bab i pendahuluan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Dermaga merupakan salah satu fasilitas di pelabuhan yang memiliki fungsi
sebagai tempat kapal merapat dan bertambat sehingga mempermudah kegiatan
perpindahan barang dan penumpang. Dalam perencanaan pembangunan dermaga harus
memperhitungkan faktor-faktor yang akan mempengaruhi kestabilan bangunan dermaga
serta keamanan kapal-kapal yang berlabuh, faktor-faktor tersebut adalah angin,
gelombang dan pasang surut (Triatmodjob, 2003). Pasang surut menjadi faktor yang
harus diperhitungkan karena kejadiannya yang bersifat periodik dan pasti mempengaruhi
bangunan dermaga, baik pada saat persiapan, pembangunan maupun pemakaian. Produk
pasang surut yaitu highest high water level (HHWL) merupakan komponen dasar dalam
perhitungan design water level (DWL) untuk menentukan nilai elevasi dermaga. Nilai
HHWL ditentukan berdasarkan pengamatan pasang surut selama minimal 15 hari,
dimana data pasang surut 15 hari dianggap telah mencakup satu siklus pasang surut yaitu
pasang purnama hingga pasang perbani (Triatmodjoa, 2003). Di Indonesia sendiri
pengamatan pasang surut untuk keperluan praktis seperti perencanaan bangunan pantai
hanya dilakukan selama 15 piantan (seri pendek) atau 29 piantan (seri panjang)
(Poerbandono dan Djunarsjah, 2005).
Pasal 8 ayat 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 tahun 2009
tentang kepelabuhan menegaskan bahwa Menteri menetapkan rencana induk pelabuhan
termasuk didalamnya hal pengoperasian pelabuhan secara aman untuk jangka waktu 20
tahun. Selanjutnya setelah periode tersebut akan dilakukan pengontrolan setiap 5 tahun
sekali. Berdasarkan uraian di atas maka dalam perencanaan pembangunan dermaga di
Indonesia, data pasut dengan lama pengamatan 15 hari atau 30 hari dianalisis harmonik
dan dihitung nilai HHWL nya sehingga didapat nilai elevasi dermaga yang dinyatakan
aman untuk jangka waktu panjang. Kontrol keamanan elevasi dermaga merupakan nilai
1
2
HHWL dari data pasut hasil prediksi hingga jangka waktu panjang. Suatu dermaga
dinyatakan aman jika tidak tergenang air laut, dan menurut standar kriteria desain
pelabuhan Indonesia (1984) batas aman tinggi HHWL adalah maksimal 30 cm di bawah
lantai dermaga yang nilainya bereferensi terhadap MSL.
Tinggi air pada pengamatan pasut merupakan resultan dari berbagai gelombang
(konstanta pasut) yang dominan dibangkitkan akibat adanya gaya gravitasi bumi dengan
bulan dan matahari. Benda-benda langit tersebut masing-masing bergerak dengan
siklusnya yang membentuk pola harmonik sederhana dengan periode yang tetap (NN.,
2010 dalam Perbani, 2010). Jika periode suatu konstanta pasut tetap maka frekuensinya
juga tetap, sedangkan yang selalu berubah adalah nilai amplitudo dan fasenya. Sebagai
data diskret, data pasut akan membatasi konstanta pasut yang dapat dianalisis. Panjang
pengamatan pasut memegang peranan penting dalam analisis harmonik sehingga dapat
memisahkan konstanta-konstanta pasut satu sama lain dengan baik. Namun jika
ketersediaan data pengamatan pasut hanya dalam periode pendek, maka jumlah
konstanta pasut yang dapat dianalisis sedikit. Selanjutnya dalam
perhitungan
prediksinya pun hanya akan melibatkan konstanta-konstanta pasut yang nilainya masih
terkontaminasi oleh energi konstanta pasut lain yang tidak terwakili (Perbani, 2010).
Data hasil prediksi tidak akan bisa merekonstruksi kejadian-kejadian
yang
mempengaruhi tinggi pasut selama jangka waktu panjang, karena data masukannya
merupakan data tidak stabil yang hanya menggambarkan fenomena pembangkit pasut
pada periode pendek seperti fraksi setengah bulan atau satu bulan.
Penggunaan data pasut periode pendek untuk penentuan elevasi dermaga
sebelumnya pernah dilakukan. Elevasi dermaga dihitung berdasarkan nilai high water
spring (HWS) dari data pengamatan pasut selama satu tahun. Sedangkan sebagai kontrol
keamanannya adalah nilai perkiraan kenaikan muka air laut dan nilai HWS pada tiga
tahun ke depan yang didapat dari data pasut hasil prediksi (Rachmayanti, dkk, 2011).
Namun demikian, data pasut hasil prediksi tidak diuji keandalannya sehingga tidak
diketahui apakah nilai HHWL yang digunakan sebagai kontrol keamanan sudah benar.
3
Sehubungan dengan itu maka perlu adanya penelitian mengenai pengaruh periode data
pasut terhadap hasil nilai elevasi dermaga dan nilai HHWL sebagai kontrol
keamanannya.
Penulis dalam penelitian ini membandingkan nilai HHWL dari masing-masing
data pasut berbeda periode pengamatan dengan nilai elevasi dermaga yang dihasilkan.
Data pasut dikelompokkan menjadi lima kelompok berdasarkan periode pergerakan
bumi, bulan, dan matahari, yaitu 15 hari, 30 hari, 1 tahun, 8,85 tahun, dan 18,6 tahun.
Nilai HHWL merupakan hasil penjumlahan nilai muka air laut rerata dan amplitudo
konstanta utama pasut yang didapat dari analisis harmonik dan prediksi pasut dengan
metode least square. Nilai konstanta pasut dari data pasut hasil prediksi dianalisis
tingkat presisinya terhadap nilai konstanta pasut dari data pengamatan asli menggunakan
uji statistik. Dari proses tersebut maka diketahui apakah data pasut periode pendek dapat
digunakan untuk penentuan nilai elevasi dermaga yang aman serta periode data pasut
yang optimal untuk melakukan prediksi jangka panjang.
Berkenaan dengan pelaksanaan penelitian tersebut, kelengkapan data pasut dengan
lama pengamatan minimal 18,6 tahun sangat dibutuhkan. Stasiun pasang surut Jepara
milik Badan Informasi Geospasial (BIG) yang terletak di 6˚35’30” LS, 110˚38’51” BT
merupakan salah satu stasiun pasut yang memiliki data pasut dengan lama pengamatan
selama 20 tahun terhitung dari tahun 1994. Selain karena ketersediaan data pasut dengan
lama pengamatan yang panjang, area perairan Jepara dipilih sebagai lokasi penelitian
karena sekitar 120 meter ke barat dari stasiun pasut Jepara terdapat dermaga Pantai
Kartini yang berfungsi khusus sebagai dermaga kapal ferry. Dermaga tersebut
merupakan dermaga skala regional yang penting peranannya dalam bidang transportasi
laut dan perekonomian di pulau Jawa.
I.2 Rumusan Masalah
Data pasut periode pendek merupakan data pasut yang tidak stabil, karena tidak
semua pengaruh fenomena pergerakan benda-benda langit terkandung di dalamnya.
Selain itu nilai amplitudo konstanta pasut hasil analisis harmoniknya masih tercampur
4
dengan nilai konstanta pasut lain yang tidak dapat dipisahkan. Sedangkan untuk
kepentingan praktis khususnya perencanaan bangunan dermaga, data pasut periode
pendek biasa digunakan untuk mengitung nilai HHWL dalam penentuan elevasi
dermaga sekaligus sebagai nilai kontrol keamanannya untuk jangka waktu panjang.
Berdasarkan uraian rumusan masalah di atas maka dalam penelitian ini ditentukan
beberapa pertanyaan ilmiah sebagai berikut:
1.
Bagaimana pengaruh periode pengamatan pasut berdasarkan sistem
pergerakan bumi, bulan, dan matahari terhadap nilai MSL dan amplitudo
konstanta pasut serta data pasut hasil prediksinya ?
2.
Bagaimana hubungan nilai HHWL dari data pasut periode 15 hari, 30 hari, 1
tahun, 8,85 tahun dan 18,6 tahun dan prediksinya selama 18,6 tahun terhadap
nilai elevasi dermaga yang dihasilkan ?
3.
Berapa lama periode data pasut yang optimal untuk prediksi data pasut
selama 18,6 tahun?
I.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.
Menganalisis pengaruh lama pengamatan data pasut berdasarkan sistem
pergerakan bumi, bulan dan matahari terhadap nilai MSL dan amplitudo
konstanta pasut serta data pasut hasil prediksinya.
2.
Menganalisis hubungan nilai HHWL dari masing-masing kelompok data
pasut berdasarkan pergerakan bumi, bulan, dan matahari dan data pasut
prediksinya selama 18,6 tahun terhadap nilai elevasi dermaga yang
dihasilkan.
3.
Menentukan periode data pasut yang optimal untuk prediksi pasut selama
18,6 tahun ke depannya.
5
I.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang didapat dari penelitian ini adalah dihasilkan evaluasi perbandingan
nilai elevasi muka air laut acuan dan nilai elevasi dermaga dari kelompok data prediksi
dengan kelompok data asli pengamatan 18,6 tahun. Diharapkan hasil penelitian ini dapat
dijadikan salah satu bahan pertimbangan pembuatan kebijakan khususnya dibidang
rekayasa mengenai perencanaan pembangunan bangunan pantai di daerah perairan
Jepara dan sekitarnya.
I.5 Batasan Masalah
Batasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.
Data pasang surut yang digunakan adalah data pasang surut di perairan
Jepara selama periode 19 tahun dari tahun 1994 sampai tahun 2012 yang
sudah divalidasi oleh BIG.
2.
Pengolahan data pasang surut menggunakan metode least square dan tanpa
ada proses interpolasi pada data kosong.
3.
DWL ditentukan berdasar HHWL dan nilai SLR (sea level rise) global
dengan tidak memperhitungkan nilai storm surge atau wind set-up.
4.
Nilai batas keamanan elevasi dermaga sesuai dengan kriteria desain
pelabuhan Indonesia (1984) untuk dermaga yang melayani kapal kecil.
I.6 Tinjuan Pustaka
Penelitian dengan topik yang hampir serupa telah pernah dilakukan yaitu,
Rachmayanti, dkk (2011) melakukan penelitian mengenai penentuan HWS (High Water
Spring) dengan menggunakan komponen pasut untuk penentuan elevasi dermaga.
Penelitian tersebut menggunakan data pasut perairan Teluk Lamong dengan periode satu
tahun selama tahun 2007. Data pasut diolah dengan metode least square menggunakan
software WXTide 32 dan Qinsy 7.5, sehingga menghasilkan nilai amplitudo delapan
komponen pasut yaitu M2, S2, N2, K1, O1, MS4, dan M4 dengan M2 dan K1
merupakan komponen yang lebih mendominan dibandingkan dengan komponen yang
6
lain. Nilai amplitudonya sebesar 42,4 cm untuk komponen M2 dan 41,5 cm untuk
komponen K1. Pada penelitian tersebut elevasi muka air laut yang dipilih sebagai acuan
adalah HWS dengan nilai sebesar 2,884 meter. Prediksi elevasi air laut juga dilakukan
untuk periode tahun 2010, pada data prediksi tahun 2010 didapatkan nilai HWS sebesar
283,4 cm, dari nilai tersebut dapat diketahui bahwa terjadi penurunan sebesar 5 cm
apabila dibandingkan dengan HWS tahun 2007. Elevasi dermaga ditentukan sesuai
Standar Kriteria Desain untuk Pelabuhan Indonesia (1984) dan mengacu pada peta
batimetri area rencana dermaga dengan kedalaman yang dikehendaki sebesar 20 meter.
Elevasi dermaga dihitung menggunakan nilai HWS tahun 2007 dengan tidak
memperhitungkan nilai storm surge dan kenaikan muka air laut (sea rise level) akibat
pemanasan global, sehingga elevasi dermaga yang dihasilkan adalah 4,884 meter.
Berdasarkan hasil nilai HWS data prediksi pasut tahun 2010 serta nilai perkiraan
kenaikan muka air laut pada tahun 2050 yaitu sebesar 0,25-0,5 meter, maka nilai elevasi
dermaga yang dihasilkan masih berada di batas aman, karena lantai dermaga tidak
mengalami banjir saat terjadi pasang tinggi.
Selain itu terdapat beberapa penelitian lainnya mengenai analisis pasang surut laut
yang dijadikan sebagai rujukan sekaligus pembanding diantaranya adalah, Sinaga (2010)
dengan penelitiannya yang bertema analisis perbandingan antara data pasut dan prediksi
pasut untuk pendefinisian LAT. Penelitian tersebut menggunakan data pasut selama
tahun 1985-2003 dari empat stasiun pasut yaitu, stasiun pasut pulau Christmas, stasiun
pasut Perancis, stasiun pasut Galveston, dan stasiun pasut Guam. Koreksi data meliputi
koreksi spike dan koreksi data kosong.
Koreksi data kosong dilakukan dengan
interpolasi menggunakan metode polynomial derajat enam dan sesuai toleransi BIG
yaitu, panjang data kosong yang diperbolehkan diinterpolasi tidak lebih dari 24 jam.
Proses prediksi pasut dilakukan dengan metode least square menggunakan data pasut
selama satu tahun pertama untuk memprediksi tinggi muka air laut selama 18,6 tahun
kedepannya. Nilai LAT ditentukan dengan cara mencari nilai terendah dari keseluruhan
data disetiap set data, hasilnya dapat dilihat pada tabel I.1.
7
Tabel I.1 Nilai LAT data pengamatan dan data prediksi empat stasiun pasut
Stasiun Pasut
Data Pengamatan
Data Prediksi
Periode
LAT (cm)
Periode
LAT (cm)
Pulau Christmas
1985-2003
-9
1986-2004
171
Prancis
1985-2003
204
1986-2004
356
Galveston
1985-2003
240
2001-2019
949
Guam
1985-2003
-204
2001-2019
217
Sumber: Sinaga, 2010
Hermawan (2012) melakukan penelitian tentang pengaruh pengamatan data dan
kualitas data tinggi muka air laut terhadap hasil prediksi amplitudo dan datum pasut.
Data yang diolah adalah data pasut dari stasiun pasut Bekapai, Delta Mahakam,
Kalimantan Timur periode 1 Januari 2010 hingga 31 Desember 2010. Data tersebut
dipecah menjadi sembilan kelompok data yaitu, data utuh satu tahun, data enam bulan,
data tiga bulan, tiga kelompok data satu bulan, dan tiga kelompok data 15 hari. Masingmasing kelompok data digunakan untuk memprediksi tinggi muka air laut selama satu
tahun di tahun yang sama dengan metode least square, data prediksi dianalisis kembali
untuk mendapatkan nilai amplitudo beserta kesalahannya yang selanjutnya digunakan
dalam penentuan nilai MLWS, MHWS, HAT, dan LAT. Untuk mengetahui pengaruh
data dan kualitas data maka data pengamatan satu tahun diberi kesalahan berupa data
kosong dan data spike, lalu dilakukan prediksi dan diolah lagi untuk mendapatkan nilai
konstanta pasut, kesalahan amplitudo, dan nilai datumnya. Hasil penelitian tersebut
dapat dilihat ditabel I.2. Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah nilai variansi dari
hasil prediksi pasut bergantung pada jumlah data yang digunakan, semakin panjang data
dan kualitasnya baik dalam hal ini kecilnya jumlah data kosong dan data spike maka
semakin kecil nilai varian yang dihasilkan.
8
Tabel I.2 Nilai datum dan variansi dengan tiga pengaruh
Datum
Pengaruh Panjang data
Pengaruh Data Kosong
Pengaruh Data Spike
dan
(Periode)
(Prosentase)
(Prosentase)
Variansi
1
1
15
(meter)
Tahun
Bulan
Hari
Variansi
0,0085
0,047
MLWS
2,576
MHWS
7%
0,8%
0,03%
6%
3%
0,25%
0,06
0,0086
0,0086
0,0085
0,0086
0,0085
0,0085
2,553
2,570
2,585
2,578
2,575
2,585
2,594
2,553
2,285
2,307
2,291
2,296
2,267
2,267
2,296
2,281
2,275
HAT
3,839
3,725
3,770
3,843
3,839
3,839
3,840
3,840
3,840
LAT
1,349
1,387
1,332
1,357
1,348
1,350
1,348
1,349
1,348
Sumber: Hermawan, 2012
Rachmadi (2011) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Kualitas Data Pasut
untuk Pendifinisian Chart Datum” menganalisis kualitas data pasang surut di enam
stasiun pasut milik BIG yaitu stasiun pasut Batam, Cilacap, Lembar, Mahalayati,
Tarakan dan Sorong. Data pasut tersebut merupakan data pengamatan selama tahun
2000. Data pasut diolah menggunakan pendekatan grafik untuk pengecekan kesalahan
data spike dan offset, analisis metode kuadrat terkecil dan prediksi menggunakan
aplikasi T-Tide. Hasil penelitian tersebut adalah data dari tiga stasiun pasut yaitu stasiun
pasut Cilacap, Malahayati, dan Sorong tidak lolos proses kontrol kualitas data, ini
dikarenakan terdapat data kosong lebih dari 24 jam. Tiga stasiun pasut sisanya yang
datanya memenuhi kontrol kualitas data yaitu stasiun pasut Batam, Lembar dan Tarakan,
masing-masing dilakukan analisis konstanta pasut dan menghasilkan 70 komponen pasut
yang selanjutnya digunakan untuk prediksi. Hasil prediksinya dinyatakan memiliki
akurasi persebaran data yang baik, karena nilai RMS nya mendekati nol yaitu, 0,027
meter untuk stasiun pasut Batam, 0,031 untuk stasiun Lembar, dan 0,027 untuk stasiun
Tarakan.
Penelitian yang dilakukan oleh penulis mengambil lokasi penelitian di perairan
Jepara, data yang digunakan adalah data pasut stasiun pasut Jepara milik BIG dengan
9
panjang periode data dari tahun 1994 – 2012. Data tersebut dibagi menjadi empat
kelompok data pengamatan dan prediksi yaitu kelompok data 30 hari, satu tahun, 8,85
tahun, dan 18,6 tahun. Kontrol kualitas data meliputi koreksi data kosong, koreksi offset,
dan koreksi data spike menggunakan uji statistik dengan tingkat kepercayaan 2σ. Metode
hitungan yang dipakai adalah metode least quare untuk mendapatkan nilai HHWL dari
masing-masing kelompok data yang selanjutnya digunakan untuk menghitung elevasi
dermaga. Hasil hitungan berupa nilai komponen pasut dan elevasi muka air laut acuan
dari masing-masing kelompok data dibandingkan dan ditarik kesimpulan tentang
pengaruh periode dan kualitas data pasut terhadap nilai elevasi dermaga yang dihasilkan.
I.7 Landasan Teori
I.7.1 Pasang Surut Laut
Pasang surut merupakan pergerakan permukaan air laut secara periodik yang
memiliki hubungan fase dan amplitudo terhadap periode gaya geofisik (International
Oceanographic Comission, 1985). Tinggi muka air laut pada peristiwa pasang surut
merupakan resultan dari berbagai gelombang yang dominan dibangkitkan akibat adanya
pengaruh variasi gaya gravitasi benda langit khususnya bulan dan matahari terhadap
pergerakan reguler bumi dan bulan serta sistem bumi dan matahari. Faktor-faktor nonastronomi seperti konfigurasi garis pantai, kedalaman lokal air laut, topografi dasar laut,
dan pengaruh hidrografi serta metereologi lainnya juga memiliki peran penting dalam
mengubah range dari pasut, interval waktu antara air tinggi dan air rendah, dan waktu
kedatangan gelombang (NOAA, 2007).
Peristiwa pasang surut laut sebenarnya telah dipelajari sejak lama. Pada tahun
1687, Sir Isaac Newton menggunakan teori equilibrium pasang surut untuk menjelaskan
respon dari laut di permukaan bumi terhadap pengaruh gaya gravitasi bulan dan
matahari (de Jong, et all, 2010). Teori equilibrium menolak bentuk, kedalaman dan
konfigurasi dari basin, pergeseran, massa tanah, inersia dari massa air, dan gaya koriolis.
Teori equilibrium mengasumsikan bumi dalam kondisi yang ideal dengan asumsi
sebagai berikut :
10
1. Bumi berbentuk bola.
2. Permukaan bumi seluruhnya diselimuti oleh air dengan densitas dan
kedalaman yang sama.
3. Bumi mengitari matahari dengan kecepatan konstan serta orbit berbentuk
lingkaran.
4. Bidang orbit bumi mengelilingi matahari berimpit dengan bidang equator
bumi.
Teori equilibrium atau teori pasut setimbang ini mampu memberikan gambaran
fenomena pasut secara kualitatif namun belum bisa untuk meramalkan pasut secara
kuantitatif. Maka untuk menjelaskan fenomena terjadinya pasang surut yang lebih real
dikembangkan teori gaya pembangkit pasut laut.
Sir Isaac Newton menyatakan bahwa matahari dan bulan membangkitkan medan
gaya di sekeliling bumi, dimana arah dan besarnya gaya berubah-ubah secara periodik
sesuai dengan posisi kedua benda langit (bulan dan matahari) terhadap bumi. Gaya-gaya
inilah yang membangkitkan pasut laut dan disebut gaya pembangkit pasut (GPP) (de
Jong, et all, 2010). Gaya pembangkit pasut terdiri dari dua gaya yaitu gaya gravitasi
bulan dan gaya sentrifugal sebagai gaya penyeimbang.
Hukum Newton tentang gravitasi universal menyatakan bahwa gaya gravitasi
antara dua benda berbanding lurus dengan massanya dan berbanding terbalik dengan
kuadrat jarak antar dua benda tersebut. Hukum newton tersebut secara matematik
dinyatakan melalui rumus I.1 (de Jong, et all, 2010) :
…………………………………………………………………... (I.1)
Keterangan rumus :
Fg
: magnitude gaya gravitasi
G
: konstanta gravitasi universal (6,6725985 . 10-11 m3kg-1s-2)
m1 dan m2 : besar massa benda 1 dan benda 2
11
R
: jarak antara pusat massa kedua benda
Matahari 27 juta kali lebih besar dari bulan, tapi jarak matahari ke bumi 390 kali
lebih jauh dari jarak bulan ke bumi (NOAA, 2007). Berdasarkan rumus hukum newton
diatas dikombinasikan dengan hukum tentang dua benda langit yang bergerak bersama
terhadap pusat massa bersamanya maka dapat diketahui bahwa gaya pembangkit pasut
oleh matahari berkurang (59 juta kali) dibandingkan dengan gaya pembangkit pasut oleh
bulan, besarnya gaya pembangkit pasut yang dihasilkan oleh matahari adalah 46% dari
gaya pembangkit pasut oleh bulan, dengan kata lain magnitude gaya gravitasi bulan
lebih besar dibanding matahari sehingga dominan dalam membangkitkan pasut di bumi
dengan arah gayanya disetiap titik di permukaan bumi selalu menuju ke bulan.
Komponen gaya pembangkit pasut berikutnya adalah gaya sentrifugal, gaya ini
merupakan gaya penyeimbang. Gaya sentrifugal lebih besar dari gaya gravitasi dan
nilainya sama untuk setiap titik diseluruh permukaan bumi dengan arah gaya menjauhi
bulan. Besarnya gaya sentrifugal secara matematik dinyatakan dalam rumus I.2 (de
Jong, et all, 2010) :
…………………………………………………………………............ (I.2)
Keterangan :
Fs
: magnitude gaya sentrifugal
G
: konstanta gravitasi universal (6,6725985 . 10-11 m3kg-1s-2)
Mm : besar massa bulan
r
: jarak dari titik dipermukaan bumi ke pusat massa bulan
Selanjutnya besarnya nilai gaya pembangkit pasut dihitung menggunakan rumus
I.3 dan I.4 :
…………………………………………………………….. (I.3)
12
…………………………………………………………….. (I.4)
Pada rumus I.4 operasi hitungan menjadi minus dikarenakan komponen gaya
pembangkit pasut merupakan dua vektor yang berlawanan arah, untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada gambar I.1, dimana titik P merupakan suatu titik di permukaan bumi
dengan r merupakan jarak dari titik P ke pusat bulan, RE merupakan jari-jari bumi, dan
dM merupakan jarak dari pusat bumi ke pusat bulan.
Fs
Fg
Gambar I.1.Geometri pembangkit pasut di titik P dalam sistem bumi – bulan
(Sumber : dimodifikasi dari de Jong, et all, 2010)
Gaya pembangkit pasut menghasilkan dua pasang laut di dua sisi bumi yang
berbeda. Pasang yang dibangkitkan oleh gaya gravitasi bulan terletak di sisi bumi yang
dekat dengan bulan, sedangkan di sisi bumi sebaliknya atau yang jauh dari bulan juga
mengalami pasang yang dibangkitkan oleh gaya sentrifugal seperti yang ditunjukkan
pada gambar I.2.
13
Gambar I.2.Pasang dan surut dalam sistem bumi – bulan
(Sumber : de Jong, et all, 2010)
I.7.2 Gerakan Periodik Bulan, Bumi, dan Matahari
Posisi benda-benda langit yaitu bulan dan matahari terhadap bumi selalu berubahubah secara periodik. Variasi posisi tersebut merupakan akibat dari gerakan periodik
nya. Pada penelitian ini gerakan – gerakan periodik benda langit yang dibahas adalah
sebagai berikut :
1.
Revolusi bulan mengelilingi bumi. Periode bulan mengelilingi bumi sama
dengan periodenya untuk berotasi yaitu 29,5 hari (solar day) (Pugh, 1996).
Revolusi bulan pada orbitnya yang berbentuk ellips mengakibatkan variasi
posisi bulan terhadap bumi dan matahari yang disebut dengan fase bulan.
Fase pertama adalah fase bulan baru dan fase bulan mati. Waktu yang
dibutuhkan untuk mengalami fase bulan baru ke bulan baru selanjutnya atau
fase bulan mati ke bulan mati selanjutnya adalah 29,5 hari. Fase bulan baru
dan bulan mati merupakan posisi dimana bumi, bulan dan matahari terletak
pada satu garis seperti yang ditunjukkan pada gambar I.3. Fase bulan baru
mengakibatkan laut di permukaan bumi yang terdekat dan terjauh dari bulan
mengalami pasang tertinggi (spring tide), sekaligus surut tersurut di
permukaan bumi lainnya.
14
Gambar I.3.Fase bulan baru dan fase bulan mati (full moon)
(Sumber: de Jong, et all, 2010)
Fase berikutnya adalah fase seperempat bulan (quarter). Sebagaimana
ditunjukkan pada gambar I.4, pada fase ini posisi bulan – bumi – matahari
membentuk sudut 90˚ sehingga menghasilkan pasang perbani (neap tide).
Gambar I.4.Fase seperempat bulan
(Sumber: de Jong, et all, 2010)
Fase terakhir adalah fase dimana posisi bulan terletak diantara posisi bulan
baru dan seperempat bulan, fase ini dapat dilihat pada gambar I.5.
15
Gambar I.5.Fase bulan sabit
(Sumber: de Jong, et all, 2010)
2.
Revolusi bumi mengelilingi matahari. Waktu yang dibutuhkan bumi untuk
melakukan satu kali revolusi adalah 365.2564 hari (solar days) atau satu
tahun (Vernicek dan Krakiwsky, 1982). Bumi berevolusi pada bidang
orbitnya yang berbentuk ellips yang disebut dengan bidang ekliptik. Bidang
ini membentuk sudut (inklinasi) terhadap bidang equator sebesar 23,5˚.
Bidang orbit bumi yang berbentuk ellips menyebabkan posisi bumi selama
berevolusi bisa berada pada titik terdekat dengan matahari (perihelion) dan
titik terjauh dari matahari (aphelion) sebagaimana ditunjukkan pada gambar
I.6. Saat bumi berada di perihelion range pasut di bumi tinggi, sedangkan
ketika bumi berada di aphelion maka range pasut rendah (NOAA, 2003)
16
Gambar I.6.Gerakan tahunan bumi berevolusi
(Sumber: Vernicek dan Krakiwsky,1982)
3.
Gerakan presesi orbit bulan. Bidang orbit bulan mengalami pertubasi
sehingga titik perigee bulan tidak tetap pada posisi yang sama. Gerakan
presesi orbit bulan merupakan gerakan perputaran orbit bulan dimana titik
perigee bulan kembali ke titik perigee bulan yang semula dengan lama
periode 8,85 tahun (Pugh,1996). Ilustrasi gerakan presesi orbit bulan dapat
dilihat pada gambar I.7.
Bumi
Bulan
Perigee
Gambar I.7.Gerakan presesi orbit bulan
4.
Gerakan presesi nodal. Selain mengalami pertubasi, bidang orbit bulan
memiliki inklinasi terhadap bidang ekliptik bumi sebesar 5˚11’ (Mueller,
1969 dalam Vernicek dan Krakiwsky, 1982). Perpotongan antara bidang
orbit bulan dengan bidang ekliptik bumi diketahui sebagai titik nodal, dan
17
terjadi setiap 18,6 tahun sekali (Vernicek dan Krakiwsky, 1982), untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada gambar I.8.
Gambar I.8.Gerakan presesi nodal
(Sumber: Vernicek dan Krakiwsky,1982)
I.7.3 Konstanta Pasut laut
Konstanta pasut laut merupakan parameter bernilai yang menyebabkan terjadinya
peristiwa pasang surut laut. Konstanta pasut timbul akibat gaya tarik bulan dan matahari,
pengaruh geometri, dan bathimetri pantai. Persamaan I.5 menunjukkan hubungan antara
konstanta pasut terhadap tinggi muka air laut dalam model persamaan sinusoidal
(Rahmasari, 2012):
……………………………………………………….. (I.5)
Pada rumus I.5, yB adalah tinggi muka air laut saat t, AB adalah nilai amplitudo
konstanta pasut, ω adalah kecepatan sudut konstanta pasut, dan θ adalah beda fase dari
konstanta pasut. Konstanta-konstanta pasut masing-masing memiliki simbol, serta nilai
amplitudo dan fase yang nilainya berbeda-beda di setiap lokasi. Secara umum, konstanta
pasut utama yang timbul akibat gaya gravitasi bulan dan matahari dibagi menjadi tiga
yaitu :
1. Konstanta pasut diurnal, yaitu 1 kali pasang dan 1 kali surut dalam sehari.
2. Konstanta pasut semidiurnal, yaitu 2 kali pasang dan 2 kali surut dalam sehari.
18
3. Konstanta pasut periode panjang.
Selain tiga konstanta pasut utama tersebut, terdapat konstanta pasut perairan
dangkal yang timbul akibat pengaruh geometri dan bathimetri pantai yang berinteraksi
konstanta-konstanta pasut utama. Tabel I.3 menunjukkan daftar konstanta-konstanta
pasut dengan nilai kecepatan sudut dan periodenya yang selalu tetap.
Tabel I.3 Konstanta-konstanta pasut
Konstanta pasut
Semidiurnal
Principal Lunar (M2)
Principal Solar (S2)
Larger Lunar Elliptic (N2)
Luni Solar (K2)
Diurnal
Luni Solar (K1)
Principal Lunar (O1)
Principal Solar (P1)
Periode panjang
Diurnal Fortnightly (Mf)
Lunar Monthly (Mm)
Solar Semi Annual (Ssa)
Perairan dangkal
Shallow water semidiurnal (2SM2)
MNS2
Shallow water terdiurnal (MK3)
Shallow water overtides of principal lunar
(M4)
Shallow water quarter diurnal (MS4)
Kecepatan sudut
(derajat/jam)
Periode (jam)
28,9841
30,0000
28,4397
30,0821
12,42
12,00
12,66
11,97
15,0411
13,9430
14,9589
23,33
25,82
24,07
1,0980
0,5444
0,0821
327,82
661,30
2191,43
31,0161
27,4240
44,0250
11,61
13,13
8,18
57,9680
6,21
58,0840
6,20
Sumber: Ali, dkk 2004 dalam Rufaida, 2008
I.7.4 Periode Sinodik
Periode sinodik adalah panjang pengamatan yang diperlukan untuk memisahkan
dua buah konstanta pasut. Sebagai data diskret, maka data pasut akan membatasi
konstanta pasut yang dapat dianalisis, dimana pembatasannya bergantung pada nilai
frekuensi tertinggi, nilai frekuensi terendah, dan panjang data pengamatan. Panjang data
19
pengamatanlah yang memegang peranan penting dalam menentukan frekuensi terendah
dan resolusi untuk memisahkan konstanta-konstanta pasut satu sama lain.
Periode sinodik dapat ditentukan menggunakan persamaan I.6 :
……………………………………………………………………………………………………………………. (I.6)
Dimana:
T
: periode sinodik (jam)
ω1 dan ω2 : kecepatan sudut dari konstanta 1 dan konstanta 2 (derajat/jam)
Sebagai contoh konstanta M2 dan S2 memiliki beda frekuensi 0,0177308 rad/jam,
maka periode sinodiknya adalah 354,4 jam atau setara dengan 15 hari, dengan kata lain
dibutuhkan data dengan panjang data minimal 15 hari untuk memisahkan konstanta M2
dan S2. Selain konstanta pasut utama, biasanya nilai periode sinodiknya akan lebih lama
bahkan bisa hingga fraksi tahunan. Semakin kecil perbedaan frekuensi dua buah
konstanta, maka semakin panjang data yang diperlukan untuk memisahkan dua
komponen tersebut (Ali, dkk, 2004 dalam Banna, 2014).
I.7.5 Analisis Harmonik Pasut Metode Least square
Analisis harmonik pasut digunakan untuk menentukan amplitudo dan beda fase
konstanta-konstanta pasut terhadap keadaan pasut setimbang. Pada penelitian ini,
metode yang digunakan untuk analisis harmonik pasut adalah metode least square.
Metode least square adalah metode pendekatan yang dapat digunakan untuk regresi atau
pembentukan persamaan dari titik-titik data diskritnya, dan untuk analisis kesalahan
pengukuran. Konsep metode ini didasarkan pada pemaksaan suatu kondisi matematis,
yaitu jumlah kuadrat kesalahan dikalikan bobotnya adalah minimum, seperti yang
ditunjukkan pada persamaan I.7 :
Σv2 = min …………………………………………………………………………... (I.7)
Dengan v adalah residu pengamatan.
20
Analisis harmonik pasut metode least square menggunakan persamaan dasar
fungsi tinggi muka air
laut terhadap waktu, sebagaimana yang didefinisikan pada
persamaan I.8 (Soeprapto, 1993 dalam Banna, 2014):
…………………………………….. (I.8)
Keterangan :
x(t) : tinggi muka air saat t
v(tn) : residu
xo
: tinggi muka air rerata
t
: waktu
k
: jumlah konstanta
Ai
: amplitudo konstanta ke-i
ωi
: kecepatan sudut konstanta ke-i
gi
: beda fase konstanta ke-i
Persamaan I.8 kemudian diuraikan dengan sifat trigonometri sehingga menjadi
persamaan I.9:
…………... (I.9)
Jika dimisalkan:
, dan
…………………………………………….. (I.10)
Lalu disubstitusikan ke dalam persamaan I.9, hasilnya menjadi persamaan I.11 yang
linear:
………………………. (I.11)
21
Keterangan :
Ar dan Br : konstanta pasut ke-i
tn
: waktu pengamatan (tn = -n, n+1, n; tn = 0 adalah waktu tengah-tengah
pengamatan)
Tinggi muka air laut hasil hitungan (x(t)) dengan persamaan I.8 akan mendekati
tinggi muka air pengamatan (x(tn)) jika :
…………………………………………. (I.12)
Persamaan I.12 kemudian diturunkan terhadap Ari, Bri dan xo, sehingga:
,
,
dengan i = 1, 2, …., k ……………………………….. (I.13)
Berdasarkan hubungan persamaan di atas maka dapat ditentukan nilai xo, Ar dan
Br melalui tahapan dengan prinsip metode least square berikut :
1. Menentukan persamaan observasi yaitu persamaan tinggi muka air laut,
L = AX
2. Menetukan persamaan koreksi, V = (AX) – L
3. Menghitung nilai parameter, X = (ATPA)-1 ATPL
Sehingga persamaan observasinya dapat ditulis :
………….. (I.14)
Berikut merupakan desain matrik dalam analisis harmonik pasut metode least
square (Rachmadi, 2011):
1. Matrik A merupakan matrik koefisen yang mana merupakan hasil limearisasi
persamaan observasi.
22
1 cos1t1 sin 2 t1  cos k t1 sin 1t1  sin  k t1
1 cos t sin t  cos t sin  t  sin  t
1 1
2 1
k 1
1 1
k 1

n Ak 



1 cos1t n sin 2 t n  cos k t n sin 1t n  sin  k t






2. Matrik L merupakan matrik data pengamatan tinggi muka air laut.
3. Matrik X merupakan matrik parameter konstanta harmonik pasut
Nilai amplitudo konstanta pasut ditentukan dari persamaan I.10 sebelumnya:
,
…………………………………………………………………. (I.15)
Kemudian nilai beda fase juga ditentukan dari persamaan I.10 :
,
23
……………………………………………………………………….. (I.16)
I.7.6 Prediksi Pasut Metode Least square
Prediksi pasut bertujuan untuk meramalkan tinggi muka air laut di suatu lokasi
pada rentang waktu tertentu di masa mendatang. Dalam prediksi pasut diperlukan data
amplitudo dan beda fase dari konstanta-konstanta pembangkit pasut. Pada penelitian ini
prediksi pasut dilakukan menggunakan metode least square dengan persamaan I.17:
……………………………………… (I.17)
Keterangan :
x(t)
: tinggi muka air laut hasil prediksi
xo
: tinggi muka air laut rata-rata
N
: jumlah konstanta pasut
A
: amplitudo konstanta pasut
f
: faktor nodal (koreksi amplitudo)
ω
: kecepatan sudut konstanta pasut
t
: waktu
v
: argument astronomi
g
: beda fase
Dari persamaan I.17 dapat diketahui bahwa tinggi muka air laut hasil prediksi
sangat bergantung pada jumlah konstanta pasut yang digunakan dalam formula hitungan,
yang mana jumlah konstanta pasut bergantung pada panjang data pengamatannya.
Semakin panjang data pengamatan, maka semakin banyak konstanta pasut yang dapat
24
dihasilkan, semakin banyak pula konstanta pasut yang akan dilibatkan dalam formula
prediksi.
I.7.7 Data Pasut Laut Stasiun Pasut BIG Jepara
Data pasut merupakan data diskret, yaitu data deret waktu yang diamati dengan
interval tertentu (Perbani, 2010). Data tersebut didapat dari hasil pengamatan
menggunakan alat perekam pasut. Alat ini bisa berupa alat manual yaitu tide gauge,
maupun alat digital atau otomatis yang memanfaatkan sensor tertentu.
BIG atau Badan Informasi Geospasial memiliki 113 stasiun pasang surut yang
tersebar di seluruh Indonesia. Salah satu stasiun pasut milik BIG yang terdapat di pulau
Jawa adalah stasiun pasut Jepara. Stasiun pasut Jepara menggunakan alat perekam pasut
digital berupa floating gauge digital dengan merek OTT Thalimedes. Cara kerja floating
gauge pada dasarnya menggunakan sebuah tabung (tube) untuk memfilter air laut yang
masuk ke dalam tabung, kemudian di dalam tabung tersebut terdapat sebuah pelampung
sensitif yang dihubungkan dengan kawat baja yang melingkar pada sebuah katrol yang
akan mengkonversi gerakan naik turunnya pelampung akibat pasut menjadi gerakan
horizontal yang akan menggerakkan pen untuk mencatat tinggi muka air laut dalam
skala tertentu pada gulungan paper chart. Pada floating gauge digital, paper chart
digantikan dengan encoder digital yang merekam tinggi muka air laut dalam bentuk
angka digital.
Hasil alat perekam data pasut di stasiun pasut Jepara adalah data tinggi muka air
per menit dengan satuan centimeter. Selanjutnya data tersebut dilakukan validasi berupa
pembuangan data spike serta koreksi offset menggunakan software MGPS-DB
(Khasanah, 2014). Data yang sudah divalidasi akan memiliki interval waktu per jam dan
berbentuk matriks berdimensi 24 x 30, 24 merupakan jumlah jam dan 30 merupakan
jumlah hari yang bergantung pada bulan seperti yang ditunjukkan pada gambar I.9. Data
disimpan dengan format data umum atau “.DAT” serta format penamaan berupa “kode
stasiun pasut_bulan_tahun”, sebagai contoh nama data: “S0180101”.
25
Keterangan:
S018
: stasiun pasut Jepara
01
: bulan Januari
01
: tahun 2001
Gambar I.9.Data pasut stasiun pasut Jepara pada Januari 2001
I.7.8 Kontrol Kualitas Data Pasut
Setiap data hasil pengukuran pasti megandung kesalahan, termasuk data hasil
pengukuran pasut. Kontrol kualitas data pasut bertujuan untuk memverifikasi data
sehingga dapat terdeteksi kesalahan yang berupa offset, outliers atau spikes, serta
perubahan time series dari data pasut (SHOM, 2012 dalam Banna, 2014). Kesalahan
offset merupakan perbedaan tunggang pasut dalam satu paket data yang diakibatkan oleh
perbedaan nilai referensi tinggi. Kesalahan outliers atau spikes adalah kesalahan yang
berupa data melonjak sehingga keluar dari range data pasutnya. Perubahan time series
dari data pasut diakibatkan oleh adanya beberapa data kosong yang terletak di tengahtengah rentang data pengamatan.
26
Kontrol kualitas data dilakukan sebelum analisis harmonik metode least square.
Terdapat dua kontrol kualitas data pasut yang dilakukan pada penelitian ini:
1.
Kontrol kualitas data secara visual. Kontrol kualitas ini dilakukan dengan
mengintepretasi secara visual ada tidaknya kesalahan spike, kesalahan offset,
dan data kosong serta letak dari kesalahan tersebut pada kurva data
pengamatan. Khusus untuk kesalahan data kosong dideteksi dengan melihat
perubahan time series pada data secara langsung.
2.
Uji statistik. Uji statistik dapat mendeteksi kesalahan pada data berdasarkan
nilai simpangan bakunya. Nilai simpangan baku yang besar terhadap nilai
rata-rata data pengamatan, biasanya mengindikasikan terdapat kesalahan
pada data. Pada penelitian ini uji statistik dilakukan dua kali, yaitu saat
sebelum perataan dan setelah perataan. Kedua uji statistik tersebut berturutturut meliputi :
a.
Uji global dengan simpangan baku 2σ. Simpangan baku atau standar
deviasi dihitung untuk melihat seberapa presisi atau kedekatan data
pengamatan dengan rata-rata data. Selain mendeteksi letak kesalahan,
uji ini juga dapat langsung menghilangkan kesalahan yang berupa
kesalahan spike dengan cara menolak data yang berada diluar batas
berdasarkan tingkat kepercayaan tertentu yang diterapkan pada
simpangan
bakunya
menggunakan
kaidah
distribusi
normal.
Simpangan baku secara matematis dihitung menggunakan rumus I.18
(Sugiyono, 2007 dalam Banna 2014):
………………………………………………. (I.18)
Keterangan:
σ
: simpangan baku atau standar deviasi
Xi
: data pengamatan
27
: rata-rata dari data pengamatan
n
b.
: jumlah data pengamatan
Uji Signifikansi parameter dua metode dengan uji t (student). Uji t
(student) dapat digunakan untuk menguji dua buah nilai parameter dari
perataan dua metode untuk obyek yang sama. Prosesnya diawali
dengan penyusunan dua hipotesis, yaitu hipotesis awal (Ho) dan
hipotesis pembanding (Ha). Hipotesis awal akan diterima apabila
dipenuhi besaran kriteria pada persamaan (I.19) (Wolf, P. R. dan
Ghilani, C. D., 1997) :
…………………………………… (I.19)
Keterangan:
xIi
: parameter ke-i metode I
xIIi
: parameter ke-i metode II
σxIi
: simpangan baku parameter ke-i metode I
σxIIi : simpangan baku parameter ke-i metode II
t α,f
: sebaran fungsi t dari tabel t (student) dengan taraf uji (α) dan f
derajat kebebasan.
c.
RMS (root mean square)
Pada penelitian ini nilai RMS digunakan untuk melihat kecocokan
model prediksi yang baik dengan data pengamatan yang asli. Semakin
kecil nilai RMS maka model prediksi dinyatakan baik dan dapat
mendekati data pengamatan yang asli. Dalam hal ini nilai RMS
dihitung menggunkan rumus I.20 (Rahmasari, 2012):
……………………………………… (I.20)
28
Keterangan:
RMS
: nilai RMS (meter)
μ
: nilai rata-rata dari selisih antara data pengamatan dengan
data pasut hasil prediksi
yi
: selisih antara data pengamatan dengan data pasut hasil
prediksi
n
: jumlah data pasut
I.7.9 Aplikasi T-Tide
Aplikasi T-Tide merupakan aplikasi yang berisi program untuk mengolah data
pasut yang pertama kali dibuat oleh Mike G.G. Foreman dalam bahasa Fortran,
kemudian S. Lentz dan B. Beardsley mengkonversi kode tersebut ke dalam bahasa
Matlab, dan R. Pawlowicz kemudian melengkapinya dengan menambahkan perhitungan
yang kompleks. Fenomena pasut dalam aplikasi T-Tide dihitung dengan menggunakan
persamaan yang mengasumsikan pasut yang terjadi sebagai pasut setimbang, dan proses
analisis harmoniknya menggunakan metode least square.
Paket program T-Tide terdiri beberapa program berikut program yang digunakan
(Anggun, 2012 dalam Akbar, 2013) :
1.
Program analisis harmonik dan pendukungnya
a.
t_tide.m, untuk menghitung analisis pasut dari rangkaian waktu yang
nyata dan kompleks.
b.
t_predic.m, untuk menghitung prediksi pasut menggunakan hasil dari
program t_tide
c.
t_vuf.m, untuk menghitung koreksi nodal dan argumentasi astronomi.
d.
t_getconsts.m, mengekstrak berbagai macam data konstanta harmonik
(konstituen) berdasar file data dari paket program fortran.
e.
t_synth.m, untuk menentukan konstanta harmonic (konstituen) yang
digunakan dalam prediksi pasut.
2.
File dokumentasi
29
a.
t_readme.m, merupakan file yang berisi penjelasan mengenai paket
program t_tide
b.
t_error.m, penjelasan mengenai interval kepercayaan dan bagaimana
hal tersebut dapat dikembangkan
3.
File demonstrasi
a.
t_demo.m,
contoh
demo
penggunaan
program
t_tide
dengan
mengunakan data ketinggian di stasiun pasut Tuktoyuktuk.
4.
Data file pendukung
T_equilib.dat file yang berfungsi untuk menghitung amplitudo setimbang
dari konstanta harmonik utama sesuai lintang yang dimasukkan.
5.
Data program lainnya :
a.
Tide3.dat, berisi file data konstanta harmonik standar dari paket
analisis Institute of Ocean Sciences (IOS), file ini dibaca sekali dan
hasilnya tersimpan dalam struktur data dalam t_constituents.mat.
b.
t_equilib.dat file yang berisi faktor amplitudo A dan B.
c.
t_constituents.mat, berisi struktur data konstanta harmonik.
d.
t_example.mat, contoh data set ketinggian muka laut di stasiun pasut
Tuktoyuktuk.
I.7.10 Elevasi Muka Air Laut Penting
Data pasut menghasilkan nilai elevasi muka air laut yang penting untuk diketahui,
beberapa diantaranya dijadikan sebagai referensi tinggi dalam pengukuran atau datum
pasut, berikut penjelasan singkat mengenai jenis elevasi muka air laut penting yang
digunakan dalam penelitian ini (Triatmodjob, 2003):
1.
MSL (mean sea level) atau muka air rerata adalah muka air rerata antara muka
air tinggi rerata dengan muka air rendah rerata. Elevasi ini digunakan sebagai
referensi mutlak untuk elevasi di daratan.
2.
HHWL (highest high water level) atau muka air tinggi tertinggi adalah air
tertinggi pada saat pasang surut purnama atau bulan mati. Nilai HHWL
30
dihitung menggunakan persamaan I.21 (Ongkosono dan Suyarso, 1989 dalam
Nugraha, dkk, 2013):
(I.21)
Dengan:
So
: tinggi muka air laut rerata
A(M2), A(S2), … : nilai amplitudo konstanta M2, nilai amplitudo konstanta
S2, …
I.7.11 Dermaga
Dermaga menurut Bambang Triatmodjob (2003) didefinisikan sebagai “Suatu
bangunan pelabuhan yang digunakan untuk merapat dan menambatkan kapal yang
melakukan bongkar muat barang dan menaik-turunkan penumpang”.
I.7.11.1 Design Water Level (DWL)
Design Water Level (DWL) atau elevasi muka air laut rencana sebenarnya
merupakan hasil penjumlahan beberapa parameter yaitu pasang surut, tsunami, wave
setup, wind setup, dan kenaikan muka air laut global. Dalam pembuatan DWL, semua
parameter diatas dilibatkan dan dianggap terjadi dalam waktu yang bersamaan, namun
kemungkinan kejadian tersebut adalah sangat kecil. Sementara itu pasang surut
mempunyai periode 12 jam atau 24 jam, yang berarti dalam sehari bisa terjadi satu kali
atau dua kali pasang surut. Kemungkinan terjadinya kejadian air pasang surut ini sangat
besar, dengan demikian pasang surut merupakan faktor terpenting dalam menentukan
DWL.
DWL ditentukan berdasar pemilihan salah satu elevasi muka air laut dari data
pasang surut sebagai acuan dalam perencanaan. Dari beberapa definisi elevasi muka air
laut sebelumnya. HHWL biasa digunakan untuk menentukan elevasi puncak pemecah
gelombang, dermaga, panjang rantai pelampung penampbat dan sebagainya. Pemilihan
31
penggunaan HHWL sebagai referensi dalam hitungan bergantung pada ketersediaan data
pasang surut dalam pekerjaan. Dalam penelitian ini digunakan persamaan I.22 untuk
menentukan nilai DWL dengan tidak memperhitungkan storm surge atau wind-setup
karena keterbatasan data gelombang (Nugraha, dkk, 2013) :
…………………………………………………………… (I.22)
Keterangan:
DWL
: nilai elevasi muka air laut rencana (meter)
HHWL
: elevasi muka air laut acuan (meter)
SLR (sea level rise)
: kenaikan muka air laut akibat pemanasan global (mm/tahun)
I.7.11.2 Elevasi Puncak Dermaga
Bangunan dermaga harus mampu mengamankan gelombang air laut untuk
kelancaran maneuver kapal dan operasi pelabuhan. Elevasi puncak dermaga dihitung
berdasar DWL yang ditentukan dengan nilai HHWL untuk mengantisipasi air pasang
tinggi (Rachmayanti dan Yuwono, 2011). Elevasi dermaga bereferensi terhadap nilai
MSL setempat, sebagaimana ditunjukkan gambar I.10.
Nilai elevasi dermaga
HHWL
MSL
LLWL
Chart Datum
Gambar I.10.Sketsa nilai elevasi dermaga
Nilai elevasi dermaga dihitung menggunakan rumus I.23 :
………………………………………. (I.23)
32
keterangan:
DWL
: nilai elevasi muka air laut rencana (meter)
Clearence : tinggi jagaan menurut Standar Kriteria Desain Pelabuhan Indonesia (1984)
(meter)
I.8 Hipotesis
Elevasi dermaga yang dihitung berdasarkan HHWL akan menghasilkan nilai yang
berbeda untuk setiap kelompok periode data, karena nilai amplitudo untuk konstanta
pasut yang sama pada kelompok periode data pasut yang berbeda akan berbeda pula, hal
ini disebabkan nilai amplitudo relatif terhadap panjang periode pengamatan yang
berpengaruh pada jumlah konstanta yang dapat dipisahkan (Perbani, 2010). Kelompok
data pasut periode pendek yaitu 15 hari, 30 hari, dan satu tahun merupakan kelompok
data pasut yang tidak stabil, karena belum mencakup semua fenomena astronomis
pembangkit pasut. Sedangkan kelompok data pasut periode panjang yaitu 8,85 tahun
relatif lebih stabil, karena telah mencakup gerakan revolusi bulan, revolusi bumi, presesi
orbital dan separuh gerakan presesi nodal. Berdasarkan asumsi tersebut, maka hipotesis
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.
Kelompok data pasut periode terpanjang yaitu 18,6 tahun menghasilkan
jumlah konstanta signifikan terbanyak, serta nilai MSL yang paling stabil.
2.
Nilai HHWL dari data pasut periode pendek (15 hari, 30 hari, dan 1 tahun)
dan data hasil prediksinya tidak mampu mewakili nilai HHWL pada periode
panjang, sehingga nilai elevasi dermaga yang dihasilkan oleh data pasut
periode pendek tidak aman hingga jangka waktu panjang.
3.
Periode optimal untuk memprediksi data pasut 18,6 tahun adalah periode
8,85 tahun.
Download