125 BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN 8.1 Simpulan 1

advertisement
BAB VIII
SIMPULAN DAN SARAN
8.1 Simpulan
1. Komodifikasi hombo batu di Desa Bawömataluo tidak terjadi dalam waktu
yang instan. Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya komodifikasi
terhadap atraksi budaya asal Nias Selatan ini, antara lain: (1) Dukungan
pola pemukiman penduduk yang menakjubkan; (2) Omo ni folasara atau
omo sebua yang unik sehingga menarik begitu banyak perhatian dunia; (3)
Batu-batu megalit tinggalan sejarah desa ini; (4) Tarian-tarian kolosal yang
bersifat heroik. Faktor-faktor tersebut ikut andil dalam pembentukan atraksi
hombo batu sebagai paket yang menarik dan sangat layak untuk “dijual”
menjadi komoditi dalam bidang pariwisata budaya.
2. Pergeseran bentuk hombo batu dari bambu runcing ke tanah liat hingga
pada bentuk akhirnya saat ini yakni batu bersusun setinggi lebih dari dua
meter, ternyata semakin menarik perhatian pencinta pariwisata budaya.
Bahkan, atraksi lompat batu ini ketika dipertunjukan di luar Nias, telah
mengalami pergeseran lagi. Batu bersusun asli yang terdapat di kampungkampung tradisional di Nias Selatan tidak mungkin dibawa karena bobot
dan volumenya sangat besar. Oleh karena itu, setiap pertunjukan di luar
desa adat, pengganti batu bersusun tersebut adalah kayu atau tripleks yang
dibentuk serupa dengan lompat batu asli di desa-desa adat di Nias Selatan.
125
126
3. Pergeseran fungsi dan makna hombo batu yang justru menjauh dari logika
dan akal sehat, seperti “Pemuda Nias tidak boleh menikah kalau belum
berhasil melompat batu” atau “Pemuda Nias dianggap belum dewasa
apabila belum dapat melompat batu”. Para tetua adat di Nias Selatan tidak
sependapat dengan arti “filosofis-baru” dari hombo batu ini. Oleh sebab itu
mereka meluruskan bahwa pada mulanya lompat batu adalah sebagai sarana
untuk tolok ukur bagi pemuda di setiap desa di daerah Teluk Dalam agar
terpilih sebagai prajurit perang dalam rangka mempertahankan desanya.
Namun, justru dari pernyataan-pernyataan yang kurang jelas sumbernya itu,
membuat para calon turis menjadi penasaran untuk menyaksikan atraksi
hombo batu ini. Justru, bersumber dari ketiadaan masuk akal filosofis yang
digaungkan ini, atraksi hombo batu semakin mencuat ke permukaan untuk
dijadikan alat komodifikasi oleh karena semakin banyak orang yang tertarik
dengan hal-hal unik ini.
4. Meskipun hombo batu semakin dikenal di seantero dunia, ternyata tidak
dibarengi oleh komponen-komponen pendukung pariwisata lainnya. Omo
sebua yang menjadi salah satu daya tarik di Desa Bawömataluo ini,
keadaan fisik bangunan justru semakin menuju ke ambang musnah. Apabila
tidak dilakukan perawatan dan perbaikan segera, sangat terbuka
kemungkinan bahwa omo ni folasara ini akan menjadi tinggal kenangan
saja. Aksesibilitas juga kurang diperhatikan. Beberapa ruas jalan menuju
Desa Bawömataluo rusak dan terdapat beberapa lubang yang sangat
membahayakan orang-orang yang berkendara. Fasilitas lain seperti
127
ammenities masih sangat minim bahkan belum tersedia akomodasi, restoran
maupun fasilitas penunjang lainnya di desa wisata ini.
5. Komodifikasi hombo batu di Desa Bawömataluo berdampak sosial
ekonomi yakni: (1) Dampak terhadap pendapatan masyarakat, dimana
pendapatan masyarakat menjadi bertambah secara finansial melalui
perolehan honor ketika melakukan atraksi lompat batu, pelaku atraksi seni
musik dan tari-tarian tradisonal, para anggota sanggar budaya, serta orangorang yang menjajakan souvenir kepada turis. (2) Dampak terhadap
kesempatan kerja, dimana dengan kunjungan wisata yang semakin
meningkat, selain membuka peluang kerja bagi anggota sanggar budaya
untuk berkarya, juga bagi guide lokal, para pekerja seni pahat, pembuatan
pakaian khas Nias Selatan, para supir angkutan umum dan tukang ojek. (3)
Dampak terhadap pembangunan pada umumnya, dimana dengan semakin
dikenalnya Desa Bawömataluo sebagai pusat atraksi hombo batu, maka
memicu pemerintah daerah untuk tergerak memajukan dan mendukung
perkembangan tersebut dengan membuka akses jalan yang semakin nyaman
ditambah fasilitas penunjang lainnya.
6. Komodifikasi atraksi hombo batu juga berdampak pada aspek kehidupan
sosial budaya, yakni: (1) Dampak pada ritme kehidupan sosial masyarakat,
dimana akulturasi budaya antara warga desa dengan turis, masyarakat
setempat mengalami perubahan sikap ke arah komersil dan praktis. Para
pemuda desa juga banyak beralih profesi dari kebiasaan bertani membantu
orang tua di ladang, sekarang lebih memilih menjadi guide freelance, beach
128
boy atau pedagang souvenir. (2) Dampak terhadap stratifikasi dan mobilitas
sosial, dimana di era pariwisata dewasa ini, struktur sosial di daerah
Maenamölö secara umum, termasuk di Desa Bawömataluo terjadi
perubahan secara signifikan. Bukan hanya karena marga yang sulit
dibedakan antara si’ulu dengan sato, namun justru gelar akademik dan
kemampuan finansial lebih dominan dihargai dibandingkan dengan
stratifikasi sosial secara adat-istiadat. Perkawinan campur pun oleh
keturunan si’ulu terhadap warga biasa ataupun warga asing, kini sudah
menjadi hal yang lumrah. Salah satu faktor pemicunya adalah untuk
mencapai kesetaraan ekonomi. Sebab keturunan si’ulu masa kini tidaklah
sekaya nenek moyang mereka pada jaman dahulu. Padahal, jaman dulu,
perkawinan campur ini sangatlah pantang bagi kaum si’ulu. (3) Dampak
terhadap bidang kesenian dan adat istiadat, dimana dengan larisnya atraksi
hombo batu, mendorong para pemuda untuk memiliki rasa cinta dan bangga
akan budayanya sehingga membuat mereka bersemangat untuk merawat
dan melestarikan budaya tersebut.
8.2 Saran-Saran
Berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan ini,
maka penulis memberikan beberapa saran yang dapat dijadikan bahan
pertimbangan oleh berbagai pihak yang berkecimpung di dunia pariwisata,
khususnya mengenai hombo batu dan pariwisata budaya Nias Selatan:
1. Atraksi hombo batu sangat menarik perhatian berbagai kalangan. Melalui
beberapa pementasan di berbagai daerah di luar Nias, warisan leluhur Nias
129
Selatan ini menjadi terpromosikan sehingga semakin dikenal oleh masyarakat
Indonesia dan dunia sehingga dapat menimbulkan rasa penasaran untuk melihat
langsung hombo batu yang asli ini di Nias Selatan. Sebagai tuan rumah yang
baik (supply side), seharusnya masyarakat Nias Selatan siap menyambut para
calon wisatawan ini dengan menyediakan sarana dan prasarana yang memadai
sehingga ketika wisatawan berkunjung ke Nias Selatan, mereka merasa senang
dan puas berkunjung ke sana. Kepuasan wisatawan, akan menimbulkan rasa
ingin kembali berkunjung sebab wisatawan tersebut memperoleh pengalaman
yang memorable, yakni pengalaman menyenangkan yang sulit dilupakan.
Sebaliknya, ketidakpuasan konsumen (wisatawan) akan berdampak pada
berkurangnya keinginan wisatawan untuk berkunjung (lagi) ke destinasi wisata
tersebut. Warga Nias Selatan, terkhusus Desa Bawömataluo seharusnya dapat
memanfaatkan daya tarik wisata di desa ini dengan membenahi beberapa
infrastruktur dan mengatur strategi untuk menarik lebih banyak wisatawan
berkunjung ke Desa Bawömataluo.
2. Komponen-komponen pariwisata yang menunjang hendaknya terus jadi
perhatian pemerintah daerah setempat. Sebab standar pemenuhan komponenkomponen pariwisata di Nias Selatan masih sangat minim. Daya tarik
(attractions) yang terus dikemukakan tidak akan banyak faedahnya apabila
tidak didukung oleh accessibility yang memadai. Misalnya, kendaraan dari
Teluk Dalam ke Gunung Sitoli sangat sulit dicari dan sering kali sarat muatan
sehingga tidak nyaman bagi pengunjung dari luar pulau Nias. Akses jalan
menuju Desa Bawömataluo juga perlu perbaikan yang mendesak sebab banyak
130
ruas jalan yang berlubang dan rusak yang sangat membahayakan pengguna
jalan, termasuk wisatawan yang berkunjung ke sana.
3. Komponen pariwisata yang penting lainnya adalah Ammenities yang
mendukung daya tarik destinasi wisata, ternyata masih sangat minim. Perlu
dukungan pemerintah daerah setempat untuk mendorong investor dalam
membangun akomodasi yang layak huni dan juga mendorong masyarakat
setempat untuk mandiri dan berwira usaha yang berkaitan dengan kebutuhan
wisatawan seperti rumah makan, sarana olah raga, dan berbagai sarana hiburan
lainnya.
4. Perlu memberdayakan jiwa-jiwa pemuda yang kreatif untuk lebih baik dalam
berkarya. Penulis melihat bahwa barang-barang yang diperjualbelikan seperti
patung dan beberapa peralatan khas tradisional Nias Selatan yang dibuat secara
miniatur, kualitasnya kurang bagus dan kurang rapi dibandingkan dengan
beberapa souvenir sejenis yang dapat kita jumpai di berbagai daerah tujuan
wisata lainnya. Mengingat persaingan antar daerah tujuan wisata semakin ketat
dan bersifat global. Sebab, dari sisi pemasaran, selain pelayanan yang
memuaskan, kualitaslah yang menentukan keberlanjutan produk yang
ditawarkan.
5. Agar tradisi mowewewö dan manoso tidak punah, hendaknya pemerintah
setempat mengakomodir semua kerajinan yang dihasilkan oleh para wanita di
Nias Selatan dengan memberikan imbalan yang setimpal. Kalau atraksi manoso
misalnya dijadikan suatu paket kunjungan wisata, pasti akan memberikan
131
banyak manfaat terhadap kesejahteraan masyarakat setempat, sekaligus
mendorong mereka berkreasi lebih baik lagi.
6. Kiranya masyarakat lokal dan pemerintah daerah setempat (community
involvement) saling bersinergi dalam mendukung pengembangan pariwisata di
daerah Teluk Dalam, Nias Selatan ini. Bila dilakukan secara bahu-membahu,
saling mendukung, tidak menutup kemungkinan bahwa Nias Selatan akan
kembali ke slogan yang pernah dilontarkan pada era Visit Indonesia Year 1991
sebagai “Nusa Indah Andalan Sumatera (NIAS)” dengan sektor pariwisata
sebagai primadona.
Download