ECONOMIC UP-DATE: Kemerosotan Ekonomi dan Rencana Kenaikan BBM Dr. Hendri Saparini, MPhil. Managing Director ECONIT Advisory Group Kesejahteraan Rakyat Menurun Kondisi ekonomi saat ini: Kemerosotan kesejahteraan dan koreksi ekonomi Makro Ekonomi Rapuh Terjadi Gejolak Finansial Kegiatan Sektor Riil Melambat Kesejahteraan rakyat menurun Fakta: Pertumbuhan konsumsi rumah tangga mengalami slowdown dari 5-6% tahun 2004 menjadi hanya 3,2-3,5% pada Q1& Q2 2005 Nilai tukar petani terus merosot (indeks Juli 2004 105, Feb 2005 100). Upah buruh riil mengalami penurunan (Sept 2004 Rp 2.655, Feb 2005 Rp 2.599) Inflasi tinggi mengakibatkan daya beli masyarakat semakin merosot Jumlah pengangguran bertambah (600.000 orang selama Nov 2004-Feb 2005); diperkirakan akan terus bertambah akibat PHK dan rendahnya penciptaan lapangan kerja Terjadi kasus busung lapar, gizi mikro (hidden hunger) 50% penduduk, balita dg gizi buruk mencapai 1,67 juta dan berbagai penyakit akibat buruknya kualitas hidup Kesejahteraan rakyat menurun Penyebab: Banyak pilihan kebijakan yang tidak pro-rakyat (BBM, beras, pupuk, gula, dll.) Berbagai kebijakan yang dipaksakan (janji program kompensasi sejak awal Maret belum dilaksanakan) Terjadi kontraksi fiskal (-8,5% Q1 dan -5,6% Q2 2005); Tidak ada program pengentasan kemiskinan yang efektif dan penciptaan lapangan kerja Sampai saat ini APBN-P 2005 belum disetujui sehingga realisasi anggaran sd Juli 2005 kurang dari 10% dan September 2005 baru mencapai 20% (hanya untuk rutin, Pilkadal dan Aceh) Private Consumption YoY Growth (%) 12 10 Non-makanan 8 6 5.3 5.1 5.7 Total 4 3.8 3.5 3.2 2 Makanan 0 Q1-04 Q2 Q3 Q4 Q1-05 Q2 Government Expenditure YoY Growth (%) 15 10 10.1 4.7 5 0 -3.8 -1.3 -5 -5.6 -8.5 -10 Q1-04 Q2 Q3 Q4 Q1-05 Q2 Makroekonomi rapuh & terjadi gejolak finansial Fakta: Inflasi 2005 jauh lebih tinggi dibanding tahun 2003 dan 2004 (Jan-Agts 2005 5,66%, Agts YoY 8,38%) Nilai tukar rupiah terus melemah (melewati Rp 11.000/US$); sementara mata uang regional pada umumnya mengalami penguatan Suku bunga SBI sangat tinggi (saat ini mencapai 10%) dan diperkirakan BI akan terus melanjutkan kebijakan uang ketat Cadangan devisa merosot tajam (US$ 36miliar menjadi US$ 30 milyar Sept 2005) Angka pengangguran terbuka meningkat; dari 9% th 2004 menjadi 10,2% th 2005 Rakyat miskin bertambah; sebesar 37 juta tahun 2004 menjadi 15,5 juta keluarga atau sekitar 62 juta orang tahun 2005 (survei BPS) Makroekonomi rapuh & terjadi gejolak finansial Mengapa: Pengelolaan kebijakan kurang prudent (hati-hati) Leadership dan koordinasi kebijakan sangat minim Lemah dalam pengelolaan keuangan negara (contoh pada kasus kelangkaan BBM, pembatalan obligasi, dll) Langkah kebijakan cenderung reaktif bukan antisipatif (misal kebutuhan dolar, kenaikan harga BBM) Pilihan kebijakan konvensional (kebijakan keuangan negara, industri, etc.) dan tidak pada core masalah Kepercayaan pasar dan masyarakat merosot tajam (a vote of no confidence). Suku Bunga SBI 1-bln 11 10 % 9 8 7 6 Jan-05 Feb-05 Mar-05 Apr-05 May-05 Jun-05 Jul-05 Aug-05 Sep-05 Rupiah Terhadap Dolar AS 8,500 9,000 9,500 10,000 10,500 11,000 Oct-04 Nov-04 Dec-04 Jan-05 Feb-05 Mar-05 Apr-05 May-05 Jun-05 Jul-05 Aug-05 Sep-05 Perbandingan Rupiah dgn Mata Uang Asia lainnya terhadap US dolar (Perubahan selama satu tahun terakhir) 15% 10.4% 10% 5% 0.6% 0.9% Peso Baht 0% -5% -10% -12.2% -15% Rupiah Won Sektor riil melambat Bukti: Pertumbuhan ekspor melambat (dari 17% Q3 2004, pada Q2 2005 hanya 7,3%) Banyak perusahaan yang menyatakan sulit bertahan dengan meningkatnya biaya produksi (akibat kenaikan BBM, melemahnya rupiah) Indeks produksi industri manufaktur menurun (113 Q3 2004 menjadi 110 Q1 2005) kapasitas terpakai rata-rata 50%. De-industrialisasi terus berlanjut. Beberapa bisnis besar mulai menghentikan ekspansi dan melakukan repositioning (menjual asset untuk ditukar cash) Sektor riil melambat Mengapa: Kondisi makroekonomi yang bergejolak dan melemah Kenaikan harga BBM masyarakat dan industri (Maret dan Agt 2005) Kebijakan yang bersifat ad hoc (industri minuman, karoseri, etc.) Kebijakan liberalisasi perdagangan yang berlebihan dan kontra produktif terhadap perkembangan industri (kasus rotan, gandum, etc.) Banyak kebijakan yang bersifat PR, tidak realistis dan teknis administratif lambat (misal Infrastructure Summit) Pertumbuhan Ekspor & Impor dalam PDB (YoY) % 35 32.0 30 25.2 27.1 25 20 Impor 17.1 13.7 15.4 15 15.6 13.3 Ekspor 10 10.1 7.3 5 1.2 2.0 0 Q1-04 Q2 Q3 Q4 Q1-05 Q2 Sumber: Berita Resmi Statistik, BPS Indeks Produksi Manufaktur 116 113.7 112.4 112 110.1 108 104.6 104 102.6 100 96 Q1-2004 Q2 Q3 Q4 Q1-2005 Sumber: Indikator Ekonomi, BPS Prospek Ke Depan… Ekonomi Mengalami Stagnasi & Inflasi Tinggi (Stagflation) yang mendekatkan pada krisis: Jika pola pengelolaan kebijakan ekonomi yang sama terus berlanjut Ada Harapan Perbaikan Makro Ekonomi & Peningkatan Kesejahteraan : Jika segera dilakukan perubahan mendasar dalam pengelolaan kebijakan Jika pola pengelolaan ekonomi seperti saat ini terus berlanjut akan mendekatkan pada krisis ekonomi Tidak ada perubahan pola pengelolaan kebijakan ekonomi (koordinasi; leadership, pilihan kebijakan) Tidak ada langkah konkrit, terintegrasi dan terukur dalam penyelesaian setiap masalah (kasus: 8 langkah kebijakan ekonomi pemerintah) Kebijakan moneter yang relatif ketat tidak diikuti kebijakan fiskal yang agresif Berlanjutnya indikasi terjadinya kepemimpinan kembar antara Presiden dan Wapres serta tim ekonominya. Pilihan kebijakan tidak pro-rakyat (misal BBM naik 70%, impor beras, dll) Jika pola pengelolaan ekonomi seperti saat ini Maka: Permasalahan ekonomi semakin meluas (makroekonomi, sektor riil dan finansial akan terus bergejolak rupiah terus melemah (kebutuhan meningkat sementara pasokan sangat terbatas baik dari ekspor maupun investasi) inflasi tinggi (diperkirakan akan menembus 2 digit akibat rupian yang melemah dan berbagai kebijakan fiskal) suku bunga terus meningkat (mendorong suku bunga kredit sehingga NPL akan meningkat) Redemption reksa dana terus berlanjut (mengganggu perbankan) tiga masalah defisit semakin serius (defisit APBN, neraca perdagangan dan neraca modal) Merubah Paradigma Pembangunan Ekonomi Nasional Merubah arah dan model pembangunan pada RPJM (prioritas, target, pembiayaan) Kembalikan prioritas pembangunan ekonomi pada penciptaan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan Terobosan dalam pengeloaan budget (sumber penerimaan dan kebijakan pengeluaran) Bebaskan kebijakan publik dari intervensi asing (penyusunan APBN, pembuatan regulasi, pengelolaan sumber ekonomi, dll.) Mengoptimalkan kebijakan fiskal dan moneter untuk lebih pro-growth pro-job creation Kembalikan kepercayaan pasar dan rakyat lewat perubahan kebijakan dan perubahan pengambil kebijakan Studi kasus: Tepatkah Pilihan Kebijakan Untuk Segera Menaikkan Harga BBM? Alasan Pemerintah: Tingginya harga minyak mentah dunia menambah beban APBN 2005 (subsidi dan defisit) Subsidi tidak tepat sasaran, tidak ada negara lain yg beri subsidi besar, subsidi tinggi menghambat program kemiskinan dll. Defisit APBN-P 2005 mencapai 1,7% harus ditekan menjadi di bawah 1% dari PDB Kenaikan BBM tidak akan memberatkan masyarakat (dampak inflasi kecil maksimal 3% dan ada program kompensasi) Pasar menuntut kenaikan BBM untuk selamatkan APBN 2005 (terbukti rupiah melemah, indeks saham merosot, redemption, dll.) Tidak ada alternatif lain untuk selamatkan APBN 2005 kecuali kenaikan harga BBM minimal 50% sampai 95% Harus segera dilakukan penyesuaian harga karena BBM terlalu murah (masyarakat boros, menutup peluang diversifikasi energi, penghapusan disparitas harga akan kurangi penyelundupan, dll) Studi kasus: Tepatkah Kebijakan Untuk Segera Menaikkan Harga BBM? Fakta: Tambahan penerimaan migas APBN 2005 akibat tingginya harga minyak mentah lebih tinggi dibanding tambahan subsidi Program kemiskinan tidak semestinya dikaitkan dengan subsidi BBM atau pupuk (hanya alasan untuk kurangi peran pemerintah karena paham neoliberal) Defisit APBN 2005 tidak harus ditekan menjadi 0,9% dari PDB karena UU memungkinkan hingga 3% asal penggunaan dana untuk mendorong ekonomi. Defisit juga bisa dikurangi. Pasar menuntut kepastian dari pemerintah bahwa APBN 2005 dapat direalisasikan. Kenaikan BBM bukan satu-satunya solusi, ini hanya simplifikasi. Bisa dilakukan berbagai upaya baik dari sisi penerimaan maupun pengeluaran. Program kompensasi kenaikan harga BBM diperkirakan tidak akan efektif (data belum siap krn belum ada verifikasi, mekanisme belum teruji mustinya dengan pilot project, dampak kenaikan inflasi jauh lebih tinggi dibanding kompensi) Studi kasus: Tepatkah Kebijakan Untuk Segera Menaikkan Harga BBM? Fakta (cont.): Dampak akan besar karena inflasi sudah tinggi serta kondisi ekonomi dan sosial masyarakat tidak mendukung (kemerosotan konsumsi, daya beli menurun, menjelang lebaran) Banyak alternatif lain untuk menyelamatkan APBN 2005 dengan menempatkan tambahan beban rakyat sebagai alternatif terakhir. Beban APBN harus di share kepada semua stakeholder Pemerintah pusat Daerah Kreditor Pengusaha Masyarakat Penghematan Rp 24,5 T, yang digunakan untuk kompensasi hanya Rp 9 T sisanya untuk pembayaran utang dan pengeluaran lain seperti ABT Banyak agenda asing yang menekan kenaikan BBM harus dilakukan pada APBN 2005 (UU Migas, pencairan utang, dll). Studi kasus: Tepatkah Kebijakan Untuk Segera Menaikkan Harga BBM? Berbagai pertanyaan: Timing dan besaran kenaikan BBM belum ditetapkan tetapi sudah dipatok: Besarnya subsidi BBM di APBN 2005 Nilai cash transfer per keluarga Tidak mau melakukan berbagai terobosan untuk atasi masalah APBN 2005. Alasan kenaikkan BBM menjadi tidak jelas: Subsidi yang membengkak? Sumber penerimaan untuk menutup anggaran? Agenda asing? Apa bench mark dalam melakukan penyesuaian harga: Harga internasional? Biaya produksi? Neraca Penerimaan dan Pengeluaran Sektor Minyak Bumi & Gas (Rp triliun) APBN-P 8,900 35 103.5 21.3 82.2 40 129.1 27.2 101.9 Pengeluaran Sektor Migas Subsidi BBM Dana Bagi Hasil Migas 55.6 39.8 15.8 Penerimaan Sektor Migas Dikurangi Subsidi BBM Kurs (Rp/USD) Harga Minyak (USD per barrel) Penerimaan Sektor Migas PPh Migas SDA Migas Penerimaan Sektor Migas Dikurangi Subsidi dan Dana Bagi Hasil migas (Formula Saat ini) Penerimaan Sektor Migas Dikurangi Subsidi dan Dana Bagi Hasil migas (Jika Dana Bagi Hasil migas di-freeze = Rp 15.8T ) Skenario 9,300 45 60 150.0 212.7 32.1 46.8 117.9 165.9 65 233.6 51.7 181.9 79.7 59.0 20.7 101.2 76.5 24.7 165.7 129.0 36.7 187.7 147.0 40.7 63.7 70.1 73.5 83.7 86.6 47.9 49.4 48.8 47.0 45.9 47.9 54.3 57.7 67.9 70.8 Tabel-3. Arus Penyediaan BBM 2005 413.7 19.5 Ekspor Bagian Kontraktor Production Sharing Bahan Baku Gas Alam 102.8 Satuan: Ribu barrel perhari Dibeli oleh Pemerintah 516.5 89.6 ??? Brokers pemburu rente 25.8 Produksi Minyak Mentah Indonesia 34.1 Ekspor oleh BP Migas Impor HOMC ????? CPD ?? 1,125 210.8 608.5 Produksi Pertamina dan bagian Pemerintah Impor BBM Total Supply 29.9 Exchange Pertamina LPG = 2706.9 T/D Premium = 194.2 21.1 46.2 261.5 Minyak Tanah = 164.7 15.1 1.2 181 Solar = 266.8 48.1 138.2 453.1 Diesel = 17.8 4.6 22.4 Minyak Bakar = 89.0 Produk (74.7%) 732.5 20.6 109.6 210.8 1027.6 35.1 Ekspor Kilang Minyak Nasional ?? 509.4 * Impor Minyak Mentah ??? 612.2 Kontrak Aramco, Petronas, Petral, Kipco ??? 240.0 240.0 Dikelilingi industri satelit ??? 128.7 Spot Tender 368.7 ??? 128.7 (980.9) Note: HOMC = High Octane Migas Component CPD = Crude Processing Deal * Terlalu besar dan tidak efisien, dapat diswap dengan pembelian dari production sharing = sumber ineffisiensi ??? 84.3 Produk Lain (25.3%)