ANALISIS DAYA SAING EKSPOR TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL INDONESIA DIBANDINGKAN DENGAN CINA DI PASAR AMERIKA SERIKAT TAHUN 2001-2008 (PENDEKATAN RCA DAN CMS) SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Menyusun Skripsi Guna Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Oleh : RYAN RENJANA F1107520 FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sektor industri diyakini sebagai sektor yang dapat memimpin sektor-sektor lain dalam sebuah perekonomian menuju kemajuan. Produk-produk industri dinilai selalu memiliki nilai tukar yang tinggi atau lebih menguntungkan serta menciptakan nilai tambah yang lebih besar dibandingkan dengan produk-produk sektor lain (Dumairy, 1997:227). Hingga saat ini, sektor industri telah memberikan kontribusi terbesar terhadap pembentukan ekspor dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Ini memberikan arti bahwa kontribusi pertumbuhan nasional dari sektor industri masih sangat besar. Dengan demikian, apabila kinerja pada sektor industi ini mengalami gangguan, maka secara tidak langsung perekonomian nasional juga ikut terganggu. Seperti yang sudah terangkum dalam tabel 1.1, jumlah ekspor yang paling besar selama periode tahun 2001 hingga tahun 2008 adalah pada sektor industri. Tabel 1.1 Nilai Ekspor Non Migas Indonesia (menurut sektor) tahun 20012008 (US$ juta) NO SEKTOR 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 I. SEKTOR PERTANIAN 2.438,5 2.568,3 2.526,1 2.506,6 2.889,4 3.374,1 3.657,8 4.584,6 II. SEKTOR PERTAMBAN GAN 3.569,6 3.743,7 3.995,6 4.761,4 7.946,8 11.191,5 11.884,9 14.906, 2 III. SEKTOR INDUSTRI 37.671, 1 38.729 ,6 40.879, 9 48.677, 3 55.584, 4 65.014, 7 76.460, 8 88.393 ,5 IV. KOMODITI SEKTOR LAINNYA 5,4 4,5 5,2 4,4 7,8 8,9 8,8 9,9 Sumber:Situs Resmi Departemen Perdagangan Indonesia (www.depdag.go.id) (diolah penulis) 2 Industri yang selama ini cukup menjadi andalan bagi sejumlah negara, termasuk Indonesia adalah industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT). Sebagai salah satu negara produsen dan eksportir produk-produk tekstil, Indonesia memandang bahwa perdagangan dunia merupakan peluang yang cukup terbuka bagi kegiatan ekspor produk-produk tekstil. Di sisi lain hal ini dipandang sebagai tantangan untuk meningkatkan daya saing agar dapat menghasilkan produkproduk tekstil yang semakin kompetitif di pasar internasional. Peningkatan daya saing produk merupakan tantangan terbesar bagi industri TPT Indoneisa, terutama untuk menghadapi era perdagangan bebas. Mengingat iklim persaingan yang semakin ketat, ditambah lagi dengan sudah tidak diberlakukannya pasar kuota menyebabkan industri TPT Indonesia mendapat ancaman yang serius dari negara-negara yang juga merupakan produsen tekstil seperti Cina. Indonesia yang selama ini merupakan salah satu negara pengekspor produk tekstil terbesar ke Amerika Serikat mulai mendapat tantangan dari pesaing negara-negara yang juga merupakan produsen tekstil sepert Cina, India dan Vietnam. Dengan semakin banyaknya TPT Cina yang masuk ke pasar Amerika Serikat tersebut tentunya menjadi tantangan sekaligus ancaman terhadap ekspor TPT Indonesia ke Amerika Serikat. Berdasarkan tabel 1.2, selama periode tahun 2001 sampai dengan tahun tahun 2008, Amerika Serikat merupakan pasar tujuan utama ekspor TPT Indonesia. 3 Tabel 1.2 Distribusi Volume Ekspor TPT Indonesia ke berbagai negara tahun 2001-2008 (US$ juta) Tahun Negara 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Amerika Serikat 2180,60 2003,51 2096,02 2445,90 3021,15 3708,60 3831,86 3861,61 Jerman 376,54 328,82 402,58 459,28 489,87 517,52 532,18 602,47 Jepang 459,98 369,89 424,17 461,42 460,69 482,15 491,37 526,83 Korea 186,99 195,06 173,63 193,68 215,44 229,81 240,11 268,68 Malaysia 163,57 190,13 203,20 187,88 191,39 176,45 219,12 220,78 Uni Emirat Arab 380,94 327,89 350,81 268,88 309,06 275,75 307,22 362,60 Sumber: Situs Resmi Perdagangan Komoditi Internasional (www.comtrade.un.org) (diolah penulis) Dari data perkembangan ekspor TPT Indonesia menunjukkan bahwa pada tahun 2002 ekspor TPT Indonesia secara umum mengalami penurunan. Namun secara umum ekspor TPT Indonesia mulai meningkat kembali dari tahun 2003 hingga tahun 2008. Namun perlu dicatat bahwa Cina diprediksi akan menguasai 22 persen pasar dunia. Sedangkan keseluruhan negara Asia lainnya hanya akan menguasai pasar sebesar 16 persen. Pangsa pasar Indonesia jelas akan lebih kecil lagi. Meskipun demikian, peluang dari sisi permintaan tetap ada. Artinya, dari sisi permintaan sebenarnya industri tekstil dan produk-produk tekstil Indonesia masih memiliki peluang. Secara konseptual, pertumbuhan atau kinerja ekspor tekstil Indonesia akan ditentukan oleh dua fakor, yaitu faktor permintaan dan faktor penawaran. Dari sisi permintaan, pertumbuhan ekspor akan dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi dunia. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi dunia, maka akan semakin tinggi 4 impor dari Indonesia yang artinya semakin tinggi pula ekspor Indonesia. Dari sisi penawaran, kinerja ekspor akan sangat dipengaruhi oleh daya kompetisi yang bisa dicerminkan dari jumlah atau kualitas faktor-faktor produksi, derajat teknologi, dan faktor-faktor lainnya yang memperngaruhi produksi atau supply (Tambunan, 2001:172) Dengan adanya pengaruh pertumbuhan ekspor tekstil Cina yang semakin merambah ke seluruh dunia, maka hal tersebut akan menekan pertumbuhan ekspor tekstil Indonesia. Pertumbuhan ekspor produk tekstil Cina itu terlihat dari semakin banyaknya produk-produk tekstil Cina yang membanjiri pasar Amerika Serikat. Pertumbuhan ekonomi Cina yang tinggi bisa sangat membahayakan bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia. Sebagai pengekspor sumber daya alam, Indonesia bisa menarik banyak keuntungan. Namun, pada saat yang sama, industralisasi akan kian sulit akibat persaingan. Salah satu tindakan nyata yang harus dilakukan oleh industri tekstil Indonesia adalah meningkatkan daya saing. Namun dalam membangun sebuah industri tekstil yang kuat dan memiliki daya saing tinggi, banyak tantangan atau masalah yang harus dihadapi. Permasalahan dari dalam antara lain berkaitan dengan faktor-faktor produksi yang mempengaruhi output. Faktor-faktor produksi mulai dari bahan baku seperti kapas masih harus diimpor dari negara lain, padahal bahan baku tersebut merupakan bahan baku yang paling utama dalam proses produksi TPT. Kemudian masalah mesin-mesin produksi, menurut Sekretaris Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ernovian G. Ismy, mesin-mesin tekstil pada umumnya sudah berusia rata-rata lebih dari 15 tahun. Hal ini menyebabkan produktivitas menurun, 5 sementara konsumsi bahan bakar semakin meningkat. Akibatnya ekspor TPT cenderung menurun (www.bisnis.com). Suku cadang mesin dan bahan penolong lainnya juga masih harus diimpor. Masalah internal lain yang menghambat perkembangan industri TPT antara lain seperti peningkatan biaya akibat dari kenaikan tarif listrik dan BBM, penyelundupan dan proses bea cukai. Semua hal diatas dapat berpengaruh pada daya saing dari output industri tekstil. Permasalahan dari luar yaitu berkaitan dengan penghapusan kuota di pasar utama ekspor yakni Amerika Serikat dan Uni Eropa, per 1 Januari 2005, serta persaingan dengan Cina, India, Vietnam dan Pakistan. Seharusnya penghapusan kuota dapat dijadikan sinyal positif, karena menguntungkan produsen yang dapat bersaing dari segi harga maupun mutu. Penghapusan kuota di AS dan Uni Eropa diperkirakan akan meningkatkan ekspor tekstil dunia. B. Perumusan Masalah Industri tekstil dan produk tekstil merupakan industri salah satu sub sektor industri yang menopang perekonomian Indonesia. Industri ini memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi pertumbuhan nasional. Dari segi penyerapan tenaga kerja industri ini juga menyerap sekitar seperempat dari total tenaga kerja disektor manufaktur (www.textile.web.id). Dalam perkembangannya beberapa tahun terakhir ini, industri tekstil mengalami penurunan volume ekspor yang lebih lambat dibanding negara-negara pesaing utama seperti Cina. Hal ini disebabkan oleh hambatan-hambatan yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu permasalahan eksternal dan internal. Tantangan eksternal adalah penghapusan kouta di pasar utama ekspor yakni AS dan Uni 6 Eropa, pada 1 januari 2005, serta persaingan dengan salah satu negara besar di Asia, yaitu Cina, baik dalam persaingan di pasar internasional maupun di pasar lokal. Tantangan internal berhubungan dengan daya saing, yaitu peningkatan biaya, masalah buruh serta rendahnya investasi yang mengalir ke industri ini. Tabel 1.3 Nilai Ekspor TPT Indonesia dan Cina ke Amerika Serikat tahun 2001-2008 (US$) Tahun Indonesia Cina Nilai ∆% Nilai ∆% 2001 2.180.601.440 _ 6.129.560.829 _ 2002 2.003.511.099 -8.1 7.059.956.366 15.1 2003 2.096.025.880 4.6 9.089.770.238 28.7 2004 2.445.904.373 16.6 10.923.991.708 20.1 2005 3.021.562.254 23.5 18.616.497.632 70.2 2006 3.708.605.740 22.7 21.895.900.153 17.6 2007 3.831.862.828 3.3 24.866.478.085 13.5 2008 3.861.618.323 0.7 25.330.050.874 1.8 Sumber: Situs Resmi Perdagangan Komoditi Internasional (www.comtrade.un.org) (diolah penulis) Dari Tabel 1.3 dapat terlihat bahwa nilai ekspor TPT Cina ke Amerika Serikat selalu jauh diatas nilai ekspor TPT Indonesia ke Amerika Serikat. Selain itu, rata-rata ekspor TPT Cina ke AS mengalami pertumbuhan yang sangat tinggi dan jauh di atas Indonesia, walaupun pertumbuhan ekspor TPT Indonesia ke AS sempat di atas Cina pada tahun 2006, namun setelah itu Indonesia selalu dibawah. Pada tahun 2001 nilai ekspor TPT Indonesia ke AS sebesar US$ 2.180.601.440, kemudian turun menjadi US$ 2.003.511.099 pada tahun 2002 yang menyebabkan pertumbuhan ekspor TPT Indonesia mengalamni efek negatif sebesar 8,1 persen. Kemudian pada tahun 2003, nilai ekspor TPT Indonesia ke AS naik menjadi US$ 2.096.025.880, menyebabkan petumbuhan ekspor TPT Indonesia ke AS naik 7 sebesar 4.6 persen. Sementara Cina nilai ekspornya lebih tinggi yaitu pada tahun 2001 sebesar US$ 6.129.560.829 dan pada tahun 2002 sebesar US$ 7.059.956.366 sehingga menyebabkan pertumbuhan sebesar 15.1 persen pada tahun 2002. Begitu juga pada tahun 2003 yaitu nilai ekspornya sebesar US$ 9.089.770.238 menyebabkan pertumbuhan sebesar 28.7 persen. Kemudian pada tahun 2004 dan tahun 2005 pertumbuhan ekspor TPT Indonesia ke AS masih dibawah Cina, dimana pada tahun 2004 dan 2005 pertumbuhan ekspor TPT Indonesia ke AS mengalami pertumbuhan masingmasing sebesar 16,6 persen dan 23,5 persen. Sementara Cina mengalami pertumbuhan sebesar 20,1 persen pada tahun 2004 kemudian meningkat pada tahun 2005 sebesar 70,2 persen. Pada tahun 2006, nilai ekspor TPT Indonesia ke AS sebesar US$ 3.708.605.740, menyebabkan pertumbuhannya naik sebesar 22.7 persen, sedikit diatas Cina yang mengalami pertumbuhan sebesar 17.6 persen dengan nilai ekspor sebesar US$ 21.895.900.153. Kemudian pada tahun 2007 pertumbuhan ekspor TPT Indonesia ke AS hanya mengalami kenaikan sebesar 3.3 persen dengan nilai ekspor sebesar US$ 3.831.862.828, sedangkan Cina mengalami pertumbuhan sebesar 13.5 persen dengan nilai ekspor sebesar US$ 24.866.478.085. Pada tahun 2008 pertumbuhan ekspor China sebesar 1.8 persen dengan nilai ekspor US$ 25.330.050.874. Sedangkan Indonesia meningkat sebesar 0.7 persen dengan nilai US$ 3.861.618.323. Pertumbuhan total ekspor TPT ke AS yang dialami oleh Cina dari tahun 2001 hingga tahun 2008 adalah sebesar 313,2 persen dengan nilai ekspor sebesar US$ 6.129.560.829 pada tahun 2001 dan sebesar US$ 25.330.050.874 pada tahun 2008. Sedangkan Indonesia hanya 8 mengalami pertumbuhan sebesar 77,0 persen dengan nilai ekspor sebesar US$ 2.180.601.440 pada tahun 2001 dan sebesar US$ 3.861.618.323 pada tahun 2008. Hal diatas menunjukkan bahwa TPT Indonesia harus lebih memiliki daya saing tinggi agar dapat bersaing dengan TPT dari negara pesaing seperti Cina. Berdasarkan pada penjelasan di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana kinerja ekspor industri TPT Indonesia dibandingkan dengan Cina di pasar Amerika Serikat berdasarkan variabel efek pertumbuhan impor, efek komposisi komoditi dan efek daya saing? 2. Bagaimana posisi daya saing industri TPT Indonesia dibandingkan dengan Cina di pasar Amerika Serikat? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui kinerja ekspor TPT Indonesia dibandingkan dengan Cina di pasar Amerika Serikat berdasarkan variabel efek pertumbuhan impor, efek komposisi komoditi dan efek daya saing? 2. Untuk mengetahui posisi daya saing industri TPT Indonesia dibandingkan dengan industri TPT Cina di pasar Amerika Serikat? 9 D. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini ádalah dapat memberikan informasi serta bukti empirik mengenai daya saing TPT Indonesia di pasar tujuan ekspor utama yaitu Amerika Serikat. Manfaat penelitian ini secara lebih khusus ádalah sebagai berikut : 1. Bagi pemerintah sebagai pembuat kebijakan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai daya industri tekstil dan produk tekstil indonesia di salah satu pasar tujuan ekspor yaitu Amerika Serikat, sehingga pemerintah mendapat informasi dan bahan masukan dalam merumuskan berbagai kebijakan yang bersifat kompetitif di masa yang akan datang. 2. Bagi para pelaku pasar, hasil penelitian ini diharapkan menjadi informasi tambahan atas kondisi industri tekstil dan produk tekstil di Indonesia saat ini dan dapat mengetahui langkah-langkah untuk meningkatkan daya saing industri TPT indonesia. 3. Bagi penulis, penelitian ini sebagai sarana pembelajaran dalam memehami industri TPT secara lebih mendalam. Selain itu, penelitian ini juga sebagai proses belajar untuk lebih kritis dalam menganalisis daya saing produk tekstil Indonesia di pasar AS, serta dapat membuka wawasan dan pemahaman untuk mencari jawaban atas perumusan masalah. E. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini membahas mengenai daya saing produk-produk tekstil Indonesia di pasar Amerika Serikat. 10 Berdasarkan buku Correlation with Harmonize System 1998, jenis TPT digolongkan menjadi: serat (fiber), benang (yarn), pakaian jadi (clothing and accessories), textile lembaran (textile) dan produk tekstil lainnya (other textile product). Namun tidak semua jenis tekstil yang akan dibahas disini, melainkan hanya pakaian jadi (clothing and accessories). Pakaian jadi merupakan komoditi yang memberikan kontribusi ekspor terbesar dari semua jenis TPT. 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Pengertian Industri TPT (Tekstil dan Produk Tekstil) Secara umum, tekstil adalah bahan pakaian atau kain. Jika dilihat dari sisi keuntungan, tekstil tidak hanya untuk pakaian, tapi juga dapat digunakan untuk kebutuhan rumah tangga, industri atau kegunaan lainnya (kain kasur, gorden, taplak meja, tas, koper, dan lain-lain). Tekstil berasal dari bahasa latinya itu textiles yang berarti menenun atau kain tenun. Menurut Gunadi dalam Djamrie (2003), tekstil adalah suatu benda yang berasal dari serat atau benang yang dianyam (ditenun) atau dirajut, direnda, dilapis, dikempa, untuk dijadikan bahan pakaian atau untuk keperluan lainnya. Pengklasifikasian TPT dilakukan bergantung pada tujuan penggunaan TPT, yaitu TPT berdasarkan produk (industri) dan TPT berdasarkan perdagangan. 2. Pengertian Daya Saing Ekspor Daya saing ekspor merupakan kemapuan suatu komoditi untuk memasuki pasar luar negeri dan kemampuan untuk dapat bertahan di dalam pasar tersebut, dalam artian jika suatu produk mempunyai daya saing maka produk tersebutlah yang banyak diminati konsumen. Dilihat dari keberadaannya mengenai keunggulan dalam daya saing ekspor, maka keunggulan daya saing ekspor dari suatu komoditi dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu keunggulan 12 alamiah/keunggulan absolut (natural advantage) dan keunggulan yang dikembangkan (acquired advantage). Pada saat ini keunggulan alamiah atau keunggulan absolut yang dimiliki oleh suatu negara untuk salah satu komoditinya tidak secara langsung menyebabkan komoditi tersebut akan menguasai pangsa pasar dunia, ini dikarenakan jumlah produsen tidak hanya satu negara, akan tetapi ada beberapa negara yang sama-sama menghasilkan komoditi tersebut dengan kondisi keunggulan alamiah yang sama. Untuk dapat bersaing di pasaran dunia maka suatu komoditi harus memiliki keunggulan lain selain keunggulan alamiah, yaitu keunggulan kompetitif. Keunggulan kompetitif suatu komoditi adalah suatu keunggulan yang dapat dikembangkan, jadi keunggulan ini harus diciptakan untuk dapat memilikinya (Tambunan, 2001:197) 3. Pengertian Ekspor Ekspor merupakan penjualan barang yang dihasilkan oleh suatu negara ke negara lain. Suatu negara dapat mengekspor barang-barang yang dihasilkannya ke negara-negara lain yang tidak dapat menghasilkan sendiri barang-barang yang dihasilkan oleh negara pengekspor. Dalam perdagangan internasional khususnya ekspor mempunyai peranan penting, yakni sebagai motor penggerak perekonomian nasional. Sebab ekspor dapat menghasilkan devisa, yang selanjutnya dapat digunakan untuk membiayai impor dan pembiayaan pembangunan sektor-sektor di dalam negeri (Lipsey dkk, 1995:106). Pengertian lain dari ekspor dapat diartikan sebagai kegiatan yang menyangkut produksi barang dan jasa yang diproduksi disuatu negara untuk 13 dikonsumsikan di luar batas negara tersebut (Triyaso, 1994:210). Lebih jelas lagi, Deliarnov (1995, 202-203) menambahkan bahwa ekspor merupakan kelebihan produksi dalam negeri yang kemudian kelebihan produksi tersebut dipasarkan di luar negeri. Pengertian ekspor menurut Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 182/MPP/Kep/4/1998 tentang Ketentuan Umum di Bidang Ekspor, menyatakan bahwa ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dan jasa dari daerah kepabeanan suatu negara. Adapaun daerah kepabeanan didefinisikan sebagai wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara diatasnya, serta tempat - tempat tertentu di zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen yang didalamnya berlaku Undang – Undang No.10 tahun 1995 tentang Kepabeanan. 4. Teori Penawaran Ekspor Penawaran suatu komoditi merupakan jumlah komoditi yang ditawarkan oleh produsen kepada konsumen dalam suatu pasar pada tingkat harga dan waktu tertentu. Beberapa faktor yang mempengaruhi penawaran suatu komoditi adalah harga komoditi yang bersangkutan, harga faktor produksi, tingkat teknologi, pajak dan subsidi (Lipsey dkk, 1995). Ekspor suatu komoditi selain untuk memenuhi permintaan dalam negeri, penawaran suatu komoditas juga dimaksudkan untuk memenuhi permintaan masyarakat luar negeri. Penawaran ekspor suatu komoditi dari suatu negara merupakan selisih antara penawaran domestik dengan permintaan domestik. Di lain pihak, negara lain membutuhkan komoditi tersebut sebagai akibat dari 14 kelebihan permintaan di negara tersebut. Berdasarkan uraian tersebut maka teori penawaran ekspor bertujuan untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran ekspor suatu negara. Secara sistematis dapat dirumuskan sebagai berikut : SXt = Qt – Ct + St-1 …………………………………….... (2.1) Dimana : SXt = Jumlah ekspor komoditi periode waktu t Qt = Jumlah produksi domestik periode waktu t Ct = Jumlah konsumsi domestik periode waktu t St-1 = Stok periode waktu sebelumnya (t-1) 5. Teori Permintaan Ekspor Permintaan ekspor suatu komoditi merupakan hubungan yang menyeluruh antara kuantitas komoditi yang akan dibeli konsumen selama periode tertentu pada suatu tingkat harga. Permintaan pasar suatu komoditi merupakan penjumlahan secara horizontal dari permintaan-permintaan individu suatu komoditi (Lipsey dkk, 1995). Dilihat dari segi permintaan, kegiatan ekspor diasumsikan sebagai fungsi permintaan pasar internasional terhadap suatu komoditi yang dihasilkan oleh suatu negara. Permintan ekspor adalah permintaan pasar internasional/negara tertentu terhadap suatu komoditi. Teori permintaan ekspor bertujuan untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor suatu negara. Sebagai sebuah permintaan, ekspor suatu negara dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya harga domestik negara tujuan ekspor (HDIt), harga 15 impor negara tujuan (HIt), pendapatan perkapita penduduk negara tujuan ekspor (YPIt) dan selera masyarakat negara tujuan (CPIt). Secara keseluruhan fungsi permintaan ekspor suatu komoditi dapat dirumuskan sebagai berikut : PXt = f (HDIt , Hit , YPIt , CPIt) ……………………………. (2.2) 6. Teori Perdagangan Internasional Perdagangan antar negara atau perdagangan internasional sudah ada sejak dahulu namun dalam jumlah dan ruang lingkup yang terbatas, dimana pemenuhan kebutuhan yang tidak dapat diproduksi dalam negeri masing-masing negara yang terlibat dalam perdagangan tersebut dipenuhi dengan cara barter. Pada awalnya perdagangan internasional merupakan pertukaran atau perdagangan tenaga kerja dengan barang dan jasa lainnya, yang selanjutnya diikuti perdagangan barang dan jasa sekarang dengan kompensasi barang dan jasa di kemudian hari. Akhirnya berkembang hingga pertukaran antarnegara dengan aset-aset yang mengandung risiko, seperti saham, valuta asing yang saling menguntungkan kedua belah pihak bahkan semua negara yang terkait didalamnya. Hal tersebut memungkinkan setiap negara melakukan diversivikasi atau penganekaragaman kegiatan perdagangan yang dapat meningkatkan pendapatan mereka melalui perluasan komoditi ekspor dan memperbesar penerimaan devisa. Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan meningkatnya taraf kehidupan yang bersamaan dengan kemajuan teknologi informasi menyebabkan peningkatan kebutuhan masyarakat. Maka perdagangan internasional menjadi suatu hal yang penting. Pada saat ini tidak ada satu negara pun yang berada dalam 16 kondisi autarki, yaitu negara yang terisolasi, tanpa mempunyai hubungan ekonomi. Terdapat beberapa hal yang mendorong terjadinya perdagangan internasional diantaranya dikarenakan perbedaan permintaan dan penawaran antar negara juga turut menyebabkan terjadinya perdagangan internasional. Perbedaan ini terjadi karena : (a) tidak semua negara memiliki dan mampu menghasilkan komoditi yang diperdagangkan, karena faktor-faktor alam negara tersebut tidak mendukung, seperti letak geografis dan kandungan buminya dan (b) perbedaan pada kemampuan suatu negara dalam menyerap komoditi tertentu pada tingkat yang lebih efisien. Menurut teori Heckscher-Ohlin terdapat perbedaan opportunity cost suatu produk antar satu negara dengan negara lain yang disebabkan karena adanya perbedaan jumlah atau proporsi yang dimiliki masing-masing negara. Negaranegara yang memiliki faktor produksi relatif banyak dan murah dalam produksinya akan melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barangnya. Keadaan sebaliknya, masing-masing negara akan mengimpor barang tertentu apabila negara tersebut memiliki faktor produksi yang relatif langka dan mahal dalam produksinya (Hady dalam Dimas, 2004). Perdagangan internasional antar dua negara yang terjadi akibat dari perbedaan permintaan dan penawaran dapat dilihat pada Gambar 2. 1 yang mengambarkan perdagangan antara Negara P dan Negara Q. DP dan SP adalah kurva penawaran untuk Negara P dan DQ dan SQ adalah kurva penawaran untuk Negara Q. 17 Pada kondisi dimana kedua negara tidak dalam perdagangan, produksi dan konsumsi Negara P untuk suatu komoditi (misalnya tekstil) berada pada keseimbangan di titik A, berdasarkan harga relatif sebesar P1. Pada Negara Q produksi dan konsumsinya terjadi pada titik keseimbangan A’ dengan tingkat harga P3. Kondisi ini dengan asumsi bahwa harga domestik di Negara P lebih rendah dibandingkan dengan harga di Negara Q ( P1<P3). Panel A Negara P Panel B Px/Py Panel C Negara Q Px/Py Px/Py SQ A’’ P3 Ekspor B A’ S Sp P2 P3 E ’ E* B* P1 D A E’ B Impor A* DQ Dp 0 X 0 X 0 X Gambar 2.1 Keseimbangan dalam Perdagangan Internasional Sumber : Salvatore (1997, 83-84) Apabila kondisi harga di atas P1, maka Negara P akan memasok atau memproduksi komoditi tekstil lebih banyak daripada tingkat permintaan (konsumsi) domestik sehingga akan menyebabkan kelebihan penawaran (excess supply) di negara P. Kelebihan produksi itu selanjutnya akan diekspor ke Negara Q. Di lain pihak jika harga yang berlaku lebih kecil dari P3, maka Negara Q akan mengalami peningkatan permintaan (karena konsumen akan meminta lebih banyak pada tingkat harga yang relatif murah), sehingga tingkat permintaannya lebih tinggi daripada produksi domestiknya. Hal ini akan mendorong Negara Q 18 untuk mengimpor kekurangan kebutuhannya atas komoditi tekstil tersebut dari Negara yang mengalami kelebihan produksi komoditi tekstil yaitu Negara P. Berdasarkan harga relatif P1, kuantitas komoditi tekstil yang ditawarkan akan sama dengan kuantitas yang diminta. Pada saat berlangsungnya perdagangan internasional antara Negara P dan Q tingkat harga berada di titik P2 dan mengambil asumsi bahwa tidak ada biaya transportasi dalam proses perdagangan tersebut, maka Negara P akan mengekspor hasil kelebihan produksinya yang ditunjukkan oleh garis BE. Sementara itu karena tingkat harga yang berlaku di pasar internasional lebih rendah dibandingkan dengan tingkat harga domestik Negara Q, maka Negara Q akan mengimpor kekurangan produksinya sebesar garis B’E’. Hubungan penawaran dan permintaan kedua negara tersebut pada tingkat harga P2 akan menyebabkan terjadinya keseimbangan internasional di titik E* (Panel B). Kurva S dan D pada panel B menunjukkan tinkat penawaran dan permintaan yang terjadi dalam perdagangan internasional. Pada tingkat keseimbangan, kuantitas ekspor yang ditawarkan oleh Negara P sama dengan yang diminta oleh Negara Q (BE = B’E’). 7. Teori Keunggulan Kompetitif Negara Konsep ini dikembangkan oleh Michael E Porter dalam bukunya yang berjudul Competitif Advantage of Nations. Menurut Porter, terdapat empat atribut yang dapat membentuk lingkaran dimana perusahaan-perusahaan lokal berkompetisi sedemikian rupa sehingga mendorong terciptanya keunggulan kompetitif. Keempat atrIbut tersebut yaitu, kondisi faktor, kondisi permintaan, industri terkait dan industri pendukung serta strategi perusahaan, struktur dan 19 persaingan. Keempat atribut tersebut saling berhubungan sehingga Porter menggambarkannya dalam sebuah diamond, atau lebih dikenal dengan Porter’s Diamond. Proses penentuan daya saing (secara kompetitif) nasional dalam pembangunan ekonomi di suatu negara yang digambarkan dalam Porter’s Diamond adalah sebagai berikut : Strategi perusahaan, strukrur, dan persaingan Kondisi faktor Kondisi permintaan Industri Terkait dan Industri pendukung Gambar 2.2 Porter’s Diamond Sumber : Michael E. Poter (1995, 71-107) a) Kondisi faktor, yaitu posisi negara dalam faktor poduksi, seperti tenaga kerja terampil atau infrastruktur, perlu untuk bersaing dalam suatu industri tertentu. Titik awal pada negara berkembang yaitu memiliki ketergantungan yang tinggi pada ketersedeiaan upah rendah dan tenaga kerja tidak terampil, kemudian kurangnya kapital, Hampir semua teknologi dipasok dan dikendalikan secara eksternal, serta belum berkembangnya infrastruktur, pasar modal, dan sistem pendidikan membuat produktivitas negra menjadi rendah. Dengan adanya persaingan 20 faktor produksi dalam suatu industri maka negara berkembang dapat membangun ekonomi yang sukses. b) Kondisi Permintaan, yaitu sifat dari permintaan pasar asal untuk barang dan jasa industri. Titik awal pada negara berkembang dapat terlihat dari produk yang terdiferensiasi adalah menjadi andalan ekspor utama, demand lokal yang tidak canggih (informasi terbatas, seleksi yang terbatas, fokus terhadap harga), rancangan produk dan jasa bersifat imitasi atau lisensi dari luar, rendahnya standar produk, terjadi permintaan local yang tinggi. c) Industri terkait dan industri pendukung. Keberadaan atau ketiadaan industri pemasok dan industri terkait lainnya di negara tersebut yang secara internasional bersifat kompetitif. Titik awal pada Negara berkembang dapat dilihat dari industrinya yang berorientasi pada ekspor yang terisolasi, industri pendukung langka dan tidak kompetitif, mesinmesin canggih dan peralatan yang modern didapat dari impor. d) Strategi Perusahaan, struktur, dan persaingan. Kondisi dalam negara yang mengatur bagaimana perusahaan diciptakan, diatur, dan dikelola, sebagaimana juga sifat dari persaingan domestik. 8. Teori Revealed Comparatif Advantage (RCA) Revealed Comparatif Advantage (RCA) atau keunggulan komparatif yang terungkap, merupakan salah satu metode yang digunakan untuk mengukur keunggulan komparatif di suatu wilayah (negara, propinsi dan lain-lain) yang cukup sering digunakan. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Ballasa pada tahun 1965, yang menganggap bahwa keunggulan komparatif suatu negara 21 direfleksikan atau terungkap dalam ekspornya (Syahresmita dalam Pramudito, 2004). Metode RCA didasarkan pada suatu konsep bahwa perdagangan antar wilayah sebenarnya menunjukkan keunggulan komparatif yang dimiliki oleh suatu wilayah. Variabel yang diukur adalah kinerja ekspor suatu produk terhadap total ekspor suatu wilayah yang kemudian dibandingkan dengan pangsa nilai produk dalam perdagangan dunia. Rumus RCA adalah sebagai berikut : Xij / Xit RCA = Wj / Wt dimana : Xij = Nilai ekspor produk komoditi i dari negara j Xit = Nilai total ekspor (komoditi i dan lainnya) negara j Wj = Nilai ekspor dunia komoditi i Wt = Nilai total ekspor dunia Jika nilai RCA dari suatu negara untuk suatu komoditi tertentu lebih besar dari satu (1) berarti negara bersangkutan mempunyai keunggulan komparatif (diatas rata-rata dunia) dalam komoditi tersebut. Sebaliknya, bila lebih kecil dari satu berarti keunggulan komparatifnya untuk komoditas tersebut dibawah rata rata dunia (Tambunan, 2001:197). Penelelitian ini mengukur daya saing komoditi tekstil Indonesia di pasar Amerika Serikat, maka yang diukur adalah kinerja ekspor komodti tekstil Indonesia ke Amerika Serikat terhadap total ekspor Indonesia ke Amerika Serikat yang selanjutnya dibandingkan dengan pangsa nilai ekspor komoditi tekstil dunia terhadap total nilai ekspor dunia. Dalam hal penelitian in rumusnya menjadi: 22 Xij / Xj RCA = Wic / Wc dimana : Xij = Nilai ekspor komoditi tekstil dari Indonesia ke Amerika Serikat Xj = Nilai total ekspor negara Indonesia ke Amerika Serikat Xic = Nilai ekspor komoditi tekstil dunia ke Amerika Serikat Xc = Nlai total ekspor dunia ke Amerika Serikat Setiap metode tentunya ada keunggulan dan kelemahannya, sama halnya dengan metode Revealed Comparative Advantage (RCA). Keunggulan metode ini adalah mengurangi dampak pengaruh campur tangan pemerintah sehingga kita dapat melihat keunggulan komparatif yang jelas suatu produk dari waktu ke waktu. Sedangkan kelemahannya yaitu : 1. Asumsi bahwa suatu negara dianggap mengekspor semua komoditi. 2. Indeks RCA tidak dapat menjelaskan apakah pola perdagangan yang sedang berlangsung tersebut sudah optimal. 3. Tidak dapat mendeteksi dan memprediksi produk- produk yang berpotensi dimasa yang akan datang. 9. Teori Constant Market Share (CMS) Pendekatan Constant Market Share (CMS) digunakan untuk mengukur dinamika tingkat daya saing suatu industri dari suatu negara. Penggunaan pendekatan ini didasarkan pada pemahaman bahwa laju pertumbuhan ekspor suatu negara bisa lebih kecil, sama, atau lebih tinggi daripada laju pertumbuhan ekspor rata-rata dunia (Tambunan, 2001:202). 23 Konsep Constant Market Share menjadi populer diterapkan di ekonomi internasional oleh Tyszynski pada tahun 1951. Analisis CMS didasarkan pada asumsi bahwa kontribusi sebuah negara dalam pasar dunia harus tetap konstan dari waktu ke waktu. Konsep dasar dari analisis CMS adalah : s ≡ q = f ( c ) , f ‘ ( ) > 0 ………………….…… (2.1) Q C Dimana : s = jumlah kontribusi ekspor suatu negara dalam total ekspor dunia. q,Q = total ekspor suatu negara dan dunia. c,C = “persaingan atau competitiveness” suatu negara terhadap dunia. Perubahan kontribusi (share) akan menyebabkan perubahan dalam persaingan relatif. Perubahan terjadi bila persamaan (2.1) diturunkan dengan waktu (t), menjadi : ds = dt df ( c ) C dt = = dq . Q - q dQ dt dt _ Q² dq dt Q dQ _ q . dt__ Q Q ds . Q dt = dq dt _ s . dQ_ dt df ( c ) . Q C _ = dq dt _ s . dQ dt ………… (2.2) Perubahan persaingan secara relatif terjadi apabila perubahan bagian pasar (∆s) menyebabkan perubahan persaingan (∆ c/C) dengan arah yang sama. Jadi apabila ∆s naik akan menyebabkan ∆ c/C naik, dan juga sebaliknya. Apabila ∆s 24 turun maka akan menyebabkan ∆ c/C turun. Hal tersebut seperti terlihat dalam gambar kurva dibawah. Keadaan diatas memerlukan syarat bahwa, turunan pertama f (c/C) terhadap waktu (t) adalah lebih besar dari 0. { df (c/C) dt > 0} Penyusunan kembali persamaan (2.2) diatas menjadi : q* = s . Q* + Q . s* = s . Q* + Q . f ’ c C Tanda titik diatas huruf menunjukan bahwa variabel tersebut diturunkan terhadap waktu. Dalam model ini pertumbuhan ekspor suatu negara (c*) dipengaruhi oleh efek pertumbuhan dunia (sQ*), dan efek persaingan (Qs*). Efek pertumbuhan dunia menunjukkan bahwa pertumbuhan ekspor suatu negara akan terjadi apabila 25 negara tersebut mempertahankan bagian pasarnya (shares), dan efek persaingan menunjukkan pertambahan lainnya dalam pertumbuhan ekspor (busa negatif atau positif), yang disebabkan oleh adanya perubahan dalam persaingan relatif. Suatu persaingan dimana struktur ekspor suatu negara mempengaruhi pertumbuhan ekspor negara tersebut, bahkan dengan tidak adanya perubahan dalam persaingan relatif, mengarah pada model CMS yang semakin kompleks. Seperti, suatu negara mungkin akan berspesialisasi pada komoditi yang mempunyai pertumbuhan paling tinggi. Oleh karena itu s dalam persamaan (2.1) bisa menjadi fungsi daripada struktur ekspor sama baiknya dengan fungsi persaingan relatif. Dalam kasus ini, persamaan (2.1) bagaimanapun juga bisa dipakai untuk menyelidiki komoditi ekspor tertentu (i) suatu negara ke pasar tujuan (negara) tertentu (j). Persamaan (2.1) tersebut akan menjadi: s ij ≡ q ij Q ij = f ij ( c ij ) , f ‘ij ( ) > 0 ………………….…… (2.3) C ij Dimana I menunjukkan komoditi ekspor tertentu dan j menunjukkan pada daerah impor tertentu bisa berwujud pasar negara tertentu. Pertumbuhan ekspor komoditi tertentu (i) suatu negara ke pasar tertentu (j) akan menjadi: q* ij = s ij . Q* ij + s* ij . Q ij ………………………………… (2.4) Dalam persamaan (2.4) dapat dilihat bahwa pertumbuhan ekspor suatu negara untuk komoditi tertentu di pasar negara tertentu (q* ij) dipengaruhi oleh pertumbuhan pasar negara yang dituju (Q* ij) dengan bagian pasar/shares (s ij) yang tetap dan kemampuan bersaing secara relatif dapat merebut bagian pasar (share) yang berarti perubahan bagian pasar (s* ij) di dalam pasar yang baru (Q* 26 ij). Pengaruh yang pertama disebut ekspansi dan yang kedua adalah efek persaingan. Dalam kasus dimana analisis CMS dinyatakan dalam perubahan ekspor suatu negara. Milana (1988) menerapkan pembagian waktu. Sistem beban pada model ini dihitung dengan menggunakan rata-rata beban pada awal dan akhir tahun. Model ini mencerminkan fakta bahwa struktur ekspor suatu negara dan total perdagangan dunia berubah dari waktu ke waktu, akan tetapi tidak ada alasan untuk percaya bahwa baik struktur di awal atau akhir periode dominan sepanjang periode. Model ini ditentukan sebagai berikut: …… (2.4) Efek daya saing dari analisis CMS telah diinterpretasikan oleh Leamer dan Stern (1970) dan Richardson (1971) sebagai reaksi permintaan untuk terjadinya perubahan harga. Asumsi bahwa perubahan harga bukan merupakan permintaan, melainkan ditentukan oleh penawaran secara implisit terdapat dalam interpretasi ini. Dalam aplikasi empiris, masalah waktu yang terus-menerus dalam analisis CMS telah dilakukan dalam cara-cara yang berbeda. Misalnya, Simonis (2000) menganalisis sektor perdagangan luar negeri Belgia. Dia membandingkan daya saing negara dan pola struktural dengan mitra dagang utama. 27 Jadi dalam analisis CMS, lambat atau tingginya laju pertumbuhan ekspor suatu negara dibandingkan laju pertumbuhan standar (rata-rata dunia) diuraikan menjadi tiga faktor, yakni komposisi komoditi ekspor, pertumbuhan impor dan daya saing. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut : Efek Pertumbuhan impor : mXijk1 Dimana m = Persentase peningkatan impor umum di negara k Xijk1 = Ekspor komoditi i dari negara j ke negara k tahun ke-(t-1) Efek Komposisi komoditi ekspor : {(mi - m)Xijk1} Dimana m = Persentase peningkatan impor umum di ngara j mi = Persentase peningkatan impor komoditi i di negara k Xijk1 = Ekspor komoditi i dari negara j ke negara k tahun ke-(t-1) Efek Daya saing : {Xij2 – Xij1 – mi Xijk1} Dimana mi = Persentase peningkatan impor komoditi i di negara j Xijk1 = Ekspor komoditi i dari negara j ke negara k tahun ke-(t-1) Xijk2 = Ekspor komoditi i dari negara j ke negara k tahun ke-(t) B. Penelitian Terdahulu Penelitian dengan metode Revealed Comparatif Advantage Indonesia cukup banyak, diantaranya adalah penelitian mengenai daya saing Industri 28 Manufaktur Indonesia yang dilakukan oleh Aswicahyono (1996) berjudul "Transformasi Industri Indonesia dalam Era Perdagangan Bebas", yang menunjukkan bahwa dibandingkan dengan Malaysia, Thailand (terkecuali tahun 1965), Cina, Korea Selatan dan beberapa negara lain, atau NSB rata, indeks RCA Indonesia paling rendah, walaupun mengalami peningkatan pada tahun 1996 hanya mencapai 0,67. Hanya Cina dan Korea Selatan yang pada tahun 1994 mempunyai keunggulan komparatif di atas dunia untuk produk - produk manufaktur. Penelitian lain mengenai daya saing Indusrti Manufaktur dilakukan oleh Soesastro (2000) yang menunjukan bahwa indeks RCA bervariasi antarproduk menurut intensitas faktor produksi yang digunakan. Berdasarkan data UNINDO untuk periode 1965 hingga 1995, dapat dilihat dari hasil penelitian tersebut bahwa sejak tahun 1983 Indonesia telah memiliki keunggulan komparatif dalam ekspor produk-produk manufaktur padat SDA, khususnya kayu lapis. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa daya saing produk-produk manufaktur padat tenaga kerja lebih tinggi dibandingkan daya saing barang barang padat modal. Indeks RCA dari ekspor produk-produk padat tenaga kerja mencapai 1 pada era tahun 1990-2000, sedangkan indeks RCA dari barang barang padat modal pada tahun yang sama jauh dibawah 1, demikian juga indeks RCA rata-rata ekspor manufaktur. Penelitian dengan analisis Constant Market Share diantaranya adalah penelitian mengenai daya saing ekspor teh Indonesia di pasar teh dunia yang dilakukan oleh Rohayati Suprihatini (2005). Berdasarkan data International Trade Center (ITC) pada tahun 1997 dan 2001 menunjukan bahwa pertumbuhan ekspor 29 teh Indonesia jauh dibawah pertumbuhan ekspor teh dunia. Masalah tersebut disebabkan karena komposisi produk teh yang diekspor Indonesia kurang mengikuti kebutuhan pasar yang tercermin dari angka komposisi komoditas teh Indonesia yang bertanda negatif (-0.032), negara-negara tujuan ekspor teh Indonesia kurang ditujukan ke negara-negara pengimpor teh yang memiliki pertumbuhan impor teh tinggi yang tercermin dari angka distribusi yang bertanda negatif (-0,045), dan daya saing teh Indonesia di pasar teh dunia yang masih lemah yang tercermin dari angka faktor persaingan yang bertanda negatif (-0,211). C. Kerangka Pemikiran Operasional Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) merupakan salah satu komoditi ekspor non migas yang diandalkan dari kelompok industri manufaktur yang berperan dalam perluasan lapangan kerja, peningkatan kesejahteraan buruh dan perolehan devisa negara. Seiring dengan semakin banyaknya permintaan produk - produk tekstil akibat dari semakin banyaknya model atau ciri khas produk tekstil yang dimiliki Indonesia menyebabkan industri tekstil dan produk tekstil mempunyai prospek yang baik terutama untuk pasar internasional. Salah satu negara importir utama yang membutuhkan produk - produk tekstil dalm jumlah yang sangat besar yaitu Amerika Serikat. AS merupakan negara yang jumlah penduduknya besar serta pendapatan per kapitanya juga besar, sehingga AS layak menjadi salah satu pasar utama bagi Indonesia. Pada saat ini, khususnya setelah kebijakan penghapusan kuota, persaingan dalam perdagangan tekstil dan produk tekstil semakin ketat. Negara yang dianggap menjadi pesaing utama dalam perdagangan tekstil dan produk tekstil 30 adalah Cina. Nilai ekspor tekstil dan produk tekstil Cina ke Amerika Serikat selalu lebih tinggi dibanding Indonesia, pertumbuhannya pun naik demikian pesat dari tahun ke tahun. Walaupun demikian, bila dilihat dari segi komparatif, daya saing tekstil dan produk tekstil Indonesia di pasar Amerika Serikat masih lebih tinggi dibanding Cina, terutama untuk komoditi pakaian jadi. Hal ini dikarenakan tekstil dan produk tekstil Indonesia masih memiliki kontribusi yang cukup besar (sekitar 20% - 30%) terhadap total ekspor Indonesia ke Amerika Serikat. Pertumbuhan ekspor suatu negara dipengaruhi oleh efek pertumbuhan dunia atau efek ekspansi dan efek daya saing. Efek ekspansi yaitu pertumbuhan ekspor suatu negara akan terjadi bila mempertahankan pangsa pasarnya, artinya ekspor akan meningkat di pasar yang sedang mengalami peningkatan permintaan, sedangkan efek daya saing yaitu daya saing relatifnya. Efek ekspansi terbagi menjadi dua, yakni efek pangsa makro dan efek pangsa mikro. Pangsa makro berhubungan dengan posisi TPT Indonesia terhadap total impor AS, sedangkan pangsa mikro adalah posisi TPT Indonesia di pasar AS. Ketiga efek yang mempengaruhi pertumbuhan ekspor TPT indonesia tersebut (efek pangsa makro, efek pangsa mikro dan efek daya saing) dapat dianalisis dengan menggunakan analisis CMS (Constant Market Share). Dari ketiga efek tersebut hanya efek daya saing saja yang dapat dikendalikan dan diestimasi oleh suatu industri, dalam hal ini Industri tekstil dan produk tekstil (karena hanya berhubungan dengan ekspor Indonesia ke Amerika Serikat). Daya saing tekstil dan produk tekstil Indonesia di pasar Amerika Serikat dapat dilihat berdasarkan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Namun pada penelitian ini hanya akan menganalisis keunggulan komparatif 31 dengan menggunakan analisis RCA (Revealed Comparatif Advantage). Nilai RCA diperoleh dari perbandingan pangsa pasar tekstil dan produk tekstil Indonesia di pasar Amerika Serikat dengan pangsa pasar tekstil dan produk tekstil dunia di pasar Amerika Serikat, sehingga jika nilai RCA sama dengan satu berarti pangsa pasar tekstil dan produk tekstil Indonesia di pasar Amerika Serikat sama dengan pangsa pasar tekstil dan produk tekstil dunia (pesaing Indonesia) di pasar Amerika Serikat. Daya saing tekstil dan produk tekstil Indonesia di pasar Amerika Serikat dikatakan kuat jika nilai RCA lebih dari satu, artinya pangsa pasar tekstil dan produk tekstil Indonesia di pasar Amerika Serikat lebih tinggi daripada pangsa pasar tekstil dan produk tekstil dunia (pesaing Indonesia) di pasar Amerika Serikat. Data yang digunakan untuk perhitungan metode CMS dan RCA dalah data time series tahunan. Gambaran lengkap mengenai pemikiran operasional pada penelitian ini dapat dilihat pada gambar berikut. 32 Pertumbuhan Ekspor TPT Indonesia ke Amerika Serikat Pertumbuhan Impor (efek pangsa makro) (Analisis CMS) Daya Saing (Analisis CMS) Komposisi Komoditi (Efek pangsa Mikro) (Analisis CMS) Secara Komparatif (Analisis RCA) Kebijakan peningkatan daya saing dan ekspor TPT Indonesia Gambar 2.3 Skema Kerangka Pemikiran Operasional D. Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Diduga posisi kinerja ekspor industri TPT Indonesia dan Cina di pasar Amerika Serikat dipengaruhi oleh variabel efek pertumbuhan impor. 2. Diduga posisi daya saing industri TPT Indonesia lebih baik dibandingkan dengan industri TPT Cina di pasar Amerika Serikat. 33 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari data sekunder. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari sumber atau instansi terkait. Data yang diambil dalam penelitian ini adalah data-data statistik yang diambil dari situs resmi perdagangan komoditi internasional (www.comtrade.un.org). Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini antara lain data ekspor komoditi pakaian jadi Indonesia dan Cina di pasar Amerika Serikat, data impor komoditi pakaian jadi Amerika Serikat dari seluruh dunia, dan juga data total impor seluruh komoditi Amerika Serikat. B. Metode analisis dan Pengolahan Data Metode analisis data yang digunakan adalah metode deskriptif dan metode kuantitatif. Metode deskriptif digunakan untuk menganalisis perkembangan datadata yang digunakan dalam penelitian ini. Metode kuantitatif dengan pendekatan Revealed Comparatif Advantage (RCA) dan Constant Market Share (CMS) digunakan untuk menganalisis tingkat daya saing TPT Indonesia dibandingkan dengan Cina yang di pasar Amerika Serikat. Revealed Comparatif Advantage (RCA) Posisi ekspor TPT Indonesia dalam perdagangan di Amerika Serikat dapat diketahui dengan metode RCA. Metode ini didasarkan pada suatu konsep bahwa 34 perdagangan antar wilayah sebenarnya menunjukkan keunggulan komparatif yang dimiliki suatu negara.. Variabel yang diukur adalah kinerja ekspor TPT Indonesia ke AS dengan menghitung pangsa nilai ekpor TPT terhadap total ekspor ke AS yang kemudian dibandingkan denagn pangsa nilai ekspor TPT dunia ke AS. Rumusnya adalah sebagai berikut : Xij / Xit RCA = Wj / Wt Dimana : Xij = Nilai ekspor produk komoditi tekstil dari Indonesia Xit = Nilai total ekspor (komoditi tekstil dan lainnya) Indonesia Wj = Nilai ekspor dunia komoditi tekstil ke AS Wt = Nilai total ekspor dunia ke AS Indeks RCA merupakan perbandingan antara nilai RCA sekarang dengan nilai RCA tahun lalu. Rumus indeks RCA adalah sebagai berikut : RCAt Indeks RCA = RCAt-1 RCAt = Nilai RCA tahun ke-(t) RCAt-1 = Nilai RCA tahun ke(t-1) Indeks RCA berkisar antara nol sampai tak hingga. Nilai indeks RCA sama dengan satu berarti tidak terjadi kenaikan RCA atau kinerja ekspor TPT Indonesia di pasar AS tahun sekarang sama dengan tahun lalu. Constant Market Share (CMS) Selain indeks RCA, penelitian ini juga menggunakan pendekatan Constant Market Share (CMS), dimana penggunaan pendekatan ini didasarkan pada 35 pemahaman teoritis laju pertumbuhan ekspor suatu negara bisa lebih kecil, sama atau lebih tinggi daripada laju pertumbuhan ekspor rata-rata dunia (pertumbuhan standar). Metode pangsa pasar konstan (Constant Market Share) digunakan untuk mengetahui atribut apa yang mempengaruhi kinerja ekspor tektil Indonesia di pasar AS diantara tiga atribut, yaitu efek pertumbuhan impor, efek komposisi komoditi dan efek daya saing. Rumusnya adalah sebagai berikut : Xij2 – Xij1 = mXij1 + {(mi - m)Xij1} + {Xij2 – Xij1 – mi Xij1} (1) (2) (3) Dimana: Xij1 = Ekspor TPT Indonesia ke AS tahun ke-(t-1) Xij2 = Ekspor TPT Indonesia ke AS tahun ke-(t) m = Persentase peningkatan impor umum di AS mi = Persentase peningkatan impor TPT di AS (1) = Efek pertumbuhan; (2) = Efek komposisi; (3) = Efek daya saing 36 BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Kinerja Ekspor Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia Dibandingkan Dengan Cina Di Pasar Amerika Serikat Dengan Pendekatan Constant Market Share 1. Analisis CMS Indonesia Untuk menentukan aspek-aspek yang paling signifikan dalam mempengaruhi pertumbuhan ekspor digunakan analisa Constant Market Share. Analisa CMS pernah digunakan salah satunya oleh Ichikawa (1996) dalam mengevaluasi pertumbuhan ekspor komoditi unggulan Australia di pasar Selandia Baru periode 1990-1994. Rumusan CMS adalah sebagai berikut : Xij2 – Xij1 = mXij1 + {(mi - m)Xij1} + {Xij2 – Xij1 – mi Xij1} (1) (2) (3) Dimana: Xij1 = Ekspor pakaian jadi Indonesia ke AS tahun ke-(t-1) Xij2 = Ekspor pakaian jadi Indonesia ke AS tahun ke-(t) m = Persentase peningkatan impor umum di AS mi = Persentase peningkatan impor pakaian jadi di AS (1) = Efek pertumbuhan; (2) = Efek komposisi; (3) = Efek daya saing Periode 2001-2002 merupakan periode awal, dimana kinerja ekspor Tekstil dan Produk Tekstil mengalami defisit, terbukti nilai komoditi ekspor pakaian jadi turun senilai US$ 140,39 juta (-7,22 persen). Penurunan nilai ekspor komoditi pakaian jadi tersebut diakibatkan karena walaupun terjadi peningkatan 37 pada efek pertumbuhan impor senilai US$ 36,55 juta (26,03 persen), hal ini menjadi tidak berarti karena penurunan yang sangat signifikan terjadi pada efek daya saing yang turun menekan senilai US$ 150,31 juta (-107,06 persen). Selain itu, permintaan pakaian jadi Indonesia di Amerika Serikat juga sedang turun (efek komposisi komoditi turun dengan proporsi sebesar 18,97 persen atau senilai US$ 26,63 juta). Pada periode 2002-2003 kinerja ekspor Tekstil dan Produk Tekstil membaik, hal ini tercermin dari meningkatnya nilai ekspor pakaian jadi senilai US$ 132,08 juta (7,32 persen). Ternyata peningkatan nilai ekspor komoditi pakaian jadi tersebut lebih disebabkan karena peningkatan pada efek pertumbuhan impor senilai US$ 154,22 juta (116,76 persen). Efek daya saing hanya memberikan kontribusi sebesar 7,00 persen atau senilai US$ 9,25 juta. Namun, permintaan pakaian jadi Indonesia di Amerika Serikat (efek komposisi komoditi) sedang menurun senilai US$ 31,39 juta (-23,76 persen). Kemudian pada periode 2003-2004 kinerja ekspor Tekstil dan Produk Tekstil terus membaik, bahkan secara umum nilai ekspornya meningkat. Telihat dari peningkatan nilai ekspor pakaian jadi ke Amerika Serikat. Nilai ekspornya meningkat sebesar US$ 314,72 juta (16,25 persen). Hal ini diakibatkan oleh efek pertumbuhan impor (meningkat sebesar US$ 326,58 juta) lebih berperan daripada efek daya saing (meningkat sebesar US$ 193,73 juta) dalam memberikan kontribusi terhadap peningkatan ekspor pakaian jadi ke Amerika Serikat. Sementara itu, efek komposisi komoditi menjadi satu-satunya efek negatif (menurun sebesar US$ 205,59 juta). 38 Kebijakan penghapusan kuota bagi negara-negara yang terlibat dalam perdagangan Tekstil dan Produk Tekstil mulai diberlakukan tanggal 1 Januari 2005. Kebijakan ini berpeluang memberikan dampak positif bagi negara-negara pengekspor Tekstil dan Produk Tekstil, termasuk Indonesia. Terbukti, pada periode 2004-2005 peningkatan nilai ekspor pakaian jadi ke Amerika Serikat lebih besar dari periode-periode sebelumnya (2001-2004), yaitu sebesar US$ 566,46 juta (16,25 persen). Peningkatan nilai ekspor komoditi pakaian jadi lebih diakibatkan oleh efek daya saing yang memberikan kontribusi terbesar dalam peningkatan nilai ekspor tersebut, yaitu sebesar 77,23 persen atau senilai US$ 437,50 juta. Impor pakaian jadi Amerika Serikat juga sedang tumbuh, terlihat dari efek pertumbuhan impor yang mendorong dengan proporsi 53,92 persen atau senilai US$ 305,40 juta. Namun efek komposisi komoditi kembali memberikan dampak negatif, dengan penurunan sebesar 31,15 persen atau senilai US$ 176,44 juta. Peningkatan nilai ekspor Tekstil dan Produk Tekstil terus bertambah, terbukti pada periode 2005-2006 nilai ekspor pakaian jadi meningkat senilai US$ 658,75 juta (23,38 persen). Ternyata hal ini lebih disebabkan karena peningkatan pada efek pertumbuhan impor senilai US$ 303,68 juta (46,10 persen). Efek daya saing memberikan kontribusi sebesar 84,52 persen atau senilai US$ 556,77 juta. Namun, permintaan pakaian jadi Indonesia di Amerika Serikat (efek komposisi komoditi) sedang menurun senilai US$ 201,70 juta (-30,62 persen). Pada periode 2006-2007 kinerja ekspor Tekstil dan Produk Tekstil masih cukup baik, hal ini terbukti dengan nilai pertumbuhan ekspor pakaian jadi senilai US$ 106,75 juta (3,07 persen). Ternyata hal ini lebih disebabkan karena 39 peningkatan pada efek pertumbuhan impor senilai US$ 177,61 juta (166,38 persen). Efek daya saing memberikan kontribusi sebesar 26,09 persen atau senilai US$ 27,85 juta. Sedangkan permintaan pakaian jadi Indonesia di Amerika Serikat (efek komposisi komoditi) memberikan efek negatif senilai US$ 98,71 juta (92,47 persen). Pada periode 2007-2008 kinerja ekspor Tekstil dan Produk Tekstil masih memberikan efek positif, meskipun nilai pertumbuhan ekspor pada periode ini merupakan nilai pertumbuhan terkecil dibandingan dengan periode-periode sebelumnya, yaitu sebesar US$ 64,84 juta (1,81 persen). Walaupun terjadi peningkatan pada efek pertumbuhan impor senilai US$ 262,24 juta (404,44 persen) dan pada efek daya saing yang memberikan kontribusi senilai US$ 165,51 juta (255,26 persen). Hal ini menjadi tidak bereti karena penurunan yang sangat signifikan terjadi pada efek komposis komoditi yang turun menekan sebesar US$ 362,91 juta (-559,70 persen). Berdasarkan hasil kalkulasi CMS, pertumbuhan rata-rata ekspor pakaian jadi Indonesia ke Amerika Serikat pada periode 2001-2008 adalah sebesar US$ 243,31 juta atau sbesar 9,97 persen. Dimana efek pertumbuhan impor rata-rata memerikan konribusi sebesar US$ 223,75 (123,62 persen), sedangkan efek komposisi komoditi rata-rata memberikan kontribusi sebesar US$ -157,62 juta (112,01 persen), dan efek daya saing rata-rata memberikan kontribusi sebesar US$ 177,18 juta atau sebesar 88,39 persen. Jadi berdasarkan hasil kalkulasi CMS, pertumbuhan ekspor pakaian jadi Indonesia ke Amerika Serikat periode 2001-2008 berdasarkan urutannya lebih dipengaruhi oleh efek pertumbuhan impor kemudian efek daya saing atau efek 40 pangsa makro dari Amerika Serikat. Sedangkan efek komposisi komoditi atau efek pangsa mikro kurang memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekspor pakaian jadi Indonesia. Tabel 4.1 Hasil Analisis CMS Pakaian Jadi Indonesia di Pasar Amerika Serikat (US$ juta) Periode Efek Efek Pertumbuhan Komposisi Impor Komoditi Efek Daya Saing Pertumbuhan Ekspor Keterangan Indonesia 2001- 36,55 -26,63 -150,31 -140,39 2002 -26,03% 18,97% 107,06% -7,22% 2002- 154,22 -31,39 9,25 132,08 2003 116,76% -23,76% 7,00% 7,32% 2003- 326,58 -205,59 193,73 314,72 2004 103,77% -65,32% 61,55% 16,25% 2004- 305,40 -176,44 437,50 566,46 2005 53,92% -31,15% 77,23% 25,17% 2005- 303,68 -201,70 556,77 658,75 2006 46,10% -30,62% 84,52% 23,38% 2006- 177,61 -98,71 27,85 106,75 2007 166,38% -92,47% 26,09% 3,07% Nilai komoditi ekspor pakaian jadi Indonesia turun dikarenakan efek daya saing yang turun menekan, artinya kualitas ekspor pakaian jadi Indonesia masih rendah. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan adalah meningkatkan kualitas ekspor pakaian jadi Indonesia. Nilai komoditi ekspor pakaian jadi Indonesia naik disebabkan oleh peningkatan efek pertumbuhan impor, artinya permintaan pakaian jadi Indonesia meningkat di pasar Amerika Serikat. Nilai komoditi ekspor pakaian jadi Indonesia naik disebabkan oleh peningkatan efek pertumbuhan impor, artinya permintaan pakaian jadi Indonesia meningkat di pasar Amerika Serikat. Nilai komoditi ekspor pakaian jadi Indonesia naik disebabkan oleh peningkatan efek daya saing, artinya kualitas ekspor pakaian jadi Indonesia baik. Nilai komoditi ekspor pakaian jadi Indonesia naik disebabkan oleh peningkatan efek daya saing, artinya kualitas ekspor pakaian jadi Indonesia baik. Nilai komoditi ekspor pakaian jadi Indonesia naik disebabkan oleh peningkatan 41 2007- 262,24 -362,91 165,51 64,84 2008 404,44% -559,70% 255,26% 1,81% Rata- 223,75 -157,62 177,18 243,31 rata 123,62% -112,01% 88,39% 9,97% efek pertumbuhan impor, artinya permintaan pakaian jadi Indonesia meningkat di pasar Amerika Serikat. Nilai komoditi ekspor pakaian jadi Indonesia naik disebabkan oleh peningkatan efek pertumbuhan impor, artinya permintaan pakaian jadi Indonesia meningkat di pasar Amerika Serikat. Pertumbuhan ekspor pakaian jadi Indonesia ke Amerika Serikat berdasarkan urutannya lebih dipengaruhi oleh efek pertumbuhan impor kemudian efek daya saing. Sedangkan efek komposisi komoditi kurang memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan ekspor pakaian jadi Indonesia. Sumber: Situs Resmi Perdagangan Komoditi Internasional (www.comtrade.un.org) (diolah penulis). 2. Analisis CMS Cina Secara umum, prestasi kinerja ekspor Tekstil dan Produk Tekstil Cina ke Amerika Serikat jauh lebih baik daripada prestasi kinerja ekspor Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia ke Amerika Serikat. Pada periode 2001-2002 terjadi peningkatan pertumbuhan ekspor Tekstil dan Produk Tekstil, dimana pertumbuhan ekspor komoditi pakaian jadi Cina meningkat sebsar 8,42 persen atau senilai US$ 413,57 juta. Peningkatan ini ternyata lebih disebabkan oleh efek daya saing yang berkekuatan mendorong dengan proporsi 93,94 persen atau senilai US$ 388,52 juta. Selain itu, efek pertumbuhan impor juga berpengaruh positif dengan proporsi 22,33 persen atau senilai US$ 92,34 juta. Sebaliknya, efek komposisi komoditi berpengaruh negatif dengan kekuatan menekan sebesar 16,27 persen atau senilai US$ 67,29 juta. Pada periode 2002-2003 Cina kembali mengalami peningkatan ekspor Tekstil dan Produk Tekstil. Pada komoditi pakaian jadi, peningkatan yang terjadi 42 sebesar 23,13 persen atau senilai US$ 1,232 milyar. Hal ini lebih disebabkan oleh efek daya saing yang memberikan kontribusi positif dengan proporsi sebesar 70,56 persen atau senilai US$ 869,21 juta. Selain itu, efek pertumbuhan impor juga mendorong dengan proporsi 36,96 persen atau senilai US$ 455,28 juta. Sebaliknya, efek komposisi komoditi menekan dengan proporsi -7,52 persen atau sebesar US$ 92,65 juta. Peningkatan ekspor Tekstil dan Produk Tekstil Cina ke Amerika Serikat terus berlangsung pada periode 2003-2004. Peningkatan ekspor pakaian jadi sebesar 17,58 persen atau senilai US$ 1,153 milyar pada periode ini lebih disebabkan oleh dorongan pada efek pertumbuhan impor dengan proporsi 95,97 persen atau senilai US$ 1,11 milyar, kemudian efek daya saing mendorong dengan proporsi 64,44 persen atau senilai US$ 742,79 juta. Sementara itu, efek komposisi komoditi memberikan pengaruh negatif dengan kekuatan menekan sebesar 60,41 persen atau senilai US$ 696,34 juta. Peningkatan ekspor Tekstil dan Produk Tekstil ke Amerika Serikat yang dialami oleh Cina pada periode 2004-2005 cukup signifikan. Ternyata dengan diberlakukannya kebijakan penghapusan kuota mulai tanggal 1 Januari 2005 membawa dampak positif bagi negara-negara produsen Tekstil dan Produk Tekstil termasuk Cina. Pada komoditi pakaian jadi, peningkatan ekspornya sebesar 77,62 persen atau senilai US$ 5,984 milyar. Hal lebih disebabkan oleh efek daya saing yang memberikan kontribusi sebesar 92,62 persen atau senilai US$ 5,543 milyar. Kemudian efek pertumbuhan impor juga memberikan kontribusi positif dengan proporsi sebesar 17,48 persen atau senilai US$ 1,046 milyar. Namun efek 43 komposisi memberikan pengaruh negatif dengan kekuatan menekan sebesar 10,10 persen atau seilai US$ 604,42 juta. Kemudian pada periode 2005-2006 peningkatan ekspor Tekstil dan Produk Tekstil Cina masih cukup baik. Pada komoditi pakaian jadi, peningkatan ekspornya sebesar 18,81 persen atau senilai 2,576 milyar. Hal ini disebabkan oleh efek daya saing yang memberikan kontribusi sebesar 80,76 persen atau senilai US$ 2.081 milyar. Kemudian efek pertumbuhan impor juga memberikan kontribusi positif dengan proporsi sebesar 57,30 persen atau senilai US$ 1,476 milyar. Namun efek komposisi memberikan efek pengaruh negatif dengan kekuatan menekan sebesar 38,06 persen atau senilai US$ 980,48 juta. Pada periode 2006-2007 kinerja ekspor Tekstil dan Produk Tekstil Cina masih meningkat. Pada komoditi pakaian jadi, peningkatan yang terjadi sebesar 15,50 persen atau senilai US$ 2,520 milyar. Hal ini lebih disebabkan oleh efek daya saing yang memberikan kontribusi positif dengan proporsi sebesar 85,35 persen atau senilai US$ 2,151 milyar. Selain itu, efek pertumbuhan impor juga mendorong dengan proporsi 32,98 persen atau senilai US$ 831,41 juta. Sebaliknya, efek komposisi komoditi memberikan efek pengaruh negatif dengan proporsi 18,33 persen atau sebesar US$ 462,08 juta. Pada periode 2007-2008 kinerja ekspor Tekstil dan Produk Tekstil Cina mengalami penurunan, dimana nilai komoditi ekspor pakaian jadi Cina turun sebesar 1,20 persen atau senilai US$ 224,28 juta. Walaupun terjadi peningkatan pada efek pertumbuhan impor senilai US$ 1,375 milyar (613,29 persen), hal ini menjadi tidak berarti karena penurunan yang sangat signifikan terjadi pada efek komposisi komoditi yang turun menekan senilai US$ 1,903 milyar atau sebesar 44 848,72 persen. Efek daya saing memberikan kontribusi senilai US$ 303,74 juta (135,43 persen), dimana efek daya saing pada periode ini merupakan nilai efek daya saing paling rendah diantara periode-periode sebelumnya. Berdasarkan hasil kalkulasi CMS, pertumbuhan rata-rata ekspor pakaian jadi Cina ke Amerika Serikat pada periode 2001-2008 adalah sebesar US$ 1,950 milyar atau sbesar 22,84 persen. Dimana efek pertumbuhan impor rata-rata memerikan konribusi sebesar US$ 911,86 (-50,04 persen), sedangkan efek komposisi komoditi rata-rata memberikan kontribusi sebesar US$ -686,68 juta (99,72 persen), dan efek daya saing rata-rata memberikan kontribusi sebesar US$ 1,725 milyar atau sebesar 50,32 persen. Jadi berdasarkan hasil kalkulasi CMS, pertumbuhan ekspor pakaian jadi Cina ke Amerika Serikat periode 2001-2008 berdasarkan urutannya lebih dipengaruhi oleh efek daya saing kemudian efek pertumbuhan impor atau efek pangsa makro dari Amerika Serikat. Sedangkan efek komposisi komoditi atau efek pangsa mikro kurang memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekspor pakaian jadi Cina. Tabel 4.2 Hasil Analisis CMS Pakaian Jadi Cina di Pasar Amerika Serikat (US$ juta) Efek Efek Pertumbuhan Komposisi Impor Komoditi 2001- 92,34 -67,29 388,52 2002 22,33% -16,27% 93,94% 2002- 455,28 -92,65 869,21 Periode 2003 36,96% -7,52% Efek Daya Saing 70,56% Pertumbuhan Ekspor Keterangan Indonesia 413,57 Nilai komoditi ekspor pakaian jadi Cina naik disebabkan oleh peningkatan efek daya saing, artinya kualitas ekspor pakaian jadi Cina baik. 1231,84 Nilai komoditi ekspor pakaian jadi Cina naik disebabkan oleh peningkatan efek daya saing, 45 artinya kualitas ekspor pakaian jadi Cina baik. 2003- 1106,14 -696,34 742,79 2004 95,97% -60,41% 64,44% 2004- 1046,17 -604,42 5542,70 2005 17,48% -10,10% 92,62% 2005- 1476,20 -980,48 2080,67 2006 57,30% -38,06% 80,76% 2006- 831,41 -462,08 2151,09 2007 32,98% -18,33% 85,35% 2007- 1375,48 -1903,50 303,74 2008 -613,29% 848,72% -135,43% Rata- 911,86 -686,68 1725,53 1950,71 rata -50,04% 99,72% 50,32% 22,84% 1152,59 5984,44 2576,39 2520,42 -224,28 Nilai komoditi ekspor pakaian jadi Cina naik disebabkan oleh peningkatan efek pertumbuhan impor, artinya permintaan pakaian jadi Cina meningkat di pasar Amerika Serikat. Nilai komoditi ekspor pakaian jadi Cina naik disebabkan oleh peningkatan efek daya saing, artinya kualitas ekspor pakaian jadi Cina baik. Nilai komoditi ekspor pakaian jadi Cina naik disebabkan oleh peningkatan efek daya saing, artinya kualitas ekspor pakaian jadi Cina baik. Nilai komoditi ekspor pakaian jadi Cina naik disebabkan oleh peningkatan efek daya saing, artinya kualitas ekspor pakaian jadi Cina baik. Nilai komoditi ekspor pakaian jadi Cina naik disebabkan oleh peningkatan efek pertumbuhan impor, artinya permintaan pakaian jadi Cina meningkat di pasar Amerika Serikat. Pertumbuhan ekspor pakaian jadi Cina ke Amerika Serikat berdasarkan urutannya lebih dipengaruhi oleh efek daya saing kemudian efek pertumbuhan impor. Sedangkan efek komposisi komoditi kurang memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan ekspor pakaian jadi Indonesia. Sumber: Situs Resmi Perdagangan Komoditi Internasional (www.comtrade.un.org) (diolah penulis). Dari hasil analisis Constant Market Share di atas, terlihat bahwa efek daya saing pakaian jadi Indonesia lebih rendah dari efek daya saing pakaian jadi Cina dalam memberikan kontribusi ekspor. Efek daya saing dan efek pertumbuhan impor Amerika Serikat adalah efek yang paling menentukan dalam peningkatan/penurunan ekspor Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia dan Cina di 46 pasar Amerika Serikat dibandingkan efek komposisi komoditi. Namun jika dilihat dari dari rata-rata selama periode 2001-2008, efek yang memberikan kontribusi terbesar dalam pertumbuhan ekspor TPT Indonesia ke AS adalah efek pertumbuhan impor. Sedangkan bagi Cina, efek yang memberikan kontribusi terbesar dalam pertumbuhan ekspor TPT ke AS adalah efek daya saing Berdasarkan hasil analisis CMS, kinerja pertumbuhan ekspor Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia masih rendah dibandingkan ekspor Tekstil dan Produk Tekstil Cina. Kondisi tersebut disebabkan karena daya saing TPT Indonesia masih rendah dibandingkan daya saing TPT Cina di pasar Amerika Serikat dalam memberikan kontribusi ekspor. Hal ini dapat dilihat dari efek yang memberikan kontribusi terbesar dalam pertumbuhan ekspor TPT Indonesia adalah efek pertumbuhan impor, sedangkan efek pertumbuhan impor sangat dipengaruhi oleh efek daya saing. Artinya efek pertumbuhan impor TPT Indonesia dan Cina dipengaruhi oleh efek daya saing, dimana negara yang memiliki daya saing yang baik yang akan mengalami pertumbuhan permintaan akan ekspor komoditi TPT. B. Posisi Daya Saing Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia Dibandingkan Dengan Cina Di Pasar Amerika Serikat Dengan Pendekatan RCA 1. Analisis RCA Indonesia Daya saing suatu negara pada suatu produk atau komoditi dapat diestimasi melalui keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif. Analisis keunggulan komparatif pada penelitian ini menggunakan analisis RCA (Revealed Comparative Advantage). Nilai RCA merupakan gambaran dari kinerja ekspor 47 suatu komoditi. Nilai RCA yang lebih besar dari satu dianggap memiliki kinerja ekspor yang baik. Komoditi dengan nilai RCA lebih dari satu tersebut dapat dikatakan memiliki keunggulan komparatif sehingga disarankan untuk terus dikembangkan dengan melakukan spesialisasi pada komoditi tersebut. Berdasarkan hasil estimasi RCA dapat diketahui bahwa Indonesia mempunyai keunggulan komparatif yang cukup baik pada komoditi pakaian jadi di pasar Amerika Serikat, terlihat dari nilai RCA yang selalu lebih dari satu selama periode 2001 - 2005, yaitu dengan kisaran angka 4,456 sampai dengan 6,176. Nilai RCA Indonesia di pasar Amerika Serikat untuk komoditi pakaian jadi pada tahun 2001 yaitu 4,452, kemudian menurun menjadi 4,292 pada tahun 2002. Pada tahun 2003 nilai RCA Indonesia meningkat menjadi 4,799. Peningkatan nilai RCA Indonesia terus berlangsung hingga tahun 2008, yaitu sebesar 5,158 pada tahun 2004, 6,162 pada tahun 2005, 7,140 pada tahun 2006, 7,314 pada tahun 2007 dan 7,320 pada tahun 2008. 48 Tabel 4.3 Keunggulan Komparatif Pakaian Jadi Indonesia di Pasar Amerika Serikat Ekspor Indonesia ke AS (US$ juta) Tahun Pakaian Total Jadi 2001 1.944,16 7.761,30 Ekspor Dunia ke AS (US$ juta) RCA Pakaian Total Jadi 66.390,96 1.179.180 4,452 Indeks RCA Keterangan - - 2002 1.803,77 7.570,47 66.731,26 1.200.230 4,292 0,964 2003 1.935,85 7.386,38 71.277,40 1.303.050 4,799 1,118 2004 2.250,57 8.787,07 75.731,27 1.525.680 5,158 1,075 2005 2.817,03 9.889,20 80.070,66 1.732.350 6,162 1,195 Indeks RCA Indonesia sebesar 0,964 (kurang dari satu). Hal ini mengindikasikan bahwa terjadi penurunan kinerja ekspor TPT dibandingkan tahun lalu. Indeks RCA Indonesia sebesar 1,118 (lebih dari satu). Hal ini mengindikasikan bahwa terjadi peningkatan kinerja ekspor TPT dibandingkan tahun lalu. Indeks RCA Indonesia sebesar 1,075 (lebih dari satu). Hal ini mengindikasikan bahwa terjadi peningkatan kinerja ekspor TPT dibandingkan tahun lalu. Indeks RCA Indonesia sebesar 1,195 (lebih dari satu). Hal ini mengindikasikan bahwa terjadi peningkatan kinerja ekspor TPT 49 2006 3.475,78 11.259,14 82.971,59 1.918.997 7,140 1,159 2007 3.582,53 11.644,20 84.853,28 2.017.120 7,314 1,024 2008 3.647,37 13.079,93 82.466,30 2.164.834 7,320 1,001 dibandingkan tahun lalu. Indeks RCA Indonesia sebesar 1,159 (lebih dari satu). Hal ini mengindikasikan bahwa terjadi peningkatan kinerja ekspor TPT dibandingkan tahun lalu. Indeks RCA Indonesia sebesar 1,024 (lebih dari satu). Hal ini mengindikasikan bahwa terjadi peningkatan kinerja ekspor TPT dibandingkan tahun lalu. Indeks RCA Indonesia sebesar 1,001 (lebih dari satu). Hal ini mengindikasikan bahwa terjadi peningkatan kinerja ekspor TPT dibandingkan tahun lalu. Sumber: Situs Resmi Perdagangan Komoditi Internasional (www.comtrade.un.org) (diolah penulis). Keterangan : - Nilai RCA > 1 berarti komoditi pakaian jadi Indonesia memiliki keunggulan komparatif (diatas rata-rata dunia). - Nilai RCA < 1 berarti komoditi pakaian jadi Indonesia keunggulan komparatifnya dibawah rata-rata dunia. - Indeks RCA berkisar antara nol sampai tak hingga. Jika nilai indeks RCA sama dengan satu berarti kinerja ekspor TPT Indonesia di pasar AS tahun sekarang sama dengan tahun lalu. 50 Tingginya daya saing pada komoditi pakaian jadi Indonesia di pasar Amerika Serikat yang dicerminkan dengan tingginya nilai RCA salah satunya disebabkan karena Indonesia memiliki sub sektor industri yang lengkap dari hulu ke hilir, yakni dari produk benang (pemintalan), pertenunan, rajutan dan produk akhir. Selain itu Indonesia juga memiliki keunggulan dalam hal jumlah tenaga kerja yang diserap dalam industri tersebut. Untuk komoditi pakaian jadi, sampai saat ini Indonesia menjadi negara pengekspor ke-9 terbesar di dunia dengan pangsa 4,45 persen dari total pasar tekstil dunia. Perkembangan pangsa relatif komoditi pakaian jadi Indonesia dapat diketahui melalui perhitungan indeks RCA pakaian jadi antara dua waktu. Nilai indeks RCA yang lebih dari satu menunjukkan bahwa ekspor pakaian jadi mengalami peningkatan relatif dibandingkan rata-rata negara-negara lain yang mengekspor ke Amerika Serikat, sehingga pangsa pasarnya meningkat. Analisis lebih spesifik berdasarkan masing-masing periode dapat dijelaskan sebagai berikut : ▪ Periode 2001-2002 : Indeks RCA Indonesia sebesar 0,964 (kurang dari satu). Hal ini mengindikasikan bahwa daya saing pakaian jadi Indonesia di pasar Amerika Serikat yang lemah. Pada periode ini impor pakaian jadi Amerika Serikat naik sebesar 0,51 persen, namun ekspor pakain jadi Indonesia ke Amerika Serikat turun 7,22 persen. Untuk mempertahankan pangsa pasarnya, Indonesia harus mampu mengekspor pakaian jadi ke Amerika Serikat sebesar US$ 1,954 milyar. Namun realisasinya Indonesia hanya mampu mengekspor 51 senilai US$ 1,804 milyar. Hal ini menunjukkan bahwa ada bagian senilai US$ 0,15 milyar milik Indonesia yang beralih ke negara pesaing. ▪ Periode 2002-2003 : Indeks RCA menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan daya saing pakain jadi Indonesia di pasar Amerika Serikat, dengan nilai 1,118. Periode ini impor pakaian jadi Amerika Serikat mengalami pertumbuhan sebesar 6,81 persen, tetapi pertumbuhan ekspor pakaian jadi ke Amerika Serikat meningkat lebih besar, yaitu sebesar 7,32 persen. Untuk mempertahankan pangsa pasarnya, Indonesia hanya butuh mengekspor pakaian jadi ke Amerika Serikat senilai US$ 1,927 milyar. Namun realisasinya, Indonesia mampu mengekspor hingga US$ 1,936 milyar. Hal ini menunjukkan bahwa ada senilai US$ 0,009 milyar milik negara pesaing yang beralih ke Indonesia. ▪ Periode 2003-2004 : Pada periode ini indeks RCA masih berkisar diatas satu, yaitu 1,075. Hal menunjukkan bahwa daya saing pakaian jadi Indonesia di pasar Amerika Serikat masih cukup baik. Impor pakaian jadi Amerika Serikat pada periode ini naik sebesar 6,25 persen, namun ekspor pakaian jadi Indonesia ke Amerika Serikat meningkat sebesar 16,25 persen. Untuk mempertahankan pangsa pasarnya, Indonesia hanya butuh mengekspor pakaian jadi ke Amerika Serikat senilai US$ 2,057 milyar, namun realisasinya Indonesia mampu mengekspor hingga US$ 2,251 milyar. Artinya, kinerja ekspor pakaian jadi Indonesia ke pasar Amerika Serikat menghasilkan USS 0,194 milyar lebih baik dari sekedar mempertahankan pangsa pasar. 52 ▪ Periode 2004-2005 : Pada periode ini pangsa pasar pakaian jadi Indonesia di Amerika serikat kembali mengalami peningkatan, terlihat dari indeks RCA sebesar 1,195 (lebih tinggi dari periode sebelumnya). Pada periode ini impor pakaian jadi Amerika Serikat naik sebesar 5,73 persen, namun ekspor pakaian jadi Indonesia ke Amerika Serikat meningkat jauh lebih besar, yaitu 25,17 persen. Untuk mempertahankan pangsa pasarnya, Indonesia hanya butuh mengekspor pakaian jadi ke Amerika Serikat senilai US$ 2,379 milyar, namun kenyataannya Indonesia mampu mengekspor hingga US$ 2,817 milyar. Artinya, kinerja ekspor pakaian jadi Indonesia ke pasar Amerika Serikat menghasilkan USS 0,438 milyar lebih baik dari sekedar mempertahankan pangsa pasar. Atau dengan kata lain, ada senilai US$ 0,438 milyar milik negara pesaing yang beralih ke Indonesia. ▪ Periode 2005-2006 : Pada periode ini indeks RCA masih berkisar diatas satu, yaitu 1,159. Hal menunjukkan bahwa daya saing pakaian jadi Indonesia di pasar Amerika Serikat masih cukup baik. Impor pakaian jadi Amerika Serikat pada periode ini naik sebesar 3,62 persen, namun ekspor pakaian jadi Indonesia ke Amerika Serikat meningkat sebesar 23,28 persen. Untuk mempertahankan pangsa pasarnya, Indonesia hanya butuh mengekspor pakaian jadi ke Amerika Serikat senilai US$ 2,919 milyar, namun realisasinya Indonesia mampu mengekspor hingga US$ 3,476 milyar. Artinya, kinerja ekspor pakaian jadi Indonesia ke pasar Amerika Serikat menghasilkan USS 0,557 milyar lebih baik dari sekedar mempertahankan pangsa pasar. 53 ▪ Periode 2006-2007 : Pada periode ini indeks RCA sebesar 1,024. Hal menunjukkan bahwa daya saing pakaian jadi Indonesia di pasar Amerika Serikat masih cukup baik. Impor pakaian jadi Amerika Serikat pada periode ini naik sebesar 2,27 persen, namun ekspor pakaian jadi Indonesia ke Amerika Serikat meningkat sebesar 3,07 persen. Untuk mempertahankan pangsa pasarnya, Indonesia butuh mengekspor pakaian jadi ke Amerika Serikat senilai US$ 3,554 milyar, namun realisasinya Indonesia mampu mengekspor US$ 3,582 milyar. Artinya, kinerja ekspor pakaian jadi Indonesia ke pasar Amerika Serikat menghasilkan USS 0,028 milyar lebih baik dari sekedar mempertahankan pangsa pasar. ▪ Periode 2007-2008 : Pada periode ini indeks RCA sebesar 1,001. Hal menunjukkan bahwa daya saing pakaian jadi Indonesia di pasar Amerika Serikat masih cukup baik. Impor pakaian jadi Amerika Serikat pada periode ini turun sebesar 2,81 persen, namun ekspor pakaian jadi Indonesia ke Amerika Serikat meningkat sebesar 1,81 persen. Untuk mempertahankan pangsa pasarnya, Indonesia butuh mengekspor pakaian jadi ke Amerika Serikat senilai US$ 3,482 milyar, namun realisasinya Indonesia mampu mengekspor US$ 3,647 milyar. Artinya, kinerja ekspor pakaian jadi Indonesia ke pasar Amerika Serikat menghasilkan USS 0,165 milyar lebih baik dari sekedar mempertahankan pangsa pasar. 54 2. Analisis RCA Cina Melihat tingginya volume ekspor Tekstil dan Produk Tekstil Cina ke Amerika Serikat, maka Cina dianggap sebagai pesaing utama dalam mengekspor komoditi tersebut ke Amerika Serikat. Ternyata, daya saing pakaian jadi Cina di pasar Amerika Serikat seperti yang ditunjukkan nilai RCA dalam Tabel 4.9, tidak sebaik nilai RCA yang dimiliki Indonesia. Nilai RCA Cina hanya berkisar antara 1,241 hingga 1,816. Hal ini menunjukkan bahwa secara komparatif, pakaian jadi Indonesia masih memiliki keunggulan yang lebih tinggi daripada pakaian jadi Cina di pasar Amerika Serikat. Nilai RCA pakaian jadi Cina di pasar Amerika Serikat pada tahun 2001 adalah sebesar 1,605, kemudian mengalami penurunan hingga tahun 2004, dimana nilai RCA Cina pada saat itu sebesar 1,367 pada tahun 2002, 1,296 pada tahun 2003 dan 1,241 pada tahun 2004. Pada tahun 2005 nilai RCA Cina kembali meningkat hingga tahun 2008, dimana nilai RCA pada tahun 2005 sebesar 1,815, tahun 2006 sebesar 1,847, tahun 2007 sebesar 1,916 dan pada tahun 2008 sebesar 1,928. 55 Tabel 4.4 Keunggulan Komparatif Pakaian Jadi Cina di Pasar Amerika Serikat Ekspor Cina ke AS Ekspor Dunia ke AS (US$ juta) (US$ juta) Tahun Indeks RCA Keterangan Pakaian Pakaian RCA Total Total Jadi Jadi 2001 4.911,37 54.355,08 66.390,96 1.179.180 1,605 - 2002 5.324,94 70.050,09 66.731,26 1.200.230 1,367 0,852 2003 6.556,83 92.626,30 71.277,40 1.303.050 1,296 0,948 2004 7.709,42 125.148,96 75.731,27 1.525.680 1,241 0,958 2005 13.693,86 163.180,46 80.070,66 1.732.350 1,815 1,463 Indeks RCA Cina sebesar 0,852 (kurang dari satu). Hal ini mengindikasikan bahwa terjadi penurunan kinerja ekspor TPT dibandingkan tahun lalu. Indeks RCA Cina sebesar 0,948 (kurang dari satu). Hal ini mengindikasikan bahwa terjadi penurunan kinerja ekspor TPT dibandingkan tahun lalu. Indeks RCA Cina sebesar 0,958 (kurang dari satu). Hal ini mengindikasikan bahwa terjadi penurunan kinerja ekspor TPT dibandingkan tahun lalu. Indeks RCA Cina sebesar 1,463 (lebih dari satu). Hal ini mengindikasikan bahwa terjadi peningkatan kinerja ekspor TPT dibandingkan tahun lalu. 56 2006 16.270,25 203.801,04 82.971,59 1.918.997 1,847 1,018 2007 18.790,67 233.096,68 84.853,28 2.017.120 1,916 1,037 2008 18.566,39 252.843,53 82.466,30 2.164.834 1,928 1,006 Indeks RCA Cina sebesar 1,018 (lebih dari satu). Hal ini mengindikasikan bahwa terjadi peningkatan kinerja ekspor TPT dibandingkan tahun lalu. Indeks RCA Cina sebesar 1,037 (lebih dari satu). Hal ini mengindikasikan bahwa terjadi peningkatan kinerja ekspor TPT dibandingkan tahun lalu. Indeks RCA Cina sebesar 1,006 (lebih dari satu). Hal ini mengindikasikan bahwa terjadi peningkatan kinerja ekspor TPT dibandingkan tahun lalu. Sumber: Situs Resmi Perdagangan Komoditi Internasional (www.comtrade.un.org) (diolah penulis). Keterangan : - Nilai RCA > 1 berarti komoditi pakaian jadi Indonesia memiliki keunggulan komparatif (diatas rata-rata dunia). - Nilai RCA < 1 berarti komoditi pakaian jadi Indonesia keunggulan komparatifnya dibawah rata-rata dunia. - Indeks RCA berkisar antara nol sampai tak hingga. Jika nilai indeks RCA sama dengan satu berarti kinerja ekspor TPT Indonesia di pasar AS tahun sekarang sama dengan tahun lalu. Walaupun nilai RCA Cina lebih rendah dari nilai RCA Indonesia, namun bila dilihat dari volume ekspor pakaian jadi ke Amerika Serikat, Cina selalu jauh 57 lebih tinggi dari Indonesia. Rendahnya nilai RCA Cina jika dibandingkan dengan Indonesia lebih dikarenakan rendahnya kontribusi ekspor pakaian jadi terhadap total ekspor Cina ke Amerika Serikat. Rata-rata kontribusi pakaian jadi terhadap total ekspor Cina ke Amerika Serikat hanya 8 persen per tahun. Jika dibandingkan dengan pakaian jadi Indonesia yang memiliki rata-rata kontribusi sekitar 23 % per tahun, jelas nilai RCA Indonesia lebih tinggi dari Cina. Seperti halnya nilai RCA, indeks RCA Cina yang pada umumnya rendah, bukan menunjukkan pangsa nilai komoditi pakaian jadi Cina yang rendah. Hal ini terlihat dari selalu bertambanya pangsa nilai dari komoditi pakaian jadi Cina pada setiap tahunnya. Analisis lebih spesifik berdasarkan masing-masing periode dapat dijelaskan sebagai berikut : ▪ Periode 2001-2002 : Indeks RCA China yang senilai 0,852 (kurang dari satu) bukan mencerminkan rendahnya daya saing (turunnya pangsa pasar) komoditi pakaian jadi Cina, tetapi karena peningkatan pangsa pasar pakaian jadi Cina di pasar Amerika Serikat diikuti oleh peningkatan yang lebih besar pada pangsa pasar total ekspor Cina di pasar Amerika Serikat. Impor pakaian jadi Amerika meningkat 0,51 persen. Cina hanya butuh mengekspor senilai US$ 4,936 milyar untuk mempertahankan pangsa pasarnya. Namun realisasinya Cina mampu mengekspor hingga US$ 5,324 milyar. Artinya ada bagian sebayak US$ 0,388 milyar yang berali ke Cina. Diduga telah terjadi peralihan pangsa pasar dari Indonesia ke Cina, karena pada saat itu Indonesia telah kehilangan pangsa pasarnya sebanyak US$ 0,15 milyar. 58 ▪ Periode 2002-2003 : Pada periode ini indeks RCA Cina sebesar 0,948. Kondisi ini juga tidak jauh berbeda pada periode sebelumnya. Walaupun indeks RCA masih kurang dari satu, namun pangsa pasar pakaian jadi Cina terus meningkat. Peningkatan pangsa pasar pada periode ini mencapai US$ 0,869 milyar. Cina cukup mengekspor pakaian jadi ke Amerika Serikat sebanyak US$ 5,687 milyar untuk mempertahankan pangsa pasarnya. Namun Cina mampu mengekspor hingga 6,556 milyar. Bila dibandingkan dengan Indonesia, peningkatan pangsa pasar yang diperoleh Cina lebih besar, karena pada saat itu Indonesia hanya mampu meningkatkan pangsa pasarnya sebanyak US$ 0,009 milyar. ▪ Periode 2003-2004 : Peningkatan pangsa pasar dari total ekspor Cina ke Amerika Serikat yang lebih tinggi dari peningkatan pangsa pasar pakaian jadi Cina ke Amerika Serikat menyebabkan indeks RCA pakaian jadi Cina hanya bernilai 0,958. Impor pakaian jadi Amerika Serikat pada periode ini meningkat 6,25 persen. Untuk mempertahankan pangsa pasarnya, Cina hanya butuh mengekspor pakaian jadi senilai US$ 6,966 milyar ke Amerika Serikat. Namun Cina mampu mengekspor hingga US$ 7,709 milyar. Artinya, ada bagian sebanyak US$ 0,743 milyar yang beralih ke Cina. Pada periode ini, Indonesia juga mengalami peningkatan pangsa pasar, namun tidak sebesar yang dialami oleh Cina, karena Indonesia hanya mampu meningkatkan pangsa pasar sebesar USS 0,194 milyar. 59 ▪ Periode 2004-2005: Indeks RCA Cina pada perode ini sebesar 1,463. Hal ini menunjukkan daya saing pakaian jadi mengalami peningkatan yang cukup besar (peningkatan pangsa pasar). Bahkan peningkatan pangsa pasar pakaian jadi tersebut lebih besar dari peningkatan pangsa pasar dari total ekspor Cina ke Amerika Serikat. Untuk mempertahankan pangsa pasarnya, Cina hanya butuh mengekspor pakaian jadi sebanyak US$ 8,151 milyar. Namun Cina mampu mengekspor hingga US$ 13,693 milyar. Berarti ada bagian sebanyak US$ 5,542 milyar yang beralih ke Cina. Bila dibandingkan dengan Indonesia, peningkatan pangsa pasar yang dialami oleh Cina jauh lebih besar, karena Indonesia hanya mampu meningkatkan pangsa pasarnya senilai US$ 0,438 milyar. ▪ Periode 2005-2006: Pada periode ini indeks RCA Cina sebesar 1,018 (masih diatas satu). Peningkatan pangsa pasar pada periode ini mencapai US$ 2,081 milyar. Cina cukup mengekspor pakaian jadi ke Amerika Serikat sebanyak US$ 14,189 milyar untuk mempertahankan pangsa pasarnya. Namun Cina mampu mengekspor hingga 16,270 milyar. Bila dibandingkan dengan Indonesia, peningkatan pangsa pasar yang diperoleh Cina lebih besar, karena pada saat itu Indonesia hanya mampu meningkatkan pangsa pasarnya sebanyak US$ 0,557 milyar. ▪ Periode 2006-2007: Pada periode ini indeks RCA Cina sebesar 1,037 (meningkat dibandingak periode sebelumnya). Peningkatan pangsa pasar pada periode ini mencapai 60 US$ 2,151 milyar. Cina cukup mengekspor pakaian jadi ke Amerika Serikat sebanyak US$ 16,639 milyar untuk mempertahankan pangsa pasarnya. Namun Cina mampu mengekspor hingga 18,790 milyar. Bila dibandingkan dengan Indonesia, peningkatan pangsa pasar yang diperoleh Cina lebih besar, karena pada saat itu Indonesia hanya mampu meningkatkan pangsa pasarnya sebanyak US$ 0,028 milyar. ▪ Periode 2007-2008: Pada periode ini indeks RCA Cina sebesar 1,006 (masih diatas satu). Peningkatan pangsa pasar pada periode ini mencapai US$ 0,304 milyar. Cina cukup mengekspor pakaian jadi ke Amerika Serikat sebanyak US$ 18,262 milyar untuk mempertahankan pangsa pasarnya. Namun Cina mampu mengekspor hingga 18,566 milyar. Bila dibandingkan dengan Indonesia, peningkatan pangsa pasar yang diperoleh Cina lebih besar, karena pada saat itu Indonesia hanya mampu meningkatkan pangsa pasarnya sebanyak US$ 0,165 milyar. 61 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dari hasil analisis Constant Market Share, terlihat bahwa efek daya saing dan efek pertumbuhan impor adalah efek yang paling menentukan dalam peningkatan/penurunan ekspor pakaian jadi Indonesia dan Cina di pasar Amerika Serikat dibandingkan efek komposisi komoditi. Efek daya saing komoditi pakaian jadi Indonesia lebih rendah dari Cina dalam memberikan kontribusi ekspor. Berdasarkan hasil analisis CMS, kinerja pertumbuhan ekspor Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia masih rendah dibandingkan ekspor Tekstil dan Produk Tekstil Cina. Kondisi tersebut disebabkan karena daya saing TPT Indonesia masih rendah dibandingkan daya saing TPT Cina di pasar Amerika Serikat dalam memberikan kontribusi ekspor. Daya saing secara komparatif untuk komoditi pakaian jadi Indonesia lebih baik dibanding komoditi pakaian jadi Cina, hal ini disebabkan ekspor pakaian jadi Indonesia ke Amerika Serikat memberikan kontribisi yang cukup besar terhadap total ekspor Indonesia ke Amerika Serikat. Dari perkembangan indeks RCA menunjukkan bahwa pangsa pasar Indonesia di Amerika Serikat untuk komoditi pakaian jadi cenderung berfluktuasi dalam setiap tahunnya, sementara pangsa pasar Cina di Amerika Serikat cenderung bertambah. B. Saran Bagi para pelaku eksportir pakaian jadi Indonesia dalam jangka panjang harus mampu meningkatkan daya saing produk yang akan diekspor jika tidak 62 ingin terjadi peralihan pangsa pasar ke negara pesaing. Peningkatan daya saing harus dilakukan dari segi harga maupun kualitas. Berdasarkan implikasi yang menunjukkan bahwa dengan diberlakukannya kebijakan penghapusan kuota akan menyebabkan peningkatan ekspor pakaian jadi, maka penulis menyarankan agar kebijakan tersebut tetap dipertahankan. Implikasi tersebut juga menjelaskan bahwa penurunan ekspor dan produksi dapat disebabkan oleh adanya impor ilegal, maka pemerintah harus berusaha sedapat mungkin untuk dapat mencegah atau mengurangi impor ilegal tersebut. Karena dengan adanya impor ilegal yang harganya jauh lebih murah, maka dapat merugikan para produsen domestik. Pemerintah harus lebih memperhatikan keadaan industri ini, mengingat industri ini mempunyai potensi yang cukup bagus di masa depan. 63 DAFTAR PUSTAKA Deliarnov. 1995. Pengentar Ekonomi Makro. Jakarta. UI Press. Departemen Perdagangan Indonesia. 2008. Statistik. www.depdag.go.id (30 Desember 2009) Departemen Perindustrian Indonesia. 1998. Correlation with Harmonize System. Jakarta. Biro Pusat Statistik. Dumairy. 2001. Perekonomian Indonesia. Jakarta. Erlangga. Hamdy, Hady. 2001. Ekonomi Internasional – Teori dan Kebijakan Perdagangan Internasional. Jakarta. Ghalia Indonesia. Lipsey, dkk. 1995. Pengantar Mikroekonomi. Jilid 1. Jaka Wasana dan Kirbrandoko (Penerjemah). Jakarta. Binarupa Aksara. Lipsey, dkk. 1995. Pengantar Mikroekonomi. Jilid 2. Jaka Wasana dan Kirbrandoko (Penerjemah). Jakarta. Binarupa Aksara. Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI. 1998. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan N0. 558/MPP/Kep/12/1998 Tentang Ketentuan Umum di Bidang Ekspor. Jakarta Porter, E. Michael. 1995. Competitive Advantage of Nations. United Kingdom. The Macmillan Press. Ltd. Hampshire. Salvatore, Dominick. 1997. Ekonomi Internasional. Haris Munandar (Penerjemah). Jakarta. Erlangga. Tambunan, T.H. Tulus. 2001. Industrialisasi Di Negara sedang Berkembang :kasus Indonesia. Jakarta. Ghalia Indonesia. Triyoso, Bambang. 1994. Model Ekspor Non Migas Indonesia Untuk Proyeksi Jangka Pendek. Jakarta. United Nations Statistic Division. 2008. Commodity www.comtrade.un.org. (30 Desember 2009). Trade. 64