15 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
15
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pencemaran udara dalam ruang (indoor air pollution) terutama
rumah sangat berbahaya bagi kesehatan manusia, karena pada umumnya
orang lebih banyak menghabiskan waktu untuk melakukan kegiatan di dalam
rumah sehingga rumah menjadi sangat penting sebagai lingkungan mikro
yang berkaitan dengan resiko dari pencemaran udara (Kemenkes, 2011).
Manusia dalam aktivitasnya tidak terlepas dari kebutuhan terhadap
ruang. Ruang tempat tinggal dalam upaya meningkatkan status dan kualitas
hidupnya yaitu dengan mengolah sumber daya, baik itu sumber daya alam
atau pun sumber daya manusia itu sendiri. Disadari atau tidak dalam proses
pemanfaatan sumber daya itu manusia menghasilkan sampah, dan pengolahan
sampah yang tidak sesuai akan menyebabkan pencemaran lingkungan
(Meirinda,2008).
Proses akhir dari rangkaian penanganan sampah yang biasa dijumpai
di Indonesia adalah dilaksanakan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Pada
umumnya pemrosesan akhir sampah yang dilaksanakan di TPA adalah berupa
proses landfilling (pengurungan), dan sebagian besar dilaksanakan dengan
open dumping, yang mengakibatkan permasalahan lingkungan, seperti
pencemaran udara akibat gas, bau dan debu. Ketiadaan tanah penutup akan
menyebabkan polusi udara tidak teredam. Produksi gas yang timbul dari
degradasi materi sampah akan menyebabkan bau yang tidak sedap dan juga
ditambah dengan debu yang berterbangan (Anonimous, 2010).
Bau seperti telur busuk yang terdapat di TPA bersumber dari
Hidrogen Sulfida yang merupakan hasil samping penguraian zat organik.
Persentase gas H2S yang dihasilkan dari TPA berkisar antara 0-0,2%
(Tchobanouglos, 1993). Hidrogen Sulfida atau Asam Sulfida merupakan
suatu gas tidak berwarna, mudah terbakar, dan sangat beracun. Gas ini dapat
16
menyebabkan iritasi mata, hidung, dan tenggorokan, pada konsentrasi tinggi
dapat menyebabkan hilangnya kesadaran bahkan kematian (US EPA, 2003).
Tempat pembuangan akhir sampah mempunyai fungsi yang sangat
penting, namun dapat menimbulkan dampak yaitu menurunnya kualitas
lingkungan yang disebabkan karena tumpukan sampah menghasilkan
berbagai polutan yang dapat menyebabkan pencemaran udara. Pemukiman
yang ada di sekitar TPAS sangat berisiko bagi kesehatan penghuninya.
Pembusukan sampah akan menghasilkan antara lain gas amonia (NH3), dan
gas hidrogen sulfida (H2S) yang bersifat racun bagi tubuh. Selain beracun
H2S juga berbau busuk sehingga secara estetis tidak dapat diterima, jadi
penumpukan sampah yang membusuk tidak dapat dibenarkan (Soemirat,
2004).
Menurut penelitian Mardiani dan Erni (2006) tentang hubungan
kualitas udara ambien dan vektor terhadap gangguan keluhan saluran
pernafasan dan saluran pencernaan di sekitar tempat pembuangan akhir
sampah menunjukkan bahwa kadar gas H2S terdeteksi melebihi Nilai
Ambang Batas (NAB) pada radius 150 meter dari TPA, sedangkan kadar
polutan udara yang lain belum melebihi NAB. Studi Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL) terhadap TPA Bantar Gebang Bekasi tahun
1989 menyatakan bahwa timbulnya pencemaran udara akibat meningkatnya
konsentrasi gas serta timbulnya bau, baik yang ditimbulkan pada tahap
operasi penimbunan dan pemadatan sampah maupun setelah selesainya tahap
operasi penimbunan dan pemadatan (Noriko, 2003). Meirinda (2008)
melakukan penelitian tentang hubungan antara faktor kualitas fisik rumah dan
jarak TPAS dari perumahan dengan kualitas udara dalam rumah, hasil
penelitian menunjukkan bahwa kualitas udara dalam rumah penduduk di
sekitar TPAS kelurahan Terjun tidak memenuhi syarat kesehatan, dan
terdapat hubungan antara jarak rumah dari TPAS dengan konsentrasi gas
SO2, gas H2S dan gas CH4. Selain itu terdapat hubungan antara kualitas fisik
(ventilasi, jenis dinding, jenis lantai, dan luas lantai perkapita) dengan
konsentrasi gas SO2, H2S, NH3, dan CH4. Pada penelitian ini juga
17
menunjukkan konsentrasi SO2, H2S, NH3, dan CH4 berada di atas ambang
batas yang tidak diperbolehkan berdasarkan keputusan Menteri Negara
Kesehatan Lingkungan Hidup Nomor KEP-50/MENLH/11/1996 Baku
Tingkat Kebauan (Reinhard, 2009).
Kualitas udara di dalam rumah dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain, bahan bangunan (misal; asbes), struktur bangunan (misal;
ventilasi), bahan pelapis untuk furniture serta interior (pada pelarut
organiknya), kepadatan hunian, kualitas udara dalam rumah (ambient air
quality), radiasi dari Rodon (Rd), formaldehid, debu, dan kelembaban yang
berlebihan. Kualitas udara juga dipengaruhi oleh kegiatan dalam rumah
seperti penggunaan energi tidak ramah lingkungan, penggunaan sumber
energi yang relatif murah, antara lain batubara dan biomasa (kayu, kotoran
kering dari hewan ternak, residu pertanian), perilaku merokok dalam rumah,
penggunaan pestisida, penggunaan bahan kimia pembersih, dan kosmetika.
Bahan-bahan kimia tersebut dapat mengeluarkan polutan yang dapat bertahan
dalam rumah untuk jangka waktu yang cukup lama (Kemenkes, 2011).
Dampak pencemaran udara dalam ruang rumah terhadap kesehatan
dapat terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung. Gangguan
kesehatan secara langsung dapat terjadi setelah terpajan, yaitu iritasi mata,
hidung dan tenggorokan, serta sakit kepala, mual dan nyeri otot (fatigue),
asma, hipersensitivitas pnemonia, flu dan penyakit virus lainnya. Sedangkan
gangguan kesehatan secara tidak langsung dampaknya dapat terjadi beberapa
tahun kemudian setelah terpajan, antara lain penyakit paru, jantung, kanker,
yang sulit diobati dan berakibat fatal (U.S EPA, 2007).
Dampak utama polutan SOx terhadap manusia adalah iritasi sistem
pernapasan, beberapa penelitian menunjukkan bahwa iritasi tenggorokan
terjadi pada konsentrasi SO2 sebesar 5 ppm atau lebih, bahkan pada beberapa
individu yang sensitif iritasi terjadi pada konsentrasi 1-2 ppm. SO2 dianggap
polutan berbahaya bagi kesehatan terutama terhadap orang tua dan penderita
penyakit kronis system pernapasan dan kardiovaskuler. Individu yang
memiliki gejala tersebut sangat sensitif terhadap kontak dengan SO2,
18
meskipun dengan konsentrasi relatif rendah, misalnya 0,2 ppm atau lebih
(Fardiaz, 2003). pada H2S pada kadar 0,05 ppm dapat dideteksi dari bau, dan
pada kadar 0,1 ppm mengakibatkan iritasi serta gangguan saraf sensoris.
Setelah mengalami pemajanan pada kadar di atas 50 ppm akan terjadi
kehilangan kesadaran mendadak, depresi pernafasan dan akan meninggal
dalam waktu 30-60 menit. Sedangkan bila terpapar ammonia dalam kadar
cukup tinggi dari normal, akan mengakibatkan batuk dan iritasi mata. Apabila
kadar ammonia lebih tinggi lagi, misalnya penumpukkan ammonia pada kulit
akan mengakibatkan efek serius pada kulit, mata, tenggorokan dan paru-paru.
Hal ini bisa menyebabkan kebutaan permanen, penyakit paru dan dapat
menyebabkan kematian (Ditjen PPM & PL, 2001).
Di negara maju diperkirakan angka kematian pertahun karena
pencemaran udara dalam ruang rumah sebesar 67% di pedesaan dan sebesar
23% di perkotaan, sedangkan di negara berkembang angka kematian terkait
dengan pencemaran udara dalam ruang rumah daerah perkotaan sebesar 9%
dan daerah pedesaan sebesar 1% dari total kematian. Tercemarnya udara di
sekitar TPA menyebabkan kesehatan lingkungan terganggu, terutama
meningkatnya Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Penyakit
ISPA di wilayah kerja Puskesmas Piyungan menempati urutan pertama dari
sepuluh penyakit terbanyak selama tahun 2011, dengan jumlah kasus
sebanyak 2843 kasus (Anonim, 2012).
TPAS Piyungan merupakan titik akhir pembuangan sampah yang
dihasilkan warga tiga wilayah di Yogyakarta yaitu Kota Yogyakarta,
Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul, dalam seharinya bisa mencapai
200-300 ton sampah. TPAS ini dikelola melalui SEKBER KARTAMANTUL
yang memfasilitasi Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman dan Kabupaten
Bantul dalam berkoordinasi dan menentukan kebijakan yang akan diambil
dalam pengelolaan sampah di TPAS Piyungan (UKL-UPL, 2008).
Pengelolaan sampah di TPA Piyungan menggunakan metode sanitary
landfill, yaitu dengan membuang dan menumpuk sampah ke suatu lokasi
yang cekung, memadatkan sampah tersebut dan kemudian menutupnya
19
dengan tanah. Idealnya sampah yang masuk ke dalam sanitary landfill adalah
sampah organik yaitu sampah yang dapat terurai, sehingga dapat
mempercepat proses komposisi (Merinda, 2008). Namun, dalam pengelolaan
sampah ini, di TPA Piyungan tidak dilakukan pemisahan antara sampah
organik dan anorganik. Sampah yang berada di TPA terdiri dari sampah
organik dan anorganik. Sampah organik meliputi limbah cair dari sampahsampah yang tertimbun kemudian membentuk gas. Sedangkan limbah
organik meliputi besi, aluminium, plastik, botol, tulang, daun, sisa-sisa
makanan, dan sisa sayuran.
Pengelolaan sampah di TPA Piyungan belum memiliki standar yang
tepat untuk keselamatan (kesehatan) bagi para penduduk sekitar TPA dan
pemulung. Padahal pembusukan sampah di lokasi TPA akan menghasilkan
gas metana yang berakibat pada efek rumah kaca dan gas H2S, SO2 dan NH3
yang bersifat racun bagi tubuh manusia. Dan bisa memungkinkan penduduk
sekitar TPA mudah terserang penyakit seperti Infeksi Saluran Pernapasan
Atas (ISPA), penyakit gigi, infeksi kulit, anemia, diare, disentri, pneumonia,
dan infeksi telinga (Sudradjat, 2006).
Hasil pemantauan kualitas udara ambien di lokasi TPAS Piyungan dan
pemukiman penduduk pada bulan Mei 2008 pada Upaya Pengelolaan
Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL-UPL) Rencana
Kegiatan Penangkapan dan Pemanfaatan Gas Metana di TPA Piyungan
menunjukkan, konsentrasi SO2 berkisar antara 16,41 – 20,48 µg/Nm3,
konsentrasi NO2 berkisar antara 18,62 – 22,28 µg/Nm3, konsentrasi CO
berkisar antara 2.177 – 2.405 µg/Nm3, konsentrasi debu berkisar antara 155 –
129 µg/Nm3, konsentrasi H2S berkisar antara 0,00072 – 0,0018 ppm,
konsentrasi NH3 antara 0,28714 – 0,53319 ppm, dan konsentrasi CH4 antara
129 – 151 µg/Nm3. Disamping pemantauan tersebut, selama ini pengelola
TPAS Piyungan telah melakukan pemantauan secara berkala setiap 6 bulan
sekali. Berdasarkan data pemantauan yang dilakukan pada periode tahun
2002 – 2008, diketahui ada beberapa parameter kualitas udara ambien yang
pernah melebihi baku mutu, yakni parameter hidrokarbon (HC) pada bulan
20
September 2002, parameter debu pada bulan September 2007, dan parameter
H2S pada pemantauan bulan September 2007 (UKL-UPL, 2008).
Di sekitar lokasi TPAS Piyungan banyak berdiri rumah, baik rumah
penduduk maupun pemulung. Lokasi TPAS Piyungan yang berada di sekitar
perumahan
penduduk
sangat
berpeluang
menimbulkan
berbagai
permasalahan lingkungan, diantaranya pencemaran udara di luar maupun di
dalam rumah. Timbunan sampah yang ada di TPAS Piyungan menimbulkan
bau yang tidak sedap. Berdasarkan hal di atas penulis tertarik melakukan
penelitian di TPAS Piyungan untuk mengetahui faktor-faktor yang
berhubungan dengan kualitas udara dalam rumah di sekitar tempat
pembuangan akhir sampah.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dari uraian di atas maka dapat dirumuskan
yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah faktor-faktor apa saja
yang berhubungan dengan kualitas udara dalam rumah di sekitar tempat
pembuangan akhir sampah Desa Sitimulyo, Kecamatan Piyungan Kabupaten
Bantul Tahun 2012?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas
udara dalam rumah di sekitar TPAS Desa Sitimulyo, Kecamatan
Piyungan, Kabupaten Bantul.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui hubungan jarak rumah dengan kualitas kimiawi
udara (SO2, H2S dan NH3) dalam rumah di Desa Sitimulyo,
Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul.
21
b. Untuk mengetahui hubungan kualitas fisik rumah dengan kualitas
kimiawi (SO2, H2S dan NH3) udara dalam rumah di Desa Sitimulyo,
Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul.
c. Untuk mengetahui hubungan suhu dengan kualitas kimiawi udara
(SO2, H2S dan NH3) dalam rumah di Desa Sitimulyo, Kecamatan
Piyungan, Kabupaten Bantul.
d. Untuk mengetahui hubungan ketinggian tempat dengan kualitas udara
kimiawi (SO2, H2S dan NH3) dalam rumah di Desa Sitimulyo,
Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul.
e. Untuk mengetahui hubungan kepadatan hunian dengan kualitas udara
kimiawi (SO2, H2S dan NH3) dalam rumah di Desa Sitimulyo,
Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul.
f. Untuk mengetahui hubungan kecepatan angin dengan kualitas udara
kimiawi (SO2, H2S dan NH3) dalam rumah di Desa Sitimulyo,
Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul.
D. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Kota dalam program
pengelolaan sampah di TPAS Piyungan.
2. Sebagai informasi bagi masyarakat mengenai kualitas udara pada
pemukiman sekitar TPAS Piyungan.
3. Menambah khasanah ilmu pengetahuan kesehatan lingkungan khususnya
mengenai kualitas udara pada pemukiman sekitar TPAS dan sebagai
bahan masukan bagi peneliti selanjutnya.
22
E. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas
udara dalam rumah di sekitar tempat pembuangan akhir sampah Desa
Sitimulyo, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul belum pernah dilakukan.
Penelitian sejenis sudah pernah dilakukan antara lain :
23
Tabel 1. Keaslian Penelitian Yang berhubungan dengan Kualitas Udara dalam Ruang
Peneliti/
tahun
Meirinda,
2008
Laila
Fitria,
2001
Herlina,
2011
Judul
Hasil
Faktor-faktor yang berhubungan
dengan kualitas udara dalam rumah
di sekitar tempat pembuangan akhir
sampah kelurahan terjun kecamatan
Medan Merelan
Kualitas udara dalam ruang
perpustakaan universitas ‘X’
ditinjau dari kualitas biologi, fisik
dan kimiawi
Faktor yang berhubungan jarak
dan kualitas fisik rumah
Hubungan kualitas udara ruang
perawatan dengan gangguan fungsi
paru perawat di RSUD Undata
Palu-Sulteng
1. Jenis kapan patogen
2. Kualitas fisik udara
(kelembaban, suhu dan
intensitas cahaya)
3. Konsentrasi debu dalam
udara ruang perpustakaan
Faktor yang berhubungan
umur, masa kerja, status gizi
Persamaan
Perbedaan
Variabel terikat yang
diteliti, rancangan
penelitian, teknik
pengambilan sampel,
jenis lokasi penelitian
Variabel yang diteliti,
desain penelitian
Variabel bebas yang
diteliti, kerangka teori,
kerangka konsep
Desain penelitian
Variabel penelitian, teknik
pengambilan sampel,
kerangka teori, lokasi
penelitian
Teknik pengambilan
sampel, kerangka teori,
lokasi penelitian
Download