proposal penelitian

advertisement
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1.
Analisis Aliran Perdagangan ASEAN dan Negara Anggota ASEAN
Pada bagian ini akan dilakukan analisis terhadap hasil estimasi model
gravity untuk persamaan perdagangan dan persamaan investasi. Model yang
dianalisis menggunakan panel data karena merupakan penyatuan antara data
antar-waktu (time series) dan data antar-individu (cross section) dengan
menggunakan teknik fixed effect. Metode fixed effect digunakan dengan
pertimbangan data panel yang diestimasi mempunyai jumlah waktu (T) 25 tahun
lebih besar dibanding jumlah individu (N) 19 negara. Secara teoritis, apabila T
lebih besar dari N dianjurkan memakai fixed effect. Selanjutnya, model diestimasi
dengan Generalize Least Square (GLS). Hasil estimasi tersebut dapat
menggambarkan pengaruh setiap variabel independen terhadap variabel dependen
pada persamaan. Hasil estimasi dari model persamaan dapat dilihat pada lampiran.
Pembahasan hasil estimasi model dapat diuraikan sebagai berikut:
5.1.1. Analisis Aliran Perdagangan ASEAN
Secara umum selama 24 tahun antara tahun 1982-2006 kinerja
perdagangan ASEAN cukup kuat. Kinerja perdagangan tersebut didukung oleh
perdagangan internasional berupa ekstra-regional dan intra-regional. Krugman
(1991) memperkenalkan istilah blok perdagangan alami atau natural trading blok
yang didasarkan pada kedekatan geografis yang dapat meningkatkan perdagangan.
Tetapi untuk kasus ASEAN, ekstra-ASEAN lebih besar dari intra-ASEAN. Hasil
estimasi data panel model perdagangan ASEAN menunjukkan pengaruh variabel
integrasi ekonomi dan makroekonomi terhadap perdagangan bilateral kawasan
dengan negara mitra perdagangannya. Hasil estimasi data panel model persamaan
perdagangan disajikan dalam Tabel 11.
Tabel 11. Pengaruh Integrasi dan Variabel Makroekonomi Terhadap Aliran
Perdagangan ASEAN
Variabel
C
GDPi(-1)
POPi
FDIi(-3)
TII i(-3)
IRi
RERi
TAXi
TAXj
OPENi
GDPj
POPj(-2))
FDIj
RERj(-1)
IRj
Koefisien
-5.2018
0.5661
1.2511
0.0008
0.0002
-0.0521
-0.0447
0.0244
-0.0001
1.1125
7.98E-05
0.0003
-0.0001
0.0001
4.49E-05
Standar Error
0.991066
0.044952
0.168348
0.003944
0.000101
0.006681
0.006513
0.005728
0.000160
0.008058
0.000283
4.86E-05
0.168348
0.000128
3.42E-05
Nilai Prob.
0.000
0.000
0.043
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.1907
Hasil estimasi data panel perdagangan ASEAN menunjukkan bahwa
variabel FDI berpengaruh positif dan signifikan. FDI dapat menghasilkan
komoditi ekspor dan meningkatkan perdagangan. FDI merupakan faktor penting
dalam peningkatan perdagangan kawasan, baik variabel FDI negara eksportir
maupun FDI negara importir.
Dalam rangka meningkatkan kerjasama investasi, telah dibentuk
kerjasama ASEAN investment Area (AIA) pada tahun 1998. Tujuannya
menjadikan ASEAN sebagai kawasan yang kompetitif, kondusif dan bebas untuk
berinvestasi. Tujuan tersebut diikuti sejumlah kebijakan, seperti menerapkan
kebijakan investasi terkordinasi dan program fasilitasi, memperluas sektor untuk
FDI kecuali beberapa sektor yang ditetapkan dalam temporary dan sensitive list
bagi investor ASEAN pada tahun 2010 dan non-ASEAN 2020. Mendorong lalu
lintas modal, profesional dan teknologi yang lebih bebas di antara negara anggota,
menghilangkan hambatan investasi dan meliberalisasi ketentuan serta kebijakan
investasi. ASEAN diharapkan menjadi tempat yang atraktif bagi investasi dan
mencegah perlombaan insentif untuk menarik FDI.
Peningkatan FDI di ASEAN dapat meningkatkan perdagangan dalam lag
selama tiga tahun. Peningkatan FDI pada negara importir ternyata dapat
menurunkan ekspor negara ASEAN. Data perdagangan ASEAN menunjukkan
adanya peningkatan ekspor maupun impor. Hal ini ditunjukkan dari perubahan
nilai ekspor sebesar US$ 93 380 juta pada tahun 2000 menjadi US$ 184 586 juta
pada tahun 2008 atau naik hampir 100 persen. Realisasi FDI di ASEAN pada
tahun 2000 adalah sebesar US$ 23 372.4 juta dan menjadi US$ 60 596.0 juta pada
tahun 2008. Hasil tersebut sesuai teori FDI yang mengatakan bahwa apabila FDI
meningkat maka produksi barang dan jasa mengalami peningkatan. Produksinya
dapat meningkatkan pemenuhan pasar dalam negeri maupun ekspor. Hasil yang
sama dikemukakan Kim et al. (2003) yang menunjukkan bahwa masuknya FDI
pada industri skala besar akan menghasilkan tingkat pertumbuhan ekspor yang
tinggi dibanding dengan impor pada industri sektor yang sama.
Pengaruh GDP baik bagi negara kawasan maupun negara mitranya
adalah positif dan signifikan. Peningkatan GDP berarti adanya peningkatan
volume produksi barang dan jasa serta peningkatan dan penambahan kapasitas
produksi. Antara tahun 2000-2008 GDP ASEAN mengalami kenaikan berarti.
Pada tahun 2000, GDP adalah sebesar 572 902 juta US$ sedang
kan pada tahun 2008 menjadi sebesar 1 073 866 Juta US$ atau naik sebesar 87.4
persen. Sedangkan GDP perkapita meningkat dari US$ 1 159 (tahun 2000)
menjadi US$ 2 582 (tahun 2008). Kenaikan GDP pada negara importir juga
berpengaruh positif terhadap volume perdagangan negara ASEAN. Pengaruh
tersebut disebabkan adanya peningkatan daya beli bagi negara importir.
Peningkatan dalam daya beli akan meningkatkan permintaan barang untuk
substitusi impor dari negara ASEAN. Hasil yang sama ditemukan oleh beberapa
studi sebelumnya seperti Clarete, Edmonds and Walack (2002), Wall (2000), dan
Cernat (2001) yang menyimpulkan bahwa variabel GDP eksportir dan importir
berpengaruh positif dan signifikan terhadap peningkatan perdagangan pada
integrasi ekonomi.
Negara yang berpendapatan tinggi, juga menunjukan adanya produksi
yang tinggi sehingga menimbulkan peningkatan efisiensi produksi dalam negeri
serta mendorong peningkatan perdagangan. GDP yang tinggi meningkatkan
potensi ekspor, dan paling besar jika didukung oleh efisiensi produksi. Hasil
tersebut sesuai temuan Robert (2004) yang menggunakan model gravity untuk
menjelaskan FTA Cina-ASEAN. Kesimpulannya adalah GDP dan jarak antara
negara secara signifikan memengaruhi perdagangan antara Cina dan ASEAN.
Studi ini memperkuat asumsi bahwa integrasi ekonomi mempercepat perdagangan
dan menguntungkan negara kaya. Manfaat integrasi ekonomi semakin
menguntungkan anggota yang berpendapatan tinggi. Negara anggota yang
berpendapatan rendah tetap memperoleh manfaat dari pembentukan integrasi
ekonomi atau perdagangan bebas. Sedangkan perdagangan bebas dapat
menguntungkan semua pihak yang terlibat didalamnya.
Jumlah penduduk berpengaruh positif baik terhadap negara ASEAN
maupun jumlah penduduk negara mitra dagang. Penduduk selain berfungsi
sebagai tenaga kerja juga merupakan pasar yang besar bagi produksi barang dan
jasa. Produsen dalam negeri akan lebih mengutamakan pemenuhan permintaan
dalam negeri dibandingkan melakukan perdagangan ke luar negeri. Peningkatan
jumlah penduduk negara importir pada dua tahun kemudian dapat meningkatkan
perdagangan negara ASEAN.
Secara teoritis, hal tersebut menunjukkan adanya peningkatan dalam
jumlah konsumen. Jumlah penduduk yang tinggi di ASEAN menyebabkan
produsen dalam negeri lebih memprioritaskan pemenuhan pasar dalam negeri,
terutama yang berkaitan dengan produk akhir. Sebaliknya, pada negara importir
jumlah penduduk akan meningkatkan ekspor negara ASEAN. Pada negara mitra
transisi demografisnya sudah hampir selesai karena pertumbuhan penduduknya
sangat kecil, tetapi kualitas dari penduduknya yang tinggi meningkatkan
produktifitas dan akhirnya produksi dan perdagangan. Hasil tersebut sesuai
dengan temuan Do (2006) yang menyimpulkan bahwa aliran perdagangan
bilateral salah satunya ditentukan oleh ukuran pasar atau jumlah penduduk.
Integrasi perdagangan berpengaruh positif dan signifikan. Hal tersebut
menunjukkan bahwa semakin besar tingkat integrasinya, akan memperbesar
volume perdagangan ASEAN dan negara anggotanya. Keterbukaan ekonomi
berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap aliran perdagangan. Semakin
terbuka sebuah perekonomian atau negara menunjukkan adanya kemudahan
dalam melaksanakan transaksi perdagangan dengan negara mitra perdagangannya.
Hasil yang sama ditemukan oleh Guttman dan Richards (2004), dengan estimasi
model gravity yang menunjukkan bahwa keterbukaan ekonomi berpengaruh
positif terhadap peningkatan perdagangan di Australia.
Keterbukaan ekonomi berpengaruh positif dan signifikan terhadap aliran
perdagangan. Semakin terbuka sebuah kawasan atau negara maka semakin tinggi
pula tingkat aliran perdagangannya. Alasan utama dari
hasil tersebut adalah
bahwa peningkatan perdagangan akibat keterbukaan ekonomi menciptakan lebih
banyak keuntungan dari pada membatasi perdagangannya baik pada sektor
maupun pada negara tertentu. Mengingat rumusan keterbukaan ekonomi yaitu
rasio antara penjumlahan ekspor dan impor dibandingkan GDP, maka keterbukaan
ekonomi dapat dilihat dari intensitas barang keluar atau ekspor dan barang masuk
atau impor. Assumsi ini berlaku apabila hambatan perdagangan baik tarif maupun
non tarif kondusif bagi negara yang melaksanakan perdagangan.
Nilai tukar mata uang negara ASEAN berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap perdagangan, semakin terdepresiasi nilai mata uang negara ASEAN akan
meningkatkan penawaran ekspor dari negara ASEAN. Respons penawaran ekspor
lebih besar dari permintaan impor. Nilai tukar mata uang yang rendah, akan
meningkatkan jumlah uang beredar dan meningkatkan produksi serta mendorong
ekspor. Sebaliknya, depresiasi nilai tukar negara importir berpengaruh positif
terhadap ekspor ASEAN. Semakin terdepresiasi nilai tukar negara importir dapat
meningkatkan volume ekspor negara ASEAN, dengan tingkat elastisitas yang
relatif kecil. Do (2006) menyimpulkan bahwa aliran perdagangan bilateral suatu
negara ditentukan oleh exchange rate selain ukuran ekonomi dan ukuran pasar.
Besarnya tingkat tarif impor yang diberlakukan berpengaruh positif
terhadap aliran perdagangan ASEAN. Sekalipun terjadi kenaikan tarif di ASEAN,
peningkatan perdagangan tetap positif karena negara ASEAN lebih berorientasi
ekspor. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Yeats (1998) yang menunjukkan
bahwa hanya produk yang kompetitif di luar kawasan integrasi yang dapat
mendorong pertumbuhan perdagangan di luar kawasan integrasi. Kebijakan tarif
ASEAN mengacu pada kesepakatan AFTA melalui penghapusan tarif dan nontarif dengan target penurunan 0-5 persen untuk produk yang memiliki muatan
ASEAN sebesar 15 persen dalam kurun waktu 15 tahun sejak tahun 1993. Sebesar
98.98 persen produk yang masuk dalam inclusion list CEPT telah berhasil
diturunkan oleh ASEAN-5 ditambah Vietnam, yang diberlakukan sejak 1 Januari
2005. Produk dalam Inclusion List (IL) yang tarifnya di atas 5 persen adalah
produk yang baru ditransfer dari Temporary Exclution List (TEL), Sensitive List
(SL) dan General Exclution List (GEL) pada tahun 2003.
Secara teoritis tarif dapat menghambat impor dan meningkatkan harga
barang impor dan melindungi industri dalam negeri. Pengaruh tingkat tarif negara
importir terhadap volume ekspor negara ASEAN adalah negatif dan signifikan.
Secara teoritis dijelaskan bahwa semakin tinggi tingkat tarif pada negara tujuan
ekspor, volume ekspor akan menurun. Produsen domestik dapat memenuhi pasar
dalam negeri dengan harga yang relatif murah dibandingkan dengan harga barang
impor yang dikenai tarif dengan harga lebih mahal. Jadi, meskipun impor
menurun tetapi ekspor tetap lebih tinggi.
5.1.2. Perdagangan Negara Anggota ASEAN
Bagian ini menganalisis pengaruh integrasi ekonomi dan variabel makro
ekonomi negara ASEAN terhadap perdagangan setiap anggota ASEAN yaitu
Malaysia, Indonesia, Singapura, Thailand dan Filipina. Dengan menggunakan
panel data model gravity persamaan perdagangan yang diestimasi dijelaskan
sebagai berikut:
5.1.2.1. Analisis Aliran Perdagangan Malaysia
Pengaruh integrasi ekonomi dan variabel makro ekonomi terhadap aliran
perdagangan
Malaysia
dianalisis
berdasarkan
hasil
estimasi
persamaan
perdagangan Malaysia disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12. Hasil Estimasi Model Perdagangan Malaysia
Variabel
C
GDPi
POPi
FDIi
RERi
OPENi
TAXi
IRi
GDPj
POPj
FDIj
RERj
IRj
DIST
TIIi
TAXj
ASEAN
APEC
Koefisien
-33.632
2.2262
2.2663
0.0014
-0,0009
0.0302
-0.2958
0.0006
0.0109
0.0030
-0.0014
0.0014
-0.0714
-0.0763
0.0062
-0.0057
0.1847
0.1424
Standar Error
0.724037
0.037227
0.040850
0.001608
0.001576
0.005204
0.011843
0.003099
0.002687
0.000772
0.000805
0.001030
0.003071
0.003414
0.001190
0.000787
0.018518
0.023311
Nilai Prob.
0.0000
0.0000
0.0000
0.3777
0.9529
0.0000
0.0000
0.8339
0.0001
0.0001
0.0801
0.1616
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
Malaysia merupakan negara ASEAN yang berhasil melaksanakan
industrialisasi secara terencana sejak diterapkannya kebijakan ekonomi baru (New
Economic Policy, NEP) pada tahun 1971. Program NEP dibiayai oleh hasil ekspor
komoditas primer Malaysia. Untuk menjamin tercapainya NEP pemerintah
Malaysia meningkatkan intervensi negara dalam kegiatan ekonomi. Peran
pemerintah tersebut membawa wajah baru industrialisasi di Malaysia. Malaysia
dikenal sebagai negara Asia yang sukses melewati transisi ekonomi, bahkan pada
tahun 1990 ekspor manufaktur mencapai 30 persen sehingga masuk dalam Newly
Industrialized Country (NIC).
Hasil estimasi model perdagangan Malaysia menunjukkan bahwa secara
umum variabel yang dianalisis memiliki koefisien yang berpengaruh positif dan
signifikan, kecuali variabel tarif dan nilai tukar. Pengaruh FDI terhadap
perdagangan bilateral Malaysia adalah positif dan signifikan. Hal tersebut
menjelaskan bahwa FDI dapat meningkatkan output yang akhirnya peningkatan
ekspor. Nilai ekspor Malaysia meningkat dari US$ 46 316.5 miliar (tahun 1993)
menjadi 194 495.9 miliar (tahun 2008) atau rata-rata naik sebesar 11.08 persen per
tahun. Sedangkan nilai impor Malaysia mencapai US$ 44 338.0 miliar (tahun
1993) kemudian menjadi US$ 144 298.8 miliar (tahun 2008) atau naik 9.662
persen per tahun. Dari hasil nilai ekspor dan impor tersebut berarti setiap tahun
Malaysia masih net ekspor.
Ekspor Malaysia sebagian besar ditujukan pada negara ekstra-ASEAN.
Pada tahun 1993 nilai ekspor Malaysia ke negara ekstra-ASEAN yaitu sebesar
US$ 33 329.7 miliar menjadi US$ 144 094.5 miliar pada tahun 2008 atau rata-rata
naik sebesar 11.28 persen per tahun. Ekspor pada negara intra-ASEAN juga
meningkat. Pada tahun 1993 nilai ekspor Malaysia adalah sebesar US$ 12 986.9
miliar kemudian menjadi US$ 50 401.4 miliar pada tahun 2008 atau rata-rata naik
sebesar 10.69 persen per tahun.
Peningkatan perdagangan tersebut menunjukkan bahwa FDI di Malaysia
dapat menghasilkan komoditi ekspor dan meningkatkan volume ekspor bilateral,
baik terhadap ASEAN maupun negara ekstra-ASEAN. Realisasi FDI ke Malaysia
antara tahun 2000-2008 meningkat searah dengan perdagangan. Pada tahun 2000
realisasi FDI mencapai US$ 3 787.6 miliar dan pada tahun 2008 menjadi US$ 8
053.0 miliar. Dibanding dengan negara ASEAN lainnya pada tahun 2002 share
FDI malaysia mencapai 27.5 persen kemudian menurun menjadi 18.9 persen pada
tahun 2008. FDI negara importir berpengaruh secara negatif. Hal tersebut
menunjukkan bahwa FDI pada negara mitra perdagangan memproduksi barang
yang bersifat substitusi impor.
GDP Malaysia maupun GDP negara importir memberi pengaruh positif
dan signifikan. Peningkatan GDP menunjukkan adanya peningkatan volume
produksi barang dan jasa serta adanya peningkatan penambahan kapasitas
produksi. Pada rentang tahun 2000-2008, GDP Malaysia rata-rata mengalami
peningkatan sebesar 5.087 persen. Pada tahun 2000 sebesar 356 miliar ringgit
kemudian meningkat menjadi 528.80 miliar pada tahun 2008. Selain itu, GDP
perkapita juga meningkat dari US$ 3 844 (tahun 2000) menjadi US$ 7 992 (tahun
2008) atau rata-rata mengalami kenaikan sebesar 9.807 persen per tahun.
Sementara itu, kenaikan GDP pada negara importir juga berpengaruh positif
terhadap volume ekspor Malaysia. Hal ini dipengaruhi oleh adanya kenaikan daya
beli masyarakat negara importir. Do (2006) menyimpulkan bahwa salah satu
penyebab aliran perdagangan bilateral adalah ukuran ekonomi atau GDP.
Jumlah penduduk berpengaruh positif dan signifikan terhadap volume
perdagangan, begitu pula dengan jumlah penduduk negara mitra dagang. Do
(2006) menyimpulkan bahwa aliran perdagangan bilateral salah satunya
ditentukan oleh ukuran pasar. Jumlah penduduk Malaysia tahun 2000 adalah
sebesar 23 275 juta kemudian tumbuh menjadi 27 863 juta pada tahun 2008 atau
rata-rata naik sebesar 2.02 persen per tahun. Secara teoritis, jumlah penduduk
Malaysia berpengaruh positif karena pertambahan penduduk berarti pertumbuhan
tenaga kerja yang akan meningkatkan produksi barang dan jasa yang akan
meningkatkan volume perdagangan. Penduduk yang besar juga merupakan pasar
yang besar.
Nilai tukar Ringgit Malaysia terhadap US$ relatif stabil dibanding dengan
negara ASEAN lainnya. Pada tahun 2000 nilai tukar Malaysia sebesar 3.80
Ringgit/US$ dan cenderung menguat pada tahun 2008 menjadi 3.55 Ringgit/US$.
Dalam analisis ini, variabel nilai tukar Ringgit Malaysia berpengaruh negatif,
tetapi tidak signifikan terhadap volume perdagangannya. Hal ini berarti semakin
terdepresiasi nilai mata uang Ringgit maka perdagangan Malaysia mengalami
penurunan, tetapi penurunan tersebut tidak signifikan. Nilai ini menunjukkan
elastisitas nilai tukar terhadap ekspor Malaysia relatif rendah tetapi positif, artinya
semakin terdepresiasi nilai tukar negara importir maka permintaan atas barangbarang impor dari Malaysia akan meningkat.
Tingkat tarif di Malaysia memberi pengaruh yang signifikan terhadap
volume ekspor Malaysia. Variabel tarif negara importir juga negatif dan
signifikan. Malaysia memiliki komitmen yang kuat terhadap CEPT-AFTA untuk
mengikuti liberalisasi perdagangan. Sejak 1 Januari 2005, sebesar 98.98 persen
produk yang masuk dalam inclusion list CEPT telah berhasil diturunkan oleh
ASEAN-5 ditambah Vietnam. Produk-produk dalam Inclusion List (IL) yang
tarifnya diatas 5 persen adalah produk yang baru ditransfer dari Temporary
Exclution List (TEL), Sensitive List (SL) dan General Exclution List (GEL) pada
tahun 2003. Secara teori, semakin tinggi tarif pada negara tujuan ekspor, volume
ekspor akan menurun.
Jarak berpengaruh negatif dan signifikan terhadap volume ekspor
Malaysia. Semakin jauh jarak antar negara eksportir dengan negara importir maka
semakin besar biaya transportasi dan semakin turun volume ekspor pada negara
tersebut. Hal ini sesuai dengan temuan Carillo dan Li (2002) bahwa jarak, market
size dan FTA berpengaruh terhadap aliran perdagangan pada kawasan integrasi
ekonomi Andean dan Mercusor.
Pengaruh variabel integrasi ekonomi ASEAN maupun APEC berpengaruh
positif dan signifikan. Nilai koefisien ASEAN ini lebih besar dibanding dengan
APEC, artinya dengan adanya integrasi ekonomi ASEAN maka volume
perdagangan Malaysia di ASEAN meningkat lebih besar dibanding integrasi
APEC. Hal tersebut menunjukkan bahwa Malaysia dapat memanfaatkan ASEAN
untuk meningkatkan perdagangannya. Secara keseluruhan ekspor ASEAN ke
negara intra-ASEAN masih relatif kecil. Pada tahun 2000 ekspor intra-ASEAN
hanya US$ 93.380 juta sedangkan keluar ASEAN US$ 316 760 juta atau hanya
sekitar 22.8 persen. Pada tahun 2006 ekspor intra-ASEAN US$ 189 176 juta
sedangkan luar ASEAN sebesar US$ 561 531 juta atau sekitar 25.2 persen. Data
tersebut menunjukkan bahwa sampai sekarang sumbangan perdagangan intraASEAN masih relatif kecil dibanding dengan negara mitra perdagangannya.
Dalam rangka meningkatkan perdagangannya, Malaysia juga membentuk
FTA dengan beberapa negara termasuk Amerika Serikat (AS). Inisiatif FTA
Malaysia–AS tersebut sebenarnya berasal dari AS. Dengan membuat FTA dengan
Malaysia, memberi kesempatan kepada perusahaan AS masuk ke Asia Tenggara
dengan pasar sebesar US$ 3 triliun. Saat ini Malaysia merupakan mitra terbesar
AS di ASEAN dan sepuluh besar di dunia. AS memiliki perdagangan dua arah
berjumlah US$ 44 miliar pada tahun 2005, 60 persen lebih besar daripada
perdagangangan dengan India. AS merupakan pasar terbesar kedua Malaysia.
Malaysia dan AS merupakan mitra dalam negosiasi perdagangan global serta
menjadi pemain penting dalam forum APEC.
Kesimpulan Diao, Bonilla dan Robinson (2002) yang menganalisis dua
skenario liberalisasi perdagangan potensial, yaitu Free Trade Area (FTA) di
Amerika dan kemungkinan hubungan antara Mercusor dan Uni Eropa. Hasilnya
FTA menciptakan kreasi perdagangan, dan terdapat penurunan perdagangan pada
jumlah yang kecil (trade disversion) di negara yang tidak berpartisipasi dalam
FTA sekitar 0.02 persen. Kesimpulan tersebut menolak kekhawatiran bahwa
liberalisasi dalam jangka panjang akan menyebabkan instabilitas makroekonomi.
5.1.2.2. Analisis Aliran Perdagangan Indonesia
Bagian ini menganalisis variabel integrasi ekonomi dan makroekonomi
ASEAN yang berpengaruh terhadap aliran perdagangan Indonesia. Hasil estimasi
model aliran perdagangan Indonesia disajikan pada Tabel 13.
Salah satu kebijakan penting perdagangan Indonesia setelah krisis tahun
1998 adalah memperluas liberalisasi perdagangan dengan menghapus berbagai
restriksi tarif dan non-tarif maupun batasan ekspor. Kritik terhadap kebijakan
tersebut adalah dilakukannya liberalisasi terhadap sektor sensitif seperti notifikasi
terhadap peran bulog sebagai state trading enterprise. Indonesia menjadi negara
berkembang paling liberal di sektor perdagangan. Padahal ekspor Indonesia masih
didominasi sektor primer yang berbasis komoditas sumberdaya alam.
Tabel 13. Hasil Estimasi Model Perdagangan Indonesia
Variabel
C
GDPi
POPi
FDIi
RERi
OPENi
TAXi
IRi
GDPj
POPj
FDIj
RERj
IRj
DIST
TIIi
TAXj
ASEAN
APEC
Koefisien
-24.768
1.6231
1.8339
0.0712
-0.0838
0.0082
-0.3318
0.0453
0.0082
0.0371
0.0426
0.0444
-0.1357
-0.1632
0.0645
-0.0013
0.2232
0.2358
Standar Error
1.622555
0.070841
0.175496
0.014547
0.015105
0.019689
0.026451
0.012247
0.024819
0.008228
0.006214
0.006619
0.010563
0.015705
0.012455
0.007354
0.023125
0.020207
Nilai Prob.
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.6767
0.0000
0.0002
0.7400
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.8521
0.0000
0.0000
Hasil estimasi menunjukkan pengaruh integrasi ekonomi dan variabel
makroekonomi terhadap perdagangan Indonesia dengan negara mitra, adalah
hampir semua variabel yang dianalisis berpengaruh positif dan signifikan terhadap
perdagangan bilateral Indonesia kecuali tarif, jarak, dan variabel suku bunga.
Pengaruh FDI terhadap perdagangan bilateral Indonesia adalah positif karena
kegiatan investasi di Indonesia dapat menghasilkan komoditi ekspor. FDI di
Indonesia menunjukkan peningkatan yang sangat berarti sekalipun dibandingkan
dengan negara ASEAN lainnya seperti Singapura, Malaysia dan Thailand,
Indonesia masih relatif tertinggal.
Beberapa hal yang menyebabkan rendahnya penyerapan FDI di Indonesia
adalah tingkat kemudahan investasi (kemudahan mengawali bisnis, kemudahan
perizinan, perlindungan terhadap investor, kemudahan perdagangan, komitmen
kontrak) yang nilainya lebih rendah, dibandingkan negara lainnya di kawasan.
Indonesia hanya bersaing dengan Filipina, sementara Singapura, Malaysia,
Thailand menikmati FDI jauh lebih besar dari Indonesia.
Sejak tahun 1995 FDI ke Indonesia hanya sekitar US$ 4 346.0 miliar
kemudian menjadi US$ 8 336.0 miliar pada tahun 2005, meskipun terjadi FDI
outflow pada saat krisis tahun 1998 sebesar US$ -356.0 miliar bahkan pada tahun
2001 FDI outflow masih terjadi sebesar US$ -3 278.5 miliar. Semakin besar FDI
masuk ke Indonesia, semakin besar pula volume perdagangan bilateral. FDI
negara importir juga berpengaruh positif dan signifikan terhadap perdagangan
Indonesia.
Pengaruh variabel GDP, baik GDP Indonesia maupun negara importir
adalah positif. Kenaikan GDP Indonesia dapat meningkatkan volume perdagangan
karena adanya peningkatan volume produksi barang dan jasa serta penambahan
kapasitas produksi juga peningkatan daya beli. GDP Indonesia pada harga konstan
naik sangat tinggi pada tahun 2000 GDP adalah Rp. 1 389 770 miliar dan pada
tahun 2008 menjadi Rp. 2 082 104 miliar. Kenaikan GDP pada negara importir
juga berpengaruh positif terhadap perdagangan Indonesia. Hal ini disebabkan
adanya kenaikan daya beli bagi negara importir. Semakin tinggi GDP maka
semakin besar pangsa pasar produk ekspor Indonesia.
Jumlah penduduk Indonesia adalah input bagi pertumbuhan ekonomi,
sekaligus merupakan konsumen bagi output perekonomian. Ketidakmampuan
memanfaatkan potensi jumlah penduduk dapat menumbuhkan ketidakefisienan
dalam alokasi sumberdaya dan menunjukkan ketidakmampuan perekonomian
suatu negara untuk meningkatkan daya beli pada negaranya. Lewis (1959)
menyatakan bahwa penduduk yang besar dapat memberikan kontribusi terhadap
output dan tenaga kerja pada sektor baru yang lain. Dengan kata lain, kelebihan
jumlah penduduk dapat digunakan untuk mengakumulasi pendapatan.
Hasil analisis menunjukkan jumlah penduduk Indonesia berpengaruh
signifikan terhadap peningkatan volume perdagangan, baik Indonesia maupun
negara mitra. Hal tersebut sesuai temuan Carillo dan Li (2002) bahwa market size
berpengaruh positif terhadap perdagangan bilateral. Dari sisi permintaan besarnya
jumlah penduduk menyebabkan produsen dalam negeri lebih mengutamakan
permintaan dalam negeri dibanding ekspor. Penduduk Indonesia merupakan yang
terbesar di ASEAN dan terbesar keempat di dunia. Tahun 2000 penduduk
Indonesia mencapai 205 juta jiwa dan pada tahun 2008 menjadi 228 juta jiwa atau
rata-rata tumbuh sebesar 1.208 persen per tahun. Potensi pasar tersebut sangat
menjanjikan bagi produsen dalam negeri maupun negara mitra perdagangan.
Produk yang dihasilkan adalah produk antara dan produk akhir.
Pengaruh nilai tukar riil terhadap perdagangan Indonesia adalah negatif
dan signifikan. Artinya, bahwa apabila nilai tukar Rupiah terdepresiasi terhadap
Dolar AS maka akan meningkatkan ekspor Indonesia dengan mitranya. Hal
tersebut menunjukkan bahwa respons perubahan nilai tukar terhadap perdagangan
meningkat, respons ekspor lebih besar dari pada respons terhadap impor. Secara
teori, depresiasi nilai tukar akan meningkatkan produksi dan meningkatkan
volume ekspor.
Sementara nilai tukar riil importir juga adalah positif dan
signifikan. Depresiasi nilai tukar pada negara mitra dagang Indonesia akan
meningkatkan permintaan perdagangan dari negara ASEAN dan Indonesia.
Variabel tarif yang berupa pengaruh tingkat tarif negara Indonesia
terhadap perdagangan adalah kecil dan tidak signifikan. Fluktuasi volume
perdagangan juga dipengaruhi oleh tingkat tarif yang diberlakukan di negara
importir. Sebesar 98.98 persen produk yang masuk dalam Inclusion List CEPT
telah berhasil diturunkan oleh ASEAN-5 ditambah Vietnam yang diberlakukan
sejak 1 Januari 2005. Produk-produk dalam Inclusion List (IL) yang tarifnya di
atas 5 persen adalah produk yang baru ditransfer dari Temporary Exclution List
(TEL), Sensitive List (SL) dan General Exclution List (GEL) pada tahun 2003.
Variabel tarif negara importir berpengaruh negatif dan signifikan. Secara teoritis
dijelaskan bahwa semakin tinggi tingkat tarif pada negara tujuan ekspor maka
volume ekspor akan menurun karena harga akan cenderung mengalami kenaikan.
Variabel jarak berpengaruh negatif dan signifikan terhadap volume
perdagangan Indonesia. Semakin jauh jarak antara Jakarta dengan negara importir
maka semakin besar biaya transportasi dan semakin turun volume perdagangan
dengan negara mitra dagang pada negara tersebut. Hal ini sesuai dengan temuan
Carillo dan Li (2002) bahwa jarak, market size dan FTA di Andean dan Mercusor
berpengaruh terhadap aliran perdagangan pada kedua kawasan tersebut.
Integrasi ekonomi ASEAN maupun APEC berpengaruh positif dan
signifikan terhadap perdagangan. Integrasi APEC lebih besar pengaruhnya
dibanding nilai koefisien integrasi ASEAN. Nilai tersebut menunjukkan bahwa
integrasi ekonomi ASEAN dapat meningkatkan perdagangan Indonesia di
ASEAN, tetapi nilainya ini relatif kecil. Penelitian Clarete et al. (2002) tentang
tingkat integrasi perdagangan yang tergabung dengan integrasi APEC, Uni Eropa
dan NAFTA memberikan hasil yang sama. Artinya, integrasi ekonomi
berpengaruh positif terhadap peningkatan perdagangan dunia.
Rendahnya ekspor Indonesia ke intra-ASEAN memperkuat adanya
kesamaan sumberdaya yang dimiliki Indonesia dengan negara-negara ASEAN,
sehingga cenderung terjadi kompetisi di antara negara kawasan, terutama pada
komoditi-komoditi primer. Perdagangan Indonesia dengan negara-negara ASEAN
masih relatif kecil. Perdagangan Indonesia didominasi oleh Jepang, Amerika,
Eropa dan Cina. Perdagangan di antara negara ASEAN masih didominasi oleh
perdagangan barang-barang komponen (intra industri trade) seperti elektronik
dan produk lainnya.
Integrasi APEC memberi pengaruh yang lebih besar dalam meningkatkan
perdagangan Indonesia. Pengaruh perdagangan intra-APEC lebih besar dari
perdagangan intra-ASEAN. Hal ini menunjukkan bahwa semakin luas integrasi
ekonomi, semakin meningkatkan volume perdagangan dengan negara anggotanya.
Selain itu, ada kecenderungan kerja sama integrasi menyebabkan negara anggota
memberikan perhatian yang lebih tinggi bagi negara anggota. Hasil ini sesuai
dengan hasil yang didapatkan oleh Soloaga dan Winters (2001) dan Frankel
(1997) yang meneliti bagaimana perdagangan kawasan integrasi Mercusor.
Hasilnya menunjukkan bahwa keanggotaan Mercusor berpengaruh positif dan
signikan pada peningkatan ekspor.
5.1.2.3. Analisis Aliran Perdagangan Singapura
Singapura merupakan promotor utama liberalisasi perdagangan barang dan
jasa di ASEAN. Di antara negara ASEAN, Singapura dikenal lebih agresif dalam
melakukan FTA baik dalam kerangka AFTA maupun APEC. Sebagai anggota
ASEAN, Singapura telah menurunkan beberapa hambatan tarif dan non-tarif
dalam kerangka CEPT-AFTA serta kerjasama ekonomi lainnya di ASEAN.
Analisis ini melihat pengaruh integrasi ekonomi dan variabel makroekonomi
ASEAN terhadap aliran perdagangan Singapura. Hasil estimasi persamaan
perdagangan untuk Singapura, secara ringkas seperti Tabel 14.
Tabel 14. Hasil Estimasi Model Perdagangan Singapura
Variabel
C
GDPi
POPi
FDIi
RERi
OPENi
TAXi
Iri
GDPj
POPj
FDIj
RERj
Irj
DIST
TIIi
TAXj
ASEAN
APEC
Koefisien
-29.440
1.9524
2.1693
0.0065
0.0122
0.1052
-0.3478
0.0242
0.0296
0.0105
-0.0068
0.0060
-0.1101
-0.1355
0.0038
-0.0152
0.1148
0.2475
Standar Error
0.744213
0.031241
0.061484
0.003725
0.003779
0.012035
0.011583
0.003492
0.008200
0.002293
0.002168
0.001261
0.005031
0.005913
0.003000
0.002089
0.009628
0.006723
Nilai Probabilitas
0.0000
0.0000
0.0000
0.0805
0.0012
0.0000
0.0000
0.0000
0.0003
0.0000
0.0018
0.0000
0.0000
0.0000
0.1948
0.0000
0.0000
0.0000
Hasil estimasi model perdagangan Singapura menunjukkan bahwa variabel
yang dianalisis memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap perdagangan
bilateral Singapura kecuali variabel tarif dan jarak. Pengaruh investasi FDI di
Singapura terhadap perdagangan bilateral Singapura dengan negara mitra
dagangnya adalah signifikan. Ekspor Singapura mengalami pertumbuhan yang
sangat tinggi dan tertinggi di kawasan ASEAN. Nilai ekspor Singapura rata-rata
mengalami kenaikan sebesar 8.607 persen dan impor 7.38 persen. Hal ini terlihat
dari nilai ekspor pada tahun 1993 sebesar US$ 74 001.1 miliar menjadi menjadi
US$ 241 404.7 miliar pada tahun 2008, sedangkan impornya dari US$ 85 227.7
miliar menjadi US$ 230 760.3 miliar. Angka tersebut menunjukkan bahwa
Singapura merupakan negara net ekspor.
Ekspor Singapura sebagian besar ditujukan pada negara ekstra-ASEAN.
Pada rentang tahun 1993-2008, ekspor Singapura ke negara ekstra-ASEAN
meningkat dari US$ 74 001.1 miliar tahun 1993 menjadi US$ 139 927.4 miliar
tahun 2008 atau rata-rata naik sebesar 7.015 persen per tahun. Sedangkan ekspor
pada negara intra-ASEAN, pada rentang tahun yang sama, menunjukkan
peningkatan dari US$ 85 227.7 miliar menjadi US$ 101 477.3 miliar atau rata-rata
naik sebesar 12.933 persen per tahun. Data tersebut menunjukkan bahwa
peningkatan kegiatan investasi di Singapura berkorelasi secara positif dengan
perdagangan.
Hal tersebut disebabkan karena FDI dapat menghasilkan komoditi ekspor,
semakin besar FDI di Singapura maka akan meningkatkan volume ekspor
bilateral, baik terhadap sesama anggota kawasan maupun dengan kawasan diluar
integrasi ASEAN. Ekspor intra-ASEAN hanya berkisar 13.339 persen artinya
86.661 persen ekspor Singapura ke negara di luar anggota integrasi ASEAN.
Singapura adalah negara paling banyak memanfaatkan perjanjian CEPT-AFTA
ekspor di kawasan negara anggota ASEAN.
Realisasi FDI ke Singapura antara tahun 2000-2008 meningkat pesat. Pada
tahun 2000, realisasi investasi FDI mencapai US$ 16 485.4 miliar dan pada tahun
2008 sebesar US$ 22 801.8 miliar, atau rata-rata meningkat sebesar 12.77 persen
per tahun. Dibanding dengan negara anggota ASEAN lainnya, pada tahun 2000
share FDI Singapura mencapai 84.1 persen kemudian turun menjadi 53.1 persen
pada tahun 2008. Singapura adalah negara dengan FDI inflow terbesar di kawasan
ASEAN. Salah satu penyebabnya adalah kemudahan investasi serta korupsi yang
rendah sehingga menyebabkan investor tidak begitu tertarik menanamkan
modalnya di Singapura. Hal yang sama juga terjadi pada FDI negara importir atau
mitra dagang Singapura yang berpengaruh signifikan secara negatif. Hal ini
menunjukkan bahwa FDI di negara mitra Singapura memproduksi komoditas
yang bersifat substitusi impor, atau mengalihkan permintaan pasarnya ke negara
lain atau kawasan integrasi ekonomi lainnya.
Pada saat krisis di Asia timur tahun 1998, Singapura adalah negara yang
mampu mengatur pertumbuhan positif. Strateginya adalah keterbukaan eksternal
terhadap perdagangan dan arus investasi. Singapura merupakan negara keenam
belas terbesar dalam sektor perdagangan dan ekspor jasa. Perkembangan GDP
Singapura mengalami peningkatan yang cukup berarti antara tahun 2000-2007.
GDP Singapura pada tahun 2000 adalah sebesar 160 miliar Dolar Singapura
kemudian pada tahun 2008 meningkat menjadi 234 miliar Dolar Singapura, atau
mengalami peningkatan rata-rata 4.39 persen per tahun. Peningkatan tersebut
menunjukkan adanya peningkatan volume produksi barang dan jasa serta adanya
peningkatan penambahan kapasitas produksi. GDP perkapita juga meningkat dari
sebesar US$ 23 007 tahun 2000 menjadi US$ 38 046 tahun 2008, atau mengalami
kenaikan rata-rata 6.10 persen per tahun.
Sementara kenaikan GDP pada negara importir juga berpengaruh positif
terhadap volume ekspor Singapura. Hal ini dipengaruhi oleh adanya kenaikan
daya beli bagi negara mitra dagang Singapura, semakin tinggi GDP semakin besar
pangsa pasar produk ekspor. Peningkatan dalam daya beli menyebabkan
peningkatan permintaan barang komponen untuk substitusi impor.
Jumlah penduduk Singapura sangat kecil, tetapi memberi pengaruh yang
positif begitu juga jumlah penduduk negara mitra dagang berpengaruh positif
terhadap volume perdagangan. Perkembangan jumlah penduduk Singapura pada
tahun 2000 sebesar 4 028 juta jiwa menjadi 4 839 juta jiwa, atau naik rata-rata
2.077 persen per tahun. Singapura merupakan negara dengan kualitas sumberdaya
manusia yang sangat tinggi, sehingga memiliki produktifitas yang tinggi pula.
Meskipun pertambahan penduduknya kecil, tetapi kualitas tenaga kerjanya sangat
baik sehingga akan meningkatkan produksi barang dan jasa dan pada akhirnya
meningkatkan perdagangan baik dalam negeri maupun ekspor. Di negara mitra,
pertumbuhan penduduk akan meningkatkan permintaan impor dari Singapura.
Nilai tukar Dolar Singapura terhadap Dolar Amerika Serikat relatif stabil
dibanding dengan negara ASEAN lainnya. Pada tahun 1998 nilai tukar Dolar
Singapura sebesar 1.76 Sing$/US$ dan cenderung melemah pada tahun 2008
menjadi 1.44 Sing$/US$ dalam 9 tahun terakhir. Nilai tukar Dolar Singapura
berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap volume ekspornya, artinya
semakin terdepresiasi nilai mata uang Singapura maka perdagangannya
mengalami penurunan. Pengaruh nilai tukar negara importir terhadap perdagangan
Singapura adalah positif, artinya semakin terdepresiasi nilai tukar negara importir
maka permintaan atas barang impor dari Singapura akan meningkat.
Tarif yang diberlakukan Singapura berpengaruh negatif yang signifikan
terhadap volume perdagangan Singapura. Tarif negara importir juga berpengaruh
negatif. Singapura adalah negara yang konsisten terhadap pelaksanaan kebijakan
CEPT-AFTA. Sebesar 98.98 persen produk yang masuk dalam Inclusion List (IL)
CEPT telah berhasil diturunkan oleh ASEAN-5 mulai diberlakukan sejak 1
Januari 2005. Produk-produk dalam IL yang tarifnya di atas 5 persen adalah
produk yang baru ditransfer dari Temporary Exclution List (TEL), Sensitive List
(SL) dan General Exclution List (GEL) pada tahun 2003. Secara teoritis, semakin
tinggi tingkat tarif pada negara tujuan ekspor maka volume ekspor akan menurun.
Integrasi ekonomi ASEAN maupun APEC berpengaruh positif dan
signifikan terhadap perdagangan Singapura. Nilai koefisien integrasi APEC lebih
besar dibanding nilai koefisien integrasi ASEAN. Dengan adanya integrasi
ekonomi ASEAN, volume perdagangan Singapura terhadap negara anggota lebih
kecil dibandingkan dengan negara anggota APEC. Kenyataan tersebut
memperkuat asumsi adanya kesamaan sumberdaya yang dimiliki Singapura
dengan negara ASEAN.
Perdagangan Singapura dengan negara ASEAN masih relatif kecil. Pada
tahun 1993 pada saat mulainya penurunan tarif CEPT-AFTA ekspor Singapura ke
negara intra-ASEAN US$ 18 0406.1 miliar pada tahun yang sama ekspor ke
ekstra-Singapura sebesar US$ 55 595.0 miliar. Dibandingkan ekstra-ASEAN,
ekspor intra-ASEAN hanya 24.8 persen selebihnya 75.2 persen ekstra-ASEAN.
Nilai tersebut merupakan persentase terbesar dibanding dengan negara ASEAN
lainnya. Singapura berhasil memanfaatkan peluang perdagangan dalam konteks
CEPT-AFTA. Di luar ASEAN, mitra dagang Singapura didominasi oleh Jepang,
Amerika, Eropa dan Cina. Manfaat yang diperoleh Singapura dengan bergabung
dalam integrasi ekonomi ASEAN masih relatif kecil dibanding dengan APEC.
Pengaruh perdagangan Singapura dengan intra-APEC lebih besar dari
perdagangan intra-ASEAN. Hal ini sesuai kesimpulan Diao, Bonilla dan Robinson
(2002) yang menganalisis dua skenario liberalisasi perdagangan potensial, yaitu
FTA di Amerika dan kemungkinan hubungan antara Mercusor dan Uni Eropa.
Kesimpulannya, FTA menciptakan kreasi perdagangan. Hal tersebut yang
mendorong Singapura terus memprakarsai kerjasama regional dan bilateral
dibidang perdagangan maupun investasi.
Singapura juga menilai integrasi APEC terlalu besar dan luas sehingga
tidak mampu menangani semua masalah perdagangan dan investasi. Karena itu,
Singapura menempuh dan memperkuat jalur bilateral untuk mendukung
kebijakannya di sektor perdagangan. Singapura membentuk perjanjian bilateral
dengan Amerika Serikat dan Jepang. Bagi Singapura kerja sama tersebut bernilai
strategis karena memperoleh akses pasar yang luas dan sebagai cara menghindari
kerugian dari adanya kebijakan proteksi.
5.1.2.4. Analisis Aliran Perdagangan Thailand
Hasil estimasi pengaruh integrasi ekonomi ASEAN dan variabel
makroekonomi terhadap aliran perdagangan di Thailand, secara ringkas disajikan
pada Tabel 15.
Hasil estimasi menunjukkan bahwa secara umum variabel yang dianalisis
berpengaruh positif dan signifikan terhadap perdagangan bilateral Thailand
kecuali tarif dan nilai tukar berpengaruh negatif. Thailand mengalami
pertumbuhan ekspor yang tinggi, secara berurutan nilai ekspor pada tahun 1993
dan 2008 adalah sebesar US$ 37 634.5 miliar dan US$ 174 966.7 miliar atau ratarata naik sebesar 10.82 persen per tahun. Pada rentang tahun yang sama, impornya
mengalami perubahan dari US$ 46 883.7 miliar menjadi US$ 177 567.5 atau naik
10.44 persen per tahun. Thailand masih merupakan negara net impor. Ekspor
Thailand sebagian besar ditujukan pada negara ekstra-ASEAN. Tahun 1993
ekspor ke negara ekstra-ASEAN, yaitu sebesar US$ 37 634.5 miliar dan pada
tahun 2008 sebesar US$ 135 479.6 miliar atau rata-rata naik sebesar 10.18 persen
per tahun. Sedang ekspor pada negara intra-ASEAN pada tahun 1993 sebesar US$
46 883.7 miliar menjadi US$ 39 487.0 miliar tahun 2008, atau rata-rata naik
sebesar 14.18 persen per tahun. Data tersebut menunjukkan peningkatan FDI di
Thailand berkorelasi positif dengan perdagangan. FDI menghasilkan komoditi
ekspor, meningkatkan volume ekspor bilateral baik intra-ASEAN maupun ekstraASEAN.
Tabel 15. Hasil Estimasi Model Perdagangan Thailand
Variabel
C
GDPi
POPi
FDIi
RERi
OPENi
TAXi
IRi
GDPj
POPj
FDIj
RERj
IRj
DIST
TIIi
TAXj
ASEAN
APEC
Koefisien
47.420
0.7832
1.8173
0.0096
-0.0435
0.2052
-0.0066
-0.0078
-0.1665
0.4966
-0.0395
0.1078
-0.0181
-8.8738
0.0972
-0.0155
-0.1135
0.3746
Standar Error
2.446053
0.060074
0.403689
0.004148
0.038171
0.015821
0.011504
0.004257
0.042716
0.103982
0.002834
0.013705
0.003379
0.178935
0.008040
0.013279
0.011803
0.017104
Nilai Probabilitas
0.0000
0.0000
0.0000
0.0205
0.2548
0.0000
0.5610
0.0649
0.0001
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.2423
0.0000
0.0000
Pengaruh FDI terhadap perdagangan bilateral Thailand dengan negara
mitra dagangnya, adalah positif. Secara teoritis FDI akan meningkatkan output
dan output meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi
meningkatkan perdagangan. Data realisasi FDI ke Thailand antara tahun 20002008 menujukkan peningkatan pada tahun 2000 realisasi investasi FDI mencapai
US$ 3 350.3 miliar dan pada tahun 2008 sebesar US$ 9 834.5 miliar, atau rata-rata
naik sebesar 21.54 persen per tahun. Dibanding dengan negara ASEAN lainnya,
pada tahun 2002 FDI Thailand mencapai 7.2 persen meningkat menjadi 8.4 persen
pada tahun 2008. Artinya, share FDI Thailand di ASEAN menurun sejak 4 tahun
terakhir. Sedangkan perkembangan FDI negara importir berpengaruh negatif dan
signifikan. Hal tersebut menunjukkan bahwa FDI pada negara mitra Thailand
memproduksi komoditas yang bersifat substitusi impor atau mengalihkan
permintaan pasarnya ke negara lain atau kawasan lainnya.
Pertumbuhan
GDP
Thailand
maupun
negara
mitra
dagangnya,
berpengaruh positif dan signifikan. Perkembangan GDP Thailand pada harga
konstan mengalami peningkatan yang cukup berarti antara tahun 2000-2008. GDP
Thailand pada tahun 2000 adalah sebesar 3 008 miliar Bath kemudian pada tahun
2008 nilainya menjadi 4 370 miliar Bath, atau mengalami kenaikan rata-rata
sebesar 4.258 persen per tahun. Peningkatan tersebut disebabkan karena adanya
peningkatan volume produksi barang dan jasa serta adanya peningkatan
penambahan kapasitas produksi. GDP per kapita meningkat dari US$ 1 976 pada
tahun 2000 menjadi US$ 4 116 pada tahun 2008, atau mengalami kenaikan ratarata 8.75 persen per tahun.
Kenaikan GDP pada negara importir juga berpengaruh positif terhadap
volume ekspor Thailand. Hal ini disebabkan oleh adanya kenaikan daya beli bagi
negara mitra dagang Thailand. Semakin tinggi tingkat GDP semakin besar pangsa
pasar produk ekspor. Komoditi yang diekspor Thailand kepada negara mitranya
adalah produk final goods dan intermediate goods.
Nilai tukar Bath Thailand terhadap Dolar Amerika Serikat relatif stabil
dibanding dengan negara ASEAN lainnya setelah krisis tahun 1998. Pada tahun
1998 nilai tukar Bath Thailand sebesar 40.31 Bath/US$ dan cenderung menguat
pada tahun 2008 menjadi 33.36 Bath/US$ atau menguat 14 persen dalam 10 tahun
terakhir. Nilai tukar Bath Thailand berpengaruh negatif, tetapi tidak signifikan
terhadap volume ekspornya. Hal tersebut berarti bahwa semakin Bath
terdepresiasi maka perdagangan Thailand pun mengalami peningkatan, walaupun
peningkatan tersebut tidak signifikan. Nilai tukar negara importir terhadap ekspor
Thailand adalah positif, tetapi elastisitas nilai tukar terhadap ekspor Thailand
relatif rendah. Artinya, semakin terdepresiasi nilai tukar negara importir maka
permintaan atas barang impor dari Thailand meningkat.
Tingkat tarif yang diberlakukan di Thailand ternyata tidak memberi
pengaruh yang signifikan terhadap volume ekspor Thailand. Sementara variabel
tarif negara importir negatif dan signifikan. Thailand konsisten dalam
menjalankan kebijakan dan perjanjian CEPT-AFTA. Sejak 1 Januari 2005 sebesar
98.98 persen produk yang masuk dalam Inclusion List (IL) CEPT telah berhasil
diturunkan oleh ASEAN-5 ditambah Vietnam. Produk-produk dalam IL yang
tarifnya di atas 5 persen adalah produk yang baru ditransfer dari Temporary
Exclution List (TEL), Sensitive List (SL) dan General Exclution List (GEL) pada
tahun 2003. Secara teori, semakin tinggi tingkat tarif pada negara tujuan ekspor
maka volume ekspor akan menurun. Artinya, apabila terjadi peningkatan tarif
pada negara mitra perdagangan maka terjadi penurunan nilai ekspor dari Thailand.
Variabel jarak berpengaruh negatif dan signifikan terhadap volume ekspor
Thailand. Semakin jauh jarak antar negara eksportir dengan negara importir maka
semakin besar biaya transportasi dan semakin turun volume ekspor pada negara
tersebut. Hal ini sesuai dengan temuan Carillo dan Li (2002) bahwa jarak, market
size dan FTA di Andean dan Mercusor berpengaruh terhadap aliran perdagangan
pada kedua kawasan tersebut.
Integrasi ekonomi ASEAN maupun APEC berpengaruh positif dan
signifikan terhadap perdagangan Thailand. Pengaruh integrasi APEC lebih besar
dibanding integrasi ASEAN. Artinya, dengan adanya integrasi ekonomi ASEAN
maka volume perdagangan Thailand di ASEAN terhadap negara anggota ASEAN
lebih kecil. Hal ini memperkuat alasan adanya kesamaan sumberdaya yang
dimiliki Thailand dengan negara ASEAN sehingga cenderung terjadi kompetisi
di negara ASEAN, terutama pada komoditi primer. Perdagangan Thailand dengan
negara ASEAN masih relatif kecil. Pada tahun 1993 ekspor Thailand ke negara
intra-ASEAN adalah sebesar US$ 6 008.4 miliar sedangkan ekspor ke negara
ekstra-ASEAN sebesar US$ 31 626.1 miliar. Dibandingkan ekstra-ASEAN,
ekspor intra-ASEAN hanya sebesar 16 persen. Mitra dagang Thailand didominasi
oleh Jepang, Amerika, Eropa dan Cina. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
manfaat perdagangan yang diperoleh Thailand dalam integrasi ekonomi ASEAN
masih relatif kecil.
Perdagangan di antara negara ASEAN lebih pada perdagangan barang
komponen (intra industri trade) seperti elektronik dan produk lainnya. Pengaruh
perdagangan intra-APEC lebih besar dari perdagangan intra-ASEAN. Integrasi
ekonomi APEC lebih banyak meningkatkan perdagangan negara Thailand
ketimbang pengaruh integrasi ASEAN. Manfaat ASEAN bagi Thailand masih
lebih kecil dibanding manfaat yang diperoleh Thailand bergabung dalam APEC.
Hal ini menunjukkan bahwa semakin luas integrasi ekonomi, semakin
meningkatkan volume perdagangan bagi negara anggota integrasi ekonomi.
5.1.2.5. Analisis Aliran Perdagangan Filipina
Hasil estimasi model perdagangan Filipina disajikan secara ringkas pada
Tabel 16. Hampir semua variabel yang dianalisis berpengaruh positif dan
signifikan terhadap perdagangan bilateral Filipina kecuali variabel tarif dan jarak.
Pengaruh investasi FDI di Filipina terhadap perdagangan bilateral Filipina dengan
negara mitra dagangnya, adalah signifikan.
Ekspor Filipina mengalami pertumbuhan yang baik, pada tahun 1993 nilai
ekspornya US$ 11 374.8 miliar kemudian menjadi US$ 49 025.4 miliar pada
tahun 2008 atau rata-rata naik sebesar 10.140 persen per tahun. Impornya pada
tahun 1993 mencapai US$ 17 597.4 miliar kemudian menjadi US$ 56 645.6 miliar
pada tahun 2008, atau naik 8.2 persen. Angka tersebut menunjukkan bahwa
Filipina merupakan negara net impor. Ekspor Filipina sebagian besar ditujukan
pada negara ekstra-ASEAN. Pada tahun 1993 ekspor ke negara ekstra-ASEAN
yaitu sebesar US$ 11 374.8 miliar dan pada tahun 2008 menjadi sebesar US$ 41
943.7 miliar, atau rata-rata naik sebesar 9.53 persen per tahun. Ekspor pada negara
intra-ASEAN tahun 1993 adalah sebesar US$ 795.3 miliar menjadi US$ 7 081.7
miliar pada tahun 2008, atau rata-rata naik sebesar 16.90 persen per tahun.
Tabel 16. Hasil Estimasi Model Perdagangan Filipina
Variabel
C
GDPi
POPi
FDIi
RERi
OPENi
TAXi
IRi
GDPj
POPj
FDIj
RERj
IRj
DIST
TIIi
TAXj
ASEAN
APEC
Koefisien
4.5232
0.1398
0.6052
0.0233
-0.0480
0.2711
-0.8540
0.0355
-0.0012
0.0335
-0.0308
0.0115
-0.1938
-0.2028
0.0110
-0.0274
0.0306
0.0723
Standar Error
0.966109
0.043974
0.075790
0.005246
0.005566
0.014163
0.013181
0.004656
0.009933
0.002807
0.002943
0.001997
0.009575
0.009968
0.003967
0.003097
0.011339
0.012032
Nilai Probabilitas
0.0000
0.0016
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.8998
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0054
0.0000
0.0071
0.0000
Fakta tersebut menunjukkan bahwa peningkatan FDI di Filipina
berkorelasi secara positif dengan perdagangan. FDI dapat menghasilkan komoditi
yang dapat diekspor. Semakin besar FDI di Filipina maka semakin meningkatkan
volume ekspor bilateral, baik terhadap anggota negara ASEAN maupun dengan
kawasan di luar integrasi ASEAN. Tetapi ekspor intra-ASEAN hanya berkisar
17.4 persen sedangkan 82.6 persen ekspor Filipina ke negara di luar anggota
integrasi ASEAN.
Realisasi FDI ke Filipina antara tahun 2000-2008 meningkat dengan pesat.
Realisasi investasi FDI awalnya (tahun 2000) mencapai US$ 2 239.6 miliar dan
menjadi US$ 1 520.0 miliar (tahun 2008). Dibanding dengan negara anggota
ASEAN lainnya, pada tahun 2000 share FDI Filipina mencapai 12.1 persen
kemudian menurun menjadi 0.6 persen pada tahun 2008. Artinya, share FDI
Filipina di ASEAN menurun drastis sejak 9 tahun terakhir. FDI negara importir
atau mitra dagang Filipina, berpengaruh negatif dan signifikan. Hal ini
menunjukkan bahwa FDI negara mitra memproduksi komoditas yang bersifat
substitusi impor atau mengalihkan permintaan pasarnya dari Filipina ke negara
lain atau kawasan integrasi ekonomi lainnya.
GDP Filipina maupun negara mitra dagangnya, berpengaruh positif dan
signifikan. Perkembangan GDP pada harga konstan Filipina mengalami
peningkatan yang cukup berarti antara tahun 2000-2008, yaitu sebesar 958 miliar
Peso menjadi 1 419 miliar Peso atau rata-rata meningkat 4.48 persen per tahun.
Peningkatan GDP menunjukkan adanya peningkatan volume produksi barang dan
jasa serta adanya peningkatan penambahan kapasitas produksi. GDP perkapita
juga meningkat dari US$ 978 pada tahun 2000 menjadi US$ 1 844 pada tahun
2008 atau mengalami kenaikan rata-rata sebesar 7.63 persen per tahun. Kenaikan
GDP pada negara importir berpengaruh positif terhadap volume perdagangan
Filipina. Hal ini dipengaruhi oleh adanya kenaikan daya beli bagi negara mitra
dagang. Semakin tinggi GDP semakin besar pangsa pasar produk ekspor.
Peningkatan dalam daya beli menunjukkan peningkatan permintaan barang serta
untuk substitusi impor.
Jumlah penduduk Filipina memberi pengaruh yang positif dan signifikan,
begitu juga jumlah penduduk negara mitra dagang berpengaruh positif dan
signifikan terhadap volume perdagangan. Perkembangan jumlah penduduk
Filipina pada tahun 2000 sebesar 76 947 juta jiwa menjadi 90 457 juta jiwa pada
tahun 2008 atau rata-rata naik sebesar 1.815 persen per tahun. Hal tersebut
disebabkan karena pertambahan penduduk menunjukkan adanya pertambahan
tenaga kerja yang meningkatkan produksi barang dan jasa. Selain itu, penduduk
yang besar merupakan sumber peningkatan daya beli yang pada akhirnya
meningkatkan perdagangan, baik dalam negeri maupun ekspor.
Pada negara mitra perdagangan Filipina yang umumnya merupakan negara
maju, memiliki penduduk yang relatif terdidik dengan produktivitas yang tinggi
sehingga berpengaruh besar terhadap peningkatan output. Kualitas penduduk
dapat menyebabkan perubahan produktivitas yang akhirnya dapat menggeser
fungsi produksi. Schultz (1962) menjelaskan pentingnya penduduk dalam
pertumbuhan ekonomi. Sekalipun sumberdaya cukup tersedia, peralatan teknologi
yang tinggi dan modal uang yang besar, tidak akan menghasilkan pertumbuhan
ekonomi yang besar. Terjadinya pertumbuhan populasi bagi negara importir
menunjukan peningkatan daya beli sehingga akan meningkatkan permintaan
impor dari Filipina, khususnya pada komoditi intermediate goods, bukan komoditi
final goods.
Nilai tukar Peso Filipina terhadap Dolar Amerika Serikat relatif stabil
dibanding dengan negara ASEAN lainnya. Pada tahun 1998 nilai tukar Peso
Filipina sebesar 50.00 Peso/US$ dan cenderung menguat pada tahun 2008
menjadi 48.09 Peso/US$ atau melemah 15.5 persen dalam 9 tahun terakhir. Nilai
tukar Peso Filipina berpengaruh negatif, dan signifikan terhadap volume
ekspornya. Semakin terdepresiasi nilai mata uang Peso maka ekspor Filipina akan
mengalami peningkatan. Peso yang rendah akan menaikkan jumlah uang beredar,
meningkatkan produksi dan mendorong ekspor. Sedangkan elastisitas nilai tukar
negara importir terhadap ekspor Filipina adalah positif, artinya semakin
terdepresiasi nilai tukar negara importir maka permintaan atas barang impor dari
Filipina akan meningkat.
Tingkat tarif yang diberlakukan di Filipina ternyata tidak memberi
pengaruh yang signifikan terhadap volume perdagangan Filipina. Sementara
variabel tarif negara importir berpengaruh negatif. Filipina adalah negara ASEAN
yang konsisten terhadap kebijakan dan perjanjian CEPT-AFTA. Sebesar 98.98
persen produk yang masuk dalam inclusion list CEPT telah berhasil diturunkan
oleh ASEAN-5 ditambah Vietnam yang diberlakukan sejak 1 Januari 2005.
Produk dalam Inclusion List (IL) yang tarifnya diatas 5 persen adalah produk yang
baru ditransfer dari Temporary Exclution List (TEL), Sensitive List (SL) dan
General Exclution List (GEL) pada tahun 2003. Secara teori bahwa semakin
tinggi tingkat tarif pada negara tujuan ekspor maka volume ekspor akan menurun.
Variabel jarak sebagai proksi transportation cost berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap volume perdagangan Filipina. Semakin jauh jarak antar negara
eksportir dengan importir, semakin besar biaya transportasi dan semakin turun
volume ekspor pada negara tersebut. Hasil yang sama dikemukakan Carillo dan Li
(2002) bahwa jarak, market size dan FTA di Andean dan Mercusor berpengaruh
terhadap aliran perdagangan pada kedua kawasan tersebut.
Integrasi ekonomi ASEAN maupun APEC berpengaruh positif dan
signifikan. Pengaruh APEC lebih besar dibanding integrasi ASEAN, meskipun
perjanjian pada kawasan APEC tidak mengikat seperti ASEAN yang
kesepakatannya mengikat anggota integrasi. Dengan adanya integrasi ekonomi
ASEAN maka volume perdagangan Filipina di ASEAN terhadap negara anggota
meningkat. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat kesamaan sumberdaya
yang dimiliki Filipina dengan negara anggota lainnya, sehingga cenderung terjadi
kompetisi di negara ASEAN, terutama pada komoditas primer. Perdagangan
intra-ASEAN Filipina masih relatif kecil, pada tahun 1993 saat dimulainya
penurunan tarif CEPT-AFTA ekspor Filipina ke negara intra-ASEAN US$ 6
008.4 miliar sedangkan ekspor ke negara ekstra-ASEAN sebesar US$ 31 626.1
miliar. Perdagangan Filipina didominasi oleh Jepang, Amerika, Eropa dan Cina.
Manfaat yang diperoleh Filipina bergabung dalam integrasi ekonomi
ASEAN masih relatif kecil. Perdagangan di antara negara ASEAN lebih pada
perdagangan
barang-barang
komponen
(intra
industri
trade).
Pengaruh
perdagangan intra-APEC lebih besar dari perdagangan intra-ASEAN. Dengan
demikian maka integrasi ekonomi APEC lebih banyak meningkatkan perdagangan
Filipina. Hal ini membuktikan bahwa semakin luas integrasi ekonomi, semakin
meningkatkan volume perdagangan bagi anggota integrasi ekonomi. Hasil ini
sesuai kesimpulan Diao, Bonilla dan Robinson (2002) yang mengatakan bahwa
integrasi ekonomi dapat menciptakan kreasi perdagangan.
5.2. Analisis Aliran Foreign Direct Invesment pada Kawasan ASEAN
Model investasi FDI ASEAN menunjukkan adanya interaksi antara
ASEAN sebagai negara penerima investasi yang melakukan integrasi ekonomi
dengan negara multinasional sumber FDI. Negara investor melakukan investasi
pada kawasan integrasi ekonomi, yang menurunkan bahkan menghilangkan
hambatan tarif dalam perdagangan intra kawasan. Perusahaan lebih memilih
berinvestasi pada kawasan ASEAN dibanding melakukan ekspor yang akan
dikenakan tarif bagi negara di luar kawasan integrasi. Model ini melihat pengaruh
integrasi ekonomi dan variabel makroekonomi terhadap penerima FDI. Beberapa
variabel yang secara teoritis memengaruhi volume FDI ke ASEAN, seperti GDP,
populasi, tingkat bunga, tingkat tarif, jarak, size, keterbukaan ekonomi, dummy
integrasi UE, NAFTA, APEC dan Cina-India.
Realisasi FDI untuk kawasan ASEAN memiliki volatilitas yang cukup
besar antara tahun 1995-2008. Pada tahun 1995 masih sebesar US$ 28 230.6
miliar kemudian menjadi US$ 60 596.0 miliar pada tahun 2008, atau rata-rata naik
sebesar 13.306 persen. Nilai tersebut kelihatan relatif kecil, tetapi hal ini
disebabkan adanya krisis Asia Timur pada tahun 1997-1998. Investasi kawasan
pada tahun 1998 turun 34 persen dari tahun 1997 yaitu US$ 34 098.6 miliar.
Penjelasan perkembangan FDI tersebut terlihat pada hasil estimasi persamaan
investasi FDI ASEAN yang menunjukkan hampir semua variabel menunjukkan
pengaruh yang signifikan terhadap volume investasi FDI pada kawasan ASEAN
dari negara investor. Pengaruh positif juga terjadi pada GDP ASEAN maupun
GDP investor. Pertumbuhan ekonomi di negara investor telah meningkatkan arus
FDI ke negara ASEAN. Pertumbuhan ekonomi meningkatkan capital outflow
dalam bentuk FDI ke ASEAN, yang dianggap lebih efisien dibandingkan
melakukan ekspor.
Pengaruh positif dan signifikan juga terjadi pada GDP ASEAN, yang
berarti pengaruh pertumbuhan ekonomi negara investor lebih besar dibanding
negara ASEAN. Pengaruh tersebut disebabkan oleh peningkatan capital outflow
investor dan kenaikan daya beli negara ASEAN, yang dipandang sebagai pasar
bagi produk yang dihasilkan FDI.
Model persamaan investasi diestimasi dengan menggunakan model
gravity. Hasil estimasi persamaan FDI ASEAN disajikan dalam Tabel 17.
Tabel 17. Hasil Estimasi Aliran Investasi Foreign Direct Invesment ASEAN
Variabel
C
GDPj
POPi
RERj
IRj
SIZE
OPENi
RERi
IRi
POPj
Xi
Mi
NAFTA
UE
APEC
Koefisien
27.15261
0.097388
0.047165
0.120770
0.023425
1.47E-12
1.930499
-0.116500
0.036159
-0.842121
0.233676
-0.616055
0.943363
-10.12984
0.407954
Standar Error
50.09570
0.002808
0.004725
0.003424
0.000794
1.05E-12
1.161685
0.222882
0.138185
6.709984
0.607471
0.528533
0.281307
0.480010
0.251451
Nilai Probabilitas
0.0000
0.0017
0.8248
0.0000
0.0806
0.0000
0.0000
0.0001
0.0947
0.1076
0.0000
0.0000
0.8961
0.0124
0.9795
Jumlah penduduk baik pada negara ASEAN maupun negara investor
berpengaruh signifikan terhadap FDI. Pertumbuhan penduduk bagi negara
ASEAN justru meningkatkan arus investasi FDI. Penduduk ASEAN mengalami
pertumbuhan yang cukup tinggi, dari sebesar 517 074 juta jiwa pada tahun 2000
kemudian menjadi 583 651 juta jiwa pada tahun 2008 atau meningkat 1.35 persen
per tahun. Jumlah penduduk yang besar tersebut menjadi daya tarik bagi negara
investor karena lebih mencari pangsa pasar dibandingkan apabila melakukan
investasi di negaranya sendiri. Selain itu, juga karena adanya insentif berupa
rendahnya tarif pada negara di kawasan ASEAN.
Pada negara investor jumlah penduduk berpengaruh positif tetapi tidak
signifikan. Apabila terjadi kenaikan dalam pertumbuhan penduduk di negara
investor maka arus investasi FDI outflow negara investor ke negara ASEAN akan
tetap naik tetapi tidak signifikan. Pada negara investor, pertumbuhan
penduduknya telah melewati masa transisi sehingga relatif stabil.
Suku bunga memiliki pengaruh yang beragam baik negara investor
maupun ASEAN. Pada negara investor, suku bunga memberi pengaruh positif dan
signifikan terhadap arus FDI ke ASEAN. Semakin tinggi suku bunga di negara
investor maka arus investasi FDI outflow ke negara ASEAN semakin tinggi.
Tingginya suku bunga menunjukkan adanya biaya investasi yang tinggi yang
bersumber dari tingkat bunga apabila berinvestasi dalam negeri. Pengembalian
investasi pada negara ASEAN lebih besar dibandingkan di negara investor.
Keterbukaan ekonomi berpengaruh positif dan signifikan terhadap aliran
FDI. Semakin terbuka sebuah kawasan atau negara maka semakin tinggi pula
tingkat aliran investasinya. Argumen utama dari hasil tersebut adalah bahwa
peningkatan investasi akibat keterbukaan ekonomi menciptakan lebih banyak
keuntungan dari pada membatasi aliran investasinya baik pada sektor maupun
pada negara tertentu.
Pengaruh suku bunga pada negara ASEAN adalah negatif dan signifikan.
Penurunan suku bunga akan memperbesar kemampuan laba investor, serta
meningkatkan stok kapital. Penurunan suku bunga juga akan berdampak pada
peningkatan
pendapatan
yang
berakibat
pada
peningkatan
permintaan.
Perkembangan suku bunga ASEAN sangat bervariasi, pada tahun 2006 suku
bunga Indonesia adalah 9.71 persen per tahun, Malaysia 3.19 persen, Singapura
0.57 persen, Thailand 4 persen, dan Filipina 5.15 persen.
Pengaruh nilai ekspor terhadap terhadap FDI ASEAN adalah positif dan
signifikan. Data menunjukkan bahwa FDI yang dilakukan perusahaan asing
merupakan kekuatan utama untuk menggerakkan ekspor. Sedang terhadap impor
pengaruhnya negatif, artinya bahwa FDI menurunkan impor. Hal tersebut
menunjukkan bahwa sebagian dari komoditas yang dihasilkan FDI adalah
komoditas subtitusi impor.
Hubungan FDI dengan integrasi ekonomi dapat dilihat dari pengaruh
variabel dummy yang terdiri atas variabel UE, NAFTA, AFTA, Cina dan India.
Kawasan integrasi ekonomi tersebut, telah melaksanakan liberalisasi perdagangan
secara bertahap dengan mengurangi atau menghilangkan hambatan tarif dan nontarif. Semua variabel dummy berpengaruh signifikan terhadap aliran FDI negara
investor ke negara ASEAN. Investasi di Cina memberi pengaruh negatif tetapi
tidak signifikan, artinya semakin besar FDI yang masuk ke Cina akan
menurunkan FDI ke ASEAN. Cina merupakan kompetitor ASEAN dalam
menarik investasi. India berpengaruh secara positif dan tidak signifikan, artinya
peningkatan FDI di India tidak terlalu berpengaruh terhadap investasi di ASEAN.
Variabel dummy NAFTA memberikan pengaruh yang positif. Artinya
keanggotaan negara investor pada kawasan NAFTA tetap memberi pengaruh
peningkatan investasi yang tinggi pada kawasan ASEAN, sehingga terjadi kreasi
FDI yang bersumber dari negara NAFTA. Keanggotaan negara investor di Uni
Eropa berpengaruh secara negatif terhadap investasi di ASEAN. Investor yang
berasal dari kawasan Eropa (Jerman, Inggris dan Prancis) lebih memilih untuk
melakukan investasi ke Uni Eropa dibanding melakukan investasi pada kawasan
ASEAN. APEC memberi pengaruh positif, tetapi tidak signifikan. Pengaruh
kreasi ini menunjukan manfaat yang ditimbulkan integrasi ekonomi terhadap
aliran FDI. Integrasi anggota ASEAN ke APEC telah meningkatkan arus FDI dari
negara investor ke kawasan APEC.
Negara sumber utama FDI seperti Amerika Serikat, Jerman, Perancis,
Inggris dan Jepang lebih memilih untuk meningkatkan FDI dibanding melakukan
ekspor ke negara ASEAN. Hal tersebut menunjukkan bahwa pelaksanaan
integrasi ekonomi mendorong investasi dan perdagangan serta aktivitas ekonomi
pada kawasan ASEAN.
5.2.1. Analisis Aliran Foreign Direct Invesment Malaysia
Hasil estimasi persamaan investasi dalam bentuk FDI Malaysia disajikan
dalam Tabel 18.
Tabel 18. Hasil Estimasi Model Investasi Foreign Direct Invesment Malaysia
Variabel
C
GDPi
POPi
OPENi
RERi
IRi
POPj
GDPj
RERj
IRj
SIZE
Xi
Mi
ASEAN
APEC
Koefisien
-27.949
2.9364
2.2610
-0.0461
-0.3546
-0.6519
-0.1448
-0.1718
-0.1819
-0.0233
-0.8800
0.1172
0.0248
-0.2535
-0.4473
Standar Error
8.489933
0.558716
0.577158
0.083706
0.019213
0.043266
0.010550
0.036138
0.012200
0.021459
0.611541
0.040256
0.011737
0.368625
0.414994
Nilai Probabilitas
0.0011
0.0000
0.0001
0.5821
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.2771
0.1509
0.0038
0.0348
0.4919
0.2817
Hasil estimasi persamaan investasi Malaysia, menunjukkan variabel GDP
signifikan berpengaruh terhadap FDI di Malaysia. GDP Malaysia dalam kurun
waktu antara tahun 2000-2008 tumbuh rata-rata 4.522 persen per tahun, tertinggi
pada tahun 2000 sebesar 8.9 persen. Peningkatan pertumbuhan ekonomi di
Malaysia tersebut dipicu oleh kesuksesan Malaysia melakukan industrialisasi
secara bertahap. Program pembangunan disesuaikan dengan masalah utama yang
muncul pada setiap tahapan pembangunan. Dalam master plan pengembangan
industri Malaysia tahun 2001-2010 di arahkan pada industri manufaktur dengan
tingkat pertumbuhan rata-rata 8.3 persen. Periode ini Malaysia merupakan fase
pengembangan baru manufaktur dalam rangka mewujudkan ekonomi berbasis
pengetahuan. Kelembagaan yang mengelola perizinan investasi di Malaysia yaitu
melalui pelayanan one stop service melalui lembaga MIDA (Malaysian Industrial
Development Agency). MIDA memiliki perwakilan di semua negara bagian
(BKPM 2003).
Perkembangan sektor industri Malaysia memberi sumbangan yang sangat
besar terhadap perekonomian Malaysia. Peran manufaktur terhadap PDB dan
ekspor meningkat dari tahun ke tahun. Kontribusi sektor manufaktur tersebut
adalah peran investasi khususnya FDI. FDI Malaysia cukup berfluktuasi, pada
tahun 1995 nilai FDI mencapai US$ 5 815.0 miliar menurun drastis pada tahun
2001 menjadi US$ 553.9 miliar dan US$ 2 473.2 miliar pada tahun 2003 dan US$
4 623.9 miliar pada tahun 2004 kemudian meningkat lagi pada tahun 2006
menjadi US$ 6.059.7 miliar dan menjadi US$ 8.053.0 miliar pada tahun 2008.
Malaysia merupakan negara terbesar kedua setelah Singapura dalam menyerap
FDI di ASEAN. Salah satu insentif bagi FDI di Malaysia adalah
dimungkinkannya kepemilikan asing 100 persen saham perusahaan, kecuali usaha
kecil menengah (UKM) Malaysia bisa mengerjakannya.
Secara garis besar strategi yang dikembangkan Malaysia meliputi:
pengembangan kualitas dan standar produk dan jasa hingga diakui oleh
internasional, peningkatan Reseach and Development bidang teknologi,
dilaksanakan dalam rangka peningkatan kemampuan industri menyerap dan
beradaptasi terhadap teknologi baru serta peningkatan produktifitas tenaga kerja
untuk mendorong pertumbuhan daya saing. Prestasi tersebut telah meningkatkan
arus FDI dari negara investor ke Malaysia. Sebaliknya, pertumbuhan GDP negara
investor berpengaruh negatif artinya bahwa apabila GDP naik maka negara
tersebut cenderung meningkatkan impor daripada melaksanakan FDI ke Malaysia.
Selain itu, juga menunjukkan kemampuan daya beli masyarakat negara sumber
investasi.
Jumlah penduduk Malaysia berpengaruh secara positif dan signifikan.
Jumlah penduduk Malaysia menempati urutan kedua di ASEAN setelah Indonesia
dengan total 87.099 juta jiwa pada tahun 2006. Didominasi oleh etnis Melayu,
Cina dan India. Tahun 2010 penduduk tersebut diperkirakan jumlah terbesarnya
bekerja pada sektor manufaktur (30.4 persen) sektor perdagangan hotel dan
restoran (17.1 persen). Sektor jasa meningkat menjadi 12.5 persen, pertanian dan
perkebunan menjadi 9.8 persen dan sektor pemerintah menjadi 9.6 persen. Jumlah
penduduk yang besar juga merupakan pasar yang menarik bagi investor.
Sebaliknya, pada negara investor pengaruh jumlah penduduk adalah
negatif. Apabila terjadi kenaikan dalam pertumbuhan penduduk di negara
investor, maka arus investasi FDI outflow ke Malaysia mengalami penurunan.
Investor lebih memilih berinvestasi di negaranya sendiri.
Variabel suku bunga berpengaruh secara negatif dan signifikan, terhadap
FDI Malaysia. Semakin tinggi tingkat bunga di Malaysia, volume investasi FDI
mengalami penurunan. Hal tersebut disebabkan investor mengalihkan dananya
pada instrumen investasi portofolio. Pengaruh negatif tersebut menunjukkan
adanya pelarian investasi FDI ke investasi portofolio. Apabila terjadi penurunan
suku bunga dalam negeri maka rencana investasi riil akan meningkat, karena
memperbesar kemampuan laba dan tambahan stok kapital. Dibanding dengan
Indonesia, suku bunga Malaysia termasuk sangat rendah yaitu pada tahun 1998
sebesar 11.17 persen dibanding Indonesia saat itu sebesar 49.23 persen. Pada
tahun 2006 Malaysia sebesar 5.15 persen dan Indonesia 9.17 persen.
Peningkatan suku bunga pada negara investor memberikan pengaruh
negatif terhadap arus FDI ke Malaysia. Semakin tinggi suku bunga maka arus
investasi FDI outflow ke Malaysia semakin kecil. Hal ini terjadi karena adanya
pelarian dari FDI ke saving dengan memanfaatkan tingkat bunga negara mereka
sendiri. Ekspektasinya tingkat pengembalian investasi lebih besar dibanding
berinvestasi di luar negeri termasuk Malaysia.
Pengaruh ekspor Malaysia terhadap FDI adalah positif, artinya bahwa
semakin besar nilai ekspor akan semakin menarik FDI karena merupakan potensi
pasar untuk memasarkan produk. Komoditas yang dihasilkan oleh FDI di
Malaysia adalah komoditi ekspor. Perkembangan ekspor Malaysia sejak
pemberlakuan AFTA tahun 1993 mengalami peningkatan yang baik. Pada tahun
1993 nilainya US$ 10 579.5 miliar menjadi US$ 39 217.9 miliar pada tahun 2006
dan US$ 194 495.3 miliar pada tahun 2008. Malaysia tidak terlalu terpengaruh
oleh krisis tahun 1997-1998, sekalipun mengalami krisis tapi pengaruhnya
terhadap ekspor relatif kecil. Sedangkan pengaruh impor Malaysia terhadap FDI
adalah positif dan signifikan karena impor bahan baku industri dari FDI,
khususnya pada tahap awal. Impor Malaysia mengalami peningkatan dari tahun
1993 nilai impornya US$ 15 714.4 miliar menjadi US$ 41 555.3 miliar pada tahun
2006 dan US$ 144 298.8 miliar pada tahun 2008 atau naik atau meningkat ratarata 8.454 persen per tahun. Tetapi secara keseluruhan Malaysia adalah net
ekspor.
Tingkat kemudahan berbisnis atau investasi di Malaysia yang baik,
menjadi pertimbangan investor dalam merealisasikan FDI. Dalam penelitian
tersebut, faktor doing business tidak di estimasi, tetapi data menunjukkan bahwa
negara dengan indeks doing business yang lebih baik, dapat memperoleh aliran
FDI yang lebih besar. Pada tahun 2008 Malaysia menempati posisi 24 naik
menjadi 20 pada tahun 2010.
Pengaruh variabel dummy APEC adalah positif dan signifikan terhadap
aliran FDI. APEC memberikan pengaruh kreasi terhadap FDI di Malaysia.
Peningkatan FDI menunjukkan manfaat yang diperoleh akibat integrasi ekonomi.
Besarnya pengaruh variabel dummy AFTA adalah positif. Integrasi ekonomi
ASEAN telah meningkatkan aliran FDI masuk ke Malaysia. Dengan integrasi
ekonomi, FDI Malaysia mengalami peningkatan karena adanya peningkatan
dalam daya saing investasi dibanding kawasan lainnya. Negara investor utama
(Amerika Serikat, Jerman, Perancis, Inggris dan Jepang) lebih memilih untuk
meningkatkan investasi FDI ketimbang melakukan ekspor pada Malaysia.
5.2.2 Analisis Aliran Foreign Direct Invesment Indonesia
Hasil estimasi model persamaan investasi FDI Indonesia secara singkat
disajikan dalam Tabel 19.
Tabel 19. Hasil Estimasi Model Aliran Investasi Foreign Direct Invesment
Indonesia
Variabel
C
GDPi
POPi
OPENi
RERi
IRi
POPj
GDPj
RERj
IRj
SIZE
Xi
Mi
ASEAN
APEC
Koefisien
-14.743
1.5214
2.5517
0.5642
-0.5460
-0.3559
-0.1097
-0.0674
-0.0709
-0.0153
-0.8525
0.0565
0.0516
0.1989
0.1223
Standar Error
3.378507
0.322769
0.432340
0.029795
0.021695
0.022823
0.008164
0.044378
0.007335
0.011226
0.371667
0.027929
0.018430
0.043975
0.044718
Nilai Probabilitas
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.1293
0.0000
0.1709
0.0223
0.0437
0.0053
0.0000
0.0065
Hasil estimasi aliran FDI Indonesia menunjukkan beberapa variabel
makroekonomi yang signifikan berpengaruh terhadap aliran investasi FDI (inflow)
di indonesia yang bersumber dari negara-negara investor terbesar. Realisasi FDI
di Indonesia mengalami pertumbuhan yang sangat pesat selama periode tahun
1995-2008 dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 21.60 persen per tahun. FDI
Indonesia mengalami penurunan pada periode krisis ekonomi tahun 1997-1998
serta pada awal penerapan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia
tahun 2001. Sejak diberlakukannya CEPT-AFTA yaitu pada tahun 1995 FDI ke
Indonesia hanya sekitar US$ 4 346.0 miliar, menjadi US$ 8 336.0 miliar pada
tahun 2005, meskipun terjadi FDI outflow pada saat krisis tahun 1998 sebesar US$
-356.0 miliar bahkan tahun 2001 FDI outflow masih terjadi sebesar US$ -3 278.5
miliar, tetapi setelah itu FDI meningkat.
Sementara itu FDI di negara ASEAN lainnya menunjukkan peningkatan
yang lebih pesat dibandingkan dengan Indonesia. Beberapa faktor melambatnya
FDI di Indonesia di antaranya adalah kebijakan pemerintah dan implementasinya.
Negara di Asia Timur seperti Cina dan Korea Selatan serta Malaysia, Thailand
dan Vietnam memiliki Kebijakan investasi yang lebih kondusif. Negara investor
masih mempersoalkan buruknya iklim investasi, masalah korupsi, banyaknya
pungutan liar khususnya setelah implementasi otonomi daerah, kurangnya
transparansi dan efisiensi, pada akhirnya pada tingginya biaya transaksi di
Indonesia. Badan Koordinasi Penanaman Modal (2004) menyebutkan bahwa
selain indikator makro ekonomi, FDI juga di pengaruhi oleh kebijakan pemerintah
di bidang FDI,insentif investasi, jaminan perlindungan investasi, penggunaan
perizinan, kelembagaan.
Variabel GDP memberi pengaruh positif dan signifikan pada aliran FDI di
Indonesia. GDP Indonesia pada harga konstan pada tahun 2000 adalah Rp.1
389.770 miliar menjadi Rp. 2 082.104 miliar pada tahun 2008 atau meningkat rata
4.610 persen. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia telah meningkatkan arus FDI
dari negara investor. Data tersebut menunjukkan bahwa preferensi investor sangat
tinggi terhadap ekspektasi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi pada negara mitra berpengaruh negatif.
Artinya apabila GDP naik, negara tersebut cenderung meningkatkan impor
daripada melaksanakan FDI ke Indonesia. GDP menunjukkan kemampuan daya
beli masyarakat negara sumber FDI Indonesia. Hal tersebut tidak sesuai dengan
kecendrungan umum bahwa pertumbuhan ekonomi negara maju justru akan
meningkatkan investasi FDI ke Indonesia. Hal tersebut menunjukkan masih
banyak hal yang harus dibenahi seperti infrastruktur, korupsi serta kemudahan
dalam perizinan investasi FDI.
Jumlah penduduk Indonesia berpengaruh secara positif dan signifikan.
Hal ini menunjukkan bahwa negara investor lebih mencari pangsa pasar yang
lebih besar dibandingkan berinvestasi dinegaranya sendiri. Penyebab lain adalah
insetif berupa rendahnya tarif pada negara-negara yang melakukan integrasi.
Penduduk Indonesia adalah yang terbesar pertama di ASEAN dan terbesar
keempat di dunia. Pada tahun 2000 jumlah penduduk Indonesia mencapai 205 132
000 juta jiwa, dan pada tahun 2008 menjadi 228 523 000 jiwa atau tumbuh ratarata 1.208 persen pertahun. Jumlah penduduk Indonesia justru meningkatkan arus
investasi FDI di negara kawasan integrasi ekonomi. Hal sebaliknya terjadi pada
pertumbuhan
penduduk
negara
maju.
Apabila
terjadi
kenaikan
dalam
pertumbuhan penduduk di negara sumber investasi maka arus investasi FDI
outflow dari negara investor ke Indonesia akan menurun.
Peningkatan suku bunga berpengaruh negatif dan signifikan terhadap FDI
Indonesia. Semakin tinggi suku bunga di Indonesia, volume FDI mengalami
penurunan, karena investor akan menyimpan uangnya dalam bentuk portofolio.
Sebaliknya penurunan suku bunga akan meningkatkan FDI, karena akan terjadi
peningkatan laba dan penambahan stok kapital. Sebagai contoh adalah kebijakan
pemerintah menurunkan suku bunga setelah krisis ekonomi tahun 1998, memberi
pengaruh nyata terhadap peningkatan investasi di Indonesia. Suku bunga di
Indonesia pada saat krisis tahun 1998 adalah 49.23 persen turun menjadi 13.63
pada tahun 2002 dan turun lagi pada tahun 2006 menjadi 9.71 persen.
Teori investasi mengatakan semakin tinggi tingkat bunga luar negeri,
semakin tinggi pula arus investasi dari negara investor ke negara penerima FDI.
Suku bunga luar negeri memberi pengaruh yang signifikan dan negatif terhadap
arus FDI outflow ke Indonesia. Peningkatan suku bunga di negara investor
menyebabkan investor dari negara tersebut cenderung mengurangi FDI. Perilaku
tersebut disebabkan oleh rate of return modalnya lebih besar jika ditabung di
negaranya. Fenomena ini juga terjadi di Indonesia pada tahun 1998 yang suku
bunganya mencapai 49.23 persen per tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa
tingkat pengembalian FDI jauh lebih rendah dibandingkan dengan pengembalian
investasi dalam bentuk portofolio seperti saham, obligasi dan deposito perbankan.
Sama halnya dengan variabel GDP, ekspor Indonesia berpengaruh positif
dan signifikan terhadap FDI di Indonesia. Semakin besar nilai ekspor akan
semakin menarik FDI, karena merupakan potensi besar untuk memasarkan
produk. Komoditas yang dihasilkan oleh FDI di Indonesia adalah hasil industri
manufaktur yang merupakan komoditi ekspor, meskipun ada investor yang
bergerak pada industri substitusi impor yang mengandalkan pasar domestik.
Perkembangan ekspor Indonesia di luar ASEAN meningkat dari tahun
1993 sebesar US$ 31 825.8 miliar menjadi US$ 82 315.5 miliar pada tahun 2006.
Penurunan terjadi pada saat krisis tahun 1997 dari US$ 45 534.4 miliar pada tahun
1996 menjadi US$ 42 423.4 miliar tahun 1997 dan menurun lagi menjadi US$ 39
500.9 miliar pada tahun 1998.
Pengaruh impor Indonesia terhadap FDI juga positif dan signifikan, karena
kandungan bahan baku atau material yang dibutuhkan dalam proses produksi oleh
hasil FDI masih di impor khususnya pada tahap-tahap awal. Perkembangan impor
Indonesia dari luar ASEAN meningkat dari tahun 1993 sebasar US$ 25 669.0
miliar menjadi US$ 144 298.8 miliar pada tahun 2008. Penurunan terjadi pada
saat krisis tahun 1998 dari US$ 36 266.7 miliar pada tahun 1997 menjadi US$ 22
777.6 miliar tahun 1998 dan menurun lagi menjadi US$ 19 219.7 miliar pada
tahun 1999. Secara keseluruhan Indonesia masih mengalami surplus perdagangan
terhadap negara mitranya.
Pengaruh variabel APEC adalah positif dan signifikan terhadap aliran FDI.
APEC memberi pengaruh terhadap aliran investasi masuk ke Indonesia. Integrasi
ekonomi ASEAN dapat meningkatkan aliran FDI di Indonesia. Terdapat pengaruh
kreasi integrasi ekonomi ASEAN terhadap masuknya FDI ke Indonesia. Dengan
integrasi ekonomi, maka investasi FDI pada negara kawasan ASEAN mengalami
peningkatan karena adanya peningkatan dalam daya saing investasi dibanding
dengan kawasan integrasi ekonomi lainnya. Hasil studi yang dilakukan oleh
LPEM-FEUI dalam Tambunan (2009) menunjukkan bahwa masalah yang
dihadapi investor dalam melakukan investasi di Indonesia selain persoalan
birokrasi, ketidakpastian biaya investasi serta perubahan peraturan pemerintah
daerah yang tidak jelas atau muncul secara tiba-tiba, juga kondisi keamanan,
sosial, dan politik di Indonesia.
Pemerintah telah berupaya meningkatkan FDI di Indonesia. Salah satunya
adalah paket kebijakan ekonomi 2008-2009 yang tertuang dalam Inpres nomor 5
Tahun 2008 tentang fokus program ekonomi 2008-2009, yang memuat antara lain
kebijakan perbaikan iklim investasi dan kebijakan ekonomi makro dan keuangan.
Pemerintah telah mengeluarkan paket kebijakan investasi melalui Inpres No. 3
Tahun 2006. Paket Kebijakan Perbaikan Iklim investasi itu mencakup lima aspek,
yaitu: (1) bidang umum, termasuk memperkuat kelembagaan pelayanan investasi,
sinkronasi peraturan daerah dan pusat, dan kejelasan ketentuan mengenai
kewajiban amdal; (2) bidang kepabean dan cukai, termasuk percepatan arus
barang, pengembangan peranan kawasan berikat, pemberantasan penyelundupan,
dan debirokratisasi bidang cukai; (3) perpajakan, termasuk insentif perpajakan
untuk investasi, melaksanakan sistem “melakukan pengkajian sendiri” secara
konsisten, revisi pajak pertambahan nilai untuk promosi ekspor, melindungi hak
wajib pajak, dan mempromosikan transparasi dan disclosure; (4) ketenagakerjaan
yang mencakup penciptaan iklim hubungan industrial, perlindungan, dan
penempatan TKI di luar negeri, penyelesaian berbagai perselisihan hubungan
industrial secara cepat, murah, dan berkeadilan, mempercepat proses penerbitan
perizinan ketenagakerjaan, penciptaan pasar tenaga kerja fleksibel dan produktif,
dan terobosan paradigma pembangunan transmigrasi dalam rangka perluasan
lapangan kerja; dan (5) bidang usaha kecil, menengah dan koperasi.
Kemudahan berbisnis atau investasi di Indonesia berdasarkan World Bank
doing business masih pada peringkat yang rendah. Indikator tersebut juga menjadi
pertimbangan investor dalam melaksanakan FDI ke Indonesia. Dalam penelitian
ini variabel doing business tidak di estimasi, tetapi data menunjukkan bahwa
negara dengan indeks doing business yang baik akan memperoleh aliran FDI yang
lebih baik. Pada tahun 2008 Indonesia menempati posisi 123 menjadi 122 pada
tahun 2010 jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara Singapura, Malaysia
dan Thailand.
5.2.3. Analisis Aliran Foreign Direct Invesment Singapura
Hasil estimasi persamaan investasi dalam bentuk FDI Singapura disajikan
dalam Tabel 20.
Tabel 20.
Hasil Estimasi Model Aliran Investasi Foreign Direct Invesment
Singapura
Variabel
C
GDPi
POPi
OPENi
RERi
IRi
POPj
GDPj
RERj
IRj
SIZE
Xi
Mi
ASEAN
APEC
Koefisien
-27.0248
2.2361
2.8840
0.0808
-0.4004
-0.2859
-0.1275
-0.2509
-0.1061
-0.0270
-0.7163
0.1160
-0.0004
0.2669
0.1038
Standar Error
4.697650
0.392870
0.510891
0.075789
0.016619
0.021629
0.007601
0.037280
0.006465
0.012621
0.441159
0.043251
0.005882
0.048597
0.043929
Nilai Probabilitas
0.0000
0.0000
0.0000
0.2869
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0330
0.1052
0.0076
0.9423
0.0000
0.0185
Singapura adalah negara yang paling banyak menikmati aliran FDI dari
negara investor. Hal tersebut disebabkan adanya program liberalisasi kebijakan,
peraturan investasi yang baik serta pemberian national treatment di ASEAN.
Perkembangan FDI Singapura sangat tinggi dibandingkan negara ASEAN
lainnya. Pada tahun 1995 nilai FDI mencapai US$ 11 502.7 miliar meningkat
menjadi US$ 16 485.4 miliar pada tahun 2000, kemudian turun pada tahun 2002
menjadi US$ 7 200.0 miliar dan meningkat lagi pada tahun 2006 menjadi US$ 24
055.4 miliar yang kemudian pada tahun 2008 mengalami penurunan menjadi US$
22 801.8 miliar. Jumlah perusahaan asing mencapai 3000 buah yang tersebar pada
berbagai sektor ekonomi. Perusahaan tersebut menyumbang 70 persen ekspor
manufaktur Singapura, sedangkan pada sektor jasa peran pemerintah masih besar.
Sebagian besar FDI tersebut berasal dari Jepang, Amerika Serikat dan Eropa.
Ada tiga faktor kunci keberhasilan Singapura dalam menarik FDI yaitu:
Pertama, adopsi perdekatan ekonomi terbuka dalam meningkatkan FDI. Singapura
mendukung rezim perdagangan bebas dan mempromosikan industri berorientasi
ekspor. Kedua, menciptakan lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan
perusahaan FDI, dengan mempertahankan kebijakan ekonomi makro yang stabil,
menjaga pemerintahan bersih dan jujur yang menyediakan jasa secara efisien,
mempertahankan
transparansi,
penyusunan
peraturan
yang
probisnis,
mempertahankan harmonisasi antara pemerintah dan buruh melalui kerjasama
gerakan buruh dan pemimpin industri. Ketiga, berinvestasi dengan gencar pada
sektor infrastruktur publik dan pengembangan sumberdaya manusia dan
memastikan pencapaian standar kualitas yang tinggi.
Hasil estimasi model FDI Singapura, menunjukkan beberapa variabel
signifikan berpengaruh terhadap volume investasi FDI di Singapura dari negara
investor terbesar. Peranan aliran FDI di Singapura juga dapat merangsang
perkembangan investasi domestik sebesar 27 persen per tahun. Akibatnya
pertumbuhan ekonomi Singapura yang cukup tinggi.
Variabel makroekonomi yang berpengaruh signifikan adalah GDP.
Singapura merupakan salah satu negara di dunia dengan GDP tertinggi di dunia.
Antara tahun 1960-1999, pertumbuhan riil mencapai 8 persen. GDP Singapura
dalam kurun waktu antara tahun 1996-2008 tumbuh rata-rata 4.391 persen per
tahun, tertinggi pada tahun 2000 sebesar 10.1 persen. Singapura bahkan pernah
mengalami pertumbuhan ekonomi paling tinggi di antara NICs yaitu Korea
Selatan, Taiwan dan Hongkong. Peningkatan GDP di Singapura tersebut telah
meningkatkan aliran FDI dari negara investor. Sebaliknya, pertumbuhan GDP
negara investor berpengaruh negatif artinya bahwa apabila GDP naik maka negara
tersebut cenderung meningkatkan impor daripada melaksanakan FDI ke
Singapura.
Jumlah penduduk Singapura berpengaruh secara positif dan signifikan.
Jumlah penduduk Singapura dengan total 4.839 juta jiwa pada tahun 2008,
termasuk sangat kecil dibanding negara anggota ASEAN lainnya. Daya tarik
Singapura adalah integrasinya dengan kawasan ASEAN, khususnya Indonesia,
Malaysia dan Thailand. Hal tersebut menunjukkan bahwa negara investor tetap
mencari pasar yang lebih potensial. Singapura juga merupakan negara dengan
kemudahan investasi yang sangat bagus. Hal sebaliknya terjadi pada jumlah
penduduk negara investor. Apabila terjadi pertumbuhan penduduk di negara
investor maka arus investasi FDI outflow negara investor ke Singapura mengalami
penurunan. Hal tersebut disebabkan bertambahnya potensi pasar bagi negara
investor, sehingga mereka lebih memilih berinvestasi pada negaranya sendiri.
Variabel suku bunga memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap
peningkatan FDI Singapura. Semakin tinggi tingkat bunga, volume investasi FDI
mengalami penurunan. Hal tersebut disebabkan adanya peralihan modal ke
investasi portofolio dan menghindari besarnya biaya investasi. Sebaliknya
penurunan suku bunga akan meningkatkan FDI, karena akan menambah
kemampuan perusahaan memperoleh keuntungan serta pembesaran stok kapital.
Dibandingkan dengan Indonesia suku bunga Singapura sangat rendah yaitu pada
tahun 1998 sebesar 1.17 persen dibanding Indonesia saat itu sebesar 49.23 persen.
Tahun 2006 Singapura sebesar 2.57 persen dan Indonesia 9.17 persen.
Suku bunga negara investor memberikan pengaruh negatif dan signifikan
terhadap aliran FDI ke Singapura. Semakin tinggi suku bunga di negara investor
maka arus investasi FDI outflow semakin kecil. Investor memilih berinvestasi
pada kawasan yang suku bunganya kecil, serta adanya perubahan pola dari FDI ke
investasi portofolio atau saving. Tingkat pengembalian investasinya lebih besar
dibandingkan melaksanakan investasi FDI di Singapura.
Pengaruh ekspor Singapura terhadap FDI adalah positif dan signifikan.
Semakin besar nilai perdagangan ekspor akan semakin menarik FDI dari negara
investor karena merupakan potensi besar untuk memasarkan produk. Hal tersebut
disebabkan karena sebagian komoditas yang dihasilkan oleh investasi FDI di
Singapura adalah komoditi ekspor. Perkembangan ekspor Singapura sejak
pemberlakuan AFTA tahun 1993 mengalami peningkatan berarti. Pada tahun
1993 nilainya US$ 74 401.1 miliar menjadi US$ 241 404.7 miliar pada tahun
2008. Singapura tidak terlalu terpengaruh oleh krisis tahun 1997-1998, sekalipun
mengalami krisis tapi pengaruhnya terhadap ekspor relatif kecil.
Pengaruh impor Singapura terhadap FDI adalah positif dan signifikan
karena sebagian bahan baku atau material yang dibutuhkan dalam proses produksi
hasil FDI masih di impor khususnya pada tahap-tahap awal. Impor Singapura
sejak pemberlakuan AFTA tahun 1993 mengalami peningkatan berarti. Pada
tahun 1993 nilai impornya US$ 85 227.7 miliar menjadi US$ 230 760.3 miliar
pada tahun 2008 atau meningkat rata-rata 7.388 persen per tahun.
Pengaruh keanggotaan Singapura di APEC adalah positif terhadap aliran
FDI ke Singapura. Sedangkan pengaruh keanggotaan Singapura ke dalam
integrasi ASEAN terhadap FDI juga positif. Peningkatan FDI Singapura juga
disebabkan oleh tingginya daya saing FDI Singapura dibanding dengan negara
atau kawasan integrasi lainnya.
Singapura merupakan negara dengan tingkat kemudahan berbisnis atau
investasi terbaik di dunia. Dalam laporan World Bank tentang doing business
Singapura menempati urutan pertama pada tahun 2008 dan bertahan selama tiga
tahun berturut-turut sampai tahun 2010. Hal tersebut sesuai data FDI Singapura
yang menunjukkan bahwa di antara negara ASEAN Singapura adalah negara
terbesar penerima FDI dari negara investor.
5.2.4. Analisis Aliran FDI Thailand
Hasil estimasi pengaruh variabel integrasi ekonomi dan makroekonomi
terhadap aliran FDI di Thailand secara ringkas disajikan dalam Tabel 21. FDI
Thailand merupakan faktor paling penting dalam pertumbuhan ekonomi negara
tersebut. Pemerintah memberikan komitmen tinggi untuk memfasilitasi kebutuhan
serta membuka peluang usaha bagi investor asing. FDI Thailand bergerak
fluktuatif tapi trennya meningkat, pada tahun 1995 nilai FDI mencapai US$
2.070.0 miliar meningkat drastis pada tahun 1998 menjadi US$ 7 491.2 miliar
kemudian turun menjadi US$ 3 350.3 miliar pada tahun 2000 kemudian
meningkat lagi menjadi US$ 9 834.5 miliar pada tahun 2008. Investasi di
Thailand didominasi negara sumber FDI terbesar di Thailand yaitu Jepang,
Singapura, Inggris dan Amerika Serikat.
Tabel 21. Hasil Estimasi Model Aliran Investasi Foreign Direct Invesment
Thailand
Variabel
C
GDPi
POPi
OPENi
RERi
IRi
POPj
GDPj
RERj
IRj
SIZE
Xi
Mi
ASEAN
APEC
Koefisien
93.843
1.2758
12.864
1.8055
2.8266
0.4140
0.1336
-0.0119
-0.0203
0.0087
-0.0141
0.0341
0.0012
-0.0062
-0.0405
Standar Error
21.50263
0.593860
3.613866
0.091282
0.381760
0.037320
0.015473
0.005187
0.002698
0.000362
0.000832
0.001973
0.000159
0.001356
0.002084
Nilai Probabilitas
0.0000
0.0323
0.0004
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0213
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
Hasil estimasi FDI Thailand, menunjukkan bahwa variabel GDP
berpengaruh positif dan signifikan. GDP Thailand dalam kurun waktu antara
tahun 1996-2008 tumbuh rata-rata 4.258 persen per tahun, tertinggi pada tahun
2003 sebesar 7.4 persen. Peningkatan pertumbuhan ekonomi Thailand tersebut
telah meningkatkan aliran FDI. GDP negara investor berpengaruh negatif artinya
apabila GDP naik maka negara tersebut cenderung meningkatkan impor daripada
melaksanakan FDI ke Thailand. Kenaikan GDP pada negara investor juga
menunjukkan kemampuan daya beli masyarakat.
Jumlah penduduk Thailand berpengaruh secara positif dan signifikan
terhadap aliran FDI. Penduduk Thailand berjumlah 66.482 juta jiwa pada tahun
2008. Jumlah tersebut merupakan potensi pasar yang menarik bagi negara
investor. Hal tersebut menunjukkan bahwa negara investor lebih mencari pasar
yang lebih potensial untuk memasarkan produknya. Pengaruh sebaliknya terjadi
pada pertumbuhan penduduk di negara investor. Apabila terjadi kenaikan
pertumbuhan penduduk di negara investor maka arus investasi FDI negara
investor ke Thailand mengalami penurunan.
Suku bunga memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap FDI
Thailand. Semakin tinggi tingkat bunga di Thailand, volume FDI dari negara
investor mengalami penurunan. Hal tersebut bertentangan dengan perilaku
investasi portofolio, semakin tinggi tingkat bunga luar negeri, semakin tinggi pula
arus investasi. Dibandingkan dengan Indonesia, suku bunga Thailand termasuk
sangat rendah yaitu sebesar 6.00 persen pada tahun 1998, sedangkan Indonesia
sebesar 49.23 persen. Pada tahun 2006 Thailand sebesar 4.00 persen sedangkan
Indonesia 9.17 persen.
Suku bunga di negara investor memberi pengaruh terhadap aliran FDI ke
Thailand. Semakin tinggi suku bunga negara investor maka arus FDI outflow ke
Thailand semakin kecil. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan dari FDI ke
saving atau portofolio dengan memanfaatkan tingkat bunga negara sendiri.
Tingkat pengembalian investasi pada negara investor lebih besar dibanding
tingkat pengembalian jika melaksanakan investasi FDI di Thailand.
Ekspor Thailand berpengaruh positif dan signifikan terhadap FDI.
Semakin besar nilai perdagangan ekspor akan semakin menarik FDI, karena
investor melihat adanya kekuatan ekspor untuk memasarkan produk. Apalagi
komoditas yang dihasilkan oleh investasi FDI di Thailand adalah komoditi ekspor.
Sejak diberlakukannya AFTA tahun 1993 perkembangan ekspor Thailand
mengalami peningkatan cukup baik. Nilai ekspor Thailand secara berturut-turut
pada tahun 1993 dan 2008 adalah sebesar US$ 37 635.5 miliar dan US$ 174 966.7
miliar. Ekspor Thailand tidak terlalu terpengaruh oleh krisis tahun 1997-1998.
Sekalipun mengalami krisis tapi pengaruhnya terhadap ekspor relatif kecil.
Pengaruh impor Thailand terhadap investasi juga positif dan signifikan.
Penyebabnya adalah bahan baku atau material yang dibutuhkan dalam proses
produksi FDI sebagian masih di impor. Perkembangan impor Thailand sejak
pemberlakuan AFTA tahun 1993 mengalami peningkatan berarti. Nilai impor
Thailand pada tahun 1993 dan 2008 adalah sebesar US$ 46 883.7 miliar dan USS
177 567.5 miliar atau meningkat rata-rata 10.438 persen per tahun.
Keanggotaan Thailand di APEC memberikan pengaruh yang signifikan
dan positif terhadap aliran FDI, meskipun kesepakatan di APEC besifat tidak
mengikat anggota. Hal ini menunjukkan integrasi APEC memberi pengaruh kreasi
terhadap arus FDI yang masuk ke Thailand. Pengaruh kreasi tersebut berarti
integrasi ekonomi APEC telah meningkatkan aliran FDI ke Thailand.
Tingkat kemudahan berbisnis atau investasi di Thailand jauh lebih baik
dari Indonesia dan Filipina. Dalam penelitian ini faktor doing business tidak di
estimasi, tetapi data menunjukkan bahwa negara dengan indeks doing business
yang baik dapat memperoleh aliran FDI yang lebih besar. Tahun 2008 Thailand
menempati posisi 15 pada tahun 2008 menjadi urutan 12 pada tahun 2010.
5.2.5. Analisis Aliran Foreign Direct Invesment Filipina
Hasil estimasi model persamaan aliran investasi dalam bentuk FDI di
Filipina disajikan dalam Tabel 22.
Tabel 22. Hasil Estimasi Model Aliran Investasi Foreign Direct Invesment
Filipina
Variabel
C
GDPi
POPi
OPENi
RERi
IRi
POPj
GDPj
RERj
IRj
SIZE
Xi
Mi
ASEAN
APEC
Koefisien
-26.5218
2.3499
2.7058
-0.0319
-0.3697
-0.3226
-0.1372
-0.1761
-0.0988
-0.0460
-0.7476
0.0393
0.0041
0.3133
0.2045
Standar Error
4.384523
0.377946
0.456605
0.067069
0.015691
0.018089
0.007335
0.034242
0.005910
0.010539
0.389865
0.020778
0.012614
0.052550
0.042567
Nilai Probabilitas
0.0000
0.0000
0.0000
0.6336
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0558
0.0588
0.7404
0.0000
0.0000
Filipina merupakan negara dengan tingkat pertumbuhan FDI negatif pada
saat krisis Asia 1997-1998. Perkembangan FDI Filipina cenderung stagnan, tahun
1995 nilai FDI mencapai US$ 1 577.0 miliar menurun drastis pada tahun 2001
menjadi US$ 195 miliar dan US$ 687.8 miliar pada tahun 2004 kemudian
meningkat lagi pada tahun 2008 menjadi US$ 1 520.0 miliar. Data dari world
doing business (1998) menunjukkan bahwa daya saing Filipina untuk FDI masih
sangat rendah. Sebagai contoh, prosedur yang harus dilewati investor yang masuk
Filipina ada 15 prosedur. Dibanding Singapura hanya 5 prosedur, Thailand 8
prosedur, Malaysia 9 prosedur dan Indonesia 12 prosedur. Kemudahan
pengurusan izin FDI juga Filipina menempati peringkat terakhir dari ASEAN-5
yaitu dengan indeks 21.
Hasil estimasi model investasi FDI Filipina, menunjukkan variabel yang
signifikan berpengaruh terhadap volume investasi FDI (inflow) di Filipina adalah
GDP. GDP Filipina dalam kurun waktu antara tahun 1996-2008 tumbuh rata-rata
4.480 persen per tahun, tertinggi pada tahun 2007 sebesar 7.4 persen. Peningkatan
pertumbuhan ekonomi di Filipina tersebut telah meningkatkan arus FDI dari
negara investor. Sebaliknya, pertumbuhan GDP negara investor berpengaruh
negatif. Hal tersebut berarti apabila GDP naik maka negara tersebut cenderung
meningkatkan impor daripada melaksanakan FDI ke Filipina. Selain itu juga
menunjukkan kemampuan daya beli masyarakat negara sumber investasi.
Jumlah penduduk Filipina berpengaruh secara positif dan signifikan,
dilihat dari aspek jumlah penduduk Filipina menempati urutan kedua di ASEAN
setelah Indonesia dengan total 90 457 juta jiwa pada tahun 2008. Jumlah tersebut
merupakan pasar yang sangat menarik bagi investor. Selain itu juga merupakan
sumber tenaga kerja yang relatif murah. Negara investor lebih mencari pasar yang
besar dibandingkan melaksanakan investasi dinegaranya sendiri. Insentif berupa
rendahnya tarif pada negara yang berintegrasi di ASEAN juga berpengaruh.
Pertumbuhan penduduk negara investor FDI berpengaruh negatif, artinya
bahwa apabila terjadi kenaikan dalam pertumbuhan penduduk di negara investor,
aliran investasi FDI ke Filipina mengalami penurunan. Hal tersebut disebabkan
bertambahnya potensi pasar produksi di negara investor sehingga mereka lebih
memilih berinvestasi di negaranya. Pada negara maju penduduk juga
mengambarkan kualitas dengan produktifitas yang tinggi.
Variabel suku bunga memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap
FDI Filipina. Semakin tinggi tingkat bunga di Filipina, volume investasi FDI
mengalami penurunan. Hal tersebut bertentangan dengan perilaku investasi
portofolio, dimana semakin tinggi tingkat bunga luar negeri, semakin tinggi pula
arus investasi ke luar negeri. Pengaruh negatif ini menunjukkan adanya pelarian
investasi FDI ke investasi portofolio. Sebaliknya penurunan suku bunga akan
menarik FDI. Hal tersebut disebabkan adanya potensi peningkatan laba
perusahaan serta penambahan stok kapital dalan negeri Philipina. Dibandingkan
dengan Indonesia suku bunga Filipina cukup rendah. Tahun 1998 sebesar 11.17
persen sementara Indonesia sebesar 49.23 persen. Pada tahun 2006 Filipina
sebesar 5.15 persen dan Indonesia sebesar 9.17 persen.
Pada negara investor, variabel suku bunga memberikan pengaruh yang
negatif terhadap aliran FDI ke Filipina. Hal ini disebabkan oleh adanya peralihan
dari FDI ke investasi portofolio dan akan investasi dinegaranya atau saving.
Pertimbangannya adalah tingkat pengembalian investasi FDI yang lebih besar.
Pengaruh ekspor Filipina terhadap FDI adalah positif dan signifikan.
Semakin besar nilai perdagangan ekspor, semakin menarik FDI karena merupakan
potensi pasar. Sebagian komoditas yang dihasilkan oleh FDI adalah komoditi
ekspor. Perkembangan ekspor Filipina sejak pemberlakuan AFTA tahun 1993
mengalami peningkatan berarti. Pada tahun 1993 nilainya US$ 10 579.5 miliar
menjadi US$ 49 025.4 miliar pada tahun 2008.
Tingkat kemudahan berbisnis atau investasi di Filipina relatif kurang
menarik dibandingkan negara ASEAN lainnya. Dalam penelitian ini faktor doing
business tidak di estimasi, tetapi jelas sekali terlihat bahwa negara dengan indeks
doing business yang baik dapat memperoleh aliran FDI yang lebih besar. Di
antara 5 negara ASEAN, Filipina merupakan negara dengan FDI terkecil.
Keanggotaan Filipina di APEC berpengaruh positif dan signifikan
terhadap arus FDI. Artinya, ada pengaruh kreasi pada integrasi APEC terhadap
arus FDI Filipina. Pengaruh kreasi menunjukan manfaat yang ditimbulkan
integrasi ekonomi yang lebih luas terhadap arus FDI. Integrasi ekonomi APEC
telah meningkatkan aliran investasi FDI dalam kawasan APEC.
Download