Jurnal DIGNITAS Volume VIII No. 1 Tahun 2012

advertisement
Volume VIII No. 1 Tahun 2012
ISSN 1693-3559
dignitas
Volume VIII No. 1 Tahun 2012
ISSN 1693-3559
Jurnal Hak Asasi Manusia
Jurnal Dignitas merupakan jurnal yang terbit dua kali setahun,
setiap Juni dan Desember, dengan mengangkat isu utama mengenai
hak asasi manusia. Tulisan yang diterbitkan di jurnal ini memandang
hak asasi manusia secara multidisipliner. Bisa dari sudut pandang
hukum, filsafat, politik, kebudayaan, sosiologi, sejarah, dan
hubungan internasional.
Tema yang diterbitkan diharapkan mampu memberikan kontribusi
pengetahuan dan meramaikan diskursus hak asasi. Kehadiran Jurnal
Dignitas ini ingin mewarnai perdebatan hak asasi yang ada.
Misi Jurnal Dignitas adalah menyebarkan gagasan dan pemikiran
yang dielaborasi melalui studi, baik teoretik maupun empirik,
tentang permasalahan hak asasi manusia atau hukum yang
berkaitan dengan hak asasi manusia.
Dewan Redaksi: Abdul Hakim Garuda Nusantara, Ery Seda, Ifdhal Kasim, Karlina L. Supeli,
Sandra Moniaga, Soetandyo Wignjosoebroto, Todung Mulya Lubis, Yosep Adi Prasetyo;
Pemimpin Redaksi: Indriaswati Dyah Saptaningrum; Redaktur Pelaksana: Widiyanto Staf
Redaksi: Ikhana Indah, Otto Adi Yulianto, Triana Dyah, Wahyudi Djafar, Wahyu Wagiman,
Zainal Abidin; Sekretaris Redaksi: E. Rini Pratsnawati Sirkulasi dan Usaha: Khumaedy
Penerbit: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
Alamat Redaksi: Jln. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta 12510
Telp: 021-7972662, 79192564 Fax: 021-79192519
Email: [email protected] Website: www.elsam.or.id
dignitas
Volume VIII No. 1 Tahun 2012
ISSN 1693-3559
Jurnal Hak Asasi Manusia
DAFTAR ISI
EDITORIAL
______
3
FOKUS
Drama Abadi Pembajakan Demokrasi demi Masa Lalu
oleh Agung Putri Astrid
______
7
______
9
Ikhtiar Mencuci ”Karpet Martti” di Aceh
oleh Otto Syamsuddin Ishak
______ 25
Kekerasan Politik Massal dan Kultur Patriarkhi
oleh Budiawan
______ 41
DISKURSUS
Kerangka Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat
di Indonesia dan Negara-Negara Lain
oleh Zainal Abidin
______ 51
Penanganan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
oleh Herry Sucipto dan Hajriyanto Y. Thohari
______ 75
OASE
Puisi Pelarian Wiji Thukul
oleh Stanley Adi Prasetyo
______ 49
______ 87
______ 89
TINJAUAN
”Mengindonesiakan” Anak Timor Leste
oleh Razif
______ 115
______ 117
KONTRIBUTOR
______ 127
PEDOMAN PENULISAN
______ 129
PROFIL ELSAM
______ 131
EDITORIAL
Sidang Pembaca yang kami hormati!
Jurnal dignitas kali ini mengetengahkan tema mengenai kabar
penyelesaian kejahatan hak asasi manusia masa lalu. Tema ini secara
sengaja dipilih guna mengungkapkan pelbagai analisis seputar proses
penyelesaian kejahatan masa lalu di Indonesia yang bisa dikatakan
stagnan.
Proses kanalisasi penyelesaian tampak sangat kuat sedang
berlangsung dengan modus lebih sistematis, mulai dari ketentuan
normatif kebijakan yang ada, hingga faktor implementasi penyelesaian
yang tiada komitmennya. Itulah Indonesia. Kita bisa lihat dari perjalanan
upaya penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia.
Beberapa waktu lalu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM) telah menyelesaikan tugasnya melakukan penyelidikan
pro-justicia terhadap Peristiwa tahun 1965/1966. Hasilnya, Komnas
HAM menemukan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia berat
dengan melibatkan unit negara yang bertanggung jawab atas keamanan
saat itu, yaitu Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban
(Kopkamtib).
Hasil penyelidikan Komnas HAM memang menerbitkan secercah
harapan. Institusi ini kemudian meminta kepada Kejaksaan Agung
menindaklanjuti ke tahapan penyidikan. Namun bak nyala lilin yang tibatiba padam tertiup angin, Kejaksaan Agung menyatakan hendak
mengembalikan berkas penyelidikan yang disusun berdasar
penyelidikan selama empat tahun itu.
Lalu kita pun menjadi paham sistem kepolitikan dan hukum kita
sekarang tak kunjung menyemai keadilan bagi korban. Tesis bahwa
setiap negara yang telah melewati fase pemerintahan otoriter akan
mengalami periode transisi tampaknya tak berlaku di Indonesia.
3
Tak pernah tuntasnya penyelesaian masa lalu menjadi penanda
gagalnya periodisasi yang bernada siklis itu. Kondisi Indonesia saat ini
merupakan kelanjutan dari absennya 'patahan' atau batasan yang jelas
antara masa kini dan masa lalu. Karena kini adalah akibat masa lalu.
Asumsi yang berkembang kemudian telah terjadi pembajakan
demokrasi oleh elit lama yang berganti muka menjadi penguasa baru
dengan menggunakan momentum reformasi yang tak terdisain pro
terhadap korban. Elit-elit lama bermetamorfosis dan melindungi
kekuasaannya melalui serangkaian disain aturan hukum yang tak
mencerminkan keadilan bagi korban.
Prosedur hukum menjadi pertimbangan utama, yang ternyata
tak berpengaruh pada perbaikan substansi keadilan. Elit lama ini
ditengarai masih menguasai ranah penegakan dan proseduralisme
hukum ini. Namun, tesis ini ternyata tak berhenti di sini. Ada fenomena
menarik melihat perkembangan post-reformasi di Indonesia. Pegiat hak
asasi manusia Agung Putri melihat dari sudut pandang lain itu.
Menurutnya, Indonesia mengalami fase unik tatkala periode
paska-reformasi sekarang lebih banyak diwarnai dengan dinamika
interaksi korban dan pelaku secara intensif. Fenomena ini merujuk pada
sejumlah peristiwa, seperti halnya, beberapa korban penculikan tahun
1997/1998 memilih bergabung dengan partai politik yang dikontrol
oleh jenderal yang diduga kuat terlibat dalam penculikan mereka saat itu.
Demikian pula representasi korban kejahatan masa lalu yang
pada akhirnya memiliki jabatan-jabatan strategis paska-reformasi dinilai
gagal mengartikulasikan kepentingan kolektif korban. Mereka
setidaknya memiliki kesempatan untuk mengukir sejarah dengan
membuat pembatasan antara masa kini dan masa lalu.
Namun ternyata kelompok korban yang memiliki kekuasaan
tersebut tak mampu melakukan pembatasan itu. Mereka malah justru
memilih jalan kompromi yang akhirnya keinginan pengungkapan
kejahatan masa lalu pun termoderasi dalam kepentingan pragmatis.
Gambaran ini persis terjadi di Aceh, seperti dianalisis oleh Otto
Syamsuddin Ishak, intelektual Aceh yang lama terlibat dalam gerakan
masyarakat sipil Aceh ini.
Tatkala mantan para pejuang Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
4
menguasai mayoritas kursi di parlemen lokal dan posisi gubernur/wakil
gubernur, mereka memiliki kesempatan untuk mendorong kejahatan
masa lalu dengan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
(KKR) Aceh. Akan tetapi apa yang terjadi? Hingga kini KKR Aceh
belum terbentuk dengan dalih ketiadaan dasar legalitasnya.
Terdapat dua skema utama yang selama ini dikenal luas kerangka
penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia berat. Pertama, melalui
pengadilan hak asasi manusia, dan jalur kedua lewat komisi kebenaran
dan rekonsiliasi. Zainal Abidin dari ELSAM menguraikan kedua
mekanisme tersebut dengan becermin pada proses penyelesaian
kejahatan hak asasi manusia di negara-negara lain.
Indonesia mengenal dua mekanisme penyelesaian tersebut,
hanya saja untuk penyelesaian melalui KKR tidak pernah terjadi. Komisi
ini bahkan tak pernah ada dan dasar hukum pembentukannya dianulir
oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006. Sementara pengadilan hak asasi
manusia telah dijamin keberadaannya lewat UU No. 26 tahun 2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Bila terkait dengan kasus sebelum UU disahkan, mekanismenya
lewat pembentukan pengadilan HAM Adhoc. Untuk kasus sesudahnya
lewat pengadilan HAM biasa. Untuk pembentukan Pengadilan HAM
Adhoc harus ada rekomendasi dari DPR dan pembentukannya berdasar
Keputusan Presiden. Bisa dibayangkan betapa berlikunya mekanisme
penyelesaian kejahatan hak asasi manusia masa lalu di negara ini.
Menur ut Hajriyanto Thohari, wakil ketua Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan segala kerumitan yang ada,
pembentukan UU KKR sebagai sarana untuk penyelesaian kejahatan
masa lalu perlu didorong kembali.
Ada banyak kasus yang niscaya saat ini sedang ditunggu
kepastian penyelesaiannya oleh para korban. Menurut Irawan Saptono
(2002), dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia, terdapat tiga tipologi
korban yang perlu dilihat dalam menjamin keadilan mereka yang
terlanggar haknya. Satu, mereka yang masuk klasifikasi korban langsung.
Dua, korban tak langsung yang biasanya menderita psikis dan emosi
yang berat. Dan ketiga, para aktivis yang turut diculik karena
memperjuangkan pengungkapan kejahatan hak asasi manusia.
5
Tulisan Budiawan mengenai narasi tiga korban tak langsung
mengulas betapa passion memories-nya sangat menyentuh. Rata-rata para
korban tak langsung, yang seperti para istri dari mereka yang ditangkap
dengan dalih terlibat PKI tahun 1965 mengalami pergulatan batin yang
cukup keras. Ada istri yang tak siap menghadapi kesendirian, ada pula
yang dengan tabah dan 'menormalkan' hidupnya yang tak normal, dan
lain sebagainya.
Para korban tak langsung ini cenderung memiliki perasaan yang
sama: mereka cemas akan kejelasan nasib suami, anak, atau sanak
saudara mereka yang diculik, dihilangkan paksa, atau mereka yang
mengalami pelanggaran hak asasi manusia berat lainnya.
Stanley Adi Prasetyo berusaha mengungkapkan perasaan yang
dialami oleh aktivis-cum-seniman Wiji Thukul persis saat-saat terakhir
sebelum dia dihilangkan paksa oleh Orde Baru Soeharto, di tahun 1998.
Wiji Thukul mengungkapkan kegetirannya melihat situasi politik dan
sosial yang berkembang saat itu lewat belasan puisinya.
Menariknya, puisi-puisi Wiji Thukul ini belum pernah
dipublikasikan dalam terbitan-terbitan sebelumnya. Baru di jurnal ini
Stanley mengulas puisi-puisi yang dirangkainya menjadi satu rangkaian
cerita yang apik. Hingga kini Wiji Thukul tak jelas keberadaannya. Tak
ada pernyataan resmi dari negara mengenai penghilangan paksa yang
menimpa seniman paling dicari zaman Orde Baru tersebut.
Di akhir edisi ini, kami memuat sebuah resensi buku berjudul
”Making Them Indonesia; Child Transfers Out of East Timor ” karangan
Helena van Klinken. Resensi ditulis oleh Razif. Buku ini bercerita
tentang pemindahan anak-anak Timor Leste berusia di bawah dua
hingga belasan tahun ke Indonesia dengan sejumlah metode
pemindahan dan motifnya.
Semoga Jurnal dignitas ini dapat memperkaya bacaan dan
analisis para pembaca terhadap situasi hak asasi manusia saat ini. Selamat
membaca!
WIDIYANTO
Redaktur Pelaksana
6
FOKUS
Drama Abadi Pembajakan Demokrasi
demi Masa Lalu
Agung Putri Astrid
Abstract
This article argues that the Indonesia's transition towards democracy has not been
completed. It hasn't only been hijacked, but it comprises of a dynamic interaction
between actors who inherit the gloomy condition of the past. Those who are held
hostage by the past, who must solve the problems of the past, has blocked the path
towards settlement. Indonesia comprises of the dynamics between victims and
perpetrators who live side-by-side and that has created the drama of the hijacking
of democracy, it is held hostage by the past. It seems that nation building must
start from here, from the drama of the hijacking of democracy.
Keywords: Hijacking Democracy; The Past
Catatan kenangan
Siang ini, di pertengahan tahun, sudah hari kesekian Jakarta tak lagi
menanggung hujan. Dedaunan yang 5 jam lalu tegak kehijauan, kuning
terkantuk-kantuk. Jalanan meliuk gang perkampungan Condet, panas
dan lengang. Siapa rela memanggang diri di ketinggian matahari selain
penjual asinan dan reparasi sepatu? Tak sampai satu kilo dari Condet
arah timur adalah Lubang Buaya. Nama sebuah desa di kecamatan
Halim, Jakarta Timur, yang sontak menjadi buah mulut dengan rasa
seram di tahun 65. Situs penculikan 6 orang jendral dan seorang kapten
pada 1 Oktober 1965 ini. Kini seperempat kawasannya berdiri museum
dan monumen pancasila sakti, yang setiap tanggal 1 Oktober akan
dibersihkan dari para gelandangan dan pedagang kaki lima karena
presiden akan memimpin upacara militer di sana.
Nun di selatan Condet, dalam jarak tempuh mikrolet M-06
jurusan Kampung Melayu – Gandaria, sebuah kompleks militer pasukan
khusus mencatat riwayat telah menyembunyikan sejumlah pemuda dan
9
FOKUS Drama Abadi Pembajakan Demokrasi
menyiksa mereka di tahun 1998 dan di antara mereka jejaknya tak
berbekas hingga kini. Sementara berbalik ke arah utara, menuju
kampung Melayu-Matraman-Salemba tak satupun bisa menghindar
melewati situs pembakaran pertokoan Ramayana, Jatinegara Mall dalam
kerusuhan Mei 1998, gedung Departemen Pertanian dalam peristiwa 27
Juli 1996, dan markas PKI di Jalan Kramat 81 pada tahun 1966.
Di tengah kampung ini tergelar kembali lembar kejadian demi
kejadian yang sempat kubaca dan kudengar tentang kekerasan politik.
Tak sedikitpun aku pernah mengalaminya. Namun dalam berbagai
sebab dan cara ikut membentuk pikiran, dan cita rasa. Ada komunitas
yang secara sembarangan disebut komunitas korban kekerasan oleh
negara yang aroma penderitaannya belasan tahun terhirup. Jujur, tak
seluruh cerita mereka kurasai sebagai ratapan dan malah sebaliknya aku
lebih suka belajar dari mereka. Kadang bila gairah hilang, kita tenggelam
dalam kehidupan masing-masing.
Mulanya adalah seorang sahabat datang padaku meminta
menulis soal politik yang berurusan dengan korban. Kupikir ini bukan
saatnya. Waktuku habis bersama teman jalanan, para pencoleng, preman
terminal, tukang kayu, pengupas bawang Pasar Induk, serta penganggur
di kampungku, korban pemiskinan. Hitungan matematis mereka
tentang kehidupan ini adalah mendapat hari ini untuk hari ini. Masa
depan cuma akumulasi dari potongan-potongan keberuntungan hari ke
hari. Bagaimanakah caraku mengkalkulasi biaya darah dan derita masa
lalu untuk masa depan ketika kampung ini separuhnya berisi kaum
serabutan?
Tapi ada daya tariknya permintaan temanku itu. Aku harus
menjawab pertanyaan, adakah jalan keluar bagi korban dalam politik
carut-marut saat ini. Aku berhadapan dengan gagahnya kesimpulan
akademik teoritisi politik yang memvonis bahwa transisi di Indonesia
sudah berhenti. Dan hanya ada satu sebab, menurut mereka, sistem dan
institusi demokrasi telah dibajak oleh elit dominan warisan Orde Baru
maupun elit baru. Rasanya tidak ada salahnya pendapat ini. Namun
dalam hati aku ingin tahu, makhluk seperti apakah yang mampu
menunda terselesaikannya masa lalu sekaligus membajak demokrasi
dalam satu tarikan nafas?
Hari menjelang sore. Angin sore merambat menyusup jendela
kamar. Kurasai hawa penantian sekalian orang akan datangnya azan
10
dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012
maghrib. Mengikuti menit-menit penantian itu aku menjalin pikiran,
ingatan dan perasaan sebisanya tentang serpih fakta kekerasan masa lalu
yang beterbangan di kota Jakarta. Kekerasan puluhan tahun lalu
memang tinggal debu politik. Namun debu itu menempel lengket. Sama
lengketnya dengan lelehan darah membeku di seragam Letjen S Parman
yang dipajang di museum Lubang Buaya. Debu itu mestinya bisa
dibersihkan. Anehya, tak satupun melakukannya.
Dalam tragedi politik, tak mudah bagi kita menghapus jejaknya,
seberapapun jauh usaha menenggelamkannya. Tiap sudut kota, orangorangnya berelasi dengan masa lalu, baik dengan kekuasaannya maupun
penghancurannya. Ingatan yang telanjur kolektif terpelihara dari
generasi ke generasi, dengan cara dan tujuan yang berbeda. Tidak ada
masa lalu yang benar masa lalu, meskipun masalah datang silih berhanti,
orang hidup dan mati, menetap dan pindah.
Kenangan Politik
Akhir-akhir ini kerap terdengar lontaran ”Ah, masyarakat sekarang
sudah pragmatis.” Artiya masyarakat hanya peduli pada uang, persetan
dengan nilai kejujuran dan keadilan. Survai kompas bulan lalu
mengamini lontaran ini dengan angka-angka hasil survai. Masyarakat
Indonesia bukan agen perubahan, tetapi motor konservatisme kultural
dan politik.
Suasana tak ingin berubah juga diberkati oleh pandangan dari
Istana Negara. Presiden berhenti bicara soal masa lalu. Kunci
rekonsiliasi, menurut SBY, adalah melupakan masa lalu. Ini dilontarkan
di hadapan tokoh-tokoh dunia yang malang melintang memerangi
kekerasan termasuk penerima hadiah Nobel, mantan presiden Timor
Leste, Jose Ramos Horta. Mengingat masa lalu sama dengan
menyandera diri pada masa lalu dan berhenti menatap masa depan.
Presiden SBY cukupkan dengan bersyukur bahwa di masa
pemerintahannya tidak terjadi pelanggaran HAM.
Pendapat ini berbalik ketika Jokowi menang pada putaran
pertama sebesar 42, 60 persen dengan dana minim melawan gubernur
Jakarta yang menguasai hampir semua lini kehidupan ibu kota. Setelah
berdebat tanpa kata sepakat untuk menjelaskan kejutan ini, akhirnya
baik ahli politik maupun supir taksi sama beranggapan bahwa Jokowi
menang karena rakyat Jakarta menginginkan perubahan.
11
FOKUS Drama Abadi Pembajakan Demokrasi
Apakah rakyat Indonesia tak ingin berubah, pragmatis,
konservatif, oportunis atau sebaliknya, progresif, emansipatoris,
dinamis, sebenarnya cuma kesimpulan permukaan. Jejak kebungkaman
periode Orde Baru yang menggerus heroisme jaman revolusi hingga
pertengahan tahun 60an, belum lagi dijelajahi. Bagiku, menilai bahwa
demokrasi berhenti berdetak karena elit politik Indonesia tidak pro
rakyat, predator, benalu kekuasaan, pewaris ketamakan Orde Baru atau
maling yang masuk dalam selayar mewah pemerintahan SBY sama
dengan bermimpi tentang negara republik yang tidak pernah ada.1
Suka tak suka jalan historis penuh luka ini yang menentukan apa
yang hendak diubah dan ke arah mana perubahan itu. Tiap sentimeter
perubahan itu senantiasa dihidupi oleh pengalaman traumatik bangsa.
Tak seorang pun bisa memulai yang baru dengan menyingkirkan yang
lama, karena yang baru lahir dari yang lama, sekalipun sama
memprioritaskan periuk nasi. Bahkan setelah 15 tahun, di tengah
korupsi bermilyar para politisi pasca orde baru, usaha Agung Laksono
dan kawan-kawannya menobatkan Suharto sebagai pahlawan Republik
gagal. Pengalaman traumatis bukan cuma milik korban tetapi suatu rasa
kolektif bangsa ini.
Selama berbulan-bulan menelusuri kehidupan masyarakat
Afrika Selatan setelah 10 tahun berlalunya rejim apartheid tahun 2002,
kutemukan betapa gaya berpolitik baru lahir justru dari pergulatan
antara konservatisme lama, oportunisme baru dan sobekan sobekan
luka. Semua diperebutkan, mulai dari menentukan bahasa negara, nama
jalan, hingga prosedur penguasaan tanah, tender pembangunan, dan
lokasi pertambangan. Ada juga yang secepat kilat menyesuaikan diri
dengan hiruk pikuk bisnis pasca apartheid baik mantan polisi kulit putih
jaman Apartheid maupun pebisnis kulit hitam.2
1. Tesis ini secara utuh disusun oleh Vedi R. Hadiz dan Richard Robison. Analisis politik yang berkembang
saat ini tidak lain hanya mengekor di belakangnya. Cukup luas diketahui bahkan dalam periode heroik
revolusi Agustus 1945, begitu banyak predator, maling dan orang-orang kaya yang meloncat ke perahu
gerakan kemerdekaan dan banyak lainnya yang membajak revolusi itu. Pramoedya Ananta Toer
melukiskan periode ini dalam novelnya: Di Tepi Kali Bekasi, Jakarta, Lentera Dipantara, 2003 dan
Larasati, Jakarta, Lentera Dipantara, 2003. Juga penting membaca buku Robert Cribb tentang periode ini,
Gangster and Revolutionaries, Jakarta People's Militia and the Indonesian Revolution, 1945-1949, Jakarta, Equinox,
2009.
2.Betapapun, Afrika Selatan masih prihatin atas gagalnya sebagian besar pebisnis kulit hitam.
http://news.bbc.co.uk/2/hi/business/3262123.stm Mereka yang bertahan sedikit diantaranya adalah
milyuner Patrice Tlhopane Motsepe, pembuat minuman anggur, Jabulani Ntshangase
12
dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012
Metode dan praktik rekonsiliasi berkembang subur justru di
negeri yang tersobek-sobek oleh rejim apartheid. Kongres ilmu politik
Afrika Selatan, konperensi metodologi kesehatan masyarakat pasca
apartheid maupun teologi demokrasi dan rekonsiliasi tidak lain adalah
ilmu-ilmu baru di Afrika yang dibangun dari pergulatan antara masa lalu
dan masa depan. Tak ada ilmu dan strategi politik yang dicangkokkan
dari luar. Semua gagal.
Tak diduga, pemerintah Afrika Selatan, dalam upaya
memulihkan lukanya, pun perlu mencari pegangan historis pada
penggagas gerakan Asia Afrika, yang susah payah ditenggelamkan oleh
Orde Baru. Bulan April 2005, Bangsa Afrika Selatan memberikan
bintang kehormatan kelas 1 pada Bung Karno, The Order of the Supreme
Companions of Oliver R. Tambo3 sebagai tokoh Asia Afrika yang telah
memberikan inspirasi bagi perjuangan rakyat Afrika Selatan.
Jam menunjuk pukul enam. Azan maghrib berkumandang
antara masjid ke masjid sepanjang jalanan pantai Situbondo, Jawa Timur.
Sejuk angin sore menyapu sisa panas siang hari. Senja yang sama
menggelayuti tiap banjar di Bali oleh alunan kidung melantunkan puja
puji seloka. Demikian litani ”Salam Maria” mendengung di sudut biara
Susteran Canossian, Comorro, Timor Leste. Tenggelamnya matahari
diberkahi umat manusia di tempat dimana luka-luka menyayat pernah
terjadi.4
Saat maghrib, kerap menutup episode kekerasan siang hari.
Letupan peluru menembus kepala mahasiswa dalam demonstrasi tahun
1998 dan 1999 di tengah kumandang azan maghrib. Kepulan asap hitam
dari kantor PDI di Jalan Diponegoro 58 dan gedung-gedung di Salemba
tanggal 27 juli 1996 membubung tinggi bersama senja. Ratusan warga
kelurahan Koja, Tanjung Priok bersimbah darah menjelang Maghrib. Di
Lampung, juga di desa Nisam, Aceh Utara, warga tidak ke surau untuk
berazan bila beredar desas-desus bahwa tentara mengepung desa.5
3. Oliver Reginald KaizanaTambo adalah pahlawan rakyat Afrika Selatan. Bersama Nelson Mandela dan
Walter Sisulu ia mendirikan ANC (African National Congres) organ utama perjuangan pembebasan rakyat
Afrika Selatan dari apartheid. Namanya diabadikan pada bandara Internasional Afrika Selatan.
http://www.sahistory.org.za/people/oliver-reginald-tambo.
4. Di tahun 2000an warga Situbondo panik oleh isu dukun santet dan ninja yang berujung ke pembunuhan
orang-orang yang dicurigai dukun santet. Susteran Canossian menjadi tempat berlindungnya warga desa
dari amukan milisi Aitarak dan Dadurus Merah Putih yang membakari desa-desa di tahun 1999. Sakralitas
banjar-banjar di Bali tak hanya di segi religiusitasnya tetapi kenangan akan kekerasan tahun 1965.
5. Berbagai laporan HAM dari Aceh hingga Papua menyiratkan senja sebagai ancaman. Lihat juga buku fiksi,
novel karya Arafat Nur, Lampuki, Jakarta, Serambi Ilmu Semesta, 2011.
13
FOKUS Drama Abadi Pembajakan Demokrasi
Sejak drama penculikan jendral di Jumat Legi 1 Oktober 1965
dan selanjutnya, turunnya matahari berarti mulainya bencana.
Penangkapan dan pengambilan orang tidak kembali sejak November
1965 hingga 1969 di desa-desa di Jawa, Bali, Sumatera berlangsung saat
matahari merayap turun. Tiga puluh tahun kemudian, menyusul
peristiwa Sabtu Pon tanggal 27 Juli pagi hari, jajaran pimpinan Angkatan
Darat memaklumkan pengejaran aktivis PRD dan PDI melalui Jurnal
Petang SCTV dan RCTI. Saat maghrib bagi kebanyakan orang Indonesia
adalah waktu yang traumatik tetapi di saat sama diberkati.
Tragedi politik tidak saja menyisakan kenangan tetapi hidup bila
sinyal kekerasan memancar. Lebih lagi, oleh situasi yang tetap
mengancam, yang karenanya tragedi serupa mungkin berulang, trauma
itu terpelihara dengan baik. Karenanya, siapakah, pimpinan politik
manakah, kekuasaan apakah, yang berani menjamin bahwa drama
kekerasan tidak akan terulang kembali?
Serangan kepada kelompok Ahmadiyah hanya menghidupkan
sinyal lama betapa kekerasan antar masyarakat sengaja dibiarkan. Di
Poso, Maluku, Sanggau, Sintang di tahun 1998, maupun Singkawang,
Lombok, Bali dan pedesaan Jawa Timur di tahun 1965, polisi dan tentara
berada di antara para penyerang.
Tuduhan penguasa bahwa Ahmadiyah menghina Islam dan
patut diusir justru menyetrum kenangan lama tentang keberingasan
masyarakat membakar rumah dan membunuh mereka yang dianggap
ternoda oleh komunisme, atheisme atau aliran sesat. Para penganut
agama lokal seperti Kaharingan, Sunda Wiwitan, Parmalim peka dengan
gerak pensucian macam ini. Warga pun masih mengenang pembantaian
Haur Koneng, Jawa Barat tahun 1984. Sinyal itu berkedip-kedip
sepanjang masa karena monumen-monumen hidup warga puluhan desa
di Malang Selatan, Blitar, Kediri yang hampir 100% beragama Kristen
atau Katolik. Mereka ini pemeluk kejawen yang 'hijrah' massal di
penghujung tahun 60an untuk menyelamatkan diri dari tuduhan atheis.
Dimensi kejadian yang berbagai-bagai itu membentuk trauma.
Dimensi yang bukan peristiwa dan tak bisa disusun kronologinya.
Menjadi tapol karena namanya tertera dalam daftar tangkap, karena
pernah mengisi formulir, memberi pelajaran untuk mewaspadai semua
formulir dan tetap memelihara identitas diri yang berbeda-beda.
Peristiwa 65 yang cuma semalam, telah meluluh-lantakkan
14
dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012
segalanya hingga berdekade kemudian. Anak istri suami tercerai-berai,
hilangnya tulang punggung keluarga, dan mata pencaharian serta status
sosial (Roosa, et.al, ed, 2004). Orang gerah bicara politik sekaligus takut
pada agama atau etnis lain. Bila perempuan angkat bicara, tak akan
mungkin serupa dengan ”satriyo piningit” melainkan wujud ”gerwani”
yang artinya kasar, liar dan nakal. Bila masyarakat punya masalah, jalan
keluarnya berupa obat mujarab tanpa menghiraukan problem
politiknya: minum obat agar sembuh dan bukan membangun sistem
kesehatan agar jangan sakit. Politik kewargaan lenyap, yang ada adalah
aktor-aktor yang lolos litsus. Organisasi politik hanya ada bersama
keluarnya ijin. Berkumpul lebih dari 5 orang juga ijin. Patriotisme cuma
ada di benak orang yang punya rencana makar. Tidak ada hidup gotong
royong dan kepemimpinan warga. Masyarakat muak pada politik
sekaligus takut pada kekuasaan.
Kekerasan tak semata soal kerugian psikis dan fisik. Kekerasan
politik itu penuh makna sosial, bertujuan menghancurkan hubungan
sosial antar individu dan individu dengan masyarakat. Yang hendak
diperlihatkan adalah betapa orang bisa menjatuhkan martabat. (Hamber,
2004)
Politik Kenangan
Masyarakat yang lumpuh kepemimpinannya, dicekam takut, disergap
kenangan akan kekerasan politik masa lalu, menjalani peralihan
kekuasaan yang khas. Bara api semangat menyeret penguasa lama,
sejatinya ikut membakar serumah-rumahnya. Namun bayi demokrasi ini
menghadapi dua soal besar: keharusan menghukum pelaku kekerasan
masa lalu yang disandera oleh kebutuhan konsolidasi komponen bangsa
secara demokratik. Tak ada kenyataan seindah adagium pengadilan atas
kejahatan masa lalu melandasi terbangunnya masyarakat demokratik.
Benar, mantan penguasa rejim otoritarian telah kehilangan
legitimasinya. Tetapi konsolidasi demokrasi bukan perkara hukum
apalagi moral. Dalam politik ada ribuan kemungkinan. Desakan public
untuk pengadilan penghabisan bagi sang diktator, seperti di Mesir
terhadap Hosni Mubarak awal Juni 2012 lalu, seharusnya membuka
jendela demokrasi. Tetapi Mesir malah diguncang krisis dan lahir negara
fundamentalis agama. Belum lagi Libya, Irak dan Hungaria. Pada
bangsa-bangsa pasca kolonial pertaruhan gerakan demokrasi yang
15
FOKUS Drama Abadi Pembajakan Demokrasi
bertahun terdepolitisasi adalah integritas kebangsaan itu sendiri. Bung
Karno ada benarnya:
”perjuanganku lebih mudah dibandingkan perjuangan kalian nanti,
karena sekarang aku berjuang melawan penjajah (bangsa asing), tapi
akan lebih berat lagi perjuangan kalian, karena akan melawan bangsa
kalian sendiri”
Keinginan menghapus mimpi buruk masa lalu dan memelihara
kebebasan masa kini malah membuat perhitungan dengan mantan
penguasa rejim otoritarian kerap berbatas-batas. Hingga kini, tak satu
ulasan tentang peralihan politik di berbagai negeri berani menyimpulkan
bahwa setelah segala tindakan mengadili pimpinan diktator otoritarian,
perhitungan dengan masa lalu selesai. Chile, setelah 20 tahun masih
mengadili anggota junta militer. Demikian pula Argentina.
Setelah 14 tahun menginterogasi mantan penguasa Orde Baru,
kita justru diperhadapkan pada belantara sisa otoritarian yang tidak
berujung. Reformasi 1998 melahirkan pengadilan HAM, suatu
pengadilan paling menyeramkan untuk mengadili kejahatan terhadap
kemanusiaan dan genosida. UU No. 26/2000 memerintahkan Komisi
Nasional HAM membuat laporan pro-justicia yang menjadikannya
lembaga paling prestisius dengan kewenangan mengkalkulasi perbuatan
setingkat pimpinan negara. Namun pengadilan HAM dihadang oleh
prosedur pembuktian yang merujuk pada kitab hukum pidana buatan
pemerintah colonial, yang hanya mengenal kejahatan terorganisir.
Belum sampai ke ranah pengadilan, sejak pagi-pagi Kejaksaan Agung
menolak Komnas HAM, baik laporannya maupun data dan faktanya.
Akhirnya tak satupun pengadilan menghukum pimpinan orkestra
kekerasan Orde Baru.
Selain laporan Komisi Kebenaran dan Persahabatan, komisi
penyelidik dua negara Indonesia dan Timor Leste tahun 2007, tak ada
laporan yang mengungkap kebenaran. Pernyataan komandan militer,
pendapat akademisi, dakwaan Jaksa hingga pertimbangan hakim sama
menyebut peristiwa paling tragis di republik ini sebagai bentrokan antar
kelompok (Agung Putri, 2008). Tragedi 1965 dijelaskan sebagai langkah
aparat keamanan memulihkan ketertiban akibat bentrokan antara
kelompok pro dan anti komunis. Pembunuhan massal Tanjung Priok
1984 dijelaskan sebagai upaya aparat keamanan mempertahankan diri
dari amukan massa. Kekerasan selama jajak pendapat di Timor Leste
16
dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012
sebagai ekses dari upaya aparat keamanan mencegah konflik antara
gerakan pro-kemerdekaan dan pro-integrasi.
Prosedur yudisial begitu sulit menggugat kekerasan negara,
kekerasan oleh aparatur negara terhadap warganya. Negara dalam
khazanah pikiran orang Indonesia adalah bangunan moral dan politis
bangsa. Negara bukan institusi hukum tetapi pencapaian historis
gerakan anti kolonial. Negara yang rapuh serta merta akan
menggerogoti bangsa (Latif, 2012).
Tetapi lebih dari soal persepsi, kebijakan pemulihan ketertiban
mau tak mau menyeret lembaga negara, Kejaksaan Agung salah satunya.
Lembaga ini dalam riwayatnya menjadi lembaga pemberi pembenaran
hukum bagi kekerasan. Kejaksaan Agung atas masukan-masukan dari
tim psikologi, Fakultas Psikologi UI, menggolongkan warga ke dalam
golongan A, B, C, yang menentukan jenis hukuman mulai dari hukuman
mati, penjara seumur hidup atau pembuangan. Lembaga ini berkuasa
menetapkan suatu perkara sebagai tindak pidana khusus, tindakan
membahayakan keamanan negara, di bawah undang-undang subversi.
Kejaksaan Agung membuat operasi berdarah di tahun 1965
berlandas hukum. Di bawah kendali operasi besar pemulihan keamananKopkamtib tahun 1965, Kejaksaan Agung memimpin Operasi Justisi,
dengan wewenang membuang orang, mengeksekusi mati dan menguasai
seluruh tempat pembuangan tahanan politik.6 Ialah alat hukum yang
menjalankan fungsi politik. Sekalipun kewenangannya kini diciutkan
melalui revisi UU Kejaksaan dan kewenangan historisnya yaitu
melarang peredaran buku dilucuti melalui keputusan Mahkamah
Konstitusi tahun 2010, namun ia tetap mengabdi pada otoritarianisme,
terutama meninjau dakwaan jaksa atas perkara pelanggaran HAM di
pengadilan HAM.7
Demikian pula dengan pengadilan. Sekalipun Mahkamah
Agung telah menjadi lembaga judisial independen, pengadilan HAM
6. Lembaga ini dalam satu dekade juga menjalankan perdagangan, mengantarkan panen beras dari Pulau
Buru ke Pulau Ambon, atau memasok kebutuhan garam dari Jawa ke Pulau Buru. Pulau Buru adalah
tempat pembuangan para simpatisan Sukarno dan PKI. Detil penggambaran hubungan antar lembaga ini
lihat Pramoedya Ananta Toer, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Jakarta, Lentera, 1995.
7. Elsam memantau persidangan di Pengadilan HAM ad hoc dan membuat catatan hasil pemantauan. Lihat
www.elsam.or.id . Lihat jug a beberapa catatan peng adilan David Cohen dalam
http://ictj.org/publication/intended-fail-trials-ad-hoc-human-rights-court-jakarta
17
FOKUS Drama Abadi Pembajakan Demokrasi
enggan mempertimbangkan bukti di luar dakwaan Jaksa yang sudah
minim itu, misalnya mengabaikan keterangan saksi maupun korban,
untuk kejahatan luar biasa yang telah menyalahgunakan kewenangan
negara. Keputusan pengadilan lebih banyak menjerat pelaku lapangan
dari pada pembuat kebijakan (Cohen, 2003; Elsam, 2004).
Beberapa keputusan pengadilan memang mempertimbangkan
korban. Hakim mengabulkan gugatan korban untuk memperoleh
kembali rumah yang diduduki militer Udayana, suatu kasus di Bali.
Kemenangan memperoleh kembali tanah perkebunan yang sempat
dirampas militer di daerah Blitar juga berhasil dilakukan. MA tahun 2008
mengeluarkan keputusan mencabut sebagian besar peraturan dengan
syarat bebas G30S. Nani Sumarni, mantan penyanyi Istana yang
mendapat cap ET bertahun-tahun, berhasil memperoleh KTP seumur
hidup. Namun bagai perahu mengapung di samudra rahasia masa lalu,
kemenangan ini hanya kemenangan hukum ketimbang penyelesaian
pelanggaran HAM.
Ketika menjabat presiden, Gus Dur menjajagi jalan politik
dengan menyatakan permintaan maafnya atas kejahatan terhadap
kemanusiaan kepada warga korban kekerasan '65.
Namun langkah ini dijegal seketika oleh gelombang protes
massa NU, khususnya Jawa Timur. Protes yang sama terhadap Komnas
HAM ketika mengeluarkan laporan HAMnya tentang tragedi tahun
1965 13 tahun kemudian.
Faksi-faksi anti komunis yang menggantikan suara para jendral
Orde Baru, mengancam: jangan coba-coba menyelesaikan kekerasan
Orde Baru. Sementara itu Mahkamah Konstitusi dalam keputusannya
tahun 2006 telah membatalkan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi8
dengan dalil sederhana: tiadanya kepastian hukum. Akibatnya pun
sederhana, hukum menyandera jalan politik untuk mengurus masa lalu.
Kegagalan ini di ujungnya adalah tindakan absurd seperti memaksa
pemindahan jazad Heru Atmojo dari liang kubur Taman Makam
Kalibata.9
Menurut Robison dan Vedi (2004), sekalipun pilar ekonomi
politik Orde Baru telah dilucuti ini tidak mematikan kiprah aktor Orde
8. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah komisi yang dimaksudkan membantu pemerintah
menyelesaikan kekerasan masa lalu dengan cara membongkar fakta kekerasan, memberikan pengakuan
resmi atas kejadian tersebut, memberikan kompensasi pada korban dan keluarganya serta penghukuman
atau pemaafan bagi pelakunya. Lihat naskah UU KKR yang telah dibatalkan. www.elsam.or.id
9. Letkol AU Heru Atmodjo meninggal pada tanggal 29 Januari 2011. Ia diduga terlibat dalam gerakan 30
September 1965. Ia dihadapkan pada Mahkamah Militer Luar Biasa dan dijatuhi hukuman penjara.
18
dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012
Baru dan jaringannya. Mereka bertahan dan menyesuaikan diri dengan
sistem baru. Kekuasaan politik kembali dimonopoli dan sumber daya
ekonomi dikolonisasi. Demokrasi kita sudah dibajak (Priyono, 2004).
Kebertahanan kaum predator ini patut diduga menjadi penghambat
penyelesaian kekerasan politik masa lalu.
Namun agaknya terlalu gegabah mengatakan kegagalan
menginterogasi masa lalu bersumber dari rendahnya kualitas demokrasi.
Selain warisan otoritarian itu efektif bekerja di institusi-institusi
peradilan, toh demokrasi yang pincang ini, demokrasi semu, demokrasi
para preman, ternyata tidak bisa mengubur dosa masa lalu. Demokrasi
itu sendiri tumbuh di atas lanskap politik yang dibangun melalui tragedi
berdarah. Yang dihadapi , ternyata lebih dari konflik antar partai politik,
antara kelompok golongan masyarakat, antara PKI dan non PKI.
Di atas orkestrasi kekerasan tahun 1965, Orde Baru menyiapkan
landasan ideologi, politik, ekonomi baru, dan sebesarnya coba
melenyapkan pemerintahan Kabinet Gotong Royong dan revolusi
Agustus dengan sebutan Orde Lama. Bukan saja mereka yang dibunuh,
dibuang, dipenjara, atau yang membunuh, membuang, dan memenjara
terikat oleh tragedi itu. Tetapi juga mereka, kaum intelektual, seniman,
profesional, teknokrat, pengusaha, rohaniwan, diplomat, yang
membangun orde. Para reformis yang berjuang meluruskan yang
diselewengkan Suharto harus menjawab pertanyaan: siapa bertanggung
jawab atas berdiri dan langgengnya Orde Baru?
Para pemimpin negara masa reformasi tak putus rantainya
dengan Orde Baru. Habibie, tak lepas dari sebutan ”anak emas
Suharto”. Gus Dur tak mungkin membebaskan NU dari keterlibatan
kekerasan di masa lalu yang kemudian menjadi korban intervensi Orde
Baru dalam muktamar tahun 1984 (Aspinall, 2005). Megawati
Sukarnoputri sejak muda tersingkir bersama dengan tergulingnya
pemerintahan Soekarno. SBY terkait dengan peristiwa 27 Juli dan
beberapa kekerasan di Timor Leste. Sementara itu mertua SBY, Jendral
Sarwo Edi, adalah aktor penting pemulihan ketertiban paling berdarah
tahun 1965 yang juga disingkirkan Soeharto.
Siapapun, kaum demokrat di negeri ini, terlibat atau tidak dalam
kekerasan, menjadi korban atau tidak, tetapi menyumbang
pembangunan Orde Baru, berarti ikut melumat kabinet gotong royong
Soekarno. Kerumitan ini terpancar dalam pendapat pemimpin NU
19
FOKUS Drama Abadi Pembajakan Demokrasi
dalam dengar pendapat dengan anggota Panitia Khusus RUU Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi, DPR RI. 10
”….Maka hendaknya kalau memang kita membuat undang-undang ini
harus ditentukan terlebih dahulu niat membuat undang-undang itu,
apakah kita menuju kepada rekonsiliasi ataukah kita ingin membuka
kasus-kasus yang lalu itu, … Saya berpendapat bahwa kalau luka-luka
yang lama itu ditelusuri, dibuka satu persatu secara nasional maka yang
terjadi adalah fenomena pertikaian baru tanpa bisa dihindari. Maka yang
betul adalah kita harus menutup dalam-dalam seluruh peristiwa-peristiwa
yang memilukan itu kemudian kita atasi seluruh ekses-ekses yang timbul
karenanya…. Hasyim Muzadi, ketua PBNU, dalam RDPU Pansus
RUU KKR 2003”
Pertanyaan dasarnya: bagaimana cara kita membongkar masa
lalu?
Keterbukaan yang digulirkan oleh sejumlah perwira militer,
lebih dari suatu angin kebebasan dan kemenangan orde hak asasi, adalah
juga momentum kembalinya para politisi dan parpol tersingkir11 sejak
masa de-sukarnoisasi 1965 hingga 1971 dan sesudahnya. Politisi NU
yang bersembunyi di tubuh Golkar, menunjukkan ke NU-annya.
Bahkan sejumlah tokoh Golkar justru dibesarkan oleh pemerintahan
Sukarno. Bisnis keluarga Aburizal Bakri (Pohan, 2011) dan Jusuf Kalla
tumbuh dari program pengusaha pribumi periode Sukarno. Sekalipun
orang semacam Arifin Panigoro atau bahkan Taufik Kiemas bersikap
serupa Orde Baru (Robison dan Vedi, 2004), mereka justru pendukung
pemerintahan Sukarno.
Partai politik baru yang lahir dari semangat reformasi, memilih
melekatkan diri pada partai lama. PKB bangkit dari masa tiarap panjang
NU dari politik. PDI Perjuangan mencoba mengembalikan kejayaan
PNI. PAN menjadi semacam 'sayap politik' Muhamadiyah. Partai Bulan
Bintang mensenyawakan diri dengan Masyumi. PDS dengan Parkindo.
PKS, eksponennya dikaitkan dengan gerakan DI/ TII.
Kita menyaksikan suatu transformasi korban, pelaku, saksi,
pendukung, atau penyembah Orde Baru menjadi politisi pasca Orde
10. Lihat teks transkripsi dengar pendapat antara pemimpin NU, KH Hasyim Muzadi dengan anggota DPR
RI Komisi III, 2004.
11. Perwira militer, termasuk Jendral polisi Roekmini yang mendorong keterbukaan tahun 1993 melalui
forum parlemen, itu terutama didasari oleh kekuatiran peran ICMI yang semakin membesar, ketimbang
komitmen pada kebebasan berekspesi. Pertentangan ideologis antara militer merah putih dan militer
hijau (Aspinall, 2005).
20
dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012
Baru. Mereka mendukung partai tertentu dan menjadi anggota legislatif,
misalnya AM Fatwa, Beni biki, Yusron, dan Ribka Ciptaning. Mantan
Tapol, tokoh perburuhan, Mochtar Pakpahan mendirikan partai buruh.
Demikian pula Sri Bintang Pamungkas dengan partai nasionalnya.
Setelah peristiwa 27 Juli muncul politisi antara lain Mangara Siahaan,
Eros Djarot, dan Sophan Sophiaan.
Perwira tinggi yang namanya tersebut dalam laporan Komnas
HAM membentuk partai politik, atau mem-backing partai-partai besar.
Junus Josfiah, namanya tersebut berkali-kali dalam pembunuhan
wartawan Australia di Balibo 1974 menjadi pimpinan PPP. Jendral
Muchdi belakangan menyusul. Mereka bahkan menjadi pelindung
pimpinan partai politik yang menjadi korban.12 Pemimpin tertinggi
partai Gerindra, Prabowo masih memiliki soal dengan peristiwa
penculikan di tahun 1998. Jendral (purn.) Wiranto yang punya soal
dengan kebijakan bumi hangus di Timor Leste tahun 1999 kini
memimpin partai Hanura.
Transformasi ini bukan adegan 'ramai-ramai melupakan masa
lalu'. Justru sebaliknya, sedang terjadi pengentalan identitas gerakan
politik karena keterlibatan dalam kekerasan di masa lalu. Di kalangan
korban pun, korban '65 misalnya, akan sulit melibatkan diri dalam partai
Golkar, PKB atau PAN dan lebih memilih PDIP dan partai Sukarnois
lainnya. Bali khususnya, perseteruan antara PNI dan PKI di tahun 65
membuat korban PKI kini bisa dipastikan lebih bersimpati kepada
Golkar dan Partai Demokrat. Korban Tanjung Priok berada di belakang
PPP. Di Aceh, partai Aceh didukung penuh oleh korban kekerasan
Orde Baru.
Partai politik itu sendiri adalah korban Orde Baru, terkubur
dalam fusi 3 partai, atau dibubarkan, diinterupsi, dikangkangi Golkar
dan mengidap trauma yang sama. Kini pelaku politik pasca Orde Baru,
korban dan pelaku, hidup bersama dalam format politik khas reformasi,
yang mengikuti selera internasional (Robison dan Hadiz, 2004) dan tidak
sampai membedah aktor yang mendepolitisasi masyarakat dan
melumpuhkan partai politik.
12. Megawati Sukarnoputri, Ketua Umum PDI Perjuangan, ketika diusung menjadi ketua umum PDI dalam
kongres Surabaya, berusaha disingkirkan. Ketika PDI Perjuangan memenangkan pemilu 1999, banyak
tokoh militer yang dahulu berseberangan menjadi pelindungnya.
21
FOKUS Drama Abadi Pembajakan Demokrasi
Maka di tubuh parlemen, perbedaan dalam melihat masa lalu
menjadi samar dalam bisik-bisik ketimbang debat terbuka sekalipun
dibentuk panitia khusus untuk menguji kasus orang hilang, Trisakti
Semanggi. Ketika salah satu anggota parlemen dari Golkar, Priyo Budi
Santoso menolak Presiden menyatakan permintaan maaf terhadap
korban 65, anggota DPR lain memilih diam.
Sementara di kepulauan yang jauh dari bencana politik nasional,
korban dan pelaku pun hidup saling bertukar luka. Di Bali, korban dan
pelaku hidup dalam satu rumah besar dan menghidupi
persembahyangan yang sama. Di Kupang, pelaku menjalani pengobatan
supra natural untuk mengusir hantu korban yang dibunuhnya di tahun
60an. Tokoh-tokoh daerah, Kepala LPM desa, penasehat perkawinan,
pelukis istana, pemborong proyek perumahan punya masa lalu penuh
luka (Putu Oka Sukanta, 2011). Para politisi Dayak terkemuka fasih
mengurai betapa mobilisasi etnis melayu menyingkirkan mereka di sudut
samping Orde Baru. Politisi Cina tak mungkin lupa akan pembantaian di
Kalimantan, khususnya Sintang dan Sanggau puluhan tahun lalu.
Drama pembajakan demokrasi kalaulah ada, tidak lain adalah
fungsi efekif menyandera setiap pelaku politik dengan catatan masa
lalunya, bukan untuk membungkam. Politik penyelesaian kekerasan
masa lalu dan politik menggunakan kenangan masa lalu ganti berganti.
Kenangan akan kekerasan masa lalu pada gilirannya membentuk politik
masa kini. Karenanya kalaulah ini sebuah pembajakan, maka inilah
pembajakan yang abadi. Kalaulah ini bagian dari pembangunan bangsa,
maka demokrasi itu harus bisa mengakhiri politik penenggelaman
Sukarno dan Orde Lama bersama-sama antara pelaku dan korban.
Penting diingat bahwa trauma politik bukan sekumpulan
simtom...trauma lebih berarti hancurnya individu dan sturktur sosial
politik suatu masyarakat. Dalam pengertian ini memang penting
membantu korban untuk menghadapi dampak konflik, tetapi trauma
juga menuntut terjadinya transformasi masyarakat, memperbaiki relasi
dan perubahan kondisi sosial. (Hamber, 2004)
Dalam kata Nelson Mandela:
Ketika saya melangkah keluar penjara, sudah menjadi misi saya untuk
membebaskan yang ditindas maupun yang menindas. Orang bilang kita
sudah mencapainya. Bagi saya belum. Sesungguhnya kita belum bebas;
22
dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012
kita hanya mencapai suatu keinginan untuk menjadi bebas, hak untuk
tidak ditindas. Tapi kita belum sampai di tahap akhir perjalanan hidup
kita. Kita baru di tahap awal dari perjalanan yang lebih panjang dan sulit.
Untuk menjadi bebas, tidak cukup hanya membuka rantai belenggunya,
tetapi hidup dalam cara yang saling menghormati dan memperbesar
kebebasan orang lain. Ujian yang sesungguhnya akan kesetiaan kita pada
kebebasan baru dimulai (Mandela, 1995).
23
Ikhtiar Mencuci
”Karpet Martti” di Aceh
Otto Syamsuddin Ishak
Abstract
The conflict between GAM and RI ended with the Helsinki MoU agreement on
15 August 2005. The hope to deal with past human rights violations in Aceh
appeared several times, but always ended in failures. This article explores the
failures to deal with past human rights violations in Aceh inspite of the political
change occured in the region
Keywords: Aceh, Human Rights, Past Human Rights Violation
Pendahuluan
Harapan pertama penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia di Aceh
muncul dalam perundingan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)-RI di
Helsinki (2005), tapi gagal. Harapan kedua muncul ketika pembahasan
draf RUU Pemerintahan Aceh (2006), tapi gagal lagi. Harapan ketiga
sempat bangkit paska pemilukada gubernur (2006) yang dimenangkan
oleh golongan politik yang dahulunya pejuang, tetapi gagal juga.
Paska Pemilu 2009 muncul lagi harapan ketika kursi parlemen
provinsi didominasi oleh Partai Aceh (2009), tapi masih gagal juga.
Harapan kelima timbul manakala kandidat gubernur/wakil gubernur
dari Partai Aceh menang dalam pemilukada (2012), dan kini draft qanun
KKR dijanjikan akan dibahas di parlemen provinsi Aceh. Apakah
nantinya akan muncul qanun KKR sebagai instrumen untuk mencuci
sebagian ”Karpet Martti” yang masih bersimbah darah?
Hal yang sudah dapat dipastikan bahwa tidak ada elite politik,
militer, gerilyawan dan milisi—baik secara sendiri-sendiri maupun
secara bersama-sama—yang berani mengatakan atau sebaliknya
membantah di depan publik perihal adanya pelanggaran HAM yang
terjadi selama hampir tiga dasawarsa konflik GAM-RI di Aceh. Semua
25
FOKUS Ikhtiar Mencuci ”Karpet Martti” di Aceh
pihak yang berkuasa saat ini bergeming untuk membahas upaya
penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu Aceh itu.
Tentu saja mandegnya upaya ini tidak sejalan dengan cita
Republik sebagai sebuah negara hukum sebagaimana termaktub dalam
Konstitusi. Sangat disayangkan karena realitas yang terjadi sekarang
seakan-akan merupakan penegasian eksistensi Republik sebagai negara
hukum, dan sebagai sebuah negara modern yang memiliki Konstitusi
yang mencerminkan penghormatan dan kehendak penegakan HAM.
Memang bila dilihat dari konteks historis, sejak berdirinya
Indonesia pada 1945, Republik ini belum memiliki fondasi politik yang
cukup kuat untuk mewujudkan penghormatan dan kemauan penegakan
HAM sebagai sebuah realitas. Ini dibuktikan dengan amat sedikitnya
proses peradilan terhadap pelaku kejahatan kemanusiaan. Dengan kata
lain, Republik ini memiliki tradisi politik yang cukup kuat untuk
mengakumulasi kejahatan kemanusiaan.
Sejak Amandemen UUD 1945 yang dilakukan pada 1999-2002,
HAM telah menjadi bagian yang integral dalam Konstitusi. Jumlah
pasal-pasalnya lebih banyak dibanding pasal yang berkenaan dengan
keamanan dan pertahanan. Amandemen menghasilkan pembatasan
jabatan Presiden maupun Kepala Daerah. Di level pusat telah
mengalami pergantian rezim penguasa paska Reformasi 1998, sedang di
Aceh telah berlangsung dua kali pemilukada (2006 dan 2012), serta satu
kali perubahan komposisi anggota Parlemen Aceh, yang kini dikuasai
dan didominasi oleh golongan politik yang menjadi lokomotif gerakan
kemerdekaan Aceh.
Pertanyaan besarnya mengapa perbaikan kondisi hukum dan
politik, baik di level Pusat maupun di Aceh ini, tidak kunjung memberikan
kebenaran dan keadilan terhadap korban konflik Aceh? Padahal
kejahatan kemanusiaan sebagai fakta sosial (yang terus bergerak menjadi
fakta sejarah) tidak terbantahkan.
Bukankah ikhtiar memberikan kebenaran dan keadilan pada
korban dan pelaku merupakan perwujudan pernyataan diri sebagai
negara hukum? Faktor apa saja yang menyebabkan kegagalan
penuntasan kejahatan masa lalu di Aceh?
Untuk menjawab persoalan di atas, tulisan ini memaparkan
kembali catatan-catatan tentang perdebatan antara pihak RI dan GAM
di meja perundingan di Helsinki, proses pengadopsian resolusi masalah
26
dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012
pelanggaran HAM dalam UU Pemerintahan Aceh, serta ikhtiar
organisasi masyarakat sipil (OMS) untuk mendorong adanya sebuah
qanun tentang komisi kebenaran.
1. Martti: ”Merumitkan Hidup”
Jika merujuk pada catatan proses perundingan di Helsinki versi Hamid
Awaluddin, sebenarnya tidak ada agenda untuk membahas masalah
penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM selama konflik. Delegasi
RI tidak memasukkannya dalam agenda perundingan secara spesifik.
Delegasi RI hanya mengusulkan pembahasan terkait topik
”penghargaan pada prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.”1
Baru pada perundingan putaran kedua, Nurdin Abdul Rahman,
salah seorang delegasi GAM melontarkan topik ini. Nurdin sendiri
memang ditangkap pada 1990 di masa Aceh distatuskan oleh Rezim
Orde Baru sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) dengan sandi
Operasi Jaring Merah. Lalu, setelah dijatuhi hukuman 13 tahun penjara.
Tetapi dengan adanya Reformasi 1998, ia bebas setelah menjalani
hukuman selama 10 tahun.2
Dalam perundingan Helsinki putaran kedua itu Nurdin
mengatakan:
”Untuk urusan hak asasi manusia dan keadilan, kita harus lakukan
investigasi yang dilaksanakan oleh lembaga mandiri internasional. Saya
telah mengalami penganiayaan dalam penjara.” 3
Pengajuan masalah pelanggaran HAM oleh Nurdin dinilai
Hamid Awaluddin4 sebagai sesuatu hal yang sangat personal Nurdin
Abdul Rahman. Menurut Hamid Awaluddin, pengalaman Nurdin itu
selalu dijadikan titik tolak pembicaraan masalah pelanggaran HAM dan
permintaan untuk adanya solusi.
Hamid Awaluddin, sebagai ketua delegasi RI, merespon
panjang-lebar untuk persoalan HAM tersebut secara normatif, setelah
diinterupsi oleh Martti Ahtisaari dengan istirahat minum teh dan kopi
terlebih dahulu.
1. Awaluddin, Damai Di Aceh: Catatan Perdamaian RI-GAM di Helsinki. Jakarta: CSIS, 2008. Halaman 72.
2. http://www.analisadaily.com/news/read/2012/04/18/46237/turut_membidani_mou_helsinki/
3. Ibid, halaman 129.
4. Ibid, halaman 111.
27
FOKUS Ikhtiar Mencuci ”Karpet Martti” di Aceh
Perkenankan saya memaparkan agenda hak smanusia. Masalah HAM
ini, dunia telah menyaksikan betapa pemerintahan kita sangat serius
untuk ini. Dari perspektif hukum, kita telah memiliki UU HAM dan
Peradilan HAM. Sejumlah draft UU yang berkaitan dengan masalah
HAM dan hak-hak sipil politik kini tengah dibahas. Dalam waktu
dekat ini, dua instrument dasar HAM internasional, akan diratifikasi,
yakni, Konvensi Internasional mengenai hak-hak sipil dan politik serta
Konvensi Internasional mengenai hak-hak sosial, ekonomi dan budaya.
Ini adalah tiang pancang utama HAM universal. Ini tak pernah
terbayangkan sebelumnya bahwa kita menyentuh kedua pilar utama ini.
Segi kelembagaan, kita punya Komnas HAM yang sangat mandiri.
Peradilan HAM sudah berjalan.... Kini kita juga dalam proses
pembentukan Komisi Rekonsiliasi.... Jadi, jika GAM berbicara tentang
demokrasi dan HAM, maka segala penilaian negatifnya itu, memang
benar dalam konteks masa silam. Bukan sekarang ini....” 5
Ketika anggota delegasi GAM, Bachtiar Abdullah, menanyakan
bagaimana menyikapi pelanggaran HAM di masa konflik: ”Apakah kita
memandangnya hanya ke depan, bukan ke belakang?”6 Segera direspon
oleh Martti Ahtisaari dengan memuja uraian normatif Hamid
Awaluddin di atas.
”Satu di antara sekian kerumitan hidup yang kita alami adalah, yang
berhubungan dengan masa silam kita. Hati-hati dengan soal ini. Dengan
segala respek saya pada pemerintahan sekarang, banyak sekali kemajuan
yang telah dicapainya … Namun, jangan kita larut dengan kesedihan
masa lalu.”
”Kita tak akan mungkin memasukkan ini dalam draft tertulis sebab
sangat sensitif. Ini tidak berarti kita bahwa kita hapuskan pembicaraan
tentang ini. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa kita harus
bersihkan karpet dari agenda ini. Inilah yang kita maksudkan itikad
baik. Tentu saja memang selalu mengecewakan dan tidak memuaskan.
Kita butuh keberanian menghadapi ini. Singkatnya, masalah HAM
adalah masalah masa depan.” 7
5. Op Cit, halaman 131-132.
6. Op Cit, halaman 133.
7. Op Cit, halaman 133-134.
28
dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012
Dengan pernyataannya itu, Martti Ahtisaari memang tidak
hendak membersihkan ”karpet berdarah”, juga bukan hendak
mengabaikannya, tapi tidak mau masuk ke dalam salah satu kerumitan
hidup. Mantan Presiden Finlandia itu dengan ”berani” mengambil
karpet tersebut dan memasukkannya ke dalam kotak masa lalu, lalu dia
berseru: ”mari kita menatap masa depan.”
Hasil perundingan kemudian adalah tiga butir kesepakatan yang diatur
dalam bab HAM. Berikut adalah poin-poin tentang pelanggaran HAM
sepanjang hampir tiga dasawarsa konflik bersenjata itu, yang
dirumuskan dalam MoU Helsinki:
HAM dalam MoU Helsinki
2.
2.1.
Pemerintah RI akan mematuhi Konvenan Internasional
Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan
Politik dan Mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
2.2.
Sebuah Pengadilan Hak Asasi Manusia akan dibentuk untuk
Aceh.
2.3.
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan dibentuk di Aceh oleh
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia dengan tugas
merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi.
2. Ikhtiar Pada Konteks Nasional
MoU Helsinki memberikan mandat kepada Presiden dan DPR untuk
segera membuat UU baru terkait dengan Aceh dengan mengadopsi
butir-butir kesepakatan Helsinki. Pengusulan dan pembahasan
rancangan undang-undang untuk Aceh kemudian menjadi arena
kontestasi bagi banyak individu elite politik dan pihak golongan politik.
Di Aceh, kontestasi terjadi antara kekuatan masyarakat sipil,
individu elite, elite politik (eksekutif dan legislatif), dan GAM. Tentu saja
masing-masing memiliki agenda sendiri. Ada elite politik yang
melakukan manuver individual dengan cara mengajukan revisi UU No.
18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah
Istimewa Aceh, lalu dia menyerahkan draf tersebut ke pihak terkait di
29
FOKUS Ikhtiar Mencuci ”Karpet Martti” di Aceh
Jakarta. Demikian pula ada inisiatif dari eksekutif untuk mendahului
proses drafting RUU.
Hal yang menarik adalah organisasi masyarakat sipil juga
mengambil inisiatif untuk menyusun draf RUU, sehingga pada satu
kondisi politik tertentu muncul konsensus politik dari semua kekuatan
politik di Aceh untuk melakukan reformulasi bersama yang menjadi draf
RUU dari Aceh. Draf ini yang kemudian disandingkan dengan draf yang
dibahas oleh DPR RI.
Dalam pembahasan di DPR RI, ternyata perihal hak asasi
manusia tidak menjadi topik yang krusial. Perdebatan mengenai HAM
seakan tidak dianggap masalah penting ketimbang tema-tema lain yang
diatur dalam RUU. Sejumlah poin penting terkait HAM yang diusulkan
dalam draf RUU versi Aceh justru dihilangkan.
Misalnya, perihal pelembagaan pengadilan HAM dan Komisi
Kebenaran. Ketentuan mengenai rentang waktu implementasi dua
usulan institusi ini dihilangkan. Sehingga ketentuan waktu pendiriannya
tidak mengikat. Nasib yang sama terjadi pada usulan tentang
kemungkinan keterlibatan pelapor khusus dalam investigasi kejahatan
HAM. Ketentuan ini dihapus dalam RUU hasil pembahasan DPR.
Berikut adalah poin-poin penting dalam draf RUU usulan Aceh
yang mengalami amputasi dan koreksi ketika dibahas di DPR RI:
Usulan Aceh yang Dihilangkan di DPR RI
3. Pemerintah membentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia
paling lambat 1 (satu) tahun setelah pengesahan undangundang ini.
Tenggang waktu
dihilangkan
4. Pemerintah membentuk Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi di Aceh paling lambat 1 (satu) tahun setelah
pengesahan undang-undang ini.
Ayat ini
dihilangkan
5. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah derivasi dari
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional yang
bertugas untuk merumuskan dan menentukan
rekonsiliasi dan melakukan klarifikasi terhadap
pelanggaran Hak Asasi Manusia di masa lalu.
Tugas untuk
klarifikasi
dihilangkan
30
dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012
6. Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di
Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibentuk oleh
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional dengan
memperhatikan pertimbangan DPRA.
”memperhatikan
pertimbangan
DPRA”
dihilangkan
Dalam hal tidak adanya jaminan proses investigasi yang adil
dilakukan terhadap kasus-kasus kejahatan berat hak asasi
manusia tertentu di wilayah, pemerintah memberi
kesempatan kepada pelapor khusus (special rappourteur)
dan/atau pejabat lain Pererikatan Bangsa-Bangsa untuk
masuk ke wilayah Aceh.
Perihal membuka
kesempatan
untuk melibatkan
pelapor khusus
dihilangkan
Setidaknya ada tiga asumsi mengenai minimnya pembahasan
serta penghilangan poin-poin penting tentang HAM dalam RUU
Pemerintahan Aceh di DPR. Pertama, karena rumusan dalam MoU
Helsinki menjamin ditutupnya persoalan pelanggaran HAM masa lalu
(konflik). Kedua, masalah HAM di Aceh dianggap sebagai wacana ke
depan. Ini seturut dengan pembahasan dalam perundingan Helsinki.
Ketiga, minimnya pembahasan HAM dapat memberikan kenyamanan
politik bagi kelompok elite penguasa dan politisi di DPR.
Hal yang terakhir ini menjelaskan bahwa satu karakter transisi
kekuasaan di Indonesia adalah tetap adanya kontinuitas antara penguasa
terdahulu dengan yang kemudian. Kontinuitas ini menjadi salah satu
kendala politik yang utama dalam penegakan HAM untuk kasus-kasus
pelanggaran HAM masa lalu, karena pelanjut penyelenggara negara
sekarang—baik di eksekutif, legislatif dan yudikatif hingga ke pelaksana
di lapangan—adalah bagian dari rezim masa lalu, baik secara struktural
maupun kultural.
Justru mereka memiliki kewenangan untuk menciptakan
diskontinuitas antara kejahatan masa lalu dengan pelembagaan
pengadilan HAM di masa kini dengan kalimat: ”Untuk memeriksa,
mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara pelanggaran hak asasi manusia
yang terjadi sesudah Undang-Undang ini diundangkan …” 8
Peminggiran upaya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu di
Aceh juga terjadi pada proses pembahasan RUU di DPR RI. Masalah
yang dianggap krusial dibahas oleh DPR RI adalah masalah seperti
8. Cetak tebal dari penulis.
31
FOKUS Ikhtiar Mencuci ”Karpet Martti” di Aceh
desentralisasi (penyerahan kewenangan Pusat ke Aceh) dan
dekonsentrasi (pelimpahan kewenangan), persoalan implementasi
syariat Islam agar tidak menjadi jalan bagi gerakan syariatisasi negara,
serta masalah model demokrasi lokal, termasuk di dalamnya mekanisme
pemilihan kepala daerah dan ketentuan mengenai partai politik lokal.9
Koalisi organisasi masyarakat sipil yang sejak masa konflik telah
mengadvokasi persoalan pelanggaran HAM menganggap tindakan
politik dalam pembahasan RUU di DPR dengan mengamputasi poin
penting terkait HAM sebagai tindakan ”merampas hak keadilan
korban.” Mereka juga menilai tindakan politik tersebut telah ”merusak
tatanan hukum nasional yang menjamin keadilan.”10
Pada saat yang hampir bersamaan, pada konteks nasional,
munculnya gagasan pembentuk KKR Aceh memicu kembali desakan
untuk segera membentuk KKR Nasional karena keberadaannya berelasi
dengan keberadaan KKR Aceh. Kaitan ini sesuai dengan rumusan RUU
Aceh yang sedang dibahas oleh Pansus DPR.
Sutradara Ginting, salah seorang politikus PDIP, menegaskan
bahwa ”kalau KKR nasional tidak segera dibentuk, KKR di Aceh juga
tidak bisa jalan.”11 Oleh karena itu PDIP mendesak Presiden SBY untuk
segera membentuk KKR Nasional.
Pendapat lain muncul setelah Mahkamah Konstitusi mencabut
UU KKR sehingga pembentukan KKR Nasional yang ditunda-tunda
itu justru mendapat landasan hukum untuk tidak dibentuk. Akibatnya,
muncul kecemasan terhadap kemungkinan pembentukan KKR Aceh,
meski Ketua MK, Jimly Asshidiqie, mengklarifikasinya. Jimly
mengatakan:
”KKR NAD tidak terkait dengan UU KKR. Itu ada kaitannya dengan
UU PA sendiri... Kalau mau lewat mekanisme KKR, bisa dibuat lagi UU
KKR yang sesuai dengan UUD dan instrumen hukum internasional. Ini
(UU KKR lama) kok kompensasi dikaitkan dengan amnesti…” 12
RUU Aceh pun akhirnya disahkan menjadi UU No. 11 tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh. UU ini memang menjamin
9. Kompas, 1 April 2006.
10. Siaran Pers No. 15/Siaran Pers/VII/2006, Jakarta, 4 Juli 2006. Perihal ini ada kecemasan politik dari
Fraksi PDIP: ”Tidak adil jika kemudian anggota Gerakan Aceh Merdeka terbebas karena telah
memperoleh amnesti, sedangkan para anggota TNI/Polri terancam diadili. Karena itu, F-PDIP
mengusulkan pemberian amnesti kepada semua pihak pelaku konflik di masa lampau sebelum
terbentuknya pengadilan HAM dan KKR.” Kompas, 18 Mei 2006.
11. Koran Tempo, 20 Juni 2006.
12. Detikcom, 8 Desember 2006. Kajian Elsam atas Keputusan MK tentang pencabutan UU KKR
menyatakan, antara lain, membuka jalan bagi terbentuknya kultur impunitas di Indonesia. Elsam,
”Menjadikan Hak Asasi Manusia sebagai Hak Konstitusional,” Seri Briefing Paper No. 01 Januari 2007.
32
dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012
keberadaan KKR di Aceh sebagaimana diatur dalam Pasal 229. Namun
dicabutnya UU KKR oleh MK membuat KKR di Aceh tidak memiliki
basis legalnya karena dalam Pasal 229 ayat (2) UU Pemerintahan Aceh
dinyatakan bahwa KKR Aceh merupakan bagian tak terpisahkan dari
KKR Nasional.
Berikut adalah ketentuan mengenai HAM—termasuk KKR
Aceh—yang diatur dalam UU Pemerintahan Aceh:
Pasal 228
(1) Untuk memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara
pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sesudah Undang-Undang
ini diundangkan dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di Aceh.
(2) Putusan Pengadilan Hak Asasi Manusia di Aceh sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) memuat antara lain pemberian kompensasi, restitusi,
dan/atau rehabilitasi bagi korban pelanggaran hak asasi manusia.
Pasal 229
(1) Untuk mencari kebenaran dan rekonsiliasi, dengan Undang-Undang ini
dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh.
(2) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan bagian tidak terpisahkan dengan Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi.
(3) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh bekerja berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
(4) Dalam menyelesaikan kasus pelangggaran hak asasi manusia di Aceh,
Ko m i s i Ke b e n a r a n d a n Re ko n s i l i a s i d i A c e h d a p a t
mempertimbangkan prinsip-prinsip adat yang hidup dalam
masyarakat.
Pasal 230
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pemilihan,
penetapan anggota, organisasi dan tata kerja, masa tugas, dan biaya
penyelenggaraan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh diatur
dengan Qanun Aceh yang berpedoman pada peraturan perundangundangan.
Sumber: UU No. 11 Tahun 2006
33
FOKUS Ikhtiar Mencuci ”Karpet Martti” di Aceh
Satu-persatu ikhtiar untuk menyelesaikan kasus-kasus
pelanggaran yang terjadi semasa tiga dasawarsa konflik di Aceh pada
konteks nasional mulai pudar. Poin-poin penting mengalami amputasi.
UU KKR pun dicabut oleh MK yang karena pencabutan ini, maka
ikhtiar pembentukan KKR di Aceh dengan sendirinya berakhir.
Meski demikian gerakan masyarakat sipil dan korban
pelanggaran HAM di Aceh tak tinggal diam. Mereka lalu memusatkan
ikhtiarnya pada arena politik lokal di Aceh, tepatnya di DPRA dan
Pemerintah Aceh hasil Pemilukada 2006 yang dimenangkan oleh
pasangan GAM-SIRA—yang maju melalui jalur independen—yakni:
Gubernur, Irwandi Yusuf, dan Wakil Gubernur, M. Nazar.
3. Ikhtiar Pada Konteks Aceh
Lalu bagaimana ikhtiar di tingkat lokal Aceh? Pada prinsipnya Gubernur
Irwandi mendukung pembentukan KKR karena merupakan amanah
dari MoU Helsinki.13 Irwandi juga menyatakan ikhtiar yang sudah
dilakukannya untuk mencari payung hukum bagi KKR Aceh, yakni
dengan cara menulis surat pada Presiden SBY. Payung hukum nasional
dibutuhkan karena "KKR di Aceh, sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)
merupakan bagian tidak terpisahkan dari KKR."14 Dalam lain kata,
Pemerintah Aceh bersikap akan membentuk KKR Aceh apabila ada
payung hukum nasional untuk pembentukan KKR Nasional. Pada
kesempatan lain, Gubernur Irwandi mengatakan:
”Mengingat batas waktu yang ditetapkan UUPA telah dilewati, maka
saya menyarankan kepada Presiden untuk mengupayakan percepatan
pembentukan pengadilan tersebut agar tersedianya jalur hukum untuk
korban-korban pelanggaran HAM di Aceh… Sebagai jalan lain, kami
menyarankan agar Presiden mempertimbangkan untuk menetapkan suatu
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) tentang KKR.
Ini memang dimungkinkan karena situasinya darurat.” 15
Ikhtiar Gubernur Irwandi tersebut dibenarkan oleh Menteri
Dalam Negeri Mardiyanto bahwa surat Gubernur telah diterima dan
Pemerintah sedang berkonsultasi dengan para pihak yang terkait di
Jakarta.
13. http://www.rakyataceh.co.nr/, rakyat aceh, 16 Februari 2007.
14. Kompas, 24 Maret 2007.
15. Serambi, 24 November 2007. Kepala Biro Hukum dan Humas Setda Aceh, A Hamid Zein bahkan
memberikan harapan yang lebih besar tentang pembentukan KKR “bahwa Rancangan Undang-Undang
(RUU) KKR sudah dimasukkan ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) tahun 2008.” Serambi,
26 November 2007.
34
dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012
”Kami sudah menerima surat permohonan dari Gubernur (NAD)
Irwandi Yusuf agar pemerintah segera mengeluarkan keputusan mengenai
pembentukan KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi). Surat itu akan
menjadi pertimbangan penyegeraan pembentukan KKR.” 16
Perihal pembentukan KKR juga dibicarakan dalam pertemuan
Forum Komunikasi dan Koordinasi (FKK) Damai Aceh, yang
merupakan forum perwakilan Pemerintah Pusat yang berkantor di
Aceh. Anggota FKK, Masykur, meyakinkan bahwa Pusat siap untuk
membentuk KKR, dan dia justru meragukan kesiapan Pemerintah Aceh
dan pihak GAM.
”Dari hasil rapat tersebut memang telah kita sepakati untuk perancangan
Perpu bagi pembentukan KKR di Aceh secara lebih spesifik, mengingat
acuan dasar pembentukan KKR yang didasarkan pada UU No 27
Tahun 2004 Tentang KKR, telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Saat ini Perpu tersebut sedang dalam proses persiapan…. Pada prinsipnya
pemerintah pusat siap untuk membentuk KKR dan pengadilan HAM di
Aceh, sekarang pertanyaannya adalah apakah pihak yang dulunya
bertikai siap untuk menerimanya.” 17
Di lain pihak, ternyata rancangan qanun KKR tidak masuk
dalam Program Legislasi DPRA 2007, meski sudah diamanatkan dalam
MoU Helsinki dan UUPA. Sejumlah organisasi masyarakat sipil pun
menyikapinya dengan mendesak Pemerintah RI untuk segera
membentuk KKR di Aceh sebagai perwujudan pengakuan terhadap
kehormatan para korban dan ahli warisnya.18
Di tingkat bawah, gerakan masyarakat sipil sudah
mensosialisasikan pembentukan KKR Aceh kepada para ulama. Aksi
mereka mendapatkan dukungan dari ulama Aceh yang terhimpun dalam
Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA).
Dalam sebuah kesempatan, Sekretaris Jendral HUDA, Tgk
Faisal Ali, mengatakan bahwa korban konflik mempertanyakan tiga poin
kepada Gubernur Irwandi. Ketiga poin tersebut adalah kapan
pengadilan HAM di Aceh bisa dilaksanakan, kapan Komisi Kebenaran
16. Kompas, 27 November 2007.
17. Serambi, 4 Oktober 2007.
18. Serambi, 19 Agustus 2007.
35
FOKUS Ikhtiar Mencuci ”Karpet Martti” di Aceh
dan Rekonsiliasi (KKR) dibentuk dan dijalankan, ketiga mengapa
kinerja Badan Reintegrasi Damai-Aceh (BRA) sampai kini belum
maksimal dalam menjalankan program reintegrasi untuk korban
konflik.19
Namun Gubernur Irwandi tak serius menanggapi keluhan para
ulama. Dia hanya mengatakan agar para korban bersabar. Lalu, dia
mengalihkan perbincangan dengan para korban ke persoalan kebutuhan
lain yang mendesak, yakni pembentukan Komisi Komplain
sebagaimana yang diamanatkan MoU Helsinki.
”Ini juga belum terbentuk, padahal ini sangat penting. Karena pada waktu
terjadi konflik, banyak rumah, toko, kendaraan masyarakat yang
dibakar dan diambil paksa. Sampai sekarang belum ada proses
penggantiannya. Dalam perjanjian damai, masalah ini harus
dilaksanakan, agar orang yang jadi korban bisa mendapat ganti rugi.” 20
Konsekuensi logis dari sikap Gubernur Irwandi yang
menggantungkan pembentukan KKR Aceh pada payung hukum
nasional berdampak pada gagalnya upaya 35 anggota DPR Aceh periode
2004-2009 yang menggunakan hak inisiatif mereka mengajukan draf
rancangan qanun KKR untuk dibahas, menjadi gagal. Salah seorang
inisiator, Muklis Mukhtar menjelaskan bahwa ”ada penjelasan dari
Pemerintah Aceh yang meminta ditunda, maka semangat dari tim ini
sempat buyar.” 21
Ketika berkunjung ke Aceh, Martti Ahtisaari mengakui masih
adanya butir-butir dalam MoU Helsinki yang belum diimplementasikan,
khususnya yang menyangkut pembentukan pengadilan HAM dan KKR,
namun hal ini menjadi tanggungjawab Pemerintah sepenuhnya.
”Adalah menjadi kewenangan polisi untuk menyelidiki dan menindak
para pelakunya, sehingga jangan sampai menjadi ancaman bagi masa
depan perdamaian Aceh.” 22
Dalam hal ini cara pandang Pemerintah Aceh (termasuk staf ahli
gubernur) dan Martti Ahtisaari dalam melihat siapa pihak yang
bertanggung jawab dalam pembentukan pengadilan HAM dan KKR
adalah Pemerintah Pusat. Dalam bahasa staf ahli Gubernur, M Nur
Rasyid, ”Pemerintah RI masih punya utang, antara lain belum
19. Serambi, 7 September 2007.
20. Serambi, 7 September 2007.
21. Serambi, 11 Februari 2009.
22. Serambi, 26 Februari 2009.
36
dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012
terbentuknya KKR.” 23
Meskipun demikian kondisi politik di Aceh, para aktivis
organisasi masyarakat sipil dan para korban tetap melakukan ikhtiar
untuk pembentukan pengadilan HAM dan KKR. Harapan itu kembali
muncul paska Pemilu 2009 karena Partai Aceh mendominasi kursi
parlemen di provinsi. Partai ini mendapat 33 dari 69 kursi DPR Aceh.
Mereka menuntut segera pembahasan dan pengesahan rancangan
qanun KKR. Direktur AJMI, Hendra Budian mengatakan: ”Kepada
Dewan baru agar sesegera mungkin mengesahkan Qanun KKR demi
menjawab rasa keadilan bagi korban konflik.”24 Gubernur Irwandi pun
kian mempertegas sikap politiknya perihal ini:
”Yang sangat penting untuk kita minta perubahan adalah Pasal 229
tentang pembentukan KKR. Dalam UUPA disebutkan kalau
pembentukan KKR Aceh harus dibentuk berdasarkan UU. Dalam
penjelasan UUPA, UU yang menjadi cantolan KKR Aceh adalah UU
No 27 Tahun 2004 tentang KKR nasional. Masalahnya UU KKR itu
sudah dibatalkan oleh MK. Untuk menunggu UU yang baru, kita
membutuhkan waktu yang lama. Kalau Aceh membentuk KKR dengan
menggunakan payung hukum qanun, perdebatan hukum akan panas lagi.
Alangkah sangat bijak kalau kita minta agar Pasal 229 ini direvisi,
sehingga kita tidak perlu menunggu UU lagi untuk pembentukan KKR
Aceh.” 25
4. Korban Memonumenkan Kebenaran
Di tingkat bawah, masyarakat memiliki ikhtiarnya sendiri dalam
mengingat pelanggaran hak asasi manusia sepanjang konflik
berlangsung. Warga Pusong di Kota Lhokseumawe bersama dengan
Komunitas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Aceh Utara dan
Lhokseumawe (K2HAU) mengadakan ritual tahunan berupa doa
bersama dan menyantuni anak yatim dalam mengenang tragedi
penyiksaan di Gedung KNPI, pada 9 Januari 1999. Dalam peristiwa ini
lima warga sipil meninggal, 23 luka berat dan 21 luka ringan. Mereka juga
mendesak Pemerintah di Jakarta dan Gubernur Aceh untuk membentuk
pengadilan HAM dan KKR sesuai amanat MoU Helsinki.
23. Serambi, 28 Agustus 2009.
24. Serambi, 1 Oktober 2009.
25. Materi disampaikan pada diskusi politik dengan tema: Menjaring Aspirasi Rakyat Aceh dalam Revisi
UUPA, bertempat di Anjong Mon Mata Banda Aceh tanggal 21 April 2010 yang dilaksanakan DPP Partai
Rakyat Aceh (PRA).
37
FOKUS Ikhtiar Mencuci ”Karpet Martti” di Aceh
Berbagai organisasi masyarakat sipil, masyarakat dan keluarga
korban tragedi Simpang KKA yang terjadi pada 3 Mei 1999 di Aceh
Utara juga mengkonstruksi ritual peringatan atas tragedi tersebut. Selain
peringatan tahunan, mereka juga mendirikan monumen dengan grafiti:26
l
Pemerintahan Aceh dan Pusat harus mengambil langkahlangkah kongkrit misalnya dengan membentuk tim-tim
pencari fakta terhadap kasus masa lalu di Aceh untuk adanya
sebuah pendomentasian kasus secara menyeluruh di Aceh,
pemerintahan Aceh segera membentuk Qanun KKR Aceh.
l
Pemerintahan di tingkat Nasional harus segera mengesahkan
undang-undang KKR Nasional yang sudah dicabut.
l
Pembentukan pengadilan HAM untuk Aceh menjadi
bahagian dari penyelesaian kasus pelanggaran HAM Aceh,
mekanisme pengadilan HAM dan KKR saling berhubungan
dalam proses pemberian rasa keadilan bagi korban.
Demikian pula yang dilakukan oleh masyarakat dan korban serta ahli
warisnya di Jamboe Keupok, Bakongan, Aceh Selatan. Mereka
mendirikan sebuah monumen untuk mengenang 16 warga sipil yang
menjadi korban massal. Saburan, salah seorang anak korban,
mengatakan:
”Negara melakukan kejahatan, kami tidak ingin melupakan. Apalagi
sampai sekarang keadilan dan tanggung jawab negara belum terwujud…
Tugu ini penting sebagai bukti sejarah. Setidaknya menjadi pengobat hati
kami para korban dan kami tetap menuntut hak.” 27
Di Banda Aceh, Keluarga korban penghilangan paksa se-Aceh
(Kagundah) meminta agar Pemerintah Aceh membentuk qanun KKR.
Hasil Kongres, menurut sekretaris jenderal Kagundah, Rukaiyah:
”Orang-orang yang hilang semasa konflik itu merupakan tulang punggung
bagi keluarga. Sekarang mereka tidak ada lagi, sehingga para keluarga
korban kesulitan memenuhi nafkahnya… Ini harus ditunjukkan sebagai
wujud kepedulian pemerintah untuk mendukung keberlangsungan
perdamaian yang berkeadilan di Aceh.”28
26. http://atjehlink.com/tragedi-simpang-kka-keadilan-bukan-sebatas-tugu/
27. VHRmedia, 28 Oktober 2011.
28. Waspada Online, 15 October 2009.
38
dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012
Penutup
Berkaca pada kasus Aceh, penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia
memang sudah menjadi satu hal yang kusut. Instrumen-instrumen
hukum yang tersedia—apalagi dengan dibatalkannya UU KKR—tidak
mampu menerobos stagnasi ini. Bahkan, bukan para korban dan ahli
warisnya saja yang semakin sukar untuk memperoleh kebenaran sebagai
haknya, akan tetapi Presiden SBY pun tidak memiliki mekanisme yang
legal ketika dia hendak meminta maaf kepada para korban. Ini suatu
kondisi yang berlaku secara nasional, sementara pelanggaran HAM terus
terjadi dan akumulatif, sebagaimana yang terjadi di Papua (konflik
vertikal) dan kasus-kasus sengketa pertanahan (konflik horizontal).
Untuk konteks Aceh, penyelesaian pelanggaran di masa konflik
dapat dilihat sebagai arena politik di mana terjadi kontestasi antara
persekongkolan elite berhadapan dengan para korban bersama
organisasi masyarakat sipil. Sejak di meja perundingan Helsinki, masalah
kejahatan masa lalu telah dimasukkan dalam laci perundingan oleh
Martti Ahtisaari, dengan persetujuan pihak GAM dan RI. Hal ini lantas
dilegalkan oleh Pansus RUU Pemerintahan Aceh. Apalagi, tidak lama
kemudian MK membatalkan UU KKR. Kondisinya, pengadilan HAM
belum dibentuk dan UU KKR—sebagai tempat sandaran hukum
nasional bagi pembentukan KKR Aceh menurut pandangan elite politik
Aceh dan Jakarta—dicabut.
Namun, para korban dan OMS terus berikhtiar untuk adanya
pembahasan dan pengesahan terhadap draf rancangan Qanun KKR
yang sudah lama mereka formulasikan. Terakhir, dalam konteks
Pemilukada 2012, ada negosiasi politik antara anggota parlemen dari
Partai Aceh dan para pihak untuk membahas draf tersebut sebagai hak
inisiatif DPRA, yang mana hal ini tidak terlepas dari janji politik saat
pemilukada. Namun, korban dan OMS hendaknya tetap bersikap
waspada dan kritis terhadap kemungkinan tindakan politik mereka di
parlemen Aceh untuk mengorientasikan KKR sesuai dengan
kepentingannya sebagai salah satu pihak yang potensial sebagai pelaku
pelanggaran ham.
Meskipun demikian, sebenarnya cukup penting untuk terus
memperluas ikhtiar para korban dalam memonumenkan pelanggaran
HAM, misalnya para korban dan OMS membentuk sebuah komisi
historis, yang merupakan setengah perwujudan dari komisi kebenaran
39
FOKUS Ikhtiar Mencuci ”Karpet Martti” di Aceh
yang sedang diperjuangkan tersebut. Korban dan OMS harus
meneruskan pencarian bentuk komisi kebenaran yang tidak tergantung
pada kebijakan politik pemerintah dan tidak terjangkau oleh intervensi
golongan politik mana pun.
Satu hikmah yang penting untuk disadari bahwa perundingan di
Helsinki–dari perspektif HAM—merupakan negosiasi politik di antara
para pihak yang sama-sama potensial sebagai pelaku pelanggaran HAM,
yang difasilitasi oleh pihak yang memiliki sikap politik untuk
memasukkan ”karpet Martti” ke dalam gudang sejarah masa lalu.
Memang dari sudut politik bernegara, harapan menjadi pupus; tetapi
ikhtiar para korban sendiri harus terus dipupuk dan dilanjutkan karena
suatu waktu kebenaran diyakini akan terbit, dan sejarah akan
mencatatnya.
40
Kekerasan Politik Massal dan
Kultur Patriarkhi
1
Budiawan
Abstract
Every mass political violence always brings deep trauma in various layers of
victims. Direct victims were very likely to experience shock when they faced
situation that has completely changed or situation that they never imagined before.
This article seeks to explain the different lived experiences of the three wives of
the former political prisoners of the '1965 Tragedy' when their husbands were
released from prison.
Keywords: Political Violence, Victims
Perang atau kekerasan politik massal hampir senantiasa menciptakan
janda-janda dan anak-anak yatim piatu, entah untuk selamanya atau
untuk sementara. Sebab, kebanyakan korban langsung dari kekerasan
itu, entah dibunuh atau dipenjarakan, adalah laki-laki dewasa, yang
notabene suami atau ayah. Begitu pula dengan tragedi 1965-66, di mana,
menurut perkiraan kasar yang paling sering dilontarkan orang, sekitar
setengah juta anggota atau simpatisan PKI (dan ormas-ormasnya), atau
mereka yang sekadar dituduh sebagai anggota atau simpatisan PKI,
dibunuh dalam periode waktu antara akhir 1965 hingga pertengahan
1966. Sementara lebih dari satu juta anggota atau mereka yang dituduh
sebagai anggota PKI (atau ormas-ormasnya) dipenjarakan tanpa proses
pengadilan sama sekali.
Jika sebagian besar mereka yang dibunuh atau dipenjarakan
adalah laki-laki dewasa, yang kebanyakan di antaranya adalah suami atau
1. Tulisan ini merupakan versi Indonesia yang lebih ringkas dari bab saya yang berjudul ”Living with the Spectre
of the Past: Traumatic Experiences among wives of former political prisoners of the '1965 Event' in Indonesia”, dalam
Roxana Waterson and Kwok Kian Woon (eds.), Contestation of Memory in Southeast Asia (Singapore:
Singapore University Press, 2012); hal. 270 – 291.
41
FOKUS Kekerasan Politik Massal dan Kultur Patriarkhi
ayah, maka bisa dibayangkan berapa anak yang kemudian menjadi yatim,
dan berapa istri yang kemudian menjadi janda. Dalam masyarakat di
mana laki-laki umumnya berperan sebagai satu-satunya pencari nafkah
dalam keluarga, maka dalam situasi semacam itu bisa dibayangkan
bagaimana para istri yang kemudian menjadi janda (entah karena
suaminya dibunuh atau dipenjarakan) harus berjuang untuk
mempertahankan hidup dirinya dan anak-anaknya.
Kisah dalam tulisan ini bersumber dari penuturan orang-orang
yang cukup dekat dengan istri-istri mantan tahanan politik dan karena itu
tahu banyak pengalaman hidup mereka. Kisah mereka itu menarik untuk
diperbincangkan bukan hanya untuk memahami seberapa jauh tragedi
1965-66 telah menciptakan berlapis-lapis korban, tetapi juga untuk
memahami bagaimana kultur patriarkhi telah membentuk beragam
memori di kalangan perempuan yang terkena dampak tidak langsung
dari tragedi tersebut. Beragam memori itu termanifestasikan dalam
berbagai respons terhadap situasi masa kini, situasi di mana menuturkan
penderitaan masa lalu secara publik telah menjadi sesuatu yang mungkin,
walau terkadang bukannya tanpa resiko.
Berikut ini pengalaman tiga istri mantan tahanan politik (tapol)
yang mengalami jalan hidup yang berbeda dalam bertahan hidup, bukan
hanya secara ekonomi tetapi juga secara sosial. Untuk memudahkan
penuturan, ketiga istri itu saya sebut Bu Surti, Bu Siti, dan Bu Sri.
Kisah Bu Surti
Bu Surti adalah istri seorang tentara berpangkat rendah. Suaminya
ditahan selama empat belas tahun karena menjadi bagian dari resimen
yang dianggap mendukung Gerakan 30 September pimpinan Letkol.
Untung Samsuri. Ketika suaminya mulai ditahan, dia harus menghidupi
dirinya dan kedua anaknya yang masing-masing putra berusia enam
tahun dan putri berusia empat tahun.
Pada mulanya Bu Surti bekerja sebagai buruh pada industri
rumahan yang memproduksi tepung beras. Dia harus bekerja dari subuh
hingga petang, sementara kedua anaknya dia tinggal di rumah dan dijaga
oleh tetangga yang masih ada hubungan kerabat dengannya. Selama
sepuluh tahun dia menjalani kerutinan hidup seperti itu. Begitulah dia
dan kedua anaknya bisa bertahan hidup. Bahkan lebih dari itu, dia
mampu menyekolahkan anak sulungnya ke sekolah menengah atas,
42
dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012
sementara anak keduanya ke sekolah menengah pertama.
Tetapi dalam bayangannya, problem biaya pendidikan pasti akan
menghadang kelak ketika anak sulungnya lulus sekolah menengah atas
dan hendak melanjutkan ke perguruan tinggi. Untuk mengantisipasi hal
itu, alih-alih terus-menerus menjadi buruh, Bu Surti mulai merintis
usaha sendiri. Dengan modalnya yang kecil plus pinjaman lunak dari
bekas majikannya, dia pun membuka usaha pembuatan tepung beras
sendiri. Usahanya ini ternyata berkembang. Dari semula mempekerjakan
tiga orang, tiga tahun kemudian dia mempekerjakan sepuluh orang. Dan
dengan bisnisnya yang berkembang ini dia pun tidak kesulitan
membiayai pendidikan anak sulungnya ke perguruan tinggi, dan anak
keduanya ke sekolah menengah atas.
Pada tahun 1979 suami Bu Surti dilepas dari rumah tahanan.
Istilah ”dibebaskan” sebenarnya jelas tidak tepat, sebab para mantan
tapol 'Peristiwa 1965' itu senantiasa diawasi gerak-geriknya oleh aparat
keamanan, serta sangat terbatas ruang gerak mereka. Pelepasan ini tentu
merupakan hal yang membahagiakan Bu Surti dan kedua anaknya.
Mereka kini kembali utuh sebagai sebuah keluarga.
Akan tetapi, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama.
Keberhasilan Bu Surti dalam berjuang mempertahankan hidup dan
bahkan sukses merintis usaha sendiri ternyata tidak disambut dengan
kebanggaan oleh suaminya, tetapi malah dipandang sebagai
pengambilalihan atas otoritasnya sebagai kepala keluarga. Dalam situasi
di mana ekonomi keluarga bertumpu pada usaha istrinya, dia merasa
kehilangan wibawa sebagai kepala keluarga. Dia merasa tidak mampu
meraih kembali wibawa masa lalu, masa sebelum dia di-tapol-kan, di
mana dia bisa dan biasa memerintah istrinya seperti halnya
komandannya memerintah dirinya. Pendek kata, wibawa dirinya sebagai
kepala keluarga dia taruh lebih penting daripada keberhasilan istri dan
kedua anaknya dalam berjuang menyambung hidup.
Dalam situasi di mana suaminya tak sanggup menatap realitas
yang telah berubah, hubungan Bu Surti dengan suaminya semakin sering
diwarnai ketegangan. Akhirnya, mereka memutuskan untuk hidup
secara terpisah, tetapi tidak bercerai. Suaminya hidup bersama putranya,
sementara Bu Surti bersama putrinya.
Bagi Bu Surti, pengalaman pahit yang mengendap dalam
ingatannya bukanlah saat-saat dimana dia harus bekerja keras selama
43
FOKUS Kekerasan Politik Massal dan Kultur Patriarkhi
bertahun-tahun untuk mempertahankan hidup dirinya dan kedua
anaknya, tetapi saat suaminya tidak mampu melihat realitas yang telah
berubah. Ingatan atas sikap dan perilaku suaminya selepas dari penjara
itu senantiasa dia coba simpan untuk dirinya. Sebab, setiap kali ingatan
itu muncul, dia tak kuasa menahan kekecewaannya yang mendalam
terhadap suaminya. Dalam kekecewaan semacam itu, dia pun bertanyatanya apakah setiap suami selalu ingin menang sendiri, seperti suaminya
itu.
Kisah Bu Siti
Bu Siti adalah istri seorang guru sekolah menengah atas. Dia mempunyai
dua anak, yang masing-masing putra berusia tiga setengah tahun dan
putri berusia satu setengah tahun ketika suaminya mulai ditahan pada
akhir Oktober 1965. Pada mulanya dia adalah seorang ibu rumah tangga.
Tetapi ketika suaminya mulai dipenjara, dengan modal pinjaman dari
orang tuanya dia mencoba membuka warung kelontong di bagian teras
rumahnya. Usaha itu dia kerjakan sambil mengasuh kedua anaknya yang
masih balita.
Pada suatu hari ada seorang polisi datang hendak membeli
sesuatu di warung kelontong Bu Siti. Pada mulanya dia hanya hendak
membeli sesuatu. Tetapi ketika Pak Polisi itu tahu bahwa suami pemilik
warung kelontong tersebut tengah menjadi tahanan politik, dia pun
bersimpati. Bermula dari rasa simpati, polisi itu pun mulai menaruh hati.
Semenjak itu Pak Polisi tersebut semakin sering berbelanja di warung
kelontong Bu Siti. Dalam perkembangan selanjutnya, dia datang bukan
untuk membeli sesuatu, tetapi sekedar bertandang untuk mengobrol
kesana-kemari.
Bu Siti bukannya tidak tahu kalau Pak Polisi tersebut telah jatuh
hati kepadanya. Tetapi, dalam situasi di mana dia tidak tahu, dan tak
seorang pun tahu sampai kapan suaminya akan berada di tahanan, dia
pun bingung. Di satu sisi dia memang mendambakan seorang laki-laki
yang selain bisa membantu upaya untuk bertahan hidup juga bisa
menciptakan rasa aman bagi dirinya dan kedua anaknya yang masih
balita, sementara di hadapannya telah ada seorang laki-laki yang
menawarkan diri sebagai pengganti suaminya.
Di sisi lain, Bu Siti tahu kalau suaminya masih hidup. Hanya saja
dia tidak tahu sampai kapan suaminya akan berada di tahanan. Dalam
44
dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012
situasi penuh kebimbangan itu dia hamil. Tanpa seizin suaminya yang
masih berada di tahanan, Bu Siti membiarkan Pak Polisi itu hidup
bersama dirinya dan kedua anaknya, tanpa ikatan perkawinan dengan
dirinya.
Menjelang akhir 1969 tersiar kabar akan terjadi pelepasan besarbesaran para tapol yang termasuk kategori golongan C. Bu Siti pun
bertanya-tanya apakah suaminya termasuk yang akan segera dilepaskan.
Ternyata betul. Dia mendapat informasi dari kerabat suaminya bahwa
suaminya akan dilepaskan pada akhir 1969. Lalu Bu Siti meminta
pengertian kepada Pak Polisi itu agar pergi meninggalkan dirinya dan
ketiga anaknya—termasuk anak hasil hubungan tidak sah
dengannya—karena suaminya akan segera pulang.
Ketika suaminya pulang, Pak Polisi itu memang telah pergi.
Tetapi kini suami Bu Siti mendapati tiga anak di rumahnya, di mana anak
ketiga itu bukan hasil hubungan antara dirinya dengan istrinya. Suami Bu
Siti tidak terkejut akan hal itu. Sebab, sewaktu masih di tahanan dia sudah
mendengar kabar tentang perselingkuhan istrinya dari tetangga yang
sering dititipi kiriman makanan untuk dirinya. Mendengar kabar tak
sedap itu, suami Bu Siti langsung menderita depresi berat, bahkan dia
hampir—dalam istilah di kalangan para tapol—terkena ”PA” atau
pikiran abnormal.
Suami Bu Siti waktu itu disadarkan oleh teman-temannya
sesama tapol bahwa apa yang terjadi dengan keluarga di rumah sungguh
berada di luar kendali mereka. Bahkan apa yang terjadi pada mereka pun
juga tidak berada dalam kendali mereka. Semuanya itu harus diterima
sebagai kenyataan. Dan kini, selepas dari penjara, dia langsung
menghadapi kenyataan tersebut.
Suami Bu Siti sebenarnya rela menghadapi kenyataan istrinya
telah berselingkuh sewaktu dia di penjara, dan dari hasil perselingkuhan
itu lahir seorang anak. Dia memaafkan perbuatan istrinya walau istrinya
tidak pernah meminta maaf. Tetapi masalahnya, istrinya bukan hanya
tidak pernah meminta maaf, melainkan malah menyalahkan dirinya. Bu
Siti mengatakan bahwa dia telah berselingkuh dan kemudian
membuahkan seorang anak adalah akibat suaminya ditahan, dan
penahanan dirinya karena dia ikut-ikutan berpolitik. Dengan kata lain,
bagi Bu Siti, sumber segala kenyataan pahit itu adalah 'politik'.
Itu sebabnya semenjak suaminya dilepas dari tahanan, Bu Siti
45
FOKUS Kekerasan Politik Massal dan Kultur Patriarkhi
selalu mengontrol segala hal yang dibaca, didengar, ditonton dan
dibicarakan oleh suaminya. Tindakan ini dilakukan Bu Siti agar sang
suami tidak mengikuti perkembangan situasi politik. Suaminya dilarang
membaca surat kabar, dilarang mendengarkan atau menonton siaran
berita radio maupun televisi. Begitu pula suaminya juga dia kontrol agar
jangan terlalu sering bertemu dan berbicara dengan kakak iparnya, yang
sejak kecil selalu menjadi panutan suaminya sampai dalam soal ideologi
politik. (Kakak iparnya itu juga ditahan dan dilepaskan pada akhir 1969).
Pendek kata, Bu Siti mengendalikan hampir segala gerak langkah
suaminya, sesuatu yang tidak terjadi sebelum suaminya ditahan.
Tetangga dan kerabat dekatnya bukannya tidak melihat adanya
perubahan relasi komunikasi antara Bu Siti dan suaminya. Dengan sinis
mereka melihat hal itu sebagai upaya Bu Siti menutupi kesalahannya. Bu
Siti bukannya tidak sadar akan sinisme mereka itu. Hal itu tampak dalam
sikap tertutup terhadap tetangga dan kerabat dekatnya. Kalau toh ada
komunikasi, biasanya komunikasi itu penuh kepuraan-puraan atau
sekadar basa-basi. Bu Siti hingga kini cenderung mengurung diri.
Suaminya pun terkurung dalam pengurungan diri istrinya itu.
Kisah Bu Sri
Sama dengan Bu Surti dan Bu Siti, Bu Sri adalah seorang ibu rumah
tangga sebelum suaminya ditahan. Dia memiliki empat anak, yang terdiri
dari dua putri dan dua putra. Ketika suaminya masuk penjara pada akhir
Oktober 1965, anaknya yang sulung berusia tujuh tahun, sedangkan
yang bungsu setengah tahun.
Berbeda dari pengalaman hidup Bu Surti dan Bu Siti,
pengalaman hidup Bu Sri sewaktu ditinggal suaminya di penjara relatif
tidak berliku-liku. Untuk menyambung hidup dirinya dan keempat
anaknya dia sepenuhnya ditopang oleh orang tuanya dan mertuanya.
Dua putrinya dia titipkan di rumah mertuanya, sedangkan dia bersama
kedua putranya tinggal bersama orang tuanya. Selain menyandarkan
pada uang pensiun ayahnya, Bu Sri juga bersandar pada hasil kerja
ibunya, yang mulai membuka usaha jual beli pakaian bekas semenjak
ketempatan anak dan kedua cucunya. Bu Sri sendiri sepenuhnya
mengurusi kedua putranya yang masih balita.
Setelah suaminya dilepas dari penjara pada akhir 1969, Bu Sri
dan keempat anaknya serta suaminya kembali hidup bersama. Mereka
46
dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012
tinggal di rumah mertua Bu Sri. Mereka hidup bertani, dan menjalani
taraf hidup yang serba pas-pasan, sampai akhirnya suami Bu Sri
mendapatkan pekerjaan di Jakarta kembali pada profesi semula, yaitu
guru.
Kisah hidup Bu Sri barangkali yang paling lazim terjadi di
kalangan para istri mantan tapol. Artinya, kemampuan untuk bertahan
hidup sewaktu suami di penjara sangat bergantung pada topangan
ekonomi orang tua atau kerabat dekat, bahkan sampai pada masalah
tempat tinggal. Boleh jadi kondisi semacam inilah yang membuat orang
seperti Bu Sri tidak perlu 'terjatuh' pada situasi seperti yang dialami Bu
Siti, dan juga terhindar dari pengalaman seperti yang dialami Bu Surti.
Korban Tidak Langsung dan Kultur Patriarkhi
Para istri tapol seperti dituturkan di atas jelas bukan korban langsung dari
kekerasan politik massal 1965-66. Mereka sendiri tidak pernah
diinterogasi dan dipenjara. Mereka juga tidak mengalami ancaman fisik
dari pihak manapun. Namun, akibat yang mereka (dan anak-anak
mereka) alami sebagai dampak dari ditahannya suami mereka jelas tidak
bisa diremehkan. Masalah yang langsung menghadang mereka jelas
adalah problem berjuang untuk menyambung hidup.
Namun seperti terlihat dalam kasus Bu Surti, keberhasilan dalam
berjuang untuk survival ternyata tidak mendapat apresiasi sama sekali
dari suaminya. Keberhasilan istri untuk survival dipandang sebagai
ancaman buat wibawa suami. Dan itulah momen yang traumatis bagi
istri, karena kemudian dia kehilangan rasa hormat kepada suami, bahkan
mungkin juga rasa hormat kepada laki-laki.
Keberhasilan seorang istri untuk bertahan hidup seperti lumer
dan nyaris tak berarti ketika bertabrakan dengan tembok kultur
patriarkhi. Padahal, dengan keberhasilan itu sebenarnya yang dituntut
adalah kesetaraan, bukan pembalikan relasi kuasa antara suami dan istri.
Dalam kasus Bu Siti, tampak bahwa bayangan bagaimana masyarakat
nyaris tidak menyisakan ruang untuk memahami 'perselingkuhannya'
telah membuat Bu Siti menempatkan suaminya, orang terdekatnya,
sebagai sasaran pemberontakannya terhadap kultur patriarkhi. Ongkos
yang harus dia bayar adalah isolasi yang dilakukan lingkungan
terdekatnya atas dirinya.
Sedangkan dalam kasus Bu Sri, boleh dikatakan tidak ada
47
FOKUS Kekerasan Politik Massal dan Kultur Patriarkhi
pengalaman traumatis dengan suami maupun lingkungan tetangga serta
kerabatnya, karena sejak awal dia tetap patuh berada dalam kultur
patriarkhi.
Ketiga kasus di atas membentuk politik memori yang berbeda.
Bagi Bu Surti, ingatan yang kelam dan karena itu menjadi beban
bukanlah saat-saat dia harus bekerja keras menghidupi diri dan kedua
anaknya, tetapi justru saat-saat sesudah suaminya dilepas dari tahanan.
Bagi Bu Siti, momen yang kelam bukanlah ketika dia harus
bekerja sendirian sembari mengasuh kedua anaknya yang masih balita,
tetapi ketika perselingkuhannya dengan orang lain telah membuahkan
seorang anak, persis ketika mulai terdengar kabar akan adanya pelepasan
para tapol secara besar-besaran pada akhir 1969. Di situ dia dihadapkan
pada situasi serba tidak pasti, sementara melalui cibiran, masyarakat telah
menghukumnya. Ketika suaminya pulang, dia tabrak tembok kultur
patriarkhi itu dengan menjadikan suaminya sebagai sasaran antaranya.
Tetapi, justru karena itu masyarakat semakin menghukumnya, dengan
cara mengisolasinya dalam pergaulan sosial.
Pada kasus Bu Sri yang sejak awal berada dalam posisi submisif
pada kultur patriarkhi, perjalanan hidupnya relatif tidak berliku. Tidak
seperti Bu Surti dan Bu Siti, bagi Bu Sri tidak ada pengalaman masa lalu
yang harus dia taruh di bawah karpet. Masa lalu suami sebagai tapol
bukanlah sebuah aib dalam keluarga. Bahkan karena dia tidak 'terjatuh'
pada pengalaman seperti yang terjadi pada Bu Siti itu merupakan sesuatu
yang membanggakannya. Tanpa disadari, dengan sikap semacam ini dia
sebetulnya telah turut merepoduksi 'moralitas' dalam kultur patriarkhi.
Dengan ketiga kisah di atas tampak bahwa kekerasan politik
massal yang terjadi dalam masyarakat dengan kultur patriarkhi yang
kental menjadikan perempuan sebagai korban tidak langsung yang efek
traumatisnya mungkin lebih panjang daripada laki-laki yang menjadi
korban langsung. Hal ini antara lain tampak pada sikap tidak peduli di
kalangan para istri mantan tapol terhadap perubahan politik semenjak
Suharto jatuh, di mana para mantan tapol kini dimungkinkan untuk
mengartikulasikan memori mereka secara publik. Bila sebagian mantan
tapol perempuan (apalagi laki-laki) telah menuturkan penderitaan
mereka melalui memoar-memoar atau otobiografi, para istri mantan
tapol seperti Bu Surti, apalagi Bu Siti, terus hidup bersama pengalamanpengalaman traumatis itu.
48
DISKURSUS
Kerangka Penyelesaian Pelanggaran
HAM Berat di Indonesia dan
Negara-negara Lain
*)
Zainal Abidin
Abstract
A number of countries have succeeded in dealing with their past gross human
rights violations by using various methods that were crystallized in two models:
through court and the establishment of truth commission. A method was picked
based on the political context of each country. But in Indonesia, the two options
are on threshold of failure.
Keywords: Human Rights Tribunal, Truth Commission, Gross Violence of
Human Rights
A. Kerangka Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat di Indonesia
Mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM berat di Indonesia
sebenarnya sudah sangat jelas berdasarkan sejumlah instrumen hukum
yang telah dibentuk, di antaranya berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM. Penyelesaian tersebut, pada intinya berpijak
pada dua mekanisme, yakni terhadap pelanggaran HAM yang terjadi di
masa lalu melalui mekanisme penghukuman pengadilan HAM adhoc
dan melalui mekanisme KKR, sedangkan pelanggaran HAM berat yang
terjadi setelah pembentukan UU Pengadilan HAM, dilakukan melalui
Pengadilan HAM. 1
Sejarah pembentukan kedua mekanisme penyelesaian tersebut
* Sebagian besar dalam tulisan ini juga dimuat dalam Jurnal Hak Asasi Manusia Edisi 11 Volume 1 Tahun
2012 yang diterbitkan oleh Dirjen HAM, Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia
1. Pembedaan ini merujuk pada Pasal 4, Pasal 43 dan Pasal 47 UU No. 26/2000. Pasal 43 menyebut
pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum adanya UU No. 26/2000 dilakukan dengan Pengadilan
HAM ad hoc, dan Pasal 47 menyebutkan menyebut pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum
adanya UU No. 26/2000 tidak tertutup kemungkinan dapat diselesaikan melalui KKR.
51
DISKURSUS Kerangka Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat
berlangsung panjang dan berliku. Gagasan pembentukan KKR
misalnya, sebagai salah satu mekanisme untuk mempertanggungjawabkan pelanggaran HAM masa lalu, telah muncul sejak
reformasi mulai bergulir tahun 1998.2 Pembentukan KKR mendapatkan
basis legalnya dan menunjukkan komitmen negara yang kuat untuk
menyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, ketika Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengeluarkan Ketetapan MPR No. V
Tahun 2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan. Ketetapan
tersebut menyatakan telah terjadi pelanggaran HAM masa lalu, dan
menyatakan bahwa di masa lalu telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan
dan pelanggaran hak asasi manusia yang perlu diungkap demi
menegakkan kebenaran. Ketetapan tersebut juga merekomendasikan
untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional.3
”Membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional sebagai
lembaga ekstra-yudisial yang jumlah anggota dan kriterianya ditetapkan
dengan undang-undang. Komisi ini bertugas untuk menegakkan
kebenaran dengan mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan
pelanggaran hak asasi manusia pada masa lampau, sesuai dengan
ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku, dan
melaksanakan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan bersama sebagai
bangsa. Langkah-langkah setelah pengungkapan kebenaran, dapat
dilakukan pengakuan kesalahan, permintaan maaf, pemberian maaf,
perdamaian, penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi, atau alternatif lain
yang bermanfaat untuk menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa
dengan sepenuhnya memperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat.” 4
UU Pengadilan HAM mengatur mekanisme pengadilan untuk
memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang termasuk dalam
pelanggaran HAM berat, yaitu kejahatan genosida dan kejahatan
terhadap kemanusiaan.5 Terhadap kejahatan-kejahatan yang masuk
kategori pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum tahun 2000,
dilakukan melalui pengadilan HAM ad hoc.6
2 Munculnya gagasan ini juga dipengaruhi oleh pengalaman negara lain misalnya di Afrika Selatan dan
sejumlah negara di Amerika Latin. Lihat Progress Report, ”Pembentukan Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi” ELSAM, 27 Januari 2006.
3. Lihat Ketetapan MPR No. V/2000.
4. Ketetapan MPR No. V/2000, Hal. 8.
5. Lihat pasal 7, 8 dan 9 UU No. 26/2000. Untuk melengkapi landasan hukum pengadilan HAM, pada tahun
2002, pemerintah menerbitkan 2 Peraturan Pemerintah (PP); 1) PP No. 2/2002 tentang Tata Cara
Perlindungan Saksi dan Korban dalam Pelanggaran HAM yang Berat dan PP No. 3/2002 tentang
Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran HAM yang Berat.
6. Lihat pasal 43 UU No. 26/2000.
52
dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012
UU juga menyebut bahwa pelanggaran HAM berat yang terjadi
sebelum berlakunya UU ini tidak menutup kemungkinan
penyelesaiannya dilakukan oleh KKR yang dibentuk melalui UU.7
Berdasarkan UU tersebut, kejahatan genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan, yang termasuk dalam ”the most serious crimes”8 dan
merupakan kejahatan internasional, akan dapat diadili di Pengadilan
Indonesia.
Komitmen adanya pengadilan HAM dan KKR juga dijanjikan
dibentuk di Papua. Melalui UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus Papua, negara berjanji kepada rakyat Papua tentang
pertanggungjawaban berbagai bentuk pelanggaran HAM di Papua
melalui dua instrumen yaitu Pengadilan HAM dan KKR. UU tersebut
menyatakan KKR dilakukan untuk ”melakukan klarifikasi sejarah dan
merumuskan serta menetapkan langkah-langkah rekonsiliasi” dalam
rangka menjaga persatuan bangsa.9
Pada tahun 2004, terbentuk UU No. 27 tahun 2004 tentang
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang mengatur tentang
pengungkapan kebenaran pelanggaran HAM masa lalu, mekanisme
penyelesaian di luar pengadilan dan rehabilitasi kepada korban.10
Namun, selama tahun 2004-2006 pembentukannya sangat lambat, dan
Pemerintah hanya berhasil melakukan proses seleksi anggota KKR.11
Pada tahun 2006, komitmen untuk penyelesaian pelanggaran
HAM masa lalu juga dinyatakan dalam konteks pelanggaran HAM berat
di Aceh. UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh,
memandatkan adanya pembentukan Pengadilan HAM dan KKR di
Aceh.12
Pada tahun 2006 pula, terbentuk UU No. 13 tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, yang dapat dikatakan sebagai regulasi
7. Lihat pasal 47 UU No. 26/2000.
8. Istilah ”the most serious crimes ” merujuk pada istilah yang dinyatakan dalam Pasal 5 Statuta Roma 1998.
Sebagai catatan, penjelasan pasal 7 UU No. 26/2000 menyatakan ”Kejahatan genosida dan kejahatan
terhadap kemanusiaan dalam ketentuan ini sesuai dengan Rome Statute of The Intemational Criminal Court”
(Pasal 6 dan Pasal 7).
9. Lihat Pasal 44 UU No. 21/2001.
10. DPR dan Pemerintah pada saat itu, setelah melalui perdebatan yang panjang selama kurang lebih 16
bulan, akhirnya mengesahkan RUU KKR menjadi UU, meski disadari adanya kelemahan dalam
pengaturannya. Sejumlah organisasi masyarakat sipil memandang ada kelemahan dalam UU KKR, yakni
kurang sesuai dengan prinsip-prinsip berdasarkan hukum HAM internasional.
11. Lihat Progress Report, ”Pandangan Elsam atas Pembentukan KKR Terlambat Dua Tahun; Penundaan
Pembentukan KKR: Pengingkaran atas Platform Nasional dalam Penyelesaian Pelanggaran HAM di
Masa Lalu”, ELSAM, 2006.
12. Lihat pasal 228 dan 229 UU No.11/2006.
53
DISKURSUS Kerangka Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat
yang memperkuat mekanisme Pengadilan HAM. UU tersebut mengatur
tentang perlindungan saksi dan korban yang lebih baik, dan memberikan
penguatan pengaturan tentang kompensasi dan restitusi, termasuk hal
atas bantuan medis dan rehabilitasi psikososial kepada korban
pelanggaran HAM berat. 13 UU tersebut juga memandatkan
pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).14
Namun, pada tahun 2006 pula, MK membatalkan UU No. 27
Tahun 2004 tentang KKR, karena dianggap bertentangan dengan
Konstitusi, hukum HAM internasional dan hukum humaniter
internasional. MK kemudian merekomendasikan untuk membentuk
UU KKR baru sesuai dengan UUD 1945 dan instrumen HAM yang
berlaku secara universal, serta mendorong negara untuk melakukan
rekonsiliasi melalui kebijakan politik.15
”Dengan dinyatakannya UU KKR tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat secara keseluruhan, tidak berarti Mahkamah menutup
upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui upaya
rekonsiliasi. Banyak cara yang dapat ditempuh untuk itu, antara lain
dengan mewujudkan rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum
(undang-undang) yang serasi dengan UUD 1945 dan instrumen HAM
yang berlaku secara universal, atau dengan melakukan rekonsiliasi
melalui kebijakan politik dalam rangka rehabilitasi dan amnesti secara
umum.”16
Dari kerangka hukum sebagaimana disebutkan di atas, konsep
dan mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM berat telah jelas dan
masih menggunakan dua mekanisme, yaitu melalui jalur pengadilan dan
KKR. MK, meski membatalkan UU No. 27 tahun 2004 tentang KKR,
tetap merekomendasikan pembentukan UU KKR baru dan melalukan
rekonsilasi.
Justru pada tataran implementasi kedua mekanisme tersebut
yang mengalami hambatan dan stagnasi hingga saat ini. Dari sisi
penyelesaian melalui pengadilan, tercatat hanya dua kasus yang telah
dibawa ke pengadilan HAM adhoc, yakni perkara pelanggaran HAM
13. Lihat pasal 5 dan pasal 7 UU No. 13/2006. Kemudian juga muncul PP No. 44/2008 tentang Pemberian
Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban.
14. Lihat Pasal 11-27 dan Pasal 45 UU No. 13/2006.
15. Lebih lengkap tentang argumen MK dan respon ELSAM atas keputusan tersebut bisa dilihat di Briefing
Paper, ”Making Human Rights A Constitutional Rights, A Critique of Constitutional Court's Decision on the Judicial
Review of the Truth and Reconciliation Commission Act and Its Implication for Settling Past Human Rights Abuses”,
ELSAM, 2007.
16. Lihat Putusan MK No. 006/PUU-IV/2006, hal. 131.
54
dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012
berat Timor-Timur pada tahun 1999 dan Tanjung Priok tahun 1984, dan
sebuah Pengadilan HAM untuk kasus Abepura tahun 2000.
Dalam ketiga pengadilan tersebut, sebagaimana disebutkan
pada bagian atas, proses pengadilan bisa dikatakan gagal menghadirkan
keadilan. Justru sejumlah inisiatif korban dan masyarakat sipil melalui
jalur pengadilan maupun upaya lainnya yang lebih maju.17
Demikian pula dengan berbagai penyelidikan yang telah
dilakukan oleh Komnas HAM, diantaranya Kasus Trisaksi, Semanggi I
dan II, Kasus Talangsari 1989, dan Kasus Penghilangan Paska 19971998 yang sampai sekarang belum ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung
dan Presiden. Sejumlah argumen dari Kejaksaan Agung untuk tidak
menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM diantaranya untuk
pelanggaran HAM yang terjadi sebelum tahun 2000 belum ada
rekomendasi dari DPR dan masih ada berbagai hal yang harus dilengkapi
oleh Komnas HAM.18
Namun, alasan-alasan Kejaksaan Agung tidak konsisten.
Misalnya, dalam perkara Penghilangan Paksa Tahun 1997-1998 yang
telah mendapatkan rekomendasi DPR untuk membentuk Pengadilan
HAM adhoc tidak dilaksanakan hingga saat ini. Padahal, pada 28 Oktober
2009, DPR merekomendasikan kepada Presiden untuk membentuk
Pengadilan HAM adhoc untuk kasus Penghilangan Paksa 1997-1998.19
Presiden juga hingga kini belum menerbitkan keputusan untuk adanya
pengadilan HAM ad hoc untuk peristiwa tersebut.20
B. Pelanggaran HAM yang Berat: Pengalaman Internasional dan
Berbagai Negara
Banyak negara telah melakukan penyelesaian kejahatan masa lalunya
dengan metode yang bermacam-macam. Negara-negara tersebut
cenderung pada mulanya dipimpin oleh rezim pemerintahan yang
17. Lihat catatan Elsam, ”Pemetaan Singkat Kebijakan Reparasi dan Implementasinya di Indonesia”, 3
Oktober 2011. Lihat juga, Zainal Abidin, ”Jalan Berliku Meraih Keadilan”, Bulletin Asasi, Elsam, edisi
Januari-Februari 2012. Dokumen dapat diakses di www.elsam.or.id
19. Mengenai perdebatan tentang Pembentukan Pengadilan HAM dapat dilihat dalam Jurnal Dignitas,
”HAM dan Realitas Transisional”, Elsam, 2011.
20. Terdapat 4 rekomendasi dari DPR yaitu yaitu pembentukan Pengadilan HAM ad hoc untuk menangani
kasus orang hilang, memberikan kompensasi kepada keluarga korban, pencarian 13 orang hilang yang
belum ditemukan dan ratifikasi Konvensi HAM PBB tentang penghilangan orang secara paksa. Lihat
juga Kertas Posisi Keadilan Transisional, ”Menyangkal Kebenaran, Menunda Keadilan: Berlanjutnya
Penyangkalan Negara atas Hak-Hak Korban, Mandegnya Penuntasan Kasus Penghilangan Orang secara
Paksa Periode 1997-1998”, Elsam, 17 Februari 2011. Lihat juga ASASI, ”Penghilangan Paksa 1997-1998:
Rekomendasi Tanpa Atensi, Edisi November-Desember 2011. Dokumen dapat diakses di
www.elsam.or.id
55
DISKURSUS Kerangka Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat
otoriter yang sangat kuat mengontrol kekuasaan. Dengan latar belakang
politik yang beragam, pola penyelesaian kejahatan masa lalu negaranegara tersebut juga berbeda-beda. Di bawah ini merupakan pola
implementasi penyelesaian kejahatan masa lalu yang telah dilakukan oleh
negara-negara lain:
1. Praktik Penghukuman Melalui Pengadilan
Sejarah penghukuman terhadap terjadinya berbagai kejahatan serius
telah berlangsung lama. Sejumlah pengadilan Internasional telah digelar,
disamping berbagai pengadilan untuk kejahatan-kejahatan serius yang
dilakukan dalam tingkat domestik. Di antara yang pertama adalah
Pengadilan Leipzig tahun 1921, untuk mengadili para penjahat perang
Jerman pada perang dunia pertama, yang dilakukan oleh Mahkamah
Agung Jerman berdasarkan Perjajian Versailles.21
Kemudian, praktik proses penghukuman terhadap para pelaku
kejahatan-kejahatan yang serius tersebut berlanjut, di antaranya
sejumlah pengadilan yang terkenal, yakni; pengadilan kejahatan
internasional setelah perang dunia, yaitu ”International Military Tribunal ”
(IMT) atau dikenal sebagai ”Nuremberg Tribunal” pada tahun 1945 dan
”International Military Tribunal for the Far East (IMTFE)” atau dikenal
sebagai ”Tokyo Tribunal” pada 1946.22 Pengadilan Nurenberg mengadili
24 para pimpinan Nazi yang didakwa dengan; turut serta dalam suatu
perencanaan atau konspirasi untuk melaksanakan kejahatan terhadap
perdamaian (crime against peace), merencanakan, memprakarsai, dan
mengadakan peperangan agresi militer dan ataupun kejahatan lainnya
terhadap perdamaian, melakukan kejahatan perang (war crime) dan
kejahatan kemanusiaan. Sementara Pengadilan Tokyo mendakwa 28
orang yang kebanyakan terdiri dari pejabat militer dan pemerintahan
Jepang dengan dakwaan terlibat dalam kejahatan perang dan kejahatan
terhadap kemanusiaan.23
Kemudian setelah usai perang dingin, menghadapi kekejaman
21. Tobias Lock dan Julia Riem, ”Judging Nurenberg: The Laws, The Rallies, The Trial”, Dokumen dapat diakses di
http://www.germanlawjournal.com/pdfs/Vol06No12/PDF_Vol_06_No_12_1819-1832_v
Developments_LockRiem.pdf
22. Pembentukan IMT didasarkan pada insiatif sekutu yang memenangkan perang untuk mengadili para
pemimpin Nazi-Jerman, baik sipil maupun militer, sebagai penjahat perang dengan terlebih dahulu
dituangkan dalam London Agreement tanggal 8 Agustus 1945. Sedangkan IMTFE dibentuk berdasarkan
Proklamasi Panglima Tertinggi Tentara Sekutu Jenderal Douglas MacArthur pada 1946.
23. http://cnd.org/mirror/nanjing/NMTT.html
56
dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012
yang terjadi di Bekas Negara Yugoslavia dan Rwanda dibentuk
Mahkamah Pidana Internasional untuk Bekas Negara Yugoslavia atau
”the International Criminal Tribunal for fomer Yugoslavia (ICTY)” dan atau
Mahkamah Pidana Internasional untuk Rwanda ”the International
Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR)”.24
ICTR merupakan pengadilan bentukan PBB untuk mengadili
para pelaku kejahatan perang yang terjadi selama konflik Balkan pada
tahun 1990an. Pengadilan ini telah mendakwa lebih dari 160 pelaku,
termasuk kepala negara, perdana menteri, pimpinan militer, pejabat
pemerintah, dan lainnya dengan tuduhan atas tindakan pembunhan,
penyiksaan, pemerkosaan, perbudakan, perusakan properti dan
kejahatan-kejahatan lainnya sebagainya diatur dalam Statuta ICTY.25
Sementara ICTR, yang juga merupakan pengadilan bentukan PBB, yang
berlokasi di Aruza Tanzania, mengadili para pelaku kejahatan genosida,
kejahatan terhadap kemanusiaan dan pelanggaran terhadap hukum
humaniter internasional lainnya atas peristiwa yang terjadi di Rwanda
pada tahun 1994, dan telah mendakwa sekitar 72 pelaku.26
Pada tahun 1998, masyarakat Internasional sepakat membentuk
Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) yang
didirikan berdasarkan Statuta Roma 1998.27 Semangat pembentukan
ICC sebagaimana disebutkan dalam Statuta Roma 1998 diantaranya
untuk memerangi impunitas dan bahwa kejahatan genosida, kejahatan
terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi sebagai
”the most serious crimes of concern to the international community as a whole”.
Statuta Roma mengatur kewenangan untuk mengadili
kejahatan-kejahatan paling serius (the most serious crimes), yaitu kejahatan
genosida (the crime of genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes
against humanity), kejahatan perang (war crimes), dan kejahatan agresi (the
crime of aggression).28 Berbeda dengan pengadilan internasional
sebelumnya yang bersifat ad hoc, Mahkamah Pidana Internasional
merupakan pengadilan yang permanen.29
24. Kedua pengadilan ini juga memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya, kedua pengadilan
dibentuk oleh lembaga yang sama, yaitu Dewan Keamanan PBB melalui sebuah resolusi. ICTR dibentuk
berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB No.955, tanggal 8 November 1994 .
25. http://www.icty.org/sid/3.
26. http://www.unictr.org/AboutICTR/GeneralInformation/tabid/101/Default.aspx
27. Statuta ini diadopsi pada tanggal 17 Juli 1998 oleh 120 negara yang berpartisipasi dalam ”United Nations
Diplomatic Conference on Plenipotentiaries on the Establishment of an International Criminal Court” di kota Roma,
Italia
28. Pasal 5 Statuta Roma 1998.
29. Pasal 3(1) Statuta Roma.
57
DISKURSUS Kerangka Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat
Sejak pendiriannya, ICC setidaknya telah memeriksa 16 kasus
atas tujuh peristiwa yang terjadi di Uganda, Kenya, Kongo, Sudan,
Afrika Tengah, Libya, dan Pantai Gading. Terdakwa pertama yang
dijatuhi hukuman oleh ICC adalah Thomas Lubanga Dyilo dari Kongo,
yang didakwa melakukan kejahatan perang, dimana dia diduga
memerintahkan anak buahnya melakukan pelanggaran HAM yang
massif, termasuk kekejaman etnis, pembunuhan, penyiksaan,
pemerkosaan, mutilasi dan memaksa anak-anak untuk menjadi tentara.
Lubaga Dyilo akhirnya dijatuhi hukuman 14 tahun penjara dengan
terbuktinya melakukan pemaksaan kepada anak-anak untuk menjadi
tentara.30
Pengalaman sejumlah pengadilan tersebut telah jelas
memberikan pesan bahwa para pelaku kejahatan-kejahatan serius harus
dibawa ke pengadilan dan diadili. Sejumlah instrumen HAM
internasional telah dibentuk untuk memastikan adanya penghukuman
bagi para pelaku kejahatan-kejahatan serius. Pelanggaran hak asasi
manusia yang berat, misalnya genosida dan penyiksaan, juga telah diakui
sebagai ”jus cogens” atau ”peremptory norms” yang karenanya pelaku
kejahatan tersebut merupakan adalah musuh semua umat manusia (hostis
humanis generis) dan penuntutan terhadap para pelakunya merupakan
kewajiban seluruh umat manusia (obligatio erga omnes).31
Hal ini juga berarti bahwa untuk kejahatan-kejahatan serius tidak
diperkenankan adanya amnesti. Sejumlah dokumen PBB menyebutkan
secara tegas bahwa amnesti tidak dapat diberikan kepada pelaku
pelanggaran HAM berat.32 Resolusi Komisi Hak Asasi Manusia PBB
tahun 2004, dalam Point 3 menegaskan sebagai berikut:
”…amnesties should not be granted to those who commit violations of
human rights and international humanitarian law that constitute crimes,
30. http://www.icc-cpi.int/Menus/ICC/Situations+and+Cases/
31.Lihat ”Report of the Independent Expert to Update the Set of Principles to Combat Impunity”
(E/CN.4/2005/102/Add.1 08 Februari 2005).
32. Lihat General Comment 20 Pasal 7 [Kovenan Hak Sipil dan Politik] menyatakan bahwa "that some States
have granted amnesty in respect of acts of torture. Amnesties are generally incompatible with the duty of the States to
investigate such acts” (General Comment 20 concerning Article 7, replaces General Comment 7 concerning Prohibition of
Torture and Cruel Treatment or Punishment); lihat juga Laporan Sekjen PBB mengenai pembentukan
Pengadilan Khusus untuk Sierra Leone S/200/915), 4 Oktober 2000 dalam paragraph 22-24, Laporan
Sekjen PBB tentang The Rule of Law and Transitional Justice in Conflict and Post-Conflict Societies, (S/2004/616),
23 Agustus 2004, Independent Study on Best Practices, Including Recommendations, to Assist States In Strengthening
Their Domestic Capacity to Combat All Aspects Of Impunity (E/CN.4/2004/88).
58
dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012
urges States to take action in accordance with their obligations under
international law and welcomes the lifting, waiving, or nullification of
amnesties and other immunities”. 33
Kewajiban untuk melakukan penghukuman ini, yang tertuang
dalam sejumlah instrumen HAM internasional, juga yurisdiksi
internasional, yaitu berdasarkan pelanggaran-pelanggaran tertentu,
mewajibkan untuk dituntut di dalam negeri, maupun memberikan
kemungkinan pelaku pelanggaran tersebut dapat diproses di pengadilan
di luar negeri. Hal ini misalnya dalam Konvensi Pencegahan dan
Penghukuman terhadap Kejahatan Genosida (The Convention on the
Prevention and Punishment of the Crime of Genocide), yang memberikan
kewajiban utama untuk penuntutan pelaku kepada negara dimana
pelanggaran terjadi, tetapi juga menentukan bahwa pengadilan lainnya,
termasuk pengadilan internasional, memiliki yurisdiksi.34
Demikian juga dengan Konvensi Anti Penyiksaan,35 yang
menentukan adanya yurisdiksi internasional atas kejahatan penyiksaan
yang lebih luas dan spesifik. Menurut Konvensi ini, negara-negara
mempunyai kewajiban untuk mengekstradisi atau mengadili seorang
yang diduga melakukan tindakan penyiksaan.
Di Amerika Serikat, sebuah produk hukum yang disebutkan
sebagai Alien Tort Claims Act (1789) memberikan peluang untuk
kesalahan atas kejahatan apapun yang ”melanggar the law of nations”
dapat disidangkan di pengadilan federal perdata Amerika Serikat.
Demikian juga, Torture Victim Protection Act (1992) memungkinkan warga
negara Amerika Serikat dan keluarganya yang menjadi korban
penyiksaan dan pembunuhan di luar proses hukum yang dilakukan oleh
pejabat di negara lain, dapat disidangkan di Amerika Serikat.
Di Inggris, sebuah ketentuan yang dikeluarkan tahun 1988
memberikan kewenangan yurisdiksi ekstra-teritorial pada pengadilan
pidana untuk menyidangkan pelaku penyiksaan dari negara mana pun
yang dilakukan kepada korban dari negara mana pun dan tidak
tergantung di mana penyiksaan dilakukan. Negara-negara lain yang
sudah pernah mengajukan permohonan ekstradisi atau sudah pernah
33. (Resolution : 2004/72, Impunity, E/CN.4/RES/2004/72), 21 April 2004.
34. Kemungkinan ini telah diakui berdasarkan beberapa keputusan hukum pengadilan Amerika Serikat
(kasus Demjanjuk), Israel (kasus Eichmann) dan House of Lords di Inggris (kasus Pinochet).
35. Lengkapnya The International Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or
Punishment.
59
DISKURSUS Kerangka Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat
menghukum pelaku pelanggaran HAM seperti ini termasuk Spanyol,
Belanda, Jerman, Perancis dan Italia.
Sejumlah model pertanggungjawaban pelanggaran HAM yang
terjadi terus mengalami perkembangan, yang dapat dilakukan dalam
berbagai bentuk pertanggungjawaban dan proses penuntutan melalui
pengadilan baik dalam level internasional, regional, maupun domestik.
a. Pengadilan Nasional-Internasional (hybrid)
Pada tahun 2002 sebuah pengadilan khusus (special court) yang
bersifat hibrida (nasional dan internasional) dibentuk di Sierra
Leone atas dukungan PBB untuk melengkapi kerja Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi. Yurisdiksi pengadilan ini
mencakup kejahatan perang, kejahatan terhadap
kemanusiaan, dan kejahatan-kejahatan tertentu yang diatur
dalam hukum internasional, dan akan mengadili orang-orang
yang paling bertanggung jawab atas pelanggaran hukum
internasional dan hukum Sierra Leone yang dilakukan di
wilayah Sierra Leone, sejak 30 November 1996.36 Jaksa
penuntut dan Hakim dalam pengadilan ini ditunjuk oleh PBB
dan dari Sierra Leone, yang dalam pemilihannya dilakukan
melalui konsultasi antara PBB dan Pemerintah Sierra Leone.37
Sejumlah pelaku kejahatan telah diadili, diantaranya tiga
komandan Revolutionary United Front (RUF), Issa Hassan Sesay,
Morris Kallon and Augustine Gbao atas dakwaan melakukan
kejahatan perang (war crimes) dan kejahatan terhadap
kemanusiaan (crimes against humanity) atas peranan mereka
dalam perang sipil yang berakhir tahun 1999. Issa dijatuhi
pidana 52 tahun atas 16 dakwaan, Kallon dijatuhi pidana 39
tahun, dan Gbao mendapatkan hukuman 25 tahun.38
Di Kamboja, PBB dan Pemerintah Kamboja menyepakati
pembentukan pengadilan pada bulan Oktober tahun 2004.
Pengadilan tersebut akan menjadi mekanisme untuk
mengadili para pemimpin rezim Khmer Merah dan ”mereka
yang paling bertanggung jawab” atas tindakan kejahatan
kemanusiaan.
36. http://www.icrc.org/ihl.nsf/INTRO/605?OpenDocument.
37. http://www.sc-sl.org/
38. http://www.haguejusticeportal.net/index.php?id=10517
60
dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012
Sebagaimana dengan pengadilan khusus Sierra Leone, ”Khmer
Rouge Tribunal ” juga akan beranggotakan hakim dari Kamboja
dan dari luar negeri. Kasus pertama yang disidangkan adalah
terdakwa mantan anggota senior Khmer Merah, Kaing Guek
Eav yang dikenal sebagai Duch. Di persidangan Duch terbukti
bersalah terlibat dalam pembunuhan dan penyiksaan serta
kejahatan terhadap kemanusiaan sewaktu memimpin penjara
Tuol Sleng, tempat terjadinya penyiksaan yang dilakukan
rezim ultra komunis yang dituduh menyebabkan 1,7 juta
orang tewas tahun 1975-1979, dan merupakan salah satu
tragedi terburuk pada abad ke-20. Duch kemudian dihukum
35 tahun penjara dan pada tingkat banding Duch dijatuhi
pidana penjara seumur hidup.39
b. Inter-American Human Right Court
Pengadilan Inter-Amerika memiliki dua jurisdiksi: mengadili
(adjudicatory jurisdiction) dan memberikan opini hukum (advisory
jurisdiction). Dalam kapasitasnya mengadili kasus, maka hanya
dua jenis pihak yang berhak untuk mengajukan kasus
mengenai interpretasi dan implementasi isi Konvensi: Komisi
HAM Inter-Amerika dan negara pihak dari Konvensi tersebut.
Namun Komisi HAM hanya boleh mengajukan kasus bila
semua prosedur Komisi yang dinyatakan dalam Konvensi
HAM Inter-Amerika Pasal 48-50 (termasuk dengan
mengusahakan penyelesaian domestik) telah dilakukan.
Peranan Pengadilan Inter-Amerika dalam pengembangan
konsep-konsep HAM sangat berarti dalam masa-masa transisi
banyak negara di wilayah Amerika Latin. Salah satu
peranannya adalah dalam pengentasan impunitas, dimana baik
pengadilan tersebut dan Komisi Pengadilan HAM secara
konsisten menyatakan bahwa penerapan undang-udang
amnesti kepada kasus-kasus pelanggaran serius HAM tidak
sesuai dengan Konvensi HAM Amerika.
Misalnya, sebuah kasus yang terjadi di El-Savador dimana
tentara membunuh enam pastur Jesuit dan dua orang
39. http://www.guardian.co.uk/world/2012/feb/03/khmer-rouge-duch-sentence-cambodian.
61
DISKURSUS Kerangka Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat
perempuan. Pengadilan menyatakan bahwa UU Amnesti
tahun 1993 El-Savador melanggar kewajiban negara itu dalam
Konvensi HAM Amerika, sehingga negara El-Savador harus
menyidik dan mengadili mereka yang bertanggung jawab.
Pengadilan HAM Inter-Amerika menekankan bahwa Komisi
Kebenaran, walaupun memiliki peranan relevan, tidak boleh
dianggap sebagai pengganti yang memadai dari proses
pengadilan sebagai metode pencapaian kebenaran. Komisi
kebenaran bukan didirikan dengan presumsi bahwa tidak akan
ada pengadilan setelahnya, namun harusnya menjadi suatu
langkah untuk mengetahui kebenaran dan pada akhirnya
memastikan keadilan akan ditegakkan.40
c. Pengadilan Pidana Domestik
Pada bulan April tahun 2004, sebuah pengadilan di Belanda
menjatuhkan hukum 30 tahun penjara kepada bekas kolonel
dari Republik Demokratik Congo, Sebastian Nzapali, atas
keterlibatannya dalam kejahatan perang, khususnya
penyiksaan seorang tahanan yang berada dalam
perlindungannya pada tahun 1996. Perkara ini dapat
disidangkan di Belanda berdasarkan Konvensi Anti
Penyiksaan, di mana pengadilan domesik negara yang telah
meratifikasi konvensi tersebut (dan optional protocols-nya), boleh
mengusut orang yang dicurigai melakukan beberapa jenis
pelanggaran HAM di negara lain.41
Tahun 2004 lalu merupakan tahun pertama perkara
pelanggaran HAM yang terjadi di luar negeri yang disidangkan
di Inggris. Pada bulan Oktober, perkara seorang komandan
Perang Afghanistan, Faryadi Sarwar Zardad, yang dituduh
berkonspirasi dalam penyiksaan dan penyanderaan antara
tahun 1991 dan tahun 1996 dibuka di Pengadilan Pidana Pusat
Old Bailey di London. Zardad berpindah ke Inggris pada 1998
dan setelah tinggal beberapa waktu, kemudian ditangkap.
Zardad akhirnya dijatuhi pidana 20 tahun penjara.42
40.Laporan No. 136/99 (El Salvador), paragraf. 229-230. Lihat juga http://www.cidh.oas.org
/annualrep/99eng/Merits/ElSalvador10.488.htm
41.http://www.asser.nl/default.aspx?site_id=36&level1=15248&level2=&level3=&textid=39989
42.http://news.bbc.co.uk/2/hi/uk_news/4695353.stm, lihat juga http://www.guardian.co.uk/uk
/2005/jul/19/afghanistan.world
62
dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012
Pada bulan Juni tahun 2004, Belgia berhasil menangkap
mantan anggota senior kelompok milisi yang bertanggung
jawab atas genosida di Rwanda pada tahun 1994. Ephrem
Nkezabera ditangkap berdasarkan UU Kejahatan Perang yang
memungkinkan pengadilan Belgia untuk mengadili mereka
yang dituduh sebagai ”genocidaire” di luar negara tersebut.43
Saat ini sejumlah negara di Amerika Latin juga melakukan
proses penghukuman kepada para pelaku pelanggaran HAM
yang terjadi di masa lalu. Pada Oktober 2011, Mahkamah
Agung Argentina menghukum Alfredo Astiz, mantan tentara
Agrentina, dengan penjara seumur hidup atas kejahatan
terhadap kemanusiaan selama masa ”Dirty War”. Artiz terbukti
ikut serta dalam penculikan dan pembunuhan terhadap suster
Alice Demon dan Leonie Duquet, dan juga Azucena Villaflor,
seorang pendiri ”the Mothers of Plaza de Mayo”, sebuah
kelompok yang meminta adanya penyelidikan untuk kasuskasus penghilangan paksa.44
Pada Juli 2012, mantan pimpinan militer Argentina, Jorge
Videla dan Reynaldo Bignone dijatuhi hukuman masingmasing 50 tahun dan 15 tahun penjara atas kejahatan
melakukan pencurian bayi dan anak-anak dari tahanan politik,
dimana ketika itu setidaknya 400 bayi telah diambil dari orang
tua mereka ketika dipenjara.45
d. Gugatan Perdata
Mekanisme gugatan perdata, yang sering dilakukan dengan
menuntut pejabat negara untuk memperoleh ganti rugi,
kompensasi dan rehabilitasi. Gugatan ini dilakukan biasanya
sebagai jalan terakhir ketika proses penuntutan dan
penghukuman dihalang-halangi. Hal ini misalnya terjadi di
43. http://www.trial-ch.org/en/ressources/trial-watch/trial-watch/profils/profile/627
/action/show/controller/Profile.html
44. http://www.independent.co.uk/news/world/americas/argentina-finally-serves-justice-on-the-angelof-death-2376896.html.
45. http://www.bbc.co.uk/news/world-latin-america-18731349
63
DISKURSUS Kerangka Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat
Uruguay tahun 1990, dimana beberapa anggota keluarga orang
yang dibunuh dan dihilangkan paksa memperoleh ganti rugi
dari negara berdasarkan keputusan pengadilan perdata.
Di tingkat internasional, gugatan perdata juga bisa diajukan di
berbagai negara, misalnya seperti Alien Tort Claims Act di
Amerika Serikat yang memungkinkan permohonan untuk
ganti-rugi dapat diajukan kepada pengadilan federal negara
tersebut. Kendati tindakan kejahatan dilakukan di luar negeri,
para pelaku tetap bisa diadili di Amerika Serikat sepanjang
tergugat memiliki kontak dengan Amerika Serikat. Sejumlah
gugatan dengan prosedur ini misalnya, gugatan yang diajukan
oleh Center for Justice and Accountability di San Fransisco atas
nama keluarga Uskup Agung Romero, yang dibunuh oleh
militer di El Salvador pada tahun 1980.
Setelah hampir 25 tahun sejak pembunuhan Romero, sama
sekali belum ada upaya oleh pemerintah El Salvador untuk
menyelesaikan pembunuhan tokoh HAM ini. Pengadilan
Federal Fresno, California, memutuskan bahwa salah satu
orang yang bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut
adalah seorang pensiunan kapten angkatan udara, Alvaro
Saravia, yang telah tinggal di Amerika Serikat selama hampir
20 tahun. Saravia diperintahkan untuk membayar USD 10 juta
sebagai ganti rugi kepada keluarga Uskup Agung Romero.46
Juga gugatan korban rezim bekas Presiden Filipina, Ferdinand
Marcos. Meskipun Marcos, yang sudah pindah ke A.S. dan
tinggal di Hawaii, meninggal selama proses gugatan ini berlalu,
pengadilan tetap memerintahkan 'estate' Marcos untuk
membayar ganti rugi kepada para penggugat sebesar USD 150
juta.47
e. Permintaan Ekstradisi
Penahanan bekas diktator Chile, Jendral Pinochet, ditahan di
46. http://www.cja.org/article.php?list=type&type=77
47. Sandra Collver, ”Bringing Human Rights Abuses to Justice in U.S. Courts: Carrying Forward the Legacy of the
Nurenberg Trial”. Dokumen dapat diakses di: http://www.cardozolawreview.com/content/274/COLIVER.WEBSITE.pdf
64
dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012
Inggris pada bulan Oktober 1998 berdasarkan surat perintah
internasional yang dikeluarkan oleh hakim Spanyol, Baltasar
Garzon, yang meminta Pinochet diekstradisi ke Spanyol
berdasarkan beberapa tuduhan penyiksaan warga negara
Spanyol. Pinochet ditahan di Inggris selama 16 bulan, namun
akhirnya permintaan ekstradisi ditolak dan Pinochet diijinkan
balik ke Chile.
Spanyol juga menerima tuntutan Yayasan Rigoberta Menchu
yang ditujukan kepada bekas diktator Guatemala, Jendral
Efrain Rios Mott, atas tuduhan melakukan pelanggaran
kejahatan kemanusiaan, dengan catatan hanya kasus yang
melibatkan warga negara Spanyol sebagai korban yang dapat
diproses.48
Argentina telah menjadi sasaran gugatan berdasarkan
yurisdiksi internasional, dan persidangan in absentia yang
pernah dilakukan di Perancis, Spanyol, Itali dan Jerman. Pada
Juli 2003, Spanyol meminta 46 petinggi militer diekstradisi atas
tuduhan penyiksaan dan genosida49 dan pada tahun 2007
Spanyol juga meminta Argentina untuk mengekstradisi 40
orang, termasuk mantan Presiden Agentina, yang didakwa
melakukan genosida, terrorisme and penyiksaan selama masa
kediktatoran tahun 1976 dan 1983.50
Pada Maret 2004, giliran Pemerintah Jerman meminta bekas
Presiden Argentina, Jorge Videla, untuk diekstradisi bersama
dengan dua petinggi militer lain, yaitu Emilio Massera dan
Buillermo Suarez Mason yang semuanya dituduh ikut terlibat
dalam pembunuhan tiga mahasiswa Jerman pada tahun 1976
dan 1977.51
2. Komisi Kebenaran
Sejak awal tahun 1980-an muncul mekanisme baru untuk menghadapi
48. http://www.guardian.co.uk/world/1998/oct/18/pinochet.chile.
49. http://news.bbc.co.uk/2/hi/americas/3052333.stm
50. http://english.peopledaily.com.cn/200702/10/eng20070210_349129.html
51. http://www.dw.de/dw/article/0,,1128473,00.html
65
DISKURSUS Kerangka Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat
dan menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu yang secara umum
disebut sebagai komisi kebenaran. Di Argentina, pada 16 Desember
1983 dibentuk Komisi Nasional untuk Menyelidiki Kasus-kasus
Penghilangan Paksa melalui Keputusan Presiden Raul Alfosin.
Kemudian berlanjut pada pembentukan komisi kebenaran di berbagai
negara lainnya, di antaranya Uganda, Chile, Chad, El Salvador, dan Haiti,
dan Afrika Selatan, Guatemala, Nigeria, Sierra Leone, Timor Lesta, dan
lainnya.52
Sejak tahun 1978-2007, setidaknya lebih dari 32 Komisi
Kebenaran terbentuk di 28 negara dengan berbagai format dan
mandatnya.53 Pendirian Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Afrika
Selatan, sebagai mekanisme pengungkapan kebenaran 'non-judial' atas
berbagai pelanggaran HAM yang massif telah mendapatkan perhatian
dunia.54
Pembentukan Komisi Kebenaran di berbagai negara, sangat
tergantung konteks pelanggaran masa lalu serta konteks masa transisi
masing-masing negara tersebut, namun secara umum Komisi
Kebenaran dapat dinyatakan sebagai:
”Sebuah institusi non-yudisial yang bersifat sementara yang didirikan oleh
sebuah institusi resmi untuk menyelidiki pola pelanggaran HAM berat
yang dilakukan selama kurun waktu tertentu pada masa lalu. Tujuan
dibentuknya institusi ini adalah untuk menerbitkan sebuah laporan
terbuka, termasuk data-data tentang korban,beberapa butir rekomendasi
menuju pencapaian keadilan dan rekonsiliasi.” 55
Komisi Kebenaran dibentuk untuk menghadapi warisan
pelanggaran masa lalu dan mencapai rekonsiliasi nasional yang bersifat
partisipatori dan mendalam, dan bukan untuk menghindari akuntabilitas
pelanggaran maupun proses pengadilan. Pengalaman berbagai negara
menunjukkan bahwa komisi kebenaran pada umumnya dibentuk karena
adanya proses transisi dari pemerintahan otoriter menuju sebuah
pemerintahan demokratis, atau dibentuk dalam upaya mempertahankan
perdamaian usai terjadinya perang sipil atau pemberontakan bersenjata.
52. Pricilla B. Hayner, ”Unspeakable Truth: Facing the Challenge of Truth Commission”, Routledge, 2002. Telah
diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh ELSAM dengan judul, ”Kebenaran Tak Terbahasakan:
Refleksi Pengalaman Komisi-Komisi Kebenaran, Kenyataan dan Harapan, 2005.
53. http://www.amnesty.org/en/international-justice/issues/truth-commissions
54. Pricillia B. Hayner, ”Truth Commission: A Schemic Overview”, International Review of the Red Cross, Vol. 88, Juni
2006.
55. Dan Bronkhorst, 'Truth Commissions and Transitional Justice: A Shrot Guide' Amnesty Internasional Netherlands
Document, September 2003, www.amnesty.nl/downloads/truthcommission_guide.doc
66
dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012
Proses pembentukan Komisi Kebenaran dapat dilakukan berdasarkan
keputusan presiden atau undang-undang di tingkat nasional, maupun
sebagai kesepakatan perdamaian yang didukung ditingkat internasional,
misalnya oleh PBB.
Lahirnya komisi kebenaran tidak dimaksudkan untuk
menggantikan fungsi peradilan dalam pencarian keadilan dan
akuntabilitas, melainkan dimaksudkan untuk melengkapi segala aspek
penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu termasuk pencarian keadilan,
penegakan hukum, pengungkapan kebenaran, perubahan hukum dan
institusi, pemulihan, rekonsiliasi, pematahan budaya impunitas dan lain
sebagainya.
Komisi kebenaran meskipun mandatnya dipengaruhi konteks
pelanggaran dan bentuk akuntabilitas yang diharapkan, pendirian suatu
komisi kebenaran harus berdasar kepada norma dan prinsip-prinsip
sebagaimana yang dituangkan dalam hukum HAM internasional.
Artinya, Komisi kebenaran (dan rekonsiliasi) merupakan salah satu
mekanisme yang melengkapi proses akuntabilitas kejahatan pelanggaran
HAM yang berat.
Pengalaman berbagai negara menunjukkan bahwa Komisi
Kebenaran didasari oleh pentingnya melakukan catatan yang akurat atas
pengalaman masa lalu (historical record of past abuses) yang berguna untuk
mencegah terjadinya peristiwa yang sama terulang. Kemudian, fungsi
penting adanya proses ini untuk mendorong adanya pengakuan resmi
atas pelanggaran HAM yang terjadi, dan negara secara publik mengakui
kesalahan atas terjadinya pelanggaran HAM di masa lalu.
Selain itu, catatan tentang pelanggaran HAM yang terjadi akan
mampu merekomendasikan berbagai langkah-langkah penting untuk
adanya akuntabilitas, pemulihan kepada korban, dan rekomendasi
perbaikan institusi dan adanya kebijakan untuk memastikan pelanggaran
serupa tidak terulang. Tersedianya catatan yang akurat dari praktek masa
lalu juga akan mempermudah penegakan akuntabilitas oleh negara.
Berbeda dengan mekanisme pengadilan, proses dalam komisi
kebenaran memberikan ruang yang penting bagi para korban untuk
mengungkapkan ceritanya, dengan demikian dapat mengungkap apa
yang sesungguhnya terjadi di masa lalu. Pengungkapan kebenaran, yang
mendasarkan pada suara korban akan berkontribusi pada proses
penyembuhan sosial (social healing), dan mendorong terjadinya
67
DISKURSUS Kerangka Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat
perdamaian yang nyata di tingkat komunitas masyarakat.
Pengalaman berbagai komisi kebenaran yang ada, setidaknya ada
empat hal pokok; pertama, perumusan mandat Komisi Kebenaran tidak
baku, namun secara hukum, biasanya ada mandat khusus Komisi dan
batasan yang jelas. Kedua, komisi yang dibentuk mengharuskan
tersedianya struktur, komposisi dan keanggotaan yang menjamin
tercapainya mandat. Ketiga, adanya mekanisme kerja komisi yang jelas,
terkait dengan dengan persoalanpersoalan seperti jenis investigasi yang
harus dilakukan, apakah pengambilan pernyataan harus dilakukan
secara rahasia (confidential) atau terbuka, bagaimana mekanisme kerja
komisi dengan lembaga-lembaga lain, baik pemerintah maupun swasta,
di luar komisi. Perumusan juga menjaga dipergunakannya prinsipprinsip ”the rights to know the truth”, ”the rights to justice”, dan ”the rights to
reparation” yang menjamin akuntabilitas kerja komisi dalam
pengungkapan kebenaran.56 Keempat, adanya laporan Komisi yang
menunjukkan hasil kerja komisi kebenaran yang lebih lengkap dari
peristiwa masa lalu yang diungkapkan.
Berbagai negara yang melakukan proses pengungkapan
kebenaran di antaranya: Argentina, dengan membentuk ”Comisión
Nacional para la Investigación sobre la Desaparición de Personas”/ CONADEP
(Komisi Nasional untuk Orang Hilang Argentina) yang menghasilkan
laporan akhir berjudul ”Nunca Mas: Informe de la Comision Nacional sobre la
Desaparicion de Personas”. Laporan yang mencakup 8.961 kasus
penghilangan paksa, dan termasuk konteks politik, akar masalah, bentuk
kekerasan, modus operandi dan latar belakang pelaku, nama orang
hilang yang dicatat, kesimpulan dan rekomendasi untuk ke depan,
termasuk perkara yang pantas diteruskan dan diproses di pengadilan.
Nama individu yang terlibat dalam pelanggaran disebutkan dalam
laporan akhir dengan catatan belum tentu bisa disebutkan sebagai
merekalah yang bertanggungjawab atas pelanggaran tersebut.57
Di Chile, membentuk Komisi Nasional untuk Kebenaran dan
Rekonsiliasi Chile yang menghasilkan laporan akhir yang sering
disebutkan sebagai 'Rettig Report' diajukan ke parlemen pada Februari
1991. Laporan diterbitkan dalam bentuk dua jilid yang dibagi empat
bagian utama dengan 1.800 halaman. Laporan ini berdasarkan 2.920
perkara yang diselidikinya dan memuatkan informasi tentang konteks
sejarah, tanggungjawab institusional, ringkasan 2.279 kasus
56. ELSAM, Kertas Posisi RUU Kebenaran dan Rekonsiliasi, 2004.
57. Nunca Mas: the Report of the Argentine National Commision on the Dissapearance, Farrar Straus Giroux dan Index
on Cencorship, 1986.
68
dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012
pembunuhan dan orang hilang dan berbagai bentuk rekomendasi.
Ketika melakukan presentasi laporan kepada negara, Presiden Alywin
meminta maaf kepada korban dan keluarganya atas nama negara dan
mengirim laporan tersebut kepada setiap keluarga korban pelanggaran
HAM.58
Di El Salvador, dibentuk Komisi Kebenaran El Salvador
diberikan tugas untuk menyelidiki pelanggaran HAM yang dilakukan
dua belah pihak dalam dua belas tahun perang sipil antara 1980-1992,
menghasilkan laporan akhir 'De la Locura a la Esperanza ' (From Madness to
Hope). Laporan diajukan ke Pemerintah (Presiden El Salvador) dan
Sekretaris-Jendral PBB pada 15 Maret 1993 dan diterbitkan sebagai
dokumen PBB dalam bentuk tiga jilid sekitar 200 halaman. Walaupun
Komisi Kebenaran selama masa kerjanya menerima dan melakukan
penyelidikan sekitar 22.000 kasus pelanggaran HAM, laporan sendiri
hanya sebutkan 32 kasus secara detail yang dianggap mewakili dan
menunjukkan jenis dan pola pelanggaran selama 12 tahun perang sipil El
Salvador. Laporan disusun dengan menyebutkan kronologis dan analisis
pola pelanggaran yang kemudian dibagi berdasarkan pelaku
pelanggaran, yaitu negara atau pihak FMLN (Frente Farabundo Martí para
la Liberación Naciona) atau Front Pembebasan Nasional Farabundo Marti,
dimana pelaku terbesar adalah negara.59
Di Guatemala, dibentuk Komisi Klarifikasi Sejarah Guatemala
yang ditugaskan untuk menyelidiki kasus pembunuhan dan
penghilangan paksa yang terjadi selama 36 tahun konflik bersenjata di
Guatemala. Laporan akhir diajukan ke Presiden dan PBB dengan judul
'Ingatan Sunyi.' Laporan sekitar 3.000 halaman ini didasarkan sekitar
8.000 pengakuan atau testimoni pelanggaran yang memuat 80 kasus
secara terperinci yang dilampirkan dengan ringkasan 8.000 kasus
tersebut. Menurut laporan, sekitar 200.000 orang meninggal akibat 36
tahun konflik bersenjata Guatemala. Nama pelaku tidak disebutkan,
namun dengan melakukan analisis konteks pelanggaran yang cukup
mendalam, dengan melakukan analisis tentang penyebab dan akar
konflik bersenjata, strategi dan mekanisme kekerasan serta dampak dan
akibatnya.60
58. Pricilla B. Hayner, ”Kebenaran Tak Terbahasakan: Refleksi Pengalaman Komisi-Komisi Kebenaran,
Kenyataan dan Harapan, Elsam, 2005. Hal. 63-68.
59. Lihat Laporan Komisi Kebenaran El Salvador ”From Madness to Hope”, dokumen dapat diakses di
http://www.usip.org/files/file/ElSalvador-Report.pdf , lihat juga Pricilla B. Hayner, ”Kebenaran Tak
Terbahasakan: Refleksi Pengalaman Komisi-Komisi Kebenaran, Kenyataan dan Harapan, Elsam, 2005.
Hal. 69-72.
60. Pricilla B. Hayner, ”Kebenaran Tak Terbahasakan: Refleksi Pengalaman Komisi-Komisi Kebenaran,
Kenyataan dan Harapan, Elsam, 2005. Hal. 81-86.
69
DISKURSUS Kerangka Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat
Kemudian di Afrika Selatan, dibentuk Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi Afrika Selatan yang mempunyai mandat untuk melakukan
analisis dan memberi penjelasan tentang penyebab, sifat dan meluasnya
pelanggaran HAM berat, termasuk mengidentifikasi pelaku pelanggaran
tersebut, baik individu maupun organisasi. Laporan akhir kerja komisi
ini yang secara singkat disebutkan sebagai 'Final Report ' diajukan ke
Presiden Nelson Mandela. Laporan akhir berdasarkan pengakuan dari
23.000 korban dan saksi, dimana 2.000 kesaksian dilakukan di forum
dengar pendapat yang terbuka untuk publik, dengan melakukan analisis
Apartheid sebagai kejahatan kemanusiaan, analisis khusus tentang
peranan negara dan metode dan jenis pelanggaran, pelanggaran HAM
dari perspektif korban, dan analisis tentang konteks sosial pelanggaran
dan keterlibatan institusional. Laporan Akhir oleh KKR memberikan
sekitar 250 butir rekomendasi.61
Sejumlah negara lainnya, yang membentuk Komisi juga telah
menyelesaian dan menyusun laporan akhir, diantaranya Sierra Leone
dengan laporan ”Witness to Truth: Final Report of the Truth and Reconciliation
of Sierra Leone” tahun (2005), Peru dengan Laporan ”Informe Final de la
Comision de la Verdad y Reconciliation” tahun (2003), Timor Leste dengan
Laporan berjudul ”Chega” tahun 2006, dan lain-lain.
Kehadiran komisi kebenaran, sebagaimana disebutkan di atas,
berkontribusi pada pencapaian tujuan-tujuan tertentu, yakni: a)
memberikan sumbangan terhadap proses transisi ke arah demokrasi
dengan melakukan catatan imparsial tentang masa lalu, b) memberikan
ruang resmi bagi korban untuk mengungkapkan kebenaran dan
menuntut kompensasi, rehabilitasi dan pemulihan, c) memberikan
rekomendasi menuju perubahan institusi dan perubahan hukum guna
pencegahan terulangnya pelanggaran pada masa depan (non-recurrence
principle), dan d) menentukan siapa yang bertanggungjawab dan
memberikan saran untuk memperoleh akuntabilitas dan menghapuskan
impunitas.
61. Rekomendasi-rekomendasi tersebut difokuskan terhadap beberapa masalah pokok, yakni; a) pencegahan
pelanggaran terulang, b) akuntabilitas, c) pemulihan dan rehabilitasi, d) organisasi, administrasi dan
manajemen, d) lembaga pemasyarakatan, e) komunitas agama, f) dunia usaha, g) hukum dan yudisial, h)
aparat keamanan, i) sektor kesehatan, j) media Massa, k) arsip bahan-bahan KKR, l) pembasmian
dokumen, m) gerakan kemerdekaan, dan n) hak asasi manusiaa Internasional. Lihat Laporan Akhir KKR
Afrika Selatan. Dokumen dapat diakses di http://www.justice.gov.za/trc/report/index.htm.
70
dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012
Komisi Kebenaran pada akhirnya diharapkan akan dapat
mendukung adanya tanggungjawab dan akuntabilitas Negara,
memastikan pelanggaran tidak terulang, mengembalikan hak korban,
mendorong adanya rekonsiliasi dan penyelesaian konflik, dan pada
akhirnya juga mendorong proses demokratisasi. Komisi Kebenaran
dengan laporan akhirnya, saat ini terbukti mendorong proses-proses
yang diharapkan tersebut, bahkan meski dalam jangka panjang,
mendorong terus berlangsungnya proses penghukuman kepada para
pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu, yang saat ini misalnya sedang
berlangsung di sejumlah negara Amerika Latin, seperti Guatemala,
Kolombia, El Salvador dan Argentina.
Pada Januari 2012, Presiden El Salvador Mauricio Funes secara
resmi meminta maaf atas pembantaian ribuan warga yang dilakukan
militer pada tahun 1981 silam, dimana lebih dari 1.000 warga desa tewas
selama perang sipil 1980-1992.62 Di Guatemala, pada Januari 2012,
mantan diktator Efraín Ríos Montt diadili atas tuduhan terlibat dalam
genosida selama 17 bulan pemerintahannya antara tahun 1982-1983. Di
Kolombia Presiden Juan Manuel Santos, meminta maaf atas peran
negara dalam pembantaian sekitar 50 anggota sayap paramiliter di El
Tigre selama serangan terhadap gerilyawan sayap kiri tahun 1999.
Di Argentina, Pemerintah dan Pengadilan sedang menguji
warisan kekejaman selama ”Perang Kotor”, yang pada bulan Oktober
2011, Mahkamah Agung Argentina menghukum Alfredo Astiz, mantan
tentara Argentina, dengan penjara seumur hidup atas kejahatan terhadap
kemanusiaan,63 dan pada Juli 2012, mantan pimpinan militer Argentina,
Jorge Videla dan Reynaldo Bignone dijatuhi hukuman masing-masing
50 tahun dan 15 tahun penjara.64
C. Penutup
Berbagai pengalaman bagaimana dunia internasional dan negara-negara
lain menghadapi kekejaman dan pelanggaran HAM berat masa lalu,
menunjukkan sekarang ini tidak ada tempat aman (no save haven) bagi para
pelaku ”the most serious crimes”, di antaranya kejahatan genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan, yang dalam hukum Indonesia dikenal
sebagai bagian dari pelanggaran HAM berat. Pengalaman berbagai
praktik penghukuman, baik di tingkat domestik maupun internasional,
62.http://news.detik.com/read/2012/01/17/125232/1817633/1148/presiden-el-salv ador-minta-maafatas-pembantaian-ribuan-warganya.
63.http://www.independent.co.uk/news/world/americas/argentina-finally-serves-justice-on-the-angelof-death-2376896.html.
64.http://www.bbc.co.uk/news/world-latin-america-18731349
71
DISKURSUS Kerangka Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat
telah memberikan cukup banyak fakta bahwa para pelaku pelanggaran
HAM berat tidak mudah lagi lepas dari tuntutan pertanggungjawaban.
Berbagai instrumen hukum internasional telah dibentuk untuk
memastikan bahwa ada penghukuman bagi para pelaku dan semakin
memastikan tidak mentolerir adanya amnesti dimasa depan.
Pengalaman pembentukan komisi kebenaran (dan rekonsiliasi)
juga membuktikan bahwa komisi ini mempunyai kontribusi besar
terhadap pertanggungjawaban berbagai tindak kejahatan dan
pelanggaran HAM. Meski adanya komisi kebenaran tidak semua
berhasil, contoh-contoh terbaik telah dihadirkan dan memberikan
sumbangan penting bagi perkembangan negara-negara tersebut dalam
menjamin perlindungan HAM, memastikan terpenuhinya hak-hak
korban, berjalannya demokrasi dan terjaganya perdamaian. Negaranegara yang gagal memahami masa lalunya, menolak kekejaman yang
telah terjadi, dan tidak belajar dari pengalaman tersebut, berpotensi
mengulangi kesalahan yang sama.
Dalam konteks Indonesia, komitmen negara untuk
menyelesaian dan bertanggungjawab atas pelanggaran HAM masa lalu
saat ini berada dalam ujian. Komitmen yang dituangkan dalam berbagai
produk hukum, yang bukan hanya komitmen secara nasional tetapi
secara khusus juga dinyatakan kepada masyarakat Papua dan Aceh,
seolah menemui jalan buntu. Indonesia telah menguji pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM berat melalui pengadilan, juga
”setengah jalan” dalam berupaya membentuk Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi, yang sayangnya saat ini justru mandek. Padahal, tuntutan
atas adanya pertanggungjawaban dengan mengungkapan kebenaran,
menegakkan keadilan dan hukum atas berbagai peristiwa pelanggaran
HAM berat terus bergaung. Dampak lebih jauh, ketiadaan pembelajaran
atas praktik yang salah di masa lalu, menyebabkan terus direproduksinya
kekerasan, praktik diskriminasi, dan berbagai pelanggaran HAM
lainnya, yang menghambatnya berjalannya proses demokratisasi.
Merefleksikan berbagai pengalaman bagaimana negara-negara
lain mengadapi pelanggaran HAM yang berat yang terjadi, dan dikaitkan
dengan konteks penyelesaian pelanggaran HAM yang berat di Indonesia
saat ini, belum terlambat bagi Indonesia untuk konsisten
mengimplementasikan agenda penyelesaian pelanggaran HAM masa
lalu, mencegah supaya tidak terulang, dan bagaimana menghadapi
72
dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012
pelanggaran HAM yang terjadi di masa depan. Pengalaman berbagai
negara dalam menghadapi pelanggaran HAM yang berat, menujukkan
bahwa adanya banyak jalan untuk pertanggungjawaban. Indonesia,
dalam konteks saat ini, akan memulai dari mana?
73
Penanganan Pelanggaran
HAM Berat Masa Lalu
Herry Sucipto dan Hajriyanto Y. Thohari
Abstract
Every country in transition from authoritarianism to democracy such as Indonesia
usually encountered problems when they tried to solve past gross human rights
violations. Limited instruments and the encompassing political legacy often become
serious problems. This article offers insights and recommendations from a political
perspective on how to deal with past gross human rights violations.
Keywords: Transition to Democracy, Human Rights
Pendahuluan
Kesulitan menuju era demokratis sangat beralasan. Pertama, ketika
berkuasa, rezim otoritarian secara sistemik membangun sistem politik
yang di satu pihak mengukuhkan kekuasaan yang amat terpusat, dan di
pihak lain mengeliminasikan kontrol yang berasal dari luar sistem. Tidak
ada balancing of power dalam menjalankan jalannya pemerintahan.
Kedua, meski pada awalnya rezim otoritarian cenderung
menekankan penggunaan kekerasan untuk melumpuhkan oposisi,
dalam perkembangannya rezim semacam ini juga menggunakan dasardasar moral dan intelektual untuk memenangkan dukungan publik yang
lebih luas. Jadi, tidak hanya dominasi, tetapi juga hegemoni. Melalui
hegemonilah dukungan moral dan intelektual terhadap rezim otoritarian
digalang. Akibatnya, rezim transisi sering harus berjuang untuk
mengubah orientasi, paradigma dan berbagai bentuk kepercayaan
tentang, misalnya, bagaimana kekuasaan seharusnya dikelola, bagaimana
individu seharusnya memposisikan dirinya terhadap kekuasaan.
Ketiga, rezim transisi selalu dihadapkan pada dua posisi waktu
yang sering bertolak belakang dalam gagasan dasarnya: masa depan yang
lebih baik dan masa lalu yang penuh keburukan. Sementara terdapat
75
DISKURSUS Penanganan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
kebutuhan untuk melakukan konsolidasi kelembagaan yang diperlukan
bagi hadirnya sebuah pengelolaan kekuasaan yang demokratis, terdapat
desakan untuk menemukan cara tentang bagaimana warisan rezim
otoritarian itu hendak diselesaikan.
Salah satu warisan terburuk yang dihasilkan oleh rezim
sebelumnya yang melekat pada sistem adalah kejahatan terhadap hakhak asasi manusia (HAM). Sementara konsolidasi kelembagaan masih
diupayakan (yang seringkali memang sungguh tidak mudah itu), terdapat
tuntutan yang menggunung untuk segera membawa pelaku kejahatan
HAM.
Masa Lalu, Kini, dan Mendatang: Mencari Solusi Terbaik
Seperti disinggung dalam pengantar, rezim-rezim masa lalu pasti
mewariskan banyak masalah, termasuk pelanggaran HAM di sana-sini.
Rezim Orde Lama mewariskan setumpuk masalah hukum dan politik,
serta pelanggaran kepada pemerintahan Orde Baru. Demikian halnya
pemerintahan Orde Baru mewariskan puluhan kasus hukum dan
pelanggaran HAM kepada pemerintahan era reformasi.
Tentu semua itu harus tetap menjadi tanggungjawab kita,
sebagai generasi berikutnya yang menjadi pelanjut pembangunan bangsa
saat ini, untuk menyelesaikan berbagai warisan persoalan semaksimal
mungkin. Pastilah penyelesaian tidak ada yang sempurna alias
memuaskan semua pihak. Namun demikian, sebagai tanggungjawab
sejarah, ikhtiar itu harus terus dilakukan.
Dalam penyelesaian terhadap masa lalu, terdapat empat pola
yang lazimnya dapat dipilih. Sebagai sebuah spektrum keempat opsi itu
bergerak dari (1) ”never to forget, never to forgive” (tidak melupakan dan tidak
memaafkan, yang berarti ”adili dan hukum”); dan (2) ”never to forget but to
forgive” (tidak melupakan tetapi kemudian memaafkan, yang berarti ”adili
dan kemudian ampuni”); sampai dengan (3) ”to forget but never to forgive”
(melupakan tetapi tidak pernah memaafkan, yang artinya tidak ada
pengadilan tetapi akan dikutuk selamanya); dan (4) ”to forget and to forgive”
(melupakan dan memaafkan, yang artinya tidak ada pengadilan dan
dilupakan begitu saja).
Jerman, setelah runtuhnya pemerintahan fasis di bawah Hitler,
dengan bantuan negara-negara sekutu, menerapkan pola pertama.
Sebaliknya, Spanyol memilih pola keempat segera setelah jatuhnya
76
dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012
diktaktor Franco di era 1970-an. Korea Selatan, sementara itu,
menerapkan pola kedua pada kasus kedua mantan presidennya.
Afrika Selatan memilih pola kedua dengan penekanan lebih pada
pendekatan disclossure melalui ”Truth and Reconcilliation Commission”
(Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Indonesia sering disingkat
dengan istilah ”KKR”) daripada pengadilan. Sedangkan pola ”to forget but
never to forgive” pada dasarnya dapat ditemukan pada cara masyarakat
Eropa melihat Inquisition yang dilakukan pada penganut ajaran Protestan
di Eropa selama abad pertengahan.
Beberapa negara yang mencoba berikhtiar menyelesaikan masa
lalunya itu dapat dibilang berhasil, tentu dengan berbagai
konsekuensinya. Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Solusi ideal
seperti apa yang dapat kita ambil? Apakah dengan menempuh salah satu
pola di atas, ataukan dengan kombinasi dari keempat model tersebut,
ataukah dengan cara yang sama sekali baru, dengan pengkondisian
Indonesia saat ini?
Sejak awal reformasi, keinginan untuk memunculkan landasan
bersama untuk menuju Indonesia masa depan yang lebih bermartabat
sangat kuat. Kita mengokohkan dalam UUD 1945 bahwa negara
Indonesia adalah negara hukum (UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) pada
Perubahan Ketiga. Yang dimaksud dengan negara hukum adalah jika
kita melihat bekerjanya tiga prinsip dasar: supremasi hukum (supremacy
of law), kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law), dan
penegakan hukum dengan cara yang tidak bertentangan dengan hukum
(due process of law).
Dalam penjabaran selanjutnya, pada setiap negara hukum akan
terlihat ciri-cirinya, yaitu adanya (1) jaminan perlindungan hak-hak asasi
manusia; (2) kekuasaan kehakiman atau peradilan yang merdeka; dan (3)
legalitas dalam arti hukum, yaitu bahwa baik pemerintah/negara
maupun warga negara dalam bertindak harus berdasar atas dan melalui
hukum. Bahkan kemudian juga dikenal adanya Pengadilan Tata Usaha
Negara (PTUN).
Dalam konteks penegakan hukum, khususnya masalah
pelanggaran HAM berat masa lalu, harus diakui, sampai saat ini
Indonesia belum pernah mengalami atau menjalankan proses
penyelesaian masalah tersebut. Ikhtiar menuju arah itu pernah
dilakukan, yakni dengan dikeluarkannya Ketetapan MPR No
77
DISKURSUS Penanganan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional.
Ketapan MPR ini melihat bahwa dalam sejarah perjalanan negara
Indonesia telah terjadi konflik vertikal dan horizontal antar berbagai
elemen masyarakat, pertentangan ideologi, kemiskinan struktural,
kesenjangan sosial, ketidakadilan, dan lain-lainnya. Maka diperlukan
kesadaran dan komitmen yang sungguh-sungguh untuk memantapkan
persatuan dan kesatuan nasional melalui rekonsiliasi nasional.
Ketetapan MPR tersebut mengamanatkan kepada DPR dan
Presiden untuk membentuk UU tentang komisi kebenaran dan
rekonsiliasi nasional. Maka kemudian lahirlah Undang-Undang No. 27
Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). UU
ini juga merujuk UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,
selain tentu saja juga mendasarkan pada landasan yang lebih kuat di
atasnya, yakni Pasal 28 UUD 1945. Sayangnya, UU KKR terhenti
sebelum dilaksanakan karena diajukan judicial review oleh masyarakat ke
Mahkamah Konstitusi (MK), yang akhirnya judicial review tersebut
dikabulkan oleh MK pada tahun 2006 dimana UU ini dibatalkan
sepenuhnya oleh MK.
Di antara argumen pembatalan UU KKR tersebut adalah karena
undang-undang ini dipandang mengandung beberapa kelemahan, antara
lain: dalam Pasal 24 yang berbunyi: ”Dalam hal komisi telah menerima
pengaduan atau laporan pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang disertai
permohonan untuk mendapatkan kompensasi, restitusi, rehabilitasi, atau amnesti,
Komisi wajib memberikan keputusan dalam jangka waktu paling lambat 90
(sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan.”
Bisa dibayangkan hanya dalam waktu sangat singkat tersebut
apakah mungkin Komisi dapat menyelesaikan suatu kasus yang berat
yang misalnya melibatkan suatu institusi besar? Tentunya sangat berat
bagi Komisi untuk melakukan penyelidikan hanya dalam waktu yang
sangat singkat tersebut.
Kemudian kita bisa melihat juga pada Pasal 27 yang berbunyi:
”Kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dapat
diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan.” Nah ini berarti jika
pelaku tidak diberikan amnesti baik oleh Presiden dan DPR atau pelaku
tidak teridentifikasi atau mungkin tidak dimaafkan oleh korban, maka
dia tidak mendapat kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud
UU tersebut.
78
dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012
Selain itu, Pasal 21 ayat 1 yang berbunyi: ”Pelaksanaan pemberian
kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 harus
dilaksanakan oleh Pemerintah dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun
terhitung sejak tanggal keputusan Komisi ditetapkan.” Dari pasal ini bisa
dibayangkan pemberian kompensasi dan rehabilitasi ini bisa saja ditunda
selama tiga tahun dengan sistem perhitungan yang tidak jelas sehingga
korban akan semakin menderita.
Selain itu, harus diakui pula adanya kelemahan substansi hukum
HAM disebabkan oleh: ketidaksigapan dan kecermatan DPR dan
Pemerintah saat pembahasan RUU; konfigurasi politik demokratis di
Parlemen hasil Pemilu 1999 yang didukung pula oleh elemen-eleman
demokrasi di luar Parlemen tidak dengan sendirinya melahirkan produkproduk hukum yang responsif secara substansial; masih eksisnya
kekuatan pendukung pemerintahan masa lalu, sekalipun konfigurasi
politik formal di DPR didominasi oleh kekuatan reformasi; penyelesaian
pelanggaran HAM masa lalu tidak pernah menjadi keinginan murni
pemerintah, tetapi sebagai respon terhadap desakan dalam negeri dan
dunia internasional.
Kini keinginan penyelesaian masalah pelanggaran HAM masa
lalu dan sekarang muncul melalui upaya konstitusional dalam bentuk
pengajuan RUU.
Urgensi KKR
Pembentukan KKR sebagaimana pengalaman banyak negara, tentu saja
berada dalam konteks transisi pemerintahan, yaitu dari pemerintahan
otoriter menuju pemerintahan demokratis. Dalam transisi demikian,
mencuat pertanyaan mengenai sikap dan tanggung jawab (responsibility)
negara terhadap kejahatan kemanusian oleh rezim sebelumnya.
Menurut Mary Albon, pertanyaan ini mengandung dua isu
penting, yaitu: pengakuan (acknowledgement) dan pertanggungjawaban
(accountability). Pengakuan mengandung dua pilihan: ”mengingat” atau
”melupakan”. Akuntabilitas menghadapkan kita pada pilihan antara
melakukan ”prosekusi” atau ”memaafkan”. Persoalannya, mengutip
Hannah Arendt (1958), bagaimana kita bisa memaafkan apa yang tak
dapat dihukum? ”Men are not able to forgive what they cannot punish ” (kita tak
bisa mengampuni apa yang tak dapat kita hukum). Demikian juga,
bagaimana kita bisa melupakan apa yang tak pernah dibuka untuk kita
79
DISKURSUS Penanganan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
ingat bersama?
Dalam kontroversi tersebut signifikansi pembentukan KKR
bukan sekadar alternatif Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc, tetapi
juga sebagai kawan seiring. Ia merupakan upaya kunci yang kental
menggunakan perspektif hak asasi manusia dan paradigma humanis
yang mengedepankan kepentingan para korban di satu sisi dan
menyelamatkan kehidupan masyarakat umum di sisi lain. Ia merupakan
wahana untuk menerapkan konsep keadilan restoratif dan reparatif di
satu sisi dan konstruktif di sisi lain.
Ia mengimplikasikan konsep keadilan yang keluar dari pakem
klasik khas Aristotelian (keadilan komutatif/kontraktual, distributif,
korektif, dan punitif) dan pakem Rawlsian-Habermasian yang
menumbuhkan keadilan di atas kesetaraan (justice as fairness) yang hanya
dapat diterapkan dalam situasi normal yang makin jauh panggang dari
api kini. Ia memperkenalkan konsep keadilan progresif yang
mengedepankan penghukuman kejahatan (keadilan kriminal),
pembongkaran sejarah (keadilan historis), pengutamaan dan
penghormatan terhadap korban (keadilan reparatoris), pembenahan
serta pembersihan sistem penyelenggaraan negara (keadilan
administratif), dan perombakan konstitusi (keadilan konstitusional)
yang ditegakkan di atas prinsip rule of law, kedaulatan rakyat atau
legitimasi demokratis yang mengedepankan hukum, dan bukan sekadar
ruled by law, kedaulatan hukum yang belum tentu demokratis.
Dengan gambaran signifikansi keberadaan KKR di atas
sungguh sebuah kekeliruan bila ada anggapan bahwa pembentukan
komisi ini hanya memperbanyak daftar komisi di negeri ini. Keliru pula
bila ada kecurigaan bahwa ia hanya sebuah usaha parsial dan mengadaada. Lebih keliru lagi bila ada sinisme ia hanya memperpanjang rantai
impunitas atau sebaliknya hanya akan menyeret dan memadati penjara
dengan semua orang bersalah di masa lalu.
Mengikuti Luc Huyse (1995), truth is both retribution and deterrence,
kebenaran selalu bermakna sebagai dera penghukum dan penggentar.
Selain itu, dalam spektrum retribusi-rekonsiliasi, responsibilitas atau
sikap ideal yang kita ambil adalah selective punishment, model yang
mengedepankan penagihan tanggung jawab formal atau legal secara
selektif. Oleh karena itu, tipe transisi kita adalah replacement
(penggantian) yang diinisiasi rakyat sendiri, yang cocok dengan model
80
dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012
selektif ini.
Adanya lembaga yang akan mengurus dan memproses masalah
pelanggaran HAM masa lalu dan kini maupun mendatang, tetap
diperlukan. Untuk itulah, pada 2009, parlemen (DPR) pernah
merekomendasikan kepada Presiden untuk membentuk Pengadilan
HAM ad hoc guna menyelesaikan kasus penculikan dan penghilangan
paksa tahun 1997-1998. DPR bahkan sempat pula berkirim surat
meminta Presiden agar menindaklanjuti rekomendasi tersebut.
Namun rupanya surat DPR tidak memperoleh tanggapan resmi.
Yang muncul justru tanggapan Menteri Hukum dan HAM waktu itu,
Patrialis Akbar, melalui media massa, yang mengatakan bahwa, bila
membongkar siapa yang bertanggung jawab atas kasus penghilangan
paksa tersebut, tindakan ini akan menimbulkan kegaduhan politik.
Dalam Pasal 43 Ayat (3) UU No 26 Tahun 2000 jelas disebut
bahwa Pengadilan HAM ad hoc dibentuk atas usul DPR berdasarkan
peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden. Kewenangan untuk
mengusulkan ini dipunyai oleh DPR dengan pertimbangan bahwa selain
sebagai bagian dari fungsi pengawasan, DPR juga dinilai sebagai
representasi rakyat Indonesia. Benar bahwa sebagai sebuah kata,
rekomendasi berarti saran atau usul. Sebagai usul, ia dapat diterima
secara penuh, sebagian, atau ditolak seluruhnya. Namun dalam konteks
relasi antara DPR dan Presiden, bila rekomendasi DPR diabaikan oleh
Presiden tanpa ada penjelasan apa pun, hal ini mengindikasikan
kurangnya wibawa DPR, yang seharusnya sebagai pengawas Presiden
dan representasi rakyat Indonesia, di hadapan Presiden.
Sementara itu, bila Jaksa Agung serius memerankan fungsinya
sebagai aparat penegak hukum, dan benar bahwa belum terbentuknya
Pengadilan HAM ad hoc merupakan kendala bagi institusinya untuk
menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM, tentunya
rekomendasi dari DPR ini akan dilihatnya sebagai peluang, khususnya
untuk melangsungkan penyidikan dan penyelesaian peristiwa
penghilangan paksa 1997-1998. Bila benar begitu, tentunya Jaksa Agung
aktif menunjukkan dukungannya bagi pelaksanaan rekomendasi DPR
tersebut. Namun nyatanya tidak seperti itu.
Masalah Rumit
Di Indonesia, ada banyak masalah pelanggaran HAM, berat maupun
81
DISKURSUS Penanganan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
ringan. Beberapa kasus berikut adalah pelanggaran berat HAM, seperti:
pelanggaran HAM dalam Peristiwa G30S, Tanjung Priok, Warsidi
Lampung. Kasus dugaan pelanggaran HAM berat Trisakti Semanggi I,
II, Penculikan Paksa Aktivis Tahun 1997/1998, kasus Talangsari (di
Lampung), kasus Wasior, Wamena (di Papua) yang telah selesai diselidiki
oleh Komnas HAM selalu terganjal oleh berbagai kepentingan politis
tertentu.
Sekarang pola-pola kekerasan terhadap Jemaah Ahmadiyah
merupakan indikasi awal terjadinya pelanggaran HAM serius. Indikasi
tersebut ditemukan berdasarkan pantauan Komnas HAM dalam
beberapa kasus kekerasan terhadap Jemaah Ahmadiyah akhir-akhir ini.
Selain itu, ada pula dimensi pelanggaran yang sifatnya lintas
negara, dalam hal ini apa yang pernah terjadi di Timor Timur (ketika
masih dalam bagian dari NKRI). Di sana disinyalir kuat telah terjadi
pelanggaran HAM dan kekerasan lainnya. Setelah merdeka dan menjadi
negara sendiri, hasil referendum dengan nama Negara Timor Leste (TL),
pemerintah kedua negara telah bersepakat membentuk Komisi
Kebenaran dan Persahabatan (KKP) untuk menyelesaikan masalah
pelanggaran yang pernah terjadi di masa lalu itu.
Dalam perkembangannya, KKP merekomendasikan
pembentukan Komisi Nasional untuk Orang Hilang. Dalam sebuah
wawancara aktivis Kontras Usman Hamid dengan Direktur HAM dan
Kemanusiaan Kemenlu, Muhammad Anshor, disebutkan, bahwa komisi
ini juga akan ditugaskan untuk mengidentifikasi semua anak Timor
Leste yang terpisah dari orang tua mereka dan untuk memberi tahu
keluarga-keluarga mereka mengenai keberadaan anak-anak tersebut.
Muhammad Ridha Saleh dari Komnas HAM, dalam sebuah
wawancara menegaskan, terdapat tiga hal mengenai penanganan kasus
orang-orang hilang oleh Pemerintah Indonesia dan Timor Leste.
Pertama, berkaitan dengan orang hilang. Kedua, pembayaran pensiunan
orang-orang Timor Leste yang pernah bekerja saat menjadi warga
negara Indonesia. Ketiga, kerjasama bidang pendidikan. Dalam
pertemuan dan kunjungan Komnas HAM, banyak suara dari korban
yang terus mempertanyakannya. Ini orang hilang, bukan penghilangan
paksa (disappearances). Sayangnya, rekomendasi soal penanganan orang
hilang itu tak berjalan/tidak dilaksanakan. Ridha mengatakan, tak ada
82
dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012
rekomendasi politik DPR untuk melaksanakan, tak ada gugus tugas dari
Pemerintah.
Untuk itulah, dalam konteks ini, hemat saya, perlu kiranya politic
will DPR dan Pemerintah untuk menuntaskan masalah tersebut, sebagai
upaya dan bentuk keseriusan Indonesia membangun kerjasama yang
baik dengan Pemerintah Timor Leste, seperti yang telah disepakati
bersama. Jika masalah ini tidak cepat terselesaikan, maka akan menjadi
ganjalan serius bagi hubungan kedua negara, sekaligus preseden buruk
tentang penanganan pelanggaran HAM masa lalu.
Masalahnya adalah, akan muncul sedikitnya dua masalah serius
ketika ikhtiar penanganan pelanggaran HAM masa lalu, kini, dan
mendatang, yakni berkaitan dengan batasan waktu terjadinya
pelanggaran di masa lalu, serta masalah tarik-menarik kepentingan
politik.
Yang pertama, harus jelas dulu dan disepakati batasan waktu
terjadinya pelanggaran, apakah sejak era Orde Lama, ataukah era Orde
Baru, ataukah sejak era Reformasi, atau bahkan sejak masa penjajahan
Belanda dan Jepang. Beragam pendapat pasti akan muncul, misalnya
anak-anak korban G-30S, akan menuntut haknya diproses atas
pelanggaran orangtuanya, lalu korban kekerasan seksual tentara Jepang
(Jugun Ianfu) terhadap kaum wanita Indonesia, lalu bagaimana dengan
yang terjadi terhadap ulama HAMKA misalnya, yang dipenjara dan
disiksa, tanpa proses hukum, demikian halnya Sjafrudddin
Prawiranegara, keluarganya mungkin juga akan menuntut. Yang masih
hidup, dipenjara tanpa proses hukum, dan masih banyak lagi lainnya.
Mereka semua boleh tidak meminta Pemerintah untuk memproses,
misalnya. Jadi akan banyak kepentingan yang lebih bersifat individual.
Yang kedua, tarik-menarik kepentingan politik sudah tentu sulit
dihindari karena banyaknya kepentingan korban dan juga kepentingan
Pemerintah di dalamnya. Partai-partai politik tentu saja tidak akan
tinggal diam jika ternyata ada kadernya misalnya, diduga terlibat
pelanggaran, padahal ketika pelanggaran itu terjadi, kader tersebut
masih berdinas aktif di institusi pemerintah maupun militer. Sudah
tentu, mereka bertindak dengan prosedur yang ada, dan atas nama
institusi, bukan pribadi. Ini akan menjadi akan menjadi pelik. Ini harus
menjadi catatan kita semua, karena dari sini pula akan menjadi efek
berantai dalam proses penyelesaian.
83
DISKURSUS Penanganan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
Kesimpulan
Pada prinsipnya, masalah penanganan pelanggaran HAM masa lalu, kini
dan mendatang, selain harus ada payung hukum yang jelas dan tegas,
juga harus ada kemauan politik yang kuat segenap elemen, terutama
kalangan pemerintah, parlemen, parpol, dan kekuatan masyarakat sipil.
Sebenarnya momentum penanganan pelanggaran HAM masa
lalu momentumnya adalah di awal-awal reformasi, atau katakanlah era
Presiden B.J. Habibie dan Presiden Abdurrahman Wahid atau Presiden
Megawati Sukarnoputri. Namun sayang momentum itu dilewatkan
begitu saja. Ibarat baja yang pada masa itu sedang mencair maka dengan
lewatnya momentum tersebut besi baja telah mengeras kembali dan
hilanglah momentum yang sangat strategis tersebut.
Sekarang, tentunya gagasan dan spirit yang terkandung dalam
KKR itu harus tetap ada dan terus diupayakan untuk dilaksanakan.
Namun dengan catatan bahwa upaya ini harus didukung dengan
kemauan kuat oleh semua pihak sebagaimana tersebut di atas untuk
menyelesaikannya dengan memproses pelanggaran-pelanggaran yang
terjadi terlepas dari apakah nanti dimaafkan atau dihukum, kesemuanya
diserahkan pada proses yang yang nanti akan berjalan dan berlaku.
Semua harus dilakukan dengan pasti dan ketegasan yang cukup.
Kalau bunyinya dimaafkan tentu harus diterima, kalau harus dihukum
juga harus dilaksanakan. Inilah model yang dapat kita lakukan. Untuk
melakukan itu, perlu juga kita berani keluar dari jebakan-jebakan
dogmatis.
Setelah itu semua dilakukan, kita mesti tutup buku, dan
membuka lembaran baru agar semua bisa diselesaikan dengan baik.
Tanpa itu, sulit rasanya mencari jalan keluar, dan ke depan akan terus
menerus terjadi perdebatan mengenai penanganan pelanggaran di masa
lalu tanpa ada titik temu dan penyelesaian.
Dalam konteks dan perspektif ini maka perlu dirintis kembali
upaya legislasinya dengan berpedoman pada Ketetapan MPR No
V/MPR/2000 yang dinyatakan sebagai masih berlaku. Apalagi menurut
UU No. 12 tahun 2011, Ketetapan MPR kembali masuk dalam tata urut
peraturan perundangan sehingga Tap MPR menjadi sumber hukum
formal.
Kita perlu merintis kembali pembentukan UU tentang Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi yang lebih baik dengan mengoreksi dan
84
dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012
menyempurnakan kelemahan-kelemahan dalam UU No. 27 Tahun 2004
tentang KKR yang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi untuk
menjadi payung pelaksanaan rekonsiliasi nasional. Sebagai bangsa yang
besar kita yakin dapat menyelesaikan permasalahan tersebut, betapa pun
rumit dan beratnya.
Bahan Rujukan:
Ketetapan MPR RI No V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan
dan Kesatuan Nasional.
Putusan MK Nomor 020/PUU-IV/2006.
UU Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
(KKR).
UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Sudah kehilangan Momentum', Kompas, 4 November 2006.
Korban penculikan Menuntut', Kompas 17 Maret 2005.
MK Batalkan UU KKR , Cermin Buruknya Legislasi DPR, Kompaas 8
Des 2006.
'Seleksi Anggota KKR Dihentikan' Kompas 19 Desember 2006.
Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik Indonesia
(Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2003).
Ketetapan Mejelis Permusyarakatan Rakyat No.V/MPR/2000 tentang
Pemantapan Persatuan Nasional.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 'Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi: Pengalaman beberapa Negara' www.elsam.or.id
Victor Hansen, Ghraib: Time for The United States to Adopt A
Standard of Command Responsibililty Towards
Its Own, Gonzaga Law Review, 2006 2007.
Jared Olanoff, Holding A Head of State Liable for War Crimes:
Command Responsibility and The Milosevic.
Trial, Suffolk Transnational Law Reivew, Summer 2004.
Ilias Bantekas, Principles of Direst and Superior Responsibility in
International Humanitarian Law, Manchester University Press,
Manchester, UK, 2002.
Daniel. S, Makalah seminar Pembangunan Hukum Nasional, Denpasar
(Juli, 2003).
85
DISKURSUS Penanganan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
Wawancara Usman Hamid dengan Kemlu, 10 Maret 2012.
Wawancara Usman Hamid dengan Ridha Saleh, Komnas HAM, 2 April
2012.
”Nasir Djamil: Kita Tunggu Jawaban Presiden”, Serambi Indonesia,
Kamis 29
September 2011.
”Menteri HAM: Usut Orang Hilang, Politik Gaduh,” Vivanews, Rabu,
12 Mei 2010.
Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Cet. I, Jakarta,
2003.
Eddy Djunaedi Karnasudirdja, SH, MCJ, Dari Pengadilan Militer
Internasional
Nuremberg ke Pengadilan Hak Azasi Manusia Indonesia, PT. Tata Nusa
2003.
86
OASE
Puisi Pelarian Wiji Thukul
Stanley Adi Prasetyo
Abstract
Wiji Thukul is the most wanted artist-cum-activist by the New Order regime. He
was abducted by the New Order regime and up till now his whereabout is
unknown. As a poet, his works were feared by the rulers at that time. This article
discusses Wiji Thukul's description in his unreleased poems about his own
conditions just before he was forcefully dissapeared.
Keywords: Abduction; Authoritarian Regime; Human Rights Violation
Orang memanggilnya Wiji Thukul, nama yang dalam bahasa Jawa berarti
”biji tumbuh”. Pemilik nama lengkap Wiji Widodo ini lahir di Kampung
Sorogenen, Jebres, Solo, pada 24 Agustus 1963. Penampilannya sangat
sederhana, tak sebagaimana seniman pada umumnya yang kerap
berpenampilan ”sok seniman”. Malah penampilannya lebih sering
terlihat ”kampungan” dalam arti tampil alamiah sebagai orang kampung.
Suatu hari pada 1984, Wiji Thukul membaca puisi di kampus tempat saya
kuliah, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga. Setelah
selesai, dia kemudian berdiskusi dengan gaya santai, duduk dengan kaki
sebelah diangkat sambil makan singkong rebus dan menyeruput kopi.
Ya, itulah dia, Wiji Thukul yang pertama kali saya kenal melalui seorang
budayawan asal Solo yang lebih suka dipanggil sebagai pekerja seni,
Halim HD, sekitar 1983.
Thukul besar dari lingkungan keluarga kelas bawah. Bapaknya
penarik becak, sebagaimana mayoritas profesi para tetangga di tempat
tinggalnya. Pendidikan formal Thukul adalah Sekolah Menengah
Karawitan Indonesia (SMKI) Solo Jurusan Tari, tapi tak pernah
ditamatkannya. Pada 1982 dia drop out dan memilih bekerja mencari uang
buat membantu bapaknya. Dia pernah berjualan koran di Semarang, jadi
89
OASE Puisi Pelarian Wiji Thukul
buruh plitur di kampungnya, calo karcis bioskop, dan jadi pengamen
puisi. Pernah juga dia bekerja jadi wartawan, meski hanya tiga bulan.
Belakangan Thukul jadi penyair terkenal yang puisi-puisinya
kerap dibaca oleh para aktivis mahasiswa pada 1980an. Dia mulai
menulis puisi sejak SD, dan tertarik pada dunia teater ketika duduk di
bangku SMP. Bersama kelompok Teater Jagat, dia pernah mengamen
puisi keluar-masuk kampung dan kota.
Meski hidupnya pas-pasan, Thukul mampu menyelenggarakan
kegiatan teater dan melukis dengan anak-anak kampung Kalangan,
tempat dia dan keluarganya tinggal. Pada pertengahan 1980an Thukul
kerap diundang mengamen masuk ke kampus-kampus, baik di Jawa
Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, maupun Jakarta. Pengalaman bergaul
dengan para aktivis inilah membuat Thukul kian kritis dalam berpikir.
Wiji Thukul pun menyadari pentingnya sebuah organisasi sebagai alat
perjuangan.
Thukul aktif terlibat dalam sejumlah aksi solidaritas terhadap
para petani dan buruh. Pada 1992 dia ikut demonstrasi memprotes
pencemaran lingkungan oleh pabrik tekstil PT. Sariwarna Asli Solo. Pada
1994, saat terjadi aksi petani di Ngawi, Jawa Timur, Thukul memimpin
massa dan melakukan orasi. Dalam aksi ini dia ditangkap serta dipukuli
sejumlah aparat militer.
Setahun berikutnya, saat ikut aksi aksi demo 15.000 karyawan
PT. Sritex yang didukung oleh Pusat Perjuangan Buruh Indonesia
(PPBI) dan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk demokrasi (SMID),
Thukul dipukuli dengan popor senjata dan kepalanya dibenturkan ke
mobil oleh aparat keamanan yang mengakibatkan mata kirinya buta. Dia
mengalami cedera mata kanan karena dibenturkan mobil oleh aparat
yang kemudian menangkapnya.
Pada 1994 Thukul bersama seniman progresif seperti Semsar
Siahaan dan Moelyono mendirikan Jaringan Kerja Kesenian Rakyat
(Jakker). Thukul menjadi ketuanya. Jakker sendiri membangun jaringan
kesenian dengan melibatkan sejumlah seniman progresif dan
kerakyatan di berbagai daerah.1
Pada April 1996 Thukul hadir dalam kongres pertama
1. Penjelasan mengenai sepak terjang Wiji Thukul secara lengkap bisa dibaca pada Wilson, ”Wiji Thukul:
Hanya Ada Satu Kata: Hilang” dalam Wilson (editor), Kebenaran Akan Terus Hidup: Catatan-Catatan
Tentang Wiji Thukul, Ikohi dan Yappika, Jakarta, 2007.
90
dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012
pembentukan PRD di Kaliurang, Yogyakarta. Dalam kongres tersebut
PRD mengambil keputusan penting di mana Jakker bersama Solidaritas
Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), Pusat Perjuangan
Buruh Indonesia (PPBI) dan beberapa organisasi lain secara resmi
menyatakan berafiliasi secara organisasi dan Politik dengan PRD.
Pada 22 Juli 1996 Thukul ikut hadir dalam pendeklarasian Partai
Rakyat Demokratik (PRD) di Ruang Adam Malik di Gedung Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia YLBHI), Jakarta. Pada
kesempatan ini dia membacakan sebuah puisinya yang terkenal berjudul
”Peringatan”. Ia juga dinyatakan terpilih terpilih menjadi Ketua Bidang
Pengembangan Kebudayaan PRD, selain memimpin Jaringan Kerja
(JaKer) Kebudayaan bersama dengan Semsar Siahaan. Keterlibatan Wiji
Thukul dalam PRD ini jelas adalah sebuah pilihan politik.
Sejak dideklarasikan, PRD selalu mendapat sorotan dari pihak
aparat keamanan, termasuk kalangan intelijen. Nama PRD disebutsebut sebagai dalang beberapa aksi petani maupun buruh. Nama PRD
kembali disebut-sebut saat terjadi peristiwa penyerbuan kantor PDI
yang dikuasai oleh pengikut Megawati Sukarnoputri secara paksa oleh
kelompok pendukung PDI Suryadi yang didukung preman dan
kelompok aparat tak berseragam.2 Peristiwa itu disebut sebagai Peristiwa
2. Soeharto dan pembantu militernya merekayasa Kongres PDI di Medan dan mendudukkan kembali
Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI. Rekayasa pemerintahan Orde Baru untuk menggulingkan Megawati
itu dilawan pendukung Megawati dengan menggelar mimbar bebas di Kantor DPP PDI. Aktivitas berupa
mimbar bebas yang menghadirkan sejumlah tokoh kritis dan aktivis penentang Orde Baru, telah mampu
membangkitkan kesadaran kritis rakyat atas perilaku politik Orde Baru. Sehingga ketika terjadi
pengambilalihan secara paksa, perlawanan dari rakyat pun terjadi. Kepala Staf Sosial Politik ABRI Letjen
Syarwan Hamid dalam penjelasannya kepada perwakilan negara asing di Departemen Luar Negeri pada 5
Agustus 1996 menegaskan bahwa Peristiwa 27 Juli 1996 merupakan upaya sekelompok orang untuk
menghidupkan kembali faham komunis di Indonesia. Upaya untuk menghidupkan kembali komunisme
itu dilakukan dengan menggunakan konflik internal di tubuh Partai Demokrasi Indonesia sebagai "kuda
troya". Penggunaan PDI sebagai "kuda troya" adalah karena PDI menyimpan konflik internal yang dapat
dieksploitasi dan diprovokasi. Status PDI sebagai lembaga politik formal mengakibatkan kelompokkelompok yang bermain politik praktis tak dicurigai.
Di antara kelompok ekstrem itu adalah PRD dengan berbagai faksinya yang dapat disamakan dengan PKI.
Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung menuding mimbar bebas yang digelar di halaman Kantor DPP
PDI adalah embrio makar terhadap kepemimpinan Presiden Soeharto. Sebelumnya, tanggal 19 Juli 1996,
Soeharto memanggil sejumlah pembantu militernya untuk membahas mimbar bebas tersebut. Soeharto
mengingatkan agar pembantu militer mewaspadai makar. Lihat harian Kompas 14 Juli 2003. Analisis
mendalam mengenai Peristiwa 27 Juli 1996 bisa dilihat pada Lukas Luwarso (penyunting), Peristiwa 27
Juli, ISAI, Jakarta, 1997.
91
OASE Puisi Pelarian Wiji Thukul
27 Juli 1996, ada pula yang menamakannya sebagai Peristiwa Kudatuli.3
Indikasi akan dijadikannya PRD sebagai pihak yang
bertanggungjawab sebetulnya tampak dari penyataan Presiden Soeharto
yang mengeluarkan pernyataan di depan para wartawan bahwa semua
pihak harus mewaspadai aktivitas yang terjadi di depan kantor PDI di
Jalan Diponegoro, Jakarta. ”Awas, ada banyak setan gundul di sana,”
ucap Presiden Soeharto.4 Dan ketika peristiwa terjadi dan masyarakat
yang marah atas penyerangan pada dini hari 27 Juli 1996 tersebut dan
melakukan penyerangan kepada sejumlah gedung pemerintah dan
kendaraan berplat nomor merah, Kasospol TNI Mayjen TNI Syarwan
Hamid menyatakan kepada media massa bahwa dalang kerusuhan yang
terjadi di Jakarta tak lain adalah anak-anak PRD.5
Hari-hari setelah Kudatuli aksi perburuan pun dimulai. Semua
aktivis PRD termasuk berbagai organisasi yang berafiliasi pada PRD
seperti SMID, Jaker, dan lain-lain diburu dan ditangkapi. Termasuk salah
satunya adalah Wiji Thukul.
3. Kudatuli. adalah akronim dari Kerusuhan 27 Juli. Sebutan ini pertama kali digunakan oleh tabloid Swadesi
dan kemudian digunakan secara luas oleh berbagai media massa. Sebutan yang lain adalah Peristiwa Sabtu
Kelabu yang merujuk pada hari saat terjadinya peristiwa ini yaitu hari Sabtu, kata "kelabu" untuk
menggambarkan "suasana gelap" yang melanda panggung perpolitikan Indonesia saat itu. Peristiwa 27
Juli 1996 ini menimbulkan kerugian material berupa 56 gedung dan 197 mobil rusak dan terbakar,
sehingga menurut Gubernur Soejadi Soedirdja, total kerugian mencapai Rp.100 miliar. Dalam peristiwa
ini 200 orang ditangkap. Menurut laporan Komisi Nasional Hak-Hak Azasi Manusia, ada tiga unsur
penyebab kerusuhan yang terlibat, yakni unsur pendukung PDI kelompok Soerjadi dan Megawati, unsur
pemerintah/aparat keamanan, dan masyarakat.
4. Harian Terbit, 26 Juli 1996.
5. Hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang ditandatangani Ketua Munawir Sjadzali dan
Sekjen Baharuddin Lopa tentang Peristiwa 27 Juli menyebut sebanyak 5 orang meninggal dunia, 149
orang (sipil maupun aparat) luka-luka, 136 orang ditahan. Komnas HAM juga menyimpulkan telah terjadi
sejumlah pelanggaran hak asasi manusia. Dokumen dari Laporan Akhir Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia menyebut pertemuan tanggal 24 Juli 1996 di Kodam Jaya dipimpin oleh Kasdam Jaya Brigjen
Susilo Bambang Yudhoyono. Hadir pada rapat itu adalah Brigjen Zacky Anwar Makarim, Kolonel
Haryanto, Kolonel Joko Santoso, dan Alex Widya Siregar. Dalam rapat itu, Susilo Bambang Yudhoyono
memutuskan penyerbuan atau pengambilalihan kantor DPP PDI oleh Kodam Jaya. Dokumen tersebut
juga menyebutkan aksi penyerbuan adalah garapan Markas Besar ABRI c.q. Badan Intelijen ABRI
bersama Alex Widya S. Diduga, Kasdam Jaya menggerakkan pasukan pemukul Kodam Jaya, yaitu Brigade
Infanteri 1/Jaya Sakti/Pengamanan Ibu Kota pimpinan Kolonel Inf. Tri Tamtomo untuk melakukan
penyerbuan. Seperti tercatat di dokumen itu, rekaman video peristiwa itu menampilkan pasukan Batalion
Infanteri 201/Jaya Yudha menyerbu dengan menyamar seolah-olah massa PDI pro-Kongres Medan.
Fakta serupa terungkap dalam dokumen Paparan Polri tentang Hasil Penyidikan Kasus 27 Juli 1996, di
Komisi I dan II DPR RI, 26 Juni 2000. Lihat: Laporan Penyelidikan Komnas HAM tentang Peristiwa 27
Juli 1996. Pengadilan Koneksitas yang digelar pada era Presiden Megawati hanya mampu membuktikan
seorang buruh bernama Jonathan Marpaung yang terbukti mengerahkan massa dan melempar batu ke
Kantor PDI. Ia dihukum dua bulan sepuluh hari, sementara dua perwira militer yang diadili, Kol CZI Budi
Purnama (mantan Komandan Detasemen Intel Kodam Jaya) dan Letnan Satu (Inf) Suharto (mantan
Komandan Kompi C Detasemen Intel Kodam Jaya) divonis bebas.
92
dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012
Wiji Thukul mengungsi meninggalkan rumah tak lama setelah
namanya disebut-sebut di madia massa, termasuk sejumlah televisi.
Berikut ini adalah sejumlah puisi, yang lebih merupakan catatan
pribadinya saat ia pergi bersembunyi dari satu tempat ke tempat lain.
Puisi ini ditulis langsung oleh Wiji Thukul selama persembunyian di
Jakarta dan sekitarnya. Pada masa ini saya bertemu dengan Wiji Thukul
beberapa kali. Saya mendapatkan kumpulan puisi ini saat-saat terakhir
kali sebelum dia memutuskan untuk pindah ke luar kota, mengingat
Jakarta dinilainya sudah tidak aman.
”Tolong ini kamu pegang. Siapa tahu suatu saat ada gunanya,”
ujar Wiji Thukul. Kumpulan puisi ini total berjumlah 27 buah puisi yang
sebagian besar belum ada judulnya. Ditulis dengan pensil di atas kertas
surat putih bergaris sebanyak 13 halaman bolak-balik. Bila dilihat kisah
di balik puisi, tampaknya tulisan ini dibuat setelah sang penulis
menempuh perjalanan Solo, Salatiga, dan Jakarta dengan menumpang
truk dan berpindah-pindah bus. Sebagian tulisan diberi catatan tanggal
penulisan, sebagian tidak. Namun dari catatan yang ada bisa
diperkirakan bahwa puisi ini ditulis antara tanggal 10 sampai 15 Agustus
1996.
Puisi berikut bercerita tentang pelarian Wiji Thukul
meninggalkan kota kelahirannya, Solo. Alasan Wiji Thukul untuk pergi
mengungsi dari kota Solo tak lain karena namanya disebut-sebut dalam
televisi oleh seorang jendral.
Para jendral marah-marah
Pagi itu kemarahannya disiarkan oleh televisi. Tapi aku tidur. Istriku yang
menonton. Istriku kaget. Sebab seorang letnan jendral menyeret-nyeret namaku.
Dengan tergopoh-gopoh selimutku ditarik-tariknya, Dengan mata masih lengket
aku bertanya: mengapa? Hanya beberapa patah kata ke luar dari mulutnya:
”Namamu di televisi .....” Kalimat itu terus dia ulang seperti otomatis.
Aku tidur lagi dan ketika bangun wajah jendral itu sudah lenyap dari televisi.
Karena acara sudah diganti.
Aku lalu mandi. Aku hanya ganti baju. Celananya tidak. Aku memang lebih
sering ganti baju ketimbang celana.
Setelah menjemur handuk aku ke dapur. Seperti biasa mertuaku yang setahun lalu
93
OASE Puisi Pelarian Wiji Thukul
ditinggal mati suaminya itu, telah meletakkan gelas berisi teh manis. Seperti
biasanya ia meletakkan di sudut meja kayu panjang itu, dalam posisi yang gampang
diambil.
Istriku sudah mandi pula. Ketika berpapasan denganku kembali kalimat itu
meluncur. ”Namamu di televisi....” ternyata istriku jauh lebih cepat mengendus
bagaimana kekejaman kemanusiaan itu dari pada aku.
Rupanya Thukul memilih meninggalkan Solo dengan
menumpang sebuah kendaraan truk. Menumpang truk barangkali
adalah pilihan sadarnya menghindari masuk kota atau terminal di mana
kemungkinan dia akan diketemukan oleh aparat yang mencari-carinya.
aku diburu pemerintahku sendiri
layaknya aku ini
penderita penyakit berbahaya
aku sekarang buron
tapi jadi buron pemerintah yang lalim
bukanlah cacat
pun seandainya aku dijebloskan
ke dalam penjaranya
aku sekarang terlentang
di belakang bak truk
yang melaju kencang
berbantal tas
dan punggung tangan
kuhisap dalam-dalam
segarnya udara malam
langit amat jernih
oleh jutaan bintang
sungguh
baru malam ini
begitu merdeka paru-paruku
94
dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012
malam sangat jernih
sejernih pikiranku
walau penguasa hendak mengeruhkan
tapi siapa mampu mengusik
ketenangan bintang-bintang?
Dari urutan catatan yang bisa dilacak dari puisi-puisi yang
ditulisnya, rupanya Salatiga jadi tujuan kota terdekat yang dipilih Thukul
ketika ia memutuskan meninggalkan kota Solo. Dia ke kota dingin yang
berjarak tempuh sekitar sejam dengan roda empat ini dalam keadaan
kedinginan dan kelaparan. Seharian dia bersembunyi di Solo setelah
meninggalkan rumah.
Rupanya sesampai di Salatiga, Thukul memilih untuk mampir ke
rumah seorang dosen yang dikenalnya dengan baik di kawasan Kemiri
Candi, di pinggiran kota di belakang kampus Universitas Kristen Satya
Wacana. Orang itu tak lain adalah pasangan Dr Arief Budiman dan Leila
Ch. Budiman. Hal ini bisa dikenali dari puisi yang diberinya judul ”Buat
L.Ch & A.B”. Wiji Thukul yang menggambarkan kelelahan fisik dan
kelelahan psikis yang dialaminya.
Buat L.Ch & A.B.
darahku mengalir hangat lagi
setelah puluhan jam sendi
sendi tulangku beku
kurang gerak
badanku panas lagi
setelah nasi sepiring
sambel kecap dan telur goreng
tandas bersama tegukan air
dari bibir gelas keramik yang kau ulurkan dengan senyum
manismu
kebisuan berhari-hari
kita pecahkan pagi itu
dengan salam tangan
95
OASE Puisi Pelarian Wiji Thukul
pertanyaan
dan kabar-kabar hangat
pagi itu
budimu menjadi api
tapi aku harus pergi lagi
mungkin tahun depan
atau entah kapan
akan kuketuk lagi
daun pintumu
bukan sebagai buron
Dari Jawa Tengah rupanya Thukul terus bergerak dan sampai di
Jakarta. Ia rupanya ditampung di sebuah rumah di pinggiran Jakarta
milik sepasang aktivis yang baru saja menikah. Thukul menulis puisi
yang diberinya judul ”Kado untuk Pengantin Baru” sebagai berikut.
Kado untuk Pengantin Baru
pengantin baru
ini ada kado untukmu
seorang penyair
yang diburu-buru
maaf aku mengganggu
malam bulan madumu
aku minta kamar satu
untuk membaringkan badanku
pengantin baru
ini datang lagi tamu
seorang penyair
yang dikejar-kejar serdadu
memang tak ada kenikmatan
di negri tanpa kemerdekaan
selamanya tak akan ada kemerdekaan
jika berbeda pendapat menjadi hantu
96
dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012
pengantin baru
ini ada kado untukmu
seorang penyair yang dikejar-kejar serdadu
Dalam pelarian, Thukul melalui komunikasi dengan sejumlah
teman-temannya sempat mengikuti perkembangan situasi yang terjadi di
rumahnya yang rupanya telah didatangi sejumlah aparat. Dia menulis
beberapa puisi berikut.
kuterima kabar dari kampung
rumahku kalian geledah
buku-bukuku kalian jarah
tapi aku ucapkan banyak terima kasih
karena kalian telah memperkenalkan sendiri
pada anak-anakku
kalian telah mengajari anak-anakku
membentuk makna kata penindasan
sejak dini
ini tak diajarkan di sekolahan
tapi rejim sekarang ini
memperkenalkan kepada semua kita
setiap hari di mana-mana
sambil nenteng-nenteng senapan
kekejaman kalian
adalah buku pelajaran
yang tak pernah ditulis!
Thukul juga menulis sebuah puisi khusus buat anaknya dalam
situasi dia sebagai buron pemerintahan Orde Baru. Berikut puisi itu:6
Wani,
bapakmu harus pergi
kalau teman-temanmu tanya
kenapa bapakmu dicari-cari polisi
jawab saja:
6. Menikah dengan Dyah Sujirah alias Sipon rekannya satu teater pada tanggal 23 Oktober 1988 dan
dikaruniai dua orang anak, yaitu Fitri Nganthi Wani dan Fajar Merah. Foto kopi naskah puisi ini pernah
saya berikan kepada seorang wartawan bawah tanah yang kemudian dimuatnya dalam majalah SiaR dan
kemudian dikutip oleh terbitan bawah tanah yang dikelola aktivis PRD yaitu media Pembebasan dan
kemudian dimuat dalam jurnal Indonesia, terbitan Universitas Cornell, Amerika.
97
OASE Puisi Pelarian Wiji Thukul
”karena bapakku orang berani”
kalau nanti ibu didatangi polisi lagi
menangislah sekuatmu
biar tetangga kanan kiri datang
dan mengira ada pencuri
masuk rumah kita
Bagi Thukul arti sebuah persahabatan sejati baru bisa dirasakan
saat datang cobaan. Meski banyak orang merasakan penindasan
sebagaimana yang dirasakannya, juga rakyat pada umumnya, namun
dalam situasi yang menghimpit tak semua teman berani menemuinya.
Thukul menulis sebuah puisi yang berjudul ”Pepatah Buron”.
Pepatah Buron
penindasan adalah guru paling jujur
bagi yang mengalami
lihatlah tindakan penguasa
bukan retorika bukan pidatonya
kawan sejati adalah kawan yang masih berani
tertawa bersama
walau dalam kepungan bahaya
Situasi pelarian tak mengecilkan semangat juang Thukul.
Sikapnya tetap teguh dan kritis pada kekuasaan. Pada beberapa
kesempatan dia menulis kegeramannya pada penguasa. Berikut puisi
yang ditulisnya.
kekuasaan yang sewenang-wenang
membuat rakyat selalu berjaga-jaga
dan tak bisa tidur tenang
sampai mereka sendiri lupa
batas usianya tiba
dan dalam diamnya
rakyat ternyata bekerja
menyiapkan liang kuburnya
98
dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012
lalu mereka bersorak
ini kami siapkan untukmu tiran!
penguasa yang lalim
ketika mati tak ditangisi rakyatnya
sungguh memilukan
kematian yang disyukuri dengan tepuk tangan
Thukul juga menulis sebuah puisi lain tentang penguasa. Ia yakin
bahwa penguasa lalim tak bisa membungkam suara rakyat.
ujung rambut ujung kuku
gendang telinga
dan selaput bola mataku
tidak mungkin lupakan kamu
bilur di punggung
nyeri di tulang
berhari-hari
darah di helai rambut ujung kuku
dendang telinga
dan selaput bola mataku
telah mengotori namamu
nyeri di tulang
berhari-hari
bilur di punggung
karena sabetan
telah mencoreng namamu
kau tak kan bisa mencuci namamu
sekalipun 1000 mobil pemadam kebakaran
kau kerahkan
kau tak kan bisa mencuci tanganmu
sekalipun 1000 pengeras suara
melipatgandakan pidatomu
suara rakyat adalah suara Tuhan
dan kalian tak bisa membungkam Tuhan
99
OASE Puisi Pelarian Wiji Thukul
sekalipun kalian memiliki 1.000.000 gudang peluru
Dalam pelarian, Thukul terus mengikuti pemberitaan media
massa. Dia membaca koran dan melihat televisi. Dia menemukan
kenyataan bahwa pemberitaan media massa lebih banyak
mempraktikkan jurnalisme omongan. Bukan jurnalisme yang
memberitakan realitas penderitaan rakyat. Semua kebohongan yang
diucapkan penguasa dikutip mentah-mentah oleh media massa. Thukul
mencemaskan bahwa bukan tak mungkin yang akan muncul adalah
nasionalisme model jaman Nazi di Jerman.
Jakarta simpang siur
ormas-ormas tiarap
tiap dengar berita
pasti ada aktivis ditangkap
telepon-telepon disadap
koran-koran disumbat
rakyat was-was dan pengap
diam-diam orang cari informasi
dari radio luar negeri
jangan percaya
pada berita mass media cetak
dan elektronika asing!
Penguasa berteriak-teriak setiap hari
Nasionalismenya mirip Nazi
Thukul juga menulis beberapa kata, tidak dalam bentuk puisi,
tapi lebih merupakan rangkaian kata-kata terpilih. Kata-kata ini lebih
merupakan perasaan Thukul saat membaca, mendengar dan memirsa
tayangan televisi.
berhari-hari – ratusan jam – ratusan kilometer – puluhan kota – bis – colt – truk –
angkutan – asap rokok – uap sampah – tengik wc – knalpot terminal – embun
subuh – baca koran – omongan penguasa – nonton tivi – omongan penipu – presiden
marah-marah – jendral-jendral marah-marah – intelektual bayaran ikut-ikutan –
100
dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012
sekretariat organisasi aktivis diobrak-abrik – penculikan – penggrebegan –
pengejaran – pembenaran dibikin kemudian – semua benar karena semua diam
Thukul juga merasa bahwa usia kekuasaan tak akan lama lagi.
Baginya usia penguasa pasti ada batasnya, demikian pula dengan
pemerintahan yang otoriter. Pada akhirnya, Thukul yakin, rakyat pasti
akan menang.
apa penguasa kira
rakyat hidup di hari ini saja
apa penguasa kira
ingatan bisa dikubur
dan dibendung dengan moncong tank
apa penguasa kira
selamanya ia berkuasa
tidak!
tuntutan kita akan lebih panjang umur
ketimbang usia penguasa
derita rakyat selalu lebih tua
walau penguasa baru naik
mengganti penguasa lama
umur derita rakyat
panjangnya sepanjang umur peradaban
umur penguasa mana
pernah melebihi tuanya umur batu akik
yang dimuntahkan ledakan gunung berapi?
ingatan rakyat serupa bangunan candi
kekejaman penguasa setiap jaman
terbaca di setiap sudut dan sisi
yang menjulang tinggi
Thukul yakin bahwa keyakinan dirinya, juga keyakinan mayoritas rakyat,
101
OASE Puisi Pelarian Wiji Thukul
tak bisa diubah meskipun penguasa menggunakan cara-cara represif
kepada rakyatnya.
ketika datang malam
aku menjadi gelap
ketika pagi datang
aku menjadi terang
aku rakyatmu
hidup di delapan penjuru
kau tak bisa menangkapku
karena kau tak mengenalku
kau tak bisa mendengarkan aku
karena kau terus berbicara
berbicara dan berbicara
dengan mulut senapan
pembantaian- pembantaian
dan pembantaian
mayat-mayat bergelimpangan
mayat-mayat disembunyikan
kau tak bisa menguburkan aku
kau tak bisa menyembuhkan lukaku
karena kau tak kenal aku
karena kau terus berbicara
berbicara dan berbicara
dengan tembakan dan ancaman
dan penjara
Meski terus bergerak dengan cara berpindah-pindah untuk
menghindari pencarian dan penangkapan, Thukul merasa dirinya
nyaman dan sama sekali tak cemas. Dirinya merasa waras sepenuhnya.
Berikut puisi yang menggambarkan hal ini.
102
dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012
habis cemasku
kau gilas
habis takutku
kau tindas
kini padaku tinggal tenaga
mendidih!
segala telah kau rampas
kau paksa aku tetap bodoh
miskin dan nelan ampas
kini padaku tinggal tenaga
mengepal-ngepal
di jalan-jalan
habis cemasku
kau gilas
habis takutku
kau tindas
aku masih tetap waras!
Hal ini berbeda dengan penguasa yang menurut Thukul sedang
risau. Pergolakan yang sedang terjadi Thukul anggap telah menggoyang
kursi kedudukan sang penguasa. Si penguasa digambarkannya dalam
puisi berikut.
ayo kita tebakan!
dia raja
tapi tanpa mahkota
punya pabrik punya istana
coba tebak siapa dia?
dia adalah aku!
dia kaya
keluarganya punya saham di mana-mana
tapi negaranya rangking tiga
103
OASE Puisi Pelarian Wiji Thukul
paling korup di dunia
coba tebak siapa dia?
dia adalah aku!
dia tua
tapi ingin tetap berkuasa
tak boleh ada calon lain
selain dia
kalau marah
mengarahkan angkatan bersenjata
rakyat kecil yang tak bersalah ditembak jidatnya
coba tebak siapa dia?
dia adalah aku!
dia sakti
tapi pasti mati
meski seakan tak bisa mati
coba tebak siapa dia?
dia adalah aku!
siapa aku?
aku adalah diktator
yang tak bisa tidur nyenyak!
Thukul yakin bahwa penguasa tak mungkin menyembunyikan
bau busuk dari rekayasa di balik Peristiwa 27 Juli 1996. Meski sejumlah
jendral menyangkal keterlibatan Pemerintah di balik peristiwa tersebut
dan menuding sejumlah aktivis yang mendalangi, Thukul yakin bahwa
rakyat sudah cerdas. Rakyat tak bisa ditipu lagi dengan berbagai pidato
dan kebohongan. Berikut puisi yang ditulis Thukul.
ujung rambut ujung kuku
gendang telinga
dan selaput bola mataku
tidak mungkin lupakan kamu
bilur di punggung
104
dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012
nyeri di tulang
berhari-hari
darah di helai rambut ujung kuku
dendang telinga
dan selaput bola mataku
telah mengotori namamu
nyeri di tulang
berhari-hari
bilur di punggung
karena sabetan
telah mencoreng namamu
kau tak kan bisa mencuci namamu
sekalipun 1000 mobil pemadam kebakaran
kau kerahkan
kau tak kan bisa mencuci tanganmu
sekalipun 1000 pengeras suara
melipatgandakan pidatomu
suara rakyat adalah suara Tuhan
dan kalian tak bisa membungkam Tuhan
sekalipun kalian memiliki 1.000.000 gudang peluru
Bagi Thukul, selama pelarian, faktor cuaca dinilai menjadi faktor
yang menguntungkan dirinya. Orang-orang yang mencarinya akan
kesulitan melakukan pekerjaannya saat malam tiba. Apalagi bila air
mengucur dari langit dengan derasnya. Cuaca yang buruk dan kegelapan
malam yang pekat adalah selimut bagi persembunyian Thukul. Hujan
juga sepertinya memberikan harapan akan munculnya perubahan.
hujan malam ini turun
untuk melindungiku
intel-intel yang bergaji kecil
105
OASE Puisi Pelarian Wiji Thukul
pasti jengkel dengan yang memerintahmu
hujan malam ini turun
untuk melindungiku
agar aku bisa istirahat
agar tenagaku pulih
setelah berhari-hari lelah
agar aku tetap segar
dan menang
hujan malam ini turun
untuk melindungiku
bunyi kodok dan desir angin
membikin pelupuk mataku membesar
aku ngantuk dan ingin tidur
biarlah para serdadu di ibukota
berjaga-jaga dengan senapan M-16nya
biarlah penguasa sibuk sendiri
dengan ketakutannya
karena telah mereka taruh sendiri
bom waktu di mana-mana
mereka menciptakan musuh
dan menembaknya sendiri
mereka menciptakan kerusuhan
demi mengamankannya sendiri
hujan malam ini turun
untuk melindungiku
malam yang gelap ini untukku
malam yang gelap ini selimutku
106
dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012
selamat tidur tanah airku
selamat tidur anak-istriku
saatnya akan tiba
akan tiba
bagi merdeka
untuk semua
Thukul merasa dirinya, sebagaimana para aktivis pro-demokrasi
lainnya, harus mampu bertahan, bernafas panjang. Thukul mengajak
rekan-rekannya untuk tidak kalut menghadapi keadaan dan terus
berjuang menghadapi berbagai cobaan yang saat itu datang mendera
mereka.
bernafas panjanglah
jangan ditelan kalut
bernafas panjanglah
jangan dimakan takut
bernafas panjanglah
jangan berlarut-larut
bernafas panjanglah
jangan surut
bernafas panjanglah
walau gelap
bernafas panjanglah
walau pengap
bernafas panjanglah kau, bernafas panjanglah para korban
bernafas panjanglah aku
bernafas panjanglah kalian
bernafas panjanglah semua
bernafas panjanglah
melihat tank-tank dikerahkan
bernafas panjanglah
melihat tentara mondar-mandir
berselendang M-16
107
OASE Puisi Pelarian Wiji Thukul
bernafas panjanglah
mendengar para aktivis ditangkapi
bernafas panjanglah
para kambing hitam yang diadili
bernafas panjanglah
dengan pemutar-balikan ini
mereka ingin sejarah dibaca bersih
bagaimana mungkin
jika mereka menulis dengan sobekan daging
laras senapan
dan kubangan darah
baca kembali semuanya
dan bernafas panjanglah
bernafas panjanglah akal
bernafas panjanglah hati
bangun
dan bernafas panjanglah!
Dalam persembunyian yang dilakukannya, Thukul sangat
berdisiplin menjaga diri. Dia sadar bahwa ada banyak orang mengintai
tempat-tempat yang dicurigai. Dia hanya bangun membuka kran air dan
menggunakan toilet saat tuan rumah ada di rumah. Dia tak menyalakan
lampu meski hari telah gelap. Dia lebih memilih menunggu sang pemilik
rumah pulang. Dia diam dalam sunyi. Karena itulah Thukul sangat peka
dengan keadaan sekelilingnya.
di ruang ini yang bernafas cuma aku
cecak dan serangga
air menetes rutin dari kran ke bak mandi
semakin dekat aku dengan detak jantungku
dingin ubin, lubang kunci, pintu tertutup, kurang cahaya
108
dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012
kini bagian hidupku sehari-hari
di sini bergema puisi
di antara garis lurus tembok
lengkung meja kursi
dan rumah sepi
puisi yang ditajamkan
pukulan dan aniaya
tangan besi penguasa
Bulan-bulan Agustus minggu kedua, di sekitar tempat Thukul
bersembunyi ia hanya bisa mengamati situasi di luar rumah dengan cara
mengintip melalui lubang kunci. Dia menyaksikan berbagai aktivitas
masyarakat dalam rangka menyambut peringatan Kemerdekaan 17
Agustus.
bulan agustus sudah tiba
penduduk ramai-ramai pasang bendera
tapi aku hanya lihat yang di seberang rumah saja
kuintip dari lubang kunci
sebab aku dikejar-kejar penguasa
sudah puluhan hari aku tak melihat angkasa
kehidupan di sekelilingku kusimak
dari datak-deru dan tawanya
aku tak bisa lihat wujud dan wajahnya
aku ditahan bukan dipenjara
aku disel bukan dibui
sebab kehidupan sehari-hari
adalah penjara nyata
rakyat negeri ini
Thukul juga membaca berita dari koran yang dibawa pulang oleh
teman yang rumahnya diinapinya. Dia juga merasakan di mana-mana
109
OASE Puisi Pelarian Wiji Thukul
banyak orang tengah menyambut suasana peringatan kemerdekaan.
Namun Thukul mempertanyaan makna kemerdekaan yang
sesungguhnya. Berikut puisi yang ditulisnya.
sebuah bank
memasang iklan
ukuran setengah halaman koran, teriaknya:
Dirgahayu Republik Indonesia 51 th
dengan huruf kapital
iklan itu juga memekik-mekik:
MERDEKA MERDEKA MERDEKA
sementara itu ratusan aktivis
di daerah dan di ibukota ditangkapi
sebuah iklan
ukuran setengah halaman koran
menggusur kenyataan yang sewenang-wenang
yang seharusnya diberitakan
MERDEKA MERDEKA MERDEKA
siapa yang merdeka?
Kebosanan selama berhari-hari bersembunyi dalam sunyi
dengan membatasi gerak-gerik diri, membuat Thukul merasa bahwa
meski dia berada di sebuah rumah, namun sesungguhnya dia ibarat
berada di penjara. Sebuah hal yang kontras dengan suasana di luar
rumah, di mana ada sejumlah orang tengah berlatih berbaris untuk
upacara 17 Agustusan.
di atas rumah ada burung
ku tahu dari kicaunya
di luar rumah ada orang
kutangkap lagi dari cakap
dan langkah kakinya
110
dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012
ini rumah biasa
tak beda penjara
tadi pagi kubaca di koran
kabar penangkapan-penangkapan
tapi sore ini
ku dengar di jalan
orang latihan baris-berbaris
untuk merayakan hari kemerdekaan
Dari balik kain gorden rumah persembunyian, Thukul
tampaknya berkesempatan mencuri-curi lesempatan untuk mengintip
pemandangan di luar rumah. Ia menyaksikan pemandangan indah di
pagi hari. Indahnya sebuah pagi, tapi menurut Thukul akan lebih indah
lagi bila negeri ini terbebas dari ganasnya kuasa tirani. Berikut sebuah
puisi berjudul ”Bagi Siapa Kalian Memetik Panenan”.
Bagi Siapa Kalian Memetik Panenan
pagi dingin
udara masih mengandung embun
bukit-bukit di kejauhan
disaput arak-arakan halimun
matahari terbnit
sempurna bulat merah setampah di langit
batang-batang pohon besar dan cabang-cabangnya
seperti ratusan penari
yang mengangkat tangannya tinggi-tinggi
kususuri keheningan ini
sendiri
jilatan matahari
segarnya udara pagi
alangkah indah negri ini
andai lepas dari masa ganas tirani
111
OASE Puisi Pelarian Wiji Thukul
Di balik rasa percaya diri akan keamanan yang melingkupinya,
Thukul sepertinya merasa kesepian. Ia juga merasa bahwa ia harus
bergegas berpindah dan tak bisa berlama-lama di tempat
”penampungan” saat itu. Meski ia merasa nyaman dengan kesunyian
yang melingkupinya, ia lebih memilih menghindari penangkapan.
Berikut puisi yang ditulisnya.
nonstop 24 jam
yang berkuasa di sini
adalah cahaya
saban pagi ia membuat garis-garis lurus
di sekitar jendela
gambar motif gorden tampak jelas
coklat hitam dan putihnya
lalu pada sore hari
ia mengubah warna langit-langit
sudut-sudut tembok
bidang ubin dan susunan benda-benda
yang ada di dalamnya
dan bila malam tiba
telapak kakiku diberinya mata
demikian pula punggung tangan
dan jari-jarinya
saat aku terbaring
serasa yang ada
cuma desir angin
detak jantung
tulang-tulang
dan hembusan nafasku saja
tapi aku harus pergi
dari kesunyian ini
sebelum penguasa merenggut
aku dan damai ini
112
dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012
Wiji Thukul memang kemudian memutuskan pergi dari tempat
persembunyian, tempat menuliskan semua puisinya ini. Dia terus
berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Setelah Peristiwa 27 Juli 1996
hingga 1998, sejumlah aktivis ditangkap, diculik dan hilang, termasuk
Thukul. Sejumlah orang masih melihatnya di Jakarta pada April 1998.
Thukul masuk daftar orang hilang sejak tahun 2000. Keluarganya
melaporkan hilang pada April 2000,7 sampai saat ini keberadaannya
masih tetap misteri.
Hingga sekarang Widji Thukul tidak diketahui nasibnya, apakah
ia sudah meninggal atau berada di suatu tempat. Puisi dan karyakaryanya masih dibaca orang. Pada Agustus 2009, DPR menyetujui
rekomendasi Pansus DPR tentang penghilangan orang secara paksa
untuk meminta Presiden RI agar segera mengeluarkan Keppres
pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc. DPR juga setuju dengan
permintaan Komnas HAM agar Kepolisian Republik Indonesia segera
mencari dan menemukan Wiji Thukul beserta 12 orang lain yang
dinyatakan hilang, dalam keadaan hidup ataupun mati.
7. Hilangnya Wiji Thukul pada sekitar Maret 1998 menurut KontraS diduga kuat berkaitan dengan aktivitas
yang dilakukan oleh yang bersangkutan. Saat itu bertepatan dengan peningkatan operasi represif yang
dilakukan oleh rezim Orde Baru dalam upaya pembersihan aktivitas politik yang berlawanan dengan Orde
Baru. Operasi pembersihan tersebut hampir merata dilakukan diseluruh wilayah Indonesia. Kita mencatat
dalam berbagai operasi, rezim Orde Baru juga melakukan penculikan terhadap para aktivis (22 orang)
yang hingga saat ini 13 orang belum kembali. Lihat: Siaran Pers KontraS No: 7/SP-KONTRAS/II/2000
tentang Hilangnya Wiji Thukul.
113
TINJAUAN
”Mengindonesiakan”
Anak Timor Leste
Razif
Judul
: Making Them
Indonesians: Child
Transfers out of East
Timor
Penulis
: Helene van Klinken
Penerbit : Victoria: Monash
University, 2012
Kolasi
: 252 hal
ISBN
: 9781876924072
Sejak abad ke-20 dan memasuki 21 setiap peperangan dan konflik
bersenjata yang terjadi di muka bumi senantiasa melibatkan anak.
Sepanjang Perang Dunia II, menurut sejarawan Peter Stearns, paling
tidak satu setengah juta anak hilang dan mati terbunuh. Di Eropa dan
Asia, anak-anak yang dilibatkan dalam perang tersebut adalah anak-anak
dari keturunan Yahudi. 1
Militer Nazi sebagai dalang pembunuhan anak terbesar
sepanjang Perang Dunia II berkeyakinan bahwa anak-anak Yahudi perlu
dibunuh agar di masa depan keturunan mereka dapat dihambat.
Kejahatan yang sama terjadi di Argentina selama periode ”Dirty War”
1976-1983. Anak dan bayi yang diduga keturunan aktivis gerakan kiri
diculik oleh penguasa militer Argentina dengan maksud untuk dididik
1. Peter Stearns menegaskan bahwa peperangan atau konflik yang melibatkan anak-anak dengan tujuan
untuk menaklukkan orang tuanya. Lihat, Peter. N. Stearns. Childhood in World History. (New York:
Routledge, 2011), hlm. 147.
117
TINJAUAN ”Mengindonesiakan” Anak Timor Leste
dan diurus tentara supaya ketika dewasa tidak seperti orang tuanya yang
radikal dan pembangkang.
Tak hanya berlangsung di negara yang mengalami peperangan,
tampaknya metode serupa dilakukan oleh negara-negara yang memiliki
kompleksitas isu etnis, seperti Australia. Di Negeri Kanguru itu pada
paruh abad 20 terjadi pengambil-alihan anak-anak bumiputera aborigin
Australia oleh orang-orang kulit putih. Tujuan pengambilan paksa ini
agar anak-anak tersebut mendapatkan pendidikan yang 'superior', dan
dijauhkan dari keterbelakangan kebudayaan orang tuanya.
Pemerintahan Orde Baru Soeharto pernah melakukan kebijakan
migrasi paksa terhadap anak tatkala menginvasi Timor Leste. Sepanjang
masa invasi sejak 1976 hingga 1999 berlangsung pemindahan anak
Timor Leste ke Indonesia. Pemindahan anak Timor Leste itu dianggap
sebagai bagian dari proyek kebudayaan yang dilakukan oleh rezim Orde
Baru untuk membuat mereka Indonesia. Buku yang disusun oleh
Helene Van Klinken berjudul Making Them Indonesians ini menceritakan
pengambilan paksa anak-anak Timor Leste ke Indonesia itu.
Pesan kuat buku ini tergambar melalui kulit muka buku berupa
foto Presiden Soeharto dan Nyonya Tien Soeharto beserta anak-anak
Timor Leste yang sedang berkunjung ke Istana Presiden di Jalan
Cendana, Jakarta Pusat. Anak-anak Timor Leste itu dianggap sebagai
”anak presiden”. Mereka disekolahkan dan diurus dengan tanggungan
biaya oleh Yayasan Dharmais milik keluarga Soeharto.
Pada tahun 1986 diperkirakan jumlah anak Timor Leste yang
dibawa ke Indonesia mencapai 40.000 orang lebih (hlm. xxvi). Hasil
perhitungan itu merupakan jumlah besar.
Buku ini sejatinya merupakan disertasi Helen di Universitas
Queensland, Brisbane, Australia. Penyusunannya menggunakan
pendekatan sejarah lisan. Melalui metode tersebut Helen berupaya
merekonstruksi proses pemindahan anak-anak Timor Leste ke
Indonesia.
Sejarah Pengambilan Anak Timor Leste
Penelitian Helen berangkat dari digelarnya Komisi Penerimaan,
Kebenaran dan Rekonsialiasi Timor Leste (CAVR) tahun 2003. Dia
melakukan serangkaian wawancara baik dengan korban yakni yang
waktu lampau masih anak-anak maupun dengan pelaku—perwira
118
dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012
tentara, pegawai negeri, rumah yatim piatu, pengurus gereja, masjid, dan
yayasan Islam. Awalnya anak-anak yang dipindahkan ke Indonesia
adalah anak yatim piatu dari kalangan Apodeti dan UDT.
Pemindahan anak-anak Timor Leste ke Indonesia berlangsung
secara sistematis, dan tentu pemindahan tersebut melibatkan negara.
Kenapa negara begitu berkepentingan untuk memindahkan anak Timor
Leste ke Indonesia? Juga, institusi-institusi apa saja yang terlibat?
Di Timor Leste pada masa Portugis telah berdiri sebuah rumah
yatim piatu. Pada awal pendudukan Indonesia mulai 1976-1977 rumah
yatim piatu itu diurus oleh pasukan Brawijaya. Pada paruh 1977 tentara
menyerahkan pengelolaannya pada Dinas Sosial. Penyerahan itu
bersamaan dengan diproklamasikannya Timor-Timur sebagai provinsi
ke-27 Indonesia.
Pada tahun yang sama berdiri Yayasan Dharmais di bawah
kendali keluarga Soeharto. Yayasan ini dipersiapkan untuk menyambut
20 anak Timor-Timur yang dipindahkan ke Jawa Tengah. Mereka
ditampung di S.T. Thomas, Semarang. Biaya sekolah, makan, seragam
dan lain-lain dibiayai oleh Yayasan Dharmais. Namun, terungkap dari
wawancara Helen bahwa banyak komponen biaya yang tidak dibayarkan
oleh Yayasan Dharmais.
Institusi lain yang terlibat dalam pemindahan anak Timor Leste
adalah Kinderdof yang berlokasi di Bandung, Jawa Barat. Organisasi ini
mempunyai jaringan internasional dalam mengurus anak-anak yatim
piatu. Awalnya, Kinderdof diperuntukkan bagi keluarga Apodeti dan
UDT Kepanjangannya? saja. Kinderdof menggunakan perawat khusus
untuk mengurus anak-anak. Itu sebabnya ia dianggap sebagai tempat
penampungan anak kelas satu. Tempat ini dilengkapi pula dengan
pendidikan sekolah.
Institusi lain yang terlibat adalah Panti Penyantunan Anak
Taruna Negara (PPATN). PPATN berlokasi di Bandung dijalankan oleh
Departemen Sosial. Pemindahan anak Timor Leste diperankan pula
oleh misi Islam untuk memperluas pengaruhnya di ruang teritorial
provinsi baru itu. Masuknya Islam ke Timor-Timur bermula dari tentara.
Banyak anggota militer baik perwira maupun prajurit menjadi anggota
Rawatan Rohani Islam.
Keterlibatan tentara dalam islamisasi pada masa awal invasi
Indonesia di Timor-Timur, melempangkan jalan bagi Dewan Dakwah
119
TINJAUAN ”Mengindonesiakan” Anak Timor Leste
Islamiyah Indonesia (DDII) untuk mengembangkan sayap di sana.
Mereka membangun sekolah Islam dan langgar. Akan tetapi islamisasi
oleh DDII tidak berlangsung mulus. Terjadi perlawanan terhadap
pembangunan sarana ibadah tersebut yang membuat DDII
memutuskan untuk mengirim anak-anak Timor-Timur ke Indonesia
untuk dididik.
Pada 1982, DDII mendirikan Yayasan Kesejahteraan Islam
Nasrullah (Yakin), organisasi yang kelak menyebarkan anak-anak Timor
Leste ke pesantren-pesantren di Jawa Barat dan Sulawesi. Dalam
pengiriman anak itu, Yakin dibantu oleh militer, Departemen Agama,
dan keluarga Arab Timor-Timur berdomisili di kampung Alor, Dili
Barat. Motivasi Yakin mengirim anak-anak itu ke Indonesia agar setelah
mereka selesai pendidikan sekolah pesantren dapat menjadi guru dan
pendakwah di Timor Leste.
Proses Pemindahan Anak dari Timor Leste ke Indonesia
Bagaimana proses pengambilan anak-anak itu terjadi? Dalam
menjelaskan proses pemindahan anak-anak Timor Leste, terdapat
empat sasaran kelompok anak yang dipindahkan ke Indonesia. Ini
persepsi Helene sebagaimana ditulis di buku? Atau opini pribadi?
Pertama, anak-anak di wilayah pertempuran tahun 1976-1978
saat tentara Indonesia melakukan operasi pengepungan dan
pemusnahan di basis-basis perlawanan Timor Leste. Operasi militer
Indonesia awal-awal masa invasi itu banyak menelan korban perempuan
dan anak-anak. Mereka terpaksa turun dari pegunungan menyerah.
Mereka kelaparan dan kekurangan obat-obatan.
Banyak anak-anak itu kemudian dibawa ke Indonesia ketika
prajurit pulang kampung. Mereka dititipkan terlebih dulu di rumah
yatim-piatu Seroja. Dalam situasi seperti ini anak-anak itu dianggap telah
yatim piatu dan hidup dalam kemiskinan.
Kedua, anak-anak yang berada di kamp-kamp penahanan yang
tinggal bersama orang tua atau dengan walinya—biasanya paman—dan
orang dewasa lainnya. Anak-anak itu hidup miskin dan kekurangan
makanan. Biasanya tentara memberikan makanan dan pakaian. Ketika
tentara habis masa tugasnya, anak-anak itu dibawa ke Indonesia.
Ketiga, anak-anak yang menjadi Tenaga Bantuan Operasi
(TBO). Biasanya anak-anak yang menjadi TBO berumur 8-13 tahun.
120
dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012
Pekerjaan mereka membawa barang-barang, alat-alat dan juga mengisi
amunisi senjata saat melakukan pertempuran dengan gerakan
perlawanan.
Anak-anak yang dipekerjakan sebagai TBO tidak mendapatkan
upah. Mereka seperti budak. Mereka hanya mendapatkan makan.
Padahal dalam prosedur ketentaraan, anak-anak TBO harus
dikembalikan lagi ke orang tua dan bersekolah. Tujuan para perwira
tentara membawa anak-anak bekas TBO agar mereka dapat dididik
untuk menjadi Indones yang pro-integrasi.
Keempat, anak-anak pejuang gerilyawan dari Falintil menjadi
sasaran tentara untuk dibawa ke Indonesia. Di kalangan elit tentara
Indonesia ada imajinasi untuk menaklukkan musuh, keturunannya perlu
dipurifikasi. Tentara memilih anak-anak berkulit bersih bersinar yang
dibawa ke Indonesia, seperti kepercayaaan kolonialis Eropa awal abad 20
yang membawa anak-anak mestizo dari musuh yang dijajah.
Motivasi Pemindahan
Motivasi tentara membawa anak-anak Timor Leste ke Indonesia sangat
beragam. Namun bila ditelisik motivasi utamanya bertujuan untuk
menaklukkan perjuangan orang tua mereka yang anti-integrasi. Anakanak Timor Leste itu diperadabkan dan menjadi patuh.
Selain itu, pemindahan anak oleh tentara ke Indonesia dapat juga
dilihat sebagai bentuk penyanderaan. Tentara Indonesia berpikir jika
anak-anak Timor Leste disandera maka pejuang Timor Leste mau
berintegrasi dengan Indonesia.
Hampir seluruh anak yang dibawa ke Indonesia baik oleh tentara
maupun lembaga pemerintah Orde Baru dipaksa menghapus identitas
ke ”timorlesteannya”. Rata-rata orang tua angkat yang notabene orang
Indonesia menyembunyikan fakta bahwa anak itu berasal dari Timor
Leste. Misalkan saja, anak yang diangkat dipaksa menganut agama orang
tua angkat dan mengganti namanya menjadi berbau ”Indonesia”.
Tentara-tentara Indonesia jarang yang menepati janji untuk
mengembalikan anak ke orang tua atau wali setelah tamat sekolah. Dari
tindakan ini terlihat jika tentara menjadikan pengambilan anak dari pihak
lawan sebagai bagian dari strategi perang.
Rezim Orde Baru menganggap pemindahan anak Timor Leste
merupakan simbol integrasi. Negara berkepentingan untuk mengubah
121
TINJAUAN ”Mengindonesiakan” Anak Timor Leste
kebudayaan dan identitas anak itu. Mereka sehari-hari menggunakan
bahasa daerah Jawa, jika tinggal di Jawa Tengah, dan berbahasa Sunda
bila tinggal di Jawa Barat. Mereka berbicara di depan kelas atau
berdiskusi dengan bahasa Indonesia dan menyanyikan lagu kebangsaan
Indonesia. Intinya mereka bersekolah di Indonesia dipaksa untuk
menjadi orang Indonesia.
Dalam penyusunan buku ini Helen menggunakan dokumendokumen terkait dari Departemen Sosial, Departemen Tenaga Kerja
dan lain-lain. Menurut penelitian Helen, anak-anak Timor Leste yang
dibawa ke Indonesia berumur antara 2 hingga 10 tahun, dan ada yang
berumur belasan tahun. Anak di bawah umur 10 tahun digemari untuk
dibawa oleh pelaku karena mudah dipengaruhi.
Penutup
Tanpa disadari tindakan rezim Orde Baru mendukung pemindahan anak
adalah melanggar salah satu poin Convention Genocide (pemusnahan) PBB
tahun 1951. Anak-anak adalah sumber penting untuk menyambung
nilai-nilai kebudayaan dari suatu kelompok bangsa. Asumsinya bila
anak-anak dalam satu periode perjalanan bangsa banyak hilang, maka
bangsa itu mengalami hambatan dalam perkembangan.
Anak-anak yang dibawa baik oleh individu maupun institusi
yang didukung negara tidak memperhatikan faktor kejiwaan atau
psikologis anak-anak itu. Banyak orang tua mati terbunuh atau dianiaya
disaksikan oleh anak-anak itu. Faktor yang mencekam itu berada dalam
benak anak tanpa pernah diperhatikan oleh pihak pelaku.
Memasuki tahun 2003 Pemerintah Indonesia mengumumkan
penghapusan status pengungsi bagi warga Timor Leste. Pengumuman
itu mempunyai arti anak-anak yang dibawa mempunyai kesempatan
untuk bisa bergabung kembali ke Timor Leste. Mereka yang diambil
paksa masa itu sekarang sudah dewasa. Ada yang kembali ke Timor
Leste, ada yang tidak.
Salah satu anak yang menjadi korban tersebut adalah Biliki.
Perempuan ini telah menikah dengan seorang tentara di Jakarta dan
mempunyai tiga orang anak. Biliki berkesempatan untuk kembali
sementara ke Dili saat memberikan kesaksian di CAVR. Anak korban
pengambilan lainnya adalah Petrus Kanisius. Beda dengan Biliki, Petrus
menyatakan pulang ke Timor Leste. Sekarang ini dia telah diangkat
122
dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012
menjadi kepala sekolah SMA di Dili.
Hampir rata-rata anak-anak itu telah dipisahkan dari ranah
kebudayaan mereka selama 18 tahun dan bahkan lebih dari itu. Mereka
sudah tidak memahami bahasa, dan adat istiadat. Anak-anak yang
kembali harus mengikuti upacara adat karena mereka dianggap telah
mati.
Namun, banyak anak-anak yang belum kembali atau tidak bisa
kembali karena telah kawin-mawin di Indonesia. Sejarah sosial
pemindahan anak-anak Timor Leste sebuah cerita yang unik. Narasi itu
belum banyak diketahui oleh publik di Indonesia dan Timor Leste.
Untuk memperluas penyebaran kisah itu buku ini perlu diterjemahkan
ke dalam kedua bahasa: Indonesia dan Tetun, Timor Leste.
123
KONTRIBUTOR
KONTRIBUTOR
Razif
Sejarahwan, aktif di Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), mempunyai
kepedulian pada sejarah hubungan kerja dan juga masalah ingatan sosial.
Saat ini ia sedang menyelesaikan penelitian bersama ELSAM tentang
pola penghilangan paksa di Indonesia.
Agung Putri Astrid
Pekerja HAM, anggota Perkumpulan dan mantan Direktur Eksekutif
ELSAM, koordinator ASEAN Inter-Parliamentary Myanmar Caucus
(AIPMC). Putri juga penggagas sekaligus penggerak Pertemuan Korban
Orde Baru, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Relawan Penggerak
Jakarta Baru (RPJB), dan alumnus Institute of Social Studies (ISS), Den
Haag, Belanda.
Budiawan
Staf pengajar Program Studi Kajian Budaya dan Media, Sekolah
Pascasarjana UGM. Ia memperoleh gelar PhD di bidang Kajian Asia
Tenggara, National University of Singapore, 2003. Aktif menulis opini
tentang masa lalu dan pelanggaran hak asasi manusia.
Stanley Adi Prasetyo
Menjabat sebagai Wakil Ketua Komnas HAM periode 2007-2012, aktif
dalam gerakan sosial sejak di bangku kuliah di Universitas Satya Wacana
Salatiga pada awal 1980an. Terlibat pula dalam sejumlah organisasiorganisasi yang bergerak dalam isu hak asasi manusia, seperti ELSAM,
Demos, dan Institut Studi Arus Informasi (ISAI).
Herry Sucipto
Staf Ahli Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI
Hajriyanto Y. Thohari
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Periode 20092012, terpilih sebagai Anggota DPR dari daerah pemilihan IV Jawa
Tengah.
127
Zainal Abidin
Deputi Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM),
alumnus Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), dan terlibat
dalam advokasi ICC bersama sejumlah aktivis hak asasi manusia lain.
Otto Syamsuddin Ishak
Terlahir di Yogyakarta tahun 1959, meraih doktor di bidang sosiologi
dari Universitas Indonesia (2011) dengan judul disertasi, Aceh Pasca
Konflik: Arena Kontestasi 3 Varian Nasionalisme. Gelar master di
bidang sosiologi dan sarjana geografi diraih dari Universitas Gadjah
Mada (1995 dan 1987). Sejak 1989 tercatat sebagai dosen pada
Universitas Syiah Kuala di Banda Aceh.
128
PEDOMAN PENULISAN JURNAL
Redaksi Jurnal Dignitas menerima kiriman tulisan dengan pedoman
sebagai berikut:
l
Jurnal ini mengutamakan penulisan artikel dengan gaya bahasa yang
sederhana, mudah dicerna, dan tidak rumit. Ini diterapkan agar
tulisan dapat dipahami oleh kalangan yang lebih luas, tidak cuma
kalangan hukum saja.
l
Audiens jurnal ini mencakup juga masyarakat nonhukum yang
memiliki perhatian luas tentang hukum dan dinamikanya. Hukum
mengandung kosakata yang khusus, kaku, mungkin juga tertutup,
yang hanya dimengerti oleh kalangan hukum saja. Kata-kata seperti
retroaktif, susah dimengerti oleh masyarakat nonhukum. Sehingga
kata-kata yang sekiranya rumit dimengerti masyarakat nonhukum
perlu diberi penjelasannya supaya mudah dipahami.
l
Tiap kosakata asing diusahakan dicari padanannya dalam bahasa
Indonesia, kecuali untuk jurnal edisi bahasa Inggris. Contoh: by
ommission, maka diganti atau ditambahi keterangan pembiaran.
Namun, jika tak ada, atau susah menemukannya dalam bahasa
Indonesia, tak masalah.
l
Pada dasarnya, jurnal ini semi akademis. Tak terlalu ketat dalam
penggunaan metodologi maupun pemakaian kosakata ilmiah.
Penulisannya naratif, diawali dengan abstraksi tulisan. Tulisan harus
fokus pada masalah tanpa melebarkan pembahasan.
l
Panjang tulisan semua rubrik, FOKUS, DISKURSUS, OASE sekitar
20.000-23.000 karakter, kecuali TINJAUAN. Sedang untuk rubrik
TINJAUAN mengulas buku atau kumpulan buku, film, karya sastra,
pertunjukan kesenian, panjangnya antara 10.000 – 13.000 karakter.
- Kami menerima tulisan dengan sumber catatan kaki atau
footnote, bukan catatan akhir atau endnote dan catatan
perut.
- Contoh catatan kaki untuk sumber buku:
Yando Zakaria, Abih Tandeh, Cetakan Pertama,
(Jakarta: Elsam, 2000), halaman 143.
- Contoh catatan kaki untuk sumber kolom, makalah, atau
kumpulan tulisan:
129
- Moh. Mahfud MD, ”Komisi Yudisial dalam Mozaik
Ketatanegaraan Kita”, dikutip dalam Bunga Rampai Komisi
Yudisial dan Reformasi Peradilan, (Jakarta: Komisi Yudisial,
2007), hal 7.
l
Tulisan disertai daftar pustaka dengan format, sebagai contoh:
- Daniel Dhakidae. Cendekiawan dalam Kekuasaan Negara
Orde Baru, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003.
l
Kami menggunakan pedoman penulisan yang lazim digunakan
pelbagai jurnal atau majalah. Penyebutan nama surat kabar, majalah,
judul buku, atau media terbitan lainnya dicetak miring. Misal, Majalah
Time dijatuhi denda Rp 1 trilyun oleh Mahkamah Agung atas kasus
gugatan Suharto.
l
Sedang untuk judul artikel diberi tanda kutip [”….”]. Seperti contoh:
Pengadilan, menurut Satjipto Rahardjo dalam tulisannya berjudul
”Pengadilan Sang Pemenang”, tak akan pernah berhenti menjadi
institut perang antara keangkaramurkaan dan kebaikan-keadilan.
Kirimkan naskah Anda dalam bentuk softcopy dikirimkan ke alamat email
[email protected] dengan melampirkan biodata. Redaksi menyediakan
honorarium yang pantas untuk tulisan yang dimuat.
130
PROFIL ELSAM
(LEMBAGA STUDI DAN ADVOKASI MASYARAKAT)
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Institute for Policy Research and
Advocacy), disingkat ELSAM, adalah organisasi advokasi kebijakan,
berbentuk Perkumpulan, yang berdiri sejak Agustus 1993 di Jakarta.
Tujuannya turut berpartisipasi dalam usaha menumbuhkembangkan,
memajukan dan melindungi hak-hak sipil dan politik serta hak-hak asasi
manusia pada umumnya sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi
UUD 1945 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan
Bangsa-Bangsa. Sejak awal, semangat perjuangan ELSAM adalah
membangun tatanan politik demokratis di Indonesia melalui
pemberdayaan masyarakat sipil lewat advokasi dan promosi hak asasi
manusia (HAM).
VISI
Terciptanya masyarakat dan negara Indonesia yang demokratis,
berkeadilan, dan menghormati hak asasi manusia.
MISI
Sebagai sebuah organisasi non pemerintah (Ornop) yang
memperjuangkan hak asasi manusia, baik hak sipil-politik maupun hak
ekonomi, sosial, dan budaya secara tak terpisahkan.
KEGIATAN UTAMA:
1. Studi kebijakan dan hukum yang berdampak pada hak asasi manusia;
2. Advokasi hak asasi manusia dalam berbagai bentuknya;
3. Pendidikan dan pelatihan hak asasi manusia; dan
4. Penerbitan dan penyebaran informasi hak asasi manusia
PROGRAM KERJA:
1. Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam Rangka
Mewujudkan Demokrasi dan Sistem Hukum yang Berkeadilan.
2. Penguatan Perlindungan HAM dari Ancaman Fundamentalisme
Pasar, Fundamentalisme Agama, dan Komunalisme dalam Berbagai
Bentuknya.
3. Pembangunan Organisasi ELSAM melalui Pengembangan
Kelembagaan, Penguatan Kapasitas dan Akuntabilitas dan
Akuntabilitas Lembaga.
131
Susunan Organisasi Perkumpulan ELSAM
Badan Pengurus:
Ketua: Sandra Moniaga, SH
Wakil Ketua: Ifdhal Kasim, SH
Sekretaris: Roichatul Aswidah, S.Sos, MA
Bendahara I : Ir. Suraiya Kamaruzzaman, MA
Bendahara II : Abdul Haris Semendawai, SH, LLM
Anggota Perkumpulan:
Abdul Hakim G. Nusantara, SH, LLM; Dra. I Gusti Agung Putri Astrid Kartika, MA; Ir.
Agustinus Rumansara, M.Sc.; Francisia Sika Ery Seda; Hadimulyo; Lies Marcoes, MA;
Johni Simanjuntak, SH; Kamala Chandrakirana, MA; Maria Hartiningsih; E. Rini
Pratsnawati; Raharja Waluya Jati; Sentot Setyasiswanto S.Sos; Toegiran S.Pd;
Herlambang Perdana SH, MA.; Ir. Yosep Adi Prasetyo
Pelaksana Harian:
Direktur Eksekutif: Indriaswati Dyah Saptaningrum, SH. LLM
Deputi Direktur Pembelaan HAM untuk Keadilan dan Plt Kepala Divisi Advokasi
Hukum: Wahyu Wagiman SH.
Deputi Direktur Pengembangan sumber daya HAM ( PSDHAM) dan Plt Kepala Divisi
Monitoring Kebijakan dan Pengembangan Jaringan: Zainal Abidin, SH
Kepala Biro Penelitian dan Pengembangan Kelembagaan: Otto Adi Yulianto, SE
Kepala Divisi Kampanye dan Kerjasama Internasional:
Kepala Divisi Informasi dan Dokumentasi: Triana Dyah, SS
Staf Pelaksana Program bidang Advokasi Hukum:
Ikhana Indah Barnasaputri,SH; Andi Muttaqien, SH
Staf Senior Pelaksana Program Bidang Monitoring Kebijakan & Pengembangan Jaringan:
E. Rini Pratsnawati
Staf Pelaksana Program bidang Monitoring Kebijakan & Pengembangan Jaringan:
Wahyudi Djafar, SH
Staf Pelaksana Program bidang Informasi dan Dokumentasi:
Paijo, Sukadi, Ari Yurino
Staf Keuangan:
Rina Erayanti (Pjs.); Elisabet Maria Sagala, SE
Kasir:
Maria Ririhena, SE
Sekretaris:
Yohanna Kuncup Yanuar Prastiwi, SS
Kepala bagian umum:
Khumaedy
Staf bagian rumah tangga:
Siti Mariatul Qibtiyah; Kosim
Staf bagian transportasi:
Ahmad Muzani
Staf bagian keamanan:
Elly F. Pangemanan
Alamat:
Jl. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta 12510 INDONESIA
Tel.: (+62 21) 797 2662; 7919 2519; 7919 2564; Fax.: (+62 21) 7919 2519
Email: [email protected]; Website: www.elsam.or.id
132
FOKUS
Drama Abadi Pembajakan Demokrasi demi Masa Lalu
oleh Agung Putri Astrid
Ikhtiar Mencuci ”Karpet Martti” di Aceh
oleh Otto Syamsuddin Ishak
Kekerasan Politik Massal dan Kultur Patriarkhi
oleh Budiawan
DISKURSUS
Kerangka Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat di Indonesia
dan Negara-negara Lain
oleh Zainal Abidin
Penanganan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
oleh Herry Sucipto dan Hajriyanto Y. Thohari
OASE
Puisi Pelarian Wiji Thukul
oleh Stanley Adi Prasetyo
TINJAUAN
”Mengindonesiakan” Anak Timor Leste
oleh Razif
Download