identifikasi polimorfisme gen meat tenderness pada sapi peranakan

advertisement
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
IDENTIFIKASI POLIMORFISME GEN MEAT TENDERNESS
PADA SAPI PERANAKAN ONGOLE (PO) DENGAN METODE
PCR-RFLP
(Identification of Gene Polymorphism for Meat Tenderness in Ongole Cattle
by PCR-RFLP)
SRI RAHAYU1, A. SUSILO2, M.S. DJATI1, BURHANUDIN1 dan SUYADI2
1
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Brawijaya
2
Fakultas Peternakan Universita Brawijaya
ABSTRACT
The aim of this study is to determine gene polymorphism for meat tenderness in Ongole cattle. DNA was
isolated from blood using salting out method. DNA was amplified by forward primer: 5’TCTCTGGTTTCTGAGGGTGG-3’ and reverse primer: 5’-GGCATAGAGAGCAGTCAGCC-3’. The
amplified DNA was cut by HaeIII restriction enzyme resulting three (3) kinds of haplotype. The first
haplotype was not cut by HaeIII restriction enzyme. The second haplotype was cut by HaeIII restriction
enzyme producing two(2) fragments with moleculer sizes of 200bp and 210bp subsequently. The third
haplotype was amplified haplotypes producing three (3) fragments with molecular size of 100 bp, 175 bp and
200 bp subsequently.
Key Words: Meat Tenderness Gene, PO Cattle
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi polimorfisme gen meat tenderness pada sapi Peranakan
Ongole (PO) melalui pendekatan PCR-RFLP (Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length
Polymorphism). DNA diisolasi dari darah dengan metode salting out. DNA diamplifikasi dengan sepasang
primer,
forward
primer:
5'-TCTCTGGTTTCTGAGGGTGG-3'
dan
reverse
primer:
5'GGCATAGAGAGCAGTCAGCC-3'. Hasil amplifikasi dipotong dengan menggunakan enzim restriksi
HaeII. Tiga haplotipe dihasilkan dalam penelitian ini, antara lain. Haplotipe pertama yaitu fragmen DNA
yang tidak terpotong oleh enzim restriksi HaeIII. Haplotipe kedua merupakan hasil amplifikasi yang
terpotong oleh enzim restriksi yang menjadi 2 fragmen dengan ukuran 200 bp dan 210 bp. Sedangkan
haplotipe ketiga adalah hasil amplifikasi yang terpotong menjadi 3 fragmen dengan ukuran 100 bp, 175 bp,
dan 200 bp
Kata Kunci: Gen Meat Tenderness, Sapi PO
PENDAHULUAN
Meningkatnya jumlah penduduk dan
adanya perubahan pola konsumsi serta selera
masyarakat Indonesia telah menyebabkan
konsumsi daging sapi secara nasional
cenderung meningkat. TALIB et al., (2002),
mengemukakan bahwa permintaan daging di
Indonesia meningkat 6 sampai 8 % setiap
tahun. Selama ini kebutuhan daging sapi
tersebut dipenuhi dari tiga sumber yaitu: sapi
lokal, sapi impor, dan daging impor (HADI dan
ILHAM, 2000). Lebih lanjut HADI et al. (1999)
memperkirakan bahwa jika tidak ada
perubahan teknologi secara signifikan dalam
proses produksi daging sapi dalam negeri serta
tidak adanya peningkatan populasi sapi yang
berarti, maka selisih antara produksi daging
sapi dalam negeri dengan jumlah permintaan
akan semakin melebar, sehingga berdampak
pada volume impor yang semakin besar.
Permasalahan ini menjadi lebih kompleks
karena upaya pembibitan sapi lokal masih
kurang diperhatikan.
Salah satu jenis sapi lokal yang berpotensi
untuk meningkatkan produksi daging adalah
93
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
sapi Peranakan Ongole (PO). Sapi PO
mendominasi jumlah sapi potong di Indonesia
dan terkonsentrasi di Pulau Jawa. Jenis sapi ini
disukai peternak karena hasil daging cukup
baik, ukuran tubuh besar, pembawaan tenang,
dan bisa menyesuaikan diri dengan pakan
berkualitas rendah. Sapi ini cocok hidup di
daerah beriklim tropis dan dapat beradaptasi
pada kondisi lingkungan yang kurang
menguntungkan. Sapi PO juga menunjukkan
beberapa keunggulan antara lain daya adaptasi
iklim tropis yang tinggi, tahan terhadap panas,
tahan terhadap gangguan parasit seperti gigitan
nyamuk dan caplak. Selain itu, sapi PO juga
menunjukkan toleransi yang baik terhadap
pakan yang mengandung serat kasar tinggi
(ASTUTI, 2004; MURTIDJO, 1990).
Selain peningkatan secara kuantitas,
peningkatan daging sapi secara kualitas perlu
diupayakan mengingat semakin meningkatnya
kesadaran konsumen untuk mengkonsumsi
daging yang berkualitas baik. Peningkatan
tersebut dapat dicapai melalui perbaikan dalam
sistem pembudidayaan sapi sehingga dapat
meningkatkan jumlah populasi sapi dan
memperbaiki kualitas dari daging yang
dihasilkan. Akan tetapi sistem budidaya yang
saat ini diterapkan oleh peternak lebih banyak
bersifat konvensional sehingga membutuhkan
waktu yang relatif lama.
Salah satu parameter yang biasanya
digunakan konsumen untuk memilih daging
yang berkualitas adalah tingkat keempukan
daging atau meat tenderness. MORGAN et al.,
(1991) menyatakan bahwa meat tenderness
merupakan salah satu karakteristik pada daging
sehingga menjadi pertimbangan utama
konsumen sebelum memilih daging yang akan
dikonsumsi.
Oleh
karena
itu,
perlu
dikembangkan sistem budidaya yang lebih
menekankan pada pengembangan sapi yang
mampu memproduksi daging dengan tingkat
keempukan lebih baik.
Pengempukan daging merupakan proses
yang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
asal spesies, jenis kelamin, variasi individu,
dan variasi pada jaringan otot. Selain itu,
proses ini juga dipengaruhi oleh faktor
lingkungan seperti nutrisi, stres, kondisi
penyembelihan, kondisi dingin, sistem
produksi, dan umur. Dua sistem yang
berpengaruh pada proses pengempukan daging
adalah reaksi enzimatis yang melibatkan
94
calpain dan proteinase lisosomal; sistem nonenzimatis
seperti
pH
yang
dapat
mempengaruhi kalsium pada protein miofibril
(SAADIAH et al., 1998). Menurut ODEH (2003),
variasi genetik pada hewan ternak juga
memberikan pengaruh yang positif dalam
peningkatan keempukan daging. Keempukan
daging merupakan sifat bawaan yang dapat
diturunkan pada generasi berikutnya. Karakter
ini dikontrol oleh gen yang dinamakan calpain
-1 (CAPN1). Gen ini bertanggung jawab untuk
produksi enzim calpain, suatu proteolitik yang
berperan dalam pengempukan pada serat otot.
Polimorfisme gen CAPN1 pada beberapa
bangsa sapi telah diuji untuk mengetahui
pengaruhnya
terhadap
variasi
dalam
keempukan daging. Hasil penelitian KUBIAK et
al. (2004) menunjukkan bahwa gen CAPN1
berpotensi sebagai gen kandidat untuk
mengkuantifikasi ciri pada lokus gen (QTL)
yang berperan dalam keempukan daging. Gen
tersebut mengandung single nucleotide
polymorphism (SNP) pada intron 14, yang
mengalami transisi CT pada posisi 4685 nt.
Analisis polimorfisme gen meat tenderness
pada sapi PO dapat dilakukan dengan teknik
PCR - RFLP. KUBIAK et al. (2004) telah
menggunakan teknik ini untuk menganalisis
SNP pada intron 14 dari gen CAPN1 dengan
sumber gen berasal dari berbagai ras sapi.
Sementara SUN dan LIN (2003) menggunakan
metode PCR - RFLP untuk mengidentifikasi
daging pada Porcine, Caprine, dan Bovine.
Berdasarkan hal tersebut maka analisis
polimorfisme ini perlu dilakukan untuk melihat
adanya variasi gen meat tenderness dan
hubungannya terhadap variasi keempukan
daging pada sapi PO. Penelitian tentang
analisis polimorfisme gen meat tenderness ini
belum pernah dilakukan pada sapi PO sehingga
penelitian ini dapat memberikan informasi
tentang data genetis sapi PO. Selain itu, untuk
jangka panjang diharapkan dapat membantu
upaya perbaikan pembudidayaan sapi PO
melalui penyeleksian dini secara genetis.
MATERI DAN METODE
Sampel penelitian
Sampel darah dari 30 ekor sapi PO diambil
dari di Rumah Potong Hewan (RPH) Krian,
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
Sidoarjo, Jawa Timur.Darah diambil melalui
vena jugularis di leher dengan menggunakan
venojack yang telah diisi dengan EDTA
sebanyak 10 ml. DNA diisolasi berdasarkan
metode yang ditulis oleh SAMBROOK dan
RUSSEL (2001). Hasil isolasi DNA total
disimpan pada suhu – 20oC. Untuk mengetahui
ukuran DNA total hasil isolasi dilakukan
elektroforesis dengan menggunakan gel
agarosa 0,8%. Estimasi konsentrasi DNA
dilakukan
dengan
menggunakan
spektrofotometer.
Amplifikasi DNA
Untuk mendapatkan fragmen DNA dari gen
meat tenderness dilakukan amplifikasi dengan
menggunakan primer yang diadopsi dari
CASAS et al. (2005), yaitu forward: 5'TCTCTGGTTTCTGAGGGTGG-3'
dan
reverse: 5'-GGCATAGAGAGCAGTCAGCC3'. Amplifikasi dilakukan dengan mesin PCR
(Polymerase Chain Reaction) sebanyak 31
siklus. Tiap siklus terdiri dari denaturasi
template DNA pada suhu 940C selama 1 menit,
annealing pada suhu 580C selama 45 detik,
ekstensi pada suhu 720C selama 1 menit. Siklus
diawali dengan hot start pada suhu 94oC
selama 2 menit dan diakhiri dengan inkubasi
pada suhu 72oC selama 5 menit.
Untuk melihat keberhasilan amplifikasi
dilakukan elektroforesis dengan agarosa 2%,
diwarnai dengan Ethidium Bromide dan
dievaluasi menggunakan UV transluminator.
DNA yang terekspresi didokumentasi dengan
kamera Polaroid
Teknik PCR-Restriction Fragment Length
Polymorphism (PCR-RFLP)
Untuk mengetahui variasi fragmen gen
meat tenderness, hasil amplifikasi PCR
dipotong dengan enzim restriksi. Enzim
restriksi yang digunakan adalah HaeIII yang
memotong pada sisi GG’CC. Tiga mikroliter
hasil PCR dicampur dengan 3,5 units enzim
restriksi HaeIII, 0,5 ul H2O dan 1,2 ul buffer
10 X. Campuran kemudian diinkubasi pada
waterbath suhu 37oC selama 3 jam. Untuk
melihat keberhasilan digesti dilakukan
elektroforesis dengan agarosa 2%, diwarnai
dengan Ethidium Bromide dan dievaluasi
menggunakan UV transluminator. DNA yang
terekspresi didokumentasi dengan kamera
Polaroid. Data hasil PCR - RFLP dianalisis
berdasarkan
elektrophenogram kemudian
diinterpretasikan.
HASIL PENELITIAN
Hasil isolasi DNA dan hasil amplifikasi
fragmen gen meat tenderness disajikan pada
Gambar 1 dan Gambar 2. Ketepatan kondisi
reaksi PCR serta ketepatan primer yang
digunakan memberikan produk PCR yang
sangat spesifik dengan hanya terbentuknya satu
pita DNA dengan ukuran 210 bp.
Gambar 1. DNA total sapi PO hasil isolasi yang dielektroforesis pada gel agarosa 0,8%
95
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
2
10
bp
M 1 2 3 4
5
6
7
8
9
10
Gambar 2. Fotograf gel agarosa yang menunjukkan spesifitas hasil PCR
fragmen gen meat tenderness sapi PO. M : DNA ladder 100 bp.
1-10 : Hasil PCR DNA sapi PO
M 1 2 3 4 5
6 7 8 9 10 11
Gambar 3. Fotograf gel agarosa memperlihatkan adanya variasi DNA pada 210 bp fragmen
gen meat tenderness yang dideteksi dengan menggunakan enzim restriksi HaeIII. M :
DNA ladder 100 bp, 1 : uncut (fragmen DNA hasil PCR yang tidak dipotong enzim
restriksi), 2-11 : band yang terpotong oleh enzim restriksi.
Selanjutnya hasil amplifikasi digunakan
untuk reaksi digesti dengan menggunakan
enzim restriksi HaeIII, yang hasilnya disajikan
pada Gambar 3.
Gambar
3
menunjukkan
adanya
polimorfisme pada fragmen gen meat
tenderness dengan menggunakan enzim
HaeIII. Hal ini ditunjukkan dengan adanya 3
macam variasi pola potongan DNA hasil
restriksi. Variasi ukuran fragmen yang
dihasilkan dari reaksi digesti disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1.Variasi ukuran fragmen DNA yang dihasilkan dari reaksi digesti dengan menggunakan enzim restriksi
HaeIII
Enzim restriksi
(haplotipe)
Jumlah fragmen DNA
Ukuran fragmen DNA (bp)
HaeIII
I
0
210
96
II
2
200 dan 210 bp
III
3
100 bp, 175 bp, dan 200 bp
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
PEMBAHASAN
Analisis variasi pada gen meat tenderness
pada sapi PO dilakukan dalam tiga tahapan
yaitu ekstraksi DNA, amplifikasi DNA dengan
PCR dan pemotongan DNA target dengan
enzim restriksi HaeIII. Fragmen DNA gen
meat tenderness yang dihasilkan melalui
amplifikasi dengan PCR mempunyai spesifitas
yang tinggi dengan terbentuknya satu pita
DNA sebesar 210 bp. Hasil PCR yang baik
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
kemurnian DNA hasil ekstraksi, ketepatan
pemilihan primer yang digunakan serta
ketepatan kondisi PCR. Primer merupakan
bagian yang penting dalam PCR karena primer
merupakan inisiator pada sintesis DNA target.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam
menyusun suatu primer adalah terdiri dari 20
basa, kandungan G/C nya 50%. Ketepatan
kondisi PCR juga sangat mempengaruhi hasil
dari reaksi PCR. Ketepatan kondisi PCR
ditentukan oleh ketepatan campuran reaksi dan
ketepatan kondisi suhu pada masing-masing
siklus. Pada penelitian ini primer yang
digunakan diadopsi dari CASSAS et al. (2005)
yang ternyata primer tersebut sangat sesuai
digunakan untuk mengamplifikasi gen meat
tenderness sapi PO. Kemampuan pasangan
primer tersebut sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh CASAS et al. (2005) yang
menggunakan primer CAPN4753 sebagai
marker untuk mengamplifikasi gen meat
tenderness pada bangsa sapi Brahman.
Berdasarkan sekuen gen meat tenderness pada
Bos taurus memperlihatkan bahwa pasangan
primer tersebut mampu mengenali daerah
regulator gen meat tenderness pada urutan
nukleotida no 8537 - 8760 atau sekitar 231 bp.
Dengan semakin berkembangnya penelitian
di bidang molekuler telah banyak membantu
analisis variasi genetik pada tingkat DNA.
PCR - RFLP merupakan salah satu teknik yang
dapat digunakan di dalam mendeteksi adanya
variasi genetik di dalam suatu populasi. Hasil
digesti dengan enzim restriksi HaeIII
didapatkan 3 macam pola digesti. Meskipun
dalam penelitian ini tidak ada pola yang khusus
mengenai fragmen DNA hasil pemotongan,
sudah dapat diketahui bahwa sapi-sapi PO
menunjukkan adanya polimorfisme genetik
untuk gen meat tenderness. Banyak atau
sedikitnya variasi gen meat tenderness pada
sapi PO ini bisa disebabkan karena tinggi
rendahnya perkawina acak, migrasi dan seleksi
di dalam populasi sapi PO tersebut.
Gen meat tenderness merupakan salah satu
gen yang mengatur kondisi keempukan pada
daging sapi. PAGE et al. (2002) telah
mengidentifikasi SNP dalam gen meat
tenderness (CAPN1) dan menemukan kaitan
antara SNP dengan variasi dalam keempukan
daging pada sapi hasil persilangan Simmental
× Angus. Pada populasi tersebut terdapat 2
marker yang diperkirakan memiliki variasi
pada posisi asam amino 316 dan 530 dari µcalpain
polypeptide.
Marker
tersebut
diproduksi oleh gen CAPN1. Gen ini
mengkode pembentukan enzim calpain,
protease
yang
mengkatalisis
proses
pengempukan daging. Menurut ODEH (2003),
calpain mampu mendegradasi protein miofibril
dan merupakan enzim utama dalam proses
pengempukan daging pada saat postmortem.
Substrat Calpain melibatkan berbagai jenis
enzim seperti cytoskeletal proteins, kinase,
phosfatase, dan pada reseptor epidermal faktor
pertumbuhan. Sistem calpain melibatkan
beberapa molekul antara lain 2 macam
protease, µ-calpain dan m-calpain yang
aktivitasnya dipengaruhi oleh kalsium. Selain
itu sistem ini juga melibatkan calpastatin,
suatu polipeptida yang berfungsi untuk
mengatur aktivitas kedua protease tersebut.
Sistem proteolitik ini mamainkan peran utama
dalam proses pengempukan daging yang
terjadi selama penyimpanan saat postmortem
(KUBIAK et al., 2004).
Enzim calpain merupakan suatu protease
yang aktivitasnya sangat tergantung pada
kalsium. Dua bentuk calpain yang telah
diidentifikasi yaitu µ-calpain (CAPN1) yang
membutuhkan kalsium pada konsentrasi
mikromolar dan m-calpain (CAPN2) yang
membutuhkan kalsium pada konsentrasi
milimolar untuk aktivitasnya. Kedua jenis
calpain tersebut mampu mendegradasi protein
miofibril dan menghasilkan aktin and miosin.
Regulasi pada aktivitas µ-calpain dilaporkan
berkaitan dengan variasi yang terjadi pada
keempukan
daging
(GEESINK
dan
KOOHMARAIE, 1999).
97
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
DAFTAR PUSTAKA
ASTUTI, M. 2004. Potensi Dan Keragaman
Sumberdaya Genetik Sapi Peranakan Ongole
(PO). Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004.
Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.
CASAS, S. N. WHITE, D. G. RILEY, T. P. L. SMITH, R.
A. BRENNEMAN, T. A. OLSON, D. D. JOHNSON,
S. W. COLEMAN, G. L. BENNETT dan C. C.
CHASE JR. 2005. Assessment of Single
Nucleotide Polymorphisms in Genes Residing
on Chromosomes 14 and 29 For Association
with Carcass Composition Traits in Bos
Indicus Cattle. J. Anim. Sci. 2005. 83: 13 – 19.
SUN, L.Y. and C.S. LIN. 2003. Establishment and
Application of a Fluorescent Polymerase
Chain
Reaction-Restriction
Length
Polymorphism (PCR - RFLP) Method for
Identifying Porcine, caprine and Bovine
Meats. Journal of Agriculture and Food
Chemistry. 51 : 1771 -1776.
GEESINK G. H. dan M. KOOHMARAIE. 1999. Effect of
Calpastatin on Degradation of Myofibrillar
Proteins by µ-Calpain Under Postmortem
Conditions. J Ani Sci 77: 2685 – 2692
HADI H. P., SALIEM DAN N. ILHAM. 1999. Pengkajian
Konsumsi Daging dan Kebutuhan Impor
Daging Sapi. Monograph Series No.20. PSE,
Bogor.
HADI P. U. dan N. ILHAM. 2000. Peluang
Pengembangan Usaha Pembibitan Ternak Sapi
Potong di Indonesia dalam Rangka
Swasembada Daging 2005. PSE, Bogor
98
KUBIAK, E. J., T. SAKOWSKI1, K. FLISIKOWSKI, K.
WICINSKA, J. OPRZADEK, dan S. J.
ROSOCHACKI. 2004. Bovine-Calpain (CAPN1)
Gene: New SNP within Intron 14. J. Appl.
Genet. 45(4), 2004, pp. 457 – 460.
MORGAN, J. B., J. W. SAVELL, D. S. HALE, R. K.
MILLER, D. B. GRIFFIN, H. R. CROSS, dan S. D.
SHACKELFORD.
1991.
National
Beef
Tenderness Survey. J. Anim. Sci. 69: 3274 –
3283.
MURTIDJO, B. A. 1990. Beternak Sapi Potong.
Penerbit Kanisius. Jogjakarta.
ODEH, F. M. T. 2003. Quantitative Inheritance of
Calpastatin Activity as an Assessment
Measure for Meat Tenderness in Brahman
Steers. A Dissertation. Submitted to the
Graduate Faculty of the Louisiana State
University and Agricultural and Mechanical
College in partial fulfillment of the
requirements for the degree of Doctor of
Philosophy.
PAGE, B. T., E. CASAS, M. P. HEATON, N. G.
CULLENT, D. L. HYNDMAN, dan A. M. MORRIS.
2002. Evaluation of Single-Nucleotide
Polymorphism in CAPN1 for Association with
Meat Tenderness in Cattle. J Anim Sci 80:
3077 – 3085.
SAADIAH, J., A. S. BABJI, R. M. SALLEH, I. DAHLAN,
S. SHANMUGAVELU, M. K. FOO, dan O. A.
SHOKRI. 1998. Effect of Postmortem Aging on
Meat Color and Tenderness of Brahman
Crossbred Bull. Proc. Malays. Soc. Anim.
Prod. Ann. Conf.: Local Feedstuff, Potential
and Realities. pp. 161 – 162.
Download