PENGARUH KONSEP DIRI TERHADAP PENERIMAAN DIRI ANAK JALANAN (STREET CHILDREN) DI RPSA KOTA SEMARANG Skripsi Disajikan sebagai salah satu syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi S1 Jurusan Psikologi Oleh Dyah Naila Husniyati NIM 1550402027 JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2009 PENGESAHAN Skripsi ini telah dipertahankan dihadapan sidang Panitia Ujian Skripsi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang pada hari Jum’at tanggal 14 Agustus 2009. Panitia: Ketua Sekretaris Drs. Hardjono, M.Pd NIP. 130781006 Siti Nuzulia, S.Psi., M.Si NIP. 132307257 Penguji Utama, Dra. Sri Maryati Deliana, M.Si NIP. 131125886 Penguji /Pembimbing I Penguji /Pembimbing II Drs. Sugeng Haryadi, M.S NIP.131472593 Drs, Sugiyarta SL, M.Si NIP. 131469637 ii PERNYATAAN Saya menyatakan bahwa yang tertulis dalam skripsi ini merupakan hasil karya penulis sendiri, bukan buatan orang lain, dan tidak menjiplak karya ilmiah orang lain, baik seluruhnya ataupun sebagian. Pendapat dan temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip dan dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah. Semarang, Agustus 2009 Dyah Naila Husniyati NIM.1550402027 iii MOTTO DAN PERUNTUKAN MOTTO “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajad. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Al-Mujaadalah:11) Langkah penting yang harus dilakukan seorang pelari dalam arena perlombaan bukan hanya saat ia memulai garis start, ataupun cukup dengan semangat yang menyala-nyala, namun yang terpenting yaitu bagaimana ia dapat terus bertahan dan berjuang dengan sekuat tenaga untuk mencapai tujuan akhir yaitu finish (anonim) PERUNTUKAN Karya sederhana ini kupersembahkan kepada : Allah SWT Yang Maha Agung Bapak dan Ibu tercinta atas keringat, doa, dan cinta kasih yang tiada mengenal batas ruang dan waktu Kedua kakakku Any dan Asty, dan Keponakanku Danidzar iv KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang hanya dengan Rahmat dan Karunia-NYA penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul ”Pengaruh Konsep Diri Terhadap Penerimaan Diri Anak Jalanan (Street Children) di RPSA Kota Semarang.” Penyusunan skripsi ini mampu terselesaikan berkat kerjasama, bantuan, dan dorongan berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Drs. Hardjono, M.Pd., Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang. 2. Dra. Tri Esti Budiningsih, Ketua Jurusan Psikologi yang telah memberikan dukungan, dorongan, dan bimbingan kepada penulis. 3. Drs. Sugeng Haryadi, M.S, dosen pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan dorongan kepada penulis dalam menyusun skripsi ini hingga dapat terselesaikan. 4. Drs. Sugiyarta S.L, M.Si., dosen pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan dorongan kepada penulis dalam menyusun skripsi ini hingga dapat terselesaikan. 5. Seluruh staf pengajar Jurusan Psikologi yang telah memberikan bekal ilmu dan pengetahuan di bidang Psikologi. 6. Bapak, Ibu, kakak-kakakku Any dan Asty, serta keponakanku Danidzar yang telah memberikan kasih sayang, perhatian, motivasi, dan pelajaran hidup yang sangat berharga. v 7. Semua sahabat jurusan Psikologi khususnya Ogiee, Mbak Yanti, Titik, Diana, Wida, Cipoet dan Ririn atas semangat dan persahabatan yang diberikan. 8. Teman-teman seperjuangan bimbingan Fitri, Diana, Ratna, Aprilia, Lia, Sita, Ayas, Lukita, dan teman-teman lainnya. 9. Nia, Ria, Cahya, Elok, terimakasih atas dukungan, semangat, dan bantuannya selama ini. 10. Teman-teman angkatan 2002 Psikologi Unnes, terimakasih atas kebersamaan dan semangatnya. 11. Teman-teman di jalan, terutama di Siranda dan Johar yang telah banyak membantu penulis, Ester (Atun), Ari, Yanto, Melan, Resa, Indah, Dani, Wulan, Naim, terimakasih. 12. Septi, mbak Ika, Mas Dwi dan mas Wahid di RPSA Gratama, terimakasih banyak atas dukungan, bantuan dan kerjasamanya. 13. Pihak RPSA Anak Bangsa dan yayasan Setara terutama mas BDN, terimakasih atas bantuan dan pencerahannya. 14. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan masukan bagi pembaca. Semarang, Agustus 2009 Penulis vi ABSTRAK Husniyati, Dyah Naila. 2009. Pengaruh Konsep Diri Terhadap Penerimaan Diri Anak Jalanan (Street Children) di RPSA Kota Semarang. Skripsi, Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang. Dosen Pembimbing: Drs. Sugeng Haryadi, M.S dan Drs. Sugiyarta SL, M.Si. Kata kunci : Konsep Diri, Penerimaan Diri, Anak Jalanan Anak jalanan memiliki permasalahan yang kompleks. Latar belakang yang menjadikan anak turun ke jalan serta kehidupannya di jalan menjadi sangat penting artinya bagi pembentukan dan perkembangan psikologis anak terutama dalam pembentukan konsep diri yang nantinya akan mempengaruhi bagaimana penerimaan diri anak jalanan itu sendiri. Penerimaan diri erat kaitannya dengan konsep diri yang dimiliki seseorang. Konsep diri merupakan faktor yang dipelajari dan dapat dibentuk melalui pengalaman individu berhubungan dengan orang lain dan bahwa konsep diri merupakan sebagai suatu obyek timbul di dalam interaksi sosial sebagai suatu hasil perkembangan dari perhatian individu tersebut mengenai bagaimana orang-orang lain bereaksi kepadanya Oleh karena itu penulis ingin mengetahui hubungan antara konsep diri dengan penerimaan diri anak jalanan (street children) di RPSA Kota Semarang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara konsep diri, dengan penerimaan diri anak jalanan pada jangkauan RPSA di Kota Semarang. Penelitian ini melibatkan 40 anak jalanan pada jangkauan RPSA di Kota Semarang sebagai sampel penelitian yang diambil dengan menggunakan teknik acidental sampling. Penelitian ini dilakukan dengan metode kuatitatif dengan pendekatan korelasi. Pengambilan data ini dilakukan dengan menggunakan skala konsep diri dan skala penerimaan diri. Pada skala konsep diri dihasilkan koefisien reliabilitas sebesar 0,907 dan dari 50 item didapat 43 item yang valid dengan nilai validitas item 0,321 s.d 0,732. Pada skala penerimaan diri dihasilkan koefisien reliabilitas sebesar 0,872 dan dari 36 item didapat 32 item yang valid dengan nilai validitas item 0,329 s.d 0,632. Analisis data menggunakan teknik korelasi Product Moment dengan bantuan program SPSS 12.0 for windows. Hasil analisis data yang diperoleh menujukkan ada hubungan yang signifikan dari konsep diri dengan penerimaan diri dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,599 dengan Taraf signifikansi 5% dan p = 0,000 (p < 0,05). Tingkat konsep diri anak jalanan pada jangkauan RPSA di Kota Semarang berada dalam kategori tinggi (50%), penerimaan diri dalam kategori sedang (50%). Oleh karena itu saran yang diberikan kepada Bagi pihak RPSA supaya dapat lebih meningkatkan pelayanan-pelayanan terutama mengenai pelayanan bimbingan dan pengasuhan atau pendampingan yang bersifat psikologis dan sosial. Bagi anak jalanan supaya lebih dapat mengembangkan diri, tentunya dengan adanya dukungan, baik dari keluarga, masyarakat maupun pemerintah. vii DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ ii PERNYATAAN ................................................................................................iii MOTTO DAN PERUNTUKAN ....................................................................... iv KATA PENGANTAR ........................................................................................ v ABSTRAK ........................................................................................................ vii DAFTAR ISI ...................................................................................................viii DAFTAR TABEL ............................................................................................ xii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xiv BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1 1.2 Rumusan Masalah ................................................................................ 15 1.3 Penegasan Istilah .................................................................................. 16 1.4 Tujuan penelitian ................................................................................. 17 1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................... 17 1.6 Sistematika Penulisan Skripsi .............................................................. 18 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Penerimaan Diri ................................................................................... 19 2.1.1 Pengertian Penerimaan Diri .................................................................... 19 2.1.2 Kondisi Yang Mempengaruhi Penerimaan Diri ...................................... 21 viii 2.1.3 Ciri-Ciri Orang Yang Menerima Diri Sendiri.......................................... 25 2.1.4 Pengaruh Penerimaan Diri.........................................................................27 2.2 Konsep Diri........................................................................................... 28 2.2.1 Pengertian Konsep Diri .......................................................................... 29 2.2.2 Ciri-Ciri Konsep Diri.............................................................................. 30 2.2.3 Komponen Konsep Diri .......................................................................... 33 2.2.4 Aspek-Aspek Konsep Diri ...................................................................... 34 2.2.5 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan dan Perkembangan Konsep Diri.................................................................36 2.3 Anak Jalanan ........................................................................................ 41 2.3.1 Pengertian Anak Jalanan ........................................................................ 41 2.3.2 Jenis dan Kategori Anak Jalanan ............................................................ 42 2.3.3 Pekerjaan Anak ...................................................................................... 46 2.3.4 Karakteristik Anak Jalanan........................................................................47 2.3.5 Faktor Penyebab Keberadaan Anak Jalanan..............................................49 2.4 Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) ......................................... 51 2.3.1 Pengertian Rumah Perlindungan Sosial Anak (Rumah Singgah)..............51 2.3.2 Tujuan Rumah Perlindungan Sosial Anak.................................................51 2.3.3 Fungsi Rumah Perlindungan Sosial Anak..................................................52 2.5 Hubungan Konsep Diri Dengan Penerimaan Diri Anak Jalanan.......53 2.6 Hipotesis....................................................................................................60 ix BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ..................................................................................... 62 3.2 Variabel Penelitian ............................................................................... 62 3.2.1 Identifikasi Variabel ............................................................................... 62 3.2.2 Definisi operasional................................................................................ 63 3.2.3 Hubungan antar variabel ........................................................................ 64 3.3 Populasi Dan Sampel............................................................................ 64 3.3.1 Populasi ................................................................................................. 64 3.3.2 Sampel ................................................................................................... 65 3.4 Metode dan Alat Pengumpulan Data .................................................. 66 3.5 Validitas Dan Reliabilitas Alat Ukur ................................................... 69 3.5.1 Validitas ................................................................................................. 69 3.5.2 Reliabilitas ............................................................................................. 70 3.6 Teknik Analisis Data ............................................................................ 71 BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Persiapan Penelitian ............................................................................. 73 4.4.1 Orientasi Kancah Penelitian.................................................................... 73 4.4.2 Proses perijinan ...................................................................................... 75 4.4.3 Penentuan sampel ................................................................................... 76 4.2 Pelaksanaan Penelitian......................................................................... 76 4.3 Prosedur Pengumpulan Data ............................................................... 77 4.3.1 Validitas.....................................................................................................77 4.3.2 Reliabilitas..................................................................................................79 x 4.4 Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian………………………...80 4.4.1 Gambaran Penerimaan Diri........................................................................82 4.4.2 Gambaran Konsep Diri..............................................................................90 4.4.3 Uji Asumsi.................................................................................................97 4.4.3.1 Uji Normalitas............................................................................................97 4.4.3.2 Uji Linearitas..............................................................................................98 4.4.3.3 Uji Hipotesis...............................................................................................98 4.4.3.4 Tabel Model Summary.............................................................................100 4.5 Pembahasan............................................................................................100 4.5.1 Penerimaan Diri Anak Jalanan.................................................................100 4.5.2 Konsep Diri Anak Jalanan........................................................................103 4.5.3 Pengaruh Konsep Diri Dengan Penerimaan Diri Anak Jalanan...............105 BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ............................................................................................. 111 5.2 Saran ................................................................................................... 112 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 114 LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................. 118 xi DAFTAR TABEL Tabel 1.1 Halaman Data Statistik Anak Jalanan di Indonesia......................................... 2 Tabel 2.1 Ciri-Ciri Anak Jalanan…………………………...……………….. 47 Tabel 3.1 Blue Print Skala Konsep Diri........................................................... 67 Tabel 3.2 Blue Print Skala Penerimaan Diri……………………...………… Tabel 4.1 Sebaran item yang tidak valid pada skala konsep diri..................... 78 Tabel 4.2 Sebaran item yang tidak valid pada skala penerimaan diri ........... Tabel 4.3 Interpretasi Reliabilitas.................................................................... 80 Tabel 4.4 Deskripsi Data Penelitian…………………………………………. 81 Tabel 4.5 Penggolongan Kriteria Analisis....................................................... 81 Tabel 4.6 Klasifikasi Distribusi Frekuensi Penerimaan Diri............................ 83 Tabel 4.7 Perhitungan Hasil Klasifikasi Indikator Penerimaan Diri................ 84 Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Perasaan Puas Terhadap Diri Sendiri............. 85 Tabel 4.9 Distribusi Frekuensi Penerimaan Terhadap Keterbatasan Diri........ 86 68 79 Tabel 4.10 Distribusi Frekuensi Mengetahui Kualitas dan Bakat Sendiri......... 88 Tabel 4.11 Klasifikasi Distribusi Frekuensi Konsep Diri.................................. 90 Tabel 4.12 Perhitungan Hasil Klasifikasi Indikator Konsep Diri...................... 92 Tabel 4.13 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Tentang Diri.............................. 93 Tabel 4.14 Distribusi Frekuensi Penilaian Tentang Diri.................................... 94 Tabel 4.15 Distribusi Frekuensi Pengharapan.................................................... 96 Tabel 4.16 Linearitas….……………………………………………………….. 98 Tabel 4.17 Analisis Korelasi Konsep Diri dengan Penerimaan Diri………….. 99 xii DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1 Kerangka Alur Pikir…………………………………………... 54 Gambar 3.1 Hubungan antar variabel konsep diri (X) dengan penerimaan diri (Y)....................................................................................... 64 Gambar 4.1 Grafik Tingkat Penerimaan Diri Anak Jalanan………………. 84 Gambar 4.2 Grafik Indikator Perasaan Puas Terhadap Diri Sendiri………. 86 Gambar 4.3 Grafik Indikator Penerimaan Terhadap Keterbatasan Diri…… 88 Gambar 4.4 Grafik Indikator Mengetahui Kualitas dan Bakat Sendiri......... 89 Gambar 4.5 Grafik Tingkat Konsep Diri Anak Jalanan…………………… 92 Gambar 4.6 Grafik Indikator Pengetahuan Tentang Diri.................………. 94 Gambar 4.7 Grafik Indikator Penilaian Tentang Diri.......................………. 95 Gambar 4.8 Grafik Indikator Pengharapan 97 xiii DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1: Skala Konsep Diri.…………………………………………. 119 Skala Penerimaan Diri…....……………………………….... 122 Lampiran 2: Tabulasi data skala Konsep Diri……...……………………. 124 Tabulasi data skala Penerimaan Diri..........………...………. 127 Lampiran 3: Validitas skala Konsep Diri…..……………………………. 129 Reliabilitas Konsep Diri…..………………………………... 133 Validitas skala Penerimaan Diri……………………………. 134 Reliabilitas Penerimaan Diri…….………………………..... 137 Statistik deskriptif variabel Konsep Diri …………….…….. 138 Statistik deskriptif variabel Penerimaan Diri …………….... 139 Lampiran 4: Korelasi Variabel Konsep Diri dengan Penerimaan Diri....... 142 Uji Linearitas variabel Konsep Diri dengan Penerimaan Diri........................................................................................ 144 Uji Normalitas One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test…… 144 Lampiran 5: Data Anak Jalanan………………………………………….. 145 Lampiran 6: Surat Permohonan Ijin Penelitian…………………………... xiv 184 BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Negara Indonesia sejak lama telah memiliki permasalahan mengenai anak jalanan, namun pada puncaknya setelah krisis moneter yang berawal pada tahun 1997 yang meliputi semua bidang dan berlanjut dengan krisis ekonomi, kemudian meluas menjadi krisis multidimensi, mengakibatkan semakin banyak anak-anak usia sekolah terkena dampaknya. Banyak diantara mereka yang tidak bersekolah lagi, karena orang tua mereka terkena pemutusan hubungan kerja. Secara ideal anak adalah pewaris dan pelanjut masa depan bangsa. Secara riil, situasi anak Indonesia masih dan terus memburuk. Dunia anak yang seharusnya diwarnai oleh kegiatan bermain, belajar dan mengembangkan minat serta bakatnya untuk masa depan, realitasnya diwarnai data kelam dan menyedihkan. Meskipun krisis ekonomi bukan satu-satunya penyebab terbengakalainya pendidikan usia sekolah, namun ada korelasi kuat semakin luasnya krisis ekonomi diikuti pula oleh semakin banyaknya anak-anak yang tidak berada di ruang sekolah lagi. Hasil dari penelitian Mia Hapsari (2008:77) menunjukkan bahwa faktor tertinggi yang melatar belakangi anak jalanan Semarang memiliki minat sekolah yaitu pengalaman dini sekolah dan pengaruh orang tua. Adanya kesiapan sosial, kesiapan fisik dan kesiapan intelektul yang dimiliki oleh anak jalanan membuat mereka memiliki minat tinggi pada sekolah. Oleh sebab itu berdasarkan 1 2 dari penelitian di atas, pengaruh dari orang tua sangat penting artinya bagi kelangsungan minat sekolah pada anak jalanan. Saat ini pada jam-jam sekolah banyak terdapat anak-anak usia sekolah yang berada di jalanan. Ini meyakinkan kita semua bahwa kehadiran anak-anak di jalanan meningkat tajam. Menurut BPS Republik Indonesia, secara nasional pada tahun 2002 terdapat 6.686.936 anak yang membutuhkan perlindungan khusus dan yang potensial terlantar 10.322.674. Akibatnya terdapat 2-8 juta anak yang bekerja, diantaranya pada sektor berbahaya seperti perdagangan narkoba, sektor alas kaki, dan pelacuran. Lebih parah lagi, sekitar 36.500.000 anak Indonesia masih dibawah garis kemiskinan (Huraerah, 2007:21-22). Ini berbanding searah dengan jumlah orang miskin pada akhir 2003 yang bertambah 4 juta orang atau 18% penduduk Indonesia karena semakin tingginya tingkat pengangguran. Jumlah anak jalanan dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan. Keberadaannya tidak lagi terbatas pada kota-kota besar saja, melainkan sudah mulai bermunculan di kota-kota kecil. Terjadinya krisis ekonomi di Indonesia sejak tahun 1997 diyakini banyak pihak berpengaruh terhadap peningkatan jumlah anak jalanan di Indonesia. Sejak tahun 1999, jumlah anak jalanan di Indonesia meningkat 85%. Tabel 1.1. Data Statistik Anak Jalanan di Indonesia TAHUN JUMLAH ANAK JALANAN (JUTA) 1995 2,07 1998 2,8 2000 3,1 3 TAHUN JUMLAH ANAK JALANAN (JUTA) 2003 8 Sumber: SUSENAS BPS RI Semarang yang merupakan Ibukota propinsi Jawa Tengah juga tidak dapat dihindarkan dari fenomena anak jalanan. Menurut data yang terkumpul pada tahun 2004 oleh Dinas Sosial Propinsi Jawa Tengah terdapat 7.983 anak jalanan. Menurut data terakhir Penyandang Masalah Sosial (PMS) khususnya pada anak jalanan oleh Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Jawa Tengah tahun 2006 menunjukkan bahwa populasi anak jalanan mencapai 10.025 yang terdiri dari 8.958 laki-laki dan 1.067 perempuan, 60% dari mereka adalah anak putus sekolah dan 80% anak jalanan masih tinggal dengan orang tua mereka. Peningkatan anak jalanan sebelum masa krisis mencapai 15%, dan angka tersebut meningkat hingga 100% dalam masa krisis. Dampak dari hal tersebut di atas, perampasan terhadap hak-hak anak tanpa disadari telah terjadi secara besar-besaran. Anak-anak yang tengah menikmati pendidikan di sekolah-sekolah formal mulai terancam dan bahkan banyak yang menjadi korban (Drop Out). Sehingga kesempatan untuk bermain dan tumbuh kembang secara wajar sudah mulai hilang. Kondisi tersebut merupakan akibat dari ketidakberdayaan para orang tua untuk melindungi mereka, sehingga anak-anak mereka dijadikan tumpuan harapan keluarga untuk membantu pemenuhan kebutuhan keluarga. Salah satu masalah krusial dari dampak kemiskinan adalah meningkatnya jumlah anak-anak yang berada di jalanan, diantara mereka tidak sedikit anak-anak 4 yang berumur antara 4 sampai dengan 18 tahun berada di jalanan untuk hidup bebas kemudian mencari pendapatan dan lari dari keluarga/rumah atau untuk mencari tambahan pendapatan keluarga dengan menjadi pengamen, pemulung, pengasong, pengemis, berjualan koran, menyemir sepatu, juru parkir, calo angkutan umum, dan lain sebagainya. Kondisi-kondisi tersebut cenderung akan dapat merusak proses pendewasaan anak yang kemudian berujung pada perilaku negatif, baik disaat kanak-kanak, remaja, maupun dewasa kelak. Keluarga merupakan pemberi informasi pertama dan terpenting, baik dari bantuan verbal maupun non verbal yang diberikan pada individu dalam hal ini anak agar ia merasa diperhatikan dan dicintai. Seorang anak yang tumbuh dalam keluarga yang keras dan penuh permasalahan, secara otomatis akan mempengaruhi kejiwaan, sikap dan perilaku anak tersebut, terlebih anak hidup dalam keluarga yang memiliki beban perekonomian yang berat, hal ini akan membentuk perilaku anak untuk senantiasa bertindak sendiri agar dapat terpenuhi kebutuhan ekonominya. Beberapa individu terkadang sangat sulit untuk menerima kekurangan dirinya sebagaimana dirinya mampu menerima kelebihannya. Individu yang mempunyai penerimaaan diri rendah akan mudah putus asa, selalu menyalahkan dirinya, malu, rendah diri akan keadaannya, merasa tidak berarti dan merasa iri terhadap keadaan orang lain. Keadaan yang demikian, bila terus menerus dialami akan membuat hidup kehidupannya. anak-anak jalanan menjadi tidak bahagia akan 5 Ditinjau dari umurnya, sebagian besar anak jalanan berumur antara 5-18 tahun. Rata-rata anak jalanan hidup dalam suatu kelompok yang terbentuk karena kesamaan asal daerah, kesamaan jenis pekerjaan, kesamaan nasib, kesamaan kesenangan dan lain sebagainya. Dalam kelompoknya, mereka mengembangkan berbagai cara / strategi agar dapat terus hidup di jalanan. Tidak jarang juga mereka menciptakan suatu sub kultur yang diadopsi dari kultur jalanan. Situasi sosial tersebut bersifat dinamis dan rentan terhadap pengaruh dari luar. Krisis sekarang ini akan sangat mempengaruhi situasi di jalanan secara luar biasa. Jumlah kaum marginal dan anak-anak jalanan meningkat pesat padahal peluang ekonomi menipis, sementara persaingan semakin memuncak. Anak-anak juga harus memperpanjang waktu di jalanan untuk mempertahankan pendapatan yang berarti juga memperpanjang resiko. Kejahatan jalanan meningkat dimana anak jalanan bisa menjadi korban atau pelakunya sendiri, baik secara individual, kelompok, atau diperalat oleh preman. Dari hasil pengamatan, terlihat bahwa jumlah anak jalanan di Semarang semakain lama makin meningkat. Sampai saat ini belum ada data akurat yang menunjukkan persisnya jumlah anak jalanan di kota Semarang. Dari keterangan kantor Dinas Sosial Kotamadya Semarang, pada tahun 1996 jumlahnya diperkirakan hanya 500 anak, akan tetapi sampai pertengahan tahun 1997, jumlah tersebut telah menjadi 700 anak yang tersebar di berbagai pelosok kota (Nurharjadmo, 1999:18). Data yang dihimpun oleh sejumlah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan RPSA (Rumah Perlindungan Sosial Anak) di Semarang tahun 2006 terdapat 898 anak jalanan yang dibina di empat RPSA dan 6 dua LSM. Dari jumlah tersebut sebanyak 747 anak jalanan masih memiliki orang tua. Data tersebut menunjukkan bahwa 500 anak masih aktif di jalan, 331 anak terkadang turun ke jalan, dan 39 anak tidak lagi turun ke jalan (Kompas, 12 April 2007). Data terakhir untuk kota Semarang pada tahun 2008, jumlah anak jalanan mencapai kurang lebih 830 anak (data penjangkauan 4 RPSA di Semarang). Keberadaan dan berkembangnya jumlah anak jalanan merupakan persoalan yang perlu menjadi perhatian. Hal ini mengingat anak-anak melakukan kegiatan / tinggal di jalanan yang senantiasa berhadapan dengan banyak resiko dan situasi buruk. Lokasi paling menonjol yang digunakan tempat kegiatan anak jalanan adalah di persimpangan jalan atau di sekitar traffic light. Oleh karena itu banyak juga diantara mereka yang mengalami kecelakaan di jalan raya ketika sedang bekerja (Hapsari, 2007:60). Seperti yang pernah diceritakan juga oleh seorang Suster pimpinan dari RPSA (Rumah Perlindungan Sosial Anak) “Anak Bangsa” yang mengatakan bahwa banyak anak jalanan yang terancam nyawanya oleh tindak kriminal pelaku kejahatan, korban tabrakan di jalan, serta korban pembunuhan dari anak jalanan lain ataupun tindak kekerasan dari preman atau “penjaga” anak jalanan itu sendiri. Mereka turun ke jalan sebagian besar dikarenakan faktor keluarga dan ekonomi. Permasalahan anak jalanan semakin meluas ketika pada suatu waktu ada seseorang yang berniat baik dengan memberi makanan atau uang, anak jalanan bereaksi dengan buruk, bisa dengan merampas, mencuri, menjambret serta tindakan kekerasan lain yang dapat membahayakan orang lain. Inilah yang 7 menjadikan banyak keresahan pada sebagian masyarakat mengenai problematika dan dilema pada anak jalanan. Anak-anak yang bekerja di usia dini biasanya berasal dari keluarga miskin dengan pendidikan yang terabaikan. Sesungguhnya hal tersebut bukannya akan mengentaskan kemiskinan tetapi malah akan melestarikan kemiskinan. Karena anak yang bekerja tersebut akan tumbuh menjadi seorang dewasa yang terjebak dalam pekerjaaan yang tidak terlatih dan dengan upah yang sangat buruk. Selain itu, mereka juga akan tumbuh dalam lingkungan yang tidak kondusif, yaitu suatu lingkungan yang tidak semestinya ditujukan pada anak yang sedang dalam proses tumbuh kembang, karena hal tersebut akan mempengaruhi bagaimana kepribadian mereka selanjutnya. Dalam sebuah Jurnal Perempuan menyebutkan bahwa seorang anak akhirnya memutuskan hidup di jalanan bukan semata karena faktor kemiskinan. Dan sebuah organisasi non profit di Jakarta bahkan pernah mewawancarai mereka dan hasilnya 80% anak memutuskan pergi dari rumah lantaran salah perlakuan (abuse) di dalam rumah yaitu adanya kekerasan dalam rumah tangga yang dialami, keluarga yang tidak harmonis, perpecahan dalam keluarga, degradasi nilai-nilai sosial, moral dan spiritual dalam keluarga, komunikasi yang buruk antar anggota keluarga, minimnya perhatian dari orang tua kepada anaknya, serta pola asuh yang tidak konsisten dan membingungkan dari orang tua mereka. Hanya 20% yang mengaku punya alasan ekonomi (Sitorus, 2007:5). Seperti yang dikatakan Permadi dan Ardhianie (1999:17) bahwa secara sederhana dapat diklasifikasikan penyebab seorang anak bekerja dan hidup di jalan, yaitu 80% 8 akibat ada masalah di dalam rumah orang tua; 16% akibat faktor ekonomi; 2% akibat ada masalah dengan teman di lingkungan rumah; 2% akibat pengaruh teman. Penelitian dari Surjo Dharmono dan Wahyadi Darmabrata (1999:51), menunjukkan bahwa faktor lingkungan tempat tinggal, faktor lamanya anak telah menjalani kehidupan jalanan, dan faktor relasi atau kekerapan anak bertemu dengan orang tuanya menjadi faktor psikososial yang memperlihatkan hubungan bermakna dengan berkembangnya perilaku antisosial pada keluarga anak jalanan di Jakarta. Meski begitu, bagi anak-anak yang belum mampu berpikir jauh ke depan, jalanan menjadi tempat yang mungkin lebih menjanjikan, bebas dari aturan, dan berpikir hanya untuk hari ini. Hal itu yang menyebabkan banyak anak jalanan menghindari bangku sekolah dan lebih senang bermain dan mengais rejeki di jalanan. Tak jarang mereka dikoordinir oleh ‘penjaga’ mereka dan dieksploitasi. Karena jika dilihat dari segi mental, lingkungan yang keras dapat menyebabkan mereka menjadi agresif dan anti sosial dan memiliki penerimaan diri negatif. Penerimaan diri adalah sejauh mana seseorang dapat menyadari dan mengakui karakteristik pribadi dan menggunakannya dalam menjalankan kelangsungan hidupnya. Sikap tersebut ditunjukkan oleh pengakuan seseorang terhadap kelebihan-kelebihan sekaligus menerima kelemahan-kelemahan tanpa menyalahkan orang lain dan mempunyai keinginan yang terus menerus untuk mengembangkan diri Handayani, Ratnawati dan Helmi, 1998:47-48). 9 Pada umumnya, kebanyakan dari anak jalanan kurang dapat menerima orang lain pada lingkungan mereka, ini terlihat dari ketidaktertarikan mereka pada awalnya untuk mengenal orang lain di luar lingkungan atau komunitasnya, ketika diajak berkenalan pada awalnya mereka menunjukkan sikap seperti tidak membutuhkan dan sulit menerima orang lain. Selain itu orang yang memiliki penerimaan diri pastinya akan memandang dirinya disenangi, mampu, berharga dan diterima oleh orang lain. Tetapi dalam hal ini tidak banyak dari anak jalanan yang merasa dirinya disenangi, mampu, berharga dan diterima oleh orang lain. Kemudian orang yang menerima diri biasanya lebih bisa menerima orang lain serta akan berpikiran positif mengenai orang lain, tetapi mayoritas anak jalanan memiliki sikap yang berbeda mengenai hal tersebut, mereka lebih menunjukkan hal yang sebaliknya, yaitu salah satunya dengan kurang dapat menunjukkan empati terhadap orang lain dan sepertinya mereka merasa kurang aman untuk bersama dan berhubungan dengan orang lain. Hasil penelitian oleh Rina Oktaviana (2004:8) menunjukkan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara penerimaan diri terhadap ciri-ciri perkembangan seksual sekunder dengan konsep diri pada remaja putri SLTPN 10 Yogyakarta. Kemudian hasil penelitian dari Brian L. Thompson dan Jennifer A. Waltz (2007:119) menyatakan bahwa terdapat korelasi positif antara mindfulness, self-esteem, dan unconditional sef-acceptance. Penelitian lain oleh Muryatinah Mulyo Handayani, Sofia Ratnawati dan Avin Fadilla Helmi (1998:47), menunjukkan bahwa pelatihan pengenalan diri efektif untuk meningkatkan penerimaan diri dan harga diri. Seseorang dengan 10 konsep diri positif dapat memahami dan menerima fakta-fakta yang begitu berbeda dengan dirinya, orang dapat menyesuaikan diri dengan seluruh pengalaman mentalnya, sehingga evaluasi tentang dirinya akan positif (Handayani, Ratnawati dan Helmi, 1998:48). Dari hasil observasi dan wawancara yang peneliti lakukan pada 15 anak jalanan yang berada di Pasar Bulu, pasar Johar, perempatan POLDA, serta anakanak jalanan yang pernah tinggal di RPSA Anak Bangsa dan Gratama menunjukkan bahwa terdapat sembilan anak yang memiliki penerimaan diri negatif dan enam sisanya memiliki penerimaan diri yang cukup baik. Banyak diantara mereka yang acuh, baik acuh terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain. Lingkungan sosial yang tidak mendukung memicu munculnya hambatan-hambatan dari lingkungan menyebabkan mereka memiliki penerimaan diri yang rendah, bahkan sebagian besar penerimaan diri negatif ini dibentuk karena lingkungan dan latar belakang keluarga tidak harmonis yang menyebabkan adanya tekanan emosi yang berat akan mengurangi pemahaman dan cara mereka melihat diri sendiri . Ini berarti menandakan bahwa penerimaan diri anak jalanan tergolong rendah. Sebagian besar dari mereka pada awalnya sebenarnya merasa puas menjadi anak jalanan, tetapi setelah lama bercerita mereka merasa bahwa kepuasan mereka hanya bersifat fisik, karena dengan menjadi anak jalanan mereka dapat dengan cepat dan mudah mendapatkan uang sendiri dari hasil mengamen, tetapi untuk mendapatkan uang bagi kepentingan pendidikan demi perbaikan kehidupannya mereka enggan melakukannya. Hal itu merupakan interpretasi dari kurangnya menghargai dan bertanggung jawab terhadap diri 11 sendiri. Selain itu jika mereka puas terhadap diri sendiri, belum tentu mereka puas terhadap hubungan dengan orang lain (keluarga, teman dan masyarakat), sehingga dapat dikatakan secara psikis mereka tidak puas terhadap diri sendiri. Latar belakang keluarga sangat berkaitan erat dengan perginya anak ke jalan. Adapun faktor terbesar penyebab anak pergi ke jalan adalah faktor kemiskinan dan faktor disharmoni keluarga. Kedua faktor tersebut adakalanya berkaitan satu dengan yang lain, yakni faktor disharmoni muncul sebagai akibat dari faktor kemiskinan keluarga atau sebaliknya. Banyak diantara mereka yang berasal dari keluarga yang broken home (orang tua bercerai, orang tua tunggal, orang tua tiri karena ibu atau bapak menikah lagi), serta banyak juga diantara mereka yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga oleh orang tua ataupun anggota keluarga lain seperti yang dialami oleh Jopan, Sardi dan puluhan baahkan ratusan anak jalanan lain di Semarang. Ada pula anak yang dari keluarga mampu tetapi terjadi kondisi disharmoni dalam keluarga yang tidak ditangani serius oleh orang tua dan menyebabkan anak tidak betah tinggal di rumah sehingga mereka mencari kompensasi di luar rumah, salah satunya yaitu dengan pergi ke jalan. Coopersmith dalam Pudjijogyanti (1991:30) menyatakan bahwa kondisi keluarga yang buruk dapat menyebabkan konsep diri yang rendah pada anak. Suasana keluarga yang tidak menyenangkan, mengakibatkan anak ingin keluar dari rumah sesering mungkin karena secara emosional suasana tersebut akan mempengaruhi masing-masing anggota keluarga untuk bertengkar dengan lainnya. Semakin banyak anggota keluarga, anak akan semakin cakap dan makin cepat berbuat, baik secara verbal maupun non verbal. Kemudian semakin lama, 12 anak semakin tidak puas dengan apa yang dapat diberikan oleh keluarga, sehingga ia akan pergi jauh dari keluarganya untuk mendapatkan yang dibutuhkannya (Sujanto, 1988:72-73). Motif anak turun ke jalan dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut. Peran dan fungsi orang tua sangatlah menentukan, keluarga yang tidak bahagia (disharmoni) akan mengakibatkan jumlah anak turun ke jalan semakin besar. Hasil penelitian oleh Salmani – Barough N, Sharifi – Neiestanak ND, Kazemnejad dan Pashaeypoor (2003:6), menunjukkan bahwa half of the subjects (50%) had very negative concept of them selves and only 2,2% of them had a very positive self-concept levels. Therefore the street children had a very low selfconcept level. Penelitian oleh MB Ubangha dan RE Oputa (2007:1), menyatakan bahwa similarities in the self-concept of all classes of children investigated irrespective of gender. The children differed in academic orientation and vocational interests. Di bidang pendidikan, banyak diantara mereka yang putus sekolah pada waktu SD, bahkan ada juga yang tidak pernah merasakan bangku sekolah. Seperti penuturan Adi dan Jopan yang peneliti temui di RPSA Anak Bangsa, mereka dulu pernah putus sekolah tetapi kemudian sekarang mereka mendapatkan beasiswa dari yayasan atau pihak RPSA untuk melanjutkan sekolahnya di SMP. Mereka mengatakan sebenarnya mereka merasa malu pada teman-teman sekolahnya hingga mereka sempat berhenti mengamen, tapi karena lingkungan yang mendukungnya untuk menjadi pengamen di jalan dan di bus serta alasan ikutikutan, tidak lama mereka turun ke jalan lagi. Terkadang emosi mereka juga 13 tinggi karena di sekolah ataupun di jalan mereka sering kali berkelahi untuk suatu hal kecil dan sering bolos sekolah karena malas ataupun karena ingin ngamen. Di jalan mereka merasa itu adalah tempat mereka, banyak teman, dapat uang dan tidak begitu memikirkan keluarga. Mereka sebenarnya sadar akan resiko-resiko yang mereka hadapi ketika mereka mengamen di jalan, tetapi mereka lebih sering mengacuhkannya. Sekarang, karena mereka mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan sekolah, jadi pihak RPSA mengawasi dan mendampingi mereka secara ketat yang dilakukan oleh para pekerja sosial di RPSA tersebut agar mereka tidak lagi berada di jalan. Karena jika tidak didampingi secara ketat mereka akan dapat turun ke jalan dengan mudah. Karena dengan aktivitas keseharian sebagai anak jalanan ini berarti bahwa mereka tidak dapat mengembangkan diri mereka sendiri untuk masa depannya. Adanya pelayanan-pelayanan yang berupa bimbingan sosial, konsultasi serta pembinaan ketrampilan yang dilakukan pada RPSA sedikit demi sedikit akan merubah sikap mereka terhadap suatu hal. Seperti yang dikemukakan Septi dan Ika, pekerja sosial di RPSA Gratama, mereka mengatakan bahwa memang ada perbedaan antara anak jalanan yang mengikuti pelayanan-pelayanan di RPSA dengan anak jalanan yang tidak pernah mengikutinya. Kira-kira delapan puluh persen anak jalanan yang mengikuti bimbingan sosial menjadi lebih tahu akan etika seperti unggah ungguh dan lebih sopan, selain itu dari segi agama mereka juga ada peningkatan. Pada umumnya mereka juga lebih terbuka terhadap orang lain. 14 Perkembangan psikologis dan sosial seseorang bermula dari sejak ia lahir hingga meninggal. Selama proses tumbuh kembang tersebut, tiap individu juga pasti akan mempelajari berbagai macam pengalaman dalam masa kehidupannya, baik itu kehidupan pribadi, keluarga, ataupun kehidupan dalam lingkungan sosialnya. Semua itu ada dan akan semakin berkembang karena masing-masing individu memiliki tahapan pembelajaran dalam setiap proses kehidupannya. Hal tersebut diantaranya yang dapat membentuk kepribadiannya, terutama konsep diri serta penerimaan diri. Konsep-Aku yang diartikan sebagai gambaran mental yang dimiliki oleh seseorang mengenai pribadi dirinya (Surachmad, 1977:37). Inspirasi yang sejalan dengan harapan individu akan membantu untuk dapat berkembang sebagai manusia dewasa. Konsep diri bukan merupakan faktor bawaan, melainkan faktor yang dipelajari dan dibentuk melalui pengalaman individu berubungan dengan orang lain. Masa remaja merupakan masa yang potensial untuk mengembangkan konsep diri, sebab masa remaja merupakan masa yang penuh dengan tekanan yang memungkinkan individu menemukan identitas dirinya. Selain itu, masa remaja juga merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Secara psiskis, pada seorang remaja akan timbul perasaan aneh, ganjil, yang kemudian hal ini juga dapat menimbulkan perasaan tidak puas terhadap diri sendiri. Perasaan tidak puas tersebut dikarenakan kurangnya penerimaan diri pada remaja yang dipengaruhi oleh konsep diri negatif pada seseorang. 15 Latar belakang keluarga, peran perilaku orang tua, hubungan keluarga, pengaruh teman-teman sebaya pada anak jalanan, serta andil masyarakat untuk memberikan perhatian, kasih sayang, serta ruang bagi anak untuk tumbuh dan berkembang sebagaimana mestinya dapat menjadi jalan keluar yang positif bagi anak agar dapat menerima dirinya sebagaimana adanya sehingga anak tersebut memiliki ruang, tempat, serta kehidupan yang layak dan lebih baik. Maka konsep diri merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi penerimaan individu. Hal ini dikarenakan seseorang yang memiliki kehidupan di lingkungan keluarga dan sosial yang baik, maka akan membentuk individu yang mengetahui pandangan dan penilaian tentang diri sendiri serta mengetahui harapan apa yang ingin dicapainya hingga ia akan merasa senang, puas secara fisik dan psikis, serta dapat menyadari dan menerima keterbatasan yang dimilikinya. Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh konsep diri terhaap penerimaan diri anak jalanan di RPSA Kota Semarang. 1. 2. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas maka permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah gambaran konsep diri anak jalanan di RPSA Kota Semarang ? 2. Bagaimanakah gambaran penerimaan diri anak jalanan di RPSA Kota Semarang ? 16 3. Apakah ada pengaruhnkonsep diri terhadap penerimaan diri anak jalanan di RPSA Kota Semarang ? 1. 3. Penegasan Istilah Untuk memberikan kejelasan arti dan sekaligus menghindari kesalahan pengertian dalam penelitian ini, maka dipandang perlu untuk memberikan penegasan beberapa istilah, yaitu: 1. Konsep Diri Konsep diri adalah pandangan dan perasaan individu tentang diri sendiri. Individu mempersepsi diri tentang keadaan psikologis, sosial, dan fisiknya (Rakhmat, 2004:99). 2. Penerimaan Diri Penerimaan diri merupakan ungkapan perasaan senang dan puas terhadap kenyataan diri sendiri. Penerimaan diri sendiri tersebut pada dasarnya merupakan perwujudan dari rasa puas, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap kemampuan yang ada pada dirinya. Disamping itu, individu yang menyadari dimilikinya (Chaplin, 1999: 450). keterbatasan-keterbatasan yang 17 1. 4. Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui gambaran konsep diri anak jalanan di RPSA Kota Semarang. 2. Untuk mengetahui gambaran penerimaan diri anak jalanan di RPSA Kota Semarang. 3. Untuk mengetahui pengaruh konsep diri terhadap penerimaan diri pada anak jalanan di RPSA Kota Semarang. 1. 5. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dilakukannya penelitian ini yaitu: 1. Manfaat Teoritis Manfaat teoretis dari penelitian ini adalah untuk menambah kajian pengetahuan dan pengembangan di bidang ilmu psikologi, khususnya dalam konsentrasi psikologi sosial. 2. Manfaat Praktis Memberikan gambaran latar belakang secara mendalam khususnya mengenai penerimaan diri dan konsep diri pada anak jalanan ditinjau dari psiologi sosial. 18 1. 6. Sistematika Skripsi Sistematika skripsi ini terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian pendahuluan, bagian isi, dan bagian akhir. Bagian Pendahuluan berisi halaman judul, pengesahan, halaman motto dan persembahan, kata pengantar, daftar isi, daftar tabel daftar lampiran. Bagian Isi terdiri dari lima bab, yaitu pendahuluan, kajian teoritis dan hipotesis, metode penelitian dan hasil penelitian serta penutup. Untuk memberikan gambaran menyeluruh materi secara garis besar dalam penelitian, dibawah ini diuraikan sistematika skripsi sebagai berikut : Bab I Pendahuluan, pada bab ini berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, penegasan istilah, manfaat penelitian, dan sistematika penelitian. Bab II Kajian Teoretis, bab ini berisi tentang konsep diri, penerimaan diri, anak jalanan, Rumah Perlindungan Sosial Anak, hubungan konsep diri dan penerimaan diri dan hipotesis. Bab III, Metode Penelitian, berisi tentang variabel penelitian, definisi operasional, populasi dan sampel, metode pengumpulan data, uji validitas dan uji reliabilitas, dan teknik analisis data. Bab IV Laporan hasil penelitian dan pembahasan Bab V Penutup, yang berisi simpulan dan saran Bagian akhir berisi daftar pustaka dan lampiran-lampiran BAB 2 KAJIAN TEORI 2. 1. Penerimaan Diri Penerimaan diri merupakan komponen dari kesehatan mental. Seseorang yang memilki penerimaan diri yang baik merupakan orang yang berpribadi matang. Orang yang sehat secara psikologis memandang dirinya disenangi, mampu berharga dan diterima oleh orang lain, sedangkan orang yang menolak dirinya biasanya tidak bahagia dan tidak mampu membangun serta melestarikan hubungan baik dengan orang lain. (Supratiknya, 1995, 85-86). 2. 1. 1. Pengertian Penerimaan Diri Menurut Chaplin (1999: 450) penerimaan diri merupakan sikap yang pada dasarnya merasa puas dengan diri sendiri, kualitas-kualitas dan bakat-bakat sendiri, dan pengakuan akan keterbatasan-keterbatasan sendiri. Orang yang mampu menerima dirinya, mampu pula menerima orang lain walaupun keadaannya berbeda. Penerimaan diri mempunyai pandangan positif tentang dirinya serta menerima dan menyadari bahwa manusia mempunyai keterbatasan dan kelemahan pada dirinya. Sulaeman (1995:20) mengemukakan bahwa seseorang yang menerima dirinya memiliki penghargaan yang tinggi tentang sumber-sumber yang ada pada dirinyadigabung dengan penghargaan tentang kebergunaan dirinya, percaya akan norma-norma serta keyakinan-keyakinan sendiri, dan juga mempunyai pandangan 19 20 realistis tentang keterbatasan-keterbatasan tanpa menimbulkan tindakan penolakan diri. Berarti, penerimaan diri adalah kesadaran individu untuk menerima, mengenal, dan menghargai potensi-potensi dirinya. Supratiknya (1995:84-85) mendefinisikan penerimaan diri dengan memiliki penghargaan yang tinggi terhadap diri sendiri, atau lawannya, tidak besikap sinis terhadap diri sendiri. Penerimaan diri ini berkaitan dengan tiga hal, antara lain: 1. Kerelaan kita untuk membuka atau mengungkapakan aneka pikiran, perasaan, dan reaksi kita kepada orang lain. Penerimaan diri dibangun lewat pemahaman kita bahwa orang lain menerima kita. Jika orang lain memandang kita berharga, maka kita pun akan memandang diri kita berharga. 2. Kesehatan psikologis berkaitan erat dengan kualitas perasaan kita terhadap diri sendiri. Orang yang sehat secara psikologis memandang dirinya disenangi, mampu, berharga, dan diterima oleh orang lain. Agar kita tumbuh dan berkembang secara psikologis, maka kita harus menerima diri kita. 3. Penerimaan kita terhadap orang lain. Orang yang menerima diri biasanya lebih bisa menerima orang lain. Bila kita berpikiran positif tentang diri sendiri, maka kita pun akan berpikir positif tentang orang lain. Penerimaan diri menurut Hurlock (1974:434) adalah tingkat dimana individu benar-benar mempertimbangkan karakteristik pribadinya dan mau hidup dengan karakteristik tersebut. Orang yang menerima dirinya memiliki penilaian realistik tentang potensi-potensi dan harga dirinya, bertanggung jawab terhadap 21 norma-norma yang ada dan juga berpikir realistis tentang kekurangan-kekurangan dirinya tanpa menyalahkan diri sendiri atas kekurangan tersebut. Penerimaan diri erat kaitannya dengan konsep diri yang dimiliki seseorang. Semakin positif konsep dirinya maka akan semakin tinggi penerimaan dirinya, begitu juga sebaliknya, jika konsep diri yang dimiliki seseorang rendah maka akan rendah penerimaan dirinya. Penerimaan diri lebih mengarah pada kerendahan hati dan kedermawanan seseorang. Orang yang memiliki penerimaan diri yang baik dapat menerima dirinya sendiri secara apa adanya (Calhoun dan Acocella, 1995:73). Dari beberapa definisi diatas, jadi yang dimaksud dengan penerimaan diri adalah sikap individu yang mencerminkan perasaan menerima dan senang atas segala kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya serta mampu mengelola segala kekhususan diri dengan baik sehingga dapat menimbulkan kepribadian dan fisik yang sehat. 2. 1. 2. Kondisi yang Mempengaruhi Pembentukan Penerimaan Diri Hurlock (1974:434) menyatakan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi orang menyukai dan menerima dirinya. Faktor tersebut merupakan kebalikan dari faktor-faktor yang mengakibatkan penolakan diri. Menurut Hurlock (1974:435) kondisi yang dapat mempengaruhi penerimaan diri tersebut adalah: 1. Pemahaman diri Pemahaman diri adalah suatu persepsi atas diri sendiri yang ditandai oleh keaslian bukan kepura-puraan, realistis bukan khayalan, kebenaran bukan kebohongan, keterusterangan bukan berbelit-belit. Pemahaman diri dan penerimaan diri memiliki hubungan positif, semakin baik seseorang 22 memahami dirinya maka semakin baik ia menerima dirinya apa adanya, dengan adanya pemahaman pada diri sendiri, maka secara tidak langsung orang akan berusaha untuk mengerti, memahami dan menerima semua yang ada pada dirinya tersebut, termasuk semua kelebihan serta kekurangannya, sehingga dapat diartikan sebagai individu yang tidak bermasalah dengan dirinya sendiri (Oktaviana, 2004:5) 2. Harapan yang realistis Ketika pengharapan seseorang terhadap sukses yang akan dicapai merupakan pengharapan yang realistis, kesempatan untuk mencapai sukses tersebut akan muncul. Adanya kesempatan tersebut akan mendukung terbentuknya kepuasan diri sendiri yang pada akirrnya membentuk sikap penerimaan terhadap diri sendiri. 3. Tidak hadirnya hambatan-hambatan dari lingkungan Ketidakmampuan untuk mencapai tujuan yang realistik dapat disebabkan oleh ketidakmampuan individu yang bersangkutan untuk mengontrol adanya hambatan-hambatan dari lingkungan. Seseorang yang menyadari bahwa sebenarnya dia mampu, tetapi karena ada hambatan dari lingkungan (misalnya diskriminasi ras, gender, kepercayaan) akan sukar untuk memiliki penerimaan diri yang baik. Sikap tidak senang terhadap diri atau kurangnya penerimaan terhadap diri dapat juga dipengaruhi oleh adanya pemberian label-label yang berkembang dalam masyarakat terhadap orang atau komunitas tertentu. Jika hambatan-hambatan dari lingkungan tersebut dihilangkan, seseorang akan dapat mencapaui tujuan yang realistik. Tercapainya tujuan akan 23 mengakibatkan individu yang bersangkutan merasa puas dan kemudian akan mendukung terbentuknya penerimaan diri. 4. Tingkah laku sosial yang mendukung Peranan lingkungan sosial terhadap seseorang dapat membentuk tingkah laku orang tersebut. Seseorang yang mengalami perlakuan lingkungan sosial yang mendukung akan dapat menerima dirinya dengan lebih baik. 5. Tidak adanya tekanan emosi yang berat Tekanan yang berat dan terus menerus seperti yang terjadi di lingkungan kerja atau di rumah, di mana kondisi emosi sedang tidak baik dapat mengakibatkan gangguan yang berat pada seseorang, sehingga tingkah laku orang tersebut dinilai menyimpang dan orang lain menjadi terlihat selalu dan menolak orang tersebut. Tidak adanya tekanan emosi membuat seseorang dapat melakukan yang terbaik dan dapat berpandangan keluar dan tidak memiliki pandangan hanya kedalam diri saja. Tanpa tekanan emosi juga dapat membuat seseorang santai dan bahagia. Kondisi-kondisi ini memberikan sumbangan positif bagi penilaian terhadap lingkungan sosial yang menjadi dasar terhadap penilaian diri sendiri dan terhadap penerimaan diri. 6. Sukses yang terjadi Kegagalan yang sering menimpa menjadikan seseorang menolak dirinya sendiri. Sebaliknya, kesuksesan yang sering terjadi menumbuhkan penerimaan terhadap dirinya sendiri. Sering atau tidaknya sukses yang terjadi dapat dinilai secara kuantitatif dan juga secara kualitatif. Secara kuantitatif berarti jumlah 24 terjadinya kesuksesan lebih banyak dari pada kegagalan. Secara kualitatif maksudnya, walaupun jumlah terjadinya kegagalan lebih banyak dari pada kesuksesan, namun kesusksesan yang terjadi tersebut merupakan sesuatu yang sangat penting dan sangat berarti yang dapat melebihi julah kegagalan tersebut, baik dari penilaian masyarakat maupun diri sendiri. 7. Identifikasi dengan orang yang mempunyai penyesuaian diri yang baik Individu yang mengidentifikasika diri dengan orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik akan terpengaruh untuk mengembangkan tingkah laku positif terhadap hidupnya. Tingkah laku positif tersebut menandakan penilaian diri yang positif seta menunjukkan adanya penerimaan diri yang baik. 8. Cara seseorang melihat diri sendiri (konsep diri) Seseorang yang dapat melihat dirinya sendiri dengan benar, memiliki pengertian terhadap diri sendiri. Cara seseorang memandang diri sendiri atau konsep diri yang stabil akan menentukan bagaimana penerimaan diri seseorang. Memiliki konsep diri yang stabil dapat meningkatkan potensi yang terbaik dari diri sendiri dengan senantiasa belajar meningkatkan kemampuan diri, dan memanfaatkan kesempatan serta peluang yang ada. 9. Pendidikan yang baik pada masa kanak-kanak Meskipun bermacam-macam penyesuaian yang dilakukan oleh seseorang dapat mengubah secara radikal dan membuat hidupnya semakin baik, namun pusat dari konsep diri yang menentukan jenis penyesuaian diri yang akan dilakukan terletak pada masa kanak-kanak. 25 Selain kondisi-kondisi yang mempengaruhi penerimaan diri yang tersebut diatas, faktor pendidikan dan dukungan sosial juga dapat mempengaruhi penerimaan diri seseorang. Penerimaan diri akan semakin baik apabila ada dukunngan dari lingkungan sekitar, hal ini dikarenakan individu yang mendapat dukungan sosial akan mendapat perlakuan yang baik dan menyenangkan. Sedangkan faktor pendidikan juga tidak kalah pentingnya dalam mempengaruhi penerimaan diri seseorang, dimana individu yang memiliki pendidikan lebih tinggi pada umumnya akan memiliki tingkat kesadaran yang lebih tinggi pula 2. 1. 3. Ciri-Ciri Orang yang Menerima diri sendiri Sheerer dalam Cronbach (1963:223) terdapat ciri-ciri orang yang dapat menerima diri dengan baik: 1. Memiliki keyakinan akan kemampuannya menghadapi kehidupan. 2. Tidak menganggap dirinya aneh atau abnormal dan tidak menganggap orang lain menolak dirinya. 3. Menganggap dirinya berharga sebagai seorang manusia, sederajat dengan orang lain. 4. Tidak malu dan tidak hanya memperhatikan dirinya. 5. Berani memikul tanggung jawab terhadap perilakunya. 6. Dalam berperilaku menggunakan norma dirinya. 7. Mampu menerima pujian dan celaan secara obyektif. 8. Tidak menyalahkan atas keterbatasan dalam dirinya atau mengingkari kelebihannya 26 Menurut Allport dalam Wrastari dan Handadari (2003:21), seseorang yang menerima dirinya akan memiliki ciri sebagai berikut: 1. Memiliki gambaran yang positif tentang dirinya. 2. Dapat mengatur dan dapat bertoleransi dengan rasa frustasi atau kemarahannya. 3. Dapat berinteraksi dengan orang lain tanpa memusuhi mereka apabila orang lain memberikan kritikan. 4. Dapat mengatur keadaan emosi mereka (seperti depresi, kemarahan, rasa bersalah). 5. Mengekspresikan keyakinan dan perasaan mereka dengan mempertimbangkan perasaan dan keadaan orang lain. Menurut Sulaeman (1995:20), tanda-tanda penerimaan diri antara lain: 1. Seseorang yang menerima keadaan dirinya memiliki penghargaan yang realistis tentag sumber-sumber yang ada pada dirinyadigabungkan dengan penghargaan tentang kebergunaan dirinya. 2. Seseorang yang menerima dirinya mengenal dan menghargai potensi-potensi yang ada pada dirinya, menyadari kekurangan tanpa terus menerus menyesalinya. 3. Ciri yang paling menonjol pada seseorang yang memiliki penerimaan diri adalah spontanitas dan tanggung jawab untuk dirinya. Mereka akan menerima kualitas-kualitas kemanusiaannya tanpa menyalahkan diri sendiri, jika terjadi hal-hal diluar kontrolnya. 27 2.1.4 Pengaruh Penerimaan Diri Untuk lebih mudahnya, Hurlock (1974:437) membagi pengaruh dari penerimaan diri menjadi dua, yaitu: 1. Pengaruh pada penyesuaian diri. Seseorang yang dapat menerima dirinya mampu menerima seluruh kelebihan dan kelemahan dirinya, ia mampu mengenal kelemahan dirinya sebaik ia mengenal kelebihan dirinya sendiri. Karakteristik orang yang dapat menyesuaikan diri adalah dapat menerima kelebihan dirinya dan lebih memaksimalkan kelebihan tersebut serta memanimalisir kelemahannya. Orang yang menerima diri dapat menerima kritikan tanpa mengurangi rasa penerimaan dirinya, menyadari bahwa bagaimanapun ia tidak sempurna. Ketika mendapat kritikan, orang tersebut akan berusaha untuk memperbaiki kelemahannya. Adanya penerimaan diri dapat mendorong seseorang untuk mengatasi masalahmasalah dalam hidupnya dan bahwa ia dapat diterima oleh orang lain. Orang yang menerima dirinya akan mengevaluasi dirinya secara realistis dan menggunakan kemampuannya secara efektif. Hal yang penting, orang yang menerima diri tidak ingin menjadi orang lain. Ia merasa puas dengan dirinya sendiri. Ia akan meningkatkan kualitasnya dan meminimalisir kelemahannya. 2. Pengaruh pada penyesuaian sosial. Penerimaan diri akan disertai oleh penerimaan terhadap orang lain. Orang yang menerima dirinya akan merasa aman untuk bersama dan berhubungan dengan orang lain dan menunjukkan empati. Sebagai hasilnya, ia dapat membuat 28 penyesuaian sosial yang lebih baik dari pada orang yang berorientasi pada diri sendiri karena adanya perasaan tidak cukup dan perasaan rendah diri. Orang yang menerima dirinya memiliki toleransi dengan orang lain, memaafkan kelemahan-kelemahannya. Toleransi dengan orang lain seringkali menyertai keinginan untuk menolong orang lain. Ketika orang yang menerima dirinya tidak berorientsi pada diri sendiri dan tidak menyalahkan orang lain akan kelemahan-kelemahannya, ia akan menolong orang yang membutuhkan disekitarnya. Secara umum, semakin baik orang menerima dirinya maka akan semakin baik pula penerimaannya terhadap orang lain. 2. 2. Konsep diri Manusia dilahirkan sebagai individu yang belum mendapat pengaruh apapun dari lingkungan sekitarnya. Dalam perkembangan kepribadian seseorang sangat dipengaruhi terutama oleh lingkungan keluarga, karena orang-orang yang dikenal pertama kali oleh individu adalah orang tua dan anggota keluarga lain, baru kemudian pengaruh lingkungan sekitar akan menjadi pengaruh selanjutnya setelah individu tersebut melakukan interaksi. Konsep diri bukan merupakan faktor yang dibawa sejak lahir, tetapi konsep diri terbentuk melalui proses belajar sejak masa pertumbuhan seseorang, yaitu dari masa kecil hingga dewasa. Karena untuk selanjutnya konsep diri mempunyai peranan penting dalam menentukan perilaku individu. Bagaimana individu memandang dirinya, akan tampak dalam seluruh perilakunya tersebut. 29 Perilaku individu tersebut akan sesuai dengan cara individu memandang dirinya sendiri (Pudjijogyanti, 1991:4). Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa individu tidak dilahirkan dengan konsep diri. Konsep diri muncul sebagai pengalaman yang didapatkan dari proses interaksi dengan orang-orang yang ada disekitarnya. Perlakuan orang-orang tersebutlah yang menjadikan cerminan tentang diri kita. 2. 2. 1. Pengertian Konsep Diri Menurut Burns (1993:vi) konsep diri adalah satu gambaran campuran dari apa yang kita pikirkan, pikiran atau pendapat orang lain mengenai diri kita, dan seperti apa diri kita yang kita inginkan. Brooks dalam Rakhmat (2004:99) mendefinisikan konsep diri sebagai segala persepsi tentang diri sendiri, secara fisik, sosial, dan psikologis yang diperoleh berdasarkan pengalaman dan interaksi dengan orang lain. Pudjijogyanti (1991:2) mengemukakan bahwa konsep diri merupakan sikap dan pandangan individu terhadap seluruh keadaan dirinya. Cawagas dalam Pudjijogyanti (1991:2) menyatakan bahwa konsep diri mencakup seluruh pandangan individu akan dimensi fisiknya, karakteristik pribadinya, kegagalan dan sebagainya. Menurut Calhoun (1995:67) konsep diri adalah pandangan diri atau potret mental terhadap diri sendiri yang meliputi tiga dimensi, yaitu pengetahuan, pengharapan dan penilaian tentang diri sendiri. Chaplin (2002:450) menyatakan bahwa konsep diri merupakan evaluasi individu mengenai diri sendiri; penilaian atau penaksiran mengenai diri sendiri oleh individu yang bersangkutan. 30 Selanjutnya Hall dan Lindzey (dalam Nuryoto dan Ampuni, 2006:144) memberikan dua pengertian mengenai konsep diri, yaitu: 1. Konsep diri yang bersifat objektif, diartikan sebagai suatu pandangan atau persepsi individu terhadap dirinya sendiri atau memberikan gambaran tentang individu dan ini akan membentuk citra diri individu (self image). 2. Konsep diri yang bersifat subjektif, merupakan penilaian individu terhadap dirinya sendiri, dalam penilaian ini akan membentuk penerimaan terhadap dirinya (self acceptance) serta akan membentuk harga dirinya (self esteem). Self esteem ini berasal dari interaksi individu dengan lingkungannya, serta penghargaan, penerimaan dan perlakuan yang diterima individu dari lingkungannya. Apabila seseorang memiliki harga diri yang tinggi maka konsep dirinya positif, demikian pula sebaliknya. Konsep diri menurut Rakhmat (2004:99) yaitu pandangan atau gambaran, perasaan, serta penilaian tentang diri sendiri yang dapat bersifat psikologis, sosial dan fisik. 2. 2. 2. Ciri-Ciri Konsep Diri Setelah melihat definisi tentang konsep diri di atas, maka berikut akan dijelaskan mengenai konsep diri yang dapat dibedakan menjadi dua macam konsep secara umum yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif, adapun ciriciri konsep diri negatif dan positif dijelaskan oleh William D Brooks dan Philip Emmert (dalam Rahmat, 2004:105) sebagai berikut: 31 2. 2. 2. 1. Ciri-ciri konsep diri positif 1) Yakin akan kemampuannya mengatasi masalah. 2) Merasa setara dengan orang lain. 3) Menerima pujian tanpa rasa malu. 4) Menyadari bahwa setiap orang mempunyai berbagai keinginan, perasaan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui oleh masyarakat. 5) Mampu memperbaiki dirinya karena sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha merubahnya. 2.2.2.2. Ciri-ciri konsep diri negatif 1) Peka pada kritik, yang ditunjukkan dengan mudah marah, koreksi dipersepsi sebagai upaya menjatuhkan harga diri dalam komunikasi menggunakan dialog terbuka dan bersikeras mempertahankan pendapat sekalipun logikanya keliru. 2) Responsif sekali terhadap pujian, yang ditunjukkan dengan pura-pura menghindari pujian dan sesuatu yang menunjang harga dirinya menjadi pusat harga dirinya. 3) Krisis berlebihan, yang ditunjukkan dengan selalu mengeluh, mencela siapapun, tidak sanggup dan tidak pandai mengungkapkan penghargaan atau pengakuan pada orang lain. 4) Cenderung merasa tidak disenangi orang lain, ia merasa tidak diperhatikan. Karena itulah ia bereaksi pada orang lain sebagai musuh, sehingga tidak pernah melahirkan kehangatan dan keakraban persahabatan. Ia tidak pernah mempersalahkan dirinya, tetapi akan menganggap dirinya sebagai korban dari sistem sosial yang tidak beres. 32 5) Bersikap pesimis terhadap kompetisi, seperti terungkap dalam keengganannya untuk bersaing dengan orang lain dalam membuat prestasi. Ia menganggap tidak akan berdaya melawan persaingan yang merugikan dirinya. Ciri-ciri konsep diri positif dan negatif dari pendapat William D Brooks dan Philip Emmert tersebut maka dapat diidentifikasikan tanda-tanda seorang individu yang memiliki konsep diri negatif serta konsep diri positif. Individu yang memiliki konsep diri positif adalah individu yang memiliki keyakinan akan kemampuannya mengatasi masalah, merasa setara dengan orang lain, mampu menerima pujian karena layak menerimanya, menyadari bahwa setiap orang memiliki bermacam perasaan, harapan, serta perilaku yang tidak disetujui dalam masyarakat, sehingga memiliki kemampuan merubah diri untuk lebih baik lagi dalam kualitas hidupnya. Sedangkan individu dengan konsep diri negatif yaitu individu yang peka terhadap kritik, responsif terhadap pujian, krisis berlebihan, cenderung merasa tidak disenangi orang lain, serta bersikap pesimis terhadap tantangan dan persaingan. Dari beberapa uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep diri adalah cara pandang atau penilaian individu terhadap diri sendiri, baik yang bersifat fisik, sosial maupun psikologis, yang didapat dari hasil interaksi dengan orang lain serta pengalaman-pengalaman yang dilalui selama hidupnya. 33 2. 2. 3. Komponen konsep diri Burns (1993:66) mengemukakan komponen dari konsep diri, yaitu: 1. Keyakinan pengetahuan atau komponen kognitif. Pengetahuan atau komponen kognitif ini mewakili sebuah deskripsi dari suatu obyek dengan tidak memandang apakah pengetahuan itu benar atau salah, didasarkan atas bukti yang obyektif maupun opini yang subyektif. 2. Komponen Afektif. Merupakan deskripsi-deskripsi diri dan keyakinan-keyakinan yang semuanya diinvestasikan dengan nada-nada tambahan yang diekspresikan dengan emosional. 3. Evaluasi. Merupakan penilaian diri terhadap komponen kognitif yang berhubungan dengan kebudayaan, fisik dan hubungan sosial. Evaluasi diri ini sifatnya tetap atau dapat berubah sesuai dengan pengalaman belajar yang dipelajarinya dan dapat berupa evaluasi diri positif maupun evalusi diri negatif. Evaluasi diri disebut pula dengan perasaan harga diri. 4. Suatu kecenderungan untuk memberi respon. Menurut Pudjijogyanti (1991:3) menyatakan bahwa konsep diri terbentuk atas dua komponen, yaitu: 1. Komponen Kognitif Merupakan pengetahuan individu tentang keadaan dirinya yang akan membentuk gambaran tentang diri (self-picture) dan akan membentuk citra diri (self-image). Komponen kognitif ini merupakan data yang bersifat obyektif. 34 2. Komponen afektif Merupakan penilaian individu tentang dirinya yang akan membentuk penerimaan diri (self-acceptance) serta harga diri (self-esteem). Berdasarkan kedua komponen tersebut dengan demikian dapat dikatakan bahwa konsep diri tidak dapat terlepas dari masalah gambaran diri, citra diri, penerimaan diri serta harga diri. Konsep diri individu yang sehat adalah ketika konsisten dengan pikiran, pengalaman dan perilaku. Konsep diri yang kuat bisa mendorong seseorang menjadi fleksibel dan memungkinkan ia untuk berkonfrontasi dengan pengalaman atau ide baru tanpa merasa terancam. 2. 2. 4. Aspek-aspek konsep diri Kemudian aspek konsep diri menurut Hurlock (1978:237) sendiri meliputi: 1. Aspek fisik Terdiri dari konsep yang dimiliki individu tentang penampilannya, kesesuaian dengan seksnya, arti penting tubuhnya dalam hubungan dengan perilakunya, dan gengsi yang diberikan tubuhnya di mata orang lain. 2. Aspek psikologis Terdiri dari konsep individu tentang kemampuan dan ketidakmampuannya, harga dirinya dan hubungannya dengan orang lain. Dalam menentukan perilaku individu, konsep diri mempunyai peranan penting. Bagaimana individu memandang atau menilai dirinya sendiri akan tampak jelas dari seluruh perilakunya. 35 Isi konsep diri menurut Burns (1993:209-210), yaitu: 1) Karakteristik-karakteristik fisik, termasuk di dalamnya penampilan secara umum, ukuran tubuh dan berat tubuh; sosok dan bentuk tubuh, dan detaildetail dari kepala dan tungkai lengan. 2) Cara berpakaian, model rambut dan make-up. 3) Kesehatan dan kondisi fisik. 4) Benda-benda yang dipunyainya dan pemilikan. 5) Binatang peliharaan dan sikap-sikap terhadap mereka. 6) Rumah dan hubungan keluarga. 7) Olahraga, permainan dan hobi-hobi (partisipasi dan kemampuannya). 8) Sekolah dan pekerjaan sekolah, kemampuan dan sikapnya. 9) Status intelektual, kecerdasan. Semakin dewasa dan semakin tinggi kecerdasan seseorang, maka semakin mampu dia menggambarkan dirinya sendiri, serta semakin baik pula konsep dirinya (Sarwono, 1997:147). 10) Bakat khusus dan kemampuan khusus atau minat khusus. 11) Ciri kepribadian, termasuk di dalamnya temperamen, disposisi, ciri karakter, tendensi emosional, dan lain-lain. 12) Sikap dan hubungan sosial. 13) Ide religius, minat religius, keyakinan dan praktek religius. 14) Pengelolaan peristiwa-peristiwa praktis; kemandirian. Dari berbagai pandangan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah suatu cara pandang menyeluruh yang dimiliki seseorang mengenai 36 dirinya yang meliputi pengetahuan tentang diri sendiri, pengharapan, dan penilaian diri, yang diperoleh berdasarkan pengalaman dan interaksi dengan orang lain. 2. 2. 5. Faktor yang mempengaruhi pembentukan dan perkembangan konsep diri Pembentukan konsep diri saat usia remaja menjadi sangat penting karena akan mempengaruhi kepribadian, tingkah laku, dan pemahamannya terhadap diri sendiri. Remaja berusaha menyesuaikan antara konsep diri ideal yang dibangun berdasarkan cita-cita dan harapannya dengan konsep diri real, yaitu keadaan diri yang sesungguhnya. Konsep diri pada remaja diperolehnya melalui bagaimana orang lain dan lingkungan sekitar memperlakukan dirinya. Menurut Sullivan dalam Rakhmat (2004:101), “Jika kita diterima orang lain, dihormati dan menerima diri kita, maka kita akan menerima diri kita dengan baik. Sebaliknya bila orang lain selalu meremehkan dan menyalahkan kita, maka kita akan cenderung untuk menolak diri kita”. Tetapi tidak semua remaja dapat mengembangkan konsep diri secara positif, dalam hal ini yaitu menerima dirinya, karena hal ini berkaitan dengan faktor-faktor yang akan mempengaruhi konsep diri pada masing-masing individu. 37 Djalaluddin Rakhmat (2004:100) menyatakan faktor-faktor yang membentuk konsep diri adalah: 1. Orang Lain (significan others) Orang lain yang memiliki pengaruh dalam kehidupan misalnya orang tua dan teman. Pujian yang diberikan, dorongan, semangat yang diberikan mereka menyebabkan menilai diri kita secara efektif. 2. Kelompok Rujukan (group reference) Dalam suatu kelompok ada norma-norma yang secara emosional mengikat kita dan berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri kita. Misalnya bergabung dalam kelompok pecinta alam, maka kita akan memiliki konsep diri sebagai seseorang yang memelihara alam, mencintai alam. Dalam konsep diri menurut Burns (1993:188-189) terdapat lima buah sumber penting dalam pembentukan konsep diri seseorang. Kelima sumber itu adalah: 1. Citra tubuh Yaitu evaluasi terhadap diri fisik sebagai suatu obyek yang jelas berbeda. 2. Bahasa Merupakan kemampuan untuk mengkonseptualisasikan dan memverbalisasikan diri serta untuk memudahkan pemahaman atas banyak umpan balik dari orang lain. 3. Umpan balik yang ditafsirkan dari lingkungan tentang bagaimana orang lain yang dihormati memandang pribadi tersebut secara relatif ada dibandingkan norma-norma dan nilai-nilai masyarakat yang bermacam-macam. 38 4. Identifikasi dengan modal peranan seks stereotip yang sesuai. 5. Praktek-praktek membesarkan anak. Kelima sumber tersebut tidak dapat berfungsi secara bebas, melainkan saling terkait secara erat dalam kehidupan sosial. Sejalan dengan pendapat tersebut diatas, Mead (Pudjijogyanti, 1991:27) mengemukakan bahwa konsep diri merupakan produk sosial yang dibentuk melalui proses internalisasi dan organissi pengalaman-pengalaman psikologis. Pengalaman-pengalaman ini merupakan hasil eksplorasi individu terhadap lingkungan fisiknya dan refleksi dari dirinya yang diterima dari orang-orang penting (significant others) disekitarnya. Jika lingkungan memberikan sikap yang baik dan positif, maka seseorang akan merasa dirinya cukup berharga sehingga timbullah konsep diri yang positif, begitu pula sebaliknya. Selain itu mempengaruhinya, dalam konsep diri terdapat faktor-faktor yang faktor-faktor tersebut Menurut Hurlock (1980:235) antara lain: 1. Usia kematangan Pengembangan konsep diri yang menyenangkan akan dapat menyesuaikan diri dengan baik. 2. Penampilan diri Daya tarik fisik menimbulkan penilaian yang menyenangkan tentang ciri kepribadian dan akan menambah dukungan sosial. 39 3. Kepatutan seks Kepatutan seks dalam penampilan diri, minat, dan perilaku akan membantu individu mencapai konsep diri yang baik. 4. Nama dan julukan Julukan yang diberikan teman-teman akan mempengaruhi konsep diri seseorang. Misalnya julukan si bodoh, ladang jerawat, dan sebagainya yang bernada ejekan akan mempengaruhi konsep diri. 5. Hubungan keluarga Melalui hubungan yang erat dengan keluarga akan membuat lebih mudah bagi remaja untuk mengembangkan pola kepribadiannya melalui identifikasi dengan anggota keluarga tersebut. Bila sesama jenis, maka akan membantu remaja mengembangkan konsep diri yang layak untuk jenis kelaminnya. 6. Teman-teman sebaya Teman sebaya mempengaruhi pola kepribadian remaja dalam dua cara. Pertama, konsep diri remja merupakan cerminan tentang konsep teman-teman terhadap dirinya. Kedua, remaja berada dalam tekanan untuk mengembangkan ciri kepribadian yang diakui kelompok. 7. Kreativitas Remaja yang sejak kanak-kanak didorong untuk mengembangkan perasaan individualitas dan identitas yang berpengaruh baik terhadap konsep dirinya. 40 8. Cita-cita Cita-cita yang tidak realistik membuatnya mengalami kegagalan dan menyalahkan orang lain atas kegagalannya. Sebaliknya, cita-cita yang realistik cenderung mengalami keberhasilan sehingga membuatnya percaya diri. Menurut Pudjijogyanti (1991:14) mengemukakan empat hal yang dapat mempengaruhi perkembangan konsep diri: 1. Citra fisik atau sikap positif terhadap fisik 2. Peran jenis kelamin 3. Peran perilaku orang tua 4. Peranan faktor sosial Proses perkembangan konsep diri tidak pernah sungguh-sungguh berakhir, hal itu berjalan terus dengan aktif dari saat kelahiran sampai pada kematian sejalan dengan individu tersebut secara terus menerus menemukan potensi-potensi yang baru dalam proses perkembangannya. Untuk memiliki konsep diri, seseorang harus memandang dirinya sendiri sebagai sebuah obyek yang jelas berbeda dan mampu melihat dirinya dari obyek-obyek lainnya (Burns, 1993:188). Berdasarkan berbagai pendapat yang telah mengemukakan tentang konsep diri dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, maka dapat dikatakan secara jelas dapat dikatakan bahwa konsep diri bukanlah diwariskan atau ditentukan secara biologis, tetapi merupakan hal yang dipelajari dari proses interaksi, belajar dan pengalaman-pengalaman. Konsep diri individu terbentuk dan berkembang melalui jalan dari hasil pengaruh interaksi yang dilakukan melalui hubungan sosial dengan 41 lingkungan terutama lingkungan keluarga, pendidikan dan hasil tanggapan dari orang lain. 2. 3. Anak Jalanan 2. 3. 1. Pengertian Anak Jalanan Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, definisi anak yaitu seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. UNICEF mendefinisikan anak jalanan atau street children dengan istilah yang dipakai untuk menyebutkan anak-anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berada di jalanan kawasan urban (1999:45) memberikan batasan terhadap kelompok ini sebagai “Chilren who work on the streets of urban areas, without reference to the time they spend there or the reasons for being there”. Sedangkan pengertian lainnya menurut Dinas Kasejahteraan Sosial bahwa anak jalanan adalah anak yang sebagian besar menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya (Lokakarya Nasional Anak Jalanan Depsos, Oktober 1995). Definisi yang tersebut diatas memberikan 4 faktor penting yang saling terkait, yaitu: 1. Anak-anak 2. Menghabiskan sebagian besar waktunya 3. Mencari nafkah dan atau berkeliaran 4. Jalanan dan tempat-tempat umum lainnya 42 Faktor-faktor tersebut memperlihatkan terganggunya keberfungsian sosial anak. Penyimpangan-penyimpangan tersebut akan berakibat bagi proses tumbuh kembang anak, karena di jalanan banyak terdapat bentuk ancaman-ancaman yang akan mempengaruhi pribadi anak jalanan itu sendiri. 2. 3. 2. Jenis dan Kategori Anak Jalanan Menurut Dharmono dan Darmabrata (1999:45), berdasarkan latar belakang kehidupan dan motivasi mereka dalam melakoni kehidupan jalanan, maka kelompok anak-anak jalanan ini dapat dibedakan atas dua golongan, yaitu: 1. Golongan anak jalanan pekerjaan perkotaan, yakni mereka yang keberadaannya di jalanan terutama untuk mencari nafkah bagi dirinya maupun keluarganya. Anak-anak jalanan dari golongan ini menekuni kehidupan jalanan terbatas pada pemenuhan aspek ekonomi saja. 2. Golongan anak jalanan “murni”, yakni mereka yang melakoni seluruh aspek kehidupannya di jalanan. Mereka umumnya adalah pelarian dari keluarga bermasalah yang kemudian terlempar pada kehidupan jalanan. Anak-anak dari golongan ini nyaris tidak lagi mempunyai ikatan dengan keluarganya. Shalahuddin (2004) dalam jurnal perempuan (2007:40) membagi anak jalanan dalam tiga kategori, yaitu: 1. Children on the street adalah kelompok anak jalanan yang karena masalah ekonomi terpaksa berada di jalanan dan masih memiliki hubungan dengan keluarga. Ada dua kelompok dalam kategori ini, yaitu: 1) Anak-anak yang tinggal bersama orang tuanya dan senantiasa pulang setiap hari. 43 2) Anak-anak yang melakukan kegiatan ekonomi dan tinggal di jalanan namun masih mempertahankan hubungan dengan keluarga dengan cara pulang, baik secara berkala ataupun dengan jadwal yang tidak rutin. 2. Children of the street adalah anak-anak yang menghabiskan seluruh atau sebagian besar waktunya di jalanan yang tidak memiliki hubungan dengan orang tua atau keluarganya lagi. 3. Children in the street atau children from the families of the street adalah anakanak yang menghabiskan seluruh waktunya di jalanan dari keluarga yang hidup di jalanan. Dalam badan PBB, terdapat suatu lembaga yang mengurusi kesejahteraan penduduk dalam suatu negara, UNICEF membagi 3 kategori anak jalanan, antara lain: 1. Anak jalanan yang bekerja di jalanan (Children on the street). 2. Anak jalanan yang hidup di jalanan (Children of the street). 3. Anak jalanan ditelantarkan karena berbagai sebab (Abadon Child). Sedangkan menurut Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Tengah dalam Materi untuk Petugas Penanganan Anak Jalanana Tahun 2005, jenis-jenis anak jalanan, yaitu: 1. On the street, yaitu menjadi anak jalanan tetapi hanya untuk mencari uang tidak sebagai pekerjaan utama, dan masih berhubungan dengan keluarga. 2. Off the street, yaitu menjadi anak jalanan sebagai pekerjaan utama, semua dilakukan di jalan, dan tidak melakukan kontak/jarang kontak dengan keluarga. 44 3. In the street/high risk to be street children, yaitu berada di jalan karena hanya untuk mencari kesenangan, dan lain-lain. Kategori anak jalanan antara lain: 1. Anak-anak miskin perkampungan kumuh yaitu kaum urban. 2. Pekerja anak perkotaan yaitu anak-anak yang hidup dan bekerja tetapi tidak tinggal bersama orang tua. 3. Anak-anak jalanan yang sudah putus hubungan dengan keluarga. Anak jalanan yang menjadi penerima pelayanan RPSA terbagi kedalam 4 kelompok (dalam Pedoman Penyelenggaraan Pembinaan Anak Jalanan, 1999:26): 1. Anak jalanan yang hidup di jalanan, dengan ciri-ciri: 1) Putus hubungan atau lama tidak bertemu dengan orang tuanya minimal setahun yang lalu. 2) Berada di jalanan seharian dan meluangkan 8-10 jam untuk bekerja, sisanya untuk menggelandang/tidur. 3) Bertempat tingga di jalanan dan tidur di sembarang tempat seperti emper toko, kolong jembatan, taman, stasiun, dan lain-lain. 4) Tidak bersekolah lagi. 5) Pekerjaannya mengamen, mengemis, pemulung, dan serabutan yang hasilnya untuk diri sendiri. 6) Rata-rata berusia di bawah 14 tahun. 45 2. Anak jalanan yang bekerja di jalanan, cirinya: 1) Berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya, yakni pulang secara periodik misalnya seminggu sekali, sebulan sekali, dan tidak tentu. Mereka umumya berasal dari luar kota yang bekerja di jalanan. 2) Berada di jalanan sekitar 8-12 jam untuk bekerja, sebagian mencapai 16 jam. 3) Bertempat tinggal dengan cara mengontrak sendiri atau bersama teman, dengan orang tua/saudaranya, atau di tempat kerjanya di jalan. Tempat tinggal umumnya kumuh yang terdiri orang-orang a 4) Tidak bersekolah lagi. 5) Pekerjaannya menjual koran, pengasong, pencuci bis, pemulung sampah, penyemir sepatu, dan lain-lain. Bekerja merupakan kegiatan utama setelah putus sekolah terlebih diantara mereka harus membantu orang tuanya karena miskin, cacat, atau tidak mampu lagi. 6) Rata-rata usianya dibawah 16 tahun. 3. Anak yang rentan menjadi anak jalanan, cirinya: 1) Setiap hari bertemu dengan orang tuanya (teratur). 2) Berada di jalanan sekitar 4-6 jam untuk bekerja. 3) Tinggal dan tidur bersama orang tua/wali. 4) Masih bersekolah. 5) Pekerjaannya menjual koran, makanan, alat tulis, kantong plastik, menyemir sepatu, pengamen, dan lain-lain untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan orang tuanya. 46 6) Usianya rata-rata di bawah 14 tahun. 4. Anak jalanan berusia 16 tahun keatas, cirinya adalah: 1) Terdiri dari anak yang sudah putus hubungan dan yang berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya. 2) Berada di jalanan dari 8-24 jam, kadang hanya beberapa jam, kadang berada seharian di jalanan. 3) Tempat tinggal dan tidur mereka adalah kadang-kadang di jalanan. 4) Mereka telah tamat SD atau SMP, namun sudah tidak bersekolah. 5) Pekerjaannya tidak tetap, seperti calo, mencuci bis, menyemir sepatu, dan lain-lain. Hasilnya digunakan untuk dirinya maupun memenuhi kebutuhan orang tuanya. Kebutuhan mereka adalah pekerjaan yang tetap. 6) Rata-rata usia mereka adalah diatas 16 tahun. 2. 3. 3. Pekerjaan Anak Jalanan Dalam Badan Kesejahteraan Sosial Nasional (2000:31) secara umum pekerjaan anak jalanan terbagi menjadi dua, yakni: 1. Pekerjaan yang memerlukan modal Jenis-jenis pekerjaan ini adalah pengasong, tukang Koran, penyemir sepatu, dan beberapa pekerjaan lainnya yang memerlukan bahan. 2. Pekerjaan jasa Jenis pekerjaan ini antara lain: mengamen, pemulung, tukang parkir, polisi cepek, pengelap/pencuci bus, dan pekerjaan lainnya yang memerlukan tenaga. 47 2. 3. 4. Karakteristik Anak Jalanan Dalam setiap komunitas yang ada dalam suatu masyarakat pasti mempunyai karakteristik-karakteristik tertentu. Anak jalananpun pada umumnya memiliki beberapa ciri fisik dan psikis yang dapat dengan mudah dikenali, antara lain: Tabel 2.1 Ciri-ciri Anak Jalanan Ciri Fisik Warna kulit kusam Pakaian tidak terurus Rambut kusam Kondisi badan tidak terurus Ciri Psikis Acuh tak acuh Mobilitas tinggi Penuh curiga Sensitif Kreatif Semangat hidup tinggi Berwatak keras Berani menanggung resiko mandiri Sumber: BKSN (2000:24) Adapun karakteristik yang menonjol pada anak jalanan adalah: 1. Nampak kumuh, kotor tapi tidak gembel. 2. Memandang orang lain (diluar orang yang berada di jalanan) sebagai orang yang dimintai uang. 3. Mandiri, tidak terlalu menggantungkan diri pada orang lain, terutama untuk tidur, mandi maupun makan. 4. Muka atau mimik wajah yang melas ketika berhadapan dengan orang lain. 5. Tidak memiliki rasa takut untuk berinteraksi baik bercakap-cakap ataupun sekedar berbicara sedikit dengan siapapun. 6. Malas melakukan kerja anak-anak “rumahan”, misalnya jadwal tidur, mandi. 48 Hendriati (1998:5) juga mengkategorikan karakteristik anak jalanan, yaitu sebagai berikut: 1. Anak jalanan hidup dan mencari penghidupan di jalanan, ciri-ciri: 1) Hidup mandiri. 2) Tidur di sembarang tempat. 3) Mencari nafkah sebagai penyemir, pengamen, penjual asongan. 2. Anak jalanan hidup dan mencari penghidupan di jalanan dengan cara-cara tertentu, ciri-ciri: 1) Hidup mandiri. 2) Mencari nafkah sebagai penyemir, pengamen. 3) Berhubungan dengan keluarga kurang lebih 1-3 bulan sekali. 4) Penghasilan yang mereka terima untuk keperluan orang tua. 3. Anak jalanan yang mencari nafkah di jalanan tetapi pulang ke rumah, ciri-ciri: 1) Menghabiskan sebagian waktunya di jalanan. 2) Waktu tertentu pulang ke rumah orang tuanya. 3) Bekerja di jalanan. 4) Pengaruh perilaku jalanan lebih dominan. 4. Anak jalanan baru gede yang menghabiskan waktunya di jalanan tetapi tidak mencari nafkah, ciri-ciri: 1) Ada kontak dengan orang tua. 2) Pergaulan bebas. 3) Sebagian masuk sekolah atau setengah kuliah, membolos. 4) Dijalanan sore sampai pagi. 49 5) Biasanya mengkonsumsi minuman keras atau obat- obatan terlarang. Karakteristik anak jalanan di kota Semarang (Shalahuddin, 2004:19) antara lain: 1. Jumlah anak jalanan perempuan meningkat dan di beberapa lokasi bahkan jumlahnya lebih besar dibandingkan anak jalanan laki-laki. 2. Semakin besarnya jumlah anak jalanan yang berusia sangat muda. 3. Kehadiran anak-anak yang masih bersekolah semakin tinggi. 4. Jumlah anak jalanan yang berasal dari kota Semarang semakin dominan. 5. Lokasi kegiatan anak semakin meluas. 6. Penguasaan wilayah dan tersingkirnya anak dari luar kota. 7. Munculnya berbagai kegiatan baru yang dilakukan 2. 3. 5. Faktor Penyebab Keberadaan Anak Jalanan Ada 3 tingkatan penyebab masalah anak jalanan (BKSN, 2000:26), yaitu: 1. Tingkat Mikro, yaitu faktor yang berhubungan dengan anak dan keluarganya. Sebab-sebab yang dapat diidentifikasi dari anak dan keluarga saling berkaitan, tetapi dapat juga berdiri sendiri, yakni: 1) Lari dari keluarga, disuruh bekerja (yang masih sekolah atau putus sekolah), berpetualang, bermain-main atau diajak teman. 2) Penyebab dari keluarga; terlantar, ketidakmampuan orang tua menyediakan kebutuhan dasar / kemiskinan, pengangguran ditolak orang tua, salah perawatan atau kekerasan di rumah, kawin muda, perceraian, kesulitan berhubungan dengan keluarga/tetangga, terpisah dengan orang tua, sikap- 50 sikap yang salah terhadap anak, keterbatasan merawat anak yang berakibat anak menghadapi masalah fisik, psikis dan sosial. 2. Tingkat Messo, yaitu faktor di masyarakat. Pada tingkat ini, penyebab yang dapat diidentifikasi meliputi: 1) Pada masyarakat miskin yaitu anak adalah asset untuk membantu peningkatan ekonomi keluarga. 2) Pada masyarakat lain yaitu urbanisasi menjadi kebiasaan dan anak-anaknya mengikuti. 3) Penolakan masyarakat dan anggapan bahwa anak jalanan selalu melakukan tindakan tidak terpuji. 3. Tingkat Makro, yaitu faktor yang berhubungan dengan struktur masyarakat. Pada tingkat struktur masyarakat, penyebab yang dapat diidentifikasi adalah: 1) Ekonomi, adanya peluang pekerjaan sektor informal yang tidak terlalu membutuhkan modal dan keahlian. 2) Pendidikan, biaya sekolah yang tinggi, perilaku guru yang diskriminatif. 3) Penggusuran dan pengusiran keluarga miskin dari tanah/rumah mereka dengan alasan ”demi pembangunan”. 4) Belum seragamnya unsur pemerintah memandang anak jalanan, sebagian berpandangan anak jalanan merupakan kelompok yang memerlukan perawatan (pendekatan kesejahteraan) dan sebagian yang lain memandang anak jalanan sebagai pembuat masalah (pendekatan keamanan). 51 2. 4. Rumah Singgah atau Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) 2. 4. 1. Pengertian Rumah Singgah atau RPSA Menurut Direktorat Bina Pelayanan Sosial Anak dalam Standar Pelayanan Sosial Anak Jalanan Melalui Rumah Singgah (2002:6), Rumah Singgah didefinisikan sebagai suatu wahana yang dipersiapkan sebagai perantara antara anak jalanan dengan pihak-pihak yang akan membantu mereka. Dari pengertian tersebut, maka terkandung unsur-unsur: 1. Rumah singgah memberlakukan proses informal, memberikan perlindungan, dan suasana penanaman kembali nilai dan norma masyarakat kepada anak jalanan. 2. Adanya anak-anak jalanan yang didampingi. 3. Pihak-pihak yang akan membantu mereka karena Rumah Singgah merupakan tahap awal bagi seseorang anak untuk memperoleh pelayanan selanjutnya. Sedangkan Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) adalah unit pelayanan perlindungan lanjutan dari temporary shelter yang berfungsi memberikan perlindungan dan reunifikasi bagi anak yang membutuhkan perlindungan khusus agar anak dapat tumbuh kembang secara wajar. 2. 4. 2. Tujuan Rumah Singgah Tujuan umum Rumah Singgah adalah membantu anak jalanan mengatasi masalah-masalahnya dan menemukan alternatif untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Sedangkan tujuan khususnya adalah: 52 1. Membentuk kembali sikap dan perilaku anak yang sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. 2. Mengupayakan anak kembali ke rumah jika memungkinkan atau ke panti dan lembaga pengganti lainnya jika diperlukan. 3. Memberikan berbagai alternatif pelayanan untuk pemenuhan kebutuhan anak dan menyiapkan masa depannya sehingga menjadi warga masyarakat yang produktif. 2. 4. 3. Fungsi Rumah Singgah Rumah Singgah memiliki fungsi sebagai berikut: 1. Tempat pertemuan (meeting point) pekerja sosial dengan anak jalanan. Tempat penjangkauan pertama kali dan pertemuan pekerja sosial dengan anak jalanan unutk menciptakan persahabatan, kekeluargaan, dan mencari jalan keluar dari kesulitan mereka. 2. Tempat membangun kepercayaan antara anak dengan pekerja sosial dan latihan meningkatkan kepercayaan diri berhubungan dengan orang lain. 3. Perlindungan. Perlindungan dari kekerasan fisik, psikis, seks, ekonomi, dan bentuk lainnya yang terjadi di jalanan. 4. Kuratif-Rehabilitatif. Tempat menanamkan kembali dan memperkuat sikap, perilaku, dan fungsi sosial anak sejalan dengan norma masyarakat. 53 5. Pusat assessment dan rujukan. Tempat memahami masalah yang dihadapi anak jalanan dan menemukan penyaluran kepada lembaga-lembaga lain sebagai rujukan. 6. Fasilitator (media perentara) Sebagai media perantara antara anak jalanan dengan keluarga/lembaga lain, seperti panti, keluarga pengganti, dan lembaga pelayanan sosial lannya. Anak jalanan diharapkan tidak terus-menerus bergantung kepada Rumah Singgah, melainkan dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik melalui atau setelah proses yang dijalaninya. 7. Pusat Informasi. Tempat informasi berbagai hal yang berkaitan dengan kepentingan anak jalanan seperti data dan informasi tantang anak jalanan, bursa kerja, pendidikan, kursus keterampilan, dan lain-lain. 2.5. Hubungan Konsep Diri dengan Penerimaan Diri Anak Jalanan Istilah anak jalanan biasa digunakan oleh orang-orang yang melihat atau mengidentifikasikan kelompok anak-anak yang sebagian besar waktunya berada di jalanan. Sekalipun demikian, kebanyakan dari mereka adalah para remaja yang kegiatannya menyatu dengan jalanan kota. Anak jalanan dalam menjalankan kegiatannya termotivasi oleh hasrat yang besar untuk memperoleh penghasilan sendiri. Selain karena motivasi internal dari diri mereka sendiri, tidak sedikit juga diantara mereka yang turun ke jalan dikarenakan faktor keluarga dan lingkungan. 54 Gambar 2.1. Kerangka Alur Pikir Anak Jalanan Faktor anak turun ke jalan Faktor Sosioekonomi: a. Kemiskinan b. Pendidikan rendah c. Akibat urbanisasi Faktor Keluarga: a. Lari dari keluarga karena broken home b. Disharmoni keluarga c. Family violence d. Anak sebagai household commodity / eksploitasi ekonomi e. Keterbatasan ruang dalam rumah f. Keluarga homeless Faktor Lingkungan: a. Pengaruh teman / Ikut-ikutan teman b. Bermasalah dengan tetangga / komunitas Faktor-faktor lainnya: a. Korban penulikan b. Dampak program c. Korban bencana Konsep Diri Anjal Konsep Diri Positif : Yakin akan kemampuannya mengatasi masalah Merasa setara dengan orang lain Menerima pujian tanpa rasa malu Menyadari setiap orang mempunyai berbagai keinginan, perasaan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui oleh masyarakat 5. Mampu memperbaiki dirinya 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Konsep Diri Negatif : Peka pada kritik Responsif sekali terhadap pujian Krisis berlebihan Cenderung meresa tidak disenangi orang lain, merasa tidak di perhatikan 5. Bersikap pesimis terhadap kompetisi 1. 2. 3. 4. Penerimaan Diri (Faktor-faktor yang mempengaruhi Penerimaan Diri) : Pemahaman diri Harapan yang realistis Tidak hadirnya hambatan-hambatan dari lingkungan Tingkah laku sosial yang mendukung Tidak adanya tekanan emosi yang berat Sukses yang terjadi Identifikasi dengan orang yang mempunyai penyesuaian diri yang baik Cara seseorang melihat diri sendiri Pendidikan yang baik pada masa kanak-kanak Penerimaan Diri Positif Penerimaan Diri Negatif 55 Kondisi atau keadaan dari keberadaan anak-anak jalanan dapat memberikan pengaruh negatif bagi perkembangan mereka sendiri. Situasi yang tidak baik akan sangat mempengaruhi nilai dalam diri anak jalanan yang seringkali akan menimbulkan suatu permasalahan-permasalahan dalam kepribadiannya. Apalagi anak-anak jalanan tersebut sebagian besar merupakan usia dan remaja yang berarti bahwa usia tersebut adalah usia untuk mencari jati diri. Keadaan dan latar belakang turunnya anak pergi ke jalan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Badan Kesejahteraan Sosial Nasional (BKSN) diantaranya yaitu karena kemiskinan, pengangguran, perceraian, kawin muda, kekerasan dalam rumah tangga, dan lain-lain. Hal ini di jelaskan dalam tiga tingkatan, antara lain: pertama tingkat mikro, yaitu faktor yang berhubungan dengan keluarga, diantaranya karena disharmoni keluarga, broken home, family violence, persepsi orang tua bahwa anak sebagai household commodity, adanya keterbatasan ruang dalam rumah. Kedua pada tingkat messo, diantaranya karena faktor kemiskinan, dan urbanisasi. Serta yang ketiga yaitu pada tingkat makro yang mengacu pada rendahnya tingkat pendidikan karena biaya sekolah yang begitu tinggi serta pada bidang ekonomi dengan adanya peluang pekerjaan di sektor informal yang tidak terlalu membutuhkan modal dan keahlian. Dampak dari berbagai macam faktor-faktor tersebut di atas kemudian memunculkan keberadaan dari anak jalanan yang semakin hari kian meningkat jumlahnya. Dari bermacam-macam kondisi yang mendorong anak untuk turun ke 56 jalan tersebut secara tidak langsung akan mempengaruhi bagaimana pembentukan dan perkembangan konsep diri dari anak jalanan tersebut. Keadaan dan latar belakang turunnya anak pergi ke jalan akan mempengaruhi bagaimana konsep diri dari anak jalanan tersebut. Dijelaskan oleh Mead (dalam Burns, 2003:19) bahwa konsep diri sebagai suatu obyek timbul di dalam interaksi sosial sebagai suatu hasil perkembangan dari perhatian individu tersebut mengenai bagaimana orang-orang lain bereaksi kepadanya. Konsep diri merupakan faktor yang dipelajari dan dapat dibentuk melalui pengalaman individu berhubungan dengan orang lain. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan konsep diri antara lain usia kematangan, penampilan diri, kepatutab seks, nama dan julukan, hubungan keluarga, teman-teman sebaya, kreativitas, dan cita-cita. Faktor lingkungan dan pola asuh orang tua juga seyogyanya dapat mempengaruhi dalam pembentukan dan perkembangan konsep diri seseorang (Hurlock, 1980:235). Anak dengan sikap mental yang baik dan tidak mudah terpengaruh dengan lingkungan sekitar yang membuat mereka bersikap negatif, hal tersebut dengan sendirinya akan membentuk konsep diri yang positif pada seseorang. Anak dengan pemikiran yang positf pada diri dan lingkungan mereka, maka akan terbentuk konsep diri yang positif, sebaliknya jika keadaan keluarga dan lingkungan yang tidak baik terjadi pada anak yang goyah kepribadiannya dan tidak labil yang pada umumnya terjadi pada anak-anak jalanan maka akan dapat terbentuk suatu konsep diri negatif dalam diri mereka. Seperti yang dijelaskan oleh William D Brooks dan Phillip Emmert (dalam Rahmat, 2004:105), bahwa 57 secara umum konsep diri dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu konsep diri positif dengan ciri-ciri antara lain yakin akan kemampuannya untuk mengatasi suatu masalah, merasa setara dengan orang lain artinya yaitu sederajat dengan orang lain, menerima pujian tanpa rasa malu, menyadari bahwa setiap orang mempunyai keinginan, perasaan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui oleh masyarakat, serta mampu memperbaiki dirinya karena sanggup mengungkakan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha untuk merubahnya. Sedangkan konsep diri negatif memiliki ciri-ciri antara lain peka pada kritik yang ditunjukkan dengan rasa marah dan koreksi dipersepsi sebagai upaya untuk menjatuhkan harga diri dan bersikeras mempertahankan pendapat sekalipun logikanya salah. Kedua, responsif sekali terhadap pujian yang ditunjukkan dengan pura-pura menghindari pujian tersebut. Ketiga, hiperkrisis yang ditunjukkan dengan selalu mengeluh, mencela siapapun, tidak sanggup dan tidak pandai mengungkapkan penghargaan atau pengakuan pada orang lain. Keempat, cenderung merasa tidak disenangi orang lain dan merasa tidak diperhatikan, sehingga bereaksi pada orang lain sebagia musuh dan tidak pernah melahirkan kehangatan dan keakraban dalam persabatan serta menganggap dirinya sebagai korban dari sistem sosial yang tidak beres. Kelima, bersikap pesimis terhadap kompetisi. Menurut Calhoun dan Acocella (1995:73), bahwa dasar dari konsep diri yang positif bukanlah suatu kebanggaan yang besar tentang diri, tetapi lebih berupa penerimaan diri. Yang menjadikan penerimaan diri mungkin adalah bahwa 58 orang dengan konsep diri positif yaitu dengan mengenal dirinya dengan baik sekali ( Wicklund dan Frey dalam Calhoun dan Acocella, 1995:73). Begitu juga dengan yang terjadi pada anak-anak jalanan, karena berbagai kondisi dan situasi dari latar belakang turun ke jalan hingga masa anak beraktivitas, tinggal dan berinteraksi dengan lingkungan di jalan, selanjutnya pengambilan sikap positif atau negatif dalam menghadapi kehidupannya yang serba begitu keras tersebut akan ditentukan dan ditunjukkan oleh sikap mereka. Dari latar belakang anak turun ke jalan tersebut sebenarnya sudah menunjukkan suatu masalah hingga anak-anak memutuskan untuk hidup atau beraktivitas di jalan. Kemudian lamanya anak beraktivitas, tinggal dan berinteraksi dengan lingkungan di jalan akan menjadikan anak-anak sedikit demi sedikit melakukan penyesuaian dengan culture di jalanan, sedangkan culture jalanan tersebut tidak sedikit yang bersifat negatif, seperti halnya cara berbicara yang kasar, kebiasaan minum, free sex, narkoba, dan lain-lain. Untuk itu, pengambilan sikap positif atau negatif dari anak-anak jalanan menjadikan sangat penting artinya bagi pembentukan dan perkembangan konsep diri mereka sebagai tindak lanjut dari penerimaan diri anak jalanan. Penerimaan diri adalah suatu sikap yang menunjukkan rasa puas terhadap diri sendiri, kualitas-kualitas dan bakat-bakat sendiri, dan pengakuan akan keterbatasan-keterbatasan sendiri (Chaplin, 1999:450). Penerimaan diri merupakan komponen dari kesehatan mental, seseorang yang mempunyai tingkat penerimaan diri yang baik merupakan orang yang berpribadi matang. Penerimaan diri memiliki peranan yang penting dalam pembentukan konsep diri dan 59 kepribadian yang positif seseorang. Individu dengan konsep diri yang positif akan menerima dirinya dengan baik pula. Konsep diri merupakan cara seseorang melihat diri sendiri. Seseorang yang dapat melihat diri sendiri dengan benar, mengerti akan dirinya sendiri, mengetahui keterbatasan diri, serta menginginkan untuk menjadi individu yang lebih baik berarti memiliki konsep diri yang positif. konsep diri yang stabil akan menentukan bagaimana penerimaan diri seseorang, karena dengan memiliki konsep diri yang stabil dapat meningkatkan potensi yang terbaik dari diri sendiri dengan senantiasa belajar meningkatkan kemampuan diri, dan memanfaatkan kesempatan serta peluang yang ada. Hurlock (1974:434) mengemukakan ada beberapa kondisi yang mempengaruhi pembentukan penerimaan diri seseorang. Kondisi tersebut adalah pemahaman diri yaitu suatu persepsi atas diri sendiri yang ditandai oleh keaslian bukan kepura-puraan, harapan yang realistis yaitu ketika pengharapan seseorang terhadap sukses yang akan dicapai merupakan pengharapan yang realistis maka kesempatan untuk mencapai sukses tersebut akan muncul, bebas dari hambatan sosial, perilaku sosial yang mendukung, tidak adanya tekanan emosi yang berat, sukses yang terjadi, identifikasi dengan orang yang mempunyai penyesuaian diri yang baik, konsep diri yang stabil, serta pendidikan yang baik pada masa kanakkanak. Konsep diri dan penerimaan diri terbentuk dari hasil belajar serta pengalaman-pengalaman yang dimulai sejak kecil hingga dewasa. Menurut Siswojo (dalam Wrastari dan Handadari, 2003:23), pendidikan yang dialami 60 seseorang memiliki pengaruh yang positif dalam penerimaan diri. Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi bagaimana penerimaan diri seseorang Maka dari pengertian tersebit diatas, jika seseorang memiliki konsep diri yang positif maka orang tersebut akan mempunyai gambaran positif mengenai dirinya, serta dapat memahami diri sendiri baik kelebihan maupun kekerangannya dan dapat menyesuaikan diri dengan seluruh pengalaman mentalnya, sehingga evaluasi tentang dirinya juga positif, dengan demikian akan lebih dapat menerima dirinya sendiri. 2. 6. Hipotesis Penelitian Berdasarkan uraian mengenai konsep diri dengan peneriman diri pada anak jalanan, maka sebagai jawaban sementara menurut peneliti yaitu, Ada pengaruh positif konsep diri terhadap penerimaan diri anak jalanan (Street Children) di RPSA Kota Semarang. BAB 3 METODE PENELITIAN Pada dasarnya penelitian ilmiah merupakan usaha untuk menyelidiki dan menjawab suatu permasalahan secara ilmiah, sistematis dan rasional, serta hasil penelitian tersebut benar-benar dapat dipertanggung jawabkan. Untuk itu penelitian perlu dilaksanakan dengan menggunakan metodologi penelitian yang tepat dan sesuai. Metode merupakan hal yang sangat penting dalam penelitian, karena sesuatu akan berhasil dengan baik jika menggunakan metode yang tepat. Metode yang tepat akan menentukan hasil yang ingin dicapai. Jadi, metode penelitian adalah suatu cara atau teknis yang dilakukan dalam proses penelitian sebagai upaya dalam bidang ilmu pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh faktorfaktor dan prinsip-prinsip dengan sabar, hati-hati dan sistematis untuk mewujudkan kebenaran. Metodologi ialah suatu ilmu pengetahuan yang membahas tentang cara atau jalan untuk memecahkan suatu persoalan guna mencapai tujuan tertentu. Sedangkan penelitian sering dipakai dengan istilah research yang berarti sebagai usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan, usaha yang mana dilakukan dengan menggunakan metode-metode ilmiah (Hadi, 2002:4). 61 62 Dari pendapat tersebut diatas, maka metodologi penelitian adalah suatu ilmu pengetahuan tentang berbagai cara kerja yang disesuaikan dengan banyak subyek studi dalam usaha mengumpulkan, menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu data. 3.1. Jenis Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi yang akurat mengenai bagaimana hubungan konsep diri terhadap penerimaan diri pada kelompok anak jalanan di kota Semarang yang diperoleh dari anak jalanan itu sendiri. Untuk mendapatkan informasi tersebut serta untuk mencapai tujuan yang diinginkan, maka diperlukan sejumlah data yang tidak bisa dipisahkan dari sejumlah faktor yang melatar belakanginya. Mengingat sifat data seperti diatas, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dengan jenis penelitian korelasional diskriptif. 3. 2.Variabel Penelitian 3. 2. 1. Identifikasi Variabel Penelitian Setiap masalah penelitian harus mengandung variabel yang jelas sehingga memberikan gambaran data dan informasi apa yang diperlukan untuk memecahkan masalah tersebut. Sesuatu dinamakan variabel dikarenakan secara kuantitatif atau secara kualitatif ia dapat bervariasi (Azwar, 2001 :59) 63 Dalam penelitian ini terdapat dua variabel, yaitu variabel tergantung (dependent) dan variabel bebas (independent). Variabel tergantung (dependent) adalah variabel yang dapat dipengaruhi variabel bebas, sedangkan variabel bebas (independent) adalah varibel yang dapat mempengaruhi veriabel lain (tergantung). Adapun variabel yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a) Variabel tergantung : penerimaan diri b) Variabel bebas : konsep diri 3. 2. 2 Definisi Operasionl Variabel Penelitian Definisi operasional adalah suatu definisi mengenai variabel yang dirumuskan berdasarkan karakteristik-karakteristik variabel tersebut yang dapat diamati (Azwar, 2001 : 74). Definisi operasional dalam penelitian ini antara lain: 3. 2. 2. 1 Penerimaan Diri Penerimaan diri merupakan sikap yang mencerminkan perasaan senang dan merasa puas sehubungan dengan kenyataan yang ada pada dirinya sehingga individu dapat menerima dirinya dengan baik serta mampu menerima kelemahan maupun kelebihan yang dimilikinya. Sehingga indikator mengenai penerimaan diri diambil definisi tersebut di atas, yaitu meliputi: 1) perasaan senang terhadap diri sendiri, 2) perasaan puas terhadap diri sendiri, 3) mengetahui kualitas dan bakat sendiri, dan 4) penerimaan terhadap keterbatasan diri. Untuk mengungkap penerimaan digunakan skala penerimaan diri. Semakin tinggi skor yang diperoleh menunjukkan semakin tinggi penerimaan diri subjek dan sebaliknya. 3.2.2.2 Konsep diri 64 Konsep diri merupakan cara pandang atau persepsi tentang diri sendiri secara fisik, sosial, dan psikologis meliputi dimensi pengetahuan, pengharapan dan penilaian tentang diri sendiri yang diperoleh berdasarkan pengalaman dan inteaksi dengan orang lain. Indikator konsep diri didasarkan pada pengertian tersebut di atas, antar lain: 1) pengetahuan tentang diri, 2) pengharapan, 3) penilaian tentang diri. Untuk mengungkap bagaimana konsep diri anak jalanan, maka digunakan skala konsep diri yang dapat ditunjukkan dengan tingkat atau bentuk konsep diri tertentu yaitu ke arah positif atau negatif. 3. 2. 3. Hubungan Antara Variabel Penelitian Hubungan antara kedua jenis variabel dalam penelitian ini ditunjukkan dalam gambar sebagai berikut: Konsep Diri Variabel Bebas (X) Penerimaan Diri anak jalanan Variabel Tergantung (Y) Gambar 3.1. Hubungan Antar Variabel 3. 3. Populasi dan Sampel Penelitian 3. 3. 1. Populasi Penelitian Populasi penelitian merupakan faktor utama yang harus ditentukan sebelum kegiatan penelitian dilakukan. Populasi didefinisikan sebagai kelompok subyek yang hendak dikenai generalisasi hasil penelitian (Azwar, 2001:77). Arikunto (2002:108) menjelaskan bahwasanya populasi adalah keseluruhan subyek penelitian yang setidaknya mempunyai karakteristik yang sama. 65 Populasi merupakan sejumlah individu yang paling sedikit mempunyai satu ciri sifat yang sama. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah semua anak jalanan yang tinggal di RPSA (Rumah Perlindungan Sosial Anak) yang terdapat di kota Semarang yaitu 830 anak. Sedangkan kriteria populasi dalam penelitian ini adalah: 1. Semua anak jalanan yang berada di wilayah tanggung jawab RPSA di kota Semarang (RPSA Anak Bangsa, RPSA Gratama), karena hanya tinggal dua RPSA di Semarang yang masih berstatus aktif. 2. Laki-laki dan perempuan. 3. Berusia antara 12-18 tahun (remaja), karena untuk usia anak-anak cenderung keinginannya masih ingin main dan belum bisa berpikir. 3. 3. 2.Sampel Penelitian Sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti (Arikunto, 2002 :109). Karena ia merupakan bagian dari populasi, tentulah ia harus memiliki ciri-ciri yang dimiliki oleh populasinya. (Azwar , 2003:79). Jadi sampel adalah sebagian atau sejumlah individu yang jumlahnya kurang dari jumlah populasi yang dijadikan wakil dari populasi secara keseluruhan. Dari beberapa pengertian tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang akan diteliti yang menggambarkan populasinya secara keseluruhan. Dalam pengambilan sampel ada cara-cara tertentu yang disebut sampling. Adapun cara pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik aksidental sampling, yaitu sampel yang diambil dari siapa 66 saja yang kebetulan ada pada waktu, situasi dan tempat yang tepat (Prasetyo dan Jannah, 2005:135). Untuk menentukan perkiraan besarnya sampel apabila subjeknya kurang dari 100, lebih baik diambil semua dan selanjutnya jika jumlah subjeknya besar atau diatas 100, maka dapat diambil antara 10-15% atau 20-20% atau lebih (Arikunto, 2002:112). Untuk tiap RPSA memberikan penjangkauan terhadap kurang lebih 200 anak jalanan, sehingga untuk dua RPSA terdapat sekitar 400 anak. Pada penelitian ini, sampel yang akan diambil yaitu sebanyak 40 anak jalanan. 3. 4. Metode Pengumpulan Data Dalam melakukan sebuah penelitian sangat memerlukan adanya data untuk memperkuat hasil penelitian tersebut. Metode pengumpulan data yang akan dilakukan oleh peneliti adalah dengan menggunakan metode pemberian skala psikologi, yaitu alat ukur untuk aspek afektif. Metode skala, yaitu suatu metode pengumpulan data yang berbentuk self-report berisi daftar atau kumpulan pernyataan-pernyataan yang harus dijawab oleh individu (Azwar, 1997:85). Karakteristik skala psikologi menurut Azwar (2003 : 4) adalah: 1) Stimulusnya berupa pertanyaan atau pernyataan yang tidak langsung mengungkap atribut yang hendak diukur melainkan mengungkap indikator perilaku dari atribut yang bersangkutan. 2) Atribut psikologis diungkap secara tidak langsung tetapi melalui indikatorindikator perilaku yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk aitem, sehingga skala psikologi selalu berisi banyak aitem. 67 3) Respon subyek tidak diklsifikasikan sebagai jawaban yang benar atau salah, tetapi respon subyek diklasifikasikan sebagai jawaban yang Favourable (aitem yang isinya mendukung, memihak, atau menunjukkan ciri atau indikator dari atribut yang diukur), dan jawaban yang Unfavourable (aitem yang isinya tidak mendukung, memihak, atau menunjukkan ciri atau indikator dari atribut yang diukur). Adapun alasan peneliti menggunakan skala psikologi sebagai metode pengumpulan data karena konsep diri dan penerimaan diri sebagai data yang ingin diungkap, yaitu mengungkap dan menyimpulkan data tentang penerimaan diri dan konsep diri. Dalam penelitian ini menggunakan aitem skala yang berbentuk pernyataan dan sifatnya aitemnya tertutup. Skala psikologi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah skala konsep diri dan skala penerimaan diri. Skala konsep diri digunakan mengungkap dan mengukur seberapa besar dan bagaimana konsep diri subyek penelitian. Butir-butir aitem yang digunakan berdasarkan ciri-ciri dari konsep diri positif dan negatif. Seperti halnya skala konsep diri, skala penerimaan diri juga dipergunakan untuk mengungkap dan mengukur seberapa besar dan bagaimana subyek memandang penerimaan dirninya. Butir-butir aitem untuk mengukur skala penerimaan diri berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri dari Hurlock. Adapun blue print instrumen konsep diri dan penerimaan diri terdapat pada tabel sebagai berikut: Tabel 3.1 Blue Print Instrumen Konsep Diri 68 NO ASPEK 1 Pengetahuan tentang diri 2 Penilaian tentang diri 3 Pengharapan INDIKATOR Fisik Sosial Psikologis Fisik Sosial Psikologis Fisik Sosial Psikologis Total Butir Jenis Dan Jumlah Aitem Favorable Unfavorable 1,2 3,4,5,6 7,8,9,10 11 12,13,14 15,16,17,18 19,20 21,22 23,24,25 25 26,27 28,29,30,31 32,33,34,35 36 37,38,39 40,41,42,43 44,45 46,47 48,49,50 25 TOTAL BUTIR 4 8 8 2 6 8 4 4 6 50 Tabel 3.2 Blue Print Instrumen Penerimaan Diri NO 1 2 3 ASPEK Perasaan terhadap sendiri INDIKATOR puas diri Rela utk mengungkapkan pikiran dan perasaan diri sendiri Kesehatan psikologis Penerimaan terhadap orang lain Penerimaan Rela utk mengungkapkan terhadap pikiran dan perasaan diri keterbatasan diri sendiri Kesehatan psikologis Penerimaan terhadap orang lain Mengetahui Rela utk mengungkapkan kualitas dan bakat pikiran dan perasaan diri sendiri sendiri Kesehatan psikologis Penerimaan terhadap orang lain Total Butir Jenis Dan Jumlah Aitem Favorable Unfavorable TOTAL BUTIR 1,2 19,20 4 3,4 5,6 21,22 23,24 4 4 7,8 25,26 4 9,10 11,12 27,28 29,30 4 4 13,14 31,32 4 15,16 17,18 33,34 35,36 4 4 18 18 36 Sifat dari kedua macam skala tersebut adalah favourable yaitu butir pernyataan yang mendukung obyek penelitian dan unfavourable yaitu butir pernyataan yang tidak mendukung obyek penelitian. Skala tersebut mempunyai empat alternatif jawaban yaitu : 1. Aitem Favorable adalah : 69 a. Sangat Sesuai (SS) : nilai 4 b. Sesuai(S) : nilai 3 c. Tidak Sesuai (TS) : nilai 2 d. Sangat Tidak Sesuai (STS) : nilai 1 2. Aitem Unfavorable adalah : a. Sangat Sesuai (SS) : nilai 1 b. Sesuai(S) : nilai 2 c. Tidak Sesuai (TS) : nilai 3 d. Sangat Tidak Sesuai (STS) : nilai 4 Selain itu, dalam penelitian ini juga menggunakan metode wawancara. Wawancara adalah suatu metode yang digunakan untuk mengumpulkan data, dimana peneliti mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan dari responden. Wawancara ini dilakukan peneliti agar mendapatkan data yang valid dan untuk menilai kebenaran yang dikatakan responden. 3. 5. Validitas dan Reliabilitas 3. 5. 1. Validitas Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauh mana ketepatan dan kecemasan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya (Azwar, 2003:5). Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat kevaliditasan atau kesahihan suatu instrumen (Arikunto, 2002:160). Sebuah instrumen dikatakan valid jika telah mengukur apa yang seharusnya diukur, 70 instrument ini dikatakan valid apabila mengungkap data-data dari variabel yang diteliti secara tepat. Validitas mempunyai arti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu instrumen pengukur (tes) dalam melakukan fungsi ukurnya (Azwar, 2003:173). Maka, validitas instrumenya menggunakan validitas konstrak hal ini dikarenakan menggunakan atribut psikologis yaitu konsep diri dan penerimaan diri. Sedangkan teknik uji validitas dari skala psikologis adalah menggunakan teknik korelasi product-moment, yaitu : XY rxy X Y N 2 2 X Y 2 2 X Y N N Keterangan : rxy : koefisien korelasi product moment ∑ X : jumlah skor tiap-tiap aitem ∑ Y : jumlah skor total aitem ∑ XY: jumlah hasil antara skor tiap aitem dengan skor total N : jumlah subyek (Sutrisno Hadi, 2000 : 294) 3. 5. 2. Reliabilitas Untuk mengetahui reliabilitas angket perlu dilakukan pengujian dengan menggunakan Rumus Alpha sebagai berikut : 2 k b r11 1 12 k 1 71 Keterangan : r11 = reliabilitas instrumen k = banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya soal Σ σ b2 = jumlah varians butir σ12 = varians soal (Arikunto, 2002 : 171) 3. 6. Teknis Analisis Data Data yang sudah diperoleh dari suatu penelitian tidak dapat disempurnakan begitu saja. Agar data tersebut dapat memberikan keterangan yang dapat dipahami, tepat dan teliti, maka dibutuhkan suatu pengelolaan data lebih lanjut. Data yang dikumpulkan dianalisis secara statistik dan berdasarkan identitas variabel penelitian. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini ada 2 jenis, yaitu: 1. Analisis deskriptif menggunakan rumus empiris. 2. Analisis hipotesis, Menggunakan teknik statistik inferensial dengan menggunakan rumus analisis regresi linier sederhana, karena dalam penelitian ini terdapat suatu ubahan yang dapat diramalkandari ubahan lain dan disebut dengan kriterium dan ubahan yang digunakan untuk meramalkan disebut prediktor, dimana untuk mengetahui korelasi antara ubahan kriterium dengan prediktor dapat dilukiskan dalam suatu garis, garis inilah yang disebut dengan garis regresi. Dalam penelitian ini ubahan kriterium yaitu konsep diri dengan prediktor adalah penerimaan diri. 72 Langkah-langkah yang ditempuh dalam menganalisis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mencari hubungan variabel X danY dengan rumus korelai Product Moment Pearson, dengan rumus umum: XY rxy X Y N 2 X Y 2 Y 2 2 X N N Keterangan : rxy : koefisien korelasi product moment ∑ X : jumlah skor tiap-tiap aitem ∑ Y : jumlah skor total aitem ∑ XY: jumlah hasil antara skor tiap aitem dengan skor total N : jumlah subyek (Sutrisno Hadi, 2000 : 294) 2. Mencari signifikansi hubungan X dengan Y BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian adalah hasil dari instrumen tertentu kemudian dianalisis dengan teknik dan metode tertentu yang telah ditentukan. Pada bab ini akan disajikan beberapa hal yang berkaitan dengan proses, hasil dan pembahsan penelitian, yang akan disajikan sebagai berikut : 4.1. Persiapan Penelitian 4.2. Pelaksanaan Penelitian 4.3. Prosedur Pengumpulan Data 4.4. Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian 4.5. Pembahasan 4.1 Persiapan Penelitian 4.1.1 Orientasi Kancah Penelitian ini dilakukan pada anak jalanan pada jangkauan RPSA Gratama dan Anak Bangsa di Kota Semarang yang berusia antara usia 12- 18 tahun. Sebelum membahas lebih jauh tentang pelaksanaan penelitian, penulis akan mengungkap lebih dalam tentang Rumah Perlindungan Sosial Anak. RPSA Gratama dan Anak Bangsa merupakan RPSA yang masih aktif di kota Semarang dan saat ini memiliki sekitar 200 anak jalanan yang menjadi jangkauan dari wilayah RPSA yang bersangkutan, baik dari Kota Semarang sendiri maupun yang 73 74 berasal dari luar Kota Semarang. RPSA Gratama sendiri untuk saat ini beralamat di jalan Stonen Utara I nomor 34, sedangkan RPSA Anak Bangsa beralamat di jalan Emplak I Semarang. Untuk Jenis pelayanan yang diberikan oleh RPSA antara lain berupa pemberdayaan LSM, Bimbingan Sosial Ketrampilan, serta KUBE; yakni program pengembangan usaha anak jalanan melalui kelompok (penjahitan dan bengkel). Adapun dasar pemikiran dari didirikannya Rumah Perlindungan Sosial Anak yaitu dengan adanya program-program penanganan anak jalanann, walaupun di sisi lain, seiring dengan perkembangan masyarakat, perkembangan masyarakat, berbagai permasalahan, baik dari segi populasi maupun dari segi kompleksitasnya, berbagai program tersebut dirasakan banyak manfaat baik bagi anak jalanan itu sendiri, bagi keluarga, serta bagi masyarakat pada umumnya. Selain itu tujuan Rumah Perlindungan Sosial Anak ini antara lain untuk membentuk kembali sikap dan perilaku anak yang sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat, mengupayakan anak- anak kembali ke rumah jika memungkinkan atau ke panti dan lembaga pengganti lainnya jika diperlukan, memberikan berbagai alternatif pelayanan untuk pemenuhan kebutuhan anak, menyiapkan masa depannya sehingga menjadi masyarakat yang produktif, berkurangnya jumlah dan aktifitas anak jalanan, anak jalanan usia sekolah dapat tetap bersekolah tanpa melakukan aktifitas di jalanan. Hal ini secara tidak langsung juga ikut aktif membantu program pemerintah dan usaha kesejahteraan sosial guna mencerdaskan kehidupan bangsa. 75 Adapun lokasi jangkauan dari RPSA Gratama antara lain Polda/Siranda, Dr.Cipto, Sampangan, ADA Srondol, Kaliwiru, Metro, Milo. Sedangkan lokasi jangkauan dari RPSA Anak Bangsa yaitu daerah kompleks tugu muda, pasar Bulu, jalan Imam Bonjol, Johar, Pemuda dan jalan Pandanaran. 4.1.2 Proses Perijinan Sebelum melakukan penelitian, peneliti terlebih dahulu melakukan beberapa langkah untuk mempersiapkan perijinan penelitian. Jauh sebelum melakukan penelitian, terlebih dahulu Peneliti melakukan observasi dan penelitian awal sehingga Peneliti terlebih dahulu meminta surat pengantar dari Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang dan menyiapkannya untuk kemudian diserahkan kepada pimpinan RPSA Gratama dan Anak. Setelah mendapat ijin, kemudian Peneliti melakukan observasi, pendekatan pada anak-anak jalanan, dan penelitian awal. Pada kurun waktu tersebut, walaupun tidak semua anak jalanan pada jangkauan tersebut di atas Peneliti dekati, tapi beberapa diantaranya merupakan leader dari tiap-tiap wilayah tersebut, hal ini bertujuan untuk memudahkan Peneliti dalam melakukan pendekatan dengan anak-anak jalanan tersebut nantinya. Karena tenggang waktu antara observasi, penelitian awal dengan penelitian agak lama, maka pada titiktitik tertentu terdapat pergantian kelompok anak jalanan yang mangkal, yaitu dengan adanya wajah-wajah baru. Baru setelah itu, peneliti kemudian meminta surat pengantar untuk melakukan penelitian dari Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang dan menyiapkannya untuk diserahkan kepada 76 pimpinan RPSA Gratama yayasan Gradhika yang kemudian dilaksanakan penelitian pada tanggal 25 Juni sampai 12 Juli 2009. 4.1.3 Penentuan Sampel Penentuan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik aksidental sampling yaitu sampel yang diambil dari siapa saja yang kebetulan ada pada waktu, situasi dan tempat yang tepat (Prasetyo dan Jannah, 2005:135). Pada aksidental sampling, besarnya sampel penelitian ini didasarkan pada 10% dari jumlah seluruh subjek yang ada pada dua RPSA, yaitu sebanyak 40 anak jalanan. Pertimbangan lain yang dipakai untuk menggunakan aksidentall sampling adalah waktu penelitian yang singkat atau bukan penelitian jangka panjang sehingga subyek yang akan dikenai penelitian akan tetap dapat memenuhi karakteristik dari populasi. 4.2 Pelaksanaan Penelitian Pengambilan data penelitian dilaksanakan pada tanggal 25 Juni hingga 12 Juli 2009, antara lain di daerah Polda/Siranda, jalan Pahlawan, Dr. Cipto, Johar, Pemuda, Mberok, Metro dan pasar Bulu. Penelitian agak lama dilakukan mengingat anak jalanan pada titik-titik kawasan jumlahnya tidak pernah pasti selalu ada. Pengambilan data dilakukan pada siang, sore dan malam hari. Hal ini dikarenakan siang pada waktu jam istirahat, dan sore hari ketika waktu menunggu aktifitas di jalan pada malam hari, serta ketika malam hari disaat waktu banyak berkumpulnya anak-anak jalanan. Pemberian kedua skala tersebut yaitu skala konsep diri dan skala penerimaan diri dilakukan secara serentak namun bertahap. 77 Pertama peneliti memberikan skala konsep diri terlebih dahulu, dan setelah selesai mengerjakan skala yang pertama (skala konsep diri) responden diberikan skala yang kedua yaitu skala penerimaan diri. Agar hasil penelitian menjadi lebih akurat, maka peneliti dibantu oleh teman peneliti dan juga pekerja sosial dari RPSA yang bersangkutan. 4.3 Prosedur Pengumpulan Data Setelah melakukan pengumpulan data penelitian dengan memberikan respon pada skala yang telah diberikan, kemudian peneliti melakukan langkahlangkah sebagai berikut : 1. Memberikan skor pada masing-masing jawaban yang telah diisi oleh subyek penelitian (responden) dengan memberikan skor antara 1 sampai dengan 4. 2. Mentabulasi data berdasarkan jumlah aitem. 3. Menentukan tingkat konsep diri dan penerimaan diri. 4. Menentukan apakah ada hubungan atau korelasi antara penerimaan diri dengan konsep diri pada anak jalanan di RPSA Kota Semarang. 4.3.1 Validitas Jenis validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas konstrak, teknik uji coba yang digunakan yaitu teknik korelasi product moment dari Pearson. Hasil perhitungan validitas dengan taraf signifikansi 5% dengan bantuan SPSS versi 12.00 diperoleh hasil sebagai berikut: 78 1) Skala Konsep Diri Berdasarkan uji validitas tersebut diperoleh hasil bahwa skala konsep diri yang terdiri dari 50 aitem diperoleh 43 valid dan 7 tidak valid dengan sebaran nilai validitas berkisar antara 0,321-0,732. Untuk item dapat dinyatakan tidak valid jika r hitung < r tabel. Pada skala konsep diri untuk r hitung < 0,312 maka item dapat dinyatakan tidak valid. Lebih jelas dapat kita lihat dalam tabel berikut: Tabel 4.1 Sebaran Aitem Yang Tidak Valid Pada Skala Konsep Diri NO ASPEK 1 Pengetahuan tentang diri 2 Penilaian tentang diri 3 Pengharapan INDIKATOR Fisik Sosial Psikologis Fisik Sosial Psikologis Fisik Sosial Psikologis Total Butir Jenis Dan Jumlah Aitem Favorable Unfavorable 1,2 3,4*,5,6 7*,8,9,10 11 12,13,14 15,16,17*,18 19,20 21,22 23*,24,25 25 26,27 28,29,30,31 32,33,34,35 36 37*,38,39 40,41,42,43 44,45* 46,47 48,49*,50 25 TOTAL BUTIR 4 8 8 2 6 8 4 4 6 50 (*) tidak valid 2) Skala Penerimaan Diri Berdasarkan uji validitas tersebut diperoleh hasil bahwa skala penerimaan diri yang terdiri dari 36 aitem diperoleh 32 valid dan 4 tidak valid dengan sebaran nilai validitas berkisar antara 0,329-0,632. Pada skala penerimaan diri untuk r hitung < 0,312 maka item dapat dinyatakan tidak valid. Lebih jelas dapat kita lihat dalam tabel berikut: Tabel 4.2 Sebaran Aitem Yang Tidak Valid Pada Skala Penerimaan Diri 79 NO 1 2 3 ASPEK Perasaan terhadap sendiri INDIKATOR puas diri Rela utk mengungkapkan pikiran dan perasaan diri sendiri Kesehatan psikologis Penerimaan terhadap orang lain Penerimaan Rela utk mengungkapkan pikiran terhadap dan perasaan diri sendiri keterbatasan diri Kesehatan psikologis Penerimaan terhadap orang lain Mengetahui Rela utk mengungkapkan pikiran kualitas dan bakat dan perasaan diri sendiri sendiri Kesehatan psikologis Penerimaan terhadap orang lain Total Butir Jenis Dan Jumlah Aitem Favorable Unfavorable TOTAL BUTIR 1,2 19,20 4 3,4 5,6 7,8 21*,22 23,24 25,26 4 4 4 9*,10 11,12 13*,14 27,28 29,30 31,32* 4 4 4 15,16 17,18 18 33,34 35,36 18 4 4 36 (*) tidak valid 4.3.2 Reliabilitas Reliabilitas adalah sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya (Azwar, 2003:4). Semakin tinggi koefisien reliabilitas maka semakin tinggi pula reliabilitas alat ukur tersebut. Uji reliabilitas skala konsep diri dan penerimaan diri dengan menggunakan teknik statistik dengan rumus Alpha Cronbach. Pada skala konsep diri diperoleh koefisien reliabilitas sebesar 0,907, artinya perbedaan (variasi) yang tampak pada skor skala konsep diri mampu mencerminkan 91% dari variasi yang terjadi pada skor murni kelompok subyek dan 9% dari perbedaan yang tampak disebabkan oleh variasi error atau kesalahan pengukuran tersebut. Sedangkan skala penerimaan diri mempunyai reliabilitas sebesar 0,872, artinya perbedaan (variasi) yang tampak pada skor skala penerimaan diri mampu mencerminkan 87% dari variasi yang terjadi pada skor murni kelompok subyek dan 13% dari perbedaan skor yang tampak disebabkan oleh variasi error atau kesalahan pengukuran tersebut.. Instrumen tersebut dinyatakan reliabel dengan taraf signifikan tinggi. Interpretasi reliabilitas didasarkan pada tabel berikut yang dinyatakan oleh Arikunto (2002:245). 80 Tabel 4.3 Interpretasi Reliabilitas Besarnya nilai r Antara 0,800-1,00 0,600-0,800 0,400-0,600 0,200-0,400 0,000-0,200 Interpretasi Tinggi Cukup Agak rendah Rendah Sangat rendah (Sumber: Arikunto, 2002:245) 4.4 Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian Deskripsi data penelitian berisi mengenai gambaran variabel penelitian yang berdasarkan pada hasil penelitian pada tiap-tiap variabel yang telah dikategorisasikan. Sesuai dengan tujuan penelitian ini yaitu kuantitatif korelatif dimana dalam penelitian ini akan berusaha mengetahui hubungan antara konsep diri dan penerimaan diri. Data dari skala yang telah terkumpul kemudian dianalisis untuk menguji hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini. Gambaran mengenai data penelitian pada masing-masing variabel yang telah dianalisis terdapat pada tabel 4.3 berikut ini : Tabel 4.4 Deskripsi Data Penelitian No 1 2 Variabel Konsep Diri Mean 117,8000 Standar Deviation 16,19307 N 40 Penerimaan Diri 89,5250 11,50694 40 (Sumber Data Penelitian 2009) Jenis penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif korelasional, dalam menganalisis, peneliti menggunakan data-data numerical / angka yang 81 dideskripsikan dengan menguraikan kesimpulan yang didasari oleh angka yang diolah dengan metode statistika. Kriteria analisis yang digunakan dalam penelitian ini dengan menggunakan kategorisasi berdasar model penilaian dengan kategorisasi jenjang (ordinal) menurut Azwar (2003:108), yang menggolongkan subyek ke dalam 5 kategori, yaitu sebagai berikut : Tabel 4.5 Penggolongan Kriteria Analisis No Interval Kriteria 1 μ + 1,5 σ < X Sangat Tinggi 2 μ + 0,5 σ < X ≤ μ + 1,5 σ Tinggi 3 µ – 0,5 σ < X ≤ μ + 0,5 σ Sedang 4 µ – 1,5 σ < X ≤ μ – 0,5 σ Rendah 5 X ≤ µ – 1,5 σ Sangat Rendah Deskripsi tersebut diatas memberikan skor skala pada kelompok subyek yang dikenai pengukuran dan berfungsi sebagai sumber informasi mengenai keadaan subyek pada aspek atau variabel yang diteliti. Sesuai dengan tujuan penelitian ini yaitu untuk: 1) mengetahui bagaimana gambaran konsep diri pada anak jalanan di RPSA Kota Semarang, 2) mengetahui bagaimana gambaran penerimaan diri pada anak jalanan di RPSA Kota Semarang, dan 3) mengetahui pengaruh konsep diri terhadap penerimaan diri anak jalanan di RPSA Kota Semarang, maka hasil penelitian yang diperoleh dapat diuraikan sebagai berikut : 4.4.1 Gambaran Penerimaan Diri 82 Penerimaan diri yang ada pada anak jalanan di RPSA Kota Semarang dapat dilihat dari pengertiannya yaitu : perasaan puas terhadap diri sendiri, penerimaan terhadap keterbatasan diri, serta mengetahui kualitas dan bakat sendiri. Data mengenai penerimaan diri pada anak jalanan diambil dengan menggunakan skala penerimaan diri sebanyak 36 aitem dengan jumlah subyek sebanyak 40 anak jalanan. Berdasarkan tabel 4.4 diperoleh mean empirik (µ) sebesar 89,5250 dan standar deviasi (σ) sebear 11,50694. Maka di dapat perhitungan klasifikasi distribusi normal sebagai berikut: a. µ+1,5σ = 89,5250 + (1,5 x 11,50694) = 89,5250 + 17,26041= 106,78541 b. µ+0,5σ = 89,5250 + (0,5 x 11,50694) =89,5250 + 5,75347 = 95,27847 c. µ-1,5σ = 89,5250 - (1,5 x 11,50694) =89,5250 - 17,26041= 72,26459 d. µ-0,5σ = 89,5250 - (0,5 x 11,50694) = 89,5250 - 5,75347 = 83,77153 Berdasarkan perhitungan di atas maka klasifikasi distribusi konsep diri adalah sebagai berikut: Tabel 4.6 Klasifikasi Distribusi Frekuensi Penerimaan Diri No Interval F Persen Kriteria 1 106,78541< X 1 2,5% Sangat Tinggi 2 95,27847< X ≤ 106,78541 14 35% Tinggi 3 83,77153< X ≤ 95,27847 20 50% Sedang 4 72,26459< X ≤ 83,77153 5 12,5% Rendah 5 X ≤ 72,26459 0 0 Sangat Rendah 83 Berdasarkan tabel 4.6 dapat diketahui bahwa, subyek yang memperoleh skor lebih besar 106,78541 sebanyak 1 anak atau 2,5% anak jalanan mempunyai tingkat penerimaan diri yang sangat tinggi. Subyek penelitian yang memperoleh skor lebih besar dari 95,27847 dan lebih kecil atau sama dengan 106,78541 yaitu 14 anak atau 35% anak jalanan memiliki tingkat penerimaan diri dalam kriteria tinggi. Subyek penelitian yang memperoleh skor lebih besar dari 83,77153 dan lebih kecil atau sama dengan 95,27847 yaitu sebesar 20 anak atau 50% anak jalanan, maka subyek penelitian tergolong memiliki tingkat penerimaan diri yang sedang. Apabila seorang subyek mendapatkan skor lebih besar dari 72,26459 dan lebih kecil atau sama dengan 83,77153 yaitu sebesar 5 anak atau 12,5% anak jalanan dapat dikatakan subyek tersebut memiliki tingkat penerimaan diri yang rendah, sedangkan tidak terdapat subyek dengan skor lebih kecil dari 72,26459 yang memiliki tingkat penerimaan diri yang sangat rendah. Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa penerimaan diri pada anak jalanan dalam kategori sedang (50%). Untuk lebih jelasnya keterangan mengenai tingkat konsep diri dapat di lihat pada gambar di bawah ini: 84 Gambar 4.1 Tingkat Penerimaan Diri Anak Jalanan 50% 50.00% 45.00% 40.00% 35.00% Prosentase 35% 30.00% 25.00% 20.00% 15.00% 12.50% 10.00% 5.00% 2.50% 0 0.00% Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah Kriteria Masing-masing penerimaan diri akan dijelaskan secara lebih rinci. Gambaran mengenai data penelitian pada masing-masing indikator yang telah dianalisis terdapat pada tabel 4.7 berikut ini: Tabel 4.7 Perhitungan Hasil Klasifikasi Indikator Penerimaan Diri Descriptive Statistics N Minimum Maximum Mean Std. Deviation Perasaan Puas Terhadap Diri Sendiri 40 24.00 39.00 31.5000 4.08248 Penerimaan Terhadap Keterbatasan Diri 40 22.00 38.00 29.5500 4.60741 Mengetahui Bakat dan Kualitas Sendiri 40 19.00 40.00 28.4750 4.19394 40 68.00 115.00 89.5250 11.50694 Penerimaan Diri Valid N (listwise) 40 4.4.1.1 Perasaan Puas Terhadap Diri Sendiri Berdasarkan tabel 4.7 di atas didapat mean empirik (µ) sebesar 31,5000 dan standar deviasi (σ) sebesar 4,08248. Maka hasil perhitungan klasifikasi distribusi normal sebagai berikut: 85 a. µ+1,5σ = 31,5000 + (1,5 x 4,08248) = 31,5000 + 6,12369 = 37,62369 b. µ+0,5σ = 31,5000 + (0,5 x 4,08248) = 31,5000 + 2,04123 = 33,54123 c. µ-1,5σ =31,5000 - (1,5 x 4,08248) = 31,5000 - 6,12369 = 25,37631 d. µ-0,5σ =31,5000 - (0,5 x 4,08248) = 31,5000 - 2,04123 = 29,45877 Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Indikator Perasaan Puas Terhadap Diri Sendiri No Interval F Persen Kriteria 1 37,62369< X 4 10% Sangat Tinggi 2 33,54123< X ≤ 37,62369 19 47,5% Tinggi 3 29,45877< X ≤ 33,54123 16 40% Sedang 4 25,37631< X ≤ 29,45877 1 2,5% Rendah 5 X ≤ 25,37631 0 0 Sangat Rendah Berdasarkan tabel 4.8 dapat diketahui bahwa terdapat 4 anak jalanan atau 10% anak jalanan yang memiliki perasaan puas terhadap diri sendiri, Anak jalanan yang memiliki tingkat perasaan puas terhadap diri sendiri dalam taraf tinggi terdapat 19 anak jalanan atau 47,5% anak jalanan, itu artinya ada ada 65% anak jalanan yang memberikan pandangan secara positif terhadap diri sendiri, dan terdapat 16 anak jalanan atau 40% anak jalanan yang memiliki tingkat kepuasan terhadap diri sendiri dengan taraf sedang. Selain itu juga terdapat 1 anak atau sebanyak 2,5% anak jalanan yang memiliki kepuasan terhadap diri sendiri dengan taraf rendah. Tidak ada anak jalanan yang memandang kepuasan terhadap diri sendiri dengan taraf sangat rendah. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan indikator perasaan puas terhadap diri sendiri pada anak jalanan dalam taraf tinggi (47,5%). Ini menunjukkan bahwa anak jalanan memiliki kepuasan terhadap diri sendiri. Untuk 86 lebih jelasnya keterangan mengenai kepuasan terhadap diri sendiri dapat di lihat pada gambar di bawah ini: Gambar 4.2 Indikator Perasaan Puas Terhadap Diri Sendiri 47.50% 50% 45% 40% 40% 35% 30% Prosentase 25% 20% 15% 10% 10% 2.50% 5% 0% Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah 0 Sangat Rendah Kriteria 4.4.1.2 Penerimaan Terhadap Keterbatasan Diri Berdasarkan tabel 4.7 di atas didapat mean empirik (µ) sebesar 29,5500 dan standar deviasi (σ) sebesar 4,60741. Maka hasil perhitungan klasifikasi distribusi normal sebagai berikut: a. µ+1,5σ = 29,5500 + (1,5 x 4,60741) = 29,5500 +6,911115 = 36,461115 b. µ+0,5σ = 29,5500 + (0,5 x 4,60741) = 29,5500 + 2,303705 = 31,853705 c. µ-1,5σ =29,5500 - (1,5 x 4,60741) =29,5500 - 6,911115 = 22,638885 d. µ-0,5σ =29,5500 - (0,5 x 4,60741) = 29,5500 - 2,303705 = 27,246295 Tabel 4.9 Distribusi Frekuensi Penerimaan Terhadap Keterbatasan Diri No Interval F Persen Kriteria 1 36,461115< X 1 2,5 Sangat Tinggi 2 31,853705< X ≤ 36,461115 13 32,5 Tinggi 3 27,246295< X ≤ 31,853705 18 45 Sedang 4 22,638885< X ≤ 27,246295 8 20 Rendah 87 No Interval F Persen Kriteria 5 X ≤ 22,638885 0 0 Sangat Rendah Berdasarkan tabel 4.9 dapat diketahui bahwa terdapat 1 anak jalanan atau 2,5% anak jalanan yang memiliki penerimaan terhadap keterbatasan diri sangat tinggi. Anak jalanan yang memiliki tingkat penerimaan terhadap keterbatasn diri dalam taraf tinggi ada 13 anak atau 32,5% anak jalanan, itu artinya ada ada 32,5% anak jalanan yang memberikan pandangan secara positif terhadap penerimaan keterbatasan diri. Banyak anak jalanan yang menanggapi biasa-biasa saja atau memiliki tingkat penerimaan terhadap keterbatasan diri sedang yaitu sebanyak 18 anak atau 45% dari 40 anak jalanan tersebut. Selain itu terdapat 8 anak atau 20% anak jalanan yang memiliki penerimaan terhadap keterbatasan diri yang rendah. Tidak terdapat anak jalanan yang memiliki keterbatasan diri denagn taraf sangat rendah. Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa penerimaan terhadap keterbatasan diri pada anak jalanan dalam kategori sedang (45%). Untuk lebih jelasnya keterangan mengenai tingkat penerimaan terhadap keterbatasan diri dapat di lihat pada gambar di bawah ini: 88 Gambar 4.3 Indikator Penerimaan Terhadap Keterbatasan Diri 45% 45.00% 40.00% 32.50% 35.00% 30.00% Prosentase 25.00% 20% 20.00% 15.00% 10.00% 2.50% 5.00% 0 0.00% Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah Kriteria 4.4.1.3 Mengetahui Kualitas dan Bakat Sendiri Berdasarkan tabel 4.7 di atas didapat mean empirik (µ) sebesar 28,4750 dan standar deviasi (σ) sebesar 4,19394. Maka hasil perhitungan klasifikasi distribusi normal sebagai berikut: a. µ+1,5σ = 28,4750 + (1,5 x 4,19394) = 28,4750 +6,29091= 34,76591 b. µ+0,5σ = 28,4750 + (0,5 x 4,19394) =28,4750 + 2,09697= 30,57197 c. µ-1,5σ =28,4750 - (1,5 x 4,19394) =28,4750 - 6,29091= 22,18409 d. µ-0,5σ =28,4750 - (0,5 x 4,19394) = 28,4750 - 2,09697= 26,37803 Tabel 4.10 Distribusi Frekuensi Mengetahui Kualitas dan Bakat Sendiri No Interval F Persen Kriteria 1 34,76591< X 1 2,5 Sangat Tinggi 2 30,57197< X ≤ 34,76591 10 25 Tinggi 3 26,37803< X ≤ 30,57197 22 55 Sedang 4 22,18409< X ≤ 26,37803 7 17,5 Rendah 5 X ≤ 22,18409 0 0 Sangat Rendah Berdasarkan tabel 4.10 dapat diketahui bahwa terdapat 1 anak jalanan atau 2,5% anak jalanan yang tahu akan kualitas dan bakat sendiri dengan tingkat sangat 89 tinggi. Anak jalanan yang memiliki tingkat pengetahuan terhadap kualitas dan bakat sendiri dalam taraf tinggi terdapat 10 anak atau 25% anak jalanan. Sebagian besar anak jalanan menanggapi biasa-biasa saja atau memiliki tingkat pengetahuan kualitas dan bakat diri dengan taraf sedang yaitu sebanyak 22 remaja atau 55% dari 40 anak jalanan tersebut, dan sebanyak 7 anak atau sekitar 17,5% anak jalanan yang mengetahui kualitas dan bakat sendiri dengan taraf rendah, itu artinya ada 17,5% anak jalanan yang memberikan pandangan secara negatif terhadap pengetahuan akan kualitas dan bakat diri. Selain itu tidak terdapat anak jalanan yang mengetahui kualitas dan bakat sendiri dalam taraf sangat rendah. Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa indikator mengetahui kualitas dan bakat sendiri pada anak jalanan dalam kategori sedang (55%). Untuk lebih jelasnya keterangan mengenai tingkat pengetahuan kualitas dan bakat sendiri dapat di lihat pada gambar di bawah ini: Gambar 4.4 Indikator Mengetahui Kualitas dan Bakat Sendiri 60.00% 55% 50.00% 40.00% Prosentase 30.00% 25% 17.50% 20.00% 10.00% 2.50% 0 0.00% Sangat Tinggi Tinggi Sedang Kriteria 4.4.2 Gambaran Konsep Diri Anak Jalanan Rendah Sangat Rendah 90 Konsep diri anak jalanan di RPSA Kota Semarang dapat dilihat dari pengertian karakteristik seseorang pada konsep diri yaitu: mengetahui pengetahuan tentang diri, mengetahui penilaian tentang diri sendiri, serta mengetahui harapan yanhg diinginkan oleh diri sendiri. Data mengenai konsep diri diambil dengan menggunakan skala konsep diri sebanyak 50 aitem dengan jumlah subyek sebanyak 40 remaja panti asuhan. Berdasarkan tabel 4.4 diperoleh mean empirik (µ) sebesar 117,8000 dan standar deviasi (σ) sebear 16,19307. Maka di dapat perhitungan klasifikasi distribusi normal sebagai berikut: e. µ+1,5σ = 117,8000 + (1,5 x 16,19307) = 117,8000 + 24,289605 = 142,089605 b. µ+0,5σ = 117,8000 + (0,5 x 16,19307) = 117,8000 + 8,096535 = 125,896535 c. µ-1,5σ = 117,8000 - (1,5 x 16,19307) = 117,8000 - 24,289605 = 93,510395 d. µ-0,5σ = 117,8000 - (0,5 x 16,19307) = 117,8000 - 8,096535 = 109,703465 Berdasarkan perhitungan di atas maka klasifikasi distribusi konsep diri adalah sebagai berikut: Tabel 4.11 Klasifikasi Distribusi Frekuensi Konsep Diri No Interval F Persen Kriteria 1 142,09 < X 1 2,5% Sangat Tinggi 2 125,89 < X ≤ 142,09 20 50% Tinggi 3 109,70 < X ≤ 125,89 16 40% Sedang 4 93,51 < X ≤ 109,70 3 7,5% Rendah 5 X ≤ 93,51 0 0 Sangat Rendah Berdasarkan tabel 4.11 dapat diketahui bahwa, subyek yang memperoleh skor lebih besar 142,09 dengan kategori sangat tinggi sebanyak 1 anak atau 2,5% 91 anak jalanan. Subjek penelitian yang memperoleh skor lebih besar dari 125,89 dan lebih kecil atau sama dengan 142,09 berarti subyek penelitian memiliki tingkat konsep diri dalam kategori tinggi yaitu sebanyak 20 anak jalanan atau 50% anak jalanan. Apabila subyek penelitian memperoleh skor lebih besar dari 109,70 dan lebih kecil atau sama dengan 125,89 maka subyek penelitian tergolong memiliki tingkat konsep diri yang sedang yaitu sebanyak 16 anak atau 40% anak jalanan. Apabila seorang subyek mendapatkan skor lebih besar dari 93,51 dan lebih kecil atau sama dengan 109,70 maka dapat dikatakan subyek tersebut memiliki tingkat konsep diri yang rendah anak atau yaitu sebanyak 3 anak atau 7,5% anak jalanan, dan tidak terdapat subyek dengan skor lebih kecil dari 93,51 dengan kategori sangat rendah. Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa konsep diri pada anak jalanan dalam kategori tinggi. Untuk lebih jelasnya keterangan mengenai tingkat konsep diri dapat di lihat pada gambar di bawah ini: Gambar 4.5 Tingkat Konsep Diri Anak Jalanan 50% 50.00% 45.00% 40% 40.00% 35.00% 30.00% Prosentase 25.00% 20.00% 15.00% 7.50% 10.00% 5.00% 2.50% 0 0.00% Sangat Tinggi Tinggi Sedang Kriteria Rendah Sangat Rendah 92 Gambar 4.1. Grafik Konsep Diri Masing-masing indikator konsep diri pada anak jalanan akan dijelaskan secara lebih rinci. Gambaran mengenai data penelitian pada masing-masing indikator yang telah dianalisis terdapat pada tabel 4.12 berikut ini: Tabel 4.12 Perhitungan Hasil Klasifikasi Indikator Konsep Diri Descriptive Statistics N Pengetahuan Tentang Diri Penilaian Tentang Diri Pengharapan Konsep Diri Valid N (listwise) 40 Minimum 34.00 Maximum 62.00 Mean 50.1750 Std. Deviation 6.94258 40 40 24.00 17.00 49.00 40.00 36.8000 30.8250 6.59526 4.41958 40 80.00 147.00 117.8000 16.19307 40 4.4.2.1 Pengetahuan Tentang Diri Berdasarkan tabel 4.12 di atas didapat mean empirik (µ) sebesar 50,1750 dan standar deviasi (σ) sebesar 6,94258. Maka hasil perhitungan klasifikasi distribusi normal sebagai berikut: a. µ+1,5σ = 50,1750 + (1,5 x 6,94258) = 50,1750 + 50,1750 = 60,58887 b. µ+0,5σ = 50,1750 + (0,5 x 6,94258) = 50,1750 + 3,47129= 53,64629 c. µ-1,5σ = 50,1750 - (1,5 x 6,94258) = 50,1750 -50,1750 = 39,76113 d. µ-0,5σ = 50,1750 - (0,5 x 6,94258) = 50,1750 -3,47129 = 46,70371 Tabel 4.13 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Tentang Diri No Interval F Persen Kriteria 1 60,58887 < X 0 0 Sangat Tinggi 2 53,64629< X ≤ 60,58887 24 60% Tinggi 3 46,70371< X ≤ 53,64629 13 32,5% Sedang 4 39,76113< X ≤ 46,70371 3 7,5% Rendah 93 5 0 X ≤ 39,76113 0 Sangat Rendah Berdasarkan tabel 4.13 dapat diketahui bahwa dari 40 anjal terdapat 24 anak jalanan atau 60% anak jalanan mempunyai tingkat pengetahuan tentang diri yang tinggi, tidak sedikit anak jalanan di RPSA Kota Semarang yang memiliki tingkat pengetahuan tentang diri dalam taraf sedang, yaitu sebanyak 13 anjal atau 32,5% anak jalanan. Sebanyak 3 anak jalanan atau 7,5% anak jalanan memiliki tingkat pengetahuan tentang diri dalam taraf rendah. Tidak terdapat anak jalanan yang memiliki tingkat pengetahuan tentang diri dengan taraf sangat tinggi dan taraf sangat rendah. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa pengetahuan tentang diri anak jalanan dalam taraf tinggi (60%). Ini menunjukkan bahwa anak jalanan memiliki pegetahuai tentang diri yang cukup tinggi. Untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada gambar 4.4 di bawah. Gambar 4.6 Pengetahuan Tentang diri 60% 60% 50% 40% 32.50% Prose ntase 30% 20% 7.50% 10% 0% 0% 0% Sangat Tinggi Tinggi Sedang Kriteria 4.4.2.2 Penilaian Tentang Diri Rendah Sangat Rendah 94 Berdasarkan tabel 4.12 di atas didapat mean empirik (µ) sebesar 36,8000 dan standar deviasi (σ) sebesar 6,59526. Maka hasil perhitungan klasifikasi distribusi normal sebagai berikut: a. µ+1,5σ = 36,8000 + (1,5 x 6,59526) = 36,8000 + 9,89289 = 46,69289 b. µ+0,5σ = 36,8000 + (0,5 x 6,59526) = 36,8000 + 3,29763 = 40,09763 c. µ-1,5σ =36,8000 - (1,5 x 6,59526) = 36,8000 -9,89289 = 26,90711 d. µ-0,5σ =36,8000 - (0,5 x 6,59526) = 36,8000 -3,29763 = 33,50237 Tabel 4.14 Distribusi Frekuensi Penilaian Tentang Diri No Interval F % Kriteria 1 46,69289< X 3 7,5 Sangat Tinggi 2 40,09763< X ≤ 46,69289 12 30 Tinggi 3 33,50237< X ≤ 40,09763 19 47,5 Sedang 4 26,90711< X ≤ 33,50237 6 15 Rendah 5 X ≤ 26,90711 Jumlah 0 0 Sangat Rendah 40 100 Berdasarkan tabel 4.14 dapat diketahui bahwa terdapat 3 anak jalanan atau 7,5% anak jalanan yang mempunyai tingkat penilaian tentang diri dengan tingkat orientasi sangat tinggi. Hasil penelitian juga menunjukkan terdapat 12 anak jalanan atau 30% anak jalanan yang memiliki tingkat penilaian tentang diri dengan tingkat orientasi tinggi. Anak jalanan yang memiliki tingkat penilaian tentang diri sedang yaitu sebanyak 19 remaja atau 47,5%. Hanya terdapat pula 6 anak jalanan atau 15% yang memiliki tingkat penilaian tentang diri dengan tingkat orientasi rendah dan tidak ada anak jalanan yang memiliki tingkat orientasi sangat rendah. 95 Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa penilaian tentang diri anak jalanan dalam taraf sedang (47,5%). Ini menunjukkan bahwa anak jalanan biasa-biasa saja dalam memenilai tentang diri. Gambar 4.7 Indikator Penilaian Tentang Diri Prosentase 47.50% 50.00% 45.00% 40.00% 35.00% 30.00% 25.00% 20.00% 15.00% 10.00% 5.00% 0.00% 30% 15% 7.50% 0 Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah Kriteria 4.4.2.3 Pengharapan Berdasarkan tabel 4.12 di atas didapat mean empirik (µ) sebesar 30,8250 dan standar deviasi (σ) sebesar 4,41958. Maka hasil perhitungan klasifikasi distribusi normal sebagai berikut: a. µ+1,5σ = 30,8250 + (1,5 x 4,41958) = 30,8250 +9,89289 = 46,69289 b. µ+0,5σ = 30,8250 + (0,5 x 4,41958) = 30,8250 +3,29763 = 40,09763 c. µ-1,5σ =30,8250 - (1,5 x 4,41958) = 30,8250 -9,89289 = 26,90711 d. µ-0,5σ =30,8250 - (0,5 x 4,41958) =30,8250 -3,29763 = 33,50237 Tabel 4.15 Distribusi Frekuensi Pengharapan 96 No Interval F % Kriteria 1 46,69289< X 1 2,5 Sangat Tinggi 2 40,09763< X ≤ 46,69289 23 57,5 Tinggi 3 33,50237< X ≤ 40,09763 12 30 Sedang 4 26,90711< X ≤ 33,50237 3 7,5 Rendah 5 X ≤ 26,90711 1 2,5 Sangat Rendah Berdasarkan tabel 4.15 dapat diketahui bahwa dari 40 anak jalanan terdapat sebanyak 1 anak jalanan atau 2,5% yang memiliki tingkat pengharapan sangat tinggi, 23 anak jalanan atau 57,5% anak dalam taraf tinggi, sedangkan 12 anak jalanan atau sebanyak 30% yang memiliki tingkat pengharapan dalam taraf sedang. Dalam kriteria rendah terdapat 3 anak jalanan atau 7,5% anak jalanan . Selain juga terdapat terdapat 1 anak jalanan atau 2,5% anak jalanan yang memiliki tingkat pengharapan sangat rendah. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa pengharapan anak jalanan dalam taraf tinggi (57,5%). Ini menunjukkan bahwa anak jalanan memiliki pengaharapan yang tinggi. Gambar 4.8 Indikator Pengharapan 57.50% 60.00% 50.00% 40.00% Prosentase 30% 30.00% 20.00% 10.00% 7.50% 2.50% 2.50% 0.00% Sangat Tinggi Tinggi Sedang Kriteria Rendah Sangat Rendah 97 4.4.3 Uji Asumsi Sebelum dilakukan analisis, data yang telah diperoleh diuji asumsikan terlebih dahulu dengan melakukan uji normalitas dan uji linieritas. Tujuan diadakan uji asumsi adalah untuk mengetahui apakah data yang diperlukan memenuhi syarat penelitian. Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan program SPSS. 4.4.3.1 Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui tingkat normalitas data. Dalam penelitian ini menggunakan One-Sample Kolmogorof Test dari SPSS versi 12.00 untuk melakukan uji normalitas data. Kriteria pengambilan keputusan data dianggap normal apabila nilai sig Hitung > 0.05. Jika nilai sig dibawah 0.05, maka dapat diambil kesimpulan bahwa data tidak berdistribusi normal. Dari hasil perhitungan SPSS versi 12.00 nilai Kolmogorof-Smirnov sebesar 0,630 dan nilai signifikansi variabel konsep diri 0,822 > 0.05, ini menunjukkan bahwa variabel konsep diri berdistribusi normal. Variabel penerimaan diri dilihat dari nilai Kolmogorof-Smirnov sebesar 0,593 dan nilai signifikansi 0,874 > 0,05, ini menunjukkan bahwa variabel penerimaan diri berdistribusi normal. 4.4.3.2 Uji Linieritas Linearitas dalam penelitian ini merupakan syarat bagi kelanjutan uji normalitas untuk menuju uji hipotesis. Pada penelitian ini di peroleh hasil pada variabel konsep diri dan penerimaan diri berdistribusi normal, maka uji linieritas dapat dilakukan. Dari hasil perhitungan SPSS nilai signifikansi dari variabel 98 konsep diri dan penerimaan diri 0,01 < 0,05, ini menunjukkan bahwa kedua variabel linear. Tabel 4.16 ANOVA Table Penerimaan Diri * Konsep Diri Between Groups (Combined) Linearity Deviation from Linearity Within Groups Total Sum of Squares df Mean Square 4739.233 30 157.974 2.276 .097 1921.809 1 1921.809 27.68 9 .001 2817.424 29 97.153 1.400 .309 624.667 5363.900 9 39 69.407 F 4.4.3.3 Uji Hipotesis Berdasarkan hasil uji analisis linieritas dan normalitas yang telah dilakukan diatas, diketahui bahwa data hasil penelitian ini berdistribusi normal. Dari hasil tersebut kemudian dilakukan analisis, apakah data hasil penelitian ini memenuhi syarat bagi diterimanaya hipotesis atau tidak. Karena data memenuhi syarat normalitas maka digunakan statistik parametrik. Pengujian terhadap hipotesis dengan variabel bebas konsep diri dan penerimaan diri dengan variabel tergantung pada statistik parametrik dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi Product Moment Tabel 4.17 Analisis Korelasi Konsep Diri dengan Penerimaan Diri Correlations konsep diri konsep diri Pearson Correlation penerimaan diri Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation 1 . 40 .599(**) penerimaan diri .599(**) .000 40 1 Sig. 99 Sig. (2-tailed) N .000 . 40 40 ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Berdasarkan analisis korelasi Product Moment dari Pearson, diperoleh rxy sebesar 0,599 dengan signifikansi (2-tailed) p value sebesar 0,00 (p < 0,01) artinya terdapat pengaruh positif konsep diri terhadap penerimaan diri, nilai r xy menunjukkan arah yang positif. Keberartian dari koefisien korelasi tersebut dapat diuji dengan cara mengkonsultasikan hara r hitung dengan rtabel product moment untuk taraf signifikansi 1% dengan N = 40 sebesar 0,403. Karena rhitung = 0,599 > rtabel = 0.403, maka dapat disimpulkan bahwa koefisien korelasi tersebut signifikan artinya terdapat pengaruh positif konsep diri terhadap penerimaan diri, dan nilai rxy menunjukkan arah yang positif. Dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini, yang berbunyi “Ada Pengaruh Positif Konsep Diri Terhadap Penerimaan Diri Anak Jalanan (Street Children) di RPSA Kota Semarang” dinyatakan diterima. Dengan kata lain terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara konsep diri terhadap penerimaan diri, yang berarti semakin tinggi konsep diri maka akan semakin tinggi pula penerimaan diri anak jalanan pada jangkauan RPSA di Kota Semarang. 4.4.3.4 Tabel Model Summary Pada model ini nilai regresi antara variabel X dengan variabel Y secara umum (R) sebesar 0,599, sedangkan koefisien determinasi (R square) sebesar 0,358 perhitungan ini menggunakan analisis program SPSS. Berdasarkan hasil di 100 atas maka dapat diartikan bahwa 35,8% penerimaan diri anak jalanan dipengaruhi oleh konsep diri, dan sisanya 64,2% dipengaruhi oleh faktor lain. 4.5 Pembahasan Hasil Penelitian Berdasarkan hasil penelitian analisis di peroleh gambaran hasil penelitian sebagai berikut: 4.5.1 Penerimaan Diri anak jalanan Pada pembahasan hasil penelitian ini merupakan jawaban dari perumusan masalah, yaitu bagaimana gambaran penerimaan diri anak jalanan di RPSA Kota Semarang?. Penerimaan diri adalah suatu sikap yang menunjukkan rasa puas terhadap diri sendiri, kualitas-kualitas dan bakat-bakat sendiri, dan pengakuan akan keterbatasan-keterbatasan sendiri (Chaplin, 1999:450). Penerimaan diri merupakan komponen dari kesehatan mental, seseorang yang mempunyai tingkat penerimaan diri yang baik merupakan orang yang berpribadi matang. Penerimaan diri memiliki peranan yang penting dalam pembentukan konsep diri dan kepribadian yang positif seseorang. Individu dengan konsep diri yang positif akan menerima dirinya dengan baik pula. Menurut Supratiknya (1995:84-85), penerimaan diri berkaitan dengan kerelaan kita untuk membuka atau mengungkapakan aneka pikiran, perasaan, dan reaksi kita kepada orang lain, kesehatan psikologis berkaitan erat dengan kualitas perasaan kita terhadap diri sendiri, penerimaan kita terhadap orang lain. Bagi anak-anak jalanan, berkaitan dengan pemahamannya bahwa orang lain menerima mereka merupakan hal yang jarang mereka pikirkan. Sebagian 101 besar dari mereka merasa bahwa orang lain memandang mereka kurang berharga. Tetapi disisi lain mereka memiliki perasaan terhadap diri yang baik. Dengan adanya pendekatan yang intens, maka secara perlahan-lahan anak jalanan akan dapat menganggap dirinya berharga di mata orang lain. Pada hasil penelitian terhadap penerimaan diri (gambar 4.6) diperoleh gambaran bahwa mayoritas anak jalanan pada jangkauan RPSA di Kota Semarang mempunyai penerimaan diri pada kategori sedang (59%), maksudnya rata-rata anak jalanan dalam menerima keterbatasan diri serta mengetahui kualitas dan bakat sendiri adalah cukup. Penerimaan diri dapat diperjelas dalam rincian indikator penerimaan diri (Gambar 4.8, 4.9, dan 4.10), yaitu perasaan puas terhadap diri sendiri (47,5%) dengan kategori tinggi, maksudnya rata-rata kepuasan anak jalanan terhadap diri sendiri adalah tinggi, mereka puas akan diri mereka sendiri. Penerimaan terhadap keterbatasan diri pada kategori sedang (45%), maksudnya sebagian anak jalanan penerimaan terhadap keterbatasan diri pada anak jalanan cukup. Sedangkan dalam mengetahui kualitas dan bakat sendiri pada kategori sedang (55%), maksudnya sebagian besar anak jalanan dalam mengetahui kualitas dan bakat sendiri adalah cukup. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa penerimaan diri terhadap kepuasan diri sendiri kurang diimbangi dengan penerimaan terhadap keterbatasan dan pengetahuan terhadap kualitas dan bakat diri yang tinggi. Penerimaan diri yang dimiliki sebagian besar dari anak jalanan pada jangkauan RPSA Kota Semarang termasuk dalam kriteria sedang dan penyebab dari tinggi rendahnya penerimaan diri tersebut bisa disebabkan oleh beberapa hal 102 seperti latar belakang bagaimana awalnya mereka turun ke jalan. Faktor dan latar belakang tersebut masih kurang mencerminkan seorang individu yang mempunyai penerimaan diri tinggi atau positif. Individu yang memiliki penerimaan diri tinggi, maka dia setidak-tidaknya memiliki kriteria yang dapat menunjukkan penerimaan diri positif seseorang dengan kerelaan untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan diri sendiri, kesehatan psikologis, serta melalui penerimaan terhadap orang lain, yang dicerminkan dengan adanya perasaan puas terhadap diri sendiri, adanya penerimaan terhadap keterbatasan diri, serta mengetahui akan kualitas dan bakat sendiri (Chaplin, 1999:450). Ada beberapa faktor agar seorang anak jalanan bisa meningkatkan penerimaan dirinya agar lebih positif ataupun tinggi dari sebelumnya, salah satunya adalah dengan adanya faktor dari dalam diri atau intern, faktor keluarga, serta faktor dari lingkungan dan masyarakat yang dapat memberikan kondisi yang dapat mendukung pembentukan dan perkembangan konsep diri ke arah yang positif. 4.5.2 Konsep Diri Anak Jalanan Pada pembahasan hasil penelitian ini merupakan jawaban dari perumusan masalah, yaitu bagaimana gambaran konsep diri anak jalanan di RPSA Kota Semarang?. Konsep diri bukan merupakan faktor yang dibawa sejak lahir, tetapi konsep diri terbentuk melalui proses belajar sejak masa pertumbuhan seseorang, yaitu dari masa kecil hingga dewasa. Karena itu, konsep diri mempunyai peranan penting dalam menentukan perilaku individu. Bagaimana individu memandang dirinya, akan tampak dalam seluruh perilakunya tersebut. Perilaku individu 103 tersebut akan sesuai dengan cara individu memandang dirinya sendiri (Pudjijogyanti, 1991:4). Individu tidak dilahirkan dengan konsep diri, konsep diri muncul sebagai pengalaman yang didapatkan dari proses interaksi dengan orangorang yang ada disekitarnya. Selain itu, konsep diri individu terbentuk dan berkembang melalui hasil dari pengaruh interaksi yang dilakukan melalui hubungan sosial dengan lingkungan terutama lingkungan keluarga, pendidikan dan hasil tanggapan dari orang lain. Perlakuan orang-orang tersebutlah yang menjadikan cerminan tentang diri kita. Seperti yang dikemukakan oleh Djalaluddin Rakhmat (2004:100) yang menyatakan bahwa faktor-faktor yang membentuk konsep diri adalah orang lain atau significan others yang meliputi orang tua dan teman, dan kelompok rujukan, misalnya komunitas pada anak jalanan. Begitu juga dengan yang dialami oleh anak-anak jalanan, konsep diri mereka terbentuk terutama hasil dari interaksi dengan keluarga dan teman, karena sebagian besar dari anak jalanan turun ke jalan disebabkan oleh faktor keluarga (faktor ekonomi, broken home, mengalami kekerasan, memiliki banyak saudara, eksploitasi anak) dan dari faktor ikut-ikutan teman. Pada hasil penelitian terhadap konsep diri (gambar 4.11) diperoleh gambaran bahwa mayoritas anak jalanan pada jangkauan RPSA di Kota Semarang mempunyai konsep diri pada kategori tinggi (50%), maksudnya rata-rata anak jalanan dalam memiliki pengetahuan tentang diri serta pengharapan mereka adalah tinggi. Konsep diri dapat diperjelas dalam rincian indikator konsep diri (Gambar 4.13, 4.14, dan 4.15), yaitu pengetahuan tentang diri (60%) dengan 104 kategori tinggi, maksudnya rata-rata pengetahuan anak jalanan terhadap diri sendiri adalah tinggi, yaitu mereka mengetahui bagaimana diri mereka sendiri. Penilaian tentang diri pada kategori sedang (47,5%), maksudnya sebagian anak jalanan menilai tentang diri mereka cukup. Sedangkan dalam pengharapan anak jalanan pada kategori tinggi (57,5%), maksudnya sebagian besar anak jalanan berharap agar mereka dapat hidup lebih baik lagi. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa konsep diri terhadap pengetahuan tentang diri dan pengaharapannya sendiri yang tinggi kurang diimbangi dengan penilaian tentang diri sendiri yang cukup. Oleh sebab itu untuk membentuk konsep diri anak agar memiliki konsep diri yang positif, walaupun dengan keadaan ekonomi yang tidak mencukupi kebutuhan keluarga, orang tua tidak dapat membebankan tanggung jawab secara materiil kepada anak-anaknya, dan sebagai orang tua juga harus dapat memberikan asuhan, arahan dan dukungan bagi anak-anaknya serta dapat memperlakukan anak sebagaimana mestinya dalam kehidupan yang dibutuhkan bagi perkembangan mental dan sosial anak. 4.5.3 Pengaruh Konsep Diri terhadap Penerimaan Diri Anak Jalanan Pada pembahasan hasil penelitian ini merupakan jawaban dari perumusan masalah, yaitu apakah terdapat pengaruh konsep diri terhadap penerimaan diri anak jalanan di RPSA Kota Semarang?. Calhoun dan Acocella (1995:73), bahwa dasar dari konsep diri yang positif bukanlah suatu kebanggaan yang besar tentang diri, tetapi lebih berupa penerimaan diri. Yang menjadikan penerimaan diri mungkin adalah bahwa orang dengan konsep diri positif yaitu dengan mengenal 105 dirinya dengan baik sekali. Penerimaan diri erat kaitannya dengan konsep diri yang dimiliki seseorang. Semakin positif konsep dirinya maka akan semakin tinggi penerimaan dirinya, begitu juga sebaliknya, jika konsep diri yang dimiliki seseorang rendah maka akan rendah penerimaan dirinya. (Wicklund dan Frey dalam Calhoun dan Acocella, 1995:73). Begitu juga dengan yang terjadi pada anak-anak jalanan, karena berbagai kondisi dan situasi dari latar belakang turun ke jalan hingga masa anak beraktivitas, tinggal dan berinteraksi dengan lingkungan di jalan, selanjutnya pengambilan sikap positif atau negatif dalam menghadapi kehidupannya yang serba begitu keras tersebut akan ditentukan dan ditunjukkan oleh sikap mereka. Menurut Hurlock (1974:435) salah satu kondisi yang dapat mempengaruhi penerimaan diri adalah konsep diri atau cara seseorang melihat diri sendiri. Berarti konsep diri tidak dapat dijauhkan dari proses seseorang dalam pembentukan penerimaaan diri seseorang, termasuk dalam hal ini yaitu anak jalanan. Hasil uji analisis yang diperoleh dari perhitungan korelasi Product Moment Pearson dengan menggunakan bantuan komputer program SPSS 12 untuk variabel konsep diri dan variabel penerimaan diri pada anak jalanan pada jangkauan RPSA Kota Semarang menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara konsep diri terhadap penerimaan diri, atau hipotesis yang berbunyi: “ada pengaruh positif konsep diri terhadap penerimaaan diri anak jalanan di RPSA Kota Semarang”, diterima. Hal ini terlihat dari diperolehnya nilai korelasi Pearson rxy sebesar 0,599 dengan signifikansi (2-tailed) p value sebesar 0,00 (p < 0,01) artinya konsep diri mempengaruhi penerimaan diri anak jalanan. 106 Hasil uji analisis tersebut menunjukkan bahwa ketika individu mempunyai konsep diri yang tinggi maka mereka akan mengalami hal yang positif dalam kehidupannya. Apabila anak-anak jalanan merasakan konsep diri yang positif pada dirinya atas segala kejadian dalam kehidupannya maka akan memunculkan penerimaan dalam diri yang positf pula. Berdasarkan hasil penelitian tersebut bahwa adanya konsep diri yang baik dapat mempengaruhi bagaimana penerimaan diri mereka para anak-anak jalanan. Adanya konsep diri yang baik (positif) membuat para anak-anak jalanan tersebut menjadi memiliki penerimaan diri yang lebih baik. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Calhoun dan Acocella (1995:73) seperti di atas. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh hasil bahwa mean empiris sebesar 89,5250 memberikan kesimpulan bahwa sebagian besar dari anak jalanan pada jangkauan RPSA di Kota Semarang mempunyai tingkat penerimaan yang sedang. Hal tersebut dapat diketahui dari mean empiris sebesar 89,5250 berada dalam kategoi sedang. Selain itu juga dapat diketahui dari banyaknya anak jalanan yang mempunyai tingkat penerimaan diri dalam kriteria sedang yaitu sebanyak 20 anak atau 50% anak jalanan dari 40 subyek yang diteliti. Jumlah anak jalanan yang mempunyai tingkat penerimaan diri sangat tinggi sebanyak 1 anak atau 2,5% dari 40 anak jalanan, sedangkan anak yang memiliki penerimaan diri dalam kategori tinggi sebanyak 14 anak atau 35% dari keseluruhan anak jalanan, serta terdapat juga anak jalanan dalam kategori rendah, yaitu berjumlah 5 anak atau sebanyak 12,5% dan tidak terdapat anak jalanan yang memiliki penerimaan diri dalam kategori sangat rendah. Tidak adanya anak jalanan yang memiliki tingkat 107 penerimaan diri dalam taraf sangat rendah bisa dibilang bahwa anak jalanan tersebut memiliki penerimaan diri yang cukup positif. Hasil penelitian ini selaras dengan penelitian Citra Desy tentang hubungan antara konsep diri dengan penerimaan diri pada remaja yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara konsep diri dengan penerimaan diri pada remaja, dimana semakin tinggi konsep diri maka penerimaan dirinya akan semakin tinggi pula. Dijelaskan oleh Mead (dalam Burns, 2003:19) bahwa konsep diri sebagai suatu obyek timbul di dalam interaksi sosial sebagai suatu hasil perkembangan dari perhatian individu tersebut mengenai bagaimana orang-orang lain bereaksi kepadanya. Konsep diri merupakan faktor yang dipelajari dan dapat dibentuk melalui pengalaman individu berhubungan dengan orang lain. Seseorang dengan konsep diri yang baik atau positif baik secara fisik, sosial dan psikologis mengenai pengetahuan tentang diri, mengetahui penilaian tentang diri, serta mengetahui apa yang diharapkan oleh individu tersebut (Calhoun, 1995:67). Beberapa kriteria konsep diri tersebut tentunya akan ditanggapi secara berbedabeda oleh setiap individu khususnya oleh anak jalanan. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh mean empiris sebesar 117,8000 memberikan kesimpulan bahwa sebagian besar dari anak jalanan mempunyai tingkat konsep diri yang tinggi. Hal tersebut dapat diketahui dari banyaknya anak jalanan yang mempunyai tingkat konsep diri dalam kriteria tinggi yaitu sebanyak 20 anak atau 50% anak jalanan dari 40 subyek yang diteliti, walaupun banyak juga anak jalanan yang memiliki tingkat konsep diri sedang. Anak jalanan yang 108 mempunyai tingkat konsep diri sangat tinggi terdapat 1 anak atau 2,5%, jumlah anak jalanan yang mempunyai tingkat konsep diri sedang sebanyak 16 anak jalanan atau 40% dari 40 anak jalanan, sedangkan anak jalanan yang memiliki konsep diri dalam kategori rendah sebanyak 3 anak atau 7,5%, dari keseluruhan anak jalanan dan tidak terdapat anak jalanan yang memiliki konsep diri dalam kategori sangat rendah. Berdasarkan data tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa rata-rata anak jalanan pada jangkauan RPSA Kota Semarang memiliki tingkat konsep diri tinggi dan memiliki konsep diri yang baik karena sebagian dari anak jalanan tersebut terdapat pada kategori tinggi. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa variabel konsep diri mempunyai sumbangan sebesar 35,8% terhadap varibel tergantung yaitu penerimaan diri dan sisanya sebesar 64,2% berasal dari faktor lain di luar konsep diri. Hal ini menunjukkan bahwa konsep diri memiliki peranan penting dalam penerimaan diri anak jalanan, karena sumbangan konsep diri terhadap penerimaan diri sebesar 35,8% memegang peranan yang juga penting artinya bagi terbentuknya penerimaan diri anak jalanan, selain dari faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi penerimaan diri. Sehingga untuk selanjutnya perlu lebih diperhatikan bagi pengelola RPSA atau para pendamping anak jalanan bahwa pembentukan konsep diri pada anak jalanan sangat penting artinya bagi terbentuknya penerimaan diri. Hal tersebut juga dapat diketahui dari besarnya koefisien korelasi (rxy) sebesar 0,599 dengan probalititas (p) sebesar 0,01 dengan jumlah subyek sebanyak 40 orang. Hasil tersebut menunjukkan bahwa ada pengaruh positif 109 konsep diri terhadap penerimaan diri pada anak jalanan pada jangkauan RPSA di Kota Semarang. Artinya semakin tinggi konsep diri maka akan semakin tinggi penerimaan diri. Sebaliknya semakin rendah konsep diri maka akan semakin rendah pula penerimaan diri. Kesimpulan di atas sesuai dengan pendapat dari Calhoun dan Acocella (1995:73), bahwa dasar dari konsep diri yang positif bukanlah suatu kebanggaan yang besar tentang diri, tetapi lebih berupa penerimaan diri. Yang menjadikan penerimaan diri mungkin adalah bahwa orang dengan konsep diri positif yaitu dengan mengenal dirinya dengan baik sekali ( Wicklund dan Frey dalam Calhoun dan Acocella, 1995:73). Begitu juga dengan yang terjadi pada anak-anak jalanan, karena berbagai kondisi, situasi dan latar belakang turun ke jalan hingga masa anak beraktivitas, tinggal dan berinteraksi dengan lingkungan di jalan, selanjutnya pengambilan sikap positif atau negatif dalam menghadapi kehidupannya yang serba begitu keras tersebut akan ditentukan dan ditunjukkan oleh sikap mereka, sehingga faktor keluarga dan lingkungan menjadikan sangat penting fungsinya bagi pembentukan dan perkembangan kepribadian anak jalanan karena bagaimana pandangan orang lain terhadap anak jalanan juga dapat mempengaruhi bagaimana penerimaan diri anak jalanan tersebut, karena jika pandangan orang terhadap anak jalanan buruk, maka tidak menutup kemunginan juga anak-anak jalanan tersebut akan menerima diri secara negatif. Oleh sebab itu, sehingga faktor keluarga dan lingkungan sangat penting fungsinya agar anak-anak jalanan pada khususnya menjadi pribadi yang 110 sehat, matang, percaya diri dan memiliki nilai-nilai yang baik sebagai manusia yang berkualitas. BAB 5 PENUTUP 5.1 Simpulan Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, maka simpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah anak-anak jalanan pada jangkauan RPSA di Kota Semarang masih membutuhkan lebih banyak pendampingan dan bimbingan sosial agar anak jalanan dapat lebih mengenal dan menerima dirinya sendiri secara positif. Pendampingan dan bimbingan akan membuat anak jalanan tersebut merasa diperhatikan, diurus, disayangi dan dicintai. Adanya pendampingan dan bimbingan sosial tersebut, sangat berguna untuk pembentukan serta menumbuhkan konsep diri dan penerimaan diri yang positif. Selain itu pendampingan tersebut juga bertujuan sebagai sarana sharing anak jalanan untuk mengidentifikasi permasalahan yang ada pada diri anak jalanan sehingga dikemudian hari tidak akan mengganggu perkembangan psikologisnya dan diharapkan nantinya akan mendapatkan solusi yang tepat bagi anak jalanan tersebut supaya tidak lagi melakukan kegiatan di jalan. Di lain pihak, keluarga juga merupakan lingkungan terpenting dalam pembentukan konsep diri serta penerimaan diri bagi anak jalanan, karena keluarga sebagai lingkungan terdekat anak yang secara langsung akan dapat membantu anak terutama anak jalanan bagi pembentukan dan perkembangan konsep diri serta penerimaan diri anak jalanan. 111 112 5.2 Saran Berdasarkan simpulan hasil penelitian di atas, saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut : (1) Bagi Pihak RPSA Bagi pihak RPSA supaya tetap memberikan pelayanan-pelayanan terutama mengenai pelayanan bimbingan dan pengasuhan atau pendampingan yang bersifat psikologis dan sosial agar dapat membantu bagi terbentunya konsep diri yang positif pada anak jalanan, sehingga mereka dapat memiliki penerimaan diri yang positif pula. Selain itu juga dengan tetap memperhatikan anak jalanan, melakukan pendampingan ketika mereka sedang mempunyai masalah, mampu menjadi teman ketika mereka mengalami kesulitan dan memotivasi anak jalanan agar mau berusaha dan berkarya supaya tidak lagi turun ke jalan dan dapat menjadi pribadi yang bermanfaat bagi dirinya, keluarga, masyarakat, agama dan bangsa. (2) Bagi Anak Jalanan Bagi anak jalanan supaya lebih dapat mengembangkan diri, walaupun mungkin sulit dan membutuhkan waktu, tapi dengan adanya dukungan dari keluarga, masyarakat serta pemerintah, anak-anak jalanan harus tetap berusaha untuk menjadi pribadi yang sehat, matang serta carilah lingkungan yang terdapat orang-orang yang dapat membentuk konsep diri positif agar dapat menjadi pribadi yang berkualitas agar nantinya dapat meraih cita-cita dan harapan yang diinginkan. 113 (3) Bagi Pemerintah Pemerintah supaya lebih memperhatikan anak-anak jalanan, walaupun membutuhkan dana yang besar untuk mengatasi permasalahan anak jalanan yang begitu kompleks, tapi sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku bahwa fakir miskin dan anak terlantar, dalam hal ini anak jalanan dipelihara oleh negara, jadi ini merupakan salah satu tugas pemerintah. Tetapi dengan adanya kerjasama dari masyarakat pada umumnya, serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Yayasan-yayasan yang fokus pada penanganan anak jalanan pada khususnya, tentu akan sangat membantu dalam penanganan anak jalanan ini, karena semua anak termasuk anak jalanan adalah penerus bangsa, sehingga penanganan secara psikologis penting artinya bagi keberadaan anak jalanan. (4) Bagi Peneliti Selanjutnya Bagi peneliti selanjutnya yang ingin mengembangkan penelitian yang sejenis, disarankan untuk mengacu pada jumlah sampel yang lebih besar, dengan pendekatan yang lebih mendalam serta diharapkan juga memperhatikan faktor lain yang berpengaruh terhadap penerimaan diri namun belum diteliti dalam penelitian ini. Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi penerimaan diri dan belum termasuk dalam penelitian ini antara lain adalah pola asuh orang tua, lingkungan keluarga serta faktor intern dari anak jalanan itu sendiri. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Azwar, S. 2003. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Badan Kesejahteraan Sosial Nasional. 2000. Modul Pelatihan Pekerja Sosial Rumah Singgah. Burns, R.B.1993. Konsep Diri: Teori, Pengukuran, Pertimbangan, dan Perilaku (Penerjemah : Eddy). Jakarta:Arcan. Calhoun, J.F. dan Acocella, J.R. 1995. Psikologi tentang Penyesuaian dan Hubungan Kemanusiaan. Edisi Ketiga. Alih bahasa : Satmoko, R.S. Edisi ke-3. Semarang: IKIP Semarang Press. Chaplin, J.P. 1999. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta : PT. Raja Grafindo. Cronbach, L. J. 1963. Educational Psychology. Second edition. New York: Harcourt, Brace and World, Inc. Dharmono dan Darmabrata. 1999. Faktor-Faktor Psikososial Dengan Berkembangnyaa Perilaku Antisosial Pada Kelompok Anak Jalanan di Jakarta. Jiwa, Indon Psychiat Quart 1999: XXXII: 1. Dinas Kesejahteraan Sosial Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. 2006. Data dan Informasi Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Jawa Tengah Tahun 2006. Direktorat Jenderal Bina Kesejahteraan Sosial. 1999. Pedoman Penyelenggaran Pembinaan Anak Jalanan melalui Rumah Singgah. Rumah Singgah dalam Penanganan Anak Jalanan. Jakarta: Departemen Sosial RI Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabiltasi Sosial. 2002. Standar Pelayanan Sosial Anak jalanan melalui Rumah Singgah. Jakarta: Departemen Sosial RI. _________________________________________________. Acuan Teknis Pengembangan Pelayanan Sosial. Jakarta: Departemen Sosial RI. _________________________________________________. Standar Pelayanan Sosial anak Jalanan mealui Rumah Singgah. Jakarta: Departemen Sosial RI. 114 115 Hadi, Sutrisno.2002. Metodologi Research jilid 1. Yogyakarta: ANDI. Handayani, Ratnawati dan Helmi. 1998. Efektivitas Pelatihan Pengenalan Diri Terhadap Peningkatan Penerimaan Diri dan Harga Diri. Jurnal Psikologi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. ISSN. 02158884.No.2, 47-55. Handayani, Mulyo M. 2000. Efektivitas Pelatihan Pengenalan Diri Terhadap Peningkatan Penerimaan Diri dan Harga Diri. Insan. Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Vol.2 No.1.November 2000. Hapsari, Mia. 2008. Penelitian Deskriptif Tentang Faktor-Faktor Minat Bersekolah Pada Anak Jalanan di Semarang. Skripsi (Tidak diterbitkan). Semarang: Jurusan Psikologi Universitas Negeri Semarang. Hapsari, P. 2007. Anak Jalanan (Perempuan) Subordinat Orang Dewasa. Jurnal Perempuan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Herlina, A. et al dan UNICEF Indonesia. 2002. Perlindungan Anak Huraerah, Abu. 2007.Child Abuse (Kekerasan terhadap Anak). Bandung: Nuansa. Hurlock, E.B. 1980. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga. ___________.1978. Perkembangan Anak Jilid 2. Alih bahasa : Tjandrasa, M.M., & Zarkasih, M. Edisi ke-6. Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama. ___________. 1974. Personality Development. New Delhi: Tata McGraw-Hill. Irawati, Henny. 2007. Ranperda Gepeng Sapu Anak Jalanan di Medan. Jurnal Perempuan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mappiare, A. 1982. Psikologi Remaja. Surabaya: Usaha Nasional. __________. 1983. Psikologi Orang Dewasa. . Surabaya: Usaha Nasional. MB Ubangha, RE Oputa. 2007. Differences in Self-Concept, Academic Orientation And Vocational Interests of Normal And Institutionalized Street Children in Lagos Metropolis. International Journal of Educational Research Vol 3 (1) pp 1-12. ISSN 1595-8485: AJOL (African Journals Online) Nurharjadmo, W. 1999. Seksualitas Anak Jalanan. Yogyakarta: Kerja sama Ford Fundation dengan Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada. 116 Oktaviana, R. 2004. Hubungan Antara Penerimaan Diri Terhadap Ciri-Ciri Perkembangan Sekunder Dengan Konsep Diri Pada Remaja Puteri SLTPN 10 Yogyakarta. Jurnal Psyche. Palembang: Vol.1 No.2. Desember 2004. Permadi, Gunawan dan Ardhianie, Nila. 1999. Selinting Ganja di Tangan. Semarang: Yayasan Duta Awam. Prasetyo, Bambang dan Jannah, M.L. 2005. Metode Penelitian Kuantitatif Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Pudjijogyanti, C.R.1991. Konsep Diri dalam Pendidikan. Jakarta: ARCAN Penerbit Umum. Rakhmat, Jalaluddin. 2004. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Salmani, Barough N et al. 2003. Self Concept and Influential Factors on it In The Street Children Aged 6-12 Years. TUMS E Journals 2004-2009: Central Library And Documents Center Tehran University of Medical Sciences. Shalahuddin, Odi. 2004. Di Bawah Bayang-Bayang Ancaman (Dinamika Kehidupan Anak Jalanan). Semarang: Yayasan Setara. Sarwono, Sarlito.Wirawan.1997. Psikologi Sosial: Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta: PT Balai Pustaka. Sitorus, Magdalena. 2007. Ketika ’Anak’ Sebagai Perempuan. Jurnal Perempuan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Soeitoe, Samuel. 1994. Psikologi Pendidikan (Mengutamakan Segi-Segi Perkembangan). Jilid 2. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sujanto, A. 1988. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Aksara Baru Sulaeman, Dadang. 1995. Psikologi Remaja. Bandung: Mandar Maju. Supratiknya, A. 1995. Komunikasi Antar Pribadi (Tinjauan Psikologis). Yogyakarta: Kanisius. Surachmad, Winarno. 1977. Psikologi Pemuda (Sebuah Pengantar Dalam Perkembangan Pribadi dan Interaksi Sosialnya. Bandung: CV Jemmars. 117 Thompson, B.L dan Waltz, J.A. 2007. Mindfulness, Self-Esteem, and Unconditional Sef-Acceptance. Journal of Rational-Emotive & Cognitive-Behavior Therapy. Department of Psychology University of Montana: Springer Netherlands. Vol 26 No.2 / June, 2008. Wrastari dan Handadari. 2003. Pengaruh Pemberian Neuro Linguistic Programming (NLP) terhadap Peningkatan Penerimaan Diri Penyandang Cacat Tubuh pada Remaja Penyandang Cacat Tubuh di Pusat Rehabilitasi Panti Sosial Bina Daksa ”Suryatama” Bangil Pasuruan. Insan. Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Vol.5 No.1. April 2003, 17-35.