DISTRIBUSI SPASIAL DAN PENGELOLAAN LAMUN (SEAGRASS) DI TELUK BAKAU, KEPULAUAN RIAU PRESLI NAINGGOLAN C24062080 Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 i PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyataan bahwa skripsi yang berjudul: Distribusi Spasial Dan Pengelolaan Lamun (Seagrass) di Teluk Bakau, Kepulauan Riau Adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada pergurun tinggi manapun. Semua sumber dan informasi yang berasal atau kutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Februari 2011 Presli Nainggolan C24062080 ii ABSTRAK Presli Nainggolan, C24062080. Distribusi Spasial dan Pengelolaan Lamun (Seagrass) Di Teluk Bakau, Kepulauan Riau. Dibawah bimbingan Agustinus M. Samosir dan M. Husni Azkab Padang lamun sebagai suatu ekosistem di daerah pesisir panatai akan terus mengalami perubahan oleh berbagai sebab, sehingga penelitian menegenai distribusi spasial lamun juga harus dilakukan. Data dan informasi yang diperoleh tidak hanya untuk ilmu pengetahuan tetapi juga untuk pengelolaan sumberdayanya. Penelitian dilakukan kurang lebih 2 minggu pada bulan Agustus 2010 dengan menggunakan metode gabungan yang biasa dilakukan pada terumbu karang yaitu, “Line Intersecpt Transect” dan “Stop and Go”. Selama penelitian ditemukan 10 dari 13 jenis lamun dan penyebarannya mulai dari pantai ke arah tubir umumnya berkesinambungan. Hal ini menyebabkan tidak ditemukan lamun yang hidup secara monospesifik dan daerah tersebut belum mengalamin ganguan ekologis secara nyata. Karakteristik habitat, struktur komunitas, ancaman dan rencana pengelolaan lamun ikut dibahas. Kata kunci : Lamun, Teluk Bakau ABSTRACT Presli Nainggolan, C24062080. Spatial Distribution And Management Of Seagrass in Teluk Bakau, Kepulauan Riau. Dibawah bimbingan Agustinus M. Samosir dan M. Husni Azkab Seagrass beds as ecosystem in the coastal areas will continue to experience change by various reasons, so that research on the spatial distribution of seagrasses also be done. Data and information obtained not only for science but also for the management of resources. The study was conducted approximately 2 weeks in August 2010 using a combination of the usual method on coral reef that is, "Line Intercept Transect " and"Stop and Go". During the study found 10 of 13 species of seagrass and its spread from the coast towards the edge of generally continuous. This causes no seagrass was found living in the area monospesifik and not undergo significant ecological disturbance. Characteristics of habitats, community structure, threats and seagrass management plan involved are discussed. Keyword: Seagrass, Teluk Bakau RINGKASAN Presli Nainggolan, C24062080. Distribusi Spasial dan Pengelolaan Lamun (Seagrass) Di Teluk Bakau, Kepulauan Riau. Dibawah bimbingan Agustinus M. Samosir dan M. Husni Azkab Padang lamun yang tersebar luas di perairan dangkal merupakan ekosistem bahari sangat produktif dan berperan penting dalam kehidupan tetapi sering kali kurang mendapat perhatian. Menurut Fortes (1994) in Warastri (2009), kondisi ekosistem padang lamun di perairan Indonesia telah mengalami kerusakan sekitar 30-40%. Adapun kerusakan tersebut antara lain disebabkan pengembangan wilayah, penangkapan ikan yang tidak ramah ikan dan pencemaran. Kerusakan akan berdampak kepada keanekaragaman dan juga perubahan luasaan (zonasi). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kondisi lingkungan dan struktur komunitas lamun pada kegiatan-kegiatan yang memberikan dampak tersebut, khususnya melihat perubahan pola sebaran spasial lamun dan membuat rencana pengelolaan bagi kegiatan yang memberikan dampak bagi lamun. Pendugaan sebaran wilayah dan luas tutupan lamun dapat dilakukan dengan beberapa metode. Salah satunya adalah metode survei lapang yang digunakan dalam peneltian, yaitu menggunakan gabungan antara “Line Intersecpt Transect” dan metode “Stop and Go” yang biasa digunakan untuk mengamati Terumbu Karang. Metode ini menggunakan garis paralel yang saling terhubung sehingga dapat melihat distribusi lamun secara horisontal dan vertikal. Adapun parameter yang diamati dalam setiap stasiun adalah jenis, dan luas penutupan lamun, serta kecerahan, kedalaman, jenis substrat, kedalaman substrat dan kecepatan arus, juga TSS, Ortophospat, Nitrat dan Amonia. Pengukuran dilakukan di lain stasiun, yang mewakili karakteristik wilayah perairan Teluk Bakau. Dari hasil pengukuran lapangan Teluk Bakau ditemukan 10 jenis lamun yang tersebar di 5 lokasi pengamatan, yaitu: Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata, Cymodocea serullata, Halodule pinilofolia, Halodule uninervis, Halophila ovalis. Halophila spinoulosa, Syringodium Thalassodendron ciliatum. isoetifolium, Thalassia hempricii dan Adapun jenis lamun yang ditemukan pada perairan Desa Teluk Bakau di dominasi oleh jenis Enhalus acoroides dan Thalassia hempricii yang tersebar merata hampir disetiap Stasiun. Persentase penutupan lamun tertinggi pada Stasiun 5 yang mencapai 89,96 % dan penutupan lamun terendah terdapat di Stasiun 4 sebesar 24,83%. Berdasarkan jumlah jenis lamun yang ditemukan di Teluk Bakau menunjukan bahwa Stasiun 4 memiliki jumlah jenis yang paling banyak ditemukan, yaitu 8 jenis kemudian diikuti oleh Stasiun 5 sekitar 7 jenis dan stasiun lainnya jumlah jenis yang ditemukan hampir merata. Ini menggambarkan tingkat keanekaragaman Teluk Bakau sangat tinggi (10 dari 13 jenis lamun yang telah ditemukan di Indonesia) dan berada dalam kondisi baik dan stabil. Berdasarkan pengukuran kualitas lingkungan perairan Teluk Bakau keadaan lingkugan perairan juga dalam kondisi baik, sehingga dapat disimpulkan bahwa kondisi lamun diperairan Teluk Bakau belum mengalami ganguan ekologis secara nyata. Walaupun demikian adanya kegiatan pengembangan wilyah pesisir merupakan suatu ancaman bagi lamun. Ancaman yang terindentifikasi di Teluk Bakau adalah penambangan pasir, pengembangan wisata, pembangunan pemukiman diatas perairan dan penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan. Oleh karena itu, perlu adanya Peraturan Daerah yang tegas mengatur tata guna lahan dan penggunaan alat tangkap ikan, serta yang paling utama adalah menentukan daerah konservasi lamun. Hal ini perlu dilakukan agar lamun pada daerah tersebut tetap lestari. Kata kunci : Lamun, Teluk Bakau SUMMARY Presli Nainggolan, C24062080. Spatial Distribution And Management Of Seagrass in Teluk Bakau, Kepulauan Riau. Dibawah bimbingan Agustinus M. Samosir dan M. Husni Azkab Seagrass beds are widespread in shallow waters are highly productive marine ecosystem and play an important role in life but often receive less attention. According to Fortes (1994) in Warastri (2009), the condition of seagrass ecosystems in the waters of Indonesia has suffered damage of about 30-40%. The damage is partly due to the development of the region, which is not friendly fishing and fish contamination. Damage will also affect the diversity and changes in area (zoning). This research was conducted to determine the environmental conditions and community structure of seagrass on activities that provide the impact, especially given the changes in spatial distribution patterns of seagrasses and create a management plan for activities that give effect to the seagrass. Estimation of the distribution of seagrass cover wide areas and can be done by several methods. One of them is a field survey methods used in the course of a study, using a combination of "Line Intercept Transect " and method "Stop and Go" which is used to observe the Coral Reef. This method uses parallel lines which are connected so that they can see seagrass distribution horizontally and vertically. The parameters were observed in each station is a type, and widespread closure of beds, as well as brightness, depth, substrate type, substrate depth and current velocity, as well as TSS, Ortophospat, Nitrate and Ammonia. Measurements were taken at other stations, which represent the characteristics of the territorial waters of Teluk Bakau. From the observation data, found 10 Mangrove Bay seagrass species spread across 5 locations of observation, namely: Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata, Cymodocea serullata, Halodule pinilofolia, uninervis Halodule, Halophila ovalis. Halophila spinoulosa, Syringodium isoetifolium, hempricii and Thalassodendron Thalassia ciliatum. The seagrass species found in waters pontianak is dominated by species Thalassia hempricii and Enhalus acoroides almost every station. The highest percentage seagrass cover at Station 5, which reached 89.96% and the lowest closing beds available at station 4 at 24.83%. Based on the number of seagrass species found in Teluk Bakau shows that the station 4 has a number of species most commonly found, 8 species, followed by Station 5 of 7 species and other stations the number of species found almost evenly. This illustrates a very high level of diversity Teluk Bakau (10 of 13 seagrass species have been discovered in Indonesia) and are in good condition and stable. Based on the measurement of water environment quality of environmental waters Teluk Bakau state also in good condition, so it can be concluded that the condition of seagrass Teluk Bakau waters have not experienced significant ecological disturbance. Nevertheless the coastal wilyah development activities are a threat to the seagrass. Threats identified in Teluk Bakau is sand mining, tourism development, residential development above the water and catching fish that are not environmentally friendly. Therefore, the need for regional regulation that expressly regulate land use and the use of fishing gear, as well as the most important is to determine seagrass conservation area. This needs to be done for seagrass in the region remain stable. Keyword: Seagrass, Teluk Bakau RINGKASAN Presli Nainggolan, C24062080. Distribusi Spasial dan Pengelolaan Lamun (Seagrass) Di Teluk Bakau, Kepulauan Riau. Dibawah bimbingan Agustinus M. Samosir dan M. Husni Azkab Padang lamun yang tersebar luas di perairan dangkal merupakan ekosistem bahari sangat produktif dan berperan penting dalam kehidupan tetapi sering kali kurang mendapat perhatian. Menurut Fortes (1994) in Warastri (2009), kondisi ekosistem padang lamun di perairan Indonesia telah mengalami kerusakan sekitar 3040%. Adapun kerusakan tersebut antara lain disebabkan pengembangan wilayah, penangkapan ikan yang tidak ramah ikan dan pencemaran. Kerusakan akan berdampak kepada keanekaragaman dan juga perubahan luasaan (zonasi). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kondisi lingkungan dan struktur komunitas lamun pada kegiatan-kegiatan yang memberikan dampak tersebut, khususnya melihat perubahan pola sebaran spasial lamun dan membuat rencana pengelolaan bagi kegiatan yang memberikan dampak bagi lamun. Pendugaan sebaran wilayah dan luas tutupan lamun dapat dilakukan dengan beberapa metode. Salah satunya adalah metode survei lapang yang digunakan dalam peneltian, yaitu menggunakan gabungan antara “Line Intersecpt Transect” dan metode “Stop and Go” yang biasa digunakan untuk mengamati Terumbu Karang. Metode ini menggunakan garis paralel yang saling terhubung sehingga dapat melihat distribusi lamun secara horisontal dan vertikal. Adapun parameter yang diamati dalam setiap stasiun adalah jenis, dan luas penutupan lamun, serta kecerahan, kedalaman, jenis substrat, kedalaman substrat dan kecepatan arus, juga TSS, Ortophospat, Nitrat dan Amonia. Pengukuran dilakukan di lain stasiun, yang mewakili karakteristik wilayah perairan Teluk Bakau. Dari hasil pengukuran lapangan Teluk Bakau ditemukan 10 jenis lamun yang tersebar di 5 lokasi pengamatan, yaitu: Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata, iii Cymodocea serullata, Halodule pinilofolia, Halodule uninervis, Halophila ovalis. Halophila spinoulosa, Syringodium isoetifolium, Thalassia hempricii dan Thalassodendron ciliatum. Adapun jenis lamun yang ditemukan pada perairan Desa Teluk Bakau di dominasi oleh jenis Enhalus acoroides dan Thalassia hempricii yang tersebar merata hampir disetiap Stasiun. Persentase penutupan lamun tertinggi pada Stasiun 5 yang mencapai 89,96 % dan penutupan lamun terendah terdapat di Stasiun 4 sebesar 24,83%. Berdasarkan jumlah jenis lamun yang ditemukan di Teluk Bakau menunjukan bahwa Stasiun 4 memiliki jumlah jenis yang paling banyak ditemukan, yaitu 8 jenis kemudian diikuti oleh Stasiun 5 sekitar 7 jenis dan stasiun lainnya jumlah jenis yang ditemukan hampir merata. Ini menggambarkan tingkat keanekaragaman Teluk Bakau sangat tinggi (10 dari 13 jenis lamun yang telah ditemukan di Indonesia) dan berada dalam kondisi baik dan stabil. Berdasarkan pengukuran kualitas lingkungan perairan Teluk Bakau keadaan lingkugan perairan juga dalam kondisi baik, sehingga dapat disimpulkan bahwa kondisi lamun diperairan Teluk Bakau belum mengalami ganguan ekologis secara nyata. Walaupun demikian adanya kegiatan pengembangan wilyah pesisir merupakan suatu ancaman bagi lamun. Ancaman yang terindentifikasi di Teluk Bakau adalah penambangan pasir, pengembangan wisata, pembangunan pemukiman diatas perairan dan penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan. Oleh karena itu, perlu adanya Peraturan Daerah yang tegas mengatur tata guna lahan dan penggunaan alat tangkap ikan, serta yang paling utama adalah menentukan daerah konservasi lamun. Hal ini perlu dilakukan agar lamun pada daerah tersebut tetap lestari. iv DISTRIBUSI SPASIAL DAN PENGELOLAAN LAMUN (SEAGRASS) DI TELUK BAKAU, KEPULAUAN RIAU PRESLI NAINGGOLAN C24062080 Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 v LEMBAR PENGESAHAN Judul penelitian Nama Nomor pokok : Distribusi Spasial dan Pengelolaan Lamun (Seagrass) di Teluk Bakau, Kepulauan Riau : Presli Nainggolan : C24062080 Program studi : Manajemen Sumberdaya Perairan Menyetujui : Pembimbing 1 Pembimbing 2 Ir. Agustinus M. Samosir, M. Phil NIP.19611211 198703 1003 Drs. M. Husni Azkab, APU NIP. 19510111 197903 1001 Diketahui : Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc NIP.19660728 199103 1 002 Tanggal Ujian : 08 Februari 2011 vi PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunianya yang telah diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini berjudul Distribusi Spasial dan Pengelolaan Lamun (Seagrass) di Teluk Bakau, Kepulauan Riau; disusun berdasarkan tujuan penelitian yang akan dilaksanakan pada Agustus 2010, dan merupakan salah satu syarat untuk untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Pada kesempatan ini, penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih sebesarbesarnya kepada Ir. Agustinus M. Samosir, M.phil selaku ketua komisi dosen pembimbing dan Ketua Komisi Pendidikan S1, dan Drs. M. Husni Azkab, APU selaku pembimbing anggota serta seluruh pihak yang telah memberikan bimbingan, arahan, masukan dan bantuan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna, di karenakan keterbatasan penulis. Namun demikian, penulis mengharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk berbagai pihak. Bogor, Februari 2011 Penulis vii RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Padang Tikar pada tanggal 21 November 1988 yang merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Adolf Nainggolan dan Ibu Lasma Ida Pangaribuan. Pendidikan formal penulis dimulai di SD negeri 02 Padang Tikar (1994-2000), SLTP Negeri 2 Pontianak (20002003), dan SMA Negeri 7 Pontianak (2003-2006). Penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanaian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Setelah melewati tahap Tingkat Persiapan Bersama selama setahun, penulis diterima di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam mengikut kegiatan Unit Kegiatan Mahasiswa Kerohanian (UKM-PMK), Himpuanan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (Himasper), Ormas Kemahasiswaan Kristen (GMKI) dan beberapa kegiatan mahasiswa lainya. Penulis diberi kepercayaan dan kesempatan menjadi asistem Mata Kuliah Ekotoksiologi (2009) dan Konservasi Sumberdaya Hasil Perairan (2010). Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh untuk memperoleh gelar sarjana, penulis menyusun skripsi dengan judul “Distribusi Spasial dan Pengelolaan Lamun (Seagrass) di Teluk Bakau, Kepulauan Riau ”. viii UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Ir. Agustinus M. Samosir, M. Phil dan Drs. M. Husni Azkab, APU selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan nasehat serta, masukan kepada penulis selama penelitian sampai kepada penyususnan skripsi ini. Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc selaku dosen penguji dan Dr. Ir. Yunizar Ernawati, M. Sc selaku wakil komisi pendidikan program S1, atas saran, nasehat, dan perbaikan yang diberikan. Drs. Niken TM. Pratiwi selaku Dosen Pembimbing Akademik yang membimbing penulis selama perkuliahan. Keluarga tercinta; Ayahnda Adolf Nanggolan, Ibunda Lasma Ida Pangaribuan, dan adinda Rosiana Nainggolan yang tak pernah henti-hentinya memberikan doa, dukungan, semangat dan kasih sayang yang telah diberikan selama ini. P2O-LIPI Jakarata : Pak Hutomo, Pak Tri Edi, Pak Sam, dan Pak Happy yang membantu penulis dengan memberikan nasehat dan saran masukan untuk penelitian saya. Kepala BAPPEDA Bintan, Camat Gunung Kijang dan Kepala Desa Teluk Bakau yang telah memberikan izin penelitian lamun di Teluk Bakau. Bang Dul dan Bang Zahid selaku Fasilitator lapangan yang telah banyak membantu penelitian penulis. Keluarga besar H. Sitorus dan H. Manurung yang telah memberikan fasilitas tempat tinggal selama penelitian penulis berlangsung. Para Staf Tata usaha MSP atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis. Salomo Anderson Ricky Santo Sitorus Dwicko Patrick Sukma Saragih, Parulian Sinaga, R. H. Restama Gustar, dan Daniel Januar Prakasa Haraditha Siahaan. Yang telah memberikan dukungan dan masukan, bantuan kepada penulis selama masa perkuliahan hingga penyusunan skripsi ini. Serta Keluarga Besar MSP 42, 43, dan 44 atas dukungan dan kebersamaannya selama ini serta seluruh pihak yang membantu. Civitas Cipayung, Khususnya GMKI yang telah memberikan dukungan Doa dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini ix DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................. xii DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xiv I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang ..................................................................................... 1.2. Perumusan masalah ............................................................................. 1.3. Tujuan ................................................................................................. 1.4. Manfaat ............................................................................................... 1 2 5 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lamun ................................................................................................. 6 2.1.1. Karakteristik dan habitat ....................................................... 6 2.1.2. Pola distribusi ........................................................................ 7 2.1.3. Suksesi .................................................................................. 9 2.2. Habitat ................................................................................................. 10 2.2.1. Substrat.................................................................................. 10 2.2.1. Kedalaman dan kecerahan..................................................... 11 2.2.2. Padatan tersuspensi total ....................................................... 12 2.2.3. Pasang lamun ........................................................................ 12 2.3. Konservasi Lamun .............................................................................. 12 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................................. 14 3.2. Alat dan Bahan .................................................................................... 15 3.3. Jenis dan Metode Pengumpulan Data ................................................. 15 3.4. Analisis Data ...................................................................................... 18 3.4.1. Struktur komunitas lamun .................................................... 18 3.4.2. Distribusi spasial lamun ...................................................... 21 3.4.3. Zonasi lamun ........................................................................ 21 3.4.4. Zona konservasi ................................................................... 21 IV. TELUK BAKAU 4.1. Profil Wilayah .................................................................................... 22 4.1.1. Letak geografis ..................................................................... 22 4.1.2. Iklim ..................................................................................... 22 4.1.3. Topografi dan lereng ............................................................ 23 4.1.4. Morfologi dan bentuk lahan ................................................. 25 4.1.5. Jenis dan kondisi tanah ....................................................... 26 4.1.6. Hidrologi .............................................................................. 28 4.1.7. Kondisi hidrologi ................................................................. 28 x V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Karakteristik Habitat ........................................................................... 30 5.2. Struktur Komunitas Lamun ................................................................ 34 5.2.1. Komposisi jenis lamun .......................................................... 34 5.2.2. Kerapatan jenis ...................................................................... 38 5.2.3. Persentase penutupan ............................................................ 39 5.2.4. Indeks nilai penting (INP) ..................................................... 40 5.2.5. Indeks keanekaragaman, keseragaman, dominansi ............... 41 5.3. Sebaran Spasial Lamun ....................................................................... 44 5.4. Ancaman Terhadap Padang Lamun Teluk Bakau ............................... 48 5.5. Rencana pengelolaan lamun Teluk Bakau .......................................... 51 VI. KESIMPULAN 6.1. Kesimpulan ......................................................................................... 55 6.2. Saran ................................................................................................... 56 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 57 LAMPIRAN...... ................................................................................................. 60 xi DAFTAR TABEL Halaman 1. Status padang lamun .................................................................................... 10 2. Ukuran besar butiran untuk tipe substrat menurut skala Wenworth (Wenworth 1992 in Mckenzie dan Yoshida 2009) ...................................... 13 3. Alat dan Bahan ............................................................................................ 15 4. Komposisi, Jenis dan teknik pengambilan data ........................................... 16 5. Kelas kemiringan lereng .............................................................................. 23 6. Sebaran Kemiringan Lereng Per-desa.......................................................... 24 7. Deskripsi bentuk lahan timur P. Bintan ....................................................... 25 8. Distribusi bentuk lahan per desa .................................................................. 26 9. Deskripsi dan sebaran jenis tanah ................................................................ 27 10. Deskripsi dan Sebaran Jenis Tanah Per Desa .............................................. 27 11. Hasil pengamatan karakteristik perairan ...................................................... 32 12. Kerapatan jenis lamun ................................................................................. 39 13. Persentase penutupan lamun ........................................................................ 40 14. Indeks nilai penting lamun ........................................................................... 41 xii DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Diagram alir tahap penelitian ....................................................................... 4 2. Tumbuhan lamun ......................................................................................... 6 3. Lokasi Penelitian .......................................................................................... 14 4. Cara pengambilan titik sampel..................................................................... 17 5. Peta umum P. Bintan.................................................................................... 24 6. Kondisi stasiun ............................................................................................. 31 7. Komposisi jenis lamun setiap stasiun berdasarkan kerapatan jenis setiap stasiun ................................................................................................ 36 8. Nilai indeks keanekaragaman(H’), keseragaman(E), dan dominasi (D) Lamun ....................................................................................................... 42 9. Peta Sebaran Spasial Lamun ........................................................................ 45 10. Peta Sebaran lamun (2008) .......................................................................... 47 11. Peta pemanfaatan Teluk Bakau saat ini ....................................................... 49 12. Peta Perencanaan kawasan yang diusulkan ................................................. 53 xiii DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Data sampling .............................................................................................. 61 2. Indeks Keanekaragaman, Indeks Keseragaman, dan Indeks Dominansi ..... 68 3. Baku mutu air laut untuk biota laut.............................................................. 69 4. Persen penutupan standar menurut McKenzie (2003) ................................. 70 5. Identifikasi lamun ........................................................................................ 71 6. Metode analisis ............................................................................................ 73 7. Contoh Perhitungan ..................................................................................... 74 8. Perhitungan Marxan ..................................................................................... 75 xiv 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lamun atau secara internasional dikenal sebagai seagrass, merupakan tumbuhan tingkat tinggi dan berbunga (Angiospermae) yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri hidup terbenam di dalam laut dangkal. Keberadaan bunga dan buah ini adalah faktor utama yang membedakan lamun dengan jenis tumbuhan laut lainnya, seperti rumput laut (seaweed). Hamparan lamun sebagai ekosistem utama pada suatu kawasan pesisir disebut sebagai padang lamun (seagrass bed). Padang lamun yang merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir memiliki keanekaragaman-hayati yang kaya dan merupakan penyumbang nutrisi yang sangat potensial bagi perairan disekitarnya mengingat produktivitasnya yang tinggi. Pada ekosistem padang lamun, berasosiasi berbagai jenis biota laut yang bernilai penting dengan tingkat keragaman yang sangat tinggi (pksplipb.or.id, 2009). Berdasarkan fungsinya padang lamun memiliki fungsi ekologis dan fungsi ekonomis yang sangat penting bagi manusia. Menurut Nybakken 1988 in pksplipb 2009, fungsi ekologis padang lamun adalah: (1) sumber utama produktivitas primer, (2) sumber makanan bagi organisme dalam bentuk detritus, (3) penstabil dasar perairan dengan sistem perakarannya yang dapat menangkap sediment (trapping sediment), (4) tempat berlindung bagi biota laut, (5) tempat perkembangbiakan (spawning ground), pengasuhan (nursery ground), serta sumber makanan (feeding ground) bagi biota-biota perairan laut, (6) pelindung pantai dengan cara meredam arus, (7) penghasil oksigen dan mereduksi CO2 di dasar perairan. Sedang fungsi ekonomis dari lamun adalah sebagai daerah tangkapan ikan, karena keberadaan lamun dapat meningkatkan produktivitas ikan. Selain itu lamun juga dimanfaatkan sebagai bahan kerajianan dan obat. Menurut Kuriandewa (2009) Indonesia mempunyai luas padang lamun sekitar 30.000 Km2. Padang lamun yang begitu luas memungkinkan banyaknya biota yang hidup berasosiasi dengan lamun seperti alga, moluska, krustasea, enchinodermata, mamalia dan ikan. Padang lamun banyak di huni oleh ikan-ikan 2 baik tinggal menetap, sementara maupun mengunjungi untuk mencari makan atau melindungi diri dari pemangsa. Peranan lamun begitu besar namun sering kali ekosistem ini kurang mendapat perhatian. Menurut Fortes (1994) in Warastri (2009), kondisi ekosistem padang lamun di perairan Indonesia mengalami kerusakan sekitar 30-40%. Setidaknya ada 13 jenis lamun telah dilaporkan terdapat di perairan Indonesia. Disamping itu, ada dua jenis lamun yakni Halophila beccarii dan Ruppia maritima yang dipercaya terdapat di Indonesia, meskipun keberadaan keduanya hanya di ketahui dari herbarium yang terletak di Bogor. H. beccarii tanpa informasi yang jelas lokasi ditemukannya, sedangkan R. maritima ditemui dikawasan mangrove sekitar Ancol (Jakarta) dan pasir putih (Jawa Timur). Namun setelah itu tidak ditemukan lagi dilapangan oleh para peneliti sampai beberapa dekade terkhir in. Lain halnya Thalassodendron ciliatum menunjukan sebaran yang sangat khusus yakni hanya terdapat di Indonesia bagian timur, di Maluku dan Nusa Tenggara. Thalassodendron ciliatum ditemukan juga di Indonesia bagian barat yaitu perairan Kangean dan Kepulauan Riau. Dua jenis lainya Halophila spinulosa dan Halophila dicipiens tercatat hanya terdapat dibeberapa lokasi saja. Tahun 1989, ditemukan jenis baru, Halophila sulawesii, diperairan Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan. Jenis ini mirip dengan Halophila ovalis namun bersifat monoceious (berumah satu) dan ditemukan di perairan dalam sekitar 10-30 m (Kuriandewa, 2009). Meneurut penelitian sebelumnya ditemukan 10 jenis lamun berada di Teluk Bakau. Hal ini merupakan jenis lamun yang ditemukan sangat tinggi dibandingkan daerah lainnya. Namun keberadaanya terancam akibat lemahnya pengelolaan. Ancaman tersebut dapat datang dari kegiatan pembangunan pemukiman, pengembangan daearah wisata, penangkapan ikan dan pengerukan pasir. 1.2 Perumusan Masalah Dipesisir Pulau Jawa kondisi ekosistem padang lamun telah mengalami ganguaan yang cukup serius, diperkirakan 60% padang lamun telah mengalami kerusakan akibat pembuangan limbah dan pertumbuhan penduduk. Dipesisir 3 Pulau Bali dan Pulau Lombok ganguan diduga bersumber dari penggunaan potassium sianida dan telah berdampak pada penurunan nilai penutupan dan kerapatan spesies padang lamun. Kepulauan Riau merupakan daerah provinsi baru yang sedang berkembang dalam berbagai sektor, baik sektor ekonomi maupun sosial. Salah satu perkembangan dalam sektor ekonomi adanya reklamasi daerah pesisir. Berdasarkan Gambar 1, hal ini memungkinkan akan menjadi salah satu faktor penyebab kerusakan alam di perairan Kepulauan Riau. Menurut informasi yang didapat kegiatan penambangan pasir laut telah berlangsung sejak tahun 1970, yakni wilayah yang berbatasan langsung dengan Singapura. Kegiatan tersebut telah mengeruk jutaan ton pasir setiap hari dan mengakibatkan kerusakan ekosistem pesisir pantai yang cukup parah. Penambangan pasir laut juga mengancam keberadaan sejumlah pulau kecil karena dapat menenggelamkannya, misalnya kasus Pulau Nipah. Tenggelamnya pulau-pulau kecil tersebut menimbulkan kerugian besar bagi Indonesia, karena dengan perubahan pada kondisi geografis pantai akan berdampak pada penentuan batas maritim dengan Singapura di kemudian hari (Yono, 2009) Dampak negatif lain yang ditimbulkan oleh penambangan adalah peningkatan kekeruhan yang disebabkan oleh peningkatan konsentrasi padatan tersuspensi. Perubahan fisik dasar laut, seperti erosi, sedimentasi, dan pelumpuran merupakan ancaman yang dihadapai komunitas lamun. Kekeruhan juga mengangu proses fotosintesis dan pertumbuhan pada lamun karena menghalangi cahaya matahari yang masuk kedalam perairan.Perubahan fisik tersebut mengurangi wilayah dan kepadatan tutupan padang lamun. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian untuk mengetahui status lamun saat ini sebagai dampak kegiatan manusia dan aktivitas alam terhadap keanekaragaman dan sebaran lamun secara rutin. Sehingga kelestarian dari ekosistem ini dapat terjaga. Salah satu cara untuk melakukan pemantauan adalah dengan melihat sebaran spasial lamun. Salah satu alternatif dalam mengetahui sebaran spasial lamun adalah dengan menggunakan teknologi penginderaan jarak jauh dapat di peroleh informasi secara rutin (time series data) dalam cakupan 4 yang luas dan waktu yang cepat sehingga dapat menghemat waktu dan biaya. Untuk mendukung akurasi data perlu dilakukan pengecekan data dilapangan. SUMBERDAYA LAMUN KEGIATAN MANUSIA DAN AKTIVITAS ALAM Struktur Komunitas: 1. 2. 3. 4. 5. Habitat Komposisi jenis lamun Kerapatan lamun Penutupan lamun. INP Indeks keanekaragaman, keseragaman dan domainansi 1. 2. 3. 4. 5. 6. Kondisi Substrat dasar Pasang surut TSS Kecerahan dan kedalaman Kecepatan aus Nutrien (Ortofosfat, Ammonia, nitrat) DISTRIBUSI SPASIAL LAMUN 1. TATA GUNA LAHAN 2. ANCAMAN LINGKUNGAN RENCANA PENGELOLAAN LAMUN Gambar 1. Diagram alir tahap penelitian Setelah data-data mengenai status lamun terkumpul baik data yang diperoleh dari pengamatan dilapangan berupa data tata guna lahan yang diperoleh dari penelitian dan data stastus lamun sebelumnya. Data tersebut akan mengambarkan status padang lamun Teluk Bakau yang menggalami perubahan. Setelah itu dibuat bentuk rencana pengelolaan lamun di Teluk Bakau.Kemudian disusun bentuk pemanfaatan yang ideal di perairan Teluk Bakau. 5 1.3. Tujuan Penelitian Untuk mengidentifikasi pola sebaran spasial lamun di Teluk Bakau. Khususnya untuk mengetahui kondisi lingkungan terhadap struktur komunitas lamun dan kegiatan yang memberikan dampak bagi lamun. 1.4. Manfaat Manfaat dari penelitian ini adalah : • Memberikan informasi mengenai karakteristik penyebaran lamun di perairan Teluk Bakau, Kepulauan Riau. • Memberikan informasi mengenai perubahan komunitas lamun melalui penyebaran lamun. • Memberikan informasi mengenai rencana pengelolaan ekosistem lamun terhadap perubahannya. 6 II. 2.1. TINJAUAN PUSTAKA Lamun 2.1.1. Karakteristik lamun Lamun atau seagrass merupakan tumbuhan berbunga yang sepenuhnya menyesuaikan diri dengan hidup terbenam dalam laut. Tumbuhan ini (Gambar 2) terdiri dari rhizome (rimpang), daun, dan akar. Rhizome merupakan batang yang terbenam dan merayam secara mendatar, serta berbuku-buku. Pada buku-buku tersebut tumbuh batang pendek yang tegak keatas, berdaun dan berbunga, serta tumbuh akar. Dengan rhizome dan akar inilah tumbuhan tersebut menampakan diri dengan kokoh di dasar laut sehingga tahan terhadap hempasan ombak dan arus. Lamun sebagian besar berumah dua, yaitu dalam satu tumbuhan hanya ada satu bunga jantan saja atau satu bunga betina saja. Sistem pembiakan bersifat khas karena mampu melakukan penyerbukan di dalam air (hydrophilous pollination) dan buahnya juga terbenam di dalam air (Azkab, 2006). Tumbuhan ini memiliki beberapa sifat yang memungkinkan hidup di lingkungan laut, yaitu mampu hidup di media air asin, mampu berfungsi normal dalam keadaan terbenam, mempunyai sistem perakaran jangkar yang berkembang dengan baik, mempunyai kemampuan untuk berkembang biak secara generatif dalam keadaan terbenam, dan dapat berkompetisi dengan organisme lain dalam keadaan stabil ataupun tidak stabil pada lingkungan laut (Azkab, 2006). Gambar 2. Tumbuhan lamun (Azkab, 2006) 7 Lamun tumbuh subur terutama di daerah pasang surut terbuka serta perairan pantai yang dasarnya berupa lumpur, pasir, kerikil, dan patahan dengan karang mati dengan kedalaman 4 m. Dalam perairan yang sangat jernih, beberapa jenis lamun bahkan di temukan tumbuh sampai kedalaman 8-15 m dan 40 m. Bila dibandingkan dengan padang lamun yang tumbuh di sedimen karbonat yang berasal dari patahan terumbu karang, maka padang lamun yang tumbuh di sedimen yang berasal dari daratan lebih dipengaruhi oleh faktor run off daratan yang berkaitan dengan kekeruhan, suplai nutrient pada musim hujan, serta fluktuasi salinitas (Erftemeijer, 1993 in Dahuri, 2003). Diseluruh dunia telah di identifikasi terdapat 60 jenis lamun, 13 diantaranya di temukan di Indonesia. Dari 13 jenis lamun yang tumbuh di perairan Indonesia, 10 jenis di temukan di kawasan Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Kerapatan jenis lamun di pengaruhi faktor tempat tumbuh dari lamun tersebut. Beberapa faktor yang mempengaruhi kerapatan jenis lamun di antaranya adalah kedalaman, kecerahan, dan tipe substrat. Lamun tumbuh pada daerah yang lebih dalam dan jernih memilki kerapatan jenis lebih tinggi daripada lamun yang tumbuh di daerah dangkal dan keruh. Lamun berada pada substrat lumpur dan pasir kerapatannya akan lebih tinggi daripada lamun yang tumbuh pada substrat karang mati (Kiswara, 2004). 2.1.2. Pola distribusi Ekosistem lamun di Indonesia di jumpai pada daerah pasang surut (inner intertidal ) dan dibawahnya (upper subtidal). Dilihat dari pola zonasi lamun secara horizontal, ekosistem lamun terletak diantara dua ekosistem penting yaitu ekosistem terumbu karang dan mangrove. Ekosistem lamun berhubungan erat dan berinteraksi dengan mangrove dan terumbu karang serta sebagai mata rantai dan penyangga (buffer) bagi kedua ekosistem tersebut. Interaksi ketiga kelompok ini yaitu, interaksi fisik, nutrien dan zat organik melayang, ruaya hewan dan dampak kegiatan manusia (Begen, 2001) Zonasi sebaran lamun dari pantai kearah tubir secara umum berkesinambungan, namun bisa terdapat perbedaan pada komposisi jenis maupun luas penutupannya. Ekosistem lamun dapat berupa vegetasi tunggal berupa 8 vegetasi tunggal yang tersusun atas satu jenis lamun dengan membentuk padang lebat. Vegetasi campuran terdiri dua sampai 12 jenis lamun yang tumbuh bersama-sama pada satu substrat. Spesies lamun yang biasanya tumbuh dengan vegetasi tunggal adalah Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Halophilla ovalis, Holodule uninervis, Cymodocea serrulata, dan Thalassodendron ciliatum (Dahuri, 2003). Pada substart berlumpur di daerah mangrove kearah laut sering di jumpai padang lamun dari spesies tunggal yang berasosiasi tinggi. Sementara padang lamun vegetasi campuran terbentuk didaerah daerah yang berada didekat pantai yang lebih rendah dan subtidal yang dangkal. Padang lamun tumbuh dengan baik di daerah perlindungan serta substrat berpasir dan stabil (Hutomo et al. 1988 in Dahuri 2003). Untuk perairan tropis seperti Indonesia padang lamun lebih dominan tumbuh dengan koloni yang terdiri dari beberapa jenis (mix species) pada suatu kawasan tertentu. Berbeda dengan kawasan temperate atau daerah dingin yang kebanyakan di dominasi satu jenis lamun (single species). Penyebaran lamun memang sangat bervariasi tergantung pada topografi pantai dan pola pasang surut (Azkab, 2006). Berdasarkan genangan air dan kedalaman, sebaran lamun secara vertikal dapat dikelompokan menjadi tiga kategori, yaitu (Kiswara, 1997). 1. Jenis lamun yang tumbuh di daerah dangkal dan selalu terbuka saat air surut yang mencapai kedalaman kurang dari 1 m saat surut terendah. Contoh: Holodule pinifola, Holodule uninervis, Halophila minor, Halophilla ovalis, Thalassia hemprichii, Cymodoceae rodunata, Cymodoceae serrulata, Syringodinium isotifolium dan Enhalus acoroides. 2. Jenis lamun yang tumbuh di daerah dengan kedalaman sedang atau daerah pasang surut dengan kedalaman perairan berkisar 1-5 m. Contoh: Holodule uninervis, Halophilla ovalis, Thalassia hemprichii, Cymodoceae rodunata, Cymodoceae serrulata, Syringodinium isotifolium, Enhalus acoroides dan Thalassodendron ciliatum. 3. Jenis lamun yang tumbuh pada perairan dalam dengan kedalaman mulai dari 5-35 m. Contoh: Halophila ovalis, Halophila decipiens, Halophila 9 spinulosa, Thalassia hemprichii, Syringodinium isotifolium dan Thalassodendron ciliatum. Sedangkan berdasarkan keadaan pasang surut membagi lamun yang tumbuh menjadi dua zona, yaitu zona intertidal dan daerah yang berada jauh pantai . Zona intertidal dicirikan oleh tumbuhan pionir yang didominasi oleh Halophila ovalis, Cymodocea rotundata dan Holodule pinifolia, Sedangkan Thalassodendron ciliatum mendominasi zona daerah yang berada jauh pantai (Hutomo, 1997). 2.1.3. Suksesi Suksesi adalah suatu proses perubahan yang terjadi pada suatu komunitas dalam jangka tertentu sehingga membentuk komunitas baru yang berbeda dengan komunitas semula. Sukesi dapat diartikan sebagai perkembangan ekosistem yang tidak seimbang menuju ekosistem seimbang. Suksesi terjadi akibat modifikasi lingkungan fisik dalam komunitas dan ekosistem (Sam, 2008). Komunitas klimaks terjadi pada akhir dari proses suksesi. Komunitas klimaks adalah suatu komunitas akhir dan stabil (tidak berubah) yang mencapai keseimbangan dengan lingkunganya. Komunitas klimaks ditandai dengan terjadinya homeostasis atau keseimbangan, yaitu suatu komunitas yang mampu mempertahankan kestabilan komponennya dan dapat bertahan dan berbagai perubahan dalam sistem secara keseluruhan (Sam, 2009). Menurut Sam (2009) berdasarkan kondisi habitat pada awal suksesi dapat dibedakan menjadi dua suksesi, yaitu: a. Suksesi primer terjadi apabila suatu komunitas mendapat ganguan baik secara alami maupun adanya ganguan akibat campur tangan manusia yang mengakibatkatkan hilangnya komunitas awal secara total kemudian terbentuk komunitas baru. b. Suksesi sekunder terjadi apabila suatu ganguan terhadap komunitas tidak bersifat merusak total habitat komunitas tersebut sehingga masih terdapat kehidupan atau substrat seperti sebelumnya. Proses suksesi sekunder dimulai lagi dari tahap awal, tetapi tidak dari komunitas pionir. Ganguan yang menyebabkan terjadinya suksesi sekunder dapat berasal dari peristiwa alami atau akibat kegiatan manusai. 10 2.2. Habitat Ekosistem lamun merupakan ekosistem yang dinamis sehingga apabila terjadi ganguan tersebut akan menurunkan keseimbangan ekologisnya. Gangguan tersebut dapat berupa ganguan fisik, seperti badai dan pasang rendah yang membuka dan mengeringkan ekosistem lamun sehingga dapat berubah struktur komunitas dan luasan wilayah ekosistem lamun. Ganguan biologi yang ditimbulkan aktivitas hewan pengali lubang (udang, kepeting, dan beberapa jenis ikan) serta aktivitas hewan pemakan lamun (bintang laut, bulu babi, dan duyung). Selain ganguan alam, kerusakan ekosistem lamun juga disebabkan oleh kegiatan manusia terutama pulau-pulau yang dijadikan resort wisata, pemukiman dan kegiatan penambangan pasir laut. Kondisi substrat dasar, kecerahan perairan, dan adanya pencemaran sangat berperan dalam menentukan komposisi jenis, kerapatan jenis dan biomasa lamun. Kondisi ekosistem lamun dapat diketahui dengan melihat persentase penutupan lamun (Tabel 1). Tabel 1. Status padang lamun Kondisi Penutupan (%) Kaya/sehat ≥ 60 Kurang Kaya/Kurang Sehat 30 - 59.9 Miskin ≤ 29.9 Sumber: Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 200 tahun 2004 2.2.1. Substrat Menurut Dahuri et.al. (2001), tumbuhan lamun mampu hidup pada berbagai macam tipe substrat mulai dari lumpur hingga karang. Kebutuhan substrat yang paling utama adalah kedalaman substrat yang cukup. Peranan kedalaman pada substrat dalam stabilitas sedimen, yaitu sebagai pelindung tanaman dari arus laut dan sebagai tempat pengolahan serta pemasok nutrien. Hampir semua tipe substrat lumpur berpasir yang tebal antara hutan rawa mangrove dan terumbu karang (Begen, 2001). Berdasarkan karakteristik dan tipe substratnya, padang lamun di Indonesia dapat di kelompokan menjadi 6 kategori yaitu lumpur, lumpur pasiaran, 11 pasir, pasir lumpuran, puing karang, dan batu karang. Pengelompokan ini berdasarkan ukuran partikel dari substrat tersebut (Dahuri, 2003). Berdasarkan ukuran dan besar butiran tipe substat dapat diklasifikasi seperti yang ditunjukan tabel 2. Tabel 2. Ukuran besar butiran untuk tipe substrat menurut skala Wenworth (Wenworth 1992 in Mckenzie dan Yoshida 2009) Ukuran Nama Substrat (mm) Bongkah (boulder) > 256 Krakal (coble) 64 – 256 4 - 64 Batu (stone) Kerikil (peble) Butiran (granule) 2–4 Pasir sangat kasar (v. coarse sand) 1–2 Pasir kasar (coarse sand) 1/2 – 1 Pasir sedang (medium sand) 1/4 - ½ Pasir halus (fine sand) 1/8 - ¼ Pasir (Sand) Pasir sangat halus (v.fine sand) 1/16 - 1/8 Lumpur kasar (coarse silt) 1/32 - 1/16 Lumpur sedang (medium silt) 1/64 - 1/32 Lumpur halus (silt) 1/128 - 1/64 Lumpur sangat halus (v. fine silt) 1/256 - 1/128 Lumpur (Silt) Lempung kasar (coarse clay) 1/640 - 1/256 Lempung sedang (medium clay) 1/1024 - 1/640 Lempung halus (fine clay) 1/2360 - 1/1024 Lempung Lempung sangat halus(v. fine (Clay) clay) 1/4096 - 1/2360 2.2.2. Kedalaman dan kecerahaan Kecerahan perairan menunjukan kemampuan cahaya untuk menembus lapisan air pada kedalaman tertentu. Pada perairan alami, kecerahan sangat penting karena erat dengan proses fotosintesis. Semakin tinggi nilai kecerahan maka akan tinggi pula tingkat penetrasi cahaya ke kolom perairan. Penetrasi cahaya matahari atau kecerahan sangat penting bagi tumbuhan lamun. Hal ini terlihat dari sebaran lamun yang terbatas pada daerah yang masih menerima cahaya matahari (Supriharyono, 2009). Daya jangkau atau kemampuan tumbuh tumbuhan lamun untuk sampai kedalaman tertentu sangat dipengaruhi oleh 12 saturasi cahaya setiap individu lamun. Distribusi kedalaman tergantung dari hubungan beberapa faktor yaitu, gelombang, arus substrat, turbiditas dan penetrasi cahaya (BTNKpS, 2008 in Dwintasari, 2009). 2.2.3. Padatan tersuspensi total Padatan tersuspensi total atau TSS adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter >1 µm) yang tertahan di kertas miliopore dengan diameter pori 0,45 µm. TSS terdiri dari lumpur dari pasir halus serta jasad-jasad renik yang terutama disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi yang terbawa badan air (Effendi, 2003). Pada perairan yang tingkat erosi dan sedimentasi tinggi, sedimen (padatan tersuspensi) akan mengahalangi cahaya matahari sehingga mempengaruhi pertumbuhan lamun, dan dalam jangka waktu lama kerapatan tanaman lamun akan menurun (BTNKsP, 2008 in Dwintasari, 2009. 2.2.4. Pasang surut Lamun tumbuh subur terutama di daerah pasang surut terbuka serta perairan pantai yang dasarnya berupa lumpur, pasir, kerikil, dan patahan dengan karang mati dengan kedalaman 4 m. Pengaruh pasang surut serta struktur substrat mempengaruhi zona sebagian jenis lamun dan bentuk pertumbuhannya. Lamun hidup di perairan yang dangkal dan jernih pada kedalaman berkisar antara 2-12 meter dengan sirkulasi air yang baik. 2.3. Konservasi Lamun Perencanaan konservasi membutuhkan pengambilan keputusan tentang konfigurasi, lokasi dan pengelolaan kawasan. Tujuannya adalah untuk mencapai representasi keanekaragaman hayati untuk biaya sekecil mungkin. Efektivitas perencanaan konservasi sistematis ditentukan oleh; efisiensi dalam menggunakan sumber daya yang terbatas untuk mencapai tujuan konservasi, ketahanan dan fleksibilitas dalam menghadapi penggunaan lahan, dan akuntabilitas dalam memungkinkan keputusan untuk ditinjau secara kritis. Penentuan rencana konservasi ditentukan 3 prinsip yaitu kelengkapan, kecukupan, dan keterwakilan (Anonim, 2010). 13 Kelengkapan dimaksudkan adalah dalam penentuan zona konsevasi tersebut dalam kondisi baik dan memilki keanekaragaman yang khas. Selain itu yang menjadi pertimbangan adalah komposisi keanekaragaman hayati, struktur dan fungsinya dalam ekosistem. Sedangkan, kecukupan adalah penenentuan zona konservasi tidak hanya mementingkan keanekaragaman yang tinggi. Maksudnya adalah apabila zona tersebut memiliki keanekaragaman yang tinggi dan tersebar luas, maka akan sulit melakukan konservasi karena tidak efisien dan memakan dana yang besar (Anonim, 2010). Oleh karena itu, penentuan zona konservasi adalah harus mewakili area yang luas tersebut. Sehingga konservasi akan semakin mudah dilakukan karena biaya yang dikleuarkan tidak besar dan sangat efisien. 14 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Teluk Bakau, Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Kawasan lokasi tersebut merupakan salah satu daerah perlindungan Lamun di Laut Cina selatan. Lokasi pengamatan (Gambar 3) terletak pada 10 00' LU - 10 05' LU hingga 1040 35' BT - 1040 40' BT. Pengambilan contoh dilakukan sekali pada lokasi penelitian.berdasarkan perbedaaan spasial. Gambar 3. Lokasi penelitian Penelitian ini dibagi menjadi 3 (tiga) tahapan, yaitu : Tahap pertama pengumpulan data dan informasi mengenai objek penelitian, berupa studi pustaka. Tahapan kedua adalah tahapan penanganan dan identifikasi sampel pada bulan Agustus 2010, dan tahapan ketiga, pengolahan data berdasarkan metode analisa yang telah ditetapkan. 15 3.2. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penggumpulan data primer pada penelitian ini tercantum dalam Tabel 3, antara lain: GPS (Geographic Position System), Kertas waterproof, rollmeter, transek kuadrat berskala 50 x 50 cm, kamera digital, dan alat dasar selam. Selanjut alat yang digunakan dalam pengukuran parameter fisika adalah tongkat beskala, plastik, dan sekop. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta lokasi penelitian kawasan pulau Bintan dan buku indentifikasi lamun. Tabel 3. Alat dan Bahan No. Parameter Alat GPS (Global Position System) dan peta lokasi Kertas waterproof, rollmeter, transek kuadrat (50 x 50 c m), alat dasar selam dan buku identifikasi 1 Posisi stasiun 2 Kerapatan dan penutupan lamun 3 Kedalaman Tongkat berskala 4 pasang surut 5 TSS Tongkat Berskala Botol sampel, kertas saring, labu erlenmeyer, gelas ukur, pingset, oven, desikator, timbangan digital, vacuum pump, akuades 6 Substrat 3.3. Plastik, sekop Metode Pengamatan lansung Pengamatan langsung Pengamatan Langsung Pengamatan lansung Pengamatan di Laboratorium Pengamatan langsung Jenis dan Metode Pengumpulan Data Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari data primer yang meliputi data lamun (jenis, persentase penutupan dan kerapatan lamun), sedangkan data sekunder meliputi keadaan umum lokasi penelitian (Tabel 4) 16 Tabel 4. Komposisi, Jenis dan teknik pengambilan data Jenis Data No. Komponen Data Primer 1 Keadaan Umum Lokasi Geografi 2 Lamun Teknik Pengambilan Data Sekunder Sumber Data √ Laporan Studi Pustaka Laporan, lapangan Laporan, lapangan Laporan, lapangan Laporan, lapangan Studi Pustaka, Observasi Studi Pustaka, Observasi Studi Pustaka, Observasi Studi Pustaka, Observasi Laporan, lapangan Laporan, lapangan Laporan, lapangan Laporan, lapangan Studi Pustaka, Observasi Studi Pustaka, Observasi Studi Pustaka, Observasi Studi Pustaka, Observasi Jenis Lamun Persentase penutupan Lamun √ √ √ √ Kerapatan Jenis lamun √ √ Frekuensi lamun 3 Parameter Lingkungan √ √ Kedalaman √ √ Pasang Surut √ √ TSS √ √ Substrat √ √ Pengumpulan data primer maupun data sekunder diperoleh dengan menggunakan metode observasi berbeda. Metode observasi yang digunakan adalah sebagai berikut: 1. Observasi langsung Cara pengumpulan data menggunakan metode ini adalah dengan mengamati dan melakukan pengukuran langsung kondisi ekosistem lamun. Metode ini digunakan menggunakan metode gabungan antara “Line Intersecpt Transect” dan metode “Stop and Go” yang biasa digunakan untuk mengamati Terumbu Karang. Adapun Langkah-langkah pengukuran struktur komunitas lamun adalah sebagai berikut. a. Metode yang digunakan yaitu transek atau petak contoh (Transect plot). Metode transek atau petak contoh (transect plot) adalah metode pencuplikan contoh populasi suatu komunitas dengan mendekati petak contoh yang berada pada garis yang di tarik melewati wilayah ekosistem tersebut (Gambar 4) 17 b. Disetiap stasiun pengamatan diletakan transek-transek garis dari arah darat kearah laut (tegak lurus garis pantai sepanjang zonasi padang lamun) di daerah intertidal sampai mendekati tubir laut sehingga membentuk garis horizontal, ulang sampai 3 kali. Daerah pinggir dan tengah juga diamati sehingga membentuk garis vertikal yang berhubungan seperti “zig-zag” Transek hanya diletakkan pada zona padang lamun yang mengalami perubahan di jalur pengamatan (misalnya: zona padang lamun yang hanya terdapat satu jenis, campuran dan daerah yang kosong) sampai batas tubir. Amati daerah tengah dan ntertidal setiap line yang dilalui c. Pada transek kuadrat berukuran 50 cm x 50 cm, dibuat kotak-kotak sebesar 10 cm x 10 cm sehingga transek berjumlah 25 kotak, hal ini agar mempermudah mengidentifiasi lamun. Pengambilan contoh jenis lamun akan dihitung secara acak dan dihitung jumlah individu setiap jenis. 300 m T 100 m U B STASIUN I R Titik pengamatan Gambar 4. Cara pengambilan titik sampel Untuk lebih jelas perhatikan Gambar 4, observasi dapat dilakukan langsung pada transek kuadrat yang telah diletakan pada stasiun yang diplotkan menggunakan GPS, sehingga dapat dihitung persentase penutupan lamun, jenis lamun, jenis dan jenis substrat, persentase kecerahan, kedalaman, dan kecepatan arus. 18 2. Analisis laboratorium Analisi TSS dan nutrien dilaksanakan di laboratorium Produktivitas Lingkungan Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, FPIK, IPB. 3.4. Analisis Data 3.4.1. Struktur komunitas lamun a. Kerapatan jenis (Di) adalah jumlah individu (tegakan) persatuan luas. Kerapatan masing-masing Jenis pada setiap stasiun dihitung dengan menggunakan rumus (Brower et.al. 1988) Keterangan : Di = Jumlah Individu (tegakan) ke-i per satuan luas Ni = Jumlah Individu (tegakan) ke-I dalam transek kuadrat A = Luas transek kuadrat b. Kerapatan Relatif (RDi) adalah perbandingan antara jumlah individu spesies dan jumlah total individu seluruh spesies: Keterangan : RDi = Jumlah Individu (tegakan) ke-i per satuan luas Ni = Jumlah Individu(tegakan) ke-I dalam transek kuadrat = Luas transek kuadrat c. Frekuensi jenis adalah peluang ditemukan suatu jenis dalam titik contoh yang diamati. Frekunsi jenis dihitung dengan rumus: Keterangan : Fi Pi = Frekuensi Jenis Ke-i = Jumlah petak contoh dimana ditemukan jenis i = Jumlah total petak contoh yang diamati 19 d. Frekuensi relatif (RFi) adalah perbandingan antara frekuensi spesies-I (Fi) dan jumlah frekuensi seluruh spesies Keterangan : RFi = Frekuensi relatif Fi = Frekuensi jenis ke-i = Jumlah frekuensi seluruh spesies e. Pengamatan persen peneutupan menggunakan metode visual (lampiran 4), yang memiliki standar penutupan lamun. metode tersebut diterapkan oleh Mc. Kenzie, dkk (2003) f. Penutupan relatif (RCi) adalah perbandingan antara penutupan individu spesies ke-i dengan jumlah total penutupan seluruh jenis. Keterangan : RCi = Penutupan relatif Ci = Luas area yang tertutupi jenis ke-i = Penutupan seluruh spesies g. Indeks nilai penting lamun (INP) digunakan untuk menghitung dan menduga secara keseuruhan dari peranan satu spesies didalam suatu komunitas. Indeks nilai penting (INP) berkisar antara 0-3 dimana INP memberikan gambaran mengenai pegaruh atau peranan suatu jenis tumbuhan suatu daerah. Semakin tinggi nilai INP suatu spesies relatif terhadap terhadap jenis lainnya, maka semakin tinggi peranan spesies tersebut pada komunitas lainya. Rumus yang digunakan dalam menghitung INP adalah (Brower et.al. 1988). Keterangan : INP = Indeks nilai penting RFi = Frekuensi relatif RDi = Kerapatan relatif RCi = Penutupan relatif i. Analisis indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominasi 20 1. Indeks kenaekaragaman Shannon-Wiener Indeks keanekaragaman digunakan untuk mengukur kelimpahan komunitas berdasarkan jumlah jenis spesies dan jumlah individu dari setiap spesies pada suatu lokasi. Semakin banyak jumlah spesies, maka semakin beragam komunitasnya. Rumus Indeks keanekaragaman Shannon sebagai berikut Shannon-Wiener (Krebs, C.J., 1972) yaitu: atau Keterangan 2. : H' = lndeks Keanekaragaman Pi =Proporsi jumlah individu spesies jumlahindividu total (ni/N) N =Jumlah total individu semua spesies S =Jumlah taksa spesies Indeks keseragaman ke-i terhadap Untuk mengetahui seberapa besar kesemaan penyebaran jumlah individu setiap jenis digunakan indeks keseragaman, yaitu dengan cara membandingkan indeks keanekaragaman dengan nilai maksimumnya. Semakin seragam penyebaran individu antaraspesies maka keseimbangan ekosistem akan smakin meningkat. Indeks keseragaman ditentukan berdasarkan rumus berikut (Brower, J.E. and J.H. Zar, 1998). Keterangan 3. : E H’ H’max S Indeks dominan Simpson = Indeks Keseragaman Shannon = Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener = Indeks Keseragaman maksimum = Jumlah jenis Untuk mengambarkan jenis yang paling banyak ditentuakn dapat diketahui dengan menghitung nilai dominasinya. Dominansi dinyatakan dalam indeks dominansi Simpson (Brower, J.E. and J.H. Zar, 1998). 21 Keterangan : D ni N = Indeks dominasi Simpson = Jumlah individu jenis ke-i = Jumlah total individu seluruh jenis 3.4.2. Distribusi spasial lamun Zonasi sebaran lamun dari pantai kearah tubir secara umum berkesinambungan, namun bisa terdapat perbedaan pada komposisi jenis maupun luas penutupannya. Ekosistem lamun dapat berupa vegetasi tunggal berupa vegetasi tunggal yang tersusun atas satu jenis lamun dengan membentuk padang lebat. Untuk melihat hal tersebut dengan memplotkan titik pengamatan dan jenis lamun yang ditemukan kedalam peta. Hal ini dilakukan dengan bantuan perangkat lunak arcview 3.3. 3.4.3. Zonasi lamun Pembagian zonasi lamun berdasarkan daerah yang digunakan sebagai dareah pemanfaatan pesisir serta kesamaannya baik jenis lamun yang dapat ditemui, jenis pemanfaatan maupun jenis substrat yang dapat ditemui. Penyusunan zonasi lamun dapat menggunakan perangkat lunak arcview 3.3. perangkat lunak ini digunakan untuk melihat informasi umum lamun berdasarakan keadaan lamun dengan pemanafaatan lamun. Hal ini akan menjadi dasar perencanaan mitigasi dan adaptasi lamun di daerah tertentu. 3.4.4. Zona konservasi Penyusunan daerah konservasi disusun berdasarkan konsep Marxan. Dimana dalam konsep tersebebut memilki tujuan meminimalkan biaya dikenakan mencapai target yang ditetapkan (Marxan, 2010). Biaya yang dikeluarkan untuk penentuan awal + Biaya konservasi total = Panjang batas zona konservasi + Denda yang dikeluarkan apabila syarat konservasi tidak terpenuhi 22 IV. TELUK BAKAU 4.1. Profil Wilayah 4.1.1. Letak geografis Teluk Bakau merupakan desa yang terletak Pulau Bintan, Kepulauan Riau dan memiliki potensi sumberdaya alam yang kaya, diantaranya pertambangan (bauksit), minyak dan gas serta pariwisata. Daerah Teluk Bakau mempunyai luas area 112.12 km2 yang terletak 10 meter diatas permukaan laut dan berbatasan langsung : Sebelah Utara : Desa Malang Rapat Sebelah Selatan : Kelurahan Kawal Sebelah Barat : Desa Toa Paya Utara Sebelah Timur : Laut Cina Selatan 4.1.2. Iklim Secara umum Pulau Bintan termasuk daerah yang beriklim tropis basah; curah hujan rata-rata ± 2.214 mm/tahun,berkisar antara 2.000-2.500 mm/th, dengan hari hujan ±110 hari. Curah hujan tertinggi pada bulan Desember (347 mm), terendah pada bulan Agustus (101 mm). Suhu rata-rata bulanan selama lima tahun (1996-2000) antara 22,5oC-26,2oC , suhu terendah rata-rata 23,9oC dan tertinggi rata-rata 31,8o. Cuaca di daratan Pulau Bintan cukup terik dan panas pada siang hari, namun di wilayah pantai cuaca cukup nyaman karena mendapat pengaruh dari angin laut yang dapat menyeimbangkan cuaca terik tersebut. Kelembaban udara berkisar antara 83%-89% (Kuriandewa, 2010). Angin dalam setahun mengalami perubahan empat kali: Desember-Februari bertiup angin utara: bulan Maret-Mei bertiup angin timur, bulan Juni-Agustus bertiup angin selatan dan bulan September-November bertiup angin barat. Angin dari arah utara dan selatan sangat berpengaruh terhadap terjadinya gelombang laut. Gelombang laut pada bulan Desember-Februari dan bulan Juni-Agustus umumnya cukup besar. Gelombang di perairan pesisir Pulau Bintan sebelah utara pada musim angin utara atau selatan, dapat mencapai ketinggian 2 meter. Kecepatan angin terbesar adalah 9 knot pada bulan Desember-Januari, sedangkan kecepatan angin terendah pada bulan Maret-Mei. 23 4.1.3. Topografi dan lereng Menurut Kuriwandewa (2009) Daratan P. Bintan memiliki topografi lereng yang beragam. Ketinggian wilayah berkisar antara 0-50 m di atas permukaan laut. Data lereng yang diperoleh melalui proses pemodelan digital menghasilkan informasi bahwa bentuk topografi wilayah ini sebagian besar merupakan lahan berombak hingga bergelombang (53,37%). Lahan dengan topografi datar banyak terdapat di Desa Berakit dan Gunung Kijang. Daratan P. Bintan dapat dibedakan menjadi empat kelas kemiringan lereng: (1) Wilayah datar-landai (0-5%) sebagian besar dijumpai di bagian utara dan selatan daerah, terutama di sekitar sempadan sungai, hutan bakau dan sepanjang tepi pantai. (2) Wilayah datar berombak (5-8%), menyebar di bagian tengah dan selatan, terutama di Desa Teluk Bakau, Desa Malang Rapat dan sebagian Desa Berakit. (3) Wilayah bergelombang (8-15%), yang merupakan daerah perbukitan dapat dijumpai di bagian tengah. (4) Wilayah berbukit (15-30%), penyebarannya terutama di bagian tengah Desa Teluk Bakau dan Desa Malang Rapat. Sebaran kelas kemiringan lereng dapat dilihat pada Tabel 5 dan Tabel 6 yang menyajikan sebaran dan persentase luas dari masing-masing kelas kemiringan lereng. Tabel 5. Kelas kemiringan lereng Lereng Deskripsi Lereng Total Luas (ha) 0-5 % Datar - landai 6.182,46 44,47 5-8 % Berombak 5.195,53 37,37 8-15 % Bergelombang 2.225,91 16,00 15-30 % Berbukit 299,85 2,16 13.903,75 100 Total Luas Desa % 24 Tabel 6. Sebaran Kemiringan Lereng Per-desa Kelas Lereng Berakit Malang Rapat Teluk Bakau Gunung Kijang Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) % 0-5 % 1.970,34 72,43 1.732,94 31,81 1.393,93 31,64 1.085,25 81,57 5-8 % 649,63 23,88 2.555,70 46,91 1.785,78 40,54 204,42 15,37 8-15 % 85,51 3,15 1.044,71 19,18 1.066,08 24,20 29,61 2,22 15-30 % 14,71 0,54 114,87 2,10 159,15 3,62 11,12 0,84 Total Luas 2.720,19 100 5.448,22 100 4.404,94 100 1.330,40 100 Sumber: Hasil Analisis Data 47 448000 mT 450000 452000 454000 PETA 4 456000 mT PESISIR TIMUR PULAU BINTAN 138000 mU 138000 mU PETA KELAS LERENG Kecamatan Gunung Kijang dan Teluk Sebong KABUPATEN BINTAN KECAMATAN TELUK SEBONG P. Wangkang N 136000 136000 W E Berakit S Skala 1 : 125.000 2 134000 0 134000 Bukit Balau Teluk Asah 2 4 6 Km Proyeksi : Universal Transverse Mercator (UTM) Zone UTM : 48 N Sistem Grid : Grid UTM Datum : WGS-84 132000 Teluk Merbau Sialang 130000 DESA BERAKIT Petunjuk Lokasi Sumber : 1. Citra ASTER, perekaman 25 Maret 2005 2. Citra Landsat , perekaman 28 April 2000 3. Citra SRTM, (resolusi 100m) NASA, perekaman 2003 4. Peta Jantop TNI-AD, skala 1:50.000 5. Peta Rupa Bumi Indonesia, lb. 1016 & 1017, skala 1:250.000, BAKOSURTANAL 1986 6. Peta Geologi, lb. Tanjung Pinang, Skala 1:250.000 7. Peta Sistem Lahan, lb. 1016/Tanjung Pinang dan 1017/Tanjung Uban, skala 1:250.000. BAKOSURTANAL - Dep. Pertanian, 1988 8. Peta Lereng, Revisi RTRW Kabupaten Bintan, 2004 9. Rencana Induk Ibukota Kec. Gn. Kijang, 2004 128000 Kampa ke Lagoi a Kam p Telukdalam 126000 . S KECAMATAN GUNUNG KIJANG ala m S. Tl . D Program Studi Ilmu Lingkungan Progr am Pas c as ar j ana 124000 U N I V E R S I T A S I N D O N E SI A P. Payung DESA MALANG RAPAT Kp. P. Pucung Malangrapat P. Balau # P. Penyusu 122000 LEGENDA 450000 mT Kampung Batas Kecamatan Sungai Angus 120000 Batas Penelitian 120000 Batas Desa S. Angus Garis Pantai Sungai Kuros 118000 Jalan Tanah P. Beralas Bakau 118000 Jalan Utama Mengkuros Jalan Pkb. Sawit P. Beralas Pasir DESA TELUK BAKAU Distribusi Kelas Lereng % 0-5% Datar - landai 6.182,46 44,47% 5-8% Berombak 5.195,53 37,37% 2.225,91 16,00% 299,85 2,16% 13.903,75 100% 116000 Luas 116000 Kelas Kemiringan Lereng 112000 mU S. Ka Malang Rapat Teluk Bakau wa Karubi 112000 DESA GUNUNG KIJANG 454000 mT Distribusi Kelas Lereng Per Desa Berakit 114000 i rub Ka Luas Total S. 15-30% Berbukit 114000 Bopeng 8-15% Bergelombang l Gunung Kijang Kelas Lereng 1.970,34 72,43% 1.732,94 31,81% 1.393,93 31,64% 1.085,25 81,57% 5-8% 649,63 23,88% 2.555,70 46,91% 1.785,78 40,54% 204,42 15,37% 8-15% 85,51 3,15% 1.044,71 19,18% 1.066,08 24,20% 29,61 2,22% Luas % Luas % 14,71 0,54% 114,87 2,10% 159,15 3,62% 11,12 0,84% 2.720,19 100% 5.448,22 100% 4.404,94 100% 1.330,40 100% Sei Kawal Tanjung Pinang ke KECAMATAN GUNUNG KIJANG 108000 mU 15-30% % 110000 0-5% Luas Total Luas 108000 mU % 110000 Luas 456000 mT 458000 460000 462000 Gambar 5. Peta Umum P.Bintan 464000 mT 25 Jika memperhatikan fisiografi dan bentuk permukaan yang dapat diamati melalui kenampakan topografi pada Gambar/Peta 5, wilayah ini merupakan daerah yang mengalami pengikisan intensif dan merupakan daerah yang memiliki kerawanan gerak massa. Permukaan lahan seperti ini seharusnya selalu tertutup oleh vegetasi untuk mengurangi risiko pengikisan atau terjadinya gerak massa. Walaupun gerak massa yang terjadi hanya bersifat lokal dikarenakan wilayah dengan lereng-lereng terjal hanya berada pada luasan terbatas, namun kondisi ini dapat saja membahayakan masyarakat pada umumnya. 4.1.4. Morfologi bentuk lahan Bentuk lahan yang dapat dijumpai di wilayah ini meliputi 7 (tujuh) macam yang di bedakan menurut genesanya. Macam dari bentuk lahan yang dapat dijumpai di seluruh wilayah idisajikan pada Tabel 7. Sedangkan distribusi bentuk lahan per desa disajikan pada Tabel 8. Penyajian data distribusi sebaran bentuk lahan pada masing-masing desa bertujuan untuk menunjukkan kondisi dan potensi fisik lahan masing-masing desa secara rinci (Kuriandewa, 2010). Tabel 7. Deskripsi bentuk lahan pesisir timur P. Bintan Bentuk lahan Rataan pasang surut (M5) Dataran alluvial (F1) Dataran alluvial pantai (M6) Dataran nyaris (D5) Perbukitan terkikis (D1) Rawa (F4) Bukit sisa (D3) Sumber: Hasil Analisis Data Deskripsi Pantai dengan endapan pasir yang terpengaruh pasang surut Dasar-dasar lembah kecil diantara bukitbukit Gunung-gunung dari endapan pasir pantai Dataran-dataran sediment campuran yang berombak – bergelombang Dataran-dataran batuan berapi asam yang berombak sampai berbukit Dataran campur antar pasut di bawah bakau Bukit sisa, berupa batuan api masam yang membentuk pulau Total Luas (ha) % 65,35 0,47 1.306,68 9,40 1.774,64 12,76 3.515,45 25,28 6.737,77 48,46 465,52 3,35 38,34 0,28 26 Tabel 7 menunjukkan bahwa bentuk lahan yang paling dominan ditemui di daerah penelitian adalah perbukitan terkisis (48,46%) dan dataran nyaris (25,28%). Kedua bentuk lahan ini merupakan bentuk lahan yang terjadi karena proses denudasional atau pelapukan. Pelapukan yang terjadi merupakan pelapukan tingkat lanjut sehingga bentuk permukaan yang ada umumnya berupa bukit-bukit kecil. Sesuai batuan dasarnya yaitu granit maka lahan dengan proses denudasional tingkat lanjut ini memiliki beberapa ciri berkaitan dengan kondisi tanahnya, yaitu memiliki ukuran butir sedang hingga halus dengan tingkat kesuburan sedang hingga rendah, tergantung pada bentuk tutupan lahan yang ada di atasnya. Bentuk lahan yang terbentuk melalui proses denudasional umumnya memerlukan pengelolaan yang tepat dari segi pemanfaatan dan perlakuan. Pengelolaan yang tidak tepat dapat mengakibatkan terjadinya bencana atau kerusakan lingkungan seperti longsor atau terbentuknya lahan kritis. Gambaran distribusi sebaran bentuk lahan di daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 8 (Kuriandewa, 2010). Tabel 8. Distribusi bentuk lahan per desa Berakit Bentuk lahan Luas % (ha) Malang Rapat Teluk Bakau Luas Luas (ha) % (ha) % Gunung Kijang Luas (ha) % Rataan pasang surut (M5) 10,82 0,40 33,07 0,61 10,34 0,23 11,12 0,84 Dataran alluvial (F1) 207,13 7,61 582,18 10,69 287,17 6,53 230,20 17,30 789,62 29,03 576,96 10,59 227,47 5,16 180,59 13,57 Dataran nyaris (D5) 501,03 18,41 837,64 15,37 1.406,11 31,92 770,67 57,93 Perbukitan terkikis D1) 767,40 28,22 3.418,37 62,74 2.436,91 55,32 115,09 8,65 Rawa (F4) 442,79 16,27 - - - - 22,73 1,71 1,40 0,06 - - 36,94 0,84 - - 2.720,19 100 5.448,22 100 4.404,94 100 1.330,40 100 Dataran alluvial pantai (M6) Bukit sisa (D3) Total Luas Sumber: Hasil analisis data 4.1.5. Jenis dan kondisi tanah Sebaran jenis tanah diuraikan menurut komposisi tanah berdasarkan Peta Sistem Lahan (Bakosurtanal, 1983) dan Peta Tanah (Puslitan, 1999) in Kuriwandewa (2010) yang didetilkan melalui interpretasi citra satelit. Jenis tanah 27 didominasi oleh jenis tanah podsolik, aluvial, litosol, dan sebagian kecil jenis tanah andosol. Jenis-jenis tanah tersebut menurut sistem USDA dibedakan menjadi beberapa satuan tanah, yaitu: tropudults, paleudults, tropaquepts, tropofluvents, eutropepts, troposaments, tropoquents, hydraquents, sulfaquents dan dystropepts. Sebaran jenis tanah dapat dilihat pada Tabel 9 dan Tabel 10 yang menyajikan sebaran dan persentase luas dari masing-masing jenis tanah yang berhasil diidentifikasi di daerah ini. Tabel 9. Deskripsi dan sebaran jenis tanah Sistem Jenis Tanah Deskripsi Satuan Tropudults, Paleudults SKA Tropaquepts, Tropofluvents, BKN Eutropepts Troposamments, Tropoquents PTG Hydraquents, Sulfaquents KJP Tropudults, Dystropepts, LWW Tropaquepts Luas (ha) % 9.779,91 70,34 825,34 5,94 582,98 4,19 444,20 3,19 2.271,32 16,34 13.903,75 100 Tekstur agak halus - halus Tekstur agak halus - halus Tekstur agak kasar - halus Tekstur halus Tekstur agak halus - halus Total Luas (ha) Sumber: Hasil Analisis Data Tabel 10. Deskripsi dan sebaran jenis tanah per desa Berakit Malang Rapat Teluk Bakau Gunung Kijang Sistem Satuan Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) % SKA 2.178,08 80,07 4.729,71 86,81 2.336,79 53,05 535,33 40,24 BKN - - 151,65 2,78 420,76 9,55 252,93 19,01 PTG 97,91 3,62 311,92 5,73 128,56 2,92 44,59 3,35 KJP 444,20 16,31 - - - - - - LWW - - 254,94 4,68 1.518,83 34,48 497,55 37,40 Total Luas (ha) 2.720,19 100 5.448,22 100 4.404,94 100 1.330,40 100 Tanah Sumber: Hasil Analisis Data 28 Jenis-jenis tanah yang banyak dijumpai di daerah ini adalah jenis tropudults, paleudults, dystropepts dan tropaquepts (86,68%), pada satuan sistem lahan Sukaraja (SKA) dan Lawangguang (LWW). Jenis-jenis tanah ini umumnya memiliki ciri kesuburan yang sedang-rendah karena susunan material dasarnya yang memang miskin hara. Sebaran jenis-jenis tanah di daerah ini, ternyata memiliki hubungan sangat erat dengan informasi satuan bentuk lahan dan geologi yang telah diidentifikasi sebelumnya. Hubungan antara bentuk lahan, geologi dan jenis tanah ini merupakan hubungan positif yang saling menguatkan sehingga makin memperjelas gambaran tentang kondisi lahan di daerah pesisir timur P. Bintan. 4.1.6. Hidrologi Sungai-sungai yang ada umumnya berukuran kecil dan dangkal sehingga tidak layak digunakan untuk aktivitas lalu lintas pelayaran. Sungai-sungai tersebut umumnya digunakan untuk saluran pembuangan air, terutama air dari daerah rawa. Pada musim kemarau debit air pada sungai-sungai tersebut biasanya menurun drastis sehingga beberapa sungai mengalami kekeringan. Sungai terbesar yang ada adalah Sungai Kawal yang memiliki luas DAS hingga 93 km2. Sebagian wilayah DAS Kawal termasuk dalam daerah penelitian. DAS lain yang jauh lebih kecil adalah DAS Angus dan DAS Karubi. Sungaisungai tersebut merupakan sungai yang dimanfaatkan sebagai pemasok air tawar utama.. Di daerah ini tidak dijumpai sungai yang berpotensi sebagai sumber air baku. Berdasarkan pengamatan lapangan, umumnya hulu sungai dimanfaatkan sebagai sumber air bersih masyarakat, sedangkan pada bagian hilir sungai dimanfaatkan sebagai drainase makro. 4.1.7. Kondisi hidrogeologi Keberadaan air tanah di daerah ini dapat dikelompokkan menjadi dua wilayah air tanah yaitu wilayah dataran dan wilayah perbukitan. Wilayah air tanah dataran, daerahnya meliputi dataran aluvial dan dataran bergelombang. Kedudukan muka air tanah berkisar antara 1-7 meter dari permukaan tanah 29 setempat. Akuifer umumnya dijumpai pada lapisan pasir dan pasir lempungan dari endapan aluvial. Ketebalan akuifer ini berkisar antara 3-7 meter dengan dasar lempung atau batuan beku seperti granit dan diorite yang langka kandungan air tanahnya. Di beberapa tempat air tanah berada pada kedalaman 1-5 meter dari permukaan dengan air yang jernih, berkualitas baik, dan berpotensi cukup untuk memenuhi kebutuhan air bersih penduduk setempat. Akuifer dangkal dengan penyebaran terbatas dijumpai di sekitar pantai dan sepanjang alur-alur sungai. Secara umum kondisi hidrogeologi daerah ini memiliki potensi air tanah rendah sampai sangat rendah dengan kedalaman muka air tanah dangkal berkisar antara 3-5 meter dari permukaan tanah (Kuriandewa, 2010). 30 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Karakteristik Habitat Kondisi lingkungan perairan mempengaruhi segala bentuk kehidupan yang ada di perairan baik secara langsung maupun tidak langsung. Karakteristik fisikakimia perairan juga akan mempengaruhi struktur komunitas biota yang hidup di dalamnya, yaitu komunitas padang lamun. Secara umum kondisi fisika kimia perairan Teluk Bakau masih dalam keadaan yang sangat baik bagi kehidupan sumberdaya lamun. 1 1 2 3 4 5 Gambar 6. Kondisi stasiun Pengamatan dilakukan di sepanjang pantai Teluk Bakau, dimulai dari arah selatan sampai ke utara. Pengamatan berdasarkan kondisi habitat yang berbeda 31 (Gambar 6) disetiap stasiunnya sehingga menggambarkan habitat secara keseluruhan di Teluk Bakau. Kondisi lingkungan Stasiun 1 terdapat mangrove yang merupakan daerah jebakan unsur hara. Selain itu terdapat daerah aliran sungai (DAS), daerah ini digunakan nelayan-nelayan lokal yang ada di Teluk Bakau untuk melabuhkan kapal mereka. Oleh karena itu, kondisi perairan tersebut agak keruh daripada stasiun pengamatan lainya yang berada di dekat pantai, hal ini disebabkan adanya masukan air yang berasal dari aliran sungai yang membawa limpasan dari darat. Informasi yang diperoleh dari penduduk sekitar daerah ini akan dikeruk apabila megalami pendangkalan, agar kapal-kapal mereka dapat berlabuh. Sedangkan stasiun-stasiun pengamatan lainya (Gambar 6) merupakan daerah yang dimanfaatkan sebagai tempat wisata dan pemukiman, kecuali Stasiun 5 yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Pada Stasiun 2 merupakan daerah milik pemerintah yang dimanfaarkan oleh penduduk lokal sebagai tempat wisata. Kondisi perairan pada Stasiun 2 untuk daerah yang berada didekat pantai hampir serupa dengan kondisi perairan yang terdapat pada Stasiun 1. Hal ini disebakan Stasiun 2 berdekatan dengan Stasiun 1, sehingga Stasiun 2 mendapat pengaruh dari Stasiun 1. Oleh karena itu, pada daerah yang berada didekat pantai pada Stasiun 2 kondisi perairanya agak sedikit keruh. Sedangkan pada Stasiun 3 juga dimanfaatkan sebagai kawasan wisata pantai yang dikelola oleh perusahan swasta. Sepanjang daerah tersebut didirikan resort-resort diperuntukan bagi wisatawan yang datang baik lokal maupun mancanegara. Pada Stasiun 4, daerah yang dimanfaatkan oleh penduduk lokal sebagai daerah pemukiman. Dimana pada daerah tersebut pemukiman penduduk dibangun diatas perairan dan merupakan tempat yang digunakan untuk berlabuhnya kapalkapal nelayan. Sedangkan pada Stasiun 5 merupakan daerah yang belum dimanfaatkan sebagai kawasan wisata oleh penduduk sekitar maupun swasta. Daerah tersebut masih dalam kondisi baik dan belum tercemar oleh aktivitas masyarakat maupun aktivitas wisata. Pengamatan karakteristik fisika-kimia yang telah dilakukan mengambarkan hubungan antara karaktristik lamun dan aktivitas masyrakat pada daerah Teluk Bakau. Nilai-nilai ini dapat mencerminkan kualitas perairan yang dapat 32 mendukung keberadaan lamun. Berdasarkan hasil pengukuran parameter fisika dan kimia perairan pada setiap stasiun pengamatan di lokasi penelitian disajikan dalam Tabel 11. Tabel 11. Hasil pengamatan karakteristik perairan No Parameter Baku Mutu Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 Fisika 1 Kecerahan (%) 100 100 100 100 100 100 2 Kedalaman (m) - 1.36 1.25 1.16 1.34 1.72 3 TSS (mg/L) Kecepatan Arus (cm/s) 20 75 25 5 0 10 - 6.085 6.205 8.115 7.845 10.61 4 0 Kimia 1 Ortophospat (mg/l) 2 Amonia (mg/l) 0.015 0.005 0 0.01 0 0 0.3 0.49 0.075 0.055 0.13 0.025 3 Nitrat (mg/l) 0.08 0.025 0.045 Sumber : KepmenLH (2004) Baku Mutu Air Laut untuk Bioata Laut 0.04 0.035 0.015 Kecerahan perairan yang teramati pada perairan Teluk Bakau (Tabel 11) adalah 100% yang berarti bahwa pada lokasi pengamatan penyinaran masih terjadi sampai kedalaman tertentu. Berdasarkan data tersebut dapat di ketahui bahwa perairan Teluk Bakau termasuk perairan dangkal dan jernih karena samapai kedalaman tertentu cahaya dapat masuk. Kondisi perairan yang dangkal mempengaruhi kehidupan lamun, karena perubahan kedalaman air dapat mempengaruhi beberapa faktor lingkungan perairan yang lain, yaitu suhu, intensitas cahaya dan hidrodinamika air. Intensitas cahaya matahari yang sampai kedalaman tertentu diperairan merupakan faktor pembatas pertumbuhan dan produksi lamun. Kecerahan perairan sangat penting bagi lamun karena erat kaitannya dengan proses fotosintesis. Penyinaran yang baik akan mempengaruhi kehidupan lamun karena proses fotosintesis akan berjalan dengan baik. Selain itu nilai kecerahan yang tinggi ini juga di dukung oleh kecepatan arus yang relatif tenang pada perairan tersebut. Tingkat kecerahan (Tabel 11) perairan Teluk Bakau dipengaruhi oleh nilai Total Suspended Solid (TSS). Nilai TSS yang terukur pada setiap stasiun pengamatan berbeda berkisar antara 0-75 mg/l. Nilai ini melebihi nilai standar baku mutu yang ditetapkan leh KepmenLH (2004) yaitu 20 mg/l, untuk beberapa 33 stasiun. Tingginya perbedaan nilai TSS antara stasiun mengindikasikan bahwa perairan Teluk Bakau terjadi sedimentasi atau proses pengendapan tinggi di beberapa stasiun pengamatan. Stasiun yang mengalami proses sedimentasi adalah Stasiun 1 dan Stasiun 2. Hal ini disebabkan pada Stasiun 1 terdapat aliran sungai yang menyebabkan limpasan air dari darat masuk ke perairan laut. Limpasan air ini membawa nutrien dan sedimen yang menyebabkan perairan laut berwarna kekuningan dan sedikit lebih keruh dari Stasiun 2. Di sekitar Stasiun 1 terdapat mangrove yang tumbuh lebat, sehingga pada Stasiun 1 merupakan area jebakan unsur hara dan sedimen. Sedangkan Stasiun 2 merupakan area yang sangat dekat dengan Stasiun 2, sehingga mempengaruhi area ini dan memiliki nilai TSS yang tinggi. Fenomena ini dapat mempengaruhi kehidupan lamun karena apabila TSS tinggi, maka tinggi pula kekeruhanya dan dapat menghambat penetrasi cahaya yang masuk kedalam perairan, sehingga dapat menggangu proses fotosintesis dan dalam jangka waktu lama kerapatan lamun akan menurun. Selain itu nilai kecerahan yang tinggi dan TSS juga di dukung oleh kecepatan arus. Kecepatan arus (Tabel 11) di perairan Teluk Bakau relatif tenang untuk perairan terbuka yang berhadapan langsung dengan Laut Cina Selatan. Kecepatan arus yang terukur pada perairan Teluk Bakau berkisar antara 6,09 cm/s sampai 14 cm/s untuk daerah daerah yang berada didekat pantai dan daerah yang berada jauh pantai . Faktor yang cukup dominan mempengaruhi kecepatan arus di perairan Teluk Bakau adalah angin. Selain Itu, dangkalnya perairan dan keberadaan lamun memberikan pengaruh yang cukup besar dalam memperlambat gerakan arus. Pergerakan arus ini berpengaruh terhadap pertumbuhan lamun yang terkait dengan suplai unsur hara dan persedian gas-gas terlarut yang dibutuhkan oleh lamun. Pada stasiun pengamatan dari selatan ke utara Fosfat dalam bentuk ortofosfat merupakan salah satu senyawa anorganik terlarut dari unsur hara P yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan hidup organisme. Unsur P akan diubah oleh fragmen daun dan dilepas ke kolom air dan air antara sedimen (porewater) sebagai nutrien pertumbuhan lamun. Berdasarkan hasil pengamatan keberadaan fosfoat diperairan Teluk Bakau sangat rendah. Nilai ortofosfat tinggi terdapat pada Stasiun 3, tingginya nilai ortophosphat sehingga melebihi nilai baku mutu kehidupan lamun. Diduga pada 34 daerah tersebut berada dekat dengan lokasi wisata yang dikelola oleh pihak swasta dan pemukiman penduduk. Kandungan nilai amonia pada daerah daerah yang berada didekat pantai Stasiun 1 sangat tinggi. Nilainya melebihi baku mutu ammonia yang dibutuhkan untuk kehidupan lamun. Hal ini mengindikasikan telah terjadi masukan bahan organik terutama berasal dari limpasan pertanian. Dapat diperhatikan Stasiun 1 merupakan area yang terdapat aliran sungai dan terdapat mangrove yang memungkinkan masuknya bahan organik dari darat. Nitrat merupakan bentuk utama dari nitrogen diperairan alami dan merupakan nutien utama bagi pertumbuhan lamun. Hasil pengukuran kandungan nitrat di daerah daerah yang berada didekat pantai maupun di daerah yang berada jauh pantai tidak melebihi baku mutu nitat yang dibutuhkan berkisar antara 0.010.04 mg/l (Tabel 11). Kandungan nilai nitrat di perairan tersebut masih dalam kondisi yang alami. Apabila terjadi kenaikan nilai nitrat hal ini disebabkan masuknya limbah domestik dan pertanian meningkat. Substrat merupakan media tumbuhnya lamun yang memegang peranan distribusi lamun mulai dari garis pantai pada saat surut terendah. Perairan Teluk Bakau memiliki sebaran lamun dari pantai sampai ke tubir kurang lebih 1500 meter. Memiliki substrat dasar perairan terdiri dari remahan koral (coral rubble) bercampur dengan pasir, dan pecahan cangkang siput, pasir kasar, maupun pasir berlumpur yang dapat ditumbuhi lamun. Rata-rata perairan Teluk Bakau memiliki tipe substrat yang didominansi oleh tipe pasir lumpur dengan. Pada beberapa substasiun terutama substasiun yang mendekati tubir, lamun juga tumbuh pada pecahan karang dan cangkang karang. Namun kerapatan dan luas penutupannya cenderung lebih kecil dibandingkan lamun yang tumbuh di daerah substrat pasir berlumpur. 5.2. Struktur Komunitas Lamun 5.2.1. Komposisi jenis lamun Berdasarkan hasil pengamatan (Gambar 7) diketahui bahwa pada perairan Teluk Bakau di tumbuhi 10 jenis lamun yang tersebar di 5 (lima) lokasi pengamatan. Jenis lamun yang ditemukan pada 5 (lima) stasiun pengamatan, 35 yaitu: Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Enhalus acoroides, Halodule pinifolia, Halodule uninervis, Halophila ovalis. Halophila spinulosa, Syringodium isoetifolium, Thalassia hempricii dan Thalassodendron ciliatum. Jenis lamun yang tumbuh di perairan Teluk Bakau termasuk 10 jenis lamun yang ditemukan Pulau Bintan dan termasuk dari 13 jenis lamun (7 Genus) yang ditemukan di seluruh Indonesia. Jenis lamun yang tidak ditemukan pada perairan Teluk Bakau adalah jenis Halophila decipiens, Halophila minor dan Halophila sulawesii. Pulau Bintan memiliki jenis lamun yang beragam yang juga dapat ditemukan di perairan Teluk Bakau. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada lima stasiun (Gambar 7) menunjukan perbedaan komposisi jenis pada setiap stasiun. Keberadaan sepuluh jenis lamun tersebut tidak merata dan tidak semuanya terdapat pada setiap stasiun. Adanya perbedaan komposisi ini, disebabkan oleh jenis lamun yang terdapat di perairan Teluk Bakau tumbuh dalam kelompok yang terpisah-pisah dengan batas yang tidak jelas dan jumlah tertentu serta penyebaran yang tidak merata. Intensitas perendaman lamun dalam perairan dan lingkungan mempengaruhi komposisi jenis lamun pada setiap stasiun. Selain itu kondisi substrat dan pencemaran lingkungan, kejernihan perairan juga sangat berperan dalam penentuan komposisi jenis dan kerapatan lamun. 36 Gambar 7. Komposisi jenis lamun beradasarkan kerapatan jenis setiap stasiun. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada lima stasiun (Gambar 7) menunjukan perbedaan komposisi jenis pada setiap stasiun. Perbedaan komposisi jenis lamun, disebabkan oleh jenis lamun yang terdapat di perairan Teluk Bakau tumbuh dalam kelompok yang terpisah-pisah dengan batas yang tidak jelas dan jumlah tertentu serta penyebaran yang tidak merata. Intensitas perendaman lamun dalam perairan dan lingkungan mempengaruhi komposisi jenis lamun pada setiap stasiun. Selain itu kondisi substrat dan pencemaran lingkungan, kejernihan perairan juga sangat berperan dalam penentuan komposisi jenis dan kerapatan lamun. Pengamatan lamun di setiap stasiun di mulai dari sisi sebelah selatan sampai dengan bagian utara pantai ditemukan beragam jenis lamun. Pada pengamatan Stasiun 1 (Gambar 7) ditemukan jenis lamun paling sedikit dibandingkan dengan empat stasiun lainya. Hal ini di karenakan kondisi lingkungan Stasiun 1 terdapat interupsi air yang berasal dari darat berupa masuknya aliran sungai, dan terdapat daerah jebakan unsur hara (Mangrove) serta areal keluar masuknya kapal-kapal nelayan. Air yang berasal dari sungai di perkirakan terdapat limbah yang berasal dari aktivitas masyarakat yaitu pembuangan limbah rumah tangga dan kegiatan Industri, sehingga gangguan yang ditimbulkan oleh aktivitas tersebut cukup besar. Sehingga spesies yang tumbuh pada stasiun 1 adalah Cymodocea serrulata dan Enhalus acoroides. Pada Stasiun 2, Cymodocea serrulata ditemukan lebih besar jumlah yang ditemukan di daerah daerah yang berada didekat pantai , hal ini dikarenakan pada Stasiun 2 masih mendapat pengaruh palaing besar karena berdekatan dengan stasiun 1. Sehingga spesies yang ditemukan spesies lamun yang ditemukan 37 hampir serupa karena daerah tersebut memeliki kekeruhan yang tinggi. Sedangkan pada daerah daerah yang berada jauh pantai jenis spesies yang sering ditemui di Stasiun 2 adalah Halodule pinifolia. Jumlah spesies yang ditemukan pada daerah daerah yang berada jauh pantai lebih banyak karena lingkungan dalam kondisi baik dan mendukung adanya pertumbuhan berbagai jenis lamun. Berdasarkan hasil pengamatan Stasiun 3 merupakan stasiun yang hampir serupa dengan Stasiun 1. Jumlah speseis lamun yang ditemukan pada daerah daerah yang berada didekat pantai maupun daerah yang berada jauh pantai sedikit, karena daerah tersebut merupakan daerah yang dimanfaatkan sebagai kawasan wisata maupun resort oleh wisatawan. Akibat dari aktivitas tersebut meneyebabkan lamun yang hidup didaerah tersebut tergangu. Lamun yang ditemukan pada daerah tersebut merupakan jenis lamun yang dapat hidup dengan kondisi yang kurang baik dibandingkan jenis lamun yang lain. Sedangkan pada Stasiun 4 jenis lamun yang banyak ditemui adalah Halodule uninervis sering di jumpai. Halodule uninervis merupakan jenis lamun yang ditemukan tumbuh pada daerah pionir. Pada daerah tersebut merupakan daerah yang digunakan penduduk sekitar sebagai perkampungan nelayan. Hal ini mengindikasikan bahwa lamun pada Stasiun 4 belum tergangu, karena lamun yang ditemukan cukup beragam. Sedangkan pada Stasiun 5 ditemukan dari 10 jenis lain yang ditemukan di perairan Teluk Bakau jenis Syringodium isotifolium dan Thalassodendron ciliatum yang jarang ditemukan di hampir di setiap stasiun pengamatan. Hal ini disebabkan Syringodium isoetifolium dan Thalassodendron ciliatum hidup di daerah pasang surut terendah dan daerah terendam air. Kondisi lingkungan memiliki daerah yang cukup dalama dan jarak daerah yang berada didekat pantai nya sangat pendek. Sehingga jenis lamun ini dapat dijumpai daerah dekat pantai pada Stasiun 5. Secara keseluruhan jenis lamun yang hidup di perairan Teluk Bakau merupakan jenis lamun yang biasa hidup di perairan dangkal dan selalu terbuka pada saat air surut yang mencapai kedalaman kurang dari 1 meter, dan beberapa jenis lamun yang ditemukan dapat hidup diperairan dalam. Distribusi lamun dari arah pantai hingga kearah tubir di perairan Teluk Bakau tergolong vegetasi campuran karena lamun yang ditemukan lebih dari satu jenis. Vegetasi campuran 38 tersusun lebih dari dua atau lebih jenis lamun yang tumbuh bersama pada satu habitat dan biasanya terbentuk di daerah subtidal yang dangkal. Setiap stasiun pengamatan menunjukkan lamun di lokasi perairan Teluk Bakau didominasi oleh Enhalus acoroides dan Thalassia hempricii. Thalassia hemprichii merupakan unit vegetasi yang paling luas sebarannya, dan seringkali tumbuh pada substrat yang berkedalaman tipis dengan kandungan lumpur sedikit. Lamun jenis ini juga mempunyai kisaran sebaran vertikal yang luas mulai dari zona daerah yang berada didekat pantai sampai zona subtidal bawah dan bisa bertahan hidup pada hampir di segala jenis substrat. Enhalus acoroides juga tersebar secara luas, terutama pada substrat yang halus, berlumpur tetapi mampu juga tumbuh pada substrat berbatu. Spesies ini sering didapati tumbuh secara heterogen dengan spesies lain atau sebagai vegetasi monospesifik pada habitat yang beragam mulai dari dasar perairan berlumpur lunak, berpasir lumpuran sampai pada sedimen karbonat yang berbutir-butir kasar. 5.2.2. Kerapatan jenis Jenis lamun yang terdapat di perairan Teluk Bakau merupakan jenis lamun yang biasa hidup di perairan dangkal yang selalu terbuka saat air surut. Kerapatan jenis lamun dipengaruhi oleh faktor tempat tumbuh dari lamun tersebut yaitu: kedalaman, kecerahan, dan tipe substrat. Kerapatan jenis lamun akan semakin tinggi bila kondisi lingkungan perairan tempat lamun tumbuh dalam keadaan baik. Perairan Teluk Bakau yang relatif dangkal dan jernih ini sangat mendukung kerapatan jenis lamun yang tinggi pula. Selain itu, tipe substrat juga mempengaruhi kerapatan jenis, berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa kerapatan jenis lamun yang terdapat di perairan mendekati tubir semakin padat, sedangkan kerapatan jenis lamun akan semakin rendah pada daerah yang mendekati pada daerah lamun. 39 Tabel 12. Kerapatan jenis lamun No Jenis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Cymodocea rotundata Cymodocea serrulata Enhalus acoroides Halodule pinifolia Halodule uninervis Halophila ovalis Halophila spinulosa Syringodium isoetifolium Thalassia hempricii Thalassodendron ciliatum Stasiun 1 18 47 Kerapatan jenis(tegakan/m2) Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 22 30 9 18 60 23 21 8 74 47 71 317 80 10 28 31 23 Stasiun 5 20 33 25 93 67 73 47 Berdasarkan hasil pengamatan (Tabel 12) dapat diketahui bahwa kerapatan jenis lamun berbeda pada setiap stasiun pengamatan. Kerapatan jenis lamun tertinggi pada Stasiun 5 mulai dari wilayah dekat antai maupun jauh dari pantai yang mencapai 9 tegakan/m2 - 317 tegakan/m2 dan kerapatan jenis lamun terendah terdapat di Stasiun 3. Jumlah dan jenis lamun yang ditemukan pada lokasi tersebut sangat jarang. Perbedaan kerapatan jenis lamun setiap stasiun ini, disebabkan oleh perbedaan kondisi lingkungan pada setiap stasiun pengamatan. 5.2.3. Persentase penutupan Penutupan lamun menggambarkan seberapa luas lamun yang menutupi suatu perairan dan biasanya dinyatakan dalam persen. Nilai persen penutupan tidak hanya bergantung pada nilai kerapatan jenis lamun, melainkan dipengaruhi juga oleh keadaan morfologi dari jenis lamun tersebut. Berdasarkan Tabel 13 penutupan lamun pada lima stasiun berbeda-beda pada jenis lamun yang sama dan tersebar di lima kondisi lingkungan yang berbeda. Namun secara umum, Enhalus acoroides dan Thalassia hempricii memiliki penutupan jenis yang paling tinggi, hal ini disebabkan merupakan lamun yang sangat umum ditemui dan memiliki morfologi yang lebih besar daripada jenis lamun lainnya serta tersebar luas diseluruh perairan. Enhalus acoroides memiliki penyebaran yang seragam pada daerah tesebut, artinya jenis ini mampu hidup pada habitat manapun yang memiliki kondisi lingkungan yang sesuai.. Di lihat dari penutupan lamun yang ditemui, daerah tersebut memiliki gangguan yang 40 berasal dari aktivitas manusia sehingga memiliki persen penutupan paling kecil. Penutupan lamun terendah terdapat pada stasiun 4 di ikuti dengan stasiun 3. Tabel 13. Persentase penutupan lamun No Jenis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Cymodocea rotundata Cymodocea serrulata Enhalus acoroides Halodule pinifolia Halodule uninervis Halophila ovalis Halophila spinulosa Syringodium isoetifolium Thalassia hempricii Thalassodendron ciliatum TOTAL Stasiun 1 9.86 28.00 37.86 Stasiun 2 1.81 4.30 11.59 1.72 Penutupan (%) Stasiun 3 Stasiun 4 11.00 3.75 4.29 14.17 3.17 2.00 3.14 0.92 2.14 5.00 11.44 7.33 2.43 30.87 34.50 24.83 Stasiun 5 0.86 20.75 12.50 4.50 3.25 26.86 21.14 89.86 Penutupan lamun akan semakin tinggi pada daerah yang jauh dari pantai. Hal ini disebabkan ganguan ekositem yang diterima lamun akibat pembuangan limbah rumah tangga serta aktivitas masyarakat belum memberikan pengaruh yang nyaara. Jenis lamun memiliki persentase penutupan terendah dikarenakan bentuk morfologi yang kecil dan sulit untuk ditemui. Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 200 tahun 2004 tutupan lamun dibagi menjadi 3 kategori, penutupan lamun di perairan Teluk Bakau tergolong kurang sehat. Penutupan lamun di perairan Teluk Bakau lebih dari 30%. Hal ini disebabkan oleh tekanan lingkungan yang sangat tinggi seperti tingkat sedimentasi dan polusi air, serta pembangunan di pesisir pulau. Sebaran lamun di perairan Teluk Bakau cenderung rendah. 5.2.4. Indeks nilai penting (INP) Indeks nilai penting memberikan gambaran besarnya pengaruh peranan suatu jenis lamun dalam suatu komunitas padang lamun. Nilai INP sangat bergantung pada nilai kerapatan relatif, penutupan relatif, dan frekuensi relatif setiap jenis lamun. Berdasarkan Tabel 14, diketahui bahwa rata-rata indeks nilai penting tertinggi pada lima stasiun pengamatan dalam adalah Enhalus acoroides dengan kisaran nilai indeks nilai penting 0,32 – 2,08. Dapat dikatakan bahwa Enhalus acoroides mempunyai pengaruh yang paling besar dibandingkan dengan 41 jenis lamun lainnya. Lamun jenis ini paling banyak dijumpai hampir dijumpai hampir di seluruh tipe perairan dan sangat baik tumbuh di kondisi perairan Teluk Bakau yang dangkal dan terbuka saat surut. Tabel 14. Indeks nilai penting lamun No Jenis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Cymodocea rotundata Cymodocea serrulata Enhalus acoroides Halodule pinifolia Halodule uninervis Halophila ovalis Halophila spinulosa Syringodium isoetifolium Thalassia hempricii Thalassodendron ciliatum Stasiun 1 0.92 2.08 Stasiun 2 0.26 0.39 0.96 0.57 0.82 INP Stasiun 3 1.40 0.94 0.57 Stasiun 4 0.35 0.32 0.32 0.39 0.72 0.32 0.31 0.88 0.27 Stasiun 5 0.12 0.37 0.46 0.41 0.32 0.75 0.57 Indeks Nilai Penting tertinggi yang ditunjukan oleh Tabel 14 sangat beragam. Namun besarnya Indeks Nilai Penting tidak seragam, sehingga memungkinkan terjadinya dominasi satu jenis pada perairan Teluk Bakau. Hal ini menunjukan bahwa lamun yang tumbuh Teluk Bakau sangat dipengaruhi oleh karakteristik lingkungan perairan dan adapatasi jenis lamun terhadap keadaan lingkungan di masing-masing di setiap stasiun. 5.2.5. Indeks Keanekaragaman, Keseragaman, Dominansi Hasil dari pengamatan lamun di lima stasiun di perairan Teluk Bakau ditemukan 10 jenis lamun 76,9%, dari 13 jenis lamun yang ada di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa lokasi pengamatan memiliki keanekaragaman jenis lamun yang tinggi. Indeks keanekaragaman digunakan untuk mengukur kelimpahan komunitas berdasarkan jumlah jenis spesies dan jumlah tegakan dari setiap spesies pada suatu lokasi. Semakin banyak jumlah jenis spesies, maka semakin beragam komunitasnya. Sedangkan indeks keseragaman dapat digunakan untuk mengetahui penyebaran tegakan antar spesies yang berbeda. Indeks dominasi dapat diguanakan untuk mengetahui seberapa besar suatu spesies mendominasi suatu habitat. 42 Gambar 8. Nilai indeks keanekaragaman(H’), keseragaman(E), dan dominasi (D) lamun Berdasarkan Nilai indeks keanekaragaman(H’), keseragaman(E), dan dominasi (D) lamun di wilayah daerah yang berada di beberapa stasiun. Adapun stasiun tersebut adalah Stasiun 1, stasiun 4 dan Stasiun 5 di bandingkan dengan Stasiun 2 dan Stasiun 3. Pada Stasiun 1 pada daerah tersebut hanya ditemukan 2 spesies lamun yang dapat tumbuh di daerah tersebut sehingga Nilai indeks keanekaragaman(H’), keseragaman(E), dan dominasi (D) lamun rendah, namun terjadi dominasi jenis Enhalus acoroides. Hal ini dikarenakan kondisi fisik perairan yang masih mendapat penggaruh langsung dari darat berupa run off yang berasal dari masukan air sungai dan merupakan areal keluar masuk kapal. Enhalus acoroides ketahanan hidup yang sangat luas di perairan Teluk Bakau diabandingkan jenis lamun lainya. Sedangkan pada Stasiun 2 dan Stasiun 3 adalah stasiun pengamatan yang dimanafaatkan sebagai kawasan wisata. Karakteristik jenis lamun yang ditemukan pada kedua temapat tersebut hampir serupa,jenis lamunnya. Namun keadaan lingkungan membuat perbedaan kondisi lamun pada kedua area tersebut. Pada Stasiun 2 memiliki kemiripan lingkungan dengan Stasiun 1 karena warna perairanya keruh. Sehingga jenis lamun yang dapat tumbuh pada Stasiun 1 juga ditemukan pada Stasiun 2 dan pada stasiun tersebut terjadi dominasi spesies. 43 Adapun spesies yang mendominansi adalah Enhalus acoroides dan Cymodocea rotundata. Lamun jenis ini sangat sering ditemui pada daerah yang memeliki ganguan ekologis, karena dapat beradaptasi dengan baik. Sedangkan pada Stasiun 3 jenis lamun juga beragam, namun pada daerah tersebut memiliki keanekaragaman terendah kedua Stasiun 1. Hal ini dikarenakan lamun yang ditemukan pada daerah penelitian sangat jarang serta aktivitas wisata menggangu lamun yang tumbuh pada daerah tersebut. Berdasarkan Gambar 8 menunjukan daerah yang memiliki indeks keanekaragaman tertinggi pada Stasiun 4 dan Stasiun 5. Hal ini menunjukan bahwa daerah tersebut ditemukan lebih dari lima jenis spesies lamun yang berebeda. Namun pada Stasiun 4 terjadi jugadominasi tertinggi dibandingkan dengan stasiun lainya di wilayah daerah yang berada didekat pantai . Hal ini dikarenakan spesies yang ditemukan sangat banyak jumlahnya dan menyebar luas di Stasiun 4, yaitu Halodule uninervis. Jenis lamun ini dapat hidup membentuk padang lamun monospesifik di perairan dan ukuran sangat kecil. Hal ini disebabkan adanya tekanan lingkungan berupa pembuangan limbah rumah tangga yang membuat jenis lamun yang dapat tumbuh ditemukan dalam jumlah sedikit pada araeal tersebut. Semakin jauh dari daerah daerah yang berada didekat pantai jenis lamun yang ditemukan mulai beragam. Sedangkan pada Stasiun 5, yang jenis lamun sering di jumpai adalah dominasi oleh spesies Thalassodendron ciliatum. Karena kondisi substrat di stasiun tersebut didominasi jenis substrat yang terdiri dari remahan koral (coral rubble) bercampur dengan pasir, dan pecahan cangkang siput, dan pasir kasar. Karakteristik dari daerah tersebut ditemukan jenis 2 spesies lamun yang dapat hidup di perairan dalam dan salah satunya dapat membentuk hamparan padang lamun yang luas, yaitu Syringodium isoetifolium. Di wilayah tersebut selalu terendam perairan dan kondisi pantainya lebih curam dibandingan empat stasiun pengamatan lainya dan memiliki arus yang cepat. Berdasarkan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener diketahui bahwa lima stasiun pengamatan secara keseluruhan memiliki tingkat keanekaragaman rendah di setiap lokasi penelitian dan menunjukan dengan tekanan ekologi yang tinggi.karena spasies yang ditemukan sedikit. Secara keseluruhan ditemukan 10 44 jenis lamun atau sekitar 76.9% berada di Teluk Bakau. Hal ini menunjukan bahwa keanekaragaman lamun di Teluk Bakau termasuk tinggi, karena jenis yang ditemukan banyak berada di lokasi yang berbeda dan ekosistem berada pada daerah tersebut dalam kondisi stabil dengan keseragaman tinggi. Nilai keseragaman menunjukan komposisi tegakan setiap spesies yang terdapat dalam suatu komunitas berada dalam keseimbangan. Nilai keseragaman yang tinggi pada lokasi pengamatan menunjukan bahwa jumlah spesies berada dalam jumlah yang merata atau tidak ada spesies yang mendominasi. Dengan kata lain tidak terdapat spesies yang secara ekstrim mendominasi spesies lainnya dan kondisi lingkungan stabil, dan tidak terjadi tekanan ekologis terhadap biota di lokasi tersebut. 5.3. Sebaran Spasial Lamun Letak geografis maupun bentuk topografi pantai yang berbeda biasanya akan mempunyai kondisi hidrologis/geologis yang berbeda pula. Oleh karena itu distribusi lamun sangat dipengaruhi oleh kondisi tersebut. Pola distribusi lamun yang ditunjukan oleh Gambar 10 bervariasi tergantung pada letak geografis dimana padang lamun berada. Pada penelitian ini dilakukan di 5 (lima) stasiun berbeda yang mewakili 5 (lima) kondisi yang berbeda ditiap stasiun dan diharapkan akan mewakili representatif dari keadaan lamun di perairan Teluk Bakau. 45 Cymodocea rotundata Cymodocea serrulata Enhalus acoroides Halodule uninervis Thalassia hempricii Thalassodendron ciliatum C. rotundata, Hd. pinifolia dan Hd. ovalis C. rotundata, Hd. pinifolia dan Thalassia hempricii Cymodocea rotundata dan Thalassia hempricii Cymodocea rotundata dan Cymodocea serullata Cymodocea serrulata dan Enhalus acoroides Cymodocea serrulata dan Syringodium isoetifolium Enhalus acoroides dan Thalassia hempricii Halodule pinifolia dan Thalassia hempricii E. acoroides,Th. Hempricii, dan Td. Ciliatum Halodule pinifolia dan Thalassia hempricii Gambar 9. Peta sebaran spasial lamun 46 Hasil penelitian dibeberapa lokasi di kawasan perairan Teluk Bakau (Gambar 10), dijumpai sebanyak 10 jenis lamun yaitu, Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Halodule pinifolia, Halodule uninervis, Halophila ovalis. Halophila spinulosa, Syringodium isoetifolium, Thalassia hempricii dan Thalassodendron ciliatum. Sedangkan penyebaran lamun mulai dari pantai ke arah tubir umumnya berkesinambungan, perbedaan yang terdapat biasanya hanya pada komposisi jenisnya dan luas tutupannya (Dahuri et al, 1996). Hal ini diduga karena kondisi lingkungan seperti kandungan nutrient pada substrat yang tidak merata sehingga lamun hanya tumbuh pada titik tertentu. Selain ketersediaan nutrient yang cukup juga dapat dilihat arah dan kecepatan arus mempengaruhi keberadaan beberapa jenis lamun, karena ada jenis lamun yang dapat beradaptasi dengan kondisi arus besar dan ada yang tidak. Dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya pada tahun 2008 (Gambar 11) jenis yang ditemukan juga jumlahnya tetap. Dengan kata lain daerah Teluk Bakau belum menggalami gangguan ekosistem. Namun perbedaan hanya terletak pada persen penutupan lamun, hal ini disebabkan karena lamun yang diamati berbeda lokasi penelitian. Namun keberadaan lamun tersebut dapat terancam sewaktu-waktu apabila terjadi bencana alam , misalnya Tsunami maupun reklamasi pantai. 47 Syringodium isoetifolium Cymodocea rotundata Enhalus acoroides Thalassia hempricii Enhalus acoroides dan Thalassia hempricii Enhalus acoroides dan Syringodium isoetifolium Enhalus acoroides dan Thalassodendron ciliatum Thalassia hempricii dan Thalassodendron ciliatum Thalassia hempricii dan Syringodium isoetifolium Gambar 10. Peta sebaran lamun (2008) 48 5.4. Ancaman Terhadap Padang Lamun Teluk Bakau Keberadaan lamun yang berasosiasi dengan ekosistem pesisir yang ada di Teluk Bakau kurang mendapat perhatian pengelola wisata dan masyarakat serta pemerintah daerah sehingga kegiatanya hanya untuk berorientasi pada kepentingan ekonomi semata. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di daerah ini memiliki keanekaragaman lamun yang tinggi. Namun kondisi ini bertolak belakang dengan pemanfaatan dearah pesisir yang tidak efektif. Beberapa contoh ketidakefektifan penggunaan lahan yang ada di Teluk Bakau, yaitu mendirikan bangunan dan aktivitas wisata diatas areal lamun, penangkapan ikan yang tidak ramah, dan kegiatan penambangan pasir lepas pantai maupun yang ada didarat. Semua aktivitas manusia ini dapat merusak lamun maupun ekosistem lainya. Secarah harfiah Teluk Bakau merupakan daerah yang terletak di Pulau Bintan, Kepulauan Riau dan Pulau Bintan merupakan daerah ibu kota Provinsi Kepulauan Riau. Daerah ini merupakan daerah yang baru berkembang setelah lepas dari Riau kurun lebih 2 periode. Infrastruktur yang berkembang pada Pulau Bintan relatif masih baru. Menurut Yono (2009) dahulu Pulau Bintan merupakan Pulau yang di eksploitasi hasil alamnya, salah satunya adalah pasir dan bauksit. Kegiatan ini telah berlangsung sejak tahun 1970. Kegiatan tersebut telah mengeruk jutaan ton pasir setiap hari dan telah mengakibatkan kerusakan ekosistem pesisir pantai yang cukup parah. Dampak lain dari kegiatan penambangan pasir menyebabkan perubahan fisik dasar laut, seperti erosi, sedimentasi, dan pelumpuran merupakan ancaman yang dihadapai komunitas lamun. Perubahan fisik tersebut mengurangi wilayah dan kepadatan tutupan padang lamun. Peningkatan kekeruhan yang disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi padatan tersuspensi akibat penambangan pasir. Kekeruhan akan mengangu proses fotosintesis dan pertumbuhan pada lamun karena menghalangi cahaya matahari yang masuk kedalam perairan. Selain itu, kegiatan ini juga mengancam keberadaan sejumlah pulau kecil karena dapat menenggelamkannya. Tenggelamnya pulau-pulau kecil tersebut menimbulkan kerugian besar bagi Indonesia, karena dengan perubahan pada kondisi geografis 49 pantai akan berdampak pada penentuan batas maritim dengan Singapura di kemudian hari. Gambar 11. Peta pemanfaatan Teluk Bakau saat ini 50 Berdasarkan Gambar 12 hal lain terlihat faktor yang menjadi ancaman penurunan komunitas lamun di Teluk Bakau adalah pengembangan wilayah pesisir. Pengembangan wilayah pesisir yang terjadi di Teluk Bakau adalah wisata bahari dan pembangunan pemukiman diatas perairan. Hal ini mengakibatkan terjadinya tercemarnya lingkungan perairan sebagai akibat aktivitas wisata dan limbah rumah tangga. Kekeruhan perairiran yang ditimbulkan oleh aktivitas ini dapat menyebabkan eutrofikasi atau penyuburan berlebihan pada perairan sehingga dapat menggagu pertumbuhan lamun. Selain itu, aktivitas yang menggunakan fasilitas wisata seperti “speedboat” mengakibatkan terpotongnya daun lamun. Aktivitas yang ada selain pengembangan wilayah pesisr terdapat kegiatan perikanan. Kegiatan perikanan yang ada di Teluk Bakau adalah kegiatan penangkapan ikan. Kegiatan penangkapan ikan ini apabila tidak diatur akan terjadi tangkap lebih. Tangkap lebih merupakan pengambilan sumberdaya yang lebih besar dari kemampuan alam sumberdaya untuk pulih. Selain itu, penggunan alat tangkap ikan yang tak ramah lingkungan juga terjadi daerah Teluk Bakau misalnya dengan pukat dasar yang mengeruk dasar laut dan kelong (bagan) tancap. Aktivitas ini apabila tidak dikontrol penggunaanya akan menyebabkan gangguan kehidupan lamun. Selain itu, Teluk Bakau akan dikembangkan menjadi daearah pelabuhan pada bagian utara. Pengembagan daerah Teluk Bakau menjadi pelabuhan akan merusak ekosistem perairan, karena daerah tersebut akan mengalami proses penimbunan dan pengerukan. Sebagaimana diketahui Pulau Bintan khususnya daerah sepanjang pantai timur merupakan daerah perairan yang dangkal dan berpantai landai, apabila tersebut mengalami surut maka daerah tersebut akan tersingkap. Untuk memenuhi kriteria pelabuhan yang sesuai akan mengorbankan lingkungan perairan, Apabila hal ini tidak diatur akan menimbulkan kerusakan ekosistem lamun Selain aktivitas manusia, alam juga memiliki peran untuk menentukan kehidupan lamun. Beberapa faktor alam yang menjadi penentu keberadaan lamun yaitu perubahan iklim dan bencana alam. Perubahan iklim menjadi salah satu faktor yang diakibatkan perubahan suhu bumi yang berlangsung dari tahun ke 51 tahun. Hal ini berdampak kepada semua ekosistem yang ada di muka Bumi. Khususnya lamun memiliki toleransi suhu optimal berkisar 250 - 300 C di perairan. Apabila suhu perairan terus meningkat akan mengakibatkan (Burn) “gosong” pada daun lamun. Bencana alam yang terjadi diperairan juga ikut menentukan keberadaan lamun. Salah satu contoh bencana alam yang menenentukan adalah Tsunami (gelomabang dasyat). Proses terjadinya Tsunami adalah perubahan energi yang berasal dari luar atau dalam bumi yang menjadi gelombang yang sangat besar. Gelombang yang ditimbulkan mengakibatkan tercabutnya lamun beserta akar, sehingga jenis lamun yang tidak dapat bertahan dalam kondisi ini keberadaanya akan hilang atau berkurang. Selain itu kedalaman substrat dan jenis substrat memepengerahui kekuatan lamun untuk bertahan pada kondisi perairan. 5.5. Rencana Pengelolaan Lamun Teluk Bakau Seluruh daerah Teluk Bakau dapat dimanfaatkan untuk semua kegiatan, tetapi kegiatan tersebut harus mempunyai keselarasan dengan lingkungan agar sumberdaya didalamnya tidak mengalami degradasi. Pentingnya pengaturan pemanfaatan kawasan pesisir Teluk Bakau sebagai daerah wisata maupun daerah pemukiman penduduk. Oleh karena itu, pentingnya keterlibatan semua pihak dalam pengelolaan daerah pesisir baik pengelola wisata, masyarakat mapun pemerintah. Ini dimaksudkan agar lamun pada Teluk Bakau tersebut tetap terjaga kelestariannya dan tidak mengalami degradasi. Berdasarkan hasil pengukuran lingkungan dan struktur komunitas lamun yang telah dilakukan di Teluk Bakau masih dalam kondisi baik, hanya saja di beberapa kondisi lamunnya kurang baik. Adapun yang menjadi ancaman mengkhawatirkan bagi kehidupan lamun di daerah tersebut dan perlu adanya pengelolaan, yaitu pengembangan daerah wisata bahari dan pembangunan pemukiman serta penangkapan ikan yang tidak ramah. Pengembangan daerah wisata bahari dan pembangun pemukiman di Teluk Bakau merupakan ancaman bagi kehidupan lamun. Limbah yang dihasilkan akan mengancam kehidupan lamun. Pengguanan fasilitas wisata yang ada juga turut merusak lamun secara fisik, contohnya, bermain speedboat di daerah lamun. Adapun pengelolan yang dapat diterapkan yang ada di Teluk bakau adalah 52 membangun tempat penampungan limbah kemudian melakukan pengelohan limbah sebelum dibuang keperairan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Kemudian menerapkan konsep wisata bahari berkelanjutan sehingga tidak merusak fungsi ekologis yang ada didaerah pesisir. Penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan juga merupakan ancaman serius bagi keberlangsungan hidup padang lamun. Kegiatan tersebut akan menyebabkan rusaknya ekosistem karang sebagai habitat biota perairan. Langkah yang dapat dilakukan dengan penyadaran masyarakat akan pentingnya lamun dan ekosistem laut lainya. Hal ini dilakukan agar masyarakat mengerti landasan utama untuk mencegah penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan. Penyadaran masyarakat dapat dilakukan dengan cara meningkatkan pengetahuan mengenai pentingnya ekosistem lamun dan membentuk forum komunikasi antara pemangku kepentingan yang diinisiasi dinas desa Teluk Bakau dan pemerintah. Selain itu, Pemerintah memegang peranan penting dalam perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir. Pemerintah harus memiliki inisiatif dalam menanggapi berbagai permasalahan yang menyebabkan degradasi sumberdaya lamun khususnya lamun dan konflik yang melibatkan kepentingan. Peran yang dapat dilakukan adalah penetapan dan penegakan Perda. Penetapan Perda sebaiknya diketahui oleh semua pihak agar pemanfaatan daerah tersebut lebih teratur. Salah satu pengaturan pemanfaatan kawasan pesisir adalah menentukan daerah konservasi agar sumberdaya lamun tidak mengalami degradasi dan daerah pemanfaatanya. 53 Zona Konservasi Zona Pemanfaatan Gambar 12. Peta perencanaan kawasan yang diusulkan 54 Berdasarkan hasil penelitian, Stasiun 4 dan 5 pada daerah yang jauh dari pantai. Daerah tersebut adalah daerah yang dianggap tepat untuk dijadikan daerah perlindungan lamun. Pemilihan Stasiun 4 dan 5 sebagai daerah konservasi, dikarenakan pada stasiun tersebut memiliki keanekaragaman yang tinggi (lampiran 7) dan pada Stasiun 5 belum terdapat kegiatan yang dapat yang merusak keanekaragaman lamun di Teluk Bakau. Serta spesies yang ditemukan pada lima stasiun penelitian ditemukan juga pada daerah daerah yang berada jauh pantai pada Stasiun 4 dan 5. Daerah konservasi lamun juga digunakan untuk menenopang kehidupan biota berasosiasi lamun. Sebaiknya daerah tersebut dilindungi dan pemerintah melarang pemanfatannya, agar daerah tersebut tidak digunakan untuk kepentingan ekonomi karena potensi yang dimiliki cukup besar serta membuat peraturan yang tegas. 55 VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Habitat lamun di Teluk Bakau masih dalam kondisi baik, sehingga mememungkinkan lamun tetap tumbuh pada perairan. Jenis substrat yang utama adalah pasir berlumpur. Media ini merupakan media yang paling sesuai bagi beragam jenis lamun. Hal ini terlihat dari ditemukannya 10 jenis lamun yang tersebar di 5 (lima) lokasi pengamatan. Adapun jenis lamun yang ditemukan di Teluk Bakau adalah Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Enhalus acoroides Halodule pinifolia, Halodule uninervis, Halophila ovalis. Halophila spinulosa, Syringodium isoetifolium, Thalassia hempricii dan Thalassodendron ciliatum. Jenis lamun yang tumbuh di Teluk Bakau termasuk 10 jenis lamun yang ditemukan Pulau Bintan dan termasuk dari 13 jenis lamun (7 Genus) yang ditemukan di seluruh Indonesia. Nilai Indeks keseragaman rata-rata lamun tinggi, dengan kata lain tidak terdapat spesies yang secara ekstrim mendominasi spesies lainnya dan kondisi lingkungan stabil, dan tidak terjadi tekanan ekologis terhadap biota di lokasi tersebut. Hal ini terlihat dari pengamatan yang dilakukan sebelumnya. Pada Teluk Bakau tidak ditemukan lamun yang hidup secara monospesifik. Jenis dan jumlah lamun yang ditemukan terdapat 2-7 jenis lamun yang hidup secara bersama-sama mulai dari daerah daerah yang berada didekat pantai sampai daerah yang berada jauh pantai pada setiap stasiun pengamatan. Sehingga untuk membentuk zonasi lamun sangat sulit dilakukan. Hal ini disebabkan Indonesia yang beriklim tropis dan sinar matahari yang selalu ada sehingga lamun yang tumbuh diperairan Indonesia menyebar merata disetiap perairan. Sumberdaya lamun yang ada di Teluk Bakau masih mendapat ancaman dari dalam maupun dari luar lingkungannnya. Ancaman yang paling serius dihadapinya adalah pembangunan resort dan tempat tinggal diatas perairan pembuangan limbah industri wisata mapun limbah rumah tangga, dan penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan pukat dasar. Adapun hal yang dapat dilakukan adalah melarang pembangunan wisata dan pemukiman diatas perairan. 56 Kemudian membuat tempat pengolahaan limbah dan melarang penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Hal tersebut dilakukan agar lamun dan ekosistem perairan lainnya tetap lestari. Adapun hal lain yang bisa dilakukan adalah menentukan zona konservasi lamun. 6.2. Saran Perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai dampak kegiatan wisata di daerah Teluk Bakau. 57 DAFTAR PUSTAKA [Anonim]. 2009. Lokarya Nasional I Pengelolaan Ekosistem Lamun. http://pksplipb.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=133 &Itemid=1 diakses pada tanggal 28/07/2010 [8:49 PM] [Anonim]. 2010. Marxan Conservastion Planning. http://marineplanning.org/pdf/marxan_tutorial_expert.pdf. diakses pada tanggal 28/1/2011 [8:49 PM] Azkab MH. 2000. Struktur dan fungsi pada komunitas lamun. Majalah Ilmiah Semi Populer Oseana 25(3):9-17 Azkab MH. 2006. Ada apa dengan lamun. Majalah Semi Polpuler Oseana 31(3): 45-55 Bengen DG. 2001. Ekosistem dan sumberdaya alam pesisir dan laut. Synopsis. Pusat Kajian SUmberdaya Pesisir dan Lautan, Intitut Pertanian Bogor. Bogor. iii+ 62 hml. Brower JE, Zar JH & Ende CNV. 1998. Field and laboratory method for general ecology fourth edition. McGraw-Hill Publication. Boston, USA. xi + 273p. Dahuri R, Rais J, Ginting SP & Sitepu MJ. 2001. Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan secara terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta. xxiv + 305 hml. Dahuri R. 2003. Keanekaragaman hayati laut, aset pembangunan berkelajutan Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. xxxiii + 412 hml. Dwintasari F. 2009. Hubungan ekologis lamun (seagrass) terhadap kelimpahan dan keanekaragaman ikan di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu.[skripsi]. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Intitut Pertanian Bogor. Bogor. xiii+72 hml. Effendi H. 2003. Telaah kualitas air. Bagi pengeloaan dan sumberdaya lingkungan perairan. Kanisius. Yogyakarta. 258 hlm. 58 Go Blue Indonesia. 2009. Ekosistem Padang Lamun Hilang,Masa Depan Ekosistem Pesisir Global Terancam. www.GoBlueIndonesia.com diakses pada tanggal 28/1/2010 [8:49 PM] Hutomo, H. 1997. Padang Lamun Indonesia : Salah Satu Ekosistem Laut Dangkal yang belum banyak dikenal. Jurnal Puslitbang Oseanologi-LIPI. Jakarta. Hutomo, H dkk. 2004. Pedoman Umum Pengelolaan Ekosistem Lamun Berbasis Masyarakat. Proyek Rehabilitasi Dan Pengelolaan Terumbu Karang Departemen Kelautan Dan Perikanan. Coremap. Jakarta. 29 hlm [MENLH] Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup. Kriteria Baku. 2004. kerusakan dan pedoman penentuan status padang lamun. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 200 tahun 2004 Krebs, C. J., 1972. Ecology, the Experimental Analisys of Distribution and Abudance Haper anda Row Publ. New York. 496 p. Kiswara W. 1997. Struktur komunitas padang lamun perairan Indonesia.p. 54-61. In: Inventarisasi dan evaluasi potensi laut-pesisir, geologi, kimia, biologi, dan ekologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Kiswara W. 2004. Kondisi padang lamun (seagrass) di perairan teluk Banten 1998-2001. Lembaga Penelitaian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. xii+ 33 hml. Kuriandewa Tri Edi. 2009. Tinjaun tentang Lamun di Indonesia. Lokakarya Nasional I Pengelolaan Ekosistem Lamun. Sheraton Media; JakartaPKSPL.2009. Lokarya Nasional I Pengelolaan Ekosistem Lamun. http://pksplipb.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=133 &Itemd=1 diakses pada tanggal 27/1/2010 9:07 PM Kuriandewa Tri Edi. 2010. Rencana Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan Penataan ruangnya di Pesisir Timur Pulau Bintan Trikora. Lembaga Penelitaian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. [MENLH] Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup. Kriteria Baku. 2004. kerusakan dan pedoman penentuan status padang lamun. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 200 tahun 2004 59 McKenzie LJ & Yoshida RL. 2009. Seagrass-Watch: Proceeding of a workshop for monitoring seagrass habitat in Indonesia. The Nature Conservacy, Coral Triangel Center, Sanur Bali, 9th May 2009. Seagrass-WatchHQ Crains. 56p Sam A. 2008. Pengertian suksesi. [terhubung berkala]. http://sobat baru.blogspot.cam/2008/06/pengertian suksesi [05 Juli 2010]. Supriyadiharyono. 2009. Konservasi ekosistem sumberdaya hayati di wilayah pesisir dan laut tropis. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. xii+ 470 hml. Warastri, Sundari Weaning. 2009. Penggunaan Data Citra Pengindreaan Jarak Jauh untuk Mengetahui Sebaran Biomassa Lamun di Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Jakarta. [Skripsi]. Intitut Pertanian Bogor;Bogor Yono. 2009. Bumi Bintan Hancur Karena Tambang Pasir dan Bauksit. Detikriau.net diakses pada tanggal 05/07/2010 [02.45] 60 Lampiran 61 Lampiran 1. Data sampling No Jenis 1 (kosong) 2 EA 3 EA 4 CS EA 5 CS EA 6 CS EA 7 (kosong) 8 TH EA TH 9 TH Peresentase Jumlah penutupan 20 18 6 10 9 16 7 10 15 2 4 15 50% 50% 15% 35% 20% 50% 18% 30% 20% 5% 10% 20% Morfometri Panjang Lebar (cm) (cm) 92 1,5 60 1,1 14 0,5 65 1,5 12 0,4 70 1,4 14 0,5 65 1,5 13 0,5 65 0,8 12 0,4 11 0,4 kedalaman Kecerahan (cm) jenis 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 113 113 153 119 105 167 161 86 90 PL PL PL PL PL PL PL PL PL PL PL Substrat kedalaman (cm) 20 50 40 40 50 16 18 20 posisi 1⁰00'50,6" 104⁰39'05,1" 1⁰00'44" 104⁰39'17,1" 1⁰00'449,4" 104⁰39'17,8" 1⁰00'49,1" 104⁰39'18" 1⁰00'52" 104⁰39'18,5" 1⁰00'555" 104⁰39'19,4" 01⁰01'20,7" 104⁰39'13,3" 01⁰01'19,9" 104⁰39'16,2" 01⁰01'19,9" 104⁰39'16,5" 01⁰01'19,8" 104⁰39'16,9" 62 Lampiran 1. Data sampling (lanjut 2) No Jenis 10 EA 11 TH EA 12 EA TH 13 EA TH 14 TH EA 15 EA 16 (kosong) 17 CS 18 CR 19 EA Jumlah Peresentase penutupan 16 13 6 7 13 6 15 15 10 12 10 40 10 50% 18% 20% 22% 18% 20% 20% 20% 25% 27% 20% 50% 25% Morfometri Panjang (cm) Lebar (cm) 11 0,5 13 0,5 70 1,3 75 1,4 14 0.4 69 1,5 12 0,5 13 68 1,4 10 0,5 10 0,4 70 1,5 Kecerahan 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% kedalaman (cm) jenis 169 PL 100 PL 110 PL 150 pL 164 PL 160 PL 80 PL 83 PL 168 PL Substrat kedalaman (cm) 29 15 26 30 70 20 18 10 8 posisi 01⁰01'19,8" 104⁰39'17,1" 01⁰01'19,8" 104⁰39'17,2" 01⁰01'19,4" 104⁰39'18,2" 01⁰01'19,4" 104⁰39'18,4" 01⁰01'20,6" 104⁰39'19,4" 01⁰01'27,5" 104⁰39'19,8" 01⁰01'22,5" 104⁰39'20,2" 01⁰01'25,9" 104⁰39'17,0" 01⁰01'26,1" 104⁰39'17,2" 01⁰01'27,4" 104⁰39'17,4" 63 Lampiran 1. Data sampling (lanjut 3) No Jenis 20 TH 21 (kosong) 22 CS 23 EA 24 EA 25 (kosong) 26 EA 27 (kosong) 28 TH HP EA CS Jumlah Peresentase penutupan 10 6 5 12 15 1 12 1 13 12% 10% 10% 28% 35% 2% 10% 3% 25% Morfometri Panjang (cm) Lebar (cm) 15 0,5 10 0,5 70 1,4 79 1 120 1,5 17 0,5 13 0,1 68 1,3 14 0,4 Kecerahan 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% kedalaman (cm) jenis 75 PL 70 PL 150 PL 73 PL 75 PL 75 PL Substrat kedalaman (cm) 15 15 20 14 18 61 posisi 01⁰01'27,4" 104⁰39'17,7" 01⁰01'28,8" 01⁰01'28,8" 104⁰39'18,3" 01⁰01'28,7" 104⁰39'18,9" 01⁰01'28,6" 104⁰39'19,3" 01⁰01'28,6" 104⁰39'20,1" 01⁰01'28,3" 104⁰39'20,7" 01⁰01'27,8" 104⁰39'22" 01⁰01'27,1" 104⁰39'24" 64 Lampiran 1. Data sampling (lanjut 4) No Jenis 29 TH HP EA CS 30 EA TH 31 HO TH HP EA CS 32 CR EA 33 HO EA Cr 38 (kosong) 39 EA 40 (kosong) Jumlah Peresentase penutupan 18 14 3 10 4 12 15 15 13 5 5 20 8 5 13 10 10 25% 10% 8% 18% 10% 16% 5% 20% 10% 10% 8% 30% 15% 1% 25% 15% 20% Morfometri Panjang (cm) Lebar (cm) 13 0,4 13 0,1 81 1,4 17 0,5 79 1,4 15 0,4 10 0,7 13 0,4 13 0,1 68 1,3 14 0,4 10 0,1 80 1,5 5 0,1 64 1,2 12 0,1 50 1 Kecerahan 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% kedalaman (cm) jenis 167 PL 168 PL 85 PL 79 PL 81 PL 163 81 PL Substrat kedalaman (cm) 45 28 23 49 26 16 posisi 01⁰01'26,5" 104⁰39'27,1" 01⁰01'29" 104⁰39'28,2" 01⁰01'30,2" 104⁰39'26,8" 01⁰01'30,4" 104⁰39'26,3" 01⁰01'30,4" 104⁰39'26,0" 01⁰01'30,9" 104⁰39'24,6" 01⁰01'30,4" 104⁰39'26,0" 01⁰01'31,5" 104⁰39'24,3" 65 Lampiran 1. Data sampling (lanjut 5) No Jenis 41 EA 42 CS 43 (kosong) 44 (kosong) 45 Cr 46 EA 47 EA 48 TH CR 49 EA TH CR 50 EA TH Jumlah Peresentase penutupan 5 20 5 6 8 6 7 5 10 8 8 6 10% 40% 5% 13% 28% 15% 10% 15% 23% 13% 22% 18% Morfometri Panjang (cm) Lebar (cm) 34 1 22 0,3 16 0,2 44 1,4 120 1,3 15,5 1 15 0,4 73 1,3 13 1 14 0,4 78 1,4 16 1 Kecerahan 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% kedalaman (cm) jenis 68 PL 63 PL 169 PL 165 PL 55 PL 76 PL 154 PL 84 PL 184 PL 160 PL Substrat kedalaman (cm) 9 16 38 28 42 33 38 20 posisi 01⁰01'31,7" 104⁰39'22,3" 01⁰01'33,3" 104⁰39'19,2" 01⁰01'35,9" 104⁰39'19,9" 01⁰02'7,8" 104⁰39'25,5" 01⁰02'7,8" 104⁰39'26" 01⁰02'8,1" 104⁰39'27" 01⁰02'8,5" 104⁰39'28,5" 01⁰02'8,8" 104⁰39'29,9" 01⁰02'8,8" 104⁰39'32,2" 01⁰02'9,2" 104⁰39'32,6" 66 Lampiran 1. Data sampling (lanjut 6) No Jenis 51 EA TH CR 52 (kosong) 53 EA TH CR 54 EA TH CR HP 56 kosong 57 kosong 58 EA TH CR 59 (kosong) 60 EA CR Jumlah 6 9 10 10 7 4 5 6 8 13 10 7 4 2 5 Morfometri Peresentase penutupan Panjang (cm) Lebar (cm) 10% 61 1 20% 15 1 15% 12 0,3 30% 84 1,4 19% 15 1 13% 13 0,3 15% 89 1,4 18% 17 1 13% 14 0,4 10% 13 0,1 20% 79 1,3 19% 16 1 13% 13 0,3 5% 69 1,3 10% 10 0,2 Kecerahan kedalaman (cm) 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 156 90 158 169 154 60 89 jenis PL PL PL PL PL PL PL PL Substrat kedalaman (cm) 40 49 39 43 38 20 31 posisi 01⁰02'12,7" 104⁰39'32,2" 01⁰02'12,7" 104⁰39'31,7" 01⁰02'12,7" 104⁰39'31,4" 01⁰02'16,6" 104⁰39'31,8" 01⁰02'16,8" 104⁰39'31,8" 01⁰02'20,1" 104⁰39'31,4" 01⁰03'00" 104⁰39'37,3" 01⁰03'16,7" 104⁰38'58" 01⁰03'16,7" 104⁰38'59,7" 67 Lampiran 1. Data sampling (lanjut 7) No Jenis 61 TH CR HP 62 HP TH 63 CS 64 HS 65 HS CR HP TH 66 EA HU 67 (kosong) 68 (kosong) 69 TH EA Jumlah Peresentase penutupan 4 4 13 9 6 15 50 15 4 5 7 5 10 15 18 10% 8% 12% 10% 13% 30% 15% 5% 8% 2% 13% 15 4% 20% 21% Morfometri Panjang (cm) Lebar (cm) 16 1 12 0,3 10 0,1 8 0,1 14 1 15 0,5 10 0,1 11 0,1 13 0,3 17 0,9 70 1,4 11 0,1 18 0,9 23 1,3 Kecerahan 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% kedalaman (cm) jenis Pasir 109 167 Pasir 120 Pasir 108 Pasir 107 pasir 110 Pasir 115 Pasir 78 Pasir 115 Ruble Substrat kedalaman (cm) 37 39 33 45 28 18 14 posisi 01⁰03'17,7" 104⁰38'58,7" 01⁰03'18,1" 104⁰38'00" 01⁰03'18,7" 104⁰38'01,1" 01⁰03'18,9" 104⁰38'00,1" 01⁰03'19,9" 104⁰38'00,2" 01⁰03'21,2" 104⁰38'59,5" 01⁰03'18" 104⁰38'56,5" 1⁰3'57,2" 104⁰38'59,6" 68 Lampiran 1. Data sampling (lanjut 8) No Jenis Jumlah Peresentase penutupan 2 23 3 26 122 10 40 29 13 20 >50 30 3% 25% 5% 30% 8% 20% 10% 20% 15% 30% 100% 100% 70 EA TH 71 EA TH HP 72 EA TH HP TC SI 73 EA TH 74 CS SI Morfometri Panjang (cm) Lebar (cm) 31 1 8 0,9 40 1 10 0,7 9 0,3 70 1,5 15 1 10 0,4 90 1,5 15 1 14 0,6 20 0,1 Kecerahan 100% 100% 100% 100% 100% kedalaman (cm) jenis 101 Ruble 155 Ruble 155 Ruble 175 Ruble 253 Ruble Substrat kedalaman (cm) 19 34 15 6 8 Lampiran 2. Indeks Keanekaragaman, Indeks Keseragaman, dan Indeks Dominansi Nilai Indeks Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 Keanekaragaman(H') 0.18625 0.27889 0.27497 0.34388 0.41271 Keseragaman (E) 0.40185 0.67244 0.71933 0.44095 0.81182 Dominansi 0.59815 0.32756 0.28067 0.55905 0.18818 posisi 1⁰03'56,2" 104⁰38'58,6" 1⁰03'52,2" 104⁰39'04" 1⁰03'50,2" 104⁰39'07" 1⁰03'47,2" 104⁰39'05,8" 1⁰03'47,2" 104⁰39'05,8" 69 Lampiran 3. Baku mutu air laut untuk biota laut No. Parameter FISIKA Satuan Baku mutu Kecerahana m coral: >5 coral: 20 mangrove: 80 lamun: 20 ‐ ‐ 0,3 0,008 0,015 1 b 2 TSS mg/l 3 4 5 6 7 Kecepatan arus Kedalaman KIMIA Ammonia total (NH3‐N) Nitrat (NO3‐N) Ortophospat cm/s m mg/l mg/l mg/l Catatan: 1. Nihil adalah tidak terdeteksi dengan batas deteksi alat yang digunakan (sesuai dengan metode yang digunakan) 2. Metode analisa mengacu pada metode analisa untuk air laut yang telah ada, baik internasional maupun nasional. 3. Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat (siang, malam dan musim). a. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% kedalaman euphotic b. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata2 musiman 70 Lampiran 4. Persen penutupan standar menurut McKenzie (2003) 0 % 20 % 50 % 75 % *Bukan Dokumentasi pribadi 10 % 30 % 60 % 100 % 71 Lampiran 5. Identifikasi lamun (Hutomo dkk, 2004) 72 Lampiran 5. Identifikasi lamun (Hutomo dkk, 2004) , (lanjut 2) 73 Lampiran 6. Metode analisis Metode Analisis Kimia TSS 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Saring aquades mldengan kertas saring mikropore 0,45 mm sebanyak 60 ml Masukan kertas kedalam oven selama 1 jam bersuhu 1350C Angkat kemudian dinginkan kedalam dessikator selama 30 menit. Setelah itu, timbang kertas saring sebesar (a mg), hal ini dimaksudkan agar kertas berat kertas saring diketahui sebelum digunakan untuk menyaring air sampel. Setelah itu, saring air sampel sebanyak 100 ml, dengan kertas saring miliopore yang telah disiapkan. Kemudian tambahkan 50 ml aquades. Setelah air sampel selesai disaring setiap stasiun, masukan kedalam oven dengan suhuh ± 1200C selama 1 jam. Dinginkan selama 30 menit kemudian timbang (b mg) Amonia 1. Saring air sampel sebanyak 100 ml, dengan kertas saring miliopore yang telah disiapkan. 2. Kemudian tambahkan 50 ml aquades. 3. Ambil air sampel sebanak 25 ml sampel 4. Kemudiankan tambahkan Fenol solution 1 ml dan 2,5 ml oxidaxing solution, aduk setiap air sampel yang ditambahkan larutan tersebut. 5. Setelah itu diamkan didalam raung gelap selama 1 jam 6. Ukur dengan menggunakan spektrofotometri dengan panjang gelombang 640 nm. Ortofosfat 1. Saring air sampel sebanyak 100 ml, dengan kertas saring miliopore yang telah disiapkan. 2. Kemudian tambahkan 50 ml aquades. 3. Ambil air sampel sebanak 25 ml sampel 4. Tambahkan mix reagen* (4 ml), diamkan 5 menit. 5. Ukur dengan menggunakan spektrofotometri dengan panjang gelombang 880 nm. Nitrat 1. Saring air sampel sebanyak 100 ml, dengan kertas saring miliopore yang telah disiapkan. 2. Kemudian tambahkan 50 ml aquades. 3. Ambil air sampel sebanak 5 ml sampel 74 4. Kemudian tambahkan reagen 0,5 ml dan H2SO4 36 N sebanyak 5 ml 5. Kemudian panaskan selama 30 menit 7. Angkat kemudian dinginkan, setelah itu ukur dengan menggunakan spektrofotometri dengan panjang gelombang 410 nm. Lampiran 7. Contoh Perhitungan 1. Kerapatan jenis Diketahui dalam transek kuadrat terdapat 7 tegakan Enhalus acoroides maka Transek ukuran 50 cm x 50 cm = 0.25 m2, maka : 2. Kerapatan jenis relatif Enhalus acoroides Rata-rata ditemukan spesies Enhalus acoroides adalah 46 ind/m2 Ditemukan pula jenis Cymodocea serrulata dengan rata-rata tegakan 26 ind/m2 maka: 3. Frekuensi jenis Enhalus acoroides Dalam satu stasiun ditemukan 5 petak contoh dari 6 petak contoh maka frekunsi kehadiran Enhalus acoroides 5 kali maka : 4. Frekuensi relatif Enhalus acoroides Jika ditemukan 2 jenis individu berbeda maka Memiliki Frekuensi jenis 0,67, maka: 5. Penutupan relatif, penutupan berdasarkan estimasi intuisi peneliti. Diketahui dalam sattu stasiun Enhalus acoroides, memiliki tutupan sebesar 20 % dan ditemukan jenis spesies yang berbeda pada stasiun 13,3 % tersebut maka: 6. Indeks nilai penting Enhalus acoroides adalah hasil jumlah rata-rata nilai RDI, RFI, dan RDI pada satu stasiun. 75 7. Indeks keanekragaman, misalkan dalam satu stasiun Enhalus acoroides ditemukan 130 individu dari 5 jenis lamun dengan total tegakan784 yang masuk dalam petak contoh satu stasiun, maka: dan Lakukan hal yang sama pada masing-masing individu kemudian jumlahkan. 8. Indeks Keseragaman Misalkan, indeks keanekaragaman 0,37, maka 9. Indeks dominasi, maka Lampiran 8. Perhitungan Marxan No Jenis Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 A B A B A B A B A B 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 Enhalus acoroides 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 Thalassia hempricii 0 0 1 1 1 1 0 1 1 1 3 Cymodocea serrulata 1 1 1 1 0 0 0 1 0 1 4 Cymodocea rotudanta 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 8 Halodule uninervis 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 5 Halodule pinifolia 0 0 0 1 0 1 0 1 0 1 6 Halophila spinulosa 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 7 Halophila ovalis 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 9 Syringodium isoetifolium 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 10 Thalassodendron ciliatum 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 2.00 2.00 4.00 5.00 3.00 4.00 3.00 8.00 3.00 6.00