DISTRIBUSI SPASIAL DAN PENGELOLAAN LAMUN

advertisement
DISTRIBUSI SPASIAL DAN PENGELOLAAN LAMUN
(SEAGRASS) DI TELUK BAKAU, KEPULAUAN RIAU
PRESLI NAINGGOLAN
C24062080
Skripsi
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
i PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyataan bahwa skripsi yang berjudul:
Distribusi Spasial Dan Pengelolaan Lamun (Seagrass) di Teluk
Bakau, Kepulauan Riau
Adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada pergurun tinggi manapun. Semua sumber dan informasi yang berasal
atau kutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Februari 2011
Presli Nainggolan
C24062080
ii ABSTRAK
Presli Nainggolan, C24062080. Distribusi Spasial dan Pengelolaan Lamun
(Seagrass) Di Teluk Bakau, Kepulauan Riau. Dibawah bimbingan Agustinus
M. Samosir dan M. Husni Azkab
Padang lamun sebagai suatu ekosistem di daerah pesisir panatai akan terus
mengalami perubahan oleh berbagai sebab, sehingga penelitian menegenai distribusi
spasial lamun juga harus dilakukan. Data dan informasi yang diperoleh tidak hanya
untuk ilmu pengetahuan tetapi juga untuk pengelolaan sumberdayanya. Penelitian
dilakukan kurang lebih 2 minggu pada bulan Agustus 2010 dengan menggunakan
metode gabungan yang biasa dilakukan pada terumbu karang yaitu, “Line Intersecpt
Transect” dan “Stop and Go”. Selama penelitian ditemukan 10 dari 13 jenis lamun
dan penyebarannya mulai dari pantai ke arah tubir umumnya berkesinambungan.
Hal ini menyebabkan tidak ditemukan lamun yang hidup secara monospesifik dan
daerah tersebut belum mengalamin ganguan ekologis secara nyata. Karakteristik
habitat, struktur komunitas, ancaman dan rencana pengelolaan lamun ikut dibahas.
Kata kunci : Lamun, Teluk Bakau
ABSTRACT
Presli Nainggolan, C24062080. Spatial Distribution And Management Of
Seagrass in Teluk Bakau, Kepulauan Riau. Dibawah bimbingan Agustinus M.
Samosir dan M. Husni Azkab
Seagrass beds as ecosystem in the coastal areas will continue to experience change
by various reasons, so that research on the spatial distribution of seagrasses also be
done. Data and information obtained not only for science but also for the
management of resources. The study was conducted approximately 2 weeks in
August 2010 using a combination of the usual method on coral reef that is, "Line
Intercept Transect " and"Stop and Go". During the study found 10 of 13 species of
seagrass and its spread from the coast towards the edge of generally continuous.
This causes no seagrass was found living in the area monospesifik and not undergo
significant ecological disturbance. Characteristics of habitats, community structure,
threats and seagrass management plan involved are discussed.
Keyword: Seagrass, Teluk Bakau
RINGKASAN
Presli Nainggolan, C24062080. Distribusi Spasial dan Pengelolaan Lamun
(Seagrass) Di Teluk Bakau, Kepulauan Riau. Dibawah bimbingan Agustinus
M. Samosir dan M. Husni Azkab
Padang lamun yang tersebar luas di perairan dangkal merupakan ekosistem
bahari sangat produktif dan berperan penting dalam kehidupan tetapi sering kali
kurang mendapat perhatian. Menurut Fortes (1994) in Warastri (2009), kondisi
ekosistem padang lamun di perairan Indonesia telah mengalami kerusakan sekitar
30-40%. Adapun kerusakan tersebut antara lain disebabkan pengembangan wilayah,
penangkapan ikan yang tidak ramah ikan dan pencemaran. Kerusakan akan
berdampak kepada keanekaragaman dan juga perubahan luasaan (zonasi). Penelitian
ini dilakukan untuk mengetahui kondisi lingkungan dan struktur komunitas lamun
pada kegiatan-kegiatan yang memberikan dampak tersebut, khususnya melihat
perubahan pola sebaran spasial lamun dan membuat rencana pengelolaan bagi
kegiatan yang memberikan dampak bagi lamun.
Pendugaan sebaran wilayah dan luas tutupan lamun dapat dilakukan dengan
beberapa metode. Salah satunya adalah metode survei lapang yang digunakan dalam
peneltian, yaitu menggunakan gabungan antara “Line Intersecpt Transect” dan
metode “Stop and Go” yang biasa digunakan untuk mengamati Terumbu Karang.
Metode ini menggunakan garis paralel yang saling terhubung sehingga dapat melihat
distribusi lamun secara horisontal dan vertikal. Adapun parameter yang diamati
dalam setiap stasiun adalah jenis, dan luas penutupan lamun, serta kecerahan,
kedalaman, jenis substrat, kedalaman substrat dan kecepatan arus, juga TSS,
Ortophospat, Nitrat dan Amonia. Pengukuran dilakukan di lain stasiun, yang
mewakili karakteristik wilayah perairan Teluk Bakau.
Dari hasil pengukuran lapangan Teluk Bakau ditemukan 10 jenis lamun yang
tersebar di 5 lokasi pengamatan, yaitu: Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata,
Cymodocea serullata, Halodule pinilofolia, Halodule uninervis, Halophila ovalis.
Halophila
spinoulosa,
Syringodium
Thalassodendron ciliatum.
isoetifolium,
Thalassia
hempricii
dan
Adapun jenis lamun yang ditemukan pada perairan Desa Teluk Bakau di
dominasi oleh jenis Enhalus acoroides dan Thalassia hempricii yang tersebar merata
hampir disetiap Stasiun. Persentase penutupan lamun tertinggi pada Stasiun 5 yang
mencapai 89,96 % dan penutupan lamun terendah terdapat di Stasiun 4 sebesar
24,83%. Berdasarkan jumlah jenis lamun
yang ditemukan di Teluk Bakau
menunjukan bahwa Stasiun 4 memiliki jumlah jenis yang paling banyak ditemukan,
yaitu 8 jenis kemudian diikuti oleh Stasiun 5 sekitar 7 jenis dan stasiun lainnya
jumlah jenis yang ditemukan hampir merata. Ini menggambarkan tingkat
keanekaragaman Teluk Bakau sangat tinggi (10 dari 13 jenis lamun yang telah
ditemukan di Indonesia) dan berada dalam kondisi baik dan stabil. Berdasarkan
pengukuran kualitas lingkungan perairan Teluk Bakau keadaan lingkugan perairan
juga dalam kondisi baik, sehingga dapat disimpulkan bahwa kondisi lamun
diperairan Teluk Bakau belum mengalami ganguan ekologis secara nyata.
Walaupun demikian adanya kegiatan pengembangan wilyah pesisir merupakan
suatu ancaman bagi lamun. Ancaman yang terindentifikasi di Teluk Bakau adalah
penambangan pasir, pengembangan wisata, pembangunan pemukiman diatas
perairan dan penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan. Oleh karena itu, perlu
adanya Peraturan Daerah yang tegas mengatur tata guna lahan dan penggunaan alat
tangkap ikan, serta yang paling utama adalah menentukan daerah konservasi lamun.
Hal ini perlu dilakukan agar lamun pada daerah tersebut tetap lestari.
Kata kunci : Lamun, Teluk Bakau
SUMMARY
Presli Nainggolan, C24062080. Spatial Distribution And Management Of
Seagrass in Teluk Bakau, Kepulauan Riau. Dibawah bimbingan Agustinus M.
Samosir dan M. Husni Azkab
Seagrass beds are widespread in shallow waters are highly productive marine
ecosystem and play an important role in life but often receive less attention.
According to Fortes (1994) in Warastri (2009), the condition of seagrass ecosystems
in the waters of Indonesia has suffered damage of about 30-40%. The damage is
partly due to the development of the region, which is not friendly fishing and fish
contamination. Damage will also affect the diversity and changes in area (zoning).
This research was conducted to determine the environmental conditions and
community structure of seagrass on activities that provide the impact, especially
given the changes in spatial distribution patterns of seagrasses and create a
management plan for activities that give effect to the seagrass.
Estimation of the distribution of seagrass cover wide areas and can be done
by several methods. One of them is a field survey methods used in the course of a
study, using a combination of "Line Intercept Transect " and method "Stop and Go"
which is used to observe the Coral Reef. This method uses parallel lines which are
connected so that they can see seagrass distribution horizontally and vertically. The
parameters were observed in each station is a type, and widespread closure of beds,
as well as brightness, depth, substrate type, substrate depth and current velocity, as
well as TSS, Ortophospat, Nitrate and Ammonia. Measurements were taken at other
stations, which represent the characteristics of the territorial waters of Teluk Bakau.
From the observation data, found 10 Mangrove Bay seagrass species spread
across 5 locations of observation, namely: Enhalus acoroides, Cymodocea
rotundata, Cymodocea serullata, Halodule pinilofolia, uninervis Halodule,
Halophila ovalis. Halophila spinoulosa, Syringodium isoetifolium, hempricii and
Thalassodendron Thalassia ciliatum. The seagrass species found in waters
pontianak is dominated by species Thalassia hempricii and Enhalus acoroides
almost every station. The highest percentage seagrass cover at Station 5, which
reached 89.96% and the lowest closing beds available at station 4 at 24.83%. Based
on the number of seagrass species found in Teluk Bakau shows that the station 4 has
a number of species most commonly found, 8 species, followed by Station 5 of 7
species and other stations the number of species found almost evenly. This
illustrates a very high level of diversity Teluk Bakau (10 of 13 seagrass species have
been discovered in Indonesia) and are in good condition and stable. Based on the
measurement of water environment quality of environmental waters Teluk Bakau
state also in good condition, so it can be concluded that the condition of seagrass
Teluk Bakau waters have not experienced significant ecological disturbance.
Nevertheless the coastal wilyah development activities are a threat to the
seagrass. Threats identified in Teluk Bakau is sand mining, tourism development,
residential development above the water and catching fish that are not
environmentally friendly. Therefore, the need for regional regulation that expressly
regulate land use and the use of fishing gear, as well as the most important is to
determine seagrass conservation area. This needs to be done for seagrass in the
region remain stable.
Keyword: Seagrass, Teluk Bakau
RINGKASAN
Presli Nainggolan, C24062080. Distribusi Spasial dan Pengelolaan Lamun
(Seagrass) Di Teluk Bakau, Kepulauan Riau. Dibawah bimbingan Agustinus M.
Samosir dan M. Husni Azkab
Padang lamun yang tersebar luas di perairan dangkal merupakan ekosistem
bahari sangat produktif dan berperan penting dalam kehidupan tetapi sering kali
kurang mendapat perhatian. Menurut Fortes (1994) in Warastri (2009), kondisi
ekosistem padang lamun di perairan Indonesia telah mengalami kerusakan sekitar 3040%. Adapun kerusakan tersebut antara lain disebabkan pengembangan wilayah,
penangkapan ikan yang tidak ramah ikan dan pencemaran. Kerusakan akan
berdampak kepada keanekaragaman dan juga perubahan luasaan (zonasi). Penelitian
ini dilakukan untuk mengetahui kondisi lingkungan dan struktur komunitas lamun
pada kegiatan-kegiatan yang memberikan dampak tersebut, khususnya melihat
perubahan pola sebaran spasial lamun dan membuat rencana pengelolaan bagi
kegiatan yang memberikan dampak bagi lamun.
Pendugaan sebaran wilayah dan luas tutupan lamun dapat dilakukan dengan
beberapa metode. Salah satunya adalah metode survei lapang yang digunakan dalam
peneltian, yaitu menggunakan gabungan antara “Line Intersecpt
Transect” dan
metode “Stop and Go” yang biasa digunakan untuk mengamati Terumbu Karang.
Metode ini menggunakan garis paralel yang saling terhubung sehingga dapat melihat
distribusi lamun secara horisontal dan vertikal. Adapun parameter yang diamati
dalam setiap stasiun adalah jenis, dan luas penutupan lamun, serta kecerahan,
kedalaman, jenis substrat, kedalaman substrat dan kecepatan arus, juga TSS,
Ortophospat, Nitrat dan Amonia. Pengukuran dilakukan di lain stasiun, yang
mewakili karakteristik wilayah perairan Teluk Bakau.
Dari hasil pengukuran lapangan Teluk Bakau ditemukan 10 jenis lamun yang
tersebar di 5 lokasi pengamatan, yaitu: Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata,
iii Cymodocea serullata, Halodule pinilofolia, Halodule uninervis, Halophila ovalis.
Halophila
spinoulosa,
Syringodium
isoetifolium,
Thalassia
hempricii
dan
Thalassodendron ciliatum.
Adapun jenis lamun yang ditemukan pada perairan Desa Teluk Bakau di
dominasi oleh jenis Enhalus acoroides dan Thalassia hempricii yang tersebar merata
hampir disetiap Stasiun. Persentase penutupan lamun tertinggi pada Stasiun 5 yang
mencapai 89,96 % dan penutupan lamun terendah terdapat di Stasiun 4 sebesar
24,83%. Berdasarkan jumlah jenis lamun
yang ditemukan di Teluk Bakau
menunjukan bahwa Stasiun 4 memiliki jumlah jenis yang paling banyak ditemukan,
yaitu 8 jenis kemudian diikuti oleh Stasiun 5 sekitar 7 jenis dan stasiun lainnya
jumlah jenis yang ditemukan hampir merata. Ini menggambarkan tingkat
keanekaragaman Teluk Bakau sangat tinggi (10 dari 13 jenis lamun yang telah
ditemukan di Indonesia) dan berada dalam kondisi baik dan stabil. Berdasarkan
pengukuran kualitas lingkungan perairan Teluk Bakau keadaan lingkugan perairan
juga dalam kondisi baik, sehingga dapat disimpulkan bahwa kondisi lamun diperairan
Teluk Bakau belum mengalami ganguan ekologis secara nyata.
Walaupun demikian adanya kegiatan pengembangan wilyah pesisir merupakan
suatu ancaman bagi lamun. Ancaman yang terindentifikasi di Teluk Bakau adalah
penambangan pasir, pengembangan wisata, pembangunan pemukiman diatas perairan
dan penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan. Oleh karena itu, perlu adanya
Peraturan Daerah yang tegas mengatur tata guna lahan dan penggunaan alat tangkap
ikan, serta yang paling utama adalah menentukan daerah konservasi lamun. Hal ini
perlu dilakukan agar lamun pada daerah tersebut tetap lestari.
iv DISTRIBUSI SPASIAL DAN PENGELOLAAN LAMUN
(SEAGRASS) DI TELUK BAKAU, KEPULAUAN RIAU
PRESLI NAINGGOLAN
C24062080
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
v LEMBAR PENGESAHAN
Judul penelitian
Nama
Nomor pokok
: Distribusi Spasial dan Pengelolaan Lamun (Seagrass) di
Teluk Bakau, Kepulauan Riau
: Presli Nainggolan
: C24062080
Program studi
: Manajemen Sumberdaya Perairan
Menyetujui :
Pembimbing 1
Pembimbing 2
Ir. Agustinus M. Samosir, M. Phil
NIP.19611211 198703 1003
Drs. M. Husni Azkab, APU
NIP. 19510111 197903 1001
Diketahui :
Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc
NIP.19660728 199103 1 002
Tanggal Ujian :
08 Februari 2011
vi PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunianya yang telah diberikan, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini berjudul Distribusi Spasial dan
Pengelolaan Lamun (Seagrass) di Teluk Bakau, Kepulauan Riau;
disusun
berdasarkan tujuan penelitian yang akan dilaksanakan pada Agustus 2010, dan
merupakan salah satu syarat untuk untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Pada kesempatan ini, penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih sebesarbesarnya kepada Ir. Agustinus M. Samosir, M.phil selaku ketua komisi dosen
pembimbing dan Ketua Komisi Pendidikan S1, dan Drs. M. Husni Azkab, APU
selaku pembimbing anggota serta seluruh pihak yang telah memberikan bimbingan,
arahan, masukan dan bantuan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna, di karenakan
keterbatasan penulis. Namun demikian, penulis mengharapkan bahwa hasil penelitian
ini dapat bermanfaat untuk berbagai pihak.
Bogor, Februari 2011
Penulis
vii RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Padang Tikar pada tanggal 21 November
1988 yang merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari
pasangan Bapak Adolf Nainggolan dan Ibu Lasma Ida
Pangaribuan. Pendidikan formal penulis dimulai di SD negeri 02
Padang Tikar (1994-2000), SLTP Negeri 2 Pontianak (20002003), dan SMA Negeri 7 Pontianak (2003-2006). Penulis
melanjutkan pendidikan di Institut Pertanaian Bogor melalui jalur
USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Setelah melewati tahap Tingkat Persiapan
Bersama selama setahun, penulis diterima di Departemen Manajemen Sumberdaya
Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam mengikut kegiatan Unit
Kegiatan Mahasiswa Kerohanian (UKM-PMK), Himpuanan Mahasiswa Manajemen
Sumberdaya Perairan (Himasper), Ormas Kemahasiswaan Kristen (GMKI) dan
beberapa kegiatan mahasiswa lainya. Penulis diberi kepercayaan dan kesempatan
menjadi asistem Mata Kuliah Ekotoksiologi (2009) dan Konservasi Sumberdaya
Hasil Perairan (2010).
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh untuk memperoleh gelar sarjana,
penulis menyusun skripsi dengan judul “Distribusi Spasial dan Pengelolaan
Lamun (Seagrass) di Teluk Bakau, Kepulauan Riau ”.
viii UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Ir. Agustinus M. Samosir, M. Phil dan Drs. M. Husni Azkab, APU selaku dosen
pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan nasehat serta,
masukan kepada penulis selama penelitian sampai kepada penyususnan skripsi
ini.
Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc selaku dosen penguji dan Dr. Ir. Yunizar
Ernawati, M. Sc selaku wakil komisi pendidikan program S1, atas saran, nasehat,
dan perbaikan yang diberikan.
Drs. Niken TM. Pratiwi selaku Dosen Pembimbing Akademik yang
membimbing penulis selama perkuliahan.
Keluarga tercinta; Ayahnda Adolf Nanggolan, Ibunda Lasma Ida Pangaribuan,
dan adinda Rosiana Nainggolan yang tak pernah henti-hentinya memberikan doa,
dukungan, semangat dan kasih sayang yang telah diberikan selama ini.
P2O-LIPI Jakarata : Pak Hutomo, Pak Tri Edi, Pak Sam, dan Pak Happy yang
membantu penulis dengan memberikan nasehat dan saran masukan untuk
penelitian saya.
Kepala BAPPEDA Bintan, Camat Gunung Kijang dan Kepala Desa Teluk Bakau
yang telah memberikan izin penelitian lamun di Teluk Bakau. Bang Dul dan
Bang Zahid selaku Fasilitator lapangan yang telah banyak membantu penelitian
penulis. Keluarga besar H. Sitorus dan H. Manurung yang telah memberikan
fasilitas tempat tinggal selama penelitian penulis berlangsung. Para Staf Tata
usaha MSP atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis.
Salomo Anderson Ricky Santo Sitorus Dwicko Patrick Sukma Saragih, Parulian
Sinaga, R. H. Restama Gustar, dan Daniel Januar Prakasa Haraditha Siahaan.
Yang telah memberikan dukungan dan masukan, bantuan kepada penulis selama
masa perkuliahan hingga penyusunan skripsi ini. Serta Keluarga Besar MSP 42,
43, dan 44 atas dukungan dan kebersamaannya selama ini serta seluruh pihak
yang membantu.
Civitas Cipayung, Khususnya GMKI yang telah memberikan dukungan Doa dan
semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini
ix DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xiv
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang .....................................................................................
1.2. Perumusan masalah .............................................................................
1.3. Tujuan .................................................................................................
1.4. Manfaat ...............................................................................................
1
2
5
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Lamun ................................................................................................. 6
2.1.1.
Karakteristik dan habitat ....................................................... 6
2.1.2.
Pola distribusi ........................................................................ 7
2.1.3. Suksesi .................................................................................. 9
2.2. Habitat ................................................................................................. 10
2.2.1.
Substrat.................................................................................. 10
2.2.1.
Kedalaman dan kecerahan..................................................... 11
2.2.2.
Padatan tersuspensi total ....................................................... 12
2.2.3.
Pasang lamun ........................................................................ 12
2.3. Konservasi Lamun .............................................................................. 12
III. METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................................. 14
3.2. Alat dan Bahan .................................................................................... 15
3.3. Jenis dan Metode Pengumpulan Data ................................................. 15
3.4. Analisis Data ...................................................................................... 18
3.4.1.
Struktur komunitas lamun .................................................... 18
3.4.2.
Distribusi spasial lamun ...................................................... 21
3.4.3.
Zonasi lamun ........................................................................ 21
3.4.4.
Zona konservasi ................................................................... 21
IV. TELUK BAKAU
4.1. Profil Wilayah .................................................................................... 22
4.1.1.
Letak geografis ..................................................................... 22
4.1.2.
Iklim ..................................................................................... 22
4.1.3.
Topografi dan lereng ............................................................ 23
4.1.4.
Morfologi dan bentuk lahan ................................................. 25
4.1.5.
Jenis dan kondisi tanah ....................................................... 26
4.1.6.
Hidrologi .............................................................................. 28
4.1.7.
Kondisi hidrologi ................................................................. 28
x V.
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Karakteristik Habitat ........................................................................... 30
5.2. Struktur Komunitas Lamun ................................................................ 34
5.2.1.
Komposisi jenis lamun .......................................................... 34
5.2.2. Kerapatan jenis ...................................................................... 38
5.2.3. Persentase penutupan ............................................................ 39
5.2.4.
Indeks nilai penting (INP) ..................................................... 40
5.2.5.
Indeks keanekaragaman, keseragaman, dominansi ............... 41
5.3. Sebaran Spasial Lamun ....................................................................... 44
5.4. Ancaman Terhadap Padang Lamun Teluk Bakau ............................... 48
5.5. Rencana pengelolaan lamun Teluk Bakau .......................................... 51
VI.
KESIMPULAN
6.1. Kesimpulan ......................................................................................... 55
6.2. Saran ................................................................................................... 56
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 57
LAMPIRAN...... ................................................................................................. 60
xi DAFTAR TABEL
Halaman
1.
Status padang lamun .................................................................................... 10
2.
Ukuran besar butiran untuk tipe substrat menurut skala Wenworth
(Wenworth 1992 in Mckenzie dan Yoshida 2009) ...................................... 13
3.
Alat dan Bahan ............................................................................................ 15
4.
Komposisi, Jenis dan teknik pengambilan data ........................................... 16
5.
Kelas kemiringan lereng .............................................................................. 23
6.
Sebaran Kemiringan Lereng Per-desa.......................................................... 24
7.
Deskripsi bentuk lahan timur P. Bintan ....................................................... 25
8.
Distribusi bentuk lahan per desa .................................................................. 26
9.
Deskripsi dan sebaran jenis tanah ................................................................ 27
10. Deskripsi dan Sebaran Jenis Tanah Per Desa .............................................. 27
11. Hasil pengamatan karakteristik perairan ...................................................... 32
12. Kerapatan jenis lamun ................................................................................. 39
13. Persentase penutupan lamun ........................................................................ 40
14. Indeks nilai penting lamun ........................................................................... 41
xii DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.
Diagram alir tahap penelitian ....................................................................... 4
2.
Tumbuhan lamun ......................................................................................... 6
3.
Lokasi Penelitian .......................................................................................... 14
4.
Cara pengambilan titik sampel..................................................................... 17
5.
Peta umum P. Bintan.................................................................................... 24
6.
Kondisi stasiun ............................................................................................. 31
7.
Komposisi jenis lamun setiap stasiun berdasarkan kerapatan jenis
setiap stasiun ................................................................................................ 36
8.
Nilai indeks keanekaragaman(H’), keseragaman(E), dan dominasi (D)
Lamun ....................................................................................................... 42
9.
Peta Sebaran Spasial Lamun ........................................................................ 45
10. Peta Sebaran lamun (2008) .......................................................................... 47
11. Peta pemanfaatan Teluk Bakau saat ini ....................................................... 49
12. Peta Perencanaan kawasan yang diusulkan ................................................. 53
xiii DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1.
Data sampling .............................................................................................. 61
2.
Indeks Keanekaragaman, Indeks Keseragaman, dan Indeks Dominansi ..... 68
3.
Baku mutu air laut untuk biota laut.............................................................. 69
4.
Persen penutupan standar menurut McKenzie (2003) ................................. 70
5.
Identifikasi lamun ........................................................................................ 71
6.
Metode analisis ............................................................................................ 73
7.
Contoh Perhitungan ..................................................................................... 74
8.
Perhitungan Marxan ..................................................................................... 75 xiv 1 I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Lamun atau secara internasional dikenal sebagai seagrass, merupakan
tumbuhan tingkat tinggi dan berbunga (Angiospermae) yang sudah sepenuhnya
menyesuaikan diri hidup terbenam di dalam laut dangkal. Keberadaan bunga dan
buah ini adalah faktor utama yang membedakan lamun dengan jenis tumbuhan
laut lainnya, seperti rumput laut (seaweed). Hamparan lamun sebagai ekosistem
utama pada suatu kawasan pesisir disebut sebagai padang lamun (seagrass bed).
Padang lamun yang merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir
memiliki keanekaragaman-hayati yang kaya dan merupakan penyumbang nutrisi
yang sangat potensial bagi perairan disekitarnya mengingat produktivitasnya yang
tinggi. Pada ekosistem padang lamun, berasosiasi berbagai jenis biota laut yang
bernilai penting dengan tingkat keragaman yang sangat tinggi (pksplipb.or.id,
2009).
Berdasarkan fungsinya padang lamun memiliki fungsi ekologis dan fungsi
ekonomis yang sangat penting bagi manusia. Menurut Nybakken 1988 in
pksplipb 2009, fungsi ekologis padang lamun adalah: (1) sumber utama
produktivitas primer, (2) sumber makanan bagi organisme dalam bentuk detritus,
(3) penstabil dasar perairan dengan sistem perakarannya yang dapat menangkap
sediment (trapping sediment), (4) tempat berlindung bagi biota laut, (5) tempat
perkembangbiakan (spawning ground), pengasuhan (nursery ground), serta
sumber makanan (feeding ground) bagi biota-biota perairan laut, (6) pelindung
pantai dengan cara meredam arus, (7) penghasil oksigen dan mereduksi CO2 di
dasar perairan. Sedang fungsi ekonomis dari lamun adalah sebagai daerah
tangkapan ikan, karena keberadaan lamun dapat meningkatkan produktivitas ikan.
Selain itu lamun juga dimanfaatkan sebagai bahan kerajianan dan obat.
Menurut Kuriandewa (2009) Indonesia mempunyai luas padang lamun
sekitar 30.000 Km2. Padang lamun yang begitu luas memungkinkan banyaknya
biota yang hidup berasosiasi dengan lamun seperti alga, moluska, krustasea,
enchinodermata, mamalia dan ikan. Padang lamun banyak di huni oleh ikan-ikan
2 baik tinggal menetap, sementara maupun mengunjungi untuk mencari makan atau
melindungi diri dari pemangsa. Peranan lamun begitu besar namun sering kali
ekosistem ini kurang mendapat perhatian. Menurut Fortes (1994) in Warastri
(2009), kondisi ekosistem padang lamun di perairan Indonesia mengalami
kerusakan sekitar 30-40%.
Setidaknya ada 13 jenis lamun telah dilaporkan terdapat di perairan
Indonesia. Disamping itu, ada dua jenis lamun yakni Halophila beccarii dan
Ruppia maritima yang dipercaya terdapat di Indonesia, meskipun keberadaan
keduanya hanya di ketahui dari herbarium yang terletak di Bogor. H. beccarii
tanpa informasi yang jelas lokasi ditemukannya, sedangkan R. maritima ditemui
dikawasan mangrove sekitar Ancol (Jakarta) dan pasir putih (Jawa Timur).
Namun setelah itu tidak ditemukan lagi dilapangan oleh para peneliti sampai
beberapa dekade terkhir in. Lain halnya Thalassodendron ciliatum menunjukan
sebaran yang sangat khusus yakni hanya terdapat di Indonesia bagian timur, di
Maluku dan Nusa Tenggara. Thalassodendron ciliatum
ditemukan juga di
Indonesia bagian barat yaitu perairan Kangean dan Kepulauan Riau. Dua jenis
lainya Halophila spinulosa dan Halophila dicipiens tercatat hanya terdapat
dibeberapa lokasi saja. Tahun 1989, ditemukan jenis baru, Halophila sulawesii,
diperairan Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan. Jenis ini mirip dengan
Halophila ovalis namun bersifat monoceious (berumah satu) dan ditemukan di
perairan dalam sekitar 10-30 m (Kuriandewa, 2009).
Meneurut penelitian sebelumnya ditemukan 10 jenis lamun berada di Teluk
Bakau. Hal ini merupakan jenis lamun yang ditemukan sangat tinggi
dibandingkan daerah lainnya. Namun keberadaanya terancam akibat lemahnya
pengelolaan. Ancaman tersebut dapat datang dari kegiatan pembangunan
pemukiman, pengembangan daearah wisata, penangkapan ikan dan pengerukan
pasir.
1.2
Perumusan Masalah
Dipesisir Pulau Jawa kondisi ekosistem padang lamun telah mengalami
ganguaan yang cukup serius, diperkirakan 60% padang lamun telah mengalami
kerusakan akibat pembuangan limbah dan pertumbuhan penduduk. Dipesisir
3 Pulau Bali dan Pulau Lombok ganguan diduga bersumber dari penggunaan
potassium sianida dan telah berdampak pada penurunan nilai penutupan dan
kerapatan spesies padang lamun.
Kepulauan Riau merupakan daerah provinsi baru yang sedang berkembang
dalam berbagai sektor, baik sektor ekonomi maupun sosial. Salah satu
perkembangan dalam sektor ekonomi adanya reklamasi daerah pesisir.
Berdasarkan Gambar 1, hal ini memungkinkan akan menjadi salah satu faktor
penyebab kerusakan alam di perairan Kepulauan Riau. Menurut informasi yang
didapat kegiatan penambangan pasir laut telah berlangsung sejak tahun 1970,
yakni wilayah yang berbatasan langsung dengan Singapura. Kegiatan tersebut
telah mengeruk jutaan ton pasir setiap hari dan mengakibatkan kerusakan
ekosistem pesisir pantai yang cukup parah. Penambangan pasir laut juga
mengancam keberadaan sejumlah pulau kecil karena dapat menenggelamkannya,
misalnya kasus Pulau Nipah. Tenggelamnya pulau-pulau kecil tersebut
menimbulkan kerugian besar bagi Indonesia, karena dengan perubahan pada
kondisi geografis pantai akan berdampak pada penentuan batas maritim dengan
Singapura di kemudian hari (Yono, 2009)
Dampak negatif lain yang ditimbulkan oleh penambangan adalah
peningkatan kekeruhan yang disebabkan oleh peningkatan konsentrasi padatan
tersuspensi. Perubahan fisik dasar laut, seperti erosi, sedimentasi, dan pelumpuran
merupakan ancaman yang dihadapai komunitas lamun. Kekeruhan juga
mengangu proses fotosintesis dan pertumbuhan pada lamun karena menghalangi
cahaya matahari yang masuk kedalam perairan.Perubahan fisik tersebut
mengurangi wilayah dan kepadatan tutupan padang lamun.
Oleh karena itu perlu dilakukan kajian untuk mengetahui status lamun saat
ini
sebagai
dampak
kegiatan
manusia
dan
aktivitas
alam
terhadap
keanekaragaman dan sebaran lamun secara rutin. Sehingga kelestarian dari
ekosistem ini dapat terjaga. Salah satu cara untuk melakukan pemantauan adalah
dengan melihat sebaran spasial lamun. Salah satu alternatif dalam mengetahui
sebaran spasial lamun adalah dengan menggunakan teknologi penginderaan jarak
jauh dapat di peroleh informasi secara rutin (time series data) dalam cakupan
4 yang luas dan waktu yang cepat sehingga dapat menghemat waktu dan biaya.
Untuk mendukung akurasi data perlu dilakukan pengecekan data dilapangan.
SUMBERDAYA LAMUN KEGIATAN MANUSIA DAN
AKTIVITAS ALAM
Struktur Komunitas:
1.
2.
3.
4.
5.
Habitat
Komposisi jenis lamun
Kerapatan lamun
Penutupan lamun.
INP
Indeks keanekaragaman,
keseragaman dan
domainansi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Kondisi Substrat dasar
Pasang surut
TSS
Kecerahan dan kedalaman
Kecepatan aus
Nutrien (Ortofosfat,
Ammonia, nitrat)
DISTRIBUSI SPASIAL LAMUN
1. TATA GUNA LAHAN
2. ANCAMAN LINGKUNGAN RENCANA PENGELOLAAN
LAMUN
Gambar 1. Diagram alir tahap penelitian
Setelah data-data mengenai status lamun terkumpul baik data yang
diperoleh dari pengamatan dilapangan berupa data tata guna lahan yang diperoleh
dari penelitian dan data stastus lamun sebelumnya. Data tersebut akan
mengambarkan status padang lamun Teluk Bakau yang menggalami perubahan.
Setelah itu dibuat bentuk rencana pengelolaan lamun di Teluk Bakau.Kemudian
disusun bentuk pemanfaatan yang ideal di perairan Teluk Bakau.
5 1.3.
Tujuan Penelitian
Untuk mengidentifikasi pola sebaran spasial lamun di Teluk Bakau.
Khususnya untuk mengetahui kondisi lingkungan terhadap struktur komunitas
lamun dan kegiatan yang memberikan dampak bagi lamun.
1.4.
Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah :
•
Memberikan informasi mengenai karakteristik penyebaran lamun di
perairan Teluk Bakau, Kepulauan Riau.
•
Memberikan informasi mengenai perubahan komunitas lamun melalui
penyebaran lamun.
•
Memberikan informasi mengenai rencana pengelolaan ekosistem
lamun terhadap perubahannya.
6 II.
2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Lamun
2.1.1. Karakteristik lamun
Lamun atau seagrass merupakan tumbuhan berbunga yang sepenuhnya
menyesuaikan diri dengan hidup terbenam dalam laut. Tumbuhan ini (Gambar 2)
terdiri dari rhizome (rimpang), daun, dan akar. Rhizome merupakan batang yang
terbenam dan merayam secara mendatar, serta berbuku-buku. Pada buku-buku
tersebut tumbuh batang pendek yang tegak keatas, berdaun dan berbunga, serta
tumbuh akar. Dengan rhizome dan akar inilah tumbuhan tersebut menampakan
diri dengan kokoh di dasar laut sehingga tahan terhadap hempasan ombak dan
arus. Lamun sebagian besar berumah dua, yaitu dalam satu tumbuhan hanya ada
satu bunga jantan saja atau satu bunga betina saja. Sistem pembiakan bersifat khas
karena mampu melakukan penyerbukan di dalam air (hydrophilous pollination)
dan buahnya juga terbenam di dalam air (Azkab, 2006). Tumbuhan ini memiliki
beberapa sifat yang memungkinkan hidup di lingkungan laut, yaitu mampu hidup
di media air asin, mampu berfungsi normal dalam keadaan terbenam, mempunyai
sistem perakaran jangkar yang berkembang dengan baik, mempunyai kemampuan
untuk berkembang biak secara generatif dalam keadaan terbenam, dan dapat
berkompetisi dengan organisme lain dalam keadaan stabil ataupun tidak stabil
pada lingkungan laut (Azkab, 2006).
Gambar 2. Tumbuhan lamun (Azkab, 2006)
7 Lamun tumbuh subur terutama di daerah pasang surut terbuka serta perairan
pantai yang dasarnya berupa lumpur, pasir, kerikil, dan patahan dengan karang
mati dengan kedalaman 4 m. Dalam perairan yang sangat jernih, beberapa jenis
lamun bahkan di temukan tumbuh sampai kedalaman 8-15 m dan 40 m. Bila
dibandingkan dengan padang lamun yang tumbuh di sedimen karbonat yang
berasal dari patahan terumbu karang, maka padang lamun yang tumbuh di
sedimen yang berasal dari daratan lebih dipengaruhi oleh faktor run off daratan
yang berkaitan dengan kekeruhan, suplai nutrient pada musim hujan, serta
fluktuasi salinitas (Erftemeijer, 1993 in Dahuri, 2003).
Diseluruh dunia telah di identifikasi terdapat 60 jenis lamun, 13 diantaranya
di temukan di Indonesia. Dari 13 jenis lamun yang tumbuh di perairan Indonesia,
10 jenis di temukan di kawasan Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Kerapatan jenis
lamun di pengaruhi faktor tempat tumbuh dari lamun tersebut. Beberapa faktor
yang mempengaruhi kerapatan jenis lamun di antaranya adalah kedalaman,
kecerahan, dan tipe substrat. Lamun tumbuh pada daerah yang lebih dalam dan
jernih memilki kerapatan jenis lebih tinggi daripada lamun yang tumbuh di daerah
dangkal dan keruh. Lamun berada pada substrat lumpur dan pasir kerapatannya
akan lebih tinggi daripada lamun yang tumbuh pada substrat karang mati
(Kiswara, 2004).
2.1.2. Pola distribusi
Ekosistem lamun di Indonesia di jumpai pada daerah pasang surut (inner
intertidal ) dan dibawahnya (upper subtidal). Dilihat dari pola zonasi lamun
secara horizontal, ekosistem lamun terletak diantara dua ekosistem penting yaitu
ekosistem terumbu karang dan mangrove. Ekosistem lamun berhubungan erat dan
berinteraksi dengan mangrove dan terumbu karang serta sebagai mata rantai dan
penyangga (buffer) bagi kedua ekosistem tersebut. Interaksi ketiga kelompok ini
yaitu, interaksi fisik, nutrien dan zat organik melayang, ruaya hewan dan dampak
kegiatan manusia (Begen, 2001)
Zonasi
sebaran
lamun
dari
pantai
kearah
tubir
secara
umum
berkesinambungan, namun bisa terdapat perbedaan pada komposisi jenis maupun
luas penutupannya. Ekosistem lamun dapat berupa vegetasi tunggal berupa
8 vegetasi tunggal yang tersusun atas satu jenis lamun dengan membentuk padang
lebat. Vegetasi campuran terdiri dua sampai 12 jenis lamun yang tumbuh
bersama-sama pada satu substrat. Spesies lamun yang biasanya tumbuh dengan
vegetasi tunggal adalah Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Halophilla
ovalis, Holodule uninervis, Cymodocea serrulata, dan Thalassodendron ciliatum
(Dahuri, 2003). Pada substart berlumpur di daerah mangrove kearah laut sering di
jumpai padang lamun dari spesies tunggal yang berasosiasi tinggi. Sementara
padang lamun vegetasi campuran terbentuk didaerah daerah yang berada didekat
pantai yang lebih rendah dan subtidal yang dangkal. Padang lamun tumbuh
dengan baik di daerah perlindungan serta substrat berpasir dan stabil (Hutomo et
al. 1988 in Dahuri 2003).
Untuk perairan tropis seperti Indonesia padang lamun lebih dominan
tumbuh dengan koloni yang terdiri dari beberapa jenis (mix species) pada suatu
kawasan tertentu. Berbeda dengan kawasan temperate atau daerah dingin yang
kebanyakan di dominasi satu jenis lamun (single species). Penyebaran lamun
memang sangat bervariasi tergantung pada topografi pantai dan pola pasang surut
(Azkab, 2006).
Berdasarkan genangan air dan kedalaman, sebaran lamun secara vertikal
dapat dikelompokan menjadi tiga kategori, yaitu (Kiswara, 1997).
1. Jenis lamun yang tumbuh di daerah dangkal dan selalu terbuka saat air
surut yang mencapai kedalaman kurang dari 1 m saat surut terendah.
Contoh: Holodule pinifola, Holodule uninervis, Halophila minor,
Halophilla
ovalis,
Thalassia
hemprichii,
Cymodoceae
rodunata,
Cymodoceae serrulata, Syringodinium isotifolium dan Enhalus acoroides.
2. Jenis lamun yang tumbuh di daerah dengan kedalaman sedang atau daerah
pasang surut dengan kedalaman perairan
berkisar 1-5 m. Contoh:
Holodule uninervis, Halophilla ovalis, Thalassia hemprichii, Cymodoceae
rodunata, Cymodoceae serrulata, Syringodinium isotifolium, Enhalus
acoroides dan Thalassodendron ciliatum.
3. Jenis lamun yang tumbuh pada perairan dalam dengan kedalaman mulai
dari 5-35 m. Contoh: Halophila ovalis, Halophila decipiens, Halophila
9 spinulosa,
Thalassia
hemprichii,
Syringodinium
isotifolium
dan
Thalassodendron ciliatum.
Sedangkan berdasarkan keadaan pasang surut membagi lamun yang tumbuh
menjadi dua zona, yaitu zona intertidal dan daerah yang berada jauh pantai . Zona
intertidal dicirikan oleh tumbuhan pionir yang didominasi oleh Halophila ovalis,
Cymodocea rotundata dan Holodule pinifolia, Sedangkan Thalassodendron
ciliatum mendominasi zona daerah yang berada jauh pantai (Hutomo, 1997).
2.1.3. Suksesi
Suksesi adalah suatu proses perubahan yang terjadi pada suatu komunitas
dalam jangka tertentu sehingga membentuk komunitas baru yang berbeda dengan
komunitas semula. Sukesi dapat diartikan sebagai perkembangan ekosistem yang
tidak seimbang menuju ekosistem seimbang. Suksesi terjadi akibat modifikasi
lingkungan fisik dalam komunitas dan ekosistem (Sam, 2008).
Komunitas klimaks terjadi pada akhir dari proses suksesi. Komunitas
klimaks adalah suatu komunitas akhir dan stabil (tidak berubah) yang mencapai
keseimbangan dengan lingkunganya. Komunitas klimaks ditandai dengan
terjadinya homeostasis atau keseimbangan, yaitu suatu komunitas yang mampu
mempertahankan kestabilan komponennya dan dapat bertahan dan berbagai
perubahan dalam sistem secara keseluruhan (Sam, 2009).
Menurut Sam (2009) berdasarkan kondisi habitat pada awal suksesi dapat
dibedakan menjadi dua suksesi, yaitu:
a. Suksesi primer terjadi apabila suatu komunitas mendapat ganguan baik
secara alami maupun adanya ganguan akibat campur tangan manusia yang
mengakibatkatkan hilangnya komunitas awal secara total kemudian
terbentuk komunitas baru.
b. Suksesi sekunder terjadi apabila suatu ganguan terhadap komunitas tidak
bersifat merusak total habitat komunitas tersebut sehingga masih terdapat
kehidupan atau substrat seperti sebelumnya. Proses suksesi sekunder
dimulai lagi dari tahap awal, tetapi tidak dari komunitas pionir. Ganguan
yang menyebabkan terjadinya suksesi sekunder dapat berasal dari
peristiwa alami atau akibat kegiatan manusai.
10 2.2.
Habitat
Ekosistem lamun merupakan ekosistem yang dinamis sehingga apabila
terjadi ganguan tersebut akan menurunkan keseimbangan ekologisnya. Gangguan
tersebut dapat berupa ganguan fisik, seperti badai dan pasang rendah yang
membuka dan mengeringkan ekosistem lamun sehingga dapat berubah struktur
komunitas dan luasan wilayah ekosistem lamun. Ganguan biologi yang
ditimbulkan aktivitas hewan pengali lubang (udang, kepeting, dan beberapa jenis
ikan) serta aktivitas hewan pemakan lamun (bintang laut, bulu babi, dan duyung).
Selain ganguan alam, kerusakan ekosistem lamun juga disebabkan oleh kegiatan
manusia terutama pulau-pulau yang dijadikan resort wisata, pemukiman dan
kegiatan penambangan pasir laut. Kondisi substrat dasar, kecerahan perairan, dan
adanya pencemaran sangat berperan dalam menentukan komposisi jenis,
kerapatan jenis dan biomasa lamun. Kondisi ekosistem lamun dapat diketahui
dengan melihat persentase penutupan lamun (Tabel 1).
Tabel 1. Status padang lamun
Kondisi
Penutupan (%)
Kaya/sehat
≥ 60
Kurang Kaya/Kurang Sehat
30 - 59.9
Miskin
≤ 29.9
Sumber: Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 200 tahun 2004
2.2.1. Substrat
Menurut Dahuri et.al. (2001), tumbuhan lamun mampu hidup pada berbagai
macam tipe substrat mulai dari lumpur hingga karang. Kebutuhan substrat yang
paling utama adalah kedalaman substrat yang cukup. Peranan kedalaman pada
substrat dalam stabilitas sedimen, yaitu sebagai pelindung tanaman dari arus laut
dan sebagai tempat pengolahan serta pemasok nutrien. Hampir semua tipe substrat
lumpur berpasir yang tebal antara hutan rawa mangrove dan terumbu karang
(Begen, 2001). Berdasarkan karakteristik dan tipe substratnya, padang lamun di
Indonesia dapat di kelompokan menjadi 6 kategori yaitu lumpur, lumpur pasiaran,
11 pasir, pasir lumpuran, puing karang, dan batu karang. Pengelompokan ini
berdasarkan ukuran partikel dari substrat tersebut (Dahuri, 2003).
Berdasarkan ukuran dan besar butiran tipe substat dapat diklasifikasi seperti
yang ditunjukan tabel 2.
Tabel 2. Ukuran besar butiran untuk tipe substrat menurut skala Wenworth
(Wenworth 1992 in Mckenzie dan Yoshida 2009)
Ukuran
Nama
Substrat
(mm)
Bongkah (boulder)
> 256
Krakal (coble)
64 – 256
4 - 64
Batu (stone) Kerikil (peble)
Butiran (granule)
2–4
Pasir sangat kasar (v. coarse
sand)
1–2
Pasir kasar (coarse sand)
1/2 – 1
Pasir sedang (medium sand)
1/4 - ½
Pasir halus (fine sand)
1/8 - ¼
Pasir (Sand)
Pasir sangat halus (v.fine sand)
1/16 - 1/8
Lumpur kasar (coarse silt)
1/32 - 1/16
Lumpur sedang (medium silt)
1/64 - 1/32
Lumpur halus (silt)
1/128 - 1/64
Lumpur sangat halus (v. fine silt)
1/256 - 1/128
Lumpur (Silt)
Lempung kasar (coarse clay)
1/640 - 1/256
Lempung sedang (medium clay)
1/1024 - 1/640
Lempung halus (fine clay)
1/2360 - 1/1024
Lempung
Lempung
sangat
halus(v.
fine
(Clay)
clay)
1/4096 - 1/2360
2.2.2. Kedalaman dan kecerahaan
Kecerahan perairan menunjukan kemampuan cahaya untuk menembus
lapisan air pada kedalaman tertentu. Pada perairan alami, kecerahan sangat
penting karena erat dengan proses fotosintesis. Semakin tinggi nilai kecerahan
maka akan tinggi pula tingkat penetrasi cahaya ke kolom perairan. Penetrasi
cahaya matahari atau kecerahan sangat penting bagi tumbuhan lamun. Hal ini
terlihat dari sebaran lamun yang terbatas pada daerah yang masih menerima
cahaya matahari (Supriharyono, 2009). Daya jangkau atau kemampuan tumbuh
tumbuhan lamun untuk sampai kedalaman tertentu sangat dipengaruhi oleh
12 saturasi cahaya setiap individu lamun. Distribusi kedalaman tergantung dari
hubungan beberapa faktor yaitu, gelombang, arus substrat, turbiditas dan penetrasi
cahaya (BTNKpS, 2008 in Dwintasari, 2009).
2.2.3. Padatan tersuspensi total
Padatan tersuspensi total atau TSS adalah bahan-bahan tersuspensi
(diameter >1 µm) yang tertahan di kertas miliopore dengan diameter pori 0,45
µm. TSS terdiri dari lumpur dari pasir halus serta jasad-jasad renik yang terutama
disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi yang terbawa badan air (Effendi, 2003).
Pada perairan yang tingkat erosi dan sedimentasi tinggi, sedimen (padatan
tersuspensi) akan mengahalangi cahaya matahari sehingga mempengaruhi
pertumbuhan lamun, dan dalam jangka waktu lama kerapatan tanaman lamun
akan menurun (BTNKsP, 2008 in Dwintasari, 2009.
2.2.4. Pasang surut
Lamun tumbuh subur terutama di daerah pasang surut terbuka serta perairan
pantai yang dasarnya berupa lumpur, pasir, kerikil, dan patahan dengan karang
mati dengan kedalaman 4 m.
Pengaruh pasang surut serta struktur substrat
mempengaruhi zona sebagian jenis lamun dan bentuk pertumbuhannya. Lamun
hidup di perairan yang dangkal dan jernih pada kedalaman berkisar antara 2-12
meter dengan sirkulasi air yang baik.
2.3.
Konservasi Lamun
Perencanaan konservasi membutuhkan pengambilan keputusan tentang
konfigurasi, lokasi dan pengelolaan kawasan. Tujuannya adalah untuk mencapai
representasi keanekaragaman hayati untuk biaya sekecil mungkin. Efektivitas
perencanaan konservasi sistematis ditentukan oleh; efisiensi dalam menggunakan
sumber daya yang terbatas untuk mencapai tujuan konservasi, ketahanan dan
fleksibilitas dalam menghadapi penggunaan lahan, dan akuntabilitas dalam
memungkinkan keputusan untuk ditinjau secara kritis. Penentuan rencana
konservasi ditentukan 3 prinsip yaitu kelengkapan, kecukupan, dan keterwakilan
(Anonim, 2010).
13 Kelengkapan dimaksudkan adalah dalam penentuan zona konsevasi tersebut
dalam kondisi baik dan memilki keanekaragaman yang khas. Selain itu yang
menjadi pertimbangan adalah komposisi keanekaragaman hayati, struktur dan
fungsinya dalam ekosistem. Sedangkan, kecukupan adalah penenentuan zona
konservasi tidak hanya mementingkan keanekaragaman yang tinggi. Maksudnya
adalah apabila zona tersebut memiliki keanekaragaman yang tinggi dan tersebar
luas, maka akan sulit melakukan konservasi karena tidak efisien dan memakan
dana yang besar (Anonim, 2010).
Oleh karena itu, penentuan zona konservasi adalah harus mewakili area
yang luas tersebut. Sehingga konservasi akan semakin mudah dilakukan karena
biaya yang dikleuarkan tidak besar dan sangat efisien.
14 III. METODE PENELITIAN
3.1.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Teluk Bakau, Pulau Bintan, Kepulauan Riau.
Kawasan lokasi tersebut merupakan salah satu daerah perlindungan Lamun di
Laut Cina selatan. Lokasi pengamatan (Gambar 3) terletak pada 10 00' LU - 10 05'
LU hingga 1040 35' BT - 1040 40' BT. Pengambilan contoh dilakukan sekali pada
lokasi penelitian.berdasarkan perbedaaan spasial.
Gambar 3. Lokasi penelitian
Penelitian ini dibagi menjadi 3 (tiga) tahapan, yaitu : Tahap pertama
pengumpulan data dan informasi mengenai objek penelitian, berupa studi pustaka.
Tahapan kedua adalah tahapan penanganan dan identifikasi sampel pada bulan
Agustus 2010, dan tahapan ketiga, pengolahan data berdasarkan metode analisa
yang telah ditetapkan.
15 3.2.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penggumpulan data primer pada penelitian ini
tercantum dalam Tabel 3, antara lain: GPS (Geographic Position System), Kertas
waterproof, rollmeter, transek kuadrat berskala 50 x 50 cm, kamera digital, dan
alat dasar selam. Selanjut alat yang digunakan dalam pengukuran parameter fisika
adalah tongkat beskala, plastik, dan sekop. Bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah peta lokasi penelitian kawasan pulau Bintan dan buku
indentifikasi lamun.
Tabel 3. Alat dan Bahan
No.
Parameter
Alat
GPS (Global Position System)
dan peta lokasi
Kertas waterproof, rollmeter,
transek kuadrat (50 x 50 c m),
alat dasar selam dan buku
identifikasi
1
Posisi stasiun
2
Kerapatan dan
penutupan
lamun
3
Kedalaman
Tongkat berskala
4
pasang surut
5
TSS
Tongkat Berskala
Botol sampel, kertas saring, labu
erlenmeyer, gelas ukur, pingset,
oven, desikator, timbangan
digital, vacuum pump, akuades
6
Substrat
3.3.
Plastik, sekop
Metode
Pengamatan lansung
Pengamatan
langsung
Pengamatan
Langsung
Pengamatan lansung
Pengamatan di
Laboratorium
Pengamatan
langsung
Jenis dan Metode Pengumpulan Data
Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari data primer yang
meliputi data lamun (jenis, persentase penutupan dan kerapatan lamun),
sedangkan data sekunder meliputi keadaan umum lokasi penelitian (Tabel 4)
16 Tabel 4. Komposisi, Jenis dan teknik pengambilan data
Jenis Data
No.
Komponen Data
Primer
1 Keadaan Umum Lokasi
Geografi
2 Lamun
Teknik
Pengambilan
Data
Sekunder
Sumber
Data
√
Laporan
Studi Pustaka
Laporan,
lapangan
Laporan,
lapangan
Laporan,
lapangan
Laporan,
lapangan
Studi Pustaka,
Observasi
Studi Pustaka,
Observasi
Studi Pustaka,
Observasi
Studi Pustaka,
Observasi
Laporan,
lapangan
Laporan,
lapangan
Laporan,
lapangan
Laporan,
lapangan
Studi Pustaka,
Observasi
Studi Pustaka,
Observasi
Studi Pustaka,
Observasi
Studi Pustaka,
Observasi
Jenis Lamun
Persentase penutupan
Lamun
√
√
√
√
Kerapatan Jenis lamun
√
√
Frekuensi lamun
3 Parameter Lingkungan
√
√
Kedalaman
√
√
Pasang Surut
√
√
TSS
√
√
Substrat
√
√
Pengumpulan data primer maupun data sekunder
diperoleh dengan
menggunakan metode observasi berbeda. Metode observasi yang digunakan
adalah sebagai berikut:
1.
Observasi langsung
Cara pengumpulan data menggunakan metode ini adalah dengan mengamati
dan melakukan pengukuran langsung kondisi ekosistem lamun. Metode ini
digunakan menggunakan metode gabungan antara “Line Intersecpt Transect” dan
metode “Stop and Go” yang biasa digunakan untuk mengamati Terumbu Karang.
Adapun Langkah-langkah pengukuran struktur komunitas lamun adalah sebagai
berikut.
a. Metode yang digunakan yaitu transek atau petak contoh (Transect plot).
Metode transek atau petak contoh (transect plot) adalah metode pencuplikan
contoh populasi suatu komunitas dengan mendekati petak contoh yang berada
pada garis yang di tarik melewati wilayah ekosistem tersebut (Gambar 4)
17 b. Disetiap stasiun pengamatan diletakan transek-transek garis dari arah darat
kearah laut (tegak lurus garis pantai sepanjang zonasi padang lamun) di daerah
intertidal sampai mendekati tubir laut sehingga membentuk garis horizontal,
ulang sampai 3 kali. Daerah pinggir dan tengah juga diamati sehingga
membentuk garis vertikal yang berhubungan seperti “zig-zag” Transek hanya
diletakkan pada zona padang lamun yang mengalami perubahan di jalur
pengamatan (misalnya: zona padang lamun yang hanya terdapat satu jenis,
campuran dan daerah yang kosong) sampai batas tubir. Amati daerah tengah
dan ntertidal setiap line yang dilalui
c. Pada transek kuadrat berukuran 50 cm x 50 cm, dibuat kotak-kotak sebesar 10
cm x 10 cm sehingga transek berjumlah 25 kotak, hal ini agar mempermudah
mengidentifiasi lamun. Pengambilan contoh jenis lamun akan dihitung secara
acak dan dihitung jumlah individu setiap jenis.
300 m T 100 m
U B STASIUN I R Titik pengamatan Gambar 4. Cara pengambilan titik sampel
Untuk lebih jelas perhatikan Gambar 4, observasi dapat dilakukan langsung
pada transek kuadrat yang telah diletakan pada stasiun yang diplotkan
menggunakan GPS, sehingga dapat dihitung persentase penutupan lamun, jenis
lamun, jenis dan jenis substrat, persentase kecerahan, kedalaman, dan kecepatan
arus.
18 2.
Analisis laboratorium
Analisi TSS dan nutrien dilaksanakan di laboratorium Produktivitas
Lingkungan Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, FPIK, IPB.
3.4.
Analisis Data
3.4.1. Struktur komunitas lamun
a. Kerapatan jenis (Di) adalah jumlah individu (tegakan) persatuan luas.
Kerapatan masing-masing Jenis pada setiap stasiun dihitung dengan
menggunakan rumus (Brower et.al. 1988)
Keterangan : Di = Jumlah Individu (tegakan) ke-i per satuan luas
Ni = Jumlah Individu (tegakan) ke-I dalam transek kuadrat
A = Luas transek kuadrat
b. Kerapatan Relatif (RDi) adalah perbandingan antara jumlah individu spesies
dan jumlah total individu seluruh spesies:
Keterangan : RDi = Jumlah Individu (tegakan) ke-i per satuan luas
Ni
= Jumlah Individu(tegakan) ke-I dalam transek kuadrat
= Luas transek kuadrat
c. Frekuensi jenis adalah peluang ditemukan suatu jenis dalam titik contoh yang
diamati. Frekunsi jenis dihitung dengan rumus:
Keterangan : Fi
Pi
= Frekuensi Jenis Ke-i
= Jumlah petak contoh dimana ditemukan jenis i
= Jumlah total petak contoh yang diamati
19 d. Frekuensi relatif (RFi) adalah perbandingan antara frekuensi spesies-I (Fi) dan
jumlah frekuensi seluruh spesies
Keterangan : RFi = Frekuensi relatif
Fi
= Frekuensi jenis ke-i
= Jumlah frekuensi seluruh spesies
e. Pengamatan persen peneutupan menggunakan metode visual (lampiran 4),
yang memiliki standar penutupan lamun. metode tersebut diterapkan oleh Mc.
Kenzie, dkk (2003)
f. Penutupan relatif (RCi) adalah perbandingan antara penutupan individu spesies
ke-i dengan jumlah total penutupan seluruh jenis.
Keterangan : RCi = Penutupan relatif
Ci
= Luas area yang tertutupi jenis ke-i
= Penutupan seluruh spesies
g. Indeks nilai penting lamun (INP) digunakan untuk menghitung dan menduga
secara keseuruhan dari peranan satu spesies didalam suatu komunitas. Indeks
nilai penting (INP) berkisar antara 0-3 dimana INP memberikan gambaran
mengenai pegaruh atau peranan suatu jenis tumbuhan suatu daerah. Semakin
tinggi nilai INP suatu spesies relatif terhadap terhadap jenis lainnya, maka
semakin tinggi peranan spesies tersebut pada komunitas lainya. Rumus yang
digunakan dalam menghitung INP adalah (Brower et.al. 1988).
Keterangan : INP = Indeks nilai penting
RFi = Frekuensi relatif
RDi = Kerapatan relatif
RCi = Penutupan relatif
i.
Analisis indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominasi
20 1.
Indeks kenaekaragaman Shannon-Wiener
Indeks keanekaragaman digunakan untuk mengukur kelimpahan
komunitas berdasarkan jumlah jenis spesies dan jumlah individu dari
setiap spesies pada suatu lokasi. Semakin banyak jumlah spesies, maka
semakin beragam komunitasnya. Rumus Indeks keanekaragaman Shannon
sebagai berikut Shannon-Wiener (Krebs, C.J., 1972) yaitu:
atau Keterangan
2.
: H' = lndeks Keanekaragaman
Pi =Proporsi jumlah individu spesies
jumlahindividu total (ni/N)
N =Jumlah total individu semua spesies
S =Jumlah taksa spesies Indeks keseragaman
ke-i terhadap
Untuk mengetahui seberapa besar kesemaan penyebaran jumlah
individu setiap jenis digunakan indeks keseragaman, yaitu dengan cara
membandingkan indeks keanekaragaman dengan nilai maksimumnya.
Semakin seragam penyebaran individu antaraspesies maka keseimbangan
ekosistem akan smakin meningkat. Indeks keseragaman ditentukan
berdasarkan rumus berikut (Brower, J.E. and J.H. Zar, 1998). Keterangan
3.
: E
H’
H’max
S
Indeks dominan Simpson
= Indeks Keseragaman Shannon
= Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener
= Indeks Keseragaman maksimum
= Jumlah jenis
Untuk mengambarkan jenis yang paling banyak ditentuakn dapat diketahui
dengan menghitung nilai dominasinya. Dominansi dinyatakan dalam
indeks dominansi Simpson (Brower, J.E. and J.H. Zar, 1998).
21 Keterangan
: D
ni
N
= Indeks dominasi Simpson
= Jumlah individu jenis ke-i
= Jumlah total individu seluruh jenis
3.4.2. Distribusi spasial lamun
Zonasi
sebaran
lamun
dari
pantai
kearah
tubir
secara
umum
berkesinambungan, namun bisa terdapat perbedaan pada komposisi jenis maupun
luas penutupannya. Ekosistem lamun dapat berupa vegetasi tunggal berupa
vegetasi tunggal yang tersusun atas satu jenis lamun dengan membentuk padang
lebat. Untuk melihat hal tersebut dengan memplotkan titik pengamatan dan jenis
lamun yang ditemukan kedalam peta. Hal ini dilakukan dengan bantuan perangkat
lunak arcview 3.3.
3.4.3. Zonasi lamun
Pembagian zonasi lamun berdasarkan daerah yang digunakan sebagai
dareah pemanfaatan pesisir serta kesamaannya baik jenis lamun yang dapat
ditemui, jenis pemanfaatan maupun jenis substrat yang dapat ditemui. Penyusunan
zonasi lamun dapat menggunakan perangkat lunak arcview 3.3. perangkat lunak
ini digunakan untuk melihat informasi umum lamun berdasarakan keadaan lamun
dengan pemanafaatan lamun. Hal ini akan menjadi dasar perencanaan mitigasi dan
adaptasi lamun di daerah tertentu.
3.4.4. Zona konservasi
Penyusunan daerah konservasi disusun berdasarkan konsep Marxan.
Dimana dalam konsep tersebebut memilki tujuan meminimalkan biaya dikenakan
mencapai target yang ditetapkan (Marxan, 2010).
Biaya yang dikeluarkan untuk penentuan awal
+
Biaya konservasi total =
Panjang batas zona konservasi
+
Denda yang dikeluarkan apabila syarat konservasi tidak terpenuhi
22 IV. TELUK BAKAU
4.1. Profil Wilayah
4.1.1. Letak geografis
Teluk Bakau merupakan desa yang terletak Pulau Bintan, Kepulauan Riau
dan memiliki potensi sumberdaya alam yang kaya, diantaranya pertambangan
(bauksit), minyak dan gas serta pariwisata. Daerah Teluk Bakau mempunyai luas
area 112.12 km2 yang terletak 10 meter diatas permukaan laut dan berbatasan
langsung :
Sebelah Utara
: Desa Malang Rapat
Sebelah Selatan : Kelurahan Kawal
Sebelah Barat
: Desa Toa Paya Utara
Sebelah Timur
: Laut Cina Selatan
4.1.2. Iklim
Secara umum Pulau Bintan termasuk daerah yang beriklim tropis basah;
curah hujan
rata-rata ± 2.214 mm/tahun,berkisar antara 2.000-2.500 mm/th,
dengan hari hujan ±110 hari. Curah hujan tertinggi pada bulan Desember (347
mm), terendah pada bulan Agustus (101 mm). Suhu rata-rata bulanan selama lima
tahun (1996-2000) antara 22,5oC-26,2oC , suhu terendah rata-rata 23,9oC dan
tertinggi rata-rata 31,8o. Cuaca di daratan Pulau Bintan cukup terik dan panas
pada siang hari, namun di wilayah pantai cuaca cukup nyaman karena mendapat
pengaruh dari angin laut yang dapat menyeimbangkan cuaca terik tersebut.
Kelembaban udara berkisar antara 83%-89% (Kuriandewa, 2010).
Angin dalam setahun mengalami perubahan empat kali: Desember-Februari
bertiup angin utara: bulan Maret-Mei bertiup angin timur, bulan Juni-Agustus
bertiup angin selatan dan bulan September-November bertiup angin barat. Angin
dari arah utara dan selatan sangat berpengaruh terhadap terjadinya gelombang
laut. Gelombang laut pada bulan Desember-Februari dan bulan Juni-Agustus
umumnya cukup besar. Gelombang di perairan pesisir Pulau Bintan sebelah utara
pada musim angin utara atau selatan, dapat mencapai ketinggian 2 meter.
Kecepatan angin terbesar adalah 9 knot pada bulan Desember-Januari, sedangkan
kecepatan angin terendah pada bulan Maret-Mei.
23 4.1.3. Topografi dan lereng
Menurut Kuriwandewa (2009) Daratan P. Bintan memiliki topografi lereng
yang beragam. Ketinggian wilayah berkisar antara 0-50 m di atas permukaan laut.
Data lereng yang diperoleh melalui proses pemodelan digital menghasilkan
informasi bahwa bentuk topografi wilayah ini sebagian besar merupakan lahan
berombak hingga bergelombang (53,37%). Lahan dengan topografi datar banyak
terdapat di Desa Berakit dan Gunung Kijang.
Daratan P. Bintan dapat dibedakan menjadi empat kelas kemiringan lereng:
(1) Wilayah datar-landai (0-5%) sebagian besar dijumpai di bagian utara dan
selatan daerah, terutama di sekitar sempadan sungai, hutan bakau dan
sepanjang tepi pantai.
(2) Wilayah datar berombak (5-8%), menyebar di bagian tengah dan selatan,
terutama di Desa Teluk Bakau, Desa Malang Rapat dan sebagian Desa
Berakit.
(3) Wilayah bergelombang (8-15%), yang merupakan daerah perbukitan dapat
dijumpai di bagian tengah.
(4) Wilayah berbukit (15-30%), penyebarannya terutama di bagian tengah Desa
Teluk Bakau dan Desa Malang Rapat.
Sebaran kelas kemiringan lereng dapat dilihat pada Tabel 5 dan Tabel 6
yang menyajikan sebaran dan persentase luas dari masing-masing kelas
kemiringan lereng.
Tabel 5. Kelas kemiringan lereng
Lereng
Deskripsi Lereng
Total Luas (ha)
0-5 %
Datar - landai
6.182,46
44,47
5-8 %
Berombak
5.195,53
37,37
8-15 %
Bergelombang
2.225,91
16,00
15-30 %
Berbukit
299,85
2,16
13.903,75
100
Total Luas Desa
%
24 Tabel 6. Sebaran Kemiringan Lereng Per-desa
Kelas Lereng
Berakit
Malang Rapat
Teluk Bakau
Gunung Kijang
Luas (ha)
%
Luas (ha)
%
Luas (ha)
%
Luas (ha)
%
0-5 %
1.970,34
72,43
1.732,94
31,81
1.393,93
31,64
1.085,25
81,57
5-8 %
649,63
23,88
2.555,70
46,91
1.785,78
40,54
204,42
15,37
8-15 %
85,51
3,15
1.044,71
19,18
1.066,08
24,20
29,61
2,22
15-30 %
14,71
0,54
114,87
2,10
159,15
3,62
11,12
0,84
Total Luas
2.720,19
100
5.448,22
100
4.404,94
100
1.330,40
100
Sumber: Hasil Analisis Data
47
448000 mT
450000
452000
454000
PETA 4
456000 mT
PESISIR TIMUR PULAU BINTAN
138000 mU
138000 mU
PETA KELAS LERENG
Kecamatan Gunung Kijang dan Teluk Sebong
KABUPATEN BINTAN
KECAMATAN TELUK SEBONG
P. Wangkang
N
136000
136000
W
E
Berakit
S
Skala 1 : 125.000
2
134000
0
134000
Bukit Balau
Teluk Asah
2
4
6 Km
Proyeksi : Universal Transverse Mercator (UTM)
Zone UTM : 48 N
Sistem Grid : Grid UTM
Datum : WGS-84
132000
Teluk Merbau
Sialang
130000
DESA BERAKIT
Petunjuk Lokasi
Sumber :
1. Citra ASTER, perekaman 25 Maret 2005
2. Citra Landsat , perekaman 28 April 2000
3. Citra SRTM, (resolusi 100m) NASA, perekaman 2003
4. Peta Jantop TNI-AD, skala 1:50.000
5. Peta Rupa Bumi Indonesia, lb. 1016 & 1017, skala 1:250.000,
BAKOSURTANAL 1986
6. Peta Geologi, lb. Tanjung Pinang, Skala 1:250.000
7. Peta Sistem Lahan, lb. 1016/Tanjung Pinang dan 1017/Tanjung
Uban, skala 1:250.000. BAKOSURTANAL - Dep. Pertanian, 1988
8. Peta Lereng, Revisi RTRW Kabupaten Bintan, 2004
9. Rencana Induk Ibukota Kec. Gn. Kijang, 2004
128000
Kampa
ke Lagoi
a
Kam p
Telukdalam
126000
.
S
KECAMATAN GUNUNG KIJANG
ala
m
S. Tl . D
Program Studi Ilmu Lingkungan
Progr am Pas c as ar j ana
124000
U N I V E R S I T A S I N D O N E SI A
P. Payung
DESA MALANG RAPAT
Kp. P. Pucung
Malangrapat
P. Balau
#
P. Penyusu
122000
LEGENDA
450000 mT
Kampung
Batas Kecamatan
Sungai Angus
120000
Batas Penelitian
120000
Batas Desa
S. Angus
Garis Pantai
Sungai
Kuros
118000
Jalan Tanah
P. Beralas Bakau
118000
Jalan Utama
Mengkuros
Jalan Pkb. Sawit
P. Beralas Pasir
DESA TELUK BAKAU
Distribusi Kelas Lereng
%
0-5%
Datar - landai
6.182,46
44,47%
5-8%
Berombak
5.195,53
37,37%
2.225,91
16,00%
299,85
2,16%
13.903,75
100%
116000
Luas
116000
Kelas Kemiringan Lereng
112000 mU
S.
Ka
Malang Rapat
Teluk Bakau
wa
Karubi
112000
DESA GUNUNG KIJANG
454000 mT
Distribusi Kelas Lereng Per Desa
Berakit
114000
i
rub
Ka
Luas Total
S.
15-30% Berbukit
114000
Bopeng
8-15% Bergelombang
l
Gunung Kijang
Kelas Lereng
1.970,34
72,43%
1.732,94
31,81%
1.393,93
31,64%
1.085,25
81,57%
5-8%
649,63
23,88%
2.555,70
46,91%
1.785,78
40,54%
204,42
15,37%
8-15%
85,51
3,15%
1.044,71
19,18%
1.066,08
24,20%
29,61
2,22%
Luas
%
Luas
%
14,71
0,54%
114,87
2,10%
159,15
3,62%
11,12
0,84%
2.720,19
100%
5.448,22
100%
4.404,94
100%
1.330,40
100%
Sei Kawal
Tanjung Pinang
ke
KECAMATAN GUNUNG KIJANG
108000 mU
15-30%
%
110000
0-5%
Luas Total
Luas
108000 mU
%
110000
Luas
456000 mT
458000
460000
462000
Gambar 5. Peta Umum P.Bintan
464000 mT
25 Jika memperhatikan fisiografi dan bentuk permukaan yang dapat diamati
melalui kenampakan topografi pada Gambar/Peta 5, wilayah ini merupakan
daerah yang mengalami pengikisan intensif dan merupakan daerah yang memiliki
kerawanan gerak massa. Permukaan lahan seperti ini seharusnya selalu tertutup
oleh vegetasi untuk mengurangi risiko pengikisan atau terjadinya gerak massa.
Walaupun gerak massa yang terjadi hanya bersifat lokal dikarenakan wilayah
dengan lereng-lereng terjal hanya berada pada luasan terbatas, namun kondisi ini
dapat saja membahayakan masyarakat pada umumnya.
4.1.4. Morfologi bentuk lahan
Bentuk lahan yang dapat dijumpai di wilayah ini meliputi 7 (tujuh) macam
yang di
bedakan menurut genesanya. Macam dari bentuk lahan yang dapat
dijumpai di seluruh wilayah idisajikan pada Tabel 7. Sedangkan distribusi bentuk
lahan per desa disajikan pada Tabel 8. Penyajian data distribusi sebaran bentuk
lahan pada masing-masing desa
bertujuan untuk menunjukkan kondisi dan
potensi fisik lahan masing-masing desa secara rinci (Kuriandewa, 2010).
Tabel 7. Deskripsi bentuk lahan pesisir timur P. Bintan
Bentuk lahan
Rataan pasang surut (M5)
Dataran alluvial (F1)
Dataran alluvial pantai (M6)
Dataran nyaris (D5)
Perbukitan terkikis (D1)
Rawa (F4)
Bukit sisa (D3)
Sumber: Hasil Analisis Data
Deskripsi
Pantai dengan endapan pasir yang
terpengaruh pasang surut
Dasar-dasar lembah kecil diantara bukitbukit
Gunung-gunung dari endapan pasir pantai
Dataran-dataran sediment campuran yang
berombak – bergelombang
Dataran-dataran batuan berapi asam yang
berombak sampai berbukit
Dataran campur antar pasut di bawah
bakau
Bukit sisa, berupa batuan api masam yang
membentuk pulau
Total Luas
(ha)
%
65,35
0,47
1.306,68
9,40
1.774,64
12,76
3.515,45
25,28
6.737,77
48,46
465,52
3,35
38,34
0,28
26 Tabel 7 menunjukkan bahwa bentuk lahan yang paling dominan ditemui di
daerah penelitian adalah perbukitan terkisis (48,46%) dan dataran nyaris
(25,28%). Kedua bentuk lahan ini merupakan bentuk lahan yang terjadi karena
proses denudasional atau pelapukan. Pelapukan yang terjadi merupakan pelapukan
tingkat lanjut sehingga bentuk permukaan yang ada umumnya berupa bukit-bukit
kecil. Sesuai batuan dasarnya yaitu granit maka lahan dengan proses denudasional
tingkat lanjut ini memiliki beberapa ciri berkaitan dengan kondisi tanahnya, yaitu
memiliki ukuran butir sedang hingga halus dengan tingkat kesuburan sedang
hingga rendah, tergantung pada bentuk tutupan lahan yang ada di atasnya.
Bentuk lahan yang terbentuk melalui proses denudasional umumnya
memerlukan pengelolaan yang tepat dari segi pemanfaatan dan perlakuan.
Pengelolaan yang tidak tepat dapat mengakibatkan terjadinya bencana atau
kerusakan lingkungan seperti longsor atau terbentuknya lahan kritis. Gambaran
distribusi sebaran bentuk lahan di daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 8
(Kuriandewa, 2010).
Tabel 8. Distribusi bentuk lahan per desa
Berakit
Bentuk lahan
Luas
%
(ha)
Malang Rapat
Teluk Bakau
Luas
Luas
(ha)
%
(ha)
%
Gunung Kijang
Luas
(ha)
%
Rataan pasang surut (M5)
10,82
0,40
33,07
0,61
10,34
0,23
11,12
0,84
Dataran alluvial (F1)
207,13
7,61
582,18
10,69
287,17
6,53
230,20
17,30
789,62
29,03
576,96
10,59
227,47
5,16
180,59
13,57
Dataran nyaris (D5)
501,03
18,41
837,64
15,37
1.406,11
31,92
770,67
57,93
Perbukitan terkikis D1)
767,40
28,22
3.418,37
62,74
2.436,91
55,32
115,09
8,65
Rawa (F4)
442,79
16,27
-
-
-
-
22,73
1,71
1,40
0,06
-
-
36,94
0,84
-
-
2.720,19
100
5.448,22
100
4.404,94
100
1.330,40
100
Dataran alluvial pantai
(M6)
Bukit sisa (D3)
Total Luas
Sumber: Hasil analisis data
4.1.5. Jenis dan kondisi tanah
Sebaran jenis tanah diuraikan menurut komposisi tanah berdasarkan Peta
Sistem Lahan (Bakosurtanal, 1983) dan Peta Tanah (Puslitan, 1999) in
Kuriwandewa (2010) yang didetilkan melalui interpretasi citra satelit. Jenis tanah
27 didominasi oleh jenis tanah podsolik, aluvial, litosol, dan sebagian kecil jenis
tanah andosol. Jenis-jenis tanah tersebut menurut sistem USDA dibedakan
menjadi beberapa satuan tanah, yaitu: tropudults, paleudults, tropaquepts,
tropofluvents, eutropepts, troposaments, tropoquents, hydraquents, sulfaquents
dan dystropepts.
Sebaran jenis tanah dapat dilihat pada Tabel 9 dan Tabel 10 yang
menyajikan sebaran dan persentase luas dari masing-masing jenis tanah yang
berhasil diidentifikasi di daerah ini.
Tabel 9. Deskripsi dan sebaran jenis tanah
Sistem
Jenis Tanah
Deskripsi
Satuan
Tropudults, Paleudults
SKA
Tropaquepts, Tropofluvents,
BKN
Eutropepts
Troposamments, Tropoquents
PTG
Hydraquents, Sulfaquents
KJP
Tropudults, Dystropepts,
LWW
Tropaquepts
Luas (ha)
%
9.779,91
70,34
825,34
5,94
582,98
4,19
444,20
3,19
2.271,32
16,34
13.903,75
100
Tekstur
agak halus - halus
Tekstur
agak halus - halus
Tekstur
agak kasar - halus
Tekstur halus
Tekstur
agak halus - halus
Total Luas (ha)
Sumber: Hasil Analisis Data
Tabel 10. Deskripsi dan sebaran jenis tanah per desa
Berakit
Malang Rapat
Teluk Bakau
Gunung Kijang
Sistem Satuan
Luas (ha)
%
Luas (ha)
%
Luas (ha)
%
Luas (ha)
%
SKA
2.178,08
80,07
4.729,71
86,81
2.336,79
53,05
535,33
40,24
BKN
-
-
151,65
2,78
420,76
9,55
252,93
19,01
PTG
97,91
3,62
311,92
5,73
128,56
2,92
44,59
3,35
KJP
444,20
16,31
-
-
-
-
-
-
LWW
-
-
254,94
4,68
1.518,83
34,48
497,55
37,40
Total Luas (ha)
2.720,19
100
5.448,22
100
4.404,94
100
1.330,40
100
Tanah
Sumber: Hasil Analisis Data
28 Jenis-jenis tanah yang banyak dijumpai di daerah ini adalah jenis tropudults,
paleudults, dystropepts dan tropaquepts (86,68%), pada satuan sistem lahan
Sukaraja (SKA) dan Lawangguang (LWW). Jenis-jenis tanah ini umumnya
memiliki ciri kesuburan yang sedang-rendah karena susunan material dasarnya
yang memang miskin hara. Sebaran jenis-jenis tanah di daerah ini, ternyata
memiliki hubungan sangat erat dengan informasi satuan bentuk lahan dan geologi
yang telah diidentifikasi sebelumnya. Hubungan antara bentuk lahan, geologi dan
jenis tanah ini merupakan hubungan positif yang saling menguatkan sehingga
makin memperjelas gambaran tentang kondisi lahan di daerah pesisir timur P.
Bintan.
4.1.6. Hidrologi
Sungai-sungai yang ada umumnya berukuran kecil dan dangkal sehingga
tidak layak digunakan untuk aktivitas lalu lintas pelayaran. Sungai-sungai tersebut
umumnya digunakan untuk saluran pembuangan air, terutama air dari daerah
rawa. Pada musim kemarau debit air pada sungai-sungai tersebut biasanya
menurun drastis sehingga beberapa sungai mengalami kekeringan.
Sungai terbesar yang ada adalah Sungai Kawal yang memiliki luas DAS
hingga 93 km2. Sebagian wilayah DAS Kawal termasuk dalam daerah penelitian.
DAS lain yang jauh lebih kecil adalah DAS Angus dan DAS Karubi. Sungaisungai tersebut merupakan sungai yang dimanfaatkan sebagai pemasok air tawar
utama..
Di daerah ini tidak dijumpai sungai yang berpotensi sebagai sumber air
baku. Berdasarkan pengamatan lapangan, umumnya hulu sungai dimanfaatkan
sebagai sumber air bersih masyarakat, sedangkan pada bagian hilir sungai
dimanfaatkan sebagai drainase makro.
4.1.7. Kondisi hidrogeologi
Keberadaan air tanah di daerah ini dapat dikelompokkan menjadi dua
wilayah air tanah yaitu wilayah dataran dan wilayah perbukitan. Wilayah air tanah
dataran, daerahnya meliputi dataran aluvial dan dataran bergelombang.
Kedudukan muka air tanah berkisar antara 1-7 meter dari permukaan tanah
29 setempat. Akuifer umumnya dijumpai pada lapisan pasir dan pasir lempungan dari
endapan aluvial. Ketebalan akuifer ini berkisar antara 3-7 meter dengan dasar
lempung atau batuan beku seperti granit dan diorite yang langka kandungan air
tanahnya. Di beberapa tempat air tanah berada pada kedalaman 1-5 meter dari
permukaan dengan air yang jernih, berkualitas baik, dan berpotensi cukup untuk
memenuhi kebutuhan air bersih penduduk setempat. Akuifer dangkal dengan
penyebaran terbatas dijumpai di sekitar pantai dan sepanjang alur-alur sungai.
Secara umum kondisi hidrogeologi daerah ini memiliki potensi air tanah
rendah sampai sangat rendah dengan kedalaman muka air tanah dangkal berkisar
antara 3-5 meter dari permukaan tanah (Kuriandewa, 2010).
30 V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Karakteristik Habitat
Kondisi lingkungan perairan mempengaruhi segala bentuk kehidupan yang
ada di perairan baik secara langsung maupun tidak langsung. Karakteristik fisikakimia perairan juga akan mempengaruhi struktur komunitas biota yang hidup di
dalamnya, yaitu komunitas padang lamun. Secara umum kondisi fisika kimia
perairan Teluk Bakau masih dalam keadaan yang sangat baik bagi kehidupan
sumberdaya lamun.
1 1 2 3
4 5
Gambar 6. Kondisi stasiun
Pengamatan dilakukan di sepanjang pantai Teluk Bakau, dimulai dari arah
selatan sampai ke utara. Pengamatan berdasarkan kondisi habitat yang berbeda
31 (Gambar 6) disetiap stasiunnya sehingga menggambarkan habitat secara
keseluruhan di Teluk Bakau. Kondisi lingkungan Stasiun 1 terdapat mangrove
yang merupakan daerah jebakan unsur hara. Selain itu terdapat daerah aliran
sungai (DAS), daerah ini digunakan nelayan-nelayan lokal yang ada di Teluk
Bakau untuk melabuhkan kapal mereka. Oleh karena itu, kondisi perairan tersebut
agak keruh daripada stasiun pengamatan lainya yang berada di dekat pantai, hal
ini disebabkan adanya masukan air yang berasal dari aliran sungai yang membawa
limpasan dari darat. Informasi yang diperoleh dari penduduk sekitar daerah ini
akan dikeruk apabila megalami pendangkalan, agar kapal-kapal mereka dapat
berlabuh.
Sedangkan stasiun-stasiun pengamatan lainya (Gambar 6) merupakan
daerah yang dimanfaatkan sebagai tempat wisata dan pemukiman, kecuali Stasiun
5 yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Pada Stasiun 2 merupakan daerah
milik pemerintah yang dimanfaarkan oleh penduduk lokal sebagai tempat wisata.
Kondisi perairan pada Stasiun 2 untuk daerah yang berada didekat pantai hampir
serupa dengan kondisi perairan yang terdapat pada Stasiun 1. Hal ini disebakan
Stasiun 2 berdekatan dengan Stasiun 1, sehingga Stasiun 2 mendapat pengaruh
dari Stasiun 1. Oleh karena itu, pada daerah yang berada didekat pantai pada
Stasiun 2 kondisi perairanya agak sedikit keruh. Sedangkan pada Stasiun 3 juga
dimanfaatkan sebagai kawasan wisata pantai yang dikelola oleh perusahan swasta.
Sepanjang daerah tersebut didirikan resort-resort diperuntukan bagi wisatawan
yang datang baik lokal maupun mancanegara.
Pada Stasiun 4, daerah yang dimanfaatkan oleh penduduk lokal sebagai
daerah pemukiman. Dimana pada daerah tersebut pemukiman penduduk dibangun
diatas perairan dan merupakan tempat yang digunakan untuk berlabuhnya kapalkapal nelayan. Sedangkan pada Stasiun 5 merupakan daerah yang belum
dimanfaatkan sebagai kawasan wisata oleh penduduk sekitar maupun swasta.
Daerah tersebut masih dalam kondisi baik dan belum tercemar oleh aktivitas
masyarakat maupun aktivitas wisata.
Pengamatan karakteristik fisika-kimia yang telah dilakukan mengambarkan
hubungan antara karaktristik lamun dan aktivitas masyrakat pada daerah Teluk
Bakau. Nilai-nilai ini dapat mencerminkan kualitas perairan yang dapat
32 mendukung keberadaan lamun. Berdasarkan hasil pengukuran parameter fisika
dan kimia perairan pada setiap stasiun pengamatan di lokasi penelitian disajikan
dalam Tabel 11.
Tabel 11. Hasil pengamatan karakteristik perairan
No
Parameter
Baku Mutu
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
Stasiun 4
Stasiun 5
Fisika
1
Kecerahan (%)
100
100
100
100
100
100
2
Kedalaman (m)
-
1.36
1.25
1.16
1.34
1.72
3
TSS (mg/L)
Kecepatan Arus
(cm/s)
20
75
25
5
0
10
-
6.085
6.205
8.115
7.845
10.61
4
0
Kimia
1
Ortophospat (mg/l)
2
Amonia (mg/l)
0.015
0.005
0
0.01
0
0
0.3
0.49
0.075
0.055
0.13
0.025
3
Nitrat (mg/l)
0.08
0.025
0.045
Sumber : KepmenLH (2004) Baku Mutu Air Laut untuk Bioata Laut
0.04
0.035
0.015
Kecerahan perairan yang teramati pada perairan Teluk Bakau (Tabel 11)
adalah 100% yang berarti bahwa pada lokasi pengamatan penyinaran masih
terjadi sampai kedalaman tertentu. Berdasarkan data tersebut dapat di ketahui
bahwa perairan Teluk Bakau termasuk perairan dangkal dan jernih karena
samapai kedalaman tertentu cahaya dapat masuk. Kondisi perairan yang dangkal
mempengaruhi kehidupan lamun, karena perubahan kedalaman air dapat
mempengaruhi beberapa faktor lingkungan perairan yang lain, yaitu suhu,
intensitas cahaya dan hidrodinamika air. Intensitas cahaya matahari yang sampai
kedalaman tertentu diperairan merupakan faktor pembatas pertumbuhan dan
produksi lamun. Kecerahan perairan sangat penting bagi lamun karena erat
kaitannya dengan proses fotosintesis. Penyinaran yang baik akan mempengaruhi
kehidupan lamun karena proses fotosintesis akan berjalan dengan baik. Selain itu
nilai kecerahan yang tinggi ini juga di dukung oleh kecepatan arus yang relatif
tenang pada perairan tersebut.
Tingkat kecerahan (Tabel 11) perairan Teluk Bakau dipengaruhi oleh nilai
Total Suspended Solid (TSS). Nilai TSS yang terukur pada setiap stasiun
pengamatan berbeda berkisar antara 0-75 mg/l. Nilai ini melebihi nilai standar
baku mutu yang ditetapkan leh KepmenLH (2004) yaitu 20 mg/l, untuk beberapa
33 stasiun. Tingginya perbedaan nilai TSS antara stasiun mengindikasikan bahwa
perairan Teluk Bakau terjadi sedimentasi atau proses pengendapan tinggi di
beberapa stasiun pengamatan. Stasiun yang mengalami proses sedimentasi adalah
Stasiun 1 dan Stasiun 2. Hal ini disebabkan pada Stasiun 1 terdapat aliran sungai
yang menyebabkan limpasan air dari darat masuk ke perairan laut. Limpasan air
ini membawa nutrien dan sedimen yang menyebabkan perairan laut berwarna
kekuningan dan sedikit lebih keruh dari Stasiun 2. Di sekitar Stasiun 1 terdapat
mangrove yang tumbuh lebat, sehingga pada Stasiun 1 merupakan area jebakan
unsur hara dan sedimen. Sedangkan Stasiun 2 merupakan area yang sangat dekat
dengan Stasiun 2, sehingga mempengaruhi area ini dan memiliki nilai TSS yang
tinggi. Fenomena ini dapat mempengaruhi kehidupan lamun karena apabila TSS
tinggi, maka tinggi pula kekeruhanya dan dapat menghambat penetrasi cahaya
yang masuk kedalam perairan, sehingga dapat menggangu proses fotosintesis dan
dalam jangka waktu lama kerapatan lamun akan menurun.
Selain itu nilai kecerahan yang tinggi dan TSS juga di dukung oleh
kecepatan arus. Kecepatan arus (Tabel 11) di perairan Teluk Bakau relatif tenang
untuk perairan terbuka yang berhadapan langsung dengan Laut Cina Selatan.
Kecepatan arus yang terukur pada perairan Teluk Bakau berkisar antara 6,09 cm/s
sampai 14 cm/s untuk daerah daerah yang berada didekat pantai dan daerah yang
berada jauh pantai . Faktor yang cukup dominan mempengaruhi kecepatan arus di
perairan Teluk Bakau adalah angin. Selain Itu, dangkalnya perairan dan
keberadaan lamun memberikan pengaruh yang cukup besar dalam memperlambat
gerakan arus. Pergerakan arus ini berpengaruh terhadap pertumbuhan lamun yang
terkait dengan suplai unsur hara dan persedian gas-gas terlarut yang dibutuhkan
oleh lamun. Pada stasiun pengamatan dari selatan ke utara
Fosfat dalam bentuk ortofosfat merupakan salah satu senyawa anorganik
terlarut dari unsur hara P yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan
hidup organisme. Unsur P akan diubah oleh fragmen daun dan dilepas ke kolom
air dan air antara sedimen (porewater) sebagai nutrien pertumbuhan lamun.
Berdasarkan hasil pengamatan keberadaan fosfoat diperairan Teluk Bakau sangat
rendah.
Nilai ortofosfat tinggi terdapat pada Stasiun 3, tingginya nilai
ortophosphat sehingga melebihi nilai baku mutu kehidupan lamun. Diduga pada
34 daerah tersebut berada dekat dengan lokasi wisata yang dikelola oleh pihak swasta
dan pemukiman penduduk.
Kandungan nilai amonia pada daerah daerah yang berada didekat pantai
Stasiun 1 sangat tinggi. Nilainya melebihi baku mutu ammonia yang dibutuhkan
untuk kehidupan lamun. Hal ini mengindikasikan telah terjadi masukan bahan
organik terutama berasal dari limpasan pertanian. Dapat diperhatikan Stasiun 1
merupakan area yang terdapat aliran sungai dan terdapat mangrove yang
memungkinkan masuknya bahan organik dari darat.
Nitrat merupakan bentuk utama dari nitrogen diperairan alami dan
merupakan nutien utama bagi pertumbuhan lamun. Hasil pengukuran kandungan
nitrat di daerah daerah yang berada didekat pantai maupun di daerah yang berada
jauh pantai tidak melebihi baku mutu nitat yang dibutuhkan berkisar antara 0.010.04 mg/l (Tabel 11). Kandungan nilai nitrat di perairan tersebut masih dalam
kondisi yang alami. Apabila terjadi kenaikan nilai nitrat hal ini disebabkan
masuknya limbah domestik dan pertanian meningkat.
Substrat merupakan media tumbuhnya lamun yang memegang peranan
distribusi lamun mulai dari garis pantai pada saat surut terendah. Perairan Teluk
Bakau memiliki sebaran lamun dari pantai sampai ke tubir kurang lebih 1500
meter. Memiliki substrat dasar perairan terdiri dari remahan koral (coral rubble)
bercampur dengan pasir, dan pecahan cangkang siput, pasir kasar, maupun pasir
berlumpur yang dapat ditumbuhi lamun. Rata-rata perairan Teluk Bakau memiliki
tipe substrat yang didominansi oleh tipe pasir lumpur dengan. Pada beberapa
substasiun terutama substasiun yang mendekati tubir, lamun juga tumbuh pada
pecahan karang dan cangkang karang. Namun kerapatan dan luas penutupannya
cenderung lebih kecil dibandingkan lamun yang tumbuh di daerah substrat pasir
berlumpur.
5.2. Struktur Komunitas Lamun
5.2.1. Komposisi jenis lamun
Berdasarkan hasil pengamatan (Gambar 7) diketahui bahwa pada perairan
Teluk Bakau di tumbuhi 10 jenis lamun yang tersebar di 5 (lima) lokasi
pengamatan. Jenis lamun yang ditemukan pada 5 (lima) stasiun pengamatan,
35 yaitu: Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Enhalus acoroides, Halodule
pinifolia, Halodule uninervis, Halophila ovalis. Halophila spinulosa, Syringodium
isoetifolium, Thalassia hempricii dan Thalassodendron ciliatum. Jenis lamun yang
tumbuh di perairan Teluk Bakau termasuk 10 jenis lamun yang ditemukan Pulau
Bintan dan termasuk dari 13 jenis lamun (7 Genus) yang ditemukan di seluruh
Indonesia. Jenis lamun yang tidak ditemukan pada perairan Teluk Bakau adalah
jenis Halophila decipiens, Halophila minor dan Halophila sulawesii. Pulau
Bintan memiliki jenis lamun yang beragam yang juga dapat ditemukan di perairan
Teluk Bakau.
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada lima stasiun (Gambar
7) menunjukan perbedaan komposisi jenis pada setiap stasiun. Keberadaan
sepuluh jenis lamun tersebut tidak merata dan tidak semuanya terdapat pada setiap
stasiun. Adanya perbedaan komposisi ini, disebabkan oleh jenis lamun yang
terdapat di perairan Teluk Bakau tumbuh dalam kelompok yang terpisah-pisah
dengan batas yang tidak jelas dan jumlah tertentu serta penyebaran yang tidak
merata.
Intensitas
perendaman
lamun
dalam
perairan
dan
lingkungan
mempengaruhi komposisi jenis lamun pada setiap stasiun. Selain itu kondisi
substrat dan pencemaran lingkungan, kejernihan perairan juga sangat berperan
dalam penentuan komposisi jenis dan kerapatan lamun.
36 Gambar 7. Komposisi jenis lamun beradasarkan kerapatan jenis setiap stasiun.
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada lima stasiun (Gambar
7) menunjukan perbedaan komposisi jenis pada setiap stasiun. Perbedaan
komposisi jenis lamun, disebabkan oleh jenis lamun yang terdapat di perairan
Teluk Bakau tumbuh dalam kelompok yang terpisah-pisah dengan batas yang
tidak jelas dan jumlah tertentu serta penyebaran yang tidak merata. Intensitas
perendaman lamun dalam perairan dan lingkungan mempengaruhi komposisi jenis
lamun pada setiap stasiun. Selain itu kondisi substrat dan pencemaran lingkungan,
kejernihan perairan juga sangat berperan dalam penentuan komposisi jenis dan
kerapatan lamun.
Pengamatan lamun di setiap stasiun di mulai dari sisi sebelah selatan
sampai dengan bagian utara pantai ditemukan beragam jenis lamun. Pada
pengamatan Stasiun 1 (Gambar 7) ditemukan jenis lamun paling sedikit
dibandingkan dengan empat stasiun lainya. Hal ini di karenakan kondisi
lingkungan Stasiun 1 terdapat interupsi air yang berasal dari darat berupa
masuknya aliran sungai, dan terdapat daerah jebakan unsur hara (Mangrove) serta
areal keluar masuknya kapal-kapal nelayan. Air yang berasal dari sungai di
perkirakan terdapat limbah yang berasal dari aktivitas masyarakat yaitu
pembuangan limbah rumah tangga dan kegiatan Industri, sehingga gangguan yang
ditimbulkan oleh aktivitas tersebut cukup besar. Sehingga spesies yang tumbuh
pada stasiun 1 adalah Cymodocea serrulata dan Enhalus acoroides.
Pada Stasiun 2, Cymodocea serrulata ditemukan lebih besar jumlah yang
ditemukan di daerah daerah yang berada didekat pantai , hal ini dikarenakan pada
Stasiun 2 masih mendapat pengaruh palaing besar karena berdekatan dengan
stasiun 1. Sehingga spesies yang ditemukan spesies lamun yang ditemukan
37 hampir serupa karena daerah tersebut memeliki kekeruhan yang tinggi. Sedangkan
pada daerah daerah yang berada jauh pantai jenis spesies yang sering ditemui di
Stasiun 2 adalah Halodule pinifolia. Jumlah spesies yang ditemukan pada daerah
daerah yang berada jauh pantai lebih banyak karena lingkungan dalam kondisi
baik dan mendukung adanya pertumbuhan berbagai jenis lamun.
Berdasarkan hasil pengamatan Stasiun 3 merupakan stasiun yang hampir
serupa dengan Stasiun 1. Jumlah speseis lamun yang ditemukan pada daerah
daerah yang berada didekat pantai
maupun daerah yang berada jauh pantai
sedikit, karena daerah tersebut merupakan daerah yang dimanfaatkan sebagai
kawasan wisata maupun resort oleh wisatawan. Akibat dari aktivitas tersebut
meneyebabkan lamun yang hidup didaerah tersebut tergangu. Lamun yang
ditemukan pada daerah tersebut merupakan jenis lamun yang dapat hidup dengan
kondisi yang kurang baik dibandingkan jenis lamun yang lain. Sedangkan pada
Stasiun 4 jenis lamun yang banyak ditemui adalah Halodule uninervis sering di
jumpai. Halodule uninervis merupakan jenis lamun yang ditemukan tumbuh pada
daerah pionir. Pada daerah tersebut merupakan daerah yang digunakan penduduk
sekitar sebagai perkampungan nelayan. Hal ini mengindikasikan bahwa lamun
pada Stasiun 4 belum tergangu, karena lamun yang ditemukan cukup beragam.
Sedangkan pada Stasiun 5 ditemukan dari 10 jenis lain yang ditemukan di
perairan Teluk Bakau jenis Syringodium isotifolium dan Thalassodendron
ciliatum yang jarang ditemukan di hampir di setiap stasiun pengamatan. Hal ini
disebabkan Syringodium isoetifolium dan Thalassodendron ciliatum hidup di
daerah pasang surut terendah dan daerah terendam air. Kondisi lingkungan
memiliki daerah yang cukup dalama dan jarak daerah yang berada didekat pantai
nya sangat pendek. Sehingga jenis lamun ini dapat dijumpai daerah dekat pantai
pada Stasiun 5.
Secara keseluruhan jenis lamun yang hidup di perairan Teluk Bakau
merupakan jenis lamun yang biasa hidup di perairan dangkal dan selalu terbuka
pada saat air surut yang mencapai kedalaman kurang dari 1 meter, dan beberapa
jenis lamun yang ditemukan dapat hidup diperairan dalam. Distribusi lamun dari
arah pantai hingga kearah tubir di perairan Teluk Bakau tergolong vegetasi
campuran karena lamun yang ditemukan lebih dari satu jenis. Vegetasi campuran
38 tersusun lebih dari dua atau lebih jenis lamun yang tumbuh bersama pada satu
habitat dan biasanya terbentuk di daerah subtidal yang dangkal. Setiap stasiun
pengamatan menunjukkan lamun di lokasi perairan Teluk Bakau didominasi oleh
Enhalus acoroides dan Thalassia hempricii. Thalassia hemprichii merupakan unit
vegetasi yang paling luas sebarannya, dan seringkali tumbuh pada substrat yang
berkedalaman tipis dengan kandungan lumpur sedikit. Lamun jenis ini juga
mempunyai kisaran sebaran vertikal yang luas mulai dari zona daerah yang berada
didekat pantai sampai zona subtidal bawah dan bisa bertahan hidup pada hampir
di segala jenis substrat. Enhalus acoroides juga tersebar secara luas, terutama
pada substrat yang halus, berlumpur tetapi mampu juga tumbuh pada substrat
berbatu. Spesies ini sering didapati tumbuh secara heterogen dengan spesies lain
atau sebagai vegetasi monospesifik pada habitat yang beragam mulai dari dasar
perairan berlumpur lunak, berpasir lumpuran sampai pada sedimen karbonat yang
berbutir-butir kasar.
5.2.2. Kerapatan jenis
Jenis lamun yang terdapat di perairan Teluk Bakau merupakan jenis lamun
yang biasa hidup di perairan dangkal yang selalu terbuka saat air surut. Kerapatan
jenis lamun dipengaruhi oleh faktor tempat tumbuh dari lamun tersebut yaitu:
kedalaman, kecerahan, dan tipe substrat. Kerapatan jenis lamun akan semakin
tinggi bila kondisi lingkungan perairan tempat lamun tumbuh dalam keadaan baik.
Perairan Teluk Bakau yang relatif dangkal dan jernih ini sangat mendukung
kerapatan jenis lamun yang tinggi pula. Selain itu, tipe substrat juga
mempengaruhi kerapatan jenis, berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa
kerapatan jenis lamun yang terdapat di perairan mendekati tubir semakin padat,
sedangkan kerapatan jenis lamun akan semakin rendah pada daerah yang
mendekati pada daerah lamun.
39 Tabel 12. Kerapatan jenis lamun
No
Jenis
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Cymodocea rotundata
Cymodocea serrulata
Enhalus acoroides
Halodule pinifolia
Halodule uninervis
Halophila ovalis
Halophila spinulosa
Syringodium isoetifolium
Thalassia hempricii
Thalassodendron ciliatum
Stasiun 1
18
47
Kerapatan jenis(tegakan/m2)
Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4
22
30
9
18
60
23
21
8
74
47
71
317
80
10
28
31
23
Stasiun 5
20
33
25
93
67
73
47
Berdasarkan hasil pengamatan (Tabel 12) dapat diketahui bahwa kerapatan
jenis lamun berbeda pada setiap stasiun pengamatan. Kerapatan jenis lamun
tertinggi pada Stasiun 5 mulai dari wilayah dekat antai maupun jauh dari pantai
yang mencapai 9 tegakan/m2
- 317 tegakan/m2
dan kerapatan jenis lamun
terendah terdapat di Stasiun 3. Jumlah dan jenis lamun yang ditemukan pada
lokasi tersebut sangat jarang. Perbedaan kerapatan jenis lamun setiap stasiun ini,
disebabkan oleh perbedaan kondisi lingkungan pada setiap stasiun pengamatan.
5.2.3. Persentase penutupan
Penutupan lamun menggambarkan seberapa luas lamun yang menutupi
suatu perairan dan biasanya dinyatakan dalam persen. Nilai persen penutupan
tidak hanya bergantung pada nilai kerapatan jenis lamun, melainkan dipengaruhi
juga oleh keadaan morfologi dari jenis lamun tersebut.
Berdasarkan Tabel 13 penutupan lamun pada lima stasiun berbeda-beda
pada jenis lamun yang sama dan tersebar di lima kondisi lingkungan yang
berbeda. Namun secara umum, Enhalus acoroides dan Thalassia hempricii
memiliki penutupan jenis yang paling tinggi, hal ini disebabkan merupakan lamun
yang sangat umum ditemui dan memiliki morfologi yang lebih besar daripada
jenis lamun lainnya serta tersebar luas diseluruh perairan. Enhalus acoroides
memiliki penyebaran yang seragam pada daerah tesebut, artinya jenis ini mampu
hidup pada habitat manapun yang memiliki kondisi lingkungan yang sesuai.. Di
lihat dari penutupan lamun yang ditemui, daerah tersebut memiliki gangguan yang
40 berasal dari aktivitas manusia sehingga memiliki persen penutupan paling kecil.
Penutupan lamun terendah terdapat pada stasiun 4 di ikuti dengan stasiun 3.
Tabel 13. Persentase penutupan lamun
No
Jenis
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Cymodocea rotundata
Cymodocea serrulata
Enhalus acoroides
Halodule pinifolia
Halodule uninervis
Halophila ovalis
Halophila spinulosa
Syringodium isoetifolium
Thalassia hempricii
Thalassodendron ciliatum
TOTAL
Stasiun 1
9.86
28.00
37.86
Stasiun 2
1.81
4.30
11.59
1.72
Penutupan (%)
Stasiun 3 Stasiun 4
11.00
3.75
4.29
14.17
3.17
2.00
3.14
0.92
2.14
5.00
11.44
7.33
2.43
30.87
34.50
24.83
Stasiun 5
0.86
20.75
12.50
4.50
3.25
26.86
21.14
89.86
Penutupan lamun akan semakin tinggi pada daerah yang jauh dari pantai.
Hal ini disebabkan ganguan ekositem yang diterima lamun akibat pembuangan
limbah rumah tangga serta aktivitas masyarakat belum memberikan pengaruh
yang nyaara. Jenis lamun memiliki persentase penutupan terendah dikarenakan
bentuk morfologi yang kecil dan sulit untuk ditemui.
Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 200 tahun 2004
tutupan lamun dibagi menjadi 3 kategori, penutupan lamun di perairan Teluk
Bakau tergolong kurang sehat. Penutupan lamun di perairan Teluk Bakau lebih
dari 30%. Hal ini disebabkan oleh tekanan lingkungan yang sangat tinggi seperti
tingkat sedimentasi dan polusi air, serta pembangunan di pesisir pulau. Sebaran
lamun di perairan Teluk Bakau cenderung rendah.
5.2.4. Indeks nilai penting (INP)
Indeks nilai penting memberikan gambaran besarnya pengaruh peranan
suatu jenis lamun dalam suatu komunitas padang lamun. Nilai INP sangat
bergantung pada nilai kerapatan relatif, penutupan relatif, dan frekuensi relatif
setiap jenis lamun. Berdasarkan Tabel 14, diketahui bahwa rata-rata indeks nilai
penting tertinggi pada lima stasiun pengamatan dalam adalah Enhalus acoroides
dengan kisaran nilai indeks nilai penting 0,32 – 2,08. Dapat dikatakan bahwa
Enhalus acoroides mempunyai pengaruh yang paling besar dibandingkan dengan
41 jenis lamun lainnya. Lamun jenis ini paling banyak dijumpai hampir dijumpai
hampir di seluruh tipe perairan dan sangat baik tumbuh di kondisi perairan Teluk
Bakau yang dangkal dan terbuka saat surut.
Tabel 14. Indeks nilai penting lamun
No
Jenis
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Cymodocea rotundata
Cymodocea serrulata
Enhalus acoroides
Halodule pinifolia
Halodule uninervis
Halophila ovalis
Halophila spinulosa
Syringodium isoetifolium
Thalassia hempricii
Thalassodendron ciliatum
Stasiun 1
0.92
2.08
Stasiun 2
0.26
0.39
0.96
0.57
0.82
INP
Stasiun 3
1.40
0.94
0.57
Stasiun 4
0.35
0.32
0.32
0.39
0.72
0.32
0.31
0.88
0.27
Stasiun 5
0.12
0.37
0.46
0.41
0.32
0.75
0.57
Indeks Nilai Penting tertinggi yang ditunjukan oleh Tabel 14 sangat
beragam. Namun besarnya Indeks Nilai Penting tidak seragam, sehingga
memungkinkan terjadinya dominasi satu jenis pada perairan Teluk Bakau. Hal ini
menunjukan bahwa lamun yang tumbuh Teluk Bakau sangat dipengaruhi oleh
karakteristik lingkungan perairan dan adapatasi jenis lamun terhadap keadaan
lingkungan di masing-masing di setiap stasiun.
5.2.5. Indeks Keanekaragaman, Keseragaman, Dominansi
Hasil dari pengamatan lamun di lima stasiun di perairan Teluk Bakau
ditemukan 10 jenis lamun 76,9%, dari 13 jenis lamun yang ada di Indonesia. Hal
ini menunjukkan bahwa lokasi pengamatan memiliki keanekaragaman jenis lamun
yang tinggi. Indeks keanekaragaman digunakan untuk mengukur kelimpahan
komunitas berdasarkan jumlah jenis spesies dan jumlah tegakan dari setiap spesies
pada suatu lokasi. Semakin banyak jumlah jenis spesies, maka semakin beragam
komunitasnya.
Sedangkan
indeks
keseragaman
dapat
digunakan
untuk
mengetahui penyebaran tegakan antar spesies yang berbeda. Indeks dominasi
dapat diguanakan untuk mengetahui seberapa besar suatu spesies mendominasi
suatu habitat.
42 Gambar 8.
Nilai indeks keanekaragaman(H’), keseragaman(E), dan dominasi
(D) lamun
Berdasarkan Nilai indeks keanekaragaman(H’), keseragaman(E), dan
dominasi (D) lamun di wilayah daerah yang berada di beberapa stasiun. Adapun
stasiun tersebut adalah Stasiun 1, stasiun 4 dan Stasiun 5 di bandingkan dengan
Stasiun 2 dan Stasiun 3. Pada Stasiun 1 pada daerah tersebut hanya ditemukan 2
spesies lamun yang dapat tumbuh di daerah tersebut sehingga Nilai indeks
keanekaragaman(H’), keseragaman(E), dan dominasi (D) lamun rendah, namun
terjadi dominasi jenis Enhalus acoroides. Hal ini dikarenakan kondisi fisik
perairan yang masih mendapat penggaruh langsung dari darat berupa run off yang
berasal dari masukan air sungai dan merupakan areal keluar masuk kapal. Enhalus
acoroides ketahanan hidup yang sangat luas di perairan Teluk Bakau
diabandingkan jenis lamun lainya.
Sedangkan pada Stasiun 2 dan Stasiun 3 adalah stasiun pengamatan yang
dimanafaatkan sebagai kawasan wisata. Karakteristik jenis lamun yang ditemukan
pada kedua temapat tersebut hampir serupa,jenis lamunnya. Namun keadaan
lingkungan membuat perbedaan kondisi lamun pada kedua area tersebut. Pada
Stasiun 2 memiliki kemiripan lingkungan dengan Stasiun 1 karena warna
perairanya keruh. Sehingga jenis lamun yang dapat tumbuh pada Stasiun 1 juga
ditemukan pada Stasiun 2 dan pada stasiun tersebut terjadi dominasi spesies.
43 Adapun spesies yang mendominansi adalah Enhalus acoroides dan Cymodocea
rotundata. Lamun jenis ini sangat sering ditemui pada daerah yang memeliki
ganguan ekologis, karena dapat beradaptasi dengan baik. Sedangkan pada Stasiun
3 jenis lamun juga beragam, namun pada daerah tersebut memiliki
keanekaragaman terendah kedua Stasiun 1. Hal ini dikarenakan lamun yang
ditemukan pada daerah penelitian sangat jarang serta aktivitas wisata menggangu
lamun yang tumbuh pada daerah tersebut.
Berdasarkan Gambar 8 menunjukan daerah yang memiliki indeks
keanekaragaman tertinggi pada Stasiun 4 dan Stasiun 5. Hal ini menunjukan
bahwa daerah tersebut ditemukan lebih dari lima jenis spesies lamun yang
berebeda. Namun pada Stasiun 4 terjadi jugadominasi tertinggi dibandingkan
dengan stasiun lainya di wilayah daerah yang berada didekat pantai . Hal ini
dikarenakan spesies yang ditemukan sangat banyak jumlahnya dan menyebar luas
di Stasiun 4, yaitu Halodule uninervis. Jenis lamun ini dapat hidup membentuk
padang lamun monospesifik di perairan dan ukuran sangat kecil. Hal ini
disebabkan adanya tekanan lingkungan berupa pembuangan limbah rumah tangga
yang membuat jenis lamun yang dapat tumbuh ditemukan dalam jumlah sedikit
pada araeal tersebut. Semakin jauh dari daerah daerah yang berada didekat pantai
jenis lamun yang ditemukan mulai beragam.
Sedangkan pada Stasiun 5, yang jenis lamun sering di jumpai adalah
dominasi oleh spesies Thalassodendron ciliatum. Karena kondisi substrat di
stasiun tersebut didominasi jenis substrat yang terdiri dari remahan koral (coral
rubble) bercampur dengan pasir, dan pecahan cangkang siput, dan pasir kasar.
Karakteristik dari daerah tersebut ditemukan jenis 2 spesies lamun yang dapat
hidup di perairan dalam dan salah satunya dapat membentuk hamparan padang
lamun yang luas, yaitu Syringodium isoetifolium. Di wilayah tersebut selalu
terendam perairan dan kondisi pantainya lebih curam dibandingan empat stasiun
pengamatan lainya dan memiliki arus yang cepat.
Berdasarkan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener diketahui bahwa
lima stasiun pengamatan secara keseluruhan memiliki tingkat keanekaragaman
rendah di setiap lokasi penelitian dan menunjukan dengan tekanan ekologi yang
tinggi.karena spasies yang ditemukan sedikit. Secara keseluruhan ditemukan 10
44 jenis lamun atau sekitar 76.9% berada di Teluk Bakau. Hal ini menunjukan
bahwa keanekaragaman lamun di Teluk Bakau termasuk tinggi, karena jenis yang
ditemukan banyak berada di lokasi yang berbeda dan ekosistem berada pada
daerah tersebut dalam kondisi stabil dengan keseragaman tinggi.
Nilai keseragaman menunjukan komposisi tegakan setiap spesies yang
terdapat dalam suatu komunitas berada dalam keseimbangan. Nilai keseragaman
yang tinggi pada lokasi pengamatan menunjukan bahwa jumlah spesies berada
dalam jumlah yang merata atau tidak ada spesies yang mendominasi. Dengan kata
lain tidak terdapat spesies yang secara ekstrim mendominasi spesies lainnya dan
kondisi lingkungan stabil, dan tidak terjadi tekanan ekologis terhadap biota di
lokasi tersebut.
5.3. Sebaran Spasial Lamun
Letak geografis maupun bentuk topografi pantai yang berbeda biasanya
akan mempunyai kondisi hidrologis/geologis yang berbeda pula. Oleh karena itu
distribusi lamun sangat dipengaruhi oleh kondisi tersebut. Pola distribusi lamun
yang ditunjukan oleh Gambar 10 bervariasi tergantung pada letak geografis
dimana padang lamun berada. Pada penelitian ini dilakukan di 5 (lima) stasiun
berbeda yang mewakili 5 (lima) kondisi yang berbeda ditiap stasiun dan
diharapkan akan mewakili representatif dari keadaan lamun di perairan Teluk
Bakau.
45 Cymodocea rotundata
Cymodocea serrulata
Enhalus acoroides
Halodule uninervis
Thalassia hempricii
Thalassodendron ciliatum
C. rotundata, Hd. pinifolia dan Hd. ovalis C. rotundata, Hd. pinifolia dan Thalassia hempricii
Cymodocea rotundata dan Thalassia hempricii
Cymodocea rotundata dan Cymodocea serullata
Cymodocea serrulata dan Enhalus acoroides
Cymodocea serrulata dan Syringodium isoetifolium
Enhalus acoroides dan Thalassia hempricii
Halodule pinifolia dan Thalassia hempricii E. acoroides,Th. Hempricii, dan Td. Ciliatum
Halodule pinifolia dan Thalassia hempricii
Gambar 9. Peta sebaran spasial lamun
46 Hasil penelitian dibeberapa lokasi di kawasan perairan Teluk Bakau
(Gambar 10), dijumpai sebanyak 10 jenis lamun yaitu, Enhalus acoroides,
Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Halodule pinifolia, Halodule
uninervis, Halophila ovalis. Halophila spinulosa, Syringodium isoetifolium,
Thalassia hempricii dan Thalassodendron ciliatum. Sedangkan penyebaran lamun
mulai dari pantai ke arah tubir umumnya berkesinambungan, perbedaan yang
terdapat biasanya hanya pada komposisi jenisnya dan luas tutupannya (Dahuri et
al, 1996).
Hal ini diduga karena kondisi lingkungan seperti kandungan nutrient
pada substrat yang tidak merata sehingga lamun hanya tumbuh pada titik tertentu.
Selain ketersediaan nutrient yang cukup juga dapat dilihat arah dan kecepatan
arus mempengaruhi keberadaan beberapa jenis lamun, karena ada jenis lamun
yang dapat beradaptasi dengan kondisi arus besar dan ada yang tidak.
Dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya pada tahun 2008 (Gambar
11) jenis yang ditemukan juga jumlahnya tetap. Dengan kata lain daerah Teluk
Bakau belum menggalami gangguan ekosistem. Namun perbedaan hanya terletak
pada persen penutupan lamun, hal ini disebabkan karena lamun yang diamati
berbeda lokasi penelitian. Namun keberadaan lamun tersebut dapat terancam
sewaktu-waktu apabila terjadi bencana alam , misalnya Tsunami maupun
reklamasi pantai.
47 Syringodium isoetifolium
Cymodocea rotundata
Enhalus acoroides
Thalassia hempricii
Enhalus acoroides dan Thalassia hempricii
Enhalus acoroides dan Syringodium isoetifolium
Enhalus acoroides dan Thalassodendron ciliatum
Thalassia hempricii dan Thalassodendron ciliatum
Thalassia hempricii dan Syringodium isoetifolium
Gambar 10. Peta sebaran lamun (2008)
48 5.4. Ancaman Terhadap Padang Lamun Teluk Bakau
Keberadaan lamun yang berasosiasi dengan ekosistem pesisir yang ada di
Teluk Bakau kurang mendapat perhatian pengelola wisata dan masyarakat serta
pemerintah daerah sehingga kegiatanya hanya untuk berorientasi pada
kepentingan ekonomi semata. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
di daerah ini memiliki keanekaragaman lamun yang tinggi. Namun kondisi ini
bertolak belakang dengan pemanfaatan dearah pesisir yang tidak efektif. Beberapa
contoh ketidakefektifan penggunaan lahan yang ada di Teluk Bakau, yaitu
mendirikan bangunan dan aktivitas wisata diatas areal lamun, penangkapan ikan
yang tidak ramah, dan kegiatan penambangan pasir lepas pantai maupun yang ada
didarat. Semua aktivitas manusia ini dapat merusak lamun maupun ekosistem
lainya.
Secarah harfiah Teluk Bakau merupakan daerah yang terletak di Pulau
Bintan, Kepulauan Riau dan Pulau Bintan merupakan daerah ibu kota Provinsi
Kepulauan Riau. Daerah ini merupakan daerah yang baru berkembang setelah
lepas dari Riau kurun lebih 2 periode. Infrastruktur yang berkembang pada Pulau
Bintan relatif masih baru. Menurut Yono (2009) dahulu Pulau Bintan merupakan
Pulau yang di eksploitasi hasil alamnya, salah satunya adalah pasir dan bauksit.
Kegiatan ini telah berlangsung sejak tahun 1970. Kegiatan tersebut telah
mengeruk jutaan ton pasir setiap hari dan telah mengakibatkan kerusakan
ekosistem pesisir pantai yang cukup parah.
Dampak lain dari kegiatan penambangan pasir menyebabkan perubahan
fisik dasar laut, seperti erosi, sedimentasi, dan pelumpuran merupakan ancaman
yang dihadapai komunitas lamun. Perubahan fisik tersebut mengurangi wilayah
dan kepadatan tutupan padang lamun. Peningkatan kekeruhan yang disebabkan
oleh meningkatnya konsentrasi padatan tersuspensi akibat penambangan pasir.
Kekeruhan akan mengangu proses fotosintesis dan pertumbuhan pada lamun
karena menghalangi cahaya matahari yang masuk kedalam perairan. Selain itu,
kegiatan ini juga mengancam keberadaan sejumlah pulau kecil karena dapat
menenggelamkannya. Tenggelamnya pulau-pulau kecil tersebut menimbulkan
kerugian besar bagi Indonesia, karena dengan perubahan pada kondisi geografis
49 pantai akan berdampak pada penentuan batas maritim dengan Singapura di
kemudian hari.
Gambar 11. Peta pemanfaatan Teluk Bakau saat ini
50 Berdasarkan Gambar 12 hal lain terlihat faktor yang menjadi ancaman
penurunan komunitas lamun di Teluk Bakau adalah pengembangan wilayah
pesisir. Pengembangan wilayah pesisir yang terjadi di Teluk Bakau adalah wisata
bahari dan pembangunan pemukiman diatas perairan. Hal ini mengakibatkan
terjadinya tercemarnya lingkungan perairan sebagai akibat aktivitas wisata dan
limbah rumah tangga. Kekeruhan perairiran yang ditimbulkan oleh aktivitas ini
dapat menyebabkan eutrofikasi atau penyuburan berlebihan pada perairan
sehingga dapat menggagu pertumbuhan lamun. Selain itu, aktivitas yang
menggunakan fasilitas wisata seperti “speedboat” mengakibatkan terpotongnya
daun lamun.
Aktivitas yang ada selain pengembangan wilayah pesisr terdapat kegiatan
perikanan. Kegiatan perikanan yang ada di Teluk Bakau adalah kegiatan
penangkapan ikan. Kegiatan penangkapan ikan ini apabila tidak diatur akan terjadi
tangkap lebih. Tangkap lebih merupakan pengambilan sumberdaya yang lebih
besar dari kemampuan alam sumberdaya untuk pulih. Selain itu, penggunan alat
tangkap ikan yang tak ramah lingkungan juga terjadi daerah Teluk Bakau
misalnya dengan pukat dasar yang mengeruk dasar laut dan kelong (bagan)
tancap. Aktivitas ini apabila tidak dikontrol penggunaanya akan menyebabkan
gangguan kehidupan lamun.
Selain itu, Teluk Bakau akan dikembangkan menjadi daearah pelabuhan
pada bagian utara. Pengembagan daerah Teluk Bakau menjadi pelabuhan akan
merusak ekosistem perairan, karena daerah tersebut akan mengalami proses
penimbunan dan pengerukan. Sebagaimana diketahui Pulau Bintan khususnya
daerah sepanjang pantai timur merupakan daerah perairan yang dangkal dan
berpantai landai, apabila tersebut mengalami surut maka daerah tersebut akan
tersingkap. Untuk memenuhi kriteria pelabuhan yang sesuai akan mengorbankan
lingkungan perairan, Apabila hal ini tidak diatur akan menimbulkan kerusakan
ekosistem lamun
Selain aktivitas manusia, alam juga memiliki peran untuk menentukan
kehidupan lamun. Beberapa faktor alam yang menjadi penentu keberadaan lamun
yaitu perubahan iklim dan bencana alam. Perubahan iklim menjadi salah satu
faktor yang diakibatkan perubahan suhu bumi yang berlangsung dari tahun ke
51 tahun. Hal ini berdampak kepada semua ekosistem yang ada di muka Bumi.
Khususnya lamun memiliki toleransi suhu optimal berkisar 250 - 300 C di
perairan. Apabila suhu perairan terus meningkat akan mengakibatkan (Burn)
“gosong” pada daun lamun. Bencana alam yang terjadi diperairan juga ikut
menentukan keberadaan lamun. Salah satu contoh bencana alam yang
menenentukan adalah Tsunami (gelomabang dasyat). Proses terjadinya Tsunami
adalah perubahan energi yang berasal dari luar atau dalam bumi yang menjadi
gelombang yang sangat
besar. Gelombang yang ditimbulkan mengakibatkan
tercabutnya lamun beserta akar, sehingga jenis lamun yang tidak dapat bertahan
dalam kondisi ini keberadaanya akan hilang atau berkurang. Selain itu kedalaman
substrat dan jenis substrat memepengerahui kekuatan lamun untuk bertahan pada
kondisi perairan.
5.5. Rencana Pengelolaan Lamun Teluk Bakau
Seluruh daerah Teluk Bakau dapat dimanfaatkan untuk semua kegiatan,
tetapi kegiatan tersebut harus mempunyai keselarasan dengan lingkungan agar
sumberdaya didalamnya tidak mengalami degradasi. Pentingnya pengaturan
pemanfaatan kawasan pesisir Teluk Bakau sebagai daerah wisata maupun daerah
pemukiman penduduk. Oleh karena itu, pentingnya keterlibatan semua pihak
dalam pengelolaan daerah pesisir baik pengelola wisata, masyarakat mapun
pemerintah. Ini dimaksudkan agar lamun pada Teluk Bakau tersebut tetap terjaga
kelestariannya dan tidak mengalami degradasi. Berdasarkan hasil pengukuran
lingkungan dan struktur komunitas lamun yang telah dilakukan di Teluk Bakau
masih dalam kondisi baik, hanya saja di beberapa kondisi lamunnya kurang baik.
Adapun yang menjadi ancaman mengkhawatirkan bagi kehidupan lamun di
daerah tersebut dan perlu adanya pengelolaan, yaitu pengembangan daerah wisata
bahari dan pembangunan pemukiman serta penangkapan ikan yang tidak ramah.
Pengembangan daerah wisata bahari dan pembangun pemukiman di Teluk
Bakau merupakan ancaman bagi kehidupan lamun. Limbah yang dihasilkan akan
mengancam kehidupan lamun. Pengguanan fasilitas wisata yang ada juga turut
merusak lamun secara fisik, contohnya, bermain speedboat di daerah lamun.
Adapun pengelolan yang dapat diterapkan yang ada di Teluk bakau adalah
52 membangun tempat penampungan limbah kemudian melakukan pengelohan
limbah sebelum dibuang keperairan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Kemudian menerapkan konsep wisata bahari berkelanjutan sehingga tidak
merusak fungsi ekologis yang ada didaerah pesisir.
Penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan juga merupakan ancaman
serius bagi keberlangsungan hidup padang lamun. Kegiatan tersebut akan
menyebabkan rusaknya ekosistem karang sebagai habitat biota perairan. Langkah
yang dapat dilakukan dengan penyadaran masyarakat akan pentingnya lamun dan
ekosistem laut lainya. Hal ini dilakukan agar masyarakat mengerti landasan utama
untuk mencegah penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan. Penyadaran
masyarakat dapat dilakukan dengan cara meningkatkan pengetahuan mengenai
pentingnya ekosistem lamun dan membentuk forum komunikasi antara pemangku
kepentingan yang diinisiasi dinas desa Teluk Bakau dan pemerintah.
Selain itu, Pemerintah memegang peranan penting dalam perencanaan dan
pengelolaan wilayah pesisir. Pemerintah harus memiliki inisiatif dalam
menanggapi berbagai permasalahan yang menyebabkan degradasi sumberdaya
lamun khususnya lamun dan konflik yang melibatkan kepentingan. Peran yang
dapat dilakukan adalah penetapan dan penegakan Perda. Penetapan Perda
sebaiknya diketahui oleh semua pihak agar pemanfaatan daerah tersebut lebih
teratur. Salah satu pengaturan pemanfaatan kawasan pesisir adalah menentukan
daerah konservasi agar sumberdaya lamun tidak mengalami degradasi dan daerah
pemanfaatanya.
53 Zona Konservasi Zona Pemanfaatan Gambar 12. Peta perencanaan kawasan yang diusulkan
54 Berdasarkan hasil penelitian, Stasiun 4 dan 5 pada daerah yang jauh dari
pantai. Daerah tersebut adalah daerah yang dianggap tepat untuk dijadikan daerah
perlindungan lamun. Pemilihan Stasiun 4 dan 5 sebagai daerah konservasi,
dikarenakan pada stasiun
tersebut memiliki keanekaragaman yang tinggi
(lampiran 7) dan pada Stasiun 5 belum terdapat kegiatan yang dapat
yang
merusak keanekaragaman lamun di Teluk Bakau. Serta spesies yang ditemukan
pada lima stasiun penelitian ditemukan juga pada daerah daerah yang berada jauh
pantai pada Stasiun 4 dan 5. Daerah konservasi lamun juga digunakan untuk
menenopang kehidupan biota berasosiasi lamun. Sebaiknya daerah tersebut
dilindungi dan pemerintah melarang pemanfatannya, agar daerah tersebut tidak
digunakan untuk kepentingan ekonomi karena potensi yang dimiliki cukup besar
serta membuat peraturan yang tegas.
55 VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1.
Kesimpulan
Habitat lamun di Teluk Bakau masih dalam kondisi baik, sehingga
mememungkinkan lamun tetap tumbuh pada perairan. Jenis substrat yang utama
adalah pasir berlumpur. Media ini merupakan media yang paling sesuai bagi
beragam jenis lamun. Hal ini terlihat dari ditemukannya 10 jenis lamun yang
tersebar di 5 (lima) lokasi pengamatan. Adapun jenis lamun yang ditemukan di
Teluk Bakau adalah Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Enhalus
acoroides Halodule pinifolia, Halodule uninervis, Halophila ovalis. Halophila
spinulosa, Syringodium isoetifolium, Thalassia hempricii dan Thalassodendron
ciliatum. Jenis lamun yang tumbuh di Teluk Bakau termasuk 10 jenis lamun yang
ditemukan Pulau Bintan dan termasuk dari 13 jenis lamun (7 Genus) yang
ditemukan di seluruh Indonesia. Nilai Indeks keseragaman rata-rata lamun tinggi,
dengan kata lain tidak terdapat spesies yang secara ekstrim mendominasi spesies
lainnya dan kondisi lingkungan stabil, dan tidak terjadi tekanan ekologis terhadap
biota di lokasi tersebut. Hal ini terlihat dari pengamatan yang dilakukan
sebelumnya.
Pada Teluk Bakau tidak ditemukan lamun yang hidup secara monospesifik.
Jenis dan jumlah lamun yang ditemukan terdapat 2-7 jenis lamun yang hidup
secara bersama-sama mulai dari daerah daerah yang berada didekat pantai sampai
daerah yang berada jauh pantai pada setiap stasiun pengamatan. Sehingga untuk
membentuk zonasi lamun sangat sulit dilakukan. Hal ini disebabkan Indonesia
yang beriklim tropis dan sinar matahari yang selalu ada sehingga lamun yang
tumbuh diperairan Indonesia menyebar merata disetiap perairan. Sumberdaya
lamun yang ada di Teluk Bakau masih mendapat ancaman dari dalam maupun
dari luar lingkungannnya. Ancaman yang paling serius dihadapinya adalah
pembangunan resort dan tempat tinggal diatas perairan pembuangan limbah
industri wisata mapun limbah rumah tangga, dan penangkapan ikan yang tidak
ramah lingkungan seperti penggunaan pukat dasar. Adapun hal yang dapat
dilakukan adalah melarang pembangunan wisata dan pemukiman diatas perairan.
56 Kemudian membuat tempat pengolahaan limbah dan melarang penggunaan alat
tangkap yang tidak ramah lingkungan. Hal tersebut dilakukan agar lamun dan
ekosistem perairan lainnya tetap lestari. Adapun hal lain yang bisa dilakukan
adalah menentukan zona konservasi lamun.
6.2.
Saran
Perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai dampak kegiatan wisata di
daerah Teluk Bakau.
57 DAFTAR PUSTAKA
[Anonim]. 2009. Lokarya Nasional I Pengelolaan Ekosistem Lamun.
http://pksplipb.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=133
&Itemid=1 diakses pada tanggal 28/07/2010 [8:49 PM]
[Anonim]. 2010. Marxan Conservastion Planning.
http://marineplanning.org/pdf/marxan_tutorial_expert.pdf. diakses pada
tanggal 28/1/2011 [8:49 PM]
Azkab MH. 2000. Struktur dan fungsi pada komunitas lamun. Majalah Ilmiah
Semi Populer Oseana 25(3):9-17
Azkab MH. 2006. Ada apa dengan lamun. Majalah Semi Polpuler Oseana 31(3):
45-55
Bengen DG. 2001. Ekosistem dan sumberdaya alam pesisir dan laut. Synopsis.
Pusat Kajian SUmberdaya Pesisir dan Lautan, Intitut Pertanian Bogor.
Bogor. iii+ 62 hml.
Brower JE, Zar JH & Ende CNV. 1998. Field and laboratory method for general
ecology fourth edition. McGraw-Hill Publication. Boston, USA. xi + 273p.
Dahuri R, Rais J, Ginting SP & Sitepu MJ. 2001. Pengelolaan sumberdaya
wilayah pesisir dan lautan secara terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta. xxiv
+ 305 hml.
Dahuri R. 2003. Keanekaragaman hayati laut, aset pembangunan berkelajutan
Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. xxxiii + 412 hml.
Dwintasari F. 2009. Hubungan ekologis lamun (seagrass) terhadap kelimpahan
dan keanekaragaman ikan di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu.[skripsi].
Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Intitut Pertanian Bogor. Bogor. xiii+72 hml.
Effendi H. 2003. Telaah kualitas air. Bagi pengeloaan dan sumberdaya lingkungan
perairan. Kanisius. Yogyakarta. 258 hlm.
58 Go Blue Indonesia. 2009. Ekosistem Padang Lamun Hilang,Masa Depan
Ekosistem Pesisir Global Terancam. www.GoBlueIndonesia.com diakses
pada tanggal 28/1/2010 [8:49 PM]
Hutomo, H. 1997. Padang Lamun Indonesia : Salah Satu Ekosistem Laut Dangkal
yang belum banyak dikenal. Jurnal Puslitbang Oseanologi-LIPI. Jakarta.
Hutomo, H dkk. 2004. Pedoman Umum Pengelolaan Ekosistem Lamun Berbasis
Masyarakat. Proyek Rehabilitasi Dan Pengelolaan Terumbu Karang
Departemen Kelautan Dan Perikanan. Coremap. Jakarta. 29 hlm
[MENLH] Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup. Kriteria Baku. 2004.
kerusakan dan pedoman penentuan status padang lamun. Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 200 tahun 2004
Krebs, C. J., 1972. Ecology, the Experimental Analisys of Distribution and
Abudance Haper anda Row Publ. New York. 496 p.
Kiswara W. 1997. Struktur komunitas padang lamun perairan Indonesia.p. 54-61.
In: Inventarisasi dan evaluasi potensi laut-pesisir, geologi, kimia, biologi,
dan ekologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.
Kiswara W. 2004. Kondisi padang lamun (seagrass) di perairan teluk Banten
1998-2001. Lembaga Penelitaian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia. Jakarta. xii+ 33 hml.
Kuriandewa Tri Edi. 2009. Tinjaun tentang Lamun di Indonesia. Lokakarya
Nasional I Pengelolaan Ekosistem Lamun. Sheraton Media; JakartaPKSPL.2009. Lokarya Nasional I Pengelolaan Ekosistem Lamun.
http://pksplipb.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=133
&Itemd=1 diakses pada tanggal 27/1/2010 9:07 PM
Kuriandewa Tri Edi. 2010. Rencana Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan
Penataan ruangnya di Pesisir Timur Pulau Bintan Trikora. Lembaga
Penelitaian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.
[MENLH] Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup. Kriteria Baku. 2004.
kerusakan dan pedoman penentuan status padang lamun. Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 200 tahun 2004
59 McKenzie LJ & Yoshida RL. 2009. Seagrass-Watch: Proceeding of a workshop
for monitoring seagrass habitat in Indonesia. The Nature Conservacy,
Coral Triangel Center, Sanur Bali, 9th May 2009. Seagrass-WatchHQ
Crains. 56p
Sam
A. 2008. Pengertian suksesi. [terhubung berkala]. http://sobat
baru.blogspot.cam/2008/06/pengertian suksesi [05 Juli 2010].
Supriyadiharyono. 2009. Konservasi ekosistem sumberdaya hayati di wilayah
pesisir dan laut tropis. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. xii+ 470 hml.
Warastri, Sundari Weaning. 2009. Penggunaan Data Citra Pengindreaan Jarak
Jauh untuk Mengetahui Sebaran Biomassa Lamun di Gugus Pulau Pari,
Kepulauan Seribu. Jakarta. [Skripsi]. Intitut Pertanian Bogor;Bogor
Yono. 2009. Bumi Bintan Hancur Karena Tambang Pasir dan Bauksit.
Detikriau.net diakses pada tanggal 05/07/2010 [02.45]
60 Lampiran
61 Lampiran 1. Data sampling
No Jenis 1 (kosong) 2 EA 3 EA 4 CS EA 5 CS EA 6 CS EA 7 (kosong) 8 TH EA TH 9 TH Peresentase Jumlah penutupan 20 18 6 10 9 16 7 10 15 2 4 15 50% 50% 15% 35% 20% 50% 18% 30% 20% 5% 10% 20% Morfometri Panjang Lebar (cm) (cm) 92 1,5 60 1,1 14 0,5 65 1,5 12 0,4 70 1,4 14 0,5 65 1,5 13 0,5 65 0,8 12 0,4 11 0,4 kedalaman Kecerahan
(cm) jenis
100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 113 113 153 119 105 167 161 86 90 PL PL PL PL PL PL PL PL PL PL PL Substrat kedalaman (cm) 20 50 40 40 50 16 18 20 posisi 1⁰00'50,6" 104⁰39'05,1"
1⁰00'44" 104⁰39'17,1"
1⁰00'449,4" 104⁰39'17,8"
1⁰00'49,1" 104⁰39'18" 1⁰00'52" 104⁰39'18,5"
1⁰00'555" 104⁰39'19,4"
01⁰01'20,7" 104⁰39'13,3"
01⁰01'19,9" 104⁰39'16,2"
01⁰01'19,9" 104⁰39'16,5"
01⁰01'19,8" 104⁰39'16,9"
62 Lampiran 1. Data sampling (lanjut 2)
No Jenis 10 EA 11 TH EA 12 EA TH 13 EA TH 14 TH EA 15 EA 16 (kosong) 17 CS 18 CR 19 EA Jumlah Peresentase penutupan 16 13 6 7 13 6 15 15 10 12 10 40 10 50% 18% 20% 22% 18% 20% 20% 20% 25% 27% 20% 50% 25% Morfometri Panjang (cm) Lebar (cm) 11 0,5 13 0,5 70 1,3 75 1,4 14 0.4 69 1,5 12 0,5 13 68 1,4 10 0,5 10 0,4 70 1,5 Kecerahan 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% kedalaman (cm) jenis
169 PL 100 PL 110 PL 150 pL 164 PL 160 PL 80 PL 83 PL 168 PL Substrat kedalaman (cm) 29 15 26 30 70 20 18 10 8 posisi 01⁰01'19,8" 104⁰39'17,1"
01⁰01'19,8" 104⁰39'17,2"
01⁰01'19,4" 104⁰39'18,2"
01⁰01'19,4" 104⁰39'18,4"
01⁰01'20,6" 104⁰39'19,4"
01⁰01'27,5" 104⁰39'19,8"
01⁰01'22,5" 104⁰39'20,2"
01⁰01'25,9" 104⁰39'17,0"
01⁰01'26,1" 104⁰39'17,2"
01⁰01'27,4" 104⁰39'17,4"
63 Lampiran 1. Data sampling (lanjut 3)
No Jenis 20 TH 21 (kosong) 22 CS 23 EA 24 EA 25 (kosong) 26 EA 27 (kosong) 28 TH HP EA CS Jumlah Peresentase penutupan 10 6 5 12 15 1 12 1 13 12% 10% 10% 28% 35% 2% 10% 3% 25% Morfometri Panjang (cm) Lebar (cm) 15 0,5 10 0,5 70 1,4 79 1 120 1,5 17 0,5 13 0,1 68 1,3 14 0,4 Kecerahan 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% kedalaman (cm) jenis
75 PL 70 PL 150 PL 73 PL 75 PL 75 PL Substrat kedalaman (cm) 15 15 20 14 18 61 posisi 01⁰01'27,4" 104⁰39'17,7"
01⁰01'28,8" 01⁰01'28,8" 104⁰39'18,3"
01⁰01'28,7" 104⁰39'18,9"
01⁰01'28,6" 104⁰39'19,3"
01⁰01'28,6" 104⁰39'20,1"
01⁰01'28,3" 104⁰39'20,7"
01⁰01'27,8" 104⁰39'22" 01⁰01'27,1" 104⁰39'24" 64 Lampiran 1. Data sampling (lanjut 4)
No Jenis 29 TH HP EA CS 30 EA TH 31 HO TH HP EA CS 32 CR EA 33 HO EA Cr 38 (kosong) 39 EA 40 (kosong) Jumlah Peresentase penutupan 18 14 3 10 4 12 15 15 13 5 5 20 8 5 13 10 10 25% 10% 8% 18% 10% 16% 5% 20% 10% 10% 8% 30% 15% 1% 25% 15% 20% Morfometri Panjang (cm) Lebar (cm) 13 0,4 13 0,1 81 1,4 17 0,5 79 1,4 15 0,4 10 0,7 13 0,4 13 0,1 68 1,3 14 0,4 10 0,1 80 1,5 5 0,1 64 1,2 12 0,1 50 1 Kecerahan 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% kedalaman (cm) jenis
167 PL 168 PL 85 PL 79 PL 81 PL 163 81 PL Substrat kedalaman (cm) 45 28 23 49 26 16 posisi 01⁰01'26,5" 104⁰39'27,1"
01⁰01'29" 104⁰39'28,2"
01⁰01'30,2" 104⁰39'26,8"
01⁰01'30,4" 104⁰39'26,3"
01⁰01'30,4" 104⁰39'26,0"
01⁰01'30,9" 104⁰39'24,6"
01⁰01'30,4" 104⁰39'26,0"
01⁰01'31,5" 104⁰39'24,3"
65 Lampiran 1. Data sampling (lanjut 5)
No Jenis 41 EA 42 CS 43 (kosong) 44 (kosong) 45 Cr 46 EA 47 EA 48 TH CR 49 EA TH CR 50 EA TH Jumlah Peresentase penutupan 5 20 5 6 8 6 7 5 10 8 8 6 10% 40% 5% 13% 28% 15% 10% 15% 23% 13% 22% 18% Morfometri Panjang (cm) Lebar (cm) 34 1 22 0,3 16 0,2 44 1,4 120 1,3 15,5 1 15 0,4 73 1,3 13 1 14 0,4 78 1,4 16 1 Kecerahan 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% kedalaman (cm) jenis
68 PL 63 PL 169 PL 165 PL 55 PL 76 PL 154 PL 84 PL 184 PL 160 PL Substrat kedalaman (cm) 9 16 38 28 42 33 38 20 posisi 01⁰01'31,7" 104⁰39'22,3"
01⁰01'33,3" 104⁰39'19,2"
01⁰01'35,9" 104⁰39'19,9"
01⁰02'7,8" 104⁰39'25,5"
01⁰02'7,8" 104⁰39'26" 01⁰02'8,1" 104⁰39'27" 01⁰02'8,5" 104⁰39'28,5"
01⁰02'8,8" 104⁰39'29,9"
01⁰02'8,8" 104⁰39'32,2"
01⁰02'9,2" 104⁰39'32,6"
66 Lampiran 1. Data sampling (lanjut 6)
No Jenis 51 EA TH CR 52 (kosong) 53 EA TH CR 54 EA TH CR HP 56 kosong 57 kosong 58 EA TH CR 59 (kosong) 60 EA CR Jumlah 6 9 10 10 7 4 5 6 8 13 10 7 4 2 5 Morfometri Peresentase penutupan Panjang (cm) Lebar (cm) 10% 61 1 20% 15 1 15% 12 0,3 30% 84 1,4 19% 15 1 13% 13 0,3 15% 89 1,4 18% 17 1 13% 14 0,4 10% 13 0,1 20% 79 1,3 19% 16 1 13% 13 0,3 5% 69 1,3 10% 10 0,2 Kecerahan kedalaman (cm) 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 156 90 158 169 154 60 89 jenis
PL PL PL PL PL PL PL PL Substrat kedalaman (cm) 40 49 39 43 38 20 31 posisi 01⁰02'12,7" 104⁰39'32,2"
01⁰02'12,7" 104⁰39'31,7"
01⁰02'12,7" 104⁰39'31,4"
01⁰02'16,6" 104⁰39'31,8"
01⁰02'16,8" 104⁰39'31,8"
01⁰02'20,1" 104⁰39'31,4"
01⁰03'00" 104⁰39'37,3"
01⁰03'16,7" 104⁰38'58" 01⁰03'16,7" 104⁰38'59,7"
67 Lampiran 1. Data sampling (lanjut 7)
No Jenis 61 TH CR HP 62 HP TH 63 CS 64 HS 65 HS CR HP TH 66 EA HU 67 (kosong) 68 (kosong) 69 TH EA Jumlah Peresentase penutupan 4 4 13 9 6 15 50 15 4 5 7 5 10 15 18 10% 8% 12% 10% 13% 30% 15% 5% 8% 2% 13% 15 4% 20% 21% Morfometri Panjang (cm) Lebar (cm) 16 1 12 0,3 10 0,1 8 0,1 14 1 15 0,5 10 0,1 11 0,1 13 0,3 17 0,9 70 1,4 11 0,1 18 0,9 23 1,3 Kecerahan 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% kedalaman (cm) jenis Pasir 109 167 Pasir 120 Pasir 108 Pasir 107 pasir 110 Pasir 115 Pasir 78 Pasir 115 Ruble
Substrat kedalaman (cm) 37 39 33 45 28 18 14 posisi 01⁰03'17,7" 104⁰38'58,7"
01⁰03'18,1" 104⁰38'00" 01⁰03'18,7" 104⁰38'01,1"
01⁰03'18,9" 104⁰38'00,1"
01⁰03'19,9" 104⁰38'00,2"
01⁰03'21,2" 104⁰38'59,5"
01⁰03'18" 104⁰38'56,5"
1⁰3'57,2" 104⁰38'59,6"
68 Lampiran 1. Data sampling (lanjut 8)
No Jenis Jumlah Peresentase penutupan 2 23 3 26 122 10 40 29 13 20 >50 30 3% 25% 5% 30% 8% 20% 10% 20% 15% 30% 100% 100% 70 EA TH 71 EA TH HP 72 EA TH HP TC SI 73 EA TH 74 CS SI Morfometri Panjang (cm) Lebar (cm) 31 1 8 0,9 40 1 10 0,7 9 0,3 70 1,5 15 1 10 0,4 90 1,5 15 1 14 0,6 20 0,1 Kecerahan 100% 100% 100% 100% 100% kedalaman (cm) jenis 101 Ruble
155 Ruble
155 Ruble
175 Ruble
253 Ruble
Substrat kedalaman (cm) 19 34 15 6 8 Lampiran 2. Indeks Keanekaragaman, Indeks Keseragaman, dan Indeks Dominansi
Nilai Indeks Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 Keanekaragaman(H') 0.18625
0.27889
0.27497
0.34388
0.41271
Keseragaman (E) 0.40185
0.67244
0.71933
0.44095
0.81182
Dominansi 0.59815
0.32756
0.28067
0.55905
0.18818
posisi 1⁰03'56,2" 104⁰38'58,6"
1⁰03'52,2" 104⁰39'04" 1⁰03'50,2" 104⁰39'07" 1⁰03'47,2" 104⁰39'05,8"
1⁰03'47,2" 104⁰39'05,8"
69 Lampiran 3. Baku mutu air laut untuk biota laut
No. Parameter FISIKA Satuan Baku mutu Kecerahana m coral: >5 coral: 20 mangrove: 80 lamun: 20 ‐ ‐ 0,3 0,008 0,015 1 b
2 TSS mg/l 3 4 5 6 7 Kecepatan arus Kedalaman KIMIA Ammonia total (NH3‐N) Nitrat (NO3‐N) Ortophospat cm/s m mg/l mg/l mg/l Catatan:
1. Nihil adalah tidak terdeteksi dengan batas deteksi alat yang digunakan
(sesuai dengan metode yang digunakan)
2. Metode analisa mengacu pada metode analisa untuk air laut yang telah ada,
baik internasional maupun nasional.
3. Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat (siang,
malam dan musim).
a. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% kedalaman euphotic
b. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata2
musiman
70 Lampiran 4. Persen penutupan standar menurut McKenzie (2003)
0 % 20 % 50 % 75 % *Bukan Dokumentasi pribadi
10 %
30 % 60 % 100 % 71 Lampiran 5. Identifikasi lamun (Hutomo dkk, 2004)
72 Lampiran 5. Identifikasi lamun (Hutomo dkk, 2004) , (lanjut 2)
73 Lampiran 6. Metode analisis
Metode Analisis Kimia
TSS
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Saring aquades mldengan kertas saring mikropore 0,45 mm sebanyak 60 ml
Masukan kertas kedalam oven selama 1 jam bersuhu 1350C
Angkat kemudian dinginkan kedalam dessikator selama 30 menit.
Setelah itu, timbang kertas saring sebesar (a mg), hal ini dimaksudkan agar
kertas berat kertas saring diketahui sebelum digunakan untuk menyaring air
sampel.
Setelah itu, saring air sampel sebanyak 100 ml, dengan kertas saring
miliopore yang telah disiapkan.
Kemudian tambahkan 50 ml aquades.
Setelah air sampel selesai disaring setiap stasiun, masukan kedalam oven
dengan suhuh ± 1200C selama 1 jam.
Dinginkan selama 30 menit kemudian timbang (b mg)
Amonia
1. Saring air sampel sebanyak 100 ml, dengan kertas saring miliopore yang
telah disiapkan.
2. Kemudian tambahkan 50 ml aquades.
3. Ambil air sampel sebanak 25 ml sampel
4. Kemudiankan tambahkan Fenol solution 1 ml dan 2,5 ml oxidaxing solution,
aduk setiap air sampel yang ditambahkan larutan tersebut.
5. Setelah itu diamkan didalam raung gelap selama 1 jam
6. Ukur dengan menggunakan spektrofotometri dengan panjang gelombang 640
nm.
Ortofosfat
1. Saring air sampel sebanyak 100 ml, dengan kertas saring miliopore yang
telah disiapkan.
2. Kemudian tambahkan 50 ml aquades.
3. Ambil air sampel sebanak 25 ml sampel
4. Tambahkan mix reagen* (4 ml), diamkan 5 menit.
5. Ukur dengan menggunakan spektrofotometri dengan panjang gelombang 880
nm.
Nitrat
1. Saring air sampel sebanyak 100 ml, dengan kertas saring miliopore yang
telah disiapkan.
2. Kemudian tambahkan 50 ml aquades.
3. Ambil air sampel sebanak 5 ml sampel
74 4. Kemudian tambahkan reagen 0,5 ml dan H2SO4 36 N sebanyak 5 ml
5. Kemudian panaskan selama 30 menit
7. Angkat kemudian dinginkan, setelah itu ukur dengan menggunakan
spektrofotometri dengan panjang gelombang 410 nm.
Lampiran 7. Contoh Perhitungan
1. Kerapatan jenis
Diketahui dalam transek kuadrat terdapat 7 tegakan Enhalus acoroides maka
Transek ukuran 50 cm x 50 cm = 0.25 m2, maka :
2. Kerapatan jenis relatif Enhalus acoroides
Rata-rata ditemukan spesies Enhalus acoroides adalah 46 ind/m2
Ditemukan pula jenis Cymodocea serrulata dengan rata-rata tegakan 26
ind/m2
maka:
3. Frekuensi jenis Enhalus acoroides
Dalam satu stasiun ditemukan 5 petak contoh dari 6 petak contoh maka
frekunsi kehadiran Enhalus acoroides 5 kali maka :
4. Frekuensi relatif Enhalus acoroides
Jika ditemukan 2 jenis individu berbeda maka
Memiliki Frekuensi jenis 0,67, maka:
5. Penutupan relatif, penutupan berdasarkan estimasi intuisi peneliti.
Diketahui dalam sattu stasiun Enhalus acoroides, memiliki tutupan sebesar
20 % dan ditemukan jenis spesies yang berbeda pada stasiun 13,3 % tersebut
maka:
6. Indeks nilai penting Enhalus acoroides adalah hasil jumlah rata-rata nilai
RDI, RFI, dan RDI pada satu stasiun.
75 7. Indeks keanekragaman, misalkan dalam satu stasiun Enhalus acoroides
ditemukan 130 individu dari 5 jenis lamun dengan total tegakan784 yang
masuk dalam petak contoh satu stasiun, maka:
dan
Lakukan hal yang sama pada masing-masing individu kemudian jumlahkan.
8. Indeks Keseragaman
Misalkan, indeks keanekaragaman 0,37, maka
9. Indeks dominasi, maka
Lampiran 8. Perhitungan Marxan
No
Jenis
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
Stasiun 4
Stasiun 5
A
B
A
B
A
B
A
B
A
B
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
Enhalus acoroides
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
2
Thalassia hempricii
0
0
1
1
1
1
0
1
1
1
3
Cymodocea serrulata
1
1
1
1
0
0
0
1
0
1
4
Cymodocea rotudanta
0
0
1
1
1
1
1
1
0
0
8
Halodule uninervis
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
5
Halodule pinifolia
0
0
0
1
0
1
0
1
0
1
6
Halophila spinulosa
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
7
Halophila ovalis
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
9
Syringodium isoetifolium
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
10
Thalassodendron ciliatum
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
2.00
2.00
4.00
5.00
3.00
4.00
3.00
8.00
3.00
6.00
Download