BAB 1 Pendahuluan 1.1.Latar Belakang Perubahan vertikal muka air laut secara periodik pada sembarang tempat di pesisir atau di lautan merupakan fenomena alam yang dapat dikuantifikasi. Fenomena tersebut dikenal sebagai pasang surut (pasut) atau tide. Fenomena naik-turunnya muka air laut tersebut terjadi akibat adanya gaya tarik benda-benda luar angkasa, khususnya akibat gaya gravitasi bulan dan matahari yang bekerja terhadap bumi. Dasar pengertian ilmiah tentang pembangkitan pasut laut dikemukakan oleh Newton (1642-1727). Ilmuwan besar dari Inggris ini berhasil menerangkan formulasi hukum gravitasi untuk menunjukkan mengapa terjadi dua kali bulan purnama dalam satu bulan serta menghasilkan ide teori pasut setimbang (equilibrium tide). Newton mengemukakan teori pasutnya, antara lain : “ bahwa matahari dan bulan membangkitkan medan gaya di sekeliling bumi, dimana arah dan besarnya gaya berubah-ubah secara periodik sesuai dengan posisi kedua benda langit itu terhadap bumi. Gaya-gaya inilah yang membangkitkan pasut laut dan disebut Gaya Pembangkit Pasut.” Sekitar satu abad setelah penemuan Newton, pada tahun 1775, Marquis P.S. Laplace mempublikasikan konsep respon dinamik dari pasut laut yang diformulasikan dalam persamaan Laplace (Laplace Tidal Equation – LTE). Laplace memisahkan gerakan pasut dalam beberapa jenis, yaitu gerakan harian ganda (semidiurnal), gerakan harian tunggal (diurnal), serta gerakan dengan periode panjang. Pada umumnya pengukuran pasut dilakukan di sepanjang pantai dengan menggunakan palem pasut (tide gauge). Data dari stasiun pasut ini umumnya hanya valid untuk wilayah sempit di sekitar lokasi pengamatan, sedangkan karakter pasut di luar wilayah tersebut biasanya diprediksi dengan menggunakan cotidal chart. Palem pasut memiliki distribusi yang tidak merata. Secara geografis distribusi lokasi pengamatan pasut terkonsentrasi di sepanjang pantai yang biasanya memiliki aktivitas komersil. Hal ini menyebabkan pengukuran pasut lokal tidak mencerminkan kondisi pasut di laut bebas karena jarang dilakukan di 1 laut lepas [Le Provost, 2001]. Salah satu cara untuk mendapatkan informasi pasut di laut terbuka adalah dengan melakukan ekspedisi dan memasang stasiun pelagic (deep-pressure recorder), namun ternyata hal ini tidak efisien dan hanya sedikit pengamatan yang bisa dilakukan di sebagian kecil lautan sementara sebagian besar lautan belum dapat teramati. Sekitar tahun 1970 muncul dan berkembang teknologi satelit altimetri sehingga menjadi alternatif pemecahan masalah kekurangan data pasut di lautan lepas, karena satelit ini didesain untuk mengamati dinamika laut dunia, termasuk pasut, sirkulasi arus global, dan lainnya. Pengukuran yang dilakukan dengan menggunakan satelit altimetri memiliki tingkat presisi dan akurasi yang cukup tinggi serta terdistribusi secara global. Oleh karena itu sangat memungkinkan untuk mengekstrak sinyal pasut dari satelit altimetri dengan menggunakan metode empirik. Sinyal pasut dari satelit altimetri pertama kali diekstrak dari Seasat dan pada saat itu mulailah dikembangkan model pasut dari data altimetri [Le Provost, 1983]. Berdasarkan data 2,5 tahun data altimetri GEOSAT Exact Repeat Mission, Cartwright dan Ray (1990) mendapatkan model pasut global pertama yang diturunkan dari satelit altimetri yang hasilnya lebih akurat dibandingkan dengan model Schwiderski (1980) yang diturunkan berdasarkan solusi model hidrodinamika dari persamaan Laplace. Sejak diluncurkannya satelit TOPEX/POSEIDON (T/P) yang memiliki resolusi temporal 10 hari dan resolusi spasial sepanjang lintasan satelit kira-kira 7 km dan jarak antar lintasan sekitar 30 atau sekitar 300 km pada ekuator [C.J. Koblinsky et al., 1992], munculah beberapa model pasut yang diturunkan dari data altimetri. Walaupun semua model pasut yang diturunkan dari satelit altimetri T/P memiliki akurasi 2-3 cm di lautan dalam, namun untuk area pesisir dan laut dangkal masih terdapat masalah yang cukup rumit [Schum et al., 1997, 2001]. Solusi model pasut global saat ini masih memiliki aspek keterbatasan, misalnya model pasut Schrama et al. (1994) dan Smith et al.(1995) yang hanya dibatasi untuk laut dengan kedalaman > 200 m sedangkan wilayah Indonesia memiliki wilayah perairan 2 dengan kedalaman < 200m. Hal ini tentu saja menyebabkan model global pasut tersebut kurang cocok untuk digunakan di wilayah ini. Di sisi lain, karena karakteristik wilayah pulau-pulau di Indonesia terpisah oleh lautan serta jumlah stasiun pasut yang masih terbatas, menyebabkan model pasut lokal belum banyak dapat ditentukan. Berdasarkan studi yang dilakukan mengenai penggunaan model global pasut di wilayah Indonesia, model Finite Element Solution 2002 (FES2002) maupun Global Ocean Tide2000 (GOT00.2) memberikan hasil yang baik pada wilayah lautan terbuka atau lautan lepas, seperti Samudera Hindia dan Samudera Pasifik sedangkan untuk wilayah studi di daerah perairan kepulauan (internal water), model pasut global memberikan hasil yang tidak begitu baik [Prijatna et al., 2005]. Dalam tesis ini, akan dibahas mengenai studi awal pemodelan pasut yang diturunkan dari satelit altimetri Topex dan Jason-1 untuk wilayah regional di perairan Indonesia. Pada tabel 1.1 terlihat bahwa perkiraan maksimum kesalahan penggunaan model pasut global pada misi satelit Topex adalah sebesar 3 cm. Diharapkan pemodelan pasut secara empirik dari satelit altimetri dapat memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan model pasut global. Dengan demikian, diharapkan model pasut empirik ini dapat digunakan sebagai koreksi pasut untuk data satelit altimetri di perairan Indonesia. Tabel 1.1. Perkiraan maksimum kesalahan dan bias pada misi Topex [Scharoo, 2002] 3 Metode yang akan digunakan dalam pembahasan tesis ini adalah analisis harmonik dengan metode least square karena kita memiliki banyak data untuk menentukan beberapa konstanta pasut. Tujuan dari analisa harmonik adalah untuk menentukan amplitudo dan fase pada masing-masing konstanta pasang-surut berdasarkan frekuensi astronomi dari suatu perekaman data deret waktu (time series). 1.2.Perumusan Masalah Interval pencuplikan data pada satelit Topex dan Jason-1 jauh memiliki periode yang lebih besar dibandingkan dengan periode gelombang pasut, terutama untuk komponen semidiurnal dan diurnal menimbulkan adanya fenomena aliasing yaitu berubahnya nilai frekuensi asli komponen pasut menjadi frekuensi semu atau palsu. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana caranya menginvestigasi masalah tidal aliasing pada data pasut satelit altimetri Topex dan Jason-1 karena hasil frekuensi aliasing ini akan digunakan sebagai input dalam analisis harmonik. Tesis ini akan mencoba menjawab permasalahan tersebut. Data satelit altimetri masih mengandung kesalahan acak akibat kesalahan pada instrumen satelit, salah satunya adalah noise. Noise ini dapat menimbulkan suatu sinyal baru yang mempengaruhi sinyal pasut. Oleh karena itu pada proses ekstraksi komponen pasut harus dipilih metode pengolahan data yang optimal, salah satunya dengan memaksimalkan penggunaan metode least squares. Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah algoritma least square dengan pembobotan dapat memberikan hasil yang optimal dalam mengidentifikasi komponen-komponen pasut yang mempunyai kontribusi signifikan dalam pembentukan gelombang pasut?Tesis ini akan mencoba menjawab pertanyaan ini. Pemodelan pasut regional di wilayah perairan Indonesia masih belum baik terutama untuk karena 4 Penggunaan model pasut global belum sesuai jika digunakan di wilayah regional Indonesia seperti di wilayah laut dangkal dan wilayah perairan tertutup Pertanyaan yang kemudian muncul, bagaimana kita mendapatkan model yang sesuai? Pemodelan pasut dari data altimetri mungkin dapat menjawabnya. Tesis ini akan mencoba membuat pemodelan pasut dari data altimetri untuk wilayah Indonesia. 1.3.Pembatasan Masalah Wilayah kajian dalam tesis ini adalah perairan Indonesia dan sekitarnya dengan dengan cakupan -200LU sampai 190 LS, dan 850 BT sampai 1410 BT yaitu berjumlah 151 titik crossover. Pengekstrakan sinyal pasut dilakukan hanya pada titik-titik crossover, yaitu titik perpotongan antara lintasan naik (ascending) dan lintasan turun (descending) satelit altimetri Topex dan Jason-1 selama kurun waktu 31 Desember 1992 – 31 Desember 2006. Tabel 1.1 Sumber data altimetri misi Topex dan Jason-1 Misi Satelit Topex Jason-1 Sumber RADS-TU DELFT RADS-TU DELFT RADS-TU DELFT (online) Cycle 001 – 364 22 – 127 128 – 183 5 Waktu 31 Desember 1992 – 11 Agustus 2002 21 Agustus 2002 – 27 Juni 2005 27 Juni 2005 – 31 Desember 2006 Gambar 1.1 Daerah kajian wilayah perairan Indonesia dan sekitarnya (garis merah menunjukkan lintasan satelit Topex naik dan turun) 1.4.Metode Penelitian Metode penelitian yang dilakukan dalam tesis ini adalah sebagai berikut : Studi literatur, dari buku-buku yang berkaitan, penelitian yang pernah dilakukan maupun dari situs internet. Pengumpulan data altimetri Topex dan Jason-1 di wilayah kajian dari basis data RADS (Radar Altimetri Database System)dan menggabungkan data dari kedua misi satelit tersebut. Melakukan koreksi dan reduksi pada data satelit altimetri meliputi koreksi instrumen, koreksi efek atmosfer, koreksi efek geofisika, dan koreksi antar muka laut-udara kecuali koreksi terhadap pasut laut sehingga dihasilkan data altimetri masih memiliki sinyal pasut, yang disebut data RSS (residual sea surface). Menganalisis time-series data RSS menggunakan analisis harmonik dengan metode least square disertai pembobotan dan uji statistik terhadap 6 komponen pasut yang mempunyai kontribusi yang signifikan dalam pembentukan gelombang pasut. Sebagai verifikasi dilakukan dengan cara membandingkan nilai SLA (sea level anomaly) yang didapat dari RSS setelah dikoreksikan model pasut dari Topex dan Jason-1 dengan model pasut global yang sudah ada dalam basis data RADS yaitu FES2004. Penarikan kesimpulan dan rekomendasi mengenai penelitian ini untuk studi lebih lanjut. 1.5.Manfaat Penelitian Pada mulanya fenomena pasut menarik untuk dipelajari karena informasi yang diperoleh dari pemrosesan data pasang surut (pasut) memiliki manfaat yang besar untuk keperluan aktivitas perdagangan, namun seiring berkembangnya ilmu dan teknologi saat ini, tujuan dan kegunaan studi tentang pasut juga sangat bermanfaat untuk berbagai bidang diantaranya untuk keperluan navigasi, geodesi dan oseanografi. Manfaat penelitian dalam tesis ini secara keilmuan diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pemanfaatan teknologi satelit altimetri pada studi awal pemodelan pasut regional di wilayah Indonesia. Model pasut yang dihasilkan dapat digunakan sebagai pengkoreksian pasut untuk data altimetri itu sendiri. Dengan penggunaan algoritma pada metode analisis harmonik least square dengan pembobotan diharapkan dapat memberikan hasil yang optimal pada proses ekstraksi komponen pasut. 7 1.6.Sistematika Pembahasan Sistematika pembahasan dalam tesis ini tersusun atas lima bab dengan rincian sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Pada Bab ini akan diuraikan mengenai pokok-pokok pemikiran penulisan tugas akhir yang meliputi latar belakang masalah, perumusan masalah, pembatasan masalah, metodologi penelitian dan struktur sistematika pembahasan. BAB II TEORI HARMONIK DAN TEKNIK ANALISIS HARMONIK PASANG SURUT LAUT Bab ini menjelaskan tentang teori harmonik dan teknik analisis pasang surut laut. Dalam bab ini pula dijelaskan mengenai potensial gaya pembangkit pasut, pasut setimbang, komponen harmonik pasut serta tata cara perhitungan analisis harmonik metode least square. BAB III SATELIT ALTIMERI DAN PEMODELAN PASUT Dalam bab ini akan diuraikan mengenai prinsip pengukuran satelit altimetri, pengoreksian data untuk pemodelan pasut, serta beberapa metode pemodelan pasut termasuk didalamnya masalah tidal aliasing pada data pasut satelit altimetri. BAB IV PEMROSESAN DATA DAN ANALISIS Dalam bab ini akan diuraikan mengenai karakteristik data satelit altimetri dan algoritma pengolahan data, hasil penelitian serta analisisnya. BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini serta rekomendasi berupa hal-hal yang perlu untuk pengembangan studi pemodelan pasut regional lebih lanjut di perairan Indonesia. 8