BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN 8.1 Simpulan 1. Komodifikasi hombo batu di Desa Bawömataluo tidak terjadi dalam waktu yang instan. Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya komodifikasi terhadap atraksi budaya asal Nias Selatan ini, antara lain: (1) Dukungan pola pemukiman penduduk yang menakjubkan; (2) Omo ni folasara atau omo sebua yang unik sehingga menarik begitu banyak perhatian dunia; (3) Batu-batu megalit tinggalan sejarah desa ini; (4) Tarian-tarian kolosal yang bersifat heroik. Faktor-faktor tersebut ikut andil dalam pembentukan atraksi hombo batu sebagai paket yang menarik dan sangat layak untuk “dijual” menjadi komoditi dalam bidang pariwisata budaya. 2. Pergeseran bentuk hombo batu dari bambu runcing ke tanah liat hingga pada bentuk akhirnya saat ini yakni batu bersusun setinggi lebih dari dua meter, ternyata semakin menarik perhatian pencinta pariwisata budaya. Bahkan, atraksi lompat batu ini ketika dipertunjukan di luar Nias, telah mengalami pergeseran lagi. Batu bersusun asli yang terdapat di kampungkampung tradisional di Nias Selatan tidak mungkin dibawa karena bobot dan volumenya sangat besar. Oleh karena itu, setiap pertunjukan di luar desa adat, pengganti batu bersusun tersebut adalah kayu atau tripleks yang dibentuk serupa dengan lompat batu asli di desa-desa adat di Nias Selatan. 125 126 3. Pergeseran fungsi dan makna hombo batu yang justru menjauh dari logika dan akal sehat, seperti “Pemuda Nias tidak boleh menikah kalau belum berhasil melompat batu” atau “Pemuda Nias dianggap belum dewasa apabila belum dapat melompat batu”. Para tetua adat di Nias Selatan tidak sependapat dengan arti “filosofis-baru” dari hombo batu ini. Oleh sebab itu mereka meluruskan bahwa pada mulanya lompat batu adalah sebagai sarana untuk tolok ukur bagi pemuda di setiap desa di daerah Teluk Dalam agar terpilih sebagai prajurit perang dalam rangka mempertahankan desanya. Namun, justru dari pernyataan-pernyataan yang kurang jelas sumbernya itu, membuat para calon turis menjadi penasaran untuk menyaksikan atraksi hombo batu ini. Justru, bersumber dari ketiadaan masuk akal filosofis yang digaungkan ini, atraksi hombo batu semakin mencuat ke permukaan untuk dijadikan alat komodifikasi oleh karena semakin banyak orang yang tertarik dengan hal-hal unik ini. 4. Meskipun hombo batu semakin dikenal di seantero dunia, ternyata tidak dibarengi oleh komponen-komponen pendukung pariwisata lainnya. Omo sebua yang menjadi salah satu daya tarik di Desa Bawömataluo ini, keadaan fisik bangunan justru semakin menuju ke ambang musnah. Apabila tidak dilakukan perawatan dan perbaikan segera, sangat terbuka kemungkinan bahwa omo ni folasara ini akan menjadi tinggal kenangan saja. Aksesibilitas juga kurang diperhatikan. Beberapa ruas jalan menuju Desa Bawömataluo rusak dan terdapat beberapa lubang yang sangat membahayakan orang-orang yang berkendara. Fasilitas lain seperti 127 ammenities masih sangat minim bahkan belum tersedia akomodasi, restoran maupun fasilitas penunjang lainnya di desa wisata ini. 5. Komodifikasi hombo batu di Desa Bawömataluo berdampak sosial ekonomi yakni: (1) Dampak terhadap pendapatan masyarakat, dimana pendapatan masyarakat menjadi bertambah secara finansial melalui perolehan honor ketika melakukan atraksi lompat batu, pelaku atraksi seni musik dan tari-tarian tradisonal, para anggota sanggar budaya, serta orangorang yang menjajakan souvenir kepada turis. (2) Dampak terhadap kesempatan kerja, dimana dengan kunjungan wisata yang semakin meningkat, selain membuka peluang kerja bagi anggota sanggar budaya untuk berkarya, juga bagi guide lokal, para pekerja seni pahat, pembuatan pakaian khas Nias Selatan, para supir angkutan umum dan tukang ojek. (3) Dampak terhadap pembangunan pada umumnya, dimana dengan semakin dikenalnya Desa Bawömataluo sebagai pusat atraksi hombo batu, maka memicu pemerintah daerah untuk tergerak memajukan dan mendukung perkembangan tersebut dengan membuka akses jalan yang semakin nyaman ditambah fasilitas penunjang lainnya. 6. Komodifikasi atraksi hombo batu juga berdampak pada aspek kehidupan sosial budaya, yakni: (1) Dampak pada ritme kehidupan sosial masyarakat, dimana akulturasi budaya antara warga desa dengan turis, masyarakat setempat mengalami perubahan sikap ke arah komersil dan praktis. Para pemuda desa juga banyak beralih profesi dari kebiasaan bertani membantu orang tua di ladang, sekarang lebih memilih menjadi guide freelance, beach 128 boy atau pedagang souvenir. (2) Dampak terhadap stratifikasi dan mobilitas sosial, dimana di era pariwisata dewasa ini, struktur sosial di daerah Maenamölö secara umum, termasuk di Desa Bawömataluo terjadi perubahan secara signifikan. Bukan hanya karena marga yang sulit dibedakan antara si’ulu dengan sato, namun justru gelar akademik dan kemampuan finansial lebih dominan dihargai dibandingkan dengan stratifikasi sosial secara adat-istiadat. Perkawinan campur pun oleh keturunan si’ulu terhadap warga biasa ataupun warga asing, kini sudah menjadi hal yang lumrah. Salah satu faktor pemicunya adalah untuk mencapai kesetaraan ekonomi. Sebab keturunan si’ulu masa kini tidaklah sekaya nenek moyang mereka pada jaman dahulu. Padahal, jaman dulu, perkawinan campur ini sangatlah pantang bagi kaum si’ulu. (3) Dampak terhadap bidang kesenian dan adat istiadat, dimana dengan larisnya atraksi hombo batu, mendorong para pemuda untuk memiliki rasa cinta dan bangga akan budayanya sehingga membuat mereka bersemangat untuk merawat dan melestarikan budaya tersebut. 8.2 Saran-Saran Berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan ini, maka penulis memberikan beberapa saran yang dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh berbagai pihak yang berkecimpung di dunia pariwisata, khususnya mengenai hombo batu dan pariwisata budaya Nias Selatan: 1. Atraksi hombo batu sangat menarik perhatian berbagai kalangan. Melalui beberapa pementasan di berbagai daerah di luar Nias, warisan leluhur Nias 129 Selatan ini menjadi terpromosikan sehingga semakin dikenal oleh masyarakat Indonesia dan dunia sehingga dapat menimbulkan rasa penasaran untuk melihat langsung hombo batu yang asli ini di Nias Selatan. Sebagai tuan rumah yang baik (supply side), seharusnya masyarakat Nias Selatan siap menyambut para calon wisatawan ini dengan menyediakan sarana dan prasarana yang memadai sehingga ketika wisatawan berkunjung ke Nias Selatan, mereka merasa senang dan puas berkunjung ke sana. Kepuasan wisatawan, akan menimbulkan rasa ingin kembali berkunjung sebab wisatawan tersebut memperoleh pengalaman yang memorable, yakni pengalaman menyenangkan yang sulit dilupakan. Sebaliknya, ketidakpuasan konsumen (wisatawan) akan berdampak pada berkurangnya keinginan wisatawan untuk berkunjung (lagi) ke destinasi wisata tersebut. Warga Nias Selatan, terkhusus Desa Bawömataluo seharusnya dapat memanfaatkan daya tarik wisata di desa ini dengan membenahi beberapa infrastruktur dan mengatur strategi untuk menarik lebih banyak wisatawan berkunjung ke Desa Bawömataluo. 2. Komponen-komponen pariwisata yang menunjang hendaknya terus jadi perhatian pemerintah daerah setempat. Sebab standar pemenuhan komponenkomponen pariwisata di Nias Selatan masih sangat minim. Daya tarik (attractions) yang terus dikemukakan tidak akan banyak faedahnya apabila tidak didukung oleh accessibility yang memadai. Misalnya, kendaraan dari Teluk Dalam ke Gunung Sitoli sangat sulit dicari dan sering kali sarat muatan sehingga tidak nyaman bagi pengunjung dari luar pulau Nias. Akses jalan menuju Desa Bawömataluo juga perlu perbaikan yang mendesak sebab banyak 130 ruas jalan yang berlubang dan rusak yang sangat membahayakan pengguna jalan, termasuk wisatawan yang berkunjung ke sana. 3. Komponen pariwisata yang penting lainnya adalah Ammenities yang mendukung daya tarik destinasi wisata, ternyata masih sangat minim. Perlu dukungan pemerintah daerah setempat untuk mendorong investor dalam membangun akomodasi yang layak huni dan juga mendorong masyarakat setempat untuk mandiri dan berwira usaha yang berkaitan dengan kebutuhan wisatawan seperti rumah makan, sarana olah raga, dan berbagai sarana hiburan lainnya. 4. Perlu memberdayakan jiwa-jiwa pemuda yang kreatif untuk lebih baik dalam berkarya. Penulis melihat bahwa barang-barang yang diperjualbelikan seperti patung dan beberapa peralatan khas tradisional Nias Selatan yang dibuat secara miniatur, kualitasnya kurang bagus dan kurang rapi dibandingkan dengan beberapa souvenir sejenis yang dapat kita jumpai di berbagai daerah tujuan wisata lainnya. Mengingat persaingan antar daerah tujuan wisata semakin ketat dan bersifat global. Sebab, dari sisi pemasaran, selain pelayanan yang memuaskan, kualitaslah yang menentukan keberlanjutan produk yang ditawarkan. 5. Agar tradisi mowewewö dan manoso tidak punah, hendaknya pemerintah setempat mengakomodir semua kerajinan yang dihasilkan oleh para wanita di Nias Selatan dengan memberikan imbalan yang setimpal. Kalau atraksi manoso misalnya dijadikan suatu paket kunjungan wisata, pasti akan memberikan 131 banyak manfaat terhadap kesejahteraan masyarakat setempat, sekaligus mendorong mereka berkreasi lebih baik lagi. 6. Kiranya masyarakat lokal dan pemerintah daerah setempat (community involvement) saling bersinergi dalam mendukung pengembangan pariwisata di daerah Teluk Dalam, Nias Selatan ini. Bila dilakukan secara bahu-membahu, saling mendukung, tidak menutup kemungkinan bahwa Nias Selatan akan kembali ke slogan yang pernah dilontarkan pada era Visit Indonesia Year 1991 sebagai “Nusa Indah Andalan Sumatera (NIAS)” dengan sektor pariwisata sebagai primadona.