Islam Kontemporer: Jurnal Studi Keislaman/Vol. 1 No. 1 2016 PERAN KEPALA SEKOLAH DALAM MEMBERDAYAKAN TENAGA PENDIDIK (Key Concept of Leadership Roles at SMA Negeri 16 and SMA Muhammadiyah 2, Surabaya) Oleh: M. Bakhruddin, M. Pd. I ABSTRAK Artikel ini, merupakan hasil penelitian lapangan terkait dengan peran kepala sekolah dalam memberdayakan tenaga kependidikan. Penelitian ini dilatari oleh kegelisahan, adanya pemikiran bahwa, peran kepala sekolah tereduksi menjadi peran administrator, manajer, dan supervisor terhadap programprogram yang dicanangkan pada lembaga pendidikan. Padahal, semestinya, peran kepala sekolah lebih luas dari terminologi yang dibingkai secara teoritik. Hal yang terpenting ialah, seorang kepala sekolah harus bisa menumbuhkan efektifitas program yang direncanakan, inovatif dalam mengambil keputusan, serta efesien dari sisi pengelolaan waktu. Semuanya ini harus terinternalisasi di dalam diri kepala sekolah. Agar, apapun programprogram yang sudah dicanangkan bisa dilaksanakan secara seksama. Penelitian ini, berbentuk penelitian kualitatif dengan model analisa isi. Pada kesimpulannya, hasil dari penelitian ini mengungkapkan bahwa, kedisiplinan, komunikasi, partisipasi, serta membangun budaya kerja yang professional, menjadi kata kunci keberhasilan kepemimpinan di SMAN 16 dan SMA Muhammadiyah 2 Surabaya. Tanpa harus memisahkan kapan kepala sekolah berperan sebagai administrator, leader, manajer, dan supervisor. Holisme peran dan internalisasi tanggung jawab yang kuat, akan menghasilkan modal kepemimpinan yang dapat memberdayakan tenaga pendidik, secara efektif dan terukur. Keyword; Peran Kepala Sekolah, Tenaga Pendidikan ABSTRACT This article is the result of field research related to the principal's role in empowering educators. The research was backed by anxiety, the idea that, the principal's role is reduced to the role of administrators, managers, and supervisors of the programs launched in educational institutions. In fact, should be, the role of the principal is more comprehensive terminology theoretically framed. The important thing is, a school principal should be able to cultivate the effectiveness of the planned program, innovative in taking decisions, as well as efficient in terms of time management. All this must be internalized within the principal. In order, any programs that have been proposed could be implemented carefully. This research, qualitative research shaped by the content analysis model. In conclusion, the results of this study revealed that, discipline, communication, participation, and build a culture that is professional, the key to success leadership in SMAN 16 and SMA Muhammadiyah 2 Surabaya. Without the need to separate when the principal role as administrator, leader, manager, and supervisor. Holism roles ISSN: 2540-8151 (Print) ISSN: 2549-3264 (Online) Islam Kontemporer: Jurnal Studi Keislaman/Vol. 1 No. 1 2016 and responsibilities internalization strong leadership will generate capital that can empower educators, effective and measurable. keyword; Role Principal, Education Personnel Pendahuluan Pasca reformasi digulirkan, serta Undang-Undang Otonomi disahkan dan diberlakukan, demokratisasi lini kehidupan masyarakat juga berubah drastis. Di masa sekarang, tidak ada lagi otoritas/kekuasaan tunggal yang memiliki hak mengatur perilaku masyarakat. Otoritas mengelola negara sudah dibagi-bagi secara merata, dalam koridor dan proporsinya masing-masing. Termasuk yang terkena imbas dari proses tersebut ialah, sistem pengelolaan (baca; manajemen) lembaga pendidikan. Sejarah Indonesia mencatat bahwa, sistem pendidikan nasional, dari sisi kewenangan, berbentuk sentralistik, setidaknya hingga kepemimpinan Orde Baru. Para pengelola (administrator) lembaga pendidikan di tingkat daerah, kota, dan local sekolah, tak ubahnya hanya sebagai operator derivatif yang tatanan sistem dan mikanisme perannya sudah ditentukan oleh pemerintah pusat. Tapi hari ini, kewenangan itu sudah didekonsentrasikan – jikalau tidak mau dikatakan diotonomkan – ke level yang paling rendah. Oleh karena perubahan di atas, maka siapapun yang diberi otoritas kepemimpinan di semua level, dituntut untuk melakukan inovasi, kreasi, dan tentunya, mendalami peran-peran yang sudah diberikan oleh pemerintah. Peran-peran yang dipegang teguh ini, dapat dipastikan, akan menghilangkan dampak negatif dari proses seleksi alam demokrasi; seperti, sekolah yang gulung tikar, karena tidak ada siswa yang ingin bersekolah, sekolah yang tidak efektif dalam proses pengelolaannya, hingga pada proses penyelewengan kekuasaan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Para pakar pendidikan, termasuk di dalamnya Ngainun Naim, mengatakan hari ini dibutuhkan kepala sekolah yang mampu dan memiliki kompetensi manajerial yang baik. Pasalnya, hanya dengan seperti itulah, sekolah tidak akan mengalami degresi pengelolaan, sehingga mengakibatkan kebangkrutan lembaga.1 Tidak sekedar para akademisi yang risau dan mulai memikirkan bagaimana membingkai format ideal kepala sekolah, akibat kewenangan yang didekonsentrasikan. Pemerintah – selaku pemegang otoritas tertinggi, bukan kekuasaan (power) – juga menggalakkan pelatihan dan supervisi agar kepala sekolah memiliki kompetensi dan pengetahuan untuk membangun sekolah yang bermutu. Kepala sekolah sebagai top leader 1 Ngainun Naim, Rekonstruksi Pendidikan Nasional: Membangun Paradigma yang Mencerahkan, (Yogyakarta: Teras, 2009), 48 ISSN: 2540-8151 (Print) ISSN: 2549-3264 (Online) Islam Kontemporer: Jurnal Studi Keislaman/Vol. 1 No. 1 2016 mempunyai wewenang dan kekuasaan, serta kompetensi untuk mengatur dan mengembangkan bawahannya secara profesional. Dengan demikian kepala sekolah harus memiliki kompetensi profesional yaitu: (1) kepala sekolah sebagai pemimpin, (2) kepala sekolah sebagai manajer, (3) kepala sekolah sebagai pendidik, (4) kepala sekolah sebagai administrator, (4) kepala sekolah sebagai wirausahawan, (6) kepala sekolah sebagai pencipta iklim kerja, dan (7) kepala sekolah sebagai penyelidik. 2 Kepala sekolah sebagai seorang pemimpin mempunyai tanggungjawab yang paling besar terhadap lembaganya, karena ia merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi gagal atau berhasilnya sebuah lembaga (organisasi).3 Tentunya, tidak sahih juga, apabila urusan sekolah dicukupkan pada kecakapan kepemimpinan kepala sekolah, serta kekuatan perannya mengatur lembaga pendidikan. Kepala sekolah juga membutuhkan bantuan, dukungan, serta kerjasama dari tenaga pendidikan yang profesional. Seorang tenaga pendidikan yang memiliki standarisasi latar belakang pengetahuan, expertise (keahlian), dan keterampilan, sehingga dapat membantu kepala sekolah menyelasaikan persoalan-persoalan yang dihadapinya. Kepala sekolah, sebagaimana diungkapkan oleh HAR Tilaar, adalah jenderal lapangan yang mengendalikan berbagai strategi dan taktik untuk melaksanakan program yang telah disepakati bersama-sama para anggotanya (membership).4 Lebih dari itu, pemimpin seharusnya memiliki gagasan yang terus berkembang terutama terkait strategi memajukan organisasi yang dipimpinnya termasuk juga lembaga pendidikan.Pemimpin seharusnya berkonsentrasi pada pemikiran lalu action bagaimana memajukan lembaga pendidikan yang dipimpinnya sehingga mampu bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya yang maju, dan dapat menjaga kualitas. Bingkai teoritik inilah yang melatari tulisan ini ada. Ditambah lagi dengan kenyataan di lapangan, kalau kepala sekolah cenderung mementingkan peran-peran formal (status quo) dibandingkan perilaku-perilaku yang kreatif, inovatif, dan berani mengambil resiko dalam menjalankan perannya sebagai kepala sekolah (principalship). Ada banyak fakta yang bisa dilihat, bagaimana kepala-kepala sekolah negeri, hanya menjalankan aturan-aturan yang sudah ditentukan negara. Bahkan, tidak sedikit pula, di beberapa daerah perkotaan, sekolahsekolah negeri kalah bersaing dengan sekolah swasta. Apa pasal, hasil dari kesimpulan para peneliti, hal itu diakibatkan oleh kurangnya peran kepala sekolah dalam memberdayakan pekerja professional yang ada dibawah komandonya. 2Tim Penyusun Kemendikbud, Standar Kompetensi Kepala Sekolah TK, SD, SMP, SMA, SMK, dan SLB, (Yogyakarta:Pustaka Yustisia, 2007), h. 102-103. 3Sukamto,Kepemimpinan Kyai dalam Pesantren, (Jakarta: LP3S, 1999), h. 19. 4H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000), h. 158. ISSN: 2540-8151 (Print) ISSN: 2549-3264 (Online) Islam Kontemporer: Jurnal Studi Keislaman/Vol. 1 No. 1 2016 Maka dari itu, penelitian ini adalah kajian multi-kasus, yang situsnya ditentukan memiliki kesamaan; dari sisi keunggulan. Meskipun, secara hirarki kerjanya berbeda. SMA Negeri 16 Surabaya merupakan public school, yang hirarki kepemimpinannya bertanggung jawab secara langsung kepada pimpinan birokrasi di atasnya. Sedikit berbeda dengan SMA Muhammadiyah 2 yang pertanggung jawaban kinerjanya diukur oleh organisasi kemasyarakatan, serta lembaga pendidikan (dinas pendidikan) yang menaungi semua lembaga pendidikan. Secara teoritik, penelitian ini akan menguji, berdasarkan paradigma penelitian kualitatif, terhadap peran-peran yang dilakukan oleh kepala sekolah, hingga mereka mendapatkan keunggulan terhadap lembaga yang dipimpinnya. Selanjutnya, penelitian ini juga diharapkan akan menghasilkan konsepsi coding sederhana, kemudian bisa diduplikasi oleh para pemimpin lembaga pendidikan; apakah itu swasta ataupun negeri. Principal Roles in School; a Theoretical Review Dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan diperlukan upaya optimalisasi terhadap semua komponen, pelaksana, dan kegiatan pendidikan. Salah satu paling penting yang harus dilakukan adalah melalui optimalisasi peran kepala sekolah. Kepala sekolah adalah pemimpin pendidikan yang mempunyai peranan sangat besar dalam mengembangkan mutu pendidikan di sekolah. Berkembangnya semangat kerja, kerjasama yang harmonis, minat terhadap perkembangan pendidikan, suasana kerja yang kondusif dan menyenangkan, perkembangan mutu profesional diantara para guru banyak ditentukan kualitas kepemimpinan kepala sekolah. Dalam satuan pendidikan, kepala sekolah menduduki dua jabatan penting untuk bisa menjamin kelangsungan proses pendidikan sebagaimana yang telah digariskan oleh perundang-undangan. Pertama, kepala sekolah adalah pengelola pendidikan di sekolah secara keseluruhan. Kedua, kepala sekolah adalah pemimpin formal pendidikan di sekolahnya. Sebagai pengelola pendidikan, berarti kepala sekolah bertanggung jawab terhadap keberhasilan penyelenggaraan kegiatan pendidikan dengan cara melaksanakan administrasi sekolah dengan seluruh substansinya. Disamping itu kepala sekolah bertanggungjawab terhadap kualitas sumber daya manusia yang ada agar mereka mampu menjalankan tugastugas pendidikan. Oleh karena itu sebagai pengelola, kepala sekolah memiliki tugas untuk mengembangkan kinerja para personal (terutama para guru) ke arah profesionalisme yang diharapkan. Sebagai pemimpin formal, kepala sekolah bertanggungjawab atas tercapainya tujuan pendidikan melalui upaya menggerakkan para bawahan ke arah pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Dalam hal ini kepala sekolah bertugas melaksanakan fungsi-fungsi ISSN: 2540-8151 (Print) ISSN: 2549-3264 (Online) Islam Kontemporer: Jurnal Studi Keislaman/Vol. 1 No. 1 2016 kepemimpinan, baik fungsi yang berhubungan dengan pencapaian tujuan pendidikan maupun penciptaan iklim sekolah yang kondusif bagi terlaksananya proses belajar mengajar secara efektif dan efisien.5 Tanggungjawab/amanah merupakan beban yang harus dipikul dan melekat pada seorang kepala sekolah yang harus dipertanggungjawabkan dalam organisasi dan dihadapan yang Maha Kuasa kelak, sekaligus sebagai peluang untuk beribadah kepada Allah serta memberikan manfaat bagi orang lain. Hal ini tergambar dalam hadits : ُس َبو َ َع ْن ع ُْم ِش ِه ِف ٍْ َمب أ َ ْفنَبهُ ًَ َع ْن: ٍى ٌُ ْسئَ ُل َع ْن ا َ ْس َبع َ َش َبب ِب ِو ِف ٍْ َمب اَب ََْلهُ ًَ َع ْن َمب ِل ِو ِم ْن اٌَْنَ ا ْمت َّ لَ ْن ت َُز ًْ َل قَذَ َمب َع ْب ٍذ ٌَ ٌْ َم ْال ِق ٍَب َم ِة َحت ) (سًاه التشمزي.ًَفِ ٍْ َ ا َ ْ َقَوُ ًَ َع ْن ِع ْ ِم ِو َمبرَا َع ِم َل بِ ِو Artinya : "Tidak akan bergeser telapak kaki seseorang hamba pada hari kiamat, sehingga ia ditanya tentang empat hal, yaitu tentang umurnya, bagaimana ia habiskan, tentang masa mudanya, bagaimana ia lewatkan, tentang hartanya, bagaimana ia dapatkan dan kemana ia infakkan, dan tentang ilmunya, bagaimana ia mengamalkannya."(HR Tirmidzi). Juga didukung dengan Hadits yang lain yaitu: )ارا خشج ثَلثة فبلٍؤمشًا أحذى (سًاه أبٌ داًد Artinya: ”Jika telah keluar tiga orang melakukan safar (perjalanan), hendaklah salah seorang di antara mereka menjadi amir (pemimpin)” (HR. Abu Daud). Sebagaimana tercermin dalam firman Allah surat Ali Imran ayat 26 : ع اْل ُم ْلَ ِم َّم ْن تَشَب ُء ًَت ُ ِع ُّز َم ْن تَشَب ُء ًَت ُ ِز ُّل َم ْن تَشَب ُء ِب ٍَذِكَ ْال َخٍ ِْش اِ َّلَ َع َى ُم ِّل ُ تى اْل ُم ْلَ َم ْن تَشَب ُء ًَت َ ْن ِز ِ ْقُ ِل ال َّ ُي َّ مٰ ِلَ ْال ُم ْ ِل تُؤ .ش ًْءٍ قَ ِذٌ ٌرْش َ Artinya : Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu." Tanggungjawab juga berkaitan dengan resiko yang dihadapi oleh seorang pemimpin, baik berupa sanksi dari atasan atau pihak lain yang berhubungan dengan perbuatan yang dilakukan, maupun yang dilakukan oleh bawahan, guru, karyawan dan tenaga kependidikan. Tanggungjawab seorang pemimpin harus dibuktikan bahwa kapan saja dia harus siap untuk melaksanakan tugas. Dia harus tetap siaga bila ada perintah dari yang lebih atas. Untuk itu, 5 Moch. Idhochi Anwar, Administrasi Pendidikan dan Manajemen Biaya Pendidikan (Bandung : CV. Alfabeta), 2003, 75. ISSN: 2540-8151 (Print) ISSN: 2549-3264 (Online) Islam Kontemporer: Jurnal Studi Keislaman/Vol. 1 No. 1 2016 dia harus seorang pekerja keras (hard worker), berdedikasi (dedicated employer), dan seorang saudagar (memiliki seribu akal).6 Dalam persepektif kebijakan pendidikan nasional (depdiknas, 2006), terdapat tujuh peran kepala sekolah yaitu yaitu, sebagai : (1) edukator (pendidik); (2) manajer; (3) administrator; (4) supervisor; (5) leader (pemimpin); (6) pencipta iklim kerja; (7) wirausahawan;.7 Merujuk kepada tujuh peran kepala sekolah sebagaimana disampaikan oleh Depdiknas di atas, dibawah ini akan diuraikan peran kepala sekolah dalam suatu lembaga pendidikan. 1. Kepala Sekolah Sebagai Edukator (Pendidik) Kepala sekolah sebagai edukator harus memiliki strategi yang tepat untuk meningkatkan profesionalisme tenaga pendidik di sekolahnya, menciptakan iklim sekolah yang kondusif, memberikan nasehat kepada warga sekolah, memberikan dorongan kepada seluruh tenaga pendidik serta melaksanakan model pembelajaran yang menarik. Kepala sekolah harus berusaha menanamkan, memajukan dan meningkatkan sedikitnya 4 macam nilai, yaitu pembinaan mental, moral, fisik dan artistik.8 Pembinaan mental adalah membina para tenaga pendidik tentang sikap batin dan watak. Pembinaan moral adalah pembinaan tentang perbuatan baik dan buruk, sikap dan kewajiban sesuai dengan tugas masing-masing. Pembinaan fisik adalah pembinaan jasmani, kesehatan dan penampilan, sedangkan pembinaan artistik adalah pembinaan tentang kepekaan terhadap seni dan keindahan. Dalam rangka meningkatkan kinerja sebagai edukator, kepala sekolah harus merencanakan dan melaksanakan program sekolah dengan baik, antara lain : a. Mengikutkan tenaga pendidik dalam penataran guna menambah wawasan, juga memberi kesempatan kepada tenaga pendidik untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya dengan belajar ke jenjang yang lebih tinggi. b. Menggerakkan tim evaluasi hasil belajar untuk memotivasi peserta didik agar lebih giat belajar dan meningkatkan prestasinya. c. Menggunakan waktu belajar secara efektif di sekolah dengan menekankan disiplin yang tinggi. E. Mulyasa, Pedoman Manajemen Berbasis Madrasah (Jakarta : departemen agama RI, Direktorat jenderal kelembagaan agama islam), 2005, 54 -55. 7 Akhmad Sudrajat, kompetensi guru dan peran kepala sekolah (http://www.depdiknas.go.id/ inlink) 8 Sondang P Siagian, Organisasi, Kepemimpinan dan Perilaku Administrasi (Jakarta: Gunung Agung, 1982), 22. 6 ISSN: 2540-8151 (Print) ISSN: 2549-3264 (Online) Islam Kontemporer: Jurnal Studi Keislaman/Vol. 1 No. 1 2016 Di samping hal tersebut di atas, kepala sekolah hendaknya sering memberikan pengertian akan ciri-ciri seorang tenaga pendidik yang baik sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Ghazali, yaitu: a. Senantiasa menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt., ke dalam jiwa peserta didik. b. Senantiasa memberikan contoh (suri tauladan) yang baik terhadap peserta didik. c. Senantiasa mencintai peserta didik layaknya mencintai anak kandungnya sendiri. d. Senantiasa memahami minat, bakat dan jiwa peserta didik. e. Jangan mengharapkan materi atau upah sebagai tujuan utama mengajar. Karena mengajar adalah tugas yang diwariskan oleh Nabi Muhammad Saw., sedangkan upahnya yang sejati adalah terletak pada peserta didik yang mengamalkan apa yang telah mereka ajarkan. Sedangkan menurut M. Athiyah al-Abrasyi, seorang pendidik harus mempunyai sifat:9 a. Mempunyai sifat zuhud, yaitu tidak mengutamakan untuk mendapatkan materi dalam tugasnya melainkan karena ingin mengamalkan ilmu yang diperolehnya dari Allah dan mengharapkan keridloan Allah SWT., semata. b. Mempunyai jiwa yang bersih dari sifat dan akhlak yang buruk. c. Ikhlas dalam melaksanakan tugasnya d. Pemaaf terhadap peserta didiknya e. Harus menempatkan dirinya sebagai seorang bapak/ibu sebelum dia menjadi seorang guru. f. Mengetahui bakat, tabiat dan watak peserta didik g. Menguasai bidang studi yang diajarkan. Kegiatan belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan dan guru merupakan pelaksana dan pengembang utama kurikulum di sekolah, kepala sekolah yang menunjukkan komitmen tinggi dan fokus terhadap pengembangan kurikulum dan kegiatan belajar mengajar di sekolahnya tentu akan sangat memperhatikan tingkat kompetensi yang dimiliki gurunya, sekaligus juga akan senantiasa berusaha memfalisitasi dan mendorong agar para guru dapat secara terus menerus meningkatkan kompetensinya, sehingga kegiatan belajar mengajar dapat berjalan efektif dan efisien. 2. Kepala Sekolah Sebagai Manajer 9 M. Athiyah al-Abrasyi, At-Tarbiyyah al-Islamiyyah wa Falsafatuha (Mesir: Isa al-Babi al-Halabi, 1975), 10-132. ISSN: 2540-8151 (Print) ISSN: 2549-3264 (Online) Islam Kontemporer: Jurnal Studi Keislaman/Vol. 1 No. 1 2016 Tugas manajer adalah merencanakan, mengorganisasikan, mengatur, mengkoordinasikan dan mengendalikan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Manajer adalah orang yang melakukan sesuatu secara benar (people who do things right).10 Dengan demikian, kepala sekolah harus mampu merencanakan dan mengatur serta mengendalikan semua program yang telah disepakati bersama. Dalam mengelola tenaga pendidikan, salah satu tugas penting yang harus dilakukan kepala sekolah adalah melaksanakan kegiatan pemeliharaan dan pengembangan profesi para guru. Dalam hal ini kepala sekolah seyogyanya dapat memfasilitasi dan memberikan kesempatan yang luas kepada guru untuk melaksanakan kegiatan pengembangan profesi melalui berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan, baik yag dilaksanakan sekolah, seperti : MGMP/MGP tingkat sekolah, in house training, diskusi profesional dan sebagainya, atau melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan diluar sekolah, seperti : kesempatan melanjutkan pendidikan atau mengikuti berbagai kegiatan pelatihan yang diselenggarakan pihak lain. 3. Kepala Sekolah Sebagai Administrator Kepala sekolah sebagai administrator sangat diperlukan karena kegiatan di sekolah tidak terlepas dari pengelolaan administrasi yang bersifat pencatatan dan pendokumentasian seluruh program sekolah. Kepala sekolah dituntut memahami dan mengelola kurikulum, administrasi peserta didik, administrasi sarana dan prasarana, dan administrasi kearsipan. Kegiatan tersebut perlu dilakukan secara efektif agar administrasi sekolah dapat tertata dan terlaksana dengan baik. Kemampuan kepala sekolah sebagai administrator harus diwujudkan dalam penyusunan kelengkapan data administrasi pembelajaran, bimbingan dan konseling, kegiatan praktikum, kegiatan di perpustakaan, data administrasi peserta didik, guru, pegawai TU, penjaga sekolah, teknisi dan pustakawan, kegiatan ekstrakurikuler, data administrasi hubungan sekolah dengan orang tua murid, data administrasi gedung dan ruang dan surat menyurat. Kepala sekolah sebagai administrator dalam hal ini juga berkenaan dengan keuangan, bahwa untuk tercapainya peningkatan kompetensi guru tidak lepas dari faktor biaya. Seberapa besar sekolah dapat mengalokasikan anggaran peningkatan kompetensi guru tentunya akan mempengaruhi terhadap tingkat kompetensi para gurunya. 10 Vincent Gaspersz, Total Quality Management (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 201. ISSN: 2540-8151 (Print) ISSN: 2549-3264 (Online) Islam Kontemporer: Jurnal Studi Keislaman/Vol. 1 No. 1 2016 Masalah keuangan adalah masalah yang peka. Oleh karena itu dalam mengelola bidang ini kepala sekolah harus hati-hati, jujur dan terbuka agar tidak timbul kecurigaan baik dari staf maupun dari masyarakat atau orang tua murid. Banyak keperluan sekolah yang harus dibiayai, dan semakin banyak pula biaya yang diperlukan. Dalam hal ini kepala sekolah harus memiliki daya kreasi yang tinggi untuk mampu menggali dana dari berbagai sumber, diantaranya dapat diperoleh misalnya dari siswa atau orang tua, masyarakat, pemerintah, yayasan, para dermawan dan sebagainya. Disamping itu kepala sekolah juga harus mampu mengalokasikan dana atau anggaran yang memadai bagi upaya peningkatan sekolah/madrasah.11 4. Kepala Sekolah Sebagai Supervisor Sebagai supervisor, kepala sekolah berfungsi untuk membimbing, membantu dan mengarahkan tenaga pendidik untuk menghargai dan melaksanakan prosedur-prosedur pendidikan guna menunjang kemajuan pendidikan. Kepala sekolah juga harus mampu melakukan berbagai pengawasan dan pengendalian untuk meningkatkan kinerja tenaga pendidik. Hal ini dilakukan sebagai tindakan preventif untuk mencegah agar para tenaga pendidik tidak melakukan penyimpangan dan lebih hati-hati dalam melaksanakan tugasnya. Untuk mengetahui sejauh mana guru mampu melaksanakan pembelajaran, secara berkala kepala sekolah perlu melaksanakan kegiatan supervisi, yang dapat dilakukan meliputi kegiatan kunjungan kelas untuk mengamati proses pembelajaran secara langsung, terutama dalam pemilihan dan penggunaan metode, media yang digunakan dan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran. Dari hasil supervisi ini, dapat diketahui kelemahan sekaligus keunggulan guru dalam melaksanakan pembelajaran, tingkat penguasaan kompetensi guru yang bersangkutan, selanjutnya diupayakan solusi, pembinaan dan tindak lanjut tertentu sehingga guru dapat memperbaiki kekurangan yang ada sekaligus mempertahankan keunggulannya dalam melaksanakan pembelajaran. Jones dkk. sebagaimana disampaikan oleh Sudarwan Danim (2002) mengemukakan bahwa “ menghadapi kurikulum yang berisi perubahan-perubahan yang cukup besar dalam tujuan, isi, metode dan evaluasi pengajarannya, sudah sewajarnya kalau para guru mengharapkan saran dan bimbingan dari kepala sekolah mereka”. Dari ungkapan ini, mengandung makna bahwa kepala sekolah harus betul-betul menguasai 11 Soewaji Lazaruth, Kepala Sekolah Dan Tanggung Jawabnya (Yogyakarta : Penerbit Kanisius,1993), 26. ISSN: 2540-8151 (Print) ISSN: 2549-3264 (Online) Islam Kontemporer: Jurnal Studi Keislaman/Vol. 1 No. 1 2016 tentang kurikulum sekolah. Mustahil seorang kepala sekolah dapat memberikan saran dan bimbingan kepada guru, sementara dia sendiri tidak menguasainya dengan baik.12 5. Kepala sekolah sebagai leader (pemimpin) Dalam teori kepemimpinan setidaknya kita mengenal dua gaya kepemimpinan yaitu kepemimpinan yang berorientasi pada tugas dan kepemimpinan yang berorientasi pada manusia. Dalam rangka meningkatkan kompetensi guru, seorang kepala sekolah dapat menerapkan kedua gaya kepemimpinan tersebut secara tepat dan fleksibel, disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan yang ada. Menurut John Gage Allee, “Leader is a guide; a conductor; a commander.”13 (Pemimpin itu adalah penunjuk pemandu, penuntun dan komandan. Kepribadian kepala sekolah sebagai leader menurut Ordway Tead harus menunjukkan sifat-sifat: Kesadaran akan tujuan dan arah. Antusiasme. Keramahan dan kecintaan. Integritas (keutuhan, kejujuran dan ketulusan hati). Penguasaan teknis. Ketegasan dalam mengambil keputusan. Kecerdasan. Keterampilan mengajar. Kepercayaan. 6. Kepala sekolah sebagai pencipta iklim kerja Budaya dan iklim kerja yang kondusif akan memungkinkan setiap guru lebih termotivasi untuk menunjukkan kinerjanya secara unggul, yang disertai usaha untuk meningkatkan kompetensinya. Oleh karena itu, dalam upaya menciptakan budaya dan iklim kerja yang kondusif, kepala sekolah hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut : (1) para guru akan bekerja lebih giat apabila kegiatan yang dilakukannya menarik dan menyenangkan, (2) tujuan kegiatan perlu disusun dengan dengan jelas dan diinformasikan kepada para guru sehingga mereka mengetahui tujuan dia bekerja, para guru juga dapat dilibatkan dalam penyusunan tujuan tersebut, (3) para guru harus selalu diberitahu tentang dari setiap pekerjaannya, (4) pemberian hadiah lebih baik dari hukuman, namun sewaktu-waktu hukuman juga diperlukan, (5) usahakan untuk memenuhi kebutuhan sosio-psiko-fisik guru, sehingga memperoleh kepuasan. 7. Kepala sekolah sebagai wirausahawan (entrepreneur) Dalam menerapkan prinsip-prinsip kewirausaan dihubungkan dengan peningkatan kompetensi guru, maka kepala sekolah seyogyanya dapat menciptakan pembaharuan, keunggulan komparatif, serta memanfaatkan berbagai peluang. Kepala sekolah dengan sikap kewirauhasaan yang kuat akan berani melakukan perubahan-perubahan yang 12 Sudarwan Danim, Inovasi Pendidikan : Dalam Upaya Meningkatkan Profesionalisme Tenaga Kependidikan (Bandung : Pustaka Setia), 2002, 59. 13 John Gage Allee, Webster’s New Standar Dictionary (New York: Mc Loughlin Brothers Inc., 1969), 214. ISSN: 2540-8151 (Print) ISSN: 2549-3264 (Online) Islam Kontemporer: Jurnal Studi Keislaman/Vol. 1 No. 1 2016 inovatif di sekolahnya, termasuk perubahan dalam hal-hal yang berhubungan dengan proses pembelajaran siswa beserta kompetensi gurunya. Kepala sekolah sebagai wirausahawan harus mampu mencari, menemukan dan melaksanakan berbagai pembaharuan yang innovatif dengan menggunakan strategi yang tepat, sehingga terjalin hubungan yang harmonis antara kepala sekolah, staf, tenaga pendidik dan peserta didik, di samping itu juga agar pendidikan yang ada menjadi semakin baik. Sejauh mana kepala sekolah dapat mewujudkan peran-peran di atas, secara langsung maupun tidak langsung dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan kompetensi seluruh komponen pendidikan, yang pada gilirannya dapat membawa efek terhadap peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Empowerment Professionals in School Suka atau tidak suka, semua pakar manajemen pendidikan mengkategorisasikan sekolah sebagai bagian dari bentuk birokrasi, organizational system and culture, serta lebih luas lagi bagian dari sistem politik dalam skala makro. Oleh karena itulah, terma-terma teoritik manajemen pendidikan, tidak pernah dilepaskan dari pardigma berfikir birokratis, organisasisonal dan termasuk di dalamnya sikap profesionalisme kerja komunitas akademik yang ada di lingkungan lembaga pendidikan. Menurut hemat penulis, dalam kacamata paradigma sosial, profesionalisme bersumber dari perilaku aktor/agen sosial. Hal ini berbeda dengan cara pandang struturalisme dan fungsionalisme sistem sosial, hingga menghasilkan istilah organisasi, birokrasi, dan kelompok sosial. Demikian halnya di dalam pandangan administrasi sekolah. Professionalism dipangkalkan kepada seorang individu yang memiliki latar belakang pendidikan dan pengalaman, kompetensi konseptual dan tekhnis, dan kesesuaian dengan tanggung jawab yang diembannya di dalam organisasi. Jadi, professionalisme hari berdasarkan pada kajian-kajian mikro-kosmik dalam terminologi ilmu sosial. Jika didasarkan pada aspek teori-birokrasi di atas, maka orang profesional sangat dibutuhkan, setidaknya, untuk mencapai efektivitas, tujuan, serta maksimalisasi produktivitas organisasi. Hanya saja, memasukkan orang profesional dalam sistem birokrasi yang statis dan stagnan, akan menghadirkan kejenuhan dan kebosanan bagi orang-orang profesional. Hoy menyebutkan bahwa ada tiga karakteristik orang profesional. Pertama, dia adalah orang yang mengambil keputusan berdasarkan pada pengetahuan dan keahlian yang digelutinya. Seorang profesional adalah orang yang ahli dalam area khusus dan terbatas. Kedua, melalui keahliannya, orang profesional diharapkan bisa membantu orang lain menyelesaikan ISSN: 2540-8151 (Print) ISSN: 2549-3264 (Online) Islam Kontemporer: Jurnal Studi Keislaman/Vol. 1 No. 1 2016 persoalan yang dihadapi. Basis layanan dan bantuan yang dilakukan orang profesional bersifat impersonal, objektif dan imparsial. Ketiga, orang profesional biasanya menginternalisasikan code of conduct atau etika profesi menjadi nilai, norma, dan aturan yang harus mereka taati.14 Pengetahuan dan keahlian yang mapan, sikap objektif, imparsial, dan impersonal, hingga adanya kode etik profesi yang mengatur perilakunya, bisa dipastikan mereka akan sulit „dihegemoni‟ melalui sistem yang memaksa. Oleh karena itulah, Hoy membingkai dua terma ini berada pada ruang berbeda, sebagaimana berikut:15 Tabel 1.1 Karakteristik Birokrasi dan Profesionalisme; spacing the conflict Orientasi Kerja Orientasi Sistem Birokrasi Profesional Keahlian Teknis Keahlian Tekhnis Berfikir Objektif Berfikir Objektif Ruang Kesamaan Pendekatan ImpersonalPendekatan Impersonal-Imparsial Imparsial Melayani klien Melayani klien Orientasi berbasis kawan Orientasi hirarki struktural kerja Kebijakan yang mandiri Sikap disiplin Raung Konflik Standarisasi sikap berbasis Sub-ordinasi/bagian dari sistem profesi Berdasar pada tabel di atas, maka ada ruang yang bisa membingkai birokrasi yang profesional/profesionalisme para birokrat, tapi adapula ruang konflik yang bisa jadi, tidak dapat diakurkan karena perbedaan kepentingan di dalam birokrasi. Jika dianalisa, penyeragaman sikap para profesional ini cukup mudah dilaksanakan apabila; pertama, tugas profesionalisme tidak diatur terpisah dari ruang birokrasi. Seperti, pekerja di perusahaan yang tidak memiliki asosiasi di luar institusinya. Kedua, para pemimpin birokrasi dapat mengakomodasi semua kepentingan, khususnya yang terkategorikan dalam ruang konflik. Ruang akomodatif inilah yang ditawarkan Hoy dan Miskel, untuk diimplementasikan di dalam sekolah. Meskipun, ada beberapa perbedaan mencolok, antara budaya birokrasi sekolah dengan yang terjadi di institusi pemerintahan/perusahaan. Oleh karenanya, bagaimanakah dengan terma professionalism di sekolah? Tak dapat disangkal bahwa terma ini selalu ditujukan kepada seorang guru. Penulis tidak berani menyebut tenaga pendidikan sebagai orang professional, karena kenyataan di lapangan, para tenaga pendidikan diseleksi, diangkat, dan dipekerjakaan tidak berdasarkan pada 14 15 Wyne K. Hoy School Administration (London; SAGE Publ, 2001), 85 Ibid, 89 ISSN: 2540-8151 (Print) ISSN: 2549-3264 (Online) Islam Kontemporer: Jurnal Studi Keislaman/Vol. 1 No. 1 2016 pertimbangan instrumen profesionalisme kerja. Bahkan, hal yang terjadi di lapangan, para gurulah yang bertugas sebagai tenaga kependidikan. Oleh karenanya, Mark Hanson menyebutkan tidak mudah membingkai sistem birokrasi di sekolah, karena cerminan orang profesional di sekolah memiliki entitas dan tipologi berbeda dengan yang ada di budaya organisasi lain. Mereka para guru, idak bisa dibentuk melalui aturan-aturan mengikat seperti tenaga administrasi di lembaga pemerintahan. Hanson menyebutkan ada independensi seorang guru dari sisi proses belajar mengajar (instructional teaching-learning process). Berikut ini adalah beberapa kecenderungan guru profesional di sekolah, menurut Hanson: a. Para guru mempunyai otoritas untuk menentukan proses belajar mengajar, karena mereka menganggap memiliki kompetensi melebihi dari orang lain. b. Para guru merasa memiliki hak untuk menentukan pilihan pembelajaran siswanya. c. Dari sisi lembaga, kewenangan sekolah terhadap guru hanya sampai di depan pintu kelas, tidak bisa „ikut campur‟ terhadap proses pembelajaran di dalam kelas. d. Para guru, cenderung, menganggap dirinya tidak memiliki tugas adiministratif di sekolah.16 Sama seperti Hoy, Mark Hanson memberikan solusi interface terhadap ruang perbedaan, antara sistem birokratis yang mengikat dan kecenderungan professional teachers yang tidak ingin diatur oleh kepala sekolah, sebagai berikut:17 Gambar di atas, diungkap M. Hanson sebagai sebuah pola dan model komunikasi yang bisa dibangun untuk membingkai kebersamaan – elaborative communication – diantara dua entitas yang berbeda tersebut. Jadi, guru sebagai sosok profesional dan memiliki code of 16 17 Mark Hanson, School Governance and The Professional Bureaucracy Interface (California; ERIC, 1998), 456 Ibid, 468 ISSN: 2540-8151 (Print) ISSN: 2549-3264 (Online) Islam Kontemporer: Jurnal Studi Keislaman/Vol. 1 No. 1 2016 ethics sendiri, sedangkan para administrator memiliki kewajiba menjamin seluruh proses yang ada di lembaga pendidikan berjalan efektif, harus saling berbagi peran (bargaining), membuka peluang pengambilan keputusan yang mendengar aspirasi guru, dan dialog untuk meminimalisir konflik etik diantara dua entitas itu. Kenapa demikian, sebagaimana gambar di atas, jika otoritas administration zone secara langsung digunakan mengatur guru, kemungkinan akan ada penghadangan (defenses) dari guru terhadap perintah administration, demikian pula sebaliknya. Kata kunci, kata M. Hanson, bagaimana seorang profesional bisa menjadi bagian dari birokrasi adalah: “The professional employee...denies the principle that his work always must be supervised by administrators and controlled by laymen. Because of his training, pressures from his colleagues, and his dedication to clients, the professionally oriented person considers himself competent enough to control his own work. Hence, he sometime, must be disobedient toward his supervisors precisely in order to improve his proficiency and to maintain standards of client welfare--especially if there are practices that jeopardize the best interests of students.... “.18 Artinya, bagaimanapun peran seorang pemimpin yang memiliki power dan otoritas harus bisa mengatur, mengelola, dan mengarahkan cara kerja kelompok profesional, agar mereka tidak selalu mementingkan profesi, serta nilai kekerabatan yang mereka pegang secara kuat. Kata kunci lainnya, menurut penulis adalah mutual and clear understanding diantara administrator dan guru/tenaga professional yang ada di sekolah. Tentunya, menggunakan pendekatan-pendekatan sebagai gambar 1.1 di atas. Dari paparan theoritical evidence di atas, dapat disimpulkan bahwa, dualisme identitas masih belum menjadi dualitas-otentik (meminjak istilah Strukturasi Anthony Gidden). Artinya, masih ada kecenderungan otoritas/zona administrator dibingkai sebagai identitas priogratif; tidak boleh diotak-atik oleh siapapun termasuk pekerja profesional, demikian pula sebaliknya, pekerja profesional selalu merasa memiliki hak dan kewajiban mengembangkan kompetensi dan kemampuan terampilnya, bersama teman seprofesinya. Oleh karenanya, maka narasi ideal, terhadap professional birokrasi adalah mereka yang memiliki kompetensi, skill, dan pengalaman pada bidang tertentu, sekaligus mengikuti aturan-aturan yang diberikan oleh struktur di atas. Para kelompok profesional dan administrator mengetahui identitasnya sebagai bagian dari boundaries of rigth yang wajib melebur menjadi identitas otentik, dalam melaksanakan tugasnya. Holism of leadership roles in School; Research Result 18 Ibid, 491 ISSN: 2540-8151 (Print) ISSN: 2549-3264 (Online) Islam Kontemporer: Jurnal Studi Keislaman/Vol. 1 No. 1 2016 Maksud dari sub-bahasan di atas adalah kesatuan peran yang haru diemban oleh kepala sekolah untuk menjalankan roda struktur kelembagaan sekolah. Penggunaan istilah ini dikarenakan, seorang kepala sekolah harus menguasai semua aspek yang melekat pada tugas dan tanggung jawab mereka. Secara teoritik, empat fokus masalah penelitian ini (baca; leader, manager, administrator, and supervisor), masih belum lengkap. Pasalnya, masih ada pula beberapa tugas dan peran sebagai edukator, inovator, dan entrepreneur sebagai entitas utama seorang kepala sekolah. Dengan demikian, cara membaca terhadap beberapa fenomena data di atas, harus mengunakan pendekatan yang holistik. Jika tidak, maka peran-peran kepala sekolah akan berwujud parsialisme, serta cenderung didenotasikan pada satu aspek saja, supervisor sekolah misalnya. Betapapun, jika membaca peran dua Kepala Sekolah di atas, maka sangat tampak mereka melakukan perannya dengan baik, setidaknya, untuk memastikan program-program yang dicanangkan berjalan secara baik. Sebut saja, fakta bahwa mereka melibatkan semua tenaga pendidik, komunitas sekolah, komite sekolah, dan stake-holder untuk merumuskan visi, misi, dan program sekolah. Kendati di SMA Muhammadiyah 2 Surabaya lebih terlihat peran leadernya, karena mereka sudah merencanakan program yang dicanangkan, kemudian dibahas secara bersama-sama di forum bersama. Sedangkan di SMA Negeri 16 Surabaya lebih partisipatif dalam proses perumusannya. Dua tipologi perumusan ini, jika dibingkai dalam teori kepemimpinan, maka keduanya cenderung tidak menjalankan perannya sebagai seorang leader. Oleh karena, dalam kerangka teoritik, seorang leader tentu memiliki visi-misi individual yang sangat matang, untuk kemudian diimplementasikan di sekolahnya. Seorang leader, umumnya, cenderung subjektif menilai program yang terbaik bagi lembaga yang dipimpinya. Hal ini berbeda daripada manajer yang cenderung mengedepankan kebijakan berkarakter low-risk untuk diambil. Pada kesimpulannya, peneliti menganggap bahwa peran kepala sekolah, berdasarkan data yang didapat, sebagai seorang leader tidak banyak terlihat dari dua tipe kepala sekolah ini. Argumentasi lainnya, misalnya, kata kunci kepemimpinan yang dipegang tegas oleh Kepala Sekolah SMA Negeri 2 Surabaya, ialah disiplin dan komunikasi yang intens. Dalam tataran teoritik, aspek kedisiplinan ada pada bingkai manajerialisme. Oleh karenanya, tipe disiplin cenderung mengedepankan aspek-aspek proseduraisme, dibandingkan subtansi-teleologis yang ingin dicapai. Peneliti tidak ingin mengatakan model kepemimpinan yang cenderung tidak inovatif, visioner, dan memiliki kemandirian dalam menentukan program yang ingin dijalan, merupakan model kepemimpinan yang salah. Tapi, harus juga diakui terma kepemimpinan ISSN: 2540-8151 (Print) ISSN: 2549-3264 (Online) Islam Kontemporer: Jurnal Studi Keislaman/Vol. 1 No. 1 2016 sangat diidentikkan dengan kemampuan dan kapasitas pribadi untuk mengelola sumber daya yang ada di bawah otoritas yang dimilikinya. Peneliti pun beranggapan, pilihan kepemimpinan yang manajrialistik di SMA Negeri 2 Surabaya tidak terlepas dari budaya birokratis yang menjadi fondasi di sekolah-sekolah negeri (public school). Sebagai bagian dari sub-sistem birokrasi, sekolah harus mengikuti aturan-aturan yang ada. Bahkan, dalam pengetahuan peneliti, menjadi kepala sekolah di sekolah negeri harus melalui karir birokrasi dan tingkat jabatan tertentu. Hal inilah mungkin, yang menjadikan kepala sekolah tidak memiliki banyak kuasa untuk memandirikan keinginan dan gagasannya. Kondisi serupa tampaknya juga terlihat di SMA Muhammadiyah 2 Surabaya, yang semestinya secara teoritik, mampu lebih menunjukkan aspek kepemimpinan kepala sekolah sebagai citera seorang leader. Sebagaimana disebutkan bahwa, model kepemimpin yang digunakan adalah berbentuk partisipatif dan koordinatif. Semua visi, misi, dan program yang dicanangkan di lembaga ini dihasilkan melalui perumusan bersama-sama, kemudian disepakati secara bersama. Kelebihannya adalah, pada kepemimpinannya dia juga mensosialisasikan beberapa program yang dicanangkan, meskipun dia tidak memaksakan dan berusaha untuk meyakinkan semua elemen sekolah, bahwa yang akan dilaksanakan itu merupakan tipe program yang cocok dan layak dilaksanakan. Berbeda dengan corak atau karakter seorang pemimpin, kedua kepala sekolah ini sangat menikmati perannya sebagai seorang administrator sekolah, berdasarkan makna yang disempitkan. Keduanya sangat concern terhadap kewajiban administratif tenaga pendidik dan kependidikan yang berada dibawah naungan otoritasnya. Kedunya juga tidak segan untuk menegur, memberikan pengarahan, dan memberi penghargaan kepada tenaga kependidikan yang memiliki prestasi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab mereka. Sebagaimana paparan data di atas, terlihat jelas bagaimana SMA Muhammadiyah 2 Surabaya memberikan jangka waktu (timeline) dua minggu untuk proses penulisan laporan pertanggung jawaban kegiatan yang dilaksanakan oleh panitia yang ditunjuk. Selain itu, keduanya juga menjadikan tertib administrasi sebagai keunggulan yang dimiliki di dua lembaga ini. Kepala sekolah SMA Negeri 16 Surabaya misalnya, sebagaimana prosedur pekerjaan staff bagian administrasi, mewajibkan adanya dokumentasi yang lengkap dimulai dari perencanaan program kerja sekolah, mikanisme kerja sekolah, tata aturan dalam surat menyurat, kewajiban kguru mempersiapkan rencana pembelajaran, dan aspek-aspek lainnya. Berdasarkan fakta-fakta ini peneliti berkesimpulan bahwa kedua kepala sekolah ini sangat mampu dan sangat jelas melaksanakan peran kepala sekolah sebagai administrator ISSN: 2540-8151 (Print) ISSN: 2549-3264 (Online) Islam Kontemporer: Jurnal Studi Keislaman/Vol. 1 No. 1 2016 sekolah. Kendati, lagi-lagi peneliti ingin tegaskan, peran administrator yang disempitkan sebagai wujud pengarsipan dan pengelolaan dokumentasi kegiatan-kegiatan sekolah. Ungkapan bahwa ada proses penyempitan makna, karena sebagaimana diungkapkan dalam kerangka teoritik, kepala sekolah berperan sebagai administrator memiliki makna Perumus tujuan kerja dan pembuat kebijaksanaan (policy) sekolah. Pengatur tata kerja (mengorganisasi) sekolah, yang mencakup: mengatur pembagian tugas dan wewenang. mengatur petugas pelaksana. menyelenggarakan kegiatan (mengkoordinasi). Pensupervisi kegiatan sekolah, meliputi: Mengatur kelancaran kegiatan. mengarahkan pelaksanaan kegiatan. mengevaluasi pelaksaanaan kegiatan. membimbing dan meningkatkan kemampuan pelaksana.19 Ungkapan Daryanto ini diambil dari nomenklatur awal lahirnya kajian tentang manajemen pendidikan yang bernama administrasi pendidikan. Maka dari itu, cakupan terminologi administrator memiliki makna yang sangat luas. Terlepas dari perdebatan terkait terminologi administrasi di atas, hal yang bisa diambil pelajaran dari dua peran di atas adalah; seorang kepala sekolah yang ingin menanamkan proses pengadministrasian yang baik harus memiliki tipe kepemimpinan yang konsisten, disiplin, partisipatif, dan komunikatif, layaknya yang dilakukan dua kepala sekolah SMA Negeri 16 Surabaya dan SMA Muhammadiyah 2 Surabaya. Pasalnya, fakta di lapangan menunjukkan bahwa kelemahan birokrasi sekolah di Indonesia adalah mereka jarang mendokumentasikan dan mengarsipkan kegiatan-kegiatan sekolah yang sudah dilaksanakan. Imbasnya, mereka cenderung menfiktif semua dokumentasi apabila proses supervisi atau visitasi dilakukan oleh lembaga yang berada di atas sekolah. Peran selanjutnya, yang menjadi concern dalam penelitian ini adalah, kepala sekolah sebagai seorang manajer. Kata manajer berarti bentuk subjek dari kata manage yang berarti orang yang mengelola atau mengendalikan sesuatu. Sebagai sebuah disiplin, kata manage berubah menjadi management yang berarti seni atau ilmu yang membahas tentang proses perencanaan, pengelolaan, pelaksanaan, dan evaluasi atau kontrol di dalam sebuah organisasi. Hani Handoko mengatakan bahwa kata manajemen, sejatinya, memiliki dua kultus penting yang menjadi subtansi teleologisnya, yakni; efektivitas dan efesiensi. Efektivitas berarti program yang direncanakan sesuai dengan kebutuhan, sekaligus dilaksanakan oleh orang yang memiliki kompetensi untuk melaksanakannya. Sedangkan efesiensi berarti, program yang direncanakan berkesesuaian dengan dana serta waktu yang cocok untuk dilaksanakan. 19 Daryanto, Administarsi Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hlm. 81. ISSN: 2540-8151 (Print) ISSN: 2549-3264 (Online) Islam Kontemporer: Jurnal Studi Keislaman/Vol. 1 No. 1 2016 Berdasarkan pada teori/definisi di atas, maka, idealnya, seorang manajer harus memiliki perencanaan kegiatan yang tepat sasaran, dilakukan oleh orang yang berkompeten, sekaligus disesuaikan dengan waktu dan biaya yang tersedia di dalam organisasi. Oleh sebab itulah, para pakar manajemen kemudian memberikan fitur-fitur tambahan dalam semua tahapan-tahapan manajerial. Tak ayal, tahapan inilah yang disebutkan oleh Tony Bush, sebagai manajerialisme yang bisa membuat statis serta stagnasi kreasi dari seorang pemimpin/manajer. Persoalannya sekarang adalah bagaimanakah dengan peran kepala sekolah sebagai seorang manajer?. Dalam pandangan peneliti, berasaskan pada teori yang ada, peran kepala sekolah sebagai manajer berarti dia harus memiliki kemampuan untuk mengelola seluruh sumber daya yang ada di sekolah, yang direncanakan secara sistematis, kemudian dilaksanakan menggunakan prinsip efektifitas dan efesiensi. Kerangka teori inilah yang dirangkai di SMA Negeri 16 Surabaya yang menyebutkan bahwa, peran kepala sekolah sebagai seoran manajer berarti, kepala sekolah harus Menyusun perencanaan Mengorganisasikan kegiatan Mengarahkan kegiatan Mengkordinasikan kegiatan Melaksanakan pengawasan Melakukan evaluasi terhadap kegiatan Menetukan kebijaksanaan Mengadakan rapat Mengambil keputusan Mengatur administrasi ketatausahaan, siswa, ketenagakerjaan, sarana dan prasarana, keuangan/RAPBS Mengatur organisasi siswa intra sekolah (OSIS) Mengatur hubungan sekolah dengan masayarakat dan instansi terkait. Atau dalam bahasa Kepala Sekolah dia harus concern atau memperhatikan aspek internal sekolah, mulai dari bagaimana program-program itu disusun oleh tenaga pendidik, bagaimana kegiatan dilaksanakan, serta bagaiamana kegiatan itu haru tepat sasaran. Sama halnya di SMA Muhammadiyah 2 Surabaya. Manajer sekolah ini menyatakan bahwa perannya sebagai manajer bisa diartikan sebagai pelaksana dari nilai-nilai yang ada di dalam teori manajemen. Mulai dari proses perencanaan, pengelolaan, pelaksanaan, dan evaluasi terhadap semua program-program yang ada. Sekaligus dia menambahkan sebagai seorang manajer dia harus mengerjakan semua program itu sesuai prosedur, aturan, dan ukuran-ukuran yang sudah ditentukan sebelumnya. Jadi, menurutnya, sebagai seorang manajer dia tidak memiliki ruang yang luas untuk melakukan inovasi-inovasi manajerial, dikarenakan sudah ditentukan lebih awal capaian-capaian yang dituju di dalam melaksanakan kegiatan tersebut. Alasan ini pulalah yang membuat peneliti berkeyakinan bahwa ruang peran sebagai leader di lembaga pendidikan sangat sedikit. Karena, salah satu karakter sebagai seorang pemimpin dia harus bisa mengambil resiko dan berinovasi terhadap apa yang sudah dicanangkan, jika hal tersebut dianggap lebih baik. ISSN: 2540-8151 (Print) ISSN: 2549-3264 (Online) Islam Kontemporer: Jurnal Studi Keislaman/Vol. 1 No. 1 2016 Peran terakhir yang ingin peneliti ulas, adalah peran kepala sebagai supervisi di lembaga pendidikan. Supervisi, bisa dimaknai sebagai proses pengawasan, pengendalian, dan pendampingan kepada para tenaga pendidikan oleh orang yang lebih kompeten, serta memiliki kewenangan. Di dalam lembaga pendidikan seorang supervisor, umumnya, berasal dari organisasi internal dan eksternal. Di internal sekolah, struktur dikomandoi oleh kepala sekolah, serta dibantu oleh para wakil kepala sekolah. Jadi, pada intinya, tugas seorang supervisor sangat bertumpu pada kemampuan yang dimiliki oleh kepala sekolah. Contoh implikatif peran kepala sekolah sebagai supervisor adalah kepala sekolah selalu melakukan kunjungan kelas, melihat dan mengamati proses belajar mengajar yang ada di lingkungan sekolah. Atau, melakukan pengecekan terhadap kinerja para tenaga kependidikan, pada proses penndokumentasian dan pengarsipan program-program sekolah. Selain itu, sebagai seorang supervisor kepala sekolah diperbolehkan memberikan masukanmasukan konstruktif agar program yang sudah dijalankan lebih memiliki hasil yang optimal. Bahkan, seorang kepala sekolah diwajibkan untuk menegur dan memberikan nasihat kepada guru/tenaga pendidik yang bekerja di bawah performance mereka. Semua tugas-tugas tersebut terangkum di dalam diri kepala sekolah yang memerankan hirarki otoritasnya sebagai seorang supervisor. Pertanyaannya sekarang bagaimanakah yang terjadi di SMA Negeri 16 Surabaya dan SMA Muhammadiyah 2 Surabaya. Jika menelik hasil wawancara, observasi, dan dokumentasi, sangat tampak dua kepala sekolah ini memerankan dirinya sebagai seorang supervisor sekolah. Perhatian keduanya sangat terfokus untuk memastikan kinerja para tenaga pendidikan berjalan efektif dan efesien, serta sesuai dengan aturan yang ada. Maka dari itu, peneliti pun menganggap bahwa kedua kepala sekolah ini, merepresentasikan dirinya sebagai seorang supervisor yang ada di lembaga mereka masing-masing. Berdasarkan ulasan di atas, penulis berkesimpulan bahwa; pertama, betapapun dan bagaimanapun rigidnya penjabaran tentang peran kepala sekolah sebagai leader di lembaga pendidikan, mereka masih memiliki keterbatasan kekuasaan untuk menentukan programprogram yang dianggapnya bisa mengembangkan lembaga pendidikan. Posisi peran leader di sekolah, hanya bisa diambil dari posisinya sebagai pengambil keputusan, pember suri tauladan yang baik terhadap semua elemen yang ada di dunia pendidikan, sekaligus memberikan ruang partisipatif kepada orang-orang yang dipimpinnya. Itupun, dilaksanakan dan dikerjakan berdasarkan pada aspek-aspek manajerialisme-birokratis yang menjadi fondasi nilai di sekolah yang mereka pimpin. ISSN: 2540-8151 (Print) ISSN: 2549-3264 (Online) Islam Kontemporer: Jurnal Studi Keislaman/Vol. 1 No. 1 2016 Kedua, peran sebagai administrator, manajer, dan supervisor, bisa jadi, merupakan peran yang paling dominan yang ditunjukkan oleh Kepala Sekolah SMA Negeri 16 Surabaya dan SMA Muhammadiyah 2 Surabaya. Pasalnya, peran ini sangat „mudah‟ dilakukan dan diimplementasikan. Kemudahan melaksanakan peran ini tidak terlepas dari kondisi dan budaya birokrasi yang melekat di dua lembaga pendidikan ini. Sumber birokratisme di SMA Negeri 16 Surabaya tentu bersumber dari aturan-aturan pengikat yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan Surabaya atau birokrasi yang lebih tinggi lainnya. Sedangkan di SMA Muhammadiyah 2 Surabaya, aturan-aturan pengikat itu dihadirkan dan diseragamkan oleh organisasi pendidikan Muhammadiyah yang terkenal memiliki kelebihan membangun budaya unggul di sebuah lembaga pendidikan. Analisa di atas hanyalah untuk mengkategorisasikan peran-peran kepala sekolah, penyesuaian dengan bingkai teoritik, serta pereduksiannya terhadap model atau tipe yang ditemukan di lapangan. Pada bagian ini peneliti akan membingkai bagaimana peran di atas, dapat memberikan kontribusi pemberdayaan terhadap kinerja atau partisipasi tenaga pendidik yang ada di SMA Negeri 16 Surabaya dan SMA Muhammadiyah 2 Surabaya. Peneliti akan memulai pembahasan ini dari tiga terma penting; pemaknaan pemberdayaan, konsep pengembangan kompetensi tenaga pendidik, dan dalam hal apa peran-peran kepala sekolah tersebut bisa berkontribusi terhadap tenaga pendidik. Bagi peneliti pemberdayaan berarti optimalisasi potensi yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok tertentu, demi mencapai tujuan yang diinginkan bersama. Dalam bahasa yang lebih sederhana pemberdayan ialah mempekerjakaan seseorang untuk menghasilkan produk tertentu. Di sekolah pemberdayaan tenaga pendidik mengarah para proses menjadikan guru/tenaga pendidikan bekerja mencapau target-target yang sudah disepakati bersama, berasaskan aspek manajerialisme atau perencanaan yang matang. Oleh karena itu, para pakar pendidikan menyimpulkan pemberdayaan guru mengandung makna menjadikan mereka profesional terhadap tugas dan tanggung jawabnya; apakah itu dari sisi merencanakan proses pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, evaluasi pembelajaran, sampai pada proses peningkatan kemampuan/kompetensi yang harus dimiliki sebagai guru profesional. Berhubungan dengan penelitian ini, peneliti memang tidak menanyakan secara spesifik pemaknaan dua kepala sekolah ini terhadap dimensi pemberdayaan tenaga pendidik yang mereka lakukan untuk mencapai visi, misi, dan rencana strategis sekolah. Hanya saja secara eksplisit kedua kepala sekolah ini (SMA Negeri 16 Surabaya dan SMA Muhammadiyah 2 Surabaya) memiliki keyakinan bahwa seluruh elemen pendidikan yang ada di bawahnya memiliki potensi untuk dioptimalkan. Oleh sebab itulah, keterlibatan tenaga ISSN: 2540-8151 (Print) ISSN: 2549-3264 (Online) Islam Kontemporer: Jurnal Studi Keislaman/Vol. 1 No. 1 2016 kependidikan dan guru khususnya dimulai dari proses perencanaan pendidikan, hingga pada proses evaluasi program-program yang akan atau sudah dilaksankaan oleh sekolah tersebut. Fenomena ini, bagi peneliti, tidak terlepas dari kualitas profesionalisme guru yang dimiliki kedua sekolah objek penelitian. Sekedar mengingatkan kembali, bahwa kedua sekolah ini memang memiliki keunggulan dari sisi profesionalisme guru dan tenaga pendidik, sehingga menjadikan sekolah sebagai salah satu lembaga favorit dan percontohan di Surabaya. Dengan demikian pula, peran kepala sekolah menjadi sedikit ringat, perihal memperdayakan potensi yang dimiliki oleh semua tenaga pendidik. Jadi, pada kesimpulannya, pemberdayaan pendidik di dua lembaga ini bisa dikatakan berupa penumbuhan budaya profesionalisme semata, dimana para guru memiliki tanggung jawab yang kuat terhadap profesi mereka masing-masing. Kondisi profesionalisme guru yang mapan, matang, dan sangat disiplin dilakukan, menjadikan program-program pengembangan/peningkatan kinerja guru sangat minim, jika ditinjau dari aspek intensitasnya. Berdasarkan paparan data penelitian disebutkan bahwa program-program peningkatan kualitas pendidik hanya berupa pelatihan kompetensi tenaga pendidikan, sosialisasi program yang ingin dilaksankan dan dicapai, pembekalan wawasan baru terkait kebijakan-kebijakan pemerintah, serta pengembangan kompetensi tekhnis yang dapat memperkaya model/pendekatan pembelajaran, sehingga menghasilkan pembelajaran yang efektif terhadap hasil belajar siswa. Diskomposisi ini memang akan lebih menarik, apabila dikaitkan dengan konsepsi peran-peran yang menjadi fokus penelitian ini. Oleh karenanya, tabel berikut ini mungkin akan menggambarkan bagaimana para guru dan tenaga kependidikan „diberdayakan‟ oleh kepala sekolah sesuai rancang bangun peran secara konsepsional: Tabel 1.2 Peran Kepala sekolah dan Pemberdayaan Guru/Tenaga Kependidikan Peran Kepala Sekolah Pemimpian (leader) Administrator Pemberdayaan Guru/Tenaga Kependidikan - Memberikan masukan kepada kepala sekolah untuk menyusun visi, misi, dan perencanaan strategis dan operasional. Baik itu dalam ruang formal ataupun di luar kegiatan formal - Memberikan saran dan kritik, apabila ada aturan-aturan yang dilanggar oleh kepala sekolah - Mewajibkan para guru untuk mendokumentasikan seluruh komponen proses pembelajaran, mulai dari rencana hingga hasil evaluasi belajar - Memberikan kebebasan kepada guru agar menyusun gagasangagasan efektif model pendekatan pembelajaran - Memberikan masukan kepada kepala sekolah dari sisi ISSN: 2540-8151 (Print) ISSN: 2549-3264 (Online) Islam Kontemporer: Jurnal Studi Keislaman/Vol. 1 No. 1 2016 penyelenggaraan administrasi lembaga pendidikan - Melaksanakan pelatihan tekhnis kepada tenaga pendidikan agar lebih memiliki kompetensi dalam aspek manajemen sistem informasi dan data Manajer - Memberikan ruang dialogis kepada para guru/tenaga pendidikan untuk sharing idea pengembangan lembaga pendidikan - Mendelegasikan kewenangan, mengawasi, dan menilai hasil kinerja guru/tenaga pendidikan yang diberikan otoritas untuk melaksanakan atau mengelola program tertentu - Melibatkan guru/tenaga kependidikan dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program-program pendidikan sekolah Supervisor - Memberikan pelatihan pengembangan kinerja dan pengetahuan baru bagi para guru/tenaga pendidikan - Memberikan ruang aktualisasi diri bagi guru/tenaga pendidikan, sekaligus mengendalikan/mengawasi apa yang sudah dilakukan - Memberikan teguran, masukan, saran, nasehat, dan sanksi kepada guru/tenaga pendidik sesuai dengan standard kinerja yang mereka kerjakan. Jika menelisik tabel di atas, peneliti sangat menyadari bahwa peran dan pemberdayaan ini sejatinya berada pada bingkai dualitas yang tidak terpisahkan, apalagi hal ini harus dilaksanakan di ruang; dimana profesionalisme guru dan kepemimpinan menjadi sebuah kultur yang sudah terjalin lama. Artinya, peneliti sendiri tidak berani menyimpulkan secara langsung bahwa peran kepala sekolah menjadi sangat dominan terhadap pemberdayaan guru/tenaga pendidikan yang profesional. Hal ini sama seperti penelitian Mark Hanson, Hoy, dan Miskel yang menyebutkan bahwa leadership dan profesional teacher itu memiliki ruang interface yang sulit dipisahkan. Pada posisi seperti ini tidak ada ruang yang mendominasi, keduanya memiliki hubungan yang sama rata dan seimbang. Guru profesional, tanpa kepemimpinan yang kuat, masih bisa menghasilkan proses pembelajaran yang baik. Demikian sebaliknya, pemimpin yang kuat, juga tidak dapat secara langsung mempengaruhi guru yang profesional. Oleh karenanya, di dalam tabel tersebut, peneliti menimbuhi peran kepala sekolah dengan peran aktif para guru profesional yang ada di SMA Negeri 16 Surabaya dan SMA Muhammadiyah 2 Surabaya. Penutup Di bagian terakhir ini, bisa dikatakan, hanya sebagai penegasan ulang dari diskomposisi karakter kepemimpinan hingga perannya, serta „pengaruh‟ peran tersebut, bagi guru profesional; baik itu secara teoritik ataupun temuan lapangan di SMA Negeri 16 Surabaya dan SMA Muhammadiyah 2 Surabaya. Secara teoritik, sebenarnya, peneliti tidak memasukkan tiga peran kepala sekolah selain empat peran yang sudah dibahas, yakni; ISSN: 2540-8151 (Print) ISSN: 2549-3264 (Online) Islam Kontemporer: Jurnal Studi Keislaman/Vol. 1 No. 1 2016 edukator, inovator, dan motivator. Penjabaran peran lebih kepala sekolah ini, seyogyanya, memang tidak diperlukan. Pasalnya, sebagaimana temuan peneliti di lapangan, menunjukkan bahwa peran-peran tersebut sudah inheren dengan peran lainnya. Bahkan, peran manajer, leader, dan supervisor, menjadi sedikit kabur apabila dikembalikan kepada kerangka dasar ilmu manajemen pendidikan ini dihadirkan. Tiga terminologi yang sejatinya memiliki domain simantik tersendiri, harus imparsial di lapangan. Terkecuali memang peran seorang administrator lembaga yang sudah disempitkan dari sisi pengarsipan, pendokumentasian, dan pelaporan kegiatan-legiatan yang dilaksanakan oleh sekolah. Maka dari itu, peneliti berkesimpulan setidaknya ada tiga hal penting terkait peran kepala sekolah ini, agar menjadi sebuah teori yang implikatif; pertama, karakteristik dan gaya kepemimpinan serta prinsip yang dipegang untuk menjalankan roda organisasi lembaga. Di SMA Negeri 16 Surabaya misalnya, kepala sekolahnya berpegang teguh pada aspek kedisiplinan diri, ketauladanan, kejujuran, dan komunikasi yang terbuka kepada siapapun di lembaganya. Sedangkan di SMA Muhammadiyah 2, kata kunci kepemimpinannya, ada di partisipasi dan peran penting elemen lembaga pendidikan dalam pengembangan lembaganya. Kedua, betapapun peran kepala sekolah sangat urgen untuk menggabungkan dan mengelaborasikan potensi yang dimiliki oleh komunitas sekolah. Maka dari itu, sesuai temuan di lapangan, dua kepala sekolah ini memberikan aturan yang rigid terkait dengan kinerja yang wajib dicapai oleh guru/tenaga pendidik, mensupervisi apabila ada yang kurang memahami tugas dan tanggung jawabnya, serta memberikan penghargaan kepada siapapun yang berprestasi. Ketiga, bagi peneliti, peran dan pemberdayaan, di ruang leadership dan profesinalisme, memiliki kecenderungan untuk menghasilkan proses pengelolaan yang efektif. Namun, apabila dua hal ini tidak dapat dikelola dengan baik, maka hasilnya bisa berbuah pada konflik sektoral, dimana guru profesional akan menggunakan hak profesinya, dan kepala sekolah akan menggukan otoritas yang dimilikinya. Oleh sebab itulah, kata collaborative leadership menjadi sangat penting diperhatikan untuk mencapai tujuan bersama. ISSN: 2540-8151 (Print) ISSN: 2549-3264 (Online) Islam Kontemporer: Jurnal Studi Keislaman/Vol. 1 No. 1 2016 DAFTAR PUSTAKA Al-Abrasyi, M. Athiyah , At-Tarbiyyah al-Islamiyyah wa Falsafatuha, Mesir: Isa al-Babi alHalabi, 1975 Danim, Sudarwan, Inovasi Pendidikan : Dalam Upaya Meningkatkan Profesionalisme Tenaga Kependidikan, Bandung : Pustaka Setia, 2002 Daryanto, Administarsi Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2001 Gaspersz, Vincent , Total Quality Management, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003 Gage Allee, John, Webster’s New Standar Dictionary, New York: Mc Loughlin Brothers Inc., 1969 Hanson, Mark, School Governance and The Professional Bureaucracy Interface, California; ERIC, 1998 Idhochi, Mch., Anwar, Administrasi Pendidikan dan Manajemen Biaya Pendidikan, Bandung : CV. Alfabeta, 2003 K. Hoy, Wyne, School Administration, London; SAGE Publ, 2001 Lazaruth, Soewaji, Kepala Sekolah Dan Tanggung Jawabnya, Yogyakarta : Penerbit Kanisius,1993 Mulyasa, E., Pedoman Manajemen Berbasis Madrasah, Jakarta : departemen agama RI, Direktorat jenderal kelembagaan agama islam, 2005 Naim, Ngainun, Rekonstruksi Pendidikan Nasional: Membangun Paradigma yang Mencerahkan, Yogyakarta: Teras, 2009 P Siagian, Sondang, Organisasi, Kepemimpinan dan Perilaku Administrasi, Jakarta: Gunung Agung, 1982 Sukamto,Kepemimpinan Kyai dalam Pesantren, Jakarta: LP3S, 1999 Sudrajat, Akhmad, kompetensi guru dan peran kepala sekolah, http://www.depdiknas.go.id/ inlink Tim Penyusun Kemendikbud, Standar Kompetensi Kepala Sekolah TK, SD, SMP, SMA, SMK, dan SLB, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2007 Tilaar, H.A.R,. Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000 ISSN: 2540-8151 (Print) ISSN: 2549-3264 (Online)