SANKSI TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN

advertisement
SANKSI TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009
DITINJAU DARI HUKUM ISLAM
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Program Studi Jinayah Syiasah
untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy.)
Oleh :
FARID FAUZI
NIM. 1110045100018
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H / 2015 M
ABSTRAK
Farid Fauzi. NIM 1110045100018.Sanksi Tindak Pidana Penyalahgunaan
Narkotika Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Ditinjau Dari Hukum
Islam. Konsentrasi Kepidanaan Islam, Program Studi Jinayah Siyasah, Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Tahun
1437 H/2015 M. viii + 73 halaman +1 lampiran.
Masalah utama dalam skripsi ini adalah mengenai sanksi tindak pidana
penyalahgunaan narkotika. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui sanksi tindak
pidana penyalahgunaan narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
ditinjau dari hukum Islam.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang berarti penulis tidak
menggunakan sample. Pengumpulan data dilakukan dengan metode kepustakaan,
penulis melakukan pengidentifikasian secara sistemis dari sumber yang berkaitan
dengan objek kajian. Setelah data diperoleh penulis menganalisis secara yuridis
normatif data yang diperoleh terhadap objek kajian.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketentuan sanksi dalam UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 digololongkan kepada tiga golongan. Sanksi yang
diberikan adalah pidana penjara minimal 2 tahun dan maksimal 20 tahun ditambah
dengan denda. Dalam hukum Islam penyalahgunaan narkotika dikenakan sanksi,
yaitu jarimah ta’zir.
Kata Kunci: jarimah ta’zir
Pembimbing
Daftar Pustaka
: Dr. H. Abdurrahman Dahlan, M.A.
: Tahun 1964 s.d. Tahun 2014
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, syukur kepada Allah SWT, atas berkat rahman dan rahim-Nya
kita diberikan pilihan untuk hidup dan bersikap sewajarnya manusia yang berfikir,
tanpa lupa akan tunduk terhadap perintah dan larangan-Nya. Shalawat serta salam
kepada Nabi kita Muhammad SAW, semoga kita menjadi pengikut beliau yang
diakui serta diberikan syafa’atnya di akhirat kelak. Ậmîn.
Selanjutnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada para pihak yang, baik
secara langsung maupun tidak langsung telah membantu dalam penyelesaian skripsi
ini.
1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA.
2. Ketua dan Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah. Dra. Hj. Maskufa, M.Ag
dan Dra. Hj. Rosdiana, M.Ag.
3. Dr. H. Abdurrahman Dahlan, M.A selaku dosen pembimbing, yang dengan
arahan dan bimbingan beliau saya bisa menyelesaikan skripsi ini.
4. Segenap dosen fakultas syari’ah dan hukum
yang dengan ikhlas
menyampaikan ilmu dan pengetahuannya dalam kegiatan belajar mengajar.
5. Kedua orang tua penulis, Ayah Drs. H. Kosasih S.A.P dan Ibu Sry yuningsih
S. Pd.I, atas semua yang telah diberikan dan dikorbankan, termasuk motivasi
vi
dan masukan yang diberikan keduanya kepada penulis dalam penyelesaian
skripsi dan studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Alya Hikmah Fauziyah selaku adik yang selalu memberi dukungan khususnya
selama penulisan skripsi ini berjalan.
7. Nurfitriana kartini yang selalu memberikan dukungan dan masukan dengan
sepenuh hati dari awal sampai akhir dalam penulisan skripsi.
8. Teman-Teman seperjuangan Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi
Pidana Islama ngkatan 2010 yang telah memberikan semangat dan motivasi
selama menjalani perkuliahan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
9. Kepada sahabat-sahabatku dalam kelompok Kampak Mintul mikael El
Dhafin, Andika yudho, Gerardin Ferari, Rijal El Muslim, Ridwan Daus,
M.Fadillah (Bedil), Masrur Fuadi (Mas Mukey), Edo Fahmi (Edos), dan
Badru Tamam (Gondes) Terima kasih sebanyak-banyaknya yang selalu
bersedia menemani penulis baik berdiskusi maupun berpetualang.
10. Kepada sahabatku yang setia menamaniku dalam pembuatan skripsi, Syahuri,
Rodhi Firdaus, Jaky, dan M. Heri saya ucapkan beribu-ribu terimakasih.
Akhirnya penulis berharap semoga Allah SWT memberi mereka balasan yang
jauh lebih besar dari apa yang mereka lakukan dan berikan, khususnya kepada penlis,
umumnya kepada semua pihak, baik yang menyangkut penulisan skripsi ini atau hal
lainya.
vii
Peulis berharap semoga skripsi ini Allah jadikan wasîlah yang dapat
memberikan manfaat khususnya terhadap diri saya sendiri, umumya bagi pembaca
sekalian.
Ậmîn yâ Rabb al- ‘Ậlamîn.
Jakarta, 30 Maret 2015
Farid Fauzi
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................................... iv
ABSTRAK .................................................................................................................. v
KATA PENGANTAR ............................................................................................... vi
DAFTAR ISI .............................................................................................................. ix
BAB I
PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................ 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................ 10
D. Review Terdahulu................................................................................ 11
E. Metode Penelitian ................................................................................ 12
F. Sistematika Pembahasan ..................................................................... 14
BAB II
NARKOTIKA DAN PERMASALAHANNYA..................................... 17
A. Pengertian Narkotika ........................................................................... 17
B. Jenis-Jenis Narkotika ........................................................................... 19
C. Efek Yang Terjadi Dalam Penyalahgunaan Narkotika........................ 24
BAB III SANKSI
PENYALAHGUNAAN
NARKOTIKA
MENURUT
UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009................................. 29
A. Pengertian Tindak Pidana ................................................................... 29
B. Perbuatan-Perbuatan Yang Termasuk Dalam Lingkup Tindak Pidana
Penyalahgunaan Narkotika .................................................................. 32
C. Sanksi Terhadap Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Menurut
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 ............................................. 35
ix
BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PENYALAHGUNAAN
NARKOTIKA .......................................................................................... 43
A. Pengertian Hukum Islam ..................................................................... 43
B. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sanksi Tindak Pidana Narkotika
Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 ............................. 54
C. Persamaan
Dan
Perbedaan
Sanksi
Terhadap
Tindak
Pidana
Penyalahgunaan Narkotika Menurut Hukum Islam dan UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 ........................................................... 61
BAB V
PENUTUP ................................................................................................ 67
A. Kesimpulan .......................................................................................... 67
B. Saran .................................................................................................... 68
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 69
x
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penyalahgunaan narkotika dan obat berbahaya disingkat dengan narkoba
merupakan masalah sangat kompleks yang memerlukan upaya penanggulangan
secara komprehensif, terus menerus dan aktif dengan melibatkan para ahli, pihak
penegak hukum, dan seluruh elemen masyarakat.
Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, yang dimaksud
dengan narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sitetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan
atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan
rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Dalam praktek kedokteran,
narkotika masih bermanfaat untuk pengobatan, tapi bila disalahgunakan atau
digunakan tidak sesuai menurut indikasi medis atau standar pengobatan, akan
sangat merugikan bagi penggunanya.
Penyalahgunaan narkotika sudah sampai tingkat yang mengkhawatirkan.
Hal itu terlihat semakin maraknya penyalahgunaan narkotika dikalangan para
pelajar, remaja, pejabat negara, elit politik, bahkan para aparat keamanan dan
penegak hukum itu sendiri.1
Walaupun narkotika adalah bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan
atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, namun di sisi
1
M. Arief Hakim, Bahaya Narkoba-Alkohol: Cara Islam Mencegah, Mengatasi, dan
Melawan, (Bandung: Nuansa, 2004), hlm. 31.
1
2
lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila
disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat
dan saksama.
Masalah penyalahgunaan narkotika di Indonesia, sekarang ini sudah sangat
memprihatinkan. Keadaan tersebut disebabkan beberapa hal, antara lain adalah
kesadaran masyarakat Indonesia tentang kurang taatnya terhadap ajaran agama,
norma dan aturan perundang-undangan. Keadaan tersebut diperparah dengan
pesatnya pengaruh globalisasi yang membawa arus informasi dan trasformasi
budaya yang sangat pesat, diantaranya penyalahgunaan narkoba.
Masyarakat Indonesia saat ini sedang dihadapkan pada keadaan yang sangat
mengkhawatirkan akibat maraknya peredaran gelap narkoba, penggunaan narkoba
secara ilegal ditengah kehidupan masyarakat.
Narkotika terbagi menjadi beberapa golongan antara lain adalah morphin,
heroin, ganja dan cocoain, shabu-shabu, koplo dan sejenisnya. Bahaya
penyalahgunaan tidak hanya terbatas pada diri pecandu, melainkan dapat
membawa akibat lebih jauh lagi, yaitu gangguan terhadap tata kehidupan
masyarakat yang bisa berdampak pada malapetaka runtuhnya suatu bangsa negara
dan dunia.2
Dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
oleh Pemerintah Republik Indonesia merupakan kebijakan untuk mengendalikan,
mengawasi pengguanaan dan peredaran narkotika serta pemberian sanksi terhadap
penyalahgunaannya.
2
M. Arief Hakim, Bahaya Narkoba-Alkohol, hlm. 31.
3
Pasal-pasal didalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 merupakan
upaya pemberian sanksi pidana bagi pengguna dan pengedar yang menyalahi
ketentuan perundang-undangan dengan lebih mengedepankan sisi kemausiaannya.
Pengguna yang mengalami kecanduan narkotika dilakukan rehabilitasi agar
terbebas kebiasaan menggunakan narkotika.
Berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang
Narkotika, didalamnya jelas bahwa pelaku penyalahgunaan narkotika merupakan
pelaku tindak pidana narkotika. Disamping itu undang-undang tersebut juga telah
mengklasifikasikan para pelaku menjadi dua golongan yaitu sebagai berikut :
1. Pecandu narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan
narkotika dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik
maupun secara psikis.
2. Penyalahguna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau
melawan hukum (melakukan tindakan hukum).3
Pada pecandu narkotika, hakekatnya mereka lebih tepat dikategorikan
sebagai korban pergaulan secara bebas dari ulah tangan para penyalahguna
narkotika yang melakukan kejahatan mengedarkan narkotika secara ilegal. Secara
khusus, Pskiater (ahli kejiwaan) menganggap bahwa tidak tepat apabila pecandu
narkotika diberikan sanksi pidana yang berupa penjatuhan pidana penjara, karena
apabila memang itu yang diterapkan, maka yang terjadi adalah pecandu narkotika
dapat mengalami depresi berat yang berpotensi tinggi mengganggu mental karena
3
Moeljatno. Kitab undang-undang hukum pidana, Pasal 1 Undang-Undang Nomor 35
tahun 2009 tentang Narkotika (Pradnya Paramita, 2004)
4
tidak mendapatkan bantuan dalam bentuk perawatan oleh pihak ahli dalam bidang
psikologis (rehabilitasi).4
Pecandu narkotika seharusnya mendapatkan tindakan rehabilitasi oleh ahli
pisikolog, hal tersebut bertujuan untuk memberikan pelajaran dan perawatan agar
pengguna atau pengkonsumsi narkotika tidak mengulangi perbuatan yang sama
dimasa yang akan datang.
Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009, memiliki kencederuangan
memidanakan, baik produsen, distributor, konsumen dan masyarakat dengan
mencantumkan ketentuan pidana sebanyak 39 Pasal dari 150 Pasal yang diatur
dalam undang-undang tersebut.
Beberapa materi baru dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang
Narkotika, menunjukkan adanya upaya-upaya dalam memberikan efek psikologis
kepada masyarakat agar tidak terjerumus dalam tindak pidana narkotika, telah
ditetapkan ancaman pidana yang lebih berat, minimum dan maksimum mengingat
tingkat bahaya yang ditimbulkan akibat penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika, sangat mengancam ketahanan keamanan nasional.5
Manusia pada dasarnya dapat berbuat berdasarkan kehendak secara bebas
menurut akalnya. Tetapi dalam kehidupan bermasyarakat, kebebasan tersebut
dibatasi oleh ketentuan-ketentuan yang mengatur tingkah laku dan perbuatan
manusia. Ketentuan tersebut berupa norma-norma yang terdapat dalam
masyarakat yang bertujuan untuk menjamin ketertiban dalam masyarakat.
4
5
Siswo Wiratmo, Pengantar Ilmu Hukum, (Yogyakarta: FH. UII, 1990), hlm. 9.
Ibid. hlm. 9.
5
Berlakunya undang-undang ini dijelaskan dalam Pasal 155, disebutkan
bahwa, “undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan”.
Disahkannya Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika pada
tanggal 12 Oktober 2009, maka undang-undang ini telah mempunyai daya
mengikat dalam rangka penegakan hukum terhadap pelaku penyalahgunaan
narkotika, maka secara otomatis Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 yang
harus diterapkan. 6
Sebagaimana hukum positif, dalam hukum Islam terdapat sanksi bagi
pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika ini. Pelaku tindak pidana ini
dalam hukum Islam dimasukan ke dalam katagori jarimah ta’zir hal ini
disebabkan efek yang ditimbulkan akibat mengkonsumsinya dapat mengganggu
kesehatan akal dan jiwa bahkan menyebabkan kematian, perbuatan pidana ini
tidak di tentukan dalam Al-Qur’an dan hadis.7
Melihat dari sifatnya, narkotika dapat disamakan dengan khamar, khamar
mengandung zat kimia alkohol yang akan merusak kesehatan manusia. Dalam hal
ini, berbagai hasil penelitian menemukan bahwa semakin tinggi kandungan kadar
alkohol minuman memabukkan, maka semakin tinggi pula pengaruh terhadap
kesehatan.8
Alkohol termasuk zat adiktif, artinya zat tersebut dapat menyebabkan
ketagihan dan ketergantungan bila dikonsumsi. Karena zat adiktifnya tersebut
6
7
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, hlm. 27.
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayat), (Bandung; Pustaka Setia, 2000),
hlm. 96.
8
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta:Sinar Grafika, 2009), hlm. 87.
6
maka orang yang meminumnya lambat-laun disadari atau tidak akan menambah
takaran sampai pada dosis keracunan (intoksidasi) atau mabuk.9
Pada zaman klasik, cara mengonsumsi hal-hal yang memabukkan ada yang
diolah dalam bentuk minuman sehingga para pelakunya disebut peminum. Pada
zaman modern, benda yang memabukkan dapat dikemas menjadi aneka kemasan
berupa benda padat, cair, maupun gas, bahkan ada yang dikemas menjadi bentuk
makanan, minuman, tablet, kapsul atau serbuk, sesuai dengan kepentingan.10
Syariat Islam mengharamkan khamar sejak 14 abad yang lalu, hal ini
berkaitan dengan penghargaan Islam terhadap akal manusia yang merupakan
anugerah dari Allah, dan harus dipelihara sebaik-baiknya. Pada masa kini
golongan umat non muslim mulai menyadari akan manfaat diharamkannya
khamar setelah terbukti bahwa khamar dan sebagainya (penyalahgunaan
narkotika, ganja, dan obat-obatan) membawa mudharat atau efek buruk bagi
pengkonsumsi dan lingkungannya.11
Jumhur ulama tidak membedakan antara
meminum
khamar dan
mengkonsumsi minuman keras lainnya. Mereka mengatakan, setiap minuman
yang jika banyak bisa memabukkan, maka meskipun sedikit tetap haram, dan itu
adalah khamar, hukumnya sama seperti minuman keras yang terbuat dari air
anggur dalam hal pengaharamanya dan keharusan peminumnya untuk dikenai
hukuman had.12
9
Mardani, Penyalahguaan Narkoba Dalam Perspekif Hukum Islam dan Hukum Pidana
Nasional, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 88-89.
10
Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 74-76.
11
Ahmad Djazuli, Fikih Jinayah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 95-96
12
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm.
430.
7
Semua jenis bahan yang memabukkan hukumnya tetap haram, seperti
khamar, ganja, kokain, heroin, obat-obatan dan semacamnya. Hanya saja karena
meminum merupakan unsur penting dalam jarimah minuman khamar maka
bahan-bahan yang dikonsumsi tidak dengan jalan diminum, seperti ganja, kokain,
heroin, dan semacamnya tidak mengakibatkan hukuman had, melainkan hukuman
ta’zir.13
Nabi Muhammad SAW bersabda :
ِ َ‫ لُعِن‬:‫ قَ َال رسو ُل هللاِ ص‬:‫ع ِن اب ِن عمر قَ َال‬
‫ بِ َعْينِ َها َو‬:‫ت اْخلَ ْم ُر َعلَى َع َشَرةِ اَْو ُج ٍو‬
ُْ َ
ََ ُ ْ َ
ِ َ‫ص ِرىا و بائِعِها و مبت‬
ِ َ‫اص ِرىا و معت‬
ِ ‫ع‬
‫اع َها َو َح ِاملِ َها َو اْمل ْح ُم ْولَِة اِلَْي ِو َو آكِ ِل ََثَنِ َها‬
َ
ْ
َ
َ
ْ
َ
ُ
َ
ُ
َ
َ
َ
َ
(‫(رواه ابن ماجو‬.‫َو َشا ِرِِبَا َو َساقِْي َها‬
“Dari Ibnu 'Umar ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Telah
dila’nat khamr atas sepuluh hal : 1. khamr itu sendiri, 2. pemerasnya, 3.
yang minta diperaskan, 4. penjualnya, 5. pembelinya, 6. pengantarnya, 7.
pemesannya, 8. yang memakan harganya, 9. peminumnya, dan 10. yang
menuangkannya". (HR. Ibnu Majah juz 2, hal. 1121, no. 3380).14
Berdasarkan uraian di atas, penulis perlu melakukan kajian yang spesifik
membahas
permasalahan
pandangan
hukum
Islam
terhadap
sanksi
penyalahgunaan narkotika dilihat dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009
tentang Narkotika. Penulis juga membandingkan, persamaan dan perbedaan dalam
menanggulangi penyalahgunaan narkotika di Indonesia.
Permasalahan penyalahgunaan narkotika ini menurut peneliti sangat
menarik dibahas, karena meskipun telah terdapat aturan hukum dan sanksi yang
13
Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, hlm. 74-76.
Abdur Rahman I. Doi, Tindak Pidana Dalam Syariat Islam, (Jakarta: Melton Putra,
1992), hlm.71.
14
8
jelas, namun pada kenyataannya penyalahgunaan narkotika ini masih tetap marak
bahkan semakin cenderung meningkat khususnya di kalangan para remaja.
Hal ini yang menarik penulis untuk mengetahui dan mengkajinya lebih
dalam, dengan mengangkatnya sebagai sebuah kajian ilmiah dengan judul “Sanksi
tindak pidana penyalahgunaan narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun
2009 tentang Narkotika ditinjau dari Hukum Islam.”
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasakan uraian latar belakang masalah diatas, maka dapat
menimbulkan beberapa pokok permasalahan, antara lain sebagai berikut:
a. Sejauhmana penyalahgunaan narkotika di Indonesia?
b. Faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya penyalahgunaan
nakotika?
c. Bagaimana
ketentuan
sanksi
terhadap
pelaku
tindak
pidana
penyalahgunaan narkotika menurut Undang-Undang Nomor 35 tahun
2009 tentang Narkotika ?
d. Bagaimana ketentuan hukum Islam tentang penyalahgunaan narkotika?
e. Apa persamaan dan perbedaan Hukum Islam dan Undang-Undang
Nomor 35 tahun 2009 dalam mengatur sanksi penyalahgunaan
narkotika tersebut?
9
f. Apakah penerapan sanksi bagi penyalahgunaan narkotika menurut
ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia sudah dapat
menekan penyalahgunaan narkotika di kalangan masyarakat ?
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka masalah yang akan
dikaji dan diteliti dibatasi seputar Sanksi tindak pidana penyalahgunaan
narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika
ditinjau dari Hukum Islam.
3. Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini antara lain adalah
sebagai berikut :
a. Bagaimana
ketentuan
sanksi
terhadap
pelaku
tindak
pidana
penyalahgunaan narkotika menurut Undang-Undang Nomor 35 tahun
2009 ?
b. Bagaimana ketentuan hukum Islam tentang penyalahgunaan narkotika?
c. Apa persamaan dan perbedaan hukum Islam dan Undang-Undang
Nomor 35 tahun 2009 dalam mengatur sanksi penyalahgunaan
narkotika tersebut?
10
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Ada beberapa poin dalam tujuan penulis untuk meneliti sanksi
terhadap penyalahgunaan narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor
35 dan tinjauan hukum Islam antara lain adalah :
a. Untuk mengetahui sanksi tindak pidana penyalahgunaan narkotika
dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika
ditinjau dari hukum Islam.
b. Mengetahui ketentuan sanksi penyalahgunaan narkotika menurut
hukum islam.
c. Menemukan kesimpulan dari persamaan dan perbedaan antara hukum
Islam dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dalam mengatur
sanksi penyalahgunaan narkotika.
d. Untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana di Fakultas Syari’ah
dan Hukum di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah- Jakarta.
2. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini penulis mengharapkan memberikan manfaat
yang sangat berguna, diantara manfaat tersebut adalah :
a. Hasil penelitian ini dapat memberikan wawasan dan keilmuan bagi
penulis yang berkenaan dengan sanksi tindak pidana narkotika.
b. Hasil penelitian ini dimaksudkan untuk menambah keilmuan bagi
pembaca.
11
c. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
kepada para penegak hukum dalam menerapkan dan menjalankan
hukum di Indonesia.
D. Review Terdahulu
Dari beberapa buku dan literatur dari berbagai sumber, Penulis akan
mengambil untuk menjadikan sebuah perbandingan mengenai kajian pandangan
Hukum Islam terhadap sanksi tindak pidana penyalahgunaan narkotika dilihat
Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika
Buku karangan Mardani yang berjudul “Penyalahguaan Narkoba Dalam
Perspekif Hukum Islam dan Hukum Pidana Nasional”, Membahas sanksi
penyalahgunaan narkoba dalam Hukum Islam dan Hukum Pidana Nasional.15
Dalam buku ini pembahasan lebih kepada Pidana Nasional.
Buku karangan Abdur Rahman I. Doi, Tindak Pidana dalam Syariat Islam,
Membahas ketentuan tindak pidana dan sanksi tindak pidana khamar dalam
Syariat Islam.16
Selain itu, sejauh penelusuran di Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum
terdapat beberapa pembahasan yaitu:
Skripsi karya Robiatul Adawiah, yang berjudul sanksi penyalahgunaan
psikotropika oleh anak-anak (tinjauan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1997 dan
15
Mardani, Penyalahguaan Narkoba Dalam Perspekif Hukum Islam dan Hukum Pidana
Nasional, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008).
16
Abdur Rahman, Tindak Pidana Dalam Syariat Islam,( Jakarta, PT. Melton Putra,
1992).
12
hukum Islam) yang menguraikan tentang pengertian umum penyalahgunaan
psikotropika dan sanksi penyalahgunaan psikotropiika oleh anak.
Sementara kajian ini secara khusus memfokuskan kepada sanksi tindak
pidana narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 dan Hukum
Islam. Adapun beberapa karya tulis yang ada sebelumnya hanya membahas tindak
pidana penyalahgunaan narkotika secara global dan kurang menekankan dan
melakukan spesifikasi terhadap sanksi tindak pidana penyalahgunaan narkotika.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian kualitaif, sebagaimana
dikemukakan oleh Noeng Muhajir dalam bukunya yang berjudul “Metode
Penelitian Kualitatif” bahwa metode kualitatif dilaksanakan dengan cara
mengklasifikasikan dan menyajikan data yang diperoleh dari sumber
tertulis.17
Sedangkan sifatnya adalah penelitian pustaka atau bersifat literatur
yaitu penelitian yang objek utamanya adalah buku-buku dan literatur yang
berkaitan dengan objek yang akan dibahas. Diantaranya adalah buku
karangan Mardani yang berjudul “Penyalahguaan Narkoba dalam
Perspekif Hukum Islam dan Hukum Pidana Nasional”, diterbitkan tahun
2008 oleh PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta dan Undang-Undang Nomor
35 tahun 2009 tentang Narkotika.
17
43.
Noeng Muhajir, Metode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Raka Sarasin, 1989), hlm.
13
Penelitian ini menggunakan tipe penelitian hukum normatif
doktriner. Pendekatan ini diharapkan mampu menghasilkan uraian yang
mendalam tentang penyalahgunaan narkotika.
2. Sumber Data
Dalam penelitian ini penulis mengambil dari beberapa sumber
informasi seperti sumber tertulis dari beberapa sumber berupa buku,
diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang
Narkotika, kamus, jurnal, dan sumber tertulis lainnya. Sumber data
tersebut diklasifikasikan menjadi:
a. Sumber data primer, adalah Undang-Undang Nomor 35tahun 2009
tentang narkotika. Sementara untuk buku antara lain: kitab fiqh
karangan Wahbah Az-Zuhaili yang berjudul Fiqih Islam Wa
Adillatuhu18, dan kitab Ushul Fiqih karangan Abdul Wahab Khallaf.19
b. Sumber data sekunder, yakni kitab-kitab Hukum Pidana Islam, artikel,
jurnal, majalah, serta buku-buku yang membahas tentang narkotika.
diantara literatur yang dijadikan sumber rujukan adalah buku karangan
Mardani yang berjudul “Penyalahguaan Narkoba dalam Perspekif
Hukum Islam dan Hukum Pidana Nasional”, diterbitkan tahun 2008
oleh PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
c. Buku karangan Abdur Rahman I. Doi,Tindak Pidana Dalam Syariat
Islam, diterbirkan pada tahun 1992 oleh PT. Melton Putra, Jakarta, dan
Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika
18
19
Az-Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011)
Abdul Wahab Khallaf, Ushul Al-Fiqh, (Libanon: Daar El-Kutub al-Ilmiyah, 2003)
14
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan teknik
pengumpulan data jenis kualitatif yaitu studi pustaka, analisis dokumen,
literatur atau naskah yang berkaitan dengan rumusan masalah secara
ilmiah dan kualitatif.
4. Pengolahan Data
Adapun cara yang digunakan penulis dalam mengolah data
menggunakan pokok analisa pengolahan data dengan menganalisa materi
sesuai dengan pembahasan. Masalah pokoknya adalah Pandangan Hukum
Islam terhadap sanksi tindak pidana narkotika berdasarkan UndangUndang Nomor 35 tahun 2009.
Mengenai teknik penulisan, penulis menggunakan buku “ Pedoman
Penulisan Skripsi,
Fakultas Syariah dan Hukumn Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta” yang diterbitkan oleh Pusat
Peningkatan dan Jaminan Mutu Fakultas Syariah dan Hukum 2012.
F. Sistematika Pembahasan
Skripsi ini terdiri dari lima bab, masing-masing bab mempunyia subsub bab sebagaimana standar pembuatan skripsi. Secara sistematatis bab-bab
tersebut terdiri dari :
BAB I
: Merupakan pendahuluan yang membahas materi yang terdapat
pada latar belakang masalah, identifikasi, pembatasan dan
15
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode
penelitian, study review terdahulu, dan sistematika pembahasan
BAB II
: Membahas narkotika dan permasalahannya. Bab ini merupakan
kajian deskriptif menurut para pakar dan literatur.
Secara
sistematik menguraikan uraian pada bab ini meliputi pengertian
narkotika, jenis-jenis nakotika dan efek dari penyalahgunaan
narkotika.
BAB III
: Berjudul sanksi penyalahgunaan narkotika menurut UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009. Uraian pada bab ini meliputi
pengertian tindak pidana, perbuatan-perbuatan yang termasuk
dalam lingkup tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan
sanksi terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika
menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009.
BAB IV
: Berjudul tinjauan hukum Islam terhadap penyalahgunaan
Narkotika. Bab ini membahas pengertian
hukum Islam dan
sanksi terhadap pidana penyalahgunaan menurut hukum Islam,
tinjauan hukum Islam terhadap sanksi tindak pidana narkotika
menurut Undang-Undang Nomor 35 Tanhun 2009, persamaan
dan perbedaan sanksi terhadap tindak pidana penyalahgunaan
narkotika menurut hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang narkotika.
16
Bab V
: Merupakan bab penutup yang berisi tentang kesimpulan seluruh
pembahasan dari bab awal sampai bab keempat dan saran-saran
yang disampaikan.
BAB II
NARKOTIKA DAN PERMASALAHANNYA
A. Pengertian Narkotika
Secara terminologi, narkotika adalah obat yang dapat menenangkan syaraf,
menghilangkan rasa sakit, menimbulkan rasa mengantuk atau merangsang.1 Dari
pengertian narkotika tersebut adalah narkotika memiliki peranan penting bagi
bidang kesehatan, hal tersebut yang menjadi alasan bahwa mengapa narkotika
sampai saat ini masih diproduksi dan masih dibutuhkan bagi penggunanya.
Pengertian yuridis tentang narkotika diatur dalam ketentuan Pasal 1
BUTIR 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
merumuskan:
“Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan yang
dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam
undang-undang ini”.
Menurut M. Ridha Ma’roef, narkotika adalah:
1. Bahwa narkotika ada dua macam, yaitu narkotika alam dan narkotika
sintetis. Narkotika alam ialah berbagai jenis candu, morphine, heroin,
ganja, hashish, codein, dan cocaine. Narkotika alam ini termasuk dalam
pengertian narkotika sempit. Narkotika sintetis adalah termasuk dalam
pengertian narkotika secara luas. Narkotika sintetis yang termasuk
1
Mardani, Penyalahgunaan Narkoba dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana
asional, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 78
17
18
didalamnya zat-zat (obat) yang tergolong dalam tiga jenis obat yaitu:
Hallucinogen, Depressant, dan Stimulant.
2. Bahwa narkotika itu mempengaruhi susunan syaraf sentral yang akibatnya
dapat menimbulkan ketidak sadaran atau pembiusan, berbahaya apabila
disalahgunakan.
3. Bahwa narkotika dalam pengertian ini adalah mencakup obat-obat bius
dan obat-obat berbahaya atau narcotic and dangerous drugs.2
Menurut Dr.Yusuf Qardhawi bahwa ganja, heroin, serta bentuk lainnya
baik padat maupun cair yang terkenal dengan sebutan mukhaddirat (narkotik)
adalah termasuk benda-benda yang diharamkan syara' tanpa diperselisihkan lagi
di antara ulama.3
Narkotika dalam bahasa Inggris disebut “narkotic” yaitu semua bahan
obat yang mempunyai efek kerja pada umumnya bersifat:
1. Membius (menurunkan kesadaran);
2. Merangsang (meningkatkan semangat kegiatan/aktivitas);
3. Ketagihan (ketergantungan, mengikat, dependence);
4. Menimbulkan daya berkhayal (halusinasi).4
Narkotika atau zat yang menyebabkan ketidak sadaran atau pembiusan,
karena zat tersebut bekerja mempengaruhi susunan saraf sentral atau saraf pusat
2
M. Ridha Ma’roef, Penyalahgunaan Narkoba dalam Perspektif Hukum Islam, (Jakarta :
PT Raja Grafindo Persada, 2008) hlm. 34
3
Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer jilid 2, (terj. As’ad Yasin), (Jakarta: Gema
Insani, 1995), hlm. 792
4
Masruhi sudiro, Islam Melawan Narkotika, (Yogyakarta: CV. Adipura, 2000), hlm.13
1811
`
19
dengan cara menghisap atau menyuntikan zat tersebut secara terus menerus ke
dalam badan.5
Menurut Pendapat Soedarto dalam ceramahnya di Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, beliau menarik kesimpulan bahwa “Narkotika
merupakan suatu bahan yang menimbulkan rasa, menghilangkan rasa nyeri dan
sebagainya.6
Pengertian Narkotika secara umum adalah suatu zat yang dapat
menimbulkan perubahan perasaan, suasana pengamatan/penglihatan karena zat
tersebut mempengaruhi susunan syaraf pusat, penggunaan narkotika pada
dasarnya untuk keperluan bidang kedokteran dan penelitian ilmu pengetahuan.
B. Jenis-Jenis Narkotika
Narkotika memiliki beberapa fungsi dan kegunaan dalam kehidupan
manusia, namun ada beberapan jenis atau golongan narkotika yang tidak
dibenarkan penggunaannya dalam berbagai hal, melihat dari bahan dasar yang
digunakan narkotika terdiri menjadi
1. Narkotika Alami
Bahan dasar yang terdapat dalam jenis ini tidak melalui proses
pengolahan yang menjadikan bahan tersebut tidak dapat digunakan
sebagai terapi pengobatan, hal ini yang menjadikan resiko besar jika
digunakan. Contoh narkotika alami yaitu seperti ganja dan daun koka.
5
Jeanne Mandagi, M. Wresniwiro. Masalah Narkoba dan zat adiktif lainnya serta
penanggulangannya, (Jakarta: Pramuka Saka Bhayangkara, 1999), hlm. 3
6
Soedarto, Makalah Seminar Narkotika dan Hukum Pidana, (Sumatera Utara: Fakultas
Hukum, Universitas Sumatera Utara, 1997). hlm. 7.
1911
`
20
2. Narkotika Sintetis / Semi Sintesis
Narkotika jenis ini memerlukan proses yang bersifat sintesis untuk
keperluan medis dan penelitian sebagai penghilang rasa sakit/analgesik.
Contohnya yaitu seperti amfetamin, metadon, dekstro, propakasifen,
deksam, fetamin, dan sebagainya.7
Dalam kehidupan masyarakat saat ini memang sudah menjadi
rahasia umum masyarakat menyalahgunakan narkotika sebagai alat
mencari kesenangan sesaat dengan penggunaan yang beragam cara dan
berbagai jenis yang digunakan.
Dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika,
mengenai jenis-jenis narkotika digolongkan menjadi Narkotika golongan I,
II, dan III.
Beberapa jenis narkotika yang disalah gunakan oleh masyarakat
antara lain adalah:
1. Candu
Candu adalah getah tanaman Papaver Somniferum didapat
dengan menyadap buah yang hendak masak. Melalui berbagai
proses pengolahan sampai berbentuk seperti serbuk. Diperjual
belikan dalam kemasan kotak kaleng dengan berbagai macam cap,
antara lain ular, tengkorak, dan sebagainya. Cara penggunaan
narkotika jenis ini dengaan cara dihisap.
7
Masruhi sudiro, Islam Melawan Narkotika, (Yogyakarta: CV. Adipura, 2000), hlm. 14
2011
`
21
2. Morfin
Morfin adalah hasil olahan dari opium/candu mentah.
Morfin merupaakan alkaloida utama dari opium (C17H19NO3).
Morfin rasanya pahit, berbentuk tepung halus berwarna putih atau
dalam bentuk cairan berwarna. Pemakaiannya dengan cara dihisap
dan disuntikkan.
3. Heroin (putau)
Heroin mempunyai kekuatan yang dua kali lebih kuat dari
morfin
dan
merupakan
jenis
opiat
yang
paling
sering
disalahgunakan, pada akhir-akhir ini Heroin, yang secara
farmakologis mirip dengan morfin menyebabkan orang menjadi
mengantuk dan perubahan mood yang tidak menentu. Walaupun
pembuatan, penjualan dan pemilikan heroin adalah ilegal, tetapi
diusahakan heroin tetap tersedia bagi pasien dengan penyakit
kanker terminal karena efek analgesik dan euforik-nya yang baik.
4. Codein
Codein termasuk garam/turunan dari opium/candu. Efek
codein lebih lemah dari pada heroin, dan potensinya untuk
menimbulkan ketergantungaan rendah. Biasanya dijual dalam
bentuk pil atau cairan jernih. Cara pemakaiannya ditelan dan
disuntikkan.
2111
`
22
5. Demerol
Nama lain dari demerol adalah pethidina. Pemakaiannya
dapat ditelan atau dengan suntikan. Demerol dijual dalam bentuk
pil dan cairan tidak berwarna.
6. Kokain
Kokain merupakan alkaloid yang terdapat dalam tanaman
belukar Erythroxylon coca, yang berasal dari Amerika Selatan,
dimana daun dari tanaman belukar ini biasanya dikunyah-kunyah
oleh penduduk setempat untuk mendapatkan efek stimulan. pada
saat
ini
penggunaanya
masih
digunakan
untuk
tindakan
pembedahan. Kokain diklasifikasikan sebagai suatu narkotik,
bersama dengan morfin dan heroin karena efek adiktif dan efek
merugikannya telah dikenali. Nama lain untuk Kokain: Snow,
coke, girl, lady dan crack.8
Jenis – jenis narkotika tersebut yang sangat sering
disalahgunakan dalam kehidupan masyarakat saat ini, maka dari itu
pengawasan terhadap peredaran gelap narkotika harus sangat
diawasi secara ketat.
Kerugian akibat penyalahgunaan narkotika, bagi pengguna
atau penyalahguna narkotika akan menimbulkan sifat-sifat yang
berbahaya, sifat yang dapat mempengaruhi fisik bagi pengguna
narkotika adalah sebagai berikut :
8
http://empret21.blogspot.com/2012/11/jenis-narkotika-dan-penjelasan.html dari sumber
www.bnn.go.id diunduh pada tanggal 10 Desember 2014.
2211
`
23
1. Habitual
Habitual adalah sifat pada narkotika yang membuat
pemakainya akan selalu teringat, terkenang dan terbayang,
sehingga cenderung untuk selalu mencari dan rindu. Sifat inilah
yang menyebabkan pemakai narkotika yang sudah sembuh kelak
bisa kambuh (relaps). Perasaan ingin memakai kembali
disebabkan oleh kesan kenikmatan yang disebut (suggest).
2. Adiktif
Adiktif adalah sifat narkotika yang membuat pemakainya
terpaksa memakai terus dan tidak dapat menghentikannya.
Penghentian atau pengurangan pemakaian narkotika akan
menimbulkan efek putus zat yaitu perasaan sakit luar biasa.
3. Toleran
Toleran adalah sifat narkotika yang membuat tubuh
pemakainya semakin lama semakin menyatu dengan narkotika
dan menyesuaikan diri dengan narkotika sehingga menuntut
dosis pemakaian yang semakin tinggi. Bila dosisnya tidak
dinaikkan, narkotika itu tidak akan bereaksi, tetapi malah
membuat pemakainya mengalami sakaw. Untuk memperoleh
efek yang sama dengan efek di masa sebelumnya, dosisnya harus
dinaikkan.9
9
Ahmad Abidin, Narkotika Membawa Malapetaka bagi Kesehatan, (Bandung: Sinergi
Pustaka Indonesia, 2007), hlm. 3-6.
2311
`
24
Sifat-sifat inilah yang menjadikan pengguna atau
penyalahguna sangat sulit untuk menghilangkkan kebiasaan
mengkonsumsi narkotika. Sifat jahat yang dapat membelenggu
pemakainya
untuk
menjadi
budak
setia,
tidak
dapat
meninggalkannya, dan mencintainya melebihi apapun.
C. Efak yang Terjadi dalam Penyalahgunaan Narkotika
Setiap perbuatan yang kita lakukan pasi ada efek yang terjadi setelahnya,
hal tersebut juga demikian terhadap para pengguna atau penyalahguna narkotika.
Penggunaan yang tidak diimbangi dengan pengawasan yang sangat ketat dapat
memberikan efek yang buruk baik untuk dirinya dan lingkungan disekitarnya.
Penggunaan
narkotika
yang
tidak
sesuai
dengan
aturan
dapat
menimbulkan efek yang membahayakan tubuh. Berdasar efek yang ditimbulkan
dari penyalahgunaan narkotika dibagi menjadi 3, yaitu:10
1. Depresan
Efek ini mengakibatkan penurunan aktifitas fungsional tubuh
sehingga pemakai merasa tenang, bahkan tak sadarkan diri. Bila
penggunaanya berlebihan maka dapat mengakibatkan kematian. Jenis
narkotika depresan antara lain opioda, dan berbagai turunannya seperti
morphin dan heroin. Contoh yang populer sekarang adalah Putaw.
10
Haryanto,S.Pd.
Dampak
Penyalahgunaan
Narkotika,
(online)
http://belajarpsikologi.com/ dampak penyalahgunaan narkotika, diunduh pada tanggal 10
Desember 2014.
2411
`
25
2. Stimulan
Efek ini merangsang fungsi tubuh dan meningkatkan kegairahan
serta kesadaran. Jenis stimulan: cafein, Kokain, Amphetamin. Contoh
yang sekarang sering dipakai adalah shabu-shabu dan ekstasi.
3. Halusinogen
Efek
utamanya
adalah
mengubah
daya
persepsi
atau
mengakibatkan halusinasi. Halusinogen kebanyakan berasal dari tanaman
seperti mescaline dari kaktus dan psilocybin dari jamur-jamuran. Selain itu
ada juga yang diramu di laboratorium. Yang paling banyak dipakai adalah
marijuana atau ganja.
Bila narkotika digunakan secara terus menerus atau melebihi
takaran yang telah ditentukan akan mengakibatkan ketergantungan.
Kecanduan inilah yang akan mengakibatkan gangguan fisik dan
psikologis, karena akan mengakibatkan kerusakan pada sistem syaraf
pusat (SSP) dan organ-organ tubuh lainnya seperti jantung, paru-paru, hati
dan ginjal.
Dampak penyalahgunaan narkotika pada seseorang
sangat
tergantung pada jenis narkotika yang dipakai, kepribadian pemakai dan
situasi atau kondisi pemakai. Secara umum, dampak kecanduan narkotika
dapat terlihat pada fisik, psikis maupun sosial seseorang.
1. Dampak Penyalahgunaan Narkotika Terhadap Fisik
a. Gangguan pada sistem syaraf (neurologis) seperti: kejang-kejang,
halusinasi, gangguan kesadaran, kerusakan syaraf.
2511
`
26
b. Gangguan pada jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler) seperti:
infeksi akut otot jantung, gangguan peredaran darah.
c. Gangguan pada kulit (dermatologis) seperti: penanahan (abses), alergi,
eksim.
d. Gangguan pada paru-paru (pulmoner) seperti: penekanan fungsi
pernapasan, kesukaran bernafas, pengerasan jaringan paru-paru.
e. Sering sakit kepala, mual-mual dan muntah, murus-murus, suhu tubuh
meningkat, pengecilan hati dan sulit tidur.
f. Dampak penyalahgunaan narkotika terhadap kesehatan reproduksi
adalah gangguan padaendokrin, seperti: penurunan fungsi hormon
reproduksi (estrogen, progesteron, testosteron), serta gangguan fungsi
seksual.
g. Dampak penyalahgunaan narkotika terhadap kesehatan reproduksi
pada remaja perempuan antara lain perubahan periode menstruasi,
ketidak teraturan menstruasi, dan amenorhoe (tidak haid).
h. Bagi pengguna narkotika melalui jarum suntik, khususnya pemakaian
jarum suntik secara bergantian, risikonya adalah tertular penyakit
seperti hepatitis B, C, dan HIV yang hingga saat ini belum ada
obatnya.
i. Penyalahgunaan narkotika bisa berakibat fatal ketika terjadi overdosis
yaitu konsumsi
narkotika melebihi
kemampuan tubuh
menerimanya. Over dosis bisa menyebabkan kematian.
2611
`
untuk
27
2. Dampak Penyalahgunaan Narkotika Terhadap Psikis
a. Lamban kerja, ceroboh kerja, sering tegang dan gelisah.
b. Hilang kepercayaan diri, apatis, pengkhayal, penuh curiga.
c. Agitatif, menjadi ganas dan tingkah laku yang brutal.
d. Sulit berkonsentrasi, perasaan kesal dan tertekan.
e. Cenderung menyakiti diri, perasaan tidak aman, bahkan bunuh diri.
3. Dampak penyalahgunaan narkotika terhadap lingkungan sosial
a. Gangguan mental, anti-sosial dan asusila, dikucilkan oleh lingkungan.
b. Merepotkan dan menjadi beban keluarga.
c. Pendidikan menjadi terganggu, masa depan suram.11
Dampak fisik, psikis dan sosial berhubungan erat. Ketergantungan fisik
akan mengakibatkan rasa sakit yang luar biasa (sakaw) bila terjadi putus obat
(tidak mengkonsumsi obat pada waktunya) dorongan psikologis berupa keinginan
sangat kuat untuk mengkonsumsi (sugest). Gejala fisik dan psikologis ini juga
berkaitan dengan gejala sosial seperti dorongan untuk membohongi orang tua,
mencuri, pemarah, dan lain-lain.
Akibat penyalahgunaan narkotika juga dapat menyebabkan efek negatif
yang akan menyebabkan gangguan mental dan perilaku, sehingga mengakibatkan
terganggunya sistem pada susunan saraf pusat di otak. Gangguan pada sistem
sistem saraf ini yang akan mengakibatkan tergangunya fungsi kognitif (alam
11
http://empret21.blogspot.com/2012/11/jenis-narkotika-dan-penjelasan.html dari sumber
www.bnn.go.id diunduh pada tanggal 11Desember 2014
2711
`
28
pikiran), afektif (alam perasaan, mood, atau emosi), psikomotor (perilaku), dan
aspek sosial.
2811
`
BAB III
SANKSI PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009
A. Pengertian Tindak Pidana
Secara umum makna dari kata ”pidana” hanyalah sebuah “alat “ yaitu alat
untuk mencapai tujuan pemidanaan.1 Sedangkan menurut pandangan Subekti dan
Tjitrosoedibio dalam bukunya kamus hukum, “pidana” adalah “hukuman”.2
Pada hakekatnya sejarah hukum pidana adalah sejarah dari pidana dan
pemidanaan yang senantiasa mempunyai hubungan erat dengan masalah tindak
pidana.3 Masalah tindak pidana merupakan masalah kemanusiaan dan masalah
sosial yang sudah lumrah terjadi didalam kehidupan bermasyarakat. Sejatinya
dimana ada masyarakat disitu ada tindak pidana dan ada hukuman yang mengatur
didalamnya.
Tindak pidana selalu bertalian erat dengan nilai dan norma dalam
kehidupan masyarakat, sehingga apapun upaya manusia untuk menghilangkan
tindak pidana tidak mungkin bisa, karena tindak pidana memang tidak mungkin
bisa dihilangkan dalam masyarakat melainkan hanya dapat dikurangi atau
diminimalisir intensitasnya.
Alasan mengapa perbuatan tindak pidana tidak bisa dihilangkan dalam
suatu kehidupan masyarakat adalah hal ini disebabkan karena tidak semua
1
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya
Bakti,2005), hlm. 98
2
Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1980), hlm 83.
3
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 23.
29
30
kebutuhan manusia dapat dipenuhi secara sempurna. Disamping itu, manusia juga
cenderung memiliki kepentingan yang berbeda antara yang satu dengan yang lain,
sehingga bukan tidak mungkin berangkat dari perbedaan kepentingan tersebut
justru muncul berbagai pertentangan yang bersifat prinsipil.
Namun demikian, tindak pidana juga tidak dapat dibiarkan tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat karena dapat menimbulkan kerusakan dan
gangguan pada ketertiban sosial. Dengan demikian sebelum menggunakan pidana
sebagai alat hukum, diperlukan permahaman terhadap alat hukum itu sendiri.
Pemahaman terhadap pidana sebagai alat hukum merupakan hal yang sangat
penting untuk membantu memahami apakah dengan alat hukum tersebut tujuan
yang telah ditentukan dapat dicapai.
Sudarto berpendapat yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan yang
sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi
syarat-syarat tertentu.4
Bila dilihat dari filosofinya, hukuman mempunyai arti yang sangat
beragam. R. Soesilo menggunakan istilah “hukuman” untuk menyebut istilah
“pidana” dan ia merumuskan bahwa apa yang dimaksud dengan hukuman adalah
suatu perasaan tidak enak (sangsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis
kepada orang yang telah melanggar undang-undang hukum pidana.5
Feurbach menyatakan, bahwa hukuman harus dapat menakuti masyarakat
agar tidak melakukan perbuatan kejahatan.6
4
Sudarto, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (AlumniBandung, 1984), hlm. 2.
R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar-komentarnya
lengkap pasal demi pasal, (Bogor: Politeia, 1996), hlm. 35
6
R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana. .hlm. 42.
5
31
Dalam kehidupan masyarakat pemahaman pidana sering kali diartikan
sama dengan istilah hukuman. Tetapi kedua istilah tersebut sebenarnya
mempunyai pengertian yang berbeda.
Menurut penulis, pembedaan antara kedua istilah di atas perlu
diperhatikan, oleh karena penggunaannya sering dirancukan. Hukuman adalah
suatu pengertian umum, sebagai suatu sanksi yang menderitakan dan sengaja
ditimpakan kepada seseorang yang melanggar peraturan, sedangkan pidana
merupakan pengertian khusus yang berkaitan dengan hukum pidana. Sebagai
pengertian khusus, masih juga ada persamaannya dengan pengertian umum,
sebagai suatu sanksi.
Menurut Komariah E. Sapardjaja menyatakan ; “tindak pidana adalah
suatu perbuatan manusia yang memenuhi perumusan delik, melawan hukum dan
pembuat bersalah melakukan perbuatan itu”.7
Menurut Indriyanto Seno Adji menyatakan; “tindak pidana adalah
perbuatan seseorang yang diancam pidana, perbuatannya bersifat melawan
hukum, terdapat suatu kesalahan dan bagi pelakunya dapat dipertanggung
jawabkan atas perbuatannya”.8
Dengan demikian dapat dipahami, bahwa suatu tindak pidana merupakan
suatu tindakan yang dilarang atau dicela oleh masyarakat dan dilakukan oleh
seseorang yang bersalah yang dapat dikenakan sanksi pidana. Unsur kesalahan
atau pertanggung jawaban menjadi bagian pengertian tindak pidana.
7
Komariah E. Sapardjaja, Ajaran Melawan Hukum Materiil dalam Hukum Pidana
Indonesia, Studi Kasus Tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi,
(Bandung: Alumni, 2002), hlm. 22
8
Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Hukum Pidana, (Jakarta: Kantor Pengacara dan
Konsultan Hukum Prof Oemar Seno Adji dan Rekan,2002), hlm. 155.
32
B. Perbuatan-Perbuatan Yang Termasuk Dalam Lingkup Tindak Pidana
Penyalahgunaan Narkotika
Penggunaan narkotika pada saat ini sangat bermacam jenis dan cara
mengkonsumsinya, hal tersebut yang mengacu pemerintah mengatur perbuatanperbuatan penyalahgunaan narkotika yang tertuang dalam Undang-Undang
Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
Dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, terdapat
4 (empat) kategori tindakan melawan hukum yang dilarang oleh undang-undang
dan dapat diancam dengan sanksi pidana, yakni :
1. Kategori
pertama,
yakni
perbuatan-perbuatan
berupa
memiliki,
menyimpan, menguasai, atau meneyediakan narkotika dan prekusor
narkotika.
2. Kategori
kedua,
yakni
perbuatan-perbuatan
berupa
memproduksi,
mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika dan prekusor
narkotika.
3. Ketegori ketiga, yakni perbuatan-perbuatan berupa menawarkan untuk
dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli,
menukar, atau menyerahkan narkotika dan prekusor narkotika.
4. Kategori
keempat,
yakni
perbuatan-perbuatan
berupa
membawa,
mengirim, mengangkut, atau mentransit nerkotika dan prekusor narkotika.9
Selain dalam kategori penyalahgunaan narkotika ada beberapa unsur-unsur
dan golongan narkotika yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun
9
Siswanto, H. S. Politik Hukum dalam Undang-Undang Narkotika (UU Nomor 35 Tahun
2009), hlm. 256
33
2009,
hal
ini
dimaksudkan
untuk
menentukan
sanksi
dari
perbuatan
penyalahgunaan narkotika tersebut.
Unsur-unsur tindak pidana narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35
tahun 2009 tentang Narkotika, terdiri dari:
1. Unsur “setiap orang”
Adanya subyek hukum, yang dapat dijadikan subyek hukum hanyalah
orang.
2. Unsur “tanpa hak atau melawan hukum”
Adanya perbuatan yang dilarang, perbuatan yang dilakukan sesuai dengan
rumusan delik. Bersifat melawan hukum yaitu;
-
Melawan hukum formal artinya apabila perbuatan yang dilakukan
sebelumnya telah diatur dalam undang-undang.
-
Melawan hukum material artinya apabila perbuatan yang dilakukan
melanggar aturan atau nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat harus
adanya kesalahan, kesalahan yang dimaksud adalah pencelaan dari
masyarakat apabila melakukan hal tersebut sehingga adanya hubungan
batin antara pelaku dengan kejadian yang nantinya akan menimbulkan
suatu
akibat.
Kesalahan
itu
sendiri
dapat
dibagi
2
yaitu
kesengajaan/dolus dan kealpaan.
3. Unsur “memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan”
Sesuai dengan ketentuan Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35
tahun 2009 tentang Narkotika menyebutkan bahwa ; “Setiap orang yang
34
tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau
menyediakan narkotika golongan I bukan tanaman.
4. Unsur “narkotika golongan I berbentuk tanaman, golongan I bukan
tanaman, golongan II dan golongan III".
Penggolongan narkotika sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 untuk pertama kali ditetapkan 64
sebagaimana tercantum dalam lampiran I dan merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari undang-undang ini. Pengertian dari masing-masing
golongan narkotika sebagaimana tersebut, terdapat pada penjelasan Pasal 6
ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 sebagai berikut:
-
Narkotika golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan
untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan
dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan
ketergantungan.
-
Narkotika golongan II adalah narkotika berkhasiat pengobatan
digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi
dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.
-
Narkotika golongan III adalah narkotika berkhasiat pengobatan dan
banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan
35
ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan
ketergantungan.10
C. Sanksi Terhadap Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Menurut
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009.
Pada negara Indonesia hukuman terhadap pelaku kejahatan sudah diatur
dalam undang-undang yang berlaku dan sudah disahkan oleh pemerintah, jadi
dalam setiap perbuatan melanggar hukum pasti ada balasan hukum yang setimpal
dan dapat memberikan efek jera bagi pelakunya.
Dalam hukum positif di Indonesia, ancaman hukuman terhadap pelaku
tindak pidana terdapat dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
KUHP menetapkan jenis-jenis tindak pidana atau hukuman yang termasuk di
dalam Pasal 10 KUHP, yang terbagi dalam dua bagian yaitu hukuman pokok dan
hukum tambahan.11
Pada pecandu narkotika, hakekatnya mereka lebih tepat dikategorikan
sebagai korban pergaulan secara bebas, Pskiater (ahli kejiwaan) menganggap
bahwa tidak tepat apabila pecandu narkotika diberikan sanksi pidana yang berupa
penjatuhan pidana penjara, karena apabila memang itu yang diterapkan, maka
yang terjadi adalah pecandu narkotika dapat mengalami depresi berat yang
10
Prof. Moeljatno. Kitab undang-undang hukum pidana, Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang
Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika (Pradnya Paramita, 2004)
11
Laden Marpaung, Asas Teori-Praktik Hukum Pidana (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), cet
ke 2, hlm. 107-110
36
berpotensi tinggi mengganggu mental karena tidak mendapatkan bantuan dalam
bentuk perawatan oleh pihak ahli dalam bidang psikologis (Rehabiilitasi).12
Berikut akan dijelaskan menganai perumusan sanksi pidana dan jenis
pidana penjara dan jenis pidana denda terhadap perbuatan-perbuatan tindak pidana
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, yaitu :
1. Perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan penggolongan
narkotika (golongan I, II dan III) meliputi 4 (empat) kategori, yakni
a. berupa memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotika
dan prekusor narkotika.
b. memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan narkotika
dan prekusor narkotika
c. menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi
perantara dalam jual-beli, menukar atau menyerahkan narkotika dan
prekusor narkotika
d. membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransit narkotika dan
prekusor narkotika.
Sanksi yang dikenakan minimal 2 tahun dan paling maksimal 20
tahun penjara, pengenaan pidana denda diberlakukan kepada semua
golongan narkotika, dengan denda minimal Rp 400.000.000,- (empat
ratus juta rupiah) dan paling maksimal Rp 8.000.000.000 (delapan
miliar rupiah), untuk jenis-jenis pelanggaran terhadap narkotika dengan
unsur-unsur pemberatan maka penerapan denda maksimum dari tiap-
12
Siswo Wiratmo, Pengantar Ilmu Hukum, (Yogyakarta: FH. UII, 1990), hlm. 9.
37
tiap pasal yang dilanggar ditambah dengan 1/3 (satu pertiga) Penerapan
pidana penjara dan pidana denda menutrut undang-undang ini bersifat
kumulatif, yakni pidana penjara dan pidana denda.
2. Ancaman sanksi pidana bagi orang yang tidak melaporkan adanya tindak
pidana narkotika (Pasal 131) sanksi yang dikenakan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun dan pidana dendan paling banyak Rp. 50.000.000,(lima puluh juta rupiah), yang tidak melaporkan terjadinya perbuatan
melawan hukum, yang meliputi :
a. memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan narkotika.
b. memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan.
c. menawarkan untuk dijual, membeli, menerima, menjadi perantara
dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan.
d. mengunakan, memberikan untuk digunakan orang lain.
3. Ancaman sanksi pidana bagi menyuruh, memberi, membujuk, memaksa
dengan kekerasan, tipu muslihat, membujuk anak diatur dalam ketentuan
Pasal 133 ayat (1) dan (2)
4. Ancaman sanksi pidana bagi pecandu narkotika yang tidak melaporkan diri
atau keluarganya kepada instalasi rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial
(Pasal 134 ayat 1) sanksi yang dikenakan dengan pidana kurungan paling
lama 6 (enam) bulan dan pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,(dua miliar rupiah).
Demikian pula keluarga dari pecandu narkotika dengan sengaja tidak
melaporkan pecandu narkotika (Pasal 134 ayat 2) sanksi yang dikenakan
38
dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan dan pidana denda paling
banyak Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).
5. Ancaman sanksi pidana bagi hasil-hasil tindak pidana narkotika dan/atau
Prekusor Narkotika, yang terdapat dugaan kejahatan money loundering
sanksi yang dijatuhkan pidana penjara 5-15 Tahun atau 3-10 tahun, dan
pidana denda antara Rp. 1000.000.000,- (satu miliar rupiah) sampai Rp.
10.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) atau Rp. 500.000,- (lima ratus juta
rupiah atau Rp. 5.000.000.000 (lima miliar rupiah), yang terdapat dalam
pasal 137 ayat (1) dan (2). Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 25 tahun
2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, telah disusun secara limitatif
tentang perbuatan tindak pidana yang ada kaitannya dengan perbuatan
pencucian uang, antara lain : tindak pidana korupsi, tindak pidaa narkotika,
tindak pidana psikotropika, dan sebagainya.
6. Ancaman sanksi pidana bagi orang yang menghalangi atau mempersulit
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara terhadap tindak pidana
narkotika (Pasal 138) sanksi yangdikenakan penjara paling lama 7 (tujuh)
tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta
rupiah).
Pada umumnya para saksi dan korban takut memberikan kesaksian
karena adanya ancaman atau intimidasi tertentu, sehingga perbuatan ini
dapat dikatagorikan sebagai perbuatan yang mengahalangi dan menghasut,
sert mempersulit jalannya penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
depan persidangan
39
7. Ancaman sanksi pidana bagi nahkoda atau kapten penerbang, mengangkut
narkotika dan pengangkutan udara (Pasal 139)sanksi yang dikenakan
ancaman pidana paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh)
tahun, serta pidana denda paling sedikit Rp. 100.000.000,- (seratus juta
rupiah) dan paling banyakRp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
Ketentuan Undang-Undang ini bertujuan untuk kepentingan pengawasan
dan pengendalian serta kepentingan pelaporan pengangkutan narkotika
antara negara pengimpor/pengekspor narkotika kepada negara tujuan.
Disamping itu, ketentuan ini untuk mencegah terajadinya kebocoran dalam
pengangkutan narkotika yang mudah disalahgunakan oleh para pihak
pengangkut narkotika dan prekusor narkotika.
8.
Ancaman sanksi pidana bagi PPNS, Penyidik Polri, Penyidik, BNN yang
tidak melaksanakan ketentuan tentang barang bukti (Pasal 140 ayat 1), di
mana bagi PPNS untuk melaksanakan ketentuan Pasal 88 dan Pasal 89,
yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 10 (sepuluh) tahun. Kewajiban PNS menurut Pasal 88 dan Pasal
89 yang melakukan penyitaan terhadap narkotika dan prekusor Narkotika
wajib membuat berita acara penyitaan dan menyerahkan barang sitaan
tersebut beserta berita acaranya kepada Penyidik BNN atau Penyidik Polri,
dengan tembusan Kepala Kejaksaan Negeri setempat, Ketua Pengadilan
Negeri setempat, Menteri dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
pada Pasal 140 ayat (2) Penyidik Polri atau Penyidik BNN yang melakukan
penyitaan dan prekusor narkotika wajib melakukan penyegelan dan
40
membuat berita acara penyitaan, dan wajib memberitahukan penyitaan yang
dilakukannya kepada Kepala Kejaksaan Negeri setempat dalam waktu
paling lama 3x24 jam sejak dilakukan penyitaan dan tebusannya
disampaikan kepada Kepala Kejaksaan negeri setempat, Ketua Pengadilan
Negeri setempat, Menteri dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan,
dan penyidik Polri atau Penyidik BNN bertanggung jawab atas
penyimpanan dan pengamanan barang sitaan yang berada dibawah
penguasaanya.
9.
Ancaman sanksi pidana bagi petugas laboratorium yang memalsukan hasil
Pengujian (Pasal 142), dimana petugas tidak melaporkan hasil pengujian
kepada penyidik dan penuntut umum, merupakan perbuatan melawan
hukum dan dikenakan ancaman sanksi pidana berupa pidana penjara paling
lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak lima ratus ribu rupiah.
Penyidikan terhadap penyalahgunaan narkotika atau prekusor narkotika,
maka peranan laboratorium amat menentukan bagi kebenaran terjadinya
tindak pidana narkotika, sehingga dapat menentukan unsur kesalahan
sebagai dasar untuk menentukan pertanggung jawaban pidannya. Dalam
kasus tertentu sering terjadinya pemalsuan hasil tes laboratorium, untuk
mengehindarkan diri pelaku tindak pidana terhadap hasil tes laboratorium
telah mengkonsumsi narkotika, atau menukarkan hasil tes laboratorium
tersebut menjadi milik orang lain.
10. Ancaman sanksi pidana bagi saksi yang memberikan keterangan tidak benar
dalam pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika dan prekusor narkotika
41
di muka pengadilan (pasal 143) diancam dengan penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
600.000.000,- (enam ratus juta rupiah).
11. Ancaman sanksi pidana bagi setiap orang yang melakukan pengulangan
tindak pidana (Pasal 144), dimana dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun
melakukan pengulangan tidak pidana maka ancaman pidana maksimum dari
masing-masing pasal ditambah dengan 1/3 (sepertiga). Ketentuan ini
mempunyai tujuan untuk membuat jera pelaku tindak pidana, agar tidak
mengulangi perbuatan pidana lagi.
12. Ketentuan pidana bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana di luar
wilayah Negara Republik Indonesia (pasal 145). Warga negara Indonesia
yang berbuat salah satu dari kejahatan-kejahatan sebagaimana disebut dalam
sub I Pasal ini (termasuk tindak pidana narkotika) meskipun diluar
Indonesia, dapat dikenakan Undang-Undang Pidana Indonesia.
13. Putusan pidana denda yang tidak dapat dibayar oleh pelaku tindak pidana
(Pasal 148) ketentuan ini paling lama 2 (dua) tahun.
Penerapan sanksi pidana tersebut, adalah bertujuan untuk
memberikan efektivitas dari peran serta masyarakat. Peran serta ini
mempunyai
kesempatan
yang
seluas-luasnya
dimana
masyarakat
mempunyai hak dan tanggung jawab untuk membantu pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor
narkotika.
42
Perhatian dan pengawasan dari pihak penegak hukum juga sangat
mempengaruhi penyalahgunan narkotika, akan tertapi bila pengawasan dari
pihak
penegak
hukum
diperketat
maka
kemungkinan
penyalahgunaan bisa di minimalisasi penggunanya.
terjadinya
BAB IV
TINJAUAN HUKUM ISLAM
TERHADAP PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
A. Pengertian Hukum Islam Dan Sanksi Terhadap Tindak Pidana
Penyalahgunaan Narkotika Menurut Hukum Islam
1. Pengertian Hukum Islam
Kata hukum dalam Al-Qur‟an diartikan dengan kata syari‟ah, fiqh,
hukum Allah dan yang seakar kata dengannya. Dalam literatur barat
hukum Islam merupakan terjemahan dari “Islamic Law”.
Penjelasan tentang hukum Islam dalam literatur barat ditemukan
definisi hukum Islam yaitu: keseluruhan kitab Allah yang mengatur
kehidupan setiap muslim dalam segala aspeknya.1 Dari definisi ini arti
hukum Islam lebih dekat dengan pengertian syariah.
Hasbi Asy-Syiddiqy memberikan definisi hukum Islam dengan
koleksi daya upaya fuqaha dalam menerapkan syari‟at Islam sesuai
dengan kebutuhan masyarakat.2 Pengertian hukum Islam dalam definisi ini
mendekati kepada makna fiqh.
Kejelasan tentang arti hukum Islam, perlu diketahui lebih dahulu
arti dari kata “hukum”. Sebenarnya tidak ada arti yang sempurna tentang
hukum. Untuk mendekatkan kepada pengertian yang mudah dipahami,
1
Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, (Oxford: University Press, 1964),
hlm. 1.
2
Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1993), hlm. 32.
43
44
meskipun masih mengandung kelemahan, definisi yang diambil oleh
Muhammad
Muslehuddin
dari
Oxford
English
Dictionary
perlu
diungkapkan. Menurutnya, hukum adalah “the body of rules, wether
proceeding from formal enactment or from custom, which a particular
state or community recognizes as binding on its members or subjects”.3
(sekumpulan aturan, baik yang berasal dari aturan formal maupun adat,
yang diakui oleh masyarakat dan bangsa tertentu sebagai mengikat bagi
anggotanya).
Bila hukum dihubungkan dengan Islam, maka hukum Islam
berarti: “seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan hadis Nabi
tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku
dan mengikat untuk semua umat yang beragama Islam”.4
Dari definisi yang dikemukakan di atas dapat dipahami bahwa
hukum Islam mencakup hukum syari‟ah dan fiqh, karena arti syari‟ah dan
fiqh terkandung di dalamnya.
Dalam hukum Islam terdapat bagian pembahasan hukum pidana.
Tindak pidana atau tindak kejatan disebut jarimah. Jarimah adalah
larangan-laranga syark yang diancam oleh Allah dengan hukuman had
atau ta‟zir5
3
AS. Honrby, Oxford Advanced Learner‟s Dictionary of Current English, (Britain:
Oxford University Press, 1986), hlm. 478.
4
Amir Syarifuddin, “Pengertian dan Sumber Hukum Islam”, dalam Falsafah Hukum
Islam”, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hlm. 14.
5
Ahmad Hanafi,MA, “Asas-asas Hukum Pidana Islam”, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997),
hlm. 1.
45
Jarimah terbagi menjadi beberapa bagian diantaranya adalah
jarimah qishas, jarimah hudud, dan jarimah ta‟zir.
Jarimah qishas secara terminologi yang dikemukakan oleh AlJurjani, adalah mengenakan sebuah tindakan (sanksi hukum) kepada
pelaku persis seperti tindakan yang dilakukan oleh pelaku kepada
korbannya.6 Dalam pengertian lain, bahwa jarimah qoshas adalah sanksi
kejahatan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan harus setimpal dengan
perbuatan yang dilakukan, contohnya adalah nyawa dibalas dengan nyawa,
harta dibalas dengan harta.
Jarimah hudud secara etimologis merupakan bentuk jamak dari
kata had yang berarti larangan atau pencegahan, adapun secara
terminologis, Al-Jurjani mengartikan sebagai sanksi yang telah ditentukan
dan yang wajib dilaksanakan secar hak karena Allah.7 Dalam jarimah
hudud ini sanksi yang dijatuhkan tidak boleh ditambah atau dikurang
takaran hukumannya, hal ini dikarenakan sudah ada ketentuan hukum
yang mengatur dari Allah S.W.T.
Jarimah ta‟zir menurut bahasa adalah memberi pelajaran,
hukuman yang belum ditetapkan oleh syar‟i, melainkan diserahkan kepada
hakim dan penguasa, baik penentuannya maupun pelaksanaanya.8
Menurut M. Nurul Irfan bahwa ta‟zir adalah sanksi yang
diberlakukan kepada pelaku jarimah yang melakukan pelanggaran, baik
6
Ali bin Muhammad Al-Jurjani, Kitab Al-Ta‟rifat, (Jakarta; Dar Al-Hikmah), hlm. 176.
Ibid, hlm. 88.
8
Abdurrahman I. Doi, Tindak Pidana Dalam Syariat Islam, (Jakarta: Melton Putra,
1992), hlm. 19.
7
46
berkaitan dengan hak Allah maupun hak manusia, dan tidak termasuk
kedalam kategori hukuman hudud atau kafarat karena sanksinya tidak
ditentukan langsung oleh Al-Qur‟an dan hadis, yang pelaksanaannya
menjadi kompetensi hakim dan penguasa setempat dengan tetap
memperhatikan nash secara teliti karena menyangkut kemaslahatan
manusia.9
Syarat jarimah ta‟zir harus sesuai dengan kepentingan-kepentingan
masyarakat dan tidak boleh berlawanan dengan nash-nash (ketentuan
syark‟) dan prinsip-prinsip umum, dengan maksud agar mereka dapat
mengatur masyarakat dan memelihara kepentingan-kepentingannya serta
dapat menghadapi persoalan yang sifatnya mendadak.10
Ciri khas dalam jarimah ta‟zir adalah sebagai berikut:
a.
Hukuman tidak tertentu dan tidak terbatas. artinya hukuman tersebut
belum ditentukan oleh syark‟, tidak ada batas minimal dan ada batas
maksimal yang ditentukan dalam Al-Qur‟an dan hadis.
b.
Penentuan hukuman tersebut adalah hak hakim dan penguasa.11
Apabila terdapat suatu masalah yang belum ditentukan status
hukumnya dalam Al-Qur‟an dan hadis, maka para fuqoha melakukan
ijtihad dengan cara qiyas.
Qiyas adalah mempersamakan status hukuman yang belum ada
ketentuannya dengan hukuman yang sudah ada ketenyuannya dalam Al9
10
M Nurul Irfan, Fiqh Jinayat, (Jakarta, Amzah, 2013), hlm .139-140.
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hlm.
9.
11
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm. 151.
47
Qur‟an dan hadis, karena kedua peristiwa terdapat segi persamaanya.12
Persamaan yang terkategori dalam qiyas antara lain adalah cara perbuatan
yang dilakukan, dan efek yang terjadi setelah melakukan perbuatan
tersebut.
Berikut ini uraian metode penyelesaian ketentuan hukum narkotika
dengan pendekatan qiyas13 :
a. Al Ash dalam hal ini adalah khamr, karena sesuatu yang ada hukumnya
dalam Al-Qur‟an, sebagaimana firman Allah SWT. dalam Surat Al
Maidah ayat 90 sebagai berikut :
ِ َّ
ِ
ِ
‫س ِم ْن َع َم ِل‬
ْ ‫ين ءَ َامنُوا إََِّّنَا‬
َ ْ‫اْلَ ْم ُر َوالْ َمْيس ُر َو ْاْلَن‬
ُ ‫ص‬
َ ‫يَاأَيُّ َها الذ‬
ٌ ‫اب َو ْاْل َْزََل ُم ر ْج‬
ِ
‫اجتَنِبُوهُ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِ ُحو َن‬
ْ َ‫الشَّْيطَان ف‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum)
khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan
panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatanperbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
b. Al Far‟u (cabang) dalam hal ini adalah narkotika, karena tidak ada
hukumnya dalam nash Al-Qur‟an maupun hadis, tetapi ada maksud
menyamakan status hukumnya kepada nash yakni khamr. Khamr
dalam hal yang diserupakan atau disebut al musyabbah.
c. Hukum ashl dalam kontek ini adalah khamr, hukumnya haram,
sebagaimana tertuang dalam Q.s Al-Maidah : 90, dengan itu menjadi
patokan ketetapan hukum bagi al-far‟u atau cabang dalam hal ini
narkotika.
12
Ahmad Hanafi, MA, Asas-asas hukum pidana islam,(Jakarta: Bulan Bintang, 1997),
hlm. 33.
13
Abdul Wahab Khalaf, kaidah-kaidah Hukum Islam, (Jakarta, Rajawali, 1989),
Cet.Ket.I, hlm. 90.
48
d. Al Illat atau dampak, dampak dari khaar adalah dapat memabukkan,
menghilangkan akal pikiran dan melupakan Allah SWT. Sedangkan
narkotika adalah al-far‟u karena tidak terdapat nash mengenai
hukumnya dan narkotika telah menyamai khamr dalam kedudukannya
adalah memabukkan.14
Dengan demikian, maka hukum penyalahgunaan narkotika dalam
hukum Islam adalah haram.
Oleh karena itu penyalahgunaan narkotika dalam hukum Islam
digolongkan kepada jarimah ta‟zir, hal ini sesuai dengan prinsip
menetapkan jarimah ta‟zir, yaitu prinsip utama yang menjadi acuan
penguasa dan hakim adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi
setiap anggota masyarakat dari ke-mudharatan (bahaya).
Fathhurrahman Djamil menjelaskan bahwa tujuan Allah SWT
mensyari‟at-kan
hukum-hukumnya
adalah
untuk
memelihara
kemaslahatan manusia, sekaligus untuk menghindari mafsadat, baik di
dunia maupun di akhirat. Tujuan tersebut hendak dicapai melalui taklif,
yang pelaksanaannya tergantung pada pemahaman sumber hukum yang
utama, Al-Qur‟an dan hadist, dalam rangka mewujudkan kemaslahatan di
dunia dan akhirat.15
Dalam hukum Islam, untuk mewujudkan kemaslahatan tersebut
berlaku ketentuan-ketentuan atau had atau batasan yang harus dipatuhi,
14
Noer Iskandar Al Barsany, Ilmu ushul fiqh, ( Jakarta, Rajawali, 1989), Cet. Ke I,
hlm.67-68.
15
hlm. 125.
Fathhurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997),
49
yang tujuannya untuk pencegahan terhadap tindakan yang merugikan baik
bagi pelaku maupun bagi pihak lain.
Ada tiga tujuan pokok diterapkannya hukum Islam. Ketiga pokok
tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, tujuan primer (al-dharury), yakni tujuan hukum yang
harus ada demi ketentraman kehidupan manusia. Apabila tujuan ini tidak
tercapai akan menimbulkan ketidak ajegan kemaslahatan hidup manusia di
dunia dan di akherat. Kebutuhan hidup yang primer ini hanya bisa dicapai
bila terpeliharanya lima tujuan hukum Islam yang disebut al-dharuriyyat,
al-khamsatau, alkulliyyat, al-khams (disebut pula maqasid al-syari‟ah),
yaitu lima tujuan utama hukum Islam yang telah disepakati bukan hanya
oleh ulama Islam melainkan juga oleh keseluruhan agamawan.16
Kelima tujuan utama itu adalah memelihara agama (hifdz ad din),
memelihara jiwa (hifdz an nafs), memelihara akal (hifdz al aql),
memelihara keturunan (hifdz an nasl) dan memelihara harta (hifdz al
mal),17 Segala usaha dan upaya untuk melaksanakan lima pokok tujuan
hukum Islam tersebut merupakan amal sholeh yang wajib dilakukan oleh
umat Islam.
Kedua, tujuan sekunder (al-haajiy), yakni terpeliharanya tujuan
kehidupan manusia yang terdiri atas berbagai kebutuhan sekunder. Jika
tidak terpenuhi akan menimbulkan kesukaran bagi manusia, namun tidak
sampai menimbulkan kerusakan.
16
Ibid, hlm, 125.
Abdurraḥman Yūsuf al-Qarḍāwi, Naẓariyyah maqāṣid as-Syarī'ah 'inda Ibni Taimiyah
wa Jumhūr al-Uṣūliyyin, (Mesir, Jāmi'ah al-Qāhirah, 2000), hlm. 171.
17
50
Ketiga, tujuan tertier (al-tahsiniyyat), yakni tujuan hukum yang
ditujukan
untuk
menyempurnakan
hidup
manusia
dengan
cara
melaksanakan apa yang baik dan yang paling layak menurut kebiasan dan
menghindari hal-hal yang tercela menurut akal sehat.18
Tujuan pokok penjatuhan hukuman dalam syari‟at Islam adalah
pencegahan (al ra‟du wa zajru), pengajaran dan pendidikan (al ishlah wat
tahdzib).
Sebaliknya, segala perbuatan dan tindakan yang bisa mengancam
keselamatan atau kerusakan dari salah satu dari pokok tujuan hukum Islam
tersebut adalah merupakan perbuatan yang dilarang dalam ajaran Islam.
Berdasarkan lima pokok tujuan hukum Islam tersebut, maka tindakan
kejahatan dapat dikelompokan kepada lima katagori, yaitu kejahatan
terhadap agama, kejahatan terhadap jiwa atau diri, kejahatan terhadap akal,
kejahatan terhadap kehormatan dan keturunan dan kejahatan terhadap
harta benda. Kejahatan-kejahatan besar terhadap lima pokok hukum Islam
ini diatur dalam bab Jinayat.19
2. Sanksi Hukum Pidana bagi Penyalahgunaan Narkotika Menurut
Hukum Islam
Narkotika di dalam Al-Qur‟an maupun hadis secara langsung tidak
disebutkan penjabarannya, dalam Al-Qur‟an hanya disebutkan istilah
khamr. Seperti disebutkan dalam Surat Al Maidah ayat 90 sebagi berikut :
18
Fathhurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, hlm. 125.
Satria Efendi M. Zein, Kejahatan Terhadap Harta Dalam Perspektif hukum Islam.
hlm. 107.
19
51
ِ َّ
ِ
ِ
‫س ِم ْن َع َم ِل‬
ْ ‫ين ءَ َامنُوا إََِّّنَا‬
َ ْ‫اْلَ ْم ُر َوالْ َمْيس ُر َو ْاْلَن‬
ُ ‫ص‬
َ ‫يَاأَيُّ َها الذ‬
ٌ ‫اب َو ْاْل َْزََل ُم ر ْج‬
ِ
‫اجتَنِبُوهُ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِ ُحو َن‬
ْ َ‫الشَّْيطَان ف‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum)
khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan
panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatanperbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
Menurut Imam Syafi‟i bahwa sanksi hukuman bagi peminum
khamr adalah 40 (empat puluh) kali dera. Pendapat tersebut, berbeda
dengan pendapat ulama madzhab lainnya. Imam Syafi‟i beralasan bahwa
tidak ada dalil yang berasal dari Rasulallah SAW yang menyatakan bahwa
beliau pernah mencambuk para peminum khamr lebih dari empat puluh
kali dera, sebagaimana hadis berikut :
ِ ِ ِ َّ ِ‫ِِف ق‬- ‫ عن علِ ٍي رضي هللا عنو‬:‫ولِمسلِ ٍم‬
‫َِّب‬
ُّ ِ‫ ( َجلَ َد اَلن‬-َ‫صة اَلْ َوليد بْ ِن َع َقبَة‬
ّ َ َْ ْ ُ َ
ِ
ِ
ِ
‫ َوَى َذا‬,ٌ‫ َوُكلٌّ ُسنَّة‬,‫ني‬
َ ‫ َوعُ َم ُر ََثَان‬,‫ني‬
َ ‫ َوأَبُو بَ ْك ٍر أ َْربَع‬,‫ني‬
َ ‫صلى هللا عليو وسلم أ َْربَع‬
ِ ‫ وِِف ى َذا اَ ْْل ِد‬.‫َل‬
ِ ُّ ‫أَح‬
َّ ‫ ( أ‬:‫يث‬
,‫َن َر ُج اًل َش ِه َد َعلَْي ِو أَنَّوُ َرآهُ يَتَ َقيَّأْ اَ ْْلَ ْمَر‬
َ َ َ ََّ ‫ب ) إ‬
َ
) ‫ إِنَّوُ ََلْ يَتَ َقيَّأْ َىا َح ََّّت َش ِربَ َها‬:‫فَ َق َال عُثْ َما ُن‬
Menurut Riwayat Muslim dari Ali Radliyallaahu 'anhu, tentang kisah
Walid Ibnu Uqbah: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mencambuknya
empat puluh kali, Abu Bakar (mencambuk peminum) empat puluh kali,
dan Umar mencambuk delapan puluh kali. Semuanya Sunnah dan ini
(yang delapan puluh kali) lebih saya (Ali) sukai. Dalam suatu hadits
disebutkan: Ada seseorang menyaksikan bahwa ia melihatnya (Walid Ibnu
Uqbah) muntah-muntah arak. Utsman berkata: Ia tidak akan muntahmuntah arak sebelum meminumnya.20
20
Al Hafizd Ibnu Hajar Al Asqolany, Bulughul Marom Min Adilatil Ahkam, (
Terjemah Bulughul Maram), penerjemah Hamim Thohari Ibnu M Dailami, (Jakarta, al
Birr Press, 2009 ), hlm, 450.
52
Menurut Imam Syafi‟i bahwa sisa 40 (empat puluh) kali dera lagi
bukan merupakan hudud, melainkan hukum ta‟zir.21
Sejalan dengan pendapat Imam Syafi‟i juga didapati dalam riwayat
lain dari Ahmad bin Hanbal bahwa bahwa hukuman hudud atas tindak
pidana minum khamr ini adalah 40 (empat puluh) kali dera. Akan tetapi
tidak ada halangan bagi penguasa untuk menjatuhkan sanksi bagi pelaku
sebanyak 80 (delapan puluh) kali dera jika ia memiliki kebijakan seperti
itu. Jadi sanksi hukuman hudud bagi peminum khamr (minuman keras)
sebanyak 40 (empat puluh) kali dera dan selebihnya merupakan ta‟zir.
Menurut Imam Abu Hanifah, bahwa sanksi hukuman karena
khamar adalah sama. Perbedaan pendapat di kalangan fuqoha dalam
menentukan kadar hukum disebabkan tidak adanya ketentuan dalam AlQur‟an tentang hukum tersebut. Selain itu, riwayat yang ada tidak
menyebutkan dengan pasti adanya ijma para sahabat tentang hukuman atas
tindak pidana khamar.22
Adapun larangan untuk meminum khamar bersumber dari AlQur‟an, menurut pendapat yang kuat, penentuan sanksi 80 (delapan
puluha) kali dera baru ditetapkan pada masa khalifan Umar bin Khatab
Ra. Ketika ia bermusyawarah dengan para shahabat mengenai hukuman
bagi peminum khamr. Ali bin Abi Thalib menyarankan agar hukumannya
berupa dera sebanyak 80 (delapan puluh) kali, dengan alasan apabila
21
Abdul Qodir Audah, At Tasyri al Jinaij Al islamy Moqorronan bin Qonunil
Wadhi (Ensiklopedia Hukum Pidana Islam III), (Bogor : kharisma Ilmu , 2008),
Cet.Ke.IV, hlm 54.
22
Abdul Qodir Audah, hlm. 67-68.
53
seseorang minum ia akan mabuk, jika ia mabuk ia akan mengigau, ia akan
memfitnah (qadzaf).
Sedangkan sanksi hukum bagi pelaku peminum khamar yang
melakukan berulang-ulang adalah hukuman mati. Pendapat ini disetujui
oleh para shabat yang lain.
ِ ‫َِّب صلى هللا عليو وسلم أَنَّوُ قَ َال ِِف َشا ِر‬
ِ
ِ
‫ب‬
ِّ ‫ََ َو َع ْن ُم َعاويَةَ رضي هللا عنو َع ْن اَلن‬
ِ َ‫ ُُثَّ إِذَا ش ِرب ( اَلثَّانِي ِة ) ف‬,‫ ( إِذَا ش ِرب فَاجلِ ُدوه‬:‫اَ ْْلم ِر‬
‫ب‬
ْ
ُ ْ َ َ
َ ‫ ُُثَّ إِذَا َش ِر‬,ُ‫اجل ُدوه‬
َ َ
َْ
َ
ِ َ‫اَلثَّالِث ِة ف‬
,ُ‫َْحَ ُد َوَى َذا لَْفظُو‬
ْ ‫َخَر َجوُ أ‬
ْ َ‫ب اَ َّلرابِ َع ِة ف‬
ْ ‫اض ِربُوا عُنُ َقوُ ) أ‬
ْ َ
َ ‫ ُُثَّ إِ َذا َش ِر‬,ُ‫اجل ُدوه‬
ِ
ِ
‫ص ِرحياا‬
ُّ ‫لّتِم ِذ‬
َ ‫َخَر َج َذل‬
ٌ ‫ي َما يَ ُد ُّل َعلَى أَنَّوُ َمْن ُس‬
ْ ‫ َوأ‬,‫وخ‬
ّْ َ‫َو ْاْل َْربَ َعةُ َوذَ َكَر ا‬
َ ‫ك أَبُو َد ُاوَد‬
‫ي‬
ّ ‫َع ْن اَ ُّلزْى ِر‬
Dari Muawiyyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda tentang peminum arak: "Apabila ia minum, cambuk-lah
dia, bila minum lagi, cambuk-lah dia, bila ia minum untuk yang ketiga
kali, cambuk-lah dia, lalu bila ia masih minum untuk keempat kali,
pukullah lehernya." Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Lafadznya menurut
Ahmad. Tirmidzi menuturkan pendapat yang menunjukkan bahwa hadits
itu mansukh. Abu Dawud meriwayatkannya secara jelas dari Zuh.23
Menurut, hadis di atas bagi peminum khamr yang sudah diberi
hukuman untuk ketiga kalinya dan mengulangi untuk keempat kalinya,
maka kepada pelaku diberikan hukuman pancung atau sama dengan
hukuman mati.
Hal demikian melihat besarnya kerusakan yang ditimbulkan oleh
peminum khamr yang dipilih oleh para ulama adalah hukuman mati untuk
peminum khamar yang sudah berkali-kali melakukan perbuatan tersebut.
23
Al Hafizd Ibnu Hajar Al Asqolany, Bulughul Marom Min Adilatil Ahkam, penerjemah
Hamim Thohari Ibnu M Dailami, (Jakarta, al Birr Press, 2009), hlm, 450.
54
Menurut Yusuf Qardawi, ganja, heroin, serta bentuk lainnya baik
padat maupun cair yang terkenal dengan sebutan mukhaddirat (narkotika)
adalah benda-benda yang diharamkan syara‟ tanpa diperselisihkan lagi di
antara para ulama.24
Adapun hukuman bagi pengguna mukhaddirat (narkotika), adalah
haram menurut kesepekatan ulama dan kaum muslimin, penggunanya
wajib dikenakan hukuman, dan pengedar atau pedagangnya harus dijatuhi
ta‟zir dari yang paling ringan sampai yang paling berat adalah hukuman
mati. Adapun hukuman ta‟zir menurut para fuqoha muhaqqiq (ahli
membuat keputusan) bisa saja berupa hukuman mati, tergantung kepada
mafsadat yang ditimbulkan pelakunya.25
B. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sanksi Tindak Pidana Narkotika
Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
Pandangan hukum Islam, narkotika tidak disamakan hukumannya dengan
khamar. Hukuman peminum khamr dalam hukum Islam dikenakan dengan
hukuman had, sedangkan hukuman pengguna narkotika dalam hukum Islam
dikenakan jarimah ta‟zir, hal ini dikarenakan hukum narkotika tidak disamakan
„ilat-nya..
Pada awalnya manusia akan mendapatkan kenikmatan semu dan sesaat,
tetapi kemudian hal tersebut dapat mempengaruhi akal sehat. Hal demikian harus
24
Yusuf Qardawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, penj. Drs. As‟ad Yasin, Jilid 2, (Gema
Insani Press, Jakarta, 1995), hlm.792.
25
Dr. Yusuf Qardawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, hlm.797.
55
dihindari, agar terhindar dari malapetaka yang lebih besar.26 Dijelaskan dalam Q.s
Al-Baqarah ayat 219 sebagai berikut:
ِ ‫اْلَ ْم ِر َوالْ َمْي ِس ِر قُ ْل فِي ِه َما إِ ُْثٌ َكبِريٌ َوَمنَافِ ُع لِلن‬
‫َّاس َوإَِْثُُه َما أَ ْكبَ ُر ِم ْن نَ ْفعِ ِه َما‬
ْ ‫ك َع ِن‬
َ َ‫يَ ْسأَلُون‬
ِ
ِ
ِ ‫اَّلل لَ ُكم ْاْلي‬
‫ات لَ َعلَّ ُك ْم تَتَ َف َّك ُرو َن‬
َ ‫ك َماذَا يُْنف ُقو َن قُ ِل الْ َع ْف َو َك َذل‬
َ َ‫َويَ ْسأَلُون‬
ُ ِّ َ‫ك يُب‬
َ ُ َُّ ‫ني‬
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah:
"Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi
manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan
mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakan-lah: "
yang lebih dari keperluan." Demikian-lah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu supaya kamu berfikir. (Q.S. Al-Baqarah: 219)
Dari penjabaran diatas, bahwa penyalahguna narkotika dan khamr saja
dilarang, apalagi dengan memperjual belikan narkotika bahkan untuk meraih
keuntungan. Sebagai mana dijelaskan dalam hadits Nabi SAW yang diriwayatkan
Jabir Bin Abdillah - radhiyallahu „anhuma-, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
‫إن هللا حرم بيع اْلمر وامليتة واْلنزير واْلصنام‬
Artinya:“Sesungguhnya Allah mengharamkan jual beli khamr (minuman
keras/segala sesuatu yang memabukkan), bangkai, babi, dan berhala”,27
An-Nawawi menjelaskan,“Menjual khamr adalah transaksi yang tidak sah
baik penjualnya adalah muslim atau non muslim. Demikian pula meski penjual
dan pembelinya non muslim atau seorang muslim mewakilkan kepada non
muslim agar non muslim tersebut membelikan khamr untuk si muslim.
Transaksi jual beli dalam kasus di atas adalah transaksi jual beli yang tidak
sah tanpa ada perselisihan di antara para ulama syafi‟iyyah. Sedangkan Al-Imam
Abu Hanifah membolehkan seorang muslim untuk memberikan mandat kepada
26
Muhibbin Noor, Tegakkan Hukum dan Lawan Korupsi, (Semarang: PT Pustaka Rizki
Putra, 2013), hlm. 313
27
Diriwayatkan Muslim dalam Shahih Muslim, kitab al-Masaqati, Bab Tahrimi alKhamri wal Maitati, hadits nomor 1581 (baca: Sayyid Sabiqq, Fiqih Sunnah, jilid 3 terj. M. Ali
Nursyidi), Jakarta: PT Pena Pundi Aksara, 2009, hlm. 222.
56
non muslim untuk menjualkan atau membelikan khamr. Pendapat ini jelas
pandapat yang keliru karena menyelisihi banyak hadis shahih yang melarang jual
beli khamr. Jual beli khamr atau memproduksinya dan semisalnya adalah suatu
hal yang hukumnya haram dilakukan non muslim sebagaimana haram dilakukan
oleh muslim.
Di Indonesia tindak pidana yang tergolong sebagai tindak pidana luar
biasa (extraordinary crime) seperti tindak pidana terorisme, narkotika, korupsi,
maupun illegal logging dapat dijatuhi pidana mati. Bukan hanya karena modus
operandi tindak pidana tersebut yang sangat terorganisir, namun pandangan
negatif yang meluas dan sistematik bagi halayak, menjadi titik tekan yang paling
dirasakan mayarakat. Maka sebagai langkah yuridis yang menentukan eksistensi
keberlakuan pidana hukuman mati di Indonesia, maka keluarlah putusan MK
Nomor 2-3/PUUV/2007.
Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah
memuat pidana mati. Bahwa ancaman pidana mati bagi pengedar diatur dalam
Pasal 114 ayat (2) dan Pasal 119 ayat (2). Adapun bunyi pasal tersebut adalah:
Pasal 114 ayat (2): dijelaskan bahwa dalam hal perbuatan menawarkan untuk
dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar,
menyerahkan, atau menerima narkotika golongan I sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau
melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5
(lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup,
atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
57
tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 119 ayat (2): dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual,
menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau
menyerahkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana
penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Dalam pasal 114 ayat 2 tersebut menjelaskan bahwa sanksi tindak pidana
narkotika adalah pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara
paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana
denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Sedangkan dalam pasal 119 ayat 2 sanksinya adalah pidana mati, pidana penjara
seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama
20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Yakni bahwa sanksi pidana tersebut sangat
dinamis yaitu adanya sanksi mimimum khusus (paling singkat 6 (enam) tahun
pada pasal 114 ayat 2 dan paling singkat 5 (lima) tahun pada pasal 119 ayat 2) dan
juga maksimum khusus (pidana mati). Dalam pasal tersebut juga terdapat kata
“atau” dan kata “dan” yakni bahwa pasal tersebut dapat dijatuhkan secara
58
komulatif atau alternatif yang diimplikasikan dengan kata “dan” maupun kata
“atau”.28
Sanksi pidana mati bagi pengedar narkotika merupakan pemberatan
pemidanaan yang dilakukan kepada kejahatan yang luar biasa (extra ordinary
crime) dimana kejahatan tersebut merupakan kejahatan transnasional yang
terorganisir secara rapi yang dampaknya luar biasa.
Penulis mengambil kesimpulan sifat dari narkotika, yaitu membunuh satu
orang manusia sama saja dengan membunuh seluruh umat yang dianalogikan
dengan kejahatan narkotika yang membunuh bukan saja orang-perorang, tetapi
membunuh ribuan bahkan ratusan ribu manusia. Sebagaimana dijelaskan dalam
Qs: Al Maidah ayat 33 sebagai berikut ;
ِ َّ
َِّ
ِ ‫اَّللَ َوَر ُسولَوُ َويَ ْس َع ْو َن ِِف اْل َْر‬
‫صلَّبُوا أ َْو‬
َّ ‫ين ُحيَا ِربُو َن‬
َ ُ‫ض فَ َسادا أَ ْن يُ َقتَّلُوا أ َْو ي‬
َ ‫إَّنَا َجَزاءُ الذ‬
ِ ِ ‫ًلف أَو ي ْن َفوا ِمن اْلَر‬
ٍ ‫تُ َقطَّع أَي ِدي ِهم وأَرجلُهم ِمن ِخ‬
ِ
‫ي ِِف الدُّنْ يَا َوََلُ ْم ِِف‬
َ ‫ض َذل‬
ْ َ ْ ُ ْ
ْ ُْ َُْ ْ ْ َ
ٌ ‫ك ََلُ ْم خ ْز‬
ِ
ِ
‫يم‬
ٌ ‫اْلخَرةِ َع َذ‬
ٌ ‫اب َعظ‬
“Sesungguhnya, hukuman terhadap orang-orang yang memerangi Allah
dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, adalah mereka [1]
dibunuh atau [2] disalib, [3] dipotong tangan dan kaki mereka dengan bersilang,
[4] atau dibuang (keluar daerah). Yang demikian itu, (sebagai) suatu penghinaan
untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang besar.”
(QS. Al-Maidah: 33)
Demikian pula dalam hadits :
ِ ‫َِّب صلى هللا عليو وسلم أَنَّوُ قَ َال ِِف َشا ِر‬
ِ
ِ
‫ب‬
ِّ ‫َو َع ْن ُم َعاويَةَ رضي هللا عنو َع ْن اَلن‬
ِ َ‫ ُُثَّ إِذَا ش ِرب ( اَلثَّانِي ِة ) ف‬,‫ ( إِذَا ش ِرب فَاجلِ ُدوه‬:‫اَ ْْلم ِر‬
‫ب اَلثَّالِثَِة‬
ْ
ُ ْ َ َ
َ ‫ ُُثَّ إِذَا َش ِر‬,ُ‫اجل ُدوه‬
َ َ
َْ
َ
28
Undang-Undang RI Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika dan Penjelasannya,
(Bandung: Citra Umbara, 2010), hlm. 50
59
ِ َ‫ف‬
‫ َو ْاْل َْربَ َعةُ َوذَ َكَر‬,ُ‫َْحَ ُد َوَى َذا لَْفظُو‬
ْ ‫َخَر َجوُ أ‬
ْ َ‫ب اَ َّلرابِ َع ِة ف‬
ْ ‫اض ِربُوا عُنُ َقوُ) أ‬
ْ
َ ‫ ُُثَّ إِ َذا َش ِر‬,ُ‫اجل ُدوه‬
ِ
ِ
‫ي‬
ُّ ‫لّتِم ِذ‬
َ ‫َخَر َج َذل‬
ٌ ‫ي َما يَ ُد ُّل َعلَى أَنَّوُ َمْن ُس‬
ْ ‫ َوأ‬,‫وخ‬
ّْ َ‫ا‬
َ ‫ك أَبُو َد ُاوَد‬
ّ ‫ص ِرحياا َع ْن اَ ُّلزْى ِر‬
Dari Muawiyyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
bersabda tentang peminum arak: "Apabila ia minum, cambuklah dia; bila minum
lagi, cambuklah dia; bila ia minum untuk yang ketiga kali, cambuklah dia; lalu
bila ia masih minum untuk keempat kali, pukullah lehernya." Riwayat Ahmad dan
Imam Empat. Lafadznya menurut Ahmad. Tirmidzi menuturkan pendapat yang
menunjukkan bahwa hadits itu mansukh. Abu Dawud meriwayatkannya secara
jelas dari Zuhry.29
Disamping itu hukuman mati tersebut mempertimbangkan dampak buruk
yang sangat besar bagi individu, masyarakat maupun bangsa secara keseluruhan,
maka terhadap pengedarnya dan produsen dapat dikenakan hukuman yang berat,
bahkan dihukum mati. Hal ini sesuai kaidah ushul fiqh yang berbunyi:
‫درء املفاسد مقدم على جلب املصاحل‬
Artinya:
“Menolak kemafsadatan
kemaslahatan.”
didahulukan
dari
pada
mengambil
Atau kaidah ushul fiqh yang berbunyi:
‫الضرر يزال‬
Artinya: “Bahwa segala bentuk bahaya harus dihilangkan dan disingkirkan”.
Kaidah ini menegaskan bahwa tujuan hukum Islam, ujungnya adalah
untuk meraih kemaslahatan di dunia dan akhirat.30 Kemaslahatan membawa
manfaat
bagi
kehidupan
manusia,
sedangkan
mafsadah
mengakibatkan
kemudaratan bagi kehidupan manusia. Apa yang disebut dengan maslahat
memiliki kriteria-kriteria tertentu dikalangan Ulama, yang apabila disimpulkan,
kriterianya adalah sebagai berikut:
29
Al Hafizd Ibnu Hajar Al Asqolany, Bulughul Marom Min Adilatil Ahkam, (Jakarta, al
Birr Press, 2009), hlm.450.
30
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masalah-Masalah Yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm 164-165
60
1. Kemaslahatan itu harus diukur kesesuaiannya dengan maqashid alsyari‟ah, dalil-dalil Kulli (general dari Al-Qur‟an dan As-Sunnah),
semangat ajaran, dan kaidah kulliyah hukum Islam.
2. Kemaslahatan itu harus memberi manfaat pada sebagian besar masyarakat,
bukan pada sebagian kecil masyarakat.
3. Kemaslahatan itu memberikan kemudahan, bukan mendatangkan kesulitan
dalam arti dapat dilaksanakan.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam musyawarah Nasional ke-7 Tahun
2005, dalam keputusannya No. 6/MUNAS/VII/MUI/10/2005 memberikan kriteria
sebagai berikut:
1. Kemaslahatan menurut hukum Islam adalah tercapainya tujuan syari‟ah
(maqashid al-syari‟ah), yang diwujudkan dalam bentuk terpeliharanya
lima kebutuhan primer (al-dharuriyat al-khams), yaitu: agama, jiwa, akal,
harta, dan keturunan.
2. Kemaslahatan yang dibenarkan oleh syariah adalah kemaslahatan yang
tidak bertentangan dengan nash.
3. Yang berhak menentukkan maslahat dan tidaknya sesuatu menurut syariah
adalah lembaga yang mempunyai kompetensi di bidang syariah dan
dilakukan melalui ijtihad jama‟i.31
Untuk melindungi dari akal, jiwa, keturunan dan harta maka dengan
menghilangkan bentuk mafsadat dengan hukuman mati maka akan terwujud
maslahat dari pemeliharaan tersebut. Sudah sewajarnya apabila pasal 114 ayat (2)
31
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masalah-Masalah Yang Praktis, hlm 164-165
61
dan 119 ayat (2) diterapkan atau diaplikasikan, karena bahwa kejahatan tersebut
yang luar biasa. Dampak yang ditimbulkan narkotika dengan sifatnya yang
habitual, adiktif dan toleran sangat berbahaya.
C. Persamaan dan Perbedaan Sanksi Terhadap Tindak Pidana Penyalahgunaan
Narkotika Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
1. Analisis Persamaan
Mengenai persamaan konsep hukum narkoba menurut pandangan
hukum Islam dan hukum positif di Indonesia mencakup kepada:
a. Definisi Narkotika
Mengenai definisi narkoba menurut hukum Islam dan hukum
positif di Indonesia sama-sama mengartikan dengan zat-zat yang
mendatangkan kecanduan atau adiksi bagi pemakainya, bahkan akan
mendatangkan
kematian
terhadap
pemakainya/penggunanya/
pencadunya jika sampai pada tahapan over dosis.
b. Sanksi Pidana Akibat Penyalahgunaan Narkotika
Pemberian
sanksi
yang
dijatuhkan
terhadap
pelaku
penyalahguna narkotika menurut hukum Islam dan hukum positif
adalah melihat dari berapa banyak dan sesering apa para pelaku
penyalahguna
mengkonsumsi
narkotika
tersebut,
sanksi
yang
dikenakan atau dijatuhkan mulai dari sanksi yang ringan sampai sanksi
yang berat (hukuman mati)
62
c. Pemberlakuan atau Penerapan Hukum Narkotika
Dalam pemberlakuan dan penerapan hukum Islam ataupun
hukum positif sanksi yang dikenakan terhadap penyalahguna narkotika
disesuaikan
dengan
tingkatan
atau
golongan
penyalahgunaan.
Landasan yang digunakan yaitu sangat besar pengaruh negatif terhadap
penyalahguna narkotika khususnya generasi penerus bangsa, selain
untuk menegakan keadilan dan menjaga tatanan kehidupan dalam
masyarakat
d. Pencegahan dan Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika
Hukum Islam dan hukum positif terhadap pencegahan dan
penaggulangan penyalahgunaan narkotika, sama-sama mengedepankan
tugas bersama yaitu pribadi, keluarga, masyarakat, agama, dan
sebagainya dengan kata lain seluruh anggota masyarakat ikut andil
dalam pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan narkotika
tersebut.
2. Analisis Perbedaan
a. Definisi Narkotika
Narkotika dalam perspektif hukum Islam secara langsung
memang tidak disebutkan dalil-dalil qath‟i, hal ini disebabkan bahwa
Al-Qura‟n dan hadis merupakan sumber hukum primer, bukan undangundang layaknya kitab undang-undang di Indonesia (KUH Perdata dan
KUH Pidana) yang memang secara khusus dibuat untuk menangani
suatu permasalahan hukum tertentu. Sehubungan dengan hal ini, maka
63
dapat dimaklumi jika kedua sumber hukum Al-Quran dan hadis hampir
tidak pernah memberikan sebuah definisi. Termasuk didalamnya
definisi narkotika. Tetapi tidak berarti tidak bisa dilacak perihal
narkotika dalam Al-Quran dan hadis.32
Narkotika pada masa Nabi Muhamad SAW belum ada yang
membuat ataupun yang mengkonsumsinya. Adapun zat-zat yang
populer saat itu adalah zat atau benda yang disebut dengan al-khamr.
Sedangkan narkotika dijelaskan dan diatur di dalam hukum
positif antara lain yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika.
b. Sanksi Pidana Akibat Penyalahgunaan Narkotika
Sanksi pidana akibat penyalahgunaan khamr menurut Hukum
Islam, berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW. :
ٍ ِ‫س ب ِن مال‬
َّ ‫ك رضي هللا عنو ( أ‬
‫َِّب صلى هللا عليو وسلم أَتَى بَِر ُج ٍل‬
َّ ِ‫َن اَلن‬
َ ْ ِ َ‫ََ َع ْن أَن‬
ِ
ِ ْ َ‫يدت‬
‫ فَلَ َّما َكا َن‬,‫ َوفَ َعلَوُ أَبُو بَ ْك ٍر‬:‫ قَ َال‬.‫ني‬
َ ‫ فَ َجلَ َدهُ ِِبَ ِر‬,‫ب اَ ْْلَ ْمَر‬
َ ‫ني ََْن َو أ َْربَع‬
َ ‫قَ ْد َش ِر‬
ِ
ِ ‫ف اَ ْْل ُد‬
ٍ
‫ فَأ ََمَر بِِو‬,‫ود ََثَانُو َن‬
َ ‫ أ‬:‫ فَ َق َال َعْب ُد اَ َّلر ْْحَ ِن بْ ُن َع ْوف‬,‫َّاس‬
ُ َّ ‫َخ‬
َ ‫عُ َم ُر ا ْستَ َش َار اَلن‬
‫عُ َم ُر ) ُمتَّ َف ٌق َعلَْي ِو‬
Dari Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu
'alaihi wa Sallam pernah didatangkan seorang yang telah minum arak,
lalu memukulnya dengan dua pelepah kurma sekitar empat puluh kali.
Perawi berkata: Abu Bakar juga melakukan demikian. Pada masa
Umar, ia bermusyawarah dengan orang-orang, lalu Abdurrahman
Ibnu 'Auf berkata: Hukuman paling ringan adalah delapan puluh kali.
Kemudian Umar memerintahkan untuk melaksanakannya. Muttafaq
Alaihi.33
32
Muhammad Amin Summa, Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba dalam
Perspektif Hukum Islam, Makalah Seminar, tanggal 16 September 2000.
33
Al Hafizd Ibnu Hajar Al Asqolany, Bulughul Marom Min Adilatil Ahkam, ( Jakarta, al
Birr Press, 2009 ), hlm. 450.
64
Dalam hukum Islam penyalahguna narkotika tidak diatur dalam
Al-Qur‟an
maupun
hadis,
hukuman
yang
diberikan
bagi
penyalahgunanya adalah jarimah ta‟zir, yaitu hukumannya diserahkan
dan diatur oleh penguasa dan hakim.
Sedangkan sanksi hukuman yang diberikan bagi perbuatan
tanpa hak melawan hukum yang berkaitan dengan penggolongan
Narkotika (golongan I, II dan III) menurut hukum positif di Indonesia
dijelaskan pada pasal 114 sampai dengan pasal 147 Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 meliputi 4 (empat) kategori, yakni (1) berupa
memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotika dan
prekusor narkotika; (2) memproduksi, mengimpor, mengekspor atau
menyalurkan narkotika dan prekusor narkotika; (3) menawarkan untuk
dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jualbeli, menukar atau menyerahkan narkotika dan prekusor narkotika, (4)
membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransit narkotika dan
prekusor narkotika. Sistem pemidanaan penjara untuk narkotika
golongan I, II, III paling minimal 4 tahun dan paling maksimal 20
tahun penjara, pengenaan pidana denda diberlakukan kepada semua
golongan narkotika, dengan denda minimal Rp 400.000.000,- (empat
ratus juta rupiah) dan paling maksimal Rp 8.000.000.000 (delapan
miliar rupiah), untuk jenis-jenis pelanggaran terhadap narkotika
dengan unsur-unsur pemberatan maka penerapan denda maksimum
dari tiap-tiap pasal yang dilanggar ditambah dengan 1/3 (satu pertiga).
65
Penerapan pidana penjara dan pidana denda menurut undang-undang
ini bersifat kumulatif, yakni pidana penjara dan pidana denda.
c. Pemberlakuan Atau Penerapan Hukum Narkotika
Ketentuan sanksi bagi penyalahguna narkotika dalam hukum
Islam tidak dijelaskan secara terperinci seperti ketentuan undangundang. Dalam hukum Islam sanksi yang diberlakukan untuk
penyalahguna narkotika yaitu hukuman ta‟zir atau dalam bahasa lain
yaitu keputusan yang diberikan penguasa dan hakim sesuai dengan
tingkat kesalahannya.
Dalam undang-undang (hukum positif) hukuman atau sanksi
sudah tersusun rapih dan disahkan oleh pemerintah tersendiri dalam
kitab
undang-undang
hukum
pidana
(KUHP)
di
Indonesia.
Perkembangan peraturan mengenai narkotika dimulai dari UndangUndang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika kemudian
diperbahaui menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang
Psikotropika, dan diperbaharui lagi dengan Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika yang mempunyai kekuatan mengikat
bagi seluruh warga negara Indonesia dan warga negara asing yang
berada di wilayah Indonesia.
d. Pencegahan dan Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika
Hukum Islam mengenai pencegahan dan penanggulangan
penyalahgunaan narkotika, menggunakan metode pendekatan agama
antara lain melalui dakwah dan perkumpulan keagamaan, bimbingan
66
agama, kebersihan fisik dan batin. terapi lahiryah, zikir, taubat dan
sebagainya. hal tersebut dirasa dapat menyelesaikan problematika
pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan narkotika
Sedangkan pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan
narkoba menurut hukum positif di Indonesia, yaitu melalui upaya
preventif, therapy dan rehabilitasi. Diantaranya penulis menawarkan
dengan mencontohkan beberapa tempat rehabilitasi narkoba di
Indonesia yang menggunakan prinsip-prinsip kedokteran, psikologi,
sosiologi, hukum dan sebagainya.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimplulan
Berdasarkan uraian
yang telah
penulis
paparkan pada
bab-bab
sebelumnya, maka dapatlah disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Ketentuan sanksi dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
digolongkan kepada 3 golongan, sanksi yang diberikan adalah pidana
penjara minimal 2 tahun dan maksimal 20 tahun, ditambah dengan denda.
2. Dalam syariat Islam penyalahgunaan narkotika tidak dijelaskan secara
terperinci hukuman yang mengaturnya. Jadi hukuman yang diberikan
kepada penyalahguna narkotika adalah hukuman ta’zir , yaitu hukuman
atau sanksinya diputuskan oleh hakim.
3. Persamaan ketentuan sanksi hukum bagi pelaku tindak pidana narkotika
menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dan hukum Islam adalah
bahwa kedunya memberikan hukuman. Dalam Undang-Undang Nomor 35
tahun 2009, hukuman yang diberikan sesuai dengan golongan tindak
pidana yang dilakukan oleh pelaku penyalahgunaan, sedangkan dalam
hukum Islam hukuman yang diberikan adalah Jarimah Ta’zir.
67
68
B. Saran-saran
Adapun saran yang dapat penulis sampaikan adalah sebagai berikut:
1. Bagi para penegak hukum, hendaknya tegas dalam memberikan sanksi
terhadap pelaku tindak pidana narkotika, karena bahaya yang ditimbulkan
bukan saja merugikan dirinya sendiri tapi juga merugikan orang lain,
bahkan merugikan tatanan kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.
2. Bagi
masyarakat secara umum, hendaknya pengawasan ekstra ketat
terhadap segala tindakan penyalahgunaan narkotika, agar masyarakat
terhindar dari perbuatan yang dapat membahayakan kehidupan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman I. Doi, Tindak Pidana Dalam Syariat Islam, Jakarta: Melton Putra,
1992.
Abidin, Ahmad, Narkotika Membawa Malapetaka Bagi Kesehatan, Bandung:
Sinergi Pustaka Indonesia, 2007.
Adji, Indriyanto Seno, Korupsi dan Hukum Pidana, Jakarta: Kantor Pengacara
dan Konsultan Hukum Prof. Oemar Seno Adji dan Rekan,2002.
Al Barsany, Noer Iskandar, Ilmu Ushul Fiqh Cet. Ke 1, Jakarta, Rajawali, 1989.
Al Qordowi, Abdurraḥman Yūsuf, Naẓariyyah Maqāṣid as-Syarī'ah 'Inda Ibni
Taimiyah wa Jumhūr al-Uṣūliyyin, Mesir, Jāmi'ah al-Qāhirah, 2000.
Al Qur’an, Tajwid Terjemah dan Transliterasi Latin, Jakarta : Pena Pundi
Aksara, 2002.
Ali, Zainuddin, Hukum Pidana Islam, Jakarta:Sinar Grafika, 2009.
Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra
Aditya Bakti,2005.
As Ahiddiqy, Muhammad Hasbi, Falsafah Hukum Islam, Jakarta: Bulan
Bintang, 1993.
Asmawi, Teori Maslahat dan Relevansinya Dengan Perundang-Undangan
Pidana Khusus di Indonesia, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat
Kementrian Agama, 2010.
Asqolany, Al Hafizd Ibnu Hajar, Bulughul Marom Min Adilatil Ahkam,
Terjemah Bulughul Maram, penj. Dailami, Hamim Thohari Ibnu M,
Jakarta, al Birr Press, 2009..
Audah, Abdul Qodir, At Tasyri al Jinaij Al Islamy Moqorronan bin Qonunil
Wadhi (Ensiklopedia Hukum Pidana Islam III), Bogor : Kharisma Ilmu
, 2008, Cet.Ke.IV
Az Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jakarta: Gema Insani, 2011.
Djamil, Fathhurrahman, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1997.
Djazuli, A, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam
Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang Praktis, Jakarta: Kencana,
2007.
Djazuli, Ahmad, Fikih Jinayah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.
69
70
Doi, Abdur Rahman I., Tindak Pidana Dalam Syariat Islam, Jakarta: Melton
Putra, 1992.
Hakim, M. Arief, Bahaya Narkoba-Alkohol: Cara Islam Mencegah, Mengatasi,
dan Melawan, Bandung: Nuansa, 2004.
Hakim, Rahmat, Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayat), Bandung; Pustaka
Setia, 2000.
Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1997.
Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1967.
Haryanto,
Dampak
Penyalahgunaan
Narkotika,
(online)
http://belajarpsikologi.com/ dampak penyalahgunaan narkotika, diunduh
pada tanggal 10 Desember 2014.
Irfan, Nurul, H, M. Dan Masyrofah, Fiqh Jinayat, Jakarta: Amzah, 2013).
Jurjani, Ali bin Muhammad Al, Kitab Al-Ta’rifat, Jakarta; Dar Al-Hikmah, tt.
Khalaf, Abdul Wahab, Kaidah-kaidah Hukum Islam, Jakarta: Rajawali, 1989,
Cet.Ket.I.
Khalaf, Abdul Wahab, Ushul Al-Fiqh, Libanon: Daar El-Kutub Al-Ilmiyah, 2003.
Ma’roef, M. Ridha, Penyalahgunaan Narkoba dalam Perspektif Hukum Islam,
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2008.
Mardani, Penyalahguaan Narkoba Dalam Perspekif Hukum Islam dan Hukum
Pidana Nasional, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.
Marpaung, Laden, Asas Teori-Praktik Hukum Pidana, Cet. II, Jakarta: Sinar
Grafika, 2005.
Masruhi sudiro, Islam Melawan Narkotika, Yogyakarta: CV. Adipura, 2000.
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, Pradnya Paramita,
2004.
Moelyatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum
Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1993.
Muhajir, Noeng, Metode Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Raka Sarasin, 1989.
Muslich, Ahmad Wardi, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih
Jinayah, Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
Noor, Muhibbin, Tegakkan Hukum dan Lawan Korupsi, Semarang: PT Pustaka
Rizki Putra, 2013.
71
Qardhawi, Yusuf, Fatwa-fatwa Kontemporer jilid 2, Terj. As’ad Yasin, (Jakarta:
Gema Insani, 1995.
Rahman, Abdur, Tindak Pidana Dalam Syariat Islam, Jakarta, PT. Melton Putra,
1992.
Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah Jilid 3, Terj. Nursyidi, M. Ali, Jakarta: PT. Pena
Pundi Aksara, 2009.
Sapardjaja, Komariah E, Ajaran Melawan Hukum Materiil dalam Hukum
Pidana Indonesia, Studi Kasus Tentang Penerapan dan
Perkembangannya dalam Yurisprudensi, Bandung: Alumni, 2002.
Schacht, Joseph, An Introduction to Islamic Law, Oxford: University Press,
1964.
Siswanto, H. S., Politik Hukum dalam Undang-Undang Narkotika (UU Nomor
35 Tahun 2009).
Soedarto, Makalah Seminar Narkotika dan Hukum Pidana, Sumatera Utara:
Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, 1997.
Soesilo, R., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta KomentarKomentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politeia, 1996.
Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Jakarta : Pradnya Paramita, 1980.
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1986.
Sudarto, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung, Alumni, 1984.
Undang-Undang RI Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika dan
Penjelasannya, Bandung: Citra Umbara, 2010.
Wardi, Ahmad, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Wiratmo, Siswo, Pengantar Ilmu Hukum, Yogyakarta: FH. UII, 1990.
Wresniwiro, Jeanne Mandagi, Masalah Narkoba dan Zat Adiktif Lainnya Serta
Penanggulangannya, Jakarta: Pramuka Saka Bhayangkara, 1999.
Zein, Satria Efendi M., Kejahatan Terhadap Harta Dalam Perspektif hukum
Islam.
Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jakarta: Gema Insani, 2011.
http://empret21.blogspot.com/2012/11/jenis-narkotika-dan-penjelasan.html
sumber www.bnn.go.id diunduh pada tanggal 11Desember 2014
dari
http://empret21.blogspot.com/2012/11/jenis-narkotika-dan-penjelasan.html
sumber www.bnn.go.id diunduh pada tanggal 10 Desember 2014.
dari
Download