[M -] SEBAGAI AFIKS DERIVASIONAL DAN

advertisement
133
[M-] SEBAGAI AFIKS DERIVASIONAL DAN INFLEKSIONAL
DALAM BAHASA SASAK DIALEK KUTO-KUTE
Muhammad Sukri9
Universitas Mataram
[email protected]
ABSTRAK
Bahasa Sasak Dialek Kuto-Kute (henceforth: BSDK) diangkat sebagai fokus kajian dalam
artikel singkat ini karena keunikan yang dimiliki secara morfosintaksis. Salah satu keunikan
tersebut adalah perubahan bentuk dasar suatu kata yang bisa terjadi dengan atau tanpa
pelekatan afiks tertentu pada kata dasarnya. Bahasa tertentu hanya dapat mengalaminya
dengan proses afiksasi, sementara sebagian bahasa yang lain hanya memungkinkan melalui
derivasi zero, sedangkan bahasa sasak dialek Kuto-Kute, dimungkinkan melalui keduanya.
Keunikan selanjutnya yang dimiliki oleh bahasa sasak dialek BSDK terletak pada afiks
[M-] yang mampu berfungsi sebagai afiks derivasional dan infleksional.
Kemampuannya sebagai afiks derivasional dibuktikan melalui fungsi derivatif {mә-}
ketika melekat dengan BD nomina dan mengubahnya menjadi verba, {mә-} yang melekat
pada verba dan mengubahnya menjadi nomina, serta {mә-}yang melekat pada adjektiva
dan mengubahnya menjadi verba. Adapun {mә-}berfungsi inflektif ketika dilekatkan
dengan BD yang berkategori verba.
Kata kunci: afiks derivasional,afiks infleksional
ABSTRACT
Sasak language dialect Kuto-Kute (henceforth: BSDK) was chosen as the focus of study in
this short article because of its morphosyntactical uniqueness. One of the uniqueness is the
change in the basic form of a word that can occur with or without adding certain affixes to
the basic word. Some language can only be experienced with the process of affixation, while
most other languages are only possible through the derivation of zero, while the Sasak
language dialect Kuto-Kute, is made possible through both. The next uniqueness owned by
Sasak language dialect Kuto-Kute is onthecharacteristic of affix [M-] that is capable of
functioning as a derivational and inflectional affixes. Its ability to be derivational affixes is
evidenced by the derivative function of {mә-} when attached with noun base and turn it
into a verb, {mә-} attached to verbs and turn it into a noun, and {mә-} attached to
adjectives and turn it into verb. The { mә- } has inflectional function when attached with
verb base.
Keywords: derivational affixes, inflectional affixes
9
Dosen tetap Program Pascasarjana Program studi Magister Linguistik Universitas
Mataram, menjabat sebagai sekretaris Program studi Magister Linguistik dengan
ketertarikan dan keahlian khusus pada bidang fonologi, morfofonologi dan sintaksis.
Merupakan doctor linguistic yang aktif dibidang penelitian bahasa, khususnya bahasabahasa daerah dan bahasa-bahasa yang hampir punah.
134
PENDAHULUAN
Tulisan singkat ini adalah salah satu bab dari sepuluh bab disertasi saya ketika
menyelesaikan program studi doktoral di universitas Udayana pada tahun 2008 yang
lalu. Namun demikian, tampilan data yang dimunculkan sebagai bahan diskusi
dalam makalah ini tentunya bersumber pada fenomena kebahasaan yang terjadi
sekarang ini. Dengan kalimat lain, data-data yang dimunculkan pada bab lima
disertasi ini (lihat Sukri, 2008) tidak diambil seluruhnya.
Sebagaimana diketahui bahwa morfem dan kata adalah dua entitas yang
sampai sekarang ini menjadi topik utama kajian morfologi. Hal ini sesuai dengan
anggitan utama morfologi sebagai cabang linguistik yang berhubungan dengan
struktur internal kata serta korespondensi antara bentuk dan makna kata-kata secara
sistematis (Sukri, 2008:3). Dalam kajiannya, morfologi berhubungan dengan proses
infleksi dan proses derivasi. Adapun yang termasuk dalam proses infleksi dapat
ditemukan dalam contoh
bahasa Inggris: forms (form), books (book), stops (stop,
stoped), watches (watch) dan lain-lain. Selanjutnya, dalam bahasa Inggris juga dapat
ditemukan proses derivasi, yaitu dance  dancer, drive  driver, run  runner,
dan lain-lain. Mencermati cuplikan data tersebut, dapat dikatakan bahwa baik proses
infleksi maupun proses derivasi merupakan proses morfemis. Akan tetapi, kriteria
yang digunakan untuk membedakan apakah suatu proses morfemis itu termasuk
infleksi atau derivasi adalah bahwa proses derivasi merupakan suatu proses
morfemis yang menghasilkan leksem baru, sedangkan infleksi merupakan proses
morfemis yang menghasilkan bentuk-bentuk kata yang berbeda dari kelas kata
dasarnya dan jelas tidak membentuk suatu unit leksikal yang baru.
Pembahasan derivasi dan infleksi mendapat tempat yang layak dalam studi
morfologi generatif. Spencer (1993:9)
menyatakan bahwa infleksi tidak dapat
mengubah kategori sintaksis sebuah kata, sedangkan derivasi menyebabkan suatu
perubahan dalam kategori sintaksis. Dalam Bahasa Sasak Dialek Kuto-Kute
(henceforth: BSDK) bentuk dasar (BD) /anak/ [ank] ‘anak’ yang secara sintaksis
berkategori nomina (N) dapat berubah menjadi verba (V) setelah diderivasi melalui
pelekatan morfem afiks [m-] (Perlu ditulis morfem meng- di luar transkripsi
fonetis atau gunakan juga transkripsi ortografis) sehingga menghasilkan bentukan
/menganak/ ([mank] ‘melahirkan’.
135
KONSEP DAN KERANGKA TEORI
Dalam makalah ini, ada sejumlah konsep dasar yang dipandang perlu
dibicarakan. Konsep-konsep yang dimaksud dijadikan sebagai definisi operasional
yang merepresentasikan cakupan penelitian. Suatu konsep dasar juga dimaksudkan
memberikan penegasan atas beberapa ide yang terkait dalam penelitian ini. Konsepkonsep dasar yang dimaksudkan adalah morfem (baik infleksional maupun
derivasional), kata, dan morfologi.
KONSEP
KONSEP MORFEM
Morfem merupakan bentuk linguistik terkecil atau unsur bahasa yang terkecil
yang mempunyai arti. Morfem bisa berwujud bebas dan bisa juga berwujud terikat.
Jadi, konsep morfem yang digunakan terkait dengan kajian ini adalah bentuk
linguistik yang bermakna (sekaligus memiliki kategori sintaksis) dan dapat pula
belum memiliki makna namun dapat menyebabkan perubahan kategori sintaksis
terhadap satuan lain yang dilekatinya.
KONSEP KATA
Kata merupakan satuan bebas terkecil atau unsur bahasa yang dapat berdiri
sendiri dan telah memiliki kategori sintasis. Dalam BSDK, terdapat kategori verba,
nomina, adjektiva, adverbia, dan numeralia.
KONSEP MORFOLOGI
Morfologi adalah cabang ilmu bahasa (linguistik) yang berhubungan dengan
struktur internal kata serta korespondensi antara bentuk dan makna kata-kata secara
sistematis (bandingkan Ramlan, 1987:21, Keraf, 1994, Kridalaksana, 1996:10,
Muslich, 1990:28, Nida, 1974:1, Matthews,1997:231, Malmkjær, 1995:314,
O’Grady dan Dobrovolsky, 1989: 89-90, Bauer,1983: 33, Crystal, 1997: 249,
Katamba, 1993:3, dan Boiij, 2007:7).
KONSEP MORFEM
Hockett (1959:123) memberi batasan: morphemes are the smallest individually
meaningful elements in the utterances of a language. Menurut Hockett, morfem
adalah unsur terkecil dalam tutur bahasa yang mengandung arti sendiri-sendiri.
136
Akmajian dkk. (1984:58) menyatakan bahwa morfem adalah satuan terkecil dari
pembentukan kata dalam suatu bahasa yang tidak dapat diuraikan lebih lanjut ke
dalam bagian-bagian yang bermakna atau yang dapat dikenal. Bauer (1987:13-17)
memberi batasan morfem sebagai satuan-satuan dasar analisis dalam morfologi.
Jadi, inti pernyataan Bauer adalah bentuk itu dapat dipilah-pilah (take a part) untuk
memperlihatkan unsur-unsur konstituennya. Katamba (1993:24-44) mengatakan
bahwa morfem adalah perbedaan terkecil mengenai bentuk kata yang berhubungan
dengan perbedaan terkecil mengenai makna kata atau makna kalimat atau dalam
struktur gramatikal. Dikatakan juga oleh Katamba bahwa suatu morf merupakan
bentuk fisik yang mewakili beberapa morfem dalam suatu bahasa.
Sekian banyak anggitan morfem yang dikemukakan di atas, pada prinsipnya
memang sama, tetapi mungkin cara penyampaiannya serta sudut pandang yang
digunakan berbeda. Semuanya sependapat bahwa morfem merupakan bentuk
linguistik terkecil atau unsur bahasa yang terkecil yang mempunyai arti. Morfem
bisa berwujud bebas dan bisa juga berwujud terikat. Jadi,, batasan-batasan tersebut
di atas saling melengkapi satu dengan yang lain.
KERANGKA TEORI
Nida (1974:1) mendefinisikan morfologi sebagai berikut: “Morphology is the
study of morphemes and their arrangements in forming word”. Tampak jelas
definisi tersebut mengisyaratkan bahwa morfologi adalah studi tentang morfem dan
aturannya atau kaidahnya dalam pembentukan kata. Dalam pada itu, Matthews
(1997:231) mengemukakan
The study of the grammatical structure of words and the categories realized by
them.Thus, a morphological analysis will divide girls into girl and –s, which
realized ‘plural.
Bauer (1983: 33) mengatakan bahwa morfologi membahas struktur internal
bentuk kata. Dalam morfologi, analisis membagi bentuk kata ke dalam formatif
komponennya (yang kebanyakan merupakan morf yang berwujud akar kata atau
afiks), dan berusaha untuk menjelaskan kemunculan setiap formatif. Crystal (1997:
249) menjelaskan bahwa morfologi sebagai cabang tatabahasa yang mengkaji
struktur atau bentuk kata, khususnya melalui penggunaan konstruksi morfem. Secara
tradisional biasanya dibedakan dari sintaksis yang khusus berkaitan dengan kaidah
137
penguasaan dari kombinasi kata dalam kalimat. Morfologi biasanya dibedakan atas
dua bidang kajian, yaitu kajian infleksi (morfologi infleksi) dan pembentukan kata
(morfologi leksikal atau morfologi derivasi) – suatu perbedaan yang kadang-kadang
didasari oleh status teorinya (morfologi split/terpisah).
Dalam hal ini Aronoff dan Corbin (dalam McCarthy, 1992:44) secara eksplisit
menghilangkan morfologi infleksi dari pertimbangannya, sehingga mereka tidak
membicarakan pokok permasalahan apakah ada atau semua bentuk kata yang
diinfleksi seharusnya secara leksikal dibuat daftarnya. Namun, Halle masih (dalam
McCarthy, 1992:44) memandang tidak ada alasan untuk tidak membuat daftar
bentuk-bentuk infleksif sebagaimana halnya bentuk derivatif; perbedaan antara
keduanya hanya bentuk infleksi telah dikelompokkan di dalam kamus ke dalam
model pola. Crowley (2007) menambahkan bahwa sebuah bahasa mempunyai
seperangkat kaidah yang menentukan bagaimana morfem dapat digabungkan
bersama untuk membentuk unit/kesatuan yang lebih besar yang disebut kata. Ketika
kita membicarakan tentang morfologi atau struktur morfologi suatu bahasa, kita
merujuk pada jenis-jenis morfem yang dimiliki dan cara menggabungkannya sesuai
dengan kaidah-kaidah yang ada.
Katamba (1993:3) menyebutkan morfologi mengkaji struktur kata. Pernyataan
bahwa kata mempunyai struktur bisa mengejutkan karena penutur secara normal
berfikir bahwa kata sebagai kesatuan makna yang tidak dapat dibagi. Hal ini
barangkali berkaitan dengan kenyataan bahwa banyak kata yang secara morfologis
sederhana dan tidak dapat dipenggal-penggal menjadi unit-unit yang lebih kecil
yang masing-masing mempunyai makna. Terakhir, Boiij (2007:7). Boiij berpendapat
bahwa dalam kajian linguistik setakat ini, istilah morfologi mengarah kepada kajian
struktur internal kata dan korespondensi antara bentuk dan makna kata-kata secara
sistematis.
Katamba (1993: 17-19) mengemukakan sebagai berikut “We may use the term
word to refer to a particular physical of that lexeme in the speech or writing, i.e. a
particular word form. Thus, we can refer to see, sees, seeing, saw, and seen as five
different words. In this sense, three different occurences of any one of these wordforms would count as three words. We should agree that: physical word-form like
see, sees, seeing, saw, and seen are realisation of the lexeme SEE”. Jika
138
dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia, kurang lebih menjadi ‘Kita dapat
menggunakan istilah kata untuk menunjuk pada bentuk fisik sebuah leksem dalam
suatu tuturan atau tulisan. Jadi, kita dapat menunjuk bahwa to see, sees, seeing, saw
dan seen sebagai lima kata yang berbeda. Dalam pengertian ini, munculnya tiga
bentuk yang berbeda dari leksem tersebut akan dianggap sebagai tiga kata. Kita
seharusnya setuju bahwa bentuk fisik suatu kata seperti see, sees, seeing, saw, dan
seen adalah realisasi dari leksem SEE.”
Selaras
dengan Katamba, Subroto (dalam
Dardjowidjojo,
1983:268)
mengemukakan bahwa ada kekaburan mengenai istilah kata sehingga Matthews
(1974) dalam hal ini membedakan pengertian kata sebagai berikut: a) kata adalah
apa yang disebut kata fonologis atau ortografis, b) kata adalah apa yang disebut
leksem, dan c) kata adalah apa yang disebut kata gramatikal. Selanjutnya, Subroto
menjelaskan bahwa kata menurut pengertian (a) semata-mata didasarkan atas wujud
fonologis atau wujud ortografisnya, sedangkan kata menurut pengertian (b) dan (c)
berhubungan dengan konsep derivasi dan infleksi, sehingga apabila kita berbicara
mengenai konsep leksem tidak bisa dipisahkan dari konsep derivasi dan infleksi.
Di pihak lain, O’Grady dan Dobrovolsky (9189: 91) menyatakan bahwa
definisi kata yang paling umum diterima oleh para linguis adalah bahwa kata
merupakan suatu bentuk bebas yang terkecil, yaitu suatu unsur yang dapat muncul
tersendiri dalam berbagai posisi dalam kalimat. Mengingat kenyataan ini, O’Grady
dan Dobrovolsky (1989: 89) membagi semua kata dalam suatu bahasa ke dalam dua
kategori utama: 1) kategori kata tertutup (close categories), yang mencakup katakata fungsi, dan 2) kategori kata terbuka (open categories), yang mencakup
kategori-kategori leksikal mayor, seperti nomina, verba, adjektiva, dan adverbia.
Kepada kategori-kategori leksikal mayor inilah kata-kata baru dapat ditambahkan.
Karena masalah utama morfologi ialah bagaimana orang membentuk dan memahami
kata yang belum pernah ditemukan sebelumnya, maka morfologi hanya berurusan
dengan kategori-kategori leksikal mayor.
Setiap kata yang menjadi anggota suatu kategori leksikal mayor disebut butir
leksikal yang merupakan entri dalam leksikon. Entri untuk setiap butir leksikal akan
mencakup pengucapannya (fonologi), informasi tentang maknanya (semantik),
termasuk kategori leksikal apa dan dalam lingkungan sintaksis mana kata itu dapat
139
muncul (subkategorisasi). Selanjutnya, ditinjau dari segi bentuknya, terdapat dua
jenis kata dalam bahasa manusia, yaitu (1) kata sederhana dan (2) kata kompleks.
Kata sederhana adalah kata yang tidak dapat diuraikan menjadi satuan-satuan
bermakna yang lebih kecil sedangkan kata kompleks adalah kata yang dapat
diuraikan menjadi bagian-bagian konstituen yang menyatakan suatu makna yang
dapat dikenal.
Sekian banyak pengertian kata yang dikemukakan di atas, pada prinsipnya
memang sama, tetapi mungkin cara penyampaiannya serta sudut pandang yang
digunakan berbeda. Semuanya sependapat bahwa kata merupakan satuan bebas
terkecil atau unsur bahasa yang dapat berdiri sendiri. Jadi, batasan-batasan tersebut
di atas saling melengkapi satu dengan yang lain. Terkait dengan kajian ini, penulis
sependapat mengenai pengertian kata dengan kriteria tersebut untuk diterapkan
dalam kajian [M-] Sebagai Afiks Derivasional Dan Infleksional Bahasa Sasak
Dialek Kuto-Kute.
PEMBAHASAN
PROSES DERIVASI
Derivasi pada umumnya dilakukan dengan proses afiksasi, yakni melalui
mekanisme pelekatan afiks pada kata dasar, tetapi ada pula melalui derivasi zero,
dapat dicontohkan: kata tambah ‘cangkul’ kategori semantik: nomina, dapat berubah
menjadi verba melalui proses afiksasi.
Narsah
jauk
tambah
Nnd
membawa (V) cangkul (N)
‘Narsah membawa cangkul’
bandingkan dengan:
Tambah
bangket
tia
cangkul
(V)
sawah (N)
‘Cangkul (lah) sawah itu Narsah’
Narsah
art
Nnd
Di samping perian data di atas, dalam BSDK juga ditemukan data berikut ini.
goreng
 + goreng
Kata dasar V



ngoreng

infleksi V

pengorengan
[pә+[+[gore] ]-an]
derivasi N.
140
Jadi, [pә-[-an]N-aff+[gore]V ]-an] (derivasi N) ‘alat’ diperlakukan melalui
mekanisme
pembentukan
kata
derivasional
yang
bersifat
jalin-menjalin
(concatenation). Artinya, kata bentukan /pengorengan/ merupakan hasil kombinasi
dari unsur-unsur pembentuk menjadi sebuah rangkaian yang linear. Dapat dikatakan
di sini bahwa kata bentukan /pengorengan/ dibentuk melalui dua langkah. ( lihat
Booij, 2007: 7-8)
Infleksi secara umum beroperasi membentuk kata menyangkut perubahan
bentuk yang meliputi: jumlah, jenis (gender), kasus unit nomina, dan meliputi aspek,
kala, modalitas dan diatesis untuk verba. Dalam BSDK, infleksi verba meliputi
perubahan valensi (termasuk diatesis di dalamnya), sedangkan untuk aspek, kala,
modalitas, demikian pula infleksi nomina tidak ada pemarkah berupa afiks secara
ajek. Dalam BSDK terdapat afiks-afiks yang dapat mengubah kategori sintaksis
suatu kata yang lebih dikenal dengan afiks derivasional dan ada juga afiks-afiks
yang tidak membentuk suatu unit leksikal yang baru yang lebih dikenal dengan afiks
infleksional.
AFIKS PEMBENTUK VERBA
Afiks {mә-} memiliki fungsi derivatif ketika afiks {mә-} itu dilekatkan
dengan MD yang berkategori N, Adj. dan Num. Akan tetapi afiks {mә-} juga
berfungsi infleksif jika MD yang dilekatkan dengan {mә-} itu berkategori V. Afiks
{mә-}memiliki morf-morf: {mә-}{mәm-}{mә-}{mәә-}, dan {mәn-} yang
menunjukkan kemiripan secara formal di samping secara semantik menunjukkan
adanya pertalian, yakni makna aktif intransitif (lihat tabel 4.1 di bawah).
141
Tabel 4.1 Contoh Kata Bentukan derivasi prefiks {m -}
Transkripsi
Fonemik
Kata Jadian
MD + mә/mearit/
/meanak/
/meonda/
Transkripsi
Fonetik
Kata Jadian
Glos
Morfem Dasar
(MD)
Perubahan
kategori
[mәart]
[mәanak]
[mәonda]
‘menyabit’
‘melahirkan’
‘mengendarai’
/arit/ ‘sabit’
/anak/ ‘anak’
/onda/ ‘sepeda
motor’
/odol/ ‘pasta
gigi’
/utaq/
‘muntahan’
/uan/ ‘hujan’
/impi/ ‘mimpi
/iak/ ‘nafas’
/elaq/ ‘lidah’
/ende/ ‘prisai’
N→V
N→V
N→V
/meodol/
[mәodl]
‘memakai pasta’
/meutaq/
[mәuta]
‘muntah’
/meujan/
/meimpi/
/meiak
/meelaq/
/meende/
[mәuan]
[mәimpi]
[mәiak]
[mәela]
[mәende]
/megabah/
/megajo/
[mәgabah]
[mәgaj]
‘mandi hujan’
‘bermimpi’
‘bernafas’
‘berbicara’
‘menggunakan
prisai’
‘memanen padi’
‘menimba air’
/gabah/ ‘padi’
/gajo/
‘gayu’
‘memakai gelang’ /gla/
‘gelang’
‘memakai kain’
/kere/ ‘kain’
‘memakai kalung’ /kalo/
‘kalung’
‘berdiam diri’
/sepi/ ‘sepi’
‘memakai parfum /seeh/’
wangi’
‘mencari angin’
/eln/ ‘sejuk’
‘berteduh’
/alung/ ‘teduh’
‘bertindak seperti /edan/ ‘gila’
orang gila
‘menyatu’
/sopoq/ ‘satu’
N→V
N→V
/megela/
[mgәla]
/mekere/
/mekalo/
[mәgker]
[mәkal]
/meepi/
/meeeh/
[mәәpi]
[mәәh]
/meelen/
/mealu/
/meedan/
[mәeln]
[mәalu]
[mәedan]
/meopoq/
[mәop]
N→V
N→V
N→V
N→V
N→V
N→V
N→V
N→V
N→V
N→V
Adj→V
Adj→V
Adj→V
Adj→V
Adj→V
Num→V
Prefiks {mә-} dalam BSDK di samping memiliki fungsi derivatif yakni membentuk
kata dasar nonverbal menjadi verba intransitif juga memiliki fungsi infleksif. Oleh karena itu,
prefiks {mә-} dalam bahasa ini bersifat derivasional kehadirannya. Kederivasionalan sifat
-} karena berdasarkan data di atas, morfem dasar yang berkategori nomina (N), adjektiva
(Adj), numeralia (Num) berubah menjadi verba setelah dilekatkan dengan afiks tersebut. Dari
142
data di atas (diambil lima data: menganak, mengimpi, mengonda, menggabah, dan mengiak) ,
apabila didistribusikan dalam kalimat, maka akan tampak seperti berian berikut.
1)
Yanti
menganak
kon
[ Yanti
mәanak
kn
NNd
mә-anak
di
‘Yanti melahirkan di rumah’
bale
bale ]
rumah
2)
Sukran
mengimpi
tekelem
[ Sukran
mәimpi
tәkәlәm ]
NNd mә-mimpi semalam
‘Sukran bermimpi semalam’
3)
Qurtubi
mengonda
paq
peken
[ Qurtubi
mәonda
pa
pәkәn ]
NNd mә-honda ke
pasar
“Qurtubi mengendarai sepeda motor ke pasar’
4)
Sarudin
menggabah tebin
kon
Panon
[ Sarudin
mәgabah
tәbn
kn Panon ]
NNd mә-gabah kemarin
di
Panon
‘Sarudin memanen padi kemarin di Panon’
5)
Manuk
nunu masih mengiak
[ Manuk
nunu masih mәiak
Ayam
itu
masih
-nafas
“Ayam itu masih bernafas belum mati’
depoq mate
dep mate ]
belum mati
Kalimat (1) sampai dengan kalimat (5) di atas menunjukkan bahwa prefik {mә-}
berfungsi membentuk verba intransitif karena kehadiran konstituen yang mengikuti kata jadian:
(menganak [mәanak] ‘melahirkan’, mengimpi mәimpi] ‘bermimpi’, mengonda [mәonda]
‘mengendarai motor’, menggabah [mәgabah] ‘memanen padi’, dan /mengiak/ [mәiak]
‘bernafas’) tidak mutlak dibutuhkan sehingga kalimat (1) sampai dengan kalimat (5) dapat
berbentuk Yanti menganak ‘Yanti melahirkan’, kalimat (2) dapat berbentuk Sukran mengimpi
‘Sukran bermimpi’, kalimat (3) dapat berbentuk Qurtubi mengonda ‘Qurtubi mengendarai
sepeda motor’, kalimat (4) dapat berbentuk Sarudin menggabah ‘Sarudin memanen padi’, dan
terakhir kalimat (5) dapat berbentuk Manuk nunu masih mengiak ‘Ayam itu masih bernafas’
-} juga dapat bergabung
dengan bentuk dasar adjektiva (Adj). Data pada tabel di atas: menyepi [mәәpi] ‘berdiam diri’,
menyengeh [mәәh] ‘memakai parfum’, mengelen [mәeln] ‘mencari angin’, mengalung
143
[mәalu] ‘berteduh’, dan mengedan [mәedan] ‘berperilaku seperti orang gila’) adalah
termasuk kata jadian atau kata bentukan yang diproses dengan melekatkan prefiks {mәng-}
dengan bentuk dasar berkelas adjektiva. Ihwal pendistribusian kata bentukan tersebut dapat
dilihat dalam kalimat (6) sampai dengan kalimat (10) berikut.
(6)
Marsih
menyepi
kon
rong
[ Marsih
mәәpi
kn ro]
NNd
meng-sepi
di
kamar
‘Marsih berdiam diri di dalam kamar’
(7)
Sukardan
menyengeh
lalo sekolah
[ Sukardan
mәәh
lalo
sәkolah ]
NNd
meng-wangi pergi sekolah
‘Sukardan memakai parfum pergi sekolah’
(8)
Amaq
mengelen
kon
teras bilang tengari
[ama
mәeln
kn teras bila tәari ]
NNd
meng-sejuk di
teras tiap
siang
‘Ayah mencari angin di teras setiap siang hari’
(9)
Faridah
mengalung
kon
bawaq ketapang
[ Faridah
mәalu
kn bawa kәtapa]
NNd
meng-teduh di
bawah ketapang
‘Faridah berteduh di bawah (pohon) ketapang’
(10)
Kadep
mengedan
tebin
kon
lapangan
[Kadәp
mәedan
tәbn
kn
lapaan]
NNd
meng-gila
kemarin
di
lapangan
‘Kadep berperilaku seperti orang gila kemarin di lapangan’
Kalimat (6) sampai dengan kalimat (10) di atas menunjukkan bahwa prefik {mә-}
berfungsi membentuk verba intransitif karena kehadiran konstituen yang mengikuti kata jadian: (
menyepi [mәәpi] ‘berdiam diri’, menyengeh [mәәh] ‘memakai parfum’, mengelen
[mәeln] ‘mencari angin’, mengalung [mәalu] ‘berteduh’, dan mengedan [mәedan]
‘berperilaku seperti orang gila’ ) tidak mutlak dibutuhkan sehingga kalimat (6) sampai dengan
kalimat (10) dapat berbentuk: (6) Marsih menyepi ‘Marsih berdiam diri’, kalimat (7) dapat
berbentuk Sukardan menyengeh ‘Sukardan memakai parfum’, kalimat (8) dapat berbentuk Amaq
mengelen ‘Ayah mencari angin’, kalimat (9) dapat berbentuk Faridah mengalung ‘Faridah
144
berteduh’, dan kalimat (10) dapat berbentuk Kadep mengedan ‘Kadep berperilaku seperti orang
gila’
Di samping melekat pada bentuk
-}
juga dapat bergabung dengan bentuk dasar numeralia (Num). Data pada tabel di atas: (menyopoq
[mәop] ‘bersatu’, menjadi satu’. Perhatikan kalimat (11) di bawah ini.
(11)
Lokaq
bajang
menyopoq
kon
[ Loka
baa
mәop
kn
Tua
muda
meng-satu
di
‘Tua muda menyatu (berkumpul) di masjid’
mesjid
mәsid ]
masjid
Tampak jelas bahwa bentuk dasar sopoq [sop] ‘satu’ mengalami perubahan kategori
dari adjektiva menjadi verba. Perubahan ini dikarenakan morfem dasar yang dimaksud mendapat
bubuhan prefiks {mә-}. Konstruksi di atas dapat berbentuk Lokaq bajang menyopoq ‘Tua
muda berkumpul’ karena kehadiran konstituen kon mesjid ‘di masjid’ tidak mutlak diperlukan.
Di samping dapat bergabung dengan morfem dasar (MD) nomina, adjektiva, dan numeralia,
-} dapat bergabung dengan MD verba. Misalnya: beli [bәli] ‘beli’, peta [peta] ‘cari’,
bait [bat] ‘ambil’, jual [jual], engat [eat] ‘lihat’, tulis [tuls] ‘tulis’, talet [talәt] ‘tanam’ dan
sejenisnya. Akan tetapi, pelekatan afiks {mә-} tidak mengubah kategori MD yang dilekati oleh
{mә-}. Dengan demikian, kehadiran {mә-} infleksional sifatnya ketika MD yang dilekatinya
adalah verba. Perhatikan tabel 4.2 berikut ini.
Tabel 4.2 Penurunan verba dengan MD verba infleksional {mәŋ-}
Transkripsi
Fonemik
Kata Jadian
/membeli/
/memeta/
/membait/
/menual/
/meeat/
/mekea/
/menulis/
/menalet/
Transkripsi
Fonetik
Kata Jadian
[mәmbәli]
[mәmeta]
[mәmbaijt]
[mәnuwal]
[mәeat]
[mәkea]
[mәnuls]
[mәnalәt]
Glos
‘membeli’
‘mencari’
‘mengambil’
‘menjual’
‘melihat’
‘memakai’
‘menulis’
‘menanam’
Morfem Dasar
(MD)
/beli/ ‘beli’
/peta/ ‘cari’
/bait/ ‘ambil’
/jual/ ‘jual’
/eat/ ‘lihat’
/keang/ ‘pakai’
/tulis/ ‘tulis’
/talet/ ‘tanam’
Perubahan
bentuk
(transposisi)
V→V
V→V
V→V
V→V
V→V
V→V
V→V
V→V
145
Data pada tabel 4.2 di atas: ( membeli [mәmbeli] ‘membeli’, memeta [mәmeta] ‘mencari’,
membait [mәmbat] ‘mengambil’, menjual [mәnjual] ‘menjual’,
mengengat [mәeat]
‘melihat’, mengkeang [mәkea] ‘memakai’, menulis [mәnuls] ‘menulis’, dan menalet
[mәnalәt] ‘menanam’) termasuk kata jadian atau kata bentukan yang diproses dengan
melekatkan prefiks {mә-} dengan bentuk dasar berkelas verba. Ihwal pendistribusian kata
bentukan tersebut dapat dilihat dalam kalimat (12) sampai dengan kalimat (18) berikut.
(12)
Marsih
membeli
[ Marsih
mәmbәli
NNd
meng-beli
‘Marsih membeli pecel’
pecel
pәcәl ]
pecel
(13)
Sukardan
memeta
pegawean
[ Sukardan
mәmeta
pәgawean ]
NNd
meng-peta
pekerjaan
‘Sukardan mencari pekerjaan’
(14)
Amaq
membait
tambah kon gudang
[ Ama
mәmbat
tambah k
NNd
meng-bait
cangkul di gudang
‘Ayah mengambil cangkul di gudang’
(15)
Faridah
menjual
[ faridah
mәnual
NNd
meng-jual
‘Faridah menjual kalung’
kalong
kal]
kalung
(16)
Kadep
mengengat
[Kadәp
mәeat
NNd
meng-engat
‘Kadep melihat lukisan itu’
lukisan eno
lukisan әno]
lukisan itu
(17)
Sarudin
menulis
[Sarudin
mәnuls
NNd
meng-tulis
‘Sarudin menulis lontar’
lontar
lontar ]
lontar
(18)
Tono menalet
ambon kon kebon
[Tono mәnalәt
ambn kn kәbn]
NNd meng-talet ubi
di kebun
‘Tono menanam ubi di kebun’
146
Kalimat (12) sampai dengan kalimat (18) di atas menunjukkan bahwa prefiks {mә-}
berfungsi membentuk verba transitif karena kehadiran konstituen yang mengikuti kata jadian: (
membeli [mәmbәli] ‘membeli’, memeta [mәmeta] ‘mencari’, membait [mәmbat] ‘mengambil’,
menjual [mәnjual] ‘menjual’, mengengat [mәeŋat] ‘melihat’, menulis [mәnuls] ‘menulis’, dan
menalet [mәnalәt] ‘menanam’) mutlak dibutuhkan sehingga kalimat (12) sampai dengan kalimat
(18) termasuk ke dalam kalimat aktif transitif karena predikat kalimat (12-18) menghendaki
objek. Jadi, dapat diperikan di sini bahwa ketika {mә-} dilekatkan dengan MD yang
berkategori N, Adj, Num, maka {mә-} memiliki fungsi derivasional karena pelekatan {mә-}
telah menyebabkan perubahan kategori MD yang dilekatinya menjadi verba intrnasitif. Adapun
ketika MD yang dilekati oleh {mә-} adalah verba (V), maka {mә-} memiliki fungsi
infleksional karena tidak menyebabkan perubahan kategori terhadap MD yang diekatinya.
SIMPULAN
Berdasarkan pada isu sentral dan kelogisan masalah yang dikaji dalam makalah
sederhana ini, maka hal-hal berikut dapat dijadikan simpulan kajian. Pertama, morfem afiks
{mә-} dalam BSDK termasuk ke dalam afiks derivasional dan juga infleksional. Kedua,
-} ketika melekat
dengan BD nomina dan mengubahnya menjadi verba, {mә-} yang melekat pada verba dan
mengubahnya menjadi nomina, serta {mә-}yang melekat pada adjektiva dan mengubahnya
menjadi verba. Adapun {mә-}berfungsi inflektif ketika dilekatkan dengan BD yang berkategori
verba.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Mitra Bestari yang telah memberikan
masukan-masukan yang sangat bermanfaat bagi perbaikan artikel ini.
DAFTAR PUSTAKA
Akmajian,dkk. 1984. Linguistic: An Introduction to Language and Communication. Camridge,
Massachusetts: The MIT Press.
Bauer, L.1987. English Word- Formation. Cambridge: Cambridge University Press.
Booij, Geert. 2007. The Grammar of Words: An Introduction to Morphology. (second edition). Oxford
Textbooks in Linguistics, Oxford University Press.
Crowley, Terry. 2007. Field Linguistics: A Beginner’s Guide. Oxford New York: Oxford University
Press.
147
Crystal. D. 1997. A Dictionary of Linguistics and Phonology. London: Blackwell.
Dardjowidjojo, Soenjono. 1983. Beberapa Aspek Linguistik Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Hockett, Charles F.1959. A Course in Modern Linguistics. New York: The Mac Millan Company.
Katamba,F.1993. Morphology. London: Macmilland Press,LTD.
Keraf,Gorys. 1994. Diksi dan Gaya Bahasa.Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Kridalaksana, Harimurti.1996. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. (edisi kedua). Jakarta:PT
Gramedia Pustaka Utama.
Malmkjær, K. 1995. The Linguistics Encyclopedia. London: Routledge.
Matthews, P.H. 1997. The Concise Oxford Dictionary of Linguistics. New York:Oxford University Press.
Mc Carthy, Andrew Carstairs. 1992. Current Morphology. London and New York: Routledge.
Muslich, Masnur.1990.Tata Bentuk Bahasa Indonesia: Kajian ke Arah Tata Bahasa Deskriptif.YA3
Malang.
Nida, Eugene. 1974. Morphology: The Descriptive Analysis of Words. An Arbor (second edition): The
University of Michigan Press.
O’grady, William dan Michael Dobrovolsky. 1989. Comtemporary Linguistics, New York: St. Martin
Press.
Ramlan, M.1987. Morfologi: Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta:CV Karyono.
Spencer, A. 1993. Morphological Theory. Cambridge: Blackwell Publisher.
Sukri,Muhammad. 2008. Sistem Morfologi Bahasa Sasak Dialek Kuto-Kute: Kajian Berdasarkan
Morfologi Generatif (disertasi). Denpasar: Program Doktor Linguistik Universitas Udayana.
Download