Edisi Mei -Juni Tahun 2008 per HAL

advertisement
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
WTO
World
World
Bank IMF
Bank
TNCs
GATT
GATT
Pembebasan dari
Cengkeraman Modal,
Pembodohan, dan Impunitas
EDISI MEI-JUNI TAHUN 2008
www.elsam.or.id
daftar isi
editorial
Sejarah bangsa ini memperlihatkan bahwa modal kolonial bangkrut
di
. pertengahan abad 18. Bangkrut kembali se-abad kemudian dan
lagi-lagi ini terjadi di tahun 1930-an. Dalam siklus kebangkitan dan
kebangkrutan modal, pengkhianat dan pejuang pun timbul
tenggelam.
laporan utama
laporan utama
nasional
5 - 13
Pembebasan dari Opresi Modal
kolom tetap
dari pembaca
03
4
14-16
Kenaikan Harga BBM, Krisis Pangan,
dan Tanggung Jawab Negara
Globalisasi bukanlah fenomena satu dimensi, tetapi merupakan
proses multidimensi yang melibatkan ranah kegiatan dan
interaksi yang berbeda-beda termasuk ranah kultural. Fenomena
globalisasi ditandai dengan ekspansi modal dan eskalasi perilaku
konsumtif di berbagai bidang kehidupan. Globalisasi telah
menciptakan varian penindasan kemanusiaan dalam bungkusan
masyarakat industrial dan pasar global.
Pembebasan dari Impunitas
internasional
17-18
Penyiksaan:
Bagaimana Mungkin Dikriminalisasi,
Diatur Saja Belum
daerah
19
perspektif
20
Tentara harus dibuat akuntabel atas pelanggaran hak asasi
manusia di masa lalu dengan sebuah proses kebenaran dan
keadilan melalui sebuah pengadilan yang bersih. Dan di masa
depan, tentara harus ditempatkan di bawah pengawasan sipil,
tanpa pengaruh politik dan kepentingan ekonomi apa pun.
Tanggung jawab dari kesatuan tentara harus ditetapkan secara
tegas, kelompok-kelompok paramiliter harus dibekukan dan
anggota-anggotanya harus dibawa ke pengadilan untuk
mempertanggungjawabkan kejahatan mereka.
Guru ”Kritis” di Bawah Rejim Ujian
resensi
22
Program ELSAM
24
Gerardus Weruin menggambarkan pembelajaran di sekolah
bukan dalam suasana yang menyenangkan dan merdeka, tetapi
menjadi beban dan suatu paksaan terhadap anak-anak. UN
menjadi hal yang lebih memberatkan, mencemaskan, dan
menakutkan anak karena menentukan kelulusan dan tamat
belajar.
perspektif
18-21
Merawat Ke-Indonesiaan
Sikap pemerintah dan kekuatan politik yang mendiamkan
seluruh kekerasan yang terindikasi secara kuat sebagai
pelanggaran HAM dan memiskinkan rakyat Indonesia secara
sistematis, menunjukkan bahwa dalam sepuluh tahun ini belum
ada perbedaan yang berarti antara karakter politik pemerintahan
masa lalu dengan masa kini. Maknanya adalah elite-elite politik,
partai politik dan pemerintah gagal merawat ke-Indonesiaan
dalam sepuluh tahun ini.
menyamaratakan standard penilaian? Dok. Kompas
editorial
“Menjinakkan” Tirani Modal,
Agenda Demokrasi yang Tertinggal
H
al paling meresahkan
masyarakat pasca
otoritarian adalah
pengkhianatan.
Te r b u k a n y a r u a n g
politik segera diisi oleh kekuatan
politik yang saling berebut kuasa,
dan yang terpenting meninggalkan
rakyat. Kebijakan ekonomi dan
politik lahir dari kesepakatanke s e p a ka t a n j a n g ka p e n d e k
kekuatan politik. Perhitungan
pertama-tama dan utama adalah
menguasai aset ekonomi, konsesi
dan lisensi. Perhitungan ini hingga
tahun yang ke 10 pasca otoritarian
belum bergeser.
Sekarang orang membaca
gejala di atas dengan cara lain:
bahwa modal bukan lagi unsur
ekonomi suatu bangsa tetapi sudah
menjadi tirani. Modal
mencengkeram pusat-pusat
kegiatan ekonomi dan segala forum
politik; menyusup ke ruang-ruang
sekolah dan mengakar sejauhjauhnya pada tumbuh susutnya
kepercayaan dan kebudayaan. Dia
berkuasa atas bangsa.
Kalau begini reformasi
tampaknya cuma melahirkan
pengkhianat dan modal yang tiran.
Bila keduanya bertemu, maka tirani
modal menjadi sempurna. Namun
seketika kita membayangkan
kesempurnaan itu, maka seketika
itu segala komponen reformasi akan
tersesat. Sejarah bangsa ini
memperlihatkan bahwa modal
kolonial bangkrut di pertengahan
abad 18. Bangkrut kembali se-abad
kemudian dan lagi-lagi ini terjadi di
tahun 1930-an. Dalam siklus
kebangkitan dan kebangkrutan
modal, pengkhianat dan pejuang
pun timbul tenggelam.
Yang menjadi soal, banyak yang
meyakini pentingnya
membangkitkan modal tapi sedikit
yang mampu mengendalikannya.
Gaung peringatan 100 tahun
Kebangkitan Nasional
menggemakan kebangkitan dari
keterpurukan ekonomi dan
kebangkitan modal nasional.
Sebaliknya suara tentang pembagian
aset hanya di pinggiran. Politik
bergerak untuk menggerakan modal
ketimbang mengelola modal. Agenda
perubahan atau transformasi politik
melepaskan dirinya dari keharusan
menata ulang modal, capital reform.
Demikian pula kemiskinan
sebagai konsekuensi dari gerak
modal justru dilepaskan darinya.
Bahkan setelah berabad hilang dari
khazanah keilmuan, pandangan
kemiskinan sebagai bencana
dihadirkan kembali. Nyaris seusia
dengan lahirnya Boedi Oetomo, 100
tahun lalu, hasil penelitian kommisie
van minderwaarderheid (19121914) mendorong lahirnya kebijakan
bantuan beras cuma-cuma
pemerintah kolonial
bagi kaum
miskin. Berton-ton beras sengaja
didatangkan dari Burma di tahun 20an, lagi-lagi karena harga gula jatuh
di pasaran dunia. Di kemudian hari,
jaring pengaman sosial
diperkenalkan oleh Bank Dunia pada
tahun 1997 telah diproduksi ulang
oleh bangsa sendiri dalam program
Bantuan Langsung Tunai (BLT),
program cash and carr y dan
seterusnya.
Pemikiran semacam ini
sesungguhnya tidak memiliki
landasan konstitusional. Justru
ko n s t i t u s i b a n g s a I n d o n e s i a
menegaskan dalam pasal 28 a, b, c,
dan h bahwa bebas dari kelaparan
dan kemiskinan adalah hak. Dalam
berbagai perjanjian internasional di
bidang HAM, hal sama juga
diserukan. Memang masih sulit
untuk mencapai konsensus
internasional agar kemiskinan
ditetapkan sebagai tindakan
kejahatan terhadap kemanusiaan.
Hak asasi manusia juga tidak secara
khusus menyinggung soal modal.
Namun yang pasti, dalam segala
perjanjian internasional HAM, dan
khususnya bila mencermati
perjanjian hak ekonomi, sosial dan
budaya, amat jelas keperluannya
untuk menjinakkan modal. Dengan
menjadikan Negara sebagai aktor
utama pelindung HAM, perjanjian
internasional HAM coba menghadang
fluktuasi gerak modal. Bila modal
berusaha mengecilkan peran Negara,
sebaliknya rejim HAM di bawah PBB
justru membesarkan peran Negara.
Rejim HAM PBB paham benar
kekuatan modal. Resolusi dewan
HAM PBB telah menunjuk para ahli
dan pelapor khusus untuk
menangani gejala modal. Untuk
bidang HAM dan perusahaan
transnasional dan lainnya, Dewan
menunjuk Mr. John Rugie. Sedangkan
pelapor khusus di bidang hutang luar
negeri
dan pemenuhan HAM,
khususnya hak ekonomi sosial dan
budaya adalah Mr. Chepas Lumina.
Global Compact yang digagas oleh
Kofie Annan ketika menjabat sebagai
sekretaris jendral PBB, tidak lain
adalah langkah diplomatis menyeret
kekuasaan modal untuk tidak
bergerak liar sendiri, namun dalam
kerangka hak asasi manusia. Usaha
lain adalah menetapkan suatu
protokol opsional bagi konvensi hak
ekonomi sosial budaya. Bila berhasil
maka protokol inilah yang menjadi
unsur pemaksa penting bagi tiap
negara untuk memastikan akses
masyarakat pada sumber ekonomi.
Menjinakan modal memang
bukan pekerjaan mudah. Namun
d a p a t d i p a s t i k a n ko n s e n s u s
kenegaraan maupun internasional
tidak pernah menyatakan
dukungannya pada tirani modal.
Karenanya tirani modal pada
prinsipnya tidak diperkenankan
hidup.
Agung Putri
ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
EDISI MEI-JUNI TAHUN 2008
03
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
Dari pembaca
Hai.......ASASI:
www.elsam.or.id
Redaksional
Penanggung Jawab/Pemimpin Redaksi:
Agung Putri
Wakil Pemimpin Redaksi:
Amiruddin al Rahab
Redaktur Pelaksana:
Eddie Riyadi
Redaktur:
A.H. Semendawai, Eddie Riyadi, Betty
Yolanda, Triana Dyah Pujiastuti, Otto Adi
Yulianto, Raimondus Arwalembun
Sekretaris Redaksi:
Raimondus Arwalembun
Sirkulasi/Distribusi:
Khumaedy
Desain & Tata Letak:
Alang-alang
Penerbit:
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat
(ELSAM)
Alamat Redaksi:
Jl. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar
Minggu, Jakarta 12510,
Telepon: (021) 7972662, 79192564
Faximile: (021) 79192519
E-mail:
[email protected], [email protected]
Website:
Www.elsam.or.id.
 Perkenalkan saya Erwin S Basrin bekerja di AKAR
Foundation, salah satu NGO yang ada di Bengkulu yang
bergerak pada isu lingkungan, HAM, PSDA dan Masyarakat
Adat. Kami berharap bisa dikirim beberapa bacaan dari
ELSAM (buletin dan beberapa buku publikasi) sebagai
bagian penambahan bacaan dan kapasitas kami dalam
melakukan beberapa pekerjaan di Bengkulu, mohon dikirim
ke:
AKAR Foundation
Jl. Sukajadi No 8 Rt 7 Rw 3 Kelurahan Penurunan
Ratu Samban-Kota Bengkulu 38223 Bengkulu
Terima kasih
Salam
Erwin S Basrin
Direktur Eksekutif
Redaksi:
Bapak Erwin S Basrin yang baik, terima kasih untuk
permohonannya. Kami akan mulai mengirimkan secara rutin
setiap penerbitan Buletin ASASI kepada lembaga bapak.
Semoga bermanfaat bagi teman-teman di AKAR
Foundation.
 Kami mengucapkan terima kasih atas pengiriman Buletin
ASASI-nya. Perlu Kami beritahukan bahwa alamat
BAKUMSU bukan di Jl. Bromo tetapi sekarang beralamat di:
Jalan Air Bersih No. 28, Kelurahan Sudi Rejo I
Kecamatan Medan Kota, KP 20218.
Jika mengirimkan Buletin ASASI edisi berikutnya kepada
kami, mohon dikirimkan ke alamat baru tersebut. Atas
perhatian dan pengiriman buletinnya kami ucapkan terima
kasih.
Mangaliat Simarmata, SH
Sekretaris Eksekutif BAKUMSU Medan
Redaksi senang menerima tulisan, saran,
kritik dan komentar dari pembaca. Buletin
ASASI bisa diperoleh secara rutin.
Kirimkan nama dan alamat lengkap ke
redaksi. Kami juga menerima pengganti
biaya cetak dan distribusi berapapun
nilainya. Transfer ke rekening
Redaksi:
Terima kasih untuk informasi perubahan alamatnya. Buletin
ASASI Edisi selanjutnya akan kami kirimkan ke alamat yang
baru.
ELSAM Bank Mandiri Cabang Pasar
Minggu No. 127.00.0412864-9
Tulisan, saran, kritik, dan komentar dari teman-teman dapat
Dikirimkan via email di bawah ini:
[email protected]
ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
04
EDISI MEI-JUNI TAHUN 2008
laporan utama
Pembebasan dari
Opresi Modal
Oleh Emile A. Laggut
(Kadiv Litbang HAM PBHI Pusat)
A
rus politik ekonomi
global merangsek
masuk ke Indonesia
sejak adanya
kunjungan tahap
pertama tim IMF pada bulan Juli
1966. Selang satu bulan
berikutnya, agen Bank Dunia juga
menyusul. Agenda utama kedua
lembaga keuangan Internasional
ini adalah memusatkan perhatian
pada tugas jangka panjang
khususnya meningkatkan
kapasitas produktif di Indonesia.
Pemerintah menerima
kehadiran kedua lembaga ini
dengan satu impian besar, dapat
menstabiliasasikan kondisi hiperinflasi kurs rupiah yang sedang
anjlok pada waktu itu. Presiden
Soeharto meminta bantuan
ekonom muda kelompok UI dan
SESKOAD yang terdiri dari
Wijoyo Nitisastro, Ali Wardana, M.
Sadli, Subroto dan Emil Salim
untuk merancang program
“Stabilisasi dan Rehabilitasi” guna
menghentikan laju inflansi.
Alhasil, program ini berjalan
efektif karena sokongan program
pinjaman berkala dari kedua
lembaga keuangan internasional
tersebut.
Guna menindaklanjuti
program kerja sama di bidang
ekonomi-politik antara
Pemerintah dengan kedua
lembaga keuangan internasional
ini, maka pada bulan November
1967 diselenggarakan
“Konferensi Investasi Indonesia”
di Jenewa. Delegasi Indonesia
terdiri dari menteri ekonomi dan
menteri luar negeri serta para ahli
ekonomi terkemuka pemerintah
dari kelompok UI dan SESKOAD
(yang kemudian lazim dikenal
sebagai “Mafia Berkley"). Para ahli
ekonomi ini diberi tugas khusus
untuk melakukan pengawasan
dan bertanggung jawab atas
pelaksanaan dan pengembangan
investasi dan perdagangan global.
Pendek kata, sejak 1967-an
pemerintah hendak menciptakan
stabilitas ekonomi-politik dan iklim
usaha yang menjamin keamanan
ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
EDISI MEI-JUNI TAHUN 2008
05
laporan utama
investor asing dan
menguntungkan sekaligus tidak
menimbulkan kebencian dari
kelompok-kelompok ekonom
nasional dan pengusahapengusaha di tanah air. Hal ini
dijelaskan oleh Emil Salim bahwa
kebutuhan akan investasi asing
sangat penting, namun terlalu
besar untuk dipikul sendirian oleh
pemerintah. Pernyataan ini
didukung oleh Sri Sultan HB IX
bahwa orang-orang Indonesia
tidak lagi tercekam oleh
ketakutan yang tak masuk akal
bahwa investasi asing haruslah
berarti dominasi “imperialisme.”
(Winters, 1998: 84). Inilah awal
mula cengkeraman modal dalam
tata politik dan ekonomi
Indonesia, yang mendapatkan
gizi baiknya dalam globalisasi.
Modal itu sendiri (bisnis) tidak
dengan sendirinya jahat,
demikian juga globalisasi itu
sendiri tidak semata-mata
negatif, tetapi kolaborasi
keduanya melahirkan derita dan
kejahatan di mana-mana,
termasuk Indonesia.
Kajian ekonomi mengenai
globalisasi menunjukan bahwa
fenomena globalisasi ekonomi
muncul di saat dibentuknya
Konferensi Bretton Woods yang
kemudian menjadi landasan
institusional terhadap pendirian
tiga organisasi ekonomi
internasional yaitu IMF, World
Bank dan GATT. Globalisasi
sebagai proses ekonomi tidak
terlepas dari proses institusiinstitusi politik, misalnya
globalisasi ekonomi bisa
mendorong menyusutnya kontrol
pemerintah terhadap kebijakan
ekonomi. Kemudian penyusutan
soal prinsip kedaulatan negara
dan kian membesarnya pengaruh
organisasi antar-pemerintah dan
prospek terhadap tatanan
pemerintahan global (global
governance). Globalisasi sebagai
proses kultural tidak terlepas dari
munculnya fenomena kultur
global. Jadi pengamatan
terhadap globalisasi tidak akan
memadai jika tidak melakukan
pengamatan atas dimensi
kulturalnya saja. Sebagaimana
ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
06
EDISI MEI-JUNI TAHUN 2008
dinyatakan oleh sosiolog John
Tomlinson: “Globalisasi berada di
jantung modern, praktik-praktik
kultural berada di jantung
globalisasi.”
Dengan demikian, globalisasi
bukanlah fenomena satu dimensi,
tetapi merupakan proses
multidimensi yang melibatkan
ranah kegiatan dan interaksi yang
berbeda-beda termasuk ranah
kultural. Fenomena globalisasi
ditandai dengan ekspansi modal
dan eskalasi perilaku konsumtif
diberbagai bidang kehidupan.
Globalisasi telah menciptakan
varian penindasan kemanusiaan
dalam bungkusan masyarakat
industrial dan pasar global.
Terpaan arus globalisasi ini
telah memicu meningkatnya
pelanggaran HAM yang bersifat
sistemik dan struktural, dan
pelanggaran-pelanggaran itu sulit
dikenal satu per satu. Ancaman itu
muncul akibat dari kegagalan kita
sebagai bangsa untuk
melindungi, mencegah dan
mempromosikan hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya. Hal
ini bisa dilihat dari tingkat
pengangguran yang tinggi,
kemiskinan, gizi buruk, jumlah
anak jalanan yang dilacurkan, dan
yang terlampar dari sekolah telah
meningkat drastis. Kaum petani
kebanyakan tidak memiliki tanah
lagi akibat dari adanya
pencaplokan tanah milik mereka.
Begitu juga dengan kondisi
kehidupan kaum buruh yang
serba tidak menentu.
Opresi Modal dan Kondisi
buruh
Kelompok sosial pertama yang
langsung terkena dampak
globalisasi dan kapitalisme global
adalah kaum buruh baik yang
bekerja di sektor formal maupun
yang informal. Sistem
internasionalisasi modal telah
mengatur secara detail tentang
keahlian, profesionalitas, potensi
dan sumber daya, upah minimun
yang telah menyebabkan kondisi
buruh di Indonesia terhempas ke
ranah kemelaratan yang tidak
menentu.
Ini erat kaitannya dengan
penciptaan lapangan kerja yang
memadai dan peningkatan kondisi
kehidupan para buruh sesuai
standard ketentuan-ketentuan
konvensi ILO dan UU
Ketenagakerjaan. Akan tetapi,
sampai sejauh ini kondisi buruh
tetap saja diperlakukan seperti
“sapi perah” oleh para pemilik
modal. Hak-hak mereka
dieksploitasi, sementara rasio gaji
atau upah tidak berimbang
dengan standard kelayakan hidup.
Belum lagi, adanya tata cara kerja
paksa dan perlakuan diskriminatif
antara kelompok ekspatriat dan
pribumi, berikut sentimen soal
kesempatan di bidang karier.
Padahal, ada beberapa
ketentuan Konvensi ILO yang
fundamental, dan pemerintah
Indonesia telah meratifikasi
beberapa dari konvensi tersebut di
antaranya Konvensi ILO No. 87
tentang Kebebasan untuk
Bergabung dan Perlindungan Hak
untuk Berorganisasi (1948),
Konvensi No. 98 mengenai
Penerapan Asas Hak untuk
Berorganisasi dan untuk
Berunding Bersama (1949),
Konvensi ILO No. 29 dan 105
tentang Penghapusan Kerja
Paksa atau Wajib Kerja (1930),
Konvensi No. 100 dan 111,
mengenai Kesamaan
Pengupahan antara Buruh Pria
dan Wanita untuk Pekerjaan yang
Sederajat dan mengenai
Diskriminasi dalam Hal Pekerjaan
dan Jabatan, Konvensi N0. 138
mengenai Usia Minimum untuk
Diperbolehkan Masuk Kerja
(1973), Konvensi No. 182 tentang
Pelanggaran dan Tindakan
Segera Penghapusan BentukBentuk Pekerjaan Terburuk untuk
Anak, Konvensi No. 88 tentang
Lembaga Pelayanan Penempatan
Tenaga Kerja (1948), Konvensi
No. 106 tentang Istirahat
Mingguan di Perdagangan dan
Kantor (1957) dan Konvensi ILO
No. 144 tentang Konsultasi
Tr i p a r t i t u n t u k M e m a j u k a n
Pelaksanaan Standar Perburuhan
Internasional (1976).
Selain ketentuan-ketentuan
Konvensi ILO, pengaturan
laporan utama
maupun perlindungan hak-hak
dan status buruh termaktub
dalam UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan yang
secara eksplisit memposisikan
buruh sebagai mitra, sekaligus
jalinan kerja yang bersifat tripartit
antara pemilik modal, buruh dan
pemerintah. Pada bagian IV UU
ini ada klausul tentang
Perencanaan Ketenagakerjaan
oleh Pemerintah, di mana
kewajiban pemerintah adalah
menetapkan kebijakan dan
menyusun perencanaan strategis
bagi tenaga kerja baik itu tenaga
kerja mikro maupun makro.
Namun harus diakui juga bahwa
di satu sisi UU ini jauh dari
harapan karena melegalkan
sistem outsourcing yang
ditentang kaum buruh. Artinya,
perlindungan dan pengaturan
tentang hak-hak buruh yang
termaktub dalam konvensi ILO
dan UU Ketenagakerjaan sama
sekali tidak membuat hidup kaum
buruh tertolong dan bebas dari
belenggu kejahatan modal.
Praktik-praktik penindasan masih
terus berlangsung dalam sistem
kapitalisme global. Kaum buruh
merupakan kelompok sosial yang
tersubordinatif dalam sistem
ekonomi-politik yang dikelola oleh
investor asing dengan konsep
swastanisasi atau privatisasi
aset-aset ekonomi negara.
Bebas dari Opresi Modal
Upaya pembebasan dari operasi
modal dan bentuk-bentuk
kejahatan modal bisa ditempuh
dengan beberapa cara: pertama,
konsep state-led development
(pembangunan yang terpimpin
oleh negara) perlu dibangkitkan
lagi guna menghentikan laju
kapitalisme global di bawah
genggaman TNCs dan lembaga
keuangan internasional. Hal ini
selain selaras dengan prinsipprinsip moral dasar politik, juga
terutama sejalan dengan
paradigma tanggung jawab politik
yang dianut oleh hak asasi
manusia internasional. Secara
lebih khusus, konsep pemenuhan
hak-hak ekonomi, sosial dan
budaya mengandaikan peran
negara secara langsung
(obligation of ressult) dan bersifat
progressive realization; artinya
sistem ekonomi-politik nasional
harus di bawah pengelolan atau
pengawasan langsung negara,
bukannya diserahkan kepada
pihak swasta.
Kedua, perlu diciptakan dan
ditegakkan aturan hukum yang
bersifat ketat dan adil. Pemerintah
perlu membuat kebijakan di
bidang pembangunan ekonomi
yang pada hakikatnya dapat
meningkatkan kesejahteraan
para buruh dan atau menciptakan
sistem ekonomi politik yang
berasaskan pada keadilan sosial
sesuai mandat Konstitusi pasal 33
UUD 1945, demi terwujudnya
kesejahteraan seluruh warga
negara. Selain itu, pemerintah
perlu merevisi kembali seluruh
“kontrak karya” dengan
perusahan-perusahan asing yang
telah lama beroperasi di
Indonesia.
Ketiga adalah nasionalisasi
seluruh modal (perusahaan)
asing, khususnya TNCs dan
MNCs. Negara-negara Amerika
Latin seperti Bolivia, Nikaragua
dan khususnya Venezuela yang
bersatu di bawah lingkaran
revolusi Bolivarian telah berhasil
melakukan nasionalisasi
terhadap perusahaanperusahaan asing dan
multinasional asing. Sasarannya
adalah menasionalisasikan
seluruh korporat di bawah kendali
TNCs dan menolak keterlibatan
lembaga-lembaga keuangan
i n t e r n a s i o n a l . Ve n e z u e l a
merupakan salah satu negara di
Amerika Latin yang berhasil
membebaskan diri dari belenggu
modal dalam bungkusan
kapitalisme global, globalisasi,
dan neoliberalisme.
Ada baiknya pemerintah
Indonesia belajar dari negara
Venezuela, terutama di bidang
pembangunan ekonomi nasional
yang sudah lama di pasung dalam
sistem ekonomi-politiknya IMF,
World Bank dan TNCs/MNCs.
Pembelajaran itu akan
menyingkap fakta-fakta betapa
negara kita ini sudah lama dijajah
oleh agenda imperalisme modal
global.
Sumber Referensi:
Globalisasi Menghempas
Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2007
Manfred B. Steger, Globalisme,
The New Market Ideology, (trj)
Globalisme, Bangkitnya Ideologi
Pasar, Yogyakarta: Lafadl, 2005.
McChesney, Allan, Memajukan dan
Membela Hak-Hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya, Insist:
Yogyakarta, 2003.
Naisbit, John, Global Paradox,
New York: William Marrow and
Company, Inc., 1994.
Petras, James dan Henry
Ve l t m e y e r, G l o b a l i z a t i o n
Unmasked, 2001, (terj) Kedok
Globalisasi, Imperialisme Abad 21,
Jakarta: Caraka Nusa, 2006
Soyomukti, Nurani, Revolusi
Bolivarian, Hugo Chaves dan
Politik Radikal, Yogyakarta: Resist
Book, 2007.
ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
EDISI MEI-JUNI TAHUN 2008
07
laporan utama
Membebaskan Indonesia
dari Jeratan Impunitas*
B
erapa banyak
kekerasan hak asasi
manusia di Indonesia
yang belum dihukum
sejak tahun 1965?
Jawabannya: “Terlalu banyak.”
Tapi jawaban ini tidak membantu
para aktivis hak asasi manusia
dalam memerangi impunitas.
Karya tulis ini menganalisis
mekanisme-mekanisme impunitas
di Indonesia,
mencoba
menemukan pola-pola yang
dipakai dan
memberikan
rekomendasi bagi penentuan
prioritas dalam mengentaskan
impunitas.
Impunitas adalah
“ketidakmungkinan, de jure dan de
facto, untuk membawa para
pelaku kejahatan dan kekerasan
untuk mempertanggungjawabkan
perbuatannya baik dalam proses
persidangan pidana, perdata,
administrasi atau disipliner karena
mereka tidak tunduk pada
penyidikan yang bisa
mengarahkan mereka pada
alasan mengapa mereka dituduh,
ditangkap, diadili dan, jika
ditemukan bersalah, dihukum
dengan hukuman yang tepat, dan
untuk melakukan reparasi bagi
para korban.” (Orentlicher, 2005a:
6).
Analisis telah diatursusun dengan menggunakan
metode Penilaian Dampak Hak
Asasi Manusia (Human Rights
Impact Assessment, HRIA),
dengan langkah-langkah berikut:
(1) Situasi mutakhir
sebuah
deskripsi berdasarkan laporan hak
asasi manusia inernasional dan
Indonesia untuk memberikan
gambaran tentang kekerasan hak
asasi manusia yang terjadi (20042005); (2) Konteks politik
difokuskan pada impunitas yang
diarahkan pada analisis pola-pola
impunitas selama periode 1965ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
08
EDISI MEI-JUNI TAHUN 2008
2005; (3) Sasaran perubahan
difokuskan pada pengentasan
impunitas dengan menggunakan
panduan PBB yang dikembangkan
oleh Orentlicher; (4) Isu-isu yang
akan dimonitor mendaftar isu-isu
di mana pola-pola impunitas
berkonflik dengan sasaran
perubahan yang tampak pada
sejumlah indikator spesifik yang
dimonitor; (5) Kesimpulan dan
rekomendasi termasuk prioritas
untuk perubahan dan advokasi.
Langkah-langkah tersisa
dari Penilaian Dampak Hak Asasi
Manusia yang mencakupi
implementasi, monitoring dan
evaluasi, hanya dapat diwujudkan
setelah rekomendasirekomendasinya bisa
diimplementasikan.
1. Situasi mutakhir
Situasi mutakhir tentang
kekerasan hak asasi manusia
(2004-2005) telah dianalisis
dengan mencocokan komitmen
formal (compliance) dalam
perjanjian-perjanjian internasional
yang telah diratifikasi oleh
Indonesia dengan implementasi
dari hak-hak politik dan sipil yang
utama. Tampak di atas kertas
bahwa kendatipun ada janji untuk
meratifikasi namun komitmen
tersebut tidaklah memadai dan
dalam praktiknya tetap terjadi
sejumlah besar pelanggaran Hak
Asasi Manusia (HAM) dan bahwa
mekanisme-mekanisme yang
mendukung impunitas itu tetap
saja berlaku, walaupun pemegang
tampuk pimpinan Indonesia telah
diganti pada 1998.
2. Konteks politik
Dalam analisis tentang konteks
politik, ada empat pola impunitas
yang harus jelas: (1) aspek yang
berkaitan dengan kekuasaan; (2)
aspek hukum; (3) aspek kultural;
(4) aspek internasional.
2.1. Aspek yang berkaitan
dengan kekuasaan
Aspek-aspek kekuasaan terkait
adalah aspek kekuasaan militer
dan kepolisian yang selama
puluhan tahun telah membentengi
diri mereka sendiri dan yang
masing-masingnya melanjutkan
praktik represi. Salah satu temuan
penting adalah bahwa tentara
Indonesia memiliki dua cara
menerapkan impunitas: pertama
adalah melalui model dwifungsi
yang memberikannya kekuasaan
untuk merepresi para warga
negara di tingkat akar rumput tanpa
kontrol sama sekali dari
pemerintahan dan kekuasaan
kehakiman; kedua adalah
ketertutupan yang sengaja
dikembangkan dalam pelbagai
kegiatan ketentaraan, kapasitas
dan kebijakan.
2.2. Aspek-aspek hukum
Aspek-aspek legal dari impunitas
dibagi atas legislasi dan praktik
pengadilan. Undang-Undang telah
dibuat dengan tujuan untuk
mencegah pandangan-pandangan
terbuka dan kritis tentang
pelanggaran HAM. Para
profesional yudisial dalam
penuntutan dan para hakim
bekerja dalam iklim di mana
penghukuman terhadap kejahatan
hak asasi manusia adalah hal yang
tidak mungkin. Lebih khusus,
korupsi di lembaga kehakiman dan
pelbagai profesi hukum lainnya
akhirnya menghasilkan praktik
pengimbangan kekuatan (tradeoff) dan “penjualan” keputusan
dalam kasus-kasus yang dibawa
laporan utama
ke pengadilan. Akhirnya, sejak
1998, sebuah proses reformasi
hukum telah dimulai. Namun pada
saat itu, tampaklah bahwa begitu
banyak mekanisme untuk
menegakkan kedaulatan hukum
(rule of law), dan bahwa jumlah
yang begitu banyak itu malah
menjadi penghalang bagi
penuntutan dan penghukuman.
2.3. Aspek kultural
Terdapat banyak sinyal dan
pernyataan dari pelbagai
narasumber yang menunjukkan
bahwa kultur feodalisme masih
tetap bercokol kuat dalam
masyarakat. Hal itu membuat
impunitas bukan hanya mungkin,
melainkan merupakan suatu unsur
esensial dalam kultur masyarakat
sekarang ini. Perilaku “asal bapak
senang”, tidak kritis, dan sopan
santun hipokrit merupakan ciri
khas paling jelas dari kultur
feodalisme. Dua jenis perilaku
lainnya juga berkaitan erat dengan
hal itu, yaitu kultur kekerasan
mengatasi konflik bukan dengan
dialog dan debat melainkan
dengan kekerasan dan budaya
kemunafikan (culture of
fabrication)
karena adanya
tuntutan sopan santun dalam
masyarakat maka orang
cenderung untuk tidak menggali
kebenaran dan menyingkapkan
fakta-fakta. Akhirnya, ada juga
kultur korupsi yang menerima
begitu saja praktik-praktik korupsi
dan memaafkan begitu saja ketika
praktik korupsi itu terbukti. Semua
perilaku itu secara bersama-sama
memperkuat tindakan menutupnutupi ketika dihadapkan pada
tuntutan untuk menghukum
kejahatan hak asasi manusia.
2.4. Aspek-aspek internasional
Perjanjian-perjanjian internasional
tidak mengijinkan
terjadinya
impunitas. Kendati Indonesia
belum meratifikasi semua
perjanjian itu, namun sudah
tercakup dalam konsep common
law bahwa impunitas tidak boleh
dibiarkan hidup. Kurangnya
implementasi atas perjanjianperjanjian ini, dan kurangnya
tekanan internasional untuk
membuat perjanjian-perjanjian itu
diimplementasikan dengan lebih
baik, turut menyebabkan
kelanggengan impunitas. Salah
satu masalahnya adalah cara
yang tidak memadai tentang
bagaimana impunitas
dimasukkan ke dalam perjanjianperjanjian itu. Masalah lainnya lagi
adalah kurangnya komitmen
politik (political will) untuk
melakukan tekanan seperti itu.
Contoh-contoh pelanggaran hak
asasi manusia yang berkaitan
dengan kasus 1965 dan kasuskasus di Timor Timur sejak 1975
memperlihatkan bahwa
mekanisme-mekanisme
internasional PBB belum berjalan
efektif sama sekali. Satu-satunya
pengecualian adalah program
pelepasan bagi para tahanan
politik yang didesak oleh
Organisasi Buruh Internasional
(ILO) kepada pemerintah
Indonesia pada tahun 1976-1979.
Jurisdiksi universal
merupakan sistem yang
dengannya penuntutan dan
pengadilan bisa diinisiasi oleh
negara-negara lain dan bukan
sekadar oleh negara di mana
pelanggaran HAM terjadi, dan
lebih mengarah kepada para
pelakunya dalam kapasitas
individual dan bukan mengarah
pada kapasitasnya sebagai warga
bangsa atau negara tertentu.
Namun demikian, jurisdiksi
universal belum pernah
diterapkan dalam kasus
Indonesia, tidak juga dalam kasus
Timor Timur, baik dalam bentuk
sebuah Pengadilan (Tribunal)
Internasional maupun dalam
bentuk penuntutan individual yang
dilakukan di negara-negara lain.
Dalam hubungan
bilateral, impunitas tidak pernah
menjadi isu yang penting. Sejauh
yang kita ketahui, pelanggaran
HAM, hanya dibahas secara
sambil lalu. Intervensi-intervensi
diplomatik pada dasarnya
memang tidak transparan.
Bertahun-tahun sejak 1965,
tampak jelas bahwa tekanan
bilateral asing hanya
mendatangkan sedikit perubahan
dalam situasi represi yang dialami
oleh ratusan dari ribuan orang
yang “terlibat” dalam apa yang
disebut sebagai kudeta gagal itu,
dan bahkan tidak memberi
perhatian apa pun berkaitan
dengan impunitas.
Persyaratan tertentu
(conditionality) dalam hubungan
internasional pada hakikatnya
merupakan alat yang dipakai untuk
menekan perubahan tertentu di
sebuah negara berkembang oleh
negara donor atau sekelompok
negara donor. Persyaratan pada
umumnya berarti menerapkan
kekuasaan negara donor kepada
negara penerima, dan sangat
diragukan apakah persyaratan itu
dapat diterima jika berkaitan
dengan persoalan hak asasi
manusia. Dalam kasus Indonesia,
IGGI (Intergovernmental Group on
Indonesia), yang setelah tahun
1992 berubah menjadi CGI
(Consultative Group on Indonesia),
telah menjadi sangat enggan untuk
mengajukan persyaratan berupa
permintaan sebagai imbalan dari
pemberian bantuan kerja sama,
pinjaman dan hibah. Pada tahun
1992, IGGI telah diganti menjadi
CGI oleh pemerintah Indonesia
setelah retaknya hubungan kerja
sama antara Indonesia dan
Belanda, karena pemerintah
Belanda melakukan kritik terhadap
tragedi pembantaian massal Santa
Cruz, Dili, pada tahun 1991.
Pemerintah Belanda kemudian
kehilangan kursi kepemimpinan
dalam IGGI. CGI kemudian
dikepalai oleh Bank Dunia (World
Bank). Perilaku pemerintah
Indonesia dalam menghadapi
persyaratan dalam kerja sama
bantuan masih tetap demikian
sejak saat itu.
3. Sasaran perubahan
Sasaran perubahan-perubahan
dalam kasus ini berarti sebuah
proses menuju lenyapnya
impunitas telah diturunkan dari
Pedoman PBB yang belum lama
(April 2005) diadopsi, yang drafnya
dipersiapkan oleh Prof. Orentlicher.
Ia membagi sasaran dari suatu
masyarakat tanpa impunitas dalam
terminologi-hak sebagai berikut:
(1) hak untuk mengetahui; (2) hak
atas keadilan; (3) hak atas
reparasi; (4) jaminan
ketakberulangan.
Pada dasarnya, pedoman
tersebut berfokus pada sasaran
perubahan dalam periode transisi
ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
EDISI MEI-JUNI TAHUN 2008
09
laporan utama
dari pemerintahan otoritarian
menuju tatanan demokratis, dan
diarahkan pada kesulitankesulitan menangani sejarah
pelanggaran hak asasi manusia.
Karena itu, dalam pedoman
tersebut, suatu analisis impunitas
menjadi sangat kurang dan
prosedur-prosedur yang diajukan
sangat pragmatis. Ketiga hak yang
disebutkan di atas sangat esensial
untuk menyikapi sejarah
impunitas, sementara yang
t e r a k h i r, “ j a m i n a n
ketakberulangan”, merupakan
poin paling penting untuk
kepentingan masa depan, yaitu
bagaimana mencegah
mekanisme-mekanisme impunitas
tetap melanggeng atau kembali.
4. Rekomendasi
Dipandang dari perspektif
s a s a r a n , j a m i n a n
ketakberulangan mendapatkan
prioritas tertinggi karena ia
berhubungan dengan
pencegahan impunitas di masa
depan. Dalam konteks ini, gugus
prioritas tinggi yang kedua yang
harus diambil di Indonesia untuk
mengentaskan impunitas adalah
soal relasi kekuasaan. Tentara
harus dibuat akuntabel atas
pelanggaran hak asasi manusia di
masa lalu dengan sebuah proses
kebenaran dan keadilan melalui
sebuah pengadilan yang bersih.
Dan di masa depan, tentara harus
ditempatkan di bawah
pengawasan sipil, tanpa pengaruh
politik dan kepentingan ekonomi
apa pun. Tanggung jawab dari
kesatuan tentara harus ditetapkan
secara tegas, kelompok-kelompok
paramiliter harus dibekukan dan
anggota-anggotanya harus
dibawa ke pengadilan untuk
mempertanggungjawabkan
kejahatan mereka. Lagi-lagi,
sebuah pengadilan yang bersih
sangat diperlukan.
Semua itu di satu sisi
merupakan keputusan politik yang
harus diambil oleh pemerintahan
sipil, namun selama waktu itu
Menteri Pertahanan memerlukan
tentara sebagai mitra koalisi untuk
mengamankan kekuasaan. Risiko
sebuah kudeta tetap dapat
dibayangkan. Di sisi lain,
keputusan-keputusan ini juga
ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
10
EDISI MEI-JUNI TAHUN 2008
sangat tergantung pada
kebersihan lembaga kehakiman
dari korupsi. Hal ini berhubungan
erat dengan prioritas penting
ketiga yaitu suatu perlawanan
yang jelas dan transparan
terhadap korupsi. Banyak komisi
dan pengadilan, penuntut khusus
dan legislasi harus dihubungkan
ke dalam satu prosedur yang
bersih yang dikepalai oleh
Kejaksaan Agung.
Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi menjamin suatu
prioritas yang tinggi karena
menyikapi masalah adalah suatu
keharusan. Pelbagai NGO tetap
menginginkan amendemen
terhadap UU KKR (UU No. 27
Tahun 2004) dengan tujuan untuk
memperbaiki sejumlah
kelemahan: (1) Bahwa amnesti
dapat diberikan terhadap
kejahatan yang tidak dapat
d i a m p u n i , s e p e r t i
pertanggungjawaban atas
penghukuman mati di luar atau
tanpa proses pengadilan (extrajudicial execution), penghilangan
yang dipaksakan dan penyiksaan;
(2) Bahwa pelaku seperti itu belum
ditetapkan dan hanya dipandang
dalam kapasitas individual dan
bukan institusional, sementara
kejahatan yang diidentifikasi
seperti kejahatan perang dan
genosida merupakan kejahatan
yang lebih sering terjadi; (3)
Bahwa reparasi atas korban
hanya mungkin setelah amnesti
diberikan kepada para pelaku;
Dan (4) bahwa KKR adalah alat
untuk menggantikan proses
yudisial dan bukan, sebagaimana
disarankan dalam Prinsip-Prinsip
Acuan, sebagai sebuah prosedur
tambahan.
Dalam implementasinya,
banyak NGO sangat tidak puas
dengan seleksi anggota KKR,
yang menurut mereka telah
menghasilkan sejumlah anggota
kandidat tanpa pengetahuan
memadai tentang kejahatan dan
kekerasan hak asasi manusia dan
banyaknya jumlah anggota yang
merupakan mantan militer. Ini
tidak dapat “dipatahkan”. Karena
itu, dibutuhkan monitoring ekstra
tentang apa yang terjadi dalam
KKR itu dan dukungan dari
gerakan hak asasi manusia yang
lebih luas terhadap beberapa
“wakil” mereka yang terpilih dalam
KKR.1
Akhirnya, apa yang
mendesak menurut banyak
narasumber saya adalah sebuah
pusat dokumentasi sejarah dengan
sejumlah gugus tugas seperti
berikut: (1) Untuk mengidentifikasi
isu-isu untuk penelitian kritis
tentang pelanggaran hak asasi
manusia di masa lalu oleh para
sejarawan; (2) Untuk melakukan
r i s e t t e r s e b u t d a n
mempublikasikan hasil-hasilnya
secara luas; (3) Untuk memberikan
nasihat atau masukan kepada
institusi-institusi pendidikan untuk
melakukan perubahan dalam
kurikulum pendidikan sejarah; Dan
(4) untuk menstimulasi debat publik
tentang pelanggaran hak asasi
manusia dan pelbagai praktik
ketidakadilan di masa lalu.
Pusat dokumentasi yang
benar-benar independen ini harus
memiliki beberapa kompetensi
minimal sebagai berikut: (1) Akses
terhadap data pemerintahan dan
yudisial (lembaga-lembaga
hukum); (2) Sumber daya yang
cukup untuk menjalankan
prioritasnya sendiri; (3)
Memberikan masukan tentang
prosedur melawan pelaku oleh
Kejaksaan Agung: (4) Dan
memberikan masukan tentang
pemberian ganti rugi dan reparasi
bagi para korban oleh pemerintah.
Sebuah riset yang aktif ke dalam,
dan sebuah tinjauan tentang,
pelanggaran hak asasi manusia
harus mendukung perbaikan atas
ketidakadilan di masa lalu.
Penderitaan individual yang
berkaitan dengan kebenaran dari
pelanggaran hak asasi manusia di
masa lalu harus diakui dalam
konteks tinjauan itu, sebelum
keputusan-keputusan diambil
dalam kaitan dengan pengadilan,
reparasi, dan amnesti.
Catatan:
* Tulisan ini merupakan petikan dari
executive summary hasil penelitian Martha
Meijer, The Scope of Impunity in Indonesia,
Utrecht: HOM, 2006 (terj. Indonesia oleh
Eddie Sius Riyadi, Jangkauan Impunitas di
Indonesia, Jaringan Impunitas dan PBHI,
2007).
1 UU KKR dibatalkan atas dasar putusan
Mahkamah Konstitusi, Desember 2006
(pnrj).
laporan utama
Guru ”Kritis” di Bawah Rejim Ujian
Oleh T.R. Arif Faisal
(Kordinator Eksekutif SAHdaR)
H
ari Rabu tanggal 23
April 2008, sekitar
pukul 13.30 WIB,
beberapa orang polisi
berpakaian preman
diikuti satu regu pasukan DENSUS
88, melompati pagar sekolah
kemudian merangsek masuk ke
sekolah SMA Negeri 2 Lubuk
Pakam, Deli Serdang. Mereka
langsung menuju sebuah ruangan
(yang kemudian diketahui sebagai
ruangan penyimpanan berkas
U N ) . Ta k l a m a b e r s e l a n g
terdengar satu letusan senjata dan
satu orang anggota DENSUS 88
menendang pintu diikuti yang
lainnya menyerbu masuk
langsung menodongkan senjata
otomatis kepada guru yang tidak
bersenjata sedang duduk-duduk di
dalam ruangan, sementara
kegiatan memperbaiki lembar
jawaban UN siswa telah selesai
dilaksanakan. Enam belas orang
Guru yang berada di dalam ruang
terkejut namun belum sempat
hilang rasa terkejut, mereka
dipaksa mengakui bahwa mereka
sedang memperbaiki lembar
jawaban dan mereka langsung di
giring ke Mapolres Deli Serdang
untuk dimintai keterangan sebagai
tersangka dengan tuduhan telah
memalsukan dokumen.
Hari-hari berikutnya, di
media massa baik lokal maupun
nasional ramai memberitakannya,
muncul perdebatan apakah guru
sebagai pelaku sebenarnya atau
korban dari kebijakan. Tentu saja
kalau memakai pendekatan
hukum pidana, dilihat sepintas,
guru merupakan pelaku yang
berhak dihukum karena telah
berlaku curang melakukan
perbaikan lembar ujian siswa,
tetapi kalau mendalami dan
menghayati latar belakang
diselenggarakannya UN, terutama
mempergunakan prinsip dan
pendekatan pendidikan kritis, guru
justru telah menjadi korban tanpa
mereka sadari. Lebih jauh, kalau
dicermati penulis berani
mengatakan ada ideologi
tersembunyi yang menyelubungi
rezim Ujian ini.
Ujian Nasional atau sering
disingkat UN mulai diterapkan
pada tahun ajaran 2002/2003.
Malik Fadjar yang ketika itu
Mendiknas mencetuskan
pelaksanaan UN untuk mengganti
Ebtanas yang dihapus oleh
Mendiknas yang bijaksana Yahya
Muhaimin. Bukan mengikuti
pendahulunya atau belajar dari
masa lalu, Malik Fadjar justru
memperkuat cara-cara yang gagal
dialami oleh rezim sebelumnya
dan kebijakan ini kemudian
diteruskan oleh Bambang
Sudibyo yang lebih kencang lagi
menekankan evaluasi belajar
harus dilaksanakan secara
nasional, daerah dan sekolah
harus ikut.
Kekuasaan pemerintah
menjadi sangat dominan
sedangkan paradigma pendidikan
yang mencerahkan dan
membebaskan menjadi kalah.
H.A.R. Tilaar sampai pernah
mengemukakan bahwa memang
benar kekuasaan sangat
diperlukan agar pendidikan dapat
diselenggarakan, namun
masalahnya kemudian apabila
kekuasaan itu justru tidak sesuai
dengan arah dari proses
pendidikan yang sebenarnya.
Menurutnya, proses pendidikan
yang sebenarnya adalah proses
pembebasan dengan jalan
memberikan kepada peserta didik
suatu kesadaran akan
kemampuan kemandirian atau
memberikan kekuasaan
kepadanya untuk menjadi individu.
Kekuasaan dalam pendidikan
berbeda dengan kekuasaan yang
dipahami sebagaimana kehidupan
sehari-hari. Kekuasaan dalam
pendidikan adalah bersifat
kekuasaan yang transformatif.
Tujuannya ialah dalam proses
terjadinya hubungan kekuasaan
tidak ada bentuk subordinasi
antara subjek dengan subjek yang
lain. Kekuasaan yang transformatif
bahkan membangkitkan refleksi
dan refleksi tersebut menimbulkan
aksi yang berorientasi advokatif.
Di dalam proses kekuasaan
sebagai transmitif terjadi
sebaliknya, proses transmisi yang
diinginkan oleh subjek yang
memegang kekuasaan terhadap
subjek yang terkena kekuasaan itu
sendiri yang berorientasi
legitimatif, dengan model ini,
menurut Freire sebagai proses
pelaksanaan kekuasaan untuk
suatu aksi dari subjek yang bersifat
robotik karena sekedar menerima
atau dituangkan sesuatu ke dalam
bejana subjek yang bersangkutan.
Dalam UN, sangat
kelihatan pendidikan dipakai
sebagai transmisi untuk
memaksakan sesuatu ide.
Kekuatan ini bermain dengan
paradigma, pertama, paksaan
untuk menasionalkan evaluasi
yang terkontrol yakni standar
nasional pendidikan, kedua,
menyamaratakan standar
penilaian, tidak ada penilaian
berbasis kelas serta
menghilangkan penilaian guru
yang berinteraksi dengan siswa,
ketiga,
soal dibuat oleh
Pemerintah Pusat bukan hasil dari
proses belajar, keempat, daerah
dipaksa harus tunduk dan ikut, dan
kelima, menghidupkan industri
percetakan.
Dengan model ini, Tilaar
menyebut sebagai adanya
imprealisme pendidikan dan
kekuasaan yang merasuk dalam
pendidikan, hal ini dapat dilihat
ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
EDISI MEI-JUNI TAHUN 2008
11
laporan utama
dengan indikator seperti peserta
didik menjadi subjek eksploitasi
oleh suatu kekuasaaan di luar
pendidikan dan menjadikan
peserta didik sebagai budak dan
alat dari penjajahan mental dari
yang mempunyai kekuasaan.
Menekankan pada standar dan
seolah standar telah menjadi milik
atau monopoli dari birokrasi
pendidikan sehingga peserta didik
semata-mata menjadi objek dari
kekuasaan birokrasi.
Kondisi ini mirip dengan
pendidikan pada masa Kolonial
Belanda, pernah diungkapkan
oleh S. Nasution bahwa
pendidikan kolonial Belanda yang
bertujuan untuk mencapai
keuntungan dari negeri jajahan
dengan memperalat anak negeri
jajahan, pendidikan dijadikan alat
untuk membuat patuh dan tunduk
pada keinginan kolonialisme.
Seperti, pertama, penerapan
prinsip konkordansi yang
memaksa semua sekolah
berorientasi mengikuti model
sekolah di Nederland dan
menghalangi penyesuaiannya
dengan keadaan di Indonesia,
kedua, kontrol sentral yang ketat
yang menciptakan birokrasi yang
ketat yang hanya memungkinkan
perubahan kurikulum dengan
persetujuan para pembesar di
Indonesia maupun di Negeri
Belanda.
Terlepas dari itu, ada
yang mengatakan bahwa UN
memang harus ada tetapi
diterapkan pada waktu dan tempat
yang salah, pada saat wajah
pendidikan kita masih
memperlihatkan wajah yang buruk
karena belum dipenuhinya
availability dan accessibility, saat
itu pula dilakukan standarisasi
dengan UN, ada lagi yang
mengatakan masih terjadi
kesenjangan antara kaya dan
miskin, antara daerah kaya dan
miskin, serta antara kota dan
desa, demikian pula kebutuhan
kita masih berkutat dengan angka
buta huruf yang tinggi dan
penyediaan fasilitas penunjang
pendidikan yang memadai, Tetapi
kenapa UN justru dipaksa harus
dilaksanakan.
Hampir seluruh prinsipprinsip yang dianut dalam
ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
12
EDISI MEI-JUNI TAHUN 2008
pendidikan baik metode maupun
filosofinya dijungkir balikkan,
bahkan ada yang mengatakan
dengan istilah bahwa UN adalah
bentuk 'pembusukan pendidikan'
(education decay). Tilaar
menyebutnya sebagai proses
pembodohan, untuk menunjukkan
inkonsistensi kebijakan
pendidikan, yang membingungkan
pelaku pendidikan dan
menyesatkan pengguna
pendidikan dalam hal ini anakanak, karena pendidikan
diselenggarakan bukan untuk
mengajak manusia berpikir tetapi
menjadi manusia yang
menghadapi kehidupan sebagai
menghadapi teka-teki silang saja,
tidak memberikan ruang analitis
dan mencari alternatif yang terbaik
dalam situasi yang dihadapi,
sehingga tidak mengembangkan
kemampuan rasio manusia dan
bahkan melumpuhkan
kemampuan berpikir manusia.
Problem kemudian bukan
guru yang salah atau murid yang
tidak mampu mengikuti, tapi
memang UN tidak sesuai dengan
kondisi pendidikan yang ada,
menyamaratakan kemajemukan
anak dari berbagai daerah dan
sekolah seperti memaksakan
pikiran pembuat soal agar ikut
kemauannya, mereka dipaksa
harus bisa sama dengan pembuat
kebijakan, di sisi lain, kemampuan
guru yang beragam bahkan
banyak guru justru tidak
menguasai apa yang di ujikan di
UN. Lantas cara lain pun
ditempuh, bahkan sangat ekstrim
membentuk tim sukses (yang
memperbaiki lembar jawaban atau
membocorkan soal) agar anakanak sukses dengan predikat
lulus. Jalan ini ditempuh
sebahagian besar guru, karena
mau tidak mau, suka tidak suka
kebijakan UN harus dijalankan,
upaya-upaya “menyukseskan”
pelaksanaan UN menjadi pilihan
utama, memilih jalan menentang
dianggap beresiko karena
berhadapan dengan kekuasaan
absolut.
Anak-anak tidak bisa
memilih yang terbaik bagi dirinya,
mereka harus hidup sesuai apa
yang telah digariskan kepada
mereka, seolah-olah hidup telah
ditentukan dan tidak boleh memilih.
G e r a r d u s W e r u i n
menggambarkan pembelajaran di
sekolah bukan dalam suasana
yang menyenangkan dan
merdeka, tetapi menjadi beban dan
suatu paksaan terhadap anakanak. UN menjadi hal yang lebih
memberatkan, mencemaskan, dan
menakutkan anak karena
menentukan kelulusan dan tamat
belajar. Hari-hari belajarnya
diwarnai dengan latihan soal dan
menghafal untuk menghadapi UN
yang telah ditentukan oleh birokrasi
pendidikan, tahap mengenal
(know), tahap memahami
(understand), dan tahap
menguasai (mastering)
ditinggalkan, prosesnya langsung
lompat siswa harus menguasai.
Mereka akan sulit untuk dapat
keluar dari permasalahanpermasalahan yang menghalangi
perkembangan mereka.
Kalau kita belajar dari
Jhon Dewey, seorang filosof
pendidikan yang karyanya
kemudian banyak dikutip dan
dianut oleh para pakar pendidikan
di seluruh dunia, pernah
mengemukakan di dalam karyanya
Experience and Education, bahwa
penekanan pengalaman dalam
proses belajar memiliki peranan
yang sangat penting, pengalaman
sebagai proses belajar merupakan
suatu proses berkesinambungan
dari masa lalu, sekarang dan masa
depan. Pandangan Jhon Dewey
ini kemudian dianut oleh aliran
pragmatisme yang kemudian
mengajukan prinsip-prinsip yang
sangat dikenal sebagai bentuk
penolakan kepada sistem
pendidikan klasik yang
berkembang di Amerika pada saat
itu, penolakan pertama, mengajar
secara formal dan berjalan rutin,
kedua, melaksanakan kurikulum
yang telah ditentukan terlebih
dahulu yang menekankan kepada
mata pelajaran dibandingkan
kebutuhan dan minat peserta didik
yang spontan, ketiga, Menolak
situasi-situasi kompetitif yang
melahirkan suasana permusuhan
di antara peserta didik, keempat,
proses belajar yang diarahkan
kepada ujian, kelima, Insentif
eksternal dalam proses belajar
seperti hadiah dan hukuman, serta
laporan utama
praktik-praktiik pendidikan yang
sifatnya eksplisit sehingga tidak
memacu proses belajar yang
sebenarnya.
Kembali ke pembahasan
awal, walau pun begitu tidak
relevannya sistem ujian masih
diterapkan, tak habis pikir
Mendiknas Bambang Sudibyo
mempertahankan mati-matian UN
harus tetap dilaksanakan, seolah
kritik dan penolak hanya
merupakan suara-suara yang
berseliweran di sekeliling gedung
Depdiknas. Sampai sekarang
bahkan mungkin tahun depan tidak
ada tanda-tanda bahwa UN bakal
dihentikan atau diganti ke bentuk
lain yang lebih sesuai dengan
perkembangan filosofi pendidikan,
walaupun berbagai bentuk
penolakan dilakukan, bahkan
Wapres Jusuf Kalla pernah
mengatakan, silahkan
demonstrasi, tahun depan UN
tetap dilaksanakan. Dan lebih
kontras manakala menyukseskan
pelaksanaan UN, harus dipaksa
dibawah todongan senjata, di
negara manapun di dunia ini baru
Indonesia yang melakukan praktek
ini.
Di balik kukuhnya sikap
Menteri Pendidikan Nasional yang
mendapat dukungan dari Wakil
Presiden R.I, ternyata ada
sejumlah besar dana yang
dikucurkan untuk pelaksanaan
UN, pada tahun 2004 sebagai
contoh, dana yang disediakan
dalam APBN sebesar Rp
259.722.500.000. Jumlah tersebut
akan semakin membengkak
karena Pemerintah Daerah,
Provinsi dan Kabupaten/Kota juga
diwajibkan ikut menyediakan dana
pendamping dalam APBD. Pada
pelaksanaan UN April 2008, dana
yang dihabiskan dari APBN
mencapai Rp 572.9 milyar, itu
belum termasuk dana pendamping
baik yang dialokasikan pemerintah
Provinsi, Kabupaten/Kota dan
sekolah. Sebagai contoh misalnya
Jawa Timur, untuk pelaksanaan
UN pemerintah provinsi
menganggarkan hampir Rp 47,89
miliar yang diambil dari APBN dan
APBD, itu belum termasuk dana
yang disubsidi untuk SMK sebesar
Rp. 50 ribu per siswa. Sedangkan
Kabupaten/Kota menganggarkan
dalam APBD bervariasi tetapi
jumlahnya antara Rp. 2 hingga 10
miliar, untuk dana pendamping
yang bersumber dari APBS seperti
misalnya di kota Bandung
mencapai Rp. 50 juta yang diambil
dari uang sumbangan pendidikan
yang kemudian dana-dana itu
hanya dihabiskan dalam waktu
satu minggu. 1
Lantas kemana danadana itu mengalir, yang sangat
jelas perusahaan rekanan
pencetak soal akan sangat
diuntungkan, birokrasi yang
menjadi panitia pelaksana juga
akan sangat diuntungkan seperti
Kadis Pendidikan Sumut, yang
ketangkap menilep dana Rp. 1,5
miliar untuk pelaksanaan UN
tahun 2006/2007.2
Kembali kepada peristiwa
yang dialami guru Lubuk Pakam,
tentu saja tidak dapat dibenarkan
upaya memperbaiki lembar
jawaban, tindakan ini merupakan
sesuatu yang salah, tetapi perlu
diingat, bahwa guru terpaksa
melakukan itu sebab berada
dalam tekanan rejim ujian yang
tidak memberikan pilihan. Disadari
oleh guru, rejim ini telah
menggiring guru ke posisi yang
justru menghancurkan siswa,
setiap hari kondisi tambah buruk
dan semakin memperburuk pula
wajah pendidikan kita.
Rezim ini telah
menggantikan peran guru dengan
bimbingan test bahkan digantikan
tim sukses. Guru tidak menjadi
transformator lagi, tetapi hanya
sebagai penyukses dan
panjangan hari-hari yang dilalui
oleh siswa di ruang kelas, siswa
telah menyerahkan nasibnya
kepada kelulusan yang pasti
diraih. Jelas saja menuruti rezim ini
akan menyulitkan peran guru
bahkan nantinya menghapus
profesi ini, karena sudah tidak
dibutuhkan lagi.
Bahaya ini sudah terlihat
dari survey yang dilakukan
SAHdaR di beberapa sekolah di
Medan, Deli Serdang, Tebing
Tinggi, Langkat dan Serdang
Bedagai, disimpulkan hampir
sebahagian murid yakin bakal
lulus, kalau pun tidak lulus ada
cara lain yang dapat ditempuh,
sedangkan dalam proses belajar
mengajar, para murid sudah mulai
meremehkan peran guru sebab
mereka tetap lulus atau paling tidak
akan dibantu tim sukses.
Sikap yang harus diambil,
sekolah-sekolah harus berani
menolak untuk melaksanakan
kemauan rejim UN dan kenapa
tidak guru juga ikut serta sekalian
bahkan berada di depan
menentang rejim ujian ini. Sikap
diam dan mencari jalan pintas
sudah pasti harus disadari adalah
tindakan yang salah dan telah
melanggar sumpah seorang guru
ketika berani memilih profesi ini,
tapi kenapa justru tidak berani
melawan malah hanya tunduk
untuk ditindas.
Melindungi dan
membiarkan kemauan rejim UN
tidak akan menyelamatkan guru
tetapi justru akan menempatkan
guru sebagai pelaku kriminal
walaupun bukan pelaku
sebenarnya, posisi ini akan tetap
disandang guru sampai kapan pun
walaupun dengan berbagai cara
dapat lolos dari jerat hukum.
Rejim ujian telah
menempatkan guru selamanya
berada dalam bayang-bayangnya
sambil menikmati penghasilan
yang melimpah sebagai pelaku
yang sebenarnya dari kejahatan
ini, penilaian buruk akan tetap
dibebankan kepada guru.
Kekritisan guru yang pernah ada,
kini hanya tinggal menjadi guru
yang sedang kritis di bawah
tekanan rejim ujian.
Lantas melihat situasi
begitu kukuhnya kekuatan yang
menguasai pendidikan, banyak
aktivis Gerakan Pendidikan Rakyat
mengkampanyekan pendidikan
alternatif dengan metode dan
filosofi pendidikan kritis yang
memerdekakan, tetapi menurut
penulis yang kita butuhkan dan
yang harus kita lakukan saat ini
bukan hanya sekedar pendidikan
yang memerdekakan tapi
memerdekakan pendidikan harus
menjadi prioritas utama.
1.Diolah dari berbagai sumber
2.ibid
ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
EDISI MEI-JUNI TAHUN 2008
13
nasional
Kenaikan Harga BBM, Anggaran,
dan Tanggung Jawab Negara
Oleh Triana Dyah & Otto Adi Yulianto
(Pustakawati di ELSAM & Deputi Direktur Bidang Urusan Internal)
K
eputusan pemerintah
untuk menaikkan
harga bahan bakar
minyak (BBM) di
dalam negeri per 24
Mei 2008 diambil sebagai akibat
pemerintah kewalahan dengan
meningkatnya subsidi untuk
BBM, yang menekan sisi
pengeluaran dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) tahun 2008. Kenaikan
alokasi subsidi BBM
sehingga jauh melampaui
jumlah yang dianggarkan
tersebut dikarenakan oleh
kenaikan harga minyak
d u n i a d i p a s a r
internasional, yang makin
jauh melampaui asumsi
harga minyak dalam APBN.
Keputusan ini bisa jadi akan
menyelamatkan APBN,
instrumen yang konon
untuk menciptakan
kesejahteraan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Dikatakan “konon” karena
hal ini lebih sebagai
normativitas yang masih
perlu diuji secara empirik.
Dalam perkara APBN ini,
tentunya aspek tujuan lebih
utama dari aspek instrumennya,
apalagi bila masih “konon”.
Kenaikan harga BBM bisa jadi
akan menyelamatkan aspek
instrumen (APBN), namun
bagaimanakah dengan aspek
tujuannya?
Dengan memper
timbangkan aspek tujuannya
tersebut, kebijakan pemerintah
yang menaikkan harga BBM di
dalam negeri ini perlu ditinjau:
apa implikasinya kenaikan harga
ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
14
EDISI MEI-JUNI TAHUN 2008
BBM ini terhadap kesejahteraan
sosial bagi warga negara
Indonesia, terutama mereka yang
saat ini dikategorikan sebagai
kelompok miskin dan nyaris
miskin? Apa implikasi dari
kebijakan menaikkan harga BBM
ini terhadap kesejahteraan sosial
bagi warga negara di saat krisis
pangan dunia sedang
berlangsung? Apa kaitannya
kebijakan dan peristiwa ini
dengan persoalan tanggung
jawab negara akan kesejahteraan
sosial bagi warga negaranya,
khususnya berkenaan dengan
aspek pemenuhan hak ekonomi,
sosial, dan budaya?
Mengapa Harga BBM Naik?
Mengapa harga minyak dunia
naik? Penyebab yang
fundamental, terjadi penurunan
pasokan minyak dunia saat ini
karena adanya sejumlah kejadian
yang menghambat produksi dan
distribusi minyak di beberapa
negara penghasil minyak.
Misalnya di Negara Sudan akibat
adanya peristiwa bentrokan
bersenjata yang menyebabkan
proses produksi dan distribusi
minyak di sana terganggu.
Penyebab lainnya adalah faktor
spekulasi. Makin berkurangnya
ketersediaan dan proyeksi
produksi minyak bumi ke depan
dibanding dengan proyeksi
kebutuhannya yang makin
meningkat telah menjadikan
minyak menjadi salah satu
komoditi untuk kepentingan
spekulasi. Minyak
merupakan sumber daya
alam yang tidak dapat
diperbaharui, sementara
dari sisi permintaan terus
meningkat seiring dengan
m a k i n p e s a t n y a
pertumbuhan industri dunia,
seperti yang terlihat
misalnya di Cina dalam
kurun 10 tahun terakhir ini.
Aksi para spekulan minyak
tersebut amat menentukan
dan berdampak pada naik
turunnya harga minyak
dunia. Kenaikan harga minyak
dunia yang terjadi saat ini juga
tidak bisa dilepaskan dari ulah
para spekulan tersebut.
Mengapa pemerintah
kewalahan? Harga minyak dunia
yang terus meningkat hingga
melampaui dan makin menjauh
dari harga US$ 95 per barel
(patokan APBN 2008),
mengakibatkan peningkatan yang
signifikan bagi pos pengeluaran
APBN, khususnya pos subsidi
BBM. Peningkatan pengeluaran
nasional
kenaikan alokasi dana bagi
subsidi BBM dalam APBN dengan
menaikkan harga BBM di dalam
negeri.
Dampak Kenaikan Harga BBM
untuk subsidi BBM yang jauh
melampaui anggarannya ini
berakibat akan mengganggu
desain sisi pengeluaran APBN
saat ini. Sementara dari sisi
pendapatan, kenaikan
pendapatan pajak akibat dari
kenaikan harga minyak tersebut
tidak signifikan bila dibanding
dengan sisi pengeluaran untuk
subsidi BBM. Alokasi dana
subsidi BBM tahun 2008 adalah
sebesar Rp 75,6 trilyun, dengan
asumsi harga minyak per barel
sebesar US$ 95 dan konsumsi
sebanyak 35,4 juta kiloliter
dengan konversi 1 kiloliter sama
dengan 6,29 barel . Sementara
saat ini (26 Mei 2008) harga
minyak per barel sudah mencapai
sebesar US$ 124, 95 Dengan
jumlah konsumsi yang sama,
diperkirakan subsidi BBM akan
menjadi sebesar Rp 141 trilyun.
Sementara sekadar
perbandingan saja, pendapatan
minyak bumi pada 2007 hanya Rp
55,53 trilyun. Dengan
mempertimbangkan adanya
tekanan yang besar terhadap
APBN ini maka pemerintah
kemudian berusaha menekan
dan mengurangi potensi
Kenaikan harga BBM di dalam
negeri akan menyelamatkan
APBN dari tekanan. Dari APBN
yang selamat ini pemerintah
kemudian memberikan
kompensasi sebagai pengganti.
Bentuknya berupa dana bantuan
langsung tunai (BLT) sebesar Rp
100.000 per bulan/keluarga
miskin yang diberikan sekaligus
untuk tiga bulan. Keefektifannya
dalam meredam dampak buruk
yang dialami warga negara akibat
kenaikan harga BBM ini belum
terlihat. Di tahun-tahun
sebelumnya, juga pernah
dilakukan sejumlah program
kompensasi (misalnya jaring
pengaman sosial, beras untuk
rakyat miskin (raskin), juga BLT),
namun ternyata tetap saja angka
kemiskinan bertambah. Menurut
data Badan Pusat Statistik (BPS),
angka kemiskinan seluruh
Indonesia pada tahun 2004
sebesar 36,1 juta jiwa dan tahun
2008 justru meningkat menjadi 38
juta jiwa. Dari APBN yang
tergerus, hal apakah yang mampu
dilakukan oleh pemerintah saat ini
yang dapat melampaui apa yang
pernah dilakukan sebelumnya?
Kompensasi tidak
signifikan, namun implikasi
langsung kenaikan harga BBM
tersebut bagi warga negara
kebanyakan langsung terasa.
Kenaikan harga minyak akan
berdampak meningkatkan jumlah
orang yang kehilangan mata
pencaharian dan pekerjaan.
Nelayan akan makin berat dan
jarang melaut. Pabrik akan
melakukan efisiensi dan
pengurangan produksi yang
berdampak pada meningkatnya
pengangguran. Pekerjaan di
sektor domestik juga terimbas,
pekerja rumah tangga dan baby
sitter di-PHK demi pengetatan
anggaran.
Kenaikan harga minyak
akan menghasilkan multiflier
effect. Inflasi, efek domino
kenaikan harga, termasuk juga
kebutuhan pokok. Kenaikan
harga-harga juga akan
mengurangi kemampuan
kalangan miskin dalam
mengakses pendidikan dan
kesehatan. Terlebih di saat
persoalan kesehatan dan
pendidikan, yang seharusnya
menjadi tanggung jawab negara,
kini diserahkan kepada
mekanisme pasar. Inflasi ini amat
memberatkan bagi kehidupan
banyak warga, terutama dari
kalangan miskin dan nyaris
miskin, terlebih bila mereka
berpendapatan sangat minim dan
tetap. Apalagi bagi mereka yang
menganggur atau kemudian
menjadi penganggur akibat
tempatnya bekerja tutup atau
mengurangi produksi akibat krisis
ini.
Kemampuan dan Kemauan
Pemerintah
Dalam kasus kenaikan harga BBM
dan krisis pangan ini, tampak
bahwa keterbatasan pendapatan
negara telah menjadikan
pemerintah juga terbatas dalam
bertindak. Dengan wilayah negara
yang luas dan kaya akan sumber
daya alam, mengapa pendapatan
negara masih relatif kecil bila
dibandingkan dengan
potensinya? Salah satu yang
utama, yang mengelola dan
menikmati untung banyak dari
sumber daya alam yang berlimpah
tersebut, termasuk minyak bumi,
adalah multi national corporation
(MNC), bukan negara cq
pemerintah Indonesia. MNC, juga
perusahaan minyak domestik,
sebagai kontraktor sangat
dimanjakan oleh pemerintah
dengan pemberian berbagai
macam insentif (Pri Agung
Rakhmanto, 2007). Mulai dari
peniadaan kewajiban
menyediakan/menjual minyak
untuk keperluan dalam negeri
(DMO (Domestic Market
Obligations) holiday), batasan
cost recovery hingga 120%,
ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
EDISI MEI-JUNI TAHUN 2008
15
nasional
dberikannya investment credit
bagi barang capital, hingga pola
bagi hasil hingga 0:100, di mana 0
untuk pemerintah 100 untuk
kontraktor, misalnya dalam
kontrak Blok Natuna D-Alpha, di
mana 0% untuk pemerintah dan
100% untuk ExxonMobil. Dalam
hal minyak, pemerintah hanya
dapat pajak dan persenan bagi
hasil saja sehingga perolehannya
juga relatif kecil. Sementara
pendapatan pajak, tidak hanya
dari perusahaan yang berkaitan
dengan sumber daya alam, masih
belum optimal. Selain karena
sistem perpajakannya, juga
masih besarnya kebocoran
dalam pendapatan pajak ini.
Te r m a s u k d a r i a d a n y a
penyelundupan minyak.
Sementara dari sisi
pengeluaran, digerus oleh alokasi
untuk membayar bunga dan
cicilan utang, baik utang dalam
negeri maupun luar negeri. Juga
oleh kebocoran dan pemborosan
anggaran. Subsidi makin
berkurang dan menjadi prioritas
kesekian bila dibandingkan
dengan pengeluaran untuk
membayar hutang maupun pospos pengeluaran departemen
yang sebenarnya dapat dihemat.
Ada problem dengan
kemampuan dan kemauan politik
dari pemerintah dan rezim. Di
mana tanggung jawab negara?
Tanggung Jawab Negara
Kenaikan harga BBM dan krisis
pangan telah mengancam hak
Ekosob warga negara, yang
ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
16
EDISI MEI-JUNI TAHUN 2008
sejatinya menjadi tanggung jawab
negara dalam pemenuhannya.
Keterbatasan APBN, baik dari
segi pendapatan maupun sisi
alokasi pengeluarannya, tidak
dapat menjadi dalih/alasan
karena tanggung jawab tersebut
dapat dilakukan secara progresif.
Meningkatkan pendapatan bagi
APBN dengan berperspektif
kerakyatan dan keadilan
merupakan tanggung jawab
pemerintah, bukan dalih untuk
menutupi ketidakmampuan
dalam memenuhi tanggung jawab
lainnya. Pemerintah perlu
memikirkan strateginya secara
transparan dan bijak.
Demikian juga alokasi
bagi sisi pengeluarannya.
Kesejahteraan sosial, khususnya
bagi mereka yang miskin dan
nyaris miskin, merupakan
perspektifnya. Review atas pos
pengeluaran APBN, khususnya
menyangkut pembayaran utang
dan pemborosan pengeluaran,
perlu dilakukan. Alokasi bagi
usaha pemenuhan hak ekonomi,
sosial, dan budaya wajib menjadi
prioritas. Ini bukan sekadar soal
kemampuan, namun juga soal
kemauan rejim yang memerintah.
APBN perlu kuat, sustainable dari
sisi pendapatan dan bijak dari sisi
pengeluaran. APBN yang kuat,
tahan dari goncangan yang
berasal dari faktor eksternal,
termasuk harga minyak dunia.
APBN yang bijak, berperspektif
kesejahteraan sosial serta
memprioritaskan usaha
pemenuhan hak ekonomi, sosial,
dan budaya dari warga
negaranya.
Catatan Penutup
Berkenaan dengan problem saat
ini, yakni keputusan pemerintah
menaikkan harga BBM di dalam
negeri, terlebih di saat krisis
pangan dunia, merupakan
kebijakan yang tidak hanya tidak
populer namun memang benarbenar tidak bijak karena secara
faktual memberikan implikasi
buruk terhadap kondisi hak
Ekosob kebanyakan warga
negara, di mana seharusnya untuk
pemenuhannya justru menjadi
tanggung jawab negara. Proyek
penyelamatan APBN saat ini tidak
seharusnyalah dengan menekan
pos subsidi BBM yang memang
masih dibutuhkan oleh
kebanyakan warga negara untuk
survival, namun dengan mengkaji
ulang pos pengeluaran untuk
pembayaran utang (yang dapat
dijadwal ulang maupun
dihapuskan) dan pengeluaran
yang bukan prioritas dan lebih
merupakan pemborosan,
misalnya yang ada dalam
anggaran-anggaran di sejumlah
departemen.
Untuk jangka menengah
dan panjang, selain berusaha
menyusun alokasi anggaran demi
kesejahteraan sosial, mengkaji
ulang persoalan pembayaran
utang, serta mengurangi
/menghapuskan pemborosan dan
kebocoran anggaran, pemerintah
perlu meningkatkan sisi
pendapatan negara melalui
berbagai kebijakan dan strategi
yang demokratis dan memenuhi
aspek keadilan, misalnya,
penguatan Pertamina yang
menguasai hajat hidup orang
banyak sehingga selain berfungsi
sebagaimana seharusnya juga
tidak merugi namun justru
memberikan pendapatan bagi
negara, mengkaji pajak progresif.
Akuntabilitas sisi pendapatan dan
pengeluaran dari APBN tersebut
merupakan tanggung jawab
negara, cq pemerintah (dan DPR).
APBN yang kuat dan bijak
merupakan instrumen penting
bagi negara cq pemerintah yang
bermartabat dalam memenuhi
tanggung jawabnya akan
pemenuhan hak Ekosob
warganya. *****
internasional
Penyiksaan:
Bagaimana Mungkin Dikriminalisasi,
Diatur Saja Belum
Oleh Betty Yolanda
(Staf di ELSAM)
P
enyiksaan adalah
sebuah kejahatan
serius berdasarkan
hukum internasional
(serious crime) yang
disejajarkan dengan kejahatankejahatan serius lainnya seperti
pembajakan, perbudakan,
kejahatan perang, kejahatan
terhadap perdamaian, kejahatan
terhadap kemanusiaan, dan
genosida. Hal ini ditegaskan
dalam Prinsip 2 Princenton
Principles.1
Sebagai salah satu
Negara Pihak pada Konvensi
Menentang Penyiksaan dan
Perlakuan atau Penghukuman
L a i n y a n g K e j a m , Ti d a k
Manusiawi dan Merendahkan
Martabat (Konvensi Menentang
Penyiksaan atau Konvensi),
Indonesia berkewajiban untuk
menyerahkan laporan atas
implementasi terhadap Konvensi
kepada Komite Menentang
Penyiksaan (Komite). Pada tahun
2001, Pemerintah Indonesia telah
menyerahkan laporan awalnya
(initial report) kepada Komite,
yang kemudian diikuti dengan
penyerahan laporan periodik
kedua (second periodic report)
pada bulan September 2005.
Namun, laporan kedua
Pemerintah baru mendapat
kesempatan untuk pembahasan
pada awal Mei 2008.
Pada tanggal 28 April-16
Mei 2008, Komite Menentang
P e n y i k s a a n t e l a h
menyelenggarakan sesinya yang
ke-40 di Jenewa, Swiss. 2
Sebanyak delapan laporan
Negara-Negara Pihak dibahas
dalam sesi tersebut, termasuk
laporan Australia, Swedia,
Islandia, Aljazair, Indonesia,
Zambia, Macedonia, dan Kosta
Rika. Indonesia mendapat giliran
pembahasan pada tanggal 6-7
Mei 2008.
Selama 2 (dua) hari
Pemerintah diberikan
k e s e m p a t a n u n t u k
mempresentasikan laporan dan
jawaban atas Daftar
Permasalahan (List of Issues)
yang dikeluarkan oleh Komite
pada bulan Desember 2007.
Apabila tidak puas dengan
jawaban yang diberikan, para
anggota Komite berhak untuk
mengajukan pertanyaanpertanyaan tambahan, bahkan
jika topik yang diangkat bukan
merupakan bagian dari Daftar
Permasalahan, atau pun tercakup
dalam laporan Negara.
Kesempatan ini digunakan oleh
Felice Gaer (Pelapor untuk
Indonesia), Claudio Grossman
(Wakil Pelapor), dan beberapa
anggota Komite lainnya untuk
kembali mempertanyakan
beberapa isu krusial, antara lain,
ketiadaan definisi penyiksaan
dalam KUHP; pemberian amnesti
untuk kejahatan serius; kekerasan
terhadap para pembela hak asasi
manusia; pemberlakuan
peraturan-peraturan daerah yang
diskriminatif; lamanya masa
penahanan; praktik sunat
perempuan; dan rendahnya usia
pertanggungjawaban pidana
anak.3
Seperti halnya
Pemerintah, organisasiorganisasi non-pemerintah
(ORNOP) dan Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia (KOMNAS
HAM) juga mendapat kesempatan
untuk berdialog dengan Komite.
Sejak tahun 2004 Komite
menerapkan sebuah prosedur
baru, yakni menjadwalkan, di
dalam agenda kerjanya, masingmasing 1 (satu) jam pertemuan
ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
EDISI MEI-JUNI TAHUN 2008
17
internasional
resmi dengan ORNOP dan
KOMNAS HAM yang telah
menyerahkan laporan-laporan
alternatif sebagai tandingan
terhadap laporan Pemerintah.
Sungguh disayangkan, hanya
karena alasan administratif
KOMNAS HAM berhalangan
hadir pada sesi Komite yang ke40 tersebut.
Selain laporan periodik
Pemerintah, Komite juga
menerima 6 laporan alternatif dari
Amnesty International; Asian
Legal Resource Centre (ALRC);
Komnas Perempuan; laporan
bersama Sekretariat Keadilan
dan Perdamaian (SKP) Jayapura,
Imparsial, Progressio Timor
Leste, Sinode GKI Papua, dan
Franciscans International; dan
Kelompok Kerja untuk Advokasi
Menentang Penyiksaan (Pokja
Anti Penyiksaan) yang bekerja
sama dengan Association for the
Prevention of Torture (APT) dan
World Organisation against
Torture (OMCT).
Dari 50 pertanyaan yang
diajukan oleh Komite dalam
Daftar Permasalahan,
Pemerintah, yang diwakili oleh
kurang lebih 30 orang delegasi
dari berbagai departemen terkait,
memberikan informasi yang
sangat minim mengenai
beberapa isu, antara lain isu
mengenai kerangka hukum;
agama (Ahmadiyah); impunitas;
perda-perda Syariah; otonomi
daerah; dan kekerasan terhadap
perempuan.
Dalam hal kerangka
hukum, nampaknya Pemerintah
tetap berpegang teguh bahwa
meskipun definisi mengenai
penyiksaan belum diatur dalam
K U H P,
pasal-pasal
penganiayaan sudah cukup
memadai karena penganiayaan
sudah mencakup kekerasan fisik.
Padahal, definisi penyiksaan
yang dimaksud dalam Pasal 1
Konvensi tidak hanya mencakup
“kekerasan fisik” tetapi juga
“penderitaan atau rasa sakit yang
hebat secara mental”. Beralih ke
isu perempuan, khususnya sunat
perempuan, Pemerintah menilai
bahwa sunat perempuan
ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
18
EDISI MEI-JUNI TAHUN 2008
merupakan praktik yang sudah
berlangsung lama dan
merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari adat-istiadat
masyarakat, bukan sebagai
tindakan diskriminatif dan tidak
manusiawi.
Setelah berdialog dengan
Pemerintah dan beberapa
stakeholder lainnya, Komite
akhirnya mengeluarkan sebuah
kesimpulan observasi
(concluding observation) pada
tanggal 16 Mei 2008. Kesimpulan
ini tidak hanya menyoroti aspekaspek positif tetapi juga
mengangkat masalah-masalah
yang dinilai masih sangat
memprihatinkan serta
memberikan rekomendasi
mengenai langkah-langkah yang
harus diambil untuk perbaikan.
Jika dibandingkan
dengan kesimpulan observasi
Komite tahun 2001,4 kesimpulan
observasi Komite atas laporan
periodik kedua Indonesia ini
dinilai sangat keras dan
mengakomodasi pelbagai isu
penting yang sebelumnya tidak
tersentuh, antara lain
penggunaan statemen yang
diperoleh dengan penyiksaan
dalam pemeriksaan perkara;
perda-perda diskriminatif; sunat
perempuan; kekerasan dalam
rumah tangga; sistem peradilan
pidana anak; pengungsi internal
(internally displaced persons);
kekerasan terhadap Ahmadiyah;
perdagangan perempuan dan
anak; buruh migran perempuan;
penyelidikan dan penuntutan
Kejaksaan Agung yang tidak
efektif terhadap kasus-kasus
pelanggaran berat hak asasi
manusia; dan mekanisme
monitoring terhadap pelbagai
fasilitas penahanan.
Dari 44 rekomendasi,
Komite meminta Pemerintah
Indonesia untuk menyediakan
informasi, dalam jangka waktu
satu tahun, atas 6 rekomendasi
yang terkait dengan isu
penyiksaan dan perlakuan
sewenang-wenang yang meluas
dan upaya perlindungan yang
tidak memadai bagi para tahanan
di kantor polisi; perda-perda
diskriminatif; pengungsi internal;
kekerasan terhadap Ahmadiyah;
perdagangan perempuan dan
anak; buruh migran perempuan;
dan independensi Komnas HAM.
Sepanjang sejarah, baru
kali ini Komite secara tegas
meminta Pemerintah untuk
bekerja sama dengan dunia
internasional untuk menyelidiki,
menuntut dan mengekstradisi
Kolonel Burhanuddin Siagian
yang telah mendapat red notice
(surat penangkapan) dari Interpol
atas pelanggaran berat hak asasi
manusia di Timor-Timur pada
tahun 1999.
Semua masalah tersebut
di atas perlahan-lahan akan dapat
diatasi jika Pemerintah mau
segera mengkriminalisasi
penyiksaan dalam KUHP yang
adalah payung hukum dari semua
peraturan perundang-undangan di
Indonesia. Memang, definisi
penyiksaan sudah dimasukkan ke
dalam RUU KUHP, namun entah
kapan Pemerintah akan
mensahkan RUU KUHP tersebut.
Catatan:
1.Princenton Principles, Principle 2:
Serious Crimes Under International
Law, butir (1) berbunyi: “For purposes
of these principles, serious crimes
under international law include: (1)
piracy; (2) slavery; (3) war crimes; (4)
crimes against peace; (5) crimes
against humanity; (6) genocide; and (7)
torture.”
2.Untuk mengakses semua dokumen
yang relevan dengan sesi ke-40
Komite Menentang Penyiksaan
s i l a k a n
k u n j u n g i
http://www2.ohchr.org/english/bodies/
cat/cats40.htm.
3.Silakan lihat Siaran Pers Komite
Menentang Penyiksaan tanggal 7 Mei
2008,
Http://www.unog.ch/unog/website/ne
ws_media.nsf/(httpNewsByYear_en)/
54E3118EC5178635C12574420041
CFBF?OpenDocument.
4.CAT/C/XXVII/Concl.3, 22/11/2001,
d a p a t
d i a k s e s
d i
http://www.unhchr.ch/tbs/doc.nsf/(Sy
mbol)/1853a70025ce7646c1256b110
04f0a2b?Opendocument
daerah
Menuju Pembentukan
Pengadilan HAM dan KKR Aceh
(Review dari awal tahun 2008 Sekarang)
Oleh Raimondus Arwalembun
(Staf Publikasi ELSAM)
M
engapa pembentukan
Pengadilan HAM dan
KKR Aceh seperti yang
tertuang dalam MoU
Helsinki yang
d itandatangani oleh Pemerintah
Republik Indonesia dan Gerakan
Aceh Merdeka belum terwujud?
Siapakah yang bertanggung jawab
terhadap proses pembentukannya?
Kalau pemerintah pusat yang
bertanggung jawab, apa bentuk
tanggung jawabnya dalam
mengupayakan pembentukan
Pengadilan HAM dan KKR Aceh?
Pertanyaan-pertanyaan di
atas merupakan penuntun bagi kita
untuk melihat sampai sejauh
manakah pemerintah pusat
menjalankan kewajibannya dalam
mewujudkan pembentukan
Pengadilan HAM dan KKR Aceh.
Inilah yang dituntut oleh rakyat Aceh,
tanggung jawab negara dalam
melaksanakan kewajibannya itu.
Menurut hemat penulis, dalam
proses pembentukan Pengadilan
HAM dan KKR Aceh, pemerintah
terkesan mengabaikan kewajibannya
itu. Ini terlihat ketika bulan Desember
2006 yang lalu, Mahkamah Konstitusi
(MK) mencabut UU No. 27/2004
tentang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi. Pertanyaan yang
muncul adalah: apakah
pembentukan Pengadilan HAM dan
KKR Aceh dapat diwujudkan setelah
KKR Nasional dicabut oleh MK
karena dinilai bertentangan dengan
UUD 1945? Lepas dari jawaban atas
pertanyaan di atas, di tahun ini
(2008), suara-suara yang menuntut
pembentukan Pengadilan HAM dan
KKR Aceh terus menggema. Berikut
adalah beberapa data terakhir
perkembangan isu Pengadilan HAM
dan KKR Aceh yang dihimpun dari
berbagai sumber:

Pada tanggal 22 Januari 2008,
Koalisi Pengungkap Kebenaran Aceh
meminta DPR mendesak pemerintah
menuntaskan pelanggaran hak asasi
manusia di Aceh, mereka
mengusulkan dibentuknya Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)
Aceh. Menurut Rafendi Djamin
(Koordinator Human Rights Working
Group), semangat pembentukan
pengadilan HAM dan KKR Aceh
adalah menghentikan kekerasan
yang terjadi di Aceh, jadi dicabutnya
UU KKR Nasional oleh Mahkamah
Konstitusi seharusnya tidak
membatalkan pembentukan KKR
Aceh sebab dasar pembentukan KKR
Aceh adalah UU 11/2006 tentang
Pemerintahan Aceh;

Tanggal 16 April 2008, CoSPA
(Commission on Sustaining Peace in
Aceh) mendesak pemerintah pusat
mempercepat pembentukan
pengadilan HAM dan KKR untuk
Aceh. Menurut Ir Azwar Abubakar MM
(Pimpinan Pertemuan CoSPA),
Pengadilan HAM dan KKR Aceh
merupakan amanat MoU Helsinki
serta Undang-Undang Pemerintahan
Aceh yang belum terealisasi. Selain
itu, dalam rilis komisi yang
ditandatangani pemimpin pertemuan
CoSPA, Azwar Abubakar, dinyatakan,
pembahasan draf peraturan daerah
atau qanun Dewan Perwakilan
Rakyat Aceh mengenai KKR
sebaiknya dilakukan setelah RUU
KKR di tingkat nasional disahkan
menjadi undang-undang.
Pembentukan qanun mengenai KKR
Aceh yang dilakukan sebelum UU
KKR disahkan dikhawatirkan akan
bertentangan dengan peraturan
perundangan di atasnya;

Tanggal 29 April 2008, dalam
rapat yang digelar di Sekretariat
Forbes Damai Aceh, Kompleks
Taman Ratu Safiatuddin, Banda
Aceh, anggota Forbes Damai Aceh
sepakat untuk membahas rancangan
qanun (raqan) Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR). Tugas tersebut
nantinya akan dilaksanakan Badan
Narasumber Damai Aceh atau Aceh
Peace Resouces Center (APRC);

Tanggal 1 Mei 2008, Sedikitnya
40 pakar, akademisi dan praktisi
dilibatkan pemerintah dalam
menyusun satu draft rancangan
qanun (Raqan) tentang Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Dua orang di antaranya adalah pakar
asal Jerman. Tim pra rancangan
qanun KKR dibentuk melalui
keputusan Gubernur No.
188.342/37/2008 tanggal 8 April 2008
terdiri 40 personil. Tim ini bertugas
mencari bahan masukan untuk
pembentukan komisi kebenaran dan
rekonsiliasi, baik dari nilai-nilai
universal maupun kearifan lokal serta
norma-norma agama;

Pada tanggal 07 Mei 2008,
dalam kunjungannya, Ketua Crisis
Management Initiative (CMI) dan
Interpeace Peacebuilding Alliance
Martti Ahtisaari mempertanyakan
komitmen Presiden Susilo Bambang
Yu d h o y o n o t e n t a n g K o m i s i
Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)
Aceh yang kini mandeg.
Fakta-fakta di atas,
sesungguhnya hendak menunjukkan
kepada kita bahwa penyelesaian
pelanggaran HAM masa lalu di Aceh
sebenarnya merupakan persoalan
mendesak yang harus segera
dipikirkan kembali. Artinya,
pembentukan Pengadilan HAM dan
KKR Aceh sebagaimana diamanatkan
dalam MoU Helsinki harus segera
diwujudkan. Tapi apakah ini mungkin?
Menurut hemat penulis, walau pun
dasar pembentukan KKR Aceh adalah
UU 11/2006 tentang Pemerintahan
Aceh, namun pembentukannya akan
sulit terwujud kalau pemerintah pusat
tidak serius untuk mencari atau
membentuk kembali UU KKR
Nasional yang telah dibatalkan MK
pada bulan Desember 2006 yang lalu.
Kalau faktanya demikian, berarti
negara, dalam hal ini “tidak mampu”
melaksanakan kewajibannya.
Pertanyaan kritisnya adalah: kalau
negara “tidak mampu,” apakah
masyarakat Aceh mampu
mewujudkannya? Semoga....!
ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
EDISI MEI-JUNI TAHUN 2008
19
perspektif
Merawat Ke-Indonesiaan
Oleh Amiruddin al Rahab
(Pengamat Politik dan HAM di ELSAM)
B
erakhirnya bulan Mei
dalam setiap tahun
setelah gerakan
reformasi terjadi,
terasa ada satu hal
yang bolong di dalamnya. Yaitu
mengkerdilnya ke-Indonesiaan
serta menjauhnya perubahan ke
arah yang baik.
Dalam situasi seperti itu,
apa makna Kebangkitan
Nasional yang ke 100
tahun sekarang ini?
Kebangkitan Nasional
hanya bermakna jika
peringatannya tidak
ditempatkan pada
kenangan, melainkan
pada tekad untuk merawat
ke-Indonesian 100 tahun
ke depan. Gerakan
reformasi sesunguhnya
adalah upaya terusmenerus untuk merawat
ke-Indonesiaan agar
keluar dari kehancuran
akibat dimangsa
otoriterianisme.
Yang diharapkan
setelah jatuhnya rezim
militer Soeharto adalah
terwujudnya keIndonesiaan yang
menghargai kemanusian
dan hak asasi manusia dengan
memenuhi keadilan bagi mereka
yang menjadi korban, baik korban
akibat kedurjanaan politik mau
pun akibat struktur ekonomi yang
tidak adil. Seiring dengan itu juga
memberikan ganjaran yang
setimpal kepada mereka yang
menjadi penyokong dan
penganjur segala bentuk politik
kerdujanaan di masa lalu itu.
Singkat kata, ke-Indonesian yang
ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
20
EDISI MEI-JUNI TAHUN 2008
baru adalah ke-Indonesian yang
menentukan batas antara politik
kedurjanaan dengan politik yang
menghargai kemanusian dan hak
asasi manusia (civility politic).
Akibat tidak pernah
jelasnya garis demarkasi antara
politik kedurjanaan dengan politik
keadaban membuat keIndonesian kini kian compang-
camping. Hal itu tampak dari
mengap-mengapnya rakyat di
Sidoarjo yang ditelan lumpur
Lapindo, mengigilnya Jamaah
Ahmadiah akibat dimangsa oleh
egoisme keagamaan,
menjeritnya rakyat yang papa
akibat dijerat harga BBM yang
melambung tinggi. Penjarahan
hutan dan bencana alam
mendera setiap saat hampir di
seantero nusantara. Singkatnya,
rakyat dibiarkan terkapar tanpa
pangan dan keamanan diri oleh
para elit di semua level.
Sementara para petinggi partai
politik hanya sibuk bersolek
dengan beragam iklan menjual diri
sambil mengagahi ke-Indonesian
sedemikian rupa. Pemimpinpemimpin di daerah sibuk
berternak kabupten/kota baru
demi menyulap keuangan negara
dan mengobral segala
potensi daerah dengan
harga murah demi PAD.
Dalam situasi seperti ini,
demokrasi yang kini
dikembangkan terasa tidak
mampu menjadi sarana
untuk meneguhkan
keadilan. Bahkan banyak
pihak yang menilai
demokrasi yang kini
berkembang justru
mempermudah para
penyokong rezim lama
untuk bersalin rupa menjadi
penganjur demokrasi dan
sekaligus memperkudanya.
Para penyokong rezim lama
ini malah dengan gagah
berani dan merasa tanpa
dosa mengemukakan mari
kita melihat ke depan
dengan melupakan masa
lalu. Singkatnya masalah
kekinian jauh lebih mendesak
untuk diselesaikan, ketimbang
menguak luka lama. Padahal,
langkah melupakan begitu saja,
akan menjadi preseden buruk bagi
politik dan hukum dalam
merekonstruksi ke-Indonesiaan
yang baru. Artinya, dengan
melupakan, pemerintah seakan
memberikan sinyal lampu hijau
kepada semua pihak yang dulu
melakukan dan bertanggung
perspektif
jawab atas politik kedurjanaan
untuk terus merasa benar dan
bahkan kekerasan boleh
dipraktekan kembali dalam
menjalankan politik kenegaraan.
Toh semuanya bisa dilupakan
dan dimaafkan.
Di era Soeharto, keIndonesiaan hadir di Aceh
menebar maut, di Papua begitu
diskriminatif, di Maluku dan Poso
memendam segregasi agama, di
Kalimantan mengandung
prasangka etnis serta di Jawa
mengadung kecemburuan kelas
sosial yang menajam. Artinya
konstruksi ke-Indonesiaan yang
dikonstruksikan oleh rezim
militer-golkar Soeharto begitu
bermasalah bagi ke-Indonesian
kita sebagai bangsa. Karena keIndonesian rezim militer-golkar
Soeharto terlalu pencemburu
pada daerah sehingga berwatak
menyerang-yerang, terlalu rakus
sehingga menyedot semua yang
ada di daerah ke pusat, terlalu
bengis sehingga mudah
memvonis warganya menjadi
sesat, ekstrem, separatis, OTB
bahkan GPK, serta terlalu suka
menggadaikan semua SDA.
Singkatnya, sikap
pemerintah dan kekuatan politik
yang mendiamkan seluruh
kekerasan yang terindikasi
secara kuat sebagai pelanggaran
HAM dan memiskin rakyat
Indonesia secara sistematis,
menunjukan bahwa dalam
sepuluh tahun ini belum ada
perbedaan yang berarti antara
karakter politik pemerintahan
masa lalu dengan masa kini.
Maknanya adalah elit-elit politik,
partai politik dan pemerintah
gagal merawat ke-Indonesiaan
dalam sepuluh tahun ini.
Akibatnya aksi-aksi kekerasan
terus terjadi, kemiskinan tetap
menjerat leher rakyat Indonesia
dan SDA Indonesia diobral muruh
kepada pihak asing demi rente.
Beranjak dari fenomenfenomen
seperti itu,
sesunguhnya pengungkapan
kebenaran akan watak rezim
masa lalu dalam bidang ekonomi
dan politik sunguh harus kita
pikirkan matang sekarang ini
sebagai cara kita merawat keIndonesiaan secara baru demi
100 tahun ke depan. Indonesia
100 tahun kedepan adalah
Indonesia yang bisa menjadi
taman sari bagi kehidupan
bersama yang lebih baik.
Kalau dipertanyakan
mengapa ke-Indonesia perlu
dirawat? Jawabannya adalah
untuk mencegah disintegrasi
bangsa. Mengapa bangsa
terancam disintegrasi?
Sebenarnya jawaban yang
mendasar adalah karena tidak
ada ruang bagi kehidupan
bersama yang lebih baik. Namun,
elite Negara sering
menyembunyikan atau tak cukup
kesatria untuk mengakui adanya
sikap yang mengancam
kehidupan bersama itu dalam
mengelola negara. Oleh karena
itu, segala watak ke-Indonesiaan
yang dibangun oleh rezim
Soeharto, mesti kita ubah jika ingin
Indonesia masih ada 100 tahun
lagi.
Oleh karena itu merawat
ke-Indonesia demi 100 tahun ke
depan, perlu diambil langkahlangkah yang memberikan
kepastian akan dipenuhinya hak
warga negara untuk tahu tentang
apa yang terjadi di masa lalu (right
to know) dan hak atas keadilan
(right to justice) serta hak untuk
berpartisipasi secara politik (right
to participate) dan hak atas
informasi (right to information) .
Atau dalam ungkapan
para ahli hukum rule of law harus
ditegakan. Sebab tanpa rule of
law, komitmen untuk memperbaiki
akibat dari kedurjanaan politik
atau kesalahan pengelolaan
ekonomi negara tidak akan ada.
Atau bagaimana saat ini
kita memaknai ke-Indonesiaan
kita tanpa adanya pengakuan
akan kebenaran di masa lalu yang
telah mengoyahkan seluruh sendisendi pondasi kebangsaan dan
kenegaraan yang bernama
Indonesia ini? Atau apa makna
menjadi Indonesia saat ini, ketika
kita terpencar ke dalam puak-puak
etnis dan agama begitu mudah,
bahkan saling membunuh dalam
ikatan ke-Indonesiaan? Maka dari
itu merawat ke-Indonesiaan,
berarti merawat kemanusian kita.
Semoga.
ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
EDISI MEI-JUNI TAHUN 2008
21
resensi
Mahkamah Pidana Internasional:
Statuta Roma, Hukum Acara,
dan Unsur-Unsur Kejahatan
Oleh Ikhana Indah
(Staf ELSAM)
Judul Buku
Pengantar
Penerbit
Tahun
Data Fisik
P
elanggaran berat hak
asasi manusia yang
dilakukan oleh
Negara melalui
aparat negaranya
supaya dibawa ke Mahkamah
Internasional agar pelakunya
diadili.” Atau “… bawa kasus
pelangaran hak asasi manusia ke
Mahkamah Internasoional…!”
Pendapat yang sering muncul
adalah bahwa Mahkamah
Internasional dapat menangani
kasus pelanggaran berat hak
asasi manusia yang dilakukan
oleh negara. Padahal jurisdiksi
Mahkamah Internasional
hanyalah sengketa antar Negara,
dan bukan antara Negara dengan
warga negaranya.
Jika akan membawa
kasus pelanggaran berat hak
asasi manusia yang dilakukan
oleh Negara melalui aparat
negaranya, maka seharusnya
Mahkamah Pidana Internasional
adalah lembaga yang tepat.
Karena jurisdiksi Mahkamah
Pidana Internasional adalah
kejahatan paling serius yang
menjadi perhatian masyarakat
“
ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
22
EDISI MEI-JUNI TAHUN 2008
: Mahkama Pidana Internasional: Statuta Roma,
Hukum Acara, dan Unsur-Unsur Kejahatan
: Agung Yudhawiranata
: ELSAM
: 2007
: 384 hlm
internasional. Kejahatan tersebut
antara lain adalah genosida
(pemusnahan etnis); kejahatan
terhadap kemanusiaan;
kejahatan perang; dan kejahatan
agresi.
Di tengah-tengah
tuntutan penyelesaian masalah
pelanggaran berat hak asasi
manusia, maka pemahaman
mengenai perangkat hak asasi
manusia, terutama di tingkat
Internasional sangat diperlukan.
Hal inilah yang mendorong
ELSAM untuk menterjemahkan
dan menerbitkan Statuta Roma
untuk Mahkamah Pidana
Internasional. Diharapkan,
penerbitan buku ini dapat
memberikan kontribusi dalam
perumusan perangkat hukum hak
asasi manusia di Indonesia.
Buku ini adalah edisi
revisi dari buku Statuta Roma
yang terbit pada tahun 2000. Jika
pada edisi sebelumnya hanya
menjelaskan mengenai Statuta
Roma, maka pada edisi kali ini,
penyempurnaan dilakukan
dengan memasukkan Hukum
Acara dan Pembuktian serta
Unsur-unsur Kejahatan. Secara
keseluruhan, buku ini dibagi
menjadi 3 bagian utama.
Bagian pertama adalah
Statuta Roma, yang menjelaskan
tentang definisi dari Mahkamah
Pidana Internasional; berbagai
kejahatan yang masuk dalam
jurisdiksi Mahkamah Pidana
Internasional seperti Kejahatan
Genosida; Kejahatan terhadap
Kemanusiaan; Kejahatan Perang
dan Kejahatan Agresi. Dan untuk
lebih detailnya, penjabaran dari
masing-masing kejahatan
tersebut terdapat dalam beberapa
pasal. Bagian ini menjelaskan
mengenai jurisidiksi dan
bagaimana prosedur beracara di
Mahkamah Pidana Internasional.
Selain itu, bagian ini juga yang
menjawab kekhawatiran
beberapa Negara bahwa
Mahkamah Pidana Internasional
akan mengintervensi hukum
nasional dari masing-masing
Negara. Menurut Statuta Roma,
kekhawatiran tersebut tidaklah
tepat, karena prinsipnya adalah
Mahkamah Pidana Internasional
akan berlaku jika pengadilan
nasional tidak mau dan tidak
resensi
mampu mengadili suatu
pelanggaran terhadap
kemanusiaan. Dan tujuan dari
Mahkamah Pidana Internasional
adalah untuk mendorong
keefektifan dari pengadilan
nasional. Hal ini juga
disampaikan kembali di bagian
kata pengantar (hal xix).
Bagian kedua yaitu
Hukum Acara dan Pembuktian.
Bagian ini menjelaskan mengenai
bagaimana prosedur beracara
dan pembuktian yang lebih
mendalam dari apa yang sudah
diatur dalam Statuta Roma.
Misalnya berbagai ketentuan
yang mengatur mengenai
komposisi dan administrasi
mahkamah, seperti bagaimana
sidang pleno, pengambilan
sumpah hingga unit korban dan
saksi bekerja. Bagaimana
prosedur persidangan hingga
upaya banding dan peninjauan
kembali. Bagian ini menjelaskan
pula bagaimana cara kerja hakim,
penuntut umum, wakil penuntut
umum serta panitera dalam
Mahkamah Pidana Internasional.
Intinya, bagian kedua ini
menjelaskan bagaimana
administrasi keadilan bekerja.
B a g i a n k e t i g a
menjelaskan mengenai UnsurUnsur Kejahatan. Disebutkan
bahwa unsur-unsur kejahatan
yang diuraikan akan membantu
mahkamah dalam menafsirkan
dan menerapkan pasal 6, 7, dan 8
(hal 309). Seluruh unsur-unsur
dari masing-masing kejahatan
disebutkan detail dan jelas.
Pelakunnya membunuh
satu atau lebih orang; orang yang
dibunuh itu berasal dari suatu
bangsa tertentu, kelompok etnis
atau agama tertentu; pelakunya
memang berniat untuk
menghancurkan, baik seluruh
maupun sebagian bangsa, etnis,
ras atau agama tertentu; dan
tindakan tersebut terjadi dalam
konteks tindakan yang tidak pasti
saja berakibat pada kehancuran
terhadap kelompok tersebut..” ini
adalah salah satu unsur-unsur
yang disebutkan dalam kejahatan
genoosida dengan pembunuhan.
Bagian ini menjadi sangat
penting karena menjelaskan
dengan detail dan jelas unsurunsur kejahatan yang masuk
dalam jurisdiksi Mahkamah
Pidana Internasional. Artinya,
pembaca benar-benar dapat
memahami kejahatan seperti apa
yang dapat dibawa ke Mahkamah
Pidana Internasional, sehingga
pendapat-pendapat seperti yang
dikutip di awal tulisan ini tidak
akan terjadi lagi.
Dalam konteks
Indonesia, UU No. 26 tahun 2000
mengenai pengadilan hak asasi
manusia telah mengadopsi
sebagian dari Statuta Roma,
walaupun dalam beberapa hal
juga tidak sesuai dengan Statuta
Roma. Tujuan dari Statuta Roma
adalah untuk memberikan
perlindungan dan jaminan
penghukuman bagi kejahatan
terhadap kemanusiaan, kejahatan
perang dan juga genosida,
dengan mengutamakan
mekanisme hukum nasional.
Tetapi di lain sisi, perlindungan hak
asasi manusia di Indonesia juga
belum berjalan dengan maksimal.
Artinya, kita (Indonesia)
memerlukan Statuta Roma guna
menegakkan Hukum Hak Asasi
Manusia, maka meratifikasi
Statuta Roma adalah pilihan yang
tepat dan mendesak.
Dengan hadirnya buku ini,
diharapkan dapat membantu dan
memberikan pemahaman
mengenai hukum hak asasi
manusia, dan juga dapat
mendorong Indonesia untuk
segera meratifikasi Statuta Roma.
Selamat membaca.....
Beberapa Program ELSAM ke Depan
(Juli - Agustus 2008)
Oleh Raimondus Arwalembun
(Staf Publikasi ELSAM)
P
ada tanggal 28-29
J u l i 2 0 0 8
mendatang,
ELSAM akan
mengadakan
“ Seminar & Workshop
Kekerasan Komunal.”
Kegiatan yang akan diadakan
di kota Pontianak, Kalimantan
Barat ini bertujuan untuk: (1)
Bersama seluruh elemen
masyarakat mencari jalan
keluar dari kebuntuan
penyelesaian masalah
kekerasan yang terjadi di
Kalimantan Barat khususnya
maupun Indonesia; (2)
Mengembangkan ide-ide
penyelesaian kasus
kekerasan; (3) mendiskusikan
d a n
k e m u d i a n
merekomendasikan langkahlangkah yang bisa diambil oleh
pemerintah daerah dalam
pencegahan kekerasan dalam
bentuk pokok-pokok pikiran
hasil seminar dan lokakarya.
Adapun tema dari seminar ini
adalah: Kekerasan
komunal sebagai sisi
gelap demokrasi. Seminar
ini akan dihadiri oleh pembela
hak asasi manusia, akademisi,
aparat Pemda, aparat
penegak hukum, Perwakilan
Komnas HAM Kalimantan
Barat, dan tokoh masyarakat.
Pada tanggal 5 - 7
Agustus 2008 mendatang,
ELSAM akan mengadakan
“ K o n f e r e n s i Wa r i s a n
Otoritarianisme:
Demokrasi Indonesia di E L S A M b e r e n c a n a
Bawah Tirani Modal.” mengadakan serangkaian
Konferensi yang akan
diselenggarakan di Jakarta
(FISIP UI) ini bertujuan untuk:
(1) membicarakan,
merumuskan, menyimpulkan
langkah perlawanan terhadap
tirani modal, sebagai bagian
dari usaha membangun
gerakan di kalangan akademik
dengan prasyarat
pembangunan organisasiorganisasi komunitas. (2)
memberi gambaran politik
tentang kerja modal dalam
berbagai bidang kehidupan
dan atau mekanisme kerja
modal sebagai kekuatan
politik. (3) memberikan
r ancangan pemikiran bagi
perumusan kebijakan publik
yang berpihak pada
masyarakat. Konferensi ini
diarahkan pada kelompokkelompok intelektual atau
kaum muda di berbagai
bidang, khususnya kalangan
intelektual sosial yang bekerja
di organisasi-organisasi non
pemerintah dan lembagalembaga akademik, serta para
penggiat seni dan seniman
mandiri di berbagai komunitas.
Setelah melaksanakan
dua kegiatan (Seminar dan
Konferensi) di atas, pada
tanggal 27 Agustus 2008,
ELSAM akan Merayakan
“Hari Ulang Tahun”-nya
yang ke 15. Dalam rangka
merayakan hari jadinya ini,
acara yang secara ekplisit dan
implisit merefleksikan kerjakerja advokasi HAM selama
kurun waktu 15 tahun terakhir
dan juga untuk menguatkan
gerakan advokasi HAM di
Indonesia. Adapun perayaan
Hari Ulang Tahun ELSAM ini
akan diadakan di Teater Kecil
TIM (Taman Ismail Marzuki).
Di penghujung bulan
Agustus (tepatnya tanggal 14
Agustus 03 September 2008),
ELSAM akan mengadakan
“Kursus HAM untuk
Pengacara XII.” Kegiatan
yang akan diselenggarakan di
GG House Happy Valley
(Cipayung Bogor) ini bertujuan
untuk meningkatkan
kemampuan pengacara dan
pekerja hak asasi manusia
dalam rangka memajukan dan
melindungi hak asasi manusia.
Kursus ini diperuntukkan bagi
mereka yang melakukan kerjakerja advokasi kasus
pelanggaran hak asasi
manusia, baik melalui jalur
litigasi maupun non litigasi
(seperti yang dilakukan
kalangan pengacara;
pengacara publik; asisten
pengacara; dan para legal).
Seperti yang sudah-sudah,
jumlah peserta dibatasi hingga
25 orang yang berasal dari
berbagai wilayah Indonesia
dengan memperhatikan
pertimbangan gender.
Download