ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA WTO World World Bank IMF Bank TNCs GATT GATT Pembebasan dari Cengkeraman Modal, Pembodohan, dan Impunitas EDISI MEI-JUNI TAHUN 2008 www.elsam.or.id daftar isi editorial Sejarah bangsa ini memperlihatkan bahwa modal kolonial bangkrut di . pertengahan abad 18. Bangkrut kembali se-abad kemudian dan lagi-lagi ini terjadi di tahun 1930-an. Dalam siklus kebangkitan dan kebangkrutan modal, pengkhianat dan pejuang pun timbul tenggelam. laporan utama laporan utama nasional 5 - 13 Pembebasan dari Opresi Modal kolom tetap dari pembaca 03 4 14-16 Kenaikan Harga BBM, Krisis Pangan, dan Tanggung Jawab Negara Globalisasi bukanlah fenomena satu dimensi, tetapi merupakan proses multidimensi yang melibatkan ranah kegiatan dan interaksi yang berbeda-beda termasuk ranah kultural. Fenomena globalisasi ditandai dengan ekspansi modal dan eskalasi perilaku konsumtif di berbagai bidang kehidupan. Globalisasi telah menciptakan varian penindasan kemanusiaan dalam bungkusan masyarakat industrial dan pasar global. Pembebasan dari Impunitas internasional 17-18 Penyiksaan: Bagaimana Mungkin Dikriminalisasi, Diatur Saja Belum daerah 19 perspektif 20 Tentara harus dibuat akuntabel atas pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu dengan sebuah proses kebenaran dan keadilan melalui sebuah pengadilan yang bersih. Dan di masa depan, tentara harus ditempatkan di bawah pengawasan sipil, tanpa pengaruh politik dan kepentingan ekonomi apa pun. Tanggung jawab dari kesatuan tentara harus ditetapkan secara tegas, kelompok-kelompok paramiliter harus dibekukan dan anggota-anggotanya harus dibawa ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan kejahatan mereka. Guru ”Kritis” di Bawah Rejim Ujian resensi 22 Program ELSAM 24 Gerardus Weruin menggambarkan pembelajaran di sekolah bukan dalam suasana yang menyenangkan dan merdeka, tetapi menjadi beban dan suatu paksaan terhadap anak-anak. UN menjadi hal yang lebih memberatkan, mencemaskan, dan menakutkan anak karena menentukan kelulusan dan tamat belajar. perspektif 18-21 Merawat Ke-Indonesiaan Sikap pemerintah dan kekuatan politik yang mendiamkan seluruh kekerasan yang terindikasi secara kuat sebagai pelanggaran HAM dan memiskinkan rakyat Indonesia secara sistematis, menunjukkan bahwa dalam sepuluh tahun ini belum ada perbedaan yang berarti antara karakter politik pemerintahan masa lalu dengan masa kini. Maknanya adalah elite-elite politik, partai politik dan pemerintah gagal merawat ke-Indonesiaan dalam sepuluh tahun ini. menyamaratakan standard penilaian? Dok. Kompas editorial “Menjinakkan” Tirani Modal, Agenda Demokrasi yang Tertinggal H al paling meresahkan masyarakat pasca otoritarian adalah pengkhianatan. Te r b u k a n y a r u a n g politik segera diisi oleh kekuatan politik yang saling berebut kuasa, dan yang terpenting meninggalkan rakyat. Kebijakan ekonomi dan politik lahir dari kesepakatanke s e p a ka t a n j a n g ka p e n d e k kekuatan politik. Perhitungan pertama-tama dan utama adalah menguasai aset ekonomi, konsesi dan lisensi. Perhitungan ini hingga tahun yang ke 10 pasca otoritarian belum bergeser. Sekarang orang membaca gejala di atas dengan cara lain: bahwa modal bukan lagi unsur ekonomi suatu bangsa tetapi sudah menjadi tirani. Modal mencengkeram pusat-pusat kegiatan ekonomi dan segala forum politik; menyusup ke ruang-ruang sekolah dan mengakar sejauhjauhnya pada tumbuh susutnya kepercayaan dan kebudayaan. Dia berkuasa atas bangsa. Kalau begini reformasi tampaknya cuma melahirkan pengkhianat dan modal yang tiran. Bila keduanya bertemu, maka tirani modal menjadi sempurna. Namun seketika kita membayangkan kesempurnaan itu, maka seketika itu segala komponen reformasi akan tersesat. Sejarah bangsa ini memperlihatkan bahwa modal kolonial bangkrut di pertengahan abad 18. Bangkrut kembali se-abad kemudian dan lagi-lagi ini terjadi di tahun 1930-an. Dalam siklus kebangkitan dan kebangkrutan modal, pengkhianat dan pejuang pun timbul tenggelam. Yang menjadi soal, banyak yang meyakini pentingnya membangkitkan modal tapi sedikit yang mampu mengendalikannya. Gaung peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional menggemakan kebangkitan dari keterpurukan ekonomi dan kebangkitan modal nasional. Sebaliknya suara tentang pembagian aset hanya di pinggiran. Politik bergerak untuk menggerakan modal ketimbang mengelola modal. Agenda perubahan atau transformasi politik melepaskan dirinya dari keharusan menata ulang modal, capital reform. Demikian pula kemiskinan sebagai konsekuensi dari gerak modal justru dilepaskan darinya. Bahkan setelah berabad hilang dari khazanah keilmuan, pandangan kemiskinan sebagai bencana dihadirkan kembali. Nyaris seusia dengan lahirnya Boedi Oetomo, 100 tahun lalu, hasil penelitian kommisie van minderwaarderheid (19121914) mendorong lahirnya kebijakan bantuan beras cuma-cuma pemerintah kolonial bagi kaum miskin. Berton-ton beras sengaja didatangkan dari Burma di tahun 20an, lagi-lagi karena harga gula jatuh di pasaran dunia. Di kemudian hari, jaring pengaman sosial diperkenalkan oleh Bank Dunia pada tahun 1997 telah diproduksi ulang oleh bangsa sendiri dalam program Bantuan Langsung Tunai (BLT), program cash and carr y dan seterusnya. Pemikiran semacam ini sesungguhnya tidak memiliki landasan konstitusional. Justru ko n s t i t u s i b a n g s a I n d o n e s i a menegaskan dalam pasal 28 a, b, c, dan h bahwa bebas dari kelaparan dan kemiskinan adalah hak. Dalam berbagai perjanjian internasional di bidang HAM, hal sama juga diserukan. Memang masih sulit untuk mencapai konsensus internasional agar kemiskinan ditetapkan sebagai tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Hak asasi manusia juga tidak secara khusus menyinggung soal modal. Namun yang pasti, dalam segala perjanjian internasional HAM, dan khususnya bila mencermati perjanjian hak ekonomi, sosial dan budaya, amat jelas keperluannya untuk menjinakkan modal. Dengan menjadikan Negara sebagai aktor utama pelindung HAM, perjanjian internasional HAM coba menghadang fluktuasi gerak modal. Bila modal berusaha mengecilkan peran Negara, sebaliknya rejim HAM di bawah PBB justru membesarkan peran Negara. Rejim HAM PBB paham benar kekuatan modal. Resolusi dewan HAM PBB telah menunjuk para ahli dan pelapor khusus untuk menangani gejala modal. Untuk bidang HAM dan perusahaan transnasional dan lainnya, Dewan menunjuk Mr. John Rugie. Sedangkan pelapor khusus di bidang hutang luar negeri dan pemenuhan HAM, khususnya hak ekonomi sosial dan budaya adalah Mr. Chepas Lumina. Global Compact yang digagas oleh Kofie Annan ketika menjabat sebagai sekretaris jendral PBB, tidak lain adalah langkah diplomatis menyeret kekuasaan modal untuk tidak bergerak liar sendiri, namun dalam kerangka hak asasi manusia. Usaha lain adalah menetapkan suatu protokol opsional bagi konvensi hak ekonomi sosial budaya. Bila berhasil maka protokol inilah yang menjadi unsur pemaksa penting bagi tiap negara untuk memastikan akses masyarakat pada sumber ekonomi. Menjinakan modal memang bukan pekerjaan mudah. Namun d a p a t d i p a s t i k a n ko n s e n s u s kenegaraan maupun internasional tidak pernah menyatakan dukungannya pada tirani modal. Karenanya tirani modal pada prinsipnya tidak diperkenankan hidup. Agung Putri ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA EDISI MEI-JUNI TAHUN 2008 03 ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA Dari pembaca Hai.......ASASI: www.elsam.or.id Redaksional Penanggung Jawab/Pemimpin Redaksi: Agung Putri Wakil Pemimpin Redaksi: Amiruddin al Rahab Redaktur Pelaksana: Eddie Riyadi Redaktur: A.H. Semendawai, Eddie Riyadi, Betty Yolanda, Triana Dyah Pujiastuti, Otto Adi Yulianto, Raimondus Arwalembun Sekretaris Redaksi: Raimondus Arwalembun Sirkulasi/Distribusi: Khumaedy Desain & Tata Letak: Alang-alang Penerbit: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Alamat Redaksi: Jl. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta 12510, Telepon: (021) 7972662, 79192564 Faximile: (021) 79192519 E-mail: [email protected], [email protected] Website: Www.elsam.or.id. Perkenalkan saya Erwin S Basrin bekerja di AKAR Foundation, salah satu NGO yang ada di Bengkulu yang bergerak pada isu lingkungan, HAM, PSDA dan Masyarakat Adat. Kami berharap bisa dikirim beberapa bacaan dari ELSAM (buletin dan beberapa buku publikasi) sebagai bagian penambahan bacaan dan kapasitas kami dalam melakukan beberapa pekerjaan di Bengkulu, mohon dikirim ke: AKAR Foundation Jl. Sukajadi No 8 Rt 7 Rw 3 Kelurahan Penurunan Ratu Samban-Kota Bengkulu 38223 Bengkulu Terima kasih Salam Erwin S Basrin Direktur Eksekutif Redaksi: Bapak Erwin S Basrin yang baik, terima kasih untuk permohonannya. Kami akan mulai mengirimkan secara rutin setiap penerbitan Buletin ASASI kepada lembaga bapak. Semoga bermanfaat bagi teman-teman di AKAR Foundation. Kami mengucapkan terima kasih atas pengiriman Buletin ASASI-nya. Perlu Kami beritahukan bahwa alamat BAKUMSU bukan di Jl. Bromo tetapi sekarang beralamat di: Jalan Air Bersih No. 28, Kelurahan Sudi Rejo I Kecamatan Medan Kota, KP 20218. Jika mengirimkan Buletin ASASI edisi berikutnya kepada kami, mohon dikirimkan ke alamat baru tersebut. Atas perhatian dan pengiriman buletinnya kami ucapkan terima kasih. Mangaliat Simarmata, SH Sekretaris Eksekutif BAKUMSU Medan Redaksi senang menerima tulisan, saran, kritik dan komentar dari pembaca. Buletin ASASI bisa diperoleh secara rutin. Kirimkan nama dan alamat lengkap ke redaksi. Kami juga menerima pengganti biaya cetak dan distribusi berapapun nilainya. Transfer ke rekening Redaksi: Terima kasih untuk informasi perubahan alamatnya. Buletin ASASI Edisi selanjutnya akan kami kirimkan ke alamat yang baru. ELSAM Bank Mandiri Cabang Pasar Minggu No. 127.00.0412864-9 Tulisan, saran, kritik, dan komentar dari teman-teman dapat Dikirimkan via email di bawah ini: [email protected] ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA 04 EDISI MEI-JUNI TAHUN 2008 laporan utama Pembebasan dari Opresi Modal Oleh Emile A. Laggut (Kadiv Litbang HAM PBHI Pusat) A rus politik ekonomi global merangsek masuk ke Indonesia sejak adanya kunjungan tahap pertama tim IMF pada bulan Juli 1966. Selang satu bulan berikutnya, agen Bank Dunia juga menyusul. Agenda utama kedua lembaga keuangan Internasional ini adalah memusatkan perhatian pada tugas jangka panjang khususnya meningkatkan kapasitas produktif di Indonesia. Pemerintah menerima kehadiran kedua lembaga ini dengan satu impian besar, dapat menstabiliasasikan kondisi hiperinflasi kurs rupiah yang sedang anjlok pada waktu itu. Presiden Soeharto meminta bantuan ekonom muda kelompok UI dan SESKOAD yang terdiri dari Wijoyo Nitisastro, Ali Wardana, M. Sadli, Subroto dan Emil Salim untuk merancang program “Stabilisasi dan Rehabilitasi” guna menghentikan laju inflansi. Alhasil, program ini berjalan efektif karena sokongan program pinjaman berkala dari kedua lembaga keuangan internasional tersebut. Guna menindaklanjuti program kerja sama di bidang ekonomi-politik antara Pemerintah dengan kedua lembaga keuangan internasional ini, maka pada bulan November 1967 diselenggarakan “Konferensi Investasi Indonesia” di Jenewa. Delegasi Indonesia terdiri dari menteri ekonomi dan menteri luar negeri serta para ahli ekonomi terkemuka pemerintah dari kelompok UI dan SESKOAD (yang kemudian lazim dikenal sebagai “Mafia Berkley"). Para ahli ekonomi ini diberi tugas khusus untuk melakukan pengawasan dan bertanggung jawab atas pelaksanaan dan pengembangan investasi dan perdagangan global. Pendek kata, sejak 1967-an pemerintah hendak menciptakan stabilitas ekonomi-politik dan iklim usaha yang menjamin keamanan ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA EDISI MEI-JUNI TAHUN 2008 05 laporan utama investor asing dan menguntungkan sekaligus tidak menimbulkan kebencian dari kelompok-kelompok ekonom nasional dan pengusahapengusaha di tanah air. Hal ini dijelaskan oleh Emil Salim bahwa kebutuhan akan investasi asing sangat penting, namun terlalu besar untuk dipikul sendirian oleh pemerintah. Pernyataan ini didukung oleh Sri Sultan HB IX bahwa orang-orang Indonesia tidak lagi tercekam oleh ketakutan yang tak masuk akal bahwa investasi asing haruslah berarti dominasi “imperialisme.” (Winters, 1998: 84). Inilah awal mula cengkeraman modal dalam tata politik dan ekonomi Indonesia, yang mendapatkan gizi baiknya dalam globalisasi. Modal itu sendiri (bisnis) tidak dengan sendirinya jahat, demikian juga globalisasi itu sendiri tidak semata-mata negatif, tetapi kolaborasi keduanya melahirkan derita dan kejahatan di mana-mana, termasuk Indonesia. Kajian ekonomi mengenai globalisasi menunjukan bahwa fenomena globalisasi ekonomi muncul di saat dibentuknya Konferensi Bretton Woods yang kemudian menjadi landasan institusional terhadap pendirian tiga organisasi ekonomi internasional yaitu IMF, World Bank dan GATT. Globalisasi sebagai proses ekonomi tidak terlepas dari proses institusiinstitusi politik, misalnya globalisasi ekonomi bisa mendorong menyusutnya kontrol pemerintah terhadap kebijakan ekonomi. Kemudian penyusutan soal prinsip kedaulatan negara dan kian membesarnya pengaruh organisasi antar-pemerintah dan prospek terhadap tatanan pemerintahan global (global governance). Globalisasi sebagai proses kultural tidak terlepas dari munculnya fenomena kultur global. Jadi pengamatan terhadap globalisasi tidak akan memadai jika tidak melakukan pengamatan atas dimensi kulturalnya saja. Sebagaimana ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA 06 EDISI MEI-JUNI TAHUN 2008 dinyatakan oleh sosiolog John Tomlinson: “Globalisasi berada di jantung modern, praktik-praktik kultural berada di jantung globalisasi.” Dengan demikian, globalisasi bukanlah fenomena satu dimensi, tetapi merupakan proses multidimensi yang melibatkan ranah kegiatan dan interaksi yang berbeda-beda termasuk ranah kultural. Fenomena globalisasi ditandai dengan ekspansi modal dan eskalasi perilaku konsumtif diberbagai bidang kehidupan. Globalisasi telah menciptakan varian penindasan kemanusiaan dalam bungkusan masyarakat industrial dan pasar global. Terpaan arus globalisasi ini telah memicu meningkatnya pelanggaran HAM yang bersifat sistemik dan struktural, dan pelanggaran-pelanggaran itu sulit dikenal satu per satu. Ancaman itu muncul akibat dari kegagalan kita sebagai bangsa untuk melindungi, mencegah dan mempromosikan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Hal ini bisa dilihat dari tingkat pengangguran yang tinggi, kemiskinan, gizi buruk, jumlah anak jalanan yang dilacurkan, dan yang terlampar dari sekolah telah meningkat drastis. Kaum petani kebanyakan tidak memiliki tanah lagi akibat dari adanya pencaplokan tanah milik mereka. Begitu juga dengan kondisi kehidupan kaum buruh yang serba tidak menentu. Opresi Modal dan Kondisi buruh Kelompok sosial pertama yang langsung terkena dampak globalisasi dan kapitalisme global adalah kaum buruh baik yang bekerja di sektor formal maupun yang informal. Sistem internasionalisasi modal telah mengatur secara detail tentang keahlian, profesionalitas, potensi dan sumber daya, upah minimun yang telah menyebabkan kondisi buruh di Indonesia terhempas ke ranah kemelaratan yang tidak menentu. Ini erat kaitannya dengan penciptaan lapangan kerja yang memadai dan peningkatan kondisi kehidupan para buruh sesuai standard ketentuan-ketentuan konvensi ILO dan UU Ketenagakerjaan. Akan tetapi, sampai sejauh ini kondisi buruh tetap saja diperlakukan seperti “sapi perah” oleh para pemilik modal. Hak-hak mereka dieksploitasi, sementara rasio gaji atau upah tidak berimbang dengan standard kelayakan hidup. Belum lagi, adanya tata cara kerja paksa dan perlakuan diskriminatif antara kelompok ekspatriat dan pribumi, berikut sentimen soal kesempatan di bidang karier. Padahal, ada beberapa ketentuan Konvensi ILO yang fundamental, dan pemerintah Indonesia telah meratifikasi beberapa dari konvensi tersebut di antaranya Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan untuk Bergabung dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi (1948), Konvensi No. 98 mengenai Penerapan Asas Hak untuk Berorganisasi dan untuk Berunding Bersama (1949), Konvensi ILO No. 29 dan 105 tentang Penghapusan Kerja Paksa atau Wajib Kerja (1930), Konvensi No. 100 dan 111, mengenai Kesamaan Pengupahan antara Buruh Pria dan Wanita untuk Pekerjaan yang Sederajat dan mengenai Diskriminasi dalam Hal Pekerjaan dan Jabatan, Konvensi N0. 138 mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Masuk Kerja (1973), Konvensi No. 182 tentang Pelanggaran dan Tindakan Segera Penghapusan BentukBentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, Konvensi No. 88 tentang Lembaga Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja (1948), Konvensi No. 106 tentang Istirahat Mingguan di Perdagangan dan Kantor (1957) dan Konvensi ILO No. 144 tentang Konsultasi Tr i p a r t i t u n t u k M e m a j u k a n Pelaksanaan Standar Perburuhan Internasional (1976). Selain ketentuan-ketentuan Konvensi ILO, pengaturan laporan utama maupun perlindungan hak-hak dan status buruh termaktub dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang secara eksplisit memposisikan buruh sebagai mitra, sekaligus jalinan kerja yang bersifat tripartit antara pemilik modal, buruh dan pemerintah. Pada bagian IV UU ini ada klausul tentang Perencanaan Ketenagakerjaan oleh Pemerintah, di mana kewajiban pemerintah adalah menetapkan kebijakan dan menyusun perencanaan strategis bagi tenaga kerja baik itu tenaga kerja mikro maupun makro. Namun harus diakui juga bahwa di satu sisi UU ini jauh dari harapan karena melegalkan sistem outsourcing yang ditentang kaum buruh. Artinya, perlindungan dan pengaturan tentang hak-hak buruh yang termaktub dalam konvensi ILO dan UU Ketenagakerjaan sama sekali tidak membuat hidup kaum buruh tertolong dan bebas dari belenggu kejahatan modal. Praktik-praktik penindasan masih terus berlangsung dalam sistem kapitalisme global. Kaum buruh merupakan kelompok sosial yang tersubordinatif dalam sistem ekonomi-politik yang dikelola oleh investor asing dengan konsep swastanisasi atau privatisasi aset-aset ekonomi negara. Bebas dari Opresi Modal Upaya pembebasan dari operasi modal dan bentuk-bentuk kejahatan modal bisa ditempuh dengan beberapa cara: pertama, konsep state-led development (pembangunan yang terpimpin oleh negara) perlu dibangkitkan lagi guna menghentikan laju kapitalisme global di bawah genggaman TNCs dan lembaga keuangan internasional. Hal ini selain selaras dengan prinsipprinsip moral dasar politik, juga terutama sejalan dengan paradigma tanggung jawab politik yang dianut oleh hak asasi manusia internasional. Secara lebih khusus, konsep pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya mengandaikan peran negara secara langsung (obligation of ressult) dan bersifat progressive realization; artinya sistem ekonomi-politik nasional harus di bawah pengelolan atau pengawasan langsung negara, bukannya diserahkan kepada pihak swasta. Kedua, perlu diciptakan dan ditegakkan aturan hukum yang bersifat ketat dan adil. Pemerintah perlu membuat kebijakan di bidang pembangunan ekonomi yang pada hakikatnya dapat meningkatkan kesejahteraan para buruh dan atau menciptakan sistem ekonomi politik yang berasaskan pada keadilan sosial sesuai mandat Konstitusi pasal 33 UUD 1945, demi terwujudnya kesejahteraan seluruh warga negara. Selain itu, pemerintah perlu merevisi kembali seluruh “kontrak karya” dengan perusahan-perusahan asing yang telah lama beroperasi di Indonesia. Ketiga adalah nasionalisasi seluruh modal (perusahaan) asing, khususnya TNCs dan MNCs. Negara-negara Amerika Latin seperti Bolivia, Nikaragua dan khususnya Venezuela yang bersatu di bawah lingkaran revolusi Bolivarian telah berhasil melakukan nasionalisasi terhadap perusahaanperusahaan asing dan multinasional asing. Sasarannya adalah menasionalisasikan seluruh korporat di bawah kendali TNCs dan menolak keterlibatan lembaga-lembaga keuangan i n t e r n a s i o n a l . Ve n e z u e l a merupakan salah satu negara di Amerika Latin yang berhasil membebaskan diri dari belenggu modal dalam bungkusan kapitalisme global, globalisasi, dan neoliberalisme. Ada baiknya pemerintah Indonesia belajar dari negara Venezuela, terutama di bidang pembangunan ekonomi nasional yang sudah lama di pasung dalam sistem ekonomi-politiknya IMF, World Bank dan TNCs/MNCs. Pembelajaran itu akan menyingkap fakta-fakta betapa negara kita ini sudah lama dijajah oleh agenda imperalisme modal global. Sumber Referensi: Globalisasi Menghempas Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2007 Manfred B. Steger, Globalisme, The New Market Ideology, (trj) Globalisme, Bangkitnya Ideologi Pasar, Yogyakarta: Lafadl, 2005. McChesney, Allan, Memajukan dan Membela Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Insist: Yogyakarta, 2003. Naisbit, John, Global Paradox, New York: William Marrow and Company, Inc., 1994. Petras, James dan Henry Ve l t m e y e r, G l o b a l i z a t i o n Unmasked, 2001, (terj) Kedok Globalisasi, Imperialisme Abad 21, Jakarta: Caraka Nusa, 2006 Soyomukti, Nurani, Revolusi Bolivarian, Hugo Chaves dan Politik Radikal, Yogyakarta: Resist Book, 2007. ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA EDISI MEI-JUNI TAHUN 2008 07 laporan utama Membebaskan Indonesia dari Jeratan Impunitas* B erapa banyak kekerasan hak asasi manusia di Indonesia yang belum dihukum sejak tahun 1965? Jawabannya: “Terlalu banyak.” Tapi jawaban ini tidak membantu para aktivis hak asasi manusia dalam memerangi impunitas. Karya tulis ini menganalisis mekanisme-mekanisme impunitas di Indonesia, mencoba menemukan pola-pola yang dipakai dan memberikan rekomendasi bagi penentuan prioritas dalam mengentaskan impunitas. Impunitas adalah “ketidakmungkinan, de jure dan de facto, untuk membawa para pelaku kejahatan dan kekerasan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya baik dalam proses persidangan pidana, perdata, administrasi atau disipliner karena mereka tidak tunduk pada penyidikan yang bisa mengarahkan mereka pada alasan mengapa mereka dituduh, ditangkap, diadili dan, jika ditemukan bersalah, dihukum dengan hukuman yang tepat, dan untuk melakukan reparasi bagi para korban.” (Orentlicher, 2005a: 6). Analisis telah diatursusun dengan menggunakan metode Penilaian Dampak Hak Asasi Manusia (Human Rights Impact Assessment, HRIA), dengan langkah-langkah berikut: (1) Situasi mutakhir sebuah deskripsi berdasarkan laporan hak asasi manusia inernasional dan Indonesia untuk memberikan gambaran tentang kekerasan hak asasi manusia yang terjadi (20042005); (2) Konteks politik difokuskan pada impunitas yang diarahkan pada analisis pola-pola impunitas selama periode 1965ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA 08 EDISI MEI-JUNI TAHUN 2008 2005; (3) Sasaran perubahan difokuskan pada pengentasan impunitas dengan menggunakan panduan PBB yang dikembangkan oleh Orentlicher; (4) Isu-isu yang akan dimonitor mendaftar isu-isu di mana pola-pola impunitas berkonflik dengan sasaran perubahan yang tampak pada sejumlah indikator spesifik yang dimonitor; (5) Kesimpulan dan rekomendasi termasuk prioritas untuk perubahan dan advokasi. Langkah-langkah tersisa dari Penilaian Dampak Hak Asasi Manusia yang mencakupi implementasi, monitoring dan evaluasi, hanya dapat diwujudkan setelah rekomendasirekomendasinya bisa diimplementasikan. 1. Situasi mutakhir Situasi mutakhir tentang kekerasan hak asasi manusia (2004-2005) telah dianalisis dengan mencocokan komitmen formal (compliance) dalam perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan implementasi dari hak-hak politik dan sipil yang utama. Tampak di atas kertas bahwa kendatipun ada janji untuk meratifikasi namun komitmen tersebut tidaklah memadai dan dalam praktiknya tetap terjadi sejumlah besar pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan bahwa mekanisme-mekanisme yang mendukung impunitas itu tetap saja berlaku, walaupun pemegang tampuk pimpinan Indonesia telah diganti pada 1998. 2. Konteks politik Dalam analisis tentang konteks politik, ada empat pola impunitas yang harus jelas: (1) aspek yang berkaitan dengan kekuasaan; (2) aspek hukum; (3) aspek kultural; (4) aspek internasional. 2.1. Aspek yang berkaitan dengan kekuasaan Aspek-aspek kekuasaan terkait adalah aspek kekuasaan militer dan kepolisian yang selama puluhan tahun telah membentengi diri mereka sendiri dan yang masing-masingnya melanjutkan praktik represi. Salah satu temuan penting adalah bahwa tentara Indonesia memiliki dua cara menerapkan impunitas: pertama adalah melalui model dwifungsi yang memberikannya kekuasaan untuk merepresi para warga negara di tingkat akar rumput tanpa kontrol sama sekali dari pemerintahan dan kekuasaan kehakiman; kedua adalah ketertutupan yang sengaja dikembangkan dalam pelbagai kegiatan ketentaraan, kapasitas dan kebijakan. 2.2. Aspek-aspek hukum Aspek-aspek legal dari impunitas dibagi atas legislasi dan praktik pengadilan. Undang-Undang telah dibuat dengan tujuan untuk mencegah pandangan-pandangan terbuka dan kritis tentang pelanggaran HAM. Para profesional yudisial dalam penuntutan dan para hakim bekerja dalam iklim di mana penghukuman terhadap kejahatan hak asasi manusia adalah hal yang tidak mungkin. Lebih khusus, korupsi di lembaga kehakiman dan pelbagai profesi hukum lainnya akhirnya menghasilkan praktik pengimbangan kekuatan (tradeoff) dan “penjualan” keputusan dalam kasus-kasus yang dibawa laporan utama ke pengadilan. Akhirnya, sejak 1998, sebuah proses reformasi hukum telah dimulai. Namun pada saat itu, tampaklah bahwa begitu banyak mekanisme untuk menegakkan kedaulatan hukum (rule of law), dan bahwa jumlah yang begitu banyak itu malah menjadi penghalang bagi penuntutan dan penghukuman. 2.3. Aspek kultural Terdapat banyak sinyal dan pernyataan dari pelbagai narasumber yang menunjukkan bahwa kultur feodalisme masih tetap bercokol kuat dalam masyarakat. Hal itu membuat impunitas bukan hanya mungkin, melainkan merupakan suatu unsur esensial dalam kultur masyarakat sekarang ini. Perilaku “asal bapak senang”, tidak kritis, dan sopan santun hipokrit merupakan ciri khas paling jelas dari kultur feodalisme. Dua jenis perilaku lainnya juga berkaitan erat dengan hal itu, yaitu kultur kekerasan mengatasi konflik bukan dengan dialog dan debat melainkan dengan kekerasan dan budaya kemunafikan (culture of fabrication) karena adanya tuntutan sopan santun dalam masyarakat maka orang cenderung untuk tidak menggali kebenaran dan menyingkapkan fakta-fakta. Akhirnya, ada juga kultur korupsi yang menerima begitu saja praktik-praktik korupsi dan memaafkan begitu saja ketika praktik korupsi itu terbukti. Semua perilaku itu secara bersama-sama memperkuat tindakan menutupnutupi ketika dihadapkan pada tuntutan untuk menghukum kejahatan hak asasi manusia. 2.4. Aspek-aspek internasional Perjanjian-perjanjian internasional tidak mengijinkan terjadinya impunitas. Kendati Indonesia belum meratifikasi semua perjanjian itu, namun sudah tercakup dalam konsep common law bahwa impunitas tidak boleh dibiarkan hidup. Kurangnya implementasi atas perjanjianperjanjian ini, dan kurangnya tekanan internasional untuk membuat perjanjian-perjanjian itu diimplementasikan dengan lebih baik, turut menyebabkan kelanggengan impunitas. Salah satu masalahnya adalah cara yang tidak memadai tentang bagaimana impunitas dimasukkan ke dalam perjanjianperjanjian itu. Masalah lainnya lagi adalah kurangnya komitmen politik (political will) untuk melakukan tekanan seperti itu. Contoh-contoh pelanggaran hak asasi manusia yang berkaitan dengan kasus 1965 dan kasuskasus di Timor Timur sejak 1975 memperlihatkan bahwa mekanisme-mekanisme internasional PBB belum berjalan efektif sama sekali. Satu-satunya pengecualian adalah program pelepasan bagi para tahanan politik yang didesak oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO) kepada pemerintah Indonesia pada tahun 1976-1979. Jurisdiksi universal merupakan sistem yang dengannya penuntutan dan pengadilan bisa diinisiasi oleh negara-negara lain dan bukan sekadar oleh negara di mana pelanggaran HAM terjadi, dan lebih mengarah kepada para pelakunya dalam kapasitas individual dan bukan mengarah pada kapasitasnya sebagai warga bangsa atau negara tertentu. Namun demikian, jurisdiksi universal belum pernah diterapkan dalam kasus Indonesia, tidak juga dalam kasus Timor Timur, baik dalam bentuk sebuah Pengadilan (Tribunal) Internasional maupun dalam bentuk penuntutan individual yang dilakukan di negara-negara lain. Dalam hubungan bilateral, impunitas tidak pernah menjadi isu yang penting. Sejauh yang kita ketahui, pelanggaran HAM, hanya dibahas secara sambil lalu. Intervensi-intervensi diplomatik pada dasarnya memang tidak transparan. Bertahun-tahun sejak 1965, tampak jelas bahwa tekanan bilateral asing hanya mendatangkan sedikit perubahan dalam situasi represi yang dialami oleh ratusan dari ribuan orang yang “terlibat” dalam apa yang disebut sebagai kudeta gagal itu, dan bahkan tidak memberi perhatian apa pun berkaitan dengan impunitas. Persyaratan tertentu (conditionality) dalam hubungan internasional pada hakikatnya merupakan alat yang dipakai untuk menekan perubahan tertentu di sebuah negara berkembang oleh negara donor atau sekelompok negara donor. Persyaratan pada umumnya berarti menerapkan kekuasaan negara donor kepada negara penerima, dan sangat diragukan apakah persyaratan itu dapat diterima jika berkaitan dengan persoalan hak asasi manusia. Dalam kasus Indonesia, IGGI (Intergovernmental Group on Indonesia), yang setelah tahun 1992 berubah menjadi CGI (Consultative Group on Indonesia), telah menjadi sangat enggan untuk mengajukan persyaratan berupa permintaan sebagai imbalan dari pemberian bantuan kerja sama, pinjaman dan hibah. Pada tahun 1992, IGGI telah diganti menjadi CGI oleh pemerintah Indonesia setelah retaknya hubungan kerja sama antara Indonesia dan Belanda, karena pemerintah Belanda melakukan kritik terhadap tragedi pembantaian massal Santa Cruz, Dili, pada tahun 1991. Pemerintah Belanda kemudian kehilangan kursi kepemimpinan dalam IGGI. CGI kemudian dikepalai oleh Bank Dunia (World Bank). Perilaku pemerintah Indonesia dalam menghadapi persyaratan dalam kerja sama bantuan masih tetap demikian sejak saat itu. 3. Sasaran perubahan Sasaran perubahan-perubahan dalam kasus ini berarti sebuah proses menuju lenyapnya impunitas telah diturunkan dari Pedoman PBB yang belum lama (April 2005) diadopsi, yang drafnya dipersiapkan oleh Prof. Orentlicher. Ia membagi sasaran dari suatu masyarakat tanpa impunitas dalam terminologi-hak sebagai berikut: (1) hak untuk mengetahui; (2) hak atas keadilan; (3) hak atas reparasi; (4) jaminan ketakberulangan. Pada dasarnya, pedoman tersebut berfokus pada sasaran perubahan dalam periode transisi ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA EDISI MEI-JUNI TAHUN 2008 09 laporan utama dari pemerintahan otoritarian menuju tatanan demokratis, dan diarahkan pada kesulitankesulitan menangani sejarah pelanggaran hak asasi manusia. Karena itu, dalam pedoman tersebut, suatu analisis impunitas menjadi sangat kurang dan prosedur-prosedur yang diajukan sangat pragmatis. Ketiga hak yang disebutkan di atas sangat esensial untuk menyikapi sejarah impunitas, sementara yang t e r a k h i r, “ j a m i n a n ketakberulangan”, merupakan poin paling penting untuk kepentingan masa depan, yaitu bagaimana mencegah mekanisme-mekanisme impunitas tetap melanggeng atau kembali. 4. Rekomendasi Dipandang dari perspektif s a s a r a n , j a m i n a n ketakberulangan mendapatkan prioritas tertinggi karena ia berhubungan dengan pencegahan impunitas di masa depan. Dalam konteks ini, gugus prioritas tinggi yang kedua yang harus diambil di Indonesia untuk mengentaskan impunitas adalah soal relasi kekuasaan. Tentara harus dibuat akuntabel atas pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu dengan sebuah proses kebenaran dan keadilan melalui sebuah pengadilan yang bersih. Dan di masa depan, tentara harus ditempatkan di bawah pengawasan sipil, tanpa pengaruh politik dan kepentingan ekonomi apa pun. Tanggung jawab dari kesatuan tentara harus ditetapkan secara tegas, kelompok-kelompok paramiliter harus dibekukan dan anggota-anggotanya harus dibawa ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan kejahatan mereka. Lagi-lagi, sebuah pengadilan yang bersih sangat diperlukan. Semua itu di satu sisi merupakan keputusan politik yang harus diambil oleh pemerintahan sipil, namun selama waktu itu Menteri Pertahanan memerlukan tentara sebagai mitra koalisi untuk mengamankan kekuasaan. Risiko sebuah kudeta tetap dapat dibayangkan. Di sisi lain, keputusan-keputusan ini juga ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA 10 EDISI MEI-JUNI TAHUN 2008 sangat tergantung pada kebersihan lembaga kehakiman dari korupsi. Hal ini berhubungan erat dengan prioritas penting ketiga yaitu suatu perlawanan yang jelas dan transparan terhadap korupsi. Banyak komisi dan pengadilan, penuntut khusus dan legislasi harus dihubungkan ke dalam satu prosedur yang bersih yang dikepalai oleh Kejaksaan Agung. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi menjamin suatu prioritas yang tinggi karena menyikapi masalah adalah suatu keharusan. Pelbagai NGO tetap menginginkan amendemen terhadap UU KKR (UU No. 27 Tahun 2004) dengan tujuan untuk memperbaiki sejumlah kelemahan: (1) Bahwa amnesti dapat diberikan terhadap kejahatan yang tidak dapat d i a m p u n i , s e p e r t i pertanggungjawaban atas penghukuman mati di luar atau tanpa proses pengadilan (extrajudicial execution), penghilangan yang dipaksakan dan penyiksaan; (2) Bahwa pelaku seperti itu belum ditetapkan dan hanya dipandang dalam kapasitas individual dan bukan institusional, sementara kejahatan yang diidentifikasi seperti kejahatan perang dan genosida merupakan kejahatan yang lebih sering terjadi; (3) Bahwa reparasi atas korban hanya mungkin setelah amnesti diberikan kepada para pelaku; Dan (4) bahwa KKR adalah alat untuk menggantikan proses yudisial dan bukan, sebagaimana disarankan dalam Prinsip-Prinsip Acuan, sebagai sebuah prosedur tambahan. Dalam implementasinya, banyak NGO sangat tidak puas dengan seleksi anggota KKR, yang menurut mereka telah menghasilkan sejumlah anggota kandidat tanpa pengetahuan memadai tentang kejahatan dan kekerasan hak asasi manusia dan banyaknya jumlah anggota yang merupakan mantan militer. Ini tidak dapat “dipatahkan”. Karena itu, dibutuhkan monitoring ekstra tentang apa yang terjadi dalam KKR itu dan dukungan dari gerakan hak asasi manusia yang lebih luas terhadap beberapa “wakil” mereka yang terpilih dalam KKR.1 Akhirnya, apa yang mendesak menurut banyak narasumber saya adalah sebuah pusat dokumentasi sejarah dengan sejumlah gugus tugas seperti berikut: (1) Untuk mengidentifikasi isu-isu untuk penelitian kritis tentang pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu oleh para sejarawan; (2) Untuk melakukan r i s e t t e r s e b u t d a n mempublikasikan hasil-hasilnya secara luas; (3) Untuk memberikan nasihat atau masukan kepada institusi-institusi pendidikan untuk melakukan perubahan dalam kurikulum pendidikan sejarah; Dan (4) untuk menstimulasi debat publik tentang pelanggaran hak asasi manusia dan pelbagai praktik ketidakadilan di masa lalu. Pusat dokumentasi yang benar-benar independen ini harus memiliki beberapa kompetensi minimal sebagai berikut: (1) Akses terhadap data pemerintahan dan yudisial (lembaga-lembaga hukum); (2) Sumber daya yang cukup untuk menjalankan prioritasnya sendiri; (3) Memberikan masukan tentang prosedur melawan pelaku oleh Kejaksaan Agung: (4) Dan memberikan masukan tentang pemberian ganti rugi dan reparasi bagi para korban oleh pemerintah. Sebuah riset yang aktif ke dalam, dan sebuah tinjauan tentang, pelanggaran hak asasi manusia harus mendukung perbaikan atas ketidakadilan di masa lalu. Penderitaan individual yang berkaitan dengan kebenaran dari pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu harus diakui dalam konteks tinjauan itu, sebelum keputusan-keputusan diambil dalam kaitan dengan pengadilan, reparasi, dan amnesti. Catatan: * Tulisan ini merupakan petikan dari executive summary hasil penelitian Martha Meijer, The Scope of Impunity in Indonesia, Utrecht: HOM, 2006 (terj. Indonesia oleh Eddie Sius Riyadi, Jangkauan Impunitas di Indonesia, Jaringan Impunitas dan PBHI, 2007). 1 UU KKR dibatalkan atas dasar putusan Mahkamah Konstitusi, Desember 2006 (pnrj). laporan utama Guru ”Kritis” di Bawah Rejim Ujian Oleh T.R. Arif Faisal (Kordinator Eksekutif SAHdaR) H ari Rabu tanggal 23 April 2008, sekitar pukul 13.30 WIB, beberapa orang polisi berpakaian preman diikuti satu regu pasukan DENSUS 88, melompati pagar sekolah kemudian merangsek masuk ke sekolah SMA Negeri 2 Lubuk Pakam, Deli Serdang. Mereka langsung menuju sebuah ruangan (yang kemudian diketahui sebagai ruangan penyimpanan berkas U N ) . Ta k l a m a b e r s e l a n g terdengar satu letusan senjata dan satu orang anggota DENSUS 88 menendang pintu diikuti yang lainnya menyerbu masuk langsung menodongkan senjata otomatis kepada guru yang tidak bersenjata sedang duduk-duduk di dalam ruangan, sementara kegiatan memperbaiki lembar jawaban UN siswa telah selesai dilaksanakan. Enam belas orang Guru yang berada di dalam ruang terkejut namun belum sempat hilang rasa terkejut, mereka dipaksa mengakui bahwa mereka sedang memperbaiki lembar jawaban dan mereka langsung di giring ke Mapolres Deli Serdang untuk dimintai keterangan sebagai tersangka dengan tuduhan telah memalsukan dokumen. Hari-hari berikutnya, di media massa baik lokal maupun nasional ramai memberitakannya, muncul perdebatan apakah guru sebagai pelaku sebenarnya atau korban dari kebijakan. Tentu saja kalau memakai pendekatan hukum pidana, dilihat sepintas, guru merupakan pelaku yang berhak dihukum karena telah berlaku curang melakukan perbaikan lembar ujian siswa, tetapi kalau mendalami dan menghayati latar belakang diselenggarakannya UN, terutama mempergunakan prinsip dan pendekatan pendidikan kritis, guru justru telah menjadi korban tanpa mereka sadari. Lebih jauh, kalau dicermati penulis berani mengatakan ada ideologi tersembunyi yang menyelubungi rezim Ujian ini. Ujian Nasional atau sering disingkat UN mulai diterapkan pada tahun ajaran 2002/2003. Malik Fadjar yang ketika itu Mendiknas mencetuskan pelaksanaan UN untuk mengganti Ebtanas yang dihapus oleh Mendiknas yang bijaksana Yahya Muhaimin. Bukan mengikuti pendahulunya atau belajar dari masa lalu, Malik Fadjar justru memperkuat cara-cara yang gagal dialami oleh rezim sebelumnya dan kebijakan ini kemudian diteruskan oleh Bambang Sudibyo yang lebih kencang lagi menekankan evaluasi belajar harus dilaksanakan secara nasional, daerah dan sekolah harus ikut. Kekuasaan pemerintah menjadi sangat dominan sedangkan paradigma pendidikan yang mencerahkan dan membebaskan menjadi kalah. H.A.R. Tilaar sampai pernah mengemukakan bahwa memang benar kekuasaan sangat diperlukan agar pendidikan dapat diselenggarakan, namun masalahnya kemudian apabila kekuasaan itu justru tidak sesuai dengan arah dari proses pendidikan yang sebenarnya. Menurutnya, proses pendidikan yang sebenarnya adalah proses pembebasan dengan jalan memberikan kepada peserta didik suatu kesadaran akan kemampuan kemandirian atau memberikan kekuasaan kepadanya untuk menjadi individu. Kekuasaan dalam pendidikan berbeda dengan kekuasaan yang dipahami sebagaimana kehidupan sehari-hari. Kekuasaan dalam pendidikan adalah bersifat kekuasaan yang transformatif. Tujuannya ialah dalam proses terjadinya hubungan kekuasaan tidak ada bentuk subordinasi antara subjek dengan subjek yang lain. Kekuasaan yang transformatif bahkan membangkitkan refleksi dan refleksi tersebut menimbulkan aksi yang berorientasi advokatif. Di dalam proses kekuasaan sebagai transmitif terjadi sebaliknya, proses transmisi yang diinginkan oleh subjek yang memegang kekuasaan terhadap subjek yang terkena kekuasaan itu sendiri yang berorientasi legitimatif, dengan model ini, menurut Freire sebagai proses pelaksanaan kekuasaan untuk suatu aksi dari subjek yang bersifat robotik karena sekedar menerima atau dituangkan sesuatu ke dalam bejana subjek yang bersangkutan. Dalam UN, sangat kelihatan pendidikan dipakai sebagai transmisi untuk memaksakan sesuatu ide. Kekuatan ini bermain dengan paradigma, pertama, paksaan untuk menasionalkan evaluasi yang terkontrol yakni standar nasional pendidikan, kedua, menyamaratakan standar penilaian, tidak ada penilaian berbasis kelas serta menghilangkan penilaian guru yang berinteraksi dengan siswa, ketiga, soal dibuat oleh Pemerintah Pusat bukan hasil dari proses belajar, keempat, daerah dipaksa harus tunduk dan ikut, dan kelima, menghidupkan industri percetakan. Dengan model ini, Tilaar menyebut sebagai adanya imprealisme pendidikan dan kekuasaan yang merasuk dalam pendidikan, hal ini dapat dilihat ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA EDISI MEI-JUNI TAHUN 2008 11 laporan utama dengan indikator seperti peserta didik menjadi subjek eksploitasi oleh suatu kekuasaaan di luar pendidikan dan menjadikan peserta didik sebagai budak dan alat dari penjajahan mental dari yang mempunyai kekuasaan. Menekankan pada standar dan seolah standar telah menjadi milik atau monopoli dari birokrasi pendidikan sehingga peserta didik semata-mata menjadi objek dari kekuasaan birokrasi. Kondisi ini mirip dengan pendidikan pada masa Kolonial Belanda, pernah diungkapkan oleh S. Nasution bahwa pendidikan kolonial Belanda yang bertujuan untuk mencapai keuntungan dari negeri jajahan dengan memperalat anak negeri jajahan, pendidikan dijadikan alat untuk membuat patuh dan tunduk pada keinginan kolonialisme. Seperti, pertama, penerapan prinsip konkordansi yang memaksa semua sekolah berorientasi mengikuti model sekolah di Nederland dan menghalangi penyesuaiannya dengan keadaan di Indonesia, kedua, kontrol sentral yang ketat yang menciptakan birokrasi yang ketat yang hanya memungkinkan perubahan kurikulum dengan persetujuan para pembesar di Indonesia maupun di Negeri Belanda. Terlepas dari itu, ada yang mengatakan bahwa UN memang harus ada tetapi diterapkan pada waktu dan tempat yang salah, pada saat wajah pendidikan kita masih memperlihatkan wajah yang buruk karena belum dipenuhinya availability dan accessibility, saat itu pula dilakukan standarisasi dengan UN, ada lagi yang mengatakan masih terjadi kesenjangan antara kaya dan miskin, antara daerah kaya dan miskin, serta antara kota dan desa, demikian pula kebutuhan kita masih berkutat dengan angka buta huruf yang tinggi dan penyediaan fasilitas penunjang pendidikan yang memadai, Tetapi kenapa UN justru dipaksa harus dilaksanakan. Hampir seluruh prinsipprinsip yang dianut dalam ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA 12 EDISI MEI-JUNI TAHUN 2008 pendidikan baik metode maupun filosofinya dijungkir balikkan, bahkan ada yang mengatakan dengan istilah bahwa UN adalah bentuk 'pembusukan pendidikan' (education decay). Tilaar menyebutnya sebagai proses pembodohan, untuk menunjukkan inkonsistensi kebijakan pendidikan, yang membingungkan pelaku pendidikan dan menyesatkan pengguna pendidikan dalam hal ini anakanak, karena pendidikan diselenggarakan bukan untuk mengajak manusia berpikir tetapi menjadi manusia yang menghadapi kehidupan sebagai menghadapi teka-teki silang saja, tidak memberikan ruang analitis dan mencari alternatif yang terbaik dalam situasi yang dihadapi, sehingga tidak mengembangkan kemampuan rasio manusia dan bahkan melumpuhkan kemampuan berpikir manusia. Problem kemudian bukan guru yang salah atau murid yang tidak mampu mengikuti, tapi memang UN tidak sesuai dengan kondisi pendidikan yang ada, menyamaratakan kemajemukan anak dari berbagai daerah dan sekolah seperti memaksakan pikiran pembuat soal agar ikut kemauannya, mereka dipaksa harus bisa sama dengan pembuat kebijakan, di sisi lain, kemampuan guru yang beragam bahkan banyak guru justru tidak menguasai apa yang di ujikan di UN. Lantas cara lain pun ditempuh, bahkan sangat ekstrim membentuk tim sukses (yang memperbaiki lembar jawaban atau membocorkan soal) agar anakanak sukses dengan predikat lulus. Jalan ini ditempuh sebahagian besar guru, karena mau tidak mau, suka tidak suka kebijakan UN harus dijalankan, upaya-upaya “menyukseskan” pelaksanaan UN menjadi pilihan utama, memilih jalan menentang dianggap beresiko karena berhadapan dengan kekuasaan absolut. Anak-anak tidak bisa memilih yang terbaik bagi dirinya, mereka harus hidup sesuai apa yang telah digariskan kepada mereka, seolah-olah hidup telah ditentukan dan tidak boleh memilih. G e r a r d u s W e r u i n menggambarkan pembelajaran di sekolah bukan dalam suasana yang menyenangkan dan merdeka, tetapi menjadi beban dan suatu paksaan terhadap anakanak. UN menjadi hal yang lebih memberatkan, mencemaskan, dan menakutkan anak karena menentukan kelulusan dan tamat belajar. Hari-hari belajarnya diwarnai dengan latihan soal dan menghafal untuk menghadapi UN yang telah ditentukan oleh birokrasi pendidikan, tahap mengenal (know), tahap memahami (understand), dan tahap menguasai (mastering) ditinggalkan, prosesnya langsung lompat siswa harus menguasai. Mereka akan sulit untuk dapat keluar dari permasalahanpermasalahan yang menghalangi perkembangan mereka. Kalau kita belajar dari Jhon Dewey, seorang filosof pendidikan yang karyanya kemudian banyak dikutip dan dianut oleh para pakar pendidikan di seluruh dunia, pernah mengemukakan di dalam karyanya Experience and Education, bahwa penekanan pengalaman dalam proses belajar memiliki peranan yang sangat penting, pengalaman sebagai proses belajar merupakan suatu proses berkesinambungan dari masa lalu, sekarang dan masa depan. Pandangan Jhon Dewey ini kemudian dianut oleh aliran pragmatisme yang kemudian mengajukan prinsip-prinsip yang sangat dikenal sebagai bentuk penolakan kepada sistem pendidikan klasik yang berkembang di Amerika pada saat itu, penolakan pertama, mengajar secara formal dan berjalan rutin, kedua, melaksanakan kurikulum yang telah ditentukan terlebih dahulu yang menekankan kepada mata pelajaran dibandingkan kebutuhan dan minat peserta didik yang spontan, ketiga, Menolak situasi-situasi kompetitif yang melahirkan suasana permusuhan di antara peserta didik, keempat, proses belajar yang diarahkan kepada ujian, kelima, Insentif eksternal dalam proses belajar seperti hadiah dan hukuman, serta laporan utama praktik-praktiik pendidikan yang sifatnya eksplisit sehingga tidak memacu proses belajar yang sebenarnya. Kembali ke pembahasan awal, walau pun begitu tidak relevannya sistem ujian masih diterapkan, tak habis pikir Mendiknas Bambang Sudibyo mempertahankan mati-matian UN harus tetap dilaksanakan, seolah kritik dan penolak hanya merupakan suara-suara yang berseliweran di sekeliling gedung Depdiknas. Sampai sekarang bahkan mungkin tahun depan tidak ada tanda-tanda bahwa UN bakal dihentikan atau diganti ke bentuk lain yang lebih sesuai dengan perkembangan filosofi pendidikan, walaupun berbagai bentuk penolakan dilakukan, bahkan Wapres Jusuf Kalla pernah mengatakan, silahkan demonstrasi, tahun depan UN tetap dilaksanakan. Dan lebih kontras manakala menyukseskan pelaksanaan UN, harus dipaksa dibawah todongan senjata, di negara manapun di dunia ini baru Indonesia yang melakukan praktek ini. Di balik kukuhnya sikap Menteri Pendidikan Nasional yang mendapat dukungan dari Wakil Presiden R.I, ternyata ada sejumlah besar dana yang dikucurkan untuk pelaksanaan UN, pada tahun 2004 sebagai contoh, dana yang disediakan dalam APBN sebesar Rp 259.722.500.000. Jumlah tersebut akan semakin membengkak karena Pemerintah Daerah, Provinsi dan Kabupaten/Kota juga diwajibkan ikut menyediakan dana pendamping dalam APBD. Pada pelaksanaan UN April 2008, dana yang dihabiskan dari APBN mencapai Rp 572.9 milyar, itu belum termasuk dana pendamping baik yang dialokasikan pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota dan sekolah. Sebagai contoh misalnya Jawa Timur, untuk pelaksanaan UN pemerintah provinsi menganggarkan hampir Rp 47,89 miliar yang diambil dari APBN dan APBD, itu belum termasuk dana yang disubsidi untuk SMK sebesar Rp. 50 ribu per siswa. Sedangkan Kabupaten/Kota menganggarkan dalam APBD bervariasi tetapi jumlahnya antara Rp. 2 hingga 10 miliar, untuk dana pendamping yang bersumber dari APBS seperti misalnya di kota Bandung mencapai Rp. 50 juta yang diambil dari uang sumbangan pendidikan yang kemudian dana-dana itu hanya dihabiskan dalam waktu satu minggu. 1 Lantas kemana danadana itu mengalir, yang sangat jelas perusahaan rekanan pencetak soal akan sangat diuntungkan, birokrasi yang menjadi panitia pelaksana juga akan sangat diuntungkan seperti Kadis Pendidikan Sumut, yang ketangkap menilep dana Rp. 1,5 miliar untuk pelaksanaan UN tahun 2006/2007.2 Kembali kepada peristiwa yang dialami guru Lubuk Pakam, tentu saja tidak dapat dibenarkan upaya memperbaiki lembar jawaban, tindakan ini merupakan sesuatu yang salah, tetapi perlu diingat, bahwa guru terpaksa melakukan itu sebab berada dalam tekanan rejim ujian yang tidak memberikan pilihan. Disadari oleh guru, rejim ini telah menggiring guru ke posisi yang justru menghancurkan siswa, setiap hari kondisi tambah buruk dan semakin memperburuk pula wajah pendidikan kita. Rezim ini telah menggantikan peran guru dengan bimbingan test bahkan digantikan tim sukses. Guru tidak menjadi transformator lagi, tetapi hanya sebagai penyukses dan panjangan hari-hari yang dilalui oleh siswa di ruang kelas, siswa telah menyerahkan nasibnya kepada kelulusan yang pasti diraih. Jelas saja menuruti rezim ini akan menyulitkan peran guru bahkan nantinya menghapus profesi ini, karena sudah tidak dibutuhkan lagi. Bahaya ini sudah terlihat dari survey yang dilakukan SAHdaR di beberapa sekolah di Medan, Deli Serdang, Tebing Tinggi, Langkat dan Serdang Bedagai, disimpulkan hampir sebahagian murid yakin bakal lulus, kalau pun tidak lulus ada cara lain yang dapat ditempuh, sedangkan dalam proses belajar mengajar, para murid sudah mulai meremehkan peran guru sebab mereka tetap lulus atau paling tidak akan dibantu tim sukses. Sikap yang harus diambil, sekolah-sekolah harus berani menolak untuk melaksanakan kemauan rejim UN dan kenapa tidak guru juga ikut serta sekalian bahkan berada di depan menentang rejim ujian ini. Sikap diam dan mencari jalan pintas sudah pasti harus disadari adalah tindakan yang salah dan telah melanggar sumpah seorang guru ketika berani memilih profesi ini, tapi kenapa justru tidak berani melawan malah hanya tunduk untuk ditindas. Melindungi dan membiarkan kemauan rejim UN tidak akan menyelamatkan guru tetapi justru akan menempatkan guru sebagai pelaku kriminal walaupun bukan pelaku sebenarnya, posisi ini akan tetap disandang guru sampai kapan pun walaupun dengan berbagai cara dapat lolos dari jerat hukum. Rejim ujian telah menempatkan guru selamanya berada dalam bayang-bayangnya sambil menikmati penghasilan yang melimpah sebagai pelaku yang sebenarnya dari kejahatan ini, penilaian buruk akan tetap dibebankan kepada guru. Kekritisan guru yang pernah ada, kini hanya tinggal menjadi guru yang sedang kritis di bawah tekanan rejim ujian. Lantas melihat situasi begitu kukuhnya kekuatan yang menguasai pendidikan, banyak aktivis Gerakan Pendidikan Rakyat mengkampanyekan pendidikan alternatif dengan metode dan filosofi pendidikan kritis yang memerdekakan, tetapi menurut penulis yang kita butuhkan dan yang harus kita lakukan saat ini bukan hanya sekedar pendidikan yang memerdekakan tapi memerdekakan pendidikan harus menjadi prioritas utama. 1.Diolah dari berbagai sumber 2.ibid ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA EDISI MEI-JUNI TAHUN 2008 13 nasional Kenaikan Harga BBM, Anggaran, dan Tanggung Jawab Negara Oleh Triana Dyah & Otto Adi Yulianto (Pustakawati di ELSAM & Deputi Direktur Bidang Urusan Internal) K eputusan pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri per 24 Mei 2008 diambil sebagai akibat pemerintah kewalahan dengan meningkatnya subsidi untuk BBM, yang menekan sisi pengeluaran dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2008. Kenaikan alokasi subsidi BBM sehingga jauh melampaui jumlah yang dianggarkan tersebut dikarenakan oleh kenaikan harga minyak d u n i a d i p a s a r internasional, yang makin jauh melampaui asumsi harga minyak dalam APBN. Keputusan ini bisa jadi akan menyelamatkan APBN, instrumen yang konon untuk menciptakan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dikatakan “konon” karena hal ini lebih sebagai normativitas yang masih perlu diuji secara empirik. Dalam perkara APBN ini, tentunya aspek tujuan lebih utama dari aspek instrumennya, apalagi bila masih “konon”. Kenaikan harga BBM bisa jadi akan menyelamatkan aspek instrumen (APBN), namun bagaimanakah dengan aspek tujuannya? Dengan memper timbangkan aspek tujuannya tersebut, kebijakan pemerintah yang menaikkan harga BBM di dalam negeri ini perlu ditinjau: apa implikasinya kenaikan harga ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA 14 EDISI MEI-JUNI TAHUN 2008 BBM ini terhadap kesejahteraan sosial bagi warga negara Indonesia, terutama mereka yang saat ini dikategorikan sebagai kelompok miskin dan nyaris miskin? Apa implikasi dari kebijakan menaikkan harga BBM ini terhadap kesejahteraan sosial bagi warga negara di saat krisis pangan dunia sedang berlangsung? Apa kaitannya kebijakan dan peristiwa ini dengan persoalan tanggung jawab negara akan kesejahteraan sosial bagi warga negaranya, khususnya berkenaan dengan aspek pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya? Mengapa Harga BBM Naik? Mengapa harga minyak dunia naik? Penyebab yang fundamental, terjadi penurunan pasokan minyak dunia saat ini karena adanya sejumlah kejadian yang menghambat produksi dan distribusi minyak di beberapa negara penghasil minyak. Misalnya di Negara Sudan akibat adanya peristiwa bentrokan bersenjata yang menyebabkan proses produksi dan distribusi minyak di sana terganggu. Penyebab lainnya adalah faktor spekulasi. Makin berkurangnya ketersediaan dan proyeksi produksi minyak bumi ke depan dibanding dengan proyeksi kebutuhannya yang makin meningkat telah menjadikan minyak menjadi salah satu komoditi untuk kepentingan spekulasi. Minyak merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, sementara dari sisi permintaan terus meningkat seiring dengan m a k i n p e s a t n y a pertumbuhan industri dunia, seperti yang terlihat misalnya di Cina dalam kurun 10 tahun terakhir ini. Aksi para spekulan minyak tersebut amat menentukan dan berdampak pada naik turunnya harga minyak dunia. Kenaikan harga minyak dunia yang terjadi saat ini juga tidak bisa dilepaskan dari ulah para spekulan tersebut. Mengapa pemerintah kewalahan? Harga minyak dunia yang terus meningkat hingga melampaui dan makin menjauh dari harga US$ 95 per barel (patokan APBN 2008), mengakibatkan peningkatan yang signifikan bagi pos pengeluaran APBN, khususnya pos subsidi BBM. Peningkatan pengeluaran nasional kenaikan alokasi dana bagi subsidi BBM dalam APBN dengan menaikkan harga BBM di dalam negeri. Dampak Kenaikan Harga BBM untuk subsidi BBM yang jauh melampaui anggarannya ini berakibat akan mengganggu desain sisi pengeluaran APBN saat ini. Sementara dari sisi pendapatan, kenaikan pendapatan pajak akibat dari kenaikan harga minyak tersebut tidak signifikan bila dibanding dengan sisi pengeluaran untuk subsidi BBM. Alokasi dana subsidi BBM tahun 2008 adalah sebesar Rp 75,6 trilyun, dengan asumsi harga minyak per barel sebesar US$ 95 dan konsumsi sebanyak 35,4 juta kiloliter dengan konversi 1 kiloliter sama dengan 6,29 barel . Sementara saat ini (26 Mei 2008) harga minyak per barel sudah mencapai sebesar US$ 124, 95 Dengan jumlah konsumsi yang sama, diperkirakan subsidi BBM akan menjadi sebesar Rp 141 trilyun. Sementara sekadar perbandingan saja, pendapatan minyak bumi pada 2007 hanya Rp 55,53 trilyun. Dengan mempertimbangkan adanya tekanan yang besar terhadap APBN ini maka pemerintah kemudian berusaha menekan dan mengurangi potensi Kenaikan harga BBM di dalam negeri akan menyelamatkan APBN dari tekanan. Dari APBN yang selamat ini pemerintah kemudian memberikan kompensasi sebagai pengganti. Bentuknya berupa dana bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp 100.000 per bulan/keluarga miskin yang diberikan sekaligus untuk tiga bulan. Keefektifannya dalam meredam dampak buruk yang dialami warga negara akibat kenaikan harga BBM ini belum terlihat. Di tahun-tahun sebelumnya, juga pernah dilakukan sejumlah program kompensasi (misalnya jaring pengaman sosial, beras untuk rakyat miskin (raskin), juga BLT), namun ternyata tetap saja angka kemiskinan bertambah. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), angka kemiskinan seluruh Indonesia pada tahun 2004 sebesar 36,1 juta jiwa dan tahun 2008 justru meningkat menjadi 38 juta jiwa. Dari APBN yang tergerus, hal apakah yang mampu dilakukan oleh pemerintah saat ini yang dapat melampaui apa yang pernah dilakukan sebelumnya? Kompensasi tidak signifikan, namun implikasi langsung kenaikan harga BBM tersebut bagi warga negara kebanyakan langsung terasa. Kenaikan harga minyak akan berdampak meningkatkan jumlah orang yang kehilangan mata pencaharian dan pekerjaan. Nelayan akan makin berat dan jarang melaut. Pabrik akan melakukan efisiensi dan pengurangan produksi yang berdampak pada meningkatnya pengangguran. Pekerjaan di sektor domestik juga terimbas, pekerja rumah tangga dan baby sitter di-PHK demi pengetatan anggaran. Kenaikan harga minyak akan menghasilkan multiflier effect. Inflasi, efek domino kenaikan harga, termasuk juga kebutuhan pokok. Kenaikan harga-harga juga akan mengurangi kemampuan kalangan miskin dalam mengakses pendidikan dan kesehatan. Terlebih di saat persoalan kesehatan dan pendidikan, yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara, kini diserahkan kepada mekanisme pasar. Inflasi ini amat memberatkan bagi kehidupan banyak warga, terutama dari kalangan miskin dan nyaris miskin, terlebih bila mereka berpendapatan sangat minim dan tetap. Apalagi bagi mereka yang menganggur atau kemudian menjadi penganggur akibat tempatnya bekerja tutup atau mengurangi produksi akibat krisis ini. Kemampuan dan Kemauan Pemerintah Dalam kasus kenaikan harga BBM dan krisis pangan ini, tampak bahwa keterbatasan pendapatan negara telah menjadikan pemerintah juga terbatas dalam bertindak. Dengan wilayah negara yang luas dan kaya akan sumber daya alam, mengapa pendapatan negara masih relatif kecil bila dibandingkan dengan potensinya? Salah satu yang utama, yang mengelola dan menikmati untung banyak dari sumber daya alam yang berlimpah tersebut, termasuk minyak bumi, adalah multi national corporation (MNC), bukan negara cq pemerintah Indonesia. MNC, juga perusahaan minyak domestik, sebagai kontraktor sangat dimanjakan oleh pemerintah dengan pemberian berbagai macam insentif (Pri Agung Rakhmanto, 2007). Mulai dari peniadaan kewajiban menyediakan/menjual minyak untuk keperluan dalam negeri (DMO (Domestic Market Obligations) holiday), batasan cost recovery hingga 120%, ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA EDISI MEI-JUNI TAHUN 2008 15 nasional dberikannya investment credit bagi barang capital, hingga pola bagi hasil hingga 0:100, di mana 0 untuk pemerintah 100 untuk kontraktor, misalnya dalam kontrak Blok Natuna D-Alpha, di mana 0% untuk pemerintah dan 100% untuk ExxonMobil. Dalam hal minyak, pemerintah hanya dapat pajak dan persenan bagi hasil saja sehingga perolehannya juga relatif kecil. Sementara pendapatan pajak, tidak hanya dari perusahaan yang berkaitan dengan sumber daya alam, masih belum optimal. Selain karena sistem perpajakannya, juga masih besarnya kebocoran dalam pendapatan pajak ini. Te r m a s u k d a r i a d a n y a penyelundupan minyak. Sementara dari sisi pengeluaran, digerus oleh alokasi untuk membayar bunga dan cicilan utang, baik utang dalam negeri maupun luar negeri. Juga oleh kebocoran dan pemborosan anggaran. Subsidi makin berkurang dan menjadi prioritas kesekian bila dibandingkan dengan pengeluaran untuk membayar hutang maupun pospos pengeluaran departemen yang sebenarnya dapat dihemat. Ada problem dengan kemampuan dan kemauan politik dari pemerintah dan rezim. Di mana tanggung jawab negara? Tanggung Jawab Negara Kenaikan harga BBM dan krisis pangan telah mengancam hak Ekosob warga negara, yang ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA 16 EDISI MEI-JUNI TAHUN 2008 sejatinya menjadi tanggung jawab negara dalam pemenuhannya. Keterbatasan APBN, baik dari segi pendapatan maupun sisi alokasi pengeluarannya, tidak dapat menjadi dalih/alasan karena tanggung jawab tersebut dapat dilakukan secara progresif. Meningkatkan pendapatan bagi APBN dengan berperspektif kerakyatan dan keadilan merupakan tanggung jawab pemerintah, bukan dalih untuk menutupi ketidakmampuan dalam memenuhi tanggung jawab lainnya. Pemerintah perlu memikirkan strateginya secara transparan dan bijak. Demikian juga alokasi bagi sisi pengeluarannya. Kesejahteraan sosial, khususnya bagi mereka yang miskin dan nyaris miskin, merupakan perspektifnya. Review atas pos pengeluaran APBN, khususnya menyangkut pembayaran utang dan pemborosan pengeluaran, perlu dilakukan. Alokasi bagi usaha pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya wajib menjadi prioritas. Ini bukan sekadar soal kemampuan, namun juga soal kemauan rejim yang memerintah. APBN perlu kuat, sustainable dari sisi pendapatan dan bijak dari sisi pengeluaran. APBN yang kuat, tahan dari goncangan yang berasal dari faktor eksternal, termasuk harga minyak dunia. APBN yang bijak, berperspektif kesejahteraan sosial serta memprioritaskan usaha pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya dari warga negaranya. Catatan Penutup Berkenaan dengan problem saat ini, yakni keputusan pemerintah menaikkan harga BBM di dalam negeri, terlebih di saat krisis pangan dunia, merupakan kebijakan yang tidak hanya tidak populer namun memang benarbenar tidak bijak karena secara faktual memberikan implikasi buruk terhadap kondisi hak Ekosob kebanyakan warga negara, di mana seharusnya untuk pemenuhannya justru menjadi tanggung jawab negara. Proyek penyelamatan APBN saat ini tidak seharusnyalah dengan menekan pos subsidi BBM yang memang masih dibutuhkan oleh kebanyakan warga negara untuk survival, namun dengan mengkaji ulang pos pengeluaran untuk pembayaran utang (yang dapat dijadwal ulang maupun dihapuskan) dan pengeluaran yang bukan prioritas dan lebih merupakan pemborosan, misalnya yang ada dalam anggaran-anggaran di sejumlah departemen. Untuk jangka menengah dan panjang, selain berusaha menyusun alokasi anggaran demi kesejahteraan sosial, mengkaji ulang persoalan pembayaran utang, serta mengurangi /menghapuskan pemborosan dan kebocoran anggaran, pemerintah perlu meningkatkan sisi pendapatan negara melalui berbagai kebijakan dan strategi yang demokratis dan memenuhi aspek keadilan, misalnya, penguatan Pertamina yang menguasai hajat hidup orang banyak sehingga selain berfungsi sebagaimana seharusnya juga tidak merugi namun justru memberikan pendapatan bagi negara, mengkaji pajak progresif. Akuntabilitas sisi pendapatan dan pengeluaran dari APBN tersebut merupakan tanggung jawab negara, cq pemerintah (dan DPR). APBN yang kuat dan bijak merupakan instrumen penting bagi negara cq pemerintah yang bermartabat dalam memenuhi tanggung jawabnya akan pemenuhan hak Ekosob warganya. ***** internasional Penyiksaan: Bagaimana Mungkin Dikriminalisasi, Diatur Saja Belum Oleh Betty Yolanda (Staf di ELSAM) P enyiksaan adalah sebuah kejahatan serius berdasarkan hukum internasional (serious crime) yang disejajarkan dengan kejahatankejahatan serius lainnya seperti pembajakan, perbudakan, kejahatan perang, kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan genosida. Hal ini ditegaskan dalam Prinsip 2 Princenton Principles.1 Sebagai salah satu Negara Pihak pada Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman L a i n y a n g K e j a m , Ti d a k Manusiawi dan Merendahkan Martabat (Konvensi Menentang Penyiksaan atau Konvensi), Indonesia berkewajiban untuk menyerahkan laporan atas implementasi terhadap Konvensi kepada Komite Menentang Penyiksaan (Komite). Pada tahun 2001, Pemerintah Indonesia telah menyerahkan laporan awalnya (initial report) kepada Komite, yang kemudian diikuti dengan penyerahan laporan periodik kedua (second periodic report) pada bulan September 2005. Namun, laporan kedua Pemerintah baru mendapat kesempatan untuk pembahasan pada awal Mei 2008. Pada tanggal 28 April-16 Mei 2008, Komite Menentang P e n y i k s a a n t e l a h menyelenggarakan sesinya yang ke-40 di Jenewa, Swiss. 2 Sebanyak delapan laporan Negara-Negara Pihak dibahas dalam sesi tersebut, termasuk laporan Australia, Swedia, Islandia, Aljazair, Indonesia, Zambia, Macedonia, dan Kosta Rika. Indonesia mendapat giliran pembahasan pada tanggal 6-7 Mei 2008. Selama 2 (dua) hari Pemerintah diberikan k e s e m p a t a n u n t u k mempresentasikan laporan dan jawaban atas Daftar Permasalahan (List of Issues) yang dikeluarkan oleh Komite pada bulan Desember 2007. Apabila tidak puas dengan jawaban yang diberikan, para anggota Komite berhak untuk mengajukan pertanyaanpertanyaan tambahan, bahkan jika topik yang diangkat bukan merupakan bagian dari Daftar Permasalahan, atau pun tercakup dalam laporan Negara. Kesempatan ini digunakan oleh Felice Gaer (Pelapor untuk Indonesia), Claudio Grossman (Wakil Pelapor), dan beberapa anggota Komite lainnya untuk kembali mempertanyakan beberapa isu krusial, antara lain, ketiadaan definisi penyiksaan dalam KUHP; pemberian amnesti untuk kejahatan serius; kekerasan terhadap para pembela hak asasi manusia; pemberlakuan peraturan-peraturan daerah yang diskriminatif; lamanya masa penahanan; praktik sunat perempuan; dan rendahnya usia pertanggungjawaban pidana anak.3 Seperti halnya Pemerintah, organisasiorganisasi non-pemerintah (ORNOP) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) juga mendapat kesempatan untuk berdialog dengan Komite. Sejak tahun 2004 Komite menerapkan sebuah prosedur baru, yakni menjadwalkan, di dalam agenda kerjanya, masingmasing 1 (satu) jam pertemuan ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA EDISI MEI-JUNI TAHUN 2008 17 internasional resmi dengan ORNOP dan KOMNAS HAM yang telah menyerahkan laporan-laporan alternatif sebagai tandingan terhadap laporan Pemerintah. Sungguh disayangkan, hanya karena alasan administratif KOMNAS HAM berhalangan hadir pada sesi Komite yang ke40 tersebut. Selain laporan periodik Pemerintah, Komite juga menerima 6 laporan alternatif dari Amnesty International; Asian Legal Resource Centre (ALRC); Komnas Perempuan; laporan bersama Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Jayapura, Imparsial, Progressio Timor Leste, Sinode GKI Papua, dan Franciscans International; dan Kelompok Kerja untuk Advokasi Menentang Penyiksaan (Pokja Anti Penyiksaan) yang bekerja sama dengan Association for the Prevention of Torture (APT) dan World Organisation against Torture (OMCT). Dari 50 pertanyaan yang diajukan oleh Komite dalam Daftar Permasalahan, Pemerintah, yang diwakili oleh kurang lebih 30 orang delegasi dari berbagai departemen terkait, memberikan informasi yang sangat minim mengenai beberapa isu, antara lain isu mengenai kerangka hukum; agama (Ahmadiyah); impunitas; perda-perda Syariah; otonomi daerah; dan kekerasan terhadap perempuan. Dalam hal kerangka hukum, nampaknya Pemerintah tetap berpegang teguh bahwa meskipun definisi mengenai penyiksaan belum diatur dalam K U H P, pasal-pasal penganiayaan sudah cukup memadai karena penganiayaan sudah mencakup kekerasan fisik. Padahal, definisi penyiksaan yang dimaksud dalam Pasal 1 Konvensi tidak hanya mencakup “kekerasan fisik” tetapi juga “penderitaan atau rasa sakit yang hebat secara mental”. Beralih ke isu perempuan, khususnya sunat perempuan, Pemerintah menilai bahwa sunat perempuan ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA 18 EDISI MEI-JUNI TAHUN 2008 merupakan praktik yang sudah berlangsung lama dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari adat-istiadat masyarakat, bukan sebagai tindakan diskriminatif dan tidak manusiawi. Setelah berdialog dengan Pemerintah dan beberapa stakeholder lainnya, Komite akhirnya mengeluarkan sebuah kesimpulan observasi (concluding observation) pada tanggal 16 Mei 2008. Kesimpulan ini tidak hanya menyoroti aspekaspek positif tetapi juga mengangkat masalah-masalah yang dinilai masih sangat memprihatinkan serta memberikan rekomendasi mengenai langkah-langkah yang harus diambil untuk perbaikan. Jika dibandingkan dengan kesimpulan observasi Komite tahun 2001,4 kesimpulan observasi Komite atas laporan periodik kedua Indonesia ini dinilai sangat keras dan mengakomodasi pelbagai isu penting yang sebelumnya tidak tersentuh, antara lain penggunaan statemen yang diperoleh dengan penyiksaan dalam pemeriksaan perkara; perda-perda diskriminatif; sunat perempuan; kekerasan dalam rumah tangga; sistem peradilan pidana anak; pengungsi internal (internally displaced persons); kekerasan terhadap Ahmadiyah; perdagangan perempuan dan anak; buruh migran perempuan; penyelidikan dan penuntutan Kejaksaan Agung yang tidak efektif terhadap kasus-kasus pelanggaran berat hak asasi manusia; dan mekanisme monitoring terhadap pelbagai fasilitas penahanan. Dari 44 rekomendasi, Komite meminta Pemerintah Indonesia untuk menyediakan informasi, dalam jangka waktu satu tahun, atas 6 rekomendasi yang terkait dengan isu penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang yang meluas dan upaya perlindungan yang tidak memadai bagi para tahanan di kantor polisi; perda-perda diskriminatif; pengungsi internal; kekerasan terhadap Ahmadiyah; perdagangan perempuan dan anak; buruh migran perempuan; dan independensi Komnas HAM. Sepanjang sejarah, baru kali ini Komite secara tegas meminta Pemerintah untuk bekerja sama dengan dunia internasional untuk menyelidiki, menuntut dan mengekstradisi Kolonel Burhanuddin Siagian yang telah mendapat red notice (surat penangkapan) dari Interpol atas pelanggaran berat hak asasi manusia di Timor-Timur pada tahun 1999. Semua masalah tersebut di atas perlahan-lahan akan dapat diatasi jika Pemerintah mau segera mengkriminalisasi penyiksaan dalam KUHP yang adalah payung hukum dari semua peraturan perundang-undangan di Indonesia. Memang, definisi penyiksaan sudah dimasukkan ke dalam RUU KUHP, namun entah kapan Pemerintah akan mensahkan RUU KUHP tersebut. Catatan: 1.Princenton Principles, Principle 2: Serious Crimes Under International Law, butir (1) berbunyi: “For purposes of these principles, serious crimes under international law include: (1) piracy; (2) slavery; (3) war crimes; (4) crimes against peace; (5) crimes against humanity; (6) genocide; and (7) torture.” 2.Untuk mengakses semua dokumen yang relevan dengan sesi ke-40 Komite Menentang Penyiksaan s i l a k a n k u n j u n g i http://www2.ohchr.org/english/bodies/ cat/cats40.htm. 3.Silakan lihat Siaran Pers Komite Menentang Penyiksaan tanggal 7 Mei 2008, Http://www.unog.ch/unog/website/ne ws_media.nsf/(httpNewsByYear_en)/ 54E3118EC5178635C12574420041 CFBF?OpenDocument. 4.CAT/C/XXVII/Concl.3, 22/11/2001, d a p a t d i a k s e s d i http://www.unhchr.ch/tbs/doc.nsf/(Sy mbol)/1853a70025ce7646c1256b110 04f0a2b?Opendocument daerah Menuju Pembentukan Pengadilan HAM dan KKR Aceh (Review dari awal tahun 2008 Sekarang) Oleh Raimondus Arwalembun (Staf Publikasi ELSAM) M engapa pembentukan Pengadilan HAM dan KKR Aceh seperti yang tertuang dalam MoU Helsinki yang d itandatangani oleh Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka belum terwujud? Siapakah yang bertanggung jawab terhadap proses pembentukannya? Kalau pemerintah pusat yang bertanggung jawab, apa bentuk tanggung jawabnya dalam mengupayakan pembentukan Pengadilan HAM dan KKR Aceh? Pertanyaan-pertanyaan di atas merupakan penuntun bagi kita untuk melihat sampai sejauh manakah pemerintah pusat menjalankan kewajibannya dalam mewujudkan pembentukan Pengadilan HAM dan KKR Aceh. Inilah yang dituntut oleh rakyat Aceh, tanggung jawab negara dalam melaksanakan kewajibannya itu. Menurut hemat penulis, dalam proses pembentukan Pengadilan HAM dan KKR Aceh, pemerintah terkesan mengabaikan kewajibannya itu. Ini terlihat ketika bulan Desember 2006 yang lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) mencabut UU No. 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Pertanyaan yang muncul adalah: apakah pembentukan Pengadilan HAM dan KKR Aceh dapat diwujudkan setelah KKR Nasional dicabut oleh MK karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945? Lepas dari jawaban atas pertanyaan di atas, di tahun ini (2008), suara-suara yang menuntut pembentukan Pengadilan HAM dan KKR Aceh terus menggema. Berikut adalah beberapa data terakhir perkembangan isu Pengadilan HAM dan KKR Aceh yang dihimpun dari berbagai sumber: Pada tanggal 22 Januari 2008, Koalisi Pengungkap Kebenaran Aceh meminta DPR mendesak pemerintah menuntaskan pelanggaran hak asasi manusia di Aceh, mereka mengusulkan dibentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh. Menurut Rafendi Djamin (Koordinator Human Rights Working Group), semangat pembentukan pengadilan HAM dan KKR Aceh adalah menghentikan kekerasan yang terjadi di Aceh, jadi dicabutnya UU KKR Nasional oleh Mahkamah Konstitusi seharusnya tidak membatalkan pembentukan KKR Aceh sebab dasar pembentukan KKR Aceh adalah UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh; Tanggal 16 April 2008, CoSPA (Commission on Sustaining Peace in Aceh) mendesak pemerintah pusat mempercepat pembentukan pengadilan HAM dan KKR untuk Aceh. Menurut Ir Azwar Abubakar MM (Pimpinan Pertemuan CoSPA), Pengadilan HAM dan KKR Aceh merupakan amanat MoU Helsinki serta Undang-Undang Pemerintahan Aceh yang belum terealisasi. Selain itu, dalam rilis komisi yang ditandatangani pemimpin pertemuan CoSPA, Azwar Abubakar, dinyatakan, pembahasan draf peraturan daerah atau qanun Dewan Perwakilan Rakyat Aceh mengenai KKR sebaiknya dilakukan setelah RUU KKR di tingkat nasional disahkan menjadi undang-undang. Pembentukan qanun mengenai KKR Aceh yang dilakukan sebelum UU KKR disahkan dikhawatirkan akan bertentangan dengan peraturan perundangan di atasnya; Tanggal 29 April 2008, dalam rapat yang digelar di Sekretariat Forbes Damai Aceh, Kompleks Taman Ratu Safiatuddin, Banda Aceh, anggota Forbes Damai Aceh sepakat untuk membahas rancangan qanun (raqan) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Tugas tersebut nantinya akan dilaksanakan Badan Narasumber Damai Aceh atau Aceh Peace Resouces Center (APRC); Tanggal 1 Mei 2008, Sedikitnya 40 pakar, akademisi dan praktisi dilibatkan pemerintah dalam menyusun satu draft rancangan qanun (Raqan) tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Dua orang di antaranya adalah pakar asal Jerman. Tim pra rancangan qanun KKR dibentuk melalui keputusan Gubernur No. 188.342/37/2008 tanggal 8 April 2008 terdiri 40 personil. Tim ini bertugas mencari bahan masukan untuk pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi, baik dari nilai-nilai universal maupun kearifan lokal serta norma-norma agama; Pada tanggal 07 Mei 2008, dalam kunjungannya, Ketua Crisis Management Initiative (CMI) dan Interpeace Peacebuilding Alliance Martti Ahtisaari mempertanyakan komitmen Presiden Susilo Bambang Yu d h o y o n o t e n t a n g K o m i s i Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh yang kini mandeg. Fakta-fakta di atas, sesungguhnya hendak menunjukkan kepada kita bahwa penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu di Aceh sebenarnya merupakan persoalan mendesak yang harus segera dipikirkan kembali. Artinya, pembentukan Pengadilan HAM dan KKR Aceh sebagaimana diamanatkan dalam MoU Helsinki harus segera diwujudkan. Tapi apakah ini mungkin? Menurut hemat penulis, walau pun dasar pembentukan KKR Aceh adalah UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, namun pembentukannya akan sulit terwujud kalau pemerintah pusat tidak serius untuk mencari atau membentuk kembali UU KKR Nasional yang telah dibatalkan MK pada bulan Desember 2006 yang lalu. Kalau faktanya demikian, berarti negara, dalam hal ini “tidak mampu” melaksanakan kewajibannya. Pertanyaan kritisnya adalah: kalau negara “tidak mampu,” apakah masyarakat Aceh mampu mewujudkannya? Semoga....! ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA EDISI MEI-JUNI TAHUN 2008 19 perspektif Merawat Ke-Indonesiaan Oleh Amiruddin al Rahab (Pengamat Politik dan HAM di ELSAM) B erakhirnya bulan Mei dalam setiap tahun setelah gerakan reformasi terjadi, terasa ada satu hal yang bolong di dalamnya. Yaitu mengkerdilnya ke-Indonesiaan serta menjauhnya perubahan ke arah yang baik. Dalam situasi seperti itu, apa makna Kebangkitan Nasional yang ke 100 tahun sekarang ini? Kebangkitan Nasional hanya bermakna jika peringatannya tidak ditempatkan pada kenangan, melainkan pada tekad untuk merawat ke-Indonesian 100 tahun ke depan. Gerakan reformasi sesunguhnya adalah upaya terusmenerus untuk merawat ke-Indonesiaan agar keluar dari kehancuran akibat dimangsa otoriterianisme. Yang diharapkan setelah jatuhnya rezim militer Soeharto adalah terwujudnya keIndonesiaan yang menghargai kemanusian dan hak asasi manusia dengan memenuhi keadilan bagi mereka yang menjadi korban, baik korban akibat kedurjanaan politik mau pun akibat struktur ekonomi yang tidak adil. Seiring dengan itu juga memberikan ganjaran yang setimpal kepada mereka yang menjadi penyokong dan penganjur segala bentuk politik kerdujanaan di masa lalu itu. Singkat kata, ke-Indonesian yang ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA 20 EDISI MEI-JUNI TAHUN 2008 baru adalah ke-Indonesian yang menentukan batas antara politik kedurjanaan dengan politik yang menghargai kemanusian dan hak asasi manusia (civility politic). Akibat tidak pernah jelasnya garis demarkasi antara politik kedurjanaan dengan politik keadaban membuat keIndonesian kini kian compang- camping. Hal itu tampak dari mengap-mengapnya rakyat di Sidoarjo yang ditelan lumpur Lapindo, mengigilnya Jamaah Ahmadiah akibat dimangsa oleh egoisme keagamaan, menjeritnya rakyat yang papa akibat dijerat harga BBM yang melambung tinggi. Penjarahan hutan dan bencana alam mendera setiap saat hampir di seantero nusantara. Singkatnya, rakyat dibiarkan terkapar tanpa pangan dan keamanan diri oleh para elit di semua level. Sementara para petinggi partai politik hanya sibuk bersolek dengan beragam iklan menjual diri sambil mengagahi ke-Indonesian sedemikian rupa. Pemimpinpemimpin di daerah sibuk berternak kabupten/kota baru demi menyulap keuangan negara dan mengobral segala potensi daerah dengan harga murah demi PAD. Dalam situasi seperti ini, demokrasi yang kini dikembangkan terasa tidak mampu menjadi sarana untuk meneguhkan keadilan. Bahkan banyak pihak yang menilai demokrasi yang kini berkembang justru mempermudah para penyokong rezim lama untuk bersalin rupa menjadi penganjur demokrasi dan sekaligus memperkudanya. Para penyokong rezim lama ini malah dengan gagah berani dan merasa tanpa dosa mengemukakan mari kita melihat ke depan dengan melupakan masa lalu. Singkatnya masalah kekinian jauh lebih mendesak untuk diselesaikan, ketimbang menguak luka lama. Padahal, langkah melupakan begitu saja, akan menjadi preseden buruk bagi politik dan hukum dalam merekonstruksi ke-Indonesiaan yang baru. Artinya, dengan melupakan, pemerintah seakan memberikan sinyal lampu hijau kepada semua pihak yang dulu melakukan dan bertanggung perspektif jawab atas politik kedurjanaan untuk terus merasa benar dan bahkan kekerasan boleh dipraktekan kembali dalam menjalankan politik kenegaraan. Toh semuanya bisa dilupakan dan dimaafkan. Di era Soeharto, keIndonesiaan hadir di Aceh menebar maut, di Papua begitu diskriminatif, di Maluku dan Poso memendam segregasi agama, di Kalimantan mengandung prasangka etnis serta di Jawa mengadung kecemburuan kelas sosial yang menajam. Artinya konstruksi ke-Indonesiaan yang dikonstruksikan oleh rezim militer-golkar Soeharto begitu bermasalah bagi ke-Indonesian kita sebagai bangsa. Karena keIndonesian rezim militer-golkar Soeharto terlalu pencemburu pada daerah sehingga berwatak menyerang-yerang, terlalu rakus sehingga menyedot semua yang ada di daerah ke pusat, terlalu bengis sehingga mudah memvonis warganya menjadi sesat, ekstrem, separatis, OTB bahkan GPK, serta terlalu suka menggadaikan semua SDA. Singkatnya, sikap pemerintah dan kekuatan politik yang mendiamkan seluruh kekerasan yang terindikasi secara kuat sebagai pelanggaran HAM dan memiskin rakyat Indonesia secara sistematis, menunjukan bahwa dalam sepuluh tahun ini belum ada perbedaan yang berarti antara karakter politik pemerintahan masa lalu dengan masa kini. Maknanya adalah elit-elit politik, partai politik dan pemerintah gagal merawat ke-Indonesiaan dalam sepuluh tahun ini. Akibatnya aksi-aksi kekerasan terus terjadi, kemiskinan tetap menjerat leher rakyat Indonesia dan SDA Indonesia diobral muruh kepada pihak asing demi rente. Beranjak dari fenomenfenomen seperti itu, sesunguhnya pengungkapan kebenaran akan watak rezim masa lalu dalam bidang ekonomi dan politik sunguh harus kita pikirkan matang sekarang ini sebagai cara kita merawat keIndonesiaan secara baru demi 100 tahun ke depan. Indonesia 100 tahun kedepan adalah Indonesia yang bisa menjadi taman sari bagi kehidupan bersama yang lebih baik. Kalau dipertanyakan mengapa ke-Indonesia perlu dirawat? Jawabannya adalah untuk mencegah disintegrasi bangsa. Mengapa bangsa terancam disintegrasi? Sebenarnya jawaban yang mendasar adalah karena tidak ada ruang bagi kehidupan bersama yang lebih baik. Namun, elite Negara sering menyembunyikan atau tak cukup kesatria untuk mengakui adanya sikap yang mengancam kehidupan bersama itu dalam mengelola negara. Oleh karena itu, segala watak ke-Indonesiaan yang dibangun oleh rezim Soeharto, mesti kita ubah jika ingin Indonesia masih ada 100 tahun lagi. Oleh karena itu merawat ke-Indonesia demi 100 tahun ke depan, perlu diambil langkahlangkah yang memberikan kepastian akan dipenuhinya hak warga negara untuk tahu tentang apa yang terjadi di masa lalu (right to know) dan hak atas keadilan (right to justice) serta hak untuk berpartisipasi secara politik (right to participate) dan hak atas informasi (right to information) . Atau dalam ungkapan para ahli hukum rule of law harus ditegakan. Sebab tanpa rule of law, komitmen untuk memperbaiki akibat dari kedurjanaan politik atau kesalahan pengelolaan ekonomi negara tidak akan ada. Atau bagaimana saat ini kita memaknai ke-Indonesiaan kita tanpa adanya pengakuan akan kebenaran di masa lalu yang telah mengoyahkan seluruh sendisendi pondasi kebangsaan dan kenegaraan yang bernama Indonesia ini? Atau apa makna menjadi Indonesia saat ini, ketika kita terpencar ke dalam puak-puak etnis dan agama begitu mudah, bahkan saling membunuh dalam ikatan ke-Indonesiaan? Maka dari itu merawat ke-Indonesiaan, berarti merawat kemanusian kita. Semoga. ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA EDISI MEI-JUNI TAHUN 2008 21 resensi Mahkamah Pidana Internasional: Statuta Roma, Hukum Acara, dan Unsur-Unsur Kejahatan Oleh Ikhana Indah (Staf ELSAM) Judul Buku Pengantar Penerbit Tahun Data Fisik P elanggaran berat hak asasi manusia yang dilakukan oleh Negara melalui aparat negaranya supaya dibawa ke Mahkamah Internasional agar pelakunya diadili.” Atau “… bawa kasus pelangaran hak asasi manusia ke Mahkamah Internasoional…!” Pendapat yang sering muncul adalah bahwa Mahkamah Internasional dapat menangani kasus pelanggaran berat hak asasi manusia yang dilakukan oleh negara. Padahal jurisdiksi Mahkamah Internasional hanyalah sengketa antar Negara, dan bukan antara Negara dengan warga negaranya. Jika akan membawa kasus pelanggaran berat hak asasi manusia yang dilakukan oleh Negara melalui aparat negaranya, maka seharusnya Mahkamah Pidana Internasional adalah lembaga yang tepat. Karena jurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional adalah kejahatan paling serius yang menjadi perhatian masyarakat “ ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA 22 EDISI MEI-JUNI TAHUN 2008 : Mahkama Pidana Internasional: Statuta Roma, Hukum Acara, dan Unsur-Unsur Kejahatan : Agung Yudhawiranata : ELSAM : 2007 : 384 hlm internasional. Kejahatan tersebut antara lain adalah genosida (pemusnahan etnis); kejahatan terhadap kemanusiaan; kejahatan perang; dan kejahatan agresi. Di tengah-tengah tuntutan penyelesaian masalah pelanggaran berat hak asasi manusia, maka pemahaman mengenai perangkat hak asasi manusia, terutama di tingkat Internasional sangat diperlukan. Hal inilah yang mendorong ELSAM untuk menterjemahkan dan menerbitkan Statuta Roma untuk Mahkamah Pidana Internasional. Diharapkan, penerbitan buku ini dapat memberikan kontribusi dalam perumusan perangkat hukum hak asasi manusia di Indonesia. Buku ini adalah edisi revisi dari buku Statuta Roma yang terbit pada tahun 2000. Jika pada edisi sebelumnya hanya menjelaskan mengenai Statuta Roma, maka pada edisi kali ini, penyempurnaan dilakukan dengan memasukkan Hukum Acara dan Pembuktian serta Unsur-unsur Kejahatan. Secara keseluruhan, buku ini dibagi menjadi 3 bagian utama. Bagian pertama adalah Statuta Roma, yang menjelaskan tentang definisi dari Mahkamah Pidana Internasional; berbagai kejahatan yang masuk dalam jurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional seperti Kejahatan Genosida; Kejahatan terhadap Kemanusiaan; Kejahatan Perang dan Kejahatan Agresi. Dan untuk lebih detailnya, penjabaran dari masing-masing kejahatan tersebut terdapat dalam beberapa pasal. Bagian ini menjelaskan mengenai jurisidiksi dan bagaimana prosedur beracara di Mahkamah Pidana Internasional. Selain itu, bagian ini juga yang menjawab kekhawatiran beberapa Negara bahwa Mahkamah Pidana Internasional akan mengintervensi hukum nasional dari masing-masing Negara. Menurut Statuta Roma, kekhawatiran tersebut tidaklah tepat, karena prinsipnya adalah Mahkamah Pidana Internasional akan berlaku jika pengadilan nasional tidak mau dan tidak resensi mampu mengadili suatu pelanggaran terhadap kemanusiaan. Dan tujuan dari Mahkamah Pidana Internasional adalah untuk mendorong keefektifan dari pengadilan nasional. Hal ini juga disampaikan kembali di bagian kata pengantar (hal xix). Bagian kedua yaitu Hukum Acara dan Pembuktian. Bagian ini menjelaskan mengenai bagaimana prosedur beracara dan pembuktian yang lebih mendalam dari apa yang sudah diatur dalam Statuta Roma. Misalnya berbagai ketentuan yang mengatur mengenai komposisi dan administrasi mahkamah, seperti bagaimana sidang pleno, pengambilan sumpah hingga unit korban dan saksi bekerja. Bagaimana prosedur persidangan hingga upaya banding dan peninjauan kembali. Bagian ini menjelaskan pula bagaimana cara kerja hakim, penuntut umum, wakil penuntut umum serta panitera dalam Mahkamah Pidana Internasional. Intinya, bagian kedua ini menjelaskan bagaimana administrasi keadilan bekerja. B a g i a n k e t i g a menjelaskan mengenai UnsurUnsur Kejahatan. Disebutkan bahwa unsur-unsur kejahatan yang diuraikan akan membantu mahkamah dalam menafsirkan dan menerapkan pasal 6, 7, dan 8 (hal 309). Seluruh unsur-unsur dari masing-masing kejahatan disebutkan detail dan jelas. Pelakunnya membunuh satu atau lebih orang; orang yang dibunuh itu berasal dari suatu bangsa tertentu, kelompok etnis atau agama tertentu; pelakunya memang berniat untuk menghancurkan, baik seluruh maupun sebagian bangsa, etnis, ras atau agama tertentu; dan tindakan tersebut terjadi dalam konteks tindakan yang tidak pasti saja berakibat pada kehancuran terhadap kelompok tersebut..” ini adalah salah satu unsur-unsur yang disebutkan dalam kejahatan genoosida dengan pembunuhan. Bagian ini menjadi sangat penting karena menjelaskan dengan detail dan jelas unsurunsur kejahatan yang masuk dalam jurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Artinya, pembaca benar-benar dapat memahami kejahatan seperti apa yang dapat dibawa ke Mahkamah Pidana Internasional, sehingga pendapat-pendapat seperti yang dikutip di awal tulisan ini tidak akan terjadi lagi. Dalam konteks Indonesia, UU No. 26 tahun 2000 mengenai pengadilan hak asasi manusia telah mengadopsi sebagian dari Statuta Roma, walaupun dalam beberapa hal juga tidak sesuai dengan Statuta Roma. Tujuan dari Statuta Roma adalah untuk memberikan perlindungan dan jaminan penghukuman bagi kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan juga genosida, dengan mengutamakan mekanisme hukum nasional. Tetapi di lain sisi, perlindungan hak asasi manusia di Indonesia juga belum berjalan dengan maksimal. Artinya, kita (Indonesia) memerlukan Statuta Roma guna menegakkan Hukum Hak Asasi Manusia, maka meratifikasi Statuta Roma adalah pilihan yang tepat dan mendesak. Dengan hadirnya buku ini, diharapkan dapat membantu dan memberikan pemahaman mengenai hukum hak asasi manusia, dan juga dapat mendorong Indonesia untuk segera meratifikasi Statuta Roma. Selamat membaca..... Beberapa Program ELSAM ke Depan (Juli - Agustus 2008) Oleh Raimondus Arwalembun (Staf Publikasi ELSAM) P ada tanggal 28-29 J u l i 2 0 0 8 mendatang, ELSAM akan mengadakan “ Seminar & Workshop Kekerasan Komunal.” Kegiatan yang akan diadakan di kota Pontianak, Kalimantan Barat ini bertujuan untuk: (1) Bersama seluruh elemen masyarakat mencari jalan keluar dari kebuntuan penyelesaian masalah kekerasan yang terjadi di Kalimantan Barat khususnya maupun Indonesia; (2) Mengembangkan ide-ide penyelesaian kasus kekerasan; (3) mendiskusikan d a n k e m u d i a n merekomendasikan langkahlangkah yang bisa diambil oleh pemerintah daerah dalam pencegahan kekerasan dalam bentuk pokok-pokok pikiran hasil seminar dan lokakarya. Adapun tema dari seminar ini adalah: Kekerasan komunal sebagai sisi gelap demokrasi. Seminar ini akan dihadiri oleh pembela hak asasi manusia, akademisi, aparat Pemda, aparat penegak hukum, Perwakilan Komnas HAM Kalimantan Barat, dan tokoh masyarakat. Pada tanggal 5 - 7 Agustus 2008 mendatang, ELSAM akan mengadakan “ K o n f e r e n s i Wa r i s a n Otoritarianisme: Demokrasi Indonesia di E L S A M b e r e n c a n a Bawah Tirani Modal.” mengadakan serangkaian Konferensi yang akan diselenggarakan di Jakarta (FISIP UI) ini bertujuan untuk: (1) membicarakan, merumuskan, menyimpulkan langkah perlawanan terhadap tirani modal, sebagai bagian dari usaha membangun gerakan di kalangan akademik dengan prasyarat pembangunan organisasiorganisasi komunitas. (2) memberi gambaran politik tentang kerja modal dalam berbagai bidang kehidupan dan atau mekanisme kerja modal sebagai kekuatan politik. (3) memberikan r ancangan pemikiran bagi perumusan kebijakan publik yang berpihak pada masyarakat. Konferensi ini diarahkan pada kelompokkelompok intelektual atau kaum muda di berbagai bidang, khususnya kalangan intelektual sosial yang bekerja di organisasi-organisasi non pemerintah dan lembagalembaga akademik, serta para penggiat seni dan seniman mandiri di berbagai komunitas. Setelah melaksanakan dua kegiatan (Seminar dan Konferensi) di atas, pada tanggal 27 Agustus 2008, ELSAM akan Merayakan “Hari Ulang Tahun”-nya yang ke 15. Dalam rangka merayakan hari jadinya ini, acara yang secara ekplisit dan implisit merefleksikan kerjakerja advokasi HAM selama kurun waktu 15 tahun terakhir dan juga untuk menguatkan gerakan advokasi HAM di Indonesia. Adapun perayaan Hari Ulang Tahun ELSAM ini akan diadakan di Teater Kecil TIM (Taman Ismail Marzuki). Di penghujung bulan Agustus (tepatnya tanggal 14 Agustus 03 September 2008), ELSAM akan mengadakan “Kursus HAM untuk Pengacara XII.” Kegiatan yang akan diselenggarakan di GG House Happy Valley (Cipayung Bogor) ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pengacara dan pekerja hak asasi manusia dalam rangka memajukan dan melindungi hak asasi manusia. Kursus ini diperuntukkan bagi mereka yang melakukan kerjakerja advokasi kasus pelanggaran hak asasi manusia, baik melalui jalur litigasi maupun non litigasi (seperti yang dilakukan kalangan pengacara; pengacara publik; asisten pengacara; dan para legal). Seperti yang sudah-sudah, jumlah peserta dibatasi hingga 25 orang yang berasal dari berbagai wilayah Indonesia dengan memperhatikan pertimbangan gender.