perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user

advertisement
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
POLA PENGGUNAAN ANTIBIOTIK UNTUK DEMAM TIFOID
PADA PASIEN DEWASA DI INSTALASI RAWAT INAP
RSUP DR SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN
PERIODE JANUARI
DESEMBER 2010
TUGAS AKHIR
Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan
memperoleh gelar Ahli Madya D3 Farmasi
Oleh
RETNO WIDIASTUTI
M3508064
DIPLOMA 3 FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
commiti to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commitii to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tugasa khir ini adalah hasil penelitian saya
sendiri dan tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar apa
pun di suatu perguruan tinggi, serta tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini
dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari dapat ditemukan adanya unsure penjiplakan maka gelar
yang telah diperoleh dapat ditinjau dan/atau dicabut.
Surakarta, 7 November 2011
Retno Widiastuti
M3508064
commitiiito user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
POLA PENGGUNAAN ANTIBIOTIK UNTUK DEMAM TIFOID
PADA PASIEN DEWASA DI INSTALASI RAWAT INAP
RSUP DR SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN
PERIODE JANUARI DESEMBER 2010
RETNO WIDIASTUTI
Jurusan D3 FarmasiFakultasMatematikadanIlmuPengetahuanAlam
UniversitasSebelasMaret
INTISARI
Demam tifoid merupakan penyakit tropik infeksi sistemik yang disebabkan
oleh Salmonella typhi, dan masih merupakan masalah kesehatan pada negara-negara
berkembang, seperti Indonesia. Pemberian antibiotik merupakan terapi kausal dengan
dosis dan lama pemberian yang adekuat untuk mencegah kegagalan pengobatan dan
kemungkinan terjadinya relaps dan karier. Penelitian ini dilakukan untuk
mendapatakan gambaran subyek penelitian dan pola penggunaan antibiotik untuk
demam tifoid pada pasien dewasa di instalasi rawat inap RSUP Dr. Soeradji
Tirtonegoro Klaten serta kesesuaian penggunaan antibiotik berdasarkan standar WHO
Background Document : The Diagnostic, Treatment, and Prevention of Typhoid
Fever tahun 2003.
Jenis penelitian merupakan penelitian dengan metode deskriptif non analitik
secara retrospektif dengan sampel pasien dewasa yang didiagnosis demam tifoid saja
dan dirawat inap di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten. Data yang diambil dari
rekam medik adalah data pasien dan data tata laksana terapi dengan antibiotik. Data
selanjutnya diolah dengan program Microsoft Excel 2007. Kesesuaian penggunaan
antibiotik dibandingkan dengan standar WHO Background Document : The
Diagnostic, Treatment, and Prevention of Typhoid Fever tahun 2003.
Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa 45,00% pasien menggunakan
antibiotik Seftriakson dan Siprofloksasin sebanyak 38,33%. Kesesuaian pemilihan
antibiotik berdasarkan standar WHO sebesar 96,67% dan kesesuaian dosis sebesar
96,67%.
Kata kunci: demam tifoid, antibiotik, pola penggunaan, RSUP Dr. Soeradji
Tirtonegoro Klaten.
commitivto user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
THE PATTERN USE OF ANTIBIOTIC FOR TYPHOID FEVER IN ADULT
PATIENTS IN INPATIENT WARD OF DR. SOERADJI TIRTONEGORO
KLATEN HOSPITAL ON JANUARY-DECEMBER 2010
RETNO WIDIASTUTI
D3 Department of Pharmacy, Faculty of Mathematics and Natural Sciences
Sebelas Maret University
ABSTRACT
Typhoid fever is a systemic infectious tropical disease caused by Salmonella
typhiand still health problem in developing countries, like Indonesia. Antibiotic usage
was causal therapy with dose and duration of administration were adequate for
prevent treatment failure and insidence of relapse and carriers. This research aims to
find out the pattern use of antibiotic for typhoid fever in adult patient and the
compatibility with WHO Background Document: The Diagnostic, Treatment, and
Prevention of Typhoid Fever 2003 standard.
This study belongs to a descriptive non-analytical method used medical record
document collected retrospectively. The population was the adult patients whose
diagnosed as typhoid fever in the Inpatient Ward of Dr. SoeradjiTirtonegoro Hospital.
The data included
with WHO Background Document: The Diagnostic, Treatment, andPrevention of
Typhoid Fever 2003.
The conclusion showed that 31,76% of patients using the antibiotic
Ceftriaxone and Ciprofloxacin 21,06 %. The compatibility of the appropriated drug
based on the WHO Background Document: The Diagnostic, Treatment, and
Prevention of Typhoid Fever 2003 is 96.67 % and the compatibility of appropriated
dosage is 96.67 %.
Key words: typhoid fever, antibiotics, usage patterns, RSUP Dr. Soeradji
Tirtonegoro Klaten.
commitv to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
Dan sesungguhnya
(Q.S. Al-Insyiroh : 5-6)
kamu termasuk orang(Q.S. Al-
)
-baiknya umat yang dilahirkan untuk manusia,
(Q.S. Ali Imran : 110)
commitvito user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Tugas Akhir ini
Kupersembahkan untuk ibu dan bapak
atas segala doa dan kasih sayangnya,
adik-adikku tersayang serta sahabatsahabatku atas kebersamaan dalam suka
duka menjalani kehidupanini...
commitviito user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah atas segala karunia-Nya yang tak terhingga bagi
penulis dan kita semuanya sehingga atas ijin-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas
akhir
Penggunaan Antibiotik Untuk Demam Tifoid pada Pasien
Dewasa di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten Periode
Januari-
lancar.
Penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif non analitik menggunakan
berkas rekam medik yang dikumpulkan secara retrospektif dan bertujuan untuk
mengetahui penggunaan antibiotik untuk demam tifoid yang meliputi pemilihan jenis
obat, dosis, aturan pakai, bentuk sediaan, rute pemberian, dan kombinasi obat pada
pasien dewasa di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten periode
Januari-Desember 2010 dan kesesuaiannya dengan standar WHO Background
Document : The Diagnostic, Treatment, and Prevention of Typhoid Fever tahun 2003.
Penulisan tugas akhir ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak
baik secara langsung maupun tidak langsung, oleh karena itu penulis mengucapkan
terima kasih yang setulusnya kepada:
1. Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya yang tak terhingga.
2. Ibu dan bapak atas dukungannya dan doa yang tiada henti serta kasih
sayang yang telah diberikan kepada penulis.
3. Adik-adikku tersayang yang telah menghibur dan memberikan dukungan
kepada penulis.
viii
commit
to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4. Bapak Ir. Ari Handono Ramelan, M.Sc., (Hons),PhD. Selaku Dekan
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
5. Bapak Ahmad Ainurofiq, M.Si., Apt. selaku Ketua Program D3 Farmasi
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
6. Ibu Estu Retnaningtyas N., STP.,M.Si.selaku pembimbing akademik yang
telah banyak membantu selama masa perkuliahan.
7. Bapak Wisnu Kundarto, S.Farm., Apt. selaku pembimbing tugas akhir atas
segala ketulusan dan kesabarannya dalam memberikan arahan dan
masukan serta ilmu yang sangat berguna.
8. Ibu Yeni Farida, S. Farm, Apt. dan Ibu Nestri Handayani, M.Si., Apt.
selaku penguji I dan II
9. BapakDr. H. Bambang Purwoatmodjo, Sp. THT-KL. MM.,selaku Direktur
RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten yang telah menyediakan tempat
untuk dilakukannya penelitian ini.
10. Ibu Dra. Nining Setyawati, M. Si., selaku Direktur Umum, SDM, dan
Pendidikan RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro yang telah memberikan ijin
penelitian ini.
11. Seluruh staf instalasi rekam medik RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro yang
telah memberikan masukan dan arahan saat penelitian.
12. Segenap dosen pengajar jurusan D3 Farmasi yang telah banyak
memberikan ilmu dan pelajaran yang berharga.
commitixto user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
13. Sahabat-sahabatku Rezuko Hanayuki (Luluk, Fadhilah, Fithri, Tesa,
Ahlam, Mila), Ovie, Rizal, Anis, Yuli, Atina, Dewi, Hesthi, Gezha, Nella,
Ika yang telah memberikan dukungan, motivasi, semangat, kesabaran,
perhatian, dan kasih sayangnya selama ini.
14. Teman-teman seperjuangan D3 Farmasi yang telah berbagi suka dan duka
serta pengalaman selama kuliah dan pengerjaan tugas akhir ini.
15. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini masih jauh dari sempurna, namun
dengan segala kerendahan hati atas kekurangan itu, penulis menerima kritik dan saran
dalam rangka perbaikan tugas akhir ini.Semoga tugas akhir ini bermanfaat bagi
perkembangan ilmu kefarmasian khususnya dan ilmu pengetahuan pada umumnya.
Surakarta, 7 November 2011
Retno Widiastuti
commitx to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
i
HALAMAN PERSETUJUAN
ii
HALAMAN PERNYATAAN
iii
INTISARI
iv
ABSTRACT
v
HALAMAN MOTTO
vi
HALAMAN PERSEMBAHAN
vii
KATA PENGANTAR
viii
DAFTAR ISI
xi
DAFTAR TABEL
xiv
DAFTAR GAMBAR
xv
DAFTAR LAMPIRAN
xvi
DAFTAR SINGKATAN
xvii
BAB I
1
PENDAHULUAN
A.
1
B.
3
C.
3
D. Manfaat Penelitian.......................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Demam Tifoid...
5
5
commitxito user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a. Definisi.............
5
b. Patogenesis..................
5
c. Manifestasi Klinik..............................
6
d. Penegakan Diagnosis
......
e. Tata Laksana Demam Tifoid
...
8
10
1. Antibiotik.........
10
2. Terapi Simptomatik................................................................ 17
3. Terapi Suportif....................................................................... 17
B. Kerangka Pemikiran....................................................................... 17
C.
18
BAB III CARA PENELITIAN
A. Instrumen Penelitian
................
19
...
19
a. Alat yang digunakan................................
19
b. Bahan yang digunakan.............................................................. 19
B.
19
C.
19
D.
21
E. Analisa
22
F.
24
BAB IV HASILPENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
..
25
25
commitxiito user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1. Jumlah Pasien Demam Tifoid Dewasa...................................... 25
2. Distribusi Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin........................... 25
3. Distribusi Pasien Berdasarkan Usia.......................................... 26
4. Distribusi Pasien Berdasarkan Domisili.................................... 27
5. Distribusi Pasien Berdasarkan Lama Perawatan....................... 28
6. Distribusi Pasien Berdasarkan Keadaan Akhir Pasien.............. 29
B. Pola Penggunaan dan Evaluasi Penggunaan Antibiotik untuk
Demam Tifoid pada Pasien Dewasa
.......................... 32
C.
BAB V PENUTUP
39
...............
A. Kesimpulan
40
40
B. Saran ............................................................................................. 41
DAFTAR PUSTAKA
42
LAMPIRAN
45
xiii
commit
to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
Tabel I. Terapi Demam Tifoid Tanpa Komplikasi..........
16
Tabel II. Distribusi Pasien Berdasarkan Lama Perawatan
29
Tabel III. Pola Penggunaan dan Kesesuaian Pemilihan Antibiotik Untuk
Demam Tifoid di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro
33
Tabel IV. Pemberian Antibiotik pada Pasien Dewasa Demam Tifoid di
RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro
...............
35
TabelV. Kesesuaian Dosis Antibiotik untuk Terapi Demam Tifoid Pasien
Dewasa...........................................
commitxivto user
37
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Diagram
24
Gambar 2. Distribusi Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin
... 26
Gambar 3. Distribusi Pasien Berdasarkan Usia.....................
27
Gambar 4. Distribusi Pasien Berdasarkan Domisili...........................
28
Gambar 5. Distribusi Pasien Berdasarkan Cara Pulang
.....
30
...
31
Gambar 6. DistribusiPasienBerdasarkanKeadaan Pulang
commitxvto user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.Lembar Data Pasien Dewasa Demam Tifoid
Lampiran 2. LembarData Pengobatan Demam Tifoid
commitxvito user
45
... 50
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR SINGKATAN
EIA
: Enzyme Immuno Assay
ELISA
: Enzyme-Linked Immunosorben
KLB
: Kejadian Luar Biasa
RNA
: Ribonucleic Acid
WHO
: World Health Organization
xvii
commit
to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Demam tifoid termasuk salah satu jenis penyakit infeksi bakteri yang banyak ditemukan
di negara kita, baik pada dewasa maupun anak. Demam tifoid adalah infeksi akut pada
saluran pencernaan yang disebabkan oleh Salmonella typhi (Widoyono, 2005). Demam tifoid
pada anak terjadi pada umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi klinis ringan.
Perbedaan lain antara demam tifoid pada anak dan dewasa adalah mortalitas demam tifoid
pada anak lebih rendah bila dibandingkan dengan dewasa. Risiko terjadinya komplikasi fatal
terutama dijumpai pada anak besar dengan manifestasi klinis berat, menyerupai kasus dewasa
(Hadinegoro, 1999).
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit
ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data World Health
Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid
di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun (Anonimb, 2003).
Di daerah endemik tifoid, insiden tertinggi pada anak-anak. Orang dewasa sering
mengalami infeksi yang sembuh sendiri dan dapat menjadi kebal. Insiden 70 80 % pada usia
12 30 tahun, 10 20% pada usia 30 40 tahun, dan 5 10 % pada usia di atas 40 tahun,
sedangkan insiden jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan yang
jelas(Muhaj,2010).
commit1 to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2
Di Indonesia, menurut laporan data surveilans yang dilakukan oleh Sub Direktorat Surveilans
Departemen Kesehatan, insiden penyakit menunjukkan angka yang terus meningkat.
Angka kematian demam tifoid di beberapa daerah adalah 2-5%. Kecenderungan
meningkatnya angka kejadian demam tifoid di Indonesia terjadi karena banyak faktor,
antara lain urbanisasi, sanitasi yang buruk, karier yang tidak terdeteksi, dan
keterlambatan diagnosis (Muliawan dan Suryawidjaja, 1999).
Terapi antibiotik merupakan terapi kausal yang perlu diberikan dengan dosis dan
lama pemberian yang adekuat untuk mencegah kegagalan pengobatan dan
kemungkinan terjadinya relaps dan karier (Chen, 2008).
Orientasi penggunaan antibiotik secara rasional lebih diarahkan pada pasien agar
didapatkan hasil yang aman, efektif, dan efisien. Pemakaian antibiotik yang irasional
penggunaan antibiotik dengan indikasi yang tidak jelas, dosis atau lama pemakaian
yang tidak sesuai, cara pemakaian yang kurang tepat, status obat yang tidak jelas,
serta pemakaian antibiotik secara berlebihan. Pemakaian antibiotik secara irasional
dapat menimbulkan kekebalan atau resistensi bakteri terhadap antibiotik tersebut,
meningkatkan toksisitas, dan efek samping obat (Santoso, 2009).
Berdasarkan uraian di atas demam tifoid merupakan penyakit yang perlu
mendapatkan perhatian khusus, dengan demikian pula halnya dengan penggunaan
antibiotik untuk pengobatan tifoid. Oleh karena itu, peneliti ingin melakukan
penelitian tentang pola penggunaan antibiotik demam tifoid pada pasien dewasa yang
menjalani rawat inap di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten selama tahun 2010.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3
Penelitian dilakukan di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten karena rumah sakit ini
merupakan rumah sakit pendidikan yang membantu memberikan fasilitas untuk lahan
praktek bagi institusi kesehatan maupun non kesehatan. RSUP Dr. Soeradji
Tirtonegoro juga merupakan rumah sakit rujukan tertinggi untuk daerah Klaten.
Rujukan yang diberikan adalah rujukan pelayanan medis, rujukan pengetahuan,
maupun keterampilan medis dan non medis.
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana gambaran subyek penelitian yang meliputi jumlah pasien, jenis
kelamin dan usia, domisili, lama perawatan, dan status pulang pada pasien dewasa
demam tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
periode Januari-Desember 2010?
2. Bagaimana pola penggunaan antibiotik untuk demam tifoid pada pasien dewasa di
instalasi rawat inap RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten periode JanuariDesember tahun 2010 serta pemilihan antibiotik dan kesesuaian dosis dengan
standar WHO Background Document : The Diagnostic, Treatment, and
Prevention of Typhoid Fever tahun 2003?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui gambaran subyek penelitian yang meliputi jumlah pasien, jenis
kelamin dan usia, domisili, lama perawatan, dan status pulang pada pasien dewasa
demam tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
periode Januari-Desember 2010.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4
Mengetahui pola penggunaan antibiotik untuk demam tifoid pada pasien dewasa di
instalasi rawat inap RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten periode Januari-Desember
tahun 2010 serta pemilihan antibiotik dan kesesuaian dosis dengan standar WHO
Background Document : The Diagnostic, Treatment, and Prevention of Typhoid
Fever tahun 2003.
D. Manfaat Penelitian
Pengetahuan yang diperoleh dari hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk :
1. Sebagai bahan masukan bagi RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro untuk meningkatkan
mutu pelayanan medik dalam pengobatan demam tifoid.
2. Digunakan sebagai salah satu sumber informasi tentang pola penggunaan
antibiotik untuk demam tifoid.
3. Menjadi bahan pembanding dan pelengkap bagi penelitian selanjutnya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Demam Tifoid
a. Definisi
Sejarah
tifoid
dimulai
saat
ilmuwan
Perancis
bernama
Pierre
Louis
memperkenalkan istilah typhoid pada tahun 1829. Typhoid atau typhus berasal dari
bahasa Yunani typhos yang berarti penderita demam dengan gangguan kesadaran
(Widoyono, 2005).
Demam tifoid adalah infeksi akut pada saluran pencernaan yang disebabkan oleh
Salmonella typhi. Demam lebih dari 7 hari adalah gejala yang paling menonjol.
Demam ini bisa diikuti oleh gejala yang tidak khas lainnya seperti diare, anoreksia,
atau batuk. Pada keadaan yang parah bisa disertai gangguan kesdaran (Widoyono,
2005). Tifus termasuk dalam golongan penyakit demam berhubungan dengan adanya
beberapa gejala seperti demam tinggi dengan bradikardi dan kepala sangat nyeri
(Tjay dan Rahardja, 2002). Penyebab demam tifoid adalah bakteri Salmonella typhi.
Salmonella adalah bakteri gram negatif, tidak berkapsul, mempunyai flagella, dan
tidak membentuk spora (Widoyono, 2005).
commit5 to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6
b. Patogenesis
Penularan demam tifoid adalah melalui air dan makanan. Kuman Salmonella
dapat bertahan lama dalam makanan. Penggunaan air minum secara masal yang
tercemar bakteri sering menyebabkan KLB (Kejadian Luar Biasa) (Widoyono, 2005).
Kuman Salmonella typhi masuk tubuh manusia melalui mulut dengan makanan
dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung. Sebagian
lagi masuk ke usus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di ileum
terminalis yang mengalami hipertrofi. Di tempat ini komplikasi pendarahan dan
perforasi intestinal dapat terjadi. Kuman S.typhi kemudian menembus lamina propia,
masuk aliran limfe dan mencapai kelenjar limfe mesenterial, yang juga mengalami
hipertrofi (Juwono, 1996).
Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit
terutama oleh sel makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam
makrofag dan melalui duktus toraksikus kuman akan masuk ke dalam peredaran
darah melalui aliran limfe dan menimbulkan bakteremia. Selanjutnya kuman
menyebar ke seluruh tubuh dalam sistem retikuloendotelial yaitu hati dan limfa,
kemudian kuman berkembang biak dan masuk ke peredaran darah kembali.
Selanjutnya kuman masuk ke beberapa jaringan organ tubuh, terutama limpa,usus dan
kantung empedu (Sudoyo, 2007).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
7
c. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis demam tifoid tergantung dari virulensi dan daya tahan tubuh.
Masa inkubasinya adalah 10-20 hari (Widoyono, 2005). Gejala-gejala yang timbul
sangat bervariasi. Selain itu gambaran penyakit bervariasi dari penyakit ringan yang
tidak terdiagnosis, sampai gambaran penyakit yang khas dengan komplikasi dan
kematian (Harnawati, 2008).
Dalam minggu pertama penyakit, keluhan dan gejala serupa dengan penyakit akut
pada umumnya antara lain demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual,
muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk dan epistaksis. Pada
pemeriksaan fisik hanya dijumpai suhu badan meningkat. Dalam minggu kedua
gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi relatif, lidah yang khas
(kotor ditengah, tepi dan ujung merah dan tremor), hepatomegali, splenomegali
(Harnawati, 2008).
Menurut Anonim (2003), ada 3 macam keadaan demam tifoid dengan perbedaan
gejala klinik yaitu :
1. Demam tifoid akut non komplikasi
Demam tifoid akut dikarakterisasi dengan adanya demam berkepanjangan
abnormalitas fungsi bowel, sakit kepala, malaise, dan anoreksia. Bronkhitis
biasa terjadi pada awal fase penyakit. Selama periode demam, sampai 25%
penyakit menunjukkan adanya rose spot pada dada, abdomen, dan punggung.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
8
2. Demam tifoid dengan komplikasi
Pada demam tifoid akut, keadaan mungkin dapat berkembang menjadi
komplikasi parah. Bergantung pada kualitas pengobatan dan keadaan
kliniknya, hingga 10% pasien dapat mengalami komplikasi mulai dari melena
(3%), perforasi usus (3%), dan peningkatan ketidaknyamanan abdomen.
3. Keadaan karier
Keadaan karier tifoid terjadi pada 1-5% pasien, tergantung umur pasien.
Karier tifoid bersifat kronis, dalam hal sekresi Salmonella typhii di feses.
d. Penegakan Diagnosis
Gambaran klinis penyakit demam tifoid sangat bervariasi dari hanya sebagai
penyakit ringan yang tidak terdiagnosis, sampai gambaran penyakit yang khas dengan
komplikasi dan kematian. Hal ini mungkin menyebabkan kesulitan dalam
menegakkan diagnosis demam tifoid apabila hanya berdasarkan gambaran klinis. Tes
ideal untuk suatu pemeriksaan laboratorium seharusnya bersifat sensitif, spesifik, dan
cepat diketahui hasilnya. Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis
demam tifoid yang ada sampai saat ini adalah dengan metode konvensional, yaitu
kultur kuman dan uji serologi Widal serta metode non-konvensional, yaitu antara lain
Polymerase Chain Reaction (PCR), Enzyme Immuno Assay (EIA), dan EnzymeLinked Immunosorbent Assay (ELISA) (Muliawan dan Suryawidjaja, 1999).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
9
Diagnosis pasti demam tifoid adalah isolasi S. typhi dari darah, urin, tinja, atau
cairan tubuh lainnya. Hal ini sering tidak mungkin dilakukan di negara sedang
berkembang, karena fasilitas bakteriologik yang tidak memadai pada banyak rumah
sakit kecil, sedangkan penyakit demam tifoid merupakan penyakit endemis di negara
tersebut. Dengan keadaan seperti ini, diagnosis harus ditegakkan dengan
menghubungkan gejala klinik yang sesuai dengan demam tifoid dan adanya titer
antibodi yang meningkat bermakna dalam darah terhadap antigen O dan/atau antigen
H S. typhi (Muliawan & Surjawidjaja,1999).
Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin).
Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella terdapat dalam serum pasien demam
tifoid, juga pada orang yang pernah ketularan Salmonella dan pada orang yang pernah
divaksinasi terhadap demam tifoid. Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah
suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Uji Widal
ditujukan untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum pasien yang diduga
menderita demam tifoid (Juwono, 1996).
Widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit)
menunjukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus
benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan demam
tifoid (Soedarmo, 2002). Uji Widal bermanfaat bila dilakukan pemeriksaan serial tiap
minggu dengan kenaikan titer sebanyak 4 kali (Raja, 2008).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
10
Uji Widal dapat memberikan informasi yang tidak adekuat oleh karena antara lain:
1) Uji ini merupakan tes imunologik dan seharusnya dikerjakan dalam keadaan
yang baku.
2) S. typhi mempunyai antigen O dan antigen H yang sama dengan Salmonella
lainnya, maka kenaikan titer antibodi ini tidak spesifik untuk S. Typhi.
3) Penentuan hasil positif mungkin didasarkan atas titer antibodi dalam populasi
daerah endemis yang secara konstan terpapar dengan organisme tersebut dan
mempunyai titer antibodi mungkin lebih tinggi daripada daerah non endemis
pada orang yang tidak sakit sekalipun.
4) Tidak dihasilkannya antibodi terhadap Salmonella karena rendahnya stimulus
yang dapat merangsang timbulnya antibodi, sehingga produksi antibodi
terganggu (Muliawan dan Suryawidjaja, 1999).
e. Tata laksana Demam Tifoid
Penatalaksanaan mencakup terapi suportif, simptomatik, dan kausal. Terapi
antimikroba merupakan terapi kausal yang perlu diberikan dengan dosis dan lama
pemberian yang adekuat untuk mencegah kegagalan pengobatan dan kemungkinan
terjadinya relaps dan karier (Chen, 2008).
1. Antibiotik
Antibiotik adalah zat kimiawi yang dihasilkan oleh suatu mikroba yang dapat
menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain (Setiabudy, 1995). Obat
standar yang digunakan untuk terapi demam tifoid untuk saat ini adalah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
11
kloramfenikol, amoksisilin, dan kortimoksazol (Soegijanto, 2002). Menurut WHO,
fluorokuinolon memberikan hasil yang optimal pada terapi demam tifoid pada orang
karena relatif tidak mahal, mempunyai toleransi yang baik dan lebih efektif daripada
obat pilihan pertama, seperti kloramfenikol, ampisillin, amoksisillin and trimetoprimsulfametoksazol. Kejadian dari berbagai wilayah di Asia mengindikasikan bahwa
fluorokuinolon cukup efektif untuk pengobatan demam tifoid pada anak (Anonimb,
2003).
Antibiotik yang digunakan untuk terapi demam tifoid digolongkan sebagai
berikut :
a. Kloramfenikol
Kloramfenikol bekerja dengan jalan menghambat enzim peptidil transferase yang
berperan sebagai katalisator untuk membentuk ikatan-ikatan peptide pada proses
sintesis protein kuman. Kloramfenikol umumnya bersifat bakteriostatik. Pada
konsentrasi tinggi kloramfenikol kadang-kadang bersifat bakterisid terhadap kumankuman tertentu (Setiabudy dan Kunardi, 1995). Dosis yang disarankan adalah 50-75
mg per kg per hari selama 14 hari dibagi menjadi empat dosis perhari, atau setidaknya
lima sampai tujuh hari setelah bebas demam (Anonimb, 2003). Efek samping yang
dapat timbul karena penggunaan kloramfenikol antara lain mual, muntah, glositis,
diare, reaksi hematologik (anemia aplastik dan reaksi toksik dengan manifestasi
depresi sumsum tulang), sindrom gray pada neonatus (Setiabudy, 1995).
b. Trimetoprim-Sulfametoksazol (Kotrimoksazol)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
12
Trimetoprim dan sulfametoksazol menghambat metabolisme sel bakteri.
Kotrimoksazol
tersedia
dalam
bentuk
tablet
oral,
mengandung
400
mg
sulfametoksazol dan 80 mg trimetoprim atau 800 mg sulfametoksazol dan 160 mg
trimetoprim. Dosis dewasa pada umumnya ialah 800 mg sulfametoksazol dan 160 mg
trimetoprim setiap 12 jam (Setiabudy dan Mariana, 1995). Kombinasi trimetoprimsulfametoksazol dilaporkan dapat menimbulkan reaksi kulit sampai tiga kali lebih
sering dibandingkan sulfisoksazol pada pemberian tunggal. Gejala-gejala saluran
cerna terutama mual, muntah, diare jarang terjadi. Glositis dan stomatitis relatif
sering (Setiabudy dan Mariana, 1995).
c. Penisilin spektrum luas
Penisilin menghambat pembentukan mukopeptida yang diperlukan untuk
sintesis dinding sel mikroba. Terhadap mikroba yang sensitif, penisilin akan
menghasilkan efek bakterisid (Istiantoro dan Gan, 1995).
Ampisilin aktif terhadap beberapa jenis kuman gram positif dan gram negatif, tapi
dirusak oleh penisilinase. Oleh karena itu, kemungkinan resistensi perlu dipikirkan
sebelum menggunakan ampisilin. Obat ini terutama jangan digunakan di rumah sakit
tanpa adanya hasil uji kepekaan. Ampisilin dapat diberikan per oral, tapi yang
diabsorpsi tidak lebih dari separuhnya (Anonima, 2000).
Amoksisilin merupakan turunan ampisilin yang hanya berbeda pada satu gugus
hidroksil dan memiliki spektrum anti bakteri yang sama. Obat ini lebih baik diberikan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
13
secara per oral dan menghasilkan kadar yang lebih tinggi dalam plasma dan jaringan
(Anonima, 2000).
Efek samping yang disebabkan oleh ampisillin maupun amoksisillin antara lain mual,
diare, ruam, kadang-kadang terjadi kolitis karena antibiotik (Anonima, 2000).
Sefalosporin generasi ketiga
Sefalosporin termasuk antibiotik betalaktam yang bekerja dengan cara menghambat
sintesis dinding sel mikroba. Sefalosporin aktif terhadap kuman gram positif dan
gram negatif, tapi spektrum antimikroba masing-masing derivat bervariasi (Anonima,
2000).
Sefalosporin generasi ketiga antara lain:
Sefotaksim
Obat ini sangat aktif terhadap berbagai kuman gram positif maupun gram negatif
aerobik. Waktu paruh plasma sekitar 1 jam dan diberikan tiap 6 sampai 12 jam
(Istiantoro dan Gan, 1995).
Seftriakson
Obat ini umumnya aktif terhadap kuman gram positif, tetapi kurang aktif
dibandingkan sefalosporin generasi pertama. Waktu paruhnya mencapai 8 jam.
Seftriakson tersedia dalam bentuk bubuk obat suntik 0,25; 0,50; 1 g (Istiantoro dan
Gan, 1995).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
14
Seftazidim
Aktivitas seftazidim terhadap bakteri gram positif tidak sebaik sefotaksim. Seftazidim
tersedia dalam bentuk bubuk obat suntik 0,5; 1; 2 g (Istiantoro dan Gan, 1995).
Sefoperazon
Waktu paruh sefoperazon sekitar 2 jam. Ekskresinya terutama melalui empedu.
Karena itu bila ada gangguan fungsi ginjal dosis tidak perlu diubah. Namun pada
gangguan hati hal ini perlu mendapat perhatian. Semua efek samping sefalosporin
yang umum, dapat timbul pada pemberian sefoperazon. Gejala seperti sindrom
disulfiram terjadi pada peminum alkohol selama menggunakan obat ini, antara lain
mual, muntah, diare, tekanan darah meningkat, dan flush. Hipoprotrombinemia dapat
terjadi pada penggunaan obat ini, tetapi dapat diatasi dengan pemberian vitamin K.
Bila terjadi alergi berat, diatasi dengan pemberian antara lain efinefrin dan
kortikosteroid bila perlu. Sefoperazon tersedia dalam bentuk bubuk obat suntik 1 dan
2 g (Istiantoro dan Gan, 1995).
Sefiksim
Sefiksim adalah suatu sefalosporin generasi ketiga yang dapat diberikan secara oral.
Mekanisme kerjanya menghambat reaksi transpeptidase tahap ketiga dalam rangkaian
reaksi pembentukan dinding sel mikroba. Sefalosporin generasi ketiga ini umumnya
kurang aktif dibandingkan generasi pertama terhadap kokus gram positif, tetapi jauh
lebih aktif terhadap Enterobacteriaceae, termasuk strain penghasil penisilinase
(Istiantoro dan Gan, 1995).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
15
Fluorokuinolon
Daya antibakteri fluorokuinolon jauh lebih kuat dibandingkan kelompok kuinolon
lama. Selain itu kelompok obat ini diserap dengan baik pada pemberian oral, dan
beberapa derivatnya tersedia juga dalam bentuk parenteral sehingga dapat digunakan
untuk penanggulangan infeksi berat, khusunya yang disebabkan kuman gram negatif
(Setiabudy, 1995).
Antibiotik golongan fluorokuinolon antara lain:
Siprofloksasin
Siprofloksasin terutama aktif terhadap kuman gram negatif termasuk salmonella,
shigella, kampilobakter, neiseria, dan pseudomonas (Anonima, 2000).
Levofloksasin
Levofloxacin adalah suatu antibakterial golongan kuinolon generasi 3 yang
merupakan isomer S dari ofloxacin. Aktivitas bakterisidal levofloxacin tergantung
pada konsentrasi (concentration dependent). Oleh karena itu, aktivitas terhadap
bakteri dapat meningkat dengan cara memaksimalkan konsentrasinya (Tanujaya,
2009).
Ofloksasin
Ofloksasin adalah suatu bakterisidal golongan kuinolon yang aktif melawan sebagian
besar bakteri gram positif dan gram negatif aerob. Mekanisme kerja ofloksasin ialah
menghambat enzim DNA topoisomerase tipe II yang dikenal sebagai DNA gyrase
(Anonimd, 2011). Enzim DNA topoisomerase tipe II berfungsi menimbulkan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
16
relaksasi pada DNA yang mengalami positive supercoiling (pilinan positif yang
berlebihan) pada proses replikasi DNA (Setiabudy, 1995).
Efek samping yang sering timbul antara lain mual, muntah, diare, sakit perut, sakit
kepala, pusing, gangguan tidur, ruam, pruritus, anafilaksis, fotosensitivitas,
peningkatan ureum dan kreatinin serum, gangguan fungsi hati sementara (Anonima,
2000).
Azitromisin
Azitromisin adalah antibiotik golongan makrolida pertama yang termasuk dalam
kelas azalide. Pemberian azitromisin secara oral diserap secara tepat dan segera
didistribusi ke seluruh tubuh. Azitromisin beraksi menghambat sintesis protein
mikroorganisme dengan mengikat ribosom sehingga tidak mengusik pembentukan
asam nukleat (Anonimc, 2006). Azitromisin memyebabkan efek samping yang sama
dengan eritomisin antara lain mual, muntah, nyeri perut, diare, alergi, urtikaria, ruam,
dan reaksi alergi lainnya, pada wanita hamil atau menyusui pernah dilaporkan
fotosensitivitas dan neutropenia ringan (Anonima, 2000).
Penggunaan antibiotik dalam terapi demam tifoid tanpa komplikasi dapat dilihat pada
Tabel I.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
17
Tabel I. Terapi demam tifoid tanpa komplikasi berdasarkan standar WHO tahun 2003
(Anonimb, 2003)
Kepekaan
Fully
sensitive
Multidrug
resisten
Quinolone
resisten
Terapi Optimal
Antibiotik
Fluorokuinolon
(Ofloxacin
atau
Ciprofloxacin )
Fluorokuinolon
atau cefixim
Azitromisin
atau ceftriaxone
Alternatif Obat yang efektif
Antibiotik
Dosis
Hari
harian
mg/kg
Dosis
harian
mg/kg
Hari
15
5-7
Kloramfenikol
Amoxicillin
TMP-SMX
50-75
75-100
8-40
14-21
14
14
15
15-20
8-10
5-7
7-14
7
Azitromixin
Cefixim
Cefixim
8-10
15-20
20
7
7-14
7-14
75
10-14
Rasionalitas antibiotik adalah penggunaan antibiotik yang didasarkan asas tepat
indikasi, tepat pasien, tepat obat, tepat dosis, serta waspada terhadap efek samping
yang mungkin timbul dari pemberian antibiotik tersebut. Orientasi penggunaan
antibiotik secara rasional lebih diarahkan pada pasien agar didapatkan hasil yang
aman, efektif, dan efisien (Santoso, 2009).
Terapi simptomatik
Terapi simptomatik untuk mengurangi keluhan demam, nyeri kepala, dan
gastrointestinal (Chen, 2008). Obat-obat simptomatik digunakan untuk mengobati
gejala-gejala yang menyertai pada infeksi Salmonella typhii. Obat-obat yang sering
digunakan antara lain:
Antipiretik
Kortikosteroid
Vitamin dan mineral
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
18
Terapi Suportif
Terapi suportif berupa istirahat dan pemberian nutrisi dengan kecukupan kalori dan
protein (Chen, 2008). Istirahat bertujuan untuk mencegah komplikasi dan
mempercepat penyembuhan. Pasien harus istirahat total sampai minimal 7 hari bebas
demam atau kurang lebih selama 14 hari. Mobilisasi dilakukan bertahap, sesuai
dengan pulihnya kekuatan pasien (Mansjoer, 2001).
Diet dan terapi penunjang dilakukan dengan pertama, pasien diberikan bubur saring,
kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan pasien.
Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan tingkat dini
yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar)
dapat diberikan dengan aman. Makanan yang sebaiknya dihindari pasien demam
tifoid adalah makanan dengan serat tinggi, makanan pedas, minuman bersoda. Perlu
diberikan vitamin dan mineral untuk mendukung keadaan umum pasien. (Mansjoer,
2001).
Kerangka Pemikiran
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan
oleh Salmonella typhi. Demam tifoid merupakan penyakit tropik infeksi sistemik
yang bersifat endemis yang dapat menyerang semua usia dan masih menjadi masalah
kesehatan pada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
19
Pengobatan demam tifoid yang utama adalah pemberian antibiotik. Menurut standar
pengobatan demam tifoid dari WHO, fluorokuinolon dapat memberikan hasil yang
optimal pada terapi demam tifoid karena relatif tidak mahal, mempunyai toleransi
yang baik dan lebih efektif daripada obat pilihan pertama, seperti kloramfenikol,
ampisillin, amoksisillin and trimetoprim-sulfametoksazol.
Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran subyek penelitian yang
meliputi jumlah pasien, jenis kelamin dan usia, domisili, lama perawatan, status
pulang, dan pola penggunaan antibiotik untuk demam tifoid pada pasien dewasa di
Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten serta kesesuaian
penggunaan antibiotik dengan standar WHO Background Document : The
Diagnostic, Treatment, and Prevention of Typhoid Fever tahun 2003.
Keterangan Empiris
Demam tifoid adalah infeksi akut pada saluran pencernaan yang disebabkan oleh
Salmonella typhi. Pengobatan antibiotik merupakan terapi kausal yang perlu
diberikan untuk mencegah kegagalan pengobatan dan kemungkinan terjadinya relaps
dan karier. Dari hasil penelitian yang sudah ada mengenai penggunaan antibiotik
pada pasien demam tifoid di RSUD kota Yogyakarta periode tahun 2004, didapatkan
hasil sebagai berikut: frekuensi antibiotik yang paling banyak digunakan yaitu
seftriakson sebanyak 38,78% (Sari, 2005). Menurut Musnelina dkk (2004), secara
farmakoekonomi seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol
pada
pengobatan
demam
commit to user
tifoid.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III
CARA PENELITIAN
Instrumen Penelitian
Alat yang digunakan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain standar WHO Background
Document : The Diagnostic, Treatment, and Prevention of Typhoid Fever tahun 2003,
buku-buku pustaka dan jurnal penunjang penelitian, dan lembar pengumpul data.
Bahan yang digunakan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kartu rekam medik pasien yang
memenuhi kriteria inklusi yaitu pasien dewasa penderita demam tifoid dengan
diagnosa utama demam tifoid saja di instalasi rawat inap RSUP Dr. Soeradji
Tirtonegoro Klaten periode Januari-Desember 2010. Sedangkan kriteria eksklusi
yaitu pasien dewasa dengan diagnosa demam tifoid dan diagnosa tambahan.
Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Pengambilan data dilakukan pada bulan April
Juli 2011 di RSUP Dr. Soeradji
Tirtonegoro Klaten.
Definisi Operasional Variabel
Agar terdapat keseragaman persepsi dibuat definisi operasional variabel sebagai
berikut :
commit20to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
21
Pola penggunaan antibiotik meliputi jenis, dosis, bentuk sediaan, aturan pakai.
Pasien adalah penderita dewasa yang berumur antara 15-64 tahun dengan diagnosis
utama demam tifoid saja yang memulai terapi bulan Januari-Desember tahun 2010 di
instalasi rawat inap RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten.
Jenis obat adalah nama zat aktif dari antibiotik yang diresepkan oleh dokter kepada
pasien.
Dosis obat adalah takaran zat aktif dari antibiotik yang diresepkan oleh dokter kepada
pasien.
Bentuk sediaan adalah wujud dari suatu obat antibiotik seperti tablet, kapsul, atau
injeksi.
Lama perawatan adalah jumlah hari dari mulai masuk hingga diperbolehkan pulang
bagi tiap penderita.
Cara pulang adalah cara pasien saat keluar dari rumah sakit.
Keadaan pulang adalah keadaan akhir pasien saat keluar dari rumah sakit.
Evaluasi penggunaan antibiotik adalah membandingkan penggunaan antibiotik pada
pasien dewasa penderita demam tifoid dengan standar WHO Background Document:
The Diagnostic, Treatment, and Prevention of Typhoid Fever tahun 2003 berdasarkan
kriteria tepat obat dan tepat dosis.
Tepat dosis adalah kesesuaian takaran, frekuensi, dan durasi pemberian antibiotik
demam tifoid berdasarkan standar WHO Background Document: The Diagnostic,
Treatment, and Prevention of Typhoid Fever tahun 2003.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
22
Tepat obat adalah kesesuaian pemberian antibiotik dengan standar WHO Background
Document : The Diagnostic, Treatment, and Prevention of Typhoid Fever tahun 2003.
Rancangan Penelitian
Penelitian ini mengikuti rancangan penelitian non eksperimental yang bersifat deskriptif
secara retrospektif .
Alur penelitian dilakukan dalam tiga tahap, antara lain:
Pengurusan surat ijin penelitian.
Surat ijin penelitian diajukan kepada pihak program studi dan ditandatangani oleh
ketua jurusan D3 Farmasi UNS. Selanjutnya tembusan disampaikan kepada Direktur
RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten untuk mendapat ijin melakukan penelitian.
Penelusuran data.
Proses penelusuran data dimulai dari observasi data pada Kartu Indeks Penderita
Dirawat (Rawat Inap) RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro untuk memperoleh nomor
register pasien dengan diagnosis utama demam tifoid pada tahun 2010. Nomor
register digunakan untuk memperoleh kartu rekam medik pasien. Data pasien yang
diambil antara lain nomor rekam medik, umur, jenis kelamin, domisili, lama
perawatan, dan keadaan keluar dari rumah sakit. Sedangkan data tata laksana terapi
yang diambil yaitu jenis antibiotik, dosis, bentuk sediaan, dan aturan pakai.
Pengolahan dan analisa data.
Data pasien selanjutnya diolah dan disajikan dalam bentuk tabel dan gambar untuk
mendapatkan gambaran pasien dewasa yang terdiagnosis demam tifoid dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
23
persentase obat antibiotik yang digunakan. Hasil yang diperoleh kemudian
dibandingkan dengan standar dari WHO Background Document : The Diagnostic,
Treatment, and Prevention of Typhoid Fever tahun 2003.
Analisa Data
Data penggunaan antibiotik pada pasien dewasa penderita demam tifoid selanjutnya diolah
dan dilakukan analisis dengan statistik deskriptif sebagai berikut:
Penghitungan jumlah pasien dewasa demam tifoid
Jumlah yang dihitung berasal dari rekam medik yang memenuhi kriteria inklusi
pasien dewasa yang dirawat di instalasi rawat inap RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro
Klaten dengan diagnosis utama demam tifoid saja selama periode bulan Januari
sampai Desember 2010.
Distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin dan usia
Jenis kelamin dan usia dihitung dari seluruh pasien dewasa penderita demam tifoid
yang menjalani rawat inap di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten.
Distribusi pasien berdasarkan domisili
Pasien yang memenuhi kriteria inklusi akan dikelompokkan berdasarkan asal
kecamatan dan dihitung persentasenya.
Distribusi pasien berdasarkan lama perawatan
Lama perawatan dihitung mulai dari pasien masuk hingga pasien keluar dan dihitung
persentasenya.
Distribusi pasien berdasarkan status pulang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
24
Pasien yang menjalani rawat inap di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten akan
dikelompokkan berdasarkan cara pulang dan keadaan pulang, kemudian dihitung
persentasenya.
Persentase jenis antibiotik yang digunakan
Persentase jenis antibiotik dihitung dengan mengelompokkan jenis antibiotik,
selanjutnya dicari persentasenya dari jumlah total penggunaan. Satu pasien bisa
memperoleh lebih dari satu antibiotik.
Kesesuaian penggunaan obat
Analisis kesesuaian penggunaan obat antibiotik dilakukan dengan membandingkan
pemilihan jenis obat, dosis, bentuk sediaan, dan aturan pakai antibiotik dengan
standar WHO Background Document : The Diagnostic, Treatment, and Prevention of
Typhoid Fever tahun 2003.
Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan program Microsoft Excel 2007.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
25
Diagram Alir Cara Kerja
Penyusunan proposal
Pengajuan Surat Ijin Penelitian
Mulai penelitian
Pengumpulan data :
Pengolahan
data
Gambaran pasien
Pola penggunaan obat
Pembahasan
Kesimpulan dan saran
Gambar 1. Diagram Alir Cara Kerja
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Gambaran Subyek Penelitian
Jumlah Pasien Demam Tifoid Dewasa
Berdasarkan Kartu Indeks Penderita Dirawat (Rawat Inap) RSUP Dr. Soeradji
Tirtonegoro Klaten, pasien dewasa yang didiagnosa demam tifoid sebanyak 133
kasus. Data rekam medik pasien demam tifoid tahun 2010 yang dijadikan subyek
penelitian yang memenuhi kriteria inklusi yaitu data rekam medik pasien dewasa
dengan diagnosa demam tifoid saja dan mendapatkan perawatan di instalasi rawat
inap RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro. Pengambilan sampel dilakukan secara acak
dengan metode purposive sampling yaitu pengambilan sampel berdasarkan kriteria
inklusi. Berdasarkan data, dari 133 pasien diperoleh 70 pasien yang memenuhi
kriteria inklusi dijadikan subyek penelitian karena keterbatasan penelitian.
Distribusi Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin
Distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin ini bertujuan untuk mengetahui gambaran
pasien dewasa demam tifoid berdasarkan jenis kelamin dan pengaruh jenis kelamin
terhadap penyakit demam tifoid. Distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin dapat
dilihat pada Gambar 2.
commit26to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
27
Gambar 2. Diagram distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin
Jika dilihat dari gambar di atas, jumlah pasien perempuan lebih banyak daripada
jumlah pasien laki-laki. Jumlah pasien perempuan sebanyak 38 orang (54,28 %) dan
pasien laki-laki sebanyak 32 orang (45,71 %). Hal ini tidak sesuai dengan penelitian
Nainggolan (2009) bahwa proporsi pasien laki-laki lebih banyak dari pada pasien
perempuan. Resiko relatif morbiditas akibat penyakit demam tifoid pada laki-laki 2
sampai 3 kali lebih besar dibandingkan perempuan. Sedangkan menurut Sari (2005),
tidak ada perbedaan prevalensi demam tifoid pada laki-laki dan perempuan. Dari
hasil ini perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan antara insiden
demam tifoid dengan jenis kelamin.
Distribusi Pasien Berdasarkan Usia
Distribusi pasien berdasarkan usia ini bertujuan untuk mengetahui gambaran
pasien dewasa demam tifoid yang dirawat di instalasi rawat inap RSUP Dr. Soeradji
Tirtonegoro Klaten dan mengelompokkannya berdasarkan usia. Distribusi pasien
berdasarkan usia dapat dilihat pada Gambar 3.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
28
Distribusi Pasien Berdasarkan Usia
15-25
26-35
46-55
56-64
36-45
Gambar 3. Diagram distribusi pasien berdasarkan usia
Berdasarkan Gambar 3, pasien dewasa demam tifoid paling banyak pada
kelompok usia 15-25 tahun dengan persentase sebesar 40,00% (28 orang), sedangkan
persentase paling kecil adalah kelompok pasien usia 56-64 tahun sebesar 4,28% (3
orang). Hal ini sesuai dengan teori bahwa demam tifoid dapat menyerang semua
umur namun golongan terbesar tetap pada usia kurang dari 20 tahun (Widoyono,
2005). Menurut Muhaj (2010), insiden demam tifoid sebesar 70
usia 12
30 tahun, 10 20% pada usia 30
40 tahun, dan 5
80 % terjadi pada
10 % pada usia di atas
40 tahun. Hal ini didukung Anonim (2003) yang menyebutkan bahwa persentase
kasus demam tifoid paling tinggi pada usia 3-19 tahun sebesar 91%. Diasumsikan
bahwa sistem imun pada usia dibawah 20 tahun belum sempurna, sanitasi yang buruk
serta jajan di luar yang kurang terjamin kebersihannya dapat menyebabkan penyakit
demam tifoid.
Distribusi Pasien Berdasarkan Domisili
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
29
Distribusi pasien berdasarkan domisili bertujuan untuk mengetahui domisili pasien
demam tifoid yang dirawat di instalasi rawat inap RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro.
Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Soeradji Tirtonegoro merupakan salah satu rumah
sakit rujukan pelayanan kesehatan di Kabupaten Klaten. Oleh karena itu, pasien
dewasa demam tifoid yang dirawat berasal dari daerah Klaten dan sekitarnya. Pasien
demam tifoid dikelompokkan berdasarkan asal kecamatan. Distribusi pasien
berdasarkan domisili dapat dilihat pada Gambar 3.
Distribusi Pasien Berdasarkan Domisili
Jumlah Pasien
Wedi
Bayat
Klaten Tengah
Klaten Utara
Klaten Selatan
Gantiwarno
Kebon Arum
Ngawen
Jogonalan
Cawas
Prambanan
Jatinom
Ceper
Juwiring
Karang Anom
Gayamprit
Watugajah
Kemalang
Membung
Pedan
Manisrenggo
Trucuk
Karangdowo
Karang Nongko
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
Gambar 3. Diagram distribusi pasien berdasarkan domisili
Dari data pada Gambar 3, dapat diketahui bahwa insidensi demam tifoid pada setiap
daerah tersebar hampir merata. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang
global (Anonim, 2003). Demam tifoid dapat menyerang penduduk di semua negara.
Prevalensi kasus bervariasi tergantung lokasi, kondisi lingkungan setempat, dan
perilaku masyarakat setempat (Widoyono, 2005).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
30
Distribusi Pasien Berdasarkan Lama Perawatan
Distribusi pasien berdasarkan lama perawatan bertujuan untuk mengetahui
pengaruh tingkat keparahan penyakit dengan efektifitas pengobatan di rumah sakit.
Data mengenai lama rawat inap pasien demam tifoid dapat dilihat pada Tabel II.
Tabel II. Distribusi pasien berdasarkan lama perawatan
Lama Perawatan
Jumlah Pasien
Persentase (%)
1-3
8
11,43
4-6
45
64,29
7-9
13
18,57
10-12
3
4,28
>12
1
1, 43
* Persentase dihitung dari jumlah pasien dengan lama perawatan tertentu dibagi 70 dikalikan 100%
Berdasarkan data, diperoleh hasil distribusi pasien dengan lama perawatan terbanyak
yaitu 4-6 hari sebanyak 64,29% pasien. Hal ini didukung oleh Musnelina dkk (2002)
bahwa lama perawatan pasien demam tifoid di rumah sakit berkisar antara 3-12 hari.
Lamanya perawatan ini mungkin berhubungan dengan masa inkubasi demam tifoid
yang berlangsung selama 8-14 hari tergantung pada jumlah masuknya kuman dan
keadaan tubuh pasien (Anonim, 2003). Kebanyakan pasien yang dirawat sudah
mengalami demam ± 7 hari sebelum masuk rumah sakit. Lamanya pasien dirawat
juga berhubungan dengan antibiotik yang diberikan kepada pasien, seperti pada
penggantian dari antibiotik yang tidak efektif (kuman resisten antibiotik). Pada
analisis efektifitas biaya pengobatan demam tifoid menunjukkan seftriakson lebih
efektif biaya daripada kloramfenikol (Musnelina dkk, 2004). Lamanya pasien dirawat
dan penggantian antibiotik selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
31
Distribusi Pasien Berdasarkan Keadaan Akhir Pasien
Cara Pulang
Kartu Rekam Medik mencantumkan bagaimana cara keluar pasien ketika selesai
menjalani rawat inap di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten. Hal ini penting untuk
mengetahui cara pulang pasien demam tifoid yang selanjutnya dapat menjadi tolak
ukur kualitas pelayanan kesehatan bagi rumah sakit terhadap pasien. Karena semakin
cepat pasien sembuh berarti semakin bagus pelayanan yang diberikan oleh rumah
sakit tersebut. Distribusi pasien berdasarkan cara pulang dapat dilihat pada Gambar 4.
Distribusi Pasien Berdasarkan Cara Pulang
12,86%
4.28%
Diijinkan pulang
Pulang Paksa
82.86%
Tanpa Keterangan
Gambar 4. Diagram distribusi pasien berdasarkan cara pulang
Persentase cara pulang pasien dari yang terbanyak terbesar adalah diijinkan pulang
sebesar 82,86% (58 orang); tanpa keterangan sebesar 12,86% (9 orang); dan pulang
paksa sebesar 4,28% (3 orang).
Keadaan Pulang
Keadaan pulang pasien merupakan keadaan dari pasien ketika mereka
dipulangkan. Cara pulang dan keadaan pulang saling berhubungan. Dari catatan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
32
Rekam Medik, memperlihatkan bahwa pasien yang kepulangannya dengan cara atas
pulang paksa adalah pasien yang mempunyai keadaan belum sembuh saat pulang.
Pasien yang kepulangannya dengan cara diijinkan pulang adalah pasien yang saat
pulang dalam keadaan sembuh atau membaik. Keadaan sembuh dan membaik tidak
diketahui kriterianya. Kondisi kepulangan dilihat dari keadaan saat pulang. Hal
tersebut tergantung kepada dokter yang bertanggung jawab dalam menangani pasien.
Distribusi pasien berdasarkan keadaan pulang dapat dilihat pada Gambar 5.
Distribusi pasien berdasarkan keadaan pulang
Sembuh
Belum sembuh
Membaik
Tanpa keterangan
Gambar 5. Diagram distribusi pasien berdasarkan keadaan pulang
Persentase keadaan pulang pasien dari yang terbanyak terbesar adalah sembuh
sebesar 40,00% (28 orang); membaik sebesar 40,00% (28 orang); tanpa keterangan
sebesar 15,71% (11 orang) dan belum sembuh sebesar 4,28% (3 orang).
Distribusi pasien berdasarkan keadaan akhir pasien (cara pulang dan keadaan
pulang) ini diasumsikan dengan terapi antibiotik yang diberikan kepada pasien
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
33
dewasa demam tifoid yang dirawat di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro tahun 2010.
Cara pulang dan keadaan pulang pasien selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2.
Berdasarkan analisa data di atas, maka dapat diketahui kualitas pelayanan di
RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro sudah cukup bagus namun perlu ditingkatkan lagi.
Pola Penggunaan dan Evaluasi Penggunaan Antibiotik untuk Terapi Demam
Tifoid pada Pasien Dewasa
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi usus halus, sehingga pengobatannya
menggunakan antibiotik. Pemberian antibiotik dimaksudkan untuk menghentikan dan
memusnahkan penyebaran kuman. Tepat obat merupakan kesesuaian pemberian
antibiotik dengan standar WHO Background Document: The Diagnostic, Treatment,
and Prevention of Typhoid Fever tahun 2003. Kesesuaian antibiotik yang digunakan
untuk terapi demam tifoid di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten periode 2010
yang diberikan secara tunggal maupun kombinasi.
Antibiotik yang disarankan untuk pengobatan demam tifoid pada pasien dewasa
menurut
World
Fluorokuinolon,
Health
Organization
Kloramfenikol,
(WHO)
Ampisilin,
adalah
antibiotik
Amoksisilin,
golongan
Trimetoprim-
Sulfametoksazol, Sefalosporin generasi ketiga, dan Azitromisin (Anonim, 2003).
Berdasarkan penelusuran dari catatan rekam medis subyek penelitian, ditemukan
sebanyak 10 jenis antiinfeksi yang digunakan untuk terapi demam tifoid pada pasien
dewasa demam tifoid di instalasi rawat inap RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro selama
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
34
tahun 2010. Sebanyak 10 pasien dari 70 pasien yang dijadikan subyek penelitian
tidak dimasukkan dalam perhitungan karena 2 pasien memperoleh pengobatan
dengan antibiotik namun tidak tertulis aturan pakai dan lama pemberiannya serta 8
pasien tidak mendapatkan terapi dengan antibiotik. Pola penggunaan dan kesesuaian
pemilihan antibiotik dibandingkan dengan standar WHO Background Document: The
Diagnostic, Treatment, and Prevention of Typhoid Fever tahun 2003 ditampilkan
pada Tabel III.
Tabel III. Pola penggunaan dan kesesuaian pemilihan antibiotik untuk demam tifoid di RSUP
Dr. Soeradji Tirtonegoro
Kesesuaian dengan
No.
Antibiotik
Jumlah Pasien
Persentase (%)
Standar WHO tahun
2003
1.
Seftriakson
27
31,76
Sesuai
2.
Siprofloksasin
23
27,06
Sesuai
3.
Levofloksasin
15
17,65
Sesuai
4.
Kloramfenikol
6
7,06
Sesuai
5.
Amoksisilin
4
4,71
Sesuai
6.
Sefotaksim
4
4,71
Sesuai
7.
Ofloksasin
2
2,35
Sesuai
8.
Metronidazol
2
2,35
Tidak sesuai
9.
Seftazidim
1
1,18
Sesuai
10.
Sefoperazin
1
1,18
Sesuai
* Persentase dihitung dari jumlah penggunaan antibiotik tertentu dibagi 85 dikalikan 100%
Dari seluruh kasus, seftriakson digunakan sebanyak 31,76% baik tunggal maupun
kombinasi dengan antibiotik lain. Rata-rata keadaan pulang pasien yang mendapatkan
antibiotik seftriakson membaik. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Sari
(2005) di RSUD Yogyakarta tahun 2004, antibiotik yang paling banyak digunakan
untuk pengobatan demam tifoid adalah golongan sefalosporin generasi ketiga yaitu
seftriakson sebanyak 38,78%. Padahal menurut standar pengobatan demam tifoid dari
WHO, fluorokuinolon dapat memberikan hasil yang optimal karena relatif tidak
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
35
mahal, mempunyai toleransi yang baik dan lebih efektif dari obat pilihan pertama
seperti kloramfenikol. Persentase penggunaan fluorokuinolon untuk terapi demam
tifoid di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro sebagai berikut siprofloksasin 27,06%,
ofloksasin 2,35%, dan levofloksasin 17,65 %. Penggunaan antibiotik sefalosporin
golongan ketiga lebih banyak digunakan daripada fluorokuinolon disebabkan
sefalosporin generasi ketiga mempunyai aktivitas antibakteri yang lebih baik terhadap
kuman gram positif maupun gram negatif (Gilman, 1992).
Lini pertama pengobatan demam tifoid dari WHO adalah antibiotik kloramfenikol,
ampisillin, amoksisillin, dan trimetoprim-sulfametoksazol. Kloramfenikol tidak lagi
menjadi pilihan utama untuk mengobati demam tifoid karena telah tersedia obat-obat
yang lebih aman seperti siprofloksasin dan seftriakson. Walaupun demikian,
pemakaiannya sebagai lini pertama masih dapat dibenarkan bila resistensi belum
merupakan masalah (Setiabudy, 1995). Namun kenyataannya hanya 4 pasien yang
mendapat antibiotik kloramfenikol baik secara oral maupun parenteral meskipun
keadaan pulang pasien yang memperoleh terapi kloramfenikol semuanya sembuh.
Pemakaian kloramfenikol sudah mulai berkurang karena masalah resistensi. Pada
perkembangan resistensi Salmonella typhii selanjutnya,beberapa negara melaporkan
adanya strain Salmonella typhii yang telah resisten terhadap dua atau lebih golongan
antibiotik pada pengobatan demam tifoid yaitu kloramfenikol, ampisillin,
amoksisillin, dan kotrimoksazol (Memon dkk, 1998).
Berdasarkan analisis data pada catatan rekam medis, persentase kesesuaian
penggunaan antibiotik sebesar 96,67 %. Ketidaktepatan obat dilihat dari antibiotik
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
36
yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid. Obat yang tidak tepat digunakan
untuk pengobatan demam tifoid adalah metronidazol. Metronidazole merupakan
amubisid turunan nitroimidazol yang efektif untuk amubiasis intestinal maupun
ekstraintestinal. Metronidazol digunakan untuk profilaksis pascabedah daerah
abdomen, infeksi pelvik, dan pengobatan endokarditis yang disebabkan Bacteroides
fragilis (Syarif dan Elysabeth, 1995).
Pemberian antibiotik dalam terapi demam tifoid di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro
bermacam-macam, ada yang tunggal, diganti, maupun kombinasi. Macam pemberian
antibiotik dapat dilihat pada Tabel IV.
Tabel IV. Pemberian Antibiotik pada Pasien Dewasa Demam Tifoid di RSUP Dr. Soeradji
Tirtonegoro
Pemberian antibiotic
Nama antibiotik
Jumlah
Persentase (%)
Amoksisillin
3
Seftriakson
16
Seftazidim
1
Antibiotik Tunggal
Sefotaksim
3
73,33
Siprofloksasin
13
Levofloksasin
7
Ofloksasin
1
Seftriakson-Levofloksasin
3
Seftriakson-Ofloksasin
1
Seftriakson-Siprofloksasin
5
Siprofloksasin-Seftriakson
1
Penggantian Antibiotik
Sefotaksim-Siprofloksasin
1
25,00
Sefoperazon-Levofloksasin
1
Kloramfenikol-Levofloksasin
1
Amoksisillin-Kloramfenikol
1
Metronidazol-Seftriakson
1
Kombinasi
Metronidazol+Kloramfenikol
1
1,67
* Persentase dihitung dari jumlah pasien yang menerima antibiotik (tunggal/diganti/kombinasi) dibagi
60 dikalikan 100%
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
37
Dari Tabel IV dapat diketahui penggunaan antibiotik tunggal sebanyak 73,33%,
antibiotik yang diganti sebanyak 25,00%, dan kombinasi sebanyak 1,67%. Antibiotik
yang paling banyak digunakan dalam pemberian tunggal adalah seftriakson.
Sedangkan antibiotik yang diganti adalah seftriakson yang diganti siprofloksasin.
Antibiotik yang paling banyak diganti yaitu dari golongan sefalosporin generasi
ketiga (seftriakson, sefotaksim, sefoperazon) diganti golongan fluorokuinolon
(siprofloksasin, levofloksasin, ofloksasin). Penggantian antibiotik ini mungkin
disebabkan oleh efektivitas antibiotik, resistensi maupun efek samping yang muncul
akibat pemberian antibiotik. Antibiotik golongan sefalosporin dapat menyebabkan
efek samping seperti mual, muntah, diare, tekanan darah meningkat sehingga diganti
dengan golongan fluorokuinolon. Mekanisme kerja antibiotik yang diganti ini
berbeda, misalnya sefalosporin generasi ketiga bekerja dengan menghambat sintesa
dinding sel, sedangkan antibiotik golongan fluorokuinolon menghambat sintesis
protein sel bakteri. Antibiotik sefalosporin golongan ketiga biasanya diberikan secara
parenteral yang tersedia dalam bentuk bubuk injeksi. Pemberian injeksi ini lebih
efektif pada kasus demam tifoid yang membutuhkan penanganan yang cepat,
sedangkan pemberian per oral dapat diberikan apabila keadaan pasien mulai
membaik.
Pada penelitian ini terdapat antibiotik (kloramfenikol) yang dikombinasikan dengan
amubisid (metronidazol). Metronidazol merupakan amubisid yang bekerja pada
lumen usus dan jaringan. Penelitian akhir-akhir ini metronidazol bermanfaat pada
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
38
pasien ulkus peptikum yang terinfeksi Helicobacter pylori (Syarif dan Elysabeth,
1995). Kejadian infeksi ulkus peptikum ini dapat meningkatkan resiko demam tifoid
(Anonim, 2003). Hal ini diasumsikan pasien yang diberi kombinasi kloramfenikolmetronidazol menderita demam tifoid sekaligus ulkus peptikum namun tidak tercatat
dalam rekam medik.
Sebanyak 8 pasien tidak mendapatkan terapi dengan antibiotik. Padahal demam
tifoid merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman Salmonella sehingga
pengobatannya tidak tepat. Pemberian antibiotik selengkapnya dapat dilihat pada
Lampiran 2.
Kesesuaian dosis antibiotik demam tifoid dibandingkan dengan standar WHO
Background Document: The Diagnostic, Treatment, and Prevention of Typhoid Fever
tahun 2003. Mengenai kesesuaian dosis dapat dilihat pada Tabel V.
Tabel V. Kesesuaian Dosis Antibiotik untuk Terapi Demam Tifoid Pasien Dewasa
Dosis
No.
1.
Antibiotik
Amoksisillin
Penggunaan
Dosis yang
dianjurkan
Kapsul : 500 mg
(3 kali/hari)
Injeksi : 1 g (3
kali/hari)
75-100 mg/kg BB
(3-4 kali/hari)ª
2.
Seftriakson
Injeksi: 1 g
tiap12 jam
3.
Sefotaksim
Injeksi: 1g tiap
12 jam
50-75 mg/kg
BB/hari (2-4
g/hari 1-2
kali/hari)ª
40-80 mg/kg
BB/hari (2-4
g/hari 2-3
kali/hari)ª
commit to user
Kesesuaian
dengan standar
Persentase
(%)
Sesuai
1,67
Sesuai
5
Sesuai
45,00
Sesuai
6,67
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
39
Injeksi: 500 mg 1 g tiap 8 jam atau
Sesuai
1,67
tiap 12 jam
2 g tiap 12 jamb
Injeksi: 2-4
50-100 mg/kg
5.
Sefoperazin
g/hari dalam 2
BB/hari (2-4 g
Sesuai
1,67
dosis terbagi
/hari 2 kali sehari)a
Tablet: 500 mg
Sesuai
13,33
(2 kali/hari)
6.
Siprofloksasin
15 mg/kg BBa
Injeksi: 200 mg
Sesuai
26,67
(2 kali/hari)
Tablet: 500 mg
Sesuai
6,67
(1 kali/hari)
10-15 mg/kg BB
7.
Levofloksasin
a
selama 5-7 hari
Injeksi: 500 mg
Sesuai
16,67
tiap 24 jam
Tablet: 400mg
8.
Ofloksasin
15 mg/kg BBa
Sesuai
3,33
(2 kali/hari)
Kapsul: 250-500
mg/dosis 4
Sesuai
5
50-75 mg/kg 4
kali/hari
9.
Kloramfenikol
a
kali sehari
Injeksi: 1 g (2
Tidak sesuai
1,67
kali/hari)
Tablet:
500-800mg/8 jam
500mg/dosis
Sesuai
1,67
(oral)b
(3kali/hari)
10.
Metronidazol
500mg tiap 8 jam
Injeksi : 500 mg
(intravena)b
Tidak sesuai
1,67
(1 kali/hari)
* Persentase dihitung dari jumlah pasien yang menerima antibiotik dengan dosis tertentu dibagi 60
dikalikan 100%
4.
Seftazidim
Keterangan
a : dosis menurut standar WHO tahun 2003
b : dosis menurut standar IONI tahun 2000
Data penggunaan antibiotik beserta dosis dari masing-masing pasien selengkapnya
dapat dilihat pada Lampiran 2.
Berdasarkan data yang diperoleh, diketahui bahwa terdapat penggunaan antibiotik
yang tidak tepat dosis. Persentase ketidaksesuaian dosis dihitung dari jumlah kasus
dengan dosis antibiotik yang tidak sesuai dibagi total kasus yang mendapatkan
antibiotik dikalikan 100 %. Dari 60 pasien, hanya ada 2 pasien (nomor kasus 25 dan
46) yang mendapatkan antibiotik dengan dosis yang tidak sesuai sehingga diperoleh
persentase ketidaksesuaian dosis antibiotik sebesar 3,33%.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
40
Ketidaksesuaian dosis pada kasus nomor 25 yaitu pasien mendapatkan injeksi
seftriakson 1 g tiap 12 jam dan injeksi metronidazol 500 mg 1 kali/hari. Dosis
metronidazol ini tidak sesuai dengan dosis menurut IONI tahun 2000 yaitu 500 mg
tiap 8 jam. Perbandingan dengan standar IONI tahun 2000 ini karena dosis
metronidazol tidak terdapat dalam standar WHO Background Document: The
Diagnostic, Treatment, and Prevention of Typhoid Fever tahun 2003.
Pada kasus nomor 46, pasien mendapatkan injeksi kloramfenikol (Colsancentine ®) 1
g 2 kali/hari dan injeksi sefotaksim 1 g 2 kali/hari. Pemberian kloramfenikol ini tidak
sesuai dengan dosis menurut standar WHO tahun 2003 yaitu 50 mg/kg BB dibagi
dalam 4 dosis. Pada kartu rekam medik tidak tercantum berat badan pasien, sehingga
sulit untuk dilakukan perhitungan kesesuaian dosis. Seharusnya pemberian injeksi
kloramfenikol diberikan 3-4 kali sehari.
Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini dilakukan secara retrospektif dengan mengambil data dari kartu rekam
medik pasien dewasa penderita demam tifoid. Oleh sebab itu, peneliti tidak
mengetahui kondisi pasien secara langsung. Kondisi pasien merupakan pertimbangan
dokter dalam melakukan diagnosa dan memberikan pengobatan demam tifoid.
Pada saat pengambilan data, bagian rekam medik sedang direnovasi sehingga tidak
semua data dapat diambil seperti data pemeriksaan organ yang dapat menjadi
pertimbangan dalam pemberian dosis obat untuk pasien. Jenis antibiotik yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
41
digunakan, dosis, dan frekuensi dievaluasi didasarkan pada data dari kartu rekam
medik sehingga penggunaan yang sebenarnya tidak diketahui dengan pasti.
Pencatatan pada kartu rekam medik yang kurang lengkap seperti berat badan pasien
sehingga mempersulit untuk dilakukan perhitungan kesesuaian dosis. Penulisan yang
kurang jelas sehingga sukar untuk dipahami merupakan kendala dalam penelitian ini.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Dari penelitian ini dapat disimpulkan hasilnya sebagai berikut:
Gambaran subyek penelitian :
Jumlah pasien dewasa yang terdiagnosis demam tifoid di RSUP Dr. Soeradji
Tirtonegoro Klaten selama tahun 2010 sebanyak 70 pasien.
Pasien wanita lebih banyak ditemukan daripada pasien pria dalam kasus ini, yaitu 38
pasien (54,28 %).
Pasien dewasa demam tifoid paling banyak pada kelompok usia 15-25 tahun dengan
persentase sebesar 40,00% (28 orang), sedangkan persentase paling kecil adalah
kelompok pasien usia 56-64 tahun sebesar 4,28% (3 orang).
Kecamatan Wedi merupakan domisili terbanyak dari pasien dewasa demam tifoid,
yaitu 8 pasien (11,43 %), dan semua pasien yang dirawat berasal dari Kabupaten
Klaten.
Lama perawatan demam tifoid pada pasien dewasa di instalasi rawat inap RSUP Dr.
Soeradji Tirtonegoro Klaten paling banyak berkisar antara 4-6 hari sebanyak 45
pasien (64,28 %).
Pasien dengan cara pulang diijinkan pulang sebanyak 58 pasien (82,86%) dan hanya
3 pasien (4,28 %) yang pulang dalam keadaan pulang paksa, sedangkan sebanyak 9
pasien (12,86 %) tanpa keterangan.
commit42to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
43
Pasien yang pulang dengan keadaan sembuh dan membaik masing-masing sebanyak
28 pasien (40,00 %) dan pasien yang belum sembuh hanya 3 pasien (4,28 %),
sedangkan sebanyak 11 pasien (11,71 %) tanpa keterangan.
Pola penggunaan antibiotik :
Penggunaan antibiotik yang paling banyak digunakan untuk pengobatan demam
tifoid pada pasien dewasa di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro adalah Seftriakson
dengan persentase 31,76 %.
Kesesuaian dosis dan pemilihan antibiotik berdasarkan standar WHO yaitu persentase
kesesuaian dosis sebanyak 96,67% dan persentase kesesuaian pemilihan antibiotik
sebanyak 96,67%.
Saran
Perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium lain yang lebih spesifik dalam diagnosis
demam tifoid.
Perlu dilakukan penelitian prospektif untuk periode selanjutnya untuk mengetahui
perkembangan pengobatan demam tifoid bagi pasien dewasa.
Perlu dilakukan penelitian ataupun kuisioner terhadap kepatuhan pasien dalam
mengkonsumsi antibiotik.
Berkas rekam medik sebaiknya dilengkapi dan diperbaiki penulisannya demi
kelancaran pengambilan data penelitian selanjutnya.
Perlunya penambahan data berat badan pasien untuk mengetahui dosis penggunaan
antibiotik yang lebih rasional.
commit to user
Download