dalam spiritualitas diharapkan akan membuka pintu untuk menjelajahi
pluralisme kerja dan cara kerja (Lynn, et al. 2008).
2.5.2 Dimensi Spiritualitas
Dimensi spiritualitas berkaitan dengan pencarian dan pengungkapan
makna dari tujuan hidup dalam hubungannya dengan Tuhan dan juga dengan
orang lain (Ashmosh and Duchon, 2000). Penulis mengaitkan spiritualitas ini
dengan teori pembelajaran. Spiritualitas di dapat individu melalui pengalaman
yang berupa pengamatan, latihan atau membaca. Masukan spirit dalam bekerja,
akan membantu individu untuk dapat mengatasi situasi kerja yang berubah-ubah.
Kemampuan individu mengendalikan kondisi situasional akan dapat menjadi
21
input yang baik dalam kinerja. Lynn, et al. (2008) dalam penelitiannya membagi
spiritualitas dalam 4 dimensi, yaitu relationship, meaning, community, dan
holiness giving. Dimensi relationship menggambarkan rasa keterhubungan antara
individu dengan Tuhannya. Dimensi meaning menggambarkan kebermaknaan
hidup individu bahwa pekerjaannya adalah misi yang diemban dari Tuhan.
Dimensi community menggambarkan rasa kebersamaan antara individu yang satu
dengan individu yang lain. Dimensi holiness giving menggambarkan ketulusan
dari individu. Penelitian ini selanjutnya menggunakan 4 dimensi ini.
2.6 Penelitian Sebelumnya
Saputri (2014) meneliti pengaruh motivasi kerja dan budaya organisasi
terhadap kinerja karyawan di rumah sakit umum pusat Dr. Soeradji Tirtonegoro
Klaten. Penelitian deskriptif dengan survey terhadap 237 karyawan. Data
dianalisis dengan regresi linier berganda. Hasil penelitian menunjukkan ada
pengaruh signifikan antara motivasi kerja dan budaya organisasi terhadap kinerja
pegawai.
Ladia (2009) meneliti tentang pengaruh motivasi, budaya organisasi
terhadap kinerja pegawai pada Direktorat pendidikan madrasah, dengan
menggunakan metode survey terhadap 77 responden. Analisis data dilakukan
dengan analisis deskriptif dan regresi. Hasil Penelitian terdapat pengaruh
signifikan antara variabel motivasi dan budaya organisasi terhadap kinerja
pegawai.
Sledge, et al. (2011) meneliti pengaruh budaya dan spiritualitas terhadap
kepuasan kerja pada perusahaan jasa. Penelitian kualitatif dilakukan di Kanada,
22
Mexico, dan Belanda. Data dikumpulkan dengan kuesioner dan wawancara. Hasil
penelitian menunjukkan adanya pengaruh budaya organisasi terhadap kepuasan
kerja. Di Kanada dan Mexico spiritualitas berpengaruh terhadap kepuasan kerja
sementara di Belanda spiritualitas tidak mempengaruhi kepuasan kerja.
Javanmard (2012) meneliti pengaruh spiritualitas terhadap kinerja pada
perusahaan industri mesin. Data penelitian diperoleh dengan kuesioner, dari 400
kuesioner yang disampaikan terdapat 259 yang layak untuk dianalisis lebih lanjut.
Analisis data dilakukan dengan structural equation model. Hasil penelitian
menunjukkan terdapat pengaruh spiritualitas terhadap kinerja. Ringkasan hasil
penelitian sebelumnya dapat dilihat pada Lampiran 1.
Download