7 BAB II KAJIAN TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Pengertian Marketing Pemasaran atau marketing menurut American Marketing Asociation dalam Kotler dan Keller (2009:5) pemasaran adalah suatu fungsi organisasi dan serangkaian proses untuk menciptakan, mengkomunikasikan, dan memberikan nilai kepada pelanggan dengan cara yang menguntungkan organisasi dan pemangu kepentingannya. Menurut Hermawan dalam Buchari (2009:3) pemasaran adalah sebuah disiplin bisnis strategis yang mengarahkan proses penciptaan, penawaran dan perubahan values dari satu inisiator kepada stakeholder-nya. Kotler, Bowen dan Makens (2006:13) pemasaran adalah sebuah proses sosial manajerial yang didalamnya individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka perlukan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan dan saling bertukar produk dan layanan bernilai secara bebas dengan pihak lain. berdasarkan beberapa definisi pemasaran tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pemasaran merupakan suatu proses kegiatan atau strategi dalam menyampaikan suatu nilai (values) kepada pelanggan sehingga menjadi suatu interaksi positif dan menguntungkan bagi perusahaan maupun stakeholder-nya. Fokus pemasaran terus berubah seiring dengan berjalannya waktu, setiap penelitian dilakukan pada masa-masa tertentu sehingga melahirkan ide-ide baru 8 yang semakin berkembang. Konsep-konsep yang dibuat memiliki pengaruh yang melatarbelakangi perubahan pemasaran pada masa lalu sehingga melahirkan konsep pemasaran yang modern dan lebih flexible dalam menangani pasar yang terus berubah. Seorang marketing yang terlibat didalamnya harus mampu menangani pelanggan yang terus mengalami perubahan, marketing juga berlomba dalam mengatur strategi pemasaran agar dapat diterima dengan baik oleh konsumennya. 2.1.2 Pergesaran Paradigma Dalam Pemasaran Perkembangan tekhnologi dan informasi saat ini sangat dinamis sehingga mempengaruhi tren pemasaran, semula pemasaran memfokuskan produk pada feature dan benefit bagi pelanggan atau dinamakan dengan konsep tradisional marketing. Tradisional marketing memandang konsumen sebagai pembuat keputusan yang rasional atas produk yang mereka pilih, selain itu dalam tradisional marketing kategori produk dan persaingan dipandang secara sempit hanya pada sebuah produk. Pandangan sempit tradisional marketing menjadikan ciri khas dan keunikan produk tertentu sebagai modal penting dalam mendiferensiasikan produk mereka. Alat dan teknologi yang digunakan dalam tradisional marketing adalah analitikal, kuantitatif dan verbal, yaitu metode analisis untuk menemukan atau mengatasi masalah dengan data-data kuantitatif. Perkembangan teknologi dan perbedaan persepsi, sifat dan gaya hidup konsumen menjadi unsur utama dari kurang efektifnya pelaksanaan tradisional marketing sehingga bukan lagi menjadi cara untuk dapat memenuhi kebutuhan 9 konsumen. Pada abad 21 ini konsumen membutuhkan lebih dari manfaat inti dari sebuah produk, seperti yang diungkapkan Buchari (2009:263) bahwa, value pada akhir-akhir ini menjadi dambaan para produsen, karena telah terjadi pergeseran selera konsumen dimana feature dan benefit tidak cukup lagi untuk memuaskan pelanggan dan menurut Robert dan Cherill (2000:8), bahwa satu karakteristik ekonomi pada saat ini dalam organisasi hospitaly yang pertama adalah dalam memahami kebutuhan konsumen, yang pada saat ini banyak konsumen tidak cukup dengan hanya mendapatkan produk dan jasa yang baik. Pernyataan tersebut menunjukan bahwa konsumen menginginkan penampilan (package) produk dan jasa seperti bagian pengalaman yang tidak terlupakan. Fenomena tersebut menyebabkan terjadi pergeseran pemasaran dimana sebelumnya sekedar menawarkan features dan benefit menjadi pemasaran yang memperhatikan pengaruh emosi konsumen dalam menentukan pilihan produk, yaitu melalui pembentukan suatu pengalaman atas suatu produk. Menurut Pine & Gilmore (1999:2) tingkat pemasaran dalam dunia bisnis saat ini adalah commodities marketing, good marketing, service marketing, experiential marketing, dan transformation marketing. 1. Commodities marketing, dimana pada tingkatan ini tidak terdapat perbedaan antara suatu produk dengan produk lainnya, selain itu penentuan harga tidak bisa dilakukan sendiri karena sangat bergantung pada supply dan demand. 2. Good marketing, pada tingkatan ini sudah memperlihatkan adanya suatu perbedaan atau deferensiasi antara produk kita dengan produk pesaing dan harga dapat ditentukan sendiri. 10 3. Service marketing, tingkatan pemasaran ini telah memperhatikan kepuasan yang diperoleh konsumen yaitu dengan memberikan pelayanan sebelum atau setelah penjualan. 4. Experiential marketing, pada tahapan pemasaran tujuannya bukan hanya memuaskan pengunjung tetapi untuk menarik hati pengunjung dan memberikan suatu pengalaman dan memori yang mengesankan dan berumur panjang. 5. Transformation marketing, pada tingkatan ini bukan hanya menciptakan memori jangka panjang, tetapi juga bisa melakukan transformasi secara lebih permanen. Rahmawaty (3003:89) Experience adalah suatu kejadian yang terjadi apabila badan usaha dengan sengaja menggunakan service sebagai prasarana dan goods menjadi penyangga untuk dapat menarik hati atau minat konsumen secara individu dan emosi. Perusahaan berusaha mengikat pengalaman disekeliling goods maupun service yang ada untuk menarik konsumen lebih banyak. Konsumen secara umum akan menilai pengalaman berdasarkan pada ingatan atas kejadian yang menarik hati. 2.1.3 Experiential Marketing Pemasaran tingkat experiential marketing merupakan bentuk pemasaran yang sesuai dengan kondisi saat ini, melalui experiential marketing emosi konsumen akan menjadi perhatian utama sehingga akan diperoleh suatu memorable experience atau pengalaman yang tidak terlupakan. Konsep pemasaran 11 yang menekankan adanya pengalaman pelanggan ini merupakan satu syarat bagi perusahaan untuk memperoleh keunggulan jangka panjang, seperti dikatakan Zarem yang mengutip pernyataan Sandres, Direktur Yahoo dalam jurnal Manajemen Pemasaran menyatakan bahwa pengalaman merupakan dasar perekonomian baru untuk semua perusahaan. Experiential marketing berasal dari dua kata yaitu experiential dan marketing. Experiential sendiri berasal dari kata experience yang berarti sebuah pengalaman sedangkan marketing yang berarti pemasara. Beberapa ahli mengemukakan pengertian experience dan marketing yang diuraikan dalam definisi berikut ini. experience menurut Knutson, Beck, Kim, dan Cha, 2006:32 Experience as the apprehension of an object, thought, or emotion through the senses or mind ……active participation in events of activities, leading to the accumulation of knowledge or skill…..an event of such events. Pengalaman merupakan pengertian dari suatu obyek, pemikiran, atau emosi melalui akal atau pikiran …..keikutsertaan aktif dalam aktivitas suatu peristiwa, mendorong ke arah akumulasi keterampilan atau pengetahuan…..suatu peristiwa atau satu rangkaian peristiwa berpartisipasi dalam kehidupan yang telah dialami…..keseluruhan peristiwa tersebut. Knutson, Beck, Kim dan Cha, 2006:32 juga mengungkapkan bahwa. Experience is an actual living through an event….anything observed of lived through …..all that has happened to one. Pengalaman adalah suatu 12 yang nyata dalam suatu peristiwa…..apapun yang diamati atau yang dialami…..segala sesuatu yang telah terjadi pada seseorang. Sedangkan dalam Buchari, 2006:266 pengalaman adalah berupa emotional benefit yang ditawarkan lembaga sesuai dengan kebutuhan konsumen. Marketing adalah proses sosial dan manajerial yang didalamnya individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka perlukan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan, dan saling bertukar produk dan layanan yang bernilai secara bebas dengan pihak lain (Kotler, dkk 2006:4). Pemasaran menurut Marketing Asociations of Asutralia and New Zealand dalam Buchari (2009:3) marketing didefinisikan sebagai aktivitas yang memfasilitasi dan memperlancar suatu hubungan pertukaran yang saling memuaskan melalui penciptaan, pendistribusian, promosi dan penentu harga dari barang, jasa dan ide. AMA dalam Kotler dan Keller (2009:5) juga menyatakan Pemasaran adalah suatu fungsi organisasi dan serangkaian proses untuk menciptakan, mengkomunikasikan, dan memberikan nilai kepada pelanggan dengan cara yang menguntungkan organisasi dan pemangku kepentingannya. Definisi yang dijelaskan sebelumnya mengenai experience dan marketing maka dapat dikatakan bahwa experience/marketing merupakan suatu strategi yang dapat memenuhi kebutuhan secara menguntungkan baik bagi perusahaan, konsumen, dan juga stakeholders. Menurut Schmitt (1999:63) mengemukakan bahwa Experiential Marketing merupakan suatu kemampuan dari suatu produk dalam menawarkan pengalaman emosi hingga menyentuh hati dan perasaan konsumen. 13 Menurut Gregorie dalam Smith dan Wheeler, 2002:1 konsumen menginginkan produk atau jasa yang benar-benar bisa membuat ia senang dan memenuhi atau sesuai dengan gaya hidupnya, dan dapat memberi pengalaman berharga. Wolfe, 2005:1 Experiential Marketing defined as a fuslon of non traditional modern marketing practices integrated to enhance a consumers personal and emotional association with a brand. Menurut Fransisca Andreani dalam jurnal manajemen pemasaran Experiential Marketing (Sebuah pendekatan pemasaran: 2007) Experiential Marketing merujuk pada pengalaman brand/product/service untuk meningkatkan nyata penjualan pelanggan dan brand terhadap image awareness. Experiential Marketing adalah lebih dari sekedar memberikan informasi dan peluang pada pelanggan untuk memperoleh pengalaman atas keuntungan yang didapat dari produk atau jasa itu sendiri tetapi juga membangkitkan emosi dan perasaan yang berdampak terhadap pemasaran, khususnya penjualan. Kotler dan Keller, 2009:563 mengemukakan definisi experiential marketing is a large part of local. Grassroots marketing is experiential marketing which not only communicates feature and benefit but also connect a product or service with unique and interesting experience. Arti dari pernyataan tersebut, experiential marketing bukan hanya sekedar mengkomunikasikan fitur dan manfaat dari suatu produk saja, tetapi juga menghubungkan suatu produk atau jasa dengan pengalaman yang unik dan menarik. 14 Kuo Ming Lin, Chia Ming Chang, Zen Pin Lin, Ming Lang Tseng, Lawrence, 2009:231 Menyebutkan execute experiences will encourage loyalty not only through a functional design but also by creating emotional connection engaging, compelling, and consistent context. Menurut pernyataan beberapa ahli mengenai experiential marketing yang telah diuraikan di atas terdapat kesamaan bahwa dengan melakukan experiential marketing konsumen tidak hanya mendapatkan produk dan manfaatnya saja melainkan dapat memberikan pengalaman positif bagi konsumen, maka experiential marketing dapat didefinisikan merupakan pendekatan pemasaran yang dilakukan melalui ikatan emosional dengan konsumen agar tercipta suatu pengalaman positif dan tidak terlupakan sehingga konsumen berusaha untuk mengulang pengalamannya kembali. Menurut Schmitt (1999: 63) experiential marketing adalah sebuah pendekatan pemasaran yang sebenarnya telah dilakukan sejak jaman dulu hingga sekarang oleh para pemasar. Experiential marketing juga digunakan sebagai sarana untuk membangun brand equity. Brand equity mencakup interaksi gaya hidup pelanggan (nasabah) yang tidak dapat dipisahkan. Experiential marketing sendiri mempunyai beberapa elemen seperti Sense, Feel. Think, Act, dan Relate. Secara implicit Schmitt, Bernd (The Free Press, New York, 1999: 64) menjelaskan bahwa experiential marketing merupakan cara untuk membuat konsumen menciptakan pengalaman melalui panca indera (sense), menciptakan pengalaman afektif (feel), menciptakan pengalaman berpikir secara kreatif (Think), menciptakan pengalaman konsumen yang berhubungan dengan tubuh secara fisik, 15 dengan perilaku gaya hidup, serta dengan pengalaman-pengalaman sebagai hasil interaksi dengan orang lain (Act), juga menciptakan pengalaman yang terhubung dengan keadaan sosial, gaya hidup, dan budaya yang dapat merefleksikan merek tersebut yang merupakan pengembangan dari sensation, feelings, cognitions, dan actions (relate). a. Karakteristik Experiential Marketing Menurut Schmitt (1999:33) karakteristik dari experiential marketing antara lain fokus pada pengalaman konsumen, menguji situasi konsumen, mengenali aspek rasional dan emosional sebagai pemicu dari konsumen dan metode perangkat bersifat elektrik. 1. Fokus pada pengalaman konsumen Pengalaman terjadi sebagai pertemuan, menjalani atau melewati situasi tertentu yang memberikan nilai-nilai indrawi, emosional, kognitif, perilaku, dan relasional yang menggantikan nilai-nilai fungsional. Pengalaman tersebut dapat menghubungkan badan usaha beserta produknya dengan gaya hidup konsumen yang mendorong terjadinya pembelian pribadi dan dalam lingkup usahanya. 2. Menguji Situasi Konsumen Berdasarkan pengalaman yang telah ada konsumen tidak hanya menginginkan suatu produk dilihat dari keseluruhan situasi pada saat mengkonsumsi produk tersebut tetapi juga dari pengalaman yang didapatkan pada saat mengkonsumsi produk tersebut. 16 3. Mengenali aspek rasional dan emosional sebagai pemicu dari konsumsi Experiential marketing bukan hanya melihat sisi rasional saja melainkan juga dari sisi emosional konsumen. Experiental marketing memperlakukan konsumen bukan hanya sebagai pembuat keputusan yang rasional tetapi konsumen lebih menginginkan untuk dihibur, dirangsang serta dipengaruhi secara emosional dan ditantang secara kreatif . 4. Metode dan Perangkat bersifat Elektik Metode dan perangkat untuk mengukur pengalaman seseorang lebih bersifat elektik. Maksudnya lebih bergantung pada objek yang akan diukur atau lebih mengacu pada setiap situasi yang terjadi dari pada menggunakan suatu standar yang sama. Pada experiential marketing, merek bukan hanya sebagai pengenal badan usaha saja, melainkan lebih sebagai pemberi pengalaman positif pada konsumen sehingga dapat menimbulkan loyalitas pada konsumen terhadap badan usaha dan merek tersebut. b. Manfaat Experiential Marketing Fokus utama dari suatu experiental marketing adalah pada tanggapan panca indera, pengaruh, tindakan serta hubungan. Experiential marketing dapat dimanfaatkan secara efektif apabila diterapkan pada beberapa situasi tertentu. Oleh karena itu ketergantungan/loyalitas suatu yang badan usaha dihubungkan harus melalui dapat menciptakan beberapa manfaat experiential marketing. Manfaat yang dapat diterima dan dirasakan suatu badan usaha menurut pandangan Schmitt (1999:34) apabila menerapkan experiential marketing antara lain: 17 a. Untuk membangkitkan kembali merek yang sedang turun. b. Untuk membedakan satu produk dengan produk pesaing c. Untuk menciptakan citra dan identitas sebuah perusahaan. d. Untuk mempromosikan inovasi e. Untuk membujuk percobaan, pembelian dan loyalitas konsumen. c. Alat Ukur Experiential Marketing Menurut Schmitt (1999:63) untuk menciptakan pengalaman yang unik dalam experiential marketing terdapat dua aspek yang menjadi kerangka kerja, yaitu Strategic Experiential Marketing Modules (SEMs) dan Experiences Provider (ExPros). Melalui SEMs dan ExPros dapat tercipta memorable experience (pengalaman yang terlupakan) pada konsumen. 1. Strategic Experiential Marketing Modules (SEMs) SEMs merupakan suatu dasar atau fondasi pelaksanaan experiential marketing pada konsumen, yang terdiri atas pengalaman melalui panca indera manusia (sense), pengalaman afektif (feel), pengalaman kongnitif (think), pengalaman gaya hidup (act), dan pengalaman hubungan dengan kelompok dengan referensi tertentu (relate). Kelima tahapan pengalaman tersebut menjadi bentuk dasar experiential marketing frame work. Menurut Schmitt (1999:70) dalam Jurnal Manajemen Pemasaran mengatakan bahwa pengalaman yang didapat oleh pelanggan menyangkut beberapa pendekatan berikut ini: 18 a. Sense Sense berkaitan dengan (styles) dan symbol-simbol verbal dan visual yang mampu menciptakan keutuhan sebuah kesan. Bertujuan untuk menciptakan kesan yang kuat, baik melalui iklan, packaging, ataupun website, seorang pemasar perlu memilih warna yang tepat sejalan dengan company profile. Pilihan warna ini harus menarik untuk membangkitkan perhatian pelanggannya. b. Feel Perasaan disini sangatlah berbeda dengan kesan sensorik karena hal ini berkaitan dengan suasana hati dan emosi jiwa seseorang bukan sekedar menyangkut keindahan, tetapi suasana hati dan emosi jiwa yang mampu membangkitkan kebahagiaan atau bahkan kesedihan. c. Think Merupakan rangsangan berpikir atas kemampuan intelektual dan kreativitas seseorang. d. Act Act berkaitan dengan perilaku yang nyata dan gaya hidup seseorang. Hal ini berhubungan dengan bagaimana membuat orang berbuat sesuatu dan mengekspresikan gaya hidupnya. e. Relate Relate berkaitan dengan budaya seseorang dan kelompok referensinya yang dapat menciptakan identitas sosial. 2. Experience Provider (ExPros) 19 Menurut Schmitt (1999:73), perangkat dari Strategic Experiential Modules (SEMs) dapat dibentuk melalui Experience Providers (ExPros). ExPro’s merupakan alat taktis yang dapat membentuk sense, feel, think, act, dan relate. Adapun ExPro’s terdiri dari enam komponen yang digambarkan sebagai berikut: a. Communication (Komunikasi) Communication dalam ExPros biasanya berupa iklan, megalog (majalah catalog) Koran, brosur, dan bentuk dari public relation. Bentuk komunikasi ini biasanya digunakan berbagai perusahaan untuk mengkomunikasikan produknya. Iklan dapat membentuk berbagai Strategic Experiential Modules yang berbeda, untuk sense iklan dapat menyentuh konsumen melalui indera, seperti halnya iklan televisi yang menggunakan manusia sebagai model iklan, dimana kecantikan, kelembutan rambut, dapat mempengaruhi keinginan untuk membeli produk tersebut. b. Visual /Verbal Identity (nama dan logo) Pengalaman dapat terbentuk melalui sebuah nama. Nama biasanya mencerminkan karakteristik dari suatu perusahaan atau produk, dimana nama ini sering menjadi inisial pemilik, akronim, atau deskriptif dari suatu produk. Begitu juga dengan logo biasanya diciptakan untuk memiliki keunikan tersendiri, dari mulai bentuk sampai penggunaan warna. 3. Product Presense (Tampilan Produk) Product presense dapat digunakan untuk memperoleh pengalaman dengan cepat. Product presense meliputi desain produk, kemasan dan karakteristik produk. Seperti yang dikatakan oleh Schmitt (1999:79) Product Presense 20 ExPros include product design, packaging and products display, and brand character that are used as a part of packaging and point of sale material. Tampilan produk yang baik harus dapat menarik hati konsumen, kemasan produk dan desain yang unik, merupakan salah satu cara bagi perusahaan untuk menarik hati konsumen dan memberikan memorable experience. 4. Co-Branding Kutipan yang didapat dari Bernd H. Schmitt (1999:84) mengemukakan bahwa co-branding seperti halnya komponen ExPros lainnya dapat digunakan untuk membentuk bagian dari SEMs. Co-Branding dalam ExPros meliputi event marketing dan sponshorsip, kerjasama, penggunaan produk dalam film, kampanye (iklan bersama) dan bentuk lainnya dari kerja sama. 5. Spatial Environment (tempat penjualan) Tempat penjualan merupakan sebuah tempat pengekspresian meliputi gedung, kantor, toko, dan tempat pameran. Tempat penjualan dalam experiential marketing merupakan sesuatu yang dapat menimbulkan pengalaman melalui desain ruangan, yaitu dirancang memiliki estetika, dari mulai interior, lantai, sampai perangkat dari interior itu sendiri. Tantangan yang dihadapi oleh pemasar ialah bagaimana sebuah tempat penjualan dirancang untuk memberikan pengalaman pada konsumen. 6. Website and Electronic Media Experiential marketing dan customer experience juga tidak akan terlepas dari media internet. Banyak perusahaan-perusahaan besar di dunia kini 21 memanfaatkan internet sebagai media untuk membentuk suatu pengalaman dalam jangka waktu yang lama bagi konsumen. 7. People Bagian terakhir dari ExPros ialah manusia, dimana manusia dapat menjadi pembentuk yang kuat pada kelima SEMs. Manusia meliputi tenaga penjual, wakil perusahaan, pelayan, dan siapapun yang berhubungan dengan perusahaan dan merek perusahaan itu sendiri. Manusia merupakan media yang dapat berinteraksi langsung dengan konsumen, untuk itu seorang karyawan harus mengetahui bagaimana merubah transaksi menjadi sebuah pengalaman yang unik dan bernilai bagi konsumen. Pengalaman itu terbentuk pada benak konsumen dari hal yang sederhana. 2.1.4 Konsep Loyalitas Konsumen 2.1.4.1 Pengertian Loyalitas Pelanggan Loyalitas konsumen dalam perusahaan jasa merupakan tujuan utama yang ingin dicapai. Khususnya bagi sebuah hotel, loyalitas merupakan tujuan akhir dari berbagai kegiatan pemasaran yang dilakukan, hal tersebut dikarenakan loyalitas pelanggan merupakan aset yang dapat menjamin keberlangsungan usaha dalam jangka panjang, loyalitas juga dapat menghasilkan revenue positif dimasa yang akan datang. 22 Menurut Shet dan Mittal dalam Fandy, 2007:387 Loyalitas pelanggan adalah komitmen pelanggan terhadap suatu merek, toko, dan pemasok berdasarkan sikap yang positif dan tercermin dalam pembelian ulang positif. Menurut Bothe yang dikutip dalam Vanessa, 2007:71 menyatakan loyalitas sebagai berikut: Loyalitas pelanggan sebagai pelanggan yang merasa puas terhadap produk atau jasa perusahaan dan mereka menjadi word of mouth advertiser yang antusias, loyalitas tidak hanya pada produk dan jasa perusahaan saja, tetapi juga keseluruhan portofolio produk dan jasa perusahaan sebagai bagian dari umur hidup loyalitas pada merek selamanya. Kepuasan pelanggan tidak lagi menjadi kunci utama sukses sebuah perusahaan, melainkan loyalitas adalah kunci dominan sukses suatu bisnis. Kotler, 2006:18 menyebutkan bahwa, “Customer Loyalty adalah suatu pembelian ulang yang dilakukan oleh seorang pelanggan karena komitmen pada suatu merek atau perusahaan”. Loyalitas didefinisikan sebagai orang yang membeli, khususnya yang membeli secara teratur dan berulang-ulang. Pelanggan merupakan seseorang yang secara terus menerus dan berulang kali datang ke suatu tempat yang sama untuk memuaskan keinginannya dengan memiliki suatu produk atau mendapatkan suatu jasa dan membayar produk atau jasa tersebut (Ali, 2008:83). Oliver dalam Ratih Hurriyati (2010:128) menyatakan bahwa “customer loyalty is a deeply held commitment to rebuy or repatronize a preffered product or service consistently in the future, despite situational influences and marketing 23 efforts having the potential to cause switching behavior. Artinya loyalitas pelanggan adalah komitmen pelanggan bertahan secara mendalam untuk berlangganan kembali atau melakukan pembelian ulang produk/jasa terpilih secara konsisten di masa yang akan datang, meskipun pengaruh situasi dan usaha pemasaran mempunyai potensi untuk menyebabkan perubahan perilaku. Berdasarkan pada berbagai definisi tersebut, loyalitas dapat diartikan sebagai ukuran kedekatan seseorang pada sebuah merek yang terealisasikan dengan cara menggunakan merek yang sama secara teratur dan pelanggan tersebut memiliki perasaan positif pada merek tersebut. Karakteristik pelanggan adalah seseorang yang tidak akan merasa tertarik dengan perusahaan atau merek lain, maka dari itu loyalitas pelanggan terhadap suatu merek dianggap sebagai aset perusahaan dan berdampak besar terhadap pangsa pasar serta profitabilitas perusahaan. 2.1.4.2 Manfaat Loyalitas Pelanggan Manfaat loyalitas yang diungkapkan oleh Ali, 2008:79 terbagi kedalam beberapa bagian yaitu : a. Mengurangi biaya pemasaran Beberapa penelitian menunjukkan bahwa biaya untuk mendapatkan pelanggan baru enam kali lebih besar dibandingkan dengan biaya untuk mempertahankan pelanggan yang ada. b. Trade Leverage Sebuah produk dengan merek yang memiliki pelanggan setia akan menarik para distributor untuk memberikan ruang yang lebih besar dibandingkan 24 dengan merek lain di toko yang sama, selain itu konsumen loyal akan mengajak konsumen lain untuk membeli merek tersebut. c. Menarik Pelanggan Baru Pelanggan yang puas dengan merek yang dibelinya dapat mempengaruhi konsumen lain bahkan merekomendasikan kepada orang lain untuk memilih produk tersebut. d. Merespon Ancaman Penting Loyalitas terhadap merek memungkinkan perusahaan memiliki waktu untuk merespon tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pesaing. Relatif sulit bagi pesaing untuk mempengaruhi pelanggan yang setia. Butuh waktu yang lama untuk dapat mempengaruhi pelanggan setia. e. Nilai Kumulatif bisnis berkelanjutan Perusahaan dapat berbisnis dengan pelanggan tertentu untuk periode yang lebih panjang. Pelanggan membeli lebih banyak ketika perusahaan memperkenalkan produk baru dan memperbaharui produk-produk yang ada. f. Word of mouth communication Pelanggan yang memiliki loyalitas terhadap produk akan bersedia bercerita hal-hal baik tentang perusahaan atau produknya kepada orang lain, teman dan keluarga yang jauh lebih persuasif daripada iklan. 25 2.1.4.3 Karakteristik Loyalitas Pelanggan Loyalitas merupakan hal yang sulit dilakukan oleh para konsumen. Menurut Griffin (2003 ; 113), memberikan pengertian loyalitas : “When a customer is loyal, he or she exhibits purchase behavior defined as non-random purchase expressed over time by some decision-making unit”. Pendapat di atas penulis terjemahkan secara bebas bahwa loyalitas adalah kesetiaan seseorang terhadap suatu produk atau jasa perusahaan. Loyalitas adalah bukti konsumen yang selalu menjadi pelanggan, yang memiliki kekuatan dan sikap positif atas perusahaan itu. Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa masing-masing pelanggan mempunyai dasar loyalitas yang berbeda, hal ini bergantung pada objektivias mereka masing-masing. Loyalitas memiliki pengaruh yang besar terhadap profitabilitas perusahaan. Loyalitas merupakan aset penting perusahaan dan dapat berpengaruh pada keberlangsungan perusahaan. karaktersitik yang dikemukakan Griffin berikut ini juga menjelaskan bahwa loyalitas pelanggan berdasarkan karaktersitik tersebut dapat dipengaruhi oleh pembelian terhadap suatu produk/jasa secara berulang dan tidak melakukan pembelian diluar lini produk/jasa perusahaan. Karakteristik pelanggan yang loyal menurut Griffin (2005:31): 1. Melakukan pembelian secara berulang (makes regular repeat purchases) Yaitu tingkah laku konsumen yang loyal akan produk, sehingga konsumen merasakan adanya ketergantungan terhadap suatu produk dengan melakukan pembelian secara berulang-ulang. 26 2. Membeli diluar lini produk / jasa (purchases across product and service line) Yakni suatu wujud kepekaan konsumen terhadap produk ataupun jasa yang disajikan kepada konsumen sehingganya konsumen merasa ingin merasakan sesuatu yang lebih dari yang didapatkan dari sebelumnya. 3. Merekomendasikan kepada orang lain (refer others) Sikap konsumen yang sudah benar-benar merasakan kualitas produk atau jasa yang menurutnya perlu dirasakan oleh orang lain, sehingga secara otomatis telah merekomendasikan kepada orang lain. 4. Menunjukkan kekebalan dari daya tarik produk sejenis dari pesaing (demonstrate immunity to the full of the competition). Adanya sikap loyalitas yang tinggi pada suatu produk atau jasa, sehingga konsumen merasa nyaman dan tidak perlu mencoba produk atau jasa lain yang direkomendasikan. 2.1.4.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi loyalitas pelanggan Menurut Zikmund, 2003:72 ada lima faktor yang menyebabkan terbentuknya loyalitas pelanggan: 1. Satisfaction (kepuasan) Merupakan perbandingan antara harapan sebelum melakukan pembelian dengan kinerja yang dirasakan pelanggan terhadap perusahaan. 2. Emotional Branding (Ikatan emosi) Konsumen dapat terpengaruh oleh sebuah merek yang memiliki daya tarik tersendiri sehingga konsumen dapat diidentifikasikan dalam sebuah merek karena sebuah merek dapat mencerminkan karakteristik konsumen tersebut. 27 3. Trust (Kepercayaan) Kemauan seseorang untuk mempercayakan perusahaan atau sebuah merek melakukan atau menjalankan sebuah fungsi. 4. Choice reduction and habit (kemudahan) Konsumen akan merasa nyaman dengan sebuah merek ketika situasi mereka melakukan transaksi memberikan kemudahan. 5. History with the company (pengalaman terhadap perusahaan) Sebuah pengalaman seseorang pada perusahaan dapat membentuk perilaku. Banyak cara yang dilakukan untuk meningkatkan loyalitas pelanggan, gambar diagram upaya untuk meningkatkan loyalitas pelanggan pada gambar berikut. Gambar tersebut menunjukan bahwa loyalitas pelanggan dapat ditingkatkan melalui beberapa cara yaitu pelayanan dan menjaga relasi juga memposisikan nilai pelanggan agar tercipta kepuasan pada pelanggan tersebut selain itu ekspektasi dan persepsi pelanggan juga berpengaruh dalam penciptaan dan pertahanan loyalitas itu sendiri. Sumber : Ali Hasan (2008:100) Sumber : Ali Hasan (2008:100) Gambar 2.1 Upaya meningkatkan Loyalitas Pelanggan 28 Konsumen/pelanggan yang loyal menurut Griffin terbagi dalam 7 tingkatan yaitu : (1) Suspect, meliputi orang yang mungkin akan membeli kebutuhan produk/jasa perusahaan; (2) Prospect, adalah orang-orang yang memiliki kebutuhan akan produk/jasa tertentu, dan mempunyai keyakinan untuk membelinya; (3) Disqualified Prospect, yaitu prospect yang telah mengetahui keberadaan barang/jasa tertentu, tetapi tidak mempunyai kemampuan untuk membeli barang/jasa tersebut; (4) First time Customer; yaitu konsumen yang membeli untuk pertama kalinya, mereka masih menjadi konsumen yang baru; (5) Repeat Consumen, yaitu konsumen yang telah melalukan pembelian suatu produk sebanyak dua kali atau lebih; (6) Clients, yaitu pembeli semua barang/jasa yang mereka butuhkan dan tawarkan perusahaan, mereka membeli secara teratur; (7) Advocates, yaitu seperti layaknya clients, advocates membeli seluruh barang/jasa yang ditawarkan yang ia butuhkan, serta melakukan pembelian secara teratur sebagai tambahan mereka mendorong teman-teman mereka yang lain agar membeli barang/jasa tersebut; (7) Partners, suatu hubungan yang kuat antara pelanggan dengan perusahaan karena kedua belah pihak merasa mendapatkan keuntungan. Apabila digambarkan ke dalam sebuah piramida maka akan terlihat pada gambar 2.2 berikut: 29 Gambar 2.2 The Loyalty Piramid 2.2 Peneliti Terdahulu Penelitian yang dilakukan oleh Setiawan (2011), yang meneliti pengaruh Experiential Marketing terhadap Loyalitas Konsumen di Bagoes Music Studio Sidoarjo. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Experiential Marketing terhadap Loyalitas Pelanggan. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dengan menyebarkan kuesioner kepada pelanggan yang berkunjung di Bagoes Music Studio Sidoarjo. Teknik pengambilan sampel menggunakan Non Probability Sampling dengan metode Purposive Sampling. Teknik analisis yang digunakan adalah SEMs untuk melihat hubungan kausalitas antar faktor. Hasil penelitian menunjukan bahwa Experiential marketing berpengaruh positif terhadap Loyalitas pelanggan. Peneliti yang dilakukan oleh Nehemia (2009), yang meneliti tentang pengaruh Experiential marketing terhadap Loyalitas Pelanggan di Warung Spesial Sambal Cabang Semarang. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh 30 tiap-tiap variabel pada experiential marketing yaitu sense, feel, think, act, dan relate terhadap loyalitas pelanggan dan menganalisis faktor yang memiliki pengaruh paling besar pada loyalitas pelanggan. Dalam penelitian ini data dikumpulkan melalui metode kuesioner terhadap 100 responden pelanggan. Kemudian dilakukan analisis terhadap data-data yang diperoleh berupa analisis kuantitatif dan kualitatif. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis regresi linier berganda. Analisis kualitatif merupakan interpretasi dari data yang diperoleh dalam penelitian. Data-data yang telah memenuhi uji validitas, uji reliabilitas dan uji asumsi klasik diolah sehingga menghasilkan persamaan regresi berganda. Pengujian hipotesis menggunakan uji t menunjukkan bahwa kelima variabel independen yang diteliti terbukti secara signifikan mempengaruhi variabel dependen. Kemudian melakukan uji F dapat diketahui bahwa kelima variabel berpengaruh signifikan secara bersama-sama terhadap loyalitas pelanggan. Anka Adjusted R Square yang diperoleh sebesar 0,617 menunjukkan bahwa 61,7% variasi loyalitas pelanggan bisa dijelaskan oleh kelima variabel independen yang digunakan dalam persamaan regresi. Penelitian yang dilakukan oleh Borneo (2007) tentang pengaruh experiential marketing terhadap loyalitas pelanggan di PT. Pertamina (Persero) Enduro 4T Semarang. Populasi dalam penelitian ini adalah konsumen yang menggunakan oli pelumas PT. Pertamina (Persero) Enduro 4T Semarang, maka populasi dalam penelitian ini digolongkan populasi tak terbatas. 31 Dalam penelitian ini jumlah sampel yang akan diteliti sebanyak 100 responden. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan Accidental Sampling. Alat analisis yang digunakan adalah regresi berganda dan pengujian hipotesis. Berdasarkan hasil penelitian dapat dibuat kesimpulan terdapat pengaruh positif experiential marketing terhadap customer loyalty, hal ini dibuktikan sign (0,034) < = 0,05 dengan demikian H1 diterima. Mencermati hasil penelitian diatas jelas bahwa peneliti mengambil judul pengaruh experiential marketing terhadap loyalitas nasabah padaPT. Mitra Dana Putra Utama Finance. Setiap lembaga mempunyai karakteristik yang berbedabeda dalam upaya untuk mempertahankan loyalitas pelanggan (nasabah), begitu juga denganPT. Mitra Dana Putra Utama Finance. Bukan hanya itu saja, loyalitas nasabah berangkat dari bentuk pelayanan dan produk yang berbeda sehingga akan menghasilkan loyalitas yang berbeda pula. Inilah yang membedakan penelitian yang akan dilakukan peneliti dengan penelitian terdahulu. Selain itu, penekanan pada perbedaan tempat dan waktu penelitian serta perbedaan metodologi penelitian khususnya pada jumlah populasi dan sampel. 2.3 Kerangka Pemikiran Pemasaran merupakan strategi bisnis yang bertujuan untuk mencapai kepuasan berkelanjutan dan merupakan fungsi integral dari manajemen yang secara khusus bertanggung jawab memahami pasar yang terus mengalami perubahan. Seorang pemasar harus bisa bergerak dinamis, cepat, dan intensif 32 berinteraksi dengan pasar, hal tersebut dikarenakan pada saat ini pasar berubah dengan sangat cepat. Tren pemasaran pada abad 21 sekarang ini telah berubah, semula pemasaran memfokuskan produk pada feature dan benefit bagi pelanggan atau dinamakan dengan konsep traditional marketing. Traditional marketing memandang konsumen sebagai pembuat keputusan yang rasional atas produk yang mereka pilih, selain itu dalam traditional marketing kategori produk dan persaingan dipandang secara sempit hanya pada sebuah produk. Pandangan sempit traditional marketing menjadikan ciri khas dan keunikan produk tertentu sebagai modal penting dalam mendiferensiasikan produk mereka. Perkembangan teknologi dan perbedaan persepsi, sifat atau gaya hidup konsumen menjadi unsur utama dari kurang efektifnya pelaksanaan traditional marketing sehingga bukan lagi menjadi cara untuk dapat memenuhi kebutuhan konsumen. Menurut Pine & Gilmore (1999:2) tingkat pemasaran dalam dunia bisnis saat ini adalah commodities marketing, goods marketing, service marketing, experiential marketing, dan transformation marketing. Commodities marketing, dimana pada tingkatan ini tidak terdapat perbedaan antara suatu produk dengan produk lainnya, selain itu penentuan harga tidak bisa dilakukan sendiri karena sangat bergantung pada suplay dan demand. Goods marketing, pada tingkatan ini sudah memperlihatkan adanya suatu perbedaan atau deferensiasi antara produk kita dengan produk pesaing dan harga dapat ditentukan sendiri. Service marketing, tingkatan pemasaran ini telah memperhatikan kepuasan yang diperoleh konsumen yaitu dengan memberikan pelayanan sebelum atau sesudah penjualan. 33 Experiential marketing, pada tahapan pemasaran tujuannya bukan hanya untuk memuaskan pengunjung tetapi untuk menarik hati pengunjung dan memberikan suatu pengalaman dan memori yang mengesankan dan berumur panjang. Transformation marketing, pada tingkatan ini bukan hanya menciptakan memori jangka panjang, tetapi juga bisa melakukan transformasi secara lebih permanen. Pada experiential marketing emosi konsumen akan menjadi perhatian utama sehingga akan diperoleh suatu memorable experience atau pengalaman yang tidak terlupakan. Konsep pemasaran yang menekankan adanya pengalaman pelanggan ini merupakan satu syarat bagi perusahaan untuk memperoleh keunggulan jangka panjang, seperti dikatakan Zarem yang mengutip pernyataan Sandres, Direktur Yahoo dalam Jurnal Manajemen Pemasaran. Menyatakan bahwa pengalaman merupakan dasar perekonomian baru untuk semua industri. Pelanggan perusahaan pembiayaan (finance) memerlukan memorable experience (pengalaman yang tidak terlupakan) seperti yang ditawarkan pada strategi experiential marketing yaitu menghubungkan emosi nasabah dengan produk yang dimiliki sehingga pada akhirnya membentuk pengalaman positif yang tidak terlupakan dan menciptakan suatu ikatan emosi antara nasabah dengan pihak perusahaan. Menurut Schmitt (1999:64) Strategic Experiential Marketing Modules (SEMs) merupakan suatu dasar atau fondasi pelaksanaan experiential marketing pada konsumen, yang terdiri atas pengalaman melalui panca indera manusia (sense), pengalaman afektif (feel), pengalaman kognitif (think), pengalaman gaya hidup 34 (act), dan pengalaman hubungan dengan kelompok dengan referensi tertentu (relate). Melalui sense, feel, think, act dan relate perusahaan bukan hanya sekedar mengkomunikasikan fitur dan manfaat dari suatu produk saja, tapi juga menghubungkan suatu produk atau jasa dengan pengalaman yang unik dan menarik. Jurnal Kuo-Ming Lin, Chia-Ming Chang, Zen-Pin Lin, Ming-Lang Tseng, Lawrence, 2009: 231 mengemukakan bahwa terdapat pengaruh antara experiential marketing terhadap loyalitas pelanggan. Selain experiential marketing, loyalitas nasabah juga merupakan aset perusahaan yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan perusahaan, oleh karena itu setiap perusahan berlomba untuk selalu meningkatkan dan mempertahankan loyalitas pelanggan. Menurut Freddy Rangkuti (2008:60) loyalitas merek merupakan inti dari Brand Equity yang menjadi sentral dalam pemasaran, karena hal ini merupakan suatu ukuran keterkaitan seorang pelanggan pada sebuah merek. Bagi perusahaan yang bergerak dibidang jasa khususnya finance, pelanggan merupakan faktor penting bagi perusahaan karena selain menghemat biaya promosi, pelanggan juga akan memiliki perlakuan yang baik terhadap perusahaan, membeli produk/jasa dan merekomendasikannya pada orang lain. Pelanggan yang loyal akan memperlihatkan kekebalannya terhadap pesaing meskipun situasi lingkungan mempengaruhi dan berbagai upaya pemasaran yang memiliki potensi dalam merubah perilaku konsumen itu sendiri, hal tersebut dapat dikatakan bahwa 35 bila pelanggan memiliki loyalitas tinggi pada benefit yang diperoleh juga akan tinggi sehingga dapat tercipta kesejahteraan perusahaan. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti menyusun kerangka pemikiran seperti pada gambar 2.3 berikut: Marketing Commodities Marketing Goods Marketing Indikator Penelitian Experiential Marketing SEMs: 1. Sense 2. Feel 3. Think 4. Act 5. Relate Feed Back Service Marketing Transformation Marketing Loyalitas: 1. Membeli Secara Teratur 2. Membeli diluar lini produk/jasa 3. Merekomendasikan pada orang lain 4. Menunjukkan kekebalan terhadap daya tarik produk sejenis dari pesaing Gambar 2.3 Bagan Kerangka Pikir Pikir 36 2.4 Pengajuan Hipotesis Pola umum metode ilmiah, setiap penelitian terhadap suatu obyek hendaknya di bawah tuntunan suatu hipotesis yang berfungsi sebagai pegangan sementara yang masih harus di buktikan kebenarannya didalam kenyataan (empirical verivication), percobaan (experimentation) atau praktek (implementation). Atas dasar pokok masalah dan tujuan pembahasan dalam proposal ini, maka hipotesis yang dikemukakan adalah “Terdapat pengaruh experiential marketing terhadap loyalitas nasabah”.