BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Penurunan AKB (Angka Kematian Bayi) di Indonesia memang mengalami kemajuan yang cukup bermakna, namun demikian tingkat kematian bayi di Indonesia masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara anggota ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) yaitu 4,6 kali lebih tinggi dari Malaysia, 1,3 kali lebih tinggi dari Filipina dan 1,8 kali lebih tinggi dari Thailand (Bappenas, 2004). Angka Kematian Ibu (AKI) dan angka kematian bayi baru lahir (AKBBL) di Indonesia masih jauh dari target yang harus dicapai tahun 2015 sesuai dengan kesepakatan sasaran pembangunan millenium. Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) melaporkan AKI tahun 2006 sebanyak 253/100.000 kelahiran hidup menjadi 248/100.000 kelahiran hidup tahun 2007. Pada tahun 2009 AKI 226/100.000 kelahiran hidup, tapi angka ini masih jauh di atas target AKI untuk MDGs (Millennium Development Goals) yang ditetapkan WHO (World Health Organisation) sebesar 102/100.000 kelahiran hidup. Sementara AKBBL (Angka Kematian Bayi Baru Lahir) di Indonesia mencapai 35/1000 kelahiran hidup atau 2 kali lebih besar dari target WHO sebesar 15/1000 kelahiran hidup (Depkes, 2008). AKB di Kota Yogyakarta dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Meskipun AKB Kota Yogyakarta dalam lima tahun terakhir mengalami penurunan namun pada tahun 2006 mengalami kenaikan (Dinkes Kab.Yogyakarta, 2009). 1 2 Pada 2012 tercatat hanya 27,5 persen ibu di tanah air mampu memberikan ASI eksklusif, dan menempatkan Indonesia di peringkat 49 dari 51 negara pendukung pemberian ASI eksklusif. Bahkan data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menunjukkan AKB di Indonesia masih tinggi, yaitu 32 per 1000 kelahiran hidup atau sebanyak 144.000 bayi. Di tahun yang sama, WHO mencatat angka AKB di dunia sebesar 35 per 1000 kelahiran hidup. Angka itu masih jauh di bawah target Millennium Development Goal (MDGs) kelima, yaitu 23 per 1000 kelahiran hidup pada 2015 (SDKI, 2012). Pemberian ASI eksklusif sejak dari lahir hingga khususnya 6 bulan pertama terbukti mampu mengurangi dampak resiko kematian bayi. ASI merupakan makanan terbaik dan sempurna untuk bayi, karena mengandung semua zat gizi sesuai kebutuhan untuk pertumbuhan bayi (Indonesia Sehat 2010). Pemberian ASI Eksklusif di negara-negara berkembang ternyata mampu menurunkan secara tajam angka kematian bayi dengan menurunkan penyakit diare dan infeksi lainnya. Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dan ASI Eksklusif berturut-turut dapat mengurangi 22% dan 13% kematian neonatus (Roesli, 2009). Modal dasar pembangunan manusia berkualitas dimulai sejak bayi masih dalam kandungan yang kemudian dilanjutkan dengan pemberian Air Susu Ibu (ASI) sejak usia dini, terutama pemberian ASI eksklusif yaitu pemberian hanya ASI saja kepada bayi sejak lahir sampai bayi berusia enam bulan. Data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) (2002-2003) menunjukkan hanya 4% bayi disusui dalam 1 jam pertama setelah dilahirkan, sedangkan 27% mulai disusui dalam hari pertama kehidupan. Proporsi pemberian ASI eksklusif pada anak usia di bawah 4 bulan 55% dan anak usia 6 bulan 40%, dengan median lama 3 pemberian ASI eksklusif selama 1,6 bulan. Target pelaksanaan pemberian ASI eksklkusif sebesar 80%, namun dalam pelaksanaannya ASI eksklusif masih memprihatinkan (WHO dalam Roesli, 2007). Pola pemberian makanan terbaik bagi bayi dan anak adalah memberikan hanya ASI saja kepada bayi sejak lahir sampai umur 6 bulan, meneruskan pemberian ASI sampai anak berumur 24 bulan dan memberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI) kepada bayi mulai usia 6 bulan. Pemberian ASI tidak sekedar rekomendasi WHO tetapi diakui agama sebagai makanan bayi dan anak ciptaan Tuhan yang tidak dapat digantikan dengan makanan dan minuman yang lain. Ketersediaan konselor menyusui di fasilitas pelayanan kesehatan turut mempengaruhi peningkatan keberhasilan pemberian ASI. Oleh karenanya, Kemkes (Kementrian Kesehatan) mengupayakan agar setiap pelayanan kesehatan terutama di Puskesmas dan RS tersedia konselor menyusui akan membantu para ibu yang memiliki kendala memberikan ASI (Departemen Kesehatan RI, 2007). Secara nasional cakupan pemberian ASI Eksklusif di Indonesia berfluktuasi selama tahun 2007, 2008 dan 2009. Cakupan pemberian ASI Eksklusif di Indonesia pada bayi 0-5 bulan turun dari 62,2% tahun 2007 menjadi 56,2% pada tahun 2008, namun meningkat lagi pada tahun 2009 menjadi 61, 3%. Cakupan pemberian ASI Eksklusif pada bayi sampai 6 bulan turun dari 28,6% pada tahun 2007 menjadi 24,3% pada tahun 2008 dan naik lagi menjadi 34,3% pada tahun 2009 (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2009). Berdasarkan Susenas (Survey Sosial Ekonomi Nasional) 2010 terdapat 61,3% bayi usia 0-5 bulan yang mendapatkan ASI Eksklusif (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). 4 Cakupan pemberian ASI eksklusif pada bayi usia 0 sampai 6 bulan di Indonesia pada tahun 2012 berdasarkan laporan sementara hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 masih cukup rendah yakni sebesar 42% dimana target pencapaian pemberian ASI eksklusif pada tahun 2014 sebesar 80% (Riskesdas, 2013). Salah satu penyebab rendahnya cakupan pemberian ASI eksklusif bagi bayi di bawah usia enam bulan karena produksi ASI pada ibu post partum yang terhambat pada hari-hari pertama pasca persalinan sehingga sebagian besar bayi mendapatkan susu formula pada saat baru lahir (Riskesdas, 2013). Program pemberian ASI Eksklusif di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan salah satu program yang cukup sulit dikembangkan karena berkaitan dengan berbagai permasalahan sosial di masyarakat. Cakupan ASI ekslusif di provinsi DIY pada tahun 2008 baru mencapai 39,9%, pada tahun 2009 menurun menjadi 34,56%, sedangkan pada tahun 2010, cakupan ASI Eksklusif meningkat mencapai 40,57% namun belum mencapai target Depkes. Cakupan ASI Eksklusif di empat kabupaten yaitu Sleman, Bantul, Kulon progo, Gunungkidul, dan kota Yogyakarta masih berkisar 20% sampai dengan 39% (Dinkes Provinsi DIY, 2011). ASI Eksklusif sangatlah mendukung dalam mewujudkan kebijakan pemerintah Kabupaten Bantul yaitu Peraturan Bupati No. 82 tahun 2012 tentang pemberian ASI Eksklusif. Capaian ASI Eksklusif tahun 2009 di Kabupaten Bantul yaitu 25.21% jauh di bawah target Renstra (Rencana Strategis) Kabupaten Bantul yaitu 80%. Pasca gempa bumi di Yogyakarta tahun 2006 merubah pola budaya masyarakat dalam pemberian ASI dan bergeser ke susu formula. Hal ini membuat 5 kekhawatiran Pemerintah Kabupaten Bantul dan berupaya mencari strategi yang efektif. IMD diyakini mensukseskan pemberian ASI eksklusif serta menyelamatkan sekitar 22% nyawa bayi baru lahir sedangkan pemberian ASI Ekslusif dapat mencegah 13% kematian Balita (Bawah Lima Tahun). Melakukan program IMD tidak hanya terkait sesaat setelah kelahiran, namun sebaiknya dipersiapkan ketika masa kehamilan dan selama masa kehamilan sebaiknya juga sudah mulai mencari referensi mengenai program ASI eksklusif serta tata laksana menyusui secara benar sehingga program IMD yang dilakukan nanti bisa dilaksanakan berkelanjutan hingga program ASI eksklusif. Semakin banyak jumlah bayi yang mendapat ASI eksklusif, maka kualitas kesehatan bayi dan anak Balita akan semakin baik (Dinkes Kab.Bantul, 2009). Pengetahuan tentang ASI dan kesadaran tentang kesehatan ibu dan anak di kalangan masyarakat Bantul selama ini dirasa masih kurang. Dilihat dari AKB sebesar 12/1000 kelahiran hidup pada 2005 dan 9,8/1000 kelahiran hidup di tahun 2006 dan capaian ASI eksklusif belum tembus angka 30%. Oleh sebab itu kesadaran atas pemenuhan hak anak dan pengetahuan akan kesehatan ibu dan anak perlu ada perhatian khusus agar visi kabupaten Bantul menjadi Kabupaten sehat dapat terwujud (Dinkes Kab.Bantul 2012). Untuk melaksanaakan kegiatan tersebut, perlu diadakan penyuluhan atau pemberian pendidikan kesehatan pada ibu hamil dan menyusui. Salah satu tindakan yang efektif untuk memberikan informasi dan mengetahui masalah ibu pada saat kehamilan dan menyusui adalah tindakan konseling laktasi. Konseling laktasi lebih efektif karena akan mengetahui masalah apa yang dialami atau sedang dirasakan oleh ibu daripada hanya memberikan pendidikan kesehatan 6 secara rutin, karena tidak semua masalah yang dihadapai ibu-ibu menyusui tercakup pada pendidikan kesehatan rutin yang disampaikan oleh pihak rumah sakit, sehingga konseling laktasi dianggap lebih efektif untuk meningkatkan keberhasilan dalam pemberian ASI, Konseling adalah komunikasi dua arah antara ibu menyusui dengan seorang konselor laktasi. Konseling bukan penyuluhan, tidak sama dengan kegiatan pengajaran atau pemberian nasihat (Roesli, 2009). Konseling laktasi ditemukan berhubungan erat dengan pengetahuan dan keberhasilan dalam pemberian ASI eksklusif. Temuan ini dapat memperkuat teori bahwa konseling laktasi dapat membantu klien untuk mendapatkan informasi yang benar dalam menyelesaikan masalah dalam pemberian ASI (Djami, 2013). Hasil penelitian ini juga sama dengan yang dilakukan Dhandapany et al (2008), di India yang membuktikan bahwa konseling laktasi lebih efektif untuk tingkat keberhasilan dalam pemberian ASI eksklusif. Keberadaan tenaga konselor menyusui menjadi sangat penting. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa peranan tenaga konselor menyusui sangat besar terhadap peningkatan pemberdayaan ibu, peningkatan dukungan anggota keluarga serta peningkatan kualitas pelayanan kesehatan yang pada gilirannya akan meningkatkan cakupan pemberian ASI secara eksklusif di Indonesia. Oleh karena itu keberadaan tenaga konselor menyusui perlu dipertahankan dan ditingkatkan (Departemen Kesehatan RI, 2007). Hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati Bantul didapatkan data bahwa kunjungan pemeriksaan kehamilan di poli kandungan selama 3 bulan terakhir pada bulan Oktober sampai dengan bulan Desember 2014 sebanyak 325 pasien dengan 188 7 pasien yang mempunyai riwayat persalinan sebelumnya yang mengalami kegagalan dalam pemberian ASI eksklusif, dengan jumlah kunjungan total 325 pasien maka perbulan ada 63 ibu yang gagal dalam pemberian ASI. Angka tersebut masih cukup tinggi dalam pencapaian keberhasilan pemberian ASI khususnya di Kabupaten Bantul. Di Poli Kandungan RSUD Panembahan Senopati Bantul didapatkan data bahwa belum ada tenaga kesehatan yang pernah mengikuti pelatihan konselor laktasi, sehingga tenaga kesehatan di Poli Kandungan hanya memberikan pendidikan kesehatan sesuai intervensi dari Rumah Sakit kepada ibuibu yang melakukan pemeriksaan ANC, sedangkan kegiatan konseling laktasi yang membantu bersifat memotivasi ibu hamil untuk menyusui, pelekatan yang benar saat menyusui dan pemerahan ASI sampai menyimpanan ASI perah belum dilaksanakan. Saat dilakukan studi pendahuluan pada tanggal 18 Desember 2014 didapatkan data dari 29 ibu yang sedang melakukan pemeriksaan kandungan di poli kandungan RSUD Panembahan Senopati Bantul, ada 15 ibu yang mempunyai riwayat gagal menyusui pada anak sebelumnya, 6 ibu yang gagal memberikan ASI ekslusif pada anak yang sebelumnya dikarenakan harus segera kembali bekerja setelah mendapat cuti 3 bulan, sedangkan 9 ibu yang lain gagal memberikan ASI ekslusif dikarenakan ASI yang keluar hanya sedikit dan bayi rewel, sehingga ibu-ibu tersebut memberikan susu formula pada bayinya setelah beberapa hari melahirkan. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Konseling Laktasi Terhadap Pengetahuan, Kemampuan dan Keberhasilan Ibu dalam Pemberian ASI di RSUD Panembahan Senopati Bantul. 8 B. Perumusan Masalah Berdasarkan permasalahan di atas maka dirumuskan masalah bagaimana Pengaruh Konseling Laktasi Terhadap Pengetahuan, Kemampuan dan Keberhasilan Ibu dalam Pemberian ASI di RSUD Panembahan Senopati Bantul? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini untuk mengetahui pengaruh konseling laktasi terhadap pengetahuan, kemampuan dan keberhasilan ibu dalam pemberian ASI di RSUD Panembahan Senopati Bantul. 2. Tujuan Kusus a) Mengidentifikasi perbedaan pengetahuan dalam pemberian ASI antara kelompok yang diberikan intervensi konseling laktasi dibandingkan dengan kelompok kontrol. b) Mengidentifikasi perbedaan kemampuan dalam pemberian ASI antara kelompok yang diberikan intervensi konseling laktasi dibandingkan dengan kelompok kontrol c) Mengidentifikasi perbedaan keberhasilan ibu dalam pemberian ASI antara kelompok yang diberikan intervensi konseling laktasi dibandingkan dengan kelompok kontrol. 9 D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi: 1. Pengembangan Ilmu Pengetahuan Menambah informasi dan masukan khususnya bagi ilmu keperawatan maternitas terkait konseling laktasi terhadap pengetahuan, kemampuan dan keberhasilan ibu dalam pemberian ASI 2. Pemberi Pelayanan Keperawatan Sebagai standar dan dapat dijadikan acuan dalam melaksanakan tindakan keperawatan mandiri berupa pendidikan kesehatan dan konseling sehingga meningkatkan kualitas asuhan keperawatan khususnya di lingkup keperawatan maternitas dengan sasaran ibu hamil. 3. Institusi Pelayanan Kesehatan Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyusun kebijakan terkait pemilihan prosedur tindakan pelayanan keperawatan berupa pendidikan kesehatan dan konseling laktasi di ruang poli kebidanan ataupun ruang nifas dalam meningkatkan pemberian ASI pada ibu hamil dan menyusui. E. Keaslian Penelitian Penelitian terdahulu yang mempunyai kemiripan dengan penelitian sebagai berikut: 1. Rahmawati (2008), tentang pengaruh konseling ASI Eksklusif pada ibu hamil trimester ketiga terhadap penyusuan dini dan pemberian kolostrum. Penelitian ini merupakan jenis penelitian uji klinik dengan rancangan 10 parallel randomized clinical trial. Sampel berjumlah 110 dibagi menjadi 2 kelompok yaitu konseling ASI Eksklusif secara intensif sebanyak 55 sampel dan kelompok konseling ASI Eksklusif secara tidak intensif sebanyak 55 sampel. Metode statistik adalah analisis regresi logistik dan analisis korelasi chi square. Untuk mengetahui ratio antara variabel bebas terhadap variabel terikat menggunakan Odds Ratio. Hasil menunjukkan bahwa ibu hamil trimester ketiga yang diberi konseling ASI Eksklusif secara intensif 23,92 lebih besar kemungkinan untuk menyusui dini dan memberikan kolostrum pada tiga hari pertama kelahiran dibanding ibu hamil trimester ketiga yang mendapat konseling ASI Eksklusif tidak secara intensif OR=23,92 (95% CI=8,43-67,83). Dari hasil analisis pada ibu nulipara kemungkinan untuk tidak menyusui dini memberikan kolostrum pada tiga hari pertama kelahiran 0,22 lebih besar dibanding ibu multipara OR=0,22 (95% CI=0,06-0,75). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyusuan dini dan pemberian kolostrum selama tiga hari pertama kelahiran lebih banyak ditemukan pada ibu-ibu yang mendapat konseling ASI Eksklusif secara intensif pada trimester ketiga, dari pada ibu-ibu yang mendapat konseling secara tidak intensif. Perbedaan dengan penelitian ini terdapat pada variabel bebas, desain penelitian, besar sampel, kriteria sampel dan lokasi penelitian. 2. Susilawati (2010), tentang Pengaruh Inisiasi Menyusu Dini Terhadap Kelangsungan Pemberian ASI Eksklusif di Kabupaten Kampar Riau. Jenis penelitian observasional dan menggunakan rancangan kohort retrospektif dengan pendekatan kuantitatif. Sampel menggunakan seluruh bayi berusia 11 6-12 bulan. Pengambilan sampel menggunakan metode consecutive sampling, jumlah sampel 255. Uji hipotesis menggunakan chi-square dengan p<0.05 dan confidence interval 95%. Hasil dari penelitian tersebut menunjukan pelaksanaan IMD dapat meningkatkan kelangsungan pemberian ASI eksklusif, tetapi tidak bermakna secara statistik. Perbedaan penelitian Susilawati (2010) dengan penelitian penulis yakni pada variabel bebas, desain penelitian yang digunakan, tehnik pengambilan sampel dan lokasi penelitian. 3. Estiwidani (2011), tentang Pengaruh Konseling Proses Menyusui Kepada Suami Terhadap Pemberian ASI Eksklusif di Kabupaten Gunungkidul, jenis penelitian eksperimen dengan rancangan Controlled Trial, sampel diperoleh secara consecutive sampling, besar sampel menggunakan rumus dari Lemeshow dengan jumlah sempel 100 responden. Analisis bivariabel menggunakan uji chi square, analisis multivariable menggunakan uji regresi logistik dengan signifikansi p value <0,05. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan proporsi pemberian ASI eksklusif lebih besar pada kelompok intervensi dibandingkan dengan kelompok kontrol dengan OR=3,33 95% CI (1,22-9,11). Tidak adanya peran negatif orang tua/mertua mempunyai hubungan yang bermakna dengan ASI Eksklusif dengan OR=3,87 95% CI (1,45-10,31). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa proporsi pemberian ASI Eksklusif pada ibu yang suaminya mendapat konseling proses menyusui secara lengkap lebih besar dibandingkan dengan ibu yang suaminya mendapat konseling proses menyusui yang tidak lengkap. Perbedaan penelitian Estiwidani (2011) 12 dengan penelitian penulis yakni pada desain penelitian yang digunakan, besar sampel dan lokasi penelitian. 4. Yanti (2011), tentang Keefektifan Metode Edukasi pada Ibu Hamil Terhadap Keberhasilan Menyusui. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan metode edukasi dengan penyuluhan dan konseling terhadap keberhasilan menyusui. Metode penelitian dengan uji klinik rancangan randomized clinical trial. Subyek penelitian adalah ibu hamil trimester ketiga berjumlah 102 orang dibagi dalam dua kelompok konseling dan penyuluhan. Hasil uji chi-square menunjukkan bahwa variabel pendidikan secara statistik mempunyai hubungan bermakna dengan keberhasilan menyusui, yang dilihat dari rentang nilai CI 95% yaitu 1,40-8,06 dan nilai p<0,05. Dari hasil analisis didapatkan nilai RR=3,4 yang berarti tingkat pendidikan rendah memiliki resiko 3,4 kali lebih tinggi pada ibu yang memiliki pendidikan rendah menunjukkan keberhasilan menyusui dibandingkan dengan ibu yang memiliki pendidikan tinggi. Dari hasil penelitian didapatkan hasil bahwa tidak ada perbedaan signifikan pada keberhasilan menyusui antara ibu yang diberi konseling maupun penyuluhan. Ada hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan dan status pekerjaan terhadap keberhasilan menyusui. Perbedaan penelitian Yanti (2011) dengan penelitian penulis yakni pada desain penelitian yang digunakan, teknik pengambilan sampel, besar sampel dan lokasi penelitian yang digunakan dalam penelitian dimana penulis menggunakan post test only design, teknik pengambilan sampel menggunakan consecutive sampling.