PROSIDING SEMINAR NASIONAL PERIKANAN TANGKAP IPB KE 6 BOGOR, 22 OKTOBER 2015 “Pembangunan Perikanan Tangkap Berbasis Riset dan Teknologi dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean” Penyunting: Dr. Iin Solihin, S.Pi,M.Si Dr. Yopi Novita, S.Pi,M.Si Dr. Fis Purwangka, S.Pi, M.Si Didin Komarudin, S.Pi, M.Si Kegiatan Seminar Nasional Perikanan Tangkap IPB ke 6 Diselenggarakan Oleh Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan FPIK IPB Bekerja Sama dengan Forum Komunikasi Kemitraan Perikanan Tangkap (FK2PT). Didukung Oleh Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB dan PT. EOS Consultans. Prosiding ini diterbitkan oleh: DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2015 KATA PENGANTAR F orum Komunikasi Kemitraan Perikanan Tangkap (FK2PT) dan Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (PSP), FPIK–IPB untuk keempat kalinya bekerjasama menyelenggarakan Seminar Nasional Perikanan Tangkap. Seminar ini merupakan Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-6 yang diselenggarakan pada hari Kamis, 22 Oktober 2015, dengan tema “Pembangunan Perikanan Tangkap Berbasis Riset dan Teknologi dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN”. Dalam seminar tersebut menghadirkan tiga nara sumber utama, yaitu Ir Saut P. Hutagalung, MSc (Staf Ahli Menteri Bidang Ekonomi Sosial dan Budaya, Kemeterian Kelautan dan Perikanan) Ir Ady Surya (Wakil Presiden Asosiasi Pengusaha Kapal Pengangkut Ikan Indonesia/APKPII; Ketua Asosiasi Pengalengan Ikan Indonesia/APIKI) dan Dr Ir Fedi A Sondita, MSc (Staf pengajar FPIK IPB). Selain itu, dalam seminar ini juga dihadiri oleh peneliti-peneliti yang berasal dari dari berbagai perguruan tinggi baik negeri maupun swasta, instansi pemerintah maupun non pemerintah. Beberapa perguruan tinggi yang terlibat diantaranya adalah Institut Pertanian Bogor, Univ. Muhammadiyah Kendari, Univ, Lambung Mangkurat, Univ. Hasanuddin, Univ. Padjajaran, Univ. Muhammadiyah Maluku Utara, Univ. Riau, Politeknik Tual, Univ. Sultan Ageng Tirtayasa, Univ. Sriwijaya, Univ. Andi Djemma Palopo, Univ. Samratulangi, Univ. Bung Hatta, UMI Makassar, Univ. Brawijaya, Univ. Udayana, Univ. Nusa Nipa Maumere NTT, Univ. Negeri Gorontalo, Univ. Sebelas Maret, Univ. Bengkulu, dan Newcastel University. Instansi pemerintah yang terlibat adalah Balai Besar Penangkapan Ikan, LIPI Pusat Inovasi, Balitbang Kementerian Kelautan dan Perikanan, Loka Penelitian Perikanan Tuna KKP, Balai Penelitian Perikanan Laut, Pusat Pengembangan Teknologi Tepat Guna LIPI, Dinas Kelautan dan Perikanan Prov. Jawa Tengah, dan UPT. PTPI Probolinggo. Adapun instansi swasta yang terlibat adalah PT. EOS Consultants dan instansi swasta lainnya. Para peneliti yang hadir secara aktif berperan serta dalam SEMNASTANGKAP 6 sebagai Pemakalah dengan mempresentasikan hasil penelitian yang telah dilakukannya. Dengan banyaknya hasil penelitian yang didiseminasikan dalam seminar ini, diharapkan dapat mempercepat penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pengelolaan perikanan tangkap di Indonesia. Selain itu, diharapkan terjadi pertukaran informasi diantara kalangan akademisi, pelaku usaha, pengambil kebijakan perikanan laut, dan masyarakat. SEMNASTANGKAP ini terselenggara atas dukungan berbagai pihak diantaranya adalah Direktorat Kajian Strategis dan Kebijakan Pertanian IPB, PKSPL (Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan) IPB, dan PT. EOS Consultants. Dalam Prosiding ini, ditampilkan beberapa naskah yang telah dipresentasikan dalam kegiatan SEMNASTANGKAP 6. Semoga prosiding ini bermanfaat bagi perkembangan perikanan tangkap di Indonesia. Akhir kata, tiada gading yang tak retak, dengan segala kerendahan hati kritik dan saran yang membangun sangatlah kami harapkan demi kesempurnaan prosiding ini. DAFTAR ISI 1. Perikanan Jaring Koncong (Encircling Gillnet) Pulolampes, Kabupaten Brebes (Oleh: Zarochman) .......................................................................................... 1-25 2. Estimasi Potensi Lestari dengan Model Schaefer dan Fox Sumberdaya Ikan Teri di Perairan Kabupaten Maluku tenggara (Oleh: Eka Anto Supeni, Jacomina Tahapary) ................................................ 26-36 3. Analisis Alat Penangkap Ikan Pelagis Kecil di Kabupaten Barru Sulawesi Selatan (Oleh: Najamuddin, Mahfud Palo, Mukti Zainuddin, M Abduh Ibnu Hajar).. 37-49 4. Analisis Hasil Tangkapan Udang Di Laut Arafura (Oleh: Rian Juanda, Mulyono S Baskoro, Sulaeman Martasuganda)............. 50-65 5. Karakteristik Cahaya Lampu pada Bagan Tancap di Perairan Teluk Banten (Oleh: Adi Susanto, Yuhelsa Putra, Aristi Dian P Fitri, Heri Susanto) .......... 66-75 6. Komposisi dan Struktur Komunitas Ikan di Perairan Muara Musi dan Muara Banyuasin, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan (Oleh: Isnaini, Melki, Andi Agussalim) ........................................................... 76-88 7. Analisis Sistem Konektivitas Pelabuhan Perikanan dalam Penyediaan Bahan Baku Bagi Industri Pengolahan Ikan (Oleh: Iin Solihin, Sugeng H Wisudo, Joko Santoso) ...................................... 89-106 8. Kajian Biaya dan Manfaat Pemacuan Stok dan ‘Sea Ranching’ Kerapu di Indonesia (Oleh:Irfan Yulianto, Cornelius Hammer, Budy Wiryawan, Harry W Palm ) 107-115 9. Penghitungan Produktivitas Optimum Alat Tangkap: Studi Kasus pada Perikanan Purse Seine Di Lampulo Aceh (Oleh: Eko Sri Wiyono) .................................................................................... 116-124 10. Gillnet Lingkar Bertali Kerut Ikan Pelagis Kecil (Oleh: Zarochman) .......................................................................................... 125-147 11. Studi Pendahuluan Tentang Status Manajemen Perikanan Tangkap di Zona Perikanan Berkelanjutan dalam Kawasan TWP Pulau Pieh dan Laut Sekitarnya (Oleh: Yempita Efendi) .................................................................................... 148-162 12. Hubungan Beberapa Faktor Oseanografi terhadap Hasil Tangkapan Ikan dengan Pole and Line di Perairan Laut Flores Kabupaten Sinjai Sulsel (Oleh: Muhammad Jamal, Ernaningsih, Hasrun) ........................................... 163-171 13. Tingkat Efisiensi Pemasaran Ikan Laut Segar Di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Brondong (Oleh: Miftachul Huda, Iin Solihin, Ernani Lubis).......................................... 172-192 14. Pengembangan Investasi Usaha Perikanan Tangkap Unggulan di Bau-bau, Sulawesi Tenggara (Oleh: Mustaruddin, Mulyono S Baskoro, Budi Purwanto) ............................ 193-207 15. Kinerja Jantung dan Otot Ikan Jack Mackerel, Trachurus japonicus Selama Berenang di Flume Tank pada Suhu yang Berbeda (Oleh: Mochammad Riyanto, Takafumi Arimoto) .......................................... 208-219 16. Pengaruh Penggunaan Umpan yang Berbeda terhadap Hasil Tangkapan Tuna Mata Besar (Thunnus Obesus) di Samudera Hindia (Oleh: Irwan Jatmiko, Budi Nugraha, Rani Ekawaty) .................................... 220-226 17. Posisi Beban dan Sudut Jatuh Baling-Baling, Pengaruhnya terhadap Tahanan Gerak dan Kecepatan Perahu Katir di Palabuhanratu (Oleh: Budhi H Iskandar, Yopi Novita, N Firnasari, GA Saksono, R Hadi) .. 227-234 18. Sebaran Panjang dan Hubungan Panjang Berat Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) yang Didaratkan di Pelabuhan Benoa, Bali (Oleh: Irwan Jatmiko, Bram Setyadji, Rani Ekawaty) .................................... 235-240 19. Perikanan Kekerangan di Pantai Utara Jawa (Oleh: Karsono Wagiyo, Prihatiningsih, Tri Wahyu Budiarti) ....................... 241-258 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap IPB ke-6 Halaman: 1-25 ISBN 978-979-1225-34-2 PERIKANAN JARING KONCONG (ENCIRCLING GILLNET) PULOLAMPES, KABUPATEN BREBES Zarochman1 1 Perekayasa Utama BBPI ABSTRAK Gillnet lingkar tradisional milik nelayan Pulolampes yang dikenal jaring “Koncong”, keberadaannya di Desa Pulolampes Kabupaten Brebes menjadi cikal bakal perkembangan perikanan pelagis kecil di wilayah ini. Jaring koncong yang tergolong gillnet lingkar (encircling gillnet) untuk menangkap ikan pelagis kecil dengan sasaran utama ikan serinding (Apogonidae sp). Pengoperasian jaring koncong mengelilingi atau mengurung ikan yang menjadi sasaran tangkap sedemikian rupa sehingga ikan diarahkan agar menabrak dinding atau lembaran jaring yang tegak secara vertikal sehingga ikan terjerat dan/atau terpuntal pada mata jaring atau kumpulan beberapa mata jaring. Pengoperasian jaring koncong tanpa menggunakan alat bantu penarik. Daerah penangkapan jaring koncong pada perairan dangkal disesuaikan dengan sasaran utama ikan serinding yang bersifat musiman padaperairan di sekitar muara.Keterbatasan ini membatasi operasional jaring koncong sehingga jaring koncong bersifat musiman. Kompetisi daerah penangkapan ikan jaring koncong belakangan terdesak oleh pengoperasian “puring” atau purseine waring yang ukuran armada purseine waring lebih besar dan berjumlah lebih banyak. Puring beroperasi mulai perairan dangkal hingga lebih ke tengah terutama pada musim penghujan dengan hasil yang cukup signifikan. sedangkan efektifitas penangkapan jaring koncong sangat rendah pada tingkat efisiensi penangkapan yang kurang layak. Kata kunci: koncong, gillnet lingkar, ikan serinding PENDAHULUAN Gillnet lingkar tradisional milik nelayan Pulo Lampes tergolong kelompok alat penangkap ikan jaring jerat puntal (gillnet) yang pengoperasiannya mengejar dan dikelilingkan pada gerombolan ikan (encircling gillnet). Keberadaan gillnet lingkar di Desa Pulo Lampes, Kabupaten Brebes menjadi cikal bakal perkembangan perikanan pelagis kecil di wilayah itu yang tujuan utamanya adalah untuk menangkap ikan serinding (Apogonidae sp.). Daerah operasi penangkapan gillnet lingkar tradisional nelayan Pulo Lampes yang dikenal dengan sebutan jaring koncong terbatas pada perairan dangkal di sepanjang pesisir sekitar muara. Perkembangan daerah operasi meluas di sepanjang daerah pesisir perairan laut Brebes – Cirebon – Tegal. Namun 1 belakangan keberadaannyanyaris terancam akibat terdesak beroperasinya jaring lingkar (surrounding nets) terutama alat penangkap ikan jenis purse seine waring. Sebagian besar armada perahu jaring “koncong” menganggur dan para pemilik beserta para pekerjanya berpindah mengikuti purseine waring. Selama ini pengoperasian jaring koncong pada perairan dangkal dekat garis pantai bersifat musiman sehingga cenderung selektif pada sasaran ikan tertentu.Namun keberadaanya kian terdesak dan berhenti oleh berkembangnya purseine waring yang dikenal sangat produktif.Mengingat dari sisi teknologi gillnet lingkar tergolong selektif dan cukup efektif untuk ikan pelagis kecil sehingga masih diperlukan kesesuaian dalam operasi penangkapan ikan (compatible in fishing operation) dengan berbagai upaya modifikasi atau iterasi agar layak operasional. Perikanan jaring koncong yang tergolong gillnetlingkar tradisional nelayan Pulolampes Kabupaten Brebes, sebagian kecil masih bertahan untuk menangkap jenis ikan serinding yang diduga dari famili apogonidae.Hasil olahan jenis ikan serinding dipasaran mempunyai nilai ekonomi yang relatif tinggi.Jaring koncong ataugillnet lingkar tradisional berkontruksi sederhana dan berukuran kecil adalah kebiasaan turun-temurun nelayan Pulolampes yang menyebabkan nelayan setempat sangat terampil dalam mendeteksi ikan timbulan tanpa bantuan alat sambung penglihatan. Perikanan “koncong” yang sudah sangat akrab dengan pameo dikalangan nelayan Pulolampes “ucul dayung dodol sarung” adalah adanya keterbatasan musim ikan yang kian membatasi hari melaut, sementara kebutuhan dapur dan uang saku sekolah harus tersedia setiap hari. Dalam hal ini nelayan tidak ke laut karena sedang “paila”, ikan alias tidak sedang musim ikan. Nelayan tidak melaut berarti tidak mempunyai pendapatan,dimana akhirnya menjual barang miliknya yang sangat berharga, diibaratkan “sarung”. Hingga saat ini bagi nelayan yang bermodal kecil di Pulolampes sebagian masih bertahan menggunakan jaring koncongsebagai pilihan karena tergolong alat tangkap yang paling murah. Investor jaring koncong adalah nelayan miskin dengan modal sedikit untuk beli bahan jaring dan dibuat sendiri dengan mudah (relatif cepat). Berikut ini adalah hasil wawancara kami dengan responden nelayan “koncong” bernama Kosim. Keadaan umum responden Umur 51 thn Pendidikan SD Pengalaman usaha Koncong (15 thn) Alasan menggunakan API Ikut-ikutan yang lain karena merupakan alat tangkap yang paling murah Apakah punya pekerjaan lain. Jika Ya, apa dan berapa penghasilannya Tidak Berdasarkan hasil wawancara beberapa nelayan, semuanya cenderung mengatakan bahwa pada saat musim hujan tidak musim ikan, karena selama ini 2 daerah penangkapannya dekat dengan pantai di sekitar muara sungai (estuaria). Berdasarkan bulan masehi, bahwa ikan timbulan ada pada kisaran bulan Juni – Oktober atau musim kering/kemarau. Bahkan kemelimpahan ikan pada kisaran musim kemarau bisa cukup tinggi sehingga nelayan mengistilahkan “panen”, sedangkan dalam musim hujan tidak atau jarang ke laut.Tujuan penulisan adalah mengenali perikanan gillnet lingkar tradisional tipe koncong cikal bakal perkembangan perikanan tangkap nelayan Pulo Lampes, Kabupaten Brebes. TINJAUAN TENTANG GILLNET LINGKAR Pengertian Gillnet Lingkar (Encircling Gillnet) Definisi atau pengertian yang membatasi gillnet sebagai salah satu metode atau cara penangkapan ikan (fishing methods) adalah suatu cara menangkap ikan dengan menggunakan alat tangkap sehingga ikan tertangkap secara terjerat (gilled) pada mata jaring (mesh net) dan/atau terpuntal (entangled) pada beberapa mata jaring (meshsize).Jenis jaring insang yang konstruksinya hanya terdiri dari satu lembar, ikan yang memasuki mata jaring biasanya hanya ikan yang mempunyai ukuran keliling belakang penutup insang (operculum girth) lebih kecil dari keliling mata jaring dan keliling tinggi maksimum (maksimum body girth). Klasifikasi jaring insang (gillnet) bila ditinjau dari cara pengoperasian dapat dibedakan menjadi 4 (empat): (1)Gillnettetap (set gillnet), (2) Gillnet hanyut (drift gillnet), (3) Gillnet berpancang (fixed gillnet), dan (4) Gillnet lingkar (encircling gillnet). Gillnet lingkar merupakan jaring insang yang dioperasikan dengan cara melingkarkan alat mengelilingi gerombolan ikan permukaan. Setelah terkumpul, ikandikejutkan dengan membuat keributan di permukaan air sehingga ikan berenang berhamburan dan menabrak/tersangkut jaring. Cara melingkarkan jaring dilakukan dengan menebarkan jaring saat kapal membuat lingkaran. Untuk mensiasati agar gillnet lingkar lebih efisien sehingga pertimbangkan desain dan kontruksinya diupayakan dapat: 1) Melingkari secara horisontal, sehingga panjang jaring dan kecepatan melingkarnya harus dipertimbangkan secara baik, 2) Memagari secara vertikal dari permukaan laut hingga kedalaman tertentu, dimana ikan sulit keluar dari lingkaran jaring, sehingga lebar jaring dan kecepatan tenggelam tali pemberat harus cukup, 3) Mengurung dengan menarik bagian bawah jaring melalui penarikan tali bantu. Jadi bagian bawah jaring harus berada sampai pada perairan yang lebih dalam 3 Gambar 1. Perspektif pengoperasian jaring insang lingkar dengan cara ditakuti Filosofi Rancang Bangun Gillnet Lingkar Gillnet lingkar tidak tergolong jaring lingkar (surrounding net). Fungsi dinding atau lembaran jaring pada setiap bagian pada jaring lingkar seperti pada purse seine dan payang lingkar tanpa tali kerut hanya sebagai dinding penghadang atau penggiring/pengarah (leader) agar sasaran ikan masuk pada bagian kantong atau “bunt”. Adapun gillnet lingkar yang pengoperasiannya mengelilingi atau mengurung ikan yang menjadi sasaran tangkap sedemikian rupa sehingga ikan diarahkan agar menabrak dinding atau lembaran jaring yang tegak secara vertikal sehingga ikan terjerat dan/atau terpuntal pada mata jaring atau kumpulan beberapa mata jaring. Fungsi mata jaring pada jaring lingkar bukan untuk menjerat atau memuntal, sedangkan mata jaring pada gillnet lingkar untuk menjerat atau bila kontruksi jaring gillnet lingkar dibuat lentur dan ikan yang menabrak lingkar bodinya lebih besar dari bukaan mata jaring maka ikan akan terpuntal. Bukaan mata jaring pada jaring lingkar dirancang lebih kecil dibandingkan body atau ukuran lingkar tubuh ikan sasaran, sedangkan ukuran atau bukaan mata jaring gillnet lingkar dibuat minimal sama atau dapat sedikit lebih besar melalui pengaturan nilai gantung jaring (net hanging ratio). Nilai indeks benang atau ratio diameter benang terhadap panjang kaki mata jaring (I) untuk lembaran bahan jaring (webbing) untuk gillnet sangat kecil atau jauh lebih kecil dibanding nilai I webbing jaring lingkar. Dengan demikian kebutuhan webbing pada gillnet lingkar lebih sedikit volumenya dibanding kebutuhan webbing untuk purse seine. Oleh karena itu nilai kebutuhan bahan jaring lebih sedikit dan volumenya lebih kecil dan ringan sehingga nilai investasi jaring kecil dan lebih mampu dimuat perahu lebih kecil. Meskipun demikian pada perairan tropis dengan kandungan multi species para perancang gillnet lingkar berusaha mengoptimalkan efisiensi alat tangkap gillnet agar mampu menangkap ikan dalam jumlah besar dari beragam species ikan pelagis kecil yang membentuk kelompok/gerombolan (schooling). 4 METODOLOGI Peralatan survei Peralatan survei yang digunakan ditentukan berdasarkan kebutuhan data yang akan diambil dan penggunaannya disesuaikan dengan kondisi dilapangan. Beberapa peralatan diuraikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Peralatan survei dan kegunaannya No Peralatan Kegunaan Untuk transportasi laut dan sarana apung 1 Speed boat dalam melakukan survei Untuk melakukan survey penangkapan Perahu penangkapan ikan 2 ikan untuk melihat hasil tangkapan ikan gillnet lingkar yang dominan Echo Sounderdan Fish Untuk mengukur kedalaman dan 3 Finder mendeteksi gerombolan ikan dalam air Mendokumentasikan keadaan/lokasi 4 Kamera digital survei, deskripsi sarana tangkap, dan hasil tangkapan Menyimpan dan memvisualisasikan hasil 5 Perangkat komputer survei Global Positioning System Untuk mengukur posisi dan menentukan 6 (GPS) arah kompas/ haluan Untuk mengukur kedalaman air sejauh 7 Roll meter mana alat dipasang 8 Jangka sorong / Papan ukur ikan Untuk mengukur ikan 9 Timbangan jarum / digital Untuk mengukur berat Metode Metode penelitian adalah studi kasus hasil pengamatan di lapangan dengan melakukan pendekatan teori rancang bangun dan kajian pengoperasian alat tangkap. Pengujian menggunakan metode studi kasus dan eksperimen melalui pendekatan:survey profil perikanan gillnet lingkar di lokasi pengujian, survey identifikasi daerah penangkapan ikan, survey identifikasi desain awal alat tangkap gillnet lingkar di lokasi pengujian, survey eksplorasi operasi penangkapan ikan dengan gillnet lingkar (koncong). Metode pengumpulandata primer dalam penelitian ini adalah dengan metode eksplorasi penangkapan langsung di laut pada daerah penangkapan rajungan berdasarkan informasi nelayan setempat (Fishing Ground Exploratory 5 Survey), serta pengumpulan data produksi dan pengukuran biologi ikan (panjang, berat, TKG, dan jenis kelamin)ikan hasil tangkapan. Analisis laju tangkap dengan mentabulasikan data hasil tangkapan gillnet lingkar menurut jenisnya, yang diperoleh dengan metodeexploratory survey, selanjutnya dilakukan penghitungan untuk memperoleh data yang diinginkan seperti data komposisi hasil tangkapan dan prosentasenya serta penghitungan hasil rata-rata per bubu (catch rate). HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Perikanan dan Daerah Penangkapan Ikan Kondisi perikanan laut perairan berbasis Pulo Lampes Kabupaten Brebes A. Kondisi umum wilayah Kota Brebes terletak di wilayah pesisir Utara danbagian barat Provinsi Jawa Tengah, dengan koordinat 108° 41'37,7" - 109° 11'28,92" Bujur Timur dan 6° 44'56,5" - 7° 20'51,48”Lintang Selatan dan berbatasan langsung dengan wilayah Provinsi Jawa Barat.Wilayah pesisir pantai Kota Brebes mempunyai panjang pantai sebesar ± 72,93km yang meliputi 14 desa di 5 kecamatan. Batas-batas wilayah Kota Brebes sebagai berikut : Sebelah Utara : Laut Jawa Sebelah Timur : Kota Tegal dan Kota Tegal Sebelah Selatan : Kota Banyumas dan Kota Cilacap Sebelah Barat : Propinsi Jawa Barat (Wilayah Cirebon) Pembagian zonasi pantai terdiri dari pengembangan konservasi tanaman bakau (mangrove plants) yang dapat berfungsi untuk pemulihan daya dukung lingkungan pada bagian barat dengan batas Losari (Prapag Kidul dan Prapag Lor), Teluk Bangsri sampai dengan sekitar muara sungai Nippon (Desa Sawojajar dan Kaliwlingi), sedangkan wilayah pantai bagian timur mulai sebelah timur sungai Kamal sampai dengan Pantai Randusanga Kulon dikembangkan menjadi Kawasan Pelabuhan antarpulau maupun Kawasan Pariwisata Pantai. Kondisi perairan pantai bagian barat relatif dangkal, untuk kedalaman laut 5 meter berjarak lebih kurang 1,5 mil dari garis pantai, sedang di perairan bagian timur, kedalaman laut mencapai 5 meter, berjarak lebih kurang dari 1 mil. Pada perairan lepas pantai kedalaman laut cenderung landai dengan pola garis kontur tidak lagi mengikuti bentuk garis pantainya. B. Kondisi perikanan tangkap Usaha perikanan laut di Kota Brebes, terpusat pada wilayah Kecamatan Bulakamba, Losari, Tanjung, Wanasari dan Brebes.Berdasarkan Tabel 2, jumlah nelayan pemilik dan Anak Buah Kapal (ABK) di sekitar tempat pelelangan ikan 6 (TPI) terbanyak berada di Prapag Kidul yaitu 952 orang dan 3.557 orang, sedangkan jumlah terendah berada di TPI Kaligangsa sebanyak 27 orang dan 108 orang. Pada TPI Pulolampes terdapat 104 orang pemilik dan ABK sebanyak 1327 orang, dimana jumlah ABK cenderung lebih besar dibandingkan dengan pemilik alat tangkap. Tabel 2. Jumlah Nelayan dan Bakul Menurut TPI Tahun 2011 No. Nama TPI Pemilik ABK Bakul Jumlah (orang) (orang) (orang) 1. Kaligangsa 27 108 15 150 2. Kaliwlingi 263 1.052 60 1.375 3. Sawojajar 242 726 60 1.028 4. Pulolampes 104 1.327 7 1.438 5. Kluwut 244 1.141 24 1.409 6. Krakahan 291 1.132 11 1.434 7. Pengaradan 294 1.922 17 2.233 8. Prapag Kidul 952 3.557 31 4.540 Jumlah 2.417 10.965 225 13.607 Sumber : DKP Kota Brebes(2013) Armada penangkapan di Kota Brebes dibagi menjadi 3 (tiga) kategori, yaitu kapal motor, motor tempel dan tanpa motor. Hingga tahun 2011, jumlah armada kapal motor terbanyak berada di sekitar TPI Prapag Kidul dan Pulolampes, dimana jumlah masing-masing 305 unit dan 141 unit.Perkembangan perahu mesin tempel pada TPI Prapag Kidul hingga 2012 lebih dari 200% atau sebesar 847 unit dibandingkan dengan jumlah tahun 2011 sebesar 286 unit, sedangkan pada kapal motor berjumlah 306 unit.Jumlah armada perahu yang didata oleh pemerintah daerah dapat dilihat pada Tabel 3. Alat tangkap yang dominan adalah jaring kejer, jaring gemplo, trammel net, dan koncong. Komoditas unggulan untuk jenis penangkapan di Kota Brebes adalah teri nasi, kembung, udang, pirik, seriding, kembung, dan layur. Jumlah alat tangkap pada tahun 2011 didominasi alat tangkap jaring kejer (25), gempol (506 unit), jaring udang (365 unit), dan trammel net (315 unit). Untuk alat tangkap rawai dan alat lainnya merupakan alat tangkap yang jumlahnya terendah, dimana masing-masing mencapai 2 % dari jumlah total alat tangkap nelayan.Jumlah dan jenis alat tangkap di Kota Brebes dapat dilihat pada Tabel 4 dan Gambar 2. Tabel 3. Jumlah perahu per Jenis alat tangkap di beberapa Tempat Pelelangan Ikan (TPI)di Kota Brebes Tahun 2011-2012. Jumlah Perahu Tempat No. Pelelangan Tanpa Mesin Mesin Tempel Kapal Motor Ikan (TPI) 2011 2012 2011 2012 2011 2012 1. Kaligangsa 27 14 - 7 Tempat No. Pelelangan Tanpa Mesin Ikan (TPI) 2011 2012 2. Kaliwlingi 53 3. Pesantunan 4. Sawojajar 40 5. Grinting 21 6. Pulolampes 7. Kluwut 8. Pengaradan 9. Krakahan 10. Prapag Kidul 306 5 11. Prapag Lor 7 12. Karang Dempel 11 Jumlah 306 137 Sumber : DKP Kota Brebes (2013) Jumlah Perahu Mesin Tempel 2011 2012 263 263 150 242 242 30 119 135 116 116 315 315 291 291 847 286 2.220 2.522 Kapal Motor 2011 2012 141 10 141 3 12 305 449 163 Tabel 4. Jumlah dan jenis alat tangkap di Kota Brebes Tahun 2011 No. Alat Tangkap Jumlah (unit) 1. Rampus 30 2. Trammel net 315 3. Arad 223 4. Bagan 121 5. Rawai 8 6. Jaring kejer 728 7. Mini Purse seine 71 8. Koncong 118 9. Cantrang 212 10. Gemplo 506 11. Ampera 56 12. Gillnet 137 13. Jaring udang 365 14. Lain-lain 9 Jumlah 2.899 Sumber : DKP Kota Brebes(2013) 8 Gambar 2. Komposisi jumlah per jenis alat tangkap nelayan Kota Brebes Hasil tangkapan nelayan terdiri dari ikan pelagis danikan demersal, dimana sangat tergantung jenis alat tangkap yang digunakan.Alat tangkap koncong dominan ikan yang diperoleh berupa ikan serinding, sedangkan tangkapan lainnya antara lain layur, pepetek dan teri. C. Wilayah Operasi Penangkapan Ikan Berbasis Pulo Lampes Kabupaten Brebes Nelayan Kabupaten Brebesumumnya memiliki jumlah armada penangkapan yang cukup besar dengan jenis alat tangkap yang beragam.Daerah penangkapan ikan nelayan berada di perairan pantai Utara Jawa khususnya berlokasi pada perairan sekitar pantai dan dekat dengan basis nelayan, serta perairan dangkal. Alat tangkap mempunyai target ikan tangkapan yang cenderung berbeda, dimana sangat tergantung bagian perairan dimana alat tangkap dioperasikan. Untuk mendapatkan daerah penangkapan, nelayan menyisir di sepanjang pantai dengan berjalan hingga diperoleh gerombolan ikan, bila tidak didapatkan ikan timbul,maka jaring koncong (gillnet lingkar ikan serinding) tidak dioperasikan atau jaring tidak diturunkan. Secara umum, perairan utara Brebes sangat strategis untuk dilakukannya pengembangan penangkapan ikan pelagis kecil karena selama ini penangkapan serinding hanya dilakukan menggunakan jaring koncong yang tergolong gillnet lingkar sederhana berukuran kecil milik nelayan lokal daerah Pulo Lampes, desa Pulogading, wilayah Kabupaten Brebes. Menurut pendapat nelayan sekaligus tokoh masyarakat di Pulolampes, kehadiran purse seine waring meskipun aktifitas TPI menjadi ramai tetapi jenisjenis ikan yang didaratkan merupakan jenis –jenis ikan anakan ikan pelagis kecil. 9 Gambar 3a. Peta Wilayah Kabupaten Brebes Gambar 3b. Peta Citra Satelit Perairan utara Brebes Perikanan jaring lingkar ikan pelagis kecil berbasis Brebes Target utama perikanan gillnet lingkar adalah ikan serinding (Apogonide sp.) paling populer di kalangan nelayan Pulolampes, Desa Pulogading wilayah Kabupaten Brebes. Nelayan menyebutnya jaring koncong, yang tergolong gillnet lingkar sederhana berukuran kecil. Kian hari kegiatan pengoperasian jaring koncong makin terjepit dengan munculnya purse seine waring dengan target utama ikan teri. Purse seine waring mendesak kegiatan nelayan koncong disebabkan beberapa alasan : 1) purse seine waring menyerap banyak tenaga yang biasanya sebagai ABK jaring koncong berpindah ke purse seine waring, 2) ukuran mata jaring sangat halus yang dapat menangkap segala jenis ikan termasuk anakan ikan, 3) tempat sandar disepanjang sungai dipenuhi oleh armada purse seine waring, 4) fishing ground berkompetisi dengan jaring koncong. Gambar 4a. Ukuran mata jaring purse seine waring 10 Gambar 4b. Pelampung purse seine waring Gambar 5. Hasil tangkap purse seine waring Pulolampes Armada Purse seine waring menggunakan ABK 10 – 15 orang sementara ABK jaring koncong 3-4 orang, tempat sandar memenuhi dermaga TPI Pulolampes tidak memberiruang tempat untuk bersandar armada kapal jaring koncong Gambar 6a. Armada purse seine waring Pulolampes Gambar 6b. Armada kapal jaring koncong Peningkatan produksi perikanan laut dalam beberapa tahun terakhir cukup signifikan terutama dari produksi perikanan peragis kecil dari kelompok ikan teri. Meskipun demikian terdapat permasalahan terhadap tekanan sumberdaya ikan yang cenderung berukuran kecil akibat berkembangnya purse seine waring. Akibat perkembangan purse seine waring juga menimbulkan kesenjangan antara 11 nelayan jaring koncong (gillnet lingkar) dan purse seine waring. Gillnet lingkar yang selama puluhan tahun menjadi andalan nelayan Pulolampes, Kabupaten Brebes, menjadi hampir tidak berkembang, bahkan hanya tinggal beberapa unit yang masih bertahan dalam kondisi pengoperasian penangkapan yang minimal. Oleh karena itu keberadaan gillnet lingkar dengan memanfaatkan armada perahu < 5 GT tetap dipertahankan dengan diupayakan perbaikan kinerja melalui modifikasi gillnet lingkar untuk beroperasi pada perairan lebih dalam. Ke depan hasil perbaikan kinerja gillnet lingkar dapat dioperasionalkan untuk memperbaiki pendapatan dan keberlanjutan penangkapan sehingga mampu memperkuat modal nelayan jaring koncong. Prasarana alur keluar masuk dari dan ke tempat pendaratan menjadi perhatian untuk memperlancar kegiatan operasi pelayaran penangkapan ikan terutama pada alur menuju tempat pendaratan ikan Pulolampes. Kompetisi daerah penangkapan ikan antara pengoperasian gillnet lingkar dan purse seine waring setidaknya diatur dengan peraturan daerah (Perda). Identifikasi rancang bangun dan hasil tangkap gillnet lingkar, “koncong” Brebes A. Identifikasi rancangbangun Gillnet Lingkar (jaring koncong) Brebes Beberapa aspek yang dipersiapkan dalam menyiapkan desain awal diantaranya adalah pengamatan desain alat tangkap yang telah ada sebagai bahan pembanding dan dasar perubahan melalui kerekayasaan gillnet lingkar ikan pelagis kecil. Identifikasi alat tangkap koncong meliputi : a) Penentuan bentuk dan komponen jaring b) Pengamatan jaring pada bagian sayap, bentuk jaring bagian sayap tidak terdapat potongan miring c) Ukuran mata jaring bagian sayap memiliki ukuran mata sama merata ( 3/4˝ ) d) Diameter benang sama dengan bagian badan dan lebih kecil dari bagian kantong e) Pengamatan bagian badan berbentuk lembaran jaring, potongan lurus, ukuran mata jaring sama dengan bagian sayap f) Diameter benang sama dengan bagian sayap dan lebih kecil dari bagian kantong g) Pengamatan bagian kantong berbentuk lembaran jaring, diameter benang lebih besar dari bagian badan dan sayap, ukuran mata jaring sama dengan bagian badan dan sayap. Hasil pengamatan komponen dan bahan gillnet lingkar nelayan Pulolampes seperti tertera pada Tabel 5, 6, dan 7. Tabel 5. Komponen dan Material tali temali Gill net lingkar di Pulolampes 12 MODEL I KOMPONEN BAHAN PE Diameter (mm) 7 7 4 10 4 4 14 6 Ris atas Tali pelampung Tali usus usus atas Ris bawah Tali pemberat Tali usus usus bawah Tali kerut Tali cincin Panjang (m) 450 450 450 480 480 480 580 50 Tabel 6. Komponen dan material webbing, ukuran dan jumlah mata vertikal x horisontal KOMPONEN MATERIALDAN UKURAN MODEL Srampat atas PA 0.75 inci ; 210 d/6 1600 x 3 Kantong PE ; 0.75 inci ; 1.12 mm 1600 x400 Badan / Sayap PA ; 0.75 inci ; 210 d/3 Srampat bawah PA 0.75 inci ; 210 d/6 1600 x 3 Srampat bawah PA ; 1 inci ; 210 d/12 50 Tabel 7. Komponen dan material pelampung, ukuran dan jumlah dari pelampung, pemberat dan cincin NAMA KOMPONE MODEL I N Pelampung PVC, 1.3 Kgf, 600 bh Pemberat Pb, 310 gr,2000 bh Cincin Kuningan, 500 gr, 76 bh 13 Gambar 7. Perspektif desain dan pengoperasian gillnet lingkar nelayan Pulolampes, Brebes. B. Identifikasi hasil tangkap jaring koncong Brebes Berdasarkan data hasil tangkapan nelayan gillnet lingkar yang dioperasikan oleh nelayan Pulolampes diperoleh informasi bahwa jenis ikan hasil tangkapan nelayan didominasi oleh ikan serinding (apogonidae sp.). Untuk jenis lainnya berupa ikan layur, tembang dan lainnya didapat dalam jumlah yang sedikit.Hasil tangkapan nelayan secara keseluruhan dapat dilihat pada (Tabel 8) berikut. Tabel 8.Hasil tangkap gillnetlingkar di Perairan Pantai Utara Brebes 2014 Jenis ikan Perahu Jumlah Trip JulungCumikoncong Serinding Teri Tembang (Kg) Julung Cumi 1 1 55,4 23,2 2,5 1,5 0,4 83,0 14 Perahu Trip koncong Serinding Jenis ikan Teri Tembang 82,5 21,4 62,2 31,5 55,4 22,6 75,5 35,4 2 122,2 40,6 85,6 20,5 60,2 22,6 80,7 27,2 3 45,1 25,4 92,6 31,7 67,3 15,2 52,2 22,8 60,8 30,5 4 77,7 22,5 45,4 22,2 57,2 11,4 88,2 20,8 5 85,6 14,4 115,2 34,5 95,2 12,4 6 60,2 27,5 117,5 35,5 72,9 32,4 65,8 22,5 1878,6 626,7 Total 75,1 25,1 Rerata Sumber: Data survei (2014) 15,4 5,2 2,4 14,4 18,4 6,5 7,2 12,3 6,4 7,5 9,2 2,2 13,5 6,2 11,3 8,6 12,4 12,5 16,2 10,6 17,1 11,6 8,2 11,6 249,4 10,0 2 3 4 5 1 2 3 4 1 2 3 4 5 1 2 3 4 1 2 3 1 2 3 4 JulungJulung 10,5 2,2 3,8 5,4 12,5 8,5 2,2 1,1 2,2 2,2 7,1 2,1 1,4 2,5 3,8 3,5 1,2 1,8 11,7 6,4 2,3 12,5 5,5 10,5 124,4 5,0 CumiCumi 0,5 0,8 1,1 0,4 0,5 0,8 1,1 2,4 1,1 1,5 3 0,8 8,8 1,5 1 25,7 1,0 Jumlah (Kg) 129,8 101,6 84,2 131,5 194,8 121,1 92,2 121,3 79,5 134,0 99,3 80,1 106,2 110,0 85,1 80,7 123,7 115,8 180,6 124,6 107,9 185,9 120,5 111,4 2904,8 116,2 Pada pengujian operasi penangkapan selama 6 hari dengan jumlah 25 trip menghasilkan ikan sebanyak 2.904,8 kg atau rata-rata per trip perhari 116,2 kg. Jenis ikan tangkapan dominan antara lain: serinding (Apogonidae sp.), teri (Stolephorus spp.), tembang/tanjan (Sardinella sp.), julung-julung (Hemirhamphus sp) dan cumi-cumi (Loligo sp). 15 Gambar 8.Komposisiikan hasil tangkapan gillnetlingkar Berdasarkan diagram (Gambar 8) diatas memperlihatkan komposisi ikan hasil tangkapan gillnet lingkar yang diperoleh nelayan di Kota Brebes,yaitu ikan serinding mencapai 65%, sedangkan ikan lainnya seperti ikan teri 21%, tembang 4%. Tabel 9. Ilustrasi ikan hasil tangkap gillnet lingkar, penamaan dan ukurannya 1. Serinding Apogonidae sp Rerata Berat (gram/ekor) 200 gram/ 48 ekor 2. Teri Stolephorus spp. 50 gram/ 42 ekor 8 - 11 3. Sardinella sp. 250 gram/ 13 ekor 10 - 14 4. Tembang/ Tanjan/ Bilis Julung-2 5. Cumi-2 Loligo sp. 250 gram/ 3 ekor 8 - 12 No. Ilustrasi Nama Lokal Nama Latin Kisaran Panjang Total(Cm) 9 - 13 Hemirhamphus sp. Ikan hasil tangkapan dominan pada penangkapan gillnet lingkar adalah ikan serinding. Ikan ini berenang mempunyai tingkah laku berenang dalam kelompok besar atau schooling besar. Berdasarkan data yang dikumpulkan bahwa dalam kelompok ikan serinding memiliki ukuran panjang total dominan tertentu, dimana umumnya memiliki ukuran 6,3 – 9,35 cm. 16 Untuk ukuran lingkar badan atau girth ikan serinding 3,3 – 3,85 cm dengan dominasi pada ukuran 4,5 cm.Berat ikan serinding yang diperoleh pada penangkapan ikan gillnet lingkar berkisar 2,91 – 6,65 gram per ekornya.Indeks kematangan gonad ikan serinding dari hasil pengamatan didominasi pada fase 3, sehingga dimungkinkan ikan yang tertangkap sedang bertelur.Tingkat kematangan gonad ikan serinding yang diperoleh menunjukkan pada tingkat 1 hingga 4 dengan variasi panjang total ikan berkisar 6 hingga 9 cm. Gambar 9 memperlihatkan bahwa hubungan panjang dengan lingkar badan ikan serinding memenuhi persamaan Y = 0,2062 X + 2,9445, dimana populasi ikan berada pada ukuran besar. Lingkar badan (girth) pada sampel ikan serinding selama penangkapan berlangsung memiliki rata-rata ukuran 4,56 cm dengan panjang ikan rata-rata berukuran 7,84 cm (diolah dari hasil laporan teknis /TR02 dari Leader 1), Gambar9Grafik hubungan panjang total dan lingkar badan (girth) ikan serinding Secara umumkematangan gonad ikan serinding pada panjang ikan 6 hingga 9 cm didominasi ikan dengan TKG 3.Gambar 9 menunjukkan bahwa hubungan antara IKG dan panjang total jaring memiliki persamaan Y = 0,0277 X + 2,6905 dimana menggambarkan adanya penambahan tingkat gonad cukup cepat. Populasi ikan serinding sangat bervariasi atau cenderung selektif ukuran, dimana semuanya merupakan hasil tangkapan gillnet lingkar.Akan tetapi nilai perbandingan antara Lm (Length at first Maturated) dan Lc (Length at first Captured), yaitu 26 < 74 %, sehingga parameter Lc lebih banyak ditangkap.Nilai perbandingan memperlihatkan bahwa Lc lebih besar dari Lm, menjadi pertanda penangkapan dini sehingga dikhawatirkan terjadi rekrutmen overfishing untuk jenis tersebut.Artinya bila penangkapan ikan serinding diteruskan dalam kondisi seperti ini dimungkinkan terjadi gangguan rekrutmen.Gambaran kondisi matang gonad ikan serinding dapat dilihat pada Gambar 10 (diolah dari hasil laporan teknis /TR02 dari Leader 1). 17 Gambar 10Hubungan panjang total dan indeks kematangan gonad (IKG) ikan serinding Identifikasi daerah penangkapan ikan pelagis kecil Perairan daerah operasi penangkapan gillnet lingkar ikan pelagis kecil merupakan perairan yang memiliki substrat lumpur.Substrat yang ditunjukkan dalam studi ini hanya terbatas pada daerah operasi penangkapan di wilayah perairan pantai utara Brebes dan sekitarnya.Selain dibatasi pada lokasi yang terpilih juga penentuan ini dilakukan dengan batasan pengukuran substrat yaitu 1 mil laut dari garis pantai sampai 12 mil laut. Kondisi ini dilakukan dengan asumsi bahwa perairan dari garis pantai hingga kedalaman kurang dari 10 meter atau sekitar2 – 3 nautikal mil ke laut merupakan daerah penangkapan alat tangkap lain seperti jaring koncong yang berkompetisi daerah operasi penangkapan gillnet lingkar. sedangkan selebihnya (3 – 12 nautikal mil laut) berkompetisi dengan purse seine waring (purse seine teri/jaring “sibolga”).Kondisi ini berlaku untuk wilayah Brebes.Cirebon, Tegal, hingga Pemalang.Umumnya kondisi dasar perairan tersebut terdiri dari lumpur. Adapun jenis substrat yang lain yaitu, pasir, pasir berlumpur, batu, karang, jenis substrat pasir dan pasir berlumpur hanya di temukan di perairan di bawah 1 mil laut dari pantai yang terjadi di perairan lokasi penelitian. Umumnya substrat berlumpur atau lumpur berpasir cukup kaya nutrients termasuk plankton sehingga sangat disukai ikan pemakan plankton terutama ikan kecil termasuk ikan pelagis kecil di perairan pantai. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perairan di lokasi studi merupakan perairan yang memiliki potensi ikan pelagis kecil sejenis serinding dan teri dan berbagai jenis ikan kecil lainnya. 18 c Gambar 11. Peta daerah bersubstrat lumpur: a. lokasi penelitian di pantura Jawa dan sebaran lumpurnya.b. sebaran substrat lumpur di Cirebon, Brebes, Tegal, dan Pemalang,c. sebaran substrat lumpur di Kendal, Semarang, dan Demak, d. sebaran substrat lumpur di perairan Jepara daerah penangkapan rajungan. KESIMPULAN Jaring “Koncong” tergolong gillnet lingkar (encircling gillnet) untuk menangkap ikan pelagis kecil dengan sasaran utama ikan serinding (Apogonidae sp). Pengoperasian jaring “Koncong” mengelilingi atau mengurung ikan yang menjadi sasaran tangkap sedemikian rupa sehingga ikan diarahkan agar menabrak dinding atau lembaran jaring yang tegak secara vertikal sehingga ikan terjerat dan/atau terpuntal pada mata jaring atau kumpulan beberapa mata jaring. Fungsi mata jaring pada jaring lingkar bukan untuk menjerat atau memuntal, sedangkan mata jaring pada gillnet lingkar untuk menjerat atau bila kontruksi jaring gillnet lingkar dibuat lentur dan ikan yang menabrak lingkar bodinya lebih besar dari bukaan mata jaring maka ikan akan terpuntal. Bukaan mata jaring pada jaring lingkar dikuntruksi lebih kecil dibandingkan bodi atau ukuran lingkar tubuh ikan sasaran tangkapan, sedangkan ukuran atau bukaan mata jaring gillnet lingkar dibuat minimal sama atau dapat sedikit lebih besar melalui pengaturan nilai gantung jaring (net hanging ratio). Nilai indeks benang atau ratio diameter benang terhadap panjang kaki mata jaring (I) untuk lembaran bahan jaring (webbing) untuk gill net sangat kecil atau jauh lebih kecil dibanding nilai I webbing jaring lingkar. Dengan demikian kebutuhan webbing pada gillnet lingkar lebih sedikit volumenya dibanding kebutuhan webbing untuk purse seine. Oleh karena itu nilai kebutuhan bahan jaring lebih sedikit dan volumenya lebih kecil dan ringan sehingga nilai investasi jaring kecil dan lebih mampu dimuat perahu lebih kecil. 19 Pada perairan tropis dengan kandungan multi species para perancang gillnet lingkar berusaha mengoptimalkan efisiensi alat tangkap gillnet agar mampu menangkap ikan berjumlah lebih besar dari beragam species ikan pelagis kecil yang membentuk kelompok / gerombolan (schooling). Kompetisi daerah penangkapan ikan jaring “Koncong” belakanganterdesak oleh pengoperasian “puring” atau purseine waring yang ukuran armada purseine waring lebih besar dan berjumlah lebih banyak. sedangkan efektifitas penangkapan jaring “Koncong” sangat rendah pada tingkat efisiensi operasional yang kurang layak. Puring beroperasi lebih ke tengah terutama pada musim penghujan dengan hasil yang cukup signifikan. SARAN Untuk pendayagunaan armada dan untuk membangkitkan operasional jaring koncong diperlukan dimensi yang lebih besar melalui modifikasi dan iterasi dengan maksud agar nelayan bisa mengoperasikan gillnet lingkar ke perairan lebih dalam dengan frekuensi hari operasi penangkapan ikan meningkat .Gillnet lingkar ini tetap dapat dioperasikan dengan menggunakan ukuran perahu < 5 GT yang selama ini digunakan untuk pengoperasian jaring koncong. DAFTAR PUSTAKA Anonimous 2012.Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Brebes FAO Catalogue of Small Scale Fishing Gear.Published by arrangement with the Food and Agriculture Organization of the United Nations by Fishing New. Gulland JA. 1971. The Fish Resources of The Ocean. Fishing News (Books) Ltd. West Byfleet England. 255 p. Mulyara 198.1 Desain dan Teknik Pengoperasian Purse seine PT Tirta Raya Mina (Persero) Pekalongan Jawa Tengah.Karya ilmiah. Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor Sparre, P dan S.C. Venema. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Penerjemah. Terjemahan dari : Introduction to Tropical Fish Stock Assesment Part I. FAO Fish Tech Pap No. 306/1. REFERENSI Program Kerekayasaan Gillnet Lingkar di Perairan Utara Jawa 1. Program Manual Kerekayasaan Gillnet Lingkar di Perairan Utara Jawa : Progman/ BBPPI/GNL/ 01/2014. 20 2. 3. 4. 5. Dokumen Teknis Semester I (Laporan Pertengahan ) Kerekayasaan : TD/GL/GNL/VI/2014 Technical Report Leader 1. WP Pengujian: TR01/L-01/GNL/03/2014 Technical Report Leader 1. WP Pengujian: TR02/L-01/GNL/06/2014 Technical Report Leader 2. WP Rancang Bangun Alat Tangkap: TR01/L02/GNL/03/2014 21 LAMPIRAN Tabel 9.Ukuran panjang total. lingkar badan, berat perekor dan indeks kematangan gonad 22 Tabel 9.(Lanjutan) 23 Tabel 9.( Lanjutan) 24 Tabel 9 (Lanjutan ) Sumber: Data diolah oleh Suparman (2014) dalam Laporan Teknis (TR) 25 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap IPB ke-6 Halaman: 26-36 ISBN 978-979-1225-34-2 ESTIMASI POTENSI LESTARI DENGAN MODEL SCHAEFER DAN FOX SUMBERDAYA IKAN TERI DI PERAIRAN KABUPATEN MALUKU TENGGARA (Estimation Potency Sustainable ofSchaefer and Fox Model AnchoviesResource in Southeast Maluku District Waters) Eka Anto Supeni1 dan Jacomina Tahapary2 1 Program Studi Teknologi Penangkapan Ikan 2 Politeknik Perikanan Negeri Tual Jl. Langgur - Sathean KM 6 Kabupaten Maluku Tenggara 97611 e-mail: [email protected]; [email protected] ABSTRACT Optimizing the utilization of resources in a region will largely depend on the knowledge of the entire region about the potential of existing resources in the region. Data resource potential of an area will be the reference of planning and implementation of resource management policies. The purpose of this study is to calculate or estimate the resource potential of sustainable anchovy and the optimum number of efforts in the waters of Southeast Maluku District. The research was conducted in 2014, with locations in the waters of Southeast Maluku district. This research study desk approach to sources of information, where the data used are periodic data (time series) of production (ton) and effort (trip). Data were analyzed using the surplus production by Schaefer and Fox models. The results showed that the analysis is more appropriate to use Schaefer model with potential for sustainable anchovy at 956.74 ton with optimum effort of 13,702 trips. Resource utilization rate of anchovy in the waters of Southeast Maluku District in 2012 was reached 48.18%. Keywords: Estimation, sustainable potential, anchovies, Southeast Maluku ABSTRAK Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya di suatu wilayah akan sangat tergantung pada pengetahuan tentang potensi sumberdaya yang ada di wilayah tersebut. Data potensi sumberdaya suatu wilayah akan menjadi acuan perencanaan dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan pengelolaan sumberdaya. Tujuan dari penelitian ini adalah menghitung atau mengestimasi potensi lestari sumberdaya ikan teri dan jumlah upaya optimumnya di perairan Kabupaten Maluku Tenggara. Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2014, dengan lokasi di perairan Kabupaten Maluku Tenggara.Penelitian ini menggunakan pendekatan desk study dalam melakukan penelusuran sumber-sumber informasi, dimana data yang digunakan adalah data berkala (time series) dari produksi (ton) dan upaya penangkapan (trip). Data dianalisis menggunakan surplus produksi dengan model Schaefer dan 26 Fox. Hasil penelitian menunjukkan bahwa analisis lebih cocok menggunakan model Schaefer dengan potensi lestari ikan teri sebesar 956,74 ton dengan upaya optimum sebesar 13.702 trip penangkapan per tahun.Tingkat pemanfaatan dari sumberdaya ikan teridi perairan Kabupaten Maluku Tenggara pada tahun 2012 adalah baru mencapai 48,18%. Kata kunci:Estimasi, potensi lestari, ikan teri, Maluku Tenggara PENDAHULUAN Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya di suatu wilayah akan sangat tergantung pada pengetahuan tentang potensi sumberdaya yang ada di wilayah tersebut. Data potensi sumberdaya suatu wilayah akan menjadi acuan perencanaan dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan pengelolaan sumberdaya. Sumberdaya ikan merupakan salah satu sumberdaya alamyang perlu pengelolaan yang benar, walaupun sumberdaya ikan dapat pulih (renewable resoursces).Pengelolaan perikanan selain memberikan keuntungan, juga meninggalkan berbagai permasalahan, seperti kelebihan penangkapan (overfishing) dan kerusakan habitat (habitat destruction) (Ali, 2005).Selanjutnya dikatakan bahwa resiko ancaman kelestarian ikan laut telah menjadi suatu masalah dan beberapa spesies didokumentasikan mulai terancam.Spesies yang mempunyai penyebaran terbatas, pertumbuhan lambat, kematangan lambat, fekunditas tahunannya rendah, tidak menjaga turunannya, serta mengalami tekanan eksploitasi yang tinggi adalah merupakan bagian yang sangat berisiko terhadap ancaman kepunahan. Kabupaten Maluku Tenggara terletak antara 50–6,50 LS dan 1310–133,50 BT. Daerah ini di utara berbatasan dengan Pulau Irian bagian selatan, di selatan dengan Laut Arafura, di sebelah barat dengan Laut Banda dan bagian utara Kepulauan Tanimbar dan di timur dengan Kepulauan Aru. Perairan Maluku Tenggara pada umumnya merupakan perairan yang dangkal. Perairan ini, merupakan perairan yang kaya akan sumber daya hayati, khususnya ikan (pelagis, demersal dan udang). Kabupaten Maluku Tenggara merupakan salah satu dari wilayah Kabupaten dan Kota di Maluku yang berada di antara dua WPP yaitu WPP 714 Laut Banda dengan potensi 284.400 ton/tahun dengan JTB 198.700 ton/tahun dan WPP 715 Laut Arafura dengan potensi 793.100 ton/tahun dengan JTB sebesar 633.600 ton. Potensi sumber daya perairan Maluku Tenggara melimpah, dengan volume produksi dari kegiatan perikanan tangkap adalah 64.696,10 ton (DKP Kabupaten Maluku Tenggara 2012). Jenis ikan pelagis kecil ekonomis penting yang dominan tertangkap di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tenggara adalah layang, kembung, selar, teri dan lemuru. Jenis-jenis ikan ini tersebar di perairan sekitar Kepulauan Kei Kecil dan Kei Besar. Kelompok ikan pelagis kecil merupakan kelompok yang memiliki keragaman jenis dan produksi lebih besar dibandingkan dengan jenis ikan pelagis besar dan ikan karang. 27 Sampai saat ini penangkapan ikan teri di Kabupaten Maluku Tenggara masih bersifat open access (terbuka bagi setiap nelayan) atau jumlah upaya atau effort belum dikendalikan melalui aturan sistem perizinan. Salah satu faktor yang perlu dimonitordalam pengelolaan suatu sumberdaya adalah input (upaya penangkapannnya) sehingga sangat dibutuhkan data potensi dan input optimum sumberdaya ikan. Tujuan penelitian ini adalah menghitung atau mengestimasi potensi lestari sumberdaya ikan teri(Stolephurus sp.) dan jumlah upaya optimumnya seta menghitung tingkat pengupayaan di perairan Kabupaten Maluku Tenggara. METODOLOGI Penelitian ini dilakasanakan pada tahun 2014, dengan lokasi di perairan Kabupaten Maluku Tenggara. Penelitian ini menggunakan pendekatan studi pustaka (library study) dalam melakukan penelusuran sumber-sumber informasi, dimana data yang digunakan merupakan data sekunder yaitu data berkala (time series) dari produksi ikan teri (kg/ton) dan upaya penangkapan (unit/trip) tahun 2008 hingga 2013. Potensi lestari sumberdaya ikan laut adalah jumlah maksimum yang dapat ditangkap dari suatu perairan setiap tahun secara berkesinambungan.Model produksi surplus sangat penting untuk menduga konsekuensi dari bentuk pengelolaan dan dapat digunakan untuk membentuk dan memantau kebijakan (Beattie et al. 2002).Froose dan Binohlan (2003) menyatakan bahwa ada beberapa model produksi surplus yang dapat digunakan untuk menduga potensi sumberdaya perikanan.Tujuan utama penggunaan model produksi surplus adalah untuk menentukan tingkat upaya optimum yaitu suatu upaya yang dapat menghasilkan suatu hasil tangkapan maksimum yang lestari tanpa mempengaruhi produktivitas stok secara jangka panjang (Tinungki, 2005). Model produksi surplus yang dibandingkan pada penelitian ini yaitu model Schaefer dan Fox. Kemudian model yang paling sesuai dan cocok untuk diterapkan adalah model yang memiliki koefisien determinasi (R2) paling besar, hal ini didukung oleh pendapat Pindyck dan Rubnfield (1998) bahwa nilai determinasi lazim digunakan untuk mengukur goodness of fit dari variabel tidak bebas dalam model, dimana semakin besar nilai R2 menunjukkan bahwa model tersebut semakin baik. Konsep produksi surplus berawal dari beberapa karya, antara lain dalam karya-karya Russell dan Schaefer. Schaefer (1954) in Tserpes (2008) menyebutkan bahwa salah satu cara untuk menduga stok didasarkan pada model produksi surplus logistik. Dasar pemikirannya adalah bahwa peningkatan (increment) populasi ikan akan diperoleh dari sejumlah ikan-ikan muda yang dihasilkan setiap tahun, sedang penurunan dari populasi tersebut (decrement) merupakan akibat dari mortalitas baik karena faktor alam maupun eksploitasi oleh manusia. Oleh karena itu, populasi akan berada dalam keadaan ekuilibrium bila increment sama dengan decrement. Kelimpahan ikan teri dapat diduga dengan 28 CPUE (Catch per Unit Effort). Nilai ini merupakan produksi per satuan usaha penangkapan ikan teri(Stolephurus sp) di perairan Maluku Tenggara yang dirumuskan sebagai berikut : .............................................................................. (1) Model Schaefer (1954) Algoritma untuk menduga parameter r,q, dan K model Schaeffer (Tinungki 2005): ).............................................................. (2) Bt adalah biomassa dari stok. Persamaan di atas belum memperhitungkan pengaruh penangkapan sehingga Schaefer menulis kembali persamaan menjadi: – ................................................................ (3) Berdasarkan persamaan (3) tangkapan optimum dapat dihitung pada saat =0 atau pada titik keseimbangan dimana Ct adalah hasil tangkapan dan Et adalah upaya penangkapan: ............................................................. (4) .............................................................................. (5) dengan mensubtitusikan persamaan (4) ke persamaan (5) diperoleh: ....................................................................... (6) persamaan (6) disederhanakan menjadi: – ............................................................. (7) ......................................................................... (8) keterangan: = PUE , = , = ά = K, = = 29 , q adalah koefisien penangkapan, K adalah daya dukung lingkungan, r adalah laju pertumbuhan alami. Boer dan Aziz (1995) menyatakan bahwa persamaan matematika untuk model Schaefer adalah: Hubungan linier ini yang digunakan secara luas untuk menghitung dugaan fMSY melalui penentuan turunan pertama dari: ......................................................................... (9) ................................................................................... (10) sehingga diperoleh persamaan produksi maksimum lestari (MSY) yang diperoleh dengan mensubtitusikan nilai effort optimum: ........................................................................... (11) ..................................................................... (12) Model Fox (1970) Fox menyatakan bahwa hubungan antara effort (Et) dan catch (Ct) adalah bentuk eksponensial dengan kurva yang tidak simetris, hubungan antara Et dan CPUEt (Tinungki 2005): ...................................................................... (13) hubungan antara effort (Et) dengan catch (Ct): ................................................................................. (14) ........................................................ (15) ............................................................................ (16) keterangan: = n PUE , = , = � = K, = = 30 , q adalah koefisien penangkapan, K adalah daya dukung lingkungan, r adalah laju pertumbuhan alami. Upaya optimum (Eopt) diperoleh dengan cara menyamakan turunan pertama sama dengan nol: ............................................... (17) sehingga: .......................................................................... (18) Produksi maksimum lestari diperoleh dengan mensubtitusikan upaya optimum ke dalam persamaan (19), sehingga: ........................................................ (19) Tingkat Pengupayaan Selanjutnya untuk mengetahui tingkat pengupayaan yang dilakukan terhadap sumberdaya ikan teri di perairan Maluku Tenggara diperoleh dari rasio jumlah upaya penangakapan pada tahun tertentu dengan nilai effort optimum (fMSY): ................................................................................ (20) HASIL DAN PEMBAHASAN Ikan teri merupakan salah satu jenis ikan ekonomis penting yang dimanfaatkan oleh masyrakat nelayan Kabupaten Maluku Tenggara. Hasil tangkapan ikan teri di perairan Kabupaten Maluku Tenggara yang didaratkan di sentra-sentra perikanandiperoleh dari alat tangkap bagan. Produksi tertinggi tahun 2012 yakni sebesar 701,60 ton dan terendah tahun 2008 sebesar 614,00 ton. Usaha penangkapan ikan teritermasuk skala kecil dengan operasi penangkapan one day fishing. Model produksi surplus bertujuan untuk menentukan tingkat upaya optimum yag dapat menghasilkan suatu hasil tangkapan maksimum yang lestari tanpa mempengaruhi produktivitas stok secara jangka panjang.Analisis terhadap potensi lestari dan upaya optimum menggunakan model surplus produksi untuk mengetahui seberapa besar pemanfaatan sumberdaya ikan teri di Perairan Kabupaten Maluku Tenggara.Untuk menganalisis hasil tangkapan lestari (MSY) di Maluku Tenggara menggunakan data time series produksi dan effort selama 6 tahun (2008 – 2013). 31 Potensi Lestaridan Effort Optimum Potensi lestari (sustainable yield) merupakan hubungan antara hasil tangkapan dengan upaya penangkapan dalam bentuk kuadratik, dimana tingkat effort dan hasil tangkapan menggambarkan keberlanjutan sumberdaya. Apabila produksi dipanen melampaui batas maksimum (MSY), maka diyakini bahwa sumberdaya tersebut akan punah dan tidak dapat dimanfaatkan lagi. Tingkat pemanenan terhadap suatu sumberdaya sangat ditentukan oleh upaya tangkapan (effort). Produksi lestari (sustainable yield) dalam penelitian ini, diestimasi dengan menggunakan pendekatan Surplus Production Model. Sedangkan produksi aktual (actual yield) merupakan hasil tangkapan nelayan dalam satuan ton per tahun yang tercatat (reported) pada wilayah perairan Kabupaten Maluku Tenggara. Tabel 1MSY dan effortoptimumsumberdaya ikan teri(Stolephurus sp) di Kabupaten Maluku Tenggara. Model Effort Optimum (trip) Schaefer 13.702 Fox Sumber : Data diolah, 2014. 35.287 MSY (ton) TAC (ton) 956,74 1.129,29 765,392 903,432 Berdasarkan Tabel 1 di atas, dengan melakukan perhitungan dengan model Schaefer dan Fox yang kemudian kesesuain model dengan melihat nilai R2 dari kedua model diperoleh model yang paling cocok digunakan untuk mengestimasi nilai MSY dan effort optimum sumberdaya ikan teri adalah model Schaefer.Besarnya MSY atau potensi lesetari dari ikan teri (Stolephurus sp) sebesar 956,74 ton per tahun dengan effort optimum 13.702trip penangkapan. Oleh karena itu dalam analisis selanjutnya hanya digunakan model Shaefer.Berdasarkan Tabel hasil tangkapan dan upaya penangkapan ikan teri(Stolephurus sp) mengalami fluktuasi pada setiap tahunnya. Hasil tangkapan ikan teri tertinggi terjadi pada tahun 2011 sebesar 701,60 ton. Upaya penangkapan tertinggi terjadi pada tahun 2012 sebesar 6.601 trip.Grafik model produksi surplus dengan pendekatan model Schaefer disajikan pada Gambar 1. Menurut model Schaefer, untuk dapat memanfaatkan sumberdaya ikan teri secara lestari di perairan Kabupaten Maluku Tenggara, maka potensi ikan yang dapat ditangkap selama satu tahun maksimal 956,74 ton/tahun. Artinya hasil tangkapan maksimum lestari atau MSY ikan teri di perairan Kabupaten Maluku Tenggara sebesar 956,74 ton/tahun, dengan dugaan upaya penangkapan optimum 32 13.702 trip selama satu tahun dengan jumlah tangkapan ikan teri yang diperbolehkan sebesar 765,392 ton/tahun. Gambar 1 Grafik catch dan CPUE terhadap penambahan effort penangkapan Grafik 1 di atas menunjukkan bahwa sumberdaya ikan teri(Stolephurus sp) terbatas, terlihat bahwa dengan terjadinya peningkatan upaya penangkapan sampai melewati titik optimum juga terjadi penurunan hasil tangkapan. Oleh karena itu bila terjadi penambahan input maka CPUE (cacth per unit effort) semakin menurun, ini berarti semakin banyak input maka semakin banyak yang membagi sumberdaya yang terbatas. Untuk itu diperlukan pendekatan yang baik dalam mengelola sumberdaya yang terbatas, yang berarti diperlukan pembatasan input sesuai dengan input optimum sehingga diperoleh cacth yang optimal (MSY). Analisis potensi sumber daya ikan teri(Stolephurus sp) menggunakan model Schaefer atau model Fox. Berdasarkan nilai koefisien determinasi R2 yang diperoleh, model Schaefer (77.27%) lebih tepat digunakan model Fox (76.80%). Nilai upaya optimum (fMSY) dan Maximum Sustainable Yield (MSY) yang di peroleh dari model Schaefer masing-masing sebesar 13.702 trip dan 956,74 ton.Hermawan (2006) menyatakan bahwa tujuan konsep MSY adalah pengelolaan sumber daya alam yang sederhana yakni mempertimbangkan fakta bahwa persediaan sumber daya biologis seperti ikan tidak dimanfaatkan terlalu berat, karena akan menyebabkan hilangnya produktivitas. Tahapary (2010) pernah melakukan pengukuran nilai potensi lestari dari sumberdaya ikan teri di perairan Kabupaten Maluku Tenggara sebesar 1.101,16 ton per tahun dengan upaya optimum sebesar 16.330 trip penangkapan per tahun. Penelitian yang dilakukan menggunakan data hasil tangkapan dan upaya penangkapan dari tahun 2003 hingga 2008. Ini berarti potensi lestari sumberdaya 33 tersebut merupakan potensi dari Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Tual, dimana pada tahun 2007 terjadi pemekaran wilayah di Kabupaten Maluku Tenggara. Menurut Fauzi (2004) bahwa setiap spesies ikan memiliki kemampuan untuk berproduksi yang melebihi kapasitas produksi (surplus), sehingga apabila surplus ini dipanen (tidak lebih dan tidak kurang), maka stok ikan mampu bertahan secara berkesinambungan (sustainable). Senada dengan hal tersebut Keraf (2002) menyatakan bahwa keberlanjutan ekologi dapat terjadi apabila memiliki sasaran untuk mempertahankan dan melestarikan ekosistem dan seluruh kekayaan dalam bentuk kehidupan di dalamnya. Dengan demikian ketersedian stock yang baik, akan mendukung keberlanjutan dan sisi ekonomi dan sosial (social and economics sustainable). Secara konvensional, model pengelolaan sumberdaya perikanan dapat dilakukan melalui pengaturan jumlah alat tangkap (input control), hasil tangkapan (output control) atau ukuran teknis seperti pengaturan ukuran hasil tangkapan, lokasi penangkapan dan musim penangkapan (Holland 2003).Titik acuan (reference point) yang digunakan untuk pengaturan jumlah alat tangkap dan hasil tangkapan adalah jumlah upaya optimum dan MSY. Tingkat Pengupayaan Berdasarkan nilai effort optimum dan effortaktual ikan teri di perairan Kabupaten Maluku Tenggara dapat diketahui bahwa tingkat pengupayaannyaberkisar antara40,29–48,18%. Selengkapnya tentang tingkat pemanfaatan setiap tahunnya disajikan pada tabel berikut. Tabel 2 Tingkat Pengupayaansumberdaya ikan teridi Kabupaten Maluku Tenggara. Tahun Effort aktual (trip) Fopt (trip) Tingkat Pengupayaan (%) 2007 5.520 13.702 40,29 2008 6.060 13.702 44,23 2009 6.385 13.702 46,60 2010 6.169 13.702 45,02 2011 6.493 13.702 47,39 2012 6.601 Sumber : Data diolah, 2014 13.702 48,18 Berdasarkan hasil analisis tingkat pemanfaatan dari data effort aktual dengan nilai effort optimum (fMSY) sumberdaya ikan teridi perairan Kabupaten Maluku Tenggara pada tahun 2012 adalah baru mencapai 48,18%, dengan demikian dapat dikatakan bahwa jenis ikan terimasih diusahakan atau telah dimanfaatkan dibawah nilai potensi lesari maupun nilai effort optimumnya. Hal ini berarti masih terbuka peluang pengembagan usaha perikanan teri melalui 34 penambahan upaya penangkapan (unit/trip) dan input teknologi sebagai upaya peningkatan produksi di perairan Kabupaten Maluku Tenggara. Pengelolaan perikanan ikan teri di perairan Kabupaten Maluku Tenggara perlu adanya kerlibatan seluruh pihak terkait, seperti Pemerintah, Akademisi (Perguruan Tinggi), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan Nelayan dengan tetap memperhatikan keberlanjutan sumberdaya dari aspek biologi, ekologi, ekonomi dan sosial budaya. Dahuriet al (2001) menyatakan bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan dapat ditempuh dengan pengelolaan berbasis komunitas, dimana pembangunan berpusat pada masyarakat dan dilakukan secara terpadu dangan memperhatikan aspek kebijakan ekonomi dan ekologi. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa: 1. Potensi lestari,maximum sustainable yield sumberdaya ikan teridi perairan Kabupaten Maluku Tenggara adalah956,74 ton per tahun, dengan upaya (effort) penangkapan optimum adalah 13.702trip per tahun. 2. Tingkatpengupayaan sumberdaya ikan teridi perairan Kabupaten Maluku Tenggarayang masih dimanfaatkan dibawah potensi lestari dengan tingkat pengupayaan sebesar 48,18%. DAFTAR PUSTAKA Ali, S. A. 2005, Kondisi Sediaan dan Keragaman Populasi Ikan Terbang (Hirundichtys oxychepalus Bleeker, 1852) di Laut Flores dan Selat Makassar. [Disertasi]. Program Pascasarjana Unhas. 282 p. Beattie A, Sumaila UR, Christensen V, Pauly D. 2002. A model for the bioeconomic evaluation of marine protected area size and placement in the North Sea.Natural Resource Modelling 15: 42 – 51. Boer M, Aziz KA. 1995. Prinsip-prinsip Dasar Pengelolaan Sumberdata Perikanan Melalui Pendekatan Bio-Ekonomi. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia 3 (2): 109 – 119. Dahuri, R., J.Rais., Ginting, S.P. Sitepu, M.J., 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramita, Jakarta. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tenggara. (2014). Laporan Statistik Perikanan Kabupaten Maluku Tenggara 20082013.Maluku Tenggara. Fauzi, A. (2004). Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 259 hal. Froose R, Binohlan C. 2003. Simple methods to obtain preliminary growth estimates for fishes.Journal Applied Ichthyology 19: 376 – 379. 35 Hermawan M. (2006). Keberlanjutan Perikanan Tangkap Skala Kecil (Kasus Perikanan Pantai di Serang dan Tegal). [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 389 hal. Holland DS. 2003.Integrating spatial management measures into traditional fishery management system: the case of the Georges Bank multispecies groundfish fishery. ICES Journal of Marine Science 60: 915 – 929. Keraf, S. 2002. Etika Lingkungan. Kompas. Jakarta. Hal 187. 322 h. Tserpes G. 2008. Estimates of the Mediterranean swordfish stock by means of a non-equilibrium surplus production model approach. Hellenic Centre for Marine Research 61(4): 1084-1087. Pindyck RS, DL Rubinfield. 1998. Economics models and economics forecasts. McGraw-Hill, 4th Edition. Tahapary, J. 2010. Sistem Pengembangan Perikanan Pelagis Kecil di Perairan Kabupaten Maluku Tenggara.[Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Tinungki GM. 2005. Evaluasi model produksi dalam menduga hasil tangkapan maksimum lestari untuk menunjang kebijakan pengelolaan perikanan lemuru di Selat Bali [Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. 36 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap IPB ke-6 Halaman: 37-49 ISBN 978-979-1225-34-2 ANALISIS ALAT PENANGKAP IKAN PELAGIS KECIL DI KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN (Analysis on fishing gears for small pelagic fish species in Barru District, South Sulawesi) Najamuddin, Mahfud Palo, Mukti Zainuddin, M. Abduh Ibnu Hajar email: [email protected]; [email protected] ABSTRACT Small pelagic fish’s resources had the biggest pretention compare to the other fish species. This group mainly catched by purse seine fishing gear and lift net. Competition among fishermen’s in catching fish causing enlarge their fishing capacity, modified fishing gear and finally cause fish stock degradation. This research conducted in Barru regency on June – September 2014 with purpose to analyze the sustainability of fishing technology for catching small pelagic fishes. Survey method applied toward fishing gears and boats in the fishermen area basis. Technical data on fishing gear, boat and operation described descriptively and compare with the standard value. Result of the study showed variation in boat size from small to big size with main dimension ratio mainly out of the standard criteria for purse seiner. The purse seine used smaller mesh size compare to standard for skipjack fish target, smaller in net length and depth ratio, and lower in net sinking speed. Moveable lift net used light power over 2000 watt as standard. Fishing capacity for purse seine and moveable lift net is high and low in selectivity made the small pelagic fisheries resources sustainability tend to decrease. Key words:purse seine,lift net, technical aspect, sustainability ABSTRAK Sumberdaya ikan pelagis kecil memiliki potensi yang paling besar dibandingkan dengan kelompok ikan lainya.Kelompok ikan ini pada umumnya ditangkap dengan purse seine dan bagan perahu.Persaingan antar nelayan dalam mendapatkan hasil tangkapan menyebabkan persaingan dalam peningkatan kapasitas tangkap, modifikasi alat tangkap dan pada akhirnya mengakibatkan penurunan stok ikan.Penelitian dilakukan di Kabupaten Barru pada Juni – September 2014 dengan tujuan menganalisis keberlanjutan teknologi penangkapan ikan pelagis kecil.Metode survei digunakan terhadap alat dan kapal penangkap ikan pada basis nelayan.Data teknis alat dan kapal serta teknik pengoperasian alat tangkap disajikan secara deskriptif dan dibandingkan dengan nilai standar.Hasil penelitian menunjukkan variasi kapal penangkap ikan mulai dari ukuran kecil sampai besar dengan rasio ukuran utama pada umumnya belum 37 memenuhi standar kapal ikan sesuai jenis alat yang digunakan.Purse seine menggunakan ukuran mata jarring yang lebih kecil dari standar untuk target ikan cakalang, rasio panjang dan lebar jarring lebih kecil, kecepatan tenggelam pemberat lebih rendah dari standar. Bagan perahu bermasalah pada kekuatan lampu yang digunakan lebih besar dari 2000 watt, sementara bagan tancap sudah memenuhi standar.Kapasitas tangkap purse seine dan bagan perahu relative besar serta selektivitas yang rendah sehingga keberlanjutan sumberdaya ikan pelagis kecil cenderung terancam. Kata kunci:purse seine, bagan, aspek teknik, keberlanjutan ikan pelagis kecil. PENDAHULUAN Perikanan bertanggungjawab merupakan masalah internasional yang seharusnya sudah diterapkan di lapangan (FAO, 1995).Pada prinsipnya kode tersebut menggariskan kepada pemerintah untuk menjaga agar supaya sumberdaya perikanan yang ada tetap lestari.Perhatian ke arah ini masih sangat sedikit di lapangan. Kenyataan lapangan menunjukkan para pelaku eksploitasi dengan bebas memodifikasi ukuran alat tangkap, termasuk ukuran mata jarring (Najamuddin dkk., 2014; Muallilet. al., 2014). Akibatnya, ikan-ikan yang masih kecil, yang secara pengelolaan belum layak tangkap, juga menjadi sasaran utama eksploitasi.Tantangan utama pada negara berkembang adalah besarnya populasi nelayan, kemiskinan dan kurangnya pekerjaan alternatif (Muallilet. al., 2014). Keberlanjutan sumberdaya perikanan sudah merupakan tuntutan internasional akibat sebahagian besar sumberdaya ikan sudah dalam kondisi tekanan eksploitasi tinggi (FAO, 1995; Charles, 2001).Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan telah mencanangkankeberlanjutan sumberdaya perikanan dan kesejahteraan masyarakatnya.Untuk itu, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan diarahkan bagi kepentingan bangsa dan negara (pro poor, pro job, pro growth) dengan tetap memperhatikan prinsip kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya sesuai dengan persyaratan yang telah diatur dalam ketentuan internasional yang berlaku (KKP). Sumberdaya ikan termasuk sumberdaya yang dapat pulih kembali (renewable resources) akan tetapi bukan berarti tidak terbatas. Sedangkan pengelolaan sumberdaya ikan sangat erat kaitannya dengan pemanfaatan dan operasi penangkapan ikan.termasuk di dalamnya armada kapal dan alat penangkap ikan.Untuk mengembangkan usaha perikanan tangkap, salah satunya adalah dengan meningkatkan jumlah dan kualitas sarana perikanan tangkap, terutama kapal perikanan (Najamuddin, 2014). Informasi mengenai kapal perikanan di Indonesia saat ini, hanya sebatas data jumlah kapal berdasarkan klasifikasi kapasitas (nilai gross tonnage, GT) kapal.Disisi lain, informasi mengenai karakteristik teknis (dimensi utama, desain, kelayakan pengoperasian dan lain lain) kapal perikanan dan spesifikasi 38 pengoperasiannya merupakan hal yang sangat penting untuk diketahui, baik bagi pelaku usaha penangkapan (nelayan, pemilik usaha, unit penangkapan/industri)maupun bagi penentu kebijakan.Informasi tersebut dibutuhkan bagi perencanaan pembangunan kapal perikanan sehingga pembangunan kapal yang dilakukan memiliki kesesuaian dengan alat tangkap yang dioperasikan dan kondisi daerah pengoperasian kapal tersebut.Dengan demikian, keberhasilan operasi penangkapan yang dilakukan dapat terjamin dan resiko kecelakaan di laut dapat diminimalisir (Najamuddinet. al., 2014). Ikan-ikan pelagis kecil pada umumnya ditangkap dengan alat purse seine, dan bagan (Najamuddin, 2014) . Deskripsi umum alat-alat tersebut sudah diketahui dengan baik, namun secara detail masih sangat sedikit informasinya, serta kondisi lapangan menunjukkan banyak variasi antara satu tempat dengan tempat lainnya. Penelitian tentang rancangbangun alat tangkap ikan kelihatannya kurang diminati para peneliti, antara lain disebabkan biaya peneltian yang relatif besar, kurang fasilitas laboratorium, dan penyandang dana tingkat nasional kurang memprioritaskan pada aspek ini. Padahal aspek rancangbangun alat tangkap merupakan salah satu faktor penentu dalam perikanan bertanggungjawab dan berkelanjutan (Najamuddin, 2012). Untuk menjawab permasalahan tersebut di atas, dilakukan pendekatan survei dengan mengambil sampel alat tangkap dan ikan-ikan hasil tangkapan yang mewakili kemudian dilakukan pengamatan secara detail terhadap seluruh komponen unit penangkapan ikan yang menangkap ikan pelagis kecil. Adapun tujuan penelitian dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi kapal dan alat penangkapan ikan pelagis kecil, dan menganalisis spesifikasi teknis kapal dan alat penangkapan ikan pelagis kecil. METODOLOGI Penelitian menerapkan metode survai terhadap alat penangkap ikan pelagis kecil di Kabupaten Barru dilaksanakan pada bulan Juni – September 2014.Lokasi sampel berbasis kecamatan dengan jumlah sampel mewakili populasi.Pengamatan terhadap materi penelitian berupa kapal dan alat penangkap ikan dilakukan pada sentra pengoperasian unit penangkapan ikan di Kabupaten Barru.Lokasi penelitian disajikan pada Gambar 1. Pengolahan dan analisis data yang diperoleh di lapangan dilakukan di Laboratorium Rancang Bangun Alat Tangkap dan Kapal Perikanan dan Laboratorium Sistem Informasi Perikanan Tangkap Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin, Makassar. Materi dalam penelitian yang digunakan sebagai sampel pengamatan adalah kapal dan alat penangkapan yang dioperasikan di perairan Selat Makassar pada masing-masing lokasi pengambilan data.Peralatan yang digunakan dalam meliputi GPS, roll meter, jangka sorong, kamera dan kuesioner. 39 Gambar 1. Lokasi Penelitian Pengumpulan data dilakukan dengan mengidentifikasi kapal dan alat penangkapan yang menjadi obyek penelitian pada beberapabasis penangkapan ikan.Melakukan pengambilan contoh sekitar 30% dari populasi. Selajutnya mengamati obyek penelitian meliputi :alat penangkap ikan (dimensi detail, rancangbangun, teknik pengoperasian, jenis-jenis ikan hasil tangkapan) kapal (dimensi ukuran utama, rancangan umum kapal, kelayakan kapal). HASIL DAN PEMBAHASAN Distribusi Jenis Alat dan Kapal Penangkap Ikan Distribusi alat dan kapal penangkap ikan di masing-masing daerah disajikan pada Gambar 2. 35 30 25 20 15 10 5 0 Purse Seine Bagan Perahu Gambar 2. Distribusi jenis alat penangkap ikan berdasarkan kecamatan 40 Gambar 2 memberikan gambaranbagan perahu merupakan alat penangkapan ikan yang paling banyak digunakan masyarakat pada tiga kecamatan sementara purse seine hanya dominan pada satu kecamatan.Bagan tancap hanya ada beberapa unit saja. Spesifikasi Purse seine Purse seinemerupakan salah satu jenis alat tangkap untuk ikan-ikan pelagis.Prinsipkerjaalatiniadalahmelingkari gerombolanikandenganjarring tersebut membentukdindingvertikal,dengan demikian gerakikansecara horisontal dapatdihalangi,sedangbagianbawahjaringdikerucutkanuntukmencegah gerak ikanke arahbawah. Purse seinedisebutjuga“pukatcincin” karena alattangkapinidilengkapi dengancincinuntukmana“talicincin”atau“talikerut”dilalukandidalamnya. Fungsi cincin dan tali kerut/tali kolor ini penting terutama pada waktu pengoperasianjaring.Sebabdenganadanyatali keruttersebutjaringyangtadinya tidakberkantong akanterbentukpadatiapakhir penangkapan. Satuunitpurse seine terdiridari jaring, kapaldanalatbantu(roller,lampu,echosounderdan sebagainya).Padagarisbesarnyajaringpurseseineterdiri darikantong(bag),badan pemberat(sinker),talipenarik(purseline),talicincin (pursering)dan selvage. Data penelitian menunjukkan besarnya variasi ukuran kapal terutama antara wilayah kecamatan.Analisis rasio ukuran kapal (L/B, L/D dan B/D) secara umum menunjukkan nilai rasio dimensi kapal yang lebih besar dari standar (Nomura and Yamazaki, 1977).Hal ini menunjukan bahwa dimensi panjang kapal cenderung lebih panjang, sedangkan dimensi lainnya (B dan D) cenderung lebih kecil dari yang semestinya. Kondisi kapal yang demikian akan berdampak buruk pada stabilitas kapal akan tetapi mengurangi tahanan memanjang kapal sehingga meningkatkan kecepatan. Ukuran mata jarring pada purse seine dengan target ikan cakalang bervariasi antara 1 – 2 inci. Sementara menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 tahun 2013 dinyatakan bahwa purse seine untuk ikan pelgis besar menggunakan mata jarring >= 3 inci. Oleh karena itu purse seine dengan target ikan cakalang melanggar peraturan Menteri tersebut di atas. Sedangkan purse seinedengan target ikan pelagis kecil dengan ukuran mata jarring 1 inci sudah memenuhi aturan yang ada. 41 PURSE SEINE Jenis Alat Pukat Cincin Jenis Ikan Ikan Cakalang Lokasi Siddo KAPAL LxBxD Tanase Mesin Crew 22,0 x 4,5 x 1,2 m 23 GT 30 PK 10 - 15 orang 8#; 27 cm 3600# 210D/9 2 i nch 1000# 1000# 600 PE Ø 9 mm 600 PE Ø 9 mm 210D/9 2 i nch 210D/9 2 i nch H = 0. 65 210D/9 2 i nch 650 PE Ø 6 mm 650 PE Ø 6 mm 87#; 325 cm 700 PE Ø 17 mm 186 PB 2000 g Gambar 3. Disain pukat cincin untuk ikan cakalang 42 210D/9 2 i nch Gambar 4. Disain pukat cincin untuk ikan kembung dan layang Lampu dan rumpon sebagai alat bantu Pada umumnya nelayan masih menggunakan lampu pertomax sebagai sumber cahaya pemikat ikan. Lampu yang digunakan pada 1 unit perahu lampu berkisar antara 6-12 buah. Unit lampu yang digunakan dalam 1 unit purse seine berkisar antara 2-4 unit, tergantung dari kemungkinan pelingkaran jaring. Nelayan di Barru pada umumnya menggunakan kombinasi antara rumpon dan lampu. Pada operasi siang hari kadang-kadang menggunakan rumpon atau mengejar gerombolan ikan. Pada malam hari, biasanya menggunakan kombinasi antara rumpon dan lampu, atau lampu di pasang dekat rumpon. Jumlah rumpon yang dimiliki disesuaikan dengan jumlah unit lampu yang akan digunakan. Rumpon yang digunakan setiap unit penangkapan purse seine sebanyak 2-4 unit. Konstruksi rumpon di Barru jauh berbeda dengan rumpon di daerah Pinrang. Sebagai pelampung digunakan 1 buah gabus (stiroform) berbentuk drum. Dari pelampung ini diikatkan daun kelapa sebanyak 7-9 lembar, sebagai tempat berlindung bagi ikan-ikan yang diharapkan berkumpul. 43 Untuk mempertahankan rumpon pada posisinya, digunakan jangkar dengan berat sekitar 10-20 kg. Tali jangkar terbuat dari bahan PE diameter 20 mm dengan panjang disesuaikan kedalaman perairan, sekitar 500 m. Keberadaan rumpon sangat membantu nelayan dalam mengumpulkan ikan, terutama pada siang hari. Pada malam hari biasanya rumpon dikombinasikan dengan lampu, cukup efektif sebagai daerah penangkapan ikan. Permasalahan lapangan menunjukkan penempatan rumpon tidak ditata dengan baik sehingga kadang-kadang menimbulkan konflik antar nelayan. Menurut Permen Kelautan & Perikanan NOMOR 26/PERMEN-KP/2014 tentang Rumpon Pasal 7 ayat 1 Setiap orang yang melakukan pemasangan rumpon di WPP-NRI wajib memiliki SIPR (surat izin pemasangan rumpon). Pasal 12 ayat 1 d, jarak antar rumpon >=10 mil. Merujuk pada permen tersebut, maka rumpon yang ada di lapangan sebahagian besar tidak memenuhi ketentuan yang ada, terkait dengan izin dan jarak antar rumpon. Gambar 5. Kapal purse seine Spesifikasi Bagan Bagan merupakan alat penangkap ikan pelagis kecil yang sangat efektif dan tidak selektif, mampu menangkap ikan dari ukuran sangat kecil sampai ikan besar.Di lokasi penelitian terdapat dua jenis bagan, yaitu bagan tancap dan bagan perahu.Namun keberadaan bagan tancap sudah sangat sedikit akibat terdesak oleh keberadaan bagan rambo. Untuk konstruksinya sendiri bagan tidak memiliki permasalahan berarti terhadap ekosistem. Hanya keberadaan bagan seringkali mengganggu alur pelayaran kapal yang akan melakukan operasi penangkapan. Perikanan bagan saat ini belum teratur dalam pelaksaannya. Posisi yang berdekatan serta berada disekitar perairan pantai menyebabkan nelayan lain yang memiliki armada kecil dan sulit untuk melakukan penangkapan yang lebih jauh akan kesulitan. Perlu ada pengaturan jarak atau lokasi yang memang diperbolehkan untuk bagan. Hal ini 44 terkait dengan kondisi nelayan yang memang memiliki pengetahuan yang rendah dalam hal selektivitas. Nelayan di Indonesia tidak memiliki pelatihan sebelumnya, siapa saja bisa menjadi nelayan. Berbeda dengan nelayan yang berada di luar negeri khususnya di Uni Eropa dimana orang yang akan menjadi nelayan harus mengikuti kursus (short course) sehingga mempunyai keahlian dan kesadaran dalam menjaga lingkungan. Tidak hanya dalam melakukan operasi penangkapan ikan, kesadaran nelayan juga rendah pada saat melakukan penanganan ikan hasil tangkapan di atas bagan. Jaring pada bagan rambo berbentuk seperti kelambu terbalik. Terbuat dari bahan waring berwarna hitam (polypropylene) dengan ukuran mata jaring 0,5 cm. Pada bagian tepi jaring dipasang tali ris sebagai penguat pinggiran jaring dengan diameter 1 cm yang terbuat dari bahan polyethylene. Ukuran panjang dan lebar jaring pada bagan rambo masing-masing 20-30m x 20-30 m dengan dalam 15-18 m. Pada setiap sudut bingkai jaring dipasang batu yang beratnya 15-20 kg yang dihubungkan dengan roller untuk menahan agar jaring tidak terbawa arus. Agar jaring dapat berbentuk sebagai kerangka dan mulut jaring tetap terbuka pada saat operasi penangkapan, maka bagian tepi jaring dipasang bingkai dari kayu bakau (Rhisopora sp) dengan panjang 6 - 7 m dengan diameter berukuran 7,5 cm. Kayu ini disambung satu dengan yang lainnya sesuai dengan panjang dan lebar mulut jaring. Pada bingkai tersebut dipasang jaring dan tali penggantung yang dihubungkan ke roller jaring. Dalam satu unit bagan rambo luas jaring yang digunakan berkisar antara 3500 – 4000 m2. Perahu pada bagan rambo dapat dibagi atas 2 jenis, yaitu perahu utama (main boat) berfungsi sebagai penopang utama bangunan bagan dan perahu pengantar (towing boat). Perahu utama berbentuk pipih memanjang dengan dimensi L x B x D, 20-29,0 m x 2-2,5 m x 1,5-2,5 m, dimana bentuk haluan dan buritan sama. Perahu ini sebenarnya berfungsi sebagai pengapung bangunan bagan yang ada di atasnya. Dari fungsi tersebut, maka perahu bagan tidak bisa dievaluasi seperti halnya kapal penangkap ikan pada umumnya. Jenis kayu yang digunakan antara lain adalah kayu bayang (Intsia bijuga) dan kayu meranti (Shorea spp). Perahu ini dilengkapi dengan jangkar beton dengan ukuran panjang 2 m dan berat kurang lebih 200 kg atau jangkar besi dengan berat sekitar 50 kg. Perahu ini tidak memiliki ruang kemudi karena tidak dilengkapi dengan alat penggerak sendiri berupa mesin atau layar. Perpindahan bagan dari satu fishing ground ke fishing ground lainnya digunakan perahu penarik (towing boat). Perahu ini juga berfungsi sebagai pengangkut hasil tangkapan dan mengantar jemput nelayan dan perlengkapan yang diperlukan untuk operasional bagan rambo dari fishing base ke fishing ground dan sebaliknya, setiap hari. Dimensi utama dari kapal ini Lx B x D masing-masing 17-18,5 x 1,5-1,85 x 0,85-1 m. Digerakkan dengan 2 mesin 45 penggerak berkekuatan 30 HP, menggunakan bahan bakar solar.Kecepatan kapal maksimum mencapai 9 knot, pada saat tidak menarik bagan. Jenis lampu yang digunakan pada alat tangkap bagan rambo adalah lampu merkuri. Di Perairan Barru Selat Makassar, daya lampu yang digunakan oleh bagan rambo berkisar 14 – 20 kW. Jumlah watt serta warna setiap lampunya berbeda-beda bergantung fungsinya, tetapi kisarannya antara 250 sampai 500 W dengan menggunakan warna kuning dan putih. Dua buah lampu intensitas masing-masing 400 W warna putih dipasang setinggi 6 m pada tiang kapal menghadap ke depan dan ke belakang perahu. Sepuluh buah lampu berwarna putih intensitas masing-masing 400 W dipasang pada bagian terluar dari rangka bagan dengan ketinggian 4 m dari permukaan air.Semua jenis lampu ini berfungsi untuk menarik gerombolan ikan pada jarak yang jauh.Empat puluh buah lampu mempunyai intensitas masing-masing 250 W, 10 buah diantaranya berwarna kuning dipasang pada bagian bawah rangka bagan berfungsi untuk menarik dan menggiring menuju catchable area. Empat buah lampu masing-masing 2 buah berkekuatan 500 W dan 2 buah berkekuatan 300 W berfungsi sebagai lampu untuk mengkonsentrasikan ikan pada catchable area. Setiap bola lampu dilengkapi dengan reflektor yang terbuat dari wajan (aluminium) dengan diameter 30 cm. Dengan demikian total jumlah lampu yang digunakan bagan ini adalah 16,4 kW. Gambar 6. Kapal bagan rambo Menurut Permen Kelautan dan Perikanan Nomor 18 tahun 2013 ukuran bagan perahu P ≤ 30 m, L ≤ 30 m, ukuran mata jarring ≥ 1mm, kekuatan lampu ≤ 2000 watt. Merujuk pada permen tersebut, beberapa bagan perahu berpotensi melanggar ukuran bagan lebih besar dari 30 m dan umumnya kekuatan lampu jauh lebih besar dari yang dipersyaratkan (≥ 2000 watt).Kondisi bagan perahu tersebut menyebabkan sumberdaya ikan pelagis kecil semakin berkurang yang diindikasikan oleh semakin berkurangnya jumlah bagan perahu. 46 Perikanan Berkelanjutan Perikanan berkelanjutan merupakan target utama dalam pengelolaan sumberdaya perikanan akibat semakin menurunnya sumberdaya (Catchpoleand Revill, 2007, FAO, 2010). Untuk itu alat penangkap ikan yang digunakan harus dapat menunjang perikanan berkelanjutan antara lain selektif. Terutama dapat meloloskan ikan-ikan yang belum layak tangkap. Dalam hubungannya dengan selektivitas, bagan tidak memenuhi kriteria, sementara purse seine dengan ukuran mata jaring 1 inci selektivitasnya masih rendah. Purse seine dengan mesh size 2 inci untuk ikan cakalang juga masih banyak menangkap ikan-ikan cakalang muda. Akibatnya, jumlah ikan hasil tangkapan nelayan cenderung berkurang dari waktu ke waktu, sehingga nelayan melakukan upaya memperjauh daerah penangkapan ikan. Upaya lain yang dilakukan nelayan dengan memperpanjang ukuran jaring sehingga daya tangkapnya meningkat. Menurut aturan yang ada, ukuran mata jaring untuk purse seine ikan pelagis kecil maupun untuk bagan sudah sesuai, tetapi purse seine untuk ikan cakalang sebagian tidak memenuhi aturan. Upaya yang dilakukan nelayan untuk meningkatkan daya tangkap ikan secara umum cenderung dilakukan (Catchpoleand Revill, 2007; Demirciet. al., 2008; Najamuddin 2014).Tujuan nelayan hanya pertimbangan ekonomi tetapi bukan pada keberlanjutan sumberdaya ikan.Perbaikan selektivitas alat penangkap ikan merupakan salah satu alternative dalam mempertahankan keberlanjutan sumberdaya ikan.Namun beberapa hasil penelitian masih meragukan keberlanjutan sumberdaya ikan melalui selektivitas akibat adanya kecenderungan ikan-ikan stress setelah terlepas dari jaring (Herrmann, 2005a, b, c; Herrmannet. al., 2009; Gopakumar, 2002; Halliday and Pinhorn, 2002; Kingdom and Kwen, 2009). Lebih lanjut Kingdom and Kwen(2009) menambahkan pengaturan selektivitas tidak dapat menjamin keberlanjutan sumberdaya ikan sehingga perlu diiringi dengan upaya konservasi. Permasalahan multi spesies merupakan kendala utama dalam penerapan selektivitas alat penangkap ikan di Indonesia. Pada kasus ikan pelagis kecil di lokasi penelitian, jenis ikan dominan meliputi ikan kembung, ikan layang, ikan selar, ikan tembang, dimana ukuran ikan dewasa tidak sama sehingga sulit dalam menentukan ukuran mata jaring minimum. Oleh karena itu diperlukan upaya lain seperti konservasi untuk mempertahankan keberlanjutan sumberdaya ikan. KESIMPULAN 1. Variasi kapal penangkap ikan mulai dari ukuran kecil sampai besar denganrasio ukuran utama pada umumnya belum memenuhi standar kapal ikan dan jenis alat penangkap ikan yang digunakan. 2. Variasi alat penangkap ikan pelagis meliputi :purse seine, bagan perahu, bagan tancap. 47 3. Alat tangkap ikan pelagis kecil belum dapat menjamin keberlanjutan sumberdaya ikan. SARAN Pemerintah daerah perlu mengambil langkah tegas dalam meningkatkan pengawasan terhadap alat penangkap ikan yang tidak sesuai aturan. DAFTAR PUSTAKA Catchpole, T.L.,and Revill, Æ A. S., 2007. Gear technology in Nephrops trawl fisheries. Rev Fish Biol Fisheries :DOI 10.1007/s11160-007-9061-y. Charles, A.T. 2001. Sustainable Fishery Systems. Blackwell Science. London. 370 p. Demirci, A., Tosunoglu, Z and Demirci, S. 2008. A study on shrimp trawl designs and modifications in Iskenderun bay (Turkey). Journal of FisheriesSciences.com. 2(5): 666-671. FAO. 1995. Code of Conduct for Responsible Fisheries. FAO Fisheries Department.24 p. (Online) (http://fao/fisheries/code, diakses 9 Juli 2002). FAO, 2010.The state of the world fisheries and aquaculture 2010.FAO Fisheries and Aquaculture Department. Rome. Gopakumar, K, 2002. Current State of Over Fishing and Its Impact on Sustainable Fisheries Management in The Asia-Pacific Region. In Sustainable Fishery Management in Asia. Asian Productivity Organisation. Tokyo. P 37-57. Halliday, R.G., and Pinhorn, A.T. 2002. A review of the scientific and technical bases for policies on thecapture of small fish in North Atlantic groundfish fisheries.Fisheries Research 57 211–222 Herrmann, B., Krag, L.A., Frandsen, R.P., Madsen, N., Lundgren, B., Stæhr, K.J.. 2009. Prediction of selectivity from morphological conditions: Methodology and a casestudy on cod (Gadus morhua)Fish. Res. 97 : 59– 71. Herrmann, B., 2005a. Effect of catch size and shape on the selectivity of diamondmesh cod-ends. I. Model development. Fisheries Research 71, 1– 13. Herrmann, B., 2005b. Modelling and simulation of size selectivity in diamond meshtrawl cod-ends. PhD. Thesis. Aalborg University, Denmark, ISBN 87-91200-50-4. Herrmann, B., 2005c. Effect of catch size and shape on the selectivity of diamondmesh cod-ends. II. Theoretical study of haddock selection. Fisheries Research 71,15–26. 48 Iskandar, B.H dan Pujiyati, S. 1995. Keragaan Teknis Kapal Perikanan di Beberapa Wilayah Indonesia. Laporan Proyek Operasi dan Perawatan Fasilitas (OPF)-IPB 1994/1995. Jurusan PSP IPB. Bogor. Kingdom, T and Kwen, K. 2009. Survey of Fishing Gear and Methods in the Lower Taylor Creek Area, Bayelsa State, Nigeria. World Journal of Fish and Marine Sciences 1 (4): 313-319. Muallil, R. N.,Mamauag,S.S.,Cabral, R.B., Celeste-Dizon, E.O., and Aliño, P.M., 2014. Status, trends and challenges in the sustainability of small-scale fisheries in the Philippines: Insights from FISHDA (Fishing Industries' Support in Handling Decisions Application) model. Marine Policy, Vol 44, 212–221. Najamuddin dan Budimawan, 2004.Pendugaan Ukuran Pertama Kali Matang Gonad Ikan Layang Decapterus Russelli Dalam Menunjang Perikanan Yang Bertanggung Jawab Di Perairan Selat Makassar.Torani, Vol. 14(3): 133–140. Najamuddin, 2005.Modification of Payang Design for Sustainable Catch of Scad Fisheries in South Sulawesi.Torani, Vol. 15(5): 336–343. Najamuddin, 2012. Rancang Bangun Alat Penangkapan Ikan. Arus Timur, Makassar. Najamuddin, 2014. Pemanfaatan Ikan Layang (Decapterus spp.) Berkelanjutan di Perairan Selat Makassar. PT. Penerbit IPB Press. Najamuddin, Mukti, Z., Mahfud, P. dan Hajar, M.A. 2014. Pembuatan Database Alat Dan Kapal Penangkap Ikan Dalam Menunjang Keberlanjutan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Laporan Penelitian BOPTN. Unhas. Tidak Dipublikasikan. Nomura, M. and Yamazaki, T. 1977. Fishing Techniques 1. Japan International Cooperation Agency. Tokyo Permen Kelautan dan Perikanan Nomor 18/ PERMEN-KP/2013 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor Per.02/Men/2011 Tentang Jalur Penangkapan Ikan Dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan Dan Alat Bantu Penangkapan Ikan Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Permen Kelautan dan Perikanan Nomor 26/PERMEN-KP/2014 tentang Rumpon. 49 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap IPB ke-6 Halaman: 50-65 ISBN 978-979-1225-34-2 ANALISIS HASIL TANGKAPAN UDANG DI LAUT ARAFURA (Analysis of Shrimp Catch in the Arafura Sea) Rian Juanda1), Mulyono Sumitro Baskoro2), Sulaeman Martasuganda2) 1 Mahasiswa Sekolah Pascasarjana IPB, Jurusan Teknologi Perikanan Laut 2 Staf Pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB ABSTRACT The assessment of shrimp resource existence needs to be known in order to manage the shrimp resource in the Arafura Sea which are sustained and controlled to avoid a decline in the shrimp population (Hargiyatno et al. 2013).According to Priatna et al. (2014) the availability of data and information that are accurate and reliable, particularly related to the stock status of fishery resources that will be utilized, become one of the requirement that need for the fisheries resources management properly.The objective of this study was to determine the overall shrimp catches, analyze the difference of shrimp catches based on hauling time, ascertain the length frequency of tiger shrimp that caught, and calculate the rate and density of shrimp stock that caught in the Arafura Sea waters. This research performed with direct observation using swept area methods, and analyzed by descriptive and statistical.The study was conducted in the Arafura Sea from July 2 to 15, 2013 and the data taken as much as 124 hauling. Six types of shrimp that caught were Black tiger shrimp (Penaeus monodon), White shrimp (Penaeus merguiensis), Krosok (Metapenaeopsis novaeguineae), Dogol (Metapenaeus endeavor), Red shrimp (Solenocera depressa), and Uchiwa (Thenus orientalis).The catch rate of black tiger shrimp was 22.30 kg/hauling or 11.45 kg/h with stock density of 75.44 kg/km2. The rate of catching white shrimp at 2.09 kg/hauling or 1.08 kg/h with a stock density of 7.09 kg/km2. The catch rate of krosok shrimp was 1.29 kg/hauling or 0.66 kg/h with a stock density of 4.38 kg/km2, and for dogol shrimp, the catch rate at 1.16 kg/hauling or 0.60 kg/h with stock density 3.93 kg/km2. The rate of red shrimp catch at 0.50 kg/hauling or 0.26 kg/h with stock density of 1.70 kg/km2, while the uchiwa shrimp catch rate was 0.010 kg/hauling or 0.005 kg/h with a density of stock 0.032 kg/km2.Around 81.41% of the entire composition of the catch shrimp dominated by black tiger shrimp. Based on the average amount of catches, black tiger shrimp catch increased during the daytime with the average length 19.38 cm, but there was no significant difference between the catch during the daytime and at night. Keywords:analysis, Arafura, catch, shrimp 50 ABSTRAK Pengkajian keberadaan sumberdaya udang perlu diketahui guna pengelolaan sumberdaya udang di laut Arafura yang berkelanjutan dan terkontrol agar tidak terjadinya penurunan populasi udang (Hargiyatno et al. 2013). Menurut Priatna et al. (2014) salah satu persyaratan agar pengelolaan sumberdaya perikanan dapat berjalan dengan baik dan benar adalah dengan adanya ketersedian data dan informasi yang akurat dan dapat dipercaya, khususnya terkait status stok sumberdaya perikanan yang akan dimanfaatkan.Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui hasil tangkapan udang secara keseluruhan, menganalisa perbedaan hasil tangkapan udang berdasarkan waktu hauling, mengetahui frekuensi panjang udang windu yang tertangkap, serta menghitung laju tangkap dan kepadatan stok udang di daerah penangkapan pukat udang, khususnya perairan Laut Arafura.Penelitian ini melalui observasi langsung, dengan menggunakan metode luas sapuan (swept area), dan dianalisis secara deskriptif dan statistik (uji t).Berdasarkan penelitian hasil tangkapan udang yang dilakukan selama 124 kali hauling di laut Arafura, dari tanggal 02 Juli 2013 sampai 15 Juli 2013 ada enam jenis udang yang ditangkap di laut Arafura, yaitu udang Windu (Penaeus monodon), Putih (Penaeus merguiensis), Krosok (Metapenaeopsis novaeguineae), Dogol (Metapenaeus endeavour), Merah (Solenocera depressa), dan Kipas (Thenus orientalis). Dengan laju tangkap udang windu sebesar 22,30 kg/hauling atau 11,45 kg/jam dengan kepadatan stok 75,44 kg/km2. Laju tangkap udang putih sebesar 2,09 kg/hauling atau 1,08 kg/jam dengan kepadatan stok 7,09 kg/km2. Laju tangkap udang krosok sebesar 1,29 kg/hauling atau 0,66 kg/jam dengan kepadatan stok 4,38 kg/km2, Laju tangkap udang dogol sebesar 1,16 kg/hauling atau 0,60 kg/jam dengan kepadatan stok 3,93 kg/km2, Laju tangkap udang merah sebesar 0,50 kg/hauling atau 0,26 kg/jam dengan kepadatan stok 1,70 kg/km2, sedangkan laju tangkap udang kipas sebesar 0,010 kg/hauling atau 0,005 kg/jam dengan kepadatan stok 0,032 kg/km2,Udang windu yang tertangkap di laut Arafura mendominasi dengan komposisi 81,41% dari seluruh hasil tangkapan udang, Berdasarkan jumlah rata-rata hasil tangkapan udang yang ditangkap, udang windu lebih banyak tertangkap pada siang hari, dan memiliki ukuran panjang rata-rata 19,38 cm, namun berdasarkan uji statistik, tidak ada perbedaan signifikan antara hasil tangkapan pada siang hari dan malam hari. Kata kunci: analisis, Arafura, tangkapan, udang PENDAHULUAN Laut Arafura merupakan perairan yang dikenal memiliki potensi udang dan ikan demersal yang tinggi yang dipengaruhi oleh karakteristik ekosistemnya yang merupakan habitat dari udang dan juvenile ikan seperti substrat dasar umumnya 51 lumpur atau lumpur berpasir, luasan mangrove yang luas dan kontur perairan yang relatif landai.Banyaknya sungai-sungai yang bermuara di laut Arafura serta keberadaan hutan mangrove di sepanjang pantai yang masih terjaga dengan baik telah menjadi penopang utama kesuburan perairan ini (Purbayanto dan Sondita 2006).Dengan kondisi perairan yang mendukung operasi penangkapan ikan, potensi udang dan ikan demersal yang tinggi, laut Arafura banyak dioperasikan alat tangkap pukat udang (trawl).Produksi ikan dan udang dari laut Arafura memiliki kontribusi yang besar bagi pemasukan negara di bidang perikanan, selain itu udang merupakan salah satu komoditi penting pada sektor kesehatan, karena memiliki nilai gizi dan sumber protein yang tinggi untuk dikonsumsi. Dari hasil kajian akhir-akhir ini diketahui bahwa di laut Arafura telah terlihat gejala-gejala sumber daya ikan telah menurun dan dalam kondisi berlebih (Prasetyo 2012), berdasarkan kajian DKP dengan LIPI (Purbayanto 2009) mengungkapkan bahwa potensi sumberdaya ikan demersal di wilayah Arafura sebesar 202340 ton/tahun dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) dan tingkat produksi sebesar 161870 ton/tahun dan 156600 ton/tahun, artinya pemanfaatan ikan demersal sudah berada pada posisi optimal, bahkan kondisi sumberdaya udang penaeid lebih parah lagi, karena potensinya hanya 43100 ton/tahun dan JTB 34480 ton/tahun sementara produksinya mencapai 36670 ton/tahun, artinya tingkat pemanfaatan udang sudah terjadi overfishing. Hasil pengkajian stok dan sumberdaya ikan Indonesia tahun 2001, menunjukkan bahwa sumberdaya udang penaeid di laut Arafura tingkat pemanfaatannya sudah tinggi (mendekati 80% dari nilai potensi) atau melebihi potensi lestarinya (Badrudddin et al. 2002 dalam Hargiyatno dan Sumiono 2012). Berdasarkan rasio antara produksi potensial dan MSY menunjukkan pemanfaatan berlebih (over fishing) terhadap stok udang terjadi pada tahun 1992, 1996 dan 1997 sampai 2005 (Hufiadi et al. 2011 ). Menurut Purwanto (2013) kondisi perikanan udang di Laut Arafura membaik setelah Departemen Kelautan dan Perikanan melakukan perbaikan pengelolaan perikanan yang dilakukan secara komprehensif, termasuk pula peningkatan kapasitas dan operasi pengawasan dan penegakan hukum di bidang perikanan, yang dimulai tahun 2001. Dampak positif dari perbaikan pengelolaan perikanan tersebut adalah peningkatan kelimpahan stok udang mendekati tingkat optimumnya, keuntungan per kapal meningkat dan keuntungan ekonomi perikanan udang yang jauh lebih tinggi mendekati potensi ekonomi yang dapat dihasilkan pada tahun 2005, namun kondisi stok udang dan perikanannya kembali memburuk mulai tahun 2006. Oleh sebab itu pengkajian keberadaan sumberdaya udang perlu diketahui guna pengelolaan sumberdaya udang di laut Arafura yang berkelanjutan dan terkontrol agar tidak terjadinya penurunan populasi udang (Hargiyatno et al. 2013). Menurut Priatna et al. (2014) salah satu persyaratan agar pengelolaan sumberdaya perikanan dapat berjalan dengan baik dan benar adalah dengan 52 adanya ketersedian data dan informasi yang akurat dan dapat dipercaya, khususnya terkait status stok sumberdaya perikanan yang akan dimanfaatkan. Sampai saat ini, belum banyak dilakukan penelitian dan analisis hasil tangkapan udang di laut Arafura, sehingga data yang berkesinambungan dari tahun ke tahun masih minim yang dapat dijadikan dasar acuan pengelolaan perikanan udang di Indonesia, khususnya di laut Arafura. METODOLOGI Penelitian berlangsung selama bulan Juli 2013 sampai dengan Februari 2014 yang dilaksanakan di laut Arafura (WPP-RI 718).Lokasi penelitian dimulai pada posisi koordinat 6027’38.93” LS dan 137042’36.60”BTsampai dengan posisi koordinat 6035’6.52” LS dan 137026’59.23”BT (Gambar 1).Kapal yang digunakan dalam penelitian ini adalah salah satu kapal milik PT. Dwi Bina Utama yaitu KM. Binama 07. Kapal tersebut merupakan kapal pukat udang ganda (double rig trawl) yang ditarik di kiri dan kanan kapal, kapal ini terbuat dari baja, dengan bobot 137 GT, panjang kapal (LOA) 23.77 m, lebar (B) 6.50 m, dalam (D) 3 m, bahan alat tangkap codend terbuat dari bahan polyethylene (PE) dengan mesh size 44.45 mm, panjang head rope 24.40 m dan ground rope28.10 m, ukuran otter board; panjang 2 m, lebar 1 m, berat 900 kg. Analisis hasil tangkapan dan frekuensi panjang udang berdasarkan waktu hauling Pengumpulan datapenangkapan diperoleh melalui observasi langsung, data yang diambil terdiri dari waktu setting, waktu hauling, waktu towing, jenis dan jumlah hasil tangkapan udang, kecepatan kapal, serta kedalaman dicatat dalam bentuk fishing log book. Dalam penelitian ini, data yang diambil adalah sebanyak 124 kali penarikan (hauling), yang dibagi ke dalam dua kategori; siang dan malam, dengan batasan waktu siang pukul 06.00 sampai 18.00 WIT, dan batasan malam pukul 18.00 sampai 06.00 WIT. Sedangkan untuk data frekuensi panjang udang, data yang diambil sebanyak 50 kali ulangan selama 7 hari (25 data siang dan 25 data malam). Secara umum, analisis komposisi jenis dan frekuensiudang hasil tangkapan dilakukan secara deskriptif, dengan mengklasifikasikan, mentabulasi dan menginterpretasi data serta disajikan dalam bentuk tabel atau grafik, selanjutnya dianalisa menggunakan analisa statistik uji-t ( t-Test: TwoSample Assuming Unequal Variances), dengan selang kepercayaan 95% . Analisis kepadatan stok udang dan laju tangkap Laju tangkap dan kepadatan stok udang dibagi berdasarkan tiga strata kedalaman yaitu (1) kedalaman 22-25 meter; (2) kedalaman 25-28 meter; dan (3) kedalaman 28-30 m (Lampiran 3). Untuk menentukan kepadatan stok udang, laju tangkap, menggunakan metodeluas sapuan. Luas sapuan trawl (km2) dihitung 53 dengan mengalikan jarak sapuan trawl (km) dengan panjang tali ris atas dan konstanta/fraksi tali ris atas (m), yang memiliki panjang ris yang sama antara jaring sisi kiri dengan kanan kapal untuk setiap hauling.Metode ini dikenal dengan nama swept area (Sparre and Venema 1998). Untuk mencari luas area yang disapu jaring menggunakan persamaan: Dengan: a = luas jalur yang dilalui jaring (km2); hr = panjang tali ris atas (km); X2 = koefisien terbukanya mulut jaring (= 0.5); D = jarak sapuan (km); V = kecepatan kapal waktu hauling (km/jam). Laju tangkap diperoleh dengan cara membagi jumlah hasil tangkapan dengan waktu yang diperlukan untuk menghela jaring atau jumlah hauling. Laju tangkap persatuan area dapat diketahui dengan menggunakan persamaan: Dengan:Cw= hasil tangkapan (kg); t= durasi waktu (jam) Nilai rata-rata laju tangkap dan kepadatan stok dari seluruh hauling dihitung dengan cara mencari nilai rata-rata dari laju tangkap persatuan area dikalikan dengan fraksi dari ikan yang dapat meloloskan diri dari sapuan jaring (escapement factor) sehingga diperoleh persamaan: Dengan :b= kepadatan stok (kg/km2); X1= escapement factor (= 0.5) Gambar 1 Peta lokasi penelitian udang di laut Arafura 54 HASIL Secara keseluruhan terdapat enam jenis udang yang tertangkap dan dimanfaatkan secara komersial untuk diekspor atau dikonsumsi yaitu Windu (Penaeus monodon); Putih (Penaeus merguiensis); Krosok (Metapenaeopsis novaeguineae); Dogol (Metapenaeus endeavour); Merah (Solenocera depressa); dan Kipas (Thenus orientalis).Berdasarkan pengamatan, dari 3.303,5 kg udang yang ditangkap di laut Arafura, didominasi oleh udang windu (Penaeus monodon) sebesar 81,41%, udang putih (Penaeus merguiensis) sebesar 7,20% dan udang krosok (Metapenaeopsis navaeguinae) sebesar 4,30%. Tabel 1 Komposisi hasil tangkapan udang selama penelitian Hasil tangkapan(kg) (13 hari, 124 hauling) 2689.5 238 154 142 78 2 3303.5 275.29 26.64 Jenis udang Windu (Penaeus monodon) Putih (Penaeus merguiensis) Krosok (Metapenaeopsis novaeguineae) Dogol (Metapenaeus endeavour) Merah (Solenocera depressa) Kipas (Thenus orientalis) Total Hasil tangkapan/hari Hasil tangkapan/tarikan % 81.41 7.20 4.66 4.30 2.36 0.06 100 Secara keseluruhan dalam 124 kali hauling atau selama 13 hari operasi penangkapan, total hasil tangkapan udang di laut Arafura adalah sebesar 3303.5 kg atau sebesar 275.29 kg/hari, dengan jumlah rata-rata udang yang ditangkap sebanyak 26.64 kg/hauling (Tabel 1). Udang-udang ini ditangkap pada kedalaman rata-rata 27.9 m, dengan lamanya masa towing rata-rata adalah 2 jam dan rata-rata kecepatan kapal 2.9 knot. Tangkapan udang pada siang hari Untuk kategori siang hari (Tabel 2), dari total 1723,5 kg hasil tangkapan udang, 83,41% didominasi oleh udang windu, Jenis udang lainnya yang tertangkap di laut Arafurapada kategori ini adalah udang putih (7,14%), udang dogol (4,70%) udang krosok (3,13%), udang merah (1,51%) dan udang kipas (0,12%), Penangkapan udang dilakukan pada kedalaman rata-rata 28,58 meter, dengan kecepatan kapal rata-rata 3,04knot, dengan durasi towingnya rata-rata 2 jam, rata-rata hasil tangkapan pada siang hari adalah 143,63 kg/hari atau 27,80kg/hauling, 55 Tabel 2 Komposisi hasil tangkapan udang di laut Arafura berdasarkan waktu hauling Hasil tangkapan (kg) Jenis udang Siang % Malam % 1 Windu (Penaeus monodon) 1437,5 83,41 1252 79.24 2 Putih (Penaeus merguiensis) 123 7,14 115 7.28 3 Dogol (Metapenaeus endeavour) 81 4,70 61 3.86 4 Krosok(Metapenaeopsis novaeguineae) 54 3,13 100 6.33 5 Merah (Solenocera depressa) 26 1,51 52 3.29 6 Kipas (Thenus orientalis) 2 0,12 0 0.00 Total 1723,5 100 1580 100 Hasil tangkapan/hari 143,63 131,67 Hasil tangkapan/tarikan 27,80 25,48 Tangkapan udang pada malam hari Untuk kategori malam hari (Tabel 2), dari total 1580 kg hasil tangkapan udang, 79,24% didominasi oleh udang windu, Jenis udang lainnya yang tertangkap adalah udang putih (7,28%), udang krosok (6,33%), udang dogol (3,86%), dan udang merah (3,29%).Pada kategori ini tidak ada udang kipas yang tertangkap.Penangkapan udang dilakukan pada kedalaman rata-rata 27,21 meter, dengan kecepatan kapal rata-rata 2,81 knot, dengan durasi towingnya rata-rata 2 jam. Rata-rata hasil tangkapan pada malam hari adalah 131,67 kg atau 26,06kg/hauling. hasil tangkapan (kg) Hasil tangkapan udang berdasarkan waktu hauling 2000 1500 1437.5 1252 1000 500 115 61 100 52 123 0 81 54 26 0 Malam Siang Waktu hauling Windu (Penaeus monodon) Putih (Penaeus merguiensis) Dogol (Metapenaeus endeavour) Krosok (Metapenaeopsis novaeguinae) Merah (Solenacera depresa) Kipas (Thenus orientalis) Gambar 2 Hasil tangkapan udang berdasarkan siang dan malam 56 2 Total jumlah rata-rata hasil tangkapan udang pada siang dan malam hari Berdasarkan data observasi, diperoleh hasil bahwa dari total jumlah ratarata hasil tangkapan udang per-hauling-nya (Gambar 3), ternyata pada siang hari tangkapan udang lebih banyak daripada malam yaitu masing-masing sebesar 24,6 kg dan 24,3 kg/hauling selama 13 hari operasi penangkapan di laut Arafura, dengan komposisi udang terbanyak didominasi oleh udang windu, namun berdasarkan uji statistik yaitu t-Test: Two-Sample Assuming Unequal Variances, tidak ada perbedaan yang signifikan antara rata-rata jumlah hasil tangkapan pada malam dan siang hari. Hasil tangkapan (kg) Total jumlah rata-rata hasil tangkapan udang pada siang dan malam hari per hauling 25.0 20.0 15.0 10.0 5.0 0.0 20.519.5 Windu 1.7 1.8 1.2 1.0 0.8 1.0 0.4 1.0 0.03 0 Putih Dogol Krosok Merah Kipas Siang Malam Jenis udang Gambar3Grafik total rata-rata hasil tangkapan enam jenis udang perhauling Frekuensi ukuran panjang udang windu yang ditangkap Pengukuran panjang udang windu dilakukan selama tujuh hari, dan dibagi ke dalam dua kategori; siang dan malam. Pengukuran dilakukan dengan memilih sampel udang windu sebanyak 25 udang perkategori selama tujuh hari (50 udang dalam sehari), total udang yang disampel adalah 350 ekor atau 175 perkategori. Dari hasil penelitian diperoleh hasil bahwa ukuran udang windu yang tertangkap di perairan laut Arafura mempunyai ukuran panjang tubuh yang berkisar antara 18,69 cm sampai dengan 19,93 cm atau rata-rata mempunyai ukuran 19,38 cm/ekor (Tabel 3). Pada kategori siang hari, ukuran panjang tubuh udang windu yang tertangkap berkisar antara 17,70 cm sampai dengan 20,24 cm atau ukuran rataratanya 19,21 cm, sedangkan pada malam hari, ukuran panjang udang windu berkisar antara 18,42 cm sampai dengan 20,22 cm, dengan ukuran rata-ratanya 19,54 cm,Dari data ini, terlihat bahwa ukuran panjang tubuh udang windu yang ditangkap pada siang hari lebih pendek daripada yang ditangkap pada malam hari dengan selisihnya 0,33cm, namun berdasarkan uji statistik, t-Test: Two-Sample Assuming Unequal Variances, tidak ada perbedaan yang signifikan antara ukuran panjang pada malam dan siang hari. 57 Tabel 3 Ukuran panjang rata-rata udang windu berdasarkan waktu hauling di laut Arafura selama tujuh hari pengamatan Hari Siang Malam Rata-Rata 1 20,24 19,61 19,93 2 18,96 18,42 18,69 3 19,31 19,22 19,26 4 17,70 19,72 18,71 5 19,82 19,95 19,89 6 19,64 20,22 19,93 7 18,81 19,66 19,24 Laju tangkap udang yang ditangkap Berdasarkan penelitian diperoleh total hasil tangkapan udang windu selama pengamatan di laut Arafura sebanyak 2689,5 kg. Dari 124 kalihaulingdiperoleh laju tangkap (catch rate) jenis udang tersebut berkisar antara 10,5 sampai 12,3 kg/jam dengan rata-rata 11,45 kg/jam atau 22,30 kg/hauling. Laju tangkap tertinggi terdapat pada kedalaman 22 sampai 25 m (11 hauling) yaitu 23,5 kg/hauling atau 12,3 kg/jam. Laju tangkap terendah terdapat pada kedalaman 28 sampai 30 m (69 hauling) yaitu 20,9 kg/hauling atau 10,5 kg/jam. Total hasil tangkapan udang putih adalah 238 kg, laju tangkap udang tersebut berkisar antara 0,9 sampai 1,4 kg/jam dengan rata-rata 1,08 kg/jam atau 2,09 kg/hauling. Laju tangkap tertinggi terdapat pada kedalaman 22 sampai 25 m (11 hauling) yaitu 2,6 kg/hauling atau 1,4 kg/jam. Laju tangkap terendah terdapat pada kedalaman 25 sampai 28 m (44 hauling) yaitu 1,7 kg/hauling atau 0,9 kg/jam. Total hasil tangkapan udang krosok adalah 154 kg, laju tangkap udang tersebut berkisar antara 0,6 sampai 0,8 kg/jam dengan rata-rata 0,66 kg/jam atau 1,29 kg/hauling. Laju tangkap tertinggi terdapat pada kedalaman 22 sampai 25 m (11 hauling) yaitu 1,5 kg/hauling atau 0,8 kg/jam. Laju tangkap terendah terdapat pada dua strata kedalaman yaitu 25 sampai 28 m (44 hauling) dan 28 sampai 30 m (69 hauling) yang sama-sama memiliki nilai 1,2 kg/hauling atau 0,6 kg/jam. Total hasil tangkapan udang dogol adalah 142 kg, laju tangkap udang tersebut berkisar antara 0,4 sampai 0,7 kg/jam dengan rata-rata 0,6 kg/jam atau 1,16 kg/hauling. Laju tangkap tertinggi terdapat pada dua strata kedalaman 22 sampai 25 m (11 hauling) dan 28 sampai 30 m (69 hauling) yang sama-sama memiliki nilai yang sama, yaitu 0,7 kg/hauling atau 1,4 kg/jam. Laju tangkap terendah terdapat pada kedalaman 25 sampai 28 m (44 hauling) yaitu 0,7 kg/hauling atau 0,4 kg/jam. Total hasil tangkapan udang merah adalah 78 kg, laju tangkap udang tersebut berkisar antara 0,1 sampai 0,3 kg/jam dengan rata-rata 0,26 kg/jam atau 0,5 kg/hauling. Laju tangkap tertinggi terdapat pada kedalaman 28 sampai 30 m (69 hauling) yaitu 0,7 kg/hauling atau 0,3 kg/jam. Laju tangkap terendah terdapat pada kedalaman 22 sampai 25 m (11 hauling) yaitu 0,2 kg/hauling atau 0,1 kg/jam. 58 Total hasil tangkapan udang kipas hanya 2 kg, laju tangkap udang tersebut adalah 0,01 kg/jam atau 0,03 kg/hauling dan hanya pada kedalaman 28 sampai 30 m (69 hauling), dengan rata-rata 0,10 kg/hauling atau 0,005 kg/jam. Kepadatan stok udang Kepadatan stok udang windu di laut Arafura rata-rata sebesar 75,44 2 kg/km . Kepadatan tertinggi terdapat pada kedalaman antara 22 sampai 25 m yaitu 80,8 kg/km2 dan terendah pada kedalaman 28 sampai 30 m yaitu 69,1 kg/km2. Kepadatan stok udang putih rata-rata sebesar 7,09 kg/km2. Kepadatan tertinggi terdapat pada kedalaman 22 sampai 25 m yaitu 9,1 kg/km2 dan terendah pada kedalaman 25 sampai 28 m yaitu 5,8 kg/km2. Kepadatan stok udang krosok rata-rata sebesar 4,38 kg/km2. Kepadatan tertinggi terdapat pada kedalaman 22 sampai 25 m yaitu 5 kg/km2 dan terendah pada kedalaman 22 sampai 28 m yaitu 4 kg/km2. Kepadatan stok udang dogol rata-rata sebesar 3,93 kg/km2. Kepadatan tertinggi terdapat pada kedalaman 22 sampai 25 m yaitu 4,8 kg/km2dan terendah pada kedalaman 25 sampai 28 m yaitu 2,3 kg/km2.Kepadatan stok udang merah rata-rata sebesar 1,70 kg/km2. Kepadatan stok tertinggi terdapat pada kedalaman 28 sampai 30 m yaitu 2,3 kg/km2 dan kepadatan terendah terdapat pada kedalaman 22 sampai 25 m yaitu 0,6 kg/km2. Kepadatan stok udang kipas hanya 0,10 kg/km2 atau rata-rata 0,032 kg/km2. Gambar 4 Sampel jenis-jenis udang yang diamati selama penelitian di lautArafura PEMBAHASAN Komposisi hasil tangkapan udang pada penelitian ini lebih didominasi oleh udang windu, udang putih dan udang krosok (Gambar 5).Udang windu merupakan jenis terbanyak yang ditangkap, baik pada siang hari maupun malam hari.MenurutPurbayanto dan Sondita (2006) dan Syahrir (2001), udang windu, putih, dogol merupakan hasil tangkapan yang dominan dan terbanyak ditangkap 59 Jumlah tangkapan (kg) di laut Arafura. Crocos (1986) and Garcia and Le Reste (1981) dalam Hargiyatno dan Sumiono (2012), menyatakan bahwa udang windu jenis Penaeus monodon dan Penaeus semiculcatus hidupnya tidak suka bergerombol atau berkelompok (schooling). Populasi udang jenis P. Semiculatusmenyenangi dasar perairan yang terdiri dari pasir bercampur lumpur sebagaimana di perairan laut Arafura.Pada siang hari lebih banyak membenamkan diridi dasar laut dan malam hari udang windu bergerak lebih aktif. 350 300 250 200 150 100 50 0 247.5 164 66.5 6 29 6 237.5 244.5 189.5 193.5 32 289.5 251.5 252 236 152 165.5 15 0 0 0 8 36 20 18 68 Tanggal Windu (Penaeus monodon) Putih (Penaeus merguiensis) Dogol (Metapenaeus endeavour) Kipas (Thenus orientalis) Krosok (Metapenaeopsis novaeguineae) Merah (Solenocera depressa) Gambar 5 Grafik harian hasil tangkapan udang di laut Arafura Penelitian ini menyatakan bahwa udang windu merupakan jenis terbanyak yang ditangkap, baik pada siang hari maupun malam hari. Menurut Syahrir (2001) udang windu dan dogol merupakan hasil tangkapan yang dominan di laut Arafura, sedangkan jenis udang yang dominan di tepian laut Arafura adalah udang putih dan udang windu (Purbayanto dan Sondita 2006). Menurut Penn (1984) udang putih lebih banyak pada siang hari, dikarenakan udang putih adalah udang jenis yang aktif mencari makan pada siang hari di dasar perairan berlumpur untuk memakan detritus. Pada malam hari udang putih akan bergerak naik ke arah permukaan laut, terutama saat ada cahaya bulan terang dan akan turun ke lapisan bawah pada saat intensitas cahaya bulan rendah atau tidak terlihat. Tingkah laku seperti itu menyebabkan udang putih tertangkap pukat udang lebih banyak di siang hari daripada di malam hari, sebagaimana pernah diteliti oleh Sjahrir (2001) di perairan di laut Arafura, hal ini sesuai dengan Munro (1975) yang mengatakan bahwa pada malam hari, udang putih akan lebih banyak melakukan migrasi sehingga sulit tertangkap di dasar perairan karena udang putih cenderung untuk berkelompok pada saat air tenang, khususnya pada waktu surut, namun dari penelitian ini terlihat bahwa udang putih yang seharusnya banyak pada siang hari kini mulai berkurang, kemungkinan salah satu 60 penyebabnya adalah karena sifat alat tangkap pukat udang ini yang aktif, yang menyapu dasar dan sebagian permukaan laut, serta perubahan iklim yang mempengaruhi pola pergerakannya dan perkembangbiakannya. Namun demikian berdasarkan uji statistik,t-Test: Two-Sample Assuming Unequal Variances, pada taraf 5%, menyatakan bahwa rata-rata jumlah hasil tangkapan udang pada malam dan siang hari tidak berbeda nyata (perbedaannya tidak signifikan). Jenis-jenis udang tersebut ditangkap pada kedalaman rata-rata 27.80 meter, dengan substrat berpasir dan berlumpur, serta memiliki produktivitas yang besar serta sumberdaya yang melimpah (terlihatdaribanyaknya spesies-spesies laut yang tertangkap) dan dengan kondisi cuaca yang bagus untuk penangkapan, hal ini sejalan dengan Ayodhyoa (1981), yang menyatakan bahwa syarat-syarat bagi daerah penangkapan udang yaitu memiliki dasar perairan berpasir, lumpur ataupun campuran antara pasir dan lumpur, kondisi cuaca laut yang aman untuk pengoperasian alat tangkap dan perairannya mempunyai daya produktivitas yang besar serta sumber daya yang melimpah. Untuk saat ini data tahunan mengenai tangkapan udang, laju tangkap dan dugaan biomassa udang masih minim dikaji dan dipelajari lebih lanjut dari tahun ke tahun,Berdasarkan perbandingan 10 data yang ada, terlihat bahwa telah terjadi pergeseran hasil tangkapan, kecenderungan pergeseran hasil tangkapan pukat udang di laut Arafura terlihat dari semakin turunnya hasil tangkapanperhauling yaitu hanya 26,64 kg/hauling(Tabel 1), padahal berdasarkan observasi Hargiyatno dan Sumiono (2012)pada tahun 2008 di laut Arafura hasil tangkapan perhaulingnya adalah 34,2 kg, sedangkan menurut Barani (2006) pada tahun 1995 hasil tangkapan perhaulingnya adalah 89,4 kg, kemudian turun hingga mencapai 40,3 kg pada tahun 1999. Diantara tahun tersebut hasil tangkapan mengalami fluktasi seperti turun pada tahun 1996 menjadi 59,5 kg/hauling, naik pada tahun 1997 menjadi 64 kg/hauling dan turun secara tajam pada tahun 1998 menjadi 39,4 kg/hauling (DJPT 2001). Bahkan menurut Nasional Report (2000) dalam Barani (2006) menunjukkan hasil yang lebih rendah dengan hasil tangkapan 26,4 kg/hauling pada tahun 1992 yang naik menjadi 30,4 kg/hauling pada tahun 1994 dan turun kembali menjadi 22,5 kg/hauling pada tahun 1996. Selain itu, berdasarkan analisis kepadatan udang di laut Arafura, menunjukkan kecenderungan yang menurun bagi kelompok udang windu, putih dan dogol di laut Arafura, seperti dilaporkan dari berbagai sumber dari tahun 1983, 1997, 1998, 2000, 2008, 2009 dan 2013 yang dikutip dari Hargiyatno dan Sumiono (2012), Wibowo dan Widodo (2010) dan hasil observasi penulis tahun 2013, yaitu sebesar 248 kg/km2 untuk udang windu, putih dan dogol, kepadatan tertinggi terlihat pada tahun 1997 dan terendah pada tahun 2008 (Tabel 4), dengan rata-rata kepadatan dari tujuh data yang ada adalah 249,3 kg/km2. 61 Tabel 4 Kepadatan stok udang penaeid di laut Arafura Tahun Kepadatan (kg/km2) Jenis udang 1983 297 Windu, putih 1997 318 Windu, putih, dogol 1998 240 Windu, putih, dogol 2000 262 Windu, putih, dogol 2008 125 Windu, dogol 2009 255 Windu, Putih Sumber:Hargiyatno dan Sumiono (2012) dan Wibowo dan Widodo (2010) Berdasarkan perbandingan data yang ada selama sembilan tahun terakhir (Gambar 13), terlihat bahwa telah terjadi pergeseran hasil tangkapan dari tahun ke tahun, kecenderungan pergeseran hasil tangkapan pukat udang di laut Arafura terlihat dari semakin turunnya hasil tangkapanperhauling (Tabel 1) yaitu hanya 26,64 kg/hauling, padahal berdasarkan observasi Hargiyatno dan Sumiono (2012) pada tahun 2008 di laut Arafura hasil tangkapan perhaulingnya adalah 34,2 kg, sedangkan menurut Barani (2006) pada tahun 1995 hasil tangkapan perhaulingnya adalah 89,4 kg, kemudian turun hingga mencapai 40,3 kg pada tahun 1999. Diantara tahun tersebut hasil tangkapan mengalami fluktasi seperti turun pada tahun 1996 menjadi 59,5 kg perhauling, naik pada tahun 1997 menjadi 64 kg perhauling dan turun secara tajam pada tahun 1998 menjadi 39,4 kg perhauling (DJPT 2001). Selain itu, berdasarkan analisis kepadatan udang di laut Arafura, menunjukkan kecenderungan yang menurun bagi kelompok udang windu, putih dan dogol di laut Arafura seperti dilaporkan dari berbagai sumber dari tahun 1983 sampai 2013 seperti dikutip dari Hargiyatno dan Sumiono (2012) dan Wibowo et al. (2010) dan hasil observasi penulis tahun 2013, yaitu sebesar 248 kg/km2 untuk udang windu, putih dan dogol, kepadatan tertinggi terlihat pada tahun 1997 dan terendah pada tahun 2008 (Tabel 4), dengan rata-rata kepadatan selama tujuh tahun adalah 249,3 kg/km2. Dari data penelitian (Tabel 3) terlihat bahwa ukuran udang windu terpanjang yang tertangkap adalah 20,24 cm dan tergolong kategori dewasa, menurut Chullasom dan Martosubroto (1986) dalam beberapa penelitian yang telah dikompilasi, untuk jenis udang windu di laut Arafura, ukuran ketika mencapai tingkat dewasa pertama kali adalah 21 cm dan panjang maksimum udang tertangkap 43 cm. Secara alamiah, pertumbuhan udang atau ikan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, misalnya pada periode tertentu udang atau ikan tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan periode lain (Sondita2010). Secara umum, berdasarkan penelitian yang dilakukan terkait laju tangkap dan kepadatan stokdi laut Arafura, cenderung terlihat adanya penurunan.Hal tersebut kemungkinan diakibatkan oleh eksploitasi penangkapan yang berlebihan, 62 perkembangan yang pesat dari kapasitas penangkapan armada perikanan pukat udang, berubahnya faktor lingkungan, dan maraknya praktekillegal, unregulated and unreported (IUU) Fishing yang terjadi (Purwanto 2010; Badruddin et al. 2008 dalam Hargiyatno dan Sumiono 2012). Penyebab lain adalah akibat banyaknya kapal perikanan ilegal asing yang beroperasi di laut Arafura seperti yang penulis amati, salah satunya adalah penggunaan twin boat bottow trawl milik asing yang bebas berkeliaran menangkap udang di laut Arafura yang jelas-jelas telah mengeksploitasi hasil perikanan secara berlebihan dan tentunya melanggar kedaulatan perikanan Indonesia. Dari amatan penulis, banyak kapalilegalasing yang beroperasi di Arafura, baik yang terlihat dengan kasat mata atau terbaca oleh radar kapal nelayan Indonesia, seperti disampaikan oleh salah satu kapten kapal pukat udang Indonesia. KESIMPULAN 1. Dari enam jenis udang yang ditangkap di laut Arafura, yaitu udang Windu (Penaeus monodon), Putih (Penaeus merguiensis), Krosok (Metapenaeopsis novaeguineae), Dogol (Metapenaeus endeavour), Merah (Solenocera depressa), Kipas (Thenus orientalis), diketahui bahwa tangkapan udang didominasi oleh udang windu, baik pada siang hari maupun malam hari, secara rata-rata jumlah tangkapan udang windu lebih banyak pada siang hari, dengan ukuran panjang rata-rata 19.38 cm. Namun berdasarkan uji statistik (uji-t), menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata (tidak signifikan) antara hasil tangkapan udang pada malam dan siang hari. 2. Laju tangkap udang windu sebesar 22,30 kg/hauling atau 11,45 kg/jam dengan kepadatan stok 75,44 kg/km2. Laju tangkap udang putih sebesar 2,09 kg/hauling atau 1,08 kg/jam dengan kepadatan stok 7,09 kg/km2. Laju tangkap udang krosok sebesar 1,29 kg/hauling atau 0,66 kg/jam dengan kepadatan stok 4,38 kg/km2. Laju tangkap udang dogol sebesar 1,16 kg/hauling atau 0,60 kg/jam dengan kepadatan stok 3,93 kg/km2,Laju tangkap udang merah sebesar 0,50 kg/hauling atau 0,26 kg/jam dengan kepadatan stok 1,70 kg/km2, sedangkan laju tangkap udang kipas sebesar 0,010 kg/hauling atau 0,005 kg/jam dengan kepadatan stok 0,032 kg/km2. 3. Terlihat adanya penurunan laju tangkap dan kepadatan stok kelompok udang windu, putih dan dogol di perairan laut Arafura, namun hasil penelitian ini tidak bisa menyimpulkan keadaan secara keseluruhan kondisi perikanan tangkap di Arafura, dikarenakan hanya menggunakan satu kapal, dibutuhkan data dan penelitian lebih lanjut dan rinci lagi untuk mengetahui keadaan hasil tangkapan menyeluruh di Arafura. 63 SARAN Sampai saat ini, belum banyak dilakukan penelitian tentang udang di laut Arafura, terutama mengenai hasil tangkapan berdasarkan pola musim dan karakteristik perairannya, dan jumlah unit penangkapannya yang beroperasi, sehingga untuk ke depan penelitian ini kiranya dapat dilakukan, sehingga kita mempunyai data yang relevan. DAFTAR PUSTAKA Ayodhya AU. 1981. Metode penangkapan ikan.Yayasan Dewi Sri.Bogor, 97 hal. BaraniHM. 2006. Kajian usaha perikanan demersal di laut Arafura.Di dalam: Monintja, DR et al (editor). Bogor (ID). Perspektif pengelolaan perikanan tangkap laut Arafura.Institut Pertanian Bogor. Chullasorn S, Martosubroto P. 1986. Distribution and important biological features of coastal fish resources in Southeast Asia. Fisheries Technical Paper 278:84p. [DJPT] Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2001. Statistik perikanan tangkap tahun 2001. Jakarta (ID). Ditjen Perikanan Tangkap, Departemen Kelautan dan Perikanan. Hargiyatno IT, Sumiono B. 2012. Kepadatan stok dan biomassa sumberdaya udang windu (Penaeus semiculcatus) dan dogol (Metapenaeus endeavouri) di sub area Aru, laut Arafura. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 18(1): 1725. Hargiyatno IT, Sumiono B, Suharyanto. 2013. Laju tangkap, kepadatan stok dan beberapa aspek biologi udang jerbung (Penaeus merguiensis) di perairan Dolak, laut Arafura. Jurnal Perikanan Bawal 5(2): 123-129. Hufiadi, Mahiswaro, Natsir M, Wahyu TP. 2011. Perkembangan kapasitas penangkapan di laut Arafura: studi kasus perikanan udang. Makalah disajikan pada forum 1 Laut Arafura. Bogor 8-11 Juni: Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan. Munro ISR. 1975. Biology of the banana prawn (Penaeus merguensis de Man) in the south-east corner of the gulf of Carpentaria. First Australian National Prawn Seminar.Austr.Govt. Printing Service Canberra. pp 60-78. Penn JW. 1984. The behaviour and catchability of some commercially exploited penaeids and their relation to stock and recruitment. In: Gulland, J.A and B.J. Rotschild (Eds). Penaeids Shrimps-Their Biology and Management.Fishing News Book Ltd. Farnham. Surrey, England. pp 173-186. Purbayanto A, Sondita MFA. 2006. Jenis, sebaran, dan keanekaragaman sumberdaya ikan hasil tangkapan di tepian laut Arafura.Di dalam: Monintja, Daniel R et al (editor). Perspektif pengelolaan perikanan tangkap laut Arafura. Institut Pertanian Bogor. 64 Purwanto. 2013. Status Bio-Ekonomi Perikanan Udang di Laut Arafura. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 19 (4): 227-234. Purbayanto A. 2009. Menggagas moratorium perikanan laut Arafura.Berita: Rubrik Terkini. Prasetyo AP. 2012. Potensi konflik dari interaksi perikanan pukat hela dalam pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan Arafura.Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 18(2): 101-108. Priatna A, Purbayanto A, Simbolon D, Hestirianoto T. 2014. Kemampuan tangkap jaring trawl terhadap ikan demersal di perairan Tarakan dan sekitarnya.Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 20(1): 19-30. SjahrirA. 2001. Komposisi udang penaeid yang tertangkap di laut Arafura(perairan Aru dan Dolak). [Tesis] Bogor (ID). Institut PertanianBogor. Sondita MFA. 2010. Manajemen sumber daya perikanan. Universitas Terbuka. Jakarta Sparee P, Venema SC. 1998. Introduction to tropical fish stock assessment. Part 1 Manual. Rome FAO. Fisheries Technical Paper (306/1). Wibowo B, Widodo AA. 2010. Komposisi jenis, sebaran dan kepadatan stok udang di perairan laut Arafura. Prosiding simposium nasional pembangunan sektor kelautan dan perikanan kawasan timur Indonesia. 177-12 65 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap IPB ke-6 Halaman: 66-75 ISBN 978-979-1225-34-2 KARAKTERISTIK CAHAYA LAMPU PADA BAGAN TANCAP DI PERAIRAN TELUK BANTEN Adi Susanto1, Yuhelsa Putra2, Aristi Dian Purnama Fitri3, Heri Sutanto4 1 Program Studi Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Sultan Ageng Tirtayaasa Email: [email protected] 2 Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sultan Ageng Tirtayaasa 3 Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, FPIK, Universitas Diponegoro 4 Program Studi Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Diponegoro ABSTRACT Light fishing was rapidly developedsince invention of electrical lamp that have significant impact to productivity and efficiency of fish capture. Light emitting diode (LED) is the new variant of electrical lamp for general lighting, but still undeveloped for fishing activity. This research aims to analyze the characteristics of LED lamp for fix lift net. The research was conducted using laboratory and filed experiment in Banten Bay. The results show light from LED lamps hasdominant direction at the bottom of the lamp with the value 783 lux. The illumination of 30-watt LED lamp at the same depth and distance is higher than 85-watt tubular lamps, sothe application of LED lamps for lift net fishing is much berecommended. Keywords: Banten Bay, illumination, lift net, lamp ABSTRAK Perikanan lampu telah berkembang pesat sejak ditemukannya lampu listrik yang mampu meningkatkan produktivitas dan efisiensi penangkapan.Lampu LED merupakan generasi terbaru lampu listrik yang sudah banyak digunakan sebagai lampu penerangan, namun belum berkembang untuk bidang perikanan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis karakteristik lampu LED untuk penggunaan pada perikanan bagan tancap di Teluk Banten. Penelitian dilakukan melalui metode observasi di laboratorium dan penelitian lapangan dilakukan di perairan Teluk Banten. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cahaya lampu LED memiliki arah sebaran yang paling dominan pada bagian bawah lampu dengan nilai iluminasi tertinggi 783 lux. Pengukuran pada jarak dan kedalaman yang sama, iluminasi cahaya yang dihasilkan oleh lampu LED 30 W lebih tinggi dibandingkan dengan lampu tabung 85 W sehingga penggunaan lampu LED untuk perikanan bagan sangat mungkin untuk dikembangkan. Kata kunci: bagan, iluminasi, lampu, Teluk Banten 66 PENDAHULUAN Teknologi penangkapan ikan menggunakan alat bantu cahaya sebagai pemikat telah berkembang pesat di berbagai belahan dunia. Sudirman dan Musbir (2009) menyatakan bahwa pesatnya perkembangan perikanan lampu di Indonesia tidak terlepas dari peran nelayan di perairan Sulawesi Selatan yang mulai menggunakan bagan tancap dengan lampu petromaks pada era 1950an. Penggunaan cahaya untuk menarik perhatian ikan untuk kepentingan penangkapan kemudian berkembang ke berbagai wilayah dengan berbagai variasi alat tangkap seperti bagan perahu, bagan rakit, pukat cincin hingga pancing cumicumi. Perairan Teluk Banten telah dikenal oleh nelayan sebagai salah satu daerah penangkapan bagan tancap yang potensial. Target utama penangkapan dengan bagan tancap di perairan ini adalah berbagai jenis teri (Stelophorus sp.), cumicumi (Loligo sp.) dan ikan tembang (Sardinella sp.). Pada era 1990an hingga awal tahun 2000, nelayan bagan tancap masih menggunakan lampu petromaks. Namun seiring perkembangan teknologi, saat ini semua nelayan bagan tancap sudah menggunakan lampu listrik yang didominasi oleh jenis lampu tabung dengan daya yang bervariasi mulai dari 24 watt hingga 90 watt sesuai dengan daya beli dan pengetahuan yang dimiliki. Anongponyoskun et al. (2011), penggunaan lampu merupakan salah satu teknik modern dan cukup efektif dengan memanfaatkan tingkah laku ikan untuk menarik perhatiannya agar berkumpul di sekitar alat tangkap. Perkembangannya semakin pesat setelah ditemukannya lampu listrik berupa lampu merkuri, halogen, fluorescent (tabung) dan metal halida yang memiliki iluminasi cahaya lebih tinggi dibandingkan lampu petromaks. Namun sayangnya, penggunaan lampu listrik tersebut membutuhkan BBM dalam jumlah besar sehingga biaya operasional yang dibebankan untuk menghidupkan lampu untuk kegiatan operasi penangkapan juga semakin bertambah. Penggunaan lampu merkuri, halogen dan lampu tabung selain tidak efisien terhadap bahan bakar juga menghasilkan panas yang tinggi, membutuhkan daya yang besar, umur teknis yang pendek dan tidak efisien sehingga membutuhkan lampu pengganti yang lebih efisien (Shen et al. 2013; Hua and Xing 2013; Choi et al. 2009).Lahirnya lampu generasi baru, Light Emitting Diode (LED) menjadi babak baru dalam pengembangan perikanan lampu. Ujicoba penangkapan menggunakan purse seine dan squid jigging telah mampu menurunkan tingkat konsumsi BBM hingga 25% dan meningkatkan hasil tangkapan yang diperoleh (Manomayidthikarn 2013; Matsushita and Yamashita 2012; An and Arimoto 2013; Hua and Xing 2013). Tyedmers et al. (2005) mengemukaan bahwa pada kegiatan perikanan tangkap setidaknya dibutuhkan 620 liter BBM untuk mendaratkan 1 ton hasil tangkapan ikan dari laut.Semakin rendah tingkat 67 konsumsi BBMnya maka biaya yang dibutuhkan akan semakin murah dan sumbangan polusi yang dihasilkan oleh armada penangkapan juga menurun. Meskipun lampu LED memiliki tingkat efisiensi energi yang tinggi, namun penggunaannya pada bidang perikanan di Indonesia masih belum berkembang. Hal ini disebabkan oleh belum banyaknya informasi terkait penggunaan lampu LED di bidang perikanan serta harga lampu LED yang jauh lebih mahal dibandingkan lampu konvensional. Oleh karena itu, dibutuhkan penelitian dan inovasi agar teknologi lampu LED dapat dimanfaatkan pada perikanan bagan sehingga dapat meningkatkan hasil tangkapan dan efisien penggunaan bahan bakar. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis karakteristik cahaya lampu LED pada medium udara dan medium air yang dapat digunakanpada perikanan bagan tancap di perairan Teluk Banten Indonesia. METODOLOGI Identifikasi karakteristik cahaya lampu di medium udara dilakukan di Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Sultan Ageng Tirtayasa pada bulan April-Mei 2015.Lampu yang digunakan adalah jenis Tubular Lamp (TL) tipe jari dengan kekuatan 85 watt dan lampu LED dengan tipe bulb berkekuatan 30 watt. Pengukuran iluminasi cahaya dilakukan menggunakan lux meter Lutron LX-103 dengan derajat ketelitian 1 lux. Pengukuran dilakukan pada jarak 1 meter dari sumber cahaya dengan bagian bawah lampu sebagai titik awal (sudut 0°) seperti disajikan pada Gambar 1.Interval pengukuran dilakukan setiap 10° hingga bagian atas lampu (sudut 180°).Hasil pengukuran iluminasi selanjutnya diolah untuk mendapatkan grafik sebaran iluminasi cahayanya di sekitar lampu. Gambar 1 Ilustrasi pengukuran iluminasi cahaya lampu pada medium udara 68 Pengukuran karakteristik cahaya lampu pada medium air dilakukan pada bagan tancap dengan membandingkan lampu yang digunakan oleh nelayan dan lampu LED yang diujicobakan. Bagan yang digunakan berukuran (14 x 14) m dengan ukuran jaring (12x12) m. Jumlah lampu yang digunakan sebanyak enam unit untuk setiap jenisnya.Pemasangan lampu dilakukan pada bagian bawah rumah bagan dengan jarak 30-50 cm dari permukaan air.Pengukuran iluminasi cahaya dilakukan pada jarak horizontal (0-7 m) dan vertikal (kedalaman 0-10 m) dari sumber cahaya sehingga radius penyebaran cahaya lampu dapat terdokumentasikan.Ilustrasi pengukuran iluminasi lampu pada bagan tancap disajikan pada Gambar 2. Gambar 2 Ilustrasi pengukuran iluminasi lampu pada medium air Data hasil pengukuran dianalisis secara deskriptif dalam bentuk diagram radar dan grafik distribusi iluminasi cahaya berdasarkan kedalaman dan radius penyebaran. Hasil analisis selnjutnya dijadikan dasar ilmiah bagi pengembangan desain lampu LED yang tepat untuk perikanan bagan karena lampu yang ada saat ini masih di desain untuk kepentingan penerangan dalam rumah. HASIL DAN PEMBAHASAN Medium Udara Sebaran cahaya yang dihasilkan oleh lampu tabung menyebar ke segala arah dengan nilai iluminasi yang berbeda. Iluminasi paling tinggi terdapat pada sudut 90° dan 270° dengan nilai 215 lux, sedangkan iluminasi paling rendah 69 terdapat pada sudut 180° dengan nilai 62 lux seperti disajikan pada Gambar 3. Lampu tabung akanmenghasilkan nilai iluminasi yang menyebarke seluruh penjuru lampu.Hal senada diungkapkan oleh Thenu (2014), lampu tabung memancarkan cahanya ke segala arah dengan intensitas yang berbeda.Bagian paling terang berada pada samping lampu karena permukaan tabung pada bagian sambung memiliki luas yanglebih besar dibandingkan dengan bagian bawah dan atas lampu.Karakteristik sebaran cahaya yang demikian menyebabkan lampu tabung dianggap kurang efektif digunakan pada penangkapan bagan.Untuk mengatasi hal tersebut umumnya nelayan menggunakan reflektor agar cahaya yang dihasilkan dapat diarahkan pada bagian tertentu.Rohanah (2012) menyatakan bahwa penggunaan reflektor terbukti efektif untuk mengarahkan cahaya lampu tabung sehingga adanya proses pemantulan dari reflektor menyebabkan iluminasi cahaya yang sampai ke perairan menjadi maksimal. 210 220 230 200 190250 180 170 160 150 140 130 200 150 240 120 100 250 110 260 50 100 270 0 90 280 80 290 70 300 60 310 320 50 40 330 340 350 0 10 20 30 Gambar 3 Sebaran iluminasi lampu tabung pada medium udara Cahaya yang dihasilkan oleh lampu LED memiliki karakteristik yang mengarah pada sudut tertentu sehingga lebih mudah difokuskan sesuai dengan desain lampu yang dibuat. Penggunaan lampu LED dengan tipe bolam (bulb) untuk berbagai kepentingan, baik rumah tangga maupun industri telah terbukti meningkatkan efisiensi penggunaan energi sehingga pemanfaatannya semakin luas. Selain itu, umur teknis lampu LED yang lebih lama juga menjadi salah satu keunggulan yang menjadi dasar dipilihnya lampu jenis ini untuk berbagai kebutuhan penerangan. 70 Arah penyebaran cahaya dari lampu LED lebih terfokus pada bagian bawah dan samping lampu. Namun intensitas cahaya dan arah penyebaran cahaya pada bagian samping lampu LED tidak seluas dan setinggi pada lampu tabung. Hal ini dipengaruhi oleh konstruksi lampu yang secara teknis memang dirancang untuk memberikan penerangan pada bagian bawah lampu seperti disajikan pada Gambar 4. 200 190800 210 700 220 600 230 500 240 400 300 250 200 260 100 270 0 180 170 160 150 140 130 120 110 100 90 280 80 290 70 300 60 310 320 50 40 330 340 350 0 10 20 30 Gambar 4 Sebaran iluminasi cahaya lampu LED pada medium udara Iluminasi cahaya lampu LED paling tinggi terdapat pada sudut 0° dengan nilai 783 lux dan terus mengalami penurunan seiring dengan penambahan sudut ke arah bagian atas lampu. Hal ini dapat dipahami mengingat desain lampu LED yang umum di pasaran memang bertujuan untuk menghasilkan cahaya yang terang pada bagian bawah lampu. Meskipun cahaya lampu LED sudah mengarah ke bagian bawah lampu, namun penggunaan reflektor tetap diperlukan untuk lebih mengumpulkan cahaya lampu pada bagian samping lampu. Puspito (2012) menyatakan bahwa penggunaan reflektor kerucut mampu memusatkan cahaya lampu pada perikanan bagan tancap sehingga penetrasi cahaya yang dihasilkan menjadi lebih baik.Reflektor dengan warna perak menghasilkan pemusatan dan hasil tangkapan terbaik dibandingkan warna putih dan standar sehingga sangat dianjurkan untuk digunakan pada perikana bagan tancap. 71 Medium Air Hasil pengukuran tingkat iluminasi cahaya pada lampu tabung pada medium air menunjukkan bahwa secara horizontal, intensitas cahaya yang dihasilkan mampu mencapai jarak 6 m, namun semakin jauh jaraknya dari sumber cahaya iluminasinya semakin rendah. Secara vertikal, semakin bertambah kedalaman perairan maka intensitas cahayanya juga semakin rendah dimana pada kedalaman 8 m di bagian tengah bagan, iluminasi yang terdeteksi hanya 2 lux.Hal ini jauh berbeda dengan iluminasi cahaya pada permukaan perairan yang pada kedalaman 1-2 m iluminasi lampu yang terdeteksi berkisar 50-700 lux.Kondisi ini terjadi karena jaraknya sangat dekat dengan sumber cahaya seperti disajikan pada Gambar 5. Lampu tabung yang digunakan oleh nelayan adalah tipe jari (bukan spiral) sehingga dengan penambahan reflektor cahaya yang dihasilkan pada bagian samping dan atas lampu lebih terarah ke bagian bawah bagan.Meskipun demikian, karena konstruksinya yang memanjang, maka akumulasi luas permukaan tabung lampu pada bagian samping yang lebih besar dibandingkan pada bagian bawah menyebabkan cahaya yang dihasilkan tetap menyebar secara horizontal sehingga radius sebaran cahayanya menjadi lebih luas. Pada bagian tengah bagan sebagai pusat sumber cahaya, iluminasi yang terukur pada permukaan air sebesar 758 lux dan terus berkurang seiring dengan bertambahnya jarak dari sumber cahaya. Selain itu, pada kedalaman perairan 5 m, iluminasi yang terukur hanya sebesar 7 lux dan semakin kecil seiring bertambanya kedalaman. Hal ini mengindikasikan bahwa kedalaman efektif cahaya yang dihasilkan oleh lampu tabung berada pada kisaran kedalaman 3-5 m baik pada pusat sumber cahaya ataupun pada radius hingga 3 meter dari sumber cahaya. Jarak (m) 0 700 600 -2 500 Kedalaman (m) 450 400 350 -4 300 250 200 150 -6 100 75 50 25 -8 5 2 0 -10 -6 -4 -2 0 2 4 6 Gambar 5 Karakteristik cahaya lampu tabung di dalam air 72 Hasil pengukuran iluminasi cahaya enam lampu LED pada medium air menunjukkan bahwa cahaya yang dipancarkan mampu menembus hingga kedalaman 10 m dengan iluminasi sebesar 2 lux. Nilai iluminasi tertinggi terdapat pada kedalaman 1-2 meter karena dekat dari sumber cahaya dengan kisaran 3542.244 lux seperti disajikan pada Gambar 6. Lampu LED mampu menghasilkan iluminasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan lampu tabung pada radius dan kedalaman pengukuran yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa lampu LED sangat potensial untuk dijadikan sebagai lampu pengganti karena memiliki konsumsi listrik yang lebih rendah namun menghasilkan intensitas cahaya yang lebih tinggi. Jarak (m) 0 2200 2000 1800 -2 1600 Kedalaman (m) 1400 1200 1000 -4 800 600 400 200 -6 100 50 25 10 -8 5 2 0 -10 -6 -4 -2 0 2 4 6 Gambar 6 Karakterstik cahaya lampu LED di dalam air Sifat dasar cahaya yang dihasilkan oleh lampu LED yang mengarah pada sudut tertentu (straight light) seperti tercermin pada Gambar 13. Penggunaan reflektor semakin mengumpulkan cahaya yang dipancarkan pada bagian samping dan atas lampu LED ke bagian bawah sehingga mampu mencapai kedalaman yang lebih tinggi dengan iluminasi yang lebih besar. Pada permukaan perairan, iluminasi cahaya yang terukur sebesar 2.244 lux dan pada pada radius 5 m dari sumber cahaya masih terdeteksi sebesar 25 lux.Pada bagian tengah bagan, cahaya lampu LED yang dihasilkan bahkan mampu menembus hingga kedalaman 10 m dengan iluminasi sebesar 2 lux. Okamoto et al. (2008) juga menemukan bahwa pada perikanan saori yang beroperasi di Samudera Pasifik, karakteristik iluminasi cahaya dari lampu LED 73 yang digunakan juga memiliki pola yang serupa. Distribusi cahaya lampu LED secara horizontal lebih pendek dari pada lampu konvensional (merkuri), namun secara vertikal cahaya lampu LED dapat mencapai hingga kedalaman 15 m dengan intensitas 0,12-0,35 lux. Pada bagian tepat dibawah sumber cahaya iluminasi cahaya pada kedalaman 15 m sebesar 0,35 lux, namun pada jarak 1,5 m di kedalaman yang sama iluminasinya hanya sebesar 0,12 lux. Hal ini semakin menguatkan fakta bahwa sifat cahaya yang dihasilkan oleh lampu LED tidak menyebar ke segala arah namun terfokus pada sudut tertentu baik pada medium udara maupun medium air. Secara visual, cahaya yang dihasilkan oleh lampu LED lebih menyilaukan mata manusia. Hal ini disebabkan oleh sifat lampu cahaya dari lampu LED yang sesungguhnya lebih banyak mengandung spektrum sinar tampak warna biru dan hijau yang memiliki panjang gelombang lebih tinggi. Sementara itu, lampu tabung lebih banyak memancarkan spektruk kuning dan merah sehingga kemampuannya menembus perairan menjadi lebih rendah. Senada dengan hal tersebut, An and Arimoto (2013) menyatakan bahwa karakteristik lampu LED yang lebih banyak memancarkan spektrum warna biru lebih efektif untuk digunakan pada perikanan cumi-cumi sehingga dapat menggantikan lampu merkuri dan halogen yang selama ini digunakan oleh nelayan Korea dan Jepang pada perikanan cumi-cumi skala industri. KESIMPULAN Cahaya yangdihasilkan oleh lampu LED memiliki sebaran yang mengumpul pada bagian bawah lampu dengan iluminasi yang lebih besar dibandingkan bagian lainnya. Pada jarak dan kedalaman yang sama, iluminasi cahaya lampu yang dihasilkan oleh lampu LED 30 watt lebih tinggi dibandingkan dengan lampu tabung 85 watt. Penggunaan lampu LED pada bagan tancap akan meningkatkan penetrasi cahaya lampu ke dalam perairan dibandingkan dengan lampu tabung yang digunakan oleh nelayan sehingga peluang untuk menarik perhatian ikan menjadi lebih tinggi. DAFTAR PUSTAKA An YI and Arimoto T. 2013. Fishing Efficency of LED Fishing Lamp for Squid Jigging and Hair Tail Angling in Korean Waters.Paper presentation.WGFTFB Bangkok. Anongponyoskun M, K Awaiwanont, S Ananpongsuk, S Arnupapboon.2011. Comparison of Different Light Spectra in Fishing Lamps.Kasetsart Journal Natural Science.45: 856-862. Choi JS, SK Choi, SJ Kim, GS Kil, CY Choi. 2009. Photoreaction Analysis of Squids for The Development of a LED Fishing Lamp. Proceedings of the 74 2nd International Conference on Maritime and Naval Science and Engineering.p 92-95. Hua LT, and Xing J. 2013. Research on LED Fishing Light.Applied Sciences, Engineering and Technology.5(16): 4138-4141. Manomayidthikarn K. 2013. Aplication of Ligth Emitting Diode (LED) in Fishing in Japan.SEAFDEC.Paper Presentation.WGFTFB Bangkok. Matsushita Y and Yamashita Y. 2012. Effect of a Stepwise Lighting Method Termed “Stage Reduced Lighting” Using LED and Metal Halide Fishing Lamps in The Japanese Common Squid Jigging Fishery. Fisheries Science. 78(5): 977-983. Okamoto et al. 2008.Application of LEDs to Fishing Lights for Pacific Saury.Journal Light and Visual Environment 32(2): 88-92. Puspito G. 2012. Pengaruh Pemusatan Cahaya Terhadap Efektivitas Bagan. Jurnal Saintek Perikanan 7(2): 5-9. Shen SC, CY Kuo, MC Fang. 2013. Design and Analysis of an Underwater White LED Fish-Attracting Lamp and Its Light Propagation. International Journal of Advanced Robotic Systems.10(183): 1-10. Sudirman and Musbir.2009.Impact of Light Fishing on Sustainable Fisheries in Indonesia.International Symposium on Ocean Science, Technology and Policy of World Ocean Conference. Manado-Indonesia, May 12-14. 11 pp. Tyedmers PH, Watson R and Pauly D. 2005.Fueling Global Fishing Fleets.Ambio.(34): 635-638. 75 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap IPB ke-6 Halaman: 76-88 ISBN 978-979-1225-34-2 KOMPOSISI DAN STRUKTUR KOMUNITAS IKAN DI PERAIRAN MUARA MUSI DAN MUARA BANYUASINKABUPATEN BANYUASIN PROVINSI SUMATERA SELATAN (The Composition and Structure of Fish Community inMusi Estuarine Waters and Banyuasin Estuarine Waters Banyuasin Distric Province of South Sumatra) Isnaini1*, Melki1, Andi Agussalim1 1 Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas MIPA, Universitas Sriwijaya, Palembang *Email: [email protected] ABSTRACT Fisheries resources is also quite resource are to be restored, but limited by the limiting factors of natural and non-natural limiting factors. Natural limiting factors are the factors inhibiting the availability of fish from the ecosystem itself, such as the availability of food, predators, competition for space and so on. Non-natural factors are the factors inhibiting the availability of fish caused by exploitation and pollution. The study aims to analyze the composition of species of fish, structure of fish community and composition of the size of the fish in the waters of the Musi estuarine and Banyuasin estuarine, Banyuasin Distric, province of South Sumatra. This research was held in July 2015 in Musi estuarine and Banyuasin estuarine. The method used survey method by measuring the length and weight of fish caught by fishermen that use fishing gear gill nets, trammel net and tuguk. The results of this study in the Musi estuarine found 9 species of fishes and 14 species of fishes in the Banyuasin estuarine. Structure of cummunity in the Musi estuarine has a low dominance index, diversity index and index uniformity being a community in a stable condition, while in the Banyuasin estuarine have a low dominance, diversity index and index uniformity being a community in a stable condition. The composition by weight and length of the fish Pseudocienna amoyensare weight in range of 27-50 gram and length in range of 17-18 cm, species of fishPsettodes erumei are weight in range of 69-80 gram and length in range of 28-29 cm, while for species of fish Formio nigerare weight in range of 35-163 gram and length in range 13-16 cm. Water quality parameters for temperature, DO, pH and salinity in the Musi estuarine waters and the Banyuasin estuarinewaters in good condition for living organism. Keywords: Composition, structure of community, Musi estuarine, Banyuasin estuarine ABSTRAK Sumberdaya perikanan tergolong sumberdaya dapat pulih tetapi dibatasi oleh faktor pembatas alami dan faktor pembatas non alami.Faktor pembatas alami adalah faktor-faktor penghambat ketersediaan ikan dari ekosistem itu sendiri, seperti ketersediaan makanan, predator, persaingan ruang dan sebagainya.Faktor non alami adalah faktor-faktor penghambat ketersediaan ikan yang disebabkan oleh kegiatan eksploitasi dan pencemaran. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk menganalisis komposisi jenis ikan, struktur komunitas ikan dan komposisi ukuran ikandi perairan Muara Sungai Musi dan Muara Banyuasin, Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan.Penelitiaan ini telah dilaksanakan pada bulan Juli 2015 di perairan Muara Musi dan Muara Banyuasin. Metode yang digunakan metode survei dengan cara pengukuran panjang dan berat ikan hasil tangkapan nelayan di Muara Musi dan muara Banyuasin yang menggunakan alat tangkap jaring insang, trammel net dan tuguk. Hasil penelitian ini di Muara Musi ditemukan 9 jenis ikan dan di Muara Banyuasin 14 jenis.Struktur komunitasnya di Muara Musimemiliki indeks dominansi 76 rendah, indeks keanekaragaman yang sedang dan indeks keseragaman komunitas dalam kondisi stabil, sedangkan di Muara Banyuasin memiliki dominansi rendah, indeks keanekaragaman yang sedang dan indeks keseragaman komunitas dalam kondisi stabil. Komposisi berat dan panjang ikan Pseudocienna amoyensis terbanyak terdapat pada selang berat ikan 27-50 gram dan selang panjang ikan 17-18 cm, jenis ikan Psettodes erumei selang berat ikan terbanyak pada kisaran berat ikan 6980 gram dan selang panjangnya 28-29 cm, sedangkan untuk jenis ikan Formio niger selang berat terbanyak tertangkap pada ukuran berat antara 35-163 gram, dan selang panjangnyaantara 13-16 cm. Kualitas perairan untuk parameter suhu, DO, pH dan salinitas perairan di muara Musi dan muara Banyuasin dalam kondisi baik untuk kehidupan biota. Kata kunci:komposisi, struktur komunitas, Muara Musi, Muara Banyuasin PENDAHULUAN Perikanan merupakan sumberdaya hayati yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat di Indonesia, karena 56 % asupan protein masyarakat Indonesia berasal dari ikan atau produk perikanan. Sumberdaya perikanan juga tergolong sumberdaya dapat pulihtetapi dibatasi oleh faktor pembatas alami dan faktor pembatas non alami.Faktor pembatas alami adalah faktor-faktor penghambat ketersediaan ikandari ekosistem itu sendiri, seperti ketersediaan makanan, predator,persaingan ruang dan sebagainya. Faktor non alami adalah faktor-faktorpenghambat ketersediaan ikan yang disebabkan oleh kegiatan eksploitasidan pencemaran (Pasaribu et al., 2005) Perairan Muara Sungai Musi dan Muara Sungai Banyuasin terletak di pesisir Timur Sumatera Selatan dan berhadapan langsung dengan Selat Bangka, dimana di pesisir Timur Sumatera Selatan mempunyai ekosistem mangrove yang cukup luas di Indonesia dan diketahui bahwaekosistem mangrove merupakan daerah perikanan yang lebih subur daripada dataran lumpur terutama yang terdapat di daerah sepanjang pantai sekitar beting karang (reef) dan laguna (lagoon). Tumbuhan mangrove dapat memproses makanan yang merupakan suplai pangan dari dataran lumpur ke bentuk yang tersedia dan dapat dimanfaatkan oleh berbagai jenis hewan laut seperti ikan, kepiting dan kerangkerangan yang dapat dimakan oleh manusia.Tumbuhan mangrove di samping melengkapi pangan untuk binatang juga mampu menciptakan iklim yang cocok untuk binatang tersebut. Adanya tekanan yang kuat terhadap keberlangsungan mangrove perairan Muara Sungai Musi dan Muara Sungai Banyuasin secara tidak langsung akan mempengaruhi perannya sebagai penyedia sumberdaya perikanan di Sumatera Selatan. Berdasarkan hal tersesebut, maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis komposisi jenis ikan, struktur komunitas ikan dan komposisi ukuran ikandi perairan Muara Sungai Musi dan di Perairan Sungai Banyuasin, Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan. 77 METODOLOGI Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Juli 2015 di Perairan Muara Musi dan Muara Banyuasin, Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan.Peta lokasi Penelitian dapat dilihat pada Gambar 1 dibawah ini. Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian Metode penelitian menggunakan metode survei dimana pengambilan sampel ikan dilakukan dengan hasil tangkapan nelayan di Muara Banyuasin dan Muara Musi.Adapun nelayan menggunakan jenis alat tangkap yang berbeda-beda, yaitu di Muara Musi terdiri 2 jenis, yaitu jaring kantong (trammelnet) dan jaring pir atau jaring tangsi (jaring insang hanyut), sedangkan di Muara Banyuasin 4 jenis alat tangkap, yaitu jaring pancang (jaring tetap), tugu kumbang, jaring pir cekak dan jaring kantong (Trammelnet). Adapun ikan hasil tangkapan tersebut diukur panjang dan berat ikannya.Data kualitas yang diambil terdiri dari empat parameter, yaitu suhu, pH, Do atau oksigen terlarut dan salinitas. Analisis Data Analisis data hasil tangkapan nelayan di Muara Musi dan Muara Banyuasin, dengan melakukan pengukuran komposisi hasil tangkapan, struktur komunitas, dan komposisi ukuran ikan yang dominan tertangkap. 1. Komposisi jenis ikan Analisis yang digunakan untuk menentukan komposisi jenis ikan, dilakukan dengan menggunakan persamaan Odum (1996), yaitu P = Σxi/Nx100% Keterangan : P = Persentase jenis ikan jenis ke-i (i = 1,2,3,...n); Σ xi = Jumlah individu ikan jenis ke-i (i = 1,2,3,...n); N = Jumlah individu semua jenis ikan (jumlah total idividu setiap pengambilan sampel) 78 2.Strukturkomunitas ikan Struktur Komunitas ikan dilihat dari indeks dominansi (C), indeks keanekaragaman (H’) dan indeks keseragaman (E), kemudian kriteria nilai struktur komunitas berdasarkan dominansi, keanekaragaman, dan kesegaraman dilihat dengan menggunakan kisaran dan kategori berdasarkan Setyobudiandy et al. (2009). Kriteria nilai struktur komunitas dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini. Nilai Indeks Dominansi memberikan gambaran tentang dominansi ikan dalam suatu komunitas ekologi, yang dapat menerangkan bilamana suatu spesies ikan lebih banyak terdapat selama penelitian, dengan rumus menurut Odum (1996): n (ni / N ) 2 C i 1 Dimana: C = Indeks Dominansi Simpson, N = Jumlah individu seluruh spesies, ni = Jumlah individu dari spesies ke-i. Indeks keanekaragaman adalah nilai menunjukkan keseimbangan keanekaragaman dalam suatu pembagian jumlah individu tiap spesies.Sedikit atau banyaknya keanekaragaman spesies ikan dapat dilihat dengan menggunakan Indeks Keanekaragaman.Indeks Keanekaragaman mempunyai nilai terbesar jika semua individu berasal dari spesies yang berbeda-beda, sedangkan nilai terkecil diperoleh jika semua individu berasal dari satu satu spesies saja (Odum, 1996). Nilai Indeks Keanekaragaman Shannon (H’) menurut Shannon and Wiener (1949) dalam Odum (1996) dihitung menggunakan rumus: n H1 Pi ln( Pi ) i 1 dimana: H’ = Indeks Keanekaragaman, Pi = Proporsi jumlah individu (ni/N) Nilai Indeks keseragaman (E), semakin besar menunjukkan kelimpahan yang hampir seragam dan merata antar spesies (Odum, 1983). Formula dari indeks keseragaman Pielou (E) menurut Odum (1996) yaitu: E dimana : E = Indeks Keseragaman, H1= Indeks Keanekaragaman, S = Jumlah Spesies 79 H1 log S Tabel 1. Kriteria struktur komunitas ((Setyobudiandy et al., 2009) Indeks Dominansi (C) Keanekaragaman (H’) Keseragaman (E) Kisaran 0,00 < C ≤ 0,50 0,50 < C ≤ 0,75 0,75 < C ≤ 1,00 H’ ≤ 2 2,0 < H’ ≤ 3 H’ ≥ 3,0 0,00 < E ≤ 0,50 0,50 < E ≤ 0,75 0,75 < E ≤ 1,00 Kategori Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Komunitas dalam kondisi tertekan Komunitas dalam kondisi labil Komunitas dalam kondisi stabil 3. Komposisi ukuran jenis ikan Komposisi ukuran setiap jenis ikan yang dominan tertangkap, terlebih dahulu ditentukan kelas ukuran panjang dan berat. Penentuan jumlah kelas dihitung dengan menggunakan persamaan Sturgess (1982), yaitu: K = 1 + 3,3 Log N keterangan : K = Jumlah kelas; N = Jumlah sampel. Selanjutnya ditentukan selang kelasnya dengan menggunakan persamaan : P = R/K keterangan : P = Selang kelas; R = kisaran (panjang ikan tertinggi - panjang ikan terendah); K = Jumlah kelas. Kemudian ditentukan persentase setiap kelas ukuran panjang dan berat dengan persamaan : P = Ki/Kx100% keterangan : P = Presentase kelas ukuran ikan ke-i (i = 1,2,3,..... n); HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Sumberdaya Perikanan di Muara Musi dan Muara Banyuasin Komposisi sumberdaya ikan pada saat penelitian di Muara Musi dan Muara Banyuasin ditemukan 293 ekor.Komposisi sumberdaya ikan di Muara Banyuasin lebih besar dari komposisi di Muara Musi yaitu di Muara Banyuasin 180 ekor dan di Muara Musi 113 ekor.Jenis ikan yang ditemukan terdiri dari 23 jenis ikan, di Muara Musi 9 jenis dan di Muara Sungai Banyuasin 14 jenis.Berikut komposisi sumberdaya perikanan yang tertangkap di perairan Muara Musi dan 80 Muara Banyuasin dapat dilihat pada diagram pie pada Gambar 2 dan 3 dibawah ini. Arius thalassinus 3% 4% 1% 3% Platycephalus indicus 11% 10% 1% Eletheronema tetradactylum Harpodon neherous 13% Pseudocienna amoyensis Thryssa satirostris 54% Trygon kuhlii Plotosus canius Psettodes erumei Gambar 2. Komposisi sumberdaya ikan yang tertangkap di PerairanMuara Musi Kabupaten Banyuasin Berdasarkan Gambar 2 diatas komposisi tertinggi jenis sumberdaya perikanan di Muara Banyuasin adalah Pseudocienna amoyensissebesar 53,98% dan yang terendah jenis Trygon kuhlii sebesar 0,88%. Tingginya komposisi jenis Pseudocienna amovensis atau yang dikenal nama lokal dengan ikan gulamah ditemukan di perairan Muara Musi dapat dikatakan bahwa faktor lingkungan seperti faktor fisik dan kimia lingkungan dapat mendukung kehidupan untuk jenis tersebut. Habitat ikan gulamah ini di perairan pantai dangkal, estuaria dan sungai, termasuk jenis omnivora namun lebih cenderung karnivora, ikan ini menggunakan muara-muara sungai untuk berkembang biak, memijah dan untuk pengasuhan anak (www.iftfishing.com, 2015). Komposisi sumberdaya ikan tertinggi di Muara Banyuasin berdasarkan Gambar 3 adalah jenis Formio niger sebesar 28,89% dari total komposisi hasil tangkapan di Muara Banyuasin dan yang terendah jenis Scomberomorus commersonii dan Harpiosquilla raphidae yaitu sebesar 1,11%. Jenis ikan Formio niger atau dikenal dengan nama bawal hitam merupakan salah satu ikan ekonomis penting.Tingginya komposisi ikan bawal hitam di Muara Banyusin dikarenakan bawal hitam lebih banyak menghuni di perairan pantai berlumpur, dimana di muara Banyuasin mempunyai karakteristik sedimen berlumpur berdasarkan hasil penelitian ini Tahun I dan pada siang hari ikan bawal ini berada dekat dengan dasar, sedangkan pada malam hari naik ke permukaan seringkali ikan ini memasuki wilayah estuari, terutama dekat dengan sungai-sungai besar dengan 81 membentuk gerombolan besar (Schooling), makanan utamanya adalah plankton (djpt.kkp.go.id, 2015) 2% 2% 1% 3% 1% 3% Platycephalus indicus Psettodes erumei 4% Pseudocienna amoyensis Arius thalassinus 17% 9% Formio niger harpadon nehereus Chirosentrus dorab 5% Selaroides leptolepis 4% 17% siganus sp Scomberomorus commersonii Ilisha elongata Penaeus indicus 29% 3% Harpiosquilla raphidae Scylla serrata Gambar 3. Komposisi sumberdaya ikan yang tertangkap di Perairan Muara Banyuasin Kabupaten Banyuasin Struktur Komunitas Ikan di Muara Musi dan Muara Banyuasin Analisis struktur komunitas ikan di Muara Musi dan Muara Banyuasin dari indeks dominansi, indeks keanekaragaman dan indeks keseragaman menggunakan kriteria struktur komunitas berdasarkan Setyobudiandy, 2009. Hasil analisis kriteria nilai struktur komunitas ikan di perairan Muara Sungai Musi dan di perairan Muara Sungai Banyuasin dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2.Kriteria nilai struktur komunitas ikan di Perairan Muara Musi dan perairan Muara Banyuasin Lokasi Indeks Nilai Kategori Dominansi (C) Rendah 0,334 Keanekaragaman Rendah Muara Musi 1.502 (H’) Komunitas dalam keadaan 0,706 Keseragaman (E) labil Dominansi (C) Rendah 0,158 Muara Keanekaragaman Sedang 2,156 Banyuasin (H’) Komunitas dalam keadaan 0,956 Keseragaman (E) Stabil Ket: Kriteria Struktur Komunitas Berdasarkan (Setyobudiandy, 2009) 82 Berdasarkan Tabel 2 di atas di Muara Musi Indeks Dominansi (C) 0,334, Indeks Keanekaragaman (H’) 1,502 dan Indeks Keseragaman (E) 0,706 maka berdasarkan kriteria Setyobudiandy (2009), apabila nilai Indeks Dominansi berkisar antara 0,00<C≤0,50 maka dikategorikan memiliki dominansi rendah dan apabila Indeks Keanekaragaman H’≤ 2 maka dikategorikan memiliki keanekaragaman sumberdaya ikan yang rendah, sedangkan Indeks Keseragaman 0,5<E≤0,75 maka dikategorikan komunitas dalam keadaan labil. Nilai struktur komunitas di Muara BanyuasinIndeks Dominansi (C) 0,158, Indeks Keanekaragaman (H’) 2,156 dan Indeks Keseragaman (E) 0,956.Indeks dominansi berkisar antara 0,00<C≤0,50 maka dikategorikan memiliki dominansi rendah dan indeks keanekaragaman 2,0<E≤ 3 maka dikategorikan memiliki keanekaragaman sumberdaya ikan yang sedang dan indeks keseragaman berkisar antara 0,75<E≤ 1,00 maka dapat dikatakan komunitas sumberdaya ikan dalam kondisi stabil. Berdasarkan nilai struktur komunitas, maka kondisi di perairan Muara Banyuasin komunitas dalam keadaan labil, dikarenakan indeks dominansi yang cukup tinggi dibandingkan dengan nilai indeks dominansi di perairan Muara Banyuasin, menyebabkan nilai keanekaragamannya rendah karena ada satu spesies yang mendominasi, yaitu Pseudocienna amovensis sebesar 53,98%. Odum (1996) menyatakan bahwa perubahan nilai indeks struktur komunitas dalam suatu ekosistem sangat dipengaruhi oleh adanya kelompok spesies yang dominan.Biasanya suatu komunitas mengandung banyak spesies tetapi hanya beberapa spesies saja yang merupakan kelompok dominan. Indeks keanekaragaman jenis di Muara Banyuasin lebih tinggi dibandingkan dari indeks keanekaragaman di Muara Musi dan indeks keanekaragaman di Muara Banyuasin dikategorikanan keanekaragaman sedang, sedangkan untuk indeks keanekaragaman di Muara Musi dikategorikanan rendah.Hal ini dikarenakan di Muara Musi ada satu jenis yang mendominasi. Hal ini diungkapkan oleh Brower et al., (1990), keanekaragaman jenis adalah suatu ekspresi dari struktur komunitas, dimana suatu komunitas dikatakan memiliki keanekaragaman jenis tinggi, jika proporsi antar jenis secara keseluruhan sama banyak. Sehingga jika ada beberapa jenis dalam komunitas yang memiliki dominansi yang besar maka keanekaraga-mannya dan keseragamannya rendah. Komposisi ukuran ikan di Muara Sungai Musi dan Muara Sungai Banyuasin 83 30.00 30.0 25.00 25.0 Komposisi (%) Komposisi (%) Komposisi ukuran panjang dan berat ikan yang diukur adalah ikan yang dominan tertangkap di kedua Muara, yaitu jenis ikan Pseudocienna amoyensis,Psettodes erumei dan Formio niger. Komposisi ukuran berat dan panjang ikan Pseudocienna amoyensis berkisar antara 27-228 gram dan 14-28 cm dengan rata-rata berat dan panjang ikan Pseudocienna amoyensis adalah 100,7 gram dan 20,2 cm. Komposisi berat dan panjang ikan terbanyak terdapat pada 20.00 15.00 10.00 5.00 20.0 15.0 10.0 5.0 0.00 13-14 15-16 17-18 19-20 21-22 23-24 25-26 27-28 29-30 31-32 27-50 51-74 75-98 99-122 123-146 147-170 171-194 195-218 219-242 0.0 Panjang Ikan (cm) Berat Ikan (gr) selang berat ikan 27-50 gram sebesar 25,56% dan selang panjang ikan 17-18 cm sebesar 24,4% dari total hasil tangkapan di Muara Musi dan Muara Banyuasin. Berdasarkan www.fishbase.org, 2015 panjang maksimum ikan Pseudocienna amoyensisuntuk 40,0 cm tapi yang panjang yang sering tertangkap ukuran 30,0 cm. Komposisi ukuran ikan jenis Pseudocienna amoyensis yang tertangkap di Perairan Muara Musi dan Muara Banyuasin dapat dilihat pada Gambar 4 dibawah ini. (a) (b) Gambar 4. Komposisi ukuran ikan jenis Pseudocienna amoyensis (a) ukuran berat ikan (gr); (b) ukuran panjang ikan (cm) yang tertangkap di Perairan Muara Musi dan Muara Banyuasin Berdasarkan kisaran berat dan panjang ikan Psettodes erumei yang tertangkap di kedua Muara adalah 57-128 cm dan 22-32 gram, serta memiliki ratarata berat dan panjang ikan Psettodes erumei, yaitu 78,6 cm dan 28 gram. Selang berat ikan terbanyak pada kisaran berat ikan 69-80 gram sebanyak 43,3 % dari total hasil tangkapan ikan Psettodes erumei, sedangkan selang panjangnya terbanyak pada kisaran panjang ikan 28-29 cm dari 40 % total hasil tangkapan di Muara Sungai Musi dan Muara Banyuasin. Berdasarkan www.fishbase.org, 2015 length at first maturity atau tingkat pertama keamatangan ikan Psettodes erumei memiliki kisaran panjang ikan 37-39 cm, hal ini sangat jauh dari kisaran selang panjang ikan Psettodes erumei yang tertangkap dikedua Muara tersebut, hal ini terindikasi bahwa ikan tersebut terjadi over eksploitasi, dimana sebelum ikan ini 84 50.0 45.0 40.0 35.0 30.0 25.0 20.0 15.0 10.0 5.0 0.0 Komposisi (%) Komposisi (%) mencapai length at first maturitynya sudah dimanfaatkan atau sudah dilakukan upaya penangkapan. Komposisi Ukuran Ikan Jenis Psettodes erumei yang Tertangkap di Perairan Muara Musi dan Muara Banyuasin dapat dilihat pada Gambar 5 dibawah ini. Pada panjang dan berat ikan Formio niger kisaran berat dan panjang ikan tertangkap di Muara Banyuasin adalah 35-896 gram dan 9-36 cm. Rata-rata berat dan panjang hasil tangkapan ikan Formio niger, yaitu 158,1 gram dan 17,2 cm. Hasil tangkapan ikan Formio niger selang berat terbanyak tertangkap pada ukuran berat antara 35-163 gram dari 76,9 % total tangkapan, sedangkan selang panjang ikan terbanyak pada ukuran panjang ikan antara 13-16 cm sebanyak 55,8 % dari total hasil tangkapan. Menurut www.fishbase.org, 2015 length at first maturity ikan formio niger adalah 22-24 cm, dimana berdasarkan ukuran panjang ikan formio niger yang tertangkap di Muara Sungai Banyuasin memiliki variasi panjang ikan dengan jumlah selang panjang 7 selang, dimana selang panjang 9-12 cm (11,5%), 13-16 cm (55,8%), 17-20 cm (9,6%), 21-24 cm (7,7%), 25-28 cm (9,6%), 29-32 (3,8%) dan 33-37 cm (1,9%) dari total hasil tangkapan. Berdasarkan kisaran length at first maturity ikan formio niger, maka hasil tangkapan yang ada di Muara Banyuasin sebanyak 23,1% dari total hasil tangkapan. Komposisi Ukuran Ikan Jenis Formio niger yang Tertangkap di Perairan Muara Musi dan Muara Banyuasin dapat dilihat pada Gambar 6 dibawah ini. Berat Ikan (gr) 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 Panjang Ikan (cm) (a) (b) Gambar 5. Komposisi ukuran ikan jenis Psettodes erumei (a) ukuran berat ikan (gr); (b) ukuran panjang ikan (cm) yang tertangkap di Perairan Muara Musi dan Muara Banyuasin Kondisi parameter kualitas Perairan Muara Sungai Musi dan Muara Sungai Banyuasin 85 90.0 80.0 70.0 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0 60.0 50.0 Komposisi (%) Komposisi (%) Parameter kualitas air yang diukur di perairan Muara Musi dan Muara Banyuasin terdiri dari empat parameter, yaitu suhu, DO, pH dan Salinitas. Parameter kualitas perairan Muara Musi dan Muara Banyuasin dapat dilihat pada Tabel 3. 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0 Berat Ikan (gr) Panjang Ikan (cm) (a) (b) Gambar 6. Komposisi Ukuran Ikan Jenis Formio niger (a) Ukuran Berat Ikan (gr); (b) Ukuran Panjang Ikan (cm) yang Tertangkap di Perairan Muara Musi dan Muara Banyuasin Tabel 3. Parameter Kualitas Perairan Muara Musi dan Muara Banyuasin Lokasi Muara Musi Rata-rata Muara Banyuasin Rata-rata Suhu (°C) 31,80 30,30 31,16 31,10 29,83 30,83 30,30 Parameter DO (mg/l) pH 2,91 7,0 4,60 6,0 3,65 7,0 3,70 6,7 6,94 7,0 6,88 7,0 6,90 7,0 Salinitas (‰) 0,0 1,0 2,0 1,0 24,0 20,0 22,0 Berdasarkan Tabel 4. Kondisi suhu di perairan Muara Musi memiliki ratarata suhu 31,1 °C, rata-rata suhu di perairan Muara Banyuasin 30,3 °C. Kisaran suhu dikedua muara 30,3-31,1 °C masih kisaran normal untuk kehidupan ikan. Munurut Kordi dan Tancung (2007) bahwa kisaran suhu optimal bagi kehidupan ikan di perairan tropis adalah antara 28-32⁰C.Dimana nilai suhu di perairan mempengaruhi aktivitas metabolisme ikan dan sangat berkaitan erat dengan 86 oksigen terlarut dan konsumsi oksigen oleh ikan.Nybakken (1992) menyatakan bahwa suhu air di estuaria lebih bervariasi daripada di perairan pantai. Hal ini sebagian karena biasanya di estuaria volume air lebih kecil sedangkan luar permukaan lebih besar, dengan demikian air estuaria lebih cepat panas dan lebih cepat dingin. Nilai rata-rata oksigen terlarut atau DO di perairan Muara Musi dan Muara Banyuasin adalah 3,7 dan 6,9 mg/l. Tinggi rendahnya nilai DO di perairan di Muara Musi dan Banyuasin dekatnya dengan areal pemukiman penduduk, pelabuhan Tanjung Api-api dan jalur transportasi kapal-kapal yang menghasilkan limbah, sehingga mempengaruhi nilai DO di perairan Muara tersebut. Menurut Effendi (2003) kadar oksigen terlarut berfluktuasi secara harian dan musiman, tergantung pada pencampuran dan pergerakan massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi, dan limbah yang masuk ke badan air. Rata-rata kondisi pH di perairan Muara Musi dan Banyuasin 6,7 dan 7. Menurut Effendi (2003) batas toleransi organisme terhadap pH bervariasi tergantung pada suhu, oksigen terlarut, dan kandungan garam-garam ionik suatu perairan. Kebanyakan perairan alami memiliki pH berkisar antara 6-9. Sebagian besar biota perairan sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7–8,5. Salinitas di perairan Muara Musi dan Muara Banyuasin adalah 1 ‰ dan 22 ‰.Nilai salinitas di daerah Muara atau estuari sangat berfluktuasi, karena sangat dipengaruhi oleh kondisi pasang dan surut. Rendahnya nilai salinitas, karena daerah muara banyak dipengaruhi oleh aliran air sungai yang bermuara di daerah tersebut, serta dekatnya dengan daerah pemukiman penduduk. Menurut Nontji (2007) perairan estuaria dapat mempunyai struktur salinitas yang kompleks, karena selain merupakan pertemuan antara air tawar dan air laut. KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah Jenis ikan yang ditemukan di kedua Muara Sungai terdiri dari 23 jenis ikan, di Muara Sungai Musi 9 jenis dan di Muara Sungai Banyuasin 14 jenis. Komposisi tertinggi jenis sumberdaya perikanan di Muara Banyuasin adalah Pseudocienna amoyensissebesar 53,98%, sedangkan di Muara Banyuasin jenis Ikan Formio niger sebesar 28,89%. Indeks dominansi di Muara Musi (C) 0,334, indeks keanekaragaman (H’) 1,502 dan indeks keseragaman (E) 0,706 maka dikategorikan memiliki dominansi rendah dan indeks keanekaragaman yang rendah, sedangkan indeks keseragaman komunitas dalam keadaan labil, sedangkan di Muara Banyuasin indeks dominansi (C) 0,158, indeks keanekaragaman (H’) 2,156 dan indeks keseragaman (E) 0,956 maka dikategorikan memiliki dominansi rendah, indeks keanekaragaman yang sedang dan indeks keseragaman komunitas dalam kondisi stabil. 87 Komposisi berat dan panjang ikan Pseudocienna amoyensisterbanyak terdapat pada selang berat ikan 27-50 gram sebesar 25,56% dan selang panjang ikan 17-18 cm sebesar 24,4%, jenis ikan Psettodes erumei selang berat ikan terbanyak pada kisaran berat ikan 69-80 gram sebanyak 43,3 % dan selang panjangnya terbanyak pada kisaran panjang ikan 28-29 cm dari 40 %, sedangkan untuk jenis ikan Formio niger selang berat terbanyak tertangkap pada ukuran berat antara 35-163 gram dari 76,9 % total tangkapan, sedangkan selang panjang ikan terbanyak pada ukuran panjang ikan antara 13-16 cm sebanyak 55,8 % dari total hasil tangkapan. Kualitas perairan untuk parameter suhu, DO, pH dan salinitas perairan di muara Musi dan muara Banyuasin dalam kondisi baik untuk kehidupan biota. DAFTAR PUSTAKA Brower, J.E., J.H. Zar, and C.N. Von Ende. 1990. Field and laboratory methods for general ecology. Wim. C. Brown Co. Pub.Dubuque. Iowa. 237p. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Kordi, M.G.H. dan A. Tancung. 2007. Pengelolaan kualitas air dalam budidaya perairan. Rineka Cipta. Jakarta. Hlm.:208. Nontji, A. 2007. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta. Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Odum. 1996. Dasar-dasar Ekologi. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta. Pasaribu, M.A., D. Yusuf., dan Amiluddin. 2005. Perencanaan danEvaluasi Proyek Perikanan. Hasanuddin University Press(LEPHAS). Makassar. Setyobudiandi, I., Sulistiono, F. Yulianda, C. Kusmana, S. Hariyadi, A.Damar, A. Sembiring, dan Bahtiar. 2009. Sampling dan analisis data perikanan dan kelautan; terapan metode pengambilan contoh di wilayah pesisir dan laut. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.IPB. Bogor. Hlm.:312. Sturgess, L.D. 1982. Engineering Mechanics : Dynamics. 2nd Ed., Wiley. New York www.djpt.kkp.go.id , 2015 www.fishbase.org, 2015 www.iftfishing.com, 2015 88 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap IPB ke-6 Halaman: 89-106 ISBN 978-979-1225-34-2 ANALISIS SISTEM KONEKTIVITAS PELABUHAN PERIKANAN DALAM PENYEDIAAN BAHAN BAKU BAGI INDUSTRI PENGOLAHAN IKAN Iin Solihin1, Sugeng Hari Wisudo1, Joko Santoso2 1 Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, FPIK - IPB 2 Departemen Teknologi Hasil Perairan, FPIK - IPB ABSTRAK Konektivitas antar pelabuhan perikanan membantu penyebaran produksi ikan merata pada seluruh provinsi di Indonesia, sehingga industri pengolahan ikan dapat memenuhi kebutuhan bahan baku tanpa perlu melakukan impor dari negara lain. Penelitian ini dilakukan untuk menentukan provinsi di Indonesia yang belum dapat memenuhi kebutuhan bahan baku industri pengolahannya serta menentukan konektivitas di tiga pelabuhan perikanan yang menjadi lokasi survei. Penelitian ini terkait keseluruhan provinsi di Indonesia dengan memilih tiga lokasi penelitian yang menjadi fokus penelitian, yaitu PPN Brondong, PPS Belawan, dan PPS Nizam Zachman. Analisis deskriptif dan analisis gap digunakan untuk dapat menjawab kedua tujuan pada penelitian ini. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat tujuh pelabuhan perikanan yang belum dapat memenuhi kebutuhan bahan baku industri pengolahannya. Tiga pelabuhan perikanan yang menjadi lokasi survei (PPN Brondong, PPS Nizam Zachman, dan PPS Belawan) termasuk ke dalam pelabuhan perikanan yang telah dapat memenuhi kebutuhan bahan baku industri pengolahan yang berada di sekitar pelabuhan perikanan tersebut. Namun, tidak semua pelabuhan perikanan tersebut memiliki konektivitas.PPN Brondong dan PPS Nizam Zachman memiliki konektivitas, sedangkan PPS Belawan tidak memiliki konektivitas dengan kedua pelabuhan perikanan lainnya. Kata kunci: bahan baku ikan, industri pengolahan ikan, konektivitas, pelabuhan perikanan PENDAHULUAN Salah satu upaya yang perlu dilakukan pemerintah dalam meningkatkan pendapatan nelayan adalah adanya industri pengolahan hasil perikanan. Saat ini ditargetkan ada 441 Unit Pengolahan Ikan (UPI) yang akan dibina dan terus bertambah menjadi 464 UPI yang diarahkan untuk mendapat sertifikat Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP) sebagai salah satu persayaratan produk perikanan yang aman untuk dikonsumsi. 89 Pengembangan industri pengolahan perikanan di Indonesia menghadapi beberapa kendala, yaitu (i) terbatasnya sarana dan prasarana pendukung industri pengolahan ikan (ii) tingginya persyaratan yang ditetapkan oleh negara importir perikanan Indonesia terkait dengan isu keamanan pangan dan isu lingkungan, seperti Container Security Initiative (CSI), Free and Secure Trade (FAST), Local Species Conservation Act, Hazard Analysis and Critical Control Points(HACCP), Country Of Origin Labeling (COOL), dan Nutrition Labeling di Amerika Serikat; White Paper on Food Safety, Zero ToleranceResidu Antibiotik, Tracebility and System Border Control, Animal Welfare, dan isu lingkungan (ecolabelling), di Uni Eropa;Traceability untuk tuna, dan antibiotika di Jepang (iii) belum terpenuhinya kebutuhan bahan baku industri pengolahan berupa ikan hasil tangkapan. Persoalannya bukan pada ketiadaan bahan baku tersebut, tapi lebih pada tersebarnya sentra-sentra produksi penangkapan ikan dan terkendala oleh rendahnya aksesibilitas dari dan ke sentra-sentra produksi penangkapan tersebut. Secara nasional, pelabuhan perikanan di Indoenesi berjumlah 892 pelabuhan yang terdiri dari 6 Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS), 14 Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN), 45 Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP), 825 Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) dan 2 pelabuhan perikanan swasta (Ditjen Perikanan Tangkap 2011). Adapun konektivitas antar pelabuhan perikanan tersebut memiliki arti penting untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri pengolahan ikan. Konektivitas antar pelabuhan perikanan membantu penyebaran produksi ikan yang merata pada seluruh provinsi di Indonesia, sehingga industri pengolahan ikan dapat memenuhi kebutuhan bahan baku tanpa perlu melakukan impor dari negara lain. Selain itu, melalui konektivitas antar pelabuhan perikanan maka akan menghindari penumpukan ikan pada cold storage atau gudang penyimpanan, dimana penyimpanan ikan dalam waktu lama akan menyebabkan kualitas ikan menurun sehingga harga jual ikan tersebut menurun pula. Beberapa penelitian telah dilakukan terkait dengan pelabuhan perikanan, logistik, dan distribusi.Syaukani (2009) melakukan penelitian mengenai model jaringan industri perikanan tangkap di wilayah kepulauan.Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa pengaturan jaringan distribusi terbukti menentukan tingkat efisiensi industri perikanan.Penelitian lainnya menyatakan bahwa salah satu penyebab tidak berkembangnya perikanan tangkap di wilayah-wilayah perbatasan adalah karena tingkat aksesibilitas dari dan ke wilayah tersebut (Solihin 2012).Adanya pelabuhan perikanan di suatu wilayah belum merupakan jaminan bagi terdistribusikannya ikan hasil tangkapan dengan baik tanpa adanya dukungan sarana dan prasarana wilayah. Oleh karena itu distribusi hasil tangkapan dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain maupun wilayah pasar perlu difasilitasi dengan adanya sarana dan prasarana wilayah tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk menentukan provinsi di Indonesia yang belum dapat memenuhi kebutuhan bahan baku industri pengolahannya serta 90 menentukan konektivitas di tiga pelabuhan perikanan yang menjadi lokasi survei. Manfaat dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk menginformasikan kondisi ketersediaan dan kebutuhan ikan pada masing-masing provinsi di Indonesia. METODOLOGI Penelitian ini terkait keseluruhan provinsi di Indonesia dengan memilih tiga lokasi penelitian yang menjadi fokus penelitian. Ketiga lokasi tersebut terdiri dari tiga pelabuhan perikanan yang ada di Indonesia, yaitu Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Brondong, Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Belawan, dan PPS Nizam Zachman. Pemilihan ketiga pelabuhan perikanan tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa ketiganya merupakan lokasi konsentrasi pengembangan industri pengolahan ikan dan sentra produksi penangkapan serta fokus pembangunan yang terdapat pada Masterplan Perluasan dan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia. Data yang dikumpulkan pada penelitian ini dikategorikan menjadi data primer dan data sekunder.Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung dan wawancara dengan pihak-pihak terkait permasalahan penelitian.Pihak tersebut berasal dari pengelola pelabuhan perikanan, nelayan, pedagang, pengumpul, dan pengusaha pengolah perikanan.Data sekunder pada penelitian ini diperoleh dari pengelola pelabuhan perikanan serta Kementerian Kelautan dan Perikanan. Analisis data yang digunakan pada penelitian ini yaitu analisis deskriptif tabulasi dan analisis gap.Analisis deskriptif tabulasidigunakan untuk menjelaskan pola ketersediaan dan kebutuhan ikan nasional serta pola konektivitasnya. Analisis gap digunakan pada penelitian ini untuk mengetahui kemampuan masing-masing provinsi dalam memenuhi kebutuhan bahan baku industri pengolah ikan. Analisis gap menggunakan rumus sebagai berikut: HASIL Produksi Perikanan Tangkap Indonesia Indonesia terdiri dari 33 provinsi dan masing-masing memiliki pelabuhan perikanan untuk mendaratkan hasil tangkapan nelayan.Berdasarkan data yang diperoleh dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (2008 – 2012), diketahui bahwa keseluruhan provinsi tersebut memiliki produksi hasil tangkapan yang berbeda-beda. Provinsi di Indonesia yang menghasilkan produksi perikanan tangkap paling banyak selama lima tahun terakhir adalah Maluku. Pada tahun 2007, produksi perikanan tangkap di Maluku mencapai 489.249 ton atau sebesar 10,33% dari total produksi perikanan tangkap di Indonesia. Produksi di Maluku 91 tersebut kemudian mengalami sedikit penurunan pada tahun 2008, yaitu menjadi 315.409 ton atau sekitar 6,71% dari total produksi perikanan tangkap di Indonesia. Tahun 2009, produksi perikanan tangkap tersebut kembali meningkat menjadi 341.966 ton (7,11% dari total produksi perikanan tangkap Indonesia). Pada tahun 2010 dan 2011, produksi perikanan tangkap di Maluku mengalami peningkatan yang lumayan, yaitu menjadi 559.000 ton dan 567.953 ton (Gambar 1). Provinsi Jawa Timur merupakan provinsi selanjutnya yang memiliki produksi perikanan tangkap terbanyak, yaitu dengan produksi sebesar 382.877 ton pada tahun 2007, atau sebesar 8,02% dari total produksi perikanan tangkap di Indonesia. Pada tahun 2008, produksi tersebut meningkat menjadi 394.262 ton atau 8,39% dari total produksi perikanan tangkap di Indonesia. Produksi tersebut mengalami penurunan pada tahun 2009 yaitu menjadi 395.510 ton atau sekitar 8,22% dari total produksi perikanan tangkap di Indonesia. Penurunan produksi di Provinsi Jawa Timur terjadi kembali pada tahun 2010 sehingga produksi tersebut menjadi338.918 ton.Selanjutnya, pada tahun 2011 terjadi peningkatan produksi di Jawa Timur yaitu 362.624 ton(Gambar 1). Provinsi Sumatera Utara merupakan provinsi selanjutnya yang memiliki produksi perikanan tangkap terbanyak. Pada tahun 2007, Sumatera Utara menghasilkan produksi sebesar 384.222 ton atau 7,36% dari total produksi perikanan tangkap di Indonesia. Produksi tersebut meningkat menjadi 354.535 ton pada tahun 2008.Produksi perikanan tangkap Sumatera Utara pada tahun 2009 sebesar 358.664 ton atau 7,45% dari total produksi perikanan tangkap di Indonesia, dan pada tahun 2010 terjadi penurunan produksi tersebut sehingga jumlahnya menjadi 341.323 ton. Pada tahun 2011, terjadi peningkatan produksi perikanan tangkap di Sumatera Utara, dimana pada tahun tersebut produksinya mencapai 463.201 ton (Gambar 1). Produksi perikanan tangkap di Indonesia paling sedikit dihasilkan oleh Provinsi D.I. Yogyakarta. Produksi D.I Yogyakarta pada tahun 2007 hanya 0,06% dari total produksi perikanan tangkap di Indonesia, atau sebesar 2.629 ton. Produksi tersebut mengalami penurunan pada tahun 2008 sehingga jumlahnya menjadi 1.939 ton. Namun, pada tahun 2009 dan 2010, D.I. Yogyakarta mencapai produksi sebesar 4.239 ton atau 0,09% dari total produksi perikanan tangkap di Indonesia. Produksi perikanan tangkap di D.I. Yogyakarta kembali menurun pada tahun 2011, yaitu produksinya sebesar 3.954 ton (Gambar 1). 92 Sulawesi Tenggara Sulawesi Selatan Gorontalo Kalimantan Timur Kalimantan Tengah Jawa Timur Jawa Tengah DKI Jakarta Tahun 2011 Papua Barat Tahun 2010 Maluku Utara Tahun 2009 Nusa Tenggara Timur Tahun 2008 Bali Tahun 2007 Bengkulu Sumatera Selatan Kepulauan Riau Sumatera Barat Aceh 0 100,000200,000300,000400,000500,000600,000 PRODUKSI (ton) (Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2008 - 2012) Gambar 1 Grafik produksi perikanan tangkap berdasarkan provinsi di Indonesia tahun 2007 – 2011 Berdasarkan Gambar 1, kemudian dilakukan pemetaan sebaran ketersediaan produksi ikan hasil tangkapan berdasarkan provinsi pada tahun terakhir (2011), seperti dapat dilihat pada Gambar 2. Terlihat bahwa ketersediaan produksi ikan hasil tangkapan dominan terdapat di Provinsi Maluku, Sumatera Utara, dan Jawa Timur. Gambar 2 Produksi ikan berdasarkan provinsi tahun 2011 93 Kebutuhan Bahan Baku Ikan untuk Unit Pengolahan Ikan Masing-masing provinsi di Indonesia dilengkapi oleh unit pengolahan hasil perikanan untuk mendukung sektor perikanannya.Provinsi Jawa Timur merupakan provinsi di Indonesia yang memiliki unit pengolahan hasil perikanan yang paling banyak.Pada tahun 2010, jumlah unit pengolahan hasil perikanan di Jawa Timur adalah 10.640 unit.Selanjutnya, Provinsi Jawa Tengah merupakan provinsi di Indonesia yang memiliki jumlah unit pengolahan hasil perikanan terbanyak setelah Jawa Timur.Provinsi Jawa Tengah memiliki 8.350 unit pengolahan hasil perikanan pada tahun 2010 (Gambar 3). Unit pengolahan hasil perikanan paling sedikit berada di Provinsi Papua Barat.Jumlah unit pengolahan hasil perikanan tersebut hanya 65 unit. Jumlah tersebut sangat jauh dibandingkan dengan jumlah unit pengolahan hasil perikanan di provinsi lain yang mencapai ratusan bahkan ribuan. Provinsi Maluku merupakan provinsi yang memiliki jumlah unit pengolahan hasil perikanan paling sedikit kedua setelah Papua Barat.Jumlah unit pengolahan hasil perikanan tersebut adalah 141 unit (Gambar 3). Pengolahan hasil perikanan di Indonesia dikelompokkan ke dalam 4 klasifikasi usaha pengolahan ikan, yaitu mikro, kecil, menengah, dan besar.Adapun klasifikasi usaha pengolahan ikan yang paling banyak jumlahnya di Indonesia adalah skala mikro.Pada tahun 2010, jumlah unit pengolahan ikan yang termasuk ke dalam skala mikro adalah 53.054 unit.Sedangkan, klasifikasi usaha pengolahan ikan yang jumlahnya paling sedikit adalah skala besar.Jumlah usaha pengolahan ikan di Indonesia dengan skala besar hanya mencapai 122 unit. Selanjutnya, jumlah usaha pengolahan ikan dengan skala kecil adalah 5.313 unit dan jumlah usaha pengolahan ikan dengan skala menengah adalah 1.628 unit. Skala usaha mikro untuk usaha pengolahan ikan paling banyak jumlahnya terdapat di Provinsi Jawa Timur.Pada tahun 2010, jumlah usaha pengolahan ikan dengan skala mikro di Provinsi Jawa Timur adalah 9.620 unit.Sedangkan, skala usaha mikro untuk usaha pengolahan ikan paling sedikit jumlahnya terdapat di Provinsi Papu Barat, yaitu dengan jumlah 59 unit pada tahun 2010 (Gambar 4). Usaha pengolahan ikan dengan skala besar hanya terdapat di beberapa provinsi saja di Indonesia, diantaranya adalah Provinsi Jambi, Kepulauan Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Gorontalo. Jumlah usaha pengolahan ikan dengan skala besar paling banyak terdapat di Provinsi Jawa Timur, dengan jumlah 54 unit pada tahun 2010.Sedangkan, usaha pengolahan ikan dengan skala besar paling sedikit jumlahnya berada di Provinsi Jambi, Kepulauan Riau, Kalimantan Selatan, dan Gorontalo.Jumlah usaha 94 Papua Papua Barat Maluku Utara Maluku Sulawesi Barat Gorontalo Sulawesi Tenggara Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah Sulawesi Utara Kalimantan Timur Kalimantan Selatan Kalimantan Tengah Kalimantan Barat Nusa Tenggara Timur Nusa Tenggara Barat Bali Banten Jawa Timur DI Yogyakarta Jawa Tengah Jawa Barat DKI Jakarta Kepulauan Riau Bangka Belitung Lampung Bengkulu Sumatera Selatan Jambi Riau Sumatera Barat Sumatera Utara Aceh 0 2,000 4,000 6,000 8,000 10,000 12,000 Jumlah Unit Pengolahan Ikan (unit) (Sumber: diolah, Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2011) Gambar 3 Grafik jumlah unit pengolahan hasil perikanan berdasarkan provinsi di Indonesia tahun 2010. 95 Papua Papua Barat Maluku Utara Maluku Sulawesi Barat Gorontalo Sulawesi Tenggara Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah Sulawesi Utara Kalimantan Timur Kalimantan Selatan Kalimantan Tengah Kalimantan Barat Nusa Tenggara Timur Nusa Tenggara Barat besar Bali menengah Banten kecil Jawa Timur DI Yogyakarta mikro Jawa Tengah Jawa Barat DKI Jakarta Kepulauan Riau Bangka Belitung Lampung Bengkulu Sumatera Selatan Jambi Riau Sumatera Barat Sumatera Utara Aceh - 2,000 4,000 6,000 8,000 10,000 12,000 Jumlah Unit Pengolahan Ikan (unit) (Sumber: diolah, Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2011) Gambar 4 Grafik jumlah unit pengolahan hasil perikanan berdasarkan klasifikasi usaha dan provinsi di Indonesia tahun 2010 96 pengolahan ikan dengan skala besar di 4 provinsi tersebut adalah masing-masing 1 unit (Gambar 4). Provinsi Jawa Tengah merupakan provinsi yang memiliki jumlah usaha pengolahan ikan dengan skala kecil yang paling banyak, yaitu 1.173 unit pada tahun 2010. Pada tahun yang sama, Provinsi Papua merupakan provinsi yang memiliki jumlah usaha pengolahan ikan dengan skala kecil yang paling sedikit, yaitu 1 unit. Adapun untuk jumlah usaha pengolahan ikan dengan skala menengah paling banyak terdapat di Provinsi Jawa Tengah (609 unit) dan paling sedikit terdapat di Provinsi Jambi dan DI Yogyakarta. Provinsi Riau, Gorontalo, dan Maluku Utara tidak memiliki usaha pengolahan ikan dengan skala menengah (Gambar 4). a) PPN Brondong Unit pengolahan ikan di sekitar PPN Brondong merupakan unit pengolahan ikan berskala menengah dan besar yang menghasilkan produk olahan ikan beku dan surimi.Selain itu, di sekitar PPN Brondong terdapat pula unit pengolahan ikan yang berskala kecil.Unit pengolahan ikan tersebut sebagian besar menghasilkan olahan ikan dalam bentuk asin dan pindang. Produksi olahan ikan (ton) Secara umum, terdapat empat jenis olahan ikan yang dihasilkan oleh unit pengolahan ikan di sekitar PPN Brondong.Adapun jenis olahan ikan yang paling banyak dihasilkan oleh unit pengolahan ikan tersebut yaitu ikan asin.Rata-rata produksi olahan ikan asin di sekitar PPN Brondong adalah 6.482 ton/tahun. Sedangkan, rata-rata produksi olahan ikan fillet, pindang, dan panggang secara berurutan adalah 5.637 ton/tahun; 2.480 ton/tahun; dan 2.191 ton/tahun (Gambar 5). 9,000 8,000 7,000 6,000 5,000 4,000 3,000 2,000 1,000 0 Pindang Asin Panggang Fillet 2008 2009 2010 2011 2012 Tahun (Sumber: Laporan Tahunan PPN Brondong Tahun 2012) Gambar 5 Produksi ikan berdasarkan olahan di PPN Brondongtahun 2008 – 2012 b) PPS Nizam Zachman 97 Unit pengolahan ikan yang terdapat di PPS Nizam Zachman didominasi oleh unit pengolahan ikan dengan skala besar. Adapun setiap unit pengolahan ikan dengan skala besar di PPS Nizam Zachman diasumsikan membutuhkan 5 – 6 ton ikan setiap harinya untuk kegiatan produksi ikan olahan, sedangkan untuk unit pengolahan ikan dengan skala menengah dan kecil membutuhkan antara 2 – 3 ton dan 0,5 – 1,5 ton ikan. Maka, diketahui bahwa unit pengolahan ikan di PPS Nizam Zachman dapat memproduksi sekitar 65.250 ton ikan olahan. c) PPS Belawan Jenis olahan ikan yang dihasilkan oleh unit pengolahan ikan di PPS Belawan yaitu pengeringan, peragian, tepung ikan, pembekuan, ikan asin.Sebagaian besar produksi ikan yang didaratkan di PPS Belawan diolah dalam bentuk beku.Rata-rata produksi ikan beku yang dihasilkan yaitu sebesar 7.756 ton/tahun.Adapun jenis olahan ikan yang paling sedikit dihasilkan oleh unit pengolahan ikan di PPS Belawan adalah tepung ikan. Rata-rata tepung ikan yang dihasilkan yaitu 1.585 ton/tahun (Gambar 6). 16,000 Produksi olahan ikan (ton) 14,000 12,000 10,000 pengeringan 8,000 peragian 6,000 tepung ikan pembekuan 4,000 ikan asin 2,000 0 2008 2009 2010 2011 2012 Tahun (Sumber: Laporan Statistik PPS Belawan Tahun 2013) Gambar 6 Produksi ikan berdasarkan olahan di PPS Belawan tahun 2008 – 2012 Estimasi kebutuhan bahan bakuikan untuk unit pengolahan ikan Kebutuhan bahan baku ikan untuk unit pengolahan ikan pada masingmasing provinsi di Indonesia berbeda-beda. Sebagian besar unit pengolahan ikan tersebut membutuhkan ikan dalam jumlah kecil, yaitu tidak lebih dari 300.000 ton/tahun. Hanya beberapa provinsi saja yang unit pengolahan ikannya membutuhkan bahan baku ikan dalam jumlah besar, diantaranya adalah Jawa 98 Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Aceh. Secara berurutan, kebutuhan bahan baku untuk unit pengolahan ikan pada keempat provinsi tersebut yaitu 900.922 ton/tahun; 849.362 ton/tahun; 627.087 ton/tahun; 457.594 ton/tahun. Secara lebih rinci, informasi mengenai kebutuhan bahan baku ikan untk unit pengolahan ikan pada masing-masing provinsi di Indonesia dapat dilihat pada gambar berikut. Gambar 7 Kebutuhan bahan baku ikan untuk unit pengolahan ikan berdasarkan provinsi Estimasi kebutuhan ikan di pelabuhan perikanan Hampir setiap pelabuhan perikanan di Indonesia memiliki unit pengolahan ikan di sekitarnya. Jumlah kebutuhan bahan baku ikan untuk setiap pelabuhan perikanan berbeda-beda, tergantung pada skala usahanya (seperti yang telah dijelaskan sebelumnya). Berikut merupakan tabel yang akan menunjukkan kebutuhan bahan baku untuk unit pengolahan ikan di tiga pelabuhan perikanan yang menjadi lokasi survei. Tabel 1 Kebutuhan bahan baku untuk unit pengolahan ikan di tiga pelabuhan Nama Pelabuhan PPN Brondong PPS Nizam Zachman PPS Belawan Kebutuhan Bahan Baku (ton/tahun) 18.247 65.250 52.552 Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa PPS Nizam Zachman membutuhkan bahan baku untuk unit pengolahannya mencapai 65.250 ton/tahun. Kebutuhan tersebut lebih besar dibandingkan kebutuhan dua pelabuhan perikanan lainnya.Hal tersebut dikarenakan unit pengolahan ikan di sekitar PPS Nizam 99 Zachman didominasi oleh unit pengolahan ikan dengan skala besar. Sedangkan PPS Belawan membutuhkan bahan baku ikan sebanyak 52.552 ton/tahun dan PPN Brondong sebanyak 18.247 ton/tahun. Kebutuhan bahan baku untuk unit pengolahan ikan di PPN Brondong lebih kecil dibandingkan dua pelabuhan perikanan lainnya dikarenakan unit pengolahan ikan di PPN Brondong merupakan unit pengolahan ikan dengan skala menengah dan bahkan didominasi oleh unit pengolahan ikan dengan skala kecil. Pola Ketersediaan dan Kebutuhan Ikan Nasional Produksi ikan yang didaratkan di setiap provinsi di Indonesia berbedabeda, begitu pula dengan kebutuhan ikannya.Kondisi yang ideal adalah apabila produksi ikan yang didaratkan di suatu provinsi dapat memenuhi kebutuhan ikan provinsi tersebut, terutama kebutuhan ikan untuk industri pengolahan ikan.Namun pada kenyataannya, terdapat beberapa provinsi yang masih kekurangan ikan untuk memenuhi kebutuhan ikan di provinsinya. Pada Gambar 8 ditunjukkan bahwa terdapat beberapa provinsi di Indonesia mengalami kekurangan ikan untuk memenuhi kebutuhan ikan pada industri pengolahan ikan di provinsinya. Adapun provinsi-provinsi yang dimaksud tersebut adalah Aceh, Nusa Tenggara Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan. Secara berurutan, jumlah kekurangan ikan untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan ikan pada tujuh provinsi tersebut yaitu 313.913 ton/tahun; 33.467 ton/tahun; 649.386 ton/tahun; 1.257 ton/tahun; 486.738 ton/tahun; 54.245 ton/tahun; dan 408.268 ton/tahun. Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan merupakan provinsi yang paling banyak kekurangan ikan untuk bahan baku industri pengolahan ikan. Sebagian besar provinsi di Indonesia, yaitu 79% dari total provinsi di Indonesia, sudah dapat memenuhi kebutuhan bahan baku industri pengolahan ikan yang terdapat di provinsinya, bahkan terdapat kelebihan produksi ikan dari kebutuhan industri pengolahan ikan di provinsinya. Provinsi yang memiliki kelebihan produksi paling banyak adalah Provinsi Maluku, Papua, dan Sumatera Utara.Secara berurutan, jumlah produksi ikan yang berlebihan untuk ketiga provinsi tersebut 561.373 ton/tahun; 262.499 ton/tahun; dan 311.406 ton/tahun.Terlihat bahwa Provinsi Maluku memiliki paling banyak jumlah ikan yang berlebihan dalam memenuhi kebutuhan industri pengolahan ikan. Apabila dilihat secara umum, ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan di wilayah Indonesia dapat terpenuhi. Rata-rata kebutuhan ikan untuk industri pengolahan ikan tersebut yaitu 133.062 ton/tahun, sedangkan produksi ikan di Indonesia mencapai 161.992 ton/tahun.Namun, tetap harus diperhatikan wilayah Indonesia yang masih belum dapat memenuhi kebutuhan industri pengolahan ikan di wilayahnya. Hal tersebut penting karena berdasarkan 100 analisis yang dilakukan, jumlah ketersediaan bahan baku yang masih kurang tersebut jumlahnya tidak sedikit, yaitu sebesar 1.947.274 ton/tahun dari total kebutuhan ikan untuk industri pengolahan ikan di Indonesia (4.391.057 ton/tahun). Keterangan: Kelebihan demand sebesar: Kelebihan supplay sebesar: 0 – 220.000 ton/tahun 0 – 190.000 ton/tahun 00.000 ton/tahun 220.000 – 440.000 ton/tahun 190.000 – 380.000 ton/tahun 440.000 – 660.000 ton/tahun 380.000 – 570.000 ton/tahun 300.000 – 600.000 ton/tahun 300.000 – 600.000 ton/tahun 0 – 300.000 – 300.000 ton/tahun Gambar 8 Gap ton/tahun antara produksi dan kebutuhan0ikan berdasarkan provinsi Informasi lain yang dapat diperoleh berdasarkan analisis yang dilakukan yaitu adanya ketidakmerataan produksi ikan yang didaratkan pada pelabuhan perikanan yang terdapat di bagian barat Indonesia dengan pelabuhan perikanan yang terdapat di bagian timur Indonesia. Selain itu, terlihat pula bahwa industri pengolahan ikan di Indonesia terpusat pada pulau Jawa, dimana pulau Jawa memiliki produksi ikan yang tidak banyak seperti pulau-pulau yang terdapat di bagian timur Indonesia. a) PPN Brondong 101 Produksi ikan di PPN Brondong telah dapat memenuhi kebutuhan bahan baku industri pengolahan ikan di sekitar pelabuhan perikanan tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dari besarnya gap yang ada antara produksi ikan yang didaratkan di PPN Brondong dengan kebutuhan industri pengolahan ikan di sekitar pelabuhan tersebut, yaitu sebesar 39.516 ton/tahun.Selain itu, nilai gap tersebut menunjukkan pula bahwa terdapat kelebihan produksi ikan di PPN Brondong.Adapun kelebihan produksi tersebut dimanfaatkan oleh para pengmpul untuk disalurkan ke beberapa daerah yang masih berada di wilayah Jawa Timur. b) PPS Nizam Zachman Kebutuhan bahan baku untuk industri pengolahan ikan di PPS Nizam Zachman dapat dipenuhi dengan ketersediaan ikan yang jumlahnya melebihi kebutuhan tersebut. Jumlah produksi ikan yang berlebih di PPS Nizam Zachman yaitu sebesar 39.605 ton/tahun.Seperti halnya PPN Brondong, produksi ikan yang berlebih tersebut umumnya disalurkan ke beberapa wilayah oleh para pengumpul atau perusahaan.Hanya saja, produksi ikan yang berlebih tersebut tidak hanya disalurkan di sekitar Jakarta, tetapi di beberapa wilayah Indonesia lainnya yang berada di luar Jabodetabek bahkan ke luar negeri. c) PPS Belawan Berbeda dengan PPN Brondong dan PPS Nizam Zachman, produksi ikan yang didaratkan di PPS Belawan jumlahnya tidak terlalu signifikan berbeda dengan kebutuhan bahan baku untuk industri pengolahan ikan di sekitar pelabuhan perikanan tersebut. Nilai gap antara keduanya sebesar 10.752 ton/tahun.Hal tersebut dikarenakan jumlah produksi ikan yang didaratkan di PPS Belawan tidak terlalu banyak.Adapun kelebihan dari produksi ikan di PPS Belawan dimanfaatkan oleh pengumpul untuk disalurkan ke beberapa wilayah Sumatera Utara bahkan disalurkan ke beberapa negara lainnya. Pola Konektivitas Pelabuhan Perikanan dalam Distribusi Ikan Ketersediaan ikan di PPN Brondong, PPS Nizam Zachman, dan PPS Belawan yang melebihi kebutuhan bahan baku industri ikan di sekitar ketiga pelabuhan perikanan tersebut menyebabkan para pengumpul memanfaatkannya dengan cara menyalurkan beberapa ton produksi tersebut ke beberapa wilayah lainnya. Walaupun belum ada kerja sama yang resmi antara ketiga pelabuhan perikanan tersebut dengan pelabuhan perikanan lainnya, tetapi para pengmpul telah menjalin kerja sama melalui konektivitas antar pelabuhan perikanan. Berdasarkan Gambar 9, terlihat bahwa antara PPN Brondong dan PPS Nizam Zachman terdapat koneksi, dimana dari PPS Nizam Zachman menyalurkan produksi ikannya ke PPN Brondong. Sebaliknya, PPN Brondong menyalurkan Karawang 102 Pamanukan Indramayu Serang PPS Nizam Keterangan: masuknya ikan ke PP selain didaratkan oleh nelayan keluarnya ikan dari PP selain didaratkan oleh nelayan Gambar 9 Konektivitas antar pelabuhan perikanan sekitar PPS Nizam Zachman, PPN Brondong, dan PPS Belawan 103 kelebihan produksi ikannya ke PPS Nizam Zachman, walaupun secara tidak langsung. Hal tersebut karena dari PPN Brondong, ikan disalurkan terlebih dahulu ke pelabuhan perikanan lainnya di Jawa Timur untuk selanjutnya disalurkan ke PPS Nizam Zachman. Selain konektivitas dengan PPN Brondong, PPS Nizam Zachman memiliki konektivitas dengan pelabuhan perikanan lainnya di Indonesia, seperti pelabuhan perikanan di Jawa Tengah, Jawa Barat, Lampung, dan Kalimantan, bahkan terdapat pula konektivitas dengan beberapa pelabuhan perikanan di luar negeri seperti pelabuhan di negara tetangga (Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Taiwan, Cina, Korea Selatan) dan beberapa pelabuhan perikanan di benua Amerika, Afrika dan Eropa. Konektivitas di PPN Brondong hanya terjalin dengan pelabuhan perikanan di sekitar Jawa Timur atau pulau Jawa saja.Terlihat bahwa produksi ikan di PPN Brondong disalurkan ke pelabuhan perikanan di Jawa Timur.Tidak terdapat konektivitas antara PPN Brondong dengan pelabuhan perikanan di luar negeri. PPS Belawan tidak memiliki koneksi dengan PPS Nizam Zachman maupun PPN Brondong.Produksi ikan yang berlebihan di PPS Belawan banyak diekspor langsung ke negara tetangga dan beberapa negara lainnya.Adapun untuk penyaluran ke wilayah-wilayah di Indonesia, produksi ikan dari PPS Belawan hanya disalurkan ke beberapa wilayah di pulau Sumatera, seperti Aceh dan Sumatera Utara. Hal tersebut terjadi karena adanya ketidakseimbangan harga yang dikeluarkan dengan yang diterima apabila penyaluran ikan dari PPS Belawan dilakukan ke pulau Jawa bahkan pulau Bali – Nusa Tenggara dan pulau di bagian timur Indonesia lainnya.Oleh karena itu, produksi ikan di PPS Belawan lebih banyak diekspor ke luar negeri karena biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan penyaluran ikan lebih murah dibandingkan ke pulau-pulau lainnya di Indonesia (diluar pulau Sumatera). PEMBAHASAN Kelangkaan bahan baku ikan untuk industri perikanan di beberapa daerah yang terdapat di Indonesia disebabkan oleh buruknya sistem logistik di Indonesia. Hal tersebut diperkuat dengan indeks logistik Indonesia (Logistics Performance Index/LPI) yang hanya berada pada urutan 53 pada tahun 2014. Walaupun nilai LPI tahun 2014 tersebut meningkat dibandingkan tahun 2010, dimana pada tahun 2010 LPI Indonesia berada pada urutan 75, namun tetap saja Indonesia masih kalah dengan negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Australia, Jepang. Selain itu, kelangkaan bahan baku ikan disebabkan pula karena adanya ketidakmerataan ketersediaan ikan di setiap wilayah Indonesia. Seperti pada hasil yang diperoleh pada penelitian, terlihat bahwa terdapat beberapa wilayah di Indonesia yang kekurangan produksi ikan sebagai bahan baku industri, serta 104 banyak wilayah di Indonesia yang kelebihan produksi ikan karena tidak dapat dididtribusikan ke wilayah lainnya terkait kendala logistik. Kekurangan produksi ikan pada beberapa wilayah di Indonesia pada dasarnya dapat diatasi dengan mendistribusikan kelebihan produksi ikan pada wilayah lainnya di Indonesia.Namun, permasalahan logistik Indonesia yang masih buruk menyebabkan wilayah-wilayah yang kekurangan produksi lebih memiliki melakukan impor ikan dari negara tetangga.Hal tersebut dikarenakan biaya logistik ikan dari negara tetangga lebih murah dibandingkan biaya logistik ikan dari wilayah lainnya yang masih merupakan bagian dari negara Indonesia. Kondisi yang memprihatinkan terjadi di wilayah bagian timur Indonesia pada saat musim panen atau musim banyak ikan.Pada saat kondisi tersebut, wilayah timur Indonesia banyak tersedia ikan karena jumlah penduduk dan industri pengolahan ikan yang sedikit tidak dapat menyerap banyaknya produksi ikan tersebut.Selanjutnya, kelebihan produksi ikan tersebut menyebabkan harga jual ikan rendah.Dilain pihak, pada saat kondisi tersebut, wilayah bagian barat Indonesia yang memiliki jumlah penduduk dan industri pengolahan ikan yang lebih banyak membutuhkan pasokan ikan. Namun, kembali lagi pada permasalahan utama yang terjadi di Indonesia, yaitu kurangnya konektivitas antar pelabuhan perikanan di Indonesia dalam hal logistik ikan. Seperti yang diketahui bahwa pelabuhan perikanan merupakan tempat mendaratkan hasil tangkapan yang merupakan awal dari segala kegiatan pemenuhan ikan di Indonesia secara khusus. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini menunjukkan bahwa tidak semua pelabuhan perikanan di Indonesia memiliki konektivitas.Belum maksimalnya sistem konektivitas antar pelabuhan perikanan tersebut sangat terkait dengan sistem logistik ikan di Indonesia. Seperti yang diketahui bahwa tantangan sistem logistik ikan di Indonesia yaitu kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dimana wilayah yang memiliki potensi sebagai daerah penangkapan ikan atau sebagai supplier yaitu wilayah timur Indonesia, sedangkan wilayah yang berpotensi sebagai lokasi industri pengolahan ikan atau sebagai konsumen yaitu wilayah barat Indonesia (pulau Jawa). Selain itu, harga juga merupakan kendala dalam sistem logistik ikan di Indonesia. Sarana dan prasarana pendukung untuk sistem konektivitas antar pelabuhan perikanan juga memiliki pengaruh yang penting. Apabila sarana dan prasarana pendukung yang tersedia tidak memadai untuk pemanfaatannya, maka akan memberikan pengaruh buruk terhadap sistem konektivitas. Sebagai contoh yaitu pelabuhan perikanan Prigi di Jawa Timur yang diidentifikasi pembangunannya tidak diikuti dengan pembangunan jaringan transportasi yang terintegrasi sehingga menyebabkan mahalnya akses transportasi darat untuk pendistribusian hasil produksi ikan. 105 KESIMPULAN Terdapat tujuh pelabuhan perikanan yang belum dapat memenuhi kebutuhan bahan baku industri pengolahannya. Adapun tiga pelabuhan perikanan yang menjadi lokasi survei (PPN Brondong, PPS Nizam Zachman, dan PPS Belawan) termasuk ke dalam pelabuhan perikanan yang telah dapat memenuhi kebutuhan bahan baku industri pengolahan yang berada di sekitar pelabuhan perikanan tersebut. Konektivitas antara pelabuhan perikanan telah terjadi pada PPN Brondong dan PPS Nizam Zachman.Tetapi, PPS Belawan tidak memiliki konektivitas dengan kedua pelabuhan perikana tersebut. DAFTAR PUSTAKA Hermawan T. 2013. Sistem Logistik Ikan Nasional, Sebuah Tinjauan Kebijakan [Internet]. [diunduh 2014 Juli 5]. Terdapat pada: http://call-forpapers.bappenas.go.id/papers/Sub%20tema%20Perekonomian%20Tommy hermawan.pdf. Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2009 – 2012. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia.Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 134 Hal. Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong. 2012. Laporan Statistik. Brondong.106 Hal. Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan. 2012. Statistik Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan. Belawan.54 Hal. Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman.2012. Statistik Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman. Jakarta. Syaukani M. 2009. Model Jaringan Industri Perikanan Tangkap di Wilayah Kepulauan [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 46 Hal. Solihin I. 2012.Strategi Pengembangan Perikanan Tangkap di Wilayah Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur, Perbatasan Indonesia-Malaysia [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 233 Hal. 106 Prosiding Seminar NasionalPerikananTangkap IPB ke-6 Halaman: 107-115 ISBN 978-979-1225-34-2 KAJIANBIAYADANMANFAATPEMACUANSTOK DAN ‘SEA RANCHING’ KERAPU DI INDONESIA (Costs and Benefits of Grouper Stock Enhancement and Sea-Ranching in Indonesia) Irfan Yulianto1,3, Cornelius Hammer2, Budy Wiryawan3, Harry W. Palm1 1 University of Rostock, Aquaculture and Sea-Ranching, Justus-von-Liebig Weg 6, 18059 Germany. 2 Thünen-Institute of Baltic Sea Fisheries Rostock, Alter HafenSüd 2, 18069 Rostock, Germany. 3 Bogor Agricultural University, Faculty of Fisheries and Marine Sciences, Bogor Agricultural University, Indonesia. Corresponding author: University of Rostock, Aquaculture and Sea-Ranching, Justus-von-Liebig Weg 6, 18059 Germany. Email: [email protected] ; [email protected] ABSTRACT Indonesian Ministry of Marine Affairs and Fisheries conducted grouper fish stock enhancement to restore fish populations and increase yield due to high demand and price. Stock enhancement and sea-ranching of groupers might be a potential solution to reduce the problems caused by constantly high wild grouper catches.As a potential solution, it is important to calculate costs and benefits of stock enhancement and sea ranching.The objective of this study was to calculate the costs and benefit of successful grouper stock enhancement in Indonesia.We used data and information collected during brown-marbled grouper (Epinephelusfuscoguttatus) stock enhancement experiment conducted in Karimunjawa Islands from November 2012 to December 2013. Several parameters were used in this study, such as the natural mortality, growth parameters of grouper, and length weight relationship. According to the experiment the major costs for brown-marbled grouper stock enhancement were the purchase of the fish and the transportation cost to the release site.The theoretical benefit of the stock enhancement or sea-ranching activity with 10 and 15 cm sized grouper is around 28 million IDR (2027 €) and 18 million IDR (1274 €), or 24 million IDR (1690 €) and 18 million IDR (1274 €) per year, respectively.Although the release of 15 cm E. fuscoguttatus is more expensive and produces lower economic benefit, the likelihood of falling prey is much lower impact.Stock enhancement also has additional advantages such as strengthen fisheries management, promote monitoring programmes and increase community support and awareness. Keyword: Grouper, stock enhancement, sea ranching, cost and benefit, Karimunjawa National Park 107 ABSTRAK Kementerian Kelautan dan Perikanan telahmencanangkan program pemacuanstok ikan kerapu untuk memulihkan populasi dan meningkatkan produksiyang disebabkanpermintaan pasardenganharga yangtinggi.Pemacuanstok dan „searanching‟ (lepas liar ikan di laut) ikan kerapu dapat menjadi solusi yang potensial untuk mengurangi permasalahan yang disebabkan oleh tingginyatekanan dari kegiatan penangkapan ikan kerapu di alam. Sebagai solusi potensial, sangat penting untuk menghitung biaya dan manfaat dari pemacuanstokikandan „searanching‟. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghitung biaya dan manfaat dari pemacuan stok kerapu di Indonesia. Kami menggunakan data dan informasi yang dikumpulkan dari percobaan pemacuan stock ikan kerapu macan (Epinephelusfuscoguttatus) yang dilakukan di Kepulauan Karimunjawa dari November 2012 sampai Desember 2013. Beberapa parameter yang digunakan dalam penelitian ini adalah:tingkat kematian alami, pertumbuhan ikan kerapu, dan hubungan panjang berat ikan. Menurut percobaan, komponen biaya terbesar untuk kegiatan pemacuan stok ikan adalah untuk pembelian ikan dan biaya transportasi ke lokasi pelepasan. Manfaat teoritis dari pemacuan stok atau „searanching‟denganukuran benih kerapu 10 dan 15 cm, masing-masing sekitar 28 juta rupiah dan 18 juta rupiah, atau 24 juta rupiah dan 18 juta rupiah per tahun. Meskipun pelepasan E. Fuscoguttatusukuran 15 cm memiliki biaya lebih mahal, namun ikan kerapu ukuran 15 cm memiliki peluang keberhasilan yang lebih tinggi. Pemacuanstok juga memiliki keuntungan tambahan seperti meningkatkanpengelolaanperikanan, mempromosikan program pemantauan dan meningkatkan dukungan masyarakat serta kesadaran. Kata Kunci: kerapu, pemacuanstok, budidaya laut, biaya dan manfaat, Taman NasionalKarimunjawa PENDAHULUAN Salah satu strategi untuk memulihkan populasi ikan di daerah yang telahoverfishing adalah peningkatan stok ikan, yang merupakanmetodeyang relatif baru (Belletal. 2008). Pemacuanstok ikan didefinisikan sebagai pelepasan ikan budidaya ke populasi alami, sementara „sea-ranching‟ merupakan kegiatan serupa dengan fokus tujuan kepentingan ekonomi (Belletal. 2008). Pemcuan stok ikan pertama kali diperkenalkan di Jepang pada tahun 1762 untuk meningkatkan stok ikan air tawar dan pada tahun 1962 dilakukan untuk ikan laut (Masuda dan Tsukamoto 1998). Keberhasilan dari kegiatan pemacuan stok ikan telah dilaporkan oleh beberapa peneliti seperti pemacuan stok ikan belanak di Hawai (Leber etal. 1995), perikanan kerang di Selandia Baru (Lorenzen 2008), udang (Penaeusesculentus) di Australia Barat (Loneraganetal. 2006), salmon (Masuda 108 dan Tsukamoto 1998) dan ikan lainnya (Kitada dan Kishino 2006) di Jepang. Berdasarkan pada pedoman rehabilitasi yang diterbitkanoleh Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP, DGMCSI 2014), peningkatan stok ikan dapat dilakukan untuk mengembalikan populasi ikan yang menurun. Kemudian, KKP melakukan kegiatan pelepasan ikan laut di beberapa provinsi di Indonesia pada tahun 2011 (Direktorat Sumber Daya Ikan2011). Kegiatan pemacuan stokikan yang pertama kali dilakukan untuk ikan laut di Indonesia disebut onemanonethousandfries (OMTF), dan dilakukan dengan melepaskan ikan kakap, bandeng, dan juvenil kerapu, yang dimulai pada 2011. Kerapumacan (Epinephelusfuscoguttatus) dan kerapu bebek (Cromileptesaltivelis) yang dilepaskan adalahdalam rangka meningkatkan produksi sertamemenuhi permintaan yang terus meningkat setiap tahun (Yuliantoetal. 2015c). Sekitar 200.000 juveniltelahdilepaskan ke alam di 12provinsi di Indonesia (Gambar 1). Harga ikankerapuhasiltangkapandarialambiasanya lebih tinggi dari hargaikan budidaya. Menurut Rahmansyah et al. (2009), perbedaan harga tersebutdisebabkan oleh persepsi pembeli bahwa pembeli lebih suka rasa "kerapu alam". Chan dan Johnston (2007) menunjukkan bahwa lebih dari 70% responden lebih suka memakan kerapu hasil tangkapan dibandingkan kerapu budidayaketika dilakukan tes konsumen ikan kerapu di restoran seafood di Hong Kong. Alasan kedua untuk harga yang lebih tinggi pada kerapu hidup hasil tangkapan adalah tingkat kelangsungan hidup relatif lebih tinggi dari ikan kerapu hasil tangkapan selama transportasi dari nelayan atau penampung. Nelayan tertarik untuk menangkap kerapu hidup karena harganya yang lebih tinggi, sehingga upaya penangkapan meningkat bahkan meskipun sudah overfishing (Yuliantoetal. 2015a, b). Upaya penangkapan terhadap ikan kerapu yang meningkat akan mempengaruhi tekanan terhadap habitat ikan kerapu, terumbu karang, dan kemudian menjadi ancaman bagi ekosistem di sekitarnya (Sadovyetal. 2013). Sehingga, pemacuan stok dan „sea-ranching‟ ikan kerapu mungkin menjadi solusi potensial untuk mengurangi masalah yang disebabkan kegiatan penangkapan ikan kerapu di alam. Sebagai solusi yang potensial, penting untuk menghitung biaya dan manfaat dari pemacuanstokikan dan „sea-ranching‟. Biaya untuk pemacuan stok ikan dan „sea-ranching‟dapat jauh lebih rendah dibandingkan kegiatan budidaya kerapu menggunakan keramba jaring apung; hal ini karena pemacuan stok ikan tidak memerlukan biaya pemeliharaan beserta fasilitas pemeliharaan, dan pakan. Oleh karena itu, pemacuan stokikan dan „sea-ranching‟dapatmemberikanmanfaat ekonomi serta manfaat lainnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghitung biaya dan manfaat dari kegiatanpemacuanstok kerapu yang sukses. 109 METODOLOGI Untuk melakukanpenelitianbiaya dan manfaat pemacuanstok kerapu di Indonesia, digunakan data dan informasi yang dikumpulkandarikegiatanpercobaanpemacuanstokkerapumacan(Epinephelusfusco guttatus) yang dilakukanoleh Yuliantoetal. (2015b). Penelitian dilakukan di Kepulauan Karimunjawa dari November 2012 sampai denganDesember 2013. Pulau Karimunjawaterletak di Laut Jawa, secara administrasi merupakan wilayah Kabupaten Jepara, Jawa Tengah dan ditetapkan sebagai Taman Nasional sejak tahun 1999. Perhitungan biaya pemacuan stok diambil sesuai dengan informasi harga ikan kerapu juvenil dan biaya transportasi. Sementara, manfaat ekonomi dari pemacuan stok dihitung sesuai dengan jumlah ikan yang survive pada umur layak tangkap. Untuk menduga jumlah ikan yang survive, beberapa parameter yang digunakan, seperti tingkat kematian alami (m = 0,445 dan 0,460 per tahun), parameter pertumbuhan ikan kerapu (Linf = 97,48 cm, k = 0,27, t0 = -0,44), dan hubungan panjang berat (a = 0,008, b = 3,16). Semua parameter tersebutdiperoleh dari penelitian yang dilakukan oleh Kurnia (2012), yang melakukan penelitian E. fuscoguttatus di Kepulauan Seribu (Pulau Seribu) yang terletak di utara Pulau Jawa, sekitar 420 km Barat ke Kepulauan Karimunjawa. Selain itu, nilai tingkat kematian alami juga diperkirakan dari panjang E. Fuscoguttatusberdasarkan rumus yang dibangun olehSattaretal. (2008). Berdasarkan persamaan tersebut (M = 25L-0,5 + 0,15, L = panjang dalam cm) (lihat Sattaretal. 2008), mortalitas alami 10 dan 15 cm E. fuscoguttatusmasing-masing adalah 0,213 dan 0,202. Menurut parameter pertumbuhan, ikan kerapu ukuran 10 cm dan 15 cm bisa mencapai 0,57 kg setelah masing-masing 1,2 dan 1 tahun, dengan menggunakan persamaan L(t) = Linf (1 - EXP (-k * (t0-t)) dan W = a Lb (lihat penjelasan parameter di atas). Kami menggunakan persamaan Nt = N0EXP (-zt) untuk memperkirakan jumlah ikan yang survive, di mana Nt adalah jumlah ikan setelah waktu t, N0 adalah jumlah ikan pada saat inisiasi pemacuanstok (yaitu diasumsikan1000 ikan), Z adalah total kematian. Kematian akibat penangkapan diasumsikan tidak ada, sehingga Zadalah sama dengan tingkat kematian alami, Msertaikan bisa ditangkap ketika mencapai 0,57 kg. Kemudian jumlah ikan yang survivedigunakan untuk menghitung manfaat ekonomi dari pemacuan stok. manfaat lebih lanjut dari pemacuanstok misalnya manfaat ekonomi dan sosial juga dibahas. HASIL Biaya utama untuk pemacuanstokkerapu adalah pembelian ikan dan biaya transportasi ke lokasi pelepasan. Berdasarkan percobaan, harga 10 cm dan 15 cm Kerapu masing-masingadalah Rp 10.000 dan 25.000 per ikan. Biaya transportasi dan pemeliharaan adalah Rp. 1.000 Rp per ikan. Biaya total pemacuan stok untuk 110 1000 kerapu dengan ukuran 10 cm dan 15 cm masing-masing adalah Rp. 11.000.000 dan Rp. 26.000.000 rupiah (Tabel 1). Berdasarkan mortalitas alami dari Kurnia (2012) yang dipakai untuk menduga ikan yang survive, dari 1.000 kerapu yang dilepaskan pada 10 cm, sekitar 590 ikan akan survivesetelah 1,2 tahun dan pada 15 cm,sekitar 640 ikan akan survivesetelah 1 tahun (Tabel 1). Jika, menggunakan tingkat kematian alami dari Sattaretal. (2008) dan persamaan di atas menghasilan tingkat kematian alami 0,21 untuk kerapu 10 cm dan 0,20 untuk kerapu 15 cm.Dari 1.000 kerapu yang dilepaskanpada ukuran 10 cm, maka sekitar 770 ikan akan survive setelah 1,2 tahun, sementara sekitar 820 ekor akan survivedari jika menggunakan ikan kerapu dengan ukuran 15 cm setelah 1 tahun. Berdasarkan perhitungan manfaat ekonomi, pemacuanstokuntuk ukuran 10 cm dan 15 cm secara teoritis dapat menghasilkan masing-masing sekitar 330 kg dan 370 kg ikan kerapu, dengan penebaran masing-masing 1.000 ikan dan menggunakan tingkat kematian alami dari Kurnia (2012). Manfaat teoritis dari pemacuan stok dengan ukuran 10 dan 15 cm kerapu masing-masing sekitar 28 juta rupiah dan 18 juta rupiah, atau 24 juta rupiah dan 18 juta rupiah per tahun. Sementara, ketika kamimenggunakan kematianalami dari Sataret al. (2008) manfaat teoritis dari peningkatan stok dengan ukuran 10 dan 15 cm masingmasing adalah 34 juta rupiah dan 29 juta rupiah. PEMBAHASAN Biaya dan manfaatpemacuanstok dan „sea-ranching‟tergantung pada ukuran ikan kerapuyang dilepaskandan jumlah ikan yang survive. Memperkirakan manfaat ekonomi dari pemacuan stoktidak mudah (Uwate dan Shams 1997). Oleh karena itu, beberapa asumsi diperlukanuntuk menghitung manfaat ekonominya. Mortalitas alami yang berasal dari persamaan yang dikembangkan oleh Sattaretal (2008) merupakan nilai mortalitas alami yang paling mungkin dan realistis karena dihitung dari panjang E. fuscoguttatus karenaSattaretal. (2008) menggunakanpersamaan panjang dan nilai-nilai yang dihasilkan lebih tepat, dibandingkan dengan Kurnia (2012). Namun, angka kematian alami dari Sattaretal. (2008) dapat dianggap sangat rendah,dimanaikan yang survive berkisar antara 770-820 ikan dari 1000 setelah 1,2 tahun, kondisi tersebut sangat tidak mungkin. Sehingga, penghitungan manfaat ekonomi yang menggunakan kematian alami dari Kurnia (2012) lebih realistis. Namun, hitungan nilai ekonomi diatas adalah manfaat teoritis yang berasal dari perhitungan dan bukan manfaat ekonomi yang diterima oleh nelayan, karena tidak semua ikan dapat tertangkap oleh nelayan. Meskipun manfaat ekonomidari pemacuan stok dengan kerapu ukuran 10 cm lebih tinggi dari ukuran 15 cm, peluanguntuk mendapatkanmanfaat dari pelepasan kerapu 10 cm jauh lebih 111 rendah, karena adaptasi kerapu ukuran 10 cm yang rendah dan peluang kematianyang tinggi akibat predator (Yuliantoetal. 2015). Sejauh ini, belum terlihat adanya dampak dari pemacuan stok kerapu dengan menggunakan ukuran 10 cm (atau kurang) baik dari percobaan yang dilakukan oleh Yuliantoetal. (2015) ataupun dari kegiatan OMTF. Berdasarkanhasil dari percobaan pemacuan stok ikan dan berdasarkan perhitungan biaya dan manfaat, dimana diperolehnilai manfaat untuk ikan kerapu 15 cm adalah37% lebih rendahsecara teoritis dibandingkan ikan ukuran 10 cm. Namun, dengan mempertimbangkan tingkat survive 20% lebih baik untuk ikan 15 cm, pemacuan stok ikan ukuran 15 cm akan memberikan manfaat ekonomi yang lebih besar (nilai 20 % diperoleh dari; jika 1 dari5 ekor ikan 10 ikan cm dimakan oleh predator). Ketika 1 dari5 ekor ikan ukuran10 cm ikan dimakan oleh predator setelah dilepaskan, ikan ukuran 10 cm yang survivesetelah 1,2 tahun hanya 461 ikan denganmanfaat teoritisnya adalah sekitar Rp 17 juta per tahun. Nilaitersebutlebih rendah dari manfaat teoritis dari pelepasanikanukuran15 cm. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada percobaan pemacuan stok ikan, ikan ukuran 10 cm dengan mudah dimakan oleh ikan kerapu lainnya (Yuliantoetal. 2015), tentu saja angka kematianakibat predator memiliki peluang yang jauh lebih tinggi. Akibatnya, pilihan yang lebih baik untuk pemacuan stok ikan dan „sea-ranching‟E. fuscoguttatus di Indonesia adalah menggunakan kerapu dengan ukuran15 cm. Meskipun pelepasan kerapu E. fuscoguttatusdengan ukuran 15 cm lebih mahal dan secara teori menghasilkan manfaat ekonomi lebih rendah, namun memiliki peluang yang lebih tinggi untuk survive. Meskipun dampak pemacuanstoktidak dapat diverifikasi pada saatpercobaan, beberapa studi telah menunjukkan bahwa selain manfaat ekonomi, pemacuanstokjuga memiliki keuntungan tambahan. Kegiatan pemacuanstok dapat mendukung kegiatan budidaya melalui produksi juvenil, memperkuat manajemen perikanan, mempromosikan program pemantauan dan meningkatkan dukungan masyarakat serta meningkatkan kesadaran masyarakat (Leber et al.2012, Lorenzenetal. 2010). Menurut Yulianto et al. (2015b), nelayan di Pulau Karimunjawamengertidan mendukungkegiatan percobaan yang dilakukan, sehinggaprogram ini dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. Kegiatan pariwisata juga mendapatkan dampak positif dari kegiatanpemacuan stok kerapu (Leber etal. 2012, Lorenzen et al. 2010), seperti memancing dan menyelam. Kerapu merupakan salah satu ikan karang favorit untuk rekreasi memancing di Indonesia (IFF 2014). Rekreasi selam sebagai salah satu kegiatan pariwisata favorit di Indonesia juga berpotensi terkena dampak pemacuanstokkerapu, karena penyelam biasanya ingin menyelam di lokasi dengan kelimpahan ikan yang tinggi. Melalui kombinasi pemacuanstokdi kawasan konservasilaut dan di pulau-pulau terpencil di mana tekanan perikanan lebih rendah, sehingga migrasi ikan sangat terbatas, maka kegiatanrekreasi sangat 112 relevan dengan peningkatan stok ikan kerapu. Faktor lain yang penting dari pemacuan stok ikanadalah manfaat ekologi di lokasi pelepasan ikan. Jika berhasil, pemacuanstok dapat meningkatkan hasil tangkapan, memulihkan stok ikan yang berkurang, melindungi dan melestarikan spesies yang terancam punah, dan memberikan pengetahuan ekologi, sejarah hidup ikan dan lingkungan dari spesies laut yang penting (Lorenzenetal. 2010, Leber et al. 2012 ). KESIMPULAN Menurut percobaan yang dilakukan, biaya terbesaruntuk pemacuan stok ikan kerapu E.facogutatusadalah komponen biaya pembelian ikan dan biaya transportasi ke lokasi pelepasan. Manfaat teoritis dari peningkatan stok dengan ukuran 10 dan 15 cm kerapu masing-masingsekitar 24 juta rupiah dan 18 juta rupiah per tahun. Meskipun manfaat dari peningkatan stok ikan kerapu dengan ukuran 10 cm lebih tinggi dari ukuran 15 cm, kemungkinan untuk mendapatkan manfaat dari pelepasan kerapu ukuran 10 cm kerapu jauh lebih rendah. Ketika predator dari ikan ukuran 10 cm dipertimbangkandalam perhitungan, maka manfaat teoritis ikan ukuran 10 cm adalah sekitar Rp 17 juta per tahun. Manfaat teoritis sebenarnya tidak memberikan manfaat langsung kepadanelayan kerapu atau lembaga yang melaksanakan kegiatan „sea-ranching‟, karena tidak semua ikan dapat ditangkap oleh nelayan dari hasil pemacuanstok atau „searanching‟ini. Peningkatan stok juga memiliki keuntungan tambahan, seperti memperkuat manajemen perikanan, mempromosikan program pemantauan dan meningkatkan dukungan masyarakat dan kesadaran lingkungan. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada Balai Taman Nasional Karimunjawa danWildlife Conservation Society untuk dukungan dan perijinan selama di lapangan. Terima kasih pula kepada PrayektiNingtiasyang telah memberikan masukan terhadap makalah. Terima kasih juga kepada Agus Hermansyah yang telah membantu membuat peta. Terimakasihdisampaikan pula kepadaKementrianPendidikanIndonesian danGerman Academic Exchange Service (DAAD) yang telah penyediaandanaselamastudi di Jerman. DAFTAR PUSTAKA Bell JD, Leber KM, Blankenship HL, Loneragan NR, Masuda R (2008) A new era for restocking, stock enhancement and sea ranching of coastal fisheries resources. ReviewinFisheriesScience16 (1-3): 1-9. 113 Chan NWW, Johnston B (2007) Applying the triangle taste test to wild and cultured humpback grouper (Cromileptesaltivelis) in the Hong Kong market. SPC Live Reef Fish Information Bulletin 17: 31-35. DGMCSI [Directorate General of Marine, Coastal, and Small Islands] (2014) Guidelines for assessment of rehabilitation priority areas.Directorate General of Marine, Coastal, and Small Islands, Ministry of Marine Affairs and Fisheries, Jakarta, Indonesia.(In Indonesian). Directorate of Fisheries Resources (2011) Evaluation of “One Man One Thousand Fries”.Directorate of Fisheries Resources-Directorate General of Capture Fisheries, Ministry of Marine Affairs and Fisheries, Jakarta. IFF [International Fishing Forum] (2014) Kerapu, ikankarangfavoritpemancing [Grouper, favorite fish for anglers].http://www.iftfishing.com/blog/mancing/pemula/kerapu-ikankarang-favorit-pemancing/ [16 October 2014] Kitada S, Kishino H (2006) Lessons learned from Japanese marine finfish stock enhancement programmes. Fisheries Research 80(1):101-112. Kurnia R (2012) Restocking model of kerapumacan (Epinephelusfusgoguttatus) in sea ranching system in SemakDaun shallow water, KepulauanSeribu.PhD thesis. Bogor Agricultural University, Bogor. 174 pp. Leber KM, Brennan NP, Arce SM (1995) Marine enhancement with striped mullet: are hatchery releases replenishing or displacing wild stocks? American Fisheries Society Symposium 15: 376-387. Leber KM, Berejikian BA, Lee JSF (2012) Research and development of marine stock enhancement in the US. Science Consortium for Ocean Replenishment.http://www.stockenhancement.org/usprograms/us_advanc es.html [16 October 2014] Lorenzen K (2008) Understanding and managing enhancement fisheries system. Reviews in Fisheries Science 16 (1-3): 10-23. Lorenzen K, Leber KM, Blankenship HL (2010) Responsible approach to marine stock enhancement: An update. Reviews in Fisheries Science 18(2):189210. Loneragan NR, Ye Y, Kenyon RA, Haywood DE (2006) New directions for research in prawn (shrimp) stock enhancement and the use of models in providing directions for research. Fisheries Research 80 (1): 91-100. Masuda R, Tsukamoto K (1998) Stock enhancement in Japan: Review and perspective. Bulletin of Marine Science 62(2): 337-358. Rachmansyah, Usman, Palinggi NN, Williams K (2009) Formulated feed for tiger grouper grow-out. Network of Aquaculture Centers in AsiaPacific.http://www.enaca.org/modules/news/article.php?storyid=1838 [8 February 2014]. Sadovy Y, Craig MT, Bertoncini AA, Carpenter KE, Cheung WWL, Choat JH, Cornish AS, Fennessy ST, Ferreira BP, Heemstra PC, Liu M, Myers RF, 114 Pollard DA, Rhodes KL, Rocha LA, Russell BC, Samoilys MA, Sanciangco J (2013) Fishing groupers towards extinction: a global assessment of threats and extinction risks in a billion dollar fishery. Fish and Fisheries 14(2): 119-136. Sattar SA, Jørgensen C, Fiksen Ø (2008) Fisheries-induced evolution of energy and sex allocation. Bulletin of Marine Science 83(1): 235-250. Uwate KR, Shams AJ (1997) Bahrain fish stock enhancement: Lessons learned and prospects for the future. SPC Live Reef Fish Information Bulletin 3: 9-13. Yulianto I., Hammer C, Wiryawan B, Palm HW (2015b) Potential and risk of grouper (Epinephelus spp., Epinephelidae) stock enhancement in Indonesia. Journal of Coastal Zone Management 18:1 Yulianto I, Hammer C, Wiryawan B, Palm HW (2015a) Fishing-induced grouper stock dynamic in Karimunjawa National Park, Indonesia. Journal of Fisheries Science 81: 417-432. 115 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap IPB ke-6 Halaman: 116-124 ISBN 978-979-1225-34-2 PENGHITUNGAN PRODUKTIVITAS OPTIMUM ALAT TANGKAP: STUDI KASUS PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI LAMPULO ACEH Eko Sri Wiyono1 1 Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB Bogor Jl. Agathis, Kampus IPB Darmaga, Bogor, 16680 [email protected] ABSTRACT Productivity is the ratio between the output to the input used in the production process. Productivity is a measure that states how well the resources are organized and utilized to achieve optimal results. The productivity of fisheries, particularly in capture fisheries, usually reflected as catching ability a units of fishing gear to catch. Thus, the productivity of the fishing gear can be expressed as the ability of fishing gear to catch of fishes both in the number of units of fishing gear or fishing gear trip. However, productivity has been calculated by comparing productivity approach momentary current production with the inputs used. Of course, this approach could be biased because production units are not in ideal conditions (standard) and it is unknown whether it is in a state of excess or shortage of production inputs. It is necessary to find a solution for the calculation of the standard, which is when the optimum production input, so that the resulting optimal productivity as well. To answer that, we conducted research on purse seine fishing gear in Lampulo Aceh. The results showed that the value of the actual production fell by 1.12% - 15.10% lower than the optimal value. Keywords: Aceh, Lampulo, optimum productivity, purse seine ABSTRAK Produktivitas merupakan perbandingan antara luaran (output) dengan masukan (input) yang digunakan dalam proses produksi. Produktivitas merupakan suatu ukuran yang menyatakan bagaimana baiknya sumber daya diatur dan dimanfaatkan untuk mencapai hasil yang optimal. Produktivitas perikanan khususnya dalam perikanan tangkap, biasa dicerminkan sebagai kemampuan penangkapan suatau unit alat tangkap terhadap hasil tangkapannya. Dengan demikian, produktivitas penangkapan dapat diungkapkan sebagai kemampuan tangkap suatu unit alat tangkap terhadap hasil tangkapannya baik dalam satuan jumlah unit alat tangkap atau trip alat tangkap. Namun demikian, produktivitas selama ini dihitung dengan pendekatan produktivitas sesaat yaitu membandingkan produksi saat ini dengan input yang digunakan. Tentu saja pendekatan ini bisa 116 bias karena unit produksi tidak dalam kondisi ideal (standard) dan tidak diketahui apakah dalam keadaan kelebihan atau kekurangan input produksi. Untuk itu perlu dicarikan solusi penghitungan yang standard, yaitu pada saat input produksi optimum, sehingga dihasilkan produktivitas yang optimal pula. Untuk menjawab hal tersebut, telah dilakukan penelitian terhadap alat tangkap purse seine di Lampulo Aceh. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai produksi aktual terkoreksi sebesar 1,12% - 15,10% lebih rendah dari nilai optimalnya. Kata kunci: Aceh, lampulo, optimum, produktivitas, purse seine PENDAHULUAN Ketika berbicara tentang produktivitas, maka sesungguhnya sedang membicarakan tentang produksi. Menurut Joesron dan Fathorozi (2003), produksi merupakan hasil akhir dari proses aktivitas ekonomi dengan memanfaatkan beberapa masukan atau input. Pendapat lain diungkapkan oleh Widodo dan Syukri (2005) yang menyatakan bahwa produksi dapat diartikan segala kegiatan yang mempertinggi faedah barang baik secara langsung maupun tidak langsung dalam usaha kebutuhan manusia. Dengan pengertian ini dapat dipahami bahwa kegiatan produksi adalah mengkombinasi berbagai input atau masukan untuk menghasilkan output. Produksi adalah perubahan dari dua atau lebih input (sumber daya) menjadi satu atau lebih output (produk). Kegiatan produksi tersebut di dalam ekonomi biasa dinyatakan dalam fungsi produksi, dimana fungsi produksi ini menunjukkan jumlah maksimum output yang dihasilkan dari pemakaian sejumlah input dengan menggunakan teknologi tertentu (Sugiarto et al. 2002). Atas dasar tersebut, maka kemudian dikenal istilah produktivitas, yaitu perbandingan antara luaran (output) dengan masukan (input). Produktivitas merupakan suatu ukuran yang menyatakan bagaimana baiknya sumber daya diatur dan dimanfaatkan untuk mencapai hasil yang optimal. Ada dua aspek yang mempengaruhi produktivitas (Wignjosoebroto, 2003), yaitu: 1) Faktor teknis, yaitu berhubungan dengan pemakaian dan penerapan fasilitas produksi secara lebih baik, penerapan metode kerja yang lebih efektif serta efisien dan penggunaan input yang lebih ekonomis. 2) Faktor manusia, yaitu faktor yang mempunyai pengaruh terhadap usaha-usaha yang dilakukan manusia dalam menyelesaikan pekerjaan yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya. Di sini hal pokok penentu adalah motivasi kerja yang memerlukan pendorong ke arah kemajuan dan peningkatan prestasi kerja seseorang. Untuk mengetahui sejauh mana efektivitas dalam berproduksi, maka penghitungan produktivitas sangat penting dilakukan. Beberapa manfaat utama dari pengukuran produktivitas (Gaspersz, 1998) adalah sebagai berikut : 117 1. 2. 3. 4. 5. Pengukuran produktivitas digunakan sebagai indikator yang menilai kemampuan suatu sistem dalam mencapai tujuan perusahaan. Pengukuran produktivitas digunakan untuk pengambilan keputusan yang berkaitan dengan usaha peningkatan performansi perusahaan. Pengukuran produktivitas digunakan sebagai bahan pembanding suatu perusahaan/sistem dengan perusahaan/sistem lain. Pengukuran produktivitas digunakan untuk meramalkan kondisi perusahaan/sistem pada masa yang akan datang termasuk merumuskan targettarget yang ingin dicapai. Pengukuran produktivitas digunakan untuk meningkatkan kesadaran suatu perusahaan/sistem akan pentingnya usaha-usaha peningkatan produktivitas Produktivitas perikanan khususnya dalam perikanan tangkap, biasa dicerminkan sebagai kemampuan penangkapan suatau unit alat tangkap terhadap hasil tangkapannya. Dengan demikian, produktivitas penangkapan dapat diungkapkan sebagai kemampuan tangkap suatu unit alat tangkap terhadap hasil tangkapannya baik dalam jumlah unit alat tangkap atau trip alat tangkap. Satuan waktu pengukuran, bisa diukur berdasarkan satuan waktu yang pendek, (misalnya bulanan atau musiman) dan waktu yang panjang (tahunan). Perkembangan produktivitas, biasanya juga digunakan sebagai alat manajemen terhadap perkembangan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan dan perubahan stok sumberdaya ikan yang ada pada suatu perairan. Selain itu, produktivitas juga digunakan untuk kebijakan-kebijakan yang menyangkut masalah perhitungan Pungutan Hasil Perikanan (PHP). Meskipun sangat bermanfaat, namun demikian rumusan tentang penghitungan produktivitas alat penangkapan ikan yang standar sampai saat ini belum ada. Oleh sebab itu, perlu disusun suatu rumusan penghitungan produktivitas alat penangkapan ikan yang standar sehingga dapat dimanfaatkan dengan baik untuk berbagai macam keperluan. Penerapan konsep ini telah dilakukan dengan menggunakan data aktivitas kapal purse seine di Lampulo Aceh. Tujuan dari penelitian ini adalah menghitung produktivitas optimum alat tangkap purse seine di Lampulo Aceh. METODOLOGI Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Maret 2015. Data diperoleh dari laporan tahunan sensus pendataan produktivitas perahu yang melakukan pendaratan ikan di pelabuhan perikanan dan survei pendataan aktivitas perahu di pelabuhan perikanan Lampulo Aceh. Jenis data yang dikumpulkan meliputi hasil tangkapan, dimensi perahu, dimensi alat tangkap, operasi penangkapan ikan dan jumlah hasil tangkapan. Berdasarkan data yang ada kemudian dilakukan pemilahan dan pengolahan data. Metode yang digunakan dalam penelitian ini 118 adalah metode survei. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan sampling jenuh yaitu seluruh populasi dijadikan sampel (Sugiyono, 2007). Sampel yang dipilih adalah perahu yang melakukan aktivitas di suatu pelabuhan. Analisis Data 1) Variabel utama fungsi produksi Untuk menjawab tujuan penelitian, maka langkah pertama yang telah dilakukan adalah melakukan analisis faktor produksi, yaitu analisis yang menjelaskan hubungan antara produksi dengan faktor-faktor produksi yang mempengaruhinya. Soekartawi (1994) menjelaskan bahwa untuk mengamati pengaruh faktor produksi terhadap output secara keseluruhan dalam keadaan sebenarnya adalah tidak mungkin, sehingga disederhanakan dalam suatu bentuk suatu model. Hubungan kuantitatif antara faktor-faktor produksi dengan produksi dianalisis berdasarkan fungsi produksi Cobb-Douglas (Soekartawi 1994) sebagai berikut: Untuk memudahkan pendugaan terhadap persamaan tersebut di atas, maka diubah menjadi bentuk linier sebagai berikut: Keterangan: Y X1 ...... Xn a0 b1 s/d bn e : : Produksi : Faktor Produksi : Titik potong (intercept) : Koefisien regresi dari parameter penduga : Galat Agar model tersebut akurat, maka telah dilakukan uji kelinearan model dengan ANOVA, dilakukan pengukuran besarnya koefisien determinasi (R2), dan signifikansi masing-masing variabel (Sudjana, 2002). Untuk memudahkan penghitungan, data diolah dengan menggunakan program linear berganda dengan bantuan software. Agar software secara otomatis menguji kenormalan variabel yang digunakan, linearitas model, serta ada atau tidaknya multikolinearitas, autokorelasi dan heteroskedastisitas penghitungan dilakukan dengan metode backward. 2) Efisiensi Teknis Sedangkan, untuk menghitung efisiensi teknik alat tangkap purse seine, digunakan metode Data Envelopment analysis (DEA) output oriented (Kirkley and Squires 1999). Kapasitas penangkapan ikan diukur berdasarkan efisiensi teknis (TE) yaitu perubahan maksimum output yang memungkinkan 119 tanpa perubahan pada faktor tetap (fixed factor) produksi. Model DEA ini memungkinkan analisis efisiensi bagi aktivitas ekonomi yang bersifat variable return to scale (VRS). Oleh karena itu, model DEA ini tepat diaplikasikan pada aktivitas produksi perikanan yang bersifat decresing return to scale (Fauzi dan Anna 2005). DEA adalah suatu pendekatan analisis program matematika dengan menggunakan pemrogaman linier untuk mengestimasi efisiensi teknis kapasitas penangkapan (TECU). Kirkley et al. (2001) dan Tingley et al. (2002) menyarankan untuk menggunakan DEA sebagai penghitungan kapasitas penangkan ikan. Secara umum, langkah-langkah analisis DEA adalah sebagai berikut: 1) Menentukan vektor output sebagai u dan vektor input sebagai x. 2) Melakukan pengamatan terhadap j (usaha perikanan pelagis atau DMU), jumlah m ouputs dan n inputs. 3) Membagi inputan menjadi fixed input (xf) dan variable input (xv). 4) Menghitung efisiensi teknis kapasitas penangkapan orientasi output dengan program linier. Efisiensi teknis unit penangkapan ikan dihitung dengan cara membandingkan efisiensi teknis antar decision making unit (DMU), yaitu unit alat tangkap. Input produksi yang digunakan oleh alat tangkap dibedakan menjadi dua, yaitu input tetap dan input variabel. Komponen yang dijadikan sebagai input tetap adalah volume perahu (GT), sedangkan input variabel meliputi jumlah ABK (orang), konsumsi BBM (rupiah), dan biaya perbekalan operasi penangkapan ikan. Selanjutnya, faktor komponen output dari kegiatan penangkapan ikan dengan alat tangkap tertentu. Kapasitas output dan nilai pemanfaatan sempurna dari input, selanjutnya dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Färe et al., 1989): Max1 , z , subject to J 1 u jm z j u jm , m 1,2,...,M , j 1 J z j 1 j x jn x jn , j x jn jn x jn , J z j 1 z j 0, n xf n xv j 1,2,...,J n xv Dalam hal ini zj adalah variable intensitas untuk jth pengamatan; 1 nilai efisiensi teknis atau proporsi dengan mana output dapat ditingkatkan pada 120 kondisi produksi pada tingkat kapasitas penuh; dan *jn adalah rata-rata pemanfaatan variable input (variable input utilization rate, VIU), yaitu rasio penggunaan inputan secara optimum xjn terhadap pemanfaatan inputan dari pengamatan xjn. Kapasitas output pada efisiensi teknis (technical efficiency capacity output,TECU) kemudian didefinisikan sebagai penggandaan 1* dengan produksi sesungguhnya. Kapasitas pemanfaatan (CU), berdasarkan pada output pengamatan, kemudian dihitung dengan persamaan berikut (Färe et al., 1989): u 1 TECU * * 1 u 1 HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi merupakan fungsi dari faktor-faktor produksi, sehingga untuk menduga produksi, dapat digunakan faktor produksi sebagai variabel bebasnya. Untuk dapat menduga dengan baik, diperlukan model fungsi produksi yang baik. Penentuan fungsi produksi biasanya dilakukan dengan menggunakan model regresi linear berganda. Produksi sebagai variabel bebas, sedangkan faktor produksi sebagai variabel tak bebasnya. Berdasarkan fungsi produksi tersebut kemudian dapat diduga berapa besar output jika digunakan input tertentu. Hanya masalahnya, apakah input tersebut dalam kondisi optimum sehingga menghasilkan tingkat efisiensi yang tinggi? Untuk menjawab tersebut maka perlu dilakukan analisis efisiensi teknis. Berdasarkan hasil analisis efisiensi teknis tersebut kemudian dihasilkan seberapa besar input yang diperlukan sehingga mencapai tingkat efisiensi yang optimum. Dengan menggunakan analisis efisiensi teknis, akan diperoleh saran perbaikan terhadap input yang digunakan. Nilai-nilai input yang digunakan selama ini kemudian dikoreksi dengan menggunakan nilai VIU yang dihasilkan sehingga diperoleh input optimum. Berdasarkan fungsi produksi yang telah ditentukan dan dengan memasukkan nilai input produksi yang optimal tersebut, maka dapat diperoleh nilai produksi optimal. Pada penelitian ini, faktor-faktor yang diduga mempengaruhi hasil tangkapan diduga dengan menggunakan 2 kelompok input data, yaitu input tetap (fixed input) dan input berubah (variabel input). Sebagai fixed input adalah ukuran kapal (x1) dan kekuatan mesin kapal (x2). Sedangkan sebagai variable input adalah bahan bakar minyak (v1), ukuran jaring (v2), dan jumlah ABK (v3). Berdasarkan hasil perhitungan regresi berganda, telah diperoleh hasil persamaam produksi purse seine sbb: Y= 279,444 – 30,185X1 + 4,99x10-14V1 + 7,457V2 + 34,12 V3 121 Hasil perhitungan ini menunjukkan bahwa pada contoh kapal yang dikaji, beberapa faktor yang secara nyata berpengaruh adalah ukuran kapal (x1), bahan bakar minyak (v1), ukuran jaring (v2), dan jumlah ABK (v3). Sementara ukuran kekuatan mesin tidak berpengaruh nyata. Selanjutnya, variabel-variabel yang secara nyata tersebut diolah dengan menggunakan analisis DEA untuk menghasilkan nilai koreksi variabel input sehingga diperoleh nilai efisiensi teknis usaha penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap purse seine. Hasil dari analisis DEA menghasilkan solusi nilai VIU yang beragam mulai 0,940 sampai dengan 1,523 (Tabel 1). Hasil perhitungan tersebut bermakna bahwa variabel V1 harus dinaikkan 0,523 kali atau 52,3%, V2 harus dinaikkan 0,410 kali atau 41% dan V3 harus dikurangi 0,060 kali atau 6% dari kondisi aktual jika diupayakan menuju kondisi idealnya. Tabel 1. Nilai variable input utilization alat tangkap purse seine No. Variable input Nilai Variable input utilization 1. Bahan bakar minyak (V1) 1,523 2. Ukuran jaring (V2) 1,410 3. Jumlah ABK (V3) 0,940 Dengan mengkoresksi nilai aktual dengan konstanta koreksi tersebut dihasilkan nilai produksi dalam kondisi efisiensi teknis. Hasil perhitungan nilai produksi tersebut menunjukkan bahwa produksi aktual terkoreksi sebesar 1,12% 15,10% lebih rendah dari nilai optimalnya. Bila produksi rata-rata aktual adalah 3010 kg/trip maka dengan menggunakan fungsi produksi pada saat efisiensi teknis adalah sebesar 2767 kg/trip. Selanjutnya berdasarkan volume total produksi tersebut dapat ditentukan produktivitas kapal dengan membagi ukuran kapal purse seine sampel, dan diperoleh nilai 30,74 kg/GT/trip kapal. Hasil pengkajian ini, mempunyai kecenderungan yang sama dengan hasil penelitian Budiarti, 2015 yang mengkaji alat tangkap purse seine di Kalimantan Barat, dimana proyeksi hasil tangkapan ideal berkisar antara 5, 78% - 6,54% lebih rendah dari kondisi idealnya. Hal ini menunjukkan bahwa volume produksi ikan yang tercatat dalam buku statistik perikanan semestinya lebih rendah dibandingkan volume optimumnya. Berdasarkan pada hasil penelitian ini, dapat diterangkan bahwa produksi ikan sesaat bisa menimnulkan bias terhadap penghitungan produktivitas alat tangkap. Bila produksi dihitung pada saat tidak dalam kondisi ideal, maka akan sulit sekali menjadikan nilai tersebut sebagai acuan dalam melakukan menejemen perikanan. Oleh sebab itu, sudah selayaknya penghitungan produktivitas di masa yang akan datang perlu mempertimbangkan aspek efisiensi teknis di dalam penghitungannya. 122 KESIMPULAN Berdasarkan hasil kajian ini dapat disimpulkan beberapa hal, sebagai berikut: 1) Sistem penghitungan produktivitas selama ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa alat tangkap dalam kondisi optimal, padahal kondisi sesungguhnya tidak demikian 2) Sistem pengumpulan data untuk kepentingan penghitungan produktivitas masih dilakukan dengan pendekatan sederhana, yaitu hasil tangkapan dan bobot kapal 3) Mengusulkan sistem penghitungan produktivitas dengan basis unit penangkapan ikan menggunakan input secara optimum SARAN Berdasarkan hasil kajian ini, maka dapat disarankan hal-hal sebagai berikut: 1) Penyempurnaan sistem pengumpulan data guna penghitungan produktivitas alat tangkap 2) Melakukan penghitungan produktivitas pada saat semua produksi dalam kondisi optimal. DAFTAR PUSTAKA Budiarti, T.W. 2015. Efisiensi Teknis Penangkapan Pukat Cincin di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pemangjat Kabupaten Sambas Provinsi Kalimantan Barat. Thesis. Program Pascasarjana IPB. Bogor. 83 hal Fare R, Grooskopf S, Lovel CAK. 1994. Production Frontiers. United Kingdom: Cambride University Press. 296p Fare, R. S., S. Grosskopf, & E. Kokkelenberg. 1989. Measurseine Plant Capacity Utilization and Technical Change: A Nonparametric Approach. Int. Econ. Rev. 30: 655-666. Gaspersz V. 1992. Analisis Kuantitatif Untuk Perencanaan. Tarstic. Bandung. Joesran, F. 2003. Teori Ekonomi Mikro. Salemba Empat. Jakarta. Lipsey R.G & Steiner P.O. 1984. Ekonomi Mikro Bahan Kuliah. Jurusan IlmuIlmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nicholson W. 1995. Teori Mikro Ekonomi, Prinsip Dasar dan Perluasan. Bina Rupa Aksara. Jakarta. 123 Prayitno H & Arsyad. 1987. Petani Desa dan Kemiskinan. Yogyakarta. Setyorini., Suherman A & Triarso. 2009. Analisis Perbandingan Produktivitas Usaha Penangkapan Ikan Rawai dasar (Bottom Set Long Line) dan Cantrang (Boat Seine) di Juwana Kabupaten Pati. Jurnal Saintek Perikanan. 5(1): 714. Soekartawi. 1994. Teori Ekonomi Produksi. Dengan Pokok Bahasan Analisis Fungsi Cobb-Douglas. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Sugiarto. 2002. Ekonomi Mikro Sebuah Kajian Komprehensif. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Widodo U. & Syukri A. 2005. Manajemen Usaha Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Pusat Pengembangan SDM Kelautan dan Perikanan. 124 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap IPB ke-6 Halaman:125-147 ISBN 978-979-1225-34-2 GILLNET LINGKAR BERTALI KERUTIKAN PELAGIS KECIL (Pursed encircling gillnet for small pelagic fishes) Zarochman1 1 Perekayasa Utama BBPI ABSTRAK Gillnet lingkar bertali kerut(pursed encircling gillnet) masih tergolong kelompok jaring jerat puntal (gillnet) yang berbeda dari kelompok jaring lingkar (surroundingnet) tipe purse seine. Fungsi mata jaring pada jaring lingkar bukan untuk menjerat atau memuntal melainkan sebagai penghadang, sedangkan mata jaring pada gillnet lingkar untuk menjerat atau bila kontruksi jaring gillnet lingkar dibuat lentur dan ikan yang menabrak lingkar bodinya lebih besar dari bukaan mata jaring maka ikan akan terpuntal. Armada sarana apung untuk pengoperasian gillnet lingkar lebih kecil dibanding armada untuk jaring lingkar (purse seine). Kedua jenis alat tangkap tersebut bertujuan menangkap ikan pelagis kecil. Pada perairan tropis dengan kandungan multi species para perancang jaring ikan pelagis kecil berusaha mengoptimalkan efisiensi alat tangkap agar mampu menangkap ikan berjumlah lebih besar dari beragam species ikan pelagis kecil yang membentuk kelompok/gerombolan (schooling) namun pada selektifitas keragaman hasil tangkap rendah.Dari hasil iterasi kerekayasaan melalui penyesuaian desain dan kontruksi serta perlengkapan pengoperasian gillnet lingkar yangdilengkapi tali kerut pada bagian bawah jaring, diharapkan dapat meningkatkan operasional penangkapan pada perairan yang lebih dalam dengan menghasilkan penambahan jumlah dan keragaman jenis ikan hasil tangkapan.Peningkatan total hasil tangkap rata-rata per trip dari hasil gillnet lingkar konvensional sebesar 116 kg meningkat menjadi 410 kg yang dihasilkan dari gillnet lingkar hasil iterasi kerekayasaan. Hasil tangkap rata-rata per trip operasi penangkapan ikan serindingdari gillnet lingkar konvensional dan hasil iterasi kerekayasaan masing-masingberurutan 75 kg dan 159 kg atau meningkat dua kali lipat. Kata kunci:gillnet lingkar, ikan pelagis kecil,tali kerut PENDAHULUAN Ikan pelagis kecildi perairan pantai terdiri dari berbagai macam kelompok jenis dan ukuran, seperti kelompok scombrid (tenggiri, kembung); kelompok ikan sardin (lemuru, tembang); kelompok ikan layang (scads), kelompok ikan serinding (apogonidae), kelompok ikan teri (stelophorus) dan kelompok ikan petek (leiognathidae). Disamping itu tertangkap ikan kecil atau ikan muda dalam 125 jumlah yang cukup signifikan. Dengan demikian alat tangkap ikan pelagis kecil ini cukup berpotensi menjadi alat tangkap yang tidak selektif, terutama bila ukuran mata jaring semakin kecil tanpa batas minimum mata jaring dan pembatasan musim penangkapan (open/free fishing season). Dalam lima tahun terakhir telah berkembang purse seine waring yang sangat rentan dengan hasil tangkapan ikan kecil. Diantara alat tangkap yang cenderung tersaingi hingga menghentikan kegiatannya adalah kelompok gillnet, termasuk gillnet lingkar yang sasaran tangkapannya ikan serinding (famili Apogonidae). Gillnet lingkar yang oleh nelayan Pulolampes Kabupaten Brebes dikenal jaring koncong hanya bisa beroperasi di pinggiran pada perairan dangkal dan di sekitar muara. Daerah pengoperasian jaring koncong, belakangan terdesak oleh pengoperasian “puring” atau purse seine waring yang ukuran armada purse seine waring lebih besar dan berjumlah lebih banyak, dengan luasan daerah penangkapan mulai dari perairan dangkal hingga perairan lebih dalam diluar jangkauan operasi jaring koncong. Bahkan pada musim penghujan puring beroperasi lebih ketengah pada perairan lebih dalam dengan hasil tangkap yang signifikan. Adapun efektifitas penangkapan jaring koncong sangat rendah pada tingkat efisiensi operasional yang kurang layak. Untuk membangkitkan operasional jaring koncong diperlukan dimensi yang lebih besar melalui modifikasi dan iterasi dengan maksud agar nelayan bisa mengoperasikan gillnet lingkar ke perairan lebih dalam dengan frekuensi hari operasi penangkapan ikan meningkat. Gillnet lingkar bertali kerut ikan pelagis dibuat dengan menggunakan ukuran bahan jaring yang lebih besar luasannya (lebih panjang dan lebih dalam) sehingga mampu menjangkau daerah pengoperasian pada perairan yang lebih dalam semakin menjauhi pantai. Pada bagian ris bawah dikontruksi dengan kelengkapan tali kerut untuk mencegah ikan lolos melewati bawah jaring gillnet.Gillnet lingkar ini tetap dapat dioperasikan dengan menggunakan ukuran perahu lebih kecil dari 5 GT yang selama ini digunakan untuk pengoperasian jaring koncong sehingga armada eks jaring koncong masih bisa didayagunakan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan penyesuaian desain dan kontruksi gillnet lingkar yang laik operasi dengan armada eks jaring koncong untuk dioperasikan pada perairan yang lebih dalam. Serta menguji hasil rancangan gillnet lingkar dan alat bantu pengoperasiannya. Adapun keluaran yang ingin dihasilkan adalah mendapatkan rancangan gillnet lingkar yang laik operasi untuk ikan hasil tangkapan yang lebih selektif serta dioperasikan pada perairan yang lebih dalam, dan meningkatkan produktifitas alat tangkap gillnetlingkar ikan pelagis kecil pada perairan yang lebih dalam. 126 METODOLOGI Tahapan dalam metode kerekayasaan gillnet lingkar meliputi tahapan : 1) modifikasi rancang bangun dan iterasi yaitu penyesuaian kontruksi gillnet lingkar dan peralatan bantu pengoperasian penangkapannya, dan 2) uji coba operasi penangkapan dengan gillnet lingkar hasil iterasi kerekayasaan. TINJAUAN RANCANG BANGUN DAN KEBUTUHAN KONTRUKSI GILLNET LINGKAR Dimensi dan BahanJaring Gillnet Lingkar a. Ketentuan tinggi jaring pada kedalamai air (tinggi jaring jadi) Sesuai dengan pengoperasian gillnet lingkar yang secara empiris mirip jaring lingkar, maka penentuan dimensi gillnet lingkar, terkait penentuan panjang dan tinggi atau dalam jaring dapat menyesuaikan ketentuan teknis pada jaring lingkar mengenai kesesuaian ukuran teknis, sebagai berikut: - minimal = 10% dari panjang jaring jadi (terpasang). - minimal = panjang kapal secara keseluruhan (LOA) - maksimal = 2/3 dari kedalaman daerah operasi penangkapan. Dimensi jaring gillnet lingkar ditentukan oleh panjang atau jumlah mata jaring kearah horizontal yang digantung pada tali ris atas dan tinggi jaring atau jumlah mata jaring kearah vertikal. Patokan pertama menentukan kebutuhan volume bahan jaring (webbing) adalah panjang gillnet yang dikehendaki sesuai dengan kemampuan sarana apung atau perahu yang akan digunakan mengoperasikan gillnet yang bersangkutan dan penentuan koefisien nilai gantung jaring (hanging ratio). Adapun ketinggian jaring disesuaikan dengan kedalaman perairan agar tinggi jaring tidak mencapai dasar atau dibatasi sekitar 2/3 dari kedalaman perairan. Oleh karena itu cukup beralasan dalam menentukan tinggi jaring jadi, dimana pertimbangan utama yang menjadi patokan adalah pada perairan dengan domain kedalaman berapa pengoperasian gillnet lingkar ini akan dioperasikan. b. Kesesuaian Panjang dan Lebar Gillnet Lingkar Gillnet lingkar ditujukan untuk menangkap gerombolan ikan yang bergerak sehingga untuk menentukan panjang jaring yang di jadikan pertimbangan adalah gerombolan ikan agar tidak lolos dari pelingkaran jaring. Daerah operasi penangkapan gillnetlingkar dengan target ikan pelagis kecil pada perairan pantai sehingga kebutuhan panjang jaring disesuaikan dengan ukuran gerombolan yang tidak lebar dengan perilaku pergerakan ikan yang tidak cepat. 127 Berdasarkan pengalaman empiris bahwa panjang minimum gillnet lingkar adalah sepanjang 50 x panjang perahu keseluruhan (Loa dalam meter). Dengan demikian bila perahu yang digunakan untuk mengoperasikan gillnet lingkar memiliki Loa = 9 meter, maka panjang gillnet lingkar yang akan diterapkan = 50 x 9 meter = 450 meter. Gillnet lingkar ikan pelagis kecil yang keberadaannya dipermukaan perairan maka lebar jaring kearah vertikal cukup setinggi 5% kali panjang jaring. Namun bila dikahwatirkan ikan lolos lewat bawah jaring karena sifat perenang cepat atau tergolong ikan mesodepth maka sebaiknya kedalamannya dilebihkan diatas 5% dari panjang jaring. Dari pengalaman empiris disarankan lebar jaringgillnet lingkar untuk ikan perenang cepat = 10 – 15 % kali panjang jaring. Oleh karena itu melihat pengalaman purse seine waring yang dioperasikan hingga mencapai kedalaman lebih dari 50 meter kedalaman, maka lebar gillnet lingkar dapat menyesuaikan kedalaman 50 meter tersebut. Cara lain menentukan lebar jaring: kedalaman jaring 50 m kalau diasumsikan kedalaman jaring merata 9 m dan dapat dilingkarkan dengan sempurna maka akan membentuk dinding silinder adalah: TS = 0,9 x H ( H ) = 0,9 x 9 ( Fs 9 ) 0,67 = 8 ( 13) = 8 (3,6) = 28,8 detik c. Kebutuhan Bahan Jaring (Webbing) Gillnet Lingkar Jaring gillnet lingkar terdiri dari : (1) bagian tubuh jaring (main net) yang merupakan bagian utama yang meliputi sebagian besar jaring gillnet lingkar, dan (2) pinggiran jaring (selvedge) sebagai penguat/pelindung tubuh jaring dari tarikan/gesekan yang terjadi pada tali ris (atas dan bawah) sehingga tubuh jaring tidak cepat koyak. Kebutuhan desain dan kontruksi untuk kedua bagian jaring tersebut yang menjadi pertimbangan terpenting adalah penetapan nomor benang sesuai dengan jenis bahan dan sifatnya serta penentuan nilai koefisien gantung (hanging ratio) pada masing-masing bagian sesuai tujuan penggunaan pengoperasian gillnet lingkar. Misal untuk target ikan yang lebih besar dan lebih kuat daya meronta dari jeratan dan/atau puntal jaring maka dipilih bahan yang kuat dengan nilai kelenturan yang baik, dan untuk pengoperasian pada perairan lebih dalam diperlukan nilai hanging ratio yang memadai. Tubuh jaring gillnet lingkar Tubuh jaring gillnet merupakan bagian utama jaring yang berperan dan menderita langsung desakan ikan target tangkap sehingga ikan tertangkap secara 128 terjerat atau terpuntal. Pilihan bahan jaring untuk bagian tubuh jaring (jenis bahan, kontruksi dan diameter benang, ukuran mata jaring) harus disesuaikan dengan target tangkap sehingga efektif dan sesuai pendayagunaannya pada tingkat yang paling efisien. Karena merupakan bagian utama yang meliputi sebagian besar jaring gillnet lingkar maka kebutuhan dalam pemilihan bahan menjadi prioritas sesuai dengan kebutuhan pengoperasian alat tangkap. a. Serampat Serampat (Selvedge)adalah pinggiran jaring yang dipasang sepanjang tali ris sebagai penguat dan pelindung tubuh jaring. Serampat dibuat dari bahan yang lebih kuat untuk menahan gesekan tali ris dan tarikan ketika jaring diangkat atau ditarik keatas perahu. Pada gillnet lingkar, serampat ini merupakan penghubung tali ris atas dengan bagian utama atau tubuh jaring. Serampat dibuat dari bahan Polyethilene d15 mesh size 3/4”. Serampat bawah menghubungkan tali ris bawah dengan bagian utama atau tubuh jaring gillnet. Serampat samping menghubungkan tali ris samping dengan bagian utama. Serampat samping terdiri dari serampat samping kanan dan kiri. Serampat – serampat tersebut mempunyai fungsi yang sama, utamanya sebagai penguat atau pelindung dari gesekan atau tarikan langsung terhadap tubuh jaring. Semua serampat baik serampat atas, bawah dan samping mempunyai ukuran, bahan dan nomor benang yang sama. b. Menentukan ukuran nomor benang mata jaring yang digunakan Nomor benang lebih menggambarkan ukuran besar dan berat persatuan panjang (tex/denier) dikaitkan dengan kekuatan benang (twine strength). Jenis benang tertentu meskipun berdiameter kecil tetapi memiliki struktur pilinan yang padat (stiffnes) dapat mempunyai nilai kekuatan yang tinggi. Dengan perkataan lain kekuatan benang juga tergantung jenis bahan serat yang membentuk benang tersebut. Hubungan antara garis tengah benang dan ukuran mata jaring pada bagian bagian gillnet lingkar menggambarkan keseimbangan kekuatan dan ketegaran benang sebagai pembentuk mata jaring, sehingga jenis webbing tertentu mempunyai sifat kelenturan, ketegaran, keuletan dan transparansi atau visibilitas didalam air. Hubungan garis tengah benang dan ukuran mata jaring (mesh size) merupakan nilai Index ratio benang (twine index = Iw) yang dinyatakan dengan rumus perbandingan antara besar diameter benang terhadap ukuran mata jaring (mesh size) sebagai berikut : Garis tengah benang (mm) = Itw Ukuran mata (mm) 129 Nilai Iw ini diterapkan pada rancangan gillnet untuk membatasi hubungan ukuran benang terhadap mata jaring yang diterapkan untuk gillnet sehingga terpantau kontruksi lembar jaring (webbing) yang terdiri dari susunan mata jaring yang memiliki ketegaran cukup (lentur dan kuat) untuk menjerat dan memuntal ikan. Kondisi lembar jaring gillnet sedemikian rupa sehingga tidak terlalu lembek (kelenturannya sangat rendah) dan mudah putus ketika menjerat dan memuntal ikan. Nilai Itw ini tergantung sifat dan keuletan serat sebagai bahan benang dengan simbol nama dagang tertentu baik dari serat alami (naural fiber) atau serat buatan (man made fiber) seperti kode PA, PE, saran dan lain-lain yang masing-masing memiliki kisaran batas nilai Itw yang berbeda, Untuk gillnet lingkar dengan sasaran ikan besar berbeda kebutuhan nilai Itw untuk gillnet ikan pelagis kecil, nilai Iw untuk gillnet ikan pelagis kecil dapat menggunakan nilai yang lebih kecil dibanding untuk gillnet ikan pelagis besar. c. Kebutuhan nilai koefisien pegantungan (hanging ratio) jaring gillnet lingkar Menentukan nilai koefisienpenggantungan jaring (hanging ratio) gillnet lingkaratau presentase penggantungan jaring terhadap tali ris dalam keadaan teregang dengan menggunakan formula L E= Lo dimana : E = Hanging ratio,L = Panjang jaring terpasang,Lo = Panjang jaring teregang (Stretched) yang digantung. Menyesuaikan keberadaan gerombolan ikan pelagis kecil di perairan pantai utara Jawa yang cenderung mencapai kedalaman yang lebih dalam maka disamping keberadaan jaring gillnet lingkar sebaiknya lebih dalam juga harus disesuaikan penerapan nilai hanging ratio dengan sudut bukaan yang lebih kecil dari 900 sehingga bukaan mata jaring menguncup kearah vertikal. Dengan demikian jaring lebih efisien dan mempercepat turunnya jaring ke arah vertikal hingga secepatnya mencapai kedalaman maksimal. Keberadaan jaring dengan sudut bukaan sebesar 600 cenderung mata jaring menguncup kearah vertikal sehingga nilai hanging ratio yang diterapkan sebesar 0,50. Nilai hanging ratio pada bagian jaring atas mendekati ris atas lebih kecil dibandingkan bagian jaring yang mendekati ris bawah. Oleh karena itu nilai hanging ratio pada jaring yang mendekati ris bawah digunakan nilai hanging ratio lebih besar mendekati 0,50. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya tergulungnya tali kolor pada saat dikerutkan atau ditarik/dikuncupkan. 130 Nilai hanging ratiogillnetlingkar : 450 Tali ris atas = = 50 % 900 480 Tali ris bawah = = 53 % (sesuai dengan standar konstruksi gillnet) 900 Nilai ratio penggantungan panjang jaring terhadap panjang tali ris atas atau biasa disebut hanging ratio, sangat menentukan tertangkapnya ikan pada lembar jaring gillnet dengan cara terjerat atau terpuntal ataau keduanya. Nilai hanging ratio yang diterapkan juga ikut menentukan bukaan maksimum mata jaring dan disisi lain juga menentukan kelenturan jaring didalam air. Bila dikehendaki jaring teregang dengan bukaan mata yang maksimum maka dapat diterapkan dengan menggunakan nilai hanging ratio (Elongation/E) sebesar 0,71, artinya bentuk jaring teregang dengan luasan jaring maksimum.Sifat lembar jaring dengan bukaan mata jaring maksimum cenderung untuk menjerat atau untuk mengarahkan ikan yang lebih besar masuk ke bagian jaring yang lebih lentur sehingga ikan tersebut terpuntal. Dalam hal ini bukaan mata jaring maksimum itu tidak melebihi ukuran ikan sasaran yang berpeluang terjerat sehingga tidak lolos dari jeratan jaring. Kecenderungan gillnet lingkar dengan sasaran ikan pelagis kecil adalah dengan menggunakan nilai hanging ratio kurang dari 0.70 Nilai hanging rasio atau persentase penggantungan panjang jaring terhadap panjang tali berbeda beda, tergantung dari 3 hal, yaitu : a) Bagian tali ris: tali ris atas dan bawah, memiliki nilai yang berbeda. tali ris bawah harus memiliki hanging ratio lebih besar dari tali ris atas . b) Bagian jaring: antara bagian kantong, badan dan sayap memiliki nilai yang berbeda. c) Teknisi pendesain: tiap teknisi memiliki alasan yang berbeda dalam memberinilaihanging, baik untuk ris atas, ris bawah maupun pada tiap tiap bagian jaring. Nilai hanging ratio(E) yang diterapkan terhadap gillnet lingkar untuk perairan yang lebih dalam dapat menggunakan nilai E = 0,40 sehingga dapat dikehendaki bentangan jaring kearah vertikal semakin dalam. Gambaran umum berbagai bentuk sudut bukaan mata jaring dengan berbagai nilai E dapat dilihat pada ilustrasi berikut : 131 Gambar 1. Ilustrasi bentuk sudut bukaan mata jaring dengan berbagai nilai hanging ratio (E). Nilai hanging ratio menentukan luasan jaring dalam keadaan teregang. Pada bukaan sudut mata jaring 90 0 maka luasan mata jaring menjadi maksimum sehingga menghasilkan luasan jaring yang maksimum. Oleh karena itu pada nila E = 0,71 akan diperoleh luasan jaring yang maksimum sehingga resistensi jaring terendah namun sifat kelenturan jaring rendah dan capaian tinggi jaring secara vertikal arah kedalaman perairan tidak maksimum. Hal ini dapat dilihat melalui rumus luas jaring sebagai berikut: a. Kebutuhan tali temali Tali temali gillnetlingkar meliputi : tali pelampung (float line), tali pemberat (sinker line/lead line), tali ris (breast line), tali cincin (bridle line) tali kolor (purse line) dan tali – tali tambahan.Tali Pelampung adalah tali yang menghubungkan antara pelampung dan terletak pada jaring paling atas Tali pelampung dibuat lebih tebal dari pada tali pemberat, karena bahan yang sangat besar timbul pada pelampung sewaktu setting. Tali pemberat tali yang menghubungkan antara pemberat dan terletak pada bagian jaring paling bawah.Tali pemberat dibuat lebih tipis dari pada tali pelampung.Tali pemberat sangat nyata mencapai puncaknya ketika cincin – cincin telah terkumpul disisi kapal.Sehingga berat bagian bawah jaring terpusat pada ujung tali cincin yang terikat pada tali pemberat.Beban tersebut dapat diabaikan, karena berlangsung lebih singkat dari pada beban yang dialami oleh tali pelampung. Tal ris adalah tali yang mengililingi jaring secara keseluruhan.Tali ris dibedakan yaitu tali ris atas, tali ris bawah dan tali ris samping.Tali ris selain 132 melindungi jaring dari keausan dan merupakan tempat untuk mengikat tali pelampung dan sisi jaring bagian atas.Tali ris samping berfungsi untuk mengikat sisi (samping) jaring yaitu sisikiri dan sisi kanan.Tali ris samping sering digunakan untuk mengangkat jaring setelah dioperasikan. Breast line adalah tali untuk menggantungkan sisi jaring yang terletak dibawah tali ris atas dan di atas tali ris bawah. Tali ini diikat menjadi satu dengan tali ris (tali ris atas dan tali ris bawah), sehingga tidak terbentuk seperti “setengah elips” pada bagian atas dan bawah jaring besarnya tali sama dengan tali pemberat (PE Ø 5 mm) Tali penghubung tali bantu adalah tali yang dipasang pada tali ris bawah untuk mengikat tali bantu, atau tali yang menghubungkan tali bantu dengan jaring, sehingga tali bantu dalam keadaan tergantung dibawah jaring. Tali terbuat dari PE Ø 6 mm, panjang 2 meter, jumlah 32 buah. Tali bantu adalah tali yang dipasang pada bagian atas jarring.Bahan yang digunakan adalah PE Ø 12 mm, panjang 500 meter, pada setiap 15 meter dipasang tali penghubung. Fridman (1988), gaya tegang dari tali bantu berpengaruh terhadap operasi,bila tali bantu mendapat tegangan kencang, maka jaring tidak dapat membuka dengan kedalaman penuh. Kecepatan tarik yang berlebihan mengakibatkan tali bantu tegang dan menyebabkan kedalaman jaring berkurang serta efisensi penangkapan ikan menjadi rendah. Tali – tali tambahanmeliputi “mata tali” selambar atau tali kelat. Mata tali terletak pada sisi kiri dan sisi kanan (atas dan bawah jaring).Mata tali pada sisi kiri berguna untuk melekatkan atau mengikatkan tali pelimping kiri.Mata tali pada sisi kiri atas digunakan untuk mengikat selambar kiri dan mata tali bagian bawahnya untuk mengikat tali payang. Tali selambar kiri dan tali gillnet lingkar diikatkan pada kapal untuk menghindari terlepasnya jaring pada waktu setting (tawur). Mata tali pada sisi kanan digunakan untuk mengikat tali pelimping kanan.Selain dari itu mata tali sisi kanan atas, digunakan untuk mengikatkan tali selambar kanan pada ujung selambar kanan dipasang pelampung tambahan dan sepotong bambu atau jerigen plastik. Tali selambar kanan digunakan untuk menandai awal dari setting (selambar kanan dilepaskan ke air pada awal setting), sehingga akan terlihat pelampung tambahan atau bambu atau jerigen. Selambar dan tali pelimping terbuat dari Polyethelene (PE Ø 14), Panjang selambar kiri atau selambar depan 25 meter. Selambar kanan atau disebut juga selambar belakang 50 meter dan tali pelimping.Tali pelimping digunakan untuk membantu dalam menaikkan atau mengangkat tali ris bawah setelah setting dilakukan.Dengan demikian tali pelimping dapat memperkecil kerusakan atau menghindari sobeknya pinggiran jaring. (1) Menghitung besarnya daya apung gillnet lingkar : 133 yal B = Wk ( y.k 1 ), dimana B = Daya apung Komponen Gillnet Lingkar (grf atau kgf) Wk = Berat komponen Gillnet Lingkar di udara (gr atau kg) yk = Massa jenis komponen Gillnet Lingkar (gr cm3 atau kg/dm3) y al = Massa jenis air laut (1,025 gr/cm3 atau kg/dm3) y Qn = P( ) 1 y dimana Qn = Besar total pelampung (g) P = Total buayancy (g) y = Spesific grafity pelampung Untuk menentukan jumlah pelampung pada tiap bagian jaring digunakan rumus : Qn m= qn qn = Berat sebuah pelampung di udara L 450 m= = = 900 buah pelampung 0,50 0,50 Besarnya daya apung pelampung S5N = 900 x 625 = 562.000 grf = 562 kgf. Besarnya daya apung pelampung karet (10x3,3 cm) = 1800 x 50 grf = 90 000 grf. Besarnya total daya apung = 562 kgf + 90 kgf = 652 kgf. Gillnet lingkar memiliki berat relatif ringan, memerlukan pemberat yang relatif besar dan daya apung pelampung mampu memberikan tambahan daya apung (extra buoyancy). Untuk bahan jaring (webbing) dengan berat di udara 370 kg, maka pertimbangan daya apung yang diterapkan pada gillnet lingkar merupakan daya apung untuk imbangi berat jaring dan peralatan dalam air ditambah jumlah beban lain termasuk pemberat dan hasil tangkap ikan yang terjerat dan/atau terpuntal jaring dalam air. Untuk itu, berdasarkan hasil pendekatan empiris untuk penerapan gillnet, bahwa nilai total daya apung yang diterapkan pada gillnet pada kisaran : 1,3 – 1,6 dari jumlah berat beban unit jaring gillnet dalam air + jumlah beban lain termasuk pemberat dan ikan dalam air. Perhitungannya, bahwa nilai daya apung tambahan untuk imbangi webbing (bahan jaring di udara) seberat 370 kg dengan perhitungan sebagai berikut. 134 Nilai total daya apung = 1,3 – 1,6 (berat/beban unit jaring gillnetdalam air + jumlah beban lain termasukpemberat jaring dalam air) = 1,3 – 1,6 x (0,10 + 0,72) x 370, Bila dari kisaran nilai koefisien pengali extra buoyancy 1,3 – 1,6 untuk gillnet lingkar ikan pelagis kecil diterapkan pada kisaran nilai koefisien = 1.4, maka besar nilai total daya apung untuk gillnet lingkar = 1,4 x 0,82 x 370 = 1,4 x 303 kgf = 430 kgf Gillnetlingkar menggunakan pelampung dari syntetic rubber atau sponge berwarna putih, dengan kode S 5 N625 graf sebanyak 450 buah. Pelampung utama terbuat dari karet sandal, jarak antara pelampung 0 meter, ukuran pelampung 10 x 3,3 mm b. Menghitung Kebutuhan Pemberat Menurut Konagaya (1971), beberapa pengaruh pemberat terhadap gillnetlingkar : 1) Kecepatan tenggelam (sinking speed) dari tali pemberat (=V) sebanding dengan akar kwadrat dari berat pemberat (=Wt), V=Wt 2) Gaya tegang (tension) dari purse line sebanding dengan berat dari pemberat yang digunakan. Tension semangkin besar jika pemberat semangkin banyak 3) Berat dari pemberat akan mempunyai bentuk jaring dibagian atas pemberat yang terlalu banyak akan menyebabkan depth (lebar) jaring yang dalam dan mengurangi kecembungan dinding jaring selama pursing, sehingga scooping (daya serok) berkurang. Menghitung besarnya perbandingan pemberat dengan besar jaring (diudara) adalah: 1) Jumlah berat pemberat (diudara) berkisar diantara ½ atau ⅔ dari berat jaring (diudara) 2) Jumlah pemberat (diudara) per meter antar 1 – 3 3) Jumlah pemberat (Ws) = 480 x 0,67 = 361 4) Gillnet Lingkar per meter dikurangi dari ketentuan teknis menjadi 0,67 kg per meter, untuk meringankan penariakan jaring, dalam hal ini termasuk gillnet lingkar, jarak pemberat 1,1 meter yal S = Wk (1 ) = 480 x1,1 x 0,91 yk = 480 kgf Jadi daya tenggelam total gillnet lingkar = 480kgf + 37 kgf = 517 kgf dimana S = Daya tenggelam komponen Gillnet lingkar (grf atau kgf) Wk = Berat komponen Gillnet lingkar di udara (gr atau kg) 135 Yk = Massa jenis komponen Gillnet lingkar (gr/cm3 atau kg/dm3) y a.l = massa jenis air laut (1,025 gr/cm3 atau kg/dm3) Menghitung pemberat dalam air : S = 528 x0,91 = 480 kgf Spesific grafity dan sinking force dari beberapa pemberat dapat dilihat Tabel 1. Tabel 1.Spesific grafity dan sinking force dari beberapa pemberat Bahan Spesific Sinking force dalam Sinking force dalam berat 1 gravity volume 1 ℓ (kg) kg diudara Lead 11,35 10,35 0,912 Iron 7,83 6,83 0,872 Stone 2,70 1,7 0,630 c. Kelebihan daya apung (extra buoyancy) Kelebihan daya apung (extra buoyancy) menjadi perlu diperhitungkan dalam kaitannya perkiraan target jumlah ikan yang akan ditangkap dalam sekali pengangkatan. Ikan yang tertangkap akan menambah beban jaring karena ikan yang tertangkap terjerat pada mata jaring dan/atau terpuntal pada jaring. Pada tabel 17 berdasarkan hasil perhitungan setiap komponen jaring gillnet lingkar telah dikelompokkan komponen yang berdaya tenggelam (bertanda positif) dan komponen yang berdaya angkat (bertanda negatip). Masing-masin nilai bertanda positip dan bertanda negatip dijumlahkan dan diperbandingkan jumlahnya antara jumlah daya apung dan daya tenggelam dalam kilogram daya (kgf). Dari hasil perhitungan menurut Tabel 2 diperlihatkan nilai perbandingan daya apung dan daya tenggelam = 566 : 480, sehingga ekstra buoyancy = 566 kgf – 480 kgf = 86 kgf. Tabel2.Perbandingan daya apung dan daya tenggelam No. Nama Komonen 1. 2. Webbing Selvedge 3. Tali Pelampung Ø 8 4. Tali Ris Atas Ø 8 5. Tali Ris Bawah Ø 15 6. Tali Usus – Usus Ø 5 7. Tali Pemberat Ø 5 Berat Komponen Di Udara (kg) Di Air Laut (kgf) 370 37+ 30 0,3 450 x6,7=22 2,2 100 450 x4,7=15 1,5 100 480 x4,7=18 1,8 100 750 x3=24 2,4 100 480 x3=11 100 136 1,1 - 8. Tali bantu Ø 12 9. Tali penghubung 10. Tali Selambar Ø 12 11. 12. Pemberat Timah Pelampung S5 N 500 x9,1=40 100 200 x1,7=3 100 75 x9,1=7 100 361 867 4,0 0,3 0,7 328 + 552 480 566,2 - Perbandingan daya apung : daya tenggelam 566 : 480. Extra buoyancy = 86 kgf. DESAIN DAN KONTRUKSI GILLNET LINGKAR Desain konseptual dan awal Desain gillnet lingkar dipersiapkan sebagai petunjuk dan pedoman pembuatan atau kegiatan perakitan gillnet lingkar. Desain atau perancangan gillnet lingkar diawali dengan pra rancangan atau desain konseptual. Desain konseptual ini dibuat untuk memudahkan pelaksanaan kegiatan awal untuk memastikan penyiapan desain awal untuk kegiatan uji operasi penangkapan ikan pelagis kecil tahap pertama. Gambar 2. Desain Konseptual Gillnet Lingkar Pada kegiatan pertama uji operasi penangkapan di laut berpangkalan dari Tempat Pendaratan Ikan Pulolampes, Kabupaten Brebes. Desain konseptual ini sebagai pedoman kerja identifikasi sekaligus rujukan bila mengandung perbaikan dari hasil rancangan gillnet yang ada di lapangan. Kegiatan pra rancangan gillnet lingkar disusun melalui studi literatur dan konsep pengoperasian gillnet lingkar permukaan dengan bentuk dimensi jaring segi empat dengan koefisien gantung pada jaring bagian atas lebih besar atau sudut bukaan mata jaring melebar kearah horizontal, sedangkan koefisien gantung pada mendekati ris bawah nilainya lebih kecil atau sudut bukaan mata jaring menyempit sehingga mata jaring menguncup secara 137 vertikal.Panjang tali pelampung 325 meter berdiameter Ø 7 mm terbuat dari bahan Polyethilene. Setelah penelaahan survey di lapangan terhadap gillnet lingkar yang dioperasikan oleh nelayan Pulolampes kabupaten Brebes, selanjutnya dilakukan penyesuaian desain awal dan rincian spesifikasi sebagai benda uji pada pengoperasian Tahap kedua. Kontruksi gillnet lingkar yang didesain berdimensi lebih besar baik kearah horizontal maupun vertikal sehingga kondisi jaring menjadi lebih panjang dan lebih dalam dibanding desain semula. Hal ini untuk Tabel 3.Ukurantali-temali untuk gillnet lingkar No. Tali – Tali Ø (mm) Panjang (m) 1. Pelampung 8 450 2. Ris Atas 8 450 3. Ris Bawah 5 480 4. Pemberat 5 480 5. Tali bantu 12 500 6. Pengikat tali bantu 6 2 7. Selambar Depan 14 25 8. Selambar Belakang 14 50 9. Tali Breast Line 5 1050 Gambar 3. Desain awal gillnet lingkar untuk pengoperasian Tahap II penyesuaian pengoperasian gillnet lingkar pada perairan yang lebih dalam. (Gambar 3) 138 Kontruksi jaring bagian bawah digunakan nilai koefisien gantung (E) = 0,53 sehingga bukaan mata jaring lebih besar kearah horizontal. Dengan demikian bentuk jaring gillnet lingkar memanjang dibawahnya atau berbentuk menyerupai trapesium.Meskipun demikian bahan jaring pada bagian utama (tubuh jaring) gillnet lingkar ini tetap menggunakan ukuran mata jaring ¾ inci menyesuaikan ukuran ikan yang menjadi sasaran utama penangkapan. Adapun kebutuhan rinci bahan kontruksi gillnet lingkar dicantumkan pada Tabel 4. Tabel 4. Spesifikasi teknis gillnetlingkar sebagai benda uji untuk pengoperasian tahap II No. Uraian Jumlah 1 Tali ris atas PE rope 7 mm 450 Meter 2 Tali pelampung PE rope 7 mm 480 Meter 450 Meter 3 Tali ris atas PE rope 7 mm 450 Meter 4 Tali ris samping PE rope 7 mm 7,62 Meter 5 Tali usus – usus atas PE rope 4 mm 480 Meter 6 Tali usus – usus bawah PE rope 4 mm 480 Meter 7 Tai ris bawah PA rope 10 mm 480 Meter 8 Tali ris penguat bawah PA rope 10 mm 480 Meter 9 Jaring PA 210 d/3 ( 100 ml x 400 md ) 3/4 “ 10 pis 10 Selvedge atas PE 380d/6 1” 3 # x 1600 # 11 Selvedge bawah PE 380d/6 1” 3 # x 1600 # 3 # x 1600 # 12 Selvedge samping PE 380d/6 1” 20 # x 400 # 13 Pelampung karet 7 x 4 cm 2500 buah 14 Semen cetak 152 mm tebal 3 cm 100 Desain iterasi Gillnet lingkar yang telah diuji-operasionalkan dalam Tahap II pengaruh terhadap hasil tangkapan tidak signifikan sehingga direkalanjutkan dengan melakukan iterasi mengadakan rekontruksi penambahan kelengkapan tali kerut sedemikian rupa untuk memperkecil ikan sasaran lolos lewat bawah jaring. Dengan adanya penambahan beban pada tali kerut dengan cincin (ring) maka daya tenggelam menjadi semakin dipercepat. Hasil desain iterasi diperlihatkan gambar berikut. 139 Gambar 4. Desain gillnet lingkar hasil iterasi HASIL UJICOBA OPERASI PENANGKAPAN Waktu lingkar Analisa perhitungan tentang waktu yang diperlukan untuk melingkarkan jaring Gillnet Lingkar dapat di peroleh melalui pendekatan : S t= Vs dimana : t = Waktu tempuh turning Cyrcle (detik) S = Lintasan turning Cyrcle (meter) – 18,4 m Vs = Kecepatan murni kapal (meter/detik) 1 knot = 0,5144 m/detik Waktu yang diperlukan untuk melingkar jaring sepanjang 323 m dengan berbagai kecepatan. Tabel 5. Waktu tempuh Kecepatan Setting(Vs = Knot) Waktu Tempuh Setting (t = detik) 6.00 90.72 7.00 77,76 8.00 67,39 9.00 60,48 10.00 54,43 Hasil tangkap gillnet lingkar sebelum iterasi Kontruksi hasil pembuatan gillnet lingkar desain awal telah diujicobakan selama 6 hari dalam bulan Juli 2014. Total hasil tangkapan selama 6 hari operasi = 1293 kg. Kegiatan operasi penangkapan dilakukan sebanyak 25 kali pengoperasian dengan menghasilkan tangkapan dalam setiap kali pengangkatan sebanyak 51,72 kg. Hasil tangkapan rata-rata setiap trip setiap hari sebesar 215, 5 kg. Hasil tangkapan gillnet lingkar hasil perekayasaan awal ini bila dibandingkan hasil tangkapan gillnet lingkar milik nelayan yang berhasil dihimpun pada bulan Maret 2014 telah mengalami peningkatan sekitar 90,3 kg perhari dari 116, 2 kg. 140 Frekuensi kehadiran ikan yang tertangkap gillnet lingkar dari 25 kali pengoperasian mencapai 100% adalah jenis ikan : serinding, tembang/bilis, kembung, julung-julung dan cumi-cumi. Jenis ikan lain yang tertangkap, seperti : petek, selar, layur, parang-parang, selar, gulamah (Tabel 6). Ikan dominan yang tertangkap gillnet lingkar terdiri dari : ikan serinding (Apogonidae sp.) sebanyak 487,6 kg atau 38%, ikan kembung (Rastrelliger sp.) sebanyak 147,7 kg atau 11%, ikan tembang (Sardinella sp) sebanyak 209,4 kg atau 16%, ikan julung-julung (Hemirhamphus sp.) sebanyak 84,4 kg atau 7%, cumi (Loligo sp) sebanyak 26,5 kg atau 2% dan kelompok ikan jenis lain, seperti : selar, parang-parang, petek, layur, gulamah sebanyak 337,4 kg atau 26%. (Tabel 7). Hasil tangkapan setiap hari berdasarkan jenis ikan dominan yang tertangkap gillnet : serinding sebanyak 78 kg, ikan kembung sebanyak 23,6 kg, ikan tembang sebanyak 33,6 kg, ikan julung-julung sebanyak 13,6 kg, dan cumi sebanyak 4,4 kg. Tabel 6. Hasil Tangkap Gillnet Lingkar sebelum iterasi di PPI Pulolampes September 2014 Trip 1 2 3 4 5 6 Rata- Hauling ke Srinding 1 2 3 4 5 1 2 3 4 1 2 3 4 5 1 2 3 4 1 2 3 1 2 3 4 Jml Catch/haul 15.4 12.5 12.2 5.4 7.5 22.2 25.6 10.2 10.7 25.1 9.6 27.3 32.2 30.8 27.7 15.4 17.2 28.2 35.6 11.2 25.2 10.2 11.5 32.9 25.8 487.6 19.5 Kembung 3.2 1.4 1.5 2.6 3.4 4.6 4.5 2.6 2.2 5.4 1.7 5.2 2.8 10.5 3.5 12.2 11.4 0.8 14.4 4.5 12.4 17.5 5.5 12.4 1.5 147.7 5.9 Tembang 2.5 5.4 5.2 2.4 4.4 8.4 6.5 7.2 12.3 6.4 7.5 9.2 2.2 13.5 6.2 11.3 8.6 12.4 12.5 16.2 10.6 17.1 11.6 8.2 1.6 209.4 8.4 Julung-2 1.5 0.5 2.2 3.8 0.4 1.5 8.5 2.2 1.1 2.2 2.2 2.1 2.1 1.4 2.5 3.8 3.5 1.2 1.8 11.7 6.4 2.3 12.5 5.5 1.5 84.4 3.4 Layur 0.7 0.5 0 0 0.8 1.2 2.2 1.2 1 1.5 0 1.5 0.8 0 1.2 1.5 0.6 0 3.5 3.5 1.3 3.8 2.8 2.5 1.6 Petek 3.5 1.7 2.6 8.7 6.4 4.5 5.5 8.5 8.5 13.6 10.5 18.8 22.5 12.7 14.6 15.5 2.4 4.5 1.8 11.2 7.5 7.5 5.5 1.7 2.2 141 Parang-2 Selar 0.8 0.5 0 0 0 2.1 1.2 0.6 1.2 0 1.2 1.2 0 0 3.5 0.5 0 1.6 0.5 0 2.4 0 2.6 3.6 1.5 1.2 2.7 1.7 1.5 1.1 3.2 4.5 2.7 2.5 2.8 6.7 5.8 2.9 3.5 5.5 3.5 1.8 3.5 1.1 0 0 0 0 1.5 1.6 Gulamah 1.4 0.5 0.8 0 0 0 1.2 0 0.8 0 0 0 1.2 2.2 1.1 0 1.4 0 0 0 0 0 2.2 2.2 Cumi 0.4 0 0.5 0 0.8 1.1 0.8 0 0 0.4 0 0.5 0.8 0 1.1 2.4 0 1.1 1.5 3 0 0.8 8.8 1.5 1 26.5 1.1 Jumlah Tangkapan (kg) 30.6 25.7 26.7 24.4 24.8 48.8 60.5 35.2 40.3 57.4 39.4 71.6 66.3 73.6 68.0 67.2 45.5 54.7 72.7 61.3 65.8 59.2 60.8 72.0 40.5 1293.0 51,72 rata (kg) Catch/hari 78 23,6 33,6 13,6 4,4 Jenis ikan kembung tergolong kelompok ikan memiliki kecepatan pergerakan sedang dan beberapa ikan pelagis kecil lain. Hal ini menggambarkan kinerja gillnet lingkar ini telah mampu mengurung ikan perenang sedang dan menangkapnya tanpa menggunakan alat bantu rumpon sebagai pengumpul ikan. Tabel 7. komposisi ikan hasil tangkap gillnet lingkar sebelum iterasi Jenis ikan Serinding Kembung Tembang Julung2 Cumi Lain2 Total Cumi 2% Julung2 7% Kg 487,6 147,7 209,4 84,4 26,5 337,4 1293 % 37,7108 11,423 16,1949 6,52746 2,0495 26,0944 100 Lain-lain 26% Srinding 38% Tembang Kembung 16% 11% Gambar 5. Grafik diagram Ven komposisi hasil tangkap gillnet lingkar sebelum iterasi Hasil tangkapan gillnet lingkar setelah iterasi Kontruksi hasil pembuatan gillnet lingkar desain akhir setelah melalui iterasi kontruksi gillnet lingkar dengan memperbesar dimensi jaring yang mengarah kepada penambahan tinggi jaring. Seiring itu juga penambahan tali kerut dan cincin untuk menyesuaikan daya tenggelam jaring sehingga jaring memiliki kecepatan tenggelam (sinking speed) yang baik. Pada tahapan ini nelayan mengoperasikan sebagai bagian usahanya yang hasilnya dimonitor oleh pengamat (observer) dari BBPI. Segala biaya operasional ditanggung oleh nelayan dengan menggunakan gillnet lingkar secara pinjam dan nelayan diberi keleluasaan melakukan kegiatan penangkapan sesuai naluri dan pengalaman melakukan operasi penangkapan ikan. Kegiatan penangkapan nelayan yang dipinjami gillnet lingkar setelah mengalami iterasi desain dan kontruksi berlangsung mulai tanggal 2 Agustus hingga 12 Desember 2014. Kegiatan operasi penangkapan ikan pada periode 142 215,5 tersebut sebanyak 23 hari operasi. Dari hasil operasi tercatat 2 jenis ikan dominan yaitu ikan serinding (Apogonidae sp.) dan ikan bilis (Sardinella sp.). Frekuensi kehadiran (occurance of presence) dari 23 hari operasi tercatat kehadiran ikan serinding sebanyak 16 hari operasi (70%) dan ikan bilis 12 hari operasi (52%) Dalam analisa selanjutnya diperhatikan catatan hasil tangkap dengan kehadiran 100% ikan serinding, bersamaan jenis ikan lain yang tertangkap bersamaan ikan serinding tersebut. Data hasil kegiatan penangkapan yang telah berhasil dirangkum dalam penulisan laporan ini dipilih 16 trip operasi penangkapan pada periode 17 Agustus hingga 3 Desember 2014 bertepatan 100% kehadiran ikan serinding. (Tabel 8). Total hasil tangkapan selama 16 hari operasi = 6555 kg. Rata- rata hasil tangkap per trip selama 16 hari operasi =419 kg. Komposisi nya terdiri 37,5% ikan srinding, 25% ikan bilis dan 37,5% jenis ikan lainnya. Jenis ikan lain yang tertangkap, seperti : kembung, teri, julung-julung, petek, selar, layur, parangparang, tanjan, cumi, dan lain-lain. Berdasarkan perhitungan 16 hari operasi penangkapan dengan kehadiran ikan serinding 100% telah tertangkap ikan serinding sejumlah 2549 kg dengan berat rata-rata perhari 159, 31 kg berkomposisi 37,5%. Hasil tangkapan ikan lain selama kehadirannya 16 hari bersamaan dengan keberadaan ikan serinding telah tertangkap sejumlah 2456 kg berkomposisi 37,5%, sedangkan ikan Bilis yang keberadaannya bersamaan ikan serinding tertangkap 12 kali hari operasi sejumlah 1550 kg berkomposisi 25%. Terlihat bahwa komposisi ikan serinding walaupun tetap pada posisi yang paling dominan, namun dominasinya menurun, sementara kelompok jenis ikan lain komposisinya meningkat. Hal ini menggambarkan bahwa selektifitas gillnet lingkar terhadap serinding tidak terlalu dominan dan dikompensasi hasil tangkapan yang meningkat oleh ikan pelagis lain. Tabel 8. Data hasil tangkapangillnet lingkar setelah iterasi Hasil Hari operasi Lainnya Serinding penangkapan (Kg) (Kg) 17 Agustus 221 139 18 Agustus 449 214 23 Agustus 18 571 7 september 29 212 27 september 119 144 28 september 154 150 29 september 24 50 30 september 194 159 2 oktober 210 318 4 Oktober 529 181 143 Bilis (Kg) 298 90 116 152 347 17 211 25 211 25 7 Oktober 63 44 23 9 Oktober 67 36 35 28 0ktober 67 62 29 oktober 127 42 6 november 258 63 3 Des 20 71 Sub total (kg) 2549 2456 1550 Total (kg) 6555 Hasil tangkap/hari 410 (kg) Frekuensi Tertangkap 0.70 0.52 % dari totalTangkapan 37,5 37,5 25,0 Rata-rata/ Hari 159,31 153,5 96,88 Kemampuan gillnet lingkar menangkap ikan serinding ditampilkan kian membaik dengan angka frekuensi kehadiran dan laju tangkapan atau hasil tangkap per trip yang meningkat. Pada musim hujan gillnet lingkar dioperasikan pada perairan yang menjauh dari pantai dan pada perairan yang lebih dalam. Uji operasional gillnet lingkar selanjutnya harus dilakukan pada musim hujan sekitar periode Desember – Maret dengan frekuensi hari operasi yang lebih banyak. Komposisi hasil tangkapan dan ukuran ikan dominan yang tertangkap antara purseine waring dan gillnet lingkar dibandingkan untuk menguji selektifitas ukuran ikan yang tertangkap oleh keduanya. Perbandingan Kinerja Gillnet “Koncong” dan Gillnet Lingkar sebelum dan sesudah iterasi Kinerja atau performa alat tangkap berdasarkan perubahan desain rancang bangun dilihat berdasarkan hasil tangkapan ikan sasaran utamanya yaitu ikan srinding. Disamping itu diperhatikan selektifitas alat tangkap berdasarkan komposisinya. Tabel berikut menerangkan hasil perbandingan kinerja gillnet lingkar yang telah diuji. (Tabel 9). Gillnet lingkar konvensional adalah keberadaan gillnet lingkar yang telah ada sebelumnya sehingga perlu diamati kinerja dan komposisi hasil tangkapannya. Desain awal gillnet lingkar merupakan hasil rancangan awal sebelum dilakukan perubahan kearah perbaikan ranncang bangun atau kegiatan iterasi dalam istilah kerekayasaan. Adapun desain akhir adalah hasil iterasi alat tangkap sebagai akhir program kegiatan pada tahun berjalan. Meskipun demikian pada tahapan lanjutan masih mungkin dilakukan penyesuaian pada tahapan uji operasional untuk melihat kelayakan operasional sampai dapat diterapkan bagi penggunanya. Hasil kinerja alat tangkap gillnet lingkar telah menampakkan peningkatan hasil tangkapan setelah adanya perubahan perbaikan rancang bangun. Dari hasil 144 komposisinya, hasil tangkapan sasaran utama (ikan serinding) juga terjadi kecenderungan meningkat, namun mengingat nilai komposisinya yang menurun sehingga dalam uji operasional perlu diperhatikan pengamatan terhadap ukuran ikan lain yang tertangkap secara signifikan dengan frekuensi kehadiran tinggi, seperti ikan bilis atau Sardinell sp., cumi, julung-julung dan yang lainnya. Adapun dari segi alat tangkap masih terbuka diadakan penyesuaian mata jaring terkait dengan peluang ikan sasaran utama masih bisa tertangkap dalam jumlah yang signifikan dan tidak menimbulkan sebagian besar lolos dari segapan gillnet lingkar. Berdasarkan analisa biologi terhadap ukuran ikan serinding yang selama ini tertangkap masih dalam toleransi ukuran yang boleh ditangkap yaitu pada tingkat kematangan gonad (TKG) III. Oleh karena itu kedepan harus dilakukan pertimbangan yang lebih komprehensip, mengingat interaksi perikanan ikan pelagis kecil dihadapkan pada tantangan berkembangnya purse seine waring yang seharusnya lebih diwaspadai ketimbang jenis alat tangkap ikan pelagis kecil lain. Perikanan yang ramah lingkungan dan terjangkau secara ekonomi bagi nelayan kecil lebih dikedepankan. Tabel 9. Perbandingan hasil kinerja perubahan desain gillnet lingkar Tahapan Desain Gillnet Lingkar No Tolok Hasil Uji Kinerja Konvensional Desain Awal Desain Akhir Hasil tangkapan total 1 116,2 kg 215,5 kg 410 kg perhari 2 Komposisi ikan serinding 65% 38% 37,5% Hasil tangkapan serinding 3 75,1 kg 78 kg 159,3 kg per trip KESIMPULAN 1) Gillnet lingkar tidak tergolong jaring lingkar (surrounding net). Fungsi mata jaring pada jaring lingkar bukan untuk menjerat atau memuntal, sedangkan mata jaring pada gillnet lingkar untuk menjerat atau bila kontruksi jaring gillnet lingkar dibuat lentur dan ikan yang menabrak lingkar badannya lebih besar dari bukaan mata jaring maka ikan akan terpuntal. 2) Gillnet lingkar ikan pelagis kecil dioperasikan dengan perahu sederhana berukuran kurang dari 5 GT bermesin kurang dari 30 PK ditujukan menangkap ikan pelagis kecil, terutama jenis ikan serinding (Apoginidae sp.) dengan cara melihat, mengejar, mencegat gerombolan ikan tanpa menggunakan alat bantu pengumpul ikan dengan melingkarkan jaring sedemikian rupa hingga ikan terkurung lalu menabrak jaring sehingga ikan terjerat dan/atau terpuntal pada dinding jaring. 3) Gillnet lingkar hasil rancang bangun merupakan pengembangan gillnet lingkar konvensional milik nelayan lokal, jaring “koncong”, yang sudah mulai 145 4) 5) 6) 7) ditinggalkan, dan dengan penyesuaian rancangan dan kontruksi gillnet lingkar akan dapat dioperasikan ke perairan lebih dalam yang menjauhi pantai sebagai alternative untuk meningkatkan frekuensi hari operasi penangkapan ikan dengan gillnet lingkar disamping dapat meningkatkan kinerja efektifitas penangkapan dengan hasil tangkap yang meningkat. Berdasarkan pendekatan ekosistem, pengoperasian gillnet lingkar tanpa menggunakan alat bantu pengumpul ikan dan ditujukan pada sasaran ikan tertentu yang dikejarnya merupakan cara yang ramah lingkungan dan hasilnya lebih selektif sesuai ikan sasaran tangkapannya. Oleh karena itu kerekayasaan gillnet lingkar sebagai upaya peningkatan kinerja gillnet lingkar konvensional sekaligus sebagai alternatif pengendalian maraknya purse seine waring yang beresiko mengancam akan rusaknya sumberdaya ikan. Kontruksi gillnet lingkar terbuat dari bahan PA Multifilament, mesh size 3/4 “ dan bagian kantong menggunakan benang jaring lebih tebal terbuat dari PA Multifilamen Ukuran Mata ¾“ benang d/6. Kontruksi webbing ini sesuai untuk percepatan daya tenggelam bagi jaring yang pengoperasiannya melingkar mengurung ikan. Tempo operasi penangkapan dengan gillnet lingkar tergolong singkat dengan membutuhkan waktu 2 -3 menit untuk menurunkan dan melingkarkan jaring dan waktu yang diperlukan untuk penarikan dan pengangkatan jaring diperlukan 75 menit sampai dengan 90 menit. Daerah penangkapan ikan gillnet lingkar diperluas pada perairan yang lebih dalam dengan melakukan penyesuaian dimensi jaring gillnet lingkar sehingga sarana apung gillnet lingkar konvensional, jaring “koncong”, tetap bisa didayagunakan oleh nelayan setempat. REKOMENDASI 1) Kegiatan lanjutan kerekayasaan gillnet lingkar hendaknya pada tahapan uji operasional dengan diikuti kegiatan monitoring meliputi : Kajian terhadap performa gillnet lingkar dari segi desain dan kontruksi dalam rangka penyesuaian atau pertimbangan iterasi kearah perbaikan atau peningkatan performa jaring agar memenuhi kaidah penangkapan yang efisien dan ramah lingkungan. Kajian terhadap hasil tangkap ikan pelagis kecil hasil tangkapan gillnet lingkar dan juga terhadap hasil tangkapan purse seinewaring terkait dengan beberapa kebutuhan untuk analisa sumberdaya ikan terkait kelimpahan (dinamika populasi) dan parameter biologi untuk pengelolaan perikanan ikan pelagis kecil yang berkelanjutan berbasis ekosistem. 146 2) 3) Operasional gillnet lingkar akan terus disesuaikan desain dan kontruksi sesuai dengan kebutuhan optimal jumlah hari operasi penangkapan gillnet lingkar dalam setahunnya. Operasional gillnet lingkar hasil penyesuaian desain dan kontruksi pada perairan yang lebih dalam dan dilengkapi alat penanganan ikan diatas perahu sebagai persyaratan bahan olahan untuk produk ekspor.masih layak dengan menggunakan perahu eks jaring koncong. Diperlukan kajian bahan pertimbangan yang lebih komprehensif, mengingat interaksi perikanan ikan pelagis kecil dihadapkan pada tantangan berkembangnya purse seine waring yang seharusnya lebih diwaspadai ketimbang jenis alat tangkap ikan pelagis kecil seperti gillnet lingkar yang cenderung ramah lingkungan. Isu pengelolaan perikanan tangkap hendaknya memberikan ruang gerak perikanan yang arif, berkeadilan dan keberpihakan kepada nelayan skala kecil demi mempertahankan tradisi cara penangkapan ramah lingkungan untuk keberlanjutan perikanan pantai yang hemat tenaga. REFERENSI 1. Program Manual Kerekayasaan Gillnet Lingkar di Perairan Utara Jawa : Progman/ BBPPI/GNL/ 01/2014. 2. Dokumen Teknis Semester I (Laporan Pertengahan ) Kerekayasaan TD/GL/GNL/VI/2014 3. Technical Report Leader 2, WP Rancang Bangun Alat Tangkap: TR01/L02/GNL/03/2014 4. Technical Report Leader 2, WP Rancang Bangun Alat Tangkap: TR02/L02/GNL/05/2014 5. Technical Report Leader 2, WP Rancang Bangun Alat Tangkap: TR03/L02/GNL/06/2014 6. Technical Report Leader 2, WP Rancang Bangun Alat Tangkap: TR04/L02/GNL/09/2014 DAFTAR PUSTAKA FAO Catalogue of Small Scale Fishing Gear. Published by arrangement with the Food and Agriculture Organization of the United Nations by Fishing New Fridman,A.L,1973. Theery and design of Commercial fishing gear J.Prado dan PY Dremiere, 1996.Petunjuk praktis bagi nelayan (Fisherman work book) Edisi Terjemahan Berbahasa Indonesia. Balai Pengembangan Penangkapan Ikan Semarang Klust,G. 1973 Netting material for fishing gear FAO fishing manual. 147 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap IPB ke-6 Halaman:148-162 ISBN 978-979-1225-34-2 STUDI PENDAHULUAN TENTANG STATUS MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DI ZONA PERIKANAN BERKELANJUTAN DALAM KAWASAN TWP PULAU PIEH DAN LAUT SEKITARNYA Yempita Efendi1 1 Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Bung Hatta [email protected] ABSTRAK Telah dilakukan studi pendahuluan tentang status manajemen perikanan tangkap di zona perikanan berkelanjutan dalam Kawasan Konservasi Taman Wisata Perairan (TWP) Pulau Pieh dan Laut di Sekitarnya. Tujuan studi adalah untuk mengetahui status perikanan tangkap berbasis Ekosistem / Ecosystem Approach to Fisheries Management (EAFM). Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Analisa data menggunakan pendekatan ekosistem (EAFM). Hasil penelitian didapatkan bahwa Kawasan Konservasi Taman Wisata Perairan (TWP) Pulau Pieh dan Laut di Sekitarnya ditetapkan sebagai kawasan konservasi perairan nasional melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP. 70/MEN/2009 tanggal 3 September 2009 dengan luas kawasan 39.900 Ha. Zona perikanan berkelanjutan dalam kawasan TWP Pulau Pieh menempati area seluas 37.974,72 Ha atau sekitar 95,2% dari seluruh luas kawasan. Aktivitas nelayan dalam melakukan penangkapan yang tidak ramah lingkungan masih ditemukan, seperti penggunaan bom. Selain itu nelayan yang melakukan aktivitas penangkapan di sekitar pulau pada saat melakukan penangkapan sering membuang jangkar sembarangan sehingga dapat merusak terumbu karang yang terkena oleh jangkar kapal. Penggunaan alat tangkap seperti jaring setan juga menjadi penyebab kerusakan karang dan ancaman bagi biota lainnya. Kegiatan perikanan, baik yang sifatnya masih tradisional maupun dalam skala yang lebih besar banyak dilakukan di dalam kawasan. Ikan-ikan ekonomis penting relatif masih banyak tertangkap oleh para nelayan, mulai dari ikan-ikan karang seperti kerapu, kakap, dan kuwe sampai dengan ikan-ikan pelagis seperti tongkol, tuna, dan tengiri. Namun ada indikasi bahwa kegiatan perikanan tersebut cenderung mulai mengalami tangkap lebih (overfishing). Salah satu indikatornya adalah banyak tertangkapnya bibit-bibit ikan yang masih kecil, seperti anakan tongkol, tuna, ataupun kerapu. Kata Kunci: EAFM, perikanan berkelanjutan, overfishing 148 PENDAHULUAN Taman Wisata Perairan (TWP) Pulau Pieh dan Laut di Sekitarnya merupakan salah satu kawasan konservasi perairan nasional yang terletak di Provinsi Sumatera Barat tepatnya di sebelah barat wilayah administratif Kota Padang, Kota Pariaman, dan Kabupaten Padang Pariaman. Sebelum diserahkan ke Kementerian Kelautan dan Perikanan, kawasan ini merupakan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) dengan fungsi sebagai Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Pulau Pieh yang pengelolaannya berada di bawah Balai Konservasi Sumber daya Alam (BKSDA) Sumatera Barat Kementerian Kehutanan. Kawasan ini juga merupakan salah satu dari delapan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) dan Kawasan Suaka Alam (KSA) yang diserahterimakan dari Kementerian Kehutanan ke Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui berita acara serah terima Nomor BA.01/Menhut-IV/2009 dan Nomor BA.108/MEN.KP/III/2009 pada tanggal 4 Maret 2009. Berdasarkan pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.30/ MEN/2010 tentang Rencana Pengelolaan dan Zonasi Kawasan Konservasi Perairan, disebutkan bahwa zonasi di dalam kawasan konservasi perairan terdiri dari zona inti, zona perikanan berkelanjutan,zona pemanfaatan, dan zona lainnya. Total luas kawasan TWP Pieh dan Laut disekitarnya adalah 39.900 Ha Zona perikanan berkelanjutan dalam kawasan konservasi perairan diatur untuk mengakomodir kegiatan-kegiatan perikanan dengan catatan bahwa kegiatan tersebut dilakukan dengan cara-cara yang ramah lingkungan. Zona ini dapat dimanfaatkan untuk: - Perlindungan habitat dan populasi ikan; - Penangkapan ikan dengan alat dan cara yang ramah lingkungan; - Budidaya ramah lingkungan; - Pariwisata dan rekreasi; - Penelitian dan pengembangan; dan - Pendidikan. Zona perikanan berkelanjutan dalam kawasan TWP Pulau Pieh menempati area seluas 37.974,72 Ha atau sekitar 95,2% dari seluruh luas kawasan. Peta Zona Perikanan Berkelanjutan TWP Pulau Pieh dan Laut di Sekitarnya dapat dilihat pada Lampiran 1. Dalam makalah ini disajikan tentang status perikanan tangkap di zona perikanan berkelanjutan dengan pendekatan ekosistem. 149 METODOLOGI Metode Pengumpulan Data Indikator Data yang yang dikumpulkan mencakup 6 domain /Indikator, yakni: Sumberdaya Ikan, Teknik Penangkapan, Habitat, Sosial, Ekonomi dan Kelembagaan. Dalam pengumpulan data dibagi menjadi 2 kelompok yaitu data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode wawancara dan observasi secara kualitatif dengan mempedomani daftar pertanyaan/ kuesioner perikanan pelagis besar, pelagis kecil dan ikan karang (demersal) kepada responden rumah tangga perikanan. Wawancara dilakukan secara perorangan. Penentuan responden berdasarkan pada hal-hal berikut ini : a. Nelayan yang telah memiliki pengalaman dalam bidang tersebut minimal 5 tahun (tentatif), diutamakan lebih dari 10 tahun. b. Bersedia diwawancarai. c. Dilakukan dengan cara purposive sampling, yaitu membuat cluster dari populasi berdasarkan kriteria klasifikasi alat tangkap dan jenis armada. d. Jumlah sampel tidak terikat, wawancara hanya menargetkan terpenuhinya semua informasi yang dibutuhkan. e. Perwakilan terhadap pemilik kapal yang mengoperasikan armada penangkapan, pemilik kapal yang tidak mengoperasikan kapal dan ABK. Pengambilan data Sekunder dilakukan dengan cara mengumpulkan laporan kajian ilmiah/penelitian yang berkaitan dengan TWP Pieh dan dokumen RPP TWP Pieh dan Laut Sekitarnya. Metode penentuan lokasi didasarkan pada hal-hal berikut ini: a. Dilakukan dengan cara purposive sampling, yaitu membuat cluster dari populasi berdasarkan kriteria jumlah RTP, klasifikasi alat tangkap dan jenis armada b. Merupakan daerah yang dikelola dalam perencanaan tata ruang wilayah atau zonasi Peta administrasi TWP Pieh dan Laut sekitarnya dapat dilihat pada Lampiran 2. Metode Analisis Data Indikator Domain sumberdaya ikan, habitat, teknik penangkapan ikan, sosial, ekonomi dan kelembagaan yang terdapat pada kuesinoer diberikan nilai berdasarkan status atau kondisi terkini pada saat kajian dilakukan. Penentuan nilai status untuk setiap indikator dalam setiap domain dilakukan dengan menggunakan pendekatan skoring yang sederhana, yakni memakai skor Likert berbasis ordinal 1,2,3. Semakin baik status indikator, maka semakin besar nilainya, sehingga berkontribusi besar terhadap capaian EAFM. Perkalian bobot dan nilai akan menghasilkan nilai indeks untuk indikator yang bersangkutan atau dengan rumusan: Nilai Indeks = Nilai Skor * 100 * Nilai 150 Bobot. Nilai indeks dari indikator ini, nantinya akan dijumlahkan dengan nilai indeks dari indikator lainnya dalam setiap domain menjadi suatu nilai indeks komposit. Kemudian, nilai indeks komposit ini akan dikategorikan menjadi 5 penggolongan kriteria dan ditampilkan dengan menggunakan bentuk model bendera (flag model) seperti terlihat pada Tabel 1 berikut ini: Tabel 1. Penggolongan Nilai Indeks Komposit dan Visualisasi Model Bendera Nilai Agregat Komposit Model Bendera Deskripsi/Keterangan 100 – 140 Buruk 141 – 180 Kurang Baik 281 – 220 Sedang 221 – 260 Baik 261 – 300 Baik Sekali HASIL DAN PEMBAHASAN Domain Sumberdaya Ikan Hasil analisis domain sumberdaya ikan ditampilkan dalam Tabel 2. di bawah ini: Tabel 2. Analisis Komposit Domain Sumberdaya Ikan INDIKATOR 1. CpUE Baku 3. Proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap 4. Komposisi spesies hasil tangkapan DEFINISI/ PENJELASAN CpUE adalah hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan. Upaya penangkapan harus distandardisasi sehingga bisa menangkap tren perubahan upaya penangkapan. CpUE Baku digunakan apabila terdapat pola multi fishing gears untuk menangkap satu spesies di unit perikanan yang dikaji. Jika CpUE Baku sulit untuk digunakan, bisa digunakan CpUE dominan Persentase ikan yang ditangkap sebelum mencapai umur dewasa (maturity) Spesies target yang dimanfaatkan, spesies non target yang dimanfaatkan dan tidak dimanfaatkan MONITORING/ PENGUMPULAN Logbook, Enumerator, Observer selama minimal 3 tahun dari unit perikanan yang dikaji Sampling program secara reguler data poor fisheries: interview kepada responden yang berpengalaman dalam perikanan terkait selama minimal 10 tahun Logbook, observasi data poor fisheries: interview kepada responden yang berpengalaman dalam perikanan terkait selama minimal 10 tahun 151 KRITERIA SKOR 1 = menurun tajam (rerata turun > 25% per tahun) 2 = menurun sedikit (rerata turun < 25% per tahun) 3 = stabil atau meningkat 3 = trend ukuran semakin besar 2 1 = banyak sekali (> 60%) 1 2 = banyak (30 - 60%) 3 = sedikit (<30%) 1 = proporsi target lebih sedikit (< 15% dari total volume) 2 = proporsi target sama dgn nontarget (16-30% dari total volume) 3 = proporsi target lebih banyak (> 31 % dari total volume) 3 = tidak ada individu ETP yang tertangkap 2 Tabel 2. Analisis Komposit Domain Sumberdaya Ikan (lanjutan) INDIKATOR 5. "Range Collapse" sumberdaya ikan 6. Spesies ETP DEFINISI/ PENJELASAN lokasi penangkapan ikan yang semakin jauh Populasi spesies ETP (Endangered species, Threatened species, and Protected species) sesuai dengan kriteria CITES MONITORING/ PENGUMPULAN Survey dan monitoring, logbook, observasi data poor fisheries: interview kepada responden yang berpengalaman dalam perikanan terkait selama minimal 10 tahun Survey dan monitoring, logbook, observasi dalam satu tahun terakhir data poor fisheries: interview kepada responden yang berpengalaman dalam perikanan terkait selama minimal 10 tahun KRITERIA 1 = semakin sulit, tergantung spesies target 2 = relatif tetap, tergantung spesies target 3 = semakin mudah, tergantung spesies target 1 = fishing ground menjadi sangat jauh, tergantung spesies target 2= fishing ground jauh, tergantung spesies target 3= fishing ground relatif tetap jaraknya, tergantung spesies target 1= terdapat individu ETP yang tertangkap tetapi tidak dilepas; 2 = tertangkap tetapi dilepas Berdasarkan Tabel 2 diatas dapat dilihat bahwa dari 6 indikator pada domain Sumberdaya ikan, empat indikator bernilai 2 (kuning), dan dua indikator lainnya bernilai 1 (merah). Indikator yang bernilai 1 yakni proporsi ikan yuwana yang tertangkap dan individu ETP yang tertangkap tetapi tidak dilepas. Ikan yuawana yang tertangkap masih relative banyak (> 60%) terutama dari jenis ikan Teri dan ikan-ikan pelagis lain seperti tongkol (Euthinus sp) dan cakalang (Katsuwonus sp) yang ditangkap dengan Alat Tangkap Bagan. Domain Habitat dan Ekosistem Kualitas perairan TWP Pulau Pieh secara umum masih dalam batas-batas normal, bahkan sangat baik. Rincian parameter kualitas perairan di TWP Pieh disajikan dalam Tabel 3. Tabel 3. Kualitas Perairan TWP Pieh No. Parameter Nilai o 1. Suhu ( C) 26 – 29 2. Salinitas (‰) 26 – 38 3. Kecerahan (m) 8 – 13 4. Kecepatan Arus (cm/det) 0 – 55 5. Gelombang (m) 0,5 – 1,25 7. Pasang Surut (m) 1,2 – 3,0 Sumber: Anonimous, 2014 152 SKOR 2 2 1 TWP Pulau Pieh dan Laut di Sekitarnya merupakan habitat penting bagi ekosistem terumbu karang. Salah satu hal yang kemudian mendasari ditetapkannya kawasan ini sebagai kawasan konservasi adalah karena keberadaan ekosistem terumbu karang di dalam perairan kawasan ini. Terumbu karang yang terdapat di dalam kawasan termasuk jenis terumbu karang tepi (fringing reef) dan juga ada gosong karang (patch reef) dengan kontur yang landai sampai curam (drop off). Selain itu pulau-pulau kecil yang terdapat di dalam kawasan ini merupakan tempat bertelurnya penyu. Dari hasil kajian potensi yang dilakukan pada tahun 2010 – 2012 oleh Loka KKPN Pekanbaru menunjukkan bahwa secara umum kondisi ekosistem perairan di dalam kawasan yang didominasi oleh ekosistem terumbu karang ini adalah berada dalam kondisi rusak, bahkan di beberapa titik pengamatan sudah termasuk dalam kategori rusak berat (Gambar 1). Gambar 1. Rata-rata Tutupan Karang Hidup di TWP Pulau Pieh dan Laut di Sekitarnya Kerusakan terumbu karang terutama diakibatkan oleh aktivitas penangkapan ikan secara destructive oleh nelayan dengan menggunakan bahan dan alat yang tidak ramah lingkungan, seperti penggunaan bahan peledak dan racun potassium sianida. Rusaknya ekosistem terumbu karang yang merupakan rumah bagi ikan-ikan ini berdampak buruk terhadap hasil tangkapan nelayan yang terus mengalami penurunan sehingga areal penangkapannya semakin jauh. Hasil analisis domain habitat ditampilkan dalam Tabel 4. Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa beberapa indikator habitat berwarna merah, misalnya ekosistem lamun, mangrove dan perubahan iklim. Lamun dan mangrove berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Bung Hatta yang dari awal sangat konsen dengan TWP Pieh ini mengungkapkan bahwa di TWP Pieh tidak ditemukan kedua ekosistem tersebut. Sedangkan parameter perubahan iklim belum didapatkan data bahwa di TWP Pieh sudah pernah dilakukan penelitian, 153 Tabel 4. Analisis Komposit Domain Habitat 1. INDIKATOR DEFINISI/ PENJELASAN Kualitas perairan Limbah yang teridentifikasi secara klinis, audio dan atau visual (Contoh :B3-bahan berbahaya & beracun), menggunakan parameter dari KepMen LH 51/2004 ttg Baku Mutu Air Laut Lampiran 3 Kualitas perairan dilihat dari Tingkat Kekeruhan dan Padatan Tersuspensi Total Eutrofikasi menggunakan parameter klorofil a 2. Status ekosistem lamun Tutupan dan keanekaragaman spesies lamun MONITORING/ PENGUMPULAN KRITERIA SKOR Data sekunder, sampling, monitoring, 1= tercemar; 3 >> Sampling dan monitoring : 4 kali dalam satu tahun (mewakili musim dan peralihan) 2=tercemar sedang; Survey, monitoring dan data sekunder, CITRA SATELIT >> monitoring : dengan coastal bouy/ water quality checker (continous), Citra satelit (data deret waktu) dan sedimen trap (setahun sekali) => pengukuran turbidity di Lab >> Survey : 4 kali dalam satu tahun (mewakili musim dan peralihan) >> monitoring : dengan coastal bouy/ water quality checker (continous), Citra satelite (data deret waktu) Survey dan data sekunder, monitoring, CITRA SATELIT. 1= > Melebihi baku mutu sesuai KepMen LH 51/2004; 2= Sama dengan baku mutu sesuai KepMen LH 51/2004; 3= Dibawah baku mutu sesuai KepMen LH 51/2004 3 1= konsentrasi klorofil a < 2 µg/l; 3 3= tidak tercemar 2= konsentrasi klorofil a 2-5 µg/l; 3= konsentrasi klorofil a > 5 µg/l 1=tutupan rendah, ≤30%; 1 2=tutupan sedang, ≥ 30 - < 60%; 3=tutupan tinggi, ≥ 60% >> Sampling dan monitoring : Seagrass watch (www.seagrasswatch.org) dan seagrass net (www.seagrassnet.org) 3. Status ekosistem mangrove Status mangrove dievaluasi berdasarkan persentase tutupan dan kerapatan Survey dan data sekunder, CITRA SATELIT, foto udara >> Citra satelite dengan resolusi tinggi (minimum 8 m) - minimal satu tahun sekali dengan diikuti oleh survey lapangan >> Survey : Plot sampling 1=keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1), jumlah spesies < 3 2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3), jumlah spesies 3 - 5 3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3), jumlah spesies >5 1=tutupan rendah, < 50%; 1 2=tutupan sedang, ≥ 50 - < 75%; 3=tutupan tinggi, ≥ 75 % 1=kerapatan rendah (<1000 pohon/ha); 2 = kerapatan sedang (1000-1500 pohon/ha); 3 = kerapatan tinggi (> 1500 pohon/ha) 154 1 1 Tabel 4. Analisis Komposit Domain Habitat (Lanjutan) INDIKATOR 4. Status ekosistem terumbu karang DEFINISI/ PENJELASAN > Persentase tutupan karang keras hidup (live hard coral cover) dan keanekaragaman karang hidup yang didasarkan atas live form MONITORING/ PENGUMPULAN Survey dan data sekunder, CITRA SATELIT, foto udara >> Survey : Transek (2 kali dalam setahun) >> Citra satelite dengan hiper spektral - minimal tiga tahun sekali dengan diikuti oleh survey lapangan 5. 6. Habitat unik/khusus Luasan, waktu, siklus, distribusi, dan kesuburan perairan, spawning ground, nursery ground, feeding ground, upwelling, nesting beach GIS dgn informasi Citra Satelit, Informasi Nelayan, SPAGs (Kerapu dan kakap), ekspedisi oseanografi Perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat Untuk mengetahui dampak perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat Survey dan data sekunder, CITRA SATELIT, data deret waktu, monitoring KRITERIA 1 = tutupan rendah, <25%; 2 2 = tutupan sedang, ≥ 25 - < 50%; 3 = tutupan tinggi, ≥ 50% 1= keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1); 2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3); 3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3) 1= tidak diketahui adanya habitat unik/khusus; 2= diketahui adanya habitat unik/khusus tapi tidak dikelola dengan baik; 3 = diketahui adanya habitat unik/khusus dan dikelola dengan baik > State of knowledge level : 1= belum adanya kajian tentang dampak perubahan iklim; 2= diketahui adanya dampak perubahan iklim tapi tidak diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi; 3 = diketahui adanya dampak perubahan iklim dan diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi > state of impact (key indicator menggunakan terumbu karang): 1= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching >25%); 2= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching 5-25%); 3= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching <5%) namun pada tahun 1997 telah dilaporkan oleh Yempita Efendi dan Indrawadi pernah terjadi coral bleaching di TWP Pieh. Domain Teknik Penangkapan Ikan Hasil analisis komposit domain teknik penangkapan ikan disajikan pada Tabel 5. Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa dari 6 parameter domain teknik penangkapan 4 parameter berwarna merah. Keempat parameter yang berwarna merah adalah berkaitan dengan dokumen yang harus ada di suatu kapal penangkap ikan, termasuk didalamnya sertifikat awak kapal. Hal ini terjadi karena umumnya nelayan yang melakukan penangkapan di zona perikanan berkelanjutan di TWP 155 SKOR 2 2 1 1 Tabel 5. Analisis Komposit Domain Teknik Penangkapan Ikan INDIKATOR 1. Penangkapan ikan yang bersifat destruktif 2. Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan 3. Kapasitas Perikanan dan Upaya Penangkapan (Fishing Capacity and Effort) 4. Selektivitas penangkapan 5. Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal 6. Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan. DEFINISI/ PENJELASAN Penangkapan ikan bersifat destruktif yang dilihat dari penggunaan alat dan metode penangkapan yang merusak dan atau tidak sesuai peraturan yang berlaku. Penggunaan alat tangkap dan alat bantu yang menimbulkan dampak negatif terhadap SDI Besarnya kapasitas penangkapan dibagi aktivitas penangkapan Aktivitas penangkapan yang dikaitkan dengan luasan, waktu dan keragaman hasil tangkapan Sesuai atau tidaknya fungsi dan ukuran kapal dengan dokumen legal Kualifikasi kecakapan awak kapal perikanan (kualitatif panel komunitas) MONITORING/ PENGUMPULAN KRITERIA SKOR 1= frekuensi pelanggaran > 10 kasus per tahun ; 2 = frekuensi pelanggaran 5-10 kasus per tahun ; 3 = frekuensi pelanggaran <5 kasus per tahun 3 Observer, Sampling ukuran ikan target/ikan dominan, ukuran Lm bisa diperiksa di www.fishbase.org 1 = lebih dari 50% ukuran target spesies < Lm ; 2 = 25-50% ukuran target spesies < Lm 3 = <25% ukuran target spesies < Lm 2 survey, logbook data poor fisheries: interview kepada responden yang berpengalaman dalam perikanan terkait selama minimal 10 tahun Statistik Perikanan Tangkap, logbook, survey 1 = Rasio kapasitas penangkapan < 1; 1 Laporan hasil pengawas perikanan, survey data poor fisheries: laporan dari kepolisian, interview dari nelayan/POKMASWAS 2 = Rasio kapasitas penangkapan = 1; 3 = Rasio kapasitas penangkapan > 1 1 = rendah (> 75%) ; 2 = sedang (50-75%) ; 1 3 = tinggi (kurang dari 50%) penggunaan alat tangkap yang tidak selektif) Survey/monitoring fungsi, ukuran dan jumlah kapal. Dibutuhkan pengetahuan cara mengukur dan informasi rasio dimensi dan berat GT kapal yang ada di lapangan 1 = kesesuaiannya rendah (lebih dari 50% sampel tidak sesuai dengan dokumen legal); 2 = kesesuaiannya sedang (30-50% sampel tidak sesuai dengan dokumen legal); 3 = kesesuaiannya tinggi (kurang dari 30%) sampel tidak sesuai dengan dokumen legal 1 Sampling kepemilikan sertifikat, yang ada di unit perikanan yang dikaji 1 = Kepemilikan sertifikat <50%; 2 = Kepemilikan sertifikat 50-75%; 1 3 = Kepemilikan sertifikat >75% Pieh ini adalah nelayan tradisional yang mengoperasionalkan alat tangkap seperti Bagan, Payang dan Pancing Handline, yang tidak memiliki dokumen. Domain Sosial Hasil analisis domain sosial disajikan dalam Tabel 6. Dari tiga parameter yang dianalisis dalam domain sosial, parameter partisipasi pemangku kepentingan masih bernilai merah. Hal ini diduga karena masih belum optimalnya sosialisasi kepada semua pihak tentang dokumen rencana pengelolaan TWP Pieh. 156 Tabel 6. Analisis Komposit Domain Sosial DEFINISI/ PENJELASAN INDIKATOR 1. Partisipasi pemangku kepentingan 2. Konflik perikanan 3. Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK, traditional ecological knowledge) Keterlibatan pemangku kepentingan Resources conflict, policy conflict, fishing gear conflict, konflik antar sector. Pemanfaatan pengetahuan lokal yang terkait dengan pengelolaan perikanan MONITORING/ PENGUMPULAN Pencatatan partisipasi dilaksanakan secara kontinyu sesuai dengan pentahapan pengelolaan perikanan. Evaluasi dari pencatatan ini dilakukan setiap tahap dan siklus pengelolaan. Persentase keterlibatan diukur dari jumlah tipe pemangku kepentingan, bukan individu pemangku kepentingan Arahan pengumpulan data konflik adalah setiap semester (2 kali setahun) atau sesuai musim (asumsi level of competition berbeda by musim) Recording pemanfaatan TEK dilaksanakan secara kontinyu sesuai dengan pentahapan pengelolaan perikanan. Evaluasi dari record ini dilakukan setiap siklus pengelolaan dan dilakukan secara partisipatif KRITERIA 1 = < 50%; SKOR 1 2 = 50-100%; 3 = 100 % 1 = lebih dari 5 kali/tahun; 3 2 = 2-5 kali/tahun; 3 = kurang dari 2 kali/tahun 1 = tidak ada; 2 2 = ada tapi tidak efektif; 3 = ada dan efektif digunakan Domain Ekonomi Hasil analisis domain ekonomi disajikan dalam Tabel 7. Berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat bahwa dua parameter domain ekonomi masih bernilai merah. Kedua parameter ini berkaitan dengan tingkat pendapatan nelayan yang melakukan penangkapan di zona perikanan berkelanjutan TWP Pieh. Tabel 7 Analisis Komposit Domain Ekonomi INDIKATOR 1. Kepemilikan Aset 2. Pendapatan rumah tangga perikanan (RTP) 3. Rasio Tabungan (Saving ratio) DEFINISI/ PENJELASAN Perubahan nilai/jumlah aset usaha RTP cat : aset usaha perikanan atau aset RT, yang didapatkan dari usaha perikanan Rumah Tangga Perikanan adalah rumah tangga nelayan, pengolah ikan dan pedagang ikan yang pendapatan utamanya dihasilkan dari kegiatan perikanan menjelaskan tentang rasio tabungan terhadap pendapatan bersih MONITORING/ PENGUMPULAN KRITERIA SKOR Arahan frekuensi survey dan pengumpulan data pendapatan RTP ratarata setahun dengan mempertimbangkan musim selama lima tahun (sumber data : susenas BPS) 1 = nilai aset berkurang (lebih dari 50%); 2 = nilai aset tetap (kurang dari 50%); 3 = nilai aset bertambah (di atas 50%) 1= kurang dari rata-rata UMR, 2 Survei pendapatan rumah tangga perikanan dengan pendekatan sampling yang sesuai dengan kaidah ilmiah yang berlaku, dimana pendapatan yang diukur dan dibandingkan dengan UMR adalah pendapatan individu yang berasal dari kegiatan perikanan pada unit perikanan yang dikaji Arahan frekuensi survey dan pengumpulan data pendapatan RTP adalah menurut musim tangkapan ikan (data primer). Informasi bunga kredit dapat diperoleh di BI pada saat survey 157 1 2= sama dengan rata-rata UMR, 3 = > rata-rata UMR 1 = kurang dari bunga kredit pinjaman; 2 = sama dengan bunga kredit pinjaman; 3 = lebih dari bunga kredit pinjaman 1 Hal ini sejalan dengan domain teknik penangkapan ikan yang telah dijelaskan diatas. Hampir 100% nelayan yang beroperasi dalam kawasan adalah nelayan tradisional yang menggunakan alat tangkap bagan, payang dan pancing (handline). Domain Kelembagaan Hasil analisis komposit domain kelembagaan disajikan dalam Tabel 8. Tabel 8. Analisis Komposit Domain Kelembagaan INDIKATOR 1. Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-formal 2. Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan DEFINISI/ PENJELASAN Tingkat kepatuhan (compliance) seluruh pemangku kepentingan WPP terhadap aturan main baik formal maupun tidak formal MONITORING/ PENGUMPULAN Monitoring ketaatan: 1. Laporan/catatan terhadap pelanggaran formal dari pengawas, 2. Wawancara/kuisioner (key person) terhadap pelanggaran non formal termasuk ketaaatan terhadap peraturan sendiri maupun peraturan diatasnya 3. Perlu tambahan informasi mengenai kualitas kasus dengan contohnya Sejauh mana kelengkapan regulasi dalam pengelolaan perikanan tersedia, untuk mengatur praktek pemanfaatan sumberdaya ikan sesuai dengan domain EAFM, yaitu; regulasi terkait keberlanjutan sumberdaya ikan, habitat dan ekosistem, teknik penangkapan ikan, sosial, ekonomi dan kelembagaan 1) Benchmark sesuai dengan Peraturan nasional, pemda seharusnya juga membuat peraturan turunannya 2) membandingkan situasi sekarang dengan yang sebelumnya 3) replikasi kearifan lokal KRITERIA 1= lebih dari 5 kali terjadi pelanggaran hukum dalam pengelolaan perikanan; 2 = 2-4 kali terjadi pelanggaran hukum; 2 3 = kurang dari 2 kali pelanggaran hukum Non formal 2 1= lebih dari 5 informasi pelanggaran, 2= lebih dari 3 informasi pelanggaran, 3= tidak ada informasi pelanggaran 1 = tidak ada regulasi hingga tersedianya regulasi pengelolaan perikanan yang mencakup dua domain; 2 = tersedianya regulasi yang mencakup pengaturan perikanan untuk 3 - 5 domain; 3 = tersedia regulasi lengkap untuk mendukung pengelolaan perikanan dari 6 domain Elaborasi untuk poin 2 1= ada tapi jumlahnya berkurang; 2= ada tapi jumlahnya tetap; 3= ada dan jumlahnya bertambah 158 SKOR 1 1 Tabel 8. Analisis Komposit Domain Kelembagaan (Lanjutan) INDIKATOR DEFINISI/ PENJELASAN MONITORING/ PENGUMPULAN Ada atau tidak penegakan aturan main dan efektivitasnya Survey dilakukan melalui wawancara/ kuisioner: 1) ketersediaan alat pengawasan, orang 2) bentuk dan intensitas penindakan (teguran, hukuman) KRITERIA SKOR 1= tidak ada penegakan aturan main; 2= ada penegakan aturan main namun tidak efektif; 3= ada penegakan aturan main dan efektif 2 1= tidak ada alat dan orang; 2= ada alat dan orang tapi tidak ada tindakan; 2 3= ada alat dan orang serta ada tindakan 1= tidak ada teguran maupun hukuman; 3. Mekanisme pengambilan keputusan Ada atau tidaknya mekanisme pengambilan keputusan (SOP) dalam pengelolaan perikanan Survey dilakukan dengan : analisis dokumen antar lembaga dan analisis stakeholder melalui wawancara/kuisioner 2= ada teguran atau hukuman; 3= ada teguran dan hukuman 1= tidak ada mekanisme pengambilan keputusan; 2= ada mekanisme tapi tidak berjalan efektif; 1 1 3= ada mekanisme dan berjalan efektif 1= ada keputusan tapi tidak dijalankan; 2= ada keputusan tidak sepenuhnya dijalankan; 1 3= ada keputusan dijalankan sepenuhnya 4. Rencana pengelolaan perikanan Ada atau tidaknya RPP untuk wilayah pengelolaan perikanan dimaksud Survey dilakukan dengan wawancara/kuisioner: 1. Adakah atau tidak RPP disuatu daerah 2. Dilaksanakan atau tidak RPP yang telah dibuat 1= belum ada RPP; 5. Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan Semakin tinggi tingkat sinergi antar lembaga (span of control-nya rendah) maka tingkat efektivitas pengelolaan perikanan akan semakin baik Survey dilakukan dengan : analisis dokumen antar lembaga dan analisis stakeholder melalui wawancara/kuisioner 1= konflik antar lembaga (kebijakan antar lembaga berbeda kepentingan); 2 = komunikasi antar lembaga tidak efektif; 3 = sinergi antar lembaga berjalan baik 2 Semakin tinggi tingkat sinergi antar kebijakan maka tingkat efektivitas pengelolaan perikanan akan semakin baik Survey dilakukan dengan : analisis dokumen antar lembaga dan analisis stakeholder melalui wawancara/kuisioner 1= terdapat kebijakan yang saling bertentangan; 2 159 2 2= ada RPP namun belum sepenuhnya dijalankan; 3= ada RPP dan telah dijalankan sepenuhnya 2 = kebijakan tidak saling mendukung; 3 = kebijakan saling mendukung Tabel 8. Analisis Komposit Domain Kelembagaan (Lanjutan) INDIKATOR 6. Kapasitas pemangku kepentingan DEFINISI/ PENJELASAN Seberapa besar frekuensi peningkatan kapasitas pemangku kepentingan dalam pengelolaan perikanan berbasis ekosistem MONITORING/ PENGUMPULAN KRITERIA Survey dilakukan dengan wawancara/kuisioner terhadap: 1= tidak ada peningkatan; 1) Ada atau tidak, berapa kali 2 = ada tapi tidak difungsikan (keahlian yang didapat tidak sesuai dengan fungsi pekerjaannya) 3 = ada dan difungsikan (keahlian yang didapat sesuai dengan fungsi pekerjaannya) 2) Materi SKOR 2 Berdasarkan pada Tabel 8 diatas dapat dilihat bahwa parameter yang dianalisis dalam domain kelembagaan yang masih berwarna merah adalah mekanisme pengambilan keputusan kelengkapan aturan main. Sebagai suatu kawasan yang masih baru dikelola, hal ini sangat mudah dipahami. Aturan pengelolaan tentu masih sangat minim, begitu juga dengan aturan tentang mekanisme pengambilan keputusan. KESIMPULAN Berdasarkan analisis yang telah dipaparkan diatas didapat kesimpulan bahwa Status pengelolaan Perikanan tangkap di zona perikanan berkelanjutan dalam Kawasan TWP Pieh dan Laut disekitarnya dominan berwarna kuning, artinya dalam kondisi “sedang”. Namun domain Teknik Penangkapan dan ekonomi berwarna kuning kemerahan, artinya dalam kondisi “kurang baik” Rincian masing-masing domain disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Agregat Nilai komposit masing-masing domain Domain Agregat 2 2 1 2 1 2 Sumberdaya Ikan Habitat & ekosistem Teknik Penangkapan Ikan Sosial Ekonomi Kelembagaan 160 SARAN Untuk meningkatkan status pengelolaan perikanan tangkap dalam kawasan ini perlu langkah-langkah kongkrit dari pihak yang berwenang terutama Satker Pieh dan Loka KKPN Pekanbaru melalui pembinaan nelayan secara komprehensif. DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 2013. Review Potensi TWP Pieh dan Laut di Sekitarnya. Loka Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN) Pekanbaru. Anonimous. 2014. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No. 38 Tahun 2014 tentang Rencana Pengelolaan TWP Pieh dan Laut disekitarnya. Anonimous. 2014. Statistik Perikanan Provinsi Sumatera Barat. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Barat. Yempita Efendi dan Indrawadi. 1998. Kasus Red Tide di Pulau Pieh, Makalah yang dipresentasikan dalam Seminar Nasional di FPIK Universitas Riau. 161 LAMPIRAN 1. Peta Zona Perikanan Berkelanjutan TWP Pieh dan Laut disekitarnya 2. Peta Administrasi TWP Pieh dan Laut disekitarnya 162 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap IPB ke-6 Halaman:163-171 ISBN 978-979-1225-34-2 HUBUNGAN BEBERAPA FAKTOR OSEANOGRAFI TERHADAPHASIL TANGKAPAN IKAN DENGAN POLE AND LINE DI PERAIRAN LAUTFLORES KABUPATEN SINJAI SULSEL Muhammad Jamal1, Ernaningsih1, Hasrun1 1 Staf Pengajar Jurusan Pemanfaatan SD Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar. ABSTRAK Ikan cakalang merupakan target penangkapan yang penting dengan alat tangkap pole and line di perairan Laut Flores. Distribusi dan kelimpahan spesies ini cenderung berkumpul pada lingkungan biofisik yang disenangi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan hasil tangkapan pole and line dengan parameter lingkungan biofisik perairan. Parameter oseanografi yang diukur secara in situ adalah suhu, salinitas dan kecepatan arus, sedangkan parameter klorofil-a dianalisis di laboratorium. Berdasarkan hasil pengolahan data dengan menggunakan analisis regresi berganda dengan perangkat lunak SPSS diperoleh variabel suhu (X1) = -142,05, salinitas (X2) = -165,35, kecepatan arus (X3) = -141,8 dan klorofil-a (X4) = 2482,8 dengan nilai intercept 12472,15. Koefisien korelasi (r) diperoleh sebesar 0,759, ini berarti antara arus, salinitas, kecepatan arus dan kandungan klorofil-a mempunyai hubungan positif yang cukup berarti. Koefisien determinasi (R2) diperoleh 57,65 ini berarti bahwa 57,61 % besarnya pengaruh lingkungan biofisik terhadap hasil tangkapan, selebihnya 42,39 % faktor lain yang juga mempengaruhi hasil tangkapan. Kata kunci:cakalang, Laut Fores, oseanografi,pole and line PENDAHULUAN Perikanan tuna dan cakalang di Indonesia adalah salah satu pilar ekonomi nasional. Perikanan ini merupakan salah satu sumber devisa bagi negara dan juga menyediakan lapangan kerja bagi rakyat. Perikanan cakalang initelah berkembang terutama di perairan Indonesia bagian Timur. Uktoselja et al.(1989) dalam Jamal (2011) menyatakan bahwa potensi cakalang di selatan Sulawesi diperkirakansebesar 61.800 ton/tahun. Berdasarkan hasil kajian Widodo et al. (2003) melaporkan bahwa potensi sumberdaya ikan pelagis besar di WPPI 713 di manawilayah pengelolaan Laut Flores tercakup di dalamnya memiliki potensi sebesar 193.600 ton/tahun dengan tingkat pemanfaatan 43,96 % sehingga masih memungkinkan untuk dikembangkan. Jenis ikan yang masih berprospek untuk dikembangkan di Teluk Bone adalah ikan pelagis kecil, tuna dan cakalang. Kegiatan perikanan cakalang di Teluk Bone didominasi oleh nelayan tradisional 163 yang menggunakan pole and line untuk kebutuhan pangan lokal. Kegiatan pemanfaatan cakalang di perairan tersebut belum dilakukan olehpengusaha lain selain nelayan setempat. Pengenalan terhadap sifat dan lingkungan sumberdaya seperti suhu, salinitas, kecepatan arus dan klorofil-a sangatlah penting. Hal ini dikarenakan secara umum faktor-faktor tersebut berpengaruh terhadap ketersediaan makanan, pemijahan, migrasi dan gerombolan ikan yang secara tidak langsung akan berpengaruh pula pada jenis dan jumlah hasil tangkapan dari hasil pengoperasian suatu alat tangkap.Kegiatan perikanan cakalang saat inidiharapkan tidak hanya menekankan pada hasil tangkapan yang sebanyak-banyaknya, akan tetapi lebih diharapkan agar kegiatan tersebut dapat berjalanterus-menerus (secara berkelanjutan). Masalah utama yang dihadapi nelayan dalam menangkap ikan tuna dan cakalang adalah pengetahuan nelayan terhadap daerah distribusi dan kelimpahan ikan perenang cepat tersebut. Untuk membantu usaha penangkapan tersebut telah dilakukan penelitian untuk mengkaji beberapa faktor oseanografi yang mempengaruhi hasil tangkapan pole and line. METODOLOGI Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Maret – April 2015 di Perairan Laut Flores. Fishing base penelitian ini di TPI Lappa Kabupaten Sinjai (Gambar 1). Gambar 1. Peta lokasi Daerah penelitian Lokasi Penangkapan (fishing ground) disesuaikan dengan lokasi penangkapan nelayan dimana mereka melakukan pemancingan. Ada 12 koordinat lokasi penangkapan selama penelitian yaitu: 164 Tabel 1. Titik koordinat lokasi penangkapan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Titik koordinat Lintang Selatan Bujur Timur 06042.666' 121025.273' 0 06 32.938' 120055.005' 0 06 41.003' 121027.195' 0 06 40.885' 121003.116' 0 06 45.765' 121024.821' 0 06 45.857' 121024.876' 0 06 47.891' 121028.508' 0 06 31.885' 121003.116' 0 06 31.574' 121007.502' 0 06 41.966' 121036.296' 0 06 45.855' 121030.250' 0 06 48.386' 121029.056' Alat dan bahan yang dipergunakan selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 2 sebagai berikut : Tabel 2. Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian No Komponen I. 1 2 3 4 5 6 7 1 2 Alat Thermometer Salinometer Current meter Botol sampel GPS Kamera Kapal penangkap ikan II. Ba han Ikan cakalang Umpan Kegunaan Mengukur suhu in situ Mengukur salinitas in situ Mengukur kecepatan arus Menyimpan sampel Menentukan posisi Dokumentasi Penangkap ikan Hasil tangkapan Menarik ikan berkumpul Metode Pengumpulan Data Data penelitian diperoleh dengan cara pengukuran langsung (data primer) melalui pengambilan data penangkapan danoseanografi melalui sampling. Data primer terdiridari data jumlah hasil tangkapan, jenis hasil tangkapan, posisi penangkapan ikan tuna dan cakalangdengan alat tangkap pole and line (huhate), data oseanografi (in-situ SPL dan klorofil-a), posisipenangkapan dan data hasil tangkapan per trip. Pengambilan data tersebut dilakukan denganobservasi langsung ke lapangan dengan menggunakan GPS (Global Positioning System) salinometer serta termometer batang untuk mengamati beberapa spot fishing grounds ikancakalang di lokasi penelitian, serta wawancara dengan responden yaitu nelayan (anak buah kapal) danpengusaha (pemilik kapal). 165 Analisis Data Untuk mengetahui hubungan antara parameter oseanografi dengan hasil tanngkapan digunakan analisis regresi berganda. Analisis regresi merupakan salah satu teknik analisis data dalam statistika yang seringkali digunakan untuk mengkaji hubungan antara beberapa variabel dan meramal suatu variabel. Hubungan atau pengaruh dua atau lebih variabel bebas terhadap variabel terikat disebut dengan model regresi linier berganda (multiple linear regression model) (Kutneret al, 2004). Variabel terikat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu hasil yang tangkapan pole and line berupa ikan cakalang dan madidihang, sedangkan untuk variabel bebas yaitu Suhu Permukaan Laut (SPL), salinitas, kecepatan arus dan klorofil a.Sehingga persamaan regresi adalah: Y = a + b1X1 + b2X2 ++b3X3 + b4X4 +€ dimana: Y = Hasil tangkapan berupa ikan cakalang dan madidihang per trip (Kg) a = Konstanta X1 = Kecepatan arus (cm/det) X2 = Salinitas (0/00) X3 = Suhu (0C) X4 = Klorofil-a (mg/m3) b1 = Koefisien regresi parameter kecepatan arus b2 = Koefisien regresi parameter salinitas b3 = Koefisien regresi parameter suhu b4= Koefisien regresi parameter klorofil-a € = Perkiraan kesalahan penggangu Uji F dilakukan untuk menguji pengaruh variabel bebas (independent) secara bersama terhadap variabel terikat (dependent). Dari tabel Anova didapatkan nilai significance F dimana nilai F hitung lebih kecil dari nilai F tabel pada taraf kepercayaan 95 % berarti nyata dan jika lebih besar dari F tabel pada taraf kepercayaan 95 % berarti tidak nyata. . HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Oseanografi Suhu Suhu perairan selama penelitian berlangsung berkisar antara 29-310C dengan rata-rata 300C. Fluktuasi suhu yang terjadi pada daerah penangkapan selama penelitian ini relatif sempit dengan variasi sebesar 20C (Gambar 2). Melihat keadaan suhu yang teramati, daerah tersebut berpotensi untuk dijadikan daerah penangkapan karena kondisi suhu yang seperti ini masih tergolong normal dan masih dalam batas toleransi ikan. Hal ini sesuai dengan pendapat Gunarso 166 (1985), suhu optimum penangkapan cakalang di Indonesia adalah 28 – 29 0C, sedangkan Froose and Pauly (2011) bahwa cakalang menyebar pada suhu 15 – 30 0 C. 31.5 31 31 31 suhu (0C) 30.5 30 29.5 29 29 29 28.5 28 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Titik Koordinat Gambar 2. Hasil Pengamatan suhu di lokasi penangkapan selama penelitian Salinitas Salinitas yang teramati selama kegiatan penelitian berkisar antara 28,40 30 /00 dengan nilai rata-rata yaitu 29,10/00. Salinitas tertinggi yang teramati dalam penelitian ini yaitu 30 0/00 dan terendah 28,40/00 dengan rata-rata 29,2 0/00 dan standar deviasi sebesar 0,49. Salinitas perairan di daerah penangkapan salinitasnya tergolong normal. 30.5 Salinitas (0/00) 30 30 29.5 29 28.5 28.4 28 27.5 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Titik koordinat Gambar 3. Hasil Pengamatan salinitas di lokasi penangkapan selama penelitian 167 Fausan (2011) menemukan hasil tangkapan cakalang dengan pole and line tertinggi yaitu pada kisaran salinitas 30 0/00 dengan jumlah hasil tangkapan 1819 ekor. Ikan cenderung untuk memilih medium dengan kadar salinitas yang lebih sesuai dengan tekanan osmotik tubuhnya. Menurut Supadiningsi dan Rosana (2004) salinitas perairan yang disukai ikan cakalang berkisar 32-350/00. Kecepatan arus Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kecepatan arus berkisar antara 15,7 -26,2 cm/det dengan rata-rata 21,78 cm/det dengan nilai standar deviasi 3,07. Hasil penelitian Fausan (2011) menemukan bahwa hasil tangkapan tertinggi yaitu pada kisaran arus 5,12-6,15 dengan hasil jumlah hasil tangkapan yaitu 2.671 ekor.Selanjutnya dapat dikatakan bahwa perbedaan kecepatan arus terjadi karena penelitian yang dilakukan Fausan (2011) dilakukan di kawasan Teluk Tomini. Kecepatan arus merupakan hal yang paling diperhatikan dalam pergerakan kapal untuk mengejar gerombolan ikan diperairan yang akan menjadi tujuan penangkapan.Selain itu arus juga sangat berpengaruh terhadap penyebaran ikan, dimana arus mengalihkan telur-telur dan anak-anak ikan dari daerah pemijahan ke daerah pembesaran dan daerah tempat mencari makan. 30 26.2 Kecepatan arus (cm/det) 25 20 15.7 15 10 5 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Titik koordinat Gambar 4. Hasil Pengamatan kecepatan arus di lokasi penangkapan selama penelitian Kandungan klorofil-a Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kandungan klorofil-a di lokasi penangkapan berkisar antara 0,064 – 0,168 mg/m3, dengan rata-rata 0,120 mg/m3dan standar deviasi sebesar 0,03. Kandungan klorofil yang berpengaruh terhadap ketersediaan makanan yang akan menarik ikan-ikan untuk berkumpul. 168 0.18 0.168 0.16 Klorofil-a (mg/m3) 0.14 0.12 0.1 0.08 0.064 0.06 0.04 0.02 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Titik koordinat Gambar 5. Hasil Pengamatan klorofil-a di lokasi penangkapan selama penelitian Keberadaan konsentrasi klorofil-a di atas 0,2 mg m-3 mengindikasikan keberadaan plankton yang cukup untuk menjaga kelangsungan hidup ikan-ikan ekonomis penting (Zainuddin 2007). Jenis dan Jumlah Hasil Tangkapan Jenis hasil tangkapan pole and line adalah ikan pelagis besar yang hidup bergerombol yaitu ikan cakalang dan madidihang. Jumlah hasil tangkapan ikan cakalang dan madidihang selama penelitian adalah 17.896 kg dan 2.328 kg. Sehingga total hasil tangkapan adalah 20.224 kg dengan rata-rata 1.685, 3 kg. Jumlah hasil tangkapan per jenis disajikan pada Gambar 6. 9000 8520.5 Hasil tangkapan (kg) 8000 7461.5 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1059 1000 104.5 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Titik koordinat Cakalang Madidihang Total Gambar 6. Jumlah hasil tangkapan selama penelitian 169 12 Hubungan Faktor Oseanografi terhadap Hasil Tangkapan Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan regresi linier berganda antara faktor oseanografi dengan hasil tangkapan diperoleh nilai b1 = -142,05 ; b2 = -165,35 ; b3 = -141,8 dan b4 = 2482,8 dengan nilai a (intercept) 12472,15. Dengan demikian persamaan regresi linier berganda antara variabel dependen (hasil tangkapan) dengan variabel independen (arus, salinitas, kecepatan arus dan klorofil-a) diperoleh sebagai berikut : Y = 12472,15 –142,05X1-165,35X2 – 141,8X3 + 2482X4 +€ dimana: Y = Hasil tangkapan berupa ikan cakalang dan madidihang per trip (Kg) X1 = Kecepatan arus (cm/det) X2 = Salinitas (0/00) X3 = Suhu (0C) X4 = Klorofil-a (mg/m3) Keempat variabel tersebut di atas diperoleh koefisien korelasi (r) sebesar 0,759.Ini berarti bahwa antara suhu, salinitas, kecepatan arus dan kandungan klorofil-a mempunyai hubungan positif yang cukup berarti terhadap jumlah hasil tangkapan. Adapun nilai koefisien determinasi (R2) adalah sebesar 57,61, nilai ini menunjukkan bahwa besarnya faktor oseanografi terhadap jumlah hasil tangkapan adalah 57,61 %, selebihnya faktor lain yang juga mempengaruhi jumlah hasil tangkapan sebesar 42,39 %. Berdasarkan uji Anova didapatkan nilai F hit= 6,46 (P<0,05) ini menunjukkan adanya pengaruh antara faktor oseanografi dengan jumlah hasil tangkapan pada taraf kepercayaan 95 %. Secara umum persamaan regresi di atas merupakan rata-rata perubahan yang terjadi pada variabel Y apabila terjadi perubahan pada variabel X1, X2, X3 dan X4 sebesar 1 unit menurut ukuran masing-masing Berdasarkan hasil persamaan regresi yang diperoleh bahwa jumlah hasil tangkapan akan mengalami penurunan sebesar 142 kg jika suhu bertambah 1 unit satuan.Jumlah hasil tangkapan akan mengalami penurunan sebesar 165 kg, jika salinitas bertambah 1 unit satuan.Jumlah hasil tangkapan akan mengalami penurunan sebesar 141 kg, jika kecepatan arus bertambah 1 unit satuan. Selanjutnya jumlah hasil tangkapan akan mengalami peningkatan sebesar 2.482 kg, jika klorofil-a bertambah 1 unit satuan. KESIMPULAN Berdasarkan uji Anova didapatkan bahwaada pengaruh antara faktor oseanografi dengan jumlah hasil tangkapan pada taraf kepercayaan 95 %. Nilai R2 adalah sebesar 57,61 menunjukkan bahwa besarnya faktor oseanografiterhadap 170 jumlah hasil tangkapan adalah 57,61 %, selebihnya faktor lain yang juga mempengaruhi jumlah hasil tangkapan sebesar 42,39 %. Jumlah hasil tangkapan ikan cakalang dan madidihang selama penelitian adalah 17.896 kg dan 2.328 kg, total hasil tangkapan adalah 20.224 kg dengan rata-rata 1.685, 3 kg. SARAN Perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang kondisi biofisik lingkungan perairan dengan menambah lokasi lainnya misalnya di daerah selat Makassar dan mencakup seluruh musim yang ada. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (DP2M) Dikti yang telah membiayai penelitian ini melalui Skim penelitian Strategi Nasional Tahun 2015. DAFTAR PUSTAKA Fausan, 2011. Pemetaan Daerah Potensial Penangkapan Ikna Cakalang (Katsuwonus pelamis) Berbasis Sistem Informasi Geografis d Perairan Teluk Toini Provinsi Gorontalo. Skripsi, Prodi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Jurusan Perikanan Universits Hasanuddin, Makassar. Froose R and Pauly D., 2011. Fishbase, www.fishbase.org version (06/2011) Gunarso, W. 1985. Tingkah Laku Ikan dalam Hubungannya dengan Alat, Metodedan Taktik Penangkapan. Fakultas Perikanan IPB, Bogor. Jamal, M. 2011. Analisis Perikanan Cakalang (Katsuwonus pelamis) di Teluk Bone. Hubungan Aspek Biologi dan Faktor Lingkungan. Disertasi, Sekolah Pasca Sarjama, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kutner, M.H., C.J. Nachtsheim., dan J. Neter. 2004. Applied Linear Regression Models. 4 ed. New York:McGraw-Hill Companies, Inc. Supadiningsih, C. N dan Rosana, N, 2004. Penetuan Fishing Ground Tuna dan Cakalang dengan Teknologi Pengindraan Jauh. PertemuanIlmiah Tahunan I. Teknik Geodesi. ITS. Surabaya. Widodo J. 2003. Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut Indonesia Tahun2002. Di dalam : Widodo J, Wiadnya NN, Nugroho D. (Eds). ProsidingForum Pengkajian Stok Ikan Laut 2003. Jakarta, 23-24 Juli 2003. PUSRIPTBRKP, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. 171 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap IPB ke-6 Halaman:172-192 ISBN 978-979-1225-34-2 TINGKAT EFISIENSI PEMASARAN IKAN LAUT SEGAR DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA (PPN) BRONDONG (Marketing EfficiencyLevelof Fresh Fish in Brondong Fishing Port) Miftachul Huda1*, Iin Solihin2, Ernani Lubis2 1 Program Studi Teknologi Perikanan Laut, Departemen. Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, FPIK, IPB 2 Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB E-mail :[email protected] [email protected] ABSTRAK Pemasaran merupakan kunci dari keberlanjutan aktivitas perekonomian tidak terkecuali ikan hasil tangkapan yang berasal dari Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Brondong. Ikan yang didaratkan di PPN Brondong beragam. Ikan swangi (Priacanthus tayenus) dan ikan kuniran (Upeneus sulphureus) merupakan ikan hasil tangkapan dominan serta ikan tongkol (Euthynnus affinis) dan ikan kakap merah (Lutjanusmalabaricus)merupakan ikan ekonomis tinggi yang di daratkan di PPN Brondong. Nelayan PPN Brondong perhari rata-rata melakukan penangkapan ikan 159 ton ikan. Potensi besarnya hasil tangkapan yang didaratkan di PPN Brondong harus dapat diimbangi dengan pemasaran yang baik. Aktivitas pemasaran harus dapat dilakukan seefisien mungkin sehingga dari sisi bisnis dapat memberikan keuntungan yang besar dari hasil kegiatan pemasaran ini. Aktivitas distribusi pemasaran ikan yang berasal dari PPN Brondong saat ini masih belum efisien dikarenakan aktivitas pemasaran masih menggunakan alat-alat yang tradisional. Melihat kondisi itu penting untuk mengetahui tingkat efisiensi dari aktivitas pemasaran ikan yang berasal dari PPN Brondong. Tujuan dari penelitian ini adalah menghitung tingkat efisiensi pemasaran ikan yang ada di PPN Brondong, Lamongan, Jawa Timur. Penelitian akan dilaksanakan dengan metode kasus terhadap strategi peningkatan efisiensi pemasaran dalam pendistribusian ikan dari Pelabuhan Perikanan Pantai (PPN) Brondong. Analisis yang digunakan yaitu dengan rumus efisiensi pemasaran. Berdasarkan analisis yang dilakukan, didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa aktivitas pemasaran yang ada di PPN Brondong tidak efisien. Terbukti berdasarkan analisis didapatkan ikan swangi memiliki tingkat Eps 45,44%, ikan kuniran 38,98%, ikan tongkol 57,94% dan ikan kakap merah 25,65% dengan dinyatakan dimana pemasaran dikatakan efisien jika memiliki Eps <5%. Kata kunci: efisiensi pemasaran, ikan laut segar,PPN Brondong 172 PENDAHULUAN Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Brondong merupakan pelabuhan perikanan yang paling sibuk di Jawa Timur.Ikan yang didaratkan sangat bervariasi. Beberapa jenis ikan yang didaratkan di PPN brondong diantaranya ikan tongkol (Euthynnus affinis), ikan kakap merah (Lutjanuscampechanus) yang merupakan ikan ekonomis tinggi serta ikan kuniran(Upeneus sulphureus), ikan swangi (Priacanthus tayenus)merupakan hasil tangkapan dominan yang didaratkan di PPN Brondong. Ikan yang berasal dari PPN Brondong ini dipasarkan ke berbagai daerah baik di Lamongan sendiri, kota disekitar Jawa Timur hingga keluar provinsi Jawa Timur. Ikan yang berasal dari PPN Brondong yang dipasarkan di berbagai tempat memiliki tingkat kenaikan harga yang sangat signifikan.Kenaikan ini disebabkan karena adanya perlakuan untuk kegiatan pemasaran dan pengambilan keuntungan selama ikan didistribusikan.Distribusi merupakan bagian dari pemasaran yang selalu muncul ketika melakukan perpindahan barang dari satu tempat ke tempat yang lainnya dan terjadi pertambahan nilai.Distribusi merupakan faktor penting yang membuat perpindahan barang menjadi cepat (Deswindi 2007). Ikan yang berasal dari PPN Brondong dipasarkan hampir diseluruh Pulau Jawa dan Bali. Pemasaran dilakukan menggunakan alat transportasi darat berupa truk bak terbuka atau pick-up dimana ikan dimasukkan ke dalam drum ataupun palka fiber yang diletakkan diatas kendaraan. Proses pemasaran ikan yang berasal dari PPN Brondong melalui cukup banyak tangan/pelaku atau juga yang biasa disebut rantai pasok. Panjangnya rantai yang dilalui ini membuat pemasaran ikan yang berasal dari PPN Brondong menjadi tidak efisien. Tidak efisiennya pemasaran ikan yang berasal dari PPN Brondong disebabkan oleh banyaknya jumlah rantai atau pelaku (rantai pemasaran) yang berkecimpung dalam distribusi proses pemasaran ikan. Jumlah rantai pemasaran yang dilewati oleh suatu komoditas dalam proses pemasaran mempengaruhi terhadap harga ikan karena adanya pengambilan keuntungan oleh setiap pelaku. Rantai pemasaran mencakup semua link dari titik produksi (proses penangkapan ikan) kepada pengguna akhir atau konsumen akhir. Rantai pasok berisi kumpulan sub-pasar atau sistem pemasaran.Sebuah sistem pemasaran didefinisikan sebagai mata rantai hubungan antara produsen/pemasok dan konsumen, termasuk semua mekanisme yang menentukan hubungan antara laba produsen dan penyediaan produk fisik (Cenini 2012). Melihat tidak efisiennya kegiatan pemasaran ikan yang berasal dari PPN Brondong ini, maka perlu diketahui tingkat kenaikan harga (margin) ikan yang dipasarkan sehingga dapat diketahui tingkat efisien dari kegiatan pemasaran ikan yang berasal dari PPN Brondong. 173 METODOLOGI Penelitian ini dilakukan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Brondong, Pasar Pabean Surabaya (pasar induk), Pasar Larangan Sidoarjo (pasar kabupaten), dan Pasar Wonoayu (pasar kecamatan/desa).Penelitian dilakukan pada bulan November hingga Desember 2014.Pengambilan data dilakukan dengan metode purposive sampling yaitu melakukan wawancara langsung dengan para pelaku yang ada di setiap lokasi pemasaran ikan. Wawancara dilakukan terhadap 5 responden nelayan, 5 pemborong, 5 distributor, 5 sopir, 3 pedagang di pasar regional, 3 pedagang pasar kabupaten/kota dan 3 pedagang pasar kecamatan. Penentuan jumlah responden diatas dikarenakan telah memiliki kesamaan informasi, sehingga informasi sudah dianggap cukup karena saling melengkapi dari responden yang sebelumnya. Pengambilan data meliputi harga ikan yang dijual, besar pengambilan keuntungan, tingkat kenaikan harga di setiap pelaku, serta biaya produksi yang dikeluarkan oleh setiap pedagang atau distributor. Menurut Hapsari (2013), untuk mengetahui jumlah rantai dan margin pemasaran ikan diperlukan data meliputi harga ikan,saluran pemasaran ikan,margin pemasaran ikan,biaya produksi pada pedagang pengecer dan pedagang besar ikan, dan keuntungan yang didapatkan oleh pedagang pengecer dan pedagang besar. Setelah ditemukan alur pemasaran termasuk jumlah pelaku dan besarnya margin yang terjadi, maka akan didapatkan tingkat efisien dari pemasaran ikan yang berasal dari PPN Brondong. Efisien menurut kamus besar bahasa Indonesia yaitu tepat atau sesuai untuk mengerjakan (menghasilkan) sesuatu (dengan tidak membuang-buang waktu, tenaga, biaya), mampu menjalankan tugas dengan tepat dan cermat, berdaya guna, bertepat guna. Efisien artinya melakukan sesuatu dengan sumber daya yang hemat atau dengan tanpa pemborosan, sedangkan efisiensi adalah penggunaan sumber daya secara minimum guna pencapaian hasil yang optimum (Anggrahini 2012). Menurut Hanafiah dan Saefuddin (2006), efisiensi tata niaga dianalisis berdasarkan efisiensi teknis dan ekonomis. Efisiensi teknis dipilih karena memiliki kriteria yang jelas meliputi input pendapatan dan biaya barang yang dipasarkan hingga output dari barang yang dipasarkan. Pengukuran efisiensi ekonomis menggunakan margin rantai nilai yang ada di pasar sebagai alat ukurnya.Efisiensi teknis merupakan pengendalian fisik dari produk atau komoditas yang mencakup prosedur, teknis, dan besarnya skala operasi. Tujuan dari efisiensi teknis ini untuk penghematan fisik seperti mengurangi kerusakan barang, mencegah merosotnya mutu produk, dan menghemat tenaga kerja yang akan berdampak pengurangan ongkos berupa uang yang tergantung pada economic environment dalam rantai nilai yang berlangsung. Efisiensi ekonomis menunjukkan bahwa perusahaan atau industri dengan teknik, skill dan 174 pengetahuan yang ada, dapat bekerja atas dasar biaya rendah dan memperoleh profit. Margin pemasaran adalah perbedaan harga antara yang harus dibayar kepada penjual pertama dan harga yang dibayar oleh pembeli terakhir. Menurut Oktariza (1996), untuk menghitung margin pemasaran dapat menggunakan rumus: dimana : MP : Margin pemasaran HK : Harga ditingkat konsumen HP : Harga ditingkat nelayan Efisiensi pemasaran merupakan maksimisasi rasio antara luaran dan masukan yang digunakan dalam kegiatan pemasaran (Irawan 2007).Menurut (Rasyaf1995) dalam (Rasuli 2007), biaya pemasaran adalah biaya-biaya yang dikeluarkan dalam pergerakan barang dari tangan produsen sampai konsumen akhir atau setiap biaya yang dikeluarkan untuk keperluan pemasaran.Biaya pemasaran adalah semua biaya yang terjadi sejak produk selesai diproduksi dan disimpan dalam gudang dan sampai saat produk diubah kembali dalam bentuk tunai.Biaya pemasaran merupakan biaya yang dikeluarkan dalam memasarkan, mendistribusikan, dan melayani produk atau jasa (Setiawan 2014). Biaya pemasaran meliputi biaya operasional pemasaran yang dikeluarkan pedagang (biaya pengangkutan, penyimpanan, sortasi, grading) dan keuntungan pedagang (Irawan 2007). Menurut Hapsari (2013), untuk mengetahui tingkat efisiensi pemasaran ikan pada masing-masing lembaga pemasaran, digunakan rumus sebagai berikut: dimana: Eps : Efisiensi Pemasaran Bp : Biaya Pemasaran HE : Harga Eceran Kriteria: – Eps < 5%, berarti efisien – Eps > 5 %, berarti tidak Efisien HASIL Alur dan Lokasi Pemasaran Berdasarkan observasi dan wawancara di PPN Brondong yang termasuk ikan ekonomis tinggi yaitu ikan tongkol dan ikan kakap merah, serta ikan kuniran 175 dan ikan swangi merupakan ikan dominan.Bentuk pemasaran tersebut tertera pada Tabel 1. Tabel 1. Pemanfaatan ikan yang dipasarkan NO. 1. 2. 3. 4. NAMA IKAN PEMANFAATAN Konsumsi segar utuh Konsumsi segar utuh dan fillet Surimi dan konsumsi segar utuh Surimi dan konsumsi segar utuh Ikan tongkol Ikan kakap merah Ikan swangi Ikan kuniran Sumber: data primer 2014 Masing-masing pemasaran ikan memiliki alur yang berbeda-beda. Khusus ikan swangi dan ikan kuniran yang merupakan bahan baku untuk surimi, memiliki alur pendistribusian yang sama yaitu dibawa menuju pabrik pengolahan yang ada di sekitar PPN Brondong. Ikan swangi dan ikan kuniran diolah di pabrik, nantinya setelah diolah akan langsung dipasarkan keluar negeri untuk memenuhi pasar ekspor. Tabel 2. Nama perusahaan pengolahan ikan di sekitar PPN Brondong NO NAMA PERUSAHAAN PRODUKSI OLAHAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. PT. HATNI PT. ANELA CV. SINDI PRATAMA PT. 88 PT. 689 PT. STARFOOD Ikan fillet beku Surimi dan Ikan beku Surimi dan Ikan Beku Surimi dan Ikan Beku Ikan Beku dan Ikan Olahan Surimi dan Ikan Beku Alur pemasaran ikan swangi dan ikan kuniran memiliki kesamaan. Kesamaan ini dikarenakan kedua ikan ini merupakan bahan pokok untuk dijadikan surimi oleh perusahaan yang ada disekitar PPN Brondong dan sebagian lagi dijual dalam bentuk ikan segar. Ikan swangi dan kuniran yang berbentuk segar dipasarkan di kota Lamongan, Sidoarjo, Tuban, Bojonegoro dan juga Surabaya. Ikan tongkol dan ikan kakap merah yang ada di PPN Brondong tidak semua berasal dari kapal yang mendarat di PPN Brondong, namun sebagian berasal dari pangkalan pendaratan ikan (PPI) yang ada disekitar PPN Brondong.Seperti ikan tongkol yang berasal dari PPI Labuhan serta ikan kakap merah dari PPI Kandang Semangkon dan PPI Kranji. 176 Gambar 1. Alur pemasaran ikan swangi dan ikan kuniran di PPN Brondong Gambar 2. Ikan yang masuk PPN Brondong dari jalur darat Ikan tongkol memiliki daerah pemasaran yang cukup luas meliputi Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan dan Malang. Ikan tongkol dipasarkan dalam bentuk segar karena dijual di pasar tradisional dan digunakan untuk konsumsi rumah tangga. 177 Gambar 3. Kota tujuan pemasaran ikan tongkol Ikan tongkol dalam proses pemasarannya menuju konsumen di daerah, setidaknya melalui 5 rantai sebelum sampai konsumen. Rantai pemasaran yang cukup panjang ini disebabkan adanya titik lokasi yang merupakan pusat pemasaran ikan skala besar.Lokasi pusat pemasaran ikan skala besar yang ada di Jawa Timur yaitu Pasar Pabean, di Kota Surabaya. Gambar 4 Alur pemasaran ikan tongkol dari PPN Brondong 178 Ikan kakap merah memiliki pasar tersendiri dan dipasarkan dalam bentuk fillet serta dikonsumsi segar utuh. Pemasaran ikan kakap meliputi Surabaya dan Sidoarjo untuk masuk di perusahaan fillet ikan, dan Singaraja-Bali untuk dijadikan konsumsi ikan segar utuh di restoran. Gambar 5 Kota tujuan pemasaran ikan kakap merah Sama halnya dengan ikan tongkol, ikan kakap merah setidaknya untuk mencapai konsumen dalam bentuk segar setidaknya membutuhkan 5 rantai hingga sampai ditangan konsumen. Namun ada juga yang mencapai 6 rantai karena dijual di restoran-restoran yang ada di sekitar tempat wisata di Pulau Bali. Harga dan Margin Pemasaran Ikan Panjangnya alur pemasaran ikan yang dilakukan oleh pelaku menjadikan adanya kenaikan harga akibat adanya margin dari ikan yang dipasarkan.Setiap perpindahan pelaku yang dilalui sampai ke konsumen atau pembeli terakhir memerlukan atau menimbulkan adanya margin.Margin pemasaran ikan dari setiap jenis ikan berbeda-beda tergantung dari harga ikan itu sendiri ketika pertama kali dijual oleh nelayan dan juga jumlah pelaku yang ada didalamnya. Ikan Swangi dan Ikan Kuniran Ikan swangi dan kuniran memiliki tingkat margin yang sama dalam aktivitas distribusi pemasaran. Kesamaan ini dikarenakan harga ikan cenderung ditentukan oleh pabrik berdasarkan pada stok ikan yang didaratkan pada hari itu. Fluktuatif harga sangat tinggi karena ikan yang didaratkan di PPN Brondong 179 dalam pembongkarannya bergantian, sehingga harga ikan akan berfluktuatif sesuai kapasitas produksi dari perusahaan pengolahan ikan yang ada di PPN Brondong. Rincian margin secara detail untuk ikan swangi dan kuniran terlihat pada Tabel 3 dan Tabel 4. Gambar 6. Alur pemasaran ikan kakap merah Tabel 3. Margin harga ikan swangi No. Rantai 1 2 R1 R2 Rata-rata Harga Tingkat Kenaikan Harga Prosentase Kenaikan Rp 2.500 23% Rp 11.000 Rp 13.500 Rp 2.500 Margin Keterangan: R1 : Produsen (nelayan/pemborong) R2 : Distributor/Supplyer utusan Pabrik Tabel 4. Margin harga ikan kuniran No Rantai 1 R1 Rp 13.125 2 R2 Rp 15.625 Margin Rata-rata Harga Rp Tingkat Kenaikan Harga Prosentase kenaikan Rp 2.500 19% 2.500 Keterangan: R1 : Produsen (nelayan/pemborong) R2 : Distributor/Supplyer utusan Pabrik 180 Berdasarkan Tabel 3 dan Tabe 4 diatas terlihat adanya margin yang terjadi dari proses pemasaran ikan swangi dan ikan kuniran, dimana masing-masing ikan mencapai 2.500/kg. Berdasarkan hasil wawancara, margin kenaikan harga ikan yang terjadi pada ikan swangi dan ikan kuniran disebabkan karena pemberian es curah, upah sopir, sewa mobil dan biaya risiko yang dibebankan pada komoditas. Ikan Tongkol Margin ikan tongkol memiliki perbedaan dengan ikan kuniran dan ikan swangi.Perbedaan ini dikarenakan jumlah rantai yang harus dilalui oleh ikan ini sendiri untuk mencapai konsumen akhir juga lebih panjang.Pada Tabel5 terlihat Ikan tongkol harus melalui 5 rantai atau pelaku yang di setiap pelaku terjadi margin pemasaran yang disebabkan adanya pengambilan keuntungan dan biaya pemasaran ikan. Tabel 5. Margin harga ikan tongkol No 1 2 3 4 5 Rantai R1 R2 R3 R4 R5 Margin Rata-rata Harga Rp Rp Rp Rp Rp Rp Tingkat Kenaikan Harga 9.775 13.775 18.775 22.775 26.775 17.000 Rp Rp Rp Rp 4.000 5.000 4.000 4.000 Prosentase kenaikan 41% 36% 21% 15% Keterangan: R1 : Produsen (nelayan/pemborong) R2 : Distributor/Supplyer R3 : Agen Pasar Regional (Pasar Pabean Surabaya) R4 : Pedagang besar Pasar Kabupaten (Pasar Larangan Sidoarjo) R5 : Pedagang pengecer Pasar Kecamatan/Pasar Desa (Kecamatan Wonoayu) Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa dalam pemasaran ikan tongkol terjadi 4 kali proses kenaikan harga dikarenakan harus melalui 5 pelaku yang berbeda sebelum diterima konsumen. Komoditas ikan tongkol terjadi margin sebesar 17.000/kg ketika di pasar kecamatan atau pasar desa.Adanya margin yang terjadi pada komoditas ikan tongkol ini disebabkan oleh pengambilan keuntungan, pemberian perlakuan untuk menjaga kualitas ikan, biaya transportasi selama distribusi, dan biaya risiko ikan yang tidak terjual. Ikan Kakap Merah Ikan kakap merah juga memiliki margin yang berbeda dengan ikan tongkol, ikan kuniran dan ikan swangi.Hal ini dikarenakan adanya perbedaan 181 jumlah rantai yang harus dilalui oleh ikan kakap merah untuk mencapai konsumen akhir yaitu lebih panjang dan harga ikan ini yang lebih mahal.Ikan kakap merah harus melalui 5 rantai dimana disetiap rantai terdapat margin pemasaran karena adanya pengambilan keuntungan dan biaya pemasaran ikan.Margin secara terperinci disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Margin harga ikan kakap merah No. 1 2 3 4 5 Rantai R1 R2 R3 R4 R5 Margin Rata-rata Harga Rp Rp Rp Rp Rp Rp Tingkat Kenaikan Harga 48.650 53.650 61.650 66.650 71.650 23.000 Rp Rp Rp Rp 5.000 8.000 5.000 5.000 Prosentase kenaikan 10% 15% 8% 8% Keterangan: R1 : Produsen (nelayan/pemborong) R2 : Distributor/Supplyer R3 : Agen Pasar Regional (Pasar Pabean Surabaya) R4 : Pedagang besar Pasar Kabupaten (Pasar Larangan Sidoarjo) R5 : Pedagang pengecer Pasar Kecamatan/Pasar Desa (Kecamatan Wonoayu) Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa dalam pemasaran ikan kakap sama dengan ikan tongkol terjadi 4 kali proses kenaikan harga dikarenakan harus melalui 5 pelaku yang berbeda sebelum mencapai tangan konsumen. Komoditas ikan kakap merah terjadi margin sebesar 22.000/kg ketika di pasar kecamatan atau pasar desa.Adanya margin yang terjadi pada komoditas ikan kakap merah ini disebabkan oleh pengambilan keuntungan, pemberian perlakuan untuk menjaga kualitas ikan, biaya transportasi selama distribusi, dan biaya risiko ikan yang tidak terjual. Faktor Penyebab Kenaikan Harga Ikan dan Biaya Pemasaran Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kenaikan harga pada ikan yang dipasarkan.Masing-masing ikan memiliki penyebab adanya kenaikan harga. Pelaku dalam alur distribusi ikan dalam proses pemasaran menjadi pihak yang menyebabkan margin tersebut. Ini terlihat dari beberapa ikan yang terdapat dibawah ini. Ikan Swangi dan Ikan Kuniran Ikan swangi dan ikan kuniran yang memiliki rantai pemasaran paling pendek diantara ikan lainnya.Banyak faktor yang menyebabkan munculnya margin pemasaran pada ikan tersebut. Faktor-faktor tersebut meliputi pihak 182 nelayan dan pihak distributor seperti yang terdapat pada Tabel 7 untuk ikan swangi dan Tabel 8 untuk ikan kuniran. Tabel 7. Perhitungan kenaikan harga ikan swangi No. Rantai Komposisi biaya pemasaran 1 R1 Biaya pemasaran ikan dari kapal-TPI 2 R2 Biaya pemasaran ikan dari TPI-pabrik Biaya Pemasaran (Rp/kg) Harga awal dari nelayan (penentu harga dari pihak perusahaan) Distributor (Pengepul) dari TPI menuju pabrik pengolahan 5.165 996 Total Biaya Pemasaran Nelayan-Pabrik Tempat Terjadi Kenaikan 6.161 Tabel 8. Perhitungan kenaikan harga ikan Kuniran No. Rantai Komposisi biaya pemasaran Biaya Pemasaran (Rp/kg) 1 R1 Biaya pemasaran ikan dari kapal-TPI 5.165 2 R2 Biaya pemasaran ikan dari TPI-pabrik 1.071 Total Biaya Pemasaran Nelayan-Pabrik Tempat Terjadi Kenaikan Harga awal dari nelayan (penentu harga dari pihak perusahaan) Distributor (Pengepul) dari TPI menuju pabrik pengolahan 6.236 Harga dimulai dari penjualan di TPI.Penambahan biaya pemasaran juga bertambah ketika sampai di tangan distributor.Penambahan itu meliputi biaya pemberian es, biaya kuli angkut dari TPI ke mobil pick-up, biaya sopir, biaya risiko dan biaya retribusi pembelian ikan. Ikan Tongkol Ikan tongkol yang memiliki rantai pemasaran cukup panjang membuat munculnya margin pemasaran yang cukup besar pula.Faktor-faktor tersebut meliputi pihak nelayan, pihak distributor, pihak pedagang ikan di pasar regional, pedagang di pasar kabupaten, dan pedagang di pasar kecamatan/desa berlombalomba mempertahankan kualitas ikan yang mengakibatkan meningkatnya margin.Faktor penyebab kenaikan harga ikan tongkol dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Perhitungan kenaikan harga ikan tongkol Biaya Pemasaran (Rp/kg) No. Rantai Komposisi biaya pemasaran 1 R1 Biaya pemasaran ikan dari kapal-TPI 1.883 2 R2 Biaya pemasaran ikan 3.160 183 Tempat Terjadi Kenaikan Harga awal dari nelayan Distributor (Pengepul) dari TPI menuju pasar ikan regional No. Rantai 3 R3 4 R4 5 R5 Komposisi biaya pemasaran Biaya Pemasaran (Rp/kg) Total biaya pemasaranikan di Pasar regional Biaya pemasaran ikan di pasar Kabupaten 3.230 3.340 Biaya pemasaran ikan di pengecer Total keseluruhan biaya pemasaran ikan dari nelayankonsumen 3.900 Tempat Terjadi Kenaikan Pedagang ikan grosir di pasar regional Pedagang ikan di pasar kabupaten Pedagang Kecil (Pasar Kecamatan /Desa) 15.513 Harga bermula dari penjualan di TPI.Biaya pemasaran juga terjadi di pihak distributor yang mengakibatkan bertambahnya margin karena harus mengeluarkan biaya-biaya lainnya. Biaya yang dikeluarkan meliputi membayar jasa pikul dari TPI menuju pick-up, pemberian es untuk ikan, biaya bahan bakar minyak kendaraan, upah sopir, pengambilan keuntungan, biaya retribusi pembelian ikan dari TPI dan biaya risiko. Biaya yang dikeluarkan tidak sampai disini, karena masih ada penanganan dan pengambilan keuntungan yang harus diambil oleh pedagang di pasar regional, pasar kabupaten dan pasar kecamatan, maka terjadi pula kenaikan harga ikan disetiap pelaku-pelaku yang ada didalam alur distribusi ikan ini. Ikan Kakap Merah Ikan kakap merah yang memiliki rantai pemasaran cukup panjang membuat munculnya margin pemasaran yang cukup besar pula. Faktor-faktor tersebut meliputi dari pihak nelayan, pihak distributor, pihak pedagang ikan di pasar regional, pedagang di pasar kabupaten, dan pedagang di pasar kecamatan/desa berlomba-lomba mempertahankan kualitas ikan yang mengakibatkan naiknya margin harga ikan sendiri. Detail dari penyebab margin harga ikan dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10.Perhitungan kenaikan harga ikan kakap merah No. Ranta i Komposisi biaya pemasaran 1 R1 Total biaya pemasaran/kg ikan dari kapal-TPI 2 R2 3 R3 Total biaya pemasaran/kg ikan di Pasar regional 5730 4 R4 Total biaya pemasaran 4340 5 R5 total biaya pemasaran ikan 3900 Total biaya pemasaran/kg ikan Biaya Pemasaran (Rp/kg) 10000 4410 Total keseluruhan biaya pemasaran ikan dari nelayankonsumen 184 18380 Tempat Terjadi Kenaikan Harga awal dari nelayan Distributor (Pengepul) dari TPI menuju pasar ikan regional Pedagang ikan grosir di pasar regional Pedagang ikan di pasar kabupaten Pedagang Kecil (Pasar Kecamatan/Desa) Penyebab munculnya harga dimulai dari harga penjualan di TPI.Biaya pemasaran juga terjadi di pihak distributor yang menyebabkan terjadinya margin karena harus mengeluarkan biaya-biaya lainnya. Biaya yang dikeluarkan meliputi membayar jasa pikul dari TPI menuju pick-up, pemberian es untuk ikan, biaya bahan bakar minyak kendaraan, upah sopir, pengambilan keuntungan, biaya retribusi pembelian ikan dari TPI dan biaya risiko. Biaya yang dikeluarkan tidak sampai disini, karena masih ada penanganan dan pengambilan keuntungan yang harus diperoleh oleh pedagang di pasar regional, pasar kabupaten dan pasar kecamatan, maka terjadi pula kenaikan harga ikan di setiap pelaku-pelaku yang ada didalam alur distribusi ikan ini. Tingkat Efisiensi Pemasaran Nilai efisiensi pemasaran ikan tergantung dari biaya yang dikeluarkan oleh para pelaku usaha dalam operasional pemasarannya.Tingkat efisiensi pemasaran tiap rantai dan tiap ikan berbeda-beda.Ikan swangi, kuniran, tongkol dan kakap merah memiliki variasi nilai efisiensi yang berbeda. Ikan Swangi dan Ikan Kuniran Ikan swangi dan kuniran pada pelaku kedua memiliki nilai efisiensi pemasaran yang sama. Pelaku usaha dan lokasi pemasaran yang sama membuat nilai efisiensi antara kedua ikan tidak ada perbedaan. Pada Tabel 11 dan Tabel 12 dapat dilihat secara rinci tingkat efisiensi pemasaran dari kedua ikan tersebut. Tabel 11 Tingkat efisiensi pemasaran ikan swangi Rantai Biaya Pemasaran (Rp/kg) Harga R1 Rp 5.165 Rp 11.000 R2 Rp Rp 13.500 Total 996 Nilai (Eps) tiap rantai Nilai (Eps) Nelayan-Konsumen 7% 45,64% Rp 6.161 Tabel 12 Tingkat efisiensi pemasaran ikan kuniran Rantai Biaya Pemasaran (Rp/kg) Harga R1 Rp 5.165 Rp 13.125 R2 Rp 1.071 Rp 15.625 Total Nilai (Eps) tiap rantai 7% Nilai (Eps) Nelayan-Konsumen 39,91% Rp 6.236 Ikan swangi dan kuniran memiliki kesamaan dalam nilai efisiensi pemasaran (Eps) pada rantai kedua dengan nilai sebesar 7%. Persamaan ini dikarenakan ikan swangi dan kuniran dibeli oleh pelaku yang sama untuk pemanfaatan yang sama pula. Perbedaan nilai efisiensi pemasaran hanya terlihat ketika dihitung secara menyeluruh mulai rantai pertama ditingkat nelayan hingga 185 rantai kedua ditingkat supplyer perusahaan dimana Eps ikan swangi mencapai 45,64% , sedangkan ikan kuniran mencapai 39,91%. Ikan Tongkol Ikan tongkol melewati lima pelaku usaha untuk mencapai konsumen. Banyaknya rantai atau pelaku yang dilalui membuat adanya kenaikan harga yang berdampak pada tingkat efisiensi pemasaran ikan.Tingkat efisiensi pemasaran tiap rantai dalam suatu komoditas ikan berbeda-beda. Perbedaan ini karena biaya yang dikeluarkan disetiap pelaku usaha tidak sama. Tingkat efisiensi pemasaran tiap rantai ikan tongkol secara detail seperti pada Tabel 13. Tabel 13 Tingkat efisiensi pemasaran ikan tongkol Rantai Biaya Pemasaran (Rp/kg) Harga Nilai (Eps) tiap rantai R1 Rp 1.883 Rp R2 Rp 3.160 Rp 13.775 22,94% R3 Rp 3.230 Rp 18.775 17,20% R4 Rp 3.340 Rp 22.775 14,67% R5 Rp 3.900 Rp 26.775 14,57% Total Rp 15.513 Nilai (Eps) NelayanKonsumen 9.775 57,94% Keterangan: R1 : Produsen (nelayan/pemborong) R2 : Distributor/Supplyer R3 : Agen Pasar Regional (Pasar Pabean Surabaya) R4 : Pedagang besar Pasar Kabupaten (Pasar Larangan Sidoarjo) R5 : Pedagang pengecer Pasar Kecamatan/Pasar Desa (Kecamatan Wonoayu) Ikan tongkol melalui lima rantai dengan mengalami empat kali kenaikan harga. Berdasarkan analisis dengan rumus efisiensi pemasaran (Eps), didapatkan nilai efisiensi pemasaran dari tiap rantai dan nilai Eps keseluruhan. Nilai efisiensi pemasaran mulai dari pelaku kedua hingga kelima secara berurutan didapatkan 22,94% ditingkat distributor, 17,20% ditingkat agen, 14,67% ditingkat pedagang besar, dan 14,57% ditingkat pengecer. Nilai efisiensi pemasaran untuk keseluruhan dari nelayan hingga konsumen mencapai 57,94%. Melihat besarnya nilai dari masing-masing rantai menunjukkan bahwa aktivitas pemasaran ikan tongkol yang berasal dari PPN Brondong Lamongan masih belum efisien. Ikan Kakap Merah Ikan kakap merah memiliki kesamaan dengan ikan tongkol yaitu melewati lima pelaku usaha untuk mencapai konsumen. Banyaknya rantai atau pelaku yang dilalui membuat adanya kenaikan harga yang berdampak pada tingkat efisiensi pemasaran ikan.Tingkat efisiensi pemasaran tiap rantai dalam suatu komoditas ikan berbeda-beda. Perbedaan ini karena biaya yang dikeluarkan disetiap pelaku 186 usaha tidak sama. Tingkat efisiensi pemasaran tiap rantai ikan tongkol secara detail seperti pada Tabel 14. Tabel 14. Tingkat efisiensi pemasaran ikan kakap merah Rantai Biaya Pemasaran (Rp/Kg) Harga Nilai (Eps) tiap rantai R1 Rp 10.000 Rp 48.650 R2 Rp 4.410 Rp 53.650 8,22% R3 Rp 5.730 Rp 61.650 9,29% R4 Rp 4.340 Rp 66.650 6,51% R5 Rp 3.900 Rp 71.650 5,44% Total Rp 28.380 Nilai (Eps) NelayanKonsumen 39,61% Keterangan: R1 : Produsen (nelayan/pemborong) R2 : Distributor/Supplyer R3 : Agen Pasar Regional (Pasar Pabean Surabaya) R4 : Pedagang besar Pasar Kabupaten (Pasar Larangan Sidoarjo) R5 : Pedagang pengecer Pasar Kecamatan/Pasar Desa (Kecamatan Wonoayu) Berdasarkan hasil analisis menggunakan rumus efisiensi pemasaran, maka ikan kakap merah merupakan komoditi yang hampir mendekati efisien.Nilai efisiensi pemasaran (Eps) ikan kakap merah dibawah sepuluh persen. Nilai efisiensi pemasaran pada tingkat ditributor atau supplyer sebesar 8,22%, 9,29% ditingkat agen, 6,51% ditingkat pedagang besar dan 5,44% ditingkat pengecer. Nilai efisiensi ini menunjukkan bahwa ikan kakap merah mendekati efisien dalam hal pemasarannya. PEMBAHASAN Lokasi pemasaran dan jumlah pelaku yang ada dalam satu alur pemasaran ikan menjadi kunci dari tingkat margin dan efisiensi pemasaran yang terjadi pada komoditas ikan yang berasal dari PPN Brondong. Menurut Sobariah dan Ganjar (2013), salah satu penyebab terjadinya kesenjangan penerimaan keuntungan adalah karena rantai pemasaran yang masih terlalu panjang dimana dari produsen ke pedagang pengumpul, pedagang pengumpul ke pedagang besar, pedagang besar ke pengecer, dari pengecer baru sampai ke konsumen akhir dalam hal ini pembeli. Banyaknya pelaku yang berkecimpung dalam alur pemasaran ini membuat semakin membengkaknya harga ikan yang ada di pasaran.Terutama untuk ikan tongkol dan ikan kakap merah yang merupakan ikan ekonomis tinggi, daerah pemasaran ikan yang sangat menyebar dan membutuhkan banyak pelaku untuk sampai ke konsumen membuat terjadinya margin yang sangat besar. Menurut Sobariah dan Ganjar (2013), komponen margin pemasaran terdiri dari biaya-biaya 187 yang diperlukan oleh lembaga-lembaga pemasaran untuk melakukan fungsifungsi pemasaran yang disebut dengan biaya pemasaran atau biaya fungsional (fungsional cost) dan keuntungan (profit) lembaga pemasaran.Pada Gambar 7 menunjukkan bahwa jumlah rantai mempengaruhi margin ikan yang dipasarkan.Hal ini karena adanya perlakuan dan pengambilan keuntungan oleh setiap pelaku yang ikut melakukan aktivitas pemasaran ikan. Menurut Hapsari (2013), margin pemasaran jumlah produksi, harga per kilogram, biaya pemasaran dan musim adalah faktor-faktor yang mempengaruhi margin pemasaran ikan. Margin pada kegiatan pemasaran yang bergantung jumlah rantai diperkuat pula berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tahir (2010) dimana pedagang perantara mengeluarkan biaya dalam rangka penyelenggaraan kegiatan pemasaran hingga ke konsumen.Besarnya biaya yang dikeluarkan bagi tiap-tiap saluran pemasaran selalu berbeda-beda. Dengan demikian semakin panjang saluran pemasaran maka jumlah biaya yang dikeluarkan akan semakin bertambah. Menurut Ahmad (2013) sistem pemasaran dewasa ini dimainkan oleh para pelaku produsen atau nelayan, nelayan yang memiliki beban hutang harus menjual melalui tengkulak terlebih dahulu yang membuat semakin panjangnya rantai yang dilalui untuk bisa mencapai konsumen.Hal ini membuat rantai pemasaran menjadi panjang dan tidak efisien. Menurut Johanson (2013), harga yang ditawarkan oleh pengumpul kepada nelayan berbeda-beda sesuai dengan tingkatan pengumpul atau daerah pemasaran. Harga yang berlaku adalah hasil kesepakatan antara nelayan dan pengumpul yang masing-masing pihak telah mempertimbangkan waktu, tenaga, biaya dan keuntungan. Tingkat efisiensi pemasaran ikan yang berasal dari PPN Brondong juga tergolong masih belum efisien.Tidak efisiennya pemasaran ditunjukkan dengan tingkat efisiensi pemasaran (Eps) dari setiap ikan yaitu memiliki nilai Eps >5% yang menunjukkan bahwa efisiensi pemasaran tergolong tidak efisien.Menurut Hapsari (2013), untuk mengetahui tingkat efisiensi pemasaran ikan pada masingmasing lembaga pemasaran, dapat diberikan kriteria apabila Eps < 5% maka dinyatakan efisien, dan jika Eps >5% maka dinyatakan belum efisien. 188 Harga Ikan/kg Rp80,000 Rp70,000 Rp60,000 Rp50,000 Rp40,000 Rp30,000 Rp20,000 Rp10,000 Rp- R1 R2 R3 R4 R5 Ikan Kakap Merah Rp48,650 Rp53,650 Rp61,650 Rp66,650 Rp71,650 Ikan Tongkol Rp9,775 Rp13,775 Rp18,775 Rp22,775 Rp26,775 Ikan Swangi Rp11,000 Rp13,500 Ikan Kuniran Rp13,125 Rp15,625 Gambar 7 Grafik tingkat kenaikan harga ikan di tiap rantai Setiap ikan yang dipasarkan memiliki tingkat kenaikan harga yang berbeda tergantung dari jenis ikan, harga ikan yang ada di tingkat nelayan serta dari penanganan yang diberikan selama proses pemasaran. Pada ikan swangi dan ikan kuniran ikan yang berasal dari nelayan dibeli oleh supplyer yang langsung dibawa menuju pabrik pengolahan memiliki harga yang berbeda.Perbedaan harga terjadi ditingkat nelayan karena jenis ikan kuniran memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi.Adapun margin dari ikan swangi mengalami kenaikan harga yang sama karena penanganan yang diberikan dalam proses pemasaran sama yaitu berupa pemberian es sebelum ikan dibawa menuju pabrik. Ikan tongkol dan kakap merah merupakan ikan ekonomis tinggi memiliki margin yang berbeda meskipun jumlah rantai pemasaran yang dilewati sama. Tingkat ekonomis dan penanganan yang diberikan pada ikan berbeda membuat harga masing-masing ikan mengalami kenaikan harga yang berbeda pula.Ikan kakap merah menjadi ikan yang memiliki harga lebih tinggi dibandingkan dengan tongkol ini dikarenakan permintaan dan pangsa pasar yang berbeda. Ikan tongkol biasa dipasarkan hanya dalam bentuk segar utuh dan dijual di pasar tradisional. Adapun untuk ikan kakap merah pemasaran meliputi ikan segar utuh yang dipasarkan baik di pasar tradisional maupun restoran. Selain itu, ikan kakap merah juga dipasarkan dalam bentuk fillet yang kemudian diekspor menuju negaranegara sekitar Indonesia untuk dipasarkan di supermarket. Kenaikan harga masing-masing ikan terjadi tertinggi di rantai kedua dimana merupakan ditingkat supplyer karena adanya pemberian penanganan pada ikan sebelum dipasarkan menuju lokasi pasar masing-masing. Prosentase kenaikan harga pada setiap ikan ditingkat supplyer diantaranya Ikan swangi 23%, kuniran 19%, kakap merah 10%, dan ikan tongkol mencapai 41%. Pada lokasi yang sama di PPN Brondong menurut Ayuanita dan Ubaidillah (2012), komoditas 189 ikan bawal putih mengalami kenaikan tertinggi pada rantai kedua yaitu pedagang pengumpul (agen) yang mencapai 53%. Tingkat efisiensi pemasaran ikan yang berasal dari PPN Brondong untuk jenis ikan swangi, kuniran, tongkol dan kakap merah masih berada pada tingkat tidak efisien meskipun untuk ikan kakap merah mendekati efisien. Pemasaran dikatakan efisien jika nilai efisiensi pemasaran lebih kecil dari lima persen (Eps<5%), dan dikatakan tidak efisien jika nilai efisiensi pemasaran lebih besar dari lima persen (Eps>5%). Berdasarkan hasil analisis efisiensi pemasaran, ikan swangi dan kuniran masing-masing pada rantai kedua memiliki tingkat efisiensi pemasaran sebesar 7,38% dan 6,85%. Ikan tongkol yang melewati 5 rantai untuk mencapai konsumen, mulai dari rantai kedua hingga kelima memiliki tingkat efisiensi pemasaran sebesar 22,94% ditingkat supplyer, 17,20% ditingkat agen, 14,67% ditingkat pedagang besar dan 14, 57% ditingkat pengecer. Ikan kakap menjadi komoditas dengan nilai semua rantai yang mendekati efisien dibandingkan ikan tongkol dimana didapatkan nilai efisiensi pemasaran 8,22% ditingkat supplyer, 9,29% ditingkat agen, 6,51% ditingkat pedagang besar dan 5,44% ditingkat pedagang pengecer. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Nilai efisiensi pemasaran semua pada setiap rantai Nilai efisiensi pemasaran per-rantai semua Ikan Rantai Swangi Kuniran Tongkol Kakap Merah R1 R2 7,38% 6,85% 22,94% 8,22% R3 17,20% 9,29% R4 14,67% 6,51% R5 14,57% 5,44% KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat dinyatakan bahwa pemasaran ikan swangi, kuniran, tongkol dan kakap merah yang berasal dari PPN Brondong tidak efisien karena suatu produk dikatakan efisien dalam kegiatan pemasaran jika nilai efisiensi pemasaran kurang dari lima persen (Eps<5%). Ikan swangi dan kuniran masing-masing pada rantai kedua memiliki tingkat efisiensi pemasaran sebesar 7,38% dan 6,85%. Ikan tongkol yang melewati 5 rantai untuk mencapai konsumen, mulai dari rantai kedua hingga kelima memiliki tingkat efisiensi pemasaran sebesar 22,94% ditingkat supplyer, 17,20% ditingkat agen, 14,67% ditingkat pedagang besar dan 14, 57% ditingkat pengecer. Ikan kakap menjadi komoditas dengan nilai semua rantai yang mendekati efisien dibandingkan ikan tongkol dimana didapatkan nilai efisiensi pemasaran 8,22% ditingkat supplyer, 190 9,29% ditingkat agen, 6,51% ditingkat pedagang besar dan 5,44% ditingkat pedagang pengecer. DAFTAR PUSTAKA Ahmad M. 2012. Kesangkilan Pasar Hasil Perikanan di Kawasan Pesisir. Jurnal Dinamika Pertanian. Vol.28: Hal. 73-82. No.1. Anggrahini WP. 2012. Kajian Efektivitas dan Efisiensi Kapal Navigasi dalam Rangka Distribusi Logistik pada Distrik Navigasi Surabaya. Jurnal Penelitian Transportasi Laut.Vol. 13 Hal: 1-15 No 2. Cenini P. 2012. Supply Chain Management. FAO [Internet]. [Diunduh pada tanggal 12 November 2014]. http://www.fao.org/fileadmin/user_upload/ fisheries/docs/SUPPLY_CHAIN-report1.doc Deswindi L. 2007. Kecepatan Tingkat Penerimaan dan Perilaku Konsumen Terhadap Produk Lama yang Mengalami Perubahan dan Produk Inovasi Baru Dalam Upaya Memasuki dan Merebut Pasar. Business & Management Journal Bunda Multa. Vol. 3 Hal: 19-25 No. 2. Hanafiah AM, Saefuddin AM. 2006. Tataniaga Hasil Perikanan UI Press. Jakarta Hansen DR, Maryanne MM. 2004. Akuntansi Manajemen. Jakarta : Salemba Empat. Hapsari TD. 2013. Distribusi dan Margin Pemasaran Hasil Tangkapan Ikan Tongkol (Euthynus Affinis) di TPI Ujungbatu Jepara. Aquasains (Jurnal Ilmu Perikanan dan Sumberdaya Perairan). Vol. 2 Hal: 132-138 No. 2 Irawan B. 2007. Fluktuasi Harga, Transmisi Harga dan Marjin Pemasaran Sayuran dan Buah. Analisis Kebijakan Pertanian. Vol. 5 Hal: 358-373 No. 4. Johanson D. 2013. Analisis Efisiensi Pola Distribusi Hasil Penangkapan Ikan Nelayan Kecamatan Kahayan Kuala Kabupaten Pulang Pisau. Jurnal Sains Manajemen. Vol. 1 Hal: 96-106 No.1. Oktariza W, Fahrudin A, Muflikhati I, Kusumastuti YI, Antoni H. 1996. Studi Distribusi Pemasaran Hasil Perikanan Laut dari Pelabuhan Ratu, Sukabumu, Jawa Barat. Buletin Ekonomi Perikanan. Vol. 2 Hal: 34-43 No.2. Rasuli N, Saade MA, Ekasari K. 2007. Analisis Margin Pemasaran Telur Itik di Kelurahan Borongloe, Kecamatan Bontomarannu, Kabupaten Gowa. Jurnal Agrisistem. Vol.3 Hal: 36-43 No.1. Setiawan HH, Suhadak, Nengah S. 2014. Analisis Biaya Pemasaran Sebagai Salah Satu Alat untuk Pengendalian Biaya Komersil. Jurnal Administrasi Bisnis (JAB). Vol. 13 Hal: 1-7 No. 1. Sobariah, Ganjar W. 2013. Analisis Margin Pemasaran Ikan Hias Pada Enam Pasar di Kota/Kabupaten Bogor. Jurnal Penyuluhan Perikanan dan Kelautan. Vol. 7 Hal. 53-63 No.1. 191 Tahir AG, Dwidjono HD, Jangkung HM, Jamhari. 2011. Metode Analisis Efisiensi Pemasaran Kedelai di Sulawesi Selatan. Informasi Pertanian. Vol. 20 Hal: 47-57 No. 2. 192 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap IPB ke-6 Halaman:193-207 ISBN 978-979-1225-34-2 PENGEMBANGAN INVESTASI USAHA PERIKANAN TANGKAP UNGGULANDI BAU-BAU, SULAWESI TENGGARA (The Investment Development of Pre-eminent Fishery Effort in Bau-Bau, South-East Sulawesi) Mustaruddin1, Mulyono S. Baksoro1, Budi Purwanto2 1 Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor 2 Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor ABSTRACT Bau-Bau is bunching up with two WPP-RI’s, that are WPP-RI 713 and WPP-714. The potention of fish resources in that WPP-RI is high enough, that are about 929.700 ton/year in WPP-RI 713 and 278.000 ton/year in WPP-RI 714. Research aim to analyze present status of capture fisheries in Bau-Bau, determining type of pre-eminent fishery effort from technical aspect, environmental, and economic, and also its investment reliability. In 2007 – 2013 period, fisheries production in Bau-Bau increase average 7,40 % per year. Population of fishermen increase significantly from 3.996 in 2012 becoming 20.801 in 2013. Fishery efforts be chosen as pre-eminent are pole and line ( VAg = 2,307), drift gillnet (VAg = 2,152), and purse seine (VAg = 1,800). They have NPV > 0, IRR > 12,44 %, ROI > 10 %, PP > economic age, so that reliable to be developed their investment in Bau-Bau. Requirement of invesment for pole and line (35 GT), drift gillnet (75 GT), and purse seine (28 GT) are each 484.250.000 IDR, 1.118.562.000 IDR, and 702.125.000 IDR. Keywords : Bau-Bau, investment, pre-eminent, and fishery effort ABSTRAK Bau-Bau berdekatan dengan dua Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI), yaitu WPP-RI 713 dan WPP-714. Potensi sumberdaya ikan di kedua WPP-RI tersebut lumayan tinggi, yaitu sekitar 929.700 ton/tahun di WPP-RI 713 dan 278.000 ton/tahun di WPP-RI 714. Penelitian bertujuan menganalisis kondisi kini perikanan tangkap di Bau-Bau, menentukan jenis usaha perikanan tangkap unggulan dari aspek teknis, lingkungan, dan ekonomi, serta kelayakan investasinya. Selama periode 2007 – 2013, produksi perikanan tangkap meningkat rata-rata 7,40 % per tahun di Bau-Bau. Jumlah nelayan meningkat signifikan dari 3.996 orang pada tahun 2012 menjadi 20.801 orang pada tahun 2013. Usaha perikanan tangkap yang terpilih sebagai unggulan adalah pole and line (VAg = 2,307), jaring insang hanyut (VAg = 2,152), dan purse seine (VAg = 193 1,800). Ketiga usaha perikanan tangkap tersebut mempunyai nilai NPV > 0, IRR > 12,44 %, ROI > 10 %, PP > umur ekonomis, sehingga layak dikembangkan investasinya di Bau-Bau. Kebutuhan investasi untuk pole and line (35 GT), jaring insang hanyut (75 GT), dan purse seine (28 GT) adalah masing-masing Rp 484.250.000, Rp 1.118.562.000, dan Rp 702.125.000. Kata kunci: Bau-Bau, investasi, unggulan, usaha perikanan tangkap PENDAHULUAN Provinsi Sulawesi merupakan salah daerah produksi utama perikanan tangkap di Kawasan Indonesia Timur. Saat ini, pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sulawesi Tenggara dipusatkan di Kendari dan Bau-Bau. Dilihatkan dari posisinya, Bau-Bau lebih menjanjikan, yaitu berdekatan dengan dua Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI), yaitu WPP-RI 713 dan WPP-714. Sedangkan potensi sumberdaya ikan di kedua WPP-RI tersebut lumayan tinggi, yaitu sekitar 929.700 ton/tahun di WPP-RI 713 dan 278.000 ton/tahun di WPP-RI 714 (KKP, 2011). Tingkat pemanfaatan potensi perikanan di WPP-RI 713 diperkirakan baru mencapai 72 % dan di WPP-RI 714 mencapai 65 % (BKPM, 2014). Kondisi ini membuka peluang pengembangan investasi perikanan tangkap termasuk di Bau-Bau. Bau-Bau juga merupakan penghubung beberapa daerah penting di Kepulauan Butan dan Kepulauan Wakatobi, serta menjadi kota transit bagi pelayaran menuju dan dari Kawasan Indonesia Timur. Kondisi ini tentu sangat baik untuk pengembangan suplai hasil produksi perikanan tangkap di masa mendatang. Pengembangan investasi perikanan tangkap juga disikapi secara serius PEMDA Bau-Bau yang ditunjukkan oleh alokasi anggaran tahun 2013 untuk pengembangan perikanan tangkap yang mencapai 74,75 % dari total anggaran bidang teknis perikanan (DKP Kota Bau-Bau, 2013). Pengembangan tersebut difokuskan pada berbagai upaya untuk mendorong peningkatan produksi dan investasi usaha perikanan tangkap di Bau-Bau. Upaya ini juga tertuang dalam misi pertama sektor kelautan dan perikanan PEMDA Bau-Bau tahun 2013 – 2018 yaitu terus meningkatkan produksi dan investasi usaha perikanan guna mewujudkan masyarakat perikanan yang maju dan berdaya saing. Penelitian ini akan mencoba membantu hal tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kondisi kini kegiatan perikanan tangkap di Bau-Bau. Menentukan jenis usaha perikanan tangkap unggulan dari aspek teknis, lingkungan, dan ekonomi. Serta menganalisis kelayakan investasi usaha perikanan tangkap unggulan di Bau-Bau. 194 METODOLOGI Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni - Desember 2014. Tempat penelitian adalah Kota Bau-Bau, Provinsi Sulawesi Tenggara. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer yang dikumpulkan terdiri dari : (a) Data teknis, seperti peralatan produksi, kapasitas mesin, palka, muatan es, dan ukuran kapal; (b) Data lingkungan, seperti selektivitas dan keramahan alat tangkap, kualitas dan keamanan hasil tangkapan, by-catch; (c) Data ekonomi dan investasi, seperti tingkat investasi, umur ekonomis usaha, jumlah hasil tangkapan, harga jual, keuntungan, serta data pembuatan & perawatan. Sedangkan data sekunder yang dikumpulkan terdiri dari data time series perikanan tangkap, dokumen perizinan usaha, serta data kebijakan perikanan tangkap. Data primer dikumpulkan melalui observasi lapang, penyebaran kuesioner dan wawancara terbuka dengan stakeholders perikanan (nelayan, pengusaha perikanan, dan pengelola pelabuhan, dan masyarakat). Responden untuk 5 % dari populasi nelayan pemilik usaha perikanan tangkap (892 orang). Sedangkan data sekunder dikumpulkan melalui telaah pustaka terhadap buku statistik dan laporan kegiatan perikanan yang tersedia di Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bau-Bau, PPI Bau-Bau, dan lainnya. Analisis data yang dilakukan terdiri dari metode deskriptif, metode skoring, dan analisis kelayakan investasi. Metode deskriptif digunakan untuk menganalisis kondisi kini (present status) kegiatan perikanan tangkap di BauBau. Hasil analisis nantinya disajikan dalam bentuk tabel, gambar, atau garfik yang sesuai. Metode skoring digunakan untuk memilih jenis usaha perikanan tangkap unggulan. Dengan metode ini, setiap usaha perikanan tangkap dinilai keunggulannya dalam memenuhi berbagai kriteria yang terkait dengan aspek teknis, lingkungan, dan ekonomi. Metode skoring yang digunakan dalam penelitian ini (Kuntoro dan Listiarini, 1983) adalah : Xi X 0 V ( Xi ) X1 X 0 V ( Ai) V ( Xi) Dimana Xi = nilai kriteria X untuk usaha perikanan tangkap ke-i, X0 = nilai terendah untuk kriteria X, X1 = nilai tertinggi untuk kriteria X, V(Xi) = fungsi nilai dari kriteria X untuk usaha perikanan tangkap ke-i, V (Ai) = fungsi nilai dari aspek A untuk usaha perikanan tangkap ke-i, dan i = calon usaha perikanan tangkap unggulan ke-1, 2, 3...., n. Selanjutnya, tiga jenis usaha perikanan tangkap dengan fungsi nilai gabungan (aspek teknis, lingkungan dan ekonomi) paling tinggi ditetapkan sebagai usaha perikanan tangkap unggulan. Analisis kelayakan investasi digunakan untuk mengukur kelayakan tiga jenis usaha perikanan unggulan terpilih untuk dikembangkan investasinya di BauBau. cakalang, sehingga tindakan perbaikan atau pengembangan usaha ditetapkan 195 sejak dini. Parameter investasi digunakan (Mayes & Shank, 2008 dan Hanley & Spash, 1993) adalah Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Return of Investment (ROI), dan Payback Period (PP). Suku bunga yang digunakan mengacu kepada BI (2014) tentang suku bunga kredit untuk modal kerja dari bank BUMN, yaitu 12,44 %. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Perikanan Tangkap Perikanan Tangkap Bau-Bau Produksi perikanan tangkap di Bau-Bau cenderung meningkat dengan trend rata-rata 7,40 % per tahun. Penurunan sempat terjadi dari tahun 2007 ke tahun 2008 sekitar 7,22 %, namun pada tahun berikutnya meningkat lagi. Gambar 1. menyajikan perkembangan produksi perikanan tangkap pada tahun 2007 – 2013 di Bau-Bau. Produksi perikanan tangkap meningkat tajam dari tahun 2010 ke tahun 2011, yaitu dari 9.169,18 ton menjadi 12.563,70 ton. Hal ini terjadi karena musim tangkap dari usaha perikanan tangkap besar seperti jaring insang hanyut dan pole and line cukup panjang yang sekitar 11 bulan (DKP Kota BauBau, 2012). Gambar 1. Perkembangan produksi perikanan tangkap tahun 2007 – 2013 Mallawa, et al. (2014) menyatakan bahwa hasil tangkap bisa meningkat drastis bila lokasi penangkapan berada di jalur migrasi ikan, fishing groud-nya nelayan Bau-Bau berada di sekitar laut Jawa dan Laut Sulawesi yang termasuk jalur migrasi ikan. Pada tahun ada tahun 2012 dan 2013 juga meningkat dengan kecenderungan yang lebih rendah, yaitu masing-masing menjadi 14.723,60 ton dan 14.893,7 ton. Peningkatan produksi tersebut juga diikuti dengan perkembangan jumlah nelayan yang terlibat pada usaha perikanan tangkap di Bau- 196 bau, baik yang menjadi nelayan penuh, nelayan sambilan utama, maupun sambilan tambahan. Pada tahun 2012, jumlah nelayan di Bau-Bau sekitar 3.996 orang dengan rincina nelayan penuh penuh 2.278 orang, nelayan sambilan utama 1.332 orang 1.332 orang. Sedangkan pada tahun 2013, meningkat drastis menjadi 20.801 orang yang terdiri dari nelayan penuh 8.239 orang, nelayan sambilan utama 9.741 orang, nelayan sambilan tambahan 2.821 orang. Kondisi tersebut tentu sangat bagus untuk pengembangan investasi perikanan tangkap di Bau-Bau, karena dibutuhkan minimal 15 tenaga kerja baru untuk setiap penambahan 1 unit usaha perikanan tangkap baik untuk mendukung penangkapan, penyediaan perbekalan, dan pemasaran hasil tangkapan (Farrag et al, 2014 dan Mallawa et al, 2014). Sedangkan usaha perikanan tangkap yang dikembangkan nelayan di Bau-Bau, paling tidak ada 18 jenis dengan komposisi pada tahun terakhir (tahun 2013) seperti disajikan pada Gambar 2. Gambar 2. Komposisi usaha perikanan tangkap di Bau-Bau Pancing ulur, pole and line, jala tebar, dan jaring insang hanyut merupakan yang banyak dikembangkan, yaitu masing-masing mencapai 323 unit, 75 unit, 100 unit, dan 70 unit. Bubu, pancing tonda, purse seine, dan rawai dasar juga dikembangkan cukup banyak, namun kurang merata di kalangan nelayan. Menurut DKP Kota Bau-Bau (2014), pengembangan usaha perikanan tangkap di Bau-Bau dan sebagian besar wilayah Sulawesi lebih bersifat turun-menurun dan terkonsentrasi di kampung nelayan. Namun demikian, bila hasil tangkapan banyak didaratkan di PPI Bau-Bau. Sedangkan sarana dan prasarana pendukung bila usaha perikanan tangkap tersebut dikembangkan investasinya di Bau-Bau diantaranya pelabuhan perikanan, pelabuhan umum, jalan raya, bandar udara (bandara), instalasi cold storage, pabrik es, pasar (pasar umum atau pasar ikan 197 hiegines), sumber air bersih, sumber pasokan listrik, serta sarana pengawasan dan jaminan mutu. Tabel 1 menyajikan informasi detail sarana dan prasarana tersebut. Tabel 1. Sarana dan prasarana pendukung perikanan tangkap No. Sarana dan Prasarana Pendukung Keterangan 1. Pelabuhan perikanan 1 unit (PPI Bau-Bau) 2. Pelabuhan umum 2 unit (Pelabuhan Peti Kemas dan Pelabuhan Ferry Perintis) 3. Jalan raya Baik (panjang sekitar 175 km) 4. Bandar Udara 1 unit (Bandara Perintis Betoambari) 5. Cold Storage 2 unit kapasitas sedang (@ 100 ton) dan 2 unit kapasitas kecil (@50 ton) 6. Pabrik Es 2 unit (@ 50 ton/hari) 7. Pasar Unit (Pasar Higienes Wameo dan Pasar Laelangi) 8. Sumber air bersih PDAM Bau-Bau (150 KL/hari) 9. Sumber listrik PLN Bau-Bau 10. Pengawasaan dan jaminan Mutu 2 unit (Stasiun KIPM Kls II BauBau dan Stasiun Uji POM BauBau) Sarana dan prasarana pada Tabel 4.2 membantu kegiatan perikanan tangkap dalam hal bongkar muat, distribusi produk, suplai perbekalan, doking, dan pemasaran. Menurut Mustaruddin, et al (2014) kesiapan sarana dan prasarana pendukung sangat penting dalam investasi perikanan tangkap, terutama untuk menjamin rantai suplai dingin produk secara cepat dan kontinyu. Pelabuhan perikanan berperan dalam bongkar muat hasil tangkapan dan suplai perbekalan, dan cold storage sangat penting untuk penyimpanan produk/hasil tangkapan ikan sebelum didistribusikan ke pasar potensial. Menurut Nobuntu & Mnqanqe (2009) sarana pengawasan dan pengujian mutu juga dibutuhkan dalam investasi perikanan tangkap untuk memastikan dan menciptakan produk yang berdaya saing tinggi dan dapat menembus pasar global. Sarana ini juga ada di Bau-Bau, yaitu Stasiun Uji Pengawasan Obat dan Makanan (POM) serta Stasiun Karantina Ikan dan Pengawasan Mutu (KIPM) Kls II, dan tinggal dilengkapi peralatannya. Pemilihan Usaha Perikanan Tangkap Unggulan Pemilihan usaha perikanan tangkap unggulan ditentukan berdasarkan penilaian gabungan aspek teknis, lingkungan, dan ekonomi terhadap usaha perikanan tangkap yang banyak digunakan di Bau-Bau. Bila 50 % dari usaha perikanan tangkap pada Gambar 2 dipilih sebagai calon unggulan, maka usaha 198 perikanan tangkap yang masuk penilaian adalah rawai dasar, jala tebar, bubu, purse seine, jaring insang hanyut, pancing ulur, pancing tonda, jaring insang tetap, dan pole and line. Bagian berikut akan menyajikan hasil penilaian aspek teknis, lingkungan, dan ekonomi, serta hasil penilaian gabungan terhadap calin usaha perikanan tangkap unggulan tersebut. 1. Penilaian Aspek Teknis, Lingkungan, Dan Ekonomi Penilaian aspek lingkungan, ekonomi, dan ekonomi terhadap sembilan jenis usaha perikanan tangkap calon unggulan akan menggunakan kriteria yang ada pada setiap aspek pengelolaan tersebut. Hasil penilaian tersebut kemudian distandarisasi untuk menyetarakan pola penilaian, dan hasil standarisasi untuk penilaian aspek teknis disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Hasil standarisasi penilaian aspek teknis Usaha Perikanan V1 V2 V3 V4 V5 V6 VA UP Tangkap Rawai Dasar 0,000 0,072 0,134 0,500 0,250 0,041 0,998 7 Jala Tebar 0,000 0,032 0,075 0,143 0,000 0,000 0,249 8 Bubu 0,500 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,500 9 Purse Seine 1,000 0,420 0,552 1,000 1,000 0,356 4,329 2 Jaring Insang Hanyut 1,000 1,000 1,000 0,929 0,875 1,000 5,804 1 Pancing Ulur 0,500 0,093 0,104 0,214 0,125 0,041 1,078 6 Pancing Tonda 0,000 0,275 0,284 0,429 0,500 0,178 1,666 5 Jaring Insang Tetap 0,000 0,449 0,403 0,500 0,750 0,247 2,349 4 Pole and Line 0,500 0,855 0,776 0,786 0,875 0,452 4,244 3 Keterangan : (1) V1-V6 = fungsi nilai dari kriteria kelengkapan peralatan produksi (X1), kapasitas palka (X2), kapasitas muat es (X3), penyerapan tenaga kerja/ABK (X4), kapasitas mesin penggerak (X5), dan ukuran kapal (X6); (2) VA = fungsi nilai total; dan (3) UP = urutan prioritas Berdasarkan Tabel 2, jaring insang hanyut (JIH), purse seine, dan pole and line mempunyai nilai VA yang tingi, yaitu masing-masing 5,804, 4,329, dan 4,244. Dengan demikian, ketiga usaha perikanan tangkap merupakan unggulan 1, 2, dan 3 dari aspek teknis. Tingginya nilai VA jaring insang hanyut merupakan kontribusi dari pemenuhannya yang tinggi terhadap kriteria kelengkapan peralatan produksi, kapasitas palka, kapasitas muat es, dan ukuran kapal. Sedangkan menurut DKP Kota Bau-Bau (2014), jaring insang hanyut (JIH) di Bau-bau umumnya diusahakan dengan kapal 75 GT, sedangkan purse seine dan pole and line masing-masing dengan kapal 28 GT dan 35 GT. Usaha JIH juga mempunyai kapasitas palka sekitar 17.500 kg/trip dan kapasitas muat es sekitar 70 balok/trip. Purse seine unggul untuk kriteria kelengkapan peralatan produksi (V1 = 1,000), penyerapan tenaga kerja/ABK (V4 = 1,000), dan kapasitas mesin 199 penggerak (V5 = 1,000). Farrag et al. (2015) dan DKP Kota Bau-Bau (2014) menyatakan peralatan produksi yang lengkap dan penyerapan tenaga kerja yang tinggi pada purse seine lebih karena pengoperasiannya yang dilakukan skala besar, sehingga peralatan dan tenaga kerjanya lebih komplit. Peralatan tersebut diantaranya GPS, fish finder, kompas, genset, lampu, dan ganco. ABK yang diikutserta dalam pengoperasian purse seine paling banyak daripada usaha perikanan tangkap lainnya, yaitu sekitar 16 orang/trip. Meskipun tidak paling tinggi, pole and line mempunyai kapasitas palka, kapasitas muat es,dan kapasitas mesin penggerak yang termasuk tinggi, yaitu masing-masing 15.000 kg/trip, 55 balok/trip, dan 40 PK. Tabel 3 menyajikan hasil standarisasi penilaian aspek lingkungan dari setiap usaha perikanan tangkap. Tabel 3 Hasil standarisasi penilaian aspek lingkungan Usaha Perikanan V1 V2 V3 V4 V5 V6 V7 V8 VA Tangkap Rawai Dasar 0,667 1,000 0,000 0,000 1,000 1,000 0,000 0,500 4,167 Jala Tebar 0,333 0,000 0,500 0,500 0,500 0,500 1,000 0,000 3,333 Bubu 1,000 1,000 1,000 1,000 0,000 1,000 1,000 1,000 7,000 Purse Seine 0,000 0,500 1,000 0,500 0,500 0,500 0,000 0,000 3,000 Jaring Insang Hanyut 0,333 0,500 0,500 1,000 0,000 0,000 0,000 0,500 2,833 Pancing Ulur 0,667 0,500 0,500 0,500 0,500 0,000 1,000 0,500 3,167 Pancing Tonda 0,667 1,000 0,000 0,000 1,000 1,000 1,000 1,000 5,667 Jaring Insang Tetap 0,333 0,000 0,000 0,000 1,000 0,000 0,000 0,000 1,333 Pole and Line 0,667 0,500 0,000 0,500 0,500 0,500 1,000 1,000 4,667 Keterangan : (1) V1-V8 = fungsi nilai dari kriteria selektivitas alat tangkap (X1), keramahan terhadap habitat ikan (X2), kualitas ikan hasil tangkapan (X3), keamanan bagi nelayan (X4), keamanan produk bagi konsumen (X5), by-catch rendah (X6), dampak positif terhadap biodiversity(X7),dan keamanan bagi ikan-ikan yang dilindungi (X8); (2) VA = fungsi nilai total; dan (3) UP = urutan prioritas Berdasarkan Tabel 3, bubu, pancing tonda, dan pole and line merupakan usaha perikanan tangkap paling unggul dari aspek lingkungan yang ditunjukkan oleh VA-nya yang tinggi, yaitu masing-masing 7,000, 5,667, dan 4,667. Menurut Rossetto et al. (2015) dan Mamuaya et al. (2007), bubu mempunyai selektivitas yang tinggi, ramah terhadap habitat ikan dan biodiversity, kualitas ikan hasil tangkapan baik, aman bagi nelayan, dan by-catch karena dioperasikan secara diam dengan meletakkannya di dasar laut dan ikan yang sesuai umpan saja yang masuk. 200 UP 4 5 1 7 8 6 2 9 3 Pancing tonda juga mempunyai selektivitas yang tinggi, by-catch rendah, dampak positif terhadap biodiversity tinggi, dan aman bagi ikan-ikan yang dilindungi. Sedangkan pole and line tidak mengganggu biodiversity dan ikan-ikan yang dilindungi. Menurut Methot & Wetzel (2013), pole and line hanya menangkap ikan pelagis besar yang aktif migrasinya seperti cakalang, tuna, dan tongkol di permukaan. Tabel 4 Hasil standarisasi penilaian aspek ekonomi Usaha Perikanan V1 V2 V3 V4 V5 V6 VA UP Tangkap Rawai Dasar 0,000 0,078 0,500 0,000 0,000 0,000 0,578 9 Jala Tebar 0,333 0,028 0,500 1,000 0,500 0,500 2,861 4 Bubu 0,333 0,000 0,000 0,500 1,000 0,500 2,333 7 Purse Seine 1,000 0,700 1,000 0,000 0,500 0,500 3,700 3 Jaring Insang Hanyut 0,667 1,000 0,500 0,500 0,500 1,000 4,167 2 Pancing Ulur 0,333 0,040 0,000 1,000 0,500 0,500 2,373 6 Pancing Tonda 0,667 0,363 0,000 0,500 1,000 0,000 2,529 5 Jaring Insang Tetap 0,000 0,470 0,000 0,500 0,000 0,000 0,970 8 Pole and Line 0,667 0,958 1,000 0,500 1,000 0,500 4,624 1 Keterangan : (1) V1-V6 = fungsi nilai dari kriteria tingkat penerapan teknologi tepat guna (X1), jumlah hasil tangkapan (X2), tingkat keuntungan (X3), tingkat investasi (X4), kemandirian dalam pembuatan & perawatan (X5), dan memenuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku (X6); (2) VA = fungsi nilai total; dan (3) UP = urutan prioritas Terkait aspek ekonomi, pole and line, jaring insang hanyut, dan purse seine termasuk yang paling baik di Bau-Bau. Hal ini ditunjukkan oleh nilai VA yang tinggi, yaitu masing-masing 4,624, 4,167, dan 3,700. Untuk pole and line, nilai VA tinggi tersebut antara lain merupakan kontribusi kriteria kemandirian dalam pembuatan & perawatan (V5 = 1,000). Menurut DKP Kota Bau-Bau (2014), nelayan Bau-Bau sebagian besar adalah etnis Buton yang sangat terampil dalam pembuatan kapal. Hal ini sudah terjadi sejak lampau, dan terus dilakukan oleh nelayan etnis Buton dimanapun mereka tinggal saat ini, termasuk wilayah Nusa Tenggara, Maluku, dan Sumatera. Kondisi juga menyebabkan pole and line banyak berkembang di wilayah tersebut, dimana karakteristik kapal dan teknis operasinya mirip dengan terjadi di Bau-Bau. Jaring insang hanyut (JIH) unggul untuk kriteria jumlah hasil tangkapan (V2 = 1,000) dan kriteria memenuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku (V6 = 1,000). Jumlah hasil tangkapan JIH yang tinggi lebih karena kapasitas pengusahaannya relatif besar daripada delapan usaha perikanan tangkap lainnya, sehingga hasil tangkapan yang dapat dibawa untuk setiap tripnya bisa lebih banyak (rata-rata = 10.278 kg/trip). Sedangkan menurut Le Floc et al. (2011), 201 kapasitas pengusahaannya yang besar juga membutuhkan perizinan dan persyaratan usaha yang lebih kompleks, baik terkait dengan izin usaha, pelayaran, tambat labih, dan retribusi. Hal ini yang menjadi penyebab jaring insang hanyut (JIH) dianggap lebih mengakomodir ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Purse seine paling baik dalam mengakomodir kriteria tingkat penerapan teknologi tepat guna dan tingkat keuntungan. Sedangkan menurut Farrag et al. (2014) keuntungan purse seine yang baik lebih karena hasil tangkapannya beragam baik dari jenis ikan pelagis besar maupun pelagis kecil dan pola operasinya tidak banyak terpengaruh musim ikan. Sementara ikan pelagis besar dan pelagis kecil, potensinya paling tinggi di WPP-RI 713 (193.600 ton/tahun dan 605.400 ton/tahun) dan WPP-RI 714 (104.100 ton/tahun dan 132.000 ton/tahun) yang menjadi fishing ground nelayan Bau-Bau (DKP, 2011). 2. Penilaian Gabungan Aspek Pengelolaan Usaha perikanan tangkap yang terandalkan dari gabungan aspek teknis, lingkungan, dan ekonomi dapat mendorong investasi perikanan, baik yang bersumber dari PMDN maupun PMA. Dukungan dari pemerintah dan stakeholders terkait lainnya sangat didiperlukan dalam investasi usaha perikanan tangkap unggulan, tidak hanya karena investasi tersebut dapat membuka lapangan kerja baru, tetapi juga meningkatkan PAD dan mendorong pertumbuhan ekonomi kawasan. Tabel 4 menyajikan hasil standarisasi penilaian gabungan aspek teknis, lingkungan, dan ekonomi dari sembilan usaha perikanan tangkap yang banyak digunakan di Bau-Bau. Tabel 4. Hasil standarisasi penilaian gabungan aspek teknis, lingkungan, dan ekonomi Usaha Perikanan V1 V2 V3 Vag UP Tangkap Rawai Dasar 0,135 0,500 0,000 0,635 8 Jala Tebar 0,000 0,353 0,564 0,917 6 Bubu 0,045 1,000 0,434 1,479 5 Purse Seine 0,734 0,294 0,772 1,800 3 Jaring Insang Hanyut 1,000 0,265 0,887 2,152 2 Pancing Ulur 0,149 0,324 0,444 0,916 7 Pancing Tonda 0,255 0,765 0,482 1,502 4 Jaring Insang Tetap 0,378 0,000 0,097 0,475 9 Pole and Line 0,719 0,588 1,000 2,307 1 Keterangan : (1) V1-V3 = fungsi nilai dari aspek ekonomi, lingkungan, dan ekonomi; 2) VA = fungsi nilai total; dan (3) UP = urutan prioritas 202 Berdasarkan Tabel 4, pole and line merupakan usaha perikanan tangkap yang paling unggul (prioritas pertama) untuk dikembangkan investasinya di BauBau. Usaha perikanan tangkap ini mempunyai nilai VA gabungan aspek teknik, lingkungan, dan ekonomi sekitar 2,307. Pole and line paling unggul dari aspek ekonomi (V3 = 1,000) dan dua aspek lainnya juga dipenuhi dengan baik, meskipun bukan yang paling tinggi. Jaring insang hanyut dan purse seine merupakan usaha perikanan tangkap unggulan kedua dan ketiga yang dapat dikembangkan investasinya di Bau-Bau. Nilai VA gabungan jaring insang hanyut dan purse seine masing-masing 2,152 dan 1,800. Menurut Le Floc et al. (2011), usaha perikanan tangkap yang diinvestasikan haruslah mempunyai keunggulan yang multi aspek sehingga dapat diterima secara baik, lebih menguntungkan, dan lebih stabil terhadap perubahan yang terjadi di bidang perikanan. Nilai Vag (Tabel 4.9) telah menunjukkan bahwa pole and line, jaring insang hanyut, dan purse seine lebih unggul dari enam usaha perikanan tangkap lainnya. Rossetto et al. (2015) menyatakan bahwa usaha unggulan yang dikelola dengan baik akan memberi dampak yang bersifat bon wagon terhadap perekonomian. Kelayakan Investasi Usaha Perikanan Tangkap Unggulan 1. Kebutuhan Investasi Pada bagian, ketiga usaha perikanan tangkap unggulan akan dikajikan kebutuhan dan kelayakan investasinya sehingga dapat menjadi acuan investor dalam berinvestasi di Bau-Bau. Kapasitas/ukuran kapal yang diinvestasikan adalah yang banyak digunakan nelayan di Bau-Bau, yaitu 35 GT untuk pole and line, 75 untuk jaring insang hanyut, dan 28 GT untuk purse seine. Kebutuhan investasi ketiga usaha perikanan tangkap tersebut, umumnya terkait penyediaan kapal/perahu, alat tangkap, mesin, peralatan pendukung, dan dokumen perizinan. Tabel 5 menyajikan rincian kebutuhan investasi pole and line, jaring insang hanyut, dan purse seine di Bau-bau. Berdasarkan Tabel 5, kebutuhan investasi total untuk pole and line, jaring insang hanyut, dan purse seine masing-masing adalah Rp 484.250.000, Rp 1.118.562.500, dan Rp 702.125.000. Investasi terbesar pada jaring insang hanyut dan purse seine adalah untuk penyediaan kapal, alat tangkap, dan mesin kapal. Farrag et al. (2014) menyatakan bahwa teknik operasi dengan cara menghadang atau memerangkapi gerombolan ikan membutuhkan keseimbangan pada kapal, mesin, dan alat tangkap, karena ketiganya aktif bekerja pada saat operasi penangkapan dilakukan. Sedangkan untuk pole and line, investasi pada alat tangkap termasuk kecil, karena hanya berupa batangan bambu yang diberi kail di ujungnya. 203 Tabel 5 Kebutuhan investasi usaha perikanan tangkap unggulan Nilai Investasi (Rp) No Kebutuhan Investasi Pole and Line Jaring Insang Hanyut 1. Kapal/Perahu 385.000.000 750.000.000 2. Alat Tangkap (Jaring) 1.500.000 130.250.000 3. Mesin a. Yamnar 65.000.000 150.000.000 b. Genset 12.500.000 50.000.000 4. Peralatan Pendukung a. Navigasi (GPS) 2.500.000 3.125.000 b. Fish Pinder 3.750.000 437.500 c. Alat Bantu 2 1.000.000 1.000.000 d. Cooler Box 4.000.000 6.000.000 e. Palka 8.750.000 25.875.000 5. Perizinan 1.250.000 1.875.000 Total 484.250.000 1.118.562.500 Purse Seine 375.000.000 198.250.000 95.500.000 12.500.000 2.500.000 3.750.000 1.000.000 4.000.000 8.375.000 1.250.000 702.125.000 2. Kelayakan investasi Analisis ini berguna untuk menduga prospek pole and line, jaring insang hanyut, dan purse seine apakah layak/menguntungkan bila ke depan dikembangkan investasinya, ataukah sebaliknya. Tabel 6 menyajikan kelayakan investasi ketiga usaha perikanan tangkap unggulan di Bau-Bau. Tabel 6 Hasil analisis kelayakan investasi usaha perikanan tangkap unggulan No Paramater Investasi 1. 2. 3. 4 NPV IRR (%) ROI (%) PP (tahun) Usaha Perikanan Tangkap Pole and Line Jaring Insang Purse Seine Hanyut Rp 46,90 Rp 256,94 Rp 232,62 20 % 24 % 27 % 44 % 33 % 50 % 4,25 tahun 2,75 tahun 2,41 tahun Berdasarkan Tabel 6, pole and line, jaring insang hanyut, dan purse seine memberikan keuntungan bersih yang positif dalam investasinya, yang ditunjukkan oleh nilai NPV lebih besar dari 0 (nol). Disamping itu, pole and line, jaring insang hanyut, dan purse seine juga mempunyai IRR yang lebih tinggi dari suku bunga kredit (12,44 %), yaitu masing-masing 20 %, 24 %, dan 27 %. Artinya, bila investasi ketiga usaha perikanan tangkap tersebut dikembangkan menggunakan dana pinjaman kredit, maka cicilannya masih dapat dikembalikan tanpa mengganggu operasional usaha perikanan tangkap tersebut. Mustaruddin et al. (2014) dan Le Floc et al. (2011) dan menyatakan bahwa usaha yang mampu 204 mengalokasikan cicilan pinjaman dengan baik dapat dipastikan bisa berkembang pesat selama, semua pengeluarana rutinnya dapat dikontrol. Setiap tahunnya, nilai keuntungan dari pole and line 35 GT, jaring insang hanyut 75 GT, dan purse seine 28 GT masing-masing dapat mengembalikan 44 %, 33 %, 50 % dari dana investasi yang digunakannya. Kondisi tersebut sangat membantu investor untuk menentukan rencana pengembangan terkait usaha perikanan tangkap yang dijalankannya. Sedangkan menurut Zivin & Mullins (2015), nilai ROI selalu menjadi fokus utama investor dalam pengembangan usaha yang bersifat ekspansionis. Bila semua keuntungan yang didapat dialokasikan untuk membayarkan semua dana investasi yang digunakan, maka dapat dilunasi dalam waktu 4,25 tahun untuk pole and line, 2,75 tahun untuk jaring insang hanyut, dan 2,41 tahun untuk purse seine. Kemampuan pengembalian investasi ini sangat baik, karena jauh lebih cepat daripada umur ekonomis usaha perikanan pole and line, jaring insang hanyut, dan purse seine yang rata-rata mencapai 10 tahun (DKP Kota Bau-Bau, 2014). Oleh karena semua parameter investasi (NPV, IRR, ROI, PP) dapat dipenuhi dengan baik, maka pole and line, jaring insang hanyut, dan purse seine layak dikembangkan investasinya di Bau-Bau. KESIMPULAN Selama periode 2007 – 2013, produksi perikanan tangkap meningkat ratarata 7,40 % per tahun di Bau-Bau. Jumlah nelayan meningkat signifikan dari 3.996 orang pada 2012 menjadi 20.801 orang pada tahun 2013. Usaha perikanan tangkap yang banyak dikembangkan adalah rawai dasar, jala tebar, bubu, purse seine, jaring insang hanyut, pancing ulur, pancing tonda, jaring insang tetap, dan pole and line. Sedangkan usaha perikanan tangkap yang terpilih sebagai unggulan adalah pole and line (VAg = 2,307), jaring insang hanyut (Vag = 2,152), dan purse seine (Vag = 1,800). Pole and line, jaring insang hanyut, purse seine mempunyai NPV, IRR, ROI, dan PP masing-masing Rp 46,90, Rp 256,94, dan Rp 232,62; 20 %, 24 %, dan 27 %; 44 %, 33%, dan 50 %; 4,25 tahun, 2,75 tahun, dan 2,41 tahun. Nilai parameter investasi tersebut memenuhi persyaratan NPV > 0, IRR > 12,44 %, ROI > 10 %, PP > umur ekonomis, sehingga ketiga usaha perikanan tangkap layak dikembangkan investasinya di Bau-Bau. Kebutuhan investasi untuk pole and line (35 GT), jaring insang hanyut (75 GT), dan purse seine (28 GT) adalah masing-masing Rp 484.250.000, Rp 1.118.562.000, dan Rp 702.125.000. 205 DAFTAR PUSTAKA [BKPM] Badan Koordinasi Penanaman Modal. 2014. Peluang Pegembangan Investasi Perikanan Tangkap di Provinsi Sulawesi Tenggara. Jakarta (ID): BKPM. [BI] Bank Indonesia. 2014. Suku Bunga Dasar Kredit Untuk Modal Kerja Dari Bank BUMN Per September 2014. Jakarta (ID): Bank Indonesia. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bau-Bau. 2014. Laporan Pelaksanaan Program Kelautan dan Perikanan Tahun 2013. Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bau-Bau. Bau-Bau. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bau-Bau. 2013. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Tahun 2012. Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bau-Bau. Bau-Bau. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bau-Bau. 2012. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Tahun 2011. Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bau-Bau. Bau-Bau. Farrag, MMS, Osman. AGM, Akel, EHK, and Moustafa, MA. 2014. Catch and effort of night purse seine with emphasize to Age and Growth of lessepsian Etrumeus teres (Dekay, 1842), Mediterranean Sea, Egypt. The Egyptian Journal of Aquatic Research. 40(2) : 181–190. Hanley N.D. and C. Spash. 1993. Cost-Benefic Analysis and the Environment. Edward Elgar. Cheltenham. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No. PER.45/MEN/2011 tentang Estimasi Potensi Perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI). Jakarta (ID): KKP. Kuntoro M, Listiarini T. 1983. Analisa Keputusan, Pendekatan Sistem Dalam Manajemen Usaha dan Proyek. Bandung (ID): Baskara. Le Floc P, Daurès F, Nourry, M, Thébaud, O, Travers M, and Van Iseghem S. 2011. The influence of fiscal regulations on investment in marine fisheries: A French case study. Journal of Fisheries Research. 10(2-3) : 257–264. Mallawa A, Musbir, Amir F, dan Marimba, A. 2014. Analisis Tekanan Teknologi Penangkapan Ikan Terhadap Populasi Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) di Perairan Teluk Bone, Sulawesi Selatan. Jurnal Perikanan Unhas. 1(1) : 12-24. Mamuaya GE, Haluan J, Wisudo SH dan Astika IW. 2007. Status Keberlanjutan Perikanan Tangkap di Daerah Kota Pantai : Penelaahan Kasus di Kota Manado. Buletin PSP. 16(1):146-160. Mayes, T.R and Shank, T.M. 2008. Financial Analysis with Microsoft Excel 2007. 206 Methot RD and Wetzel CR. 2013. Stock synthesis: A biological and statistical framework for fish stock assessment and fishery management. Journal of Fisheries Research. 142(1) : 86-99. Mustaruddin, Mulyono SB, dan Supriatna A. 2014. Strategi Pengembangan Perikanan Cakalang Yang Bersinergi Dengan Faktor Lingkungan dan Sosial Ekonomi di Ternate : Studi Kasus Penangkapan Ikan Menggunakan Huhate. Jurnal Ilmu Pertanian dan Perikanan. 3(1) : 1-9. Nobuntu N and Mnqanqe M. 2009. Improving the gasoline quality of liquid products from the Fisher–Tropsch process. Catalysis Today. 143(1-2) : 126-131. Rossetto M, Bitetto I, Spedicato MT, Lembo G, Gambino M, Accadia P and Melia P. 2015. Multi-criteria decision-making for fisheries management: A case study of Mediterranean demersal fisheries. Marine Policy. 53(1) : 83-93. Zivin JG and Mullins J. 2015. Vessel buybacks in fisheries: The role of auction and financing structures. Marine Policy. 53(1) : 188-197. 207 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap IPB ke-6 Halaman:208-219 ISBN 978-979-1225-34-2 KINERJA JANTUNG DAN OTOT IKAN JACK MACKEREL, TRACHURUS JAPONICUS SELAMA BERENANG DI FLUME TANK PADA SUHU YANG BERBEDA (Heart rate and muscle performance of jack mackerel, Trachurus japonicus during forced swimming in the flume tank at different temperatures) Mochammad Riyanto1*, Takafumi Arimoto2 1 Staf pengajar pada Depatemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan FPIK-IPB 2 Lecturer at Tokyo University of Marine Science and Technology *Korespondensi: [email protected] ABSTRACT The physiological condition of jack mackerel(18.3 ± 1.2cm fork length (FL), n = 24) was simultaneouslymonitored using electrocardiography (ECG) and electromyography (EMG) techniques during swimming exercise in a flume tankat different temperatures of 10, 15 and 22○C. To monitor the effect of temperature on the threshold level of the maximum sustainable speed, EMG demonstrated that the initiation of ordinary muscle activity at the lowest temperature (10○C) occurred in the swimming speed of 3.2–3.5 FL/s, which was slower than the activation speeds at 15 and 22○C of 4.0–5.4 FL/s. Ordinary muscle became active with increasing swimming speed which subsequently resulted in the frequency, amplitude and duration of burst discharge.ECG and EMG monitoring showed that the heart rate started to increase in the sustained speed level before the threshold and markedly increased up to the maximum level of heart rate at the higher speed. The power output of ordinary muscle at the lowest temperature of 10○C was lower than at higher temperatures of 15 and 22○C. The heart rate increased with the increasing power output of ordinary muscle for all temperatures. Keywords: jack mackerel, heart rate, temperature effect, ECG, EMG, ordinary muscle, power output ABSTRAK Kondisi fisiologis ikan jack mackerel [18,3 ± 1,2 cm panjang cagak (FL), n = 24secara bersamaan dimonitor menggunakan teknik elektrokardiografi (EKG) dan elektromiografi (EMG) selama berenang dalam flume tank pada suhu 3 suhu yang berbeda yaitu 10, 15 dan 22 °C. Untuk menentukan pengaruh suhu pada tingkat ambang batas kecepatan renang maksimum berkelanjutan (maximum sustainable speed), EMG menunjukkan bahwa inisiasi aktivitas otot putih pada suhu terendah (10°C) terjadi pada kecepatan renang 3,2-3,5 FL/s, dimana lebih lambat dari kecepatan aktivasi otot pada 15 dan 22 °C yaitu 4,0-5,4 FL / s. Otot putih menjadi aktif dengan meningkatnya kecepatan renang yang berakibat pada 208 peningkatan frekuensi, amplitudo dan durasi aktivasi otot putih. Hasil pemantauan EKG dan EMG menunjukkan bahwa denyut jantung mulai meningkat pada kecepatan renang maksimum berkelanjutan sebelum ambang batas (threshold speed) dan terus meningkat sampai denyut jantung mencapai maksimum pada kecepatan yang lebih tinggi. Indeks kekuatan otot putih pada suhu 10 °C lebih rendah dari suhu yang lebih tinggi 15 dan 22 °C. Denyut jantung meningkat dengan peningkatan kekuatan otot putih pada semua suhu. Kata Kunci: jack mackerel, denyut jantung, pengaruh suhu, EKG, EMG, otot putih, indeks kekuatan otot PENDAHULUAN Kemampuan renang merupakan ciri utamayangmenentukan tingkat kebugaran pada banyak hewan laut (Plaut, 2001).Berenang adalah satu-satunya alternatif bagi sebagian besar mangsa untuk melepaskan diri dari predator dan kemampuan renang berhubungan langsung dengan aktivitas mencari makan, perubahan habitat, dan reproduksi (Webb 1994, Videler 1993).Kapasitas renang memegang peranan penting dalam menentukan selektivitas dan efisiensi penangkapan pada alat tangkap aktif seperti pukat hela (trawl), pukat cincin (purse seine) dan pukat kantong (seine net) (Winger et al, 1999; He 2008). Kinerja renang(Swimming performance) sangat tergantung pada berbagai faktor biologidan fisika (Webb, 1975)seperti bentuk tubuh (Lindsay, 1978), bentuk sirip (Videler, 1993; Plaut, 2001), fungsi otot (Romeet al, 1988; Altringham dan Ellerby, 1999) dan cara berenang (Blake, 1983). Kecepatan renang dipengaruhi oleh ukuran panjang tubuh ikan (Webb, 1976, Beamish 1978) dan suhu (Wardle, 1980; Yanase et al, 2007).Kinerja renang ikan juga tergantung pada tahap perkembangan ikan (berdasarkan karakter mofologi yang terihat) (Hale, 1999; Takahashi et al, 2010). Faktor lingkungan menjadi factor tambahan yang mempengaruhi kecepatan individu ikan telah di review oleh Randal dan Brauner (1991) dan Videler (1993). Suhu merupakan salah satu faktor yang paling penting yang mempengaruhi kinerja berenang.Peningkatan suhu telah terbukti meningkatkan kinerja berenang dengan meningkatkan tingkat metabolisme (Claireaux et al., 2000), kinerja jantung (Blank et al., 2004), pergerakan ikan (Fuiman and Batty, 1997), dan kontraktilitas otot (Rome et al., 1990; Yanase et al., 2007).Perubahan suhu mempengaruhi kinerja berenang seperti ketahanan (swimming endurance) (Nofrizal et al., 2009) and kecepatan maksimum (Arimoto et al., 1993; Özbilgin and Wardle, 2002, Yanase et al., 2007), sementara itu daya tahan dan kecepatan renang memainkan faktor penting yang mempengaruhi peluang ikan untuk melarikan diri dari alat tangkap aktif.Perbedaan kemampuan renang berpengaruh 209 pada saat jaring melakukan penarikan jaring agar ikan tetap berada pada area mulut jaring dan melarikan diri pada bagian kantong jaring (codend) (He, 1993). Ikan menggunakan kecepatan renang lama (prolonged) dan kecepatan renang kejut (burst) untuk menghindari dan proses penangkapan ikan. Ikan mengalami kelelahan dan dibawah tekanan sehingga menimbulkan stressselama proses penangkapan yang berujung pada kematian ikan pada saat penangkapan maupun setelah ikan lolos dari alat tangkap. Kondisi fisiologis selama proses penangkapan dan setelah mengalami kelelahan dari aktivitas renang ikan belum diketahui secara jelas. Oleh karena itu untuk penelitian tentang kondisi fisiologiikan selama aktivitas renang sangat diperlukan untuk meningkatkan selektivitasdankemampuan menangkap dari alat tangkap aktif. Beberapa aspek dari kondisi fisiologi seperti kinerja otot dan denyut jantung selama ikan berenang dapat diobservasi secara simultan dan bersamaan (Hanyu et al., 1979). Salah satu cara untuk memahami kondisi fisiologis ikan selama berenang, kami memeriksa detak jantung dan aktivitas otot putih pada suhu yang berbeda dengan perekaman secara simultan menggunakan elektrokardiogram (EKG) dan elektromiogram (EMG) pada saat ikan berenang dalam flume tank. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proses kelelahan ikan karena ativitas jantung dan penggunaan otot putih selama aktivitas berenang ikan jack mackerel di dalam flume tank pada temperature yang berbeda. METODOLOGI Seluruh percobaan dilakukan dengan total ikan jack mackerel sampel sebanyak 24 ekor dengan ukuran panjang total (FL) 18,3 ± 1,2 dan berat sebesar 80,2 ± 8,1 g. Ikan didatangkan dari nelayan di Numazu Bay (Jepang) dan dipindahkan ke tanki penampungan berbentuk persegi panjang dengan ukuran panjang 200 cm, lebar 90 cm, dan dalam 100 cm yang dilengkapi dengan sistem sirkulasi, aerasi dan bio-filtering pada suhu 17 ± 0,6 °C dan salinitas 32,5-33,5 psu. Ikan diaklimatisasi minimum selama 10 hari sebelum digunakan untuk percobaan. Ikan diberi makan setiap hari selama aklimatisasi dan periode penalitian sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Riyanto et al., 2014 dan Riyanto dan Arimoto, 2014.Untuk mengetahui pengaruh suhu terhadap aktivitas renang ikan penelitian dilakukan pada 3 perlakuan suhu yaitu 10, 15 dan 22oC. Deskripsi dari flume tank yang digunakan dalam penelitian ini dan perangkat eksperimen dan alat untuk elektromiografi dan elektrokardiografi telah disajikan pada penelitian sebelumnya oleh Nofrizal et al, 2009; Riyanto et al., 2014. Pengukuran denyut jantung dan aktivitas otot putih ditetapkan secara simultan dengan mengunakan teknik EMG dan EKG. Elektroda EKG yang terbuat dari kawat stainless (MT Giken) berukuran panjang 15 mm dan diameter 0,25 mm. 210 EMG elektroda juga terbuat dari kawat stainless berukuran panjang 10 mm dan diameter 0,2 mm seperti ditunjukkan pada Gambar. 1. Gambar 1. Posisi pemasangan elektoda EKG and EMG yang digunakan untuk pemantauan denyut jantung dan aktivitas otot putih Kedua elektroda dihubungkan dengan kawat yang terisolasi (Tsurumi Seiki, T-GA kabel XBT) yang diarahkan ke digital oscilloscope (Iwatsu, DS5102) melalui 2-channel bioamplifier (Nihon Kohden, Bio-Electric Amplifier AB632J). Sepasang elektroda untuk EKG ditanamkan dalam bagian perut dari sisi ventral, sementara itu sepasang elektroda untuk EMG ditanamkan ke dalam otot putih ikan uji pada posisi di dekat pangkal ekor dengan kedalaman sekitar 3 mm dengan jarum suntik (24g× 1", 0,55× 25 mm). Sebelum pemasangan elektroda ikan dianestesi dengan larutan FA100.Setelah implantasi dari dua jenis elektroda tersebut kemudian diikat dan dijahit pada dasar sirip punggung untuk meminimalkan pengaruh mekanik dari gerakan arus dan tubuh sesuai dengan prosedur yang diuraikan dalam penelitian sebelumnya oleh Riyanto dan Arimoto 2014.Diagram skematik rekaman EKG dan EMG dan peralatan yang digunakan disajikan pada Gambar. 2. Setelah penanaman elektroda dan ikan telah pulih dari anestesi selama 180 menit, aktivitas denyut jantung dan otot putih diobservasi selama 30 menit dalam flume tank tanpa arus sebagai kontrol, dilanjutkan dengan adaptasi arus lambat (14,2 cm/s). Kemudian kecepatan ikan ditingkatkan setiap10 menitsebesar14,2 cm/s sampai dengan kecepatan 142, 5 cm/satau sampai ikan mencapai kelelahan. Amplifier EMG dan EKG ditetapkan dengan sensitivitas 0.1 mV dan filter 43-100 Hz. Sekurang-kurangnya 5 (lima) sinyal EMG pada saat ikan berenang stabil di pilih dan direkam secara digital dalam file Excel untuk setiap tingkat kecepatan renang. Amplitudo maksimum (A) dan Durasi (D) untuk setiap aktivitas 211 renang disajikan pada Gambar 3. Power output otot putih dihitung dengan menggunakan persamaan menurut Tsukamoto, 1984. Gambar 2. Diagram skematik pemantauan EKG dan EMG selama ikan berenang di flume tank 𝑛 𝐴𝑖 ∙ 𝐷𝑖 2 /𝑇 𝑃∝ 𝑖=1 Dimana; P = power output (µV.s), A = amplitudo maksimum (µV) ,D = durasi (s) , T = waktu (s).Berdasarkan rumus di atas, indeks output kekuatan otot putih dari ikan makarel selama berenang berdasarkan amplitudo, durasi dan frekuensi (= 1 / T) yang diamati dalam penelitian ini. HASIL Gambar 3 menunjukkan denyut jantung dan aktivitas otot putih ikan jack mackerel dengan panjang cagak (FL) 19.7 cm diobservasi secara simultan dan direkam dengan EKG dan EMG pada saat ikan berenang dengan kecepatan dan suhu yang berbeda. Denyut jantung pada kecepatan renang rendah (1,5-2,9 FL/s) tidak berbeda dengan kontrol dan secara bertahap meningkat dengan penambahan kecepatan berenang setiap 10 menit. Sementara itu tidak ada aktivitas otot putihsampai dengan kecepatan dibawah 3,6 FL/s. Otot putih pertama mulai diaktivasi pada saat kecepatan renang 4,3 FL/s. Maksimum denyut jantung 212 diobesrvasi sebanyak 150 denyut/menit dan aktivitas otot putih sebanyak 75 EMG pulsa/menit pada kecepatan renang 5.0 FL/s. Namun, pada kecepatan berenang 5,7 FL/s, aktivitas denyut jantung dan otot menurun dan ikan tidak bisa berenang selama 10 menit karena mengalami kelelahan. Gambar 3. EMG otot putih and ECG denyut jantung pada kecepatan renang yang berbeda untuk menentukan ambang batas antara kecepatan berkelanjutan (sustained) dan lama (prolonged) untuk kasus ikan berukuran panjang cagak 19.7 cm pada suhu 15 oC Gambar 4.menunjukkan hasil analisis rekaman EMG pada tingkat kecepatan renang ikan pada kondisi suhu yang berbeda. Gambar 6a.menunjukkan hubungan antara frekuensi (F, pulse/s) pada aktivitas otot putih berdasarkan kecepatan renang pada suhu yang berbeda. Frekuensi (F) meningkat secara linear dengan peningkatan kecepatan renang, pada saat ikan berenang melebihi batas kecepatan maksimum berkelanjutan (maximum sustainable speed). Pada suhu rendah 10oC, batas kecepatan saat otot putih teraktivasi terjadi pada kecepatan 3,3-3,5 FL/s, lebih rendah dari 3,9-4,3 FL/s pada suhu 15oC dan 4,3-5,3 FL/s 213 pada suhu 22oC. Berdasarkan kecepatan tersebut kita dapat menentukan maximum sustainable speed untuk setiap perbedaan suhu. Gambar 4. Perubahan pada tiga karakteristik output kekuatan otot: (a) frekuensi, (b) amplitudo maksimumdan (c) durasi dengan kecepatan renang pada suhu 10, 15 and 22oC. Amplitudo (A) pada Gambar 4b, menunjukkan tren peningkatan pada kecepatan maksimum pada setiap perubahan suhu.Namun demikian, terdapat perbedaan tren pada 10oC, hal ini disebabkan karena rendahnya performa otot putih pada saat merespons kecepatan renang yang lebih tinggi. Waktu durasi (D) aktivitas otot putih menunjukkan tidak ada perbedaan yang cukup besar antara 15dan 22oC yaitu pada selang antara 100-200 ms pada kecepatan renang 4,0-6,0 FL/s (Gambar 4c). Berdasarkan hasil analisis pada Gambar 4.Indeks kekuatan otot (P) otot putih dihitung selama selama ikan berenang dalam flume tank pada suhu yang berbeda seperti yang disajikan pada Gambar5. Pada suhu rendah 10oC, tidak ada 214 indeks kekuatan otot putih (P) yang digunakan pada kecepatan renang dibawah 3,3 FL/s, kemudian P meningkat secara bertahap pada selang 4,6-20,5 µV·s pada kecepatan renang 3,3-4,4 FL/s, dan akhirnya mencapai 77,9 µV·s pada kecepatan renang 5,3 FL/s. Pada suhu yang lebih tinggi 15 dan 22oC, P meningkat dengan meningkatnya kecepatan renang. Maksimum P terjadi pada suhu 22oC yaitu sebesar93.3µV·s pada saat kecepatan renang mencapai 6,0 FL/s. Gambar 5.Hubungan antara kecepatan renang (FL/s) and indeks kekuatan otot putih (μV·s) ikan jack mackerel pada suhu yang berbeda. PEMBAHASAN Bersasarkan EMG analisis pada ikan jack mackerel, kitamenentukan ambang batas kecepatan (threshold speed) sebagai titik pengapian kekuatan otot putih (ignition point of white muscle, IPW) seperti yang diusulkan oleh Tsukamoto, 1984 untuk ikan ekor kuning (Seriola quinqueradiata). IPW jack mackerel diamati pada kisaran 3,3-3,5 FL/s pada 10oC, 3,9-4,3 FL/s pada 15oC dan 4,3-5,3 FL/s pada 22oC, nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan pengukuran kecepatan renang maksimum berkelanjutan dengan metode durasi renang (endurance test) terhadap jenis ikan dan ukuran yang relatif sama oleh Nofrizalet al. (2009), dimana kecepatan renang maksimum berkelanjutan terjadi pada 2,4 FL/s pada 10oC dan 3,2-3,4 FL/s pada suhu yang lebih tinggi yaitu 15 dan 22oC. Perbedaan kecepatan renang maksimum berkelanjutan pada ikan jack mackerel kemungkinan disebabkan oleh adanyavariasi fisiologi dan morfologi seperti hubungan antara panjang dan berat dimana setiap individu memiliki variasi yang berbeda (Coull et al., 1989).Variasi ini memperlihatkan jumlah relatif kekuatan otot yang digunakan sebagai tenaga pendorong yang berpengaruh pada performa kecepatan renang ikan (Bainbrigde, 1960).Secara fisiologi, cadangan energi yang tersimpan dalam sel-sel otot renang cenderung bervariasi antara 215 individu (Weihs,1974).Deskripsi kualitatif dari berbagai kecepatan renang maksimum dalam penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan antar individu ikan pada suhu yang berbeda terhadap kinerja renang ikan. Frekuensi kejutan listrik (F) meningkat dengan peningkatan kecepatan renang pada semua suhu, seperti yang ditunjukkan pada Gambar4a.Meningkatnya frekuensi aktivitas otot putih berhubungan dengan gerakan cepat dan kuat dari tubuh ikan untuk mengulangi kick-and-glide maneuver(Riyanto et al., 2014; Riyanto dan Arimoto, 2014) terhadap tingkat kecepatan arus pada flume tank.Ketika frekuensi aktivitas otot putih melebihi batas tertentu, serat-serat otot berkontraksi penuh dan ketegangan dikembangkan menjadi 4-5 kali lebih besar dari yang diberikan selama kontraksi otot tunggal (Tsukamoto, 1984).Hasil ini sesuai dengan Xu et al.(1993), dimana frekuensi kejutan listrik dan durasi aktivitas otot putih meningkat denganmeningkatnya kecepatan, sementara ada perubahan kecil dari amplitudo di atas ambang batas kecepatan maksimum renang berkelanjutan. Hasil pemantauan EKG dan EMG pada ikan jack mackerel menunjukkan bahwa denyut jantung mulai meningkat pada ambang batas kecepatan (threshold speed)sebelum IPW.Di atas IPW, denyut jantung meningkat tajam sampai ke tingkat maksimum pada kecepatan yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa denyut jantung secara intensif digunakan untuk penyerapan oksigen sebelum IPW dan bekerja bersama dengan aktivitas otot pada kecepatan prolonged. Hal ini sesuai dengan temuan pada ikan hering (Clupea harengus) oleh Bone et al. (1978), Pollachius virens (Johnston dan Moon, 1980) dan ekor kuning (Seriola quinqueradiata) oleh Tsukamoto, 1984 dalam hal fungsi darah dan otot biasa selama berenang. Denyut jantung maksimum pada kecepatan yang lebih tinggi menyebabkan tingkat kelelahan yang lebih tinggi seperti yang dilaporkan oleh Riyanto dan Arimoto (2014), dimana denyut jantung setelah kecepatan tinggi memerlukan waktu pemulihan selama 250 menit sampai 480 menit. Waktu pemulihan penuh untuk ikan mas Cyprinus carpio setelah berenang pada kecepatan 3 BL / s diperlukan waktu selama 60 menit (Ito et al., 2003).Selama berenang cepat, otot putih bekerja sangat aktif, di mana pada situasi ini otot putih melakukan metabolisme anaerobik glikolisis, sehingga deplesi glikogen dan akumulasi asam laktat (Bone, 1966). Xu et al. (1993) melaporkan bahwa asam laktat dari 43-cm Theragra chalcogramma mulai menurun setelah 6 jam pemulihan dengan pengurangan jumlah asam laktat setelah 24 jam. Kekuatan otot putih dihitung dengan mengalikan tegangan (voltage) EMG (μV) dan durasi aktivasi otot (s) (Tsukamoto, 1984).Pengaruh suhu pada indeks kekuatan otot putih (P) ikan jack mackerel menunjukkan hasil bahwa P pada suhu 10 °C lebih rendah dari pada suhu yang lebih tinggi 15 dan 22 °C.Hasil penelitian ini mendukung temuan Riyanto et al. (2014), dimana kinerja otot jack mackerel berkurang pada 10 °C.Kinerja kekuatan otot putih yang rendah tersebut dimungkinkan terkait dengan kecilnya koefisien renang (k) (Riyanto et al., 2014). 216 KESIMPULAN Besarnya kinerja aktivitas anaerobik otot putih ikan jack mackerel berhubungan dengan tingginya kinerja denyut jantung untuk menyediakan oksigen ke otot, dimana berhubungan langsung dengan tingkat kelelahan otot yang terlihat dari waktu recovery yang panjang pada kecepatan renang dan suhu yang tinggi. DAFTAR PUSTAKA AltringhamJD, Ellerby DJ. 1999. Fish swimming: pattern in muscle function. JExpBiol202 (23): 3397−3403. Arimoto T, Xu G, Matsushita Y. 1993. Muscle contraction time of captured walleye pollock Theragra chalcogramma. Nippon Suisan Gakkashi 57:1225−1228. Bainbridge R. 1960. Swimming and stamina in three fish.J Exp Biol 37:129−153. BeamishFWH.(1978) Swimming capacity. In: Hoar WS, Randal DJ (eds) Fish physiology, vol. 7. Academic Press, London, pp 101–187. BlakeRW. 1983. Fish locomotion. Cambridge University Press, Cambridge, pp 208. BlankJM, MorrissetteJM, Landaeira-FernandesAM, BlackwellSB, WilliamsTD, BlockBA. 2004. In situ cardiac performance of Pacific bluefin tuna hearts in response to acute temperature change. J ExpBiol 207: 881–890. Bone Q, Kicenuik J, Jones DR. 1978. On the role of different fibre types in fish myotomes at intermediate swimming speeds. Fish Bull 76:691-699. Bone Q .1966.On the function of the two types of myotomal muscle fibres in elasmobranch fish.J Mar Biol Assoc UK 46:321−349. ClaireauxG, WebberDM, LagadereJP, KerrSR. 2000. Influence of water temperature and oxygenation on the aerobic metabolic scope of Atlantic cod (Gadus morhua). J Sea Res 44: 257–265. Coull KA, Jermyn AS, Newton AW, Henderson GI, Hall WB.1989. Length/weight relationship for 88 species of fish encountered in the North East Atlantic. Scottish Fisheries Research Report 81 pp. FuimanLA, BattyRS. 1997. What a drag it is getting cold: partitioning the physical and physiological effect of temperature on fish swimming. JExpBiol200: 1745–1755. HaleME. 1999. Locomotor mechanics during early life history: effect of size and ontogeny on fast-start performance of salmonid fishes. J ExpBiol202:1465−1479. Hanyu I, Tsukamoto K, Yamamori K, Ngan PV, Furukawa K, Hibiya T. 1979.Simultaneous recording of physiological information from swimming fish.Nippon Suisan Gakkaishi 45:1261–1265. 217 HeP. 2008.Swimming capacity of marine fishes and its role in capture by fishing gears. In: Domenici P and Kapoor BG (eds) Fish locomotion: an ecoethological perspective. Science Publisher, Enfield, pp 484–512. HeP. 1993. Swimming speeds of marine fish in relation to fishing gears. ICES Mar Sci Symp 196:183–189. Ito H, Akiyama S, Arimoto T (2003) Heart rate change during exercise and recovery for carp Cyprinus carpio. Nippon Suisan Gakkashi. 69:192–196 (in Japanese with English abstract). Johnston IA, Moon TW. 1980. Endurance exercise training in the fast and slow muscles of a teleost fish (Pollachius virens). J Comp Physiol 135:147−156. Lindsay CC. 1978.Form, function, and locomotory habits in fish. In: Howard WS and Randal DJ (eds) Fish physiology vol. 7. Locomotion.Academic Press. New York, pp 1−100. Nofrizal, Yanase K, Arimoto T .2009. Effect of temperature on the swimming endurance and post-exercise recovery of jack mackerel Trachurus japonicus as determined by ECG monitoring.Fish Sci 75:1369–1375. ÖzbilginH, WardleCS. 2002. Effect of seasonal temperature changes on the escape behaviour of haddock Melanogrammus aeglefinus, from the codend. FishRes58:323–331. PlautI. 2001.Critical swimming speed: its ecological relevance. CompBiochemPhysiol131:41−50. RandalD, BraunerC. 1991.Effect of environmental factors on exercise in fish.JExpBiol 160:113–126. Rome LC, Funke RP, Alexander RM. 1990.The influence of temperature on muscle velocity and sustained performance in swimming carp.J Exp Biol 154: 163–178. RomeLC, FunkRP, AlexanderRM, LutzG, AldrigdeH, ScottF, FreadmanM. 1988. Why animal have different muscle fibre types? Nature 335:824−827. Riyanto M, Yanase K, Arimoto T .2014. Temperature and fatigue effect on the maximum swimming speed of jack mackerel Trachurus japonicus. Fish Sci 80:53–59. Riyanto M, Arimoto T .2014. Temperature effect on heart rate of jack mackerel Trachurus japonicus, during swimming exercise.Fish Sci 80:1241−1248. TakahashiK, MasudaR, YamashitaY. 2010.Ontogenetic changes in the spatial learning capability of jack mackerel Trachurus japonicus.JFish Biol 77:2315−2325. Tsukamoto K .1984. Contribution of the red and white muscles to power output required for swimming by the yellowtail. Nippon Suisan Gakkaishi 50:2031–2042. Tsukamoto K .1984.The role of the red and white muscles during swimming of the yellowtail.Bull Jap Soc Sci Fish 50: 2025–2030. 218 VidelerJJ. 1993.Swimming dynamics: exchange of forces between fish and water. In: Videler JJ (ed) Fish swimming. Chapman and Hall, London, pp 165– 184. WardleCS. 1980.Effect of temperature on the maximum swimming speed of fishes. In: Ali AM (ed) The environmental physiology of fishes. Plenum, New York, pp 519–531. WebbPW. 1994.Exercise performance of fish. In: Jones JH (ed) Comparative vertebrate exercise physiology: phyletic adaptation. Academic Press, San Diego, CA, pp 1−49. WebbPW. 1976. The effect of size on the fast-start performance of rainbow trout Salmo gairdneri, and a consideration of piscivorous predator-prey interactions. JExpBiol 65 (1): 157−177. WebbPW. 1975. Hydrodynamics and energetic of fish propulsion. Bull Fish Res Bd Can 190, p 158. Weihs D.1974. Energetic advantages of burst swimming of fish. J Theor Biol 48:215−229. WingerDP, HeP, WalshSJ. 1999. Swimming endurance of American plaice (Hippoglossoides platessoides) and its role in fish capture. ICES J. Mar. Sci. Symp. 56:252−265. Xu G, Arimoto T, Inoue M .1993. Red and white muscle activity of the jack mackerel Trachurus japonicus during swimming.Nippon Suisan Gakkaishi 59:745–751. Xu G, Arimoto T, Inoue Y. 1993. The measurement of muscle fatigue in walleye pollock (Theragra chalcogramma) captured by trawl. ICES Mar Sci Symp 196:117−121. YanaseK, EayrsS, ArimotoT. 2007. Influence of water temperature and fish length on the maximum swimming speed of sand flathead, Platychephalus bassensis: implication for trawl selectivity. Fish Res 84: 180–188. 219 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap IPB ke-6 Halaman:220-226 ISBN 978-979-1225-34-2 PENGARUH PENGGUNAAN UMPAN YANG BERBEDA TERHADAP HASIL TANGKAPAN TUNA MATA BESAR (Thunnus obesus) DI SAMUDERA HINDIA Irwan Jatmiko1, Budi Nugraha1, Rani Ekawaty2 1 Loka Penelitian Perikanan Tuna, Denpasar, Bali. Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana, Denpasar, Bali. 2 ABSTRACT Bigeye tuna (Thunnus obesus) is one of the important export commodities to increase national income. One strategy used to obtain pleasing catches is to use bait that preferred by the targeted bigeye tuna. This study aims to determine the effect of using different bait to catch bigeye tuna in the Indian Ocean. Data collection is done by the scientific observers from August 2005 until June 2014. The catch rate was calculated using the hook rate formula and analyzed using one-way ANOVA. The analysis showed that there was a significant difference to the catch of bigeye tuna (T. obesus) by using several different baits (ANOVA, F6,1306 = 20.82, p <0.05). Lemuru bait obtained the highest rate of 0.3 / 100 hooks or about three times more than using other bait. Keywords: bigeye tuna, bait, one-way Anova, hook rate ABSTRAK Tuna mata besar (Thunnus obesus) merupakan salah satu komoditas ekspor yang penting untuk menambah devisa negara. Salah satu strategi yang digunakan untuk mendapatkan hasil tangkapan yang memuaskan adalah dengan menggunakan umpan yang disukai oleh ikan target tuna mata besar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan umpan yang berbeda terhadap hasil tangkapan tuna mata besar di Samudera Hindia. Pengumpulan data dilakukan oleh pemantau ilmiah dari bulan Agustus 2005 hingga bulan Juni 2014. Hasil tangkapan dihitung menggunakan rumus hook rate dan dianalisis menggunakan Anova satu arah. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata terhadap hasil tangkapan tuna mata besar (T. obesus) dengan menggunakan beberapa umpan yang berbeda (ANOVA, F6,1306=20.82, p<0.05). Umpan lemuru mendapatkan hook rate tertinggi sebesar 0,3/100 mata pancing atau sekitar tiga kali lipat daripada menggunakan umpan lainnya. Kata kunci: tuna mata besar, umpan, Anova satu arah, hook rate 220 PENDAHULUAN Ikan tuna merupakan salah satu komoditas ekspor yang penting untuk menambah devisa negara. Produksi tuna mencapai hampir 1.300 ton pada kurun waktu 2004 hingga 2011. Salah satu jenis tuna yang cukup penting adalah tuna mata besar (Thunnus obesus) yang mempunyai proporsi sebesar 24% dari total produksi kelompok tuna besar pada kurun waktu tersebut. Nilai tersebut merupakan terbesar kedua setelah tuna sirip kuning (Thunnus albacares) yaitu sebesar 69% (DJPT, 2012). Tuna mata besar (T. obesus) merupakan spesies bermigrasi jauh (highly migratory species) yang penyebarannya dari perairan tropis hingga perairan subtropis. Ikan ini dapat ditemukan di samudera-samudera besar dunia yaitu Samudera Atlantik, Samudera Pasifik dan Samudera Hindia (Collette & Nauen, 1983). Di Indonesia sendiri, daerah penyebaran ikan tuna mata besar membentang dari Perairan Barat Sumatera, Selatan Jawa, Laut Banda dan Laut Sulawesi hingga Perairan Utara Papua (Uktolseja et al., 1991). Untuk mendapatkan hasil tangkapan yang memuaskan, diperlukan strategi operasi penangkapan yang tepat. Salah satu strategi yang digunakan adalah dengan menggunakan umpan yang disukai oleh ikan target tuna mata besar (T. obesus). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan umpan yang berbeda terhadap hasil tangkapan tuna mata besar (T. obesus) di Samudera Hindia. METODOLOGI Pengumpulan data Pengumpulan data dilakukan oleh pemantau ilmiah dari bulan Agustus 2005 hingga bulan Juni 2014. Kegiatan pengumpulan data ini dilakukan di kapal rawai tuna yang berbasis di Pelabuhan Benoa, Bali. Dalam satu trip, kapal rawai tuna beroperasi selama tiga minggu hingga tiga bulan. Dalam tiap tripnya, pemantau ilmiah mengumpulkan data harian berupa hasil tangkapan tuna mata besar, jenis umpan yang digunakan, total mata pancing per set dan posisi daerah penangkapan ikan menggunakan Global Positioning System (GPS). Lokasi kapal sampel membentang dari posisi 9º-16º Lintang Selatan hingga 109º -120º Bujur Timur (Gambar 1). Penentuan lokasi ini untuk mengurangi pengaruh kondisi lingkungan terhadap jumlah hasil tangkapan karena perbedaan lokasi daerah penangkapan ikan. Analisis data Hasil tangkapan dihitung menggunakan rumus hook rate dari Klawe (1980) yaitu: 221 Dimana: HR : hook rate (hasil tangkapan/100 mata pancing) JI : jumlah hasil tangkapan JP : jumlah total mata pancing per set A : 100 mata pancing Gambar 1. Daerah penangkapan kapal yang disampel. Nilai hook rate yang diperoleh kemudian dikelompokkan ke dalam masing-masing umpan yang digunakan dan dianalisis menggunakan one-way Anova. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh perbedaan umpan terhadap hasil tangkapan ikan tuna mata besar. Apabila hasil menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05), tes post-hoc dilakukan untuk mengetahui letak perbedaannya. Semua analisi statistik dilakukan menggunakan SPSS Statictics 20. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan dengan mengikuti kapal rawai tuna sebanyak 62 trip dan 1480 kali tebar pancing (set). Dalam kurun waktu tersebut, hampir 1,8 juta mata pancing ditebar dengan rata-rata setiap kali operasi adalah sekitar 1.200 mata pancing per satu kali set. Beberapa umpan yang digunakan pada kapal rawai tuna ini adalah ikan bandeng (bd), Chanos chanos; ikan selanget (sl), Anodontostoma chacunda; cumi-cumi (cm), Loligo spp.; ikan layang (ly), Decapterus ruselli; ikan lemuru (lm), Sardinella lemuru dan ikan tongkol krai (kr), Auxis thazard. Pada saat melakukan operasi penangkapan, nelayan tidak hanya menggunakan satu macam umpan saja tetapi juga kombinasi dua, tiga hingga 222 empat macam umpan yang berbeda. Selama penelitian ini, umpan yang paling banyak digunakan adalah kombinasi antara layang dan lemuru sebanyak 519 kali, diikuti lemuru (477 kali) dan kombinasi antara bandeng dan layang (104 kali). Sedangkan umpan yang paling jarang digunakan adalah kombinasi selanget dan lemuru (1 kali), bandeng dan cumi (5 kali) dan kombinasi bandeng dan selanget (6 kali). Kombinasi umpan yang digunakan selama operasi penangkapan kapal rawai tuna dapat dilihat pada tabel 1. Untuk meminimalisir kesalahan (error) pada saat analisis, umpan atau kombinasi umpan yang dianalisis hanya yang berjumlah 30 atau lebih, yaitu sebanyak tujuh jenis umpan atau kombinasi umpan. Tujuh jenis umpan ini juga sudah mencakup hampir 90% dari total sampel yang dilakukan selama operasi penangkapan ikan (Tabel 1). Tabel 1. Umpan yang digunakan dalam operasi penangkapan kapal rawai tuna di Samudera Hindia. Huruf yang dicetak tebal menunjukkan sampel umpan yang digunakan pada saat analisis lebih lanjut. Persentase No Umpan Jumlah kumulatif (%) 1 layang_lemuru 519 35.07 2 lemuru 477 67.30 3 bandeng_layang 104 74.32 4 bandeng_layang_lemuru 88 80.27 5 cumi_layang_lemuru 51 83.72 6 bandeng_cumi_layang_lemuru 44 86.69 7 bandeng_lemuru 30 88.72 8 layang 27 90.54 9 bandeng_tongkol-krai 23 92.09 10 bandeng_tongkol-krai_layang 23 93.65 11 cumi_layang 21 95.07 12 bandeng_cumi_lemuru 19 96.35 13 cumi_lemuru 19 97.64 14 bandeng_cumi_layang 14 98.58 15 bandeng 9 99.19 16 bandeng_selanget 6 99.59 17 bandeng_cumi 5 99.93 18 selanget_lemuru 1 100.00 Total 1480 Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata terhadap hasil tangkapan tuna mata besar (T. obesus) dengan menggunakan beberapa umpan yang berbeda (one-way ANOVA, F6,1306=20.82, p<0.05). Dikarenakan hasil analisis menunjukkan perbedaan yang nyata, tes Tukey post-hoc dilakukan untuk 223 Hasil tangkapan/100 pancing ( SE) Hook rate ( SE) mengetahui letak perbedaannya. Tes Tukey post-hoc menunjukkan bahwa umpan lemuru mendapatkan hook rate tertinggi sebesar 0,3/100 mata pancing. Nilai ini tiga kali lipat daripada menggunakan kombinasi umpan bandeng-cumi-layanglemuru dan bandeng-layang-lemuru yang hanya memperoleh hook rate sekitar 0,1/100 mata pancing (Gambar 2). 0.4 n = 1313 0.3 0.2 a b c d c d a b b c d d a b c a 0.1 0 Umpan Gambar 2. Hook rate (hasil tangkapan/100 mata pancing) tuna mata besar (T. obesus) dengan beberapa umpan yang berbeda. Tujuan operasi penangkapan ikan dalam perikanan rawai tuna adalah mengusahakan bagaimana ikan target memakan umpan yang ditebar. Oleh karena itu, penggunaan umpan yang tepat merupakan salah satu aspek penting dalam kesuksesan operasi penangkapan pada kapal rawai tuna. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilih umpan adalah kualitas umpan, ukuran sesuai untuk dimakan oleh ikan target, memiliki bau untuk menarik perhatian ikan target dan ketahanan pada saat dipasang pada mata pancing (Gil, 2005). Penelitian ini menunjukkan bahwa lemuru merupakan umpan yang paling efektif digunakan untuk menangkap tuna mata besar. Kelompok tuna dapat melihat mangsanya dari jarak jauh bisa melihat mangsanya. Umpan lemuru yang digunakan dalam operasi rawai tuna telah memenuhi persyaratan sebagai umpan rawai tuna, yaitu mempunyai warna sisik mengkilap di dalam air, tidak cepat busuk, memiliki rangka tulang yang kuat, bentuk badan memanjang dan dalam keadaan segar (Djatikusumo, 1975). Hasil ini berbeda dari hasil penelitian yang dilakukan Barata et al. (2011) dimana dari penelitian tersebut diketahui bahwa umpan cumi merupakan umpan yang efektif untuk menangkap tuna dengan alat tangkap rawai tuna di Samudera Hindia. Perbedaan ini kemungkinan karena penggunaan metode yang berbeda. 224 KESIMPULAN Penggunaan ikan lemuru (S. lemuru) sebagai umpan dalam operasi rawai tuna menunjukkan hasil yang paling tinggi daripada umpan lainnya. Nelayan kapal rawai tuna di Samudera Hindia disarankan menggunakan ikan lemuru sebagai umpan untuk meningkatkan hasil tangkapan tuna mata besar (T. obesus). UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini dibiayai dari kerjasama Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan (P4KSI) dengan Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR) pada tahun 2005-2009, DIPA kegiatan riset Balai Penelitian Perikanan Laut (BPPL) pada tahun 2010-2011 dan DIPA kegiatan riset Loka Penelitian Perikanan Tuna (LPPT) pada tahun 20122013. Peneliti mengucapkan terima kasih kepada para pemantau ilmiah di Loka Penelitian Perikanan Tuna (LPPT) Benoa yang telah membantu dalam proses pengumpulan data penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Barata, A., A. Bahtiar & H. Hartaty. 2011. Pengaruh Perbedaan Umpan Dan Waktu Setting Rawai Tuna Terhadap Hasil Tangkapan Tuna Di Samudera Hindia. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 17(2): 133138. Collete, H.B. & C.E. Nauen. 1983. FAO species catalogue. Vol. 2. Scombrids of the world.An Annonated and illustrated catalogue of tunas, mackerels, bonitos, and related species known to date. FAO Fisheries Synopsis.No. 125, Vol. 2. Rome, Italy: FAO Press, 137 pp. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap .2012. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia 2011. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta, Indonesia.190 pp. Djatikusumo, E. W. 1975. Biologi Ikan Ekonomis Penting. Akademi Usaha Perikanan. Jakarta. Gil, J.C. 2005. Longline fisheries with special emphasis on bait size and fisheries in DPR of Korea. Final Report of UNU-Fisheries Training Programme, Reykjavik, Islandia. 37 pp. Klawe, W.L. 1980. Long lines catches of tunas within the 200 miles Economic zones of the Indian and Western Pacific Ocean. Dev. Rep. Indian Ocean Prog. 48:83 pp. 225 Uktolseja J.C.B., B. Gafa & S. Bahar. 1991. Potensi dan penyebaran sumber daya ikan tuna dan cakalang. Dalam: Martosubroto P., N. Naamin, B.B.A. Malik (eds.). Potensi dan Penyebaran Sumber daya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. Jakarta. 29-43 pp. 226 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap IPB ke-6 Halaman: 227-234 ISBN 978-979-1225-34-2 POSISI BEBAN DAN SUDUT JATUH BALING-BALING, PENGARUHNYA TERHADAP TAHANAN GERAK DAN KECEPATAN PERAHU KATIR DI PALABUHANRATU Budhi H. Iskandar1*, Y. Novita1, N. Firnasari2, GA. Saksono2, R. Hadi2 1 Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan FPIK IPB Bogor Alumni Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan FPIK IPB Bogor *Korespondensi: [email protected] 2 ABSTRACT Outrigger boat is small-scale fishing boats were predominantly used by fishermen in Palabuhanratu. The use of outrigger as a tool for restraining roll/rolling during fishing operation. This study was aimed to examine the variation of the load position and angle of attack of long-shaft propeller in the water towards resistance and speed. The study was conducted experimentally. A model scale of outrigger boat was used to obtain the resistance value by variations in the load positions, and a full scale outrigger boat was used to obtain the angle of attack of long shaft propeller in the water that produce maximum speed. The results showed that the position of the load on the stern produces the smallest resistance, and the angle of attack of the propeller shaft between 25o - 28o provide maximum speed. Keywords: angle of attack, outrigger boat, propeller shaft, resistance. ABSTRAK Perahu katir merupakan perahu nelayan skala kecil yang dominan digunakan oleh nelayan di Palabuhanratu. Perahu ini menggunakan katir sebagai alat untuk menahan gerak oleng/rolling perahu selama melakukan operasi penangkapan ikan. Penelitian ini bertujuan untuk menelaah variasi posisi beban dan sudut jatuh baling-baling pada perahu katir terhadap nilai tahanan gerak dan kecepatannya. Penelitian dilakukan secara eksperimental. Perahu katir model digunakan untuk mendapatkan nilai tahanan gerak akibat variasi posisi beban, dan perahu katir ukuran sebenarnya digunakan untuk mendapatkan sudut jatuh baling-baling yang menghasilkan kecepatan maksimum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa posisi beban di buritan menghasilkan tahanan gerak terkecil, dan sudut jatuh poros baling-baling antara 25o – 28o memberikan kecepatan maksimum. Kata kunci: sudut jatuh, perahu katir, poros baling-baling, tahanan gerak 227 PENDAHULUAN Palabuhanratu sejak lama sudah dikenal sebagai salah satu senra perikanan tangkap di Indonesia, khususnya di Jawa Barat. Hasil tangkapan dari perairan Palabuhanratu didaratkan di PPN Palabuhanratu sebelum didistribusikan ke daerah lain atau langsung ke konsumen. Berbagai jenis kapal penangkap ikan digunakan oleh nelayan di Palabuhanratu dalam operasi penangkapan ikan. Salah satu jenis kapal di Palabuhanratu adalah kapal katir atau yang kerap disebut sebagai perahu katir. Perahu ini diawaki oleh satu orang nelayan, dengan alat tangkap pancing. Pola operasi penangkapan ikan hanya satu hari (one day fshing). Tenaga penggerak yang digunakan adalah motor serbaguna berkekuatan mesin 5,5 PK yang dilengkapi dengan as panjang dan baling-baling (propeller). Pemilihan jenis perahu ini sebagai obyek penelitian dikarenakan jumlahnya yang mendominasi diantara kapal penangkap ikan di Palabuhanratu. Pada penelitian ini, distribusi beban dan kecepatan perahu menjadi aspek yang diamati. Berdasarkan kenyataan di lapangan, nelayan meletakkan beban tidak selalu di bagian buritan namun cenderung di area kosong yang tersedia di perahu. Fakta lain menunjukkan bahwa nelayan juga menggunakan berbagai macam sudut jatuh baling-baling pada masing-masing perahunya. Secara teoritis, kedua hal tersebut berpengaruh terhadap nilai tahanan gerak (resistance) perahu bergerak. Bila kombinasi keduanya (posisi beban dan sudut jatuh baling-baling) dapat menghasilkan tahanan gerak yang minimum maka perahu dapat melaju dengan kecepatan yang optimal dan penggunaan bahan bakar juga lebih efisien. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan nilai tahanan gerak dengan variasi posisi beban, dan mendapatkan sudut jatuh poros baling-baling yang memberikan kecepatan terbaik. METODOLOGI Penelitian dilakukan dengan metode ekperimental di Laboratorium Kapal dan Transportasi Perikanan FPK IPB, dan di lapangan di Kolam PPN Palabuhanratu, Jawab Barat. Eksperimental di laboratorium dilakukan untuk mendapatkan nilai tahanan gerak perahu akibat variasi posisi beban. Perahu model dibuat untuk kepentingan ini kemudian dilakukan uji tarik di kolam yang ada di FPIK IPB. Eksperimental di lapangan dilakukan untuk mendapatkan sudut jatuh baling-baling yang menghasilkan kecepatan perahu terbaik. Pada eksperimental ini digunakan salah satu perahu katir di Palabuhanratu sebagai sampel, dengan pertimbangan dimensi dan cara nelayan memposisikan as baling-baling cenderung seragam sehingga contoh tersebut dapat mewakili. Tabel 1 menampilkan dimensi perahu model dan perahu skala penuh yang digunakan dalam pnelitian ini. Gambar 1 menampilkan rencana garis dan 228 perahu model yang dibuat dan digunakan dalam penelitian ini. Gambar 2 menampilkan perahu katir yan digunakan untuk eksperimental di lapangan. Gambar 3 menampilkan posisi beban pada saat ekperimen dilakukan. Gambar 4 menampilkan desain ekperimen pengabilan data kecepatan perahu katir di kolam percobaan, dan Gambar 5 menampilkan lokasi dan cara pengambilan data kecepatan perahu katir pada sudut jatuh baling-baling yang berbeda di kolam PPN Palabuhanratu. Tabel 1. Dimensi perahu model dan perahu skala penuh Parameter Model Perahu Katir LOA (m) 0,55 Lpp (m) 0,514 B (m) 0,065 D (m) 0,067 d (m) 0,032 Massa (kg) 0,6 Skala 1:10 Perahu Katir 5,5 5,14 0,65 0,67 0,32 Gambar 1. Rencana garis (lines plan) dan perahu katir model 229 Gambar 2. Perahu katir yang digunakan dalam ekperimen Gambar 3. Posisi beban di perahu katir model saat ekperimental dan pengukuran permukaan basah badan perahu katir model 230 Gambar 4. Desain pengambilan data kecepatan perahu katir model di kolam percobaan Gambar 5. Lokasi dan cara pengambilan data kecepatan perahu katir pada sudut jatuh baling-baling yang berbeda HASIL DAN PEMBAHASAN Gambar 6 di bawah ini menunjukkan hubungan kecepatan dengan tahanan gerak pada putaran dinamo (RPM) yang berbeda pada perahu katir model non 231 beban, beban di buritan, di tengah dan di haluan. Putaran dinamo (RPM) yang dimaksud disini adalah jumlah putaran per-menit dari dinamo yang digunakan untuk menarik perahu katir model di kolam percobaan. Nilai tahanan gerak (R) dan kecepatan yang ditunjukkan pada Gambar 6 merupakan hasil pengolahan data dari eksperimen yang dilakukan di kolam percobaan. Hasil olah data ini menunjukkan bahwa nilai tahanan terbesar dicapai pada kecepatan saat kecepaan tertinggi, hubungan keduanya berbanding lurus. Nilai terbesar hingga terkecil dari tahanan gerak secara berturut-turut adalah posisi beban di tengah (0,14 – 0,18 N), non beban (0,12 – 0,15 N), beban di haluan (0,12 – 0,13 N), dan terkecil beban di buritan (0,09 – 0,1 N). Non beban Beban di buritan Beban di tengah Beban di haluan Gambar 6. Hubungan antara kecepatan perahu katir model terhadap variasi posisi beban saat dilakukan ekperimen di kolam percobaan Hasil tersebut menunjukkan bahwa nilai tahanan gerak dipengaruhi oleh besarnya badan perahu yang terendam di dalam air yang dipresentasikan oleh nilai luas area permukaan basah (WSA: wetted surface area) badan perahu. Posisi beban di tengah memiliki tahann gerak tertinggi karena dengan posisi beban seperti ini badan perahu yang terendam lebih dalam sehingga WSA semakin besar. Posisi beban di tengah membuat perahu berada dalam keaadaan terendam dengan tinggi draft haluan dan buritan relatif sama (even keel). Posisi non beban 232 juga membuat perahu even keel, namun dengan tidak adanya beban maka baadn perahu yang terendam menjadi lebih sedikit dibandingkan dengan adanya beban di tengah. Posisi beban di haluan memberikan nilai tahanan gerak berada pada rentang posisi beban di tengah. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun nilai WSA-nya lebih kecil dibandingkan beban di tengah namun posisi badan kapal yang menukik menyebabkan nilai tahanan gerak cukup besar saat perahu digerakkan karena perahu cenderung mengarah ke dalam air sehingga terjadi peningkatan WSA saat perahu bergerak. Posisi beban di buritan memberikan nlai tahanan gerak terkecil, karena dengan semakin cepatnya perahu begerak WSA semakin berkurang yang berimplikasi kepada penurunan tahanan gerak yang dihasilkan. Nilai rata-rata penurunan tahanan gerak dari tertinggi hingga terendah sebesar 0,065 N atau 40,6 %. Hasil ini menunjukkan penempatan beban yang tepat akan menghasilkan tahanan gerak yang minimum. Pada kasus ini bila beban diletakkan di tengah memberikan nilai tahahan sekitar 40,6 % lebih tinggi dibandingkan beban di buritan. Bila perahu bergerak dengan tahanan gerak yang minimum maka kecepatan yang dicapai dapat lebih tinggi pada tenaga penggerak yang sama. Hal ini juga berimplikasi pada konsumsi bahan bakar yang lebih hemat. Gambar 7 menampilkan grafik hubungan sudut jatuh poros baling-baling terhadap kecepatan perahu katir saat ekperimen dilakukan. Eksperimen ini dilakukan di kolam PPN Palabuhanratu. Pemilihan kolam pelabuhan ditujukan agar eksperimen dapat dilakukan pada kondisi air tenang, tanpa arus dan gelombang, sehingga kondisi ini mendekati ekperimen yang dilakukan di kolam percobaan dengan perahu katir model dimana pada kolam percobaan juga tidak berarus dan tidak bergelombang. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa sudut jatuh poros baling-baling yang digunakan nelayan adalah 16, 21, 25, 28, dan 30o, yang memberikan nilai kecepatan perahu masing-masing sebesar 1,41; 4,08; 4,44; 4,45; dan 4,42 knot. Diantara sudut-sudut tersebut, pada sudut antara 25 – 28o memberikan kecepatan tertinggi. Hubungan matematis antara sudut jatuh poros baling-baling terhadap kecepatan perahu katir dapat dijelaskan dengan persamaan polynomial seperti yang disampaikan pada Gambar 7. Persamaan polynomial tersebut menunjukkan hal yang sama dengan hasil pengukuran di lapangan dimana nilai tertinggi kecepatan dicapai antara sudut 25 – 28o, yang lebih tepatnya berada pada sudut 26o yang memberikan kecepatan sebesar 4,6 knot. Kecepatan ini merupakan kecepatan perahu katir pada kondisi perairan tidak berarus dan tidak bergelombang. 233 Gambar 7. Hubungan sudut jatuh poros baling-baling terhadap kecepatan perahu katir saat ekperimen dilakukan KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah: 1) Posisi beban di buritan memberikan nilai tahanan gerak terkecil; dan 2) Sudut jatuh poros baling-baling 26o memberikan nilai kecepatan tertinggi. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terimakasih disampaikan kepada:Departemen BDP FPIK IPB yang telah membrikan ijin untuk penggunaan kolam percobaannya, dan PPN Palabuhanratu yang telah memberikan ijin penggunaan kolamnya selama penelitian ini. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada nelayan perahu katir yang telah bekerjasama dengan baik selama penelitian ini dilakukan. DAFTAR PUSTAKA Fyson, J. 1985. Design of Small Fishing Vessels. Fishing News Book Ltd. Farnham, Surrey, England Iskandar, B.H. dan Pujiati S. 1995. Keragaan Teknis Kapal Perikanan di Beberapa wilayah Indonesia. Institut Pertanian Bogor- Pemanfataan Sumberdaya Perikanan. Bogor Muckle W. 1975. Naval architecture for merine engineer. London : NewnesButterworth. Nomura, M. and Yamazaki, T. 1977. Fishing Techniques I. Japan International Cooperation Agency. Tokyo Soenarta, N. 1985. Motor Serba Guna. Paradya Paramita. Jakarta. Novita, Y dan Budhi, H.I. Hubungan antara Bentuk Kasko Model Kapal Ikan dengan Tahanan Gerak (Relationship between Hull Form of Fising Vessel Model and Its Resistance). Bulletin PSP Volume XVII. No. 3, Desember 2008. ISSN 0251-286X. Walpole. 1990. Pengantar Statistika. Jakarta 234 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap IPB ke-6 Halaman: 235-240 ISBN 978-979-1225-34-2 SEBARAN PANJANG DAN HUBUNGAN PANJANG BERAT TUNA MATA BESAR (THUNNUS OBESUS) YANG DIDARATKAN DI PELABUHAN BENOA, BALI Irwan Jatmiko1, Bram Setyadji1, Rani Ekawaty2 1 Loka Penelitian Perikanan Tuna, Denpasar, Bali. Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana, Denpasar, Bali. 2 ABSTRACT Bigeye tuna (Thunnus obesus) is one of the economically catches for the fishing industry in Indonesia. One of the aspects of biology that useful for fisheries management is information about length frequency and length weight relationship of fish species. This study aims to determine the length frequency distribution and length weight relationship of bigeye tuna. Length and weight data of bigeye tuna collected at Benoa harbor, Bali from January to December 2014. Data were then analyzed the length distribution and length weight relationship. The results indicated that length of bigeye tuna ranging between 71-197 cm, with an average of 124.93 cm. The highest average length occured in November while the lowest in July. Length weight relationship showed the value of a = 0.00002 and the value of b = 2.9717. T-test results b values indicated that the growth pattern of bigeye tuna was allometric negative. It means that the length of bigeye tuna rose faster than its weight. Information about biological aspect was expected to be the basis for fisheries management of bigeye tuna in the Indian Ocean. Keywords: negative allometric, length weight relationship, length frequency, ttest ABSTRAK Tuna mata besar (Thunnus obesus) merupakan salah satu hasil tangkapan ekonomis bagi industri perikanan di Indonesia. Salah satu aspek biologi yang berguna untuk pengelolaan perikanan adalah informasi tentang sebaran panjang dan hubungan panjang berat ikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sebaran panjang dan hubungan panjang berat tuna mata besar. Data panjang dan berat ikan tuna mata besar dikumpulkan di Pelabuhan Benoa, Bali dari bulan Januari hingga Desember 2014. Data yang diperoleh dianalisis sebaran panjang dan hubungan panjang beratnya. Hasil penelitian ini menunjukkan panjang ikan tuna berkisar antara 71-197 cm, dengan rata-rata 124,93 cm. Rata-rata panjang tertinggi terjadi pada bulan November sedangkan terendah pada bulan Juli. Hubungan panjang berat menunjukkan nilai a=0,00002 dan nilai b=2,9717. Hasil uji-t nilai b menunjukkan bahwa pola pertumbuhan tuna mata besar bersifat 235 allometrik negatif. Hal ini berarti pertambahan panjang tuna mata besar lebih cepat daripada pertambahan beratnya. Informasi aspek biologi ini diharapkan dapat menjadi dasar dalam pengelolaan perikanan tuna mata besar di Samudera Hindia. Kata kunci: allometrik negatif, hubungan panjang berat, sebaran panjang, uji-t PENDAHULUAN Tuna adalah salah satu komoditas ekspor yang penting di Indonesia dengan total produksi mencapai 1,297 ton dari tahun 2004 sampai 2011. Tuna mata besar adalah persentase tertinggi dengan 24% di bawah tuna sirip kuning sebesar 69% dari total produksi ikan tuna (DJPT, 2012). Tuna mata besar (Thunnus obesus) adalah spesies yang beruaya dengan distribusi di perairan tropis dan sub tropis. Spesies ini dapat ditemukan di Samudera Atlantik, Samudera Hindia dan Samudera Pasifik (Collette & Nauen, 1983). Di Indonesia, distribusi spesies ini menyebar dari barat dan selatan Sumatera; selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara; Banda dan Laut Sulawesi; dan barat perairan Papua (Uktolseja et al., 1991). Studi hubungan panjang-berat adalah salah satu hal penting untuk mendukung pengelolaan perikanan. Informasi ini dapat memperkirakan berat ratarata dari panjang ikan yang kemudian dapat digunakan untuk memperkirakan biomassa populasi ikan (Froese, 2006). Selanjutnya, hubungan panjang-berat dan studi faktor kondisi yang diterapkan untuk mendukung pendugaan stok dari populasi ikan (Ricker, 1979) dan juga berguna untuk memahami alur hidup termasuk aspek reproduksi dan faktor kondisi dari spesies ikan (Pauly, 1993). Salah satu lokasi pendaratan tuna yang penting di Indonesia terletak di Pelabuhan Benoa, Bali. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sebaran panjang dan hubungan panjang berat tuna mata besar (T. obesus) yang didaratkan di Pelabuhan Benoa, Bali. Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan dasar informasi biologi tuna mata besar untuk mendukung pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. METODOLOGI Pengumpulan data dilakukan dengan mengukur panjang dan berat tuna mata besar di Pelabuhan Benoa dari bulan Januari hingga Desember 2014. Pengukuran panjang dilakukan dengan menggunakan kaliper yang memiliki ketelitian sampai 1 cm. Sedangkan berat ditimbang dengan timbangan dengan ketelitian 1 kg. Data yang dikumpulkan kemudian dianalisis untuk mengetahui sebaran panjang dan hubungan panjang beratnya. 236 Analisis hubungan panjang berat tuna mata besar menggunakan rumus Bal & Rao (1984), yaitu: W=a Lb Dimana: W = berat ikan (kg) L = panjang ikan (cmFL) a dan b = konstanta Nilai b digunakan sebagai penduga tingkat kedekatan hubungan antara panjang dan berat dengan hukum kubik: 1) Nilai b=3, merupakan hubungan yang isometrik (pertambahan berat seimbang dengan pertambahan panjang pangkat tiga, atau dengan kata lain mengikuti hukum kubik). 2) Nilai b>3, merupakan hubungan alometrik positif (pertambahan berat lebih besar dari pertambahan panjang pangkat tiga). 3) Nilai b<3, merupakan hubungan alometrik negatif (pertambahan berat lebih kecil dari pertambahan panjang pangkat tiga). HASIL DAN BAHASAN Tercatat sebanyak 5.835 tuna mata besar dicatat panjang dan beratnya. Dari hasil pengukuran tersebut diketahui bahwa tuna mata besar mempunyai sebaran panjang 71 – 197 cm, dengan rata-rata 124,93 cm dan modus pada panjang 120 cmFL (Gambar 2). Dari ukuran panjang yang diperoleh, diketahui sebesar 82,42% memlili panjang di atas 110 cm. Nilai ini merupakan panjang pertama kali matang gonad tuna mata besar (IOTC, 2013; Zhu et al., 2011). Hal ini berarti 82,42% dari total hasil tangkapan ikan tuna mata besar diindikasikan telah melakukan pemijahan sebelum ditangkap. Rata-rata panjang tertinggi terjadi pada bulan November yaitu 136,48 cm sedangkan panjang terendah terjadi pada bulan Juli yaitu 109,34 cm (Gambar 3). Analisis hubungan panjang berat diperoleh hasil W=0,00002 FL2,9717 dengan koefisien determinasi (R2) 0,9652. Hal ini menunjukkan bahwa panjang cagak dapat mengestimasi berat tuna mata besar dengan tingkat keakuratan sebesar 96,52%. Hasil uji-t nilai b menunjukkan bahwa pola pertumbuhan tuna mata besar bersifat allometrik negative (b<3). Hal ini berarti pertambahan panjang tuna mata besar lebih cepat daripada pertambahan beratnya. Hubungan panjang berat penelitian ini menunjukkan bahwa nilai a memiliki pengaruh yang sangat kecil dibandingkan dengan nilai b karena nilainya sangat kecil yaitu 0,00002. Nilai a pada penelitian ini nilainya hampir sama dengan tuna mata besar yang berada di Samudera Atlantik dan Pasifik. Hasil yang berbeda ditunjukkan pada nilai b dengan nilai sebesar 2,9717. Nilai b ini lebih kecil dari pada yang terdapat pada tuna mata besar di Samudera Atlantik sebesar 2,9969 dan Samudera Pasifik sebesar 3,0427 (Zhu et al., 2010). Perbedaan nilai b 237 ini kemungkinan disebabkan oleh ketersediaan sumber makanan dan kondisi lingkungan yang berbeda (Froese, 2006). Informasi tentang hubungan panjang berat ini dapat dijadikan informasi dasar dalam pengelolaan perikanan seperti penghitungan biomassa populasi ikan (King, 2007). 600 n=5835 Frekuensi 500 400 300 200 100 200 190 180 170 160 150 140 130 120 110 100 90 80 70 0 Panjang cagak (cm) Gambar 2. Frekuensi panjang tuna mata besar (T. obesus) yang didaratkan di Pelabuhan Benoa, Bali. Nilai pada sumbu x merupakan batas atas panjang cagak dengan interval 5 cm. Garis putus-putus merupakan panjang pertama kali matang gonad (Lm) 110 cm (IOTC, 2013; Zhu et al., 2011). Panjang cagak (cm) 160 n=5835 140 120 100 80 60 40 20 Des Nov Okt Sep Agu Jul Jun Mei Apr Mar Feb Jan 0 Bulan Gambar 3. Panjang cagak rata-rata (cm) per bulan tuna mata besar (T. obesus). 238 160 n=5835 y = 0.00002x2.97171 R² = 0.96519 140 Berat (kg) 120 100 80 60 40 20 0 40 60 80 100 120 140 160 180 200 Panjang cagak (cm) Gambar 3. Hubungan panjang berat tuna mata besar (T. obesus) yang didaratkan di Pelabuhan Benoa, Bali. KESIMPULAN Sebanyak 82,42% dari total hasil tangkapan ikan tuna mata besar yang didaratkan di Pelabuhan Benoa diindikasikan telah melakukan pemijahan sebelum ditangkap. Pola pertumbuhan tuna mata besar bersifat allometrik negatif yang berarti pertambahan panjang lebih cepat daripada pertambahan beratnya. SARAN Informasi tentang hubungan panjang berat ini dapat dijadikan informasi dasar dalam pengelolaan perikanan seperti penghitungan biomassa populasi ikan. UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini dibiayai dari DIPA kegiatan riset Loka Penelitian Perikanan Tuna (LPPT) pada tahun 2014. Peneliti mengucapkan terima kasih kepada para enumerator di Loka Penelitian Perikanan Tuna (LPPT) Benoa yang telah membantu dalam proses pengumpulan data penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Collete, H.B. & C.E. Nauen. 1983. FAO species catalogue. Vol. 2. Scombrids of the world.An Annonated and illustrated catalogue of tunas, mackerels, bonitos, and related species known to date. FAO Fisheries Synopsis.No. 125, Vol. 2. Rome, Italy: FAO Press, 137 pp. 239 Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap .2012. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia 2011. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta, Indonesia.190 pp. Froese, R. 2006. Cube law, condition factor and weight–length relationships: history, meta-analysis and recommendations. Journal of Applied Ichthyology.22: 241–253. Indian Ocean Tuna Commission. 2013. Report of the Fifteenth Session of the IOTC Working Party on Tropical Tunas. San Sebastian, Spain, 23–28 October 2013. 93 pp. King, M. 2007. Fisheries Biology, Assessment and Management, Second Edition. Blackwell Publising Ltd. Oxford, England.381 pp. Pauly, D. 1993. Fishbyte Section Editorial. Naga, the ICLARM Quarterly. 16: 22 pp. Ricker, W.E. 1979.Growth rate and models.In: Fish physiology, vol. III. Bioenergetics and growth. Hoar, W.S., D.J. Randall & J.R. Brett (eds.). Academic Press, p 677-743. Uktolseja J.C.B., B. Gafa & S. Bahar. 1991. Potensi dan penyebaran sumber daya ikan tuna dan cakalang. Dalam: Martosubroto P., N. Naamin, B.B.A. Malik (eds.). Potensi dan Penyebaran Sumber daya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. Jakarta. 29-43 pp. Zhu, G.P., X.J. Dai, L.M. Song & L.X. Xu. 2011. Size at Sexual Maturity of Bigeye Tuna Thunnus obesus (Perciformes: scombridae) in the Tropical Waters: a Comparative Analysis. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences, 11: 149-156. Zhu, G.P., L.X. Xu, Y.Q. Zhou, L.M. Song and X.J. Dai. 2010. Length-weight relationships for bigeye tuna (Thunnus obesus), yellowfin tuna (Thunnus albacares) and albacore (Thunnus alalunga) (Perciformes: Scombrinae) in the Atlantic, Indian and Eastern Pacific Oceans. Collect. Vol. Sci. Pap. ICCAT, 65(2): 717-724. 240 Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap IPB ke-6 Halaman: 241-258 ISBN 978-979-1225-34-2 PERIKANAN KEKERANGAN DI PANTAI UTARA JAWA Karsono Wagiyo1, Prihatiningsih1, Tri Wahyu Budiarti1 1 Balai Penelitian Perikanan Laut E-mail: [email protected] ABSTRACT Shellfish is an exotic biota, have economic and nutritional value and taste. Oyster are sedentary, so easily exploited by the people. Utilization of ongoing intensive, especially in densely populated areas like the North Coast of Java. The research done by fishing experimental with scratching shells to determine the resources stock and observation to determine aspect of fisheries.Results obtained; Biomass Anadara granosa in Serang 440.24 gr/1000 m², higher than in the waters of Subang 164.33 gr/1000 m², and Pemalang 18.58 gr/1000 m². Biomass Scapharca cornea was the highest in Subang 817.73 gr/1000 m², followed in Pemalang 614.11 gr/1000m² and the lowest in Serang 130.67 gr/1000 m². Anadara granosa density in Serang 72 ind/1000 m², higher than in Subang 26 ind/1000 m², and Pemalang 3 ind/1000 m². The highest density of Scapharca cornea in the Pemalang 41.31 ind/1000 m², followed on Subang 38 ind/1000 m², and the lowest in Serang 13 ind/1000 m². The composition of Shellfish; in Serang is dominated by Anadara granosa, in Subang and Pemalang dominated by Scapharca cornea. Catching shellfish in the North Coast of Java using the main tool in the form of scratching. Scratch is a tool which is prone to adaptation and modification. Catch rate of scratching in Serang, 14-16 kg/boat/hour, in Subang 20-40 kg/boat/hour, and in Pemalang 60 kg/boat/hour. Arrest Season shellfish in Subang and Pemalang October to January and in June-August in Serang, but there was variation according to the condition of waters. Mode of high shell A. granosa in Serang, 1.6 to 1.8 cm, in Subang and in Pemalang 1.8 to 2.0 cm. Condition index of A. granosa are in Serang 27,27 and in Subang 26,23. Keywords: biomass, shellfish, density, catch rate, North Coast of Java. ABSTRAK Kekerangan merupakan biota eksotik, mempunyai nilai ekonomis dan gizi serta cita rasa tinggi. Kekerangan bersifat sedentary, sehingga mudah dimanfaatkan oleh rakyat. Pemanfaatan berlangsung intensif, terutama di daerah padat penduduk seperti Pantai Utara Jawa. Telah dilakukan uji coba penangkapan kerang menggunakan garuk untuk mengetahui sediaan sumberdaya dan observasi aspek perikanan. Hasil didapatkan; Biomasa Anadara granosa di Serang 440,24gr/1000 - 18,58 gr/1000 m². Biomassa Scapharca cornea tertinggi di 241 Perairan Subang 817,73 gr/1000 m², diikuti di Pemalang 614,11 gr/1000 m² dan terendah di Serang 130,67 gr/1000 m². Kepadatan Anadara granosa di Serang 72 ind/1000 m², lebih tinggi dari Perairan Subang 26 ind/1000 m², dan Pemalang 3,02 ind/1000 m². Kepadatan Scapharca cornea tertinggi di Pemalang 41,31 ind/1000 m², diikuti di Perairan Subang 38 ind/1000 m², dan terendah di Serang 13 ind/1000 m². Komposisi kekerangan ; di Serang didominasi oleh Anadara granosa, di Subang dan Pemalang didominasi oleh Scapharca cornea. Penangkapan kekerangan di Pantai Utara Jawa menggunakan alat utama berupa garuk. Garuk merupakan alat yang mudah mengalami adaptasi dan modifikasi. Laju tangkap garuk di Serang 14-16 kg/perahu/jam, di Subang 20-40 kg/perahu/jam dan di Pemalang 60 kg/perahu/jam. Musim penangkapan kerang di Subang dan Pemalang pada Oktober-Januari dan di Serang pada Juni-agustus, tetapi terjadi variasi sesuai dengan kondisi perairan. Modus tinggi A. granosa di Serang 1,6-1,8 cm, di Subang dan di Pemalang 1,8-2,0 cm. Indeks kondisi A. granosa di Serang 27,27 dan di Subang 26,23. Kata kunci: biomasa, kekerangan, kepadatan, laju tangkap, Pantai Utara Jawa PENDAHULUAN Kekerangan merupakan biota eksotik, berguna sebagai sumber gizi yang lezat dan bahan hiasan. Kekerangan merupakan kelompok biota yang mudah di eksploitasi karena sifatnya sessile atau sedentary. Di beberapa lokasi di wilayah Pantura pemanfaatannya sudah berlebih (Nurochman, 2012). Jenis kekerangan ekonomis yang diusahakan secara intensif adalah kerang darah Anadara granosa dan kerang bulu Scapharca cornea (Widyastuti, 2011). A. granosa merupakan bivalva infauna pada habitat pasir berlumpur pada daerah intertidal. Secara geografis tersebar di kedalaman perairan 1-20 m (PKSPL, 2004), kelimpahan maksium di kedalaman 2 m. Kerang darah merupakan plankton feeder. Kerang darah mempunyai komposisi kimiawi; protein 9-13 %, lemak 0-2 % dan glikogen 1-7% (Budiyanto et al.1990). Kerang darah di habitatnya dapat mencapai ukuran panjang cangkang 5-6 cm dan lebar 4-5 cm. Kerang darah bersifat hermaprodit dimorphisme (Afiati, N., 2007). Pada ukuran kecil (< 3 cm panjang cangkang) pada umumnya mempunyai seks jantan, betina mempunyai ukuran yang lebih besar. Kerang darah mampu beradaptasi dalam lumpur karena mempunyai siphon yang panjang dan dapat bertahan hidup di darat karena mempunyai pigmen haemoglobin. Di Pantai Utara Jawa, eksploitasi kekerangan paling intensif dibandingkan wilayah lain di Indonesia. Penangkapan berpengaruh pada kelimpahan dan keseimbangan komposisi ukuran sumberdaya kekerangan. Pada pemanfaatan berlebih, menyebabkan sediaan sumberdaya makin menipis dengan ukuran biota kecil. 242 Sumberdaya kekerangan di Pantai Utara Jawa merupakan sumber mata pencaharian dan gizi masyarakat yang keberadaannya perlu dilestarikan. Untuk melestarikan sumberdaya diperlukan pengelolaan yang komprehensip dengan berdasarkan data hasil penelitian. Pada penelitian ini bertujuan mengetahui biomassa, kepadatan, komposisi tangkapan dan ukuran kekerangan terutama kerang darah (Anadara granosa). METODOLOGI Penelitian dilakukan di daerah Serang, Subang dan Pemalang. Lokasi pegambilan sampel di Serang meliputi Bajanegara, Teratai, Tonjong, Karangantu, Cengkok dan Pulaudua. Di Subang meliputi Gangga, Blanakan, Ciasem, Anggaranu, Legonwetan, Pengarengan, Cirewang dan Trungtum. Di Pemalang meliputi Plawangan,Wirasa, Asemdoyong, Klarean, Comal Baru, Ketapang dan Tasikrejo. a b a c Gambar 1. Lokasi pengambilan kerang dengan garuk; a) Serang, b) Subang dan c) Pemalang. Pengambilan sampel dilakukan pada tahun 2010, masing-masing lokasi pada saat musim dan tidak musim. Alat untuk mengambil kekerangan digunakan garuk nelayan. Garuk ditarik pada kedalaman 1-2 m, 3-4 m, dan 5-6 m dengan kecepatan 2 knots dalam waktu 10 menit. Bukaan mulut garuk, panjang 1,5 m dan lebar 0,35 m. Analisa sampel meliputi parameter perairan dan identifikasi jenis kekerangan. Indentifikasi kekerangan dengan buku panduan Habe & Kosuge (1962), Abbot, & Dance (1982) dan Kastoro et al. (1982). 243 Pengolahan & analisis data dalam exsel meliputi, biomassa, kepadatan, komposisi, indek musim, hubungan tinggi dengan berat dan indek kondisi kerang. Biomassa dan kepadatan dihitung per satuan luas. dan Komposisi dihitung dengan persentase antara berat dari total individu satu jenis dengan berat total individu seluruh jenis. Indek musim (IM) dihitung dengan cara, . t = jumlah tahun. Indeks kondisi (IK) dihitung menurut Davenport & Chen (1987) dan kriiteria kegemukan mengikuti Kristianti (2010) yaitu. Kriteria kegemukan: kurus bila nilai IK < 40, sedang nilai IK 40-60 dan gemuk nilai IK > 60. HASIL DAN PEMBAHASAN Diskripsi Lokasi Lokasi sampling di Serang (9 stasiun) dilakukan pada perairan sekitar Teluk Banten. Lokasi memiliki pantai yang semi tertutup, berasosiasi dengan padang lamun dan terumbu karang. Kondisi perairan di sekitar stasiun sampling relatif dangkal, memiliki kecepatan arus lemah, salinitas mendekati sifat air laut, pH basa, substrat lumpur berpasir dan kelimpahan plankton tinggi (Tabel 1). Lokasi sampling di Subang (9 stasiun) meliputi perairan sekitar Blanakan. Lokasi merupakan pantai terbuka dasar perairan landai, berasosiasi dengan mangrove. Kondisi perairan di sekitar stasiun sampling memiliki kecepatan arus sedang, kecerahan rendah, pH mendekati netral, substrat pasir berlumpur dan kandungan nitrat berlebih (Tabel 1). Lokasi sampling di Pemalang (8 stasiun) meliputi perairan dari perbatasan dengan Kabupaten Tegal dan sebelah Timur dengan Kabupaten Pekalongan. Lokasi merupakan pantai terbuka, berasosiasi dengan mangrove. Kondisi perairan memiliki kecepatan arus sedang, unsur hara rendah, pH asam, substrat lumpur berpasir dan kelimpahan plankton rendah (Tabel 1). 244 Tabel 1. Hasil pengukuran parameter perairan Lokasi Serang Depth Kec. arus Tra np Suhu D.O Fosfat Nitrat Sal. m m/dt m ◦C ml/l µgrat/l µgrat/l ppt 1,1 0,06 0,8 31,1 2,83 0,033 0,009 29,5 Fito. Zoo. Subtrat (%) Sel/m3 Ind./m3 Dominan 7,5 10.346.342 512.231 Lumpur 69 270.215 Pasir 60 pH Blanakan 1,7 0,11 0,4 29,5 2,57 0,017 0,016 28,2 7,3 1.543.233 Pemalang 4,1 0,16 1,3 30,6 3,10 0,003 0,008 26,7 6,5 911.538 178.129 Lumpur 69 Keterangan; Nilai parameter merupakan rata-rata dari pengukuran setiap stasiun sampling di masing-masing lokasi Biomassa a. Serang Sebaran biomassa kerang Anadara granosa (kerang darah), rata-rata 440,24 gr/1000 m², terkecil 21,09 gr/1000 m² di Bajanegara dan terbesar 858,07 gr/1000 m² di Karangantu. Sebaran biomassa kerang Scapharca cornea (kerang bulu), rata-rata 130,67 gr/1000 m² terkecil 0 ind/1000 m² di Bajanegara dan terbesar 371,57gr/1000 m² di Teratai. Sebaran biomassa Polimedosa bengalensis (kerang tahu), rata-rata 181,15 gr./1000 m², terkecil 21,00 gr./1000 m² di Pulaudua dan terbesar 942,04 gr/1000 m² di Bajanegara (Gambar 2). A. granosa S. cornea P. bengalensis Biomassa (gr/1000m²) 1000 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0 Bojonegoro Teratai Tonjong Karangantu Cengkok Pulaudua Gambar 2. Grafik sebaran biomassa A. granosa dan S. cornea di Serang b. Subang Biomassa Anadara granosa rata-rata 164,33 gr/1000 m², ada 3 stasiun tidak dijumpai (Ciasem, Legonwetan dan Cirewang) dan tertinggi 697,30 gr/1000 m² di Blanakan (Gambar 3). Biomassa Scapharca cornea 817,73 gr/1000 m², satu stasiun tidak dijumpai yaitu di Cirewang dan tertinggi di Blanakan 3081,08 gr/1000 m². 245 Biomassa (gr/1000m³) 3500 Anadara granosa 3000 Scapharca cornea 2500 2000 1500 1000 500 0 Gangga Blanakan Ciasem Anggaranu Legonwetan Pengarengan Cirewang Trungtum Gambar 3. Grafik sebaran biomassa A. granosa dan S. cornea di Subang Biomasa (gr/1000²) c. Pemalang Biomassa Anadara granosa rata-rata 18,58 gr/1000 m², terkecil 0 gr/1000 m² di Klarean dan tertinggi 72,97 gr/1000 m² di Wirasa (Gambar 4). Biomassa Scapharca cornea 614,11 gr/1000 m², di 4 stasiun tidak dijumpai kerang bulu dan tertinggi di Asemdoyong 3.228 gr/1000 m². 80 Anadara granosa 70 Scapharca cornea 60 50 40 30 20 10 0 Plawangan Wirasa Asemdoyong Klarean Comal Baru Ketapang Tasikrejo Ket. Biomasa S. cornea di Wirasa dan Asemdoyong x 100 Gambar 4. Grafik sebaran biomassa A. granosa dan S. cornea di Pemalang Biomassa diantara ketiga lokasi, tertinggi dijumpai di Serang, hal ini disebabkan Lokasi sampling di Serang mempunyai kualitas air yang lebih baik (Tabel 1). Habitat di Serang mempunyai karakteristik “downstream” yaitu mendekati karakteristik air laut zona litoral bagian bawah. Nasution (2009) menemukan kekerangan pada area downstream dari zona litoral memiliki ukuran dan biomassa lebih besar. Broom (1982) menemukan biomassa optimum pada daerah sub tidal. Dibandingkan dengan biomassa di Perairan Indragiri sebesar 142,05 gr/m2 (Nasution, 2009), biomassa kekerangan di Pantura sangat rendah. Kepadatan a. Serang Kepadatan kerang Anadara granosa, rata-rata 72 ind./1000 m² terkecil 7 ind./1000 m² di Bajanegara dan terbesar 137 ind./1000 m² di Cengkok. Kepadatan kerang Scapharca cornea, rata-rata 13 ind./1000 m² terkecil 0 ind./1000 m² di Bajanegara dan terbesar 60 ind./1000 m² di Tonjong. Kepadatan kerang 246 Polimedosa bengalensis, rata-rata 17 ind./1000 m² terkecil 2 ind./1000 m² di Teratai dan terbesar 82 ind./1000 m² di Bajanegara (Gambar 5). Kepadatan (ind/1000m²) 160 A. granosa S. cornea P. bengalensis 140 120 100 80 60 40 20 0 Bojonegoro Teratai Tonjong Karangantu Cengkok Pulaudua Gambar 5.Grafik sebaran kepadatan A. granosa dan S. cornea di Serang b. Subang Kepadatan Anadara granosa rata-rata 26 ind./1000 m², dijumpai 3 stasiun kepadatannya 0 ind./1000 m² dan tertinggi 138 ind./1000 m² di Blanakan (Gambar 6). Kepadatan Scapharca cornea rata-rata 38 ind./1000 m², satu stasiun (Cirewang) tidak dijumpai kerang bulu dan tertinggi di Blanakan 149 ind./1000 m². Kepadatan (ind/1000m³) 200 Anadara granosa Scapharca cornea 150 100 50 0 Gangga Blanakan Ciasem Anggaranu Legonwetan Pengarengan Cirewang Trungtum Gambar 6. Grafik sebaran kepadatan A.granosa dan S. cornea di Subang c. Pemalang Kepadatan Anadara granosa rata-rata 3 ind./1000 m², dijumpai 3 stasiun kepadatannya 0 ind./1000 m² dan tertinggi 11 ind./1000 m² di Wirasa. Kepadatan Scapharca cornea 41 ind./1000 m², ada 4 stasiun tidak dijumpai dan tertinggi di Asemdoyong 228 ind./1000 m² (Gambar 7). Kepadatan (ind/1000m²) 25 Anadara granosa Scapharca cornea 20 15 10 5 0 Plawangan Wirasa Asemdoyong Klarean Comal Baru Ketapang Tasikrejo Ket. Kepadatan S.cornea di Wirasa dan Asemdoyong x 10 Gambar 7. Grafik sebaran kepadatan A. granosa dan S. cornea di Pemalang 247 Kepadatan kerang A. granosa tertinggi di Serang, sedangkan S. cornea tertinggi di Subang. Kepadatan yang berbeda antar lokasi disebabkan karena perbedaan ketersediaan pakan/plankton dan tipe substrat pada kedua lokasi, di Serang substrat berupa lumpur berpasir dan di Blanakan pasir berlumpur (Tabel 1). Penelitian Komala (2012) di Teluk Lada (Selat Sunda) menemukan kejadian yang sama, kepadatan A. granosa lebih tinggi pada tipe substrat lumpur berpasir. Kepadatan kekerangan hasil penelitian ini lebih rendah dari berbagai lokasi di Indonesia (Tabel 2) dan lebih rendah dari berbagai tempat di Malaysia 33 ind./0,4 m2 (Broom, 1985). Jika dibandingkan dengan padat tebar optimum untuk budidaya di Perairan Brebes sebesar 200-300 ind/m2 (Cholik et al. 2005 dalam Atmaja, et al. 2014), kepadatan ini sangat rendah menunjukkan lebih tangkap. Kondisi lebih tangkap pada wilayah Pantura ditunjukkan oleh hasil penelitian Nurokhman (2012) di Perairan Bondet dan Perairan Mundu, Cirebon. Tabel 2. Kepadatan kekerangan pada berbagai wilayah di Indonesia Lokasi Kepadatan Author 2 Pulau Pisang, Padang 0,3-1,8 ind./m Nurdin et al. (2006) Pesisir Genuk, Semarang 657-2314 ind./ha Prasojo et al. (2012) 2 Selayar, Sulawesi Selatan 15,25 ind./m Litaay, et al. (2014 ) 2 Belitung, Riau 13,62-61,6 ind./m Akhrianti, et al. (2014) Komposisi kekerangan a. Serang Di Perairan Serang (Teluk Banten) ditemukan 22 jenis kekerangan. Komposisi pada seluruh lokasi sampling, di dominasi oleh Anadara granosa 39,5 %, Placuna placenta 14,9 %. dan Polimedosa bengalensis 12,9 %. Sebaran komposisi A. granosa lebih besar di bagian tengah Teluk Banten. Komposisi terkecil 1,4 % dijumpai di Bajanegara dan terbesar 73,7 % di jumpai di Pulau dua (Tabel 3). Sebaran komposisi P. placenta pada masing-masing lokasi tidak merata dan lebih besar di bagian barat Teluk Banten. Ada dua lokasi tidak jumpai P. placenta yaitu di Karangantu dan Pulau Dua, dan terbesar di Tonjong 48,0 %. Sebaran P. bengalensis terbesar di Bajanegara 61,4 %. b. Subang Di Perairan Subang (Blanakan) ditemukan 28 jenis kekerangan. Komposisi di dominasi oleh Scapharca cornea 31,1 %, Anadara nodifer 18,7 % dan Anadara granosa 8,8 % (Tabel 4). S. cornea lebih besar dijumpai dibagian barat daripada dibagian timur Perairan Subang. Komposisi S.cornea terbesar di Anggaranu (52,5 %), tidak dijumpai di Cirewang dan Trungtum. A. nodifer tidak dijumpai di Anggaranu dan Legonwetan, terbesar dijumpai di Trungtum (74 %). Komposisi A. granosa terbesar di Pengarengan (48,6 %) dan di Blanakan (16 %). 248 Ada tiga lokasi tidak ditemukan A. granosa yaitu di Ciasem, Legonwetan dan Cirewang. Tabel 3. Komposisi kekerangan di Serang Bajanegara No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 Jenis kekerangan Anadara Scapharca granosa Scapharca cornea Anadara globosa Anadara antiquata P.bengalensis nodifera Polimedosa Chlamys sp Perna viridis Placuna Placuna placenta Turritella ephihippus Terebra terebra Natica dislocata Natica tigrina Nassarius stellata Nassarius livescens Nassarius acaularis Nassarius pygmaeus Bucinum zeuxis Hemifusus undatum Lophiotoma ternatatus Jumlah acuta Berat 30 0,0 0,0 180 0,0 1340 510 0,0 0,0 105 0,0 0,77 0,0 7,22 0,0 4,35 5,03 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 2182,37 % 1,4 0,0 0,0 8,2 0,0 61,4 23,4 0,0 0,0 4,8 0,0 0,0 0,0 0,3 0,0 0,2 0,2 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 100 Teratai Berat 950 1080 20 0,0 0,0 70 50 0,0 0,0 1340 0,0 0,0 0,0 30 0,0 30 0,0 0,0 0,0 25 40 15 3650 % 26,0 29,6 0,5 0,0 0,0 1,9 1,4 0,0 0,0 36,7 0,0 0,0 0,0 0,8 0,0 0,8 0,0 0,0 0,0 0,7 1,1 0,4 100 Tonjong Berat 310 950 800 1150 0,0 150 5 0,0 9,35 3300 70 14,04 0,0 0,0 0,0 3,27 25 0,0 0,0 0,0 90 0,0 6876,66 % 4,5 13,8 11,6 16,7 0,0 2,2 0,1 0,0 0,1 48,0 1,0 0,2 0,0 0,0 0,0 0,0 0,4 0,0 0,0 0,0 1,3 0,0 100 Karangantu Berat 1150 80 0,0 9,41 0,0 30 60 680 0,0 0,0 0,0 100 0,0 0,0 0,0 14,07 0,0 0,0 0,0 35,76 0,0 17,48 2176,72 % 52,8 3,7 0,0 0,4 0,0 1,4 2,8 31,2 0,0 0,0 0,0 4,6 0,0 0,0 0,0 0,6 0,0 0,0 0,0 1,6 0,0 0,8 100 Cengkok Berat 1460 18,75 0,0 50 8,9 50 190 0,0 3,73 1,43 0,0 0,0 0,0 14,03 5,77 6,31 0,0 16,39 0,0 20 0,0 8,9 1854,21 % 78,7 1,0 0,0 2,7 0,5 2,7 10,2 0,0 0,2 0,1 0,0 0,0 0,0 0,8 0,3 0,3 0,0 0,9 0,0 1,1 0,0 0,5 100 Pulau dua Berat 1075 7,32 0,0 70 0,0 110 100 0,0 0,0 0,0 0,0 15,14 2,57 0,0 4,21 9,88 0,0 24,27 17,65 20 0,0 1,7 1457,74 c. Pemalang Di perairan Pemalang ditemukan 20 jenis kekerangan. Komposisi di dominasi oleh Scapharca cornea 31,0 %, Hemifuscus ternateus 18,2 %, Anadara nodifer 10,6 % (Tabel 5). Sebaran S. cornea lebih banyak dijumpai di bagian barat perairan, di Asemdoyong (95,1 %) dan di Plawangan (76,9 %). Lokasi di bagian timur perairan, mulai dari Klarean sampai dengan Tasikrejo tidak jumpai S. cornea. H. ternateus dijumpai terbesar di Klarean (27,3 %) dan Ketapang (94,6 %), tidak dijumpai di Plawangan dan Tasikrejo. Jenis yang dominan di Blanakan dan Pemalang sama disebabkan mempunyai kesamaan tipe habitat yaitu pantainya terbuka dengan asosiasi mangrove. Dominasi A. granosa di Serang disebabkan tipe pantai lebih tertutup dengan asosiasi padang lamun. Akhrianti et al. (2014) dan Dody et al. (2000) menemukan penyebaran setiap jenis kerang bersifat mengelompok berdasarkan pada kecocokan habitat. Dominasi A. granosa di Serang selain karena tipe pantai disebabkan juga oleh kualitas air yang memiliki kandungan fosfat yang cukup tinggi dibandingkan lokasi lainnya (Tabel 1) dan salinitas yang relatif tidak berfluktuasi. 249 % 73,7 0,5 0,0 4,8 0,0 7,5 6,9 0,0 0,0 0,0 0,0 1,0 0,2 0,0 0,3 0,7 0,0 1,7 1,2 1,4 0,0 0,1 100 Total % 39,5 8,1 2,0 5,5 0,1 12,9 7,4 5,2 0,1 14,9 0,2 1,0 0,0 0,3 0,1 0,5 0,1 0,4 0,2 0,8 0,4 0,3 100 Tabel 4. Komposisi kekerangan di Subang Tabel 4. Komposisi kekerangan di Subang No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 Jenis kekerangan T.subrugosum Scapharca globosa Scapharca indica Anadara granosa Scapharca cornea A.antiquata Anadara nodifera Anadara tranversa P.bengalensis Polimedosa Perna viridis Paphia undulata Mactra coneata Meretrix sp Placuna placenta P. ephihippus Turritella terebra Natica tigrina Natica stellata Nassariuslivescens N. acaularis N. pygmaeus Nassarius zeuxis Bucinum undatum Lophiotoma acuta L. leucotropis L. notata C. cingulata Jumlah Gangga Berat % 21,0 0,5 120,0 3,1 0,0 0,0 130,0 3,3 1610 41,2 104,1 2,7 460,0 11,8 6,3 0,2 90,0 2,3 0,0 0,0 20,0 0,5 10,0 0,3 0,0 0,0 0,0 0,0 1120,0 28,6 0,0 0,0 56,8 1,5 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 8,6 0,2 40,0 1,0 70,0 1,8 38,2 1,0 5,1 0,1 0,0 0,0 0,0 0,0 3910 100 Blanakan Berat % 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 430,0 16,0 1900 70,7 0,0 0,0 45,1 1,7 0,0 0,0 16,1 0,6 0,0 0,0 0,0 0,0 7,7 0,3 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 150,0 5,6 20,8 0,8 21,7 0,8 31,0 1,2 26,3 1,0 21,8 0,8 6,1 0,2 0,0 0,0 0,0 0,0 5,0 0,2 4,1 0,2 0,0 0,0 2685 100, Ciasem Berat % 0,0 0,0 1,5 0,3 0,0 0,0 0,0 0,0 240 43,3 0,0 0,0 93,1 16,8 0,0 0,0 40,0 7,2 63,6 11,5 0,0 0,0 18,2 3,3 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 40,3 7,3 5,6 1,0 7,2 1,3 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 15,2 2,7 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 30,0 5,4 554,5 100 Anggaranu Berat % 0,0 0,0 60,0 11,3 0,0 0,0 7,3 1,4 280 52,5 2,7 0,5 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 60,0 11,3 0,0 0,0 0,0 0,0 50,0 9,4 60,0 11,3 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 13,0 2,4 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 533,0 100 Legonwetan Berat % 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 31,5 30,6 0,0 0,0 24,4 23,7 0,0 0,0 0,0 0,0 16,7 16,2 6,6 6,4 7,6 7,4 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 1,8 1,7 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 14,5 14,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 103,0 100 250 Pengarengan Berat % 0,0 0,0 10,0 2,2 0,0 0,0 219,5 48,6 47,4 10,5 34,1 7,5 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 15,0 3,3 0,0 0,0 4,0 0,9 19,7 4,4 0,0 0,0 0,0 0,0 3,2 0,7 0,0 0,0 0,0 0,0 5,9 1,3 0,0 0,0 8,9 2,0 6,8 1,5 27,5 6,1 50,0 11,1 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 451,8 100 Cirewang Berat % 0,0 0,0 4,5 9,5 0,0 0,0 0,0 0,0 0 0,0 0,0 0,0 10,4 21,8 0,0 0,0 0,0 0,0 7,4 15,5 0,0 0,0 16,5 34,7 0,0 0,0 0,0 0,0 4,5 9,5 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 4,3 8,9 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 47,6 100 Trungtum Berat % 24,3 2,1 0,0 0,0 23,9 2,1 15,2 1,3 0 0,0 0,0 0,0 850,0 74,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 2,4 0,2 0,0 0,0 0,0 0,0 220,0 19,2 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 7,6 0,7 0,0 0,0 0,0 0,0 5,0 0,4 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 1148 100 Total % 0,3 3,3 0,3 8,8 31,1 1,3 18,7 0,0 1,3 5,8 0,9 5,8 0,5 2,4 6,2 0,1 1,8 1,6 1,8 0,1 0,4 0,4 3,0 3,0 0,2 0,0 0,0 0,7 100 Tabel 5. Komposisi kekerangan di Pemalang Plawangan No. Wirasa Asemdoyong Berat 2 Jenis kekerangan Scapharca globosa Anadara granosa 3,9 3,0 90,0 3,2 3 Scapharca cornea 100,0 76,9 1280,0 45,2 4 Anadara antiquata 0,0 0,0 170,0 6,0 5 Anadara nodifera 0,0 0,0 0,0 6 Polimedosa 0,0 0,0 7 Perna viridis 0,0 8 Paphia undulata 0,0 1 0,0 % Berat % 0,0 360,0 12,7 Berat 0,0 % Klarean Berat % Comal Baru Berat % Ketapang Berat % Tasikrejo Berat % Total % 0,0 0,0 0,0 7,4 12,7 0,0 0,0 10,0 38,6 9,1 70,0 1,1 0,0 0,0 6,3 10,8 0,0 0,0 9,5 36,8 7,8 5972,7 95,1 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 31,0 0,0 0,0 4,9 6,7 6,7 11,5 0,0 0,0 0,0 0,0 3,4 0,0 0,0 0,0 20,0 27,3 27,3 46,8 0,0 0,0 0,0 0,0 10,6 21,6 0,8 0,3 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 2,3 5,4 1,7 6,6 1,8 0,0 15,4 0,5 11,2 0,2 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 4,7 17,9 2,7 0,0 0,0 0,0 10,0 0,2 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 9 Placuna placenta 0,0 0,0 0,0 0,0 45,5 0,7 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 10 Turritella terebra 20,0 15,4 720,0 25,4 12,5 0,2 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 5,9 11 Terebra dislocata 0,0 0,0 20,0 0,7 112,8 1,8 25,0 34,1 7,9 13,6 0,0 0,0 0,0 0,0 7,2 12 Natica tigrina 0,0 0,0 0,0 0,0 20,0 0,3 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 13 Natica stellata 0,0 0,0 19,1 0,7 3,3 0,1 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 14 Nassariuslivescens Nassarius acaularis Nassarius zeuxis 6,2 4,8 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,7 0,0 0,0 30,0 1,1 10,0 0,2 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,2 0,0 0,0 8,2 0,3 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 Bucinum undatum Hemifusus ternatatus Lophiotoma 0,0 0,0 11,0 0,4 5,5 0,1 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 0,0 0,0 18,9 0,7 4,0 0,1 20,0 27,3 2,7 4,7 40,0 94,6 0,0 0,0 18,2 0,0 0,0 7,3 0,3 0,0 0,0 3,4 4,7 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,7 0,0 0,0 60,0 2,1 0,9 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,3 130,1 100 2831 100 6279 100 73,32 100 58,33 100 42,3 100 25,91 100 100 15 16 17 18 19 20 leucotropis Lophiotoma notata Jumlah Alat Tangkap dan Operasional Garuk merupakan alat tangkap utama kekerangan (Gambar 8). Garuk salah satu alat tangkap yang dengan cepat mengalami modifikasi. Pada era tahun 1980 garuk ditarik secara tetap. Pada saat ini garuk ditarik dengan perahu berjalan. Armada garuk kerang mempunyai ukuran panjang (P) = 9 m; Lebar (L) = 2 m; dan Dalam (D) = 0,9 m. Mesin penggerak mempunyai kekuatan 16 PK. Mulut kantong garuk kerang mempunyai panjang 150 cm dan lebar 35 cm. Pada bagian mulut di buat gigi-gigi/jari-jari yang berfungsi sebagai penggaruk, dengan panjang gigi 16 cm dan jarak antar gigi 2 cm. Dasar gigi dapat digerakan untuk mengatur tekanan garukan sesuai dengan keadaan substrat dasar perairan. Bagian penarik berbentuk segitiga sama kaki dengan tinggi 70 cm. Jaring garuk mempunyai panjang 6 m terdiri dua bagian (lapisan) ; lapisan atas/badan (adang-adang) 3 m dan lapisan bawah /kantong 3 m. Mata jaring bagian adang-adang 2 inchi dan bagian kantong 1,5 inci. Pada tenggang waktu penelitian, garuk kerang mengalami modifikasi sekitar September 2010. Modifikasi ini dengan membuatan pembuangan sampah yang bukan sasaran penangkapan dengan cara memperbesar mata jaring di bagian badan/adang-adang. 251 Pengoperasian alat ini dilakukan oleh 1-2 orang. Garuk kerang dioperasikan pada dasar perairan berlumpur atau berpasir dengan ditarik kapal. Waktu trip garuk kerang setiap hari dilakukan pada pukul 05.00 sampai 14.00 WIB, dengan waktu efektif 4-5 jam/hari. Lama tarik 15-30 menit, dalam sehari dilakukan 10-15 kali tarik. Garuk kerang dioperasikan pada kedalaman 1-5 meter. Gambar 8. Desain garuk kerang Selain dengan garuk untuk mendapatkan kekerangan dilakukan dengan memungut memakai tangan melalui penyelaman dan dengan bantuan alat sederhana , misal skope. Alat yang sering mendapatkan hasil samping kekerangan adalah arad, cantrang dan trawl. Laju, Musim dan Produksi Tangkap a. Serang Laju tangkap kerang darah di sekitar Teluk Banten 14-16 kg/perahu/jam pada saat musim dan 8-10 kg/perahu/jam pada saat tidak musim. Puncak musim penangkapan terjadi pada bulan Juni (Gambar 9) dengan produksi 5.846 kg dan paceklik terjadi pada bulan Agustus dengan produksi 1.026 kg. 5.0 Indeks musim 4.0 3.0 2.0 1.0 0.0 Mei Jun Jul Agust Sep Okt Gambar 9. Indeks musim A. granosa di Teluk Banten, Serang 252 Des Indeks Musim b. Subang Laju tangkap kerang A. granosa dan S. cornea di Pantai Utara Subang 2040 kg/perahu/jam pada saat musim dan 8-10 kg/perahu/jam pada saat tidak musim. Puncak musim penangkapan terjadi pada bulan Desember (Gambar 10) dengan produksi 4.000 kg, musim paceklik terendah pada bulan Februari 560 kg. 1.4 1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 Jan. Feb. Mar Apr Mei Jun Jul Agust Sep Okt Nop Des Gambar 10. Indeks musim A. granosa di Blanakan, Subang c. Pemalang Laju tangkap A. granosa dan S. cornea pada saat musim 60 kg/perahu/jam, pada saat tidak musim 10-14 kg/perahu/jam. Puncak musim penangkapan terjadi pada bulan Desember (Gambar 11) dengan produksi 3.592 kg, musim paceklik terjadi pada bulan Mei-Agustus dengan produksi 1.059 kg. Indeks Musim 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 Jan. Feb. Mar Apr Mei Jun Jul Agust Sep Okt Nop Des Gambar 11. Indeks musim A. granosa di Pemalang Pertumbuhan kerang darah dan penyebarannya dipengaruhi oleh kondisi lingkungan antara lain, arus, oksigen terlarut, endapan terlarut, suhu dan salinitas (Akhrianti et al., 2014). Broom (1985) dalam budidaya fluktuasi salinitas menyebabkan mortalitas bertambah. Nilai parameter lingkungan bervariasi sesuai musim dan lokasi sehingga membuat musim penangkapan kerang darah berbeda pada berbagai wilayah di pantai Utara Jawa. Perbedaan musim juga disebabkan musim pemijahan kerang darah berbeda antara lokasi. Musim pemijahan kerang darah dalam satu tahun dapat terjadi 3 kali (Narsimham, 1988). Pemijahan 253 menyebabkan spat kerang darah melimpah, sehingga sediaan untuk dipanen menjadai besar. Puncak musim di Serang terjadi pada bulan Juni. Pada bulan Juni Teluk Banten memiliki pH dan salinitas relatif tinggi serta tekanan CO2 lebih rendah (Ramawijaya et al. 2012). Tinggi dan Berat a. Serang Anadara granosa yang tertangkap di Serang (Teluk Banten) mempunyai tinggi terkecil pada kelas tinggi 1,2-1,4 cm sebanyak 1,22 %, terbesar 3,2-3,4 cm sebanyak 0,61 %. Modus pada kelas tinggi 1,6-1,8 cm, sebanyak 33,84 % (Gambar 12a). Hubungan tinggi dan berat mempunyai korelasi R² = 0,9214 dan b =2,6704 (Gambar 12b). Indeks kondisi terendah 10,10, tertinggi 37,44 dan ratarata 27,27. 40 30 N=328 25 30 y = 1.126x2.670 R² = 0.921 Persentase 20 Berat (gr) 20 15 10 10 0 N=328 5 0 a b Tinggi (cm) 0.0 1.0 2.0 Tinggi (cm) 3.0 4.0 Gambar 12. a) Frekuensi tinggi A. granosa, b) Hubungan tinggi dan berat A. granosa di Serang. b. Subang Anadara granosa yang tertangkap di perairan Pantai Utara Subang mempunyai tinggi terkecil pada kelas tinggi 1,0-1,2 cm sebanyak 1,01 %, terbesar 3,0-3,2 cm sebanyak 4,02 %. Modus pada kelas tinggi 1,8-2,0 cm, sebanyak 22,94 % (Gambar 13a). Hubungan tinggi dan berat mempunyai korelasi R² = 0,8253 dan b =2,2465 (Gambar 13b). Indeks kondisi terendah 22,99, tertinggi 30,74 dan ratarata 26,23. 25 20 40 N=497 30 Berat (gr) Persentase 15 10 5 y = 1.611x2.246 R² = 0.825 20 10 0 N=497 0 a Tinggi (cm) b 0 1 2 3 Tinggi (cm) 4 Gambar 13. a) Frekuensi tinggi A. granosa, b) Hubungan tinggi dan berat A. granosa di Subang 254 5 c. Pemalang. Anadara granosa yang tertangkap di perairan Pemalang mempunyai tinggi terkecil pada kelas tinggi 1,0-1,2 cm sebanyak 0,23 %, terbesar 2,6-2,8 cm sebanyak 0,08 %. Modus pada kelas tinggi 1,8-2,0 cm, sebanyak 31,81 % (Gambar 14a). Hubungan tinggi dan berat mempunyai korelasi R² = 0,8166 dan b =2,6532 (Gambar 14b). 25 35 30 20 N=1292 y = 1.488x2.653 R² = 0.816 15 20 Berat (gr) Persentase 25 15 10 5 10 5 0 0 0 a b Tinggi (cm) 0.5 1 1.5 2 2.5 3 Tinggi (cm) Gambar 14. a) Frekuensi tinggi A. granosa, b) Hubungan tinggi dan berat A. granosa di Pemalang. Ukuran tinggi A. granosa pada daerah penelitian lebih kecil daripada tinggi rata-rata 2,35 cm yang ditemukan Rasidi et al. (2007) di Indragiri. Broom (1982) mendapatkan panjang asymtotik A. granosa mencapai 4,4 cm. Pada lokasi penelitian ini, menunjukkan modus ukuran tinggi kerang darah lebih kecil dari ukuran kerang darah matang gonad yang ditemukan oleh Narasimham et al.(1988) sebesar 1,8 cm. Indek kondisi A. granosa pada penelitian ini < 40, menunjukkan keadaan kurus. KESIMPULAN Biomassa, kepadatan, ukuran (tinggi/lebar), indeks kondisi dan laju tangkap Anadara granosa di Pantura menunjukkan lebih tangkap. Perairan Serang (Teluk Banten) memiliki kelimpahan lebih tinggi dibandingkan perairan Subang (Blanakan) dan perairan Pemalang, sebaliknya ukuran yang tertangkap lebih kecil. Musim penangkapan di Perairan Serang, puncaknya terjadi pada bulan Juni berbeda dengan musim penangkapan di Perairan Subang (Blanakan) dan di Perairan Pemalang yang puncaknya pada bulan Desember. DAFTAR PUSTAKA Abbot, T.R. and S.P. Dance. 1982. Compendium of seashells. First Published in the United States by E.P. Dutton, Inc., 2 Park Avenue, New York. 255 Afiati, N.2007. Hermaphroditism in Anadara granosa (L.) and Anadara antiquate (L.)(Bivalvia:Arcidae) from Central Java. Journal of Coastal Development. Vol.10., Number 3, June 2007; 171-179. Akhrianti, I., D.G. Bengen & I. Setyobudiandi. 2014. Distribusi spasial dan Preferensi habitat Bivalvia di Pesisir Perairan Simpang Pesak Kabupaten Belitung Timur. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 1, Hlm. 171-185. Atmaja, B.S., S, Rejeki & R. Wisnu. 2014. Pengaruh padat tebar berbeda terhadap pertumbuhan dan kelulusanhidupan kerang darah (Anadara granosa) yang dibudidaya di perairan yang terabrasi Desa Kaliwlingi Kabupaten Brebes. Journal of Aquaculture Management and Technology Vol.3, No.4.Hlm. 207-213. Budiyanto, D., I. Ismanadji, U.S. Aji dan Sugiri. 1990. Laporan Uji Coba depurasi Kerang-kerangan dan kaitannya dengan pengalengan. BBPMHP. Jakarta. Broom, M.J. 1982. Analysis of the Growth of Anadara granosa (Bivalvia: Arcidae) in Natural, Artificially Seeded and Experimental Population. Mar. Ecol. Prog. Ser. Vol.9: 69-79 Broom, M.J. 1985. The Biology and Culture of Marine Bivalva Molluscs of the Genus Anadara. International Center for Living Aquatic Resources Management. Philippines. Cusat, J. 2012. New record of Scapharca cornea (Bivalvia: Pteriomorpha: Arcidae) from Minicoy Lagoon, Lakshadweep, India. Current Science, Vol. 102, No. 11,p. 516-1518. Dody, S., M. Eidman, D.G. Bengen & S. Wouthuyzen. 2000. Distribusi spasial kerang darah (Anadara maculosa) dan interaksinya dengan karakteristik habitat di rataan terumbu Teluk Kotania, Seram Barat, Maluku. Jurnal Ilmu-ilmu perairan dan Perikanan VII (2): 19-31. Davenport, J. and Chen, X. 1987. A Comparison of methods for the Assessment of condition in the Mussel (Mytillus edulis L.). J.Mollus. Stud. 53(3): 293297 Habe, T. and S. Kosuge, 1966. Shells of Tropical Pasific in Colour. Volume II. Hoikusha. Publishing Co.Ltd. Higashiku, Osaka. Japan. Oon, N.F. 1986. Growth and Mortality of the Malaysian cockle (Anadara granosa) under commercial culture : Analysis through length-frequency data. Bay of Bengale Programme. Development of Small-Scale Fisheries. Food and Agriculture Organization of the United Nations 256 Kastoro, W. 1978. Reproduksi Kerang bulu Anadara antiquata (Linnaeus), suku Arcidae, Oseanol. Indones., 9: 51-59. Kastoro, W., D. Roberts and S. Soemodihardjo, 1982. Shallow water marine Molluscs of North-West Jawa. LON-LIPI. Jakarta. Komala, R. 2012. Analisis ekobiologi sebagai dasar penegelolaan sumberdaya kerang darah (A. granosa) di Teluk Lada Perairan Selat Sunda. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor. 207 hlm. Kristianti, A. 2010. Pola Rekruitment kerang simping Amusium pleuronectes di perairan Kabupaten Brebes Jawa Tengah. Prosiding Semnaskan VII UGM. Manajemen Sumberdaya Perikanan. Pp 10 Litaay, M., Darusalam & D. Priosambodo. 2014. Struktur komunitas Bivalvia di kawasan mangrove Bontolebang Kabupaten Kepulauan Selayar Sulawesi Selatan. Seminar Nasional MIPA, Bandung, 18 Oktober. Menteri Negara Lingkungan Hidup. 2004. Baku Mutu Air Laut. KEPMEN No. 51 Tahun 2004. Nasution, S. 2009. Biomassa Kerang Anadara granosa pada perairan pantai Kabupaten Indragiri Hilir. Jurnal Natur Indonesia 12(1), p. 61-66. Narasimham, K.A.1988. Biology of the blood clam Anadara granosa (Linnaeus) in Kakinanda Bay. J. Mar. Biol. Ass. India, 30 (1 & 2): 137-15. Nurdin, J., N. Marusin, Izmiarti, A. Asmara, R. Deswandi & J. Marzuki. 2006. Kepadatan populasi dan pertumbuhan kerang darah Anadara antiquata L. (Bivalvae: Arcidae) di Teluk Sungai Pisang, Kota Padang, Sumatera Barat. Makara sains. Vol. 10, No. 2,Hal. 96-101 Nurokhman. 2012. Laju eksploitasi dan keragaan reproduksi kerang darah (Anadara granosa) di Perairan Bondet dan Mundu, Cirebon, Jawa Barat. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor. 77 hlm. PKSPL.2004. Penelitian dan Penegembangan Budidaya Perikanan (Kerang darah) di Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo. Kerjasama BAPPEDA dan PKSPL. Laporan Penelitian. Prasojo, S.A., Irwani, C.A. Suryono. 2012. Distribusi dan kelas ukuran panjang kerag darah (Anadara granosa) di perairan pesisir kecamatan Genuk, Kota Semarang. Journal of Marine Research. Vol. 1, No.1, Hal. 137-145. Ramawijaya, Rosidah, M.Y. Awaludin & W.S. Pranowo. 2012. Variabelitas parameter osenografi dan karbon laut di Teluk Banten. Jurnal Perikanan dan Kelautan, Vol.3, No. 3: 339-346. 257 Rasidi, I.R. Astuti & Rusmaedi. 2007. Aspek biologi, distribusi dan pengelolaan sumberdaya kerang darah (Anadara granosa) Jakarta: Riset Perikanan Budidaya. Widyastuti, A. 2011. Perkembangan gonad kerang darah (Anadara antiquata) di Perairan Auki, Kepulauan Padaido, Biak, Papua. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 37 (1): 1-17. 258