prosiding semnastangkap 6 ipb

advertisement
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL PERIKANAN TANGKAP IPB KE 6
BOGOR, 22 OKTOBER 2015
“Pembangunan Perikanan Tangkap Berbasis Riset dan Teknologi dalam Menghadapi
Masyarakat Ekonomi Asean”
Penyunting:
Dr. Iin Solihin, S.Pi,M.Si
Dr. Yopi Novita, S.Pi,M.Si
Dr. Fis Purwangka, S.Pi, M.Si
Didin Komarudin, S.Pi, M.Si
Kegiatan Seminar Nasional Perikanan Tangkap IPB ke 6 Diselenggarakan Oleh Departemen Pemanfaatan
Sumberdaya Perikanan FPIK IPB Bekerja Sama dengan Forum Komunikasi Kemitraan Perikanan
Tangkap (FK2PT). Didukung Oleh Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB dan PT.
EOS Consultans.
Prosiding ini diterbitkan oleh:
DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015
KATA PENGANTAR
F
orum Komunikasi Kemitraan Perikanan Tangkap (FK2PT) dan
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (PSP), FPIK–IPB
untuk keempat kalinya bekerjasama menyelenggarakan Seminar
Nasional Perikanan Tangkap. Seminar ini merupakan Seminar Nasional
Perikanan Tangkap ke-6 yang diselenggarakan pada hari Kamis, 22
Oktober 2015, dengan tema “Pembangunan Perikanan Tangkap
Berbasis Riset dan Teknologi dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi
ASEAN”. Dalam seminar tersebut menghadirkan tiga nara sumber utama,
yaitu Ir Saut P. Hutagalung, MSc (Staf Ahli Menteri Bidang Ekonomi Sosial
dan Budaya, Kemeterian Kelautan dan Perikanan) Ir Ady Surya (Wakil
Presiden Asosiasi Pengusaha Kapal Pengangkut Ikan Indonesia/APKPII;
Ketua Asosiasi Pengalengan Ikan Indonesia/APIKI) dan Dr Ir Fedi A
Sondita, MSc (Staf pengajar FPIK IPB). Selain itu, dalam seminar ini juga
dihadiri oleh peneliti-peneliti yang berasal dari dari berbagai perguruan
tinggi baik negeri maupun swasta, instansi pemerintah maupun non
pemerintah. Beberapa perguruan tinggi yang terlibat diantaranya adalah
Institut Pertanian Bogor, Univ. Muhammadiyah Kendari, Univ, Lambung
Mangkurat, Univ. Hasanuddin, Univ. Padjajaran, Univ. Muhammadiyah
Maluku Utara, Univ. Riau, Politeknik Tual, Univ. Sultan Ageng Tirtayasa,
Univ. Sriwijaya, Univ. Andi Djemma Palopo, Univ. Samratulangi, Univ.
Bung Hatta, UMI Makassar, Univ. Brawijaya, Univ. Udayana, Univ. Nusa
Nipa Maumere NTT, Univ. Negeri Gorontalo, Univ. Sebelas Maret, Univ.
Bengkulu, dan Newcastel University. Instansi pemerintah yang terlibat
adalah Balai Besar Penangkapan Ikan, LIPI Pusat Inovasi, Balitbang
Kementerian Kelautan dan Perikanan, Loka Penelitian Perikanan Tuna
KKP, Balai Penelitian Perikanan Laut, Pusat Pengembangan Teknologi
Tepat Guna LIPI, Dinas Kelautan dan Perikanan Prov. Jawa Tengah, dan
UPT. PTPI Probolinggo. Adapun instansi swasta yang terlibat adalah PT.
EOS Consultants dan instansi swasta lainnya. Para peneliti yang hadir
secara aktif berperan serta dalam SEMNASTANGKAP 6 sebagai
Pemakalah dengan mempresentasikan hasil penelitian yang telah
dilakukannya. Dengan banyaknya hasil penelitian yang didiseminasikan
dalam seminar ini, diharapkan dapat mempercepat penerapan ilmu
pengetahuan dan teknologi dalam pengelolaan perikanan tangkap di
Indonesia. Selain itu, diharapkan terjadi pertukaran informasi diantara
kalangan akademisi, pelaku usaha, pengambil kebijakan perikanan laut, dan
masyarakat.
SEMNASTANGKAP ini terselenggara atas dukungan berbagai pihak
diantaranya adalah Direktorat Kajian Strategis dan Kebijakan Pertanian IPB,
PKSPL (Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan) IPB, dan PT. EOS
Consultants.
Dalam Prosiding ini, ditampilkan beberapa naskah yang telah
dipresentasikan dalam kegiatan SEMNASTANGKAP 6. Semoga prosiding
ini bermanfaat bagi perkembangan perikanan tangkap di Indonesia.
Akhir kata, tiada gading yang tak retak, dengan segala kerendahan hati
kritik dan saran yang membangun sangatlah kami harapkan demi
kesempurnaan prosiding ini.
DAFTAR ISI
1. Perikanan Jaring Koncong (Encircling Gillnet) Pulolampes, Kabupaten
Brebes
(Oleh: Zarochman) .......................................................................................... 1-25
2. Estimasi Potensi Lestari dengan Model Schaefer dan Fox Sumberdaya
Ikan Teri di Perairan Kabupaten Maluku tenggara
(Oleh: Eka Anto Supeni, Jacomina Tahapary) ................................................ 26-36
3. Analisis Alat Penangkap Ikan Pelagis Kecil di Kabupaten Barru Sulawesi
Selatan
(Oleh: Najamuddin, Mahfud Palo, Mukti Zainuddin, M Abduh Ibnu Hajar).. 37-49
4. Analisis Hasil Tangkapan Udang Di Laut Arafura
(Oleh: Rian Juanda, Mulyono S Baskoro, Sulaeman Martasuganda)............. 50-65
5. Karakteristik Cahaya Lampu pada Bagan Tancap di Perairan Teluk Banten
(Oleh: Adi Susanto, Yuhelsa Putra, Aristi Dian P Fitri, Heri Susanto) .......... 66-75
6. Komposisi dan Struktur Komunitas Ikan di Perairan Muara Musi
dan Muara Banyuasin, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan
(Oleh: Isnaini, Melki, Andi Agussalim) ........................................................... 76-88
7. Analisis Sistem Konektivitas Pelabuhan Perikanan dalam Penyediaan
Bahan Baku Bagi Industri Pengolahan Ikan
(Oleh: Iin Solihin, Sugeng H Wisudo, Joko Santoso) ...................................... 89-106
8. Kajian Biaya dan Manfaat Pemacuan Stok dan ‘Sea Ranching’ Kerapu
di Indonesia
(Oleh:Irfan Yulianto, Cornelius Hammer, Budy Wiryawan, Harry W Palm ) 107-115
9. Penghitungan Produktivitas Optimum Alat Tangkap: Studi Kasus
pada Perikanan Purse Seine Di Lampulo Aceh
(Oleh: Eko Sri Wiyono) .................................................................................... 116-124
10. Gillnet Lingkar Bertali Kerut Ikan Pelagis Kecil
(Oleh: Zarochman) .......................................................................................... 125-147
11. Studi Pendahuluan Tentang Status Manajemen Perikanan Tangkap
di Zona Perikanan Berkelanjutan dalam Kawasan TWP Pulau Pieh
dan Laut Sekitarnya
(Oleh: Yempita Efendi) .................................................................................... 148-162
12. Hubungan Beberapa Faktor Oseanografi terhadap Hasil Tangkapan Ikan
dengan Pole and Line di Perairan Laut Flores Kabupaten Sinjai Sulsel
(Oleh: Muhammad Jamal, Ernaningsih, Hasrun) ........................................... 163-171
13. Tingkat Efisiensi Pemasaran Ikan Laut Segar Di Pelabuhan Perikanan
Nusantara (PPN) Brondong
(Oleh: Miftachul Huda, Iin Solihin, Ernani Lubis).......................................... 172-192
14. Pengembangan Investasi Usaha Perikanan Tangkap Unggulan di Bau-bau,
Sulawesi Tenggara
(Oleh: Mustaruddin, Mulyono S Baskoro, Budi Purwanto) ............................ 193-207
15. Kinerja Jantung dan Otot Ikan Jack Mackerel, Trachurus japonicus
Selama Berenang di Flume Tank pada Suhu yang Berbeda
(Oleh: Mochammad Riyanto, Takafumi Arimoto) .......................................... 208-219
16. Pengaruh Penggunaan Umpan yang Berbeda terhadap Hasil Tangkapan
Tuna Mata Besar (Thunnus Obesus) di Samudera Hindia
(Oleh: Irwan Jatmiko, Budi Nugraha, Rani Ekawaty) .................................... 220-226
17. Posisi Beban dan Sudut Jatuh Baling-Baling, Pengaruhnya terhadap
Tahanan Gerak dan Kecepatan Perahu Katir di Palabuhanratu
(Oleh: Budhi H Iskandar, Yopi Novita, N Firnasari, GA Saksono, R Hadi) .. 227-234
18. Sebaran Panjang dan Hubungan Panjang Berat Tuna Mata Besar
(Thunnus obesus) yang Didaratkan di Pelabuhan Benoa, Bali
(Oleh: Irwan Jatmiko, Bram Setyadji, Rani Ekawaty) .................................... 235-240
19. Perikanan Kekerangan di Pantai Utara Jawa
(Oleh: Karsono Wagiyo, Prihatiningsih, Tri Wahyu Budiarti) ....................... 241-258
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap IPB ke-6
Halaman: 1-25
ISBN 978-979-1225-34-2
PERIKANAN JARING KONCONG (ENCIRCLING GILLNET)
PULOLAMPES, KABUPATEN BREBES
Zarochman1
1
Perekayasa Utama BBPI
ABSTRAK
Gillnet lingkar tradisional milik nelayan Pulolampes yang dikenal jaring
“Koncong”, keberadaannya di Desa Pulolampes Kabupaten Brebes menjadi cikal
bakal perkembangan perikanan pelagis kecil di wilayah ini. Jaring koncong yang
tergolong gillnet lingkar (encircling gillnet) untuk menangkap ikan pelagis kecil
dengan sasaran utama ikan serinding (Apogonidae sp). Pengoperasian jaring
koncong mengelilingi atau mengurung ikan yang menjadi sasaran tangkap
sedemikian rupa sehingga ikan diarahkan agar menabrak dinding atau lembaran
jaring yang tegak secara vertikal sehingga ikan terjerat dan/atau terpuntal pada
mata jaring atau kumpulan beberapa mata jaring. Pengoperasian jaring koncong
tanpa menggunakan alat bantu penarik. Daerah penangkapan jaring koncong pada
perairan dangkal disesuaikan dengan sasaran utama ikan serinding yang bersifat
musiman padaperairan di sekitar muara.Keterbatasan ini membatasi operasional
jaring koncong sehingga jaring koncong bersifat musiman. Kompetisi daerah
penangkapan ikan jaring koncong belakangan terdesak oleh pengoperasian
“puring” atau purseine waring yang ukuran armada purseine waring lebih besar
dan berjumlah lebih banyak. Puring beroperasi mulai perairan dangkal hingga
lebih ke tengah terutama pada musim penghujan dengan hasil yang cukup
signifikan. sedangkan efektifitas penangkapan jaring koncong sangat rendah pada
tingkat efisiensi penangkapan yang kurang layak.
Kata kunci: koncong, gillnet lingkar, ikan serinding
PENDAHULUAN
Gillnet lingkar tradisional milik nelayan Pulo Lampes tergolong kelompok
alat penangkap ikan jaring jerat puntal (gillnet) yang pengoperasiannya mengejar
dan dikelilingkan pada gerombolan ikan (encircling gillnet). Keberadaan gillnet
lingkar di Desa Pulo Lampes, Kabupaten Brebes menjadi cikal bakal
perkembangan perikanan pelagis kecil di wilayah itu yang tujuan utamanya adalah
untuk menangkap ikan serinding (Apogonidae sp.).
Daerah operasi penangkapan gillnet lingkar tradisional nelayan Pulo
Lampes yang dikenal dengan sebutan jaring koncong terbatas pada perairan
dangkal di sepanjang pesisir sekitar muara. Perkembangan daerah operasi meluas
di sepanjang daerah pesisir perairan laut Brebes – Cirebon – Tegal. Namun
1
belakangan keberadaannyanyaris terancam akibat terdesak beroperasinya jaring
lingkar (surrounding nets) terutama alat penangkap ikan jenis purse seine waring.
Sebagian besar armada perahu jaring “koncong” menganggur dan para pemilik
beserta para pekerjanya berpindah mengikuti purseine waring.
Selama ini pengoperasian jaring koncong pada perairan dangkal dekat garis
pantai bersifat musiman sehingga cenderung selektif pada sasaran ikan
tertentu.Namun keberadaanya kian terdesak dan berhenti oleh berkembangnya
purseine waring yang dikenal sangat produktif.Mengingat dari sisi teknologi
gillnet lingkar tergolong selektif dan cukup efektif untuk ikan pelagis kecil
sehingga masih diperlukan kesesuaian
dalam operasi penangkapan ikan
(compatible in fishing operation) dengan berbagai upaya modifikasi atau iterasi
agar layak operasional.
Perikanan jaring koncong yang tergolong gillnetlingkar tradisional nelayan
Pulolampes Kabupaten Brebes, sebagian kecil masih bertahan untuk menangkap
jenis ikan serinding yang diduga dari famili apogonidae.Hasil olahan jenis ikan
serinding dipasaran mempunyai nilai ekonomi yang relatif tinggi.Jaring koncong
ataugillnet lingkar tradisional berkontruksi sederhana dan berukuran kecil adalah
kebiasaan turun-temurun nelayan Pulolampes yang menyebabkan nelayan
setempat sangat terampil dalam mendeteksi ikan timbulan tanpa bantuan alat
sambung penglihatan. Perikanan “koncong” yang sudah sangat akrab dengan
pameo dikalangan nelayan Pulolampes “ucul dayung dodol sarung” adalah
adanya keterbatasan musim ikan yang kian membatasi hari melaut, sementara
kebutuhan dapur dan uang saku sekolah harus tersedia setiap hari. Dalam hal ini
nelayan tidak ke laut karena sedang “paila”, ikan alias tidak sedang musim ikan.
Nelayan tidak melaut berarti tidak mempunyai pendapatan,dimana akhirnya
menjual barang miliknya yang sangat berharga, diibaratkan “sarung”.
Hingga saat ini bagi nelayan yang bermodal kecil di Pulolampes sebagian
masih bertahan menggunakan jaring koncongsebagai pilihan karena tergolong alat
tangkap yang paling murah. Investor jaring koncong adalah nelayan miskin
dengan modal sedikit untuk beli bahan jaring dan dibuat sendiri dengan mudah
(relatif cepat). Berikut ini adalah hasil wawancara kami dengan responden nelayan
“koncong” bernama Kosim.
Keadaan umum responden
Umur
51 thn
Pendidikan
SD
Pengalaman
usaha
Koncong (15
thn)
Alasan menggunakan API
Ikut-ikutan yang lain karena
merupakan alat tangkap
yang paling murah
Apakah punya
pekerjaan lain.
Jika Ya, apa dan berapa
penghasilannya
Tidak
Berdasarkan hasil wawancara beberapa nelayan, semuanya cenderung
mengatakan bahwa pada saat musim hujan tidak musim ikan, karena selama ini
2
daerah penangkapannya dekat dengan pantai di sekitar muara sungai (estuaria).
Berdasarkan bulan masehi, bahwa ikan timbulan ada pada kisaran bulan Juni –
Oktober atau musim kering/kemarau. Bahkan kemelimpahan ikan pada kisaran
musim kemarau bisa cukup tinggi sehingga nelayan mengistilahkan “panen”,
sedangkan dalam musim hujan tidak atau jarang ke laut.Tujuan penulisan adalah
mengenali perikanan gillnet lingkar tradisional tipe koncong cikal bakal
perkembangan perikanan tangkap nelayan Pulo Lampes, Kabupaten Brebes.
TINJAUAN TENTANG GILLNET LINGKAR
Pengertian Gillnet Lingkar (Encircling Gillnet)
Definisi atau pengertian yang membatasi gillnet sebagai salah satu metode
atau cara penangkapan ikan (fishing methods) adalah suatu cara menangkap ikan
dengan menggunakan alat tangkap sehingga ikan tertangkap secara terjerat
(gilled) pada mata jaring (mesh net) dan/atau terpuntal (entangled) pada beberapa
mata jaring (meshsize).Jenis jaring insang yang konstruksinya hanya terdiri dari
satu lembar, ikan yang memasuki mata jaring biasanya hanya ikan yang
mempunyai ukuran keliling belakang penutup insang (operculum girth) lebih
kecil dari keliling mata jaring dan keliling tinggi maksimum (maksimum body
girth).
Klasifikasi jaring insang (gillnet) bila ditinjau dari cara pengoperasian
dapat dibedakan menjadi 4 (empat): (1)Gillnettetap (set gillnet), (2) Gillnet hanyut
(drift gillnet), (3) Gillnet berpancang (fixed gillnet), dan (4) Gillnet lingkar
(encircling gillnet).
Gillnet lingkar merupakan jaring insang yang dioperasikan dengan cara
melingkarkan alat mengelilingi gerombolan ikan permukaan. Setelah terkumpul,
ikandikejutkan dengan membuat keributan di permukaan air sehingga ikan
berenang berhamburan dan menabrak/tersangkut jaring. Cara melingkarkan jaring
dilakukan dengan menebarkan jaring saat kapal membuat lingkaran.
Untuk mensiasati agar gillnet lingkar lebih efisien sehingga pertimbangkan
desain dan kontruksinya diupayakan dapat:
1) Melingkari secara horisontal, sehingga panjang jaring dan kecepatan
melingkarnya harus dipertimbangkan secara baik,
2) Memagari secara vertikal dari permukaan laut hingga kedalaman tertentu,
dimana ikan sulit keluar dari lingkaran jaring, sehingga lebar jaring dan
kecepatan tenggelam tali pemberat harus cukup,
3) Mengurung dengan menarik bagian bawah jaring melalui penarikan tali bantu.
Jadi bagian bawah jaring harus berada sampai pada perairan yang lebih dalam
3
Gambar 1. Perspektif pengoperasian jaring insang lingkar dengan cara ditakuti
Filosofi Rancang Bangun Gillnet Lingkar
Gillnet lingkar tidak tergolong jaring lingkar (surrounding net). Fungsi
dinding atau lembaran jaring pada setiap bagian pada jaring lingkar seperti pada
purse seine dan payang lingkar tanpa tali kerut hanya sebagai dinding penghadang
atau penggiring/pengarah (leader) agar sasaran ikan masuk pada bagian kantong
atau “bunt”. Adapun gillnet lingkar yang pengoperasiannya mengelilingi atau
mengurung ikan yang menjadi sasaran tangkap sedemikian rupa sehingga ikan
diarahkan agar menabrak dinding atau lembaran jaring yang tegak secara vertikal
sehingga ikan terjerat dan/atau terpuntal pada mata jaring atau kumpulan beberapa
mata jaring. Fungsi mata jaring pada jaring lingkar bukan untuk menjerat atau
memuntal, sedangkan mata jaring pada gillnet lingkar untuk menjerat atau bila
kontruksi jaring gillnet lingkar dibuat lentur dan ikan yang menabrak lingkar
bodinya lebih besar dari bukaan mata jaring maka ikan akan terpuntal.
Bukaan mata jaring pada jaring lingkar dirancang lebih kecil dibandingkan
body atau ukuran lingkar tubuh ikan sasaran, sedangkan ukuran atau bukaan mata
jaring gillnet lingkar dibuat minimal sama atau dapat sedikit lebih besar melalui
pengaturan nilai gantung jaring (net hanging ratio). Nilai indeks benang atau ratio
diameter benang terhadap panjang kaki mata jaring (I) untuk lembaran bahan
jaring (webbing) untuk gillnet sangat kecil atau jauh lebih kecil dibanding nilai I
webbing jaring lingkar. Dengan demikian kebutuhan webbing pada gillnet lingkar
lebih sedikit volumenya dibanding kebutuhan webbing untuk purse seine. Oleh
karena itu nilai kebutuhan bahan jaring lebih sedikit dan volumenya lebih kecil
dan ringan sehingga nilai investasi jaring kecil dan lebih mampu dimuat perahu
lebih kecil.
Meskipun demikian pada perairan tropis dengan kandungan multi species
para perancang gillnet lingkar berusaha mengoptimalkan efisiensi alat tangkap
gillnet agar mampu menangkap ikan dalam jumlah besar dari beragam species
ikan pelagis kecil yang membentuk kelompok/gerombolan (schooling).
4
METODOLOGI
Peralatan survei
Peralatan survei yang digunakan ditentukan berdasarkan kebutuhan data
yang akan diambil dan penggunaannya disesuaikan dengan kondisi dilapangan.
Beberapa peralatan diuraikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Peralatan survei dan kegunaannya
No Peralatan
Kegunaan
Untuk transportasi laut dan sarana apung
1
Speed boat
dalam melakukan survei
Untuk melakukan survey penangkapan
Perahu penangkapan ikan
2
ikan untuk melihat hasil tangkapan ikan
gillnet lingkar
yang dominan
Echo Sounderdan Fish
Untuk mengukur kedalaman dan
3
Finder
mendeteksi gerombolan ikan dalam air
Mendokumentasikan keadaan/lokasi
4
Kamera digital
survei, deskripsi sarana tangkap, dan
hasil tangkapan
Menyimpan dan memvisualisasikan hasil
5
Perangkat komputer
survei
Global Positioning System
Untuk mengukur posisi dan menentukan
6
(GPS)
arah kompas/ haluan
Untuk mengukur kedalaman air sejauh
7
Roll meter
mana alat dipasang
8
Jangka sorong / Papan ukur
ikan
Untuk mengukur ikan
9
Timbangan jarum / digital
Untuk mengukur berat
Metode
Metode penelitian adalah studi kasus hasil pengamatan di lapangan dengan
melakukan pendekatan teori rancang bangun dan kajian pengoperasian alat
tangkap. Pengujian menggunakan metode studi kasus dan eksperimen melalui
pendekatan:survey profil perikanan gillnet lingkar di lokasi pengujian, survey
identifikasi daerah penangkapan ikan, survey identifikasi desain awal alat tangkap
gillnet lingkar di lokasi pengujian, survey eksplorasi operasi penangkapan ikan
dengan gillnet lingkar (koncong).
Metode pengumpulandata primer dalam penelitian ini adalah dengan
metode eksplorasi penangkapan langsung di laut pada daerah penangkapan
rajungan berdasarkan informasi nelayan setempat (Fishing Ground Exploratory
5
Survey), serta pengumpulan data produksi dan pengukuran biologi ikan (panjang,
berat, TKG, dan jenis kelamin)ikan hasil tangkapan.
Analisis laju tangkap dengan mentabulasikan data hasil tangkapan gillnet
lingkar menurut jenisnya, yang diperoleh dengan metodeexploratory survey,
selanjutnya dilakukan penghitungan untuk memperoleh data yang diinginkan
seperti data komposisi hasil tangkapan dan prosentasenya serta penghitungan hasil
rata-rata per bubu (catch rate).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Perikanan dan Daerah Penangkapan Ikan
Kondisi perikanan laut perairan berbasis Pulo Lampes Kabupaten Brebes
A. Kondisi umum wilayah
Kota Brebes terletak di wilayah pesisir Utara danbagian barat Provinsi Jawa
Tengah, dengan koordinat 108° 41'37,7" - 109° 11'28,92" Bujur Timur dan 6°
44'56,5" - 7° 20'51,48”Lintang Selatan dan berbatasan langsung dengan wilayah
Provinsi Jawa Barat.Wilayah pesisir pantai Kota Brebes mempunyai panjang
pantai sebesar ± 72,93km yang meliputi 14 desa di 5 kecamatan.
Batas-batas wilayah Kota Brebes sebagai berikut :
Sebelah Utara
: Laut Jawa
Sebelah Timur
: Kota Tegal dan Kota Tegal
Sebelah Selatan : Kota Banyumas dan Kota Cilacap
Sebelah Barat
: Propinsi Jawa Barat (Wilayah Cirebon)
Pembagian zonasi pantai terdiri dari pengembangan konservasi tanaman
bakau (mangrove plants) yang dapat berfungsi untuk pemulihan daya dukung
lingkungan pada bagian barat dengan batas Losari (Prapag Kidul dan Prapag Lor),
Teluk Bangsri sampai dengan sekitar muara sungai Nippon (Desa Sawojajar dan
Kaliwlingi), sedangkan wilayah pantai bagian timur mulai sebelah timur sungai
Kamal sampai dengan Pantai Randusanga Kulon dikembangkan menjadi Kawasan
Pelabuhan antarpulau maupun Kawasan Pariwisata Pantai.
Kondisi perairan pantai bagian barat relatif dangkal, untuk kedalaman laut 5
meter berjarak lebih kurang 1,5 mil dari garis pantai, sedang di perairan bagian
timur, kedalaman laut mencapai 5 meter, berjarak lebih kurang dari 1 mil. Pada
perairan lepas pantai kedalaman laut cenderung landai dengan pola garis kontur
tidak lagi mengikuti bentuk garis pantainya.
B. Kondisi perikanan tangkap
Usaha perikanan laut di Kota Brebes, terpusat pada wilayah Kecamatan
Bulakamba, Losari, Tanjung, Wanasari dan Brebes.Berdasarkan Tabel 2, jumlah
nelayan pemilik dan Anak Buah Kapal (ABK) di sekitar tempat pelelangan ikan
6
(TPI) terbanyak berada di Prapag Kidul yaitu 952 orang dan 3.557 orang,
sedangkan jumlah terendah berada di TPI Kaligangsa sebanyak 27 orang dan 108
orang. Pada TPI Pulolampes terdapat 104 orang pemilik dan ABK sebanyak 1327
orang, dimana jumlah ABK cenderung lebih besar dibandingkan dengan pemilik
alat tangkap.
Tabel 2. Jumlah Nelayan dan Bakul Menurut TPI Tahun 2011
No.
Nama TPI
Pemilik
ABK
Bakul
Jumlah
(orang)
(orang)
(orang)
1.
Kaligangsa
27
108
15
150
2.
Kaliwlingi
263
1.052
60
1.375
3.
Sawojajar
242
726
60
1.028
4.
Pulolampes
104
1.327
7
1.438
5.
Kluwut
244
1.141
24
1.409
6.
Krakahan
291
1.132
11
1.434
7.
Pengaradan
294
1.922
17
2.233
8.
Prapag Kidul
952
3.557
31
4.540
Jumlah
2.417
10.965
225
13.607
Sumber : DKP Kota Brebes(2013)
Armada penangkapan di Kota Brebes dibagi menjadi 3 (tiga) kategori, yaitu
kapal motor, motor tempel dan tanpa motor. Hingga tahun 2011, jumlah armada
kapal motor terbanyak berada di sekitar TPI Prapag Kidul dan Pulolampes,
dimana jumlah masing-masing 305 unit dan 141 unit.Perkembangan perahu mesin
tempel pada TPI Prapag Kidul hingga 2012 lebih dari 200% atau sebesar 847 unit
dibandingkan dengan jumlah tahun 2011 sebesar 286 unit, sedangkan pada kapal
motor berjumlah 306 unit.Jumlah armada perahu yang didata oleh pemerintah
daerah dapat dilihat pada Tabel 3.
Alat tangkap yang dominan adalah jaring kejer, jaring gemplo, trammel net,
dan koncong. Komoditas unggulan untuk jenis penangkapan di Kota Brebes
adalah teri nasi, kembung, udang, pirik, seriding, kembung, dan layur. Jumlah alat
tangkap pada tahun 2011 didominasi alat tangkap jaring kejer (25), gempol (506
unit), jaring udang (365 unit), dan trammel net (315 unit). Untuk alat tangkap
rawai dan alat lainnya merupakan alat tangkap yang jumlahnya terendah, dimana
masing-masing mencapai 2 % dari jumlah total alat tangkap nelayan.Jumlah dan
jenis alat tangkap di Kota Brebes dapat dilihat pada Tabel 4 dan Gambar 2.
Tabel 3. Jumlah perahu per Jenis alat tangkap di beberapa Tempat Pelelangan
Ikan (TPI)di Kota Brebes Tahun 2011-2012.
Jumlah Perahu
Tempat
No.
Pelelangan
Tanpa Mesin Mesin Tempel
Kapal Motor
Ikan (TPI)
2011 2012
2011
2012 2011 2012
1. Kaligangsa
27
14
-
7
Tempat
No.
Pelelangan
Tanpa Mesin
Ikan (TPI)
2011 2012
2. Kaliwlingi
53
3. Pesantunan
4. Sawojajar
40
5. Grinting
21
6. Pulolampes
7. Kluwut
8. Pengaradan
9. Krakahan
10. Prapag Kidul
306
5
11. Prapag Lor
7
12. Karang Dempel
11
Jumlah
306
137
Sumber : DKP Kota Brebes (2013)
Jumlah Perahu
Mesin Tempel
2011
2012
263
263
150
242
242
30
119
135
116
116
315
315
291
291
847
286
2.220
2.522
Kapal Motor
2011 2012
141
10
141
3
12
305
449
163
Tabel 4. Jumlah dan jenis alat tangkap di Kota Brebes Tahun 2011
No.
Alat Tangkap
Jumlah (unit)
1. Rampus
30
2. Trammel net
315
3. Arad
223
4. Bagan
121
5. Rawai
8
6. Jaring kejer
728
7. Mini Purse seine
71
8. Koncong
118
9. Cantrang
212
10. Gemplo
506
11. Ampera
56
12. Gillnet
137
13. Jaring udang
365
14. Lain-lain
9
Jumlah
2.899
Sumber : DKP Kota Brebes(2013)
8
Gambar 2. Komposisi jumlah per jenis alat tangkap nelayan Kota Brebes
Hasil tangkapan nelayan terdiri dari ikan pelagis danikan demersal, dimana
sangat tergantung jenis alat tangkap yang digunakan.Alat tangkap koncong
dominan ikan yang diperoleh berupa ikan serinding, sedangkan tangkapan lainnya
antara lain layur, pepetek dan teri.
C. Wilayah Operasi Penangkapan Ikan Berbasis Pulo Lampes Kabupaten
Brebes
Nelayan Kabupaten Brebesumumnya memiliki jumlah armada penangkapan
yang cukup besar dengan jenis alat tangkap yang beragam.Daerah penangkapan
ikan nelayan berada di perairan pantai Utara Jawa khususnya berlokasi pada
perairan sekitar pantai dan dekat dengan basis nelayan, serta perairan dangkal.
Alat tangkap mempunyai target ikan tangkapan yang cenderung berbeda,
dimana sangat tergantung bagian perairan dimana alat tangkap dioperasikan.
Untuk mendapatkan daerah penangkapan, nelayan menyisir di sepanjang pantai
dengan berjalan hingga diperoleh gerombolan ikan, bila tidak didapatkan ikan
timbul,maka jaring koncong (gillnet lingkar ikan serinding) tidak dioperasikan
atau jaring tidak diturunkan.
Secara umum, perairan utara Brebes sangat strategis untuk dilakukannya
pengembangan penangkapan ikan pelagis kecil karena selama ini penangkapan
serinding hanya dilakukan menggunakan jaring koncong yang tergolong gillnet
lingkar sederhana berukuran kecil milik nelayan lokal daerah Pulo Lampes, desa
Pulogading, wilayah Kabupaten Brebes.
Menurut pendapat nelayan sekaligus tokoh masyarakat di Pulolampes,
kehadiran purse seine waring meskipun aktifitas TPI menjadi ramai tetapi jenisjenis ikan yang didaratkan merupakan jenis –jenis ikan anakan ikan pelagis kecil.
9
Gambar 3a. Peta Wilayah Kabupaten
Brebes
Gambar 3b. Peta Citra Satelit
Perairan utara Brebes
Perikanan jaring lingkar ikan pelagis kecil berbasis Brebes
Target utama perikanan gillnet lingkar adalah ikan serinding (Apogonide
sp.) paling populer di kalangan nelayan Pulolampes, Desa Pulogading wilayah
Kabupaten Brebes. Nelayan menyebutnya jaring koncong, yang tergolong gillnet
lingkar sederhana berukuran kecil. Kian hari kegiatan pengoperasian jaring
koncong makin terjepit dengan munculnya purse seine waring dengan target
utama ikan teri.
Purse seine waring mendesak kegiatan nelayan koncong disebabkan
beberapa alasan : 1) purse seine waring menyerap banyak tenaga yang biasanya
sebagai ABK jaring koncong berpindah ke purse seine waring, 2) ukuran mata
jaring sangat halus yang dapat menangkap segala jenis ikan termasuk anakan ikan,
3) tempat sandar disepanjang sungai dipenuhi oleh armada purse seine waring, 4)
fishing ground berkompetisi dengan jaring koncong.
Gambar 4a. Ukuran mata jaring purse
seine waring
10
Gambar 4b. Pelampung purse seine
waring
Gambar 5. Hasil tangkap purse seine waring Pulolampes
Armada Purse seine waring menggunakan ABK 10 – 15 orang sementara
ABK jaring koncong 3-4 orang, tempat sandar memenuhi dermaga TPI
Pulolampes tidak memberiruang tempat untuk bersandar armada kapal jaring
koncong
Gambar 6a. Armada purse seine waring
Pulolampes
Gambar 6b. Armada kapal jaring
koncong
Peningkatan produksi perikanan laut dalam beberapa tahun terakhir cukup
signifikan terutama dari produksi perikanan peragis kecil dari kelompok ikan teri.
Meskipun demikian terdapat permasalahan terhadap tekanan sumberdaya ikan
yang cenderung berukuran kecil akibat berkembangnya purse seine waring.
Akibat perkembangan purse seine waring juga menimbulkan kesenjangan antara
11
nelayan jaring koncong (gillnet lingkar) dan purse seine waring. Gillnet lingkar
yang selama puluhan tahun menjadi andalan nelayan Pulolampes, Kabupaten
Brebes, menjadi hampir tidak berkembang, bahkan hanya tinggal beberapa unit
yang masih bertahan dalam kondisi pengoperasian penangkapan yang minimal.
Oleh karena itu keberadaan gillnet lingkar dengan memanfaatkan armada perahu
< 5 GT tetap dipertahankan dengan diupayakan perbaikan kinerja melalui
modifikasi gillnet lingkar untuk beroperasi pada perairan lebih dalam. Ke depan
hasil perbaikan kinerja gillnet lingkar dapat dioperasionalkan untuk memperbaiki
pendapatan dan keberlanjutan penangkapan sehingga mampu memperkuat modal
nelayan jaring koncong.
Prasarana alur keluar masuk dari dan ke tempat pendaratan menjadi
perhatian untuk memperlancar kegiatan operasi pelayaran penangkapan ikan
terutama pada alur menuju tempat pendaratan ikan Pulolampes. Kompetisi daerah
penangkapan ikan antara pengoperasian gillnet lingkar dan purse seine waring
setidaknya diatur dengan peraturan daerah (Perda).
Identifikasi rancang bangun dan hasil tangkap gillnet lingkar, “koncong”
Brebes
A. Identifikasi rancangbangun Gillnet Lingkar (jaring koncong) Brebes
Beberapa aspek yang dipersiapkan dalam menyiapkan desain awal
diantaranya adalah pengamatan desain alat tangkap yang telah ada sebagai bahan
pembanding dan dasar perubahan melalui kerekayasaan gillnet lingkar ikan
pelagis kecil.
Identifikasi alat tangkap koncong meliputi :
a) Penentuan bentuk dan komponen jaring
b) Pengamatan jaring pada bagian sayap, bentuk jaring bagian sayap tidak
terdapat potongan miring
c) Ukuran mata jaring bagian sayap memiliki ukuran mata sama merata ( 3/4˝ )
d) Diameter benang sama dengan bagian badan dan lebih kecil dari bagian
kantong
e) Pengamatan bagian badan berbentuk lembaran jaring, potongan lurus, ukuran
mata jaring sama dengan bagian sayap
f) Diameter benang sama dengan bagian sayap dan lebih kecil dari bagian
kantong
g) Pengamatan bagian kantong berbentuk lembaran jaring, diameter benang
lebih besar dari bagian badan dan sayap, ukuran mata jaring sama dengan
bagian badan dan sayap.
Hasil pengamatan komponen dan bahan gillnet lingkar nelayan Pulolampes
seperti tertera pada Tabel 5, 6, dan 7.
Tabel 5. Komponen dan Material tali temali Gill net lingkar di Pulolampes
12
MODEL I
KOMPONEN BAHAN PE
Diameter (mm)
7
7
4
10
4
4
14
6
Ris atas
Tali pelampung
Tali usus usus atas
Ris bawah
Tali pemberat
Tali usus usus bawah
Tali kerut
Tali cincin
Panjang (m)
450
450
450
480
480
480
580
50
Tabel 6. Komponen dan material webbing, ukuran dan jumlah mata vertikal x
horisontal
KOMPONEN
MATERIALDAN UKURAN MODEL
Srampat atas
PA 0.75 inci ; 210 d/6 1600 x 3
Kantong
PE ; 0.75 inci ; 1.12 mm 1600 x400
Badan / Sayap
PA ; 0.75 inci ; 210 d/3
Srampat bawah
PA 0.75 inci ; 210 d/6 1600 x 3
Srampat bawah
PA ; 1 inci ; 210 d/12
50
Tabel 7. Komponen dan material pelampung, ukuran dan jumlah dari pelampung,
pemberat dan cincin
NAMA
KOMPONE
MODEL I
N
Pelampung
PVC, 1.3 Kgf, 600 bh
Pemberat
Pb, 310 gr,2000 bh
Cincin
Kuningan, 500 gr, 76 bh
13
Gambar 7. Perspektif desain dan pengoperasian gillnet lingkar nelayan
Pulolampes, Brebes.
B. Identifikasi hasil tangkap jaring koncong Brebes
Berdasarkan data hasil tangkapan nelayan gillnet lingkar yang dioperasikan
oleh nelayan Pulolampes diperoleh informasi bahwa jenis ikan hasil tangkapan
nelayan didominasi oleh ikan serinding (apogonidae sp.). Untuk jenis lainnya
berupa ikan layur, tembang dan lainnya didapat dalam jumlah yang sedikit.Hasil
tangkapan nelayan secara keseluruhan dapat dilihat pada (Tabel 8) berikut.
Tabel 8.Hasil tangkap gillnetlingkar di Perairan Pantai Utara Brebes 2014
Jenis ikan
Perahu
Jumlah
Trip
JulungCumikoncong Serinding Teri Tembang
(Kg)
Julung
Cumi
1
1
55,4 23,2
2,5
1,5
0,4
83,0
14
Perahu
Trip
koncong Serinding
Jenis ikan
Teri
Tembang
82,5 21,4
62,2 31,5
55,4 22,6
75,5 35,4
2
122,2 40,6
85,6 20,5
60,2 22,6
80,7 27,2
3
45,1 25,4
92,6 31,7
67,3 15,2
52,2 22,8
60,8 30,5
4
77,7 22,5
45,4 22,2
57,2 11,4
88,2 20,8
5
85,6 14,4
115,2 34,5
95,2 12,4
6
60,2 27,5
117,5 35,5
72,9 32,4
65,8 22,5
1878,6 626,7
Total
75,1 25,1
Rerata
Sumber: Data survei (2014)
15,4
5,2
2,4
14,4
18,4
6,5
7,2
12,3
6,4
7,5
9,2
2,2
13,5
6,2
11,3
8,6
12,4
12,5
16,2
10,6
17,1
11,6
8,2
11,6
249,4
10,0
2
3
4
5
1
2
3
4
1
2
3
4
5
1
2
3
4
1
2
3
1
2
3
4
JulungJulung
10,5
2,2
3,8
5,4
12,5
8,5
2,2
1,1
2,2
2,2
7,1
2,1
1,4
2,5
3,8
3,5
1,2
1,8
11,7
6,4
2,3
12,5
5,5
10,5
124,4
5,0
CumiCumi
0,5
0,8
1,1
0,4
0,5
0,8
1,1
2,4
1,1
1,5
3
0,8
8,8
1,5
1
25,7
1,0
Jumlah
(Kg)
129,8
101,6
84,2
131,5
194,8
121,1
92,2
121,3
79,5
134,0
99,3
80,1
106,2
110,0
85,1
80,7
123,7
115,8
180,6
124,6
107,9
185,9
120,5
111,4
2904,8
116,2
Pada pengujian operasi penangkapan selama 6 hari dengan jumlah 25 trip
menghasilkan ikan sebanyak 2.904,8 kg atau rata-rata per trip perhari 116,2 kg.
Jenis ikan tangkapan dominan antara lain: serinding (Apogonidae sp.), teri
(Stolephorus
spp.),
tembang/tanjan
(Sardinella
sp.),
julung-julung
(Hemirhamphus sp) dan cumi-cumi (Loligo sp).
15
Gambar 8.Komposisiikan hasil tangkapan gillnetlingkar
Berdasarkan diagram (Gambar 8) diatas memperlihatkan komposisi ikan
hasil tangkapan gillnet lingkar yang diperoleh nelayan di Kota Brebes,yaitu ikan
serinding mencapai 65%, sedangkan ikan lainnya seperti ikan teri 21%, tembang
4%.
Tabel 9. Ilustrasi ikan hasil tangkap gillnet lingkar, penamaan dan ukurannya
1.
Serinding
Apogonidae
sp
Rerata
Berat
(gram/ekor)
200 gram/
48 ekor
2.
Teri
Stolephorus
spp.
50 gram/
42 ekor
8 - 11
3.
Sardinella sp.
250 gram/
13 ekor
10 - 14
4.
Tembang/
Tanjan/
Bilis
Julung-2
5.
Cumi-2
Loligo sp.
250 gram/
3 ekor
8 - 12
No.
Ilustrasi
Nama
Lokal
Nama Latin
Kisaran
Panjang
Total(Cm)
9 - 13
Hemirhamphus
sp.
Ikan hasil tangkapan dominan pada penangkapan gillnet lingkar adalah ikan
serinding. Ikan ini berenang mempunyai tingkah laku berenang dalam kelompok
besar atau schooling besar. Berdasarkan data yang dikumpulkan bahwa dalam
kelompok ikan serinding memiliki ukuran panjang total dominan tertentu, dimana
umumnya memiliki ukuran 6,3 – 9,35 cm.
16
Untuk ukuran lingkar badan atau girth ikan serinding 3,3 – 3,85 cm dengan
dominasi pada ukuran 4,5 cm.Berat ikan serinding yang diperoleh pada
penangkapan ikan gillnet lingkar berkisar 2,91 – 6,65 gram per ekornya.Indeks
kematangan gonad ikan serinding dari hasil pengamatan didominasi pada fase 3,
sehingga dimungkinkan ikan yang tertangkap sedang bertelur.Tingkat kematangan
gonad ikan serinding yang diperoleh menunjukkan pada tingkat 1 hingga 4 dengan
variasi panjang total ikan berkisar 6 hingga 9 cm.
Gambar 9 memperlihatkan bahwa hubungan panjang dengan lingkar badan
ikan serinding memenuhi persamaan Y = 0,2062 X + 2,9445, dimana populasi
ikan berada pada ukuran besar. Lingkar badan (girth) pada sampel ikan serinding
selama penangkapan berlangsung memiliki rata-rata ukuran 4,56 cm dengan
panjang ikan rata-rata berukuran 7,84 cm (diolah dari hasil laporan teknis /TR02
dari Leader 1),
Gambar9Grafik hubungan panjang total dan lingkar badan (girth) ikan serinding
Secara umumkematangan gonad ikan serinding pada panjang ikan 6 hingga
9 cm didominasi ikan dengan TKG 3.Gambar 9 menunjukkan bahwa hubungan
antara IKG dan panjang total jaring memiliki persamaan Y = 0,0277 X + 2,6905
dimana menggambarkan adanya penambahan tingkat gonad cukup cepat.
Populasi ikan serinding sangat bervariasi atau cenderung selektif ukuran,
dimana semuanya merupakan hasil tangkapan gillnet lingkar.Akan tetapi nilai
perbandingan antara Lm (Length at first Maturated) dan Lc (Length at first
Captured), yaitu 26 < 74 %, sehingga parameter Lc lebih banyak ditangkap.Nilai
perbandingan memperlihatkan bahwa Lc lebih besar dari Lm, menjadi pertanda
penangkapan dini sehingga dikhawatirkan terjadi rekrutmen overfishing untuk
jenis tersebut.Artinya bila penangkapan ikan serinding diteruskan dalam kondisi
seperti ini dimungkinkan terjadi gangguan rekrutmen.Gambaran kondisi matang
gonad ikan serinding dapat dilihat pada Gambar 10 (diolah dari hasil laporan
teknis /TR02 dari Leader 1).
17
Gambar 10Hubungan panjang total dan indeks kematangan gonad (IKG) ikan
serinding
Identifikasi daerah penangkapan ikan pelagis kecil
Perairan daerah operasi penangkapan gillnet lingkar ikan pelagis kecil
merupakan perairan yang memiliki substrat lumpur.Substrat yang ditunjukkan
dalam studi ini hanya terbatas pada daerah operasi penangkapan di wilayah
perairan pantai utara Brebes dan sekitarnya.Selain dibatasi pada lokasi yang
terpilih juga penentuan ini dilakukan dengan batasan pengukuran substrat yaitu 1
mil laut dari garis pantai sampai 12 mil laut. Kondisi ini dilakukan dengan asumsi
bahwa perairan dari garis pantai hingga kedalaman kurang dari 10 meter atau
sekitar2 – 3 nautikal mil ke laut merupakan daerah penangkapan alat tangkap lain
seperti jaring koncong yang berkompetisi daerah operasi penangkapan gillnet
lingkar. sedangkan selebihnya (3 – 12 nautikal mil laut) berkompetisi dengan
purse seine waring (purse seine teri/jaring “sibolga”).Kondisi ini berlaku untuk
wilayah Brebes.Cirebon, Tegal, hingga Pemalang.Umumnya kondisi dasar
perairan tersebut terdiri dari lumpur. Adapun jenis substrat yang lain yaitu, pasir,
pasir berlumpur, batu, karang, jenis substrat pasir dan pasir berlumpur hanya di
temukan di perairan di bawah 1 mil laut dari pantai yang terjadi di perairan lokasi
penelitian.
Umumnya substrat berlumpur atau lumpur berpasir cukup kaya nutrients
termasuk plankton sehingga sangat disukai ikan pemakan plankton terutama ikan
kecil termasuk ikan pelagis kecil di perairan pantai. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa perairan di lokasi studi merupakan perairan yang memiliki
potensi ikan pelagis kecil sejenis serinding dan teri dan berbagai jenis ikan kecil
lainnya.
18
c
Gambar 11. Peta daerah bersubstrat lumpur: a. lokasi penelitian di pantura Jawa
dan sebaran lumpurnya.b. sebaran substrat lumpur di Cirebon,
Brebes, Tegal, dan Pemalang,c. sebaran substrat lumpur di Kendal,
Semarang, dan Demak, d. sebaran substrat lumpur di perairan Jepara
daerah penangkapan rajungan.
KESIMPULAN
Jaring “Koncong” tergolong gillnet lingkar (encircling gillnet) untuk
menangkap ikan pelagis kecil dengan sasaran utama ikan serinding (Apogonidae
sp). Pengoperasian jaring “Koncong” mengelilingi atau mengurung ikan yang
menjadi sasaran tangkap sedemikian rupa sehingga ikan diarahkan agar menabrak
dinding atau lembaran jaring yang tegak secara vertikal sehingga ikan terjerat
dan/atau terpuntal pada mata jaring atau kumpulan beberapa mata jaring.
Fungsi mata jaring pada jaring lingkar bukan untuk menjerat atau memuntal,
sedangkan mata jaring pada gillnet lingkar untuk menjerat atau bila kontruksi
jaring gillnet lingkar dibuat lentur dan ikan yang menabrak lingkar bodinya lebih
besar dari bukaan mata jaring maka ikan akan terpuntal.
Bukaan mata jaring pada jaring lingkar dikuntruksi lebih kecil dibandingkan
bodi atau ukuran lingkar tubuh ikan sasaran tangkapan, sedangkan ukuran atau
bukaan mata jaring gillnet lingkar dibuat minimal sama atau dapat sedikit lebih
besar melalui pengaturan nilai gantung jaring (net hanging ratio). Nilai indeks
benang atau ratio diameter benang terhadap panjang kaki mata jaring (I) untuk
lembaran bahan jaring (webbing) untuk gill net sangat kecil atau jauh lebih kecil
dibanding nilai I webbing jaring lingkar. Dengan demikian kebutuhan webbing
pada gillnet lingkar lebih sedikit volumenya dibanding kebutuhan webbing untuk
purse seine. Oleh karena itu nilai kebutuhan bahan jaring lebih sedikit dan
volumenya lebih kecil dan ringan sehingga nilai investasi jaring kecil dan lebih
mampu dimuat perahu lebih kecil.
19
Pada perairan tropis dengan kandungan multi species para perancang gillnet
lingkar berusaha mengoptimalkan efisiensi alat tangkap gillnet agar mampu
menangkap ikan berjumlah lebih besar dari beragam species ikan pelagis kecil
yang membentuk kelompok / gerombolan (schooling).
Kompetisi daerah penangkapan ikan jaring “Koncong” belakanganterdesak
oleh pengoperasian “puring” atau purseine waring yang ukuran armada purseine
waring lebih besar dan berjumlah lebih banyak. sedangkan efektifitas
penangkapan jaring “Koncong” sangat rendah pada tingkat efisiensi operasional
yang kurang layak. Puring beroperasi lebih ke tengah terutama pada musim
penghujan dengan hasil yang cukup signifikan.
SARAN
Untuk pendayagunaan armada dan untuk membangkitkan operasional jaring
koncong diperlukan dimensi yang lebih besar melalui modifikasi dan iterasi
dengan maksud agar nelayan bisa mengoperasikan gillnet lingkar ke perairan
lebih dalam dengan frekuensi hari operasi penangkapan ikan meningkat .Gillnet
lingkar ini tetap dapat dioperasikan dengan menggunakan ukuran perahu < 5 GT
yang selama ini digunakan untuk pengoperasian jaring koncong.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous 2012.Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Brebes
FAO Catalogue of Small Scale Fishing Gear.Published by arrangement with
the Food and Agriculture Organization of the United Nations by
Fishing New.
Gulland JA. 1971. The Fish Resources of The Ocean. Fishing News (Books) Ltd.
West Byfleet England. 255 p.
Mulyara 198.1 Desain dan Teknik Pengoperasian Purse seine PT Tirta Raya Mina
(Persero) Pekalongan Jawa Tengah.Karya ilmiah. Fakultas Perikanan
Institut Pertanian Bogor
Sparre, P dan S.C. Venema. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Penerjemah. Terjemahan dari :
Introduction to Tropical Fish Stock Assesment Part I. FAO Fish Tech Pap
No. 306/1.
REFERENSI
Program Kerekayasaan Gillnet Lingkar di Perairan Utara Jawa
1.
Program Manual Kerekayasaan Gillnet Lingkar di Perairan Utara Jawa :
Progman/ BBPPI/GNL/ 01/2014.
20
2.
3.
4.
5.
Dokumen Teknis Semester I (Laporan Pertengahan ) Kerekayasaan :
TD/GL/GNL/VI/2014
Technical Report Leader 1. WP Pengujian: TR01/L-01/GNL/03/2014
Technical Report Leader 1. WP Pengujian: TR02/L-01/GNL/06/2014
Technical Report Leader 2. WP Rancang Bangun Alat Tangkap: TR01/L02/GNL/03/2014
21
LAMPIRAN
Tabel 9.Ukuran panjang total. lingkar badan, berat perekor dan indeks
kematangan gonad
22
Tabel 9.(Lanjutan)
23
Tabel 9.( Lanjutan)
24
Tabel 9 (Lanjutan )
Sumber: Data diolah oleh Suparman (2014) dalam Laporan Teknis (TR)
25
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap IPB ke-6
Halaman: 26-36
ISBN 978-979-1225-34-2
ESTIMASI POTENSI LESTARI DENGAN MODEL SCHAEFER DAN
FOX SUMBERDAYA IKAN TERI DI PERAIRAN KABUPATEN
MALUKU TENGGARA
(Estimation Potency Sustainable ofSchaefer and Fox Model
AnchoviesResource in Southeast Maluku District Waters)
Eka Anto Supeni1 dan Jacomina Tahapary2
1
Program Studi Teknologi Penangkapan Ikan
2
Politeknik Perikanan Negeri Tual
Jl. Langgur - Sathean KM 6 Kabupaten Maluku Tenggara 97611
e-mail: [email protected]; [email protected]
ABSTRACT
Optimizing the utilization of resources in a region will largely depend on
the knowledge of the entire region about the potential of existing resources in the
region. Data resource potential of an area will be the reference of planning and
implementation of resource management policies. The purpose of this study is to
calculate or estimate the resource potential of sustainable anchovy and the
optimum number of efforts in the waters of Southeast Maluku District. The
research was conducted in 2014, with locations in the waters of Southeast Maluku
district. This research study desk approach to sources of information, where the
data used are periodic data (time series) of production (ton) and effort (trip).
Data were analyzed using the surplus production by Schaefer and Fox models.
The results showed that the analysis is more appropriate to use Schaefer model
with potential for sustainable anchovy at 956.74 ton with optimum effort of 13,702
trips. Resource utilization rate of anchovy in the waters of Southeast Maluku
District in 2012 was reached 48.18%.
Keywords: Estimation, sustainable potential, anchovies, Southeast Maluku
ABSTRAK
Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya di suatu wilayah akan sangat
tergantung pada pengetahuan tentang potensi sumberdaya yang ada di wilayah
tersebut. Data potensi sumberdaya suatu wilayah akan menjadi acuan perencanaan
dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan pengelolaan sumberdaya. Tujuan dari
penelitian ini adalah menghitung atau mengestimasi potensi lestari sumberdaya
ikan teri dan jumlah upaya optimumnya di perairan Kabupaten Maluku Tenggara.
Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2014, dengan lokasi di perairan Kabupaten
Maluku Tenggara.Penelitian ini menggunakan pendekatan desk study dalam
melakukan penelusuran sumber-sumber informasi, dimana data yang digunakan
adalah data berkala (time series) dari produksi (ton) dan upaya penangkapan
(trip). Data dianalisis menggunakan surplus produksi dengan model Schaefer dan
26
Fox. Hasil penelitian menunjukkan bahwa analisis lebih cocok menggunakan
model Schaefer dengan potensi lestari ikan teri sebesar 956,74 ton dengan upaya
optimum sebesar 13.702 trip penangkapan per tahun.Tingkat pemanfaatan dari
sumberdaya ikan teridi perairan Kabupaten Maluku Tenggara pada tahun 2012
adalah baru mencapai 48,18%.
Kata kunci:Estimasi, potensi lestari, ikan teri, Maluku Tenggara
PENDAHULUAN
Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya di suatu wilayah akan sangat
tergantung pada pengetahuan tentang potensi sumberdaya yang ada di wilayah
tersebut. Data potensi sumberdaya suatu wilayah akan menjadi acuan perencanaan
dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan pengelolaan sumberdaya. Sumberdaya ikan
merupakan salah satu sumberdaya alamyang perlu pengelolaan yang benar,
walaupun sumberdaya ikan dapat pulih (renewable resoursces).Pengelolaan
perikanan selain memberikan keuntungan, juga meninggalkan berbagai
permasalahan, seperti kelebihan penangkapan (overfishing) dan kerusakan habitat
(habitat destruction) (Ali, 2005).Selanjutnya dikatakan bahwa resiko ancaman
kelestarian ikan laut telah menjadi suatu masalah dan beberapa spesies
didokumentasikan mulai terancam.Spesies yang mempunyai penyebaran terbatas,
pertumbuhan lambat, kematangan lambat, fekunditas tahunannya rendah, tidak
menjaga turunannya, serta mengalami tekanan eksploitasi yang tinggi adalah
merupakan bagian yang sangat berisiko terhadap ancaman kepunahan.
Kabupaten Maluku Tenggara terletak antara 50–6,50 LS dan 1310–133,50
BT. Daerah ini di utara berbatasan dengan Pulau Irian bagian selatan, di selatan
dengan Laut Arafura, di sebelah barat dengan Laut Banda dan bagian utara
Kepulauan Tanimbar dan di timur dengan Kepulauan Aru. Perairan Maluku
Tenggara pada umumnya merupakan perairan yang dangkal. Perairan ini,
merupakan perairan yang kaya akan sumber daya hayati, khususnya ikan (pelagis,
demersal dan udang). Kabupaten Maluku Tenggara merupakan salah satu dari
wilayah Kabupaten dan Kota di Maluku yang berada di antara dua WPP yaitu
WPP 714 Laut Banda dengan potensi 284.400 ton/tahun dengan JTB 198.700
ton/tahun dan WPP 715 Laut Arafura dengan potensi 793.100 ton/tahun dengan
JTB sebesar 633.600 ton.
Potensi sumber daya perairan Maluku Tenggara melimpah, dengan volume
produksi dari kegiatan perikanan tangkap adalah 64.696,10 ton (DKP Kabupaten
Maluku Tenggara 2012). Jenis ikan pelagis kecil ekonomis penting yang dominan
tertangkap di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tenggara adalah layang,
kembung, selar, teri dan lemuru. Jenis-jenis ikan ini tersebar di perairan sekitar
Kepulauan Kei Kecil dan Kei Besar. Kelompok ikan pelagis kecil merupakan
kelompok yang memiliki keragaman jenis dan produksi lebih besar dibandingkan
dengan jenis ikan pelagis besar dan ikan karang.
27
Sampai saat ini penangkapan ikan teri di Kabupaten Maluku Tenggara
masih bersifat open access (terbuka bagi setiap nelayan) atau jumlah upaya atau
effort belum dikendalikan melalui aturan sistem perizinan. Salah satu faktor yang
perlu dimonitordalam pengelolaan suatu sumberdaya adalah input (upaya
penangkapannnya) sehingga sangat dibutuhkan data potensi dan input optimum
sumberdaya ikan. Tujuan penelitian ini adalah menghitung atau mengestimasi
potensi lestari sumberdaya ikan teri(Stolephurus sp.) dan jumlah upaya
optimumnya seta menghitung tingkat pengupayaan di perairan Kabupaten Maluku
Tenggara.
METODOLOGI
Penelitian ini dilakasanakan pada tahun 2014, dengan lokasi di perairan
Kabupaten Maluku Tenggara. Penelitian ini menggunakan pendekatan studi
pustaka (library study) dalam melakukan penelusuran sumber-sumber informasi,
dimana data yang digunakan merupakan data sekunder yaitu data berkala (time
series) dari produksi ikan teri (kg/ton) dan upaya penangkapan (unit/trip) tahun
2008 hingga 2013.
Potensi lestari sumberdaya ikan laut adalah jumlah maksimum yang dapat
ditangkap dari suatu perairan setiap tahun secara berkesinambungan.Model
produksi surplus sangat penting untuk menduga konsekuensi dari bentuk
pengelolaan dan dapat digunakan untuk membentuk dan memantau kebijakan
(Beattie et al. 2002).Froose dan Binohlan (2003) menyatakan bahwa ada beberapa
model produksi surplus yang dapat digunakan untuk menduga potensi
sumberdaya perikanan.Tujuan utama penggunaan model produksi surplus adalah
untuk menentukan tingkat upaya optimum yaitu suatu upaya yang dapat
menghasilkan suatu hasil tangkapan maksimum yang lestari tanpa mempengaruhi
produktivitas stok secara jangka panjang (Tinungki, 2005). Model produksi
surplus yang dibandingkan pada penelitian ini yaitu model Schaefer dan Fox.
Kemudian model yang paling sesuai dan cocok untuk diterapkan adalah model
yang memiliki koefisien determinasi (R2) paling besar, hal ini didukung oleh
pendapat Pindyck dan Rubnfield (1998) bahwa nilai determinasi lazim digunakan
untuk mengukur goodness of fit dari variabel tidak bebas dalam model, dimana
semakin besar nilai R2 menunjukkan bahwa model tersebut semakin baik.
Konsep produksi surplus berawal dari beberapa karya, antara lain dalam
karya-karya Russell dan Schaefer. Schaefer (1954) in Tserpes (2008)
menyebutkan bahwa salah satu cara untuk menduga stok didasarkan pada model
produksi surplus logistik. Dasar pemikirannya adalah bahwa peningkatan
(increment) populasi ikan akan diperoleh dari sejumlah ikan-ikan muda yang
dihasilkan setiap tahun, sedang penurunan dari populasi tersebut (decrement)
merupakan akibat dari mortalitas baik karena faktor alam maupun eksploitasi oleh
manusia. Oleh karena itu, populasi akan berada dalam keadaan ekuilibrium bila
increment sama dengan decrement. Kelimpahan ikan teri dapat diduga dengan
28
CPUE (Catch per Unit Effort). Nilai ini merupakan produksi per satuan usaha
penangkapan ikan teri(Stolephurus sp) di perairan Maluku Tenggara yang
dirumuskan sebagai berikut :
.............................................................................. (1)
Model Schaefer (1954)
Algoritma untuk menduga parameter r,q, dan K model Schaeffer (Tinungki 2005):
).............................................................. (2)
Bt adalah biomassa dari stok. Persamaan di atas belum memperhitungkan
pengaruh penangkapan sehingga Schaefer menulis kembali persamaan menjadi:
–
................................................................ (3)
Berdasarkan persamaan (3) tangkapan optimum dapat dihitung pada saat
=0
atau pada titik keseimbangan dimana Ct adalah hasil tangkapan dan Et adalah
upaya penangkapan:
............................................................. (4)
.............................................................................. (5)
dengan mensubtitusikan persamaan (4) ke persamaan (5) diperoleh:
....................................................................... (6)
persamaan (6) disederhanakan menjadi:
–
............................................................. (7)
......................................................................... (8)
keterangan:
= PUE ,
=
, = ά = K, = =
29
,
q adalah koefisien penangkapan, K adalah daya dukung lingkungan, r adalah laju
pertumbuhan alami.
Boer dan Aziz (1995) menyatakan bahwa persamaan matematika untuk model
Schaefer adalah:
Hubungan linier ini yang digunakan secara luas untuk menghitung dugaan fMSY
melalui penentuan turunan pertama dari:
......................................................................... (9)
................................................................................... (10)
sehingga diperoleh persamaan produksi maksimum lestari (MSY) yang diperoleh
dengan mensubtitusikan nilai effort optimum:
........................................................................... (11)
..................................................................... (12)
Model Fox (1970)
Fox menyatakan bahwa hubungan antara effort (Et) dan catch (Ct) adalah bentuk
eksponensial dengan kurva yang tidak simetris, hubungan antara Et dan CPUEt
(Tinungki 2005):
...................................................................... (13)
hubungan antara effort (Et) dengan catch (Ct):
................................................................................. (14)
........................................................
(15)
............................................................................
(16)
keterangan:
= n PUE ,
=
, = � = K, = =
30
,
q adalah koefisien penangkapan, K adalah daya dukung lingkungan, r adalah laju
pertumbuhan alami.
Upaya optimum (Eopt) diperoleh dengan cara menyamakan turunan pertama sama
dengan nol:
............................................... (17)
sehingga:
.......................................................................... (18)
Produksi maksimum lestari diperoleh dengan mensubtitusikan upaya optimum ke
dalam persamaan (19), sehingga:
........................................................ (19)
Tingkat Pengupayaan
Selanjutnya untuk mengetahui tingkat pengupayaan yang dilakukan terhadap
sumberdaya ikan teri di perairan Maluku Tenggara diperoleh dari rasio jumlah
upaya penangakapan pada tahun tertentu dengan nilai effort optimum (fMSY):
................................................................................
(20)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ikan teri merupakan salah satu jenis ikan ekonomis penting yang
dimanfaatkan oleh masyrakat nelayan Kabupaten Maluku Tenggara. Hasil
tangkapan ikan teri di perairan Kabupaten Maluku Tenggara yang didaratkan di
sentra-sentra perikanandiperoleh dari alat tangkap bagan. Produksi tertinggi tahun
2012 yakni sebesar 701,60 ton dan terendah tahun 2008 sebesar 614,00 ton. Usaha
penangkapan ikan teritermasuk skala kecil dengan operasi penangkapan one day
fishing.
Model produksi surplus bertujuan untuk menentukan tingkat upaya
optimum yag dapat menghasilkan suatu hasil tangkapan maksimum yang lestari
tanpa mempengaruhi produktivitas stok secara jangka panjang.Analisis terhadap
potensi lestari dan upaya optimum menggunakan model surplus produksi untuk
mengetahui seberapa besar pemanfaatan sumberdaya ikan teri di Perairan
Kabupaten Maluku Tenggara.Untuk menganalisis hasil tangkapan lestari (MSY)
di Maluku Tenggara menggunakan data time series produksi dan effort selama 6
tahun (2008 – 2013).
31
Potensi Lestaridan Effort Optimum
Potensi lestari (sustainable yield) merupakan hubungan antara hasil
tangkapan dengan upaya penangkapan dalam bentuk kuadratik, dimana tingkat
effort dan hasil tangkapan menggambarkan keberlanjutan sumberdaya. Apabila
produksi dipanen melampaui batas maksimum (MSY), maka diyakini bahwa
sumberdaya tersebut akan punah dan tidak dapat dimanfaatkan lagi. Tingkat
pemanenan terhadap suatu sumberdaya sangat ditentukan oleh upaya tangkapan
(effort). Produksi lestari (sustainable yield) dalam penelitian ini, diestimasi
dengan menggunakan pendekatan Surplus Production Model. Sedangkan produksi
aktual (actual yield) merupakan hasil tangkapan nelayan dalam satuan ton per
tahun yang tercatat (reported) pada wilayah perairan Kabupaten Maluku
Tenggara.
Tabel 1MSY dan effortoptimumsumberdaya ikan teri(Stolephurus sp) di
Kabupaten Maluku Tenggara.
Model
Effort Optimum
(trip)
Schaefer
13.702
Fox
Sumber : Data diolah, 2014.
35.287
MSY (ton)
TAC (ton)
956,74
1.129,29
765,392
903,432
Berdasarkan Tabel 1 di atas, dengan melakukan perhitungan dengan model
Schaefer dan Fox yang kemudian kesesuain model dengan melihat nilai R2 dari
kedua model diperoleh model yang paling cocok digunakan untuk mengestimasi
nilai MSY dan effort optimum sumberdaya ikan teri adalah model
Schaefer.Besarnya MSY atau potensi lesetari dari ikan teri (Stolephurus sp)
sebesar 956,74 ton per tahun dengan effort optimum 13.702trip penangkapan.
Oleh karena itu dalam analisis selanjutnya hanya digunakan model
Shaefer.Berdasarkan Tabel hasil tangkapan dan upaya penangkapan ikan
teri(Stolephurus sp) mengalami fluktuasi pada setiap tahunnya. Hasil tangkapan
ikan teri tertinggi terjadi pada tahun 2011 sebesar 701,60 ton. Upaya penangkapan
tertinggi terjadi pada tahun 2012 sebesar 6.601 trip.Grafik model produksi surplus
dengan pendekatan model Schaefer disajikan pada Gambar 1.
Menurut model Schaefer, untuk dapat memanfaatkan sumberdaya ikan teri
secara lestari di perairan Kabupaten Maluku Tenggara, maka potensi ikan yang
dapat ditangkap selama satu tahun maksimal 956,74 ton/tahun. Artinya hasil
tangkapan maksimum lestari atau MSY ikan teri di perairan Kabupaten Maluku
Tenggara sebesar 956,74 ton/tahun, dengan dugaan upaya penangkapan optimum
32
13.702 trip selama satu tahun dengan jumlah tangkapan ikan teri yang
diperbolehkan sebesar 765,392 ton/tahun.
Gambar 1 Grafik catch dan CPUE terhadap penambahan effort penangkapan
Grafik 1 di atas menunjukkan bahwa sumberdaya ikan teri(Stolephurus sp)
terbatas, terlihat bahwa dengan terjadinya peningkatan upaya penangkapan sampai
melewati titik optimum juga terjadi penurunan hasil tangkapan. Oleh karena itu
bila terjadi penambahan input maka CPUE (cacth per unit effort) semakin
menurun, ini berarti semakin banyak input maka semakin banyak yang membagi
sumberdaya yang terbatas. Untuk itu diperlukan pendekatan yang baik dalam
mengelola sumberdaya yang terbatas, yang berarti diperlukan pembatasan input
sesuai dengan input optimum sehingga diperoleh cacth yang optimal (MSY).
Analisis potensi sumber daya ikan teri(Stolephurus sp) menggunakan
model Schaefer atau model Fox. Berdasarkan nilai koefisien determinasi R2 yang
diperoleh, model Schaefer (77.27%) lebih tepat digunakan model Fox (76.80%).
Nilai upaya optimum (fMSY) dan Maximum Sustainable Yield (MSY) yang di
peroleh dari model Schaefer masing-masing sebesar 13.702 trip dan 956,74
ton.Hermawan (2006) menyatakan bahwa tujuan konsep MSY adalah pengelolaan
sumber daya alam yang sederhana yakni mempertimbangkan fakta bahwa
persediaan sumber daya biologis seperti ikan tidak dimanfaatkan terlalu berat,
karena akan menyebabkan hilangnya produktivitas.
Tahapary (2010) pernah melakukan pengukuran nilai potensi lestari dari
sumberdaya ikan teri di perairan Kabupaten Maluku Tenggara sebesar 1.101,16
ton per tahun dengan upaya optimum sebesar 16.330 trip penangkapan per tahun.
Penelitian yang dilakukan menggunakan data hasil tangkapan dan upaya
penangkapan dari tahun 2003 hingga 2008. Ini berarti potensi lestari sumberdaya
33
tersebut merupakan potensi dari Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Tual,
dimana pada tahun 2007 terjadi pemekaran wilayah di Kabupaten Maluku
Tenggara.
Menurut Fauzi (2004) bahwa setiap spesies ikan memiliki kemampuan
untuk berproduksi yang melebihi kapasitas produksi (surplus), sehingga apabila
surplus ini dipanen (tidak lebih dan tidak kurang), maka stok ikan mampu
bertahan secara berkesinambungan (sustainable). Senada dengan hal tersebut
Keraf (2002) menyatakan bahwa keberlanjutan ekologi dapat terjadi apabila
memiliki sasaran untuk mempertahankan dan melestarikan ekosistem dan seluruh
kekayaan dalam bentuk kehidupan di dalamnya. Dengan demikian ketersedian
stock yang baik, akan mendukung keberlanjutan dan sisi ekonomi dan sosial
(social and economics sustainable).
Secara konvensional, model pengelolaan sumberdaya perikanan dapat
dilakukan melalui pengaturan jumlah alat tangkap (input control), hasil tangkapan
(output control) atau ukuran teknis seperti pengaturan ukuran hasil tangkapan,
lokasi penangkapan dan musim penangkapan (Holland 2003).Titik acuan
(reference point) yang digunakan untuk pengaturan jumlah alat tangkap dan hasil
tangkapan adalah jumlah upaya optimum dan MSY.
Tingkat Pengupayaan
Berdasarkan nilai effort optimum dan effortaktual ikan teri di perairan
Kabupaten
Maluku
Tenggara
dapat
diketahui
bahwa
tingkat
pengupayaannyaberkisar antara40,29–48,18%. Selengkapnya tentang tingkat
pemanfaatan setiap tahunnya disajikan pada tabel berikut.
Tabel 2 Tingkat Pengupayaansumberdaya ikan teridi Kabupaten Maluku
Tenggara.
Tahun
Effort aktual (trip)
Fopt (trip)
Tingkat Pengupayaan (%)
2007
5.520
13.702
40,29
2008
6.060
13.702
44,23
2009
6.385
13.702
46,60
2010
6.169
13.702
45,02
2011
6.493
13.702
47,39
2012
6.601
Sumber : Data diolah, 2014
13.702
48,18
Berdasarkan hasil analisis tingkat pemanfaatan dari data effort aktual
dengan nilai effort optimum (fMSY) sumberdaya ikan teridi perairan Kabupaten
Maluku Tenggara pada tahun 2012 adalah baru mencapai 48,18%, dengan
demikian dapat dikatakan bahwa jenis ikan terimasih diusahakan atau telah
dimanfaatkan dibawah nilai potensi lesari maupun nilai effort optimumnya. Hal
ini berarti masih terbuka peluang pengembagan usaha perikanan teri melalui
34
penambahan upaya penangkapan (unit/trip) dan input teknologi sebagai upaya
peningkatan produksi di perairan Kabupaten Maluku Tenggara.
Pengelolaan perikanan ikan teri di perairan Kabupaten Maluku Tenggara
perlu adanya kerlibatan seluruh pihak terkait, seperti Pemerintah, Akademisi
(Perguruan Tinggi), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan Nelayan dengan
tetap memperhatikan keberlanjutan sumberdaya dari aspek biologi, ekologi,
ekonomi dan sosial budaya. Dahuriet al (2001) menyatakan bahwa pengelolaan
sumberdaya perikanan dapat ditempuh dengan pengelolaan berbasis komunitas,
dimana pembangunan berpusat pada masyarakat dan dilakukan secara terpadu
dangan memperhatikan aspek kebijakan ekonomi dan ekologi.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa:
1. Potensi lestari,maximum sustainable yield sumberdaya ikan teridi perairan
Kabupaten Maluku Tenggara adalah956,74 ton per tahun, dengan upaya
(effort) penangkapan optimum adalah 13.702trip per tahun.
2. Tingkatpengupayaan sumberdaya ikan teridi perairan Kabupaten Maluku
Tenggarayang masih dimanfaatkan dibawah potensi lestari dengan tingkat
pengupayaan sebesar 48,18%.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, S. A. 2005, Kondisi Sediaan dan Keragaman Populasi Ikan Terbang
(Hirundichtys oxychepalus Bleeker, 1852) di Laut Flores dan Selat
Makassar. [Disertasi]. Program Pascasarjana Unhas. 282 p.
Beattie A, Sumaila UR, Christensen V, Pauly D. 2002. A model for the
bioeconomic evaluation of marine protected area size and placement in the
North Sea.Natural Resource Modelling 15: 42 – 51.
Boer M, Aziz KA. 1995. Prinsip-prinsip Dasar Pengelolaan Sumberdata
Perikanan Melalui Pendekatan Bio-Ekonomi. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan
Perikanan Indonesia 3 (2): 109 – 119.
Dahuri, R., J.Rais., Ginting, S.P. Sitepu, M.J., 2001. Pengelolaan Sumberdaya
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramita, Jakarta.
[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tenggara. (2014).
Laporan Statistik Perikanan Kabupaten Maluku Tenggara 20082013.Maluku Tenggara.
Fauzi, A. (2004). Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. PT. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta. 259 hal.
Froose R, Binohlan C. 2003. Simple methods to obtain preliminary growth
estimates for fishes.Journal Applied Ichthyology 19: 376 – 379.
35
Hermawan M. (2006). Keberlanjutan Perikanan Tangkap Skala Kecil (Kasus
Perikanan Pantai di Serang dan Tegal). [Disertasi]. Bogor: Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 389 hal.
Holland DS. 2003.Integrating spatial management measures into traditional
fishery management system: the case of the Georges Bank multispecies
groundfish fishery. ICES Journal of Marine Science 60: 915 – 929.
Keraf, S. 2002. Etika Lingkungan. Kompas. Jakarta. Hal 187. 322 h.
Tserpes G. 2008. Estimates of the Mediterranean swordfish stock by means of a
non-equilibrium surplus production model approach. Hellenic Centre for
Marine Research 61(4): 1084-1087.
Pindyck RS, DL Rubinfield. 1998. Economics models and economics forecasts.
McGraw-Hill, 4th Edition.
Tahapary, J. 2010. Sistem Pengembangan Perikanan Pelagis Kecil di Perairan
Kabupaten Maluku Tenggara.[Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Tinungki GM. 2005. Evaluasi model produksi dalam menduga hasil tangkapan
maksimum lestari untuk menunjang kebijakan pengelolaan perikanan
lemuru di Selat Bali [Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
36
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap IPB ke-6
Halaman: 37-49
ISBN 978-979-1225-34-2
ANALISIS ALAT PENANGKAP IKAN PELAGIS KECIL
DI KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN
(Analysis on fishing gears for small pelagic fish species in Barru District,
South Sulawesi)
Najamuddin, Mahfud Palo, Mukti Zainuddin, M. Abduh Ibnu Hajar
email: [email protected]; [email protected]
ABSTRACT
Small pelagic fish’s resources had the biggest pretention compare to the other fish
species. This group mainly catched by purse seine fishing gear and lift net.
Competition among fishermen’s in catching fish causing enlarge their fishing
capacity, modified fishing gear and finally cause fish stock degradation. This
research conducted in Barru regency on June – September 2014 with purpose to
analyze the sustainability of fishing technology for catching small pelagic fishes.
Survey method applied toward fishing gears and boats in the fishermen area
basis. Technical data on fishing gear, boat and operation described descriptively
and compare with the standard value. Result of the study showed variation in
boat size from small to big size with main dimension ratio mainly out of the
standard criteria for purse seiner. The purse seine used smaller mesh size
compare to standard for skipjack fish target, smaller in net length and depth ratio,
and lower in net sinking speed. Moveable lift net used light power over 2000 watt
as standard. Fishing capacity for purse seine and moveable lift net is high and
low in selectivity made the small pelagic fisheries resources sustainability tend to
decrease.
Key words:purse seine,lift net, technical aspect, sustainability
ABSTRAK
Sumberdaya ikan pelagis kecil memiliki potensi yang paling besar dibandingkan
dengan kelompok ikan lainya.Kelompok ikan ini pada umumnya ditangkap
dengan purse seine dan bagan perahu.Persaingan antar nelayan dalam
mendapatkan hasil tangkapan menyebabkan persaingan dalam peningkatan
kapasitas tangkap, modifikasi alat tangkap dan pada akhirnya mengakibatkan
penurunan stok ikan.Penelitian dilakukan di Kabupaten Barru pada Juni –
September 2014 dengan tujuan menganalisis keberlanjutan teknologi
penangkapan ikan pelagis kecil.Metode survei digunakan terhadap alat dan kapal
penangkap ikan pada basis nelayan.Data teknis alat dan kapal serta teknik
pengoperasian alat tangkap disajikan secara deskriptif dan dibandingkan dengan
nilai standar.Hasil penelitian menunjukkan variasi kapal penangkap ikan mulai
dari ukuran kecil sampai besar dengan rasio ukuran utama pada umumnya belum
37
memenuhi standar kapal ikan sesuai jenis alat yang digunakan.Purse seine
menggunakan ukuran mata jarring yang lebih kecil dari standar untuk target ikan
cakalang, rasio panjang dan lebar jarring lebih kecil, kecepatan tenggelam
pemberat lebih rendah dari standar. Bagan perahu bermasalah pada kekuatan
lampu yang digunakan lebih besar dari 2000 watt, sementara bagan tancap sudah
memenuhi standar.Kapasitas tangkap purse seine dan bagan perahu relative besar
serta selektivitas yang rendah sehingga keberlanjutan sumberdaya ikan pelagis
kecil cenderung terancam.
Kata kunci:purse seine, bagan, aspek teknik, keberlanjutan ikan pelagis kecil.
PENDAHULUAN
Perikanan bertanggungjawab merupakan masalah internasional yang
seharusnya sudah diterapkan di lapangan (FAO, 1995).Pada prinsipnya kode
tersebut menggariskan kepada pemerintah untuk menjaga agar supaya
sumberdaya perikanan yang ada tetap lestari.Perhatian ke arah ini masih sangat
sedikit di lapangan. Kenyataan lapangan menunjukkan para pelaku eksploitasi
dengan bebas memodifikasi ukuran alat tangkap, termasuk ukuran mata jarring
(Najamuddin dkk., 2014; Muallilet. al., 2014). Akibatnya, ikan-ikan yang masih
kecil, yang secara pengelolaan belum layak tangkap, juga menjadi sasaran utama
eksploitasi.Tantangan utama pada negara berkembang adalah besarnya populasi
nelayan, kemiskinan dan kurangnya pekerjaan alternatif (Muallilet. al., 2014).
Keberlanjutan sumberdaya perikanan sudah merupakan tuntutan
internasional akibat sebahagian besar sumberdaya ikan sudah dalam kondisi
tekanan eksploitasi tinggi (FAO, 1995; Charles, 2001).Pemerintah Indonesia
melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan telah mencanangkankeberlanjutan
sumberdaya perikanan dan kesejahteraan masyarakatnya.Untuk itu, pengelolaan
dan pemanfaatan sumber daya ikan diarahkan bagi kepentingan bangsa dan negara
(pro poor, pro job, pro growth) dengan tetap memperhatikan prinsip kelestarian
sumber daya ikan dan lingkungannya sesuai dengan persyaratan yang telah diatur
dalam ketentuan internasional yang berlaku (KKP).
Sumberdaya ikan termasuk sumberdaya yang dapat pulih kembali
(renewable resources) akan tetapi bukan berarti tidak terbatas. Sedangkan
pengelolaan sumberdaya ikan sangat erat kaitannya dengan pemanfaatan dan
operasi penangkapan ikan.termasuk di dalamnya armada kapal dan alat penangkap
ikan.Untuk mengembangkan usaha perikanan tangkap, salah satunya adalah
dengan meningkatkan jumlah dan kualitas sarana perikanan tangkap, terutama
kapal perikanan (Najamuddin, 2014).
Informasi mengenai kapal perikanan di Indonesia saat ini, hanya sebatas data
jumlah kapal berdasarkan klasifikasi kapasitas (nilai gross tonnage, GT)
kapal.Disisi lain, informasi mengenai karakteristik teknis (dimensi utama, desain,
kelayakan pengoperasian dan lain lain) kapal perikanan dan spesifikasi
38
pengoperasiannya merupakan hal yang sangat penting untuk diketahui, baik bagi
pelaku
usaha
penangkapan
(nelayan,
pemilik
usaha,
unit
penangkapan/industri)maupun bagi penentu kebijakan.Informasi tersebut
dibutuhkan bagi perencanaan pembangunan kapal perikanan sehingga
pembangunan kapal yang dilakukan memiliki kesesuaian dengan alat tangkap
yang dioperasikan dan kondisi daerah pengoperasian kapal tersebut.Dengan
demikian, keberhasilan operasi penangkapan yang dilakukan dapat terjamin dan
resiko kecelakaan di laut dapat diminimalisir (Najamuddinet. al., 2014).
Ikan-ikan pelagis kecil pada umumnya ditangkap dengan alat purse seine,
dan bagan (Najamuddin, 2014) . Deskripsi umum alat-alat tersebut sudah
diketahui dengan baik, namun secara detail masih sangat sedikit informasinya,
serta kondisi lapangan menunjukkan banyak variasi antara satu tempat dengan
tempat lainnya. Penelitian tentang rancangbangun alat tangkap ikan kelihatannya
kurang diminati para peneliti, antara lain disebabkan biaya peneltian yang relatif
besar, kurang fasilitas laboratorium, dan penyandang dana tingkat nasional kurang
memprioritaskan pada aspek ini. Padahal aspek rancangbangun alat tangkap
merupakan salah satu faktor penentu dalam perikanan bertanggungjawab dan
berkelanjutan (Najamuddin, 2012).
Untuk menjawab permasalahan tersebut di atas, dilakukan pendekatan survei
dengan mengambil sampel alat tangkap dan ikan-ikan hasil tangkapan yang
mewakili kemudian dilakukan pengamatan secara detail terhadap seluruh
komponen unit penangkapan ikan yang menangkap ikan pelagis kecil. Adapun
tujuan penelitian dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi kapal dan alat
penangkapan ikan pelagis kecil, dan menganalisis spesifikasi teknis kapal dan alat
penangkapan ikan pelagis kecil.
METODOLOGI
Penelitian menerapkan metode survai terhadap alat penangkap ikan pelagis
kecil di Kabupaten Barru dilaksanakan pada bulan Juni – September 2014.Lokasi
sampel berbasis kecamatan dengan jumlah sampel mewakili populasi.Pengamatan
terhadap materi penelitian berupa kapal dan alat penangkap ikan dilakukan pada
sentra pengoperasian unit penangkapan ikan di Kabupaten Barru.Lokasi penelitian
disajikan pada Gambar 1.
Pengolahan dan analisis data yang diperoleh di lapangan dilakukan di
Laboratorium Rancang Bangun Alat Tangkap dan Kapal Perikanan dan
Laboratorium Sistem Informasi Perikanan Tangkap Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan Universitas Hasanuddin, Makassar.
Materi dalam penelitian yang digunakan sebagai sampel pengamatan
adalah kapal dan alat penangkapan yang dioperasikan di perairan Selat Makassar
pada masing-masing lokasi pengambilan data.Peralatan yang digunakan dalam
meliputi GPS, roll meter, jangka sorong, kamera dan kuesioner.
39
Gambar 1. Lokasi Penelitian
Pengumpulan data dilakukan dengan mengidentifikasi kapal dan alat
penangkapan yang menjadi obyek penelitian pada beberapabasis penangkapan
ikan.Melakukan pengambilan contoh sekitar 30% dari populasi. Selajutnya
mengamati obyek penelitian meliputi :alat penangkap ikan (dimensi detail,
rancangbangun, teknik pengoperasian, jenis-jenis ikan hasil tangkapan) kapal
(dimensi ukuran utama, rancangan umum kapal, kelayakan kapal).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Distribusi Jenis Alat dan Kapal Penangkap Ikan
Distribusi alat dan kapal penangkap ikan di masing-masing daerah
disajikan pada Gambar 2.
35
30
25
20
15
10
5
0
Purse Seine
Bagan Perahu
Gambar 2. Distribusi jenis alat penangkap ikan berdasarkan kecamatan
40
Gambar 2 memberikan gambaranbagan perahu merupakan alat
penangkapan ikan yang paling banyak digunakan masyarakat pada tiga kecamatan
sementara purse seine hanya dominan pada satu kecamatan.Bagan tancap hanya
ada beberapa unit saja.
Spesifikasi Purse seine
Purse seinemerupakan salah satu jenis alat tangkap untuk ikan-ikan
pelagis.Prinsipkerjaalatiniadalahmelingkari
gerombolanikandenganjarring
tersebut membentukdindingvertikal,dengan demikian gerakikansecara horisontal
dapatdihalangi,sedangbagianbawahjaringdikerucutkanuntukmencegah
gerak
ikanke arahbawah.
Purse seinedisebutjuga“pukatcincin” karena alattangkapinidilengkapi
dengancincinuntukmana“talicincin”atau“talikerut”dilalukandidalamnya. Fungsi
cincin dan
tali kerut/tali
kolor ini penting terutama pada waktu
pengoperasianjaring.Sebabdenganadanyatali
keruttersebutjaringyangtadinya
tidakberkantong akanterbentukpadatiapakhir penangkapan.
Satuunitpurse
seine
terdiridari
jaring,
kapaldanalatbantu(roller,lampu,echosounderdan
sebagainya).Padagarisbesarnyajaringpurseseineterdiri
darikantong(bag),badan
pemberat(sinker),talipenarik(purseline),talicincin (pursering)dan selvage.
Data penelitian menunjukkan besarnya variasi ukuran kapal terutama
antara wilayah kecamatan.Analisis rasio ukuran kapal (L/B, L/D dan B/D) secara
umum menunjukkan nilai rasio dimensi kapal yang lebih besar dari standar
(Nomura and Yamazaki, 1977).Hal ini menunjukan bahwa dimensi panjang
kapal cenderung lebih panjang, sedangkan dimensi lainnya (B dan D) cenderung
lebih kecil dari yang semestinya. Kondisi kapal yang demikian akan berdampak
buruk pada stabilitas kapal akan tetapi mengurangi tahanan memanjang kapal
sehingga meningkatkan kecepatan.
Ukuran mata jarring pada purse seine dengan target ikan cakalang
bervariasi antara 1 – 2 inci. Sementara menurut Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor 18 tahun 2013 dinyatakan bahwa purse seine untuk ikan pelgis
besar menggunakan mata jarring >= 3 inci. Oleh karena itu purse seine dengan
target ikan cakalang melanggar peraturan Menteri tersebut di atas. Sedangkan
purse seinedengan target ikan pelagis kecil dengan ukuran mata jarring 1 inci
sudah memenuhi aturan yang ada.
41
PURSE SEINE
Jenis Alat Pukat Cincin
Jenis Ikan Ikan Cakalang
Lokasi
Siddo
KAPAL
LxBxD
Tanase
Mesin
Crew
22,0 x 4,5 x 1,2 m
23 GT
30 PK
10 - 15 orang
8#; 27 cm
3600#
210D/9 2 i nch
1000#
1000#
600 PE Ø 9 mm
600 PE Ø 9 mm
210D/9 2 i nch
210D/9 2 i nch
H = 0. 65
210D/9 2 i nch
650 PE Ø 6 mm
650 PE Ø 6 mm
87#; 325 cm
700 PE Ø 17 mm
186 PB 2000 g
Gambar 3. Disain pukat cincin untuk ikan cakalang
42
210D/9 2 i nch
Gambar 4. Disain pukat cincin untuk ikan kembung dan layang
Lampu dan rumpon sebagai alat bantu
Pada umumnya nelayan masih menggunakan lampu pertomax sebagai
sumber cahaya pemikat ikan. Lampu yang digunakan pada 1 unit perahu lampu
berkisar antara 6-12 buah. Unit lampu yang digunakan dalam 1 unit purse seine
berkisar antara 2-4 unit, tergantung dari kemungkinan pelingkaran jaring.
Nelayan di Barru pada umumnya menggunakan kombinasi antara rumpon
dan lampu. Pada operasi siang hari kadang-kadang menggunakan rumpon atau
mengejar gerombolan ikan. Pada malam hari, biasanya menggunakan kombinasi
antara rumpon dan lampu, atau lampu di pasang dekat rumpon.
Jumlah rumpon yang dimiliki disesuaikan dengan jumlah unit lampu yang
akan digunakan. Rumpon yang digunakan setiap unit penangkapan purse seine
sebanyak 2-4 unit.
Konstruksi rumpon di Barru jauh berbeda dengan rumpon di daerah
Pinrang. Sebagai pelampung digunakan 1 buah gabus (stiroform) berbentuk
drum. Dari pelampung ini diikatkan daun kelapa sebanyak 7-9 lembar, sebagai
tempat berlindung bagi ikan-ikan yang diharapkan berkumpul.
43
Untuk mempertahankan rumpon pada posisinya, digunakan jangkar
dengan berat sekitar 10-20 kg. Tali jangkar terbuat dari bahan PE diameter 20
mm dengan panjang disesuaikan kedalaman perairan, sekitar 500 m.
Keberadaan rumpon sangat membantu nelayan dalam mengumpulkan
ikan, terutama pada siang hari.
Pada malam hari biasanya rumpon
dikombinasikan dengan lampu, cukup efektif sebagai daerah penangkapan ikan.
Permasalahan lapangan menunjukkan penempatan rumpon tidak ditata dengan
baik sehingga kadang-kadang menimbulkan konflik antar nelayan.
Menurut
Permen Kelautan & Perikanan NOMOR 26/PERMEN-KP/2014 tentang Rumpon
Pasal 7 ayat 1 Setiap orang yang melakukan pemasangan rumpon di WPP-NRI
wajib memiliki SIPR (surat izin pemasangan rumpon). Pasal 12 ayat 1 d, jarak
antar rumpon >=10 mil. Merujuk pada permen tersebut, maka rumpon yang ada
di lapangan sebahagian besar tidak memenuhi ketentuan yang ada, terkait dengan
izin dan jarak antar rumpon.
Gambar 5. Kapal purse seine
Spesifikasi Bagan
Bagan merupakan alat penangkap ikan pelagis kecil yang sangat efektif
dan tidak selektif, mampu menangkap ikan dari ukuran sangat kecil sampai ikan
besar.Di lokasi penelitian terdapat dua jenis bagan, yaitu bagan tancap dan bagan
perahu.Namun keberadaan bagan tancap sudah sangat sedikit akibat terdesak oleh
keberadaan bagan rambo.
Untuk konstruksinya sendiri bagan tidak memiliki permasalahan berarti
terhadap ekosistem. Hanya keberadaan bagan seringkali mengganggu alur
pelayaran kapal yang akan melakukan operasi penangkapan. Perikanan bagan saat
ini belum teratur dalam pelaksaannya. Posisi yang berdekatan serta berada
disekitar perairan pantai menyebabkan nelayan lain yang memiliki armada kecil
dan sulit untuk melakukan penangkapan yang lebih jauh akan kesulitan. Perlu ada
pengaturan jarak atau lokasi yang memang diperbolehkan untuk bagan. Hal ini
44
terkait dengan kondisi nelayan yang memang memiliki pengetahuan yang rendah
dalam hal selektivitas.
Nelayan di Indonesia tidak memiliki pelatihan sebelumnya, siapa saja bisa
menjadi nelayan. Berbeda dengan nelayan yang berada di luar negeri khususnya
di Uni Eropa dimana orang yang akan menjadi nelayan harus mengikuti kursus
(short course) sehingga mempunyai keahlian dan kesadaran dalam menjaga
lingkungan. Tidak hanya dalam melakukan operasi penangkapan ikan, kesadaran
nelayan juga rendah pada saat melakukan penanganan ikan hasil tangkapan di atas
bagan.
Jaring pada bagan rambo berbentuk seperti kelambu terbalik. Terbuat dari
bahan waring berwarna hitam (polypropylene) dengan ukuran mata jaring 0,5
cm. Pada bagian tepi jaring dipasang tali ris sebagai penguat pinggiran jaring
dengan diameter 1 cm yang terbuat dari bahan polyethylene. Ukuran panjang dan
lebar jaring pada bagan rambo masing-masing 20-30m x 20-30 m dengan dalam
15-18 m. Pada setiap sudut bingkai jaring dipasang batu yang beratnya 15-20 kg
yang dihubungkan dengan roller untuk menahan agar jaring tidak terbawa arus.
Agar jaring dapat berbentuk sebagai kerangka dan mulut jaring tetap
terbuka pada saat operasi penangkapan, maka bagian tepi jaring dipasang bingkai
dari kayu bakau (Rhisopora sp) dengan panjang 6 - 7 m dengan diameter
berukuran 7,5 cm. Kayu ini disambung satu dengan yang lainnya sesuai dengan
panjang dan lebar mulut jaring. Pada bingkai tersebut dipasang jaring dan tali
penggantung yang dihubungkan ke roller jaring. Dalam satu unit bagan rambo
luas jaring yang digunakan berkisar antara 3500 – 4000 m2.
Perahu pada bagan rambo dapat dibagi atas 2 jenis, yaitu perahu utama
(main boat) berfungsi sebagai penopang utama bangunan bagan dan perahu
pengantar (towing boat). Perahu utama berbentuk pipih memanjang dengan
dimensi L x B x D, 20-29,0 m x 2-2,5 m x 1,5-2,5 m, dimana bentuk haluan dan
buritan sama. Perahu ini sebenarnya berfungsi sebagai pengapung bangunan
bagan yang ada di atasnya. Dari fungsi tersebut, maka perahu bagan tidak bisa
dievaluasi seperti halnya kapal penangkap ikan pada umumnya. Jenis kayu yang
digunakan antara lain adalah kayu bayang (Intsia bijuga) dan kayu meranti
(Shorea spp). Perahu ini dilengkapi dengan jangkar beton dengan ukuran panjang
2 m dan berat kurang lebih 200 kg atau jangkar besi dengan berat sekitar 50 kg.
Perahu ini tidak memiliki ruang kemudi karena tidak dilengkapi dengan alat
penggerak sendiri berupa mesin atau layar.
Perpindahan bagan dari satu fishing ground ke fishing ground lainnya
digunakan perahu penarik (towing boat). Perahu ini juga berfungsi sebagai
pengangkut hasil tangkapan dan mengantar jemput nelayan dan perlengkapan
yang diperlukan untuk operasional bagan rambo dari fishing base ke fishing
ground dan sebaliknya, setiap hari. Dimensi utama dari kapal ini Lx B x D
masing-masing 17-18,5 x 1,5-1,85 x 0,85-1 m. Digerakkan dengan 2 mesin
45
penggerak berkekuatan 30 HP, menggunakan bahan bakar solar.Kecepatan kapal
maksimum mencapai 9 knot, pada saat tidak menarik bagan.
Jenis lampu yang digunakan pada alat tangkap bagan rambo adalah lampu
merkuri. Di Perairan Barru Selat Makassar, daya lampu yang digunakan oleh
bagan rambo berkisar 14 – 20 kW. Jumlah watt serta warna setiap lampunya
berbeda-beda bergantung fungsinya, tetapi kisarannya antara 250 sampai 500 W
dengan menggunakan warna kuning dan putih. Dua buah lampu intensitas
masing-masing 400 W warna putih dipasang setinggi 6 m pada tiang kapal
menghadap ke depan dan ke belakang perahu. Sepuluh buah lampu berwarna
putih intensitas masing-masing 400 W dipasang pada bagian terluar dari rangka
bagan dengan ketinggian 4 m dari permukaan air.Semua jenis lampu ini berfungsi
untuk menarik gerombolan ikan pada jarak yang jauh.Empat puluh buah lampu
mempunyai intensitas masing-masing 250 W, 10 buah diantaranya berwarna
kuning dipasang pada bagian bawah rangka bagan berfungsi untuk menarik dan
menggiring menuju catchable area. Empat buah lampu masing-masing 2 buah
berkekuatan 500 W dan 2 buah berkekuatan 300 W berfungsi sebagai lampu
untuk mengkonsentrasikan ikan pada catchable area. Setiap bola lampu
dilengkapi dengan reflektor yang terbuat dari wajan (aluminium) dengan diameter
30 cm. Dengan demikian total jumlah lampu yang digunakan bagan ini adalah
16,4 kW.
Gambar 6. Kapal bagan rambo
Menurut Permen Kelautan dan Perikanan Nomor 18 tahun 2013 ukuran
bagan perahu P ≤ 30 m, L ≤ 30 m, ukuran mata jarring ≥ 1mm, kekuatan lampu ≤
2000 watt. Merujuk pada permen tersebut, beberapa bagan perahu berpotensi
melanggar ukuran bagan lebih besar dari 30 m dan umumnya kekuatan lampu
jauh lebih besar dari yang dipersyaratkan (≥ 2000 watt).Kondisi bagan perahu
tersebut menyebabkan sumberdaya ikan pelagis kecil semakin berkurang yang
diindikasikan oleh semakin berkurangnya jumlah bagan perahu.
46
Perikanan Berkelanjutan
Perikanan berkelanjutan merupakan target utama dalam pengelolaan
sumberdaya perikanan akibat semakin menurunnya sumberdaya (Catchpoleand
Revill, 2007, FAO, 2010). Untuk itu alat penangkap ikan yang digunakan harus
dapat menunjang perikanan berkelanjutan antara lain selektif. Terutama dapat
meloloskan ikan-ikan yang belum layak tangkap. Dalam hubungannya dengan
selektivitas, bagan tidak memenuhi kriteria, sementara purse seine dengan ukuran
mata jaring 1 inci selektivitasnya masih rendah. Purse seine dengan mesh size 2
inci untuk ikan cakalang juga masih banyak menangkap ikan-ikan cakalang muda.
Akibatnya, jumlah ikan hasil tangkapan nelayan cenderung berkurang dari waktu
ke waktu, sehingga nelayan melakukan upaya memperjauh daerah penangkapan
ikan. Upaya lain yang dilakukan nelayan dengan memperpanjang ukuran jaring
sehingga daya tangkapnya meningkat. Menurut aturan yang ada, ukuran mata
jaring untuk purse seine ikan pelagis kecil maupun untuk bagan sudah sesuai,
tetapi purse seine untuk ikan cakalang sebagian tidak memenuhi aturan.
Upaya yang dilakukan nelayan untuk meningkatkan daya tangkap ikan
secara umum cenderung dilakukan (Catchpoleand Revill, 2007; Demirciet. al.,
2008; Najamuddin 2014).Tujuan nelayan hanya pertimbangan ekonomi tetapi
bukan pada keberlanjutan sumberdaya ikan.Perbaikan selektivitas alat penangkap
ikan merupakan salah satu alternative dalam mempertahankan keberlanjutan
sumberdaya ikan.Namun beberapa hasil penelitian masih meragukan
keberlanjutan sumberdaya ikan melalui selektivitas akibat adanya kecenderungan
ikan-ikan stress setelah terlepas dari jaring (Herrmann, 2005a, b, c; Herrmannet.
al., 2009; Gopakumar, 2002; Halliday and Pinhorn, 2002; Kingdom and Kwen,
2009). Lebih lanjut Kingdom and Kwen(2009) menambahkan pengaturan
selektivitas tidak dapat menjamin keberlanjutan sumberdaya ikan sehingga perlu
diiringi dengan upaya konservasi.
Permasalahan multi spesies merupakan kendala utama dalam penerapan
selektivitas alat penangkap ikan di Indonesia. Pada kasus ikan pelagis kecil di
lokasi penelitian, jenis ikan dominan meliputi ikan kembung, ikan layang, ikan
selar, ikan tembang, dimana ukuran ikan dewasa tidak sama sehingga sulit dalam
menentukan ukuran mata jaring minimum. Oleh karena itu diperlukan upaya lain
seperti konservasi untuk mempertahankan keberlanjutan sumberdaya ikan.
KESIMPULAN
1. Variasi kapal penangkap ikan mulai dari ukuran kecil sampai besar
denganrasio ukuran utama pada umumnya belum memenuhi standar kapal
ikan dan jenis alat penangkap ikan yang digunakan.
2. Variasi alat penangkap ikan pelagis meliputi :purse seine, bagan perahu,
bagan tancap.
47
3. Alat tangkap ikan pelagis kecil belum dapat menjamin keberlanjutan
sumberdaya ikan.
SARAN
Pemerintah daerah perlu mengambil langkah tegas dalam meningkatkan
pengawasan terhadap alat penangkap ikan yang tidak sesuai aturan.
DAFTAR PUSTAKA
Catchpole, T.L.,and Revill, Æ A. S., 2007. Gear technology in Nephrops trawl
fisheries. Rev Fish Biol Fisheries :DOI 10.1007/s11160-007-9061-y.
Charles, A.T. 2001. Sustainable Fishery Systems. Blackwell Science. London.
370 p.
Demirci, A., Tosunoglu, Z and Demirci, S. 2008. A study on shrimp trawl
designs and modifications in Iskenderun bay (Turkey). Journal of
FisheriesSciences.com. 2(5): 666-671.
FAO. 1995. Code of Conduct for Responsible Fisheries. FAO Fisheries
Department.24 p. (Online) (http://fao/fisheries/code, diakses 9 Juli 2002).
FAO, 2010.The state of the world fisheries and aquaculture 2010.FAO Fisheries
and Aquaculture Department. Rome.
Gopakumar, K, 2002. Current State of Over Fishing and Its Impact on
Sustainable Fisheries Management in The Asia-Pacific Region. In
Sustainable Fishery Management in Asia. Asian Productivity
Organisation. Tokyo. P 37-57.
Halliday, R.G., and Pinhorn, A.T. 2002. A review of the scientific and technical
bases for policies on thecapture of small fish in North Atlantic groundfish
fisheries.Fisheries Research 57 211–222
Herrmann, B., Krag, L.A., Frandsen, R.P., Madsen, N., Lundgren, B., Stæhr,
K.J.. 2009. Prediction of selectivity from morphological conditions:
Methodology and a casestudy on cod (Gadus morhua)Fish. Res. 97 : 59–
71.
Herrmann, B., 2005a. Effect of catch size and shape on the selectivity of
diamondmesh cod-ends. I. Model development. Fisheries Research 71, 1–
13.
Herrmann, B., 2005b. Modelling and simulation of size selectivity in diamond
meshtrawl cod-ends. PhD. Thesis. Aalborg University, Denmark, ISBN
87-91200-50-4.
Herrmann, B., 2005c. Effect of catch size and shape on the selectivity of
diamondmesh cod-ends. II. Theoretical study of haddock selection.
Fisheries Research 71,15–26.
48
Iskandar, B.H dan Pujiyati, S. 1995. Keragaan Teknis Kapal Perikanan di
Beberapa Wilayah Indonesia. Laporan Proyek Operasi dan Perawatan
Fasilitas (OPF)-IPB 1994/1995. Jurusan PSP IPB. Bogor.
Kingdom, T and Kwen, K. 2009. Survey of Fishing Gear and Methods in the
Lower Taylor Creek Area, Bayelsa State, Nigeria. World Journal of Fish
and Marine Sciences 1 (4): 313-319.
Muallil, R. N.,Mamauag,S.S.,Cabral, R.B., Celeste-Dizon, E.O., and Aliño, P.M.,
2014. Status, trends and challenges in the sustainability of small-scale
fisheries in the Philippines: Insights from FISHDA (Fishing Industries'
Support in Handling Decisions Application) model. Marine Policy, Vol
44, 212–221.
Najamuddin dan Budimawan, 2004.Pendugaan Ukuran Pertama Kali Matang
Gonad Ikan Layang Decapterus Russelli Dalam Menunjang Perikanan
Yang Bertanggung Jawab Di Perairan Selat Makassar.Torani, Vol. 14(3):
133–140.
Najamuddin, 2005.Modification of Payang Design for Sustainable Catch of Scad
Fisheries in South Sulawesi.Torani, Vol. 15(5): 336–343.
Najamuddin, 2012. Rancang Bangun Alat Penangkapan Ikan. Arus Timur,
Makassar.
Najamuddin, 2014. Pemanfaatan Ikan Layang (Decapterus spp.) Berkelanjutan di
Perairan Selat Makassar. PT. Penerbit IPB Press.
Najamuddin, Mukti, Z., Mahfud, P. dan Hajar, M.A. 2014. Pembuatan Database
Alat Dan Kapal Penangkap Ikan Dalam Menunjang Keberlanjutan
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Laporan Penelitian BOPTN. Unhas.
Tidak Dipublikasikan.
Nomura, M. and Yamazaki, T. 1977. Fishing Techniques 1. Japan International
Cooperation Agency. Tokyo
Permen Kelautan dan Perikanan Nomor 18/ PERMEN-KP/2013 Tentang
Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor
Per.02/Men/2011 Tentang Jalur Penangkapan Ikan Dan Penempatan Alat
Penangkapan Ikan Dan Alat Bantu Penangkapan Ikan Di Wilayah
Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
Permen Kelautan dan Perikanan Nomor 26/PERMEN-KP/2014 tentang Rumpon.
49
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap IPB ke-6
Halaman: 50-65
ISBN 978-979-1225-34-2
ANALISIS HASIL TANGKAPAN UDANG DI LAUT ARAFURA
(Analysis of Shrimp Catch in the Arafura Sea)
Rian Juanda1), Mulyono Sumitro Baskoro2), Sulaeman Martasuganda2)
1
Mahasiswa Sekolah Pascasarjana IPB, Jurusan Teknologi Perikanan Laut
2
Staf Pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB
ABSTRACT
The assessment of shrimp resource existence needs to be known in order to
manage the shrimp resource in the Arafura Sea which are sustained and
controlled to avoid a decline in the shrimp population (Hargiyatno et al.
2013).According to Priatna et al. (2014) the availability of data and information
that are accurate and reliable, particularly related to the stock status of fishery
resources that will be utilized, become one of the requirement that need for the
fisheries resources management properly.The objective of this study was to
determine the overall shrimp catches, analyze the difference of shrimp catches
based on hauling time, ascertain the length frequency of tiger shrimp that caught,
and calculate the rate and density of shrimp stock that caught in the Arafura Sea
waters. This research performed with direct observation using swept area
methods, and analyzed by descriptive and statistical.The study was conducted in
the Arafura Sea from July 2 to 15, 2013 and the data taken as much as 124
hauling. Six types of shrimp that caught were Black tiger shrimp (Penaeus
monodon), White shrimp (Penaeus merguiensis), Krosok (Metapenaeopsis
novaeguineae), Dogol (Metapenaeus endeavor), Red shrimp (Solenocera
depressa), and Uchiwa (Thenus orientalis).The catch rate of black tiger shrimp
was 22.30 kg/hauling or 11.45 kg/h with stock density of 75.44 kg/km2. The rate of
catching white shrimp at 2.09 kg/hauling or 1.08 kg/h with a stock density of 7.09
kg/km2. The catch rate of krosok shrimp was 1.29 kg/hauling or 0.66 kg/h with a
stock density of 4.38 kg/km2, and for dogol shrimp, the catch rate at 1.16
kg/hauling or 0.60 kg/h with stock density 3.93 kg/km2. The rate of red shrimp
catch at 0.50 kg/hauling or 0.26 kg/h with stock density of 1.70 kg/km2, while the
uchiwa shrimp catch rate was 0.010 kg/hauling or 0.005 kg/h with a density of
stock 0.032 kg/km2.Around 81.41% of the entire composition of the catch shrimp
dominated by black tiger shrimp. Based on the average amount of catches, black
tiger shrimp catch increased during the daytime with the average length 19.38
cm, but there was no significant difference between the catch during the daytime
and at night.
Keywords:analysis, Arafura, catch, shrimp
50
ABSTRAK
Pengkajian keberadaan sumberdaya udang perlu diketahui guna pengelolaan
sumberdaya udang di laut Arafura yang berkelanjutan dan terkontrol agar tidak
terjadinya penurunan populasi udang (Hargiyatno et al. 2013). Menurut Priatna et
al. (2014) salah satu persyaratan agar pengelolaan sumberdaya perikanan dapat
berjalan dengan baik dan benar adalah dengan adanya ketersedian data dan
informasi yang akurat dan dapat dipercaya, khususnya terkait status stok
sumberdaya perikanan yang akan dimanfaatkan.Penelitian ini dilakukan dengan
tujuan untuk mengetahui hasil tangkapan udang secara keseluruhan, menganalisa
perbedaan hasil tangkapan udang berdasarkan waktu hauling, mengetahui
frekuensi panjang udang windu yang tertangkap, serta menghitung laju tangkap
dan kepadatan stok udang di daerah penangkapan pukat udang, khususnya
perairan Laut Arafura.Penelitian ini melalui observasi langsung, dengan
menggunakan metode luas sapuan (swept area), dan dianalisis secara deskriptif
dan statistik (uji t).Berdasarkan penelitian hasil tangkapan udang yang dilakukan
selama 124 kali hauling di laut Arafura, dari tanggal 02 Juli 2013 sampai 15 Juli
2013 ada enam jenis udang yang ditangkap di laut Arafura, yaitu udang Windu
(Penaeus monodon), Putih (Penaeus merguiensis), Krosok (Metapenaeopsis
novaeguineae), Dogol (Metapenaeus endeavour), Merah (Solenocera depressa),
dan Kipas (Thenus orientalis). Dengan laju tangkap udang windu sebesar 22,30
kg/hauling atau 11,45 kg/jam dengan kepadatan stok 75,44 kg/km2. Laju tangkap
udang putih sebesar 2,09 kg/hauling atau 1,08 kg/jam dengan kepadatan stok 7,09
kg/km2. Laju tangkap udang krosok sebesar 1,29 kg/hauling atau 0,66 kg/jam
dengan kepadatan stok 4,38 kg/km2, Laju tangkap udang dogol sebesar 1,16
kg/hauling atau 0,60 kg/jam dengan kepadatan stok 3,93 kg/km2, Laju tangkap
udang merah sebesar 0,50 kg/hauling atau 0,26 kg/jam dengan kepadatan stok
1,70 kg/km2, sedangkan laju tangkap udang kipas sebesar 0,010 kg/hauling atau
0,005 kg/jam dengan kepadatan stok 0,032 kg/km2,Udang windu yang tertangkap
di laut Arafura mendominasi dengan komposisi 81,41% dari seluruh hasil
tangkapan udang, Berdasarkan jumlah rata-rata hasil tangkapan udang yang
ditangkap, udang windu lebih banyak tertangkap pada siang hari, dan memiliki
ukuran panjang rata-rata 19,38 cm, namun berdasarkan uji statistik, tidak ada
perbedaan signifikan antara hasil tangkapan pada siang hari dan malam hari.
Kata kunci: analisis, Arafura, tangkapan, udang
PENDAHULUAN
Laut Arafura merupakan perairan yang dikenal memiliki potensi udang dan
ikan demersal yang tinggi yang dipengaruhi oleh karakteristik ekosistemnya yang
merupakan habitat dari udang dan juvenile ikan seperti substrat dasar umumnya
51
lumpur atau lumpur berpasir, luasan mangrove yang luas dan kontur perairan yang
relatif landai.Banyaknya sungai-sungai yang bermuara di laut Arafura serta
keberadaan hutan mangrove di sepanjang pantai yang masih terjaga dengan baik
telah menjadi penopang utama kesuburan perairan ini (Purbayanto dan Sondita
2006).Dengan kondisi perairan yang mendukung operasi penangkapan ikan,
potensi udang dan ikan demersal yang tinggi, laut Arafura banyak dioperasikan
alat tangkap pukat udang (trawl).Produksi ikan dan udang dari laut Arafura
memiliki kontribusi yang besar bagi pemasukan negara di bidang perikanan,
selain itu udang merupakan salah satu komoditi penting pada sektor kesehatan,
karena memiliki nilai gizi dan sumber protein yang tinggi untuk dikonsumsi.
Dari hasil kajian akhir-akhir ini diketahui bahwa di laut Arafura telah
terlihat gejala-gejala sumber daya ikan telah menurun dan dalam kondisi berlebih
(Prasetyo 2012), berdasarkan kajian DKP dengan LIPI (Purbayanto 2009)
mengungkapkan bahwa potensi sumberdaya ikan demersal di wilayah Arafura
sebesar 202340 ton/tahun dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB)
dan tingkat produksi sebesar 161870 ton/tahun dan 156600 ton/tahun, artinya
pemanfaatan ikan demersal sudah berada pada posisi optimal, bahkan kondisi
sumberdaya udang penaeid lebih parah lagi, karena potensinya hanya 43100
ton/tahun dan JTB 34480 ton/tahun sementara produksinya mencapai 36670
ton/tahun, artinya tingkat pemanfaatan udang sudah terjadi overfishing.
Hasil pengkajian stok dan sumberdaya ikan Indonesia tahun 2001,
menunjukkan bahwa sumberdaya udang penaeid di laut Arafura tingkat
pemanfaatannya sudah tinggi (mendekati 80% dari nilai potensi) atau melebihi
potensi lestarinya (Badrudddin et al. 2002 dalam Hargiyatno dan Sumiono 2012).
Berdasarkan rasio antara produksi potensial dan MSY menunjukkan pemanfaatan
berlebih (over fishing) terhadap stok udang terjadi pada tahun 1992, 1996 dan
1997 sampai 2005 (Hufiadi et al. 2011 ).
Menurut Purwanto (2013) kondisi perikanan udang di Laut Arafura
membaik setelah Departemen Kelautan dan Perikanan melakukan perbaikan
pengelolaan perikanan yang dilakukan secara komprehensif, termasuk pula
peningkatan kapasitas dan operasi pengawasan dan penegakan hukum di bidang
perikanan, yang dimulai tahun 2001. Dampak positif dari perbaikan pengelolaan
perikanan tersebut adalah peningkatan kelimpahan stok udang mendekati tingkat
optimumnya, keuntungan per kapal meningkat dan keuntungan ekonomi
perikanan udang yang jauh lebih tinggi mendekati potensi ekonomi yang dapat
dihasilkan pada tahun 2005, namun kondisi stok udang dan perikanannya kembali
memburuk mulai tahun 2006.
Oleh sebab itu pengkajian keberadaan sumberdaya udang perlu diketahui
guna pengelolaan sumberdaya udang di laut Arafura yang berkelanjutan dan
terkontrol agar tidak terjadinya penurunan populasi udang (Hargiyatno et al.
2013). Menurut Priatna et al. (2014) salah satu persyaratan agar pengelolaan
sumberdaya perikanan dapat berjalan dengan baik dan benar adalah dengan
52
adanya ketersedian data dan informasi yang akurat dan dapat dipercaya,
khususnya terkait status stok sumberdaya perikanan yang akan dimanfaatkan.
Sampai saat ini, belum banyak dilakukan penelitian dan analisis hasil tangkapan
udang di laut Arafura, sehingga data yang berkesinambungan dari tahun ke tahun
masih minim yang dapat dijadikan dasar acuan pengelolaan perikanan udang di
Indonesia, khususnya di laut Arafura.
METODOLOGI
Penelitian berlangsung selama bulan Juli 2013 sampai dengan Februari
2014 yang dilaksanakan di laut Arafura (WPP-RI 718).Lokasi penelitian dimulai
pada posisi koordinat 6027’38.93” LS dan 137042’36.60”BTsampai dengan posisi
koordinat 6035’6.52” LS dan 137026’59.23”BT (Gambar 1).Kapal yang
digunakan dalam penelitian ini adalah salah satu kapal milik PT. Dwi Bina Utama
yaitu KM. Binama 07. Kapal tersebut merupakan kapal pukat udang ganda
(double rig trawl) yang ditarik di kiri dan kanan kapal, kapal ini terbuat dari baja,
dengan bobot 137 GT, panjang kapal (LOA) 23.77 m, lebar (B) 6.50 m, dalam
(D) 3 m, bahan alat tangkap codend terbuat dari bahan polyethylene (PE) dengan
mesh size 44.45 mm, panjang head rope 24.40 m dan ground rope28.10 m,
ukuran otter board; panjang 2 m, lebar 1 m, berat 900 kg.
Analisis hasil tangkapan dan frekuensi panjang udang berdasarkan waktu
hauling
Pengumpulan datapenangkapan diperoleh melalui observasi langsung, data
yang diambil terdiri dari waktu setting, waktu hauling, waktu towing, jenis dan
jumlah hasil tangkapan udang, kecepatan kapal, serta kedalaman dicatat dalam
bentuk fishing log book. Dalam penelitian ini, data yang diambil adalah sebanyak
124 kali penarikan (hauling), yang dibagi ke dalam dua kategori; siang dan
malam, dengan batasan waktu siang pukul 06.00 sampai 18.00 WIT, dan batasan
malam pukul 18.00 sampai 06.00 WIT. Sedangkan untuk data frekuensi panjang
udang, data yang diambil sebanyak 50 kali ulangan selama 7 hari (25 data siang
dan 25 data malam). Secara umum, analisis komposisi jenis dan frekuensiudang
hasil tangkapan dilakukan secara deskriptif, dengan mengklasifikasikan,
mentabulasi dan menginterpretasi data serta disajikan dalam bentuk tabel atau
grafik, selanjutnya dianalisa menggunakan analisa statistik uji-t ( t-Test: TwoSample Assuming Unequal Variances), dengan selang kepercayaan 95% .
Analisis kepadatan stok udang dan laju tangkap
Laju tangkap dan kepadatan stok udang dibagi berdasarkan tiga strata
kedalaman yaitu (1) kedalaman 22-25 meter; (2) kedalaman 25-28 meter; dan (3)
kedalaman 28-30 m (Lampiran 3). Untuk menentukan kepadatan stok udang, laju
tangkap, menggunakan metodeluas sapuan. Luas sapuan trawl (km2) dihitung
53
dengan mengalikan jarak sapuan trawl (km) dengan panjang tali ris atas dan
konstanta/fraksi tali ris atas (m), yang memiliki panjang ris yang sama antara
jaring sisi kiri dengan kanan kapal untuk setiap hauling.Metode ini dikenal
dengan nama swept area (Sparre and Venema 1998). Untuk mencari luas area
yang disapu jaring menggunakan persamaan:
Dengan: a = luas jalur yang dilalui jaring (km2); hr = panjang tali ris
atas (km); X2 = koefisien terbukanya mulut jaring (= 0.5); D = jarak sapuan
(km); V = kecepatan kapal waktu hauling (km/jam).
Laju tangkap diperoleh dengan cara membagi jumlah hasil tangkapan
dengan waktu yang diperlukan untuk menghela jaring atau jumlah hauling. Laju
tangkap persatuan area dapat diketahui dengan menggunakan persamaan:
Dengan:Cw= hasil tangkapan (kg); t= durasi waktu (jam)
Nilai rata-rata laju tangkap dan kepadatan stok dari seluruh hauling
dihitung dengan cara mencari nilai rata-rata dari laju tangkap persatuan area
dikalikan dengan fraksi dari ikan yang dapat meloloskan diri dari sapuan jaring
(escapement factor) sehingga diperoleh persamaan:
Dengan :b= kepadatan stok (kg/km2); X1= escapement factor (= 0.5)
Gambar 1 Peta lokasi penelitian udang di laut Arafura
54
HASIL
Secara keseluruhan terdapat enam jenis udang yang tertangkap dan
dimanfaatkan secara komersial untuk diekspor atau dikonsumsi yaitu Windu
(Penaeus monodon); Putih (Penaeus merguiensis); Krosok (Metapenaeopsis
novaeguineae); Dogol (Metapenaeus endeavour); Merah (Solenocera depressa);
dan Kipas (Thenus orientalis).Berdasarkan pengamatan, dari 3.303,5 kg udang
yang ditangkap di laut Arafura, didominasi oleh udang windu (Penaeus monodon)
sebesar 81,41%, udang putih (Penaeus merguiensis) sebesar 7,20% dan udang
krosok (Metapenaeopsis navaeguinae) sebesar 4,30%.
Tabel 1 Komposisi hasil tangkapan udang selama penelitian
Hasil tangkapan(kg)
(13 hari, 124 hauling)
2689.5
238
154
142
78
2
3303.5
275.29
26.64
Jenis udang
Windu (Penaeus monodon)
Putih (Penaeus merguiensis)
Krosok (Metapenaeopsis novaeguineae)
Dogol (Metapenaeus endeavour)
Merah (Solenocera depressa)
Kipas (Thenus orientalis)
Total
Hasil tangkapan/hari
Hasil tangkapan/tarikan
%
81.41
7.20
4.66
4.30
2.36
0.06
100
Secara keseluruhan dalam 124 kali hauling atau selama 13 hari operasi
penangkapan, total hasil tangkapan udang di laut Arafura adalah sebesar 3303.5
kg atau sebesar 275.29 kg/hari, dengan jumlah rata-rata udang yang ditangkap
sebanyak 26.64 kg/hauling (Tabel 1). Udang-udang ini ditangkap pada kedalaman
rata-rata 27.9 m, dengan lamanya masa towing rata-rata adalah 2 jam dan rata-rata
kecepatan kapal 2.9 knot.
Tangkapan udang pada siang hari
Untuk kategori siang hari (Tabel 2), dari total 1723,5 kg hasil tangkapan
udang, 83,41% didominasi oleh udang windu, Jenis udang lainnya yang
tertangkap di laut Arafurapada kategori ini adalah udang putih (7,14%), udang
dogol (4,70%) udang krosok (3,13%), udang merah (1,51%) dan udang kipas
(0,12%), Penangkapan udang dilakukan pada kedalaman rata-rata 28,58 meter,
dengan kecepatan kapal rata-rata 3,04knot, dengan durasi towingnya rata-rata 2
jam, rata-rata hasil tangkapan pada siang hari adalah 143,63 kg/hari atau
27,80kg/hauling,
55
Tabel 2 Komposisi hasil tangkapan udang di laut Arafura berdasarkan waktu
hauling
Hasil tangkapan (kg)
Jenis udang
Siang
%
Malam
%
1 Windu (Penaeus monodon)
1437,5 83,41
1252 79.24
2 Putih (Penaeus merguiensis)
123 7,14
115 7.28
3 Dogol (Metapenaeus endeavour)
81 4,70
61 3.86
4 Krosok(Metapenaeopsis novaeguineae)
54 3,13
100 6.33
5 Merah (Solenocera depressa)
26 1,51
52 3.29
6 Kipas (Thenus orientalis)
2 0,12
0 0.00
Total
1723,5
100
1580
100
Hasil tangkapan/hari
143,63
131,67
Hasil tangkapan/tarikan
27,80
25,48
Tangkapan udang pada malam hari
Untuk kategori malam hari (Tabel 2), dari total 1580 kg hasil tangkapan
udang, 79,24% didominasi oleh udang windu, Jenis udang lainnya yang
tertangkap adalah udang putih (7,28%), udang krosok (6,33%), udang dogol
(3,86%), dan udang merah (3,29%).Pada kategori ini tidak ada udang kipas yang
tertangkap.Penangkapan udang dilakukan pada kedalaman rata-rata 27,21 meter,
dengan kecepatan kapal rata-rata 2,81 knot, dengan durasi towingnya rata-rata 2
jam. Rata-rata hasil tangkapan pada malam hari adalah 131,67 kg atau
26,06kg/hauling.
hasil tangkapan (kg)
Hasil tangkapan udang berdasarkan waktu hauling
2000
1500
1437.5
1252
1000
500
115
61
100
52
123
0
81
54
26
0
Malam
Siang
Waktu hauling
Windu (Penaeus monodon)
Putih (Penaeus merguiensis)
Dogol (Metapenaeus endeavour)
Krosok (Metapenaeopsis novaeguinae)
Merah (Solenacera depresa)
Kipas (Thenus orientalis)
Gambar 2 Hasil tangkapan udang berdasarkan siang dan malam
56
2
Total jumlah rata-rata hasil tangkapan udang pada siang dan malam hari
Berdasarkan data observasi, diperoleh hasil bahwa dari total jumlah ratarata hasil tangkapan udang per-hauling-nya (Gambar 3), ternyata pada siang hari
tangkapan udang lebih banyak daripada malam yaitu masing-masing sebesar 24,6
kg dan 24,3 kg/hauling selama 13 hari operasi penangkapan di laut Arafura,
dengan komposisi udang terbanyak didominasi oleh udang windu, namun
berdasarkan uji statistik yaitu t-Test: Two-Sample Assuming Unequal Variances,
tidak ada perbedaan yang signifikan antara rata-rata jumlah hasil tangkapan pada
malam dan siang hari.
Hasil tangkapan (kg)
Total jumlah rata-rata hasil tangkapan udang pada siang dan
malam hari per hauling
25.0
20.0
15.0
10.0
5.0
0.0
20.519.5
Windu
1.7 1.8
1.2 1.0
0.8 1.0
0.4 1.0
0.03 0
Putih
Dogol
Krosok
Merah
Kipas
Siang
Malam
Jenis udang
Gambar3Grafik total rata-rata hasil tangkapan enam jenis udang perhauling
Frekuensi ukuran panjang udang windu yang ditangkap
Pengukuran panjang udang windu dilakukan selama tujuh hari, dan dibagi
ke dalam dua kategori; siang dan malam. Pengukuran dilakukan dengan memilih
sampel udang windu sebanyak 25 udang perkategori selama tujuh hari (50 udang
dalam sehari), total udang yang disampel adalah 350 ekor atau 175 perkategori.
Dari hasil penelitian diperoleh hasil bahwa ukuran udang windu yang
tertangkap di perairan laut Arafura mempunyai ukuran panjang tubuh yang
berkisar antara 18,69 cm sampai dengan 19,93 cm atau rata-rata mempunyai
ukuran 19,38 cm/ekor (Tabel 3).
Pada kategori siang hari, ukuran panjang tubuh udang windu yang
tertangkap berkisar antara 17,70 cm sampai dengan 20,24 cm atau ukuran rataratanya 19,21 cm, sedangkan pada malam hari, ukuran panjang udang windu
berkisar antara 18,42 cm sampai dengan 20,22 cm, dengan ukuran rata-ratanya
19,54 cm,Dari data ini, terlihat bahwa ukuran panjang tubuh udang windu yang
ditangkap pada siang hari lebih pendek daripada yang ditangkap pada malam hari
dengan selisihnya 0,33cm, namun berdasarkan uji statistik, t-Test: Two-Sample
Assuming Unequal Variances, tidak ada perbedaan yang signifikan antara ukuran
panjang pada malam dan siang hari.
57
Tabel 3 Ukuran panjang rata-rata udang windu berdasarkan waktu hauling di laut
Arafura selama tujuh hari pengamatan
Hari
Siang
Malam
Rata-Rata
1
20,24
19,61
19,93
2
18,96
18,42
18,69
3
19,31
19,22
19,26
4
17,70
19,72
18,71
5
19,82
19,95
19,89
6
19,64
20,22
19,93
7
18,81
19,66
19,24
Laju tangkap udang yang ditangkap
Berdasarkan penelitian diperoleh total hasil tangkapan udang windu
selama pengamatan di laut Arafura sebanyak
2689,5 kg. Dari 124
kalihaulingdiperoleh laju tangkap (catch rate) jenis udang tersebut berkisar antara
10,5 sampai 12,3 kg/jam dengan rata-rata 11,45 kg/jam atau 22,30 kg/hauling.
Laju tangkap tertinggi terdapat pada kedalaman 22 sampai 25 m (11 hauling)
yaitu 23,5 kg/hauling atau 12,3 kg/jam. Laju tangkap terendah terdapat pada
kedalaman 28 sampai 30 m (69 hauling) yaitu 20,9 kg/hauling atau 10,5 kg/jam.
Total hasil tangkapan udang putih adalah 238 kg, laju tangkap udang
tersebut berkisar antara 0,9 sampai 1,4 kg/jam dengan rata-rata 1,08 kg/jam atau
2,09 kg/hauling. Laju tangkap tertinggi terdapat pada kedalaman 22 sampai 25 m
(11 hauling) yaitu 2,6 kg/hauling atau 1,4 kg/jam. Laju tangkap terendah terdapat
pada kedalaman 25 sampai 28 m (44 hauling) yaitu 1,7 kg/hauling atau 0,9
kg/jam.
Total hasil tangkapan udang krosok adalah 154 kg, laju tangkap udang
tersebut berkisar antara 0,6 sampai 0,8 kg/jam dengan rata-rata 0,66 kg/jam atau
1,29 kg/hauling. Laju tangkap tertinggi terdapat pada kedalaman 22 sampai 25 m
(11 hauling) yaitu 1,5 kg/hauling atau 0,8 kg/jam. Laju tangkap terendah terdapat
pada dua strata kedalaman yaitu 25 sampai 28 m (44 hauling) dan 28 sampai 30 m
(69 hauling) yang sama-sama memiliki nilai 1,2 kg/hauling atau 0,6 kg/jam.
Total hasil tangkapan udang dogol adalah 142 kg, laju tangkap udang
tersebut berkisar antara 0,4 sampai 0,7 kg/jam dengan rata-rata 0,6 kg/jam atau
1,16 kg/hauling. Laju tangkap tertinggi terdapat pada dua strata kedalaman 22
sampai 25 m (11 hauling) dan 28 sampai 30 m (69 hauling) yang sama-sama
memiliki nilai yang sama, yaitu 0,7 kg/hauling atau 1,4 kg/jam. Laju tangkap
terendah terdapat pada kedalaman 25 sampai 28 m (44 hauling) yaitu 0,7
kg/hauling atau 0,4 kg/jam.
Total hasil tangkapan udang merah adalah 78 kg, laju tangkap udang
tersebut berkisar antara 0,1 sampai 0,3 kg/jam dengan rata-rata 0,26 kg/jam atau
0,5 kg/hauling. Laju tangkap tertinggi terdapat pada kedalaman 28 sampai 30 m
(69 hauling) yaitu 0,7 kg/hauling atau 0,3 kg/jam. Laju tangkap terendah terdapat
pada kedalaman 22 sampai 25 m (11 hauling) yaitu 0,2 kg/hauling atau 0,1
kg/jam.
58
Total hasil tangkapan udang kipas hanya 2 kg, laju tangkap udang tersebut
adalah 0,01 kg/jam atau 0,03 kg/hauling dan hanya pada kedalaman 28 sampai 30
m (69 hauling), dengan rata-rata 0,10 kg/hauling atau 0,005 kg/jam.
Kepadatan stok udang
Kepadatan stok udang windu di laut Arafura rata-rata sebesar 75,44
2
kg/km . Kepadatan tertinggi terdapat pada kedalaman antara 22 sampai 25 m yaitu
80,8 kg/km2 dan terendah pada kedalaman 28 sampai 30 m yaitu 69,1 kg/km2.
Kepadatan stok udang putih rata-rata sebesar 7,09 kg/km2. Kepadatan tertinggi
terdapat pada kedalaman 22 sampai 25 m yaitu 9,1 kg/km2 dan terendah pada
kedalaman 25 sampai 28 m yaitu 5,8 kg/km2.
Kepadatan stok udang krosok rata-rata sebesar 4,38 kg/km2. Kepadatan
tertinggi terdapat pada kedalaman 22 sampai 25 m yaitu 5 kg/km2 dan terendah
pada kedalaman 22 sampai 28 m yaitu 4 kg/km2. Kepadatan stok udang dogol
rata-rata sebesar 3,93 kg/km2. Kepadatan tertinggi terdapat pada kedalaman 22
sampai 25 m yaitu 4,8 kg/km2dan terendah pada kedalaman 25 sampai 28 m yaitu
2,3 kg/km2.Kepadatan stok udang merah rata-rata sebesar 1,70 kg/km2. Kepadatan
stok tertinggi terdapat pada kedalaman 28 sampai 30 m yaitu 2,3 kg/km2 dan
kepadatan terendah terdapat pada kedalaman 22 sampai 25 m yaitu 0,6 kg/km2.
Kepadatan stok udang kipas hanya 0,10 kg/km2 atau rata-rata 0,032 kg/km2.
Gambar 4 Sampel jenis-jenis udang yang diamati selama penelitian di lautArafura
PEMBAHASAN
Komposisi hasil tangkapan udang pada penelitian ini lebih didominasi
oleh udang windu, udang putih dan udang krosok (Gambar 5).Udang windu
merupakan jenis terbanyak yang ditangkap, baik pada siang hari maupun malam
hari.MenurutPurbayanto dan Sondita (2006) dan Syahrir (2001), udang windu,
putih, dogol merupakan hasil tangkapan yang dominan dan terbanyak ditangkap
59
Jumlah tangkapan (kg)
di laut Arafura. Crocos (1986) and Garcia and Le Reste (1981) dalam Hargiyatno
dan Sumiono (2012), menyatakan bahwa udang windu jenis Penaeus monodon
dan Penaeus semiculcatus hidupnya tidak suka bergerombol atau berkelompok
(schooling). Populasi udang jenis P. Semiculatusmenyenangi dasar perairan yang
terdiri dari pasir bercampur lumpur sebagaimana di perairan laut Arafura.Pada
siang hari lebih banyak membenamkan diridi dasar laut dan malam hari udang
windu bergerak lebih aktif.
350
300
250
200
150
100
50
0
247.5
164
66.5
6
29
6
237.5 244.5
189.5 193.5
32
289.5
251.5 252
236
152 165.5
15
0
0
0
8
36
20
18
68
Tanggal
Windu (Penaeus monodon)
Putih (Penaeus merguiensis)
Dogol (Metapenaeus endeavour)
Kipas (Thenus orientalis)
Krosok (Metapenaeopsis novaeguineae)
Merah (Solenocera depressa)
Gambar 5 Grafik harian hasil tangkapan udang di laut Arafura
Penelitian ini menyatakan bahwa udang windu merupakan jenis terbanyak
yang ditangkap, baik pada siang hari maupun malam hari. Menurut Syahrir (2001)
udang windu dan dogol merupakan hasil tangkapan yang dominan di laut Arafura,
sedangkan jenis udang yang dominan di tepian laut Arafura adalah udang putih
dan udang windu (Purbayanto dan Sondita 2006).
Menurut Penn (1984) udang putih lebih banyak pada siang hari,
dikarenakan udang putih adalah udang jenis yang aktif mencari makan pada siang
hari di dasar perairan berlumpur untuk memakan detritus. Pada malam hari udang
putih akan bergerak naik ke arah permukaan laut, terutama saat ada cahaya bulan
terang dan akan turun ke lapisan bawah pada saat intensitas cahaya bulan rendah
atau tidak terlihat. Tingkah laku seperti itu menyebabkan udang putih tertangkap
pukat udang lebih banyak di siang hari daripada di malam hari, sebagaimana
pernah diteliti oleh Sjahrir (2001) di perairan di laut Arafura, hal ini sesuai dengan
Munro (1975) yang mengatakan bahwa pada malam hari, udang putih akan lebih
banyak melakukan migrasi sehingga sulit tertangkap di dasar perairan karena
udang putih cenderung untuk berkelompok pada saat air tenang, khususnya pada
waktu surut, namun dari penelitian ini terlihat bahwa udang putih yang seharusnya
banyak pada siang hari kini mulai berkurang, kemungkinan salah satu
60
penyebabnya adalah karena sifat alat tangkap pukat udang ini yang aktif, yang
menyapu dasar dan sebagian permukaan laut, serta perubahan iklim yang
mempengaruhi pola pergerakannya dan perkembangbiakannya. Namun demikian
berdasarkan uji statistik,t-Test: Two-Sample Assuming Unequal Variances, pada
taraf 5%, menyatakan bahwa rata-rata jumlah hasil tangkapan udang pada malam
dan siang hari tidak berbeda nyata (perbedaannya tidak signifikan).
Jenis-jenis udang tersebut ditangkap pada kedalaman rata-rata 27.80
meter, dengan substrat berpasir dan berlumpur, serta memiliki produktivitas yang
besar serta sumberdaya yang melimpah (terlihatdaribanyaknya spesies-spesies
laut yang tertangkap) dan dengan kondisi cuaca yang bagus untuk penangkapan,
hal ini sejalan dengan Ayodhyoa (1981), yang menyatakan bahwa syarat-syarat
bagi daerah penangkapan udang yaitu memiliki dasar perairan berpasir, lumpur
ataupun campuran antara pasir dan lumpur, kondisi cuaca laut yang aman untuk
pengoperasian alat tangkap dan perairannya mempunyai daya produktivitas yang
besar serta sumber daya yang melimpah.
Untuk saat ini data tahunan mengenai tangkapan udang, laju tangkap dan
dugaan biomassa udang masih minim dikaji dan dipelajari lebih lanjut dari tahun
ke tahun,Berdasarkan perbandingan 10 data yang ada, terlihat bahwa telah terjadi
pergeseran hasil tangkapan, kecenderungan pergeseran hasil tangkapan pukat
udang di laut Arafura terlihat dari semakin turunnya hasil tangkapanperhauling
yaitu hanya 26,64 kg/hauling(Tabel 1), padahal berdasarkan observasi Hargiyatno
dan Sumiono (2012)pada tahun 2008 di laut Arafura hasil tangkapan
perhaulingnya adalah 34,2 kg, sedangkan menurut Barani (2006) pada tahun 1995
hasil tangkapan perhaulingnya adalah 89,4 kg, kemudian turun hingga mencapai
40,3 kg pada tahun 1999. Diantara tahun tersebut hasil tangkapan mengalami
fluktasi seperti turun pada tahun 1996 menjadi 59,5 kg/hauling, naik pada tahun
1997 menjadi 64 kg/hauling dan turun secara tajam pada tahun 1998 menjadi 39,4
kg/hauling (DJPT 2001). Bahkan menurut Nasional Report (2000) dalam Barani
(2006) menunjukkan hasil yang lebih rendah dengan hasil tangkapan 26,4
kg/hauling pada tahun 1992 yang naik menjadi 30,4 kg/hauling pada tahun 1994
dan turun kembali menjadi 22,5 kg/hauling pada tahun 1996.
Selain itu, berdasarkan analisis kepadatan udang di laut Arafura,
menunjukkan kecenderungan yang menurun bagi kelompok udang windu, putih
dan dogol di laut Arafura, seperti dilaporkan dari berbagai sumber dari tahun
1983, 1997, 1998, 2000, 2008, 2009 dan 2013 yang dikutip dari Hargiyatno dan
Sumiono (2012), Wibowo dan Widodo (2010) dan hasil observasi penulis tahun
2013, yaitu sebesar 248 kg/km2 untuk udang windu, putih dan dogol, kepadatan
tertinggi terlihat pada tahun 1997 dan terendah pada tahun 2008 (Tabel 4), dengan
rata-rata kepadatan dari tujuh data yang ada adalah 249,3 kg/km2.
61
Tabel 4 Kepadatan stok udang penaeid di laut Arafura
Tahun
Kepadatan (kg/km2)
Jenis udang
1983
297
Windu, putih
1997
318
Windu, putih, dogol
1998
240
Windu, putih, dogol
2000
262
Windu, putih, dogol
2008
125
Windu, dogol
2009
255
Windu, Putih
Sumber:Hargiyatno dan Sumiono (2012) dan Wibowo dan Widodo (2010)
Berdasarkan perbandingan data yang ada selama sembilan tahun terakhir
(Gambar 13), terlihat bahwa telah terjadi pergeseran hasil tangkapan dari tahun ke
tahun, kecenderungan pergeseran hasil tangkapan pukat udang di laut Arafura
terlihat dari semakin turunnya hasil tangkapanperhauling (Tabel 1) yaitu hanya
26,64 kg/hauling, padahal berdasarkan observasi Hargiyatno dan Sumiono (2012)
pada tahun 2008 di laut Arafura hasil tangkapan perhaulingnya adalah 34,2 kg,
sedangkan menurut Barani (2006) pada tahun 1995 hasil tangkapan perhaulingnya
adalah 89,4 kg, kemudian turun hingga mencapai 40,3 kg pada tahun 1999.
Diantara tahun tersebut hasil tangkapan mengalami fluktasi seperti turun pada
tahun 1996 menjadi 59,5 kg perhauling, naik pada tahun 1997 menjadi 64 kg
perhauling dan turun secara tajam pada tahun 1998 menjadi 39,4 kg perhauling
(DJPT 2001).
Selain itu, berdasarkan analisis kepadatan udang di laut Arafura,
menunjukkan kecenderungan yang menurun bagi kelompok udang windu, putih
dan dogol di laut Arafura seperti dilaporkan dari berbagai sumber dari tahun 1983
sampai 2013 seperti dikutip dari Hargiyatno dan Sumiono (2012) dan Wibowo et
al. (2010) dan hasil observasi penulis tahun 2013, yaitu sebesar 248 kg/km2 untuk
udang windu, putih dan dogol, kepadatan tertinggi terlihat pada tahun 1997 dan
terendah pada tahun 2008 (Tabel 4), dengan rata-rata kepadatan selama tujuh
tahun adalah 249,3 kg/km2.
Dari data penelitian (Tabel 3) terlihat bahwa ukuran udang windu
terpanjang yang tertangkap adalah 20,24 cm dan tergolong kategori dewasa,
menurut Chullasom dan Martosubroto (1986) dalam beberapa penelitian yang
telah dikompilasi, untuk jenis udang windu di laut Arafura, ukuran ketika
mencapai tingkat dewasa pertama kali adalah 21 cm dan panjang maksimum
udang tertangkap 43 cm. Secara alamiah, pertumbuhan udang atau ikan
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, misalnya pada periode tertentu udang atau
ikan tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan periode lain (Sondita2010).
Secara umum, berdasarkan penelitian yang dilakukan terkait laju tangkap
dan kepadatan stokdi laut Arafura, cenderung terlihat adanya penurunan.Hal
tersebut kemungkinan diakibatkan oleh eksploitasi penangkapan yang berlebihan,
62
perkembangan yang pesat dari kapasitas penangkapan armada perikanan pukat
udang, berubahnya faktor lingkungan, dan maraknya praktekillegal, unregulated
and unreported (IUU) Fishing yang terjadi (Purwanto 2010; Badruddin et al.
2008 dalam Hargiyatno dan Sumiono 2012). Penyebab lain adalah akibat
banyaknya kapal perikanan ilegal asing yang beroperasi di laut Arafura seperti
yang penulis amati, salah satunya adalah penggunaan twin boat bottow trawl milik
asing yang bebas berkeliaran menangkap udang di laut Arafura yang jelas-jelas
telah mengeksploitasi hasil perikanan secara berlebihan dan tentunya melanggar
kedaulatan perikanan Indonesia. Dari amatan penulis, banyak kapalilegalasing
yang beroperasi di Arafura, baik yang terlihat dengan kasat mata atau terbaca oleh
radar kapal nelayan Indonesia, seperti disampaikan oleh salah satu kapten kapal
pukat udang Indonesia.
KESIMPULAN
1. Dari enam jenis udang yang ditangkap di laut Arafura, yaitu udang Windu
(Penaeus monodon), Putih (Penaeus merguiensis), Krosok (Metapenaeopsis
novaeguineae), Dogol (Metapenaeus endeavour), Merah (Solenocera
depressa), Kipas (Thenus orientalis), diketahui bahwa tangkapan udang
didominasi oleh udang windu, baik pada siang hari maupun malam hari, secara
rata-rata jumlah tangkapan udang windu lebih banyak pada siang hari, dengan
ukuran panjang rata-rata 19.38 cm. Namun berdasarkan uji statistik (uji-t),
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata (tidak signifikan) antara
hasil tangkapan udang pada malam dan siang hari.
2. Laju tangkap udang windu sebesar 22,30 kg/hauling atau 11,45 kg/jam dengan
kepadatan stok 75,44 kg/km2. Laju tangkap udang putih sebesar 2,09
kg/hauling atau 1,08 kg/jam dengan kepadatan stok 7,09 kg/km2. Laju tangkap
udang krosok sebesar 1,29 kg/hauling atau 0,66 kg/jam dengan kepadatan stok
4,38 kg/km2. Laju tangkap udang dogol sebesar 1,16 kg/hauling atau 0,60
kg/jam dengan kepadatan stok 3,93 kg/km2,Laju tangkap udang merah sebesar
0,50 kg/hauling atau 0,26 kg/jam dengan kepadatan stok 1,70 kg/km2,
sedangkan laju tangkap udang kipas sebesar 0,010 kg/hauling atau 0,005
kg/jam dengan kepadatan stok 0,032 kg/km2.
3. Terlihat adanya penurunan laju tangkap dan kepadatan stok kelompok udang
windu, putih dan dogol di perairan laut Arafura, namun hasil penelitian ini
tidak bisa menyimpulkan keadaan secara keseluruhan kondisi perikanan
tangkap di Arafura, dikarenakan hanya menggunakan satu kapal, dibutuhkan
data dan penelitian lebih lanjut dan rinci lagi untuk mengetahui keadaan hasil
tangkapan menyeluruh di Arafura.
63
SARAN
Sampai saat ini, belum banyak dilakukan penelitian tentang udang di laut
Arafura, terutama mengenai hasil tangkapan berdasarkan pola musim dan
karakteristik perairannya, dan jumlah unit penangkapannya yang beroperasi,
sehingga untuk ke depan penelitian ini kiranya dapat dilakukan, sehingga kita
mempunyai data yang relevan.
DAFTAR PUSTAKA
Ayodhya AU. 1981. Metode penangkapan ikan.Yayasan Dewi Sri.Bogor, 97 hal.
BaraniHM. 2006. Kajian usaha perikanan demersal di laut Arafura.Di dalam:
Monintja, DR et al (editor). Bogor (ID). Perspektif pengelolaan perikanan
tangkap laut Arafura.Institut Pertanian Bogor.
Chullasorn S, Martosubroto P. 1986. Distribution and important biological
features of coastal fish resources in Southeast Asia. Fisheries Technical Paper
278:84p.
[DJPT] Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2001. Statistik perikanan
tangkap tahun 2001. Jakarta (ID). Ditjen Perikanan Tangkap, Departemen
Kelautan dan Perikanan.
Hargiyatno IT, Sumiono B. 2012. Kepadatan stok dan biomassa sumberdaya
udang windu (Penaeus semiculcatus) dan dogol (Metapenaeus endeavouri) di
sub area Aru, laut Arafura. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 18(1): 1725.
Hargiyatno IT, Sumiono B, Suharyanto. 2013. Laju tangkap, kepadatan stok dan
beberapa aspek biologi udang jerbung (Penaeus merguiensis) di perairan
Dolak, laut Arafura. Jurnal Perikanan Bawal 5(2): 123-129.
Hufiadi, Mahiswaro, Natsir M, Wahyu TP. 2011. Perkembangan kapasitas
penangkapan di laut Arafura: studi kasus perikanan udang. Makalah disajikan
pada forum 1 Laut Arafura. Bogor 8-11 Juni: Pusat Penelitian Pengelolaan
Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan.
Munro ISR. 1975. Biology of the banana prawn (Penaeus merguensis de Man) in
the south-east corner of the gulf of Carpentaria. First Australian National
Prawn Seminar.Austr.Govt. Printing Service Canberra. pp 60-78.
Penn JW. 1984. The behaviour and catchability of some commercially exploited
penaeids and their relation to stock and recruitment. In: Gulland, J.A and B.J.
Rotschild (Eds). Penaeids Shrimps-Their Biology and Management.Fishing
News Book Ltd. Farnham. Surrey, England. pp 173-186.
Purbayanto A, Sondita MFA. 2006. Jenis, sebaran, dan keanekaragaman
sumberdaya ikan hasil tangkapan di tepian laut Arafura.Di dalam: Monintja,
Daniel R et al (editor). Perspektif pengelolaan perikanan tangkap laut Arafura.
Institut Pertanian Bogor.
64
Purwanto. 2013. Status Bio-Ekonomi Perikanan Udang di Laut Arafura. Jurnal
Penelitian Perikanan Indonesia. 19 (4): 227-234.
Purbayanto A. 2009. Menggagas moratorium perikanan laut Arafura.Berita:
Rubrik Terkini.
Prasetyo AP. 2012. Potensi konflik dari interaksi perikanan pukat hela dalam
pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan Arafura.Jurnal Penelitian Perikanan
Indonesia. 18(2): 101-108.
Priatna A, Purbayanto A, Simbolon D, Hestirianoto T. 2014. Kemampuan tangkap
jaring trawl terhadap ikan demersal di perairan Tarakan dan sekitarnya.Jurnal
Penelitian Perikanan Indonesia. 20(1): 19-30.
SjahrirA. 2001. Komposisi udang penaeid yang tertangkap di laut
Arafura(perairan Aru dan Dolak). [Tesis] Bogor (ID). Institut PertanianBogor.
Sondita MFA. 2010. Manajemen sumber daya perikanan. Universitas Terbuka.
Jakarta
Sparee P, Venema SC. 1998. Introduction to tropical fish stock assessment. Part 1
Manual. Rome FAO. Fisheries Technical Paper (306/1).
Wibowo B, Widodo AA. 2010. Komposisi jenis, sebaran dan kepadatan stok
udang di perairan laut Arafura. Prosiding simposium nasional pembangunan
sektor kelautan dan perikanan kawasan timur Indonesia. 177-12
65
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap IPB ke-6
Halaman: 66-75
ISBN 978-979-1225-34-2
KARAKTERISTIK CAHAYA LAMPU PADA BAGAN TANCAP
DI PERAIRAN TELUK BANTEN
Adi Susanto1, Yuhelsa Putra2, Aristi Dian Purnama Fitri3, Heri Sutanto4
1
Program Studi Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Sultan Ageng Tirtayaasa
Email: [email protected]
2
Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sultan Ageng Tirtayaasa
3
Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, FPIK, Universitas Diponegoro
4
Program Studi Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Diponegoro
ABSTRACT
Light fishing was rapidly developedsince invention of electrical lamp that have
significant impact to productivity and efficiency of fish capture. Light emitting
diode (LED) is the new variant of electrical lamp for general lighting, but still
undeveloped for fishing activity. This research aims to analyze the characteristics
of LED lamp for fix lift net. The research was conducted using laboratory and
filed experiment in Banten Bay. The results show light from LED lamps
hasdominant direction at the bottom of the lamp with the value 783 lux. The
illumination of 30-watt LED lamp at the same depth and distance is higher than
85-watt tubular lamps, sothe application of LED lamps for lift net fishing is much
berecommended.
Keywords: Banten Bay, illumination, lift net, lamp
ABSTRAK
Perikanan lampu telah berkembang pesat sejak ditemukannya lampu listrik yang
mampu meningkatkan produktivitas dan efisiensi penangkapan.Lampu LED
merupakan generasi terbaru lampu listrik yang sudah banyak digunakan sebagai
lampu penerangan, namun belum berkembang untuk bidang perikanan. Penelitian
ini bertujuan untuk menganalisis karakteristik lampu LED untuk penggunaan pada
perikanan bagan tancap di Teluk Banten. Penelitian dilakukan melalui metode
observasi di laboratorium dan penelitian lapangan dilakukan di perairan Teluk
Banten. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cahaya lampu LED memiliki arah
sebaran yang paling dominan pada bagian bawah lampu dengan nilai iluminasi
tertinggi 783 lux. Pengukuran pada jarak dan kedalaman yang sama, iluminasi
cahaya yang dihasilkan oleh lampu LED 30 W lebih tinggi dibandingkan dengan
lampu tabung 85 W sehingga penggunaan lampu LED untuk perikanan bagan
sangat mungkin untuk dikembangkan.
Kata kunci: bagan, iluminasi, lampu, Teluk Banten
66
PENDAHULUAN
Teknologi penangkapan ikan menggunakan alat bantu cahaya sebagai
pemikat telah berkembang pesat di berbagai belahan dunia. Sudirman dan Musbir
(2009) menyatakan bahwa pesatnya perkembangan perikanan lampu di Indonesia
tidak terlepas dari peran nelayan di perairan Sulawesi Selatan yang mulai
menggunakan bagan tancap dengan lampu petromaks pada era 1950an.
Penggunaan cahaya untuk menarik perhatian ikan untuk kepentingan
penangkapan kemudian berkembang ke berbagai wilayah dengan berbagai variasi
alat tangkap seperti bagan perahu, bagan rakit, pukat cincin hingga pancing cumicumi.
Perairan Teluk Banten telah dikenal oleh nelayan sebagai salah satu daerah
penangkapan bagan tancap yang potensial. Target utama penangkapan dengan
bagan tancap di perairan ini adalah berbagai jenis teri (Stelophorus sp.), cumicumi (Loligo sp.) dan ikan tembang (Sardinella sp.). Pada era 1990an hingga awal
tahun 2000, nelayan bagan tancap masih menggunakan lampu petromaks. Namun
seiring perkembangan teknologi, saat ini semua nelayan bagan tancap sudah
menggunakan lampu listrik yang didominasi oleh jenis lampu tabung dengan daya
yang bervariasi mulai dari 24 watt hingga 90 watt sesuai dengan daya beli dan
pengetahuan yang dimiliki.
Anongponyoskun et al. (2011), penggunaan lampu merupakan salah satu
teknik modern dan cukup efektif dengan memanfaatkan tingkah laku ikan untuk
menarik perhatiannya agar berkumpul di sekitar alat tangkap. Perkembangannya
semakin pesat setelah ditemukannya lampu listrik berupa lampu merkuri, halogen,
fluorescent (tabung) dan metal halida yang memiliki iluminasi cahaya lebih tinggi
dibandingkan lampu petromaks. Namun sayangnya, penggunaan lampu listrik
tersebut membutuhkan BBM dalam jumlah besar sehingga biaya operasional yang
dibebankan untuk menghidupkan lampu untuk kegiatan operasi penangkapan juga
semakin bertambah.
Penggunaan lampu merkuri, halogen dan lampu tabung selain tidak efisien
terhadap bahan bakar juga menghasilkan panas yang tinggi, membutuhkan daya
yang besar, umur teknis yang pendek dan tidak efisien sehingga membutuhkan
lampu pengganti yang lebih efisien (Shen et al. 2013; Hua and Xing 2013; Choi et
al. 2009).Lahirnya lampu generasi baru, Light Emitting Diode (LED) menjadi
babak baru dalam pengembangan perikanan lampu. Ujicoba penangkapan
menggunakan purse seine dan squid jigging telah mampu menurunkan tingkat
konsumsi BBM hingga 25% dan meningkatkan hasil tangkapan yang diperoleh
(Manomayidthikarn 2013; Matsushita and Yamashita 2012; An and Arimoto
2013; Hua and Xing 2013). Tyedmers et al. (2005) mengemukaan bahwa pada
kegiatan perikanan tangkap setidaknya dibutuhkan 620 liter BBM untuk
mendaratkan 1 ton hasil tangkapan ikan dari laut.Semakin rendah tingkat
67
konsumsi BBMnya maka biaya yang dibutuhkan akan semakin murah dan
sumbangan polusi yang dihasilkan oleh armada penangkapan juga menurun.
Meskipun lampu LED memiliki tingkat efisiensi energi yang tinggi,
namun penggunaannya pada bidang perikanan di Indonesia masih belum
berkembang. Hal ini disebabkan oleh belum banyaknya informasi terkait
penggunaan lampu LED di bidang perikanan serta harga lampu LED yang jauh
lebih mahal dibandingkan lampu konvensional. Oleh karena itu, dibutuhkan
penelitian dan inovasi agar teknologi lampu LED dapat dimanfaatkan pada
perikanan bagan sehingga dapat meningkatkan hasil tangkapan dan efisien
penggunaan bahan bakar. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis karakteristik
cahaya lampu LED pada medium udara dan medium air yang dapat
digunakanpada perikanan bagan tancap di perairan Teluk Banten Indonesia.
METODOLOGI
Identifikasi karakteristik cahaya lampu di medium udara dilakukan di
Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Sultan Ageng Tirtayasa pada
bulan April-Mei 2015.Lampu yang digunakan adalah jenis Tubular Lamp (TL)
tipe jari dengan kekuatan 85 watt dan lampu LED dengan tipe bulb berkekuatan
30 watt. Pengukuran iluminasi cahaya dilakukan menggunakan lux meter Lutron
LX-103 dengan derajat ketelitian 1 lux. Pengukuran dilakukan pada jarak 1 meter
dari sumber cahaya dengan bagian bawah lampu sebagai titik awal (sudut 0°)
seperti disajikan pada Gambar 1.Interval pengukuran dilakukan setiap 10° hingga
bagian atas lampu (sudut 180°).Hasil pengukuran iluminasi selanjutnya diolah
untuk mendapatkan grafik sebaran iluminasi cahayanya di sekitar lampu.
Gambar 1 Ilustrasi pengukuran iluminasi cahaya lampu pada medium udara
68
Pengukuran karakteristik cahaya lampu pada medium air dilakukan pada
bagan tancap dengan membandingkan lampu yang digunakan oleh nelayan dan
lampu LED yang diujicobakan. Bagan yang digunakan berukuran (14 x 14) m
dengan ukuran jaring (12x12) m. Jumlah lampu yang digunakan sebanyak enam
unit untuk setiap jenisnya.Pemasangan lampu dilakukan pada bagian bawah
rumah bagan dengan jarak 30-50 cm dari permukaan air.Pengukuran iluminasi
cahaya dilakukan pada jarak horizontal (0-7 m) dan vertikal (kedalaman 0-10 m)
dari sumber cahaya sehingga radius penyebaran cahaya lampu dapat
terdokumentasikan.Ilustrasi pengukuran iluminasi lampu pada bagan tancap
disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2 Ilustrasi pengukuran iluminasi lampu pada medium air
Data hasil pengukuran dianalisis secara deskriptif dalam bentuk diagram
radar dan grafik distribusi iluminasi cahaya berdasarkan kedalaman dan radius
penyebaran. Hasil analisis selnjutnya dijadikan dasar ilmiah bagi pengembangan
desain lampu LED yang tepat untuk perikanan bagan karena lampu yang ada saat
ini masih di desain untuk kepentingan penerangan dalam rumah.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Medium Udara
Sebaran cahaya yang dihasilkan oleh lampu tabung menyebar ke segala
arah dengan nilai iluminasi yang berbeda. Iluminasi paling tinggi terdapat pada
sudut 90° dan 270° dengan nilai 215 lux, sedangkan iluminasi paling rendah
69
terdapat pada sudut 180° dengan nilai 62 lux seperti disajikan pada Gambar 3.
Lampu tabung akanmenghasilkan nilai iluminasi yang menyebarke seluruh
penjuru lampu.Hal senada diungkapkan oleh Thenu (2014), lampu tabung
memancarkan cahanya ke segala arah dengan intensitas yang berbeda.Bagian
paling terang berada pada samping lampu karena permukaan tabung pada bagian
sambung memiliki luas yanglebih besar dibandingkan dengan bagian bawah dan
atas lampu.Karakteristik sebaran cahaya yang demikian menyebabkan lampu
tabung dianggap kurang efektif digunakan pada penangkapan bagan.Untuk
mengatasi hal tersebut umumnya nelayan menggunakan reflektor agar cahaya
yang dihasilkan dapat diarahkan pada bagian tertentu.Rohanah (2012) menyatakan
bahwa penggunaan reflektor terbukti efektif untuk mengarahkan cahaya lampu
tabung sehingga adanya proses pemantulan dari reflektor menyebabkan iluminasi
cahaya yang sampai ke perairan menjadi maksimal.
210
220
230
200 190250
180
170 160
150
140
130
200
150
240
120
100
250
110
260
50
100
270
0
90
280
80
290
70
300
60
310
320
50
40
330
340 350
0
10 20
30
Gambar 3 Sebaran iluminasi lampu tabung pada medium udara
Cahaya yang dihasilkan oleh lampu LED memiliki karakteristik yang
mengarah pada sudut tertentu sehingga lebih mudah difokuskan sesuai dengan
desain lampu yang dibuat. Penggunaan lampu LED dengan tipe bolam (bulb)
untuk berbagai kepentingan, baik rumah tangga maupun industri telah terbukti
meningkatkan efisiensi penggunaan energi sehingga pemanfaatannya semakin
luas. Selain itu, umur teknis lampu LED yang lebih lama juga menjadi salah satu
keunggulan yang menjadi dasar dipilihnya lampu jenis ini untuk berbagai
kebutuhan penerangan.
70
Arah penyebaran cahaya dari lampu LED lebih terfokus pada bagian
bawah dan samping lampu. Namun intensitas cahaya dan arah penyebaran cahaya
pada bagian samping lampu LED tidak seluas dan setinggi pada lampu tabung.
Hal ini dipengaruhi oleh konstruksi lampu yang secara teknis memang dirancang
untuk memberikan penerangan pada bagian bawah lampu seperti disajikan pada
Gambar 4.
200 190800
210
700
220
600
230
500
240
400
300
250
200
260
100
270
0
180
170 160
150
140
130
120
110
100
90
280
80
290
70
300
60
310
320
50
40
330
340 350
0
10 20
30
Gambar 4 Sebaran iluminasi cahaya lampu LED pada medium udara
Iluminasi cahaya lampu LED paling tinggi terdapat pada sudut 0° dengan
nilai 783 lux dan terus mengalami penurunan seiring dengan penambahan sudut
ke arah bagian atas lampu. Hal ini dapat dipahami mengingat desain lampu LED
yang umum di pasaran memang bertujuan untuk menghasilkan cahaya yang
terang pada bagian bawah lampu. Meskipun cahaya lampu LED sudah mengarah
ke bagian bawah lampu, namun penggunaan reflektor tetap diperlukan untuk lebih
mengumpulkan cahaya lampu pada bagian samping lampu. Puspito (2012)
menyatakan bahwa penggunaan reflektor kerucut mampu memusatkan cahaya
lampu pada perikanan bagan tancap sehingga penetrasi cahaya yang dihasilkan
menjadi lebih baik.Reflektor dengan warna perak menghasilkan pemusatan dan
hasil tangkapan terbaik dibandingkan warna putih dan standar sehingga sangat
dianjurkan untuk digunakan pada perikana bagan tancap.
71
Medium Air
Hasil pengukuran tingkat iluminasi cahaya pada lampu tabung pada
medium air menunjukkan bahwa secara horizontal, intensitas cahaya yang
dihasilkan mampu mencapai jarak 6 m, namun semakin jauh jaraknya dari sumber
cahaya iluminasinya semakin rendah. Secara vertikal, semakin bertambah
kedalaman perairan maka intensitas cahayanya juga semakin rendah dimana pada
kedalaman 8 m di bagian tengah bagan, iluminasi yang terdeteksi hanya 2 lux.Hal
ini jauh berbeda dengan iluminasi cahaya pada permukaan perairan yang pada
kedalaman 1-2 m iluminasi lampu yang terdeteksi berkisar 50-700 lux.Kondisi ini
terjadi karena jaraknya sangat dekat dengan sumber cahaya seperti disajikan pada
Gambar 5.
Lampu tabung yang digunakan oleh nelayan adalah tipe jari (bukan spiral)
sehingga dengan penambahan reflektor cahaya yang dihasilkan pada bagian
samping dan atas lampu lebih terarah ke bagian bawah bagan.Meskipun demikian,
karena konstruksinya yang memanjang, maka akumulasi luas permukaan tabung
lampu pada bagian samping yang lebih besar dibandingkan pada bagian bawah
menyebabkan cahaya yang dihasilkan tetap menyebar secara horizontal sehingga
radius sebaran cahayanya menjadi lebih luas.
Pada bagian tengah bagan sebagai pusat sumber cahaya, iluminasi yang
terukur pada permukaan air sebesar 758 lux dan terus berkurang seiring dengan
bertambahnya jarak dari sumber cahaya. Selain itu, pada kedalaman perairan 5 m,
iluminasi yang terukur hanya sebesar 7 lux dan semakin kecil seiring bertambanya
kedalaman. Hal ini mengindikasikan bahwa kedalaman efektif cahaya yang
dihasilkan oleh lampu tabung berada pada kisaran kedalaman 3-5 m baik pada
pusat sumber cahaya ataupun pada radius hingga 3 meter dari sumber cahaya.
Jarak (m)
0
700
600
-2
500
Kedalaman (m)
450
400
350
-4
300
250
200
150
-6
100
75
50
25
-8
5
2
0
-10
-6
-4
-2
0
2
4
6
Gambar 5 Karakteristik cahaya lampu tabung di dalam air
72
Hasil pengukuran iluminasi cahaya enam lampu LED pada medium air
menunjukkan bahwa cahaya yang dipancarkan mampu menembus hingga
kedalaman 10 m dengan iluminasi sebesar 2 lux. Nilai iluminasi tertinggi terdapat
pada kedalaman 1-2 meter karena dekat dari sumber cahaya dengan kisaran 3542.244 lux seperti disajikan pada Gambar 6. Lampu LED mampu menghasilkan
iluminasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan lampu tabung pada radius dan
kedalaman pengukuran yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa lampu LED
sangat potensial untuk dijadikan sebagai lampu pengganti karena memiliki
konsumsi listrik yang lebih rendah namun menghasilkan intensitas cahaya yang
lebih tinggi.
Jarak (m)
0
2200
2000
1800
-2
1600
Kedalaman (m)
1400
1200
1000
-4
800
600
400
200
-6
100
50
25
10
-8
5
2
0
-10
-6
-4
-2
0
2
4
6
Gambar 6 Karakterstik cahaya lampu LED di dalam air
Sifat dasar cahaya yang dihasilkan oleh lampu LED yang mengarah pada
sudut tertentu (straight light) seperti tercermin pada Gambar 13. Penggunaan
reflektor semakin mengumpulkan cahaya yang dipancarkan pada bagian samping
dan atas lampu LED ke bagian bawah sehingga mampu mencapai kedalaman yang
lebih tinggi dengan iluminasi yang lebih besar. Pada permukaan perairan,
iluminasi cahaya yang terukur sebesar 2.244 lux dan pada pada radius 5 m dari
sumber cahaya masih terdeteksi sebesar 25 lux.Pada bagian tengah bagan, cahaya
lampu LED yang dihasilkan bahkan mampu menembus hingga kedalaman 10 m
dengan iluminasi sebesar 2 lux.
Okamoto et al. (2008) juga menemukan bahwa pada perikanan saori yang
beroperasi di Samudera Pasifik, karakteristik iluminasi cahaya dari lampu LED
73
yang digunakan juga memiliki pola yang serupa. Distribusi cahaya lampu LED
secara horizontal lebih pendek dari pada lampu konvensional (merkuri), namun
secara vertikal cahaya lampu LED dapat mencapai hingga kedalaman 15 m
dengan intensitas 0,12-0,35 lux. Pada bagian tepat dibawah sumber cahaya
iluminasi cahaya pada kedalaman 15 m sebesar 0,35 lux, namun pada jarak 1,5 m
di kedalaman yang sama iluminasinya hanya sebesar 0,12 lux. Hal ini semakin
menguatkan fakta bahwa sifat cahaya yang dihasilkan oleh lampu LED tidak
menyebar ke segala arah namun terfokus pada sudut tertentu baik pada medium
udara maupun medium air.
Secara visual, cahaya yang dihasilkan oleh lampu LED lebih menyilaukan
mata manusia. Hal ini disebabkan oleh sifat lampu cahaya dari lampu LED yang
sesungguhnya lebih banyak mengandung spektrum sinar tampak warna biru dan
hijau yang memiliki panjang gelombang lebih tinggi. Sementara itu, lampu tabung
lebih banyak memancarkan spektruk kuning dan merah sehingga kemampuannya
menembus perairan menjadi lebih rendah. Senada dengan hal tersebut, An and
Arimoto (2013) menyatakan bahwa karakteristik lampu LED yang lebih banyak
memancarkan spektrum warna biru lebih efektif untuk digunakan pada perikanan
cumi-cumi sehingga dapat menggantikan lampu merkuri dan halogen yang selama
ini digunakan oleh nelayan Korea dan Jepang pada perikanan cumi-cumi skala
industri.
KESIMPULAN
Cahaya yangdihasilkan oleh lampu LED memiliki sebaran yang
mengumpul pada bagian bawah lampu dengan iluminasi yang lebih besar
dibandingkan bagian lainnya. Pada jarak dan kedalaman yang sama, iluminasi
cahaya lampu yang dihasilkan oleh lampu LED 30 watt lebih tinggi dibandingkan
dengan lampu tabung 85 watt. Penggunaan lampu LED pada bagan tancap akan
meningkatkan penetrasi cahaya lampu ke dalam perairan dibandingkan dengan
lampu tabung yang digunakan oleh nelayan sehingga peluang untuk menarik
perhatian ikan menjadi lebih tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
An YI and Arimoto T. 2013. Fishing Efficency of LED Fishing Lamp for Squid
Jigging and Hair Tail Angling in Korean Waters.Paper
presentation.WGFTFB Bangkok.
Anongponyoskun M, K Awaiwanont, S Ananpongsuk, S Arnupapboon.2011.
Comparison of Different Light Spectra in Fishing Lamps.Kasetsart Journal
Natural Science.45: 856-862.
Choi JS, SK Choi, SJ Kim, GS Kil, CY Choi. 2009. Photoreaction Analysis of
Squids for The Development of a LED Fishing Lamp. Proceedings of the
74
2nd International Conference on Maritime and Naval Science and
Engineering.p 92-95.
Hua LT, and Xing J. 2013. Research on LED Fishing Light.Applied Sciences,
Engineering and Technology.5(16): 4138-4141.
Manomayidthikarn K. 2013. Aplication of Ligth Emitting Diode (LED) in Fishing
in Japan.SEAFDEC.Paper Presentation.WGFTFB Bangkok.
Matsushita Y and Yamashita Y. 2012. Effect of a Stepwise Lighting Method
Termed “Stage Reduced Lighting” Using LED and Metal Halide Fishing
Lamps in The Japanese Common Squid Jigging Fishery. Fisheries Science.
78(5): 977-983.
Okamoto et al. 2008.Application of LEDs to Fishing Lights for Pacific
Saury.Journal Light and Visual Environment 32(2): 88-92.
Puspito G. 2012. Pengaruh Pemusatan Cahaya Terhadap Efektivitas Bagan.
Jurnal Saintek Perikanan 7(2): 5-9.
Shen SC, CY Kuo, MC Fang. 2013. Design and Analysis of an Underwater White
LED Fish-Attracting Lamp and Its Light Propagation. International
Journal of Advanced Robotic Systems.10(183): 1-10.
Sudirman and Musbir.2009.Impact of Light Fishing on Sustainable Fisheries in
Indonesia.International Symposium on Ocean Science, Technology and
Policy of World Ocean Conference. Manado-Indonesia, May 12-14. 11 pp.
Tyedmers PH, Watson R and Pauly D. 2005.Fueling Global Fishing
Fleets.Ambio.(34): 635-638.
75
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap IPB ke-6
Halaman: 76-88
ISBN 978-979-1225-34-2
KOMPOSISI DAN STRUKTUR KOMUNITAS IKAN DI PERAIRAN
MUARA MUSI DAN MUARA BANYUASINKABUPATEN BANYUASIN
PROVINSI SUMATERA SELATAN
(The Composition and Structure of Fish Community
inMusi Estuarine Waters and Banyuasin Estuarine Waters
Banyuasin Distric Province of South Sumatra)
Isnaini1*, Melki1, Andi Agussalim1
1
Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas MIPA, Universitas Sriwijaya, Palembang
*Email: [email protected]
ABSTRACT
Fisheries resources is also quite resource are to be restored, but limited by the limiting factors of
natural and non-natural limiting factors. Natural limiting factors are the factors inhibiting the
availability of fish from the ecosystem itself, such as the availability of food, predators,
competition for space and so on. Non-natural factors are the factors inhibiting the availability of
fish caused by exploitation and pollution. The study aims to analyze the composition of species of
fish, structure of fish community and composition of the size of the fish in the waters of the Musi
estuarine and Banyuasin estuarine, Banyuasin Distric, province of South Sumatra. This research
was held in July 2015 in Musi estuarine and Banyuasin estuarine. The method used survey method
by measuring the length and weight of fish caught by fishermen that use fishing gear gill nets,
trammel net and tuguk. The results of this study in the Musi estuarine found 9 species of fishes and
14 species of fishes in the Banyuasin estuarine. Structure of cummunity in the Musi estuarine has a
low dominance index, diversity index and index uniformity being a community in a stable
condition, while in the Banyuasin estuarine have a low dominance, diversity index and index
uniformity being a community in a stable condition. The composition by weight and length of the
fish Pseudocienna amoyensare weight in range of 27-50 gram and length in range of 17-18 cm,
species of fishPsettodes erumei are weight in range of 69-80 gram and length in range of 28-29
cm, while for species of fish Formio nigerare weight in range of 35-163 gram and length in range
13-16 cm. Water quality parameters for temperature, DO, pH and salinity in the Musi estuarine
waters and the Banyuasin estuarinewaters in good condition for living organism.
Keywords: Composition, structure of community, Musi estuarine, Banyuasin estuarine
ABSTRAK
Sumberdaya perikanan tergolong sumberdaya dapat pulih tetapi dibatasi oleh faktor
pembatas alami dan faktor pembatas non alami.Faktor pembatas alami adalah faktor-faktor
penghambat ketersediaan ikan dari ekosistem itu sendiri, seperti ketersediaan makanan, predator,
persaingan ruang dan sebagainya.Faktor non alami adalah faktor-faktor penghambat ketersediaan
ikan yang disebabkan oleh kegiatan eksploitasi dan pencemaran. Oleh karena itu penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis komposisi jenis ikan, struktur komunitas ikan dan komposisi ukuran
ikandi perairan Muara Sungai Musi dan Muara Banyuasin, Kabupaten Banyuasin Sumatera
Selatan.Penelitiaan ini telah dilaksanakan pada bulan Juli 2015 di perairan Muara Musi dan Muara
Banyuasin. Metode yang digunakan metode survei dengan cara pengukuran panjang dan berat ikan
hasil tangkapan nelayan di Muara Musi dan muara Banyuasin yang menggunakan alat tangkap
jaring insang, trammel net dan tuguk. Hasil penelitian ini di Muara Musi ditemukan 9 jenis ikan
dan di Muara Banyuasin 14 jenis.Struktur komunitasnya di Muara Musimemiliki indeks dominansi
76
rendah, indeks keanekaragaman yang sedang dan indeks keseragaman komunitas dalam kondisi
stabil, sedangkan di Muara Banyuasin memiliki dominansi rendah, indeks keanekaragaman yang
sedang dan indeks keseragaman komunitas dalam kondisi stabil. Komposisi berat dan panjang ikan
Pseudocienna amoyensis terbanyak terdapat pada selang berat ikan 27-50 gram dan selang panjang
ikan 17-18 cm, jenis ikan Psettodes erumei selang berat ikan terbanyak pada kisaran berat ikan 6980 gram dan selang panjangnya 28-29 cm, sedangkan untuk jenis ikan Formio niger selang berat
terbanyak tertangkap pada ukuran berat antara 35-163 gram, dan selang panjangnyaantara 13-16
cm. Kualitas perairan untuk parameter suhu, DO, pH dan salinitas perairan di muara Musi dan
muara Banyuasin dalam kondisi baik untuk kehidupan biota.
Kata kunci:komposisi, struktur komunitas, Muara Musi, Muara Banyuasin
PENDAHULUAN
Perikanan merupakan sumberdaya hayati yang sangat penting bagi
kehidupan masyarakat di Indonesia, karena 56 % asupan protein masyarakat
Indonesia berasal dari ikan atau produk perikanan. Sumberdaya perikanan juga
tergolong sumberdaya dapat pulihtetapi dibatasi oleh faktor pembatas alami dan
faktor pembatas non alami.Faktor pembatas alami adalah faktor-faktor
penghambat ketersediaan ikandari ekosistem itu sendiri, seperti ketersediaan
makanan, predator,persaingan ruang dan sebagainya. Faktor non alami adalah
faktor-faktorpenghambat ketersediaan ikan yang disebabkan oleh kegiatan
eksploitasidan pencemaran (Pasaribu et al., 2005)
Perairan Muara Sungai Musi dan Muara Sungai Banyuasin terletak di
pesisir Timur Sumatera Selatan dan berhadapan langsung dengan Selat Bangka,
dimana di pesisir Timur Sumatera Selatan mempunyai ekosistem mangrove yang
cukup luas di Indonesia dan diketahui bahwaekosistem mangrove merupakan
daerah perikanan yang lebih subur daripada dataran lumpur terutama yang
terdapat di daerah sepanjang pantai sekitar beting karang (reef) dan laguna
(lagoon). Tumbuhan mangrove dapat memproses makanan yang merupakan
suplai pangan dari dataran lumpur ke bentuk yang tersedia dan dapat
dimanfaatkan oleh berbagai jenis hewan laut seperti ikan, kepiting dan kerangkerangan yang dapat dimakan oleh manusia.Tumbuhan mangrove di samping
melengkapi pangan untuk binatang juga mampu menciptakan iklim yang cocok
untuk binatang tersebut.
Adanya tekanan yang kuat terhadap keberlangsungan mangrove perairan
Muara Sungai Musi dan Muara Sungai Banyuasin secara tidak langsung akan
mempengaruhi perannya sebagai penyedia sumberdaya perikanan di Sumatera
Selatan. Berdasarkan hal tersesebut, maka penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis komposisi jenis ikan, struktur komunitas ikan dan komposisi ukuran
ikandi perairan Muara Sungai Musi dan di Perairan Sungai Banyuasin, Kabupaten
Banyuasin Sumatera Selatan.
77
METODOLOGI
Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Juli 2015 di Perairan Muara
Musi dan Muara Banyuasin, Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera
Selatan.Peta lokasi Penelitian dapat dilihat pada Gambar 1 dibawah ini.
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian
Metode penelitian menggunakan metode survei dimana pengambilan
sampel ikan dilakukan dengan hasil tangkapan nelayan di Muara Banyuasin dan
Muara Musi.Adapun nelayan menggunakan jenis alat tangkap yang berbeda-beda,
yaitu di Muara Musi terdiri 2 jenis, yaitu jaring kantong (trammelnet) dan jaring
pir atau jaring tangsi (jaring insang hanyut), sedangkan di Muara Banyuasin 4
jenis alat tangkap, yaitu jaring pancang (jaring tetap), tugu kumbang, jaring pir
cekak dan jaring kantong (Trammelnet). Adapun ikan hasil tangkapan tersebut
diukur panjang dan berat ikannya.Data kualitas yang diambil terdiri dari empat
parameter, yaitu suhu, pH, Do atau oksigen terlarut dan salinitas.
Analisis Data
Analisis data hasil tangkapan nelayan di Muara Musi dan Muara
Banyuasin, dengan melakukan pengukuran komposisi hasil tangkapan, struktur
komunitas, dan komposisi ukuran ikan yang dominan tertangkap.
1. Komposisi jenis ikan
Analisis yang digunakan untuk menentukan komposisi jenis ikan,
dilakukan dengan menggunakan persamaan Odum (1996), yaitu
P = Σxi/Nx100%
Keterangan :
P = Persentase jenis ikan jenis ke-i (i = 1,2,3,...n);
Σ xi = Jumlah individu ikan jenis ke-i (i = 1,2,3,...n);
N = Jumlah individu semua jenis ikan (jumlah total idividu setiap
pengambilan sampel)
78
2.Strukturkomunitas ikan
Struktur Komunitas ikan dilihat dari indeks dominansi (C), indeks
keanekaragaman (H’) dan indeks keseragaman (E), kemudian kriteria nilai
struktur komunitas berdasarkan dominansi, keanekaragaman, dan kesegaraman
dilihat dengan menggunakan kisaran dan kategori berdasarkan Setyobudiandy
et al. (2009). Kriteria nilai struktur komunitas dapat dilihat pada Tabel 1
dibawah ini.
Nilai Indeks Dominansi memberikan gambaran tentang dominansi ikan
dalam suatu komunitas ekologi, yang dapat menerangkan bilamana suatu
spesies ikan lebih banyak terdapat selama penelitian, dengan rumus menurut
Odum (1996):
n
(ni / N ) 2
C
i 1
Dimana:
C = Indeks Dominansi Simpson,
N = Jumlah individu seluruh spesies,
ni = Jumlah individu dari spesies ke-i.
Indeks keanekaragaman adalah nilai menunjukkan keseimbangan
keanekaragaman dalam suatu pembagian jumlah individu tiap spesies.Sedikit
atau banyaknya keanekaragaman spesies ikan dapat dilihat dengan
menggunakan Indeks Keanekaragaman.Indeks Keanekaragaman mempunyai
nilai terbesar jika semua individu berasal dari spesies yang berbeda-beda,
sedangkan nilai terkecil diperoleh jika semua individu berasal dari satu satu
spesies saja (Odum, 1996). Nilai Indeks Keanekaragaman Shannon (H’)
menurut Shannon and Wiener (1949) dalam Odum (1996) dihitung
menggunakan rumus:
n
H1
Pi ln( Pi )
i 1
dimana:
H’ = Indeks Keanekaragaman,
Pi = Proporsi jumlah individu (ni/N)
Nilai Indeks keseragaman (E), semakin besar menunjukkan kelimpahan
yang hampir seragam dan merata antar spesies (Odum, 1983). Formula dari
indeks keseragaman Pielou (E) menurut Odum (1996) yaitu:
E
dimana :
E = Indeks Keseragaman,
H1= Indeks Keanekaragaman,
S = Jumlah Spesies
79
H1
log S
Tabel 1. Kriteria struktur komunitas ((Setyobudiandy et al., 2009)
Indeks
Dominansi (C)
Keanekaragaman
(H’)
Keseragaman (E)
Kisaran
0,00 < C ≤ 0,50
0,50 < C ≤ 0,75
0,75 < C ≤ 1,00
H’ ≤ 2
2,0 < H’ ≤ 3
H’ ≥ 3,0
0,00 < E ≤ 0,50
0,50 < E ≤ 0,75
0,75 < E ≤ 1,00
Kategori
Rendah
Sedang
Tinggi
Rendah
Sedang
Tinggi
Komunitas dalam kondisi tertekan
Komunitas dalam kondisi labil
Komunitas dalam kondisi stabil
3. Komposisi ukuran jenis ikan
Komposisi ukuran setiap jenis ikan yang dominan tertangkap, terlebih
dahulu ditentukan kelas ukuran panjang dan berat. Penentuan jumlah kelas
dihitung dengan menggunakan persamaan Sturgess (1982), yaitu:
K = 1 + 3,3 Log N
keterangan :
K = Jumlah kelas;
N = Jumlah sampel.
Selanjutnya ditentukan selang kelasnya dengan menggunakan persamaan :
P = R/K
keterangan :
P = Selang kelas;
R = kisaran (panjang ikan tertinggi - panjang ikan terendah);
K = Jumlah kelas.
Kemudian ditentukan persentase setiap kelas ukuran panjang dan berat dengan
persamaan :
P = Ki/Kx100%
keterangan :
P = Presentase kelas ukuran ikan ke-i (i = 1,2,3,..... n);
HASIL DAN PEMBAHASAN
Komposisi Sumberdaya Perikanan di Muara Musi dan Muara Banyuasin
Komposisi sumberdaya ikan pada saat penelitian di Muara Musi dan
Muara Banyuasin ditemukan 293 ekor.Komposisi sumberdaya ikan di Muara
Banyuasin lebih besar dari komposisi di Muara Musi yaitu di Muara Banyuasin
180 ekor dan di Muara Musi 113 ekor.Jenis ikan yang ditemukan terdiri dari 23
jenis ikan, di Muara Musi 9 jenis dan di Muara Sungai Banyuasin 14 jenis.Berikut
komposisi sumberdaya perikanan yang tertangkap di perairan Muara Musi dan
80
Muara Banyuasin dapat dilihat pada diagram pie pada Gambar 2 dan 3 dibawah
ini.
Arius thalassinus
3% 4%
1% 3%
Platycephalus indicus
11%
10%
1%
Eletheronema
tetradactylum
Harpodon neherous
13%
Pseudocienna
amoyensis
Thryssa satirostris
54%
Trygon kuhlii
Plotosus canius
Psettodes erumei
Gambar 2. Komposisi sumberdaya ikan yang tertangkap di PerairanMuara Musi
Kabupaten Banyuasin
Berdasarkan Gambar 2 diatas komposisi tertinggi jenis sumberdaya
perikanan di Muara Banyuasin adalah Pseudocienna amoyensissebesar 53,98%
dan yang terendah jenis Trygon kuhlii sebesar 0,88%. Tingginya komposisi jenis
Pseudocienna amovensis atau yang dikenal nama lokal dengan ikan gulamah
ditemukan di perairan Muara Musi dapat dikatakan bahwa faktor lingkungan
seperti faktor fisik dan kimia lingkungan dapat mendukung kehidupan untuk jenis
tersebut. Habitat ikan gulamah ini di perairan pantai dangkal, estuaria dan sungai,
termasuk jenis omnivora namun lebih cenderung karnivora, ikan ini menggunakan
muara-muara sungai untuk berkembang biak, memijah dan untuk pengasuhan
anak (www.iftfishing.com, 2015).
Komposisi sumberdaya ikan tertinggi di Muara Banyuasin berdasarkan
Gambar 3 adalah jenis Formio niger sebesar 28,89% dari total komposisi hasil
tangkapan di Muara Banyuasin dan yang terendah jenis Scomberomorus
commersonii dan Harpiosquilla raphidae yaitu sebesar 1,11%. Jenis ikan Formio
niger atau dikenal dengan nama bawal hitam merupakan salah satu ikan ekonomis
penting.Tingginya komposisi ikan bawal hitam di Muara Banyusin dikarenakan
bawal hitam lebih banyak menghuni di perairan pantai berlumpur, dimana di
muara Banyuasin mempunyai karakteristik sedimen berlumpur berdasarkan hasil
penelitian ini Tahun I dan pada siang hari ikan bawal ini berada dekat dengan
dasar, sedangkan pada malam hari naik ke permukaan seringkali ikan ini
memasuki wilayah estuari, terutama dekat dengan sungai-sungai besar dengan
81
membentuk gerombolan besar (Schooling), makanan utamanya adalah plankton
(djpt.kkp.go.id, 2015)
2%
2% 1% 3%
1% 3%
Platycephalus indicus
Psettodes erumei
4%
Pseudocienna amoyensis
Arius thalassinus
17%
9%
Formio niger
harpadon nehereus
Chirosentrus dorab
5%
Selaroides leptolepis
4%
17%
siganus sp
Scomberomorus commersonii
Ilisha elongata
Penaeus indicus
29%
3%
Harpiosquilla raphidae
Scylla serrata
Gambar 3. Komposisi sumberdaya ikan yang tertangkap di Perairan Muara
Banyuasin Kabupaten Banyuasin
Struktur Komunitas Ikan di Muara Musi dan Muara Banyuasin
Analisis struktur komunitas ikan di Muara Musi dan Muara Banyuasin dari
indeks dominansi, indeks keanekaragaman dan indeks keseragaman menggunakan
kriteria struktur komunitas berdasarkan Setyobudiandy, 2009. Hasil analisis
kriteria nilai struktur komunitas ikan di perairan Muara Sungai Musi dan di
perairan Muara Sungai Banyuasin dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2.Kriteria nilai struktur komunitas ikan di Perairan Muara Musi dan
perairan Muara Banyuasin
Lokasi
Indeks
Nilai
Kategori
Dominansi (C)
Rendah
0,334
Keanekaragaman
Rendah
Muara Musi
1.502
(H’)
Komunitas dalam keadaan
0,706
Keseragaman (E)
labil
Dominansi (C)
Rendah
0,158
Muara
Keanekaragaman
Sedang
2,156
Banyuasin
(H’)
Komunitas dalam keadaan
0,956
Keseragaman (E)
Stabil
Ket: Kriteria Struktur Komunitas Berdasarkan (Setyobudiandy, 2009)
82
Berdasarkan Tabel 2 di atas di Muara Musi Indeks Dominansi (C) 0,334,
Indeks Keanekaragaman (H’) 1,502 dan Indeks Keseragaman (E) 0,706 maka
berdasarkan kriteria Setyobudiandy (2009), apabila nilai Indeks Dominansi
berkisar antara 0,00<C≤0,50 maka dikategorikan memiliki dominansi rendah dan
apabila Indeks Keanekaragaman H’≤ 2 maka dikategorikan memiliki
keanekaragaman sumberdaya ikan yang rendah, sedangkan Indeks Keseragaman
0,5<E≤0,75 maka dikategorikan komunitas dalam keadaan labil. Nilai struktur
komunitas di Muara BanyuasinIndeks Dominansi (C) 0,158, Indeks
Keanekaragaman (H’) 2,156 dan Indeks Keseragaman (E) 0,956.Indeks dominansi
berkisar antara 0,00<C≤0,50 maka dikategorikan memiliki dominansi rendah dan
indeks keanekaragaman 2,0<E≤ 3 maka dikategorikan memiliki keanekaragaman
sumberdaya ikan yang sedang dan indeks keseragaman berkisar antara 0,75<E≤
1,00 maka dapat dikatakan komunitas sumberdaya ikan dalam kondisi stabil.
Berdasarkan nilai struktur komunitas, maka kondisi di perairan Muara
Banyuasin komunitas dalam keadaan labil, dikarenakan indeks dominansi yang
cukup tinggi dibandingkan dengan nilai indeks dominansi di perairan Muara
Banyuasin, menyebabkan nilai keanekaragamannya rendah karena ada satu
spesies yang mendominasi, yaitu Pseudocienna amovensis sebesar 53,98%. Odum
(1996) menyatakan bahwa perubahan nilai indeks struktur komunitas dalam suatu
ekosistem sangat dipengaruhi oleh adanya kelompok spesies yang
dominan.Biasanya suatu komunitas mengandung banyak spesies tetapi hanya
beberapa spesies saja yang merupakan kelompok dominan.
Indeks keanekaragaman jenis di Muara Banyuasin lebih tinggi
dibandingkan dari indeks keanekaragaman di Muara Musi dan indeks
keanekaragaman di Muara Banyuasin dikategorikanan keanekaragaman sedang,
sedangkan untuk indeks keanekaragaman di Muara Musi dikategorikanan
rendah.Hal ini dikarenakan di Muara Musi ada satu jenis yang mendominasi. Hal
ini diungkapkan oleh Brower et al., (1990), keanekaragaman jenis adalah suatu
ekspresi dari struktur komunitas, dimana suatu komunitas dikatakan memiliki
keanekaragaman jenis tinggi, jika proporsi antar jenis secara keseluruhan sama
banyak. Sehingga jika ada beberapa jenis dalam komunitas yang memiliki
dominansi yang besar maka keanekaraga-mannya dan keseragamannya rendah.
Komposisi ukuran ikan di Muara Sungai Musi dan Muara Sungai Banyuasin
83
30.00
30.0
25.00
25.0
Komposisi (%)
Komposisi (%)
Komposisi ukuran panjang dan berat ikan yang diukur adalah ikan yang
dominan tertangkap di kedua Muara, yaitu jenis ikan Pseudocienna
amoyensis,Psettodes erumei dan Formio niger. Komposisi ukuran berat dan
panjang ikan Pseudocienna amoyensis berkisar antara 27-228 gram dan 14-28 cm
dengan rata-rata berat dan panjang ikan Pseudocienna amoyensis adalah 100,7
gram dan 20,2 cm. Komposisi berat dan panjang ikan terbanyak terdapat pada
20.00
15.00
10.00
5.00
20.0
15.0
10.0
5.0
0.00
13-14
15-16
17-18
19-20
21-22
23-24
25-26
27-28
29-30
31-32
27-50
51-74
75-98
99-122
123-146
147-170
171-194
195-218
219-242
0.0
Panjang Ikan (cm)
Berat Ikan (gr)
selang berat ikan 27-50 gram sebesar
25,56% dan selang panjang ikan 17-18 cm sebesar 24,4% dari total hasil
tangkapan di Muara Musi dan Muara Banyuasin. Berdasarkan www.fishbase.org,
2015 panjang maksimum ikan Pseudocienna amoyensisuntuk 40,0 cm tapi yang
panjang yang sering tertangkap ukuran 30,0 cm. Komposisi ukuran ikan jenis
Pseudocienna amoyensis yang tertangkap di Perairan Muara Musi dan Muara
Banyuasin dapat dilihat pada Gambar 4 dibawah ini.
(a)
(b)
Gambar 4. Komposisi ukuran ikan jenis Pseudocienna amoyensis (a) ukuran berat
ikan (gr); (b) ukuran panjang ikan (cm) yang tertangkap di Perairan
Muara Musi dan Muara Banyuasin
Berdasarkan kisaran berat dan panjang ikan Psettodes erumei yang
tertangkap di kedua Muara adalah 57-128 cm dan 22-32 gram, serta memiliki ratarata berat dan panjang ikan Psettodes erumei, yaitu 78,6 cm dan 28 gram. Selang
berat ikan terbanyak pada kisaran berat ikan 69-80 gram sebanyak 43,3 % dari
total hasil tangkapan ikan Psettodes erumei, sedangkan selang panjangnya
terbanyak pada kisaran panjang ikan 28-29 cm dari 40 % total hasil tangkapan di
Muara Sungai Musi dan Muara Banyuasin. Berdasarkan www.fishbase.org, 2015
length at first maturity atau tingkat pertama keamatangan ikan Psettodes erumei
memiliki kisaran panjang ikan 37-39 cm, hal ini sangat jauh dari kisaran selang
panjang ikan Psettodes erumei yang tertangkap dikedua Muara tersebut, hal ini
terindikasi bahwa ikan tersebut terjadi over eksploitasi, dimana sebelum ikan ini
84
50.0
45.0
40.0
35.0
30.0
25.0
20.0
15.0
10.0
5.0
0.0
Komposisi (%)
Komposisi (%)
mencapai length at first maturitynya sudah dimanfaatkan atau sudah dilakukan
upaya penangkapan. Komposisi Ukuran Ikan Jenis Psettodes erumei yang
Tertangkap di Perairan Muara Musi dan Muara Banyuasin dapat dilihat pada
Gambar 5 dibawah ini.
Pada panjang dan berat ikan Formio niger kisaran berat dan panjang ikan
tertangkap di Muara Banyuasin adalah 35-896 gram dan 9-36 cm. Rata-rata berat
dan panjang hasil tangkapan ikan Formio niger, yaitu 158,1 gram dan 17,2 cm.
Hasil tangkapan ikan Formio niger selang berat terbanyak tertangkap pada ukuran
berat antara 35-163 gram dari 76,9 % total tangkapan, sedangkan selang panjang
ikan terbanyak pada ukuran panjang ikan antara 13-16 cm sebanyak 55,8 % dari
total hasil tangkapan. Menurut www.fishbase.org, 2015 length at first maturity
ikan formio niger adalah 22-24 cm, dimana berdasarkan ukuran panjang ikan
formio niger yang tertangkap di Muara Sungai Banyuasin memiliki variasi
panjang ikan dengan jumlah selang panjang 7 selang, dimana selang panjang 9-12
cm (11,5%), 13-16 cm (55,8%), 17-20 cm (9,6%), 21-24 cm (7,7%), 25-28 cm
(9,6%), 29-32 (3,8%) dan 33-37 cm (1,9%) dari total hasil tangkapan.
Berdasarkan kisaran length at first maturity ikan formio niger, maka hasil
tangkapan yang ada di Muara Banyuasin sebanyak 23,1% dari total hasil
tangkapan. Komposisi Ukuran Ikan Jenis Formio niger yang Tertangkap di
Perairan Muara Musi dan Muara Banyuasin dapat dilihat pada Gambar 6 dibawah
ini.
Berat Ikan (gr)
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
Panjang Ikan (cm)
(a)
(b)
Gambar 5. Komposisi ukuran ikan jenis Psettodes erumei (a) ukuran berat ikan
(gr); (b) ukuran panjang ikan (cm) yang tertangkap di Perairan Muara
Musi dan Muara Banyuasin
Kondisi parameter kualitas Perairan Muara Sungai Musi dan Muara Sungai
Banyuasin
85
90.0
80.0
70.0
60.0
50.0
40.0
30.0
20.0
10.0
0.0
60.0
50.0
Komposisi (%)
Komposisi (%)
Parameter kualitas air yang diukur di perairan Muara Musi dan Muara
Banyuasin terdiri dari empat parameter, yaitu suhu, DO, pH dan Salinitas.
Parameter kualitas perairan Muara Musi dan Muara Banyuasin dapat dilihat pada
Tabel 3.
40.0
30.0
20.0
10.0
0.0
Berat Ikan (gr)
Panjang Ikan (cm)
(a)
(b)
Gambar 6. Komposisi Ukuran Ikan Jenis Formio niger (a) Ukuran Berat Ikan (gr);
(b) Ukuran Panjang Ikan (cm) yang Tertangkap di Perairan Muara
Musi dan Muara Banyuasin
Tabel 3. Parameter Kualitas Perairan Muara Musi dan Muara Banyuasin
Lokasi
Muara Musi
Rata-rata
Muara Banyuasin
Rata-rata
Suhu (°C)
31,80
30,30
31,16
31,10
29,83
30,83
30,30
Parameter
DO (mg/l)
pH
2,91
7,0
4,60
6,0
3,65
7,0
3,70
6,7
6,94
7,0
6,88
7,0
6,90
7,0
Salinitas (‰)
0,0
1,0
2,0
1,0
24,0
20,0
22,0
Berdasarkan Tabel 4. Kondisi suhu di perairan Muara Musi memiliki ratarata suhu 31,1 °C, rata-rata suhu di perairan Muara Banyuasin 30,3 °C. Kisaran
suhu dikedua muara 30,3-31,1 °C masih kisaran normal untuk kehidupan ikan.
Munurut Kordi dan Tancung (2007) bahwa kisaran suhu optimal bagi kehidupan
ikan di perairan tropis adalah antara 28-32⁰C.Dimana nilai suhu di perairan
mempengaruhi aktivitas metabolisme ikan dan sangat berkaitan erat dengan
86
oksigen terlarut dan konsumsi oksigen oleh ikan.Nybakken (1992) menyatakan
bahwa suhu air di estuaria lebih bervariasi daripada di perairan pantai. Hal ini
sebagian karena biasanya di estuaria volume air lebih kecil sedangkan luar
permukaan lebih besar, dengan demikian air estuaria lebih cepat panas dan lebih
cepat dingin.
Nilai rata-rata oksigen terlarut atau DO di perairan Muara Musi dan Muara
Banyuasin adalah 3,7 dan 6,9 mg/l. Tinggi rendahnya nilai DO di perairan di
Muara Musi dan Banyuasin dekatnya dengan areal pemukiman penduduk,
pelabuhan Tanjung Api-api dan jalur transportasi kapal-kapal yang menghasilkan
limbah, sehingga mempengaruhi nilai DO di perairan Muara tersebut. Menurut
Effendi (2003) kadar oksigen terlarut berfluktuasi secara harian dan musiman,
tergantung pada pencampuran dan pergerakan massa air, aktivitas fotosintesis,
respirasi, dan limbah yang masuk ke badan air.
Rata-rata kondisi pH di perairan Muara Musi dan Banyuasin 6,7 dan 7.
Menurut Effendi (2003) batas toleransi organisme terhadap pH bervariasi
tergantung pada suhu, oksigen terlarut, dan kandungan garam-garam ionik suatu
perairan. Kebanyakan perairan alami memiliki pH berkisar antara 6-9.
Sebagian besar biota perairan sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai
nilai pH sekitar 7–8,5.
Salinitas di perairan Muara Musi dan Muara Banyuasin adalah 1 ‰ dan
22 ‰.Nilai salinitas di daerah Muara atau estuari sangat berfluktuasi, karena
sangat dipengaruhi oleh kondisi pasang dan surut. Rendahnya nilai salinitas,
karena daerah muara banyak dipengaruhi oleh aliran air sungai yang bermuara di
daerah tersebut, serta dekatnya dengan daerah pemukiman penduduk. Menurut
Nontji (2007) perairan estuaria dapat mempunyai struktur salinitas yang
kompleks, karena selain merupakan pertemuan antara air tawar dan air laut.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah Jenis ikan yang
ditemukan di kedua Muara Sungai terdiri dari 23 jenis ikan, di Muara Sungai
Musi 9 jenis dan di Muara Sungai Banyuasin 14 jenis. Komposisi tertinggi jenis
sumberdaya perikanan di Muara Banyuasin adalah Pseudocienna
amoyensissebesar 53,98%, sedangkan di Muara Banyuasin jenis Ikan Formio
niger sebesar 28,89%.
Indeks dominansi di Muara Musi (C) 0,334, indeks keanekaragaman (H’)
1,502 dan indeks keseragaman (E) 0,706 maka dikategorikan memiliki dominansi
rendah dan indeks keanekaragaman yang rendah, sedangkan indeks keseragaman
komunitas dalam keadaan labil, sedangkan di Muara Banyuasin indeks dominansi
(C) 0,158, indeks keanekaragaman (H’) 2,156 dan indeks keseragaman (E) 0,956
maka dikategorikan memiliki dominansi rendah, indeks keanekaragaman yang
sedang dan indeks keseragaman komunitas dalam kondisi stabil.
87
Komposisi berat dan panjang ikan Pseudocienna amoyensisterbanyak
terdapat pada selang berat ikan 27-50 gram sebesar 25,56% dan selang panjang
ikan 17-18 cm sebesar 24,4%, jenis ikan Psettodes erumei selang berat ikan
terbanyak pada kisaran berat ikan 69-80 gram sebanyak 43,3 % dan selang
panjangnya terbanyak pada kisaran panjang ikan 28-29 cm dari 40 %, sedangkan
untuk jenis ikan Formio niger selang berat terbanyak tertangkap pada ukuran
berat antara 35-163 gram dari 76,9 % total tangkapan, sedangkan selang panjang
ikan terbanyak pada ukuran panjang ikan antara 13-16 cm sebanyak 55,8 % dari
total hasil tangkapan. Kualitas perairan untuk parameter suhu, DO, pH dan
salinitas perairan di muara Musi dan muara Banyuasin dalam kondisi baik untuk
kehidupan biota.
DAFTAR PUSTAKA
Brower, J.E., J.H. Zar, and C.N. Von Ende. 1990. Field and laboratory methods
for general ecology. Wim. C. Brown Co. Pub.Dubuque. Iowa. 237p.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Kordi, M.G.H. dan A. Tancung. 2007. Pengelolaan kualitas air dalam budidaya
perairan. Rineka Cipta. Jakarta. Hlm.:208.
Nontji, A. 2007. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta.
Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Odum. 1996. Dasar-dasar Ekologi. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta.
Pasaribu, M.A., D. Yusuf., dan Amiluddin. 2005. Perencanaan danEvaluasi
Proyek Perikanan. Hasanuddin University Press(LEPHAS). Makassar.
Setyobudiandi, I., Sulistiono, F. Yulianda, C. Kusmana, S. Hariyadi, A.Damar, A.
Sembiring, dan Bahtiar. 2009. Sampling dan analisis data perikanan dan
kelautan; terapan metode pengambilan contoh di wilayah pesisir dan laut.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.IPB. Bogor. Hlm.:312.
Sturgess, L.D. 1982. Engineering Mechanics : Dynamics. 2nd Ed., Wiley. New
York
www.djpt.kkp.go.id , 2015
www.fishbase.org, 2015
www.iftfishing.com, 2015
88
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap IPB ke-6
Halaman: 89-106
ISBN 978-979-1225-34-2
ANALISIS SISTEM KONEKTIVITAS PELABUHAN PERIKANAN
DALAM PENYEDIAAN BAHAN BAKU BAGI INDUSTRI
PENGOLAHAN IKAN
Iin Solihin1, Sugeng Hari Wisudo1, Joko Santoso2
1
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, FPIK - IPB
2
Departemen Teknologi Hasil Perairan, FPIK - IPB
ABSTRAK
Konektivitas antar pelabuhan perikanan membantu penyebaran produksi ikan
merata pada seluruh provinsi di Indonesia, sehingga industri pengolahan ikan
dapat memenuhi kebutuhan bahan baku tanpa perlu melakukan impor dari negara
lain. Penelitian ini dilakukan untuk menentukan provinsi di Indonesia yang belum
dapat memenuhi kebutuhan bahan baku industri pengolahannya serta menentukan
konektivitas di tiga pelabuhan perikanan yang menjadi lokasi survei. Penelitian ini
terkait keseluruhan provinsi di Indonesia dengan memilih tiga lokasi penelitian
yang menjadi fokus penelitian, yaitu PPN Brondong, PPS Belawan, dan PPS
Nizam Zachman. Analisis deskriptif dan analisis gap digunakan untuk dapat
menjawab kedua tujuan pada penelitian ini. Hasil dari penelitian ini menunjukkan
bahwa terdapat tujuh pelabuhan perikanan yang belum dapat memenuhi
kebutuhan bahan baku industri pengolahannya. Tiga pelabuhan perikanan yang
menjadi lokasi survei (PPN Brondong, PPS Nizam Zachman, dan PPS Belawan)
termasuk ke dalam pelabuhan perikanan yang telah dapat memenuhi kebutuhan
bahan baku industri pengolahan yang berada di sekitar pelabuhan perikanan
tersebut. Namun, tidak semua pelabuhan perikanan tersebut memiliki
konektivitas.PPN Brondong dan PPS Nizam Zachman memiliki konektivitas,
sedangkan PPS Belawan tidak memiliki konektivitas dengan kedua pelabuhan
perikanan lainnya.
Kata kunci: bahan baku ikan, industri pengolahan ikan, konektivitas, pelabuhan
perikanan
PENDAHULUAN
Salah satu upaya yang perlu dilakukan pemerintah dalam meningkatkan
pendapatan nelayan adalah adanya industri pengolahan hasil perikanan. Saat ini
ditargetkan ada 441 Unit Pengolahan Ikan (UPI) yang akan dibina dan terus
bertambah menjadi 464 UPI yang diarahkan untuk mendapat sertifikat Hazard
Analysis and Critical Control Points (HACCP) sebagai salah satu persayaratan
produk perikanan yang aman untuk dikonsumsi.
89
Pengembangan industri pengolahan perikanan di Indonesia menghadapi
beberapa kendala, yaitu (i) terbatasnya sarana dan prasarana pendukung industri
pengolahan ikan (ii) tingginya persyaratan yang ditetapkan oleh negara importir
perikanan Indonesia terkait dengan isu keamanan pangan dan isu lingkungan,
seperti Container Security Initiative (CSI), Free and Secure Trade (FAST), Local
Species Conservation Act, Hazard Analysis and Critical Control Points(HACCP),
Country Of Origin Labeling (COOL), dan Nutrition Labeling di Amerika Serikat;
White Paper on Food Safety, Zero ToleranceResidu Antibiotik, Tracebility and
System Border Control, Animal Welfare, dan isu lingkungan (ecolabelling), di Uni
Eropa;Traceability untuk tuna, dan antibiotika di Jepang (iii) belum terpenuhinya
kebutuhan bahan baku industri pengolahan berupa ikan hasil tangkapan.
Persoalannya bukan pada ketiadaan bahan baku tersebut, tapi lebih pada
tersebarnya sentra-sentra produksi penangkapan ikan dan terkendala oleh
rendahnya aksesibilitas dari dan ke sentra-sentra produksi penangkapan tersebut.
Secara nasional, pelabuhan perikanan di Indoenesi berjumlah 892
pelabuhan yang terdiri dari 6 Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS), 14 Pelabuhan
Perikanan Nusantara (PPN), 45 Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP), 825 Pangkalan
Pendaratan Ikan (PPI) dan 2 pelabuhan perikanan swasta (Ditjen Perikanan
Tangkap 2011). Adapun konektivitas antar pelabuhan perikanan tersebut memiliki
arti penting untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri pengolahan ikan.
Konektivitas antar pelabuhan perikanan membantu penyebaran produksi ikan
yang merata pada seluruh provinsi di Indonesia, sehingga industri pengolahan
ikan dapat memenuhi kebutuhan bahan baku tanpa perlu melakukan impor dari
negara lain. Selain itu, melalui konektivitas antar pelabuhan perikanan maka akan
menghindari penumpukan ikan pada cold storage atau gudang penyimpanan,
dimana penyimpanan ikan dalam waktu lama akan menyebabkan kualitas ikan
menurun sehingga harga jual ikan tersebut menurun pula.
Beberapa penelitian telah dilakukan terkait dengan pelabuhan perikanan,
logistik, dan distribusi.Syaukani (2009) melakukan penelitian mengenai model
jaringan industri perikanan tangkap di wilayah kepulauan.Penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa pengaturan jaringan distribusi terbukti menentukan tingkat
efisiensi industri perikanan.Penelitian lainnya menyatakan bahwa salah satu
penyebab tidak berkembangnya perikanan tangkap di wilayah-wilayah perbatasan
adalah karena tingkat aksesibilitas dari dan ke wilayah tersebut (Solihin
2012).Adanya pelabuhan perikanan di suatu wilayah belum merupakan jaminan
bagi terdistribusikannya ikan hasil tangkapan dengan baik tanpa adanya dukungan
sarana dan prasarana wilayah. Oleh karena itu distribusi hasil tangkapan dari satu
pelabuhan ke pelabuhan lain maupun wilayah pasar perlu difasilitasi dengan
adanya sarana dan prasarana wilayah tersebut.
Penelitian ini dilakukan untuk menentukan provinsi di Indonesia yang
belum dapat memenuhi kebutuhan bahan baku industri pengolahannya serta
90
menentukan konektivitas di tiga pelabuhan perikanan yang menjadi lokasi survei.
Manfaat dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk menginformasikan kondisi
ketersediaan dan kebutuhan ikan pada masing-masing provinsi di Indonesia.
METODOLOGI
Penelitian ini terkait keseluruhan provinsi di Indonesia dengan memilih
tiga lokasi penelitian yang menjadi fokus penelitian. Ketiga lokasi tersebut terdiri
dari tiga pelabuhan perikanan yang ada di Indonesia, yaitu Pelabuhan Perikanan
Nusantara (PPN) Brondong, Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Belawan, dan
PPS Nizam Zachman. Pemilihan ketiga pelabuhan perikanan tersebut berdasarkan
pertimbangan bahwa ketiganya merupakan lokasi konsentrasi pengembangan
industri pengolahan ikan dan sentra produksi penangkapan serta fokus
pembangunan yang terdapat pada Masterplan Perluasan dan Percepatan
Pembangunan Ekonomi Indonesia.
Data yang dikumpulkan pada penelitian ini dikategorikan menjadi data
primer dan data sekunder.Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung
dan wawancara dengan pihak-pihak terkait permasalahan penelitian.Pihak tersebut
berasal dari pengelola pelabuhan perikanan, nelayan, pedagang, pengumpul, dan
pengusaha pengolah perikanan.Data sekunder pada penelitian ini diperoleh dari
pengelola pelabuhan perikanan serta Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Analisis data yang digunakan pada penelitian ini yaitu analisis deskriptif
tabulasi dan analisis gap.Analisis deskriptif tabulasidigunakan untuk menjelaskan
pola ketersediaan dan kebutuhan ikan nasional serta pola konektivitasnya.
Analisis gap digunakan pada penelitian ini untuk mengetahui kemampuan
masing-masing provinsi dalam memenuhi kebutuhan bahan baku industri
pengolah ikan. Analisis gap menggunakan rumus sebagai berikut:
HASIL
Produksi Perikanan Tangkap Indonesia
Indonesia terdiri dari 33 provinsi dan masing-masing memiliki pelabuhan
perikanan untuk mendaratkan hasil tangkapan nelayan.Berdasarkan data yang
diperoleh dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (2008 – 2012), diketahui
bahwa keseluruhan provinsi tersebut memiliki produksi hasil tangkapan yang
berbeda-beda. Provinsi di Indonesia yang menghasilkan produksi perikanan
tangkap paling banyak selama lima tahun terakhir adalah Maluku. Pada tahun
2007, produksi perikanan tangkap di Maluku mencapai 489.249 ton atau sebesar
10,33% dari total produksi perikanan tangkap di Indonesia. Produksi di Maluku
91
tersebut kemudian mengalami sedikit penurunan pada tahun 2008, yaitu menjadi
315.409 ton atau sekitar 6,71% dari total produksi perikanan tangkap di Indonesia.
Tahun 2009, produksi perikanan tangkap tersebut kembali meningkat menjadi
341.966 ton (7,11% dari total produksi perikanan tangkap Indonesia). Pada tahun
2010 dan 2011, produksi perikanan tangkap di Maluku mengalami peningkatan
yang lumayan, yaitu menjadi 559.000 ton dan 567.953 ton (Gambar 1).
Provinsi Jawa Timur merupakan provinsi selanjutnya yang memiliki
produksi perikanan tangkap terbanyak, yaitu dengan produksi sebesar 382.877 ton
pada tahun 2007, atau sebesar 8,02% dari total produksi perikanan tangkap di
Indonesia. Pada tahun 2008, produksi tersebut meningkat menjadi 394.262 ton
atau 8,39% dari total produksi perikanan tangkap di Indonesia. Produksi tersebut
mengalami penurunan pada tahun 2009 yaitu menjadi 395.510 ton atau sekitar
8,22% dari total produksi perikanan tangkap di Indonesia. Penurunan produksi di
Provinsi Jawa Timur terjadi kembali pada tahun 2010 sehingga produksi tersebut
menjadi338.918 ton.Selanjutnya, pada tahun 2011 terjadi peningkatan produksi di
Jawa Timur yaitu 362.624 ton(Gambar 1).
Provinsi Sumatera Utara merupakan provinsi selanjutnya yang memiliki
produksi perikanan tangkap terbanyak. Pada tahun 2007, Sumatera Utara
menghasilkan produksi sebesar 384.222 ton atau 7,36% dari total produksi
perikanan tangkap di Indonesia. Produksi tersebut meningkat menjadi 354.535 ton
pada tahun 2008.Produksi perikanan tangkap Sumatera Utara pada tahun 2009
sebesar 358.664 ton atau 7,45% dari total produksi perikanan tangkap di
Indonesia, dan pada tahun 2010 terjadi penurunan produksi tersebut sehingga
jumlahnya menjadi 341.323 ton. Pada tahun 2011, terjadi peningkatan produksi
perikanan tangkap di Sumatera Utara, dimana pada tahun tersebut produksinya
mencapai 463.201 ton (Gambar 1).
Produksi perikanan tangkap di Indonesia paling sedikit dihasilkan oleh
Provinsi D.I. Yogyakarta. Produksi D.I Yogyakarta pada tahun 2007 hanya 0,06%
dari total produksi perikanan tangkap di Indonesia, atau sebesar 2.629 ton.
Produksi tersebut mengalami penurunan pada tahun 2008 sehingga jumlahnya
menjadi 1.939 ton. Namun, pada tahun 2009 dan 2010, D.I. Yogyakarta mencapai
produksi sebesar 4.239 ton atau 0,09% dari total produksi perikanan tangkap di
Indonesia. Produksi perikanan tangkap di D.I. Yogyakarta kembali menurun pada
tahun 2011, yaitu produksinya sebesar 3.954 ton (Gambar 1).
92
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Selatan
Gorontalo
Kalimantan Timur
Kalimantan Tengah
Jawa Timur
Jawa Tengah
DKI Jakarta
Tahun 2011
Papua Barat
Tahun 2010
Maluku Utara
Tahun 2009
Nusa Tenggara Timur
Tahun 2008
Bali
Tahun 2007
Bengkulu
Sumatera Selatan
Kepulauan Riau
Sumatera Barat
Aceh
0
100,000200,000300,000400,000500,000600,000
PRODUKSI (ton)
(Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2008 - 2012)
Gambar 1 Grafik produksi perikanan tangkap berdasarkan provinsi di Indonesia
tahun 2007 – 2011
Berdasarkan Gambar 1, kemudian dilakukan pemetaan sebaran
ketersediaan produksi ikan hasil tangkapan berdasarkan provinsi pada tahun
terakhir (2011), seperti dapat dilihat pada Gambar 2. Terlihat bahwa ketersediaan
produksi ikan hasil tangkapan dominan terdapat di Provinsi Maluku, Sumatera
Utara, dan Jawa Timur.
Gambar 2 Produksi ikan berdasarkan provinsi tahun 2011
93
Kebutuhan Bahan Baku Ikan untuk Unit Pengolahan Ikan
Masing-masing provinsi di Indonesia dilengkapi oleh unit pengolahan
hasil perikanan untuk mendukung sektor perikanannya.Provinsi Jawa Timur
merupakan provinsi di Indonesia yang memiliki unit pengolahan hasil perikanan
yang paling banyak.Pada tahun 2010, jumlah unit pengolahan hasil perikanan di
Jawa Timur adalah 10.640 unit.Selanjutnya, Provinsi Jawa Tengah merupakan
provinsi di Indonesia yang memiliki jumlah unit pengolahan hasil perikanan
terbanyak setelah Jawa Timur.Provinsi Jawa Tengah memiliki 8.350 unit
pengolahan hasil perikanan pada tahun 2010 (Gambar 3).
Unit pengolahan hasil perikanan paling sedikit berada di Provinsi Papua
Barat.Jumlah unit pengolahan hasil perikanan tersebut hanya 65 unit. Jumlah
tersebut sangat jauh dibandingkan dengan jumlah unit pengolahan hasil perikanan
di provinsi lain yang mencapai ratusan bahkan ribuan. Provinsi Maluku
merupakan provinsi yang memiliki jumlah unit pengolahan hasil perikanan paling
sedikit kedua setelah Papua Barat.Jumlah unit pengolahan hasil perikanan tersebut
adalah 141 unit (Gambar 3).
Pengolahan hasil perikanan di Indonesia dikelompokkan ke dalam 4
klasifikasi usaha pengolahan ikan, yaitu mikro, kecil, menengah, dan
besar.Adapun klasifikasi usaha pengolahan ikan yang paling banyak jumlahnya di
Indonesia adalah skala mikro.Pada tahun 2010, jumlah unit pengolahan ikan yang
termasuk ke dalam skala mikro adalah 53.054 unit.Sedangkan, klasifikasi usaha
pengolahan ikan yang jumlahnya paling sedikit adalah skala besar.Jumlah usaha
pengolahan ikan di Indonesia dengan skala besar hanya mencapai 122 unit.
Selanjutnya, jumlah usaha pengolahan ikan dengan skala kecil adalah 5.313 unit
dan jumlah usaha pengolahan ikan dengan skala menengah adalah 1.628 unit.
Skala usaha mikro untuk usaha pengolahan ikan paling banyak jumlahnya
terdapat di Provinsi Jawa Timur.Pada tahun 2010, jumlah usaha pengolahan ikan
dengan skala mikro di Provinsi Jawa Timur adalah 9.620 unit.Sedangkan, skala
usaha mikro untuk usaha pengolahan ikan paling sedikit jumlahnya terdapat di
Provinsi Papu Barat, yaitu dengan jumlah 59 unit pada tahun 2010 (Gambar 4).
Usaha pengolahan ikan dengan skala besar hanya terdapat di beberapa
provinsi saja di Indonesia, diantaranya adalah Provinsi Jambi, Kepulauan Riau,
Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan
Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Gorontalo.
Jumlah usaha pengolahan ikan dengan skala besar paling banyak terdapat di
Provinsi Jawa Timur, dengan jumlah 54 unit pada tahun 2010.Sedangkan, usaha
pengolahan ikan dengan skala besar paling sedikit jumlahnya berada di Provinsi
Jambi, Kepulauan Riau, Kalimantan Selatan, dan Gorontalo.Jumlah usaha
94
Papua
Papua Barat
Maluku Utara
Maluku
Sulawesi Barat
Gorontalo
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tengah
Sulawesi Utara
Kalimantan Timur
Kalimantan Selatan
Kalimantan Tengah
Kalimantan Barat
Nusa Tenggara Timur
Nusa Tenggara Barat
Bali
Banten
Jawa Timur
DI Yogyakarta
Jawa Tengah
Jawa Barat
DKI Jakarta
Kepulauan Riau
Bangka Belitung
Lampung
Bengkulu
Sumatera Selatan
Jambi
Riau
Sumatera Barat
Sumatera Utara
Aceh
0
2,000
4,000
6,000
8,000
10,000
12,000
Jumlah Unit Pengolahan Ikan (unit)
(Sumber: diolah, Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2011)
Gambar 3 Grafik jumlah unit pengolahan hasil perikanan berdasarkan provinsi di
Indonesia tahun 2010.
95
Papua
Papua Barat
Maluku Utara
Maluku
Sulawesi Barat
Gorontalo
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tengah
Sulawesi Utara
Kalimantan Timur
Kalimantan Selatan
Kalimantan Tengah
Kalimantan Barat
Nusa Tenggara Timur
Nusa Tenggara Barat
besar
Bali
menengah
Banten
kecil
Jawa Timur
DI Yogyakarta
mikro
Jawa Tengah
Jawa Barat
DKI Jakarta
Kepulauan Riau
Bangka Belitung
Lampung
Bengkulu
Sumatera Selatan
Jambi
Riau
Sumatera Barat
Sumatera Utara
Aceh
-
2,000
4,000
6,000
8,000 10,000 12,000
Jumlah Unit Pengolahan Ikan (unit)
(Sumber: diolah, Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2011)
Gambar 4 Grafik jumlah unit pengolahan hasil perikanan berdasarkan klasifikasi
usaha dan provinsi di Indonesia tahun 2010
96
pengolahan ikan dengan skala besar di 4 provinsi tersebut adalah masing-masing
1 unit (Gambar 4).
Provinsi Jawa Tengah merupakan provinsi yang memiliki jumlah usaha
pengolahan ikan dengan skala kecil yang paling banyak, yaitu 1.173 unit pada
tahun 2010. Pada tahun yang sama, Provinsi Papua merupakan provinsi yang
memiliki jumlah usaha pengolahan ikan dengan skala kecil yang paling sedikit,
yaitu 1 unit. Adapun untuk jumlah usaha pengolahan ikan dengan skala menengah
paling banyak terdapat di Provinsi Jawa Tengah (609 unit) dan paling sedikit
terdapat di Provinsi Jambi dan DI Yogyakarta. Provinsi Riau, Gorontalo, dan
Maluku Utara tidak memiliki usaha pengolahan ikan dengan skala menengah
(Gambar 4).
a) PPN Brondong
Unit pengolahan ikan di sekitar PPN Brondong merupakan unit
pengolahan ikan berskala menengah dan besar yang menghasilkan produk olahan
ikan beku dan surimi.Selain itu, di sekitar PPN Brondong terdapat pula unit
pengolahan ikan yang berskala kecil.Unit pengolahan ikan tersebut sebagian besar
menghasilkan olahan ikan dalam bentuk asin dan pindang.
Produksi olahan ikan (ton)
Secara umum, terdapat empat jenis olahan ikan yang dihasilkan oleh unit
pengolahan ikan di sekitar PPN Brondong.Adapun jenis olahan ikan yang paling
banyak dihasilkan oleh unit pengolahan ikan tersebut yaitu ikan asin.Rata-rata
produksi olahan ikan asin di sekitar PPN Brondong adalah 6.482 ton/tahun.
Sedangkan, rata-rata produksi olahan ikan fillet, pindang, dan panggang secara
berurutan adalah 5.637 ton/tahun; 2.480 ton/tahun; dan 2.191 ton/tahun
(Gambar 5).
9,000
8,000
7,000
6,000
5,000
4,000
3,000
2,000
1,000
0
Pindang
Asin
Panggang
Fillet
2008
2009
2010
2011
2012
Tahun
(Sumber: Laporan Tahunan PPN Brondong Tahun 2012)
Gambar 5 Produksi ikan berdasarkan olahan di PPN Brondongtahun 2008 – 2012
b) PPS Nizam Zachman
97
Unit pengolahan ikan yang terdapat di PPS Nizam Zachman didominasi
oleh unit pengolahan ikan dengan skala besar. Adapun setiap unit pengolahan ikan
dengan skala besar di PPS Nizam Zachman diasumsikan membutuhkan 5 – 6 ton
ikan setiap harinya untuk kegiatan produksi ikan olahan, sedangkan untuk unit
pengolahan ikan dengan skala menengah dan kecil membutuhkan antara 2 – 3 ton
dan 0,5 – 1,5 ton ikan. Maka, diketahui bahwa unit pengolahan ikan di PPS Nizam
Zachman dapat memproduksi sekitar 65.250 ton ikan olahan.
c)
PPS Belawan
Jenis olahan ikan yang dihasilkan oleh unit pengolahan ikan di PPS
Belawan yaitu pengeringan, peragian, tepung ikan, pembekuan, ikan
asin.Sebagaian besar produksi ikan yang didaratkan di PPS Belawan diolah dalam
bentuk beku.Rata-rata produksi ikan beku yang dihasilkan yaitu sebesar 7.756
ton/tahun.Adapun jenis olahan ikan yang paling sedikit dihasilkan oleh unit
pengolahan ikan di PPS Belawan adalah tepung ikan. Rata-rata tepung ikan yang
dihasilkan yaitu 1.585 ton/tahun (Gambar 6).
16,000
Produksi olahan ikan (ton)
14,000
12,000
10,000
pengeringan
8,000
peragian
6,000
tepung ikan
pembekuan
4,000
ikan asin
2,000
0
2008
2009
2010
2011
2012
Tahun
(Sumber: Laporan Statistik PPS Belawan Tahun 2013)
Gambar 6 Produksi ikan berdasarkan olahan di PPS Belawan tahun 2008 – 2012
Estimasi kebutuhan bahan bakuikan untuk unit pengolahan ikan
Kebutuhan bahan baku ikan untuk unit pengolahan ikan pada masingmasing provinsi di Indonesia berbeda-beda. Sebagian besar unit pengolahan ikan
tersebut membutuhkan ikan dalam jumlah kecil, yaitu tidak lebih dari 300.000
ton/tahun. Hanya beberapa provinsi saja yang unit pengolahan ikannya
membutuhkan bahan baku ikan dalam jumlah besar, diantaranya adalah Jawa
98
Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Aceh. Secara berurutan, kebutuhan
bahan baku untuk unit pengolahan ikan pada keempat provinsi tersebut yaitu
900.922 ton/tahun; 849.362 ton/tahun; 627.087 ton/tahun; 457.594 ton/tahun.
Secara lebih rinci, informasi mengenai kebutuhan bahan baku ikan untk unit
pengolahan ikan pada masing-masing provinsi di Indonesia dapat dilihat pada
gambar berikut.
Gambar 7 Kebutuhan bahan baku ikan untuk unit pengolahan ikan berdasarkan
provinsi
Estimasi kebutuhan ikan di pelabuhan perikanan
Hampir setiap pelabuhan perikanan di Indonesia memiliki unit pengolahan
ikan di sekitarnya. Jumlah kebutuhan bahan baku ikan untuk setiap pelabuhan
perikanan berbeda-beda, tergantung pada skala usahanya (seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya). Berikut merupakan tabel yang akan menunjukkan
kebutuhan bahan baku untuk unit pengolahan ikan di tiga pelabuhan perikanan
yang menjadi lokasi survei.
Tabel 1 Kebutuhan bahan baku untuk unit pengolahan ikan di tiga pelabuhan
Nama Pelabuhan
PPN Brondong
PPS Nizam Zachman
PPS Belawan
Kebutuhan Bahan Baku (ton/tahun)
18.247
65.250
52.552
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa PPS Nizam Zachman
membutuhkan bahan baku untuk unit pengolahannya mencapai 65.250 ton/tahun.
Kebutuhan tersebut lebih besar dibandingkan kebutuhan dua pelabuhan perikanan
lainnya.Hal tersebut dikarenakan unit pengolahan ikan di sekitar PPS Nizam
99
Zachman didominasi oleh unit pengolahan ikan dengan skala besar. Sedangkan
PPS Belawan membutuhkan bahan baku ikan sebanyak 52.552 ton/tahun dan PPN
Brondong sebanyak 18.247 ton/tahun. Kebutuhan bahan baku untuk unit
pengolahan ikan di PPN Brondong lebih kecil dibandingkan dua pelabuhan
perikanan lainnya dikarenakan unit pengolahan ikan di PPN Brondong merupakan
unit pengolahan ikan dengan skala menengah dan bahkan didominasi oleh unit
pengolahan ikan dengan skala kecil.
Pola Ketersediaan dan Kebutuhan Ikan Nasional
Produksi ikan yang didaratkan di setiap provinsi di Indonesia berbedabeda, begitu pula dengan kebutuhan ikannya.Kondisi yang ideal adalah apabila
produksi ikan yang didaratkan di suatu provinsi dapat memenuhi kebutuhan ikan
provinsi tersebut, terutama kebutuhan ikan untuk industri pengolahan ikan.Namun
pada kenyataannya, terdapat beberapa provinsi yang masih kekurangan ikan untuk
memenuhi kebutuhan ikan di provinsinya.
Pada Gambar 8 ditunjukkan bahwa terdapat beberapa provinsi di Indonesia
mengalami kekurangan ikan untuk memenuhi kebutuhan ikan pada industri
pengolahan ikan di provinsinya. Adapun provinsi-provinsi yang dimaksud
tersebut adalah Aceh, Nusa Tenggara Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa
Timur, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan. Secara berurutan, jumlah
kekurangan ikan untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan ikan pada tujuh
provinsi tersebut yaitu 313.913 ton/tahun; 33.467 ton/tahun; 649.386 ton/tahun;
1.257 ton/tahun; 486.738 ton/tahun; 54.245 ton/tahun; dan 408.268 ton/tahun.
Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan merupakan provinsi
yang paling banyak kekurangan ikan untuk bahan baku industri pengolahan ikan.
Sebagian besar provinsi di Indonesia, yaitu 79% dari total provinsi di
Indonesia, sudah dapat memenuhi kebutuhan bahan baku industri pengolahan ikan
yang terdapat di provinsinya, bahkan terdapat kelebihan produksi ikan dari
kebutuhan industri pengolahan ikan di provinsinya. Provinsi yang memiliki
kelebihan produksi paling banyak adalah Provinsi Maluku, Papua, dan Sumatera
Utara.Secara berurutan, jumlah produksi ikan yang berlebihan untuk ketiga
provinsi tersebut 561.373 ton/tahun; 262.499 ton/tahun; dan 311.406
ton/tahun.Terlihat bahwa Provinsi Maluku memiliki paling banyak jumlah ikan
yang berlebihan dalam memenuhi kebutuhan industri pengolahan ikan.
Apabila dilihat secara umum, ketersediaan bahan baku untuk industri
pengolahan ikan di wilayah Indonesia dapat terpenuhi. Rata-rata kebutuhan ikan
untuk industri pengolahan ikan tersebut yaitu 133.062 ton/tahun, sedangkan
produksi ikan di Indonesia mencapai 161.992 ton/tahun.Namun, tetap harus
diperhatikan wilayah Indonesia yang masih belum dapat memenuhi kebutuhan
industri pengolahan ikan di wilayahnya. Hal tersebut penting karena berdasarkan
100
analisis yang dilakukan, jumlah ketersediaan bahan baku yang masih kurang
tersebut jumlahnya tidak sedikit, yaitu sebesar 1.947.274 ton/tahun dari total
kebutuhan ikan untuk industri pengolahan ikan di Indonesia (4.391.057
ton/tahun).
Keterangan:
Kelebihan demand sebesar:
Kelebihan supplay sebesar:
0 – 220.000 ton/tahun
0 – 190.000 ton/tahun
00.000 ton/tahun
220.000 – 440.000 ton/tahun
190.000 – 380.000 ton/tahun
440.000 – 660.000 ton/tahun
380.000 – 570.000 ton/tahun
300.000 – 600.000 ton/tahun
300.000 – 600.000 ton/tahun
0 – 300.000
– 300.000
ton/tahun
Gambar
8 Gap ton/tahun
antara produksi dan kebutuhan0ikan
berdasarkan
provinsi
Informasi lain yang dapat diperoleh berdasarkan analisis yang dilakukan
yaitu adanya ketidakmerataan produksi ikan yang didaratkan pada pelabuhan
perikanan yang terdapat di bagian barat Indonesia dengan pelabuhan perikanan
yang terdapat di bagian timur Indonesia. Selain itu, terlihat pula bahwa industri
pengolahan ikan di Indonesia terpusat pada pulau Jawa, dimana pulau Jawa
memiliki produksi ikan yang tidak banyak seperti pulau-pulau yang terdapat di
bagian timur Indonesia.
a) PPN Brondong
101
Produksi ikan di PPN Brondong telah dapat memenuhi kebutuhan bahan
baku industri pengolahan ikan di sekitar pelabuhan perikanan tersebut. Hal
tersebut dapat dilihat dari besarnya gap yang ada antara produksi ikan yang
didaratkan di PPN Brondong dengan kebutuhan industri pengolahan ikan di
sekitar pelabuhan tersebut, yaitu sebesar 39.516 ton/tahun.Selain itu, nilai gap
tersebut menunjukkan pula bahwa terdapat kelebihan produksi ikan di PPN
Brondong.Adapun kelebihan produksi tersebut dimanfaatkan oleh para pengmpul
untuk disalurkan ke beberapa daerah yang masih berada di wilayah Jawa Timur.
b) PPS Nizam Zachman
Kebutuhan bahan baku untuk industri pengolahan ikan di PPS Nizam
Zachman dapat dipenuhi dengan ketersediaan ikan yang jumlahnya melebihi
kebutuhan tersebut. Jumlah produksi ikan yang berlebih di PPS Nizam Zachman
yaitu sebesar 39.605 ton/tahun.Seperti halnya PPN Brondong, produksi ikan yang
berlebih tersebut umumnya disalurkan ke beberapa wilayah oleh para pengumpul
atau perusahaan.Hanya saja, produksi ikan yang berlebih tersebut tidak hanya
disalurkan di sekitar Jakarta, tetapi di beberapa wilayah Indonesia lainnya yang
berada di luar Jabodetabek bahkan ke luar negeri.
c)
PPS Belawan
Berbeda dengan PPN Brondong dan PPS Nizam Zachman, produksi ikan
yang didaratkan di PPS Belawan jumlahnya tidak terlalu signifikan berbeda
dengan kebutuhan bahan baku untuk industri pengolahan ikan di sekitar
pelabuhan perikanan tersebut. Nilai gap antara keduanya sebesar 10.752
ton/tahun.Hal tersebut dikarenakan jumlah produksi ikan yang didaratkan di PPS
Belawan tidak terlalu banyak.Adapun kelebihan dari produksi ikan di PPS
Belawan dimanfaatkan oleh pengumpul untuk disalurkan ke beberapa wilayah
Sumatera Utara bahkan disalurkan ke beberapa negara lainnya.
Pola Konektivitas Pelabuhan Perikanan dalam Distribusi Ikan
Ketersediaan ikan di PPN Brondong, PPS Nizam Zachman, dan PPS
Belawan yang melebihi kebutuhan bahan baku industri ikan di sekitar ketiga
pelabuhan perikanan tersebut menyebabkan para pengumpul memanfaatkannya
dengan cara menyalurkan beberapa ton produksi tersebut ke beberapa wilayah
lainnya. Walaupun belum ada kerja sama yang resmi antara ketiga pelabuhan
perikanan tersebut dengan pelabuhan perikanan lainnya, tetapi para pengmpul
telah menjalin kerja sama melalui konektivitas antar pelabuhan perikanan.
Berdasarkan Gambar 9, terlihat bahwa antara PPN Brondong dan PPS
Nizam Zachman terdapat koneksi, dimana dari PPS Nizam Zachman menyalurkan
produksi ikannya ke PPN Brondong. Sebaliknya, PPN Brondong menyalurkan
Karawang
102
Pamanukan
Indramayu
Serang
PPS Nizam
Keterangan:
masuknya ikan ke PP selain didaratkan oleh nelayan
keluarnya ikan dari PP selain didaratkan oleh nelayan
Gambar 9 Konektivitas antar pelabuhan perikanan sekitar PPS Nizam Zachman,
PPN Brondong, dan PPS Belawan
103
kelebihan produksi ikannya ke PPS Nizam Zachman, walaupun secara tidak
langsung. Hal tersebut karena dari PPN Brondong, ikan disalurkan terlebih dahulu
ke pelabuhan perikanan lainnya di Jawa Timur untuk selanjutnya disalurkan ke
PPS Nizam Zachman.
Selain konektivitas dengan PPN Brondong, PPS Nizam Zachman memiliki
konektivitas dengan pelabuhan perikanan lainnya di Indonesia, seperti pelabuhan
perikanan di Jawa Tengah, Jawa Barat, Lampung, dan Kalimantan, bahkan
terdapat pula konektivitas dengan beberapa pelabuhan perikanan di luar negeri
seperti pelabuhan di negara tetangga (Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina,
Taiwan, Cina, Korea Selatan) dan beberapa pelabuhan perikanan di benua
Amerika, Afrika dan Eropa.
Konektivitas di PPN Brondong hanya terjalin dengan pelabuhan perikanan
di sekitar Jawa Timur atau pulau Jawa saja.Terlihat bahwa produksi ikan di PPN
Brondong disalurkan ke pelabuhan perikanan di Jawa Timur.Tidak terdapat
konektivitas antara PPN Brondong dengan pelabuhan perikanan di luar negeri.
PPS Belawan tidak memiliki koneksi dengan PPS Nizam Zachman
maupun PPN Brondong.Produksi ikan yang berlebihan di PPS Belawan banyak
diekspor langsung ke negara tetangga dan beberapa negara lainnya.Adapun untuk
penyaluran ke wilayah-wilayah di Indonesia, produksi ikan dari PPS Belawan
hanya disalurkan ke beberapa wilayah di pulau Sumatera, seperti Aceh dan
Sumatera Utara. Hal tersebut terjadi karena adanya ketidakseimbangan harga yang
dikeluarkan dengan yang diterima apabila penyaluran ikan dari PPS Belawan
dilakukan ke pulau Jawa bahkan pulau Bali – Nusa Tenggara dan pulau di bagian
timur Indonesia lainnya.Oleh karena itu, produksi ikan di PPS Belawan lebih
banyak diekspor ke luar negeri karena biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan
penyaluran ikan lebih murah dibandingkan ke pulau-pulau lainnya di Indonesia
(diluar pulau Sumatera).
PEMBAHASAN
Kelangkaan bahan baku ikan untuk industri perikanan di beberapa daerah
yang terdapat di Indonesia disebabkan oleh buruknya sistem logistik di Indonesia.
Hal tersebut diperkuat dengan indeks logistik Indonesia (Logistics Performance
Index/LPI) yang hanya berada pada urutan 53 pada tahun 2014. Walaupun nilai
LPI tahun 2014 tersebut meningkat dibandingkan tahun 2010, dimana pada tahun
2010 LPI Indonesia berada pada urutan 75, namun tetap saja Indonesia masih
kalah dengan negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Australia,
Jepang. Selain itu, kelangkaan bahan baku ikan disebabkan pula karena adanya
ketidakmerataan ketersediaan ikan di setiap wilayah Indonesia. Seperti pada hasil
yang diperoleh pada penelitian, terlihat bahwa terdapat beberapa wilayah di
Indonesia yang kekurangan produksi ikan sebagai bahan baku industri, serta
104
banyak wilayah di Indonesia yang kelebihan produksi ikan karena tidak dapat
dididtribusikan ke wilayah lainnya terkait kendala logistik.
Kekurangan produksi ikan pada beberapa wilayah di Indonesia pada
dasarnya dapat diatasi dengan mendistribusikan kelebihan produksi ikan pada
wilayah lainnya di Indonesia.Namun, permasalahan logistik Indonesia yang masih
buruk menyebabkan wilayah-wilayah yang kekurangan produksi lebih memiliki
melakukan impor ikan dari negara tetangga.Hal tersebut dikarenakan biaya
logistik ikan dari negara tetangga lebih murah dibandingkan biaya logistik ikan
dari wilayah lainnya yang masih merupakan bagian dari negara Indonesia.
Kondisi yang memprihatinkan terjadi di wilayah bagian timur Indonesia
pada saat musim panen atau musim banyak ikan.Pada saat kondisi tersebut,
wilayah timur Indonesia banyak tersedia ikan karena jumlah penduduk dan
industri pengolahan ikan yang sedikit tidak dapat menyerap banyaknya produksi
ikan tersebut.Selanjutnya, kelebihan produksi ikan tersebut menyebabkan harga
jual ikan rendah.Dilain pihak, pada saat kondisi tersebut, wilayah bagian barat
Indonesia yang memiliki jumlah penduduk dan industri pengolahan ikan yang
lebih banyak membutuhkan pasokan ikan. Namun, kembali lagi pada
permasalahan utama yang terjadi di Indonesia, yaitu kurangnya konektivitas antar
pelabuhan perikanan di Indonesia dalam hal logistik ikan. Seperti yang diketahui
bahwa pelabuhan perikanan merupakan tempat mendaratkan hasil tangkapan yang
merupakan awal dari segala kegiatan pemenuhan ikan di Indonesia secara khusus.
Hasil yang diperoleh pada penelitian ini menunjukkan bahwa tidak semua
pelabuhan perikanan di Indonesia memiliki konektivitas.Belum maksimalnya
sistem konektivitas antar pelabuhan perikanan tersebut sangat terkait dengan
sistem logistik ikan di Indonesia. Seperti yang diketahui bahwa tantangan sistem
logistik ikan di Indonesia yaitu kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari
banyak pulau dimana wilayah yang memiliki potensi sebagai daerah penangkapan
ikan atau sebagai supplier yaitu wilayah timur Indonesia, sedangkan wilayah yang
berpotensi sebagai lokasi industri pengolahan ikan atau sebagai konsumen yaitu
wilayah barat Indonesia (pulau Jawa). Selain itu, harga juga merupakan kendala
dalam sistem logistik ikan di Indonesia.
Sarana dan prasarana pendukung untuk sistem konektivitas antar
pelabuhan perikanan juga memiliki pengaruh yang penting. Apabila sarana dan
prasarana pendukung yang tersedia tidak memadai untuk pemanfaatannya, maka
akan memberikan pengaruh buruk terhadap sistem konektivitas. Sebagai contoh
yaitu pelabuhan perikanan Prigi di Jawa Timur yang diidentifikasi
pembangunannya tidak diikuti dengan pembangunan jaringan transportasi yang
terintegrasi sehingga menyebabkan mahalnya akses transportasi darat untuk
pendistribusian hasil produksi ikan.
105
KESIMPULAN
Terdapat tujuh pelabuhan perikanan yang belum dapat memenuhi
kebutuhan bahan baku industri pengolahannya. Adapun tiga pelabuhan perikanan
yang menjadi lokasi survei (PPN Brondong, PPS Nizam Zachman, dan PPS
Belawan) termasuk ke dalam pelabuhan perikanan yang telah dapat memenuhi
kebutuhan bahan baku industri pengolahan yang berada di sekitar pelabuhan
perikanan tersebut.
Konektivitas antara pelabuhan perikanan telah terjadi pada PPN Brondong
dan PPS Nizam Zachman.Tetapi, PPS Belawan tidak memiliki konektivitas
dengan kedua pelabuhan perikana tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Hermawan T. 2013. Sistem Logistik Ikan Nasional, Sebuah Tinjauan Kebijakan
[Internet]. [diunduh 2014 Juli 5]. Terdapat pada: http://call-forpapers.bappenas.go.id/papers/Sub%20tema%20Perekonomian%20Tommy
hermawan.pdf.
Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2009 – 2012. Statistik Perikanan Tangkap
Indonesia.Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 134 Hal.
Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong. 2012. Laporan Statistik.
Brondong.106 Hal.
Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan. 2012. Statistik Pelabuhan Perikanan
Samudera Belawan. Belawan.54 Hal.
Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman.2012. Statistik Pelabuhan
Perikanan Samudera Nizam Zachman. Jakarta.
Syaukani M. 2009. Model Jaringan Industri Perikanan Tangkap di Wilayah
Kepulauan [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 46 Hal.
Solihin I. 2012.Strategi Pengembangan Perikanan Tangkap di Wilayah Kabupaten
Nunukan Kalimantan Timur, Perbatasan Indonesia-Malaysia [Disertasi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 233 Hal.
106
Prosiding Seminar NasionalPerikananTangkap IPB ke-6
Halaman: 107-115
ISBN 978-979-1225-34-2
KAJIANBIAYADANMANFAATPEMACUANSTOK DAN ‘SEA
RANCHING’ KERAPU DI INDONESIA
(Costs and Benefits of Grouper Stock Enhancement and Sea-Ranching in
Indonesia)
Irfan Yulianto1,3, Cornelius Hammer2, Budy Wiryawan3, Harry W. Palm1
1
University of Rostock, Aquaculture and Sea-Ranching, Justus-von-Liebig Weg 6, 18059 Germany.
2
Thünen-Institute of Baltic Sea Fisheries Rostock, Alter HafenSüd 2, 18069 Rostock, Germany.
3
Bogor Agricultural University, Faculty of Fisheries and Marine Sciences, Bogor Agricultural University,
Indonesia.
Corresponding author: University of Rostock, Aquaculture and Sea-Ranching, Justus-von-Liebig Weg 6,
18059 Germany. Email: [email protected] ; [email protected]
ABSTRACT
Indonesian Ministry of Marine Affairs and Fisheries conducted grouper fish stock
enhancement to restore fish populations and increase yield due to high demand
and price. Stock enhancement and sea-ranching of groupers might be a potential
solution to reduce the problems caused by constantly high wild grouper
catches.As a potential solution, it is important to calculate costs and benefits of
stock enhancement and sea ranching.The objective of this study was to calculate
the costs and benefit of successful grouper stock enhancement in Indonesia.We
used data and information collected during brown-marbled grouper
(Epinephelusfuscoguttatus) stock enhancement experiment conducted in
Karimunjawa Islands from November 2012 to December 2013. Several
parameters were used in this study, such as the natural mortality, growth
parameters of grouper, and length weight relationship. According to the
experiment the major costs for brown-marbled grouper stock enhancement were
the purchase of the fish and the transportation cost to the release
site.The theoretical benefit of the stock enhancement or sea-ranching activity with
10 and 15 cm sized grouper is around 28 million IDR (2027 €) and 18 million
IDR (1274 €), or 24 million IDR (1690 €) and 18 million IDR (1274 €) per year,
respectively.Although the release of 15 cm E. fuscoguttatus is more expensive and
produces lower economic benefit, the likelihood of falling prey is much lower
impact.Stock enhancement also has additional advantages such as strengthen
fisheries management, promote monitoring programmes and increase community
support and awareness.
Keyword: Grouper, stock enhancement, sea ranching, cost and benefit,
Karimunjawa National Park
107
ABSTRAK
Kementerian Kelautan dan Perikanan telahmencanangkan program pemacuanstok
ikan kerapu untuk memulihkan populasi dan meningkatkan produksiyang
disebabkanpermintaan pasardenganharga yangtinggi.Pemacuanstok dan „searanching‟ (lepas liar ikan di laut) ikan kerapu dapat menjadi solusi yang
potensial untuk mengurangi permasalahan yang disebabkan oleh tingginyatekanan
dari kegiatan penangkapan ikan kerapu di alam. Sebagai solusi potensial, sangat
penting untuk menghitung biaya dan manfaat dari pemacuanstokikandan „searanching‟. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghitung biaya dan manfaat
dari pemacuan stok kerapu di Indonesia. Kami menggunakan data dan informasi
yang dikumpulkan dari percobaan pemacuan stock ikan kerapu macan
(Epinephelusfuscoguttatus) yang dilakukan di Kepulauan Karimunjawa dari
November 2012 sampai Desember 2013. Beberapa parameter yang digunakan
dalam penelitian ini adalah:tingkat kematian alami, pertumbuhan ikan kerapu, dan
hubungan panjang berat ikan. Menurut percobaan, komponen biaya terbesar
untuk kegiatan pemacuan stok ikan adalah untuk pembelian ikan dan biaya
transportasi ke lokasi pelepasan. Manfaat teoritis dari pemacuan stok atau „searanching‟denganukuran benih kerapu 10 dan 15 cm, masing-masing sekitar 28
juta rupiah dan 18 juta rupiah, atau 24 juta rupiah dan 18 juta rupiah per tahun.
Meskipun pelepasan E. Fuscoguttatusukuran 15 cm memiliki biaya lebih mahal,
namun ikan kerapu ukuran 15 cm memiliki peluang keberhasilan yang lebih
tinggi. Pemacuanstok juga memiliki keuntungan tambahan seperti
meningkatkanpengelolaanperikanan, mempromosikan program pemantauan dan
meningkatkan dukungan masyarakat serta kesadaran.
Kata Kunci: kerapu, pemacuanstok, budidaya laut, biaya dan manfaat,
Taman NasionalKarimunjawa
PENDAHULUAN
Salah satu strategi untuk memulihkan populasi ikan di daerah yang
telahoverfishing adalah peningkatan stok ikan, yang merupakanmetodeyang relatif
baru (Belletal. 2008). Pemacuanstok ikan didefinisikan sebagai pelepasan ikan
budidaya ke populasi alami, sementara „sea-ranching‟ merupakan kegiatan serupa
dengan fokus tujuan kepentingan ekonomi (Belletal. 2008). Pemcuan stok ikan
pertama kali diperkenalkan di Jepang pada tahun 1762 untuk meningkatkan stok
ikan air tawar dan pada tahun 1962 dilakukan untuk ikan laut (Masuda dan
Tsukamoto 1998). Keberhasilan dari kegiatan pemacuan stok ikan telah
dilaporkan oleh beberapa peneliti seperti pemacuan stok ikan belanak di Hawai
(Leber etal. 1995), perikanan kerang di Selandia Baru (Lorenzen 2008), udang
(Penaeusesculentus) di Australia Barat (Loneraganetal. 2006), salmon (Masuda
108
dan Tsukamoto 1998) dan ikan lainnya (Kitada dan Kishino 2006) di Jepang.
Berdasarkan pada pedoman rehabilitasi yang diterbitkanoleh Kementrian Kelautan
dan Perikanan (KKP, DGMCSI 2014), peningkatan stok ikan dapat dilakukan
untuk mengembalikan populasi ikan yang menurun. Kemudian, KKP melakukan
kegiatan pelepasan ikan laut di beberapa provinsi di Indonesia pada tahun 2011
(Direktorat Sumber Daya Ikan2011). Kegiatan pemacuan stokikan yang pertama
kali dilakukan untuk ikan laut di Indonesia disebut onemanonethousandfries
(OMTF), dan dilakukan dengan melepaskan ikan kakap, bandeng, dan juvenil
kerapu, yang dimulai pada 2011. Kerapumacan (Epinephelusfuscoguttatus) dan
kerapu bebek (Cromileptesaltivelis) yang dilepaskan adalahdalam rangka
meningkatkan produksi sertamemenuhi permintaan yang terus meningkat setiap
tahun (Yuliantoetal. 2015c). Sekitar 200.000 juveniltelahdilepaskan ke alam di
12provinsi di Indonesia (Gambar 1).
Harga ikankerapuhasiltangkapandarialambiasanya lebih tinggi dari
hargaikan budidaya. Menurut Rahmansyah et al. (2009), perbedaan harga
tersebutdisebabkan oleh persepsi pembeli bahwa pembeli lebih suka rasa "kerapu
alam". Chan dan Johnston (2007) menunjukkan bahwa lebih dari 70% responden
lebih suka memakan kerapu hasil tangkapan dibandingkan kerapu budidayaketika
dilakukan tes konsumen ikan kerapu di restoran seafood di Hong Kong. Alasan
kedua untuk harga yang lebih tinggi pada kerapu hidup hasil tangkapan adalah
tingkat kelangsungan hidup relatif lebih tinggi dari ikan kerapu hasil tangkapan
selama transportasi dari nelayan atau penampung. Nelayan tertarik untuk
menangkap kerapu hidup karena harganya yang lebih tinggi, sehingga upaya
penangkapan meningkat bahkan meskipun sudah overfishing (Yuliantoetal.
2015a, b). Upaya penangkapan terhadap ikan kerapu yang meningkat akan
mempengaruhi tekanan terhadap habitat ikan kerapu, terumbu karang, dan
kemudian menjadi ancaman bagi ekosistem di sekitarnya (Sadovyetal. 2013).
Sehingga, pemacuan stok dan „sea-ranching‟ ikan kerapu mungkin menjadi solusi
potensial untuk mengurangi masalah yang disebabkan kegiatan penangkapan ikan
kerapu di alam.
Sebagai solusi yang potensial, penting untuk menghitung biaya dan
manfaat dari pemacuanstokikan dan „sea-ranching‟. Biaya untuk pemacuan stok
ikan dan „sea-ranching‟dapat jauh lebih rendah dibandingkan kegiatan budidaya
kerapu menggunakan keramba jaring apung; hal ini karena pemacuan stok ikan
tidak memerlukan biaya pemeliharaan beserta fasilitas pemeliharaan, dan pakan.
Oleh karena itu, pemacuan stokikan dan „sea-ranching‟dapatmemberikanmanfaat
ekonomi serta manfaat lainnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menghitung biaya dan manfaat dari kegiatanpemacuanstok kerapu yang sukses.
109
METODOLOGI
Untuk melakukanpenelitianbiaya dan manfaat pemacuanstok kerapu di
Indonesia,
digunakan
data
dan
informasi
yang
dikumpulkandarikegiatanpercobaanpemacuanstokkerapumacan(Epinephelusfusco
guttatus) yang dilakukanoleh Yuliantoetal. (2015b). Penelitian dilakukan di
Kepulauan Karimunjawa dari November 2012 sampai denganDesember 2013.
Pulau Karimunjawaterletak di Laut Jawa, secara administrasi merupakan wilayah
Kabupaten Jepara, Jawa Tengah dan ditetapkan sebagai Taman Nasional sejak
tahun 1999.
Perhitungan biaya pemacuan stok diambil sesuai dengan informasi harga
ikan kerapu juvenil dan biaya transportasi. Sementara, manfaat ekonomi dari
pemacuan stok dihitung sesuai dengan jumlah ikan yang survive pada umur layak
tangkap. Untuk menduga jumlah ikan yang survive, beberapa parameter yang
digunakan, seperti tingkat kematian alami (m = 0,445 dan 0,460 per tahun),
parameter pertumbuhan ikan kerapu (Linf = 97,48 cm, k = 0,27, t0 = -0,44), dan
hubungan panjang berat (a = 0,008, b = 3,16). Semua parameter tersebutdiperoleh
dari penelitian yang dilakukan oleh Kurnia (2012), yang melakukan penelitian E.
fuscoguttatus di Kepulauan Seribu (Pulau Seribu) yang terletak di utara Pulau
Jawa, sekitar 420 km Barat ke Kepulauan Karimunjawa. Selain itu, nilai tingkat
kematian alami juga diperkirakan dari panjang E. Fuscoguttatusberdasarkan
rumus yang dibangun olehSattaretal. (2008). Berdasarkan persamaan tersebut (M
= 25L-0,5 + 0,15, L = panjang dalam cm) (lihat Sattaretal. 2008), mortalitas alami
10 dan 15 cm E. fuscoguttatusmasing-masing adalah 0,213 dan 0,202. Menurut
parameter pertumbuhan, ikan kerapu ukuran 10 cm dan 15 cm bisa mencapai 0,57
kg setelah masing-masing 1,2 dan 1 tahun, dengan menggunakan persamaan L(t)
= Linf (1 - EXP (-k * (t0-t)) dan W = a Lb (lihat penjelasan parameter di atas). Kami
menggunakan persamaan Nt = N0EXP (-zt) untuk memperkirakan jumlah ikan
yang survive, di mana Nt adalah jumlah ikan setelah waktu t, N0 adalah jumlah
ikan pada saat inisiasi pemacuanstok (yaitu diasumsikan1000 ikan), Z adalah total
kematian. Kematian akibat penangkapan diasumsikan tidak ada, sehingga
Zadalah sama dengan tingkat kematian alami, Msertaikan bisa ditangkap ketika
mencapai 0,57 kg. Kemudian jumlah ikan yang survivedigunakan untuk
menghitung manfaat ekonomi dari pemacuan stok. manfaat lebih lanjut dari
pemacuanstok misalnya manfaat ekonomi dan sosial juga dibahas.
HASIL
Biaya utama untuk pemacuanstokkerapu adalah pembelian ikan dan biaya
transportasi ke lokasi pelepasan. Berdasarkan percobaan, harga 10 cm dan 15 cm
Kerapu masing-masingadalah Rp 10.000 dan 25.000 per ikan. Biaya transportasi
dan pemeliharaan adalah Rp. 1.000 Rp per ikan. Biaya total pemacuan stok untuk
110
1000 kerapu dengan ukuran 10 cm dan 15 cm masing-masing adalah Rp.
11.000.000 dan Rp. 26.000.000 rupiah (Tabel 1).
Berdasarkan mortalitas alami dari Kurnia (2012) yang dipakai untuk
menduga ikan yang survive, dari 1.000 kerapu yang dilepaskan pada 10 cm,
sekitar 590 ikan akan survivesetelah 1,2 tahun dan pada 15 cm,sekitar 640 ikan
akan survivesetelah 1 tahun (Tabel 1). Jika, menggunakan tingkat kematian alami
dari Sattaretal. (2008) dan persamaan di atas menghasilan tingkat kematian alami
0,21 untuk kerapu 10 cm dan 0,20 untuk kerapu 15 cm.Dari 1.000 kerapu yang
dilepaskanpada ukuran 10 cm, maka sekitar 770 ikan akan survive setelah 1,2
tahun, sementara sekitar 820 ekor akan survivedari jika menggunakan ikan
kerapu dengan ukuran 15 cm setelah 1 tahun.
Berdasarkan perhitungan manfaat ekonomi, pemacuanstokuntuk ukuran 10
cm dan 15 cm secara teoritis dapat menghasilkan masing-masing sekitar 330 kg
dan 370 kg ikan kerapu, dengan penebaran masing-masing 1.000 ikan dan
menggunakan tingkat kematian alami dari Kurnia (2012). Manfaat teoritis dari
pemacuan stok dengan ukuran 10 dan 15 cm kerapu masing-masing sekitar 28 juta
rupiah dan 18 juta rupiah, atau 24 juta rupiah dan 18 juta rupiah per tahun.
Sementara, ketika kamimenggunakan kematianalami dari Sataret al. (2008)
manfaat teoritis dari peningkatan stok dengan ukuran 10 dan 15 cm masingmasing adalah 34 juta rupiah dan 29 juta rupiah.
PEMBAHASAN
Biaya dan manfaatpemacuanstok dan „sea-ranching‟tergantung pada
ukuran ikan kerapuyang dilepaskandan jumlah ikan yang survive. Memperkirakan
manfaat ekonomi dari pemacuan stoktidak mudah (Uwate dan Shams 1997). Oleh
karena itu, beberapa asumsi diperlukanuntuk menghitung manfaat ekonominya.
Mortalitas alami yang berasal dari persamaan yang dikembangkan oleh Sattaretal
(2008) merupakan nilai mortalitas alami yang paling mungkin dan realistis karena
dihitung
dari
panjang
E.
fuscoguttatus
karenaSattaretal.
(2008)
menggunakanpersamaan panjang dan nilai-nilai yang dihasilkan lebih tepat,
dibandingkan dengan Kurnia (2012). Namun, angka kematian alami dari
Sattaretal. (2008) dapat dianggap sangat rendah,dimanaikan yang survive berkisar
antara 770-820 ikan dari 1000 setelah 1,2 tahun, kondisi tersebut sangat tidak
mungkin. Sehingga, penghitungan manfaat ekonomi yang menggunakan kematian
alami
dari
Kurnia
(2012)
lebih
realistis.
Namun, hitungan nilai ekonomi diatas adalah manfaat teoritis yang berasal dari
perhitungan dan bukan manfaat ekonomi yang diterima oleh nelayan, karena tidak
semua ikan dapat tertangkap oleh nelayan. Meskipun manfaat ekonomidari
pemacuan stok dengan kerapu ukuran 10 cm lebih tinggi dari ukuran 15 cm,
peluanguntuk mendapatkanmanfaat dari pelepasan kerapu 10 cm jauh lebih
111
rendah, karena adaptasi kerapu ukuran 10 cm yang rendah dan peluang
kematianyang tinggi akibat predator (Yuliantoetal. 2015). Sejauh ini, belum
terlihat adanya dampak dari pemacuan stok kerapu dengan menggunakan ukuran
10 cm (atau kurang) baik dari percobaan yang dilakukan oleh Yuliantoetal. (2015)
ataupun dari kegiatan OMTF.
Berdasarkanhasil dari percobaan pemacuan stok ikan dan berdasarkan
perhitungan biaya dan manfaat, dimana diperolehnilai manfaat untuk ikan kerapu
15 cm adalah37% lebih rendahsecara teoritis dibandingkan ikan ukuran 10 cm.
Namun, dengan mempertimbangkan tingkat survive 20% lebih baik untuk ikan 15
cm, pemacuan stok ikan ukuran 15 cm akan memberikan manfaat ekonomi yang
lebih besar (nilai 20 % diperoleh dari; jika 1 dari5 ekor ikan 10 ikan cm dimakan
oleh predator). Ketika 1 dari5 ekor ikan ukuran10 cm ikan dimakan oleh predator
setelah dilepaskan, ikan ukuran 10 cm yang survivesetelah 1,2 tahun hanya 461
ikan denganmanfaat teoritisnya adalah sekitar Rp 17 juta per tahun.
Nilaitersebutlebih rendah dari manfaat teoritis dari pelepasanikanukuran15 cm.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada percobaan pemacuan stok ikan,
ikan ukuran 10 cm dengan mudah dimakan oleh ikan kerapu lainnya
(Yuliantoetal. 2015), tentu saja angka kematianakibat predator memiliki peluang
yang jauh lebih tinggi. Akibatnya, pilihan yang lebih baik untuk pemacuan stok
ikan dan „sea-ranching‟E. fuscoguttatus di Indonesia adalah menggunakan kerapu
dengan ukuran15 cm. Meskipun pelepasan kerapu E. fuscoguttatusdengan ukuran
15 cm lebih mahal dan secara teori menghasilkan manfaat ekonomi lebih rendah,
namun memiliki peluang yang lebih tinggi untuk survive.
Meskipun dampak pemacuanstoktidak dapat diverifikasi pada
saatpercobaan, beberapa studi telah menunjukkan bahwa selain manfaat ekonomi,
pemacuanstokjuga memiliki keuntungan tambahan. Kegiatan pemacuanstok dapat
mendukung kegiatan budidaya melalui produksi juvenil, memperkuat manajemen
perikanan, mempromosikan program pemantauan dan meningkatkan dukungan
masyarakat serta meningkatkan kesadaran masyarakat (Leber et al.2012,
Lorenzenetal. 2010). Menurut Yulianto et al. (2015b), nelayan di Pulau
Karimunjawamengertidan mendukungkegiatan percobaan yang dilakukan,
sehinggaprogram ini dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang
pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. Kegiatan pariwisata juga mendapatkan
dampak positif dari kegiatanpemacuan stok kerapu (Leber etal. 2012, Lorenzen et
al. 2010), seperti memancing dan menyelam. Kerapu merupakan salah satu ikan
karang favorit untuk rekreasi memancing di Indonesia (IFF 2014). Rekreasi selam
sebagai salah satu kegiatan pariwisata favorit di Indonesia juga berpotensi terkena
dampak pemacuanstokkerapu, karena penyelam biasanya ingin menyelam di
lokasi dengan kelimpahan ikan yang tinggi. Melalui kombinasi pemacuanstokdi
kawasan konservasilaut dan di pulau-pulau terpencil di mana tekanan perikanan
lebih rendah, sehingga migrasi ikan sangat terbatas, maka kegiatanrekreasi sangat
112
relevan dengan peningkatan stok ikan kerapu. Faktor lain yang penting dari
pemacuan stok ikanadalah manfaat ekologi di lokasi pelepasan ikan. Jika berhasil,
pemacuanstok dapat meningkatkan hasil tangkapan, memulihkan stok ikan yang
berkurang, melindungi dan melestarikan spesies yang terancam punah, dan
memberikan pengetahuan ekologi, sejarah hidup ikan dan lingkungan dari spesies
laut yang penting (Lorenzenetal. 2010, Leber et al. 2012 ).
KESIMPULAN
Menurut percobaan yang dilakukan, biaya terbesaruntuk pemacuan stok
ikan kerapu E.facogutatusadalah komponen biaya pembelian ikan dan biaya
transportasi ke lokasi pelepasan. Manfaat teoritis dari peningkatan stok dengan
ukuran 10 dan 15 cm kerapu masing-masingsekitar 24 juta rupiah dan 18 juta
rupiah per tahun. Meskipun manfaat dari peningkatan stok ikan kerapu dengan
ukuran 10 cm lebih tinggi dari ukuran 15 cm, kemungkinan untuk mendapatkan
manfaat dari pelepasan kerapu ukuran 10 cm kerapu jauh lebih rendah. Ketika
predator dari ikan ukuran 10 cm dipertimbangkandalam perhitungan, maka
manfaat teoritis ikan ukuran 10 cm adalah sekitar Rp 17 juta per tahun. Manfaat
teoritis sebenarnya tidak memberikan manfaat langsung kepadanelayan kerapu
atau lembaga yang melaksanakan kegiatan „sea-ranching‟, karena tidak semua
ikan dapat ditangkap oleh nelayan dari hasil pemacuanstok
atau „searanching‟ini.
Peningkatan stok juga memiliki keuntungan tambahan, seperti
memperkuat manajemen perikanan, mempromosikan program pemantauan dan
meningkatkan dukungan masyarakat dan kesadaran lingkungan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kepada Balai Taman Nasional Karimunjawa danWildlife
Conservation Society untuk dukungan dan perijinan selama di lapangan. Terima
kasih pula kepada PrayektiNingtiasyang telah memberikan masukan terhadap
makalah. Terima kasih juga kepada Agus Hermansyah yang telah membantu
membuat
peta.
Terimakasihdisampaikan
pula
kepadaKementrianPendidikanIndonesian danGerman Academic Exchange Service
(DAAD) yang telah penyediaandanaselamastudi di Jerman.
DAFTAR PUSTAKA
Bell JD, Leber KM, Blankenship HL, Loneragan NR, Masuda R (2008) A new
era for restocking, stock enhancement and sea ranching of coastal
fisheries resources. ReviewinFisheriesScience16 (1-3): 1-9.
113
Chan NWW, Johnston B (2007) Applying the triangle taste test to wild and
cultured humpback grouper (Cromileptesaltivelis) in the Hong Kong
market. SPC Live Reef Fish Information Bulletin 17: 31-35.
DGMCSI [Directorate General of Marine, Coastal, and Small Islands] (2014)
Guidelines for assessment of rehabilitation priority areas.Directorate
General of Marine, Coastal, and Small Islands, Ministry of Marine
Affairs and Fisheries, Jakarta, Indonesia.(In Indonesian).
Directorate of Fisheries Resources (2011) Evaluation of “One Man One Thousand
Fries”.Directorate of Fisheries Resources-Directorate General of Capture
Fisheries, Ministry of Marine Affairs and Fisheries, Jakarta.
IFF [International Fishing Forum] (2014) Kerapu, ikankarangfavoritpemancing
[Grouper,
favorite
fish
for
anglers].http://www.iftfishing.com/blog/mancing/pemula/kerapu-ikankarang-favorit-pemancing/ [16 October 2014]
Kitada S, Kishino H (2006) Lessons learned from Japanese marine finfish stock
enhancement programmes. Fisheries Research 80(1):101-112.
Kurnia R (2012) Restocking model of kerapumacan (Epinephelusfusgoguttatus) in
sea ranching system in SemakDaun shallow water, KepulauanSeribu.PhD
thesis. Bogor Agricultural University, Bogor. 174 pp.
Leber KM, Brennan NP, Arce SM (1995) Marine enhancement with striped
mullet: are hatchery releases replenishing or displacing wild stocks?
American Fisheries Society Symposium 15: 376-387.
Leber KM, Berejikian BA, Lee JSF (2012) Research and development of marine
stock enhancement in the US. Science Consortium for Ocean
Replenishment.http://www.stockenhancement.org/usprograms/us_advanc
es.html [16 October 2014]
Lorenzen K (2008) Understanding and managing enhancement fisheries system.
Reviews in Fisheries Science 16 (1-3): 10-23.
Lorenzen K, Leber KM, Blankenship HL (2010) Responsible approach to marine
stock enhancement: An update. Reviews in Fisheries Science 18(2):189210.
Loneragan NR, Ye Y, Kenyon RA, Haywood DE (2006) New directions for
research in prawn (shrimp) stock enhancement and the use of models in
providing directions for research. Fisheries Research 80 (1): 91-100.
Masuda R, Tsukamoto K (1998) Stock enhancement in Japan: Review and
perspective. Bulletin of Marine Science 62(2): 337-358.
Rachmansyah, Usman, Palinggi NN, Williams K (2009) Formulated feed for tiger
grouper grow-out. Network of Aquaculture Centers in AsiaPacific.http://www.enaca.org/modules/news/article.php?storyid=1838 [8
February 2014].
Sadovy Y, Craig MT, Bertoncini AA, Carpenter KE, Cheung WWL, Choat JH,
Cornish AS, Fennessy ST, Ferreira BP, Heemstra PC, Liu M, Myers RF,
114
Pollard DA, Rhodes KL, Rocha LA, Russell BC, Samoilys MA,
Sanciangco J (2013) Fishing groupers towards extinction: a global
assessment of threats and extinction risks in a billion dollar fishery. Fish
and Fisheries 14(2): 119-136.
Sattar SA, Jørgensen C, Fiksen Ø (2008) Fisheries-induced evolution of energy
and sex allocation. Bulletin of Marine Science 83(1): 235-250.
Uwate KR, Shams AJ (1997) Bahrain fish stock enhancement: Lessons learned
and prospects for the future. SPC Live Reef Fish Information Bulletin 3:
9-13.
Yulianto I., Hammer C, Wiryawan B, Palm HW (2015b) Potential and risk of
grouper (Epinephelus spp., Epinephelidae) stock enhancement in
Indonesia. Journal of Coastal Zone Management 18:1
Yulianto I, Hammer C, Wiryawan B, Palm HW (2015a) Fishing-induced grouper
stock dynamic in Karimunjawa National Park, Indonesia. Journal of
Fisheries Science 81: 417-432.
115
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap IPB ke-6
Halaman: 116-124
ISBN 978-979-1225-34-2
PENGHITUNGAN PRODUKTIVITAS OPTIMUM ALAT TANGKAP:
STUDI KASUS PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI LAMPULO ACEH
Eko Sri Wiyono1
1
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB Bogor
Jl. Agathis, Kampus IPB Darmaga, Bogor, 16680
[email protected]
ABSTRACT
Productivity is the ratio between the output to the input used in the production
process. Productivity is a measure that states how well the resources are
organized and utilized to achieve optimal results. The productivity of fisheries,
particularly in capture fisheries, usually reflected as catching ability a units of
fishing gear to catch. Thus, the productivity of the fishing gear can be expressed
as the ability of fishing gear to catch of fishes both in the number of units of
fishing gear or fishing gear trip. However, productivity has been calculated by
comparing productivity approach momentary current production with the inputs
used. Of course, this approach could be biased because production units are not
in ideal conditions (standard) and it is unknown whether it is in a state of excess
or shortage of production inputs. It is necessary to find a solution for the
calculation of the standard, which is when the optimum production input, so that
the resulting optimal productivity as well. To answer that, we conducted research
on purse seine fishing gear in Lampulo Aceh. The results showed that the value of
the actual production fell by 1.12% - 15.10% lower than the optimal value.
Keywords: Aceh, Lampulo, optimum productivity, purse seine
ABSTRAK
Produktivitas merupakan perbandingan antara luaran (output) dengan masukan
(input) yang digunakan dalam proses produksi. Produktivitas merupakan suatu
ukuran yang menyatakan bagaimana baiknya sumber daya diatur dan
dimanfaatkan untuk mencapai hasil yang optimal. Produktivitas perikanan
khususnya dalam perikanan tangkap, biasa dicerminkan sebagai kemampuan
penangkapan suatau unit alat tangkap terhadap hasil tangkapannya. Dengan
demikian, produktivitas penangkapan dapat diungkapkan sebagai kemampuan
tangkap suatu unit alat tangkap terhadap hasil tangkapannya baik dalam satuan
jumlah unit alat tangkap atau trip alat tangkap. Namun demikian, produktivitas
selama ini dihitung dengan pendekatan produktivitas sesaat yaitu membandingkan
produksi saat ini dengan input yang digunakan. Tentu saja pendekatan ini bisa
116
bias karena unit produksi tidak dalam kondisi ideal (standard) dan tidak diketahui
apakah dalam keadaan kelebihan atau kekurangan input produksi. Untuk itu perlu
dicarikan solusi penghitungan yang standard, yaitu pada saat input produksi
optimum, sehingga dihasilkan produktivitas yang optimal pula. Untuk menjawab
hal tersebut, telah dilakukan penelitian terhadap alat tangkap purse seine di
Lampulo Aceh. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai produksi aktual
terkoreksi sebesar 1,12% - 15,10% lebih rendah dari nilai optimalnya.
Kata kunci: Aceh, lampulo, optimum, produktivitas, purse seine
PENDAHULUAN
Ketika berbicara tentang produktivitas, maka sesungguhnya sedang
membicarakan tentang produksi. Menurut Joesron dan Fathorozi (2003), produksi
merupakan hasil akhir dari proses aktivitas ekonomi dengan memanfaatkan
beberapa masukan atau input. Pendapat lain diungkapkan oleh Widodo dan Syukri
(2005) yang menyatakan bahwa produksi dapat diartikan segala kegiatan yang
mempertinggi faedah barang baik secara langsung maupun tidak langsung dalam
usaha kebutuhan manusia. Dengan pengertian ini dapat dipahami bahwa kegiatan
produksi adalah mengkombinasi berbagai input atau masukan untuk menghasilkan
output. Produksi adalah perubahan dari dua atau lebih input (sumber daya)
menjadi satu atau lebih output (produk). Kegiatan produksi tersebut di dalam
ekonomi biasa dinyatakan dalam fungsi produksi, dimana fungsi produksi ini
menunjukkan jumlah maksimum output yang dihasilkan dari pemakaian sejumlah
input dengan menggunakan teknologi tertentu (Sugiarto et al. 2002).
Atas dasar tersebut, maka kemudian dikenal istilah produktivitas, yaitu
perbandingan antara luaran (output) dengan masukan (input). Produktivitas
merupakan suatu ukuran yang menyatakan bagaimana baiknya sumber daya diatur
dan dimanfaatkan untuk mencapai hasil yang optimal. Ada dua aspek yang
mempengaruhi produktivitas (Wignjosoebroto, 2003), yaitu:
1) Faktor teknis, yaitu berhubungan dengan pemakaian dan penerapan fasilitas
produksi secara lebih baik, penerapan metode kerja yang lebih efektif serta
efisien dan penggunaan input yang lebih ekonomis.
2) Faktor manusia, yaitu faktor yang mempunyai pengaruh terhadap usaha-usaha
yang dilakukan manusia dalam menyelesaikan pekerjaan yang menjadi tugas
dan tanggung jawabnya. Di sini hal pokok penentu adalah motivasi kerja yang
memerlukan pendorong ke arah kemajuan dan peningkatan prestasi kerja
seseorang.
Untuk mengetahui sejauh mana efektivitas dalam berproduksi, maka
penghitungan produktivitas sangat penting dilakukan. Beberapa manfaat utama
dari pengukuran produktivitas (Gaspersz, 1998) adalah sebagai berikut :
117
1.
2.
3.
4.
5.
Pengukuran produktivitas digunakan sebagai indikator yang menilai
kemampuan suatu sistem dalam mencapai tujuan perusahaan.
Pengukuran produktivitas digunakan untuk pengambilan keputusan yang
berkaitan dengan usaha peningkatan performansi perusahaan.
Pengukuran produktivitas digunakan sebagai bahan pembanding suatu
perusahaan/sistem dengan perusahaan/sistem lain.
Pengukuran produktivitas digunakan untuk meramalkan kondisi
perusahaan/sistem pada masa yang akan datang termasuk merumuskan targettarget yang ingin dicapai.
Pengukuran produktivitas digunakan untuk meningkatkan kesadaran suatu
perusahaan/sistem akan pentingnya usaha-usaha peningkatan produktivitas
Produktivitas perikanan khususnya dalam perikanan tangkap, biasa
dicerminkan sebagai kemampuan penangkapan suatau unit alat tangkap terhadap
hasil tangkapannya. Dengan demikian, produktivitas penangkapan dapat
diungkapkan sebagai kemampuan tangkap suatu unit alat tangkap terhadap hasil
tangkapannya baik dalam jumlah unit alat tangkap atau trip alat tangkap. Satuan
waktu pengukuran, bisa diukur berdasarkan satuan waktu yang pendek, (misalnya
bulanan atau musiman) dan waktu yang panjang (tahunan). Perkembangan
produktivitas, biasanya juga digunakan sebagai alat manajemen terhadap
perkembangan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan dan perubahan stok
sumberdaya ikan yang ada pada suatu perairan. Selain itu, produktivitas juga
digunakan untuk kebijakan-kebijakan yang menyangkut masalah perhitungan
Pungutan Hasil Perikanan (PHP).
Meskipun sangat bermanfaat, namun demikian rumusan tentang
penghitungan produktivitas alat penangkapan ikan yang standar sampai saat ini
belum ada. Oleh sebab itu, perlu disusun suatu rumusan penghitungan
produktivitas alat penangkapan ikan yang standar sehingga dapat dimanfaatkan
dengan baik untuk berbagai macam keperluan. Penerapan konsep ini telah
dilakukan dengan menggunakan data aktivitas kapal purse seine di Lampulo
Aceh. Tujuan dari penelitian ini adalah menghitung produktivitas optimum alat
tangkap purse seine di Lampulo Aceh.
METODOLOGI
Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Maret 2015. Data diperoleh dari
laporan tahunan sensus pendataan produktivitas perahu yang melakukan
pendaratan ikan di pelabuhan perikanan dan survei pendataan aktivitas perahu di
pelabuhan perikanan Lampulo Aceh. Jenis data yang dikumpulkan meliputi hasil
tangkapan, dimensi perahu, dimensi alat tangkap, operasi penangkapan ikan dan
jumlah hasil tangkapan. Berdasarkan data yang ada kemudian dilakukan
pemilahan dan pengolahan data. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
118
adalah metode survei. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan
menggunakan sampling jenuh yaitu seluruh populasi dijadikan sampel (Sugiyono,
2007). Sampel yang dipilih adalah perahu yang melakukan aktivitas di suatu
pelabuhan.
Analisis Data
1) Variabel utama fungsi produksi
Untuk menjawab tujuan penelitian, maka langkah pertama yang telah
dilakukan adalah melakukan analisis faktor produksi, yaitu analisis yang
menjelaskan hubungan antara produksi dengan faktor-faktor produksi yang
mempengaruhinya. Soekartawi (1994) menjelaskan bahwa untuk mengamati
pengaruh faktor produksi terhadap output secara keseluruhan dalam keadaan
sebenarnya adalah tidak mungkin, sehingga disederhanakan dalam suatu
bentuk suatu model. Hubungan kuantitatif antara faktor-faktor produksi
dengan produksi dianalisis berdasarkan fungsi produksi Cobb-Douglas
(Soekartawi 1994) sebagai berikut:
Untuk memudahkan pendugaan terhadap persamaan tersebut di atas, maka
diubah menjadi bentuk linier sebagai berikut:
Keterangan:
Y
X1 ...... Xn
a0
b1 s/d bn
e :
: Produksi
: Faktor Produksi
: Titik potong (intercept)
: Koefisien regresi dari parameter penduga
: Galat
Agar model tersebut akurat, maka telah dilakukan uji kelinearan model
dengan ANOVA, dilakukan pengukuran besarnya koefisien determinasi (R2),
dan signifikansi masing-masing variabel (Sudjana, 2002). Untuk
memudahkan penghitungan, data diolah dengan menggunakan program linear
berganda dengan bantuan software. Agar software secara otomatis menguji
kenormalan variabel yang digunakan, linearitas model, serta ada atau
tidaknya multikolinearitas, autokorelasi dan heteroskedastisitas penghitungan
dilakukan dengan metode backward.
2)
Efisiensi Teknis
Sedangkan, untuk menghitung efisiensi teknik alat tangkap purse seine,
digunakan metode Data Envelopment analysis (DEA) output oriented
(Kirkley and Squires 1999). Kapasitas penangkapan ikan diukur berdasarkan
efisiensi teknis (TE) yaitu perubahan maksimum output yang memungkinkan
119
tanpa perubahan pada faktor tetap (fixed factor) produksi. Model DEA ini
memungkinkan analisis efisiensi bagi aktivitas ekonomi yang bersifat
variable return to scale (VRS). Oleh karena itu, model DEA ini tepat
diaplikasikan pada aktivitas produksi perikanan yang bersifat decresing
return to scale (Fauzi dan Anna 2005).
DEA adalah suatu pendekatan analisis program matematika dengan
menggunakan pemrogaman linier untuk mengestimasi efisiensi teknis
kapasitas penangkapan (TECU). Kirkley et al. (2001) dan Tingley et al.
(2002) menyarankan untuk menggunakan DEA sebagai penghitungan
kapasitas penangkan ikan. Secara umum, langkah-langkah analisis DEA
adalah sebagai berikut:
1) Menentukan vektor output sebagai u dan vektor input sebagai x.
2) Melakukan pengamatan terhadap j (usaha perikanan pelagis atau DMU),
jumlah m ouputs dan n inputs.
3) Membagi inputan menjadi fixed input (xf) dan variable input (xv).
4) Menghitung efisiensi teknis kapasitas penangkapan orientasi output
dengan program linier.
Efisiensi teknis unit penangkapan ikan dihitung dengan cara membandingkan
efisiensi teknis antar decision making unit (DMU), yaitu unit alat tangkap.
Input produksi yang digunakan oleh alat tangkap dibedakan menjadi dua,
yaitu input tetap dan input variabel. Komponen yang dijadikan sebagai input
tetap adalah volume perahu (GT), sedangkan input variabel meliputi jumlah
ABK (orang), konsumsi BBM (rupiah), dan biaya perbekalan operasi
penangkapan ikan. Selanjutnya, faktor komponen output dari kegiatan
penangkapan ikan dengan alat tangkap tertentu. Kapasitas output dan nilai
pemanfaatan sempurna dari input, selanjutnya dihitung dengan menggunakan
persamaan sebagai berikut (Färe et al., 1989):
Max1
 , z ,
subject to
J
 1 u jm   z j u jm ,
m  1,2,...,M ,
j 1
J
z
j 1
j
x jn  x jn ,
j
x jn   jn x jn ,
J
z
j 1
z j  0,
n xf
n  xv
j  1,2,...,J
n  xv
Dalam hal ini zj adalah variable intensitas untuk jth pengamatan;  1 nilai
efisiensi teknis atau proporsi dengan mana output dapat ditingkatkan pada
120
kondisi produksi pada tingkat kapasitas penuh; dan *jn adalah rata-rata
pemanfaatan variable input (variable input utilization rate, VIU), yaitu rasio
penggunaan inputan secara optimum xjn terhadap pemanfaatan inputan dari
pengamatan xjn.
Kapasitas output pada efisiensi teknis (technical efficiency capacity
output,TECU) kemudian didefinisikan sebagai penggandaan  1* dengan
produksi sesungguhnya. Kapasitas pemanfaatan (CU), berdasarkan pada
output pengamatan, kemudian dihitung dengan persamaan berikut (Färe et al.,
1989):
u
1
TECU  *  *
1 u 1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Produksi merupakan fungsi dari faktor-faktor produksi, sehingga untuk
menduga produksi, dapat digunakan faktor produksi sebagai variabel bebasnya.
Untuk dapat menduga dengan baik, diperlukan model fungsi produksi yang baik.
Penentuan fungsi produksi biasanya dilakukan dengan menggunakan model
regresi linear berganda. Produksi sebagai variabel bebas, sedangkan faktor
produksi sebagai variabel tak bebasnya.
Berdasarkan fungsi produksi tersebut kemudian dapat diduga berapa besar
output jika digunakan input tertentu. Hanya masalahnya, apakah input tersebut
dalam kondisi optimum sehingga menghasilkan tingkat efisiensi yang tinggi?
Untuk menjawab tersebut maka perlu dilakukan analisis efisiensi teknis.
Berdasarkan hasil analisis efisiensi teknis tersebut kemudian dihasilkan seberapa
besar input yang diperlukan sehingga mencapai tingkat efisiensi yang optimum.
Dengan menggunakan analisis efisiensi teknis, akan diperoleh saran
perbaikan terhadap input yang digunakan. Nilai-nilai input yang digunakan
selama ini kemudian dikoreksi dengan menggunakan nilai VIU yang dihasilkan
sehingga diperoleh input optimum. Berdasarkan fungsi produksi yang telah
ditentukan dan dengan memasukkan nilai input produksi yang optimal tersebut,
maka dapat diperoleh nilai produksi optimal.
Pada penelitian ini, faktor-faktor yang diduga mempengaruhi hasil
tangkapan diduga dengan menggunakan 2 kelompok input data, yaitu input tetap
(fixed input) dan input berubah (variabel input). Sebagai fixed input adalah
ukuran kapal (x1) dan kekuatan mesin kapal (x2). Sedangkan sebagai variable
input adalah bahan bakar minyak (v1), ukuran jaring (v2), dan jumlah ABK (v3).
Berdasarkan hasil perhitungan regresi berganda, telah diperoleh hasil persamaam
produksi purse seine sbb:
Y= 279,444 – 30,185X1 + 4,99x10-14V1 + 7,457V2 + 34,12 V3
121
Hasil perhitungan ini menunjukkan bahwa pada contoh kapal yang dikaji,
beberapa faktor yang secara nyata berpengaruh adalah ukuran kapal (x1), bahan
bakar minyak (v1), ukuran jaring (v2), dan jumlah ABK (v3). Sementara ukuran
kekuatan mesin tidak berpengaruh nyata.
Selanjutnya, variabel-variabel yang secara nyata tersebut diolah dengan
menggunakan analisis DEA untuk menghasilkan nilai koreksi variabel input
sehingga diperoleh nilai efisiensi teknis usaha penangkapan ikan dengan
menggunakan alat tangkap purse seine. Hasil dari analisis DEA menghasilkan
solusi nilai VIU yang beragam mulai 0,940 sampai dengan 1,523 (Tabel 1). Hasil
perhitungan tersebut bermakna bahwa variabel V1 harus dinaikkan 0,523 kali atau
52,3%, V2 harus dinaikkan 0,410 kali atau 41% dan V3 harus dikurangi 0,060
kali atau 6% dari kondisi aktual jika diupayakan menuju kondisi idealnya.
Tabel 1. Nilai variable input utilization alat tangkap purse seine
No.
Variable input
Nilai Variable input utilization
1.
Bahan bakar minyak (V1)
1,523
2.
Ukuran jaring (V2)
1,410
3.
Jumlah ABK (V3)
0,940
Dengan mengkoresksi nilai aktual dengan konstanta koreksi tersebut
dihasilkan nilai produksi dalam kondisi efisiensi teknis. Hasil perhitungan nilai
produksi tersebut menunjukkan bahwa produksi aktual terkoreksi sebesar 1,12% 15,10% lebih rendah dari nilai optimalnya. Bila produksi rata-rata aktual adalah
3010 kg/trip maka dengan menggunakan fungsi produksi pada saat efisiensi teknis
adalah sebesar 2767 kg/trip. Selanjutnya berdasarkan volume total produksi
tersebut dapat ditentukan produktivitas kapal dengan membagi ukuran kapal purse
seine sampel, dan diperoleh nilai 30,74 kg/GT/trip kapal.
Hasil pengkajian ini, mempunyai kecenderungan yang sama dengan hasil
penelitian Budiarti, 2015 yang mengkaji alat tangkap purse seine di Kalimantan
Barat, dimana proyeksi hasil tangkapan ideal berkisar antara 5, 78% - 6,54% lebih
rendah dari kondisi idealnya. Hal ini menunjukkan bahwa volume produksi ikan
yang tercatat dalam buku statistik perikanan semestinya lebih rendah
dibandingkan volume optimumnya.
Berdasarkan pada hasil penelitian ini, dapat diterangkan bahwa produksi
ikan sesaat bisa menimnulkan bias terhadap penghitungan produktivitas alat
tangkap. Bila produksi dihitung pada saat tidak dalam kondisi ideal, maka akan
sulit sekali menjadikan nilai tersebut sebagai acuan dalam melakukan menejemen
perikanan. Oleh sebab itu, sudah selayaknya penghitungan produktivitas di masa
yang akan datang perlu mempertimbangkan aspek efisiensi teknis di dalam
penghitungannya.
122
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil kajian ini dapat disimpulkan beberapa hal, sebagai
berikut:
1) Sistem penghitungan produktivitas selama ini didasarkan pada suatu asumsi
bahwa alat tangkap dalam kondisi optimal, padahal kondisi sesungguhnya
tidak demikian
2) Sistem pengumpulan data untuk kepentingan penghitungan produktivitas
masih dilakukan dengan pendekatan sederhana, yaitu hasil tangkapan dan
bobot kapal
3) Mengusulkan sistem penghitungan produktivitas dengan basis unit
penangkapan ikan menggunakan input secara optimum
SARAN
Berdasarkan hasil kajian ini, maka dapat disarankan hal-hal sebagai berikut:
1) Penyempurnaan sistem pengumpulan data guna penghitungan produktivitas
alat tangkap
2) Melakukan penghitungan produktivitas pada saat semua produksi dalam
kondisi optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Budiarti, T.W. 2015. Efisiensi Teknis Penangkapan Pukat Cincin di Pelabuhan
Perikanan Nusantara Pemangjat Kabupaten Sambas Provinsi Kalimantan
Barat. Thesis. Program Pascasarjana IPB. Bogor. 83 hal
Fare R, Grooskopf S, Lovel CAK. 1994. Production Frontiers. United Kingdom:
Cambride University Press. 296p
Fare, R. S., S. Grosskopf, & E. Kokkelenberg. 1989. Measurseine Plant Capacity
Utilization and Technical Change: A Nonparametric Approach. Int. Econ.
Rev. 30: 655-666.
Gaspersz V. 1992. Analisis Kuantitatif Untuk Perencanaan. Tarstic. Bandung.
Joesran, F. 2003. Teori Ekonomi Mikro. Salemba Empat. Jakarta.
Lipsey R.G & Steiner P.O. 1984. Ekonomi Mikro Bahan Kuliah. Jurusan IlmuIlmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Nicholson W. 1995. Teori Mikro Ekonomi, Prinsip Dasar dan Perluasan. Bina
Rupa Aksara. Jakarta.
123
Prayitno H & Arsyad. 1987. Petani Desa dan Kemiskinan. Yogyakarta.
Setyorini., Suherman A & Triarso. 2009. Analisis Perbandingan Produktivitas
Usaha Penangkapan Ikan Rawai dasar (Bottom Set Long Line) dan Cantrang
(Boat Seine) di Juwana Kabupaten Pati. Jurnal Saintek Perikanan. 5(1): 714.
Soekartawi. 1994. Teori Ekonomi Produksi. Dengan Pokok Bahasan Analisis
Fungsi Cobb-Douglas. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Sugiarto. 2002. Ekonomi Mikro Sebuah Kajian Komprehensif. PT. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
Widodo U. & Syukri A. 2005. Manajemen Usaha Perikanan, Departemen
Kelautan dan Perikanan, Pusat Pengembangan SDM Kelautan dan
Perikanan.
124
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap IPB ke-6
Halaman:125-147
ISBN 978-979-1225-34-2
GILLNET LINGKAR BERTALI KERUTIKAN PELAGIS KECIL
(Pursed encircling gillnet for small pelagic fishes)
Zarochman1
1
Perekayasa Utama BBPI
ABSTRAK
Gillnet lingkar bertali kerut(pursed encircling gillnet) masih tergolong kelompok
jaring jerat puntal (gillnet) yang berbeda dari kelompok jaring lingkar
(surroundingnet) tipe purse seine. Fungsi mata jaring pada jaring lingkar bukan
untuk menjerat atau memuntal melainkan sebagai penghadang, sedangkan mata
jaring pada gillnet lingkar untuk menjerat atau bila kontruksi jaring gillnet lingkar
dibuat lentur dan ikan yang menabrak lingkar bodinya lebih besar dari bukaan
mata jaring maka ikan akan terpuntal. Armada sarana apung untuk pengoperasian
gillnet lingkar lebih kecil dibanding armada untuk jaring lingkar (purse seine).
Kedua jenis alat tangkap tersebut bertujuan menangkap ikan pelagis kecil. Pada
perairan tropis dengan kandungan multi species para perancang jaring ikan pelagis
kecil berusaha mengoptimalkan efisiensi alat tangkap agar mampu menangkap
ikan berjumlah lebih besar dari beragam species ikan pelagis kecil yang
membentuk kelompok/gerombolan (schooling) namun pada selektifitas
keragaman hasil tangkap rendah.Dari hasil iterasi kerekayasaan melalui
penyesuaian desain dan kontruksi serta perlengkapan pengoperasian gillnet
lingkar yangdilengkapi tali kerut pada bagian bawah jaring, diharapkan dapat
meningkatkan operasional penangkapan pada perairan yang lebih dalam dengan
menghasilkan penambahan jumlah dan keragaman jenis ikan hasil
tangkapan.Peningkatan total hasil tangkap rata-rata per trip dari hasil gillnet
lingkar konvensional sebesar 116 kg meningkat menjadi 410 kg yang dihasilkan
dari gillnet lingkar hasil iterasi kerekayasaan. Hasil tangkap rata-rata per trip
operasi penangkapan ikan serindingdari gillnet lingkar konvensional dan hasil
iterasi kerekayasaan masing-masingberurutan 75 kg dan 159 kg atau meningkat
dua kali lipat.
Kata kunci:gillnet lingkar, ikan pelagis kecil,tali kerut
PENDAHULUAN
Ikan pelagis kecildi perairan pantai terdiri dari berbagai macam kelompok
jenis dan ukuran, seperti kelompok scombrid (tenggiri, kembung); kelompok ikan
sardin (lemuru, tembang); kelompok ikan layang (scads), kelompok ikan
serinding (apogonidae), kelompok ikan teri (stelophorus) dan kelompok ikan
petek (leiognathidae). Disamping itu tertangkap ikan kecil atau ikan muda dalam
125
jumlah yang cukup signifikan. Dengan demikian alat tangkap ikan pelagis kecil
ini cukup berpotensi menjadi alat tangkap yang tidak selektif, terutama bila
ukuran mata jaring semakin kecil tanpa batas minimum mata jaring dan
pembatasan musim penangkapan (open/free fishing season).
Dalam lima tahun terakhir telah berkembang purse seine waring yang
sangat rentan dengan hasil tangkapan ikan kecil. Diantara alat tangkap yang
cenderung tersaingi hingga menghentikan kegiatannya adalah kelompok gillnet,
termasuk gillnet lingkar yang sasaran tangkapannya ikan serinding (famili
Apogonidae).
Gillnet lingkar yang oleh nelayan Pulolampes Kabupaten Brebes dikenal
jaring koncong hanya bisa beroperasi di pinggiran pada perairan dangkal dan di
sekitar muara. Daerah pengoperasian jaring koncong, belakangan terdesak oleh
pengoperasian “puring” atau purse seine waring yang ukuran armada purse seine
waring lebih besar dan berjumlah lebih banyak, dengan luasan daerah
penangkapan mulai dari perairan dangkal hingga perairan lebih dalam diluar
jangkauan operasi jaring koncong. Bahkan pada musim penghujan puring
beroperasi lebih ketengah pada perairan lebih dalam dengan hasil tangkap yang
signifikan. Adapun efektifitas penangkapan jaring koncong sangat rendah pada
tingkat efisiensi operasional yang
kurang layak. Untuk membangkitkan
operasional jaring koncong diperlukan dimensi yang lebih besar melalui
modifikasi dan iterasi dengan maksud agar nelayan bisa mengoperasikan gillnet
lingkar ke perairan lebih dalam dengan frekuensi hari operasi penangkapan ikan
meningkat.
Gillnet lingkar bertali kerut ikan pelagis dibuat dengan menggunakan
ukuran bahan jaring yang lebih besar luasannya (lebih panjang dan lebih dalam)
sehingga mampu menjangkau daerah pengoperasian pada perairan yang lebih
dalam semakin menjauhi pantai. Pada bagian ris bawah dikontruksi dengan
kelengkapan tali kerut untuk mencegah ikan lolos melewati bawah jaring
gillnet.Gillnet lingkar ini tetap dapat dioperasikan dengan menggunakan ukuran
perahu lebih kecil dari 5 GT yang selama ini digunakan untuk pengoperasian
jaring koncong sehingga armada eks jaring koncong masih bisa didayagunakan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan penyesuaian desain dan
kontruksi gillnet lingkar yang laik operasi dengan armada eks jaring koncong
untuk dioperasikan pada perairan yang lebih dalam. Serta menguji hasil rancangan
gillnet lingkar dan alat bantu pengoperasiannya. Adapun keluaran yang ingin
dihasilkan adalah mendapatkan rancangan gillnet lingkar yang laik operasi untuk
ikan hasil tangkapan yang lebih selektif serta dioperasikan pada perairan yang
lebih dalam, dan meningkatkan produktifitas alat tangkap gillnetlingkar ikan
pelagis kecil pada perairan yang lebih dalam.
126
METODOLOGI
Tahapan dalam metode kerekayasaan gillnet lingkar meliputi tahapan :
1) modifikasi rancang bangun dan iterasi yaitu penyesuaian kontruksi gillnet
lingkar dan peralatan bantu pengoperasian penangkapannya, dan
2) uji coba operasi penangkapan dengan gillnet lingkar hasil iterasi
kerekayasaan.
TINJAUAN RANCANG BANGUN DAN KEBUTUHAN KONTRUKSI
GILLNET LINGKAR
Dimensi dan BahanJaring Gillnet Lingkar
a. Ketentuan tinggi jaring pada kedalamai air (tinggi jaring jadi)
Sesuai dengan pengoperasian gillnet lingkar yang secara empiris mirip
jaring lingkar, maka penentuan dimensi gillnet lingkar, terkait penentuan
panjang dan tinggi atau dalam jaring dapat menyesuaikan ketentuan teknis
pada jaring lingkar mengenai kesesuaian ukuran teknis, sebagai berikut:
- minimal = 10% dari panjang jaring jadi (terpasang).
- minimal = panjang kapal secara keseluruhan (LOA)
- maksimal = 2/3 dari kedalaman daerah operasi penangkapan.
Dimensi jaring gillnet lingkar ditentukan oleh panjang atau jumlah mata
jaring kearah horizontal yang digantung pada tali ris atas dan tinggi jaring atau
jumlah mata jaring kearah vertikal. Patokan pertama menentukan kebutuhan
volume bahan jaring (webbing) adalah panjang gillnet yang dikehendaki sesuai
dengan kemampuan sarana apung atau perahu yang akan digunakan
mengoperasikan gillnet yang bersangkutan dan penentuan koefisien nilai
gantung jaring (hanging ratio).
Adapun ketinggian jaring disesuaikan dengan kedalaman perairan
agar tinggi jaring tidak mencapai dasar atau dibatasi sekitar 2/3 dari
kedalaman perairan. Oleh karena itu cukup beralasan dalam menentukan
tinggi jaring jadi, dimana pertimbangan utama yang menjadi patokan adalah
pada perairan dengan domain kedalaman berapa pengoperasian gillnet lingkar
ini akan dioperasikan.
b. Kesesuaian Panjang dan Lebar Gillnet Lingkar
Gillnet lingkar ditujukan untuk menangkap gerombolan ikan yang
bergerak sehingga untuk menentukan panjang jaring yang di jadikan
pertimbangan adalah gerombolan ikan agar tidak lolos dari pelingkaran jaring.
Daerah operasi penangkapan gillnetlingkar dengan target ikan pelagis kecil
pada perairan pantai sehingga kebutuhan panjang jaring disesuaikan dengan
ukuran gerombolan yang tidak lebar dengan perilaku pergerakan ikan yang
tidak cepat.
127
Berdasarkan pengalaman empiris bahwa panjang minimum gillnet
lingkar adalah sepanjang 50 x panjang perahu keseluruhan (Loa dalam meter).
Dengan demikian bila perahu yang digunakan untuk mengoperasikan gillnet
lingkar memiliki Loa = 9 meter, maka panjang gillnet lingkar yang akan
diterapkan = 50 x 9 meter = 450 meter. Gillnet lingkar ikan pelagis kecil yang
keberadaannya dipermukaan perairan maka lebar jaring kearah vertikal cukup
setinggi 5% kali panjang jaring. Namun bila dikahwatirkan ikan lolos lewat
bawah jaring karena sifat perenang cepat atau tergolong ikan mesodepth maka
sebaiknya kedalamannya dilebihkan diatas 5% dari panjang jaring. Dari
pengalaman empiris disarankan lebar jaringgillnet lingkar untuk ikan perenang
cepat = 10 – 15 % kali panjang jaring. Oleh karena itu melihat pengalaman
purse seine waring yang dioperasikan hingga mencapai kedalaman lebih dari
50 meter kedalaman, maka lebar gillnet lingkar dapat menyesuaikan kedalaman
50 meter tersebut.
Cara lain menentukan lebar jaring: kedalaman jaring 50 m kalau
diasumsikan kedalaman jaring merata 9 m dan dapat dilingkarkan dengan
sempurna maka akan membentuk dinding silinder adalah:
TS = 0,9 x H (
H
) = 0,9 x 9 (
Fs
9
)
0,67
= 8 ( 13)
= 8 (3,6)
= 28,8 detik
c. Kebutuhan Bahan Jaring (Webbing) Gillnet Lingkar
Jaring gillnet lingkar terdiri dari : (1) bagian tubuh jaring (main net)
yang merupakan bagian utama yang meliputi sebagian besar jaring gillnet
lingkar, dan (2) pinggiran jaring (selvedge) sebagai penguat/pelindung tubuh
jaring dari tarikan/gesekan yang terjadi pada tali ris (atas dan bawah) sehingga
tubuh jaring tidak cepat koyak. Kebutuhan desain dan kontruksi untuk kedua
bagian jaring tersebut yang menjadi pertimbangan terpenting adalah penetapan
nomor benang sesuai dengan jenis bahan dan sifatnya serta penentuan nilai
koefisien gantung (hanging ratio) pada masing-masing bagian sesuai tujuan
penggunaan pengoperasian gillnet lingkar. Misal untuk target ikan yang lebih
besar dan lebih kuat daya meronta dari jeratan dan/atau puntal jaring maka
dipilih bahan yang kuat dengan nilai kelenturan yang baik, dan untuk
pengoperasian pada perairan lebih dalam diperlukan nilai hanging ratio yang
memadai.
Tubuh jaring gillnet lingkar
Tubuh jaring gillnet merupakan bagian utama jaring yang berperan dan
menderita langsung desakan ikan target tangkap sehingga ikan tertangkap secara
128
terjerat atau terpuntal. Pilihan bahan jaring untuk bagian tubuh jaring (jenis bahan,
kontruksi dan diameter benang, ukuran mata jaring) harus disesuaikan dengan
target tangkap sehingga efektif dan sesuai pendayagunaannya pada tingkat yang
paling efisien. Karena merupakan bagian utama yang meliputi sebagian besar
jaring gillnet lingkar maka kebutuhan dalam pemilihan bahan menjadi prioritas
sesuai dengan kebutuhan pengoperasian alat tangkap.
a. Serampat
Serampat (Selvedge)adalah pinggiran jaring yang dipasang sepanjang
tali ris sebagai penguat dan pelindung tubuh jaring. Serampat dibuat dari bahan
yang lebih kuat untuk menahan gesekan tali ris dan tarikan ketika jaring
diangkat atau ditarik keatas perahu. Pada gillnet lingkar, serampat ini
merupakan penghubung tali ris atas dengan bagian utama atau tubuh jaring.
Serampat dibuat dari bahan Polyethilene d15 mesh size 3/4”.
Serampat bawah menghubungkan tali ris bawah dengan bagian utama
atau tubuh jaring gillnet. Serampat samping menghubungkan tali ris samping
dengan bagian utama. Serampat samping terdiri dari serampat samping kanan
dan kiri. Serampat – serampat tersebut mempunyai fungsi yang sama,
utamanya sebagai penguat atau pelindung dari gesekan atau tarikan langsung
terhadap tubuh jaring. Semua serampat baik serampat atas, bawah dan samping
mempunyai ukuran, bahan dan nomor benang yang sama.
b. Menentukan ukuran nomor benang mata jaring yang digunakan
Nomor benang lebih menggambarkan ukuran besar dan berat persatuan
panjang (tex/denier) dikaitkan dengan kekuatan benang (twine strength). Jenis
benang tertentu meskipun berdiameter kecil tetapi memiliki struktur pilinan
yang padat (stiffnes) dapat mempunyai nilai kekuatan yang tinggi. Dengan
perkataan lain kekuatan benang juga tergantung jenis bahan serat yang
membentuk benang tersebut. Hubungan antara garis tengah benang dan ukuran
mata jaring pada bagian bagian gillnet lingkar menggambarkan keseimbangan
kekuatan dan ketegaran benang sebagai pembentuk mata jaring, sehingga jenis
webbing tertentu mempunyai sifat kelenturan, ketegaran, keuletan dan
transparansi atau visibilitas didalam air. Hubungan garis tengah benang dan
ukuran mata jaring (mesh size) merupakan nilai Index ratio benang (twine
index = Iw) yang dinyatakan dengan rumus perbandingan antara besar diameter
benang terhadap ukuran mata jaring (mesh size) sebagai berikut :
Garis tengah benang (mm)
= Itw
Ukuran mata (mm)
129
Nilai Iw ini diterapkan pada rancangan gillnet untuk membatasi
hubungan ukuran benang terhadap mata jaring yang diterapkan untuk gillnet
sehingga terpantau kontruksi lembar jaring (webbing) yang terdiri dari susunan
mata jaring yang memiliki ketegaran cukup (lentur dan kuat) untuk menjerat
dan memuntal ikan. Kondisi lembar jaring gillnet sedemikian rupa sehingga
tidak terlalu lembek (kelenturannya sangat rendah) dan mudah putus ketika
menjerat dan memuntal ikan. Nilai Itw ini tergantung sifat dan keuletan serat
sebagai bahan benang dengan simbol nama dagang tertentu baik dari serat
alami (naural fiber) atau serat buatan (man made fiber) seperti kode PA, PE,
saran dan lain-lain yang masing-masing memiliki kisaran batas nilai Itw yang
berbeda, Untuk gillnet lingkar dengan sasaran ikan besar berbeda kebutuhan
nilai Itw untuk gillnet ikan pelagis kecil, nilai Iw untuk gillnet ikan pelagis kecil
dapat menggunakan nilai yang lebih kecil dibanding untuk gillnet ikan pelagis
besar.
c. Kebutuhan nilai koefisien pegantungan (hanging ratio) jaring gillnet lingkar
Menentukan nilai koefisienpenggantungan jaring (hanging ratio) gillnet
lingkaratau presentase penggantungan jaring terhadap tali ris dalam keadaan
teregang dengan menggunakan formula
L
E=
Lo
dimana : E = Hanging ratio,L = Panjang jaring terpasang,Lo = Panjang
jaring teregang (Stretched) yang digantung.
Menyesuaikan keberadaan gerombolan ikan pelagis kecil di perairan
pantai utara Jawa yang cenderung mencapai kedalaman yang lebih dalam maka
disamping keberadaan jaring gillnet lingkar sebaiknya lebih dalam juga harus
disesuaikan penerapan nilai hanging ratio dengan sudut bukaan yang lebih
kecil dari 900 sehingga bukaan mata jaring menguncup kearah vertikal. Dengan
demikian jaring lebih efisien dan mempercepat turunnya jaring ke arah vertikal
hingga secepatnya mencapai kedalaman maksimal.
Keberadaan jaring dengan sudut bukaan sebesar 600 cenderung mata
jaring menguncup kearah vertikal sehingga nilai hanging ratio yang diterapkan
sebesar 0,50. Nilai hanging ratio pada bagian jaring atas mendekati ris atas
lebih kecil dibandingkan bagian jaring yang mendekati ris bawah. Oleh karena
itu nilai hanging ratio pada jaring yang mendekati ris bawah digunakan nilai
hanging ratio lebih besar mendekati 0,50. Hal ini dimaksudkan untuk
menghindari terjadinya tergulungnya tali kolor pada saat dikerutkan atau
ditarik/dikuncupkan.
130
Nilai hanging ratiogillnetlingkar :
450
 Tali ris atas =
= 50 %
900
480
 Tali ris bawah =
= 53 % (sesuai dengan standar konstruksi gillnet)
900
Nilai ratio penggantungan panjang jaring terhadap panjang tali ris atas
atau biasa disebut hanging ratio, sangat menentukan tertangkapnya ikan pada
lembar jaring gillnet dengan cara terjerat atau terpuntal ataau keduanya. Nilai
hanging ratio yang diterapkan juga ikut menentukan bukaan maksimum mata
jaring dan disisi lain juga menentukan kelenturan jaring didalam air. Bila
dikehendaki jaring teregang dengan bukaan mata yang maksimum maka dapat
diterapkan dengan menggunakan nilai hanging ratio (Elongation/E) sebesar
0,71, artinya bentuk jaring teregang dengan luasan jaring maksimum.Sifat
lembar jaring dengan bukaan mata jaring maksimum cenderung untuk menjerat
atau untuk mengarahkan ikan yang lebih besar masuk ke bagian jaring yang
lebih lentur sehingga ikan tersebut terpuntal. Dalam hal ini bukaan mata jaring
maksimum itu tidak melebihi ukuran ikan sasaran yang berpeluang terjerat
sehingga tidak lolos dari jeratan jaring. Kecenderungan gillnet lingkar dengan
sasaran ikan pelagis kecil adalah dengan menggunakan nilai hanging ratio
kurang dari 0.70
Nilai hanging rasio atau persentase penggantungan panjang jaring
terhadap panjang tali berbeda beda, tergantung dari 3 hal, yaitu :
a) Bagian tali ris: tali ris atas dan bawah, memiliki nilai yang berbeda. tali ris
bawah harus memiliki hanging ratio lebih besar dari tali ris atas .
b) Bagian jaring: antara bagian kantong, badan dan sayap memiliki nilai yang
berbeda.
c) Teknisi pendesain: tiap teknisi memiliki alasan yang berbeda dalam
memberinilaihanging, baik untuk ris atas, ris bawah maupun pada tiap tiap
bagian jaring.
Nilai hanging ratio(E) yang diterapkan terhadap gillnet lingkar untuk
perairan yang lebih dalam dapat menggunakan nilai E = 0,40 sehingga dapat
dikehendaki bentangan jaring kearah vertikal semakin dalam. Gambaran
umum berbagai bentuk sudut bukaan mata jaring dengan berbagai nilai E
dapat dilihat pada ilustrasi berikut :
131
Gambar 1. Ilustrasi bentuk sudut bukaan mata jaring dengan berbagai nilai
hanging ratio (E).
Nilai hanging ratio menentukan luasan jaring dalam keadaan
teregang. Pada bukaan sudut mata jaring 90 0 maka luasan mata jaring
menjadi maksimum sehingga menghasilkan luasan jaring yang maksimum.
Oleh karena itu pada nila E = 0,71 akan diperoleh luasan jaring yang
maksimum sehingga resistensi jaring terendah namun sifat kelenturan jaring
rendah dan capaian tinggi jaring secara vertikal arah kedalaman perairan tidak
maksimum. Hal ini dapat dilihat melalui rumus luas jaring sebagai berikut:
a.
Kebutuhan tali temali
Tali temali gillnetlingkar meliputi : tali pelampung (float line), tali
pemberat (sinker line/lead line), tali ris (breast line), tali cincin (bridle line)
tali kolor (purse line) dan tali – tali tambahan.Tali Pelampung adalah tali
yang menghubungkan antara pelampung dan terletak pada jaring paling atas
Tali pelampung dibuat lebih tebal dari pada tali pemberat, karena bahan
yang sangat besar timbul pada pelampung sewaktu setting.
Tali pemberat tali yang menghubungkan antara pemberat dan terletak
pada bagian jaring paling bawah.Tali pemberat dibuat lebih tipis dari pada
tali pelampung.Tali pemberat sangat nyata mencapai puncaknya ketika
cincin – cincin telah terkumpul disisi kapal.Sehingga berat bagian bawah
jaring terpusat pada ujung tali cincin yang terikat pada tali pemberat.Beban
tersebut dapat diabaikan, karena berlangsung lebih singkat dari pada beban
yang dialami oleh tali pelampung.
Tal ris adalah tali yang mengililingi jaring secara keseluruhan.Tali ris
dibedakan yaitu tali ris atas, tali ris bawah dan tali ris samping.Tali ris selain
132
melindungi jaring dari keausan dan merupakan tempat untuk mengikat tali
pelampung dan sisi jaring bagian atas.Tali ris samping berfungsi untuk
mengikat sisi (samping) jaring yaitu sisikiri dan sisi kanan.Tali ris samping
sering digunakan untuk mengangkat jaring setelah dioperasikan.
Breast line adalah tali untuk menggantungkan sisi jaring yang terletak
dibawah tali ris atas dan di atas tali ris bawah. Tali ini diikat menjadi satu
dengan tali ris (tali ris atas dan tali ris bawah), sehingga tidak terbentuk
seperti “setengah elips” pada bagian atas dan bawah jaring besarnya tali
sama dengan tali pemberat (PE Ø 5 mm)
Tali penghubung tali bantu adalah tali yang dipasang pada tali ris
bawah untuk mengikat tali bantu, atau tali yang menghubungkan tali bantu
dengan jaring, sehingga tali bantu dalam keadaan tergantung dibawah
jaring. Tali terbuat dari PE Ø 6 mm, panjang 2 meter, jumlah 32 buah.
Tali bantu adalah tali yang dipasang pada bagian atas jarring.Bahan
yang digunakan adalah PE Ø 12 mm, panjang 500 meter, pada setiap 15
meter dipasang tali penghubung. Fridman (1988), gaya tegang dari tali
bantu berpengaruh terhadap operasi,bila tali bantu mendapat tegangan
kencang, maka jaring tidak dapat membuka dengan kedalaman penuh.
Kecepatan tarik yang berlebihan mengakibatkan tali bantu tegang dan
menyebabkan kedalaman jaring berkurang serta efisensi penangkapan ikan
menjadi rendah.
Tali – tali tambahanmeliputi “mata tali” selambar atau tali kelat. Mata
tali terletak pada sisi kiri dan sisi kanan (atas dan bawah jaring).Mata tali
pada sisi kiri berguna untuk melekatkan atau mengikatkan tali pelimping
kiri.Mata tali pada sisi kiri atas digunakan untuk mengikat selambar kiri dan
mata tali bagian bawahnya untuk mengikat tali payang. Tali selambar kiri
dan tali gillnet lingkar diikatkan pada kapal untuk menghindari terlepasnya
jaring pada waktu setting (tawur).
Mata tali pada sisi kanan digunakan untuk mengikat tali pelimping
kanan.Selain dari itu mata tali sisi kanan atas, digunakan untuk mengikatkan
tali selambar kanan pada ujung selambar kanan dipasang pelampung
tambahan dan sepotong bambu atau jerigen plastik. Tali selambar kanan
digunakan untuk menandai awal dari setting (selambar kanan dilepaskan ke
air pada awal setting), sehingga akan terlihat pelampung tambahan atau
bambu atau jerigen. Selambar dan tali pelimping terbuat dari Polyethelene
(PE Ø 14), Panjang selambar kiri atau selambar depan 25 meter. Selambar
kanan atau disebut juga selambar belakang 50 meter dan tali pelimping.Tali
pelimping digunakan untuk membantu dalam menaikkan atau mengangkat
tali ris bawah setelah setting dilakukan.Dengan demikian tali pelimping
dapat memperkecil kerusakan atau menghindari sobeknya pinggiran jaring.
(1) Menghitung besarnya daya apung gillnet lingkar :
133
yal
B = Wk ( y.k 1 ),
dimana
B = Daya apung Komponen Gillnet Lingkar (grf atau kgf)
Wk = Berat komponen Gillnet Lingkar di udara (gr atau kg)
yk = Massa jenis komponen Gillnet Lingkar (gr cm3 atau kg/dm3)
y al = Massa jenis air laut (1,025 gr/cm3 atau kg/dm3)
y
Qn = P(
)
1 y
dimana
Qn = Besar total pelampung (g)
P = Total buayancy (g)
y = Spesific grafity pelampung
Untuk menentukan jumlah pelampung pada tiap bagian jaring
digunakan rumus :
Qn
m=
qn
qn = Berat sebuah pelampung di udara
L
450
m=
=
= 900 buah pelampung
0,50 0,50
Besarnya daya apung pelampung S5N = 900 x 625 = 562.000
grf = 562 kgf.
Besarnya daya apung pelampung karet (10x3,3 cm) = 1800 x 50
grf = 90 000 grf.
Besarnya total daya apung = 562 kgf + 90 kgf = 652 kgf.
Gillnet lingkar memiliki berat relatif ringan, memerlukan
pemberat yang relatif besar dan daya apung pelampung mampu
memberikan tambahan daya apung (extra buoyancy). Untuk bahan
jaring (webbing) dengan berat di udara 370 kg, maka pertimbangan daya
apung yang diterapkan pada gillnet lingkar merupakan daya apung untuk
imbangi berat jaring dan peralatan dalam air ditambah jumlah beban lain
termasuk pemberat dan hasil tangkap ikan yang terjerat dan/atau
terpuntal jaring dalam air. Untuk itu, berdasarkan hasil pendekatan
empiris untuk penerapan gillnet, bahwa nilai total daya apung yang
diterapkan pada gillnet pada kisaran : 1,3 – 1,6 dari jumlah berat beban
unit jaring gillnet dalam air + jumlah beban lain termasuk pemberat dan
ikan dalam air.
Perhitungannya, bahwa nilai daya apung tambahan untuk imbangi
webbing (bahan jaring di udara) seberat 370 kg dengan perhitungan
sebagai berikut.
134
Nilai total daya apung = 1,3 – 1,6 (berat/beban unit jaring
gillnetdalam air + jumlah beban lain termasukpemberat jaring dalam air)
= 1,3 – 1,6 x (0,10 + 0,72) x 370,
Bila dari kisaran nilai koefisien pengali extra buoyancy 1,3 – 1,6
untuk gillnet lingkar ikan pelagis kecil diterapkan pada kisaran nilai
koefisien = 1.4, maka besar nilai total daya apung untuk gillnet lingkar
= 1,4 x 0,82 x 370
= 1,4 x 303 kgf
= 430 kgf
Gillnetlingkar menggunakan pelampung dari syntetic rubber atau
sponge berwarna putih, dengan kode S 5 N625 graf sebanyak 450 buah.
Pelampung utama terbuat dari karet sandal, jarak antara pelampung 0
meter, ukuran pelampung 10 x 3,3 mm
b. Menghitung Kebutuhan Pemberat
Menurut Konagaya (1971), beberapa pengaruh pemberat terhadap
gillnetlingkar :
1) Kecepatan tenggelam (sinking speed) dari tali pemberat (=V) sebanding
dengan akar kwadrat dari berat pemberat (=Wt), V=Wt
2) Gaya tegang (tension) dari purse line sebanding dengan berat dari
pemberat yang digunakan. Tension semangkin besar jika pemberat
semangkin banyak
3) Berat dari pemberat akan mempunyai bentuk jaring dibagian atas pemberat
yang terlalu banyak akan menyebabkan depth (lebar) jaring yang dalam
dan mengurangi kecembungan dinding jaring selama pursing, sehingga
scooping (daya serok) berkurang.
Menghitung besarnya perbandingan pemberat dengan besar jaring
(diudara) adalah:
1) Jumlah berat pemberat (diudara) berkisar diantara ½ atau ⅔ dari berat
jaring (diudara)
2) Jumlah pemberat (diudara) per meter antar 1 – 3
3) Jumlah pemberat (Ws) = 480 x 0,67 = 361
4) Gillnet Lingkar per meter dikurangi dari ketentuan teknis menjadi 0,67 kg
per meter, untuk meringankan penariakan jaring, dalam hal ini termasuk
gillnet lingkar, jarak pemberat 1,1 meter
yal
S = Wk (1 ) = 480 x1,1 x 0,91
yk
= 480 kgf
Jadi daya tenggelam total gillnet lingkar = 480kgf + 37 kgf = 517 kgf
dimana
S = Daya tenggelam komponen Gillnet lingkar (grf atau kgf)
Wk = Berat komponen Gillnet lingkar di udara (gr atau kg)
135
Yk = Massa jenis komponen Gillnet lingkar (gr/cm3 atau
kg/dm3)
y a.l = massa jenis air laut (1,025 gr/cm3 atau kg/dm3)
Menghitung pemberat dalam air :
S = 528 x0,91
= 480 kgf
Spesific grafity dan sinking force dari beberapa pemberat dapat dilihat
Tabel 1.
Tabel 1.Spesific grafity dan sinking force dari beberapa pemberat
Bahan Spesific
Sinking force dalam
Sinking force dalam berat 1
gravity
volume 1 ℓ (kg)
kg diudara
Lead
11,35
10,35
0,912
Iron
7,83
6,83
0,872
Stone
2,70
1,7
0,630
c. Kelebihan daya apung (extra buoyancy)
Kelebihan daya apung (extra buoyancy) menjadi perlu diperhitungkan
dalam kaitannya perkiraan target jumlah ikan yang akan ditangkap dalam
sekali pengangkatan. Ikan yang tertangkap akan menambah beban jaring
karena ikan yang tertangkap terjerat pada mata jaring dan/atau terpuntal pada
jaring. Pada tabel 17 berdasarkan hasil perhitungan setiap komponen jaring
gillnet lingkar telah dikelompokkan komponen yang berdaya tenggelam
(bertanda positif) dan komponen yang berdaya angkat (bertanda negatip).
Masing-masin nilai bertanda positip dan bertanda negatip dijumlahkan dan
diperbandingkan jumlahnya antara jumlah daya apung dan daya tenggelam
dalam kilogram daya (kgf). Dari hasil perhitungan menurut Tabel 2
diperlihatkan nilai perbandingan daya apung dan daya tenggelam = 566 : 480,
sehingga ekstra buoyancy = 566 kgf – 480 kgf = 86 kgf.
Tabel2.Perbandingan daya apung dan daya tenggelam
No.
Nama Komonen
1.
2.
Webbing
Selvedge
3.
Tali Pelampung Ø 8
4.
Tali Ris Atas Ø 8
5.
Tali Ris Bawah Ø 15
6.
Tali Usus – Usus Ø 5
7.
Tali Pemberat Ø 5
Berat Komponen
Di Udara (kg)
Di Air Laut (kgf)
370
37+
30
0,3 450 x6,7=22
2,2 100
450 x4,7=15
1,5 100
480 x4,7=18
1,8 100
750 x3=24
2,4 100
480 x3=11
100
136
1,1 -
8.
Tali bantu Ø 12
9.
Tali penghubung
10.
Tali Selambar Ø 12
11.
12.
Pemberat Timah
Pelampung S5 N
500 x9,1=40
100
200 x1,7=3
100
75 x9,1=7
100
361
867
4,0 0,3 0,7 328 +
552 480
566,2 -
Perbandingan daya apung : daya tenggelam 566 : 480. Extra buoyancy = 86 kgf.
DESAIN DAN KONTRUKSI GILLNET LINGKAR
Desain konseptual dan awal
Desain gillnet lingkar dipersiapkan sebagai petunjuk dan pedoman
pembuatan atau kegiatan perakitan gillnet lingkar. Desain atau perancangan
gillnet lingkar diawali dengan pra rancangan atau desain konseptual. Desain
konseptual ini dibuat untuk memudahkan pelaksanaan kegiatan awal untuk
memastikan penyiapan desain awal untuk kegiatan uji operasi penangkapan
ikan pelagis kecil tahap pertama.
Gambar 2. Desain Konseptual Gillnet Lingkar
Pada kegiatan pertama uji operasi penangkapan di laut berpangkalan
dari Tempat Pendaratan Ikan Pulolampes, Kabupaten Brebes. Desain
konseptual ini sebagai pedoman kerja identifikasi sekaligus rujukan bila
mengandung perbaikan dari hasil rancangan gillnet yang ada di lapangan.
Kegiatan pra rancangan gillnet lingkar disusun melalui studi literatur dan
konsep pengoperasian gillnet lingkar permukaan dengan bentuk dimensi
jaring segi empat dengan koefisien gantung pada jaring bagian atas lebih
besar atau sudut bukaan mata jaring melebar kearah horizontal, sedangkan
koefisien gantung pada mendekati ris bawah nilainya lebih kecil atau sudut
bukaan mata jaring menyempit sehingga mata jaring menguncup secara
137
vertikal.Panjang tali pelampung 325 meter berdiameter Ø 7 mm terbuat dari
bahan Polyethilene.
Setelah penelaahan survey di lapangan terhadap gillnet lingkar yang
dioperasikan oleh nelayan Pulolampes kabupaten Brebes, selanjutnya
dilakukan penyesuaian desain awal dan rincian spesifikasi sebagai benda uji
pada pengoperasian Tahap kedua.
Kontruksi gillnet lingkar yang didesain berdimensi lebih besar baik
kearah horizontal maupun vertikal sehingga kondisi jaring menjadi lebih
panjang dan lebih dalam dibanding desain semula. Hal ini untuk
Tabel 3.Ukurantali-temali untuk gillnet lingkar
No.
Tali – Tali
Ø (mm)
Panjang (m)
1. Pelampung
8
450
2. Ris Atas
8
450
3. Ris Bawah
5
480
4. Pemberat
5
480
5. Tali bantu
12
500
6. Pengikat tali bantu
6
2
7. Selambar Depan
14
25
8. Selambar Belakang
14
50
9. Tali Breast Line
5
1050
Gambar 3. Desain awal gillnet lingkar untuk pengoperasian Tahap II
penyesuaian pengoperasian gillnet lingkar pada perairan yang lebih dalam.
(Gambar 3)
138
Kontruksi jaring bagian bawah digunakan nilai koefisien gantung (E)
= 0,53 sehingga bukaan mata jaring lebih besar kearah horizontal. Dengan
demikian bentuk jaring gillnet lingkar memanjang dibawahnya atau
berbentuk menyerupai trapesium.Meskipun demikian bahan jaring pada
bagian utama (tubuh jaring) gillnet lingkar ini tetap menggunakan ukuran
mata jaring ¾ inci menyesuaikan ukuran ikan yang menjadi sasaran utama
penangkapan. Adapun kebutuhan rinci bahan kontruksi gillnet lingkar
dicantumkan pada Tabel 4.
Tabel 4. Spesifikasi teknis gillnetlingkar sebagai benda uji untuk pengoperasian
tahap II
No.
Uraian
Jumlah
1
Tali ris atas PE rope 7 mm
450 Meter
2
Tali pelampung PE rope 7 mm 480 Meter
450 Meter
3
Tali ris atas PE rope 7 mm
450 Meter
4
Tali ris samping PE rope 7 mm
7,62 Meter
5
Tali usus – usus atas PE rope 4 mm
480 Meter
6
Tali usus – usus bawah PE rope 4 mm
480 Meter
7
Tai ris bawah PA rope 10 mm
480 Meter
8
Tali ris penguat bawah PA rope 10 mm
480 Meter
9
Jaring PA 210 d/3 ( 100 ml x 400 md ) 3/4 “
10 pis
10 Selvedge atas PE 380d/6 1”
3 # x 1600 #
11 Selvedge bawah PE 380d/6 1” 3 # x 1600 #
3 # x 1600 #
12 Selvedge samping PE 380d/6 1”
20 # x 400 #
13 Pelampung karet 7 x 4 cm
2500 buah
14 Semen cetak 152 mm tebal 3 cm
100
Desain iterasi
Gillnet lingkar yang telah diuji-operasionalkan dalam Tahap II
pengaruh terhadap hasil tangkapan tidak signifikan sehingga direkalanjutkan dengan melakukan iterasi mengadakan rekontruksi penambahan
kelengkapan tali kerut sedemikian rupa untuk memperkecil ikan sasaran
lolos lewat bawah jaring. Dengan adanya penambahan beban pada tali kerut
dengan cincin (ring) maka daya tenggelam menjadi semakin dipercepat.
Hasil desain iterasi diperlihatkan gambar berikut.
139
Gambar 4. Desain gillnet lingkar hasil iterasi
HASIL UJICOBA OPERASI PENANGKAPAN
Waktu lingkar
Analisa perhitungan tentang waktu yang diperlukan untuk melingkarkan
jaring Gillnet Lingkar dapat di peroleh melalui pendekatan :
S
t=
Vs
dimana :
t = Waktu tempuh turning Cyrcle (detik)
S = Lintasan turning Cyrcle (meter) – 18,4 m
Vs = Kecepatan murni kapal (meter/detik) 1 knot = 0,5144 m/detik
Waktu yang diperlukan untuk melingkar jaring sepanjang 323 m dengan berbagai
kecepatan.
Tabel 5. Waktu tempuh
Kecepatan Setting(Vs = Knot)
Waktu Tempuh Setting (t =
detik)
6.00
90.72
7.00
77,76
8.00
67,39
9.00
60,48
10.00
54,43
Hasil tangkap gillnet lingkar sebelum iterasi
Kontruksi hasil pembuatan gillnet lingkar desain awal telah diujicobakan
selama 6 hari dalam bulan Juli 2014. Total hasil tangkapan selama 6 hari operasi
= 1293 kg. Kegiatan operasi penangkapan dilakukan sebanyak 25 kali
pengoperasian dengan menghasilkan tangkapan dalam setiap kali pengangkatan
sebanyak 51,72 kg. Hasil tangkapan rata-rata setiap trip setiap hari sebesar 215, 5
kg. Hasil tangkapan gillnet lingkar hasil perekayasaan awal ini bila dibandingkan
hasil tangkapan gillnet lingkar milik nelayan yang berhasil dihimpun pada bulan
Maret 2014 telah mengalami peningkatan sekitar 90,3 kg perhari dari 116, 2 kg.
140
Frekuensi kehadiran ikan yang tertangkap gillnet lingkar dari 25 kali
pengoperasian mencapai 100% adalah jenis ikan : serinding, tembang/bilis,
kembung, julung-julung dan cumi-cumi. Jenis ikan lain yang tertangkap, seperti :
petek, selar, layur, parang-parang, selar, gulamah (Tabel 6).
Ikan dominan yang tertangkap gillnet lingkar terdiri dari : ikan serinding
(Apogonidae sp.) sebanyak 487,6 kg atau 38%, ikan kembung (Rastrelliger sp.)
sebanyak 147,7 kg atau 11%, ikan tembang (Sardinella sp) sebanyak 209,4 kg
atau 16%, ikan julung-julung (Hemirhamphus sp.) sebanyak 84,4 kg atau 7%,
cumi (Loligo sp) sebanyak 26,5 kg atau 2% dan kelompok ikan jenis lain, seperti :
selar, parang-parang, petek, layur, gulamah sebanyak 337,4 kg atau 26%. (Tabel
7).
Hasil tangkapan setiap hari berdasarkan jenis ikan dominan yang
tertangkap gillnet : serinding sebanyak 78 kg, ikan kembung sebanyak 23,6 kg,
ikan tembang sebanyak 33,6 kg, ikan julung-julung sebanyak 13,6 kg, dan cumi
sebanyak 4,4 kg.
Tabel 6. Hasil Tangkap Gillnet Lingkar sebelum iterasi di PPI Pulolampes
September 2014
Trip
1
2
3
4
5
6
Rata-
Hauling
ke
Srinding
1
2
3
4
5
1
2
3
4
1
2
3
4
5
1
2
3
4
1
2
3
1
2
3
4
Jml
Catch/haul
15.4
12.5
12.2
5.4
7.5
22.2
25.6
10.2
10.7
25.1
9.6
27.3
32.2
30.8
27.7
15.4
17.2
28.2
35.6
11.2
25.2
10.2
11.5
32.9
25.8
487.6
19.5
Kembung
3.2
1.4
1.5
2.6
3.4
4.6
4.5
2.6
2.2
5.4
1.7
5.2
2.8
10.5
3.5
12.2
11.4
0.8
14.4
4.5
12.4
17.5
5.5
12.4
1.5
147.7
5.9
Tembang
2.5
5.4
5.2
2.4
4.4
8.4
6.5
7.2
12.3
6.4
7.5
9.2
2.2
13.5
6.2
11.3
8.6
12.4
12.5
16.2
10.6
17.1
11.6
8.2
1.6
209.4
8.4
Julung-2
1.5
0.5
2.2
3.8
0.4
1.5
8.5
2.2
1.1
2.2
2.2
2.1
2.1
1.4
2.5
3.8
3.5
1.2
1.8
11.7
6.4
2.3
12.5
5.5
1.5
84.4
3.4
Layur
0.7
0.5
0
0
0.8
1.2
2.2
1.2
1
1.5
0
1.5
0.8
0
1.2
1.5
0.6
0
3.5
3.5
1.3
3.8
2.8
2.5
1.6
Petek
3.5
1.7
2.6
8.7
6.4
4.5
5.5
8.5
8.5
13.6
10.5
18.8
22.5
12.7
14.6
15.5
2.4
4.5
1.8
11.2
7.5
7.5
5.5
1.7
2.2
141
Parang-2
Selar
0.8
0.5
0
0
0
2.1
1.2
0.6
1.2
0
1.2
1.2
0
0
3.5
0.5
0
1.6
0.5
0
2.4
0
2.6
3.6
1.5
1.2
2.7
1.7
1.5
1.1
3.2
4.5
2.7
2.5
2.8
6.7
5.8
2.9
3.5
5.5
3.5
1.8
3.5
1.1
0
0
0
0
1.5
1.6
Gulamah
1.4
0.5
0.8
0
0
0
1.2
0
0.8
0
0
0
1.2
2.2
1.1
0
1.4
0
0
0
0
0
2.2
2.2
Cumi
0.4
0
0.5
0
0.8
1.1
0.8
0
0
0.4
0
0.5
0.8
0
1.1
2.4
0
1.1
1.5
3
0
0.8
8.8
1.5
1
26.5
1.1
Jumlah
Tangkapan (kg)
30.6
25.7
26.7
24.4
24.8
48.8
60.5
35.2
40.3
57.4
39.4
71.6
66.3
73.6
68.0
67.2
45.5
54.7
72.7
61.3
65.8
59.2
60.8
72.0
40.5
1293.0
51,72
rata
(kg)
Catch/hari
78
23,6
33,6
13,6
4,4
Jenis ikan kembung tergolong kelompok ikan memiliki kecepatan
pergerakan sedang dan beberapa ikan pelagis kecil lain. Hal ini menggambarkan
kinerja gillnet lingkar ini telah mampu mengurung ikan perenang sedang dan
menangkapnya tanpa menggunakan alat bantu rumpon sebagai pengumpul ikan.
Tabel 7. komposisi ikan hasil tangkap gillnet lingkar sebelum iterasi
Jenis ikan
Serinding
Kembung
Tembang
Julung2
Cumi
Lain2
Total
Cumi
2%
Julung2
7%
Kg
487,6
147,7
209,4
84,4
26,5
337,4
1293
%
37,7108
11,423
16,1949
6,52746
2,0495
26,0944
100
Lain-lain
26%
Srinding
38%
Tembang Kembung
16%
11%
Gambar 5. Grafik diagram Ven komposisi hasil tangkap gillnet lingkar sebelum
iterasi
Hasil tangkapan gillnet lingkar setelah iterasi
Kontruksi hasil pembuatan gillnet lingkar desain akhir setelah melalui
iterasi kontruksi gillnet lingkar dengan memperbesar dimensi jaring yang
mengarah kepada penambahan tinggi jaring. Seiring itu juga penambahan tali
kerut dan cincin untuk menyesuaikan daya tenggelam jaring sehingga jaring
memiliki kecepatan tenggelam (sinking speed) yang baik.
Pada tahapan ini nelayan mengoperasikan sebagai bagian usahanya yang
hasilnya dimonitor oleh pengamat (observer) dari BBPI. Segala biaya operasional
ditanggung oleh nelayan dengan menggunakan gillnet lingkar secara pinjam dan
nelayan diberi keleluasaan melakukan kegiatan penangkapan sesuai naluri dan
pengalaman melakukan operasi penangkapan ikan.
Kegiatan penangkapan nelayan yang dipinjami gillnet lingkar setelah
mengalami iterasi desain dan kontruksi berlangsung mulai tanggal 2 Agustus
hingga 12 Desember 2014. Kegiatan operasi penangkapan ikan pada periode
142
215,5
tersebut sebanyak 23 hari operasi. Dari hasil operasi tercatat 2 jenis ikan dominan
yaitu ikan serinding (Apogonidae sp.) dan ikan bilis (Sardinella sp.). Frekuensi
kehadiran (occurance of presence) dari 23 hari operasi tercatat kehadiran ikan
serinding sebanyak 16 hari operasi (70%) dan ikan bilis 12 hari operasi (52%)
Dalam analisa selanjutnya diperhatikan catatan hasil tangkap dengan
kehadiran 100% ikan serinding, bersamaan jenis ikan lain yang tertangkap
bersamaan ikan serinding tersebut.
Data hasil kegiatan penangkapan yang telah berhasil dirangkum dalam
penulisan laporan ini dipilih 16 trip operasi penangkapan pada periode 17 Agustus
hingga 3 Desember 2014 bertepatan 100% kehadiran ikan serinding. (Tabel 8).
Total hasil tangkapan selama 16 hari operasi = 6555 kg. Rata- rata hasil tangkap
per trip selama 16 hari operasi =419 kg. Komposisi nya terdiri 37,5% ikan
srinding, 25% ikan bilis dan 37,5% jenis ikan lainnya. Jenis ikan lain yang
tertangkap, seperti : kembung, teri, julung-julung, petek, selar, layur, parangparang, tanjan, cumi, dan lain-lain.
Berdasarkan perhitungan 16 hari operasi penangkapan dengan kehadiran
ikan serinding 100% telah tertangkap ikan serinding sejumlah 2549 kg dengan
berat rata-rata perhari 159, 31 kg berkomposisi 37,5%. Hasil tangkapan ikan lain
selama kehadirannya 16 hari bersamaan dengan keberadaan ikan serinding telah
tertangkap sejumlah 2456 kg berkomposisi 37,5%, sedangkan ikan Bilis yang
keberadaannya bersamaan ikan serinding tertangkap 12 kali hari operasi sejumlah
1550 kg berkomposisi 25%.
Terlihat bahwa komposisi ikan serinding walaupun tetap pada posisi yang
paling dominan, namun dominasinya menurun, sementara kelompok jenis ikan
lain komposisinya meningkat. Hal ini menggambarkan bahwa selektifitas gillnet
lingkar terhadap serinding tidak terlalu dominan dan dikompensasi hasil
tangkapan yang meningkat oleh ikan pelagis lain.
Tabel 8. Data hasil tangkapangillnet lingkar setelah iterasi
Hasil
Hari operasi
Lainnya
Serinding
penangkapan
(Kg)
(Kg)
17 Agustus
221
139
18 Agustus
449
214
23 Agustus
18
571
7 september
29
212
27 september
119
144
28 september
154
150
29 september
24
50
30 september
194
159
2 oktober
210
318
4 Oktober
529
181
143
Bilis
(Kg)
298
90
116
152
347
17
211
25
211
25
7 Oktober
63
44
23
9 Oktober
67
36
35
28 0ktober
67
62
29 oktober
127
42
6 november
258
63
3 Des
20
71
Sub total (kg)
2549
2456
1550
Total (kg)
6555
Hasil tangkap/hari
410
(kg)
Frekuensi
Tertangkap
0.70
0.52
% dari
totalTangkapan
37,5
37,5
25,0
Rata-rata/ Hari
159,31
153,5
96,88
Kemampuan gillnet lingkar menangkap ikan serinding ditampilkan kian
membaik dengan angka frekuensi kehadiran dan laju tangkapan atau hasil tangkap
per trip yang meningkat. Pada musim hujan gillnet lingkar dioperasikan pada
perairan yang menjauh dari pantai dan pada perairan yang lebih dalam. Uji
operasional gillnet lingkar selanjutnya harus dilakukan pada musim hujan sekitar
periode Desember – Maret dengan frekuensi hari operasi yang lebih banyak.
Komposisi hasil tangkapan dan ukuran ikan dominan yang tertangkap antara
purseine waring dan gillnet lingkar dibandingkan untuk menguji selektifitas
ukuran ikan yang tertangkap oleh keduanya.
Perbandingan Kinerja Gillnet “Koncong” dan Gillnet Lingkar sebelum dan
sesudah iterasi
Kinerja atau performa alat tangkap berdasarkan perubahan desain rancang
bangun dilihat berdasarkan hasil tangkapan ikan sasaran utamanya yaitu ikan
srinding. Disamping itu diperhatikan selektifitas alat tangkap berdasarkan
komposisinya. Tabel berikut menerangkan hasil perbandingan kinerja gillnet
lingkar yang telah diuji. (Tabel 9).
Gillnet lingkar konvensional adalah keberadaan gillnet lingkar yang telah
ada sebelumnya sehingga perlu diamati kinerja dan komposisi hasil tangkapannya.
Desain awal gillnet lingkar merupakan hasil rancangan awal sebelum dilakukan
perubahan kearah perbaikan ranncang bangun atau kegiatan iterasi dalam istilah
kerekayasaan. Adapun desain akhir adalah hasil iterasi alat tangkap sebagai akhir
program kegiatan pada tahun berjalan. Meskipun demikian pada tahapan lanjutan
masih mungkin dilakukan penyesuaian pada tahapan uji operasional untuk melihat
kelayakan operasional sampai dapat diterapkan bagi penggunanya.
Hasil kinerja alat tangkap gillnet lingkar telah menampakkan peningkatan
hasil tangkapan setelah adanya perubahan perbaikan rancang bangun. Dari hasil
144
komposisinya, hasil tangkapan sasaran utama (ikan serinding) juga terjadi
kecenderungan meningkat, namun mengingat nilai komposisinya yang menurun
sehingga dalam uji operasional perlu diperhatikan pengamatan terhadap ukuran
ikan lain yang tertangkap secara signifikan dengan frekuensi kehadiran tinggi,
seperti ikan bilis atau Sardinell sp., cumi, julung-julung dan yang lainnya.
Adapun dari segi alat tangkap masih terbuka diadakan penyesuaian mata
jaring terkait dengan peluang ikan sasaran utama masih bisa tertangkap dalam
jumlah yang signifikan dan tidak menimbulkan sebagian besar lolos dari segapan
gillnet lingkar. Berdasarkan analisa biologi terhadap ukuran ikan serinding yang
selama ini tertangkap masih dalam toleransi ukuran yang boleh ditangkap yaitu
pada tingkat kematangan gonad (TKG) III. Oleh karena itu kedepan harus
dilakukan pertimbangan yang lebih komprehensip, mengingat interaksi perikanan
ikan pelagis kecil dihadapkan pada tantangan berkembangnya purse seine waring
yang seharusnya lebih diwaspadai ketimbang jenis alat tangkap ikan pelagis kecil
lain. Perikanan yang ramah lingkungan dan terjangkau secara ekonomi bagi
nelayan kecil lebih dikedepankan.
Tabel 9. Perbandingan hasil kinerja perubahan desain gillnet lingkar
Tahapan Desain Gillnet Lingkar
No Tolok Hasil Uji Kinerja
Konvensional
Desain Awal
Desain Akhir
Hasil tangkapan total
1
116,2 kg
215,5 kg
410 kg
perhari
2 Komposisi ikan serinding
65%
38%
37,5%
Hasil tangkapan serinding
3
75,1 kg
78 kg
159,3 kg
per trip
KESIMPULAN
1) Gillnet lingkar tidak tergolong jaring lingkar (surrounding net). Fungsi mata
jaring pada jaring lingkar bukan untuk menjerat atau memuntal, sedangkan
mata jaring pada gillnet lingkar untuk menjerat atau bila kontruksi jaring
gillnet lingkar dibuat lentur dan ikan yang menabrak lingkar badannya lebih
besar dari bukaan mata jaring maka ikan akan terpuntal.
2) Gillnet lingkar ikan pelagis kecil dioperasikan dengan perahu sederhana
berukuran kurang dari 5 GT bermesin kurang dari 30 PK ditujukan menangkap
ikan pelagis kecil, terutama jenis ikan serinding (Apoginidae sp.) dengan cara
melihat, mengejar, mencegat gerombolan ikan tanpa menggunakan alat bantu
pengumpul ikan dengan melingkarkan jaring sedemikian rupa hingga ikan
terkurung lalu menabrak jaring sehingga ikan terjerat dan/atau terpuntal pada
dinding jaring.
3) Gillnet lingkar hasil rancang bangun merupakan pengembangan gillnet lingkar
konvensional milik nelayan lokal, jaring “koncong”, yang sudah mulai
145
4)
5)
6)
7)
ditinggalkan, dan dengan penyesuaian rancangan dan kontruksi gillnet lingkar
akan dapat dioperasikan ke perairan lebih dalam yang menjauhi pantai sebagai
alternative untuk meningkatkan frekuensi hari operasi penangkapan ikan
dengan gillnet lingkar disamping dapat meningkatkan kinerja efektifitas
penangkapan dengan hasil tangkap yang meningkat.
Berdasarkan pendekatan ekosistem, pengoperasian gillnet lingkar tanpa
menggunakan alat bantu pengumpul ikan dan ditujukan pada sasaran ikan
tertentu yang dikejarnya merupakan cara yang ramah lingkungan dan hasilnya
lebih selektif sesuai ikan sasaran tangkapannya. Oleh karena itu kerekayasaan
gillnet lingkar sebagai upaya peningkatan kinerja gillnet lingkar konvensional
sekaligus sebagai alternatif pengendalian maraknya purse seine waring yang
beresiko mengancam akan rusaknya sumberdaya ikan.
Kontruksi gillnet lingkar terbuat dari bahan PA Multifilament, mesh size 3/4 “
dan bagian kantong menggunakan benang jaring lebih tebal terbuat dari PA
Multifilamen Ukuran Mata ¾“ benang d/6. Kontruksi webbing ini sesuai
untuk percepatan daya tenggelam bagi jaring yang pengoperasiannya
melingkar mengurung ikan.
Tempo operasi penangkapan dengan gillnet lingkar tergolong singkat dengan
membutuhkan waktu 2 -3 menit untuk menurunkan dan melingkarkan jaring
dan waktu yang diperlukan untuk penarikan dan pengangkatan jaring
diperlukan 75 menit sampai dengan 90 menit.
Daerah penangkapan ikan gillnet lingkar diperluas pada perairan yang lebih
dalam dengan melakukan penyesuaian dimensi jaring gillnet lingkar sehingga
sarana apung gillnet lingkar konvensional, jaring “koncong”, tetap bisa
didayagunakan oleh nelayan setempat.
REKOMENDASI
1)
Kegiatan lanjutan kerekayasaan gillnet lingkar hendaknya pada tahapan uji
operasional dengan diikuti kegiatan monitoring meliputi :
 Kajian terhadap performa gillnet lingkar dari segi desain dan kontruksi
dalam rangka penyesuaian atau pertimbangan iterasi kearah perbaikan
atau peningkatan performa jaring agar memenuhi kaidah penangkapan
yang efisien dan ramah lingkungan.
 Kajian terhadap hasil tangkap ikan pelagis kecil hasil tangkapan gillnet
lingkar dan juga terhadap hasil tangkapan purse seinewaring terkait
dengan beberapa kebutuhan untuk analisa sumberdaya ikan terkait
kelimpahan (dinamika populasi) dan parameter biologi untuk
pengelolaan perikanan ikan pelagis kecil yang berkelanjutan berbasis
ekosistem.
146
2)
3)
 Operasional gillnet lingkar akan terus disesuaikan desain dan kontruksi
sesuai dengan kebutuhan optimal jumlah hari operasi penangkapan
gillnet lingkar dalam setahunnya.
 Operasional gillnet lingkar hasil penyesuaian desain dan kontruksi pada
perairan yang lebih dalam dan dilengkapi alat penanganan ikan diatas
perahu sebagai persyaratan bahan olahan untuk produk ekspor.masih
layak dengan menggunakan perahu eks jaring koncong.
Diperlukan kajian bahan pertimbangan yang lebih komprehensif, mengingat
interaksi perikanan ikan pelagis kecil
dihadapkan pada tantangan
berkembangnya purse seine waring yang seharusnya lebih diwaspadai
ketimbang jenis alat tangkap ikan pelagis kecil seperti gillnet lingkar yang
cenderung ramah lingkungan.
Isu pengelolaan perikanan tangkap hendaknya memberikan ruang gerak
perikanan yang arif, berkeadilan dan keberpihakan kepada nelayan skala
kecil demi mempertahankan tradisi cara penangkapan ramah lingkungan
untuk keberlanjutan perikanan pantai yang hemat tenaga.
REFERENSI
1. Program Manual Kerekayasaan Gillnet Lingkar di Perairan Utara Jawa :
Progman/ BBPPI/GNL/ 01/2014.
2. Dokumen Teknis Semester I (Laporan Pertengahan ) Kerekayasaan
TD/GL/GNL/VI/2014
3. Technical Report Leader 2, WP Rancang Bangun Alat Tangkap: TR01/L02/GNL/03/2014
4. Technical Report Leader 2, WP Rancang Bangun Alat Tangkap: TR02/L02/GNL/05/2014
5. Technical Report Leader 2, WP Rancang Bangun Alat Tangkap: TR03/L02/GNL/06/2014
6. Technical Report Leader 2, WP Rancang Bangun Alat Tangkap: TR04/L02/GNL/09/2014
DAFTAR PUSTAKA
FAO Catalogue of Small Scale Fishing Gear. Published by arrangement with the
Food and Agriculture Organization of the United Nations by Fishing New
Fridman,A.L,1973. Theery and design of Commercial fishing gear
J.Prado dan PY Dremiere, 1996.Petunjuk praktis bagi nelayan (Fisherman work
book) Edisi Terjemahan Berbahasa Indonesia. Balai Pengembangan
Penangkapan Ikan Semarang
Klust,G. 1973 Netting material for fishing gear FAO fishing manual.
147
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap IPB ke-6
Halaman:148-162
ISBN 978-979-1225-34-2
STUDI PENDAHULUAN TENTANG STATUS MANAJEMEN
PERIKANAN TANGKAP DI ZONA PERIKANAN BERKELANJUTAN
DALAM KAWASAN TWP PULAU PIEH DAN LAUT SEKITARNYA
Yempita Efendi1
1
Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Bung Hatta
[email protected]
ABSTRAK
Telah dilakukan studi pendahuluan tentang status manajemen perikanan tangkap
di zona perikanan berkelanjutan dalam Kawasan Konservasi Taman Wisata
Perairan (TWP) Pulau Pieh dan Laut di Sekitarnya. Tujuan studi adalah untuk
mengetahui status perikanan tangkap berbasis Ekosistem / Ecosystem Approach to
Fisheries Management (EAFM). Metode yang digunakan adalah deskriptif
kualitatif. Analisa data menggunakan pendekatan ekosistem (EAFM).
Hasil penelitian didapatkan bahwa Kawasan Konservasi Taman Wisata Perairan
(TWP) Pulau Pieh dan Laut di Sekitarnya ditetapkan sebagai kawasan konservasi
perairan nasional melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
KEP. 70/MEN/2009 tanggal 3 September 2009 dengan luas kawasan 39.900 Ha.
Zona perikanan berkelanjutan dalam kawasan TWP Pulau Pieh menempati area
seluas 37.974,72 Ha atau sekitar 95,2% dari seluruh luas kawasan. Aktivitas
nelayan dalam melakukan penangkapan yang tidak ramah lingkungan masih
ditemukan, seperti penggunaan bom. Selain itu nelayan yang melakukan aktivitas
penangkapan di sekitar pulau pada saat melakukan penangkapan sering
membuang jangkar sembarangan sehingga dapat merusak terumbu karang yang
terkena oleh jangkar kapal. Penggunaan alat tangkap seperti jaring setan juga
menjadi penyebab kerusakan karang dan ancaman bagi biota lainnya. Kegiatan
perikanan, baik yang sifatnya masih tradisional maupun dalam skala yang lebih
besar banyak dilakukan di dalam kawasan. Ikan-ikan ekonomis penting relatif
masih banyak tertangkap oleh para nelayan, mulai dari ikan-ikan karang seperti
kerapu, kakap, dan kuwe sampai dengan ikan-ikan pelagis seperti tongkol, tuna,
dan tengiri. Namun ada indikasi bahwa kegiatan perikanan tersebut cenderung
mulai mengalami tangkap lebih (overfishing). Salah satu indikatornya adalah
banyak tertangkapnya bibit-bibit ikan yang masih kecil, seperti anakan tongkol,
tuna, ataupun kerapu.
Kata Kunci: EAFM, perikanan berkelanjutan, overfishing
148
PENDAHULUAN
Taman Wisata Perairan (TWP) Pulau Pieh dan Laut di Sekitarnya
merupakan salah satu kawasan konservasi perairan nasional yang terletak di
Provinsi Sumatera Barat tepatnya di sebelah barat wilayah administratif Kota
Padang, Kota Pariaman, dan Kabupaten Padang Pariaman. Sebelum diserahkan ke
Kementerian Kelautan dan Perikanan, kawasan ini merupakan Kawasan
Pelestarian Alam (KPA) dengan fungsi sebagai Taman Wisata Alam Laut
(TWAL) Pulau Pieh yang pengelolaannya berada di bawah Balai Konservasi
Sumber daya Alam (BKSDA) Sumatera Barat Kementerian Kehutanan. Kawasan
ini juga merupakan salah satu dari delapan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) dan
Kawasan Suaka Alam (KSA) yang diserahterimakan dari Kementerian Kehutanan
ke Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui berita acara serah terima Nomor
BA.01/Menhut-IV/2009 dan Nomor BA.108/MEN.KP/III/2009 pada tanggal 4
Maret 2009.
Berdasarkan pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.30/ MEN/2010 tentang Rencana Pengelolaan dan Zonasi Kawasan
Konservasi Perairan, disebutkan bahwa zonasi di dalam kawasan konservasi
perairan terdiri dari zona inti, zona perikanan berkelanjutan,zona pemanfaatan,
dan zona lainnya. Total luas kawasan TWP Pieh dan Laut disekitarnya adalah
39.900 Ha
Zona perikanan berkelanjutan dalam kawasan konservasi perairan diatur
untuk mengakomodir kegiatan-kegiatan perikanan dengan catatan bahwa kegiatan
tersebut dilakukan dengan cara-cara yang ramah lingkungan. Zona ini dapat
dimanfaatkan untuk:
- Perlindungan habitat dan populasi ikan;
- Penangkapan ikan dengan alat dan cara yang ramah lingkungan;
- Budidaya ramah lingkungan;
- Pariwisata dan rekreasi;
- Penelitian dan pengembangan; dan
- Pendidikan.
Zona perikanan berkelanjutan dalam kawasan TWP Pulau Pieh menempati
area seluas 37.974,72 Ha atau sekitar 95,2% dari seluruh luas kawasan. Peta Zona
Perikanan Berkelanjutan TWP Pulau Pieh dan Laut di Sekitarnya dapat dilihat
pada Lampiran 1.
Dalam makalah ini disajikan tentang status perikanan tangkap di zona
perikanan berkelanjutan dengan pendekatan ekosistem.
149
METODOLOGI
Metode Pengumpulan Data Indikator
Data yang yang dikumpulkan mencakup 6 domain /Indikator, yakni:
Sumberdaya Ikan, Teknik Penangkapan, Habitat, Sosial, Ekonomi dan
Kelembagaan. Dalam pengumpulan data dibagi menjadi 2 kelompok yaitu data
primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode
wawancara dan observasi secara kualitatif dengan mempedomani daftar
pertanyaan/ kuesioner perikanan pelagis besar, pelagis kecil dan ikan karang
(demersal) kepada responden rumah tangga perikanan. Wawancara dilakukan
secara perorangan. Penentuan responden berdasarkan pada hal-hal berikut ini :
a. Nelayan yang telah memiliki pengalaman dalam bidang tersebut minimal 5
tahun (tentatif), diutamakan lebih dari 10 tahun.
b. Bersedia diwawancarai.
c. Dilakukan dengan cara purposive sampling, yaitu membuat cluster dari
populasi berdasarkan kriteria klasifikasi alat tangkap dan jenis armada.
d. Jumlah sampel tidak terikat, wawancara hanya menargetkan terpenuhinya
semua informasi yang dibutuhkan.
e. Perwakilan terhadap pemilik kapal yang mengoperasikan armada
penangkapan, pemilik kapal yang tidak mengoperasikan kapal dan ABK.
Pengambilan data Sekunder dilakukan dengan cara mengumpulkan
laporan kajian ilmiah/penelitian yang berkaitan dengan TWP Pieh dan dokumen
RPP TWP Pieh dan Laut Sekitarnya. Metode penentuan lokasi didasarkan pada
hal-hal berikut ini:
a. Dilakukan dengan cara purposive sampling, yaitu membuat cluster dari
populasi berdasarkan kriteria jumlah RTP, klasifikasi alat tangkap dan jenis
armada
b. Merupakan daerah yang dikelola dalam perencanaan tata ruang wilayah atau
zonasi
Peta administrasi TWP Pieh dan Laut sekitarnya dapat dilihat pada Lampiran 2.
Metode Analisis Data Indikator
Domain sumberdaya ikan, habitat, teknik penangkapan ikan, sosial,
ekonomi dan kelembagaan yang terdapat pada kuesinoer diberikan nilai
berdasarkan status atau kondisi terkini pada saat kajian dilakukan. Penentuan nilai
status untuk setiap indikator dalam setiap domain dilakukan dengan menggunakan
pendekatan skoring yang sederhana, yakni memakai skor Likert berbasis ordinal
1,2,3. Semakin baik status indikator, maka semakin besar nilainya, sehingga
berkontribusi besar terhadap capaian EAFM.
Perkalian bobot dan nilai akan menghasilkan nilai indeks untuk indikator
yang bersangkutan atau dengan rumusan: Nilai Indeks = Nilai Skor * 100 * Nilai
150
Bobot. Nilai indeks dari indikator ini, nantinya akan dijumlahkan dengan nilai
indeks dari indikator lainnya dalam setiap domain menjadi suatu nilai indeks
komposit. Kemudian, nilai indeks komposit ini akan dikategorikan menjadi 5
penggolongan kriteria dan ditampilkan dengan menggunakan bentuk model
bendera (flag model) seperti terlihat pada Tabel 1 berikut ini:
Tabel 1. Penggolongan Nilai Indeks Komposit dan Visualisasi Model Bendera
Nilai Agregat Komposit Model Bendera Deskripsi/Keterangan
100 – 140
Buruk
141 – 180
Kurang Baik
281 – 220
Sedang
221 – 260
Baik
261 – 300
Baik Sekali
HASIL DAN PEMBAHASAN
Domain Sumberdaya Ikan
Hasil analisis domain sumberdaya ikan ditampilkan dalam Tabel 2. di bawah ini:
Tabel 2. Analisis Komposit Domain Sumberdaya Ikan
INDIKATOR
1. CpUE Baku
3. Proporsi
ikan yuwana
(juvenile)
yang
ditangkap
4. Komposisi
spesies hasil
tangkapan
DEFINISI/ PENJELASAN
CpUE adalah hasil tangkapan per
satuan upaya penangkapan.
Upaya penangkapan harus
distandardisasi sehingga bisa
menangkap tren perubahan upaya
penangkapan. CpUE Baku
digunakan apabila terdapat pola
multi fishing gears untuk
menangkap satu spesies di unit
perikanan yang dikaji. Jika CpUE
Baku sulit untuk digunakan, bisa
digunakan CpUE dominan
Persentase ikan yang ditangkap
sebelum mencapai umur dewasa
(maturity)
Spesies target yang dimanfaatkan,
spesies non target yang
dimanfaatkan dan tidak
dimanfaatkan
MONITORING/
PENGUMPULAN
Logbook, Enumerator, Observer
selama minimal 3 tahun dari unit
perikanan yang dikaji
Sampling program secara
reguler
data poor fisheries: interview
kepada responden yang
berpengalaman dalam perikanan
terkait selama minimal 10 tahun
Logbook, observasi
data poor fisheries: interview
kepada responden yang
berpengalaman dalam perikanan
terkait selama minimal 10 tahun
151
KRITERIA
SKOR
1 = menurun tajam (rerata turun >
25% per tahun)
2 = menurun sedikit (rerata turun
< 25% per tahun)
3 = stabil atau meningkat
3 = trend ukuran semakin besar
2
1 = banyak sekali (> 60%)
1
2 = banyak (30 - 60%)
3 = sedikit (<30%)
1 = proporsi target lebih sedikit
(< 15% dari total volume)
2 = proporsi target sama dgn nontarget (16-30% dari total
volume)
3 = proporsi target lebih banyak
(> 31 % dari total volume)
3 = tidak ada individu ETP yang
tertangkap
2
Tabel 2. Analisis Komposit Domain Sumberdaya Ikan (lanjutan)
INDIKATOR
5. "Range
Collapse"
sumberdaya
ikan
6. Spesies ETP
DEFINISI/ PENJELASAN
lokasi penangkapan ikan yang
semakin jauh
Populasi spesies ETP
(Endangered species, Threatened
species, and Protected species)
sesuai dengan kriteria CITES
MONITORING/
PENGUMPULAN
Survey dan monitoring,
logbook, observasi
data poor fisheries: interview
kepada responden yang
berpengalaman dalam perikanan
terkait selama minimal 10 tahun
Survey dan monitoring,
logbook, observasi dalam satu
tahun terakhir
data poor fisheries: interview
kepada responden yang
berpengalaman dalam perikanan
terkait selama minimal 10 tahun
KRITERIA
1 = semakin sulit, tergantung
spesies target
2 = relatif tetap, tergantung
spesies target
3 = semakin mudah, tergantung
spesies target
1 = fishing ground menjadi
sangat jauh, tergantung
spesies target
2= fishing ground jauh,
tergantung spesies target
3= fishing ground relatif tetap
jaraknya, tergantung spesies
target
1= terdapat individu ETP yang
tertangkap tetapi tidak
dilepas;
2 = tertangkap tetapi dilepas
Berdasarkan Tabel 2 diatas dapat dilihat bahwa dari 6 indikator pada
domain Sumberdaya ikan, empat indikator bernilai 2 (kuning), dan dua indikator
lainnya bernilai 1 (merah). Indikator yang bernilai 1 yakni proporsi ikan yuwana
yang tertangkap dan individu ETP yang tertangkap tetapi tidak dilepas. Ikan
yuawana yang tertangkap masih relative banyak (> 60%) terutama dari jenis ikan
Teri dan ikan-ikan pelagis lain seperti tongkol (Euthinus sp) dan cakalang
(Katsuwonus sp) yang ditangkap dengan Alat Tangkap Bagan.
Domain Habitat dan Ekosistem
Kualitas perairan TWP Pulau Pieh secara umum masih dalam batas-batas
normal, bahkan sangat baik. Rincian parameter kualitas perairan di TWP Pieh
disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3. Kualitas Perairan TWP Pieh
No.
Parameter
Nilai
o
1. Suhu ( C)
26 – 29
2. Salinitas (‰)
26 – 38
3. Kecerahan (m)
8 – 13
4. Kecepatan Arus (cm/det)
0 – 55
5. Gelombang (m)
0,5 – 1,25
7. Pasang Surut (m)
1,2 – 3,0
Sumber: Anonimous, 2014
152
SKOR
2
2
1
TWP Pulau Pieh dan Laut di Sekitarnya merupakan habitat penting bagi
ekosistem terumbu karang. Salah satu hal yang kemudian mendasari
ditetapkannya kawasan ini sebagai kawasan konservasi adalah karena keberadaan
ekosistem terumbu karang di dalam perairan kawasan ini. Terumbu karang yang
terdapat di dalam kawasan termasuk jenis terumbu karang tepi (fringing reef) dan
juga ada gosong karang (patch reef) dengan kontur yang landai sampai curam
(drop off). Selain itu pulau-pulau kecil yang terdapat di dalam kawasan ini
merupakan tempat bertelurnya penyu.
Dari hasil kajian potensi yang dilakukan pada tahun 2010 – 2012 oleh
Loka KKPN Pekanbaru menunjukkan bahwa secara umum kondisi ekosistem
perairan di dalam kawasan yang didominasi oleh ekosistem terumbu karang ini
adalah berada dalam kondisi rusak, bahkan di beberapa titik pengamatan sudah
termasuk dalam kategori rusak berat (Gambar 1).
Gambar 1. Rata-rata Tutupan Karang Hidup di TWP Pulau Pieh dan Laut di
Sekitarnya
Kerusakan terumbu karang
terutama diakibatkan oleh aktivitas
penangkapan ikan secara destructive oleh nelayan dengan menggunakan bahan
dan alat yang tidak ramah lingkungan, seperti penggunaan bahan peledak dan
racun potassium sianida. Rusaknya ekosistem terumbu karang yang merupakan
rumah bagi ikan-ikan ini berdampak buruk terhadap hasil tangkapan nelayan yang
terus mengalami penurunan sehingga areal penangkapannya semakin jauh. Hasil
analisis domain habitat ditampilkan dalam Tabel 4.
Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa beberapa indikator habitat
berwarna merah, misalnya ekosistem lamun, mangrove dan perubahan iklim.
Lamun dan mangrove berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Bung Hatta yang dari awal sangat
konsen dengan TWP Pieh ini mengungkapkan bahwa di TWP Pieh tidak
ditemukan kedua ekosistem tersebut. Sedangkan parameter perubahan iklim
belum didapatkan data bahwa di TWP Pieh sudah pernah dilakukan penelitian,
153
Tabel 4. Analisis Komposit Domain Habitat
1.
INDIKATOR
DEFINISI/ PENJELASAN
Kualitas
perairan
Limbah yang teridentifikasi
secara klinis, audio dan atau
visual (Contoh :B3-bahan
berbahaya & beracun),
menggunakan parameter dari
KepMen LH 51/2004 ttg Baku
Mutu Air Laut Lampiran 3
Kualitas perairan dilihat dari
Tingkat Kekeruhan dan
Padatan Tersuspensi Total
Eutrofikasi menggunakan
parameter klorofil a
2.
Status
ekosistem
lamun
Tutupan dan keanekaragaman
spesies lamun
MONITORING/
PENGUMPULAN
KRITERIA
SKOR
Data sekunder, sampling,
monitoring,
1= tercemar;
3
>> Sampling dan monitoring
: 4 kali dalam satu tahun
(mewakili musim dan
peralihan)
2=tercemar sedang;
Survey, monitoring dan data
sekunder, CITRA SATELIT
>> monitoring : dengan
coastal bouy/ water quality
checker (continous), Citra
satelit (data deret waktu) dan
sedimen trap (setahun sekali)
=> pengukuran turbidity di
Lab
>> Survey : 4 kali dalam satu
tahun (mewakili musim dan
peralihan)
>> monitoring : dengan
coastal bouy/ water quality
checker (continous), Citra
satelite (data deret waktu)
Survey dan data sekunder,
monitoring, CITRA
SATELIT.
1= > Melebihi baku mutu sesuai
KepMen LH 51/2004;
2= Sama dengan baku mutu sesuai
KepMen LH 51/2004;
3= Dibawah baku mutu sesuai
KepMen LH 51/2004
3
1= konsentrasi klorofil a < 2 µg/l;
3
3= tidak tercemar
2= konsentrasi klorofil a 2-5 µg/l;
3= konsentrasi klorofil a > 5 µg/l
1=tutupan rendah, ≤30%;
1
2=tutupan sedang, ≥ 30 - < 60%;
3=tutupan tinggi, ≥ 60%
>> Sampling dan monitoring
: Seagrass watch
(www.seagrasswatch.org)
dan seagrass net
(www.seagrassnet.org)
3.
Status
ekosistem
mangrove
Status mangrove dievaluasi
berdasarkan persentase tutupan
dan kerapatan
Survey dan data sekunder,
CITRA SATELIT, foto
udara
>> Citra satelite dengan
resolusi tinggi (minimum 8
m) - minimal satu tahun
sekali dengan diikuti oleh
survey lapangan
>> Survey : Plot sampling
1=keanekaragaman rendah (H' < 3,2
atau H' < 1), jumlah spesies < 3
2 = kanekaragaman sedang
(3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3),
jumlah spesies 3 - 5
3 = keanekaragaman tinggi
(H’>9,97 atau H’>3), jumlah spesies
>5
1=tutupan rendah, < 50%;
1
2=tutupan sedang, ≥ 50 - < 75%;
3=tutupan tinggi, ≥ 75 %
1=kerapatan rendah (<1000
pohon/ha);
2 = kerapatan sedang (1000-1500
pohon/ha);
3 = kerapatan tinggi (> 1500
pohon/ha)
154
1
1
Tabel 4. Analisis Komposit Domain Habitat (Lanjutan)
INDIKATOR
4.
Status
ekosistem
terumbu
karang
DEFINISI/ PENJELASAN
> Persentase tutupan karang
keras hidup (live hard coral
cover) dan keanekaragaman
karang hidup yang didasarkan
atas live form
MONITORING/
PENGUMPULAN
Survey dan data sekunder,
CITRA SATELIT, foto
udara
>> Survey : Transek (2 kali
dalam setahun)
>> Citra satelite dengan
hiper spektral - minimal tiga
tahun sekali dengan diikuti
oleh survey lapangan
5.
6.
Habitat
unik/khusus
Luasan, waktu, siklus,
distribusi, dan kesuburan
perairan, spawning ground,
nursery ground, feeding
ground, upwelling, nesting
beach
GIS dgn informasi Citra
Satelit, Informasi Nelayan,
SPAGs (Kerapu dan kakap),
ekspedisi oseanografi
Perubahan
iklim terhadap
kondisi
perairan dan
habitat
Untuk mengetahui dampak
perubahan iklim terhadap
kondisi perairan dan habitat
Survey dan data sekunder,
CITRA SATELIT, data deret
waktu, monitoring
KRITERIA
1 = tutupan rendah, <25%;
2
2 = tutupan sedang, ≥ 25 - < 50%;
3 = tutupan tinggi, ≥ 50%
1= keanekaragaman rendah (H' < 3,2
atau H' < 1);
2 = kanekaragaman sedang
(3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3);
3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97
atau H’>3)
1= tidak diketahui adanya habitat
unik/khusus;
2= diketahui adanya habitat
unik/khusus tapi tidak dikelola
dengan baik;
3 = diketahui adanya habitat
unik/khusus dan dikelola dengan
baik
> State of knowledge level :
1= belum adanya kajian tentang
dampak perubahan iklim;
2= diketahui adanya dampak
perubahan iklim tapi tidak diikuti
dengan strategi adaptasi dan
mitigasi;
3 = diketahui adanya dampak
perubahan iklim dan diikuti
dengan strategi adaptasi dan
mitigasi
> state of impact (key indicator
menggunakan terumbu karang):
1= habitat terkena dampak perubahan
iklim (e.g coral bleaching >25%);
2= habitat terkena dampak perubahan
iklim (e.g coral bleaching 5-25%);
3= habitat terkena dampak perubahan
iklim (e.g coral bleaching <5%)
namun pada tahun 1997 telah dilaporkan oleh Yempita Efendi dan Indrawadi
pernah terjadi coral bleaching di TWP Pieh.
Domain Teknik Penangkapan Ikan
Hasil analisis komposit domain teknik penangkapan ikan disajikan pada
Tabel 5. Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa dari 6 parameter domain teknik
penangkapan 4 parameter berwarna merah. Keempat parameter yang berwarna
merah adalah berkaitan dengan dokumen yang harus ada di suatu kapal penangkap
ikan, termasuk didalamnya sertifikat awak kapal. Hal ini terjadi karena umumnya
nelayan yang melakukan penangkapan di zona perikanan berkelanjutan di TWP
155
SKOR
2
2
1
1
Tabel 5. Analisis Komposit Domain Teknik Penangkapan Ikan
INDIKATOR
1. Penangkapan ikan
yang bersifat
destruktif
2. Modifikasi alat
penangkapan ikan
dan alat bantu
penangkapan
3. Kapasitas
Perikanan dan
Upaya
Penangkapan
(Fishing Capacity
and Effort)
4. Selektivitas
penangkapan
5. Kesesuaian fungsi
dan ukuran kapal
penangkapan ikan
dengan dokumen
legal
6. Sertifikasi awak
kapal perikanan
sesuai dengan
peraturan.
DEFINISI/
PENJELASAN
Penangkapan ikan
bersifat destruktif
yang dilihat dari
penggunaan alat dan
metode penangkapan
yang merusak dan
atau tidak sesuai
peraturan yang
berlaku.
Penggunaan alat
tangkap dan alat
bantu yang
menimbulkan
dampak negatif
terhadap SDI
Besarnya kapasitas
penangkapan dibagi
aktivitas
penangkapan
Aktivitas
penangkapan yang
dikaitkan dengan
luasan, waktu dan
keragaman hasil
tangkapan
Sesuai atau tidaknya
fungsi dan ukuran
kapal dengan
dokumen legal
Kualifikasi
kecakapan awak
kapal perikanan
(kualitatif panel
komunitas)
MONITORING/
PENGUMPULAN
KRITERIA
SKOR
1= frekuensi pelanggaran > 10 kasus
per tahun ;
2 = frekuensi pelanggaran 5-10
kasus per tahun ;
3 = frekuensi pelanggaran <5 kasus
per tahun
3
Observer, Sampling ukuran ikan
target/ikan dominan, ukuran Lm
bisa diperiksa di
www.fishbase.org
1 = lebih dari 50% ukuran target
spesies < Lm ;
2 = 25-50% ukuran target spesies <
Lm
3 = <25% ukuran target spesies < Lm
2
survey, logbook
data poor fisheries: interview
kepada responden yang
berpengalaman dalam
perikanan terkait selama
minimal 10 tahun
Statistik Perikanan Tangkap,
logbook, survey
1 = Rasio kapasitas penangkapan < 1;
1
Laporan hasil pengawas
perikanan, survey
data poor fisheries: laporan
dari kepolisian, interview
dari nelayan/POKMASWAS
2 = Rasio kapasitas penangkapan = 1;
3 = Rasio kapasitas penangkapan > 1
1 = rendah (> 75%) ;
2 = sedang (50-75%) ;
1
3 = tinggi (kurang dari 50%)
penggunaan alat tangkap yang
tidak selektif)
Survey/monitoring fungsi, ukuran
dan jumlah kapal.
Dibutuhkan pengetahuan cara
mengukur dan informasi rasio
dimensi dan berat GT kapal yang
ada di lapangan
1 = kesesuaiannya rendah (lebih dari
50% sampel tidak sesuai dengan
dokumen legal);
2 = kesesuaiannya sedang (30-50%
sampel tidak sesuai dengan
dokumen legal);
3 = kesesuaiannya tinggi (kurang dari
30%) sampel tidak sesuai dengan
dokumen legal
1
Sampling kepemilikan sertifikat,
yang ada di unit perikanan yang
dikaji
1 = Kepemilikan sertifikat <50%;
2 = Kepemilikan sertifikat 50-75%;
1
3 = Kepemilikan sertifikat >75%
Pieh ini adalah nelayan tradisional yang mengoperasionalkan alat tangkap seperti
Bagan, Payang dan Pancing Handline, yang tidak memiliki dokumen.
Domain Sosial
Hasil analisis domain sosial disajikan dalam Tabel 6. Dari tiga parameter
yang dianalisis dalam domain sosial, parameter partisipasi pemangku kepentingan
masih bernilai merah. Hal ini diduga karena masih belum optimalnya sosialisasi
kepada semua pihak tentang dokumen rencana pengelolaan TWP Pieh.
156
Tabel 6. Analisis Komposit Domain Sosial
DEFINISI/
PENJELASAN
INDIKATOR
1. Partisipasi pemangku
kepentingan
2. Konflik perikanan
3. Pemanfaatan
pengetahuan lokal
dalam pengelolaan
sumberdaya ikan
(termasuk di
dalamnya TEK,
traditional ecological
knowledge)
Keterlibatan pemangku
kepentingan
Resources conflict,
policy conflict, fishing
gear conflict, konflik
antar sector.
Pemanfaatan
pengetahuan lokal yang
terkait dengan
pengelolaan perikanan
MONITORING/
PENGUMPULAN
Pencatatan partisipasi dilaksanakan
secara kontinyu sesuai dengan
pentahapan pengelolaan perikanan.
Evaluasi dari pencatatan ini
dilakukan setiap tahap dan siklus
pengelolaan. Persentase keterlibatan
diukur dari jumlah tipe pemangku
kepentingan, bukan individu
pemangku kepentingan
Arahan pengumpulan data konflik
adalah setiap semester (2 kali
setahun) atau sesuai musim (asumsi
level of competition berbeda by
musim)
Recording pemanfaatan TEK
dilaksanakan secara kontinyu sesuai
dengan pentahapan pengelolaan
perikanan. Evaluasi dari record ini
dilakukan setiap siklus pengelolaan
dan dilakukan secara partisipatif
KRITERIA
1 = < 50%;
SKOR
1
2 = 50-100%;
3 = 100 %
1 = lebih dari 5 kali/tahun;
3
2 = 2-5 kali/tahun;
3 = kurang dari 2 kali/tahun
1 = tidak ada;
2
2 = ada tapi tidak efektif;
3 = ada dan efektif digunakan
Domain Ekonomi
Hasil analisis domain ekonomi disajikan dalam Tabel 7. Berdasarkan
Tabel 7 dapat dilihat bahwa dua parameter domain ekonomi masih bernilai merah.
Kedua parameter ini berkaitan dengan tingkat pendapatan nelayan yang
melakukan penangkapan di zona perikanan berkelanjutan TWP Pieh.
Tabel 7 Analisis Komposit Domain Ekonomi
INDIKATOR
1. Kepemilikan
Aset
2. Pendapatan
rumah tangga
perikanan (RTP)
3. Rasio Tabungan
(Saving ratio)
DEFINISI/
PENJELASAN
Perubahan nilai/jumlah
aset usaha RTP cat : aset
usaha perikanan atau
aset RT, yang
didapatkan dari usaha
perikanan
Rumah Tangga
Perikanan adalah rumah
tangga nelayan,
pengolah ikan dan
pedagang ikan yang
pendapatan utamanya
dihasilkan dari kegiatan
perikanan
menjelaskan tentang
rasio tabungan terhadap
pendapatan bersih
MONITORING/ PENGUMPULAN
KRITERIA
SKOR
Arahan frekuensi survey dan
pengumpulan data pendapatan RTP ratarata setahun dengan mempertimbangkan
musim selama lima tahun (sumber data :
susenas BPS)
1 = nilai aset berkurang (lebih
dari 50%);
2 = nilai aset tetap (kurang dari
50%);
3 = nilai aset bertambah (di
atas 50%)
1= kurang dari rata-rata UMR,
2
Survei pendapatan rumah tangga
perikanan dengan pendekatan sampling
yang sesuai dengan kaidah ilmiah yang
berlaku, dimana pendapatan yang diukur
dan dibandingkan dengan UMR adalah
pendapatan individu yang berasal dari
kegiatan perikanan pada unit perikanan
yang dikaji
Arahan frekuensi survey dan
pengumpulan data pendapatan RTP
adalah menurut musim tangkapan ikan
(data primer). Informasi bunga kredit
dapat diperoleh di BI pada saat survey
157
1
2= sama dengan rata-rata
UMR,
3 = > rata-rata UMR
1 = kurang dari bunga kredit
pinjaman;
2 = sama dengan bunga kredit
pinjaman;
3 = lebih dari bunga kredit
pinjaman
1
Hal ini sejalan dengan domain teknik penangkapan ikan yang telah dijelaskan
diatas. Hampir 100% nelayan yang beroperasi dalam kawasan adalah nelayan
tradisional yang menggunakan alat tangkap bagan, payang dan pancing
(handline).
Domain Kelembagaan
Hasil analisis komposit domain kelembagaan disajikan dalam Tabel 8.
Tabel 8. Analisis Komposit Domain Kelembagaan
INDIKATOR
1. Kepatuhan
terhadap
prinsip-prinsip
perikanan yang
bertanggung
jawab dalam
pengelolaan
perikanan yang
telah ditetapkan
baik secara
formal maupun
non-formal
2. Kelengkapan
aturan main
dalam
pengelolaan
perikanan
DEFINISI/
PENJELASAN
Tingkat kepatuhan
(compliance) seluruh
pemangku kepentingan
WPP terhadap aturan
main baik formal
maupun tidak formal
MONITORING/
PENGUMPULAN
Monitoring ketaatan:
1. Laporan/catatan terhadap
pelanggaran formal dari pengawas,
2. Wawancara/kuisioner (key person)
terhadap pelanggaran non formal
termasuk ketaaatan terhadap
peraturan sendiri maupun
peraturan diatasnya
3. Perlu tambahan informasi mengenai
kualitas kasus dengan contohnya
Sejauh mana
kelengkapan regulasi
dalam pengelolaan
perikanan tersedia,
untuk mengatur praktek
pemanfaatan
sumberdaya ikan sesuai
dengan domain EAFM,
yaitu; regulasi terkait
keberlanjutan
sumberdaya ikan,
habitat dan ekosistem,
teknik penangkapan
ikan, sosial, ekonomi
dan kelembagaan
1) Benchmark sesuai dengan
Peraturan nasional, pemda
seharusnya juga membuat
peraturan turunannya
2) membandingkan situasi sekarang
dengan yang sebelumnya
3) replikasi kearifan lokal
KRITERIA
1= lebih dari 5 kali terjadi
pelanggaran hukum
dalam pengelolaan
perikanan;
2 = 2-4 kali terjadi
pelanggaran hukum;
2
3 = kurang dari 2 kali
pelanggaran hukum
Non formal
2
1= lebih dari 5 informasi
pelanggaran,
2= lebih dari 3 informasi
pelanggaran,
3= tidak ada informasi
pelanggaran
1 = tidak ada regulasi
hingga tersedianya
regulasi pengelolaan
perikanan yang
mencakup dua domain;
2 = tersedianya regulasi
yang mencakup
pengaturan perikanan
untuk 3 - 5 domain;
3 = tersedia regulasi
lengkap untuk
mendukung
pengelolaan perikanan
dari 6 domain
Elaborasi untuk poin 2
1= ada tapi jumlahnya
berkurang;
2= ada tapi jumlahnya
tetap;
3= ada dan jumlahnya
bertambah
158
SKOR
1
1
Tabel 8. Analisis Komposit Domain Kelembagaan (Lanjutan)
INDIKATOR
DEFINISI/
PENJELASAN
MONITORING/
PENGUMPULAN
Ada atau tidak
penegakan aturan main
dan efektivitasnya
Survey dilakukan melalui wawancara/
kuisioner:
1) ketersediaan alat pengawasan,
orang
2) bentuk dan intensitas penindakan
(teguran, hukuman)
KRITERIA
SKOR
1= tidak ada penegakan
aturan main;
2= ada penegakan aturan
main namun tidak
efektif;
3= ada penegakan aturan
main dan efektif
2
1= tidak ada alat dan
orang;
2= ada alat dan orang tapi
tidak ada tindakan;
2
3= ada alat dan orang serta
ada tindakan
1= tidak ada teguran
maupun hukuman;
3. Mekanisme
pengambilan
keputusan
Ada atau tidaknya
mekanisme
pengambilan keputusan
(SOP) dalam
pengelolaan perikanan
Survey dilakukan dengan : analisis
dokumen antar lembaga dan analisis
stakeholder melalui
wawancara/kuisioner
2= ada teguran atau
hukuman;
3= ada teguran dan
hukuman
1= tidak ada mekanisme
pengambilan
keputusan;
2= ada mekanisme tapi
tidak berjalan efektif;
1
1
3= ada mekanisme dan
berjalan efektif
1= ada keputusan tapi tidak
dijalankan;
2= ada keputusan tidak
sepenuhnya dijalankan;
1
3= ada keputusan
dijalankan sepenuhnya
4. Rencana
pengelolaan
perikanan
Ada atau tidaknya RPP
untuk wilayah
pengelolaan perikanan
dimaksud
Survey dilakukan dengan
wawancara/kuisioner:
1. Adakah atau tidak RPP disuatu
daerah
2. Dilaksanakan atau tidak RPP yang
telah dibuat
1= belum ada RPP;
5. Tingkat
sinergisitas
kebijakan dan
kelembagaan
pengelolaan
perikanan
Semakin tinggi tingkat
sinergi antar lembaga
(span of control-nya
rendah) maka tingkat
efektivitas pengelolaan
perikanan akan semakin
baik
Survey dilakukan dengan : analisis
dokumen antar lembaga dan
analisis stakeholder melalui
wawancara/kuisioner
1= konflik antar lembaga
(kebijakan antar
lembaga berbeda
kepentingan);
2 = komunikasi antar
lembaga tidak efektif;
3 = sinergi antar lembaga
berjalan baik
2
Semakin tinggi tingkat
sinergi antar kebijakan
maka tingkat efektivitas
pengelolaan perikanan
akan semakin baik
Survey dilakukan dengan : analisis
dokumen antar lembaga dan
analisis stakeholder melalui
wawancara/kuisioner
1= terdapat kebijakan yang
saling bertentangan;
2
159
2
2= ada RPP namun belum
sepenuhnya dijalankan;
3= ada RPP dan telah
dijalankan sepenuhnya
2 = kebijakan tidak saling
mendukung;
3 = kebijakan saling
mendukung
Tabel 8. Analisis Komposit Domain Kelembagaan (Lanjutan)
INDIKATOR
6. Kapasitas
pemangku
kepentingan
DEFINISI/
PENJELASAN
Seberapa besar
frekuensi peningkatan
kapasitas pemangku
kepentingan dalam
pengelolaan perikanan
berbasis ekosistem
MONITORING/
PENGUMPULAN
KRITERIA
Survey dilakukan dengan
wawancara/kuisioner terhadap:
1= tidak ada peningkatan;
1) Ada atau tidak, berapa kali
2 = ada tapi tidak
difungsikan (keahlian
yang didapat tidak
sesuai dengan fungsi
pekerjaannya)
3 = ada dan difungsikan
(keahlian yang didapat
sesuai dengan fungsi
pekerjaannya)
2) Materi
SKOR
2
Berdasarkan pada Tabel 8 diatas dapat dilihat bahwa parameter yang
dianalisis dalam domain kelembagaan yang masih berwarna merah adalah
mekanisme pengambilan keputusan kelengkapan aturan main. Sebagai suatu
kawasan yang masih baru dikelola, hal ini sangat mudah dipahami. Aturan
pengelolaan tentu masih sangat minim, begitu juga dengan aturan tentang
mekanisme pengambilan keputusan.
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis yang telah dipaparkan diatas didapat kesimpulan
bahwa Status pengelolaan Perikanan tangkap di zona perikanan berkelanjutan
dalam Kawasan TWP Pieh dan Laut disekitarnya dominan berwarna kuning,
artinya dalam kondisi “sedang”. Namun domain Teknik Penangkapan dan
ekonomi berwarna kuning kemerahan, artinya dalam kondisi “kurang baik”
Rincian masing-masing domain disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9 Agregat Nilai komposit masing-masing domain
Domain
Agregat
2
2
1
2
1
2
Sumberdaya Ikan
Habitat & ekosistem
Teknik Penangkapan Ikan
Sosial
Ekonomi
Kelembagaan
160
SARAN
Untuk meningkatkan status pengelolaan perikanan tangkap dalam kawasan
ini perlu langkah-langkah kongkrit dari pihak yang berwenang terutama Satker
Pieh dan Loka KKPN Pekanbaru melalui pembinaan nelayan secara
komprehensif.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 2013. Review Potensi TWP Pieh dan Laut di Sekitarnya. Loka
Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN) Pekanbaru.
Anonimous. 2014. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik
Indonesia No. 38 Tahun 2014 tentang Rencana Pengelolaan TWP Pieh dan
Laut disekitarnya.
Anonimous. 2014. Statistik Perikanan Provinsi Sumatera Barat. Dinas Kelautan
dan Perikanan Provinsi Sumatera Barat.
Yempita Efendi dan Indrawadi. 1998. Kasus Red Tide di Pulau Pieh, Makalah
yang dipresentasikan dalam Seminar Nasional di FPIK Universitas Riau.
161
LAMPIRAN
1. Peta Zona Perikanan Berkelanjutan TWP Pieh dan Laut disekitarnya
2. Peta Administrasi TWP Pieh dan Laut disekitarnya
162
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap IPB ke-6
Halaman:163-171
ISBN 978-979-1225-34-2
HUBUNGAN BEBERAPA FAKTOR OSEANOGRAFI
TERHADAPHASIL TANGKAPAN IKAN DENGAN POLE AND LINE
DI PERAIRAN LAUTFLORES KABUPATEN SINJAI SULSEL
Muhammad Jamal1, Ernaningsih1, Hasrun1
1
Staf Pengajar Jurusan Pemanfaatan SD Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar.
ABSTRAK
Ikan cakalang merupakan target penangkapan yang penting dengan alat
tangkap pole and line di perairan Laut Flores. Distribusi dan kelimpahan spesies
ini cenderung berkumpul pada lingkungan biofisik yang disenangi. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan hasil tangkapan pole and line
dengan parameter lingkungan biofisik perairan. Parameter oseanografi yang
diukur secara in situ adalah suhu, salinitas dan kecepatan arus, sedangkan
parameter klorofil-a dianalisis di laboratorium. Berdasarkan hasil pengolahan data
dengan menggunakan analisis regresi berganda dengan perangkat lunak SPSS
diperoleh variabel suhu (X1) = -142,05, salinitas (X2) = -165,35, kecepatan arus
(X3) = -141,8 dan klorofil-a (X4) = 2482,8 dengan nilai intercept 12472,15.
Koefisien korelasi (r) diperoleh sebesar 0,759, ini berarti antara arus, salinitas,
kecepatan arus dan kandungan klorofil-a mempunyai hubungan positif yang
cukup berarti. Koefisien determinasi (R2) diperoleh 57,65 ini berarti bahwa 57,61
% besarnya pengaruh lingkungan biofisik terhadap hasil tangkapan, selebihnya
42,39 % faktor lain yang juga mempengaruhi hasil tangkapan.
Kata kunci:cakalang, Laut Fores, oseanografi,pole and line
PENDAHULUAN
Perikanan tuna dan cakalang di Indonesia adalah salah satu pilar ekonomi
nasional. Perikanan ini merupakan salah satu sumber devisa bagi negara dan juga
menyediakan lapangan kerja bagi rakyat. Perikanan cakalang initelah berkembang
terutama di perairan Indonesia bagian Timur. Uktoselja et al.(1989) dalam Jamal
(2011) menyatakan bahwa potensi cakalang
di selatan Sulawesi
diperkirakansebesar 61.800 ton/tahun. Berdasarkan hasil kajian Widodo et al.
(2003) melaporkan bahwa potensi sumberdaya ikan pelagis besar di WPPI 713 di
manawilayah pengelolaan Laut Flores tercakup di dalamnya memiliki potensi
sebesar 193.600 ton/tahun dengan tingkat pemanfaatan 43,96 % sehingga masih
memungkinkan untuk dikembangkan. Jenis ikan yang masih berprospek untuk
dikembangkan di Teluk Bone adalah ikan pelagis kecil, tuna dan cakalang.
Kegiatan perikanan cakalang di Teluk Bone didominasi oleh nelayan tradisional
163
yang menggunakan pole and line untuk kebutuhan pangan lokal. Kegiatan
pemanfaatan cakalang di perairan tersebut belum dilakukan olehpengusaha lain
selain nelayan setempat.
Pengenalan terhadap sifat dan lingkungan sumberdaya seperti suhu,
salinitas, kecepatan arus dan klorofil-a sangatlah penting. Hal ini dikarenakan
secara umum faktor-faktor tersebut berpengaruh terhadap ketersediaan makanan,
pemijahan, migrasi dan gerombolan ikan yang secara tidak langsung akan
berpengaruh pula pada jenis dan jumlah hasil tangkapan dari hasil pengoperasian
suatu alat tangkap.Kegiatan perikanan cakalang saat inidiharapkan tidak hanya
menekankan pada hasil tangkapan yang sebanyak-banyaknya, akan tetapi lebih
diharapkan agar kegiatan tersebut dapat berjalanterus-menerus (secara
berkelanjutan).
Masalah utama yang dihadapi nelayan dalam menangkap ikan tuna dan
cakalang adalah pengetahuan nelayan terhadap daerah distribusi dan kelimpahan
ikan perenang cepat tersebut. Untuk membantu usaha penangkapan tersebut telah
dilakukan penelitian untuk mengkaji beberapa faktor oseanografi yang
mempengaruhi hasil tangkapan pole and line.
METODOLOGI
Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Maret – April
2015 di Perairan Laut Flores. Fishing base penelitian ini di TPI Lappa Kabupaten
Sinjai (Gambar 1).
Gambar 1. Peta lokasi Daerah penelitian
Lokasi Penangkapan (fishing ground) disesuaikan dengan lokasi
penangkapan nelayan dimana mereka melakukan pemancingan. Ada 12
koordinat lokasi penangkapan selama penelitian yaitu:
164
Tabel 1. Titik koordinat lokasi penangkapan
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Titik koordinat
Lintang Selatan
Bujur Timur
06042.666'
121025.273'
0
06 32.938'
120055.005'
0
06 41.003'
121027.195'
0
06 40.885'
121003.116'
0
06 45.765'
121024.821'
0
06 45.857'
121024.876'
0
06 47.891'
121028.508'
0
06 31.885'
121003.116'
0
06 31.574'
121007.502'
0
06 41.966'
121036.296'
0
06 45.855'
121030.250'
0
06 48.386'
121029.056'
Alat dan bahan yang dipergunakan selama penelitian dapat dilihat pada
Tabel 2 sebagai berikut :
Tabel 2. Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian
No
Komponen
I.
1
2
3
4
5
6
7
1
2
Alat
Thermometer
Salinometer
Current meter
Botol sampel
GPS
Kamera
Kapal penangkap ikan
II.
Ba han
Ikan cakalang
Umpan
Kegunaan
Mengukur suhu in situ
Mengukur salinitas in situ
Mengukur kecepatan arus
Menyimpan sampel
Menentukan posisi
Dokumentasi
Penangkap ikan
Hasil tangkapan
Menarik ikan berkumpul
Metode Pengumpulan Data
Data penelitian diperoleh dengan cara pengukuran langsung (data primer)
melalui pengambilan data penangkapan danoseanografi melalui sampling. Data
primer terdiridari data jumlah hasil tangkapan, jenis hasil tangkapan, posisi
penangkapan ikan tuna dan cakalangdengan alat tangkap pole and line (huhate),
data oseanografi (in-situ SPL dan klorofil-a), posisipenangkapan dan data hasil
tangkapan per trip. Pengambilan data tersebut dilakukan denganobservasi
langsung ke lapangan dengan menggunakan GPS (Global Positioning System)
salinometer serta termometer batang untuk mengamati beberapa spot fishing
grounds ikancakalang di lokasi penelitian, serta wawancara dengan responden
yaitu nelayan (anak buah kapal) danpengusaha (pemilik kapal).
165
Analisis Data
Untuk mengetahui hubungan antara parameter oseanografi dengan hasil
tanngkapan digunakan analisis regresi berganda. Analisis regresi merupakan
salah satu teknik analisis data dalam statistika yang seringkali digunakan untuk
mengkaji hubungan antara beberapa variabel dan meramal suatu variabel.
Hubungan atau pengaruh dua atau lebih variabel bebas terhadap variabel terikat
disebut dengan model regresi linier berganda (multiple linear regression model)
(Kutneret al, 2004). Variabel terikat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
hasil yang tangkapan pole and line berupa ikan cakalang dan madidihang,
sedangkan untuk variabel bebas yaitu Suhu Permukaan Laut (SPL), salinitas,
kecepatan arus dan klorofil a.Sehingga persamaan regresi adalah:
Y = a + b1X1 + b2X2 ++b3X3 + b4X4 +€
dimana:
Y = Hasil tangkapan berupa ikan cakalang dan madidihang per trip (Kg)
a = Konstanta
X1 = Kecepatan arus (cm/det)
X2 = Salinitas (0/00)
X3 = Suhu (0C)
X4 = Klorofil-a (mg/m3)
b1 = Koefisien regresi parameter kecepatan arus
b2 = Koefisien regresi parameter salinitas
b3 = Koefisien regresi parameter suhu
b4= Koefisien regresi parameter klorofil-a
€ = Perkiraan kesalahan penggangu
Uji F dilakukan untuk menguji pengaruh variabel bebas (independent)
secara bersama terhadap variabel terikat (dependent). Dari tabel Anova
didapatkan nilai significance F dimana nilai F hitung lebih kecil dari nilai F tabel
pada taraf kepercayaan 95 % berarti nyata dan jika lebih besar dari F tabel pada
taraf kepercayaan 95 % berarti tidak nyata. .
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Oseanografi
Suhu
Suhu perairan selama penelitian berlangsung berkisar antara 29-310C
dengan rata-rata 300C. Fluktuasi suhu yang terjadi pada daerah penangkapan
selama penelitian ini relatif sempit dengan variasi sebesar 20C (Gambar 2).
Melihat keadaan suhu yang teramati, daerah tersebut berpotensi untuk dijadikan
daerah penangkapan karena kondisi suhu yang seperti ini masih tergolong normal
dan masih dalam batas toleransi ikan. Hal ini sesuai dengan pendapat Gunarso
166
(1985), suhu optimum penangkapan cakalang di Indonesia adalah 28 – 29 0C,
sedangkan Froose and Pauly (2011) bahwa cakalang menyebar pada suhu 15 – 30
0
C.
31.5
31
31
31
suhu (0C)
30.5
30
29.5
29
29
29
28.5
28
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Titik Koordinat
Gambar 2. Hasil Pengamatan suhu di lokasi penangkapan selama penelitian
Salinitas
Salinitas yang teramati selama kegiatan penelitian berkisar antara 28,40
30 /00 dengan nilai rata-rata yaitu 29,10/00. Salinitas tertinggi yang teramati dalam
penelitian ini yaitu 30 0/00 dan terendah 28,40/00 dengan rata-rata 29,2 0/00 dan
standar deviasi sebesar 0,49.
Salinitas perairan di daerah penangkapan
salinitasnya tergolong normal.
30.5
Salinitas (0/00)
30
30
29.5
29
28.5
28.4
28
27.5
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Titik koordinat
Gambar 3. Hasil Pengamatan salinitas di lokasi penangkapan selama penelitian
167
Fausan (2011) menemukan hasil tangkapan cakalang dengan pole and line
tertinggi yaitu pada kisaran salinitas 30 0/00 dengan jumlah hasil tangkapan 1819
ekor. Ikan cenderung untuk memilih medium dengan kadar salinitas yang lebih
sesuai dengan tekanan osmotik tubuhnya. Menurut Supadiningsi dan Rosana
(2004) salinitas perairan yang disukai ikan cakalang berkisar 32-350/00.
Kecepatan arus
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kecepatan arus berkisar antara
15,7 -26,2 cm/det dengan rata-rata 21,78 cm/det dengan nilai standar deviasi
3,07. Hasil penelitian Fausan (2011) menemukan bahwa hasil tangkapan
tertinggi yaitu pada kisaran arus 5,12-6,15 dengan hasil jumlah hasil tangkapan
yaitu 2.671 ekor.Selanjutnya dapat dikatakan bahwa perbedaan kecepatan arus
terjadi karena penelitian yang dilakukan Fausan (2011) dilakukan di kawasan
Teluk Tomini. Kecepatan arus merupakan hal yang paling diperhatikan dalam
pergerakan kapal untuk mengejar gerombolan ikan diperairan yang akan menjadi
tujuan penangkapan.Selain itu arus juga sangat berpengaruh terhadap penyebaran
ikan, dimana arus mengalihkan telur-telur dan anak-anak ikan dari daerah
pemijahan ke daerah pembesaran dan daerah tempat mencari makan.
30
26.2
Kecepatan arus (cm/det)
25
20
15.7
15
10
5
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Titik koordinat
Gambar 4. Hasil Pengamatan kecepatan arus di lokasi penangkapan selama
penelitian
Kandungan klorofil-a
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kandungan klorofil-a di lokasi
penangkapan berkisar antara 0,064 – 0,168 mg/m3, dengan rata-rata 0,120
mg/m3dan standar deviasi sebesar 0,03. Kandungan klorofil yang berpengaruh
terhadap ketersediaan makanan yang akan menarik ikan-ikan untuk berkumpul.
168
0.18
0.168
0.16
Klorofil-a (mg/m3)
0.14
0.12
0.1
0.08
0.064
0.06
0.04
0.02
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Titik koordinat
Gambar 5. Hasil Pengamatan klorofil-a di lokasi penangkapan selama penelitian
Keberadaan konsentrasi klorofil-a di atas 0,2 mg m-3 mengindikasikan
keberadaan plankton yang cukup untuk menjaga kelangsungan hidup ikan-ikan
ekonomis penting (Zainuddin 2007).
Jenis dan Jumlah Hasil Tangkapan
Jenis hasil tangkapan pole and line adalah ikan pelagis besar yang hidup
bergerombol yaitu ikan cakalang dan madidihang. Jumlah hasil tangkapan ikan
cakalang dan madidihang selama penelitian adalah 17.896 kg dan 2.328 kg.
Sehingga total hasil tangkapan adalah 20.224 kg dengan rata-rata 1.685, 3 kg.
Jumlah hasil tangkapan per jenis disajikan pada Gambar 6.
9000
8520.5
Hasil tangkapan (kg)
8000
7461.5
7000
6000
5000
4000
3000
2000
1059
1000
104.5
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Titik koordinat
Cakalang
Madidihang
Total
Gambar 6. Jumlah hasil tangkapan selama penelitian
169
12
Hubungan Faktor Oseanografi terhadap Hasil Tangkapan
Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan regresi linier berganda
antara faktor oseanografi dengan hasil tangkapan diperoleh nilai b1 = -142,05 ; b2
= -165,35 ; b3 = -141,8 dan b4 = 2482,8 dengan nilai a (intercept) 12472,15.
Dengan demikian persamaan regresi linier berganda antara variabel dependen
(hasil tangkapan) dengan variabel independen (arus, salinitas, kecepatan arus dan
klorofil-a) diperoleh sebagai berikut :
Y = 12472,15 –142,05X1-165,35X2 – 141,8X3 + 2482X4 +€
dimana:
Y = Hasil tangkapan berupa ikan cakalang dan madidihang per trip (Kg)
X1 = Kecepatan arus (cm/det)
X2 = Salinitas (0/00)
X3 = Suhu (0C)
X4 = Klorofil-a (mg/m3)
Keempat variabel tersebut di atas diperoleh koefisien korelasi (r) sebesar
0,759.Ini berarti bahwa antara suhu, salinitas, kecepatan arus dan kandungan
klorofil-a mempunyai hubungan positif yang cukup berarti terhadap jumlah hasil
tangkapan. Adapun nilai koefisien determinasi (R2) adalah sebesar 57,61, nilai ini
menunjukkan bahwa besarnya faktor oseanografi terhadap jumlah hasil tangkapan
adalah 57,61 %, selebihnya faktor lain yang juga mempengaruhi jumlah hasil
tangkapan sebesar 42,39 %. Berdasarkan uji Anova didapatkan nilai F hit= 6,46
(P<0,05) ini menunjukkan adanya pengaruh antara faktor oseanografi dengan
jumlah hasil tangkapan pada taraf kepercayaan 95 %.
Secara umum persamaan regresi di atas merupakan rata-rata perubahan
yang terjadi pada variabel Y apabila terjadi perubahan pada variabel X1, X2, X3
dan X4 sebesar 1 unit menurut ukuran masing-masing Berdasarkan hasil
persamaan regresi yang diperoleh bahwa jumlah hasil tangkapan akan mengalami
penurunan sebesar 142 kg jika suhu bertambah 1 unit satuan.Jumlah hasil
tangkapan akan mengalami penurunan sebesar 165 kg, jika salinitas bertambah 1
unit satuan.Jumlah hasil tangkapan akan mengalami penurunan sebesar 141 kg,
jika kecepatan arus bertambah 1 unit satuan. Selanjutnya jumlah hasil tangkapan
akan mengalami peningkatan sebesar 2.482 kg, jika klorofil-a bertambah 1 unit
satuan.
KESIMPULAN
Berdasarkan uji Anova didapatkan bahwaada pengaruh antara faktor
oseanografi dengan jumlah hasil tangkapan pada taraf kepercayaan 95 %. Nilai
R2 adalah sebesar 57,61 menunjukkan bahwa besarnya faktor oseanografiterhadap
170
jumlah hasil tangkapan adalah 57,61 %, selebihnya faktor lain yang juga
mempengaruhi jumlah hasil tangkapan sebesar 42,39 %.
Jumlah hasil tangkapan ikan cakalang dan madidihang selama penelitian
adalah 17.896 kg dan 2.328 kg, total hasil tangkapan adalah 20.224 kg dengan
rata-rata 1.685, 3 kg.
SARAN
Perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang kondisi biofisik lingkungan
perairan dengan menambah lokasi lainnya misalnya di daerah selat Makassar dan
mencakup seluruh musim yang ada.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Direktorat Penelitian dan
Pengabdian Masyarakat (DP2M) Dikti yang telah membiayai penelitian ini
melalui Skim penelitian Strategi Nasional Tahun 2015.
DAFTAR PUSTAKA
Fausan, 2011.
Pemetaan Daerah Potensial Penangkapan Ikna Cakalang
(Katsuwonus pelamis) Berbasis Sistem Informasi Geografis d Perairan
Teluk Toini Provinsi Gorontalo. Skripsi, Prodi Pemanfaatan Sumberdaya
Perikanan Jurusan Perikanan Universits Hasanuddin, Makassar.
Froose R and Pauly D., 2011. Fishbase, www.fishbase.org version (06/2011)
Gunarso, W. 1985. Tingkah Laku Ikan dalam Hubungannya dengan Alat,
Metodedan Taktik Penangkapan. Fakultas Perikanan IPB, Bogor.
Jamal, M. 2011. Analisis Perikanan Cakalang (Katsuwonus pelamis) di Teluk
Bone. Hubungan Aspek Biologi dan Faktor Lingkungan. Disertasi,
Sekolah Pasca Sarjama, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Kutner, M.H., C.J. Nachtsheim., dan J. Neter. 2004. Applied Linear Regression
Models. 4 ed. New York:McGraw-Hill Companies, Inc.
Supadiningsih, C. N dan Rosana, N, 2004. Penetuan Fishing Ground Tuna dan
Cakalang dengan Teknologi Pengindraan Jauh. PertemuanIlmiah Tahunan
I. Teknik Geodesi. ITS. Surabaya.
Widodo J. 2003. Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut Indonesia Tahun2002.
Di dalam : Widodo J, Wiadnya NN, Nugroho D. (Eds). ProsidingForum
Pengkajian Stok Ikan Laut 2003. Jakarta, 23-24 Juli 2003. PUSRIPTBRKP, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta.
171
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap IPB ke-6
Halaman:172-192
ISBN 978-979-1225-34-2
TINGKAT EFISIENSI PEMASARAN IKAN LAUT SEGAR DI
PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA (PPN) BRONDONG
(Marketing EfficiencyLevelof Fresh Fish in Brondong Fishing Port)
Miftachul Huda1*, Iin Solihin2, Ernani Lubis2
1
Program Studi Teknologi Perikanan Laut, Departemen. Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, FPIK, IPB
2
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB
E-mail :[email protected]
[email protected]
ABSTRAK
Pemasaran merupakan kunci dari keberlanjutan aktivitas perekonomian tidak
terkecuali ikan hasil tangkapan yang berasal dari Pelabuhan Perikanan Nusantara
(PPN) Brondong. Ikan yang didaratkan di PPN Brondong beragam. Ikan swangi
(Priacanthus tayenus) dan ikan kuniran (Upeneus sulphureus) merupakan ikan
hasil tangkapan dominan serta ikan tongkol (Euthynnus affinis) dan ikan kakap
merah (Lutjanusmalabaricus)merupakan ikan ekonomis tinggi yang di daratkan di
PPN Brondong. Nelayan PPN Brondong perhari rata-rata melakukan
penangkapan ikan 159 ton ikan. Potensi besarnya hasil tangkapan yang didaratkan
di PPN Brondong harus dapat diimbangi dengan pemasaran yang baik. Aktivitas
pemasaran harus dapat dilakukan seefisien mungkin sehingga dari sisi bisnis dapat
memberikan keuntungan yang besar dari hasil kegiatan pemasaran ini. Aktivitas
distribusi pemasaran ikan yang berasal dari PPN Brondong saat ini masih belum
efisien dikarenakan aktivitas pemasaran masih menggunakan alat-alat yang
tradisional. Melihat kondisi itu penting untuk mengetahui tingkat efisiensi dari
aktivitas pemasaran ikan yang berasal dari PPN Brondong. Tujuan dari penelitian
ini adalah menghitung tingkat efisiensi pemasaran ikan yang ada di PPN
Brondong, Lamongan, Jawa Timur. Penelitian akan dilaksanakan dengan metode
kasus terhadap strategi peningkatan efisiensi pemasaran dalam pendistribusian
ikan dari Pelabuhan Perikanan Pantai (PPN) Brondong. Analisis yang digunakan
yaitu dengan rumus efisiensi pemasaran. Berdasarkan analisis yang dilakukan,
didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa aktivitas pemasaran yang ada di PPN
Brondong tidak efisien. Terbukti berdasarkan analisis didapatkan ikan swangi
memiliki tingkat Eps 45,44%, ikan kuniran 38,98%, ikan tongkol 57,94% dan
ikan kakap merah 25,65% dengan dinyatakan dimana pemasaran dikatakan efisien
jika memiliki Eps <5%.
Kata kunci: efisiensi pemasaran, ikan laut segar,PPN Brondong
172
PENDAHULUAN
Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Brondong merupakan pelabuhan
perikanan yang paling sibuk di Jawa Timur.Ikan yang didaratkan sangat
bervariasi. Beberapa jenis ikan yang didaratkan di PPN brondong diantaranya
ikan tongkol (Euthynnus affinis), ikan kakap merah (Lutjanuscampechanus) yang
merupakan ikan ekonomis tinggi serta ikan kuniran(Upeneus sulphureus), ikan
swangi (Priacanthus tayenus)merupakan hasil tangkapan dominan yang
didaratkan di PPN Brondong. Ikan yang berasal dari PPN Brondong ini
dipasarkan ke berbagai daerah baik di Lamongan sendiri, kota disekitar Jawa
Timur hingga keluar provinsi Jawa Timur. Ikan yang berasal dari PPN Brondong
yang dipasarkan di berbagai tempat memiliki tingkat kenaikan harga yang sangat
signifikan.Kenaikan ini disebabkan karena adanya perlakuan untuk kegiatan
pemasaran dan pengambilan keuntungan selama ikan didistribusikan.Distribusi
merupakan bagian dari pemasaran yang selalu muncul ketika melakukan
perpindahan barang dari satu tempat ke tempat yang lainnya dan terjadi
pertambahan nilai.Distribusi merupakan faktor penting yang membuat
perpindahan barang menjadi cepat (Deswindi 2007).
Ikan yang berasal dari PPN Brondong dipasarkan hampir diseluruh Pulau
Jawa dan Bali. Pemasaran dilakukan menggunakan alat transportasi darat berupa
truk bak terbuka atau pick-up dimana ikan dimasukkan ke dalam drum ataupun
palka fiber yang diletakkan diatas kendaraan. Proses pemasaran ikan yang berasal
dari PPN Brondong melalui cukup banyak tangan/pelaku atau juga yang biasa
disebut rantai pasok. Panjangnya rantai yang dilalui ini membuat pemasaran ikan
yang berasal dari PPN Brondong menjadi tidak efisien.
Tidak efisiennya pemasaran ikan yang berasal dari PPN Brondong
disebabkan oleh banyaknya jumlah rantai atau pelaku (rantai pemasaran) yang
berkecimpung dalam distribusi proses pemasaran ikan. Jumlah rantai pemasaran
yang dilewati oleh suatu komoditas dalam proses pemasaran mempengaruhi
terhadap harga ikan karena adanya pengambilan keuntungan oleh setiap pelaku.
Rantai pemasaran mencakup semua link dari titik produksi (proses penangkapan
ikan) kepada pengguna akhir atau konsumen akhir. Rantai pasok berisi kumpulan
sub-pasar atau sistem pemasaran.Sebuah sistem pemasaran didefinisikan sebagai
mata rantai hubungan antara produsen/pemasok dan konsumen, termasuk semua
mekanisme yang menentukan hubungan antara laba produsen dan penyediaan
produk fisik (Cenini 2012).
Melihat tidak efisiennya kegiatan pemasaran ikan yang berasal dari PPN
Brondong ini, maka perlu diketahui tingkat kenaikan harga (margin) ikan yang
dipasarkan sehingga dapat diketahui tingkat efisien dari kegiatan pemasaran ikan
yang berasal dari PPN Brondong.
173
METODOLOGI
Penelitian ini dilakukan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN)
Brondong, Pasar Pabean Surabaya (pasar induk), Pasar Larangan Sidoarjo (pasar
kabupaten), dan Pasar Wonoayu (pasar kecamatan/desa).Penelitian dilakukan
pada bulan November hingga Desember 2014.Pengambilan data dilakukan
dengan metode purposive sampling yaitu melakukan wawancara langsung dengan
para pelaku yang ada di setiap lokasi pemasaran ikan. Wawancara dilakukan
terhadap 5 responden nelayan, 5 pemborong, 5 distributor, 5 sopir, 3 pedagang di
pasar regional, 3 pedagang pasar kabupaten/kota dan 3 pedagang pasar
kecamatan. Penentuan jumlah responden diatas dikarenakan telah memiliki
kesamaan informasi, sehingga informasi sudah dianggap cukup karena saling
melengkapi dari responden yang sebelumnya.
Pengambilan data meliputi harga ikan yang dijual, besar pengambilan
keuntungan, tingkat kenaikan harga di setiap pelaku, serta biaya produksi yang
dikeluarkan oleh setiap pedagang atau distributor. Menurut Hapsari (2013), untuk
mengetahui jumlah rantai dan margin pemasaran ikan diperlukan data meliputi
harga ikan,saluran pemasaran ikan,margin pemasaran ikan,biaya produksi pada
pedagang pengecer dan pedagang besar ikan, dan keuntungan yang didapatkan
oleh pedagang pengecer dan pedagang besar. Setelah ditemukan alur pemasaran
termasuk jumlah pelaku dan besarnya margin yang terjadi, maka akan didapatkan
tingkat efisien dari pemasaran ikan yang berasal dari PPN Brondong.
Efisien menurut kamus besar bahasa Indonesia yaitu tepat atau sesuai
untuk mengerjakan (menghasilkan) sesuatu (dengan tidak membuang-buang
waktu, tenaga, biaya), mampu menjalankan tugas dengan tepat dan cermat,
berdaya guna, bertepat guna. Efisien artinya melakukan sesuatu dengan sumber
daya yang hemat atau dengan tanpa pemborosan, sedangkan efisiensi adalah
penggunaan sumber daya secara minimum guna pencapaian hasil yang optimum
(Anggrahini 2012).
Menurut Hanafiah dan Saefuddin (2006), efisiensi tata niaga dianalisis
berdasarkan efisiensi teknis dan ekonomis. Efisiensi teknis dipilih karena
memiliki kriteria yang jelas meliputi input pendapatan dan biaya barang yang
dipasarkan hingga output dari barang yang dipasarkan. Pengukuran efisiensi
ekonomis menggunakan margin rantai nilai yang ada di pasar sebagai alat
ukurnya.Efisiensi teknis merupakan pengendalian fisik dari produk atau
komoditas yang mencakup prosedur, teknis, dan besarnya skala operasi. Tujuan
dari efisiensi teknis ini untuk penghematan fisik seperti mengurangi kerusakan
barang, mencegah merosotnya mutu produk, dan menghemat tenaga kerja yang
akan berdampak pengurangan ongkos berupa uang yang tergantung pada
economic environment dalam rantai nilai yang berlangsung. Efisiensi ekonomis
menunjukkan bahwa perusahaan atau industri dengan teknik, skill dan
174
pengetahuan yang ada, dapat bekerja atas dasar biaya rendah dan memperoleh
profit.
Margin pemasaran adalah perbedaan harga antara yang harus dibayar
kepada penjual pertama dan harga yang dibayar oleh pembeli terakhir. Menurut
Oktariza (1996), untuk menghitung margin pemasaran dapat menggunakan
rumus:
dimana :
MP
: Margin pemasaran
HK
: Harga ditingkat konsumen
HP
: Harga ditingkat nelayan
Efisiensi pemasaran merupakan maksimisasi rasio antara luaran dan
masukan yang digunakan dalam kegiatan pemasaran (Irawan 2007).Menurut
(Rasyaf1995) dalam (Rasuli 2007), biaya pemasaran adalah biaya-biaya yang
dikeluarkan dalam pergerakan barang dari tangan produsen sampai konsumen
akhir atau setiap biaya yang dikeluarkan untuk keperluan pemasaran.Biaya
pemasaran adalah semua biaya yang terjadi sejak produk selesai diproduksi dan
disimpan dalam gudang dan sampai saat produk diubah kembali dalam bentuk
tunai.Biaya pemasaran merupakan biaya yang dikeluarkan dalam memasarkan,
mendistribusikan, dan melayani produk atau jasa (Setiawan 2014). Biaya
pemasaran meliputi biaya operasional pemasaran yang dikeluarkan pedagang
(biaya pengangkutan, penyimpanan, sortasi, grading) dan keuntungan pedagang
(Irawan 2007). Menurut Hapsari (2013), untuk mengetahui tingkat efisiensi
pemasaran ikan pada masing-masing lembaga pemasaran, digunakan rumus
sebagai berikut:
dimana:
Eps
: Efisiensi Pemasaran
Bp
: Biaya Pemasaran
HE
: Harga Eceran
Kriteria:
– Eps < 5%, berarti efisien
– Eps > 5 %, berarti tidak Efisien
HASIL
Alur dan Lokasi Pemasaran
Berdasarkan observasi dan wawancara di PPN Brondong yang termasuk
ikan ekonomis tinggi yaitu ikan tongkol dan ikan kakap merah, serta ikan kuniran
175
dan ikan swangi merupakan ikan dominan.Bentuk pemasaran tersebut tertera pada
Tabel 1.
Tabel 1. Pemanfaatan ikan yang dipasarkan
NO.
1.
2.
3.
4.
NAMA IKAN
PEMANFAATAN
Konsumsi segar utuh
Konsumsi segar utuh dan fillet
Surimi dan konsumsi segar utuh
Surimi dan konsumsi segar utuh
Ikan tongkol
Ikan kakap merah
Ikan swangi
Ikan kuniran
Sumber: data primer 2014
Masing-masing pemasaran ikan memiliki alur yang berbeda-beda. Khusus
ikan swangi dan ikan kuniran yang merupakan bahan baku untuk surimi, memiliki
alur pendistribusian yang sama yaitu dibawa menuju pabrik pengolahan yang ada
di sekitar PPN Brondong. Ikan swangi dan ikan kuniran diolah di pabrik, nantinya
setelah diolah akan langsung dipasarkan keluar negeri untuk memenuhi pasar
ekspor.
Tabel 2. Nama perusahaan pengolahan ikan di sekitar PPN Brondong
NO
NAMA PERUSAHAAN
PRODUKSI OLAHAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
PT. HATNI
PT. ANELA
CV. SINDI PRATAMA
PT. 88
PT. 689
PT. STARFOOD
Ikan fillet beku
Surimi dan Ikan beku
Surimi dan Ikan Beku
Surimi dan Ikan Beku
Ikan Beku dan Ikan Olahan
Surimi dan Ikan Beku
Alur pemasaran ikan swangi dan ikan kuniran memiliki kesamaan.
Kesamaan ini dikarenakan kedua ikan ini merupakan bahan pokok untuk
dijadikan surimi oleh perusahaan yang ada disekitar PPN Brondong dan sebagian
lagi dijual dalam bentuk ikan segar. Ikan swangi dan kuniran yang berbentuk
segar dipasarkan di kota Lamongan, Sidoarjo, Tuban, Bojonegoro dan juga
Surabaya.
Ikan tongkol dan ikan kakap merah yang ada di PPN Brondong tidak
semua berasal dari kapal yang mendarat di PPN Brondong, namun sebagian
berasal dari pangkalan pendaratan ikan (PPI) yang ada disekitar PPN
Brondong.Seperti ikan tongkol yang berasal dari PPI Labuhan serta ikan kakap
merah dari PPI Kandang Semangkon dan PPI Kranji.
176
Gambar 1. Alur pemasaran ikan swangi dan ikan kuniran di PPN Brondong
Gambar 2. Ikan yang masuk PPN Brondong dari jalur darat
Ikan tongkol memiliki daerah pemasaran yang cukup luas meliputi
Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan dan Malang. Ikan
tongkol dipasarkan dalam bentuk segar karena dijual di pasar tradisional dan
digunakan untuk konsumsi rumah tangga.
177
Gambar 3. Kota tujuan pemasaran ikan tongkol
Ikan tongkol dalam proses pemasarannya menuju konsumen di daerah,
setidaknya melalui 5 rantai sebelum sampai konsumen. Rantai pemasaran yang
cukup panjang ini disebabkan adanya titik lokasi yang merupakan pusat
pemasaran ikan skala besar.Lokasi pusat pemasaran ikan skala besar yang ada di
Jawa Timur yaitu Pasar Pabean, di Kota Surabaya.
Gambar 4 Alur pemasaran ikan tongkol dari PPN Brondong
178
Ikan kakap merah memiliki pasar tersendiri dan dipasarkan dalam bentuk
fillet serta dikonsumsi segar utuh. Pemasaran ikan kakap meliputi Surabaya dan
Sidoarjo untuk masuk di perusahaan fillet ikan, dan Singaraja-Bali untuk
dijadikan konsumsi ikan segar utuh di restoran.
Gambar 5 Kota tujuan pemasaran ikan kakap merah
Sama halnya dengan ikan tongkol, ikan kakap merah setidaknya untuk
mencapai konsumen dalam bentuk segar setidaknya membutuhkan 5 rantai hingga
sampai ditangan konsumen. Namun ada juga yang mencapai 6 rantai karena dijual
di restoran-restoran yang ada di sekitar tempat wisata di Pulau Bali.
Harga dan Margin Pemasaran Ikan
Panjangnya alur pemasaran ikan yang dilakukan oleh pelaku menjadikan
adanya kenaikan harga akibat adanya margin dari ikan yang dipasarkan.Setiap
perpindahan pelaku yang dilalui sampai ke konsumen atau pembeli terakhir
memerlukan atau menimbulkan adanya margin.Margin pemasaran ikan dari setiap
jenis ikan berbeda-beda tergantung dari harga ikan itu sendiri ketika pertama kali
dijual oleh nelayan dan juga jumlah pelaku yang ada didalamnya.
Ikan Swangi dan Ikan Kuniran
Ikan swangi dan kuniran memiliki tingkat margin yang sama dalam
aktivitas distribusi pemasaran. Kesamaan ini dikarenakan harga ikan cenderung
ditentukan oleh pabrik berdasarkan pada stok ikan yang didaratkan pada hari itu.
Fluktuatif harga sangat tinggi karena ikan yang didaratkan di PPN Brondong
179
dalam pembongkarannya bergantian, sehingga harga ikan akan berfluktuatif
sesuai kapasitas produksi dari perusahaan pengolahan ikan yang ada di PPN
Brondong. Rincian margin secara detail untuk ikan swangi dan kuniran terlihat
pada Tabel 3 dan Tabel 4.
Gambar 6. Alur pemasaran ikan kakap merah
Tabel 3. Margin harga ikan swangi
No.
Rantai
1
2
R1
R2
Rata-rata Harga
Tingkat Kenaikan
Harga
Prosentase Kenaikan
Rp 2.500
23%
Rp 11.000
Rp 13.500
Rp 2.500
Margin
Keterangan:
R1 : Produsen (nelayan/pemborong)
R2 : Distributor/Supplyer utusan Pabrik
Tabel 4. Margin harga ikan kuniran
No
Rantai
1
R1
Rp 13.125
2
R2
Rp 15.625
Margin
Rata-rata Harga
Rp
Tingkat Kenaikan Harga
Prosentase kenaikan
Rp 2.500
19%
2.500
Keterangan:
R1 : Produsen (nelayan/pemborong)
R2 : Distributor/Supplyer utusan Pabrik
180
Berdasarkan Tabel 3 dan Tabe 4 diatas terlihat adanya margin yang terjadi
dari proses pemasaran ikan swangi dan ikan kuniran, dimana masing-masing ikan
mencapai 2.500/kg. Berdasarkan hasil wawancara, margin kenaikan harga ikan
yang terjadi pada ikan swangi dan ikan kuniran disebabkan karena pemberian es
curah, upah sopir, sewa mobil dan biaya risiko yang dibebankan pada komoditas.
Ikan Tongkol
Margin ikan tongkol memiliki perbedaan dengan ikan kuniran dan ikan
swangi.Perbedaan ini dikarenakan jumlah rantai yang harus dilalui oleh ikan ini
sendiri untuk mencapai konsumen akhir juga lebih panjang.Pada Tabel5 terlihat
Ikan tongkol harus melalui 5 rantai atau pelaku yang di setiap pelaku terjadi
margin pemasaran yang disebabkan adanya pengambilan keuntungan dan biaya
pemasaran ikan.
Tabel 5. Margin harga ikan tongkol
No
1
2
3
4
5
Rantai
R1
R2
R3
R4
R5
Margin
Rata-rata Harga
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Tingkat Kenaikan Harga
9.775
13.775
18.775
22.775
26.775
17.000
Rp
Rp
Rp
Rp
4.000
5.000
4.000
4.000
Prosentase
kenaikan
41%
36%
21%
15%
Keterangan:
R1 : Produsen (nelayan/pemborong)
R2 : Distributor/Supplyer
R3 : Agen Pasar Regional (Pasar Pabean Surabaya)
R4 : Pedagang besar Pasar Kabupaten (Pasar Larangan Sidoarjo)
R5 : Pedagang pengecer Pasar Kecamatan/Pasar Desa (Kecamatan Wonoayu)
Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa dalam pemasaran ikan tongkol
terjadi 4 kali proses kenaikan harga dikarenakan harus melalui 5 pelaku yang
berbeda sebelum diterima konsumen. Komoditas ikan tongkol terjadi margin
sebesar 17.000/kg ketika di pasar kecamatan atau pasar desa.Adanya margin yang
terjadi pada komoditas ikan tongkol ini disebabkan oleh pengambilan keuntungan,
pemberian perlakuan untuk menjaga kualitas ikan, biaya transportasi selama
distribusi, dan biaya risiko ikan yang tidak terjual.
Ikan Kakap Merah
Ikan kakap merah juga memiliki margin yang berbeda dengan ikan
tongkol, ikan kuniran dan ikan swangi.Hal ini dikarenakan adanya perbedaan
181
jumlah rantai yang harus dilalui oleh ikan kakap merah untuk mencapai konsumen
akhir yaitu lebih panjang dan harga ikan ini yang lebih mahal.Ikan kakap merah
harus melalui 5 rantai dimana disetiap rantai terdapat margin pemasaran karena
adanya pengambilan keuntungan dan biaya pemasaran ikan.Margin secara
terperinci disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Margin harga ikan kakap merah
No.
1
2
3
4
5
Rantai
R1
R2
R3
R4
R5
Margin
Rata-rata Harga
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Tingkat Kenaikan Harga
48.650
53.650
61.650
66.650
71.650
23.000
Rp
Rp
Rp
Rp
5.000
8.000
5.000
5.000
Prosentase
kenaikan
10%
15%
8%
8%
Keterangan:
R1 : Produsen (nelayan/pemborong)
R2 : Distributor/Supplyer
R3 : Agen Pasar Regional (Pasar Pabean Surabaya)
R4 : Pedagang besar Pasar Kabupaten (Pasar Larangan Sidoarjo)
R5 : Pedagang pengecer Pasar Kecamatan/Pasar Desa (Kecamatan Wonoayu)
Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa dalam pemasaran ikan kakap sama
dengan ikan tongkol terjadi 4 kali proses kenaikan harga dikarenakan harus
melalui 5 pelaku yang berbeda sebelum mencapai tangan konsumen. Komoditas
ikan kakap merah terjadi margin sebesar 22.000/kg ketika di pasar kecamatan atau
pasar desa.Adanya margin yang terjadi pada komoditas ikan kakap merah ini
disebabkan oleh pengambilan keuntungan, pemberian perlakuan untuk menjaga
kualitas ikan, biaya transportasi selama distribusi, dan biaya risiko ikan yang tidak
terjual.
Faktor Penyebab Kenaikan Harga Ikan dan Biaya Pemasaran
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kenaikan harga pada ikan
yang dipasarkan.Masing-masing ikan memiliki penyebab adanya kenaikan harga.
Pelaku dalam alur distribusi ikan dalam proses pemasaran menjadi pihak yang
menyebabkan margin tersebut. Ini terlihat dari beberapa ikan yang terdapat
dibawah ini.
Ikan Swangi dan Ikan Kuniran
Ikan swangi dan ikan kuniran yang memiliki rantai pemasaran paling
pendek diantara ikan lainnya.Banyak faktor yang menyebabkan munculnya
margin pemasaran pada ikan tersebut. Faktor-faktor tersebut meliputi pihak
182
nelayan dan pihak distributor seperti yang terdapat pada Tabel 7 untuk ikan
swangi dan Tabel 8 untuk ikan kuniran.
Tabel 7. Perhitungan kenaikan harga ikan swangi
No.
Rantai
Komposisi biaya pemasaran
1
R1
Biaya pemasaran ikan dari kapal-TPI
2
R2
Biaya pemasaran ikan dari TPI-pabrik
Biaya
Pemasaran
(Rp/kg)
Harga awal dari nelayan
(penentu harga dari pihak
perusahaan)
Distributor (Pengepul) dari
TPI
menuju
pabrik
pengolahan
5.165
996
Total Biaya Pemasaran Nelayan-Pabrik
Tempat Terjadi Kenaikan
6.161
Tabel 8. Perhitungan kenaikan harga ikan Kuniran
No.
Rantai
Komposisi biaya pemasaran
Biaya Pemasaran
(Rp/kg)
1
R1
Biaya pemasaran ikan dari kapal-TPI
5.165
2
R2
Biaya pemasaran ikan dari TPI-pabrik
1.071
Total Biaya Pemasaran Nelayan-Pabrik
Tempat Terjadi
Kenaikan
Harga awal dari nelayan
(penentu harga dari pihak
perusahaan)
Distributor
(Pengepul)
dari TPI menuju pabrik
pengolahan
6.236
Harga dimulai dari penjualan di TPI.Penambahan biaya pemasaran juga
bertambah ketika sampai di tangan distributor.Penambahan itu meliputi biaya
pemberian es, biaya kuli angkut dari TPI ke mobil pick-up, biaya sopir, biaya
risiko dan biaya retribusi pembelian ikan.
Ikan Tongkol
Ikan tongkol yang memiliki rantai pemasaran cukup panjang membuat
munculnya margin pemasaran yang cukup besar pula.Faktor-faktor tersebut
meliputi pihak nelayan, pihak distributor, pihak pedagang ikan di pasar regional,
pedagang di pasar kabupaten, dan pedagang di pasar kecamatan/desa berlombalomba mempertahankan kualitas ikan yang mengakibatkan meningkatnya
margin.Faktor penyebab kenaikan harga ikan tongkol dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Perhitungan kenaikan harga ikan tongkol
Biaya
Pemasaran
(Rp/kg)
No.
Rantai
Komposisi biaya pemasaran
1
R1
Biaya pemasaran ikan dari kapal-TPI
1.883
2
R2
Biaya pemasaran ikan
3.160
183
Tempat Terjadi
Kenaikan
Harga awal dari nelayan
Distributor (Pengepul)
dari TPI menuju pasar
ikan regional
No.
Rantai
3
R3
4
R4
5
R5
Komposisi biaya pemasaran
Biaya
Pemasaran
(Rp/kg)
Total biaya pemasaranikan di Pasar
regional
Biaya pemasaran ikan di pasar
Kabupaten
3.230
3.340
Biaya pemasaran ikan di pengecer
Total keseluruhan biaya pemasaran ikan dari nelayankonsumen
3.900
Tempat Terjadi
Kenaikan
Pedagang ikan grosir di
pasar regional
Pedagang ikan di pasar
kabupaten
Pedagang Kecil (Pasar
Kecamatan /Desa)
15.513
Harga bermula dari penjualan di TPI.Biaya pemasaran juga terjadi di
pihak distributor yang mengakibatkan bertambahnya margin karena harus
mengeluarkan biaya-biaya lainnya. Biaya yang dikeluarkan meliputi membayar
jasa pikul dari TPI menuju pick-up, pemberian es untuk ikan, biaya bahan bakar
minyak kendaraan, upah sopir, pengambilan keuntungan, biaya retribusi
pembelian ikan dari TPI dan biaya risiko. Biaya yang dikeluarkan tidak sampai
disini, karena masih ada penanganan dan pengambilan keuntungan yang harus
diambil oleh pedagang di pasar regional, pasar kabupaten dan pasar kecamatan,
maka terjadi pula kenaikan harga ikan disetiap pelaku-pelaku yang ada didalam
alur distribusi ikan ini.
Ikan Kakap Merah
Ikan kakap merah yang memiliki rantai pemasaran cukup panjang
membuat munculnya margin pemasaran yang cukup besar pula. Faktor-faktor
tersebut meliputi dari pihak nelayan, pihak distributor, pihak pedagang ikan di
pasar regional, pedagang di pasar kabupaten, dan pedagang di pasar
kecamatan/desa berlomba-lomba mempertahankan kualitas ikan yang
mengakibatkan naiknya margin harga ikan sendiri. Detail dari penyebab margin
harga ikan dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10.Perhitungan kenaikan harga ikan kakap merah
No.
Ranta
i
Komposisi biaya pemasaran
1
R1
Total biaya pemasaran/kg ikan dari
kapal-TPI
2
R2
3
R3
Total biaya pemasaran/kg ikan di Pasar
regional
5730
4
R4
Total biaya pemasaran
4340
5
R5
total biaya pemasaran ikan
3900
Total biaya pemasaran/kg ikan
Biaya Pemasaran
(Rp/kg)
10000
4410
Total keseluruhan biaya pemasaran ikan dari nelayankonsumen
184
18380
Tempat Terjadi
Kenaikan
Harga awal dari nelayan
Distributor (Pengepul)
dari TPI menuju pasar
ikan regional
Pedagang ikan grosir di
pasar regional
Pedagang ikan di pasar
kabupaten
Pedagang Kecil (Pasar
Kecamatan/Desa)
Penyebab munculnya harga dimulai dari harga penjualan di TPI.Biaya
pemasaran juga terjadi di pihak distributor yang menyebabkan terjadinya margin
karena harus mengeluarkan biaya-biaya lainnya. Biaya yang dikeluarkan meliputi
membayar jasa pikul dari TPI menuju pick-up, pemberian es untuk ikan, biaya
bahan bakar minyak kendaraan, upah sopir, pengambilan keuntungan, biaya
retribusi pembelian ikan dari TPI dan biaya risiko. Biaya yang dikeluarkan tidak
sampai disini, karena masih ada penanganan dan pengambilan keuntungan yang
harus diperoleh oleh pedagang di pasar regional, pasar kabupaten dan pasar
kecamatan, maka terjadi pula kenaikan harga ikan di setiap pelaku-pelaku yang
ada didalam alur distribusi ikan ini.
Tingkat Efisiensi Pemasaran
Nilai efisiensi pemasaran ikan tergantung dari biaya yang dikeluarkan oleh
para pelaku usaha dalam operasional pemasarannya.Tingkat efisiensi pemasaran
tiap rantai dan tiap ikan berbeda-beda.Ikan swangi, kuniran, tongkol dan kakap
merah memiliki variasi nilai efisiensi yang berbeda.
Ikan Swangi dan Ikan Kuniran
Ikan swangi dan kuniran pada pelaku kedua memiliki nilai efisiensi
pemasaran yang sama. Pelaku usaha dan lokasi pemasaran yang sama membuat
nilai efisiensi antara kedua ikan tidak ada perbedaan. Pada Tabel 11 dan Tabel 12
dapat dilihat secara rinci tingkat efisiensi pemasaran dari kedua ikan tersebut.
Tabel 11 Tingkat efisiensi pemasaran ikan swangi
Rantai
Biaya Pemasaran
(Rp/kg)
Harga
R1
Rp 5.165
Rp 11.000
R2
Rp
Rp 13.500
Total
996
Nilai (Eps) tiap
rantai
Nilai (Eps)
Nelayan-Konsumen
7%
45,64%
Rp 6.161
Tabel 12 Tingkat efisiensi pemasaran ikan kuniran
Rantai
Biaya Pemasaran
(Rp/kg)
Harga
R1
Rp 5.165
Rp 13.125
R2
Rp 1.071
Rp 15.625
Total
Nilai (Eps)
tiap rantai
7%
Nilai (Eps)
Nelayan-Konsumen
39,91%
Rp 6.236
Ikan swangi dan kuniran memiliki kesamaan dalam nilai efisiensi
pemasaran (Eps) pada rantai kedua dengan nilai sebesar 7%. Persamaan ini
dikarenakan ikan swangi dan kuniran dibeli oleh pelaku yang sama untuk
pemanfaatan yang sama pula. Perbedaan nilai efisiensi pemasaran hanya terlihat
ketika dihitung secara menyeluruh mulai rantai pertama ditingkat nelayan hingga
185
rantai kedua ditingkat supplyer perusahaan dimana Eps ikan swangi mencapai
45,64% , sedangkan ikan kuniran mencapai 39,91%.
Ikan Tongkol
Ikan tongkol melewati lima pelaku usaha untuk mencapai konsumen.
Banyaknya rantai atau pelaku yang dilalui membuat adanya kenaikan harga yang
berdampak pada tingkat efisiensi pemasaran ikan.Tingkat efisiensi pemasaran tiap
rantai dalam suatu komoditas ikan berbeda-beda. Perbedaan ini karena biaya yang
dikeluarkan disetiap pelaku usaha tidak sama. Tingkat efisiensi pemasaran tiap
rantai ikan tongkol secara detail seperti pada Tabel 13.
Tabel 13 Tingkat efisiensi pemasaran ikan tongkol
Rantai
Biaya Pemasaran
(Rp/kg)
Harga
Nilai (Eps)
tiap rantai
R1
Rp 1.883
Rp
R2
Rp 3.160
Rp 13.775
22,94%
R3
Rp 3.230
Rp 18.775
17,20%
R4
Rp 3.340
Rp 22.775
14,67%
R5
Rp 3.900
Rp 26.775
14,57%
Total
Rp 15.513
Nilai (Eps) NelayanKonsumen
9.775
57,94%
Keterangan:
R1 : Produsen (nelayan/pemborong)
R2 : Distributor/Supplyer
R3 : Agen Pasar Regional (Pasar Pabean Surabaya)
R4 : Pedagang besar Pasar Kabupaten (Pasar Larangan Sidoarjo)
R5 : Pedagang pengecer Pasar Kecamatan/Pasar Desa (Kecamatan Wonoayu)
Ikan tongkol melalui lima rantai dengan mengalami empat kali kenaikan
harga. Berdasarkan analisis dengan rumus efisiensi pemasaran (Eps), didapatkan
nilai efisiensi pemasaran dari tiap rantai dan nilai Eps keseluruhan. Nilai efisiensi
pemasaran mulai dari pelaku kedua hingga kelima secara berurutan didapatkan
22,94% ditingkat distributor, 17,20% ditingkat agen, 14,67% ditingkat pedagang
besar, dan 14,57% ditingkat pengecer. Nilai efisiensi pemasaran untuk
keseluruhan dari nelayan hingga konsumen mencapai 57,94%. Melihat besarnya
nilai dari masing-masing rantai menunjukkan bahwa aktivitas pemasaran ikan
tongkol yang berasal dari PPN Brondong Lamongan masih belum efisien.
Ikan Kakap Merah
Ikan kakap merah memiliki kesamaan dengan ikan tongkol yaitu melewati
lima pelaku usaha untuk mencapai konsumen. Banyaknya rantai atau pelaku yang
dilalui membuat adanya kenaikan harga yang berdampak pada tingkat efisiensi
pemasaran ikan.Tingkat efisiensi pemasaran tiap rantai dalam suatu komoditas
ikan berbeda-beda. Perbedaan ini karena biaya yang dikeluarkan disetiap pelaku
186
usaha tidak sama. Tingkat efisiensi pemasaran tiap rantai ikan tongkol secara
detail seperti pada Tabel 14.
Tabel 14. Tingkat efisiensi pemasaran ikan kakap merah
Rantai
Biaya Pemasaran
(Rp/Kg)
Harga
Nilai (Eps)
tiap rantai
R1
Rp 10.000
Rp 48.650
R2
Rp 4.410
Rp 53.650
8,22%
R3
Rp 5.730
Rp 61.650
9,29%
R4
Rp 4.340
Rp 66.650
6,51%
R5
Rp 3.900
Rp 71.650
5,44%
Total
Rp 28.380
Nilai (Eps) NelayanKonsumen
39,61%
Keterangan:
R1 : Produsen (nelayan/pemborong)
R2 : Distributor/Supplyer
R3 : Agen Pasar Regional (Pasar Pabean Surabaya)
R4 : Pedagang besar Pasar Kabupaten (Pasar Larangan Sidoarjo)
R5 : Pedagang pengecer Pasar Kecamatan/Pasar Desa (Kecamatan Wonoayu)
Berdasarkan hasil analisis menggunakan rumus efisiensi pemasaran, maka
ikan kakap merah merupakan komoditi yang hampir mendekati efisien.Nilai
efisiensi pemasaran (Eps) ikan kakap merah dibawah sepuluh persen. Nilai
efisiensi pemasaran pada tingkat ditributor atau supplyer sebesar 8,22%, 9,29%
ditingkat agen, 6,51% ditingkat pedagang besar dan 5,44% ditingkat pengecer.
Nilai efisiensi ini menunjukkan bahwa ikan kakap merah mendekati efisien dalam
hal pemasarannya.
PEMBAHASAN
Lokasi pemasaran dan jumlah pelaku yang ada dalam satu alur pemasaran
ikan menjadi kunci dari tingkat margin dan efisiensi pemasaran yang terjadi pada
komoditas ikan yang berasal dari PPN Brondong. Menurut Sobariah dan Ganjar
(2013), salah satu penyebab terjadinya kesenjangan penerimaan keuntungan
adalah karena rantai pemasaran yang masih terlalu panjang dimana dari produsen
ke pedagang pengumpul, pedagang pengumpul ke pedagang besar, pedagang
besar ke pengecer, dari pengecer baru sampai ke konsumen akhir dalam hal ini
pembeli.
Banyaknya pelaku yang berkecimpung dalam alur pemasaran ini membuat
semakin membengkaknya harga ikan yang ada di pasaran.Terutama untuk ikan
tongkol dan ikan kakap merah yang merupakan ikan ekonomis tinggi, daerah
pemasaran ikan yang sangat menyebar dan membutuhkan banyak pelaku untuk
sampai ke konsumen membuat terjadinya margin yang sangat besar. Menurut
Sobariah dan Ganjar (2013), komponen margin pemasaran terdiri dari biaya-biaya
187
yang diperlukan oleh lembaga-lembaga pemasaran untuk melakukan fungsifungsi pemasaran yang disebut dengan biaya pemasaran atau biaya fungsional
(fungsional cost) dan keuntungan (profit) lembaga pemasaran.Pada Gambar 7
menunjukkan bahwa jumlah rantai mempengaruhi margin ikan yang
dipasarkan.Hal ini karena adanya perlakuan dan pengambilan keuntungan oleh
setiap pelaku yang ikut melakukan aktivitas pemasaran ikan. Menurut Hapsari
(2013), margin pemasaran jumlah produksi, harga per kilogram, biaya pemasaran
dan musim adalah faktor-faktor yang mempengaruhi margin pemasaran ikan.
Margin pada kegiatan pemasaran yang bergantung jumlah rantai diperkuat
pula berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tahir (2010) dimana pedagang
perantara mengeluarkan biaya dalam rangka penyelenggaraan kegiatan pemasaran
hingga ke konsumen.Besarnya biaya yang dikeluarkan bagi tiap-tiap saluran
pemasaran selalu berbeda-beda. Dengan demikian semakin panjang saluran
pemasaran maka jumlah biaya yang dikeluarkan akan semakin bertambah.
Menurut Ahmad (2013) sistem pemasaran dewasa ini dimainkan oleh para pelaku
produsen atau nelayan, nelayan yang memiliki beban hutang harus menjual
melalui tengkulak terlebih dahulu yang membuat semakin panjangnya rantai yang
dilalui untuk bisa mencapai konsumen.Hal ini membuat rantai pemasaran menjadi
panjang dan tidak efisien. Menurut Johanson (2013), harga yang ditawarkan oleh
pengumpul kepada nelayan berbeda-beda sesuai dengan tingkatan pengumpul atau
daerah pemasaran. Harga yang berlaku adalah hasil kesepakatan antara nelayan
dan pengumpul yang masing-masing pihak telah mempertimbangkan waktu,
tenaga, biaya dan keuntungan.
Tingkat efisiensi pemasaran ikan yang berasal dari PPN Brondong juga
tergolong masih belum efisien.Tidak efisiennya pemasaran ditunjukkan dengan
tingkat efisiensi pemasaran (Eps) dari setiap ikan yaitu memiliki nilai Eps >5%
yang menunjukkan bahwa efisiensi pemasaran tergolong tidak efisien.Menurut
Hapsari (2013), untuk mengetahui tingkat efisiensi pemasaran ikan pada masingmasing lembaga pemasaran, dapat diberikan kriteria apabila Eps < 5% maka
dinyatakan efisien, dan jika Eps >5% maka dinyatakan belum efisien.
188
Harga Ikan/kg
Rp80,000
Rp70,000
Rp60,000
Rp50,000
Rp40,000
Rp30,000
Rp20,000
Rp10,000
Rp-
R1
R2
R3
R4
R5
Ikan Kakap Merah Rp48,650
Rp53,650
Rp61,650
Rp66,650
Rp71,650
Ikan Tongkol
Rp9,775
Rp13,775
Rp18,775
Rp22,775
Rp26,775
Ikan Swangi
Rp11,000
Rp13,500
Ikan Kuniran
Rp13,125
Rp15,625
Gambar 7 Grafik tingkat kenaikan harga ikan di tiap rantai
Setiap ikan yang dipasarkan memiliki tingkat kenaikan harga yang
berbeda tergantung dari jenis ikan, harga ikan yang ada di tingkat nelayan serta
dari penanganan yang diberikan selama proses pemasaran. Pada ikan swangi dan
ikan kuniran ikan yang berasal dari nelayan dibeli oleh supplyer yang langsung
dibawa menuju pabrik pengolahan memiliki harga yang berbeda.Perbedaan harga
terjadi ditingkat nelayan karena jenis ikan kuniran memiliki nilai ekonomis yang
lebih tinggi.Adapun margin dari ikan swangi mengalami kenaikan harga yang
sama karena penanganan yang diberikan dalam proses pemasaran sama yaitu
berupa pemberian es sebelum ikan dibawa menuju pabrik.
Ikan tongkol dan kakap merah merupakan ikan ekonomis tinggi memiliki
margin yang berbeda meskipun jumlah rantai pemasaran yang dilewati sama.
Tingkat ekonomis dan penanganan yang diberikan pada ikan berbeda membuat
harga masing-masing ikan mengalami kenaikan harga yang berbeda pula.Ikan
kakap merah menjadi ikan yang memiliki harga lebih tinggi dibandingkan dengan
tongkol ini dikarenakan permintaan dan pangsa pasar yang berbeda. Ikan tongkol
biasa dipasarkan hanya dalam bentuk segar utuh dan dijual di pasar tradisional.
Adapun untuk ikan kakap merah pemasaran meliputi ikan segar utuh yang
dipasarkan baik di pasar tradisional maupun restoran. Selain itu, ikan kakap merah
juga dipasarkan dalam bentuk fillet yang kemudian diekspor menuju negaranegara sekitar Indonesia untuk dipasarkan di supermarket.
Kenaikan harga masing-masing ikan terjadi tertinggi di rantai kedua
dimana merupakan ditingkat supplyer karena adanya pemberian penanganan pada
ikan sebelum dipasarkan menuju lokasi pasar masing-masing. Prosentase
kenaikan harga pada setiap ikan ditingkat supplyer diantaranya Ikan swangi 23%,
kuniran 19%, kakap merah 10%, dan ikan tongkol mencapai 41%. Pada lokasi
yang sama di PPN Brondong menurut Ayuanita dan Ubaidillah (2012), komoditas
189
ikan bawal putih mengalami kenaikan tertinggi pada rantai kedua yaitu pedagang
pengumpul (agen) yang mencapai 53%.
Tingkat efisiensi pemasaran ikan yang berasal dari PPN Brondong untuk
jenis ikan swangi, kuniran, tongkol dan kakap merah masih berada pada tingkat
tidak efisien meskipun untuk ikan kakap merah mendekati efisien. Pemasaran
dikatakan efisien jika nilai efisiensi pemasaran lebih kecil dari lima persen
(Eps<5%), dan dikatakan tidak efisien jika nilai efisiensi pemasaran lebih besar
dari lima persen (Eps>5%). Berdasarkan hasil analisis efisiensi pemasaran, ikan
swangi dan kuniran masing-masing pada rantai kedua memiliki tingkat efisiensi
pemasaran sebesar 7,38% dan 6,85%. Ikan tongkol yang melewati 5 rantai untuk
mencapai konsumen, mulai dari rantai kedua hingga kelima memiliki tingkat
efisiensi pemasaran sebesar 22,94% ditingkat supplyer, 17,20% ditingkat agen,
14,67% ditingkat pedagang besar dan 14, 57% ditingkat pengecer. Ikan kakap
menjadi komoditas dengan nilai semua rantai yang mendekati efisien
dibandingkan ikan tongkol dimana didapatkan nilai efisiensi pemasaran 8,22%
ditingkat supplyer, 9,29% ditingkat agen, 6,51% ditingkat pedagang besar dan
5,44% ditingkat pedagang pengecer. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Nilai efisiensi pemasaran semua pada setiap rantai
Nilai efisiensi pemasaran per-rantai semua Ikan
Rantai Swangi
Kuniran
Tongkol
Kakap Merah
R1
R2
7,38%
6,85%
22,94%
8,22%
R3
17,20%
9,29%
R4
14,67%
6,51%
R5
14,57%
5,44%
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat dinyatakan bahwa pemasaran ikan
swangi, kuniran, tongkol dan kakap merah yang berasal dari PPN Brondong tidak
efisien karena suatu produk dikatakan efisien dalam kegiatan pemasaran jika nilai
efisiensi pemasaran kurang dari lima persen (Eps<5%). Ikan swangi dan kuniran
masing-masing pada rantai kedua memiliki tingkat efisiensi pemasaran sebesar
7,38% dan 6,85%. Ikan tongkol yang melewati 5 rantai untuk mencapai
konsumen, mulai dari rantai kedua hingga kelima memiliki tingkat efisiensi
pemasaran sebesar 22,94% ditingkat supplyer, 17,20% ditingkat agen, 14,67%
ditingkat pedagang besar dan 14, 57% ditingkat pengecer. Ikan kakap menjadi
komoditas dengan nilai semua rantai yang mendekati efisien dibandingkan ikan
tongkol dimana didapatkan nilai efisiensi pemasaran 8,22% ditingkat supplyer,
190
9,29% ditingkat agen, 6,51% ditingkat pedagang besar dan 5,44% ditingkat
pedagang pengecer.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad M. 2012. Kesangkilan Pasar Hasil Perikanan di Kawasan Pesisir. Jurnal
Dinamika Pertanian. Vol.28: Hal. 73-82. No.1.
Anggrahini WP. 2012. Kajian Efektivitas dan Efisiensi Kapal Navigasi dalam
Rangka Distribusi Logistik pada Distrik Navigasi Surabaya. Jurnal
Penelitian Transportasi Laut.Vol. 13 Hal: 1-15 No 2.
Cenini P. 2012. Supply Chain Management. FAO [Internet]. [Diunduh pada
tanggal 12 November 2014]. http://www.fao.org/fileadmin/user_upload/
fisheries/docs/SUPPLY_CHAIN-report1.doc
Deswindi L. 2007. Kecepatan Tingkat Penerimaan dan Perilaku Konsumen
Terhadap Produk Lama yang Mengalami Perubahan dan Produk Inovasi
Baru Dalam Upaya Memasuki dan Merebut Pasar. Business &
Management Journal Bunda Multa. Vol. 3 Hal: 19-25 No. 2.
Hanafiah AM, Saefuddin AM. 2006. Tataniaga Hasil Perikanan UI Press. Jakarta
Hansen DR, Maryanne MM. 2004. Akuntansi Manajemen. Jakarta : Salemba
Empat.
Hapsari TD. 2013. Distribusi dan Margin Pemasaran Hasil Tangkapan Ikan
Tongkol (Euthynus Affinis) di TPI Ujungbatu Jepara. Aquasains (Jurnal
Ilmu Perikanan dan Sumberdaya Perairan). Vol. 2 Hal: 132-138 No. 2
Irawan B. 2007. Fluktuasi Harga, Transmisi Harga dan Marjin Pemasaran
Sayuran dan Buah. Analisis Kebijakan Pertanian. Vol. 5 Hal: 358-373 No.
4.
Johanson D. 2013. Analisis Efisiensi Pola Distribusi Hasil Penangkapan Ikan
Nelayan Kecamatan Kahayan Kuala Kabupaten Pulang Pisau. Jurnal
Sains Manajemen. Vol. 1 Hal: 96-106 No.1.
Oktariza W, Fahrudin A, Muflikhati I, Kusumastuti YI, Antoni H. 1996. Studi
Distribusi Pemasaran Hasil Perikanan Laut dari Pelabuhan Ratu,
Sukabumu, Jawa Barat. Buletin Ekonomi Perikanan. Vol. 2 Hal: 34-43
No.2.
Rasuli N, Saade MA, Ekasari K. 2007. Analisis Margin Pemasaran Telur Itik di
Kelurahan Borongloe, Kecamatan Bontomarannu, Kabupaten Gowa.
Jurnal Agrisistem. Vol.3 Hal: 36-43 No.1.
Setiawan HH, Suhadak, Nengah S. 2014. Analisis Biaya Pemasaran Sebagai Salah
Satu Alat untuk Pengendalian Biaya Komersil. Jurnal Administrasi Bisnis
(JAB). Vol. 13 Hal: 1-7 No. 1.
Sobariah, Ganjar W. 2013. Analisis Margin Pemasaran Ikan Hias Pada Enam
Pasar di Kota/Kabupaten Bogor. Jurnal Penyuluhan Perikanan dan
Kelautan. Vol. 7 Hal. 53-63 No.1.
191
Tahir AG, Dwidjono HD, Jangkung HM, Jamhari. 2011. Metode Analisis
Efisiensi Pemasaran Kedelai di Sulawesi Selatan. Informasi Pertanian.
Vol. 20 Hal: 47-57 No. 2.
192
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap IPB ke-6
Halaman:193-207
ISBN 978-979-1225-34-2
PENGEMBANGAN INVESTASI USAHA
PERIKANAN TANGKAP UNGGULANDI BAU-BAU,
SULAWESI TENGGARA
(The Investment Development of Pre-eminent Fishery Effort in Bau-Bau,
South-East Sulawesi)
Mustaruddin1, Mulyono S. Baksoro1, Budi Purwanto2
1
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor
2
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor
ABSTRACT
Bau-Bau is bunching up with two WPP-RI’s, that are WPP-RI 713 and WPP-714.
The potention of fish resources in that WPP-RI is high enough, that are about
929.700 ton/year in WPP-RI 713 and 278.000 ton/year in WPP-RI 714. Research
aim to analyze present status of capture fisheries in Bau-Bau, determining type of
pre-eminent fishery effort from technical aspect, environmental, and economic,
and also its investment reliability. In 2007 – 2013 period, fisheries production in
Bau-Bau increase average 7,40 % per year. Population of fishermen increase
significantly from 3.996 in 2012 becoming 20.801 in 2013. Fishery efforts be
chosen as pre-eminent are pole and line ( VAg = 2,307), drift gillnet (VAg =
2,152), and purse seine (VAg = 1,800). They have NPV > 0, IRR > 12,44 %, ROI
> 10 %, PP > economic age, so that reliable to be developed their investment in
Bau-Bau. Requirement of invesment for pole and line (35 GT), drift gillnet (75
GT), and purse seine (28 GT) are each 484.250.000 IDR, 1.118.562.000 IDR, and
702.125.000 IDR.
Keywords : Bau-Bau, investment, pre-eminent, and fishery effort
ABSTRAK
Bau-Bau berdekatan dengan dua Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik
Indonesia (WPP-RI), yaitu WPP-RI 713 dan WPP-714. Potensi sumberdaya ikan
di kedua WPP-RI tersebut lumayan tinggi, yaitu sekitar 929.700 ton/tahun di
WPP-RI 713 dan 278.000 ton/tahun di WPP-RI 714. Penelitian bertujuan
menganalisis kondisi kini perikanan tangkap di Bau-Bau, menentukan jenis usaha
perikanan tangkap unggulan dari aspek teknis, lingkungan, dan ekonomi, serta
kelayakan investasinya. Selama periode 2007 – 2013, produksi perikanan tangkap
meningkat rata-rata 7,40 % per tahun di Bau-Bau. Jumlah nelayan meningkat
signifikan dari 3.996 orang pada tahun 2012 menjadi 20.801 orang pada tahun
2013. Usaha perikanan tangkap yang terpilih sebagai unggulan adalah pole and
line (VAg = 2,307), jaring insang hanyut (VAg = 2,152), dan purse seine (VAg =
193
1,800). Ketiga usaha perikanan tangkap tersebut mempunyai nilai NPV > 0, IRR
> 12,44 %, ROI > 10 %, PP > umur ekonomis, sehingga layak dikembangkan
investasinya di Bau-Bau. Kebutuhan investasi untuk pole and line (35 GT), jaring
insang hanyut (75 GT), dan purse seine (28 GT) adalah masing-masing Rp
484.250.000, Rp 1.118.562.000, dan Rp 702.125.000.
Kata kunci: Bau-Bau, investasi, unggulan, usaha perikanan tangkap
PENDAHULUAN
Provinsi Sulawesi merupakan salah daerah produksi utama perikanan
tangkap di Kawasan Indonesia Timur. Saat ini, pengembangan perikanan tangkap
di Provinsi Sulawesi Tenggara dipusatkan di Kendari dan Bau-Bau. Dilihatkan
dari posisinya, Bau-Bau lebih menjanjikan, yaitu berdekatan dengan dua Wilayah
Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI), yaitu WPP-RI 713 dan
WPP-714. Sedangkan potensi sumberdaya ikan di kedua WPP-RI tersebut
lumayan tinggi, yaitu sekitar 929.700 ton/tahun di WPP-RI 713 dan 278.000
ton/tahun di WPP-RI 714 (KKP, 2011). Tingkat pemanfaatan potensi perikanan
di WPP-RI 713 diperkirakan baru mencapai 72 % dan di WPP-RI 714 mencapai
65 % (BKPM, 2014). Kondisi ini membuka peluang pengembangan investasi
perikanan tangkap termasuk di Bau-Bau. Bau-Bau juga merupakan penghubung
beberapa daerah penting di Kepulauan Butan dan Kepulauan Wakatobi, serta
menjadi kota transit bagi pelayaran menuju dan dari Kawasan Indonesia Timur.
Kondisi ini tentu sangat baik untuk pengembangan suplai hasil produksi perikanan
tangkap di masa mendatang.
Pengembangan investasi perikanan tangkap juga disikapi secara serius
PEMDA Bau-Bau yang ditunjukkan oleh alokasi anggaran tahun 2013 untuk
pengembangan perikanan tangkap yang mencapai 74,75 % dari total anggaran
bidang teknis perikanan (DKP Kota Bau-Bau, 2013). Pengembangan tersebut
difokuskan pada berbagai upaya untuk mendorong peningkatan produksi dan
investasi usaha perikanan tangkap di Bau-Bau. Upaya ini juga tertuang dalam
misi pertama sektor kelautan dan perikanan PEMDA Bau-Bau tahun 2013 – 2018
yaitu terus meningkatkan produksi dan investasi usaha perikanan guna
mewujudkan masyarakat perikanan yang maju dan berdaya saing. Penelitian ini
akan mencoba membantu hal tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
kondisi kini kegiatan perikanan tangkap di Bau-Bau. Menentukan jenis usaha
perikanan tangkap unggulan dari aspek teknis, lingkungan, dan ekonomi. Serta
menganalisis kelayakan investasi usaha perikanan tangkap unggulan di Bau-Bau.
194
METODOLOGI
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni - Desember 2014. Tempat
penelitian adalah Kota Bau-Bau, Provinsi Sulawesi Tenggara.
Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data
primer yang dikumpulkan terdiri dari : (a) Data teknis, seperti peralatan produksi,
kapasitas mesin, palka, muatan es, dan ukuran kapal; (b) Data lingkungan, seperti
selektivitas dan keramahan alat tangkap, kualitas dan keamanan hasil tangkapan,
by-catch; (c) Data ekonomi dan investasi, seperti tingkat investasi, umur
ekonomis usaha, jumlah hasil tangkapan, harga jual, keuntungan, serta data
pembuatan & perawatan. Sedangkan data sekunder yang dikumpulkan terdiri dari
data time series perikanan tangkap, dokumen perizinan usaha, serta data kebijakan
perikanan tangkap.
Data primer dikumpulkan melalui observasi lapang, penyebaran kuesioner
dan wawancara terbuka dengan stakeholders perikanan (nelayan, pengusaha
perikanan, dan pengelola pelabuhan, dan masyarakat). Responden untuk 5 % dari
populasi nelayan pemilik usaha perikanan tangkap (892 orang). Sedangkan data
sekunder dikumpulkan melalui telaah pustaka terhadap buku statistik dan laporan
kegiatan perikanan yang tersedia di Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten
Bau-Bau, PPI Bau-Bau, dan lainnya.
Analisis data yang dilakukan terdiri dari metode deskriptif, metode
skoring, dan analisis kelayakan investasi. Metode deskriptif digunakan untuk
menganalisis kondisi kini (present status) kegiatan perikanan tangkap di BauBau. Hasil analisis nantinya disajikan dalam bentuk tabel, gambar, atau garfik
yang sesuai. Metode skoring digunakan untuk memilih jenis usaha perikanan
tangkap unggulan. Dengan metode ini, setiap usaha perikanan tangkap dinilai
keunggulannya dalam memenuhi berbagai kriteria yang terkait dengan aspek
teknis, lingkungan, dan ekonomi. Metode skoring yang digunakan dalam
penelitian ini (Kuntoro dan Listiarini, 1983) adalah :
Xi  X 0
V ( Xi ) 
X1  X 0
V ( Ai)  V ( Xi)
Dimana Xi = nilai kriteria X untuk usaha perikanan tangkap ke-i, X0 =
nilai terendah untuk kriteria X, X1 = nilai tertinggi untuk kriteria X, V(Xi) =
fungsi nilai dari kriteria X untuk usaha perikanan tangkap ke-i, V (Ai) = fungsi
nilai dari aspek A untuk usaha perikanan tangkap ke-i, dan i = calon usaha
perikanan tangkap unggulan ke-1, 2, 3...., n. Selanjutnya, tiga jenis usaha
perikanan tangkap dengan fungsi nilai gabungan (aspek teknis, lingkungan dan
ekonomi) paling tinggi ditetapkan sebagai usaha perikanan tangkap unggulan.
Analisis kelayakan investasi digunakan untuk mengukur kelayakan tiga
jenis usaha perikanan unggulan terpilih untuk dikembangkan investasinya di BauBau. cakalang, sehingga tindakan perbaikan atau pengembangan usaha ditetapkan
195
sejak dini. Parameter investasi digunakan (Mayes & Shank, 2008 dan Hanley &
Spash, 1993) adalah Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR),
Return of Investment (ROI), dan Payback Period (PP). Suku bunga yang
digunakan mengacu kepada BI (2014) tentang suku bunga kredit untuk modal
kerja dari bank BUMN, yaitu 12,44 %.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Perikanan Tangkap Perikanan Tangkap Bau-Bau
Produksi perikanan tangkap di Bau-Bau cenderung meningkat dengan
trend rata-rata 7,40 % per tahun. Penurunan sempat terjadi dari tahun 2007 ke
tahun 2008 sekitar 7,22 %, namun pada tahun berikutnya meningkat lagi. Gambar
1. menyajikan perkembangan produksi perikanan tangkap pada tahun 2007 –
2013 di Bau-Bau. Produksi perikanan tangkap meningkat tajam dari tahun 2010
ke tahun 2011, yaitu dari 9.169,18 ton menjadi 12.563,70 ton. Hal ini terjadi
karena musim tangkap dari usaha perikanan tangkap besar seperti jaring insang
hanyut dan pole and line cukup panjang yang sekitar 11 bulan (DKP Kota BauBau, 2012).
Gambar 1. Perkembangan produksi perikanan tangkap tahun 2007 – 2013
Mallawa, et al. (2014) menyatakan bahwa hasil tangkap bisa meningkat
drastis bila lokasi penangkapan berada di jalur migrasi ikan, fishing groud-nya
nelayan Bau-Bau berada di sekitar laut Jawa dan Laut Sulawesi yang termasuk
jalur migrasi ikan. Pada tahun ada tahun 2012 dan 2013 juga meningkat dengan
kecenderungan yang lebih rendah, yaitu masing-masing menjadi 14.723,60 ton
dan 14.893,7 ton.
Peningkatan produksi tersebut juga diikuti dengan
perkembangan jumlah nelayan yang terlibat pada usaha perikanan tangkap di Bau-
196
bau, baik yang menjadi nelayan penuh, nelayan sambilan utama, maupun
sambilan tambahan.
Pada tahun 2012, jumlah nelayan di Bau-Bau sekitar 3.996 orang dengan
rincina nelayan penuh penuh 2.278 orang, nelayan sambilan utama 1.332 orang
1.332 orang. Sedangkan pada tahun 2013, meningkat drastis menjadi 20.801
orang yang terdiri dari nelayan penuh 8.239 orang, nelayan sambilan utama 9.741
orang, nelayan sambilan tambahan 2.821 orang. Kondisi tersebut tentu sangat
bagus untuk pengembangan investasi perikanan tangkap di Bau-Bau, karena
dibutuhkan minimal 15 tenaga kerja baru untuk setiap penambahan 1 unit usaha
perikanan tangkap baik untuk mendukung penangkapan, penyediaan perbekalan,
dan pemasaran hasil tangkapan (Farrag et al, 2014 dan Mallawa et al, 2014).
Sedangkan usaha perikanan tangkap yang dikembangkan nelayan di Bau-Bau,
paling tidak ada 18 jenis dengan komposisi pada tahun terakhir (tahun 2013)
seperti disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Komposisi usaha perikanan tangkap di Bau-Bau
Pancing ulur, pole and line, jala tebar, dan jaring insang hanyut merupakan
yang banyak dikembangkan, yaitu masing-masing mencapai 323 unit, 75 unit, 100
unit, dan 70 unit. Bubu, pancing tonda, purse seine, dan rawai dasar juga
dikembangkan cukup banyak, namun kurang merata di kalangan nelayan.
Menurut DKP Kota Bau-Bau (2014), pengembangan usaha perikanan tangkap di
Bau-Bau dan sebagian besar wilayah Sulawesi lebih bersifat turun-menurun dan
terkonsentrasi di kampung nelayan. Namun demikian, bila hasil tangkapan
banyak didaratkan di PPI Bau-Bau. Sedangkan sarana dan prasarana pendukung
bila usaha perikanan tangkap tersebut dikembangkan investasinya di Bau-Bau
diantaranya pelabuhan perikanan, pelabuhan umum, jalan raya, bandar udara
(bandara), instalasi cold storage, pabrik es, pasar (pasar umum atau pasar ikan
197
hiegines), sumber air bersih, sumber pasokan listrik, serta sarana pengawasan dan
jaminan mutu. Tabel 1 menyajikan informasi detail sarana dan prasarana tersebut.
Tabel 1. Sarana dan prasarana pendukung perikanan tangkap
No. Sarana dan Prasarana Pendukung
Keterangan
1. Pelabuhan perikanan
1 unit (PPI Bau-Bau)
2. Pelabuhan umum
2 unit (Pelabuhan Peti Kemas dan
Pelabuhan Ferry Perintis)
3. Jalan raya
Baik (panjang sekitar 175 km)
4. Bandar Udara
1 unit (Bandara Perintis
Betoambari)
5. Cold Storage
2 unit kapasitas sedang (@ 100
ton) dan 2 unit kapasitas kecil
(@50 ton)
6. Pabrik Es
2 unit (@ 50 ton/hari)
7. Pasar
Unit (Pasar Higienes Wameo dan
Pasar Laelangi)
8. Sumber air bersih
PDAM Bau-Bau (150 KL/hari)
9. Sumber listrik
PLN Bau-Bau
10. Pengawasaan dan jaminan Mutu
2 unit (Stasiun KIPM Kls II BauBau dan Stasiun Uji POM BauBau)
Sarana dan prasarana pada Tabel 4.2 membantu kegiatan perikanan
tangkap dalam hal bongkar muat, distribusi produk, suplai perbekalan, doking,
dan pemasaran. Menurut Mustaruddin, et al (2014) kesiapan sarana dan prasarana
pendukung sangat penting dalam investasi perikanan tangkap, terutama untuk
menjamin rantai suplai dingin produk secara cepat dan kontinyu. Pelabuhan
perikanan berperan dalam bongkar muat hasil tangkapan dan suplai perbekalan,
dan cold storage sangat penting untuk penyimpanan produk/hasil tangkapan ikan
sebelum didistribusikan ke pasar potensial. Menurut Nobuntu & Mnqanqe (2009)
sarana pengawasan dan pengujian mutu juga dibutuhkan dalam investasi
perikanan tangkap untuk memastikan dan menciptakan produk yang berdaya saing
tinggi dan dapat menembus pasar global. Sarana ini juga ada di Bau-Bau, yaitu
Stasiun Uji Pengawasan Obat dan Makanan (POM) serta Stasiun Karantina Ikan
dan Pengawasan Mutu (KIPM) Kls II, dan tinggal dilengkapi peralatannya.
Pemilihan Usaha Perikanan Tangkap Unggulan
Pemilihan usaha perikanan tangkap unggulan ditentukan berdasarkan
penilaian gabungan aspek teknis, lingkungan, dan ekonomi terhadap usaha
perikanan tangkap yang banyak digunakan di Bau-Bau. Bila 50 % dari usaha
perikanan tangkap pada Gambar 2 dipilih sebagai calon unggulan, maka usaha
198
perikanan tangkap yang masuk penilaian adalah rawai dasar, jala tebar, bubu,
purse seine, jaring insang hanyut, pancing ulur, pancing tonda, jaring insang tetap,
dan pole and line. Bagian berikut akan menyajikan hasil penilaian aspek teknis,
lingkungan, dan ekonomi, serta hasil penilaian gabungan terhadap calin usaha
perikanan tangkap unggulan tersebut.
1. Penilaian Aspek Teknis, Lingkungan, Dan Ekonomi
Penilaian aspek lingkungan, ekonomi, dan ekonomi terhadap sembilan
jenis usaha perikanan tangkap calon unggulan akan menggunakan kriteria yang
ada pada setiap aspek pengelolaan tersebut. Hasil penilaian tersebut kemudian
distandarisasi untuk menyetarakan pola penilaian, dan hasil standarisasi untuk
penilaian aspek teknis disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Hasil standarisasi penilaian aspek teknis
Usaha Perikanan
V1
V2
V3
V4
V5
V6
VA
UP
Tangkap
Rawai Dasar
0,000 0,072 0,134 0,500 0,250 0,041 0,998
7
Jala Tebar
0,000 0,032 0,075 0,143 0,000 0,000 0,249
8
Bubu
0,500 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,500
9
Purse Seine
1,000 0,420 0,552 1,000 1,000 0,356 4,329
2
Jaring Insang Hanyut 1,000 1,000 1,000 0,929 0,875 1,000 5,804
1
Pancing Ulur
0,500 0,093 0,104 0,214 0,125 0,041 1,078
6
Pancing Tonda
0,000 0,275 0,284 0,429 0,500 0,178 1,666
5
Jaring Insang Tetap
0,000 0,449 0,403 0,500 0,750 0,247 2,349
4
Pole and Line
0,500 0,855 0,776 0,786 0,875 0,452 4,244
3
Keterangan : (1) V1-V6 = fungsi nilai dari kriteria kelengkapan peralatan
produksi (X1), kapasitas palka (X2), kapasitas muat es (X3), penyerapan tenaga
kerja/ABK (X4), kapasitas mesin penggerak (X5), dan ukuran kapal (X6); (2) VA
= fungsi nilai total; dan (3) UP = urutan prioritas
Berdasarkan Tabel 2, jaring insang hanyut (JIH), purse seine, dan pole and
line mempunyai nilai VA yang tingi, yaitu masing-masing 5,804, 4,329, dan
4,244. Dengan demikian, ketiga usaha perikanan tangkap merupakan unggulan 1,
2, dan 3 dari aspek teknis. Tingginya nilai VA jaring insang hanyut merupakan
kontribusi dari pemenuhannya yang tinggi terhadap kriteria kelengkapan peralatan
produksi, kapasitas palka, kapasitas muat es, dan ukuran kapal. Sedangkan
menurut DKP Kota Bau-Bau (2014), jaring insang hanyut (JIH) di Bau-bau
umumnya diusahakan dengan kapal 75 GT, sedangkan purse seine dan pole and
line masing-masing dengan kapal 28 GT dan 35 GT. Usaha JIH juga mempunyai
kapasitas palka sekitar 17.500 kg/trip dan kapasitas muat es sekitar 70 balok/trip.
Purse seine unggul untuk kriteria kelengkapan peralatan produksi (V1 =
1,000), penyerapan tenaga kerja/ABK (V4 = 1,000), dan kapasitas mesin
199
penggerak (V5 = 1,000). Farrag et al. (2015) dan DKP Kota Bau-Bau (2014)
menyatakan peralatan produksi yang lengkap dan penyerapan tenaga kerja yang
tinggi pada purse seine lebih karena pengoperasiannya yang dilakukan skala
besar, sehingga peralatan dan tenaga kerjanya lebih komplit. Peralatan tersebut
diantaranya GPS, fish finder, kompas, genset, lampu, dan ganco. ABK yang
diikutserta dalam pengoperasian purse seine paling banyak daripada usaha
perikanan tangkap lainnya, yaitu sekitar 16 orang/trip. Meskipun tidak paling
tinggi, pole and line mempunyai kapasitas palka, kapasitas muat es,dan kapasitas
mesin penggerak yang termasuk tinggi, yaitu masing-masing 15.000 kg/trip, 55
balok/trip, dan 40 PK. Tabel 3 menyajikan hasil standarisasi penilaian aspek
lingkungan dari setiap usaha perikanan tangkap.
Tabel 3 Hasil standarisasi penilaian aspek lingkungan
Usaha
Perikanan
V1
V2
V3
V4
V5
V6
V7
V8
VA
Tangkap
Rawai Dasar
0,667 1,000 0,000 0,000 1,000 1,000 0,000 0,500 4,167
Jala Tebar
0,333 0,000 0,500 0,500 0,500 0,500 1,000 0,000 3,333
Bubu
1,000 1,000 1,000 1,000 0,000 1,000 1,000 1,000 7,000
Purse Seine
0,000 0,500 1,000 0,500 0,500 0,500 0,000 0,000 3,000
Jaring Insang
Hanyut
0,333 0,500 0,500 1,000 0,000 0,000 0,000 0,500 2,833
Pancing Ulur
0,667 0,500 0,500 0,500 0,500 0,000 1,000 0,500 3,167
Pancing Tonda 0,667 1,000 0,000 0,000 1,000 1,000 1,000 1,000 5,667
Jaring Insang
Tetap
0,333 0,000 0,000 0,000 1,000 0,000 0,000 0,000 1,333
Pole and Line 0,667 0,500 0,000 0,500 0,500 0,500 1,000 1,000 4,667
Keterangan : (1) V1-V8 = fungsi nilai dari kriteria selektivitas alat tangkap (X1),
keramahan
terhadap habitat ikan (X2), kualitas ikan hasil tangkapan (X3), keamanan bagi
nelayan (X4), keamanan produk bagi konsumen (X5), by-catch rendah (X6),
dampak positif terhadap biodiversity(X7),dan keamanan bagi ikan-ikan yang
dilindungi (X8); (2) VA = fungsi nilai total; dan (3) UP = urutan prioritas
Berdasarkan Tabel 3, bubu, pancing tonda, dan pole and line merupakan
usaha perikanan tangkap paling unggul dari aspek lingkungan yang ditunjukkan
oleh VA-nya yang tinggi, yaitu masing-masing 7,000, 5,667, dan 4,667. Menurut
Rossetto et al. (2015) dan Mamuaya et al. (2007), bubu mempunyai selektivitas
yang tinggi, ramah terhadap habitat ikan dan biodiversity, kualitas ikan hasil
tangkapan baik, aman bagi nelayan, dan by-catch karena dioperasikan secara diam
dengan meletakkannya di dasar laut dan ikan yang sesuai umpan saja yang masuk.
200
UP
4
5
1
7
8
6
2
9
3
Pancing tonda juga mempunyai selektivitas yang tinggi, by-catch rendah, dampak
positif terhadap biodiversity tinggi, dan aman bagi ikan-ikan yang dilindungi.
Sedangkan pole and line tidak mengganggu biodiversity dan ikan-ikan yang
dilindungi. Menurut Methot & Wetzel (2013), pole and line hanya menangkap
ikan pelagis besar yang aktif migrasinya seperti cakalang, tuna, dan tongkol di
permukaan.
Tabel 4 Hasil standarisasi penilaian aspek ekonomi
Usaha Perikanan
V1
V2
V3
V4
V5
V6
VA
UP
Tangkap
Rawai Dasar
0,000 0,078 0,500 0,000 0,000 0,000 0,578
9
Jala Tebar
0,333 0,028 0,500 1,000 0,500 0,500 2,861
4
Bubu
0,333 0,000 0,000 0,500 1,000 0,500 2,333
7
Purse Seine
1,000 0,700 1,000 0,000 0,500 0,500 3,700
3
Jaring Insang Hanyut 0,667 1,000 0,500 0,500 0,500 1,000 4,167
2
Pancing Ulur
0,333 0,040 0,000 1,000 0,500 0,500 2,373
6
Pancing Tonda
0,667 0,363 0,000 0,500 1,000 0,000 2,529
5
Jaring Insang Tetap
0,000 0,470 0,000 0,500 0,000 0,000 0,970
8
Pole and Line
0,667 0,958 1,000 0,500 1,000 0,500 4,624
1
Keterangan : (1) V1-V6 = fungsi nilai dari kriteria tingkat penerapan teknologi
tepat guna (X1), jumlah hasil tangkapan (X2), tingkat keuntungan (X3), tingkat
investasi (X4), kemandirian dalam pembuatan & perawatan (X5), dan memenuhi
ketentuan perundang-undangan yang berlaku (X6); (2) VA = fungsi nilai total;
dan (3) UP = urutan prioritas
Terkait aspek ekonomi, pole and line, jaring insang hanyut, dan purse
seine termasuk yang paling baik di Bau-Bau. Hal ini ditunjukkan oleh nilai VA
yang tinggi, yaitu masing-masing 4,624, 4,167, dan 3,700. Untuk pole and line,
nilai VA tinggi tersebut antara lain merupakan kontribusi kriteria kemandirian
dalam pembuatan & perawatan (V5 = 1,000). Menurut DKP Kota Bau-Bau
(2014), nelayan Bau-Bau sebagian besar adalah etnis Buton yang sangat terampil
dalam pembuatan kapal. Hal ini sudah terjadi sejak lampau, dan terus dilakukan
oleh nelayan etnis Buton dimanapun mereka tinggal saat ini, termasuk wilayah
Nusa Tenggara, Maluku, dan Sumatera. Kondisi juga menyebabkan pole and line
banyak berkembang di wilayah tersebut, dimana karakteristik kapal dan teknis
operasinya mirip dengan terjadi di Bau-Bau.
Jaring insang hanyut (JIH) unggul untuk kriteria jumlah hasil tangkapan
(V2 = 1,000) dan kriteria memenuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku
(V6 = 1,000). Jumlah hasil tangkapan JIH yang tinggi lebih karena kapasitas
pengusahaannya relatif besar daripada delapan usaha perikanan tangkap lainnya,
sehingga hasil tangkapan yang dapat dibawa untuk setiap tripnya bisa lebih
banyak (rata-rata = 10.278 kg/trip). Sedangkan menurut Le Floc et al. (2011),
201
kapasitas pengusahaannya yang besar juga membutuhkan perizinan dan
persyaratan usaha yang lebih kompleks, baik terkait dengan izin usaha, pelayaran,
tambat labih, dan retribusi. Hal ini yang menjadi penyebab jaring insang hanyut
(JIH) dianggap lebih mengakomodir ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
Purse seine paling baik dalam mengakomodir kriteria tingkat penerapan
teknologi tepat guna dan tingkat keuntungan. Sedangkan menurut Farrag et al.
(2014) keuntungan purse seine yang baik lebih karena hasil tangkapannya
beragam baik dari jenis ikan pelagis besar maupun pelagis kecil dan pola
operasinya tidak banyak terpengaruh musim ikan. Sementara ikan pelagis besar
dan pelagis kecil, potensinya paling tinggi di WPP-RI 713 (193.600 ton/tahun dan
605.400 ton/tahun) dan WPP-RI 714 (104.100 ton/tahun dan 132.000 ton/tahun)
yang menjadi fishing ground nelayan Bau-Bau (DKP, 2011).
2. Penilaian Gabungan Aspek Pengelolaan
Usaha perikanan tangkap yang terandalkan dari gabungan aspek teknis,
lingkungan, dan ekonomi dapat mendorong investasi perikanan, baik yang
bersumber dari PMDN maupun PMA.
Dukungan dari pemerintah dan
stakeholders terkait lainnya sangat didiperlukan dalam investasi usaha perikanan
tangkap unggulan, tidak hanya karena investasi tersebut dapat membuka lapangan
kerja baru, tetapi juga meningkatkan PAD dan mendorong pertumbuhan ekonomi
kawasan. Tabel 4 menyajikan hasil standarisasi penilaian gabungan aspek teknis,
lingkungan, dan ekonomi dari sembilan usaha perikanan tangkap yang banyak
digunakan di Bau-Bau.
Tabel 4. Hasil standarisasi penilaian gabungan aspek teknis, lingkungan, dan
ekonomi
Usaha Perikanan
V1
V2
V3
Vag
UP
Tangkap
Rawai Dasar
0,135
0,500
0,000
0,635
8
Jala Tebar
0,000
0,353
0,564
0,917
6
Bubu
0,045
1,000
0,434
1,479
5
Purse Seine
0,734
0,294
0,772
1,800
3
Jaring Insang
Hanyut
1,000
0,265
0,887
2,152
2
Pancing Ulur
0,149
0,324
0,444
0,916
7
Pancing Tonda
0,255
0,765
0,482
1,502
4
Jaring Insang Tetap
0,378
0,000
0,097
0,475
9
Pole and Line
0,719
0,588
1,000
2,307
1
Keterangan : (1) V1-V3 = fungsi nilai dari aspek ekonomi, lingkungan, dan
ekonomi; 2) VA = fungsi nilai total; dan (3) UP = urutan prioritas
202
Berdasarkan Tabel 4, pole and line merupakan usaha perikanan tangkap
yang paling unggul (prioritas pertama) untuk dikembangkan investasinya di BauBau. Usaha perikanan tangkap ini mempunyai nilai VA gabungan aspek teknik,
lingkungan, dan ekonomi sekitar 2,307. Pole and line paling unggul dari aspek
ekonomi (V3 = 1,000) dan dua aspek lainnya juga dipenuhi dengan baik,
meskipun bukan yang paling tinggi. Jaring insang hanyut dan purse seine
merupakan usaha perikanan tangkap unggulan kedua dan ketiga yang dapat
dikembangkan investasinya di Bau-Bau. Nilai VA gabungan jaring insang hanyut
dan purse seine masing-masing 2,152 dan 1,800.
Menurut Le Floc et al. (2011), usaha perikanan tangkap yang
diinvestasikan haruslah mempunyai keunggulan yang multi aspek sehingga dapat
diterima secara baik, lebih menguntungkan, dan lebih stabil terhadap perubahan
yang terjadi di bidang perikanan. Nilai Vag (Tabel 4.9) telah menunjukkan bahwa
pole and line, jaring insang hanyut, dan purse seine lebih unggul dari enam usaha
perikanan tangkap lainnya. Rossetto et al. (2015) menyatakan bahwa usaha
unggulan yang dikelola dengan baik akan memberi dampak yang bersifat bon
wagon terhadap perekonomian.
Kelayakan Investasi Usaha Perikanan Tangkap Unggulan
1. Kebutuhan Investasi
Pada bagian, ketiga usaha perikanan tangkap unggulan akan dikajikan
kebutuhan dan kelayakan investasinya sehingga dapat menjadi acuan investor
dalam berinvestasi di Bau-Bau. Kapasitas/ukuran kapal yang diinvestasikan
adalah yang banyak digunakan nelayan di Bau-Bau, yaitu 35 GT untuk pole and
line, 75 untuk jaring insang hanyut, dan 28 GT untuk purse seine. Kebutuhan
investasi ketiga usaha perikanan tangkap tersebut, umumnya terkait penyediaan
kapal/perahu, alat tangkap, mesin, peralatan pendukung, dan dokumen perizinan.
Tabel 5 menyajikan rincian kebutuhan investasi pole and line, jaring insang
hanyut, dan purse seine di Bau-bau.
Berdasarkan Tabel 5, kebutuhan investasi total untuk pole and line, jaring
insang hanyut, dan purse seine masing-masing adalah Rp 484.250.000, Rp
1.118.562.500, dan Rp 702.125.000. Investasi terbesar pada jaring insang hanyut
dan purse seine adalah untuk penyediaan kapal, alat tangkap, dan mesin kapal.
Farrag et al. (2014) menyatakan bahwa teknik operasi dengan cara menghadang
atau memerangkapi gerombolan ikan membutuhkan keseimbangan pada kapal,
mesin, dan alat tangkap, karena ketiganya aktif bekerja pada saat operasi
penangkapan dilakukan. Sedangkan untuk pole and line, investasi pada alat
tangkap termasuk kecil, karena hanya berupa batangan bambu yang diberi kail di
ujungnya.
203
Tabel 5 Kebutuhan investasi usaha perikanan tangkap unggulan
Nilai Investasi (Rp)
No Kebutuhan Investasi
Pole and Line Jaring Insang Hanyut
1. Kapal/Perahu
385.000.000
750.000.000
2. Alat Tangkap (Jaring)
1.500.000
130.250.000
3. Mesin
a. Yamnar
65.000.000
150.000.000
b. Genset
12.500.000
50.000.000
4. Peralatan Pendukung
a. Navigasi (GPS)
2.500.000
3.125.000
b. Fish Pinder
3.750.000
437.500
c. Alat Bantu 2
1.000.000
1.000.000
d. Cooler Box
4.000.000
6.000.000
e. Palka
8.750.000
25.875.000
5. Perizinan
1.250.000
1.875.000
Total
484.250.000
1.118.562.500
Purse Seine
375.000.000
198.250.000
95.500.000
12.500.000
2.500.000
3.750.000
1.000.000
4.000.000
8.375.000
1.250.000
702.125.000
2. Kelayakan investasi
Analisis ini berguna untuk menduga prospek pole and line, jaring insang
hanyut, dan purse seine apakah layak/menguntungkan bila ke depan
dikembangkan investasinya, ataukah sebaliknya. Tabel 6 menyajikan kelayakan
investasi ketiga usaha perikanan tangkap unggulan di Bau-Bau.
Tabel 6 Hasil analisis kelayakan investasi usaha perikanan tangkap unggulan
No Paramater Investasi
1.
2.
3.
4
NPV
IRR (%)
ROI (%)
PP (tahun)
Usaha Perikanan Tangkap
Pole and Line Jaring Insang
Purse Seine
Hanyut
Rp 46,90
Rp 256,94
Rp 232,62
20 %
24 %
27 %
44 %
33 %
50 %
4,25 tahun
2,75 tahun
2,41 tahun
Berdasarkan Tabel 6, pole and line, jaring insang hanyut, dan purse seine
memberikan keuntungan bersih yang positif dalam investasinya, yang ditunjukkan
oleh nilai NPV lebih besar dari 0 (nol). Disamping itu, pole and line, jaring
insang hanyut, dan purse seine juga mempunyai IRR yang lebih tinggi dari suku
bunga kredit (12,44 %), yaitu masing-masing 20 %, 24 %, dan 27 %. Artinya,
bila investasi ketiga usaha perikanan tangkap tersebut dikembangkan
menggunakan dana pinjaman kredit, maka cicilannya masih dapat dikembalikan
tanpa mengganggu operasional usaha perikanan tangkap tersebut. Mustaruddin et
al. (2014) dan Le Floc et al. (2011) dan menyatakan bahwa usaha yang mampu
204
mengalokasikan cicilan pinjaman dengan baik dapat dipastikan bisa berkembang
pesat selama, semua pengeluarana rutinnya dapat dikontrol.
Setiap tahunnya, nilai keuntungan dari pole and line 35 GT, jaring insang
hanyut 75 GT, dan purse seine 28 GT masing-masing dapat mengembalikan 44 %,
33 %, 50 % dari dana investasi yang digunakannya. Kondisi tersebut sangat
membantu investor untuk menentukan rencana pengembangan terkait usaha
perikanan tangkap yang dijalankannya. Sedangkan menurut Zivin & Mullins
(2015), nilai ROI selalu menjadi fokus utama investor dalam pengembangan
usaha yang bersifat ekspansionis. Bila semua keuntungan yang didapat
dialokasikan untuk membayarkan semua dana investasi yang digunakan, maka
dapat dilunasi dalam waktu 4,25 tahun untuk pole and line, 2,75 tahun untuk
jaring insang hanyut, dan 2,41 tahun untuk purse seine.
Kemampuan
pengembalian investasi ini sangat baik, karena jauh lebih cepat daripada umur
ekonomis usaha perikanan pole and line, jaring insang hanyut, dan purse seine
yang rata-rata mencapai 10 tahun (DKP Kota Bau-Bau, 2014). Oleh karena
semua parameter investasi (NPV, IRR, ROI, PP) dapat dipenuhi dengan baik,
maka pole and line, jaring insang hanyut, dan purse seine layak dikembangkan
investasinya di Bau-Bau.
KESIMPULAN
Selama periode 2007 – 2013, produksi perikanan tangkap meningkat ratarata 7,40 % per tahun di Bau-Bau. Jumlah nelayan meningkat signifikan dari
3.996 orang pada 2012 menjadi 20.801 orang pada tahun 2013. Usaha perikanan
tangkap yang banyak dikembangkan adalah rawai dasar, jala tebar, bubu, purse
seine, jaring insang hanyut, pancing ulur, pancing tonda, jaring insang tetap, dan
pole and line. Sedangkan usaha perikanan tangkap yang terpilih sebagai unggulan
adalah pole and line (VAg = 2,307), jaring insang hanyut (Vag = 2,152), dan
purse seine (Vag = 1,800). Pole and line, jaring insang hanyut, purse seine
mempunyai NPV, IRR, ROI, dan PP masing-masing Rp 46,90, Rp 256,94, dan Rp
232,62; 20 %, 24 %, dan 27 %; 44 %, 33%, dan 50 %; 4,25 tahun, 2,75 tahun, dan
2,41 tahun. Nilai parameter investasi tersebut memenuhi persyaratan NPV > 0,
IRR > 12,44 %, ROI > 10 %, PP > umur ekonomis, sehingga ketiga usaha
perikanan tangkap layak dikembangkan investasinya di Bau-Bau. Kebutuhan
investasi untuk pole and line (35 GT), jaring insang hanyut (75 GT), dan purse
seine (28 GT) adalah masing-masing Rp 484.250.000, Rp 1.118.562.000, dan Rp
702.125.000.
205
DAFTAR PUSTAKA
[BKPM] Badan Koordinasi Penanaman Modal. 2014. Peluang Pegembangan
Investasi Perikanan Tangkap di Provinsi Sulawesi Tenggara. Jakarta
(ID): BKPM.
[BI] Bank Indonesia. 2014. Suku Bunga Dasar Kredit Untuk Modal Kerja Dari
Bank BUMN Per September 2014. Jakarta (ID): Bank Indonesia.
[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bau-Bau. 2014. Laporan
Pelaksanaan Program Kelautan dan Perikanan Tahun 2013. Dinas
Kelautan dan Perikanan Kota Bau-Bau. Bau-Bau.
[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bau-Bau. 2013. Laporan
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Tahun 2012. Dinas
Kelautan dan Perikanan Kota Bau-Bau. Bau-Bau.
[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bau-Bau. 2012. Laporan
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Tahun 2011. Dinas
Kelautan dan Perikanan Kota Bau-Bau. Bau-Bau.
Farrag, MMS, Osman. AGM, Akel, EHK, and Moustafa, MA. 2014. Catch and
effort of night purse seine with emphasize to Age and Growth of
lessepsian Etrumeus teres (Dekay, 1842), Mediterranean Sea, Egypt. The
Egyptian Journal of Aquatic Research. 40(2) : 181–190.
Hanley N.D. and C. Spash. 1993. Cost-Benefic Analysis and the Environment.
Edward Elgar. Cheltenham.
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Peraturan Menteri Kelautan
dan Perikanan Republik Indonesia No. PER.45/MEN/2011 tentang
Estimasi Potensi Perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik
Indonesia (WPP-RI). Jakarta (ID): KKP.
Kuntoro M, Listiarini T. 1983. Analisa Keputusan, Pendekatan Sistem Dalam
Manajemen Usaha dan Proyek. Bandung (ID): Baskara.
Le Floc P, Daurès F, Nourry, M, Thébaud, O, Travers M, and Van Iseghem S.
2011. The influence of fiscal regulations on investment in marine
fisheries: A French case study. Journal of Fisheries Research. 10(2-3) :
257–264.
Mallawa A, Musbir, Amir F, dan Marimba, A. 2014. Analisis Tekanan
Teknologi Penangkapan Ikan Terhadap Populasi Ikan Cakalang
(Katsuwonus pelamis) di Perairan Teluk Bone, Sulawesi Selatan. Jurnal
Perikanan Unhas. 1(1) : 12-24.
Mamuaya GE, Haluan J, Wisudo SH dan Astika IW. 2007. Status Keberlanjutan
Perikanan Tangkap di Daerah Kota Pantai : Penelaahan Kasus di Kota
Manado. Buletin PSP. 16(1):146-160.
Mayes, T.R and Shank, T.M. 2008. Financial Analysis with Microsoft Excel
2007.
206
Methot RD and Wetzel CR. 2013. Stock synthesis: A biological and statistical
framework for fish stock assessment and fishery management. Journal of
Fisheries Research. 142(1) : 86-99.
Mustaruddin, Mulyono SB, dan Supriatna A. 2014. Strategi Pengembangan
Perikanan Cakalang Yang Bersinergi Dengan Faktor Lingkungan dan
Sosial Ekonomi di Ternate : Studi Kasus Penangkapan Ikan Menggunakan
Huhate. Jurnal Ilmu Pertanian dan Perikanan. 3(1) : 1-9.
Nobuntu N and Mnqanqe M. 2009. Improving the gasoline quality of liquid
products from the Fisher–Tropsch process. Catalysis Today. 143(1-2) :
126-131.
Rossetto M, Bitetto I, Spedicato MT, Lembo G, Gambino M, Accadia P and
Melia P. 2015. Multi-criteria decision-making for fisheries management:
A case study of Mediterranean demersal fisheries. Marine Policy. 53(1) :
83-93.
Zivin JG and Mullins J. 2015. Vessel buybacks in fisheries: The role of auction
and financing structures. Marine Policy. 53(1) : 188-197.
207
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap IPB ke-6
Halaman:208-219
ISBN 978-979-1225-34-2
KINERJA JANTUNG DAN OTOT IKAN JACK MACKEREL,
TRACHURUS JAPONICUS SELAMA BERENANG DI FLUME TANK
PADA SUHU YANG BERBEDA
(Heart rate and muscle performance of jack mackerel, Trachurus japonicus
during forced swimming in the flume tank at different temperatures)
Mochammad Riyanto1*, Takafumi Arimoto2
1
Staf pengajar pada Depatemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan FPIK-IPB
2
Lecturer at Tokyo University of Marine Science and Technology
*Korespondensi: [email protected]
ABSTRACT
The physiological condition of jack mackerel(18.3 ± 1.2cm fork length (FL), n =
24) was simultaneouslymonitored using electrocardiography (ECG) and
electromyography (EMG) techniques during swimming exercise in a flume tankat
different temperatures of 10, 15 and 22○C. To monitor the effect of temperature on
the threshold level of the maximum sustainable speed, EMG demonstrated that the
initiation of ordinary muscle activity at the lowest temperature (10○C) occurred in
the swimming speed of 3.2–3.5 FL/s, which was slower than the activation speeds
at 15 and 22○C of 4.0–5.4 FL/s. Ordinary muscle became active with increasing
swimming speed which subsequently resulted in the frequency, amplitude and
duration of burst discharge.ECG and EMG monitoring showed that the heart rate
started to increase in the sustained speed level before the threshold and markedly
increased up to the maximum level of heart rate at the higher speed. The power
output of ordinary muscle at the lowest temperature of 10○C was lower than at
higher temperatures of 15 and 22○C. The heart rate increased with the increasing
power output of ordinary muscle for all temperatures.
Keywords: jack mackerel, heart rate, temperature effect, ECG, EMG, ordinary
muscle, power output
ABSTRAK
Kondisi fisiologis ikan jack mackerel [18,3 ± 1,2 cm panjang cagak (FL),
n = 24secara bersamaan dimonitor menggunakan teknik elektrokardiografi (EKG)
dan elektromiografi (EMG) selama berenang dalam flume tank pada suhu 3 suhu
yang berbeda yaitu 10, 15 dan 22 °C. Untuk menentukan pengaruh suhu pada
tingkat ambang batas kecepatan renang maksimum berkelanjutan (maximum
sustainable speed), EMG menunjukkan bahwa inisiasi aktivitas otot putih pada
suhu terendah (10°C) terjadi pada kecepatan renang 3,2-3,5 FL/s, dimana lebih
lambat dari kecepatan aktivasi otot pada 15 dan 22 °C yaitu 4,0-5,4 FL / s. Otot
putih menjadi aktif dengan meningkatnya kecepatan renang yang berakibat pada
208
peningkatan frekuensi, amplitudo dan durasi aktivasi otot putih. Hasil pemantauan
EKG dan EMG menunjukkan bahwa denyut jantung mulai meningkat pada
kecepatan renang maksimum berkelanjutan sebelum ambang batas (threshold
speed) dan terus meningkat sampai denyut jantung mencapai maksimum pada
kecepatan yang lebih tinggi. Indeks kekuatan otot putih pada suhu 10 °C lebih
rendah dari suhu yang lebih tinggi 15 dan 22 °C. Denyut jantung meningkat
dengan peningkatan kekuatan otot putih pada semua suhu.
Kata Kunci: jack mackerel, denyut jantung, pengaruh suhu, EKG, EMG, otot
putih, indeks kekuatan otot
PENDAHULUAN
Kemampuan renang merupakan ciri utamayangmenentukan tingkat
kebugaran pada banyak hewan laut (Plaut, 2001).Berenang adalah satu-satunya
alternatif bagi sebagian besar mangsa untuk melepaskan diri dari predator dan
kemampuan renang berhubungan langsung dengan aktivitas mencari makan,
perubahan habitat, dan reproduksi (Webb 1994, Videler 1993).Kapasitas renang
memegang peranan penting dalam menentukan selektivitas dan efisiensi
penangkapan pada alat tangkap aktif seperti pukat hela (trawl), pukat cincin
(purse seine) dan pukat kantong (seine net) (Winger et al, 1999; He 2008).
Kinerja renang(Swimming performance) sangat tergantung pada berbagai
faktor biologidan fisika (Webb, 1975)seperti bentuk tubuh (Lindsay, 1978),
bentuk sirip (Videler, 1993; Plaut, 2001), fungsi otot (Romeet al, 1988;
Altringham dan Ellerby, 1999) dan cara berenang (Blake, 1983). Kecepatan
renang dipengaruhi oleh ukuran panjang tubuh ikan (Webb, 1976, Beamish 1978)
dan suhu (Wardle, 1980; Yanase et al, 2007).Kinerja renang ikan juga tergantung
pada tahap perkembangan ikan (berdasarkan karakter mofologi yang terihat) (Hale,
1999; Takahashi et al, 2010). Faktor lingkungan menjadi factor tambahan yang
mempengaruhi kecepatan individu ikan telah di review oleh Randal dan Brauner
(1991) dan Videler (1993).
Suhu merupakan salah satu faktor yang paling penting yang
mempengaruhi kinerja berenang.Peningkatan suhu telah terbukti meningkatkan
kinerja berenang dengan meningkatkan tingkat metabolisme (Claireaux et al.,
2000), kinerja jantung (Blank et al., 2004), pergerakan ikan (Fuiman and Batty,
1997), dan kontraktilitas otot (Rome et al., 1990; Yanase et al., 2007).Perubahan
suhu mempengaruhi kinerja berenang seperti ketahanan (swimming endurance)
(Nofrizal et al., 2009) and kecepatan maksimum (Arimoto et al., 1993; Özbilgin
and Wardle, 2002, Yanase et al., 2007), sementara itu daya tahan dan kecepatan
renang memainkan faktor penting yang mempengaruhi peluang ikan untuk
melarikan diri dari alat tangkap aktif.Perbedaan kemampuan renang berpengaruh
209
pada saat jaring melakukan penarikan jaring agar ikan tetap berada pada area
mulut jaring dan melarikan diri pada bagian kantong jaring (codend) (He, 1993).
Ikan menggunakan kecepatan renang lama (prolonged) dan kecepatan
renang kejut (burst) untuk menghindari dan proses penangkapan ikan. Ikan
mengalami kelelahan dan dibawah tekanan sehingga menimbulkan stressselama
proses penangkapan yang berujung pada kematian ikan pada saat penangkapan
maupun setelah ikan lolos dari alat tangkap. Kondisi fisiologis selama proses
penangkapan dan setelah mengalami kelelahan dari aktivitas renang ikan belum
diketahui secara jelas. Oleh karena itu untuk penelitian tentang kondisi
fisiologiikan selama aktivitas renang sangat diperlukan untuk meningkatkan
selektivitasdankemampuan menangkap dari alat tangkap aktif.
Beberapa aspek dari kondisi fisiologi seperti kinerja otot dan denyut
jantung selama ikan berenang dapat diobservasi secara simultan dan bersamaan
(Hanyu et al., 1979). Salah satu cara untuk memahami kondisi fisiologis ikan
selama berenang, kami memeriksa detak jantung dan aktivitas otot putih pada
suhu yang berbeda dengan perekaman secara simultan menggunakan
elektrokardiogram (EKG) dan elektromiogram (EMG) pada saat ikan berenang
dalam flume tank. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proses
kelelahan ikan karena ativitas jantung dan penggunaan otot putih selama aktivitas
berenang ikan jack mackerel di dalam flume tank pada temperature yang berbeda.
METODOLOGI
Seluruh percobaan dilakukan dengan total ikan jack mackerel sampel
sebanyak 24 ekor dengan ukuran panjang total (FL) 18,3 ± 1,2 dan berat sebesar
80,2 ± 8,1 g. Ikan didatangkan dari nelayan di Numazu Bay (Jepang) dan
dipindahkan ke tanki penampungan berbentuk persegi panjang dengan ukuran
panjang 200 cm, lebar 90 cm, dan dalam 100 cm yang dilengkapi dengan sistem
sirkulasi, aerasi dan bio-filtering pada suhu 17 ± 0,6 °C dan salinitas 32,5-33,5
psu. Ikan diaklimatisasi minimum selama 10 hari sebelum digunakan untuk
percobaan. Ikan diberi makan setiap hari selama aklimatisasi dan periode
penalitian sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Riyanto et al.,
2014 dan Riyanto dan Arimoto, 2014.Untuk mengetahui pengaruh suhu terhadap
aktivitas renang ikan penelitian dilakukan pada 3 perlakuan suhu yaitu 10, 15 dan
22oC.
Deskripsi dari flume tank yang digunakan dalam penelitian ini dan
perangkat eksperimen dan alat untuk elektromiografi dan elektrokardiografi telah
disajikan pada penelitian sebelumnya oleh Nofrizal et al, 2009; Riyanto et al.,
2014. Pengukuran denyut jantung dan aktivitas otot putih ditetapkan secara
simultan dengan mengunakan teknik EMG dan EKG. Elektroda EKG yang terbuat
dari kawat stainless (MT Giken) berukuran panjang 15 mm dan diameter 0,25 mm.
210
EMG elektroda juga terbuat dari kawat stainless berukuran panjang 10 mm dan
diameter 0,2 mm seperti ditunjukkan pada Gambar. 1.
Gambar 1.
Posisi pemasangan elektoda EKG and EMG yang digunakan untuk
pemantauan denyut jantung dan aktivitas otot putih
Kedua elektroda dihubungkan dengan kawat yang terisolasi (Tsurumi
Seiki, T-GA kabel XBT) yang diarahkan ke digital oscilloscope (Iwatsu, DS5102) melalui 2-channel bioamplifier (Nihon Kohden, Bio-Electric Amplifier AB632J). Sepasang elektroda untuk EKG ditanamkan dalam bagian perut dari sisi
ventral, sementara itu sepasang elektroda untuk EMG ditanamkan ke dalam otot
putih ikan uji pada posisi di dekat pangkal ekor dengan kedalaman sekitar 3 mm
dengan jarum suntik (24g× 1", 0,55× 25 mm). Sebelum pemasangan elektroda
ikan dianestesi dengan larutan FA100.Setelah implantasi dari dua jenis elektroda
tersebut kemudian diikat dan dijahit pada dasar sirip punggung untuk
meminimalkan pengaruh mekanik dari gerakan arus dan tubuh sesuai dengan
prosedur yang diuraikan dalam penelitian sebelumnya oleh Riyanto dan Arimoto
2014.Diagram skematik rekaman EKG dan EMG dan peralatan yang digunakan
disajikan pada Gambar. 2.
Setelah penanaman elektroda dan ikan telah pulih dari anestesi selama 180
menit, aktivitas denyut jantung dan otot putih diobservasi selama 30 menit dalam
flume tank tanpa arus sebagai kontrol, dilanjutkan dengan adaptasi arus lambat
(14,2 cm/s). Kemudian kecepatan ikan ditingkatkan setiap10 menitsebesar14,2
cm/s sampai dengan kecepatan 142, 5 cm/satau sampai ikan mencapai kelelahan.
Amplifier EMG dan EKG ditetapkan dengan sensitivitas 0.1 mV dan filter
43-100 Hz. Sekurang-kurangnya 5 (lima) sinyal EMG pada saat ikan berenang
stabil di pilih dan direkam secara digital dalam file Excel untuk setiap tingkat
kecepatan renang. Amplitudo maksimum (A) dan Durasi (D) untuk setiap aktivitas
211
renang disajikan pada Gambar 3. Power output otot putih dihitung dengan
menggunakan persamaan menurut Tsukamoto, 1984.
Gambar 2. Diagram skematik pemantauan EKG dan EMG selama ikan berenang
di flume tank
𝑛
𝐴𝑖 ∙ 𝐷𝑖 2 /𝑇
𝑃∝
𝑖=1
Dimana; P = power output (µV.s), A = amplitudo maksimum (µV) ,D = durasi (s) ,
T = waktu (s).Berdasarkan rumus di atas, indeks output kekuatan otot putih dari
ikan makarel selama berenang berdasarkan amplitudo, durasi dan frekuensi (= 1 /
T) yang diamati dalam penelitian ini.
HASIL
Gambar 3 menunjukkan denyut jantung dan aktivitas otot putih ikan jack
mackerel dengan panjang cagak (FL) 19.7 cm diobservasi secara simultan dan
direkam dengan EKG dan EMG pada saat ikan berenang dengan kecepatan dan
suhu yang berbeda. Denyut jantung pada kecepatan renang rendah (1,5-2,9 FL/s)
tidak berbeda dengan kontrol dan secara bertahap meningkat dengan penambahan
kecepatan berenang setiap 10 menit. Sementara itu tidak ada aktivitas otot
putihsampai dengan kecepatan dibawah 3,6 FL/s. Otot putih pertama mulai
diaktivasi pada saat kecepatan renang 4,3 FL/s. Maksimum denyut jantung
212
diobesrvasi sebanyak 150 denyut/menit dan aktivitas otot putih sebanyak 75 EMG
pulsa/menit pada kecepatan renang 5.0 FL/s. Namun, pada kecepatan berenang
5,7 FL/s, aktivitas denyut jantung dan otot menurun dan ikan tidak bisa berenang
selama 10 menit karena mengalami kelelahan.
Gambar 3. EMG otot putih and ECG denyut jantung pada kecepatan renang yang
berbeda untuk menentukan ambang batas antara kecepatan
berkelanjutan (sustained) dan lama (prolonged) untuk kasus ikan
berukuran panjang cagak 19.7 cm pada suhu 15 oC
Gambar 4.menunjukkan hasil analisis rekaman EMG pada tingkat
kecepatan renang ikan pada kondisi suhu yang berbeda. Gambar 6a.menunjukkan
hubungan antara frekuensi (F, pulse/s) pada aktivitas otot putih berdasarkan
kecepatan renang pada suhu yang berbeda. Frekuensi (F) meningkat secara linear
dengan peningkatan kecepatan renang, pada saat ikan berenang melebihi batas
kecepatan maksimum berkelanjutan (maximum sustainable speed). Pada suhu
rendah 10oC, batas kecepatan saat otot putih teraktivasi terjadi pada kecepatan
3,3-3,5 FL/s, lebih rendah dari 3,9-4,3 FL/s pada suhu 15oC dan 4,3-5,3 FL/s
213
pada suhu 22oC. Berdasarkan kecepatan tersebut kita dapat menentukan maximum
sustainable speed untuk setiap perbedaan suhu.
Gambar 4. Perubahan pada tiga karakteristik output kekuatan otot: (a) frekuensi,
(b) amplitudo maksimumdan (c) durasi dengan kecepatan renang pada
suhu 10, 15 and 22oC.
Amplitudo (A) pada Gambar 4b, menunjukkan tren peningkatan pada
kecepatan maksimum pada setiap perubahan suhu.Namun demikian, terdapat
perbedaan tren pada 10oC, hal ini disebabkan karena rendahnya performa otot
putih pada saat merespons kecepatan renang yang lebih tinggi. Waktu durasi (D)
aktivitas otot putih menunjukkan tidak ada perbedaan yang cukup besar antara
15dan 22oC yaitu pada selang antara 100-200 ms pada kecepatan renang 4,0-6,0
FL/s (Gambar 4c).
Berdasarkan hasil analisis pada Gambar 4.Indeks kekuatan otot (P) otot
putih dihitung selama selama ikan berenang dalam flume tank pada suhu yang
berbeda seperti yang disajikan pada Gambar5. Pada suhu rendah 10oC, tidak ada
214
indeks kekuatan otot putih (P) yang digunakan pada kecepatan renang dibawah
3,3 FL/s, kemudian P meningkat secara bertahap pada selang 4,6-20,5 µV·s pada
kecepatan renang 3,3-4,4 FL/s, dan akhirnya mencapai 77,9 µV·s pada kecepatan
renang 5,3 FL/s. Pada suhu yang lebih tinggi 15 dan 22oC, P meningkat dengan
meningkatnya kecepatan renang. Maksimum P terjadi pada suhu 22oC yaitu
sebesar93.3µV·s pada saat kecepatan renang mencapai 6,0 FL/s.
Gambar 5.Hubungan antara kecepatan renang (FL/s) and indeks kekuatan otot
putih (μV·s) ikan jack mackerel pada suhu yang berbeda.
PEMBAHASAN
Bersasarkan EMG analisis pada ikan jack mackerel, kitamenentukan
ambang batas kecepatan (threshold speed) sebagai titik pengapian kekuatan otot
putih (ignition point of white muscle, IPW) seperti yang diusulkan oleh
Tsukamoto, 1984 untuk ikan ekor kuning (Seriola quinqueradiata). IPW jack
mackerel diamati pada kisaran 3,3-3,5 FL/s pada 10oC, 3,9-4,3 FL/s pada 15oC
dan 4,3-5,3 FL/s pada 22oC, nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan
pengukuran kecepatan renang maksimum berkelanjutan dengan metode durasi
renang (endurance test) terhadap jenis ikan dan ukuran yang relatif sama oleh
Nofrizalet al. (2009), dimana kecepatan renang maksimum berkelanjutan terjadi
pada 2,4 FL/s pada 10oC dan 3,2-3,4 FL/s pada suhu yang lebih tinggi yaitu 15
dan 22oC. Perbedaan kecepatan renang maksimum berkelanjutan pada ikan jack
mackerel kemungkinan disebabkan oleh adanyavariasi fisiologi dan morfologi
seperti hubungan antara panjang dan berat dimana setiap individu memiliki variasi
yang berbeda (Coull et al., 1989).Variasi ini memperlihatkan jumlah relatif
kekuatan otot yang digunakan sebagai tenaga pendorong yang berpengaruh pada
performa kecepatan renang ikan (Bainbrigde, 1960).Secara fisiologi, cadangan
energi yang tersimpan dalam sel-sel otot renang cenderung bervariasi antara
215
individu (Weihs,1974).Deskripsi kualitatif dari berbagai kecepatan renang
maksimum dalam penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan antar individu
ikan pada suhu yang berbeda terhadap kinerja renang ikan.
Frekuensi kejutan listrik (F) meningkat dengan peningkatan kecepatan
renang pada semua suhu, seperti yang ditunjukkan pada Gambar4a.Meningkatnya
frekuensi aktivitas otot putih berhubungan dengan gerakan cepat dan kuat dari
tubuh ikan untuk mengulangi kick-and-glide maneuver(Riyanto et al., 2014;
Riyanto dan Arimoto, 2014) terhadap tingkat kecepatan arus pada flume
tank.Ketika frekuensi aktivitas otot putih melebihi batas tertentu, serat-serat otot
berkontraksi penuh dan ketegangan dikembangkan menjadi 4-5 kali lebih besar
dari yang diberikan selama kontraksi otot tunggal (Tsukamoto, 1984).Hasil ini
sesuai dengan Xu et al.(1993), dimana frekuensi kejutan listrik dan durasi
aktivitas otot putih meningkat denganmeningkatnya kecepatan, sementara ada
perubahan kecil dari amplitudo di atas ambang batas kecepatan maksimum renang
berkelanjutan.
Hasil pemantauan EKG dan EMG pada ikan jack mackerel menunjukkan
bahwa denyut jantung mulai meningkat pada ambang batas kecepatan (threshold
speed)sebelum IPW.Di atas IPW, denyut jantung meningkat tajam sampai ke
tingkat maksimum pada kecepatan yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa
denyut jantung secara intensif digunakan untuk penyerapan oksigen sebelum IPW
dan bekerja bersama dengan aktivitas otot pada kecepatan prolonged. Hal ini
sesuai dengan temuan pada ikan hering (Clupea harengus) oleh Bone et al. (1978),
Pollachius virens (Johnston dan Moon, 1980) dan ekor kuning (Seriola
quinqueradiata) oleh Tsukamoto, 1984 dalam hal fungsi darah dan otot biasa
selama berenang. Denyut jantung maksimum pada kecepatan yang lebih tinggi
menyebabkan tingkat kelelahan yang lebih tinggi seperti yang dilaporkan oleh
Riyanto dan Arimoto (2014), dimana denyut jantung setelah kecepatan tinggi
memerlukan waktu pemulihan selama 250 menit sampai 480 menit. Waktu
pemulihan penuh untuk ikan mas Cyprinus carpio setelah berenang pada
kecepatan 3 BL / s diperlukan waktu selama 60 menit (Ito et al., 2003).Selama
berenang cepat, otot putih bekerja sangat aktif, di mana pada situasi ini otot putih
melakukan metabolisme anaerobik glikolisis, sehingga deplesi glikogen dan
akumulasi asam laktat (Bone, 1966). Xu et al. (1993) melaporkan bahwa asam
laktat dari 43-cm Theragra chalcogramma mulai menurun setelah 6 jam
pemulihan dengan pengurangan jumlah asam laktat setelah 24 jam.
Kekuatan otot putih dihitung dengan mengalikan tegangan (voltage) EMG
(μV) dan durasi aktivasi otot (s) (Tsukamoto, 1984).Pengaruh suhu pada indeks
kekuatan otot putih (P) ikan jack mackerel menunjukkan hasil bahwa P pada suhu
10 °C lebih rendah dari pada suhu yang lebih tinggi 15 dan 22 °C.Hasil penelitian
ini mendukung temuan Riyanto et al. (2014), dimana kinerja otot jack mackerel
berkurang pada 10 °C.Kinerja kekuatan otot putih yang rendah tersebut
dimungkinkan terkait dengan kecilnya koefisien renang (k) (Riyanto et al., 2014).
216
KESIMPULAN
Besarnya kinerja aktivitas anaerobik otot putih ikan jack mackerel
berhubungan dengan tingginya kinerja denyut jantung untuk menyediakan
oksigen ke otot, dimana berhubungan langsung dengan tingkat kelelahan otot
yang terlihat dari waktu recovery yang panjang pada kecepatan renang dan suhu
yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
AltringhamJD, Ellerby DJ. 1999. Fish swimming: pattern in muscle function.
JExpBiol202 (23): 3397−3403.
Arimoto T, Xu G, Matsushita Y. 1993. Muscle contraction time of captured
walleye pollock Theragra chalcogramma. Nippon Suisan Gakkashi
57:1225−1228.
Bainbridge R. 1960. Swimming and stamina in three fish.J Exp Biol 37:129−153.
BeamishFWH.(1978) Swimming capacity. In: Hoar WS, Randal DJ (eds) Fish
physiology, vol. 7. Academic Press, London, pp 101–187.
BlakeRW. 1983. Fish locomotion. Cambridge University Press, Cambridge, pp
208.
BlankJM, MorrissetteJM, Landaeira-FernandesAM, BlackwellSB, WilliamsTD,
BlockBA. 2004. In situ cardiac performance of Pacific bluefin tuna hearts
in response to acute temperature change. J ExpBiol 207: 881–890.
Bone Q, Kicenuik J, Jones DR. 1978. On the role of different fibre types in fish
myotomes at intermediate swimming speeds. Fish Bull 76:691-699.
Bone Q .1966.On the function of the two types of myotomal muscle fibres in
elasmobranch fish.J Mar Biol Assoc UK 46:321−349.
ClaireauxG, WebberDM, LagadereJP, KerrSR. 2000. Influence of water
temperature and oxygenation on the aerobic metabolic scope of Atlantic
cod (Gadus morhua). J Sea Res 44: 257–265.
Coull KA, Jermyn AS, Newton AW, Henderson GI, Hall WB.1989.
Length/weight relationship for 88 species of fish encountered in the North
East Atlantic. Scottish Fisheries Research Report 81 pp.
FuimanLA, BattyRS. 1997. What a drag it is getting cold: partitioning the
physical and physiological effect of temperature on fish swimming.
JExpBiol200: 1745–1755.
HaleME. 1999. Locomotor mechanics during early life history: effect of size and
ontogeny on fast-start performance of salmonid fishes. J
ExpBiol202:1465−1479.
Hanyu I, Tsukamoto K, Yamamori K, Ngan PV, Furukawa K, Hibiya T.
1979.Simultaneous recording of physiological information from
swimming fish.Nippon Suisan Gakkaishi 45:1261–1265.
217
HeP. 2008.Swimming capacity of marine fishes and its role in capture by fishing
gears. In: Domenici P and Kapoor BG (eds) Fish locomotion: an ecoethological perspective. Science Publisher, Enfield, pp 484–512.
HeP. 1993. Swimming speeds of marine fish in relation to fishing gears. ICES
Mar Sci Symp 196:183–189.
Ito H, Akiyama S, Arimoto T (2003) Heart rate change during exercise and
recovery for carp Cyprinus carpio. Nippon Suisan Gakkashi. 69:192–196
(in Japanese with English abstract).
Johnston IA, Moon TW. 1980. Endurance exercise training in the fast and slow
muscles of a teleost fish (Pollachius virens). J Comp Physiol 135:147−156.
Lindsay CC. 1978.Form, function, and locomotory habits in fish. In: Howard WS
and Randal DJ (eds) Fish physiology vol. 7. Locomotion.Academic Press.
New York, pp 1−100.
Nofrizal, Yanase K, Arimoto T .2009. Effect of temperature on the swimming
endurance and post-exercise recovery of jack mackerel Trachurus
japonicus as determined by ECG monitoring.Fish Sci 75:1369–1375.
ÖzbilginH, WardleCS. 2002. Effect of seasonal temperature changes on the
escape behaviour of haddock Melanogrammus aeglefinus, from the codend.
FishRes58:323–331.
PlautI.
2001.Critical
swimming
speed:
its
ecological
relevance.
CompBiochemPhysiol131:41−50.
RandalD, BraunerC. 1991.Effect of environmental factors on exercise in
fish.JExpBiol 160:113–126.
Rome LC, Funke RP, Alexander RM. 1990.The influence of temperature on
muscle velocity and sustained performance in swimming carp.J Exp Biol
154: 163–178.
RomeLC, FunkRP, AlexanderRM, LutzG, AldrigdeH, ScottF, FreadmanM. 1988.
Why animal have different muscle fibre types? Nature 335:824−827.
Riyanto M, Yanase K, Arimoto T .2014. Temperature and fatigue effect on the
maximum swimming speed of jack mackerel Trachurus japonicus. Fish
Sci 80:53–59.
Riyanto M, Arimoto T .2014. Temperature effect on heart rate of jack mackerel
Trachurus japonicus, during swimming exercise.Fish Sci 80:1241−1248.
TakahashiK, MasudaR, YamashitaY. 2010.Ontogenetic changes in the spatial
learning capability of jack mackerel Trachurus japonicus.JFish Biol
77:2315−2325.
Tsukamoto K .1984. Contribution of the red and white muscles to power output
required for swimming by the yellowtail. Nippon Suisan Gakkaishi
50:2031–2042.
Tsukamoto K .1984.The role of the red and white muscles during swimming of
the yellowtail.Bull Jap Soc Sci Fish 50: 2025–2030.
218
VidelerJJ. 1993.Swimming dynamics: exchange of forces between fish and water.
In: Videler JJ (ed) Fish swimming. Chapman and Hall, London, pp 165–
184.
WardleCS. 1980.Effect of temperature on the maximum swimming speed of fishes.
In: Ali AM (ed) The environmental physiology of fishes. Plenum, New
York, pp 519–531.
WebbPW. 1994.Exercise performance of fish. In: Jones JH (ed) Comparative
vertebrate exercise physiology: phyletic adaptation. Academic Press, San
Diego, CA, pp 1−49.
WebbPW. 1976. The effect of size on the fast-start performance of rainbow trout
Salmo gairdneri, and a consideration of piscivorous predator-prey
interactions. JExpBiol 65 (1): 157−177.
WebbPW. 1975. Hydrodynamics and energetic of fish propulsion. Bull Fish Res
Bd Can 190, p 158.
Weihs D.1974. Energetic advantages of burst swimming of fish. J Theor Biol
48:215−229.
WingerDP, HeP, WalshSJ. 1999. Swimming endurance of American plaice
(Hippoglossoides platessoides) and its role in fish capture. ICES J. Mar.
Sci. Symp. 56:252−265.
Xu G, Arimoto T, Inoue M .1993. Red and white muscle activity of the jack
mackerel Trachurus japonicus during swimming.Nippon Suisan Gakkaishi
59:745–751.
Xu G, Arimoto T, Inoue Y. 1993. The measurement of muscle fatigue in walleye
pollock (Theragra chalcogramma) captured by trawl. ICES Mar Sci Symp
196:117−121.
YanaseK, EayrsS, ArimotoT. 2007. Influence of water temperature and fish length
on the maximum swimming speed of sand flathead, Platychephalus
bassensis: implication for trawl selectivity. Fish Res 84: 180–188.
219
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap IPB ke-6
Halaman:220-226
ISBN 978-979-1225-34-2
PENGARUH PENGGUNAAN UMPAN YANG BERBEDA
TERHADAP HASIL TANGKAPAN TUNA MATA BESAR
(Thunnus obesus) DI SAMUDERA HINDIA
Irwan Jatmiko1, Budi Nugraha1, Rani Ekawaty2
1
Loka Penelitian Perikanan Tuna, Denpasar, Bali.
Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana, Denpasar, Bali.
2
ABSTRACT
Bigeye tuna (Thunnus obesus) is one of the important export commodities to
increase national income. One strategy used to obtain pleasing catches is to use
bait that preferred by the targeted bigeye tuna. This study aims to determine the
effect of using different bait to catch bigeye tuna in the Indian Ocean. Data
collection is done by the scientific observers from August 2005 until June 2014.
The catch rate was calculated using the hook rate formula and analyzed using
one-way ANOVA. The analysis showed that there was a significant difference to
the catch of bigeye tuna (T. obesus) by using several different baits (ANOVA,
F6,1306 = 20.82, p <0.05). Lemuru bait obtained the highest rate of 0.3 / 100 hooks
or about three times more than using other bait.
Keywords: bigeye tuna, bait, one-way Anova, hook rate
ABSTRAK
Tuna mata besar (Thunnus obesus) merupakan salah satu komoditas ekspor yang
penting untuk menambah devisa negara. Salah satu strategi yang digunakan untuk
mendapatkan hasil tangkapan yang memuaskan adalah dengan menggunakan
umpan yang disukai oleh ikan target tuna mata besar. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui pengaruh penggunaan umpan yang berbeda terhadap hasil
tangkapan tuna mata besar di Samudera Hindia. Pengumpulan data dilakukan oleh
pemantau ilmiah dari bulan Agustus 2005 hingga bulan Juni 2014. Hasil
tangkapan dihitung menggunakan rumus hook rate dan dianalisis menggunakan
Anova satu arah. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata
terhadap hasil tangkapan tuna mata besar (T. obesus) dengan menggunakan
beberapa umpan yang berbeda (ANOVA, F6,1306=20.82, p<0.05). Umpan lemuru
mendapatkan hook rate tertinggi sebesar 0,3/100 mata pancing atau sekitar tiga
kali lipat daripada menggunakan umpan lainnya.
Kata kunci: tuna mata besar, umpan, Anova satu arah, hook rate
220
PENDAHULUAN
Ikan tuna merupakan salah satu komoditas ekspor yang penting untuk
menambah devisa negara. Produksi tuna mencapai hampir 1.300 ton pada kurun
waktu 2004 hingga 2011. Salah satu jenis tuna yang cukup penting adalah tuna
mata besar (Thunnus obesus) yang mempunyai proporsi sebesar 24% dari total
produksi kelompok tuna besar pada kurun waktu tersebut. Nilai tersebut
merupakan terbesar kedua setelah tuna sirip kuning (Thunnus albacares) yaitu
sebesar 69% (DJPT, 2012).
Tuna mata besar (T. obesus) merupakan spesies bermigrasi jauh (highly
migratory species) yang penyebarannya dari perairan tropis hingga perairan subtropis. Ikan ini dapat ditemukan di samudera-samudera besar dunia yaitu
Samudera Atlantik, Samudera Pasifik dan Samudera Hindia (Collette & Nauen,
1983). Di Indonesia sendiri, daerah penyebaran ikan tuna mata besar membentang
dari Perairan Barat Sumatera, Selatan Jawa, Laut Banda dan Laut Sulawesi hingga
Perairan Utara Papua (Uktolseja et al., 1991).
Untuk mendapatkan hasil tangkapan yang memuaskan, diperlukan
strategi operasi penangkapan yang tepat. Salah satu strategi yang digunakan
adalah dengan menggunakan umpan yang disukai oleh ikan target tuna mata besar
(T. obesus). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan
umpan yang berbeda terhadap hasil tangkapan tuna mata besar (T. obesus) di
Samudera Hindia.
METODOLOGI
Pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan oleh pemantau ilmiah dari bulan Agustus
2005 hingga bulan Juni 2014. Kegiatan pengumpulan data ini dilakukan di kapal
rawai tuna yang berbasis di Pelabuhan Benoa, Bali. Dalam satu trip, kapal rawai
tuna beroperasi selama tiga minggu hingga tiga bulan. Dalam tiap tripnya,
pemantau ilmiah mengumpulkan data harian berupa hasil tangkapan tuna mata
besar, jenis umpan yang digunakan, total mata pancing per set dan posisi daerah
penangkapan ikan menggunakan Global Positioning System (GPS).
Lokasi kapal sampel membentang dari posisi 9º-16º Lintang Selatan
hingga 109º -120º Bujur Timur (Gambar 1). Penentuan lokasi ini untuk
mengurangi pengaruh kondisi lingkungan terhadap jumlah hasil tangkapan karena
perbedaan lokasi daerah penangkapan ikan.
Analisis data
Hasil tangkapan dihitung menggunakan rumus hook rate dari Klawe
(1980) yaitu:
221
Dimana:
HR
: hook rate (hasil tangkapan/100 mata pancing)
JI
: jumlah hasil tangkapan
JP
: jumlah total mata pancing per set
A
: 100 mata pancing
Gambar 1. Daerah penangkapan kapal yang disampel.
Nilai hook rate yang diperoleh kemudian dikelompokkan ke dalam
masing-masing umpan yang digunakan dan dianalisis menggunakan one-way
Anova. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh perbedaan umpan
terhadap hasil tangkapan ikan tuna mata besar. Apabila hasil menunjukkan
perbedaan yang nyata (p<0.05), tes post-hoc dilakukan untuk mengetahui letak
perbedaannya. Semua analisi statistik dilakukan menggunakan SPSS Statictics 20.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan dengan mengikuti kapal rawai tuna sebanyak 62
trip dan 1480 kali tebar pancing (set). Dalam kurun waktu tersebut, hampir 1,8
juta mata pancing ditebar dengan rata-rata setiap kali operasi adalah sekitar 1.200
mata pancing per satu kali set. Beberapa umpan yang digunakan pada kapal rawai
tuna ini adalah ikan bandeng (bd), Chanos chanos; ikan selanget (sl),
Anodontostoma chacunda; cumi-cumi (cm), Loligo spp.; ikan layang (ly),
Decapterus ruselli; ikan lemuru (lm), Sardinella lemuru dan ikan tongkol krai
(kr), Auxis thazard.
Pada saat melakukan operasi penangkapan, nelayan tidak hanya
menggunakan satu macam umpan saja tetapi juga kombinasi dua, tiga hingga
222
empat macam umpan yang berbeda. Selama penelitian ini, umpan yang paling
banyak digunakan adalah kombinasi antara layang dan lemuru sebanyak 519 kali,
diikuti lemuru (477 kali) dan kombinasi antara bandeng dan layang (104 kali).
Sedangkan umpan yang paling jarang digunakan adalah kombinasi selanget dan
lemuru (1 kali), bandeng dan cumi (5 kali) dan kombinasi bandeng dan selanget (6
kali). Kombinasi umpan yang digunakan selama operasi penangkapan kapal rawai
tuna dapat dilihat pada tabel 1.
Untuk meminimalisir kesalahan (error) pada saat analisis, umpan atau
kombinasi umpan yang dianalisis hanya yang berjumlah 30 atau lebih, yaitu
sebanyak tujuh jenis umpan atau kombinasi umpan. Tujuh jenis umpan ini juga
sudah mencakup hampir 90% dari total sampel yang dilakukan selama operasi
penangkapan ikan (Tabel 1).
Tabel 1. Umpan yang digunakan dalam operasi penangkapan kapal rawai tuna di
Samudera Hindia. Huruf yang dicetak tebal menunjukkan sampel umpan yang
digunakan pada saat analisis lebih lanjut.
Persentase
No
Umpan
Jumlah
kumulatif (%)
1 layang_lemuru
519
35.07
2 lemuru
477
67.30
3 bandeng_layang
104
74.32
4 bandeng_layang_lemuru
88
80.27
5 cumi_layang_lemuru
51
83.72
6 bandeng_cumi_layang_lemuru
44
86.69
7 bandeng_lemuru
30
88.72
8 layang
27
90.54
9 bandeng_tongkol-krai
23
92.09
10 bandeng_tongkol-krai_layang
23
93.65
11 cumi_layang
21
95.07
12 bandeng_cumi_lemuru
19
96.35
13 cumi_lemuru
19
97.64
14 bandeng_cumi_layang
14
98.58
15 bandeng
9
99.19
16 bandeng_selanget
6
99.59
17 bandeng_cumi
5
99.93
18 selanget_lemuru
1
100.00
Total
1480
Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata terhadap hasil
tangkapan tuna mata besar (T. obesus) dengan menggunakan beberapa umpan
yang berbeda (one-way ANOVA, F6,1306=20.82, p<0.05). Dikarenakan hasil
analisis menunjukkan perbedaan yang nyata, tes Tukey post-hoc dilakukan untuk
223
Hasil tangkapan/100 pancing ( SE)
Hook rate ( SE)
mengetahui letak perbedaannya. Tes Tukey post-hoc menunjukkan bahwa umpan
lemuru mendapatkan hook rate tertinggi sebesar 0,3/100 mata pancing. Nilai ini
tiga kali lipat daripada menggunakan kombinasi umpan bandeng-cumi-layanglemuru dan bandeng-layang-lemuru yang hanya memperoleh hook rate sekitar
0,1/100 mata pancing (Gambar 2).
0.4
n = 1313
0.3
0.2
a
b
c
d
c
d
a
b
b
c
d
d
a
b
c
a
0.1
0
Umpan
Gambar 2. Hook rate (hasil tangkapan/100 mata pancing) tuna mata besar (T.
obesus) dengan beberapa umpan yang berbeda.
Tujuan operasi penangkapan ikan dalam perikanan rawai tuna adalah
mengusahakan bagaimana ikan target memakan umpan yang ditebar. Oleh karena
itu, penggunaan umpan yang tepat merupakan salah satu aspek penting dalam
kesuksesan operasi penangkapan pada kapal rawai tuna. Beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam memilih umpan adalah kualitas umpan, ukuran sesuai untuk
dimakan oleh ikan target, memiliki bau untuk menarik perhatian ikan target dan
ketahanan pada saat dipasang pada mata pancing (Gil, 2005).
Penelitian ini menunjukkan bahwa lemuru merupakan umpan yang paling
efektif digunakan untuk menangkap tuna mata besar. Kelompok tuna dapat
melihat mangsanya dari jarak jauh bisa melihat mangsanya. Umpan lemuru yang
digunakan dalam operasi rawai tuna telah memenuhi persyaratan sebagai umpan
rawai tuna, yaitu mempunyai warna sisik mengkilap di dalam air, tidak cepat
busuk, memiliki rangka tulang yang kuat, bentuk badan memanjang dan dalam
keadaan segar (Djatikusumo, 1975).
Hasil ini berbeda dari hasil penelitian yang dilakukan Barata et al. (2011)
dimana dari penelitian tersebut diketahui bahwa umpan cumi merupakan umpan
yang efektif untuk menangkap tuna dengan alat tangkap rawai tuna di Samudera
Hindia. Perbedaan ini kemungkinan karena penggunaan metode yang berbeda.
224
KESIMPULAN
Penggunaan ikan lemuru (S. lemuru) sebagai umpan dalam operasi rawai
tuna menunjukkan hasil yang paling tinggi daripada umpan lainnya. Nelayan
kapal rawai tuna di Samudera Hindia disarankan menggunakan ikan lemuru
sebagai umpan untuk meningkatkan hasil tangkapan tuna mata besar (T. obesus).
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini dibiayai dari kerjasama Pusat Penelitian Pengelolaan
Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan (P4KSI) dengan Australian Centre
for International Agricultural Research (ACIAR) pada tahun 2005-2009, DIPA
kegiatan riset Balai Penelitian Perikanan Laut (BPPL) pada tahun 2010-2011 dan
DIPA kegiatan riset Loka Penelitian Perikanan Tuna (LPPT) pada tahun 20122013. Peneliti mengucapkan terima kasih kepada para pemantau ilmiah di Loka
Penelitian Perikanan Tuna (LPPT) Benoa yang telah membantu dalam proses
pengumpulan data penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Barata, A., A. Bahtiar & H. Hartaty. 2011. Pengaruh Perbedaan Umpan Dan
Waktu Setting Rawai Tuna Terhadap Hasil Tangkapan Tuna Di
Samudera Hindia. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 17(2): 133138.
Collete, H.B. & C.E. Nauen. 1983. FAO species catalogue. Vol. 2. Scombrids of
the world.An Annonated and illustrated catalogue of tunas, mackerels,
bonitos, and related species known to date. FAO Fisheries Synopsis.No.
125, Vol. 2. Rome, Italy: FAO Press, 137 pp.
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap .2012. Statistik Perikanan Tangkap
Indonesia 2011. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian
Kelautan dan Perikanan, Jakarta, Indonesia.190 pp.
Djatikusumo, E. W. 1975. Biologi Ikan Ekonomis Penting. Akademi Usaha
Perikanan. Jakarta.
Gil, J.C. 2005. Longline fisheries with special emphasis on bait size and fisheries
in DPR of Korea. Final Report of UNU-Fisheries Training Programme,
Reykjavik, Islandia. 37 pp.
Klawe, W.L. 1980. Long lines catches of tunas within the 200 miles Economic
zones of the Indian and Western Pacific Ocean. Dev. Rep. Indian Ocean
Prog. 48:83 pp.
225
Uktolseja J.C.B., B. Gafa & S. Bahar. 1991. Potensi dan penyebaran sumber daya
ikan tuna dan cakalang. Dalam: Martosubroto P., N. Naamin, B.B.A.
Malik (eds.). Potensi dan Penyebaran Sumber daya Ikan Laut di
Perairan Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Oseanologi. Jakarta. 29-43 pp.
226
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap IPB ke-6
Halaman: 227-234
ISBN 978-979-1225-34-2
POSISI BEBAN DAN SUDUT JATUH BALING-BALING,
PENGARUHNYA TERHADAP TAHANAN GERAK
DAN KECEPATAN PERAHU KATIR DI PALABUHANRATU
Budhi H. Iskandar1*, Y. Novita1, N. Firnasari2, GA. Saksono2, R. Hadi2
1
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan FPIK IPB Bogor
Alumni Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan FPIK IPB Bogor
*Korespondensi: [email protected]
2
ABSTRACT
Outrigger boat is small-scale fishing boats were predominantly used by fishermen
in Palabuhanratu. The use of outrigger as a tool for restraining roll/rolling
during fishing operation. This study was aimed to examine the variation of the
load position and angle of attack of long-shaft propeller in the water towards
resistance and speed. The study was conducted experimentally. A model scale of
outrigger boat was used to obtain the resistance value by variations in the load
positions, and a full scale outrigger boat was used to obtain the angle of attack of
long shaft propeller in the water that produce maximum speed. The results
showed that the position of the load on the stern produces the smallest resistance,
and the angle of attack of the propeller shaft between 25o - 28o provide maximum
speed.
Keywords: angle of attack, outrigger boat, propeller shaft, resistance.
ABSTRAK
Perahu katir merupakan perahu nelayan skala kecil yang dominan digunakan oleh
nelayan di Palabuhanratu. Perahu ini menggunakan katir sebagai alat untuk
menahan gerak oleng/rolling perahu selama melakukan operasi penangkapan ikan.
Penelitian ini bertujuan untuk menelaah variasi posisi beban dan sudut jatuh
baling-baling pada perahu katir terhadap nilai tahanan gerak dan kecepatannya.
Penelitian dilakukan secara eksperimental. Perahu katir model digunakan untuk
mendapatkan nilai tahanan gerak akibat variasi posisi beban, dan perahu katir
ukuran sebenarnya digunakan untuk mendapatkan sudut jatuh baling-baling yang
menghasilkan kecepatan maksimum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa posisi
beban di buritan menghasilkan tahanan gerak terkecil, dan sudut jatuh poros
baling-baling antara 25o – 28o memberikan kecepatan maksimum.
Kata kunci: sudut jatuh, perahu katir, poros baling-baling, tahanan gerak
227
PENDAHULUAN
Palabuhanratu sejak lama sudah dikenal sebagai salah satu senra perikanan
tangkap di Indonesia, khususnya di Jawa Barat. Hasil tangkapan dari perairan
Palabuhanratu didaratkan di PPN Palabuhanratu sebelum didistribusikan ke
daerah lain atau langsung ke konsumen.
Berbagai jenis kapal penangkap ikan digunakan oleh nelayan di
Palabuhanratu dalam operasi penangkapan ikan. Salah satu jenis kapal di
Palabuhanratu adalah kapal katir atau yang kerap disebut sebagai perahu katir.
Perahu ini diawaki oleh satu orang nelayan, dengan alat tangkap pancing. Pola
operasi penangkapan ikan hanya satu hari (one day fshing). Tenaga penggerak
yang digunakan adalah motor serbaguna berkekuatan mesin 5,5 PK yang
dilengkapi dengan as panjang dan baling-baling (propeller). Pemilihan jenis
perahu ini sebagai obyek penelitian dikarenakan jumlahnya yang mendominasi
diantara kapal penangkap ikan di Palabuhanratu.
Pada penelitian ini, distribusi beban dan kecepatan perahu menjadi aspek
yang diamati. Berdasarkan kenyataan di lapangan, nelayan meletakkan beban
tidak selalu di bagian buritan namun cenderung di area kosong yang tersedia di
perahu. Fakta lain menunjukkan bahwa nelayan juga menggunakan berbagai
macam sudut jatuh baling-baling pada masing-masing perahunya. Secara teoritis,
kedua hal tersebut berpengaruh terhadap nilai tahanan gerak (resistance) perahu
bergerak. Bila kombinasi keduanya (posisi beban dan sudut jatuh baling-baling)
dapat menghasilkan tahanan gerak yang minimum maka perahu dapat melaju
dengan kecepatan yang optimal dan penggunaan bahan bakar juga lebih efisien.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan nilai tahanan gerak
dengan variasi posisi beban, dan mendapatkan sudut jatuh poros baling-baling
yang memberikan kecepatan terbaik.
METODOLOGI
Penelitian dilakukan dengan metode ekperimental di Laboratorium
Kapal dan Transportasi Perikanan FPK IPB, dan di lapangan di Kolam PPN
Palabuhanratu, Jawab Barat. Eksperimental di laboratorium dilakukan untuk
mendapatkan nilai tahanan gerak perahu akibat variasi posisi beban. Perahu
model dibuat untuk kepentingan ini kemudian dilakukan uji tarik di kolam yang
ada di FPIK IPB. Eksperimental di lapangan dilakukan untuk mendapatkan
sudut jatuh baling-baling yang menghasilkan kecepatan perahu terbaik. Pada
eksperimental ini digunakan salah satu perahu katir di Palabuhanratu sebagai
sampel, dengan pertimbangan dimensi dan cara nelayan memposisikan as
baling-baling cenderung seragam sehingga contoh tersebut dapat mewakili.
Tabel 1 menampilkan dimensi perahu model dan perahu skala penuh
yang digunakan dalam pnelitian ini. Gambar 1 menampilkan rencana garis dan
228
perahu model yang dibuat dan digunakan dalam penelitian ini. Gambar 2
menampilkan perahu katir yan digunakan untuk eksperimental di lapangan.
Gambar 3 menampilkan posisi beban pada saat ekperimen dilakukan. Gambar
4 menampilkan desain ekperimen pengabilan data kecepatan perahu katir di
kolam percobaan, dan Gambar 5 menampilkan lokasi dan cara pengambilan data
kecepatan perahu katir pada sudut jatuh baling-baling yang berbeda di kolam PPN
Palabuhanratu.
Tabel 1. Dimensi perahu model dan perahu skala penuh
Parameter
Model Perahu Katir
LOA (m)
0,55
Lpp (m)
0,514
B (m)
0,065
D (m)
0,067
d (m)
0,032
Massa (kg)
0,6
Skala
1:10
Perahu Katir
5,5
5,14
0,65
0,67
0,32
Gambar 1. Rencana garis (lines plan) dan perahu katir model
229
Gambar 2. Perahu katir yang digunakan dalam ekperimen
Gambar 3. Posisi beban di perahu katir model saat ekperimental dan pengukuran
permukaan basah badan perahu katir model
230
Gambar 4.
Desain pengambilan data kecepatan perahu katir model di kolam
percobaan
Gambar 5. Lokasi dan cara pengambilan data kecepatan perahu katir pada sudut
jatuh baling-baling yang berbeda
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 6 di bawah ini menunjukkan hubungan kecepatan dengan tahanan
gerak pada putaran dinamo (RPM) yang berbeda pada perahu katir model non
231
beban, beban di buritan, di tengah dan di haluan. Putaran dinamo (RPM) yang
dimaksud disini adalah jumlah putaran per-menit dari dinamo yang digunakan
untuk menarik perahu katir model di kolam percobaan.
Nilai tahanan gerak (R) dan kecepatan yang ditunjukkan pada Gambar 6
merupakan hasil pengolahan data dari eksperimen yang dilakukan di kolam
percobaan. Hasil olah data ini menunjukkan bahwa nilai tahanan terbesar dicapai
pada kecepatan saat kecepaan tertinggi, hubungan keduanya berbanding lurus.
Nilai terbesar hingga terkecil dari tahanan gerak secara berturut-turut adalah
posisi beban di tengah (0,14 – 0,18 N), non beban (0,12 – 0,15 N), beban di
haluan (0,12 – 0,13 N), dan terkecil beban di buritan (0,09 – 0,1 N).
Non beban
Beban di buritan
Beban di tengah
Beban di haluan
Gambar 6. Hubungan antara kecepatan perahu katir model terhadap variasi posisi
beban saat dilakukan ekperimen di kolam percobaan
Hasil tersebut menunjukkan bahwa nilai tahanan gerak dipengaruhi oleh
besarnya badan perahu yang terendam di dalam air yang dipresentasikan oleh nilai
luas area permukaan basah (WSA: wetted surface area) badan perahu. Posisi
beban di tengah memiliki tahann gerak tertinggi karena dengan posisi beban
seperti ini badan perahu yang terendam lebih dalam sehingga WSA semakin
besar. Posisi beban di tengah membuat perahu berada dalam keaadaan terendam
dengan tinggi draft haluan dan buritan relatif sama (even keel). Posisi non beban
232
juga membuat perahu even keel, namun dengan tidak adanya beban maka baadn
perahu yang terendam menjadi lebih sedikit dibandingkan dengan adanya beban
di tengah. Posisi beban di haluan memberikan nilai tahanan gerak berada pada
rentang posisi beban di tengah. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun nilai
WSA-nya lebih kecil dibandingkan beban di tengah namun posisi badan kapal
yang menukik menyebabkan nilai tahanan gerak cukup besar saat perahu
digerakkan karena perahu cenderung mengarah ke dalam air sehingga terjadi
peningkatan WSA saat perahu bergerak. Posisi beban di buritan memberikan nlai
tahanan gerak terkecil, karena dengan semakin cepatnya perahu begerak WSA
semakin berkurang yang berimplikasi kepada penurunan tahanan gerak yang
dihasilkan.
Nilai rata-rata penurunan tahanan gerak dari tertinggi hingga terendah
sebesar 0,065 N atau 40,6 %. Hasil ini menunjukkan penempatan beban yang
tepat akan menghasilkan tahanan gerak yang minimum. Pada kasus ini bila beban
diletakkan di tengah memberikan nilai tahahan sekitar 40,6 % lebih tinggi
dibandingkan beban di buritan. Bila perahu bergerak dengan tahanan gerak yang
minimum maka kecepatan yang dicapai dapat lebih tinggi pada tenaga penggerak
yang sama. Hal ini juga berimplikasi pada konsumsi bahan bakar yang lebih
hemat.
Gambar 7 menampilkan grafik hubungan sudut jatuh poros baling-baling
terhadap kecepatan perahu katir saat ekperimen dilakukan. Eksperimen ini
dilakukan di kolam PPN Palabuhanratu. Pemilihan kolam pelabuhan ditujukan
agar eksperimen dapat dilakukan pada kondisi air tenang, tanpa arus dan
gelombang, sehingga kondisi ini mendekati ekperimen yang dilakukan di kolam
percobaan dengan perahu katir model dimana pada kolam percobaan juga tidak
berarus dan tidak bergelombang.
Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa sudut jatuh poros
baling-baling yang digunakan nelayan adalah 16, 21, 25, 28, dan 30o, yang
memberikan nilai kecepatan perahu masing-masing sebesar 1,41; 4,08; 4,44;
4,45; dan 4,42 knot. Diantara sudut-sudut tersebut, pada sudut antara 25 – 28o
memberikan kecepatan tertinggi.
Hubungan matematis antara sudut jatuh poros baling-baling terhadap
kecepatan perahu katir dapat dijelaskan dengan persamaan polynomial seperti
yang disampaikan pada Gambar 7. Persamaan polynomial tersebut menunjukkan
hal yang sama dengan hasil pengukuran di lapangan dimana nilai tertinggi
kecepatan dicapai antara sudut 25 – 28o, yang lebih tepatnya berada pada sudut
26o yang memberikan kecepatan sebesar 4,6 knot. Kecepatan ini merupakan
kecepatan perahu katir pada kondisi perairan tidak berarus dan tidak
bergelombang.
233
Gambar 7.
Hubungan sudut jatuh poros baling-baling terhadap kecepatan
perahu katir saat ekperimen dilakukan
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:
1) Posisi beban di buritan memberikan nilai tahanan gerak terkecil; dan
2) Sudut jatuh poros baling-baling 26o memberikan nilai kecepatan tertinggi.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terimakasih disampaikan kepada:Departemen BDP FPIK IPB
yang telah membrikan ijin untuk penggunaan kolam percobaannya, dan PPN
Palabuhanratu yang telah memberikan ijin penggunaan kolamnya selama
penelitian ini. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada nelayan perahu katir
yang telah bekerjasama dengan baik selama penelitian ini dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Fyson, J. 1985. Design of Small Fishing Vessels. Fishing News Book Ltd.
Farnham, Surrey, England
Iskandar, B.H. dan Pujiati S. 1995. Keragaan Teknis Kapal Perikanan di
Beberapa wilayah Indonesia. Institut Pertanian Bogor- Pemanfataan
Sumberdaya Perikanan. Bogor
Muckle W. 1975. Naval architecture for merine engineer. London : NewnesButterworth.
Nomura, M. and Yamazaki, T. 1977. Fishing Techniques I. Japan International
Cooperation Agency. Tokyo
Soenarta, N. 1985. Motor Serba Guna. Paradya Paramita. Jakarta.
Novita, Y dan Budhi, H.I. Hubungan antara Bentuk Kasko Model Kapal Ikan
dengan Tahanan Gerak (Relationship between Hull Form of Fising Vessel
Model and Its Resistance). Bulletin PSP Volume XVII. No. 3, Desember
2008. ISSN 0251-286X.
Walpole. 1990. Pengantar Statistika. Jakarta
234
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap IPB ke-6
Halaman: 235-240
ISBN 978-979-1225-34-2
SEBARAN PANJANG DAN HUBUNGAN PANJANG BERAT TUNA
MATA BESAR (THUNNUS OBESUS) YANG DIDARATKAN
DI PELABUHAN BENOA, BALI
Irwan Jatmiko1, Bram Setyadji1, Rani Ekawaty2
1
Loka Penelitian Perikanan Tuna, Denpasar, Bali.
Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana, Denpasar, Bali.
2
ABSTRACT
Bigeye tuna (Thunnus obesus) is one of the economically catches for the fishing
industry in Indonesia. One of the aspects of biology that useful for fisheries
management is information about length frequency and length weight relationship
of fish species. This study aims to determine the length frequency distribution and
length weight relationship of bigeye tuna. Length and weight data of bigeye tuna
collected at Benoa harbor, Bali from January to December 2014. Data were then
analyzed the length distribution and length weight relationship. The results
indicated that length of bigeye tuna ranging between 71-197 cm, with an average
of 124.93 cm. The highest average length occured in November while the lowest
in July. Length weight relationship showed the value of a = 0.00002 and the value
of b = 2.9717. T-test results b values indicated that the growth pattern of bigeye
tuna was allometric negative. It means that the length of bigeye tuna rose faster
than its weight. Information about biological aspect was expected to be the basis
for fisheries management of bigeye tuna in the Indian Ocean.
Keywords: negative allometric, length weight relationship, length frequency, ttest
ABSTRAK
Tuna mata besar (Thunnus obesus) merupakan salah satu hasil tangkapan
ekonomis bagi industri perikanan di Indonesia. Salah satu aspek biologi yang
berguna untuk pengelolaan perikanan adalah informasi tentang sebaran panjang
dan hubungan panjang berat ikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
sebaran panjang dan hubungan panjang berat tuna mata besar. Data panjang dan
berat ikan tuna mata besar dikumpulkan di Pelabuhan Benoa, Bali dari bulan
Januari hingga Desember 2014. Data yang diperoleh dianalisis sebaran panjang
dan hubungan panjang beratnya. Hasil penelitian ini menunjukkan panjang ikan
tuna berkisar antara 71-197 cm, dengan rata-rata 124,93 cm. Rata-rata panjang
tertinggi terjadi pada bulan November sedangkan terendah pada bulan Juli.
Hubungan panjang berat menunjukkan nilai a=0,00002 dan nilai b=2,9717. Hasil
uji-t nilai b menunjukkan bahwa pola pertumbuhan tuna mata besar bersifat
235
allometrik negatif. Hal ini berarti pertambahan panjang tuna mata besar lebih
cepat daripada pertambahan beratnya. Informasi aspek biologi ini diharapkan
dapat menjadi dasar dalam pengelolaan perikanan tuna mata besar di Samudera
Hindia.
Kata kunci: allometrik negatif, hubungan panjang berat, sebaran panjang, uji-t
PENDAHULUAN
Tuna adalah salah satu komoditas ekspor yang penting di Indonesia
dengan total produksi mencapai 1,297 ton dari tahun 2004 sampai 2011. Tuna
mata besar adalah persentase tertinggi dengan 24% di bawah tuna sirip kuning
sebesar 69% dari total produksi ikan tuna (DJPT, 2012). Tuna mata besar
(Thunnus obesus) adalah spesies yang beruaya dengan distribusi di perairan tropis
dan sub tropis. Spesies ini dapat ditemukan di Samudera Atlantik, Samudera
Hindia dan Samudera Pasifik (Collette & Nauen, 1983). Di Indonesia, distribusi
spesies ini menyebar dari barat dan selatan Sumatera; selatan Jawa, Bali dan Nusa
Tenggara; Banda dan Laut Sulawesi; dan barat perairan Papua (Uktolseja et al.,
1991).
Studi hubungan panjang-berat adalah salah satu hal penting untuk
mendukung pengelolaan perikanan. Informasi ini dapat memperkirakan berat ratarata dari panjang ikan yang kemudian dapat digunakan untuk memperkirakan
biomassa populasi ikan (Froese, 2006). Selanjutnya, hubungan panjang-berat dan
studi faktor kondisi yang diterapkan untuk mendukung pendugaan stok dari
populasi ikan (Ricker, 1979) dan juga berguna untuk memahami alur hidup
termasuk aspek reproduksi dan faktor kondisi dari spesies ikan (Pauly, 1993).
Salah satu lokasi pendaratan tuna yang penting di Indonesia terletak di
Pelabuhan Benoa, Bali. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sebaran
panjang dan hubungan panjang berat tuna mata besar (T. obesus) yang didaratkan
di Pelabuhan Benoa, Bali. Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan dasar
informasi biologi tuna mata besar untuk mendukung pengelolaan perikanan yang
berkelanjutan.
METODOLOGI
Pengumpulan data dilakukan dengan mengukur panjang dan berat tuna
mata besar di Pelabuhan Benoa dari bulan Januari hingga Desember 2014.
Pengukuran panjang dilakukan dengan menggunakan kaliper yang memiliki
ketelitian sampai 1 cm. Sedangkan berat ditimbang dengan timbangan dengan
ketelitian 1 kg. Data yang dikumpulkan kemudian dianalisis untuk mengetahui
sebaran panjang dan hubungan panjang beratnya.
236
Analisis hubungan panjang berat tuna mata besar menggunakan rumus Bal
& Rao (1984), yaitu:
W=a Lb
Dimana:
W
= berat ikan (kg)
L
= panjang ikan (cmFL)
a dan b = konstanta
Nilai b digunakan sebagai penduga tingkat kedekatan hubungan antara
panjang dan berat dengan hukum kubik:
1) Nilai b=3, merupakan hubungan yang isometrik (pertambahan berat seimbang
dengan pertambahan panjang pangkat tiga, atau dengan kata lain mengikuti
hukum kubik).
2) Nilai b>3, merupakan hubungan alometrik positif (pertambahan berat lebih
besar dari pertambahan panjang pangkat tiga).
3) Nilai b<3, merupakan hubungan alometrik negatif (pertambahan berat lebih
kecil dari pertambahan panjang pangkat tiga).
HASIL DAN BAHASAN
Tercatat sebanyak 5.835 tuna mata besar dicatat panjang dan beratnya.
Dari hasil pengukuran tersebut diketahui bahwa tuna mata besar mempunyai
sebaran panjang 71 – 197 cm, dengan rata-rata 124,93 cm dan modus pada
panjang 120 cmFL (Gambar 2). Dari ukuran panjang yang diperoleh, diketahui
sebesar 82,42% memlili panjang di atas 110 cm. Nilai ini merupakan panjang
pertama kali matang gonad tuna mata besar (IOTC, 2013; Zhu et al., 2011). Hal
ini berarti 82,42% dari total hasil tangkapan ikan tuna mata besar diindikasikan
telah melakukan pemijahan sebelum ditangkap. Rata-rata panjang tertinggi terjadi
pada bulan November yaitu 136,48 cm sedangkan panjang terendah terjadi pada
bulan Juli yaitu 109,34 cm (Gambar 3).
Analisis hubungan panjang berat diperoleh hasil W=0,00002 FL2,9717
dengan koefisien determinasi (R2) 0,9652. Hal ini menunjukkan bahwa panjang
cagak dapat mengestimasi berat tuna mata besar dengan tingkat keakuratan
sebesar 96,52%. Hasil uji-t nilai b menunjukkan bahwa pola pertumbuhan tuna
mata besar bersifat allometrik negative (b<3). Hal ini berarti pertambahan panjang
tuna mata besar lebih cepat daripada pertambahan beratnya.
Hubungan panjang berat penelitian ini menunjukkan bahwa nilai a
memiliki pengaruh yang sangat kecil dibandingkan dengan nilai b karena nilainya
sangat kecil yaitu 0,00002. Nilai a pada penelitian ini nilainya hampir sama
dengan tuna mata besar yang berada di Samudera Atlantik dan Pasifik. Hasil yang
berbeda ditunjukkan pada nilai b dengan nilai sebesar 2,9717. Nilai b ini lebih
kecil dari pada yang terdapat pada tuna mata besar di Samudera Atlantik sebesar
2,9969 dan Samudera Pasifik sebesar 3,0427 (Zhu et al., 2010). Perbedaan nilai b
237
ini kemungkinan disebabkan oleh ketersediaan sumber makanan dan kondisi
lingkungan yang berbeda (Froese, 2006). Informasi tentang hubungan panjang
berat ini dapat dijadikan informasi dasar dalam pengelolaan perikanan seperti
penghitungan biomassa populasi ikan (King, 2007).
600
n=5835
Frekuensi
500
400
300
200
100
200
190
180
170
160
150
140
130
120
110
100
90
80
70
0
Panjang cagak (cm)
Gambar 2. Frekuensi panjang tuna mata besar (T. obesus) yang didaratkan di
Pelabuhan Benoa, Bali. Nilai pada sumbu x merupakan batas atas
panjang cagak dengan interval 5 cm. Garis putus-putus merupakan
panjang pertama kali matang gonad (Lm) 110 cm (IOTC, 2013; Zhu
et al., 2011).
Panjang cagak (cm)
160
n=5835
140
120
100
80
60
40
20
Des
Nov
Okt
Sep
Agu
Jul
Jun
Mei
Apr
Mar
Feb
Jan
0
Bulan
Gambar 3. Panjang cagak rata-rata (cm) per bulan tuna mata besar (T. obesus).
238
160
n=5835
y = 0.00002x2.97171
R² = 0.96519
140
Berat (kg)
120
100
80
60
40
20
0
40
60
80
100
120
140
160
180
200
Panjang cagak (cm)
Gambar 3. Hubungan panjang berat tuna mata besar (T. obesus) yang didaratkan
di Pelabuhan Benoa, Bali.
KESIMPULAN
Sebanyak 82,42% dari total hasil tangkapan ikan tuna mata besar yang
didaratkan di Pelabuhan Benoa diindikasikan telah melakukan pemijahan sebelum
ditangkap. Pola pertumbuhan tuna mata besar bersifat allometrik negatif yang
berarti pertambahan panjang lebih cepat daripada pertambahan beratnya.
SARAN
Informasi tentang hubungan panjang berat ini dapat dijadikan informasi
dasar dalam pengelolaan perikanan seperti penghitungan biomassa populasi ikan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini dibiayai dari DIPA kegiatan riset Loka Penelitian Perikanan
Tuna (LPPT) pada tahun 2014. Peneliti mengucapkan terima kasih kepada para
enumerator di Loka Penelitian Perikanan Tuna (LPPT) Benoa yang telah
membantu dalam proses pengumpulan data penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Collete, H.B. & C.E. Nauen. 1983. FAO species catalogue. Vol. 2. Scombrids of
the world.An Annonated and illustrated catalogue of tunas, mackerels,
bonitos, and related species known to date. FAO Fisheries Synopsis.No.
125, Vol. 2. Rome, Italy: FAO Press, 137 pp.
239
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap .2012. Statistik Perikanan Tangkap
Indonesia 2011. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian
Kelautan dan Perikanan, Jakarta, Indonesia.190 pp.
Froese, R. 2006. Cube law, condition factor and weight–length relationships:
history, meta-analysis and recommendations. Journal of Applied
Ichthyology.22: 241–253.
Indian Ocean Tuna Commission. 2013. Report of the Fifteenth Session of the
IOTC Working Party on Tropical Tunas. San Sebastian, Spain, 23–28
October 2013. 93 pp.
King, M. 2007. Fisheries Biology, Assessment and Management, Second Edition.
Blackwell Publising Ltd. Oxford, England.381 pp.
Pauly, D. 1993. Fishbyte Section Editorial. Naga, the ICLARM Quarterly. 16: 22
pp.
Ricker, W.E. 1979.Growth rate and models.In: Fish physiology, vol. III.
Bioenergetics and growth. Hoar, W.S., D.J. Randall & J.R. Brett (eds.).
Academic Press, p 677-743.
Uktolseja J.C.B., B. Gafa & S. Bahar. 1991. Potensi dan penyebaran sumber daya
ikan tuna dan cakalang. Dalam: Martosubroto P., N. Naamin, B.B.A.
Malik (eds.). Potensi dan Penyebaran Sumber daya Ikan Laut di
Perairan Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Oseanologi. Jakarta. 29-43 pp.
Zhu, G.P., X.J. Dai, L.M. Song & L.X. Xu. 2011. Size at Sexual Maturity of
Bigeye Tuna Thunnus obesus (Perciformes: scombridae) in the Tropical
Waters: a Comparative Analysis. Turkish Journal of Fisheries and
Aquatic Sciences, 11: 149-156.
Zhu, G.P., L.X. Xu, Y.Q. Zhou, L.M. Song and X.J. Dai. 2010. Length-weight
relationships for bigeye tuna (Thunnus obesus), yellowfin tuna (Thunnus
albacares) and albacore (Thunnus alalunga) (Perciformes: Scombrinae)
in the Atlantic, Indian and Eastern Pacific Oceans. Collect. Vol. Sci. Pap.
ICCAT, 65(2): 717-724.
240
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap IPB ke-6
Halaman: 241-258
ISBN 978-979-1225-34-2
PERIKANAN KEKERANGAN DI PANTAI UTARA JAWA
Karsono Wagiyo1, Prihatiningsih1, Tri Wahyu Budiarti1
1
Balai Penelitian Perikanan Laut
E-mail: [email protected]
ABSTRACT
Shellfish is an exotic biota, have economic and nutritional value and taste. Oyster
are sedentary, so easily exploited by the people. Utilization of ongoing intensive,
especially in densely populated areas like the North Coast of Java. The research
done by fishing experimental with scratching shells to determine the resources
stock and observation to determine aspect of fisheries.Results obtained; Biomass
Anadara granosa in Serang 440.24 gr/1000 m², higher than in the waters of
Subang 164.33 gr/1000 m², and Pemalang 18.58 gr/1000 m². Biomass Scapharca
cornea was the highest in Subang 817.73 gr/1000 m², followed in Pemalang
614.11 gr/1000m² and the lowest in Serang 130.67 gr/1000 m². Anadara granosa
density in Serang 72 ind/1000 m², higher than in Subang 26 ind/1000 m², and
Pemalang 3 ind/1000 m². The highest density of Scapharca cornea in the
Pemalang 41.31 ind/1000 m², followed on Subang 38 ind/1000 m², and the lowest
in Serang 13 ind/1000 m². The composition of Shellfish; in Serang is dominated
by Anadara granosa, in Subang and Pemalang dominated by Scapharca cornea.
Catching shellfish in the North Coast of Java using the main tool in the form of
scratching. Scratch is a tool which is prone to adaptation and modification. Catch
rate of scratching in Serang, 14-16 kg/boat/hour, in Subang 20-40 kg/boat/hour,
and in Pemalang 60 kg/boat/hour. Arrest Season shellfish in Subang and
Pemalang October to January and in June-August in Serang, but there was
variation according to the condition of waters. Mode of high shell A. granosa in
Serang, 1.6 to 1.8 cm, in Subang and in Pemalang 1.8 to 2.0 cm. Condition index
of A. granosa are in Serang 27,27 and in Subang 26,23.
Keywords: biomass, shellfish, density, catch rate, North Coast of Java.
ABSTRAK
Kekerangan merupakan biota eksotik, mempunyai nilai ekonomis dan gizi serta
cita rasa tinggi. Kekerangan bersifat sedentary, sehingga mudah dimanfaatkan
oleh rakyat. Pemanfaatan berlangsung intensif, terutama di daerah padat
penduduk seperti Pantai Utara Jawa. Telah dilakukan uji coba penangkapan
kerang menggunakan garuk untuk mengetahui sediaan sumberdaya dan observasi
aspek perikanan. Hasil didapatkan; Biomasa Anadara granosa di Serang
440,24gr/1000 - 18,58 gr/1000 m². Biomassa Scapharca cornea tertinggi di
241
Perairan Subang 817,73 gr/1000 m², diikuti di Pemalang 614,11 gr/1000 m² dan
terendah di Serang 130,67 gr/1000 m². Kepadatan Anadara granosa di Serang 72
ind/1000 m², lebih tinggi dari Perairan Subang 26 ind/1000 m², dan Pemalang
3,02 ind/1000 m². Kepadatan Scapharca cornea tertinggi di Pemalang 41,31
ind/1000 m², diikuti di Perairan Subang 38 ind/1000 m², dan terendah di Serang
13 ind/1000 m². Komposisi kekerangan ; di Serang didominasi oleh Anadara
granosa, di Subang dan Pemalang didominasi oleh Scapharca cornea.
Penangkapan kekerangan di Pantai Utara Jawa menggunakan alat utama berupa
garuk. Garuk merupakan alat yang mudah mengalami adaptasi dan modifikasi.
Laju tangkap garuk di Serang 14-16 kg/perahu/jam, di Subang 20-40
kg/perahu/jam dan di Pemalang 60 kg/perahu/jam. Musim penangkapan kerang
di Subang dan Pemalang pada Oktober-Januari dan di Serang pada Juni-agustus,
tetapi terjadi variasi sesuai dengan kondisi perairan. Modus tinggi A. granosa di
Serang 1,6-1,8 cm, di Subang dan di Pemalang 1,8-2,0 cm. Indeks kondisi A.
granosa di Serang 27,27 dan di Subang 26,23.
Kata kunci: biomasa, kekerangan, kepadatan, laju tangkap, Pantai Utara Jawa
PENDAHULUAN
Kekerangan merupakan biota eksotik, berguna sebagai sumber gizi yang
lezat dan bahan hiasan. Kekerangan merupakan kelompok biota yang mudah di
eksploitasi karena sifatnya sessile atau sedentary. Di beberapa lokasi di wilayah
Pantura pemanfaatannya sudah berlebih (Nurochman, 2012).
Jenis kekerangan ekonomis yang diusahakan secara intensif adalah kerang
darah Anadara granosa dan kerang bulu Scapharca cornea (Widyastuti, 2011). A.
granosa merupakan bivalva infauna pada habitat pasir berlumpur pada daerah
intertidal. Secara geografis tersebar di kedalaman perairan 1-20 m (PKSPL,
2004), kelimpahan maksium di kedalaman 2 m. Kerang darah merupakan
plankton feeder. Kerang darah mempunyai komposisi kimiawi; protein 9-13 %,
lemak 0-2 % dan glikogen 1-7% (Budiyanto et al.1990). Kerang darah di
habitatnya dapat mencapai ukuran panjang cangkang 5-6 cm dan lebar 4-5 cm.
Kerang darah bersifat hermaprodit dimorphisme (Afiati, N., 2007). Pada ukuran
kecil (< 3 cm panjang cangkang) pada umumnya mempunyai seks jantan, betina
mempunyai ukuran yang lebih besar. Kerang darah mampu beradaptasi dalam
lumpur karena mempunyai siphon yang panjang dan dapat bertahan hidup di darat
karena mempunyai pigmen haemoglobin.
Di Pantai Utara Jawa, eksploitasi kekerangan paling intensif dibandingkan
wilayah lain di Indonesia. Penangkapan berpengaruh pada kelimpahan dan
keseimbangan komposisi ukuran sumberdaya kekerangan. Pada pemanfaatan
berlebih, menyebabkan sediaan sumberdaya makin menipis dengan ukuran biota
kecil.
242
Sumberdaya kekerangan di Pantai Utara Jawa merupakan sumber mata
pencaharian dan gizi masyarakat yang keberadaannya perlu dilestarikan. Untuk
melestarikan sumberdaya diperlukan pengelolaan yang komprehensip dengan
berdasarkan data hasil penelitian. Pada penelitian ini bertujuan mengetahui
biomassa, kepadatan, komposisi tangkapan dan ukuran kekerangan terutama
kerang darah (Anadara granosa).
METODOLOGI
Penelitian dilakukan di daerah Serang, Subang dan Pemalang. Lokasi
pegambilan sampel di Serang meliputi Bajanegara, Teratai, Tonjong, Karangantu,
Cengkok dan Pulaudua. Di Subang meliputi Gangga, Blanakan, Ciasem,
Anggaranu, Legonwetan, Pengarengan, Cirewang dan Trungtum. Di Pemalang
meliputi Plawangan,Wirasa, Asemdoyong, Klarean, Comal Baru, Ketapang dan
Tasikrejo.
a
b
a
c
Gambar 1. Lokasi pengambilan kerang dengan garuk; a) Serang, b) Subang dan
c) Pemalang.
Pengambilan sampel dilakukan pada tahun 2010, masing-masing lokasi
pada saat musim dan tidak musim. Alat untuk mengambil kekerangan digunakan
garuk nelayan. Garuk ditarik pada kedalaman 1-2 m, 3-4 m, dan 5-6 m dengan
kecepatan 2 knots dalam waktu 10 menit. Bukaan mulut garuk, panjang 1,5 m dan
lebar 0,35 m.
Analisa sampel meliputi parameter perairan dan identifikasi jenis
kekerangan. Indentifikasi kekerangan dengan buku panduan Habe & Kosuge
(1962), Abbot, & Dance (1982) dan Kastoro et al. (1982).
243
Pengolahan & analisis data dalam exsel meliputi, biomassa, kepadatan,
komposisi, indek musim, hubungan tinggi dengan berat dan indek kondisi kerang.
Biomassa dan kepadatan dihitung per satuan luas.
dan
Komposisi dihitung dengan persentase antara berat dari total individu satu jenis
dengan berat total individu seluruh jenis. Indek musim (IM) dihitung dengan cara,
.
t = jumlah tahun.
Indeks kondisi (IK) dihitung menurut Davenport & Chen (1987) dan
kriiteria kegemukan mengikuti Kristianti (2010) yaitu.
Kriteria kegemukan: kurus bila nilai IK < 40, sedang nilai IK 40-60 dan gemuk
nilai IK > 60.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Diskripsi Lokasi
Lokasi sampling di Serang (9 stasiun) dilakukan pada perairan sekitar
Teluk Banten. Lokasi memiliki pantai yang semi tertutup, berasosiasi dengan
padang lamun dan terumbu karang. Kondisi perairan di sekitar stasiun sampling
relatif dangkal, memiliki kecepatan arus lemah, salinitas mendekati sifat air laut,
pH basa, substrat lumpur berpasir dan kelimpahan plankton tinggi (Tabel 1).
Lokasi sampling di Subang (9 stasiun) meliputi perairan sekitar Blanakan.
Lokasi merupakan pantai terbuka dasar perairan landai, berasosiasi dengan
mangrove. Kondisi perairan di sekitar stasiun sampling memiliki kecepatan arus
sedang, kecerahan rendah, pH mendekati netral, substrat pasir berlumpur dan
kandungan nitrat berlebih (Tabel 1).
Lokasi sampling di Pemalang (8 stasiun) meliputi perairan dari perbatasan
dengan Kabupaten Tegal dan sebelah Timur dengan Kabupaten Pekalongan.
Lokasi merupakan pantai terbuka, berasosiasi dengan mangrove. Kondisi perairan
memiliki kecepatan arus sedang, unsur hara rendah, pH asam, substrat lumpur
berpasir dan kelimpahan plankton rendah (Tabel 1).
244
Tabel 1. Hasil pengukuran parameter perairan
Lokasi
Serang
Depth
Kec.
arus
Tra
np
Suhu
D.O
Fosfat
Nitrat
Sal.
m
m/dt
m
◦C
ml/l
µgrat/l
µgrat/l
ppt
1,1
0,06
0,8
31,1
2,83
0,033
0,009
29,5
Fito.
Zoo.
Subtrat (%)
Sel/m3
Ind./m3
Dominan
7,5
10.346.342
512.231
Lumpur 69
270.215
Pasir 60
pH
Blanakan
1,7
0,11
0,4
29,5
2,57
0,017
0,016
28,2
7,3
1.543.233
Pemalang
4,1
0,16
1,3
30,6
3,10
0,003
0,008
26,7
6,5
911.538
178.129
Lumpur 69
Keterangan; Nilai parameter merupakan rata-rata dari pengukuran setiap stasiun sampling di
masing-masing lokasi
Biomassa
a. Serang
Sebaran biomassa kerang Anadara granosa (kerang darah), rata-rata
440,24 gr/1000 m², terkecil 21,09 gr/1000 m² di Bajanegara dan terbesar 858,07
gr/1000 m² di Karangantu. Sebaran biomassa kerang Scapharca cornea (kerang
bulu), rata-rata 130,67 gr/1000 m² terkecil 0 ind/1000 m² di Bajanegara dan
terbesar 371,57gr/1000 m² di Teratai. Sebaran biomassa Polimedosa bengalensis
(kerang tahu), rata-rata 181,15 gr./1000 m², terkecil 21,00 gr./1000 m² di Pulaudua
dan terbesar 942,04 gr/1000 m² di Bajanegara (Gambar 2).
A. granosa
S. cornea
P. bengalensis
Biomassa (gr/1000m²)
1000
900
800
700
600
500
400
300
200
100
0
Bojonegoro
Teratai
Tonjong
Karangantu
Cengkok
Pulaudua
Gambar 2. Grafik sebaran biomassa A. granosa dan S. cornea di Serang
b. Subang
Biomassa Anadara granosa rata-rata 164,33 gr/1000 m², ada 3 stasiun
tidak dijumpai (Ciasem, Legonwetan dan Cirewang) dan tertinggi 697,30 gr/1000
m² di Blanakan (Gambar 3). Biomassa Scapharca cornea 817,73 gr/1000 m², satu
stasiun tidak dijumpai yaitu di Cirewang dan tertinggi di Blanakan 3081,08
gr/1000 m².
245
Biomassa (gr/1000m³)
3500
Anadara granosa
3000
Scapharca cornea
2500
2000
1500
1000
500
0
Gangga
Blanakan
Ciasem
Anggaranu
Legonwetan
Pengarengan
Cirewang
Trungtum
Gambar 3. Grafik sebaran biomassa A. granosa dan S. cornea di Subang
Biomasa (gr/1000²)
c. Pemalang
Biomassa Anadara granosa rata-rata 18,58 gr/1000 m², terkecil 0 gr/1000
m² di Klarean dan tertinggi 72,97 gr/1000 m² di Wirasa (Gambar 4). Biomassa
Scapharca cornea 614,11 gr/1000 m², di 4 stasiun tidak dijumpai kerang bulu dan
tertinggi di Asemdoyong 3.228 gr/1000 m².
80
Anadara granosa
70
Scapharca cornea
60
50
40
30
20
10
0
Plawangan
Wirasa
Asemdoyong
Klarean
Comal Baru
Ketapang
Tasikrejo
Ket. Biomasa S. cornea di Wirasa dan Asemdoyong x 100
Gambar 4. Grafik sebaran biomassa A. granosa dan S. cornea di Pemalang
Biomassa diantara ketiga lokasi, tertinggi dijumpai di Serang, hal ini
disebabkan Lokasi sampling di Serang mempunyai kualitas air yang lebih baik
(Tabel 1). Habitat di Serang mempunyai karakteristik “downstream” yaitu
mendekati karakteristik air laut zona litoral bagian bawah. Nasution (2009)
menemukan kekerangan pada area downstream dari zona litoral memiliki ukuran
dan biomassa lebih besar. Broom (1982) menemukan biomassa optimum pada
daerah sub tidal. Dibandingkan dengan biomassa di Perairan Indragiri sebesar
142,05 gr/m2 (Nasution, 2009), biomassa kekerangan di Pantura sangat rendah.
Kepadatan
a. Serang
Kepadatan kerang Anadara granosa, rata-rata 72 ind./1000 m² terkecil 7
ind./1000 m² di Bajanegara dan terbesar 137 ind./1000 m² di Cengkok. Kepadatan
kerang Scapharca cornea, rata-rata 13 ind./1000 m² terkecil 0 ind./1000 m² di
Bajanegara dan terbesar 60 ind./1000 m² di Tonjong. Kepadatan kerang
246
Polimedosa bengalensis, rata-rata 17 ind./1000 m² terkecil 2 ind./1000 m² di
Teratai dan terbesar 82 ind./1000 m² di Bajanegara (Gambar 5).
Kepadatan (ind/1000m²)
160
A. granosa
S. cornea
P. bengalensis
140
120
100
80
60
40
20
0
Bojonegoro
Teratai
Tonjong
Karangantu
Cengkok
Pulaudua
Gambar 5.Grafik sebaran kepadatan A. granosa dan S. cornea di Serang
b. Subang
Kepadatan Anadara granosa rata-rata 26 ind./1000 m², dijumpai 3 stasiun
kepadatannya 0 ind./1000 m² dan tertinggi 138 ind./1000 m² di Blanakan
(Gambar 6). Kepadatan Scapharca cornea rata-rata 38 ind./1000 m², satu stasiun
(Cirewang) tidak dijumpai kerang bulu dan tertinggi di Blanakan 149 ind./1000
m².
Kepadatan
(ind/1000m³)
200
Anadara granosa
Scapharca cornea
150
100
50
0
Gangga
Blanakan
Ciasem
Anggaranu
Legonwetan Pengarengan
Cirewang
Trungtum
Gambar 6. Grafik sebaran kepadatan A.granosa dan S. cornea di Subang
c. Pemalang
Kepadatan Anadara granosa rata-rata 3 ind./1000 m², dijumpai 3 stasiun
kepadatannya 0 ind./1000 m² dan tertinggi 11 ind./1000 m² di Wirasa. Kepadatan
Scapharca cornea 41 ind./1000 m², ada 4 stasiun tidak dijumpai dan tertinggi di
Asemdoyong 228 ind./1000 m² (Gambar 7).
Kepadatan (ind/1000m²)
25
Anadara granosa
Scapharca cornea
20
15
10
5
0
Plawangan
Wirasa
Asemdoyong
Klarean
Comal Baru
Ketapang
Tasikrejo
Ket. Kepadatan S.cornea di Wirasa dan Asemdoyong x 10
Gambar 7. Grafik sebaran kepadatan A. granosa dan S. cornea di Pemalang
247
Kepadatan kerang A. granosa tertinggi di Serang, sedangkan S. cornea
tertinggi di Subang. Kepadatan yang berbeda antar lokasi disebabkan karena
perbedaan ketersediaan pakan/plankton dan tipe substrat pada kedua lokasi, di
Serang substrat berupa lumpur berpasir dan di Blanakan pasir berlumpur (Tabel
1). Penelitian Komala (2012) di Teluk Lada (Selat Sunda) menemukan kejadian
yang sama, kepadatan A. granosa lebih tinggi pada tipe substrat lumpur berpasir.
Kepadatan kekerangan hasil penelitian ini lebih rendah dari berbagai lokasi di
Indonesia (Tabel 2) dan lebih rendah dari berbagai tempat di Malaysia 33 ind./0,4
m2 (Broom, 1985). Jika dibandingkan dengan padat tebar optimum untuk
budidaya di Perairan Brebes sebesar 200-300 ind/m2 (Cholik et al. 2005 dalam
Atmaja, et al. 2014), kepadatan ini sangat rendah menunjukkan lebih tangkap.
Kondisi lebih tangkap pada wilayah Pantura ditunjukkan oleh hasil penelitian
Nurokhman (2012) di Perairan Bondet dan Perairan Mundu, Cirebon.
Tabel 2. Kepadatan kekerangan pada berbagai wilayah di Indonesia
Lokasi
Kepadatan
Author
2
Pulau Pisang, Padang
0,3-1,8 ind./m
Nurdin et al. (2006)
Pesisir Genuk, Semarang 657-2314 ind./ha
Prasojo et al. (2012)
2
Selayar, Sulawesi Selatan 15,25 ind./m
Litaay, et al. (2014 )
2
Belitung, Riau
13,62-61,6 ind./m
Akhrianti, et al. (2014)
Komposisi kekerangan
a. Serang
Di Perairan Serang (Teluk Banten) ditemukan 22 jenis kekerangan.
Komposisi pada seluruh lokasi sampling, di dominasi oleh Anadara granosa 39,5
%, Placuna placenta 14,9 %. dan Polimedosa bengalensis 12,9 %. Sebaran
komposisi A. granosa lebih besar di bagian tengah Teluk Banten. Komposisi
terkecil 1,4 % dijumpai di Bajanegara dan terbesar 73,7 % di jumpai di Pulau dua
(Tabel 3). Sebaran komposisi P. placenta pada masing-masing lokasi tidak merata
dan lebih besar di bagian barat Teluk Banten. Ada dua lokasi tidak jumpai P.
placenta yaitu di Karangantu dan Pulau Dua, dan terbesar di Tonjong 48,0 %.
Sebaran P. bengalensis terbesar di Bajanegara 61,4 %.
b. Subang
Di Perairan Subang (Blanakan) ditemukan 28 jenis kekerangan.
Komposisi di dominasi oleh Scapharca cornea 31,1 %, Anadara nodifer 18,7 %
dan Anadara granosa 8,8 % (Tabel 4). S. cornea lebih besar dijumpai dibagian
barat daripada dibagian timur Perairan Subang. Komposisi S.cornea terbesar di
Anggaranu (52,5 %), tidak dijumpai di Cirewang dan Trungtum. A. nodifer tidak
dijumpai di Anggaranu dan Legonwetan, terbesar dijumpai di Trungtum (74 %).
Komposisi A. granosa terbesar di Pengarengan (48,6 %) dan di Blanakan (16 %).
248
Ada tiga lokasi tidak ditemukan A. granosa yaitu di Ciasem, Legonwetan dan
Cirewang.
Tabel 3. Komposisi kekerangan di Serang
Bajanegara
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
Jenis
kekerangan
Anadara
Scapharca
granosa
Scapharca
cornea
Anadara
globosa
Anadara
antiquata
P.bengalensis
nodifera
Polimedosa
Chlamys sp
Perna viridis
Placuna
Placuna
placenta
Turritella
ephihippus
Terebra
terebra
Natica
dislocata
Natica
tigrina
Nassarius
stellata
Nassarius
livescens
Nassarius
acaularis
Nassarius
pygmaeus
Bucinum
zeuxis
Hemifusus
undatum
Lophiotoma
ternatatus
Jumlah
acuta
Berat
30
0,0
0,0
180
0,0
1340
510
0,0
0,0
105
0,0
0,77
0,0
7,22
0,0
4,35
5,03
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
2182,37
%
1,4
0,0
0,0
8,2
0,0
61,4
23,4
0,0
0,0
4,8
0,0
0,0
0,0
0,3
0,0
0,2
0,2
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
100
Teratai
Berat
950
1080
20
0,0
0,0
70
50
0,0
0,0
1340
0,0
0,0
0,0
30
0,0
30
0,0
0,0
0,0
25
40
15
3650
%
26,0
29,6
0,5
0,0
0,0
1,9
1,4
0,0
0,0
36,7
0,0
0,0
0,0
0,8
0,0
0,8
0,0
0,0
0,0
0,7
1,1
0,4
100
Tonjong
Berat
310
950
800
1150
0,0
150
5
0,0
9,35
3300
70
14,04
0,0
0,0
0,0
3,27
25
0,0
0,0
0,0
90
0,0
6876,66
%
4,5
13,8
11,6
16,7
0,0
2,2
0,1
0,0
0,1
48,0
1,0
0,2
0,0
0,0
0,0
0,0
0,4
0,0
0,0
0,0
1,3
0,0
100
Karangantu
Berat
1150
80
0,0
9,41
0,0
30
60
680
0,0
0,0
0,0
100
0,0
0,0
0,0
14,07
0,0
0,0
0,0
35,76
0,0
17,48
2176,72
%
52,8
3,7
0,0
0,4
0,0
1,4
2,8
31,2
0,0
0,0
0,0
4,6
0,0
0,0
0,0
0,6
0,0
0,0
0,0
1,6
0,0
0,8
100
Cengkok
Berat
1460
18,75
0,0
50
8,9
50
190
0,0
3,73
1,43
0,0
0,0
0,0
14,03
5,77
6,31
0,0
16,39
0,0
20
0,0
8,9
1854,21
%
78,7
1,0
0,0
2,7
0,5
2,7
10,2
0,0
0,2
0,1
0,0
0,0
0,0
0,8
0,3
0,3
0,0
0,9
0,0
1,1
0,0
0,5
100
Pulau dua
Berat
1075
7,32
0,0
70
0,0
110
100
0,0
0,0
0,0
0,0
15,14
2,57
0,0
4,21
9,88
0,0
24,27
17,65
20
0,0
1,7
1457,74
c. Pemalang
Di perairan Pemalang ditemukan 20 jenis kekerangan. Komposisi di
dominasi oleh Scapharca cornea 31,0 %, Hemifuscus ternateus 18,2 %, Anadara
nodifer 10,6 % (Tabel 5). Sebaran S. cornea lebih banyak dijumpai di bagian barat
perairan, di Asemdoyong (95,1 %) dan di Plawangan (76,9 %). Lokasi di bagian
timur perairan, mulai dari Klarean sampai dengan Tasikrejo tidak jumpai S.
cornea. H. ternateus dijumpai terbesar di Klarean (27,3 %) dan Ketapang (94,6
%), tidak dijumpai di Plawangan dan Tasikrejo.
Jenis yang dominan di Blanakan dan Pemalang sama disebabkan
mempunyai kesamaan tipe habitat yaitu pantainya terbuka dengan asosiasi
mangrove. Dominasi A. granosa di Serang disebabkan tipe pantai lebih tertutup
dengan asosiasi padang lamun. Akhrianti et al. (2014) dan Dody et al. (2000)
menemukan penyebaran setiap jenis kerang bersifat mengelompok berdasarkan
pada kecocokan habitat. Dominasi A. granosa di Serang selain karena tipe pantai
disebabkan juga oleh kualitas air yang memiliki kandungan fosfat yang cukup
tinggi dibandingkan lokasi lainnya (Tabel 1) dan salinitas yang relatif tidak
berfluktuasi.
249
%
73,7
0,5
0,0
4,8
0,0
7,5
6,9
0,0
0,0
0,0
0,0
1,0
0,2
0,0
0,3
0,7
0,0
1,7
1,2
1,4
0,0
0,1
100
Total
%
39,5
8,1
2,0
5,5
0,1
12,9
7,4
5,2
0,1
14,9
0,2
1,0
0,0
0,3
0,1
0,5
0,1
0,4
0,2
0,8
0,4
0,3
100
Tabel 4. Komposisi kekerangan di Subang Tabel 4. Komposisi kekerangan di Subang
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
Jenis kekerangan
T.subrugosum
Scapharca
globosa
Scapharca indica
Anadara granosa
Scapharca cornea
A.antiquata
Anadara nodifera
Anadara tranversa
P.bengalensis
Polimedosa
Perna viridis
Paphia undulata
Mactra coneata
Meretrix sp
Placuna placenta
P. ephihippus
Turritella terebra
Natica tigrina
Natica stellata
Nassariuslivescens
N. acaularis
N. pygmaeus
Nassarius zeuxis
Bucinum undatum
Lophiotoma acuta
L. leucotropis
L. notata
C. cingulata
Jumlah
Gangga
Berat
%
21,0
0,5
120,0
3,1
0,0
0,0
130,0
3,3
1610 41,2
104,1
2,7
460,0 11,8
6,3
0,2
90,0
2,3
0,0
0,0
20,0
0,5
10,0
0,3
0,0
0,0
0,0
0,0
1120,0 28,6
0,0
0,0
56,8
1,5
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
8,6
0,2
40,0
1,0
70,0
1,8
38,2
1,0
5,1
0,1
0,0
0,0
0,0
0,0
3910 100
Blanakan
Berat
%
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
430,0 16,0
1900 70,7
0,0
0,0
45,1
1,7
0,0
0,0
16,1
0,6
0,0
0,0
0,0
0,0
7,7
0,3
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
150,0
5,6
20,8
0,8
21,7
0,8
31,0
1,2
26,3
1,0
21,8
0,8
6,1
0,2
0,0
0,0
0,0
0,0
5,0
0,2
4,1
0,2
0,0
0,0
2685 100,
Ciasem
Berat
%
0,0
0,0
1,5
0,3
0,0
0,0
0,0
0,0
240 43,3
0,0
0,0
93,1 16,8
0,0
0,0
40,0
7,2
63,6 11,5
0,0
0,0
18,2
3,3
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
40,3
7,3
5,6
1,0
7,2
1,3
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
15,2
2,7
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
30,0
5,4
554,5 100
Anggaranu
Berat
%
0,0
0,0
60,0 11,3
0,0
0,0
7,3
1,4
280 52,5
2,7
0,5
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
60,0 11,3
0,0
0,0
0,0
0,0
50,0
9,4
60,0 11,3
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
13,0
2,4
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
533,0 100
Legonwetan
Berat
%
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
31,5 30,6
0,0
0,0
24,4 23,7
0,0
0,0
0,0
0,0
16,7 16,2
6,6
6,4
7,6
7,4
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
1,8
1,7
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
14,5 14,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
103,0 100
250
Pengarengan
Berat
%
0,0
0,0
10,0
2,2
0,0
0,0
219,5 48,6
47,4 10,5
34,1
7,5
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
15,0
3,3
0,0
0,0
4,0
0,9
19,7
4,4
0,0
0,0
0,0
0,0
3,2
0,7
0,0
0,0
0,0
0,0
5,9
1,3
0,0
0,0
8,9
2,0
6,8
1,5
27,5
6,1
50,0 11,1
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
451,8
100
Cirewang
Berat
%
0,0
0,0
4,5
9,5
0,0
0,0
0,0
0,0
0
0,0
0,0
0,0
10,4 21,8
0,0
0,0
0,0
0,0
7,4 15,5
0,0
0,0
16,5 34,7
0,0
0,0
0,0
0,0
4,5
9,5
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
4,3
8,9
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
47,6 100
Trungtum
Berat
%
24,3
2,1
0,0
0,0
23,9
2,1
15,2
1,3
0
0,0
0,0
0,0
850,0 74,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
2,4
0,2
0,0
0,0
0,0
0,0
220,0 19,2
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
7,6
0,7
0,0
0,0
0,0
0,0
5,0
0,4
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
1148 100
Total
%
0,3
3,3
0,3
8,8
31,1
1,3
18,7
0,0
1,3
5,8
0,9
5,8
0,5
2,4
6,2
0,1
1,8
1,6
1,8
0,1
0,4
0,4
3,0
3,0
0,2
0,0
0,0
0,7
100
Tabel 5. Komposisi kekerangan di Pemalang
Plawangan
No.
Wirasa
Asemdoyong
Berat
2
Jenis kekerangan
Scapharca
globosa
Anadara granosa
3,9
3,0
90,0
3,2
3
Scapharca cornea
100,0
76,9
1280,0
45,2
4
Anadara antiquata
0,0
0,0
170,0
6,0
5
Anadara nodifera
0,0
0,0
0,0
6
Polimedosa
0,0
0,0
7
Perna viridis
0,0
8
Paphia undulata
0,0
1
0,0
%
Berat
%
0,0
360,0
12,7
Berat
0,0
%
Klarean
Berat
%
Comal Baru
Berat
%
Ketapang
Berat
%
Tasikrejo
Berat
%
Total
%
0,0
0,0
0,0
7,4
12,7
0,0
0,0
10,0
38,6
9,1
70,0
1,1
0,0
0,0
6,3
10,8
0,0
0,0
9,5
36,8
7,8
5972,7
95,1
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
31,0
0,0
0,0
4,9
6,7
6,7
11,5
0,0
0,0
0,0
0,0
3,4
0,0
0,0
0,0
20,0
27,3
27,3
46,8
0,0
0,0
0,0
0,0
10,6
21,6
0,8
0,3
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
2,3
5,4
1,7
6,6
1,8
0,0
15,4
0,5
11,2
0,2
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
4,7
17,9
2,7
0,0
0,0
0,0
10,0
0,2
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
9
Placuna placenta
0,0
0,0
0,0
0,0
45,5
0,7
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,1
10
Turritella terebra
20,0
15,4
720,0
25,4
12,5
0,2
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
5,9
11
Terebra dislocata
0,0
0,0
20,0
0,7
112,8
1,8
25,0
34,1
7,9
13,6
0,0
0,0
0,0
0,0
7,2
12
Natica tigrina
0,0
0,0
0,0
0,0
20,0
0,3
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
13
Natica stellata
0,0
0,0
19,1
0,7
3,3
0,1
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,1
14
Nassariuslivescens
Nassarius
acaularis
Nassarius zeuxis
6,2
4,8
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,7
0,0
0,0
30,0
1,1
10,0
0,2
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,2
0,0
0,0
8,2
0,3
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
Bucinum undatum
Hemifusus
ternatatus
Lophiotoma
0,0
0,0
11,0
0,4
5,5
0,1
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,1
0,0
0,0
18,9
0,7
4,0
0,1
20,0
27,3
2,7
4,7
40,0
94,6
0,0
0,0
18,2
0,0
0,0
7,3
0,3
0,0
0,0
3,4
4,7
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,7
0,0
0,0
60,0
2,1
0,9
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,3
130,1
100
2831
100
6279
100
73,32
100
58,33
100
42,3
100
25,91
100
100
15
16
17
18
19
20
leucotropis
Lophiotoma
notata
Jumlah
Alat Tangkap dan Operasional
Garuk merupakan alat tangkap utama kekerangan (Gambar 8). Garuk salah
satu alat tangkap yang dengan cepat mengalami modifikasi. Pada era tahun 1980
garuk ditarik secara tetap. Pada saat ini garuk ditarik dengan perahu berjalan.
Armada garuk kerang mempunyai ukuran panjang (P) = 9 m; Lebar (L) = 2 m;
dan Dalam (D) = 0,9 m. Mesin penggerak mempunyai kekuatan 16 PK. Mulut
kantong garuk kerang mempunyai panjang 150 cm dan lebar 35 cm. Pada bagian
mulut di buat gigi-gigi/jari-jari yang berfungsi sebagai penggaruk, dengan panjang
gigi 16 cm dan jarak antar gigi 2 cm. Dasar gigi dapat digerakan untuk mengatur
tekanan garukan sesuai dengan keadaan substrat dasar perairan. Bagian penarik
berbentuk segitiga sama kaki dengan tinggi 70 cm. Jaring garuk mempunyai
panjang 6 m terdiri dua bagian (lapisan) ; lapisan atas/badan (adang-adang) 3 m
dan lapisan bawah /kantong 3 m. Mata jaring bagian adang-adang 2 inchi dan
bagian kantong 1,5 inci. Pada tenggang waktu penelitian, garuk kerang
mengalami modifikasi sekitar September 2010. Modifikasi ini dengan membuatan
pembuangan sampah yang bukan sasaran penangkapan dengan cara memperbesar
mata jaring di bagian badan/adang-adang.
251
Pengoperasian alat ini dilakukan oleh 1-2 orang. Garuk kerang
dioperasikan pada dasar perairan berlumpur atau berpasir dengan ditarik kapal.
Waktu trip garuk kerang setiap hari dilakukan pada pukul 05.00 sampai 14.00
WIB, dengan waktu efektif 4-5 jam/hari. Lama tarik 15-30 menit, dalam sehari
dilakukan 10-15 kali tarik. Garuk kerang dioperasikan pada kedalaman 1-5 meter.
Gambar 8. Desain garuk kerang
Selain dengan garuk untuk mendapatkan kekerangan dilakukan dengan
memungut memakai tangan melalui penyelaman dan dengan bantuan alat
sederhana , misal skope. Alat yang sering mendapatkan hasil samping kekerangan
adalah arad, cantrang dan trawl.
Laju, Musim dan Produksi Tangkap
a. Serang
Laju tangkap kerang darah di sekitar Teluk Banten 14-16 kg/perahu/jam
pada saat musim dan 8-10 kg/perahu/jam pada saat tidak musim. Puncak musim
penangkapan terjadi pada bulan Juni (Gambar 9) dengan produksi 5.846 kg dan
paceklik terjadi pada bulan Agustus dengan produksi 1.026 kg.
5.0
Indeks musim
4.0
3.0
2.0
1.0
0.0
Mei
Jun
Jul
Agust
Sep
Okt
Gambar 9. Indeks musim A. granosa di Teluk Banten, Serang
252
Des
Indeks Musim
b. Subang
Laju tangkap kerang A. granosa dan S. cornea di Pantai Utara Subang 2040 kg/perahu/jam pada saat musim dan 8-10 kg/perahu/jam pada saat tidak
musim. Puncak musim penangkapan terjadi pada bulan Desember (Gambar 10)
dengan produksi 4.000 kg, musim paceklik terendah pada bulan Februari 560 kg.
1.4
1.2
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
Jan.
Feb.
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agust Sep
Okt
Nop
Des
Gambar 10. Indeks musim A. granosa di Blanakan, Subang
c. Pemalang
Laju tangkap A. granosa dan S. cornea pada saat musim 60 kg/perahu/jam,
pada saat tidak musim 10-14 kg/perahu/jam. Puncak musim penangkapan terjadi
pada bulan Desember (Gambar 11) dengan produksi 3.592 kg, musim paceklik
terjadi pada bulan Mei-Agustus dengan produksi 1.059 kg.
Indeks Musim
2.5
2.0
1.5
1.0
0.5
0.0
Jan.
Feb. Mar
Apr
Mei
Jun
Jul Agust Sep
Okt
Nop
Des
Gambar 11. Indeks musim A. granosa di Pemalang
Pertumbuhan kerang darah dan penyebarannya dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan antara lain, arus, oksigen terlarut, endapan terlarut, suhu dan salinitas
(Akhrianti et al., 2014). Broom (1985) dalam budidaya fluktuasi salinitas
menyebabkan mortalitas bertambah. Nilai parameter lingkungan bervariasi sesuai
musim dan lokasi sehingga membuat musim penangkapan kerang darah berbeda
pada berbagai wilayah di pantai Utara Jawa. Perbedaan musim juga disebabkan
musim pemijahan kerang darah berbeda antara lokasi. Musim pemijahan kerang
darah dalam satu tahun dapat terjadi 3 kali (Narsimham, 1988). Pemijahan
253
menyebabkan spat kerang darah melimpah, sehingga sediaan untuk dipanen
menjadai besar. Puncak musim di Serang terjadi pada bulan Juni. Pada bulan Juni
Teluk Banten memiliki pH dan salinitas relatif tinggi serta tekanan CO2 lebih
rendah (Ramawijaya et al. 2012).
Tinggi dan Berat
a. Serang
Anadara granosa yang tertangkap di Serang (Teluk Banten) mempunyai
tinggi terkecil pada kelas tinggi 1,2-1,4 cm sebanyak 1,22 %, terbesar 3,2-3,4 cm
sebanyak 0,61 %. Modus pada kelas tinggi 1,6-1,8 cm, sebanyak 33,84 %
(Gambar 12a). Hubungan tinggi dan berat mempunyai korelasi R² = 0,9214 dan b
=2,6704 (Gambar 12b). Indeks kondisi terendah 10,10, tertinggi 37,44 dan ratarata 27,27.
40
30
N=328
25
30
y = 1.126x2.670
R² = 0.921
Persentase
20
Berat (gr)
20
15
10
10
0
N=328
5
0
a
b
Tinggi (cm)
0.0
1.0
2.0
Tinggi (cm)
3.0
4.0
Gambar 12. a) Frekuensi tinggi A. granosa, b) Hubungan tinggi dan berat A.
granosa di Serang.
b. Subang
Anadara granosa yang tertangkap di perairan Pantai Utara Subang
mempunyai tinggi terkecil pada kelas tinggi 1,0-1,2 cm sebanyak 1,01 %, terbesar
3,0-3,2 cm sebanyak 4,02 %. Modus pada kelas tinggi 1,8-2,0 cm, sebanyak 22,94
% (Gambar 13a). Hubungan tinggi dan berat mempunyai korelasi R² = 0,8253 dan
b =2,2465 (Gambar 13b). Indeks kondisi terendah 22,99, tertinggi 30,74 dan ratarata 26,23.
25
20
40
N=497
30
Berat (gr)
Persentase
15
10
5
y = 1.611x2.246
R² = 0.825
20
10
0
N=497
0
a
Tinggi (cm)
b
0
1
2
3
Tinggi (cm)
4
Gambar 13. a) Frekuensi tinggi A. granosa, b) Hubungan tinggi dan berat A.
granosa di Subang
254
5
c. Pemalang.
Anadara granosa yang tertangkap di perairan Pemalang mempunyai tinggi
terkecil pada kelas tinggi 1,0-1,2 cm sebanyak 0,23 %, terbesar 2,6-2,8 cm
sebanyak 0,08 %. Modus pada kelas tinggi 1,8-2,0 cm, sebanyak 31,81 %
(Gambar 14a). Hubungan tinggi dan berat mempunyai korelasi R² = 0,8166 dan b
=2,6532 (Gambar 14b).
25
35
30
20
N=1292
y = 1.488x2.653
R² = 0.816
15
20
Berat (gr)
Persentase
25
15
10
5
10
5
0
0
0
a
b
Tinggi (cm)
0.5
1
1.5
2
2.5
3
Tinggi (cm)
Gambar 14. a) Frekuensi tinggi A. granosa, b) Hubungan tinggi dan berat A.
granosa di Pemalang.
Ukuran tinggi A. granosa pada daerah penelitian lebih kecil daripada
tinggi rata-rata 2,35 cm yang ditemukan Rasidi et al. (2007) di Indragiri. Broom
(1982) mendapatkan panjang asymtotik A. granosa mencapai 4,4 cm. Pada lokasi
penelitian ini, menunjukkan modus ukuran tinggi kerang darah lebih kecil dari
ukuran kerang darah matang gonad yang ditemukan oleh Narasimham et
al.(1988) sebesar 1,8 cm. Indek kondisi A. granosa pada penelitian ini < 40,
menunjukkan keadaan kurus.
KESIMPULAN
Biomassa, kepadatan, ukuran (tinggi/lebar), indeks kondisi dan laju
tangkap Anadara granosa di Pantura menunjukkan lebih tangkap. Perairan Serang
(Teluk Banten) memiliki kelimpahan lebih tinggi dibandingkan perairan Subang
(Blanakan) dan perairan Pemalang, sebaliknya ukuran yang tertangkap lebih kecil.
Musim penangkapan di Perairan Serang, puncaknya terjadi pada bulan Juni
berbeda dengan musim penangkapan di Perairan Subang (Blanakan) dan di
Perairan Pemalang yang puncaknya pada bulan Desember.
DAFTAR PUSTAKA
Abbot, T.R. and S.P. Dance. 1982. Compendium of seashells. First Published in
the United States by E.P. Dutton, Inc., 2 Park Avenue, New York.
255
Afiati, N.2007. Hermaphroditism in Anadara granosa (L.) and Anadara antiquate
(L.)(Bivalvia:Arcidae) from Central Java. Journal of Coastal
Development. Vol.10., Number 3, June 2007; 171-179.
Akhrianti, I., D.G. Bengen & I. Setyobudiandi. 2014. Distribusi spasial dan
Preferensi habitat Bivalvia di Pesisir Perairan Simpang Pesak Kabupaten
Belitung Timur. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No.
1, Hlm. 171-185.
Atmaja, B.S., S, Rejeki & R. Wisnu. 2014. Pengaruh padat tebar berbeda terhadap
pertumbuhan dan kelulusanhidupan kerang darah (Anadara granosa) yang
dibudidaya di perairan yang terabrasi Desa Kaliwlingi Kabupaten Brebes.
Journal of Aquaculture Management and Technology Vol.3, No.4.Hlm.
207-213.
Budiyanto, D., I. Ismanadji, U.S. Aji dan Sugiri. 1990. Laporan Uji Coba depurasi
Kerang-kerangan dan kaitannya dengan pengalengan. BBPMHP. Jakarta.
Broom, M.J. 1982. Analysis of the Growth of Anadara granosa (Bivalvia:
Arcidae) in Natural, Artificially Seeded and Experimental Population.
Mar. Ecol. Prog. Ser. Vol.9: 69-79
Broom, M.J. 1985. The Biology and Culture of Marine Bivalva Molluscs of the
Genus Anadara. International Center for Living Aquatic Resources
Management. Philippines.
Cusat, J. 2012. New record of Scapharca cornea (Bivalvia: Pteriomorpha:
Arcidae) from Minicoy Lagoon, Lakshadweep, India. Current Science,
Vol. 102, No. 11,p. 516-1518.
Dody, S., M. Eidman, D.G. Bengen & S. Wouthuyzen. 2000. Distribusi spasial
kerang darah (Anadara maculosa) dan interaksinya dengan karakteristik
habitat di rataan terumbu Teluk Kotania, Seram Barat, Maluku. Jurnal
Ilmu-ilmu perairan dan Perikanan VII (2): 19-31.
Davenport, J. and Chen, X. 1987. A Comparison of methods for the Assessment
of condition in the Mussel (Mytillus edulis L.). J.Mollus. Stud. 53(3): 293297
Habe, T. and S. Kosuge, 1966. Shells of Tropical Pasific in Colour. Volume II.
Hoikusha. Publishing Co.Ltd. Higashiku, Osaka. Japan.
Oon, N.F. 1986. Growth and Mortality of the Malaysian cockle (Anadara
granosa) under commercial culture : Analysis through length-frequency
data. Bay of Bengale Programme. Development of Small-Scale Fisheries.
Food and Agriculture Organization of the United Nations
256
Kastoro, W. 1978. Reproduksi Kerang bulu Anadara antiquata (Linnaeus), suku
Arcidae, Oseanol. Indones., 9: 51-59.
Kastoro, W., D. Roberts and S. Soemodihardjo, 1982. Shallow water marine
Molluscs of North-West Jawa. LON-LIPI. Jakarta.
Komala, R. 2012. Analisis ekobiologi sebagai dasar penegelolaan sumberdaya
kerang darah (A. granosa) di Teluk Lada Perairan Selat Sunda. Disertasi.
Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor. 207 hlm.
Kristianti, A. 2010. Pola Rekruitment kerang simping Amusium pleuronectes di
perairan Kabupaten Brebes Jawa Tengah. Prosiding Semnaskan VII
UGM. Manajemen Sumberdaya Perikanan. Pp 10
Litaay, M., Darusalam & D. Priosambodo. 2014. Struktur komunitas Bivalvia di
kawasan mangrove Bontolebang Kabupaten Kepulauan Selayar Sulawesi
Selatan. Seminar Nasional MIPA, Bandung, 18 Oktober.
Menteri Negara Lingkungan Hidup. 2004. Baku Mutu Air Laut. KEPMEN No. 51
Tahun 2004.
Nasution, S. 2009. Biomassa Kerang Anadara granosa pada perairan pantai
Kabupaten Indragiri Hilir. Jurnal Natur Indonesia 12(1), p. 61-66.
Narasimham, K.A.1988. Biology of the blood clam Anadara granosa (Linnaeus)
in Kakinanda Bay. J. Mar. Biol. Ass. India, 30 (1 & 2): 137-15.
Nurdin, J., N. Marusin, Izmiarti, A. Asmara, R. Deswandi & J. Marzuki. 2006.
Kepadatan populasi dan pertumbuhan kerang darah Anadara antiquata L.
(Bivalvae: Arcidae) di Teluk Sungai Pisang, Kota Padang, Sumatera Barat.
Makara sains. Vol. 10, No. 2,Hal. 96-101
Nurokhman. 2012. Laju eksploitasi dan keragaan reproduksi kerang darah
(Anadara granosa) di Perairan Bondet dan Mundu, Cirebon, Jawa Barat.
Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor. 77 hlm.
PKSPL.2004. Penelitian dan Penegembangan Budidaya Perikanan (Kerang
darah) di Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo. Kerjasama BAPPEDA
dan PKSPL. Laporan Penelitian.
Prasojo, S.A., Irwani, C.A. Suryono. 2012. Distribusi dan kelas ukuran panjang
kerag darah (Anadara granosa) di perairan pesisir kecamatan Genuk, Kota
Semarang. Journal of Marine Research. Vol. 1, No.1, Hal. 137-145.
Ramawijaya, Rosidah, M.Y. Awaludin & W.S. Pranowo. 2012. Variabelitas
parameter osenografi dan karbon laut di Teluk Banten. Jurnal Perikanan
dan Kelautan, Vol.3, No. 3: 339-346.
257
Rasidi, I.R. Astuti & Rusmaedi. 2007. Aspek biologi, distribusi dan pengelolaan
sumberdaya kerang darah (Anadara granosa) Jakarta: Riset Perikanan
Budidaya.
Widyastuti, A. 2011. Perkembangan gonad kerang darah (Anadara antiquata) di
Perairan Auki, Kepulauan Padaido, Biak, Papua. Oseanologi dan
Limnologi di Indonesia 37 (1): 1-17.
258
Download