Volume VIII No. 1 Tahun 2012 ISSN 1693-3559 dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012 ISSN 1693-3559 Jurnal Hak Asasi Manusia Jurnal Dignitas merupakan jurnal yang terbit dua kali setahun, setiap Juni dan Desember, dengan mengangkat isu utama mengenai hak asasi manusia. Tulisan yang diterbitkan di jurnal ini memandang hak asasi manusia secara multidisipliner. Bisa dari sudut pandang hukum, filsafat, politik, kebudayaan, sosiologi, sejarah, dan hubungan internasional. Tema yang diterbitkan diharapkan mampu memberikan kontribusi pengetahuan dan meramaikan diskursus hak asasi. Kehadiran Jurnal Dignitas ini ingin mewarnai perdebatan hak asasi yang ada. Misi Jurnal Dignitas adalah menyebarkan gagasan dan pemikiran yang dielaborasi melalui studi, baik teoretik maupun empirik, tentang permasalahan hak asasi manusia atau hukum yang berkaitan dengan hak asasi manusia. Dewan Redaksi: Abdul Hakim Garuda Nusantara, Ery Seda, Ifdhal Kasim, Karlina L. Supeli, Sandra Moniaga, Soetandyo Wignjosoebroto, Todung Mulya Lubis, Yosep Adi Prasetyo; Pemimpin Redaksi: Indriaswati Dyah Saptaningrum; Redaktur Pelaksana: Widiyanto Staf Redaksi: Ikhana Indah, Otto Adi Yulianto, Triana Dyah, Wahyudi Djafar, Wahyu Wagiman, Zainal Abidin; Sekretaris Redaksi: E. Rini Pratsnawati Sirkulasi dan Usaha: Khumaedy Penerbit: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Alamat Redaksi: Jln. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta 12510 Telp: 021-7972662, 79192564 Fax: 021-79192519 Email: [email protected] Website: www.elsam.or.id dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012 ISSN 1693-3559 Jurnal Hak Asasi Manusia DAFTAR ISI EDITORIAL ______ 3 FOKUS Drama Abadi Pembajakan Demokrasi demi Masa Lalu oleh Agung Putri Astrid ______ 7 ______ 9 Ikhtiar Mencuci ”Karpet Martti” di Aceh oleh Otto Syamsuddin Ishak ______ 25 Kekerasan Politik Massal dan Kultur Patriarkhi oleh Budiawan ______ 41 DISKURSUS Kerangka Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat di Indonesia dan Negara-Negara Lain oleh Zainal Abidin ______ 51 Penanganan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu oleh Herry Sucipto dan Hajriyanto Y. Thohari ______ 75 OASE Puisi Pelarian Wiji Thukul oleh Stanley Adi Prasetyo ______ 49 ______ 87 ______ 89 TINJAUAN ”Mengindonesiakan” Anak Timor Leste oleh Razif ______ 115 ______ 117 KONTRIBUTOR ______ 127 PEDOMAN PENULISAN ______ 129 PROFIL ELSAM ______ 131 EDITORIAL Sidang Pembaca yang kami hormati! Jurnal dignitas kali ini mengetengahkan tema mengenai kabar penyelesaian kejahatan hak asasi manusia masa lalu. Tema ini secara sengaja dipilih guna mengungkapkan pelbagai analisis seputar proses penyelesaian kejahatan masa lalu di Indonesia yang bisa dikatakan stagnan. Proses kanalisasi penyelesaian tampak sangat kuat sedang berlangsung dengan modus lebih sistematis, mulai dari ketentuan normatif kebijakan yang ada, hingga faktor implementasi penyelesaian yang tiada komitmennya. Itulah Indonesia. Kita bisa lihat dari perjalanan upaya penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia. Beberapa waktu lalu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah menyelesaikan tugasnya melakukan penyelidikan pro-justicia terhadap Peristiwa tahun 1965/1966. Hasilnya, Komnas HAM menemukan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia berat dengan melibatkan unit negara yang bertanggung jawab atas keamanan saat itu, yaitu Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Hasil penyelidikan Komnas HAM memang menerbitkan secercah harapan. Institusi ini kemudian meminta kepada Kejaksaan Agung menindaklanjuti ke tahapan penyidikan. Namun bak nyala lilin yang tibatiba padam tertiup angin, Kejaksaan Agung menyatakan hendak mengembalikan berkas penyelidikan yang disusun berdasar penyelidikan selama empat tahun itu. Lalu kita pun menjadi paham sistem kepolitikan dan hukum kita sekarang tak kunjung menyemai keadilan bagi korban. Tesis bahwa setiap negara yang telah melewati fase pemerintahan otoriter akan mengalami periode transisi tampaknya tak berlaku di Indonesia. 3 Tak pernah tuntasnya penyelesaian masa lalu menjadi penanda gagalnya periodisasi yang bernada siklis itu. Kondisi Indonesia saat ini merupakan kelanjutan dari absennya 'patahan' atau batasan yang jelas antara masa kini dan masa lalu. Karena kini adalah akibat masa lalu. Asumsi yang berkembang kemudian telah terjadi pembajakan demokrasi oleh elit lama yang berganti muka menjadi penguasa baru dengan menggunakan momentum reformasi yang tak terdisain pro terhadap korban. Elit-elit lama bermetamorfosis dan melindungi kekuasaannya melalui serangkaian disain aturan hukum yang tak mencerminkan keadilan bagi korban. Prosedur hukum menjadi pertimbangan utama, yang ternyata tak berpengaruh pada perbaikan substansi keadilan. Elit lama ini ditengarai masih menguasai ranah penegakan dan proseduralisme hukum ini. Namun, tesis ini ternyata tak berhenti di sini. Ada fenomena menarik melihat perkembangan post-reformasi di Indonesia. Pegiat hak asasi manusia Agung Putri melihat dari sudut pandang lain itu. Menurutnya, Indonesia mengalami fase unik tatkala periode paska-reformasi sekarang lebih banyak diwarnai dengan dinamika interaksi korban dan pelaku secara intensif. Fenomena ini merujuk pada sejumlah peristiwa, seperti halnya, beberapa korban penculikan tahun 1997/1998 memilih bergabung dengan partai politik yang dikontrol oleh jenderal yang diduga kuat terlibat dalam penculikan mereka saat itu. Demikian pula representasi korban kejahatan masa lalu yang pada akhirnya memiliki jabatan-jabatan strategis paska-reformasi dinilai gagal mengartikulasikan kepentingan kolektif korban. Mereka setidaknya memiliki kesempatan untuk mengukir sejarah dengan membuat pembatasan antara masa kini dan masa lalu. Namun ternyata kelompok korban yang memiliki kekuasaan tersebut tak mampu melakukan pembatasan itu. Mereka malah justru memilih jalan kompromi yang akhirnya keinginan pengungkapan kejahatan masa lalu pun termoderasi dalam kepentingan pragmatis. Gambaran ini persis terjadi di Aceh, seperti dianalisis oleh Otto Syamsuddin Ishak, intelektual Aceh yang lama terlibat dalam gerakan masyarakat sipil Aceh ini. Tatkala mantan para pejuang Gerakan Aceh Merdeka (GAM) 4 menguasai mayoritas kursi di parlemen lokal dan posisi gubernur/wakil gubernur, mereka memiliki kesempatan untuk mendorong kejahatan masa lalu dengan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh. Akan tetapi apa yang terjadi? Hingga kini KKR Aceh belum terbentuk dengan dalih ketiadaan dasar legalitasnya. Terdapat dua skema utama yang selama ini dikenal luas kerangka penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia berat. Pertama, melalui pengadilan hak asasi manusia, dan jalur kedua lewat komisi kebenaran dan rekonsiliasi. Zainal Abidin dari ELSAM menguraikan kedua mekanisme tersebut dengan becermin pada proses penyelesaian kejahatan hak asasi manusia di negara-negara lain. Indonesia mengenal dua mekanisme penyelesaian tersebut, hanya saja untuk penyelesaian melalui KKR tidak pernah terjadi. Komisi ini bahkan tak pernah ada dan dasar hukum pembentukannya dianulir oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006. Sementara pengadilan hak asasi manusia telah dijamin keberadaannya lewat UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Bila terkait dengan kasus sebelum UU disahkan, mekanismenya lewat pembentukan pengadilan HAM Adhoc. Untuk kasus sesudahnya lewat pengadilan HAM biasa. Untuk pembentukan Pengadilan HAM Adhoc harus ada rekomendasi dari DPR dan pembentukannya berdasar Keputusan Presiden. Bisa dibayangkan betapa berlikunya mekanisme penyelesaian kejahatan hak asasi manusia masa lalu di negara ini. Menur ut Hajriyanto Thohari, wakil ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan segala kerumitan yang ada, pembentukan UU KKR sebagai sarana untuk penyelesaian kejahatan masa lalu perlu didorong kembali. Ada banyak kasus yang niscaya saat ini sedang ditunggu kepastian penyelesaiannya oleh para korban. Menurut Irawan Saptono (2002), dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia, terdapat tiga tipologi korban yang perlu dilihat dalam menjamin keadilan mereka yang terlanggar haknya. Satu, mereka yang masuk klasifikasi korban langsung. Dua, korban tak langsung yang biasanya menderita psikis dan emosi yang berat. Dan ketiga, para aktivis yang turut diculik karena memperjuangkan pengungkapan kejahatan hak asasi manusia. 5 Tulisan Budiawan mengenai narasi tiga korban tak langsung mengulas betapa passion memories-nya sangat menyentuh. Rata-rata para korban tak langsung, yang seperti para istri dari mereka yang ditangkap dengan dalih terlibat PKI tahun 1965 mengalami pergulatan batin yang cukup keras. Ada istri yang tak siap menghadapi kesendirian, ada pula yang dengan tabah dan 'menormalkan' hidupnya yang tak normal, dan lain sebagainya. Para korban tak langsung ini cenderung memiliki perasaan yang sama: mereka cemas akan kejelasan nasib suami, anak, atau sanak saudara mereka yang diculik, dihilangkan paksa, atau mereka yang mengalami pelanggaran hak asasi manusia berat lainnya. Stanley Adi Prasetyo berusaha mengungkapkan perasaan yang dialami oleh aktivis-cum-seniman Wiji Thukul persis saat-saat terakhir sebelum dia dihilangkan paksa oleh Orde Baru Soeharto, di tahun 1998. Wiji Thukul mengungkapkan kegetirannya melihat situasi politik dan sosial yang berkembang saat itu lewat belasan puisinya. Menariknya, puisi-puisi Wiji Thukul ini belum pernah dipublikasikan dalam terbitan-terbitan sebelumnya. Baru di jurnal ini Stanley mengulas puisi-puisi yang dirangkainya menjadi satu rangkaian cerita yang apik. Hingga kini Wiji Thukul tak jelas keberadaannya. Tak ada pernyataan resmi dari negara mengenai penghilangan paksa yang menimpa seniman paling dicari zaman Orde Baru tersebut. Di akhir edisi ini, kami memuat sebuah resensi buku berjudul ”Making Them Indonesia; Child Transfers Out of East Timor ” karangan Helena van Klinken. Resensi ditulis oleh Razif. Buku ini bercerita tentang pemindahan anak-anak Timor Leste berusia di bawah dua hingga belasan tahun ke Indonesia dengan sejumlah metode pemindahan dan motifnya. Semoga Jurnal dignitas ini dapat memperkaya bacaan dan analisis para pembaca terhadap situasi hak asasi manusia saat ini. Selamat membaca! WIDIYANTO Redaktur Pelaksana 6 FOKUS Drama Abadi Pembajakan Demokrasi demi Masa Lalu Agung Putri Astrid Abstract This article argues that the Indonesia's transition towards democracy has not been completed. It hasn't only been hijacked, but it comprises of a dynamic interaction between actors who inherit the gloomy condition of the past. Those who are held hostage by the past, who must solve the problems of the past, has blocked the path towards settlement. Indonesia comprises of the dynamics between victims and perpetrators who live side-by-side and that has created the drama of the hijacking of democracy, it is held hostage by the past. It seems that nation building must start from here, from the drama of the hijacking of democracy. Keywords: Hijacking Democracy; The Past Catatan kenangan Siang ini, di pertengahan tahun, sudah hari kesekian Jakarta tak lagi menanggung hujan. Dedaunan yang 5 jam lalu tegak kehijauan, kuning terkantuk-kantuk. Jalanan meliuk gang perkampungan Condet, panas dan lengang. Siapa rela memanggang diri di ketinggian matahari selain penjual asinan dan reparasi sepatu? Tak sampai satu kilo dari Condet arah timur adalah Lubang Buaya. Nama sebuah desa di kecamatan Halim, Jakarta Timur, yang sontak menjadi buah mulut dengan rasa seram di tahun 65. Situs penculikan 6 orang jendral dan seorang kapten pada 1 Oktober 1965 ini. Kini seperempat kawasannya berdiri museum dan monumen pancasila sakti, yang setiap tanggal 1 Oktober akan dibersihkan dari para gelandangan dan pedagang kaki lima karena presiden akan memimpin upacara militer di sana. Nun di selatan Condet, dalam jarak tempuh mikrolet M-06 jurusan Kampung Melayu – Gandaria, sebuah kompleks militer pasukan khusus mencatat riwayat telah menyembunyikan sejumlah pemuda dan 9 FOKUS Drama Abadi Pembajakan Demokrasi menyiksa mereka di tahun 1998 dan di antara mereka jejaknya tak berbekas hingga kini. Sementara berbalik ke arah utara, menuju kampung Melayu-Matraman-Salemba tak satupun bisa menghindar melewati situs pembakaran pertokoan Ramayana, Jatinegara Mall dalam kerusuhan Mei 1998, gedung Departemen Pertanian dalam peristiwa 27 Juli 1996, dan markas PKI di Jalan Kramat 81 pada tahun 1966. Di tengah kampung ini tergelar kembali lembar kejadian demi kejadian yang sempat kubaca dan kudengar tentang kekerasan politik. Tak sedikitpun aku pernah mengalaminya. Namun dalam berbagai sebab dan cara ikut membentuk pikiran, dan cita rasa. Ada komunitas yang secara sembarangan disebut komunitas korban kekerasan oleh negara yang aroma penderitaannya belasan tahun terhirup. Jujur, tak seluruh cerita mereka kurasai sebagai ratapan dan malah sebaliknya aku lebih suka belajar dari mereka. Kadang bila gairah hilang, kita tenggelam dalam kehidupan masing-masing. Mulanya adalah seorang sahabat datang padaku meminta menulis soal politik yang berurusan dengan korban. Kupikir ini bukan saatnya. Waktuku habis bersama teman jalanan, para pencoleng, preman terminal, tukang kayu, pengupas bawang Pasar Induk, serta penganggur di kampungku, korban pemiskinan. Hitungan matematis mereka tentang kehidupan ini adalah mendapat hari ini untuk hari ini. Masa depan cuma akumulasi dari potongan-potongan keberuntungan hari ke hari. Bagaimanakah caraku mengkalkulasi biaya darah dan derita masa lalu untuk masa depan ketika kampung ini separuhnya berisi kaum serabutan? Tapi ada daya tariknya permintaan temanku itu. Aku harus menjawab pertanyaan, adakah jalan keluar bagi korban dalam politik carut-marut saat ini. Aku berhadapan dengan gagahnya kesimpulan akademik teoritisi politik yang memvonis bahwa transisi di Indonesia sudah berhenti. Dan hanya ada satu sebab, menurut mereka, sistem dan institusi demokrasi telah dibajak oleh elit dominan warisan Orde Baru maupun elit baru. Rasanya tidak ada salahnya pendapat ini. Namun dalam hati aku ingin tahu, makhluk seperti apakah yang mampu menunda terselesaikannya masa lalu sekaligus membajak demokrasi dalam satu tarikan nafas? Hari menjelang sore. Angin sore merambat menyusup jendela kamar. Kurasai hawa penantian sekalian orang akan datangnya azan 10 dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012 maghrib. Mengikuti menit-menit penantian itu aku menjalin pikiran, ingatan dan perasaan sebisanya tentang serpih fakta kekerasan masa lalu yang beterbangan di kota Jakarta. Kekerasan puluhan tahun lalu memang tinggal debu politik. Namun debu itu menempel lengket. Sama lengketnya dengan lelehan darah membeku di seragam Letjen S Parman yang dipajang di museum Lubang Buaya. Debu itu mestinya bisa dibersihkan. Anehya, tak satupun melakukannya. Dalam tragedi politik, tak mudah bagi kita menghapus jejaknya, seberapapun jauh usaha menenggelamkannya. Tiap sudut kota, orangorangnya berelasi dengan masa lalu, baik dengan kekuasaannya maupun penghancurannya. Ingatan yang telanjur kolektif terpelihara dari generasi ke generasi, dengan cara dan tujuan yang berbeda. Tidak ada masa lalu yang benar masa lalu, meskipun masalah datang silih berhanti, orang hidup dan mati, menetap dan pindah. Kenangan Politik Akhir-akhir ini kerap terdengar lontaran ”Ah, masyarakat sekarang sudah pragmatis.” Artiya masyarakat hanya peduli pada uang, persetan dengan nilai kejujuran dan keadilan. Survai kompas bulan lalu mengamini lontaran ini dengan angka-angka hasil survai. Masyarakat Indonesia bukan agen perubahan, tetapi motor konservatisme kultural dan politik. Suasana tak ingin berubah juga diberkati oleh pandangan dari Istana Negara. Presiden berhenti bicara soal masa lalu. Kunci rekonsiliasi, menurut SBY, adalah melupakan masa lalu. Ini dilontarkan di hadapan tokoh-tokoh dunia yang malang melintang memerangi kekerasan termasuk penerima hadiah Nobel, mantan presiden Timor Leste, Jose Ramos Horta. Mengingat masa lalu sama dengan menyandera diri pada masa lalu dan berhenti menatap masa depan. Presiden SBY cukupkan dengan bersyukur bahwa di masa pemerintahannya tidak terjadi pelanggaran HAM. Pendapat ini berbalik ketika Jokowi menang pada putaran pertama sebesar 42, 60 persen dengan dana minim melawan gubernur Jakarta yang menguasai hampir semua lini kehidupan ibu kota. Setelah berdebat tanpa kata sepakat untuk menjelaskan kejutan ini, akhirnya baik ahli politik maupun supir taksi sama beranggapan bahwa Jokowi menang karena rakyat Jakarta menginginkan perubahan. 11 FOKUS Drama Abadi Pembajakan Demokrasi Apakah rakyat Indonesia tak ingin berubah, pragmatis, konservatif, oportunis atau sebaliknya, progresif, emansipatoris, dinamis, sebenarnya cuma kesimpulan permukaan. Jejak kebungkaman periode Orde Baru yang menggerus heroisme jaman revolusi hingga pertengahan tahun 60an, belum lagi dijelajahi. Bagiku, menilai bahwa demokrasi berhenti berdetak karena elit politik Indonesia tidak pro rakyat, predator, benalu kekuasaan, pewaris ketamakan Orde Baru atau maling yang masuk dalam selayar mewah pemerintahan SBY sama dengan bermimpi tentang negara republik yang tidak pernah ada.1 Suka tak suka jalan historis penuh luka ini yang menentukan apa yang hendak diubah dan ke arah mana perubahan itu. Tiap sentimeter perubahan itu senantiasa dihidupi oleh pengalaman traumatik bangsa. Tak seorang pun bisa memulai yang baru dengan menyingkirkan yang lama, karena yang baru lahir dari yang lama, sekalipun sama memprioritaskan periuk nasi. Bahkan setelah 15 tahun, di tengah korupsi bermilyar para politisi pasca orde baru, usaha Agung Laksono dan kawan-kawannya menobatkan Suharto sebagai pahlawan Republik gagal. Pengalaman traumatis bukan cuma milik korban tetapi suatu rasa kolektif bangsa ini. Selama berbulan-bulan menelusuri kehidupan masyarakat Afrika Selatan setelah 10 tahun berlalunya rejim apartheid tahun 2002, kutemukan betapa gaya berpolitik baru lahir justru dari pergulatan antara konservatisme lama, oportunisme baru dan sobekan sobekan luka. Semua diperebutkan, mulai dari menentukan bahasa negara, nama jalan, hingga prosedur penguasaan tanah, tender pembangunan, dan lokasi pertambangan. Ada juga yang secepat kilat menyesuaikan diri dengan hiruk pikuk bisnis pasca apartheid baik mantan polisi kulit putih jaman Apartheid maupun pebisnis kulit hitam.2 1. Tesis ini secara utuh disusun oleh Vedi R. Hadiz dan Richard Robison. Analisis politik yang berkembang saat ini tidak lain hanya mengekor di belakangnya. Cukup luas diketahui bahkan dalam periode heroik revolusi Agustus 1945, begitu banyak predator, maling dan orang-orang kaya yang meloncat ke perahu gerakan kemerdekaan dan banyak lainnya yang membajak revolusi itu. Pramoedya Ananta Toer melukiskan periode ini dalam novelnya: Di Tepi Kali Bekasi, Jakarta, Lentera Dipantara, 2003 dan Larasati, Jakarta, Lentera Dipantara, 2003. Juga penting membaca buku Robert Cribb tentang periode ini, Gangster and Revolutionaries, Jakarta People's Militia and the Indonesian Revolution, 1945-1949, Jakarta, Equinox, 2009. 2.Betapapun, Afrika Selatan masih prihatin atas gagalnya sebagian besar pebisnis kulit hitam. http://news.bbc.co.uk/2/hi/business/3262123.stm Mereka yang bertahan sedikit diantaranya adalah milyuner Patrice Tlhopane Motsepe, pembuat minuman anggur, Jabulani Ntshangase 12 dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012 Metode dan praktik rekonsiliasi berkembang subur justru di negeri yang tersobek-sobek oleh rejim apartheid. Kongres ilmu politik Afrika Selatan, konperensi metodologi kesehatan masyarakat pasca apartheid maupun teologi demokrasi dan rekonsiliasi tidak lain adalah ilmu-ilmu baru di Afrika yang dibangun dari pergulatan antara masa lalu dan masa depan. Tak ada ilmu dan strategi politik yang dicangkokkan dari luar. Semua gagal. Tak diduga, pemerintah Afrika Selatan, dalam upaya memulihkan lukanya, pun perlu mencari pegangan historis pada penggagas gerakan Asia Afrika, yang susah payah ditenggelamkan oleh Orde Baru. Bulan April 2005, Bangsa Afrika Selatan memberikan bintang kehormatan kelas 1 pada Bung Karno, The Order of the Supreme Companions of Oliver R. Tambo3 sebagai tokoh Asia Afrika yang telah memberikan inspirasi bagi perjuangan rakyat Afrika Selatan. Jam menunjuk pukul enam. Azan maghrib berkumandang antara masjid ke masjid sepanjang jalanan pantai Situbondo, Jawa Timur. Sejuk angin sore menyapu sisa panas siang hari. Senja yang sama menggelayuti tiap banjar di Bali oleh alunan kidung melantunkan puja puji seloka. Demikian litani ”Salam Maria” mendengung di sudut biara Susteran Canossian, Comorro, Timor Leste. Tenggelamnya matahari diberkahi umat manusia di tempat dimana luka-luka menyayat pernah terjadi.4 Saat maghrib, kerap menutup episode kekerasan siang hari. Letupan peluru menembus kepala mahasiswa dalam demonstrasi tahun 1998 dan 1999 di tengah kumandang azan maghrib. Kepulan asap hitam dari kantor PDI di Jalan Diponegoro 58 dan gedung-gedung di Salemba tanggal 27 juli 1996 membubung tinggi bersama senja. Ratusan warga kelurahan Koja, Tanjung Priok bersimbah darah menjelang Maghrib. Di Lampung, juga di desa Nisam, Aceh Utara, warga tidak ke surau untuk berazan bila beredar desas-desus bahwa tentara mengepung desa.5 3. Oliver Reginald KaizanaTambo adalah pahlawan rakyat Afrika Selatan. Bersama Nelson Mandela dan Walter Sisulu ia mendirikan ANC (African National Congres) organ utama perjuangan pembebasan rakyat Afrika Selatan dari apartheid. Namanya diabadikan pada bandara Internasional Afrika Selatan. http://www.sahistory.org.za/people/oliver-reginald-tambo. 4. Di tahun 2000an warga Situbondo panik oleh isu dukun santet dan ninja yang berujung ke pembunuhan orang-orang yang dicurigai dukun santet. Susteran Canossian menjadi tempat berlindungnya warga desa dari amukan milisi Aitarak dan Dadurus Merah Putih yang membakari desa-desa di tahun 1999. Sakralitas banjar-banjar di Bali tak hanya di segi religiusitasnya tetapi kenangan akan kekerasan tahun 1965. 5. Berbagai laporan HAM dari Aceh hingga Papua menyiratkan senja sebagai ancaman. Lihat juga buku fiksi, novel karya Arafat Nur, Lampuki, Jakarta, Serambi Ilmu Semesta, 2011. 13 FOKUS Drama Abadi Pembajakan Demokrasi Sejak drama penculikan jendral di Jumat Legi 1 Oktober 1965 dan selanjutnya, turunnya matahari berarti mulainya bencana. Penangkapan dan pengambilan orang tidak kembali sejak November 1965 hingga 1969 di desa-desa di Jawa, Bali, Sumatera berlangsung saat matahari merayap turun. Tiga puluh tahun kemudian, menyusul peristiwa Sabtu Pon tanggal 27 Juli pagi hari, jajaran pimpinan Angkatan Darat memaklumkan pengejaran aktivis PRD dan PDI melalui Jurnal Petang SCTV dan RCTI. Saat maghrib bagi kebanyakan orang Indonesia adalah waktu yang traumatik tetapi di saat sama diberkati. Tragedi politik tidak saja menyisakan kenangan tetapi hidup bila sinyal kekerasan memancar. Lebih lagi, oleh situasi yang tetap mengancam, yang karenanya tragedi serupa mungkin berulang, trauma itu terpelihara dengan baik. Karenanya, siapakah, pimpinan politik manakah, kekuasaan apakah, yang berani menjamin bahwa drama kekerasan tidak akan terulang kembali? Serangan kepada kelompok Ahmadiyah hanya menghidupkan sinyal lama betapa kekerasan antar masyarakat sengaja dibiarkan. Di Poso, Maluku, Sanggau, Sintang di tahun 1998, maupun Singkawang, Lombok, Bali dan pedesaan Jawa Timur di tahun 1965, polisi dan tentara berada di antara para penyerang. Tuduhan penguasa bahwa Ahmadiyah menghina Islam dan patut diusir justru menyetrum kenangan lama tentang keberingasan masyarakat membakar rumah dan membunuh mereka yang dianggap ternoda oleh komunisme, atheisme atau aliran sesat. Para penganut agama lokal seperti Kaharingan, Sunda Wiwitan, Parmalim peka dengan gerak pensucian macam ini. Warga pun masih mengenang pembantaian Haur Koneng, Jawa Barat tahun 1984. Sinyal itu berkedip-kedip sepanjang masa karena monumen-monumen hidup warga puluhan desa di Malang Selatan, Blitar, Kediri yang hampir 100% beragama Kristen atau Katolik. Mereka ini pemeluk kejawen yang 'hijrah' massal di penghujung tahun 60an untuk menyelamatkan diri dari tuduhan atheis. Dimensi kejadian yang berbagai-bagai itu membentuk trauma. Dimensi yang bukan peristiwa dan tak bisa disusun kronologinya. Menjadi tapol karena namanya tertera dalam daftar tangkap, karena pernah mengisi formulir, memberi pelajaran untuk mewaspadai semua formulir dan tetap memelihara identitas diri yang berbeda-beda. Peristiwa 65 yang cuma semalam, telah meluluh-lantakkan 14 dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012 segalanya hingga berdekade kemudian. Anak istri suami tercerai-berai, hilangnya tulang punggung keluarga, dan mata pencaharian serta status sosial (Roosa, et.al, ed, 2004). Orang gerah bicara politik sekaligus takut pada agama atau etnis lain. Bila perempuan angkat bicara, tak akan mungkin serupa dengan ”satriyo piningit” melainkan wujud ”gerwani” yang artinya kasar, liar dan nakal. Bila masyarakat punya masalah, jalan keluarnya berupa obat mujarab tanpa menghiraukan problem politiknya: minum obat agar sembuh dan bukan membangun sistem kesehatan agar jangan sakit. Politik kewargaan lenyap, yang ada adalah aktor-aktor yang lolos litsus. Organisasi politik hanya ada bersama keluarnya ijin. Berkumpul lebih dari 5 orang juga ijin. Patriotisme cuma ada di benak orang yang punya rencana makar. Tidak ada hidup gotong royong dan kepemimpinan warga. Masyarakat muak pada politik sekaligus takut pada kekuasaan. Kekerasan tak semata soal kerugian psikis dan fisik. Kekerasan politik itu penuh makna sosial, bertujuan menghancurkan hubungan sosial antar individu dan individu dengan masyarakat. Yang hendak diperlihatkan adalah betapa orang bisa menjatuhkan martabat. (Hamber, 2004) Politik Kenangan Masyarakat yang lumpuh kepemimpinannya, dicekam takut, disergap kenangan akan kekerasan politik masa lalu, menjalani peralihan kekuasaan yang khas. Bara api semangat menyeret penguasa lama, sejatinya ikut membakar serumah-rumahnya. Namun bayi demokrasi ini menghadapi dua soal besar: keharusan menghukum pelaku kekerasan masa lalu yang disandera oleh kebutuhan konsolidasi komponen bangsa secara demokratik. Tak ada kenyataan seindah adagium pengadilan atas kejahatan masa lalu melandasi terbangunnya masyarakat demokratik. Benar, mantan penguasa rejim otoritarian telah kehilangan legitimasinya. Tetapi konsolidasi demokrasi bukan perkara hukum apalagi moral. Dalam politik ada ribuan kemungkinan. Desakan public untuk pengadilan penghabisan bagi sang diktator, seperti di Mesir terhadap Hosni Mubarak awal Juni 2012 lalu, seharusnya membuka jendela demokrasi. Tetapi Mesir malah diguncang krisis dan lahir negara fundamentalis agama. Belum lagi Libya, Irak dan Hungaria. Pada bangsa-bangsa pasca kolonial pertaruhan gerakan demokrasi yang 15 FOKUS Drama Abadi Pembajakan Demokrasi bertahun terdepolitisasi adalah integritas kebangsaan itu sendiri. Bung Karno ada benarnya: ”perjuanganku lebih mudah dibandingkan perjuangan kalian nanti, karena sekarang aku berjuang melawan penjajah (bangsa asing), tapi akan lebih berat lagi perjuangan kalian, karena akan melawan bangsa kalian sendiri” Keinginan menghapus mimpi buruk masa lalu dan memelihara kebebasan masa kini malah membuat perhitungan dengan mantan penguasa rejim otoritarian kerap berbatas-batas. Hingga kini, tak satu ulasan tentang peralihan politik di berbagai negeri berani menyimpulkan bahwa setelah segala tindakan mengadili pimpinan diktator otoritarian, perhitungan dengan masa lalu selesai. Chile, setelah 20 tahun masih mengadili anggota junta militer. Demikian pula Argentina. Setelah 14 tahun menginterogasi mantan penguasa Orde Baru, kita justru diperhadapkan pada belantara sisa otoritarian yang tidak berujung. Reformasi 1998 melahirkan pengadilan HAM, suatu pengadilan paling menyeramkan untuk mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida. UU No. 26/2000 memerintahkan Komisi Nasional HAM membuat laporan pro-justicia yang menjadikannya lembaga paling prestisius dengan kewenangan mengkalkulasi perbuatan setingkat pimpinan negara. Namun pengadilan HAM dihadang oleh prosedur pembuktian yang merujuk pada kitab hukum pidana buatan pemerintah colonial, yang hanya mengenal kejahatan terorganisir. Belum sampai ke ranah pengadilan, sejak pagi-pagi Kejaksaan Agung menolak Komnas HAM, baik laporannya maupun data dan faktanya. Akhirnya tak satupun pengadilan menghukum pimpinan orkestra kekerasan Orde Baru. Selain laporan Komisi Kebenaran dan Persahabatan, komisi penyelidik dua negara Indonesia dan Timor Leste tahun 2007, tak ada laporan yang mengungkap kebenaran. Pernyataan komandan militer, pendapat akademisi, dakwaan Jaksa hingga pertimbangan hakim sama menyebut peristiwa paling tragis di republik ini sebagai bentrokan antar kelompok (Agung Putri, 2008). Tragedi 1965 dijelaskan sebagai langkah aparat keamanan memulihkan ketertiban akibat bentrokan antara kelompok pro dan anti komunis. Pembunuhan massal Tanjung Priok 1984 dijelaskan sebagai upaya aparat keamanan mempertahankan diri dari amukan massa. Kekerasan selama jajak pendapat di Timor Leste 16 dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012 sebagai ekses dari upaya aparat keamanan mencegah konflik antara gerakan pro-kemerdekaan dan pro-integrasi. Prosedur yudisial begitu sulit menggugat kekerasan negara, kekerasan oleh aparatur negara terhadap warganya. Negara dalam khazanah pikiran orang Indonesia adalah bangunan moral dan politis bangsa. Negara bukan institusi hukum tetapi pencapaian historis gerakan anti kolonial. Negara yang rapuh serta merta akan menggerogoti bangsa (Latif, 2012). Tetapi lebih dari soal persepsi, kebijakan pemulihan ketertiban mau tak mau menyeret lembaga negara, Kejaksaan Agung salah satunya. Lembaga ini dalam riwayatnya menjadi lembaga pemberi pembenaran hukum bagi kekerasan. Kejaksaan Agung atas masukan-masukan dari tim psikologi, Fakultas Psikologi UI, menggolongkan warga ke dalam golongan A, B, C, yang menentukan jenis hukuman mulai dari hukuman mati, penjara seumur hidup atau pembuangan. Lembaga ini berkuasa menetapkan suatu perkara sebagai tindak pidana khusus, tindakan membahayakan keamanan negara, di bawah undang-undang subversi. Kejaksaan Agung membuat operasi berdarah di tahun 1965 berlandas hukum. Di bawah kendali operasi besar pemulihan keamananKopkamtib tahun 1965, Kejaksaan Agung memimpin Operasi Justisi, dengan wewenang membuang orang, mengeksekusi mati dan menguasai seluruh tempat pembuangan tahanan politik.6 Ialah alat hukum yang menjalankan fungsi politik. Sekalipun kewenangannya kini diciutkan melalui revisi UU Kejaksaan dan kewenangan historisnya yaitu melarang peredaran buku dilucuti melalui keputusan Mahkamah Konstitusi tahun 2010, namun ia tetap mengabdi pada otoritarianisme, terutama meninjau dakwaan jaksa atas perkara pelanggaran HAM di pengadilan HAM.7 Demikian pula dengan pengadilan. Sekalipun Mahkamah Agung telah menjadi lembaga judisial independen, pengadilan HAM 6. Lembaga ini dalam satu dekade juga menjalankan perdagangan, mengantarkan panen beras dari Pulau Buru ke Pulau Ambon, atau memasok kebutuhan garam dari Jawa ke Pulau Buru. Pulau Buru adalah tempat pembuangan para simpatisan Sukarno dan PKI. Detil penggambaran hubungan antar lembaga ini lihat Pramoedya Ananta Toer, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Jakarta, Lentera, 1995. 7. Elsam memantau persidangan di Pengadilan HAM ad hoc dan membuat catatan hasil pemantauan. Lihat www.elsam.or.id . Lihat jug a beberapa catatan peng adilan David Cohen dalam http://ictj.org/publication/intended-fail-trials-ad-hoc-human-rights-court-jakarta 17 FOKUS Drama Abadi Pembajakan Demokrasi enggan mempertimbangkan bukti di luar dakwaan Jaksa yang sudah minim itu, misalnya mengabaikan keterangan saksi maupun korban, untuk kejahatan luar biasa yang telah menyalahgunakan kewenangan negara. Keputusan pengadilan lebih banyak menjerat pelaku lapangan dari pada pembuat kebijakan (Cohen, 2003; Elsam, 2004). Beberapa keputusan pengadilan memang mempertimbangkan korban. Hakim mengabulkan gugatan korban untuk memperoleh kembali rumah yang diduduki militer Udayana, suatu kasus di Bali. Kemenangan memperoleh kembali tanah perkebunan yang sempat dirampas militer di daerah Blitar juga berhasil dilakukan. MA tahun 2008 mengeluarkan keputusan mencabut sebagian besar peraturan dengan syarat bebas G30S. Nani Sumarni, mantan penyanyi Istana yang mendapat cap ET bertahun-tahun, berhasil memperoleh KTP seumur hidup. Namun bagai perahu mengapung di samudra rahasia masa lalu, kemenangan ini hanya kemenangan hukum ketimbang penyelesaian pelanggaran HAM. Ketika menjabat presiden, Gus Dur menjajagi jalan politik dengan menyatakan permintaan maafnya atas kejahatan terhadap kemanusiaan kepada warga korban kekerasan '65. Namun langkah ini dijegal seketika oleh gelombang protes massa NU, khususnya Jawa Timur. Protes yang sama terhadap Komnas HAM ketika mengeluarkan laporan HAMnya tentang tragedi tahun 1965 13 tahun kemudian. Faksi-faksi anti komunis yang menggantikan suara para jendral Orde Baru, mengancam: jangan coba-coba menyelesaikan kekerasan Orde Baru. Sementara itu Mahkamah Konstitusi dalam keputusannya tahun 2006 telah membatalkan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi8 dengan dalil sederhana: tiadanya kepastian hukum. Akibatnya pun sederhana, hukum menyandera jalan politik untuk mengurus masa lalu. Kegagalan ini di ujungnya adalah tindakan absurd seperti memaksa pemindahan jazad Heru Atmojo dari liang kubur Taman Makam Kalibata.9 Menurut Robison dan Vedi (2004), sekalipun pilar ekonomi politik Orde Baru telah dilucuti ini tidak mematikan kiprah aktor Orde 8. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah komisi yang dimaksudkan membantu pemerintah menyelesaikan kekerasan masa lalu dengan cara membongkar fakta kekerasan, memberikan pengakuan resmi atas kejadian tersebut, memberikan kompensasi pada korban dan keluarganya serta penghukuman atau pemaafan bagi pelakunya. Lihat naskah UU KKR yang telah dibatalkan. www.elsam.or.id 9. Letkol AU Heru Atmodjo meninggal pada tanggal 29 Januari 2011. Ia diduga terlibat dalam gerakan 30 September 1965. Ia dihadapkan pada Mahkamah Militer Luar Biasa dan dijatuhi hukuman penjara. 18 dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012 Baru dan jaringannya. Mereka bertahan dan menyesuaikan diri dengan sistem baru. Kekuasaan politik kembali dimonopoli dan sumber daya ekonomi dikolonisasi. Demokrasi kita sudah dibajak (Priyono, 2004). Kebertahanan kaum predator ini patut diduga menjadi penghambat penyelesaian kekerasan politik masa lalu. Namun agaknya terlalu gegabah mengatakan kegagalan menginterogasi masa lalu bersumber dari rendahnya kualitas demokrasi. Selain warisan otoritarian itu efektif bekerja di institusi-institusi peradilan, toh demokrasi yang pincang ini, demokrasi semu, demokrasi para preman, ternyata tidak bisa mengubur dosa masa lalu. Demokrasi itu sendiri tumbuh di atas lanskap politik yang dibangun melalui tragedi berdarah. Yang dihadapi , ternyata lebih dari konflik antar partai politik, antara kelompok golongan masyarakat, antara PKI dan non PKI. Di atas orkestrasi kekerasan tahun 1965, Orde Baru menyiapkan landasan ideologi, politik, ekonomi baru, dan sebesarnya coba melenyapkan pemerintahan Kabinet Gotong Royong dan revolusi Agustus dengan sebutan Orde Lama. Bukan saja mereka yang dibunuh, dibuang, dipenjara, atau yang membunuh, membuang, dan memenjara terikat oleh tragedi itu. Tetapi juga mereka, kaum intelektual, seniman, profesional, teknokrat, pengusaha, rohaniwan, diplomat, yang membangun orde. Para reformis yang berjuang meluruskan yang diselewengkan Suharto harus menjawab pertanyaan: siapa bertanggung jawab atas berdiri dan langgengnya Orde Baru? Para pemimpin negara masa reformasi tak putus rantainya dengan Orde Baru. Habibie, tak lepas dari sebutan ”anak emas Suharto”. Gus Dur tak mungkin membebaskan NU dari keterlibatan kekerasan di masa lalu yang kemudian menjadi korban intervensi Orde Baru dalam muktamar tahun 1984 (Aspinall, 2005). Megawati Sukarnoputri sejak muda tersingkir bersama dengan tergulingnya pemerintahan Soekarno. SBY terkait dengan peristiwa 27 Juli dan beberapa kekerasan di Timor Leste. Sementara itu mertua SBY, Jendral Sarwo Edi, adalah aktor penting pemulihan ketertiban paling berdarah tahun 1965 yang juga disingkirkan Soeharto. Siapapun, kaum demokrat di negeri ini, terlibat atau tidak dalam kekerasan, menjadi korban atau tidak, tetapi menyumbang pembangunan Orde Baru, berarti ikut melumat kabinet gotong royong Soekarno. Kerumitan ini terpancar dalam pendapat pemimpin NU 19 FOKUS Drama Abadi Pembajakan Demokrasi dalam dengar pendapat dengan anggota Panitia Khusus RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, DPR RI. 10 ”….Maka hendaknya kalau memang kita membuat undang-undang ini harus ditentukan terlebih dahulu niat membuat undang-undang itu, apakah kita menuju kepada rekonsiliasi ataukah kita ingin membuka kasus-kasus yang lalu itu, … Saya berpendapat bahwa kalau luka-luka yang lama itu ditelusuri, dibuka satu persatu secara nasional maka yang terjadi adalah fenomena pertikaian baru tanpa bisa dihindari. Maka yang betul adalah kita harus menutup dalam-dalam seluruh peristiwa-peristiwa yang memilukan itu kemudian kita atasi seluruh ekses-ekses yang timbul karenanya…. Hasyim Muzadi, ketua PBNU, dalam RDPU Pansus RUU KKR 2003” Pertanyaan dasarnya: bagaimana cara kita membongkar masa lalu? Keterbukaan yang digulirkan oleh sejumlah perwira militer, lebih dari suatu angin kebebasan dan kemenangan orde hak asasi, adalah juga momentum kembalinya para politisi dan parpol tersingkir11 sejak masa de-sukarnoisasi 1965 hingga 1971 dan sesudahnya. Politisi NU yang bersembunyi di tubuh Golkar, menunjukkan ke NU-annya. Bahkan sejumlah tokoh Golkar justru dibesarkan oleh pemerintahan Sukarno. Bisnis keluarga Aburizal Bakri (Pohan, 2011) dan Jusuf Kalla tumbuh dari program pengusaha pribumi periode Sukarno. Sekalipun orang semacam Arifin Panigoro atau bahkan Taufik Kiemas bersikap serupa Orde Baru (Robison dan Vedi, 2004), mereka justru pendukung pemerintahan Sukarno. Partai politik baru yang lahir dari semangat reformasi, memilih melekatkan diri pada partai lama. PKB bangkit dari masa tiarap panjang NU dari politik. PDI Perjuangan mencoba mengembalikan kejayaan PNI. PAN menjadi semacam 'sayap politik' Muhamadiyah. Partai Bulan Bintang mensenyawakan diri dengan Masyumi. PDS dengan Parkindo. PKS, eksponennya dikaitkan dengan gerakan DI/ TII. Kita menyaksikan suatu transformasi korban, pelaku, saksi, pendukung, atau penyembah Orde Baru menjadi politisi pasca Orde 10. Lihat teks transkripsi dengar pendapat antara pemimpin NU, KH Hasyim Muzadi dengan anggota DPR RI Komisi III, 2004. 11. Perwira militer, termasuk Jendral polisi Roekmini yang mendorong keterbukaan tahun 1993 melalui forum parlemen, itu terutama didasari oleh kekuatiran peran ICMI yang semakin membesar, ketimbang komitmen pada kebebasan berekspesi. Pertentangan ideologis antara militer merah putih dan militer hijau (Aspinall, 2005). 20 dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012 Baru. Mereka mendukung partai tertentu dan menjadi anggota legislatif, misalnya AM Fatwa, Beni biki, Yusron, dan Ribka Ciptaning. Mantan Tapol, tokoh perburuhan, Mochtar Pakpahan mendirikan partai buruh. Demikian pula Sri Bintang Pamungkas dengan partai nasionalnya. Setelah peristiwa 27 Juli muncul politisi antara lain Mangara Siahaan, Eros Djarot, dan Sophan Sophiaan. Perwira tinggi yang namanya tersebut dalam laporan Komnas HAM membentuk partai politik, atau mem-backing partai-partai besar. Junus Josfiah, namanya tersebut berkali-kali dalam pembunuhan wartawan Australia di Balibo 1974 menjadi pimpinan PPP. Jendral Muchdi belakangan menyusul. Mereka bahkan menjadi pelindung pimpinan partai politik yang menjadi korban.12 Pemimpin tertinggi partai Gerindra, Prabowo masih memiliki soal dengan peristiwa penculikan di tahun 1998. Jendral (purn.) Wiranto yang punya soal dengan kebijakan bumi hangus di Timor Leste tahun 1999 kini memimpin partai Hanura. Transformasi ini bukan adegan 'ramai-ramai melupakan masa lalu'. Justru sebaliknya, sedang terjadi pengentalan identitas gerakan politik karena keterlibatan dalam kekerasan di masa lalu. Di kalangan korban pun, korban '65 misalnya, akan sulit melibatkan diri dalam partai Golkar, PKB atau PAN dan lebih memilih PDIP dan partai Sukarnois lainnya. Bali khususnya, perseteruan antara PNI dan PKI di tahun 65 membuat korban PKI kini bisa dipastikan lebih bersimpati kepada Golkar dan Partai Demokrat. Korban Tanjung Priok berada di belakang PPP. Di Aceh, partai Aceh didukung penuh oleh korban kekerasan Orde Baru. Partai politik itu sendiri adalah korban Orde Baru, terkubur dalam fusi 3 partai, atau dibubarkan, diinterupsi, dikangkangi Golkar dan mengidap trauma yang sama. Kini pelaku politik pasca Orde Baru, korban dan pelaku, hidup bersama dalam format politik khas reformasi, yang mengikuti selera internasional (Robison dan Hadiz, 2004) dan tidak sampai membedah aktor yang mendepolitisasi masyarakat dan melumpuhkan partai politik. 12. Megawati Sukarnoputri, Ketua Umum PDI Perjuangan, ketika diusung menjadi ketua umum PDI dalam kongres Surabaya, berusaha disingkirkan. Ketika PDI Perjuangan memenangkan pemilu 1999, banyak tokoh militer yang dahulu berseberangan menjadi pelindungnya. 21 FOKUS Drama Abadi Pembajakan Demokrasi Maka di tubuh parlemen, perbedaan dalam melihat masa lalu menjadi samar dalam bisik-bisik ketimbang debat terbuka sekalipun dibentuk panitia khusus untuk menguji kasus orang hilang, Trisakti Semanggi. Ketika salah satu anggota parlemen dari Golkar, Priyo Budi Santoso menolak Presiden menyatakan permintaan maaf terhadap korban 65, anggota DPR lain memilih diam. Sementara di kepulauan yang jauh dari bencana politik nasional, korban dan pelaku pun hidup saling bertukar luka. Di Bali, korban dan pelaku hidup dalam satu rumah besar dan menghidupi persembahyangan yang sama. Di Kupang, pelaku menjalani pengobatan supra natural untuk mengusir hantu korban yang dibunuhnya di tahun 60an. Tokoh-tokoh daerah, Kepala LPM desa, penasehat perkawinan, pelukis istana, pemborong proyek perumahan punya masa lalu penuh luka (Putu Oka Sukanta, 2011). Para politisi Dayak terkemuka fasih mengurai betapa mobilisasi etnis melayu menyingkirkan mereka di sudut samping Orde Baru. Politisi Cina tak mungkin lupa akan pembantaian di Kalimantan, khususnya Sintang dan Sanggau puluhan tahun lalu. Drama pembajakan demokrasi kalaulah ada, tidak lain adalah fungsi efekif menyandera setiap pelaku politik dengan catatan masa lalunya, bukan untuk membungkam. Politik penyelesaian kekerasan masa lalu dan politik menggunakan kenangan masa lalu ganti berganti. Kenangan akan kekerasan masa lalu pada gilirannya membentuk politik masa kini. Karenanya kalaulah ini sebuah pembajakan, maka inilah pembajakan yang abadi. Kalaulah ini bagian dari pembangunan bangsa, maka demokrasi itu harus bisa mengakhiri politik penenggelaman Sukarno dan Orde Lama bersama-sama antara pelaku dan korban. Penting diingat bahwa trauma politik bukan sekumpulan simtom...trauma lebih berarti hancurnya individu dan sturktur sosial politik suatu masyarakat. Dalam pengertian ini memang penting membantu korban untuk menghadapi dampak konflik, tetapi trauma juga menuntut terjadinya transformasi masyarakat, memperbaiki relasi dan perubahan kondisi sosial. (Hamber, 2004) Dalam kata Nelson Mandela: Ketika saya melangkah keluar penjara, sudah menjadi misi saya untuk membebaskan yang ditindas maupun yang menindas. Orang bilang kita sudah mencapainya. Bagi saya belum. Sesungguhnya kita belum bebas; 22 dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012 kita hanya mencapai suatu keinginan untuk menjadi bebas, hak untuk tidak ditindas. Tapi kita belum sampai di tahap akhir perjalanan hidup kita. Kita baru di tahap awal dari perjalanan yang lebih panjang dan sulit. Untuk menjadi bebas, tidak cukup hanya membuka rantai belenggunya, tetapi hidup dalam cara yang saling menghormati dan memperbesar kebebasan orang lain. Ujian yang sesungguhnya akan kesetiaan kita pada kebebasan baru dimulai (Mandela, 1995). 23 Ikhtiar Mencuci ”Karpet Martti” di Aceh Otto Syamsuddin Ishak Abstract The conflict between GAM and RI ended with the Helsinki MoU agreement on 15 August 2005. The hope to deal with past human rights violations in Aceh appeared several times, but always ended in failures. This article explores the failures to deal with past human rights violations in Aceh inspite of the political change occured in the region Keywords: Aceh, Human Rights, Past Human Rights Violation Pendahuluan Harapan pertama penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia di Aceh muncul dalam perundingan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)-RI di Helsinki (2005), tapi gagal. Harapan kedua muncul ketika pembahasan draf RUU Pemerintahan Aceh (2006), tapi gagal lagi. Harapan ketiga sempat bangkit paska pemilukada gubernur (2006) yang dimenangkan oleh golongan politik yang dahulunya pejuang, tetapi gagal juga. Paska Pemilu 2009 muncul lagi harapan ketika kursi parlemen provinsi didominasi oleh Partai Aceh (2009), tapi masih gagal juga. Harapan kelima timbul manakala kandidat gubernur/wakil gubernur dari Partai Aceh menang dalam pemilukada (2012), dan kini draft qanun KKR dijanjikan akan dibahas di parlemen provinsi Aceh. Apakah nantinya akan muncul qanun KKR sebagai instrumen untuk mencuci sebagian ”Karpet Martti” yang masih bersimbah darah? Hal yang sudah dapat dipastikan bahwa tidak ada elite politik, militer, gerilyawan dan milisi—baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama—yang berani mengatakan atau sebaliknya membantah di depan publik perihal adanya pelanggaran HAM yang terjadi selama hampir tiga dasawarsa konflik GAM-RI di Aceh. Semua 25 FOKUS Ikhtiar Mencuci ”Karpet Martti” di Aceh pihak yang berkuasa saat ini bergeming untuk membahas upaya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu Aceh itu. Tentu saja mandegnya upaya ini tidak sejalan dengan cita Republik sebagai sebuah negara hukum sebagaimana termaktub dalam Konstitusi. Sangat disayangkan karena realitas yang terjadi sekarang seakan-akan merupakan penegasian eksistensi Republik sebagai negara hukum, dan sebagai sebuah negara modern yang memiliki Konstitusi yang mencerminkan penghormatan dan kehendak penegakan HAM. Memang bila dilihat dari konteks historis, sejak berdirinya Indonesia pada 1945, Republik ini belum memiliki fondasi politik yang cukup kuat untuk mewujudkan penghormatan dan kemauan penegakan HAM sebagai sebuah realitas. Ini dibuktikan dengan amat sedikitnya proses peradilan terhadap pelaku kejahatan kemanusiaan. Dengan kata lain, Republik ini memiliki tradisi politik yang cukup kuat untuk mengakumulasi kejahatan kemanusiaan. Sejak Amandemen UUD 1945 yang dilakukan pada 1999-2002, HAM telah menjadi bagian yang integral dalam Konstitusi. Jumlah pasal-pasalnya lebih banyak dibanding pasal yang berkenaan dengan keamanan dan pertahanan. Amandemen menghasilkan pembatasan jabatan Presiden maupun Kepala Daerah. Di level pusat telah mengalami pergantian rezim penguasa paska Reformasi 1998, sedang di Aceh telah berlangsung dua kali pemilukada (2006 dan 2012), serta satu kali perubahan komposisi anggota Parlemen Aceh, yang kini dikuasai dan didominasi oleh golongan politik yang menjadi lokomotif gerakan kemerdekaan Aceh. Pertanyaan besarnya mengapa perbaikan kondisi hukum dan politik, baik di level Pusat maupun di Aceh ini, tidak kunjung memberikan kebenaran dan keadilan terhadap korban konflik Aceh? Padahal kejahatan kemanusiaan sebagai fakta sosial (yang terus bergerak menjadi fakta sejarah) tidak terbantahkan. Bukankah ikhtiar memberikan kebenaran dan keadilan pada korban dan pelaku merupakan perwujudan pernyataan diri sebagai negara hukum? Faktor apa saja yang menyebabkan kegagalan penuntasan kejahatan masa lalu di Aceh? Untuk menjawab persoalan di atas, tulisan ini memaparkan kembali catatan-catatan tentang perdebatan antara pihak RI dan GAM di meja perundingan di Helsinki, proses pengadopsian resolusi masalah 26 dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012 pelanggaran HAM dalam UU Pemerintahan Aceh, serta ikhtiar organisasi masyarakat sipil (OMS) untuk mendorong adanya sebuah qanun tentang komisi kebenaran. 1. Martti: ”Merumitkan Hidup” Jika merujuk pada catatan proses perundingan di Helsinki versi Hamid Awaluddin, sebenarnya tidak ada agenda untuk membahas masalah penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM selama konflik. Delegasi RI tidak memasukkannya dalam agenda perundingan secara spesifik. Delegasi RI hanya mengusulkan pembahasan terkait topik ”penghargaan pada prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.”1 Baru pada perundingan putaran kedua, Nurdin Abdul Rahman, salah seorang delegasi GAM melontarkan topik ini. Nurdin sendiri memang ditangkap pada 1990 di masa Aceh distatuskan oleh Rezim Orde Baru sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) dengan sandi Operasi Jaring Merah. Lalu, setelah dijatuhi hukuman 13 tahun penjara. Tetapi dengan adanya Reformasi 1998, ia bebas setelah menjalani hukuman selama 10 tahun.2 Dalam perundingan Helsinki putaran kedua itu Nurdin mengatakan: ”Untuk urusan hak asasi manusia dan keadilan, kita harus lakukan investigasi yang dilaksanakan oleh lembaga mandiri internasional. Saya telah mengalami penganiayaan dalam penjara.” 3 Pengajuan masalah pelanggaran HAM oleh Nurdin dinilai Hamid Awaluddin4 sebagai sesuatu hal yang sangat personal Nurdin Abdul Rahman. Menurut Hamid Awaluddin, pengalaman Nurdin itu selalu dijadikan titik tolak pembicaraan masalah pelanggaran HAM dan permintaan untuk adanya solusi. Hamid Awaluddin, sebagai ketua delegasi RI, merespon panjang-lebar untuk persoalan HAM tersebut secara normatif, setelah diinterupsi oleh Martti Ahtisaari dengan istirahat minum teh dan kopi terlebih dahulu. 1. Awaluddin, Damai Di Aceh: Catatan Perdamaian RI-GAM di Helsinki. Jakarta: CSIS, 2008. Halaman 72. 2. http://www.analisadaily.com/news/read/2012/04/18/46237/turut_membidani_mou_helsinki/ 3. Ibid, halaman 129. 4. Ibid, halaman 111. 27 FOKUS Ikhtiar Mencuci ”Karpet Martti” di Aceh Perkenankan saya memaparkan agenda hak smanusia. Masalah HAM ini, dunia telah menyaksikan betapa pemerintahan kita sangat serius untuk ini. Dari perspektif hukum, kita telah memiliki UU HAM dan Peradilan HAM. Sejumlah draft UU yang berkaitan dengan masalah HAM dan hak-hak sipil politik kini tengah dibahas. Dalam waktu dekat ini, dua instrument dasar HAM internasional, akan diratifikasi, yakni, Konvensi Internasional mengenai hak-hak sipil dan politik serta Konvensi Internasional mengenai hak-hak sosial, ekonomi dan budaya. Ini adalah tiang pancang utama HAM universal. Ini tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa kita menyentuh kedua pilar utama ini. Segi kelembagaan, kita punya Komnas HAM yang sangat mandiri. Peradilan HAM sudah berjalan.... Kini kita juga dalam proses pembentukan Komisi Rekonsiliasi.... Jadi, jika GAM berbicara tentang demokrasi dan HAM, maka segala penilaian negatifnya itu, memang benar dalam konteks masa silam. Bukan sekarang ini....” 5 Ketika anggota delegasi GAM, Bachtiar Abdullah, menanyakan bagaimana menyikapi pelanggaran HAM di masa konflik: ”Apakah kita memandangnya hanya ke depan, bukan ke belakang?”6 Segera direspon oleh Martti Ahtisaari dengan memuja uraian normatif Hamid Awaluddin di atas. ”Satu di antara sekian kerumitan hidup yang kita alami adalah, yang berhubungan dengan masa silam kita. Hati-hati dengan soal ini. Dengan segala respek saya pada pemerintahan sekarang, banyak sekali kemajuan yang telah dicapainya … Namun, jangan kita larut dengan kesedihan masa lalu.” ”Kita tak akan mungkin memasukkan ini dalam draft tertulis sebab sangat sensitif. Ini tidak berarti kita bahwa kita hapuskan pembicaraan tentang ini. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa kita harus bersihkan karpet dari agenda ini. Inilah yang kita maksudkan itikad baik. Tentu saja memang selalu mengecewakan dan tidak memuaskan. Kita butuh keberanian menghadapi ini. Singkatnya, masalah HAM adalah masalah masa depan.” 7 5. Op Cit, halaman 131-132. 6. Op Cit, halaman 133. 7. Op Cit, halaman 133-134. 28 dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012 Dengan pernyataannya itu, Martti Ahtisaari memang tidak hendak membersihkan ”karpet berdarah”, juga bukan hendak mengabaikannya, tapi tidak mau masuk ke dalam salah satu kerumitan hidup. Mantan Presiden Finlandia itu dengan ”berani” mengambil karpet tersebut dan memasukkannya ke dalam kotak masa lalu, lalu dia berseru: ”mari kita menatap masa depan.” Hasil perundingan kemudian adalah tiga butir kesepakatan yang diatur dalam bab HAM. Berikut adalah poin-poin tentang pelanggaran HAM sepanjang hampir tiga dasawarsa konflik bersenjata itu, yang dirumuskan dalam MoU Helsinki: HAM dalam MoU Helsinki 2. 2.1. Pemerintah RI akan mematuhi Konvenan Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan Mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. 2.2. Sebuah Pengadilan Hak Asasi Manusia akan dibentuk untuk Aceh. 2.3. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan dibentuk di Aceh oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia dengan tugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi. 2. Ikhtiar Pada Konteks Nasional MoU Helsinki memberikan mandat kepada Presiden dan DPR untuk segera membuat UU baru terkait dengan Aceh dengan mengadopsi butir-butir kesepakatan Helsinki. Pengusulan dan pembahasan rancangan undang-undang untuk Aceh kemudian menjadi arena kontestasi bagi banyak individu elite politik dan pihak golongan politik. Di Aceh, kontestasi terjadi antara kekuatan masyarakat sipil, individu elite, elite politik (eksekutif dan legislatif), dan GAM. Tentu saja masing-masing memiliki agenda sendiri. Ada elite politik yang melakukan manuver individual dengan cara mengajukan revisi UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh, lalu dia menyerahkan draf tersebut ke pihak terkait di 29 FOKUS Ikhtiar Mencuci ”Karpet Martti” di Aceh Jakarta. Demikian pula ada inisiatif dari eksekutif untuk mendahului proses drafting RUU. Hal yang menarik adalah organisasi masyarakat sipil juga mengambil inisiatif untuk menyusun draf RUU, sehingga pada satu kondisi politik tertentu muncul konsensus politik dari semua kekuatan politik di Aceh untuk melakukan reformulasi bersama yang menjadi draf RUU dari Aceh. Draf ini yang kemudian disandingkan dengan draf yang dibahas oleh DPR RI. Dalam pembahasan di DPR RI, ternyata perihal hak asasi manusia tidak menjadi topik yang krusial. Perdebatan mengenai HAM seakan tidak dianggap masalah penting ketimbang tema-tema lain yang diatur dalam RUU. Sejumlah poin penting terkait HAM yang diusulkan dalam draf RUU versi Aceh justru dihilangkan. Misalnya, perihal pelembagaan pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran. Ketentuan mengenai rentang waktu implementasi dua usulan institusi ini dihilangkan. Sehingga ketentuan waktu pendiriannya tidak mengikat. Nasib yang sama terjadi pada usulan tentang kemungkinan keterlibatan pelapor khusus dalam investigasi kejahatan HAM. Ketentuan ini dihapus dalam RUU hasil pembahasan DPR. Berikut adalah poin-poin penting dalam draf RUU usulan Aceh yang mengalami amputasi dan koreksi ketika dibahas di DPR RI: Usulan Aceh yang Dihilangkan di DPR RI 3. Pemerintah membentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia paling lambat 1 (satu) tahun setelah pengesahan undangundang ini. Tenggang waktu dihilangkan 4. Pemerintah membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh paling lambat 1 (satu) tahun setelah pengesahan undang-undang ini. Ayat ini dihilangkan 5. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah derivasi dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional yang bertugas untuk merumuskan dan menentukan rekonsiliasi dan melakukan klarifikasi terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia di masa lalu. Tugas untuk klarifikasi dihilangkan 30 dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012 6. Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibentuk oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional dengan memperhatikan pertimbangan DPRA. ”memperhatikan pertimbangan DPRA” dihilangkan Dalam hal tidak adanya jaminan proses investigasi yang adil dilakukan terhadap kasus-kasus kejahatan berat hak asasi manusia tertentu di wilayah, pemerintah memberi kesempatan kepada pelapor khusus (special rappourteur) dan/atau pejabat lain Pererikatan Bangsa-Bangsa untuk masuk ke wilayah Aceh. Perihal membuka kesempatan untuk melibatkan pelapor khusus dihilangkan Setidaknya ada tiga asumsi mengenai minimnya pembahasan serta penghilangan poin-poin penting tentang HAM dalam RUU Pemerintahan Aceh di DPR. Pertama, karena rumusan dalam MoU Helsinki menjamin ditutupnya persoalan pelanggaran HAM masa lalu (konflik). Kedua, masalah HAM di Aceh dianggap sebagai wacana ke depan. Ini seturut dengan pembahasan dalam perundingan Helsinki. Ketiga, minimnya pembahasan HAM dapat memberikan kenyamanan politik bagi kelompok elite penguasa dan politisi di DPR. Hal yang terakhir ini menjelaskan bahwa satu karakter transisi kekuasaan di Indonesia adalah tetap adanya kontinuitas antara penguasa terdahulu dengan yang kemudian. Kontinuitas ini menjadi salah satu kendala politik yang utama dalam penegakan HAM untuk kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, karena pelanjut penyelenggara negara sekarang—baik di eksekutif, legislatif dan yudikatif hingga ke pelaksana di lapangan—adalah bagian dari rezim masa lalu, baik secara struktural maupun kultural. Justru mereka memiliki kewenangan untuk menciptakan diskontinuitas antara kejahatan masa lalu dengan pelembagaan pengadilan HAM di masa kini dengan kalimat: ”Untuk memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sesudah Undang-Undang ini diundangkan …” 8 Peminggiran upaya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu di Aceh juga terjadi pada proses pembahasan RUU di DPR RI. Masalah yang dianggap krusial dibahas oleh DPR RI adalah masalah seperti 8. Cetak tebal dari penulis. 31 FOKUS Ikhtiar Mencuci ”Karpet Martti” di Aceh desentralisasi (penyerahan kewenangan Pusat ke Aceh) dan dekonsentrasi (pelimpahan kewenangan), persoalan implementasi syariat Islam agar tidak menjadi jalan bagi gerakan syariatisasi negara, serta masalah model demokrasi lokal, termasuk di dalamnya mekanisme pemilihan kepala daerah dan ketentuan mengenai partai politik lokal.9 Koalisi organisasi masyarakat sipil yang sejak masa konflik telah mengadvokasi persoalan pelanggaran HAM menganggap tindakan politik dalam pembahasan RUU di DPR dengan mengamputasi poin penting terkait HAM sebagai tindakan ”merampas hak keadilan korban.” Mereka juga menilai tindakan politik tersebut telah ”merusak tatanan hukum nasional yang menjamin keadilan.”10 Pada saat yang hampir bersamaan, pada konteks nasional, munculnya gagasan pembentuk KKR Aceh memicu kembali desakan untuk segera membentuk KKR Nasional karena keberadaannya berelasi dengan keberadaan KKR Aceh. Kaitan ini sesuai dengan rumusan RUU Aceh yang sedang dibahas oleh Pansus DPR. Sutradara Ginting, salah seorang politikus PDIP, menegaskan bahwa ”kalau KKR nasional tidak segera dibentuk, KKR di Aceh juga tidak bisa jalan.”11 Oleh karena itu PDIP mendesak Presiden SBY untuk segera membentuk KKR Nasional. Pendapat lain muncul setelah Mahkamah Konstitusi mencabut UU KKR sehingga pembentukan KKR Nasional yang ditunda-tunda itu justru mendapat landasan hukum untuk tidak dibentuk. Akibatnya, muncul kecemasan terhadap kemungkinan pembentukan KKR Aceh, meski Ketua MK, Jimly Asshidiqie, mengklarifikasinya. Jimly mengatakan: ”KKR NAD tidak terkait dengan UU KKR. Itu ada kaitannya dengan UU PA sendiri... Kalau mau lewat mekanisme KKR, bisa dibuat lagi UU KKR yang sesuai dengan UUD dan instrumen hukum internasional. Ini (UU KKR lama) kok kompensasi dikaitkan dengan amnesti…” 12 RUU Aceh pun akhirnya disahkan menjadi UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. UU ini memang menjamin 9. Kompas, 1 April 2006. 10. Siaran Pers No. 15/Siaran Pers/VII/2006, Jakarta, 4 Juli 2006. Perihal ini ada kecemasan politik dari Fraksi PDIP: ”Tidak adil jika kemudian anggota Gerakan Aceh Merdeka terbebas karena telah memperoleh amnesti, sedangkan para anggota TNI/Polri terancam diadili. Karena itu, F-PDIP mengusulkan pemberian amnesti kepada semua pihak pelaku konflik di masa lampau sebelum terbentuknya pengadilan HAM dan KKR.” Kompas, 18 Mei 2006. 11. Koran Tempo, 20 Juni 2006. 12. Detikcom, 8 Desember 2006. Kajian Elsam atas Keputusan MK tentang pencabutan UU KKR menyatakan, antara lain, membuka jalan bagi terbentuknya kultur impunitas di Indonesia. Elsam, ”Menjadikan Hak Asasi Manusia sebagai Hak Konstitusional,” Seri Briefing Paper No. 01 Januari 2007. 32 dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012 keberadaan KKR di Aceh sebagaimana diatur dalam Pasal 229. Namun dicabutnya UU KKR oleh MK membuat KKR di Aceh tidak memiliki basis legalnya karena dalam Pasal 229 ayat (2) UU Pemerintahan Aceh dinyatakan bahwa KKR Aceh merupakan bagian tak terpisahkan dari KKR Nasional. Berikut adalah ketentuan mengenai HAM—termasuk KKR Aceh—yang diatur dalam UU Pemerintahan Aceh: Pasal 228 (1) Untuk memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sesudah Undang-Undang ini diundangkan dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di Aceh. (2) Putusan Pengadilan Hak Asasi Manusia di Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat antara lain pemberian kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi bagi korban pelanggaran hak asasi manusia. Pasal 229 (1) Untuk mencari kebenaran dan rekonsiliasi, dengan Undang-Undang ini dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh. (2) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian tidak terpisahkan dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. (3) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh bekerja berdasarkan peraturan perundang-undangan. (4) Dalam menyelesaikan kasus pelangggaran hak asasi manusia di Aceh, Ko m i s i Ke b e n a r a n d a n Re ko n s i l i a s i d i A c e h d a p a t mempertimbangkan prinsip-prinsip adat yang hidup dalam masyarakat. Pasal 230 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pemilihan, penetapan anggota, organisasi dan tata kerja, masa tugas, dan biaya penyelenggaraan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh diatur dengan Qanun Aceh yang berpedoman pada peraturan perundangundangan. Sumber: UU No. 11 Tahun 2006 33 FOKUS Ikhtiar Mencuci ”Karpet Martti” di Aceh Satu-persatu ikhtiar untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran yang terjadi semasa tiga dasawarsa konflik di Aceh pada konteks nasional mulai pudar. Poin-poin penting mengalami amputasi. UU KKR pun dicabut oleh MK yang karena pencabutan ini, maka ikhtiar pembentukan KKR di Aceh dengan sendirinya berakhir. Meski demikian gerakan masyarakat sipil dan korban pelanggaran HAM di Aceh tak tinggal diam. Mereka lalu memusatkan ikhtiarnya pada arena politik lokal di Aceh, tepatnya di DPRA dan Pemerintah Aceh hasil Pemilukada 2006 yang dimenangkan oleh pasangan GAM-SIRA—yang maju melalui jalur independen—yakni: Gubernur, Irwandi Yusuf, dan Wakil Gubernur, M. Nazar. 3. Ikhtiar Pada Konteks Aceh Lalu bagaimana ikhtiar di tingkat lokal Aceh? Pada prinsipnya Gubernur Irwandi mendukung pembentukan KKR karena merupakan amanah dari MoU Helsinki.13 Irwandi juga menyatakan ikhtiar yang sudah dilakukannya untuk mencari payung hukum bagi KKR Aceh, yakni dengan cara menulis surat pada Presiden SBY. Payung hukum nasional dibutuhkan karena "KKR di Aceh, sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) merupakan bagian tidak terpisahkan dari KKR."14 Dalam lain kata, Pemerintah Aceh bersikap akan membentuk KKR Aceh apabila ada payung hukum nasional untuk pembentukan KKR Nasional. Pada kesempatan lain, Gubernur Irwandi mengatakan: ”Mengingat batas waktu yang ditetapkan UUPA telah dilewati, maka saya menyarankan kepada Presiden untuk mengupayakan percepatan pembentukan pengadilan tersebut agar tersedianya jalur hukum untuk korban-korban pelanggaran HAM di Aceh… Sebagai jalan lain, kami menyarankan agar Presiden mempertimbangkan untuk menetapkan suatu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) tentang KKR. Ini memang dimungkinkan karena situasinya darurat.” 15 Ikhtiar Gubernur Irwandi tersebut dibenarkan oleh Menteri Dalam Negeri Mardiyanto bahwa surat Gubernur telah diterima dan Pemerintah sedang berkonsultasi dengan para pihak yang terkait di Jakarta. 13. http://www.rakyataceh.co.nr/, rakyat aceh, 16 Februari 2007. 14. Kompas, 24 Maret 2007. 15. Serambi, 24 November 2007. Kepala Biro Hukum dan Humas Setda Aceh, A Hamid Zein bahkan memberikan harapan yang lebih besar tentang pembentukan KKR “bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) KKR sudah dimasukkan ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) tahun 2008.” Serambi, 26 November 2007. 34 dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012 ”Kami sudah menerima surat permohonan dari Gubernur (NAD) Irwandi Yusuf agar pemerintah segera mengeluarkan keputusan mengenai pembentukan KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi). Surat itu akan menjadi pertimbangan penyegeraan pembentukan KKR.” 16 Perihal pembentukan KKR juga dibicarakan dalam pertemuan Forum Komunikasi dan Koordinasi (FKK) Damai Aceh, yang merupakan forum perwakilan Pemerintah Pusat yang berkantor di Aceh. Anggota FKK, Masykur, meyakinkan bahwa Pusat siap untuk membentuk KKR, dan dia justru meragukan kesiapan Pemerintah Aceh dan pihak GAM. ”Dari hasil rapat tersebut memang telah kita sepakati untuk perancangan Perpu bagi pembentukan KKR di Aceh secara lebih spesifik, mengingat acuan dasar pembentukan KKR yang didasarkan pada UU No 27 Tahun 2004 Tentang KKR, telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Saat ini Perpu tersebut sedang dalam proses persiapan…. Pada prinsipnya pemerintah pusat siap untuk membentuk KKR dan pengadilan HAM di Aceh, sekarang pertanyaannya adalah apakah pihak yang dulunya bertikai siap untuk menerimanya.” 17 Di lain pihak, ternyata rancangan qanun KKR tidak masuk dalam Program Legislasi DPRA 2007, meski sudah diamanatkan dalam MoU Helsinki dan UUPA. Sejumlah organisasi masyarakat sipil pun menyikapinya dengan mendesak Pemerintah RI untuk segera membentuk KKR di Aceh sebagai perwujudan pengakuan terhadap kehormatan para korban dan ahli warisnya.18 Di tingkat bawah, gerakan masyarakat sipil sudah mensosialisasikan pembentukan KKR Aceh kepada para ulama. Aksi mereka mendapatkan dukungan dari ulama Aceh yang terhimpun dalam Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA). Dalam sebuah kesempatan, Sekretaris Jendral HUDA, Tgk Faisal Ali, mengatakan bahwa korban konflik mempertanyakan tiga poin kepada Gubernur Irwandi. Ketiga poin tersebut adalah kapan pengadilan HAM di Aceh bisa dilaksanakan, kapan Komisi Kebenaran 16. Kompas, 27 November 2007. 17. Serambi, 4 Oktober 2007. 18. Serambi, 19 Agustus 2007. 35 FOKUS Ikhtiar Mencuci ”Karpet Martti” di Aceh dan Rekonsiliasi (KKR) dibentuk dan dijalankan, ketiga mengapa kinerja Badan Reintegrasi Damai-Aceh (BRA) sampai kini belum maksimal dalam menjalankan program reintegrasi untuk korban konflik.19 Namun Gubernur Irwandi tak serius menanggapi keluhan para ulama. Dia hanya mengatakan agar para korban bersabar. Lalu, dia mengalihkan perbincangan dengan para korban ke persoalan kebutuhan lain yang mendesak, yakni pembentukan Komisi Komplain sebagaimana yang diamanatkan MoU Helsinki. ”Ini juga belum terbentuk, padahal ini sangat penting. Karena pada waktu terjadi konflik, banyak rumah, toko, kendaraan masyarakat yang dibakar dan diambil paksa. Sampai sekarang belum ada proses penggantiannya. Dalam perjanjian damai, masalah ini harus dilaksanakan, agar orang yang jadi korban bisa mendapat ganti rugi.” 20 Konsekuensi logis dari sikap Gubernur Irwandi yang menggantungkan pembentukan KKR Aceh pada payung hukum nasional berdampak pada gagalnya upaya 35 anggota DPR Aceh periode 2004-2009 yang menggunakan hak inisiatif mereka mengajukan draf rancangan qanun KKR untuk dibahas, menjadi gagal. Salah seorang inisiator, Muklis Mukhtar menjelaskan bahwa ”ada penjelasan dari Pemerintah Aceh yang meminta ditunda, maka semangat dari tim ini sempat buyar.” 21 Ketika berkunjung ke Aceh, Martti Ahtisaari mengakui masih adanya butir-butir dalam MoU Helsinki yang belum diimplementasikan, khususnya yang menyangkut pembentukan pengadilan HAM dan KKR, namun hal ini menjadi tanggungjawab Pemerintah sepenuhnya. ”Adalah menjadi kewenangan polisi untuk menyelidiki dan menindak para pelakunya, sehingga jangan sampai menjadi ancaman bagi masa depan perdamaian Aceh.” 22 Dalam hal ini cara pandang Pemerintah Aceh (termasuk staf ahli gubernur) dan Martti Ahtisaari dalam melihat siapa pihak yang bertanggung jawab dalam pembentukan pengadilan HAM dan KKR adalah Pemerintah Pusat. Dalam bahasa staf ahli Gubernur, M Nur Rasyid, ”Pemerintah RI masih punya utang, antara lain belum 19. Serambi, 7 September 2007. 20. Serambi, 7 September 2007. 21. Serambi, 11 Februari 2009. 22. Serambi, 26 Februari 2009. 36 dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012 terbentuknya KKR.” 23 Meskipun demikian kondisi politik di Aceh, para aktivis organisasi masyarakat sipil dan para korban tetap melakukan ikhtiar untuk pembentukan pengadilan HAM dan KKR. Harapan itu kembali muncul paska Pemilu 2009 karena Partai Aceh mendominasi kursi parlemen di provinsi. Partai ini mendapat 33 dari 69 kursi DPR Aceh. Mereka menuntut segera pembahasan dan pengesahan rancangan qanun KKR. Direktur AJMI, Hendra Budian mengatakan: ”Kepada Dewan baru agar sesegera mungkin mengesahkan Qanun KKR demi menjawab rasa keadilan bagi korban konflik.”24 Gubernur Irwandi pun kian mempertegas sikap politiknya perihal ini: ”Yang sangat penting untuk kita minta perubahan adalah Pasal 229 tentang pembentukan KKR. Dalam UUPA disebutkan kalau pembentukan KKR Aceh harus dibentuk berdasarkan UU. Dalam penjelasan UUPA, UU yang menjadi cantolan KKR Aceh adalah UU No 27 Tahun 2004 tentang KKR nasional. Masalahnya UU KKR itu sudah dibatalkan oleh MK. Untuk menunggu UU yang baru, kita membutuhkan waktu yang lama. Kalau Aceh membentuk KKR dengan menggunakan payung hukum qanun, perdebatan hukum akan panas lagi. Alangkah sangat bijak kalau kita minta agar Pasal 229 ini direvisi, sehingga kita tidak perlu menunggu UU lagi untuk pembentukan KKR Aceh.” 25 4. Korban Memonumenkan Kebenaran Di tingkat bawah, masyarakat memiliki ikhtiarnya sendiri dalam mengingat pelanggaran hak asasi manusia sepanjang konflik berlangsung. Warga Pusong di Kota Lhokseumawe bersama dengan Komunitas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Aceh Utara dan Lhokseumawe (K2HAU) mengadakan ritual tahunan berupa doa bersama dan menyantuni anak yatim dalam mengenang tragedi penyiksaan di Gedung KNPI, pada 9 Januari 1999. Dalam peristiwa ini lima warga sipil meninggal, 23 luka berat dan 21 luka ringan. Mereka juga mendesak Pemerintah di Jakarta dan Gubernur Aceh untuk membentuk pengadilan HAM dan KKR sesuai amanat MoU Helsinki. 23. Serambi, 28 Agustus 2009. 24. Serambi, 1 Oktober 2009. 25. Materi disampaikan pada diskusi politik dengan tema: Menjaring Aspirasi Rakyat Aceh dalam Revisi UUPA, bertempat di Anjong Mon Mata Banda Aceh tanggal 21 April 2010 yang dilaksanakan DPP Partai Rakyat Aceh (PRA). 37 FOKUS Ikhtiar Mencuci ”Karpet Martti” di Aceh Berbagai organisasi masyarakat sipil, masyarakat dan keluarga korban tragedi Simpang KKA yang terjadi pada 3 Mei 1999 di Aceh Utara juga mengkonstruksi ritual peringatan atas tragedi tersebut. Selain peringatan tahunan, mereka juga mendirikan monumen dengan grafiti:26 l Pemerintahan Aceh dan Pusat harus mengambil langkahlangkah kongkrit misalnya dengan membentuk tim-tim pencari fakta terhadap kasus masa lalu di Aceh untuk adanya sebuah pendomentasian kasus secara menyeluruh di Aceh, pemerintahan Aceh segera membentuk Qanun KKR Aceh. l Pemerintahan di tingkat Nasional harus segera mengesahkan undang-undang KKR Nasional yang sudah dicabut. l Pembentukan pengadilan HAM untuk Aceh menjadi bahagian dari penyelesaian kasus pelanggaran HAM Aceh, mekanisme pengadilan HAM dan KKR saling berhubungan dalam proses pemberian rasa keadilan bagi korban. Demikian pula yang dilakukan oleh masyarakat dan korban serta ahli warisnya di Jamboe Keupok, Bakongan, Aceh Selatan. Mereka mendirikan sebuah monumen untuk mengenang 16 warga sipil yang menjadi korban massal. Saburan, salah seorang anak korban, mengatakan: ”Negara melakukan kejahatan, kami tidak ingin melupakan. Apalagi sampai sekarang keadilan dan tanggung jawab negara belum terwujud… Tugu ini penting sebagai bukti sejarah. Setidaknya menjadi pengobat hati kami para korban dan kami tetap menuntut hak.” 27 Di Banda Aceh, Keluarga korban penghilangan paksa se-Aceh (Kagundah) meminta agar Pemerintah Aceh membentuk qanun KKR. Hasil Kongres, menurut sekretaris jenderal Kagundah, Rukaiyah: ”Orang-orang yang hilang semasa konflik itu merupakan tulang punggung bagi keluarga. Sekarang mereka tidak ada lagi, sehingga para keluarga korban kesulitan memenuhi nafkahnya… Ini harus ditunjukkan sebagai wujud kepedulian pemerintah untuk mendukung keberlangsungan perdamaian yang berkeadilan di Aceh.”28 26. http://atjehlink.com/tragedi-simpang-kka-keadilan-bukan-sebatas-tugu/ 27. VHRmedia, 28 Oktober 2011. 28. Waspada Online, 15 October 2009. 38 dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012 Penutup Berkaca pada kasus Aceh, penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia memang sudah menjadi satu hal yang kusut. Instrumen-instrumen hukum yang tersedia—apalagi dengan dibatalkannya UU KKR—tidak mampu menerobos stagnasi ini. Bahkan, bukan para korban dan ahli warisnya saja yang semakin sukar untuk memperoleh kebenaran sebagai haknya, akan tetapi Presiden SBY pun tidak memiliki mekanisme yang legal ketika dia hendak meminta maaf kepada para korban. Ini suatu kondisi yang berlaku secara nasional, sementara pelanggaran HAM terus terjadi dan akumulatif, sebagaimana yang terjadi di Papua (konflik vertikal) dan kasus-kasus sengketa pertanahan (konflik horizontal). Untuk konteks Aceh, penyelesaian pelanggaran di masa konflik dapat dilihat sebagai arena politik di mana terjadi kontestasi antara persekongkolan elite berhadapan dengan para korban bersama organisasi masyarakat sipil. Sejak di meja perundingan Helsinki, masalah kejahatan masa lalu telah dimasukkan dalam laci perundingan oleh Martti Ahtisaari, dengan persetujuan pihak GAM dan RI. Hal ini lantas dilegalkan oleh Pansus RUU Pemerintahan Aceh. Apalagi, tidak lama kemudian MK membatalkan UU KKR. Kondisinya, pengadilan HAM belum dibentuk dan UU KKR—sebagai tempat sandaran hukum nasional bagi pembentukan KKR Aceh menurut pandangan elite politik Aceh dan Jakarta—dicabut. Namun, para korban dan OMS terus berikhtiar untuk adanya pembahasan dan pengesahan terhadap draf rancangan Qanun KKR yang sudah lama mereka formulasikan. Terakhir, dalam konteks Pemilukada 2012, ada negosiasi politik antara anggota parlemen dari Partai Aceh dan para pihak untuk membahas draf tersebut sebagai hak inisiatif DPRA, yang mana hal ini tidak terlepas dari janji politik saat pemilukada. Namun, korban dan OMS hendaknya tetap bersikap waspada dan kritis terhadap kemungkinan tindakan politik mereka di parlemen Aceh untuk mengorientasikan KKR sesuai dengan kepentingannya sebagai salah satu pihak yang potensial sebagai pelaku pelanggaran ham. Meskipun demikian, sebenarnya cukup penting untuk terus memperluas ikhtiar para korban dalam memonumenkan pelanggaran HAM, misalnya para korban dan OMS membentuk sebuah komisi historis, yang merupakan setengah perwujudan dari komisi kebenaran 39 FOKUS Ikhtiar Mencuci ”Karpet Martti” di Aceh yang sedang diperjuangkan tersebut. Korban dan OMS harus meneruskan pencarian bentuk komisi kebenaran yang tidak tergantung pada kebijakan politik pemerintah dan tidak terjangkau oleh intervensi golongan politik mana pun. Satu hikmah yang penting untuk disadari bahwa perundingan di Helsinki–dari perspektif HAM—merupakan negosiasi politik di antara para pihak yang sama-sama potensial sebagai pelaku pelanggaran HAM, yang difasilitasi oleh pihak yang memiliki sikap politik untuk memasukkan ”karpet Martti” ke dalam gudang sejarah masa lalu. Memang dari sudut politik bernegara, harapan menjadi pupus; tetapi ikhtiar para korban sendiri harus terus dipupuk dan dilanjutkan karena suatu waktu kebenaran diyakini akan terbit, dan sejarah akan mencatatnya. 40 Kekerasan Politik Massal dan Kultur Patriarkhi 1 Budiawan Abstract Every mass political violence always brings deep trauma in various layers of victims. Direct victims were very likely to experience shock when they faced situation that has completely changed or situation that they never imagined before. This article seeks to explain the different lived experiences of the three wives of the former political prisoners of the '1965 Tragedy' when their husbands were released from prison. Keywords: Political Violence, Victims Perang atau kekerasan politik massal hampir senantiasa menciptakan janda-janda dan anak-anak yatim piatu, entah untuk selamanya atau untuk sementara. Sebab, kebanyakan korban langsung dari kekerasan itu, entah dibunuh atau dipenjarakan, adalah laki-laki dewasa, yang notabene suami atau ayah. Begitu pula dengan tragedi 1965-66, di mana, menurut perkiraan kasar yang paling sering dilontarkan orang, sekitar setengah juta anggota atau simpatisan PKI (dan ormas-ormasnya), atau mereka yang sekadar dituduh sebagai anggota atau simpatisan PKI, dibunuh dalam periode waktu antara akhir 1965 hingga pertengahan 1966. Sementara lebih dari satu juta anggota atau mereka yang dituduh sebagai anggota PKI (atau ormas-ormasnya) dipenjarakan tanpa proses pengadilan sama sekali. Jika sebagian besar mereka yang dibunuh atau dipenjarakan adalah laki-laki dewasa, yang kebanyakan di antaranya adalah suami atau 1. Tulisan ini merupakan versi Indonesia yang lebih ringkas dari bab saya yang berjudul ”Living with the Spectre of the Past: Traumatic Experiences among wives of former political prisoners of the '1965 Event' in Indonesia”, dalam Roxana Waterson and Kwok Kian Woon (eds.), Contestation of Memory in Southeast Asia (Singapore: Singapore University Press, 2012); hal. 270 – 291. 41 FOKUS Kekerasan Politik Massal dan Kultur Patriarkhi ayah, maka bisa dibayangkan berapa anak yang kemudian menjadi yatim, dan berapa istri yang kemudian menjadi janda. Dalam masyarakat di mana laki-laki umumnya berperan sebagai satu-satunya pencari nafkah dalam keluarga, maka dalam situasi semacam itu bisa dibayangkan bagaimana para istri yang kemudian menjadi janda (entah karena suaminya dibunuh atau dipenjarakan) harus berjuang untuk mempertahankan hidup dirinya dan anak-anaknya. Kisah dalam tulisan ini bersumber dari penuturan orang-orang yang cukup dekat dengan istri-istri mantan tahanan politik dan karena itu tahu banyak pengalaman hidup mereka. Kisah mereka itu menarik untuk diperbincangkan bukan hanya untuk memahami seberapa jauh tragedi 1965-66 telah menciptakan berlapis-lapis korban, tetapi juga untuk memahami bagaimana kultur patriarkhi telah membentuk beragam memori di kalangan perempuan yang terkena dampak tidak langsung dari tragedi tersebut. Beragam memori itu termanifestasikan dalam berbagai respons terhadap situasi masa kini, situasi di mana menuturkan penderitaan masa lalu secara publik telah menjadi sesuatu yang mungkin, walau terkadang bukannya tanpa resiko. Berikut ini pengalaman tiga istri mantan tahanan politik (tapol) yang mengalami jalan hidup yang berbeda dalam bertahan hidup, bukan hanya secara ekonomi tetapi juga secara sosial. Untuk memudahkan penuturan, ketiga istri itu saya sebut Bu Surti, Bu Siti, dan Bu Sri. Kisah Bu Surti Bu Surti adalah istri seorang tentara berpangkat rendah. Suaminya ditahan selama empat belas tahun karena menjadi bagian dari resimen yang dianggap mendukung Gerakan 30 September pimpinan Letkol. Untung Samsuri. Ketika suaminya mulai ditahan, dia harus menghidupi dirinya dan kedua anaknya yang masing-masing putra berusia enam tahun dan putri berusia empat tahun. Pada mulanya Bu Surti bekerja sebagai buruh pada industri rumahan yang memproduksi tepung beras. Dia harus bekerja dari subuh hingga petang, sementara kedua anaknya dia tinggal di rumah dan dijaga oleh tetangga yang masih ada hubungan kerabat dengannya. Selama sepuluh tahun dia menjalani kerutinan hidup seperti itu. Begitulah dia dan kedua anaknya bisa bertahan hidup. Bahkan lebih dari itu, dia mampu menyekolahkan anak sulungnya ke sekolah menengah atas, 42 dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012 sementara anak keduanya ke sekolah menengah pertama. Tetapi dalam bayangannya, problem biaya pendidikan pasti akan menghadang kelak ketika anak sulungnya lulus sekolah menengah atas dan hendak melanjutkan ke perguruan tinggi. Untuk mengantisipasi hal itu, alih-alih terus-menerus menjadi buruh, Bu Surti mulai merintis usaha sendiri. Dengan modalnya yang kecil plus pinjaman lunak dari bekas majikannya, dia pun membuka usaha pembuatan tepung beras sendiri. Usahanya ini ternyata berkembang. Dari semula mempekerjakan tiga orang, tiga tahun kemudian dia mempekerjakan sepuluh orang. Dan dengan bisnisnya yang berkembang ini dia pun tidak kesulitan membiayai pendidikan anak sulungnya ke perguruan tinggi, dan anak keduanya ke sekolah menengah atas. Pada tahun 1979 suami Bu Surti dilepas dari rumah tahanan. Istilah ”dibebaskan” sebenarnya jelas tidak tepat, sebab para mantan tapol 'Peristiwa 1965' itu senantiasa diawasi gerak-geriknya oleh aparat keamanan, serta sangat terbatas ruang gerak mereka. Pelepasan ini tentu merupakan hal yang membahagiakan Bu Surti dan kedua anaknya. Mereka kini kembali utuh sebagai sebuah keluarga. Akan tetapi, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Keberhasilan Bu Surti dalam berjuang mempertahankan hidup dan bahkan sukses merintis usaha sendiri ternyata tidak disambut dengan kebanggaan oleh suaminya, tetapi malah dipandang sebagai pengambilalihan atas otoritasnya sebagai kepala keluarga. Dalam situasi di mana ekonomi keluarga bertumpu pada usaha istrinya, dia merasa kehilangan wibawa sebagai kepala keluarga. Dia merasa tidak mampu meraih kembali wibawa masa lalu, masa sebelum dia di-tapol-kan, di mana dia bisa dan biasa memerintah istrinya seperti halnya komandannya memerintah dirinya. Pendek kata, wibawa dirinya sebagai kepala keluarga dia taruh lebih penting daripada keberhasilan istri dan kedua anaknya dalam berjuang menyambung hidup. Dalam situasi di mana suaminya tak sanggup menatap realitas yang telah berubah, hubungan Bu Surti dengan suaminya semakin sering diwarnai ketegangan. Akhirnya, mereka memutuskan untuk hidup secara terpisah, tetapi tidak bercerai. Suaminya hidup bersama putranya, sementara Bu Surti bersama putrinya. Bagi Bu Surti, pengalaman pahit yang mengendap dalam ingatannya bukanlah saat-saat dimana dia harus bekerja keras selama 43 FOKUS Kekerasan Politik Massal dan Kultur Patriarkhi bertahun-tahun untuk mempertahankan hidup dirinya dan kedua anaknya, tetapi saat suaminya tidak mampu melihat realitas yang telah berubah. Ingatan atas sikap dan perilaku suaminya selepas dari penjara itu senantiasa dia coba simpan untuk dirinya. Sebab, setiap kali ingatan itu muncul, dia tak kuasa menahan kekecewaannya yang mendalam terhadap suaminya. Dalam kekecewaan semacam itu, dia pun bertanyatanya apakah setiap suami selalu ingin menang sendiri, seperti suaminya itu. Kisah Bu Siti Bu Siti adalah istri seorang guru sekolah menengah atas. Dia mempunyai dua anak, yang masing-masing putra berusia tiga setengah tahun dan putri berusia satu setengah tahun ketika suaminya mulai ditahan pada akhir Oktober 1965. Pada mulanya dia adalah seorang ibu rumah tangga. Tetapi ketika suaminya mulai dipenjara, dengan modal pinjaman dari orang tuanya dia mencoba membuka warung kelontong di bagian teras rumahnya. Usaha itu dia kerjakan sambil mengasuh kedua anaknya yang masih balita. Pada suatu hari ada seorang polisi datang hendak membeli sesuatu di warung kelontong Bu Siti. Pada mulanya dia hanya hendak membeli sesuatu. Tetapi ketika Pak Polisi itu tahu bahwa suami pemilik warung kelontong tersebut tengah menjadi tahanan politik, dia pun bersimpati. Bermula dari rasa simpati, polisi itu pun mulai menaruh hati. Semenjak itu Pak Polisi tersebut semakin sering berbelanja di warung kelontong Bu Siti. Dalam perkembangan selanjutnya, dia datang bukan untuk membeli sesuatu, tetapi sekedar bertandang untuk mengobrol kesana-kemari. Bu Siti bukannya tidak tahu kalau Pak Polisi tersebut telah jatuh hati kepadanya. Tetapi, dalam situasi di mana dia tidak tahu, dan tak seorang pun tahu sampai kapan suaminya akan berada di tahanan, dia pun bingung. Di satu sisi dia memang mendambakan seorang laki-laki yang selain bisa membantu upaya untuk bertahan hidup juga bisa menciptakan rasa aman bagi dirinya dan kedua anaknya yang masih balita, sementara di hadapannya telah ada seorang laki-laki yang menawarkan diri sebagai pengganti suaminya. Di sisi lain, Bu Siti tahu kalau suaminya masih hidup. Hanya saja dia tidak tahu sampai kapan suaminya akan berada di tahanan. Dalam 44 dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012 situasi penuh kebimbangan itu dia hamil. Tanpa seizin suaminya yang masih berada di tahanan, Bu Siti membiarkan Pak Polisi itu hidup bersama dirinya dan kedua anaknya, tanpa ikatan perkawinan dengan dirinya. Menjelang akhir 1969 tersiar kabar akan terjadi pelepasan besarbesaran para tapol yang termasuk kategori golongan C. Bu Siti pun bertanya-tanya apakah suaminya termasuk yang akan segera dilepaskan. Ternyata betul. Dia mendapat informasi dari kerabat suaminya bahwa suaminya akan dilepaskan pada akhir 1969. Lalu Bu Siti meminta pengertian kepada Pak Polisi itu agar pergi meninggalkan dirinya dan ketiga anaknya—termasuk anak hasil hubungan tidak sah dengannya—karena suaminya akan segera pulang. Ketika suaminya pulang, Pak Polisi itu memang telah pergi. Tetapi kini suami Bu Siti mendapati tiga anak di rumahnya, di mana anak ketiga itu bukan hasil hubungan antara dirinya dengan istrinya. Suami Bu Siti tidak terkejut akan hal itu. Sebab, sewaktu masih di tahanan dia sudah mendengar kabar tentang perselingkuhan istrinya dari tetangga yang sering dititipi kiriman makanan untuk dirinya. Mendengar kabar tak sedap itu, suami Bu Siti langsung menderita depresi berat, bahkan dia hampir—dalam istilah di kalangan para tapol—terkena ”PA” atau pikiran abnormal. Suami Bu Siti waktu itu disadarkan oleh teman-temannya sesama tapol bahwa apa yang terjadi dengan keluarga di rumah sungguh berada di luar kendali mereka. Bahkan apa yang terjadi pada mereka pun juga tidak berada dalam kendali mereka. Semuanya itu harus diterima sebagai kenyataan. Dan kini, selepas dari penjara, dia langsung menghadapi kenyataan tersebut. Suami Bu Siti sebenarnya rela menghadapi kenyataan istrinya telah berselingkuh sewaktu dia di penjara, dan dari hasil perselingkuhan itu lahir seorang anak. Dia memaafkan perbuatan istrinya walau istrinya tidak pernah meminta maaf. Tetapi masalahnya, istrinya bukan hanya tidak pernah meminta maaf, melainkan malah menyalahkan dirinya. Bu Siti mengatakan bahwa dia telah berselingkuh dan kemudian membuahkan seorang anak adalah akibat suaminya ditahan, dan penahanan dirinya karena dia ikut-ikutan berpolitik. Dengan kata lain, bagi Bu Siti, sumber segala kenyataan pahit itu adalah 'politik'. Itu sebabnya semenjak suaminya dilepas dari tahanan, Bu Siti 45 FOKUS Kekerasan Politik Massal dan Kultur Patriarkhi selalu mengontrol segala hal yang dibaca, didengar, ditonton dan dibicarakan oleh suaminya. Tindakan ini dilakukan Bu Siti agar sang suami tidak mengikuti perkembangan situasi politik. Suaminya dilarang membaca surat kabar, dilarang mendengarkan atau menonton siaran berita radio maupun televisi. Begitu pula suaminya juga dia kontrol agar jangan terlalu sering bertemu dan berbicara dengan kakak iparnya, yang sejak kecil selalu menjadi panutan suaminya sampai dalam soal ideologi politik. (Kakak iparnya itu juga ditahan dan dilepaskan pada akhir 1969). Pendek kata, Bu Siti mengendalikan hampir segala gerak langkah suaminya, sesuatu yang tidak terjadi sebelum suaminya ditahan. Tetangga dan kerabat dekatnya bukannya tidak melihat adanya perubahan relasi komunikasi antara Bu Siti dan suaminya. Dengan sinis mereka melihat hal itu sebagai upaya Bu Siti menutupi kesalahannya. Bu Siti bukannya tidak sadar akan sinisme mereka itu. Hal itu tampak dalam sikap tertutup terhadap tetangga dan kerabat dekatnya. Kalau toh ada komunikasi, biasanya komunikasi itu penuh kepuraan-puraan atau sekadar basa-basi. Bu Siti hingga kini cenderung mengurung diri. Suaminya pun terkurung dalam pengurungan diri istrinya itu. Kisah Bu Sri Sama dengan Bu Surti dan Bu Siti, Bu Sri adalah seorang ibu rumah tangga sebelum suaminya ditahan. Dia memiliki empat anak, yang terdiri dari dua putri dan dua putra. Ketika suaminya masuk penjara pada akhir Oktober 1965, anaknya yang sulung berusia tujuh tahun, sedangkan yang bungsu setengah tahun. Berbeda dari pengalaman hidup Bu Surti dan Bu Siti, pengalaman hidup Bu Sri sewaktu ditinggal suaminya di penjara relatif tidak berliku-liku. Untuk menyambung hidup dirinya dan keempat anaknya dia sepenuhnya ditopang oleh orang tuanya dan mertuanya. Dua putrinya dia titipkan di rumah mertuanya, sedangkan dia bersama kedua putranya tinggal bersama orang tuanya. Selain menyandarkan pada uang pensiun ayahnya, Bu Sri juga bersandar pada hasil kerja ibunya, yang mulai membuka usaha jual beli pakaian bekas semenjak ketempatan anak dan kedua cucunya. Bu Sri sendiri sepenuhnya mengurusi kedua putranya yang masih balita. Setelah suaminya dilepas dari penjara pada akhir 1969, Bu Sri dan keempat anaknya serta suaminya kembali hidup bersama. Mereka 46 dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012 tinggal di rumah mertua Bu Sri. Mereka hidup bertani, dan menjalani taraf hidup yang serba pas-pasan, sampai akhirnya suami Bu Sri mendapatkan pekerjaan di Jakarta kembali pada profesi semula, yaitu guru. Kisah hidup Bu Sri barangkali yang paling lazim terjadi di kalangan para istri mantan tapol. Artinya, kemampuan untuk bertahan hidup sewaktu suami di penjara sangat bergantung pada topangan ekonomi orang tua atau kerabat dekat, bahkan sampai pada masalah tempat tinggal. Boleh jadi kondisi semacam inilah yang membuat orang seperti Bu Sri tidak perlu 'terjatuh' pada situasi seperti yang dialami Bu Siti, dan juga terhindar dari pengalaman seperti yang dialami Bu Surti. Korban Tidak Langsung dan Kultur Patriarkhi Para istri tapol seperti dituturkan di atas jelas bukan korban langsung dari kekerasan politik massal 1965-66. Mereka sendiri tidak pernah diinterogasi dan dipenjara. Mereka juga tidak mengalami ancaman fisik dari pihak manapun. Namun, akibat yang mereka (dan anak-anak mereka) alami sebagai dampak dari ditahannya suami mereka jelas tidak bisa diremehkan. Masalah yang langsung menghadang mereka jelas adalah problem berjuang untuk menyambung hidup. Namun seperti terlihat dalam kasus Bu Surti, keberhasilan dalam berjuang untuk survival ternyata tidak mendapat apresiasi sama sekali dari suaminya. Keberhasilan istri untuk survival dipandang sebagai ancaman buat wibawa suami. Dan itulah momen yang traumatis bagi istri, karena kemudian dia kehilangan rasa hormat kepada suami, bahkan mungkin juga rasa hormat kepada laki-laki. Keberhasilan seorang istri untuk bertahan hidup seperti lumer dan nyaris tak berarti ketika bertabrakan dengan tembok kultur patriarkhi. Padahal, dengan keberhasilan itu sebenarnya yang dituntut adalah kesetaraan, bukan pembalikan relasi kuasa antara suami dan istri. Dalam kasus Bu Siti, tampak bahwa bayangan bagaimana masyarakat nyaris tidak menyisakan ruang untuk memahami 'perselingkuhannya' telah membuat Bu Siti menempatkan suaminya, orang terdekatnya, sebagai sasaran pemberontakannya terhadap kultur patriarkhi. Ongkos yang harus dia bayar adalah isolasi yang dilakukan lingkungan terdekatnya atas dirinya. Sedangkan dalam kasus Bu Sri, boleh dikatakan tidak ada 47 FOKUS Kekerasan Politik Massal dan Kultur Patriarkhi pengalaman traumatis dengan suami maupun lingkungan tetangga serta kerabatnya, karena sejak awal dia tetap patuh berada dalam kultur patriarkhi. Ketiga kasus di atas membentuk politik memori yang berbeda. Bagi Bu Surti, ingatan yang kelam dan karena itu menjadi beban bukanlah saat-saat dia harus bekerja keras menghidupi diri dan kedua anaknya, tetapi justru saat-saat sesudah suaminya dilepas dari tahanan. Bagi Bu Siti, momen yang kelam bukanlah ketika dia harus bekerja sendirian sembari mengasuh kedua anaknya yang masih balita, tetapi ketika perselingkuhannya dengan orang lain telah membuahkan seorang anak, persis ketika mulai terdengar kabar akan adanya pelepasan para tapol secara besar-besaran pada akhir 1969. Di situ dia dihadapkan pada situasi serba tidak pasti, sementara melalui cibiran, masyarakat telah menghukumnya. Ketika suaminya pulang, dia tabrak tembok kultur patriarkhi itu dengan menjadikan suaminya sebagai sasaran antaranya. Tetapi, justru karena itu masyarakat semakin menghukumnya, dengan cara mengisolasinya dalam pergaulan sosial. Pada kasus Bu Sri yang sejak awal berada dalam posisi submisif pada kultur patriarkhi, perjalanan hidupnya relatif tidak berliku. Tidak seperti Bu Surti dan Bu Siti, bagi Bu Sri tidak ada pengalaman masa lalu yang harus dia taruh di bawah karpet. Masa lalu suami sebagai tapol bukanlah sebuah aib dalam keluarga. Bahkan karena dia tidak 'terjatuh' pada pengalaman seperti yang terjadi pada Bu Siti itu merupakan sesuatu yang membanggakannya. Tanpa disadari, dengan sikap semacam ini dia sebetulnya telah turut merepoduksi 'moralitas' dalam kultur patriarkhi. Dengan ketiga kisah di atas tampak bahwa kekerasan politik massal yang terjadi dalam masyarakat dengan kultur patriarkhi yang kental menjadikan perempuan sebagai korban tidak langsung yang efek traumatisnya mungkin lebih panjang daripada laki-laki yang menjadi korban langsung. Hal ini antara lain tampak pada sikap tidak peduli di kalangan para istri mantan tapol terhadap perubahan politik semenjak Suharto jatuh, di mana para mantan tapol kini dimungkinkan untuk mengartikulasikan memori mereka secara publik. Bila sebagian mantan tapol perempuan (apalagi laki-laki) telah menuturkan penderitaan mereka melalui memoar-memoar atau otobiografi, para istri mantan tapol seperti Bu Surti, apalagi Bu Siti, terus hidup bersama pengalamanpengalaman traumatis itu. 48 DISKURSUS Kerangka Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat di Indonesia dan Negara-negara Lain *) Zainal Abidin Abstract A number of countries have succeeded in dealing with their past gross human rights violations by using various methods that were crystallized in two models: through court and the establishment of truth commission. A method was picked based on the political context of each country. But in Indonesia, the two options are on threshold of failure. Keywords: Human Rights Tribunal, Truth Commission, Gross Violence of Human Rights A. Kerangka Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat di Indonesia Mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM berat di Indonesia sebenarnya sudah sangat jelas berdasarkan sejumlah instrumen hukum yang telah dibentuk, di antaranya berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Penyelesaian tersebut, pada intinya berpijak pada dua mekanisme, yakni terhadap pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu melalui mekanisme penghukuman pengadilan HAM adhoc dan melalui mekanisme KKR, sedangkan pelanggaran HAM berat yang terjadi setelah pembentukan UU Pengadilan HAM, dilakukan melalui Pengadilan HAM. 1 Sejarah pembentukan kedua mekanisme penyelesaian tersebut * Sebagian besar dalam tulisan ini juga dimuat dalam Jurnal Hak Asasi Manusia Edisi 11 Volume 1 Tahun 2012 yang diterbitkan oleh Dirjen HAM, Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia 1. Pembedaan ini merujuk pada Pasal 4, Pasal 43 dan Pasal 47 UU No. 26/2000. Pasal 43 menyebut pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum adanya UU No. 26/2000 dilakukan dengan Pengadilan HAM ad hoc, dan Pasal 47 menyebutkan menyebut pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum adanya UU No. 26/2000 tidak tertutup kemungkinan dapat diselesaikan melalui KKR. 51 DISKURSUS Kerangka Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat berlangsung panjang dan berliku. Gagasan pembentukan KKR misalnya, sebagai salah satu mekanisme untuk mempertanggungjawabkan pelanggaran HAM masa lalu, telah muncul sejak reformasi mulai bergulir tahun 1998.2 Pembentukan KKR mendapatkan basis legalnya dan menunjukkan komitmen negara yang kuat untuk menyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, ketika Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengeluarkan Ketetapan MPR No. V Tahun 2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan. Ketetapan tersebut menyatakan telah terjadi pelanggaran HAM masa lalu, dan menyatakan bahwa di masa lalu telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia yang perlu diungkap demi menegakkan kebenaran. Ketetapan tersebut juga merekomendasikan untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional.3 ”Membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional sebagai lembaga ekstra-yudisial yang jumlah anggota dan kriterianya ditetapkan dengan undang-undang. Komisi ini bertugas untuk menegakkan kebenaran dengan mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia pada masa lampau, sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku, dan melaksanakan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan bersama sebagai bangsa. Langkah-langkah setelah pengungkapan kebenaran, dapat dilakukan pengakuan kesalahan, permintaan maaf, pemberian maaf, perdamaian, penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi, atau alternatif lain yang bermanfaat untuk menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa dengan sepenuhnya memperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat.” 4 UU Pengadilan HAM mengatur mekanisme pengadilan untuk memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang termasuk dalam pelanggaran HAM berat, yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.5 Terhadap kejahatan-kejahatan yang masuk kategori pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum tahun 2000, dilakukan melalui pengadilan HAM ad hoc.6 2 Munculnya gagasan ini juga dipengaruhi oleh pengalaman negara lain misalnya di Afrika Selatan dan sejumlah negara di Amerika Latin. Lihat Progress Report, ”Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi” ELSAM, 27 Januari 2006. 3. Lihat Ketetapan MPR No. V/2000. 4. Ketetapan MPR No. V/2000, Hal. 8. 5. Lihat pasal 7, 8 dan 9 UU No. 26/2000. Untuk melengkapi landasan hukum pengadilan HAM, pada tahun 2002, pemerintah menerbitkan 2 Peraturan Pemerintah (PP); 1) PP No. 2/2002 tentang Tata Cara Perlindungan Saksi dan Korban dalam Pelanggaran HAM yang Berat dan PP No. 3/2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran HAM yang Berat. 6. Lihat pasal 43 UU No. 26/2000. 52 dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012 UU juga menyebut bahwa pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh KKR yang dibentuk melalui UU.7 Berdasarkan UU tersebut, kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, yang termasuk dalam ”the most serious crimes”8 dan merupakan kejahatan internasional, akan dapat diadili di Pengadilan Indonesia. Komitmen adanya pengadilan HAM dan KKR juga dijanjikan dibentuk di Papua. Melalui UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, negara berjanji kepada rakyat Papua tentang pertanggungjawaban berbagai bentuk pelanggaran HAM di Papua melalui dua instrumen yaitu Pengadilan HAM dan KKR. UU tersebut menyatakan KKR dilakukan untuk ”melakukan klarifikasi sejarah dan merumuskan serta menetapkan langkah-langkah rekonsiliasi” dalam rangka menjaga persatuan bangsa.9 Pada tahun 2004, terbentuk UU No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang mengatur tentang pengungkapan kebenaran pelanggaran HAM masa lalu, mekanisme penyelesaian di luar pengadilan dan rehabilitasi kepada korban.10 Namun, selama tahun 2004-2006 pembentukannya sangat lambat, dan Pemerintah hanya berhasil melakukan proses seleksi anggota KKR.11 Pada tahun 2006, komitmen untuk penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu juga dinyatakan dalam konteks pelanggaran HAM berat di Aceh. UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh, memandatkan adanya pembentukan Pengadilan HAM dan KKR di Aceh.12 Pada tahun 2006 pula, terbentuk UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang dapat dikatakan sebagai regulasi 7. Lihat pasal 47 UU No. 26/2000. 8. Istilah ”the most serious crimes ” merujuk pada istilah yang dinyatakan dalam Pasal 5 Statuta Roma 1998. Sebagai catatan, penjelasan pasal 7 UU No. 26/2000 menyatakan ”Kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam ketentuan ini sesuai dengan Rome Statute of The Intemational Criminal Court” (Pasal 6 dan Pasal 7). 9. Lihat Pasal 44 UU No. 21/2001. 10. DPR dan Pemerintah pada saat itu, setelah melalui perdebatan yang panjang selama kurang lebih 16 bulan, akhirnya mengesahkan RUU KKR menjadi UU, meski disadari adanya kelemahan dalam pengaturannya. Sejumlah organisasi masyarakat sipil memandang ada kelemahan dalam UU KKR, yakni kurang sesuai dengan prinsip-prinsip berdasarkan hukum HAM internasional. 11. Lihat Progress Report, ”Pandangan Elsam atas Pembentukan KKR Terlambat Dua Tahun; Penundaan Pembentukan KKR: Pengingkaran atas Platform Nasional dalam Penyelesaian Pelanggaran HAM di Masa Lalu”, ELSAM, 2006. 12. Lihat pasal 228 dan 229 UU No.11/2006. 53 DISKURSUS Kerangka Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat yang memperkuat mekanisme Pengadilan HAM. UU tersebut mengatur tentang perlindungan saksi dan korban yang lebih baik, dan memberikan penguatan pengaturan tentang kompensasi dan restitusi, termasuk hal atas bantuan medis dan rehabilitasi psikososial kepada korban pelanggaran HAM berat. 13 UU tersebut juga memandatkan pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).14 Namun, pada tahun 2006 pula, MK membatalkan UU No. 27 Tahun 2004 tentang KKR, karena dianggap bertentangan dengan Konstitusi, hukum HAM internasional dan hukum humaniter internasional. MK kemudian merekomendasikan untuk membentuk UU KKR baru sesuai dengan UUD 1945 dan instrumen HAM yang berlaku secara universal, serta mendorong negara untuk melakukan rekonsiliasi melalui kebijakan politik.15 ”Dengan dinyatakannya UU KKR tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan, tidak berarti Mahkamah menutup upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui upaya rekonsiliasi. Banyak cara yang dapat ditempuh untuk itu, antara lain dengan mewujudkan rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum (undang-undang) yang serasi dengan UUD 1945 dan instrumen HAM yang berlaku secara universal, atau dengan melakukan rekonsiliasi melalui kebijakan politik dalam rangka rehabilitasi dan amnesti secara umum.”16 Dari kerangka hukum sebagaimana disebutkan di atas, konsep dan mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM berat telah jelas dan masih menggunakan dua mekanisme, yaitu melalui jalur pengadilan dan KKR. MK, meski membatalkan UU No. 27 tahun 2004 tentang KKR, tetap merekomendasikan pembentukan UU KKR baru dan melalukan rekonsilasi. Justru pada tataran implementasi kedua mekanisme tersebut yang mengalami hambatan dan stagnasi hingga saat ini. Dari sisi penyelesaian melalui pengadilan, tercatat hanya dua kasus yang telah dibawa ke pengadilan HAM adhoc, yakni perkara pelanggaran HAM 13. Lihat pasal 5 dan pasal 7 UU No. 13/2006. Kemudian juga muncul PP No. 44/2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban. 14. Lihat Pasal 11-27 dan Pasal 45 UU No. 13/2006. 15. Lebih lengkap tentang argumen MK dan respon ELSAM atas keputusan tersebut bisa dilihat di Briefing Paper, ”Making Human Rights A Constitutional Rights, A Critique of Constitutional Court's Decision on the Judicial Review of the Truth and Reconciliation Commission Act and Its Implication for Settling Past Human Rights Abuses”, ELSAM, 2007. 16. Lihat Putusan MK No. 006/PUU-IV/2006, hal. 131. 54 dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012 berat Timor-Timur pada tahun 1999 dan Tanjung Priok tahun 1984, dan sebuah Pengadilan HAM untuk kasus Abepura tahun 2000. Dalam ketiga pengadilan tersebut, sebagaimana disebutkan pada bagian atas, proses pengadilan bisa dikatakan gagal menghadirkan keadilan. Justru sejumlah inisiatif korban dan masyarakat sipil melalui jalur pengadilan maupun upaya lainnya yang lebih maju.17 Demikian pula dengan berbagai penyelidikan yang telah dilakukan oleh Komnas HAM, diantaranya Kasus Trisaksi, Semanggi I dan II, Kasus Talangsari 1989, dan Kasus Penghilangan Paska 19971998 yang sampai sekarang belum ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung dan Presiden. Sejumlah argumen dari Kejaksaan Agung untuk tidak menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM diantaranya untuk pelanggaran HAM yang terjadi sebelum tahun 2000 belum ada rekomendasi dari DPR dan masih ada berbagai hal yang harus dilengkapi oleh Komnas HAM.18 Namun, alasan-alasan Kejaksaan Agung tidak konsisten. Misalnya, dalam perkara Penghilangan Paksa Tahun 1997-1998 yang telah mendapatkan rekomendasi DPR untuk membentuk Pengadilan HAM adhoc tidak dilaksanakan hingga saat ini. Padahal, pada 28 Oktober 2009, DPR merekomendasikan kepada Presiden untuk membentuk Pengadilan HAM adhoc untuk kasus Penghilangan Paksa 1997-1998.19 Presiden juga hingga kini belum menerbitkan keputusan untuk adanya pengadilan HAM ad hoc untuk peristiwa tersebut.20 B. Pelanggaran HAM yang Berat: Pengalaman Internasional dan Berbagai Negara Banyak negara telah melakukan penyelesaian kejahatan masa lalunya dengan metode yang bermacam-macam. Negara-negara tersebut cenderung pada mulanya dipimpin oleh rezim pemerintahan yang 17. Lihat catatan Elsam, ”Pemetaan Singkat Kebijakan Reparasi dan Implementasinya di Indonesia”, 3 Oktober 2011. Lihat juga, Zainal Abidin, ”Jalan Berliku Meraih Keadilan”, Bulletin Asasi, Elsam, edisi Januari-Februari 2012. Dokumen dapat diakses di www.elsam.or.id 19. Mengenai perdebatan tentang Pembentukan Pengadilan HAM dapat dilihat dalam Jurnal Dignitas, ”HAM dan Realitas Transisional”, Elsam, 2011. 20. Terdapat 4 rekomendasi dari DPR yaitu yaitu pembentukan Pengadilan HAM ad hoc untuk menangani kasus orang hilang, memberikan kompensasi kepada keluarga korban, pencarian 13 orang hilang yang belum ditemukan dan ratifikasi Konvensi HAM PBB tentang penghilangan orang secara paksa. Lihat juga Kertas Posisi Keadilan Transisional, ”Menyangkal Kebenaran, Menunda Keadilan: Berlanjutnya Penyangkalan Negara atas Hak-Hak Korban, Mandegnya Penuntasan Kasus Penghilangan Orang secara Paksa Periode 1997-1998”, Elsam, 17 Februari 2011. Lihat juga ASASI, ”Penghilangan Paksa 1997-1998: Rekomendasi Tanpa Atensi, Edisi November-Desember 2011. Dokumen dapat diakses di www.elsam.or.id 55 DISKURSUS Kerangka Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat otoriter yang sangat kuat mengontrol kekuasaan. Dengan latar belakang politik yang beragam, pola penyelesaian kejahatan masa lalu negaranegara tersebut juga berbeda-beda. Di bawah ini merupakan pola implementasi penyelesaian kejahatan masa lalu yang telah dilakukan oleh negara-negara lain: 1. Praktik Penghukuman Melalui Pengadilan Sejarah penghukuman terhadap terjadinya berbagai kejahatan serius telah berlangsung lama. Sejumlah pengadilan Internasional telah digelar, disamping berbagai pengadilan untuk kejahatan-kejahatan serius yang dilakukan dalam tingkat domestik. Di antara yang pertama adalah Pengadilan Leipzig tahun 1921, untuk mengadili para penjahat perang Jerman pada perang dunia pertama, yang dilakukan oleh Mahkamah Agung Jerman berdasarkan Perjajian Versailles.21 Kemudian, praktik proses penghukuman terhadap para pelaku kejahatan-kejahatan yang serius tersebut berlanjut, di antaranya sejumlah pengadilan yang terkenal, yakni; pengadilan kejahatan internasional setelah perang dunia, yaitu ”International Military Tribunal ” (IMT) atau dikenal sebagai ”Nuremberg Tribunal” pada tahun 1945 dan ”International Military Tribunal for the Far East (IMTFE)” atau dikenal sebagai ”Tokyo Tribunal” pada 1946.22 Pengadilan Nurenberg mengadili 24 para pimpinan Nazi yang didakwa dengan; turut serta dalam suatu perencanaan atau konspirasi untuk melaksanakan kejahatan terhadap perdamaian (crime against peace), merencanakan, memprakarsai, dan mengadakan peperangan agresi militer dan ataupun kejahatan lainnya terhadap perdamaian, melakukan kejahatan perang (war crime) dan kejahatan kemanusiaan. Sementara Pengadilan Tokyo mendakwa 28 orang yang kebanyakan terdiri dari pejabat militer dan pemerintahan Jepang dengan dakwaan terlibat dalam kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.23 Kemudian setelah usai perang dingin, menghadapi kekejaman 21. Tobias Lock dan Julia Riem, ”Judging Nurenberg: The Laws, The Rallies, The Trial”, Dokumen dapat diakses di http://www.germanlawjournal.com/pdfs/Vol06No12/PDF_Vol_06_No_12_1819-1832_v Developments_LockRiem.pdf 22. Pembentukan IMT didasarkan pada insiatif sekutu yang memenangkan perang untuk mengadili para pemimpin Nazi-Jerman, baik sipil maupun militer, sebagai penjahat perang dengan terlebih dahulu dituangkan dalam London Agreement tanggal 8 Agustus 1945. Sedangkan IMTFE dibentuk berdasarkan Proklamasi Panglima Tertinggi Tentara Sekutu Jenderal Douglas MacArthur pada 1946. 23. http://cnd.org/mirror/nanjing/NMTT.html 56 dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012 yang terjadi di Bekas Negara Yugoslavia dan Rwanda dibentuk Mahkamah Pidana Internasional untuk Bekas Negara Yugoslavia atau ”the International Criminal Tribunal for fomer Yugoslavia (ICTY)” dan atau Mahkamah Pidana Internasional untuk Rwanda ”the International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR)”.24 ICTR merupakan pengadilan bentukan PBB untuk mengadili para pelaku kejahatan perang yang terjadi selama konflik Balkan pada tahun 1990an. Pengadilan ini telah mendakwa lebih dari 160 pelaku, termasuk kepala negara, perdana menteri, pimpinan militer, pejabat pemerintah, dan lainnya dengan tuduhan atas tindakan pembunhan, penyiksaan, pemerkosaan, perbudakan, perusakan properti dan kejahatan-kejahatan lainnya sebagainya diatur dalam Statuta ICTY.25 Sementara ICTR, yang juga merupakan pengadilan bentukan PBB, yang berlokasi di Aruza Tanzania, mengadili para pelaku kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional lainnya atas peristiwa yang terjadi di Rwanda pada tahun 1994, dan telah mendakwa sekitar 72 pelaku.26 Pada tahun 1998, masyarakat Internasional sepakat membentuk Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) yang didirikan berdasarkan Statuta Roma 1998.27 Semangat pembentukan ICC sebagaimana disebutkan dalam Statuta Roma 1998 diantaranya untuk memerangi impunitas dan bahwa kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi sebagai ”the most serious crimes of concern to the international community as a whole”. Statuta Roma mengatur kewenangan untuk mengadili kejahatan-kejahatan paling serius (the most serious crimes), yaitu kejahatan genosida (the crime of genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan perang (war crimes), dan kejahatan agresi (the crime of aggression).28 Berbeda dengan pengadilan internasional sebelumnya yang bersifat ad hoc, Mahkamah Pidana Internasional merupakan pengadilan yang permanen.29 24. Kedua pengadilan ini juga memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya, kedua pengadilan dibentuk oleh lembaga yang sama, yaitu Dewan Keamanan PBB melalui sebuah resolusi. ICTR dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB No.955, tanggal 8 November 1994 . 25. http://www.icty.org/sid/3. 26. http://www.unictr.org/AboutICTR/GeneralInformation/tabid/101/Default.aspx 27. Statuta ini diadopsi pada tanggal 17 Juli 1998 oleh 120 negara yang berpartisipasi dalam ”United Nations Diplomatic Conference on Plenipotentiaries on the Establishment of an International Criminal Court” di kota Roma, Italia 28. Pasal 5 Statuta Roma 1998. 29. Pasal 3(1) Statuta Roma. 57 DISKURSUS Kerangka Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Sejak pendiriannya, ICC setidaknya telah memeriksa 16 kasus atas tujuh peristiwa yang terjadi di Uganda, Kenya, Kongo, Sudan, Afrika Tengah, Libya, dan Pantai Gading. Terdakwa pertama yang dijatuhi hukuman oleh ICC adalah Thomas Lubanga Dyilo dari Kongo, yang didakwa melakukan kejahatan perang, dimana dia diduga memerintahkan anak buahnya melakukan pelanggaran HAM yang massif, termasuk kekejaman etnis, pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan, mutilasi dan memaksa anak-anak untuk menjadi tentara. Lubaga Dyilo akhirnya dijatuhi hukuman 14 tahun penjara dengan terbuktinya melakukan pemaksaan kepada anak-anak untuk menjadi tentara.30 Pengalaman sejumlah pengadilan tersebut telah jelas memberikan pesan bahwa para pelaku kejahatan-kejahatan serius harus dibawa ke pengadilan dan diadili. Sejumlah instrumen HAM internasional telah dibentuk untuk memastikan adanya penghukuman bagi para pelaku kejahatan-kejahatan serius. Pelanggaran hak asasi manusia yang berat, misalnya genosida dan penyiksaan, juga telah diakui sebagai ”jus cogens” atau ”peremptory norms” yang karenanya pelaku kejahatan tersebut merupakan adalah musuh semua umat manusia (hostis humanis generis) dan penuntutan terhadap para pelakunya merupakan kewajiban seluruh umat manusia (obligatio erga omnes).31 Hal ini juga berarti bahwa untuk kejahatan-kejahatan serius tidak diperkenankan adanya amnesti. Sejumlah dokumen PBB menyebutkan secara tegas bahwa amnesti tidak dapat diberikan kepada pelaku pelanggaran HAM berat.32 Resolusi Komisi Hak Asasi Manusia PBB tahun 2004, dalam Point 3 menegaskan sebagai berikut: ”…amnesties should not be granted to those who commit violations of human rights and international humanitarian law that constitute crimes, 30. http://www.icc-cpi.int/Menus/ICC/Situations+and+Cases/ 31.Lihat ”Report of the Independent Expert to Update the Set of Principles to Combat Impunity” (E/CN.4/2005/102/Add.1 08 Februari 2005). 32. Lihat General Comment 20 Pasal 7 [Kovenan Hak Sipil dan Politik] menyatakan bahwa "that some States have granted amnesty in respect of acts of torture. Amnesties are generally incompatible with the duty of the States to investigate such acts” (General Comment 20 concerning Article 7, replaces General Comment 7 concerning Prohibition of Torture and Cruel Treatment or Punishment); lihat juga Laporan Sekjen PBB mengenai pembentukan Pengadilan Khusus untuk Sierra Leone S/200/915), 4 Oktober 2000 dalam paragraph 22-24, Laporan Sekjen PBB tentang The Rule of Law and Transitional Justice in Conflict and Post-Conflict Societies, (S/2004/616), 23 Agustus 2004, Independent Study on Best Practices, Including Recommendations, to Assist States In Strengthening Their Domestic Capacity to Combat All Aspects Of Impunity (E/CN.4/2004/88). 58 dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012 urges States to take action in accordance with their obligations under international law and welcomes the lifting, waiving, or nullification of amnesties and other immunities”. 33 Kewajiban untuk melakukan penghukuman ini, yang tertuang dalam sejumlah instrumen HAM internasional, juga yurisdiksi internasional, yaitu berdasarkan pelanggaran-pelanggaran tertentu, mewajibkan untuk dituntut di dalam negeri, maupun memberikan kemungkinan pelaku pelanggaran tersebut dapat diproses di pengadilan di luar negeri. Hal ini misalnya dalam Konvensi Pencegahan dan Penghukuman terhadap Kejahatan Genosida (The Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide), yang memberikan kewajiban utama untuk penuntutan pelaku kepada negara dimana pelanggaran terjadi, tetapi juga menentukan bahwa pengadilan lainnya, termasuk pengadilan internasional, memiliki yurisdiksi.34 Demikian juga dengan Konvensi Anti Penyiksaan,35 yang menentukan adanya yurisdiksi internasional atas kejahatan penyiksaan yang lebih luas dan spesifik. Menurut Konvensi ini, negara-negara mempunyai kewajiban untuk mengekstradisi atau mengadili seorang yang diduga melakukan tindakan penyiksaan. Di Amerika Serikat, sebuah produk hukum yang disebutkan sebagai Alien Tort Claims Act (1789) memberikan peluang untuk kesalahan atas kejahatan apapun yang ”melanggar the law of nations” dapat disidangkan di pengadilan federal perdata Amerika Serikat. Demikian juga, Torture Victim Protection Act (1992) memungkinkan warga negara Amerika Serikat dan keluarganya yang menjadi korban penyiksaan dan pembunuhan di luar proses hukum yang dilakukan oleh pejabat di negara lain, dapat disidangkan di Amerika Serikat. Di Inggris, sebuah ketentuan yang dikeluarkan tahun 1988 memberikan kewenangan yurisdiksi ekstra-teritorial pada pengadilan pidana untuk menyidangkan pelaku penyiksaan dari negara mana pun yang dilakukan kepada korban dari negara mana pun dan tidak tergantung di mana penyiksaan dilakukan. Negara-negara lain yang sudah pernah mengajukan permohonan ekstradisi atau sudah pernah 33. (Resolution : 2004/72, Impunity, E/CN.4/RES/2004/72), 21 April 2004. 34. Kemungkinan ini telah diakui berdasarkan beberapa keputusan hukum pengadilan Amerika Serikat (kasus Demjanjuk), Israel (kasus Eichmann) dan House of Lords di Inggris (kasus Pinochet). 35. Lengkapnya The International Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment. 59 DISKURSUS Kerangka Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat menghukum pelaku pelanggaran HAM seperti ini termasuk Spanyol, Belanda, Jerman, Perancis dan Italia. Sejumlah model pertanggungjawaban pelanggaran HAM yang terjadi terus mengalami perkembangan, yang dapat dilakukan dalam berbagai bentuk pertanggungjawaban dan proses penuntutan melalui pengadilan baik dalam level internasional, regional, maupun domestik. a. Pengadilan Nasional-Internasional (hybrid) Pada tahun 2002 sebuah pengadilan khusus (special court) yang bersifat hibrida (nasional dan internasional) dibentuk di Sierra Leone atas dukungan PBB untuk melengkapi kerja Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Yurisdiksi pengadilan ini mencakup kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan-kejahatan tertentu yang diatur dalam hukum internasional, dan akan mengadili orang-orang yang paling bertanggung jawab atas pelanggaran hukum internasional dan hukum Sierra Leone yang dilakukan di wilayah Sierra Leone, sejak 30 November 1996.36 Jaksa penuntut dan Hakim dalam pengadilan ini ditunjuk oleh PBB dan dari Sierra Leone, yang dalam pemilihannya dilakukan melalui konsultasi antara PBB dan Pemerintah Sierra Leone.37 Sejumlah pelaku kejahatan telah diadili, diantaranya tiga komandan Revolutionary United Front (RUF), Issa Hassan Sesay, Morris Kallon and Augustine Gbao atas dakwaan melakukan kejahatan perang (war crimes) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) atas peranan mereka dalam perang sipil yang berakhir tahun 1999. Issa dijatuhi pidana 52 tahun atas 16 dakwaan, Kallon dijatuhi pidana 39 tahun, dan Gbao mendapatkan hukuman 25 tahun.38 Di Kamboja, PBB dan Pemerintah Kamboja menyepakati pembentukan pengadilan pada bulan Oktober tahun 2004. Pengadilan tersebut akan menjadi mekanisme untuk mengadili para pemimpin rezim Khmer Merah dan ”mereka yang paling bertanggung jawab” atas tindakan kejahatan kemanusiaan. 36. http://www.icrc.org/ihl.nsf/INTRO/605?OpenDocument. 37. http://www.sc-sl.org/ 38. http://www.haguejusticeportal.net/index.php?id=10517 60 dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012 Sebagaimana dengan pengadilan khusus Sierra Leone, ”Khmer Rouge Tribunal ” juga akan beranggotakan hakim dari Kamboja dan dari luar negeri. Kasus pertama yang disidangkan adalah terdakwa mantan anggota senior Khmer Merah, Kaing Guek Eav yang dikenal sebagai Duch. Di persidangan Duch terbukti bersalah terlibat dalam pembunuhan dan penyiksaan serta kejahatan terhadap kemanusiaan sewaktu memimpin penjara Tuol Sleng, tempat terjadinya penyiksaan yang dilakukan rezim ultra komunis yang dituduh menyebabkan 1,7 juta orang tewas tahun 1975-1979, dan merupakan salah satu tragedi terburuk pada abad ke-20. Duch kemudian dihukum 35 tahun penjara dan pada tingkat banding Duch dijatuhi pidana penjara seumur hidup.39 b. Inter-American Human Right Court Pengadilan Inter-Amerika memiliki dua jurisdiksi: mengadili (adjudicatory jurisdiction) dan memberikan opini hukum (advisory jurisdiction). Dalam kapasitasnya mengadili kasus, maka hanya dua jenis pihak yang berhak untuk mengajukan kasus mengenai interpretasi dan implementasi isi Konvensi: Komisi HAM Inter-Amerika dan negara pihak dari Konvensi tersebut. Namun Komisi HAM hanya boleh mengajukan kasus bila semua prosedur Komisi yang dinyatakan dalam Konvensi HAM Inter-Amerika Pasal 48-50 (termasuk dengan mengusahakan penyelesaian domestik) telah dilakukan. Peranan Pengadilan Inter-Amerika dalam pengembangan konsep-konsep HAM sangat berarti dalam masa-masa transisi banyak negara di wilayah Amerika Latin. Salah satu peranannya adalah dalam pengentasan impunitas, dimana baik pengadilan tersebut dan Komisi Pengadilan HAM secara konsisten menyatakan bahwa penerapan undang-udang amnesti kepada kasus-kasus pelanggaran serius HAM tidak sesuai dengan Konvensi HAM Amerika. Misalnya, sebuah kasus yang terjadi di El-Savador dimana tentara membunuh enam pastur Jesuit dan dua orang 39. http://www.guardian.co.uk/world/2012/feb/03/khmer-rouge-duch-sentence-cambodian. 61 DISKURSUS Kerangka Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat perempuan. Pengadilan menyatakan bahwa UU Amnesti tahun 1993 El-Savador melanggar kewajiban negara itu dalam Konvensi HAM Amerika, sehingga negara El-Savador harus menyidik dan mengadili mereka yang bertanggung jawab. Pengadilan HAM Inter-Amerika menekankan bahwa Komisi Kebenaran, walaupun memiliki peranan relevan, tidak boleh dianggap sebagai pengganti yang memadai dari proses pengadilan sebagai metode pencapaian kebenaran. Komisi kebenaran bukan didirikan dengan presumsi bahwa tidak akan ada pengadilan setelahnya, namun harusnya menjadi suatu langkah untuk mengetahui kebenaran dan pada akhirnya memastikan keadilan akan ditegakkan.40 c. Pengadilan Pidana Domestik Pada bulan April tahun 2004, sebuah pengadilan di Belanda menjatuhkan hukum 30 tahun penjara kepada bekas kolonel dari Republik Demokratik Congo, Sebastian Nzapali, atas keterlibatannya dalam kejahatan perang, khususnya penyiksaan seorang tahanan yang berada dalam perlindungannya pada tahun 1996. Perkara ini dapat disidangkan di Belanda berdasarkan Konvensi Anti Penyiksaan, di mana pengadilan domesik negara yang telah meratifikasi konvensi tersebut (dan optional protocols-nya), boleh mengusut orang yang dicurigai melakukan beberapa jenis pelanggaran HAM di negara lain.41 Tahun 2004 lalu merupakan tahun pertama perkara pelanggaran HAM yang terjadi di luar negeri yang disidangkan di Inggris. Pada bulan Oktober, perkara seorang komandan Perang Afghanistan, Faryadi Sarwar Zardad, yang dituduh berkonspirasi dalam penyiksaan dan penyanderaan antara tahun 1991 dan tahun 1996 dibuka di Pengadilan Pidana Pusat Old Bailey di London. Zardad berpindah ke Inggris pada 1998 dan setelah tinggal beberapa waktu, kemudian ditangkap. Zardad akhirnya dijatuhi pidana 20 tahun penjara.42 40.Laporan No. 136/99 (El Salvador), paragraf. 229-230. Lihat juga http://www.cidh.oas.org /annualrep/99eng/Merits/ElSalvador10.488.htm 41.http://www.asser.nl/default.aspx?site_id=36&level1=15248&level2=&level3=&textid=39989 42.http://news.bbc.co.uk/2/hi/uk_news/4695353.stm, lihat juga http://www.guardian.co.uk/uk /2005/jul/19/afghanistan.world 62 dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012 Pada bulan Juni tahun 2004, Belgia berhasil menangkap mantan anggota senior kelompok milisi yang bertanggung jawab atas genosida di Rwanda pada tahun 1994. Ephrem Nkezabera ditangkap berdasarkan UU Kejahatan Perang yang memungkinkan pengadilan Belgia untuk mengadili mereka yang dituduh sebagai ”genocidaire” di luar negara tersebut.43 Saat ini sejumlah negara di Amerika Latin juga melakukan proses penghukuman kepada para pelaku pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. Pada Oktober 2011, Mahkamah Agung Argentina menghukum Alfredo Astiz, mantan tentara Agrentina, dengan penjara seumur hidup atas kejahatan terhadap kemanusiaan selama masa ”Dirty War”. Artiz terbukti ikut serta dalam penculikan dan pembunuhan terhadap suster Alice Demon dan Leonie Duquet, dan juga Azucena Villaflor, seorang pendiri ”the Mothers of Plaza de Mayo”, sebuah kelompok yang meminta adanya penyelidikan untuk kasuskasus penghilangan paksa.44 Pada Juli 2012, mantan pimpinan militer Argentina, Jorge Videla dan Reynaldo Bignone dijatuhi hukuman masingmasing 50 tahun dan 15 tahun penjara atas kejahatan melakukan pencurian bayi dan anak-anak dari tahanan politik, dimana ketika itu setidaknya 400 bayi telah diambil dari orang tua mereka ketika dipenjara.45 d. Gugatan Perdata Mekanisme gugatan perdata, yang sering dilakukan dengan menuntut pejabat negara untuk memperoleh ganti rugi, kompensasi dan rehabilitasi. Gugatan ini dilakukan biasanya sebagai jalan terakhir ketika proses penuntutan dan penghukuman dihalang-halangi. Hal ini misalnya terjadi di 43. http://www.trial-ch.org/en/ressources/trial-watch/trial-watch/profils/profile/627 /action/show/controller/Profile.html 44. http://www.independent.co.uk/news/world/americas/argentina-finally-serves-justice-on-the-angelof-death-2376896.html. 45. http://www.bbc.co.uk/news/world-latin-america-18731349 63 DISKURSUS Kerangka Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Uruguay tahun 1990, dimana beberapa anggota keluarga orang yang dibunuh dan dihilangkan paksa memperoleh ganti rugi dari negara berdasarkan keputusan pengadilan perdata. Di tingkat internasional, gugatan perdata juga bisa diajukan di berbagai negara, misalnya seperti Alien Tort Claims Act di Amerika Serikat yang memungkinkan permohonan untuk ganti-rugi dapat diajukan kepada pengadilan federal negara tersebut. Kendati tindakan kejahatan dilakukan di luar negeri, para pelaku tetap bisa diadili di Amerika Serikat sepanjang tergugat memiliki kontak dengan Amerika Serikat. Sejumlah gugatan dengan prosedur ini misalnya, gugatan yang diajukan oleh Center for Justice and Accountability di San Fransisco atas nama keluarga Uskup Agung Romero, yang dibunuh oleh militer di El Salvador pada tahun 1980. Setelah hampir 25 tahun sejak pembunuhan Romero, sama sekali belum ada upaya oleh pemerintah El Salvador untuk menyelesaikan pembunuhan tokoh HAM ini. Pengadilan Federal Fresno, California, memutuskan bahwa salah satu orang yang bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut adalah seorang pensiunan kapten angkatan udara, Alvaro Saravia, yang telah tinggal di Amerika Serikat selama hampir 20 tahun. Saravia diperintahkan untuk membayar USD 10 juta sebagai ganti rugi kepada keluarga Uskup Agung Romero.46 Juga gugatan korban rezim bekas Presiden Filipina, Ferdinand Marcos. Meskipun Marcos, yang sudah pindah ke A.S. dan tinggal di Hawaii, meninggal selama proses gugatan ini berlalu, pengadilan tetap memerintahkan 'estate' Marcos untuk membayar ganti rugi kepada para penggugat sebesar USD 150 juta.47 e. Permintaan Ekstradisi Penahanan bekas diktator Chile, Jendral Pinochet, ditahan di 46. http://www.cja.org/article.php?list=type&type=77 47. Sandra Collver, ”Bringing Human Rights Abuses to Justice in U.S. Courts: Carrying Forward the Legacy of the Nurenberg Trial”. Dokumen dapat diakses di: http://www.cardozolawreview.com/content/274/COLIVER.WEBSITE.pdf 64 dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012 Inggris pada bulan Oktober 1998 berdasarkan surat perintah internasional yang dikeluarkan oleh hakim Spanyol, Baltasar Garzon, yang meminta Pinochet diekstradisi ke Spanyol berdasarkan beberapa tuduhan penyiksaan warga negara Spanyol. Pinochet ditahan di Inggris selama 16 bulan, namun akhirnya permintaan ekstradisi ditolak dan Pinochet diijinkan balik ke Chile. Spanyol juga menerima tuntutan Yayasan Rigoberta Menchu yang ditujukan kepada bekas diktator Guatemala, Jendral Efrain Rios Mott, atas tuduhan melakukan pelanggaran kejahatan kemanusiaan, dengan catatan hanya kasus yang melibatkan warga negara Spanyol sebagai korban yang dapat diproses.48 Argentina telah menjadi sasaran gugatan berdasarkan yurisdiksi internasional, dan persidangan in absentia yang pernah dilakukan di Perancis, Spanyol, Itali dan Jerman. Pada Juli 2003, Spanyol meminta 46 petinggi militer diekstradisi atas tuduhan penyiksaan dan genosida49 dan pada tahun 2007 Spanyol juga meminta Argentina untuk mengekstradisi 40 orang, termasuk mantan Presiden Agentina, yang didakwa melakukan genosida, terrorisme and penyiksaan selama masa kediktatoran tahun 1976 dan 1983.50 Pada Maret 2004, giliran Pemerintah Jerman meminta bekas Presiden Argentina, Jorge Videla, untuk diekstradisi bersama dengan dua petinggi militer lain, yaitu Emilio Massera dan Buillermo Suarez Mason yang semuanya dituduh ikut terlibat dalam pembunuhan tiga mahasiswa Jerman pada tahun 1976 dan 1977.51 2. Komisi Kebenaran Sejak awal tahun 1980-an muncul mekanisme baru untuk menghadapi 48. http://www.guardian.co.uk/world/1998/oct/18/pinochet.chile. 49. http://news.bbc.co.uk/2/hi/americas/3052333.stm 50. http://english.peopledaily.com.cn/200702/10/eng20070210_349129.html 51. http://www.dw.de/dw/article/0,,1128473,00.html 65 DISKURSUS Kerangka Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat dan menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu yang secara umum disebut sebagai komisi kebenaran. Di Argentina, pada 16 Desember 1983 dibentuk Komisi Nasional untuk Menyelidiki Kasus-kasus Penghilangan Paksa melalui Keputusan Presiden Raul Alfosin. Kemudian berlanjut pada pembentukan komisi kebenaran di berbagai negara lainnya, di antaranya Uganda, Chile, Chad, El Salvador, dan Haiti, dan Afrika Selatan, Guatemala, Nigeria, Sierra Leone, Timor Lesta, dan lainnya.52 Sejak tahun 1978-2007, setidaknya lebih dari 32 Komisi Kebenaran terbentuk di 28 negara dengan berbagai format dan mandatnya.53 Pendirian Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Afrika Selatan, sebagai mekanisme pengungkapan kebenaran 'non-judial' atas berbagai pelanggaran HAM yang massif telah mendapatkan perhatian dunia.54 Pembentukan Komisi Kebenaran di berbagai negara, sangat tergantung konteks pelanggaran masa lalu serta konteks masa transisi masing-masing negara tersebut, namun secara umum Komisi Kebenaran dapat dinyatakan sebagai: ”Sebuah institusi non-yudisial yang bersifat sementara yang didirikan oleh sebuah institusi resmi untuk menyelidiki pola pelanggaran HAM berat yang dilakukan selama kurun waktu tertentu pada masa lalu. Tujuan dibentuknya institusi ini adalah untuk menerbitkan sebuah laporan terbuka, termasuk data-data tentang korban,beberapa butir rekomendasi menuju pencapaian keadilan dan rekonsiliasi.” 55 Komisi Kebenaran dibentuk untuk menghadapi warisan pelanggaran masa lalu dan mencapai rekonsiliasi nasional yang bersifat partisipatori dan mendalam, dan bukan untuk menghindari akuntabilitas pelanggaran maupun proses pengadilan. Pengalaman berbagai negara menunjukkan bahwa komisi kebenaran pada umumnya dibentuk karena adanya proses transisi dari pemerintahan otoriter menuju sebuah pemerintahan demokratis, atau dibentuk dalam upaya mempertahankan perdamaian usai terjadinya perang sipil atau pemberontakan bersenjata. 52. Pricilla B. Hayner, ”Unspeakable Truth: Facing the Challenge of Truth Commission”, Routledge, 2002. Telah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh ELSAM dengan judul, ”Kebenaran Tak Terbahasakan: Refleksi Pengalaman Komisi-Komisi Kebenaran, Kenyataan dan Harapan, 2005. 53. http://www.amnesty.org/en/international-justice/issues/truth-commissions 54. Pricillia B. Hayner, ”Truth Commission: A Schemic Overview”, International Review of the Red Cross, Vol. 88, Juni 2006. 55. Dan Bronkhorst, 'Truth Commissions and Transitional Justice: A Shrot Guide' Amnesty Internasional Netherlands Document, September 2003, www.amnesty.nl/downloads/truthcommission_guide.doc 66 dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012 Proses pembentukan Komisi Kebenaran dapat dilakukan berdasarkan keputusan presiden atau undang-undang di tingkat nasional, maupun sebagai kesepakatan perdamaian yang didukung ditingkat internasional, misalnya oleh PBB. Lahirnya komisi kebenaran tidak dimaksudkan untuk menggantikan fungsi peradilan dalam pencarian keadilan dan akuntabilitas, melainkan dimaksudkan untuk melengkapi segala aspek penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu termasuk pencarian keadilan, penegakan hukum, pengungkapan kebenaran, perubahan hukum dan institusi, pemulihan, rekonsiliasi, pematahan budaya impunitas dan lain sebagainya. Komisi kebenaran meskipun mandatnya dipengaruhi konteks pelanggaran dan bentuk akuntabilitas yang diharapkan, pendirian suatu komisi kebenaran harus berdasar kepada norma dan prinsip-prinsip sebagaimana yang dituangkan dalam hukum HAM internasional. Artinya, Komisi kebenaran (dan rekonsiliasi) merupakan salah satu mekanisme yang melengkapi proses akuntabilitas kejahatan pelanggaran HAM yang berat. Pengalaman berbagai negara menunjukkan bahwa Komisi Kebenaran didasari oleh pentingnya melakukan catatan yang akurat atas pengalaman masa lalu (historical record of past abuses) yang berguna untuk mencegah terjadinya peristiwa yang sama terulang. Kemudian, fungsi penting adanya proses ini untuk mendorong adanya pengakuan resmi atas pelanggaran HAM yang terjadi, dan negara secara publik mengakui kesalahan atas terjadinya pelanggaran HAM di masa lalu. Selain itu, catatan tentang pelanggaran HAM yang terjadi akan mampu merekomendasikan berbagai langkah-langkah penting untuk adanya akuntabilitas, pemulihan kepada korban, dan rekomendasi perbaikan institusi dan adanya kebijakan untuk memastikan pelanggaran serupa tidak terulang. Tersedianya catatan yang akurat dari praktek masa lalu juga akan mempermudah penegakan akuntabilitas oleh negara. Berbeda dengan mekanisme pengadilan, proses dalam komisi kebenaran memberikan ruang yang penting bagi para korban untuk mengungkapkan ceritanya, dengan demikian dapat mengungkap apa yang sesungguhnya terjadi di masa lalu. Pengungkapan kebenaran, yang mendasarkan pada suara korban akan berkontribusi pada proses penyembuhan sosial (social healing), dan mendorong terjadinya 67 DISKURSUS Kerangka Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat perdamaian yang nyata di tingkat komunitas masyarakat. Pengalaman berbagai komisi kebenaran yang ada, setidaknya ada empat hal pokok; pertama, perumusan mandat Komisi Kebenaran tidak baku, namun secara hukum, biasanya ada mandat khusus Komisi dan batasan yang jelas. Kedua, komisi yang dibentuk mengharuskan tersedianya struktur, komposisi dan keanggotaan yang menjamin tercapainya mandat. Ketiga, adanya mekanisme kerja komisi yang jelas, terkait dengan dengan persoalanpersoalan seperti jenis investigasi yang harus dilakukan, apakah pengambilan pernyataan harus dilakukan secara rahasia (confidential) atau terbuka, bagaimana mekanisme kerja komisi dengan lembaga-lembaga lain, baik pemerintah maupun swasta, di luar komisi. Perumusan juga menjaga dipergunakannya prinsipprinsip ”the rights to know the truth”, ”the rights to justice”, dan ”the rights to reparation” yang menjamin akuntabilitas kerja komisi dalam pengungkapan kebenaran.56 Keempat, adanya laporan Komisi yang menunjukkan hasil kerja komisi kebenaran yang lebih lengkap dari peristiwa masa lalu yang diungkapkan. Berbagai negara yang melakukan proses pengungkapan kebenaran di antaranya: Argentina, dengan membentuk ”Comisión Nacional para la Investigación sobre la Desaparición de Personas”/ CONADEP (Komisi Nasional untuk Orang Hilang Argentina) yang menghasilkan laporan akhir berjudul ”Nunca Mas: Informe de la Comision Nacional sobre la Desaparicion de Personas”. Laporan yang mencakup 8.961 kasus penghilangan paksa, dan termasuk konteks politik, akar masalah, bentuk kekerasan, modus operandi dan latar belakang pelaku, nama orang hilang yang dicatat, kesimpulan dan rekomendasi untuk ke depan, termasuk perkara yang pantas diteruskan dan diproses di pengadilan. Nama individu yang terlibat dalam pelanggaran disebutkan dalam laporan akhir dengan catatan belum tentu bisa disebutkan sebagai merekalah yang bertanggungjawab atas pelanggaran tersebut.57 Di Chile, membentuk Komisi Nasional untuk Kebenaran dan Rekonsiliasi Chile yang menghasilkan laporan akhir yang sering disebutkan sebagai 'Rettig Report' diajukan ke parlemen pada Februari 1991. Laporan diterbitkan dalam bentuk dua jilid yang dibagi empat bagian utama dengan 1.800 halaman. Laporan ini berdasarkan 2.920 perkara yang diselidikinya dan memuatkan informasi tentang konteks sejarah, tanggungjawab institusional, ringkasan 2.279 kasus 56. ELSAM, Kertas Posisi RUU Kebenaran dan Rekonsiliasi, 2004. 57. Nunca Mas: the Report of the Argentine National Commision on the Dissapearance, Farrar Straus Giroux dan Index on Cencorship, 1986. 68 dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012 pembunuhan dan orang hilang dan berbagai bentuk rekomendasi. Ketika melakukan presentasi laporan kepada negara, Presiden Alywin meminta maaf kepada korban dan keluarganya atas nama negara dan mengirim laporan tersebut kepada setiap keluarga korban pelanggaran HAM.58 Di El Salvador, dibentuk Komisi Kebenaran El Salvador diberikan tugas untuk menyelidiki pelanggaran HAM yang dilakukan dua belah pihak dalam dua belas tahun perang sipil antara 1980-1992, menghasilkan laporan akhir 'De la Locura a la Esperanza ' (From Madness to Hope). Laporan diajukan ke Pemerintah (Presiden El Salvador) dan Sekretaris-Jendral PBB pada 15 Maret 1993 dan diterbitkan sebagai dokumen PBB dalam bentuk tiga jilid sekitar 200 halaman. Walaupun Komisi Kebenaran selama masa kerjanya menerima dan melakukan penyelidikan sekitar 22.000 kasus pelanggaran HAM, laporan sendiri hanya sebutkan 32 kasus secara detail yang dianggap mewakili dan menunjukkan jenis dan pola pelanggaran selama 12 tahun perang sipil El Salvador. Laporan disusun dengan menyebutkan kronologis dan analisis pola pelanggaran yang kemudian dibagi berdasarkan pelaku pelanggaran, yaitu negara atau pihak FMLN (Frente Farabundo Martí para la Liberación Naciona) atau Front Pembebasan Nasional Farabundo Marti, dimana pelaku terbesar adalah negara.59 Di Guatemala, dibentuk Komisi Klarifikasi Sejarah Guatemala yang ditugaskan untuk menyelidiki kasus pembunuhan dan penghilangan paksa yang terjadi selama 36 tahun konflik bersenjata di Guatemala. Laporan akhir diajukan ke Presiden dan PBB dengan judul 'Ingatan Sunyi.' Laporan sekitar 3.000 halaman ini didasarkan sekitar 8.000 pengakuan atau testimoni pelanggaran yang memuat 80 kasus secara terperinci yang dilampirkan dengan ringkasan 8.000 kasus tersebut. Menurut laporan, sekitar 200.000 orang meninggal akibat 36 tahun konflik bersenjata Guatemala. Nama pelaku tidak disebutkan, namun dengan melakukan analisis konteks pelanggaran yang cukup mendalam, dengan melakukan analisis tentang penyebab dan akar konflik bersenjata, strategi dan mekanisme kekerasan serta dampak dan akibatnya.60 58. Pricilla B. Hayner, ”Kebenaran Tak Terbahasakan: Refleksi Pengalaman Komisi-Komisi Kebenaran, Kenyataan dan Harapan, Elsam, 2005. Hal. 63-68. 59. Lihat Laporan Komisi Kebenaran El Salvador ”From Madness to Hope”, dokumen dapat diakses di http://www.usip.org/files/file/ElSalvador-Report.pdf , lihat juga Pricilla B. Hayner, ”Kebenaran Tak Terbahasakan: Refleksi Pengalaman Komisi-Komisi Kebenaran, Kenyataan dan Harapan, Elsam, 2005. Hal. 69-72. 60. Pricilla B. Hayner, ”Kebenaran Tak Terbahasakan: Refleksi Pengalaman Komisi-Komisi Kebenaran, Kenyataan dan Harapan, Elsam, 2005. Hal. 81-86. 69 DISKURSUS Kerangka Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Kemudian di Afrika Selatan, dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan yang mempunyai mandat untuk melakukan analisis dan memberi penjelasan tentang penyebab, sifat dan meluasnya pelanggaran HAM berat, termasuk mengidentifikasi pelaku pelanggaran tersebut, baik individu maupun organisasi. Laporan akhir kerja komisi ini yang secara singkat disebutkan sebagai 'Final Report ' diajukan ke Presiden Nelson Mandela. Laporan akhir berdasarkan pengakuan dari 23.000 korban dan saksi, dimana 2.000 kesaksian dilakukan di forum dengar pendapat yang terbuka untuk publik, dengan melakukan analisis Apartheid sebagai kejahatan kemanusiaan, analisis khusus tentang peranan negara dan metode dan jenis pelanggaran, pelanggaran HAM dari perspektif korban, dan analisis tentang konteks sosial pelanggaran dan keterlibatan institusional. Laporan Akhir oleh KKR memberikan sekitar 250 butir rekomendasi.61 Sejumlah negara lainnya, yang membentuk Komisi juga telah menyelesaian dan menyusun laporan akhir, diantaranya Sierra Leone dengan laporan ”Witness to Truth: Final Report of the Truth and Reconciliation of Sierra Leone” tahun (2005), Peru dengan Laporan ”Informe Final de la Comision de la Verdad y Reconciliation” tahun (2003), Timor Leste dengan Laporan berjudul ”Chega” tahun 2006, dan lain-lain. Kehadiran komisi kebenaran, sebagaimana disebutkan di atas, berkontribusi pada pencapaian tujuan-tujuan tertentu, yakni: a) memberikan sumbangan terhadap proses transisi ke arah demokrasi dengan melakukan catatan imparsial tentang masa lalu, b) memberikan ruang resmi bagi korban untuk mengungkapkan kebenaran dan menuntut kompensasi, rehabilitasi dan pemulihan, c) memberikan rekomendasi menuju perubahan institusi dan perubahan hukum guna pencegahan terulangnya pelanggaran pada masa depan (non-recurrence principle), dan d) menentukan siapa yang bertanggungjawab dan memberikan saran untuk memperoleh akuntabilitas dan menghapuskan impunitas. 61. Rekomendasi-rekomendasi tersebut difokuskan terhadap beberapa masalah pokok, yakni; a) pencegahan pelanggaran terulang, b) akuntabilitas, c) pemulihan dan rehabilitasi, d) organisasi, administrasi dan manajemen, d) lembaga pemasyarakatan, e) komunitas agama, f) dunia usaha, g) hukum dan yudisial, h) aparat keamanan, i) sektor kesehatan, j) media Massa, k) arsip bahan-bahan KKR, l) pembasmian dokumen, m) gerakan kemerdekaan, dan n) hak asasi manusiaa Internasional. Lihat Laporan Akhir KKR Afrika Selatan. Dokumen dapat diakses di http://www.justice.gov.za/trc/report/index.htm. 70 dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012 Komisi Kebenaran pada akhirnya diharapkan akan dapat mendukung adanya tanggungjawab dan akuntabilitas Negara, memastikan pelanggaran tidak terulang, mengembalikan hak korban, mendorong adanya rekonsiliasi dan penyelesaian konflik, dan pada akhirnya juga mendorong proses demokratisasi. Komisi Kebenaran dengan laporan akhirnya, saat ini terbukti mendorong proses-proses yang diharapkan tersebut, bahkan meski dalam jangka panjang, mendorong terus berlangsungnya proses penghukuman kepada para pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu, yang saat ini misalnya sedang berlangsung di sejumlah negara Amerika Latin, seperti Guatemala, Kolombia, El Salvador dan Argentina. Pada Januari 2012, Presiden El Salvador Mauricio Funes secara resmi meminta maaf atas pembantaian ribuan warga yang dilakukan militer pada tahun 1981 silam, dimana lebih dari 1.000 warga desa tewas selama perang sipil 1980-1992.62 Di Guatemala, pada Januari 2012, mantan diktator Efraín Ríos Montt diadili atas tuduhan terlibat dalam genosida selama 17 bulan pemerintahannya antara tahun 1982-1983. Di Kolombia Presiden Juan Manuel Santos, meminta maaf atas peran negara dalam pembantaian sekitar 50 anggota sayap paramiliter di El Tigre selama serangan terhadap gerilyawan sayap kiri tahun 1999. Di Argentina, Pemerintah dan Pengadilan sedang menguji warisan kekejaman selama ”Perang Kotor”, yang pada bulan Oktober 2011, Mahkamah Agung Argentina menghukum Alfredo Astiz, mantan tentara Argentina, dengan penjara seumur hidup atas kejahatan terhadap kemanusiaan,63 dan pada Juli 2012, mantan pimpinan militer Argentina, Jorge Videla dan Reynaldo Bignone dijatuhi hukuman masing-masing 50 tahun dan 15 tahun penjara.64 C. Penutup Berbagai pengalaman bagaimana dunia internasional dan negara-negara lain menghadapi kekejaman dan pelanggaran HAM berat masa lalu, menunjukkan sekarang ini tidak ada tempat aman (no save haven) bagi para pelaku ”the most serious crimes”, di antaranya kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, yang dalam hukum Indonesia dikenal sebagai bagian dari pelanggaran HAM berat. Pengalaman berbagai praktik penghukuman, baik di tingkat domestik maupun internasional, 62.http://news.detik.com/read/2012/01/17/125232/1817633/1148/presiden-el-salv ador-minta-maafatas-pembantaian-ribuan-warganya. 63.http://www.independent.co.uk/news/world/americas/argentina-finally-serves-justice-on-the-angelof-death-2376896.html. 64.http://www.bbc.co.uk/news/world-latin-america-18731349 71 DISKURSUS Kerangka Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat telah memberikan cukup banyak fakta bahwa para pelaku pelanggaran HAM berat tidak mudah lagi lepas dari tuntutan pertanggungjawaban. Berbagai instrumen hukum internasional telah dibentuk untuk memastikan bahwa ada penghukuman bagi para pelaku dan semakin memastikan tidak mentolerir adanya amnesti dimasa depan. Pengalaman pembentukan komisi kebenaran (dan rekonsiliasi) juga membuktikan bahwa komisi ini mempunyai kontribusi besar terhadap pertanggungjawaban berbagai tindak kejahatan dan pelanggaran HAM. Meski adanya komisi kebenaran tidak semua berhasil, contoh-contoh terbaik telah dihadirkan dan memberikan sumbangan penting bagi perkembangan negara-negara tersebut dalam menjamin perlindungan HAM, memastikan terpenuhinya hak-hak korban, berjalannya demokrasi dan terjaganya perdamaian. Negaranegara yang gagal memahami masa lalunya, menolak kekejaman yang telah terjadi, dan tidak belajar dari pengalaman tersebut, berpotensi mengulangi kesalahan yang sama. Dalam konteks Indonesia, komitmen negara untuk menyelesaian dan bertanggungjawab atas pelanggaran HAM masa lalu saat ini berada dalam ujian. Komitmen yang dituangkan dalam berbagai produk hukum, yang bukan hanya komitmen secara nasional tetapi secara khusus juga dinyatakan kepada masyarakat Papua dan Aceh, seolah menemui jalan buntu. Indonesia telah menguji pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM berat melalui pengadilan, juga ”setengah jalan” dalam berupaya membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang sayangnya saat ini justru mandek. Padahal, tuntutan atas adanya pertanggungjawaban dengan mengungkapan kebenaran, menegakkan keadilan dan hukum atas berbagai peristiwa pelanggaran HAM berat terus bergaung. Dampak lebih jauh, ketiadaan pembelajaran atas praktik yang salah di masa lalu, menyebabkan terus direproduksinya kekerasan, praktik diskriminasi, dan berbagai pelanggaran HAM lainnya, yang menghambatnya berjalannya proses demokratisasi. Merefleksikan berbagai pengalaman bagaimana negara-negara lain mengadapi pelanggaran HAM yang berat yang terjadi, dan dikaitkan dengan konteks penyelesaian pelanggaran HAM yang berat di Indonesia saat ini, belum terlambat bagi Indonesia untuk konsisten mengimplementasikan agenda penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, mencegah supaya tidak terulang, dan bagaimana menghadapi 72 dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012 pelanggaran HAM yang terjadi di masa depan. Pengalaman berbagai negara dalam menghadapi pelanggaran HAM yang berat, menujukkan bahwa adanya banyak jalan untuk pertanggungjawaban. Indonesia, dalam konteks saat ini, akan memulai dari mana? 73 Penanganan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Herry Sucipto dan Hajriyanto Y. Thohari Abstract Every country in transition from authoritarianism to democracy such as Indonesia usually encountered problems when they tried to solve past gross human rights violations. Limited instruments and the encompassing political legacy often become serious problems. This article offers insights and recommendations from a political perspective on how to deal with past gross human rights violations. Keywords: Transition to Democracy, Human Rights Pendahuluan Kesulitan menuju era demokratis sangat beralasan. Pertama, ketika berkuasa, rezim otoritarian secara sistemik membangun sistem politik yang di satu pihak mengukuhkan kekuasaan yang amat terpusat, dan di pihak lain mengeliminasikan kontrol yang berasal dari luar sistem. Tidak ada balancing of power dalam menjalankan jalannya pemerintahan. Kedua, meski pada awalnya rezim otoritarian cenderung menekankan penggunaan kekerasan untuk melumpuhkan oposisi, dalam perkembangannya rezim semacam ini juga menggunakan dasardasar moral dan intelektual untuk memenangkan dukungan publik yang lebih luas. Jadi, tidak hanya dominasi, tetapi juga hegemoni. Melalui hegemonilah dukungan moral dan intelektual terhadap rezim otoritarian digalang. Akibatnya, rezim transisi sering harus berjuang untuk mengubah orientasi, paradigma dan berbagai bentuk kepercayaan tentang, misalnya, bagaimana kekuasaan seharusnya dikelola, bagaimana individu seharusnya memposisikan dirinya terhadap kekuasaan. Ketiga, rezim transisi selalu dihadapkan pada dua posisi waktu yang sering bertolak belakang dalam gagasan dasarnya: masa depan yang lebih baik dan masa lalu yang penuh keburukan. Sementara terdapat 75 DISKURSUS Penanganan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu kebutuhan untuk melakukan konsolidasi kelembagaan yang diperlukan bagi hadirnya sebuah pengelolaan kekuasaan yang demokratis, terdapat desakan untuk menemukan cara tentang bagaimana warisan rezim otoritarian itu hendak diselesaikan. Salah satu warisan terburuk yang dihasilkan oleh rezim sebelumnya yang melekat pada sistem adalah kejahatan terhadap hakhak asasi manusia (HAM). Sementara konsolidasi kelembagaan masih diupayakan (yang seringkali memang sungguh tidak mudah itu), terdapat tuntutan yang menggunung untuk segera membawa pelaku kejahatan HAM. Masa Lalu, Kini, dan Mendatang: Mencari Solusi Terbaik Seperti disinggung dalam pengantar, rezim-rezim masa lalu pasti mewariskan banyak masalah, termasuk pelanggaran HAM di sana-sini. Rezim Orde Lama mewariskan setumpuk masalah hukum dan politik, serta pelanggaran kepada pemerintahan Orde Baru. Demikian halnya pemerintahan Orde Baru mewariskan puluhan kasus hukum dan pelanggaran HAM kepada pemerintahan era reformasi. Tentu semua itu harus tetap menjadi tanggungjawab kita, sebagai generasi berikutnya yang menjadi pelanjut pembangunan bangsa saat ini, untuk menyelesaikan berbagai warisan persoalan semaksimal mungkin. Pastilah penyelesaian tidak ada yang sempurna alias memuaskan semua pihak. Namun demikian, sebagai tanggungjawab sejarah, ikhtiar itu harus terus dilakukan. Dalam penyelesaian terhadap masa lalu, terdapat empat pola yang lazimnya dapat dipilih. Sebagai sebuah spektrum keempat opsi itu bergerak dari (1) ”never to forget, never to forgive” (tidak melupakan dan tidak memaafkan, yang berarti ”adili dan hukum”); dan (2) ”never to forget but to forgive” (tidak melupakan tetapi kemudian memaafkan, yang berarti ”adili dan kemudian ampuni”); sampai dengan (3) ”to forget but never to forgive” (melupakan tetapi tidak pernah memaafkan, yang artinya tidak ada pengadilan tetapi akan dikutuk selamanya); dan (4) ”to forget and to forgive” (melupakan dan memaafkan, yang artinya tidak ada pengadilan dan dilupakan begitu saja). Jerman, setelah runtuhnya pemerintahan fasis di bawah Hitler, dengan bantuan negara-negara sekutu, menerapkan pola pertama. Sebaliknya, Spanyol memilih pola keempat segera setelah jatuhnya 76 dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012 diktaktor Franco di era 1970-an. Korea Selatan, sementara itu, menerapkan pola kedua pada kasus kedua mantan presidennya. Afrika Selatan memilih pola kedua dengan penekanan lebih pada pendekatan disclossure melalui ”Truth and Reconcilliation Commission” (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Indonesia sering disingkat dengan istilah ”KKR”) daripada pengadilan. Sedangkan pola ”to forget but never to forgive” pada dasarnya dapat ditemukan pada cara masyarakat Eropa melihat Inquisition yang dilakukan pada penganut ajaran Protestan di Eropa selama abad pertengahan. Beberapa negara yang mencoba berikhtiar menyelesaikan masa lalunya itu dapat dibilang berhasil, tentu dengan berbagai konsekuensinya. Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Solusi ideal seperti apa yang dapat kita ambil? Apakah dengan menempuh salah satu pola di atas, ataukan dengan kombinasi dari keempat model tersebut, ataukah dengan cara yang sama sekali baru, dengan pengkondisian Indonesia saat ini? Sejak awal reformasi, keinginan untuk memunculkan landasan bersama untuk menuju Indonesia masa depan yang lebih bermartabat sangat kuat. Kita mengokohkan dalam UUD 1945 bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) pada Perubahan Ketiga. Yang dimaksud dengan negara hukum adalah jika kita melihat bekerjanya tiga prinsip dasar: supremasi hukum (supremacy of law), kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law), dan penegakan hukum dengan cara yang tidak bertentangan dengan hukum (due process of law). Dalam penjabaran selanjutnya, pada setiap negara hukum akan terlihat ciri-cirinya, yaitu adanya (1) jaminan perlindungan hak-hak asasi manusia; (2) kekuasaan kehakiman atau peradilan yang merdeka; dan (3) legalitas dalam arti hukum, yaitu bahwa baik pemerintah/negara maupun warga negara dalam bertindak harus berdasar atas dan melalui hukum. Bahkan kemudian juga dikenal adanya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Dalam konteks penegakan hukum, khususnya masalah pelanggaran HAM berat masa lalu, harus diakui, sampai saat ini Indonesia belum pernah mengalami atau menjalankan proses penyelesaian masalah tersebut. Ikhtiar menuju arah itu pernah dilakukan, yakni dengan dikeluarkannya Ketetapan MPR No 77 DISKURSUS Penanganan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. Ketapan MPR ini melihat bahwa dalam sejarah perjalanan negara Indonesia telah terjadi konflik vertikal dan horizontal antar berbagai elemen masyarakat, pertentangan ideologi, kemiskinan struktural, kesenjangan sosial, ketidakadilan, dan lain-lainnya. Maka diperlukan kesadaran dan komitmen yang sungguh-sungguh untuk memantapkan persatuan dan kesatuan nasional melalui rekonsiliasi nasional. Ketetapan MPR tersebut mengamanatkan kepada DPR dan Presiden untuk membentuk UU tentang komisi kebenaran dan rekonsiliasi nasional. Maka kemudian lahirlah Undang-Undang No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). UU ini juga merujuk UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, selain tentu saja juga mendasarkan pada landasan yang lebih kuat di atasnya, yakni Pasal 28 UUD 1945. Sayangnya, UU KKR terhenti sebelum dilaksanakan karena diajukan judicial review oleh masyarakat ke Mahkamah Konstitusi (MK), yang akhirnya judicial review tersebut dikabulkan oleh MK pada tahun 2006 dimana UU ini dibatalkan sepenuhnya oleh MK. Di antara argumen pembatalan UU KKR tersebut adalah karena undang-undang ini dipandang mengandung beberapa kelemahan, antara lain: dalam Pasal 24 yang berbunyi: ”Dalam hal komisi telah menerima pengaduan atau laporan pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang disertai permohonan untuk mendapatkan kompensasi, restitusi, rehabilitasi, atau amnesti, Komisi wajib memberikan keputusan dalam jangka waktu paling lambat 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan.” Bisa dibayangkan hanya dalam waktu sangat singkat tersebut apakah mungkin Komisi dapat menyelesaikan suatu kasus yang berat yang misalnya melibatkan suatu institusi besar? Tentunya sangat berat bagi Komisi untuk melakukan penyelidikan hanya dalam waktu yang sangat singkat tersebut. Kemudian kita bisa melihat juga pada Pasal 27 yang berbunyi: ”Kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan.” Nah ini berarti jika pelaku tidak diberikan amnesti baik oleh Presiden dan DPR atau pelaku tidak teridentifikasi atau mungkin tidak dimaafkan oleh korban, maka dia tidak mendapat kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud UU tersebut. 78 dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012 Selain itu, Pasal 21 ayat 1 yang berbunyi: ”Pelaksanaan pemberian kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 harus dilaksanakan oleh Pemerintah dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal keputusan Komisi ditetapkan.” Dari pasal ini bisa dibayangkan pemberian kompensasi dan rehabilitasi ini bisa saja ditunda selama tiga tahun dengan sistem perhitungan yang tidak jelas sehingga korban akan semakin menderita. Selain itu, harus diakui pula adanya kelemahan substansi hukum HAM disebabkan oleh: ketidaksigapan dan kecermatan DPR dan Pemerintah saat pembahasan RUU; konfigurasi politik demokratis di Parlemen hasil Pemilu 1999 yang didukung pula oleh elemen-eleman demokrasi di luar Parlemen tidak dengan sendirinya melahirkan produkproduk hukum yang responsif secara substansial; masih eksisnya kekuatan pendukung pemerintahan masa lalu, sekalipun konfigurasi politik formal di DPR didominasi oleh kekuatan reformasi; penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu tidak pernah menjadi keinginan murni pemerintah, tetapi sebagai respon terhadap desakan dalam negeri dan dunia internasional. Kini keinginan penyelesaian masalah pelanggaran HAM masa lalu dan sekarang muncul melalui upaya konstitusional dalam bentuk pengajuan RUU. Urgensi KKR Pembentukan KKR sebagaimana pengalaman banyak negara, tentu saja berada dalam konteks transisi pemerintahan, yaitu dari pemerintahan otoriter menuju pemerintahan demokratis. Dalam transisi demikian, mencuat pertanyaan mengenai sikap dan tanggung jawab (responsibility) negara terhadap kejahatan kemanusian oleh rezim sebelumnya. Menurut Mary Albon, pertanyaan ini mengandung dua isu penting, yaitu: pengakuan (acknowledgement) dan pertanggungjawaban (accountability). Pengakuan mengandung dua pilihan: ”mengingat” atau ”melupakan”. Akuntabilitas menghadapkan kita pada pilihan antara melakukan ”prosekusi” atau ”memaafkan”. Persoalannya, mengutip Hannah Arendt (1958), bagaimana kita bisa memaafkan apa yang tak dapat dihukum? ”Men are not able to forgive what they cannot punish ” (kita tak bisa mengampuni apa yang tak dapat kita hukum). Demikian juga, bagaimana kita bisa melupakan apa yang tak pernah dibuka untuk kita 79 DISKURSUS Penanganan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu ingat bersama? Dalam kontroversi tersebut signifikansi pembentukan KKR bukan sekadar alternatif Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc, tetapi juga sebagai kawan seiring. Ia merupakan upaya kunci yang kental menggunakan perspektif hak asasi manusia dan paradigma humanis yang mengedepankan kepentingan para korban di satu sisi dan menyelamatkan kehidupan masyarakat umum di sisi lain. Ia merupakan wahana untuk menerapkan konsep keadilan restoratif dan reparatif di satu sisi dan konstruktif di sisi lain. Ia mengimplikasikan konsep keadilan yang keluar dari pakem klasik khas Aristotelian (keadilan komutatif/kontraktual, distributif, korektif, dan punitif) dan pakem Rawlsian-Habermasian yang menumbuhkan keadilan di atas kesetaraan (justice as fairness) yang hanya dapat diterapkan dalam situasi normal yang makin jauh panggang dari api kini. Ia memperkenalkan konsep keadilan progresif yang mengedepankan penghukuman kejahatan (keadilan kriminal), pembongkaran sejarah (keadilan historis), pengutamaan dan penghormatan terhadap korban (keadilan reparatoris), pembenahan serta pembersihan sistem penyelenggaraan negara (keadilan administratif), dan perombakan konstitusi (keadilan konstitusional) yang ditegakkan di atas prinsip rule of law, kedaulatan rakyat atau legitimasi demokratis yang mengedepankan hukum, dan bukan sekadar ruled by law, kedaulatan hukum yang belum tentu demokratis. Dengan gambaran signifikansi keberadaan KKR di atas sungguh sebuah kekeliruan bila ada anggapan bahwa pembentukan komisi ini hanya memperbanyak daftar komisi di negeri ini. Keliru pula bila ada kecurigaan bahwa ia hanya sebuah usaha parsial dan mengadaada. Lebih keliru lagi bila ada sinisme ia hanya memperpanjang rantai impunitas atau sebaliknya hanya akan menyeret dan memadati penjara dengan semua orang bersalah di masa lalu. Mengikuti Luc Huyse (1995), truth is both retribution and deterrence, kebenaran selalu bermakna sebagai dera penghukum dan penggentar. Selain itu, dalam spektrum retribusi-rekonsiliasi, responsibilitas atau sikap ideal yang kita ambil adalah selective punishment, model yang mengedepankan penagihan tanggung jawab formal atau legal secara selektif. Oleh karena itu, tipe transisi kita adalah replacement (penggantian) yang diinisiasi rakyat sendiri, yang cocok dengan model 80 dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012 selektif ini. Adanya lembaga yang akan mengurus dan memproses masalah pelanggaran HAM masa lalu dan kini maupun mendatang, tetap diperlukan. Untuk itulah, pada 2009, parlemen (DPR) pernah merekomendasikan kepada Presiden untuk membentuk Pengadilan HAM ad hoc guna menyelesaikan kasus penculikan dan penghilangan paksa tahun 1997-1998. DPR bahkan sempat pula berkirim surat meminta Presiden agar menindaklanjuti rekomendasi tersebut. Namun rupanya surat DPR tidak memperoleh tanggapan resmi. Yang muncul justru tanggapan Menteri Hukum dan HAM waktu itu, Patrialis Akbar, melalui media massa, yang mengatakan bahwa, bila membongkar siapa yang bertanggung jawab atas kasus penghilangan paksa tersebut, tindakan ini akan menimbulkan kegaduhan politik. Dalam Pasal 43 Ayat (3) UU No 26 Tahun 2000 jelas disebut bahwa Pengadilan HAM ad hoc dibentuk atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden. Kewenangan untuk mengusulkan ini dipunyai oleh DPR dengan pertimbangan bahwa selain sebagai bagian dari fungsi pengawasan, DPR juga dinilai sebagai representasi rakyat Indonesia. Benar bahwa sebagai sebuah kata, rekomendasi berarti saran atau usul. Sebagai usul, ia dapat diterima secara penuh, sebagian, atau ditolak seluruhnya. Namun dalam konteks relasi antara DPR dan Presiden, bila rekomendasi DPR diabaikan oleh Presiden tanpa ada penjelasan apa pun, hal ini mengindikasikan kurangnya wibawa DPR, yang seharusnya sebagai pengawas Presiden dan representasi rakyat Indonesia, di hadapan Presiden. Sementara itu, bila Jaksa Agung serius memerankan fungsinya sebagai aparat penegak hukum, dan benar bahwa belum terbentuknya Pengadilan HAM ad hoc merupakan kendala bagi institusinya untuk menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM, tentunya rekomendasi dari DPR ini akan dilihatnya sebagai peluang, khususnya untuk melangsungkan penyidikan dan penyelesaian peristiwa penghilangan paksa 1997-1998. Bila benar begitu, tentunya Jaksa Agung aktif menunjukkan dukungannya bagi pelaksanaan rekomendasi DPR tersebut. Namun nyatanya tidak seperti itu. Masalah Rumit Di Indonesia, ada banyak masalah pelanggaran HAM, berat maupun 81 DISKURSUS Penanganan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu ringan. Beberapa kasus berikut adalah pelanggaran berat HAM, seperti: pelanggaran HAM dalam Peristiwa G30S, Tanjung Priok, Warsidi Lampung. Kasus dugaan pelanggaran HAM berat Trisakti Semanggi I, II, Penculikan Paksa Aktivis Tahun 1997/1998, kasus Talangsari (di Lampung), kasus Wasior, Wamena (di Papua) yang telah selesai diselidiki oleh Komnas HAM selalu terganjal oleh berbagai kepentingan politis tertentu. Sekarang pola-pola kekerasan terhadap Jemaah Ahmadiyah merupakan indikasi awal terjadinya pelanggaran HAM serius. Indikasi tersebut ditemukan berdasarkan pantauan Komnas HAM dalam beberapa kasus kekerasan terhadap Jemaah Ahmadiyah akhir-akhir ini. Selain itu, ada pula dimensi pelanggaran yang sifatnya lintas negara, dalam hal ini apa yang pernah terjadi di Timor Timur (ketika masih dalam bagian dari NKRI). Di sana disinyalir kuat telah terjadi pelanggaran HAM dan kekerasan lainnya. Setelah merdeka dan menjadi negara sendiri, hasil referendum dengan nama Negara Timor Leste (TL), pemerintah kedua negara telah bersepakat membentuk Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) untuk menyelesaikan masalah pelanggaran yang pernah terjadi di masa lalu itu. Dalam perkembangannya, KKP merekomendasikan pembentukan Komisi Nasional untuk Orang Hilang. Dalam sebuah wawancara aktivis Kontras Usman Hamid dengan Direktur HAM dan Kemanusiaan Kemenlu, Muhammad Anshor, disebutkan, bahwa komisi ini juga akan ditugaskan untuk mengidentifikasi semua anak Timor Leste yang terpisah dari orang tua mereka dan untuk memberi tahu keluarga-keluarga mereka mengenai keberadaan anak-anak tersebut. Muhammad Ridha Saleh dari Komnas HAM, dalam sebuah wawancara menegaskan, terdapat tiga hal mengenai penanganan kasus orang-orang hilang oleh Pemerintah Indonesia dan Timor Leste. Pertama, berkaitan dengan orang hilang. Kedua, pembayaran pensiunan orang-orang Timor Leste yang pernah bekerja saat menjadi warga negara Indonesia. Ketiga, kerjasama bidang pendidikan. Dalam pertemuan dan kunjungan Komnas HAM, banyak suara dari korban yang terus mempertanyakannya. Ini orang hilang, bukan penghilangan paksa (disappearances). Sayangnya, rekomendasi soal penanganan orang hilang itu tak berjalan/tidak dilaksanakan. Ridha mengatakan, tak ada 82 dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012 rekomendasi politik DPR untuk melaksanakan, tak ada gugus tugas dari Pemerintah. Untuk itulah, dalam konteks ini, hemat saya, perlu kiranya politic will DPR dan Pemerintah untuk menuntaskan masalah tersebut, sebagai upaya dan bentuk keseriusan Indonesia membangun kerjasama yang baik dengan Pemerintah Timor Leste, seperti yang telah disepakati bersama. Jika masalah ini tidak cepat terselesaikan, maka akan menjadi ganjalan serius bagi hubungan kedua negara, sekaligus preseden buruk tentang penanganan pelanggaran HAM masa lalu. Masalahnya adalah, akan muncul sedikitnya dua masalah serius ketika ikhtiar penanganan pelanggaran HAM masa lalu, kini, dan mendatang, yakni berkaitan dengan batasan waktu terjadinya pelanggaran di masa lalu, serta masalah tarik-menarik kepentingan politik. Yang pertama, harus jelas dulu dan disepakati batasan waktu terjadinya pelanggaran, apakah sejak era Orde Lama, ataukah era Orde Baru, ataukah sejak era Reformasi, atau bahkan sejak masa penjajahan Belanda dan Jepang. Beragam pendapat pasti akan muncul, misalnya anak-anak korban G-30S, akan menuntut haknya diproses atas pelanggaran orangtuanya, lalu korban kekerasan seksual tentara Jepang (Jugun Ianfu) terhadap kaum wanita Indonesia, lalu bagaimana dengan yang terjadi terhadap ulama HAMKA misalnya, yang dipenjara dan disiksa, tanpa proses hukum, demikian halnya Sjafrudddin Prawiranegara, keluarganya mungkin juga akan menuntut. Yang masih hidup, dipenjara tanpa proses hukum, dan masih banyak lagi lainnya. Mereka semua boleh tidak meminta Pemerintah untuk memproses, misalnya. Jadi akan banyak kepentingan yang lebih bersifat individual. Yang kedua, tarik-menarik kepentingan politik sudah tentu sulit dihindari karena banyaknya kepentingan korban dan juga kepentingan Pemerintah di dalamnya. Partai-partai politik tentu saja tidak akan tinggal diam jika ternyata ada kadernya misalnya, diduga terlibat pelanggaran, padahal ketika pelanggaran itu terjadi, kader tersebut masih berdinas aktif di institusi pemerintah maupun militer. Sudah tentu, mereka bertindak dengan prosedur yang ada, dan atas nama institusi, bukan pribadi. Ini akan menjadi akan menjadi pelik. Ini harus menjadi catatan kita semua, karena dari sini pula akan menjadi efek berantai dalam proses penyelesaian. 83 DISKURSUS Penanganan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Kesimpulan Pada prinsipnya, masalah penanganan pelanggaran HAM masa lalu, kini dan mendatang, selain harus ada payung hukum yang jelas dan tegas, juga harus ada kemauan politik yang kuat segenap elemen, terutama kalangan pemerintah, parlemen, parpol, dan kekuatan masyarakat sipil. Sebenarnya momentum penanganan pelanggaran HAM masa lalu momentumnya adalah di awal-awal reformasi, atau katakanlah era Presiden B.J. Habibie dan Presiden Abdurrahman Wahid atau Presiden Megawati Sukarnoputri. Namun sayang momentum itu dilewatkan begitu saja. Ibarat baja yang pada masa itu sedang mencair maka dengan lewatnya momentum tersebut besi baja telah mengeras kembali dan hilanglah momentum yang sangat strategis tersebut. Sekarang, tentunya gagasan dan spirit yang terkandung dalam KKR itu harus tetap ada dan terus diupayakan untuk dilaksanakan. Namun dengan catatan bahwa upaya ini harus didukung dengan kemauan kuat oleh semua pihak sebagaimana tersebut di atas untuk menyelesaikannya dengan memproses pelanggaran-pelanggaran yang terjadi terlepas dari apakah nanti dimaafkan atau dihukum, kesemuanya diserahkan pada proses yang yang nanti akan berjalan dan berlaku. Semua harus dilakukan dengan pasti dan ketegasan yang cukup. Kalau bunyinya dimaafkan tentu harus diterima, kalau harus dihukum juga harus dilaksanakan. Inilah model yang dapat kita lakukan. Untuk melakukan itu, perlu juga kita berani keluar dari jebakan-jebakan dogmatis. Setelah itu semua dilakukan, kita mesti tutup buku, dan membuka lembaran baru agar semua bisa diselesaikan dengan baik. Tanpa itu, sulit rasanya mencari jalan keluar, dan ke depan akan terus menerus terjadi perdebatan mengenai penanganan pelanggaran di masa lalu tanpa ada titik temu dan penyelesaian. Dalam konteks dan perspektif ini maka perlu dirintis kembali upaya legislasinya dengan berpedoman pada Ketetapan MPR No V/MPR/2000 yang dinyatakan sebagai masih berlaku. Apalagi menurut UU No. 12 tahun 2011, Ketetapan MPR kembali masuk dalam tata urut peraturan perundangan sehingga Tap MPR menjadi sumber hukum formal. Kita perlu merintis kembali pembentukan UU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang lebih baik dengan mengoreksi dan 84 dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012 menyempurnakan kelemahan-kelemahan dalam UU No. 27 Tahun 2004 tentang KKR yang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi untuk menjadi payung pelaksanaan rekonsiliasi nasional. Sebagai bangsa yang besar kita yakin dapat menyelesaikan permasalahan tersebut, betapa pun rumit dan beratnya. Bahan Rujukan: Ketetapan MPR RI No V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. Putusan MK Nomor 020/PUU-IV/2006. UU Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Sudah kehilangan Momentum', Kompas, 4 November 2006. Korban penculikan Menuntut', Kompas 17 Maret 2005. MK Batalkan UU KKR , Cermin Buruknya Legislasi DPR, Kompaas 8 Des 2006. 'Seleksi Anggota KKR Dihentikan' Kompas 19 Desember 2006. Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik Indonesia (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003). Ketetapan Mejelis Permusyarakatan Rakyat No.V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan Nasional. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 'Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi: Pengalaman beberapa Negara' www.elsam.or.id Victor Hansen, Ghraib: Time for The United States to Adopt A Standard of Command Responsibililty Towards Its Own, Gonzaga Law Review, 2006 2007. Jared Olanoff, Holding A Head of State Liable for War Crimes: Command Responsibility and The Milosevic. Trial, Suffolk Transnational Law Reivew, Summer 2004. Ilias Bantekas, Principles of Direst and Superior Responsibility in International Humanitarian Law, Manchester University Press, Manchester, UK, 2002. Daniel. S, Makalah seminar Pembangunan Hukum Nasional, Denpasar (Juli, 2003). 85 DISKURSUS Penanganan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Wawancara Usman Hamid dengan Kemlu, 10 Maret 2012. Wawancara Usman Hamid dengan Ridha Saleh, Komnas HAM, 2 April 2012. ”Nasir Djamil: Kita Tunggu Jawaban Presiden”, Serambi Indonesia, Kamis 29 September 2011. ”Menteri HAM: Usut Orang Hilang, Politik Gaduh,” Vivanews, Rabu, 12 Mei 2010. Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Cet. I, Jakarta, 2003. Eddy Djunaedi Karnasudirdja, SH, MCJ, Dari Pengadilan Militer Internasional Nuremberg ke Pengadilan Hak Azasi Manusia Indonesia, PT. Tata Nusa 2003. 86 OASE Puisi Pelarian Wiji Thukul Stanley Adi Prasetyo Abstract Wiji Thukul is the most wanted artist-cum-activist by the New Order regime. He was abducted by the New Order regime and up till now his whereabout is unknown. As a poet, his works were feared by the rulers at that time. This article discusses Wiji Thukul's description in his unreleased poems about his own conditions just before he was forcefully dissapeared. Keywords: Abduction; Authoritarian Regime; Human Rights Violation Orang memanggilnya Wiji Thukul, nama yang dalam bahasa Jawa berarti ”biji tumbuh”. Pemilik nama lengkap Wiji Widodo ini lahir di Kampung Sorogenen, Jebres, Solo, pada 24 Agustus 1963. Penampilannya sangat sederhana, tak sebagaimana seniman pada umumnya yang kerap berpenampilan ”sok seniman”. Malah penampilannya lebih sering terlihat ”kampungan” dalam arti tampil alamiah sebagai orang kampung. Suatu hari pada 1984, Wiji Thukul membaca puisi di kampus tempat saya kuliah, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga. Setelah selesai, dia kemudian berdiskusi dengan gaya santai, duduk dengan kaki sebelah diangkat sambil makan singkong rebus dan menyeruput kopi. Ya, itulah dia, Wiji Thukul yang pertama kali saya kenal melalui seorang budayawan asal Solo yang lebih suka dipanggil sebagai pekerja seni, Halim HD, sekitar 1983. Thukul besar dari lingkungan keluarga kelas bawah. Bapaknya penarik becak, sebagaimana mayoritas profesi para tetangga di tempat tinggalnya. Pendidikan formal Thukul adalah Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Solo Jurusan Tari, tapi tak pernah ditamatkannya. Pada 1982 dia drop out dan memilih bekerja mencari uang buat membantu bapaknya. Dia pernah berjualan koran di Semarang, jadi 89 OASE Puisi Pelarian Wiji Thukul buruh plitur di kampungnya, calo karcis bioskop, dan jadi pengamen puisi. Pernah juga dia bekerja jadi wartawan, meski hanya tiga bulan. Belakangan Thukul jadi penyair terkenal yang puisi-puisinya kerap dibaca oleh para aktivis mahasiswa pada 1980an. Dia mulai menulis puisi sejak SD, dan tertarik pada dunia teater ketika duduk di bangku SMP. Bersama kelompok Teater Jagat, dia pernah mengamen puisi keluar-masuk kampung dan kota. Meski hidupnya pas-pasan, Thukul mampu menyelenggarakan kegiatan teater dan melukis dengan anak-anak kampung Kalangan, tempat dia dan keluarganya tinggal. Pada pertengahan 1980an Thukul kerap diundang mengamen masuk ke kampus-kampus, baik di Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, maupun Jakarta. Pengalaman bergaul dengan para aktivis inilah membuat Thukul kian kritis dalam berpikir. Wiji Thukul pun menyadari pentingnya sebuah organisasi sebagai alat perjuangan. Thukul aktif terlibat dalam sejumlah aksi solidaritas terhadap para petani dan buruh. Pada 1992 dia ikut demonstrasi memprotes pencemaran lingkungan oleh pabrik tekstil PT. Sariwarna Asli Solo. Pada 1994, saat terjadi aksi petani di Ngawi, Jawa Timur, Thukul memimpin massa dan melakukan orasi. Dalam aksi ini dia ditangkap serta dipukuli sejumlah aparat militer. Setahun berikutnya, saat ikut aksi aksi demo 15.000 karyawan PT. Sritex yang didukung oleh Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI) dan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk demokrasi (SMID), Thukul dipukuli dengan popor senjata dan kepalanya dibenturkan ke mobil oleh aparat keamanan yang mengakibatkan mata kirinya buta. Dia mengalami cedera mata kanan karena dibenturkan mobil oleh aparat yang kemudian menangkapnya. Pada 1994 Thukul bersama seniman progresif seperti Semsar Siahaan dan Moelyono mendirikan Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker). Thukul menjadi ketuanya. Jakker sendiri membangun jaringan kesenian dengan melibatkan sejumlah seniman progresif dan kerakyatan di berbagai daerah.1 Pada April 1996 Thukul hadir dalam kongres pertama 1. Penjelasan mengenai sepak terjang Wiji Thukul secara lengkap bisa dibaca pada Wilson, ”Wiji Thukul: Hanya Ada Satu Kata: Hilang” dalam Wilson (editor), Kebenaran Akan Terus Hidup: Catatan-Catatan Tentang Wiji Thukul, Ikohi dan Yappika, Jakarta, 2007. 90 dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012 pembentukan PRD di Kaliurang, Yogyakarta. Dalam kongres tersebut PRD mengambil keputusan penting di mana Jakker bersama Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI) dan beberapa organisasi lain secara resmi menyatakan berafiliasi secara organisasi dan Politik dengan PRD. Pada 22 Juli 1996 Thukul ikut hadir dalam pendeklarasian Partai Rakyat Demokratik (PRD) di Ruang Adam Malik di Gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia YLBHI), Jakarta. Pada kesempatan ini dia membacakan sebuah puisinya yang terkenal berjudul ”Peringatan”. Ia juga dinyatakan terpilih terpilih menjadi Ketua Bidang Pengembangan Kebudayaan PRD, selain memimpin Jaringan Kerja (JaKer) Kebudayaan bersama dengan Semsar Siahaan. Keterlibatan Wiji Thukul dalam PRD ini jelas adalah sebuah pilihan politik. Sejak dideklarasikan, PRD selalu mendapat sorotan dari pihak aparat keamanan, termasuk kalangan intelijen. Nama PRD disebutsebut sebagai dalang beberapa aksi petani maupun buruh. Nama PRD kembali disebut-sebut saat terjadi peristiwa penyerbuan kantor PDI yang dikuasai oleh pengikut Megawati Sukarnoputri secara paksa oleh kelompok pendukung PDI Suryadi yang didukung preman dan kelompok aparat tak berseragam.2 Peristiwa itu disebut sebagai Peristiwa 2. Soeharto dan pembantu militernya merekayasa Kongres PDI di Medan dan mendudukkan kembali Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI. Rekayasa pemerintahan Orde Baru untuk menggulingkan Megawati itu dilawan pendukung Megawati dengan menggelar mimbar bebas di Kantor DPP PDI. Aktivitas berupa mimbar bebas yang menghadirkan sejumlah tokoh kritis dan aktivis penentang Orde Baru, telah mampu membangkitkan kesadaran kritis rakyat atas perilaku politik Orde Baru. Sehingga ketika terjadi pengambilalihan secara paksa, perlawanan dari rakyat pun terjadi. Kepala Staf Sosial Politik ABRI Letjen Syarwan Hamid dalam penjelasannya kepada perwakilan negara asing di Departemen Luar Negeri pada 5 Agustus 1996 menegaskan bahwa Peristiwa 27 Juli 1996 merupakan upaya sekelompok orang untuk menghidupkan kembali faham komunis di Indonesia. Upaya untuk menghidupkan kembali komunisme itu dilakukan dengan menggunakan konflik internal di tubuh Partai Demokrasi Indonesia sebagai "kuda troya". Penggunaan PDI sebagai "kuda troya" adalah karena PDI menyimpan konflik internal yang dapat dieksploitasi dan diprovokasi. Status PDI sebagai lembaga politik formal mengakibatkan kelompokkelompok yang bermain politik praktis tak dicurigai. Di antara kelompok ekstrem itu adalah PRD dengan berbagai faksinya yang dapat disamakan dengan PKI. Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung menuding mimbar bebas yang digelar di halaman Kantor DPP PDI adalah embrio makar terhadap kepemimpinan Presiden Soeharto. Sebelumnya, tanggal 19 Juli 1996, Soeharto memanggil sejumlah pembantu militernya untuk membahas mimbar bebas tersebut. Soeharto mengingatkan agar pembantu militer mewaspadai makar. Lihat harian Kompas 14 Juli 2003. Analisis mendalam mengenai Peristiwa 27 Juli 1996 bisa dilihat pada Lukas Luwarso (penyunting), Peristiwa 27 Juli, ISAI, Jakarta, 1997. 91 OASE Puisi Pelarian Wiji Thukul 27 Juli 1996, ada pula yang menamakannya sebagai Peristiwa Kudatuli.3 Indikasi akan dijadikannya PRD sebagai pihak yang bertanggungjawab sebetulnya tampak dari penyataan Presiden Soeharto yang mengeluarkan pernyataan di depan para wartawan bahwa semua pihak harus mewaspadai aktivitas yang terjadi di depan kantor PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta. ”Awas, ada banyak setan gundul di sana,” ucap Presiden Soeharto.4 Dan ketika peristiwa terjadi dan masyarakat yang marah atas penyerangan pada dini hari 27 Juli 1996 tersebut dan melakukan penyerangan kepada sejumlah gedung pemerintah dan kendaraan berplat nomor merah, Kasospol TNI Mayjen TNI Syarwan Hamid menyatakan kepada media massa bahwa dalang kerusuhan yang terjadi di Jakarta tak lain adalah anak-anak PRD.5 Hari-hari setelah Kudatuli aksi perburuan pun dimulai. Semua aktivis PRD termasuk berbagai organisasi yang berafiliasi pada PRD seperti SMID, Jaker, dan lain-lain diburu dan ditangkapi. Termasuk salah satunya adalah Wiji Thukul. 3. Kudatuli. adalah akronim dari Kerusuhan 27 Juli. Sebutan ini pertama kali digunakan oleh tabloid Swadesi dan kemudian digunakan secara luas oleh berbagai media massa. Sebutan yang lain adalah Peristiwa Sabtu Kelabu yang merujuk pada hari saat terjadinya peristiwa ini yaitu hari Sabtu, kata "kelabu" untuk menggambarkan "suasana gelap" yang melanda panggung perpolitikan Indonesia saat itu. Peristiwa 27 Juli 1996 ini menimbulkan kerugian material berupa 56 gedung dan 197 mobil rusak dan terbakar, sehingga menurut Gubernur Soejadi Soedirdja, total kerugian mencapai Rp.100 miliar. Dalam peristiwa ini 200 orang ditangkap. Menurut laporan Komisi Nasional Hak-Hak Azasi Manusia, ada tiga unsur penyebab kerusuhan yang terlibat, yakni unsur pendukung PDI kelompok Soerjadi dan Megawati, unsur pemerintah/aparat keamanan, dan masyarakat. 4. Harian Terbit, 26 Juli 1996. 5. Hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang ditandatangani Ketua Munawir Sjadzali dan Sekjen Baharuddin Lopa tentang Peristiwa 27 Juli menyebut sebanyak 5 orang meninggal dunia, 149 orang (sipil maupun aparat) luka-luka, 136 orang ditahan. Komnas HAM juga menyimpulkan telah terjadi sejumlah pelanggaran hak asasi manusia. Dokumen dari Laporan Akhir Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyebut pertemuan tanggal 24 Juli 1996 di Kodam Jaya dipimpin oleh Kasdam Jaya Brigjen Susilo Bambang Yudhoyono. Hadir pada rapat itu adalah Brigjen Zacky Anwar Makarim, Kolonel Haryanto, Kolonel Joko Santoso, dan Alex Widya Siregar. Dalam rapat itu, Susilo Bambang Yudhoyono memutuskan penyerbuan atau pengambilalihan kantor DPP PDI oleh Kodam Jaya. Dokumen tersebut juga menyebutkan aksi penyerbuan adalah garapan Markas Besar ABRI c.q. Badan Intelijen ABRI bersama Alex Widya S. Diduga, Kasdam Jaya menggerakkan pasukan pemukul Kodam Jaya, yaitu Brigade Infanteri 1/Jaya Sakti/Pengamanan Ibu Kota pimpinan Kolonel Inf. Tri Tamtomo untuk melakukan penyerbuan. Seperti tercatat di dokumen itu, rekaman video peristiwa itu menampilkan pasukan Batalion Infanteri 201/Jaya Yudha menyerbu dengan menyamar seolah-olah massa PDI pro-Kongres Medan. Fakta serupa terungkap dalam dokumen Paparan Polri tentang Hasil Penyidikan Kasus 27 Juli 1996, di Komisi I dan II DPR RI, 26 Juni 2000. Lihat: Laporan Penyelidikan Komnas HAM tentang Peristiwa 27 Juli 1996. Pengadilan Koneksitas yang digelar pada era Presiden Megawati hanya mampu membuktikan seorang buruh bernama Jonathan Marpaung yang terbukti mengerahkan massa dan melempar batu ke Kantor PDI. Ia dihukum dua bulan sepuluh hari, sementara dua perwira militer yang diadili, Kol CZI Budi Purnama (mantan Komandan Detasemen Intel Kodam Jaya) dan Letnan Satu (Inf) Suharto (mantan Komandan Kompi C Detasemen Intel Kodam Jaya) divonis bebas. 92 dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012 Wiji Thukul mengungsi meninggalkan rumah tak lama setelah namanya disebut-sebut di madia massa, termasuk sejumlah televisi. Berikut ini adalah sejumlah puisi, yang lebih merupakan catatan pribadinya saat ia pergi bersembunyi dari satu tempat ke tempat lain. Puisi ini ditulis langsung oleh Wiji Thukul selama persembunyian di Jakarta dan sekitarnya. Pada masa ini saya bertemu dengan Wiji Thukul beberapa kali. Saya mendapatkan kumpulan puisi ini saat-saat terakhir kali sebelum dia memutuskan untuk pindah ke luar kota, mengingat Jakarta dinilainya sudah tidak aman. ”Tolong ini kamu pegang. Siapa tahu suatu saat ada gunanya,” ujar Wiji Thukul. Kumpulan puisi ini total berjumlah 27 buah puisi yang sebagian besar belum ada judulnya. Ditulis dengan pensil di atas kertas surat putih bergaris sebanyak 13 halaman bolak-balik. Bila dilihat kisah di balik puisi, tampaknya tulisan ini dibuat setelah sang penulis menempuh perjalanan Solo, Salatiga, dan Jakarta dengan menumpang truk dan berpindah-pindah bus. Sebagian tulisan diberi catatan tanggal penulisan, sebagian tidak. Namun dari catatan yang ada bisa diperkirakan bahwa puisi ini ditulis antara tanggal 10 sampai 15 Agustus 1996. Puisi berikut bercerita tentang pelarian Wiji Thukul meninggalkan kota kelahirannya, Solo. Alasan Wiji Thukul untuk pergi mengungsi dari kota Solo tak lain karena namanya disebut-sebut dalam televisi oleh seorang jendral. Para jendral marah-marah Pagi itu kemarahannya disiarkan oleh televisi. Tapi aku tidur. Istriku yang menonton. Istriku kaget. Sebab seorang letnan jendral menyeret-nyeret namaku. Dengan tergopoh-gopoh selimutku ditarik-tariknya, Dengan mata masih lengket aku bertanya: mengapa? Hanya beberapa patah kata ke luar dari mulutnya: ”Namamu di televisi .....” Kalimat itu terus dia ulang seperti otomatis. Aku tidur lagi dan ketika bangun wajah jendral itu sudah lenyap dari televisi. Karena acara sudah diganti. Aku lalu mandi. Aku hanya ganti baju. Celananya tidak. Aku memang lebih sering ganti baju ketimbang celana. Setelah menjemur handuk aku ke dapur. Seperti biasa mertuaku yang setahun lalu 93 OASE Puisi Pelarian Wiji Thukul ditinggal mati suaminya itu, telah meletakkan gelas berisi teh manis. Seperti biasanya ia meletakkan di sudut meja kayu panjang itu, dalam posisi yang gampang diambil. Istriku sudah mandi pula. Ketika berpapasan denganku kembali kalimat itu meluncur. ”Namamu di televisi....” ternyata istriku jauh lebih cepat mengendus bagaimana kekejaman kemanusiaan itu dari pada aku. Rupanya Thukul memilih meninggalkan Solo dengan menumpang sebuah kendaraan truk. Menumpang truk barangkali adalah pilihan sadarnya menghindari masuk kota atau terminal di mana kemungkinan dia akan diketemukan oleh aparat yang mencari-carinya. aku diburu pemerintahku sendiri layaknya aku ini penderita penyakit berbahaya aku sekarang buron tapi jadi buron pemerintah yang lalim bukanlah cacat pun seandainya aku dijebloskan ke dalam penjaranya aku sekarang terlentang di belakang bak truk yang melaju kencang berbantal tas dan punggung tangan kuhisap dalam-dalam segarnya udara malam langit amat jernih oleh jutaan bintang sungguh baru malam ini begitu merdeka paru-paruku 94 dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012 malam sangat jernih sejernih pikiranku walau penguasa hendak mengeruhkan tapi siapa mampu mengusik ketenangan bintang-bintang? Dari urutan catatan yang bisa dilacak dari puisi-puisi yang ditulisnya, rupanya Salatiga jadi tujuan kota terdekat yang dipilih Thukul ketika ia memutuskan meninggalkan kota Solo. Dia ke kota dingin yang berjarak tempuh sekitar sejam dengan roda empat ini dalam keadaan kedinginan dan kelaparan. Seharian dia bersembunyi di Solo setelah meninggalkan rumah. Rupanya sesampai di Salatiga, Thukul memilih untuk mampir ke rumah seorang dosen yang dikenalnya dengan baik di kawasan Kemiri Candi, di pinggiran kota di belakang kampus Universitas Kristen Satya Wacana. Orang itu tak lain adalah pasangan Dr Arief Budiman dan Leila Ch. Budiman. Hal ini bisa dikenali dari puisi yang diberinya judul ”Buat L.Ch & A.B”. Wiji Thukul yang menggambarkan kelelahan fisik dan kelelahan psikis yang dialaminya. Buat L.Ch & A.B. darahku mengalir hangat lagi setelah puluhan jam sendi sendi tulangku beku kurang gerak badanku panas lagi setelah nasi sepiring sambel kecap dan telur goreng tandas bersama tegukan air dari bibir gelas keramik yang kau ulurkan dengan senyum manismu kebisuan berhari-hari kita pecahkan pagi itu dengan salam tangan 95 OASE Puisi Pelarian Wiji Thukul pertanyaan dan kabar-kabar hangat pagi itu budimu menjadi api tapi aku harus pergi lagi mungkin tahun depan atau entah kapan akan kuketuk lagi daun pintumu bukan sebagai buron Dari Jawa Tengah rupanya Thukul terus bergerak dan sampai di Jakarta. Ia rupanya ditampung di sebuah rumah di pinggiran Jakarta milik sepasang aktivis yang baru saja menikah. Thukul menulis puisi yang diberinya judul ”Kado untuk Pengantin Baru” sebagai berikut. Kado untuk Pengantin Baru pengantin baru ini ada kado untukmu seorang penyair yang diburu-buru maaf aku mengganggu malam bulan madumu aku minta kamar satu untuk membaringkan badanku pengantin baru ini datang lagi tamu seorang penyair yang dikejar-kejar serdadu memang tak ada kenikmatan di negri tanpa kemerdekaan selamanya tak akan ada kemerdekaan jika berbeda pendapat menjadi hantu 96 dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012 pengantin baru ini ada kado untukmu seorang penyair yang dikejar-kejar serdadu Dalam pelarian, Thukul melalui komunikasi dengan sejumlah teman-temannya sempat mengikuti perkembangan situasi yang terjadi di rumahnya yang rupanya telah didatangi sejumlah aparat. Dia menulis beberapa puisi berikut. kuterima kabar dari kampung rumahku kalian geledah buku-bukuku kalian jarah tapi aku ucapkan banyak terima kasih karena kalian telah memperkenalkan sendiri pada anak-anakku kalian telah mengajari anak-anakku membentuk makna kata penindasan sejak dini ini tak diajarkan di sekolahan tapi rejim sekarang ini memperkenalkan kepada semua kita setiap hari di mana-mana sambil nenteng-nenteng senapan kekejaman kalian adalah buku pelajaran yang tak pernah ditulis! Thukul juga menulis sebuah puisi khusus buat anaknya dalam situasi dia sebagai buron pemerintahan Orde Baru. Berikut puisi itu:6 Wani, bapakmu harus pergi kalau teman-temanmu tanya kenapa bapakmu dicari-cari polisi jawab saja: 6. Menikah dengan Dyah Sujirah alias Sipon rekannya satu teater pada tanggal 23 Oktober 1988 dan dikaruniai dua orang anak, yaitu Fitri Nganthi Wani dan Fajar Merah. Foto kopi naskah puisi ini pernah saya berikan kepada seorang wartawan bawah tanah yang kemudian dimuatnya dalam majalah SiaR dan kemudian dikutip oleh terbitan bawah tanah yang dikelola aktivis PRD yaitu media Pembebasan dan kemudian dimuat dalam jurnal Indonesia, terbitan Universitas Cornell, Amerika. 97 OASE Puisi Pelarian Wiji Thukul ”karena bapakku orang berani” kalau nanti ibu didatangi polisi lagi menangislah sekuatmu biar tetangga kanan kiri datang dan mengira ada pencuri masuk rumah kita Bagi Thukul arti sebuah persahabatan sejati baru bisa dirasakan saat datang cobaan. Meski banyak orang merasakan penindasan sebagaimana yang dirasakannya, juga rakyat pada umumnya, namun dalam situasi yang menghimpit tak semua teman berani menemuinya. Thukul menulis sebuah puisi yang berjudul ”Pepatah Buron”. Pepatah Buron penindasan adalah guru paling jujur bagi yang mengalami lihatlah tindakan penguasa bukan retorika bukan pidatonya kawan sejati adalah kawan yang masih berani tertawa bersama walau dalam kepungan bahaya Situasi pelarian tak mengecilkan semangat juang Thukul. Sikapnya tetap teguh dan kritis pada kekuasaan. Pada beberapa kesempatan dia menulis kegeramannya pada penguasa. Berikut puisi yang ditulisnya. kekuasaan yang sewenang-wenang membuat rakyat selalu berjaga-jaga dan tak bisa tidur tenang sampai mereka sendiri lupa batas usianya tiba dan dalam diamnya rakyat ternyata bekerja menyiapkan liang kuburnya 98 dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012 lalu mereka bersorak ini kami siapkan untukmu tiran! penguasa yang lalim ketika mati tak ditangisi rakyatnya sungguh memilukan kematian yang disyukuri dengan tepuk tangan Thukul juga menulis sebuah puisi lain tentang penguasa. Ia yakin bahwa penguasa lalim tak bisa membungkam suara rakyat. ujung rambut ujung kuku gendang telinga dan selaput bola mataku tidak mungkin lupakan kamu bilur di punggung nyeri di tulang berhari-hari darah di helai rambut ujung kuku dendang telinga dan selaput bola mataku telah mengotori namamu nyeri di tulang berhari-hari bilur di punggung karena sabetan telah mencoreng namamu kau tak kan bisa mencuci namamu sekalipun 1000 mobil pemadam kebakaran kau kerahkan kau tak kan bisa mencuci tanganmu sekalipun 1000 pengeras suara melipatgandakan pidatomu suara rakyat adalah suara Tuhan dan kalian tak bisa membungkam Tuhan 99 OASE Puisi Pelarian Wiji Thukul sekalipun kalian memiliki 1.000.000 gudang peluru Dalam pelarian, Thukul terus mengikuti pemberitaan media massa. Dia membaca koran dan melihat televisi. Dia menemukan kenyataan bahwa pemberitaan media massa lebih banyak mempraktikkan jurnalisme omongan. Bukan jurnalisme yang memberitakan realitas penderitaan rakyat. Semua kebohongan yang diucapkan penguasa dikutip mentah-mentah oleh media massa. Thukul mencemaskan bahwa bukan tak mungkin yang akan muncul adalah nasionalisme model jaman Nazi di Jerman. Jakarta simpang siur ormas-ormas tiarap tiap dengar berita pasti ada aktivis ditangkap telepon-telepon disadap koran-koran disumbat rakyat was-was dan pengap diam-diam orang cari informasi dari radio luar negeri jangan percaya pada berita mass media cetak dan elektronika asing! Penguasa berteriak-teriak setiap hari Nasionalismenya mirip Nazi Thukul juga menulis beberapa kata, tidak dalam bentuk puisi, tapi lebih merupakan rangkaian kata-kata terpilih. Kata-kata ini lebih merupakan perasaan Thukul saat membaca, mendengar dan memirsa tayangan televisi. berhari-hari – ratusan jam – ratusan kilometer – puluhan kota – bis – colt – truk – angkutan – asap rokok – uap sampah – tengik wc – knalpot terminal – embun subuh – baca koran – omongan penguasa – nonton tivi – omongan penipu – presiden marah-marah – jendral-jendral marah-marah – intelektual bayaran ikut-ikutan – 100 dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012 sekretariat organisasi aktivis diobrak-abrik – penculikan – penggrebegan – pengejaran – pembenaran dibikin kemudian – semua benar karena semua diam Thukul juga merasa bahwa usia kekuasaan tak akan lama lagi. Baginya usia penguasa pasti ada batasnya, demikian pula dengan pemerintahan yang otoriter. Pada akhirnya, Thukul yakin, rakyat pasti akan menang. apa penguasa kira rakyat hidup di hari ini saja apa penguasa kira ingatan bisa dikubur dan dibendung dengan moncong tank apa penguasa kira selamanya ia berkuasa tidak! tuntutan kita akan lebih panjang umur ketimbang usia penguasa derita rakyat selalu lebih tua walau penguasa baru naik mengganti penguasa lama umur derita rakyat panjangnya sepanjang umur peradaban umur penguasa mana pernah melebihi tuanya umur batu akik yang dimuntahkan ledakan gunung berapi? ingatan rakyat serupa bangunan candi kekejaman penguasa setiap jaman terbaca di setiap sudut dan sisi yang menjulang tinggi Thukul yakin bahwa keyakinan dirinya, juga keyakinan mayoritas rakyat, 101 OASE Puisi Pelarian Wiji Thukul tak bisa diubah meskipun penguasa menggunakan cara-cara represif kepada rakyatnya. ketika datang malam aku menjadi gelap ketika pagi datang aku menjadi terang aku rakyatmu hidup di delapan penjuru kau tak bisa menangkapku karena kau tak mengenalku kau tak bisa mendengarkan aku karena kau terus berbicara berbicara dan berbicara dengan mulut senapan pembantaian- pembantaian dan pembantaian mayat-mayat bergelimpangan mayat-mayat disembunyikan kau tak bisa menguburkan aku kau tak bisa menyembuhkan lukaku karena kau tak kenal aku karena kau terus berbicara berbicara dan berbicara dengan tembakan dan ancaman dan penjara Meski terus bergerak dengan cara berpindah-pindah untuk menghindari pencarian dan penangkapan, Thukul merasa dirinya nyaman dan sama sekali tak cemas. Dirinya merasa waras sepenuhnya. Berikut puisi yang menggambarkan hal ini. 102 dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012 habis cemasku kau gilas habis takutku kau tindas kini padaku tinggal tenaga mendidih! segala telah kau rampas kau paksa aku tetap bodoh miskin dan nelan ampas kini padaku tinggal tenaga mengepal-ngepal di jalan-jalan habis cemasku kau gilas habis takutku kau tindas aku masih tetap waras! Hal ini berbeda dengan penguasa yang menurut Thukul sedang risau. Pergolakan yang sedang terjadi Thukul anggap telah menggoyang kursi kedudukan sang penguasa. Si penguasa digambarkannya dalam puisi berikut. ayo kita tebakan! dia raja tapi tanpa mahkota punya pabrik punya istana coba tebak siapa dia? dia adalah aku! dia kaya keluarganya punya saham di mana-mana tapi negaranya rangking tiga 103 OASE Puisi Pelarian Wiji Thukul paling korup di dunia coba tebak siapa dia? dia adalah aku! dia tua tapi ingin tetap berkuasa tak boleh ada calon lain selain dia kalau marah mengarahkan angkatan bersenjata rakyat kecil yang tak bersalah ditembak jidatnya coba tebak siapa dia? dia adalah aku! dia sakti tapi pasti mati meski seakan tak bisa mati coba tebak siapa dia? dia adalah aku! siapa aku? aku adalah diktator yang tak bisa tidur nyenyak! Thukul yakin bahwa penguasa tak mungkin menyembunyikan bau busuk dari rekayasa di balik Peristiwa 27 Juli 1996. Meski sejumlah jendral menyangkal keterlibatan Pemerintah di balik peristiwa tersebut dan menuding sejumlah aktivis yang mendalangi, Thukul yakin bahwa rakyat sudah cerdas. Rakyat tak bisa ditipu lagi dengan berbagai pidato dan kebohongan. Berikut puisi yang ditulis Thukul. ujung rambut ujung kuku gendang telinga dan selaput bola mataku tidak mungkin lupakan kamu bilur di punggung 104 dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012 nyeri di tulang berhari-hari darah di helai rambut ujung kuku dendang telinga dan selaput bola mataku telah mengotori namamu nyeri di tulang berhari-hari bilur di punggung karena sabetan telah mencoreng namamu kau tak kan bisa mencuci namamu sekalipun 1000 mobil pemadam kebakaran kau kerahkan kau tak kan bisa mencuci tanganmu sekalipun 1000 pengeras suara melipatgandakan pidatomu suara rakyat adalah suara Tuhan dan kalian tak bisa membungkam Tuhan sekalipun kalian memiliki 1.000.000 gudang peluru Bagi Thukul, selama pelarian, faktor cuaca dinilai menjadi faktor yang menguntungkan dirinya. Orang-orang yang mencarinya akan kesulitan melakukan pekerjaannya saat malam tiba. Apalagi bila air mengucur dari langit dengan derasnya. Cuaca yang buruk dan kegelapan malam yang pekat adalah selimut bagi persembunyian Thukul. Hujan juga sepertinya memberikan harapan akan munculnya perubahan. hujan malam ini turun untuk melindungiku intel-intel yang bergaji kecil 105 OASE Puisi Pelarian Wiji Thukul pasti jengkel dengan yang memerintahmu hujan malam ini turun untuk melindungiku agar aku bisa istirahat agar tenagaku pulih setelah berhari-hari lelah agar aku tetap segar dan menang hujan malam ini turun untuk melindungiku bunyi kodok dan desir angin membikin pelupuk mataku membesar aku ngantuk dan ingin tidur biarlah para serdadu di ibukota berjaga-jaga dengan senapan M-16nya biarlah penguasa sibuk sendiri dengan ketakutannya karena telah mereka taruh sendiri bom waktu di mana-mana mereka menciptakan musuh dan menembaknya sendiri mereka menciptakan kerusuhan demi mengamankannya sendiri hujan malam ini turun untuk melindungiku malam yang gelap ini untukku malam yang gelap ini selimutku 106 dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012 selamat tidur tanah airku selamat tidur anak-istriku saatnya akan tiba akan tiba bagi merdeka untuk semua Thukul merasa dirinya, sebagaimana para aktivis pro-demokrasi lainnya, harus mampu bertahan, bernafas panjang. Thukul mengajak rekan-rekannya untuk tidak kalut menghadapi keadaan dan terus berjuang menghadapi berbagai cobaan yang saat itu datang mendera mereka. bernafas panjanglah jangan ditelan kalut bernafas panjanglah jangan dimakan takut bernafas panjanglah jangan berlarut-larut bernafas panjanglah jangan surut bernafas panjanglah walau gelap bernafas panjanglah walau pengap bernafas panjanglah kau, bernafas panjanglah para korban bernafas panjanglah aku bernafas panjanglah kalian bernafas panjanglah semua bernafas panjanglah melihat tank-tank dikerahkan bernafas panjanglah melihat tentara mondar-mandir berselendang M-16 107 OASE Puisi Pelarian Wiji Thukul bernafas panjanglah mendengar para aktivis ditangkapi bernafas panjanglah para kambing hitam yang diadili bernafas panjanglah dengan pemutar-balikan ini mereka ingin sejarah dibaca bersih bagaimana mungkin jika mereka menulis dengan sobekan daging laras senapan dan kubangan darah baca kembali semuanya dan bernafas panjanglah bernafas panjanglah akal bernafas panjanglah hati bangun dan bernafas panjanglah! Dalam persembunyian yang dilakukannya, Thukul sangat berdisiplin menjaga diri. Dia sadar bahwa ada banyak orang mengintai tempat-tempat yang dicurigai. Dia hanya bangun membuka kran air dan menggunakan toilet saat tuan rumah ada di rumah. Dia tak menyalakan lampu meski hari telah gelap. Dia lebih memilih menunggu sang pemilik rumah pulang. Dia diam dalam sunyi. Karena itulah Thukul sangat peka dengan keadaan sekelilingnya. di ruang ini yang bernafas cuma aku cecak dan serangga air menetes rutin dari kran ke bak mandi semakin dekat aku dengan detak jantungku dingin ubin, lubang kunci, pintu tertutup, kurang cahaya 108 dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012 kini bagian hidupku sehari-hari di sini bergema puisi di antara garis lurus tembok lengkung meja kursi dan rumah sepi puisi yang ditajamkan pukulan dan aniaya tangan besi penguasa Bulan-bulan Agustus minggu kedua, di sekitar tempat Thukul bersembunyi ia hanya bisa mengamati situasi di luar rumah dengan cara mengintip melalui lubang kunci. Dia menyaksikan berbagai aktivitas masyarakat dalam rangka menyambut peringatan Kemerdekaan 17 Agustus. bulan agustus sudah tiba penduduk ramai-ramai pasang bendera tapi aku hanya lihat yang di seberang rumah saja kuintip dari lubang kunci sebab aku dikejar-kejar penguasa sudah puluhan hari aku tak melihat angkasa kehidupan di sekelilingku kusimak dari datak-deru dan tawanya aku tak bisa lihat wujud dan wajahnya aku ditahan bukan dipenjara aku disel bukan dibui sebab kehidupan sehari-hari adalah penjara nyata rakyat negeri ini Thukul juga membaca berita dari koran yang dibawa pulang oleh teman yang rumahnya diinapinya. Dia juga merasakan di mana-mana 109 OASE Puisi Pelarian Wiji Thukul banyak orang tengah menyambut suasana peringatan kemerdekaan. Namun Thukul mempertanyaan makna kemerdekaan yang sesungguhnya. Berikut puisi yang ditulisnya. sebuah bank memasang iklan ukuran setengah halaman koran, teriaknya: Dirgahayu Republik Indonesia 51 th dengan huruf kapital iklan itu juga memekik-mekik: MERDEKA MERDEKA MERDEKA sementara itu ratusan aktivis di daerah dan di ibukota ditangkapi sebuah iklan ukuran setengah halaman koran menggusur kenyataan yang sewenang-wenang yang seharusnya diberitakan MERDEKA MERDEKA MERDEKA siapa yang merdeka? Kebosanan selama berhari-hari bersembunyi dalam sunyi dengan membatasi gerak-gerik diri, membuat Thukul merasa bahwa meski dia berada di sebuah rumah, namun sesungguhnya dia ibarat berada di penjara. Sebuah hal yang kontras dengan suasana di luar rumah, di mana ada sejumlah orang tengah berlatih berbaris untuk upacara 17 Agustusan. di atas rumah ada burung ku tahu dari kicaunya di luar rumah ada orang kutangkap lagi dari cakap dan langkah kakinya 110 dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012 ini rumah biasa tak beda penjara tadi pagi kubaca di koran kabar penangkapan-penangkapan tapi sore ini ku dengar di jalan orang latihan baris-berbaris untuk merayakan hari kemerdekaan Dari balik kain gorden rumah persembunyian, Thukul tampaknya berkesempatan mencuri-curi lesempatan untuk mengintip pemandangan di luar rumah. Ia menyaksikan pemandangan indah di pagi hari. Indahnya sebuah pagi, tapi menurut Thukul akan lebih indah lagi bila negeri ini terbebas dari ganasnya kuasa tirani. Berikut sebuah puisi berjudul ”Bagi Siapa Kalian Memetik Panenan”. Bagi Siapa Kalian Memetik Panenan pagi dingin udara masih mengandung embun bukit-bukit di kejauhan disaput arak-arakan halimun matahari terbnit sempurna bulat merah setampah di langit batang-batang pohon besar dan cabang-cabangnya seperti ratusan penari yang mengangkat tangannya tinggi-tinggi kususuri keheningan ini sendiri jilatan matahari segarnya udara pagi alangkah indah negri ini andai lepas dari masa ganas tirani 111 OASE Puisi Pelarian Wiji Thukul Di balik rasa percaya diri akan keamanan yang melingkupinya, Thukul sepertinya merasa kesepian. Ia juga merasa bahwa ia harus bergegas berpindah dan tak bisa berlama-lama di tempat ”penampungan” saat itu. Meski ia merasa nyaman dengan kesunyian yang melingkupinya, ia lebih memilih menghindari penangkapan. Berikut puisi yang ditulisnya. nonstop 24 jam yang berkuasa di sini adalah cahaya saban pagi ia membuat garis-garis lurus di sekitar jendela gambar motif gorden tampak jelas coklat hitam dan putihnya lalu pada sore hari ia mengubah warna langit-langit sudut-sudut tembok bidang ubin dan susunan benda-benda yang ada di dalamnya dan bila malam tiba telapak kakiku diberinya mata demikian pula punggung tangan dan jari-jarinya saat aku terbaring serasa yang ada cuma desir angin detak jantung tulang-tulang dan hembusan nafasku saja tapi aku harus pergi dari kesunyian ini sebelum penguasa merenggut aku dan damai ini 112 dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012 Wiji Thukul memang kemudian memutuskan pergi dari tempat persembunyian, tempat menuliskan semua puisinya ini. Dia terus berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Setelah Peristiwa 27 Juli 1996 hingga 1998, sejumlah aktivis ditangkap, diculik dan hilang, termasuk Thukul. Sejumlah orang masih melihatnya di Jakarta pada April 1998. Thukul masuk daftar orang hilang sejak tahun 2000. Keluarganya melaporkan hilang pada April 2000,7 sampai saat ini keberadaannya masih tetap misteri. Hingga sekarang Widji Thukul tidak diketahui nasibnya, apakah ia sudah meninggal atau berada di suatu tempat. Puisi dan karyakaryanya masih dibaca orang. Pada Agustus 2009, DPR menyetujui rekomendasi Pansus DPR tentang penghilangan orang secara paksa untuk meminta Presiden RI agar segera mengeluarkan Keppres pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc. DPR juga setuju dengan permintaan Komnas HAM agar Kepolisian Republik Indonesia segera mencari dan menemukan Wiji Thukul beserta 12 orang lain yang dinyatakan hilang, dalam keadaan hidup ataupun mati. 7. Hilangnya Wiji Thukul pada sekitar Maret 1998 menurut KontraS diduga kuat berkaitan dengan aktivitas yang dilakukan oleh yang bersangkutan. Saat itu bertepatan dengan peningkatan operasi represif yang dilakukan oleh rezim Orde Baru dalam upaya pembersihan aktivitas politik yang berlawanan dengan Orde Baru. Operasi pembersihan tersebut hampir merata dilakukan diseluruh wilayah Indonesia. Kita mencatat dalam berbagai operasi, rezim Orde Baru juga melakukan penculikan terhadap para aktivis (22 orang) yang hingga saat ini 13 orang belum kembali. Lihat: Siaran Pers KontraS No: 7/SP-KONTRAS/II/2000 tentang Hilangnya Wiji Thukul. 113 TINJAUAN ”Mengindonesiakan” Anak Timor Leste Razif Judul : Making Them Indonesians: Child Transfers out of East Timor Penulis : Helene van Klinken Penerbit : Victoria: Monash University, 2012 Kolasi : 252 hal ISBN : 9781876924072 Sejak abad ke-20 dan memasuki 21 setiap peperangan dan konflik bersenjata yang terjadi di muka bumi senantiasa melibatkan anak. Sepanjang Perang Dunia II, menurut sejarawan Peter Stearns, paling tidak satu setengah juta anak hilang dan mati terbunuh. Di Eropa dan Asia, anak-anak yang dilibatkan dalam perang tersebut adalah anak-anak dari keturunan Yahudi. 1 Militer Nazi sebagai dalang pembunuhan anak terbesar sepanjang Perang Dunia II berkeyakinan bahwa anak-anak Yahudi perlu dibunuh agar di masa depan keturunan mereka dapat dihambat. Kejahatan yang sama terjadi di Argentina selama periode ”Dirty War” 1976-1983. Anak dan bayi yang diduga keturunan aktivis gerakan kiri diculik oleh penguasa militer Argentina dengan maksud untuk dididik 1. Peter Stearns menegaskan bahwa peperangan atau konflik yang melibatkan anak-anak dengan tujuan untuk menaklukkan orang tuanya. Lihat, Peter. N. Stearns. Childhood in World History. (New York: Routledge, 2011), hlm. 147. 117 TINJAUAN ”Mengindonesiakan” Anak Timor Leste dan diurus tentara supaya ketika dewasa tidak seperti orang tuanya yang radikal dan pembangkang. Tak hanya berlangsung di negara yang mengalami peperangan, tampaknya metode serupa dilakukan oleh negara-negara yang memiliki kompleksitas isu etnis, seperti Australia. Di Negeri Kanguru itu pada paruh abad 20 terjadi pengambil-alihan anak-anak bumiputera aborigin Australia oleh orang-orang kulit putih. Tujuan pengambilan paksa ini agar anak-anak tersebut mendapatkan pendidikan yang 'superior', dan dijauhkan dari keterbelakangan kebudayaan orang tuanya. Pemerintahan Orde Baru Soeharto pernah melakukan kebijakan migrasi paksa terhadap anak tatkala menginvasi Timor Leste. Sepanjang masa invasi sejak 1976 hingga 1999 berlangsung pemindahan anak Timor Leste ke Indonesia. Pemindahan anak Timor Leste itu dianggap sebagai bagian dari proyek kebudayaan yang dilakukan oleh rezim Orde Baru untuk membuat mereka Indonesia. Buku yang disusun oleh Helene Van Klinken berjudul Making Them Indonesians ini menceritakan pengambilan paksa anak-anak Timor Leste ke Indonesia itu. Pesan kuat buku ini tergambar melalui kulit muka buku berupa foto Presiden Soeharto dan Nyonya Tien Soeharto beserta anak-anak Timor Leste yang sedang berkunjung ke Istana Presiden di Jalan Cendana, Jakarta Pusat. Anak-anak Timor Leste itu dianggap sebagai ”anak presiden”. Mereka disekolahkan dan diurus dengan tanggungan biaya oleh Yayasan Dharmais milik keluarga Soeharto. Pada tahun 1986 diperkirakan jumlah anak Timor Leste yang dibawa ke Indonesia mencapai 40.000 orang lebih (hlm. xxvi). Hasil perhitungan itu merupakan jumlah besar. Buku ini sejatinya merupakan disertasi Helen di Universitas Queensland, Brisbane, Australia. Penyusunannya menggunakan pendekatan sejarah lisan. Melalui metode tersebut Helen berupaya merekonstruksi proses pemindahan anak-anak Timor Leste ke Indonesia. Sejarah Pengambilan Anak Timor Leste Penelitian Helen berangkat dari digelarnya Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsialiasi Timor Leste (CAVR) tahun 2003. Dia melakukan serangkaian wawancara baik dengan korban yakni yang waktu lampau masih anak-anak maupun dengan pelaku—perwira 118 dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012 tentara, pegawai negeri, rumah yatim piatu, pengurus gereja, masjid, dan yayasan Islam. Awalnya anak-anak yang dipindahkan ke Indonesia adalah anak yatim piatu dari kalangan Apodeti dan UDT. Pemindahan anak-anak Timor Leste ke Indonesia berlangsung secara sistematis, dan tentu pemindahan tersebut melibatkan negara. Kenapa negara begitu berkepentingan untuk memindahkan anak Timor Leste ke Indonesia? Juga, institusi-institusi apa saja yang terlibat? Di Timor Leste pada masa Portugis telah berdiri sebuah rumah yatim piatu. Pada awal pendudukan Indonesia mulai 1976-1977 rumah yatim piatu itu diurus oleh pasukan Brawijaya. Pada paruh 1977 tentara menyerahkan pengelolaannya pada Dinas Sosial. Penyerahan itu bersamaan dengan diproklamasikannya Timor-Timur sebagai provinsi ke-27 Indonesia. Pada tahun yang sama berdiri Yayasan Dharmais di bawah kendali keluarga Soeharto. Yayasan ini dipersiapkan untuk menyambut 20 anak Timor-Timur yang dipindahkan ke Jawa Tengah. Mereka ditampung di S.T. Thomas, Semarang. Biaya sekolah, makan, seragam dan lain-lain dibiayai oleh Yayasan Dharmais. Namun, terungkap dari wawancara Helen bahwa banyak komponen biaya yang tidak dibayarkan oleh Yayasan Dharmais. Institusi lain yang terlibat dalam pemindahan anak Timor Leste adalah Kinderdof yang berlokasi di Bandung, Jawa Barat. Organisasi ini mempunyai jaringan internasional dalam mengurus anak-anak yatim piatu. Awalnya, Kinderdof diperuntukkan bagi keluarga Apodeti dan UDT Kepanjangannya? saja. Kinderdof menggunakan perawat khusus untuk mengurus anak-anak. Itu sebabnya ia dianggap sebagai tempat penampungan anak kelas satu. Tempat ini dilengkapi pula dengan pendidikan sekolah. Institusi lain yang terlibat adalah Panti Penyantunan Anak Taruna Negara (PPATN). PPATN berlokasi di Bandung dijalankan oleh Departemen Sosial. Pemindahan anak Timor Leste diperankan pula oleh misi Islam untuk memperluas pengaruhnya di ruang teritorial provinsi baru itu. Masuknya Islam ke Timor-Timur bermula dari tentara. Banyak anggota militer baik perwira maupun prajurit menjadi anggota Rawatan Rohani Islam. Keterlibatan tentara dalam islamisasi pada masa awal invasi Indonesia di Timor-Timur, melempangkan jalan bagi Dewan Dakwah 119 TINJAUAN ”Mengindonesiakan” Anak Timor Leste Islamiyah Indonesia (DDII) untuk mengembangkan sayap di sana. Mereka membangun sekolah Islam dan langgar. Akan tetapi islamisasi oleh DDII tidak berlangsung mulus. Terjadi perlawanan terhadap pembangunan sarana ibadah tersebut yang membuat DDII memutuskan untuk mengirim anak-anak Timor-Timur ke Indonesia untuk dididik. Pada 1982, DDII mendirikan Yayasan Kesejahteraan Islam Nasrullah (Yakin), organisasi yang kelak menyebarkan anak-anak Timor Leste ke pesantren-pesantren di Jawa Barat dan Sulawesi. Dalam pengiriman anak itu, Yakin dibantu oleh militer, Departemen Agama, dan keluarga Arab Timor-Timur berdomisili di kampung Alor, Dili Barat. Motivasi Yakin mengirim anak-anak itu ke Indonesia agar setelah mereka selesai pendidikan sekolah pesantren dapat menjadi guru dan pendakwah di Timor Leste. Proses Pemindahan Anak dari Timor Leste ke Indonesia Bagaimana proses pengambilan anak-anak itu terjadi? Dalam menjelaskan proses pemindahan anak-anak Timor Leste, terdapat empat sasaran kelompok anak yang dipindahkan ke Indonesia. Ini persepsi Helene sebagaimana ditulis di buku? Atau opini pribadi? Pertama, anak-anak di wilayah pertempuran tahun 1976-1978 saat tentara Indonesia melakukan operasi pengepungan dan pemusnahan di basis-basis perlawanan Timor Leste. Operasi militer Indonesia awal-awal masa invasi itu banyak menelan korban perempuan dan anak-anak. Mereka terpaksa turun dari pegunungan menyerah. Mereka kelaparan dan kekurangan obat-obatan. Banyak anak-anak itu kemudian dibawa ke Indonesia ketika prajurit pulang kampung. Mereka dititipkan terlebih dulu di rumah yatim-piatu Seroja. Dalam situasi seperti ini anak-anak itu dianggap telah yatim piatu dan hidup dalam kemiskinan. Kedua, anak-anak yang berada di kamp-kamp penahanan yang tinggal bersama orang tua atau dengan walinya—biasanya paman—dan orang dewasa lainnya. Anak-anak itu hidup miskin dan kekurangan makanan. Biasanya tentara memberikan makanan dan pakaian. Ketika tentara habis masa tugasnya, anak-anak itu dibawa ke Indonesia. Ketiga, anak-anak yang menjadi Tenaga Bantuan Operasi (TBO). Biasanya anak-anak yang menjadi TBO berumur 8-13 tahun. 120 dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012 Pekerjaan mereka membawa barang-barang, alat-alat dan juga mengisi amunisi senjata saat melakukan pertempuran dengan gerakan perlawanan. Anak-anak yang dipekerjakan sebagai TBO tidak mendapatkan upah. Mereka seperti budak. Mereka hanya mendapatkan makan. Padahal dalam prosedur ketentaraan, anak-anak TBO harus dikembalikan lagi ke orang tua dan bersekolah. Tujuan para perwira tentara membawa anak-anak bekas TBO agar mereka dapat dididik untuk menjadi Indones yang pro-integrasi. Keempat, anak-anak pejuang gerilyawan dari Falintil menjadi sasaran tentara untuk dibawa ke Indonesia. Di kalangan elit tentara Indonesia ada imajinasi untuk menaklukkan musuh, keturunannya perlu dipurifikasi. Tentara memilih anak-anak berkulit bersih bersinar yang dibawa ke Indonesia, seperti kepercayaaan kolonialis Eropa awal abad 20 yang membawa anak-anak mestizo dari musuh yang dijajah. Motivasi Pemindahan Motivasi tentara membawa anak-anak Timor Leste ke Indonesia sangat beragam. Namun bila ditelisik motivasi utamanya bertujuan untuk menaklukkan perjuangan orang tua mereka yang anti-integrasi. Anakanak Timor Leste itu diperadabkan dan menjadi patuh. Selain itu, pemindahan anak oleh tentara ke Indonesia dapat juga dilihat sebagai bentuk penyanderaan. Tentara Indonesia berpikir jika anak-anak Timor Leste disandera maka pejuang Timor Leste mau berintegrasi dengan Indonesia. Hampir seluruh anak yang dibawa ke Indonesia baik oleh tentara maupun lembaga pemerintah Orde Baru dipaksa menghapus identitas ke ”timorlesteannya”. Rata-rata orang tua angkat yang notabene orang Indonesia menyembunyikan fakta bahwa anak itu berasal dari Timor Leste. Misalkan saja, anak yang diangkat dipaksa menganut agama orang tua angkat dan mengganti namanya menjadi berbau ”Indonesia”. Tentara-tentara Indonesia jarang yang menepati janji untuk mengembalikan anak ke orang tua atau wali setelah tamat sekolah. Dari tindakan ini terlihat jika tentara menjadikan pengambilan anak dari pihak lawan sebagai bagian dari strategi perang. Rezim Orde Baru menganggap pemindahan anak Timor Leste merupakan simbol integrasi. Negara berkepentingan untuk mengubah 121 TINJAUAN ”Mengindonesiakan” Anak Timor Leste kebudayaan dan identitas anak itu. Mereka sehari-hari menggunakan bahasa daerah Jawa, jika tinggal di Jawa Tengah, dan berbahasa Sunda bila tinggal di Jawa Barat. Mereka berbicara di depan kelas atau berdiskusi dengan bahasa Indonesia dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia. Intinya mereka bersekolah di Indonesia dipaksa untuk menjadi orang Indonesia. Dalam penyusunan buku ini Helen menggunakan dokumendokumen terkait dari Departemen Sosial, Departemen Tenaga Kerja dan lain-lain. Menurut penelitian Helen, anak-anak Timor Leste yang dibawa ke Indonesia berumur antara 2 hingga 10 tahun, dan ada yang berumur belasan tahun. Anak di bawah umur 10 tahun digemari untuk dibawa oleh pelaku karena mudah dipengaruhi. Penutup Tanpa disadari tindakan rezim Orde Baru mendukung pemindahan anak adalah melanggar salah satu poin Convention Genocide (pemusnahan) PBB tahun 1951. Anak-anak adalah sumber penting untuk menyambung nilai-nilai kebudayaan dari suatu kelompok bangsa. Asumsinya bila anak-anak dalam satu periode perjalanan bangsa banyak hilang, maka bangsa itu mengalami hambatan dalam perkembangan. Anak-anak yang dibawa baik oleh individu maupun institusi yang didukung negara tidak memperhatikan faktor kejiwaan atau psikologis anak-anak itu. Banyak orang tua mati terbunuh atau dianiaya disaksikan oleh anak-anak itu. Faktor yang mencekam itu berada dalam benak anak tanpa pernah diperhatikan oleh pihak pelaku. Memasuki tahun 2003 Pemerintah Indonesia mengumumkan penghapusan status pengungsi bagi warga Timor Leste. Pengumuman itu mempunyai arti anak-anak yang dibawa mempunyai kesempatan untuk bisa bergabung kembali ke Timor Leste. Mereka yang diambil paksa masa itu sekarang sudah dewasa. Ada yang kembali ke Timor Leste, ada yang tidak. Salah satu anak yang menjadi korban tersebut adalah Biliki. Perempuan ini telah menikah dengan seorang tentara di Jakarta dan mempunyai tiga orang anak. Biliki berkesempatan untuk kembali sementara ke Dili saat memberikan kesaksian di CAVR. Anak korban pengambilan lainnya adalah Petrus Kanisius. Beda dengan Biliki, Petrus menyatakan pulang ke Timor Leste. Sekarang ini dia telah diangkat 122 dignitas Volume VIII No. 1 Tahun 2012 menjadi kepala sekolah SMA di Dili. Hampir rata-rata anak-anak itu telah dipisahkan dari ranah kebudayaan mereka selama 18 tahun dan bahkan lebih dari itu. Mereka sudah tidak memahami bahasa, dan adat istiadat. Anak-anak yang kembali harus mengikuti upacara adat karena mereka dianggap telah mati. Namun, banyak anak-anak yang belum kembali atau tidak bisa kembali karena telah kawin-mawin di Indonesia. Sejarah sosial pemindahan anak-anak Timor Leste sebuah cerita yang unik. Narasi itu belum banyak diketahui oleh publik di Indonesia dan Timor Leste. Untuk memperluas penyebaran kisah itu buku ini perlu diterjemahkan ke dalam kedua bahasa: Indonesia dan Tetun, Timor Leste. 123 KONTRIBUTOR KONTRIBUTOR Razif Sejarahwan, aktif di Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), mempunyai kepedulian pada sejarah hubungan kerja dan juga masalah ingatan sosial. Saat ini ia sedang menyelesaikan penelitian bersama ELSAM tentang pola penghilangan paksa di Indonesia. Agung Putri Astrid Pekerja HAM, anggota Perkumpulan dan mantan Direktur Eksekutif ELSAM, koordinator ASEAN Inter-Parliamentary Myanmar Caucus (AIPMC). Putri juga penggagas sekaligus penggerak Pertemuan Korban Orde Baru, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Relawan Penggerak Jakarta Baru (RPJB), dan alumnus Institute of Social Studies (ISS), Den Haag, Belanda. Budiawan Staf pengajar Program Studi Kajian Budaya dan Media, Sekolah Pascasarjana UGM. Ia memperoleh gelar PhD di bidang Kajian Asia Tenggara, National University of Singapore, 2003. Aktif menulis opini tentang masa lalu dan pelanggaran hak asasi manusia. Stanley Adi Prasetyo Menjabat sebagai Wakil Ketua Komnas HAM periode 2007-2012, aktif dalam gerakan sosial sejak di bangku kuliah di Universitas Satya Wacana Salatiga pada awal 1980an. Terlibat pula dalam sejumlah organisasiorganisasi yang bergerak dalam isu hak asasi manusia, seperti ELSAM, Demos, dan Institut Studi Arus Informasi (ISAI). Herry Sucipto Staf Ahli Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Hajriyanto Y. Thohari Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Periode 20092012, terpilih sebagai Anggota DPR dari daerah pemilihan IV Jawa Tengah. 127 Zainal Abidin Deputi Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), alumnus Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), dan terlibat dalam advokasi ICC bersama sejumlah aktivis hak asasi manusia lain. Otto Syamsuddin Ishak Terlahir di Yogyakarta tahun 1959, meraih doktor di bidang sosiologi dari Universitas Indonesia (2011) dengan judul disertasi, Aceh Pasca Konflik: Arena Kontestasi 3 Varian Nasionalisme. Gelar master di bidang sosiologi dan sarjana geografi diraih dari Universitas Gadjah Mada (1995 dan 1987). Sejak 1989 tercatat sebagai dosen pada Universitas Syiah Kuala di Banda Aceh. 128 PEDOMAN PENULISAN JURNAL Redaksi Jurnal Dignitas menerima kiriman tulisan dengan pedoman sebagai berikut: l Jurnal ini mengutamakan penulisan artikel dengan gaya bahasa yang sederhana, mudah dicerna, dan tidak rumit. Ini diterapkan agar tulisan dapat dipahami oleh kalangan yang lebih luas, tidak cuma kalangan hukum saja. l Audiens jurnal ini mencakup juga masyarakat nonhukum yang memiliki perhatian luas tentang hukum dan dinamikanya. Hukum mengandung kosakata yang khusus, kaku, mungkin juga tertutup, yang hanya dimengerti oleh kalangan hukum saja. Kata-kata seperti retroaktif, susah dimengerti oleh masyarakat nonhukum. Sehingga kata-kata yang sekiranya rumit dimengerti masyarakat nonhukum perlu diberi penjelasannya supaya mudah dipahami. l Tiap kosakata asing diusahakan dicari padanannya dalam bahasa Indonesia, kecuali untuk jurnal edisi bahasa Inggris. Contoh: by ommission, maka diganti atau ditambahi keterangan pembiaran. Namun, jika tak ada, atau susah menemukannya dalam bahasa Indonesia, tak masalah. l Pada dasarnya, jurnal ini semi akademis. Tak terlalu ketat dalam penggunaan metodologi maupun pemakaian kosakata ilmiah. Penulisannya naratif, diawali dengan abstraksi tulisan. Tulisan harus fokus pada masalah tanpa melebarkan pembahasan. l Panjang tulisan semua rubrik, FOKUS, DISKURSUS, OASE sekitar 20.000-23.000 karakter, kecuali TINJAUAN. Sedang untuk rubrik TINJAUAN mengulas buku atau kumpulan buku, film, karya sastra, pertunjukan kesenian, panjangnya antara 10.000 – 13.000 karakter. - Kami menerima tulisan dengan sumber catatan kaki atau footnote, bukan catatan akhir atau endnote dan catatan perut. - Contoh catatan kaki untuk sumber buku: Yando Zakaria, Abih Tandeh, Cetakan Pertama, (Jakarta: Elsam, 2000), halaman 143. - Contoh catatan kaki untuk sumber kolom, makalah, atau kumpulan tulisan: 129 - Moh. Mahfud MD, ”Komisi Yudisial dalam Mozaik Ketatanegaraan Kita”, dikutip dalam Bunga Rampai Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, (Jakarta: Komisi Yudisial, 2007), hal 7. l Tulisan disertai daftar pustaka dengan format, sebagai contoh: - Daniel Dhakidae. Cendekiawan dalam Kekuasaan Negara Orde Baru, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003. l Kami menggunakan pedoman penulisan yang lazim digunakan pelbagai jurnal atau majalah. Penyebutan nama surat kabar, majalah, judul buku, atau media terbitan lainnya dicetak miring. Misal, Majalah Time dijatuhi denda Rp 1 trilyun oleh Mahkamah Agung atas kasus gugatan Suharto. l Sedang untuk judul artikel diberi tanda kutip [”….”]. Seperti contoh: Pengadilan, menurut Satjipto Rahardjo dalam tulisannya berjudul ”Pengadilan Sang Pemenang”, tak akan pernah berhenti menjadi institut perang antara keangkaramurkaan dan kebaikan-keadilan. Kirimkan naskah Anda dalam bentuk softcopy dikirimkan ke alamat email [email protected] dengan melampirkan biodata. Redaksi menyediakan honorarium yang pantas untuk tulisan yang dimuat. 130 PROFIL ELSAM (LEMBAGA STUDI DAN ADVOKASI MASYARAKAT) Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Institute for Policy Research and Advocacy), disingkat ELSAM, adalah organisasi advokasi kebijakan, berbentuk Perkumpulan, yang berdiri sejak Agustus 1993 di Jakarta. Tujuannya turut berpartisipasi dalam usaha menumbuhkembangkan, memajukan dan melindungi hak-hak sipil dan politik serta hak-hak asasi manusia pada umumnya sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi UUD 1945 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sejak awal, semangat perjuangan ELSAM adalah membangun tatanan politik demokratis di Indonesia melalui pemberdayaan masyarakat sipil lewat advokasi dan promosi hak asasi manusia (HAM). VISI Terciptanya masyarakat dan negara Indonesia yang demokratis, berkeadilan, dan menghormati hak asasi manusia. MISI Sebagai sebuah organisasi non pemerintah (Ornop) yang memperjuangkan hak asasi manusia, baik hak sipil-politik maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya secara tak terpisahkan. KEGIATAN UTAMA: 1. Studi kebijakan dan hukum yang berdampak pada hak asasi manusia; 2. Advokasi hak asasi manusia dalam berbagai bentuknya; 3. Pendidikan dan pelatihan hak asasi manusia; dan 4. Penerbitan dan penyebaran informasi hak asasi manusia PROGRAM KERJA: 1. Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam Rangka Mewujudkan Demokrasi dan Sistem Hukum yang Berkeadilan. 2. Penguatan Perlindungan HAM dari Ancaman Fundamentalisme Pasar, Fundamentalisme Agama, dan Komunalisme dalam Berbagai Bentuknya. 3. Pembangunan Organisasi ELSAM melalui Pengembangan Kelembagaan, Penguatan Kapasitas dan Akuntabilitas dan Akuntabilitas Lembaga. 131 Susunan Organisasi Perkumpulan ELSAM Badan Pengurus: Ketua: Sandra Moniaga, SH Wakil Ketua: Ifdhal Kasim, SH Sekretaris: Roichatul Aswidah, S.Sos, MA Bendahara I : Ir. Suraiya Kamaruzzaman, MA Bendahara II : Abdul Haris Semendawai, SH, LLM Anggota Perkumpulan: Abdul Hakim G. Nusantara, SH, LLM; Dra. I Gusti Agung Putri Astrid Kartika, MA; Ir. Agustinus Rumansara, M.Sc.; Francisia Sika Ery Seda; Hadimulyo; Lies Marcoes, MA; Johni Simanjuntak, SH; Kamala Chandrakirana, MA; Maria Hartiningsih; E. Rini Pratsnawati; Raharja Waluya Jati; Sentot Setyasiswanto S.Sos; Toegiran S.Pd; Herlambang Perdana SH, MA.; Ir. Yosep Adi Prasetyo Pelaksana Harian: Direktur Eksekutif: Indriaswati Dyah Saptaningrum, SH. LLM Deputi Direktur Pembelaan HAM untuk Keadilan dan Plt Kepala Divisi Advokasi Hukum: Wahyu Wagiman SH. Deputi Direktur Pengembangan sumber daya HAM ( PSDHAM) dan Plt Kepala Divisi Monitoring Kebijakan dan Pengembangan Jaringan: Zainal Abidin, SH Kepala Biro Penelitian dan Pengembangan Kelembagaan: Otto Adi Yulianto, SE Kepala Divisi Kampanye dan Kerjasama Internasional: Kepala Divisi Informasi dan Dokumentasi: Triana Dyah, SS Staf Pelaksana Program bidang Advokasi Hukum: Ikhana Indah Barnasaputri,SH; Andi Muttaqien, SH Staf Senior Pelaksana Program Bidang Monitoring Kebijakan & Pengembangan Jaringan: E. Rini Pratsnawati Staf Pelaksana Program bidang Monitoring Kebijakan & Pengembangan Jaringan: Wahyudi Djafar, SH Staf Pelaksana Program bidang Informasi dan Dokumentasi: Paijo, Sukadi, Ari Yurino Staf Keuangan: Rina Erayanti (Pjs.); Elisabet Maria Sagala, SE Kasir: Maria Ririhena, SE Sekretaris: Yohanna Kuncup Yanuar Prastiwi, SS Kepala bagian umum: Khumaedy Staf bagian rumah tangga: Siti Mariatul Qibtiyah; Kosim Staf bagian transportasi: Ahmad Muzani Staf bagian keamanan: Elly F. Pangemanan Alamat: Jl. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta 12510 INDONESIA Tel.: (+62 21) 797 2662; 7919 2519; 7919 2564; Fax.: (+62 21) 7919 2519 Email: [email protected]; Website: www.elsam.or.id 132 FOKUS Drama Abadi Pembajakan Demokrasi demi Masa Lalu oleh Agung Putri Astrid Ikhtiar Mencuci ”Karpet Martti” di Aceh oleh Otto Syamsuddin Ishak Kekerasan Politik Massal dan Kultur Patriarkhi oleh Budiawan DISKURSUS Kerangka Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat di Indonesia dan Negara-negara Lain oleh Zainal Abidin Penanganan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu oleh Herry Sucipto dan Hajriyanto Y. Thohari OASE Puisi Pelarian Wiji Thukul oleh Stanley Adi Prasetyo TINJAUAN ”Mengindonesiakan” Anak Timor Leste oleh Razif