pengaruh konsep diri terhadap penerimaan diri anak jalanan

advertisement
PENGARUH KONSEP DIRI
TERHADAP PENERIMAAN DIRI ANAK JALANAN
(STREET CHILDREN) DI RPSA KOTA SEMARANG
Skripsi
Disajikan sebagai salah satu syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi S1
Jurusan Psikologi
Oleh
Dyah Naila Husniyati
NIM 1550402027
JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2009
PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan dihadapan sidang Panitia Ujian Skripsi Fakultas
Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang pada hari Jum’at tanggal 14
Agustus 2009.
Panitia:
Ketua
Sekretaris
Drs. Hardjono, M.Pd
NIP. 130781006
Siti Nuzulia, S.Psi., M.Si
NIP. 132307257
Penguji Utama,
Dra. Sri Maryati Deliana, M.Si
NIP. 131125886
Penguji /Pembimbing I
Penguji /Pembimbing II
Drs. Sugeng Haryadi, M.S
NIP.131472593
Drs, Sugiyarta SL, M.Si
NIP. 131469637
ii
PERNYATAAN
Saya menyatakan bahwa yang tertulis dalam skripsi ini merupakan hasil karya
penulis sendiri, bukan buatan orang lain, dan tidak menjiplak karya ilmiah orang
lain, baik seluruhnya ataupun sebagian. Pendapat dan temuan orang lain yang
terdapat dalam skripsi ini dikutip dan dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Semarang, Agustus 2009
Dyah Naila Husniyati
NIM.1550402027
iii
MOTTO DAN PERUNTUKAN
MOTTO
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajad. Dan Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”
(Al-Mujaadalah:11)
Langkah penting yang harus dilakukan seorang pelari dalam arena
perlombaan bukan hanya saat ia memulai garis start, ataupun cukup
dengan semangat yang menyala-nyala, namun yang terpenting yaitu
bagaimana ia dapat terus bertahan dan berjuang dengan sekuat tenaga
untuk mencapai tujuan akhir yaitu finish
(anonim)
PERUNTUKAN
Karya sederhana ini kupersembahkan kepada :
Allah SWT Yang Maha Agung
Bapak dan Ibu tercinta atas keringat, doa, dan cinta kasih yang
tiada mengenal batas ruang dan waktu
Kedua kakakku Any dan Asty, dan
Keponakanku Danidzar
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang hanya dengan Rahmat dan
Karunia-NYA penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul
”Pengaruh Konsep Diri Terhadap Penerimaan Diri Anak Jalanan (Street Children)
di RPSA Kota Semarang.”
Penyusunan skripsi ini mampu terselesaikan berkat kerjasama, bantuan,
dan dorongan berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini, penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Drs. Hardjono, M.Pd., Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri
Semarang.
2. Dra. Tri Esti Budiningsih, Ketua Jurusan Psikologi yang telah memberikan
dukungan, dorongan, dan bimbingan kepada penulis.
3. Drs. Sugeng Haryadi, M.S, dosen pembimbing I yang telah memberikan
bimbingan, arahan, dan dorongan kepada penulis dalam menyusun skripsi ini
hingga dapat terselesaikan.
4. Drs. Sugiyarta S.L, M.Si., dosen pembimbing
II yang telah memberikan
bimbingan, arahan, dan dorongan kepada penulis dalam menyusun skripsi ini
hingga dapat terselesaikan.
5. Seluruh staf pengajar Jurusan Psikologi yang telah memberikan bekal ilmu
dan pengetahuan di bidang Psikologi.
6. Bapak, Ibu, kakak-kakakku Any dan Asty, serta keponakanku Danidzar yang
telah memberikan kasih sayang, perhatian, motivasi, dan pelajaran hidup yang
sangat berharga.
v
7. Semua sahabat jurusan Psikologi khususnya Ogiee, Mbak Yanti, Titik, Diana,
Wida, Cipoet dan Ririn atas semangat dan persahabatan yang diberikan.
8. Teman-teman seperjuangan bimbingan Fitri, Diana, Ratna, Aprilia, Lia, Sita,
Ayas, Lukita, dan teman-teman lainnya.
9. Nia, Ria, Cahya, Elok, terimakasih atas dukungan, semangat, dan bantuannya
selama ini.
10. Teman-teman angkatan 2002 Psikologi Unnes, terimakasih atas kebersamaan
dan semangatnya.
11. Teman-teman di jalan, terutama di Siranda dan Johar yang telah banyak
membantu penulis, Ester (Atun), Ari, Yanto, Melan, Resa, Indah, Dani,
Wulan, Naim, terimakasih.
12. Septi, mbak Ika, Mas Dwi dan mas Wahid di RPSA Gratama, terimakasih
banyak atas dukungan, bantuan dan kerjasamanya.
13. Pihak RPSA Anak Bangsa dan yayasan Setara terutama mas BDN,
terimakasih atas bantuan dan pencerahannya.
14. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu yang telah
membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini baik secara langsung maupun
tidak langsung.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan
memberikan masukan bagi pembaca.
Semarang, Agustus 2009
Penulis
vi
ABSTRAK
Husniyati, Dyah Naila. 2009. Pengaruh Konsep Diri Terhadap Penerimaan Diri
Anak Jalanan (Street Children) di RPSA Kota Semarang. Skripsi, Psikologi,
Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang. Dosen Pembimbing:
Drs. Sugeng Haryadi, M.S dan Drs. Sugiyarta SL, M.Si.
Kata kunci : Konsep Diri, Penerimaan Diri, Anak Jalanan
Anak jalanan memiliki permasalahan yang kompleks. Latar belakang yang
menjadikan anak turun ke jalan serta kehidupannya di jalan menjadi sangat
penting artinya bagi pembentukan dan perkembangan psikologis anak terutama
dalam pembentukan konsep diri yang nantinya akan mempengaruhi bagaimana
penerimaan diri anak jalanan itu sendiri. Penerimaan diri erat kaitannya dengan
konsep diri yang dimiliki seseorang. Konsep diri merupakan faktor yang dipelajari
dan dapat dibentuk melalui pengalaman individu berhubungan dengan orang lain
dan bahwa konsep diri merupakan sebagai suatu obyek timbul di dalam interaksi
sosial sebagai suatu hasil perkembangan dari perhatian individu tersebut mengenai
bagaimana orang-orang lain bereaksi kepadanya Oleh karena itu penulis ingin
mengetahui hubungan antara konsep diri dengan penerimaan diri anak jalanan
(street children) di RPSA Kota Semarang.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara konsep diri,
dengan penerimaan diri anak jalanan pada jangkauan RPSA di Kota Semarang.
Penelitian ini melibatkan 40 anak jalanan pada jangkauan RPSA di Kota
Semarang sebagai sampel penelitian yang diambil dengan menggunakan teknik
acidental sampling. Penelitian ini dilakukan dengan metode kuatitatif dengan
pendekatan korelasi. Pengambilan data ini dilakukan dengan menggunakan skala
konsep diri dan skala penerimaan diri. Pada skala konsep diri dihasilkan koefisien
reliabilitas sebesar 0,907 dan dari 50 item didapat 43 item yang valid dengan nilai
validitas item 0,321 s.d 0,732. Pada skala penerimaan diri dihasilkan koefisien
reliabilitas sebesar 0,872 dan dari 36 item didapat 32 item yang valid dengan nilai
validitas item 0,329 s.d 0,632. Analisis data menggunakan teknik korelasi Product
Moment dengan bantuan program SPSS 12.0 for windows.
Hasil analisis data yang diperoleh menujukkan ada hubungan yang signifikan
dari konsep diri dengan penerimaan diri dengan nilai koefisien korelasi sebesar
0,599 dengan Taraf signifikansi 5% dan p = 0,000 (p < 0,05). Tingkat konsep diri
anak jalanan pada jangkauan RPSA di Kota Semarang berada dalam kategori
tinggi (50%), penerimaan diri dalam kategori sedang (50%).
Oleh karena itu saran yang diberikan kepada Bagi pihak RPSA supaya dapat
lebih meningkatkan pelayanan-pelayanan terutama mengenai pelayanan
bimbingan dan pengasuhan atau pendampingan yang bersifat psikologis dan
sosial. Bagi anak jalanan supaya lebih dapat mengembangkan diri, tentunya
dengan adanya dukungan, baik dari keluarga, masyarakat maupun pemerintah.
vii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ ii
PERNYATAAN ................................................................................................iii
MOTTO DAN PERUNTUKAN ....................................................................... iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................ v
ABSTRAK ........................................................................................................ vii
DAFTAR ISI ...................................................................................................viii
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xiv
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1
1.2
Rumusan Masalah ................................................................................ 15
1.3
Penegasan Istilah .................................................................................. 16
1.4
Tujuan penelitian ................................................................................. 17
1.5
Manfaat Penelitian ............................................................................... 17
1.6
Sistematika Penulisan Skripsi .............................................................. 18
BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1
Penerimaan Diri ................................................................................... 19
2.1.1
Pengertian Penerimaan Diri .................................................................... 19
2.1.2
Kondisi Yang Mempengaruhi Penerimaan Diri ...................................... 21
viii
2.1.3
Ciri-Ciri Orang Yang Menerima Diri Sendiri.......................................... 25
2.1.4
Pengaruh Penerimaan Diri.........................................................................27
2.2
Konsep Diri........................................................................................... 28
2.2.1
Pengertian Konsep Diri .......................................................................... 29
2.2.2
Ciri-Ciri Konsep Diri.............................................................................. 30
2.2.3
Komponen Konsep Diri .......................................................................... 33
2.2.4
Aspek-Aspek Konsep Diri ...................................................................... 34
2.2.5
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan
dan Perkembangan Konsep Diri.................................................................36
2.3
Anak Jalanan ........................................................................................ 41
2.3.1
Pengertian Anak Jalanan ........................................................................ 41
2.3.2
Jenis dan Kategori Anak Jalanan ............................................................ 42
2.3.3
Pekerjaan Anak ...................................................................................... 46
2.3.4
Karakteristik Anak Jalanan........................................................................47
2.3.5
Faktor Penyebab Keberadaan Anak Jalanan..............................................49
2.4
Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) ......................................... 51
2.3.1
Pengertian Rumah Perlindungan Sosial Anak (Rumah Singgah)..............51
2.3.2
Tujuan Rumah Perlindungan Sosial Anak.................................................51
2.3.3
Fungsi Rumah Perlindungan Sosial Anak..................................................52
2.5
Hubungan Konsep Diri Dengan Penerimaan Diri Anak Jalanan.......53
2.6
Hipotesis....................................................................................................60
ix
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1
Jenis Penelitian ..................................................................................... 62
3.2
Variabel Penelitian ............................................................................... 62
3.2.1
Identifikasi Variabel ............................................................................... 62
3.2.2
Definisi operasional................................................................................ 63
3.2.3
Hubungan antar variabel ........................................................................ 64
3.3
Populasi Dan Sampel............................................................................ 64
3.3.1
Populasi ................................................................................................. 64
3.3.2
Sampel ................................................................................................... 65
3.4
Metode dan Alat Pengumpulan Data .................................................. 66
3.5
Validitas Dan Reliabilitas Alat Ukur ................................................... 69
3.5.1
Validitas ................................................................................................. 69
3.5.2
Reliabilitas ............................................................................................. 70
3.6
Teknik Analisis Data ............................................................................ 71
BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1
Persiapan Penelitian ............................................................................. 73
4.4.1
Orientasi Kancah Penelitian.................................................................... 73
4.4.2
Proses perijinan ...................................................................................... 75
4.4.3
Penentuan sampel ................................................................................... 76
4.2
Pelaksanaan Penelitian......................................................................... 76
4.3
Prosedur Pengumpulan Data ............................................................... 77
4.3.1
Validitas.....................................................................................................77
4.3.2
Reliabilitas..................................................................................................79
x
4.4
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian………………………...80
4.4.1
Gambaran Penerimaan Diri........................................................................82
4.4.2
Gambaran Konsep Diri..............................................................................90
4.4.3
Uji Asumsi.................................................................................................97
4.4.3.1 Uji Normalitas............................................................................................97
4.4.3.2 Uji Linearitas..............................................................................................98
4.4.3.3 Uji Hipotesis...............................................................................................98
4.4.3.4 Tabel Model Summary.............................................................................100
4.5
Pembahasan............................................................................................100
4.5.1
Penerimaan Diri Anak Jalanan.................................................................100
4.5.2
Konsep Diri Anak Jalanan........................................................................103
4.5.3
Pengaruh Konsep Diri Dengan Penerimaan Diri Anak Jalanan...............105
BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN
5.1
Simpulan ............................................................................................. 111
5.2
Saran ................................................................................................... 112
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 114
LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................. 118
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1
Halaman
Data Statistik Anak Jalanan di Indonesia......................................... 2
Tabel 2.1
Ciri-Ciri Anak Jalanan…………………………...……………….. 47
Tabel 3.1
Blue Print Skala Konsep Diri........................................................... 67
Tabel 3.2
Blue Print Skala Penerimaan Diri……………………...…………
Tabel 4.1
Sebaran item yang tidak valid pada skala konsep diri..................... 78
Tabel 4.2
Sebaran item yang tidak valid pada skala penerimaan diri ...........
Tabel 4.3
Interpretasi Reliabilitas.................................................................... 80
Tabel 4.4
Deskripsi Data Penelitian…………………………………………. 81
Tabel 4.5
Penggolongan Kriteria Analisis....................................................... 81
Tabel 4.6
Klasifikasi Distribusi Frekuensi Penerimaan Diri............................ 83
Tabel 4.7
Perhitungan Hasil Klasifikasi Indikator Penerimaan Diri................ 84
Tabel 4.8
Distribusi Frekuensi Perasaan Puas Terhadap Diri Sendiri............. 85
Tabel 4.9
Distribusi Frekuensi Penerimaan Terhadap Keterbatasan Diri........ 86
68
79
Tabel 4.10 Distribusi Frekuensi Mengetahui Kualitas dan Bakat Sendiri......... 88
Tabel 4.11 Klasifikasi Distribusi Frekuensi Konsep Diri.................................. 90
Tabel 4.12 Perhitungan Hasil Klasifikasi Indikator Konsep Diri...................... 92
Tabel 4.13 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Tentang Diri.............................. 93
Tabel 4.14 Distribusi Frekuensi Penilaian Tentang Diri.................................... 94
Tabel 4.15 Distribusi Frekuensi Pengharapan.................................................... 96
Tabel 4.16 Linearitas….……………………………………………………….. 98
Tabel 4.17 Analisis Korelasi Konsep Diri dengan Penerimaan Diri………….. 99
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1
Kerangka Alur Pikir…………………………………………...
54
Gambar 3.1
Hubungan antar variabel konsep diri (X) dengan penerimaan
diri (Y).......................................................................................
64
Gambar 4.1
Grafik Tingkat Penerimaan Diri Anak Jalanan……………….
84
Gambar 4.2
Grafik Indikator Perasaan Puas Terhadap Diri Sendiri……….
86
Gambar 4.3
Grafik Indikator Penerimaan Terhadap Keterbatasan Diri……
88
Gambar 4.4
Grafik Indikator Mengetahui Kualitas dan Bakat Sendiri.........
89
Gambar 4.5
Grafik Tingkat Konsep Diri Anak Jalanan……………………
92
Gambar 4.6
Grafik Indikator Pengetahuan Tentang Diri.................……….
94
Gambar 4.7
Grafik Indikator Penilaian Tentang Diri.......................……….
95
Gambar 4.8
Grafik Indikator Pengharapan
97
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1:
Skala Konsep Diri.…………………………………………. 119
Skala Penerimaan Diri…....……………………………….... 122
Lampiran 2:
Tabulasi data skala Konsep Diri……...……………………. 124
Tabulasi data skala Penerimaan Diri..........………...………. 127
Lampiran 3:
Validitas skala Konsep Diri…..……………………………. 129
Reliabilitas Konsep Diri…..………………………………... 133
Validitas skala Penerimaan Diri……………………………. 134
Reliabilitas Penerimaan Diri…….………………………..... 137
Statistik deskriptif variabel Konsep Diri …………….…….. 138
Statistik deskriptif variabel Penerimaan Diri …………….... 139
Lampiran 4:
Korelasi Variabel Konsep Diri dengan Penerimaan Diri....... 142
Uji Linearitas variabel Konsep Diri dengan Penerimaan
Diri........................................................................................ 144
Uji Normalitas One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test…… 144
Lampiran 5:
Data Anak Jalanan………………………………………….. 145
Lampiran 6:
Surat Permohonan Ijin Penelitian…………………………...
xiv
184
BAB 1
PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang
Negara Indonesia sejak lama telah memiliki permasalahan mengenai anak
jalanan, namun pada puncaknya setelah krisis moneter yang berawal pada tahun
1997 yang meliputi semua bidang dan berlanjut dengan krisis ekonomi, kemudian
meluas menjadi krisis multidimensi, mengakibatkan semakin banyak anak-anak
usia sekolah terkena dampaknya. Banyak diantara mereka yang tidak bersekolah
lagi, karena orang tua mereka terkena pemutusan hubungan kerja. Secara ideal
anak adalah pewaris dan pelanjut masa depan bangsa. Secara riil, situasi anak
Indonesia masih dan terus memburuk. Dunia anak yang seharusnya diwarnai oleh
kegiatan bermain, belajar dan mengembangkan minat serta bakatnya untuk masa
depan, realitasnya diwarnai data kelam dan menyedihkan.
Meskipun krisis ekonomi bukan satu-satunya penyebab terbengakalainya
pendidikan usia sekolah, namun ada korelasi kuat semakin luasnya krisis ekonomi
diikuti pula oleh semakin banyaknya anak-anak yang tidak berada di ruang
sekolah lagi. Hasil dari penelitian Mia Hapsari (2008:77) menunjukkan bahwa
faktor tertinggi yang melatar belakangi anak jalanan Semarang memiliki minat
sekolah yaitu pengalaman dini sekolah dan pengaruh orang tua. Adanya kesiapan
sosial, kesiapan fisik dan kesiapan intelektul yang dimiliki oleh anak jalanan
membuat mereka memiliki minat tinggi pada sekolah. Oleh sebab itu berdasarkan
1
2
dari penelitian di atas, pengaruh dari orang tua sangat penting artinya bagi
kelangsungan minat sekolah pada anak jalanan. Saat ini pada jam-jam sekolah
banyak terdapat anak-anak usia sekolah yang berada di jalanan. Ini meyakinkan
kita semua bahwa kehadiran anak-anak di jalanan meningkat tajam. Menurut BPS
Republik Indonesia, secara nasional pada tahun 2002 terdapat 6.686.936 anak
yang membutuhkan perlindungan khusus dan yang potensial terlantar 10.322.674.
Akibatnya terdapat 2-8 juta anak yang bekerja, diantaranya pada sektor berbahaya
seperti perdagangan narkoba, sektor alas kaki, dan pelacuran. Lebih parah lagi,
sekitar 36.500.000 anak Indonesia masih dibawah garis kemiskinan (Huraerah,
2007:21-22). Ini berbanding searah dengan jumlah orang miskin pada akhir 2003
yang bertambah 4 juta orang atau 18% penduduk Indonesia karena semakin
tingginya tingkat pengangguran.
Jumlah anak jalanan dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan.
Keberadaannya tidak lagi terbatas pada kota-kota besar saja, melainkan sudah
mulai bermunculan di kota-kota kecil. Terjadinya krisis ekonomi di Indonesia
sejak tahun 1997 diyakini banyak pihak berpengaruh terhadap peningkatan
jumlah anak jalanan di Indonesia. Sejak tahun 1999, jumlah anak jalanan di
Indonesia meningkat 85%.
Tabel 1.1. Data Statistik Anak Jalanan di Indonesia
TAHUN
JUMLAH ANAK JALANAN (JUTA)
1995
2,07
1998
2,8
2000
3,1
3
TAHUN
JUMLAH ANAK JALANAN (JUTA)
2003
8
Sumber: SUSENAS BPS RI
Semarang yang merupakan Ibukota propinsi Jawa Tengah juga tidak dapat
dihindarkan dari fenomena anak jalanan. Menurut data yang terkumpul pada
tahun 2004 oleh Dinas Sosial Propinsi Jawa Tengah terdapat 7.983 anak jalanan.
Menurut data terakhir Penyandang Masalah Sosial (PMS) khususnya pada anak
jalanan oleh Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Jawa Tengah tahun 2006
menunjukkan bahwa populasi anak jalanan mencapai 10.025 yang terdiri dari
8.958 laki-laki dan 1.067 perempuan, 60% dari mereka adalah anak putus sekolah
dan 80% anak jalanan masih tinggal dengan orang tua mereka. Peningkatan anak
jalanan sebelum masa krisis mencapai 15%, dan angka tersebut meningkat hingga
100% dalam masa krisis.
Dampak dari hal tersebut di atas, perampasan terhadap hak-hak anak tanpa
disadari telah terjadi secara besar-besaran. Anak-anak yang tengah menikmati
pendidikan di sekolah-sekolah formal mulai terancam dan bahkan banyak yang
menjadi korban (Drop Out). Sehingga kesempatan untuk bermain dan tumbuh
kembang secara wajar sudah mulai hilang. Kondisi tersebut merupakan akibat dari
ketidakberdayaan para orang tua untuk melindungi mereka, sehingga anak-anak
mereka dijadikan tumpuan harapan keluarga untuk membantu pemenuhan
kebutuhan keluarga.
Salah satu masalah krusial dari dampak kemiskinan adalah meningkatnya
jumlah anak-anak yang berada di jalanan, diantara mereka tidak sedikit anak-anak
4
yang berumur antara 4 sampai dengan 18 tahun berada di jalanan untuk hidup
bebas kemudian mencari pendapatan dan lari dari keluarga/rumah atau untuk
mencari tambahan pendapatan keluarga dengan menjadi pengamen, pemulung,
pengasong, pengemis, berjualan koran, menyemir sepatu, juru parkir, calo
angkutan umum, dan lain sebagainya. Kondisi-kondisi tersebut cenderung akan
dapat merusak proses pendewasaan anak yang kemudian berujung pada perilaku
negatif, baik disaat kanak-kanak, remaja, maupun dewasa kelak.
Keluarga merupakan pemberi informasi pertama dan terpenting, baik dari
bantuan verbal maupun non verbal yang diberikan pada individu dalam hal ini
anak agar ia merasa diperhatikan dan dicintai. Seorang anak yang tumbuh dalam
keluarga
yang
keras
dan
penuh permasalahan,
secara
otomatis
akan
mempengaruhi kejiwaan, sikap dan perilaku anak tersebut, terlebih anak hidup
dalam keluarga yang memiliki beban perekonomian yang berat, hal ini akan
membentuk perilaku anak untuk senantiasa bertindak sendiri agar dapat terpenuhi
kebutuhan ekonominya.
Beberapa individu terkadang sangat sulit untuk menerima kekurangan
dirinya sebagaimana dirinya mampu menerima kelebihannya. Individu yang
mempunyai penerimaaan diri rendah akan mudah putus asa, selalu menyalahkan
dirinya, malu, rendah diri akan keadaannya, merasa tidak berarti dan merasa iri
terhadap keadaan orang lain. Keadaan yang demikian, bila terus menerus dialami
akan membuat hidup
kehidupannya.
anak-anak
jalanan menjadi tidak bahagia akan
5
Ditinjau dari umurnya, sebagian besar anak jalanan berumur antara 5-18
tahun. Rata-rata anak jalanan hidup dalam suatu kelompok yang terbentuk karena
kesamaan asal daerah, kesamaan jenis pekerjaan, kesamaan nasib, kesamaan
kesenangan dan lain sebagainya. Dalam kelompoknya, mereka mengembangkan
berbagai cara / strategi agar dapat terus hidup di jalanan. Tidak jarang juga
mereka menciptakan suatu sub kultur yang diadopsi dari kultur jalanan. Situasi
sosial tersebut bersifat dinamis dan rentan terhadap pengaruh dari luar. Krisis
sekarang ini akan sangat mempengaruhi situasi di jalanan secara luar biasa.
Jumlah kaum marginal dan anak-anak jalanan meningkat pesat padahal peluang
ekonomi menipis, sementara persaingan semakin memuncak. Anak-anak juga
harus memperpanjang waktu di jalanan untuk mempertahankan pendapatan yang
berarti juga memperpanjang resiko. Kejahatan jalanan meningkat dimana anak
jalanan bisa menjadi korban atau pelakunya sendiri, baik secara individual,
kelompok, atau diperalat oleh preman.
Dari hasil pengamatan, terlihat bahwa jumlah anak jalanan di Semarang
semakain lama makin meningkat. Sampai saat ini belum ada data akurat yang
menunjukkan persisnya jumlah anak jalanan di kota Semarang. Dari keterangan
kantor Dinas Sosial Kotamadya Semarang, pada tahun 1996 jumlahnya
diperkirakan hanya 500 anak, akan tetapi sampai pertengahan tahun 1997, jumlah
tersebut telah menjadi 700 anak yang tersebar di berbagai pelosok kota
(Nurharjadmo, 1999:18). Data yang dihimpun oleh sejumlah LSM (Lembaga
Swadaya Masyarakat) dan RPSA (Rumah Perlindungan Sosial Anak) di
Semarang tahun 2006 terdapat 898 anak jalanan yang dibina di empat RPSA dan
6
dua LSM. Dari jumlah tersebut sebanyak 747 anak jalanan masih memiliki orang
tua. Data tersebut menunjukkan bahwa 500 anak masih aktif di jalan, 331 anak
terkadang turun ke jalan, dan 39 anak tidak lagi turun ke jalan (Kompas, 12 April
2007). Data terakhir untuk kota Semarang pada tahun 2008, jumlah anak jalanan
mencapai kurang lebih 830 anak (data penjangkauan 4 RPSA di Semarang).
Keberadaan dan berkembangnya jumlah anak jalanan merupakan
persoalan yang perlu menjadi perhatian. Hal ini mengingat anak-anak melakukan
kegiatan / tinggal di jalanan yang senantiasa berhadapan dengan banyak resiko
dan situasi buruk. Lokasi paling menonjol yang digunakan tempat kegiatan anak
jalanan adalah di persimpangan jalan atau di sekitar traffic light. Oleh karena itu
banyak juga diantara mereka yang mengalami kecelakaan di jalan raya ketika
sedang bekerja (Hapsari, 2007:60).
Seperti yang pernah diceritakan juga oleh seorang Suster pimpinan dari
RPSA (Rumah Perlindungan Sosial Anak) “Anak Bangsa” yang mengatakan
bahwa banyak anak jalanan yang terancam nyawanya oleh tindak kriminal pelaku
kejahatan, korban tabrakan di jalan, serta korban pembunuhan dari anak jalanan
lain ataupun tindak kekerasan dari preman atau “penjaga” anak jalanan itu sendiri.
Mereka turun ke jalan sebagian besar dikarenakan faktor keluarga dan ekonomi.
Permasalahan anak jalanan semakin meluas ketika pada suatu waktu ada
seseorang yang berniat baik dengan memberi makanan atau uang, anak jalanan
bereaksi dengan buruk, bisa dengan merampas, mencuri, menjambret serta
tindakan kekerasan lain yang dapat membahayakan orang lain. Inilah yang
7
menjadikan banyak keresahan pada sebagian masyarakat mengenai problematika
dan dilema pada anak jalanan.
Anak-anak yang bekerja di usia dini biasanya berasal dari keluarga miskin
dengan pendidikan yang terabaikan. Sesungguhnya hal tersebut bukannya akan
mengentaskan kemiskinan tetapi malah akan melestarikan kemiskinan. Karena
anak yang bekerja tersebut akan tumbuh menjadi seorang dewasa yang terjebak
dalam pekerjaaan yang tidak terlatih dan dengan upah yang sangat buruk. Selain
itu, mereka juga akan tumbuh dalam lingkungan yang tidak kondusif, yaitu suatu
lingkungan yang tidak semestinya ditujukan pada anak yang sedang dalam proses
tumbuh kembang, karena hal tersebut akan mempengaruhi bagaimana
kepribadian mereka selanjutnya.
Dalam sebuah Jurnal Perempuan menyebutkan bahwa seorang anak
akhirnya memutuskan hidup di jalanan bukan semata karena faktor kemiskinan.
Dan sebuah organisasi non profit di Jakarta bahkan pernah mewawancarai mereka
dan hasilnya 80% anak memutuskan pergi dari rumah lantaran salah perlakuan
(abuse) di dalam rumah yaitu adanya kekerasan dalam rumah tangga yang
dialami, keluarga yang tidak harmonis, perpecahan dalam keluarga, degradasi
nilai-nilai sosial, moral dan spiritual dalam keluarga, komunikasi yang buruk
antar anggota keluarga, minimnya perhatian dari orang tua kepada anaknya, serta
pola asuh yang tidak konsisten dan membingungkan dari orang tua mereka.
Hanya 20% yang mengaku punya alasan ekonomi (Sitorus, 2007:5). Seperti yang
dikatakan Permadi dan Ardhianie (1999:17) bahwa secara sederhana dapat
diklasifikasikan penyebab seorang anak bekerja dan hidup di jalan, yaitu 80%
8
akibat ada masalah di dalam rumah orang tua; 16% akibat faktor ekonomi; 2%
akibat ada masalah dengan teman di lingkungan rumah; 2% akibat pengaruh
teman.
Penelitian dari Surjo Dharmono dan Wahyadi Darmabrata (1999:51),
menunjukkan bahwa faktor lingkungan tempat tinggal, faktor lamanya anak telah
menjalani kehidupan jalanan, dan faktor relasi atau kekerapan anak bertemu
dengan orang tuanya menjadi faktor psikososial yang memperlihatkan hubungan
bermakna dengan berkembangnya perilaku antisosial pada keluarga anak jalanan
di Jakarta.
Meski begitu, bagi anak-anak yang belum mampu berpikir jauh ke depan,
jalanan menjadi tempat yang mungkin lebih menjanjikan, bebas dari aturan, dan
berpikir hanya untuk hari ini. Hal itu yang menyebabkan banyak anak jalanan
menghindari bangku sekolah dan lebih senang bermain dan mengais rejeki di
jalanan. Tak jarang mereka dikoordinir oleh ‘penjaga’ mereka dan dieksploitasi.
Karena jika dilihat dari segi mental, lingkungan yang keras dapat menyebabkan
mereka menjadi agresif dan anti sosial dan memiliki penerimaan diri negatif.
Penerimaan diri adalah sejauh mana seseorang dapat menyadari dan
mengakui karakteristik pribadi dan menggunakannya dalam menjalankan
kelangsungan hidupnya. Sikap tersebut ditunjukkan oleh pengakuan seseorang
terhadap kelebihan-kelebihan sekaligus menerima kelemahan-kelemahan tanpa
menyalahkan orang lain dan mempunyai keinginan yang terus menerus untuk
mengembangkan diri Handayani, Ratnawati dan Helmi, 1998:47-48).
9
Pada umumnya, kebanyakan dari anak jalanan kurang dapat menerima
orang lain pada lingkungan mereka, ini terlihat dari ketidaktertarikan mereka pada
awalnya untuk mengenal orang lain di luar lingkungan atau komunitasnya, ketika
diajak berkenalan pada awalnya mereka menunjukkan sikap seperti tidak
membutuhkan dan sulit menerima orang lain. Selain itu orang yang memiliki
penerimaan diri pastinya akan memandang dirinya disenangi, mampu, berharga
dan diterima oleh orang lain. Tetapi dalam hal ini tidak banyak dari anak jalanan
yang merasa dirinya disenangi, mampu, berharga dan diterima oleh orang lain.
Kemudian orang yang menerima diri biasanya lebih bisa menerima orang lain
serta akan berpikiran positif mengenai orang lain, tetapi mayoritas anak jalanan
memiliki sikap yang berbeda mengenai hal tersebut, mereka lebih menunjukkan
hal yang sebaliknya, yaitu salah satunya dengan kurang dapat menunjukkan
empati terhadap orang lain dan sepertinya mereka merasa kurang aman untuk
bersama dan berhubungan dengan orang lain.
Hasil penelitian oleh Rina Oktaviana (2004:8) menunjukkan bahwa
adanya hubungan yang signifikan antara penerimaan diri terhadap ciri-ciri
perkembangan seksual sekunder dengan konsep diri pada remaja putri SLTPN 10
Yogyakarta. Kemudian hasil penelitian dari Brian L. Thompson dan Jennifer A.
Waltz (2007:119) menyatakan bahwa terdapat korelasi positif antara mindfulness,
self-esteem, dan unconditional sef-acceptance.
Penelitian lain oleh Muryatinah Mulyo Handayani, Sofia Ratnawati dan
Avin Fadilla Helmi (1998:47), menunjukkan bahwa pelatihan pengenalan diri
efektif untuk meningkatkan penerimaan diri dan harga diri. Seseorang dengan
10
konsep diri positif dapat memahami dan menerima fakta-fakta yang begitu
berbeda dengan dirinya, orang dapat menyesuaikan diri dengan seluruh
pengalaman mentalnya, sehingga evaluasi tentang dirinya akan positif
(Handayani, Ratnawati dan Helmi, 1998:48).
Dari hasil observasi dan wawancara yang peneliti lakukan pada 15 anak
jalanan yang berada di Pasar Bulu, pasar Johar, perempatan POLDA, serta anakanak jalanan yang pernah tinggal di RPSA Anak Bangsa dan Gratama
menunjukkan bahwa terdapat sembilan anak yang memiliki penerimaan diri
negatif dan enam sisanya memiliki penerimaan diri yang cukup baik. Banyak
diantara mereka yang acuh, baik acuh terhadap diri sendiri maupun terhadap
orang lain. Lingkungan sosial yang tidak mendukung memicu munculnya
hambatan-hambatan dari lingkungan menyebabkan mereka memiliki penerimaan
diri yang rendah, bahkan sebagian besar penerimaan diri negatif ini dibentuk
karena lingkungan dan latar belakang keluarga tidak harmonis yang menyebabkan
adanya tekanan emosi yang berat akan mengurangi pemahaman dan cara mereka
melihat diri sendiri . Ini berarti menandakan bahwa penerimaan diri anak jalanan
tergolong rendah. Sebagian besar dari mereka pada awalnya sebenarnya merasa
puas menjadi anak jalanan, tetapi setelah lama bercerita mereka merasa bahwa
kepuasan mereka hanya bersifat fisik, karena dengan menjadi anak jalanan
mereka dapat dengan cepat dan mudah mendapatkan uang sendiri dari hasil
mengamen, tetapi untuk mendapatkan uang bagi kepentingan pendidikan demi
perbaikan kehidupannya mereka enggan melakukannya. Hal itu merupakan
interpretasi dari kurangnya menghargai dan bertanggung jawab terhadap diri
11
sendiri. Selain itu jika mereka puas terhadap diri sendiri, belum tentu mereka puas
terhadap hubungan dengan orang lain (keluarga, teman dan masyarakat), sehingga
dapat dikatakan secara psikis mereka tidak puas terhadap diri sendiri.
Latar belakang keluarga sangat berkaitan erat dengan perginya anak ke
jalan. Adapun faktor terbesar penyebab anak pergi ke jalan adalah faktor
kemiskinan dan faktor disharmoni keluarga. Kedua faktor tersebut adakalanya
berkaitan satu dengan yang lain, yakni faktor disharmoni muncul sebagai akibat
dari faktor kemiskinan keluarga atau sebaliknya. Banyak diantara mereka yang
berasal dari keluarga yang broken home (orang tua bercerai, orang tua tunggal,
orang tua tiri karena ibu atau bapak menikah lagi), serta banyak juga diantara
mereka yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga oleh orang tua ataupun
anggota keluarga lain seperti yang dialami oleh Jopan, Sardi dan puluhan baahkan
ratusan anak jalanan lain di Semarang. Ada pula anak yang dari keluarga mampu
tetapi terjadi kondisi disharmoni dalam keluarga yang tidak ditangani serius oleh
orang tua dan menyebabkan anak tidak betah tinggal di rumah sehingga mereka
mencari kompensasi di luar rumah, salah satunya yaitu dengan pergi ke jalan.
Coopersmith dalam Pudjijogyanti (1991:30) menyatakan bahwa kondisi
keluarga yang buruk dapat menyebabkan konsep diri yang rendah pada anak.
Suasana keluarga yang tidak menyenangkan, mengakibatkan anak ingin keluar
dari rumah sesering mungkin karena secara emosional suasana tersebut akan
mempengaruhi masing-masing anggota keluarga untuk bertengkar dengan
lainnya. Semakin banyak anggota keluarga, anak akan semakin cakap dan makin
cepat berbuat, baik secara verbal maupun non verbal. Kemudian semakin lama,
12
anak semakin tidak puas dengan apa yang dapat diberikan oleh keluarga, sehingga
ia akan pergi jauh dari keluarganya untuk mendapatkan yang dibutuhkannya
(Sujanto, 1988:72-73). Motif anak turun ke jalan dipengaruhi oleh faktor-faktor
tersebut. Peran dan fungsi orang tua sangatlah menentukan, keluarga yang tidak
bahagia (disharmoni) akan mengakibatkan jumlah anak turun ke jalan semakin
besar.
Hasil penelitian oleh Salmani – Barough N, Sharifi – Neiestanak ND,
Kazemnejad dan Pashaeypoor (2003:6), menunjukkan bahwa half of the subjects
(50%) had very negative concept of them selves and only 2,2% of them had a very
positive self-concept levels. Therefore the street children had a very low selfconcept level. Penelitian oleh MB Ubangha dan RE Oputa (2007:1), menyatakan
bahwa similarities in the self-concept of all classes of children investigated
irrespective of gender. The children differed in academic orientation and
vocational interests.
Di bidang pendidikan, banyak diantara mereka yang putus sekolah pada
waktu SD, bahkan ada juga yang tidak pernah merasakan bangku sekolah. Seperti
penuturan Adi dan Jopan yang peneliti temui di RPSA Anak Bangsa, mereka dulu
pernah putus sekolah tetapi kemudian sekarang mereka mendapatkan beasiswa
dari yayasan atau pihak RPSA untuk melanjutkan sekolahnya di SMP. Mereka
mengatakan sebenarnya mereka merasa malu pada teman-teman sekolahnya
hingga mereka sempat berhenti mengamen, tapi karena lingkungan yang
mendukungnya untuk menjadi pengamen di jalan dan di bus serta alasan ikutikutan, tidak lama mereka turun ke jalan lagi. Terkadang emosi mereka juga
13
tinggi karena di sekolah ataupun di jalan mereka sering kali berkelahi untuk suatu
hal kecil dan sering bolos sekolah karena malas ataupun karena ingin ngamen. Di
jalan mereka merasa itu adalah tempat mereka, banyak teman, dapat uang dan
tidak begitu memikirkan keluarga. Mereka sebenarnya sadar akan resiko-resiko
yang mereka hadapi ketika mereka mengamen di jalan, tetapi mereka lebih sering
mengacuhkannya. Sekarang, karena mereka mendapatkan beasiswa untuk
melanjutkan sekolah, jadi pihak RPSA mengawasi dan mendampingi mereka
secara ketat yang dilakukan oleh para pekerja sosial di RPSA tersebut agar
mereka tidak lagi berada di jalan. Karena jika tidak didampingi secara ketat
mereka akan dapat turun ke jalan dengan mudah. Karena dengan
aktivitas
keseharian sebagai anak jalanan ini berarti bahwa mereka tidak dapat
mengembangkan diri mereka sendiri untuk masa depannya.
Adanya pelayanan-pelayanan yang berupa bimbingan sosial, konsultasi
serta pembinaan ketrampilan yang dilakukan pada RPSA sedikit demi sedikit
akan merubah sikap mereka terhadap suatu hal. Seperti yang dikemukakan Septi
dan Ika, pekerja sosial di RPSA Gratama, mereka mengatakan bahwa memang
ada perbedaan antara anak jalanan yang mengikuti pelayanan-pelayanan di RPSA
dengan anak jalanan yang tidak pernah mengikutinya. Kira-kira delapan puluh
persen anak jalanan yang mengikuti bimbingan sosial menjadi lebih tahu akan
etika seperti unggah ungguh dan lebih sopan, selain itu dari segi agama mereka
juga ada peningkatan. Pada umumnya mereka juga lebih terbuka terhadap orang
lain.
14
Perkembangan psikologis dan sosial seseorang bermula dari sejak ia lahir
hingga meninggal. Selama proses tumbuh kembang tersebut, tiap individu juga
pasti akan mempelajari berbagai macam pengalaman dalam masa kehidupannya,
baik itu kehidupan pribadi, keluarga, ataupun kehidupan dalam lingkungan
sosialnya. Semua itu ada dan akan semakin berkembang karena masing-masing
individu memiliki tahapan pembelajaran dalam setiap proses kehidupannya. Hal
tersebut diantaranya yang dapat membentuk kepribadiannya, terutama konsep diri
serta penerimaan diri.
Konsep-Aku yang diartikan sebagai gambaran mental yang dimiliki oleh
seseorang mengenai pribadi dirinya (Surachmad, 1977:37). Inspirasi yang sejalan
dengan harapan individu akan membantu untuk dapat berkembang sebagai
manusia dewasa. Konsep diri bukan merupakan faktor bawaan, melainkan faktor
yang dipelajari dan dibentuk melalui pengalaman individu berubungan dengan
orang lain.
Masa remaja
merupakan masa yang potensial untuk mengembangkan
konsep diri, sebab masa remaja merupakan masa yang penuh dengan tekanan
yang memungkinkan individu menemukan identitas dirinya. Selain itu, masa
remaja juga merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa.
Secara psiskis, pada seorang remaja akan timbul perasaan aneh, ganjil, yang
kemudian hal ini juga dapat menimbulkan perasaan tidak puas terhadap diri
sendiri. Perasaan tidak puas tersebut dikarenakan kurangnya penerimaan diri pada
remaja yang dipengaruhi oleh konsep diri negatif pada seseorang.
15
Latar belakang keluarga, peran perilaku orang tua, hubungan keluarga,
pengaruh teman-teman sebaya pada anak jalanan, serta andil masyarakat untuk
memberikan perhatian, kasih sayang, serta ruang bagi anak untuk tumbuh dan
berkembang sebagaimana mestinya dapat menjadi jalan keluar yang positif bagi
anak agar dapat menerima dirinya sebagaimana adanya sehingga anak tersebut
memiliki ruang, tempat, serta kehidupan yang layak dan lebih baik. Maka konsep
diri merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi penerimaan individu. Hal
ini dikarenakan seseorang yang memiliki kehidupan di lingkungan keluarga dan
sosial yang baik, maka akan membentuk individu yang mengetahui pandangan
dan penilaian tentang diri sendiri serta mengetahui harapan apa yang ingin
dicapainya hingga ia akan merasa senang, puas secara fisik dan psikis, serta dapat
menyadari dan menerima keterbatasan yang dimilikinya. Berdasarkan uraian
tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh
konsep diri terhaap penerimaan diri anak jalanan di RPSA Kota Semarang.
1. 2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas maka permasalahan dalam
penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah gambaran konsep diri anak jalanan di RPSA Kota
Semarang ?
2. Bagaimanakah gambaran penerimaan diri anak jalanan di RPSA Kota
Semarang ?
16
3. Apakah ada pengaruhnkonsep diri terhadap penerimaan diri anak
jalanan di RPSA Kota Semarang ?
1. 3. Penegasan Istilah
Untuk memberikan kejelasan arti dan sekaligus menghindari kesalahan
pengertian dalam penelitian ini, maka dipandang perlu untuk memberikan
penegasan beberapa istilah, yaitu:
1. Konsep Diri
Konsep diri adalah pandangan dan perasaan individu tentang diri
sendiri. Individu mempersepsi diri tentang keadaan psikologis, sosial,
dan fisiknya (Rakhmat, 2004:99).
2. Penerimaan Diri
Penerimaan diri merupakan ungkapan perasaan senang dan puas
terhadap kenyataan diri sendiri. Penerimaan diri sendiri tersebut pada
dasarnya merupakan perwujudan dari rasa puas, baik terhadap diri
sendiri maupun terhadap kemampuan yang ada pada dirinya. Disamping
itu,
individu
yang
menyadari
dimilikinya (Chaplin, 1999: 450).
keterbatasan-keterbatasan
yang
17
1. 4. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui gambaran konsep diri anak jalanan di RPSA Kota
Semarang.
2. Untuk mengetahui gambaran penerimaan diri anak jalanan di RPSA
Kota Semarang.
3. Untuk mengetahui pengaruh konsep diri terhadap penerimaan diri pada
anak jalanan di RPSA Kota Semarang.
1. 5. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dilakukannya penelitian ini yaitu:
1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoretis dari penelitian ini adalah untuk menambah kajian
pengetahuan dan pengembangan di bidang ilmu psikologi, khususnya
dalam konsentrasi psikologi sosial.
2. Manfaat Praktis
Memberikan gambaran latar belakang secara mendalam khususnya
mengenai penerimaan diri dan konsep diri pada anak jalanan ditinjau
dari psiologi sosial.
18
1. 6. Sistematika Skripsi
Sistematika skripsi ini terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian pendahuluan,
bagian isi, dan bagian akhir.
Bagian Pendahuluan berisi halaman judul, pengesahan, halaman motto dan
persembahan, kata pengantar, daftar isi, daftar tabel daftar lampiran.
Bagian Isi terdiri dari lima bab, yaitu pendahuluan, kajian teoritis dan
hipotesis, metode penelitian dan hasil penelitian serta penutup.
Untuk memberikan gambaran menyeluruh materi secara garis besar dalam
penelitian, dibawah ini diuraikan sistematika skripsi sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan, pada bab ini berisi latar belakang masalah, perumusan
masalah, tujuan penelitian, penegasan istilah, manfaat penelitian, dan sistematika
penelitian.
Bab II Kajian Teoretis, bab ini berisi tentang konsep diri, penerimaan diri,
anak jalanan, Rumah Perlindungan Sosial Anak, hubungan konsep diri dan
penerimaan diri dan hipotesis.
Bab III, Metode Penelitian, berisi tentang variabel penelitian, definisi
operasional, populasi dan sampel, metode pengumpulan data, uji validitas dan uji
reliabilitas, dan teknik analisis data.
Bab IV Laporan hasil penelitian dan pembahasan
Bab V Penutup, yang berisi simpulan dan saran
Bagian akhir berisi daftar pustaka dan lampiran-lampiran
BAB 2
KAJIAN TEORI
2. 1. Penerimaan Diri
Penerimaan diri merupakan komponen dari kesehatan mental. Seseorang
yang memilki penerimaan diri yang baik merupakan orang yang berpribadi
matang. Orang yang sehat secara psikologis memandang dirinya disenangi,
mampu berharga dan diterima oleh orang lain, sedangkan orang yang menolak
dirinya biasanya tidak bahagia dan tidak mampu membangun serta melestarikan
hubungan baik dengan orang lain. (Supratiknya, 1995, 85-86).
2. 1. 1. Pengertian Penerimaan Diri
Menurut Chaplin (1999: 450) penerimaan diri merupakan sikap yang pada
dasarnya merasa puas dengan diri sendiri, kualitas-kualitas dan bakat-bakat
sendiri, dan pengakuan akan keterbatasan-keterbatasan sendiri. Orang yang
mampu menerima dirinya, mampu pula menerima orang lain walaupun
keadaannya berbeda. Penerimaan diri mempunyai pandangan positif tentang
dirinya serta menerima dan menyadari bahwa manusia mempunyai keterbatasan
dan kelemahan pada dirinya.
Sulaeman (1995:20) mengemukakan bahwa seseorang yang menerima
dirinya memiliki penghargaan yang tinggi tentang sumber-sumber yang ada pada
dirinyadigabung dengan penghargaan tentang kebergunaan dirinya, percaya akan
norma-norma serta keyakinan-keyakinan sendiri, dan juga mempunyai pandangan
19
20
realistis
tentang
keterbatasan-keterbatasan
tanpa
menimbulkan
tindakan
penolakan diri. Berarti, penerimaan diri adalah kesadaran individu untuk
menerima, mengenal, dan menghargai potensi-potensi dirinya.
Supratiknya (1995:84-85) mendefinisikan penerimaan diri dengan
memiliki penghargaan yang tinggi terhadap diri sendiri, atau lawannya, tidak
besikap sinis terhadap diri sendiri. Penerimaan diri ini berkaitan dengan tiga hal,
antara lain:
1.
Kerelaan kita untuk membuka atau mengungkapakan aneka pikiran, perasaan,
dan reaksi kita kepada orang lain. Penerimaan diri dibangun lewat
pemahaman kita bahwa orang lain menerima kita. Jika orang lain memandang
kita berharga, maka kita pun akan memandang diri kita berharga.
2.
Kesehatan psikologis berkaitan erat dengan kualitas perasaan kita terhadap
diri sendiri. Orang yang sehat secara psikologis memandang dirinya
disenangi, mampu, berharga, dan diterima oleh orang lain. Agar kita tumbuh
dan berkembang secara psikologis, maka kita harus menerima diri kita.
3.
Penerimaan kita terhadap orang lain.
Orang yang menerima diri biasanya lebih bisa menerima orang lain. Bila kita
berpikiran positif tentang diri sendiri, maka kita pun akan berpikir positif
tentang orang lain.
Penerimaan diri menurut Hurlock (1974:434) adalah tingkat dimana
individu benar-benar mempertimbangkan karakteristik pribadinya dan mau hidup
dengan karakteristik tersebut. Orang yang menerima dirinya memiliki penilaian
realistik tentang potensi-potensi dan harga dirinya, bertanggung jawab terhadap
21
norma-norma yang ada dan juga berpikir realistis tentang kekurangan-kekurangan
dirinya tanpa menyalahkan diri sendiri atas kekurangan tersebut. Penerimaan diri
erat kaitannya dengan konsep diri yang dimiliki seseorang. Semakin positif
konsep dirinya maka akan semakin tinggi penerimaan dirinya, begitu juga
sebaliknya, jika konsep diri yang dimiliki seseorang rendah maka akan rendah
penerimaan dirinya. Penerimaan diri lebih mengarah pada kerendahan hati dan
kedermawanan seseorang. Orang yang memiliki penerimaan diri yang baik dapat
menerima dirinya sendiri secara apa adanya (Calhoun dan Acocella, 1995:73).
Dari beberapa definisi diatas, jadi yang dimaksud dengan penerimaan diri
adalah sikap individu yang mencerminkan perasaan menerima dan senang atas
segala kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya serta mampu mengelola
segala kekhususan diri dengan baik sehingga dapat menimbulkan kepribadian dan
fisik yang sehat.
2. 1. 2. Kondisi yang Mempengaruhi Pembentukan Penerimaan Diri
Hurlock
(1974:434)
menyatakan
bahwa
banyak
faktor
yang
mempengaruhi orang menyukai dan menerima dirinya. Faktor tersebut merupakan
kebalikan dari faktor-faktor yang mengakibatkan penolakan diri. Menurut Hurlock
(1974:435) kondisi yang dapat mempengaruhi penerimaan diri tersebut adalah:
1. Pemahaman diri
Pemahaman diri adalah suatu persepsi atas diri sendiri yang ditandai oleh
keaslian bukan kepura-puraan, realistis bukan khayalan, kebenaran bukan
kebohongan, keterusterangan bukan berbelit-belit. Pemahaman diri dan
penerimaan diri memiliki hubungan positif, semakin baik seseorang
22
memahami dirinya maka semakin baik ia menerima dirinya apa adanya,
dengan adanya pemahaman pada diri sendiri, maka secara tidak langsung
orang akan berusaha untuk mengerti, memahami dan menerima semua yang
ada pada dirinya tersebut, termasuk semua kelebihan serta kekurangannya,
sehingga dapat diartikan sebagai individu yang tidak bermasalah dengan
dirinya sendiri (Oktaviana, 2004:5)
2. Harapan yang realistis
Ketika pengharapan seseorang terhadap sukses yang akan dicapai merupakan
pengharapan yang realistis, kesempatan untuk mencapai sukses tersebut akan
muncul. Adanya kesempatan tersebut akan mendukung terbentuknya kepuasan
diri sendiri yang pada akirrnya membentuk sikap penerimaan terhadap diri
sendiri.
3. Tidak hadirnya hambatan-hambatan dari lingkungan
Ketidakmampuan untuk mencapai tujuan yang realistik dapat disebabkan oleh
ketidakmampuan individu yang bersangkutan untuk mengontrol adanya
hambatan-hambatan dari lingkungan. Seseorang yang menyadari bahwa
sebenarnya dia mampu, tetapi karena ada hambatan dari lingkungan (misalnya
diskriminasi ras, gender, kepercayaan) akan sukar untuk memiliki penerimaan
diri yang baik. Sikap tidak senang terhadap diri atau kurangnya penerimaan
terhadap diri dapat juga dipengaruhi oleh adanya pemberian label-label yang
berkembang dalam masyarakat terhadap orang atau komunitas tertentu.
Jika hambatan-hambatan dari lingkungan tersebut dihilangkan, seseorang akan
dapat
mencapaui
tujuan
yang
realistik.
Tercapainya
tujuan
akan
23
mengakibatkan individu yang bersangkutan merasa puas dan kemudian akan
mendukung terbentuknya penerimaan diri.
4. Tingkah laku sosial yang mendukung
Peranan lingkungan sosial terhadap seseorang dapat membentuk tingkah laku
orang tersebut. Seseorang yang mengalami perlakuan lingkungan sosial yang
mendukung akan dapat menerima dirinya dengan lebih baik.
5. Tidak adanya tekanan emosi yang berat
Tekanan yang berat dan terus menerus seperti yang terjadi di lingkungan kerja
atau di rumah, di mana kondisi emosi sedang tidak baik dapat mengakibatkan
gangguan yang berat pada seseorang, sehingga tingkah laku orang tersebut
dinilai menyimpang dan orang lain menjadi terlihat selalu dan menolak orang
tersebut.
Tidak adanya tekanan emosi membuat seseorang dapat melakukan yang
terbaik dan dapat berpandangan keluar dan tidak memiliki pandangan hanya
kedalam diri saja. Tanpa tekanan emosi juga dapat membuat seseorang santai
dan bahagia. Kondisi-kondisi ini memberikan sumbangan positif bagi
penilaian terhadap lingkungan sosial yang menjadi dasar terhadap penilaian
diri sendiri dan terhadap penerimaan diri.
6. Sukses yang terjadi
Kegagalan yang sering menimpa menjadikan seseorang menolak dirinya
sendiri. Sebaliknya, kesuksesan yang sering terjadi menumbuhkan penerimaan
terhadap dirinya sendiri. Sering atau tidaknya sukses yang terjadi dapat dinilai
secara kuantitatif dan juga secara kualitatif. Secara kuantitatif berarti jumlah
24
terjadinya kesuksesan lebih banyak dari pada kegagalan. Secara kualitatif
maksudnya, walaupun jumlah terjadinya kegagalan lebih banyak dari pada
kesuksesan, namun kesusksesan yang terjadi tersebut merupakan sesuatu yang
sangat penting dan sangat berarti yang dapat melebihi julah kegagalan
tersebut, baik dari penilaian masyarakat maupun diri sendiri.
7. Identifikasi dengan orang yang mempunyai penyesuaian diri yang baik
Individu yang mengidentifikasika diri dengan orang yang memiliki
penyesuaian diri yang baik akan terpengaruh untuk mengembangkan tingkah
laku positif terhadap hidupnya. Tingkah laku positif tersebut menandakan
penilaian diri yang positif seta menunjukkan adanya penerimaan diri yang
baik.
8. Cara seseorang melihat diri sendiri (konsep diri)
Seseorang yang dapat melihat dirinya sendiri dengan benar, memiliki
pengertian terhadap diri sendiri. Cara seseorang memandang diri sendiri atau
konsep diri yang stabil akan menentukan bagaimana penerimaan diri
seseorang. Memiliki konsep diri yang stabil dapat meningkatkan potensi yang
terbaik dari diri sendiri dengan senantiasa belajar meningkatkan kemampuan
diri, dan memanfaatkan kesempatan serta peluang yang ada.
9. Pendidikan yang baik pada masa kanak-kanak
Meskipun bermacam-macam penyesuaian yang dilakukan oleh seseorang
dapat mengubah secara radikal dan membuat hidupnya semakin baik, namun
pusat dari konsep diri yang menentukan jenis penyesuaian diri yang akan
dilakukan terletak pada masa kanak-kanak.
25
Selain kondisi-kondisi yang mempengaruhi penerimaan diri yang tersebut
diatas, faktor pendidikan dan dukungan sosial juga dapat mempengaruhi
penerimaan diri seseorang. Penerimaan diri akan semakin baik apabila ada
dukunngan dari lingkungan sekitar, hal ini dikarenakan individu yang mendapat
dukungan sosial akan mendapat perlakuan yang baik dan menyenangkan.
Sedangkan faktor pendidikan juga tidak kalah pentingnya dalam mempengaruhi
penerimaan diri seseorang, dimana individu yang memiliki pendidikan lebih
tinggi pada umumnya akan memiliki tingkat kesadaran yang lebih tinggi pula
2. 1. 3. Ciri-Ciri Orang yang Menerima diri sendiri
Sheerer dalam Cronbach (1963:223) terdapat ciri-ciri orang yang dapat
menerima diri dengan baik:
1. Memiliki keyakinan akan kemampuannya menghadapi kehidupan.
2. Tidak menganggap dirinya aneh atau abnormal dan tidak menganggap orang
lain menolak dirinya.
3. Menganggap dirinya berharga sebagai seorang manusia, sederajat dengan
orang lain.
4. Tidak malu dan tidak hanya memperhatikan dirinya.
5. Berani memikul tanggung jawab terhadap perilakunya.
6. Dalam berperilaku menggunakan norma dirinya.
7. Mampu menerima pujian dan celaan secara obyektif.
8. Tidak menyalahkan atas keterbatasan dalam dirinya atau mengingkari
kelebihannya
26
Menurut Allport dalam Wrastari dan Handadari (2003:21), seseorang yang
menerima dirinya akan memiliki ciri sebagai berikut:
1. Memiliki gambaran yang positif tentang dirinya.
2. Dapat mengatur dan dapat bertoleransi dengan rasa frustasi atau
kemarahannya.
3. Dapat berinteraksi dengan orang lain tanpa memusuhi mereka apabila orang
lain memberikan kritikan.
4. Dapat mengatur keadaan emosi mereka (seperti depresi, kemarahan, rasa
bersalah).
5. Mengekspresikan
keyakinan
dan
perasaan
mereka
dengan
mempertimbangkan perasaan dan keadaan orang lain.
Menurut Sulaeman (1995:20), tanda-tanda penerimaan diri antara lain:
1. Seseorang yang menerima keadaan dirinya memiliki penghargaan yang
realistis tentag sumber-sumber yang ada pada dirinyadigabungkan dengan
penghargaan tentang kebergunaan dirinya.
2. Seseorang yang menerima dirinya mengenal dan menghargai potensi-potensi
yang ada pada dirinya, menyadari kekurangan tanpa terus menerus
menyesalinya.
3. Ciri yang paling menonjol pada seseorang yang memiliki penerimaan diri
adalah spontanitas dan tanggung jawab untuk dirinya. Mereka akan menerima
kualitas-kualitas kemanusiaannya tanpa menyalahkan diri sendiri, jika terjadi
hal-hal diluar kontrolnya.
27
2.1.4
Pengaruh Penerimaan Diri
Untuk lebih mudahnya, Hurlock (1974:437) membagi pengaruh dari
penerimaan diri menjadi dua, yaitu:
1. Pengaruh pada penyesuaian diri.
Seseorang yang dapat menerima dirinya mampu menerima seluruh kelebihan
dan kelemahan dirinya, ia mampu mengenal kelemahan dirinya sebaik ia
mengenal kelebihan dirinya
sendiri. Karakteristik orang
yang dapat
menyesuaikan diri adalah dapat menerima kelebihan dirinya dan lebih
memaksimalkan kelebihan tersebut serta memanimalisir kelemahannya. Orang
yang menerima diri dapat menerima kritikan tanpa mengurangi rasa penerimaan
dirinya, menyadari bahwa bagaimanapun ia tidak sempurna. Ketika mendapat
kritikan, orang tersebut akan berusaha untuk memperbaiki kelemahannya.
Adanya penerimaan diri dapat mendorong seseorang untuk mengatasi masalahmasalah dalam hidupnya dan bahwa ia dapat diterima oleh orang lain. Orang
yang menerima dirinya akan mengevaluasi dirinya secara realistis dan
menggunakan kemampuannya secara efektif.
Hal yang penting, orang yang menerima diri tidak ingin menjadi orang lain. Ia
merasa puas dengan dirinya sendiri. Ia akan meningkatkan kualitasnya dan
meminimalisir kelemahannya.
2. Pengaruh pada penyesuaian sosial.
Penerimaan diri akan disertai oleh penerimaan terhadap orang lain. Orang yang
menerima dirinya akan merasa aman untuk bersama dan berhubungan dengan
orang lain dan menunjukkan empati. Sebagai hasilnya, ia dapat membuat
28
penyesuaian sosial yang lebih baik dari pada orang yang berorientasi pada diri
sendiri karena adanya perasaan tidak cukup dan perasaan rendah diri.
Orang yang menerima dirinya memiliki toleransi dengan orang lain,
memaafkan kelemahan-kelemahannya. Toleransi dengan orang lain seringkali
menyertai keinginan untuk menolong orang lain. Ketika orang yang menerima
dirinya tidak berorientsi pada diri sendiri dan tidak menyalahkan orang lain
akan kelemahan-kelemahannya, ia akan menolong orang yang membutuhkan
disekitarnya.
Secara umum, semakin baik orang menerima dirinya maka akan semakin baik
pula penerimaannya terhadap orang lain.
2. 2. Konsep diri
Manusia dilahirkan sebagai individu yang belum mendapat pengaruh
apapun dari lingkungan sekitarnya. Dalam perkembangan kepribadian seseorang
sangat dipengaruhi terutama oleh lingkungan keluarga, karena orang-orang yang
dikenal pertama kali oleh individu adalah orang tua dan anggota keluarga lain,
baru kemudian pengaruh lingkungan sekitar akan menjadi pengaruh selanjutnya
setelah individu tersebut melakukan interaksi.
Konsep diri bukan merupakan faktor yang dibawa sejak lahir, tetapi
konsep diri terbentuk melalui proses belajar sejak masa pertumbuhan seseorang,
yaitu dari masa kecil hingga dewasa. Karena untuk selanjutnya konsep diri
mempunyai peranan penting dalam menentukan perilaku individu. Bagaimana
individu memandang dirinya, akan tampak dalam seluruh perilakunya tersebut.
29
Perilaku individu tersebut akan sesuai dengan cara individu memandang dirinya
sendiri (Pudjijogyanti, 1991:4).
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa individu tidak
dilahirkan dengan konsep diri. Konsep diri muncul sebagai pengalaman yang
didapatkan dari proses interaksi dengan orang-orang yang ada disekitarnya.
Perlakuan orang-orang tersebutlah yang menjadikan cerminan tentang diri kita.
2. 2. 1. Pengertian Konsep Diri
Menurut Burns (1993:vi) konsep diri adalah satu gambaran campuran dari
apa yang kita pikirkan, pikiran atau pendapat orang lain mengenai diri kita, dan
seperti apa diri kita yang kita inginkan. Brooks dalam Rakhmat (2004:99)
mendefinisikan konsep diri sebagai segala persepsi tentang diri sendiri, secara
fisik, sosial, dan psikologis yang diperoleh berdasarkan pengalaman dan interaksi
dengan orang lain. Pudjijogyanti (1991:2) mengemukakan bahwa konsep diri
merupakan sikap dan
pandangan individu terhadap seluruh keadaan dirinya.
Cawagas dalam Pudjijogyanti (1991:2) menyatakan bahwa konsep diri mencakup
seluruh pandangan individu akan dimensi fisiknya, karakteristik pribadinya,
kegagalan dan sebagainya.
Menurut Calhoun (1995:67) konsep diri adalah pandangan diri atau potret
mental terhadap diri sendiri yang meliputi tiga dimensi, yaitu pengetahuan,
pengharapan dan penilaian tentang diri sendiri. Chaplin (2002:450) menyatakan
bahwa konsep diri merupakan evaluasi individu mengenai diri sendiri; penilaian
atau penaksiran mengenai diri sendiri oleh individu yang bersangkutan.
30
Selanjutnya Hall dan Lindzey (dalam Nuryoto dan Ampuni, 2006:144)
memberikan dua pengertian mengenai konsep diri, yaitu:
1. Konsep diri yang bersifat objektif, diartikan sebagai suatu pandangan atau
persepsi individu terhadap dirinya sendiri atau memberikan gambaran tentang
individu dan ini akan membentuk citra diri individu (self image).
2. Konsep diri yang bersifat subjektif, merupakan penilaian individu terhadap
dirinya sendiri, dalam penilaian ini akan membentuk penerimaan terhadap
dirinya (self acceptance) serta akan membentuk harga dirinya (self esteem).
Self esteem ini berasal dari interaksi individu dengan lingkungannya, serta
penghargaan, penerimaan dan perlakuan yang diterima individu dari
lingkungannya. Apabila seseorang memiliki harga diri yang tinggi maka
konsep dirinya positif, demikian pula sebaliknya.
Konsep diri menurut Rakhmat (2004:99) yaitu pandangan atau gambaran,
perasaan, serta penilaian tentang diri sendiri yang dapat bersifat psikologis, sosial
dan fisik.
2. 2. 2. Ciri-Ciri Konsep Diri
Setelah melihat definisi tentang konsep diri di atas, maka berikut akan
dijelaskan mengenai konsep diri yang dapat dibedakan menjadi dua macam
konsep secara umum yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif, adapun ciriciri konsep diri negatif dan positif dijelaskan oleh William D Brooks dan Philip
Emmert (dalam Rahmat, 2004:105) sebagai berikut:
31
2. 2. 2. 1. Ciri-ciri konsep diri positif
1) Yakin akan kemampuannya mengatasi masalah.
2) Merasa setara dengan orang lain.
3) Menerima pujian tanpa rasa malu.
4) Menyadari bahwa setiap orang mempunyai berbagai keinginan, perasaan dan
perilaku yang tidak seluruhnya disetujui oleh masyarakat.
5) Mampu memperbaiki dirinya karena sanggup mengungkapkan aspek-aspek
kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha merubahnya.
2.2.2.2. Ciri-ciri konsep diri negatif
1) Peka pada kritik, yang ditunjukkan dengan mudah marah, koreksi dipersepsi
sebagai upaya menjatuhkan harga diri dalam komunikasi menggunakan dialog
terbuka dan bersikeras mempertahankan pendapat sekalipun logikanya keliru.
2) Responsif sekali terhadap pujian, yang ditunjukkan dengan pura-pura
menghindari pujian dan sesuatu yang menunjang harga dirinya menjadi pusat
harga dirinya.
3) Krisis berlebihan, yang ditunjukkan dengan selalu mengeluh, mencela
siapapun, tidak sanggup dan tidak pandai mengungkapkan penghargaan atau
pengakuan pada orang lain.
4) Cenderung merasa tidak disenangi orang lain, ia merasa tidak diperhatikan.
Karena itulah ia bereaksi pada orang lain sebagai musuh, sehingga tidak
pernah melahirkan kehangatan dan keakraban persahabatan. Ia tidak pernah
mempersalahkan dirinya, tetapi akan menganggap dirinya sebagai korban dari
sistem sosial yang tidak beres.
32
5) Bersikap pesimis terhadap kompetisi, seperti terungkap dalam keengganannya
untuk bersaing dengan orang lain dalam membuat prestasi. Ia menganggap
tidak akan berdaya melawan persaingan yang merugikan dirinya.
Ciri-ciri konsep diri positif dan negatif dari pendapat William D Brooks
dan Philip Emmert tersebut maka dapat diidentifikasikan tanda-tanda seorang
individu yang memiliki konsep diri negatif serta konsep diri positif. Individu
yang memiliki konsep diri positif adalah individu yang memiliki keyakinan akan
kemampuannya mengatasi masalah, merasa setara dengan orang lain, mampu
menerima pujian karena layak menerimanya, menyadari bahwa setiap orang
memiliki bermacam perasaan, harapan, serta perilaku yang tidak disetujui dalam
masyarakat, sehingga memiliki kemampuan merubah diri untuk lebih baik lagi
dalam kualitas hidupnya. Sedangkan individu dengan konsep diri negatif yaitu
individu yang peka terhadap kritik, responsif terhadap pujian, krisis berlebihan,
cenderung merasa tidak disenangi orang lain, serta bersikap pesimis terhadap
tantangan dan persaingan.
Dari beberapa uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep diri
adalah cara pandang atau penilaian individu terhadap diri sendiri, baik yang
bersifat fisik, sosial maupun psikologis, yang didapat dari hasil interaksi dengan
orang lain serta pengalaman-pengalaman yang dilalui selama hidupnya.
33
2. 2. 3. Komponen konsep diri
Burns (1993:66) mengemukakan komponen dari konsep diri, yaitu:
1. Keyakinan pengetahuan atau komponen kognitif.
Pengetahuan atau komponen kognitif ini mewakili sebuah deskripsi dari suatu
obyek dengan tidak memandang apakah pengetahuan itu benar atau salah,
didasarkan atas bukti yang obyektif maupun opini yang subyektif.
2. Komponen Afektif.
Merupakan deskripsi-deskripsi diri dan keyakinan-keyakinan yang semuanya
diinvestasikan dengan nada-nada tambahan yang diekspresikan dengan
emosional.
3. Evaluasi.
Merupakan penilaian diri terhadap komponen kognitif yang berhubungan
dengan kebudayaan, fisik dan hubungan sosial. Evaluasi diri ini sifatnya tetap
atau dapat berubah sesuai dengan pengalaman belajar yang dipelajarinya dan
dapat berupa evaluasi diri positif maupun evalusi diri negatif. Evaluasi diri
disebut pula dengan perasaan harga diri.
4. Suatu kecenderungan untuk memberi respon.
Menurut Pudjijogyanti (1991:3) menyatakan bahwa konsep diri terbentuk
atas dua komponen, yaitu:
1. Komponen Kognitif
Merupakan pengetahuan individu tentang keadaan dirinya yang akan
membentuk gambaran tentang diri (self-picture) dan akan membentuk citra diri
(self-image). Komponen kognitif ini merupakan data yang bersifat obyektif.
34
2. Komponen afektif
Merupakan penilaian individu tentang dirinya yang akan membentuk
penerimaan diri (self-acceptance) serta harga diri (self-esteem).
Berdasarkan kedua komponen tersebut dengan demikian dapat dikatakan bahwa
konsep diri tidak dapat terlepas dari masalah gambaran diri, citra diri, penerimaan
diri serta harga diri.
Konsep diri individu yang sehat adalah ketika konsisten dengan pikiran,
pengalaman dan perilaku. Konsep diri yang kuat bisa mendorong seseorang
menjadi fleksibel dan memungkinkan ia untuk berkonfrontasi dengan pengalaman
atau ide baru tanpa merasa terancam.
2. 2. 4. Aspek-aspek konsep diri
Kemudian aspek konsep diri menurut Hurlock (1978:237) sendiri meliputi:
1. Aspek fisik
Terdiri dari konsep yang dimiliki individu tentang penampilannya, kesesuaian
dengan seksnya, arti penting tubuhnya dalam hubungan dengan perilakunya,
dan gengsi yang diberikan tubuhnya di mata orang lain.
2. Aspek psikologis
Terdiri dari konsep individu tentang kemampuan dan ketidakmampuannya,
harga dirinya dan hubungannya dengan orang lain.
Dalam menentukan perilaku individu, konsep diri mempunyai peranan
penting. Bagaimana individu memandang atau menilai dirinya sendiri akan
tampak jelas dari seluruh perilakunya.
35
Isi konsep diri menurut Burns (1993:209-210), yaitu:
1) Karakteristik-karakteristik fisik, termasuk di dalamnya penampilan secara
umum, ukuran tubuh dan berat tubuh; sosok dan bentuk tubuh, dan detaildetail dari kepala dan tungkai lengan.
2) Cara berpakaian, model rambut dan make-up.
3) Kesehatan dan kondisi fisik.
4) Benda-benda yang dipunyainya dan pemilikan.
5) Binatang peliharaan dan sikap-sikap terhadap mereka.
6) Rumah dan hubungan keluarga.
7) Olahraga, permainan dan hobi-hobi (partisipasi dan kemampuannya).
8) Sekolah dan pekerjaan sekolah, kemampuan dan sikapnya.
9) Status intelektual, kecerdasan.
Semakin dewasa dan semakin tinggi kecerdasan seseorang, maka semakin
mampu dia menggambarkan dirinya sendiri, serta semakin baik pula konsep
dirinya (Sarwono, 1997:147).
10) Bakat khusus dan kemampuan khusus atau minat khusus.
11) Ciri kepribadian, termasuk di dalamnya temperamen, disposisi, ciri karakter,
tendensi emosional, dan lain-lain.
12) Sikap dan hubungan sosial.
13) Ide religius, minat religius, keyakinan dan praktek religius.
14) Pengelolaan peristiwa-peristiwa praktis; kemandirian.
Dari berbagai pandangan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa konsep
diri adalah suatu cara pandang menyeluruh yang dimiliki seseorang mengenai
36
dirinya yang meliputi pengetahuan tentang diri sendiri, pengharapan, dan
penilaian diri, yang diperoleh berdasarkan pengalaman dan interaksi dengan orang
lain.
2. 2. 5. Faktor yang mempengaruhi pembentukan dan perkembangan
konsep diri
Pembentukan konsep diri saat usia remaja menjadi sangat penting karena
akan mempengaruhi kepribadian, tingkah laku, dan pemahamannya terhadap diri
sendiri. Remaja berusaha menyesuaikan antara konsep diri ideal yang dibangun
berdasarkan cita-cita dan harapannya dengan konsep diri real, yaitu keadaan diri
yang sesungguhnya.
Konsep diri pada remaja diperolehnya melalui bagaimana orang lain dan
lingkungan sekitar memperlakukan dirinya. Menurut Sullivan dalam Rakhmat
(2004:101), “Jika kita diterima orang lain, dihormati dan menerima diri kita, maka
kita akan menerima diri kita dengan baik. Sebaliknya bila orang lain selalu
meremehkan dan menyalahkan kita, maka kita akan cenderung untuk menolak diri
kita”.
Tetapi tidak semua remaja dapat mengembangkan konsep diri secara
positif, dalam hal ini yaitu menerima dirinya, karena hal ini berkaitan dengan
faktor-faktor yang akan mempengaruhi konsep diri pada masing-masing individu.
37
Djalaluddin
Rakhmat
(2004:100)
menyatakan
faktor-faktor
yang
membentuk konsep diri adalah:
1. Orang Lain (significan others)
Orang lain yang memiliki pengaruh dalam kehidupan misalnya orang tua dan
teman. Pujian yang diberikan, dorongan, semangat yang diberikan mereka
menyebabkan menilai diri kita secara efektif.
2. Kelompok Rujukan (group reference)
Dalam suatu kelompok ada norma-norma yang secara emosional mengikat kita
dan berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri kita. Misalnya bergabung
dalam kelompok pecinta alam, maka kita akan memiliki konsep diri sebagai
seseorang yang memelihara alam, mencintai alam.
Dalam konsep diri menurut Burns (1993:188-189) terdapat lima buah
sumber penting dalam pembentukan konsep diri seseorang. Kelima sumber itu
adalah:
1. Citra tubuh
Yaitu evaluasi terhadap diri fisik sebagai suatu obyek yang jelas berbeda.
2. Bahasa
Merupakan
kemampuan
untuk
mengkonseptualisasikan
dan
memverbalisasikan diri serta untuk memudahkan pemahaman atas banyak
umpan balik dari orang lain.
3. Umpan balik yang ditafsirkan dari lingkungan tentang bagaimana orang lain
yang dihormati memandang pribadi tersebut secara relatif ada dibandingkan
norma-norma dan nilai-nilai masyarakat yang bermacam-macam.
38
4. Identifikasi dengan modal peranan seks stereotip yang sesuai.
5. Praktek-praktek membesarkan anak.
Kelima sumber tersebut tidak dapat berfungsi secara bebas, melainkan saling
terkait secara erat dalam kehidupan sosial.
Sejalan dengan pendapat tersebut diatas, Mead (Pudjijogyanti, 1991:27)
mengemukakan bahwa konsep diri merupakan produk sosial yang dibentuk
melalui proses internalisasi dan organissi pengalaman-pengalaman psikologis.
Pengalaman-pengalaman ini merupakan hasil eksplorasi individu terhadap
lingkungan fisiknya dan refleksi dari dirinya yang diterima dari orang-orang
penting (significant others) disekitarnya. Jika lingkungan memberikan sikap yang
baik dan positif, maka seseorang akan merasa dirinya cukup berharga sehingga
timbullah konsep diri yang positif, begitu pula sebaliknya.
Selain
itu
mempengaruhinya,
dalam
konsep
diri
terdapat
faktor-faktor
yang
faktor-faktor tersebut Menurut Hurlock (1980:235) antara
lain:
1. Usia kematangan
Pengembangan konsep diri yang menyenangkan akan dapat menyesuaikan diri
dengan baik.
2. Penampilan diri
Daya tarik fisik menimbulkan penilaian yang menyenangkan tentang ciri
kepribadian dan akan menambah dukungan sosial.
39
3. Kepatutan seks
Kepatutan seks dalam penampilan diri, minat, dan perilaku akan membantu
individu mencapai konsep diri yang baik.
4. Nama dan julukan
Julukan yang diberikan teman-teman akan mempengaruhi konsep diri
seseorang. Misalnya julukan si bodoh, ladang jerawat, dan sebagainya yang
bernada ejekan akan mempengaruhi konsep diri.
5. Hubungan keluarga
Melalui hubungan yang erat dengan keluarga akan membuat lebih mudah bagi
remaja untuk mengembangkan pola kepribadiannya melalui identifikasi
dengan anggota keluarga tersebut. Bila sesama jenis, maka akan membantu
remaja mengembangkan konsep diri yang layak untuk jenis kelaminnya.
6. Teman-teman sebaya
Teman sebaya mempengaruhi pola kepribadian remaja dalam dua cara.
Pertama, konsep diri remja merupakan cerminan tentang konsep teman-teman
terhadap dirinya. Kedua, remaja berada dalam tekanan untuk mengembangkan
ciri kepribadian yang diakui kelompok.
7. Kreativitas
Remaja yang sejak kanak-kanak didorong untuk mengembangkan perasaan
individualitas dan identitas yang berpengaruh baik terhadap konsep dirinya.
40
8. Cita-cita
Cita-cita yang tidak realistik membuatnya mengalami kegagalan dan
menyalahkan orang lain atas kegagalannya. Sebaliknya, cita-cita yang realistik
cenderung mengalami keberhasilan sehingga membuatnya percaya diri.
Menurut Pudjijogyanti (1991:14) mengemukakan empat hal yang dapat
mempengaruhi perkembangan konsep diri:
1. Citra fisik atau sikap positif terhadap fisik
2. Peran jenis kelamin
3. Peran perilaku orang tua
4. Peranan faktor sosial
Proses perkembangan konsep diri tidak pernah sungguh-sungguh berakhir,
hal itu berjalan terus dengan aktif dari saat kelahiran sampai pada kematian
sejalan dengan individu tersebut secara terus menerus menemukan potensi-potensi
yang baru dalam proses perkembangannya. Untuk memiliki konsep diri, seseorang
harus memandang dirinya sendiri sebagai sebuah obyek yang jelas berbeda dan
mampu melihat dirinya dari obyek-obyek lainnya (Burns, 1993:188).
Berdasarkan berbagai pendapat yang telah mengemukakan tentang konsep
diri dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, maka dapat dikatakan secara jelas
dapat dikatakan bahwa konsep diri bukanlah diwariskan atau ditentukan secara
biologis, tetapi merupakan hal yang dipelajari dari proses interaksi, belajar dan
pengalaman-pengalaman. Konsep diri individu terbentuk dan berkembang melalui
jalan dari hasil pengaruh interaksi yang dilakukan melalui hubungan sosial dengan
41
lingkungan terutama lingkungan keluarga, pendidikan dan hasil tanggapan dari
orang lain.
2. 3. Anak Jalanan
2. 3. 1. Pengertian Anak Jalanan
Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, definisi anak yaitu seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan.
UNICEF mendefinisikan anak jalanan atau street children dengan istilah
yang dipakai untuk menyebutkan anak-anak yang menghabiskan sebagian besar
waktunya untuk berada di jalanan kawasan urban (1999:45) memberikan batasan
terhadap kelompok ini sebagai “Chilren who work on the streets of urban areas,
without reference to the time they spend there or the reasons for being there”.
Sedangkan pengertian lainnya menurut Dinas Kasejahteraan Sosial bahwa
anak jalanan adalah anak yang sebagian besar menghabiskan waktunya untuk
mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya
(Lokakarya Nasional Anak Jalanan Depsos, Oktober 1995).
Definisi yang tersebut diatas memberikan 4 faktor penting yang saling
terkait, yaitu:
1. Anak-anak
2. Menghabiskan sebagian besar waktunya
3. Mencari nafkah dan atau berkeliaran
4. Jalanan dan tempat-tempat umum lainnya
42
Faktor-faktor tersebut memperlihatkan terganggunya keberfungsian sosial
anak. Penyimpangan-penyimpangan tersebut akan berakibat bagi proses tumbuh
kembang anak, karena di jalanan banyak terdapat bentuk ancaman-ancaman yang
akan mempengaruhi pribadi anak jalanan itu sendiri.
2. 3. 2. Jenis dan Kategori Anak Jalanan
Menurut Dharmono dan Darmabrata (1999:45), berdasarkan latar belakang
kehidupan dan motivasi mereka dalam melakoni kehidupan jalanan, maka
kelompok anak-anak jalanan ini dapat dibedakan atas dua golongan, yaitu:
1. Golongan
anak
jalanan
pekerjaan
perkotaan,
yakni
mereka
yang
keberadaannya di jalanan terutama untuk mencari nafkah bagi dirinya maupun
keluarganya. Anak-anak jalanan dari golongan ini menekuni kehidupan
jalanan terbatas pada pemenuhan aspek ekonomi saja.
2. Golongan anak jalanan “murni”, yakni mereka yang melakoni seluruh aspek
kehidupannya di jalanan. Mereka umumnya adalah pelarian dari keluarga
bermasalah yang kemudian terlempar pada kehidupan jalanan. Anak-anak dari
golongan ini nyaris tidak lagi mempunyai ikatan dengan keluarganya.
Shalahuddin (2004) dalam jurnal perempuan (2007:40) membagi anak
jalanan dalam tiga kategori, yaitu:
1. Children on the street adalah kelompok anak jalanan yang karena masalah
ekonomi terpaksa berada di jalanan dan masih memiliki hubungan dengan
keluarga. Ada dua kelompok dalam kategori ini, yaitu:
1) Anak-anak yang tinggal bersama orang tuanya dan senantiasa pulang
setiap hari.
43
2) Anak-anak yang melakukan kegiatan ekonomi dan tinggal di jalanan
namun masih mempertahankan hubungan dengan keluarga dengan cara
pulang, baik secara berkala ataupun dengan jadwal yang tidak rutin.
2. Children of the street adalah anak-anak yang menghabiskan seluruh atau
sebagian besar waktunya di jalanan yang tidak memiliki hubungan dengan
orang tua atau keluarganya lagi.
3. Children in the street atau children from the families of the street adalah anakanak yang menghabiskan seluruh waktunya di jalanan dari keluarga yang
hidup di jalanan.
Dalam badan PBB, terdapat suatu lembaga yang mengurusi kesejahteraan
penduduk dalam suatu negara, UNICEF membagi 3 kategori anak jalanan, antara
lain:
1. Anak jalanan yang bekerja di jalanan (Children on the street).
2. Anak jalanan yang hidup di jalanan (Children of the street).
3. Anak jalanan ditelantarkan karena berbagai sebab (Abadon Child).
Sedangkan menurut Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Tengah
dalam Materi untuk Petugas Penanganan Anak Jalanana Tahun 2005, jenis-jenis
anak jalanan, yaitu:
1. On the street, yaitu menjadi anak jalanan tetapi hanya untuk mencari uang
tidak sebagai pekerjaan utama, dan masih berhubungan dengan keluarga.
2. Off the street, yaitu menjadi anak jalanan sebagai pekerjaan utama, semua
dilakukan di jalan, dan tidak melakukan kontak/jarang kontak dengan
keluarga.
44
3. In the street/high risk to be street children, yaitu berada di jalan karena hanya
untuk mencari kesenangan, dan lain-lain.
Kategori anak jalanan antara lain:
1. Anak-anak miskin perkampungan kumuh yaitu kaum urban.
2. Pekerja anak perkotaan yaitu anak-anak yang hidup dan bekerja tetapi tidak
tinggal bersama orang tua.
3. Anak-anak jalanan yang sudah putus hubungan dengan keluarga.
Anak jalanan yang menjadi penerima pelayanan RPSA terbagi kedalam 4
kelompok (dalam Pedoman Penyelenggaraan Pembinaan Anak Jalanan, 1999:26):
1. Anak jalanan yang hidup di jalanan, dengan ciri-ciri:
1) Putus hubungan atau lama tidak bertemu dengan orang tuanya minimal
setahun yang lalu.
2) Berada di jalanan seharian dan meluangkan 8-10 jam untuk bekerja,
sisanya untuk menggelandang/tidur.
3) Bertempat tingga di jalanan dan tidur di sembarang tempat seperti emper
toko, kolong jembatan, taman, stasiun, dan lain-lain.
4) Tidak bersekolah lagi.
5) Pekerjaannya mengamen, mengemis, pemulung, dan serabutan yang
hasilnya untuk diri sendiri.
6) Rata-rata berusia di bawah 14 tahun.
45
2. Anak jalanan yang bekerja di jalanan, cirinya:
1) Berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya, yakni pulang secara
periodik misalnya seminggu sekali, sebulan sekali, dan tidak tentu. Mereka
umumya berasal dari luar kota yang bekerja di jalanan.
2) Berada di jalanan sekitar 8-12 jam untuk bekerja, sebagian mencapai 16
jam.
3) Bertempat tinggal dengan cara mengontrak sendiri atau bersama teman,
dengan orang tua/saudaranya, atau di tempat kerjanya di jalan. Tempat
tinggal umumnya kumuh yang terdiri orang-orang a
4) Tidak bersekolah lagi.
5) Pekerjaannya menjual koran, pengasong, pencuci bis, pemulung sampah,
penyemir sepatu, dan lain-lain. Bekerja merupakan kegiatan utama setelah
putus sekolah terlebih diantara mereka harus membantu orang tuanya
karena miskin, cacat, atau tidak mampu lagi.
6) Rata-rata usianya dibawah 16 tahun.
3. Anak yang rentan menjadi anak jalanan, cirinya:
1) Setiap hari bertemu dengan orang tuanya (teratur).
2) Berada di jalanan sekitar 4-6 jam untuk bekerja.
3) Tinggal dan tidur bersama orang tua/wali.
4) Masih bersekolah.
5) Pekerjaannya menjual koran, makanan, alat tulis, kantong plastik,
menyemir sepatu, pengamen, dan lain-lain untuk memenuhi kebutuhannya
sendiri dan orang tuanya.
46
6) Usianya rata-rata di bawah 14 tahun.
4. Anak jalanan berusia 16 tahun keatas, cirinya adalah:
1) Terdiri dari anak yang sudah putus hubungan dan yang berhubungan tidak
teratur dengan orang tuanya.
2) Berada di jalanan dari 8-24 jam, kadang hanya beberapa jam, kadang
berada seharian di jalanan.
3) Tempat tinggal dan tidur mereka adalah kadang-kadang di jalanan.
4) Mereka telah tamat SD atau SMP, namun sudah tidak bersekolah.
5) Pekerjaannya tidak tetap, seperti calo, mencuci bis, menyemir sepatu, dan
lain-lain. Hasilnya digunakan untuk dirinya maupun memenuhi kebutuhan
orang tuanya. Kebutuhan mereka adalah pekerjaan yang tetap.
6) Rata-rata usia mereka adalah diatas 16 tahun.
2. 3. 3. Pekerjaan Anak Jalanan
Dalam Badan Kesejahteraan Sosial Nasional (2000:31) secara umum
pekerjaan anak jalanan terbagi menjadi dua, yakni:
1. Pekerjaan yang memerlukan modal
Jenis-jenis pekerjaan ini adalah pengasong, tukang Koran, penyemir sepatu,
dan beberapa pekerjaan lainnya yang memerlukan bahan.
2. Pekerjaan jasa
Jenis pekerjaan ini antara lain: mengamen, pemulung, tukang parkir, polisi
cepek, pengelap/pencuci bus, dan pekerjaan lainnya yang memerlukan tenaga.
47
2. 3. 4. Karakteristik Anak Jalanan
Dalam setiap komunitas yang ada dalam suatu masyarakat pasti
mempunyai karakteristik-karakteristik tertentu. Anak jalananpun pada umumnya
memiliki beberapa ciri fisik dan psikis yang dapat dengan mudah dikenali, antara
lain:
Tabel 2.1
Ciri-ciri Anak Jalanan
Ciri Fisik




Warna kulit kusam
Pakaian tidak terurus
Rambut kusam
Kondisi badan tidak terurus
Ciri Psikis









Acuh tak acuh
Mobilitas tinggi
Penuh curiga
Sensitif
Kreatif
Semangat hidup tinggi
Berwatak keras
Berani menanggung resiko
mandiri
Sumber: BKSN (2000:24)
Adapun karakteristik yang menonjol pada anak jalanan adalah:
1. Nampak kumuh, kotor tapi tidak gembel.
2. Memandang orang lain (diluar orang yang berada di jalanan) sebagai orang
yang dimintai uang.
3. Mandiri, tidak terlalu menggantungkan diri pada orang lain, terutama untuk
tidur, mandi maupun makan.
4. Muka atau mimik wajah yang melas ketika berhadapan dengan orang lain.
5. Tidak memiliki rasa takut untuk berinteraksi baik bercakap-cakap ataupun
sekedar berbicara sedikit dengan siapapun.
6. Malas melakukan kerja anak-anak “rumahan”, misalnya jadwal tidur, mandi.
48
Hendriati (1998:5) juga mengkategorikan karakteristik anak jalanan, yaitu
sebagai berikut:
1. Anak jalanan hidup dan mencari penghidupan di jalanan, ciri-ciri:
1) Hidup mandiri.
2) Tidur di sembarang tempat.
3) Mencari nafkah sebagai penyemir, pengamen, penjual asongan.
2. Anak jalanan hidup dan mencari penghidupan di jalanan dengan cara-cara
tertentu, ciri-ciri:
1) Hidup mandiri.
2) Mencari nafkah sebagai penyemir, pengamen.
3) Berhubungan dengan keluarga kurang lebih 1-3 bulan sekali.
4) Penghasilan yang mereka terima untuk keperluan orang tua.
3. Anak jalanan yang mencari nafkah di jalanan tetapi pulang ke rumah, ciri-ciri:
1) Menghabiskan sebagian waktunya di jalanan.
2) Waktu tertentu pulang ke rumah orang tuanya.
3) Bekerja di jalanan.
4) Pengaruh perilaku jalanan lebih dominan.
4. Anak jalanan baru gede yang menghabiskan waktunya di jalanan tetapi tidak
mencari nafkah, ciri-ciri:
1) Ada kontak dengan orang tua.
2) Pergaulan bebas.
3) Sebagian masuk sekolah atau setengah kuliah, membolos.
4) Dijalanan sore sampai pagi.
49
5) Biasanya mengkonsumsi minuman keras atau obat- obatan terlarang.
Karakteristik anak jalanan di kota Semarang (Shalahuddin, 2004:19) antara
lain:
1. Jumlah anak jalanan perempuan meningkat dan di beberapa lokasi bahkan
jumlahnya lebih besar dibandingkan anak jalanan laki-laki.
2. Semakin besarnya jumlah anak jalanan yang berusia sangat muda.
3. Kehadiran anak-anak yang masih bersekolah semakin tinggi.
4. Jumlah anak jalanan yang berasal dari kota Semarang semakin dominan.
5. Lokasi kegiatan anak semakin meluas.
6. Penguasaan wilayah dan tersingkirnya anak dari luar kota.
7. Munculnya berbagai kegiatan baru yang dilakukan
2. 3. 5. Faktor Penyebab Keberadaan Anak Jalanan
Ada 3 tingkatan penyebab masalah anak jalanan (BKSN, 2000:26), yaitu:
1. Tingkat Mikro, yaitu faktor yang berhubungan dengan anak dan keluarganya.
Sebab-sebab yang dapat diidentifikasi dari anak dan keluarga saling berkaitan,
tetapi dapat juga berdiri sendiri, yakni:
1) Lari dari keluarga, disuruh bekerja (yang masih sekolah atau putus
sekolah), berpetualang, bermain-main atau diajak teman.
2) Penyebab dari keluarga; terlantar, ketidakmampuan orang tua menyediakan
kebutuhan dasar / kemiskinan, pengangguran ditolak orang tua, salah
perawatan atau kekerasan di rumah, kawin muda, perceraian, kesulitan
berhubungan dengan keluarga/tetangga, terpisah dengan orang tua, sikap-
50
sikap yang salah terhadap anak, keterbatasan merawat anak yang berakibat
anak menghadapi masalah fisik, psikis dan sosial.
2. Tingkat Messo, yaitu faktor di masyarakat. Pada tingkat ini, penyebab yang
dapat diidentifikasi meliputi:
1) Pada masyarakat miskin yaitu anak adalah asset untuk membantu
peningkatan ekonomi keluarga.
2) Pada masyarakat lain yaitu urbanisasi menjadi kebiasaan dan anak-anaknya
mengikuti.
3) Penolakan masyarakat dan anggapan bahwa anak jalanan selalu melakukan
tindakan tidak terpuji.
3. Tingkat Makro, yaitu faktor yang berhubungan dengan struktur masyarakat.
Pada tingkat struktur masyarakat, penyebab yang dapat diidentifikasi adalah:
1) Ekonomi, adanya peluang pekerjaan sektor informal yang tidak terlalu
membutuhkan modal dan keahlian.
2) Pendidikan, biaya sekolah yang tinggi, perilaku guru yang diskriminatif.
3) Penggusuran dan pengusiran keluarga miskin dari tanah/rumah mereka
dengan alasan ”demi pembangunan”.
4) Belum seragamnya unsur pemerintah memandang anak jalanan, sebagian
berpandangan anak jalanan merupakan kelompok yang memerlukan
perawatan (pendekatan kesejahteraan) dan sebagian yang lain memandang
anak jalanan sebagai pembuat masalah (pendekatan keamanan).
51
2. 4. Rumah Singgah atau Rumah Perlindungan Sosial Anak
(RPSA)
2. 4. 1. Pengertian Rumah Singgah atau RPSA
Menurut Direktorat Bina Pelayanan Sosial Anak dalam Standar Pelayanan
Sosial Anak Jalanan Melalui Rumah Singgah (2002:6), Rumah Singgah
didefinisikan sebagai suatu wahana yang dipersiapkan sebagai perantara antara
anak jalanan dengan pihak-pihak yang akan membantu mereka.
Dari pengertian tersebut, maka terkandung unsur-unsur:
1. Rumah singgah memberlakukan proses informal, memberikan perlindungan,
dan suasana penanaman kembali nilai dan norma masyarakat kepada anak
jalanan.
2. Adanya anak-anak jalanan yang didampingi.
3. Pihak-pihak
yang akan membantu
mereka
karena Rumah Singgah
merupakan tahap awal bagi seseorang anak untuk memperoleh pelayanan
selanjutnya.
Sedangkan Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) adalah unit
pelayanan perlindungan lanjutan dari temporary shelter yang berfungsi
memberikan perlindungan dan reunifikasi bagi anak yang membutuhkan
perlindungan khusus agar anak dapat tumbuh kembang secara wajar.
2. 4. 2. Tujuan Rumah Singgah
Tujuan umum Rumah Singgah adalah membantu anak jalanan mengatasi
masalah-masalahnya dan menemukan alternatif untuk pemenuhan kebutuhan
hidupnya. Sedangkan tujuan khususnya adalah:
52
1. Membentuk kembali sikap dan perilaku anak yang sesuai dengan nilai dan
norma yang berlaku di masyarakat.
2. Mengupayakan anak kembali ke rumah jika memungkinkan atau ke panti dan
lembaga pengganti lainnya jika diperlukan.
3. Memberikan berbagai alternatif pelayanan untuk pemenuhan kebutuhan anak
dan menyiapkan masa depannya sehingga menjadi warga masyarakat yang
produktif.
2. 4. 3. Fungsi Rumah Singgah
Rumah Singgah memiliki fungsi sebagai berikut:
1. Tempat pertemuan (meeting point) pekerja sosial dengan anak jalanan.
Tempat penjangkauan pertama kali dan pertemuan pekerja sosial dengan anak
jalanan unutk menciptakan persahabatan, kekeluargaan, dan mencari jalan
keluar dari kesulitan mereka.
2. Tempat membangun kepercayaan antara anak dengan pekerja sosial dan
latihan meningkatkan kepercayaan diri berhubungan dengan orang lain.
3. Perlindungan.
Perlindungan dari kekerasan fisik, psikis, seks, ekonomi, dan bentuk lainnya
yang terjadi di jalanan.
4. Kuratif-Rehabilitatif.
Tempat menanamkan kembali dan memperkuat sikap, perilaku, dan fungsi
sosial anak sejalan dengan norma masyarakat.
53
5. Pusat assessment dan rujukan.
Tempat memahami masalah yang dihadapi anak jalanan dan menemukan
penyaluran kepada lembaga-lembaga lain sebagai rujukan.
6. Fasilitator (media perentara)
Sebagai media perantara antara anak jalanan dengan keluarga/lembaga lain,
seperti panti, keluarga pengganti, dan lembaga pelayanan sosial lannya. Anak
jalanan diharapkan tidak terus-menerus bergantung kepada Rumah Singgah,
melainkan dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik melalui atau setelah
proses yang dijalaninya.
7. Pusat Informasi.
Tempat informasi berbagai hal yang berkaitan dengan kepentingan anak
jalanan seperti data dan informasi tantang anak jalanan, bursa kerja,
pendidikan, kursus keterampilan, dan lain-lain.
2.5. Hubungan Konsep Diri dengan Penerimaan Diri Anak
Jalanan
Istilah anak jalanan biasa digunakan oleh orang-orang yang melihat atau
mengidentifikasikan kelompok anak-anak yang sebagian besar waktunya berada
di jalanan. Sekalipun demikian, kebanyakan dari mereka adalah para remaja yang
kegiatannya menyatu dengan jalanan kota. Anak jalanan dalam menjalankan
kegiatannya termotivasi oleh hasrat yang besar untuk memperoleh penghasilan
sendiri. Selain karena motivasi internal dari diri mereka sendiri, tidak sedikit juga
diantara mereka yang turun ke jalan dikarenakan faktor keluarga dan lingkungan.
54
Gambar 2.1. Kerangka Alur Pikir
Anak Jalanan
Faktor anak turun ke jalan
Faktor Sosioekonomi:
a. Kemiskinan
b. Pendidikan rendah
c. Akibat urbanisasi
Faktor Keluarga:
a. Lari dari keluarga karena
broken home
b. Disharmoni keluarga
c. Family violence
d. Anak sebagai household
commodity / eksploitasi
ekonomi
e. Keterbatasan ruang dalam
rumah
f. Keluarga homeless
Faktor Lingkungan:
a. Pengaruh teman /
Ikut-ikutan teman
b. Bermasalah
dengan tetangga /
komunitas
Faktor-faktor
lainnya:
a. Korban penulikan
b. Dampak program
c. Korban bencana
Konsep Diri
Anjal
Konsep Diri Positif :
Yakin akan kemampuannya mengatasi masalah
Merasa setara dengan orang lain
Menerima pujian tanpa rasa malu
Menyadari setiap orang mempunyai berbagai
keinginan, perasaan dan perilaku yang tidak
seluruhnya disetujui oleh masyarakat
5. Mampu memperbaiki dirinya
1.
2.
3.
4.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Konsep Diri Negatif :
Peka pada kritik
Responsif sekali terhadap pujian
Krisis berlebihan
Cenderung meresa tidak disenangi orang lain,
merasa tidak di perhatikan
5. Bersikap pesimis terhadap kompetisi
1.
2.
3.
4.
Penerimaan Diri
(Faktor-faktor yang mempengaruhi Penerimaan Diri) :
Pemahaman diri
Harapan yang realistis
Tidak hadirnya hambatan-hambatan dari lingkungan
Tingkah laku sosial yang mendukung
Tidak adanya tekanan emosi yang berat
Sukses yang terjadi
Identifikasi dengan orang yang mempunyai penyesuaian diri yang baik
Cara seseorang melihat diri sendiri
Pendidikan yang baik pada masa kanak-kanak
Penerimaan Diri Positif
Penerimaan Diri Negatif
55
Kondisi atau keadaan dari keberadaan anak-anak jalanan dapat
memberikan pengaruh negatif bagi perkembangan mereka sendiri. Situasi yang
tidak baik akan sangat mempengaruhi nilai dalam diri anak jalanan yang
seringkali
akan
menimbulkan
suatu
permasalahan-permasalahan
dalam
kepribadiannya. Apalagi anak-anak jalanan tersebut sebagian besar merupakan
usia dan remaja yang berarti bahwa usia tersebut adalah usia untuk mencari jati
diri.
Keadaan dan latar belakang turunnya anak pergi ke jalan dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Menurut Badan Kesejahteraan Sosial Nasional (BKSN)
diantaranya yaitu karena kemiskinan, pengangguran, perceraian, kawin muda,
kekerasan dalam rumah tangga, dan lain-lain. Hal ini di jelaskan dalam tiga
tingkatan, antara lain: pertama tingkat mikro, yaitu faktor yang berhubungan
dengan keluarga, diantaranya karena disharmoni keluarga, broken home, family
violence, persepsi orang tua bahwa anak sebagai household commodity, adanya
keterbatasan ruang dalam rumah. Kedua pada tingkat messo, diantaranya karena
faktor kemiskinan, dan urbanisasi. Serta yang ketiga yaitu pada tingkat makro
yang mengacu pada rendahnya tingkat pendidikan karena biaya sekolah yang
begitu tinggi serta pada bidang ekonomi dengan adanya peluang pekerjaan di
sektor informal yang tidak terlalu membutuhkan modal dan keahlian.
Dampak dari berbagai macam faktor-faktor tersebut di atas kemudian
memunculkan keberadaan dari anak jalanan yang semakin hari kian meningkat
jumlahnya. Dari bermacam-macam kondisi yang mendorong anak untuk turun ke
56
jalan tersebut secara tidak langsung akan mempengaruhi bagaimana pembentukan
dan perkembangan konsep diri dari anak jalanan tersebut.
Keadaan dan latar belakang turunnya anak pergi ke jalan akan
mempengaruhi bagaimana konsep diri dari anak jalanan tersebut. Dijelaskan oleh
Mead (dalam Burns, 2003:19) bahwa konsep diri sebagai suatu obyek timbul di
dalam interaksi sosial sebagai suatu hasil perkembangan dari perhatian individu
tersebut mengenai bagaimana orang-orang lain bereaksi kepadanya. Konsep diri
merupakan faktor yang dipelajari dan dapat dibentuk melalui pengalaman individu
berhubungan dengan orang lain. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
perkembangan konsep diri antara lain usia kematangan, penampilan diri,
kepatutab seks, nama dan julukan, hubungan keluarga, teman-teman sebaya,
kreativitas, dan cita-cita. Faktor lingkungan dan pola asuh orang tua juga
seyogyanya dapat mempengaruhi dalam pembentukan dan perkembangan konsep
diri seseorang (Hurlock, 1980:235).
Anak dengan sikap mental yang baik dan tidak mudah terpengaruh dengan
lingkungan sekitar yang membuat mereka bersikap negatif, hal tersebut dengan
sendirinya akan membentuk konsep diri yang positif pada seseorang. Anak
dengan pemikiran yang positf pada diri dan lingkungan mereka, maka akan
terbentuk konsep diri yang positif, sebaliknya jika keadaan keluarga dan
lingkungan yang tidak baik terjadi pada anak yang goyah kepribadiannya dan
tidak labil yang pada umumnya terjadi pada anak-anak jalanan maka akan dapat
terbentuk suatu konsep diri negatif dalam diri mereka. Seperti yang dijelaskan
oleh William D Brooks dan Phillip Emmert (dalam Rahmat, 2004:105), bahwa
57
secara umum konsep diri dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu konsep diri
positif dengan ciri-ciri antara lain yakin akan kemampuannya untuk mengatasi
suatu masalah, merasa setara dengan orang lain artinya yaitu sederajat dengan
orang lain, menerima pujian tanpa rasa malu, menyadari bahwa setiap orang
mempunyai keinginan, perasaan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui oleh
masyarakat, serta mampu memperbaiki dirinya karena sanggup mengungkakan
aspek-aspek kepribadian
yang tidak disenanginya dan berusaha untuk
merubahnya.
Sedangkan konsep diri negatif memiliki ciri-ciri antara lain peka pada
kritik yang ditunjukkan dengan rasa marah dan koreksi dipersepsi sebagai upaya
untuk menjatuhkan harga diri dan bersikeras mempertahankan pendapat sekalipun
logikanya salah. Kedua, responsif sekali terhadap pujian yang ditunjukkan dengan
pura-pura menghindari pujian tersebut. Ketiga, hiperkrisis yang ditunjukkan
dengan selalu mengeluh, mencela siapapun, tidak sanggup dan tidak pandai
mengungkapkan penghargaan atau pengakuan pada orang lain. Keempat,
cenderung merasa tidak disenangi orang lain dan merasa tidak diperhatikan,
sehingga bereaksi pada orang lain sebagia musuh dan tidak pernah melahirkan
kehangatan dan keakraban dalam persabatan serta menganggap dirinya sebagai
korban dari sistem sosial yang tidak beres. Kelima, bersikap pesimis terhadap
kompetisi.
Menurut Calhoun dan Acocella (1995:73), bahwa dasar dari konsep diri
yang positif bukanlah suatu kebanggaan yang besar tentang diri, tetapi lebih
berupa penerimaan diri. Yang menjadikan penerimaan diri mungkin adalah bahwa
58
orang dengan konsep diri positif yaitu dengan mengenal dirinya dengan baik
sekali ( Wicklund dan Frey dalam Calhoun dan Acocella, 1995:73). Begitu juga
dengan yang terjadi pada anak-anak jalanan, karena berbagai kondisi dan situasi
dari latar belakang turun ke jalan hingga masa anak beraktivitas, tinggal dan
berinteraksi dengan lingkungan di jalan, selanjutnya pengambilan sikap positif
atau negatif dalam menghadapi kehidupannya yang serba begitu keras tersebut
akan ditentukan dan ditunjukkan oleh sikap mereka. Dari latar belakang anak
turun ke jalan tersebut sebenarnya sudah menunjukkan suatu masalah hingga
anak-anak memutuskan untuk hidup atau beraktivitas di jalan. Kemudian lamanya
anak beraktivitas, tinggal dan berinteraksi dengan lingkungan di jalan akan
menjadikan anak-anak sedikit demi sedikit melakukan penyesuaian dengan
culture di jalanan, sedangkan culture jalanan tersebut tidak sedikit yang bersifat
negatif, seperti halnya cara berbicara yang kasar, kebiasaan minum, free sex,
narkoba, dan lain-lain. Untuk itu, pengambilan sikap positif atau negatif dari
anak-anak jalanan menjadikan sangat penting artinya bagi pembentukan dan
perkembangan konsep diri mereka sebagai tindak lanjut dari penerimaan diri anak
jalanan.
Penerimaan diri adalah suatu sikap yang menunjukkan rasa puas terhadap
diri sendiri, kualitas-kualitas dan bakat-bakat sendiri, dan pengakuan akan
keterbatasan-keterbatasan
sendiri
(Chaplin,
1999:450).
Penerimaan
diri
merupakan komponen dari kesehatan mental, seseorang yang mempunyai tingkat
penerimaan diri yang baik merupakan orang yang berpribadi matang. Penerimaan
diri memiliki peranan yang penting dalam pembentukan konsep diri dan
59
kepribadian yang positif seseorang. Individu dengan konsep diri yang positif akan
menerima dirinya dengan baik pula.
Konsep diri merupakan cara seseorang melihat diri sendiri. Seseorang
yang dapat melihat diri sendiri dengan benar, mengerti akan dirinya sendiri,
mengetahui keterbatasan diri, serta menginginkan untuk menjadi individu yang
lebih baik berarti memiliki konsep diri yang positif. konsep diri yang stabil akan
menentukan bagaimana penerimaan diri seseorang, karena dengan memiliki
konsep diri yang stabil dapat meningkatkan potensi yang terbaik dari diri sendiri
dengan senantiasa belajar meningkatkan kemampuan diri, dan memanfaatkan
kesempatan serta peluang yang ada.
Hurlock
(1974:434)
mengemukakan ada
beberapa
kondisi
yang
mempengaruhi pembentukan penerimaan diri seseorang. Kondisi tersebut adalah
pemahaman diri yaitu suatu persepsi atas diri sendiri yang ditandai oleh keaslian
bukan kepura-puraan, harapan yang realistis yaitu ketika pengharapan seseorang
terhadap sukses yang akan dicapai merupakan pengharapan yang realistis maka
kesempatan untuk mencapai sukses tersebut akan muncul, bebas dari hambatan
sosial, perilaku sosial yang mendukung, tidak adanya tekanan emosi yang berat,
sukses yang terjadi, identifikasi dengan orang yang mempunyai penyesuaian diri
yang baik, konsep diri yang stabil, serta pendidikan yang baik pada masa kanakkanak.
Konsep diri dan penerimaan diri terbentuk dari hasil belajar serta
pengalaman-pengalaman yang dimulai sejak kecil hingga dewasa. Menurut
Siswojo (dalam Wrastari dan Handadari, 2003:23), pendidikan yang dialami
60
seseorang memiliki pengaruh yang positif dalam penerimaan diri. Faktor-faktor
tersebut dapat mempengaruhi bagaimana penerimaan diri seseorang Maka dari
pengertian tersebit diatas, jika seseorang memiliki konsep diri yang positif maka
orang tersebut akan mempunyai gambaran positif mengenai dirinya, serta dapat
memahami diri sendiri baik kelebihan maupun kekerangannya dan dapat
menyesuaikan diri dengan seluruh pengalaman mentalnya, sehingga evaluasi
tentang dirinya juga positif, dengan demikian akan lebih dapat menerima dirinya
sendiri.
2. 6. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan uraian mengenai konsep diri dengan peneriman diri pada
anak jalanan, maka sebagai jawaban sementara menurut peneliti yaitu, Ada
pengaruh positif konsep diri terhadap penerimaan diri anak jalanan (Street
Children) di RPSA Kota Semarang.
BAB 3
METODE PENELITIAN
Pada dasarnya penelitian ilmiah merupakan usaha untuk menyelidiki dan
menjawab suatu permasalahan secara ilmiah, sistematis dan rasional, serta hasil
penelitian tersebut benar-benar dapat dipertanggung jawabkan. Untuk itu
penelitian perlu dilaksanakan dengan menggunakan metodologi penelitian yang
tepat dan sesuai.
Metode merupakan hal yang sangat penting dalam penelitian, karena
sesuatu akan berhasil dengan baik jika menggunakan metode yang tepat. Metode
yang tepat akan menentukan hasil yang ingin dicapai. Jadi, metode penelitian
adalah suatu cara atau teknis yang dilakukan dalam proses penelitian sebagai
upaya dalam bidang ilmu pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh faktorfaktor dan prinsip-prinsip dengan sabar, hati-hati dan sistematis untuk
mewujudkan kebenaran.
Metodologi ialah suatu ilmu pengetahuan yang membahas tentang cara
atau jalan untuk memecahkan suatu persoalan guna mencapai tujuan tertentu.
Sedangkan penelitian sering dipakai dengan istilah research yang berarti sebagai
usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu
pengetahuan, usaha yang mana dilakukan dengan menggunakan metode-metode
ilmiah (Hadi, 2002:4).
61
62
Dari pendapat tersebut diatas, maka metodologi penelitian adalah suatu
ilmu pengetahuan tentang berbagai cara kerja yang disesuaikan dengan banyak
subyek studi dalam usaha mengumpulkan, menemukan, mengembangkan dan
menguji kebenaran suatu data.
3.1. Jenis Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mendapatkan
informasi yang akurat mengenai bagaimana hubungan konsep diri terhadap
penerimaan diri pada kelompok anak jalanan di kota Semarang yang diperoleh
dari anak jalanan itu sendiri. Untuk mendapatkan informasi tersebut serta untuk
mencapai tujuan yang diinginkan, maka diperlukan sejumlah data yang tidak bisa
dipisahkan dari sejumlah faktor yang melatar belakanginya.
Mengingat sifat data seperti diatas, maka pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dengan jenis penelitian
korelasional diskriptif.
3. 2.Variabel Penelitian
3. 2. 1. Identifikasi Variabel Penelitian
Setiap masalah penelitian harus mengandung variabel yang jelas sehingga
memberikan gambaran data dan informasi apa yang diperlukan untuk
memecahkan masalah tersebut. Sesuatu dinamakan variabel dikarenakan secara
kuantitatif atau secara kualitatif ia dapat bervariasi (Azwar, 2001 :59)
63
Dalam penelitian ini terdapat dua variabel, yaitu variabel tergantung
(dependent) dan variabel bebas (independent). Variabel tergantung (dependent)
adalah variabel yang dapat dipengaruhi variabel bebas, sedangkan variabel bebas
(independent) adalah varibel yang dapat mempengaruhi veriabel lain (tergantung).
Adapun variabel yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a) Variabel tergantung : penerimaan diri
b) Variabel bebas
: konsep diri
3. 2. 2 Definisi Operasionl Variabel Penelitian
Definisi operasional adalah suatu definisi mengenai variabel yang
dirumuskan berdasarkan karakteristik-karakteristik variabel tersebut yang dapat
diamati (Azwar, 2001 : 74). Definisi operasional dalam penelitian ini antara lain:
3. 2. 2. 1 Penerimaan Diri
Penerimaan diri merupakan sikap yang mencerminkan perasaan senang
dan merasa puas sehubungan dengan kenyataan yang ada pada dirinya sehingga
individu dapat menerima dirinya dengan baik serta mampu menerima kelemahan
maupun kelebihan yang dimilikinya. Sehingga indikator mengenai penerimaan
diri diambil definisi tersebut di atas, yaitu meliputi: 1) perasaan senang terhadap
diri sendiri, 2) perasaan puas terhadap diri sendiri, 3) mengetahui kualitas dan
bakat sendiri, dan 4) penerimaan terhadap keterbatasan diri. Untuk mengungkap
penerimaan digunakan skala penerimaan diri. Semakin tinggi skor yang diperoleh
menunjukkan semakin tinggi penerimaan diri subjek dan sebaliknya.
3.2.2.2 Konsep diri
64
Konsep diri merupakan cara pandang atau persepsi tentang diri sendiri
secara fisik, sosial, dan psikologis meliputi dimensi pengetahuan, pengharapan
dan penilaian tentang diri sendiri yang diperoleh berdasarkan pengalaman dan
inteaksi dengan orang lain. Indikator konsep diri didasarkan pada pengertian
tersebut di atas, antar lain: 1) pengetahuan tentang diri, 2) pengharapan, 3)
penilaian tentang diri. Untuk mengungkap bagaimana konsep diri anak jalanan,
maka digunakan skala konsep diri yang dapat ditunjukkan dengan tingkat atau
bentuk konsep diri tertentu yaitu ke arah positif atau negatif.
3. 2. 3. Hubungan Antara Variabel Penelitian
Hubungan antara kedua jenis variabel dalam penelitian ini ditunjukkan
dalam gambar sebagai berikut:
Konsep Diri
Variabel Bebas (X)
Penerimaan Diri anak jalanan
Variabel Tergantung (Y)
Gambar 3.1. Hubungan Antar Variabel
3. 3. Populasi dan Sampel Penelitian
3. 3. 1. Populasi Penelitian
Populasi penelitian merupakan faktor utama yang harus ditentukan
sebelum kegiatan penelitian dilakukan. Populasi didefinisikan sebagai kelompok
subyek yang hendak dikenai generalisasi hasil penelitian (Azwar, 2001:77).
Arikunto (2002:108) menjelaskan bahwasanya populasi adalah keseluruhan
subyek penelitian yang setidaknya mempunyai karakteristik yang sama.
65
Populasi merupakan sejumlah individu yang paling sedikit mempunyai
satu ciri sifat yang sama. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
semua anak jalanan yang tinggal di RPSA (Rumah Perlindungan Sosial Anak)
yang terdapat di kota Semarang yaitu 830 anak.
Sedangkan kriteria populasi dalam penelitian ini adalah:
1.
Semua anak jalanan yang berada di wilayah tanggung jawab RPSA di kota
Semarang (RPSA Anak Bangsa, RPSA Gratama), karena hanya tinggal dua
RPSA di Semarang yang masih berstatus aktif.
2.
Laki-laki dan perempuan.
3.
Berusia antara 12-18 tahun (remaja), karena untuk usia anak-anak cenderung
keinginannya masih ingin main dan belum bisa berpikir.
3. 3. 2.Sampel Penelitian
Sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti (Arikunto,
2002 :109). Karena ia merupakan bagian dari populasi, tentulah ia harus memiliki
ciri-ciri yang dimiliki oleh populasinya. (Azwar , 2003:79). Jadi sampel adalah
sebagian atau sejumlah individu yang jumlahnya kurang dari jumlah populasi
yang dijadikan wakil dari populasi secara keseluruhan. Dari beberapa pengertian
tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sampel adalah sebagian atau wakil
populasi yang akan diteliti yang menggambarkan populasinya secara keseluruhan.
Dalam pengambilan sampel ada cara-cara tertentu yang disebut sampling.
Adapun cara pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan teknik aksidental sampling, yaitu sampel yang diambil dari siapa
66
saja yang kebetulan ada pada waktu, situasi dan tempat yang tepat (Prasetyo dan
Jannah, 2005:135). Untuk menentukan perkiraan besarnya sampel apabila
subjeknya kurang dari 100, lebih baik diambil semua dan selanjutnya jika jumlah
subjeknya besar atau diatas 100, maka dapat diambil antara 10-15% atau 20-20%
atau lebih (Arikunto, 2002:112). Untuk tiap RPSA memberikan penjangkauan
terhadap kurang lebih 200 anak jalanan, sehingga untuk dua RPSA terdapat
sekitar 400 anak. Pada penelitian ini, sampel yang akan diambil yaitu sebanyak 40
anak jalanan.
3. 4. Metode Pengumpulan Data
Dalam melakukan sebuah penelitian sangat memerlukan adanya data
untuk memperkuat hasil penelitian tersebut. Metode pengumpulan data yang akan
dilakukan oleh peneliti adalah dengan menggunakan metode pemberian skala
psikologi, yaitu alat ukur untuk aspek afektif. Metode skala, yaitu suatu metode
pengumpulan data yang berbentuk self-report berisi daftar atau kumpulan
pernyataan-pernyataan yang harus dijawab oleh individu (Azwar, 1997:85).
Karakteristik skala psikologi menurut Azwar (2003 : 4) adalah:
1) Stimulusnya berupa pertanyaan atau pernyataan yang tidak langsung
mengungkap atribut yang hendak diukur melainkan mengungkap indikator
perilaku dari atribut yang bersangkutan.
2) Atribut psikologis diungkap secara tidak langsung tetapi melalui indikatorindikator perilaku yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk aitem,
sehingga skala psikologi selalu berisi banyak aitem.
67
3) Respon subyek tidak diklsifikasikan sebagai jawaban yang benar atau salah,
tetapi respon subyek diklasifikasikan sebagai jawaban yang Favourable
(aitem yang isinya mendukung, memihak, atau menunjukkan ciri atau
indikator dari atribut yang diukur), dan jawaban yang Unfavourable (aitem
yang isinya tidak mendukung, memihak, atau menunjukkan ciri atau
indikator dari atribut yang diukur).
Adapun alasan peneliti menggunakan skala psikologi sebagai metode
pengumpulan data karena konsep diri dan penerimaan diri sebagai data yang ingin
diungkap, yaitu mengungkap dan menyimpulkan data tentang penerimaan diri dan
konsep diri. Dalam penelitian ini menggunakan aitem skala yang berbentuk
pernyataan dan sifatnya aitemnya tertutup. Skala psikologi yang akan digunakan
dalam penelitian ini adalah skala konsep diri dan skala penerimaan diri.
Skala konsep diri digunakan mengungkap dan mengukur seberapa besar
dan bagaimana konsep diri subyek penelitian. Butir-butir aitem yang digunakan
berdasarkan ciri-ciri dari konsep diri positif dan negatif.
Seperti halnya skala konsep diri, skala penerimaan diri juga dipergunakan
untuk mengungkap dan mengukur seberapa besar dan bagaimana subyek
memandang penerimaan dirninya. Butir-butir aitem untuk mengukur skala
penerimaan diri berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri
dari Hurlock.
Adapun blue print instrumen konsep diri dan penerimaan diri terdapat pada tabel
sebagai berikut:
Tabel 3.1
Blue Print Instrumen Konsep Diri
68
NO
ASPEK
1
Pengetahuan tentang diri
2
Penilaian tentang diri
3
Pengharapan
INDIKATOR
Fisik
Sosial
Psikologis
Fisik
Sosial
Psikologis
Fisik
Sosial
Psikologis
Total Butir
Jenis Dan Jumlah Aitem
Favorable
Unfavorable
1,2
3,4,5,6
7,8,9,10
11
12,13,14
15,16,17,18
19,20
21,22
23,24,25
25
26,27
28,29,30,31
32,33,34,35
36
37,38,39
40,41,42,43
44,45
46,47
48,49,50
25
TOTAL
BUTIR
4
8
8
2
6
8
4
4
6
50
Tabel 3.2
Blue Print Instrumen Penerimaan Diri
NO
1
2
3
ASPEK
Perasaan
terhadap
sendiri
INDIKATOR
puas
diri
Rela utk mengungkapkan
pikiran dan perasaan diri
sendiri
Kesehatan psikologis
Penerimaan terhadap orang
lain
Penerimaan
Rela utk mengungkapkan
terhadap
pikiran dan perasaan diri
keterbatasan diri
sendiri
Kesehatan psikologis
Penerimaan terhadap orang
lain
Mengetahui
Rela utk mengungkapkan
kualitas dan bakat pikiran dan perasaan diri
sendiri
sendiri
Kesehatan psikologis
Penerimaan terhadap orang
lain
Total Butir
Jenis Dan Jumlah Aitem
Favorable Unfavorable
TOTAL
BUTIR
1,2
19,20
4
3,4
5,6
21,22
23,24
4
4
7,8
25,26
4
9,10
11,12
27,28
29,30
4
4
13,14
31,32
4
15,16
17,18
33,34
35,36
4
4
18
18
36
Sifat dari kedua macam skala tersebut adalah favourable yaitu butir
pernyataan yang mendukung obyek penelitian dan unfavourable yaitu butir
pernyataan yang tidak mendukung obyek penelitian. Skala tersebut mempunyai
empat alternatif jawaban yaitu :
1. Aitem Favorable adalah :
69
a. Sangat Sesuai (SS)
: nilai 4
b. Sesuai(S)
: nilai 3
c. Tidak Sesuai (TS)
: nilai 2
d. Sangat Tidak Sesuai (STS) : nilai 1
2. Aitem Unfavorable adalah :
a. Sangat Sesuai (SS)
: nilai 1
b. Sesuai(S)
: nilai 2
c. Tidak Sesuai (TS)
: nilai 3
d. Sangat Tidak Sesuai (STS) : nilai 4
Selain itu, dalam penelitian ini juga menggunakan metode wawancara.
Wawancara adalah suatu metode yang digunakan untuk mengumpulkan data,
dimana peneliti mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan dari
responden. Wawancara ini dilakukan peneliti agar mendapatkan data yang valid
dan untuk menilai kebenaran yang dikatakan responden.
3. 5. Validitas dan Reliabilitas
3. 5. 1. Validitas
Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauh mana
ketepatan dan kecemasan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya
(Azwar, 2003:5). Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat
kevaliditasan
atau kesahihan suatu instrumen (Arikunto, 2002:160). Sebuah
instrumen dikatakan valid jika telah mengukur apa yang seharusnya diukur,
70
instrument ini dikatakan valid apabila mengungkap data-data dari variabel yang
diteliti secara tepat.
Validitas mempunyai arti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu
instrumen pengukur (tes) dalam melakukan fungsi ukurnya (Azwar, 2003:173).
Maka, validitas instrumenya menggunakan validitas konstrak hal ini dikarenakan
menggunakan atribut psikologis yaitu konsep diri dan penerimaan diri. Sedangkan
teknik uji validitas dari skala psikologis adalah menggunakan teknik korelasi
product-moment, yaitu :
 XY 
rxy 
 X  Y 
N
2
2


X  

Y 
2
2
 X 
 Y 

N 
N 

Keterangan :
rxy : koefisien korelasi product moment
∑ X : jumlah skor tiap-tiap aitem
∑ Y : jumlah skor total aitem
∑ XY: jumlah hasil antara skor tiap aitem dengan skor total
N
: jumlah subyek
(Sutrisno Hadi, 2000 : 294)
3. 5. 2. Reliabilitas
Untuk mengetahui reliabilitas angket perlu dilakukan pengujian dengan
menggunakan Rumus Alpha sebagai berikut :
2
 k    b
r11  
 1
 12
 k  1 




71
Keterangan :
r11
= reliabilitas instrumen
k
= banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya soal
Σ σ b2
= jumlah varians butir
σ12
= varians soal
(Arikunto, 2002 : 171)
3. 6. Teknis Analisis Data
Data yang sudah diperoleh dari suatu penelitian tidak dapat disempurnakan
begitu saja. Agar data tersebut dapat memberikan keterangan yang dapat
dipahami, tepat dan teliti, maka dibutuhkan suatu pengelolaan data lebih lanjut.
Data yang dikumpulkan dianalisis secara statistik dan berdasarkan identitas
variabel penelitian.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini ada 2 jenis,
yaitu:
1. Analisis deskriptif menggunakan rumus empiris.
2. Analisis hipotesis,
Menggunakan teknik statistik inferensial dengan menggunakan rumus
analisis regresi linier sederhana, karena dalam penelitian ini terdapat suatu ubahan
yang dapat diramalkandari ubahan lain dan disebut dengan kriterium dan ubahan
yang digunakan untuk meramalkan disebut prediktor, dimana untuk mengetahui
korelasi antara ubahan kriterium dengan prediktor dapat dilukiskan dalam suatu
garis, garis inilah yang disebut dengan garis regresi. Dalam penelitian ini ubahan
kriterium yaitu konsep diri dengan prediktor adalah penerimaan diri.
72
Langkah-langkah yang ditempuh dalam menganalisis data dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Mencari hubungan variabel X danY dengan rumus korelai Product Moment
Pearson, dengan rumus umum:
 XY 
rxy 
 X  Y 
N
2

 X   Y 2  Y 2 
2
 X 


N 
N 

Keterangan :
rxy : koefisien korelasi product moment
∑ X : jumlah skor tiap-tiap aitem
∑ Y : jumlah skor total aitem
∑ XY: jumlah hasil antara skor tiap aitem dengan skor total
N
: jumlah subyek
(Sutrisno Hadi, 2000 : 294)
2. Mencari signifikansi hubungan X dengan Y
BAB 4
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian adalah hasil dari instrumen tertentu kemudian dianalisis
dengan teknik dan metode tertentu yang telah ditentukan. Pada bab ini akan
disajikan beberapa hal yang berkaitan dengan proses, hasil dan pembahsan
penelitian, yang akan disajikan sebagai berikut :
4.1. Persiapan Penelitian
4.2. Pelaksanaan Penelitian
4.3. Prosedur Pengumpulan Data
4.4. Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian
4.5. Pembahasan
4.1 Persiapan Penelitian
4.1.1
Orientasi Kancah
Penelitian ini dilakukan pada anak jalanan pada jangkauan RPSA Gratama
dan Anak Bangsa di Kota Semarang yang berusia antara usia 12- 18 tahun.
Sebelum membahas lebih jauh tentang pelaksanaan penelitian, penulis akan
mengungkap lebih dalam tentang Rumah Perlindungan Sosial Anak.
RPSA
Gratama dan Anak Bangsa merupakan RPSA yang masih aktif di kota Semarang
dan saat ini memiliki sekitar 200 anak jalanan yang menjadi jangkauan dari
wilayah RPSA yang bersangkutan, baik dari Kota Semarang sendiri maupun yang
73
74
berasal dari luar Kota Semarang. RPSA Gratama sendiri untuk saat ini beralamat
di jalan Stonen Utara I nomor 34, sedangkan RPSA Anak Bangsa beralamat di
jalan Emplak I Semarang. Untuk Jenis pelayanan yang diberikan oleh RPSA
antara lain berupa pemberdayaan LSM, Bimbingan Sosial Ketrampilan, serta
KUBE; yakni program pengembangan usaha anak jalanan melalui kelompok
(penjahitan dan bengkel).
Adapun dasar pemikiran dari didirikannya Rumah Perlindungan Sosial
Anak yaitu dengan adanya program-program penanganan anak jalanann,
walaupun di sisi lain, seiring dengan perkembangan masyarakat, perkembangan
masyarakat, berbagai permasalahan, baik dari segi populasi maupun dari segi
kompleksitasnya, berbagai program tersebut dirasakan banyak manfaat baik bagi
anak jalanan itu sendiri, bagi keluarga, serta bagi masyarakat pada umumnya.
Selain itu tujuan Rumah Perlindungan Sosial Anak ini antara lain untuk
membentuk kembali sikap dan perilaku anak yang sesuai dengan nilai dan norma
yang berlaku di masyarakat, mengupayakan anak- anak kembali ke rumah jika
memungkinkan atau ke panti dan lembaga pengganti lainnya jika diperlukan,
memberikan berbagai alternatif pelayanan untuk pemenuhan kebutuhan anak,
menyiapkan masa depannya sehingga menjadi masyarakat yang produktif,
berkurangnya jumlah dan aktifitas anak jalanan, anak jalanan usia sekolah dapat
tetap bersekolah tanpa melakukan aktifitas di jalanan. Hal ini secara tidak
langsung juga ikut aktif membantu program pemerintah dan usaha kesejahteraan
sosial guna mencerdaskan kehidupan bangsa.
75
Adapun lokasi jangkauan dari RPSA Gratama antara lain Polda/Siranda,
Dr.Cipto, Sampangan, ADA Srondol, Kaliwiru, Metro, Milo. Sedangkan lokasi
jangkauan dari RPSA Anak Bangsa yaitu daerah kompleks tugu muda, pasar
Bulu, jalan Imam Bonjol, Johar, Pemuda dan jalan Pandanaran.
4.1.2
Proses Perijinan
Sebelum melakukan penelitian, peneliti terlebih dahulu melakukan
beberapa langkah untuk mempersiapkan perijinan penelitian. Jauh sebelum
melakukan penelitian, terlebih dahulu Peneliti melakukan observasi dan penelitian
awal sehingga Peneliti terlebih dahulu meminta surat pengantar dari Jurusan
Psikologi Fakultas Ilmu
Pendidikan Universitas Negeri Semarang dan
menyiapkannya untuk kemudian diserahkan kepada pimpinan RPSA Gratama dan
Anak. Setelah mendapat ijin, kemudian Peneliti melakukan observasi, pendekatan
pada anak-anak jalanan, dan penelitian awal.
Pada kurun waktu tersebut,
walaupun tidak semua anak jalanan pada jangkauan tersebut di atas Peneliti
dekati, tapi beberapa diantaranya merupakan leader dari tiap-tiap wilayah
tersebut, hal ini bertujuan untuk memudahkan Peneliti dalam melakukan
pendekatan dengan anak-anak jalanan tersebut nantinya. Karena tenggang waktu
antara observasi, penelitian awal dengan penelitian agak lama, maka pada titiktitik tertentu terdapat pergantian kelompok anak jalanan yang mangkal, yaitu
dengan adanya wajah-wajah baru. Baru setelah itu, peneliti kemudian meminta
surat pengantar untuk melakukan penelitian dari Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Semarang dan menyiapkannya untuk diserahkan kepada
76
pimpinan RPSA Gratama yayasan Gradhika yang kemudian dilaksanakan
penelitian pada tanggal 25 Juni sampai 12 Juli 2009.
4.1.3
Penentuan Sampel
Penentuan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik aksidental
sampling yaitu sampel yang diambil dari siapa saja yang kebetulan ada pada
waktu, situasi dan tempat yang tepat (Prasetyo dan Jannah, 2005:135). Pada
aksidental sampling, besarnya sampel penelitian ini didasarkan pada 10% dari
jumlah seluruh subjek yang ada pada dua RPSA, yaitu sebanyak 40 anak jalanan.
Pertimbangan lain yang dipakai untuk menggunakan aksidentall sampling adalah
waktu penelitian yang singkat atau bukan penelitian jangka panjang sehingga
subyek yang akan dikenai penelitian akan tetap dapat memenuhi karakteristik dari
populasi.
4.2 Pelaksanaan Penelitian
Pengambilan data penelitian dilaksanakan pada tanggal 25 Juni hingga 12
Juli 2009, antara lain di daerah Polda/Siranda, jalan Pahlawan, Dr. Cipto, Johar,
Pemuda, Mberok, Metro dan pasar Bulu. Penelitian agak lama dilakukan
mengingat anak jalanan pada titik-titik kawasan jumlahnya tidak pernah pasti
selalu ada. Pengambilan data dilakukan pada siang, sore dan malam hari. Hal ini
dikarenakan siang pada waktu jam istirahat, dan sore hari ketika waktu menunggu
aktifitas di jalan pada malam hari, serta ketika malam hari disaat waktu banyak
berkumpulnya anak-anak jalanan. Pemberian kedua skala tersebut yaitu skala
konsep diri dan skala penerimaan diri dilakukan secara serentak namun bertahap.
77
Pertama peneliti memberikan skala konsep diri terlebih dahulu, dan setelah selesai
mengerjakan skala yang pertama (skala konsep diri) responden diberikan skala
yang kedua yaitu skala penerimaan diri. Agar hasil penelitian menjadi lebih
akurat, maka peneliti dibantu oleh teman peneliti dan juga pekerja sosial dari
RPSA yang bersangkutan.
4.3 Prosedur Pengumpulan Data
Setelah melakukan pengumpulan data penelitian dengan memberikan
respon pada skala yang telah diberikan, kemudian peneliti melakukan langkahlangkah sebagai berikut :
1. Memberikan skor pada masing-masing jawaban yang telah diisi oleh subyek
penelitian (responden) dengan memberikan skor antara 1 sampai dengan 4.
2. Mentabulasi data berdasarkan jumlah aitem.
3. Menentukan tingkat konsep diri dan penerimaan diri.
4. Menentukan apakah ada hubungan atau korelasi antara penerimaan diri
dengan konsep diri pada anak jalanan di RPSA Kota Semarang.
4.3.1
Validitas
Jenis validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas
konstrak, teknik uji coba yang digunakan yaitu teknik korelasi product moment
dari Pearson. Hasil perhitungan validitas dengan taraf signifikansi 5% dengan
bantuan SPSS versi 12.00 diperoleh hasil sebagai berikut:
78
1) Skala Konsep Diri
Berdasarkan uji validitas tersebut diperoleh hasil bahwa skala konsep diri
yang terdiri dari 50 aitem diperoleh 43 valid dan 7 tidak valid dengan sebaran
nilai validitas berkisar antara 0,321-0,732. Untuk item dapat dinyatakan tidak
valid jika r hitung < r tabel. Pada skala konsep diri untuk r hitung < 0,312 maka
item dapat dinyatakan tidak valid. Lebih jelas dapat kita lihat dalam tabel berikut:
Tabel 4.1
Sebaran Aitem Yang Tidak Valid Pada Skala Konsep Diri
NO
ASPEK
1
Pengetahuan tentang diri
2
Penilaian tentang diri
3
Pengharapan
INDIKATOR
Fisik
Sosial
Psikologis
Fisik
Sosial
Psikologis
Fisik
Sosial
Psikologis
Total Butir
Jenis Dan Jumlah Aitem
Favorable
Unfavorable
1,2
3,4*,5,6
7*,8,9,10
11
12,13,14
15,16,17*,18
19,20
21,22
23*,24,25
25
26,27
28,29,30,31
32,33,34,35
36
37*,38,39
40,41,42,43
44,45*
46,47
48,49*,50
25
TOTAL
BUTIR
4
8
8
2
6
8
4
4
6
50
(*) tidak valid
2) Skala Penerimaan Diri
Berdasarkan uji validitas tersebut diperoleh hasil bahwa skala penerimaan
diri yang terdiri dari 36 aitem diperoleh 32 valid dan 4 tidak valid dengan sebaran
nilai validitas berkisar antara 0,329-0,632. Pada skala penerimaan diri untuk r
hitung < 0,312 maka item dapat dinyatakan tidak valid. Lebih jelas dapat kita
lihat dalam tabel berikut:
Tabel 4.2
Sebaran Aitem Yang Tidak Valid Pada Skala Penerimaan Diri
79
NO
1
2
3
ASPEK
Perasaan
terhadap
sendiri
INDIKATOR
puas
diri
Rela utk mengungkapkan pikiran
dan perasaan diri sendiri
Kesehatan psikologis
Penerimaan terhadap orang lain
Penerimaan
Rela utk mengungkapkan pikiran
terhadap
dan perasaan diri sendiri
keterbatasan diri
Kesehatan psikologis
Penerimaan terhadap orang lain
Mengetahui
Rela utk mengungkapkan pikiran
kualitas dan bakat dan perasaan diri sendiri
sendiri
Kesehatan psikologis
Penerimaan terhadap orang lain
Total Butir
Jenis Dan Jumlah Aitem
Favorable Unfavorable
TOTAL
BUTIR
1,2
19,20
4
3,4
5,6
7,8
21*,22
23,24
25,26
4
4
4
9*,10
11,12
13*,14
27,28
29,30
31,32*
4
4
4
15,16
17,18
18
33,34
35,36
18
4
4
36
(*) tidak valid
4.3.2
Reliabilitas
Reliabilitas adalah sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya
(Azwar, 2003:4). Semakin tinggi koefisien reliabilitas maka semakin tinggi pula
reliabilitas alat ukur tersebut. Uji reliabilitas skala konsep diri dan penerimaan diri
dengan menggunakan teknik statistik dengan rumus Alpha Cronbach. Pada skala
konsep diri diperoleh koefisien reliabilitas sebesar 0,907, artinya perbedaan
(variasi) yang tampak pada skor skala konsep diri mampu mencerminkan 91%
dari variasi yang terjadi pada skor murni kelompok subyek dan 9% dari perbedaan
yang tampak disebabkan oleh variasi error atau kesalahan pengukuran tersebut.
Sedangkan skala penerimaan diri mempunyai reliabilitas sebesar 0,872, artinya
perbedaan (variasi) yang tampak pada skor skala penerimaan diri mampu
mencerminkan 87% dari variasi yang terjadi pada skor murni kelompok subyek
dan 13% dari perbedaan skor yang tampak disebabkan oleh variasi error atau
kesalahan pengukuran tersebut.. Instrumen tersebut dinyatakan reliabel dengan
taraf signifikan tinggi. Interpretasi reliabilitas didasarkan pada tabel berikut yang
dinyatakan oleh Arikunto (2002:245).
80
Tabel 4.3
Interpretasi Reliabilitas
Besarnya nilai r
Antara 0,800-1,00
0,600-0,800
0,400-0,600
0,200-0,400
0,000-0,200
Interpretasi
Tinggi
Cukup
Agak rendah
Rendah
Sangat rendah
(Sumber: Arikunto, 2002:245)
4.4 Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian
Deskripsi data penelitian berisi mengenai gambaran variabel penelitian
yang berdasarkan pada hasil penelitian pada tiap-tiap variabel yang telah
dikategorisasikan. Sesuai dengan tujuan penelitian ini yaitu kuantitatif korelatif
dimana dalam penelitian ini akan berusaha mengetahui hubungan antara konsep
diri dan penerimaan diri.
Data dari skala yang telah terkumpul kemudian dianalisis untuk menguji
hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini. Gambaran mengenai data penelitian
pada masing-masing variabel yang telah dianalisis terdapat pada tabel 4.3 berikut
ini :
Tabel 4.4
Deskripsi Data Penelitian
No
1
2
Variabel
Konsep Diri
Mean
117,8000
Standar Deviation
16,19307
N
40
Penerimaan Diri
89,5250
11,50694
40
(Sumber Data Penelitian 2009)
Jenis penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif korelasional, dalam
menganalisis, peneliti menggunakan data-data numerical / angka yang
81
dideskripsikan dengan menguraikan kesimpulan yang didasari oleh angka yang
diolah dengan metode statistika.
Kriteria
analisis
yang
digunakan
dalam
penelitian
ini
dengan
menggunakan kategorisasi berdasar model penilaian dengan kategorisasi jenjang
(ordinal) menurut Azwar (2003:108), yang menggolongkan subyek ke dalam 5
kategori, yaitu sebagai berikut :
Tabel 4.5
Penggolongan Kriteria Analisis
No
Interval
Kriteria
1
μ + 1,5 σ < X
Sangat Tinggi
2
μ + 0,5 σ < X ≤ μ + 1,5 σ
Tinggi
3
µ – 0,5 σ < X ≤ μ + 0,5 σ
Sedang
4
µ – 1,5 σ < X ≤ μ – 0,5 σ
Rendah
5
X ≤ µ – 1,5 σ
Sangat Rendah
Deskripsi tersebut diatas memberikan skor skala pada kelompok subyek
yang dikenai pengukuran dan berfungsi sebagai sumber informasi mengenai
keadaan subyek pada aspek atau variabel yang diteliti.
Sesuai dengan tujuan penelitian ini yaitu untuk: 1) mengetahui bagaimana
gambaran konsep diri pada anak jalanan di RPSA Kota Semarang, 2) mengetahui
bagaimana gambaran penerimaan diri pada anak jalanan di RPSA Kota Semarang,
dan 3) mengetahui pengaruh konsep diri terhadap penerimaan diri anak jalanan di
RPSA Kota Semarang, maka hasil penelitian yang diperoleh dapat diuraikan
sebagai berikut :
4.4.1
Gambaran Penerimaan Diri
82
Penerimaan diri yang ada pada anak jalanan di RPSA Kota Semarang
dapat dilihat dari pengertiannya yaitu : perasaan puas terhadap diri sendiri,
penerimaan terhadap keterbatasan diri, serta mengetahui kualitas dan bakat
sendiri. Data mengenai penerimaan diri pada anak jalanan diambil dengan
menggunakan skala penerimaan diri sebanyak 36 aitem dengan jumlah subyek
sebanyak 40 anak jalanan.
Berdasarkan tabel 4.4 diperoleh mean empirik (µ) sebesar 89,5250 dan
standar deviasi (σ) sebear 11,50694. Maka di dapat perhitungan klasifikasi
distribusi normal sebagai berikut:
a. µ+1,5σ = 89,5250 + (1,5 x 11,50694) = 89,5250 + 17,26041= 106,78541
b. µ+0,5σ = 89,5250 + (0,5 x 11,50694) =89,5250 + 5,75347 = 95,27847
c. µ-1,5σ = 89,5250 - (1,5 x 11,50694) =89,5250 - 17,26041= 72,26459
d. µ-0,5σ = 89,5250 - (0,5 x 11,50694) = 89,5250 - 5,75347 = 83,77153
Berdasarkan perhitungan di atas maka klasifikasi distribusi konsep diri
adalah sebagai berikut:
Tabel 4.6
Klasifikasi Distribusi Frekuensi Penerimaan Diri
No
Interval
F
Persen
Kriteria
1
106,78541< X
1
2,5%
Sangat Tinggi
2
95,27847< X ≤ 106,78541
14
35%
Tinggi
3
83,77153< X ≤ 95,27847
20
50%
Sedang
4
72,26459< X ≤ 83,77153
5
12,5%
Rendah
5
X ≤ 72,26459
0
0
Sangat Rendah
83
Berdasarkan tabel 4.6 dapat diketahui bahwa, subyek yang memperoleh
skor lebih besar 106,78541 sebanyak 1 anak atau 2,5% anak jalanan mempunyai
tingkat penerimaan diri yang sangat tinggi. Subyek penelitian yang memperoleh
skor lebih besar dari 95,27847 dan lebih kecil atau sama dengan 106,78541 yaitu
14 anak atau 35% anak jalanan memiliki tingkat penerimaan diri dalam kriteria
tinggi. Subyek penelitian yang memperoleh skor lebih besar dari 83,77153 dan
lebih kecil atau sama dengan 95,27847 yaitu sebesar 20 anak atau 50% anak
jalanan, maka subyek penelitian tergolong memiliki tingkat penerimaan diri yang
sedang. Apabila seorang subyek mendapatkan skor lebih besar dari 72,26459 dan
lebih kecil atau sama dengan 83,77153 yaitu sebesar 5 anak atau 12,5% anak
jalanan dapat dikatakan subyek tersebut memiliki tingkat penerimaan diri yang
rendah, sedangkan tidak terdapat subyek dengan skor lebih kecil dari 72,26459
yang memiliki tingkat penerimaan diri yang sangat rendah.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa penerimaan diri pada
anak jalanan dalam kategori sedang (50%). Untuk lebih jelasnya keterangan
mengenai tingkat konsep diri dapat di lihat pada gambar di bawah ini:
84
Gambar 4.1 Tingkat Penerimaan Diri Anak Jalanan
50%
50.00%
45.00%
40.00%
35.00%
Prosentase
35%
30.00%
25.00%
20.00%
15.00%
12.50%
10.00%
5.00%
2.50%
0
0.00%
Sangat
Tinggi
Tinggi
Sedang
Rendah
Sangat
Rendah
Kriteria
Masing-masing penerimaan diri akan dijelaskan secara lebih rinci.
Gambaran mengenai data penelitian pada masing-masing indikator yang telah
dianalisis terdapat pada tabel 4.7 berikut ini:
Tabel 4.7
Perhitungan Hasil Klasifikasi Indikator Penerimaan Diri
Descriptive Statistics
N
Minimum
Maximum
Mean
Std. Deviation
Perasaan Puas Terhadap
Diri Sendiri
40
24.00
39.00
31.5000
4.08248
Penerimaan Terhadap
Keterbatasan Diri
40
22.00
38.00
29.5500
4.60741
Mengetahui Bakat dan
Kualitas Sendiri
40
19.00
40.00
28.4750
4.19394
40
68.00
115.00
89.5250
11.50694
Penerimaan Diri
Valid N (listwise)
40
4.4.1.1 Perasaan Puas Terhadap Diri Sendiri
Berdasarkan tabel 4.7 di atas didapat mean empirik (µ) sebesar 31,5000
dan standar deviasi (σ) sebesar 4,08248. Maka hasil perhitungan klasifikasi
distribusi normal sebagai berikut:
85
a. µ+1,5σ = 31,5000 + (1,5 x 4,08248) = 31,5000 + 6,12369 = 37,62369
b. µ+0,5σ = 31,5000 + (0,5 x 4,08248) = 31,5000 + 2,04123 = 33,54123
c. µ-1,5σ =31,5000 - (1,5 x 4,08248) = 31,5000 - 6,12369 = 25,37631
d. µ-0,5σ =31,5000 - (0,5 x 4,08248) = 31,5000 - 2,04123 = 29,45877
Tabel 4.8
Distribusi Frekuensi Indikator Perasaan Puas Terhadap Diri Sendiri
No
Interval
F
Persen
Kriteria
1
37,62369< X
4
10%
Sangat Tinggi
2
33,54123< X ≤ 37,62369
19
47,5%
Tinggi
3
29,45877< X ≤ 33,54123
16
40%
Sedang
4
25,37631< X ≤ 29,45877
1
2,5%
Rendah
5
X ≤ 25,37631
0
0
Sangat Rendah
Berdasarkan tabel 4.8 dapat diketahui bahwa terdapat 4 anak jalanan atau
10% anak jalanan yang memiliki perasaan puas terhadap diri sendiri, Anak
jalanan yang memiliki tingkat perasaan puas terhadap diri sendiri dalam taraf
tinggi terdapat 19 anak jalanan atau 47,5% anak jalanan, itu artinya ada ada 65%
anak jalanan yang memberikan pandangan secara positif terhadap diri sendiri, dan
terdapat 16 anak jalanan atau 40% anak jalanan yang memiliki tingkat kepuasan
terhadap diri sendiri dengan taraf sedang. Selain itu juga terdapat 1 anak atau
sebanyak 2,5% anak jalanan yang memiliki kepuasan terhadap diri sendiri dengan
taraf rendah. Tidak ada anak jalanan yang memandang kepuasan terhadap diri
sendiri dengan taraf sangat rendah.
Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan indikator perasaan puas
terhadap diri sendiri pada anak jalanan dalam taraf tinggi (47,5%). Ini
menunjukkan bahwa anak jalanan memiliki kepuasan terhadap diri sendiri. Untuk
86
lebih jelasnya keterangan mengenai kepuasan terhadap diri sendiri dapat di lihat
pada gambar di bawah ini:
Gambar 4.2 Indikator Perasaan Puas Terhadap Diri Sendiri
47.50%
50%
45%
40%
40%
35%
30%
Prosentase
25%
20%
15%
10%
10%
2.50%
5%
0%
Sangat
Tinggi
Tinggi
Sedang
Rendah
0
Sangat
Rendah
Kriteria
4.4.1.2 Penerimaan Terhadap Keterbatasan Diri
Berdasarkan tabel 4.7 di atas didapat mean empirik (µ) sebesar 29,5500
dan standar deviasi (σ) sebesar 4,60741. Maka hasil perhitungan klasifikasi
distribusi normal sebagai berikut:
a. µ+1,5σ = 29,5500 + (1,5 x 4,60741) = 29,5500 +6,911115 = 36,461115
b. µ+0,5σ = 29,5500 + (0,5 x 4,60741) = 29,5500 + 2,303705 = 31,853705
c. µ-1,5σ =29,5500 - (1,5 x 4,60741) =29,5500 - 6,911115 = 22,638885
d. µ-0,5σ =29,5500 - (0,5 x 4,60741) = 29,5500 - 2,303705 = 27,246295
Tabel 4.9
Distribusi Frekuensi Penerimaan Terhadap Keterbatasan Diri
No
Interval
F
Persen
Kriteria
1
36,461115< X
1
2,5
Sangat Tinggi
2
31,853705< X ≤ 36,461115
13
32,5
Tinggi
3
27,246295< X ≤ 31,853705
18
45
Sedang
4
22,638885< X ≤ 27,246295
8
20
Rendah
87
No
Interval
F
Persen
Kriteria
5
X ≤ 22,638885
0
0
Sangat Rendah
Berdasarkan tabel 4.9 dapat diketahui bahwa terdapat 1 anak jalanan atau
2,5% anak jalanan yang memiliki penerimaan terhadap keterbatasan diri sangat
tinggi. Anak jalanan yang memiliki tingkat penerimaan terhadap keterbatasn diri
dalam taraf tinggi ada 13 anak atau 32,5% anak jalanan, itu artinya ada ada 32,5%
anak jalanan yang memberikan pandangan secara positif terhadap penerimaan
keterbatasan diri. Banyak anak jalanan yang menanggapi biasa-biasa saja atau
memiliki tingkat penerimaan terhadap keterbatasan diri sedang yaitu sebanyak 18
anak atau 45% dari 40 anak jalanan tersebut. Selain itu terdapat 8 anak atau 20%
anak jalanan yang memiliki penerimaan terhadap keterbatasan diri yang rendah.
Tidak terdapat anak jalanan yang memiliki keterbatasan diri denagn taraf sangat
rendah.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa penerimaan terhadap
keterbatasan diri pada anak jalanan dalam kategori sedang (45%). Untuk lebih
jelasnya keterangan mengenai tingkat penerimaan terhadap keterbatasan diri dapat
di lihat pada gambar di bawah ini:
88
Gambar 4.3 Indikator Penerimaan Terhadap Keterbatasan Diri
45%
45.00%
40.00%
32.50%
35.00%
30.00%
Prosentase
25.00%
20%
20.00%
15.00%
10.00%
2.50%
5.00%
0
0.00%
Sangat
Tinggi
Tinggi
Sedang
Rendah
Sangat
Rendah
Kriteria
4.4.1.3 Mengetahui Kualitas dan Bakat Sendiri
Berdasarkan tabel 4.7 di atas didapat mean empirik (µ) sebesar 28,4750
dan standar deviasi (σ) sebesar 4,19394. Maka hasil perhitungan klasifikasi
distribusi normal sebagai berikut:
a. µ+1,5σ = 28,4750 + (1,5 x 4,19394) = 28,4750 +6,29091= 34,76591
b. µ+0,5σ = 28,4750 + (0,5 x 4,19394) =28,4750 + 2,09697= 30,57197
c. µ-1,5σ =28,4750 - (1,5 x 4,19394) =28,4750 - 6,29091= 22,18409
d. µ-0,5σ =28,4750 - (0,5 x 4,19394) = 28,4750 - 2,09697= 26,37803
Tabel 4.10
Distribusi Frekuensi Mengetahui Kualitas dan Bakat Sendiri
No
Interval
F
Persen
Kriteria
1
34,76591< X
1
2,5
Sangat Tinggi
2
30,57197< X ≤ 34,76591
10
25
Tinggi
3
26,37803< X ≤ 30,57197
22
55
Sedang
4
22,18409< X ≤ 26,37803
7
17,5
Rendah
5
X ≤ 22,18409
0
0
Sangat Rendah
Berdasarkan tabel 4.10 dapat diketahui bahwa terdapat 1 anak jalanan atau
2,5% anak jalanan yang tahu akan kualitas dan bakat sendiri dengan tingkat sangat
89
tinggi. Anak jalanan yang memiliki tingkat pengetahuan terhadap kualitas dan
bakat sendiri dalam taraf tinggi terdapat 10 anak atau 25% anak jalanan. Sebagian
besar anak jalanan menanggapi biasa-biasa saja atau memiliki tingkat
pengetahuan kualitas dan bakat diri dengan taraf sedang yaitu sebanyak 22 remaja
atau 55% dari 40 anak jalanan tersebut, dan sebanyak 7 anak atau sekitar 17,5%
anak jalanan yang mengetahui kualitas dan bakat sendiri dengan taraf rendah, itu
artinya ada 17,5% anak jalanan yang memberikan pandangan secara negatif
terhadap pengetahuan akan kualitas dan bakat diri. Selain itu tidak terdapat anak
jalanan yang mengetahui kualitas dan bakat sendiri dalam taraf sangat rendah.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa indikator mengetahui
kualitas dan bakat sendiri pada anak jalanan dalam kategori sedang (55%). Untuk
lebih jelasnya keterangan mengenai tingkat pengetahuan kualitas dan bakat sendiri
dapat di lihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 4.4 Indikator Mengetahui Kualitas dan Bakat
Sendiri
60.00%
55%
50.00%
40.00%
Prosentase
30.00%
25%
17.50%
20.00%
10.00%
2.50%
0
0.00%
Sangat
Tinggi
Tinggi
Sedang
Kriteria
4.4.2
Gambaran Konsep Diri Anak Jalanan
Rendah
Sangat
Rendah
90
Konsep diri anak jalanan di RPSA Kota Semarang dapat dilihat dari
pengertian karakteristik seseorang pada konsep diri yaitu: mengetahui
pengetahuan tentang diri, mengetahui penilaian tentang diri sendiri, serta
mengetahui harapan yanhg diinginkan oleh diri sendiri. Data mengenai konsep
diri diambil dengan menggunakan skala konsep diri sebanyak 50 aitem dengan
jumlah subyek sebanyak 40 remaja panti asuhan.
Berdasarkan tabel 4.4 diperoleh mean empirik (µ) sebesar 117,8000 dan
standar deviasi (σ) sebear 16,19307. Maka di dapat perhitungan klasifikasi
distribusi normal sebagai berikut:
e. µ+1,5σ = 117,8000 + (1,5 x 16,19307) = 117,8000 + 24,289605 = 142,089605
b. µ+0,5σ = 117,8000 + (0,5 x 16,19307) = 117,8000 + 8,096535 = 125,896535
c. µ-1,5σ = 117,8000 - (1,5 x 16,19307) = 117,8000 - 24,289605 = 93,510395
d. µ-0,5σ = 117,8000 - (0,5 x 16,19307) = 117,8000 - 8,096535 = 109,703465
Berdasarkan perhitungan di atas maka klasifikasi distribusi konsep diri
adalah sebagai berikut:
Tabel 4.11
Klasifikasi Distribusi Frekuensi Konsep Diri
No
Interval
F
Persen
Kriteria
1
142,09 < X
1
2,5%
Sangat Tinggi
2
125,89 < X ≤ 142,09
20
50%
Tinggi
3
109,70 < X ≤ 125,89
16
40%
Sedang
4
93,51 < X ≤ 109,70
3
7,5%
Rendah
5
X ≤ 93,51
0
0
Sangat Rendah
Berdasarkan tabel 4.11 dapat diketahui bahwa, subyek yang memperoleh
skor lebih besar 142,09 dengan kategori sangat tinggi sebanyak 1 anak atau 2,5%
91
anak jalanan. Subjek penelitian yang memperoleh skor lebih besar dari 125,89 dan
lebih kecil atau sama dengan 142,09 berarti subyek penelitian memiliki tingkat
konsep diri dalam kategori tinggi yaitu sebanyak 20 anak jalanan atau 50% anak
jalanan. Apabila subyek penelitian memperoleh skor lebih besar dari 109,70 dan
lebih kecil atau sama dengan 125,89 maka subyek penelitian tergolong memiliki
tingkat konsep diri yang sedang yaitu sebanyak 16 anak atau 40% anak jalanan.
Apabila seorang subyek mendapatkan skor lebih besar dari 93,51 dan lebih kecil
atau sama dengan 109,70 maka dapat dikatakan subyek tersebut memiliki tingkat
konsep diri yang rendah anak atau yaitu sebanyak 3 anak atau 7,5% anak jalanan,
dan tidak terdapat subyek dengan skor lebih kecil dari 93,51 dengan kategori
sangat rendah.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa konsep diri pada anak
jalanan dalam kategori tinggi. Untuk lebih jelasnya keterangan mengenai tingkat
konsep diri dapat di lihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 4.5 Tingkat Konsep Diri Anak Jalanan
50%
50.00%
45.00%
40%
40.00%
35.00%
30.00%
Prosentase
25.00%
20.00%
15.00%
7.50%
10.00%
5.00%
2.50%
0
0.00%
Sangat
Tinggi
Tinggi
Sedang
Kriteria
Rendah
Sangat
Rendah
92
Gambar 4.1. Grafik Konsep Diri
Masing-masing indikator konsep diri pada anak jalanan akan dijelaskan
secara lebih rinci. Gambaran mengenai data penelitian pada masing-masing
indikator yang telah dianalisis terdapat pada tabel 4.12 berikut ini:
Tabel 4.12
Perhitungan Hasil Klasifikasi Indikator Konsep Diri
Descriptive Statistics
N
Pengetahuan Tentang Diri
Penilaian Tentang Diri
Pengharapan
Konsep Diri
Valid N (listwise)
40
Minimum
34.00
Maximum
62.00
Mean
50.1750
Std. Deviation
6.94258
40
40
24.00
17.00
49.00
40.00
36.8000
30.8250
6.59526
4.41958
40
80.00
147.00
117.8000
16.19307
40
4.4.2.1 Pengetahuan Tentang Diri
Berdasarkan tabel 4.12 di atas didapat mean empirik (µ) sebesar 50,1750
dan standar deviasi (σ) sebesar 6,94258. Maka hasil perhitungan klasifikasi
distribusi normal sebagai berikut:
a. µ+1,5σ = 50,1750 + (1,5 x 6,94258) = 50,1750 + 50,1750 = 60,58887
b. µ+0,5σ = 50,1750 + (0,5 x 6,94258) = 50,1750 + 3,47129= 53,64629
c. µ-1,5σ = 50,1750 - (1,5 x 6,94258) = 50,1750 -50,1750 = 39,76113
d. µ-0,5σ = 50,1750 - (0,5 x 6,94258) = 50,1750 -3,47129 = 46,70371
Tabel 4.13
Distribusi Frekuensi Pengetahuan Tentang Diri
No
Interval
F
Persen
Kriteria
1
60,58887 < X
0
0
Sangat Tinggi
2
53,64629< X ≤ 60,58887
24
60%
Tinggi
3
46,70371< X ≤ 53,64629
13
32,5%
Sedang
4
39,76113< X ≤ 46,70371
3
7,5%
Rendah
93
5
0
X ≤ 39,76113
0
Sangat Rendah
Berdasarkan tabel 4.13 dapat diketahui bahwa dari 40 anjal terdapat 24
anak jalanan atau 60% anak jalanan mempunyai tingkat pengetahuan tentang diri
yang tinggi, tidak sedikit anak jalanan di RPSA Kota Semarang yang memiliki
tingkat pengetahuan tentang diri dalam taraf sedang, yaitu sebanyak 13 anjal atau
32,5% anak jalanan. Sebanyak 3 anak jalanan atau 7,5% anak jalanan memiliki
tingkat pengetahuan tentang diri dalam taraf rendah. Tidak terdapat anak jalanan
yang memiliki tingkat pengetahuan tentang diri dengan taraf sangat tinggi dan
taraf sangat rendah.
Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa pengetahuan tentang
diri anak jalanan dalam taraf tinggi (60%). Ini menunjukkan bahwa anak jalanan
memiliki pegetahuai tentang diri yang cukup tinggi. Untuk lebih jelasnya dapat di
lihat pada gambar 4.4 di bawah.
Gambar 4.6 Pengetahuan Tentang diri
60%
60%
50%
40%
32.50%
Prose ntase 30%
20%
7.50%
10%
0%
0%
0%
Sangat
Tinggi
Tinggi
Sedang
Kriteria
4.4.2.2 Penilaian Tentang Diri
Rendah
Sangat
Rendah
94
Berdasarkan tabel 4.12 di atas didapat mean empirik (µ) sebesar 36,8000
dan standar deviasi (σ) sebesar 6,59526. Maka hasil perhitungan klasifikasi
distribusi normal sebagai berikut:
a. µ+1,5σ = 36,8000 + (1,5 x 6,59526) = 36,8000 + 9,89289 = 46,69289
b. µ+0,5σ = 36,8000 + (0,5 x 6,59526) = 36,8000 + 3,29763 = 40,09763
c. µ-1,5σ =36,8000 - (1,5 x 6,59526) = 36,8000 -9,89289 = 26,90711
d. µ-0,5σ =36,8000 - (0,5 x 6,59526) = 36,8000 -3,29763 = 33,50237
Tabel 4.14
Distribusi Frekuensi Penilaian Tentang Diri
No
Interval
F
%
Kriteria
1
46,69289< X
3
7,5
Sangat Tinggi
2
40,09763< X ≤ 46,69289
12
30
Tinggi
3
33,50237< X ≤ 40,09763
19
47,5
Sedang
4
26,90711< X ≤ 33,50237
6
15
Rendah
5
X ≤ 26,90711
Jumlah
0
0
Sangat Rendah
40
100
Berdasarkan tabel 4.14 dapat diketahui bahwa terdapat 3 anak jalanan atau
7,5% anak jalanan yang mempunyai tingkat penilaian tentang diri dengan tingkat
orientasi sangat tinggi. Hasil penelitian juga menunjukkan terdapat 12 anak
jalanan atau 30% anak jalanan yang memiliki tingkat penilaian tentang diri
dengan tingkat orientasi tinggi. Anak jalanan yang memiliki tingkat penilaian
tentang diri sedang yaitu sebanyak 19 remaja atau 47,5%. Hanya terdapat pula 6
anak jalanan atau 15% yang memiliki tingkat penilaian tentang diri dengan tingkat
orientasi rendah dan tidak ada anak jalanan yang memiliki tingkat orientasi sangat
rendah.
95
Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa penilaian tentang diri
anak jalanan dalam taraf sedang (47,5%). Ini menunjukkan bahwa anak jalanan
biasa-biasa saja dalam memenilai tentang diri.
Gambar 4.7 Indikator Penilaian Tentang Diri
Prosentase
47.50%
50.00%
45.00%
40.00%
35.00%
30.00%
25.00%
20.00%
15.00%
10.00%
5.00%
0.00%
30%
15%
7.50%
0
Sangat
Tinggi
Tinggi
Sedang
Rendah
Sangat
Rendah
Kriteria
4.4.2.3 Pengharapan
Berdasarkan tabel 4.12 di atas didapat mean empirik (µ) sebesar 30,8250
dan standar deviasi (σ) sebesar 4,41958. Maka hasil perhitungan klasifikasi
distribusi normal sebagai berikut:
a. µ+1,5σ = 30,8250 + (1,5 x 4,41958) = 30,8250 +9,89289 = 46,69289
b. µ+0,5σ = 30,8250 + (0,5 x 4,41958) = 30,8250 +3,29763 = 40,09763
c. µ-1,5σ =30,8250 - (1,5 x 4,41958) = 30,8250 -9,89289 = 26,90711
d. µ-0,5σ =30,8250 - (0,5 x 4,41958) =30,8250 -3,29763 = 33,50237
Tabel 4.15
Distribusi Frekuensi Pengharapan
96
No
Interval
F
%
Kriteria
1
46,69289< X
1
2,5
Sangat Tinggi
2
40,09763< X ≤ 46,69289
23
57,5
Tinggi
3
33,50237< X ≤ 40,09763
12
30
Sedang
4
26,90711< X ≤ 33,50237
3
7,5
Rendah
5
X ≤ 26,90711
1
2,5
Sangat Rendah
Berdasarkan tabel 4.15 dapat diketahui bahwa dari 40 anak jalanan
terdapat sebanyak 1 anak jalanan atau 2,5% yang memiliki tingkat pengharapan
sangat tinggi, 23 anak jalanan atau 57,5% anak dalam taraf tinggi, sedangkan 12
anak jalanan atau sebanyak 30% yang memiliki tingkat pengharapan dalam taraf
sedang. Dalam kriteria rendah terdapat 3 anak jalanan atau 7,5% anak jalanan .
Selain juga terdapat terdapat 1 anak jalanan atau 2,5% anak jalanan
yang
memiliki tingkat pengharapan sangat rendah.
Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa pengharapan anak
jalanan dalam taraf tinggi (57,5%). Ini menunjukkan bahwa anak jalanan memiliki
pengaharapan yang tinggi.
Gambar 4.8 Indikator Pengharapan
57.50%
60.00%
50.00%
40.00%
Prosentase
30%
30.00%
20.00%
10.00%
7.50%
2.50%
2.50%
0.00%
Sangat
Tinggi
Tinggi
Sedang
Kriteria
Rendah
Sangat
Rendah
97
4.4.3
Uji Asumsi
Sebelum dilakukan analisis, data yang telah diperoleh diuji asumsikan
terlebih dahulu dengan melakukan uji normalitas dan uji linieritas. Tujuan
diadakan uji asumsi adalah untuk mengetahui apakah data yang diperlukan
memenuhi syarat penelitian. Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan
program SPSS.
4.4.3.1 Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui tingkat normalitas data. Dalam
penelitian ini menggunakan One-Sample Kolmogorof Test dari SPSS versi 12.00
untuk melakukan uji normalitas data. Kriteria pengambilan keputusan data
dianggap normal apabila nilai sig Hitung > 0.05. Jika nilai sig dibawah 0.05, maka
dapat diambil kesimpulan bahwa data tidak berdistribusi normal.
Dari hasil perhitungan SPSS versi 12.00 nilai Kolmogorof-Smirnov
sebesar 0,630 dan nilai signifikansi variabel konsep diri 0,822 > 0.05, ini
menunjukkan bahwa variabel konsep diri berdistribusi normal. Variabel
penerimaan diri dilihat dari nilai Kolmogorof-Smirnov sebesar 0,593 dan nilai
signifikansi 0,874 > 0,05, ini menunjukkan bahwa variabel penerimaan diri
berdistribusi normal.
4.4.3.2 Uji Linieritas
Linearitas dalam penelitian ini merupakan syarat bagi kelanjutan uji
normalitas untuk menuju uji hipotesis. Pada penelitian ini di peroleh hasil pada
variabel konsep diri dan penerimaan diri berdistribusi normal, maka uji linieritas
dapat dilakukan. Dari hasil perhitungan SPSS nilai signifikansi dari variabel
98
konsep diri dan penerimaan diri 0,01 < 0,05, ini menunjukkan bahwa kedua
variabel linear.
Tabel 4.16
ANOVA Table
Penerimaan Diri *
Konsep Diri
Between Groups
(Combined)
Linearity
Deviation from
Linearity
Within Groups
Total
Sum of
Squares
df
Mean
Square
4739.233
30
157.974
2.276
.097
1921.809
1
1921.809
27.68
9
.001
2817.424
29
97.153
1.400
.309
624.667
5363.900
9
39
69.407
F
4.4.3.3 Uji Hipotesis
Berdasarkan hasil uji analisis linieritas dan normalitas yang telah
dilakukan diatas, diketahui bahwa data hasil penelitian ini berdistribusi normal.
Dari hasil tersebut kemudian dilakukan analisis, apakah data hasil penelitian ini
memenuhi syarat bagi diterimanaya hipotesis atau tidak. Karena data memenuhi
syarat normalitas maka digunakan statistik parametrik. Pengujian terhadap
hipotesis dengan variabel bebas konsep diri dan penerimaan diri dengan variabel
tergantung pada statistik parametrik dilakukan dengan menggunakan teknik
korelasi Product Moment
Tabel 4.17
Analisis Korelasi Konsep Diri dengan Penerimaan Diri
Correlations
konsep diri
konsep diri
Pearson Correlation
penerimaan diri
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
1
.
40
.599(**)
penerimaan diri
.599(**)
.000
40
1
Sig.
99
Sig. (2-tailed)
N
.000
.
40
40
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Berdasarkan analisis korelasi Product Moment dari Pearson, diperoleh rxy
sebesar 0,599 dengan signifikansi (2-tailed) p value sebesar 0,00 (p < 0,01)
artinya terdapat pengaruh positif konsep diri terhadap penerimaan diri, nilai r xy
menunjukkan arah yang positif. Keberartian dari koefisien korelasi tersebut dapat
diuji dengan cara mengkonsultasikan hara r hitung dengan rtabel product moment
untuk taraf signifikansi 1% dengan N = 40 sebesar 0,403. Karena rhitung = 0,599 >
rtabel = 0.403, maka dapat disimpulkan bahwa koefisien korelasi tersebut signifikan
artinya terdapat pengaruh positif konsep diri terhadap penerimaan diri, dan nilai
rxy menunjukkan arah yang positif.
Dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini,
yang berbunyi “Ada Pengaruh Positif Konsep Diri Terhadap Penerimaan Diri
Anak Jalanan (Street Children) di RPSA Kota Semarang” dinyatakan diterima.
Dengan kata lain terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara konsep diri
terhadap penerimaan diri, yang berarti semakin tinggi konsep diri maka akan
semakin tinggi pula penerimaan diri anak jalanan pada jangkauan RPSA di Kota
Semarang.
4.4.3.4 Tabel Model Summary
Pada model ini nilai regresi antara variabel X dengan variabel Y secara
umum (R) sebesar 0,599, sedangkan koefisien determinasi (R square) sebesar
0,358 perhitungan ini menggunakan analisis program SPSS. Berdasarkan hasil di
100
atas maka dapat diartikan bahwa 35,8% penerimaan diri anak jalanan dipengaruhi
oleh konsep diri, dan sisanya 64,2% dipengaruhi oleh faktor lain.
4.5 Pembahasan Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian analisis di peroleh gambaran hasil penelitian
sebagai berikut:
4.5.1
Penerimaan Diri anak jalanan
Pada pembahasan hasil penelitian ini merupakan jawaban dari perumusan
masalah, yaitu bagaimana gambaran penerimaan diri anak jalanan di RPSA Kota
Semarang?. Penerimaan diri adalah suatu sikap yang menunjukkan rasa puas
terhadap diri sendiri, kualitas-kualitas dan bakat-bakat sendiri, dan pengakuan
akan keterbatasan-keterbatasan sendiri (Chaplin, 1999:450). Penerimaan diri
merupakan komponen dari kesehatan mental, seseorang yang mempunyai tingkat
penerimaan diri yang baik merupakan orang yang berpribadi matang. Penerimaan
diri memiliki peranan yang penting dalam pembentukan konsep diri dan
kepribadian yang positif seseorang. Individu dengan konsep diri yang positif akan
menerima dirinya dengan baik pula. Menurut Supratiknya (1995:84-85),
penerimaan diri berkaitan dengan kerelaan kita untuk membuka atau
mengungkapakan aneka pikiran, perasaan, dan reaksi kita kepada orang lain,
kesehatan psikologis berkaitan erat dengan kualitas perasaan kita terhadap diri
sendiri, penerimaan kita terhadap orang lain.
Bagi anak-anak jalanan, berkaitan dengan pemahamannya bahwa orang
lain menerima mereka merupakan hal yang jarang mereka pikirkan. Sebagian
101
besar dari mereka merasa bahwa orang lain memandang mereka kurang berharga.
Tetapi disisi lain mereka memiliki perasaan terhadap diri yang baik. Dengan
adanya pendekatan yang intens, maka secara perlahan-lahan anak jalanan akan
dapat menganggap dirinya berharga di mata orang lain.
Pada hasil penelitian terhadap penerimaan diri (gambar 4.6) diperoleh
gambaran bahwa mayoritas anak jalanan pada jangkauan RPSA di Kota Semarang
mempunyai penerimaan diri pada kategori sedang (59%), maksudnya rata-rata
anak jalanan dalam menerima keterbatasan diri serta mengetahui kualitas dan
bakat sendiri adalah cukup. Penerimaan diri dapat diperjelas dalam rincian
indikator penerimaan diri (Gambar 4.8, 4.9, dan 4.10), yaitu perasaan puas
terhadap diri sendiri (47,5%) dengan kategori tinggi, maksudnya rata-rata
kepuasan anak jalanan terhadap diri sendiri adalah tinggi, mereka puas akan diri
mereka sendiri. Penerimaan terhadap keterbatasan diri pada kategori sedang
(45%), maksudnya sebagian anak jalanan penerimaan terhadap keterbatasan diri
pada anak jalanan cukup. Sedangkan dalam mengetahui kualitas dan bakat sendiri
pada kategori sedang (55%), maksudnya sebagian besar anak jalanan dalam
mengetahui kualitas dan bakat sendiri adalah cukup.
Pada penelitian ini menunjukkan bahwa penerimaan diri terhadap
kepuasan diri sendiri kurang diimbangi dengan penerimaan terhadap keterbatasan
dan pengetahuan terhadap kualitas dan bakat diri yang tinggi.
Penerimaan diri yang dimiliki sebagian besar dari anak jalanan pada
jangkauan RPSA Kota Semarang termasuk dalam kriteria sedang dan penyebab
dari tinggi rendahnya penerimaan diri tersebut bisa disebabkan oleh beberapa hal
102
seperti latar belakang bagaimana awalnya mereka turun ke jalan. Faktor dan latar
belakang tersebut masih kurang mencerminkan seorang individu yang mempunyai
penerimaan diri tinggi atau positif. Individu yang memiliki penerimaan diri tinggi,
maka dia setidak-tidaknya memiliki kriteria yang dapat menunjukkan penerimaan
diri positif seseorang dengan kerelaan untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan
diri sendiri, kesehatan psikologis, serta melalui penerimaan terhadap orang lain,
yang dicerminkan dengan adanya perasaan puas terhadap diri sendiri, adanya
penerimaan terhadap keterbatasan diri, serta mengetahui akan kualitas dan bakat
sendiri (Chaplin, 1999:450).
Ada beberapa faktor agar seorang anak jalanan bisa meningkatkan
penerimaan dirinya agar lebih positif ataupun tinggi dari sebelumnya, salah
satunya adalah dengan adanya faktor dari dalam diri atau intern, faktor keluarga,
serta faktor dari lingkungan dan masyarakat yang dapat memberikan kondisi yang
dapat mendukung pembentukan dan perkembangan konsep diri ke arah yang
positif.
4.5.2
Konsep Diri Anak Jalanan
Pada pembahasan hasil penelitian ini merupakan jawaban dari perumusan
masalah, yaitu bagaimana gambaran konsep diri anak jalanan di RPSA Kota
Semarang?. Konsep diri bukan merupakan faktor yang dibawa sejak lahir, tetapi
konsep diri terbentuk melalui proses belajar sejak masa pertumbuhan seseorang,
yaitu dari masa kecil hingga dewasa. Karena itu, konsep diri mempunyai peranan
penting dalam menentukan perilaku individu. Bagaimana individu memandang
dirinya, akan tampak dalam seluruh perilakunya tersebut. Perilaku individu
103
tersebut akan sesuai dengan cara individu memandang dirinya sendiri
(Pudjijogyanti, 1991:4). Individu tidak dilahirkan dengan konsep diri, konsep diri
muncul sebagai pengalaman yang didapatkan dari proses interaksi dengan orangorang yang ada disekitarnya. Selain itu, konsep diri individu terbentuk dan
berkembang melalui hasil dari pengaruh interaksi yang dilakukan melalui
hubungan sosial dengan lingkungan terutama lingkungan keluarga, pendidikan
dan hasil tanggapan dari orang lain. Perlakuan orang-orang tersebutlah yang
menjadikan cerminan tentang diri kita. Seperti yang dikemukakan oleh
Djalaluddin Rakhmat (2004:100) yang menyatakan bahwa faktor-faktor yang
membentuk konsep diri adalah orang lain atau significan others yang meliputi
orang tua dan teman, dan kelompok rujukan, misalnya komunitas pada anak
jalanan.
Begitu juga dengan yang dialami oleh anak-anak jalanan, konsep diri
mereka terbentuk terutama hasil dari interaksi dengan keluarga dan teman, karena
sebagian besar dari anak jalanan turun ke jalan disebabkan oleh faktor keluarga
(faktor ekonomi, broken home, mengalami kekerasan, memiliki banyak saudara,
eksploitasi anak) dan dari faktor ikut-ikutan teman.
Pada hasil penelitian terhadap konsep diri (gambar 4.11) diperoleh
gambaran bahwa mayoritas anak jalanan pada jangkauan RPSA di Kota Semarang
mempunyai konsep diri pada kategori tinggi (50%), maksudnya rata-rata anak
jalanan dalam memiliki pengetahuan tentang diri serta pengharapan mereka
adalah tinggi. Konsep diri dapat diperjelas dalam rincian indikator konsep diri
(Gambar 4.13, 4.14, dan 4.15), yaitu pengetahuan tentang diri (60%) dengan
104
kategori tinggi, maksudnya rata-rata pengetahuan anak jalanan terhadap diri
sendiri adalah tinggi, yaitu mereka mengetahui bagaimana diri mereka sendiri.
Penilaian tentang diri pada kategori sedang (47,5%), maksudnya sebagian anak
jalanan menilai tentang diri mereka cukup. Sedangkan dalam pengharapan anak
jalanan pada kategori tinggi (57,5%), maksudnya sebagian besar anak jalanan
berharap agar mereka dapat hidup lebih baik lagi.
Pada penelitian ini menunjukkan bahwa konsep diri terhadap pengetahuan
tentang diri dan pengaharapannya sendiri yang tinggi kurang diimbangi dengan
penilaian tentang diri sendiri yang cukup.
Oleh sebab itu untuk membentuk konsep diri anak agar memiliki konsep
diri yang positif, walaupun dengan keadaan ekonomi yang tidak mencukupi
kebutuhan keluarga, orang tua tidak dapat membebankan tanggung jawab secara
materiil kepada anak-anaknya, dan sebagai orang tua juga harus dapat
memberikan asuhan, arahan dan dukungan bagi anak-anaknya serta dapat
memperlakukan anak sebagaimana mestinya dalam kehidupan yang dibutuhkan
bagi perkembangan mental dan sosial anak.
4.5.3
Pengaruh Konsep Diri terhadap Penerimaan Diri Anak Jalanan
Pada pembahasan hasil penelitian ini merupakan jawaban dari perumusan
masalah, yaitu apakah terdapat pengaruh konsep diri terhadap penerimaan diri
anak jalanan di RPSA Kota Semarang?. Calhoun dan Acocella (1995:73), bahwa
dasar dari konsep diri yang positif bukanlah suatu kebanggaan yang besar tentang
diri, tetapi lebih berupa penerimaan diri. Yang menjadikan penerimaan diri
mungkin adalah bahwa orang dengan konsep diri positif yaitu dengan mengenal
105
dirinya dengan baik sekali. Penerimaan diri erat kaitannya dengan konsep diri
yang dimiliki seseorang. Semakin positif konsep dirinya maka akan semakin
tinggi penerimaan dirinya, begitu juga sebaliknya, jika konsep diri yang dimiliki
seseorang rendah maka akan rendah penerimaan dirinya. (Wicklund dan Frey
dalam Calhoun dan Acocella, 1995:73). Begitu juga dengan yang terjadi pada
anak-anak jalanan, karena berbagai kondisi dan situasi dari latar belakang turun ke
jalan hingga masa anak beraktivitas, tinggal dan berinteraksi dengan lingkungan
di jalan, selanjutnya pengambilan sikap positif atau negatif dalam menghadapi
kehidupannya yang serba begitu keras tersebut akan ditentukan dan ditunjukkan
oleh sikap mereka.
Menurut Hurlock (1974:435) salah satu kondisi yang dapat mempengaruhi
penerimaan diri adalah konsep diri atau cara seseorang melihat diri sendiri. Berarti
konsep diri tidak dapat dijauhkan dari proses seseorang dalam pembentukan
penerimaaan diri seseorang, termasuk dalam hal ini yaitu anak jalanan.
Hasil uji analisis yang diperoleh dari perhitungan korelasi Product
Moment Pearson dengan menggunakan bantuan komputer program SPSS 12
untuk variabel konsep diri dan variabel penerimaan diri pada anak jalanan pada
jangkauan RPSA Kota Semarang menunjukkan bahwa ada pengaruh yang
signifikan antara konsep diri terhadap penerimaan diri, atau hipotesis yang
berbunyi: “ada pengaruh positif konsep diri terhadap penerimaaan diri anak
jalanan di RPSA Kota Semarang”, diterima. Hal ini terlihat dari diperolehnya nilai
korelasi Pearson rxy sebesar 0,599 dengan signifikansi (2-tailed) p value sebesar
0,00 (p < 0,01) artinya konsep diri mempengaruhi penerimaan diri anak jalanan.
106
Hasil uji analisis tersebut menunjukkan bahwa ketika individu mempunyai konsep
diri yang tinggi maka mereka akan mengalami hal yang positif dalam
kehidupannya. Apabila anak-anak jalanan merasakan konsep diri yang positif
pada dirinya atas segala kejadian dalam kehidupannya maka akan memunculkan
penerimaan dalam diri yang positf pula.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut bahwa adanya konsep diri yang baik
dapat mempengaruhi bagaimana penerimaan diri mereka para anak-anak jalanan.
Adanya konsep diri yang baik (positif) membuat para anak-anak jalanan tersebut
menjadi memiliki penerimaan diri yang lebih baik. Hal tersebut sesuai dengan
pendapat Calhoun dan Acocella (1995:73) seperti di atas.
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh hasil bahwa mean empiris
sebesar 89,5250 memberikan kesimpulan bahwa sebagian besar dari anak jalanan
pada jangkauan RPSA di Kota Semarang mempunyai tingkat penerimaan yang
sedang. Hal tersebut dapat diketahui dari mean empiris sebesar 89,5250 berada
dalam kategoi sedang. Selain itu juga dapat diketahui dari banyaknya anak jalanan
yang mempunyai tingkat penerimaan diri dalam kriteria sedang yaitu sebanyak 20
anak atau 50% anak jalanan dari 40 subyek yang diteliti. Jumlah anak jalanan
yang mempunyai tingkat penerimaan diri sangat tinggi sebanyak 1 anak atau 2,5%
dari 40 anak jalanan, sedangkan anak yang memiliki penerimaan diri dalam
kategori tinggi sebanyak 14 anak atau 35% dari keseluruhan anak jalanan, serta
terdapat juga anak jalanan dalam kategori rendah, yaitu berjumlah 5 anak atau
sebanyak 12,5% dan tidak terdapat anak jalanan yang memiliki penerimaan diri
dalam kategori sangat rendah. Tidak adanya anak jalanan yang memiliki tingkat
107
penerimaan diri dalam taraf sangat rendah bisa dibilang bahwa anak jalanan
tersebut memiliki penerimaan diri yang cukup positif.
Hasil penelitian ini selaras dengan penelitian Citra Desy tentang hubungan
antara konsep diri dengan penerimaan diri pada remaja yang menunjukkan bahwa
terdapat hubungan positif yang signifikan antara konsep diri dengan penerimaan
diri pada remaja, dimana semakin tinggi konsep diri maka penerimaan dirinya
akan semakin tinggi pula.
Dijelaskan oleh Mead (dalam Burns, 2003:19) bahwa konsep diri sebagai
suatu obyek timbul di dalam interaksi sosial sebagai suatu hasil perkembangan
dari perhatian individu tersebut mengenai bagaimana orang-orang lain bereaksi
kepadanya. Konsep diri merupakan faktor yang dipelajari dan dapat dibentuk
melalui pengalaman individu berhubungan dengan orang lain. Seseorang dengan
konsep diri yang baik atau positif baik secara fisik, sosial dan psikologis
mengenai pengetahuan tentang diri, mengetahui penilaian tentang diri, serta
mengetahui apa yang diharapkan oleh individu tersebut (Calhoun, 1995:67).
Beberapa kriteria konsep diri tersebut tentunya akan ditanggapi secara berbedabeda oleh setiap individu khususnya oleh anak jalanan.
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh mean empiris sebesar 117,8000
memberikan kesimpulan bahwa sebagian besar dari anak jalanan mempunyai
tingkat konsep diri yang tinggi. Hal tersebut dapat diketahui dari banyaknya anak
jalanan yang mempunyai tingkat konsep diri dalam kriteria tinggi yaitu sebanyak
20 anak atau 50% anak jalanan dari 40 subyek yang diteliti, walaupun banyak
juga anak jalanan yang memiliki tingkat konsep diri sedang. Anak jalanan yang
108
mempunyai tingkat konsep diri sangat tinggi terdapat 1 anak atau 2,5%, jumlah
anak jalanan yang mempunyai tingkat konsep diri sedang sebanyak 16 anak
jalanan atau 40% dari 40 anak jalanan, sedangkan anak jalanan yang memiliki
konsep diri dalam kategori rendah sebanyak 3 anak atau 7,5%, dari keseluruhan
anak jalanan dan tidak terdapat anak jalanan yang memiliki konsep diri dalam
kategori sangat rendah. Berdasarkan data tersebut dapat diambil kesimpulan
bahwa rata-rata anak jalanan pada jangkauan RPSA Kota Semarang memiliki
tingkat konsep diri tinggi dan memiliki konsep diri yang baik karena sebagian
dari anak jalanan tersebut terdapat pada kategori tinggi.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa variabel konsep diri
mempunyai sumbangan sebesar 35,8% terhadap varibel tergantung yaitu
penerimaan diri dan sisanya sebesar 64,2% berasal dari faktor lain di luar konsep
diri. Hal ini menunjukkan bahwa konsep diri memiliki peranan penting dalam
penerimaan diri anak jalanan, karena sumbangan konsep diri terhadap penerimaan
diri sebesar 35,8% memegang peranan yang juga penting artinya bagi
terbentuknya penerimaan diri anak jalanan, selain dari faktor-faktor lain yang
dapat mempengaruhi penerimaan diri. Sehingga untuk selanjutnya perlu lebih
diperhatikan bagi pengelola RPSA atau para pendamping anak jalanan bahwa
pembentukan konsep diri pada anak jalanan sangat penting artinya bagi
terbentuknya penerimaan diri.
Hal tersebut juga dapat diketahui dari besarnya koefisien korelasi (rxy)
sebesar 0,599 dengan probalititas (p) sebesar 0,01 dengan jumlah subyek
sebanyak 40 orang. Hasil tersebut menunjukkan bahwa ada pengaruh positif
109
konsep diri terhadap penerimaan diri pada anak jalanan pada jangkauan RPSA di
Kota Semarang. Artinya semakin tinggi konsep diri maka akan semakin tinggi
penerimaan diri. Sebaliknya semakin rendah konsep diri maka akan semakin
rendah pula penerimaan diri.
Kesimpulan di atas sesuai dengan pendapat dari Calhoun dan Acocella
(1995:73), bahwa dasar dari konsep diri yang positif bukanlah suatu kebanggaan
yang besar tentang diri, tetapi lebih berupa penerimaan diri. Yang menjadikan
penerimaan diri mungkin adalah bahwa orang dengan konsep diri positif yaitu
dengan mengenal dirinya dengan baik sekali ( Wicklund dan Frey dalam Calhoun
dan Acocella, 1995:73).
Begitu juga dengan yang terjadi pada anak-anak jalanan, karena berbagai
kondisi, situasi dan latar belakang turun ke jalan hingga masa anak beraktivitas,
tinggal dan berinteraksi dengan lingkungan di jalan, selanjutnya pengambilan
sikap positif atau negatif dalam menghadapi kehidupannya yang serba begitu
keras tersebut akan ditentukan dan ditunjukkan oleh sikap mereka, sehingga faktor
keluarga dan lingkungan menjadikan sangat penting fungsinya bagi pembentukan
dan perkembangan kepribadian anak jalanan karena bagaimana pandangan orang
lain terhadap anak jalanan juga dapat mempengaruhi bagaimana penerimaan diri
anak jalanan tersebut, karena jika pandangan orang terhadap anak jalanan buruk,
maka tidak menutup kemunginan juga anak-anak jalanan tersebut akan menerima
diri secara negatif. Oleh sebab itu, sehingga faktor keluarga dan lingkungan sangat
penting fungsinya agar anak-anak jalanan pada khususnya menjadi pribadi yang
110
sehat, matang, percaya diri dan memiliki nilai-nilai yang baik sebagai manusia
yang berkualitas.
BAB 5
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, maka simpulan yang
dapat diambil dari penelitian ini adalah anak-anak jalanan pada jangkauan RPSA
di Kota Semarang masih membutuhkan lebih banyak pendampingan dan
bimbingan sosial agar anak jalanan dapat lebih mengenal dan menerima dirinya
sendiri secara positif. Pendampingan dan bimbingan akan membuat anak jalanan
tersebut
merasa
diperhatikan,
diurus,
disayangi
dan
dicintai.
Adanya
pendampingan dan bimbingan sosial tersebut, sangat berguna untuk pembentukan
serta menumbuhkan konsep diri dan penerimaan diri yang positif. Selain itu
pendampingan tersebut juga bertujuan sebagai sarana sharing anak jalanan untuk
mengidentifikasi permasalahan yang ada pada diri anak jalanan sehingga
dikemudian hari tidak akan mengganggu perkembangan psikologisnya dan
diharapkan nantinya akan mendapatkan solusi yang tepat bagi anak jalanan
tersebut supaya tidak lagi melakukan kegiatan di jalan.
Di lain pihak, keluarga juga merupakan lingkungan terpenting dalam
pembentukan konsep diri serta penerimaan diri bagi anak jalanan, karena
keluarga sebagai lingkungan terdekat anak yang secara langsung akan dapat
membantu anak terutama anak jalanan bagi pembentukan dan perkembangan
konsep diri serta penerimaan diri anak jalanan.
111
112
5.2 Saran
Berdasarkan simpulan hasil penelitian di atas, saran yang dapat
diberikan adalah sebagai berikut :
(1)
Bagi Pihak RPSA
Bagi pihak RPSA supaya tetap memberikan pelayanan-pelayanan terutama
mengenai pelayanan bimbingan dan pengasuhan atau pendampingan yang
bersifat psikologis dan sosial agar dapat membantu bagi terbentunya
konsep diri yang positif pada anak jalanan, sehingga mereka dapat
memiliki penerimaan diri yang positif pula. Selain itu juga dengan tetap
memperhatikan anak jalanan, melakukan pendampingan ketika mereka
sedang mempunyai masalah, mampu menjadi teman ketika mereka
mengalami kesulitan dan memotivasi anak jalanan agar mau berusaha dan
berkarya supaya tidak lagi turun ke jalan dan dapat menjadi pribadi yang
bermanfaat bagi dirinya, keluarga, masyarakat, agama dan bangsa.
(2)
Bagi Anak Jalanan
Bagi anak jalanan supaya lebih dapat mengembangkan diri, walaupun
mungkin sulit dan membutuhkan waktu, tapi dengan adanya dukungan
dari keluarga, masyarakat serta pemerintah, anak-anak jalanan harus tetap
berusaha untuk menjadi pribadi yang sehat, matang serta carilah
lingkungan yang terdapat orang-orang yang dapat membentuk konsep diri
positif agar dapat menjadi pribadi yang berkualitas agar nantinya dapat
meraih cita-cita dan harapan yang diinginkan.
113
(3)
Bagi Pemerintah
Pemerintah supaya lebih memperhatikan anak-anak jalanan, walaupun
membutuhkan dana yang besar untuk mengatasi permasalahan anak
jalanan yang begitu kompleks, tapi sesuai dengan Undang-Undang yang
berlaku bahwa fakir miskin dan anak terlantar, dalam hal ini anak jalanan
dipelihara oleh negara, jadi ini merupakan salah satu tugas pemerintah.
Tetapi dengan adanya kerjasama dari masyarakat pada umumnya, serta
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Yayasan-yayasan yang fokus
pada penanganan anak jalanan pada khususnya, tentu akan sangat
membantu dalam penanganan anak jalanan ini, karena semua anak
termasuk anak jalanan adalah penerus bangsa, sehingga penanganan secara
psikologis penting artinya bagi keberadaan anak jalanan.
(4)
Bagi Peneliti Selanjutnya
Bagi peneliti selanjutnya yang ingin mengembangkan penelitian yang
sejenis, disarankan untuk mengacu pada jumlah sampel yang lebih besar,
dengan pendekatan yang lebih mendalam serta diharapkan juga
memperhatikan faktor lain yang berpengaruh terhadap penerimaan diri
namun belum diteliti dalam penelitian ini. Faktor-faktor lain yang dapat
mempengaruhi penerimaan diri dan belum termasuk dalam penelitian ini
antara lain adalah pola asuh orang tua, lingkungan keluarga serta faktor
intern dari anak jalanan itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Azwar, S. 2003. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Badan Kesejahteraan Sosial Nasional. 2000. Modul Pelatihan Pekerja Sosial
Rumah Singgah.
Burns, R.B.1993. Konsep Diri: Teori, Pengukuran, Pertimbangan, dan Perilaku
(Penerjemah : Eddy). Jakarta:Arcan.
Calhoun, J.F. dan Acocella, J.R. 1995. Psikologi tentang Penyesuaian dan
Hubungan Kemanusiaan. Edisi Ketiga. Alih bahasa : Satmoko, R.S.
Edisi ke-3. Semarang: IKIP Semarang Press.
Chaplin, J.P. 1999. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta : PT. Raja Grafindo.
Cronbach, L. J. 1963. Educational Psychology. Second edition. New York:
Harcourt, Brace and World, Inc.
Dharmono dan Darmabrata. 1999. Faktor-Faktor Psikososial Dengan
Berkembangnyaa Perilaku Antisosial Pada Kelompok Anak Jalanan di
Jakarta. Jiwa, Indon Psychiat Quart 1999: XXXII: 1.
Dinas Kesejahteraan Sosial Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. 2006. Data dan
Informasi Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Jawa Tengah Tahun
2006.
Direktorat Jenderal Bina Kesejahteraan Sosial. 1999. Pedoman Penyelenggaran
Pembinaan Anak Jalanan melalui Rumah Singgah. Rumah Singgah
dalam Penanganan Anak Jalanan. Jakarta: Departemen Sosial RI
Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabiltasi Sosial. 2002. Standar Pelayanan
Sosial Anak jalanan melalui Rumah Singgah. Jakarta: Departemen
Sosial RI.
_________________________________________________.
Acuan
Teknis
Pengembangan Pelayanan Sosial. Jakarta: Departemen Sosial RI.
_________________________________________________. Standar Pelayanan
Sosial anak Jalanan mealui Rumah Singgah. Jakarta: Departemen
Sosial RI.
114
115
Hadi, Sutrisno.2002. Metodologi Research jilid 1. Yogyakarta: ANDI.
Handayani, Ratnawati dan Helmi. 1998. Efektivitas Pelatihan Pengenalan Diri
Terhadap Peningkatan Penerimaan Diri dan Harga Diri. Jurnal
Psikologi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. ISSN. 02158884.No.2, 47-55.
Handayani, Mulyo M. 2000. Efektivitas Pelatihan Pengenalan Diri Terhadap
Peningkatan Penerimaan Diri dan Harga Diri. Insan. Surabaya: Fakultas
Psikologi Universitas Airlangga. Vol.2 No.1.November 2000.
Hapsari, Mia. 2008. Penelitian Deskriptif Tentang Faktor-Faktor Minat
Bersekolah Pada Anak Jalanan di Semarang. Skripsi (Tidak diterbitkan).
Semarang: Jurusan Psikologi Universitas Negeri Semarang.
Hapsari, P. 2007. Anak Jalanan (Perempuan) Subordinat Orang Dewasa. Jurnal
Perempuan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Herlina, A. et al dan UNICEF Indonesia. 2002. Perlindungan Anak
Huraerah, Abu. 2007.Child Abuse (Kekerasan terhadap Anak). Bandung: Nuansa.
Hurlock, E.B. 1980. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.
___________.1978. Perkembangan Anak Jilid 2. Alih bahasa : Tjandrasa, M.M.,
& Zarkasih, M. Edisi ke-6. Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama.
___________. 1974. Personality Development. New Delhi: Tata McGraw-Hill.
Irawati, Henny. 2007. Ranperda Gepeng Sapu Anak Jalanan di Medan. Jurnal
Perempuan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Mappiare, A. 1982. Psikologi Remaja. Surabaya: Usaha Nasional.
__________. 1983. Psikologi Orang Dewasa. . Surabaya: Usaha Nasional.
MB Ubangha, RE Oputa. 2007. Differences in Self-Concept, Academic
Orientation And Vocational Interests of Normal And Institutionalized
Street Children in Lagos Metropolis. International Journal of
Educational Research Vol 3 (1) pp 1-12. ISSN 1595-8485: AJOL
(African Journals Online)
Nurharjadmo, W. 1999. Seksualitas Anak Jalanan. Yogyakarta: Kerja sama Ford
Fundation dengan Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah
Mada.
116
Oktaviana, R. 2004. Hubungan Antara Penerimaan Diri Terhadap Ciri-Ciri
Perkembangan Sekunder Dengan Konsep Diri Pada Remaja Puteri
SLTPN 10 Yogyakarta. Jurnal Psyche. Palembang: Vol.1 No.2.
Desember 2004.
Permadi, Gunawan dan Ardhianie, Nila. 1999. Selinting Ganja di Tangan.
Semarang: Yayasan Duta Awam.
Prasetyo, Bambang dan Jannah, M.L. 2005. Metode Penelitian Kuantitatif Teori
dan Aplikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Pudjijogyanti, C.R.1991. Konsep Diri dalam Pendidikan. Jakarta: ARCAN
Penerbit Umum.
Rakhmat, Jalaluddin. 2004. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Salmani, Barough N et al. 2003. Self Concept and Influential Factors on it In The
Street Children Aged 6-12 Years. TUMS E Journals 2004-2009: Central
Library And Documents Center Tehran University of Medical Sciences.
Shalahuddin, Odi. 2004. Di Bawah Bayang-Bayang Ancaman (Dinamika
Kehidupan Anak Jalanan). Semarang: Yayasan Setara.
Sarwono, Sarlito.Wirawan.1997. Psikologi Sosial: Individu dan Teori-Teori
Psikologi Sosial. Jakarta: PT Balai Pustaka.
Sitorus, Magdalena. 2007. Ketika ’Anak’ Sebagai Perempuan. Jurnal Perempuan.
Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Soeitoe, Samuel. 1994. Psikologi Pendidikan (Mengutamakan Segi-Segi
Perkembangan). Jilid 2. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia.
Sujanto, A. 1988. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Aksara Baru
Sulaeman, Dadang. 1995. Psikologi Remaja. Bandung: Mandar Maju.
Supratiknya, A. 1995. Komunikasi Antar Pribadi (Tinjauan Psikologis).
Yogyakarta: Kanisius.
Surachmad, Winarno. 1977. Psikologi Pemuda (Sebuah Pengantar Dalam
Perkembangan Pribadi dan Interaksi Sosialnya. Bandung: CV Jemmars.
117
Thompson, B.L dan Waltz, J.A. 2007. Mindfulness, Self-Esteem, and
Unconditional Sef-Acceptance. Journal of Rational-Emotive &
Cognitive-Behavior Therapy. Department of Psychology University of
Montana: Springer Netherlands. Vol 26 No.2 / June, 2008.
Wrastari dan Handadari. 2003. Pengaruh Pemberian Neuro Linguistic
Programming (NLP) terhadap Peningkatan Penerimaan Diri
Penyandang Cacat Tubuh pada Remaja Penyandang Cacat Tubuh di
Pusat Rehabilitasi Panti Sosial Bina Daksa ”Suryatama” Bangil
Pasuruan. Insan. Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas Airlangga.
Vol.5 No.1. April 2003, 17-35.
Download