BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka Pada bab ini, peneliti

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
Pada bab ini, peneliti akan menjelaskan kerangka pemikiran tesis ini dengan
menggunakan teori-teori yang berkaitan dengan komunikasi antarbudaya khususnya
fokus pada kajian mengenai proses interaksi yang terjadi antara mahasiswa asing
dengan mahasiswa lokal yang akan dilihat dari aspek komunikasi sebagai sebuah
proses. Proses komunikasi ini terjadi pada saat mahasiswa asing dengan mahasiswa
lokal saling berinteraksi. Peneliti akan melihat bagaimana pesan-pesan yang muncul
untuk mewujudkan sebuah tujuan yang terbentuk yaitu terjadinya kesepahaman dalam
berkomunikasi dan terciptanya komunikasi yang baik dan lancar diantara mahasiswa
asing dengan mahasiswa lokal.
Seperti yang telah dikemukanan sebelumnya, dalam
mendiskripsikan dan
menganalisis proses interaksi yang terjadi, peneliti menggunakan pendekatan pada
bangunan model “conversation” dari Littlejohn dan Foss yang dikemukakan dalam
bukunya Theories of Human Communication (2011) yang melihat bahwasannya dalam
sebuah interaksi terdapat
unsur-unsur yang saling berkaitan yaitu: (1) Uncertainty
management (manajemen ketidakpastian), (2) Adaptation (adaptasi), (3) Meaning in
interaction (pemaknaan sebuah interaksi), (4) Culture (budaya).
Berikut ini adalah penjelasan mengenai komunikasi dan komunikasi antarbudaya
serta pendekatan model “conversation” pada komunikasi antarbudaya juga peranan
individu dalam sebuah interaksi.
B. Komunikasi
Komunikasi berhubungan dengan perilaku manusia dan kepuasan terpenuhinya
kebutuhan berinteraksi dengan manusia-manusia lainnya. Hampir setiap orang
membutuhkan hubungan sosial dengan orang-orang lainnya dan kebutuhan akan
terpenuhi melalui pertukaran pesan yang berfungsi sebagai jembatan untuk
mempersatukan manusia-manusia yang tanpa berkomunikasi akan terisolasi, Porter &
Samovar dalam (Mulyana dan Rahmat, 2009: 12).
11
12
1. Definisi Komunikasi
Istilah komunikasi sudah sangat akrab ditelinga, namun ternyata membuat
definisi komunikasi tidak semudah seperti yang diperkirakan. Hal ini disebabkan
komunikasi berasal dari kata kerja to communicate (berkomunikasi) sudah sangat
mapan sebagai kosakata yang sangat umum dan karenanya tidak mudah ditangkap
maknanya untuk keperluan ilmiah. Stephen W. Littlejohn (1999) mengatakan :
“Communication is difficult to difine. The word is abstract and, like most term,
posses numerous meaning” bahwa komunikasi sulit untuk didefinisikan. Kata
“komunikasi” bersifat abstrak, seperti kebanyakan istilah, memiliki banyak arti.
Dikutip dari Littlejohn (2002: 6), para ahli melakukan berbagai upaya untuk
mendefinisikan komunikasi, namun membangun suatu definisi tunggal mengenai
komunikasi terbukti tidak mungkin dilakukan dan mungkin juga tidak bermanfaat.
Frank Dance (1970) melakukan langkah besar dalam upaya memperjelas konsep
komunikasi dengan menguraikan sejumlah elemen yang digunakan untuk
membedakan komunikasi. Dance menemukan tiga elemen dasar yang disebut
“diferensiasi
konseptual
kritis”
(critical
conceptual
differentiation)
yang
membentuk dimensi dasar teori komunikasi yang terdiri atas:
a. Level observasi (level of observation)
Pada dimensi ini definisi komunikasi dilihat dari seberapa luas cakupannya.
Menurut Dance beberapa definisi mengenai komunikasi bersifat sangat luas
(inclusive) sementara definisi lainnya bersifat terbatas. Misal definisi komunikasi
yang menyatakan komunikasi adalah the process that links discotinous parts of
the living world to one another (komunikasi adalah proses yang menghubungkan
antara berbagai makhluk di dunia) dinilai sebagai definisi terlalu umum atau luas.
Sebaliknya definisi yang menyatakan, communication as the means of sending
military messages, orders etc, as by telephone, telegraph, radio and couries
(komunikasi adalah alat untuk mnegirim pesan militer, perintah dan sebagainya
melalui telephon, telegraf, radio dan kurir) sebagai terlalu sempit.
b. Kesengajaan (intentionality)
Dimensi ini melihat bahwa sebagaian definisi komunikasi yang dikemukakan
para ahli hanya memasukkan faktor pengirim dan penerima pesan yang memiliki
kesengajaan atau maksud tertentu, sementara definisi lain tidak memasukkan
batasan ini.
13
c. Penilaian Normatif (normatif judgement)
Dimensi ini melihat sebagian definisi komunikasi memasukkan pernyataan
keberhasilan atau keakuratan (accuracy), sedangkan definisi lainnya tidak
memiliki penilaian implisit semacam itu.
Definisi atau batasan mengenai komunikasi adalah hal yang sangat penting,
karena dari definisi yang akan kita gunakan dalam penelitian bukanlah hal sepele.
Definisi yang berbeda akan memberikan fungsi yang berbeda pula dan harus
dievaluasi atas seberapa besar definisi tersebut membatu dalam mencapai tujuan
penelitian. Dengan demikian definisi adalah alat yang harus digunakan secara
fleksibel.
Pada tahun 1976 Dance dan Larson menemukan ada lebih dari 126 definisi
komunikasi yang diajukan dalam literature. Untuk menggambarkan beragam
definisi yang diusulkan, berikut adalah beberapa definisi komunikasi dari para ahli
yang dikutip dari Miller (2005: 4):
-
W. Weaver (1949)
“Communication is all the procedures by which one mind can affect another”
(Komunikasi adalah semua prosedur dimana satu pikiran dapat mempengaruhi
orang lain)
-
Miller (1951)
“Communication means that information is passed from one palce to another”
(Komunikasi berarti bahwa informasi diteruskan dari satu tempat ke tempat lain)
-
Hovland, Janis dan Kelley (1953)
“Communication is the process by which an individual (the communicator)
transmits symbols (act), under specific circumstances (scene), by an individual
or individuals (agent), using selected media (agency), for defined end
(purposes)”
(Komunikasi
adalah
proses
dimana
seorang
individu
(communicator) mengirimkan simbol (act), dalam keadaan tertentu (scene), oleh
seorang individu atau lebih (agent), menggunakan media yang dipilih (agency),
untuk tujuan yang ditetapkan (purposes)).
Jika kita lihat dari beberapa definisi komunikasi diatas, para ahli mempunyai
pendapat yang berbeda beda dalam mendefinisikan komunikasi, namun dari diskusi
selama bertahun-tahun telah muncul konsep penting yang secara luas sesuai dengan
14
definisi komunikasi yaitu komunikasi sebagai suatu proses, simbol, dan
transaksional. (Miller,2005: 5).
Dalam
kaitannya
dengan
komunikasi
antarbudaya,
ketika
akan
mempersatukan budaya dan komunikasi secara ringkas dan mudah dimengerti, maka
seperti yang diungkapkan Griffin (2005) pengertian komunikasi yaitu :
“communication is the management of messages with the objective of creating
meaning” (Komunikasi adalah pengelolaan pesan dengan tujuan untuk menciptakan
makna). Jika kita lihat definisi ini agak bersifat luas, namun tepat jika kita akan
menentukan apa yang terjadi dalam setiap tahap komunikasi, yaitu berusaha
mengetahui untuk apakah suatu proses komunikasi akan berhasil atau gagal baik
dalam konteks komunikasi antar pribadi maupun komunikasi dalam suatu
kelompok. Dengan kata lain, jika komunikasi dianggap sebagai tujuan, baik
membujuk, menginformasikan, atau menghibur maka kita berkomunikasi dengan
niat, dan kita dapat mencapai tujuan kita hanya dengan berinteraksi dengan
seseorang (Samovar dkk, 2012:9).
2. Proses Komunikasi
Komunikasi adalah suatu proses, yang berarti bahwa itu adalah berkelanjutan
dan dinamis. Sulit untuk mengatakan ketika komunikasi dimulai dan berhenti, karena
apa yang terjadi sebelum kita berbicara dengan seseorang dapat mempengaruhi
interaksi kita, dan apa yang terjadi pada pertemuan tertentu dapat mempengaruhi
masa depan. Bahwa komunikasi adalah suatu proses berarti selalu bergerak, bergerak
maju dan berubah terus-menerus (Wood,2011: 13).
Pada awal konseptualisasi komunikasi, proses komunikasi yang berkembang
adalah proses komunikasi linier, dimana komunikasi bergerak dari sumber ke
penerima. Salah satu model komunikasi secara linier dikemukakan oleh Harold
Lasswell (1949) Model proses komunikasi dari Harold Lasswell (1948) ini
merupakan model yang diturunkan dari definisi komunikasi, yakni : “Cara yang baik
untuk menggambarkan komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan
berikut, Who Says What In Which Chanel To Whom With What Effect?” Atau Siapa
Mengatakan Apa Dengan Saluran Apa Kepada Siapa Dengan Pengaruh Bagaimana?
Berdasarkan definisi Lasswell ini dapat diturunkan lima unsur dalam proses
komunikasi yang saling bergantung satu sama lain, yaitu: Komunikator, pesan,
media, komunikan dan efek.
15
Pada tahun 1949 Shannon dan Weaver dalam buku The Mathematical Theory
of Communication menyempurnakan model linier dari Lasswell. Model ini
mengalami perkembangan yaitu dengan menambahkan unsur noise (gangguan) pada
modelnya. Menurut Shanoon dan Weaver gangguan ini selalu ada dalam saluran
bersama pesan tersebut yang diterima oleh penerima. Model ini adalah salah satu
model yang mempunyai pengaruh paling kuat atas model dan teori komunikasi
lainnya (Mulyana, 2007: 148).
Model-model komunikasi linier menggambarkan bahwa komunikasi mengalir
hanya satu arah, dari pengirim ke penerima dan menunjukkan bahwa seseorang
hanya mengirim atau menerima pesan secara pasif. Ketika para ahli komunikasi
menyadari bahwa pendengar merespon pengirim, akhirnya mereka menambahkan
umpan balik (feedback) pada model komunikasi. Feedback merupakan respon
terhadap pesan. Mungkin verbal atau nonverbal, dan mungkin disengaja atau tidak
disengaja (Wood, 2011: 16-17)
Wilbur Schramm (1955) menunjukkan bahwa komunikator membuat dan
menafsirkan pesan kedalam bidang pengalaman pribadi (personal field of
experience). Schramm juga menambahkan bahwa semakin tumpang tindih bidang
pengalaman (field of experience) komunikator dalam bidang pengalaman
komunikan, akan semakin efektif pesan yang dikomunikasikan. Dengan
menambahkan bidang pengalaman dan umpan balik dimungkinkan untuk
mengembangkan model yang menggambarkan komunikasi sebagai proses interaktif
dimana kedua pengirim dan penerima berpartisipasi aktif (Wood, 2011: 17).
Meskipun model interaktif merupakan peningkatan dari model linier, akan
tetapi masih belum menangkap dinamika komunikasi manusia. Model interaktif
menggambarkan komunikasi sebagi proses yang berurutan, namun orang dapat
berkomunikasi secara bersamaan bukan bergiliran. Model interaktif juga menunjuk
satu orang sebagai pengirim dan orang lain sebagai penerima. Pada kenyataanya,
komunikator mengirim dan menerima pesan. Menurut Wood, kelemahan lain dari
model interaktif adalah tidak menggambarkan komunikasi sebagai perubahan dari
waktu ke waktu sebagai akibat dari apa yang terjadi diantara manusia. Artinya
bahwa apa yang dibicarakan dan bagaimana manusia saling berinteraksi akan
mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Sebuah model komunikasi harus
16
mencakup fitur waktu dan harus menggambarkan komunikasi terjadi secara
bervariasi, tidak konstan. Wood mengajukan sebuah model transaksional seperti
pada gambar 2.3. Model ini menunjukkan bahwa kebisingan (noise) dapat
mendistorsi komunikasi, dimana kebisingan dapat menyebabkan perubahan makna
atau arti dari suatu informasi/pesan baik yang disengaja maupun tidak disengaja.
Selain itu, model ini menekankan bahwa komunikasi adalah proses yang terus
berubah, dimana orang berkomunikasi
bervariasi
dari waktu
ke
waktu
(Wood, 2011: 18)
Secara garis besar model dari Wood menekankan bahwa komunikasi terjadi
dalam sistem yang dapat mempengaruhi apa dan bagaimana orang berkomunikasi
dan apa arti yang mereka buat. Pengirim dan penerima pesan didefinisikan sebagai
komunikator yang mempunyai partisipasi yang sama, dan sering bersamaan dalam
proses komunikasi. Singkatnya, model komunikasi sebagai proses transaksional
yang paling akurat adalah di mana orang berinteraksi dengan dan melalui simbolsimbol dari waktu ke waktu untuk membuat makna.
Terkait dengan penelitian yang akan dilakukan, peneliti akan menerapkan
model komunikasi transaksional dari DeVito dimana masing-masing konsep yang
diidentifikasi dan dibahas
pada model ini dapat dianggap sebagai model
komunikasi interpersonal secara universal (DeVito, 2013: 10).
17
Gambar 2.1. Model Proses Komunikasi Interpersonal
Sumber : DeVito, Joseph A. 2013. The Interpersonal Communication Book. 13th edition. New York:
Hunter College of the City University of New York. hlm. 11
Model yang dikemukakan DeVito dirancang untuk mencerminkan sifat
melingkar komunikasi interpersonal dimana kedua orang mengirim pesan secara
bersamaan bukan di urutan linear di mana komunikasi bergerak dari orang 1 ke 2
dan orang 1 ke orang 2 dan seterusnya. Didalamnya terdapat unsur-unsur
komunikasi yaitu: (1) sumber-penerima, (2) encoding-decoding, (3) pesan, (4)
saluran, (5) noice, (6) konteks, dan meskipun tidak ditunjukkan dalam diagram
tetapi pertimbangan utama dalam semua komunikasi interpersonal yaitu (7) etika.
3. Level Komunikasi
Komunikasi merupakan proses penyampaian pesan, ide atau informasi yang
bertujuan untuk membawa pemahaman yang sama antara penyampai dan penerima
pesan. Pembagian paling umum dalam mengklasifikasikan teori komunikasi adalah
dengan menggunakan level mulai dari komunikasi mulai dari: 1). Komunikasi
interpersonal, terkait dengan komunikasi antara orang, biasanya secara tatap muka
dalam situasi yang pribadi; 2). Komunikasi kelompok, terkait dengan interaksi
manusia dalam kelompok kecil. Dalam komunikasi kelompok ini sebenarnya juga
melibatkan hubungan interpersonal, dan kebanyakan teori interpersonal berlaku juga
18
pada teori kelompok; 3). Komunikasi organisasi, terjadi pada jaringan kerja sama
yang besar yang meliputi seluruh aspek baik komunikasi interpersonal dan
komunikasi kelompok; 4). Komunikasi massa, yaitu berhubungan dengan
komunikasi publik, biasanya melalui perantara (mediasi). Dalam proses komunikasi
massa banyak aspek komunikasi yang masuk didalamnya baik komunikasi
interpersonal,
kelompok
dan
organisasi
dalam proses komunikasi massa
(Morissan, 2013: 14-15).
Dalam proses komunikasi pada level apapun, akan melibatkan unsur-unsur
komunikasi. Pada umumnya studi komunikasi pada masa lalu lebih menekankan
pada bagaimana membujuk (persuasi) sebagai bentuk efek yang diinginkan. Namun
pada perkembangannya, komunikasi tidak hanya terbatas pada upaya membujuk
tetapi juga upaya memaksa. Menurut Joseph Dominick (2002) dalam bukunya The
Dynamic of Mass Communication setiap peristiwa komunikasi akan melibatkan
delapan elemen komunikasi yang meliputi: sumber, enkoding, pesan, saluran,
dekoding, penerima, umpan balik, dan gangguan (Morissan, 2014: 16-17).
Dalam penelitian ini, secara garis besar akan membahas proses komunikasi
yang terjadi pada level komunikasi interpersonal yang melibatkan kedelapan unsurunsur dalam proses komunikasi untuk menganalisa bagaimana proses interaksi antar
individu yang terjadi antara mahasiswa asing dengan mahasiswa lokal yang sedang
melakukan studi di Universitas Sebelas Maret.
C. Komunikasi Antarbudaya
Jika kita berbicara tentang komunikasi antarbudaya, tentunya sangat erat
kaitannya dengan komunikasi lintas budaya. Seperti yang dikemukanan William B.
Gudykunst dalam encyclopedia communication theory (2009) mengidentifikasi baik
komunikasi antarbudaya maupun komunikasi lintas budaya merupakan bagian dari
komunikasi antar kelompok. Ketika peneliti ingin membandingkan komunikasi orang
dari budaya yang berbeda dan menjelaskan bagaimana komunikasi bervariasi dari satu
budaya ke yang lain, maka studi komunikasi lintas budaya terjadi. Komunikasi lintas
budaya dibedakan menjadi dua yaitu komunikasi intrabudaya, yang terjadi antara orangorang dari berbagai budaya, sedangkan komunikasi antarbudaya mengacu pada
pertukarandalam pengaturan interpersonal antara individu dan budaya yang berbeda.
19
Komunikasi antarbudaya sendiri pada umumnya didefinisikan menurut dua
konsep pokok, yaitu budaya dan komunikasi. Dalam disiplin ilmu komunikasi,
komunikasi antarbudaya bisa dibedalan secara konseptual dari komunikasi antarpribadi
berdasarkan kadar perbedaan yang relative tinggi yang berkenaan dengan sistem makna,
pengetahuan, nilai-nilai dan pandangan dunia para komunikator yang mengakar secara
kultur dan subkultur ( Berger dkk, 2011: 651-652).
Pembicaraan tentang komunikasi antarbudaya tak dapat dielakkan dari
pengertian kebudayaan (budaya). Komunikasi dan kebudayaan tidak sekedar dua kata
tetapi dua konsep yang tidak dapat dipisahkan. Hubungan antara budaya dan
komunikasi sangat kompleks, dimana budaya dan komunikasi saling terkait dan timbal
balik. Artinya, budaya mempengaruhi komunikasi, dan sebaliknya. Bahkan juga
mempunyai asumsi bahwa komunikasi membantu menciptakan realitas budaya
masyarakat (Martin & Nakayama,2010: 95). Menurut William B. Hart II pada tahun
1996 menyatakan bahwa studi komunikasi antarbudaya dapat diartikan sebagai studi
yang menekankan pada efek kebudayaan pada komunikasi. Sedangkan menurut Liliweri
(2009: 8-9) komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara dua orang/lebih yang
berbeda latar belakang kebudayaan. Selain itu ada beberapa pengertian komunikasi
antarbudaya yang dikutip oleh Alo Liliweri, antara lain definisi dari Andrea L. Rich dan
Dennis M. Ogawa dalam buku Larry A. Samovar dan Richard E. Potter Intercultural
Communication, A Reader (1976: 25), mengatakan komunikasi antarbudaya adalah
komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaan, misalnya antar suku bangsa,
antar etnik dan ras, antar kelas sosial. Charley H. Dood (Dood, 1991: 5), mengatakan
bahwa komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang melibatkan peserta
komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi dan kelompok, dengan tekanan pada
latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta. Dari
pengertian-pengertian komunikasi antarbudaya tersebut membenarkan sebuah hipotesis
proses komunikasi antarbudaya, bahwa semakin besar derajat perbedaan budaya, maka
semakin besar pula kehilangan peluang untuk merumuskan suatu tingkat kepastian
sebuah komunikasi yang efektif.
Pada hakekatnya proses komunikasi antarbudaya sama dengan proses
komunikasi lain, yakni suatu proses interaktif dan traksaksional serta dinamis. Itu
artinya baik komunikasi interaktif maupun transaksional mengalami proses yang
20
bersifat dinamis, karena proses tersebut berlangsung dalam kontek sosial yang hidup,
berkembang bahkan berubah-ubah berdasarkan waktu, situasi dan kondisi tertentu.
Karena komunikasi yang dilakukan merupakan komunikasi antarbudaya, maka
kebudayaan merupakan dinamisator atau “penghidup” bagi proses komunikasi tersebut
(Liliweri, 2009: 25).
Supaya komunikasi dalam interaksi antarbudaya berlangsung dengan baik,
pelaku komunikasi harus bergantung pada bahasa yang sama, yang biasanya berarti
bahwa satu atau lebih individu tidak akan menggunakan bahasa ibu mereka. Orang
yang menggunakan bahasa lain akan sering memiliki aksen atau menyalah gunakan kata
atau frase yang dapat berpengaruh pada baik buruknya pemahaman penerima pesan
(Samovar, 2012: 10).
Istilah komunikasi antarbudaya sering digunakan untuk mengacu pada semua
aspek studi budaya dan komunikasi. Lustig dan Koester (2003: 44) mendefinisikan
komunikasi antarbudaya sebagai:”…a symbolic process ini which people from different
cultures create shared meanings” (proses simbolik di mana orang-orang dari budaya
yang berbeda menciptakan makna bersama). Dalam menghadapi budaya dan bahasa
yang berbeda siswa asing harus mampu untuk mengelola ketidaktahuan atau
ketidakpastian pada orang lain yang terdiri
atas
bagaimana
seseorang
itu
mendapatkan informasi tentang orang lain, dan bagaimana ketidakpastian dan
kecemasan untuk berhubungan antara orang lain, serta pengurangan ketidakpastian yang
berhubungan dengan kebudayaan dalam hal ini baik teman dan lingkungan baru
(Littlejohn dan Foss, 2011: 179).
Dalam mempelajari komunikasi antarbudaya antar negara tentunya kita harus
memahami karakteristik dan keanekaragaman budaya masing-masing negara. Orangorang dari budaya yang berbeda berbagi konsep dasar, tetapi memandang konsep
tersebut dari sudut dan perspektif yang berbeda, yang menyebabkan mereka berperilaku
dalam suatu cara yang mungkin dianggap irasional atau bahkan bertentangan langsung
dengan apa yang dianggap sebagai hal yang tabu. Namun perilaku orang-orang dengan
budaya yang berbeda bukankah suatu hal yang tidak bisa diprediksi. Ada
kecenderungan
urutan,
dan
tradisi
yang
jelas.
Richard
D.
Lewis
(1996)
mengklasifikasikan budaya dunia kedalam tiga kategori besar, yaitu:
1. Linier-aktif,
adalah
orang-orang
yang
merencanakan,
menjadwalkan,
21
mengorganisasikan dan melakukan suatu kegiatan satu-demi satu. Jerman, Swiss,
Belanda, Amerika termasuk dalam kelompok ini.
2. Multi-aktif, adalah orang-orang yang suka berbicara dan lincah, yang melakukan
banyak hal sekaligus, merencanakan prioritas mereka tidak sesuai dengan jadwal,
tapi sesuai dengan gerak hati yang relatif atau tingkat kepentingan perjanjian. Italia,
Amerika, Latin, Arab, India termasuk dalam kelompok ini.
3. Reaktif, adalah budaya yang memprioritaskan sopan santun dan rasa hormat,
mendengarkan lawan bicara dengan tenang dan memberi reaksi terhadap usulan
pihak lain dengan hati-hati. Yang termasuk dalam kelompok ini antara lain Jepang
Cina, Finlandia, Kepulauan Pasifik (Fiji, Tonga dsb), dan negara-negara di Asia
Tenggara seperti Taiwan, Korea, Singapura Vietnam, Kamboja, Laos, Malaysia,
Indonesia.
Secara garis besar tujuan utama komunikasi antarbudaya antara lain agar para
peserta
komunikasi
dapat
bersama-sama
menggambarkan,
menguraikan
dan
memprediksikan pesan-pesan yang berkaitan dengan perubahan/perbedaan kebudayaan
pada tingkat dan arah tertentu pada suatu waktu atau rangkaian waktu dari beberapa
kelompok kebudayaan (Liliweri, 2011:83).
Seperti sudah dikemukakan diatas, bahwa untuk menganalisa proses komunikasi
budaya, khususnya proses interaksi yang terjadi pada mahasiswa asing dengan
mahasisiwa lokal di Universitas Sebelas Maret, peneliti menggunakan model
“conversation” dari Littlejohn dan Foss (2011). Sebelum masuk kedalam penjelasan
model “conversation” tersebut terlebih dahulu akan dijelaskan bagaimana peran
masing-masing individu dalam sebuah interaksi. Dalam hal ini individu tersebut bisa
mahasiswa asing atau mahasiswa lokal.
D. Peran Individu pada Model “Conversation”
Littlejohn dan Foss (2011) mengemukakan bahwa dalam sebuah percakapan,
individu dapat berperan sebagai komunikator maupun komunikan. Hal ini disebabkan
masing-masing individu dapat saling berganti peran baik sebagai komunikator maupun
komunikan pada saat terjadi percakapan.
Hal itu sesuai dengan Tubbs (2008 :10)
yang mendefinisikan komunikasi
manusia dalam bukunya, Human Communication : Principles and Contexts, sebagai
22
proses menciptakan makna yang melibatkan dua orang atau lebih, yang masing masing
mempunyai peran yaitu sebagai Komunikator 1 (pengirim / penerima) dan Komunikator
2 (penerima / pengirim). Kedua belah pihak secara simultan dipengaruhi oleh satu sama
lain dalam transaksi pesan. Namun demikian, dalam kenyataannya, keduanya
merupakan sumber komunikasi, dan masing-masing berasal dan menerima pesan secara
bersamaan. Karena peran masing individu yang setiap saat dapat berubah maka
penulis mengistilahkan komunikator dan komunikan sebagai “komunikator 1” dan
“komunikator 2”. Berikut adalah penjelasan lebih lanjut mengenai komunikator 1 dan
komunikator 2 yang dikutip dari Tubbs (2008 :10-18).
1. Komunikator 1 : Pengirim / Penerima
Komunikator 1 adalah orang yang mencoba untuk mengirim pesan kepada
orang lain (komunikator 2) dengan tujuan untuk menciptakan makna yang mirip
dengan yang dimaksud oleh pengirim pesan dengan menggunakan berbagai saluran.
Disini komunikator 1 dan komunikator 2 secara bersamaan mengirim dan menerima
pesan sepanjang waktu.
Pesan. Pesan bisa verbal maupun non verbal, yang mungkin dikirim secara
sengaja maupun tidak sengaja. Sehingga ada empat jenis pesan yang mungkin terjadi:
1). intentional verbal (verbal dilakukan secara sengaja), 2). un intentional verbal
(verbal tidak disengaja), 3). intentional nonverbal (non verbal dilakukan secara
sengaja), 4). unintentional nonverbal ( non verbal tidak disengaja). Menurut Tubbs
pesan ini terjadi berisi dua rangsangan atau lebih dan pesan berlangsung secara
tumpang tindih (overlap). Pesan verbal adalah jenis komunikasi yang menggunakan
satu perkataan atau lebih. Sebagian besar rangsangan komunikasi sadar masuk dalam
kategori pesan verbal disengaja; upaya sadar menyebabkan orang untuk
berkomunikasi dengan orang lain melalui cara berbicara . Di sisi lain, pesan verbal
disengaja adalah hal-hal yang orang katakan tanpa sengaja. Pesan nonverbal adalah
semua pesan yang dikirim tanpa kata-kata atau lebih dari kata-kata yang digunakan,
yaitu mencakup semua aspek nonverbal dari perilaku manusia: ekspresi wajah,
postur, nada suara, gerakan tangan, cara berpakaian, dan sebagainya. Pesan
nonverbal tidak dapat dijelaskan dengan mudah seperti pesan verbal, mungkin karena
kategori sangat luas. Ketika komunikator 2 (penerima/pengirim) menerima pesan,
ada empat proses yang akan terlibat: perhatian, pendengaran, pemahaman, dan
mengingat.
23
Saluran. Jika orang berbicara melalui telepon, maka yang mentransmisikan
rangsangan komunikatif adalah gelombang udara melalui telephon, akan tetapi
saluran komunikasi akan berbeda pada saat terjadi komunikasi tatap muka yaitu
malalui organ sensorik. Walaupun semua panca indera dapat menerima rangsangan
namun orang secara umum hampir menggunakan tiga hal : pendengaran, penglihatan,
dan sentuhan. Misalnya, seseorang mendengarkan keadaan argumen dari orang lain,
atau seseorang bertukar pandangan dengan teman atau meletakkan tangan di bahu
seseorang.
2. Komunikator 2 : Penerima/Pengirim
Secara umum, penekanan pada istilah komunikator adalah sebagai pengirim
pesan, namun dalam sebuah percakapan komunikator juga berperan sebagai
penerima pesan. Pada kebanyakan komunikasi , persepsi visual akan menjadi aspek
penting dari penerimaan pesan, namun sebenarnya ada aspek penting lain dari
penerimaan pesan yaitu listening (mendengarkan). Seperti juga dikemukakan
DeVito (2013: 83) bahwa dalam komunikasi interpersonal mendengarkan adalah
salah satu yang paling penting. Ketika Komunikator 2 (penerima/pengirim)
mendengarkan, juga ada empat proses yang terjadi, yaitu : perhatian, pendengaran,
pemahaman, dan mengingat. Setelah menerima pesan, komunikator 2 kemudian
memberi umpan balik (feedback) kepada komunikator 1, dimana feedback secara
umum didefinisikan sebgai the return to you of behavior you have generated. Dapat
diartikan bahawa pesan yang telah dibuat akan kembali kepada pada yang telah
membuat pesan.
Dalam komunikasi tatap muka (percakapan) terjadi saling
ketergantungan dan umpan balik diantara komunikator 1 dan komunikator 2.
Sebagai contoh, masukan budaya komunikator 2 mungkin cukup berbeda dengan
komunikator 1.
Dalam penelitian ini pada saat terjadi interaksi, mahasiswa asing dapat berperan
sebagai komunikator 1 maupun komunikator 2, dan peran tersebut berganti secara terus
menerus selama interaksi berlangsung.
E. Model “Conversation” dalam Komunikasi Antarbudaya
Model adalah representasi suatu fenomena, baik nyata ataupun abstrak, dengan
menonjolkan unsur-unsur terpenting dari fenomena tersebut. Model digunakan untuk
24
menjelaskan fenomena komunikasi dan mempermudah dalam menjelaskannya. Werner
J. Severin dan James W. Tankard, Jr. mengatakan, model membantu merumuskan teori
dan menyarankan hubungan. Model dapat berfungsi sebagai basis bagi suatu teori yang
lebih kompleks (Mulyana, 2005: 121-122). Penjelasan lain tentang model juga
dikemukakan oleh B. Aubrey Fisher (1986: 93-94) mengatakan, model adalah analogi
mengabstraksikan dan memilih bagian dari keseluruhan, unsur, sifat atau komponen
yang penting dari fenomena yang dijadikan model. Dengan kata lain model adalah teori
Pada penelitian ini, peneliti akan melakukan kajian proses interaksi yang terjadi
pada mahasiswa asing dengan mahasiswa lokal dengan menggunakan konsep model
“conversation” dari Littlejohn
yang berangkat dari pemikiran bahwa setiap kali
seseorang masuk kedalam suatu situasi yang baru atau bertemu orang-orang baru, maka
seseorang tersebut sangat mungkin untuk berinteraksi dengan orang tersebut. Seseorang
yang berinteraksi dengan orang baru akan mengalami mengalami tahap-tahap yang
diperlukan
dalam
mencapai
suatu
komunikasi
yang
baik
dan
efektif
(Littlejohn dan Foss, 2011: 179).
Pada penelitian ini peneliti akan berada pada ranah konteks komunikasi
interpersonal dimana peneliti akan menganalisa proses interaksi yang terjadi antar
individu yaitu antara mahasiswa asing dengan mahasiswa lokal. Seperti yang
dinyatakan oleh DeVito (2013: 5) bahwa “Interpersonal communication is the verbal
and nonverbal interaction between two (or sometimes more than two) interdependent
people” (Komunikasi interpersonal adalah interaksi verbal dan nonverbal antara dua
atau kadang-kadang lebih dari dua orang yang saling tergantung). Komunikasi
interpersonal adalah bagian utama dari eksistensi manusia yang setiap orang
berpendidikan perlu memahami. Dari apa yang dikemukakan DeVito, dapat
disimpulkan bahwa komunikasi interpersonal merupakan faktor kunci bagi mahasiswa
pada sebuah lembaga pendidikan untuk memperoleh keterampilan untuk berkomunikasi
dan memiliki kemampuan bekerja sama dalam kegiatan di lingkungan tempat mereka
belajar. Selain itu komunikasi interpersonal antara mahasiswa dari berbagai negara dan
budaya yang berbeda dapat membuka peluang bagi mereka untuk berbagi pengetahuan
informasi dan pengalaman. Pada saat yang sama, membantu mereka untuk memecahkan
masalah akademik mereka sehari-hari malalui kerjasama dan meningkatkan komunikasi
mereka.
25
Littlejohn menyatakan “…..people use socially negotiated rules to “read” social
situations and actions and to know how to respond to others in concersation”(….orang
menggunakan aturan negosiasi sosial untuk membaca situasi sosial dan tindakan serta
untuk mengetahui bagaimana respon orang lain dalam sebuah percakapan). Itu artinya
jika orang berada dalam situasi conversation, maka akan melihat pola komunikasi yang
terbentuk dalam proses komunikasi tersebut. Littlejohn memandang percakapan
mencakup semua jenis interaksi, termasuk pembicaraan sosial, perdebatan-perdebatan
dan argumen, upaya pemecahan masalah, dan jenis lain dari wacana dimana
komunikator menggunakan bahasa dan komunikasi non verbal. Jika kita lihat dari apa
yang dikemukanan Littlejohn, “conversation” benar-benar menjadi jantung komunikasi,
dan untuk itulah menonjol dalam teori komunikasi (Liitejohn dan Foss, 2011: 179).
Secara lebih lanjut akan dijelaskan pada bab ini.
Peneliti melihat model yang dibangun oleh Littlejohn dalam bukunya Theories
of Human Communication (2011) pada pembahasan “conversation” sangat tepat untuk
menggambarkan bagaimana proses interaksi yang terjadi pada siswa asing disuatu
negara, khususnya dalam penelitian ini akan dilakukan di Indonesia, tepatnya
Universitas Sebelas Maret. Seperti yang telah dikemukakan pada latar belakang
penelitian, Littlejohn dan Foss (2011) berpendapat ada empat komponen unsur-unsur
yang saling berkaitan dalam model “conversation”, yaitu : (1) Uncertainty management
(manajemen ketidakpastian); (2) Adaptation (adaptasi); (3) Meaning in interaction
(pemaknaan sebuah interaksi); (4) Culture (budaya). Komponen unsur-unsur inilah yang
kemudian akan dijadikan sebagai pijakan dalam melakukan penelitian komunikasi
antarbudaya ini.
Untuk menguraikan unsur-unsur dalam model “conversation” tersebut maka
penulis akan menggunakan teori-teori yang mempunyai pengaruh dan hubungan dengan
komunikasi antarbudaya yang akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian berikutnya pada
bab ini.
1. Pengelolaan Ketidakpastian
Salah satu perspektif komunikasi antarbudaya menekankan bahwa tujuan
komunikasi antarbudaya adalah mengurangi tingkat ketidakpastian tentang orang lain.
Gudykunst dan Kim (1984) dalam Liliweri (2009: 19) menunjukkan bahwa orang-orang
yang kita kenal selalu berusaha mengurangi tingkat ketidakpastian melalui peramalan
26
yang tepat atas relasi antar pribadi. Gudykunts mengasumsikan bahwa setidaknya
satu orang dalam sebuah komunikasi antar kelompok adalah orang asing yang
melalui serangkaian krisis awal yang dihadapi, yaitu
mengalami
kecemasan,
ketidakpastian, merasa tidak aman, dan mereka tidak yakin bagaimana harus bersikap
(Griffin, 2006: 427).
Teori-teori tentang bagaimana mengelola ketidakpastian berawal dari teori yang
dikembangkan oleh Charles Berger, William Gudykunts dan rekan-rekannya. Teori ini
berkaitan dengan cara kita mengumpulkan informasi tentang orang lain, mengapa kita
melakukannya, dan apa hasil yang kita peroleh ketika kita melakukan sesuatu. Dengan
kata lain, fokusnya adalah pada cara-cara individu memantau lingkungan sosial mereka
dan menginginkan informasi yang lebih banyak tentang diri sendiri maupun orang lain
melalui interaksi (Littlejohn dan Foss, 2011: 180-181).
Secara garis besar dapat dikatakan komunikasi yang efektif merupakan tujuan
dari pengelolaan kecemasan dan ketidakpastian yang dihadapi seseorang pada saat
berkomunikasi dengan orang yang baru dikenal. Gudykunts (1995) dalam Yoshitake
(2002: 178) melihat komunikasi sebagai “proses” dari pertukaran pesan dan penciptaan
makna, bukan “hasil”. Artinya,pesan tidak dapat hanya dikirim saja. Hal ini dapat
diasumsikan bahwa komunikasi yang efektif terjadi bila orang menafsirkan makna yang
melekat pada pesan relatif sama dengan yang dimaksud oleh pengirim pesan. Teori
yang akan dijadikan rujukan peneliti dalam menganalisa manajemen ketidakpastian
adalah “teori manajemen kecemasan-ketidakpastian” disingkat AUM (Anxiety
Uncertainty Management) yang merupakan teori dari Gudykunts.
Teori Pengelolaan Kecemasan/ketidakpastian. Teori ini adalah karya dari
Gudykunts (1988) yang dikembangkan dari teori pengurangan ketidakpastian karya
Charles Berger yaitu melihat bagaimana ketidakpastian dan kecemasan itu terjadi dalam
situasi budaya yang berbeda. Gudykunts menemukan bahwa setiap orang yang menjadi
anggota suatu kebudayaan tertentu akan berupaya mengurangi ketidakpastian pada
tahap awal hubungan mereka, namun mereka melakukannya dengan cara yang berbedabeda berdasarkan latar belakang budayanya. Perbedaan ini dapat dijelaskan dengan cara
melihat apakah seseorang berasal atau merupakan anggota dari “budaya konteks tinggi”
atau “budaya konteks rendah” (Littlejohn dan Foss, 2011: 182).
27
Baik secara langsung maupun tidak langsung, semua teori dibidang komunikasi
antarbudaya, termasuk teori yang akan dibahas pada topik ini, membahas tentang
efektifitas dalam berkomunikasi dengan para individu yang berbeda budayanya. Teori
Gudykunts
tentang
pengelolaan
kecemasan/ketidakpastian
(Anxiety/Uncertainty
Management, AUM) ditujukan secara langsung dan spesifik untuk menjelaskan
“efektifitas komunikasi” yang didefinisikan menurut korespondensi antara makna yang
dimaksud dari pengirim dan interpretasi penerimanya didalam perjumpaan antarbudaya.
Dari awal diciptakannya teori ini hingga versi terkini teori dari Gudykunts ini
berpendirian bahwa kemampuan untuk mengelola kedua pengalaman psikologis yaitu
ketidakpastian dan kecemasan sangat hakiki untuk meningkatkan efektifitas komunikasi
antarbudaya (Berger dkk, 2014: 656).
Gudykunts menemukan bahwa setiap orang yang menjadi anggota suatu
kebudayaan tertentu akan berupaya mengurangi ketidakpastian pada tahap awal
hubungan mereka, namun mereka melakukannya dengan cara berbeda-beda berdasarkan
atas latar belakang budayanya masing-masing.
Littlejohn dan Foss (2011: 182-183) mengemukakan, bahwa secara garis besar
hal-hal yang menjadi dasar dalam teori pengelolaan kecemasan/ketidakpastian dapat
dilihat pada penjelasan berikut ini:
1. Proses pengurangan ketidakpastian antara orang-orang yang berasal dari
kebudayaan berbeda dipengaruhi oleh konteks budaya seseorang itu berasal.
2. Proses pengurangan ketidakpastian juga dipengaruhi oleh sejumlah variable
tambahan seperti identitas diri, pengalaman persahabatan dan juga pengetahuan
bahasa orang asing itu
3. Setiap orang memiliki tingkatan atau level yang berbeda dalam menangani
ketidakpastian dan kecemasan yang dirasakannya
Asumsi satu, Perbedaan ini dapat dilihat dengan cara apakah seseorang itu
berasal atau merupakan anggota dari “budaya konteks tinggi” (high-context cultures)
yang melihat pada situasi keseluruhan untuk menginterpretasikan peristiwa atau
“budaya konteks rendah” (low-context cultures) yang melihat pada isi pesan verbal yang
terungkap dengan jelas (Littlejohn dan Foss, 2011: 182). Asumsi kedua, ketika
seseorang mengidentifikasikan dirinya secara kuat dengan budayanya dan ia berfikir
orang lain berasal dari kelompok budaya yang berbeda maka orang pertama tadi akan
28
merasakan kecemasan dan juga ketidakpastian yang cukup besar, begitu pula
sebaliknya. Pengalaman dan persahabatan dengan orang-orang yang berasal dari budaya
berbeda dapat meningkatkan kepercayaan dseseorang ketika ia bertemu dengan orang
asing yang tidak dikenalnya. Sedangkan dengan mengetahui bahasa orang asing lain
akan menolong seseorang meningkatkan kepercayaan dan toleransi, sehingga jika
seseorang lebih percaya dan tidak terlalu cemas untuk bertemu dengan kelompok yang
berbeda maka kemungkinan akan lebih baik dalam mendapatkan informasi sehingga
mengurangi ketidakpastian. Asumsi ketiga, setiap individu memiliki ambang batas yang
berbeda dalam menangani ketidakpastian dan kecemasan yang dirasakannya. Jika level
ketidakpastian malampaui batas atas yang dimiliki seseorang, maka kepercayaannya
akan berkurang, dan jika level kecemasan terlalu tinggi maka seseorang bahkan akan
menghindari komunikasi sama sekali. Dalam hal ini terdapat pula batas bawah, dan jika
ketidakpastian dan kecemasan seseorang lebih rendah dari batas bawah ini maka
motivasi seseorang untuk berkomunikasi juga akan hilang. Dengan demikian level atau
tingkat ketidakpastian dan kecemasan yang ideal bagi suatu situasi komunikasi
antarbudaya terletak diantara ambang batas atas dan ambang batas bawah, dimana akan
memotivasi seseorang untuk berkomunikasi, sehingga ia akan menggunakan strategi
pengurangan ketidakpastian.
Efektifitas komunikasi antarbudaya nampaknya sangat tergantung pada
ketidakpastian dan kecemasan. Semakin sedikit seseorang tahu dan semakin cemas,
maka semakin sedikit pula keefektifan seseorang yang berada dalam situasi antarbudaya
(Littlejohn dan Foss, 2011: 183). Skema dari Anxiety/Uncertainty Management (AUM)
dapat dilihat pada gambar 2.5.berikut ini (Griffin, 2006: 248):
29
Gambar 2.2. Skema Anxiety/Uncertainty Management (AUM)
Self Concept
Social indentities
Personal identities
Collective self-esteem
Motivation to Interact
Need for predictability
Need for group inclusion
Need to sustain self-concept
Uncertainty
Management
Reactions to Strangers
Empathy
Tolerance for ambiguity
Rigid intergroup attitudes
Social Categorization of Strangers
Positive expectations
Peceived personal similarities
Understanding group differences
Situation Processes
Ingroup power
Cooperate task
Presence of ingroup members
Mindfulness
Communication
Effectiveness
Anxiety
Management
Connection with Strangers
Attraction to strangers
Interdependence with strangers
Quality and quantity of contact
Ethical Interactions
Maintaning dignity
Moral inclusiveness
Respect for strangers
SUPERFICIAL CAUSES
BASIC CAUSES
MODERATING PROCESS
OUTCOME
Sumber : Griffin E.M. 2006.. A First Look At Communication Theory. 6th edition. New York:
McGraw-Hill hlm. 428
Pada gambar dari kiri “superficial causes/ penyebab permukaan”, merupakan
faktor-faktor yang biasanya menyebabkan ketidakpastian dan kecemasan pada
pertemuan antarbudaya. Superficial causes adalah faktor permukaan yang mempunyai
kontribusi terhadap masalah mendasar dari kecemasan dan ketidak pastian dalam
pertemuan antarbudaya. Dalam AUM ada 39 dari 47 aksioma yang menyajikan
hubungan sebab akibat dengan ketakutan dan kebingungan yang biasanya terjadi ketika
adanya pertemuan dua budaya berbeda. Namun untuk penyelidikan dalam penelitian ini
penulis hanya akan menggunakan 10 aksioma yang akan membantu dalam pamahaman
pada pertemuan awal seseorang dengan suatu budaya yang berbeda. 10 Aksioma
tersebut disajian oleh Grifin dalam bukunya A First Look At Communication Theory
30
(2006: 442-446) yang secara garis besar aksioma tersebut terbagi menjadi tujuh bagian
yang menyebabkan terjadinya kecemasan dan ketidakpastian yaitu :
1. Konsep diri
Aksioma 3 : Peningkatan harga diri kita saat berinteraksi dengan orang asing
akan menghasilkan penurunan kecemasan dan peningkatan kemampuan kita
untuk memprediksi perilaku mereka secara akurat
2. Motivasi untuk berinteraksi
Aksioma 9 : Peningkatan kepercayaan kita pada kemampuan kita untuk
memprediksi perilaku orang asing akan menghasilkan penurunan kecemasan
kita. Penurunan kecemasan kita akan menghasilkan peningkatan kepercayaan
diri kita dalam memprediksi orang asing.
3. Reaksi terhadap orang lain
Aksioma 10 : Peningkatan kemampuan kita untuk memproses informasi
secara kompleks tentang orang asing akan menghasilkan penurunan
kecemasan dan peningkatan kemampuan kita untuk memprediksi perilaku
mereka secara akurat.
Aksioma 13 : Peningkatan toleransi untuk ambiguitas akan menghasilkan
penurunan kecemasan kita.
4. Pengkatagorian sosial pada orang asing
Aksioma 17 : Peningkatan kesamaan personal yang kita rasakan antara
dirikita sendiri dengan orang asing akan menghasilkan penurunan kecemasan
dan peningkatan kemampuan kita untuk secara akurat memprediksi perilaku
mereka.
Aksioma 20 : Peningkatan pemahaman bahwa kita berbagi identitas dengan
orang asing dalam suatu kelompok akan menghasilkan penurunan kecemasan
dan meningkatan kemampuan kita untuk memprediksi perilaku mereka secara
akurat.
5. Proses situasional
Aksioma 26 : Peningkatan pada kekuatan kita untuk melihat bahwa kita
memiliki kelebihan dari orang asing akan menghasilkan penurunan
kecemasan dan penurunan akurasi prediksi kita pada perilaku mereka.
31
6. Hubungan dengan orang asing
Aksioma 27 : Peningkatan daya tarik pada orang asing akan menghasilkan
penurunan kecemasan dan peningkatan kepercayaan diri kita dalam
memprediksi perilaku mereka.
Aksioma 31 : Peningkatan jaringan/networks kita dengan orang asing akan
menghasilkan penurunan kecemasan dan peningkatan kemampuan kita untuk
secara akurat memprediksi perilaku mereka.
7. Interaksi etika
Aksioma 34 : Peningkatan inklusivitas moral kita terhadap orang asing akan
menghasilkan penurunan kecemasan kita.
Sepuluh aksioma diatas adalah faktor-faktor yang menurut Gudykunts
mempengaruhi kecemasan dan ketidakpastian. Gudykunts juga menyatakan bahwa
komunikasi antarbudaya merupakan perpanjangan dari prinsip-prinsip komunikasi
interpersonal.
2. Adaptasi
Pada bagian ini peneliti akan melakukan penyelidikan fokus pada adaptasi
perilaku dari
individu terhadap individu lain dalam sebuah interaksi. Peneliti
menggunakan pendekatan pada teori akomodasi (accommodation theory) dari Howard
Giles yang digunakan untuk menjelaskan tentang alasan bagaimana dan mengapa
seseorang melakukan penyesuaian pada saat seseorang melakukan komunikasi dengan
orang lain.
Teori Akomodasi Komunikasi. Salah satu pemikiran teoritik yang menjadi
landasan berfikir dalam penelitian ini adalah teori yang dikembangkan oleh Howard
Giles yang merupakan salah satu teori perilaku yang paling berpengaruh dalam ilmu
komunikasi. Teori akomodasi (accommodation theory) adalah teori yang menjelaskan
bagaimana dan mengapa kita menyesuaikan perilaku komunikasi kita dengan perilaku
komunikasi orang lain (Littlejohn dan Foss, 2011: 183). Inti dari teori ini adalah
adaptasi, dimana orang menyesuaikan komunikasi mereka dengan orang lain, baik di
dalam hubungan interpersonal, dalam kelompok kecil, maupun lintas budaya. Teori
akomodasi komunikasi ini sebelumnya dikenal sebagai teori akomodasi wicara (speech
Accommodation Theory), tetapi kemudian dikonseptualisasikan secara lebih luas
untuk mencakup perilaku non verbal. Teori
Akomodasi komunikasi berpijak pada
32
premis bahwa ketika pembicara berinteraksi, mereka menyesuaikan pembicaraan,
pola vocal, dan/atau tidak tanduk mereka untuk mengakomodasi orang lain
(West&Turner, 2008: 212)
Untuk mendapatkan pengertian mengenai karakteristik utama dari Teori
akomodasi komunikasi, kita harus mengetahui apa yang dimaksud dengan kata
akomodasi. Dalam konteks ini, akomodasi (accommodation) didefinisikan sebagai
kemampuan untuk menyesuaikan, memodifikasi, atau mengatur perilaku seseorang
dalam responnya terhadap orang lain. Meskipun akomodasi kadang-kadang dilakukan
secara sadar, namun biasanya dilakukan secara tidak sadar (West & Turner, 2008: 212).
Beberapa asumsi yang menjadi dasar teori akomodasi komunikasi yang
dikemukakan oleh West & Turner (2008: 219) adalah sebagai berikut :
1. Persamaan dan perbedaan berbicara dan perilaku terdapat didalam semua
percakapan.
2. Cara dimana kita mempersepsikan tuturan dan perilaku orang lain akan menentukan
bagaimana kita mengevaluasi sebuah percakapan.
3. Bahasa dan perilaku memberikan informasi mengenai status sosial dan keanggotaan
kelompok.
4. Akomodasi bervariasi dalam hal tingkat kesesuaian, dan norma mengarahkan proses
akomodasi.
Berikut ini penjelasan lebih lanjut tentang keempat asumsi dari teori akomodasi
komunikasi diatas. Asumsi pertama, asumsi ini timbul karena prinsip teori akomodasi
komunikasi banyak berpijak pada keyakinan bahwa terdapat persamaan dan perbedaan
antara para komunikator dalam sebuah percakapan. Asumsi kedua, yaitu terletak pada
persepsi, yaitu proses memperhatikan dan menginterpretasikan pesan, maupun evaluasi
yaitu, proses menilai percakapan. Akomodasi komunikasi adalah teori yang
mementingkan bagaimana orang mempersepsikan dan mengevaluasi apa yang terjadi
didalam sebuah percakapan. Asumsi ketiga, adalah berkaitan dengan dampak yang
dimiliki bahasa terhadap orang lain, dimana secara khusus bahasa memiliki kemampuan
untuk mengkomunikasikan status dan keanggotaan kelompok diantara para komunikator
dalam suatu percakapan. Asumsi keempat, berfokus pada norma dan isu mengenai
kepantasan sosial. Dalam konteks ini norma memiliki pengertian harapan mengenai
33
perilaku yang dirasa seseorang harus atau tidak harus terjadi didalam percakapan
(West & Turner, 2008: 220-221)
Secara garis besar, teori ini mempertimbangkan motivasi dan konsekuensi yang
mendasari dari apa yang terjadi ketika dua pembicara menyesuaikan gaya komunikasi
mereka. Selama komunikasi berlangsung, orang akan berusaha untuk mengakomodasi
atau menyesuaikan gaya berbicara mereka dengan orang lain. Ini terutama dilakukan
dalam dua cara : divergensi (divergence) dan konvergensi (convergence). Giles, Nikolas
Coupland dan Justine Coupland (1991) mendefinisikan konvergensi sebagai “strategi
dimana individu beradaptasi terhadap perilaku komunikatif satu sama lain”. Sedangkan
divergensi adalah strategi yang digunakan untuk menonjolkan perbedaan verbal dan non
verbal diantara komunikator. Kelompok-kelompok dengan kabanggan budaya yang kuat
sering kali menggunakan divergensi untuk menekan identitas kelompok. Konvergensi
terjadi ketika terdapat kebutuhan besar akan persetujuan sosial, sering kali dari individuindividu yang memiliki kekuasan (West & Turner, 2008: 218-227)
3. Pemaknaan Dalam Sebuah Interaksi
Makna merupakan hakekat komunikasi. Seseorang yang terlibat dalam sebuah
interaksi, maka ia dan lawan bicaranya akan terus menerus memberikan makna pada
berbagai pesan/informasi yang mereka sampaikan maupun yang diterimanya. Secara
garis besar pada bagian ini peneliti akan memberikan perhatian pada bagaimana makna
tercipta dalam sebuah interaksi. Dalam topik ini akan digunakan pendekatan dari teori
interaksi simbolis (symbolic interactionism) dari George Herbert Mead yang akan
menjelaskan tentang apa yang menyebabkan orang bersama-sama dan mengapa orang
mau untuk berbagi makna, serta bagaimana komunikator dan komunikan bekerja sama
dalam cara yang terstruktur untuk mengatur pembicaraan mereka.
Teori Interaksi Simbolis. Teori interaksi simbolis (symbolic interactionism)
lahir pada awal abad ke sembilan belas yang merupakan suatu gerakan pemikiran ilmu
sosiologi yang dibangun oleh seorang warga Amerika, George Herbert Mead. Teori dari
Mead ini kemudian diteruskan oleh Herbert Blumer , seorang murid Mead. Karya Mead
kemudian menjadi inti dari aliran
pemikiran
yang
dinamakan Chicago School
(Paloma, 2000: 255).
Blumer (1969: 2) mengemukakan, interaksi simbolik berdasar pada tiga premis
sederhana. Premis pertama, perilaku manusia selalu mengarah pada makna yang
34
mereka miliki atau manusia (human being) bertindak terhadap sesuatu berdasarkan
makna mereka. Sesuatu (thing) yang dimaksudkan adalah obyek fisik seperti pohon atau
kursi, makhluk hidup sebagai teman berinteraksi, dan obyek yang sifatnya abstrak
seperti keadilan, kebenaran, identitas, kepercayaan, dan lain sebagainya.
Premis kedua, adalah makna yang ada datangnya dari suatu proses interaksi
sosial. Makna dalam interaksi simbolik tidak menyatakan sebagai hal yang melekat
pada suatu obyek, bukan juga sebagai sebuah proses psikologi, melainkan makna dilihat
sebagai hasil dan kreasi yang dibentuk di dalam dan melalui aktifitas orang-orang yang
ada dalam suatu proses interaksi. Jadi makna tidak pernah absolut karena makna dicapai
berdasarkan suatu proses negosiasi dalam suatu interaksi. Sedangkan premis ketiga,
mengatakan bahwa makna itu sendiri dikelola dan dimodifikasi melalui proses
interpretasi yang digunakan dalam menghadapi obyek sosial untuk bertindak dalam
suatu interaksi.
Proses interaksi sendiri mempunyai dua tahapan, pertama melihat makna dari
obyek yang ada atau manusia mengindikasikan sesuatu pada dirinya sendiri kearah
mana dia akan bertindak. Kedua, melihat makna dari satu kesatuan yang melekat dari
obyek tersebut. Artinya, saat proses komunikasi dalam diri sendiri, interpretasi menjadi
suatu cara dalam menghadapi makna yang ada. Dalam hal ini, manusia memilih,
melihat, mengembangkan, mengelompokkan, dan mentransformasikan makna dalam
situasi dimana dia berada dan arah dari tindakannya. Permainan makna menjadi bagian
dalam suatu tindakan melalui proses interaksi dalam diri sendiri. Interaksi simbolik
adalh produk sosial yang dibentuk oleh dan melalui aktivitas manusia yang saling
berinteraksi (Blumer, 1969: 3).
Seperti yang disebutkan sebelumnya, Blumer (169: 10) mengkategorikan obyek
menjadi tiga yaitu, obyek fisik, obyek sosial, dan obyek abstrak. Makna tersebut belum
tentu mempunyai kesamaan bagi setiap individu karena makna terhadap suatu obyek
bagi individu tergantung dari dengan siapa mereka berinteraksi sehingga obyek dilihat
sebagi hasil kreasi sosial.
Mead memperkenalkan konsep society (masyarakat), self (diri), dan mind
(fikiran). Ketiga konsep tersebut memiliki aspek-aspek yang berbeda namun berasal
dari proses umum yang sama yang disebut social act (tindakan sosial), yaitu suatu unit
tingkah laku lengkap yang tidak dapat dianalisis kedalam subbagian tertentu. Dalam
35
bentuk yang paling sederhana, sebuah social act mencakup tiga bagian hubungan.
Pertama, adanya isyarat awal dari gerak atau isyarat tubuh (gesture) dari individu.
Kedua, adanya respon terhadap gesture. Ketiga, adalah hasil yang merupakan makna
bagi act. Makna tidak semata-mata hanya berada pada salah satu dari ketiga hal tersebut
tetapi berada dalam suatu hubungan segitiga yang terdiri dari tiga hal tersebut.
Berkaitan dengan pemaknaan dalam sebuah interaksi, maka interaksi simbolis
memfokuskan perhatiannya pada cara-cara yang digunakan manusia untuk membentuk
makna dan struktur masyarakat melalui percakapan. (Littlejohn dan Foss,2011: 190191)
Konsep pertama Mead adalah society. Society merupakan sebuah kelompok
kehidupan yang berdasarkan perilaku kerja sama antar anggota kelompoknya. Kerja
sama manusia mengharuskan kita memahami niat orang lain, yang juga mencari tahu
apa yang akan kita dan orang lain lakukan dimasa depan. Jadi, kerja sama itu sendiri
terdiri dari bagaimana kita membaca tindakan orang lain dan niat meresponnya dengan
cara yang tepat. Makna juga bagian penting yang merupakan hasil dari interaksi melalui
symbol yang digunakan. Kita menggunakan makna untuk menginterpretasikan apa yang
terjadi di sekitar kita. Yang jelas kita tidak akan bisa berkomunikasi tanpa berbagi
makna dan symbol yang kita gunakan (Littlejohn dan Foss, 2002: 148)
Konsep kedua adalah self. Menurut Mead (1934: 279), self memiliki dua sisi
yang masing-masing memiliki tugas penting, yaitu “self” yang mewakili saya sebagai
subyek (I) dan saya sebagai Obyek (me). Hal-hal yang benar-benar kita lakukan, seperti
kata-kata pada waktu kita berbicara, ekspresi kita, emosi kita, inilah yang disebut
dengan “I”. “I” adalah respon dari diri sendiri terhadap sikap orang lain. Disisi lain
“me” adalah himpunan yang terorganisir dari sikap orang lain yang diasumsikan oleh
diri sendiri.
Selain itu, sikap orang lain
yang terbentuk diatur oleh “me”, yang
selanjutnya bereaksi sebagai “I” (Mead, 1934: 175).
Gagasan tentang konsep diri juga dikemukakan oleh Williarm D. Brooks (1974)
dalam Rakhmat (2013: 98) ynag mendefinisikan konsepdiri sebagai “those physical,
social, and psychological perceptions of ourselves that we have derived from
experiences and our interaction with others”. Dapat disimpulkan bahwa konsep diri
adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita. Persepsi tentang diri ini dapat
bersifat psikologi, sosial, maupun fisis.
36
Konsep yang terakhir dari Mead adalah mind. Mind bukanlan sesuatu, tetapi
merupakan proses. Mind adalah kemampuan untuk menggunakan simbol yang
mempunyai makna sosial yang sama, dimana tiap individu harus mengembangkan
pikiran mereka melalui interaksi dengan individu lain (Liittlejohn dan Foss, 2002: 148)
Barbara Ballis dalam Littlejohn dan Foss (2011: 190) merangkum ada enam
gagasan yang mendasari teori Interaksi simbolis dari George Herbert Mead, yaitu :
1. Manusia membuat keputusan dan bertindak pada situasi yang dihadapinya sesuai
dengan pengertian subyektinya.
2. Kehidupan sosial merupakan proses interaksi, kehidupan sosial bukanlah struktur
atau bersifat struktural dan karena itu akan terus berubah.
3. Manusia memahami pengalamannya melalui makna dari simbol yang digunakan
dilingkungan terdekatnya (primary group), dan bahasa merupakan bagian yang
sangat penting dalam kehidupan sosial.
4. Dunia terdiri dari berbagai obyek sosial yang memiliki nama dan makna yang
ditentukan secara sosial.
5. Manusia
mendasarkan
tindakannya
atas
interpretasi
mereka,
dengan
mempertimbangkan dan mendefinisikan obyek-obyek dan tindakan yang relevan
pada situasi saat itu.
6. Diri seseorang adalah obyek signifikan dan sebagaimana obyek sosial lainnya diri
didefinisikan melalui interaksi social dengan orang lain.
4. Budaya
Para ilmuwan sosial mengakui bahwa budaya dan komunikasi itu mempunyai
hubungan timbal balik, seperti dua sisi dari mata uang. Budaya menjadi bagian dari
perilaku komunikasi, dan pada gilirannya komunikasi pun
turut menentukan,
memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya. Seperti yang dikatakan Edward
T. Hall bahwa dalam bukunya The Silent Language (1959) “budaya adalah komunikasi”
dan “komunikasi adalah budaya”. Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu
mekanisme untuk mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, namun pada sisi
lain budaya menetapkan norma-norma (komunikasi) yang dianggap sesuai untuk
kelompok tertentu (Mulyana, 2005: 6)
Komunikasi antarbudaya merupakan bagian dari komunikasi interpersonal yang
tidak akan lepas dari sebuah percakapan dan hal itu tidak dapat dihindari dalam
37
kehiduan manusia. Percakapan membentuk identitas individu dan kolektif. Dalam
komunikasi antarbudaya, komunikasi dilakukan baik secara verbal maupuan nonverbal.
Pada komunikasi secara verbal maka akan orang menggunakan bahasa sebagai alat
komunikasi. Dalam penelitian ini peneliti memberikan batasan penelitian hanya pada
komunikasi verbal. Ada beberapa teori yang menunjukkan tentang bagaimana
penggunaan bahasa dalam percakapan menciptakan kelompok sosial yang memegang
sebuah visi yang sama dan bertujuan untuk membentuk komunikasi yang mampu
memberdayakan semua kelompok (Littlejohn dan Foss, 2011: 216). Disini peneliti
menggunakan pendekatan teori language-centered perspective on culture yang
menjelaskan pentingnya bahasa dalam percakapan pada pembentukan identitas budaya.
Teori Perspektif Bahasa dalam Budaya. Teori perspektif bahasa dan budaya
(language-centered perspective on culture) yang dikemukakan oleh Fern Johnson
menjadikan studi mengenai linguistik budaya (cultural linguistic) memberikan peran
dan pengaruhnya pada isu-isu mengenai keragaman budaya pada masyarakat multi
budaya seperti yang terjadi di Amerika Serikat (Littlejohn dan Foss, 2011: 216).
Johnson mengemukakan enam asumsi atau aksioma mengenai perspektif bahasa
dalam budaya adalah sebagai berikut :
1. Semua komunikasi terjadi dalam kerangka budaya.
2. Semua individu secara diam-diam menggunakan pengetahuan budaya yang
mereka miliki untuk berkomunikasi.
3. Dalam masyarakat multukultural, ada ideologi bahasa yang dominan yang
membuat kelompok-kelompok lain tergusur.
4. Anggota kelompok budaya yang terpinggirkan memiliki pengetahuan mengenai
budaya asli mereka selain mengetahui budaya dominan.
5. Pengetahuan budaya dapat dipertahankan dan ditularkan kepada orang lain namun
akan selalu berubah.
6. Ketika budaya hidup berdampingan, maka masing-masing budaya akan saling
mempengaruhi (Littlejohn dan Foss, 2011: 216)
Fokus pada percakapan, Johnson menyatakan perlunya merasakan perbedaan
pada setiap percakapan, melalui suatu pemahaman dari berbagi faktor budaya yang
dibawa masing-masing peserta percakapan. Secara garis besar teori ini dirancang untuk
mempromosikan suatu pengertian terhadap bahasa tertentu dan berbagai variable
38
budaya dari kelompok budaya tertentu sekaligus mendorong pengertian mengenai
bagaimana suatu wacana percakapan pada kelompok masyarakat dapat muncul,
berkembang, dan kemudian terjadi interaksi dengan dengan ideologi bahasa yang
dominan dalam suatu .
Teori ini memiliki fokus perhatian pada budaya khususnya bahasa pada berbagai
kelompok masyarakat yang hidup berdampingan khususnya di AS. Johnson dalam
penelitiannya di Amerika Serikat (AS) terhadap empat wacana budaya di AS tentang
gender, masyarakat keturuan Afrika, Spanyol, dan Asia, melihat bahwa masing-masing
wacana memberikan implikasi yang berbeda-beda dalam kegiatan komunikasi dan
kebijakan sosial di AS. Dengan melihat dari empat institusi utama yaitu pelayanan
kesehatan, tata hukum, pendidikan, dan lingkungan kerja,
hasil penelitian
menunjukkan bahwa dominasi dan hemegoni bahasa Inggris sangat berpengaruh di
negara itu. Johnson mengemukakan
berbagai
kesulitan yang harus dihadapi
kelompok-kelompok minoritas di AS karena adanya dominasi bahasa Inggris
ini.Melalui teori ini Johnson berupaya mempromosikan perlunya pengertian yang
lebih besar
terhadap faktor-faktor yang dapat memberikan sumbangan
keragaman budaya (multiculturalism) dan
mempromosikan
kebijakan
bagi
bahasa
(Littlejohn dan Foss , 2011: 216-217).
F. Tinjauan Penelitian Terdahulu
1. Penelitian Terdahulu
Berikut beberapa penelitian terdahulu yang dapat menjembatani research
gap dari penelitian yang akan dilakukan terkait dengan topik dan masalah seputar
komunikasi antarbudaya yang terjadi pada mahasiswa asing.
a. Impact of Study Abroad on Students’ Intercultural Communication Skill
Penelitian ini dilakukan di Amerika Serikat oleh Williams melalui
Journal of Studies in International Education pada tahun 2005 yaitu melakukan
penelitian tentang dampak studi di luar negeri pada kompetensi komunikasi
antar siswa di Universitas Kristen Texas. Williams ingin menawarkan bukti
konkret dari nilai-nilai dan hasil studi di luar negeri dengan mengukur
kemampuan adaptasi dan sensitivitas yang menurut dia, merupakan dasar dari
kompetensi komunikasi antarbudaya. Menggunakan kelompok yang tinggal di
39
kampus sebagai kontrol, Williams menemukan bahwa kelompok studi di luar
negeri memiliki peningkatan kesadaran budaya, pemahaman yang lebih untuk
budaya lain, dan peningkatan yang lebih besar secara keseluruhan dalam
keterampilan komunikasi antarbudaya setelah mereka kembali bila dibandingkan
dengan siswa yang tidak belajar di luar negeri.
b. Intercultural Friendship Development Between Finnish and International
Students
Penelitian yang lebih baru dilakukan pada tahun 2011 oleh Fei Peng
dalam thesis di University of Jyväskylä Finlandia, yang didasarkan pada studi
dalam membangun hubungan, pengembangan persahabatan dan pengembangan
persahabatan
antarbudaya,
dengan
maksud
untuk
memahami
proses
terbentuknya persahabatan antarbudaya dan faktor-faktor yang terlibat dalam
pembentukan persahabatan antara siswa Finlandia dan siswa internasional.
Secara umum, persahabatan antarbudaya tampaknya berkembang dengan cara
yang mirip dengan persahabatan intracultural, namun persahabatan antarbudaya
berkembang dari tahap yang lebih rendah (kenalan) menuju ke tahap
persahabatan yang lebih tinggi (teman dekat) dan siswa tampaknya menerapkan
kriteria yang sama dalam memilih teman untuk kedua konteks. Namun,
tampaknya ada juga perbedaan motivasi dan pengembangan antara kedua jenis
persahabatan. Dalam konteks persahabatan antar budaya, perbedaan budaya
dapat menarik orang untuk menjalin persahabatan antarbudaya. Pengembangan
antarbudaya persahabatan bisa lebih cepat dari persahabatan intracultural dalam
konteks Finlandia. Dengan menggunakan teori identitas relasional menunjukkan
bahwa persahabatan antar budaya terbentuk bersamaan dengan adanya norma,
nilai-nilai dan peran dalam suatu hubungan, sedangkan jika dilihat dari teori
negoisasi budaya, perilaku lebih fokus kepada pemahaman budaya pada
umumnya, dan dapat menangkap dengan baik fitur unik dalam pengembangan
persahabatan antar antarbudaya daripada teori identitas relasional.
2. Research Gap
Jika kita lihat, kedua hasil penelitian diatas mempunyai persamaan topik, yaitu
komunikasi antarbudaya pada siswa asing, namun keduanya melakukan kajian dari
sudut pandang yang berbeda. Penelitian Fei Peng dilakukan untuk memahami proses
40
terbentuknya persahabatan antarbudaya, sedangkan
penelitian yang dilakukan
William lebih cenderung pada adanya pembuktian tentang pengaruh studi diluar
negeri pada kompetensi komunikasi antarbudaya siswa, khususnya yang belajar di
Universitas Kristen Texas.
Penelitian ini juga membahas komunikasi antarbudaya, namun mempunyai
perbedaan fokus kajian, yaitu fokus pada bagaimana proses interaksi yang terjadi
antara mahasiswa asing dengan mahasiswa lokal dilihat dari aspek komunikasi
sebagai sebuah proses pada konteks komunikasi interpersonal.
Penelitian ini dilakukan dengan latar belakang bahwasannya dalam sebuah
interaksi antar individu, tidak akan lepas dari sebuah percakapan. Untuk kebanyakan
orang, percakapan merupakan sesuatu yang informal dan merupakan interaksi
sehari-hari. Akan tetapi dalam teori komunikasi istilah ini memiliki arti khusus.
Littlejohn mendefinisikan pengertian “conversation” adalah : “A conversation is an
interaction sequence with a defined beginning and end, turn taking, and some sort
of purpose or a set of goals” (suatu urutan interaksi dengan awal dan akhir yang
jelas, saling bergantian dan memiliki semacam arah atau seperangkat tujuan).
Keunggulan penelitian yang dilakukan dengan penelitian sebelumnya adalah
bahwa dari hasil penelitian ini maka akan dapat dilihat bagaimana pesan-pesan yang
muncul untuk mewujudkan sebuah tujuan yang terbentuk yaitu terjadinya
kesepahaman dalam berkomunikasi dan terciptanya komunikasi yang baik dan
lancar diantara mahasiswa asing dengan mahasiswa lokal.
G. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran dalam penelitian ini berawal dari permasalahan komunikasi
yang terjadi pada mahasiswa asing yang sedang melakukan studi di suatu negara
dengan mahasiswa lokal dinegara tersebut. Dari penelitian terdahulu yang
ditemukan peneliti, menunjukkan bahwa dalam proses interaksi yang terjadi antara
mahasiswa asing dan mahasiswa lokal (tuan rumah) ternyata terdapat beberapa
permasalahan yang terjadi sehingga menghambat terciptanya sebuah komunikasi
yang baik diantara mahasiswa asing dengan mahasiswa lokal.
Dari permasalahan tersebut, peneliti ingin mendeskripsikan dan menganalisa
lebih dalam tentang permasalahan yang terjadi pada proses interaksi tersebut.
41
Analisa dilakukan dengan menggunakan pendekatan pada model “conversation”
yang dikemukakan oleh Littlehjohn dan Foss (2011), yang akan memberikan
gambaran secara mendalam bagaimana proses interaksi yang terjadi antara
mahasiswa asing dengan mahasiswa lokal khususnya yang terjadi pada mahasiswa
asing yang sedang melakukan studi di Universitas Sebelas Maret.
Dari hasil diskripsi dan analisis proses interaksi tersebut, maka diharapkan akan
ditemukan sebuah solusi dari permasalahan komunikasi tersebut sehingga tercipta
sebuah kesepahaman dan komunikasi yang baik diantara mahasiswa asing dan
mahasiswa lokal di Universitas Sebelas Maret.
Berikut adalah skema kerangka pemikiran yang dibangun dalam penelitian ini :
Gambar 2.3. Skema Kerangka Pemikiran
Interaksi antara mahasiswa asing
dengan mahasiswa lokal
Permasalahan komunikasi antarbudaya pada
mahasiswa asing disebabkan :
1. Adanya keragu-raguan dari mahasiswa
asing untuk terlibat dalam sebuah
interaksi
2. Mengalami masalah dalam melakukan
penyesuaian
3. Kurangnya pemahaman antarbudaya
4. Lemahnya kompetensi bahasa
5. Dikucilkan oleh mahasiswa tuan rumah
6. Diskriminasi rasial
Model Conversation :
 Pengelolaan ketidakpastian
 Adaptasi
 Pemaknaan Interaksi
 Budaya


Terjadi kesepahaman dalam
berkomunikasi antara mahasiswa
asing dengan mahasiswa lokal
Terciptanya komunikasi yang
baik dan lancar antara
mahasiswa asing dengan
mahasiswa lokal
Download