BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Aliran Perdagangan ASEAN dan Negara Anggota ASEAN Pada bagian ini akan dilakukan analisis terhadap hasil estimasi model gravity untuk persamaan perdagangan dan persamaan investasi. Model yang dianalisis menggunakan panel data karena merupakan penyatuan antara data antar-waktu (time series) dan data antar-individu (cross section) dengan menggunakan teknik fixed effect. Metode fixed effect digunakan dengan pertimbangan data panel yang diestimasi mempunyai jumlah waktu (T) 25 tahun lebih besar dibanding jumlah individu (N) 19 negara. Secara teoritis, apabila T lebih besar dari N dianjurkan memakai fixed effect. Selanjutnya, model diestimasi dengan Generalize Least Square (GLS). Hasil estimasi tersebut dapat menggambarkan pengaruh setiap variabel independen terhadap variabel dependen pada persamaan. Hasil estimasi dari model persamaan dapat dilihat pada lampiran. Pembahasan hasil estimasi model dapat diuraikan sebagai berikut: 5.1.1. Analisis Aliran Perdagangan ASEAN Secara umum selama 24 tahun antara tahun 1982-2006 kinerja perdagangan ASEAN cukup kuat. Kinerja perdagangan tersebut didukung oleh perdagangan internasional berupa ekstra-regional dan intra-regional. Krugman (1991) memperkenalkan istilah blok perdagangan alami atau natural trading blok yang didasarkan pada kedekatan geografis yang dapat meningkatkan perdagangan. Tetapi untuk kasus ASEAN, ekstra-ASEAN lebih besar dari intra-ASEAN. Hasil estimasi data panel model perdagangan ASEAN menunjukkan pengaruh variabel integrasi ekonomi dan makroekonomi terhadap perdagangan bilateral kawasan dengan negara mitra perdagangannya. Hasil estimasi data panel model persamaan perdagangan disajikan dalam Tabel 11. Tabel 11. Pengaruh Integrasi dan Variabel Makroekonomi Terhadap Aliran Perdagangan ASEAN Variabel C GDPi(-1) POPi FDIi(-3) TII i(-3) IRi RERi TAXi TAXj OPENi GDPj POPj(-2)) FDIj RERj(-1) IRj Koefisien -5.2018 0.5661 1.2511 0.0008 0.0002 -0.0521 -0.0447 0.0244 -0.0001 1.1125 7.98E-05 0.0003 -0.0001 0.0001 4.49E-05 Standar Error 0.991066 0.044952 0.168348 0.003944 0.000101 0.006681 0.006513 0.005728 0.000160 0.008058 0.000283 4.86E-05 0.168348 0.000128 3.42E-05 Nilai Prob. 0.000 0.000 0.043 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.1907 Hasil estimasi data panel perdagangan ASEAN menunjukkan bahwa variabel FDI berpengaruh positif dan signifikan. FDI dapat menghasilkan komoditi ekspor dan meningkatkan perdagangan. FDI merupakan faktor penting dalam peningkatan perdagangan kawasan, baik variabel FDI negara eksportir maupun FDI negara importir. Dalam rangka meningkatkan kerjasama investasi, telah dibentuk kerjasama ASEAN investment Area (AIA) pada tahun 1998. Tujuannya menjadikan ASEAN sebagai kawasan yang kompetitif, kondusif dan bebas untuk berinvestasi. Tujuan tersebut diikuti sejumlah kebijakan, seperti menerapkan kebijakan investasi terkordinasi dan program fasilitasi, memperluas sektor untuk FDI kecuali beberapa sektor yang ditetapkan dalam temporary dan sensitive list bagi investor ASEAN pada tahun 2010 dan non-ASEAN 2020. Mendorong lalu lintas modal, profesional dan teknologi yang lebih bebas di antara negara anggota, menghilangkan hambatan investasi dan meliberalisasi ketentuan serta kebijakan investasi. ASEAN diharapkan menjadi tempat yang atraktif bagi investasi dan mencegah perlombaan insentif untuk menarik FDI. Peningkatan FDI di ASEAN dapat meningkatkan perdagangan dalam lag selama tiga tahun. Peningkatan FDI pada negara importir ternyata dapat menurunkan ekspor negara ASEAN. Data perdagangan ASEAN menunjukkan adanya peningkatan ekspor maupun impor. Hal ini ditunjukkan dari perubahan nilai ekspor sebesar US$ 93 380 juta pada tahun 2000 menjadi US$ 184 586 juta pada tahun 2008 atau naik hampir 100 persen. Realisasi FDI di ASEAN pada tahun 2000 adalah sebesar US$ 23 372.4 juta dan menjadi US$ 60 596.0 juta pada tahun 2008. Hasil tersebut sesuai teori FDI yang mengatakan bahwa apabila FDI meningkat maka produksi barang dan jasa mengalami peningkatan. Produksinya dapat meningkatkan pemenuhan pasar dalam negeri maupun ekspor. Hasil yang sama dikemukakan Kim et al. (2003) yang menunjukkan bahwa masuknya FDI pada industri skala besar akan menghasilkan tingkat pertumbuhan ekspor yang tinggi dibanding dengan impor pada industri sektor yang sama. Pengaruh GDP baik bagi negara kawasan maupun negara mitranya adalah positif dan signifikan. Peningkatan GDP berarti adanya peningkatan volume produksi barang dan jasa serta peningkatan dan penambahan kapasitas produksi. Antara tahun 2000-2008 GDP ASEAN mengalami kenaikan berarti. Pada tahun 2000, GDP adalah sebesar 572 902 juta US$ sedang kan pada tahun 2008 menjadi sebesar 1 073 866 Juta US$ atau naik sebesar 87.4 persen. Sedangkan GDP perkapita meningkat dari US$ 1 159 (tahun 2000) menjadi US$ 2 582 (tahun 2008). Kenaikan GDP pada negara importir juga berpengaruh positif terhadap volume perdagangan negara ASEAN. Pengaruh tersebut disebabkan adanya peningkatan daya beli bagi negara importir. Peningkatan dalam daya beli akan meningkatkan permintaan barang untuk substitusi impor dari negara ASEAN. Hasil yang sama ditemukan oleh beberapa studi sebelumnya seperti Clarete, Edmonds and Walack (2002), Wall (2000), dan Cernat (2001) yang menyimpulkan bahwa variabel GDP eksportir dan importir berpengaruh positif dan signifikan terhadap peningkatan perdagangan pada integrasi ekonomi. Negara yang berpendapatan tinggi, juga menunjukan adanya produksi yang tinggi sehingga menimbulkan peningkatan efisiensi produksi dalam negeri serta mendorong peningkatan perdagangan. GDP yang tinggi meningkatkan potensi ekspor, dan paling besar jika didukung oleh efisiensi produksi. Hasil tersebut sesuai temuan Robert (2004) yang menggunakan model gravity untuk menjelaskan FTA Cina-ASEAN. Kesimpulannya adalah GDP dan jarak antara negara secara signifikan memengaruhi perdagangan antara Cina dan ASEAN. Studi ini memperkuat asumsi bahwa integrasi ekonomi mempercepat perdagangan dan menguntungkan negara kaya. Manfaat integrasi ekonomi semakin menguntungkan anggota yang berpendapatan tinggi. Negara anggota yang berpendapatan rendah tetap memperoleh manfaat dari pembentukan integrasi ekonomi atau perdagangan bebas. Sedangkan perdagangan bebas dapat menguntungkan semua pihak yang terlibat didalamnya. Jumlah penduduk berpengaruh positif baik terhadap negara ASEAN maupun jumlah penduduk negara mitra dagang. Penduduk selain berfungsi sebagai tenaga kerja juga merupakan pasar yang besar bagi produksi barang dan jasa. Produsen dalam negeri akan lebih mengutamakan pemenuhan permintaan dalam negeri dibandingkan melakukan perdagangan ke luar negeri. Peningkatan jumlah penduduk negara importir pada dua tahun kemudian dapat meningkatkan perdagangan negara ASEAN. Secara teoritis, hal tersebut menunjukkan adanya peningkatan dalam jumlah konsumen. Jumlah penduduk yang tinggi di ASEAN menyebabkan produsen dalam negeri lebih memprioritaskan pemenuhan pasar dalam negeri, terutama yang berkaitan dengan produk akhir. Sebaliknya, pada negara importir jumlah penduduk akan meningkatkan ekspor negara ASEAN. Pada negara mitra transisi demografisnya sudah hampir selesai karena pertumbuhan penduduknya sangat kecil, tetapi kualitas dari penduduknya yang tinggi meningkatkan produktifitas dan akhirnya produksi dan perdagangan. Hasil tersebut sesuai dengan temuan Do (2006) yang menyimpulkan bahwa aliran perdagangan bilateral salah satunya ditentukan oleh ukuran pasar atau jumlah penduduk. Integrasi perdagangan berpengaruh positif dan signifikan. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin besar tingkat integrasinya, akan memperbesar volume perdagangan ASEAN dan negara anggotanya. Keterbukaan ekonomi berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap aliran perdagangan. Semakin terbuka sebuah perekonomian atau negara menunjukkan adanya kemudahan dalam melaksanakan transaksi perdagangan dengan negara mitra perdagangannya. Hasil yang sama ditemukan oleh Guttman dan Richards (2004), dengan estimasi model gravity yang menunjukkan bahwa keterbukaan ekonomi berpengaruh positif terhadap peningkatan perdagangan di Australia. Keterbukaan ekonomi berpengaruh positif dan signifikan terhadap aliran perdagangan. Semakin terbuka sebuah kawasan atau negara maka semakin tinggi pula tingkat aliran perdagangannya. Alasan utama dari hasil tersebut adalah bahwa peningkatan perdagangan akibat keterbukaan ekonomi menciptakan lebih banyak keuntungan dari pada membatasi perdagangannya baik pada sektor maupun pada negara tertentu. Mengingat rumusan keterbukaan ekonomi yaitu rasio antara penjumlahan ekspor dan impor dibandingkan GDP, maka keterbukaan ekonomi dapat dilihat dari intensitas barang keluar atau ekspor dan barang masuk atau impor. Assumsi ini berlaku apabila hambatan perdagangan baik tarif maupun non tarif kondusif bagi negara yang melaksanakan perdagangan. Nilai tukar mata uang negara ASEAN berpengaruh negatif dan signifikan terhadap perdagangan, semakin terdepresiasi nilai mata uang negara ASEAN akan meningkatkan penawaran ekspor dari negara ASEAN. Respons penawaran ekspor lebih besar dari permintaan impor. Nilai tukar mata uang yang rendah, akan meningkatkan jumlah uang beredar dan meningkatkan produksi serta mendorong ekspor. Sebaliknya, depresiasi nilai tukar negara importir berpengaruh positif terhadap ekspor ASEAN. Semakin terdepresiasi nilai tukar negara importir dapat meningkatkan volume ekspor negara ASEAN, dengan tingkat elastisitas yang relatif kecil. Do (2006) menyimpulkan bahwa aliran perdagangan bilateral suatu negara ditentukan oleh exchange rate selain ukuran ekonomi dan ukuran pasar. Besarnya tingkat tarif impor yang diberlakukan berpengaruh positif terhadap aliran perdagangan ASEAN. Sekalipun terjadi kenaikan tarif di ASEAN, peningkatan perdagangan tetap positif karena negara ASEAN lebih berorientasi ekspor. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Yeats (1998) yang menunjukkan bahwa hanya produk yang kompetitif di luar kawasan integrasi yang dapat mendorong pertumbuhan perdagangan di luar kawasan integrasi. Kebijakan tarif ASEAN mengacu pada kesepakatan AFTA melalui penghapusan tarif dan nontarif dengan target penurunan 0-5 persen untuk produk yang memiliki muatan ASEAN sebesar 15 persen dalam kurun waktu 15 tahun sejak tahun 1993. Sebesar 98.98 persen produk yang masuk dalam inclusion list CEPT telah berhasil diturunkan oleh ASEAN-5 ditambah Vietnam, yang diberlakukan sejak 1 Januari 2005. Produk dalam Inclusion List (IL) yang tarifnya di atas 5 persen adalah produk yang baru ditransfer dari Temporary Exclution List (TEL), Sensitive List (SL) dan General Exclution List (GEL) pada tahun 2003. Secara teoritis tarif dapat menghambat impor dan meningkatkan harga barang impor dan melindungi industri dalam negeri. Pengaruh tingkat tarif negara importir terhadap volume ekspor negara ASEAN adalah negatif dan signifikan. Secara teoritis dijelaskan bahwa semakin tinggi tingkat tarif pada negara tujuan ekspor, volume ekspor akan menurun. Produsen domestik dapat memenuhi pasar dalam negeri dengan harga yang relatif murah dibandingkan dengan harga barang impor yang dikenai tarif dengan harga lebih mahal. Jadi, meskipun impor menurun tetapi ekspor tetap lebih tinggi. 5.1.2. Perdagangan Negara Anggota ASEAN Bagian ini menganalisis pengaruh integrasi ekonomi dan variabel makro ekonomi negara ASEAN terhadap perdagangan setiap anggota ASEAN yaitu Malaysia, Indonesia, Singapura, Thailand dan Filipina. Dengan menggunakan panel data model gravity persamaan perdagangan yang diestimasi dijelaskan sebagai berikut: 5.1.2.1. Analisis Aliran Perdagangan Malaysia Pengaruh integrasi ekonomi dan variabel makro ekonomi terhadap aliran perdagangan Malaysia dianalisis berdasarkan hasil estimasi persamaan perdagangan Malaysia disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Hasil Estimasi Model Perdagangan Malaysia Variabel C GDPi POPi FDIi RERi OPENi TAXi IRi GDPj POPj FDIj RERj IRj DIST TIIi TAXj ASEAN APEC Koefisien -33.632 2.2262 2.2663 0.0014 -0,0009 0.0302 -0.2958 0.0006 0.0109 0.0030 -0.0014 0.0014 -0.0714 -0.0763 0.0062 -0.0057 0.1847 0.1424 Standar Error 0.724037 0.037227 0.040850 0.001608 0.001576 0.005204 0.011843 0.003099 0.002687 0.000772 0.000805 0.001030 0.003071 0.003414 0.001190 0.000787 0.018518 0.023311 Nilai Prob. 0.0000 0.0000 0.0000 0.3777 0.9529 0.0000 0.0000 0.8339 0.0001 0.0001 0.0801 0.1616 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 Malaysia merupakan negara ASEAN yang berhasil melaksanakan industrialisasi secara terencana sejak diterapkannya kebijakan ekonomi baru (New Economic Policy, NEP) pada tahun 1971. Program NEP dibiayai oleh hasil ekspor komoditas primer Malaysia. Untuk menjamin tercapainya NEP pemerintah Malaysia meningkatkan intervensi negara dalam kegiatan ekonomi. Peran pemerintah tersebut membawa wajah baru industrialisasi di Malaysia. Malaysia dikenal sebagai negara Asia yang sukses melewati transisi ekonomi, bahkan pada tahun 1990 ekspor manufaktur mencapai 30 persen sehingga masuk dalam Newly Industrialized Country (NIC). Hasil estimasi model perdagangan Malaysia menunjukkan bahwa secara umum variabel yang dianalisis memiliki koefisien yang berpengaruh positif dan signifikan, kecuali variabel tarif dan nilai tukar. Pengaruh FDI terhadap perdagangan bilateral Malaysia adalah positif dan signifikan. Hal tersebut menjelaskan bahwa FDI dapat meningkatkan output yang akhirnya peningkatan ekspor. Nilai ekspor Malaysia meningkat dari US$ 46 316.5 miliar (tahun 1993) menjadi 194 495.9 miliar (tahun 2008) atau rata-rata naik sebesar 11.08 persen per tahun. Sedangkan nilai impor Malaysia mencapai US$ 44 338.0 miliar (tahun 1993) kemudian menjadi US$ 144 298.8 miliar (tahun 2008) atau naik 9.662 persen per tahun. Dari hasil nilai ekspor dan impor tersebut berarti setiap tahun Malaysia masih net ekspor. Ekspor Malaysia sebagian besar ditujukan pada negara ekstra-ASEAN. Pada tahun 1993 nilai ekspor Malaysia ke negara ekstra-ASEAN yaitu sebesar US$ 33 329.7 miliar menjadi US$ 144 094.5 miliar pada tahun 2008 atau rata-rata naik sebesar 11.28 persen per tahun. Ekspor pada negara intra-ASEAN juga meningkat. Pada tahun 1993 nilai ekspor Malaysia adalah sebesar US$ 12 986.9 miliar kemudian menjadi US$ 50 401.4 miliar pada tahun 2008 atau rata-rata naik sebesar 10.69 persen per tahun. Peningkatan perdagangan tersebut menunjukkan bahwa FDI di Malaysia dapat menghasilkan komoditi ekspor dan meningkatkan volume ekspor bilateral, baik terhadap ASEAN maupun negara ekstra-ASEAN. Realisasi FDI ke Malaysia antara tahun 2000-2008 meningkat searah dengan perdagangan. Pada tahun 2000 realisasi FDI mencapai US$ 3 787.6 miliar dan pada tahun 2008 menjadi US$ 8 053.0 miliar. Dibanding dengan negara ASEAN lainnya pada tahun 2002 share FDI malaysia mencapai 27.5 persen kemudian menurun menjadi 18.9 persen pada tahun 2008. FDI negara importir berpengaruh secara negatif. Hal tersebut menunjukkan bahwa FDI pada negara mitra perdagangan memproduksi barang yang bersifat substitusi impor. GDP Malaysia maupun GDP negara importir memberi pengaruh positif dan signifikan. Peningkatan GDP menunjukkan adanya peningkatan volume produksi barang dan jasa serta adanya peningkatan penambahan kapasitas produksi. Pada rentang tahun 2000-2008, GDP Malaysia rata-rata mengalami peningkatan sebesar 5.087 persen. Pada tahun 2000 sebesar 356 miliar ringgit kemudian meningkat menjadi 528.80 miliar pada tahun 2008. Selain itu, GDP perkapita juga meningkat dari US$ 3 844 (tahun 2000) menjadi US$ 7 992 (tahun 2008) atau rata-rata mengalami kenaikan sebesar 9.807 persen per tahun. Sementara itu, kenaikan GDP pada negara importir juga berpengaruh positif terhadap volume ekspor Malaysia. Hal ini dipengaruhi oleh adanya kenaikan daya beli masyarakat negara importir. Do (2006) menyimpulkan bahwa salah satu penyebab aliran perdagangan bilateral adalah ukuran ekonomi atau GDP. Jumlah penduduk berpengaruh positif dan signifikan terhadap volume perdagangan, begitu pula dengan jumlah penduduk negara mitra dagang. Do (2006) menyimpulkan bahwa aliran perdagangan bilateral salah satunya ditentukan oleh ukuran pasar. Jumlah penduduk Malaysia tahun 2000 adalah sebesar 23 275 juta kemudian tumbuh menjadi 27 863 juta pada tahun 2008 atau rata-rata naik sebesar 2.02 persen per tahun. Secara teoritis, jumlah penduduk Malaysia berpengaruh positif karena pertambahan penduduk berarti pertumbuhan tenaga kerja yang akan meningkatkan produksi barang dan jasa yang akan meningkatkan volume perdagangan. Penduduk yang besar juga merupakan pasar yang besar. Nilai tukar Ringgit Malaysia terhadap US$ relatif stabil dibanding dengan negara ASEAN lainnya. Pada tahun 2000 nilai tukar Malaysia sebesar 3.80 Ringgit/US$ dan cenderung menguat pada tahun 2008 menjadi 3.55 Ringgit/US$. Dalam analisis ini, variabel nilai tukar Ringgit Malaysia berpengaruh negatif, tetapi tidak signifikan terhadap volume perdagangannya. Hal ini berarti semakin terdepresiasi nilai mata uang Ringgit maka perdagangan Malaysia mengalami penurunan, tetapi penurunan tersebut tidak signifikan. Nilai ini menunjukkan elastisitas nilai tukar terhadap ekspor Malaysia relatif rendah tetapi positif, artinya semakin terdepresiasi nilai tukar negara importir maka permintaan atas barangbarang impor dari Malaysia akan meningkat. Tingkat tarif di Malaysia memberi pengaruh yang signifikan terhadap volume ekspor Malaysia. Variabel tarif negara importir juga negatif dan signifikan. Malaysia memiliki komitmen yang kuat terhadap CEPT-AFTA untuk mengikuti liberalisasi perdagangan. Sejak 1 Januari 2005, sebesar 98.98 persen produk yang masuk dalam inclusion list CEPT telah berhasil diturunkan oleh ASEAN-5 ditambah Vietnam. Produk-produk dalam Inclusion List (IL) yang tarifnya diatas 5 persen adalah produk yang baru ditransfer dari Temporary Exclution List (TEL), Sensitive List (SL) dan General Exclution List (GEL) pada tahun 2003. Secara teori, semakin tinggi tarif pada negara tujuan ekspor, volume ekspor akan menurun. Jarak berpengaruh negatif dan signifikan terhadap volume ekspor Malaysia. Semakin jauh jarak antar negara eksportir dengan negara importir maka semakin besar biaya transportasi dan semakin turun volume ekspor pada negara tersebut. Hal ini sesuai dengan temuan Carillo dan Li (2002) bahwa jarak, market size dan FTA berpengaruh terhadap aliran perdagangan pada kawasan integrasi ekonomi Andean dan Mercusor. Pengaruh variabel integrasi ekonomi ASEAN maupun APEC berpengaruh positif dan signifikan. Nilai koefisien ASEAN ini lebih besar dibanding dengan APEC, artinya dengan adanya integrasi ekonomi ASEAN maka volume perdagangan Malaysia di ASEAN meningkat lebih besar dibanding integrasi APEC. Hal tersebut menunjukkan bahwa Malaysia dapat memanfaatkan ASEAN untuk meningkatkan perdagangannya. Secara keseluruhan ekspor ASEAN ke negara intra-ASEAN masih relatif kecil. Pada tahun 2000 ekspor intra-ASEAN hanya US$ 93.380 juta sedangkan keluar ASEAN US$ 316 760 juta atau hanya sekitar 22.8 persen. Pada tahun 2006 ekspor intra-ASEAN US$ 189 176 juta sedangkan luar ASEAN sebesar US$ 561 531 juta atau sekitar 25.2 persen. Data tersebut menunjukkan bahwa sampai sekarang sumbangan perdagangan intraASEAN masih relatif kecil dibanding dengan negara mitra perdagangannya. Dalam rangka meningkatkan perdagangannya, Malaysia juga membentuk FTA dengan beberapa negara termasuk Amerika Serikat (AS). Inisiatif FTA Malaysia–AS tersebut sebenarnya berasal dari AS. Dengan membuat FTA dengan Malaysia, memberi kesempatan kepada perusahaan AS masuk ke Asia Tenggara dengan pasar sebesar US$ 3 triliun. Saat ini Malaysia merupakan mitra terbesar AS di ASEAN dan sepuluh besar di dunia. AS memiliki perdagangan dua arah berjumlah US$ 44 miliar pada tahun 2005, 60 persen lebih besar daripada perdagangangan dengan India. AS merupakan pasar terbesar kedua Malaysia. Malaysia dan AS merupakan mitra dalam negosiasi perdagangan global serta menjadi pemain penting dalam forum APEC. Kesimpulan Diao, Bonilla dan Robinson (2002) yang menganalisis dua skenario liberalisasi perdagangan potensial, yaitu Free Trade Area (FTA) di Amerika dan kemungkinan hubungan antara Mercusor dan Uni Eropa. Hasilnya FTA menciptakan kreasi perdagangan, dan terdapat penurunan perdagangan pada jumlah yang kecil (trade disversion) di negara yang tidak berpartisipasi dalam FTA sekitar 0.02 persen. Kesimpulan tersebut menolak kekhawatiran bahwa liberalisasi dalam jangka panjang akan menyebabkan instabilitas makroekonomi. 5.1.2.2. Analisis Aliran Perdagangan Indonesia Bagian ini menganalisis variabel integrasi ekonomi dan makroekonomi ASEAN yang berpengaruh terhadap aliran perdagangan Indonesia. Hasil estimasi model aliran perdagangan Indonesia disajikan pada Tabel 13. Salah satu kebijakan penting perdagangan Indonesia setelah krisis tahun 1998 adalah memperluas liberalisasi perdagangan dengan menghapus berbagai restriksi tarif dan non-tarif maupun batasan ekspor. Kritik terhadap kebijakan tersebut adalah dilakukannya liberalisasi terhadap sektor sensitif seperti notifikasi terhadap peran bulog sebagai state trading enterprise. Indonesia menjadi negara berkembang paling liberal di sektor perdagangan. Padahal ekspor Indonesia masih didominasi sektor primer yang berbasis komoditas sumberdaya alam. Tabel 13. Hasil Estimasi Model Perdagangan Indonesia Variabel C GDPi POPi FDIi RERi OPENi TAXi IRi GDPj POPj FDIj RERj IRj DIST TIIi TAXj ASEAN APEC Koefisien -24.768 1.6231 1.8339 0.0712 -0.0838 0.0082 -0.3318 0.0453 0.0082 0.0371 0.0426 0.0444 -0.1357 -0.1632 0.0645 -0.0013 0.2232 0.2358 Standar Error 1.622555 0.070841 0.175496 0.014547 0.015105 0.019689 0.026451 0.012247 0.024819 0.008228 0.006214 0.006619 0.010563 0.015705 0.012455 0.007354 0.023125 0.020207 Nilai Prob. 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.6767 0.0000 0.0002 0.7400 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.8521 0.0000 0.0000 Hasil estimasi menunjukkan pengaruh integrasi ekonomi dan variabel makroekonomi terhadap perdagangan Indonesia dengan negara mitra, adalah hampir semua variabel yang dianalisis berpengaruh positif dan signifikan terhadap perdagangan bilateral Indonesia kecuali tarif, jarak, dan variabel suku bunga. Pengaruh FDI terhadap perdagangan bilateral Indonesia adalah positif karena kegiatan investasi di Indonesia dapat menghasilkan komoditi ekspor. FDI di Indonesia menunjukkan peningkatan yang sangat berarti sekalipun dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya seperti Singapura, Malaysia dan Thailand, Indonesia masih relatif tertinggal. Beberapa hal yang menyebabkan rendahnya penyerapan FDI di Indonesia adalah tingkat kemudahan investasi (kemudahan mengawali bisnis, kemudahan perizinan, perlindungan terhadap investor, kemudahan perdagangan, komitmen kontrak) yang nilainya lebih rendah, dibandingkan negara lainnya di kawasan. Indonesia hanya bersaing dengan Filipina, sementara Singapura, Malaysia, Thailand menikmati FDI jauh lebih besar dari Indonesia. Sejak tahun 1995 FDI ke Indonesia hanya sekitar US$ 4 346.0 miliar kemudian menjadi US$ 8 336.0 miliar pada tahun 2005, meskipun terjadi FDI outflow pada saat krisis tahun 1998 sebesar US$ -356.0 miliar bahkan pada tahun 2001 FDI outflow masih terjadi sebesar US$ -3 278.5 miliar. Semakin besar FDI masuk ke Indonesia, semakin besar pula volume perdagangan bilateral. FDI negara importir juga berpengaruh positif dan signifikan terhadap perdagangan Indonesia. Pengaruh variabel GDP, baik GDP Indonesia maupun negara importir adalah positif. Kenaikan GDP Indonesia dapat meningkatkan volume perdagangan karena adanya peningkatan volume produksi barang dan jasa serta penambahan kapasitas produksi juga peningkatan daya beli. GDP Indonesia pada harga konstan naik sangat tinggi pada tahun 2000 GDP adalah Rp. 1 389 770 miliar dan pada tahun 2008 menjadi Rp. 2 082 104 miliar. Kenaikan GDP pada negara importir juga berpengaruh positif terhadap perdagangan Indonesia. Hal ini disebabkan adanya kenaikan daya beli bagi negara importir. Semakin tinggi GDP maka semakin besar pangsa pasar produk ekspor Indonesia. Jumlah penduduk Indonesia adalah input bagi pertumbuhan ekonomi, sekaligus merupakan konsumen bagi output perekonomian. Ketidakmampuan memanfaatkan potensi jumlah penduduk dapat menumbuhkan ketidakefisienan dalam alokasi sumberdaya dan menunjukkan ketidakmampuan perekonomian suatu negara untuk meningkatkan daya beli pada negaranya. Lewis (1959) menyatakan bahwa penduduk yang besar dapat memberikan kontribusi terhadap output dan tenaga kerja pada sektor baru yang lain. Dengan kata lain, kelebihan jumlah penduduk dapat digunakan untuk mengakumulasi pendapatan. Hasil analisis menunjukkan jumlah penduduk Indonesia berpengaruh signifikan terhadap peningkatan volume perdagangan, baik Indonesia maupun negara mitra. Hal tersebut sesuai temuan Carillo dan Li (2002) bahwa market size berpengaruh positif terhadap perdagangan bilateral. Dari sisi permintaan besarnya jumlah penduduk menyebabkan produsen dalam negeri lebih mengutamakan permintaan dalam negeri dibanding ekspor. Penduduk Indonesia merupakan yang terbesar di ASEAN dan terbesar keempat di dunia. Tahun 2000 penduduk Indonesia mencapai 205 juta jiwa dan pada tahun 2008 menjadi 228 juta jiwa atau rata-rata tumbuh sebesar 1.208 persen per tahun. Potensi pasar tersebut sangat menjanjikan bagi produsen dalam negeri maupun negara mitra perdagangan. Produk yang dihasilkan adalah produk antara dan produk akhir. Pengaruh nilai tukar riil terhadap perdagangan Indonesia adalah negatif dan signifikan. Artinya, bahwa apabila nilai tukar Rupiah terdepresiasi terhadap Dolar AS maka akan meningkatkan ekspor Indonesia dengan mitranya. Hal tersebut menunjukkan bahwa respons perubahan nilai tukar terhadap perdagangan meningkat, respons ekspor lebih besar dari pada respons terhadap impor. Secara teori, depresiasi nilai tukar akan meningkatkan produksi dan meningkatkan volume ekspor. Sementara nilai tukar riil importir juga adalah positif dan signifikan. Depresiasi nilai tukar pada negara mitra dagang Indonesia akan meningkatkan permintaan perdagangan dari negara ASEAN dan Indonesia. Variabel tarif yang berupa pengaruh tingkat tarif negara Indonesia terhadap perdagangan adalah kecil dan tidak signifikan. Fluktuasi volume perdagangan juga dipengaruhi oleh tingkat tarif yang diberlakukan di negara importir. Sebesar 98.98 persen produk yang masuk dalam Inclusion List CEPT telah berhasil diturunkan oleh ASEAN-5 ditambah Vietnam yang diberlakukan sejak 1 Januari 2005. Produk-produk dalam Inclusion List (IL) yang tarifnya di atas 5 persen adalah produk yang baru ditransfer dari Temporary Exclution List (TEL), Sensitive List (SL) dan General Exclution List (GEL) pada tahun 2003. Variabel tarif negara importir berpengaruh negatif dan signifikan. Secara teoritis dijelaskan bahwa semakin tinggi tingkat tarif pada negara tujuan ekspor maka volume ekspor akan menurun karena harga akan cenderung mengalami kenaikan. Variabel jarak berpengaruh negatif dan signifikan terhadap volume perdagangan Indonesia. Semakin jauh jarak antara Jakarta dengan negara importir maka semakin besar biaya transportasi dan semakin turun volume perdagangan dengan negara mitra dagang pada negara tersebut. Hal ini sesuai dengan temuan Carillo dan Li (2002) bahwa jarak, market size dan FTA di Andean dan Mercusor berpengaruh terhadap aliran perdagangan pada kedua kawasan tersebut. Integrasi ekonomi ASEAN maupun APEC berpengaruh positif dan signifikan terhadap perdagangan. Integrasi APEC lebih besar pengaruhnya dibanding nilai koefisien integrasi ASEAN. Nilai tersebut menunjukkan bahwa integrasi ekonomi ASEAN dapat meningkatkan perdagangan Indonesia di ASEAN, tetapi nilainya ini relatif kecil. Penelitian Clarete et al. (2002) tentang tingkat integrasi perdagangan yang tergabung dengan integrasi APEC, Uni Eropa dan NAFTA memberikan hasil yang sama. Artinya, integrasi ekonomi berpengaruh positif terhadap peningkatan perdagangan dunia. Rendahnya ekspor Indonesia ke intra-ASEAN memperkuat adanya kesamaan sumberdaya yang dimiliki Indonesia dengan negara-negara ASEAN, sehingga cenderung terjadi kompetisi di antara negara kawasan, terutama pada komoditi-komoditi primer. Perdagangan Indonesia dengan negara-negara ASEAN masih relatif kecil. Perdagangan Indonesia didominasi oleh Jepang, Amerika, Eropa dan Cina. Perdagangan di antara negara ASEAN masih didominasi oleh perdagangan barang-barang komponen (intra industri trade) seperti elektronik dan produk lainnya. Integrasi APEC memberi pengaruh yang lebih besar dalam meningkatkan perdagangan Indonesia. Pengaruh perdagangan intra-APEC lebih besar dari perdagangan intra-ASEAN. Hal ini menunjukkan bahwa semakin luas integrasi ekonomi, semakin meningkatkan volume perdagangan dengan negara anggotanya. Selain itu, ada kecenderungan kerja sama integrasi menyebabkan negara anggota memberikan perhatian yang lebih tinggi bagi negara anggota. Hasil ini sesuai dengan hasil yang didapatkan oleh Soloaga dan Winters (2001) dan Frankel (1997) yang meneliti bagaimana perdagangan kawasan integrasi Mercusor. Hasilnya menunjukkan bahwa keanggotaan Mercusor berpengaruh positif dan signikan pada peningkatan ekspor. 5.1.2.3. Analisis Aliran Perdagangan Singapura Singapura merupakan promotor utama liberalisasi perdagangan barang dan jasa di ASEAN. Di antara negara ASEAN, Singapura dikenal lebih agresif dalam melakukan FTA baik dalam kerangka AFTA maupun APEC. Sebagai anggota ASEAN, Singapura telah menurunkan beberapa hambatan tarif dan non-tarif dalam kerangka CEPT-AFTA serta kerjasama ekonomi lainnya di ASEAN. Analisis ini melihat pengaruh integrasi ekonomi dan variabel makroekonomi ASEAN terhadap aliran perdagangan Singapura. Hasil estimasi persamaan perdagangan untuk Singapura, secara ringkas seperti Tabel 14. Tabel 14. Hasil Estimasi Model Perdagangan Singapura Variabel C GDPi POPi FDIi RERi OPENi TAXi Iri GDPj POPj FDIj RERj Irj DIST TIIi TAXj ASEAN APEC Koefisien -29.440 1.9524 2.1693 0.0065 0.0122 0.1052 -0.3478 0.0242 0.0296 0.0105 -0.0068 0.0060 -0.1101 -0.1355 0.0038 -0.0152 0.1148 0.2475 Standar Error 0.744213 0.031241 0.061484 0.003725 0.003779 0.012035 0.011583 0.003492 0.008200 0.002293 0.002168 0.001261 0.005031 0.005913 0.003000 0.002089 0.009628 0.006723 Nilai Probabilitas 0.0000 0.0000 0.0000 0.0805 0.0012 0.0000 0.0000 0.0000 0.0003 0.0000 0.0018 0.0000 0.0000 0.0000 0.1948 0.0000 0.0000 0.0000 Hasil estimasi model perdagangan Singapura menunjukkan bahwa variabel yang dianalisis memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap perdagangan bilateral Singapura kecuali variabel tarif dan jarak. Pengaruh investasi FDI di Singapura terhadap perdagangan bilateral Singapura dengan negara mitra dagangnya adalah signifikan. Ekspor Singapura mengalami pertumbuhan yang sangat tinggi dan tertinggi di kawasan ASEAN. Nilai ekspor Singapura rata-rata mengalami kenaikan sebesar 8.607 persen dan impor 7.38 persen. Hal ini terlihat dari nilai ekspor pada tahun 1993 sebesar US$ 74 001.1 miliar menjadi menjadi US$ 241 404.7 miliar pada tahun 2008, sedangkan impornya dari US$ 85 227.7 miliar menjadi US$ 230 760.3 miliar. Angka tersebut menunjukkan bahwa Singapura merupakan negara net ekspor. Ekspor Singapura sebagian besar ditujukan pada negara ekstra-ASEAN. Pada rentang tahun 1993-2008, ekspor Singapura ke negara ekstra-ASEAN meningkat dari US$ 74 001.1 miliar tahun 1993 menjadi US$ 139 927.4 miliar tahun 2008 atau rata-rata naik sebesar 7.015 persen per tahun. Sedangkan ekspor pada negara intra-ASEAN, pada rentang tahun yang sama, menunjukkan peningkatan dari US$ 85 227.7 miliar menjadi US$ 101 477.3 miliar atau rata-rata naik sebesar 12.933 persen per tahun. Data tersebut menunjukkan bahwa peningkatan kegiatan investasi di Singapura berkorelasi secara positif dengan perdagangan. Hal tersebut disebabkan karena FDI dapat menghasilkan komoditi ekspor, semakin besar FDI di Singapura maka akan meningkatkan volume ekspor bilateral, baik terhadap sesama anggota kawasan maupun dengan kawasan diluar integrasi ASEAN. Ekspor intra-ASEAN hanya berkisar 13.339 persen artinya 86.661 persen ekspor Singapura ke negara di luar anggota integrasi ASEAN. Singapura adalah negara paling banyak memanfaatkan perjanjian CEPT-AFTA ekspor di kawasan negara anggota ASEAN. Realisasi FDI ke Singapura antara tahun 2000-2008 meningkat pesat. Pada tahun 2000, realisasi investasi FDI mencapai US$ 16 485.4 miliar dan pada tahun 2008 sebesar US$ 22 801.8 miliar, atau rata-rata meningkat sebesar 12.77 persen per tahun. Dibanding dengan negara anggota ASEAN lainnya, pada tahun 2000 share FDI Singapura mencapai 84.1 persen kemudian turun menjadi 53.1 persen pada tahun 2008. Singapura adalah negara dengan FDI inflow terbesar di kawasan ASEAN. Salah satu penyebabnya adalah kemudahan investasi serta korupsi yang rendah sehingga menyebabkan investor tidak begitu tertarik menanamkan modalnya di Singapura. Hal yang sama juga terjadi pada FDI negara importir atau mitra dagang Singapura yang berpengaruh signifikan secara negatif. Hal ini menunjukkan bahwa FDI di negara mitra Singapura memproduksi komoditas yang bersifat substitusi impor, atau mengalihkan permintaan pasarnya ke negara lain atau kawasan integrasi ekonomi lainnya. Pada saat krisis di Asia timur tahun 1998, Singapura adalah negara yang mampu mengatur pertumbuhan positif. Strateginya adalah keterbukaan eksternal terhadap perdagangan dan arus investasi. Singapura merupakan negara keenam belas terbesar dalam sektor perdagangan dan ekspor jasa. Perkembangan GDP Singapura mengalami peningkatan yang cukup berarti antara tahun 2000-2007. GDP Singapura pada tahun 2000 adalah sebesar 160 miliar Dolar Singapura kemudian pada tahun 2008 meningkat menjadi 234 miliar Dolar Singapura, atau mengalami peningkatan rata-rata 4.39 persen per tahun. Peningkatan tersebut menunjukkan adanya peningkatan volume produksi barang dan jasa serta adanya peningkatan penambahan kapasitas produksi. GDP perkapita juga meningkat dari sebesar US$ 23 007 tahun 2000 menjadi US$ 38 046 tahun 2008, atau mengalami kenaikan rata-rata 6.10 persen per tahun. Sementara kenaikan GDP pada negara importir juga berpengaruh positif terhadap volume ekspor Singapura. Hal ini dipengaruhi oleh adanya kenaikan daya beli bagi negara mitra dagang Singapura, semakin tinggi GDP semakin besar pangsa pasar produk ekspor. Peningkatan dalam daya beli menyebabkan peningkatan permintaan barang komponen untuk substitusi impor. Jumlah penduduk Singapura sangat kecil, tetapi memberi pengaruh yang positif begitu juga jumlah penduduk negara mitra dagang berpengaruh positif terhadap volume perdagangan. Perkembangan jumlah penduduk Singapura pada tahun 2000 sebesar 4 028 juta jiwa menjadi 4 839 juta jiwa, atau naik rata-rata 2.077 persen per tahun. Singapura merupakan negara dengan kualitas sumberdaya manusia yang sangat tinggi, sehingga memiliki produktifitas yang tinggi pula. Meskipun pertambahan penduduknya kecil, tetapi kualitas tenaga kerjanya sangat baik sehingga akan meningkatkan produksi barang dan jasa dan pada akhirnya meningkatkan perdagangan baik dalam negeri maupun ekspor. Di negara mitra, pertumbuhan penduduk akan meningkatkan permintaan impor dari Singapura. Nilai tukar Dolar Singapura terhadap Dolar Amerika Serikat relatif stabil dibanding dengan negara ASEAN lainnya. Pada tahun 1998 nilai tukar Dolar Singapura sebesar 1.76 Sing$/US$ dan cenderung melemah pada tahun 2008 menjadi 1.44 Sing$/US$ dalam 9 tahun terakhir. Nilai tukar Dolar Singapura berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap volume ekspornya, artinya semakin terdepresiasi nilai mata uang Singapura maka perdagangannya mengalami penurunan. Pengaruh nilai tukar negara importir terhadap perdagangan Singapura adalah positif, artinya semakin terdepresiasi nilai tukar negara importir maka permintaan atas barang impor dari Singapura akan meningkat. Tarif yang diberlakukan Singapura berpengaruh negatif yang signifikan terhadap volume perdagangan Singapura. Tarif negara importir juga berpengaruh negatif. Singapura adalah negara yang konsisten terhadap pelaksanaan kebijakan CEPT-AFTA. Sebesar 98.98 persen produk yang masuk dalam Inclusion List (IL) CEPT telah berhasil diturunkan oleh ASEAN-5 mulai diberlakukan sejak 1 Januari 2005. Produk-produk dalam IL yang tarifnya di atas 5 persen adalah produk yang baru ditransfer dari Temporary Exclution List (TEL), Sensitive List (SL) dan General Exclution List (GEL) pada tahun 2003. Secara teoritis, semakin tinggi tingkat tarif pada negara tujuan ekspor maka volume ekspor akan menurun. Integrasi ekonomi ASEAN maupun APEC berpengaruh positif dan signifikan terhadap perdagangan Singapura. Nilai koefisien integrasi APEC lebih besar dibanding nilai koefisien integrasi ASEAN. Dengan adanya integrasi ekonomi ASEAN, volume perdagangan Singapura terhadap negara anggota lebih kecil dibandingkan dengan negara anggota APEC. Kenyataan tersebut memperkuat asumsi adanya kesamaan sumberdaya yang dimiliki Singapura dengan negara ASEAN. Perdagangan Singapura dengan negara ASEAN masih relatif kecil. Pada tahun 1993 pada saat mulainya penurunan tarif CEPT-AFTA ekspor Singapura ke negara intra-ASEAN US$ 18 0406.1 miliar pada tahun yang sama ekspor ke ekstra-Singapura sebesar US$ 55 595.0 miliar. Dibandingkan ekstra-ASEAN, ekspor intra-ASEAN hanya 24.8 persen selebihnya 75.2 persen ekstra-ASEAN. Nilai tersebut merupakan persentase terbesar dibanding dengan negara ASEAN lainnya. Singapura berhasil memanfaatkan peluang perdagangan dalam konteks CEPT-AFTA. Di luar ASEAN, mitra dagang Singapura didominasi oleh Jepang, Amerika, Eropa dan Cina. Manfaat yang diperoleh Singapura dengan bergabung dalam integrasi ekonomi ASEAN masih relatif kecil dibanding dengan APEC. Pengaruh perdagangan Singapura dengan intra-APEC lebih besar dari perdagangan intra-ASEAN. Hal ini sesuai kesimpulan Diao, Bonilla dan Robinson (2002) yang menganalisis dua skenario liberalisasi perdagangan potensial, yaitu FTA di Amerika dan kemungkinan hubungan antara Mercusor dan Uni Eropa. Kesimpulannya, FTA menciptakan kreasi perdagangan. Hal tersebut yang mendorong Singapura terus memprakarsai kerjasama regional dan bilateral dibidang perdagangan maupun investasi. Singapura juga menilai integrasi APEC terlalu besar dan luas sehingga tidak mampu menangani semua masalah perdagangan dan investasi. Karena itu, Singapura menempuh dan memperkuat jalur bilateral untuk mendukung kebijakannya di sektor perdagangan. Singapura membentuk perjanjian bilateral dengan Amerika Serikat dan Jepang. Bagi Singapura kerja sama tersebut bernilai strategis karena memperoleh akses pasar yang luas dan sebagai cara menghindari kerugian dari adanya kebijakan proteksi. 5.1.2.4. Analisis Aliran Perdagangan Thailand Hasil estimasi pengaruh integrasi ekonomi ASEAN dan variabel makroekonomi terhadap aliran perdagangan di Thailand, secara ringkas disajikan pada Tabel 15. Hasil estimasi menunjukkan bahwa secara umum variabel yang dianalisis berpengaruh positif dan signifikan terhadap perdagangan bilateral Thailand kecuali tarif dan nilai tukar berpengaruh negatif. Thailand mengalami pertumbuhan ekspor yang tinggi, secara berurutan nilai ekspor pada tahun 1993 dan 2008 adalah sebesar US$ 37 634.5 miliar dan US$ 174 966.7 miliar atau ratarata naik sebesar 10.82 persen per tahun. Pada rentang tahun yang sama, impornya mengalami perubahan dari US$ 46 883.7 miliar menjadi US$ 177 567.5 atau naik 10.44 persen per tahun. Thailand masih merupakan negara net impor. Ekspor Thailand sebagian besar ditujukan pada negara ekstra-ASEAN. Tahun 1993 ekspor ke negara ekstra-ASEAN, yaitu sebesar US$ 37 634.5 miliar dan pada tahun 2008 sebesar US$ 135 479.6 miliar atau rata-rata naik sebesar 10.18 persen per tahun. Sedang ekspor pada negara intra-ASEAN pada tahun 1993 sebesar US$ 46 883.7 miliar menjadi US$ 39 487.0 miliar tahun 2008, atau rata-rata naik sebesar 14.18 persen per tahun. Data tersebut menunjukkan peningkatan FDI di Thailand berkorelasi positif dengan perdagangan. FDI menghasilkan komoditi ekspor, meningkatkan volume ekspor bilateral baik intra-ASEAN maupun ekstraASEAN. Tabel 15. Hasil Estimasi Model Perdagangan Thailand Variabel C GDPi POPi FDIi RERi OPENi TAXi IRi GDPj POPj FDIj RERj IRj DIST TIIi TAXj ASEAN APEC Koefisien 47.420 0.7832 1.8173 0.0096 -0.0435 0.2052 -0.0066 -0.0078 -0.1665 0.4966 -0.0395 0.1078 -0.0181 -8.8738 0.0972 -0.0155 -0.1135 0.3746 Standar Error 2.446053 0.060074 0.403689 0.004148 0.038171 0.015821 0.011504 0.004257 0.042716 0.103982 0.002834 0.013705 0.003379 0.178935 0.008040 0.013279 0.011803 0.017104 Nilai Probabilitas 0.0000 0.0000 0.0000 0.0205 0.2548 0.0000 0.5610 0.0649 0.0001 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.2423 0.0000 0.0000 Pengaruh FDI terhadap perdagangan bilateral Thailand dengan negara mitra dagangnya, adalah positif. Secara teoritis FDI akan meningkatkan output dan output meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi meningkatkan perdagangan. Data realisasi FDI ke Thailand antara tahun 20002008 menujukkan peningkatan pada tahun 2000 realisasi investasi FDI mencapai US$ 3 350.3 miliar dan pada tahun 2008 sebesar US$ 9 834.5 miliar, atau rata-rata naik sebesar 21.54 persen per tahun. Dibanding dengan negara ASEAN lainnya, pada tahun 2002 FDI Thailand mencapai 7.2 persen meningkat menjadi 8.4 persen pada tahun 2008. Artinya, share FDI Thailand di ASEAN menurun sejak 4 tahun terakhir. Sedangkan perkembangan FDI negara importir berpengaruh negatif dan signifikan. Hal tersebut menunjukkan bahwa FDI pada negara mitra Thailand memproduksi komoditas yang bersifat substitusi impor atau mengalihkan permintaan pasarnya ke negara lain atau kawasan lainnya. Pertumbuhan GDP Thailand maupun negara mitra dagangnya, berpengaruh positif dan signifikan. Perkembangan GDP Thailand pada harga konstan mengalami peningkatan yang cukup berarti antara tahun 2000-2008. GDP Thailand pada tahun 2000 adalah sebesar 3 008 miliar Bath kemudian pada tahun 2008 nilainya menjadi 4 370 miliar Bath, atau mengalami kenaikan rata-rata sebesar 4.258 persen per tahun. Peningkatan tersebut disebabkan karena adanya peningkatan volume produksi barang dan jasa serta adanya peningkatan penambahan kapasitas produksi. GDP per kapita meningkat dari US$ 1 976 pada tahun 2000 menjadi US$ 4 116 pada tahun 2008, atau mengalami kenaikan ratarata 8.75 persen per tahun. Kenaikan GDP pada negara importir juga berpengaruh positif terhadap volume ekspor Thailand. Hal ini disebabkan oleh adanya kenaikan daya beli bagi negara mitra dagang Thailand. Semakin tinggi tingkat GDP semakin besar pangsa pasar produk ekspor. Komoditi yang diekspor Thailand kepada negara mitranya adalah produk final goods dan intermediate goods. Nilai tukar Bath Thailand terhadap Dolar Amerika Serikat relatif stabil dibanding dengan negara ASEAN lainnya setelah krisis tahun 1998. Pada tahun 1998 nilai tukar Bath Thailand sebesar 40.31 Bath/US$ dan cenderung menguat pada tahun 2008 menjadi 33.36 Bath/US$ atau menguat 14 persen dalam 10 tahun terakhir. Nilai tukar Bath Thailand berpengaruh negatif, tetapi tidak signifikan terhadap volume ekspornya. Hal tersebut berarti bahwa semakin Bath terdepresiasi maka perdagangan Thailand pun mengalami peningkatan, walaupun peningkatan tersebut tidak signifikan. Nilai tukar negara importir terhadap ekspor Thailand adalah positif, tetapi elastisitas nilai tukar terhadap ekspor Thailand relatif rendah. Artinya, semakin terdepresiasi nilai tukar negara importir maka permintaan atas barang impor dari Thailand meningkat. Tingkat tarif yang diberlakukan di Thailand ternyata tidak memberi pengaruh yang signifikan terhadap volume ekspor Thailand. Sementara variabel tarif negara importir negatif dan signifikan. Thailand konsisten dalam menjalankan kebijakan dan perjanjian CEPT-AFTA. Sejak 1 Januari 2005 sebesar 98.98 persen produk yang masuk dalam Inclusion List (IL) CEPT telah berhasil diturunkan oleh ASEAN-5 ditambah Vietnam. Produk-produk dalam IL yang tarifnya di atas 5 persen adalah produk yang baru ditransfer dari Temporary Exclution List (TEL), Sensitive List (SL) dan General Exclution List (GEL) pada tahun 2003. Secara teori, semakin tinggi tingkat tarif pada negara tujuan ekspor maka volume ekspor akan menurun. Artinya, apabila terjadi peningkatan tarif pada negara mitra perdagangan maka terjadi penurunan nilai ekspor dari Thailand. Variabel jarak berpengaruh negatif dan signifikan terhadap volume ekspor Thailand. Semakin jauh jarak antar negara eksportir dengan negara importir maka semakin besar biaya transportasi dan semakin turun volume ekspor pada negara tersebut. Hal ini sesuai dengan temuan Carillo dan Li (2002) bahwa jarak, market size dan FTA di Andean dan Mercusor berpengaruh terhadap aliran perdagangan pada kedua kawasan tersebut. Integrasi ekonomi ASEAN maupun APEC berpengaruh positif dan signifikan terhadap perdagangan Thailand. Pengaruh integrasi APEC lebih besar dibanding integrasi ASEAN. Artinya, dengan adanya integrasi ekonomi ASEAN maka volume perdagangan Thailand di ASEAN terhadap negara anggota ASEAN lebih kecil. Hal ini memperkuat alasan adanya kesamaan sumberdaya yang dimiliki Thailand dengan negara ASEAN sehingga cenderung terjadi kompetisi di negara ASEAN, terutama pada komoditi primer. Perdagangan Thailand dengan negara ASEAN masih relatif kecil. Pada tahun 1993 ekspor Thailand ke negara intra-ASEAN adalah sebesar US$ 6 008.4 miliar sedangkan ekspor ke negara ekstra-ASEAN sebesar US$ 31 626.1 miliar. Dibandingkan ekstra-ASEAN, ekspor intra-ASEAN hanya sebesar 16 persen. Mitra dagang Thailand didominasi oleh Jepang, Amerika, Eropa dan Cina. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa manfaat perdagangan yang diperoleh Thailand dalam integrasi ekonomi ASEAN masih relatif kecil. Perdagangan di antara negara ASEAN lebih pada perdagangan barang komponen (intra industri trade) seperti elektronik dan produk lainnya. Pengaruh perdagangan intra-APEC lebih besar dari perdagangan intra-ASEAN. Integrasi ekonomi APEC lebih banyak meningkatkan perdagangan negara Thailand ketimbang pengaruh integrasi ASEAN. Manfaat ASEAN bagi Thailand masih lebih kecil dibanding manfaat yang diperoleh Thailand bergabung dalam APEC. Hal ini menunjukkan bahwa semakin luas integrasi ekonomi, semakin meningkatkan volume perdagangan bagi negara anggota integrasi ekonomi. 5.1.2.5. Analisis Aliran Perdagangan Filipina Hasil estimasi model perdagangan Filipina disajikan secara ringkas pada Tabel 16. Hampir semua variabel yang dianalisis berpengaruh positif dan signifikan terhadap perdagangan bilateral Filipina kecuali variabel tarif dan jarak. Pengaruh investasi FDI di Filipina terhadap perdagangan bilateral Filipina dengan negara mitra dagangnya, adalah signifikan. Ekspor Filipina mengalami pertumbuhan yang baik, pada tahun 1993 nilai ekspornya US$ 11 374.8 miliar kemudian menjadi US$ 49 025.4 miliar pada tahun 2008 atau rata-rata naik sebesar 10.140 persen per tahun. Impornya pada tahun 1993 mencapai US$ 17 597.4 miliar kemudian menjadi US$ 56 645.6 miliar pada tahun 2008, atau naik 8.2 persen. Angka tersebut menunjukkan bahwa Filipina merupakan negara net impor. Ekspor Filipina sebagian besar ditujukan pada negara ekstra-ASEAN. Pada tahun 1993 ekspor ke negara ekstra-ASEAN yaitu sebesar US$ 11 374.8 miliar dan pada tahun 2008 menjadi sebesar US$ 41 943.7 miliar, atau rata-rata naik sebesar 9.53 persen per tahun. Ekspor pada negara intra-ASEAN tahun 1993 adalah sebesar US$ 795.3 miliar menjadi US$ 7 081.7 miliar pada tahun 2008, atau rata-rata naik sebesar 16.90 persen per tahun. Tabel 16. Hasil Estimasi Model Perdagangan Filipina Variabel C GDPi POPi FDIi RERi OPENi TAXi IRi GDPj POPj FDIj RERj IRj DIST TIIi TAXj ASEAN APEC Koefisien 4.5232 0.1398 0.6052 0.0233 -0.0480 0.2711 -0.8540 0.0355 -0.0012 0.0335 -0.0308 0.0115 -0.1938 -0.2028 0.0110 -0.0274 0.0306 0.0723 Standar Error 0.966109 0.043974 0.075790 0.005246 0.005566 0.014163 0.013181 0.004656 0.009933 0.002807 0.002943 0.001997 0.009575 0.009968 0.003967 0.003097 0.011339 0.012032 Nilai Probabilitas 0.0000 0.0016 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.8998 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0054 0.0000 0.0071 0.0000 Fakta tersebut menunjukkan bahwa peningkatan FDI di Filipina berkorelasi secara positif dengan perdagangan. FDI dapat menghasilkan komoditi yang dapat diekspor. Semakin besar FDI di Filipina maka semakin meningkatkan volume ekspor bilateral, baik terhadap anggota negara ASEAN maupun dengan kawasan di luar integrasi ASEAN. Tetapi ekspor intra-ASEAN hanya berkisar 17.4 persen sedangkan 82.6 persen ekspor Filipina ke negara di luar anggota integrasi ASEAN. Realisasi FDI ke Filipina antara tahun 2000-2008 meningkat dengan pesat. Realisasi investasi FDI awalnya (tahun 2000) mencapai US$ 2 239.6 miliar dan menjadi US$ 1 520.0 miliar (tahun 2008). Dibanding dengan negara anggota ASEAN lainnya, pada tahun 2000 share FDI Filipina mencapai 12.1 persen kemudian menurun menjadi 0.6 persen pada tahun 2008. Artinya, share FDI Filipina di ASEAN menurun drastis sejak 9 tahun terakhir. FDI negara importir atau mitra dagang Filipina, berpengaruh negatif dan signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa FDI negara mitra memproduksi komoditas yang bersifat substitusi impor atau mengalihkan permintaan pasarnya dari Filipina ke negara lain atau kawasan integrasi ekonomi lainnya. GDP Filipina maupun negara mitra dagangnya, berpengaruh positif dan signifikan. Perkembangan GDP pada harga konstan Filipina mengalami peningkatan yang cukup berarti antara tahun 2000-2008, yaitu sebesar 958 miliar Peso menjadi 1 419 miliar Peso atau rata-rata meningkat 4.48 persen per tahun. Peningkatan GDP menunjukkan adanya peningkatan volume produksi barang dan jasa serta adanya peningkatan penambahan kapasitas produksi. GDP perkapita juga meningkat dari US$ 978 pada tahun 2000 menjadi US$ 1 844 pada tahun 2008 atau mengalami kenaikan rata-rata sebesar 7.63 persen per tahun. Kenaikan GDP pada negara importir berpengaruh positif terhadap volume perdagangan Filipina. Hal ini dipengaruhi oleh adanya kenaikan daya beli bagi negara mitra dagang. Semakin tinggi GDP semakin besar pangsa pasar produk ekspor. Peningkatan dalam daya beli menunjukkan peningkatan permintaan barang serta untuk substitusi impor. Jumlah penduduk Filipina memberi pengaruh yang positif dan signifikan, begitu juga jumlah penduduk negara mitra dagang berpengaruh positif dan signifikan terhadap volume perdagangan. Perkembangan jumlah penduduk Filipina pada tahun 2000 sebesar 76 947 juta jiwa menjadi 90 457 juta jiwa pada tahun 2008 atau rata-rata naik sebesar 1.815 persen per tahun. Hal tersebut disebabkan karena pertambahan penduduk menunjukkan adanya pertambahan tenaga kerja yang meningkatkan produksi barang dan jasa. Selain itu, penduduk yang besar merupakan sumber peningkatan daya beli yang pada akhirnya meningkatkan perdagangan, baik dalam negeri maupun ekspor. Pada negara mitra perdagangan Filipina yang umumnya merupakan negara maju, memiliki penduduk yang relatif terdidik dengan produktivitas yang tinggi sehingga berpengaruh besar terhadap peningkatan output. Kualitas penduduk dapat menyebabkan perubahan produktivitas yang akhirnya dapat menggeser fungsi produksi. Schultz (1962) menjelaskan pentingnya penduduk dalam pertumbuhan ekonomi. Sekalipun sumberdaya cukup tersedia, peralatan teknologi yang tinggi dan modal uang yang besar, tidak akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar. Terjadinya pertumbuhan populasi bagi negara importir menunjukan peningkatan daya beli sehingga akan meningkatkan permintaan impor dari Filipina, khususnya pada komoditi intermediate goods, bukan komoditi final goods. Nilai tukar Peso Filipina terhadap Dolar Amerika Serikat relatif stabil dibanding dengan negara ASEAN lainnya. Pada tahun 1998 nilai tukar Peso Filipina sebesar 50.00 Peso/US$ dan cenderung menguat pada tahun 2008 menjadi 48.09 Peso/US$ atau melemah 15.5 persen dalam 9 tahun terakhir. Nilai tukar Peso Filipina berpengaruh negatif, dan signifikan terhadap volume ekspornya. Semakin terdepresiasi nilai mata uang Peso maka ekspor Filipina akan mengalami peningkatan. Peso yang rendah akan menaikkan jumlah uang beredar, meningkatkan produksi dan mendorong ekspor. Sedangkan elastisitas nilai tukar negara importir terhadap ekspor Filipina adalah positif, artinya semakin terdepresiasi nilai tukar negara importir maka permintaan atas barang impor dari Filipina akan meningkat. Tingkat tarif yang diberlakukan di Filipina ternyata tidak memberi pengaruh yang signifikan terhadap volume perdagangan Filipina. Sementara variabel tarif negara importir berpengaruh negatif. Filipina adalah negara ASEAN yang konsisten terhadap kebijakan dan perjanjian CEPT-AFTA. Sebesar 98.98 persen produk yang masuk dalam inclusion list CEPT telah berhasil diturunkan oleh ASEAN-5 ditambah Vietnam yang diberlakukan sejak 1 Januari 2005. Produk dalam Inclusion List (IL) yang tarifnya diatas 5 persen adalah produk yang baru ditransfer dari Temporary Exclution List (TEL), Sensitive List (SL) dan General Exclution List (GEL) pada tahun 2003. Secara teori bahwa semakin tinggi tingkat tarif pada negara tujuan ekspor maka volume ekspor akan menurun. Variabel jarak sebagai proksi transportation cost berpengaruh negatif dan signifikan terhadap volume perdagangan Filipina. Semakin jauh jarak antar negara eksportir dengan importir, semakin besar biaya transportasi dan semakin turun volume ekspor pada negara tersebut. Hasil yang sama dikemukakan Carillo dan Li (2002) bahwa jarak, market size dan FTA di Andean dan Mercusor berpengaruh terhadap aliran perdagangan pada kedua kawasan tersebut. Integrasi ekonomi ASEAN maupun APEC berpengaruh positif dan signifikan. Pengaruh APEC lebih besar dibanding integrasi ASEAN, meskipun perjanjian pada kawasan APEC tidak mengikat seperti ASEAN yang kesepakatannya mengikat anggota integrasi. Dengan adanya integrasi ekonomi ASEAN maka volume perdagangan Filipina di ASEAN terhadap negara anggota meningkat. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat kesamaan sumberdaya yang dimiliki Filipina dengan negara anggota lainnya, sehingga cenderung terjadi kompetisi di negara ASEAN, terutama pada komoditas primer. Perdagangan intra-ASEAN Filipina masih relatif kecil, pada tahun 1993 saat dimulainya penurunan tarif CEPT-AFTA ekspor Filipina ke negara intra-ASEAN US$ 6 008.4 miliar sedangkan ekspor ke negara ekstra-ASEAN sebesar US$ 31 626.1 miliar. Perdagangan Filipina didominasi oleh Jepang, Amerika, Eropa dan Cina. Manfaat yang diperoleh Filipina bergabung dalam integrasi ekonomi ASEAN masih relatif kecil. Perdagangan di antara negara ASEAN lebih pada perdagangan barang-barang komponen (intra industri trade). Pengaruh perdagangan intra-APEC lebih besar dari perdagangan intra-ASEAN. Dengan demikian maka integrasi ekonomi APEC lebih banyak meningkatkan perdagangan Filipina. Hal ini membuktikan bahwa semakin luas integrasi ekonomi, semakin meningkatkan volume perdagangan bagi anggota integrasi ekonomi. Hasil ini sesuai kesimpulan Diao, Bonilla dan Robinson (2002) yang mengatakan bahwa integrasi ekonomi dapat menciptakan kreasi perdagangan. 5.2. Analisis Aliran Foreign Direct Invesment pada Kawasan ASEAN Model investasi FDI ASEAN menunjukkan adanya interaksi antara ASEAN sebagai negara penerima investasi yang melakukan integrasi ekonomi dengan negara multinasional sumber FDI. Negara investor melakukan investasi pada kawasan integrasi ekonomi, yang menurunkan bahkan menghilangkan hambatan tarif dalam perdagangan intra kawasan. Perusahaan lebih memilih berinvestasi pada kawasan ASEAN dibanding melakukan ekspor yang akan dikenakan tarif bagi negara di luar kawasan integrasi. Model ini melihat pengaruh integrasi ekonomi dan variabel makroekonomi terhadap penerima FDI. Beberapa variabel yang secara teoritis memengaruhi volume FDI ke ASEAN, seperti GDP, populasi, tingkat bunga, tingkat tarif, jarak, size, keterbukaan ekonomi, dummy integrasi UE, NAFTA, APEC dan Cina-India. Realisasi FDI untuk kawasan ASEAN memiliki volatilitas yang cukup besar antara tahun 1995-2008. Pada tahun 1995 masih sebesar US$ 28 230.6 miliar kemudian menjadi US$ 60 596.0 miliar pada tahun 2008, atau rata-rata naik sebesar 13.306 persen. Nilai tersebut kelihatan relatif kecil, tetapi hal ini disebabkan adanya krisis Asia Timur pada tahun 1997-1998. Investasi kawasan pada tahun 1998 turun 34 persen dari tahun 1997 yaitu US$ 34 098.6 miliar. Penjelasan perkembangan FDI tersebut terlihat pada hasil estimasi persamaan investasi FDI ASEAN yang menunjukkan hampir semua variabel menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap volume investasi FDI pada kawasan ASEAN dari negara investor. Pengaruh positif juga terjadi pada GDP ASEAN maupun GDP investor. Pertumbuhan ekonomi di negara investor telah meningkatkan arus FDI ke negara ASEAN. Pertumbuhan ekonomi meningkatkan capital outflow dalam bentuk FDI ke ASEAN, yang dianggap lebih efisien dibandingkan melakukan ekspor. Pengaruh positif dan signifikan juga terjadi pada GDP ASEAN, yang berarti pengaruh pertumbuhan ekonomi negara investor lebih besar dibanding negara ASEAN. Pengaruh tersebut disebabkan oleh peningkatan capital outflow investor dan kenaikan daya beli negara ASEAN, yang dipandang sebagai pasar bagi produk yang dihasilkan FDI. Model persamaan investasi diestimasi dengan menggunakan model gravity. Hasil estimasi persamaan FDI ASEAN disajikan dalam Tabel 17. Tabel 17. Hasil Estimasi Aliran Investasi Foreign Direct Invesment ASEAN Variabel C GDPj POPi RERj IRj SIZE OPENi RERi IRi POPj Xi Mi NAFTA UE APEC Koefisien 27.15261 0.097388 0.047165 0.120770 0.023425 1.47E-12 1.930499 -0.116500 0.036159 -0.842121 0.233676 -0.616055 0.943363 -10.12984 0.407954 Standar Error 50.09570 0.002808 0.004725 0.003424 0.000794 1.05E-12 1.161685 0.222882 0.138185 6.709984 0.607471 0.528533 0.281307 0.480010 0.251451 Nilai Probabilitas 0.0000 0.0017 0.8248 0.0000 0.0806 0.0000 0.0000 0.0001 0.0947 0.1076 0.0000 0.0000 0.8961 0.0124 0.9795 Jumlah penduduk baik pada negara ASEAN maupun negara investor berpengaruh signifikan terhadap FDI. Pertumbuhan penduduk bagi negara ASEAN justru meningkatkan arus investasi FDI. Penduduk ASEAN mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi, dari sebesar 517 074 juta jiwa pada tahun 2000 kemudian menjadi 583 651 juta jiwa pada tahun 2008 atau meningkat 1.35 persen per tahun. Jumlah penduduk yang besar tersebut menjadi daya tarik bagi negara investor karena lebih mencari pangsa pasar dibandingkan apabila melakukan investasi di negaranya sendiri. Selain itu, juga karena adanya insentif berupa rendahnya tarif pada negara di kawasan ASEAN. Pada negara investor jumlah penduduk berpengaruh positif tetapi tidak signifikan. Apabila terjadi kenaikan dalam pertumbuhan penduduk di negara investor maka arus investasi FDI outflow negara investor ke negara ASEAN akan tetap naik tetapi tidak signifikan. Pada negara investor, pertumbuhan penduduknya telah melewati masa transisi sehingga relatif stabil. Suku bunga memiliki pengaruh yang beragam baik negara investor maupun ASEAN. Pada negara investor, suku bunga memberi pengaruh positif dan signifikan terhadap arus FDI ke ASEAN. Semakin tinggi suku bunga di negara investor maka arus investasi FDI outflow ke negara ASEAN semakin tinggi. Tingginya suku bunga menunjukkan adanya biaya investasi yang tinggi yang bersumber dari tingkat bunga apabila berinvestasi dalam negeri. Pengembalian investasi pada negara ASEAN lebih besar dibandingkan di negara investor. Keterbukaan ekonomi berpengaruh positif dan signifikan terhadap aliran FDI. Semakin terbuka sebuah kawasan atau negara maka semakin tinggi pula tingkat aliran investasinya. Argumen utama dari hasil tersebut adalah bahwa peningkatan investasi akibat keterbukaan ekonomi menciptakan lebih banyak keuntungan dari pada membatasi aliran investasinya baik pada sektor maupun pada negara tertentu. Pengaruh suku bunga pada negara ASEAN adalah negatif dan signifikan. Penurunan suku bunga akan memperbesar kemampuan laba investor, serta meningkatkan stok kapital. Penurunan suku bunga juga akan berdampak pada peningkatan pendapatan yang berakibat pada peningkatan permintaan. Perkembangan suku bunga ASEAN sangat bervariasi, pada tahun 2006 suku bunga Indonesia adalah 9.71 persen per tahun, Malaysia 3.19 persen, Singapura 0.57 persen, Thailand 4 persen, dan Filipina 5.15 persen. Pengaruh nilai ekspor terhadap terhadap FDI ASEAN adalah positif dan signifikan. Data menunjukkan bahwa FDI yang dilakukan perusahaan asing merupakan kekuatan utama untuk menggerakkan ekspor. Sedang terhadap impor pengaruhnya negatif, artinya bahwa FDI menurunkan impor. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian dari komoditas yang dihasilkan FDI adalah komoditas subtitusi impor. Hubungan FDI dengan integrasi ekonomi dapat dilihat dari pengaruh variabel dummy yang terdiri atas variabel UE, NAFTA, AFTA, Cina dan India. Kawasan integrasi ekonomi tersebut, telah melaksanakan liberalisasi perdagangan secara bertahap dengan mengurangi atau menghilangkan hambatan tarif dan nontarif. Semua variabel dummy berpengaruh signifikan terhadap aliran FDI negara investor ke negara ASEAN. Investasi di Cina memberi pengaruh negatif tetapi tidak signifikan, artinya semakin besar FDI yang masuk ke Cina akan menurunkan FDI ke ASEAN. Cina merupakan kompetitor ASEAN dalam menarik investasi. India berpengaruh secara positif dan tidak signifikan, artinya peningkatan FDI di India tidak terlalu berpengaruh terhadap investasi di ASEAN. Variabel dummy NAFTA memberikan pengaruh yang positif. Artinya keanggotaan negara investor pada kawasan NAFTA tetap memberi pengaruh peningkatan investasi yang tinggi pada kawasan ASEAN, sehingga terjadi kreasi FDI yang bersumber dari negara NAFTA. Keanggotaan negara investor di Uni Eropa berpengaruh secara negatif terhadap investasi di ASEAN. Investor yang berasal dari kawasan Eropa (Jerman, Inggris dan Prancis) lebih memilih untuk melakukan investasi ke Uni Eropa dibanding melakukan investasi pada kawasan ASEAN. APEC memberi pengaruh positif, tetapi tidak signifikan. Pengaruh kreasi ini menunjukan manfaat yang ditimbulkan integrasi ekonomi terhadap aliran FDI. Integrasi anggota ASEAN ke APEC telah meningkatkan arus FDI dari negara investor ke kawasan APEC. Negara sumber utama FDI seperti Amerika Serikat, Jerman, Perancis, Inggris dan Jepang lebih memilih untuk meningkatkan FDI dibanding melakukan ekspor ke negara ASEAN. Hal tersebut menunjukkan bahwa pelaksanaan integrasi ekonomi mendorong investasi dan perdagangan serta aktivitas ekonomi pada kawasan ASEAN. 5.2.1. Analisis Aliran Foreign Direct Invesment Malaysia Hasil estimasi persamaan investasi dalam bentuk FDI Malaysia disajikan dalam Tabel 18. Tabel 18. Hasil Estimasi Model Investasi Foreign Direct Invesment Malaysia Variabel C GDPi POPi OPENi RERi IRi POPj GDPj RERj IRj SIZE Xi Mi ASEAN APEC Koefisien -27.949 2.9364 2.2610 -0.0461 -0.3546 -0.6519 -0.1448 -0.1718 -0.1819 -0.0233 -0.8800 0.1172 0.0248 -0.2535 -0.4473 Standar Error 8.489933 0.558716 0.577158 0.083706 0.019213 0.043266 0.010550 0.036138 0.012200 0.021459 0.611541 0.040256 0.011737 0.368625 0.414994 Nilai Probabilitas 0.0011 0.0000 0.0001 0.5821 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.2771 0.1509 0.0038 0.0348 0.4919 0.2817 Hasil estimasi persamaan investasi Malaysia, menunjukkan variabel GDP signifikan berpengaruh terhadap FDI di Malaysia. GDP Malaysia dalam kurun waktu antara tahun 2000-2008 tumbuh rata-rata 4.522 persen per tahun, tertinggi pada tahun 2000 sebesar 8.9 persen. Peningkatan pertumbuhan ekonomi di Malaysia tersebut dipicu oleh kesuksesan Malaysia melakukan industrialisasi secara bertahap. Program pembangunan disesuaikan dengan masalah utama yang muncul pada setiap tahapan pembangunan. Dalam master plan pengembangan industri Malaysia tahun 2001-2010 di arahkan pada industri manufaktur dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 8.3 persen. Periode ini Malaysia merupakan fase pengembangan baru manufaktur dalam rangka mewujudkan ekonomi berbasis pengetahuan. Kelembagaan yang mengelola perizinan investasi di Malaysia yaitu melalui pelayanan one stop service melalui lembaga MIDA (Malaysian Industrial Development Agency). MIDA memiliki perwakilan di semua negara bagian (BKPM 2003). Perkembangan sektor industri Malaysia memberi sumbangan yang sangat besar terhadap perekonomian Malaysia. Peran manufaktur terhadap PDB dan ekspor meningkat dari tahun ke tahun. Kontribusi sektor manufaktur tersebut adalah peran investasi khususnya FDI. FDI Malaysia cukup berfluktuasi, pada tahun 1995 nilai FDI mencapai US$ 5 815.0 miliar menurun drastis pada tahun 2001 menjadi US$ 553.9 miliar dan US$ 2 473.2 miliar pada tahun 2003 dan US$ 4 623.9 miliar pada tahun 2004 kemudian meningkat lagi pada tahun 2006 menjadi US$ 6.059.7 miliar dan menjadi US$ 8.053.0 miliar pada tahun 2008. Malaysia merupakan negara terbesar kedua setelah Singapura dalam menyerap FDI di ASEAN. Salah satu insentif bagi FDI di Malaysia adalah dimungkinkannya kepemilikan asing 100 persen saham perusahaan, kecuali usaha kecil menengah (UKM) Malaysia bisa mengerjakannya. Secara garis besar strategi yang dikembangkan Malaysia meliputi: pengembangan kualitas dan standar produk dan jasa hingga diakui oleh internasional, peningkatan Reseach and Development bidang teknologi, dilaksanakan dalam rangka peningkatan kemampuan industri menyerap dan beradaptasi terhadap teknologi baru serta peningkatan produktifitas tenaga kerja untuk mendorong pertumbuhan daya saing. Prestasi tersebut telah meningkatkan arus FDI dari negara investor ke Malaysia. Sebaliknya, pertumbuhan GDP negara investor berpengaruh negatif artinya bahwa apabila GDP naik maka negara tersebut cenderung meningkatkan impor daripada melaksanakan FDI ke Malaysia. Selain itu, juga menunjukkan kemampuan daya beli masyarakat negara sumber investasi. Jumlah penduduk Malaysia berpengaruh secara positif dan signifikan. Jumlah penduduk Malaysia menempati urutan kedua di ASEAN setelah Indonesia dengan total 87.099 juta jiwa pada tahun 2006. Didominasi oleh etnis Melayu, Cina dan India. Tahun 2010 penduduk tersebut diperkirakan jumlah terbesarnya bekerja pada sektor manufaktur (30.4 persen) sektor perdagangan hotel dan restoran (17.1 persen). Sektor jasa meningkat menjadi 12.5 persen, pertanian dan perkebunan menjadi 9.8 persen dan sektor pemerintah menjadi 9.6 persen. Jumlah penduduk yang besar juga merupakan pasar yang menarik bagi investor. Sebaliknya, pada negara investor pengaruh jumlah penduduk adalah negatif. Apabila terjadi kenaikan dalam pertumbuhan penduduk di negara investor, maka arus investasi FDI outflow ke Malaysia mengalami penurunan. Investor lebih memilih berinvestasi di negaranya sendiri. Variabel suku bunga berpengaruh secara negatif dan signifikan, terhadap FDI Malaysia. Semakin tinggi tingkat bunga di Malaysia, volume investasi FDI mengalami penurunan. Hal tersebut disebabkan investor mengalihkan dananya pada instrumen investasi portofolio. Pengaruh negatif tersebut menunjukkan adanya pelarian investasi FDI ke investasi portofolio. Apabila terjadi penurunan suku bunga dalam negeri maka rencana investasi riil akan meningkat, karena memperbesar kemampuan laba dan tambahan stok kapital. Dibanding dengan Indonesia, suku bunga Malaysia termasuk sangat rendah yaitu pada tahun 1998 sebesar 11.17 persen dibanding Indonesia saat itu sebesar 49.23 persen. Pada tahun 2006 Malaysia sebesar 5.15 persen dan Indonesia 9.17 persen. Peningkatan suku bunga pada negara investor memberikan pengaruh negatif terhadap arus FDI ke Malaysia. Semakin tinggi suku bunga maka arus investasi FDI outflow ke Malaysia semakin kecil. Hal ini terjadi karena adanya pelarian dari FDI ke saving dengan memanfaatkan tingkat bunga negara mereka sendiri. Ekspektasinya tingkat pengembalian investasi lebih besar dibanding berinvestasi di luar negeri termasuk Malaysia. Pengaruh ekspor Malaysia terhadap FDI adalah positif, artinya bahwa semakin besar nilai ekspor akan semakin menarik FDI karena merupakan potensi pasar untuk memasarkan produk. Komoditas yang dihasilkan oleh FDI di Malaysia adalah komoditi ekspor. Perkembangan ekspor Malaysia sejak pemberlakuan AFTA tahun 1993 mengalami peningkatan yang baik. Pada tahun 1993 nilainya US$ 10 579.5 miliar menjadi US$ 39 217.9 miliar pada tahun 2006 dan US$ 194 495.3 miliar pada tahun 2008. Malaysia tidak terlalu terpengaruh oleh krisis tahun 1997-1998, sekalipun mengalami krisis tapi pengaruhnya terhadap ekspor relatif kecil. Sedangkan pengaruh impor Malaysia terhadap FDI adalah positif dan signifikan karena impor bahan baku industri dari FDI, khususnya pada tahap awal. Impor Malaysia mengalami peningkatan dari tahun 1993 nilai impornya US$ 15 714.4 miliar menjadi US$ 41 555.3 miliar pada tahun 2006 dan US$ 144 298.8 miliar pada tahun 2008 atau naik atau meningkat ratarata 8.454 persen per tahun. Tetapi secara keseluruhan Malaysia adalah net ekspor. Tingkat kemudahan berbisnis atau investasi di Malaysia yang baik, menjadi pertimbangan investor dalam merealisasikan FDI. Dalam penelitian tersebut, faktor doing business tidak di estimasi, tetapi data menunjukkan bahwa negara dengan indeks doing business yang lebih baik, dapat memperoleh aliran FDI yang lebih besar. Pada tahun 2008 Malaysia menempati posisi 24 naik menjadi 20 pada tahun 2010. Pengaruh variabel dummy APEC adalah positif dan signifikan terhadap aliran FDI. APEC memberikan pengaruh kreasi terhadap FDI di Malaysia. Peningkatan FDI menunjukkan manfaat yang diperoleh akibat integrasi ekonomi. Besarnya pengaruh variabel dummy AFTA adalah positif. Integrasi ekonomi ASEAN telah meningkatkan aliran FDI masuk ke Malaysia. Dengan integrasi ekonomi, FDI Malaysia mengalami peningkatan karena adanya peningkatan dalam daya saing investasi dibanding kawasan lainnya. Negara investor utama (Amerika Serikat, Jerman, Perancis, Inggris dan Jepang) lebih memilih untuk meningkatkan investasi FDI ketimbang melakukan ekspor pada Malaysia. 5.2.2 Analisis Aliran Foreign Direct Invesment Indonesia Hasil estimasi model persamaan investasi FDI Indonesia secara singkat disajikan dalam Tabel 19. Tabel 19. Hasil Estimasi Model Aliran Investasi Foreign Direct Invesment Indonesia Variabel C GDPi POPi OPENi RERi IRi POPj GDPj RERj IRj SIZE Xi Mi ASEAN APEC Koefisien -14.743 1.5214 2.5517 0.5642 -0.5460 -0.3559 -0.1097 -0.0674 -0.0709 -0.0153 -0.8525 0.0565 0.0516 0.1989 0.1223 Standar Error 3.378507 0.322769 0.432340 0.029795 0.021695 0.022823 0.008164 0.044378 0.007335 0.011226 0.371667 0.027929 0.018430 0.043975 0.044718 Nilai Probabilitas 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.1293 0.0000 0.1709 0.0223 0.0437 0.0053 0.0000 0.0065 Hasil estimasi aliran FDI Indonesia menunjukkan beberapa variabel makroekonomi yang signifikan berpengaruh terhadap aliran investasi FDI (inflow) di indonesia yang bersumber dari negara-negara investor terbesar. Realisasi FDI di Indonesia mengalami pertumbuhan yang sangat pesat selama periode tahun 1995-2008 dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 21.60 persen per tahun. FDI Indonesia mengalami penurunan pada periode krisis ekonomi tahun 1997-1998 serta pada awal penerapan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia tahun 2001. Sejak diberlakukannya CEPT-AFTA yaitu pada tahun 1995 FDI ke Indonesia hanya sekitar US$ 4 346.0 miliar, menjadi US$ 8 336.0 miliar pada tahun 2005, meskipun terjadi FDI outflow pada saat krisis tahun 1998 sebesar US$ -356.0 miliar bahkan tahun 2001 FDI outflow masih terjadi sebesar US$ -3 278.5 miliar, tetapi setelah itu FDI meningkat. Sementara itu FDI di negara ASEAN lainnya menunjukkan peningkatan yang lebih pesat dibandingkan dengan Indonesia. Beberapa faktor melambatnya FDI di Indonesia di antaranya adalah kebijakan pemerintah dan implementasinya. Negara di Asia Timur seperti Cina dan Korea Selatan serta Malaysia, Thailand dan Vietnam memiliki Kebijakan investasi yang lebih kondusif. Negara investor masih mempersoalkan buruknya iklim investasi, masalah korupsi, banyaknya pungutan liar khususnya setelah implementasi otonomi daerah, kurangnya transparansi dan efisiensi, pada akhirnya pada tingginya biaya transaksi di Indonesia. Badan Koordinasi Penanaman Modal (2004) menyebutkan bahwa selain indikator makro ekonomi, FDI juga di pengaruhi oleh kebijakan pemerintah di bidang FDI,insentif investasi, jaminan perlindungan investasi, penggunaan perizinan, kelembagaan. Variabel GDP memberi pengaruh positif dan signifikan pada aliran FDI di Indonesia. GDP Indonesia pada harga konstan pada tahun 2000 adalah Rp.1 389.770 miliar menjadi Rp. 2 082.104 miliar pada tahun 2008 atau meningkat rata 4.610 persen. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia telah meningkatkan arus FDI dari negara investor. Data tersebut menunjukkan bahwa preferensi investor sangat tinggi terhadap ekspektasi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi pada negara mitra berpengaruh negatif. Artinya apabila GDP naik, negara tersebut cenderung meningkatkan impor daripada melaksanakan FDI ke Indonesia. GDP menunjukkan kemampuan daya beli masyarakat negara sumber FDI Indonesia. Hal tersebut tidak sesuai dengan kecendrungan umum bahwa pertumbuhan ekonomi negara maju justru akan meningkatkan investasi FDI ke Indonesia. Hal tersebut menunjukkan masih banyak hal yang harus dibenahi seperti infrastruktur, korupsi serta kemudahan dalam perizinan investasi FDI. Jumlah penduduk Indonesia berpengaruh secara positif dan signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa negara investor lebih mencari pangsa pasar yang lebih besar dibandingkan berinvestasi dinegaranya sendiri. Penyebab lain adalah insetif berupa rendahnya tarif pada negara-negara yang melakukan integrasi. Penduduk Indonesia adalah yang terbesar pertama di ASEAN dan terbesar keempat di dunia. Pada tahun 2000 jumlah penduduk Indonesia mencapai 205 132 000 juta jiwa, dan pada tahun 2008 menjadi 228 523 000 jiwa atau tumbuh ratarata 1.208 persen pertahun. Jumlah penduduk Indonesia justru meningkatkan arus investasi FDI di negara kawasan integrasi ekonomi. Hal sebaliknya terjadi pada pertumbuhan penduduk negara maju. Apabila terjadi kenaikan dalam pertumbuhan penduduk di negara sumber investasi maka arus investasi FDI outflow dari negara investor ke Indonesia akan menurun. Peningkatan suku bunga berpengaruh negatif dan signifikan terhadap FDI Indonesia. Semakin tinggi suku bunga di Indonesia, volume FDI mengalami penurunan, karena investor akan menyimpan uangnya dalam bentuk portofolio. Sebaliknya penurunan suku bunga akan meningkatkan FDI, karena akan terjadi peningkatan laba dan penambahan stok kapital. Sebagai contoh adalah kebijakan pemerintah menurunkan suku bunga setelah krisis ekonomi tahun 1998, memberi pengaruh nyata terhadap peningkatan investasi di Indonesia. Suku bunga di Indonesia pada saat krisis tahun 1998 adalah 49.23 persen turun menjadi 13.63 pada tahun 2002 dan turun lagi pada tahun 2006 menjadi 9.71 persen. Teori investasi mengatakan semakin tinggi tingkat bunga luar negeri, semakin tinggi pula arus investasi dari negara investor ke negara penerima FDI. Suku bunga luar negeri memberi pengaruh yang signifikan dan negatif terhadap arus FDI outflow ke Indonesia. Peningkatan suku bunga di negara investor menyebabkan investor dari negara tersebut cenderung mengurangi FDI. Perilaku tersebut disebabkan oleh rate of return modalnya lebih besar jika ditabung di negaranya. Fenomena ini juga terjadi di Indonesia pada tahun 1998 yang suku bunganya mencapai 49.23 persen per tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat pengembalian FDI jauh lebih rendah dibandingkan dengan pengembalian investasi dalam bentuk portofolio seperti saham, obligasi dan deposito perbankan. Sama halnya dengan variabel GDP, ekspor Indonesia berpengaruh positif dan signifikan terhadap FDI di Indonesia. Semakin besar nilai ekspor akan semakin menarik FDI, karena merupakan potensi besar untuk memasarkan produk. Komoditas yang dihasilkan oleh FDI di Indonesia adalah hasil industri manufaktur yang merupakan komoditi ekspor, meskipun ada investor yang bergerak pada industri substitusi impor yang mengandalkan pasar domestik. Perkembangan ekspor Indonesia di luar ASEAN meningkat dari tahun 1993 sebesar US$ 31 825.8 miliar menjadi US$ 82 315.5 miliar pada tahun 2006. Penurunan terjadi pada saat krisis tahun 1997 dari US$ 45 534.4 miliar pada tahun 1996 menjadi US$ 42 423.4 miliar tahun 1997 dan menurun lagi menjadi US$ 39 500.9 miliar pada tahun 1998. Pengaruh impor Indonesia terhadap FDI juga positif dan signifikan, karena kandungan bahan baku atau material yang dibutuhkan dalam proses produksi oleh hasil FDI masih di impor khususnya pada tahap-tahap awal. Perkembangan impor Indonesia dari luar ASEAN meningkat dari tahun 1993 sebasar US$ 25 669.0 miliar menjadi US$ 144 298.8 miliar pada tahun 2008. Penurunan terjadi pada saat krisis tahun 1998 dari US$ 36 266.7 miliar pada tahun 1997 menjadi US$ 22 777.6 miliar tahun 1998 dan menurun lagi menjadi US$ 19 219.7 miliar pada tahun 1999. Secara keseluruhan Indonesia masih mengalami surplus perdagangan terhadap negara mitranya. Pengaruh variabel APEC adalah positif dan signifikan terhadap aliran FDI. APEC memberi pengaruh terhadap aliran investasi masuk ke Indonesia. Integrasi ekonomi ASEAN dapat meningkatkan aliran FDI di Indonesia. Terdapat pengaruh kreasi integrasi ekonomi ASEAN terhadap masuknya FDI ke Indonesia. Dengan integrasi ekonomi, maka investasi FDI pada negara kawasan ASEAN mengalami peningkatan karena adanya peningkatan dalam daya saing investasi dibanding dengan kawasan integrasi ekonomi lainnya. Hasil studi yang dilakukan oleh LPEM-FEUI dalam Tambunan (2009) menunjukkan bahwa masalah yang dihadapi investor dalam melakukan investasi di Indonesia selain persoalan birokrasi, ketidakpastian biaya investasi serta perubahan peraturan pemerintah daerah yang tidak jelas atau muncul secara tiba-tiba, juga kondisi keamanan, sosial, dan politik di Indonesia. Pemerintah telah berupaya meningkatkan FDI di Indonesia. Salah satunya adalah paket kebijakan ekonomi 2008-2009 yang tertuang dalam Inpres nomor 5 Tahun 2008 tentang fokus program ekonomi 2008-2009, yang memuat antara lain kebijakan perbaikan iklim investasi dan kebijakan ekonomi makro dan keuangan. Pemerintah telah mengeluarkan paket kebijakan investasi melalui Inpres No. 3 Tahun 2006. Paket Kebijakan Perbaikan Iklim investasi itu mencakup lima aspek, yaitu: (1) bidang umum, termasuk memperkuat kelembagaan pelayanan investasi, sinkronasi peraturan daerah dan pusat, dan kejelasan ketentuan mengenai kewajiban amdal; (2) bidang kepabean dan cukai, termasuk percepatan arus barang, pengembangan peranan kawasan berikat, pemberantasan penyelundupan, dan debirokratisasi bidang cukai; (3) perpajakan, termasuk insentif perpajakan untuk investasi, melaksanakan sistem “melakukan pengkajian sendiri” secara konsisten, revisi pajak pertambahan nilai untuk promosi ekspor, melindungi hak wajib pajak, dan mempromosikan transparasi dan disclosure; (4) ketenagakerjaan yang mencakup penciptaan iklim hubungan industrial, perlindungan, dan penempatan TKI di luar negeri, penyelesaian berbagai perselisihan hubungan industrial secara cepat, murah, dan berkeadilan, mempercepat proses penerbitan perizinan ketenagakerjaan, penciptaan pasar tenaga kerja fleksibel dan produktif, dan terobosan paradigma pembangunan transmigrasi dalam rangka perluasan lapangan kerja; dan (5) bidang usaha kecil, menengah dan koperasi. Kemudahan berbisnis atau investasi di Indonesia berdasarkan World Bank doing business masih pada peringkat yang rendah. Indikator tersebut juga menjadi pertimbangan investor dalam melaksanakan FDI ke Indonesia. Dalam penelitian ini variabel doing business tidak di estimasi, tetapi data menunjukkan bahwa negara dengan indeks doing business yang baik akan memperoleh aliran FDI yang lebih baik. Pada tahun 2008 Indonesia menempati posisi 123 menjadi 122 pada tahun 2010 jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara Singapura, Malaysia dan Thailand. 5.2.3. Analisis Aliran Foreign Direct Invesment Singapura Hasil estimasi persamaan investasi dalam bentuk FDI Singapura disajikan dalam Tabel 20. Tabel 20. Hasil Estimasi Model Aliran Investasi Foreign Direct Invesment Singapura Variabel C GDPi POPi OPENi RERi IRi POPj GDPj RERj IRj SIZE Xi Mi ASEAN APEC Koefisien -27.0248 2.2361 2.8840 0.0808 -0.4004 -0.2859 -0.1275 -0.2509 -0.1061 -0.0270 -0.7163 0.1160 -0.0004 0.2669 0.1038 Standar Error 4.697650 0.392870 0.510891 0.075789 0.016619 0.021629 0.007601 0.037280 0.006465 0.012621 0.441159 0.043251 0.005882 0.048597 0.043929 Nilai Probabilitas 0.0000 0.0000 0.0000 0.2869 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0330 0.1052 0.0076 0.9423 0.0000 0.0185 Singapura adalah negara yang paling banyak menikmati aliran FDI dari negara investor. Hal tersebut disebabkan adanya program liberalisasi kebijakan, peraturan investasi yang baik serta pemberian national treatment di ASEAN. Perkembangan FDI Singapura sangat tinggi dibandingkan negara ASEAN lainnya. Pada tahun 1995 nilai FDI mencapai US$ 11 502.7 miliar meningkat menjadi US$ 16 485.4 miliar pada tahun 2000, kemudian turun pada tahun 2002 menjadi US$ 7 200.0 miliar dan meningkat lagi pada tahun 2006 menjadi US$ 24 055.4 miliar yang kemudian pada tahun 2008 mengalami penurunan menjadi US$ 22 801.8 miliar. Jumlah perusahaan asing mencapai 3000 buah yang tersebar pada berbagai sektor ekonomi. Perusahaan tersebut menyumbang 70 persen ekspor manufaktur Singapura, sedangkan pada sektor jasa peran pemerintah masih besar. Sebagian besar FDI tersebut berasal dari Jepang, Amerika Serikat dan Eropa. Ada tiga faktor kunci keberhasilan Singapura dalam menarik FDI yaitu: Pertama, adopsi perdekatan ekonomi terbuka dalam meningkatkan FDI. Singapura mendukung rezim perdagangan bebas dan mempromosikan industri berorientasi ekspor. Kedua, menciptakan lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan perusahaan FDI, dengan mempertahankan kebijakan ekonomi makro yang stabil, menjaga pemerintahan bersih dan jujur yang menyediakan jasa secara efisien, mempertahankan transparansi, penyusunan peraturan yang probisnis, mempertahankan harmonisasi antara pemerintah dan buruh melalui kerjasama gerakan buruh dan pemimpin industri. Ketiga, berinvestasi dengan gencar pada sektor infrastruktur publik dan pengembangan sumberdaya manusia dan memastikan pencapaian standar kualitas yang tinggi. Hasil estimasi model FDI Singapura, menunjukkan beberapa variabel signifikan berpengaruh terhadap volume investasi FDI di Singapura dari negara investor terbesar. Peranan aliran FDI di Singapura juga dapat merangsang perkembangan investasi domestik sebesar 27 persen per tahun. Akibatnya pertumbuhan ekonomi Singapura yang cukup tinggi. Variabel makroekonomi yang berpengaruh signifikan adalah GDP. Singapura merupakan salah satu negara di dunia dengan GDP tertinggi di dunia. Antara tahun 1960-1999, pertumbuhan riil mencapai 8 persen. GDP Singapura dalam kurun waktu antara tahun 1996-2008 tumbuh rata-rata 4.391 persen per tahun, tertinggi pada tahun 2000 sebesar 10.1 persen. Singapura bahkan pernah mengalami pertumbuhan ekonomi paling tinggi di antara NICs yaitu Korea Selatan, Taiwan dan Hongkong. Peningkatan GDP di Singapura tersebut telah meningkatkan aliran FDI dari negara investor. Sebaliknya, pertumbuhan GDP negara investor berpengaruh negatif artinya bahwa apabila GDP naik maka negara tersebut cenderung meningkatkan impor daripada melaksanakan FDI ke Singapura. Jumlah penduduk Singapura berpengaruh secara positif dan signifikan. Jumlah penduduk Singapura dengan total 4.839 juta jiwa pada tahun 2008, termasuk sangat kecil dibanding negara anggota ASEAN lainnya. Daya tarik Singapura adalah integrasinya dengan kawasan ASEAN, khususnya Indonesia, Malaysia dan Thailand. Hal tersebut menunjukkan bahwa negara investor tetap mencari pasar yang lebih potensial. Singapura juga merupakan negara dengan kemudahan investasi yang sangat bagus. Hal sebaliknya terjadi pada jumlah penduduk negara investor. Apabila terjadi pertumbuhan penduduk di negara investor maka arus investasi FDI outflow negara investor ke Singapura mengalami penurunan. Hal tersebut disebabkan bertambahnya potensi pasar bagi negara investor, sehingga mereka lebih memilih berinvestasi pada negaranya sendiri. Variabel suku bunga memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap peningkatan FDI Singapura. Semakin tinggi tingkat bunga, volume investasi FDI mengalami penurunan. Hal tersebut disebabkan adanya peralihan modal ke investasi portofolio dan menghindari besarnya biaya investasi. Sebaliknya penurunan suku bunga akan meningkatkan FDI, karena akan menambah kemampuan perusahaan memperoleh keuntungan serta pembesaran stok kapital. Dibandingkan dengan Indonesia suku bunga Singapura sangat rendah yaitu pada tahun 1998 sebesar 1.17 persen dibanding Indonesia saat itu sebesar 49.23 persen. Tahun 2006 Singapura sebesar 2.57 persen dan Indonesia 9.17 persen. Suku bunga negara investor memberikan pengaruh negatif dan signifikan terhadap aliran FDI ke Singapura. Semakin tinggi suku bunga di negara investor maka arus investasi FDI outflow semakin kecil. Investor memilih berinvestasi pada kawasan yang suku bunganya kecil, serta adanya perubahan pola dari FDI ke investasi portofolio atau saving. Tingkat pengembalian investasinya lebih besar dibandingkan melaksanakan investasi FDI di Singapura. Pengaruh ekspor Singapura terhadap FDI adalah positif dan signifikan. Semakin besar nilai perdagangan ekspor akan semakin menarik FDI dari negara investor karena merupakan potensi besar untuk memasarkan produk. Hal tersebut disebabkan karena sebagian komoditas yang dihasilkan oleh investasi FDI di Singapura adalah komoditi ekspor. Perkembangan ekspor Singapura sejak pemberlakuan AFTA tahun 1993 mengalami peningkatan berarti. Pada tahun 1993 nilainya US$ 74 401.1 miliar menjadi US$ 241 404.7 miliar pada tahun 2008. Singapura tidak terlalu terpengaruh oleh krisis tahun 1997-1998, sekalipun mengalami krisis tapi pengaruhnya terhadap ekspor relatif kecil. Pengaruh impor Singapura terhadap FDI adalah positif dan signifikan karena sebagian bahan baku atau material yang dibutuhkan dalam proses produksi hasil FDI masih di impor khususnya pada tahap-tahap awal. Impor Singapura sejak pemberlakuan AFTA tahun 1993 mengalami peningkatan berarti. Pada tahun 1993 nilai impornya US$ 85 227.7 miliar menjadi US$ 230 760.3 miliar pada tahun 2008 atau meningkat rata-rata 7.388 persen per tahun. Pengaruh keanggotaan Singapura di APEC adalah positif terhadap aliran FDI ke Singapura. Sedangkan pengaruh keanggotaan Singapura ke dalam integrasi ASEAN terhadap FDI juga positif. Peningkatan FDI Singapura juga disebabkan oleh tingginya daya saing FDI Singapura dibanding dengan negara atau kawasan integrasi lainnya. Singapura merupakan negara dengan tingkat kemudahan berbisnis atau investasi terbaik di dunia. Dalam laporan World Bank tentang doing business Singapura menempati urutan pertama pada tahun 2008 dan bertahan selama tiga tahun berturut-turut sampai tahun 2010. Hal tersebut sesuai data FDI Singapura yang menunjukkan bahwa di antara negara ASEAN Singapura adalah negara terbesar penerima FDI dari negara investor. 5.2.4. Analisis Aliran FDI Thailand Hasil estimasi pengaruh variabel integrasi ekonomi dan makroekonomi terhadap aliran FDI di Thailand secara ringkas disajikan dalam Tabel 21. FDI Thailand merupakan faktor paling penting dalam pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Pemerintah memberikan komitmen tinggi untuk memfasilitasi kebutuhan serta membuka peluang usaha bagi investor asing. FDI Thailand bergerak fluktuatif tapi trennya meningkat, pada tahun 1995 nilai FDI mencapai US$ 2.070.0 miliar meningkat drastis pada tahun 1998 menjadi US$ 7 491.2 miliar kemudian turun menjadi US$ 3 350.3 miliar pada tahun 2000 kemudian meningkat lagi menjadi US$ 9 834.5 miliar pada tahun 2008. Investasi di Thailand didominasi negara sumber FDI terbesar di Thailand yaitu Jepang, Singapura, Inggris dan Amerika Serikat. Tabel 21. Hasil Estimasi Model Aliran Investasi Foreign Direct Invesment Thailand Variabel C GDPi POPi OPENi RERi IRi POPj GDPj RERj IRj SIZE Xi Mi ASEAN APEC Koefisien 93.843 1.2758 12.864 1.8055 2.8266 0.4140 0.1336 -0.0119 -0.0203 0.0087 -0.0141 0.0341 0.0012 -0.0062 -0.0405 Standar Error 21.50263 0.593860 3.613866 0.091282 0.381760 0.037320 0.015473 0.005187 0.002698 0.000362 0.000832 0.001973 0.000159 0.001356 0.002084 Nilai Probabilitas 0.0000 0.0323 0.0004 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0213 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 Hasil estimasi FDI Thailand, menunjukkan bahwa variabel GDP berpengaruh positif dan signifikan. GDP Thailand dalam kurun waktu antara tahun 1996-2008 tumbuh rata-rata 4.258 persen per tahun, tertinggi pada tahun 2003 sebesar 7.4 persen. Peningkatan pertumbuhan ekonomi Thailand tersebut telah meningkatkan aliran FDI. GDP negara investor berpengaruh negatif artinya apabila GDP naik maka negara tersebut cenderung meningkatkan impor daripada melaksanakan FDI ke Thailand. Kenaikan GDP pada negara investor juga menunjukkan kemampuan daya beli masyarakat. Jumlah penduduk Thailand berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap aliran FDI. Penduduk Thailand berjumlah 66.482 juta jiwa pada tahun 2008. Jumlah tersebut merupakan potensi pasar yang menarik bagi negara investor. Hal tersebut menunjukkan bahwa negara investor lebih mencari pasar yang lebih potensial untuk memasarkan produknya. Pengaruh sebaliknya terjadi pada pertumbuhan penduduk di negara investor. Apabila terjadi kenaikan pertumbuhan penduduk di negara investor maka arus investasi FDI negara investor ke Thailand mengalami penurunan. Suku bunga memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap FDI Thailand. Semakin tinggi tingkat bunga di Thailand, volume FDI dari negara investor mengalami penurunan. Hal tersebut bertentangan dengan perilaku investasi portofolio, semakin tinggi tingkat bunga luar negeri, semakin tinggi pula arus investasi. Dibandingkan dengan Indonesia, suku bunga Thailand termasuk sangat rendah yaitu sebesar 6.00 persen pada tahun 1998, sedangkan Indonesia sebesar 49.23 persen. Pada tahun 2006 Thailand sebesar 4.00 persen sedangkan Indonesia 9.17 persen. Suku bunga di negara investor memberi pengaruh terhadap aliran FDI ke Thailand. Semakin tinggi suku bunga negara investor maka arus FDI outflow ke Thailand semakin kecil. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan dari FDI ke saving atau portofolio dengan memanfaatkan tingkat bunga negara sendiri. Tingkat pengembalian investasi pada negara investor lebih besar dibanding tingkat pengembalian jika melaksanakan investasi FDI di Thailand. Ekspor Thailand berpengaruh positif dan signifikan terhadap FDI. Semakin besar nilai perdagangan ekspor akan semakin menarik FDI, karena investor melihat adanya kekuatan ekspor untuk memasarkan produk. Apalagi komoditas yang dihasilkan oleh investasi FDI di Thailand adalah komoditi ekspor. Sejak diberlakukannya AFTA tahun 1993 perkembangan ekspor Thailand mengalami peningkatan cukup baik. Nilai ekspor Thailand secara berturut-turut pada tahun 1993 dan 2008 adalah sebesar US$ 37 635.5 miliar dan US$ 174 966.7 miliar. Ekspor Thailand tidak terlalu terpengaruh oleh krisis tahun 1997-1998. Sekalipun mengalami krisis tapi pengaruhnya terhadap ekspor relatif kecil. Pengaruh impor Thailand terhadap investasi juga positif dan signifikan. Penyebabnya adalah bahan baku atau material yang dibutuhkan dalam proses produksi FDI sebagian masih di impor. Perkembangan impor Thailand sejak pemberlakuan AFTA tahun 1993 mengalami peningkatan berarti. Nilai impor Thailand pada tahun 1993 dan 2008 adalah sebesar US$ 46 883.7 miliar dan USS 177 567.5 miliar atau meningkat rata-rata 10.438 persen per tahun. Keanggotaan Thailand di APEC memberikan pengaruh yang signifikan dan positif terhadap aliran FDI, meskipun kesepakatan di APEC besifat tidak mengikat anggota. Hal ini menunjukkan integrasi APEC memberi pengaruh kreasi terhadap arus FDI yang masuk ke Thailand. Pengaruh kreasi tersebut berarti integrasi ekonomi APEC telah meningkatkan aliran FDI ke Thailand. Tingkat kemudahan berbisnis atau investasi di Thailand jauh lebih baik dari Indonesia dan Filipina. Dalam penelitian ini faktor doing business tidak di estimasi, tetapi data menunjukkan bahwa negara dengan indeks doing business yang baik dapat memperoleh aliran FDI yang lebih besar. Tahun 2008 Thailand menempati posisi 15 pada tahun 2008 menjadi urutan 12 pada tahun 2010. 5.2.5. Analisis Aliran Foreign Direct Invesment Filipina Hasil estimasi model persamaan aliran investasi dalam bentuk FDI di Filipina disajikan dalam Tabel 22. Tabel 22. Hasil Estimasi Model Aliran Investasi Foreign Direct Invesment Filipina Variabel C GDPi POPi OPENi RERi IRi POPj GDPj RERj IRj SIZE Xi Mi ASEAN APEC Koefisien -26.5218 2.3499 2.7058 -0.0319 -0.3697 -0.3226 -0.1372 -0.1761 -0.0988 -0.0460 -0.7476 0.0393 0.0041 0.3133 0.2045 Standar Error 4.384523 0.377946 0.456605 0.067069 0.015691 0.018089 0.007335 0.034242 0.005910 0.010539 0.389865 0.020778 0.012614 0.052550 0.042567 Nilai Probabilitas 0.0000 0.0000 0.0000 0.6336 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0558 0.0588 0.7404 0.0000 0.0000 Filipina merupakan negara dengan tingkat pertumbuhan FDI negatif pada saat krisis Asia 1997-1998. Perkembangan FDI Filipina cenderung stagnan, tahun 1995 nilai FDI mencapai US$ 1 577.0 miliar menurun drastis pada tahun 2001 menjadi US$ 195 miliar dan US$ 687.8 miliar pada tahun 2004 kemudian meningkat lagi pada tahun 2008 menjadi US$ 1 520.0 miliar. Data dari world doing business (1998) menunjukkan bahwa daya saing Filipina untuk FDI masih sangat rendah. Sebagai contoh, prosedur yang harus dilewati investor yang masuk Filipina ada 15 prosedur. Dibanding Singapura hanya 5 prosedur, Thailand 8 prosedur, Malaysia 9 prosedur dan Indonesia 12 prosedur. Kemudahan pengurusan izin FDI juga Filipina menempati peringkat terakhir dari ASEAN-5 yaitu dengan indeks 21. Hasil estimasi model investasi FDI Filipina, menunjukkan variabel yang signifikan berpengaruh terhadap volume investasi FDI (inflow) di Filipina adalah GDP. GDP Filipina dalam kurun waktu antara tahun 1996-2008 tumbuh rata-rata 4.480 persen per tahun, tertinggi pada tahun 2007 sebesar 7.4 persen. Peningkatan pertumbuhan ekonomi di Filipina tersebut telah meningkatkan arus FDI dari negara investor. Sebaliknya, pertumbuhan GDP negara investor berpengaruh negatif. Hal tersebut berarti apabila GDP naik maka negara tersebut cenderung meningkatkan impor daripada melaksanakan FDI ke Filipina. Selain itu juga menunjukkan kemampuan daya beli masyarakat negara sumber investasi. Jumlah penduduk Filipina berpengaruh secara positif dan signifikan, dilihat dari aspek jumlah penduduk Filipina menempati urutan kedua di ASEAN setelah Indonesia dengan total 90 457 juta jiwa pada tahun 2008. Jumlah tersebut merupakan pasar yang sangat menarik bagi investor. Selain itu juga merupakan sumber tenaga kerja yang relatif murah. Negara investor lebih mencari pasar yang besar dibandingkan melaksanakan investasi dinegaranya sendiri. Insentif berupa rendahnya tarif pada negara yang berintegrasi di ASEAN juga berpengaruh. Pertumbuhan penduduk negara investor FDI berpengaruh negatif, artinya bahwa apabila terjadi kenaikan dalam pertumbuhan penduduk di negara investor, aliran investasi FDI ke Filipina mengalami penurunan. Hal tersebut disebabkan bertambahnya potensi pasar produksi di negara investor sehingga mereka lebih memilih berinvestasi di negaranya. Pada negara maju penduduk juga mengambarkan kualitas dengan produktifitas yang tinggi. Variabel suku bunga memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap FDI Filipina. Semakin tinggi tingkat bunga di Filipina, volume investasi FDI mengalami penurunan. Hal tersebut bertentangan dengan perilaku investasi portofolio, dimana semakin tinggi tingkat bunga luar negeri, semakin tinggi pula arus investasi ke luar negeri. Pengaruh negatif ini menunjukkan adanya pelarian investasi FDI ke investasi portofolio. Sebaliknya penurunan suku bunga akan menarik FDI. Hal tersebut disebabkan adanya potensi peningkatan laba perusahaan serta penambahan stok kapital dalan negeri Philipina. Dibandingkan dengan Indonesia suku bunga Filipina cukup rendah. Tahun 1998 sebesar 11.17 persen sementara Indonesia sebesar 49.23 persen. Pada tahun 2006 Filipina sebesar 5.15 persen dan Indonesia sebesar 9.17 persen. Pada negara investor, variabel suku bunga memberikan pengaruh yang negatif terhadap aliran FDI ke Filipina. Hal ini disebabkan oleh adanya peralihan dari FDI ke investasi portofolio dan akan investasi dinegaranya atau saving. Pertimbangannya adalah tingkat pengembalian investasi FDI yang lebih besar. Pengaruh ekspor Filipina terhadap FDI adalah positif dan signifikan. Semakin besar nilai perdagangan ekspor, semakin menarik FDI karena merupakan potensi pasar. Sebagian komoditas yang dihasilkan oleh FDI adalah komoditi ekspor. Perkembangan ekspor Filipina sejak pemberlakuan AFTA tahun 1993 mengalami peningkatan berarti. Pada tahun 1993 nilainya US$ 10 579.5 miliar menjadi US$ 49 025.4 miliar pada tahun 2008. Tingkat kemudahan berbisnis atau investasi di Filipina relatif kurang menarik dibandingkan negara ASEAN lainnya. Dalam penelitian ini faktor doing business tidak di estimasi, tetapi jelas sekali terlihat bahwa negara dengan indeks doing business yang baik dapat memperoleh aliran FDI yang lebih besar. Di antara 5 negara ASEAN, Filipina merupakan negara dengan FDI terkecil. Keanggotaan Filipina di APEC berpengaruh positif dan signifikan terhadap arus FDI. Artinya, ada pengaruh kreasi pada integrasi APEC terhadap arus FDI Filipina. Pengaruh kreasi menunjukan manfaat yang ditimbulkan integrasi ekonomi yang lebih luas terhadap arus FDI. Integrasi ekonomi APEC telah meningkatkan aliran investasi FDI dalam kawasan APEC.