11 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori 1. Tinjauan tentang

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Deskripsi Teori
1.
Tinjauan tentang Matematika
a.
Pengertian Matematika
Andi Hakim Nasution (Karso, 2007: 1.39) mengatakan bahwa istilah
matematika berasal dari bahasa Yunani mathein atau manthenein yang berarti
mempelajari, namun diduga kata itu erat pula hubungannya dengan kata
Sansekerta
medha atau widya yang berarti kepandaian, ketahuan, atau
intelegensi. Menurut Ruseffendi ( Karso, 2007: 1.39) matematika itu
terorganisasikan dari unsur-unsur yang tidak didefinisikan, definisi-definisi,
aksioma-aksioma,
dan
dalil-dalil,
dimana
dalil-dalil
setelah
dibuktikan
kebenarannya berlaku sacara umum, karena itulah matematika sering disebut ilmu
deduktif. Selanjutnya menurut Reys (Karso, 2007: 1.40) mengatakan bahwa
matematika adalah telaahan tentang pola dan hubungan, suatu jalan atau pola
berpikir, suatu seni, suatu bahasa dan suatu alat. Sedangkan menurut Kline
(Karso, 2007: 1.40) matematika itu bukan pengetahuan menyendiri yang dapat
sempurna karena dirinya sendiri, tetapi beradanya itu terutama untuk membantu
manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi, dan
alam.
Matematika dapat pula diartikan dengan ide-ide (gagasan-gagasan),
struktur-struktur dan hubungan-hubungannya yang diatur secara logik
sehingga matematika itu berkaitan dengan konsep-konsep abstrak. Suatu
kebenaran matematika dikembangkan berdasarkan atas alasan logik dengan
menggunakan pembuktian deduktif. (Herman Hudojo, 1988: 3).
11
Matematika adalah angka-angka perhitungan yang merupakan bagian dari
hidup manusia. Matematika menolong manusia memperkirakan secara eksak
berbagai ide dan kesimpulan. Matematika adalah pengetahuan atau ilmu
mengenai logika dan problem-problem menarik. Matematika membahas
faktor-faktor dan hubungan-hubungannya, serta membahas problem ruang
dan bentuk (Karso, 2007: 1.42).
Berdasarkan pernyataan dari para ahli matematika di atas dapat dikatakan
bahwa matematika suatu pengetahuan yang tidak sempurna karena dirinya sendiri,
jadi keberadaan matematika itu sendiri untuk membantu permasalahan manusia
dalam bidang sosial, ekonomi, dan alam. Hal ini berarti belajar matematika adalah
belajar konsep yang terdapat dalam bahan-bahan yang sedang dipelajari, serta
lebih memahami lagi konsep yang terdapat dalam materi tersebut.
b. Tujuan Pembelajaran Matematika
Menurut Karso (2007: 2.7) tujuan pendidikan matematika di jenjang pendidikan
dasar mengacu kepada fungsi matematika serta kepada tujuan pendidikan nasional
yang telah dirumuskan dalam GBHN. Diungkapkan dalam GBHN matematika
kurikulum pendidikan dasar, bahwa tujuan umum diberikannya matematika di
jenjang pendidikan dasar meliputi dua hal, yaitu:
1)
Mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan di
dalam kehidupan dan di dunia yang sedang berkembang, melalui latihan
bertindak atas dasar pemikiran secara logis, kritis, cermat, jujur, dan efektif.
2)
Mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan pola
pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari, dan dalam mempelajari
berbagai ilmu pengetahuan.
Tujuan umum pendidikan matematika pada jenjang pendidikan dasar
yang pertama di atas memberikan penekanan pada penataan nalar dan
pembentukan sikap siswa. Sedangkan pada tujuan yang kedua memberikan
penekanan pada keterampilan dalam penerapan matematika, baik dalam
kehidupan sehari-hari maupun dalam membantu mempelajari ilmu
pengetahuan lainnya. (Karso. 2007: 2.8)
12
Karso (2007: 2.8) diungkapkan dalam GBPP Matematika SD, bahwa
tujuan pengajaran matematika di SD meliputi 4 hal, yaitu:
1) Menumbuhkan dan mengembangkan keterampilan berhitung (menggunakan
bilangan) sebagai alat dalam kehidupan sehari-hari.
2) Menumbuhkan kemampuan siswa yang dapat dialihgunakan melalui kegiatan
matematika.
3) Memiliki pengetahuan dasar matematika sebagai bekal belajar lebih lanjut di
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP).
4) Membentuk sikap logis, kritis, cermat, kreatif, dan disiplin.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan dari
pembelajaran matematika itu sendiri adalah membekali peserta didik agar mampu
terjun ke masyarakat yang dibekali dengan ilmu-ilmu yang bersifat logis. Setelah
siswa diberi pembelajaran matematika yang bersifat logis diharapakan siswa
mampu membentuk sikap yang logis, kritis, cermat, kreatif, dan disiplin. Serta
diharapkan siswa mampu menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam penelitian ini tujuan matematika yang diambil oleh peneliti adalah
mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep matematika yang
bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan Standar
Kompetensi “menggunakan pecahan dalam pemecahan masalah”. Dengan
Kompetensi Dasar “Mengubah pecahan ke bentuk persen dan desimal serta
sebaliknya.”. Dengan materi pokok “mengubah pecahan biasa ke bentuk desimal
serta sebaliknya”.
13
c.
Fungsi Matematika
Menurut Karso (2007: 2.6) fungsi matematika ada 3, yaitu:
1) Matematika sebagai alat
Siswa diberi pengalaman menggunakan matematika sebagai alat untuk
memahami atau menyampaikan suatu informasi misalnya melalui persamaanpersamaan, atau tabel-tabel dalam model-model matematika yang merupakan
penyederhanaan soal-soal cerita atau soal-soal uraian matematika lainnya.
Bila seorang siswa dapat melakukan perhitungan, tetapi tidak dapat
menyatakan tepat atau tidaknya operasi yang digunakan atau tidak tahu
alasannya, maka tentunya ada yang salah dalam pengerjaannya atau ada
sesuatu yang belum dipahami.
2) Matematika sebagai pembentukan pola pikir.
Dalam pembelajaran matematika, para siswa dibiasakan untuk
memperoleh pemahaman melalui pengalaman tentang sifat-sifat yang dimiliki
dan yang tidak dimiliki dari sekumpulan objek (abstraksi). Dengan
pengamatan terhadap contoh-contoh dan bukan contoh diharapkan siswa
mampu menangkap pengertian suatu konsep. Selanjutnya dengan abstrak ini,
siswa dilatih untuk membuat perkiraan terkaan, atau kecenderungan
berdasarkan kepada pengalaman atau pengetahuan yang dikembangkan
melalui contoh-contoh khusus (generalisasi).
3) Matematika sebagai ilmu pengetahuan
Guru harus mampu menunjukkan bahwa matematika selalu mencari
kebenaran, dan bersedia meralat kebenaran yang telah diterima, bila
diketemukan kesempatan untuk mencoba mengembangkan penemuanpenemuan sepanjang mengikuti pola pikir yang sah.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa fungsi dari
matematika itu sendiri ada 3, yaitu: matematika sebagai alat, matematika sebagai
pola pikir, matematika sebagai ilmu pengetahuan. Apabila suatu pembelajaran
sudah berpedoman pada ketiga fungsi tersebut, maka tujuan dari pembelajaran
matematika pun akan tercapai dengan maksimal.
14
d. Ruang Lingkup Matematika
Karso (2007: 2.10) dalam GBPP Matematika SD menjelaskan bahwa ruang
lingkup materi atau bahan kajian matematika SD ada lima, yaitu:
1) Unit Aritmatika (Berhitung)
Unit aritmatika dasar atau berhitung mendapat porsi dan penekanan
utama. Sebagian besar dari bahan kajian matematika SD adalah berhitung
yaitu bagian dari matematika yang membahas bilangan dengan operasinya
beserta sifat-sifatnya. Bilangan diperkenalkan dengan pendekatan urutan
bilangan asli serta kumpulan benda konkret. Sedangkan pembahasannya
disajikan secara bertahap mulai dari bilangan-bilangan kecil terus
berkembang ke arah yang lebih besar. Kemudian dibahas pula soal-soal cerita
atau soal-soal dengan kalimat, dan hitung uang yang disesuaikan dengan
pengenalan bilangan serta kenyataan-kenyataan dalam kehidupan sehari-hari.
2) Unit Pengantar Aljabar
Unit pengantar aljabar adalah perluasan terbatas dari unit aritmatika dasar.
Dengan dasar pemahaman tentang bilangan, dilakukan rintisan pengenalan
aljabar. Variabel (peubah) diperkenalkan dalam bentuk (...) atau atau yang
serupa itu. Di kelas-kelas yang lebih tinggi, secara bertahap diperkenalkan
huruf-huruf seperti n, x, a, sebagai pengganti titik-titik dan kotak tersebut.
Namun istilah variabel di SD tetap tidak diperkenalkan karena kemungkinan
dipandang terlalu abstrak dan belum sesuai dengan perkembangan
kemampuan anak usia SD.
3) Unit Geometri
Unit geometri mengutamakan pengenalan bangun datar dan bangun
ruang. Namun di SD, istilah geometri sendiri tidak diperkenalkan. Bangunbangun geometri diperkenalkan melalui proses non formal, konkret, dan
diawali dengan bangun-bangun yang sering dijumpai para siswa dalam
kehidupan sehari-hari. Bangun-bangun datar yang diperkenalkan diantaranya
segitiga, lingkaran, persegi, persegipanjang, trapesium, jajargenjang, dan
macam-macam sudut. Sedangkan bangun-bangun ruangnya seperti kubus,
balok, limas, kerucut, bola, tabung, dan macam-macam prisma.
4) Unit Pengukuran
Pengukuran diperkenalkan sejak kelas I sampai dengan kelas VI dan
diawali dengan pengukuran tanpa menggunakan satuan baku. Di kelas-kelas
yang lebih tinggi baru diperkenalkan pengukuran dengan satuan baku.
Adapun konsep-konsep yang diperkenalkan dalam pengukuran mencakup
pengukuran panjang, keliling, luas, berat, volume, sudut, dan waktu dengan
satuan-satuan ukurannya. Selain itu di SD diperkenalkan satuan ukuran
jumlah (satuan banyak ) seperti lusin, kodi, dan gros.
5) Unit Kajian Data
Yang dimaksud dengan kajian data adalah pembahasan materi statistik
secara sederhana di SD. Unit kajian data ini hanya diberikan di kelas V dan
kelas VI saja. Dalam topik kajian data ini terdapat kegiatan pengumpulan
15
data, menyusun data, dan manyajikan data secara sederhana, serta membaca
data yang telah disajikan dalam bentuk diagram. Data yang dikaji diambil
dari lingkungan kelas dan kenyataan dalam kehidupan sehari-hari yang
mudah diamati seperti data banyaknya siswa pria dan wanita dan data berat
badan serta tinggi badan.
Dalam mencapai semua materi matematika SD diperlukan suatu kurikulum
yang menjadi pegangan bagi guru. Kurikulum yang saat ini digunakan yaitu
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Di dalam KTSP termuat Standar
Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD). SK dan KD yang termuat dalam
standar isi mata pelajaran matematika merupakan tujuan minimun yang harus
dicapai oleh siswa, dan merupakan acuan untuk mengembangkan kurikulum
untuk tingkat satuan pendidikan. Pencapaian SK dan KD didasarkan pada
pemberdayaan siswa yang difasilitasi oleh guru dalam suatu proses pembelajaran.
e.
Karakteristik Pembelajaran Matematika di SD
Menurut Karso (2007: 2.16) karakteristik pembelajaran matematika di jenjang
sekolah dasar ada 4, yaitu:
1) Pembelajaran matematika adalah berjenjang (bertahap)
Bahan kajian matematika diajarkan secara berjenjang atau bertahap, yaitu
dimulai dari konsep yang sederhana menuju konsep yang lebih sukar.
Pembelajaran matematika harus dimulai dari yang konkret, ke semi konkret,
dan berakhir pada yang abstrak. Di SD penggunaan benda-benda konkret
masih diperlukan untuk mempermudah pemahaman siswa terhadap objek
matematika. Penggunaan gambar dapat dipandang sebagai semi konkret dan
termasuk kepada salah satu usaha untuk memahami konsep yang abstrak
sebagai wujud dari berjenjangnya pembelajaran matematika.
2) Pembelajaran matematika mengikuti metode spiral
Dalam setiap memperkenalkan konsep atau bahan yang baru perlu
memperhatikan konsep atau bahan yang telah dipelajari siswa sebelumnya.
Bahan yang baru selalu dikaitkan dengan bahan yang telah dipelajari, dan
sekaligus untuk mengingatkannya kembali. Pengulangan konsep dalam bahan
ajar dengan memperluas dan mendalamkannya adalah perlu dalam
16
pembelajaran matematika. Metode spiral bukanlah mengajarkan konsep
hanya dengan pengulangan atau perluasan saja, tetapi harus ada peningkatan.
Spiralnya harus spiral naik bukan spiral datar.
3) Pembelajaran matematika menekankan pola pendekatan induktif
Matematika adalah ilmu deduktif, matematika tersusun secara deduktif
aksiomatik. Namun sesuai dengan perkembangan intelektual siswa di SD,
maka dalam pembelajaran matematika perlu ditempuh pola pikir atau pola
pendekatan induktif. Misalnya dalam pengenalan suatu bangun datar, tidak
diawali oleh definisi bangun datar tersebut dan mengenal namanya. Setelah
memahami nama-nama bangun datar yang bersesuaian, siswa dapat
memperkaya dalam situasi yang khusus. Pemahaman konsep-konsep
matematika melalui contoh-contoh tentang sifat-sifat yang sama yang
dimiliki dan yang tidak dimiliki oleh konsep-konsep tersebut merupakan
tuntutan pembelajaran matematika usia SD.
4) Pembelajaran matematika menganut kebenaran konsistensi
Kebenaran dalam matematika sesuai dengan struktur deduktif
aksiomatiknya. Kebenaran-kebenaran dalam matematika pada dasarnya
merupakan kebenaran konsistensi, tidak ada pertentangan antara kebenaran
suatu konsep dengan yang lainnya. Suatu pernyataan dianggap benar bila
didasarkan atas pernyataan-pernyataan terdahulu yang telah diterima
kebenarannya. Dalam pembelajaran matematika di SD, meskipun ditempuh
pola induktif, tetapi tetap bahwa generalisasi suatu konsep haruslah bersifat
deduktif. Kebenaran konsistensi tersebut mempunyai nilai didik yang sangat
tinggi dan amat penting untuk pembinaan sumber daya manusia dalam
kehidupan sehari-hari.
17
Tabel 1. SK dan KD untuk Kelas V SD Semester 2
Standar kompetensi
Bilangan
5. Menggunakan pecahan
dalam pemecahan masalah
Kompetensi dasar
5.1. Mengubah pecahan ke
bentuk persen dan desimal
serta sebaliknya
5.2. Menjumlahkan
dan
mengurangkan
berbagai
bentuk pecahan
5.3. Mengalikan dan membagi
berbagai bentuk pecahan
5.4. Menggunakan
pecahan
dalam
masalah
perbandingan dan skala
Geometri dan Pengukuran
6. Memahami sifat-sifat bangun 6.1. Mengidentifikasi sifat-sifat
dan hubungan antar bangun
bangun datar
6.2. Mengidentifikasi sifat-sifat
bangun ruang
6.3. Menentukan jaring-jaring
berbagai bangun ruang
sederhana
6.4. Menyelidiki sifat-sifat
kesebangunan dan simetri
6.5. Menyelesaikan masalah
yang berkaitan dengan
bangun datar dan bangun
ruang sederhana
Dalam penelitian ini akan mengambil SK dan KD untuk kelas V SD semester
2 dalam materi pokok pengerjaan hitung pecahan:
a.
Standar Kompetensi
5.
b.
Menggunakan pecahan dalam pemecahan masalah.
Kompetensi Dasar
5.1. Mengubah pecahan ke bentuk persen dan desimal serta sebaliknya.
18
c.
Indikator
1.
Mengubah pecahan biasa ke bentuk desimal.
2.
Mengubah desimal ke bentuk pecahan biasa.
2.
Tinjauan tentang Hasil Belajar Matematika
a.
Hasil Belajar Matematika
Hasil belajar dapat dijelaskan dengan memahami dua kata yang
membentuknya, yaitu “hasil” dan “belajar”. Pengertian hasil (product)
menunjuk kepada suatu perolehan akibat dilakukannya suatu aktivitas atau
proses yang mengakibatnya berubahnya input secara fungsional. Hasil adalah
perolehan yang didapatkan karena adanya kegiatan mengubah bahan (raw
materials) menjadi barang jadi (finished goods). Hal yang sama berlaku untuk
memberikan batasan bagi istilah hasil panen, hasil penjualan, hasil
pembangunan, termasuk hasil belajar (Haryanto, 2007: 25).
Belajar merupakan kegiatan bagi setiap orang. Pengetahuan keterampilan,
kebiasaan, kegemaran, dan sikap seseorang terbentuk, dimodifikasi dan
berkembang disebabkan karena belajar. Karena itu seseorang dikatakan belajar,
bila dapat diasumsikan dalam diri orang itu menjadi suatu proses kegiatan yang
mengakibatkan suatu perubahan tingkah laku. Menurut Slameto (2003: 2) “belajar
ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu
perubahan
tingkah
laku
yang baru
secara
keseluruhan,
sebagai hasil
pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.” Sedangkan C.
Asri Budiningsih (2005: 34) mendefinisikan “belajar menurut teori kognitif yaitu
suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi,
emosi, dan aspek-aspek kejiwaan lainnya.” Belajar merupakan aktivitas yang
melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Proses belajar yang terjadi
19
antara lain mencakup pengaturan stimulus yang diterima dan menyesuaikannya
dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki dan terbentuk di dalam pikiran
seseorang berdasarkan pemahaman dan pengalaman-pengalaman sebelumnya.
Sri Anitah, dkk (2008: 2.4) mengatakan bahwa belajar adalah proses
pengalaman (learning is experience), artinya belajar itu suatu proses interaksi
antara individu dengan lingkungannya. Dalam interaksi tersebut terjadi proses
mental, intelektual, dan emosional yang pada akhirnya menjadi suatu sikap,
pengetahuan, dan keterampilan yang dimilikinya.
Hilgard (I. L. Pasaribu & B. Simanjuntak, 1980: 76) mengatakan belajar
adalah suatu proses perubahan tingkah kegiatan reaksi terhadap lingkungan,
perubahan tersebut tidak dapat disebut belajar apabila disebabkan oleh
pertumbuhan atau keadaan sementara seseorang seperti kelelahan atau disebabkan
obat-obatan.
Menurut Muhibbin Syah (2003: 92) “belajar dapat dipahami sebagai tahapan
perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil
pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif.”
Sedangkan Cronbach (Abd. Rachman Abror, 1993: 66) menyatakan “Learning is
show by a change in behaviour as a result of experience”. Jadi menurut
Cronbach, belajar yang sebaik-baiknya adalah dengan mengalami, dan dalam
mengalami itu si pelajar menggunakan panca inderanya.
Menurut Robert M. Gagne (Sumadi Suryadinata, 2004: 231) “Learning is a
change in human disposition or capacity, which persists over a period of time,
and which is not simply ascribable to processes of growth”. Tegasnya menurut
Gagne, belajar merupakan sejenis perubahan yang diperlihatkan dalam perubahan
20
tingkah laku, yang keadaannya berbeda dari sebelum individu berada dalam
situasi belajar dan sesudah melakukan tindakan yang serupa itu.
Degeng (Yatim Riyanto, 2009: 5) mendefinisikan belajar merupakan
pengaitan pengetahuan baru pada struktur kognitif yang sudah dimiliki si pelajar.
Hal ini mempunyai arti bahwa dalam proses belajar, siswa akan menghubunghubungkan pengetahuan atau ilmu yang telah tersimpan dalam memorinya dan
kemudian menghubungkannya dengan pengetahuan baru.
Sedangkan Tabrani Rusyan, Atang Kusdinar dan Zainal Arifin (1989: 8)
berpendapat bahwa belajar dalam arti yang luas ialah proses perubahan
tingkah laku yang dinyatakan dalam bentuk penguasaan, penggunaan, dan
penilaian terhadap atau mengenai sikap dan nilai-nilai, pengetahuan dan
kecakapan dasar yang terdapat dalam berbagai bidang studi, atau lebih luas
lagi, dalam berbagai aspek kehidupan atau pengalaman yang terorganisasi.
Ernest R. Hilgard (Abd. Rachman Abror, 1993: 66) menyatakan “Learning is
the process by which an activity originates or is changed through training
procedures (whethever in the laboratory or in the natural environment) as
distinguished from changed by factors not attributable to training”. Tegasnya
menurut Hilgard, belajar merupakan proses perbuatan yang dilakukan dengan
sengaja, yang kemudian menimbulkan perubahan, yang keadaannya berbeda dari
perubahan yang ditimbulkan oleh lainnya.
Beberapa penjelasan dari para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa belajar
adalah suatu proses perubahan tingkah laku individu sebagai hasil pengalaman
dan interaksi dengan lingkungannya.
21
Seseorang dikatakan belajar dengan menunjukkan beberapa ciri-ciri. Oemar
Hamalik (Tabrani Rusyan, Atang Kusdinar dan Zainal Arifin, 1989: 12)
mengemukakan bahwa ciri-ciri belajar adalah sebagai berikut:
1) Proses belajar ialah mengalami, berbuat, mereaksi, dan melampaui.
2) Proses itu berjalan melalui bermacam-macam pengalaman dan mata pelajaran
yang terpusat pada suatu tujuan tertentu.
3) Pengalaman belajar secara maksimum bermakna bagi kehidupan tertentu.
4) Pengalaman belajar bersumber dari kebutuhan dan tujuan peserta didik
sendiri yang mendorong motivasi secara berkesinambungan.
5) Proses belajar dan hasil belajar disyarati oleh hereditas dan lingkungan.
6) Proses belajar dan hasil usaha belajar secara material dipengaruhi oleh
perbedaan-perbedaan individual di kalangan peserta didik.
7) Proses belajar berlangsung secara efektif apabila pengalaman-pengalaman
dan hasil-hasil yang diinginkan disesuaikan dengan kematangan peserta
didik.
8) Proses belajar yang terbaik ialah apabila peserta didik mengetahui status dan
kemajuannya.
9) Proses belajar merupakan kesatuan fungsional dari berbagai prosedur.
10) Hasil-hasil belajar secara fungsional bertalian satu sama lain, tetapi dapat
didiskusikan secara terpisah.
11) Proses belajar berlangsung secara efektif di bawah bimbingan yang
merangsang dan membimbing tanpa tekanan dan paksaan.
12) Hasil-hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertianpengertian, sikap-sikap, apresiasi, abilitas, dan keterampilan.
13) Hasil-hasil belajar diterima oleh peserta didik apabila memberi kepuasan pada
kebutuhannya dan berguna serta bermakna baginya.
14) Hasil-hasil belajar dilengkapi dengan jalan serangkaian pengalaman yang
dapat dipersamakan dan dengan pertimbangan yang baik.
15) Hasil-hasil belajar itu lambat laun dipersatukan menjadi kepribadian dengan
kecepatan yang berbeda-beda.
16) Hasil-hasil belajar yang telah dicapai bersifat kompleks dan dapat berubahubah (adaptable) jadi tidak sederhana dan statis.
Dari beberapa penjelasan-penjeasan di atas, dapat disimpulkan pengertian dari
hasil belajar matematika yaitu suatu proses perubahan tingkah laku seorang
individu dari sebelum mengalami proses belajar dan sesudah mengalami proses
belajar khususnya pada mata pelajaran matematika. Benyamin S. Bloom
(Rosjidan, 2001: 4) membagi tujuan pendidikan atas tiga ranah (dominan) yaitu
22
ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Dalam ranah kognitif hasil belajar
tersusun dalam 6 tingkatan yaitu : 1) pengetahuan, 2) pemahaman, 3) aplikasi, 4)
analisis, 5) sintesis, 6) evaluasi. Ranah afektif meliputi sikap dan nilai-nilai terdiri
atas 1) penerimaan (perhatian), 2) responding, 3) valuing, 4) organisasi, 5)
karakertisasi melalui suatu nilai kompleks nilai. Terakhir ranah psikomotor terdiri
atas 1) persepsi, 2) set, 3) respon terkendali, 4) mekanisme, 5) respon kentara
yang kompleks, 6) adaptasi, dan 7) keaslian. Dan dalam penelitian ini hasil belajar
yang diambil yaitu hasil belajar ranah kognitif.
Menurut Nana Sudjana (1989: 50) tipe hasil belajar ranah kognitif
diketegorikan menjadi 6, yaitu:
1)
2)
3)
4)
5)
6)
Tipe hasil belajar pengetahuan hafalan (knowledge).
Tipe hasil belajar pemahaman (comprehention).
Tipe hasil belajar penerapan (aplikasi).
Tipe hasil belajar analisis.
Tipe hasil belajar sintesis.
Tipe hasil belajar evaluasi.
Rosjidan, dkk (2001: 5) memberikan saran terhadap pengajaran yang
menggunakan tujuan kognitif, yaitu:
1) Ketika merencanakan setiap unit belajar, siapkan daftar istilah dan fakta yang
perlu diketahui siswa.
2) Pusatkan perhatian pada dalil dan rumus yang membantu anak belajar dan
memecahkan masalah.
3) Telaah bab atau unit belajar untuk menentukan kecenderungan dan urutannya
sehingga dapat dijabarkan.
4) Pusatkan perhatian pada teknik mengklasifikasi informasi atau untuk
menghubungkan antar orang, objek dan kejadian dengan menempatkan
menurut kategorinya.
5) Jika anda menyuruh siswa membuat penilaian, berikan kategorinya yang
memungkinkan mereka gunakan untuk menentukan kualitas dan efektivitas
serta nilai.
6) Bila mengajar siswa yang lebih tua, pusatkan perhatian pada prinsip, hukum
,teori, dan bagaimana mereka membuat pemahaman atas berbagai kejadian.
23
7) Buat usaha sistematik sebagai cara mendorong siswa menterjemahkan,
menginterpretasi, menganalisis, mensintesis, ekstrapolasi, dan mengevaluasi.
Menurut Wiji Suwarno (2009: 108) “bentuk soal yang digunakan untuk mengukur
hasil belajar pada ranah kognitif yaitu dengan tes lisan, tes tertulis, dan tes
perbuatan.” Penggunaan bentuk soal yang akan digunakan oleh guru perlu
disesuaikan juga dengan materi yang telah disampaikan. Penggunaan bentuk soal
yang kurang tepat akan berpengaruh terhadap hasil belajar yang akan diperoleh
siswa.
b. Pentingnya Penilaian Hasil Belajar
Menurut Suharsimi (S. Eko Putro Widoyoko, 2010: 36) guru maupun pendidik
lainnya perlu mengadakan penilaian terhadap hasil belajar siswa karena dalam
dunia pendidikan, khususnya dunia persekolahan penilaian hasil belajar
mempunyai makna yang penting, baik bagi siswa, guru maupun sekolah. Ada pun
makna penilaian bagi ketiga pihak tersebut adalah:
1) Makna Bagi Siswa
Dengan diadakannya penilaian hasil belajar, maka siswa dapat
mengetahui sejauh mana telah berhasil mengikuti pelajaran yang disajikan
oleh guru. Hasil yang diperoleh siswa dari penilaian hasil belajar ini ada dua
kemungkinan:
a) Memuaskan
Jika siswa memperoleh hasil yang memuaskan dan hasil itu
menyenangkan, tentu kepuasan itu ingin diperolehnya lagi pada
kesempatan lain waktu. Akibatnya, siswa akan mempunyai motivasi yang
cukup besar untuk belajar lebih giat, agar lain kali mendapat hasil yang
lebih memuaskan. Keadaan sebaliknya dapat juga terjadi, yakni siswa
sudah merasa puas dengan hasil yang diperoleh dan usahanya menjadi
kurang gigih untuk lain kali.
b) Tidak Memuaskan
Jika siswa tidak puas dengan nilai yang diperoleh, ia akan berusaha
agar lain kali keadaan itu tidak terulang lagi. Maka ia selalu belajar giat.
24
Namun demikian, dapat juga sebaliknya. Bagi siswa yang lemah
kemauannya, akan menjadi putus asa dengan hasil yang kurang
memuaskan yang telah diterimanya.
2) Makna Bagi Guru
a)
Berdasarkan hasil penilaian yang diperoleh, guru akan dapat
mengetahui siswa-siswa mana yang sudah berhak melanjutkan
pelajarannya karena sudah mencapai kriteria ketuntasan minimal (KKM)
kompetensi yang diharapkan, maupun mengetahui siswa-siswa yang
belum berhasil mencapai KKM kompetensi yang diharapkan. Dengan
petunjuk ini guru dapat lebih memusatkan perhatiannya kepada siswasiswa yang belum berhasil mencapai KKM kompetensi yang diharapkan.
b)
Berdasarkan hasil penilaian yang diperoleh, guru akan dapat
mengetahui apakah pengalaman belajar (materi pelajaran) yang disajikan
sudah tepat bagi siswa sehingga untuk kegiatan pembelajaran di waktu
yang akan datang tidak perlu diadakan perubahan.
c)
Berdasarkan hasil penilaian yang diperoleh, guru akan dapat
mengetahui apakah strategi pembelajaran yang digunakan sudah tepat
atau belum. Jika sebagian besar siswa memperoleh hasil penilaian yang
kurang baik maupun jelek pada penilaian yang diadakan, mungkin hal ini
disebabkan oleh strategi atau metode pembelajaran yang kurang tepat.
Apabila demikian halnya, maka guru harus introspeksi diri dan mencoba
mencari strategi lain dalam kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan.
3) Makna Bagi Sekolah
a)
Apabila guru-guru mengadakan penilaian dan diketahui bagaimana
hasil belajar siswa-siswanya, maka akan dapat diketahui apakah kondisi
belajar maupun kultur akademik yang diciptakan oleh sekolah sudah
sesuai dengan harapan atau belum. Hasil belajar siswa merupakan cermin
kualitas suatu sekolah.
b)
Informasi hasil penilaian yang diperoleh dari tahun ke tahun dapat
digunakan sebagai pedoman bagi sekolah untuk mengetahui apakah yang
dilakukan oleh sekolah sudah memenuhi standar pendidikan sebagaimana
dituntut Standar Nasional Pendidikan (SNP) atau belum. Pemenuhan
berbagai standar akan terlihat dari bagusnya hasil penilaian belajar siswa.
c)
Informasi hasil penilaian yang diperoleh dapat dijadikan sebagai
pertimbangan bagi sekolah untuk menyusun berbagai program
pendidikan di sekolah untuk masa-masa yang akan datang.
Penilaian hasil belajar memang penting untuk dilakukan oleh guru. Karena hal
itu akan membawa hal yang positif bagi siswa, guru, dan sekolah. Pentingnya
penilaian hasil belajar bagi siswa yaitu dapat digunakan untuk mengetahui
kemajuan dan hasil belajar dari peserta didik, dengan memberikan penilaian hasil
25
belajar dapat diketahui sejauh mana perkembangan peserta didik dalam mengikuti
proses pembelajaran. Selain itu penilaian hasil belajar juga dapat mendiagnosa
kesulitan belajar dari peserta didik. Dan hal itu dapat dijadikan patokan dari guru
untuk melakukan suatu perbaikan.
Pentingnya penilaian hasil belajar bagi guru yaitu dapat dijadikan sebagai
dasar apakah proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru sudah berhasil atau
belum. Apabila belum, maka guru harus mengubah strategi pembelajaran yang
dilakukan, hal itu dilakukan tentu bertujuan untuk meningkatkan kemampuan
peserta didik. Pentingnya penilaian hasil belajar bagi sekolah yaitu hasil belajar
yang diperoleh siswa bisa dijadikan acuan apakah pembelajaran sudah terlaksana
dengan baik atau belum. Apabila belum, maka perlu dilakukan suatu inovasi lain
untuk melakukan perbaikan hasil belajar yang diperoleh siswa.
3.
Tinjauan tentang Tes
a.
Pengertian Tes
Menurut S. Eko Putro Widoyoko (2009: 45) “tes merupakan salah satu alat
untuk melakukan pengukuran, yaitu alat untuk mengumpulkan informasi
karakteristik suatu objek.” Dalam pembelajaran objek ini bisa berupa kecakapan
peserta didik, minat, motivasi, dan sebagainya. Tes merupakan bagian tersempit
dari penilaian. Sedangkan menurut Djemari (S. Eko Putro Widoyoko, 2009: 45)
tes merupakan salah satu cara untuk menaksir besarnya kemampuan seseorang
secara tidak langsung, yaitu melalui respon seseorang terhadap stimulus atau
pertanyaan.
26
Menurut Linn dan Gronlund dalam (Cece Rakhmat & Didi Suherdi, 1999: 66)
yakni test is an instrument or systematic procedure for measuring a sample of
behaviour (tes adalah sebuah alat atau prosedur sistematik bagi pengukuran
sebuah sampel perilaku). Lebih jauh Linn dan Gronlund merinci bahwa tes
“answer the questions ‘How well does the individual perform----either in
comparison with others or in comparison with a domain of performance task?”
(tes menjawab pertanyaan ‘Seberapa baikkah seorang siswa melakukan tugas
pelajaran baik dibandingkan dengan siswa lainnya, maupun dibandingkan dengan
tolok ukur pengerjaan sebuah tugas pelajaran”).
Menurut Abd. Rachman Abror (1993: 169) “tes adalah sejumlah soal atau
pertanyaan yang harus dijawab ataupun serangkaian tugas khusus yang harus
dikerjakan oleh testee dalam waktu tertentu. Kemudian hasilnya dinilai yang
diwujudkan dalam bentuk angka atau huruf ataupun kedudukan sekaligus.”
Amir Daien Indrakusuma (1975: 27) mengatakan bahwa “tes adalah suatu alat
atau prosedur yang sistematis dan objektif untuk memperoleh data-data atau
keterangan-keterangan yang diinginkan tentang seseorang, dengan cara yang
boleh dikatakan tepat dan cepat.”
Dari beberapa penjelasan para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa tes
merupakan alat untuk mengukur kemampuan siswa dalam menanggapi stimulus
yang diberikan oleh guru dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan.
27
b. Ciri-Ciri Tes Yang Baik
Tepat tidaknya data yang diperoleh sebuah tes akan sangat tergantung atas
kualitas atau tingkat kebaikan tes yang digunakan. Hanya tes yang baik yang akan
menghasilkan data yang tepat seperti yang dimaksudkan. Menurut Cece Rakhmat
& Didi Suherdi (1999: 67) “tingkat kebaikan suatu tes sekurang-kurangnya dapat
dilihat dari 4 ciri berikut: 1) validitas, 2) reliabilitas, 3) tingkat kesukaran, dan 4)
kepraktisan.”
1) Validitas
Tes yang baik akan meniliki tingkat validitas yang tinggi. Istilah validitas
pada dasarnya menunjukkan tingkat ketepatan dalam mengungkap data yang
semestinya diungkapkan. Tes hasil belajar yang valid akan mengungkap
aspek-aspek hasil belajar secara tepat. Dengan kata lain tes tersebut menguji
apa yang semestinya dites. Untuk menjamin validitas sebuah tes, pembuat tes
perlu membuat kisi-kisi sebagai pedoman penyusunan tes, sehingga soal-soal
yang dibuat tidak menyimpang dari tujuan pengukuran dan representatif
terhadap keseluruhan bahan ajar yang akan diungkap.
2) Reliabilitas
Kalau validitas menunjukkan pada tingkat ketetapan, reliabilitas
menunjukkan tingkat ketetapan, keajegan, atau kemantapan. Suatu tes yang
reliabel akan mampu mengahasilkan data yang relatif ajeg dan konsisten,
sehingga hasilnya dapat dipercaya. Sebagai contoh, umpamakan sebuah
kegiatan pengetesan menghasilkan data sebagai berikut: siswa “A” mendapat
skor 65, siswa “B” 68, siswa “C” 73, siswa “D” 60. Kalau setelah beberapa
28
wakrtu tertentu, tes itu diberikan ulang kepada siswa-siswa yang sama dan
menghasilkan skor-skor yang relatif sama, maka tes tersebut memiliki tingkat
reliabilitas yang tinggi.
3) Tingkat kesulitan
Suatu tes yang baik akan memiliki tingkat kesukaran yang seimbang
dalam kaitan ini dapat dilihat dari dua sisi. Pertama berkaitan dengan proporsi
penyebaran soal yang sulit, sedang, mudah. Kedua, berkaitan dengan
kemampuan siswa yang dimaksud oleh tes tersebut. Seorang guru bisa keliru
mengambil keputusan, karena soal yang diberikan terlalu sulit atau terlalu
mudah. Di sinilah perlunya seorang guru menimbang tingkat kesukaran soal
yang digunakan baik secara rasional maupun secara empirik. Mengenai
proporsi penyebaran soal, memang tidak ada kriteria yang pasti. Namun,
lazimnya soal-soal yang memiliki tingkat kesukaran sedang lebih banyak
daripada yang sulit atau yang mudah. Sebagai contoh, sebuah tes sebaiknya
memiliki proporsi penyebaran sebagai berikut: 25% sulit, 50% sedang, dan
25% mudah.
4) Kepraktisan.
Kepraktisan juga merupakan salah satu ciri yang perlu dipertimbangkan
dalam menentukan tingkat kebaikan tes. Pengertian kepraktisan menyangkut
segi kemudahan dalam mengadministrasikan tes. Semakin mudah sebuah tes
diadministrasikan, semakin baik tes itu dilihat dari segi ini.
Menurut peneliti ciri-ciri tes yang baik yaitu validitas, reliabilitas, tingkat
kesulitan yang berbeda, dan kepraktisan. Selain ciri-ciri yang sudah dijelaskan di
29
atas, tes yang baik juga harus mempunyai ciri objektivitas. Yang dimaksud
dengan objektivitas di sini yaitu tidak ada unsur pribadi yang mempengaruhinya.
Jadi, dalam pelaksanaa tes tidak boleh terdapat faktor subjektif yang
mempengaruhi, terutama dalam proses penyekoran. Selain itu tes yang baik juga
harus memenuhi syarat ekonomis. Yang dimaksud dengan ekonomis di sini yaitu
pelaksanaan tes tersebut tidak membutuhkan biaya yang mahal, tenaga yang
banyak, dan waktu yang lama.
c.
Prinsip-Prinsip Dasar Tes Hasil Belajar
Ada beberapa prinsip dasar yang perlu diperhatikan di dalam menyusun tes
hasil belajar agar tes tersebut benar-benar dapat mengukur tujuan pelajaran yang
telah diajarkan, atau mengukur kemampuan dan atau keterampilan siswa yang
diharapkan setelah siswa menyelesaikan suatu unit pengajaran tertentu. Menurut
Ngalim Purwanto (1992: 23) prinsip dasar tes hasil belajar ada 6, yaitu:
1) Tes tersebut hendaknya dapat mengukur secara jelas hasil belajar (learning
outcomes) yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan instruksional.
2) Mengukur sampel yang representatif dari hasil belajar dan bahan pelajaran
yang telah diajarkan.
3) Mencakup bermacam-macam bentuk soal yang benar-benar cocok untuk
mengukur hasil belajar yang diinginkan sesuai dengan tujuan.
4) Didesain sesuai dengan kegunaannya untuk memperoleh hasil yang
diinginkan.
5) Dibuat seandal (relible) mungkin sehingga mudah diinterpretasikan
dengan baik.
6) Digunakan untuk memperbaiki cara belajar siswa dan cara mengajar guru.
30
d. Prosedur Penyusunan Tes Hasil Belajar
Menurut Cece Rakhmat & Didi Suherdi (1999: 76) secara garis besar,
prosedur penyusunan tes hasil belajar menempuh langkah-langkah sebagai
berikut:
1) Mengidentifikasi tujuan-tujuan pembelajaran dan lingkup bahan ajar yang
semestinya diungkap
2) Menyusun kisi-kisi
3) Membuat/menulis soal sekaligus dengan kunci jawaban
4) Mengadakan pemerikasaan (judgemenet) terhadap setiap butir soal secara
rasional
5) Mengorganisasikan tes menurut tipe-tipe soal yang dibuat
6) Memahami petunjuk pengerjaan soal
7) Mengadakan uji coba (try out)
8) Merevisi soal
9) Mengorganisasikan kembali soal dalam bentuk final
10) Memperbanyak soal
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis tes tertulis. Bentuk tes yang
digunakan oleh peneliti yaitu menggunakan bentuk tes pilihan ganda (multiple
choise) dan bentuk tes jawaban singkat.
4.
Tinjauan tentang Tes Pilihan Ganda
S. Eko Putro Widoyoko (2010: 59) “tes pilihan ganda adalah tes di mana
setiap butir soalnya memiliki jumlah alternatif jawaban lebih dari satu.” Pada
31
umumnya jumlah alternatif jawaban berkisar antara 2 (dua) atau 5 (lima). Tentu
saja jumlah alternatif jawaban tersebut tidak boleh terlalu banyak. Bila alternatif
jawaban lebih dari lima maka akan sangat membingungkan peserta tes, dan juga
akan sangat menyulitkan penyusunan butir soal. Tipe tes ini dalam bahasa inggris
dikenal dengan nama multiple choise item ( butir soal pilihan majemuk atau
ganda). Tipe tes ini adalah yang paling populer dan paling banyak digunakan
dalam kelompok tes objektif karena banyak sekali materi yang dapat dicakup.
Wiji Suwarno (2009: 108) mendefinisikan “tes pilihan ganda yaitu tes yang
memiliki jawaban terbatas dan biasanya memiliki jawaban terbatas. Tes objektif
dapat mencakup banyak materi, penskorannya objektif dan dapat dikoreksi oleh
komputer maupun orang lain.”
Setiap tes pilihan ganda terdiri dari dua bagian, yaitu: pernyataan atau disebut
juga stem, dan alternatif pilihan jawaban atau disebut juga option. Stem mungkin
dalam bentuk pernyataan atau dapat juga dalam bentuk pertanyaan. Alternatif
jawaban yang bukan kunci dinamakan pengecoh atau distractors.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tes pilihan ganda yaitu suatu
soal yang terdiri dari sebuah stem (pernyataan atau pertanyaan ) dan option
(pilihan jawaban). Jadi dalam soal pilihan ganda sudah disediakan alternatif
jawaban, beberapa alternatif jawaban yang bukan kunci jawaban merupakan
pengecoh.
32
a.
Karakteristik Tes Pilihan Ganda
Berbeda dengan tes uraian, tugas-tugas dan persoalan-persoalan dalam tes
pilihan ganda sudah distruktur, sehingga jawaban terhadap soal-soal tersebut
sudah dapat ditentukan secara pasti. Dalam tes pilihan ganda, siswa tidak
mempunyai kesempatan untuk mengorganisasikan jawabannya sendiri, karena
alternatif-alternatif jawaban sudah disediakan, dan siswa tinggal memilih jawaban
mana yang paling tepat. Penguasaan bahan ajar yang diukur dengan tes pilihan
ganda pada umumnya lebih terbatas kepada hal-hal yang bersifat faktual (dangkal)
bila dibandingkan dengan tes uraian. Namun tes ini lebih cenderung dapat
mengungkap bahan ajar secara luas, karena waktu yang dibutuhkan untuk
mengerjakan setiap soal relatif singkat. Proses penyekoran dan pemeriksaan
hasilnya juga lebih mudah, sehingga dalam waktu yang relatif singkat
diselesaikan pemeriksaan terhadap pekerjaan siswa dalam jumlah relatif banyak.
b. Pedoman Penyusunan Tes Pilihan Ganda
Menurut S. Eko Putro Widoyoko (2010: 71) pedoman penyusunan tes pilihan
ganda adalah sebagai berikut:
1) Inti permasalahan harus dicantumkan dalam rumusan pokok soal, sehingga
dengan membaca pokok soal siswa sudah dapat menentukan jawaban
sebelum dilanjutkan membaca pilihan jawaban.
2) Hindari pengulangan kata-kata yang sama dalam pilihan.
3) Hindari rumusan kata yang berlebihan.
33
4) Kalau pokok soal merupakan pernyataan yang belum lengkap, maka kata atau
kata-kata yang melengkapi harus diletakkan pada ujung pernyataan, bukan di
tengah-tengah kalimat.
5) Susunan alternatif jawaban dibuat teratur dan sederhana.
6) Semua pilihan jawaban harus homogen dan dimungkinkan sebagai jawaban
yang benar.
7) Hindari jawaban yang benar selalu ditulis lebih panjang dari jawaban yang
salah.
8) Hindari adanya petunjuk/indikator pada jawaban yang benar.
9) Gunakan tiga atau lebih alternatif pilihan jawaban.
10) Pokok soal diusahakan tidak menggunakan ungkapan atau kata-kata yang
bermakna tidak pasti, misalnya: kebanyakan, sering kali, kadang-kadang, dan
sejenisnya.
11) Pokok soal sedapat mungkin dalam pernyataan atau pertanyaan positif.
c.
Kelebihan Tes Pilihan Ganda
Menurut S. Eko Putro Widoyoko (2010: 68) kelebihan dari tes pilihan ganda
yaitu:
1) Butir soal tes pilihan ganda dapat digunakan untuk mengukur segala level
tujuan pembelajaran.
2) Jumlah butir soal yang relatif banyak maka penarikan sampel pokok bahasan
yang akan diujikan dapat lebih luas.
3) Penskoran hasil tes dapat dilakukan secara objektif.
34
4) Tipe butir soal pilihan ganda disusun sedemikian rupa sehingga menuntut
kemampuan peserta tes untuk membedakan berbagai tingkat kebenaran
sekaligus.
5) Jumlah pilihan yang disediakan lebih dari dua.Tipe butir soal pilihan ganda
memungkinkan dilakukan analisis butir soal secara baik.
6) Tingkat kesukaran butir soal dapat diatur, dengan hanya mengubah tingkat
homogenitas alternatif jawaban.
7) Informasi yang diberikan lebih kaya.
Sedangkan menurut Cece Rakhmat & Didi Suherdi (1999: 90) kelebihan dari
tes pilihan ganda yaitu:
1) Waktu yang dibutuhkan untuk mengerjakan soal objektif lebih singkat.
2) Panjang-pendeknya suatu tes (banyak-sedikitnya jumlah butir soal) bisa
berpengaruh terhadap kadar reliabilitas.
3) Proses penyekoran dapat dilakukan secara mudah.
4) Proses penilaian dapat dilakukan secara objektif.
d. Kekurangan Tes Pilihan Ganda
Menurut S. Eko Putro Widoyoko (2010: 70) kekurangan dari tes pilihan ganda
yaitu:
1) Relatif lebih sulit dalam penyusunan butir soal.
35
2) Ada kecenderungan bahwa guru menyusun butir soal tipe ini dengan hanya
menguji atau mengukur aspek ingatan, atau aspek yang paling rendah dalam
ranah kognitif.
3) Adanya pengaruh kebiasaan peserta tes terhadap tes bentuk pilihan ganda
(testwise) terhadap hasil tes peserta.
Menurut Cece Rakhmat & Didi Suherdi (1999: 91) kekurangan dari tes pilihan
ganda yaitu:
1) Terdapat kemungkinan untuk menebak jawaban dengan tepat, kecuali dalam
tes bentuk jawaban singkat/isian.
2) Tidak mengetahui jalan pikiran testi dalam menjawab suatu persoalan.
3)
Membatasi kreativitas siswa dalam menyusun jawaban sendiri.
4) Bahan ajar yang diungkap dengan tes objektif pada umumnya lebih terbatas
pada hal-hal yang faktual.
5.
Tinjauan tentang Tes Jawaban Singkat
Menurut S. Hamid Hasan & Asmawi Zainul (1992: 44) “tes bentuk jawaban
singkat (short answer) adalah butir soal berbentuk pertanyaan atau pernyataan
yang dapat dijawab dengan satu kata, satu frase, satu angka atau satu formula.”
Sedangkan menurut Budi Purnama (2011) “soal jawaban singkat adalah soal yang
menuntut peserta tes untuk memberikan jawaban singkat berupa kata, prase,
nama, tempat, nama tokoh, lambang, atau kalimat yang sudah pasti.” Butir soal
bentuk jawaban singkat adalah salah satu bentuk tes yang paling mudah
36
dikonstruksi. Hal ini disebabkan karena butir soal ini hanya mengukur hasil
belajar yang sederhana, yaitu yang bersifat ingatan.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tes jawaban singkat adalah
bentuk soal pertanyaan atau pernyataan yang dapat dijawab dengan satu kata, satu
angka, satu frase, maupun satu formula.
a.
Karakteristik Tes Jawaban Singkat
Tes jawaban singkat merupakan suatu tes yang berbentuk pertanyaan atau
pernyataan yang jawabannya satu angka, satu frase, satu kata, maupun satu
formula. Pada tes jawaban singkat rumusan pertanyaan atau pernyataan menuntut
sehimpunan jawaban dengan pengertian/konsep tertentu, sehingga penskorannya
dapat dilakukan secara objektif. Bentuk tes jawaban singkat dapat digunakan
untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah untuk bidang Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Bentuk tes ini mengharuskan siswa untuk
menuliskan jawabannya, bukan memilih alternatif jawaban yang telah disediakan.
Dengan demikian bentuk tes jawaban singkat dapat meminimalkan kemungkinan
siswa dalam menebak jawaban.
b. Pedoman Penyusunan Tes Jawaban Singkat
Menurut Cece Rakhmat & Didi Suherdi (1999: 105) untuk menghasilkan butir
soal tes jawaban singkat yang baik, bagi penyusun tes diharapkan memperhatikan
hal-hal berikut:
37
1) Jawaban yang diminta harus jelas dan pasti, hindari pernyataan yang tidak
terbatas.
2) Kata-kata yang dihilangkan (jawaban yang dituntut) hendaknya merupakan
sesuatu yang berarti atau penting.
3) Hindari penghilangan kata-kata yang terlalu banyak, sehingga persoalan tidak
mengandung makna yang jelas.
4) Jika jawaban yang dituntut lebih dari satu, sebutkanlah secara tegas.
5) Tempat jawaban yang disediakan seimbang dengan panjangnya jawaban yang
dituntut.
c.
Kelebihan Tes Jawaban Singkat
Beberapa kelebihan dari tes jawaban singkat, diantaranya yaitu:
1)
Mudah dalam penyusunannya, terutama untuk mengukur ingatan atau
pengetahuan.
2) Mengurangi kemungkinan adanya siswa yang menebak jawaban soal.
3) Dapat digunakan untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah dalam
bidang Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).
4) Menyusun soalnya relatif mudah.
5) Menuntut siswa untuk dapat menjawab dengan singkat dan tepat.
6) Hasil penilaiannya cukup objektif.
38
d. Kekurangan Tes Jawaban Singkat
Beberapa kekurangan tes jawaban singkat, diantaranya yaitu:
1)
Sukar untuk mengukur proses mental yang tinggi.
2)
Sulit menyusun soal yang hanya satu jawaban, lebih-lebih untuk proses
mental yang tinggi.
3)
Cenderung hanya mengukur hafalan.
4)
Sukar dalam hal penskoran, apabila penulis soal tidak menyajikan kunci
jawaban yang tepat .
5)
Adanya kemungkinan kesalahan penulisan jawaban.
6)
Memerlukan waktu yang agak lama untuk menilainya sekalipun tidak selama
bentuk uraian.
7)
Menyulitkan pemeriksaan apabila jawaban siswa membingungkan pemeriksa.
6.
Pengaruh Tes Pilihan Ganda dan Tes Jawaban Singkat terhadap Hasil
Belajar Matematika
Tes hasil belajar matematika adalah tes yang diberikan untuk mengukur
tingkat pemahaman dan pengetahuan siswa terhadap materi matematika setelah
mengikuti suatu proses pembelajaran. Ada beberapa bentuk tes yang biasanya
digunakan untuk melakukan suatu evaluasi pembelajaran yaitu: tes pilihan ganda,
tes jawaban singkat, tes menjodohkan, tes benar salah, dan tes uraian. Pada
penelitian ini, peneliti menggunakan tes pilihan ganda dan tes jawaban singkat
untuk mengetahui hasil belajar manakah yang lebih tinggi apabila digunakan pada
materi mengubah pecahan biasa ke bentuk desimal dan sebaliknya.
39
Menurut Jahja Umar, dkk (1999: 29) terdapat perbandingan antara tes jawaban
singkat dengan tes pilihan ganda. Perbandingan tersebut bisa dilihat dari aspek
penulisan soal, jawaban dari peserta didik, kecenderungan menebak jawaban, dan
penskoran. Penulisan soal dalam tes pilihan ganda relatif sukar, karena guru harus
menyiapkan alternatif jawaban. Sedangkan pada tes jawaban singkat guru tidak
perlu menyiapkan alternatif jawaban. Dalam tes jawaban singkat peserta didik
dituntut
untuk
menjawab
soal
tersebut
berdasarkan
pengetahuan
dan
pemahamannya sendiri, karena pada tes jawaban singkat guru tidak menyediakan
alternatif jawaban. Pada tes pilihan ganda, siswa diperkenankan untuk memilih
jawaban dari berbagai alternatif yang tersedia. Pada tes jawaban singkat, siswa
tidak diberi kesempatan untuk menebak jawaban, sedangkan pada tes pilihan
ganda memungkinkan siswa untuk melakukan spekulasi atau menebak jawaban.
Penskoran pada tes pilihan ganda mudah, cepat, dan objektif. Sedangkan
penskoran pada tes jawaban singkat memang sedikit agak rumit, apabila guru
tidak mempunyai kunci jawaban. Penskoran pada tes jawaban singkat bersifat
objektif.
Menurut Baso Intang Sappaile (2008: 12) pemberian tes jawaban singkat
dapat memberikan kesempatan ke peserta didik untuk membangun sendiri
pengetahuan dan pemahamannya dalam menjawab soal, sedangkan pemberian tes
pilihan ganda dapat memungkinkan siswa untuk melakukan spekulasi atau
menebak jawaban. Pemberian tes jawaban singkat dapat memotivasi siswa untuk
belajar lebih giat lagi, siswa tidak hanya belajar sekilas. Sehingga hasil belajar
yang didapat juga akan optimal. Selain itu, pemberian tes jawaban singkat dapat
40
memberikan kesempatan ke peserta didik untuk memperlihatkan kemampuannya
dalam mengungkapkan pikiran dalam menjawab soal. Sehingga melalui
pemberian tes jawaban singkat peserta didik memperoleh pengalaman untuk
mengembangkan pengetahuannya. Dengan pengalaman tersebut peserta didik
memiliki konsep-konsep matematika yang memadai dan memungkinkan hasil
belajar yang diperoleh siswa pun akan tinggi.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa tes pilihan
ganda dapat memungkinkan siswa berspekulasi atau menebak dalam menjawab
pertanyaan, akan tetapi alternatif jawaban itu dapat mengecoh siswa dalam
memilih jawaban yang benar. Selain itu, tes pilihan ganda juga menyebabkan
kurangnya motivasi siswa untuk belajar lebih giat lagi. Sedangkan pada tes
jawaban singkat siswa harus berusaha menjawab sendiri pertanyaan yang telah
tersedia, karena pada tes jawaban singkat tidak disediakan alternatif jawaban.
Pada tes jawaban singkat siswa tidak diberi kesempatan untuk berspekulasi dalam
menjawab pertanyaan, karena dalam tes bentuk ini tidak disediakan alternatif
jawaban seperti pada tes pilihan ganda. Tes jawaban singkat juga dapat
meningkatkan motivasi belajar siswa untuk belajar lebih giat lagi. Jadi dari kedua
bentuk tes tersebut terdapat perbedaan dalam bentuk soal dan cara menjawabnya,
sehingga dapat mempengaruhi hasil belajar matematika siswa kelas V SD.
Berdasarkan kajian pustaka yang telah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan
bahwa hasil belajar yang menggunakan tes jawaban singkat lebih tinggi
dibandingkan dengan hasil belajar yang menggunakan tes pilihan ganda.
41
B. Kajian Penelitian yang Relevan
Hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah hasil penelitian dari
Haryanto (2011: 53) dalam penelitian yang berjudul “Perbedaan Hasil Belajar IPA
Kelas V SD dengan Menggunakan Tes Pilihan Ganda dan Tes Isian di SD Negeri
2 Tribuana dan SD Negeri 3 Bondolharjo.” Temuan penelitian ini menunjukkan
ada perbedaan antara hasil belajar IPA kelas V SD siswa yang diberi tes pilihan
ganda dengan hasil belajar IPA kelas V SD siswa yang diberi tes isian. Rerata
hasil belajar yang menggunakan tes isian sebesar 77,33 dan rerata hasil belajar
yang menggunakan tes pilihan ganda sebesar 71,85. Dengan melihat hasil
perolehan hasil rerata yang diperoleh dari kedua bentuk tes tersebut, rerata hasil
belajar yang menggunakan tes isian lebih tinggi dibandingkan dengan rerata hasil
belajar yang menggunakan tes pilihan ganda.
C. Kerangka Berpikir
Tujuan dari pendidikan Matematika di jenjang pendidikan dasar yaitu
mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan di dalam
kehidupan dan di dunia yang sedang berkembang, melalui latihan bertindak atas
dasar logis, rasional, kritis, cermat, jujur, dan efektif. Selain itu pendidikan
matematika di jenjang pendidikan dasar juga bertujuan untuk mempersiapkan
siswa agar mampu menggunakan matematika dan pola pikir matematika dalam
kehidupan sehari-hari, dan dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan.
Dalam pembelajaran matematika yang terjadi di kelas tidak dapat terlepas dari
bagian-bagian yang terkait untuk menunjang pembelajaran tersebut. Hal-hal
42
seperti siswa, guru,
proses belajar mengajar yang terjadi di kelas, model
pembelajaran yang digunakan, materi pelajaran dan hasil yang diharapkan. Dalam
kegiatan belajar mengajar berlangsung proses pembelajaran. Dalam melakukan
suatu proses pembelajaran tentunya guru bermaksud untuk melihat hasil dari apa
yang sudah diajarkan kepada peserta didiknya, apakah peserta didiknya sudah bisa
memahami materi yang diajarkan atau belum. Setelah melakukan suatu proses
pembelajaran, guru bisa memberikan evaluasi. Hal ini bertujuan untuk
mengetahui apakah peserta didiknya sudah memahami materi yang diajarkan atau
belum.
Pemberian evaluasi dan kegiatan mengajar merupakan satu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan. Dalam memberikan evaluasi bisa dilakukan dengan teknik
tes dan teknik non tes. Pemberian evaluasi dengan teknik tes bisa dilakukan
dengan memberikan soal. Betuk tes itu sendiri ada banyak macamnya. Beberapa
diantaranya yaitu bentuk tes pilihan ganda dan bentuk tes jawaban singkat.
Masing-masing bentuk tes mempunyai kelebihan dan kekurangannya masingmasing. Penerapan teknik evaluasi yang kurang tepat akan berpengaruh terhadap
hasil belajar yang akan di peroleh oleh peserta didik.
Tes pilihan ganda dan tes jawaban singkat merupakan beberapa contoh dari
teknik penilaian dengan menggunakan tes tertulis. Tes pilihan ganda adalah
bentuk tes yang mempunyai altenatif jawaban yang sudah pasti, sedangkan pada
tes jawaban singkat merupakan bentuk soal yang menuntut siswa untuk
mengembangkan pikirannya sendiri ke dalam jawaban yang dikehendaki dari
pertanyaan tersebut. Sebaiknya guru mempunyai pedoman penyekoran dalam
43
memberikan penilaian untuk tes yang menggunakan bentuk jawaban singkat, hal
ini dilakukan agar tidak membingungkan dalm proses penyekoran.
Jadi dari
kedua bentuk soal tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangannya masingmasing. Meskipun demikian, pada tes pilihan ganda memungkinkan siswa untuk
melakukan spekulasi atau menebak jawaban. Sedangkan dalam tes jawaban
singkat siswa harus menjawab sendiri pertanyaan yang tersedia dengan jawaban
yang cepat dan tepat, karena dalam tes jawaban singkat tidak disedikan alternatif
jawaban. Selain itu, tes jawaban singkat dapat lebih memotivasi siswa untuk
belajar lebih giat lagi. Penjelasan di atas sebagai dasar untuk mengetahui
perbandingan hasil belajar matematika kelas V SD yang menggunakan tes pilihan
ganda dan yang menggunakan tes jawaban singkat.
D. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka peneliti mengajukan hipotesis
penelitian yaitu “hasil belajar matematika siswa kelas V SD yang menggunakan
tes jawaban singkat lebih tinggi dibandingkan dengan hasil belajar yang
menggunakan tes pilihan ganda.”
44
Download