HAK ATAS KESEHATAN REPRODUKSI PEREMPUAN DALAM CEDAWDAN HUKUM ISLAM (STUD I KOMPARATIF) Disusun Oleh ANAPRAWATI 103045228175 KONSENTRASI SIYASAH SYAR'IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH DAN SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 HI 2008 M PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul "HAK ATAS KESEHATAN REPRODUKSI PEREMPUAN DALAM CEDAWDAN HUKUM ISLAM (STUDI KOMPARATIF)" telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Selasa, 10 Juni 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Siyasah Syar'iyyah. Jakarta, 10 juni 2008 . . Muhammad Amin Suma, S.H, M.A, M.M. NIP. 150 210 422 Panitia Ujian : 1. Ketua : Asmawi. M.Ag. NIP. 150 282 394 2. Sekretaris : Sri Hidayati. M.Ag NIP. 150 282 403 ( 3. Pembimbing I : Dr. Rumadi, MA. NIP. 150 283 352 4. Pembimbing II : Dr. Enis Nurlaelawati, MA NIP. 150 277 992 5. Penguji I : Prof. DR. H. Muhanunad Amin Sum NIP. 150 210 422 5. Penguji II : Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA. NIP. 150 220 544 ) ( ..... KATA PENGANTAR H"-)1 ~)I .iii;=------! Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia serta segala petunjuk yang telah diberikan-Nya. Shalawat dan salam, semoga Allah melimpahkan kepada Nabi Muhammad saw., para keluarga, sahabat dan pada pengikutnya hingga akhir zaman. Penulis bersyukur telah menyelesaian skripsi yang diajukan sebagai salah satu syarat dalam menempuh gelar Saijana Hukum Islam di Fakultas Syari'ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakaiia yang berjudul " HAK ATAS KESEHATAN REPRODUKSI PEREMPUAN DALAM CEDAW DAN HUKUM ISLAM (STUDI KOMPARATIF) ". Dalam setiap tahap penyusunan skripsi ini begitu banyak bantuan, bimbingan, dorongan serta perhatian yang diberikan oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: I. Bapak Prof. DR. Drs. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN SyarifHidayatullah Jakarta. 2. Bapak Asmawi, M.Ag. selaku Ketua Program Studi Jinayah Siyasah. 3. Ibu Sri Hidayati, M.Ag. selaku Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah. 4. Bapak Dr. Rumadi MA. dan Ibu Dr. Enis Nurlaelawati MA. selaku Pembimbing Skripsi Penulis. 5. Pimpinan dan segenap JaJaran pengurus Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas kepada penulis untuk mengadakan studi perpustakaan. 6. Keluarga tercinta, Ibu Rumjanah (aim), Engkong H. Salim (aim) dan Nyai Hj. Asiah Salim. Untuk paman dan bibi terimakasih atas segalanya, telah mengasuh dan mendidik penulis san1pai saat ini, serta saudarn-saudaraku Yusi, Rury, Roby, Ade, Ivie, Eggie, dan Imen yang tak pemah lepas dan lupa dengan segala do' a, kasih sayang dan pengorbanannya sehingga tidak hentihentinya memberikan motivasi material dan spiritualnya. I love you all ... 7. Rekan-rekan Siyasah Syar'iyyah angkatan 2003 senasib dan seperjua11gan, Iwa, Boncue, kong Nawi, Bajuri, Q-Roy, Oi', B'Dur, Icuy, Nazir, dan Babeh, Oi, Fadinla. Kompak selalu ... ! ! ! 8. Sahabat-sahabatku, Isya, Rieny, Jeane dan kawan-kawan, yang telah menemani dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini selama di pondok akkazaman. Maaf sering kali merepotkan kalian, but Thank's for everythink... Chayoo Semoga bantuan, bimbingan, dorongan serta perhatian yang diberikan oleh mereka mendapat balasan yang berlipat dari Allah SWT. Akhir kata, penulis berharap skiipsi ini dapat bermallfaat khususnya bagi penulis pribadi dan pembaca pada umumnya. Amiin. Tangerang, Maret 2008 Penulis DAFTARISI KATA PENGANTAR ................................................................. . DAFTAR ISi ............................................................................... 111 BABI : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 B. Pembatasan dan Pernmusan Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 7 C. Tujuan dan Manfaat Penulisan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8 D. Tinjauan Pustaka . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..... 9 E. Metode Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. 11 F. Sistematika Penulisan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. ... 13 BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG CEDAW A. Pengertian CEDAW ............................................................ 15 B. Landasan Pemikiran dan Prinsip-Prinsip Konvensi CEDAW......... ... 17 C. Pokok-Pokok Isi Konvensi CEDAW ........................................ 22 D. Perkembangan CEDA W di Indonesia ....................................... 28 BAB III: CEDAWDAN KESEHATAN PEREMPUAN: HAK REPRODUKSI A. Pengertian Hak dan Kesehatan Perempuan dalam CEDAW ... . . . . . . . .. 35 B. Bentuk-Bentuk Isu Kesehatan Reproduksi Perempuan: I. Aborsi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . 40 2. Female Genital Mutilation (FGM) . . . . . . ... . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . .. 61 C. Instrumen Hulmm yang Memberi Perlindungan bagi Kesehatan Perempuan di Indonesia . . . . . . . . . . . . . . . ... . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..... 67 BAB IV : TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP HAK-HAK KESEHATAN PEREMPUAN DALAM CEDAW A. I-Iak-Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan Dalam Pandangan Islam 73 B. Dasar Hukum Islam yang Menguatkan Hak-Hak Kesehatan Perempuan dalam CEDA W............. .. . . . . . . . . . . . . . . . ... . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .... 79 C. Reinterpretasi Terhadap Hukum Islam Mengenai Hak-Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan dalam CEDA W .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..... 84 BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ...... ......... ......... ......... ......... .. ................... ... 91 B. Saran ........................................................................... 95 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN - LAMPIRAN BABI PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai suatu istilah, Hak Asasi Manusia (HAM) dirasakan penting dan dapat diterima masyarakat umum sekitar 50 tahun lalu. Tetapi hak asasi perempuan baru menjadi perhatian nmnm sejak tahun 1970, namun ironisnya hak asasi perempuan tidak secara otomatis dikenali ketika hak asasi tersebut diproklamirkan. 1 Pada tahun 1967 Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengeluarkan deklarasi mengenai penghapusan diskriminasi terhadap wanita. Deklarasi tersebut memuat hak dan kewajiban wanita berdasarkan persamaan hak dengan pria. Tahun 1979 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyetujui isi konvenan tersebut. 2 Kemudian Pada tanggal 7 Juli 1984 Indonesia telah meratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW). Diskriminasi masih terdapat dalam berbagai bidang kehidupan hingga ke peraturan hukum. Maka dari itu Perserikatan Bangsa-Bangsa memberi kesempatan kepada lembaga swadaya masyarakat di negara anggota PBB untuk membuat laporan tentang pelaksanaan konvensi tersebut. Hingga sekarang, telah 1 Zumrotin K. susilo, dkk, Pere1npuan Bergerak: Membingkai Gerakan Konsun1en dan Penegakan Hak-Hak Perempuan, (Makassar: Yayasan Lembaga Konsumen Sulawesi Selatan, 2000), h.22 2 Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum. Direktorat Hukum Dan Peradilan Mabkamah Agung RI, Informasi Peraturan Perundang-Undangan Tentang Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Direktorat Hukum Dan Peradilan Mahkamah Agung RI, 2003) h.139 2 dilakukan pembahasan pelaksanaan CEDAW untuk bidang berbeda-beda, sesuai dengan pasal-pasal menyangkut hak perempuan, seperti diantaranya hak atas kesehatan (pasal 12 CEDAW). 3 Dalam tatanan masyarakat di dunia, kedudukan wanita seringkali dianggap lebih rendah dari pria, pandangan yang tidak seimbang atas kedudukan wanita ini menimbulkan suatu masalah klasik yang telah dihadapi kaum wanita selama berabad-abad, yaitu ketidakadilan yang disebabkan perbedaan gender. Masalah ini kemudian berakar kuat dalam masyarakat dan belum pernah ada penyelesaian yang memuaskan untuk menuntaskan keadaan ini. Faktor utama penyebab masalah ini adalah masih dianutnya pabam patriakal di sebagian masyarakat adat di dunia, dimana pria dianggap sebagai makhluk yang lebih superior dibandingkan wanita. 4 Berbicara mengenai masalah perempuan, luas persoalan yang hams dibahas, seperti termasuk di dalamnya persoalan kemiskinan, pendidikan, kesehatan, kekerasan, ekonomi, lingkungan hidup dan media. Semua itu berangkat dari bentuk ketidakadilan yang dialami pihak perempuan sebagai akibat subordinasi posisi mereka terhadap laki-laki. Persoalan sekarang ini adalah kekhawatiran dari dampak ketidakadilan itu sendiri, yang tentu akan berimbas pada perempuan baik secara individu maupun kelompok dan mungkin akan 3 http://www.defathya.multiply.com/reviews/item.html, diakses pada tangggal 23 Desember 2007 4 Sulistyowati Irianto, Peretnpuan dan Hukum: Menuju Hukzun yang Berperspektff Kesetaraan dan Keadilan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), h.489 3 berimbas juga pada generasi berikutnya. Tidak mengherankan apabila dewasa ini isu kesehatan perempuan (sebagian besar mengenai kesehatan reproduksi) menjadi tema yang paling besar menyita perhatian, sehingga bukan suatu yang tabu jika reproduksi dikatakan merupakan pokok sekaligus pangkal dari keseluruhan persoalan perempuan. 5 Lebih banyak perempuan dan anak perempuan yang mati setiap hari karena berbagai bentuk penyalahgunaan hak asasi atas diskriminasi jenis kelamin.6 Kondisi kesehatan perempuan yang demikian memprihatiukan sesungguhnya disebabkan oleh ketiadaan jaminan kesehatan bagi masyarakat. Apalagi kesehatan dalam sistem sekuler7 merupakan barang yang mahal, ditambah dengan kondisi perekonomian saat ini, layanan kesehatan yang berkualitas tidak bisa dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. 8 Dengan kondisi seperti ini bukan hanya perempuan saja yang menjadi tidak sehat tetapi juga mencakup kaum laki-laki. Fungsi reproduksi yang melambangkan pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan diperluas dalam sistem patriarki sebagai ciri pemisahan domestik dan publik. Akibatnya, gender acapkali terkonotasikan dengan ungkapan "perempuan lebih cocok dirumah". Konstruksi dikotomi jender seperti ini, secara 5 Lies Marcoes-Natsir, Mencoba Mencari Titik Temu Islam dan Hak Reproduksi Perempuan, dalam Syafiq Hasyim, ed., Menakar Harga Perempuan, (Jakarta: Mizan, 1999), h.19. 6 C. de Rever, To Serve & To Protect: Acuan Universal Penegakan HAM, Penerjemah Supardan Mansyur, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h.341. 7 Sistem sekuler yaitu sistem yang didasarkan pada aliran yang menghendaki agar kesusilaan atau budi pekerti tidak didasarkan pada ajaran agama. ' Ummu Fadhiilah, "Hak-Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan Da/am Pandangan Islam" artikel dalam http://www.ukhuwah.or.id/dr/?q~node/l 9, diakses pada 23 Desember 2007. 4 langsung maupun tidak langsung menumbuhkan asimetri antara laki-laki dan perempuan (laki-laki superior sedangkan perempuan inferior), sehingga istilab kodrat, hakikat dan martabat seringkali hanya diungkapkan kepada kaum perempuan. Sebenarnya, perbedaan antara laki-laki dan perempuan hanya terletak pada kemampuan untuk hamil dan melahirkan. Namun, karena ha! ini secara langsung maupun tidak langsung membatasi gerak alami perempuan, maka tradisi ini lalu direkayasa menjadi pembenaran kodrat perempuan yang sekaligus membatasi gerak perempuan dalam berperan. 9 Di Indonesia berbagai wacana tentang hak-hak kesehatan perempuan atau hak reproduksi menjadi pembahasan baru dalam kaitan hukum Islam maupun wacana gender sendiri. Sebelum terkait dengan agama, budaya dan politik, isu hak reproduksi perempuan (reproductive right) dianggap kurang menarik, setidaknya bagi kalangan yang baru mendengar istilab ini karena nuansanya yang terkesan medis. Definisi kesehatan reproduksi sendiri sering dikaitkan dengan sistem reproduksi, fungsi, maupun proses reproduksi sendiri, namun sebenarnya maksudnya adalah suatu keadaan yang menyeluruh, meliputi aspek fisik, mental, dan sosial. 10 Salab satu aspek fundamental kemampuan suatu agama adalab untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk penindasan. Dalam al-Quran 9 Dadang S, Anshori, dkk., Membincangkan Feminisme: Rejleksi Muslimah Alas Peran Sosial Kaz11n Wanita, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997) h. 34 '°http://www.kompas.com/kompas_cetak/03 l l/swara.html, diakses tanggal 23 Desember 2007 5 digambarkan bahwa kedatangan Nabi Mnbammad bertujuan untuk membebaskan umat dari belenggu penindasan yang menghilangkan integritas kemanusiaan (QS. Al- A'raaf: 157). Disamping mengajarkan tauhid, al-Quran juga merekam berbagai kisah penindasan yang terjadi pada masa kenabian Muhammad seperti perbudakan, subordinasi perempuan dan pihak-pihak lain yang marginal secara sosial dan budaya. Ironisnya kitab-kitab fiqih yang dikodifikasikan saat Islam mencapai puncak peradaban justru telah memasung kaum perempuan pada dinding yang membatasi akses mereka terhadap pendidikan yang setara dengan laki-laki. Saat itu, pendidikan yang memadai hanyalah milik laki-laki sedangkan perempuan Islam yang seharusnya menjadi dinamis, mandiri, mulia, dan terhormat hanya menjadi perempuan yang rapnb. Stereotip dan subordinasi di atas akibat tidak tersentuhnya riwayat-riwayat dari hadits Nabi Muhammad secara eksplisit oleh setiap gerakan pembaharuan pemikiran Islam saat itu. 11 Terdapatnya hak untuk hidup dan hak perlindungan untuk hidup dalam komposisi hak asasi berkaitan erat dengan keselamatan pribadi manusia dengan kebebasannya. Hal ini dapat kita analogikan sebagai suatu jaminan kesehatan bagi setiap manusia, tentunya dengan tidak membedakan jenis kelamin. Perempuan diakui memiliki beberapa macam hak dasar, yaitu: 12 11 Siti Ruhaini Dzuhayatin, Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender Dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h.15 12 http://hidayatullah.com/index.php?option=com content&task=view&ID=26 l O&Itemed=60 diakses pada tanggal 13 Januari 2008 6 1. Hak untuk mendapatkan standar tertinggi kesehatan reproduksi dan seksual. 2. Hak untuk membuat keputusan yang berkenaan dengan kebebasan reproduksi yang bebas dari paksaan, dan kekerasan. 3. Hak bebas memutuskanjumlah anak danjarak kelahiran anak, serta hak untuk memperoleh informasi sekaligus sarananya. 4. Hak untuk mendapatkan kepuasan dan keamanan hubungan seks. Berangkat dari permasalahan yang tertera di atas, dalam skripsi ini penulis mencoba membahas suatu skripsi denganjudul: "Hak Atas Kesehatan Reproduksi Perempuan Dalam CEDA W dan Hukum Islam (Studi Komparatif)" dengan beberapa alasan sebagai berikut: a. Banyak hak-hak wanita seputar kesehatan reproduksi yang belum terpenuhi karena berbagai alasan baik dalam lingkup keluarga maupun masyarakat. b. Ada beberapa sisi menarik yang perlu ditelaah dalam berbagai nonna dan menurut perspektifhukum dalam menyoroti masalah-masalah seputar hak-hak reproduksi karena selama ini hak kesehatan reproduksi hanya di identikkan sebagai bagian dari medis. c. Isu tentang hak-hak kesehatan reproduksi telah memunculkan efek yang cenderung amoral. Terlebih bila diamati betapa gencarnya upaya penggalangan dukungan untuk mengamandemen UU kesehatan No.23 Tahun 1992, yang mengarah kepada upaya legalisasi aborsi, atas nama hak-hak dan kesehatan reproduksi perempuan, sehingga terkesan ada muatan politis yang tersembunyi dibaliknya. 8 1. Bagaimana hak-hak kesehatan perempuan yang terdapat dalam CEDA W? 2. Bagaimana bentuk instrumen hukum yang memberi perlindungan terhadap kesehatan perempuan? 3. Bagaimana hukum Islam melihat hak-hak kesehatan perempuan yang terdapat dalam CEDA W? C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah: 1. Untuk mengetahui bentuk hak-hak atas perempuan dalam bidang kesehatan 2. Untuk mengetahui jenis perlindungan yang diberikan oleh instrumen hukum terhadap perempuan dalam memperoleh haknya 3. Untuk mengetahui hak-hak perempuan dalam CEDAW apakah telah sesuai dengan hukum Islam. Sedangkan manfaat dari penulisan skripsi ini adalah untuk menambah pengetahuan tentang CEDA W pada umumnya. Manfaat praktis bagi penulis, pembaca, serta masyarakat adalah mengetahui apa saja yang masuk kedalam hakhak kesehatan reproduksi perempuan yang terdapat dalam CEDA W dan hukum Islam. Secara akademis dapat bermanfaat bagi para akademisi Fakultas Syari' ah dan Hukum pada umumnya dan bagi program studi Siyasah Syar'iyyah khususnya, sebagai penamba11 referensi tentang studi komparatif mengenai hak atas kesehatan reproduksi perempuan dalam CEDA W dan Hukum Islam. 9 D. Tinjauan Pustaka Dalam menjaga keaslian judul yang akan penulis ajukan dalam skripsi ini perlu kiranya penulis uraikan juga beberapa buku atau karangan yang berkaitan atau mengkaji isu seperti ini. Berdasarkan buku-buku yang akan dicantumkan dibawah ini, baik kiranya jika dikelompokan terlebih dahulu menjadi beberapa bagian sudut pandang. Dari sudut pandang Hak Asasi Manusia, buku yang digunakan lebih cenderung global menyangkut hak asasi, diantaranya To Serve To Protect, Acuan Universal Penegakkan HAM oleh C. de Rover. Dalam buku ini HAM dikaitkan dengan Hukum Humaniter Internasional dan kemudian menempatkan HAM pada keadaan operasional dengan melibatkan penegak hukum, polisi dan angkatan bersenjata. Kemudian terdapat juga buku Informasi Peraturan Perundang- undangan tentang Hak Asasi Manusia yang diterbitkan oleh Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Direktorat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI 2003. Tujuan dikeluarkannya buku ini sebagai upaya memasyarakatkan undang-undang dan peraturan terkait tentang HAM, dengan harapan dapat menambah pengetahuan dan penahanan mengenai beberapa ketentuan tentang HAM bagi pejabat, petugas peradilan dan kalangan masyarakat. Buku yang digunakan dalam sudut pandang perempuan, di antaranya Perempuan Bergerak, Membingkai Gerakan Konsumen dan Penegakan Hak-Hak Perempuan, ditulis oleh Susilo Zamrotin K., dkk yang berisi tentang penegakkan hak-hak perempuan oleh instrumen-instrumen hukum internasional dibawah 10 Perserikatan Bangsa-Bangsa. Buku lain adalah Hak Azasi Perempuan Instrumen Hukum Untuk Mewujudkan Keadilan Gender. Buku ini ditulis oleh kelompok kerja Convention Watch kerjasama dengan Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia. Ulasan mengenai Hak asasi perempuan, dalam buku ini menitikberatkan pada penegakkan hukum yang adil sebagai perlindungan dari bentuk-bentuk diskriminasi terhadap perempuan tem1asuk tindak kekerasan dalam keluarga dan masyarakat. Selain itu, buku dengan perspektif perempuan lainnya ialah Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum Yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, editor oleh Sulistyowati Irianto. Buku ini berisi kumpulan artikel mengenai hak-hak perempuan dalam kehidupan bermasyarakat, sebagaimana yang telah diatur dalan1 DUHAM (Deklarasi universal Hak Asasi Manusia), CEDA W, maupun instrumen intemasional lainnya. Terdapat juga buku yang merupakan buku ajar, dengan judul buku Bahan Ajar Tentang Hak Perempuan: UU No. 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, oleh Achie Sudiarti Luhulima. Isi buku ini menguraikan hakhak perempuan dalam UU No.7 Tahun 1984, dengan mengedepankan pembahasan pada pasal-pasal yang dianggap banyak persoalan dalam penerapannya. Buku lain yang pantas disebut adalah buku dengan judul Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender, oleh Siti Musdah Mulia. Dengan sudut pandang gender, buku ini menguraikan ketegasan Islam sebagai agama yang mengajarkan 11 penghormatan dan pemuliaan terhadap manusia, tanpa melihat jenis kelamin, gender, suku, ras, dan ikatan primordial lainnya. Di antara karya-karya tulis tersebut diatas, tidak terdapat kesamaan judul yang secara langsung berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini. Namun terdapat didalamnya beberapa isu penting yang dapat diuraikan kembali penjelasannya, karena dalam uraiannya tersebut hanya memunculkan pandangan dari satu sudut saja, yakni sudut gender ataupun hukum Islam. Dari sini penulis tertarik mengkaji lebih dalam tentang isu kesehatan reproduksi ini, dalam mengangkat isu kontroversi yang telah ditentukan maka uraian yang dituangpun lebih terarah. Perbedaan yang penulis tampilkan disini adalah segi komparatif permasalahannya. Spesifik pembahasan yaitu hak atas kesehatan reproduksi perempuan dalam CEDA W dan hukum Islam. E. Metode Penelitian Metode merupakan strategi utama dalam pengumpulan data-data yang diperlukan untuk menjawab persoalan yang dihadapi. 14 Pada dasamya sesuatu yang dicari dalam penelitian ini tidak lain adalah "pengetahuan" atau lebih tepatnya "pengetahuan yang benar", dimana pengetahuan yang benar ini nantinya dapat dipakai untuk menjawab pertanyaan atau ketidaktahuan tertentu. 15 14 Mohammad Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), Bagian Pengantar, Cet. Ke-3. 15 h. 27-28. Bambang Sunggono, Metode penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 1997), 12 Penelitian ini dimaksudkan untuk menggali segala bentuk hak-hak perempuan dalam bidang kesehatan I. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah jenis penelitian yang berbentuk studi deskriptif kualitatif yang berusaha mengkombinasikan pendekatan normatif dan empiris. Sedangkan pendekatan empiris diharapkan dapat menggali data dan informasi sebanyak dan sedetail mungkin tentang hak-hak atas kesehatan perempuan dalam CEDA W. 2. Teknik Pengumpulan Data Dalam rangka menghimpun seluruh data dan fakta yang menunjang penelitian permasalahan dalam penelitian ini, Penulis menggunakan metode studi kepustakaan (Library Research) yaitu dengan mengkaji, menelaah, dan menelusuri literatur yang berkenaan dengan masalah dari beberapa sumber yang berupa buku, majalah, koran, artikel, dan lain-lain. Dengan metode ini penulis berusaha mengungkap hak-hak kesehatan reproduksi perempuan, dan bagaimana Islam memandang hal ini berkenaan dengan hak kesehatan perempuan yang terdapat dalam CEDA W. 3. Teknik Analisis Data Dalam menganalisa data, pendekatan dalam penelitian adalah analisis kualitatif, data kualitatif ini diperoleh dengan sudut pandang gender analysis sebagai alat dalam menganalisa petmasalahan yang ada. Desain penulisan adalah deskriptif analisis yaitu sebuah studi untuk menemukan fakta dengan 13 interpretasi yang tepat dan menganilasa lebih dalam tentang hubunganhubungannya. 16 4. Teknik Penulisan Penulisan skripsi ini mengacu pada buku "Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta Tahun 2007". F. Sistematika Penulisan Dalam menggambarkan keseluruhan uraian dan untuk keteratuiran isi penelitian. Skripsi ini di bagi atas bab-bab yang terdiri dari 5 (lima) Bab, yaitu: BABI Pendahuluan, terdiri: latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II Tinjauan Umum Tentang CEDAW, terdiri: pengertian CEDAW, landasan pemikiran dan prinsip-prinsip konvensi CEDAW, pokokpokok isi konvensi, perkembangan CEDAW di Indonesia. BAB III: CEDAW dan Kesehatan Perempuan: Hak Reproduksi, terdiri: pengertian hak dan kesehatan perempuan dalam CEDA W, bentukbentuk isu kesehatan reproduksi perempuan, instrument hukum yang memberi perlindtmgan bagi kesehatan perempuan.di Indonesia 16 M. A. Moleong J. Lexy. Metode Penelitian Kualitatif. (Bandung: PT Remaja Roda Karya. 2004). h. 6. 14 BAB IV: Tinjauan Hukum Islam Terhadap Hak-Hak Kesehatan Perempuan Dalam CEDAW, terdiri: hak-hak kesehatan dalam pandangan Islam, dasar hukum Islan1 yang menguatkan hak-hak perempuan dalam CEDA W, dan reinterpretasi CEDA W terhadap hukum Islam mengenai hak-hak kesehatan reproduksi perempuan BABV Penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran. BABII TINJAUAN UMUM TENTANG CEDAW CEDA W pada mulanya merupakan singkatan dari Committee on the Elimination of all forms of Discrimination Againts Women, yaitu suatu komite Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bertugas memantau implementasi konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan di negara-negara peserta (negara peratifikasi konvensi) serta mengawasi kepatuhan negara dalam melaksanakan prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan konvensi. Kini istilah CEDAW digunakan sebagai nama konvensi (Convention on the Elimination of all forms of Discrimination Against Women). Untuk menghindari kekeliruan penafsiran makna, maka digunakanlah istilah Konvensi CEDAW untuk Konvensi Wanita atau konvensi perempuan dan komite CEDA W untuk Committee on the Elimination of forms ofDiscrimination Against Women. A. Pengertian CEDA W CEDA W atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan merupakan satu perangkat hukum hak asasi manusia. Konvensi ini disahkan oleh Majelis Umum PBB paQ_(!, tahun 1979, dan sering sekali disebutsebut sebagai piagam Hak Asasi Internasional oogi perenipuan. CEDAW memuat 16 definisi semua ha! yang dianggap diskriminasi terhadap perempuan dan menetapkan agenda untuk aksi nasional dalam mengakhiri diskriminasi tersebut. 17 Untuk mengetahui ketentuan apa saja yang dimuat kedalam CEDAW, sekiranya dapat di petakan terlebih dahulu menjadi dua bagian, Konvensi CEDAW dan Komite CEDAW, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Dilihat dari bentulmya konvensi CEDA W berarti berupa teks tertulis dari isi CEDA W, sedangkan komite CEDA W berarti sejumlah orang yang masuk kedalam kepanitiaan yang berwenang mengawasi penerapan CEDAW. Secara keseluruhan CEDA W terdiri dari 30 pasal, dalam Pasal 1 sampai 16 mengenai inti konvensi CEDAW, menyatakan berbagai macam mekanisme untuk memastikan perempuan mendapat per!akuan yang setara di tengah-tengah masyarakat dan bebas dari diskriminasi di bidang politik, sosial, ekonomi dan budaya dan isu-su lainnya termasuk pelabelan (stereotype), praktek budaya, partisipasi politik, perdagangan manusia (trafficking) kewarganegaraan, pendidikan, perkerjaan, perkawinan, kesehatan, dan kehidupan perempuan di pedesaan (kawasan rural), Sementara pasal 17-22 membahas tentang pembentukan dan fungsi Komite CEDAW; pasal 23-30 membahas tentang administrasi Konvensi CEDA W. 18 17 CEDA W, Qanun dan Aceh, artikel dalam www.unifem-eseasia.org, diakses pada tanggal 11 Juni 2008. 18 Juni2008 Kronik Konvensi CEDAW, artikel dalam www.kalyanamitra.or.id/, diakses pada tanggal 11 17 B. Landasan Pemikiran dan Prinsip-Prinsip Konvensi CEDA W Hak Asasi Perempuan yaitu hak yang dimiliki oleh setiap perempuan, baik karena ia seorang manusia maupun sebagai perempuan. Dalam khasanah hukum, hak asasi perempuan dapat ditemui pengaturam1ya dalam berbagai sistem hukum . . 19 tentang hak asas1 manusia. Walaupun DUHAM20 sudah meliputi persamaan hak laki-laki dan perempuan, namun sejak awal berdirinya PBB pada tahun 1945, disadari masyarakat dunia bahwa Hak Asasi Perempuan memerlukan aturan khusus, karena masih ditandai dengan sikap yang menganggap bahwa kedudukan dan nilai perempuan lebih rendah dibanding laki-laki. Sumbangan perempuan bagi kehidupan ke!uarga dan masyarakat, maupun di dunia kerja atau dalam pertumbuhan ekonomi masih sangat kurang diakui dan dihargai. 21 Di sisi lain tuntutan kaum perempuan terhadap pemenuhan hak asasinya semakin menonjol, namun belum adanya jaminan atas hak-hak yang mereka perjuangkan ikut tercantum dalam peraturan-peraturan pemerintah, sehingga secara de facto membuat hak-hak mereka sulit untuk dilaksanakan dan diterima oleh masyarakat umumnya. 19 Sri Wiyanti Eddyono, Seri Bahan Bacaan Kursus HAM Untuk Pengacara X: Hak Asasi Perempuan dan Konvensi CEDAW, (Jakarta: Lembaga Studi Dan Advokasi Masyarakat, 2004) 20 DUHAM atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia adalah sebutan lain untuk UDHR (Universal Declaration of Human Right) merupakan piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa yang isinya pernyataan internasional alas hak-hak asasi manusia, kemudian digunakan sebagai ala! ukur yang digunakan untuk mengukur tingkat penghargaan dan pentaatan standar-standar internasional hak asasi manusia diseluruh dunia 21 Sulistyowati lrianto, Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, h.7. 18 Dari uraian di atas, dalam perkembangannya kaum perempuan berupaya memasukkan perspektif mereka ke dalam konsep Hak Asasi Manusia. Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa pelanggaran hak asasi perempuan (women's human right) terjadi karena struktur patriarkis dalam berbagai sendi dan bidang kehidupan yang dirasakan semakin tidak adil. Secara politik, kaum perempuan dianggap sekunder dan tidak punya otonomi, ha! ini tercermin dalam kehidupan berkeluarga, posisi suami sebagai kepala rumah tangga berperan penuh mengurusi urusan-urusan yang bersifat publik, sedangkan istri tidak lain hanya dianggap sebagai milik karena telah dinikahi suami. Apabila terjadi kekerasan maupun pelecehan terhadap istri atau anak perempuan di rumah, ini tidak dianggap sebagai pelanggaran HAM dan tidakjuga sebagai pelanggaran hukum. 22 Munculnya wacana mengenai gender merupakan luapan perasaan ketidakadilan yang kuat atas tekanan dari kekuatan hukum yang berlaku. Situasi kesadaran akan ketidakadilan yang dialami wanita ini selanjutnya telah diakomodir oleh PBB yang kemudian baru menghasilkan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita pada Tahun 1979 dan diratifikasi oleh Indonesia dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 (Konvensi Wanita). 23 22 Mohan1mad Farid, Perisai Peretnpuan: Kesepakatan lnternasional Untuk Perlindungan Perempuan, (Yogyakarta: Yasasan Galang, 1999), h.3. 23 Luhulima, Bahan Ajar Tentang Hak Perempuan: VU No.7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskrbninasi Terhadap Wanita, h.2. 19 Lahirnya CEDA W merupakan momentum awal pergerakan hak asas1 perempuan yang selanjutnya mewaruai gerakan perempuan dalam forum internasional dan hukum internasional. Selain itu adanya CEDA W menjadi puncak dari upaya Internasional perempuan demi memperoleh perlindungan dan 24 demi mempromosikan hak-hak perempuan di seluruh dunia Didalam CEDA W, arti hak asasi perempuan dikonstruksikan diatas 3 prinsip utama yang saling berhubungan. Prinsip-prinsip ini berfungsi sebagai perangkat untuk memahami kesetaraan gender dan upaya-upaya pemberdayaan perempuan. Walaupun setiap prinsip CEDAW sudah merupakan unsur yang jelas, namun prinsip-prinsip tersebut saling bergantung satu sama lainnya. Jika digabungkan, prinsip-prinsip tersebut dapat menjadi kerangka kerja yang menyeluruh (holistik) untuk mencapai pemenuhan hak-hak asasi perempuan dan menjadi inti CEDA W. Sehingga dapat di pahami bahwa kerangka tujuan, kewajiban, hak, pengaturan dan akuntabilitas hanya dapat dibangun melalui konsep-konsep yang terdapat dalam prinsip-prinsip ini. 25 Adapun prinsip-prinsip yang terdapat dalam CEDA W, secara ringkas dapat diuraikan sebagai berikut: I. Prinsip persamaan. Secara ringkas prinsip persamaan subtantif yang dianut konvensi perempuan 24 wanita adalah: yang langkah-langkah ditujukan untuk untuk mengatasi merealisasikan adanya hak perbedaan, Sri Wiyanti Eddyono, Seri Bahan Bacaan Kursus HAM Untuk Pengacara X Materi : Konvensi CEDA W Hak Asasi Perempuan dan Konvensi CEDA W. 25 CEDAW, Qanun dan Aceh, artikel dalam www.unifem-eseasia.org 20 disparitas/kesenjangan atau keadaan yang merugikan perempuan; Langkahlangkah untuk melakukan perubahan lingkungan, sehingga perempuan mempunyai akses yang sama dan menikmati kesamaan manfaat dari kesempatan peluang yang ada; Kebijakan negara yang berpegang pada prinsip-prinsip sebagai berikut: persamaan kesempatan bagi perempuan dan laki-laki, kesetaraan dalam mengakses memperoleh kesempatan secara adil, persamaan untuk menikmati manfaat dari hasil-hasil menggw1akan kesempatan itu; Hak hukum yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam: (a) kewarganegaraan; (b) perkawinan dan hubungan keluarga; (c) perwalian anak; (d) persamaan kedudukan dalam hukum dan perlakuan sama di depan hukum. 26 2. Prinsip non-diskriminasi. Dalam Pasal I Konvensi Wanita mendefinisikan "dikriminasi terhadap wanita" sebagai setiap perbedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat berdasarkan jenis kelamin yang berakibat atau bertujuan mengurangi atau meniadakan pengakuan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan kebebasan-kebebasan pokok, dibidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil dan bidang-bidang lain terlepas dari status perkawinan mereka atas dasar persamaan antara pria dan wanita. Pasal I ini memberikan keterangan secara rinci mengenai arti diskriminasi terhadap perempuan meliputi perlakuan yang berdampak merugikan perempuan, tetapi 26 Achie Sudiaiti Luhulima, ed., Kejahatan Berbasis Jender Serta Dampak Jender Dari Peristiwa Pembantaian di Gujarat 2002, (J akarta: Komnas Perempuan, 2005), h.123. 21 untuk jangka pendek atau jangka panjang, maka aturan itu merupakan diskriminasi terhadap perempuan. Langkah-tindak atau tindakan khusus sementara atau temporary special measures (pasal 4 (I) konvensi wanita) 27 yaitu langkah-tindak yang dilakukan untuk mencapai kesetaraan dalam kesempatan dan perlakuan bagi perempuan dan laki-laki, dan mempercepat kesetaraan de facto antara lakilaki dan perempuan. Sebaliknya suatu tindakan proaktif, seperti melarang perempuan melakukan suatu jenis pekerjaan tertentu dianggap sebagai diskriminasi, karena dalam jangka panjang dapat bertentangan dengan 28 . k epentmgan perempuan. 3. Prinsip kewajiban negara. Dengan meratifikasi konvensi, negara peserta menerima kewajiban melakukan langkah-langkah aktif untuk menerapkan prinsip-prinsip persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam undangundang dasar mereka dan peraturan perundang-undangan lainnya. Konvensi ini juga mengharnskan negara peserta memberi perlindungan secara efektif terhadap hak perempuan untuk mendapatkan pertolongan dan perlindungan terhadap diskriminasi.29 27 Pasal 4 ayat I Konvensi Wanita berbunyi pernbuatan peraturan-peraturan khusus sernentara oleh negara-negara peserta yang ditujukan untuk rnernpercepat persarnaan "de facto" antara pria dan wanita, tidak dianggap diskrirninasi seperti ditegaskan dalarn konvensi yangs ekarang ini, dan sarna sekali tidak hasrus rnernbawa konsekuensi pemeliharaan norrna-norrna yang tidak sama atau terpisah, maka peraturan-peraturan ini dihentikan jika tujuan persarnaan kesernpatan dan perlakuan telah tercapai. 28 Luhulima, Bahan Ajar Tentang Hak Perempuan: UU No.7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita h.137 29 Ibid, h.138. 22 C. Pokok-Pokok Isi Konvensi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan disetujui Majelis Umum PBB pada tahun 1979 dan mulai berlaku sebagai perjanjian internasional pada tanggal 3 September 1981 setelah 20 negara meratifikasinya. Diantara perjanjian Hak Asasi Manusia Internasional, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan merupakan yang paling komprehensif dan sangat penting karena dalam hal ini perempuan sebagai fokus keprihatinan HAM. Dalam mukadimah konvensi disebutkan asas dari konvensi wanita 1m adalah a) Hak-hak asasi manusia berdasarkan atas mertabat dan nilai pribadi manusia, dan atas persamaan hak antara pria dan wanita; b) Semua manusia dilahirkan bebas dan sama dalam martabat dan hak; c) Hak asasi manusia menjamin hak yang sama antara pria dan wanita untuk menikmati semua hak ekonomi, sosial budaya, sipil dan politik; d) Adanya penghargaan terhadap martabat manusia; e) Sumbangan besar wanita pada kesejahteraan keluarga dan pembangunan masyarakat dan peranan wanita dalam memperoleh keturunan hendaknya jangan menjadi dasar diskriminasi; f) Adanya perubahan pada peranan tradisional. 30 Konvensi wanita menekankan pada persamaan dan keadilan antara perempuan dan laki-laki (equality dan equity), yaitu persamaan hak dan 30 Lihat lampiran Undang-Undang Nomor 7 Tahun l 984 tentang Konvensi Penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. 24 panjang yang merugikan perempuan. Secara konseptual prinsip-prinsip tersebut terjalin dalam pasal I sampai 16 Konvensi Wanita. 33 Mengenai kesehatan perempuan dibahas lebih lanjut dalam konferensi ICPD Kairo, sebagai tindak Ianjut dari pelaksanaan CEDA W. Konferensi tersebut mengkhususkan masalah kesehatan yang terdapat pada pasal 12 Konvensi Wanita. Isinya menyerukan agar negara wajib membuat aturan yang menjamin perempuan mendapatkan akses pelayanan kesehatan tanpa diskriminasi. Sebab masih terdapatnya tradisi yang dapat membahayakan kesehatan perempuan dan anak, termasuk di dalamnya kebiasaan melarang makanan tertentu bagi perempuan hamil, dan sunat perempuan 'genital mutilation' .34 Konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan secara keseluruhan mempunyai struktur sebagai berikut : I. Pe1iimbangan 2. Pasal-pasal sebanyak 30 pasal dengan pembagian : Bagian I Pasal I - pasal 6 mengenai pengutukan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan upaya penegakkan asas persamaan hak dan kewajiban antara pria dan wanita dalam UUD45. Bagian II : Pasal 7 - pasal 9 mengenai kewajiban negara-negara peserta membuat 33 peraturan penghapusan diskriminasi terhadap Saparinah Sadli, Kesehatan Reproduksi Perempuan dan Hak Asasi Manusia, artikel dalam www.cedawui.net, diakses pada tanggal 15 Mei 2008 34 !bid 25 perempuan dalam bidang politik, dan kehidupan kemasyarakatanan negaranya. Bagian III : Pasal 10 - pasal 14 mengenai kewajiban terhadap perempuan dalam bidang politik, dan kehidupan kemasyarakatan negaranya. Bagian IV Pasal 15 - 16 mengenai kewajiban negara-negara peserta memberikan wanita persamaan hak dan pria di muka hukum, menghapus diskriminasi yang berhubungan dengan perkawinan dan hubungan kekeluargaan. Bagian V Pasal 17 - 22 menganai pembentukan panitia intemasional untuk menilai kemajuan implementasi CEDA W, dengan pangkal pertimbangan distribusi geografis yang tepat dan unsur-unsur dari berbagai bentuk peradaban manusia sistem hukum utama. Panitia dipilih untuk masa jabatan 4 tahun. Bagian VI Pasal 23 - 30 konvensi tersebut tidak akan mempengaruhi ketentuan manapun bagi tercapainya kesarnaan antara pria dan wanita yang mungkin terdapat dalarn perundang-undangan di suatu negara. Disamping itu konvensi ini tidak bersifat kaku setiap negara berhak untuk mengajukan keberatan- keberatannya. Pertimbangan dalarn Konvensi ini berisi dasar pikir mengapa penting adanya Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. 26 Dalam pertimbangannya, Konvensi ini mengajak mengingat kembali tentang pengakuan hak-hak dasar yang telah dimuat dalam : I. Piagam PBB yang menegaskan keyakinan pada hak-hak asasi manusia yang fundamental, yang berpatok pada martabat dan nilai kemanusiaan dan hak-hak yang sama antara laki-laki dan perempuan. 2. Deklarasi Umum mengenai Hak Asasi Manusia yang menegaskan prinsipprinsip tentang anti diskriminasi, dan penekanan bahwa semua manusia dilahirkan bebas dan memiliki martabat dan hak yang sama, dan bahwa semua orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang ditetapkan dalam Deklarasi tersebut tanpa pembedaan termasuk pembedaanjenis kelamin. 3. Kovenan Intemasional tentang Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Intemasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang memberikan kewajiban bagi negara anggota PBB untuk menjamin persamaan hak laki-laki dan perempuan untuk menikmati semua hak yang berkaitan dengan hak ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik. 4. Kovensi lainnya yang dibuat oleh berbagai badan di bawah PBB (seperti Konvensi !LO) yang mengatur dan mempromosikan persamaan hak laki-laki dan perempuan. Pengingatan kembali terhadap berbagai instrumen semakin dirasa penting terlebih temyata meskipun sudah ada berbagai instrumen hukum, diskriminasi terhadap perempuan masih berlangsung. Padahal diskriminasi terhadap perempuan jelas melanggar prinsip persamaan hak dan penghormatan terhadap martabat manusia sebagaimana telah tercantum 27 sebelwnnya terhadap berbagai instrumen. Diskriminasi tersebut juga menjadi hambatan bagi partisipasi perempuan dalam persamaan kedudukan dengan laki-laki di dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan di lingkungan masyarakat bahkan di wilayah dimana perempuan berada. Hal tersebut akan berdampak pada penghalangan pertwnbuhan kemakmuran masyarakat dan keluarga, disamping akan lebih mempersulit pengembangan potensi perempuan secara penuh agar dapat berkontribusi kepada negara dan kemanusiaan. Konvensi ini juga menyatakan bahwa diskriminasi terhadap perempuan tidak saja terjadi pada situasi normal, tapi terjadi juga pada saat situasi khusus seperti adanya kemiskinan. Pada situasi kemiskinan, diskriminasi terhadap perempuan menyebabkan perempuan menduduki posisi paling kurang memiliki akses terhadap pangan, kesehatan, pendidikan, pelatihan dan kesempatan dalam lapangan kerja dan kebutuhan lainnya. Oleh karena itu masyarakat internasional (melalui persetujuan dengan adanya Konvensi ini) meyakini bahwa terbentuknya tatanan ekonomi internasional baru berdasarkan persamaan dan keadilan akan memberikan swnbangan yang berarti pada peningkatan persamaan antara laki-laki dan perempuan. 35 35 Sri Wiyanti Eddyono, Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X, hak asasi Perempuan dan Konvensi CEDA W: 28 D. Perkembangan CEDAW di Indonesia Isu mengenai hak reproduksi terangkum secara keseluruhan dalam Konvensi Perempuan sedunia Ke-IV di Beijing tahun 1995. Isinya memuat komitmen tentang implementasi konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (Convention on the Elimination of All Forms Discrimination Against Women), untuk dipatuhi bagi setiap negara yang meratifikasinya. Setelah Indonesia meratifikasi konvensi Wanita tanggal 24 Juli 1984 dan di tetapkan menjadi Undang-Undang No.7 Tahun 1984 tentang pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All form of Discrimination Against Women) setiap perselisihan mengenai penafsiran atau penerapan konvensi ini antara dua atau lebih negara peserta yang tidak dapat diselesaikan melalui perundingan, selanjutnya diajukan melalalui proses arbitrase atau permohonan oleh salah satu negara di antara negara-negara tersebut. Ketentuan lain jika terjadi perselisihan, dalam jangka waktu enam bulan sejak tanggal permohonan tidak ada kesepakatan dari negara-negara pihak mengenai penyelenggaraan arbitrase, maka salah satu dari pihak-pihak yang berselisih dapat menyerahkan persoalannya ke Mahkamah Internasional melalui permohonan yang sesuai dengan peraturan mahkamah (pasal 29 ayat I). Dengan menggarisbawahi penjelasan pasal I UU No.7 Tahun 1984 Konvensi Wanita tentang penyelesaian perselisihan mengenai penafsiran atau 29 penerapan konvensi wanita ini, dinyatakan bahwa pemerintah Indonesia tidak bersedia mengikatkan diri dan tidak dapat menerima suatu kewajiban untuk mengajukan suatu perselisihan internasional, dimana Indonesia tersangkut kepada Mahkamah Internasional. Untuk lebih memantapkan komitmennya terhadap CEDAW, Indonesia juga turut rnanandatangani "Optional protocol to CEDA W" di sidang umum PBB di New York. Optional protocol berisi pasal pilihan yang memungkinkan setiap individu/kelompok memilih pasal yang sekiranya bertentangan dengan hukum negara yang selanjutnya mengajukan langsung permasalahan kepada pemerintah kernudian ke PBB. 36 Ratifikasi suatu konvensi internasional bermakna perjanjian antar negara (treaty), yang menciptakan kewajiban dan akuntabilitas negara yang meratifikasinya. Pemerintah Indonesia sendiri meratifikasi dengan persetujuan DPR, sehingga prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan konvensi menjadi hukum formal dan menjadi bagian hukum nasional, seperti Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Konsekuensinya adalah negara pese1ia (peratifikasi konvensi) memberikan komitmen, mengikatkan diri untuk menjamin melalui peraturan perundang-undangan, kebijakan, program dan tindakan khusus sementara, mewujudkan keseteraan dan keadilan antara laki-laki dan perempuan serta 36 Irawati Harsono dan Retno Nasrun, Perlindungan Terhadap Pere1npuan Dan Anak Yang Menjadi Karban Kekerasan (Bacaan Bagi Awak Pelayanan Khusus-Po/ice Woman Desk), (Jakarta: Derap-Warapsari, 2003), Edisi ke 2, h.18. 30 terhapusnya segala bentuk diskriminasi terhadap perempnan. 37 Konsekuensi lain dari ratifikasi tersebut adalah pemerintah juga harus melaksanakan kewajiban untuk menyampaikan laporan periodik/berkala tentang Pelaksanaan Konvensi CEDA W di Indonesia setiap 4 tahun sekali dan pemerinta11 turut hadir dalam Sidang Ko mite CEDA W untuk mempertanggungjawabkan laporannya itu. 38 Selain itu Organisasi-organisasi non pemerintal1 dapat memantau proses pelaporan danjuga memberikan alternative report ataupun shadow report sebagai bantuan kepada pemerintah untuk melengkapi infonnasi yang telah disusun dalam laporan pemerintah. Laporan NGO ini akan menjadi masukan altematif bagi Komite CEDA W PBB tentang fakta diskriminasi terhadap perempuan yang terjadi. 39 Implementasi yang dihasilkan menyangkut persoalan hak reproduksi, meliputi aspek yang berhubungan dengan kehidupan manusia secara holistik, tidak sekedar sehat secara fisik, termasuk sehat mental dan sosialnya. Hak ya11g berhubungan dengan reproduksi manusia diantaranya: hak untuk hidup, artinya ada jaminan untuk mendapatkan keselamatan dari resiko kematian karena kehamilan. Hak atau kebebasan dan keamanan artinya adanya pengakuan terhadap putusan setiap individu untuk menikmati dan mengatur kehidupan reproduksinya. Hak alas kesetaraan dan beban dari segala bentuk diskriminasi. 37 Luhulima, Bahan Ajar Tentang Hak Perempuan: VU No. 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, h.134. 38 Press release: Negara Abaikan CEDAW, artikel dalam www.cwgi.wordpress.com, diakses pada tanggal 11 Juni 2008. 39 Ibid 31 Hak atas kerahasiaan pribadi yaitu adanya perlindungan hidup hak pasien dalam mendapatkan informasi atas hak reproduksinya. Hak kebebasan berpikir yaitu mendapatkan akses yang terbebas dari pengarnh agama dan kepercayaan. Hak untnk mendapatkan informasi dan pendidikan yaitu adanya perlindungan terhadap perempuan untuk mengakses semua informasi seperti metode pelayanan Keluarga Berencana (KB). Hak untuk memilih menikah atau tidak dan ber-KB atau tidak. Hak menentukan keturunan. Hak untuk mendapatkan perawatan dan perlindungan kesehatan. Hak untuk mendapatkan peningkatan ilmu pengetahuan artinya ada jaminan untuk mengakses kemajuan teknologi perawatan, kesehatan reproduksi. Hak berpartisipasi dalam politik dan kebebasan dan berkumpul artinya ada perlindungan untuk membentuk perkumpulan yang bertujuan mempromosikan hak kesehatan reproduksi. Hak bebas dari penganiayaan dan kekerasan. 40 Sejak runtuhnya orde baru perlindungan dan penghormatan terhadap hakhak perempuan tidak mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Perempuan masih di lihat dalam perspektif "alas kaki di waktu malam, alas tidur di waktu malam", hak-hak mereka masih terpasung di bawah kekuasaan yang patriarki. Reformasi di bidang legislasi masih jauh dari apa yang diharapkan.41 Namun sejak ratifikasi konvensi oleh pemerintah Indonesia. Ada beberapa kemampuan didapat seperti dikeluarkannya Undang-Undang nomor 23 tahun 40 Maria Ulfah Anshor, Fikih Aborsi, Wacana Penguatan Hak Reproduksi Perempuan, (Jakarta: Kompas, 2006), h.4. 41 Laporan HAM, "'Tutup Buku Dengan Transitional Justice" ? Menutup Lembaran Hak Asasi Manusia tahun !999-2004 dan Menentukan Lembaran Baru 2005, (Jakarta: ELSAM, 2004), h.l 32 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, Undang-Undang nomor 39 tahun 2004 tentang perlindungan tenaga kerja perempuan di Juar negeri, Undang-Undang nomor 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan. Sehingga sampai saat ini bersama dengan konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan setelah ratifikasi hanya ada 3 produk legislasi nasional tentang perlindungan dan pencegahan kejahatan terhadap perempuan. 42 Sebagai contoh kongkrit bahwa membuat aturan atau undang-undang baru tidak dapat secara otomatis mengubah sikap anggota masyarakat karena mereka sudah terlebih dahulu berpegangan pada norma dan nilai yang telah menjadi bagian dari dirinya (diinternalisasi sejak be1tahun-tahun lamanya). Hingga sekarang sosialisasi isi UU No. 7/1984 belum dilakukan secara intensif dan programatis oleh pemerintah. Dukungan dan komitmen jelas pemerintah dengan memberi sanksi pada pihak-pihak yang melanggarnya adalah aspek yang masih harus diperjuangkan dalam rangka penghapusan diskriminasi terhadap perempuan agar perempuan dapat menikmati standar kesehatan yang optimal. Problem-problem kekerasan terhadap perempuan yang muncul dalam skala yang masif dan meluas di tanah air disebabkan karena lemahnya upayaupaya peningkatan penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak perempuan yang telah menimbu!kan begitu banyak praktik-praktik penyiksaan dan ill- treatment terhadap perempuan. Sehingga kejahatan penyiksaan, tindakan tidak 42 Ninuk M Pambudy "Pemerintah Lambat hapus Diskriminasi" dalam www.kompas.eo.id/kompas-cetak/0703/05.swara/3360800.html. diakses pada tanggal 24 Desember 2007. 33 manusiawi, merendahkan martabat dan hukuman kejam terhadap perempuan mas1"h terns terJ.ad"1. 43 Dari hasil pemantauan CWGI, 44 ada sepuluh isu krnsial berdasarkan pasal-pasal dalam konvensi CEDAW, yang terkait dengan tindakan diskriminasi terhadap perempuan yang meliputi; (1) tanggungjawab negara menghapus diskriminasi perempuan (2) perdagangan perempuan (3) perempuan dalam politik dan kehldupan politik, pasal 7. (4) kewarganegaraan, pasal 9. (5) pendidikan perempuan, pasal 10, (6) hak pekerja perempuan, pasal 11. (7) hak kesehatan perempuan, pasal 12. (8) perempuan di pedesaan, pasal 14, (9) persamaan di muka umum (pasal 15), dan (10) perkawinan dan hukum keluarga (pasal 16).45 CWGJ juga memandang, bahwa Konvensi CEDAW yang telah diratifikasi 23 tahun yang lalu, belum diimplementasikan secara maksimal oleh pemerintah. Ketidaktegasan dalam mencantumkan prinsip non diskriminasi dalam setiap kebijakan dan peraturan perundangan yang ada, banyaknya praktik budaya yang diskriminatif dan dilanggengkan melalui Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, 43 menguatnya fundamentalisme dan konservatisme agama, se1ia Laporan HAM, "Tutup Buku Dengan Transitional Justice", hal.55. CWGI adalah sebuah jaringan yang terdiri dari IO organisasi non pemerintah yang concern terhadap advokasi dan memonitoring implementasi konvensi CEDAW di Indonesia yang dibentuk september 2006, organisasi tersebut terdiri dari : aliansi pelangi antar bangsa (APAB, kalyanamitra, koalisi perempuan Indonesia untuk keadilan dan demokrasi (KPI), LBH Asosiasi perempuan indonesia untuk keadilan (LBH.APIK), mitra perempuan (womwn's crisis center), rahima, rumpun gema perempuan, solidaritas perempuan, yayasan kesehatan perempuan, dan yayasan jumal perempuan. CWGI berupaya mendorong pelaksanaan CEDA W di indonesia melalui perubahan kebijakan dan perbaikan situasi pemenuhan hak-hak perempuan di indonesia. 45 CEDA W Working Group Initiative (CWGJ), ringkasan laporan Independen Organisasi Non Pemerintah Indonesia Tentang Implementasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Konvensi CEDA fl) di Indonesia tahun 2007, (Jakarta, Kalyanamitra: 2007) 44 34 banyaknya praktek-praktek pembedaan, pembatasan, dan pengucilan perempuan untuk dapat menikmati hak-haknya, merupakan persoalan serius terkait dengan . . terhadap perempuan. 46 . k. dis T1mmas1 46 Press Release: www.cwgi.wordpress.com Negara Abaikan Konvensi CEDA W, artikel dalam BAB III CEDAWDAN KESEHATAN PEREMPUAN: HAK REPRODUKSI Sebagaimana pemaparan pada bab terdahulu, CEDA W sebagai salah satu instrumen hukum yang mengatur penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita tentunya terkait juga pada hak dan perlindungan atas kesehatan perempuan. Pada bab tiga ini penulis secara khusus akan memaparkan kesehatan perempuan yang berkenaan dengan hak reproduksi. A. Pengertian Hak dan Kesehatan Perempuan dalam CEDA W Secara bahasa kata hak memiliki arti milik atau kepunyaan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena ditentukan oleh Undang-Undang atau aturan lain), dan kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu. 47 Kata hak secara istilah menurut Ibn Nujaim (seorang ahli fikih) sebagaimana dikutip dalam Ensiklopedia Islam, adalah "suatu keklmsusan yang terlindung", artinya hak adalah hubungan khusus antara seseorang dengan orang lain yang tidak dapat diganggu gugat. 48 Kesehatan reproduksi berasal dari dua kata, kesehatan dan reproduksi. Kesehatan berasal dari kata sehat yang berarti kondisi yang nyaman atau fit, baik fisik, mental atau sosial. Sedangkan reproduksi dalam kamus bahasa Inggris, 47 Tim Penyusun Kamus Pusat Pengembangan Bahasa, Ka1nus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka, 1990), Cet. Ke-7, h. 334. 48 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Jchtiar Baru Van Hoeve, 1994), Cet.Ke-3, h.68. 36 reproduce memiliki arti menghasilkan kembali atau berkembang biak. Dan reproduction memiliki arti tiruan, membuat seperti yang asli. kamus kedokteran, reproduksi 49 Namun dalam diartikan sebagai perkembangbiakan atau menghasilkan keturunan. 50 Sedangkan dalam konteks studi perempuan reproduksi diartikan sebagai suatu kemampuan yang dimiliki perempuan untuk memproduksi kembali ketwunannya (baik dengan cara melahirkan maupun memulihkan tenaga) agar proses produksi (ekonomi) bisa berlanjut untuk menjamin kelangsungan . s1 h1·aup manus1a. Menurut Prof. Dr. Hassan Hathout dalam perbendaharaan bahasa Arab, terdapat dua kata yang jika keduanya diterjemahkan kedalam bahasa Inggris menjadi reproduction yaitu kata takasur dan irifab yang memiliki cakupan arti yang berbeda. Takasur mencakup pengertian reproduksi biologis yaitu memperbanyak jumlah dengan melahirkan anak, sedangkan injab berarti bentuk reproduksi yang lain yaitu berkenaan dengan mutu dan ha! lain yang lebih dari hanya bersifat fisik, nanrnn meliputi kualitas manusia. 52 Sedangkan reproduksi, secara sederhana dapat diartikan sebagai kemampuan untuk "membuat kembali". Dalam kaitannya dengan kesehatan, 49 S. Wojowasito, Kamus Lengkap Jnggris-Jndonesia, (Bandung: Penerbit HASTA, 1980), Cet. Ke-6 h. l 77. 50 Med. Ahmad Romali, Kamus Kedokteran, (Jakarta: Djembatan, 1997), Ce!. Ke-23, h.302 51 Lies Marcoes, Maka/ah Hak Reproduksi Perempuan Dalam PerspektifAgama Islam, dalam Seminar Wanita dan Kesehatan Reproduksi, (Jakarta: Lembaga Demografi FEUI dan Yayasan Ekonomika FEUl, 1996), h.2. 52 Nur Rohmayati, Hak Reproduksi Perempuan Menurut Hukum Islam dan Hukum Internasional, (Skripsi SJ Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta: 2003) h.24. 37 reproduksi diartikan sebagai kemampuan seseorang memproses keturunan (beranak). Oleh karena itu, kesehatan reproduksi berkaitan erat dengan masalah seksualitas. Bila pengertian kesehatan di atas dihubungkan dengan perempuan, maka hal ini akan berkaitan dengan alat-alat reproduksi dan fungsi-fungsinya. Ini merupakan kaitan yang wajar, mengingat kesehatan reproduksi merupakan ha! yang sangat krusial bagi perempuan. Dengan demikian, kesehatan perempuan merupakan keadaan jasmani dan rohani yang tidak berpenyakit, utuh, bersih, dan terhindar dari hal-hal yang mengganggu sistem reproduksi, fungsi-fungsi dan proses-prosesnya. Pengertian kesehatan reproduksi yang demikian luas membawa berbagai persoalan yang luas pula. Ia bisa menyangkut kesehatan alat-alat reproduksi, perempuan pra-reproduksi (masa remaja), saat bereproduksi (masa hamil dan menyusui) dan pasca-reproduksi (masa monopouse). Persoalan lain yang perlu mendapat perhatian dalam kesehatan reproduksi perempuan adalah mengenal pemenuhan kebutuhan seksualnya secara memuaskan dan aman, kebebasan untuk mengatur kelahiran, menentukan jumlah anak, serta mendapatkan perlakuan baik dari semua pihak, serta hak mendapatkan infmmasi dan pelayanan kesehatan yang benar. Pada akhirnya, persoalan kesehatan reproduksi perempuan itu sendiri diciptakan sama dan setara dengan jenis makhluk yang lain. Dengan demikian, kesehatan di sini juga mencakup kesehatan secara sosial. 38 Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa reproduksi adalah sebuah kegiatan untuk menghasilkan kembali atau memperkembangbiakkan, dalam ha! ini yang dihasilkan dan diperkembangbiakkan adalah manusia. Sesungguhnya, ada beberapa ha! yang perlu diperhatikan. Pertama, pengertian sehat bukan semata-mata sebagai pengertian kedokteran (medis), tetapi juga secara sosial (masyarakat). Seseorang dikatakan sehat tidak saja memiliki tubuh dan jiwa yang sehat, tetapi juga dapat bermasyarakat secara baik. Kedua, kesehatan reproduksi bukan menjadi masalah seorang saJa, tetapi menjadi kepedulian keluarga dan masyarakat. Ketidakpedulian sebagai pihak terhadap kehidupan kesehatan perempuan dapat menambah ketidakberdayaan perempuan. 53 Dalam pasal 12 ayat 2 dari konvensi wanita ini jelas sekali ada kewajiban negara untuk menjamin tersedianya pelayanan kesehatan reproduksi perempuan, yaitu: I. Memastikan pelayanan yang layak untuk perempuan dalam hubungannya dengan kehamilan, persalinan, dan periode pasca persalinan, bila perlu menyediakan pelayanan gratis. 2. Memastikan perempuan mendapatkan gizi yang cukup selama masa kehamilan dan menyususui. 53 Zahra Andi Basa dan Judy Raharja, Kesehatan Reproduksi: Padanan Bagi Perempuan, (Ujung Pandang: YLKI Sulawesi Selatan dan TFF, 1997), Cet.ke-l h.78. 39 Dari kalimat diatas dapat ditarik komponen-komponen dari pasal 12 ayat 2 tersebut, seperti: jaminan pelayanan kesehatan bagi perempuan, jaminan pelayanan KB, pelayanan cuma-cuma bagi pelayanan selama kehamilan, persalinan dan sesudah persalinan, dan pemberian gizi yang cukup selama kehamilan dan menyusui. 54 B. Bentuk-Bentuk lsu Kesehatan Reproduksi Perempuan Bentuk-bentuk kesehatan reproduksi dalam CEDA W maupun hukum Islam sering kali menjadi isu kontroversi, ketika diangkat ke dalam ruang publik. Dimana hak kesehatan reproduksi yang terdapat dalam CEDA W lebih mengutamakan atas kenyamanan hidup seorang wanita, sedangkan dalam hukun1 Islam lebih kepada ketentuan syariat yang berdasarkan Al-Quran dan summh. Bentuk isu-isu kesehatan reproduksi, seperti: FGM (Female Genital Mutilation, labih dikenal sebagai circwncission atau sunat) hak menentukan menikah atau tidak, KB (Keluarga Berencana), Aborsi, AKI (Angka Kematian !bu), menolak hubungan seksual. Namun dalam bab ini penulis hanya mengangkat isu aborsi dan FGM sebagai pembahasan utama, sebab isu aborsi ataupun FGM sendiri sampai saat ini masih terasa kontroversial. Berikut uraian isu seputar aborsi dan FGM, yang akan dibahas kemudian dengan sudut pandang agama maupun gender, yang terangkum sebagai berikut: 54 Achie Sudhiarti Luhulima, Bahan Ajar Tentang Hak Perempuan: UV No. 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, h.262. 40 1. Aborsi Kata aborsi berasal dari bahasa latin yaitu abortus berarti gugur kandungan atau keguguran. Dalam bahasa arab disebut Isqatu al-Hamli atau al-Jjhadh, keduanya mempunyai arti perempuan yang melahirkan secara paksa dalan1 keadaan belum sempurna penciptaannya Menurut istilah aborsi diartikan pengakhiran kehamilan atau pengakhiran buah kehamilan pada waktu janin masih demikian kecilnya, sehingga tidak dapat hidup. Para ahli fikih seperti Chuzaemah Tahido Yanggo, guru besar Fakultas Syariah dan Hukum memberi pengertian aborsi sebagai "pengguguran kandungan sebelnm lahir secara alamiah, beberapapun umurnya dengan maksud pengrusakan kandungan tersebut". 55 Sementara menurut Ibrahim Al-Nakhai "aborsi adalah pengguguran janin dari rahim ibu hamil baik sudah bentuk sempurna atau belum". 56 Secara yuridis aborsi yaitu pengrusakan pada janin di dalam rahim, atau disebabkan karana kematian pada janin. 57 Adapun mengenai aborsi ini, terlebih dahulu kita mengenal tahap perkembangan janin. Sebab pada nmunya abmius terjadi sebelnm kehamilan 55 Chuzaemah Tahido Yanggo, Agama dan Kesehatan Reproduksi, Seri Kesehatan Reproduksi, Kebudayaan dan Masyarakat, (Jakarta: Pustaka Seminar Harapan: 1999), h.156. 56 Ibrahim Al-Nakhai, dikutip oleh Muhammad Rawwas, "Mausu'ah fikih Ibrahim AlNakhai", Tt, h.13. dalam kutipan Maria Ulfah Anshor, Fikih Aborsi, Wacana Penguatan Hak Reproduksi Perempuan, (Jakarta: Kompas: 2006), h.34. 57 Maria Ulfah Anshor, Fikih Aborsi, Wacana Penguatan Hak Reproduksi Perempuan, h.35. 41 mencapai usia 3 bulan, terhitung dari haid terakhir atau berat janin kurang dari 500 g atau panjang janin kurang dari 25 cm. 58 Pada minggu pertama terjadi tahap konsepsi atau nu(fah (bersatunya ovum dengan spe1ma), dari satu sel sperma berkembang jumlahnya menjadi 2-4-8 dan seterusnya sampai pada blastokis yaitu saat nadiasi, kemudian dari kumpulan sel-sel tersebut berkembang menjadi embrio (mudgah) sampai minggu ke sepuluh. Pada masa ini sering kali terjadi abortus spontan yang biasanya disebabkan kelainan kromosom, dan bisa juga karena infeksi, kelainan rahim serta kelainan hormon. Kelainan ini dapat memungkinkan mudgah untuk tumbuh normal, jika berlangsung kehamilan maka janin akan Iahir dengan cacat. Sedangkan setelah proses mudgah tersebut dapat disebut janin karena bentuknya telah mendekati sempurna. (Menurut agama Islam, Allah meniupkan ruh pada kehamilan 100-200 hari atau 16 minggu). 59 Pada praktek kebidanan basil perkembangan konsepsi tersebut dapat ditemukan abortus. Demikianpun Al-Quran menjelaskan tahapan-tahapan perkembangan janin dalam rahim seorang perempuan, tahapan secara utuh terangkum dalam surat AI-Mukminun (23): 12-14: 58 Dini Kasdu, Mila Meiliasari, dan Reino Puwaningsih, Info Lengkap Kehamilan dan Persalinan, (Jakarta: PT. Gemini Mitra Gemilang, 2007) h.33. 59 Maria Ulfah Anshor, Fikih Aborsi, Wacana Penguatan Hak Reproduksi Perempuan, h.316 43 reproduksi yang memungkinkan hamil. Hanya perempuan yang dapat mengalami kahamilan yang tidak dikehendaki. Berbagai perubahan sosial dan revisi radikal atas idiologi-idiologi yang ada mengakibatkan timbulnya perubahan. Faktor perbedaan negara dan budaya turut mewarnai kontroversi aborsi yang hingga kini masih menjadi polemik dari sudut HAM maupun agama. Pada hakikatnya masalah aborsi atau pengguguran kehamilan sepenuhnya berada dalam wilayah ilmu kebidanan. 61 Maka tidaklah mengherankan jika di sebagian negara-negara sekularis aborsi sudah menjadi bagian dari program keluarga berencana, sehingga sampai pada konvensi kependudukan di Cairo tahun 1994, aborsi diusulkan agar di masukkan sebagai salah satu cara untuk mengendalikan pertmnbuhan dan pertambahan penduduk sebagai bagian dari program KB (Keluarga Berencana). 62 Di sisi lain masih adanya negara yang mengkriminalisasikan aborsi (seperti Indonesia) dengan sikap undang-undangnya yang memandang aborsi sebagai suatu tindak pidana63 dan berbagai stigma tentang aborsi, berakibat bahwa perempuan seringkali dipojokkan, pada akhirnya memilih cara aborsi yang tidak aman dengan resiko yang membahayakan kesehatannya dan kehidupannya. 61 Hassan Hathout, llmu Kebidanan dan Persalinan Dalam Pandangan !slam, Bandung: Mizan, 2003), h.53. 62 Elga Sarapumg, dkk, ed., Agama dan Kesehatan Reproduksi, h.156 63 Ada tiga UU yang berkaitan dengan masalah aborsi yang berlaku hingga kini yaitu UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP pasal 283, 299 serta pasal 346-349, UU Nomor 7 Tahun 1984 tantang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan dan UU Nomor 32 Tahun 1992 tantang Kesehatan pasal 15 ayat (1). Lih. Maria Ulfah Anshor, Fikih Aborsi, Wacana Penguatan Hak Reproduksi Perempuan. 44 Sebagai isu yang paling kontroversial, aborsi tidak hanya dilihat dari sudut pandang kesehatan, tetapi juga sudut pandang hukum dan agama. Beberapa ha! dibawab ini bertujuan untuk mengupas masalah aborsi ditinjau dari ketiga sudut pandang diatas berikut perkembangan terakhir dalam rangka mewujudkan aborsi aman di Indonesia. a. Sudut pandang kesehatan Aborsi merupakan masalah kesehatan masyarakat karena memberikan dampak pada kesakitan dan kematian ibu. Sebagaimana diketabui penyebab utama kematian ibu hamil dan melabirkan adalab perdaraban, infeksi dan ek:lampsia. Namun sebenarnya aborsi juga merupakan penyebab kematian ibu, hanya saja muncul dalan1 bentuk komplikasi pendaraban dan sepsis. Akan tetapi, kematian ibu yang disebabkan komplikasi aborsi sering tidak muncul dalam laporan kematian, tetapi dilaporkan sebagai perdarahan atau sepsis. Hal itu terjadi karena hingga saat ini aborsi masih·merupakan masalah kontroversial di masyarakat. Sampai saat ini aborsi dianggap ilegal dan dilarang oleh agama sehingga masyarakat cenderung menyembunyikan kejadian aborsi, di samping maraknya tindakan aborsi yang terjadi di masyarakat. Tidak ada data yang pasti tentang besarnya dampak aborsi terhadap kesehatan ibu namun WHO memperkirakan 10-50% kematian ibu disebabkan oleh aborsi. 45 Abortus adalah penghentian kehamilan setelah tertanamnya telur (ovum) yang telah dibuahi dalam rahim (uterus) sebelum masa usia janin (fetus) mencapai 20 minggu. Sebelum pembahasan Iebih lanjut penulis mencoba menguraikan macam-macam aborsi serta efek yang ditimbulkannya, yaitu: !) Aborsi spontan (Abortus Spontaneus), adalah aborsi yang tidak disengaja, yang bisa terjadi karena penyakit misalnya syphilis, demam panas yang hebat, penyakit ginjal, TBC, kecelakaan, dan sebagainya. 2) Aborsi yang disengaja (Abortus Provocatus), aborsi jenis ini terbagi lagi menjadi dua macam: Pertama, Aborsi artificilis Thearapicus yaitu aborsi yang dilakukan seorang dokter atau dasr indikasi medis dengan tindakan mengeluarkan janin dari ibu yang terancam bila kelangsungan kehamilannya dipertahankan menurut pemeriksaan medis. Kedua, Aborsi Provocatus Criminalis yaitu pengguguran yang dilakukan tanpa indikasi medis untuk meniadakan hasil hubungan seks diluar perkawinan atau untuk mengakhiri kehamilan yang tudak dikehendaki. 64 Jikadiamati lebih lanjut darijenis aborsi yang kedua ini tidak lepas dari faktor-faktor yang dapat mempengaruhi peningkatan aborsi ini, diantaranya meliputi: keinginan memiliki keluarga yang lebih kecil, meningkatnya jumlah wanita usia subur, pergeseran 64 Ibid, h.l 64 46 masyarakat pedesaan ke perkotaan dan kenaikan insidensi aktivitas seksual di Iuar pernikahan. 65 Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (International Co11ference on Population and Development/ICPD) di Kairo tahun 1994 dan Konferensi Wanita di Beijing tahun 1995 menyepakati bahwa akses pada pelayanan aborsi yang aman merupakan bagian dari hak perempuan untuk hidup secara umum, hak perempuan untuk menerima standar pelayanan kesehatan yang tertinggi dan hak untuk memanfaatkan kemajuan teknologi kesehatan dan informasi secara khusus. Dengan demikian, diperlukan perlindungan hukum dalam menyelenggarakan pelayanan aborsi yang aman untuk menjamin hak perempuan dalam menentukan fungsi reproduksi dan peran reproduksi tubuhnya sendiri. Hasil penelitian /CDP kemudian menunjukkan bahwa dilegalkannya aborsi aman di sebuah negara berperan dalam menurunkan angka kejadian aborsi itu sendiri. Hal ini dikarenakan efektifitas konseling pasca aborsi mewajibkan pemakaian kontrasepsi jika mereka masih aktif melakukan seksual namun tidak ingin mempunyai anak untuk jangka waktu tertentu. 65 Marge Koblinsky, Kesehatan Wanita: Sebuah PerpektifG/oba/, Gadjah Mada University Press: Yogyakarta 1997. cetke I, h.195 47 Efek samping yang ditimbulka11 akibat aborsi menurut Ginekolog dan konsultan seks, Boyke Dian Nugraba adalah babwa "mayoritas perempuan pelaku aborsi, secara psikologis akan menderita". Menurutnya, ha! ini terbukti dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap perempuan pelaku aborsi yang menunjukkan bahwa mereka yang telab melakukan aborsi merasa kehilangan harga diri (82%), berteriak-teriak histeris (51%), mimpi buruk berkali-kali mengenai bayi (63%), ingin bunuh diri (28%), terjerat obat-obat terlarang (14%), dan tidak bisa menikmati hubungan seksual. 66 Dari uraian diatas cukup jelas babwa aborsi mengancam kesehatan dan ekonomi. Semakin besar umur kehamilan, maka makin besar pula resiko akan terjadinya komplikasi. Tiga fakta utama tentang aborsi, yang mengangkat aborsi sebagai masalab kesehatan masyarakat sehingga harus mendapatkan perhatian adalah: 67 I) Aborsi yang dilaksanakan secara tidak aman dan menjadi penyebab utama kesakitan dan kematian wanita. 2) Kebutuha11 akan induksi aborsi merupakan kenyataan yang sering dan terus-menerus dijumpai; dan 66 67 www.hidayatullah.com/index.php diakses pada tanggal 20 Januari 2008. Marge Koblinsky, Kesehatan Wanita: Sebuah Perpekti[Global, h.192 48 3) Wanita tidak perlu meninggal akibat aborsi yang tidak aman karena apabila induksi dilaksanakan secara benar dan higienis tindakan aborsi sangatlah aman. Secara ringkas dari ketiga fakta tersebut, kesakitan dan kematian akibat aborsi hampir seluruhnya dapat dicegah. WHO menganggap aborsi sebagai masalah yang gawat, dan pada rekomendasi tindakan tahun 1991 "mendorong pemerintah untuk melakukan semua upaya yang mungkin untuk menghilangkan resiko kesehatan yang berat akibat aborsi yang tidak mnan". 68 b. Sudut pandang hukum Dalam Simposium Masalah Aborsi di Indonesia yang diadakan di Jakaita pada tanggal 1 April 2000, Sumapraja menyatakan adanya kontradiksi dari isi Undang-undang No. 23/1992 pasal 15 ayat 1 sebagai berikut. "Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibn hamil dan atau janinnya dapat dilakukan tindakan medis tertentu. 69 Kalima! untuk menyelainatkanjiwa ibu hamil dan ataujaninnya merupakan pernyataan cacat hukum, karena kalimat tersebut sepertinya menjelaskan bahwa pengguguran kandungan diartikan sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu dan atau janinnya. Padahal, pengguguran 68 Ibid, h. I 97 49 kandungan tidak pemah diartikan sebagai upaya untuk menyelamatkan janin, malah sebaliknya. Tindakan medis (Pasal 15 ayat I Undang-Undang No.23 Tahun 1992) dalan1 bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun, dilarang karena bertentangan dengan nomm hukum, nonna agama, norma kesusilaan, dan norma kesopanan. Namun dalam keadaan darurnt sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu dan atau janin yang dikandungnya dapat diambil tindakan medis tertentu pula. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa dasar hukum tindakan aborsi yang cacat hukum dan tidak jelas itu menjadikan tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan aborsi rentan di mata hukum. Ditambahkan Jagi pada ayat selanjutnya yakni pasal 15 ayat 2 yakni, tindakan medis tertentu hanya dapat dilakukan jika berdasarkan: indikasi medis yang mengharuskan diambil tindakan tersebut; dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk itu dapat dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta pertimbangan ahli; dengan persetujuan ibu han1il yang bersangkutan atau suami atau keluarganya, dan pada sarana kesehatan tertentu; Penjelasan atas syarat tersebut di atas yang dimaksud indikasi medis adalah suatu kondisi yang benar-benar mengharuskan diambil tindakan medis tertentu, sebab tanpa tindakan medis tertentu itu, ibu hamil dan atau janiunya terancam bahaya maut. Sedangkan Tenaga kesehatan yang dapat 50 melakukan tindakan medis tetientu adalah tenaga yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukannya, yaitu seorang dokter ahli kandungan dan penyakit kandungan, sementara hak utama untuk memberi persetujuan ada pada ibu hamil yang bersangkutan, kecuali dalam keadaan yang tidak sadar atau tidak dapat memberikan persetujuan, dapat diminta dari suami atau keluarganya, dan sarana kesehatan tertentu adalah yang memiliki fasilitas memadai untuk tindakan tersebut dan telah ditunjuk oleh pemerintah. Bertentangan dengan pasal UU No. 23 Tahun 1992 tersebut diatas, KUHP menerangkan dan menjelaskan tentang pelarangan tindakan aborsi diantaranya: 70 Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu (pasal 346); orang yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya (pasal 348); seorang tabib, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348 (pasal 349). c. Sudut pandang agama Aborsi di dunia dan di Indonesia khususnya masih menimbulkan banyak persepsi dan bermacam interpretasi. Secara normatif, hampir 70 Siswandi Suarta, Kontroversi Seputar Aborsi, www.matrianti.org/gendervaw/arsip.htm diakses pada tanggal 6 Mei 2008. artikel dalam 51 semua agama mungkin tidak ada yang menyetujui tindakan aborsi secara bebas. Selebihnya sudut agama banyak angkat bicara mengenai aborsi ini. Dalam agama Islam mayoritas ulama klasik maupun modem berbeda berpendapat mengenai aborsi ini, sebagian berpendapat bahwa aborsi yang dilakukan sebelum 120 hari hukumnya haram dan sebagian lagi berpendapat boleh. Batasan 120 hari dipakai sebagai tolok ukur bolehtidaknya aborsi dilakukan mengingat sebelum 120 hari janin belum ditiupkan ruhnya yang berarti belum bemyawa. Dari ulama yang berpendapat boleh beralasan jika setelah didiagnosis oleh dokter ahli kebidanan dan kandungan temyata apabila kehamilan diteruskan maka akan membahayakan keselamatan ibu, maka aborsi diperbolehkan. Bahkan bisa menjadi wajib jika memang tidak ada altematif lain selain aborsi. 71 Aturan Islam mengenai aborsi tidak bisa mengabaikan apa yang sedang terjadi di belahan dunia lain, juga tidak bisa menutup mata terhadap dampak iklim global yang berubah serta implikasinya bagi umat Islam dalam perkembangannya. 72 Para ulama dahulu sepakat bahwa sesudah terjadi fase gerak pertumbuhan, janin (sesudah ditiupkan ruh pada janin yaitu sebelum 71 Laily Hanifah, Aborsi Ditirljau Dari Tiga Sudut Pandang, www.kesrepro.info/gendervaw/referensi.html, diakses pada tanggal 9 April 3008. 72 Sarapung, dkk., ed., Agama dan KesehaJan Reproduksi, h.166 artikel dalam 52 berumur 4 bulan) diberikan suatujimma 73 sebab janin menerima haknya, tetapi tidak mempunyai kewajiban. Itulah sebabnya sebagian ulama memandang aborsi dilarang atas semua muslim, sebab yang demikian itu adalah sebuah dosa yang dilakukan pada makhluk hidup. Sehingga ada tebusan-darah yang hams dibayarkan manakala janin dilahirkan hidup, dan ghurra!l4 jika janin yang dikeluarkannya mati. Sebaliknya, para ulama fikih tidak sepakat mengenai apakah hams menjatuhkan sanksi atau melarang aborsi jika dilakukan sebelum fase gerak pertumbuhan, ha! ini didasarkan atas pertimbangan bahwa belum ada kehidupan dan tidak ada kejahatan bisa dilakukan atasnya. r ' Lain halnya hukuman jika pengguguran dilakukan secara spontan ini oleh ulama disebut Isqath alAfau yang berati aborsi yang dimaafkan karena pengguguran, sehingga dalam ha! ini tidak menimbulkan akibat hukum, dan bagi pengguguran tanpa dilandasi alasan medis disebut al-Jsqath ak Ikhtiyari yang berarti pengguguran tanpa sebab yang membolehkan, sehingga ada unsur hukum didalamnya. Bagaimanapun alasan-alasan diluar medis tidak dapat diterima. Sebab jika alasannya karier atau kehidupan mewah mencerminkan watak yang 73 Ji1111na yaitu status yang rnemberi kualifikasi pada seseorang untuk melaksanakan berbagai hak dan kewajibannya. 74 Ghurrah yaitu sanksi pidana dalam Islam berupa denda yang besamya seperdua puluh bagian dari uang tebusan bagi tindakan membunuh manusia, sama dengan separuh dari diyat I 00 ekor unta yaitu 50 ekor unta, atau membayar seorang budak Iaki-laki atau perempuan (yang dapat menggantikannya). 75 Hassan Hathout, I/mu Kebidanan dan Persalinan Dalam Pandangan Islam, h.58 53 matrealistis, dan alasan tidak sahnya si anak ha! ini dikutnk Islam dengan keras karena ini merupakan produk samping dari hubungan seks gelap (perzinahan), sedangkan 'alasan jenis kelamin tidak diinginkan prilaku tersebut mencerminkan keburukan Arab jahiliyah yang mengubur bayi wanitanya hidup-hidup, dan jika kehamilan merupakan hasil perbuatan pemerkosaan adanya tindak lanjut dari serangan seks tersebut untuk mencegah terjadinya implementasi ovum yang telah dibuahi. 76 Sebagaimana firman Allah SWT: Artinya: Katakanlah : "Mari/ah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu : Janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang tampak di antaranya maupun yang tersenbunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya). ( Q.S, al-An'am: 151) 76 Sayyid Muhammad Ridhwi, Perkmvinan dan Seks dalam Islam, (Jakarta,PT. Lentera Basritama: 1997), cet.3, h.119 54 Sementara dalam agama Kristiani tidak tercantum di al-kitab ayat yang memperbolehkan aborsi. Secara tegas tercantum pada Surah Yeh 16:20:24 dan surah Yer 1:5. Baik dalam Katolik maupun Protestan secara tegas tidak dibolehkan melakukan aborsi karena perbuatan tersebut dinilai pelanggaran sebagai dosa besar. Memang perlu diakui, dalam Kitab Suci Perjanjian Baru masalah aborsi tidak disebut secara eksplisit. Tetapi, dalam buku Didakhe (sebuah kumpulan teks yang sangat berwibawa dalam ajaran Katolik) aborsi sudah dicantumkan dalam daftar dosa besar. Prof John Noonan (Universitas California, Berkeley) telah menyelidiki seluruh tradisi Kristen ini dalam tulisannya An Almost Absolute Value in History (1970). Isi dari tulisan ini secara khusus menganggap penolakan terhadap aborsi sebagai suatu nilai yang hampir tidak ada pengecualian dalam sejarah agama Kristen. Walaupun pada mulanya embrio belum dianggap manusia sungguhan, dalam tradisi Kristen aborsi selalu dilarang. Alasannya tidak sulit dipahami: embrio awal itu sudah merupakan manusia potensial dan kalau berkembang secara nonnal akan lahir sebagai manusia. 77 Selain itu dalam Theology Hinduisme Aborsi dalam tergolong pada perbuatan yang disebut "Himsa kaima" yakni salah satu perbuatan dosa yang disejajarkan dengan membunuh, meyakiti, dan menyiksa. Membunuh dalam pengertian yang lebih dalam sebagai "menghilangkan nyawa" Oleh karena 77 K. Bertens, Aborsi di Tengah Polarisasi "Pro life"- "Pro Choice", mtikel dalam www.kompas.com/gayahidup/index.htm, diakses pada tangal 6 Mei 2008 55 -----. i-·-·--~--·-~-~- ! ' l"EliltPllSTAKl\Al\l UtNSYAHIDJAMRTA I J itulah perbuatan aborsi disetarakan dengan menghilangkan nyawa. Kitab-kitab suci Hindu antara lain Rgveda 1.114.7 menyatakan: "Ma no mahantam uta ma no arbhakam" ru"tinya : Janganlah mengganggu dan mencelakakan bayi. Atharvaveda X.1.29 : "Anagohatya vai bhima" artinya : Jangan membunuh bayi yang tiada berdosa. Dan Atharvaveda X.1.29 : "Ma no gam asvam purusam vadhih" artinya : Jangan membunuh manusia dan binatang. Pembuahan sel telur dari basil hubungan seksual lebih jauh ditinjau dalam falsafah Hindu sebagai sesuatu yang harusnya disakralkan dan direncanakan. Baik dalam Manava Dharmasastra maupun dalrun Kamasutra selalu dinyatakan bahwa perkawinan menurut Hindu adalah "Dharmasampati" artinya perkawinan adalah sakral dan suci karena bertujuan memperoleh putra yang tiada lain adalah re-inkru·nasi dari roh-roh para leluhur yang harus lahir kembali menjalani kehidupan sebagai manusia kru·ena belum cukup suci untuk bersatu dengan Tuhan atau dalrun istilah Theology Hindu disebut sebagai "Amoring Acintya". 78 Bahkan dalrun pandangan agama Buddha, aborsi merupakru1 perbuatan yang terlarang karena aborsi dapat dikatakan sebagai suatu tindakan pengguguran kandungan atau membunuh makhluk hidup yang sudah ada dalam rahim seorang ibu. Syarat yang harus dipenuhi terjadinya makhluk hidup: 78 Bhagawan Dwija, Mengenal Agama Hindu: Aborsi Dalam Theology Hinduisme, artikel dalam www.singaraja.wordpress.com diakses pada tanggal 6 Mei 2008 56 * Mata utuni hoti yaitu masa subur seorang wanita * Mata pitaro hoti yaitu terjadinya pertemuan sel telur dan sperma. * Gandhabo paccuppatthito yaitu adanya gandarwa, kesadaran penerusan dalam siklus kehidupan baru (pantisandhi-citta) kelanjutan dari kesadaran ajal (cuti citta), yang memiliki energi karma. Dari penjelasan diatas agama Buddha menentang dan tidak menyetujui adanya tindakan aborsi karena telah melanggar pancasila Buddhis, menyangkut sila pertama yaitu panatipata. Suatu pembunuhan telah terjadi bila terdapat lima faktor sebagai berikut : * Ada makhluk hidup (pano) * Mengetahui atau menyadari ada makhluk hidup (pannasanita) * Ada kehendak (cetana) untuk membunnh (vadhabacittam) * Melakukan pembunuhan ( upakkamo) * Makhluk itu mati karena tindakan pembunnhan ( tena maranam) Apabila terdapat kelima faktor dalam suatu tindakan pembunnhan, maka telah terjadi pelanggaran sila pertama. Oleh karena itu sila berhubungan erat dengan karma maka pembunuhan ini akan berakibat buruk yang berat atau ringannya tergantung pada kekuatan yang mendorongnya dan sasaran pembunnhan itu. Bukan hanya pelaku saja yang melakukan tindak pembunnhan, ibu sang bayi juga melakukan ha! yang sama. Bagaimanapun 57 mereka telah melakukan tindak kejahatan dan akan mendapatkan akibat di kemudian hari, baik dalam kehidupan sekarang maupun yang akan datang. Dalam kitab Weda bab Majjhima Nikaya:J35 Buddha bersabda "Seorang pria dan wanita yang membunuh makhluk hidup, kejam dan gemar memukul serta membunuh tanpa belas kasihan kepada makhluk hidup, akibat perbuatan yang telah dilakukarmya itu ia akan dilahirkan kembali sebagai manusia di mana saja ia akan kembali lahir, umurnya tidaklah akan panjang". 79 Berbeda dengan agama Yahudi, aborsi tidak dianggap sebagai suatu pelanggaran dan pelakunya tidak dikenakan sanksi jika janin yang gugurkan belum sampai 40 hari karenajanin masih disebut cairan biasa (maya d'alma). Agama ini meyakini bahwa janin yang ada dalam rahim tidak dianggap sebagai manusia dan dianggap belum ada kehidupan di dalam rahim. Namun demikian, kehadiran janin mempunyai konsekwensi etika, yaitu ada sanksi bagi tindakan pengguguran kandungan walau tidak seberat dengan sanksi jika membunuh bayi, tercantum dalam bab exodus (keluaran) 21:22. Sebagian rabbi berpendapat bahwa janin yang telah lewat 40 hari sudah memliki kehidupan dan melakukan pengguguran sesudah itu dianggap pembunuhan dan sanksinya sama dengan membunuh bayi yang telah lahir. 79 Paitiyem, Aborsi Menurul Pandangan Agama Buddha, www.wanitabuddhisindonesia.org/sejarah.html diakses pada tanggal 6 Mei 2008 artikel dalam 58 Hukum agama Yahudi melarang aborsi dengan landasan rasional karena aborsi termasuk tindakan yang mengarah kepada pembunuhan makhluk hidup (calon bayi); aborsi dapat menyebabkan Iuka atau cidera pada tubuh; aborsi merugikan secara finansial; Dari berbagai sudut pandang yang ada di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak ada satu agamapun yang memperbolehkan tindakan aborsi karena pada dasarnya setiap agama memuliakan derajat manusia walau berbeda tingkatan umur diharamkannya aborsi. Berbeda jika ada alasan medis untuk menyelamatkan nyawa si ibu dari ancaman kematian baik karena penyakit ataupun karena spontanitas (kecelakaan). Selain pandangan kesehatan, hukum dan agama dalam melihat aborsi, dapat dikemukakan juga pandangan feminis mengenai aborsi ini, dimana pandangannya lebih global berdasarkan pada ketentuan dalam Konvensi Wanita ataupun instrumen lain atas nama Hak Asasi Manusia. Tentunya ini menjadi ukuran yang menjadikan aborsi sebagai suatu yang kontroversi karena pemahaman feminis ini cenderung berseberangan dengan nilai-nilai agama. Dalam idiologi feminis, aborsi dipandang sebagai satu upaya untuk mewqjudkan kesehatan secara mental dan sosial, sebab seorang perempuan yang mengalami kehamilan tidak diinginkan (KTD) merasakan ketidaknyamanan dalam hidupnya. 80 Pada banyak negara khususnya di Barat, ' Jslan1. 0 Ummu Fadhiilah, artikel Hak-Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan Dalam Pandangan 59 akses untuk melakukan aborsi jauh lebih mudah dijangkau oleh kaum perempuan, walau tanpa indikasi medis sekalipun. Maka tidaklah mengherankan "aborsi berdasarkan keinginan" merupakan kebijakan yang dijalankan secara praktis dan telah menjadi lumrah dalam dunia barat karena dipengaruhi berbagai faktor sebagai berikut: I. Karena pilihan anak atau karier; 2. Karena pilihan antara anak atau kehidupan mewah; 3. Karena tidak sahnya si anak; 4. Karena jenis kelamin anak yang salah (tidak dikehendaki); 5. Karena pemerkosaan; Menurut kalangan feminis ini, ada beberapa hak individu yang berkenaan ketat dengan aturan tindakan aborsi. Pelarangan dengan dalih agama, kesehatan maupun hukum memegang peranan tidak kalah kecil dalam upaya pelegalan aborsi ini, yang dimaksud aturan ketat tersebut antara lain, yaitu: pertama dalih agama bahwa aborsi dinilai sebagai tindakan yang tidak bermoral, pemerintah menjadikan aborsi sebuah paradox yang cenderung munafik sebab diberlakukannya aborsi atau dilarangnya aborsi tidak akan mempengaruhi jumlah hubungan 'bercinta' secara bebas. Kedua aborsi jelas menjadi hak kaum perempuan, apalagi ketika tidak menghendaki atas keberadaan sosok janin dengan alasan kesehatan, psikologis ataupun tidak 60 berkenannya sang ibu. Ketiga bisa dibayangkan jika sang janin adalah akibat perkosaan yang tidak dikehendaki oleh sang ibu. 81 Walaupun tidak tampak kontradiksi, hak individu yang dikaitkan dengan standar moral dan etika menjadi sangat relatif ketika ada pertanyaan apakah janin itu juga sudah memiliki Hak Asasi Individual ? Bila sudah, berarti hak tersebut juga harus ikut diperhitungkan dalam pengambilan keputusan abortus tersebut. Aborsi memang merupakan bagian dari hak reproduksi dan kesehatan reproduksi ketika memang diperlukan, tetapi pemenuhannya perlu diatur dengan jelas. Pengaturan itu ditujukan untuk memberi jalan keluar bagi perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan, sekaligus untuk mengurangi angka kematian ibu yang disebabkan oleh aborsi yang tidak aman, dengan menetapkan berbagai syarat yang sesuai dengan norma-norma yang dianut dalam masyarakat tersebut. Dengan pertimbangan fakta yang terjadi bahwa para perempuan yang telah diaborsi janinnya, sejatinya telah dirusak secara fisik dan telah porakporanda psikisnya hingga menderita. Lain halnya ketika feminis Barat memanfaatkan isu mengenai hak dan kesehatan reproduksi perempuan sebagai bantuan kemanusiaan dan mengangkat ide kebebasan yang sekular mendorong perempuan kepada gaya hidup yang permissif. 81 Aborsi Sebagai Hak Perempuan, artikel dalam www.apakabar.ws/forum/viewtopik.php diakses pada tanggal 16 April 2008. 61 2. FGM (Female Genetal Mutilation) FGM adalah tindakan memotong sebagian atau seluruh alat kelamin perempuan bagian luar atau membuat Iuka terhadap organ kelamin perempuan berupa klitoris. 82 Biasanya dilakukan atas nama budaya, adat, agama atau alasan-alasan lain di luar alasan-alasan bagi kesehatan atau penyembuhan. Dalam WHO Information Fact Sheet No.241 Juni 2000, FGM disamakan dengan sirkumsisi pada wanita, yaitu prosedur pengangkatan sebagian atau seluruh bagian dari organ genital luar wanita. Persamaan FGM dan sirkmnsisi disamakan lagi dengan FGC (Female Genital Cutting). 83 Ketiganya mempunyai persamaan pengertian yaitu tindakan pada organ genital wanita dengan tujuan melukai. Dalam Islam dikenal dengan istilah khitan atau sunnat. 84 Istilah FGM lebih dekat dengan demaging. Istilah ini dianggap bermakna politis dan setingkali digunakan sebagai advokasi aktifis hak-hak perempuan karena menekankan pada sisi negatif dari FGM. Sedangkan Female Genetal Cutting dianggap netral karana mengindikasikan prosedur pemotongan genital yang bersifat umum, adil, dan kondusif baik laki-Iaki maupun perempuan baik secara medis maupun nonmedis. 82 Klitoris yaitu homolog dengan penis pada pria, organ wanita yang sangat sensitif, merupakan tunggul erektil yang mengandung banyak urat syaraf sensorik pembuluh darah. 83 Sulistyowati lrianto, Perempuan dan Hukum, Menuju Hukum yang Berspektif Kesetaraan dan Keadilan, h.491. 84 Secara bahasa khitan berarti kuluf (kulit) yang menutupi kepala penis, menurut istilah syara' khitan adalah bundar ujung hasafat, yaitu tempat pemotong kulit penis. 62 Jika diklarifikasikan tingkatan jenis menurut pelaksanaannya FGM maupun FGC mempunyai kesamaan (kecuali nomor 4), yaitu: 1. Sirkumsisi atau "Khitan" yaitu proses pengangkatan bagian permukaan tanpa diikuti pengangkatan sebagian atau seluruh bagian klitoris. 2. Clitorydectomy yaitu pengangkatan klitoris yang sering diikuti pengangkatan labia minora. 3. Infabulation yaitu pengangkatan labia mayora serta menempelkan kedua sisi vagina dengan jalan menjahit atau menyatukan secara alami jaringan yang terluka, dilakukan dengan hanya menyisakan lubang kecil untuk keluarnya darah menstruasi dan urine. 4. Introcission dalam FGM prosedur ini lubang vagina diperlebar dengan cara dirobek dengan jari dilakukan pada wanita yang mencapai usia puber. Sedangkan dalam FGC tindakan menusuk jarum baik dipermukaan saja atau sampai menembus, merenggangkan k:litoris dan atau vagina, kauterisasi klitoris dan jaringan disekitarnya, menggores jaringan introitus vagina atau memotong vagina atau memasukkan benda-benda atau tumbuhan agar vagina mengeluarkan darah. 85 Khitan bagi laki-laki secara medis adalah sehat dan akan menambah kenikmatan seksual. Sebaliknya, khitan pada perempuan justru bernilai negatif dari sudut kebutuhan pemenuhan hasrat seksualnya karena dapat " Kebijakan Depm·temen Kesehatan Terhadap Medikalisasi Sunat Perempuan, dalam http://www.pdpersi.eo.id/?show=detailnews&kode= I 002tbl=biaswanita.html diakses pada tanggal 6 Febuari 2008. 65 berpendapat sunat pada perempuan itu mubab, sebab menurutnya Rasul punya anak perempuan satu-satunya, tetapi tidak diketahui apakab ia disunat atau tidak. 91 Adapun mengenai keberatan yang dikemukakan dari kalangan feminis terhadap pelaksanaan khitan perempuan ini yaitu jika alasan dilakukannya khitan demi kemaslabatan yang lebih besar (memberikan kemuliaan bagi kaum wanita), yang konon ditujukan agar perempuan lebih terkendali libidonya dengan cara memotong sedikit (klitoris ). Lain halnya dalam Islam, khitan dilakukan selama "perlakuan" terhadap fisik wanita untuk mencari identitas, kebutuhan, dan kelaziman (termasuk kelanjutan agama), akan menjadi hal yang wajar dan bukan merupakan suatu tindak kekerasan atau penganiayaan, sebagaimana tradisi tindik kuping dan hidung bagi wanita yang tidak mendapat protes dari kaum feminis. 92 Pada perkembangannya pelaksanaan khitan dalam Islam sering diminimalkan pada prakteknya, cukup dengan sekedar membasuh atau mencolek ujung klitoris dengan jarum, walaupun ada juga yang memotong ujung klitoris yang tujuannya hanya sekedar agar mengeluarkan sedikit darab. 93 Lain halnya WHO (World Health Organization) yang memasukkan sunat perempuan sebagai bentuk penyiksaan (torture), sehingga dimasukkan 91 Saha! Mahfudz, "Islam dan Hak Reproduksi perempuan Perspektif Fiqih", dalam Syafiq Hasyim, Menakar Harga Perempuan, (Jakarta: Mizan, 1999), h.127. 92 Setiawan Budi Utomo, Fiqih Aktua/ .Jawaban Tun/as Masa/ah Kontemporer, (Jakarta: Gema lnsani Press, 2003), h.289 93 Sumarni D. W ., dkk., Sunat Perempuan di Bawah Bayang-Bayang Tradisi, (Yogyakarta PSKK UGM dan Ford Foundation; 2005).h.5 66 ke dalam salah satu bentuk kekerasan pada wanita, walaupun dilakukan oleh tenaga medis. Berbagai pihak juga menganggap sunat perempuan bertentangan dengan hak asasi manusia terkait dengan tidak adanya informasi yang pasti, tekanan patriakal, dan kekerasan terhadap wanita barkaitan dengan penderitaan se1ia dampak yang timbui. 94 Khitan biasa dilakukan oleh tenaga medis, dukun bayi, atau tukang sunat. Alat yang digunakan bervariasi mulai dari peralatan medis (gunting, scapula) sampai pada alat-alat tradisional (pisau, jarum,bamboo, kaca). Dan apabila seorang jum khitan melakukan kesalahan, maka sanksi yang hams dipertanggungjawabkan dalam Islam bempa qishas, iwadh (ganti), dan diyat (tebusan). 95 Penulis menyimpulkan bahwa apa yang dimaksud oleh WHO mengenai praktik FGM berbeda dengan apa yang telah dipraktikkan dalam Islam, sehingga terkesan adanya kesalahpahaman atas penafsiran khitan (FGM, FGC atau cirkumsisi dalam istilah internasional). Sebagaimana dalam pelaksanaannya, praktek khitan berdasarkan anjuran agama tidak diikuti dengan kekerasan. Jika dilihat kembali dari uraian singkat diatas mengenai apa yang telah digambarkan oleh WHO maupun para feminis-feminis. Penulis beranggapan bahwa pada kenyataannya gambaran yang dibuat WHO maupun 94 http://www.pdpersi.co.id/?show=detailnews&kode= I 002tbl=biaswanita.html Nur Aulia Solihah, Sunat Perempuan, Perlu Nggak Sih?, http://nuraulia.multiply.com/jurnal/item/161/Sunat_Perempuan_Perlu _ Gak_ Sih.html diakses pada tanggal 6 Februari 2008. 95 67 feminis-feminis tersebut, terlihat jauh berbeda dengan apa yang digambarkan dalam Islam, baik aturan pelaksanaan maupun efek samping yang ditimbulkan dari khitan ini. Pelaksanaan khitan dalam Islam menurut pandangan WHO masih diikuti dengan kekerasan, yang disama artikan dengan khitan dinegara-negara lain yang melakukannya berdasarkan adat. Namun pada prakteknya khitan dalam Islam hanya memotong sedikit ujung klitoris atau hanya sekedar terlihat mengeluarkan darnh. Bahkan pada perkembangannya, praktek khitan hanya simbolis dengan menggoreskan benda tumpul pada klitoris. Lain ha! ketika khitan dilakukan berdasarkan adat, yaitu dengan kekerasan. Pada prakteknya khitan dilakukan dengan cara memotong bagian lybiaminora diikuti penjahitan lybiamayora dengan menyisakan sedikit lubang untuk menstruasi (FGM). Jenis khitan seperti ini yang harusnya memang dilarang keras oleh WHO. Bahkan dalam agamapun dilarang melukai tubuh seseorang (al-maqosid syariah). C. Instrumcn Hokum Yang Memberi Perlindungan Bagi Kcschatan Perempuan di Indonesia Secara yuridis normatif, berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia telah memberikan perlindungan atas hak kesehatan perempuan, walaupun dalam skala yang masih urnurn. Adapun peraturan perundang-undangan yang memuat perlindungan atas hak kesehatan perempuan ialah sebagai berikut: • UUD 1945 (Hasil Amandemen), 68 Asas persamaan antara laki-laki dan perempuan, dicantumkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (pasal 27 ayat 2), dan Semua orang berhak hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya itu (pasal 28 A). Ini berarti setiap orang bebas dari perlakuan yang diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif (pasal 28 A ayat 2), karena pada dasamya semua orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang sehat dan berhak memperoleh pelayanan kesehatan (pasal 28 H ayat I), sehingga negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak (pasal 34 ayat 3). • Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (CEDAW). Dalam CEDA W ada beberapa pasal yang berkaitan langsung dengan perlindungan hak reproduksi wanita, yaitu: 1. Negara-negara peserta dianjurkan membuat peraturan-peraturan dan tindakan khusus, termasuk ketentuan-ketentuan sebagaimana yang telah ditentukan oleh konvensi yang tujuannya adalah untuk melindungi kehamilan, sehingga tidak dianggap sebagai diskriminasi (pasal 4 ayat 2). 69 2. Pentingnya wanita memperoleh pendidikan dan penerangan edukatif khusus untuk membantu menjamin kesehatan dan kesejahteraan keluarga, termasuk penerangan dan nasehat mengenai keluarga berencana (pasal 10 ayat 8). 3. Adanya kewajiban negara-negara peserta ratifikasi untuk menjamin hak efektif wanita dalam bekerja serta terlindunginya hak wanita sebagai tenaga kerja yaitu dihapusnya pembagian ke1ja terhadap wanita atas dasar perkawinan atau kehamilan, serta menetapkan sanksi bagi perusahaan yang melakukan pelanggaran (pasal 11 ayat (2), khususnya mengatur persoalan mengenai: Pelarangan pemecatan atas dasar kehamilan atau cuti hamil dan diskriminasi dalam pemberhentian atas dasar status perkawinan; Cuti hamil dengan bayaran atau tunjangan sosial, tanpa kehilangan pekerjaan semula; Penyediaan pelayanan sosial yang memungkinkan para orangtua menggabungkan kewajiban-kewajiban keluarga dengan tanggung jawab peke1jaan dengan meningkatkan pembentukan dan pengembangan suatu jaringan tempat-tempat penitipan anak; Perlindungan khusus kepada wanita selan1a kehamilan dari jenis pekerjaan yang terbukti berbahaya bagi mereka; 4. Perlunya perlindungan terhadap hak wanita di bidang pemeliharaan kesehatan dan menJamm diperolehnya pelayanan kesehatan, pelayanan yang layak berkaitan dengan kehamilan, persalinan, dan masa sesudah persalinan, dengan memberikan pelayanan secara cuma-cuma dimana 70 perlu, serta pemberian makanan bergizi yang cukup selama kehamilan dan masa menyusui (pasal 12). 5. Terdapat kesamaan jaminan pemeliharaan kesehatan yang memadai bagi wanita yang berada dipedesaan yaitu dalam memperoleh fasilitas pemeliharaan kesehatan berupa penerangan, penyuluhan, dan layanan dalam keluarga berencana Pasal 14 ayat (2). • Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1994 tentang Kesehatan. Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal (pasal 4), hak kesehatan yang diperoleh seorang istri meliputi kesehatan pada masa prakehamilan, kehamilan, pascapersalinan dan masa di luar kehamilan, dan persalinan (pasal 14). Sedangkan dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu (aborsi, dll) yang hanya dapat dilakukan: berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut; oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli; dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya; pada sarana kesehatan tertentu. Tindakan medis tertentu dilakukan berdasarkan Peraturan Pememerintah (pasal 15). • Undang-Undang Nomor 39 Tal1un 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Menjamin wanita dalam memperoleh haknya serta memberi perlindungan khusus bagi pelaksanaan peke1jaan atau profesinya terhadap hal-hal yang 71 dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita (pasal 49 ayat 2) dan Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi reproduksinya, (pasal 49 ayat 3). • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). KDRT adalah perbuatan terhadap perempuan dalam lingkup rumah tangga, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum (pasal 1 ayat 1). Perbuatan-perbuatan tersebut termasuk tindakan yang dilarang dalam rumah tangga (pasal 5). Sedangkan jenis perbuatan yang termasuk kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau Iuka berat (pasal 6). Dalam tindakan pelaksaan strategi dan perencanaan untuk menurunkan angka kematian ibu, maka telah dikeluarkan berbagai ketetapan di bidang kesehatan, yaitu sebagai berikut: I. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 433/MENKES/SKN/1998 tentang pembentukan Komisi Kesehatan Reproduksi, terdiri atas empat Pokja, yaitu: 1) Pokja Kesehatan ibu dan bayi baru lahir, 2) Poltja KB, 3) Pokja kesehatan reproduksi remaja, dan 4) Pokja reproduksi usia Ianjut. Kebijakan yang dicanangkan adalah persalinan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan terlatih, setiap komplikasi obstetri dan neonatal 72 mendapat pertolongan yang culrnp, dan terciptanya kemndahan bagi perempuan usia subur dalam mendapatkan akses pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan dan penanganan komplikasi pasca keguguran. 2. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 230/MENKES/SK/II/2003 tentang tindak lanjut Deklarasi dan Kesepakatan Kerangka Aksi Beijing, bidang kritis "Perempuan dan Kesehatan" dalam ha! pelayanan: kemandulan, KB yang optimal, penyuluhan HIV/AIDS, aborsi, Komunikasi Informasi Edukasi (KIE), kesehatan reproduksi dan seksual remaja, peniadaan sunat dan mutilasi anak perempuan, dan kesehatan lanjut usia (lansia) 3. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1457/MENKESIX/2003 tentang standar pelayanan minimal bidang kesehatan di kabupaten dan kota. 4. SK Menteri Kesehatan No 1202 Tahun 2003 tentang Indonesia sehat 2010, terdapat kebijakan untuk menurunkan AKI, yang intinya upaya penmunan AKI sampai tahun 2010 sebesar 150: 100.000 angka kelahiran hidup. 74 Artinya: "katakanlah kepada laki-laki yang beriman: hendaklah mereka menahan pandangannya da memelihara alat kelaminnya (oragan reproduksinya), yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang diperbuat oleh mereka. Katakanlah kepada perempuan-perempuan yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara alat kelaminnya (organ reproduksinya) ... " Merujuk pada ayat di atas, kalangan feminis (muslim) berpendapat adanya upaya antisipatif yang ekstrim dalam Islam, menyangkut organ-organ reproduksi dan fungsi-fungsinya, misalnya, Jarangan berhubungan seksual sebelum pernikahan, baik atas saling menyukai atau tidak. Sebaliknya, Islam mengarahkan pemanfaatan fungsi alat-alat reproduksi tersebut kepada earn yang sehat dan bertanggungjawab yaitu melalui Jembaga perkawinan. Ada banyak persoalan yang berkaitan dengan hak-hak reproduksi, diantaranya perkawinan, hubungan seksual dengan segala problemanya, kehamilan dengan segala keterkaitannya, misalnya menyangkut aborsi, kelahiran perawatan dan pengasuhan anak. Penulis dalam ha! ini berusaha memaparkan pandangan Islam tentang hak reproduksi perempuan yang secara metodologis dijabarkan melalui tafsiran fiqih. Adapun hak-hak reproduksi perempuan tersebut secara umun1 antara lain hak menikmati hubungan seksual, hak menolak hubungan seksual, hak mengatur kehamilan, dan hak cuti reproduksi. 75 1. Hak menikmati hubungan seksual Sebagai makhluk yang berakal sempurna, manusia mempunyai naluri untuk melangsungkan hidupnya juga melangsungkan keturunannya, sehingga terdapat dalam diri manusia naluri untuk berseksual. Dalam Islam semua naluri kemanusiaan mendapatkan tempat berharga dan terhormat. Naluri seksual harus disalurkan dan tidak boleh dikekang karena pada akhirnya akan menimbulkan dampak-dampak negatif, bukan hanya terhadap tubuh, tetapi aka! dan jiwa. Nikah atau kawin pada dasarnya adalah hubungan seksual (persetubuhan). Dalam terminologi sosial, nikah dirumuskan secara berbedabeda sesuai dengan perspektif dan kecenderungan masing-masing orang. Sebagian orang menyebut nikah sebagai penyatuan laki-laki dan perempuan dalam ikatan yang disahkan oleh hukum. Dalam fiqh, mayoritas ahli fiqh mendefinisikan nikah sebagai hak laki-laki atas tubuh perempuan untuk tujuan penikmatan seksual. Meskipun dengan bahasa yang berbeda-beda tetapi ada kesepakatan mayoritas ulama mazhab empat dalam mendefinisikan nikah sebagai akad yang memberikan kepemilikian kepada laki-laki untuk memperoleh kesenangan dari tubuh seorang perempuan, karena mereka sepakat bahwa pemilik kesenangan seksual adalah laki-laki. 96 96 Wahbah az-Zuhaili, dikutip oleh Husaian Muhammad, Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan Da/am Al-Qur'an, artikel dalam http:// www.albarokah.or.id diakses pada tangga 25 febuari 2008 76 Namun demikian, sebagian ulama mengatakan lain seperti Dr. Wabbab Az-Zuhaili, berpendapat babwa hak penggunaan kepuasan seksual tidak semata hanya milik laki-laki tapi juga milik perempuan, sehingga isteri juga berhak menuntut hubungan seks kepada suami dan suami berkewajiban memenuhinya. Dengan demikian terlihat adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban, perempuan memiliki hak atas laki-laki sebagaimana laki-laki memiliki hak atas perempuan. 97 2. Hak menolak hubungan seksual Islam mengajarkan bahwa semua naluri biologis harus dipenuhi dengan cara yang di ridhai, bukan melalui cara yang dimurkai. Hak perempuan dalam menyalurkan naluri seksualnya adalab setara dengan hak laki-laki atasnya. Ini berarti bal1wa relasi seksual harus dilakukan berdasarkan atas asas kesamaan atau asas kesetaraan, maka diperlukan kesediaan kedua belah pihak untuk saling menerima dan memberi hendaknya dilakukan secara tulus, bukan paksaan. Dapat pahami dalam hadits Nabi SAW "Apabila seorang suami mengajak isterinya ke tempal tidur, lalu ia menolak dan (karena itu) suami merifadi marah, maka malaikat akan melaknat isteri terse but sampai pagi ". (H.R. Bukhari dan Muslim). Kata menolak dalam konteks tersebut perlu diketabui alasannya yaitu atas dasar apa penolakan tersebut dilakukan isteri. Jika alasan penolakan itu 97 Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh Wa Adillatuh, (Damaskus: Dar alfikr, 1985), cet. Ke-2, jilid 4. h.327. dalam skripsi Nur Rohmayati, (Skripsi) h.40 77 sungguh-sungguh dilakukan atas dasar alasan-alasan kemanusiaan, seperti sakit, lelah, capek, atau tidak sedang bergairah maka tentu sangat dapat dibenarkan. Sementara jika penolakan isteri berdasarkan alasan logis yang memenuhi kriteria syar"I, maka ia (isteri) tidak berhak dipersalahkan juga apalagi dilaknat. 98 Apabila hubungan seksual lebih dipandang sebagai kewajiban semata, maka perempuan cendernng akan bersifat pasif dan tidak memiliki pilihan selain melakukannya. Namun jika hubungan dilakukan dipandang sebagai hak, maka perempuan berhak memilih apakah ia melakukannya atau tidak, artinya ia memiliki hak untuk menolak ataukah menerima ajakan suaminya. 99 Walaupun pada dasarnya isteri memiliki kewajiban untuk melayani suami, namun jika isteri tidak merasa terangsang untuk melayaninya maka ia boleh menangguhkan ajakan suan1i sampai tiga hari. 100 Dan apabila penolakan isteri terhadap ajakan suami tidak didasari alasan yang logis maka tindakan isteri bisa digolongkan sebagai perbuatan nusyuz dan suami berhak memberikan pelajaran melalui tiga tahapan yang tercantum dalam Q.S An-Nisa, 4;34 : 98 Siti Musdah Mulia, Islam & Jnspirasi Keselaraan Gender. (Yogyakarta: Kibar Press,2007). h.210 99 Nur Rohmayati, "Hak Reproduksi Perempuan Menurut Hukum Islam dan Hukum lnternasional" (Skripsi 2003) h.40 100 Abu Ishak asy-Syairazi, al-Muhazzab, jilid 2, h.70 dalam skripsi Hak Reproduksi Peretnpuan Menurut Hukum Jsla1n dan Hukum Internasiona, h.43 78 Artinya: " ...... Wanita-wanita yang kamu khawatir nuzyuznya, maka nasehatilah mereka, dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka. Jika mereka masih berbuat nuzyuz, maka linggalkanlah islri di tempat tidur sendirian. Jika masih tetap juga, maka pukullah ia ...... " Dari dalil ·yang dikemukakan di atas, seharusnya hak-hak reproduksi perempuan telah terlindungi untuk bebas dalam melakukan atau tidak melakukan hubungan seksual. 3. Hak menentukan kehamilan Kehamilan dan memiliki anak adalah naluri dan fitrah manusia, bagi perempuan pada umumnya dianggap sebagai lan1bang kesempurnaan. Akan tetapi, keadaan akan menjadi lain ketika reproduksi berjalan secara over produktif. Hal ini bisa menjadi beban berat terutama bagi perempuan, menyangkut sejumlah aspek kehidupan seperti kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. 101 Salah satu hak para ibu dalam ha! mengatur kehamilan adalah hak untuk menentukan alat kontrasepsi macam apa yang cocok yang tidak menimbulkan terlalu banyak dampak negatif, mudharat bagi dirinya. 102 Kepedulian Islam terhadap reproduksi perempuan terutama dalam ha! menentukan kehamilan terlihat pada penerapan metode menjarangkan anak 101 Siti Musdah Mulia, Islam & lnspirasi Kesetaraan Gender, h.212 Masdar F. Mas'udi, Islam & Hak-Hak Reproduksi Perempuan Dialog Fiqih Pemberdayaan, (Bandung, Mizan;2000), h.148 102 79 yaitu dengan cara melakukan penyusuan selama dua tahun penuh atau 24 bulan, sangat baik dan tepat ditambah jarak kehamilan minimal 6 bulan sehingga masa menyusui dan masa hamil kembali be1jumlah 30 bulan. Dengan mengambil jarak yang cukup untuk bereproduksi kembali berarti mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang tidak diinginkan terhadap ibu dan anak. Ini adalah bukti bahwa sejalan dengan ajaran Islam yang selalu memperhatikan kesehatan tidak pernah mengabaikan reproduksi perempuan termasuk hak-hak didalamnya. 103 Salah satu program pemerintah dalam rangka pembangunan nasional yaitu menekan angka kelal1iran, dengan membuat program Keluarga Berencana (KB) yang fungsinya memudahkan para ibu dalam mengatur dan menentukan kehamilan. Setelah uji coba penerapan keluarga berencana ini dimasyarakat berdampak positif, istilah KB ini resmi dipakai di dalam negara kita, seperti Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Keluarga Berencana dapat bermakna Tanzim an-Nasl atau familiy planning yang berarti pengaturan keturunan dan dapat pula bermakna Tahdid an-Nasl atau birth control yang berarti pembatasan kelahiran. 104 Pada hakekatnya Islam telah mengijinkan suami istri yang bermaksud mengatur kehamilan, sebagian ulama berpendapat dalam mengatur kehamilan tersebut dapat dilakukan berbagai cara baik menggunakan kondom, pi!, ataupun spiral atau 103 Nur Rohmayati, "Hak Reproduksi Perempuan Menurut Hukum Islam dan Hukum Internasional" (Skripsi 2003), h.42 104 Ibid h. 47 80 obat-obat lain yang dapat menghalangi terjadinya pembuahan. Islam juga menawarkan cara lain dalam mengatur kehamilan dengan metode azl (coitus interuptus), yaitu pelepasan sperma di luar fa1j. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Jabir r.a. "kami melakukan azl pada masa Rasulullah saw, sedang Al Quran masih tetap diturunkan, " (HR Bukhari) 4. Bak Cuti Reproduksi Ketika fungsi reproduksi berjalan, pengaruhnya bagi yang bersangkutan bukan saja terasa pada fisik-biologis tapi juga sekaligus pada mental-psikologis. Maka yang di sebut sebagai "cuti reproduksi" pun dapat ditemukan di berbagai tradisi masyarakat. Dalam Islam cuti reproduksi termasuk salah satu hak bagi perempuan dengan maksud yakni melindungi kondisi kesehatan mereka, baik fisik maupun mental. 105 Sebagian ulama mendukung agar perempuan yang menjalani proses reproduksi seperti hamil atau melaliirkan, dibebaskan dari beban lain karena alasan pengaruhnya terhadap fisik dan phisikis, yang jika dipaksakan akan menggangu kesehatan perempuan sekaligus berpengaruh pada masa depan anak. 106 B. Dasar Hokum Islam Yang Menguatkan Hak-Hak Kesehatan Perempuan DalamCEDAW 105 Masdar F. Mas'udi, Islam & Hak-Hak Reproduksi Perempuan Dialog Fiqih Pemberdayaan, h.175 106 Lies Marcoes Natsir, Musiln Kerwin Musim Ke1narau: Studi alas Pandangan Ulama Perempuan Jember Tentang Hak-Hak Reproduksi Perempuan, (Jakarta,Biagraf:2005), h.150 81 Secara umum, hak-hak kesehatan perempuan dalam CEDA W searah dengan pengaturan hak hidup dan berkehidupan yang diberikan hukum Islam terhadap perempuan, karena kedudukan seorang perempuan mendapatkan posisi khusus dan mulia. Adapun ketentuan hukum Islam yang mengatur hak kesehatan perempuan sebagaimana menurut penjabaran hak kesehatan reproduksi perempuan yang terdapat dalam CEDAW dapat terlihat dalan1 hak-hak sebagai berikut: Pertama hak memperoleh kebebasan dan keamanan dalam hidup, artinya ada jaminan untuk mendapatkan keselamatan dari resiko kematian karena kehamilan serta diakuinya keputusan individu dalam mengatur kehidupan reproduksinya. Hak reproduksi merupakan salah satu di antara 5 hak dasar individu, Imam Al-Ghazali, ulama besar abad ke-12 dalam bukunya ihya 'Ulumuddin menyebutkan adanya kewajiban negara terhadap warganya yaitu memberikan jan1inan terhadap lima hak dasar manusia, yaitu: 1) hak dasar akan keselamatan fisik warga masyarakat, tennasuk keselamatan fisik bagi perempuan dalam melaksanakan fungsi reproduksinya, 2) hak dasar akan kebebasan keyakinan (aqidah), 3) hak dasar akan kesucian keluarga akan keturunan, 4) hak dasar akan keselamatan milik pribadi, 5) hak dasar akan keselamatan profesi. 107 Secara biologis proses mengandung dan melahirkan merupakan fungsi kodrati bagi perempuan, namun harus diingat bahwa kedua fungsi tersebut merupakan akibat dari relasi laki-laki dan perempuan. Konsekwensinya, segala 107 Siti Musdah Mulia, Islam & Inspirasi Kesetaraan Gender, h.98 82 resiko dan dampak yang muncul akibat pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut menjadi tanggung jawab bersama, bukan semata-mata dibebankan pada pundak perempuan. 108 al-Quran menggambarkan kehamilan sebagai suatu yang amat berat (wahnan 'ala wahnin) dalam surat Q.S. Luqman,31:14 disebutkan: J. .,, ,.., J_ ~I ! .,,,. ,,,. (JI~~ J )> ,.,. .,,. ,. ,. ,:;.. J.{ ,. ,. ,,,,. "' ,~j ~j ~ G.Aj ,~I ci1'- ~i!':J;! ~~I 1~_~jj ©J~T a;.u;i!>J!.:; Artinya: "Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibubapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambahtambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, Hanya kepada-Kulah kembalimu" Kedua hak atas kesetaraan dan beban dari segala bentuk diskriminasi. Sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah-Nya, perempuan dan laki-laki mempunyai status sama di hadapan Allah. Islam membedakan laki-laki dan perempuan karena mereka mengemban fungsi yang berbeda, tetapi tidak melakukan diskriminasi. Pandangan hukum Islam tentang status perempuan tercermin dalam surat Q.S Al-Israa',17:70, sebagai berikut: Artinya: "Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan 108 Ibid h. J00 83 kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhlukyang Telah kami ciptakan" Ketiga hak untuk mendapatkan informasi dalam peningkatan ilmu pengetahuan artinya ada jaminan untuk mengakses infmmasi tentang teknologi perawatan, kesehatan reproduksi. Dalam perspektif Islam menuntut ilmu pengetahuan itu bukan hanya sekedar hak tetapi juga mernpakan kewajiban asasi yang harus ditunaikan setiap manusia. Menurnt pertimbangan sebagian ulama perempuan di Jember bahwa kualitas informasi akan mempengaruhi pandangan dan prilaku perempuan itu sendiri, sehingga ia dapat mengontrol agar terhindar dari reproduksi yang tidak sehat. 109 Keempat hak menentukan keturnnan. Menentukan keturunan bukan hanya hak suami-isteri, malainkan juga umat atau masyarakat dengan penekanan pada keputusan kedua orang tua. Kalangan ulama Hambali dan sebagian ulama Syafi'iyah menganut pendapat ini dengan pendapatnya bahwa kebutuhan dan kemaslahatan masyarakat perlu diperhitungkan bagi pasangan suami isteri untuk menentukan apakah akan merekayasa (membuat atau membatasi) ketUIUnan atau tidak. 110 Dalam Al-Qur'an surat Q.S Al-Rum,30:21, Allah telah berfirman: 109 Natsir, Musim Kaivin Musi111 Ke1narau: Studi a/as Pandangan Ulanza Pere1npuan Jember Tentang Hak-Hak Reproduksi Perempuan, h.150 110 Lily Zakiyah Munir, ed., Memposisikan Kodrat Perempuan dan Perubahan Dafam Perspektif Islam, (Bandung ,Mizan; 1999), h. 77 84 Artinya: "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir" Kelima hak untuk mendapatkan perawatan dan perlindungan kesehatan, serta terbebas dari periganiayaan dan kekerasan. Hak ini mutlak mengingat resiko besar yang dapat terjadi pada kaum ibu saat menjalani fungsi reproduksinya mulai dari menstruasi, hubungan seksual, mengandung, melahirkan dan menyusui. Perwujudan agar terbebas dari penganiayaan dan kekerasan hendaknya terakomodasi tanpa memandang keyakinan, golongan, wama kulit, etnis dan jenis kelamin. Secara konseptual pelaksanaan penegakan hak-hak ini ditempuh melalui dua cara yaitu menegakan kebaikan-kebaikan dan menolak segala ha! yang destruktif. Atas dasar ini, maka seluruh pemikiran dan sistem apa pun yang melegitimasi praktek diskriminasi, marginalisasi dan penindasan oleh dan terhadap siapapun, harus ditolak demi kemaslahan agama dan kemanusiaan. C. Reinterpretasi CEDAW Terhadap Hokum Islam Mengenai Hak-Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan Dengan santun Islam memposisikan perempuan sebagai pihak yang harus dihormati, dilindungi, terutama tatkala ia sedang menjalankan fungsi reproduksinya. Hal ini terlihat ketika proses penciptaan benih manusia mulai dari segumpal darah, masa han1il hingga masa penyusuan yang semuanya terangkum dalam al-Quran. Reinterpretasi CEDAWterhadap hukum Islam mengenai hak-hak 85 kesehatan reproduksi perempuan seringkali terjadi ketika CEDAW melihat kaum perempuan atas nama gender menyuarakan hak-hak (kesehatan reproduksi) perempuan dengan mengatasnama agama didalanmya. Berdasarkan perbedaan sumber pengambilan landasan hukum, kemudian muncul beberapa ha! terkait dengan hak kesehatan reproduksi perempuan dalam CEDA W yang bersebrangan kedudukan legalitasnya dengan hukum Islam. Berikut ini beberapa ha! terkait reinterpretasi CEDA W terhadap hukum Islam mengenai hak kesehatan perempuan. 1. Batas minimal usia pernikahan CEDA W yang secara luas menerangkan hak perempuan, secara tersirat dalam pasal 16 ayat (2) menjelaskan bahwa "pertunangan dan perkawinan seorang anak tidak akan mempunyai akibat hukum dan semua tindakan yang perlu, termasuk membuat perundang-undangan, wajib dilakukan untuk menetapkan usia minimum untuk kawin dan untuk mewajibkan pendaftaran perkawinan di kantor pencatatan yang resmi". Apabila dipadankan dengan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia seorang perempuan baru diperbolehkan atau diijinkan untuk menika11 ketika ia telah menginjak dewasa secara fisik atau telah melewati masa usia anak. Akan tetapi peraturan batas maksimal usia anak di Indonesia sendiri tidaklah selalu konsisten. UU No I Tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan seorang perempuan dapat dikatakan dewasa dan baru bisa menikah apabila telah berusia 16 tahun. UU No. 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak menyatakan bahwa anak 86 adalah seseorang yang belum mencapai usia 21 tahun.UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa seseorang masih dikategorikan sebagai anak secara individu yaitu sampai dengan berusia 18 tahun. 111 Penetapan batas usia bagi perempuan yang lebih rendah dari laki-laki pada substansinya mempertegas sobordinasi perempuan (isteri) terhadap lakilaki (suami). Pandangan seperti ini telah menempatkan suami haruslah lebih tua, lebih berpendidikan, lebih tinggi status sosialnya, dan lebih kuat fisiknya dari isteri. 112 Walaupun telah diatur sedemikian rupa tentang batas usia anak dewasa dalam berbagai perundang-undangan Indonesia tetapi dapat disimpulkan bahwa melegalkan perkawinan bagi perempuan yang umur 16 tahun berarti pemerintah turut melegitimasi perkawinan anak-anak, yang merupakan termasuk tindakan kekerasan terhadap anak dan ini berarti eksploitasi anak. Secara redaksional al-Quran dan Sunnah Rasul tidak mengatur soal batas minimal usia nikah, sehingga dengan usia yang tidak ditentukan seseorang dapat melangsungkan pernikahan walaupun belum mencapai masa balig. Namun umat Islam umurnnya menyepakati bahwa dengan masuknya masa baligh berarti seseorang secara fisik telah diperbolehkan untuk menikah. Sebagaimana Muhammad Rasulullah yang telah menikahi Aisyah, yang saat itu umurnya baru mencapai 9 tahun dan menggaulinya setelah Aisyah 111 Latifah, Musawa - Jurnal Studi Gender dan Islam, (Yogyakarta: PSW UIN Sunan Kalijaga, 2006) Vol. 4, No. 2 h.260. 112 Siti Musdah Mulia, Islam & /nspirasi Kesetaraan Gender, h. l 4 l. 88 Perempuan) tentang kesehatan reproduksi perempuan, pada ayat 1 (satu) disebutkan bahwa adanya kewajiban negara dalam menghapus diskriminasi secara tepat atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan. Dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan berlaku dalam ha! penolakan isteri terhadap ajakan suami untuk berhubungan. Sementara, jika kita melihat sebuah hadits yang berbunyi: "jika seorang suami mengajak isterinya ke tempat tidur, namun isteri menolaknya dan suami marah, maka malaikat melaknatnya (isteri) sampai subuh tiba" (Bukhari dan Muslim). Hadits tersebut jika dipahami secara tekstual terlihat berlawanan dan menimbulkan kesan kuat adanya suprioritas laki-laki atas perempuan. Pemahaman seperti ini seringkali dijadikan sebagai alat Iegitimasi bagi lakilaki memaksa perempuan dalam berhubungan seks. Padahal jika dipahami Jebih mendalam mengenai kata "menolak" dalam hadits ini, lebih dahulu kita mengetahui alasan menolaknya tersebut, namun perlu diperhatikan bahwa sebab alasan yang dimaksud haruslah bersifat Iogis berdasarkan alasan-alasan kemanusiaan, seperti isteri sedang menstruasi. Dari diskusi diatas dapat ditarik reinterpretasi hukum Islam mengenai hak kesehatan perempuan dalam CEDA W terlihat ketika hukum Islam banyak berbicara dalam masalah perempuan yang dianggap urgen, seperti perbedaan usia nikah, hak isteri dalam menolak berhubungan seksual, dan masalah Iain yang 89 telah dibahas pada bab terdahulu. Tennasuk mengenai aborsi dan FGM (Female Genitale Mutilation) atau sunat terhadap perempuan. Dapat disadari pentingnya norma agama dalam kehidupan sehari-hari, terlebih ketika agama berbicara mengenai larangan-larangan yang mengakibatkan rusaknya diri seseorang. Dalam aturan agama diatur bagaimana seseorang hidup dan berbaur, tentunya aturan tersebut mengarah kepada kebaikan individu maupun masyarakat sekitar. Akibat dari tidak diindahkarmya aturan tersebut, mungkin saja memacu kepada gaya hidup berlebihan artinya tidak ada kontrol pribadi dalam segala tindakarmya, terkadang hanya didasarkan atas kesenangan semata. Nilai seorang perempuan kembali dipinggirkan manakala hukum Islam tidak lagi diterapkan dalam sebuah sistem dan pranata-pranata sosial khususnya yang mengatur pola relasi laki-laki dan perempuan di rumahtangga maupun di lingkungan masyarakat. Masuknya gaya hidup barat ke negari-negeri muslim membuat maraknya pergaulan bebas dan menimbulkan derita. Seperti meningkatnya kasus HIV/AIDS di Indonesia yang terus meningkat tajam. Tingginya penderita yang terinfeksi HIVI AIDS berasal dari kalangan remaja dan pemudadan ini disebabkan oleh prilaku seksual remaja yang semakin beresiko. Dampak lainnya yaitu pada remaja putri yang hamil akibat free seks, mengambil pilihan tindakan aborsi sebagai jalan pintas untuk menghilangkan kehamilan yang tidak diinginkannya itu. seperti yang telah diketahui bahwa efek aborsi tidak hanya merusak kesehatan fisik maupun mental namun berujung kepada kematian. 90 Dalam masalah khitan perempuan, barat menganggap bahwa khitan perempuan (dalan1 dunia barat khitan disama artikan dengan FGM/FGC/Sircumcission) merupakan suatu pelanggaran yang akibatnya dapat mengnrangi kebutuhan perempuan dalam pemenuhan hasrat seksualnya. Walaupun dalam hukum Islam sendiri tidak ada nash yang mewajibkan khitan perempuan, terlihat Islam telah mengarahkan kita kepada pencegahan prilaku seks bebas karena dilakukannya khitan pada wanita dimaksudkan untuk mengurangi hasrat seksual wanita yang berlebihan yang mengarah pada prilaku seks bebas tersebut. Seperti yang telah diuraikan, pada bab sebelumnya bahwa khitan pada pe!'empuan berguna mengurangi hasrat seksual yang berlebihan. Ini kemudian menjadi salah satu ide barat diangkat dalam penegakkan hak-hak reproduksi perempuan, lebih menekankan kepada pelarangan praktek khitan pada perempuan. Alasannya adalah bahwa dengan mengkhitan perempuan berarti telah melukai organ reproduksi perempuan, yang berdampak mengurangi pemenuhart hasrat seksual perempuan. Baik pelegalan aborsi maupun pelarangan khitan sebenarnya adalah salah satu usaha barat mengkampanyekan hak reproduksi perempuan, dimana dalam penyampaian idenya itu mengatasnamakan kebebasan dan kenyamanan diri perempuan. Terlihat bersebrangan jika mengukur ide-ide tersebut dengan norma- BABV PENUTUP A. Kesimpulan CEDA W sebagai instrumen hokum Intemasional yang mengatur segala hak perempuan, mengatur pula hak-hak reproduksi perempuan. Dengan tujuan melindungi kaum perempuan dari ketidaksewenangan dan ketidakadilan gender, CEDA W berupaya memberikan legalitas dan perlindungan secara Intemasional agar setiap perempuan memiliki poweritas atas dirinya sendiri. Mengingat fungsi reproduksi secara langsung terletak pada kaum perempuan, maka perempuan memiliki hak khusus atas keberlangsungan reproduksinya itu. Adapun hukum Islam yang mengatur eksistensi seluruh kehidupan umatnya, memuat pula ketentuan fungsi dan peran perempuan dalam ha! kodrat reproduksi. I-Iak reproduksi perempuan dalam Islam telah diakomodir berdasarkan tugas dan kewajiban yang diemban seorang perempuan. Fm1gsi reproduksi adalah sesuatu anugrah yang diberikan kepada kaum perempuan, oleh karena itu seorang ibu yang sedang menjalankan fungsi reproduksi harus mendapatkan perlakuan khusus agar keberlangsungan reproduksi tersebut dapat terjaga sebaik mungkin. Dari pemaparan pada bab terdahulu, maka merupakan hak reproduksi perempuan yang telah diatur oleh hukum Islam dan CEDA W tersebut, penulis menarik suatu kesimpulan sebagai berikut: 94 2. Instrumen hukum yang memberi perlindungan terhadap kesehatan perempuan ini secara yuridis masih dalam pembahasan umum tidak secara spesifik membahas tentang kesehatan reproduksi semata sebab masih ada tarik ulur antara kepentingan feminis yang mengedepankan derajat wanita tanpa unsur agama dengan para tokoh agama yang mengedepankan unsur syariat dalam mengangkat derajat wanita. Sisi lain eksistensi instrumen hukum dipengaruhi oleh siapa yang memimpin pemerintahan, sebab kekuasaannya akan mempengaruhi peraturan yang dihasilkan, yang biasanya dilakukan demi menunjang eksistensinya kepemimpinannya sebagai kepala negara. Hingga saat ini instrumen yang memberi perlindungan atas kesehatan reproduksi perempuan di Indonesia, yaitu UUD 1945 (Hasil Amandemen), UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, UU No. 23 Tahun 1994 tentang Kesehatan, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). 3. Hak-hak kesehatan perempuan yang terdapat dalam CEDAW jika di pandang dari sudut hukum Islam, secara umum berbanding lurus dengan pengaturan hak hidup dan berkehidupan perempuan yang diberikan hukum Islam, karena dalam Islam seorang perempuan mendapatkan posisi yang khusus dan mulia. Jika dilihat dari sisi historis, hukum Islam ada dan berkembang lebih awal daripada CEDA W, sehingga CEDA W dapat pula dikatakan sebagai instrumen 95 pengejawantahan dari hukum Islam (khususnya mengenai hak-hak kesehatan perempuan). Namtm daripada itu, terdapat pula perbedaan prinsipil antara hukum Islam dan CEDA W yang berpangkal atas perbedaan pengambilan argumentasi hukum pada legalitas suatu masalah hak kesehatan reproduksi perempuan (misal: abortus, FGM, Tubektomi dll). Hukum Islam mendalilkan suatu masalah berdasarkan ketentuan yang bersifat kodrati kewahyuan, sedangkan CEDA W lebih mendalilkan ketentuan-ketentuannya berdasarkan persamaan gender dengan kaum laki-laki. Sehingga tidak seluruh aturan dalam CEDAW dapat diaplikasikan oleh umat Islam. B. Saran Sebagaimana yang telah penulis uraikan secara luas mengenai hak kesehatan reproduksi pada skripsi ini, pada bagian ini juga penulis utarakan betapa pentingnya pengetahuan akan hak reproduksi perempuan. Masyarakat dan pembaca skripsi ini khususnya lebih diharapkan menyadari bahwa kesehatan reproduksi, termasuk upaya untuk mengenal dan mengetahui proses-proses reproduksi pada diri sendiri, merupakan bagian dari hak asasi yang tidak boleh diganggu oleh orang lain, sebaliknya mendapat perlindungan dari pemerintah. Dibawah ini beberapa saran yang penulis utarakan sebagai lanjutan dari skripsi ini, yaitu: 96 1. Dalam mempromosikan pentingnya kesehatan reproduksi peran lembaga- lembaga pelayanan kesehatan hamsnya bersentuhan langsung dengan masyarakat. Sehingga, optimalisasi peran dan fungsi institusi pelayanan kesehatan dapat dilakukan secara sistematis dan komprehensif, tentunya dengan dukungan pendanaan dan sumber daya yang kuat. Selain itu, peran serta elemen-elemen masyarakat, termasuk LSM/NGO dalam mewacanakan hak atas kesehatan reproduksi juga sangat diperlukan. Secara teknis, mungkin diperlukan upaya desakralisasi terhadap mitos seks dan kesehatan reproduksi yang banyak dipelihara dalam tradisi budaya dan pemahamru1 tekstual agama di masyarakat kita yang cenderung beresiko tinggi bagi kesehatan reproduksi hru·us dikurangi, sepe1ti sirkumsisi pada wanita yang relatif tidak bermanfaat bagi kesehatan. 2. Pengetahuan hak kesehatan reproduksi pada perempuan sekarang ini dirasakru1 masih dangkal dibru1ding dengan akibat yang telah ia terima, baik dalam bentuk kekerasan se1ta kurang mendapat perhatian dalam memperoleh pelayanan kesehatan. Maka dari itu sudah saatnya pendidikan asuhan perawatan sebelum, selama dan sesudah persalinan (all natal care) dimasukkan dalam kurikulum pendidikan yang dipadukan dengan pendidikan seks usia dini. DAFTAR PUSTAKA Al-Quran al-Karim Anshor, Maria Ulfah. Fikih Aborsi, Wacana Penguatan Hak Reproduksi Perempuan, Jakarta:Kompas, 2006. Anshori, Dadang, S. dkk., Membincangkan Feminisme: Refleksi Muslimah Atas Peran Sosial Kaum Wanita, Bandung: Pustaka Hidayah, 1997. Baso, Andi, Zohra dan Rahaijo, Judy. Kesehatan Reproduksi: Padanan Bagi Perempuan, Cet.ke-I, Ujung Pandang: YLKI Sulawesi Selatan dan TFF, 1997. Dwija, Bhagawan. Mengenal Agama Hindu: Aborsi Dalam Theology Hinduisme, artikel dalam www.singaraja.wordpress.com diakses pada tanggal 6 Mei 2008. Kasdu, Dini; Meiliasari, Mila; dan Puwaningsih, Retno. Info Lengkap Kehamilan dan Persalinan, (Jakarta: PT. Gemini Mitra Gemilang, 2007) Eddyono, Sri Wiyanti. Seri Bahan Bacaan Kursus HAM Untuk Pengacara X: Hak Asasi Perempuan dan Konvensi CEDAW, Jakarta: Lembaga Studi Dan Advokasi Masyarakat, 2004. Ensiklopedi Islam, Cet.Ke-3, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994. Fadhiilah, Ummu. "Hak-Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan Dalam Pandangan Islam" artikel dalfilll http://www.ukhuwah.or.id diakses pada tanggal 23 Desember 2007. Wiknjosastro, Gulardi, H., Aborsi dalam (Jakarta:Balai Penerbit FKUI, 2002) Perspekt!f Fikih Kontemporer, Hanifah, Laily. Aborsi Dilinjau Dari Tiga Sudut Pandang, artikel dalfilll www.kesrepro.info/gendervaw/referensi.html, diakses pada tanggal 9 April 3008. Hasan, M. Ali. Masai/ Fiqhiyah Al-Haditsah, Pada masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,1996. Hathout, Hasan. I/mu Kebidanan dan Persalinan Dalam Pandangan Islam, Bandung: Mizan, 2003. 98 Hera Anggarawaty, Agenda Tersembunyi di Balik Wacana Hak dan Kesehatan Reproduksi, artikel dalam www.tempointeraktif.com. 2007 http://www.arwaniyyah.com, Perempuan dalam Keluarga dan Masyarakat, diakses tanggal 6 Maret 2008 http://www.defathya.multiply.com/reviews/item.html, diakses pada tangggal 23 Desember 2007 http://www.kompas.com/kompas_cetak/0311/swara.html, Desember 2007. diakses tanggal 23 http://www.hidayatullah.com/index.php.html, diakses pada tanggal 13 Januari 2008. http://www.apakabar.ws/forum/viewtopik.php Aborsi Sebagai Hak Perempuan, diakses pada tanggal 16 April 2008. http://www.pdpersi.co .i d/?show=detailnews&kode= 1002tbl=biaswanita.html. Altikel dalam Kebijakan Departemen Kesehatan Terhadap Medikalisasi Sunat Perempuan, diakses pada tanggal 6 Febuari 2008. http://www.pdpersi.eo.id/biaswanita.html. Kebijakan Departemen Kesehatan Terhadap Medikalisasi Sunat Perempuan, diakses pada tanggal 16 Febuari 2008. http://www.unifem-eseasia.org, CEDAW, Qanun dan Aceh, diakses tanggal 11 Juni 2008. http://www.cwgi.wordpress.com. Press Release: Negara Abaikan Konvensi CEDAW, diakses 11 Juni 2008. http://www.kalyanamitra.or.id/html, Kronik Konvensi CEDAW, diakses pada tanggal 11 Juni 2008. Husaian, Muhammad. Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan Dalam Al-Qur 'an, artikel dalamhttp://www.albarokah.or.id. 2008. Husein, Muhammad. fiqh Perempuan, Rejleksi Wacana Agama dan Gender, Yogyakarta: LKIS; 2002. Irianto, Sulistyowati. Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006. 99 Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum. Direktorat Hukum Dan Peradilan Mahkamah Agung RI, lriformasi Peraturan Perundang-Undangan Tentang Hak Asasi Manusia, Jakarta: Direktorat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, 2003. Kamal, Abu Malik. Fiqih Sunnah Wanita, Jakarta: Penerbit Pena, 2007. Koblinsky, Marge. Kesehatan Wanita : Sebuah Perpektif Global, cet ke 1, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press ,1997. K. Bertens. Aborsi di Tengah Polarisasi "Pro life" - "Pro Choice", artikel dalam www.kompas.com/gayahidup/index.htm, diakses pada tangal 6 Mei 2008. Laporan HAM. "Tutup Buku Dengan Transitional Justice" ? Menutup Lembaran Hak Asasi Manusia tahun 1999-2004 dan Menentukan Lembaran Baru 2005, Jakarta: ELSAM, 2004. Latifah. Musawa - Jurnal Studi Gender dan Islam, Vol. 4, No. 2, Yogyakarta: PSW UIN Sunan Kalijaga, 2006. Lexy, Moleong, J.M. A. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung : PT Remaja Roda Karya. 2004. Luhulima, Achie Sudiarti. ed., Kejahatan Berbasis Jender Serta Dampak Jender Dari Peristiwa Pembantaian di Gujarat 2002, Jakarta, Komnas Perempuan; 2005. Luhulima, Achie Sudhiarti. Bahan Ajar tentang Hak Perempuan: UU No. 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007. Marcoes, Lies. Hak Reproduksi Perempuan Dalam Perspektif Agama Islam, dalam Seminar Wanita dan Kesehatan Reproduksi, Jakarta: Lembaga Demografi FEUI dan Yayasan Ekonomika FEUI, 1996. Mas'udi, F. Masdar. Islam & Hak-Hak Reproduksi Perempuan Dialog Fiqih Pemberdayaan, Bandung: Mizan, 2000. Mohammad, Farid. Perisai Perempuan: Kesepakatan lnternasional Perlindungan Perempuan, Yogyakarta: Yasasan Galang, 1999. Untuk Munir, Lily Zakiyah. ed. Memposisikan Kodrat Perempuan dan Perubahan Dalam Perspektif Islam, Bandung:Mizan, 1999. 101 Suarta, Siswandi. Kontroversi Seputar Aborsi, artikel dalam www.matrianti.org/gendervaw/arsip.htm diakses pada tanggal 6 Mei 2008. Sumarni D. W., dkk., Sunat Perempuan di Bawah Bayang-Bayang Tradisi, Yogyakarta: PSKK UGM dan Ford Foundation, 2005. Sunggono, Bambang. Metode penelitian Hukum, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 1997. Susilo, Zumrotin, K. dkk, Perempuan Bergerak: Membingkai Gerakan Konsumen dan Penegakan Hak-Hak Perempuan, Makassar: Yayasan Lembaga Konsumen Sulawesi Selatan, 2000. S. Wojowasito. Kamus Lengkap Jnggris-Indonesia, Cet. Ke-6 , Bandung: Penerbit Hasta, 1980. Tim Penyusun Kamus Pusat Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. Ke-7, Jakarta: Balai Pustaka, 1990. Utomo, Budi, Setiawan. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press, 2003. Yanggo, Chuzaemah Tahido, Prof, Dr. Agama dan Kesehatan Reproduksi, Seri Kesehatan Reproduksi, Kebudayaan dan Masyarakat, Jakarta: Pustaka Seminar Harapan: 1999. Yanggo, Tahido, Chuzaemah. Prof, Dr. Fiqih Anak, Jakarta: al-Mawardi Prima, tt. LAMPIRAN-LAMPIRAN Lampi ran Undang-Undang Repnblik Indonesia No.7 Tahon 1984, Tanggal 24 Juli 1984 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan Negara-negara peserta pada Konvensi yang sekarang lni, Memperhatikan bahwa Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa menguatkan lagi keyakinan atas hak-hak azasi manusia, atas martabat dan nilai pribadi manusia, dan atas persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Memperhatikan bahwa Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Azasi Manusia menegaskan azas mengenai tidak dapat diterimanya diskriminasi dan menyatakan bahwa semua manusia dilahirkan bebas dan sama dalam martabat dan hak, dan bahwa tiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang dimuat di dalamnya, tanpa perbedaan apapun, te1masuk perbedaan berdasarkanjenis kelamin. Memperhatikan bahwa Negara-negara peserta pada perjanjian-perjanjian Internasional mengenai Hak-hak Azasi Manusia berkewajiban untukmenjamin hak yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati semua hak ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik. Mempertimbangkan konvensi-konvensi internasional yang ditanda tangani di bawah naungan Perserikatan Bangsa Bangsa dan badan-badan khususnya, yang menganjurkan persamaan hak antara Iaki-laki dan perempuan. Memperhatikan juga resolusi-resolusi, deklarasi-deklarasi dan rekomendasirekomendasi yang disetujui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan badan-badan khususnya yang menganjurkan persamaan hak antara Jaki-Jaki dan perempuan, namun demikian sangat memprihatinkan bahwa meskipun adanya bermacam-macarn dokumen tersebut, namun diskriminasi yang Juas terhadap perempuan masih tetap ada, Mengingat, bahwa diskriminasi terhadap perempuan adalah melanggar azas persamaan hak dan rasa h01mat terhadap martabat manusia, merupakan halangan bagi partisipasi perempuan, atas dasar persamaan dengan kaum Iaki-Jaki dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi dan budaya negara-negara mereka. Hal ini menghambat perkembangan kemakmuran masyarakat-dan menambah sukarnya perkembangan sepenuhnya dari potensi kaum perempuan dalam pengabdiannya terhadap negaranegara mereka dan terhadap umat manusia, Memprihatinkan bahwa dalam situasi-situasi kemiskinan, perempuan yang paling sedikit mendapat kesempatan untuk memperoleh makanan, pemeliharaan kesehatan, pendidikan, pelatihan, maupun untuk memperoleh kesempatan kerja dan lain-lain kebutuhan, Yakin bal1wa dengan terbentuknya tata ekonomi intemasional yang baru, berdasarkan pemerataan dan keadilan, akan memberi sumbangan yang berarti terhadap peningkatan persamaan antarn laki-laki dan perempuan, Menekankan bahwa penghapusan apartheid, penghapusan semua bentuk rasisme, diskriminasi rasial, kolonialisme, neo-kolonialisme, agresi, pendudukan dan dominasi serta campur tangan asing dalam urusan dalam negeri Negara adalah penting, untnk dapat menikmati sepenuhnya hak-hak laki-laki dan perempuan. Menegaskan bahwa memperkuat perdamaian dan keamanan intemasional, pengendoran ketegangan internasional, kerjasama timbal-balik di antara semua negara, teriepas dari sistem sosial dan ekonomi mereka, periucutan senjata secara umum dan menyeluruh, dan khususnya periucutan senjata nuklir di bawah pengawasan intemasional yang ketat dan efektif, penegasan azas-azas keadilan, persamaan dan manfaat bersama dalam hubungan antar negara, realisasi hak bangsabangsa yang berada di bawah dominasi asing, dominasi kolonial pendudukan asing untuk menentukan nasib sendiri dan kemerdekaaill1ya, maupun menghormati kedaulatan nasional dan keutuhan wilayah, akan meningkatkan kemajuan sosial dan pembangunan, yang dampaknya akan menunjang tercapainya persamaan sepenuhnya antara laki-laki dan perempuan, Yakin bahwa pembangunan menyeluruh dan selengkapnya suatu negara, kesejal1teraan dunia dan usaha perdamaian menghendaki partisipasi maksimal kaum perempuan atas dasar persamaan dengan kaum laki-laki di segala lapangan, Mengingatkan kembali sumbangan besar kaum perempuan terhadap kesejahteraan keluarga dan pembangunan masyarakat yang selama ini belum sepenuhnya diakui, mii sosial darl kehamilan, d-an peranan kedua orang tua dalam keluarga dalam membesarkan anak-anak, dan menyadari bahwa peranan perempua11 dalam memperoleh keturunan hendaknya jangan menjadi dasar diskriminasi, akan tetapi bal1wa membesarkan anak-m1ak menghendaki pembagian tanggungjawab antara lakilaki dan perempuan dan masyarakat sebagai keseluruhan. superioritas salah satu jenis kelamin atau berdasar peranan stereotip bagi lakiIaki dan perempuan; (b) untuk menjamin bahwa pendidikan keluarga melalui pengertian yang tepat mengenai kehamilan sebagai fungsi sosial dan pengakuan tanggung jawab bersama laki-laki dan perempuan dalam membesarkan anak-anak mereka, seyogyanyalah bahwa kepentingan anak-anak adalah pertimbangan utama dalam segala ha!. Pasal 6 Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat, termasuk pembuatan undang-undang, untuk memberantas segala bentuk perdagangan perempuan dan ekploitasi pelacuran. BAGIANII Pasal 7 Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik dan kehidupan kemasyarakatan negaranya, khususnya menjamin bagi perempuan atas dasar persamaan dengan laki-laki, hak: (a) untuk memilih dan dipilih; (b) untuk berpartisipasi dalam perurnusan kebijaksanaan pemerintah dan implementasinya, memegang jabatan dalam pemerintahan dan melaksanakan segala fungsi pemerintahan di semua tingkat; (c) untuk berpaitisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulanperkumpulan non-pemerintah yang berhubungan dengai1 kehidupan masyarakat dan politik negara. Pasal 8 Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menjamin bagi perempuai1 kesempatan untuk mewakili pemerintah mereka pada tingkat international dan untuk berpartisipasi dalam pekerjaan organisasi-organisasi international atas dasar persamaan dengan Iaki-laki tanpa suatu diskriminasi. Pasal 9 I. Negara-negara peserta wajib memberi kepada perempuan hak yang sama dengan Jaki-laki untuk memperoleh, mengubah atau mempertahankan kewarganegaraannya. Negara-negara peserta khususnya wajib menjamin bahwa perkawinan dengan orang asing maupun perubahan kewarganegaraan oleh suami selama perkawinan tidak secara otomatis mengubah kewarganegaraan isteri, menjadikannya tidak berkewarganegaraan atau memaksakan kewarganegaraan suaminya kepadanya. 2. Negara-negara peserta wajib memberi kepada perempuan hak yang sama dengan Jaki-laki berkenaan kewarganegaraan anak-anak mereka. BAGIANIII Pasal 10 Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan guna menjamin bagi mereka hak-hak yang sama dengan laki-laki di lapangan pendidikan, khususnya guna menjamin persamaan antara laki-laki dan perempuan: (a) Persyaratan yang sama untuk bimbingan karir dan keahlian, untuk kesempatan mengikuti pendidikan dan memperoleh ijazah dalam lembaga-lembaga pendidikan segala tingkatan balk di daerah pedesaan maupun perkotaan; Persamaan ini wajib dijamin balk dalam pendidikan taman kanak-kanak, umum, tehnik, serta dalam pendidikan keahlian tehnik tinggi, maupun dalam segala macam jenis pelatihan kejuruan; (b) Pengikutsertaan pada kurikulum yang sama, ujian yang sama, staf pengajar dengan standar kualifikasi yang sama, serta gedung dan peralatan sekolah yang berkualitas sama; (c) Penghapusan tiap konsep yang stereotip mengenai peranan laki-laki dan perempuan di segala tingkat dan dalam segala bentuk pendidikan dengan menganjurkan ko-edukasi dan lain-lain jenis pendidikan yang akan membantu untuk mencapai tujuan in!, khususnya dengan merevist buku wajib dan program-program sekolah serta penyesualan metode mengajar; (d) Kesempatan yang sama untuk mengambil manfaat dari beasiswa dan lain-lain dana pendidikan; (e) Kesempatan yang sama untuk ikut serta dalam program pendidikan yang berkelanjutan, termasuk program pendidikan orang dewasa dan pemberantasan buta huruf fungsional, khususnya program-program yang ditujukan pada pengurangan sedini mungkin tiap jurang pemisah dalam pendidikan yang ada antara laki-laki dan perempuan; (f) Pengurangan angka putus sekolah pelajar puteri dan penyelenggaraan program untuk gadis-gadis dan perempuan yang sebelum waktunya meninggalkan sekolah. (g) Kesempatan yang sama untuk berpartisipasi secara aktif dalam olahraga dan pendidikan jasmani; (h) Dapat memperoleh penerangan edukatif khusus untuk membantu meniamin kesehatan dan kesejahteraan keluarga, termasuk penerangan dan nasehat mengenal keluarga berencana. Pasal 11 1. Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dilapangan pekerjaan guna menjamin hak-hak yang sama atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan, khususnya: (a) Hak untuk bekerja sebagai hak azasi manusia; (b) Hak atas kesempatan kerja yang sama, termasuk penerapan kriteria seleksi yang sama dalan penerimaan pegawai; (c) Hak untuk memilih dengan bebas profesi dan pekerjaan, hak untuk promosi, jaminan pekerjaan dan semua tuniangan serta fasilitas kerja, hak untuk rnemperoleh pelatihan kejuman dan pelatihan ulang temmsuk masa kerja sebagai magang, pelatihan kejuman lanjutan dan pelatihan ulang lanjutan; (d) Hak untuk menerima upah yang sama, termasuk tuniangantunjangan, baik untuk periakuan yang sama sehubungan dengan pekerjaan dengan nilai yang sama, maupun persamaan perlakuan dalam penilaian kualitas pekerjaan; (e) Hak atas jaminan sosial, khususnya dalam hal pensiun, pengangguran, sakit, cacad, lanjut usia, serta lain-lain ketidakmampuan untuk bekerja, hak atas masa cuti yang dibayar; (f) Hak atas perlindungan kesehatan dan keselamatan keria, termasuk usaha perlindungan terhadap fungsi melanjutkan keturunan. Pasal 13 Negara-negara wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan di lain-lain bidang kehidupan ekonomi dan sosial supaya menjamin hak-hak yang sama, atas dasar persanman antara laki-laki dan perempuan, khususnya: (a) Hak atas tunjangan keluarga; (b) Hak atas pinjaman bank, hipotek dan lain-lain bentuk kredit permodalan; (c) Hak untuk ikut serta dalam kegiatan-kegiatan rekreasi, olah raga dan semua segi kehidupan kebudayaan. Pasal 14 1. Negara-negara peserta wajib memperhatikan masalah-masalah khusus yang dihadapi oleh perempuan didaerah pedesaan dan peranan yang dimainkan perempuan pedesaan demi kelangsungan hidup keluarga mereka di bidang ekonomi, termasuk pekerjaan mereka pada sektor ekonomi bukan penghasil uang, dan wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk meniamin penerapan ketentuan-ketentuan Konvensi in! bagi perempuan di daerah pedesaan. 2. Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat w1tuk menghapus disktiminasi terhadap perempuan di daerah pedesaan, dan menjamin bahwa mereka ikutserta dalam dan mengecap manfaat dari pembangunan pedesaan atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan, khususnya menjamin kepada perempuan pedesaan hak: (a) Untuk berpmtisipasi dalam perluasan dan implementasi perencanaan pembangunan di segala tingkat; (b) Untuk memperoleh fasilitas pemeliharaan kesehatm1 yang memadai, termasuk penerangan, penyuluhan dan pelayanan dalam keluarga berencana; (c) Untuk mendapatkan manfaat langsung dari programjaminan sosial; (d) Untuk memperoleh segala jenis pelatihan dan pendidikan, baik formal maupun non formal, termasuk yang berhubungan dengan pemberantasan buta huruf fungsional, serta manfaat semua pelayanan masyarakat dan pelayanan penyuluhan guna meningkatkan ketrampilan tehnik mereka; (e) Untuk membentuk kelompok-kelompok swadaya dan koperasi supaya memperoleh peluang yang sama terhadap kesempatankesempatan ekonomi melalui pekerjaan atau kewiraswastaan; (f) Untuk berpartisipasi dalam semua kegiatan masyarakat; (g) Untuk dapat memperoleh kredit dan pinjaman pe1ianian, fasilitas pemasaran, tehnologi tepat-guna, serta periakuan sama pada landreform dan urusan-urusan pertanahan termasuk pengaturan-pengaturan tanah pemukiman; (h) Untuk menikmati kondisi hidup yang memadai, terutama yang berhubungan dengan perumahan, sanitasi, penyediaan listrik dan air, pengangkutan dan komunikasi. BAGIANIV Pasal 15 I. Negara-negara peserta wajib memberikan kepada perempuan persamaan hak dengan laki-laki di muka hukum. 2. Negara-negara pese1ia wajib memberikan kepada perempuan dalam urusan urusan sipil kecakapan hukum yang sama dengan kaum laki-laki dan kesempatan yang sama untuk menjalankan kecakapan tersebut, khususnya agar memberikan kepada perempuan hak-hak yang sama untuk menandatangani kontrak-kontrak dan untuk mengurus harta benda, serta wajib memberi mereka perlakuan yang sama pada semua tingkatan prosedur di muka hakim dan pengadilan. 3. Negara-negara peserta bersepakat bahwa semua kontrak dan semua dokumen yang mempunyai kekuatan hukum yang ditujukan kepada pembatasan kecakapan hukum bagi perempuan, wajib dianggap batal dan tidak berlaku. 4. Negara-negara peserta wajib memberikan kepada laki-laki dan perempuan hakhak yang sama berkenaan dengan hukum yang berhubungan dengan mobilitas orangorang dan kebebasan untuk memilih tempat tinggal dan domisili mereka. Pasal 16 I. Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam semua urusan yang berhubungan dengan perkawinan dan hubungan kekeluargaan atas dasar persarnaan antara laki-laki dan perempuan, dan khususnya akan menjamin: a) Hak yang sama untnk memasuki jenjang perkawinan; b) Hak yang sarna untuk memilih suami secara bebas dan untuk memasuki jenjang perkawinan hanya dengan persetujuan yang bebas dan sepenuhnya; c) Hak dan tanggungjawab yang sarna selarna perkawinan dan pada pemutusan perkawinan; d) Hak dan tanggungjawab yang sarna sebagai orang tua, terlepas dari status kawin mereka, dalarn urusan-urusan yang berhubungan dengan anak-anak mereka. Dalam semua kasus, kepentingan anakanaklah yang wajib diutamakan; e) Hak yang sama untuk menentukan secara bebas dan bertanggungjawab jumlah dan penjarakan kelahiran anak-anak mereka serta untnk memperoleh penerangan, pendidikan dan sarana-sarana untuk memungkinkan mereka menggunakan hak-hak ini; f) Hak dan tanggung jawab yang sama berkenaan dengan perwalian, pemeliharaan, pengawasan dan pengangkatan anak a'tau lembagalembaga yang sejenis di mana konsep-konsep ini ada dalam perw1dang-undangan nasional, dalam semua kasus kepentingan anak-anaklah yang wajib diutarnakan; g) Hak pribadi yang sama sebagai suarni isteri, te1masuk hak untuk memilih narna keluarga, profesi danjabatan; h) Hak sama untnk kedua suarni isteri bertalian dengan pemiiikan, perolehan, pengelolaan, administrasi, penikmatan dan memindahtangankan harta benda, baik secara cuma-cuma maupun dengan penggantian berupa uang. 2. Pertunangan dan perkawinan seorang anak tidak akan mempunyai akibat hukum dan semua tindakan yang periu, termasuk perundangundangan, wajib diambil untulc menetapkan usia minimum untuk kawin dan untnk mewajibkan pendaftaran perkawinan di Kantor Catatan Sipil yang resmi. 6. Pemilihan lima orang anggota Komite tambahan diadakan sesual dengan ketentuan ayat 2) 3) dan 4) pasal lni, setelah ratifikasi atau aksesi yang ke tiga puluh lima. Masa jabatan dua orang di antara anggota-anggota tambahan yang dipilih pada kesempatan ini habis waktunya setelah dua tahun berakhir, namanama kedua anggota ini dipilih mewui undian oleh Ketua Komite. 7. Untuk mengisi lowongan yang timbul secara insidentil, negara-negara peserta yang ahlinya berhenti berfungsi sebagai anggota, Komite menunjuk ahli lain dari antara warga negara yang harus disetujui oleh Komite. 8. Anggota Komite dengan persetujuan Majelis Umum Perserikatan BangsaBangsa, akan menerima tunjangan-tunjangan dari sumber-sumber Perserikatan BangsaBangsa menurut syarat-syarat seperti yang ditentukan oleh Majelis, mengingat pentingnya tanggung jawab Komite. 9. Sekretaris lenderal Perserikatan Bangsa Bangsa menyediakan pegawaipegawai dan fasilitas yang diperlnkan bag! pelaksanaan efektif fungsifungsi Komite di bawah Konvensi ini. Pasal 18 I. Negara-negara peserta akan menyampaikan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, untnk dipertimbangkan oleh Komite laporan mengenai peraturan-peraturan legislatif, judikatif, administratif atau langkah4angkah lain yang telah diambil untnk memberiaknkan ketentuanketentuan dari Konvensi yang sekarang ini dan laporan mengenai kemajuan yang dicapai: (a) Dalam satu tahun setelah mulai berlaku untnk negara yang bersangkutan; dan (b) Sesudah itu sekurang-kurangnya tiap empat tahun dan selanjutnya sewaktuwaktu sesual permintaan Komite 2. Laporan dapat memuat faktor dan kesulitan yang mempengaruhi tingkat pelaksanaan kewajiban-kewajiban yang terdapat di dalam Konvensi ini. Pasal 19 1. Komite wajib membuat peraturan-peraturan prosedurnya sendiri. 2. Komite wajib memilih pejabat-pejabatnya untuk masa jabatan dua tahun. Pasal 20 I. Komite wajib tiap tabun mengadakan pertemuan untuk jangka waktu tidak lebih dari dua minggu guna mempertimbangkan laporan-laporan yang diajukan sesual dengan pasal 18 Konvensi ini. 2. Pertemuan Komite terse but pada ayat I) diadakan di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa atau di tempat lain sesuai dengan keputusan Panitia. Pasal 21 1. Komite, melalui Dewan Ekonomi dan Sosial, setiap tahun wajib melapor kepada Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai kegiatannya serta dapat member! saran-saran dan rekomendasi umum berdasarkan penelitian laporanlaporan dan keterangan yang diterima dari negara-negara peserta. Saran-saran dan rekomendasi umum tersebut wajib dimasukkan dalam laporan Komite bersamasama dengan tanggapan, jika ada, dari negara-negara peserta. 2. Sekretaris Jenderal wajib mengirim laporan-laporan Komite kepada Komisi Kedudukan Perempuan, untuk diketalrni. Pasal 22 Badan-badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa berhak untuk diwakili sesuai dengan lingkup kegiatan mereka pada waktu dipertimbangkan pelaksanaan ketentuan-ketentuan Konvensi ini. Komite dapat meminta badan-badan khusus tersebut untuk menyerabkan laporannya mengenai pelaksanaan Konvensi yang termasuk lingkup kegiatan mereka. BAGIANVI Pasa123 Apapun dalam Konvensi ini tidak akan mempengaruhl ketentuan manapun yang lebih baik bagi tercapainya persamaan antara laki-laki dan perempuan yang mungkin terdapat: (a) Dalam perundang-undangan suatu negara peserta; atau (b) Dalam Konvensi, perjanjian atau persetujuan lntemasional manapun yang berlaku bagi negara itu. Pasal 28 1. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa menerima dan mengedarkan kepada semua negara naskah keberatan-keberatan yang dibuat oleh negara-negara pada waktu ratifikasi atau aksesi. 2. Keberatan yang be1ientangan dengan sasaran dan tujuan Konvensi 1111 tidak diijinkan. 3. Keberatan-keberatan sewaktu-waktu dapat ditarik kembali dengan memberitahukannya kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan BangsaBangsa yang kemudian memberitahukan ha! tersebut kepada semua negara. Pasal29 I. Setiap perselisihan antara dua atau lebih negara peserta mengenai penafsiran atau penerapan Konvensi ini yang tidak diselesaikan melalui perundingan, diajukan untuk arbitrasi atas permohonan salah satu diantara negara-negara tersebut. Jika dalam enam bulan sejak tanggal permohonan untuk arbitrast pihak-pihak tidak dapat bersepakat mengenai penyelenggaraan arbitrasi itu, salah satu dari pihakpihak tersebut dapat menyerahkan perselisihan itu kepada Mahkamah Intemasional melalui permohonan yang sesuai dengan Peraturan Mahkamah itu. 2. Setiap negara peserta pada waktu penandatanganan atau ratifikasi Konvensi ini atau pada waktu aksesi dapat menyatakan bahwa negara peserta itu tidak menganggap dirinya terikat oleh ayat I pasal ini, negara-negara peserta lain tidak akan terikat oleh ayat itu terhadap negara peserta yang telah membuat keberatan demikian. 3. Negara peserta yang telah mengajukan keberatan seperti tersebut pada ayat 2) pasal ini sewaktu-waktu dapat menarik kembali keberatannya dengan jalan pemberitahuan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa. Pasal 30 Konvensi ini, yang naskahnya dibuat dalam bahasa Arab, Cina, Inggris, Perancis, Rusia, dan Spanyol, mempunyai kekuatan yang sama dan wajib disimpan pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa. DEMIKIANLAH yang be11andatangan di bawah 1m, diberi kuasa sebagaimana mestinya, telah menandatangani Konvensi ini.