Suryadi Siregar Lintasan Satelit - FMIPA Personal Blogs

advertisement
Suryadi Siregar
Lintasan Satelit
Bab 2
Satelit Sebagai Benda Langit
Orbit merupakan elemen dasar dalam setiap misi ruang angkasa. Untuk mengerti
bagaimana gerak dan lintasan sebuah satellit, diperlukan beberapa pengetahuan dasar tentang
kalkulus dan geometri. Roket yang terbang ke angkasa luar, satelit yang bergerak bebas dapat
dijelaskan dari persamaan gerak yang telah dikembangkan oleh Copernicus, Kepler dan Newton
yang semuanya terangkum dalam pengetahuan
mekanika benda langit. Sekali posisi dan
kecepatan sebuah objek diketahui, yang merupakan fungsi dari medan gravitasi, orang dapat
memperediksi dengan tepat dimana posisi objek dalam beberapa menit mendatang maupun
tahun. Ada beberapa jenis orbit yang dapat dirancang untuk meletakkan satelit pada posisinya.
Orbit dari satelit ini diragakan dalam Gambar 2-1
Gambar 2- 1 Bermacam tipe orbit seperti orbit parking, transfer orbit dan final orbit. Sebuah
satelit umumnya memulai kala hidup pada lintasan parking, dari lintasan ini kemudian upper
stage roket digunakan sebagai booster untuk menempatkan satelit di orbitnya. Beberapa
dorongan diperlukan sampai satelit menempati posisi yang diharapkan
2.1 Persamaan gerak
Persamaan gerak satelit dapat dipelajari dengan meninjau masalah dua benda yang
memenuhi persamaan;


r 

r2

r
(2-1)
Dimana
KK-Astronomi ITB
Page 2-1
Suryadi Siregar
Lintasan Satelit


r
r
Merupakan vektor satuan sepanjang garis M-m, sedangkan
 = G(M+m) jika m << M maka pusat koordinat dapat dianggap titik
M itu sendiri sehingga persamaan gerak dapat ditulis dalam bentuk yang identik;
r
(2-2)
Gambar 2- 2 Koordinat kartesis untuk sistem dua benda, m bergerak relatif terhadap M. Dalam
penurunan persaman gerak m dan M dinyatakan sebagai massa titik
Dari persamaan diatas dapat diturunkan beberapa besaran antara lain kecepatan dan percepatan
dari titk massa m relatif terhadap M



 
 
v  r  r r r 
Dan vektor percepatannya adalah;




2

(2-3)
 

a  r  ( r  r  )rˆ  (r   2 r  ) 
(2-4)
Dengan menggunakan kaedah Hukum Newton, turunkan persamaan (2-1) dua kali terhadap
waktu t, membandingkan dengan persamaan (2-4) diperoleh persamaan gerak satelit,
a) untuk gerak tanpa pengaruh gaya gangguan
KK-Astronomi ITB
Page 2-2
Suryadi Siregar

2
r  r 

Lintasan Satelit

r2
(2-5)
 
r  2 r  0
b) untuk gerak dengan pengaruh gaya gangguan;
2

r r 

(2-6)

 f (r , t )
r2
(2-7)
 
r   2 r   g (r , t )
(2-8)
dalam hal ini f (r , t ) dan g (r , t ) masing masing merupakan fungsi gangguan pada arah radial r
dan tangensial. Gaya gangguan dapat dibedakan dalam dua katagori, yaitu yang bersifat
gravitasional dan non-gravitasional. Gaya ganggu gravitasional datang dari bentuk bumi yang
tidak simetri dan rapat massa yang yang berbeda disatu tempat dengan tempat yang lain. Untuk
satelit yang orbitnya jauh dari Bumi, gaya ganggu dari Bulan juga turut berperan, demikian pula
halnya dengan manuver wahana maupun meteor/asteroid yang mendekati Bumi. Sedangkan
gaya ganggu non-gravitasional bisa datang dari pengereman atmosfer maupun tekanan radiasi
Matahari, yang berbeda pada saat satelit melintasi bayang-bayang Bumi dibandingkan ketiga ia
menerima sinar langsung dari Matahari. Apabila gerak satelit dipengaruhi oleh gaya hambatan
atmosfer (atmospheric drag) maka gaya gangguan dapat dinyatakan dengan memperhatikan
ilustrasi berikut;
Element massa udara yang dipindahkan ketika
satelit bergerak dengan kecepatan V adalah;
m  AV t
Perubahan momentum yang terjadi
p
 V  p  mV   AV 2 t
m
Diketahui pula bahwa gaya dapat dinyatakan;
F
p
 AV 2
  AV 2  ma   AV 2  a 
t
m
Gambar 2- 3 Menurunkan pernyataan gaya hambat udara
KK-Astronomi ITB
Page 2-3
Suryadi Siregar
Lintasan Satelit
Disini a, menyatakan percepatan atau gaya hambat persatuan massa. Dalam bentuk yang umum
dan agar pernyataan ini lebih adaptasi untuk keperluan selanjutnya. Persamaan diatas dapat
ditulis dalam format yang umum;

FD  


1
1
CD A v 2 ev  
CD A v v
2m
2m
(2-9)
A = adalah luas penampang satelit
 = rapat massa udara
v = kecepatan satelit
m = massa satelit


v
merupakan vektor satuan dalam arah kecepatan v
v
CD koefisien gesek angkasa, dalam hal ini CD  1, untuk bola bulat sempurna dan berdimensi
jauh lebih besar dari jalan bebas rata-rata molekul. Tetapi CD = 2, bila berdimensi jauh lebih
kecil dari jalan bebas rata-rata molekul,nilai ini bergantung juga dari kelenturan material yang
diuji. Pada ketinggian 0 < H < 250 kilometer gaya ganggu atmosfer cukup berperan. Koefisien
CD ditentukan dari percobaan dengan mengukur rasio setiap satuan massa m,untuk profil yang
ditinjau.
ev =
CD 
2 FD
A v ev
2

2 FD
A v 2
Berikut disampaikan beberapa keofisien hambat untuk bermacam penampang.
Tabel 2- 1 Daftar koefisien hambat untuk berbagai penampang benda.Disarikan dari beberapa
percobaan.
Drag
Force
Streamline
half body
Stream
line body
LongCylinder
Sphere
Cube
Angle
cube
Cone
Short
cylind
er
Half
Sphere
0,09
0,04
0,82
0,47
1,05
0,80
0,50
1,15
0,42
Keseimban gan orbit dan laju satelit sangat ditentukan oleh koefisien hambat udara tersebut.
Gaya hambat angkasa FD, menurut Pritchard et al (1993) dapat juga ditulis dalam komponen
radial dan tangensial dalam bentuk,
KK-Astronomi ITB
Page 2-4
Suryadi Siregar
Lintasan Satelit

f (r , t )   B  v r
(2-10)

(2-11)
g (r , t )   B  vr 
B dalam pernyataan (2-10) diatas disebut koefisien balistik dan didefinisikan sebagai,
C A
(2-12)
B D
2m
Gaya hambat atmosfer tidak boleh diabaikan untuk satelit yang bergerak pada orbit rendah
disekitar Bumi ( kurang dari 250 km). Gaya ini mempunyai arah yang berlawanan dengan arah
vektor kecepatan dan secara bertahap menghilangkan energi satelit. Berkurangnya energi satelit
menyebabkan radius orbit menjadi mengecil secara gradual satelit akan jatuh ke Bumi.
Gambar 2- 4 Ilustrasi gerak projektil didekat permukaan Bumi.


Gaya gravitasi Fg  mg k mengarah ke pusat Bumi dan gaya gesek angkasa



d2 r
1
Fd  
CD A v v berlawanan arah dengan gerak satelit, sedangkan gaya Newton F  m 2
dt
2m




dalam hal ini, berlaku F  F g  Fd ,





 
 
 
Karena vektor posisi r  x i  y j  z k dan vektor kecepatan v  x i  y j  z k dan

 
 
 
percepatannya a  x i  y j  z k
Oleh sebab itu ada tiga komponen gaya yang bekerja disepanjang sumbu koordinat yang kita
pilih gaya-gaya tesebut adalah;
KK-Astronomi ITB
Page 2-5
Suryadi Siregar
Lintasan Satelit


2
2
2
1
m x   CD A x x  y  z
2

2
2
2
1
m y   CD A y x  y  z
2



2
2
2
1
m z   CD A z x  y  z  mg
2
Kita lihat hanya komponen gaya dalam arah sumbu -z yang mempunyai gaya berat, sebesar mg.
Gambar 2- 5 Pesawat ulang-alik Atlantis. Fungsi wahana (space shuttle) melakukan transportasi
angkasa luar termasuk menempatkan satelit pada orbitnya menjaga ia tetap ada disana memutar
dan memindahkannya bila diperlukan. Wahana mempunyai kemampuan untuk menambah
ataupun mengurangi kecepatan di angkasa bila diperlukan dan tetap berada pada orbitnya. Space
booster terdiri dari beberapa tingkat, fungsinya untuk menambah kecepatan dan kemudian
melontarkan satelit pada lintasan yang telah ditentukan.
2.2 Desain Orbit
Berikut diuraikan kajian teorits cara meletakkan satelit pada bidang orbit. Asumsi gerak
mengikuti mekanika Newton factor teknologi, gangguan gravitasional dan non-gravitasional
diabaikan, semua kaedah Hukum Kepler dapat digunakan untuk bahan telaah;
KK-Astronomi ITB
Page 2-6
Suryadi Siregar
Lintasan Satelit
Gambar 2- 6 Kajian gerak dua benda untuk mendeskripsikan penempatan orbit satelit dan jenis
n kecepatan
lontar (injection speed) V. Jari-jari Bumi R dan ketinggian satelit dari permukaan Bumi adalah
H. Jarak satelit dari pusat gaya sentral (pusat Bumi) r=R+H
Dari persamaan gerak system dua-benda (two body problem) kita ketahui sebuah partikel
yang bergerak dibawah gaya gravitasi akan memenuhi hukum berikut. Kecepatan Satelit pada
orbit elips memenuhi persamaan;
2 1
(2-13)
V2    
r a
r=R+H
(2-14)
dari kaedah hukum Kepler ke-3 kekekalan momentum sudut memenuhi pernyataan;
1   1  
1
r xV  r V Sin 
 a(1  e2 )
2
2
2
Ubah bentuknya dengan menghilangkan tanda akar diruas kiri diperoleh;
1  e2 
r 2V 2 Sin2  2

V 2 
2


 r

(2-15)
(2-16)
Disamping itu diketahui bahwa kecepatan lepas (kecepatan parabola pada jarak dari pusat Bumi
adalah
Vp 2  2

R
Definisikan rasio kuadrat kecepatan satelit dengan kecepatan lepas;
KK-Astronomi ITB
(2-17)
Page 2-7
Suryadi Siregar
V
y
V
 p



Lintasan Satelit
2
H
(2-18)
    , perbandingan tinggi satelit dengan jejari Bumi, x   Sin  , dan z = 1 –e2
R
2
jadi persamaan diatas dapat ditulis sebagai
z  4 xy 1    1  (1   ) y 
(2-20)
atau dapat disederhanakan menjadi
z  4 x 1   dalam hal ini   1    y
2.3
(2-21)
Peluncuran dengan Sudut injeksi 90 derajad
1. Sin2θ = 1 jadi sudut pelontaran θ = π/2 dan - π/2 disebut horizontal injection
2. z menjadi maksimum bila dipenuhi hubungan dz/dη = 0
atau
d
1
 4 x (1    0   
d
2
(2-22)
nilai ini dipenuhi untuk;
z(1/2) = 1 atau e = 0, orbit lingkaran dapat terbentuk
2.4
Peluncuran dengan sudut injeksi bukan 90 derajad
Sin2θ < 1 nilai θ yang memenuhi adalah θ < π/2 atau - π/2
Nilai ini dipenuhi oleh z<1 atau e ≠0 orbit lingkaran tidak pernah terbentuk
2.5 Syarat lain
rmin = a(1-e) > R untuk x =1 harus dipenuhi juga
2a > H + 2R
KK-Astronomi ITB
(2-23)
Page 2-8
Suryadi Siregar
Lintasan Satelit
dari persamaan
2 1
V2    
r a
diperoleh a 



2 V 2 
r

(2-24)
Substitusi y dan ε diperoleh;
a 1  1  
 

R 2  1  
dengan demikian agar satelit tidak jatuh ke Bumi haruslah
a H
1

1  1 
R 2R
2
atau
1  1  
1

  1 
2  1  
2

1   2 3
 1  
1   
 atau    1     ....
2 2 4 8
 2 

(2-25)
(2-26)
(2-27)
(2-28)
Asumsikan suku-suku faktor kuadratis dan seterusnya dapat kita abaikan terhadap bentuk
linier. Agar pernyataan (2-28) dijamin terpenuhi maka persyaratan tersebut dapat juga
dinyatakan sebagai;
1 
(2-29)
  1  
2  2
Untuk nilai  
1 
diperoleh;
1
2  2 
1 
1
1   1   

2  2
Selain itu karena ;
y
(2-30)
2
V 
1  
1
y     V 2  Vp2 1   1   
2  2
 Vp 
kecepatan ini merupakan kecepatan kritis, jika kecepatan ini dinyatakan sebagai Vf.
1  
1
V f 2  Vp2 1   1   
2  2
Dapat diambil kesimpulan;
KK-Astronomi ITB
(2-31)
Page 2-9
Suryadi Siregar
Lintasan Satelit
1) Dalam hal V 2  V f2 maka satelit jatuh ke Bumi, bergerak dalam pola orbit ICM (Inter
Continental Missile). Tahanan udara dan gangguan gravitasional maupun nongravitasional akan mempengaruhi bentuk lintasan.
2) Jika V 2  V f2 satelit tidak akan jatuh dan mengorbit mengelilingi Bumi dalam bentuk
lintasan tertentu. Gambar 2-5 berikut meragakan berbagai kasus untuk beberapa sudut
lontar sebagai fungsi rasio kecepatan lontar kuadrat dan kecepatan parabola kuadrat,
2
V 
y 
V 
 p
Jadi jelas bahwa sudut lontar  dan kecepatan lontar V harus diperhatikan dengan seksama agar
satelit dapat mengorbit dalam bentuk lintasan yang dikehendaki. Kesalahan yang terjadi pada
saat menentukan sudut  dan kecepatan lontar V akan menyebabkan tidak terbentuknya orbit
yang diharapkan
Gambar 2- 7 Lintasan lingkaran,elips, parabola dan hiperbola. Lintasan lingkaran tidak pernah
terjadi bila x < 1(perhatikan legend), satelit akan jatuh bebas bila z = 0. Lintasan parabola terjadi
bila nilai eta, η = 1. Sedangkan untuk hiperbola terjadi bila η > 1
Grafik diatas menunjukkan satelit masih bisa mengorbit apabila 0 < η < 1, satelit tidak akan
jatuh ataupun lepas dari gravitasi Bumi. Untuk lingkaran hanya bisa terjadi bila x = 1 atau sudut
lontar  =  900 dan harus pada nilai η = 0.5. Gambar diatas juga menunjukkan bahwa untuk,
KK-Astronomi ITB
Page 2-10
Suryadi Siregar
Lintasan Satelit
η < 0,5 grafik menunjukkan monoton naik sedangkan pada 0,5 < η grafik memperlihatkan pola
monoton turun. Pada nilai η =1 berapapun besarnya sudut lontar, maka orbit satelit akan selalu
berbentuk parabola.
.
Gambar 2- 8 Keluarga lintasan dengan sudut pelontaran θ=π/2 sebagai fungsi V0. Segala
macam bentuk orbit bisa terjadi; lingkaran, elips, parabola, jatuh bebas dan hiperbola
Pengaruh kecepatan lontar menunjukkan apabila ia terlalu besar maka satelit akan lepas
dari gaya gravitasi Bumi, bila kecepatannya terlalu kecil maka ia akan jatuh ke Bumi. Untuk
menempatkan satelit agar tetap mengorbit Bumi diperlukan kecepatan lontar V yang memenuhi
syarat Vf < V < Vp dalam hal ini seperti biasanya Vp adalah kecepatan parabola/kecepatan lepas
dan Vf kecepatan jatuh satelit. Syarat ini didaftarkan dalam Tabel 2. Berikut
Tabel 2- 2 Batas bawah dan batas atas bagi kecepatan lontar V0 untuk berbagai ketinggian dari
permukaan Bumi
No H0 [km] Vf [km/det] Vp [km/det]
KK-Astronomi ITB
1
0
7,91
11,19
2
500
7,47
10,77
3
1000
7,06
10,40
4
1500
6,68
10,06
5
2000
6,34
9,76
Page 2-11
Suryadi Siregar
Lintasan Satelit
Gambar 2- 9 Keluarga lintasan dengan sudut pelontaran θ  π/2 sebagai fungsi V0. Orbit
lingkaran tidak pernah terjadi. Bentuk orbit yang bisa terjadi adalah, elips, parabola, jatuh
bebas dan hiperbola.
Dari Tabel 2.2 diatas dapat dilihat bahwa kecepatan jatuh sedikit lebih kecil dari
kecepatan lingkaran. Dipermukaan Bumi kecepatan jatuh sama dengan kecepatan linier rotasi
Bumi. Selain itu terlihat juga bahwa makin rendah titik pelontaran makin besar pula V0 yang kita
perlukan, hal ini dapat dimengerti karena didekat Bumi percepatan gravitasi yang menarik satelit
menjadi lebih besar. Atau dengan perkataan lain energi yang diperlukan untuk melontarkan
satelit berbanding terbalik dengan jarak satelit dari permukaan Bumi. Setiap model satelit diberi
nama berdasarkan misi ataupun tipe orbitnya biasanya, nama satelit merupakan singkatan dari
projek yang sedang diembannya. Berikut ini didaftarkan beberapa satelit buatan yang telah
diketahui, misi utamanya dan tipe orbitnya.
Tabel 2- 3 Daftar satelit berdasarkan misi yang diembannya
No
Satellite
Nama Lengkap
1.
ADEOS/RIS
Advanced Earth Observing Satellite/ Reflector In Space
2.
3.
4.
5.
6.
ADEOS-2
ALOS
ANDE
ATEx
Advanced Earth Observing Satellite 2
Advanced Land Observing Satellite
Atmospheric Neutral Density Experiment
Advanced Tether Experiment
BE-C
Beacon Explorer C
7.
CHAMP
CHAllenging Microsatellite Payload
KK-Astronomi ITB
Page 2-12
Suryadi Siregar
8.
Lintasan Satelit
Envisat
ENVIronmental SATellite
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
ERS-X
ETS-VIII
FIZEAU
GSTB-V2/A
GSTB-V2/B
GEOS-X
Earth Remote Sensing Satellite X
Engineering Test Satellite VIII
METEOR 2-21
Galileo System Test Bed V2/A
Galileo System Test Bed V2/AB
Geodetic Earth Orbiting Satellite X
GFO-1
Geosat Follow-On 1
16.
17.
18.
GFZ-1
GLONASS-X
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
GeoForschungsZentrum 1
GLObal NAvigation Satellite System X
Gravity Field and Steady-State Ocean Circulation
GOCE
Mission
GP-B
Gravity Probe B
GPS-X
Global Positioning System X
GRACE
Gravity Recovery and Climate Experiment
H2A-LRE
Laser Retroreflector Experiment
ICESat
Ice, Cloud, and land Elevation Satellite
IRS-P5
Indian Remote Sensing Satellite P5
Jason-1
TOPEX Follow-On
LAGEOS-X
LAser GEOdynamics Satellite X
MSTI-2
Miniature Sensor Technology Integration 2
National Polar-orbiting Operational Environmental
NPOESS
Satellite
OICETS
Optical Inter-orbit Communications Engineering Satellite
Student-Tracked Atmospheric Research Satellite for
STARSHINE-X
Heuristic International Networking Experiment-X
SUNSAT
Stellenbosch UNiversity SATellite
TiPS
Tether Physics and Survivability Mission
TOPEX/Poseidon TOPography Experiment
VCL
Vegitation Canopy Lidar
WESTPAC-1
WESTern PACific Laser Satellite 1
KK-Astronomi ITB
Page 2-13
Suryadi Siregar
Lintasan Satelit
Tabel 2- 4 Nama satelit, informasi tentang orbit, misi utama yang diemban dan instrumen yang
dibawa ( download 19 Februari 2008 dari http://Ilrs.gsfc.nasa.gov/satellite_missions)
No
1.
e
Perigee (km)
Apogee
(km)
Period
(min)
Earth Sensing 98.6°
0.000
815
815
101
Earth Sensing 98.62°
0.000
802.9
Geodynamics
0.001
1,485
1,505
116
0.0549
356,400
406,700
29.53
days
Lunar Science 5.145°
0.0549
356,400
406,700
29.53
days
Apollo 15 Hadley
Lunar Science 5.145°
Rille
0.0549
356,400
406,700
29.53
days
Earth Sensing 41.2°
0.025
927
1,320
Satellite
1 ADEOS/RIS
2.
ADEOS-2
3.
AJISAI
4.
5.
6.
Primary
Application
i
50°
Apollo 11 Sea of
Lunar Science 5.145°
Tranquility
Apollo 14 Fra
Mauro
101
7.
BE-C
8.
DIADEM-1C
Geodynamics
39.9°
0.037
545
1,085
101
9.
DIADEM-1D
Geodynamics
39.5°
0.076
585
1,735
108
10.
ERS-2
Earth Sensing 98.6°
0.0018
800
800
101
11.
ETALON-1
Space
Experiments
65.3°
0.00061
19,105
19,170
676
12.
ETALON-2
Geodynamics
65.2°
0.00066
19,135
19,135
675
13.
FIZEAU
Earth Sensing 82.6°
0.002
950
985
104
14.
GEOS-1
Earth Sensing 59.4°
0.073
1,108
2,277
120
15.
GEOS-2
Earth Sensing 105.8°
0.033
1,077
1,569
112
16.
GEOS-3
Earth Sensing 115.0°
0.001
841
856
102
17.
GFO-1
Earth Sensing
107.98
46°
0.001
800
800
100
18.
GFZ-1
Geodynamics
51.6°
0.000
385
385
92
19.
GLONASS(49-97)
Positioning
64°
0.000
19,140
19,140
676
20.
GPS-35
Positioning
54.2°
0.000
20,195
20,195
718
21.
GPS-36
Positioning
55.0°
0.006
20,030
20,355
718
22.
LAGEOS-1
Geodynamics 109.84° 0.0045
5,850
5,960
225
23.
LAGEOS-2
Geodynamics 52.64°
5,625
5,960
222
KK-Astronomi ITB
0.0135
Page 2-14
Suryadi Siregar
Lintasan Satelit
24.
Luna 17 Sea of
Rains
Lunar Science 5.145°
0.0549
356,400
406,700
29.53
days
25.
Luna 21 Sea of
Serenity
Lunar Science 5.145°
0.0549
356,400
406,700
29.53
days
26.
RESURS-01-3
Earth Sensing 97.9°
0.000
675
675
98
27.
SEASAT
Earth Sensing
0.001
793
805
100
28.
Starlette
Geodynamics 49.83°
0.0206
815
1,115
104
29.
Stella
Geodynamics
98.6°
0.000
815
815
101
30.
SUNSAT
Earth Sensing 96.5°
0.015
400
830
100
31.
TiPS
63.4°
0.001
1,025
1,045
106
66°
0.000
1,350
1,350
112
98°
0.0
835
835
101
0.000
471
499
94
32.
Tether
Science
TOPEX/Poseidon Earth Sensing
33.
WESTPAC-1
34.
ZEYA
Geodynamics
108°
Satellite Tests 97.27°
Data dalam tabel diatas, masih terus berubah dengan cepat karena hampir tiap bulan ada satelit
baru yang diluncurkan, pembaca yang mempunyai fasilitas internet dapat memperbaharui
informasi ini dengan berselancar di situs http://Ilrs.gsfc.nasa.gov/satellite_missions Sebagaian
dari data tersebut ditunjukkan pada Lampiran 2
2.6 Transfer Orbit
Definisi: Impulse adalah gaya yang bekerja dalam interval waktu yang sangat singkat
dari t0 sampai t1 dengan t0  t1. Jadi dapat ditulis
t1
I   Fdt
(2-32)
t0
Untuk t1  t0 dapat ditulis
t1
t1
I  lim  Fdt = lim  m
t t0
t0
t1 t0
t0
dv
dt  mV (t1 )  mV (t0 )  mV1  mV0
dt
(2-33)
Dalam gambar 2-9 diragakan hubungan impulse I dan kecepatan V
KK-Astronomi ITB
Page 2-15
Suryadi Siregar
Lintasan Satelit
Gambar 2- 10 Hubungan antara impulse I dan kecepatan awal V0 dan perkalian skalar dua
vektor . Sedangkan, norm dari perkalian vektor
Keubahan energi persatuan massa akibat adanya impulse ini diberikan oleh persamaan (2-34)
 
1
1
1
(2-34)
E  m V12  V0 2  = m V1  V0 V1  V0  = I 2  I .V0
2
2
2
Dalam hal ini kita lihat bahwa bila;
1.
I tegak lurus V0 maka E minimum
2.
I sejajar V0 maka E menjadi maksimum
3.
Momentum sudut L  r  m v
4.
Perubahan momentum sudut








L  L1 - Lo  r  I
Norm dari keubahan momentum sudut;



L  r  I  rI sin 
(2-35)
Jadi dapat dilihat bila;


1. r tegak lurus I maka L maksimum


2. r sejajar I maka L minimum
Disamping itu untuk lintasan elips diketahui energi total system adalah,
m
dE  m
2a 2
E


 a 
E
(2-36)
2a
da 2a 2
m
Jadi perubahan setengah sumbu panjang berbanding langsung dengan energi total sistem, jika
E membesar maka a juga membesar, demikian pula sebaliknya
Akibat adanya impulse dapat mempengaruhi orbit dalam bentuk;
KK-Astronomi ITB
Page 2-16
Suryadi Siregar
Lintasan Satelit
1.mengubah periode
2.mengubah eksentrisitas
Gambar 2- 11 Akibat adanya impulse terjadi perubahan periode dan eksentrisitas orbit dalam
kasus ini kecepatan awal dan akhir selalu tangensial terhadap lintasan satelit. Garis tebal orbit
awal, garis putus-putus orbit akhir
2.7 Transfer Hohmann
Alih orbit dari bentuk lingkaran ke bentuk lingkaran dikenal dengan nama transfer
Hohmann, ilustrasi transfer diragakan dalam Gambar. 2-10. Ciri dari transfer Hohmann adalah
bergerak dari orbit semula lingkaran ke orbit lain yang berbentuk lingkaran pula, sedangkan
orbit transfer berbentuk elips. Transfer Hohmann merupakan cara yang paling sering digunakan
untuk menempatkan satelit pada orbitnya yang tetap (parking orbit)
Gambar 2- 12 Transfer orbit model Hohmann dimulai dari lingkaran kecil( r = a0 ) kemudian
menjadi elips ( 2a = a0 + a1 ) selanjutnya berubah lagi menjadi lingkaran besar ( r = a1 )
KK-Astronomi ITB
Page 2-17
Suryadi Siregar
Lintasan Satelit
Dalam hal ini berlaku pernyataan;

V0 

a0


j  V0 j

sedangkan V1  



j  V1 j
a1
(2-37)
Impulse pada titik A dan B diberikan oleh;
I A  V0  V0 sedangkan I B  V1 V1
(2-38)
Untuk tahap kedua orbit elips;
2 1
V2    
r a
disini berlaku
a
a1  ao
2
Jadi kecepatan transfer dititik A dan B adalah;
 2 1
V0      =
 a0 a 
 2 1
V1      =
 a1 a 
 2a  a0 
=
 a0 a 

 2a  a1 
 =
 a1a 

  2a1 
 2a1 

 = V0 

a0  a1  a0 
 a0  a1 
(2-39)
  2a0 
 2a0 

 = V1 

a1  a1  a0 
 a0  a1 
(2-40)
Dalam bentuk vektor dapat ditulis


 2a1  
 2a0  

dan
V0  V0 
j
V


V

 j
1
1 
 a0  a1 
 a0  a1 
Oleh sebab itu diperoleh;
(2-41)
 2a 1/2  
1
I A  V0 
  1 j
a

 0 a1 

(2-42)
 2a 1/2  
0
I B  V1 
  1 j
 a0  a1 

(2-43)


Impulse yang diperlukan untuk melakukan perpindahan orbit dari lingkaran kecil ke lingkaran
besar adalah;
KK-Astronomi ITB
Page 2-18
Suryadi Siregar



Lintasan Satelit


I  I A  IB  I 2  I  I
(2-44)
diperoleh;
 2a 1/2 
 2a 1/2 
0
1
I  
  1 V0  
  1 V1
a

a
a

 0 1 

 0 a1 

Perubahan energi pada titik A dan B adalah


1
E  I 2  I  Vawal
2
Dengan menilik pada masing-masing titik diperoleh;
Manuver tunggal perubahan kecepatan pada titik A adalah;
(2-45)
(2-46)
a  a 
1
1 a  a 
E A  V0 2  1 0  dan EB   V12  1 0 
(2-47)
2
2  a1  a0 
 a1  a0 
Tanda (-) menunjukkan bahwa orbitnya elips sedangkan (+) berubah ke segmen hiperbolik.
Sehingga energi total yang dibutuhkan untuk melakukan transfer Hohmann diambil nilai absolut
jadi;
a  a 
1
E  (V0 2  V12 )  1 0 
2
 a1  a0 
(2-48)
Pada dasarnya ada dua tipe manuver untuk mengubah orbit, yaitu manuver tunggal dan manuver
ganda
A
A
(a)
B
(b)
Gambar 2- 13 Manuver tunggal (a) dan manuver ganda (b). Untuk manuver tunggal, transfer
orbit dilakukan dari orbit asal (parking orbit) langsung ke orbit tujuan, sedangkan manuver
ganda perpindahan orbit dilakukan setelah satelit mengubah lintasan dari lingkaran menjadi
elips, setelah melengkapi orbit elips pada titik perige wahana memanfaatkan energi kinetik
maksimum untuk berpindah ke orbit yang lebih besar.
KK-Astronomi ITB
Page 2-19
Suryadi Siregar
Lintasan Satelit
2.7 Untuk manuver tunggal (skenario a)
Perubahan kecepatan dilakukan pada titik A, yaitu kecepatan lingkaran diubah menjadi
kecepatan hiperbola.
Va  Vh  Vl
(2-52)
Dalam hal ini Vl adalah kecepatan lingkaran dan Vh kecepatan hiperbola, bila kecepatan orbit. Di
definisikan pada titik tujuan kecepatannya adalah V dan Vp merupakan kecepatan
lepas/parabola maka berlaku;
2 1/2
(2-53)
Vh 2  V 2  Vp 2  Vh  [V 2 
]
rA
1/2

Vl   
 rA 
Energi kinetis pada posisi
V 2
r   adalah ;
2
 Vh 2 
rA
(2-54)
(2-55)
Dengan demikian perubahan kecepatan yang diperlukan untuk manuver tunggal adalah
2 1/2
(2-56)
Va  [V 2 
]  Vl
rA
2.8
Manuver ganda (skenario b)
Ada dua kali perubahan kecepatan yang dilakukan, pada titik B adalah kecepatan elips VB
menjadi kecepatan lingkaran Vl. Pada titik A kecepatan elips VA menjadi kecepatan hiperbola Vh,
sehingga perubahan kecepatan untuk manuver ini adalah
Perubahan kecepatan pada titik A;
Vb  Vl  VB   Vh  VA 
(2-57)
Kecepatan orbit dititik A (kecepatan eliptik)
1
1 
VA2  2  

 rA rA  rB 
Kecepatan eliptik di titik B
1
1 
VB 2  2  

 rB rA  rB 
Perubahan kecepatan adalah;
KK-Astronomi ITB
(2-58)
(2-59)
Page 2-20
Suryadi Siregar
Lintasan Satelit

r
V 2 r 
Vb  Vl 1  2(1  B )  2( 2  B ) 
rA
VP rA 

(2-60)
Definisikan efisiensi transfer orbit dengan parameter berikut;

V2 
,
2 
V
P 

 rB 
  2 1  
 rA 
  2 1 
(2-61)
(2-62)
Perubahan kecepatan untuk manuver tunggal dapat juga dicari dengan mengambil rA  rB pada
persamaan (2-60) atau langsung dari pernyataan (2-56). Rasio manuver ganda dan tunggal dapat
dinyatakan dalam parameter berikut;
Q
Vb ( ganda) 1        4

Va (tunggal )
 1
,
(2-63)
Besaran ini disebut efisiensi, selanjutnya tinjau beberapa kasus
a) jika rasio
V2
 0 akibatnya   2
VP2
jadi Q 
1     2
2 1
Nilai mutlak dari pernyataan ini memperlihatkan akan membesar jika  membesar
Lim
lim
Q
Q 1
rB
 4
1
rA
b) sedangkan bila diambil ;
Lim
rB

rA
Q
(2-64)
(2-65)
rB
  maka;
rA
lim 1      2
 1
 2
2 1
(2-66)
Kesimpulan yang dapat diambil dari pernyataan (2-66) adalah efisiensi akan ditentukan oleh
r
rasio B semakin kecil perige semakin efisien pengalihan orbit
rA
KK-Astronomi ITB
Page 2-21
Suryadi Siregar
Jika  dibuat tetap sedangkan
Lintasan Satelit
V2
  maka
VP2
Lim Q
lim 1        4
(2-67)

   
 1
Atau dapat juga ditulis dengan menggunakan teorema l’Hospital bahwa pernyatan (2-67)
identik dengan
Lim Q
lim

lim


      4  
1
 4
1

=1
Pernyatan ini menunjukkan bahwa akan dicapai efisiensi sebesar 100% dengan kata lain
manuver dengan kecepatan akhir mendekati kecepatan parabola VP dan orbit alih yang
mempunyai sekecil mungkin jarak perige akan lebih menguntungkan daripada manuver tunggal.
Batasan lain juga harus diperhatikan yaitu semakin kecil jarak perige semakin besar pula
hambatan udara. Cari informasi tentang Hohmann Transfer
Bola pengaruh gravitasi sebuah planet (bola khayal dimana batas pengaruh gaya gravitasi
planetosentrik dan heliosentrik seimbang) dan efek pengereman oleh angkasa sangat berperan
dalam orbit wahana lintas planet. Dalam mekanika benda langit ditunjukkan bahwa radius bola
pengaruh gravitasi sebuah planet mengikuti pernyataan.
2
m 5
Rm    r
M 
Dalam hal ini
Rm jejari bola pengaruh planet dengan massa m
M – massa Matahari
m – massa planet
r – jarak planet dari Matahari
KK-Astronomi ITB
Page 2-22
Suryadi Siregar
Lintasan Satelit
Gambar 2- 14 Skenario tertangkapnya satelit oleh medan gravitasi planet. Ilustrasi untuk planet
Mars. Ketika mendekati Mars gerak wahana dipercepat, memasuki tropospher kecepatan
menurun kembali secara gradual.
Pemanfaatan energi potensial planet dapat dilakukan dengan teknik;
1. Tarikan Gravitasi (Gravity Pull)
Wahana melintas dengan arah membuntuti planet, kecepatan heliosentrik wahana merupakan
resultante kecepatan hiperbolik planetosentrik ditambah kecepatan gerak heliosentrik planet,
akibatnya gerak wahana dipercepat.
2. Tangkapan Gravitasi (Gravity Capture)
Wahana melintas planet dengan arah mencegat, kecepatan wahana menjadi lebih kecil sebab
energi potensial membesar. Kemungkinan wahana akan mengorbit planet atau wahana akan
menumbuk planet.
KK-Astronomi ITB
Page 2-23
Suryadi Siregar
Lintasan Satelit
Gambar 2- 15 Efek pengereman angkasa pada satelit Sputnik 2. Apogee mengecil dengan waktu
.
Gambar 2- 16 Rapat partikel pada lapisan atmosfer Bumi pada scala log-log. Pengereman
terbesar terjadi ketika satelit berada pada lapisan tropospher, sebab pada lapisan ini kerapatan
partikel maksimum.
KK-Astronomi ITB
Page 2-24
Suryadi Siregar
2.9
Lintasan Satelit
Perubahan pusat gaya sentral gerak partikel
Gambar 2- 17 Lintasan elips dan besaran geometrinya. Mula-mula partikel berada pada posisi
dengan pusat gaya titik A, kemudian bergerak ke posisi lain dengan pusat gaya berada pada titik
B
Misalkan p, menyatakan perilotusrectum pada saat pusat gaya ada di titik A dan p’,
menyatakan perilotusrectum pada saat pusat gaya ada di B. Berdasarkan kaedah hukum Kepler
pada kedua posisi ini berlaku pernyataan;
(2-68)
p  a(1  e2 )  h2 / 
p  a(1  e2 )  h2 / 
Gaya dipindahkan dari fokus A ke B
Misalkan AB=k maka c’= c-k,
c c  k c
k
k
e  
 (1  )  e(1  )
a
a
a
c
c
(2-69)
(2-70)
Selain itu diketahui pula ;
r
1  e2
 1 kalikan besaran ini dengan 2 maka diperoleh;
2
1  (e)
r1
2
 c 2  r2   c  k  
1


1

 a2  r   a  
 

 1  
Atau dapat dinyatakan dalam bentuk;
r2
r1
KK-Astronomi ITB
(2-71)
Page 2-25
Suryadi Siregar
Lintasan Satelit
r2 2 2
r
 a  c  a 2  c 2  2kc  k 2   2  2kc  k 2   0
r1
r1
k
2cr2 2c(a  c)

r1
(a  c)
(2-72)
(2-73)
 2c(a  c) 
 a(3  c / a)  e(3  c)
 k
e  e 1    e 1 
  e

(a  c)c 
1 e
 c

 a(1  c / a) 
(2-74)
2.10 Eksentrisitas Gerak Hiperbola
Sebuah partikel bergerak dengan gaya repulsive F 

menjauhi titik asal, mula-mula
r2
gerak orbitnya berbentuk elips, pada titik yang berjarak c dari pusat gaya sentral partikel
tersebut dilempar dengan kecepatan V 2 
bergerak dibawah gaya repulsive F 

r2

c
, akan ditentukan eksentrisitas orbit. Partikel yang
memenuhi
1
m
mV 2 
E
2
c
(2-75)
persamaan energi ini memperlihatkan energi total system partikel E, selalu bernilai positif
Dari teori tentang problem dua benda kita ketahui persamaan energi partikel yang bergerak
dibawah gaya tarik gravitasi F  

r2
untuk jarak r=c energi total system adalah,
1
m
mV 2 
E
2
c
(2-76)

1
h
dan c    V
substitusi ketiga pernyataan ini kedalam
c
c
persamaan energi diatas kita peroleh persamaan kuadrat dalam bentuk u,
1 2 2
mh u   mu  E  0
(2-77)
2
sehingga kita peroleh akar persamaan,

misalkan h  c 2  ,
u1,2 
u

h2


h2
1
2 Eh2
 2m
nilai maksimum dan minimum memenuhi pernyataan,
KK-Astronomi ITB
Page 2-26
Suryadi Siregar
umax 
Lintasan Satelit

h2


h2
1
2 Eh2
 2m
dan
umin 

h2


h2
1
2 Eh2
 2m
(2-78)
Bandingkan bentuknya dalam koordinat polar  dan kecepatan lontar V
u  ACos     

(2-79)
h2
Dalam bentuk ini nilai u maksimum diperoleh bila Cos      1 atau    dengan perkatan
lain;
umax  A 

(2-80)
h2
1/2

2 Eh 2 
Jadi A  2 1  2 
h 
 m
selain itu diketahui juga
e
A 2
h
jadi eksentrisitas haruslah memenuhi pernyataan,
(2-81)
(2-82)
1/2
 2 Eh 2 
e
 1  2 
(2-83)

 m

dari pernyataan ini jelas bahwa nilai e akan sangat ditentukan oleh tanda aljabar dan besaran
energi E, yaitu jika E=0 maka lintasannya berbentuk parabola (e=1) dan jika lintasannya
berbentuk hiperbola( e>1) haruslah energi E berharga positif, sedangkan untuk lintasan elips (0
< e < 1), E harus negatif. Selanjutnya perhatikan pernyataan berikut,
Ah 2
p  a 1  e
2
h2
 
(2-84)
atau nyatakan h dalam bentuk persamaan energi

2 Eh2 
2 Eh 2 a
h  [  a 1  e2 ]1/2   a 1  1  2   
 m
m

dengan demikian energi untuk lintasan yang berbentuk elips dapat ditulis sebagai,
m
E
2a
masukkan kedalam persamaan energi
1
m
m
1 1 
mV 2 

 V 2  2   
2
c
2a
 c 2a 
KK-Astronomi ITB
(2-85)
(2-86)
(2-87)
Page 2-27
Suryadi Siregar
Sedangkan untuk lintasan hiperbola, E 
Lintasan Satelit
m
, diperoleh
2a
1
m m
1 1 
mV 2 

 V 2  2   
2
c
2a
 c 2a 
Karena partikel dilempar dengan kecepatan V 

c
kecepatan ini tentulah harus sama dengan
kecepatan teoritis diatas, jadi


1 1 
 2     c  a  2
c
V
 c 2a 
Selain itu telah diketahui bahwa p  a(1  e2 ) 
1
ac
ganti a dengan –c maka
e  1
(2-88)
(2-89)
h2

atau
(2-90)
1
(2-91)
c2
Dari pernyataan (2-91) tampak untuk orbit berbentuk hiperbola bahwa eksentrisitas orbit hanya
bergantung pada konstanta c saja.
e  1
2.11 Ilustrasi
Berikut disampaikan sebuah ilustrasi sederhana tentang perubahan massa roket dan dampaknya
pada kecepatan wahan bersangkutan.
Untuk menghitung berapa massa yang hilang setiap kali penembakan, perhatikanlah ilustrasi
berikut ini;
KK-Astronomi ITB
Page 2-28
Suryadi Siregar
Lintasan Satelit
Gambar 2- 18 Massa yang dilontarkan roket membuat roket terdorong ke depan, kecepatan
roket bergantung pada kecepatan materi yang dilontarkan
Menurut hukum kekekalan momentum, pada kasus ini berlaku, perubahan momentum sebelum,
dan sesudah penembakan adalah tetap,
dp1+ dp2 = 0
Atau dapat ditulis kembali dalam bentuk
dm
dv
dm
Vg
 m  0  dv   Vg
dt
dt
m
(2-92)
(2-93)
Tinjau syarat batas t = 0 roket masih mengorbit dalam bentuk lingkaran kecepatan roket V l
massa total m0 setelah didorong pada saat t, orbit berubah menjadi parabola misalkan
kecepatannya menjadi Vp dan massanya mf
Catatan, rasio kecepatan parabola/kecepatan lingkaran =2
mf
t
Jadi
 dv
= -Vg
0
dm
m
m0

Jadi rasio massa final terhadap massa awal roket dapat ditulis kembali sebagai
mf
V /V
 e g
m0
KK-Astronomi ITB
(2-94)
(2-95)
Page 2-29
Suryadi Siregar
Lintasan Satelit
dalam hal ini V  Vp  V1
Kecepatan relatif roket terhadap kecepatan lingkaran adalah
V  Vp  V1 , karena kecepatan lepas adalah 2 kali kecepatan melingkar maka dapat dinyatakan
V  2V1  V1  0, 41V1
(2-96)
Dengan demikian rasio massa roket sebelum dan sesudah mengubah lintasannya dari lingkaran
menjadi parabola adalah,
mf
m0
e
0,41Vl
Vg
(2-97)
Persamaan ini menyatakan bahwa bila; kecepatan dorong, Vg yang besar akan menyebabkan
massa final semakin membesar, demikian pula sebaliknya kecepatan dorong rendah akan
menyebabkan massa final semakin mengecil
Gambar 2- 19 Trajectory roket Ariane 4 ketika diluncurkan dari Kouru (Guyana, Amerika
Selatan) diperlukan tiga kali penembakan untuk menempatkan satelit pada orbitnya
Semakin kecil Vg semakin besar pula massa awal yang hilang demikian pula sebaliknya. Dalam
hal kecepatan lontar Vg =2,8 km/det dan kecepatan wahana pada orbit lingkaran, Vl = 5 km/det
maka rasio massa final dan awal roket tersebut adalah;
KK-Astronomi ITB
Page 2-30
Suryadi Siregar
mf
m0
 0,5
Lintasan Satelit
(2-98)
Artinya untuk mendapatkan kecepatan 5 km/det, maka setengah massa roket tadi akan hilang
kalau kecepatan material yang disemburkan melaju dengan kecepatan 2,8 km/det. Gambar
berikut meragakan penempatan sebuah satelit(payload) pada roket Ariane 4 dan roket Titan.
Gambar 2- 20 Model roket Titan dan Ariane 4. Untuk Ariane 4 ada sembilan bagian utama
yaitu;
(1) First stage (L220), (2) Solid strap –on booster(PAP), (3) Liquid strap-on booster(PAL), (4)
Inter-stage ½ skirt, (5) Second stage (L33), (6)Third stage (H10), (7) Vehicle equipment bay
(VEB), (8) Dual launch structure (SPELDA) dan (9) Fairing. Sebelah kiri adalah profil roket
Titan yang membawa wahana Cassiny.
KK-Astronomi ITB
Page 2-31
Suryadi Siregar
Lintasan Satelit
Contoh 1: Sebuah roket mula-mula bergerak dalam lintasan berbentuk lingkaran
dengan kecepatan 5 km/det. Kemudian lintasan roket tersebut diubah menjadi
parabola dengan kecepatan dorong Vg =2,8 km/det. Berapa prosen dari massa
awal yang harus dipergunakan untuk membuat lintasan menjadi parabola ?
Penyelesaian
Kecepatan lingkaran, jika h adalah jarak dari permukaan Bumi maka;
Vc 
GM
Rh
Kecepatan parabola (kecepatan lepas)
Ve 
2GM
Rh
Dalam hal ini M = M0+m, karena massa roket jauh lebih kecil dari massa Bumi,
maka M = M0 sedangkan R dan h, masing-masing menyatakan radius Bumi dan
tinggi objek dari permukaan Bumi, kedua pernyataan diatas jika digabung
menjadi Ve  2Vc substitusi harga G dan M serta radius Bumi R maka Vc dapat
dihitung. Karena diberikan Vc = 5 km/det, soal diatas dengan mudah dapat kita
selesaikan, sebab telah diketahui;
V  V   V0  Ve  Vc  ( 2  1)Vc =2,07 km/det
dari pernyataan (1-92) dapat dilihat bahwa rasio massa akhir dan massa awal roket
tersebut adalah;
mf
m0
 e2,07/2,8  m f  0.478m0
jadi massa yang dibuang adalah; m = m0 - mf = 0,522 m0 atau kira-kira 52,2%
dari massa awal. Dalam Tabel 1-2 diperlihatkan perbandingan massa mf/m0 untuk
berbagai kecepatan dorong, pada saat roket mengubah lintasan dari lingkaran ke
bentuk parabola, sebagai fungsi ketinggian h. Tabel ini meragakan bahwa roket
yang diluncurkan pada posisi ketinggian h<0,1 R dari permukaan Bumi akan
kehilangan semua massanya walaupun kecepatan lontarnya kita perbesar. Makin
tinggi roket dari permukaan Bumi massa yang harus dibuang semakin kecil. Untuk
h= R dan Vg = 4 km/det massa yang harus dilemparkan oleh roket untuk
membentuk lintasan parabola paling sedikit adalah 40% dari massa awal.
KK-Astronomi ITB
Page 2-32
Suryadi Siregar
Lintasan Satelit
Tabel 2- 5 Rasio mf /m0 untuk berbagai kecepatan dorong Vg dalam km/det,
sebagai fungsi dari h/R. Kolom tiga menunjukkan kecepatan lingkaran Vc dalam
km/det.
No h/R
Vc
Vg=2
Vg= 3
Vg= 4
Vg=5
1
0
7.92
0.19
0.34
0.44
0.52
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
7.55
7.23
6.95
6.69
6.47
6.26
6.07
5.90
5.75
5.60
0.21
0.22
0.24
0.25
0.26
0.27
0.28
0.29
0.30
0.31
0.35
0.37
0.38
0.40
0.41
0.42
0.43
0.44
0.45
0.46
0.46
0.47
0.49
0.50
0.51
0.52
0.53
0.54
0.55
0.56
0.53
0.55
0.56
0.57
0.59
0.60
0.60
0.61
0.62
0.63
Relasi antara rasio massa final dan massa awal versus rasio ketinggian satelit
terhadap radius bumi untuk berbagai Vg diperlihatkan pada gambar 1-10 berikut
Pernyataan
a) Jika
mf
m0
 Exp(
V
) memberikan beberapa kesimpulan antara lain;
Vg
V
  maka mf << m0 artinya massa yang dibuang dm = m0 - mf  m0,
Vg
tidak ada massa yang dibakar
b) Jika
V
 0 maka mf  m0 artinya massa yangtinggal, dm = m0 - mf  0,
Vg
semua massa dibuang/terbakar untuk mendorong roket
KK-Astronomi ITB
Page 2-33
Mf/Mo
Suryadi Siregar
Lintasan Satelit
0.9
0.8
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
Vg 1km/det
Vg 2 km/det
Vg 3 km/det
Vg 4 km/det
0 1 2 3 4 5 6 7 8
h/R
Gambar 2- 21 Jumlah massa yang hilang sebagai fungsi ketinggian satelit dari permukaan Bumi
untuk berbagai kecepatan dorong
Grafik diatas meragakan bahwa pada nilai Vg yang membesar maka rasio antara massa final dan
massa awal semakin kecil dan grafik berkecendrungan berimpit. Artinya pada kecepatan dorong
yang sangat besar pembahasan rasio massa awal terhadap massa final tidak lagi signifikan. Pada
jarak h  8R, gradient cendrung mendekati nol, dengan perkataan lain titik stasioner dicapai
pada nilai h  8R
Ilustrasi
Sebuah projektil dilemparkan dari Planet X, projektil diharapkan tidak jatuh kembali ke Planet
X. Bila tahanan udara diabaikan demikian pula pengaruh gravitasi dari benda langit yang lain.
Buktikanlah kecepatan projektil tersebut pada jarak r dari Planet X mengikuti pernyataan
berikut;
2 gR 2
 v02  2 gR
r
Dalam hal ini
R-Jejari Planet X. g-percepatan gravitasi planet X dan v0 –kecepatan projektil di permukaan
(r=R) planet X. Penyelesaian dilakukan dalam beberapa langkah.
Langkah 1: Pemodelan
Berdasarkan hukum gravitasi Newton, percepatan projektil tersebut adalah berbanding terbalik
dengan jarak kuadrat
dv k
a(r ) 

(1)
dt r 2
v2 
KK-Astronomi ITB
Page 2-34
Suryadi Siregar
Lintasan Satelit
dalam hal ini
v-kecepatan projektil tersebut. t-waktu. k-konstanta pembanding dan r-jarak dari pusat gaya
Karena a mengecil bila r membesar maka pada partikel tersebut terjadi perlambatan , dengan
demikian k<0
Bila r = R maka a = - g (percepatan gravitasi Planet X). Jadi;
 g  a( R) 
k
 k   gR 2
2
R
(2)
Gabungkan (2) ke (1)
 gR 2
r2
Selanjutnya diketahui ada hubungan;
dv dv dr dv
akibatnya;
a

 v
dt dr dt dr
a(r ) 
dv
 gR 2
v 2
dr
r
Langkah 2: Pecahkan persamaan diferensial, pisahkan variabel lalu integrasikan
(3)
(4)
 gR 2
1 2 gR 2
2 dr
dr

vdv


gR

(5)

 r2 2 v  r  C
r2
Langkah 3: Nyatakan C sebagai fungsi v0 dan besaran yang diketahui R dan g. Karena untuk
r=R kecepatannya adalah v0 , jadi
vdv 
1
gR 2
C  v02 
2
R
Dengan memasukkan C kedalam pernyataan (5) kita peroleh;
(6)
2 gR 2
v 
 v02  2 gR
r
Oleh karena v≠0 maka diperlukan V0 2 yang memenuhi syarat lebih besar dari 2gR. Kecepatan
2
minimal yang diizinkan adalah v0  2 gR . Untuk Bumi, ganti R= 6372 km dan g=9,8 m/det2
(percepatan gravitasi di ekuator) kita peroleh, v0 = 11,2 km/det
Contoh 2 Sebuah wahana antariksa akan dijatuhkan di planet X. Pada saat parasut terbuka (t = 0)
wahana mempunyai kecepatan awal, v(0) = 10 km/det. Tentukan kecepatan wahana tersebut
pada waktu t sembarang v(t). Apakah kecepatan, v(t) akan menuju tak terhingga bila t menuju
tak terhingga ? [ cara Viking melakukan pendaratan di Mars]
KK-Astronomi ITB
Page 2-35
Suryadi Siregar
Lintasan Satelit
Gambar 2- 22 Skenario pendaratan Viking di kawasan Chryse planetia planet Mars. Agar
instrument tidak mengalami benturan kecepatan jatuh wahana dikurangi dengan menggunakan
parasut.Penyelesaian dilakukan dalam beberapa langkah
Langkah 1: Modeling dan asumsi-asumsi. Misalkan
W-berat total dari wahana tersebut dan g-percepatan gravitasi
U-tahanan udara, berbanding kuadrat dengan kecepatan U=bv2
U
Hukum Newton;
F=ma
W
Langkah2: Selesaikan persamaan diferensial
dv
b
gm 
b 2
v  k 2 
  v 2 



dt
m
b 
m
KK-Astronomi ITB
(1)
Page 2-36
Suryadi Siregar
dalam hal ini; k 2 
Lintasan Satelit
gm
b
Dapat juga ditulis;
dv
b
  dt
2
v k
m
2
(2)
Perhatikan bentuk
1
1
A
B
v( A  B)  k (  A  B)




2
2
v k
(v  k )(v  k ) (v  k ) (v  k )
v2  k 2
dengan demikan kita punya persamaan;
(A+B) = 0 dan (–A+B)= 1/k diperoleh A= -1/2k dan B= 1/2k
Integrasikan persamaan (2)
1
1
dv
1
dv
b
 v2  k 2 dv   2k  (v  k )  2k  (v  k )   m  dt
atau ;
v  k 
 b

ln 
 2k   t  c 

v  k 
 m

disederhanakan kita peroleh bentuk
 b

 v  k  2 k  m t C 
 v  k   e
1  c0 e pt 
vk
 pt 
1  c0 e 
dalam hal ini;
2kb
dan c0  e2 kC
p
m
Kita lihat jika v→k maka c0e pt  0 artinya t→
atau ;
Hal lain yang menarik adalah ternyata v tidak bergantung pada v0
Langkah 3: Menentukan konstanta c0
Untuk t=0 maka v= v0 jadi
1  c0 
v0  k
v0  k 
  c0 
v0  k
1  c0 
Dengan demikian urutan perhitungan menjadi;
1. Hitung;
KK-Astronomi ITB
Page 2-37
Suryadi Siregar
W

b
k
Lintasan Satelit
gm
b
2. Hitung;
p
2kb
m
3. Hitung;
c0 
v0  k
v0  k
4. Hitung;
1  c0 e pt 
vk
 pt 
1  c0 e 
Langkah 4: Andaikan nilai numerik untuk wahana yang dijatuhkan di Bumi adalah sebagai
berikut;
W = 712 nt kecepatan awal v0 = 10km/det, percepatan gravitasi g = 9,8 m/det2 dan b = 30 nt
det2/m2 akibatnya;
gm W
k2 
  23, 7m2 / det 2  k  4,87m / det
b
b
ini adalah batas kecepatan minimal untuk nilai c0 = 0,345
untuk nilai p;
p
2kb 2.4,87.30

 4, 02 / det
m
72, 7
Akibatnya kita peroleh kecepatannya sebagai fungsi waktu;
1  0,345e4,02t 
v(t )  4,87 
4,02 t 
1  0,345e

Dalam pernyataan ini dapat dilihat bila t 0 kita peroleh v = 10km/det sedangkan untuk t 
diperoleh v = 4,87 km/det, bandingkan dengan kecepatan linier rotasi Bumi v = 7,92 km/det
KK-Astronomi ITB
Page 2-38
Suryadi Siregar
Lintasan Satelit
Daftar Isi
2.1 Persamaan gerak .............................................................................................................. 1
2.2 Desain Orbit ...................................................................................................................... 6
2.3 Peluncuran dengan Sudut injeksi 90 derajad .............................................................. 8
2.4 Peluncuran dengan sudut injeksi bukan 90 derajad ................................................... 8
2.5 Syarat lain .......................................................................................................................... 8
2.6 Transfer Orbit ................................................................................................................... 15
2.7 Transfer Hohmann .......................................................................................................... 17
2.7 Untuk manuver tunggal (skenario a) ........................................................................... 20
2.8 Manuver ganda (skenario b) ......................................................................................... 20
2.9 Perubahan pusat gaya sentral gerak partikel ............................................................ 25
2.10 Eksentrisitas Gerak Hiperbola ...................................................................................... 26
2.11 Ilustrasi ............................................................................................................................. 28
Daftar Gambar
Gambar 2- 1 Bermacam tipe orbit seperti orbit parking, transfer orbit dan final orbit.
Sebuah satelit umumnya memulai kala hidup pada lintasan parking, dari lintasan ini
kemudian upper stage roket digunakan sebagai booster untuk menempatkan satelit di
orbitnya. Beberapa dorongan diperlukan sampai satelit menempati posisi yang
diharapkan .................................................................................................................................... 1
Gambar 2- 2 Koordinat kartesis untuk sistem dua benda, m bergerak relatif terhadap M.
Dalam penurunan persaman gerak m dan M dinyatakan sebagai massa titik .............. 2
Gambar 2- 3 Menurunkan pernyataan gaya hambat udara ................................................. 3
Gambar 2- 4 Ilustrasi gerak projektil didekat permukaan Bumi. ........................................ 5
Gambar 2- 5 Pesawat ulang-alik Atlantis. Fungsi wahana (space shuttle) melakukan
transportasi angkasa luar termasuk menempatkan satelit pada orbitnya menjaga ia
tetap ada disana memutar dan memindahkannya bila diperlukan. Wahana mempunyai
kemampuan untuk menambah ataupun mengurangi kecepatan di angkasa bila
diperlukan dan tetap berada pada orbitnya. Space booster terdiri dari beberapa tingkat,
fungsinya untuk menambah kecepatan dan kemudian melontarkan satelit pada lintasan
yang telah ditentukan.................................................................................................................. 6
Gambar 2- 6 Kajian gerak dua benda untuk mendeskripsikan penempatan orbit satelit
KK-Astronomi ITB
Page 2-39
Suryadi Siregar
Lintasan Satelit
dan kecepatan lontar (injection speed) V. Jari-jari Bumi R dan ketinggian satelit dari
permukaan Bumi adalah H. Jarak satelit dari pusat gaya sentral (pusat Bumi) r=R+H .. 7
Gambar 2- 7 Lintasan lingkaran,elips, parabola dan hiperbola. Lintasan lingkaran tidak
pernah terjadi bila x < 1(perhatikan legend), satelit akan jatuh bebas bila z = 0. Lintasan
parabola terjadi bila nilai eta, η = 1. Sedangkan untuk hiperbola terjadi bila η > 1 ...... 10
Gambar 2- 8 Keluarga lintasan dengan sudut pelontaran θ=π/2 sebagai fungsi V0.
Segala macam bentuk orbit bisa terjadi ; lingkaran, elips, parabola, jatuh bebas dan
hiperbola ..................................................................................................................................... 11
Gambar 2- 9 Keluarga lintasan dengan sudut pelontaran θ  π/2 sebagai fungsi V0.
Orbit lingkaran tidak pernah terjadi. Bentuk orbit yang bisa terjadi adalah, elips,
parabola, jatuh bebas dan hiperbola ...................................................................................... 12
Gambar 2- 10 Hubungan antara impulse I dan kecepatan awal V0 dan perkalian skalar
dua vektor . Sedangkan, norm dari perkalian vektor ..................................................... 16
Gambar 2- 11 Akibat adanya impulse terjadi perubahan periode dan eksentrisitas orbit
dalam kasus ini kecepatan awal dan akhir selalu tangensial terhadap lintasan satelit.
Garis tebal orbit awal, garis putus-putus orbit akhir............................................................. 17
Gambar 2- 12 Transfer orbit model Hohmann dimulai dari lingkaran kecil( r = a0 )
kemudian menjadi elips ( 2a = a0 + a1 ) selanjutnya berubah lagi menjadi lingkaran
besar ( r = a1 ) ........................................................................................................................... 17
Gambar 2- 13 Manuver tunggal (a) dan manuver ganda (b). Untuk manuver tunggal,
transfer orbit dilakukan dari orbit asal (parking orbit) langsung ke orbit tujuan,
sedangkan manuver ganda perpindahan orbit dilakukan setelah satelit mengubah
lintasan dari lingkaran menjadi elips, setelah melengkapi orbit elips pada titik perige
wahana memanfaatkan energi kinetik maksimum untuk berpindah ke orbit yang lebih
besar............................................................................................................................................ 19
Gambar 2- 14 Skenario tertangkapnya satelit oleh medan gravitasi planet. Ilustrasi
untuk planet Mars. Ketika mendekati Mars gerak wahana dipercepat, memasuki
tropospher kecepatan menurun kembali secara gradual.................................................... 23
Gambar 2- 15 Efek pengereman angkasa pada satelit Sputnik 2. Apogee mengecil
dengan waktu. ............................................................................................................................ 24
Gambar 2- 16 Rapat partikel pada lapisan atmosfer Bumi pada scala log-log.
Pengereman terbesar terjadi ketika satelit berada pada lapisan tropospher, sebab pada
lapisan ini kerapatan partikel maksimum. ............................................................................. 24
KK-Astronomi ITB
Page 2-40
Suryadi Siregar
Lintasan Satelit
Gambar 2- 17 Massa yang dilontarkan roket membuat roket terdorong ke depan,
kecepatan roket bergantung pada kecepatan materi yang dilontarkan .......................... 29
Gambar 2- 18 Trajectory roket Ariane 4 ketika diluncurkan dari Kouru (Guyana,
Amerika Selatan) diperlukan tiga kali penembakan untuk menempatkan satelit pada
orbitnya ....................................................................................................................................... 30
Gambar 2- 19 Model roket Titan dan Ariane 4. Untuk Ariane 4 ada sembilan bagian
utama yaitu; ................................................................................................................................ 31
Gambar 2- 20 Jumlah massa yang hilang sebagai fungsi ketinggian satelit dari
permukaan Bumi untuk berbagai kecepatan dorong ........................................................... 34
Gambar 2- 21 Skenario pendaratan Viking di kawasan Chryse planetia planet Mars.
Agar instrumenttidak mengalami benturan kecepatan jatuh wahana dikurangi dengan
menggunakan parasut. ............................................................................................................. 36
Daftar Tabel
Tabel 2- 1 Daftar koefisien hambat untuk berbagai penampang benda. ........................... 4
Tabel 2- 2 Batas bawah dan batas atas bagi kecepatan lontar V0 untuk berbagai
ketinggian dari permukaan Bumi ............................................................................................ 11
Tabel 2- 3 Daftar satelit berdasarkan misi yang diembannya ........................................... 12
Tabel 2- 4 Nama satelit, informasi tentang orbit, misi utama yang diemban dan
instrumen yang dibawa ( download 19 Februari 2008 dari
http://Ilrs.gsfc.nasa.gov/satellite_missions) ........................................................................... 14
Tabel 2- 5 Rasio mf /m0 untuk berbagai kecepatan dorong Vg dalam km/det, .............. 33
KK-Astronomi ITB
Page 2-41
Download