BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Goal-Setting Theory Goal-setting theory mengisyaratkan bahwa seorang individu berkomitmen pada tujuan, yang berarti seorang individu memutuskan untuk tidak merendahkan atau mengabaikan tujuannya. Berdasarkan hal tersebut berarti seorang individu bisa dan ingin mencapai tujuannya. Komitmen pencapaian tujuan kemungkinan besar muncul ketika tujuan-tujuan diumumkan, ketika individu-individu memiliki pengendalian internal, dan ketika tujuan ditentukan sendiri (Robbins and Judge, 2008:237). Karyawan dalam mencapai tujuannya dipengaruhi oleh komitmen dan tindakannya. Komitmen dalam mencapai tujuan yang ditetapkan merupakan dorongan kuat dalam mewujudkan kinerjanya. Perilaku pegawai dan kinerja dalam organisasi dipengaruhi oleh tujuannya (Locke, 1968). Tujuan mempengaruhi kinerja melalui empat mekanisme. Pertama, tujuan melayani fungsi direktif yaitu mereka mengarahkan perhatian dan upaya ke arah kegiatan yang relevan. Kedua, tujuan memiliki fungsi energi, yaitu untuk mencapai tujuan besar diperlukan usaha yang besar. Ketiga, tujuan mempengaruhi ketekunan, ketika peserta diberikan kontrol waktu mereka akan menggunakan itu untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Keempat, tujuan mempengaruhi tindakan tidak langsung berupa semangat, dan pengembangan pengetahuan untuk penyelesaian tugas (Locke dan Latham, 2002) 6 7 Dalam menggunakan theory of goal setting ini, kinerja pegawai merupakan tujuan yang ingin dicapai, sedangkan variabel motivasi, budaya organisasi, dan spiritualitas merupakan faktor penentu. Dengan faktor penentu yang semakin tinggi, kemungkinan akan semakin tinggi pula kemungkinan pencapaian tujuan. 2.2 Kinerja Pegawai 2.2.1 Definisi Kinerja Penelitian ini berawal dari permasalahan perilaku yang memengaruhi kinerja. Menurut Suartana (2010) akuntansi keperilakuan merupakan cabang ilmu akuntansi yang mempelajari hubungan antara perilaku manusia dengan sistem informasi akuntansi. Sistem informasi tersebut meliputi seluruh desain alat pengendalian manajemen yang meliputi sistem pengendalian, sistem penganggaran, desain akuntansi pertanggungjawaban, desain organisasi seperti desentralisasi atau sentralisasi, desain kolektibilitas biaya, penilaian kinerja, serta laporan keuangan. Mardiasmo (2009) menyatakan kinerja (performance) adalah gambaran tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan / kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam rencana strategis (strategic planning) suatu organisasi. Istilah kinerja yang sering digunakan untuk menyebutkan prestasi atau tingkat keberhasilan individu maupun kelompok individu. Kinerja bisa diketahui hanya jika individu atau kelompok individu tersebut mempunyai kriteria keberhasilan yang telah ditetapkan. Kriteria keberhasilan ini merupakan tujuan atau target-target tertentu yang hendak dicapai. 8 Tanpa adanya tujuan atau target, kinerja seseorang atau organisasi tidak mungkin dapat diketahui karena tidak ada tolok ukur. Kinerja (performance) merupakan hasil atau tingkat keberhasilan seseorang secara keseluruhan selama periode tertentu dalam melaksanakan tugas berdasarkan standar hasil kerja atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu. Manusia bekerja untuk mengubah keadaan tertentu. Dalam bekerja manusia memiliki tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat material maupun yang nonmaterial (Rivai, 2008:13). 2.2.2 Indikator Kinerja Furtwengler (2002:1) mengungkapkan bahwa ada sejumlah aspek yang dapat dijadikan indikator kinerja, yaitu: 1) Kecepatan Hal ini terkait dengan pemahaman mengenai pentingnya kecepatan dalam menghadapi perubahan kondisi lingkungan, melakukan pekerjaan dengan baik, menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan jadwal, dan mencari cara penyelesaian pekerjaan dengan lebih cepat. Kecepatan penting bagi keunggulan bersaing perusahaan atau organisasi; 2) Kualitas Kualitas pekerjaan dapat dilihat dari beberapa unsur seperti: bangga terhadap pekerjaannya, melakukan pekerjaan dengan benar sejak awal, dan mencari cara-cara untuk memperbaiki kualitas pekerjaannya; Kualitas tidak dapat dikorbankan demi kecepatan. 9 3) Layanan Layanan dapat dilihat melalui hal-hal berikut: pemahaman pentingnya melayani pelanggan, menunjukkan keinginan untuk melayani dengan baik, merespon pelanggan dengan tepat waktu, dan kemampuan memberikan sesuatu yang lebih dari yang diharapkan oleh pelanggan; 4) Nilai Paling tidak ada dua hal yang tercakup dalam aspek nilai, yaitu: tindakan yang mengindikasikan pemahaman konsep nilai, dan menjadikan nilai sebagai sesuatu yang dipertimbangkan dalam mengambil keputusan; 5) Keterampilan interpersonal Hal ini dapat ditinjau dari hal-hal: menunjukkan empati, memberikan semangat kepada orang lain, bersedia membantu orang lain, dan merespon keberhasilan orang lain dengan tulus; 6) Mental untuk sukses Memiliki sikap can do (keyakinan untuk dapat melakukan apapun), berusaha untuk menambah pengetahuan, berusaha untuk memperbanyak pengalaman, dan realistis dalam mengukur kemampuan; 7) Terbuka untuk berubah Kondisi ini terkait dengan hal-hal seperti: bersedia menerima perubahan, tindakan yang mengindikasikan rasa ingin tahu, dan memandang perannya sebagai peran yang berarti; 10 8) Kreativitas Kreativitas dapat dilihat dari beberapa hal, seperti: kreativitas dalam pemecahan masalah, kemampuan melihat hubungan antara masalah-masalah yang kelihatannya tidak berkaitan, kemampuan membuat konsep abstrak kemudian menjadikannya konsep yang dapat diterapkan, dan kemampuan menerapkan kreativitasnya dalam pekerjaan sehari-hari; 9) Keterampilan berkomunikasi Keterampilan berkomunikasi meliputi: kemampuan menampilkan gagasan logis dalam bahasa yang mudah dipahami, kemampuan menyatakan ketidaksetujuan tanpa menciptakan konflik, kemampuan menulis mengunakan kata-kata yang jelas dan tepat, serta kemampuan menggunakan bahasa yang bernada optimis/positif; 10) Inisiatif Inisiatif pegawai mencakup hal-hal berikut: selalu bersedia membantu orang lain, ingin selalu terlibat dalam kegiatan yang baru, selalu berusaha mengembangkan keterampilannya dan membuat gagasan untuk perbaikan kinerja; 11) Perencanaan dan organisasi Kemampuan perencanaan dan organisasi misalnya: selalu membuat jadwal personal, bekerja berdasarkan jadwal tersebut, dan selalu memutuskan lebih dahulu pendekatan yang akan digunakan pada suatu tugas sebelum memulainya. 11 Selanjutnya penelitian ini akan mengacu pada 7 indikator dari 11 indikator yang disampaikan, yaitu indikator kecepatan, pelayanan, nilai, terbuka untuk berubah, kreativitas, inisiatif dan perencanaan organisasi. Indikator ini dipilih karena sudah mencukupi untuk keperluan pengukuran kinerja di instansi pemerintah, dibuktikan secara empiris dalam penelitian Ladia (2009). 2.3 Motivasi 2.3.1 Pengertian Motivasi Robbins and Judge (2008:222) mendefinisikan motivasi sebagai proses yang menjelaskan intensitas, arah, dan ketekunan usaha untuk mencapai suatu tujuan. Motivasi merupakan hasil interaksi antara individu dengan situasi. Setiap individu memiliki dorongan motivasional yang berbeda-beda. Motivasi bisa digambarkan sebagai mengendalikan suatu kekuatan sehingga individu dapat mencapai kondisi terbaik yang bisa dilakukan. Konsep motivasi tidak bisa dipaksakan dengan ancaman. Ancaman dapat membuat ketakutan dan kebencian bagi karyawan yang mungkin tidak efektif dalam jangka panjang. Sebaiknya individu dikondisikan termotivasi karena dengan kondisi tersebut individu dapat mencapai prestasinya. Pengakuan dan pemberian terima kasih mungkin cukup dapat membangun perbedaan dalam kinerja karyawan. Motivasi mengarah pada peningkatan kinerja karyawan ke tingkat yang lebih baik (Saleem, et al, 2010) Salah satu aset penting organisasi adalah sumber daya manusia. Motivasi menjadi faktor yang dominan dalam mempengaruhi sumber daya manusia dalam upaya pencapaian tujuan organisasi. Motivasi mempunyai peran penting dalam 12 pencapaian tujuan organisasi sektor privat maupun organisasi sektor publik McClelland membuat konsep tentang kebutuhan manusia akan pencapaian tujuan. Secara ringkas kebutuhan manusia berupa penghindaran kegagalan dan keinginan yang kuat untuk sukses (Zameer, et al, 2014). Motivasi menjadi penting karena motivasi menyebabkan, menyalurkan, dan mendukung perilaku manusia supaya manusia antusias bekerja untuk mencapai hasil yang optimal. Motivasi menjadi lebih penting lagi karena diperlukan oleh pimpinan untuk menggerakkan bawahannya dalam mencapai tujuan organisasi (Hasibuan, 2013:141). 2.3.2 Teori Motivasi Hasibuan (2013:152) mengelompokkan teori-teori motivasi menjadi 3, yaitu: 1) Teori kepuasan (content theory) yang memusatkan pada apanya yang dimotivasi. Teori ini mendasarkan pendekatannya pada faktor kebutuhan dan kepuasan atas individu yang menyebabkan bertindak dengan caranya. Faktor dalam diri manusia yang menjadi pusat perhatian teori ini antara lain, hal yang menguatkan, mengarahkan, mendukung, dan menghentikan perilaku. Imbalan materiil maupun non materiil yang menjadi pendorong semangat kerja. Semakin memuaskan imbalan yang diterima, semakin tinggi semangat kerjanya. Penganut-penganut teori kepuasan antara lain: Taylor dengan teori motivasi klasik, Maslow dengan theory human motivation, Herzberg dengan 13 teori dua faktor, Mc. Gregor dengan teori X dan teori Y, McClelland dengan teori kebutuhan, dan George dengan teori motivasi. 2) Teori Motivasi Proses (Process Theory) yang memusatkan pada bagaimananya motivasi. Teori ini pada dasarnya berusaha menjawab pertanyaan bagaimana menguatkan, mengarahkan, memelihara dan menghentikan perilaku individu agar setiap individu bekerja sesuai dengan keinginan manajer. Teori ini merupakan proses sebab akibat bagaimana seseorang bekerja serta hasil apa yang akan diperolehnya. Apabila hari ini bekerja dengan baik maka hasilnya nanti juga baik. Hasil baik yang akan dicapai tercermin bagaimana proses kegiatan dilakukan. 3) Teori Pengukuhan (Reinforcement Theory) yang menitikberatkan pada cara dimana perilaku dipelajari. Teori ini didasarkan atas hubungan sebab dan akibat dari perilaku dengan pemberian kompensasi. Misalnya promosi tergantung dari prestasi yang selalu dipertahankan. Sifat ketergantungan tersebut berkaitan dengan hubungan antara perilaku dan kejadian yang mengikuti perilaku itu. Teori yang digunakan dalam penelitian ini merupakan teori kepuasan yang merupakan bagian dari kelompok teori motivasi. McClelland sebagai penganut teori kepuasan mengembangkan teori kebutuhan yang merupakan bagian dari teori kepuasan. Penelitian ini selanjutnya mengacu pada teori kebutuhan yang dikemukakan oleh McClelland, yaitu: kebutuhan akan prestasi (need for achievement), kebutuhan akan afiliasi (need of affiliation) dan kebutuhan akan 14 kekuasaan (need for power). Orang yang memiliki kebutuhan berprestasi yang tinggi cenderung termotivasi dengan situasi kerja yang penuh tantangan dan persaingan, sebaliknya orang yang mempunyai kebutuhan prestasi yang rendah cenderung berprestasi jelek dalam situasi kerja yang sama. Kebutuhan akan afiliasi meliputi perasaan diterima oleh orang lain, perasaan dihormati, perasaan maju, dan perasaan ikut serta dalam lingkungan. Kebutuhan terhadap kekuasaan dalam pandangan McClelland menyangkut tingkat kendali yang diinginkan seseorang atas situasi yang dihadapi berupa kegagalan dan keberhasilan. 2.4 Budaya Organisasi 2.4.1 Pengertian Budaya Organisasi Koentjaraningrat (2009:144) berpendapat bahwa budaya merupakan halhal yang berkaitan dengan akal, keseluruhan gagasan, tindakan dan hasil karya manusia yang merupakan hasil dari belajar dan menjadi milik masyarakat. Koentjaraningrat (2009:150) membagi wujud budaya dalam tiga wujud, yaitu: pertama, wujud ideal yang sifatnya abstrak misalnya ide atau gagasan. Wujud kedua, sistem sosial yang merupakan tindakan berpola dari manusia yang terdiri dari aktivitas-aktivitas berinteraksi dan bergaul satu dengan yang lain dari waktu ke waktu menurut pola tertentu berdasarkan adat dan tata kelakuan. Wujud ketiga, kebudayaan fisik merupakan seluruh hasil karya, aktivitas dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Budaya organisasi merupakan sesuatu yang sulit untuk didefinisikan akan tetapi apabila dilihat akan dapat diketahui. Penelitian mengenai budaya organisasi menjadi penting karena berusaha mengukur bagaimana pandangan karyawan 15 terhadap organisasinya. Apakah organisasi itu mendorong kerja tim? Apakah menghargai inovasi? Atau justru melumpuhkan prakarsa? (Robbins and Judge, 2008:248). Budaya organisasi menuntun pada peningkatan kinerja organisasi, dengan kata lain budaya organisasi merupakan aspek penting bagi organisasi yang dapat mempengaruhi nilai dan perilaku karyawan (Ehtesham, et al. 2011). Pemahaman mengenai budaya organisasi akan membantu karyawan dalam penyelesaian tugas dengan lebih mudah (Adewale and Anthonia, 2013). Menurut Schein (2004), budaya organisasi adalah pola asumsi dasar yang ditemukan atau dikembangkan oleh sekelompok orang dalam penyelesaian persoalan yang dihadapi, menyesuaikan diri dengan lingkungan eksternal, dan berintegrasi dengan lingkungan internal. Asumsi dasar tersebut telah terbukti dapat diterapkan dengan baik untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya dan dianggap valid. Oleh karena itu, hal tersebut diajarkan kepada anggota baru sebagai cara yang tepat untuk mempersepsikan, berpikir dan memiliki pemahaman yang kuat dalam hubungan pemahaman suatu persoalan bersama. Menurut Robbins and Judge (2008:247) budaya organisasi mengacu ke sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu dari organisasi-organisasi lain. Struktur organisasi yang berbeda akan menghasilkan budaya organisasi yang berbeda juga (satow and wang, 1994). Budaya telah menjadi konsep penting dalam memahami masyarakat dan kelompok manusia untuk waktu yang panjang. Budaya dalam arti anthropologi dan sejarah adalah inti dari kelompok dan masyarakat yang berbeda mengenai 16 cara pandang anggotanya yang saling berinteraksi dengan orang luar serta bagaimana mereka menyelesaikan apa yang dilakukannya (Rivai, 2008). Menurut Robbins and Judge (2008:253), budaya organisasi menjalankan sejumlah fungsi dalam organisasi. Pertama, menetapkan tapal batas, yaitu menciptakan pembeda yang jelas antara organisasi yang satu dengan organisasi yang lain. Kedua, menjadi identitas bagi anggota organisasi. Ketiga, mempermudah terjadinya komitmen yang lebih luas dibandingkan kepentingan pribadi. Keempat, budaya akan meningkatkan kemantapan sistem sosial. Secara ringkasnya budaya organisasi membuat makna dan kendali dalam membentuk sikap serta perilaku karyawan. Tika (2014:149) mengungkapkan organisasi yang kinerjanya meningkat, dicirikan dengan budaya organisasi sebagai berikut: 1) Peranan pemimpin Pimpinan puncak sangat berperan dalam melakukan perubahan budaya organisasi. Pemimpin dapat membangun visi baru dan perangkat strategi untuk mencapai visi tersebut. Untuk mencapai visi tersebut pemimpin harus dapat menggerakkan anggota organisasinya dalam pencapaian tujuan; 2) Peran manajer Memastikan setiap anggota organisasi dan setiap kebijakannya selalu berorientasi pada kepuasan pelanggan/stakeholder 3) Menghargai proses Penghargaan atas inovasi dan perubahan hasil kerja. 4) Budaya adaptif 17 Perubahan lingkungan diantisipasi dengan fleksibilitas dalam budaya organisasi. 5) Nilai-nilai Nilai yang menjadi budaya organisasi dijaga dan dilaksanakan secara bersama oleh seluruh anggota organisasi. 2.4.2 Karakteristik Budaya Organisasi Robbins and Judge (2008) menjelaskan bahwa organisasi mempunyai kepribadian seperti halnya individu. Kepribadian tersebut merupakan budaya organisasi. Budaya mengimplikasikan adanya dimensi atau karakteristik tertentu yang berhubungan secara erat interdependen. Dengan demikian dimensi bagi sebuah organisasi harus mencolok, dapat didefinisikan, dan dapat diukur. Robbins and Judge (2008:248) menegaskan ada tujuh karakteristik utama yang dapat menjadi pembeda budaya organisasi, yaitu : 1) Inovasi dan pengambilan risiko, yaitu sejauh mana karyawan diharapkan didorong untuk bersikap inovatif dan berani mengambil resiko. 2) Perhatian ke rincian, yaitu sejauh mana karyawan diharapkan menjalankan kecermatan, analisis, dan perhatian pada hal-hal detil. 3) Berorientasi hasil, yaitu sejauh mana manajemen berfokus lebih pada hasil ketimbang teknik atau proses yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut. 4) Berorientasi orang, yaitu sejauh mana keputusan-keputusan manajemen mempertimbangkan efek dari hasil tersebut atas orang yang ada di dalam organisasi. 18 5) Berorientasi tim, yaitu sejauh mana kegiatan-kegiatan kerja diorganisasi pada tim bukan pada individu-individu. 6) Keagresifan, yaitu sejauh mana orang bersikap agresif dan kompetitif ketimbang santai. 7) Stabilitas yaitu sejauh mana kegiatan-kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo dalam perbandingannya dengan pertumbuhan. Gambaran organisasi akan dapat diperoleh dengan melakukan penilaian berdasarkan pada tujuh karakteristik tersebut. Pemahaman anggota organisasi atas budaya organisasinya akan memberikan pemahaman juga tentang bagaimana suatu persoalan diselesaikan. 2.5 Spiritualitas 2.5.1 Pengertian Spiritualitas Spiritualitas didefinisikan sebagai perjalanan untuk menemukan pemahaman yang berkelanjutan, otentik, bermakna, holistik dan mendalam dari diri dan hubungannya dengan transenden (sesuatu yang melampaui apa yang terlihat dan sulit dipahami oleh manusia). Spiritualitas lebih pada perasaan manusia yang universal bukan pada agama. Spiritualitas meningkatkan kesejahteraan karyawan dan kualitas hidup, spiritualitas memberikan rasa lebih bermakna dalam hidup, spiritualitas meningkatkan rasa kebersamaan dalam komunitas (Karakas, 2010) Ashmos and Duchon (2000) mengartikan spiritualitas di tempat kerja sebagai suatu pengenalan bahwa karyawan memiliki ”kehidupan dalam” yang memelihara dan dipelihara oleh pekerjaan yang bermakna yang mengambil tempat 19 dimana dalam konteks ini adalah komunitas. Hal tersebut ditekankan bahwa spiritualitas di tempat kerja bukan tentang agama, walaupun orang terkadang mengekspresikan kepercayaan agama mereka di tempat kerja. Spiritualitas mengekspresikan keinginan kita untuk menemukan makna dan tujuan dalam hidup. Spiritualitas merupakan seperangkat nilai yang dipegang teguh. Spiritualitas di tempat kerja melibatkan upaya untuk menemukan tujuan utama seseorang dalam hidup, untuk mengembangkan hubungan yang kuat dengan rekan kerja dan orang lain yang terkait dengan pekerjaan, dan memiliki keselarasan antara keyakinan dan nilai-nilai organisasi. Spiritualitas di lapangan kerja dapat dilihat dari tiga perspektif. Pertama perspektif sumber daya manusia, dalam perspektif ini spiritualitas meningkatkan kesejahteraan karyawan dan kualitas hidup. Kedua perspektif filosofis, dari perspektif ini spiritualitas memberikan perasaan lebih bermakna ditempat kerja. Ketiga, perspektif interpersonal, dalam perspektif ini spiritualitas memberikan rasa keterkaitan dengan masyarakat disekitarnya (Malikehbeheshtifar and Zare, 2013) Dalam organisasi, spiritualitas merujuk pada sejenis budaya organisasi yang diperoleh dari misi, kepemimpinan, bentuk usaha, dan nilai sosial yang membuat organisasi berkembang dan membentuk spiritualitas karyawan. Dari perspektif individu, spiritualitas menuntun karyawan pada pekerjaan yang bernilai dan menjadi jalan bagi mereka untuk mencapai nilai-nilai diri, kreativitas, perasaan dan kecerdasan maupun aspek kehidupan lainnya (Javanmard, 2012) Pengakuan spiritualitas di tempat kerja berarti mengakui bahwa ditempat kerja berisi orang-orang yang memiliki pikiran, jiwa, dan percaya bahwa 20 perkembangan spiritualitas adalah hal penting. Dengan spiritualitas pegawai merasa terlibat dalam organisasi dan lebih memiliki makna hidup. Spiritualitas memahami bahwa manusia terdiri dari aspek lahiriah dan batiniah. Spiritualitas di tempat kerja juga tentang gagasan perlunya hubungan dengan manusia lainnya. Spiritualitas memiliki peran dalam meningkatkan produktivitas organisasi (Ashmosh and Duchon, 2000). Kebijakan organisasi yang memberikan kebebasan spiritual akan mendorong karyawan mengembangkan potensi mereka sepenuhnya. Hal ini akan menyebabkan pekerjaan dan kinerja yang lebih baik (Krishnakumar and Neck, 2002). Spiritualitas ditempat kerja bukan hanya menyoroti tentang kegunaan spiritualitas tetapi juga tentang keyakinan dan praktiknya. Keyakinan dan praktik keagamaan terhubung dalam kehidupan dan cara bekerja dengan cara yang kuat dan unik, spiritualitas sebaiknya dipahami secara holistik. Dengan memahami substansi dalam spiritualitas diharapkan akan membuka pintu untuk menjelajahi pluralisme kerja dan cara kerja (Lynn, et al. 2008). 2.5.2 Dimensi Spiritualitas Dimensi spiritualitas berkaitan dengan pencarian dan pengungkapan makna dari tujuan hidup dalam hubungannya dengan Tuhan dan juga dengan orang lain (Ashmosh and Duchon, 2000). Penulis mengaitkan spiritualitas ini dengan teori pembelajaran. Spiritualitas di dapat individu melalui pengalaman yang berupa pengamatan, latihan atau membaca. Masukan spirit dalam bekerja, akan membantu individu untuk dapat mengatasi situasi kerja yang berubah-ubah. Kemampuan individu mengendalikan kondisi situasional akan dapat menjadi 21 input yang baik dalam kinerja. Lynn, et al. (2008) dalam penelitiannya membagi spiritualitas dalam 4 dimensi, yaitu relationship, meaning, community, dan holiness giving. Dimensi relationship menggambarkan rasa keterhubungan antara individu dengan Tuhannya. Dimensi meaning menggambarkan kebermaknaan hidup individu bahwa pekerjaannya adalah misi yang diemban dari Tuhan. Dimensi community menggambarkan rasa kebersamaan antara individu yang satu dengan individu yang lain. Dimensi holiness giving menggambarkan ketulusan dari individu. Penelitian ini selanjutnya menggunakan 4 dimensi ini. 2.6 Penelitian Sebelumnya Saputri (2014) meneliti pengaruh motivasi kerja dan budaya organisasi terhadap kinerja karyawan di rumah sakit umum pusat Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten. Penelitian deskriptif dengan survey terhadap 237 karyawan. Data dianalisis dengan regresi linier berganda. Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh signifikan antara motivasi kerja dan budaya organisasi terhadap kinerja pegawai. Ladia (2009) meneliti tentang pengaruh motivasi, budaya organisasi terhadap kinerja pegawai pada Direktorat pendidikan madrasah, dengan menggunakan metode survey terhadap 77 responden. Analisis data dilakukan dengan analisis deskriptif dan regresi. Hasil Penelitian terdapat pengaruh signifikan antara variabel motivasi dan budaya organisasi terhadap kinerja pegawai. Sledge, et al. (2011) meneliti pengaruh budaya dan spiritualitas terhadap kepuasan kerja pada perusahaan jasa. Penelitian kualitatif dilakukan di Kanada, 22 Mexico, dan Belanda. Data dikumpulkan dengan kuesioner dan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh budaya organisasi terhadap kepuasan kerja. Di Kanada dan Mexico spiritualitas berpengaruh terhadap kepuasan kerja sementara di Belanda spiritualitas tidak mempengaruhi kepuasan kerja. Javanmard (2012) meneliti pengaruh spiritualitas terhadap kinerja pada perusahaan industri mesin. Data penelitian diperoleh dengan kuesioner, dari 400 kuesioner yang disampaikan terdapat 259 yang layak untuk dianalisis lebih lanjut. Analisis data dilakukan dengan structural equation model. Hasil penelitian menunjukkan terdapat pengaruh spiritualitas terhadap kinerja. Ringkasan hasil penelitian sebelumnya dapat dilihat pada Lampiran 1.