103045228175 1429 HI 2008 M

advertisement
HAK ATAS KESEHATAN REPRODUKSI PEREMPUAN
DALAM CEDAWDAN HUKUM ISLAM
(STUD I KOMPARATIF)
Disusun Oleh
ANAPRAWATI
103045228175
KONSENTRASI SIYASAH SYAR'IYYAH
PROGRAM STUDI JINAYAH DAN SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 HI 2008 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul "HAK ATAS KESEHATAN REPRODUKSI PEREMPUAN
DALAM CEDAWDAN HUKUM ISLAM (STUDI KOMPARATIF)" telah diujikan
dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Selasa, 10 Juni 2008. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
pada Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Siyasah Syar'iyyah.
Jakarta, 10 juni 2008 .
. Muhammad Amin Suma, S.H, M.A, M.M.
NIP. 150 210 422
Panitia Ujian :
1. Ketua
: Asmawi. M.Ag.
NIP. 150 282 394
2. Sekretaris
: Sri Hidayati. M.Ag
NIP. 150 282 403
(
3. Pembimbing I : Dr. Rumadi, MA.
NIP. 150 283 352
4. Pembimbing II : Dr. Enis Nurlaelawati, MA
NIP. 150 277 992
5. Penguji I
: Prof. DR. H. Muhanunad Amin Sum
NIP. 150 210 422
5. Penguji II
: Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA.
NIP. 150 220 544
)
( .....
KATA PENGANTAR
H"-)1 ~)I .iii;=------!
Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
karunia serta segala petunjuk yang telah diberikan-Nya. Shalawat dan salam, semoga
Allah melimpahkan kepada Nabi Muhammad saw., para keluarga, sahabat dan pada
pengikutnya hingga akhir zaman.
Penulis bersyukur telah menyelesaian skripsi yang diajukan sebagai salah satu
syarat dalam menempuh gelar Saijana Hukum Islam di Fakultas Syari'ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakaiia yang berjudul " HAK ATAS
KESEHATAN REPRODUKSI PEREMPUAN DALAM CEDAW DAN HUKUM
ISLAM (STUDI KOMPARATIF) ".
Dalam setiap tahap penyusunan skripsi ini begitu banyak bantuan, bimbingan,
dorongan serta perhatian yang diberikan oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
ingin mengucapkan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada:
I. Bapak Prof. DR. Drs. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM. selaku
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN SyarifHidayatullah Jakarta.
2. Bapak Asmawi, M.Ag. selaku Ketua Program Studi Jinayah Siyasah.
3. Ibu Sri Hidayati, M.Ag. selaku Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah.
4. Bapak Dr. Rumadi MA. dan Ibu Dr. Enis Nurlaelawati MA. selaku
Pembimbing Skripsi Penulis.
5. Pimpinan
dan
segenap JaJaran
pengurus
Perpustakaan
Utama
dan
Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas
kepada penulis untuk mengadakan studi perpustakaan.
6. Keluarga tercinta, Ibu Rumjanah (aim), Engkong H. Salim (aim) dan Nyai Hj.
Asiah Salim. Untuk paman dan bibi terimakasih atas segalanya, telah
mengasuh dan mendidik penulis san1pai saat ini, serta saudarn-saudaraku
Yusi, Rury, Roby, Ade, Ivie, Eggie, dan Imen yang tak pemah lepas dan lupa
dengan segala do' a, kasih sayang dan pengorbanannya sehingga tidak hentihentinya memberikan motivasi material dan spiritualnya. I love you all ...
7. Rekan-rekan Siyasah Syar'iyyah angkatan 2003 senasib dan seperjua11gan,
Iwa, Boncue, kong Nawi, Bajuri, Q-Roy, Oi', B'Dur, Icuy, Nazir, dan Babeh,
Oi, Fadinla. Kompak selalu ... ! ! !
8. Sahabat-sahabatku, Isya, Rieny, Jeane dan kawan-kawan, yang telah
menemani dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini selama di
pondok akkazaman. Maaf sering kali merepotkan kalian, but Thank's for
everythink... Chayoo
Semoga bantuan, bimbingan, dorongan serta perhatian yang diberikan oleh
mereka mendapat balasan yang berlipat dari Allah SWT.
Akhir kata, penulis berharap skiipsi ini dapat bermallfaat khususnya bagi
penulis pribadi dan pembaca pada umumnya. Amiin.
Tangerang, Maret 2008
Penulis
DAFTARISI
KATA PENGANTAR ................................................................. .
DAFTAR ISi ...............................................................................
111
BABI : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
1
B. Pembatasan dan Pernmusan Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
7
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
8
D. Tinjauan Pustaka . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .....
9
E. Metode Penelitian
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. 11
F. Sistematika Penulisan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. ... 13
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG CEDAW
A. Pengertian CEDAW ............................................................ 15
B. Landasan Pemikiran dan Prinsip-Prinsip Konvensi CEDAW......... ... 17
C. Pokok-Pokok Isi Konvensi CEDAW ........................................ 22
D. Perkembangan CEDA W di Indonesia ....................................... 28
BAB III: CEDAWDAN KESEHATAN PEREMPUAN: HAK REPRODUKSI
A. Pengertian Hak dan Kesehatan Perempuan dalam CEDAW ... . . . . . . . .. 35
B. Bentuk-Bentuk Isu Kesehatan Reproduksi Perempuan:
I. Aborsi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . 40
2. Female Genital Mutilation (FGM) . . . . . . ... . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . .. 61
C. Instrumen Hulmm yang Memberi Perlindungan bagi Kesehatan
Perempuan di Indonesia . . . . . . . . . . . . . . . ... . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .....
67
BAB IV : TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP HAK-HAK
KESEHATAN PEREMPUAN DALAM CEDAW
A. I-Iak-Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan Dalam Pandangan Islam 73
B. Dasar Hukum Islam yang Menguatkan Hak-Hak Kesehatan Perempuan
dalam CEDA W............. .. . . . . . . . . . . . . . . . ... . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .... 79
C. Reinterpretasi Terhadap Hukum Islam Mengenai Hak-Hak Kesehatan
Reproduksi Perempuan dalam CEDA W .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..... 84
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ...... ......... ......... ......... ......... .. ................... ...
91
B. Saran ........................................................................... 95
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN - LAMPIRAN
BABI
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai suatu istilah, Hak Asasi Manusia (HAM) dirasakan penting dan
dapat diterima masyarakat umum sekitar 50 tahun lalu. Tetapi hak asasi
perempuan baru menjadi perhatian nmnm sejak tahun 1970, namun ironisnya hak
asasi perempuan tidak secara otomatis dikenali ketika hak asasi tersebut
diproklamirkan. 1
Pada tahun 1967 Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengeluarkan
deklarasi mengenai penghapusan diskriminasi terhadap wanita. Deklarasi tersebut
memuat hak dan kewajiban wanita berdasarkan persamaan hak dengan pria.
Tahun 1979 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyetujui isi
konvenan tersebut. 2 Kemudian Pada tanggal 7 Juli 1984 Indonesia telah
meratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination
Against Women (CEDAW).
Diskriminasi masih terdapat dalam berbagai bidang kehidupan hingga ke
peraturan hukum. Maka dari
itu Perserikatan Bangsa-Bangsa memberi
kesempatan kepada lembaga swadaya masyarakat di negara anggota PBB untuk
membuat laporan tentang pelaksanaan konvensi tersebut. Hingga sekarang, telah
1
Zumrotin K. susilo, dkk, Pere1npuan Bergerak: Membingkai Gerakan Konsun1en dan
Penegakan Hak-Hak Perempuan, (Makassar: Yayasan Lembaga Konsumen Sulawesi Selatan, 2000),
h.22
2
Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum. Direktorat Hukum Dan Peradilan Mabkamah
Agung RI, Informasi Peraturan Perundang-Undangan Tentang Hak Asasi Manusia, (Jakarta:
Direktorat Hukum Dan Peradilan Mahkamah Agung RI, 2003) h.139
2
dilakukan pembahasan pelaksanaan CEDAW untuk bidang berbeda-beda, sesuai
dengan pasal-pasal menyangkut hak perempuan, seperti diantaranya hak atas
kesehatan (pasal 12 CEDAW). 3
Dalam tatanan masyarakat di dunia, kedudukan wanita seringkali
dianggap lebih rendah dari pria, pandangan yang tidak seimbang atas kedudukan
wanita ini menimbulkan suatu masalah klasik yang telah dihadapi kaum wanita
selama berabad-abad, yaitu ketidakadilan yang disebabkan perbedaan gender.
Masalah ini kemudian berakar kuat dalam masyarakat dan belum pernah ada
penyelesaian yang memuaskan untuk menuntaskan keadaan ini.
Faktor utama penyebab masalah ini adalah masih dianutnya pabam
patriakal di sebagian masyarakat adat di dunia, dimana pria dianggap sebagai
makhluk yang lebih superior dibandingkan wanita. 4
Berbicara mengenai masalah perempuan, luas persoalan yang hams
dibahas, seperti termasuk di dalamnya persoalan kemiskinan, pendidikan,
kesehatan, kekerasan, ekonomi, lingkungan
hidup dan media. Semua
itu
berangkat dari bentuk ketidakadilan yang dialami pihak perempuan sebagai akibat
subordinasi posisi mereka terhadap laki-laki. Persoalan sekarang ini adalah
kekhawatiran dari dampak ketidakadilan itu sendiri, yang tentu akan berimbas
pada perempuan baik secara individu maupun kelompok dan mungkin akan
3
http://www.defathya.multiply.com/reviews/item.html, diakses pada tangggal 23 Desember
2007
4
Sulistyowati Irianto, Peretnpuan dan Hukum: Menuju Hukzun yang Berperspektff
Kesetaraan dan Keadilan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), h.489
3
berimbas juga pada generasi berikutnya. Tidak mengherankan apabila dewasa ini
isu kesehatan perempuan (sebagian besar mengenai kesehatan reproduksi)
menjadi tema yang paling besar menyita perhatian, sehingga bukan suatu yang
tabu jika reproduksi dikatakan merupakan pokok sekaligus pangkal dari
keseluruhan persoalan perempuan. 5 Lebih banyak perempuan dan anak
perempuan yang mati setiap hari karena berbagai bentuk penyalahgunaan hak
asasi atas diskriminasi jenis kelamin.6
Kondisi
kesehatan
perempuan
yang
demikian
memprihatiukan
sesungguhnya disebabkan oleh ketiadaan jaminan kesehatan bagi masyarakat.
Apalagi kesehatan dalam sistem sekuler7 merupakan barang yang mahal,
ditambah dengan kondisi perekonomian saat ini, layanan kesehatan yang
berkualitas tidak bisa dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. 8 Dengan kondisi
seperti ini bukan hanya perempuan saja yang menjadi tidak sehat tetapi juga
mencakup kaum laki-laki.
Fungsi reproduksi yang melambangkan pembagian kerja antara laki-laki
dan perempuan diperluas dalam sistem patriarki sebagai ciri pemisahan domestik
dan publik. Akibatnya, gender acapkali terkonotasikan dengan ungkapan
"perempuan lebih cocok dirumah". Konstruksi dikotomi jender seperti ini, secara
5
Lies Marcoes-Natsir, Mencoba Mencari Titik Temu Islam dan Hak Reproduksi Perempuan,
dalam Syafiq Hasyim, ed., Menakar Harga Perempuan, (Jakarta: Mizan, 1999), h.19.
6
C. de Rever, To Serve & To Protect: Acuan Universal Penegakan HAM, Penerjemah
Supardan Mansyur, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h.341.
7
Sistem sekuler yaitu sistem yang didasarkan pada aliran yang menghendaki agar kesusilaan
atau budi pekerti tidak didasarkan pada ajaran agama.
' Ummu Fadhiilah, "Hak-Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan Da/am Pandangan Islam"
artikel dalam http://www.ukhuwah.or.id/dr/?q~node/l 9, diakses pada 23 Desember 2007.
4
langsung maupun tidak langsung menumbuhkan asimetri antara laki-laki dan
perempuan (laki-laki superior sedangkan perempuan inferior), sehingga istilab
kodrat, hakikat dan martabat seringkali hanya diungkapkan kepada kaum
perempuan. Sebenarnya, perbedaan antara laki-laki dan perempuan hanya terletak
pada kemampuan untuk hamil dan melahirkan. Namun, karena ha! ini secara
langsung maupun tidak langsung membatasi gerak alami perempuan, maka tradisi
ini lalu direkayasa menjadi pembenaran kodrat perempuan yang sekaligus
membatasi gerak perempuan dalam berperan. 9
Di Indonesia berbagai wacana tentang hak-hak kesehatan perempuan atau
hak reproduksi menjadi pembahasan baru dalam kaitan hukum Islam maupun
wacana gender sendiri. Sebelum terkait dengan agama, budaya dan politik, isu
hak reproduksi perempuan (reproductive right) dianggap kurang menarik,
setidaknya bagi kalangan yang baru mendengar istilab ini karena nuansanya yang
terkesan medis. Definisi kesehatan reproduksi sendiri sering dikaitkan dengan
sistem reproduksi, fungsi, maupun proses reproduksi sendiri, namun sebenarnya
maksudnya adalah suatu keadaan yang menyeluruh, meliputi aspek fisik, mental,
dan sosial. 10
Salab satu aspek fundamental kemampuan suatu agama adalab untuk
membebaskan manusia dari berbagai bentuk penindasan. Dalam al-Quran
9
Dadang S, Anshori, dkk., Membincangkan Feminisme: Rejleksi Muslimah Alas Peran Sosial
Kaz11n Wanita, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997) h. 34
'°http://www.kompas.com/kompas_cetak/03 l l/swara.html, diakses tanggal 23 Desember
2007
5
digambarkan bahwa kedatangan Nabi Mnbammad bertujuan untuk membebaskan
umat dari belenggu penindasan yang menghilangkan integritas kemanusiaan (QS.
Al- A'raaf: 157). Disamping mengajarkan tauhid, al-Quran juga merekam
berbagai kisah penindasan yang terjadi pada masa kenabian Muhammad seperti
perbudakan, subordinasi perempuan dan pihak-pihak lain yang marginal secara
sosial dan budaya.
Ironisnya kitab-kitab fiqih yang dikodifikasikan saat Islam mencapai
puncak peradaban justru telah memasung kaum perempuan pada dinding yang
membatasi akses mereka terhadap pendidikan yang setara dengan laki-laki. Saat
itu, pendidikan yang memadai hanyalah milik laki-laki sedangkan perempuan
Islam yang seharusnya menjadi dinamis, mandiri, mulia, dan terhormat hanya
menjadi perempuan yang rapnb. Stereotip dan subordinasi di atas akibat tidak
tersentuhnya riwayat-riwayat dari hadits Nabi Muhammad secara eksplisit oleh
setiap gerakan pembaharuan pemikiran Islam saat itu. 11
Terdapatnya hak untuk hidup dan hak perlindungan untuk hidup dalam
komposisi hak asasi berkaitan erat dengan keselamatan pribadi manusia dengan
kebebasannya. Hal ini dapat kita analogikan sebagai suatu jaminan kesehatan bagi
setiap manusia, tentunya dengan tidak membedakan jenis kelamin. Perempuan
diakui memiliki beberapa macam hak dasar, yaitu: 12
11
Siti Ruhaini Dzuhayatin, Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender Dalam
Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h.15
12
http://hidayatullah.com/index.php?option=com content&task=view&ID=26 l O&Itemed=60
diakses pada tanggal 13 Januari 2008
6
1. Hak untuk mendapatkan standar tertinggi kesehatan reproduksi dan seksual.
2. Hak untuk membuat keputusan yang berkenaan dengan kebebasan reproduksi
yang bebas dari paksaan, dan kekerasan.
3. Hak bebas memutuskanjumlah anak danjarak kelahiran anak, serta hak untuk
memperoleh informasi sekaligus sarananya.
4. Hak untuk mendapatkan kepuasan dan keamanan hubungan seks.
Berangkat dari permasalahan yang tertera di atas, dalam skripsi ini penulis
mencoba membahas suatu skripsi denganjudul: "Hak Atas Kesehatan Reproduksi
Perempuan Dalam CEDA W dan Hukum Islam (Studi Komparatif)" dengan
beberapa alasan sebagai berikut:
a. Banyak hak-hak wanita seputar kesehatan reproduksi yang belum terpenuhi
karena berbagai alasan baik dalam lingkup keluarga maupun masyarakat.
b. Ada beberapa sisi menarik yang perlu ditelaah dalam berbagai nonna dan
menurut perspektifhukum dalam menyoroti masalah-masalah seputar hak-hak
reproduksi karena selama ini hak kesehatan reproduksi hanya di identikkan
sebagai bagian dari medis.
c. Isu tentang hak-hak kesehatan reproduksi telah memunculkan efek yang
cenderung
amoral.
Terlebih
bila
diamati
betapa
gencarnya
upaya
penggalangan dukungan untuk mengamandemen UU kesehatan No.23 Tahun
1992, yang mengarah kepada upaya legalisasi aborsi, atas nama hak-hak dan
kesehatan reproduksi perempuan, sehingga terkesan ada muatan politis yang
tersembunyi dibaliknya.
8
1. Bagaimana hak-hak kesehatan perempuan yang terdapat dalam CEDA W?
2. Bagaimana bentuk instrumen hukum yang memberi perlindungan terhadap
kesehatan perempuan?
3. Bagaimana hukum Islam melihat hak-hak kesehatan perempuan yang terdapat
dalam CEDA W?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:
1. Untuk mengetahui bentuk hak-hak atas perempuan dalam bidang kesehatan
2. Untuk mengetahui jenis perlindungan yang diberikan oleh instrumen hukum
terhadap perempuan dalam memperoleh haknya
3. Untuk mengetahui hak-hak perempuan dalam CEDAW apakah telah sesuai
dengan hukum Islam.
Sedangkan manfaat dari penulisan skripsi ini adalah untuk menambah
pengetahuan tentang CEDA W pada umumnya. Manfaat praktis bagi penulis,
pembaca, serta masyarakat adalah mengetahui apa saja yang masuk kedalam hakhak kesehatan reproduksi perempuan yang terdapat dalam CEDA W dan hukum
Islam. Secara akademis dapat bermanfaat bagi para akademisi Fakultas Syari' ah
dan Hukum pada umumnya dan bagi program studi Siyasah Syar'iyyah
khususnya, sebagai penamba11 referensi tentang studi komparatif mengenai hak
atas kesehatan reproduksi perempuan dalam CEDA W dan Hukum Islam.
9
D. Tinjauan Pustaka
Dalam menjaga keaslian judul yang akan penulis ajukan dalam skripsi ini
perlu kiranya penulis uraikan juga beberapa buku atau karangan yang berkaitan
atau mengkaji isu seperti ini. Berdasarkan buku-buku yang akan dicantumkan
dibawah ini, baik kiranya jika dikelompokan terlebih dahulu menjadi beberapa
bagian sudut pandang.
Dari sudut pandang Hak Asasi Manusia, buku yang digunakan lebih
cenderung global menyangkut hak asasi, diantaranya To Serve To Protect, Acuan
Universal Penegakkan HAM oleh C. de Rover. Dalam buku ini HAM dikaitkan
dengan Hukum Humaniter Internasional dan kemudian menempatkan HAM pada
keadaan operasional dengan melibatkan penegak hukum, polisi dan angkatan
bersenjata. Kemudian terdapat juga buku Informasi Peraturan Perundang-
undangan tentang Hak Asasi Manusia yang diterbitkan oleh Jaringan
Dokumentasi dan Informasi Hukum Direktorat Hukum dan Peradilan Mahkamah
Agung RI 2003. Tujuan dikeluarkannya buku ini sebagai upaya memasyarakatkan
undang-undang dan peraturan terkait tentang HAM, dengan harapan dapat
menambah pengetahuan dan penahanan mengenai beberapa ketentuan tentang
HAM bagi pejabat, petugas peradilan dan kalangan masyarakat.
Buku yang digunakan dalam sudut pandang perempuan, di antaranya
Perempuan Bergerak, Membingkai Gerakan Konsumen dan Penegakan Hak-Hak
Perempuan, ditulis oleh Susilo Zamrotin K., dkk yang berisi tentang penegakkan
hak-hak perempuan oleh instrumen-instrumen hukum internasional dibawah
10
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Buku lain adalah Hak Azasi Perempuan Instrumen
Hukum Untuk Mewujudkan Keadilan Gender. Buku ini ditulis oleh kelompok
kerja Convention Watch kerjasama dengan Pusat Kajian Wanita dan Gender
Universitas Indonesia. Ulasan mengenai Hak asasi perempuan, dalam buku ini
menitikberatkan pada penegakkan hukum yang adil sebagai perlindungan dari
bentuk-bentuk diskriminasi terhadap perempuan tem1asuk tindak kekerasan dalam
keluarga dan masyarakat.
Selain itu, buku dengan perspektif perempuan lainnya ialah Perempuan
dan Hukum: Menuju Hukum Yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, editor
oleh Sulistyowati Irianto. Buku ini berisi kumpulan artikel mengenai hak-hak
perempuan dalam kehidupan bermasyarakat, sebagaimana yang telah diatur dalan1
DUHAM (Deklarasi universal Hak Asasi Manusia), CEDA W, maupun instrumen
intemasional lainnya. Terdapat juga buku yang merupakan buku ajar, dengan
judul buku Bahan Ajar Tentang Hak Perempuan: UU No. 7 Tahun 1984 Tentang
Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Wanita, oleh Achie Sudiarti Luhulima. Isi buku ini menguraikan hakhak perempuan dalam UU No.7 Tahun 1984, dengan mengedepankan
pembahasan
pada
pasal-pasal
yang
dianggap
banyak
persoalan
dalam
penerapannya.
Buku lain yang pantas disebut adalah buku dengan judul Islam dan
Inspirasi Kesetaraan Gender, oleh Siti Musdah Mulia. Dengan sudut pandang
gender, buku ini menguraikan ketegasan Islam sebagai agama yang mengajarkan
11
penghormatan dan pemuliaan terhadap manusia, tanpa melihat jenis kelamin,
gender, suku, ras, dan ikatan primordial lainnya.
Di antara karya-karya tulis tersebut diatas, tidak terdapat kesamaan judul
yang secara langsung berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dalam skripsi
ini. Namun terdapat didalamnya beberapa isu penting yang dapat diuraikan
kembali penjelasannya, karena dalam uraiannya tersebut hanya memunculkan
pandangan dari satu sudut saja, yakni sudut gender ataupun hukum Islam. Dari
sini penulis tertarik mengkaji lebih dalam tentang isu kesehatan reproduksi ini,
dalam mengangkat isu kontroversi yang telah ditentukan maka uraian yang
dituangpun lebih terarah. Perbedaan yang penulis tampilkan disini adalah segi
komparatif permasalahannya. Spesifik pembahasan yaitu hak atas kesehatan
reproduksi perempuan dalam CEDA W dan hukum Islam.
E. Metode Penelitian
Metode merupakan strategi utama dalam pengumpulan data-data yang
diperlukan untuk menjawab persoalan yang dihadapi. 14 Pada dasamya sesuatu
yang dicari dalam penelitian ini tidak lain adalah "pengetahuan" atau lebih
tepatnya "pengetahuan yang benar", dimana pengetahuan yang benar ini nantinya
dapat dipakai untuk menjawab pertanyaan atau ketidaktahuan tertentu. 15
14
Mohammad Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), Bagian Pengantar,
Cet. Ke-3.
15
h. 27-28.
Bambang Sunggono, Metode penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 1997),
12
Penelitian ini dimaksudkan untuk menggali segala bentuk hak-hak perempuan
dalam bidang kesehatan
I. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
jenis penelitian yang berbentuk studi deskriptif kualitatif yang berusaha
mengkombinasikan pendekatan normatif dan empiris. Sedangkan pendekatan
empiris diharapkan dapat menggali data dan informasi sebanyak dan sedetail
mungkin tentang hak-hak atas kesehatan perempuan dalam CEDA W.
2. Teknik Pengumpulan Data
Dalam rangka menghimpun seluruh data dan fakta yang menunjang
penelitian permasalahan dalam penelitian ini, Penulis menggunakan metode
studi kepustakaan (Library Research) yaitu dengan mengkaji, menelaah, dan
menelusuri literatur yang berkenaan dengan masalah dari beberapa sumber
yang berupa buku, majalah, koran, artikel, dan lain-lain. Dengan metode ini
penulis berusaha mengungkap hak-hak kesehatan reproduksi perempuan, dan
bagaimana Islam memandang hal ini berkenaan dengan hak kesehatan
perempuan yang terdapat dalam CEDA W.
3. Teknik Analisis Data
Dalam menganalisa data, pendekatan dalam penelitian adalah analisis
kualitatif, data kualitatif ini diperoleh dengan sudut pandang gender analysis
sebagai alat dalam menganalisa petmasalahan yang ada. Desain penulisan
adalah deskriptif analisis yaitu sebuah studi untuk menemukan fakta dengan
13
interpretasi yang tepat dan menganilasa lebih dalam tentang hubunganhubungannya. 16
4. Teknik Penulisan
Penulisan skripsi ini mengacu pada buku "Pedoman Penulisan Skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta Tahun 2007".
F. Sistematika Penulisan
Dalam menggambarkan keseluruhan uraian dan untuk keteratuiran isi
penelitian. Skripsi ini di bagi atas bab-bab yang terdiri dari 5 (lima) Bab, yaitu:
BABI
Pendahuluan, terdiri: latar belakang masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka,
metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II
Tinjauan Umum Tentang CEDAW, terdiri: pengertian CEDAW,
landasan pemikiran dan prinsip-prinsip konvensi CEDAW, pokokpokok isi konvensi, perkembangan CEDAW di Indonesia.
BAB III:
CEDAW dan Kesehatan Perempuan: Hak Reproduksi, terdiri:
pengertian hak dan kesehatan perempuan dalam CEDA W, bentukbentuk isu kesehatan reproduksi perempuan, instrument hukum yang
memberi perlindtmgan bagi kesehatan perempuan.di Indonesia
16
M. A. Moleong J. Lexy. Metode Penelitian Kualitatif. (Bandung: PT Remaja Roda Karya.
2004). h. 6.
14
BAB IV:
Tinjauan Hukum Islam Terhadap Hak-Hak Kesehatan Perempuan
Dalam CEDAW, terdiri: hak-hak kesehatan dalam pandangan Islam,
dasar hukum Islan1 yang menguatkan hak-hak perempuan dalam
CEDA W,
dan reinterpretasi CEDA W terhadap hukum Islam
mengenai hak-hak kesehatan reproduksi perempuan
BABV
Penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran.
BABII
TINJAUAN UMUM TENTANG CEDAW
CEDA W pada mulanya merupakan singkatan dari Committee on the
Elimination of all forms of Discrimination Againts Women, yaitu suatu komite
Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bertugas memantau implementasi konvensi
penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan di negara-negara
peserta (negara peratifikasi konvensi) serta mengawasi kepatuhan negara dalam
melaksanakan prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan konvensi. Kini istilah
CEDAW digunakan sebagai nama konvensi (Convention on the Elimination of all
forms of Discrimination Against Women). Untuk menghindari kekeliruan penafsiran
makna, maka digunakanlah istilah Konvensi CEDAW untuk Konvensi Wanita atau
konvensi perempuan dan komite CEDA W untuk Committee on the Elimination of
forms ofDiscrimination Against Women.
A. Pengertian CEDA W
CEDA W atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan terhadap
Perempuan merupakan satu perangkat hukum hak asasi manusia. Konvensi ini
disahkan oleh Majelis Umum PBB paQ_(!, tahun 1979, dan sering sekali disebutsebut sebagai piagam Hak Asasi Internasional oogi perenipuan. CEDAW memuat
16
definisi semua ha! yang dianggap diskriminasi terhadap perempuan dan
menetapkan agenda untuk aksi nasional dalam mengakhiri diskriminasi tersebut. 17
Untuk mengetahui ketentuan apa saja yang dimuat kedalam CEDAW,
sekiranya dapat di petakan terlebih dahulu menjadi
dua bagian, Konvensi
CEDAW dan Komite CEDAW, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Dilihat
dari bentulmya konvensi CEDA W berarti berupa teks tertulis dari isi CEDA W,
sedangkan komite CEDA W berarti sejumlah orang yang masuk kedalam
kepanitiaan yang berwenang mengawasi penerapan CEDAW. Secara keseluruhan
CEDA W terdiri dari 30 pasal, dalam Pasal 1 sampai 16 mengenai inti konvensi
CEDAW, menyatakan berbagai macam mekanisme untuk memastikan perempuan
mendapat per!akuan yang setara di tengah-tengah masyarakat dan bebas dari
diskriminasi di bidang politik, sosial, ekonomi dan budaya dan isu-su lainnya
termasuk pelabelan (stereotype), praktek budaya, partisipasi politik, perdagangan
manusia (trafficking) kewarganegaraan, pendidikan, perkerjaan, perkawinan,
kesehatan, dan kehidupan perempuan di pedesaan (kawasan rural), Sementara
pasal 17-22 membahas tentang pembentukan dan fungsi Komite CEDAW; pasal
23-30 membahas tentang administrasi Konvensi CEDA W. 18
17
CEDA W, Qanun dan Aceh, artikel dalam www.unifem-eseasia.org, diakses pada tanggal 11
Juni 2008.
18
Juni2008
Kronik Konvensi CEDAW, artikel dalam www.kalyanamitra.or.id/, diakses pada tanggal 11
17
B. Landasan Pemikiran dan Prinsip-Prinsip Konvensi CEDA W
Hak Asasi Perempuan yaitu hak yang dimiliki oleh setiap perempuan, baik
karena ia seorang manusia maupun sebagai perempuan. Dalam khasanah hukum,
hak asasi perempuan dapat ditemui pengaturam1ya dalam berbagai sistem hukum
.
. 19
tentang hak asas1 manusia.
Walaupun DUHAM20 sudah meliputi persamaan hak laki-laki dan
perempuan, namun sejak awal berdirinya PBB pada tahun 1945, disadari
masyarakat dunia bahwa Hak Asasi Perempuan memerlukan aturan khusus,
karena masih ditandai dengan sikap yang menganggap bahwa kedudukan dan
nilai perempuan lebih rendah dibanding laki-laki. Sumbangan perempuan bagi
kehidupan ke!uarga dan masyarakat, maupun di dunia kerja atau dalam
pertumbuhan ekonomi masih sangat kurang diakui dan dihargai. 21 Di sisi lain
tuntutan kaum perempuan terhadap pemenuhan hak asasinya semakin menonjol,
namun belum adanya jaminan atas hak-hak yang mereka perjuangkan ikut
tercantum dalam peraturan-peraturan pemerintah, sehingga secara de facto
membuat hak-hak mereka sulit untuk dilaksanakan dan diterima oleh masyarakat
umumnya.
19
Sri Wiyanti Eddyono, Seri Bahan Bacaan Kursus HAM Untuk Pengacara X: Hak Asasi
Perempuan dan Konvensi CEDAW, (Jakarta: Lembaga Studi Dan Advokasi Masyarakat, 2004)
20
DUHAM atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia adalah sebutan lain untuk UDHR
(Universal Declaration of Human Right) merupakan piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa yang isinya
pernyataan internasional alas hak-hak asasi manusia, kemudian digunakan sebagai ala! ukur yang
digunakan untuk mengukur tingkat penghargaan dan pentaatan standar-standar internasional hak asasi
manusia diseluruh dunia
21
Sulistyowati lrianto, Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif
Kesetaraan dan Keadilan, h.7.
18
Dari uraian di atas, dalam perkembangannya kaum perempuan berupaya
memasukkan perspektif mereka ke dalam konsep Hak Asasi Manusia. Hal ini
didasarkan atas kenyataan bahwa pelanggaran hak asasi perempuan (women's
human right) terjadi karena struktur patriarkis dalam berbagai sendi dan bidang
kehidupan yang dirasakan semakin tidak adil. Secara politik, kaum perempuan
dianggap sekunder dan tidak punya otonomi, ha! ini tercermin dalam kehidupan
berkeluarga, posisi suami sebagai kepala rumah tangga berperan penuh mengurusi
urusan-urusan yang bersifat publik, sedangkan istri tidak lain hanya dianggap
sebagai milik karena telah dinikahi suami. Apabila terjadi kekerasan maupun
pelecehan terhadap istri atau anak perempuan di rumah, ini tidak dianggap
sebagai pelanggaran HAM dan tidakjuga sebagai pelanggaran hukum. 22
Munculnya wacana mengenai gender merupakan luapan perasaan
ketidakadilan yang kuat atas tekanan dari kekuatan hukum yang berlaku. Situasi
kesadaran akan ketidakadilan yang dialami wanita ini selanjutnya telah
diakomodir oleh PBB yang kemudian baru menghasilkan Konvensi Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita pada Tahun 1979 dan diratifikasi
oleh Indonesia dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984
(Konvensi Wanita). 23
22
Mohan1mad Farid, Perisai Peretnpuan: Kesepakatan lnternasional Untuk Perlindungan
Perempuan, (Yogyakarta: Yasasan Galang, 1999), h.3.
23
Luhulima, Bahan Ajar Tentang Hak Perempuan: VU No.7 Tahun 1984 Tentang
Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskrbninasi Terhadap Wanita, h.2.
19
Lahirnya CEDA W merupakan momentum awal pergerakan hak asas1
perempuan yang selanjutnya mewaruai gerakan perempuan dalam forum
internasional dan hukum internasional. Selain itu adanya CEDA W menjadi
puncak dari upaya Internasional perempuan demi memperoleh perlindungan dan
24
demi mempromosikan hak-hak perempuan di seluruh dunia
Didalam CEDA W, arti hak asasi perempuan dikonstruksikan diatas 3
prinsip utama yang saling berhubungan. Prinsip-prinsip ini berfungsi sebagai
perangkat untuk memahami kesetaraan gender dan upaya-upaya pemberdayaan
perempuan. Walaupun setiap prinsip CEDAW sudah merupakan unsur yang jelas,
namun prinsip-prinsip tersebut saling bergantung satu sama lainnya. Jika
digabungkan, prinsip-prinsip tersebut dapat menjadi kerangka kerja yang
menyeluruh (holistik) untuk mencapai pemenuhan hak-hak asasi perempuan dan
menjadi inti CEDA W. Sehingga dapat di pahami bahwa kerangka tujuan,
kewajiban, hak, pengaturan dan akuntabilitas hanya dapat dibangun melalui
konsep-konsep yang terdapat dalam prinsip-prinsip ini. 25
Adapun prinsip-prinsip yang terdapat dalam CEDA W, secara ringkas dapat
diuraikan sebagai berikut:
I. Prinsip persamaan. Secara ringkas prinsip persamaan subtantif yang dianut
konvensi
perempuan
24
wanita adalah:
yang
langkah-langkah
ditujukan
untuk
untuk
mengatasi
merealisasikan
adanya
hak
perbedaan,
Sri Wiyanti Eddyono, Seri Bahan Bacaan Kursus HAM Untuk Pengacara X Materi :
Konvensi CEDA W Hak Asasi Perempuan dan Konvensi CEDA W.
25
CEDAW, Qanun dan Aceh, artikel dalam www.unifem-eseasia.org
20
disparitas/kesenjangan atau keadaan yang merugikan perempuan; Langkahlangkah untuk melakukan perubahan lingkungan, sehingga perempuan
mempunyai akses yang sama dan menikmati kesamaan manfaat dari
kesempatan peluang yang ada; Kebijakan negara yang berpegang pada
prinsip-prinsip sebagai berikut: persamaan kesempatan bagi perempuan dan
laki-laki, kesetaraan dalam mengakses memperoleh kesempatan secara adil,
persamaan
untuk
menikmati
manfaat
dari
hasil-hasil
menggw1akan
kesempatan itu; Hak hukum yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam:
(a) kewarganegaraan; (b) perkawinan dan hubungan keluarga; (c) perwalian
anak; (d) persamaan kedudukan dalam hukum dan perlakuan sama di depan
hukum. 26
2. Prinsip non-diskriminasi. Dalam Pasal I Konvensi Wanita mendefinisikan
"dikriminasi terhadap wanita" sebagai setiap perbedaan, pengucilan atau
pembatasan yang dibuat berdasarkan jenis kelamin yang berakibat atau
bertujuan mengurangi atau meniadakan pengakuan terhadap hak asasi
manusia dan kebebasan kebebasan-kebebasan pokok, dibidang politik,
ekonomi, sosial, budaya, sipil dan bidang-bidang lain terlepas dari status
perkawinan mereka atas dasar persamaan antara pria dan wanita. Pasal I ini
memberikan keterangan secara rinci mengenai arti diskriminasi terhadap
perempuan meliputi perlakuan yang berdampak merugikan perempuan, tetapi
26
Achie Sudiaiti Luhulima, ed., Kejahatan Berbasis Jender Serta Dampak Jender Dari
Peristiwa Pembantaian di Gujarat 2002, (J akarta: Komnas Perempuan, 2005), h.123.
21
untuk jangka pendek atau jangka panjang, maka aturan itu merupakan
diskriminasi terhadap perempuan.
Langkah-tindak atau tindakan khusus sementara atau temporary
special measures (pasal 4 (I) konvensi wanita) 27 yaitu langkah-tindak yang
dilakukan untuk mencapai kesetaraan dalam kesempatan dan perlakuan bagi
perempuan dan laki-laki, dan mempercepat kesetaraan de facto antara lakilaki dan perempuan. Sebaliknya suatu tindakan proaktif, seperti melarang
perempuan melakukan suatu jenis pekerjaan tertentu dianggap sebagai
diskriminasi, karena dalam jangka panjang dapat bertentangan dengan
28
.
k epentmgan perempuan.
3.
Prinsip kewajiban negara.
Dengan meratifikasi konvensi, negara peserta
menerima kewajiban melakukan langkah-langkah aktif untuk menerapkan
prinsip-prinsip persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam undangundang dasar mereka dan peraturan perundang-undangan lainnya. Konvensi
ini juga mengharnskan negara peserta memberi perlindungan secara efektif
terhadap hak perempuan untuk mendapatkan pertolongan dan perlindungan
terhadap diskriminasi.29
27
Pasal 4 ayat I Konvensi Wanita berbunyi pernbuatan peraturan-peraturan khusus sernentara
oleh negara-negara peserta yang ditujukan untuk rnernpercepat persarnaan "de facto" antara pria dan
wanita, tidak dianggap diskrirninasi seperti ditegaskan dalarn konvensi yangs ekarang ini, dan sarna
sekali tidak hasrus rnernbawa konsekuensi pemeliharaan norrna-norrna yang tidak sama atau terpisah,
maka peraturan-peraturan ini dihentikan jika tujuan persarnaan kesernpatan dan perlakuan telah
tercapai.
28
Luhulima, Bahan Ajar Tentang Hak Perempuan: UU No.7 Tahun 1984 Tentang
Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita h.137
29
Ibid, h.138.
22
C. Pokok-Pokok Isi Konvensi
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan
disetujui Majelis Umum PBB pada tahun 1979 dan mulai berlaku sebagai
perjanjian internasional pada tanggal 3 September 1981 setelah 20 negara
meratifikasinya. Diantara perjanjian Hak Asasi Manusia Internasional, Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan merupakan yang
paling komprehensif dan sangat penting karena dalam hal ini perempuan sebagai
fokus keprihatinan HAM.
Dalam mukadimah konvensi disebutkan asas dari konvensi wanita
1m
adalah a) Hak-hak asasi manusia berdasarkan atas mertabat dan nilai pribadi
manusia, dan atas persamaan hak antara pria dan wanita; b) Semua manusia
dilahirkan bebas dan sama dalam martabat dan hak; c) Hak asasi manusia
menjamin hak yang sama antara pria dan wanita untuk menikmati semua hak
ekonomi, sosial budaya, sipil dan politik; d) Adanya penghargaan terhadap
martabat manusia; e) Sumbangan besar wanita pada kesejahteraan keluarga dan
pembangunan masyarakat dan peranan wanita dalam memperoleh keturunan
hendaknya jangan menjadi dasar diskriminasi; f) Adanya perubahan pada peranan
tradisional. 30
Konvensi wanita menekankan pada persamaan dan keadilan antara
perempuan dan laki-laki (equality dan equity), yaitu persamaan hak dan
30
Lihat lampiran Undang-Undang Nomor 7 Tahun l 984 tentang Konvensi Penghapusan
segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
24
panjang yang merugikan perempuan. Secara konseptual prinsip-prinsip tersebut
terjalin dalam pasal I sampai 16 Konvensi Wanita. 33
Mengenai kesehatan perempuan dibahas lebih lanjut dalam konferensi
ICPD Kairo, sebagai tindak Ianjut dari pelaksanaan CEDA W. Konferensi tersebut
mengkhususkan masalah kesehatan yang terdapat pada pasal 12 Konvensi
Wanita. Isinya menyerukan agar negara wajib membuat aturan yang menjamin
perempuan mendapatkan akses pelayanan kesehatan tanpa diskriminasi. Sebab
masih terdapatnya tradisi yang dapat membahayakan kesehatan perempuan dan
anak, termasuk di dalamnya kebiasaan melarang makanan tertentu bagi
perempuan hamil, dan sunat perempuan 'genital mutilation' .34
Konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan
secara keseluruhan mempunyai struktur sebagai berikut :
I. Pe1iimbangan
2. Pasal-pasal sebanyak 30 pasal dengan pembagian :
Bagian I
Pasal I - pasal 6 mengenai pengutukan segala bentuk
diskriminasi terhadap perempuan dan upaya penegakkan asas
persamaan hak dan kewajiban antara pria dan wanita dalam
UUD45.
Bagian II
: Pasal 7 - pasal 9 mengenai kewajiban negara-negara peserta
membuat
33
peraturan
penghapusan
diskriminasi
terhadap
Saparinah Sadli, Kesehatan Reproduksi Perempuan dan Hak Asasi Manusia, artikel dalam
www.cedawui.net, diakses pada tanggal 15 Mei 2008
34 !bid
25
perempuan
dalam
bidang
politik,
dan
kehidupan
kemasyarakatanan negaranya.
Bagian III
: Pasal 10 - pasal 14 mengenai kewajiban terhadap perempuan
dalam
bidang
politik,
dan
kehidupan
kemasyarakatan
negaranya.
Bagian IV
Pasal 15 - 16 mengenai kewajiban negara-negara peserta
memberikan wanita persamaan hak dan pria di muka hukum,
menghapus diskriminasi yang berhubungan dengan perkawinan
dan hubungan kekeluargaan.
Bagian V
Pasal 17 - 22 menganai pembentukan panitia intemasional
untuk menilai kemajuan implementasi CEDA W, dengan
pangkal pertimbangan distribusi geografis yang tepat dan
unsur-unsur dari berbagai bentuk peradaban manusia sistem
hukum utama. Panitia dipilih untuk masa jabatan 4 tahun.
Bagian VI
Pasal 23 - 30 konvensi tersebut tidak akan mempengaruhi
ketentuan manapun bagi tercapainya kesarnaan antara pria dan
wanita yang mungkin terdapat dalarn perundang-undangan di
suatu negara. Disamping itu konvensi ini tidak bersifat kaku
setiap
negara
berhak
untuk
mengajukan
keberatan-
keberatannya.
Pertimbangan dalarn Konvensi ini berisi dasar pikir mengapa penting
adanya Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.
26
Dalam pertimbangannya, Konvensi ini mengajak mengingat kembali tentang
pengakuan hak-hak dasar yang telah dimuat dalam :
I. Piagam PBB yang menegaskan keyakinan pada hak-hak asasi manusia yang
fundamental, yang berpatok pada martabat dan nilai kemanusiaan dan hak-hak
yang sama antara laki-laki dan perempuan.
2. Deklarasi Umum mengenai Hak Asasi Manusia yang menegaskan prinsipprinsip tentang anti diskriminasi, dan penekanan bahwa semua manusia
dilahirkan bebas dan memiliki martabat dan hak yang sama, dan bahwa semua
orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang ditetapkan dalam Deklarasi
tersebut tanpa pembedaan termasuk pembedaanjenis kelamin.
3. Kovenan Intemasional tentang Hak Sipil dan Politik dan Kovenan
Intemasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang memberikan
kewajiban bagi negara anggota PBB untuk menjamin persamaan hak laki-laki
dan perempuan untuk menikmati semua hak yang berkaitan dengan hak
ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik.
4. Kovensi lainnya yang dibuat oleh berbagai badan di bawah PBB (seperti
Konvensi !LO) yang mengatur dan mempromosikan persamaan hak laki-laki
dan perempuan. Pengingatan kembali terhadap berbagai instrumen semakin
dirasa penting terlebih temyata meskipun sudah ada berbagai instrumen
hukum, diskriminasi terhadap perempuan masih berlangsung. Padahal
diskriminasi terhadap perempuan jelas melanggar prinsip persamaan hak dan
penghormatan terhadap martabat manusia sebagaimana telah tercantum
27
sebelwnnya terhadap berbagai instrumen. Diskriminasi tersebut juga menjadi
hambatan bagi partisipasi perempuan dalam persamaan kedudukan dengan
laki-laki di dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan di
lingkungan masyarakat bahkan di wilayah dimana perempuan berada. Hal
tersebut akan berdampak pada penghalangan pertwnbuhan kemakmuran
masyarakat dan keluarga, disamping akan lebih mempersulit pengembangan
potensi perempuan secara penuh agar dapat berkontribusi kepada negara dan
kemanusiaan.
Konvensi ini juga menyatakan bahwa diskriminasi terhadap perempuan
tidak saja terjadi pada situasi normal, tapi terjadi juga pada saat situasi khusus
seperti adanya
kemiskinan. Pada situasi kemiskinan, diskriminasi terhadap
perempuan menyebabkan perempuan menduduki posisi paling kurang memiliki
akses terhadap pangan, kesehatan, pendidikan, pelatihan dan kesempatan dalam
lapangan kerja dan kebutuhan lainnya. Oleh karena itu masyarakat internasional
(melalui persetujuan dengan adanya Konvensi ini) meyakini bahwa terbentuknya
tatanan ekonomi internasional baru berdasarkan persamaan dan keadilan akan
memberikan swnbangan yang berarti pada peningkatan persamaan antara laki-laki
dan perempuan. 35
35
Sri Wiyanti Eddyono, Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X, hak asasi
Perempuan dan Konvensi CEDA W:
28
D. Perkembangan CEDAW di Indonesia
Isu mengenai hak reproduksi terangkum secara keseluruhan dalam
Konvensi Perempuan sedunia Ke-IV di Beijing tahun 1995. Isinya memuat
komitmen tentang implementasi konvensi mengenai penghapusan segala bentuk
diskriminasi terhadap perempuan (Convention on the Elimination of All Forms
Discrimination Against Women), untuk dipatuhi bagi setiap negara yang
meratifikasinya.
Setelah Indonesia meratifikasi konvensi Wanita tanggal 24 Juli 1984 dan
di tetapkan menjadi Undang-Undang No.7 Tahun 1984 tentang pengesahan
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan
(Convention on the Elimination of All form of Discrimination Against Women)
setiap perselisihan mengenai penafsiran atau penerapan konvensi ini antara dua
atau lebih negara peserta yang tidak dapat diselesaikan melalui perundingan,
selanjutnya diajukan melalalui proses arbitrase atau permohonan oleh salah satu
negara di antara negara-negara tersebut. Ketentuan lain jika terjadi perselisihan,
dalam jangka waktu enam bulan sejak tanggal permohonan tidak ada kesepakatan
dari negara-negara pihak mengenai penyelenggaraan arbitrase, maka salah satu
dari pihak-pihak yang berselisih dapat menyerahkan persoalannya ke Mahkamah
Internasional melalui permohonan yang sesuai dengan peraturan mahkamah
(pasal 29 ayat I).
Dengan menggarisbawahi penjelasan pasal I UU No.7 Tahun 1984
Konvensi Wanita tentang penyelesaian perselisihan mengenai penafsiran atau
29
penerapan konvensi wanita ini, dinyatakan bahwa pemerintah Indonesia tidak
bersedia mengikatkan diri dan tidak dapat menerima suatu kewajiban untuk
mengajukan suatu perselisihan internasional, dimana Indonesia tersangkut kepada
Mahkamah Internasional. Untuk lebih memantapkan komitmennya terhadap
CEDAW, Indonesia juga turut rnanandatangani "Optional protocol to CEDA W" di
sidang umum PBB di New York. Optional protocol berisi pasal pilihan yang
memungkinkan setiap individu/kelompok memilih pasal
yang sekiranya
bertentangan dengan hukum negara yang selanjutnya mengajukan langsung
permasalahan kepada pemerintah kernudian ke PBB. 36
Ratifikasi suatu konvensi internasional bermakna perjanjian antar negara
(treaty),
yang
menciptakan
kewajiban
dan
akuntabilitas
negara
yang
meratifikasinya. Pemerintah Indonesia sendiri meratifikasi dengan persetujuan
DPR, sehingga prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan konvensi menjadi hukum
formal dan menjadi bagian hukum nasional, seperti Undang-Undang No.39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Konsekuensinya
adalah
negara
pese1ia
(peratifikasi
konvensi)
memberikan komitmen, mengikatkan diri untuk menjamin melalui peraturan
perundang-undangan, kebijakan, program dan tindakan khusus sementara,
mewujudkan keseteraan dan keadilan antara laki-laki dan perempuan serta
36
Irawati Harsono dan Retno Nasrun, Perlindungan Terhadap Pere1npuan Dan Anak Yang
Menjadi Karban Kekerasan (Bacaan Bagi Awak Pelayanan Khusus-Po/ice Woman Desk), (Jakarta:
Derap-Warapsari, 2003), Edisi ke 2, h.18.
30
terhapusnya segala bentuk diskriminasi terhadap perempnan. 37 Konsekuensi lain
dari ratifikasi tersebut adalah pemerintah juga harus melaksanakan kewajiban
untuk menyampaikan laporan periodik/berkala tentang Pelaksanaan Konvensi
CEDA W di Indonesia setiap 4 tahun sekali dan pemerinta11 turut hadir dalam
Sidang Ko mite CEDA W untuk mempertanggungjawabkan laporannya itu. 38
Selain itu Organisasi-organisasi non pemerintal1 dapat memantau proses
pelaporan danjuga memberikan alternative report ataupun shadow report sebagai
bantuan kepada pemerintah untuk melengkapi infonnasi yang telah disusun dalam
laporan pemerintah. Laporan NGO ini akan menjadi masukan altematif bagi
Komite CEDA W PBB tentang fakta diskriminasi terhadap perempuan yang
terjadi. 39
Implementasi yang dihasilkan menyangkut persoalan hak reproduksi,
meliputi aspek yang berhubungan dengan kehidupan manusia secara holistik,
tidak sekedar sehat secara fisik, termasuk sehat mental dan sosialnya. Hak ya11g
berhubungan dengan reproduksi manusia diantaranya: hak untuk hidup, artinya
ada jaminan untuk mendapatkan keselamatan dari resiko kematian karena
kehamilan. Hak atau kebebasan dan keamanan artinya adanya pengakuan
terhadap putusan setiap individu untuk menikmati dan mengatur kehidupan
reproduksinya. Hak alas kesetaraan dan beban dari segala bentuk diskriminasi.
37
Luhulima, Bahan Ajar Tentang Hak Perempuan: VU No. 7 Tahun 1984 Tentang
Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, h.134.
38
Press release: Negara Abaikan CEDAW, artikel dalam www.cwgi.wordpress.com, diakses
pada tanggal 11 Juni 2008.
39
Ibid
31
Hak atas kerahasiaan pribadi yaitu adanya perlindungan hidup hak pasien dalam
mendapatkan informasi atas hak reproduksinya. Hak kebebasan berpikir yaitu
mendapatkan akses yang terbebas dari pengarnh agama dan kepercayaan. Hak
untnk mendapatkan informasi dan pendidikan yaitu adanya perlindungan terhadap
perempuan untuk mengakses semua informasi seperti metode pelayanan Keluarga
Berencana (KB). Hak untuk memilih menikah atau tidak dan ber-KB atau tidak.
Hak menentukan keturunan. Hak untuk mendapatkan perawatan dan perlindungan
kesehatan. Hak untuk mendapatkan peningkatan ilmu pengetahuan artinya ada
jaminan untuk mengakses kemajuan teknologi perawatan, kesehatan reproduksi.
Hak berpartisipasi dalam politik dan kebebasan dan berkumpul artinya ada
perlindungan untuk membentuk perkumpulan yang bertujuan mempromosikan
hak kesehatan reproduksi. Hak bebas dari penganiayaan dan kekerasan. 40
Sejak runtuhnya orde baru perlindungan dan penghormatan terhadap hakhak perempuan tidak mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Perempuan
masih di lihat dalam perspektif "alas kaki di waktu malam, alas tidur di waktu
malam", hak-hak mereka masih terpasung di bawah kekuasaan yang patriarki.
Reformasi di bidang legislasi masih jauh dari apa yang diharapkan.41
Namun sejak ratifikasi konvensi oleh pemerintah Indonesia. Ada beberapa
kemampuan didapat seperti dikeluarkannya Undang-Undang nomor 23 tahun
40
Maria Ulfah Anshor, Fikih Aborsi, Wacana Penguatan Hak Reproduksi Perempuan,
(Jakarta: Kompas, 2006), h.4.
41
Laporan HAM, "'Tutup Buku Dengan Transitional Justice" ? Menutup Lembaran Hak
Asasi Manusia tahun !999-2004 dan Menentukan Lembaran Baru 2005, (Jakarta: ELSAM, 2004), h.l
32
2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, Undang-Undang
nomor 39 tahun 2004 tentang perlindungan tenaga kerja perempuan di Juar negeri,
Undang-Undang nomor 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan. Sehingga
sampai saat ini bersama dengan konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi
terhadap perempuan setelah ratifikasi hanya ada 3 produk legislasi nasional
tentang perlindungan dan pencegahan kejahatan terhadap perempuan.
42
Sebagai contoh kongkrit bahwa membuat aturan atau undang-undang baru
tidak dapat secara otomatis mengubah sikap anggota masyarakat karena mereka
sudah terlebih dahulu berpegangan pada norma dan nilai yang telah menjadi
bagian dari dirinya (diinternalisasi sejak be1tahun-tahun lamanya). Hingga
sekarang sosialisasi isi UU No. 7/1984 belum dilakukan secara intensif dan
programatis oleh pemerintah. Dukungan dan komitmen jelas pemerintah dengan
memberi sanksi pada pihak-pihak yang melanggarnya adalah aspek yang masih
harus diperjuangkan dalam rangka penghapusan diskriminasi terhadap perempuan
agar perempuan dapat menikmati standar kesehatan yang optimal.
Problem-problem kekerasan terhadap perempuan yang muncul dalam
skala yang masif dan meluas di tanah air disebabkan karena lemahnya upayaupaya peningkatan penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak perempuan
yang telah menimbu!kan begitu banyak praktik-praktik penyiksaan dan ill-
treatment terhadap perempuan. Sehingga kejahatan penyiksaan, tindakan tidak
42
Ninuk
M Pambudy "Pemerintah Lambat hapus Diskriminasi" dalam
www.kompas.eo.id/kompas-cetak/0703/05.swara/3360800.html. diakses pada tanggal 24 Desember
2007.
33
manusiawi, merendahkan martabat dan hukuman kejam terhadap perempuan
mas1"h terns terJ.ad"1. 43
Dari hasil pemantauan CWGI,
44
ada sepuluh isu krnsial berdasarkan
pasal-pasal dalam konvensi CEDAW, yang terkait dengan tindakan diskriminasi
terhadap perempuan yang meliputi; (1) tanggungjawab negara menghapus
diskriminasi perempuan (2) perdagangan perempuan (3) perempuan dalam politik
dan kehldupan politik, pasal 7. (4) kewarganegaraan, pasal 9. (5) pendidikan
perempuan, pasal 10, (6) hak pekerja perempuan, pasal 11. (7) hak kesehatan
perempuan, pasal 12. (8) perempuan di pedesaan, pasal 14, (9) persamaan di
muka umum (pasal 15), dan (10) perkawinan dan hukum keluarga (pasal 16).45
CWGJ juga memandang, bahwa Konvensi CEDAW yang telah diratifikasi
23 tahun yang lalu, belum diimplementasikan secara maksimal oleh pemerintah.
Ketidaktegasan dalam mencantumkan prinsip non diskriminasi
dalam setiap
kebijakan dan peraturan perundangan yang ada, banyaknya praktik budaya yang
diskriminatif dan dilanggengkan melalui Undang-undang Perkawinan No. 1
tahun 1974,
43
menguatnya fundamentalisme dan konservatisme agama, se1ia
Laporan HAM, "Tutup Buku Dengan Transitional Justice", hal.55.
CWGI adalah sebuah jaringan yang terdiri dari IO organisasi non pemerintah yang concern
terhadap advokasi dan memonitoring implementasi konvensi CEDAW di Indonesia yang dibentuk
september 2006, organisasi tersebut terdiri dari : aliansi pelangi antar bangsa (APAB, kalyanamitra,
koalisi perempuan Indonesia untuk keadilan dan demokrasi (KPI), LBH Asosiasi perempuan indonesia
untuk keadilan (LBH.APIK), mitra perempuan (womwn's crisis center), rahima, rumpun gema
perempuan, solidaritas perempuan, yayasan kesehatan perempuan, dan yayasan jumal perempuan.
CWGI berupaya mendorong pelaksanaan CEDA W di indonesia melalui perubahan kebijakan dan
perbaikan situasi pemenuhan hak-hak perempuan di indonesia.
45
CEDA W Working Group Initiative (CWGJ), ringkasan laporan Independen Organisasi Non
Pemerintah Indonesia Tentang Implementasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Perempuan (Konvensi CEDA fl) di Indonesia tahun 2007, (Jakarta, Kalyanamitra: 2007)
44
34
banyaknya praktek-praktek pembedaan, pembatasan, dan pengucilan perempuan
untuk dapat menikmati hak-haknya, merupakan persoalan serius terkait dengan
. . terhadap perempuan. 46
. k.
dis
T1mmas1
46
Press
Release:
www.cwgi.wordpress.com
Negara
Abaikan
Konvensi
CEDA W,
artikel
dalam
BAB III
CEDAWDAN KESEHATAN PEREMPUAN:
HAK REPRODUKSI
Sebagaimana pemaparan pada bab terdahulu, CEDA W sebagai salah satu
instrumen hukum yang mengatur penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap
wanita tentunya terkait juga pada hak dan perlindungan atas kesehatan perempuan.
Pada bab tiga ini penulis secara khusus akan memaparkan kesehatan perempuan yang
berkenaan dengan hak reproduksi.
A. Pengertian Hak dan Kesehatan Perempuan dalam CEDA W
Secara bahasa kata hak memiliki arti milik atau kepunyaan, kekuasaan
untuk berbuat sesuatu (karena ditentukan oleh Undang-Undang atau aturan lain),
dan kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu. 47 Kata hak
secara istilah menurut Ibn Nujaim (seorang ahli fikih) sebagaimana dikutip dalam
Ensiklopedia Islam, adalah "suatu keklmsusan yang terlindung", artinya hak
adalah hubungan khusus antara seseorang dengan orang lain yang tidak dapat
diganggu gugat. 48
Kesehatan reproduksi berasal dari dua kata, kesehatan dan reproduksi.
Kesehatan berasal dari kata sehat yang berarti kondisi yang nyaman atau fit, baik
fisik, mental atau sosial. Sedangkan reproduksi dalam kamus bahasa Inggris,
47
Tim Penyusun Kamus Pusat Pengembangan Bahasa, Ka1nus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta:Balai Pustaka, 1990), Cet. Ke-7, h. 334.
48
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Jchtiar Baru Van Hoeve,
1994), Cet.Ke-3, h.68.
36
reproduce memiliki arti menghasilkan kembali atau berkembang biak. Dan
reproduction memiliki arti tiruan, membuat seperti yang asli.
kamus kedokteran, reproduksi
49
Namun dalam
diartikan sebagai perkembangbiakan atau
menghasilkan keturunan. 50 Sedangkan dalam konteks studi perempuan reproduksi
diartikan sebagai suatu kemampuan yang dimiliki perempuan untuk memproduksi
kembali ketwunannya (baik dengan cara melahirkan maupun memulihkan tenaga)
agar proses produksi (ekonomi) bisa berlanjut untuk menjamin kelangsungan
. s1
h1·aup manus1a.
Menurut Prof. Dr. Hassan Hathout dalam perbendaharaan bahasa Arab,
terdapat dua kata yang jika keduanya diterjemahkan kedalam bahasa Inggris
menjadi reproduction yaitu kata takasur dan irifab yang memiliki cakupan arti
yang berbeda.
Takasur mencakup pengertian reproduksi
biologis yaitu
memperbanyak jumlah dengan melahirkan anak, sedangkan injab berarti bentuk
reproduksi yang lain yaitu berkenaan dengan mutu dan ha! lain yang lebih dari
hanya bersifat fisik, nanrnn meliputi kualitas manusia. 52
Sedangkan reproduksi,
secara sederhana dapat
diartikan
sebagai
kemampuan untuk "membuat kembali". Dalam kaitannya dengan kesehatan,
49
S. Wojowasito, Kamus Lengkap Jnggris-Jndonesia, (Bandung: Penerbit HASTA, 1980),
Cet. Ke-6 h. l 77.
50
Med. Ahmad Romali, Kamus Kedokteran, (Jakarta: Djembatan, 1997), Ce!. Ke-23, h.302
51
Lies Marcoes, Maka/ah Hak Reproduksi Perempuan Dalam PerspektifAgama Islam, dalam
Seminar Wanita dan Kesehatan Reproduksi, (Jakarta: Lembaga Demografi FEUI dan Yayasan
Ekonomika FEUl, 1996), h.2.
52
Nur Rohmayati, Hak Reproduksi Perempuan Menurut Hukum Islam dan Hukum
Internasional, (Skripsi SJ Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta: 2003) h.24.
37
reproduksi diartikan sebagai kemampuan seseorang memproses keturunan
(beranak). Oleh karena itu, kesehatan reproduksi berkaitan erat dengan masalah
seksualitas.
Bila pengertian kesehatan di atas dihubungkan dengan perempuan, maka
hal ini akan berkaitan dengan alat-alat reproduksi dan fungsi-fungsinya. Ini
merupakan kaitan yang wajar, mengingat kesehatan reproduksi merupakan ha!
yang sangat krusial bagi perempuan. Dengan demikian, kesehatan perempuan
merupakan keadaan jasmani dan rohani yang tidak berpenyakit, utuh, bersih, dan
terhindar dari hal-hal yang mengganggu sistem reproduksi, fungsi-fungsi dan
proses-prosesnya.
Pengertian kesehatan reproduksi yang demikian luas membawa berbagai
persoalan yang luas pula. Ia bisa menyangkut kesehatan alat-alat reproduksi,
perempuan pra-reproduksi (masa remaja), saat bereproduksi (masa hamil dan
menyusui) dan pasca-reproduksi (masa monopouse). Persoalan lain yang perlu
mendapat perhatian dalam kesehatan reproduksi perempuan adalah mengenal
pemenuhan kebutuhan seksualnya secara memuaskan dan aman, kebebasan untuk
mengatur kelahiran, menentukan jumlah anak, serta mendapatkan perlakuan baik
dari semua pihak, serta hak mendapatkan infmmasi dan pelayanan kesehatan yang
benar. Pada akhirnya, persoalan kesehatan reproduksi perempuan itu sendiri
diciptakan sama dan setara dengan jenis makhluk yang lain. Dengan demikian,
kesehatan di sini juga mencakup kesehatan secara sosial.
38
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa reproduksi adalah
sebuah kegiatan untuk menghasilkan kembali atau memperkembangbiakkan,
dalam ha! ini yang dihasilkan dan diperkembangbiakkan adalah manusia.
Sesungguhnya, ada beberapa ha! yang perlu diperhatikan. Pertama, pengertian
sehat bukan semata-mata sebagai pengertian kedokteran (medis), tetapi juga
secara sosial (masyarakat). Seseorang dikatakan sehat tidak saja memiliki tubuh
dan jiwa yang sehat, tetapi juga dapat bermasyarakat secara baik. Kedua,
kesehatan reproduksi bukan menjadi masalah seorang saJa, tetapi menjadi
kepedulian keluarga dan masyarakat. Ketidakpedulian sebagai pihak terhadap
kehidupan
kesehatan
perempuan
dapat
menambah
ketidakberdayaan
perempuan. 53
Dalam pasal 12 ayat 2 dari konvensi wanita ini jelas sekali ada kewajiban
negara untuk menjamin tersedianya pelayanan kesehatan reproduksi perempuan,
yaitu:
I. Memastikan pelayanan yang layak untuk perempuan dalam hubungannya
dengan kehamilan, persalinan, dan periode pasca persalinan, bila perlu
menyediakan pelayanan gratis.
2. Memastikan perempuan mendapatkan gizi yang cukup selama masa
kehamilan dan menyususui.
53
Zahra Andi Basa dan Judy Raharja, Kesehatan Reproduksi: Padanan Bagi Perempuan,
(Ujung Pandang: YLKI Sulawesi Selatan dan TFF, 1997), Cet.ke-l h.78.
39
Dari kalimat diatas dapat ditarik komponen-komponen dari pasal 12 ayat 2
tersebut, seperti: jaminan pelayanan kesehatan bagi perempuan, jaminan
pelayanan KB, pelayanan cuma-cuma bagi pelayanan selama kehamilan,
persalinan dan sesudah persalinan, dan pemberian gizi yang cukup selama
kehamilan dan menyusui. 54
B. Bentuk-Bentuk lsu Kesehatan Reproduksi Perempuan
Bentuk-bentuk kesehatan reproduksi dalam CEDA W maupun hukum
Islam sering kali menjadi isu kontroversi, ketika diangkat ke dalam ruang publik.
Dimana hak kesehatan reproduksi yang terdapat dalam CEDA W lebih
mengutamakan atas kenyamanan hidup seorang wanita, sedangkan dalam hukun1
Islam lebih kepada ketentuan syariat yang berdasarkan Al-Quran dan summh.
Bentuk isu-isu kesehatan reproduksi, seperti: FGM (Female Genital Mutilation,
labih dikenal sebagai circwncission atau sunat) hak menentukan menikah atau
tidak, KB (Keluarga Berencana), Aborsi, AKI (Angka Kematian !bu), menolak
hubungan seksual. Namun dalam bab ini penulis hanya mengangkat isu aborsi
dan FGM sebagai pembahasan utama, sebab isu aborsi ataupun FGM sendiri
sampai saat ini masih terasa kontroversial.
Berikut uraian isu seputar aborsi dan FGM, yang akan dibahas kemudian
dengan sudut pandang agama maupun gender, yang terangkum sebagai berikut:
54
Achie Sudhiarti Luhulima, Bahan Ajar Tentang Hak Perempuan: UV No. 7 Tahun 1984
Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita,
h.262.
40
1. Aborsi
Kata aborsi berasal dari bahasa latin yaitu abortus berarti gugur
kandungan atau keguguran. Dalam bahasa arab disebut Isqatu al-Hamli atau
al-Jjhadh, keduanya mempunyai arti perempuan yang melahirkan secara
paksa dalan1 keadaan belum sempurna penciptaannya Menurut istilah aborsi
diartikan pengakhiran kehamilan atau pengakhiran buah kehamilan pada
waktu janin masih demikian kecilnya, sehingga tidak dapat hidup. Para ahli
fikih seperti Chuzaemah Tahido Yanggo, guru besar Fakultas Syariah dan
Hukum memberi pengertian aborsi sebagai "pengguguran kandungan sebelnm
lahir secara alamiah, beberapapun umurnya dengan maksud pengrusakan
kandungan tersebut". 55 Sementara menurut Ibrahim Al-Nakhai "aborsi adalah
pengguguran janin dari rahim ibu hamil baik sudah bentuk sempurna atau
belum". 56 Secara yuridis aborsi yaitu pengrusakan pada janin di dalam rahim,
atau disebabkan karana kematian pada janin. 57
Adapun mengenai aborsi ini, terlebih dahulu kita mengenal tahap
perkembangan janin. Sebab pada nmunya abmius terjadi sebelnm kehamilan
55
Chuzaemah Tahido Yanggo, Agama dan Kesehatan Reproduksi, Seri Kesehatan
Reproduksi, Kebudayaan dan Masyarakat, (Jakarta: Pustaka Seminar Harapan: 1999), h.156.
56
Ibrahim Al-Nakhai, dikutip oleh Muhammad Rawwas, "Mausu'ah fikih Ibrahim AlNakhai", Tt, h.13. dalam kutipan Maria Ulfah Anshor, Fikih Aborsi, Wacana Penguatan Hak
Reproduksi Perempuan, (Jakarta: Kompas: 2006), h.34.
57
Maria Ulfah Anshor, Fikih Aborsi, Wacana Penguatan Hak Reproduksi Perempuan, h.35.
41
mencapai usia 3 bulan, terhitung dari haid terakhir atau berat janin kurang dari
500 g atau panjang janin kurang dari 25 cm. 58
Pada minggu pertama terjadi tahap konsepsi atau nu(fah (bersatunya
ovum dengan spe1ma), dari satu sel sperma berkembang jumlahnya menjadi
2-4-8 dan seterusnya sampai pada blastokis yaitu saat nadiasi, kemudian dari
kumpulan sel-sel tersebut berkembang menjadi embrio (mudgah) sampai
minggu ke sepuluh. Pada masa ini sering kali terjadi abortus spontan yang
biasanya disebabkan kelainan kromosom, dan bisa juga karena infeksi,
kelainan rahim serta kelainan hormon. Kelainan ini dapat memungkinkan
mudgah untuk tumbuh normal, jika berlangsung kehamilan maka janin akan
Iahir dengan cacat. Sedangkan setelah proses mudgah tersebut dapat disebut
janin karena bentuknya telah mendekati sempurna. (Menurut agama Islam,
Allah meniupkan ruh pada kehamilan 100-200 hari atau 16 minggu). 59
Pada praktek kebidanan basil perkembangan konsepsi tersebut dapat
ditemukan abortus. Demikianpun Al-Quran menjelaskan tahapan-tahapan
perkembangan janin dalam rahim seorang perempuan, tahapan secara utuh
terangkum dalam surat AI-Mukminun (23): 12-14:
58
Dini Kasdu, Mila Meiliasari, dan Reino Puwaningsih, Info Lengkap Kehamilan dan
Persalinan, (Jakarta: PT. Gemini Mitra Gemilang, 2007) h.33.
59
Maria Ulfah Anshor, Fikih Aborsi, Wacana Penguatan Hak Reproduksi Perempuan, h.316
43
reproduksi yang memungkinkan hamil. Hanya perempuan yang dapat
mengalami kahamilan yang tidak dikehendaki. Berbagai perubahan sosial dan
revisi radikal atas idiologi-idiologi yang ada mengakibatkan timbulnya
perubahan. Faktor perbedaan negara dan budaya turut mewarnai kontroversi
aborsi yang hingga kini masih menjadi polemik dari sudut HAM maupun
agama. Pada hakikatnya masalah aborsi atau pengguguran kehamilan
sepenuhnya berada dalam wilayah ilmu kebidanan. 61 Maka tidaklah
mengherankan jika di sebagian negara-negara sekularis aborsi sudah menjadi
bagian dari program keluarga berencana, sehingga sampai pada konvensi
kependudukan di Cairo tahun 1994, aborsi diusulkan agar di masukkan
sebagai salah satu cara untuk mengendalikan pertmnbuhan dan pertambahan
penduduk sebagai bagian dari program KB (Keluarga Berencana). 62
Di sisi lain masih adanya negara yang mengkriminalisasikan aborsi
(seperti Indonesia) dengan sikap undang-undangnya yang memandang aborsi
sebagai suatu tindak pidana63 dan berbagai stigma tentang aborsi, berakibat
bahwa perempuan seringkali dipojokkan, pada akhirnya memilih cara aborsi
yang tidak aman dengan resiko yang membahayakan kesehatannya dan
kehidupannya.
61
Hassan Hathout, llmu Kebidanan dan Persalinan Dalam Pandangan !slam, Bandung:
Mizan, 2003), h.53.
62
Elga Sarapumg, dkk, ed., Agama dan Kesehatan Reproduksi, h.156
63
Ada tiga UU yang berkaitan dengan masalah aborsi yang berlaku hingga kini yaitu UU
Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP pasal 283, 299 serta pasal 346-349, UU Nomor 7 Tahun 1984
tantang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan dan UU
Nomor 32 Tahun 1992 tantang Kesehatan pasal 15 ayat (1). Lih. Maria Ulfah Anshor, Fikih Aborsi,
Wacana Penguatan Hak Reproduksi Perempuan.
44
Sebagai isu yang paling kontroversial, aborsi tidak hanya dilihat dari
sudut pandang kesehatan, tetapi juga sudut pandang hukum dan agama.
Beberapa ha! dibawab ini bertujuan untuk mengupas masalah aborsi ditinjau
dari ketiga sudut pandang diatas berikut perkembangan terakhir dalam rangka
mewujudkan aborsi aman di Indonesia.
a. Sudut pandang kesehatan
Aborsi
merupakan
masalah
kesehatan
masyarakat
karena
memberikan dampak pada kesakitan dan kematian ibu. Sebagaimana
diketabui penyebab utama kematian ibu hamil dan melabirkan adalab
perdaraban, infeksi dan ek:lampsia. Namun sebenarnya aborsi juga
merupakan penyebab kematian ibu, hanya saja muncul dalan1 bentuk
komplikasi pendaraban dan sepsis. Akan tetapi, kematian ibu yang
disebabkan komplikasi aborsi sering tidak muncul dalam laporan
kematian, tetapi dilaporkan sebagai perdarahan atau sepsis. Hal itu terjadi
karena hingga saat ini aborsi masih·merupakan masalah kontroversial di
masyarakat.
Sampai saat ini aborsi dianggap ilegal dan dilarang oleh agama
sehingga masyarakat cenderung menyembunyikan kejadian aborsi, di
samping maraknya tindakan aborsi yang terjadi di masyarakat. Tidak ada
data yang pasti tentang besarnya dampak aborsi terhadap kesehatan ibu
namun WHO memperkirakan 10-50% kematian ibu disebabkan oleh
aborsi.
45
Abortus adalah penghentian kehamilan setelah tertanamnya telur
(ovum) yang telah dibuahi dalam rahim (uterus) sebelum masa usia janin
(fetus) mencapai 20 minggu.
Sebelum pembahasan Iebih lanjut penulis mencoba menguraikan
macam-macam aborsi serta efek yang ditimbulkannya, yaitu:
!) Aborsi spontan (Abortus Spontaneus), adalah aborsi yang tidak
disengaja, yang bisa terjadi karena penyakit misalnya syphilis, demam
panas yang hebat, penyakit ginjal, TBC, kecelakaan, dan sebagainya.
2) Aborsi yang disengaja (Abortus Provocatus), aborsi jenis ini terbagi
lagi menjadi dua macam: Pertama, Aborsi artificilis Thearapicus yaitu
aborsi yang dilakukan seorang dokter atau dasr indikasi medis dengan
tindakan
mengeluarkan
janin
dari
ibu
yang
terancam
bila
kelangsungan kehamilannya dipertahankan menurut pemeriksaan
medis. Kedua, Aborsi Provocatus Criminalis yaitu pengguguran yang
dilakukan tanpa indikasi medis untuk meniadakan hasil hubungan seks
diluar perkawinan atau untuk mengakhiri kehamilan yang tudak
dikehendaki. 64 Jikadiamati lebih lanjut darijenis aborsi yang kedua ini
tidak lepas dari faktor-faktor yang dapat mempengaruhi peningkatan
aborsi ini, diantaranya meliputi: keinginan memiliki keluarga yang
lebih kecil, meningkatnya jumlah wanita usia subur, pergeseran
64
Ibid, h.l 64
46
masyarakat pedesaan ke perkotaan dan kenaikan insidensi aktivitas
seksual di Iuar pernikahan. 65
Konferensi
Internasional Kependudukan dan Pembangunan
(International Co11ference on Population and Development/ICPD) di
Kairo tahun 1994 dan Konferensi Wanita di Beijing tahun 1995
menyepakati bahwa akses pada pelayanan aborsi yang aman merupakan
bagian dari hak perempuan untuk hidup secara umum, hak perempuan
untuk menerima standar pelayanan kesehatan yang tertinggi dan hak untuk
memanfaatkan kemajuan teknologi kesehatan dan informasi secara
khusus. Dengan demikian, diperlukan perlindungan hukum dalam
menyelenggarakan pelayanan aborsi yang aman untuk menjamin hak
perempuan dalam menentukan fungsi reproduksi dan peran reproduksi
tubuhnya sendiri.
Hasil
penelitian
/CDP
kemudian
menunjukkan
bahwa
dilegalkannya aborsi aman di sebuah negara berperan dalam menurunkan
angka kejadian aborsi itu sendiri. Hal ini dikarenakan efektifitas konseling
pasca aborsi mewajibkan pemakaian kontrasepsi jika mereka masih aktif
melakukan seksual namun tidak ingin mempunyai anak untuk jangka
waktu tertentu.
65
Marge Koblinsky, Kesehatan Wanita: Sebuah PerpektifG/oba/, Gadjah Mada University
Press: Yogyakarta 1997. cetke I, h.195
47
Efek samping yang ditimbulka11 akibat aborsi menurut Ginekolog
dan konsultan seks, Boyke Dian Nugraba adalah babwa "mayoritas
perempuan pelaku aborsi, secara psikologis akan menderita". Menurutnya,
ha! ini terbukti dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap perempuan
pelaku aborsi yang menunjukkan bahwa mereka yang telab melakukan
aborsi merasa kehilangan harga diri (82%), berteriak-teriak histeris (51%),
mimpi buruk berkali-kali mengenai bayi (63%), ingin bunuh diri (28%),
terjerat obat-obat terlarang (14%), dan tidak bisa menikmati hubungan
seksual. 66
Dari uraian diatas cukup jelas babwa aborsi mengancam kesehatan
dan ekonomi. Semakin besar umur kehamilan, maka makin besar pula
resiko akan terjadinya komplikasi.
Tiga fakta utama tentang aborsi, yang mengangkat aborsi sebagai
masalab kesehatan masyarakat sehingga harus mendapatkan perhatian
adalah: 67
I) Aborsi yang dilaksanakan secara tidak aman dan menjadi penyebab
utama kesakitan dan kematian wanita.
2) Kebutuha11 akan induksi aborsi merupakan kenyataan yang sering dan
terus-menerus dijumpai; dan
66
67
www.hidayatullah.com/index.php diakses pada tanggal 20 Januari 2008.
Marge Koblinsky, Kesehatan Wanita: Sebuah Perpekti[Global, h.192
48
3) Wanita tidak perlu meninggal akibat aborsi yang tidak aman karena
apabila induksi dilaksanakan secara benar dan higienis tindakan aborsi
sangatlah aman.
Secara ringkas dari ketiga fakta tersebut, kesakitan dan kematian
akibat aborsi hampir seluruhnya dapat dicegah. WHO menganggap aborsi
sebagai masalah yang gawat, dan pada rekomendasi tindakan tahun 1991
"mendorong pemerintah untuk melakukan semua upaya yang mungkin
untuk menghilangkan resiko kesehatan yang berat akibat aborsi yang tidak
mnan".
68
b. Sudut pandang hukum
Dalam Simposium Masalah Aborsi di Indonesia yang diadakan di
Jakaita pada tanggal 1 April 2000, Sumapraja menyatakan adanya
kontradiksi dari isi Undang-undang No. 23/1992 pasal 15 ayat 1 sebagai
berikut. "Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan
jiwa ibn hamil dan atau janinnya dapat dilakukan tindakan medis
tertentu. 69 Kalima! untuk menyelainatkanjiwa ibu hamil dan ataujaninnya
merupakan pernyataan cacat hukum, karena kalimat tersebut sepertinya
menjelaskan bahwa pengguguran kandungan diartikan sebagai upaya
menyelamatkan jiwa ibu dan atau janinnya. Padahal, pengguguran
68
Ibid, h. I 97
49
kandungan tidak pemah diartikan sebagai upaya untuk menyelamatkan
janin, malah sebaliknya.
Tindakan medis (Pasal 15 ayat I Undang-Undang No.23 Tahun 1992)
dalan1 bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun, dilarang
karena bertentangan dengan nomm hukum, nonna agama, norma
kesusilaan, dan norma kesopanan. Namun dalam keadaan darurnt sebagai
upaya menyelamatkan jiwa ibu dan atau janin yang dikandungnya dapat
diambil tindakan medis tertentu pula. Dengan demikian dapat diambil
kesimpulan bahwa dasar hukum tindakan aborsi yang cacat hukum dan
tidak jelas itu menjadikan tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan
aborsi rentan di mata hukum.
Ditambahkan Jagi pada ayat selanjutnya yakni pasal 15 ayat 2 yakni,
tindakan medis tertentu hanya dapat dilakukan jika berdasarkan: indikasi
medis yang mengharuskan diambil tindakan tersebut; dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk itu dapat
dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta pertimbangan ahli;
dengan persetujuan ibu han1il yang bersangkutan atau suami atau
keluarganya, dan pada sarana kesehatan tertentu;
Penjelasan atas syarat tersebut di atas yang dimaksud indikasi medis
adalah suatu kondisi yang benar-benar mengharuskan diambil tindakan
medis tertentu, sebab tanpa tindakan medis tertentu itu, ibu hamil dan atau
janiunya terancam bahaya maut. Sedangkan Tenaga kesehatan yang dapat
50
melakukan tindakan medis tetientu adalah tenaga yang memiliki keahlian
dan kewenangan untuk melakukannya, yaitu seorang dokter ahli
kandungan dan penyakit kandungan, sementara hak utama untuk memberi
persetujuan ada pada ibu hamil yang bersangkutan, kecuali dalam keadaan
yang tidak sadar atau tidak dapat memberikan persetujuan, dapat diminta
dari suami atau keluarganya, dan sarana kesehatan tertentu adalah yang
memiliki fasilitas memadai untuk tindakan tersebut dan telah ditunjuk oleh
pemerintah.
Bertentangan dengan pasal UU No. 23 Tahun 1992 tersebut diatas,
KUHP menerangkan dan menjelaskan tentang pelarangan tindakan aborsi
diantaranya: 70 Seorang wanita yang
sengaja menggugurkan atau
mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu (pasal 346);
orang yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang
wanita dengan persetujuannya (pasal 348); seorang tabib, bidan atau juru
obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun
melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang
diterangkan dalam pasal 347 dan 348 (pasal 349).
c. Sudut pandang agama
Aborsi di dunia dan di Indonesia khususnya masih menimbulkan
banyak persepsi dan bermacam interpretasi. Secara normatif, hampir
70
Siswandi
Suarta,
Kontroversi
Seputar
Aborsi,
www.matrianti.org/gendervaw/arsip.htm diakses pada tanggal 6 Mei 2008.
artikel
dalam
51
semua agama mungkin tidak ada yang menyetujui tindakan aborsi secara
bebas. Selebihnya sudut agama banyak angkat bicara mengenai aborsi ini.
Dalam agama Islam mayoritas ulama klasik maupun modem berbeda
berpendapat mengenai aborsi ini, sebagian berpendapat bahwa aborsi yang
dilakukan sebelum 120 hari hukumnya haram dan sebagian lagi
berpendapat boleh. Batasan 120 hari dipakai sebagai tolok ukur bolehtidaknya aborsi dilakukan mengingat sebelum 120 hari janin belum
ditiupkan ruhnya yang berarti belum bemyawa. Dari ulama yang
berpendapat boleh beralasan jika setelah didiagnosis oleh dokter ahli
kebidanan dan kandungan temyata apabila kehamilan diteruskan maka
akan membahayakan keselamatan ibu, maka aborsi diperbolehkan.
Bahkan bisa menjadi wajib jika memang tidak ada altematif lain selain
aborsi. 71
Aturan Islam mengenai aborsi tidak bisa mengabaikan apa yang
sedang terjadi di belahan dunia lain, juga tidak bisa menutup mata
terhadap dampak iklim global yang berubah serta implikasinya bagi umat
Islam dalam perkembangannya. 72
Para ulama dahulu sepakat bahwa sesudah terjadi fase gerak
pertumbuhan, janin (sesudah ditiupkan ruh pada janin yaitu sebelum
71
Laily Hanifah,
Aborsi Ditirljau Dari Tiga Sudut Pandang,
www.kesrepro.info/gendervaw/referensi.html, diakses pada tanggal 9 April 3008.
72
Sarapung, dkk., ed., Agama dan KesehaJan Reproduksi, h.166
artikel
dalam
52
berumur 4 bulan) diberikan suatujimma 73 sebab janin menerima haknya,
tetapi tidak mempunyai kewajiban. Itulah sebabnya sebagian ulama
memandang aborsi dilarang atas semua muslim, sebab yang demikian itu
adalah sebuah dosa yang dilakukan pada makhluk hidup. Sehingga ada
tebusan-darah yang hams dibayarkan manakala janin dilahirkan hidup,
dan ghurra!l4 jika janin yang dikeluarkannya mati. Sebaliknya, para
ulama fikih tidak sepakat mengenai apakah hams menjatuhkan sanksi atau
melarang aborsi jika dilakukan sebelum fase gerak pertumbuhan, ha! ini
didasarkan atas pertimbangan bahwa belum ada kehidupan dan tidak ada
kejahatan
bisa dilakukan
atasnya. r '
Lain
halnya hukuman jika
pengguguran dilakukan secara spontan ini oleh ulama disebut Isqath alAfau yang berati aborsi yang dimaafkan karena pengguguran, sehingga
dalam ha! ini tidak menimbulkan akibat hukum, dan bagi pengguguran
tanpa dilandasi alasan medis disebut al-Jsqath ak Ikhtiyari yang berarti
pengguguran tanpa sebab yang membolehkan, sehingga ada unsur hukum
didalamnya.
Bagaimanapun alasan-alasan diluar medis tidak dapat diterima. Sebab
jika alasannya karier atau kehidupan mewah mencerminkan watak yang
73
Ji1111na yaitu status yang rnemberi kualifikasi pada seseorang untuk melaksanakan berbagai
hak dan kewajibannya.
74
Ghurrah yaitu sanksi pidana dalam Islam berupa denda yang besamya seperdua puluh
bagian dari uang tebusan bagi tindakan membunuh manusia, sama dengan separuh dari diyat I 00 ekor
unta yaitu 50 ekor unta, atau membayar seorang budak Iaki-laki atau perempuan (yang dapat
menggantikannya).
75
Hassan Hathout, I/mu Kebidanan dan Persalinan Dalam Pandangan Islam, h.58
53
matrealistis, dan alasan tidak sahnya si anak ha! ini dikutnk Islam dengan
keras karena ini merupakan produk samping dari hubungan seks gelap
(perzinahan), sedangkan 'alasan jenis kelamin tidak diinginkan prilaku
tersebut mencerminkan keburukan Arab jahiliyah yang mengubur bayi
wanitanya hidup-hidup, dan jika kehamilan merupakan hasil perbuatan
pemerkosaan adanya tindak lanjut dari serangan seks tersebut untuk
mencegah
terjadinya
implementasi
ovum
yang
telah
dibuahi. 76
Sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya:
Katakanlah : "Mari/ah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh
Tuhanmu, yaitu : Janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia,
berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak, dan janganlah kamu
membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi
rezeki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati
perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang tampak di antaranya maupun
yang tersenbunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan
Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar".
Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu
memahami (nya). ( Q.S, al-An'am: 151)
76
Sayyid Muhammad Ridhwi, Perkmvinan dan Seks dalam Islam, (Jakarta,PT.
Lentera Basritama: 1997), cet.3, h.119
54
Sementara dalam agama Kristiani tidak tercantum di al-kitab ayat yang
memperbolehkan aborsi. Secara tegas tercantum pada Surah Yeh 16:20:24
dan surah Yer 1:5. Baik dalam Katolik maupun Protestan secara tegas tidak
dibolehkan melakukan aborsi karena perbuatan tersebut dinilai pelanggaran
sebagai dosa besar. Memang perlu diakui, dalam Kitab Suci Perjanjian Baru
masalah aborsi tidak disebut secara eksplisit. Tetapi, dalam buku Didakhe
(sebuah kumpulan teks yang sangat berwibawa dalam ajaran Katolik) aborsi
sudah dicantumkan dalam daftar dosa besar. Prof John Noonan (Universitas
California, Berkeley) telah menyelidiki seluruh tradisi Kristen ini dalam
tulisannya An Almost Absolute Value in History (1970). Isi dari tulisan ini
secara khusus menganggap penolakan terhadap aborsi sebagai suatu nilai yang
hampir tidak ada pengecualian dalam sejarah agama Kristen.
Walaupun pada mulanya embrio belum dianggap manusia sungguhan,
dalam tradisi Kristen aborsi selalu dilarang. Alasannya tidak sulit dipahami:
embrio awal itu sudah merupakan manusia potensial dan kalau berkembang
secara nonnal akan lahir sebagai manusia. 77
Selain itu dalam Theology Hinduisme Aborsi dalam tergolong pada
perbuatan yang disebut "Himsa kaima" yakni salah satu perbuatan dosa yang
disejajarkan dengan membunuh, meyakiti, dan menyiksa. Membunuh dalam
pengertian yang lebih dalam sebagai "menghilangkan nyawa" Oleh karena
77
K. Bertens, Aborsi di Tengah Polarisasi "Pro life"- "Pro Choice", mtikel dalam
www.kompas.com/gayahidup/index.htm, diakses pada tangal 6 Mei 2008
55
-----.
i-·-·--~--·-~-~-
!
'
l"EliltPllSTAKl\Al\l
UtNSYAHIDJAMRTA
I
J
itulah perbuatan aborsi disetarakan dengan menghilangkan nyawa. Kitab-kitab
suci Hindu antara lain Rgveda 1.114.7 menyatakan: "Ma no mahantam uta
ma no arbhakam" ru"tinya : Janganlah mengganggu dan mencelakakan bayi.
Atharvaveda X.1.29 : "Anagohatya vai bhima" artinya : Jangan membunuh
bayi yang tiada berdosa. Dan Atharvaveda X.1.29 : "Ma no gam asvam
purusam vadhih" artinya : Jangan membunuh manusia dan binatang.
Pembuahan sel telur dari basil hubungan seksual lebih jauh ditinjau
dalam falsafah Hindu sebagai sesuatu yang harusnya disakralkan dan
direncanakan. Baik dalam Manava Dharmasastra maupun dalrun Kamasutra
selalu
dinyatakan
bahwa
perkawinan
menurut
Hindu
adalah
"Dharmasampati" artinya perkawinan adalah sakral dan suci karena bertujuan
memperoleh putra yang tiada lain adalah re-inkru·nasi dari roh-roh para leluhur
yang harus lahir kembali menjalani kehidupan sebagai manusia kru·ena belum
cukup suci untuk bersatu dengan Tuhan atau dalrun istilah Theology Hindu
disebut sebagai "Amoring Acintya". 78
Bahkan dalrun pandangan agama Buddha, aborsi merupakru1 perbuatan
yang terlarang karena aborsi dapat dikatakan sebagai suatu tindakan
pengguguran kandungan atau membunuh makhluk hidup yang sudah ada
dalam rahim seorang ibu. Syarat yang harus dipenuhi terjadinya makhluk
hidup:
78
Bhagawan Dwija, Mengenal Agama Hindu: Aborsi Dalam Theology Hinduisme, artikel
dalam www.singaraja.wordpress.com diakses pada tanggal 6 Mei 2008
56
*
Mata utuni hoti yaitu masa subur seorang wanita
*
Mata pitaro hoti yaitu terjadinya pertemuan sel telur dan sperma.
*
Gandhabo paccuppatthito yaitu adanya gandarwa, kesadaran penerusan
dalam siklus kehidupan baru (pantisandhi-citta) kelanjutan dari kesadaran
ajal (cuti citta), yang memiliki energi karma.
Dari penjelasan diatas agama Buddha menentang dan tidak menyetujui
adanya tindakan aborsi
karena telah
melanggar pancasila Buddhis,
menyangkut sila pertama yaitu panatipata. Suatu pembunuhan telah terjadi
bila terdapat lima faktor sebagai berikut :
*
Ada makhluk hidup (pano)
*
Mengetahui atau menyadari ada makhluk hidup (pannasanita)
*
Ada kehendak (cetana) untuk membunnh (vadhabacittam)
*
Melakukan pembunuhan ( upakkamo)
*
Makhluk itu mati karena tindakan pembunnhan ( tena maranam)
Apabila terdapat kelima faktor dalam suatu tindakan pembunnhan,
maka telah terjadi pelanggaran sila pertama. Oleh karena itu sila berhubungan
erat dengan karma maka pembunuhan ini akan berakibat buruk yang berat
atau ringannya tergantung pada kekuatan yang mendorongnya dan sasaran
pembunnhan itu. Bukan hanya pelaku saja yang melakukan tindak
pembunnhan, ibu sang bayi juga melakukan ha! yang sama. Bagaimanapun
57
mereka telah melakukan tindak kejahatan dan akan mendapatkan akibat di
kemudian hari, baik dalam kehidupan sekarang maupun yang akan datang.
Dalam kitab Weda bab Majjhima Nikaya:J35 Buddha bersabda
"Seorang pria dan wanita yang membunuh makhluk hidup, kejam dan gemar
memukul serta membunuh tanpa belas kasihan kepada makhluk hidup, akibat
perbuatan yang telah dilakukarmya itu ia akan dilahirkan kembali sebagai
manusia di mana saja ia akan kembali lahir, umurnya tidaklah akan
panjang". 79
Berbeda dengan agama Yahudi, aborsi tidak dianggap sebagai suatu
pelanggaran dan pelakunya tidak dikenakan sanksi jika janin yang gugurkan
belum sampai 40 hari karenajanin masih disebut cairan biasa (maya d'alma).
Agama ini meyakini bahwa janin yang ada dalam rahim tidak dianggap
sebagai manusia dan dianggap belum ada kehidupan di dalam rahim. Namun
demikian, kehadiran janin mempunyai konsekwensi etika, yaitu ada sanksi
bagi tindakan pengguguran kandungan walau tidak seberat dengan sanksi jika
membunuh bayi, tercantum dalam bab exodus (keluaran) 21:22. Sebagian
rabbi berpendapat bahwa janin yang telah lewat 40 hari sudah memliki
kehidupan dan melakukan pengguguran sesudah itu dianggap pembunuhan
dan sanksinya sama dengan membunuh bayi yang telah lahir.
79
Paitiyem, Aborsi Menurul
Pandangan Agama Buddha,
www.wanitabuddhisindonesia.org/sejarah.html diakses pada tanggal 6 Mei 2008
artikel
dalam
58
Hukum agama Yahudi melarang aborsi dengan landasan rasional
karena aborsi termasuk tindakan yang mengarah kepada pembunuhan
makhluk hidup (calon bayi); aborsi dapat menyebabkan Iuka atau cidera pada
tubuh; aborsi merugikan secara finansial;
Dari berbagai sudut pandang yang ada di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa tidak ada satu agamapun yang memperbolehkan tindakan aborsi karena
pada dasarnya setiap agama memuliakan derajat manusia walau berbeda
tingkatan umur diharamkannya aborsi. Berbeda jika ada alasan medis untuk
menyelamatkan nyawa si ibu dari ancaman kematian baik karena penyakit
ataupun karena spontanitas (kecelakaan).
Selain pandangan kesehatan, hukum dan agama dalam melihat aborsi,
dapat dikemukakan juga pandangan feminis mengenai aborsi ini, dimana
pandangannya lebih global berdasarkan pada ketentuan dalam Konvensi Wanita
ataupun instrumen lain atas nama Hak Asasi Manusia. Tentunya ini menjadi
ukuran yang menjadikan aborsi sebagai suatu yang kontroversi karena
pemahaman feminis ini cenderung berseberangan dengan nilai-nilai agama.
Dalam idiologi feminis, aborsi dipandang sebagai satu upaya untuk
mewqjudkan kesehatan secara mental dan sosial, sebab seorang perempuan
yang
mengalami
kehamilan
tidak
diinginkan
(KTD)
merasakan
ketidaknyamanan dalam hidupnya. 80 Pada banyak negara khususnya di Barat,
'
Jslan1.
0
Ummu Fadhiilah, artikel Hak-Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan Dalam Pandangan
59
akses untuk melakukan aborsi jauh lebih mudah dijangkau oleh kaum
perempuan,
walau
tanpa
indikasi
medis
sekalipun.
Maka tidaklah
mengherankan "aborsi berdasarkan keinginan" merupakan kebijakan yang
dijalankan secara praktis dan telah menjadi lumrah dalam dunia barat karena
dipengaruhi berbagai faktor sebagai berikut:
I. Karena pilihan anak atau karier;
2. Karena pilihan antara anak atau kehidupan mewah;
3. Karena tidak sahnya si anak;
4. Karena jenis kelamin anak yang salah (tidak dikehendaki);
5. Karena pemerkosaan;
Menurut kalangan feminis ini, ada beberapa hak individu yang
berkenaan ketat dengan aturan tindakan aborsi. Pelarangan dengan dalih agama,
kesehatan maupun hukum memegang peranan tidak kalah kecil dalam upaya
pelegalan aborsi ini, yang dimaksud aturan ketat tersebut antara lain, yaitu:
pertama dalih agama bahwa aborsi dinilai sebagai tindakan yang tidak
bermoral, pemerintah menjadikan aborsi sebuah paradox yang cenderung
munafik sebab diberlakukannya aborsi atau dilarangnya aborsi tidak akan
mempengaruhi jumlah hubungan 'bercinta' secara bebas. Kedua aborsi jelas
menjadi hak kaum perempuan, apalagi ketika tidak menghendaki atas
keberadaan sosok janin dengan alasan kesehatan, psikologis ataupun tidak
60
berkenannya sang ibu. Ketiga bisa dibayangkan jika sang janin adalah akibat
perkosaan yang tidak dikehendaki oleh sang ibu.
81
Walaupun tidak tampak kontradiksi, hak individu yang dikaitkan dengan
standar moral dan etika menjadi sangat relatif ketika ada pertanyaan apakah
janin itu juga sudah memiliki Hak Asasi Individual ? Bila sudah, berarti hak
tersebut juga harus ikut diperhitungkan dalam pengambilan keputusan abortus
tersebut.
Aborsi memang merupakan bagian dari hak reproduksi dan kesehatan
reproduksi ketika memang diperlukan, tetapi pemenuhannya perlu diatur
dengan jelas. Pengaturan itu ditujukan untuk memberi jalan keluar bagi
perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan, sekaligus untuk
mengurangi angka kematian ibu yang disebabkan oleh aborsi yang tidak aman,
dengan menetapkan berbagai syarat yang sesuai dengan norma-norma yang
dianut dalam masyarakat tersebut.
Dengan pertimbangan fakta yang terjadi bahwa para perempuan yang
telah diaborsi janinnya, sejatinya telah dirusak secara fisik dan telah porakporanda psikisnya hingga menderita. Lain halnya ketika feminis Barat
memanfaatkan isu mengenai hak dan kesehatan reproduksi perempuan sebagai
bantuan kemanusiaan dan mengangkat ide kebebasan yang sekular mendorong
perempuan kepada gaya hidup yang permissif.
81
Aborsi Sebagai Hak Perempuan, artikel dalam www.apakabar.ws/forum/viewtopik.php
diakses pada tanggal 16 April 2008.
61
2. FGM (Female Genetal Mutilation)
FGM adalah tindakan memotong sebagian atau seluruh alat kelamin
perempuan bagian luar atau membuat Iuka terhadap organ kelamin perempuan
berupa klitoris. 82 Biasanya dilakukan atas nama budaya, adat, agama atau
alasan-alasan lain di luar alasan-alasan bagi kesehatan atau penyembuhan.
Dalam WHO Information Fact Sheet No.241 Juni 2000, FGM disamakan
dengan sirkumsisi pada wanita, yaitu prosedur pengangkatan sebagian atau
seluruh bagian dari organ genital luar wanita. Persamaan FGM dan sirkmnsisi
disamakan lagi dengan FGC (Female
Genital Cutting). 83 Ketiganya
mempunyai persamaan pengertian yaitu tindakan pada organ genital wanita
dengan tujuan melukai. Dalam Islam dikenal dengan istilah khitan atau
sunnat. 84
Istilah FGM lebih dekat dengan demaging. Istilah ini dianggap
bermakna politis dan setingkali digunakan sebagai advokasi aktifis hak-hak
perempuan karena menekankan pada sisi negatif dari FGM. Sedangkan
Female Genetal Cutting dianggap netral karana mengindikasikan prosedur
pemotongan genital yang bersifat umum, adil, dan kondusif baik laki-Iaki
maupun perempuan baik secara medis maupun nonmedis.
82
Klitoris yaitu homolog dengan penis pada pria, organ wanita yang sangat sensitif,
merupakan tunggul erektil yang mengandung banyak urat syaraf sensorik pembuluh darah.
83
Sulistyowati lrianto, Perempuan dan Hukum, Menuju Hukum yang Berspektif Kesetaraan
dan Keadilan, h.491.
84
Secara bahasa khitan berarti kuluf (kulit) yang menutupi kepala penis, menurut istilah
syara' khitan adalah bundar ujung hasafat, yaitu tempat pemotong kulit penis.
62
Jika diklarifikasikan tingkatan jenis menurut pelaksanaannya FGM
maupun FGC mempunyai kesamaan (kecuali nomor 4), yaitu:
1. Sirkumsisi atau "Khitan" yaitu proses pengangkatan bagian permukaan
tanpa diikuti pengangkatan sebagian atau seluruh bagian klitoris.
2. Clitorydectomy
yaitu
pengangkatan
klitoris
yang
sering
diikuti
pengangkatan labia minora.
3. Infabulation yaitu pengangkatan labia mayora serta menempelkan kedua
sisi vagina dengan jalan menjahit atau menyatukan secara alami jaringan
yang terluka, dilakukan dengan hanya menyisakan lubang kecil untuk
keluarnya darah menstruasi dan urine.
4. Introcission dalam FGM prosedur ini lubang vagina diperlebar dengan
cara dirobek dengan jari dilakukan pada wanita yang mencapai usia puber.
Sedangkan dalam FGC tindakan menusuk jarum baik dipermukaan saja
atau sampai menembus, merenggangkan k:litoris dan atau vagina,
kauterisasi klitoris dan jaringan disekitarnya, menggores jaringan introitus
vagina atau memotong vagina atau memasukkan benda-benda atau
tumbuhan agar vagina mengeluarkan darah. 85
Khitan bagi laki-laki secara medis adalah sehat dan akan menambah
kenikmatan seksual. Sebaliknya, khitan pada perempuan justru bernilai
negatif dari sudut kebutuhan pemenuhan hasrat seksualnya karena dapat
" Kebijakan Depm·temen Kesehatan Terhadap Medikalisasi Sunat Perempuan, dalam
http://www.pdpersi.eo.id/?show=detailnews&kode= I 002tbl=biaswanita.html diakses pada tanggal 6
Febuari 2008.
65
berpendapat sunat pada perempuan itu mubab, sebab menurutnya Rasul punya
anak perempuan satu-satunya, tetapi tidak diketahui apakab ia disunat atau
tidak. 91
Adapun mengenai keberatan yang dikemukakan dari kalangan feminis
terhadap pelaksanaan khitan perempuan ini yaitu jika alasan dilakukannya
khitan demi kemaslabatan yang lebih besar (memberikan kemuliaan bagi
kaum wanita), yang konon ditujukan agar perempuan lebih terkendali
libidonya dengan cara memotong sedikit (klitoris ). Lain halnya dalam Islam,
khitan dilakukan selama "perlakuan" terhadap fisik wanita untuk mencari
identitas, kebutuhan, dan kelaziman (termasuk kelanjutan agama), akan
menjadi hal yang wajar dan bukan merupakan suatu tindak kekerasan atau
penganiayaan, sebagaimana tradisi tindik kuping dan hidung bagi wanita yang
tidak mendapat protes dari kaum feminis. 92
Pada perkembangannya pelaksanaan khitan dalam Islam sering
diminimalkan pada prakteknya, cukup dengan sekedar membasuh atau
mencolek ujung klitoris dengan jarum, walaupun ada juga yang memotong
ujung klitoris yang tujuannya hanya sekedar agar mengeluarkan sedikit
darab. 93 Lain halnya WHO (World Health Organization) yang memasukkan
sunat perempuan sebagai bentuk penyiksaan (torture), sehingga dimasukkan
91
Saha! Mahfudz, "Islam dan Hak Reproduksi perempuan Perspektif Fiqih", dalam Syafiq
Hasyim, Menakar Harga Perempuan, (Jakarta: Mizan, 1999), h.127.
92
Setiawan Budi Utomo, Fiqih Aktua/ .Jawaban Tun/as Masa/ah Kontemporer, (Jakarta:
Gema lnsani Press, 2003), h.289
93
Sumarni D. W ., dkk., Sunat Perempuan di Bawah Bayang-Bayang Tradisi, (Yogyakarta
PSKK UGM dan Ford Foundation; 2005).h.5
66
ke dalam salah satu bentuk kekerasan pada wanita, walaupun dilakukan oleh
tenaga
medis.
Berbagai
pihak juga menganggap
sunat perempuan
bertentangan dengan hak asasi manusia terkait dengan tidak adanya informasi
yang pasti, tekanan patriakal, dan kekerasan terhadap wanita barkaitan dengan
penderitaan se1ia dampak yang timbui. 94
Khitan biasa dilakukan oleh tenaga medis, dukun bayi, atau tukang
sunat. Alat yang digunakan bervariasi mulai dari peralatan medis (gunting,
scapula) sampai pada alat-alat tradisional (pisau, jarum,bamboo, kaca). Dan
apabila seorang jum khitan melakukan kesalahan, maka sanksi yang hams
dipertanggungjawabkan dalam Islam bempa qishas, iwadh (ganti), dan diyat
(tebusan). 95
Penulis menyimpulkan bahwa apa yang dimaksud oleh WHO
mengenai praktik FGM berbeda dengan apa yang telah dipraktikkan dalam
Islam, sehingga terkesan adanya kesalahpahaman atas penafsiran khitan
(FGM, FGC atau cirkumsisi dalam istilah internasional). Sebagaimana dalam
pelaksanaannya, praktek khitan berdasarkan anjuran agama tidak diikuti
dengan kekerasan. Jika dilihat kembali dari uraian singkat diatas mengenai
apa yang telah digambarkan oleh WHO maupun para feminis-feminis. Penulis
beranggapan bahwa pada kenyataannya gambaran yang dibuat WHO maupun
94
http://www.pdpersi.co.id/?show=detailnews&kode= I 002tbl=biaswanita.html
Nur
Aulia
Solihah,
Sunat
Perempuan,
Perlu
Nggak
Sih?,
http://nuraulia.multiply.com/jurnal/item/161/Sunat_Perempuan_Perlu _ Gak_ Sih.html diakses pada
tanggal 6 Februari 2008.
95
67
feminis-feminis tersebut, terlihat jauh berbeda dengan apa yang digambarkan
dalam Islam, baik aturan pelaksanaan maupun efek samping yang ditimbulkan
dari khitan ini.
Pelaksanaan khitan dalam Islam menurut pandangan WHO masih
diikuti dengan kekerasan, yang disama artikan dengan khitan dinegara-negara
lain yang melakukannya berdasarkan adat. Namun pada prakteknya khitan
dalam Islam hanya memotong sedikit ujung klitoris atau hanya sekedar
terlihat mengeluarkan darnh. Bahkan pada perkembangannya, praktek khitan
hanya simbolis dengan menggoreskan benda tumpul pada klitoris. Lain ha!
ketika khitan dilakukan berdasarkan adat, yaitu dengan kekerasan. Pada
prakteknya khitan dilakukan dengan cara memotong bagian lybiaminora
diikuti penjahitan lybiamayora dengan menyisakan sedikit lubang untuk
menstruasi (FGM). Jenis khitan seperti ini yang harusnya memang dilarang
keras oleh WHO. Bahkan dalam agamapun dilarang melukai tubuh seseorang
(al-maqosid syariah).
C. Instrumcn
Hokum
Yang
Memberi
Perlindungan
Bagi
Kcschatan
Perempuan di Indonesia
Secara yuridis normatif, berbagai peraturan perundang-undangan di
Indonesia telah memberikan perlindungan atas hak kesehatan perempuan,
walaupun dalam skala yang masih urnurn. Adapun peraturan perundang-undangan
yang memuat perlindungan atas hak kesehatan perempuan ialah sebagai berikut:
• UUD 1945 (Hasil Amandemen),
68
Asas persamaan antara laki-laki dan perempuan, dicantumkan bahwa
tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan (pasal 27 ayat 2), dan Semua orang berhak hidup serta
berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya itu (pasal 28 A). Ini berarti
setiap orang bebas dari perlakuan yang diskriminatif atas dasar apa pun dan
berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif (pasal 28 A ayat 2), karena pada dasamya semua orang berhak
hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang sehat dan berhak memperoleh pelayanan kesehatan
(pasal 28 H ayat I), sehingga negara bertanggung jawab atas penyediaan
fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak (pasal
34 ayat 3).
• Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi
Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita
(CEDAW).
Dalam CEDA W ada beberapa pasal yang berkaitan langsung dengan
perlindungan hak reproduksi wanita, yaitu:
1. Negara-negara peserta dianjurkan membuat peraturan-peraturan dan
tindakan khusus, termasuk ketentuan-ketentuan sebagaimana yang telah
ditentukan oleh konvensi yang tujuannya adalah
untuk melindungi
kehamilan, sehingga tidak dianggap sebagai diskriminasi (pasal 4 ayat 2).
69
2. Pentingnya wanita memperoleh pendidikan dan penerangan edukatif
khusus untuk membantu menjamin kesehatan dan kesejahteraan keluarga,
termasuk penerangan dan nasehat mengenai keluarga berencana (pasal 10
ayat 8).
3. Adanya kewajiban negara-negara peserta ratifikasi untuk menjamin hak
efektif wanita dalam bekerja serta terlindunginya hak wanita sebagai
tenaga kerja yaitu dihapusnya pembagian ke1ja terhadap wanita atas dasar
perkawinan atau kehamilan, serta menetapkan sanksi bagi perusahaan
yang melakukan pelanggaran (pasal 11 ayat (2), khususnya mengatur
persoalan mengenai: Pelarangan pemecatan atas dasar kehamilan atau cuti
hamil dan diskriminasi dalam pemberhentian atas dasar status perkawinan;
Cuti hamil dengan bayaran atau tunjangan sosial, tanpa kehilangan
pekerjaan semula; Penyediaan pelayanan sosial yang memungkinkan para
orangtua menggabungkan kewajiban-kewajiban keluarga dengan tanggung
jawab peke1jaan dengan meningkatkan pembentukan dan pengembangan
suatu jaringan tempat-tempat penitipan anak; Perlindungan khusus kepada
wanita selan1a kehamilan dari jenis pekerjaan yang terbukti berbahaya
bagi mereka;
4. Perlunya perlindungan terhadap hak wanita di bidang pemeliharaan
kesehatan dan menJamm diperolehnya pelayanan kesehatan, pelayanan
yang layak berkaitan dengan kehamilan, persalinan, dan masa sesudah
persalinan, dengan memberikan pelayanan secara cuma-cuma dimana
70
perlu, serta pemberian makanan bergizi yang cukup selama kehamilan dan
masa menyusui (pasal 12).
5. Terdapat kesamaan jaminan pemeliharaan kesehatan yang memadai bagi
wanita yang berada dipedesaan yaitu dalam memperoleh fasilitas
pemeliharaan kesehatan berupa penerangan, penyuluhan, dan layanan
dalam keluarga berencana Pasal 14 ayat (2).
•
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1994 tentang Kesehatan. Setiap orang
mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang
optimal (pasal 4), hak kesehatan yang diperoleh seorang istri meliputi
kesehatan pada masa prakehamilan, kehamilan, pascapersalinan dan masa di
luar kehamilan, dan persalinan (pasal 14). Sedangkan dalam keadaan darurat
sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat
dilakukan tindakan medis tertentu (aborsi, dll) yang hanya dapat dilakukan:
berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut;
oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu
dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan
pertimbangan tim ahli; dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau
suami atau keluarganya; pada sarana kesehatan tertentu. Tindakan medis
tertentu dilakukan berdasarkan Peraturan Pememerintah (pasal 15).
•
Undang-Undang Nomor 39 Tal1un 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Menjamin wanita dalam memperoleh haknya serta memberi perlindungan
khusus bagi pelaksanaan peke1jaan atau profesinya terhadap hal-hal yang
71
dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan
fungsi reproduksi wanita (pasal 49 ayat 2) dan Hak khusus yang melekat pada
diri wanita dikarenakan fungsi reproduksinya, (pasal 49 ayat 3).
•
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). KDRT adalah
perbuatan terhadap perempuan dalam lingkup rumah tangga, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,
dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum
(pasal 1 ayat 1). Perbuatan-perbuatan tersebut termasuk tindakan yang
dilarang dalam rumah tangga (pasal 5). Sedangkan jenis perbuatan yang
termasuk kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit,
jatuh sakit, atau Iuka berat (pasal 6).
Dalam tindakan pelaksaan strategi dan perencanaan untuk menurunkan
angka kematian ibu, maka telah dikeluarkan berbagai ketetapan di bidang
kesehatan, yaitu sebagai berikut:
I. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 433/MENKES/SKN/1998
tentang pembentukan Komisi Kesehatan Reproduksi, terdiri atas empat
Pokja, yaitu: 1) Pokja Kesehatan ibu dan bayi baru lahir, 2) Poltja KB, 3)
Pokja kesehatan reproduksi remaja, dan 4) Pokja reproduksi usia Ianjut.
Kebijakan yang dicanangkan adalah persalinan yang dilakukan oleh
tenaga kesehatan terlatih, setiap komplikasi obstetri dan neonatal
72
mendapat pertolongan yang culrnp, dan terciptanya kemndahan bagi
perempuan usia subur dalam mendapatkan akses pencegahan kehamilan
yang tidak diinginkan dan penanganan komplikasi pasca keguguran.
2. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 230/MENKES/SK/II/2003
tentang tindak lanjut Deklarasi dan Kesepakatan Kerangka Aksi Beijing,
bidang kritis "Perempuan dan Kesehatan" dalam ha! pelayanan:
kemandulan,
KB
yang
optimal,
penyuluhan
HIV/AIDS,
aborsi,
Komunikasi Informasi Edukasi (KIE), kesehatan reproduksi dan seksual
remaja, peniadaan sunat dan mutilasi anak perempuan, dan kesehatan
lanjut usia (lansia)
3. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1457/MENKESIX/2003 tentang
standar pelayanan minimal bidang kesehatan di kabupaten dan kota.
4. SK Menteri Kesehatan No 1202 Tahun 2003 tentang Indonesia sehat
2010, terdapat kebijakan untuk menurunkan AKI, yang intinya upaya
penmunan AKI sampai tahun 2010 sebesar 150: 100.000 angka kelahiran
hidup.
74
Artinya:
"katakanlah kepada laki-laki yang beriman: hendaklah mereka menahan
pandangannya da memelihara alat kelaminnya (oragan reproduksinya), yang
demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa
yang diperbuat oleh mereka. Katakanlah kepada perempuan-perempuan yang
beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara alat
kelaminnya (organ reproduksinya) ... "
Merujuk pada ayat di atas, kalangan feminis (muslim) berpendapat adanya
upaya antisipatif yang ekstrim dalam Islam, menyangkut organ-organ reproduksi
dan fungsi-fungsinya,
misalnya,
Jarangan berhubungan seksual
sebelum
pernikahan, baik atas saling menyukai atau tidak.
Sebaliknya, Islam mengarahkan pemanfaatan fungsi alat-alat reproduksi
tersebut kepada earn yang sehat dan bertanggungjawab yaitu melalui Jembaga
perkawinan. Ada banyak persoalan yang berkaitan dengan hak-hak reproduksi,
diantaranya perkawinan, hubungan
seksual dengan segala problemanya,
kehamilan dengan segala keterkaitannya, misalnya menyangkut aborsi, kelahiran
perawatan dan pengasuhan anak.
Penulis dalam ha! ini berusaha memaparkan pandangan Islam tentang hak
reproduksi perempuan yang secara metodologis dijabarkan melalui tafsiran fiqih.
Adapun hak-hak reproduksi perempuan tersebut secara umun1 antara lain hak
menikmati hubungan seksual, hak menolak hubungan seksual, hak mengatur
kehamilan, dan hak cuti reproduksi.
75
1. Hak menikmati hubungan seksual
Sebagai makhluk yang berakal sempurna, manusia mempunyai naluri
untuk melangsungkan hidupnya juga melangsungkan keturunannya, sehingga
terdapat dalam diri manusia naluri untuk berseksual. Dalam Islam semua
naluri kemanusiaan mendapatkan tempat berharga dan terhormat. Naluri
seksual harus disalurkan dan tidak boleh dikekang karena pada akhirnya akan
menimbulkan dampak-dampak negatif, bukan hanya terhadap tubuh, tetapi
aka! dan jiwa.
Nikah
atau
kawin
pada dasarnya
adalah
hubungan
seksual
(persetubuhan). Dalam terminologi sosial, nikah dirumuskan secara berbedabeda sesuai dengan perspektif dan kecenderungan masing-masing orang.
Sebagian orang menyebut nikah sebagai penyatuan laki-laki dan perempuan
dalam ikatan yang disahkan oleh hukum. Dalam fiqh, mayoritas ahli fiqh
mendefinisikan nikah sebagai hak laki-laki atas tubuh perempuan untuk tujuan
penikmatan seksual. Meskipun dengan bahasa yang berbeda-beda tetapi ada
kesepakatan mayoritas ulama mazhab empat dalam mendefinisikan nikah
sebagai akad yang memberikan kepemilikian kepada laki-laki untuk
memperoleh kesenangan dari tubuh seorang perempuan, karena mereka
sepakat bahwa pemilik kesenangan seksual adalah laki-laki. 96
96
Wahbah az-Zuhaili, dikutip oleh Husaian Muhammad, Hak Kesehatan Reproduksi
Perempuan Da/am Al-Qur'an, artikel dalam http:// www.albarokah.or.id diakses pada tangga 25
febuari 2008
76
Namun demikian, sebagian ulama mengatakan lain seperti Dr.
Wabbab Az-Zuhaili, berpendapat babwa hak penggunaan kepuasan seksual
tidak semata hanya milik laki-laki tapi juga milik perempuan, sehingga isteri
juga berhak menuntut hubungan seks kepada suami dan suami berkewajiban
memenuhinya. Dengan demikian terlihat adanya keseimbangan antara hak dan
kewajiban, perempuan memiliki hak atas laki-laki sebagaimana laki-laki
memiliki hak atas perempuan. 97
2. Hak menolak hubungan seksual
Islam mengajarkan bahwa semua naluri biologis harus dipenuhi
dengan cara yang di ridhai, bukan melalui cara yang dimurkai. Hak
perempuan dalam menyalurkan naluri seksualnya adalab setara dengan hak
laki-laki atasnya. Ini berarti bal1wa relasi seksual harus dilakukan berdasarkan
atas asas kesamaan atau asas kesetaraan, maka diperlukan kesediaan kedua
belah pihak untuk saling menerima dan memberi hendaknya dilakukan secara
tulus, bukan paksaan. Dapat pahami dalam hadits Nabi SAW "Apabila
seorang suami mengajak isterinya ke tempal tidur, lalu ia menolak dan
(karena itu) suami merifadi marah, maka malaikat akan melaknat isteri
terse but sampai pagi ". (H.R. Bukhari dan Muslim).
Kata menolak dalam konteks tersebut perlu diketabui alasannya yaitu
atas dasar apa penolakan tersebut dilakukan isteri. Jika alasan penolakan itu
97
Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh Wa Adillatuh, (Damaskus: Dar alfikr, 1985), cet. Ke-2, jilid 4.
h.327. dalam skripsi Nur Rohmayati, (Skripsi) h.40
77
sungguh-sungguh dilakukan atas dasar alasan-alasan kemanusiaan, seperti
sakit, lelah, capek, atau tidak sedang bergairah maka tentu sangat dapat
dibenarkan. Sementara jika penolakan isteri berdasarkan alasan logis yang
memenuhi kriteria syar"I, maka ia (isteri) tidak berhak dipersalahkan juga
apalagi dilaknat. 98
Apabila hubungan seksual lebih dipandang sebagai kewajiban semata,
maka perempuan cendernng akan bersifat pasif dan tidak memiliki pilihan
selain melakukannya. Namun jika hubungan dilakukan dipandang sebagai
hak, maka perempuan berhak memilih apakah ia melakukannya atau tidak,
artinya ia memiliki hak untuk menolak ataukah menerima ajakan suaminya. 99
Walaupun pada dasarnya isteri memiliki kewajiban untuk melayani suami,
namun jika isteri tidak merasa terangsang untuk melayaninya maka ia boleh
menangguhkan ajakan suan1i sampai tiga hari. 100 Dan apabila penolakan isteri
terhadap ajakan suami tidak didasari alasan yang logis maka tindakan isteri
bisa digolongkan sebagai perbuatan nusyuz dan suami berhak memberikan
pelajaran melalui tiga tahapan yang tercantum dalam Q.S An-Nisa, 4;34 :
98
Siti Musdah Mulia, Islam & Jnspirasi Keselaraan Gender. (Yogyakarta: Kibar Press,2007).
h.210
99
Nur Rohmayati, "Hak Reproduksi Perempuan Menurut Hukum Islam dan Hukum
lnternasional" (Skripsi 2003) h.40
100
Abu Ishak asy-Syairazi, al-Muhazzab, jilid 2, h.70 dalam skripsi Hak Reproduksi
Peretnpuan Menurut Hukum Jsla1n dan Hukum Internasiona, h.43
78
Artinya:
" ...... Wanita-wanita yang kamu khawatir nuzyuznya, maka nasehatilah
mereka, dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka. Jika mereka masih
berbuat nuzyuz, maka linggalkanlah islri di tempat tidur sendirian. Jika masih
tetap juga, maka pukullah ia ...... "
Dari dalil ·yang dikemukakan di atas, seharusnya hak-hak reproduksi
perempuan telah terlindungi untuk bebas dalam melakukan atau tidak
melakukan hubungan seksual.
3. Hak menentukan kehamilan
Kehamilan dan memiliki anak adalah naluri dan fitrah manusia, bagi
perempuan pada umumnya dianggap sebagai lan1bang kesempurnaan. Akan
tetapi, keadaan akan menjadi lain ketika reproduksi berjalan secara over
produktif. Hal ini bisa menjadi beban berat terutama bagi perempuan,
menyangkut sejumlah aspek kehidupan seperti kesehatan, pendidikan, dan
ekonomi. 101 Salah satu hak para ibu dalam ha! mengatur kehamilan adalah hak
untuk menentukan alat kontrasepsi macam apa yang cocok yang tidak
menimbulkan terlalu banyak dampak negatif, mudharat bagi dirinya. 102
Kepedulian Islam terhadap reproduksi perempuan terutama dalam ha!
menentukan kehamilan terlihat pada penerapan metode menjarangkan anak
101
Siti Musdah Mulia, Islam & lnspirasi Kesetaraan Gender, h.212
Masdar F. Mas'udi, Islam & Hak-Hak Reproduksi Perempuan Dialog Fiqih
Pemberdayaan, (Bandung, Mizan;2000), h.148
102
79
yaitu dengan cara melakukan penyusuan selama dua tahun penuh atau 24
bulan, sangat baik dan tepat ditambah jarak kehamilan minimal 6 bulan
sehingga masa menyusui dan masa hamil kembali be1jumlah 30 bulan.
Dengan mengambil jarak yang cukup untuk bereproduksi kembali berarti
mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang tidak diinginkan terhadap
ibu dan anak. Ini adalah bukti bahwa sejalan dengan ajaran Islam yang selalu
memperhatikan kesehatan tidak pernah mengabaikan reproduksi perempuan
termasuk hak-hak didalamnya. 103
Salah satu program pemerintah dalam rangka pembangunan nasional
yaitu menekan angka kelal1iran, dengan membuat program Keluarga
Berencana (KB) yang fungsinya memudahkan para ibu dalam mengatur dan
menentukan kehamilan. Setelah uji coba penerapan keluarga berencana ini
dimasyarakat berdampak positif, istilah KB ini resmi dipakai di dalam negara
kita, seperti Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Keluarga Berencana dapat bermakna Tanzim an-Nasl atau familiy planning
yang berarti pengaturan keturunan dan dapat pula bermakna Tahdid an-Nasl
atau birth control yang berarti pembatasan kelahiran. 104 Pada hakekatnya
Islam telah mengijinkan suami istri yang bermaksud mengatur kehamilan,
sebagian ulama berpendapat dalam mengatur kehamilan tersebut dapat
dilakukan berbagai cara baik menggunakan kondom, pi!, ataupun spiral atau
103
Nur Rohmayati, "Hak Reproduksi Perempuan Menurut Hukum Islam dan Hukum
Internasional" (Skripsi 2003), h.42
104
Ibid h. 47
80
obat-obat lain yang dapat menghalangi terjadinya pembuahan. Islam juga
menawarkan cara lain dalam mengatur kehamilan dengan metode azl (coitus
interuptus), yaitu pelepasan sperma di luar fa1j. Sebagaimana yang
diriwayatkan dari Jabir r.a. "kami melakukan azl pada masa Rasulullah saw,
sedang Al Quran masih tetap diturunkan, " (HR Bukhari)
4. Bak Cuti Reproduksi
Ketika
fungsi
reproduksi
berjalan,
pengaruhnya
bagi
yang
bersangkutan bukan saja terasa pada fisik-biologis tapi juga sekaligus pada
mental-psikologis. Maka yang di sebut sebagai "cuti reproduksi" pun dapat
ditemukan di berbagai tradisi masyarakat. Dalam Islam cuti reproduksi
termasuk salah satu hak bagi perempuan dengan maksud yakni melindungi
kondisi kesehatan mereka, baik fisik maupun mental. 105 Sebagian ulama
mendukung agar perempuan yang menjalani proses reproduksi seperti hamil
atau melaliirkan, dibebaskan dari beban lain karena alasan pengaruhnya
terhadap fisik dan phisikis, yang jika dipaksakan akan menggangu kesehatan
perempuan sekaligus berpengaruh pada masa depan anak. 106
B. Dasar Hokum Islam Yang Menguatkan Hak-Hak Kesehatan Perempuan
DalamCEDAW
105
Masdar F. Mas'udi, Islam & Hak-Hak Reproduksi Perempuan Dialog Fiqih
Pemberdayaan, h.175
106
Lies Marcoes Natsir, Musiln Kerwin Musim Ke1narau: Studi alas Pandangan Ulama
Perempuan Jember Tentang Hak-Hak Reproduksi Perempuan, (Jakarta,Biagraf:2005), h.150
81
Secara umum, hak-hak kesehatan perempuan dalam CEDA W searah
dengan pengaturan hak hidup dan berkehidupan yang diberikan hukum Islam
terhadap perempuan, karena kedudukan seorang perempuan mendapatkan posisi
khusus dan mulia. Adapun ketentuan hukum Islam yang mengatur hak kesehatan
perempuan
sebagaimana menurut
penjabaran
hak
kesehatan reproduksi
perempuan yang terdapat dalam CEDAW dapat terlihat dalan1 hak-hak sebagai
berikut:
Pertama hak memperoleh kebebasan dan keamanan dalam hidup, artinya
ada jaminan untuk mendapatkan keselamatan dari resiko kematian karena
kehamilan serta diakuinya keputusan individu dalam mengatur kehidupan
reproduksinya. Hak reproduksi merupakan salah satu di antara 5 hak dasar
individu, Imam Al-Ghazali, ulama besar abad ke-12 dalam bukunya ihya
'Ulumuddin menyebutkan adanya kewajiban negara terhadap warganya yaitu
memberikan jan1inan terhadap lima hak dasar manusia, yaitu: 1) hak dasar akan
keselamatan fisik warga masyarakat, tennasuk keselamatan fisik bagi perempuan
dalam melaksanakan fungsi reproduksinya, 2) hak dasar akan kebebasan
keyakinan (aqidah), 3) hak dasar akan kesucian keluarga akan keturunan, 4) hak
dasar akan keselamatan milik pribadi, 5) hak dasar akan keselamatan profesi. 107
Secara biologis proses mengandung dan melahirkan merupakan fungsi
kodrati bagi perempuan, namun harus diingat bahwa kedua fungsi tersebut
merupakan akibat dari relasi laki-laki dan perempuan. Konsekwensinya, segala
107
Siti Musdah Mulia, Islam & Inspirasi Kesetaraan Gender, h.98
82
resiko dan dampak yang muncul akibat pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut
menjadi tanggung jawab bersama, bukan semata-mata dibebankan pada pundak
perempuan. 108 al-Quran menggambarkan kehamilan sebagai suatu yang amat
berat (wahnan 'ala wahnin) dalam surat Q.S. Luqman,31:14 disebutkan:
J.
.,, ,..,
J_ ~I
!
.,,,. ,,,.
(JI~~
J
)>
,.,.
.,,.
,. ,.
,:;..
J.{
,. ,.
,,,,.
"'
,~j ~j ~ G.Aj ,~I ci1'- ~i!':J;! ~~I 1~_~jj
©J~T a;.u;i!>J!.:;
Artinya:
"Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibubapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambahtambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaku dan kepada
dua orang ibu bapakmu, Hanya kepada-Kulah kembalimu"
Kedua hak atas kesetaraan dan beban dari segala bentuk diskriminasi.
Sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah-Nya, perempuan dan laki-laki
mempunyai status sama di hadapan Allah. Islam membedakan laki-laki dan
perempuan karena mereka mengemban fungsi yang berbeda, tetapi tidak
melakukan diskriminasi. Pandangan hukum Islam tentang status perempuan
tercermin dalam surat Q.S Al-Israa',17:70, sebagai berikut:
Artinya:
"Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut
mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan
108
Ibid h. J00
83
kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan
makhlukyang Telah kami ciptakan"
Ketiga hak untuk mendapatkan informasi dalam peningkatan ilmu
pengetahuan artinya ada jaminan untuk mengakses infmmasi tentang teknologi
perawatan, kesehatan reproduksi. Dalam perspektif Islam menuntut ilmu
pengetahuan itu bukan hanya sekedar hak tetapi juga mernpakan kewajiban asasi
yang harus ditunaikan setiap manusia. Menurnt pertimbangan sebagian ulama
perempuan di Jember bahwa kualitas informasi akan mempengaruhi pandangan
dan prilaku perempuan itu sendiri, sehingga ia dapat mengontrol agar terhindar
dari reproduksi yang tidak sehat. 109
Keempat hak menentukan keturnnan. Menentukan keturunan bukan hanya
hak suami-isteri, malainkan juga umat atau masyarakat dengan penekanan pada
keputusan kedua orang tua. Kalangan ulama Hambali dan sebagian ulama
Syafi'iyah menganut pendapat ini dengan pendapatnya bahwa kebutuhan dan
kemaslahatan masyarakat perlu diperhitungkan bagi pasangan suami isteri untuk
menentukan apakah akan merekayasa (membuat atau membatasi) ketUIUnan atau
tidak. 110 Dalam Al-Qur'an surat Q.S Al-Rum,30:21, Allah telah berfirman:
109
Natsir, Musim Kaivin Musi111 Ke1narau: Studi a/as Pandangan Ulanza Pere1npuan Jember
Tentang Hak-Hak Reproduksi Perempuan, h.150
110
Lily Zakiyah Munir, ed., Memposisikan Kodrat Perempuan dan Perubahan Dafam
Perspektif Islam, (Bandung ,Mizan; 1999), h. 77
84
Artinya:
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir"
Kelima hak untuk mendapatkan perawatan dan perlindungan kesehatan,
serta terbebas dari periganiayaan dan kekerasan. Hak ini mutlak mengingat resiko
besar yang dapat terjadi pada kaum ibu saat menjalani fungsi reproduksinya
mulai dari menstruasi, hubungan seksual, mengandung, melahirkan dan
menyusui. Perwujudan agar terbebas dari penganiayaan dan kekerasan hendaknya
terakomodasi tanpa memandang keyakinan, golongan, wama kulit, etnis dan jenis
kelamin. Secara konseptual pelaksanaan penegakan hak-hak ini ditempuh melalui
dua cara yaitu menegakan kebaikan-kebaikan dan menolak segala ha! yang
destruktif. Atas dasar ini, maka seluruh pemikiran dan sistem apa pun yang
melegitimasi praktek diskriminasi, marginalisasi dan penindasan oleh dan
terhadap siapapun, harus ditolak demi kemaslahan agama dan kemanusiaan.
C. Reinterpretasi CEDAW Terhadap Hokum Islam Mengenai Hak-Hak
Kesehatan Reproduksi Perempuan
Dengan santun Islam memposisikan perempuan sebagai pihak yang harus
dihormati,
dilindungi,
terutama
tatkala
ia
sedang
menjalankan
fungsi
reproduksinya. Hal ini terlihat ketika proses penciptaan benih manusia mulai dari
segumpal darah, masa han1il hingga masa penyusuan yang semuanya terangkum
dalam al-Quran. Reinterpretasi CEDAWterhadap hukum Islam mengenai hak-hak
85
kesehatan reproduksi perempuan seringkali terjadi ketika CEDAW melihat kaum
perempuan atas nama gender menyuarakan hak-hak (kesehatan reproduksi)
perempuan dengan mengatasnama agama didalanmya. Berdasarkan perbedaan
sumber pengambilan landasan hukum, kemudian muncul beberapa ha! terkait
dengan hak kesehatan reproduksi perempuan dalam CEDA W yang bersebrangan
kedudukan legalitasnya dengan hukum Islam. Berikut ini beberapa ha! terkait
reinterpretasi
CEDA W terhadap hukum Islam mengenai hak kesehatan
perempuan.
1. Batas minimal usia pernikahan
CEDA W yang secara luas menerangkan hak perempuan, secara tersirat
dalam pasal 16 ayat (2) menjelaskan bahwa "pertunangan dan perkawinan
seorang anak tidak akan mempunyai akibat hukum dan semua tindakan yang
perlu, termasuk membuat perundang-undangan, wajib dilakukan untuk
menetapkan usia minimum untuk kawin dan untuk mewajibkan pendaftaran
perkawinan di kantor pencatatan yang resmi". Apabila dipadankan dengan
Peraturan Perundang-undangan di Indonesia seorang perempuan baru
diperbolehkan atau diijinkan untuk menika11 ketika ia telah menginjak dewasa
secara fisik atau telah melewati masa usia anak. Akan tetapi peraturan batas
maksimal usia anak di Indonesia sendiri tidaklah selalu konsisten. UU No I
Tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan seorang perempuan dapat
dikatakan dewasa dan baru bisa menikah apabila telah berusia 16 tahun. UU
No. 4
Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak menyatakan bahwa anak
86
adalah seseorang yang belum mencapai usia 21 tahun.UU No 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa seseorang masih dikategorikan
sebagai anak secara individu yaitu sampai dengan berusia 18 tahun. 111
Penetapan batas usia bagi perempuan yang lebih rendah dari laki-laki
pada substansinya mempertegas sobordinasi perempuan (isteri) terhadap lakilaki (suami). Pandangan seperti ini telah menempatkan suami haruslah lebih
tua, lebih berpendidikan, lebih tinggi status sosialnya, dan lebih kuat fisiknya
dari isteri.
112
Walaupun telah diatur sedemikian rupa tentang batas usia anak
dewasa dalam berbagai perundang-undangan
Indonesia tetapi
dapat
disimpulkan bahwa melegalkan perkawinan bagi perempuan yang umur 16
tahun berarti pemerintah turut melegitimasi perkawinan anak-anak, yang
merupakan termasuk tindakan kekerasan terhadap anak dan ini berarti
eksploitasi anak.
Secara redaksional al-Quran dan Sunnah Rasul tidak mengatur soal
batas minimal usia nikah, sehingga dengan usia yang tidak ditentukan
seseorang dapat melangsungkan pernikahan walaupun belum mencapai masa
balig. Namun umat Islam umurnnya menyepakati bahwa dengan masuknya
masa baligh berarti seseorang secara fisik telah diperbolehkan untuk menikah.
Sebagaimana Muhammad Rasulullah yang telah menikahi Aisyah, yang saat
itu umurnya baru mencapai 9 tahun dan menggaulinya setelah Aisyah
111
Latifah, Musawa - Jurnal Studi Gender dan Islam, (Yogyakarta: PSW UIN Sunan
Kalijaga, 2006) Vol. 4, No. 2 h.260.
112
Siti Musdah Mulia, Islam & /nspirasi Kesetaraan Gender, h. l 4 l.
88
Perempuan) tentang kesehatan reproduksi perempuan, pada ayat 1 (satu)
disebutkan bahwa adanya kewajiban negara dalam menghapus diskriminasi
secara tepat atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan. Dasar
persamaan antara laki-laki dan perempuan berlaku dalam ha! penolakan isteri
terhadap ajakan suami untuk berhubungan. Sementara, jika kita melihat
sebuah hadits yang berbunyi: "jika seorang suami mengajak isterinya ke
tempat tidur, namun isteri menolaknya dan suami marah, maka malaikat
melaknatnya (isteri) sampai subuh tiba" (Bukhari dan Muslim).
Hadits tersebut jika dipahami secara tekstual terlihat berlawanan dan
menimbulkan kesan kuat adanya suprioritas laki-laki atas perempuan.
Pemahaman seperti ini seringkali dijadikan sebagai alat Iegitimasi bagi lakilaki memaksa perempuan dalam berhubungan seks.
Padahal jika dipahami Jebih mendalam mengenai kata "menolak"
dalam hadits ini, lebih dahulu kita mengetahui alasan menolaknya tersebut,
namun perlu diperhatikan bahwa sebab alasan yang dimaksud haruslah
bersifat Iogis berdasarkan alasan-alasan kemanusiaan, seperti isteri sedang
menstruasi.
Dari diskusi diatas dapat ditarik reinterpretasi hukum Islam mengenai hak
kesehatan perempuan dalam CEDA W terlihat ketika hukum Islam banyak
berbicara dalam masalah perempuan yang dianggap urgen, seperti perbedaan usia
nikah, hak isteri dalam menolak berhubungan seksual, dan masalah Iain yang
89
telah dibahas pada bab terdahulu. Tennasuk mengenai aborsi dan FGM (Female
Genitale Mutilation) atau sunat terhadap perempuan.
Dapat disadari pentingnya norma agama dalam kehidupan sehari-hari,
terlebih ketika agama berbicara mengenai larangan-larangan yang mengakibatkan
rusaknya diri seseorang. Dalam aturan agama diatur bagaimana seseorang hidup
dan berbaur, tentunya aturan
tersebut mengarah kepada kebaikan individu
maupun masyarakat sekitar. Akibat dari tidak diindahkarmya aturan tersebut,
mungkin saja memacu kepada gaya hidup berlebihan artinya tidak ada kontrol
pribadi dalam segala tindakarmya, terkadang hanya didasarkan atas kesenangan
semata.
Nilai seorang perempuan kembali dipinggirkan manakala hukum Islam
tidak lagi diterapkan dalam sebuah sistem dan pranata-pranata sosial khususnya
yang mengatur pola relasi laki-laki dan perempuan di rumahtangga maupun di
lingkungan masyarakat. Masuknya gaya hidup barat ke negari-negeri muslim
membuat maraknya pergaulan bebas
dan menimbulkan derita.
Seperti
meningkatnya kasus HIV/AIDS di Indonesia yang terus meningkat tajam.
Tingginya penderita yang terinfeksi HIVI AIDS berasal dari kalangan remaja dan
pemudadan ini disebabkan oleh prilaku seksual remaja yang semakin beresiko.
Dampak lainnya yaitu pada remaja putri yang hamil akibat free seks, mengambil
pilihan tindakan aborsi sebagai jalan pintas untuk menghilangkan kehamilan yang
tidak diinginkannya itu. seperti yang telah diketahui bahwa efek aborsi tidak
hanya merusak kesehatan fisik maupun mental namun berujung kepada kematian.
90
Dalam masalah khitan perempuan, barat menganggap bahwa khitan
perempuan
(dalan1
dunia
barat
khitan
disama
artikan
dengan
FGM/FGC/Sircumcission) merupakan suatu pelanggaran yang akibatnya dapat
mengnrangi kebutuhan perempuan dalam pemenuhan hasrat seksualnya.
Walaupun dalam hukum Islam sendiri tidak ada nash yang mewajibkan khitan
perempuan, terlihat Islam telah mengarahkan kita kepada pencegahan prilaku seks
bebas karena dilakukannya khitan pada wanita dimaksudkan untuk mengurangi
hasrat seksual wanita yang berlebihan yang mengarah pada prilaku seks bebas
tersebut.
Seperti yang telah diuraikan, pada bab sebelumnya bahwa khitan pada
pe!'empuan berguna mengurangi hasrat seksual yang berlebihan. Ini kemudian
menjadi salah satu ide barat diangkat dalam penegakkan hak-hak reproduksi
perempuan,
lebih menekankan kepada pelarangan praktek khitan pada
perempuan. Alasannya adalah bahwa dengan mengkhitan perempuan berarti telah
melukai organ reproduksi perempuan, yang berdampak mengurangi pemenuhart
hasrat seksual perempuan.
Baik pelegalan aborsi maupun pelarangan khitan sebenarnya adalah salah
satu usaha barat mengkampanyekan hak reproduksi perempuan, dimana dalam
penyampaian idenya itu mengatasnamakan kebebasan dan kenyamanan diri
perempuan. Terlihat bersebrangan jika mengukur ide-ide tersebut dengan norma-
BABV
PENUTUP
A. Kesimpulan
CEDA W sebagai instrumen hokum Intemasional yang mengatur segala
hak perempuan, mengatur pula hak-hak reproduksi perempuan. Dengan tujuan
melindungi kaum perempuan dari ketidaksewenangan dan ketidakadilan gender,
CEDA W berupaya memberikan legalitas dan perlindungan secara Intemasional
agar setiap perempuan memiliki poweritas atas dirinya sendiri. Mengingat fungsi
reproduksi secara langsung terletak pada kaum perempuan, maka perempuan
memiliki hak khusus atas keberlangsungan reproduksinya itu.
Adapun hukum Islam yang mengatur eksistensi seluruh kehidupan
umatnya, memuat pula ketentuan fungsi dan peran perempuan dalam ha! kodrat
reproduksi. I-Iak reproduksi perempuan dalam Islam telah diakomodir berdasarkan
tugas dan kewajiban yang diemban seorang perempuan. Fm1gsi reproduksi adalah
sesuatu anugrah yang diberikan kepada kaum perempuan, oleh karena itu seorang
ibu yang sedang menjalankan fungsi reproduksi harus mendapatkan perlakuan
khusus agar keberlangsungan reproduksi tersebut dapat terjaga sebaik mungkin.
Dari pemaparan pada bab terdahulu, maka merupakan hak reproduksi
perempuan yang telah diatur oleh hukum Islam dan CEDA W tersebut, penulis
menarik suatu kesimpulan sebagai berikut:
94
2. Instrumen hukum yang memberi perlindungan terhadap kesehatan perempuan
ini secara yuridis masih dalam pembahasan umum tidak secara spesifik
membahas tentang kesehatan reproduksi semata sebab masih ada tarik ulur
antara kepentingan feminis yang mengedepankan derajat wanita tanpa unsur
agama dengan para tokoh agama yang mengedepankan unsur syariat dalam
mengangkat derajat wanita.
Sisi lain eksistensi instrumen hukum dipengaruhi oleh siapa yang
memimpin pemerintahan, sebab kekuasaannya akan mempengaruhi peraturan
yang dihasilkan, yang biasanya dilakukan demi menunjang eksistensinya
kepemimpinannya sebagai kepala negara. Hingga saat ini instrumen yang
memberi perlindungan atas kesehatan reproduksi perempuan di Indonesia,
yaitu UUD 1945 (Hasil Amandemen), UU No. 7 Tahun 1984 tentang
Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Wanita, UU No. 23 Tahun 1994 tentang Kesehatan, UU No. 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 23 tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
3. Hak-hak kesehatan perempuan yang terdapat dalam CEDAW jika di pandang
dari sudut hukum Islam, secara umum berbanding lurus dengan pengaturan
hak hidup dan berkehidupan perempuan yang diberikan hukum Islam, karena
dalam Islam seorang perempuan mendapatkan posisi yang khusus dan mulia.
Jika dilihat dari sisi historis, hukum Islam ada dan berkembang lebih awal
daripada CEDA W, sehingga CEDA W dapat pula dikatakan sebagai instrumen
95
pengejawantahan dari hukum Islam (khususnya mengenai hak-hak kesehatan
perempuan).
Namtm daripada itu, terdapat pula perbedaan prinsipil antara hukum
Islam dan CEDA W yang berpangkal atas perbedaan pengambilan argumentasi
hukum pada legalitas suatu masalah hak kesehatan reproduksi perempuan
(misal: abortus, FGM, Tubektomi dll). Hukum Islam mendalilkan suatu
masalah berdasarkan ketentuan yang bersifat kodrati kewahyuan, sedangkan
CEDA W lebih mendalilkan ketentuan-ketentuannya berdasarkan persamaan
gender dengan kaum laki-laki. Sehingga tidak seluruh aturan dalam CEDAW
dapat diaplikasikan oleh umat Islam.
B. Saran
Sebagaimana yang telah penulis uraikan secara luas mengenai hak
kesehatan reproduksi pada skripsi ini, pada bagian ini juga penulis utarakan
betapa pentingnya pengetahuan akan hak reproduksi perempuan. Masyarakat dan
pembaca skripsi ini khususnya lebih diharapkan menyadari bahwa kesehatan
reproduksi, termasuk upaya untuk mengenal dan mengetahui proses-proses
reproduksi pada diri sendiri, merupakan bagian dari hak asasi yang tidak boleh
diganggu oleh orang lain, sebaliknya mendapat perlindungan dari pemerintah.
Dibawah ini beberapa saran yang penulis utarakan sebagai lanjutan dari
skripsi ini, yaitu:
96
1. Dalam mempromosikan pentingnya kesehatan reproduksi peran lembaga-
lembaga pelayanan kesehatan hamsnya bersentuhan langsung dengan
masyarakat. Sehingga, optimalisasi peran dan fungsi institusi pelayanan
kesehatan dapat dilakukan secara sistematis dan komprehensif, tentunya
dengan dukungan pendanaan dan sumber daya yang kuat. Selain itu, peran
serta elemen-elemen masyarakat, termasuk LSM/NGO dalam mewacanakan
hak atas kesehatan reproduksi juga sangat diperlukan. Secara teknis, mungkin
diperlukan upaya desakralisasi terhadap mitos seks dan kesehatan reproduksi
yang banyak dipelihara dalam tradisi budaya dan pemahamru1 tekstual agama
di masyarakat kita yang cenderung beresiko tinggi bagi kesehatan reproduksi
hru·us dikurangi, sepe1ti sirkumsisi pada wanita yang relatif tidak bermanfaat
bagi kesehatan.
2. Pengetahuan hak kesehatan reproduksi pada perempuan sekarang ini
dirasakru1 masih dangkal dibru1ding dengan akibat yang telah ia terima, baik
dalam bentuk kekerasan se1ta kurang mendapat perhatian dalam memperoleh
pelayanan kesehatan. Maka dari itu sudah saatnya pendidikan asuhan
perawatan sebelum, selama dan sesudah persalinan (all natal care)
dimasukkan dalam kurikulum pendidikan yang dipadukan dengan pendidikan
seks usia dini.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran al-Karim
Anshor, Maria Ulfah. Fikih Aborsi, Wacana Penguatan Hak Reproduksi Perempuan,
Jakarta:Kompas, 2006.
Anshori, Dadang, S. dkk., Membincangkan Feminisme: Refleksi Muslimah Atas
Peran Sosial Kaum Wanita, Bandung: Pustaka Hidayah, 1997.
Baso, Andi, Zohra dan Rahaijo, Judy. Kesehatan Reproduksi: Padanan Bagi
Perempuan, Cet.ke-I, Ujung Pandang: YLKI Sulawesi Selatan dan TFF, 1997.
Dwija, Bhagawan. Mengenal Agama Hindu: Aborsi Dalam Theology Hinduisme,
artikel dalam www.singaraja.wordpress.com diakses pada tanggal 6 Mei
2008.
Kasdu, Dini; Meiliasari, Mila; dan Puwaningsih, Retno. Info Lengkap Kehamilan dan
Persalinan, (Jakarta: PT. Gemini Mitra Gemilang, 2007)
Eddyono, Sri Wiyanti. Seri Bahan Bacaan Kursus HAM Untuk Pengacara X: Hak
Asasi Perempuan dan Konvensi CEDAW, Jakarta: Lembaga Studi Dan
Advokasi Masyarakat, 2004.
Ensiklopedi Islam, Cet.Ke-3, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.
Fadhiilah, Ummu. "Hak-Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan Dalam Pandangan
Islam" artikel dalfilll http://www.ukhuwah.or.id diakses pada tanggal 23
Desember 2007.
Wiknjosastro, Gulardi, H., Aborsi dalam
(Jakarta:Balai Penerbit FKUI, 2002)
Perspekt!f Fikih
Kontemporer,
Hanifah, Laily.
Aborsi Dilinjau Dari Tiga Sudut Pandang, artikel dalfilll
www.kesrepro.info/gendervaw/referensi.html, diakses pada tanggal 9 April
3008.
Hasan, M. Ali. Masai/ Fiqhiyah Al-Haditsah, Pada masalah-Masalah Kontemporer
Hukum Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,1996.
Hathout, Hasan. I/mu Kebidanan dan Persalinan Dalam Pandangan Islam, Bandung:
Mizan, 2003.
98
Hera Anggarawaty, Agenda Tersembunyi di Balik Wacana Hak dan Kesehatan
Reproduksi, artikel dalam www.tempointeraktif.com. 2007
http://www.arwaniyyah.com, Perempuan dalam Keluarga dan Masyarakat, diakses
tanggal 6 Maret 2008
http://www.defathya.multiply.com/reviews/item.html, diakses pada tangggal 23
Desember 2007
http://www.kompas.com/kompas_cetak/0311/swara.html,
Desember 2007.
diakses
tanggal
23
http://www.hidayatullah.com/index.php.html, diakses pada tanggal 13 Januari 2008.
http://www.apakabar.ws/forum/viewtopik.php Aborsi Sebagai Hak Perempuan,
diakses pada tanggal 16 April 2008.
http://www.pdpersi.co .i d/?show=detailnews&kode= 1002tbl=biaswanita.html. Altikel
dalam Kebijakan Departemen Kesehatan Terhadap Medikalisasi Sunat
Perempuan, diakses pada tanggal 6 Febuari 2008.
http://www.pdpersi.eo.id/biaswanita.html.
Kebijakan Departemen Kesehatan
Terhadap Medikalisasi Sunat Perempuan, diakses pada tanggal 16 Febuari
2008.
http://www.unifem-eseasia.org, CEDAW, Qanun dan Aceh, diakses tanggal 11 Juni
2008.
http://www.cwgi.wordpress.com. Press Release: Negara Abaikan Konvensi CEDAW,
diakses 11 Juni 2008.
http://www.kalyanamitra.or.id/html, Kronik Konvensi CEDAW, diakses pada tanggal
11 Juni 2008.
Husaian, Muhammad. Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan Dalam Al-Qur 'an,
artikel dalamhttp://www.albarokah.or.id. 2008.
Husein, Muhammad. fiqh Perempuan, Rejleksi Wacana Agama dan Gender,
Yogyakarta: LKIS; 2002.
Irianto, Sulistyowati. Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif
Kesetaraan dan Keadilan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006.
99
Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum. Direktorat Hukum Dan Peradilan
Mahkamah Agung RI, lriformasi Peraturan Perundang-Undangan Tentang
Hak Asasi Manusia, Jakarta: Direktorat Hukum dan Peradilan Mahkamah
Agung RI, 2003.
Kamal, Abu Malik. Fiqih Sunnah Wanita, Jakarta: Penerbit Pena, 2007.
Koblinsky, Marge. Kesehatan Wanita : Sebuah Perpektif Global, cet ke 1,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press ,1997.
K. Bertens. Aborsi di Tengah Polarisasi "Pro life" - "Pro Choice", artikel dalam
www.kompas.com/gayahidup/index.htm, diakses pada tangal 6 Mei 2008.
Laporan HAM. "Tutup Buku Dengan Transitional Justice" ? Menutup Lembaran
Hak Asasi Manusia tahun 1999-2004 dan Menentukan Lembaran Baru 2005,
Jakarta: ELSAM, 2004.
Latifah. Musawa - Jurnal Studi Gender dan Islam, Vol. 4, No. 2, Yogyakarta: PSW
UIN Sunan Kalijaga, 2006.
Lexy, Moleong, J.M. A. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung : PT Remaja Roda
Karya. 2004.
Luhulima, Achie Sudiarti. ed., Kejahatan Berbasis Jender Serta Dampak Jender Dari
Peristiwa Pembantaian di Gujarat 2002, Jakarta, Komnas Perempuan; 2005.
Luhulima, Achie Sudhiarti. Bahan Ajar tentang Hak Perempuan: UU No. 7 Tahun
1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Wanita, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007.
Marcoes, Lies. Hak Reproduksi Perempuan Dalam Perspektif Agama Islam, dalam
Seminar Wanita dan Kesehatan Reproduksi, Jakarta: Lembaga Demografi
FEUI dan Yayasan Ekonomika FEUI, 1996.
Mas'udi, F. Masdar. Islam & Hak-Hak Reproduksi Perempuan Dialog Fiqih
Pemberdayaan, Bandung: Mizan, 2000.
Mohammad, Farid. Perisai Perempuan: Kesepakatan lnternasional
Perlindungan Perempuan, Yogyakarta: Yasasan Galang, 1999.
Untuk
Munir, Lily Zakiyah. ed. Memposisikan Kodrat Perempuan dan Perubahan Dalam
Perspektif Islam, Bandung:Mizan, 1999.
101
Suarta,
Siswandi.
Kontroversi
Seputar
Aborsi,
artikel
dalam
www.matrianti.org/gendervaw/arsip.htm diakses pada tanggal 6 Mei 2008.
Sumarni D. W., dkk., Sunat Perempuan di Bawah Bayang-Bayang Tradisi,
Yogyakarta: PSKK UGM dan Ford Foundation, 2005.
Sunggono, Bambang. Metode penelitian Hukum, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada,
1997.
Susilo, Zumrotin, K. dkk, Perempuan Bergerak: Membingkai Gerakan Konsumen
dan Penegakan Hak-Hak Perempuan,
Makassar: Yayasan Lembaga
Konsumen Sulawesi Selatan, 2000.
S. Wojowasito. Kamus Lengkap Jnggris-Indonesia, Cet. Ke-6 , Bandung: Penerbit
Hasta, 1980.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Cet. Ke-7, Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
Utomo, Budi, Setiawan. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer,
Jakarta: Gema Insani Press, 2003.
Yanggo, Chuzaemah Tahido, Prof, Dr. Agama dan Kesehatan Reproduksi, Seri
Kesehatan Reproduksi, Kebudayaan dan Masyarakat, Jakarta: Pustaka
Seminar Harapan: 1999.
Yanggo, Tahido, Chuzaemah. Prof, Dr. Fiqih Anak, Jakarta: al-Mawardi Prima, tt.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampi ran
Undang-Undang Repnblik Indonesia
No.7 Tahon 1984, Tanggal 24 Juli 1984
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Perempuan
Negara-negara peserta pada Konvensi yang sekarang lni,
Memperhatikan bahwa Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa menguatkan lagi
keyakinan atas hak-hak azasi manusia, atas martabat dan nilai pribadi manusia, dan
atas persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.
Memperhatikan bahwa Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Azasi Manusia
menegaskan azas mengenai tidak dapat diterimanya diskriminasi dan menyatakan
bahwa semua manusia dilahirkan bebas dan sama dalam martabat dan hak, dan bahwa
tiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang dimuat di dalamnya, tanpa
perbedaan apapun, te1masuk perbedaan berdasarkanjenis kelamin.
Memperhatikan bahwa Negara-negara peserta pada perjanjian-perjanjian
Internasional mengenai Hak-hak Azasi Manusia berkewajiban untukmenjamin hak
yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati semua hak ekonomi,
sosial, budaya, sipil dan politik.
Mempertimbangkan konvensi-konvensi internasional yang ditanda tangani di bawah
naungan Perserikatan Bangsa Bangsa dan badan-badan khususnya, yang
menganjurkan persamaan hak antara Iaki-laki dan perempuan.
Memperhatikan juga resolusi-resolusi, deklarasi-deklarasi dan rekomendasirekomendasi yang disetujui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan badan-badan
khususnya yang menganjurkan persamaan hak antara Jaki-Jaki dan perempuan,
namun demikian sangat memprihatinkan bahwa meskipun adanya bermacam-macarn
dokumen tersebut, namun diskriminasi yang Juas terhadap perempuan masih tetap
ada,
Mengingat, bahwa diskriminasi terhadap perempuan adalah melanggar azas
persamaan hak dan rasa h01mat terhadap martabat manusia, merupakan halangan bagi
partisipasi perempuan, atas dasar persamaan dengan kaum Iaki-Jaki dalam kehidupan
politik, sosial, ekonomi dan budaya negara-negara mereka. Hal ini menghambat
perkembangan kemakmuran masyarakat-dan menambah sukarnya perkembangan
sepenuhnya dari potensi kaum perempuan dalam pengabdiannya terhadap negaranegara mereka dan terhadap umat manusia,
Memprihatinkan bahwa dalam situasi-situasi kemiskinan, perempuan yang paling
sedikit mendapat kesempatan untuk memperoleh makanan, pemeliharaan kesehatan,
pendidikan, pelatihan, maupun untuk memperoleh kesempatan kerja dan lain-lain
kebutuhan,
Yakin bal1wa dengan terbentuknya tata ekonomi intemasional yang baru, berdasarkan
pemerataan dan keadilan, akan memberi sumbangan yang berarti terhadap
peningkatan persamaan antarn laki-laki dan perempuan,
Menekankan bahwa penghapusan apartheid, penghapusan semua bentuk rasisme,
diskriminasi rasial, kolonialisme, neo-kolonialisme, agresi, pendudukan dan dominasi
serta campur tangan asing dalam urusan dalam negeri Negara adalah penting, untnk
dapat menikmati sepenuhnya hak-hak laki-laki dan perempuan.
Menegaskan bahwa memperkuat perdamaian dan keamanan intemasional,
pengendoran ketegangan internasional, kerjasama timbal-balik di antara semua
negara, teriepas dari sistem sosial dan ekonomi mereka, periucutan senjata secara
umum dan menyeluruh, dan khususnya periucutan senjata nuklir di bawah
pengawasan intemasional yang ketat dan efektif, penegasan azas-azas keadilan,
persamaan dan manfaat bersama dalam hubungan antar negara, realisasi hak bangsabangsa yang berada di bawah dominasi asing, dominasi kolonial pendudukan asing
untuk menentukan nasib sendiri dan kemerdekaaill1ya, maupun menghormati
kedaulatan nasional dan keutuhan wilayah, akan meningkatkan kemajuan sosial dan
pembangunan, yang dampaknya akan menunjang tercapainya persamaan sepenuhnya
antara laki-laki dan perempuan,
Yakin bahwa pembangunan menyeluruh dan selengkapnya suatu negara,
kesejal1teraan dunia dan usaha perdamaian menghendaki partisipasi maksimal kaum
perempuan atas dasar persamaan dengan kaum laki-laki di segala lapangan,
Mengingatkan kembali sumbangan besar kaum perempuan terhadap kesejahteraan
keluarga dan pembangunan masyarakat yang selama ini belum sepenuhnya diakui,
mii sosial darl kehamilan, d-an peranan kedua orang tua dalam keluarga dalam
membesarkan anak-anak, dan menyadari bahwa peranan perempua11 dalam
memperoleh keturunan hendaknya jangan menjadi dasar diskriminasi, akan tetapi
bal1wa membesarkan anak-m1ak menghendaki pembagian tanggungjawab antara lakilaki dan perempuan dan masyarakat sebagai keseluruhan.
superioritas salah satu jenis kelamin atau berdasar peranan stereotip bagi lakiIaki dan perempuan;
(b)
untuk menjamin bahwa pendidikan keluarga melalui pengertian yang tepat
mengenai kehamilan sebagai fungsi sosial dan pengakuan tanggung jawab
bersama laki-laki dan perempuan dalam membesarkan anak-anak mereka,
seyogyanyalah bahwa kepentingan anak-anak adalah pertimbangan utama
dalam segala ha!.
Pasal 6
Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat, termasuk
pembuatan undang-undang, untuk memberantas segala bentuk perdagangan
perempuan dan ekploitasi pelacuran.
BAGIANII
Pasal 7
Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk
menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik dan kehidupan
kemasyarakatan negaranya, khususnya menjamin bagi perempuan atas dasar
persamaan dengan laki-laki, hak:
(a)
untuk memilih dan dipilih;
(b)
untuk berpartisipasi dalam perurnusan kebijaksanaan pemerintah dan
implementasinya, memegang jabatan dalam pemerintahan dan melaksanakan
segala fungsi pemerintahan di semua tingkat;
(c)
untuk berpaitisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulanperkumpulan
non-pemerintah yang berhubungan dengai1 kehidupan masyarakat dan politik
negara.
Pasal 8
Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk
menjamin bagi perempuai1 kesempatan untuk mewakili pemerintah mereka pada
tingkat international dan untuk berpartisipasi dalam pekerjaan organisasi-organisasi
international atas dasar persamaan dengan Iaki-laki tanpa suatu diskriminasi.
Pasal 9
I. Negara-negara peserta wajib memberi kepada perempuan hak yang sama dengan
Jaki-laki
untuk
memperoleh,
mengubah
atau
mempertahankan
kewarganegaraannya. Negara-negara peserta khususnya wajib menjamin bahwa
perkawinan dengan orang asing maupun perubahan kewarganegaraan oleh suami
selama perkawinan tidak secara otomatis mengubah kewarganegaraan isteri,
menjadikannya tidak berkewarganegaraan atau memaksakan kewarganegaraan
suaminya kepadanya.
2. Negara-negara peserta wajib memberi kepada perempuan hak yang sama dengan
Jaki-laki berkenaan kewarganegaraan anak-anak mereka.
BAGIANIII
Pasal 10
Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk
menghapus diskriminasi terhadap perempuan guna menjamin bagi mereka hak-hak
yang sama dengan laki-laki di lapangan pendidikan, khususnya guna menjamin
persamaan antara laki-laki dan perempuan:
(a)
Persyaratan yang sama untuk bimbingan karir dan keahlian, untuk kesempatan
mengikuti pendidikan dan memperoleh ijazah dalam lembaga-lembaga
pendidikan segala tingkatan balk di daerah pedesaan maupun perkotaan;
Persamaan ini wajib dijamin balk dalam pendidikan taman kanak-kanak, umum,
tehnik, serta dalam pendidikan keahlian tehnik tinggi, maupun dalam segala
macam jenis pelatihan kejuruan;
(b)
Pengikutsertaan pada kurikulum yang sama, ujian yang sama, staf pengajar
dengan standar kualifikasi yang sama, serta gedung dan peralatan sekolah yang
berkualitas sama;
(c)
Penghapusan tiap konsep yang stereotip mengenai peranan laki-laki dan
perempuan di segala tingkat dan dalam segala bentuk pendidikan dengan
menganjurkan ko-edukasi dan lain-lain jenis pendidikan yang akan membantu
untuk mencapai tujuan in!, khususnya dengan merevist buku wajib dan
program-program sekolah serta penyesualan metode mengajar;
(d)
Kesempatan yang sama untuk mengambil manfaat dari beasiswa dan lain-lain
dana pendidikan;
(e)
Kesempatan yang sama untuk ikut serta dalam program pendidikan yang
berkelanjutan, termasuk program pendidikan orang dewasa dan pemberantasan
buta huruf fungsional, khususnya program-program yang ditujukan pada
pengurangan sedini mungkin tiap jurang pemisah dalam pendidikan yang ada
antara laki-laki dan perempuan;
(f)
Pengurangan angka putus sekolah pelajar puteri dan penyelenggaraan program
untuk gadis-gadis dan perempuan yang sebelum waktunya meninggalkan
sekolah.
(g)
Kesempatan yang sama untuk berpartisipasi secara aktif dalam olahraga dan
pendidikan jasmani;
(h)
Dapat memperoleh penerangan edukatif khusus untuk membantu meniamin
kesehatan dan kesejahteraan keluarga, termasuk penerangan dan nasehat
mengenal keluarga berencana.
Pasal 11
1. Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk
menghapus diskriminasi terhadap perempuan dilapangan pekerjaan guna
menjamin hak-hak yang sama atas dasar persamaan antara laki-laki dan
perempuan, khususnya:
(a) Hak untuk bekerja sebagai hak azasi manusia;
(b)
Hak atas kesempatan kerja yang sama, termasuk penerapan kriteria seleksi
yang sama dalan penerimaan pegawai;
(c)
Hak untuk memilih dengan bebas profesi dan pekerjaan, hak untuk promosi,
jaminan pekerjaan dan semua tuniangan serta fasilitas kerja, hak untuk
rnemperoleh pelatihan kejuman dan pelatihan ulang temmsuk masa kerja
sebagai magang, pelatihan kejuman lanjutan dan pelatihan ulang lanjutan;
(d)
Hak untuk menerima upah yang sama, termasuk tuniangantunjangan, baik
untuk periakuan yang sama sehubungan dengan pekerjaan dengan nilai yang
sama, maupun persamaan perlakuan dalam penilaian kualitas pekerjaan;
(e)
Hak atas jaminan sosial, khususnya dalam hal pensiun, pengangguran, sakit,
cacad, lanjut usia, serta lain-lain ketidakmampuan untuk bekerja, hak atas
masa cuti yang dibayar;
(f)
Hak atas perlindungan kesehatan dan keselamatan keria, termasuk usaha
perlindungan terhadap fungsi melanjutkan keturunan.
Pasal 13
Negara-negara wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus
diskriminasi terhadap perempuan di lain-lain bidang kehidupan ekonomi dan sosial
supaya menjamin hak-hak yang sama, atas dasar persanman antara laki-laki dan
perempuan, khususnya:
(a)
Hak atas tunjangan keluarga;
(b) Hak atas pinjaman bank, hipotek dan lain-lain bentuk kredit permodalan;
(c)
Hak untuk ikut serta dalam kegiatan-kegiatan rekreasi, olah raga dan semua segi
kehidupan kebudayaan.
Pasal 14
1. Negara-negara peserta wajib memperhatikan masalah-masalah khusus yang
dihadapi oleh perempuan didaerah pedesaan dan peranan yang dimainkan
perempuan pedesaan demi kelangsungan hidup keluarga mereka di bidang
ekonomi, termasuk pekerjaan mereka pada sektor ekonomi bukan penghasil uang,
dan wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk meniamin penerapan
ketentuan-ketentuan Konvensi in! bagi perempuan di daerah pedesaan.
2. Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat w1tuk
menghapus disktiminasi terhadap perempuan di daerah pedesaan, dan menjamin
bahwa mereka ikutserta dalam dan mengecap manfaat dari pembangunan
pedesaan atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan, khususnya
menjamin kepada perempuan pedesaan hak:
(a)
Untuk berpmtisipasi dalam perluasan dan implementasi perencanaan
pembangunan di segala tingkat;
(b)
Untuk memperoleh fasilitas pemeliharaan kesehatm1 yang memadai,
termasuk penerangan, penyuluhan dan pelayanan dalam keluarga berencana;
(c) Untuk mendapatkan manfaat langsung dari programjaminan sosial;
(d)
Untuk memperoleh segala jenis pelatihan dan pendidikan, baik formal
maupun non formal, termasuk yang berhubungan dengan pemberantasan
buta huruf fungsional, serta manfaat semua pelayanan masyarakat dan
pelayanan penyuluhan guna meningkatkan ketrampilan tehnik mereka;
(e)
Untuk membentuk kelompok-kelompok swadaya dan koperasi supaya
memperoleh peluang yang sama terhadap kesempatankesempatan ekonomi
melalui pekerjaan atau kewiraswastaan;
(f)
Untuk berpartisipasi dalam semua kegiatan masyarakat;
(g)
Untuk dapat memperoleh kredit dan pinjaman pe1ianian, fasilitas
pemasaran, tehnologi tepat-guna, serta periakuan sama pada landreform dan
urusan-urusan pertanahan termasuk pengaturan-pengaturan tanah
pemukiman;
(h)
Untuk menikmati kondisi hidup yang memadai, terutama yang berhubungan
dengan perumahan, sanitasi, penyediaan listrik dan air, pengangkutan dan
komunikasi.
BAGIANIV
Pasal 15
I. Negara-negara peserta wajib memberikan kepada perempuan persamaan hak
dengan laki-laki di muka hukum.
2. Negara-negara pese1ia wajib memberikan kepada perempuan dalam urusan
urusan sipil kecakapan hukum yang sama dengan kaum laki-laki dan kesempatan
yang sama untuk menjalankan kecakapan tersebut, khususnya agar memberikan
kepada perempuan hak-hak yang sama untuk menandatangani kontrak-kontrak
dan untuk mengurus harta benda, serta wajib memberi mereka perlakuan yang
sama pada semua tingkatan prosedur di muka hakim dan pengadilan.
3. Negara-negara peserta bersepakat bahwa semua kontrak dan semua dokumen
yang mempunyai kekuatan hukum yang ditujukan kepada pembatasan kecakapan
hukum bagi perempuan, wajib dianggap batal dan tidak berlaku.
4. Negara-negara peserta wajib memberikan kepada laki-laki dan perempuan hakhak
yang sama berkenaan dengan hukum yang berhubungan dengan mobilitas orangorang dan kebebasan untuk memilih tempat tinggal dan domisili mereka.
Pasal 16
I. Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk
menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam semua urusan yang
berhubungan dengan perkawinan dan hubungan kekeluargaan atas dasar
persarnaan antara laki-laki dan perempuan, dan khususnya akan menjamin:
a) Hak yang sama untnk memasuki jenjang perkawinan;
b) Hak yang sarna untuk memilih suami secara bebas dan untuk memasuki
jenjang perkawinan hanya dengan persetujuan yang bebas dan sepenuhnya;
c) Hak dan tanggungjawab yang sarna selarna perkawinan dan pada pemutusan
perkawinan;
d) Hak dan tanggungjawab yang sarna sebagai orang tua, terlepas dari status
kawin mereka, dalarn urusan-urusan yang berhubungan dengan anak-anak
mereka. Dalam semua kasus, kepentingan anakanaklah yang wajib
diutamakan;
e) Hak yang sama untuk menentukan secara bebas dan bertanggungjawab jumlah
dan penjarakan kelahiran anak-anak mereka serta untnk memperoleh
penerangan, pendidikan dan sarana-sarana untuk memungkinkan mereka
menggunakan hak-hak ini;
f) Hak dan tanggung jawab yang sama berkenaan dengan perwalian,
pemeliharaan, pengawasan dan pengangkatan anak a'tau lembagalembaga
yang sejenis di mana konsep-konsep ini ada dalam perw1dang-undangan
nasional, dalam semua kasus kepentingan anak-anaklah yang wajib
diutarnakan;
g) Hak pribadi yang sama sebagai suarni isteri, te1masuk hak untuk memilih
narna keluarga, profesi danjabatan;
h) Hak sama untnk kedua suarni isteri bertalian dengan pemiiikan, perolehan,
pengelolaan, administrasi, penikmatan dan memindahtangankan harta benda,
baik secara cuma-cuma maupun dengan penggantian berupa uang.
2. Pertunangan dan perkawinan seorang anak tidak akan mempunyai akibat hukum
dan semua tindakan yang periu, termasuk perundangundangan, wajib diambil
untulc menetapkan usia minimum untuk kawin dan untnk mewajibkan pendaftaran
perkawinan di Kantor Catatan Sipil yang resmi.
6. Pemilihan lima orang anggota Komite tambahan diadakan sesual dengan
ketentuan ayat 2) 3) dan 4) pasal lni, setelah ratifikasi atau aksesi yang ke tiga
puluh lima. Masa jabatan dua orang di antara anggota-anggota tambahan yang
dipilih pada kesempatan ini habis waktunya setelah dua tahun berakhir, namanama kedua anggota ini dipilih mewui undian oleh Ketua Komite.
7. Untuk mengisi lowongan yang timbul secara insidentil, negara-negara peserta
yang ahlinya berhenti berfungsi sebagai anggota, Komite menunjuk ahli lain dari
antara warga negara yang harus disetujui oleh Komite.
8. Anggota Komite dengan persetujuan Majelis Umum Perserikatan BangsaBangsa,
akan menerima tunjangan-tunjangan dari sumber-sumber Perserikatan BangsaBangsa menurut syarat-syarat seperti yang ditentukan oleh Majelis, mengingat
pentingnya tanggung jawab Komite.
9. Sekretaris lenderal Perserikatan Bangsa Bangsa menyediakan pegawaipegawai
dan fasilitas yang diperlnkan bag! pelaksanaan efektif fungsifungsi Komite di
bawah Konvensi ini.
Pasal 18
I. Negara-negara peserta akan menyampaikan kepada Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa-Bangsa, untnk dipertimbangkan oleh Komite laporan
mengenai peraturan-peraturan legislatif, judikatif, administratif atau
langkah4angkah lain yang telah diambil untnk memberiaknkan ketentuanketentuan dari Konvensi yang sekarang ini dan laporan mengenai kemajuan yang
dicapai:
(a)
Dalam satu tahun setelah mulai berlaku untnk negara yang bersangkutan;
dan
(b)
Sesudah itu sekurang-kurangnya tiap empat tahun dan selanjutnya sewaktuwaktu sesual permintaan Komite
2. Laporan dapat memuat faktor dan kesulitan yang mempengaruhi tingkat
pelaksanaan kewajiban-kewajiban yang terdapat di dalam Konvensi ini.
Pasal 19
1. Komite wajib membuat peraturan-peraturan prosedurnya sendiri.
2. Komite wajib memilih pejabat-pejabatnya untuk masa jabatan dua tahun.
Pasal 20
I. Komite wajib tiap tabun mengadakan pertemuan untuk jangka waktu tidak lebih
dari dua minggu guna mempertimbangkan laporan-laporan yang diajukan sesual
dengan pasal 18 Konvensi ini.
2. Pertemuan Komite terse but pada ayat I) diadakan di Markas Besar Perserikatan
Bangsa-Bangsa atau di tempat lain sesuai dengan keputusan Panitia.
Pasal 21
1. Komite, melalui Dewan Ekonomi dan Sosial, setiap tahun wajib melapor kepada
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai kegiatannya serta dapat
member! saran-saran dan rekomendasi umum berdasarkan penelitian laporanlaporan dan keterangan yang diterima dari negara-negara peserta. Saran-saran dan
rekomendasi umum tersebut wajib dimasukkan dalam laporan Komite bersamasama dengan tanggapan, jika ada, dari negara-negara peserta.
2. Sekretaris Jenderal wajib mengirim laporan-laporan Komite kepada Komisi
Kedudukan Perempuan, untuk diketalrni.
Pasal 22
Badan-badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa berhak untuk diwakili sesuai
dengan lingkup kegiatan mereka pada waktu dipertimbangkan pelaksanaan
ketentuan-ketentuan Konvensi ini. Komite dapat meminta badan-badan khusus
tersebut untuk menyerabkan laporannya mengenai pelaksanaan Konvensi yang
termasuk lingkup kegiatan mereka.
BAGIANVI
Pasa123
Apapun dalam Konvensi ini tidak akan mempengaruhl ketentuan manapun yang lebih
baik bagi tercapainya persamaan antara laki-laki dan perempuan yang mungkin
terdapat:
(a)
Dalam perundang-undangan suatu negara peserta; atau
(b)
Dalam Konvensi, perjanjian atau persetujuan lntemasional manapun yang
berlaku bagi negara itu.
Pasal 28
1. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa menerima dan mengedarkan
kepada semua negara naskah keberatan-keberatan yang dibuat oleh negara-negara
pada waktu ratifikasi atau aksesi.
2. Keberatan yang be1ientangan dengan sasaran dan tujuan Konvensi 1111 tidak
diijinkan.
3. Keberatan-keberatan
sewaktu-waktu
dapat
ditarik
kembali
dengan
memberitahukannya kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan BangsaBangsa yang
kemudian memberitahukan ha! tersebut kepada semua negara.
Pasal29
I. Setiap perselisihan antara dua atau lebih negara peserta mengenai penafsiran atau
penerapan Konvensi ini yang tidak diselesaikan melalui perundingan, diajukan
untuk arbitrasi atas permohonan salah satu diantara negara-negara tersebut. Jika
dalam enam bulan sejak tanggal permohonan untuk arbitrast pihak-pihak tidak
dapat bersepakat mengenai penyelenggaraan arbitrasi itu, salah satu dari pihakpihak tersebut dapat menyerahkan perselisihan itu kepada Mahkamah
Intemasional melalui permohonan yang sesuai dengan Peraturan Mahkamah itu.
2. Setiap negara peserta pada waktu penandatanganan atau ratifikasi Konvensi ini
atau pada waktu aksesi dapat menyatakan bahwa negara peserta itu tidak
menganggap dirinya terikat oleh ayat I pasal ini, negara-negara peserta lain tidak
akan terikat oleh ayat itu terhadap negara peserta yang telah membuat keberatan
demikian.
3. Negara peserta yang telah mengajukan keberatan seperti tersebut pada ayat 2)
pasal ini sewaktu-waktu dapat menarik kembali keberatannya dengan jalan
pemberitahuan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa.
Pasal 30
Konvensi ini, yang naskahnya dibuat dalam bahasa Arab, Cina, Inggris, Perancis,
Rusia, dan Spanyol, mempunyai kekuatan yang sama dan wajib disimpan pada
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa.
DEMIKIANLAH yang be11andatangan di bawah 1m, diberi kuasa sebagaimana
mestinya, telah menandatangani Konvensi ini.
Download