UNIVERSITAS INDONESIA PERBANDINGAN KEBERHASILAN RESUSITASI CAIRAN ANTARA PROTOKOL EGDT DAN KONVENSIONAL PADA PASIEN KETOASIDOSIS DIABETIKUM DI INSTALASI GAWAT DARURAT RSCM: KAJIAN TERHADAP RERATA NILAI SKOR MSOFA TESIS MELIANA SISWANTO 1006767203 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM STUDI ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. CIPTO MANGUNKUSUMO JAKARTA JUNI 2014 Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 UNIVERSITAS INDONESIA PERBANDINGAN KEBERHASILAN RESUSITASI CAIRAN ANTARA PROTOKOL EGDT DAN KONVENSIONAL PADA PASIEN KETOASIDOSIS DIABETIKUM DI INSTALASI GAWAT DARURAT RSCM: KAJIAN TERHADAP RERATA NILAI SKOR MSOFA TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Dokter Spesialis Anestesi MELIANA SISWANTO 1006767203 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM STUDI ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. CIPTO MANGUNKUSUMO JAKARTA JUNI 2014 Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar. Nama Meliana Siswanto NPM Tanda Tangan Tanggal Univercitas lndonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 HALAMAN PENGESAHAN Nama Meliana Siswanto 1006767203 Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif Judul Perbandingan Keberhasilan Resusitasi Cairan antara Protokol EGDT dan Konvensional pada Pasien Ketoasidosis Diabetikum di Instalasi Gawat Darurat RSCM: Kajian terhadap Rerata Nilai Skor MSOFA NPM Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Dokter Spesialis Anestesiologi pada Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia. PEMBIMBTNG Pembimbing I Pembimbing Il dr. Dita Aditianingsih, Sp.An-KIC dr. Yohanes W George, Sp.An-KIC PENGUJI Penguji dr. Rudyanto Sedono, Sp.An-KIC Penguji dr. Pryambodho, Sp.An-KAR Penguji dr. Adhrie Sugiarto, Sp.An-KIC Ditetapkan di Tanggal .--..-- : Jakarta :4 Juni2014 ilt Universitas lndonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 KATA PENGANTAR Puji Syukur saya panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya saya dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Penulisan tesis penelitian ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat dalam mencapai gelar Dokter Spesialis Anestesiologi pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Saya mengucapkan terimakasih kepada: 1. Dr. dr. Ratna Sitompul, SpM-K, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia atas kesempatan dan kepercayaan yang diberikan kepada penulis. 2. dr. Aries Perdana, SpAn-K, Kepala Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI/RSCM atas fasilitas yang diberikan kepada penulis, dr.Ratna Farida S, SpAn-K, Ketua Program Studi Program Pendidikan Dokter Spesialis I Anestesiologi & Terapi Intensif FKUI/RSCM dan dr. Ahdrie Sugiarto, SpAn, Sekertaris Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Anestesiologi & Terapi Intensif FKUI/RSCM atas perhatian kepada penulis 3. dr. Dita Aditianingsih, SpAn-KIC, Pembimbing I yang telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan tesis ini. 4. dr. Yohanes WH George, SpAn-KIC, Pembimbing II yang telah membantu dan mengarahkan saya dalam penyusunan tesis ini. 5. dr. Em Yunir, SpPD-KEMD, sebagai Kepala Divisi Endokrin dan Metabolik Departemen Ilmu Penyakit Dalam yang telah membantu saya dalam penyusunan tesis ini. 6. dr. Dante Saksono, SpPD-KEMD, PhD, sebagai pembimbing dari Divisi Endokrin dan Metabolik Departemen Ilmu Penyakit Dalam yang telah membantu saya dalam penyusunan tesis ini. 7. dr. Andi Ade Wijaya, SpAn-K, Kepala IGD RSCM dan seluruh tim IGD RSCM yang telah membantu saya dalam pelaksanaan penelitian ini. 8. Teman-teman residen Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI/RSCM atas segala bantuan selama berlangsungnya penelitian ini. iv Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 9. Kepada ayah dan ibu saya Bayu Siswanto dan drg. Susianti Tanuwidjaja serta kakak saya dr. Carolina Siswanto yang selalu memberikan doa dan dukungan kepada saya selama penyusunan tesis ini. 10. Kepada suami saya, dr. Irwin Tedja yang telah membantu dan memberikan dukungan kepada saya selama penyusunan tesis ini. Akhir kata saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan Jakarta, Juni 2014 Meliana Siswanto v Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama Meliana Siswanto NPM 1006767203 Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Jenis Karya Tesis demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklu sif (Non-exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: Perbandingan Keberhasilan Resusitasi Cairan antara Protokol EGDT dan Konvensional pada Pasien Ketoasidosis Diabetikum di Instalasi Gawat Darurat RSCM: Kajian terhadap Rerata Nilai Skor MSOFA Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia, mengelola daram bentuk pangkalan data (databose), merawat, dan mempublikasikan tulisan saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemilik hak cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya Dibuat di: Jakarta Pada tanggal: 4 Juni 2014 Yang Menyatakan ,lth{ \J' 'r (Meliana Siswanto) Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 ABSTRAK Nama : Meliana Siswanto Program Studi : Anestesiologi dan Terapi Intensif Judul : Perbandingan Keberhasilan Resusitasi Cairan antara Protokol EGDT dan Konvensional pada Pasien Ketoasidosis Diabetikum di Instalasi Gawat Darurat RSCM: Kajian terhadap Rerata Nilai Skor MSOFA Latar Belakang: Ketoasidosis diabetikum (KAD) merupakan salah satu komplikasi akut diabetes mellitus (DM) yang serius dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Salah satu terapi yang penting pada KAD ialah resusitasi cairan. Protokol KAD yang ada selama ini menggunakan parameter makrosirkulasi, sedangkan pada KAD juga dapat terjadi disfungsi mikrosirkulasi. Protokol Early Goal Directed Therapy (EGDT) menggunakan parameter mikrosirkulasi untuk menggambarkan keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen jaringan. Penelitian kali ini bertujuan untuk membandingkan keberhasilan resusitasi cairan antara kelompok KAD yang menggunakan protokol konvensional dan protokol EGDT dengan skor MSOFA sebagai parameter keberhasilan tersebut. Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis tersamar tunggal dengan randomisasi pada pasien KAD di IGD RSCM pada bulan Desember 2013 sampai Maret 2014. Pasien dibagi menjadi kelompok kontrol dan kelompok EGDT berdasarkan tabel randomisasi, kemudian masing-masing kelompok diresusitasi cairan menggunakan protokol konvensional dan protokol EGDT. Kedua kelompok mendapatkan terapi KAD lainnya yang sama. Skor MSOFA dihitung pada jam ke-0, jam ke-6 dan jam ke-72 perawatan. Hasil: Sebanyak 26 subjek diikutsertakan dalam penelitian ini, dengan 13 subjek di masing-masing kelompok. Tidak didapatkan perbedaan skor MSOFA yang bermakna diantara kedua kelompok pada jam ke-6 dan jam ke-72, namun berdasarkan sebarannya, skor MSOFA di kelompok EGDT lebih menurun dibandingkan kelompok kontrol. Tidak terdapat perbedaan tingkat mortalitas selama 28 hari di kedua kelompok (RR 0,333; IK 95% 0,04-2,801; p = 0,593). Kesimpulan: Belum terdapat perbedaan skor MSOFA dan tingkat mortalitas yang bermakna antara protokol KAD konvensional dan protokol EGDT. Kata Kunci: EGDT, KAD, MSOFA, resusitasi cairan vii Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 ABSTRACT Name : Meliana Siswanto Study Program : Anesthesiology and Intensive Care Title : Comparison of the Fluid Resuscitation Successfullness between Conventional and EGDT Protocol in Diabetic Ketoacidosis Patients in Emergency Room of Ciptomangunkusumo Hospital: Study of the Mean MSOFA Score Background: Diabetic ketoacidosis (DKA) is one of the serious complication of diabetes mellitus (DM) with high mortality rate . One important therapy in DKA is fluid resuscitation. DKA protocol that recently used, is guided by macrocirculation parameters, whereas microcirculation dysfunction can occur in DKA. Early Goal Directed Therapy Protocol (EGDT) uses microcirculation parameters to describe the balance of tissue oxygen supply and demand. The aim of this study aimed to compare the success of DKA fluid resuscitation between the groups using conventional protocols and EGDT protocol with MSOFA score as the parameter. Methods: This study was a single-blind randomized clinical trial of DKA patients in the Emergency Room of Ciptomangunkusumo Hospital from December 2013 to March 2014. Patients were divided into control and EGDT group based on computerized randomization, then each group was resuscitated using a conventional and EGDT protocol. Both groups received the same other DKA treatment. MSOFA score is calculated at the beginning of this study, 6th hour and 72nd hour. Results: A total of 26 subjects enrolled in this study, with 13 subjects in each group. There were no significant differences between the two groups in the 6th and 72nd hour, but based on the distribution, MSOFA score in EGDT group was more decreased compared to the control group. There were no significant differences of the mortality within 28 days between two groups (RR 0.333; 95 % CI 0.04- 2.801, p = 0.593) Conclusions: There were no significant differences of MSOFA scores dan the mortality within 28 days between conventional DKA protocol and EGDT protocol. Keywords: DKA, EGDT, MSOFA, fluid resuscitation viii Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ………………………………………………………. HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS…………………………... HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………… KATA PENGANTAR……………………………………………………… HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI……………. ABSTRAK………………………………………………………………...... ABSTRACT………………………………………………………………….. DAFTAR ISI………………………………………………………………... DAFTAR TABEL…………………………………………………………... DAFTAR GAMBAR……………………………………………………….. DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………….. DAFTAR TANDA DAN SINGKATAN…………………………………... i ii iii iv vi vii viii ix xi xii xiii xiv 1. PENDAHULUAN…………………………………………………….. 1.1 Latar Belakang Masalah…………………………………………... 1.2 Perumusan Masalah……………………………………………….. 1.3 Pertanyaan Penelitian……………………………………………… 1.4 Hipotesis…………………………………………………………... 1.5 Tujuan Penelitian………………………………………………….. 1.5.1 Tujuan Umum……………………………………………… 1.5.2 Tujuan Khusus……………………………………………... 1.6 Manfaat Penelitian……………………………………………....... 1 1 3 3 3 4 4 4 4 2. TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………… 2.1 Ketoasidosis Diabetikum…………………………………………. 2.1.1 Definisi dan Patofisiologi Ketoasidosis Diabetikum……… 2.1.2 Tatalaksana Ketoasidosis Diabetikum…………………….. 2.2 Resusitasi Mikrosirkulasi ………………………………………… 2.3 Skor Modified sequential Organ Failure Asssesment (MSOFA).... 2.4 Kerangka Teori…………………………………………………… 2.5 Kerangka Konsep…………………………………………………. 5 5 5 8 11 21 24 25 3. METODOLOGI PENELITIAN……………………………………... 3.1 Desain Penelitian…………………………………………………. 3.2 Waktu dan Tempat Penelitian…………………………………….. 3.3 Populasi dan Sampel Penelitian………………………………....... 3.4 Kriteria Inklusi, Eksklusi, dan Pengeluaran………………………. 3.4.1 Kriteria Inklusi…………………………………………….. 3.4.2 Kriteria Eksklusi…………………………………………... 3.4.3 Kriteria Pengeluaran………………………………………. 3.5 Besar Sampel……………………………………………………... 3.6 Cara Pengambilan Sampel………………………………………... 3.7 Alokasi Sampel…………………………………………………… 26 26 26 26 26 26 26 27 27 27 28 ix Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 3.8 Cara Kerja Penelitian……………………………………………... 3.9 Analisis Data………………………………………………….. 3.10 Batasan Operasional……………………………………………… 3.11 Etika………………………………………………………………. 28 33 33 41 HASIL PENELITIAN………………………………………………... 4.1 Karakteristik Subyek Penelitian…………………………………... 4.2 Parameter Makrosirkulasi, Mikrosirkulasi, Jumlah Cairan yang Diberikan dan Penggunaan Vasopresor di Kedua Kelompok…….. 4.2.1 Parameter Makrosirkulasi Subyek Penelitian di Kedua Kelompok….......................................................................... 4.2.2 Parameter Mikrosirkulasi Subyek Penelitian di Kedua Kelompok…………………………………………………. 4.2.3 Jumlah Cairan dan Penggunaan Vasopresor di Kedua Kelompok…………….……………………………………. 4.3 Skor MSOFA Subyek di Kedua Kelompok………………………. 4.4 Mortalitas Subyek dalam 28 Hari pada Kedua Kelompok……….. 42 42 PEMBAHASAN………………………………………………………. 5.1 Karakteristik Subyek Penelitian…………………………………... 5.2 Parameter Makrosirkulasi, Mikrosirkulasi, Jumlah Cairan yang Diberikan dan Penggunaan Vasopresor di Kedua Kelompok…….. 5.2.1 Parameter Makrosirkulasi Subyek Penelitian di Kedua Kelompok….......................................................................... 5.2.2 Parameter Mikrosirkulasi Subyek Penelitian di Kedua Kelompok…………………………………………………. 5.2.3 Jumlah Cairan dan Penggunaan Vasopresor di Kedua Kelompok…………….……………………………………. 5.3 Skor MSOFA Subyek di Kedua Kelompok………………………. 5.4 Mortalitas Subyek dalam 28 Hari pada Kedua Kelompok……….. 50 50 KESIMPULAN DAN SARAN………………………………………. 6.1 Kesimpulan……………………………………………………….. 6.2 Saran……………………………………………………………… 60 60 60 DAFTAR REFERENSI…………………………………………………… 62 4. 5. 6. 43 43 44 45 46 49 51 51 52 54 54 58 x Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 DAFTAR TABEL Tabel 2.1. Petunjuk Pemberian Insulin Berdasarkan Kadar Gula Darah……. Tabel 2.2. Skor Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) ……………. Tabel 2.3. Skor Modified Sequential Organ Failure Assessment (MSOFA)... Tabel 3.1. Protokol Penatalaksanaan KAD dengan Cairan, Insulin dan Bikarbonat Sesuai Panduan Pelayanan Medik RSCM.................... Tabel 3.2. Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik …………………………………. Tabel 3.3. Penilaian Glasgow Coma Scale (GCS)…………………………... Tabel 4.1. Karakteristik Subyek Penelitian………………………………….. Tabel 4.2. Parameter Makrosirkulasi Subyek Penelitian di Kedua Kelompok………………………………………………………… Tabel 4.3. Parameter Mikrosirkulasi Subyek Penelitian di Kedua Kelompok………………………………………………………… Tabel 4.4. Jumlah Cairan yang Diberikan pada Subyek di Kedua Kelompok………………………………………………………… Tabel 4.5. Penggunaan Vasopresor pada Subyek di Kedua Kelompok……... Tabel 4.6. Median Skor MSOFA Kelompok Kontrol dan Kelompok EGDT. Tabel 4.7. Mortalitas Subyek dalam 28 Hari pada Kedua Kelompok……….. Tabel 5.1. Penurunan MSOFA (∆ MSOFA) di Kedua Kelompok………….. Tabel 5.2. Sebaran Skor MSOFA Subyek di Kedua Kelompok…………….. 10 22 23 29 34 38 42 44 45 46 46 46 49 55 56 xi Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1. Patofisiologi Komplikasi Akut Diabetes Mellitus…………….. Gambar 2.2. Algoritme EGDT Menurut Rivers pada Syok Sepsis………… Gambar 2.3. Komponen ScvO2……………………………………………... Gambar 2.4. Konversi Piruvat menjadi Asetil ko-A dalam Keadaan Aerob.. Gambar 2.5. Konversi Piruvat menjadi Laktat pada Kondisi Anaerob…….. Gambar 3.1. Protokol Penelitian Pemberian Cairan pada KAD Berdasarkan Strategi EGDT………………………………………………… Gambar 3.2. Alur Penelitian………………………………………………… Gambar 4.1. Boxplot skor MSOFA jam ke-0……………………………….. Gambar 4.2. Boxplot skor MSOFA jam ke-6……………………………….. Gambar 4.3. Boxplot skor MSOFA jam ke-72……………………………… 7 15 17 19 19 30 32 47 47 48 xii Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Lembar Informasi Penelitian…………………………………… Lampiran 2. Surat Persetujuan……………………………………………….. Lampiran 3. Surat Keterangan Lolos Kaji Etik……………………………… Lampiran 4. Formulir Seleksi………………………………………………… Lampiran 5. Formulir Penelitian……………………………………………... Lampiran 6. Protokol KAD Konvensional…………………………………… Lampiran 7. Protokol EGDT…………………………………………………. Lampiran 8. Skor MSOFA…………………………………………………… Lampiran 9. Formulir Pengunduran Diri……………………………………... Lampiran 10. Formulir Pelaporan Subyek terhadap Efek Samping…………. 68 69 70 71 72 75 76 77 78 79 xiii Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 DAFTAR TANDA DAN SINGKATAN AGD : Analisa Gas Darah ARDS : Acute Respiratory Distress Syndrome ATP : Adenosin Trifosfat BB : Berat Badan CaO2 : Arterial CO : Cardiac Output / curah jantung CO2 : Karbondioksida CVC : Central Venous Catheter / Kateter vena sentral CVP : Central Venous Pressure / Tekanan vena sentral DIC : Disseminated Intravascular Coagulation dkk : dan kawan-kawan dL : desi-liter DM : Diabetes Mellitus DO2 : Delivery Oksigen / Penghantaran oksigen EGDT : Early Goal Directed Therapy EKG : Elektrokardiografi EO2 : Ekstraksi Oksigen FiO2 : Fraksi Oksigen GCS : Glasgow Coma Scale GDS : Gula Darah Sewaktu GFR : Glomerular Filtration Rate Hb : Hemoglobin Ht : Hematokrit IDDM : Insulin Dependent Diabetes Mellitus IGD : Instalasi Gawat Darurat iv : intravena + Oxygen Content K : ion Kalium KAD : Ketoasidosis Diabetikum KCl : Kalium Chlorida kg : kilogram xiv Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 L : Liter maks : maksimum MAP : Mean Arterial Pressure / Tekanan rerata arteri mEq : mili-Equivalent mg : miligram min : minimum mL : mili-liter mmHg : milimeter air raksa mOsm : mili-Osmol MSOFA : Modified Sequential Organ Failure Assessment mU : mili-Unit Na+ : ion Natrium NaCl : Natrium Klorida NIDDM : Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus PaO2 : Tekanan Parsial Oksigen Arteri PCO2 : Tekanan Karbondioksida Arteri P(cv-a)CO2 : Selisih Tekanan Karbondioksida Vena Sentral dan Arteri PDH : Pyruvate Dehidrogenase PPDS : Program Pendidikan Dokter Spesialis P(v-a)CO2 : Selisih Tekanan Karbondioksida Vena dan Arteri RI : Reguler Insulin RSCM : Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo SB : Simpang Baku ScvO2 : Saturasi Oksigen Vena Sentral SOFA : Sequential Organ Failure Assessment SOL : Space Occupying Lesion SpO2 : Saturasi Oksigen Perifer TDD : Tekanan Darah Diastolik TDS : Tekanan Darah Sistolik TIK : Tekanan Intra Kranial USG : Ultrasonografi VO2 : Oxygen Demand / Konsumsi Oksigen xv Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ketoasidosis diabetikum (KAD) merupakan suatu salah satu komplikasi akut diabetes mellitus (DM) yang dipicu oleh defisiensi insulin baik relatif maupun absolut dan ditandai dengan asidosis metabolik, hiperglikemia serta ketosis.1-3 Ketoasidosis diabetikum merupakan kondisi yang cukup sering ditemui dengan tingkat mortalitas yang masih cukup tinggi sehingga membutuhkan pengelolaan gawat darurat yang tepat. Prevalensi KAD di Amerika Serikat diperkirakan sebesar 8 per 1000 penderita diabetes setiap tahunnya.4 Walaupun data komunitas di Indonesia belum ada, namun insidens KAD di Indonesia tidak sebanyak di negara barat. American Diabetes Association pada tahun 2005 melaporkan bahwa angka kematian pada KAD berkisar antara 9-10% pada negara maju. Angka kematian KAD di RS Cipto Mangunkusumo tahun 2002 masih cukup besar, yaitu sebesar 15%.5 Pada KAD, terjadi kondisi hiperglikemia yang akan menyebabkan terjadinya diuresis osmotik sehingga beresiko terjadinya dehidrasi dan kegagalan sirkulasi perifer. Oleh karena itu dalam tatalaksana KAD, salah satu terapi yang penting ialah koreksi cairan untuk mengembalikan volume intravaskuler dan ekstravaskuler serta perfusi renal. Keberhasilan koreksi cairan dinilai melalui pemantauan hemodinamik, perbaikan tekanan darah, pengukuran balans cairan dan pemeriksaan klinis.5 Protokol pemberian cairan pada KAD yang diterapkan di RSCM pada saat ini dihitung berdasarkan perkiraan hilangnya cairan yang mencapai 100 ml/kg berat badan. Cairan ini diberikan berdasarkan pemantauan makrodinamik, seperti tekanan darah, produksi urine dan kadar gula darah pasien.1,6 Berdasarkan penelitian Suhendro pada tahun 2008, diketahui bahwa pada KAD dapat terjadi disfungsi mikrosirkulasi dan disfungsi mitokondria sehingga mengakibatkan terjadinya hipoksia di jaringan. Hasil pengukuran oksigen dan karbondioksida transkutan pada pasien dengan KAD menunjukkan bahwa kadar oksigen dan karbondioksida ini dapat berbeda pada pasien dengan tekanan darah dan tekanan rerata arteri yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa parameter 1 Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 2 makrodinamik, seperti tekanan darah dan tekanan rerata arteri, mencerminkan keadaan di tingkat mikrosirkulasi. tidak selalu 7 Kelainan sirkulasi yang terjadi pada KAD dapat menyebabkan ketidakseimbangan antara penghantaran oksigen sistemik dan kebutuhan oksigen jaringan, sehingga dapat terjadi hipoksia jaringan secara global atau yang lebih dikenal dengan syok. Hipoksia jaringan merupakan awal dari terjadinya kegagalan multiorgan dan kematian. Kegagalan multiorgan merupakan pola klinis dari disfungsi organ yang beruntun dan progresif yang umum terjadi pada pasien dengan penyakit kritis.8 Oleh karena itu, pasien-pasien dengan KAD termasuk ke dalam pasien-pasien dengan penyakit kritis yang memerlukan pemantauan ketat dan terapi yang cepat dan tepat. Penanganan KAD secara cepat dan tepat dapat membantu menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pada pasien KAD. Rivers dkk pada tahun 2001 memperkenalkan protokol Early Goal Directed Therapy (EGDT) yang bertujuan untuk memperbaiki hemodinamik dan transport oksigen pada pasien sepsis berat. Protokol ini menggunakan parameterparameter mikrosirkulasi sebagai target akhir (end point) resusitasi untuk menggambarkan keseimbangan antara penghantaran oksigen dan kebutuhan oksigen jaringan dan mendeteksi kondisi hipoksia jaringan secara dini. Identifikasi dini dan terapi yang tepat pada masa transisi antara hipoksia jaringan dan terjadinya kegagalan multiorgan dapat menurunkan tingkat disfungsi organ dan mortalitas.9 Upaya pencegahan disfungsi organ yang terjadi pada KAD dimulai pada saat diagnosis KAD ditegakkan di unit gawat darurat. Salah satu sistem skoring untuk menilai derajat disfungsi organ pada pasien dengan penyakit kritis ialah skor Modified Sequential Organ Failure Assessment (MSOFA). Sistem skoring ini merupakan modifikasi skor Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) yang telah disederhanakan untuk digunakan di triase atau unit gawat darurat karena hanya membutuhkan pemeriksaan laboratorium sederhana yang rutin diperiksa.10 Penelitian kali ini bertujuan untuk membandingkan keberhasilan resusitasi antara kelompok KAD yang ditatalaksana dengan menggunakan protokol konvensional, yaitu protokol tatalaksana KAD sesuai dengan panduan pelayanan Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 3 medik Departemen Endokrin, Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM dan protokol yang menggunakan strategi goal directed therapy sebagai pedoman resusitasi cairan pada pasien KAD, dengan menggunakan skor MSOFA sebagai parameter keberhasilan tersebut. 1.2 Perumusan Masalah Peningkatan prevalensi KAD menghasilkan tingkat mortalitas yang juga semakin meningkat. Berbagai studi telah dilakukan untuk mengevaluasi tatalaksana KAD. Sampai saat ini terapi cairan sebagai salah satu poin penting yang digunakan dalam protokol tatalaksana KAD memiliki kekurangan-kekurangan yang dapat menimbulkan berbagai komplikasi dari terapi cairan itu sendiri. Angka kematian yang disebabkan oleh KAD masih cukup tinggi, yang menunjukkan bahwa protokol resusitasi cairan pada KAD masih belum optimal dan belum memakai parameter objektif yang menggambarkan perfusi jaringan di mikrosirkulasi. Dengan demikian, dalam penelitian ini akan dibandingkan keberhasilan resusitasi cairan pada tatalaksana KAD berdasarkan parameter-parameter objektif mikrosirkulasi seperti ScvO2, P(cv-a)CO2 dan laktat dengan protokol KAD konvensional. Salah satu parameter yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan resusitasi pada KAD ialah dengan mengukur derajat disfungsi organ menggunakan skor MSOFA dan tingkat mortalitas. 1.3 Pertanyaan Penelitian Bagaimanakah keberhasilan resusitasi cairan berdasarkan skor MSOFA antara protokol EGDT dengan protokol konvensional pada pasien KAD di IGD RSCM? 1.4 Hipotesis Pasien KAD di IGD RSCM yang dilakukan resusitasi cairan menggunakan protokol EGDT akan lebih berhasil berdasarkan skor MSOFA dibandingkan protokol konvensional. Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 4 1.5 Tujuan Penelitian 1.5.1 Tujuan Umum Mengetahui keberhasilan resusitasi cairan berdasarkan skor MSOFA antara protokol EGDT dengan protokol konvensional pada pasien KAD di IGD RSCM. 1.5.2 Tujuan Khusus Mengetahui rerata skor MSOFA pada kelompok pasien KAD yang diresusitasi cairan menggunakan protokol konvensional dan protokol EGDT pada jam ke-6 setelah resusitasi dimulai. Mengetahui rerata skor MSOFA pada kelompok pasien KAD yang diresusitasi cairan menggunakan protokol konvensional dan protokol EGDT pada jam ke-72 setelah resusitasi dimulai. Mengetahui tingkat mortalitas pada kelompok pasien KAD yang diresusitasi cairan menggunakan protokol konvensional dan protokol EGDT dalam 28 hari. 1.6 Manfaat Penelitian Untuk tatalaksana KAD secara tepat dan efektif terutama pada fase resusitasi cairan pada KAD sehingga tidak menimbulkan berbagai komplikasi baik akibat pemberian cairan yang kurang maupun berlebihan. Penelitian ini bermanfaat bagi penentu kebijakan tatalaksana KAD, tenaga kesehatan dan pasien. Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ketoasidosis Diabetikum 2.1.1 Definisi dan Patofisiologi Ketoasidosis Diabetikum Ketoasidosis diabetikum (KAD) merupakan suatu kondisi katabolisme yang tidak terkontrol yang dipicu oleh defisiensi insulin baik relatif maupun absolut. Trias ketoasidosis diabetik ialah asidosis metabolik (pH < 7.35), hiperglikemia (gula darah > 250 mg/dL) dan ketosis (terdapatnya badan keton baik di urine ataupun di darah). Defisiensi insulin absolut atau relatif ini juga diikuti oleh peningkatan hormon-hormon counter-regulasi (seperti glukagon, epinefrin, hormon pertumbuhan, dan kortisol), yang menyebabkan peningkatan produksi glukosa oleh hati (glukoneogenesis) dan katabolisme lemak (lipolisis). Lipolisis menghasilkan substrat untuk produksi badan keton oleh hati. Produksi badan keton ini menyebabkan terjadinya asidosis dan peningkatan anion gap, yang hampir selalu terjadi pada KAD.2 Defisiensi insulin akut yang mempengaruhi metabolisme glukosa menyebabkan terjadinya kondisi hiperglikemia. Akumulasi glukosa ekstraseluler ini menyebabkan terjadinya kondisi hiperosmolaritas.11 Ketika kadar glukosa darah meninggi ke tingkat pada saat jumlah glukosa yang difiltrasi melebihi kapasitas sel-sel tubulus melakukan reabsorpsi, glukosa akan dieksresikan di urine (glukosuria). Adanya glukosa di urine ini akan menimbulkan efek osmotik yang menarik air bersamanya, sehingga menimbulkan diuresis osmotik yang ditandai oleh poliuria dan ekskresi Na+ serta K+ melalui ginjal. Poliuria ini menyebabkan cairan keluar berlebihan dari tubuh sehingga menyebabkan dehidrasi, yang pada gilirannya dapat menyebabkan kegagalan sirkulasi perifer. Selain itu juga timbul rasa haus berlebihan (polidipsia) yang sebenarnya merupakan mekanisme kompensasi untuk mengatasi dehidrasi. Kegagalan sirkulasi apabila tidak diperbaiki dapat menyebabkan penurunan aliran darah ke otak yang pada akhirnya dapat menyebabkan kematian, atau menimbulkan gagal ginjal sekunder akibat tekanan filtrasi yang tidak adekuat. Penurunan aliran darah ke ginjal juga menyebabkan ekskresi glukosa melalui ginjal berkurang, sehingga semakin memperberat kondisi hiperglikemia tersebut. Selain itu, sel-sel kehilangan air 5 Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 6 karena tubuh mengalami dehidrasi akibat perpindahan osmotik air dari dalam sel ke cairan ekstrasel yang hipertonik..11,12 Selain itu akibat terjadinya defisiensi glukosa intrasel, nafsu makan meningkat sehingga timbul polifagia. Akan tetapi walaupun terjadi peningkatan pemasukan makanan, berat tubuh menurun secara progresif akibat efek defisiensi insulin pada metabolisme lemak dan protein. Defisiensi insulin menyebabkan terjadinya pergeseran ke arah katabolisme protein, salah satunya di otot, dan bersamaan dengan abnormalitas kadar elektrolit akan menyebabkan otot rangka melemah dan mengecil sehingga terjadi penurunan berat badan. Peningkatan penguraian protein ini menyebabkan peningkatan kadar asam amino dalam sirkulasi darah, yang selanjutnya dapat digunakan untuk glukoneogenesis dan memperparah kondisi hiperglikemia yang telah terjadi.11-13 Dalam metabolisme lemak, defisiensi insulin menyebabkan peningkatan lipolisis, sehingga terjadi peningkatan kadar asam lemak dalam darah yang sebagian besar digunakan oleh sel sebagai sumber energi alternatif. Peningkatan penggunaan lemak oleh hati ini menyebabkan pengeluaran berlebihan badan keton (asam asetoasetat, beta hidroksibutirat, dan aseton) ke dalam darah. Di samping itu, terjadinya peningkatan kadar hormon-hormon counter-regulasi seperti glukagon, epinefrin dan kortisol juga menyebabkan peningkatan produksi badan keton. Akumulasi badan-badan keton ini menyebabkan terjadinya asidosis metabolik progresif. Sebagai kompensasi terhadap asidosis metabolik, terjadi peningkatan ventilasi untuk meningkatkan pengeluaran CO2 pembentuk asam. (pernapasan Kussmaul). Ekshalasi salah satu badan keton, yaitu aseton, menyebabkan napas penderita yang mengalami KAD berbau seperti “buah”. Kondisi asidosis, kelainan kadar elektrolit dan dehidrasi yang terjadi selanjutnya dapat mengganggu fungsi sel saraf, menekan fungsi otak dan dapat menimbulkan terjadinya koma diabetikum dan kematian.11-13 Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 7 Defisiensi insulin akut proteolisis Lipolisis ↓BB Kelemahan otot Asam lemak di darah ↑ Asam amino↑ Pemecahan glikogen Glukoneogenesis Kelebihan Glukosa osmolaritas↑ Badan keton Glikolisis ↓ asidosis Ginjal koma Dehidrasi - Glukosuria - aminoaciduria - poliuria - kehilangan elektrolit Napas aroma buah Napas Kusmaul Rasa haus Gambar 2.1. Patofisiologi Komplikasi Akut Diabetes Mellitus Sumber: telah diolah kembali dari Silbernagl S, Lang F. Color atlas of pathophysiology. 3rd ed. New York: Thieme; 2000. p.286-91 Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 8 2.1.2 Tatalaksana Ketoasidosis Diabetikum Pasien-pasien KAD sebaiknya dirawat di area dimana mereka dapat diobservasi secara reguler, dengan tenaga medis yang berpengalaman, atau dirawat di unit intensif jika kondisi pasien sangat buruk.13 Prinsip pengelolaan KAD ialah:1 Penggantian cairan dan garam yang hilang Menekan lipolisis sel lemak dan menekan glukoneogenesis sel hati dengan pemberian insulin Mengatasi stres sebagai pencetus ketoasidosis diabetikum Mengembalikan keadaan fisiologi normal dan menyadari pentingnya pemantauan dan penyesuaian pengobatan Dalam tatalaksana KAD, terdapat beberapa hal yang harus diberikan, yaitu cairan, garam, insulin, kalium dan glukosa. Selain itu pengobatan umum juga perlu diberikan pada pasien KAD, yaitu pemberian antibiotik yang adekuat untuk mengatasi infeksi yang terjadi, pemberian oksigen bila PO2 < 80 mmHg, dan heparin bila ada DIC atau bila ada hiperosmolar (> 380 mOsm/L).1 Pada pasien dengan kelainan jantung atau ginjal atau pada pasien dengan kondisi syok, sebaiknya dilakukan pemasangan kateter vena sentral untuk mengevaluasi derajat hipovolemia dan untuk monitor pemberian cairan.13 Jika diagnosis KAD telah ditegakkan, pemberian cairan isotonik minimal 2 L dalam 2-3 jam pertama pada pasien dewasa merupakan hal yang penting dilakukan untuk membantu mengembalikan volume plasma dan stabilisasi tekanan darah sambil mengurangi kondisi hiperosmolar yang terjadi. Selain itu, pemberian cairan akan membantu memperbaiki aliran darah ke ginjal, sehingga dapat membantu mengembalikan kapasitas ginjal untuk mengekskresi ion hidrogen, dan memperbaiki kondisi asidosis yang terjadi.13 Pemberian cairan ini dapat dimodifikasi disesuaikan dengan usia, berat badan, dan adanya kelainan jantung pada pasien.14 Pada sebagian besar pasien dewasa, defisit cairan yang terjadi ialah sebanyak 4-5 L atau 100 ml/kgBB.2,12 Seperti telah disebutkan di atas, pemberian cairan dilakukan secara cepat untuk mencapai 1-2 L/jam dalam 1-2 jam pertama. Setelah 2 jam pertama, cairan diberikan dengan kecepatan 300-400 ml/jam. Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 9 Kegagalan penggantian secara cukup (minimal 3-4 L dalam 8 jam pertama) untuk mengenbalikan kondisi perfusi normal merupakan salah satu penyebab kegagalan terapi ketoasidosis diabetikum. Akan tetapi, pemberian cairan berlebihan (> 5 liter dalam 8 jam) dapat menyebabkan timbulnya acute respiratory distress syndrome (ARDS) atau edema serebri.13 Pedoman terapi cairan pada tatalaksana KAD yang digunakan di RSCM yaitu: 6 NaCl 0,9% diberikan 1-2 L pada 1 jam pertama, lalu 1 L pada jam kedua, lalu 0,5 L pada jam ketiga dan keempat, dan 0,25 L pada jam kelima dan keenam, selanjutnya sesuai kebutuhan Jumlah cairan yang diberikan dalam 15 jam sekitar 5 L Jika Na+ > 155 mEq/L ganti cairan dengan NaCl 0,45% Jika gula darah < 200 mg/dL ganti cairan dengan Dextrose 5% Segera setelah pemberian cairan inisial, pemberian insulin secara bolus cepat intravena harus diberikan. Pemberian insulin ini akan menurunkan kadar hormon glukagon, sehingga dapat menekan produksi benda keton di hati, pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak, pelepasan asam amino dari jaringan otot dan meningkatkan penggunaan glukosa oleh jaringan.1,13 Insulin yang digunakan pada tatalaksana KAD hanya regular insulin. Insulin dapat diberikan secara intravena, intramuskular ataupun subkutan. Akan tetapi pemberian secara drip intravena lebih dianjurkan karena lebih mudah mengontrol dosis insulin, menurunkan kadar glukosa darah lebih lambat, efek insulin lebih cepat menghilang, masuknya kalium ke intrasel lebih lambat, komplikasi hipoglikemia dan hipokalemia lebih sedikit terjadi.1 Protokol pemberian insulin yang digunakan pada tatalaksana KAD di RSCM yaitu :6 Regular Insulin (RI) diberikan setelah 2 jam rehidrasi cairan RI bolus 180 mU/kgBB iv, dilanjutkan RI drip 90 mU/kgBB/jam dalam NaCl 0,9% Jika kadar gula darah < 200 mg/dL: kecepatan dikurangi RI drip 45 mU/kgBB/jam dalam NaCl 0,9% Jika kadar gula darah stabil 200-300 mg/dL selama 12 jam RI drip 1–2 U/jam iv, disertai sliding scale setiap 6 jam: Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 10 Tabel 2.1. Petunjuk Pemberian Insulin Berdasarkan Kadar Gula Darah Gula darah (mg/dL) <200 RI (Unit, subkutan) 0 200–250 5 250–300 10 300–350 15 >350 20 Sumber: Nasir A, Rani A, Soegondo S. Pedoman pelayanan medik ilmu penyakit dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2004. p. 36-7 Jika kadar gula darah ada yang <100 mg/dL: drip RI dihentikan Setelah dosis koreksi tiap 6 jam, dapat diperhitungkan kebutuhan insulin sehari dibagi 3 dosis sehari subkutan, sebelum makan (bila pasien sudah makan) Kehilangan kalium dari poliuria dan muntah pada pasien KAD dapat mencapai 200 meq (3-5 meq/kgBB). Akan tetapi akibat pergeseran kalium dari intrasel ke esktrasel sebagai akibat kondisi asidosis, serum kalium pada umumnya normal atau sedikit meningkat. Bersamaan dengan dikoreksinya asidosis, kalium akan kembali masuk ke intrasel dan dapat terjadi hipokalemia jika tidak dilakukan penggantian kalium. Jika pasien tidak dalam kondisi uremikum dan produksi urinenya adekuat, pemberian kalium secara intravena sebaiknya diberikan 10-30 meq/jam dalam jam ke-2 dan ke-3 bersamaan dengan terkoreksinya kondisi asidosis. Selama penggantian kalium, sebaiknya dilakukan monitoring EKG secara berkala untuk mengevaluasi status kalium pasien.1 Protokol pemberian kalium yang digunakan dalam tatalaksana KAD di RSCM ialah:6 Kalium (KCl) drip dimulai bersamaan dengan drip RI, dengan dosis 50 mEq/6 jam. Syarat: tidak ada gagal ginjal, tidak ditemukan gelombang T yang lancip dan tinggi pada EKG, dan jumlah urine cukup adekuat Bila kadar K+ pada pemeriksaan elektrolit kedua: <3,5 drip KCl 75 mEq/6jam 3,0–4,5 drip KCl 50 mEq/6jam 4,5–6,0 drip KCl 25 mEq/6jam Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 11 >6,0 drip distop Bila sudah sadar, diberikan K+ oral selama seminggu Penggunaaan natrium bikarbonat dalam tatalaksana KAD menjadi kontroversi karena terdapat beberapa konsekuensi yang dapat membahayakan untuk pasien: Terjadinya hipokalemia akibat pergeseran kalium secara cepat ke intrasel jika asidosis dikoreksi secara berlebihan Anoksia jaringan akibat berkurangnya disosiasi oksigen dari hemoglobin apabila asidosis dikoreksi secara cepat Asidosis serebri akibat berkurangnya pH cairan serebrospinal Oleh karena itu, pemberian bikarbonat hanya dianjurkan jika pH gas darah arteri ≤ 7.0 dengan monitoring ketat untuk mencegah overkoreksi.3 Walaupun demikian komplikasi asidosis laktat dan hiperkalemia yang mengancam jiwa tetap merupakan indikasi pemberian bikarbonat.1 2.2 Resusitasi Mikrosirkulasi Hiperglikemia dan ketonemia yang terjadi pada pasien KAD akan menyebabkan diuresis osmotik, yang akan menyebabkan hilangnya cairan intravaskuler. Dehidrasi seluler akan menyebabkan pergeseran cairan dari intravaskuler ke intrasel. Kedua hal tersebut akan menyebabkan semakin berkurangnya preload jantung. Berkurangnya preload jantung akan menurunkan curah jantung. Berkurangnya curah jantung akan berakibat berkurangnya perfusi oksigen ke organ-organ tubuh. Perfusi organ yang tidak adekuat apabila tidak segera dilakukan penggantian cairan yang hilang akan berakibat ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen sehingga selanjutnya dapat berakibat terjadinya hipoksia jaringan secara global atau disebut juga dengan syok, yang pada akhirnya dapat menimbulkan gangguan multiorgan.9,15 Salah satu tujuan dari sirkulasi darah dalam tubuh ialah menjamin tercapainya penghantaran oksigen yang adekuat ke organ-organ dan jaringan tubuh. Faktor-faktor yang mempengaruhi penghantaran atau delivery oksigen (DO2) ialah curah jantung / cardiac output (CO) dan arterial oxygen content (CaO2). Arterial oxygen content (CaO2) memiliki 2 komponen, yaitu oksigen yang Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 12 terikat pada hemoglobin (Hb) sebagai komponen utama dan oksigen yang terlarut sebagai komponen kedua. Komponen pertama tergantung dari afinitas hemoglobin terhadap oksigen dan saturasi oksigen arteri, sedangkan komponen kedua tergantung dari tekanan parsial oksigen arteri (PaO2) yang dapat diabaikan karena koefisien kelarutan oksigen dalam plasma. Oleh karena itu, dapat ditarik rumus seperti di bawah ini:15 DO2 = CO x CaO2 (2.1) CaO2 = (Hb x 1.34 x SaO2) + (0.003 x PaO2) (2.2) Dengan mengabaikan komponen oksigen yang terlarut, maka: DO2 = CO x 1.34 x Hb x SaO2 (2.3) Darah arteri selanjutnya akan terdeoksigenasi di jaringan. Ekstraksi oksigen di jaringan tergantung dari kebutuhan jarigan tersebut dan kemampuan mereka untuk mengekstraksi oksigen. Oleh karena itu, komponen oksigen pembuluh darah vena tergantung dari komponen oksigen arteri dan eksraksi oksigen di jaringan.16 Syok merupakan salah satu penyebab utama perawatan di unit perawatan intensif. Pada umumnya syok didefinisikan sebagai tekanan rerata arteri / mean arterial pressure (MAP) <60 mmHg, atau tekanan darah sistolik (TDS) < 90 mmHg, atau penurunan tekanan darah sistolik (TDD) > 40 mmHg dari tekanan darah basal sehari-hari. Hal ini merupakan definisi secara makrosirkulasi yang menggunakan parameter tekanan darah dan curah jantung. Akan tetapi, parameter makrosirkulasi ini saja tidak cukup untuk menggambarkan keadaan instabilitas hemodinamik yang terjadi pada syok, sehingga secara lebih spesifik, syok digambarkan sebagai suatu kondisi klinis yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen jaringan, yang memiliki tanda dan gejala tertentu dan berakibat pada hipoksia jaringan.16,17 Secara klinis syok dibagi menjadi syok kardiogenik, syok obstruktif, syok hipovolemik, atau syok septik. Pada KAD, terjadi diuresis osmotik yang dapat berakibat terjadinya syok hipovolemik.16 Penghantaran oksigen (DO2) akan turun pada kondisi syok. Pada awal terjadinya penurunan DO2, tubuh akan mengkompensasi dengan cara meningkatkan ekstraksi oksigen jaringan, sehingga konsumsi oksigen (VO2) jaringan dipertahankan. Akan tetapi apabila kondisi ini terus berlanjut sampai suatu saat dimana kapasitas ekstraksi oksigen terlampaui, Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 13 maka VO2 akan mulai menurun dan terjadi peningkatan konsentrasi laktat yang menunjukkan terjadinya perubahan metabolisme dari glikolisis aerobik menjadi glikolisis anaerobik untuk memperoleh energi. Titik ini merupakan saat tandatanda awal terjadinya kerusakan organ. Oleh karena itu, tatalaksana hemodinamik yang tepat tidak hanya bertujuan untuk mengkoreksi parameter makrosirkulasi, namun juga parameter-parameter mikrosirkulasi untuk mencegah penurunan suplai oksigen di bawah titik ini. 15,16 Ekstraksi oksigen di jaringan dapat didefinisikan secara matematis sebagai berikut: EO2 = CO x (CaO2-CvO2) (2.4) EO2 = VO2/DO2 (2.5) dengan CvO2 merupakan kandungan oksigen pembuluh darah vena dan VO2 merupakan konsumsi oksigen. Dengan demikian, saturasi oksigen vena dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: SvO2 = SaO2 – (VO2 / ( CO x Hb x 1.34)) (2.6) Dari persamaan di atas, maka penurunan saturasi oksigen vena dapat disebabkan karena: penurunan SaO2 penurunan curah jantung penurunan kadar hemoglobin peningkatan konsumsi oksigen Pada kondisi SaO2, konsumsi oksigen dan kadar hemoglobin dalam batas normal, maka SvO2 dapat digunakan untuk mewakili curah jantung. Dari persamaan di atas, maka EO2 dapat dihitung dengan: EO2 = (SaO2 - SvO2) / SaO2 (2.7) Bila SaO2 = 100%, maka EO2 = 1 - SvO2 dan SvO2 = 1- EO2. Maka SvO2 juga dapat mewakili EO2. Resusitasi pada kondisi hipovolemik dibagi menjadi dua, yaitu periode primer dan periode sekunder. Periode primer memiliki tujuan resusitasi jantung, paru dan otak. Tujuannya adalah memberikan perfusi oksigen yang cukup ke pembuluh darah koroner dan otak. Pada tahap ini ditekankan pada pemeliharaan jalan napas yang adekuat, pemberian ventilasi mekanik, mempertahankan MAP > Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 14 60 mmHg. Pada periode sekunder bertujuan untuk memberikan aliran darah dan perfusi ke semua organ, menjamin ketersediaan oksigen bagi semua sel yang aktif. Pemberian aliran darah dan perfusi ke semua organ aktif dapat dicapai dengan menggunakan teknik ekspansi volume dan penggunaan obat-obat vasoaktif.17 Strategi resusitasi secara definitif mencakup manipulasi preload, afterload dan kontraktilitas jantung untuk mencapai keseimbangan antara DO2 sistemik dan VO2. Parameter yang digunakan dalam resusitasi ini mencakup saturasi mixed vein, konsentrasi laktat darah, base excess dan pH. Saturasi mixed vein merupakan pengganti cardiac index sebagai target terapi hemodinamik. Pada kondisi dimana insersi kateter arteri pulmoner tidak dilakukan, parameter saturasi mixed vein dapat diwakilkan dengan pengukuran saturasi vena sentral.9 Resusitasi pada kondisi sepsis dilakukan berdasarkan Early Goal Directed Therapy (EGDT) berdasarkan penelitian yang dilakukan Rivers dkk. Berdasarkan EGDT yang dilakukan dalam enam jam pertama sejak pasien masuk ke rumah sakit ini, dilakukan identifikasi dini keadaan hipoksia jaringan melalui parameterparameter mikrosirkulasi, meskipun parameter makro seperti tanda-tanda vital pasien masih dalam batas normal. Identifikasi dini hipoksia jaringan pada masa transisi ini memungkinkan dilakukannya intervensi cepat untuk mengembalikan keseimbangan DO2 dan VO2. Hipoksia jaringan sendiri berkontribusi terhadap aktivasi endotel dan gangguan keseimbangan antara koagulasi, permeabilitas vaskuler dan tonus vaskuler yang merupakan mekanisme kunci yang dapat menimbulkan terjadinya kegagalan mikrosirkulasi, hipoksia jaringan refrakter dan disfungsi organ. Dengan demikian, intervensi cepat untuk mengembalikan keseimbangan antara DO2 dan VO2 dapat mencegah terjadinya kegagalan mikrosirkulasi, hipoksia jaringan refrakter dan disfungsi organ sehingga akan menurunkan angka mortalitas dan lama rawat di rumah sakit.9,18 Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 15 Gambar 2.2. Algoritme EGDT Menurut Rivers pada Syok Sepsis Sumber: telah diolah kembali dari Rivers E, Nguyen B, Havstad S, Ressler J, Muzzin A, Knoblich B, et al. Early goal-directed therapy in the treatment of severe sepsis and septic shock. N Engl J Med 2001;345(19):1368-76 Dalam EGDT terdapat beberapa prinsip tatalaksana untuk mencapai perfusi jaringan global yang adekuat. Pertama, pemberian cairan secara cepat dan tepat yang dititrasi berdasarkan fluid responsiveness dan MAP. Kedua, apabila target perfusi jaringan masih belum tercapai, dilakukan transfusi darah untuk mencapai target transfusi yang diinginkan. Ketiga, pemberian terapi inotropik secara titrasi dan keempat, ialah terapi yang bertujuan untuk menurunkan konsumsi oksigen.18 Dalam EGDT, selain parameter-parameter makrosirkulasi, juga digunakan parameter mikrosirkulasi untuk identifikasi secara dini ketidakseimbangan antara VO2 dan DO2. Beberapa parameter mikrosirkulasi yang digunakan antara lain:8,17 a. ScvO2 Pada syok, penurunan suplai oksigen sebagian besar berkaitan dengan penurunan aliran darah, baik secara relatif (seperti pada syok distributif) atau Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 16 definitif (seperti syok hemoragik). Rekomendasi utama untuk resusitasi pada syok mencakup optimalisasi curah jantung dengan pemberian cairan untuk mengkoreksi ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen. Pada kondisi ini, pengukuran SvO2 dapat membantu dalam memberikan petunjuk pemberian cairan pada pasien-pasien syok.16 Pengukuran SvO2 untuk memberikan informasi mengenai oksigenasi jaringan secara global dapat dilakukan melalui pemasangan kateter arteri pulmonal. Namun pemasangan kateter ini memiliki beberapa keterbatasan dan kemungkinan komplikasi yang dapat timbul akibat pemasangan. Oleh karena itu, teknik pengukuran suplai oksigen dapat diwakilkan dengan pengukuran saturasi oksigen vena sentral (ScvO2) melalui pemasangan kateter vena sentral dengan ujung kateter berada di vena cava superior dan atrium kanan. Akan tetapi pengukuran ScvO2 tidak mencakup darah vena yang berasal dari sinus koronarius, sehingga tidak mencerminkan oksigenasi miokardium.16,19 Karena ScvO2 dapat memberikan informasi mengenai keseimbangan antar VO2 dan DO2, maka pemantauan nilai ScvO2 memungkinkan deteksi dini dan tatalaksana hipoksia jaringan secara cepat.19,20 Pemantauan nilai ScvO2 ini telah banyak digunakan sebagai parameter target resusitasi dan nilai ScvO2 < 70% akan meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas. Keuntungan klinis yang paling besar ditunjukkan pada penelitian Rivers dkk yang menggunakan ScvO2 sebagai salah satu parameter target dalam resusitasi secara dini dan agresif pada pasien sepsis berat. Pada penelitian tersebut, dengan menggunakan ScvO2 sebagai salah satu target parameter resusitasi, dapat menurunkan angka mortalitas secara bermakna.9,16 Seperti telah dijelaskan di atas, nilai ScvO2 tergantung dari saturasi oksigen arteri, curah jantung, kadar hemoglobin, adanya shunting dan konsumsi oksigen. Kemampuan ScvO2 untuk menggambarkan keseimbangan antara suplai dan konsumsi oksigen tidak konstan sepanjang waktu. Hal ini tergantung dari beberapa kondisi seperti pemakaian sedasi, ventilator, ujung kateter vena sentral yang tergantung dari posisi tubuh, dan hal-hal lain. Oleh Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 17 karena itu, interpretasi nilai ScvO2 sebaiknya dilakukan bersamaan dengan pemantauan parameter mikrosirkulasi lainnya, seperti laktat atau P(cv-a)O2.19 ScvO2 Penghantaran Oksigen Curah Jantung Hb Heart rate Stroke volume Perdarahan Hemodilusi anemia preload afterload kontraktilitas Konsumsi Oksigen oksigenasi Kebutuhan metabolik SaO2 FiO2 ventilasi Demam Cemas Nyeri Mengigil Aktivitas otot Gambar 2.3. Komponen ScvO2 Sumber: telah diolah kembali dari Continuous ScvO2 monitoring with the presep oximetry catheter [Online]. 2008 [diunduh 12 Oktober 2013]. Tersedia di: URL:http://www.Edwards.com/PreSep Dalam penelitiannya, Rivers dkk menunjukkan bahwa optimalisasi secara dini (dalam 6 jam pertama) dengan menjadikan ScvO2 dan parameter hemodinamik umum lainnya sebagai target resusitasi dapat memperbaiki outcome pada pasien-pasien dengan syok sepsis. Hal ini dapat disebabkan karena ScvO2 merupakan indikator kuat yang mencerminkan keseimbangan antara VO2 dan DO2. 9,21 b. Selisih tekanan karbondioksida vena dan arteri [P(v-a)O2] Setelah penelitian yang dilakukan oleh Rivers dkk, terdapat banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pada pasien-pasien yang telah diresusitasi dengan nilai ScvO2 > 70%, masih terdapat kemungkinan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat. Hal ini dapat disebabkan karena terdapat hipoperfusi jaringan persisten dan defek ekstraksi oksigen yang berkaitan dengan kelainan mikrosirkulasi dan / atau kerusakan mitokondria. Oleh karena itu, setelah dilakukan resusitasi, ScvO2 saja tidak cukup untuk dijadikan pedoman dalam pemberian cairan dan terapi vasopresor.21-23 Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 18 Terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa selisih tekanan karbondioksida vena dan arteri [P(v-a) CO2] berkorelasi dengan cardiac index, baik pada kasus sepsis atau non sepsis. Neviere et al menunjukkan bahwa peningkatan P(v-a)CO2 terutama berkaitan dengan penurunan cardiac output, karena P(v-a)CO2 meningkat pada hipoksia iskemik, namun tidak meningkat pada hipoksia hipoksik.23 P(v-a)CO2 dapat digunakan sebagai marker untuk menggambarkan adekuat atau tidaknya aliran darah vena intuk mengeluarkan CO2 yang diproduksi oleh jaringan perifer. Peningkatan PCO2 vena dapat menggambarkan aliran darah untuk mengeluarkan CO2 dari tubuh yang relatif lebih rendah dibandingkan produksi CO2 oleh tubuh. Untuk pengukuran ini, dapat digunakan sampel darah dari vena sentral, karena masih terdapat korelasi antara selisih tekanan karbondioksida vena sentral dan arteri [P(cv-a)CO2] dan nilai cardiac index.21-23 Pada penelitian yang dilakukan oleh Vallee dkk, pasien-pasien sepsis yang telah diresusitasi dengan ScvO2 > 70% dengan nilai P(cv-a)CO2 < 6 mmHg menunjukkan konsentrasi laktat yang lebih rendah dan penurunan nilai SOFA yang lebih besar pada hari pertama dibandingkan dengan P(cv-a)CO2 > 6 mmHg. Hal ini menunjukkan bahwa adanya nilai P(cv-a)CO2 dapat digunakan untuk mengidentifikasi pasien-pasien yang masih belum teresusitasi secara adekuat walaupun nilai ScvO2 telah mencapai > 70%.21 Peningkatan P(cv-a)CO2 ini dapat disebabkan karena: 20,24 peningkatan PCO2 vena secara sekunder akibat berkurangnya aliran darah yang disebabkan stagnasi CO2 peningkatan respiratory quotient dengan produksi CO2 tambahan relatif terhadap uptake oksigen, sekunder terhadap efek buffer bikarbonat akibat kelebihan ion hidrogen. peningkatan produksi dan stagnasi CO2 meskipun ScvO2 > 70% Berdasarkan hal ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa P(cv-a)CO2 berkaitan secara linear dengan produksi CO2 (VCO2), dan secara terbalik dengan cardiac index (CI). Sedangkan VCO2 sendiri berkaitan dengan konsumsi oksigen. Dalam kondisi dimana curah jantung mampu beradaptasi terhadap peningkatan VO2, meskipun terdapat peningkatan produksi CO2 oleh Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 19 tubuh akibat adanya metabolisme anaerob, terjadi aliran darah yang cukup adekuat untuk membuang produksi CO2 yang berlebih tersebut. Sebaliknya, aliran darah yang menurun dapat menyebabkan P(cv-a)CO2 menjadi lebar meskipun tidak terjadi peningkatan produksi CO2, namun lebih disebabkan karena adanya fenomena stagnasi CO2.22,23,25 c. Laktat Asam laktat pertama kali ditemukan dalam susu asam oleh Karl Wilhelm Schele pada tahun 1780, dan didapatkan bahwa asam laktat akan dibentuk dan produksinya meningkat di otot apabila suplai oksigen ke organ tersebut terganggu.26 Pada kondisi nomal dengan oksigenasi jaringan yang adekuat, energi seluler dapat diekstraksi oleh siklus asam sitrat dan rantai transport elektron. Dalam kondisi ini, sel akan mengubah piruvat menjadi asetil ko-A melalui dekarboksilase oksidatif. Sebaliknya saat tubuh mengalami perfusi jaringan yang tidak adekuat, akan terjadi metabolisme anaerob untuk membentuk energi meskipun dalam jumlah yang lebih kecil. Pada kondisi ini, piruvat dimetabolisme menjadi laktat oleh laktat dehidrogenase dan melepas ATP dalam jumlah yang lebih kecil dibandingkan metabolisme aerob.27 Laktat yang terbentuk akan masuk ke dalam sirkulasi dan menyebabkan penurunan pH. Jika kebutuhan oksigen terpenuhi kembali, maka laktat akan diubah di hati menjadi piruvat dan akan masuk kembali ke siklus Krebs.7 Pyruvate + NAD+ + CoA Acetyl CoA + CO2 + NADH Gambar 2.4. Konversi Piruvat menjadi Asetil ko-A dalam Keadaan Aerob Sumber: Kompanje EJO, Jansen TC, van der Hoven B, Bakker J. The first demonstration of lactic acid in human blood in shock by Johann Joseph Scherer (1814-1869) in January 1843. Intensive Care Med 2007;33(11):1967-71 Gambar 2.5. Konversi Piruvat menjadi Laktat pada Kondisi Anaerob Sumber: Blomkalns AL. Lactate-a marker for sepsis and trauma [Online]. 2007 [diunduh 12 Oktober 2013]. Tersedia di: URL:http://www.emcreg.org Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 20 Produksi laktat terjadi di semua jaringan, termasuk otot skelet, otak, sel darah merah, dan ginjal. Bahkan pada kondisi basal dimana terdapat oksigen yang cukup, produksi laktat dapat terjadi dalam jumlah kecil. Laktat pada tubuh manusia dimetabolisme oleh hepar dan di rekonversi kembali menjadi piruvat. Hal ini akan mempertahankan kadar laktat tetap di bawah 1 mmol/L baik pada darah arteri atau vena.27 Kadar laktat darah seringkali diukur pada pasien-pasien kritis untuk mendeteksi hipoksia jaringan. Peningkatan kadar laktat dapat merupakan hasil dari peningkatan produksinya atau penurunan metabolisme laktat, atau kombinasi kedua proses ini.28 Secara anaerobik, ketidakseimbangan oksigen sistemik akan menyebabkan peningkatan produksi laktat. Hipoksia jaringan akan meningkatkan kadar laktat, dan sudah dikonfirmasi melalui beberapa penelitian eksperimental maupun klinis.29 Rivers dkk menunjukkan bahwa hiperlaktatemia pada sepsis berat atau syok sepsis berkaitan dengan DO2 yang buruk dan peningkatan DO2 dapat mengurangi kadar laktat.9 Peningkatan kadar laktat darah berkaitan dengan meningkatnya tingkat morbiditas dan mortalitas.29,30 Deteksi dini dan resusitasi yang adekuat untuk menjaga kondisi hemodinamik global tetap normal dan mempertahankan kadar laktat dibawah 2.5 mmol/L dalam 24 jam akan menurunkan tingkat mortalitas.7 Selain glikolisis anaerobik, terdapat mekanisme aerobik lain yang dapat menyebabkan peningkatan kadar laktat pada pasien kritis, yaitu peningkatan glikolisis aerobik oleh katekolamin yang distimulasi hiperaktivitas pompa Na-K, disfungsi mitokondria, gangguan aktivitas pyruvate-dehidrogenase (PDH) yang penting dalam konversi piruvat menjadi asetil ko-enzim, disfungsi hepar dan operasi hepar, kelainan paru,alkalosis, beberapa obat-obatan dan intoksikasi obat seperti nucleosidic reverse transcriptase inhibitor, metformin (dengan adanya insufisiensi ginjal), sianida, metanol atau intoksikasi etilene-glikol.28-29 Berdasarkan studi sebelumnya yang dilakukan oleh Suhendro, pada KAD terdapat peningkatan kadar laktat, terutama pada KAD yang disertai dengan sepsis. Peningkatan kadar laktat pada KAD ini disebabkan akibat Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 21 hipovolemia yang terjadi akibat diuresis osmotik. Pada kondisi hipovolemia, terjadi gangguan perfusi baik di makrosirkulasi maupun mikrosirkulasi, sehingga dapat menyebabkan hipoksia jaringan secara global. Apabila kondisi ini disertai dengan sepsis, maka hipoksia jaringan yang sudah terjadi akan semakin diperberat karena pada kondisi sepsis terjadi disfungsi mitokondria untuk melakukan ekstraksi oksigen. Keadaan tersebut mengakibatkan VO2 berada di bawah titik kritis DO2 sehingga terjadi metabolisme anaerob dan peningkatan produksi laktat.9 Setelah adanya beberapa studi yang menunjukkan bahwa peningkatan kadar laktat pada metabolisme anaerob disebabkan adanya ketidakseimbangan oksigen sistemik, hal ini dapat menjadi pemicu untuk meningkatkan DO2 atau menurunkan kebutuhan oksigen, mencakup pemberian cairan, agen inotropik, transfusi sel darah merah, pemberian ventilasi mekanik, agen sedatif dan analgetik.28-31 Pada terapi yang diberikan berdasarkan pemantauan laktat, kadar laktat menurun secara signifikan bersamaan dengan peningkatan ScvO2. Tingkat mortalitas dan lama perawatan di ruang rawat intensif juga menurun pada terapi yang dipandu berdasarkan kadar laktat darah.29,31 Parameter-parameter di atas sebagai pedoman resusitasi mikrosirkulasi, berfungsi sebagai “warning signal” apabila kadarnya meningkat dalam darah, bahwa resusitasi yang dilakukan masih belum cukup, meskipun tanda-tanda vital pasien masih dalam batas normal. Hal ini disebabkan karena tanda-tanda vital seperti tekanan darah dan frekuensi nadi seringkali tidak berubah sampai pasien mencapai keadaan kritis. Beberapa faktor seperti nyeri, ansietas dapat berkontribusi meningkatkan tonus simpatis, mempengaruhi tanda vital tersebut sehingga tanda vital menjadi tidak sensitif untuk memonitor perfusi jaringan yang adekuat.2 2.3 Skor Modified Sequential Organ Failure Assesment (MSOFA) Pada pasien dengan penyakit kritis, dapat terjadi ketidakseimbangan antara DO2 dan VO2. Sindrom gagal organ multipel merupakan pola klinis dari disfungsi Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 22 organ yang beruntun dan progresif yang biasa terjadi pada pasien dengan penyakit kritis.32 Skor Sequential Organ Failure Assesment (SOFA) merupakan salah satu skor untuk menilai derajat disfungsi organ dan prediktor mortalitas pada pasienpasien kritis. Skor ini dikembangkan oleh European Society of Critical Care Medicine (ESCCM) pada tahun 1994 untuk menilai derajat disfungsi organ pada pasien sepsis di ICU dengan nama Sepsis-related Organ Failure Assesment.33 Selanjutnya terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa skor ini juga dapat digunakan pada pasien non-sepsis, sehingga skor ini dapat digunakan pada semua pasien kritis.34-36 Dalam penilaian skor SOFA, terdapat enam sistem organ yang dinilai menggunakan skor 1-4 berdasarkan derajat disfungsinya, yaitu sistem respirasi, sirkulasi, ginjal, hematologi, hepar dan sistem saraf pusat dengan skor maksimal 24.35 Penilaian skor SOFA dapat dilihat pada tabel 2.2. Penilaian skor SOFA secara berkala dapat digunakan sebagai prediktor yang baik untuk prognosis pada pasien-pasien kritis. Adanya peningkatan skor SOFA dalam 72 jam pertama di unit perawatan intensif dapat memperkirakan tingkat kematian ≥ 50%. 34,36 Tabel 2.2. Skor Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) Sistem organ Respirasi PaO2/FiO2, mmHg Koagulasi Trombosit, x103/mm3 Hepar Bilirubin, mg/dl Kardiovaskular Hipotensi 0 1 2 3 4 >400 <400 <300 <200 atau dengan bantuan respirasi <100 atau dengan bantuan respirasi >150 <150 <100 <50 <20 <1,2 Tidak ada hipotensi 1,2-1,9 MAP <70 mmHg 2-5,9 Dop ≤ 5 atau dobu (dosis apapun)* 6,0-11,9 Dop >5 atau epi ≤0,1, atau norepi ≤ 0,1* >12,0 Dop >15 atau epi >0,1 atau norepi > 0,1* Sistem saraf pusat GCS 15 13-14 10-12 6-9 <6 Ginjal Creatinin, mg/dl <1,2 1,2-1,9 2,0-3,4 3,5-4,9 >5,0 atau produksi atau <500 atau <200 urine ml/hari ml/hari *Dop: dopamin, dobu: dobutamin, epi: epinefrin, norepi: norepinefrin, dosis dalam μg/kgBB/menit Telah diolah kembali dari: Vincent JL, de Mendoca A, Cantraine F, Moreno R, Takala J, Suter P, et al. Use of the SOFA score to assess the incidence of organ dysfunction/failure in intensive care units: results of a multicenter, prospective study. Crit Care Med 1998;26:1793-800 Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 23 Dalam perkembangan selanjutnya, Grissom dkk memperkenalkan modifikasi skor SOFA yaitu Modified Sequential Organ Failure Assesment (MSOFA), yang lebih sederhana dan mudah diterapkan di triase unit gawat darurat. Dalam penilaian skor MSOFA, komponen trombosit dieliminasi, komponen tekanan parsial oksigen arteri (PaO2) digantikan dengan saturasi oksigen arteri yang diukur dengan alat pulse oximeter (SpO2), komponen bilirubin digantikan dengan penilaian klinis adanya sklera yang ikterus atau jaundice. Nilai laboratorium yang diperlukan hanya kadar kreatinin darah, yang mudah dilakukan di unit gawat darurat.10 Skor MSOFA ini juga dapat digunakan dalam memprediksi mortalitas pada pasien kritis, baik dalam kasus medis maupun bedah, dan sama efektifnya seperti skor SOFA.10,37 Pada penelitian Grissom dkk, nilai skor MSOFA 0-7 memiliki tingkat mortalitas 4%, skor 8-11 memiliki tingkat mortalitas 31%, dan skor >11 memiliki tingkat mortalitas 58%.10 Tabel 2.3. Skor Modified Sequential Organ Failure Assesment (MSOFA) Sistem Organ Respirasi (SpO2/FiO2) Hepar Kardiovaskuler 0 1 2 3 4 > 400 ≤ 400 ≤ 315 ≤ 235 ≤ 150 Ikterus (-) Ikterus (-) Ikterus (-) Tidak hipotensi MAP <70 mmHg Dop atau dobu≤ 5 Ikterus (+) Dop >5, epi ≤ 0.1, norepi ≤ 0.1 Ikterus (+) Dop >15, epi > 0.1, norepi > 0.1 Sistem saraf 15 13-14 10-12 6-9 <6 pusat (GCS) Ginjal <1.2 1.2-1.9 2-3.4 3.5-4.9 >5 (creatinine, mg/dL) *Dop: dopamin, dobu: dobutamin, epi: epinefrin, norepi: norepinefrin, dosis dalam μg/kgBB/menit Telah diolah kembali dari: Grissom CK, Brown SM, Kuttler KG, Boltax JP, Jones J, Jephson AR et al. A modified sequential organ failure assessment score for critical care triage. Disaster Medicine and Public Health Preparedness 2010;4:277-84 Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 24 2.4 Kerangka Teori Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 25 2.3 Kerangka Konsep Keterangan : : Variabel independen : Variabel dependen : Variabel perancu : hubungan Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Desain penelitian ini adalah uji klinis tersamar tunggal dengan randomisasi 3.2 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di IGD RSCM pada bulan Desember 2013 sampai Maret 2014. 3.3 Populasi dan Sampel Penelitian Populasi target adalah penderita KAD berusia 18-70 tahun. Populasi terjangkau adalah penderita KAD berusia 18-70 tahun di IGD RSCM pada bulan Desember 2013 sampai Maret 2014. Sampel penelitian adalah bagian dari populasi terjangkau yang memenuhi kriteria penelitian sampai jumlah yang diperlukan terpenuhi. 3.4 Kriteria Inklusi, Eksklusi dan Pengeluaran 3.4.1 Kriteria inklusi: Pasien KAD usia 18-70 tahun. Pasien atau keluarga yang mewakili menyatakan bersedia secara tertulis untuk subyek diikutsertakan dalam penelitian 3.4.2 Kriteria eksklusi: Pasien dengan gagal ginjal kronik stadium 5 on hemodialisis atau pasien gagal ginjal kronik dengan restriksi cairan atau GFR<15 ml/mnt Dekompensasio kordis Infark miokard akut dengan tanda-tanda dekompensasio kordis Cedera kepala dengan tanda-tanda edema serebri Terdapat kontraindikasi pemasangan kateter vena sentral pada pasien Sirosis hepatis 26 Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 27 Peningkatan tekanan intrakranial (TIK) karena adanya Space Occupying Lesion (SOL) 3.4.3 Kriteria Pengeluaran: Dalam pengamatan selama penelitian, pasien mengalami dekompensasio kordis atau edema paru Dalam waktu < 6 jam sejak dimulai protokol penelitian, pasien meninggal dunia Ujung kateter vena sentral tidak berada di vena kava superior Besar Sampel 3.5 Masalah pada penelitian ini diklasifikasikan pada analitik komparatif numerik tidak berpasangan. Kesalahan tipe I sebesar 5%, hipotesis satu arah, kesalahan tipe II sebesar 20%. n1 = n2 = 2 (Zα+Zβ)2s2 (3.1) (x1-x2)2 Zα = kesalahan tipe I, ditetapkan 5% hipotesis satu arah, maka nilainya 1.645 Zβ = kesalahan tipe II, ditetapkan 20%, maka nilainya 0.842 S = simpangan baku, nilainya 1.99 X1 = nilai skor MSOFA pada kelompok subyek yang mendapatkan resusitasi cairan berdasarkan protokol KAD konvensional X2 = nilai skor MSOFA pada kelompok subyek yang mendapatkan resusitasi cairan berdasarkan protokol EGDT (X1-X2) = perbedaan nilai skor MSOFA yang dianggap bermakna adalah 2 Maka n1=n2 =12.2=13 3.6 Cara Pengambilan Sampel Pengambilan sampel secara non probabilitas sampling (consecutive sampling). Semua pasien KAD di IGD RSCM yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak dieksklusi pada periode Desember 2013 sampai Maret 2014 diambil sebagai sampel. Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 28 3.7 Alokasi Sampel Peneliti mengambil semua subyek yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak dieksklusi hingga jumlah subyek minimal terpenuhi. 3.8 Cara Kerja penelitian Setelah mendapat persetujuan penelitian dari Komite Etik Fakultas Kedokteran Indonesia maka dilakukan pengambilan sampel di IGD RSCM. Keluarga pasien diberikan lembar informasi dan dijelaskan mengenai tujuan penelitian, pemeriksaan yang akan dilakukan, terapi yang akan diberikan, serta manfaat penelitian. Keluarga pasien yang menyatakan bersedia untuk pasien diikutsertakan dalam penelitian diminta mengisi dan menandatangani lembar persetujuan yang akan dikembalikan pada peneliti, kemudian dilakukan seleksi subyek penelitian dengan memperhatikan kriteria penelitian Diagnosis KAD ditegakkan berdasarkan pemeriksaan gula darah sewaktu, analisa gas darah arteri dan keton darah. Subyek penelitian yang telah terdiagnosis KAD, akan dilakukan penilaian awal oleh PPDS Anestesi tahap Mandiri berupa kesadaran yang dinilai dalam bentuk skala Glasgow Coma Scale (GCS), pemeriksaan tanda-tanda vital berupa tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi napas dan pemeriksaan adanya sklera atau warna kulit yang ikterik atau tidak. Subyek penelitian juga akan dilakukan pemasangan akses intravena perifer dan kateter vena sentral, kateter urine, serta dilakukan pemeriksaan darah perifer lengkap, ureum dan kreatinin darah, elektrolit darah dan laktat darah. Setelah kateter vena sentral terpasang, dilakukan konfirmasi letak ujung kateter vena sentral melalui foto rontgen dada, penilaian tekanan vena sentral oleh PPDS Anestesi tahap Mandiri dan pemeriksaan analisa gas darah dengan sampel yang diambil dari ujung kateter vena sentral. Subyek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak dieksklusi mendapat perlakuan terapi sebagai kelompok kontrol atau sebagai kelompok perlakuan (EGDT) berdasarkan tabel randomisasi. Subyek yang termasuk dalam kelompok kontrol akan mendapatkan terapi cairan, koreksi insulin, kalium dan bikarbo nat sesuai protokol penatalaksanaan KAD secara konvensional seperti yang tertera pada tabel 3.1. Sedangkan subyek yang termasuk dalam kelompok Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 29 perlakuan, akan mendapatkan koreksi insulin, kalium dan bikarbonat sesuai dengan kelompok kontrol yaitu sama seperti protokol penatalaksanaan KAD secara konvensional, namun terapi cairan pada kelompok perlakuan selama 6 jam pertama diberikan berdasarkan strategi EGDT seperti tertera pada gambar 3.1. Terapi cairan setelah jam ke-6 di kedua kelompok diberikan sesuai kebutuhan pasien berdasarkan penilaian dokter yang merawat. Tabel 3.1. Protokol Penatalaksanaan KAD dengan Cairan, Insulin dan Bikarbonat Sesuai Panduan Pelayanan Medik RSCM Jam ke 0 Pemberian cairan Insulin Koreksi Kalium Koreksi bikarbonat 2 kolf dalam ½ jam, Bila pH: selanjutnya ½ kolf <7 : 100 meq dalam 1 jam 7-7,1 : 50 meq >7,1 : tidak diberikan 1 2 kolf 2 1 kolf 3 2 kolf 4 ½ kolf 5 ½ kolf 6 dan Pada jam ke-2: Bolus 180mU/kgBB dilanjutkan dengan drip insulin 90 mU/kgBB/jam dalam cairan resusitasi Bila GDS<200, kecepatan dikurangi menjadi 45mU/kgBB/jam. Bila GDS stabil (200300mg%) selama 12 jam dilakukan drip insulin 1-2 U perjam, dan sliding scale tiap 6 jam. 50 meq/6 jam Bila kadar K <3 : 75meq/6jam 3-4,5 : 50 meq/6jam 4,5-6 : 25 meq/6jam >6 : tidak diberikan Dosis insulin subkutan: seterusnya <200 mg% tergantung 200-250 5U 250-300 10U 300-350 15U >350 20U kebutuhan Bila GDS<200, ganti dengan Dextrose 5% Setelah sliding tiap 6 jam dapat dihitung kebutuhan insulin per hari Bila sudah sadar dapat dberikan Kalium oral selama semingu kenaikan pH akan diikutin penurunan K, oleh karena itu pemberian bikarbonat disertai dengan pemberian kalium. Sumber: Nasir A, Rani A, Soegondo S. Pedoman pelayanan medik ilmu penyakit dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2004. p.36-7 Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 30 Gambar 3.1. Protokol Penelitian Pemberian Cairan pada KAD Berdasarkan Strategi EGDT Pada kelompok EGDT, setelah subyek dilakukan penilaian awal berupa tanda-tanda vital dan kesadaran serta dilakukan pemasangan kateter vena sentral, dinilai tekanan vena sentral (CVP). Apabila CVP < 8 mmHg atau < 10 cmH2O, maka diberikan cairan sebanyak 30 cc/kgBB dalam 30 menit sampai tercapai CVP 8-12 mmHg atau 10-15 cmH2O. Setelah tercapai CVP tersebut, apabila nilai Mean Arterial Pressure (MAP) masih < 65 mmHg, maka dapat dilakukan pemberian agen vasoaktif secara titrasi sampai nilai MAP mencapai > 65 mmHg. Setelah nilai MAP tercapai, apabila nilai saturasi oksigen vena sentral (ScvO2) < 70% dan nilai hematokrit (Ht) darah < 30% maka dilakukan transfusi darah sampai nilai Ht mencapai > 30%. Apabila nilai Ht telah >30% namun nilai ScvO2 masih < 70%, Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 31 maka dilakukan pemberian agen inotropik secara titrasi sampai nilai ScvO2 mencapai > 70%. Setelah nilai ScvO2 mencapai > 70%, dilakukan penilaian P(cv-a)CO2. Apabila nilai P(cv-a)CO2 ≤ 6, maka target telah tercapai. Namun apabila nilai P(cv-a)CO2 > 6, maka akan dilakukan penilaian ulang mulai dari nilai CVP dan seterusnya seperti tertera pada gambar 3.1. Resusitasi cairan secara EGDT ini dilakukan dalam 6 jam pertama sejak pasien terdiagnosis KAD. Subyek di kedua kelompok akan tetap diberikan antibiotik yang adekuat apabila terdapat infeksi, suplementasi oksigen apabila PO2 < 80 mmHg atau pemberian ventilasi mekanik jika terjadi gagal napas yaitu PO2 arteri < 60 mmHg atau PCO2 arteri > 45 mmHg, pemberian heparin bila terjadi DIC atau hiperosmoler berat (> 380 mOsm/l), pemberian diuretik bila terdapat tanda-tanda overload cairan atau edema paru, pemasangan water sealed drainage apabila terjadi pneumotoraks, dan penatalaksanaan bila terjadi kondisi kegawatdaruratan. Data penelitian diambil oleh PPDS Anestesi tahap magang dan dicatat dalam lembar penelitian. Setiap satu jam selama enam jam pertama, jam ke-12, jam ke-24, jam ke-48 dan jam ke-72 dilakukan pemeriksaan tanda vital berupa tingkat kesadaran, tanda ikterus, tekanan darah, frekuensi napas, frekuensi nadi, CVP, SpO2, diuresis, dan jumlah cairan yang diberikan. Pemeriksaan kadar gula darah sewaktu (GDS) dilakukan setiap jam selama 6 jam pertama, jam ke-12, jam ke-24, jam ke-48 dan jam ke-72. Pemeriksaan AGD arteri, vena sentral, elektrolit darah dilakukan pada awal penelitian, jam ke-6, jam ke-12 dan jam ke-24. Keton darah diperiksa setiap 6 jam sampai jam ke-72. Ureum dan kreatinin darah diperiksa pada jam ke 0, jam ke 6, jam ke 24 dan jam ke 72. Dosis insulin yang diberikan serta agen vasoaktif maupun inotropik yang diberikan akan dicatat selama 6 jam dan 72 jam pertama. Nilai skor MSOFA akan dinilai oleh PPDS Anestesi tahap magang pada jam ke-0, jam ke-6 dan jam ke-72. Pasien akan di follow-up selama 28 hari ke depan untuk menilai tingkat mortalitas. Karakteristik subyek penelitian berupa usia subyek, jenis kelamin, tipe DM, faktor pencetus KAD, parameter-parameter makrosirkulasi (berupa GCS, MAP, CVP, produksi urine, kadar gula darah sewaktu, dan keton darah), parameter-parameter mikrosirkulasi (berupa ScvO2, laktat darah, P(cv-a)CO2) Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 32 akan dilaporkan secara deskriptif pada kedua kelompok. Rerata nilai skor MSOFA dan jumlah kematian akan dibandingkan antara kedua kelompok. Subyek Penelitian Kelompok kontrol Kelompok perlakuan Dilakukan penilaian awal berupa GCS, tekanan darah, frekuensi nadi dan napas. Dilakukan pemasangan akses intravena perifer, CVC, kateter urine. Subyek diambil darah untuk pemeriksaan DPL, GDS, Keton, AGD arteri dan vena, elektrolit, ureum dan kreatinin darah, laktat darah. Konfirmasi ujung CVC di vena kava superior dengan Rontgen thoraks dilanjutkan penilaian CVP. Kelompok kontrol mendapat terapi cairan, koreksi insulin, kalium dan bikarbonat sesuai protokol KAD konvensional sesuai yang tercantum pada tabel 3.1. Kelompok perlakuan mendapat terapi cairan sesuai protokol goal directed therapy seperti yang tercantum pada gambar 3.1. Koreksi insulin, kalium dan bikarbonat sesuai dengan protokol KAD konvensional sesuai tabel 3.1. Dilakukan pemeriksaan GCS, tekanan darah, nadi, napas, SpO2, produksi urine, jumlah cairan yang diberikan tiap 1 jam selama 6 jam pertama, jam ke-6, jam ke-12, jam ke-24, jam ke-48 dan jam ke-72 Pemeriksaan GDS setiap jam selama 6 jam pertama, jam ke-12, jam ke-24, jam ke-48, jam ke-72. Pemeriksaan AGD arteri, vena sentral, laktat pada jam ke-0, jam ke-6, dan jam ke-24 Pemeriksaan keton darah pada jam ke-0, jam ke-6, jam ke-12, jam ke-24, jam ke-48, jam ke-72 Pemeriksaan ureum dan kreatinin darah jam ke-0, jam ke-6, jam ke-72. Skor MSOFA dihitung pada jam ke-0, jam ke-6, jam ke-72 Pasien di follow up selama 28 hari untuk menghitung tingkat mortalitas Gambar 3.2. Alur Penelitian Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 33 3.9 Analisis Data Seluruh data dicatat pada formulir data dan dipindahkan ke media penyimpanan elektronik untuk dilakukan kodifikasi data, untuk kemudian siap dideskripsi dan dianalisis. Penyajian untuk hasil deskriptif dan analisis dibuat dalam bentuk teks (naskah), tabel, maupun gambar sesuai keperluan. Data numerik bila terdistribusi normal akan disajikan dalam bentuk rerata dengan simpangan bakunya, namun bila data tidak terdistribusi normal akan disajikan dalam bentuk median dengan minimum-maksimumnya. Data kategorik akan disajikan jumlah dan presentasenya. Analisis data menggunakan program SPSS dengan menggunakan uji t tidak berpasangan jika sebaran data normal, atau menggunakan uji Mann Whitney bila sebaran data tidak normal. Perbedaan kedua kelompok dianggap signifikan apabila nilai p < 0,05. Uji normalitas data menggunakan uji Saphiro-Wilk. 3.10 Batasan Operasional 1. Ketoasidosis diabetikum (KAD): kondisi katabolisme pada diabetes mellitus yang tidak terkontrol yang dipicu oleh defisiensi insulin baik relatif maupun absolut.2 Kriteria diagnosis KAD ialah :1,38 o Gula darah sewaktu saat masuk rumah sakit >250 mg/dL o Keton darah positif atau > 0.6 o pH darah arteri < 7.35 dan/atau HCO3 < 18 meq/L dan/atau anion gap > 10 meq/L Diagnosis KAD ditetapkan dengan memenuhi ketiga kriteria diagnosis di atas oleh PPDS Ilmu Penyakit Dalam ataupun PPDS Anestesi tahap Mandiri. 2. Protokol EGDT: Protokol resusitasi cairan berdasarkan penelitian Rivers dkk yang menggunakan parameter mikrosirkulasi sebagai target akhir resusitasi. Protokol EGDT dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 3.1. Pelaksanaan protokol EGDT dapat dilihat pada subbab 3.8. Protokol EGDT dalam penelitian ini dilakukan oleh peneliti (PPDS Anestesi tahap Mandiri) Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 34 3. Protokol KAD Konvensional : Protokol penatalaksanaan KAD yang saat ini berlaku di RSCM. Protokol KAD Konvensional dapat dilihat pada tabel 3.1 dan subbab 3.8. Protokol KAD Konvensional dilakukan oleh PPDS Ilmu Penyakit Dalam yang bertugas di ruang resusitasi. 4. Keberhasilan Resusitasi Cairan : Keberhasilan resusitasi cairan pada pasien KAD akan dinilai dengan rerata nilai skor MSOFA pada kelompok EGDT yang lebih rendah pada jam ke-6 dan jam ke-72 serta tingkat mortalitas dalam 28 hari kelompok EGDT yang lebih rendah dibandingkan kelompok yang diresusitasi menggunakan protokol konvensional. Dalam hal ini perbedaan nilai skor MSOFA yang dianggap bermakna ialah 2.10 Skala : Numerik 5. Gagal ginjal kronik: kerusakan ginjal baik kelainan secara struktural maupun fungsional ginjal, dengan atau tanpa penurunan Glomerular Filtration Rate (GFR) < 60 mL/menit/1.73 m2 selama ≥ 3 bulan. Gagal ginjal kronik dibagi menjadi beberapa stadium:39 Tabel 3.2. Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik Stadium Deskripsi 1 Kerusakan ginjal dengan GFR normal atau ↑ 2 Kerusakan ginjal dengan ↓ GFR ringan 3 ↓ GFR sedang 4 ↓ GFR berat 5 Gagal ginjal GFR (mL/menit/1.73 m2) ≥ 90 60-89 30-59 15-29 <15 (atau dialisis) Telah diolah kembali dari: National kidney foundation. KDQI clinical practice guidelines for chronic kidney disease: evaluation, classification, and stratification [Online]. 2002 [diunduh 26 Desember 2013]. Tersedia di: URL:http:// www.kidney.org 6. Dekompensasio kordis atau gagal jantung kongestif: ketidakmampuan jantung untuk mempertahankan curah jantung untuk mencukupi kebutuhan tubuh, paling sering disebabkan oleh infark miorkard yang mempengaruhi ventrikel kanan atau kiri jantung. Diagnosis dekompensasio kordis dibuat berdasarkan kriteria Framingham, yaitu minimal memenuhi 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor. Kriteria mayor tersebut antara lain: 40 Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 35 - kardiomegali pada rontgen thoraks - bunyi jantung ke-3 atau gallop - edema paru akut - paroxysmal nocturnal dyspnea - rhonki pada auskultasi paru - CVP > 16 cmH2O - distensi vena jugularis - tes abdominojugular positif - penurunan berat badan > 4.5 kg dalam 5 hari sebagai respon terapi Kriteria minor antara lain : - takikardia > 120x/menit - batuk yang bersifat nokturnal - dispnea yang diperberat saat berajtivitas - efusi pleura - penurunan kapasitas vital sebanyak 1/3 dari nilai maksimal - hepatomegali - edema tungkai bilateral Diagnosis dekompensasio kordis dapat dibuat oleh PPDS Ilmu Penyakit Dalam atau PPDS Anestesi tahap Mandiri. 7. Sirosis hepatis: komplikasi berbagai kelainan hepar yang menyebabkan struktur dan fungsi hepar menjadi abnormal. Diagnosis pasti sirosis hepatis ialah melalui pemeriksaan histopatologi yang didapat melalui biopsi hepar. Diagnosis sirosis hepatis juga dapat dibuat berdasarkan gejala-gejala yang timbul maupun dari pemeriksaan fisik dan penunjang seperti USG hepar. Gejala dan tanda sirosis hepatis antara lain: riwayat konsumsi alkohol atau penyalahgunaan obat intravena dalam waktu lama, riwayat hepatitis B atau C kronik, hepatomegali dan/atau splenomegali, teleangiektasis pada kulit, ikterus, asites, edema tungkai, hipoalbuminemia, peningkatan enzim hepar seperti SGOT dan SGPT.41 8. Edema serebri: akumulasi cairan berlebih pada ruang intrasel atau ekstrasel dari jaringan otak. Edema serebri dapat disebabkan oleh trauma fisik atau sebab non traumatik pada jaringan otak seperti stroke iskemik, Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 36 keganasan, atau inflamasi jaringan otak. Diagnosis edema serebri dapat ditegakkan melalui CT scan kepala atau gejala dan tanda peningkatan tekanan intrakranial seperti mual, muntah, gangguan penglihatan, kejang dan penurunan kesadaran sampai koma.42 9. Edema paru: akumulasi cairan di parenkim paru sehingga mengganggu pertukaran gas dan dapat menyebabkan terjadinya gagal napas. Gejala dan tanda edema paru ialah kesulitan bernapas, pink, frothy sputum, orthopnea, dan/atau paroxysmal nocturnal dyspnea, edema tungkai, peningkatan tekanan vena jugularis dan hepatomegali, rhonki pada auskultasi paru dan adanya bunyi jantung ke-3. Diagnosis edema paru dibuat berdasarkan gejala dan tanda klinis serta pemeriksaan rontgen thoraks yang menggambarkan adanya cairan di alveolus paru, Kerley B lines, peningkatan corakan vaskuler di daerah hillus, dan efusi pleura.43 Diagnosis edema paru dilakukan oleh PPDS Anestesi tahap Mandiri. 10. Peningkatan tekanan intrakranial (TIK) karena Space Occupying Lesion (SOL): terdapatnya gejala-gejala peningkatan tekanan intrakranial seperti nyeri kepala, mual, muntah proyektil, kejang dan penurunan kesadaran yang disebabkan oleh keganasan intrakranial, adanya hematoma atau abses serebri. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang berupa CT scan kepala. Diagnosis dilakukan oleh PPDS Anestesi tahap Mandiri 11. Usia: usia biologis subyek dalam tahun dari tanggal subyek dilahirkan sampai saat data penelitian diambil. Pada penelitian diambil subyek yang berusia ≥ 18 tahun 0 hari sampai ≤ 70 tahun 0 hari. Skala: numerik 12. Jenis Kelamin: status biologis subyek, berupa laki-laki atau perempuan. Skala: kategorik 13. Tipe Diabetes Mellitus (DM): Tipe DM subyek, dibagi menjadi: a. DM tipe 1: DM yang disebabkan oleh kerusakan sel beta pankreas sehingga terjadi defisiensi insulin absolut dan membutuhkan terapi insulin pengganti, atau disebut juga dengan Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM).44 Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 37 b. DM tipe 2: DM yang disebabkan oleh kelainan pada fungsi sel beta pankreas sehingga menyebabkan terjadinya resistensi insulin. Pada DM tipe ini terjadi defisiensi insulin relatif, sehingga tidak tergantung pada suplai insulin eksogen atau disebut juga dengan Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). 44 c. DM tipe lain : termasuk di dalamnya DM yang disebabkan oleh kerusakan pankreas (pankreatitis) atau peningkatan hormonhormon counter-regulasi (misalnya sindrom Cushing).44 d. DM gestasional (DMG): DM yang terjadi pada wanita hamil cenderung mengalami perbaikan setelah partus. 44 Skala: kategorik 14. Faktor Pencetus KAD: faktor-faktor yang dapat menyebabkan timbulnya KAD, dibagi menjadi infeksi, penghentian terapi DM dan lain-lain. Data didapatkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan oleh PPDS Anestesi tahap Mandiri. Skala: kategorik 15. Glasgow Coma Scale (GCS): skala untuk menilai tingkat kesadaran subyek. Skala GCS dinilai oleh PPDS Anestesi tahap Mandiri dengan memberi skor sesuai respons mata, verbal dan motorik terhadap pemberian stimulus sesuai dengan tabel 3.3. Skor dijumlahkan untuk mendapatkan total skor GCS yaitu dari nilai terendah 3 sampai nilai tertinggi yaitu 15.45 Skala: numerik Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 38 Tabel 3.3. Penilaian Glasgow Coma Scale (GCS) Kategori Eye (Mata) Verbal response (respon verbal) Motor response (Respons motorik) Deskripsi Membuka spontan Membuka dengan stimulus, perintah, atau kata-kata Membuka hanya dengan stimulus nyeri Tidak ada respons Orientasi baik Disorientasi dalam percakapan, namun dapat menjawab pertanyaan yang diajukan Kata-kata tidak membentuk kalimat Tidak membentuk kata-kata Tidak ada respons Gerakan mematuhi perintah Gerakan bertujuan terhadap stimulus nyeri Respons menghindar terhadap nyeri Respons fleksi terhadap nyeri (postur dekortikasi) Respons ekstensi terhadap nyeri (postur deserebrasi) Tidak ada respons Skor 4 3 2 1 5 4 3 2 1 6 5 4 3 2 1 Telah diolah kembali dari: Centers for Disease Control and Prevention. Glasgow coma scale [Online]. 2003 [diunduh 18 Desember 2013]. Tersedia di: URL://http:www.bt.cdc.gov 16. Mean Arterial Pressure (MAP): tekanan rerata arteri yang didefinisikan sebagai daerah di bawah kurva tekanan darah dibagi dengan waktu yang diperlukan untuk satu siklus jantung. MAP ini dapat dihitung berdasarkan tekanan darah sistolik dan tekanan diastolik yang diukur secara invasif maupun noninvasif dengan menggunakan formula:46 MAP = (2 TDD + TDS) / 3 (3.2) Dengan TDD merupakan tekanan darah diastolik dan TDS merupakan tekanan darah sistolik.46 Pengukur : PPDS Anestesi tahap Mandiri Alat ukur: MAP diukur secara non invasif dengan menggunakan tensimeter digital merk Phillips atau tensimeter manual. Skala: numerik 17. Tekanan vena sentral (CVP): tekanan yang diukur pada vena sentral yang dekat dengan jantung. Tekanan ini merefleksikan tekanan rerata atrium kanan dan digunakan untuk memperkirakan preload jantung. CVP dapat diukur secara manual dengan menggunakan manometer atau secara kontinu dengan menggunakan transduser. CVP dapat diukur setelah letak Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 39 ujung kateter vena sentral dikonfirmasi berada di vena cava superior, tepat sebelum atrium kanan melalui rontgen thoraks.47 Alat ukur: kateter vena sentral, penggaris CVP, manometer CVP Cara ukur: Pada awalnya ditetapkan nilai nol CVP secara manual dahulu yaitu setinggi atrium kanan, atau setinggi garis mid aksilaris apabila pasien dalam posisi tidur terlentang. Nilai CVP didapatkan dengan menutup three way ke arah pasien, alirkan cairan ke arah tabung pengukur, kemudian arahkan three way ke arah pasien dan tabung pengukur. Cairan pada tabung pengukur akan mengalir turun sampai level tertentu. Jarak antara level tersebut dengan nilai nol yang sudah ditetapkan sebelumnya merupakan nilai CVP dalam cmH2O.47 Pengukur: PPDS Anestesi tahap Mandiri. Skala: numerik 18. P(cv-a)CO2: selisih kadar karbondioksida vena sentral dan arteri yang menggambarkan adekuat atau tidaknya aliran darah vena intuk mengeluarkan CO2 yang diproduksi oleh jaringan perifer.24 Nilai normal < 6 mmHg. Alat ukur: mesin periksa analisis gas darah (AGD) di laboratorium IGD RSCM. Cara ukur: sampel darah arteri dan sampel darah vena dari CVC diperiksa untuk analisis gas darah dan dihitung selisih PCO2 antara keduanya. Skala: numerik 19. Saturasi oksigen vena sentral (ScvO2): saturasi oksigen darah yang kembali ke jantung yang menggambarkan kecukupan penghantaran oksigen (DO2) ke jaringan berkaitan dengan kebutuhan oksigen jaringan global (VO2).16 Nilai normal: ≥ 70 % Alat ukur: mesin periksa analisis gas darah (AGD) di laboratorium IGD RSCM Cara ukur: Sampel darah vena diambil dari ujung distal kateter CVC (warna kuning) untuk kemudian diperiksa analisis gas darah dan dilihat saturasi oksigennya. Skala: numerik Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 40 20. Kadar laktat: hasil dari metabolisme seluler anaerob yang meningkat pada keadaan hipoperfusi yaitu ketika piruvat tidak dapat memasuki siklus krebs dan selanjutnya proses fosforilasi oksidatif mitokondria akibat tidak cukupnya suplai oksigen selular.27 Nilai normal <2 mmol/L Alat ukur: mesin pengukur kadar laktat darah di laboratorium IGD RSCM Cara ukur: sampel untuk pengukuran kadar laktat diambil dari darah vena, arteri, atau dari vena sentral. Skala: numerik 21. Vasopresor dan inotropik: vasopresor ialah beberapa jenis obat-obatan yang dapat menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan MAP. Yang termasuk ke dalam vasopresor ialah epinefrin, norepinefrin, fenilefrin, vasopresin. Inotropik ialah beberapa jenis obat-obatan yang dapat meningkatkan kontraktilitas jantung, seperti dobutamin, dopamin, dan lain sebagainya.48 22. Skor Modified Sequential Organ Failure Assessment (MSOFA): sistem skoring untuk menilai derajat disfungsi organ pada pasien dengan memberi skor berdasarkan sistem respirasi, hepar, kardiovaskuler, sistem saraf pusat dan ginjal. Semakin tinggi nilai skor MSOFA, derajat disfungsi organ semakin tinggi dan prognosis subyek akan semakin buruk.10 Cara ukur: nilai skor MSOFA dihitung berdasarkan tabel 2.3 oleh PPDS Anestesi tahap Mandiri kemudian dimasukkan ke dalam data penelitian. Skala: numerik 23. Tingkat mortalitas: presentase orang yang didiagnosa dengan penyakit tertentu kemudian meninggal karena penyakit tersebut dalam kurun waktu tertentu. Cara ukur: subyek akan diikuti perjalanan penyakitnya oleh peneliti sampai jam ke-72 penelitian dan hari ke-28 apakah pasien meninggal atau tidak. Skala: numerik Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 41 3.11 Etika Data diperoleh dari subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak dieksklusi. Identitas subyek penelitian akan disamarkan, dan dirahasiakan. Data akan dipublikasikan dalam jurnal ilmiah nasional dengan tetap menjaga kerahasiaan subyek penelitian. Sebelum data diambil dari subyek penelitian, subyek akan terlebih dulu dijelaskan mengenai perlakuan yang akan diterima, prosedur penelitian, risiko yang mungkin dialami subyek selama penelitian, manfaat penelitian, prosedur penyelamatan bila terjadi kegawatdaruratan, dan menjamin kerahasiaan identitas subyek. Pengambilan data penelitian berdasarkan sukarela dan persetujuan secara tertulis dari subyek penelitian. Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 BAB 4 HASIL PENELITIAN Penelitian dilakukan di Instalasi Gawat Darurat RSCM pada bulan Desember 2013 sampai Maret 2014. Selama periode penelitian didapatkan 26 subyek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi. Dari jumlah tersebut, 13 subyek masuk ke dalam kelompok kontrol dan 13 subyek masuk ke dalam kelompok perlakuan (EGDT) berdasarkan tabel randomisasi. Selama periode penelitian tidak terdapat subyek yang dikeluarkan maupun terjadinya komplikasi seperti edema paru atau pneumotoraks. 4.1 Karakteristik Subyek Penelitian Dari 26 subyek penelitian didapatkan median usia kelompok kontrol ialah 57 tahun dan kelompok EGDT ialah 50 tahun, dengan usia termuda ialah 24 tahun dan usia tertua ialah 66 tahun. Proporsi subyek perempuan lebih banyak dibandingkan subyek laki-laki, baik pada kelompok kontrol maupun kelompok EGDT. Terdapat 2 pasien dengan diabetes mellitus (DM) tipe I dan 24 pasien dengan DM tipe II. Terdapat 21 pasien dengan pencetus KAD berupa infeksi dan 5 pasien dengan pencetus KAD berupa penghentian terapi DM, 2 diantaranya ialah penderita DM tipe I. Karakteristik subyek berdasarkan usia, jenis kelamin, tipe DM dan pencetus KAD di kedua kelompok dapat dilihat pada tabel 4.1. Tabel 4.1 Karakteristik Subyek Penelitian (N = 26) Variabel Usia (tahun), median (min-maks) Jenis Kelamin, n (%) Laki-laki Perempuan Tipe DM, n (%) Tipe I Tipe II Pencetus KAD, n (%) Infeksi Penghentian terapi DM Kontrol (n=13) 57 (24-66) EGDT (n=13) 50 (25-63) Total (N=26) 52 (24-66) 5 (38,5%) 8 (61,5%) 5 (38,5%) 8 (61,5%) 10 (38,5%) 16 (61,5%) 1 (7,7%) 12 (92,3%) 1 (7,7%) 12 (92,3%) 2 (7,7%) 24 (92,3%) 9 (69,2%) 4 (30,8%) 12 (92,3%) 1 (7,7%%) 21 (80,8%) 5 (19,2%) 42 Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 43 4.2 Parameter Makrosirkulasi, Mikrosirkulasi, Jumlah Cairan yang Diberikan dan Penggunaan Vasopresor di Kedua Kelompok 4.2.1 Parameter Makrosirkulasi Subyek Penelitian di Kedua Kelompok Parameter makrosirkulasi yang dinilai dalam penelitian ini antara lain tingkat kesadaran dalam skor GCS, MAP, CVP, produksi urine, kadar gula darah dan keton darah (tabel 4.2). Berdasarkan tingkat kesadarannya, pada awal penelitian terdapat 17 subyek compos mentis, dengan 7 subyek dengan GCS 10-14, dan 2 subyek dengan GCS < 10. Pada jam ke-6, terdapat 16 subyek yang compos mentis dan 7 subyek dengan GCS 10-14. Tidak terdapat subyek dengan GCS < 10 pada jam ke-6 ini. Pada jam ke-72 setelah pengambilan data, terdapat 18 subyek compos mentis, 7 subyek dengan GCS 10-14, dan 1 subyek dengan GCS < 10. Perbedaan tingkat kesadaran di antara kedua kelompok baik pada awal penelitian, jam ke-6 maupun jam ke-72, secara statistik tidak memiliki perbedaan bermakna (p > 0,05). Rerata MAP di kedua kelompok berada di atas 65 mmHg baik pada awal penelitian, jam ke-6 dan jam ke-72 penelitian, dan secara statistik tidak memiliki perbedaan bermakna (p > 0,05). Rerata CVP di kedua kelompok pada awal penelitian berada < 10 cmH20, namun pada jam ke-6 penelitian, rerata CVP pada kelompok EGDT lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol, akan tetapi hal ini secara statistik tidak bermakna (p = 0,771). Pada jam ke-72 penelitian, rerata CVP pada kelompok kontrol dan EGDT kembali berada < 10 cmH20 dan tidak berbeda bermakna secara statistik (p = 0,623). Produksi urine di kedua kelompok pada awal penelitian, jam ke-6 dan jam ke-72 penelitian memiliki rerata > 0,5 ml/kgBB/jam dan secara statistik tidak berbeda bermakna (p > 0,05). Rerata kadar gula darah di kedua kelompok pada awal penelitian memiliki nilai > 250 g/dL. Pada jam ke-6 dan jam ke-72 penelitian, rerata kadar gula darah tersebut telah turun menjadi < 250 g/dL di kedua kelompok. Rerata kadar gula darah sewaktu di kedua kelompok pada awal penelitian, jam ke-6 dan jam ke-72 secara statistik tidak memiliki perbedaan yang bermakna (p > 0,05). Rerata keton darah pada awal penelitian di kelompok EGDT lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol, dan secara statistik berbeda bermakna (p = 0.025). Rerata keton darah di kelompok EGDT tetap lebih tinggi dibandingkan Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 44 kelompok kontrol pada jam ke-6 dan jam ke-72 penelitian, akan tetapi perbedaan ini secara statistik tidak bermakna (p > 0,05). Tabel 4.2 Parameter Makrosirkulasi Subyek Penelitian di Kedua Kelompok Variabel Kontrol (n=13) EGDT (n=13) p GCS, median (min-maks) jam ke-0 15 (9-15) 15 (10-15) 0,629** jam ke-6 15 (10-15) 15 (10-15) 0,363** jam ke-72 15 (3-15) 15 (12-15) 0,064** MAP (mmHg), rerata (SB) jam ke-0 96,59 (16,01) 90,33 (16,12) 0,331* jam ke-6 93,1(9,29) 94,51 (14,57) 0,771* jam ke-72 91,08 (10,34) 89,64 (10,44) 0,728* CVP (cmH20), rerata (SB) jam ke-0 6,42 (3,14) 6,5 (6,0553) 0,968* jam ke-6 7,69 (3,47) 10,12 (3,01) 0,069* jam ke-72 9,15 (3,46) 8,5 (3,23) 0,623* Produksi urine (ml/kg/jam) jam ke-0, median (min-maks) 3 (1-6) 1,7 (0,6-9,6) 0,09** jam ke-6, median (min-maks) 2 (0,8-8) 2,4 (1-11,7) 0,356** jam ke-72, rerata (SB) 1,62 (0,91) 1,59 (0,65) 0,930* Kadar gula darah sewaktu (g/dL), median (min-maks) jam ke-0, rerata (SB) 472,31 (237,59) 443,38 (172,72) 0,726* jam ke-6, median (min-maks) 218 (76-471) 214 (93-495) 0,817** jam ke-72, median (min-maks) 152 (86-299) 162 (73-390) 0,858** Keton darah (g/dL) jam ke-0, rerata (SB) 2,37 (0,99) 3,51 (1,40) 0,025* jam ke-6, median (min-maks) 0,8 (0-4,6) 1,3 (0-5) 0,979** jam ke-72, median (min-maks) 0 (0-2.5) 0,3 (0-2,4) 0,098** Uji normalitas menggunakan uji Saphiro-Wilk, dengan koreksi Lilieford significance *uji t tidak berpasangan ** uji Mann Whitney 4.2.2 Parameter Mikrosirkulasi Subyek Penelitian di Kedua Kelompok Terdapat tiga parameter mikrosirkulasi yang diukur selama penelitian berlangsung, yaitu saturasi vena sentral (ScvO2), kadar laktat darah, dan perbedaan karbondioksida darah vena sentral dan arteri [P(cv-a)CO2]. Parameterparameter ini digunakan sebagai panduan dalam melakukan protokol EGDT pada kelompok EGDT. Rerata ScvO2 di kedua kelompok pada awal penelitian, jam ke6 penelitian dan jam ke-72 penelitian memiliki nilai > 70% dan secara statistik tidak berbeda bermakna (p > 0,05). Rerata kadar laktat darah di kelompok EGDT pada awal penelitian lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol dan hal ini Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 45 secara statistik berbeda bermakna (p = 0,023). Kadar laktat darah pada kelompok EGDT pada jam ke-6 dan jam ke-72 tetap lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol, akan tetapi hal ini secara statistik tidak berbeda bermakna. (p > 0,05). Rerata P(cv-a)CO2 kelompok EGDT pada awal dan jam ke-72 penelitian lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol, namun secara statistik tidak berbeda bermakna (p > 0,05). Parameter mikrosirkulasi subyek di kedua kelompok dapat dilihat pada tabel 4.3. Tabel 4.3 Parameter Mikrosirkulasi Subyek Penelitian di Kedua Kelompok Variabel ScvO2 (%), rerata (SB) jam ke-0 jam ke-6 jam ke-72 Laktat darah (mmol/L) jam ke-0, median (min-maks) jam ke-6, rerata (SB) jam ke-72, median (min-maks) Kontrol (n=13) EGDT (n=13) p 73,47 (8,67) 80,77 (6,99) 73,47 (7,99) 75 (11,14) 74,94 (5,07) 75,97 (9,52) 0,951* 0,064* 0,874* 3,25 (0,5-14,6) 2,48 (1,43) 2,95 (0,6-5,6) 1,7 (0,9-2,8) 1,39 (0,85) 1,4 (0,9-10,3) 0,023** 0,077* 0,332** P(cv-a)CO2 jam ke-0, rerata (SB) 8,11 (2,07) 5,31 (3,55) 0,055* jam ke-6, median (min-maks) 3,6 (1,1-18,7) 5,1 (1,3-9,3) 0,512** jam ke-72, median (min-maks) 5,05 (2,8-16,9) 4,55 (0,8-10,1) 0.422** Uji normalitas menggunakan uji Saphiro-Wilk, dengan koreksi Lilieford significance * uji t tidak berpasangan **uji Mann-Whitney 4.2.3 Jumlah Cairan dan Penggunaan Vasopresor di Kedua Kelompok Jumlah cairan yang diberikan selama 6 jam pada kedua kelompok memiliki nilai yang hampir sama besarnya, namun jumlah cairan yang diberikan selama 72 jam pada kelompok EGDT lebih besar dibandingkan kelompok kontrol dan secara statistik berbeda bermakna (p = 0,005). Jumlah subyek yang menggunakan vasopresor pada jam ke-6 penelitian di kedua kelompok sama besarnya. Akan tetapi pada jam ke-72 penelitian, jumlah subyek yang menggunakan vasopresor di kelompok kontrol lebih banyak dibandingkan kelompok EGDT, namun hal ini secara statistik tidak berbeda bermakna (p > 0,05). Jumlah cairan yang diberikan dan penggunaan vasopresor pada subyek penelitian dapat dilihat pada tabel 4.4 dan tabel 4.5. Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 46 Tabel 4.4 Jumlah Cairan yang Diberikan pada Subyek di Kedua Kelompok Jumlah cairan yg diberikan (ml) Selama 6 jam, rerata (SB) Kontrol (n=13) EGDT (n=13) p 2161,82 2676,77 0,303* (1222,28) (1273,66) Selama 72 jam, median (min7000 8018,5 0,005** maks) (4890-11633,3) (6000-20213,3) Uji normalitas menggunakan uji Saphiro-Wilk, dengan koreksi Lilieford significance * uji t tidak berpasangan **uji Mann-Whitney Tabel 4.5. Penggunaan Vasopresor pada Subyek di Kedua Kelompok Penggunaan Vasopresor Jam ke-6, n (%) Ya Tidak Jam ke-72, n (%) Ya Tidak * uji Fisher Kontrol (n=13) EGDT (n=13) p 2 (15,4%) 11 (84,6%) 2 (15,4%) 11 (84,6%) 1,00* 5 (38,5%) 8 (61,5%) 2 (15,4%) 11 (84,6%) 0,378* 4.3 Skor MSOFA Subyek di Kedua Kelompok Skor MSOFA pada jam ke-0, jam ke-6 dan jam ke-72 di kedua kelompok memiliki sebaran data tidak normal, oleh karena itu data ditampilkan dalam bentuk median dan uji signifikansi dilakukan menggunakan uji Mann Whitney. Berdasarkan uji tersebut didapatkan skor MSOFA jam ke-0, jam ke-6 dan jam ke72 di kedua kelompok tidak berbeda bermakna ( p > 0,05). Median skor MSOFA di kedua kelompok dapat dilihat pada tabel 4.6, sedangkan sebaran data skor MSOFA di kedua kelompok pada jam ke-0, jam ke-6 dan jam ke-72 dapat dilihat pada gambar 4.1 sampai 4.3. Tabel 4.6. Median Skor MSOFA Kelompok Kontrol dan Kelompok EGDT Skor MSOFA Kontrol (n=13) EGDT (n=13) p jam ke-0, median (min-maks) 2 (0-12) 3 (1-7) 0,532* jam ke-6, median (min-maks) 2 (0-12) 3 (0-8) 0,917* jam ke-72, median (min-maks) 2 (0-11) 1 (0-11) 0,480* Uji normalitas menggunakan uji Saphiro-Wilk, dengan koreksi Lilieford significance *uji Mann Whitney Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 47 Gambar 4.1. Boxplot skor MSOFA jam ke-0 Dari gambar boxplot skor MSOFA jam ke-0, pada kelompok kontrol 50% skor MSOFA berkisar pada nilai 1-5 dengan nilai median 2, nilai ekstrim bawah 0 dan nilai ekstrim atas 10. Pada kelompok EGDT, 50% skor MSOFA berkisar pada nilai 2-6 dengan nilai median 3, nilai ekstrim bawah 1 dan nilai ekstrim atas 7. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada awal penelitian, sebagian besar skor MSOFA pada kelompok EGDT lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Gambar 4.2. Boxplot skor MSOFA jam ke-6 Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 48 Dari gambar boxplot skor MSOFA jam ke-6, pada kelompok kontrol 50% skor MSOFA berkisar pada nilai 1-5 dengan nilai median 2, nilai ekstrim bawah 0 dan nilai ekstrim atas 9. Pada kelompok EGDT, 50% skor MSOFA berkisar pada nilai 1-5 dengan nilai median 3, nilai ekstrim bawah 0, dan nilai ekstrim atas 8. Dibandingkan sebaran data skor MSOFA jam ke-0, pada jam ke-6 terlihat penurunan nilai skor MSOFA pada kelompok EGDT, sedangkan pada kelompok kontrol tetap. Gambar 4.3. Boxplot skor MSOFA jam ke-72 Dari gambar boxplot skor MSOFA jam ke-72, pada kelompok kontrol 50% skor MSOFA berkisar pada nilai 0-9 dengan nilai median 2 dan nilai ekstrim atas 11. Pada kelompok EGDT, 50% skor MSOFA berkisar pada nilai 0-4 dengan nilai median 1 dan nilai ekstrim atas 7. Hal ini menunjukkan bahwa di kelompok EGDT pada jam ke-72, sebagian besar sampel mengalami penurunan skor MSOFA dibandingkan jam ke-0 maupun jam ke-6 sehingga sebaran data skor MSOFA pada kelompok EGDT semakin menyempit. Sebaliknya pada kelompok kontrol, terjadi peningkatan skor MSOFA pada beberapa subyek sehingga sebaran data skor MSOFA pada jam ke-72 kembali melebar. Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 49 4.4 Mortalitas Subyek dalam 28 Hari pada Kedua Kelompok Dalam follow up selama 28 hari sejak pengambilan data dimulai, terdapat 4 subyek yang meninggal, 1 subyek dari kelompok EGDT, dan 3 subyek dari kelompok kontrol. Satu subyek dari kelompok EGDT meninggal karena acute respiratory distress syndrome (ARDS) selama perawatan di unit perawatan intensif, dua subyek dari kelompok kontrol meninggal karena sepsis berat selama perawatan di unit perawatan intensif, dan satu subyek dari kelompok kontrol pulang paksa dan meninggal di rumah. Berdasarkan tingkat mortalitas subyek dalam 28 hari, jumlah subyek yang meninggal di kelompok EGDT lebih sedikit dibandingkan kelompok kontrol, dengan resiko relatif sebesar 0,333 kali, akan tetapi secara statistik tidak bermakna (p = 0,593). Mortalitas subyek dalam 28 hari dapat dilihat pada tabel 4.7. Tabel 4.7. Mortalitas Subyek dalam 28 Hari pada Kedua Kelompok Kelompok perlakuan EGDT Kontrol *Uji Fisher Meninggal n (%) Hidup n (%) RR (IK 95%) 1 (7,7%) 3 (23,1%) 12 (92,3%) 10 (76,9%) 0,333 (0,040-2,801) p 0,593* Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 BAB 5 PEMBAHASAN Salah satu pilar penatalaksanaan KAD ialah resusitasi cairan untuk mengatasi hipoperfusi organ yang terjadi. Rivers dkk pada tahun 2001 mengajukan protokol EGDT yang menggunakan parameter-parameter mikrosirkulasi sebagai target akhir (end point) resusitasi untuk menyeimbangkan kembali suplai dan kebutuhan oksigen di jaringan sehingga hipoksia jaringan dan disfungsi organ dapat dicegah.9 Dalam penelitian ini, akan dibandingkan derajat disfungsi organ pada kelompok kontrol yang diresusitasi cairan menggunakan protokol KAD konvensional dengan kelompok EGDT yang diresusitasi cairan menggunakan protokol EGDT. Derajat disfungsi organ dinilai dengan menggunakan skor MSOFA. 5.1 Karakteristik Subyek Penelitian Ketoasidosis diabetikum dapat terjadi pada berbagai kelompok usia. Dari 26 subyek penelitian dengan KAD didapatkan median usia kelompok kontrol ialah 57 tahun dan kelompok EGDT ialah 50 tahun dengan proporsi subyek perempuan lebih banyak dibandingkan subyek laki-laki (tabel 4.1). Dari beberapa penelitian yang dilakukan di luar negeri, KAD lebih umum ditemui pada jenis kelamin perempuan dan pada DM tipe I dengan rentang usia tersering ialah 16-24 tahun.4952 Akan tetapi terdapat beberapa penelitian lain yang menunjukkan bahwa KAD juga dapat terjadi pada DM tipe II dengan rentang usia tersering lebih tua dibandingkan KAD yang ditemukan pada DM tipe I, yaitu pada usia > 40 tahun.53,54 Pada penelitian ini, jumlah subyek yang menderita DM tipe II lebih banyak dibandingkan DM tipe I dan median usia subyek berada di atas > 40 tahun, sesuai dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa pencetus KAD terbanyak adalah infeksi (80,8%), diikuti dengan penghentian terapi DM (19,2%) (tabel 4.1). Hal ini sesuai dengan literatur, yaitu bahwa KAD dapat dicetuskan oleh beberapa faktor, antara lain infeksi, ketidakteraturan atau penghentian terapi DM, kelainan serebrovaskular, penyalahgunaan alkohol, trauma, pankreatitis, dan obat-obatan seperti kortikosteroid, thiazid, dan obat-obat simpatomimetik. Di antara beberapa 50 Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 51 pencetus KAD tersebut, infeksi dan penghentian terapi merupakan pencetus yang sering ditemukan pada beberapa penelitian lain.1,49,51,53-55 5.2 Parameter Makrosirkulasi, Mikrosirkulasi, Jumlah Cairan yang Diberikan dan Penggunaan Vasopresor di Kedua Kelompok 5.2.1 Parameter Makrosirkulasi Subyek Penelitian di Kedua Kelompok Dalam penelitian ini, dinilai perbedaan parameter makrosirkulasi di kedua kelompok untuk melihat perbedaan efek resusitasi cairan menggunakan protokol KAD konvensional dan EGDT terhadap parameter makrosirkulasi subyek. Parameter makrosirkulasi yang dinilai antara lain tingkat kesadaran dalam skor GCS, nilai CVP, MAP, kadar GDS dan keton darah. Nilai median skor GCS pada kelompok EGDT dan kelompok kontrol tidak berbeda bermakna secara statistik, meskipun nilai minimal skor GCS pada kelompok kontrol lebih rendah dibandingkan kelompok EGDT (tabel 4.2). Parameter makrosirkulasi lainnya seperti rerata MAP dan produksi urine di antara kedua kelompok menunjukkan hasil yang tidak berbeda bermakna secara statistik (tabel 4.2). Hal ini menunjukkan bahwa resusitasi cairan baik pada protokol KAD konvensional maupun EGDT tidak menghasilkan perbedaan parameter makrosirkulasi yang bermakna. Rerata nilai CVP di kedua kelompok baik pada jam ke-0, jam ke-6 maupun jam ke-72 tidak berbeda bermakna secara statistik, meskipun pada jam ke-6 nilai rerata CVP kelompok EGDT mencapai target, yaitu > 10 cmH2O, dimana target ini tidak tercapai pada kelompok kontrol (tabel 4.2). Terapi cairan di kelompok EGDT diberikan berdasarkan “fluid responsiveness”, salah satunya dengan menilai CVP, dan terapi cairan pada kelompok kontrol diberikan berdasarkan jam pengamatan, penilaian MAP dan produksi urine. Penelitian ini menunjukkan bahwa perbedaan pemberian terapi cairan antara kelompok EGDT dan kelompok kontrol tidak menghasilkan perbedaan nilai CVP subyek yang bermakna. Rerata gula darah sewaktu di kedua kelompok pada jam ke-0, jam ke-6 dan jam ke-72 tidak berbeda bermakna secara statistik (tabel 4.2). Hal ini dapat terjadi karena protokol pemberian insulin yang sama di kedua kelompok. Selain Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 52 terapi cairan, dalam penatalaksanaan KAD terdapat terapi lain yang sama pentingnya. Salah satu dari terapi tersebut ialah terapi insulin yang berperan dalam patogenesis KAD.1 Rerata keton kelompok EGDT pada jam ke-0 lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol dan bermakna secara statistik. Akan tetapi dalam pengamatan jam ke-6 dan jam ke-72, median nilai keton di antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna secara statistik (tabel 4.2). Peningkatan kadar keton dalam darah disebabkan peningkatan produksi atau penurunan ekskresi keton melalui ginjal. Peningkatan produksi keton selain dapat disebabkan oleh defisiensi insulin, namun juga dapat disebabkan oleh alkoholisme, starvasi, dan diet tinggi lemak atau protein.1,11 Pada penelitian ini, kedua kelompok mendapatkan terapi insulin dan nutrisi yang sama. Selain mencegah peningkatan produksi keton, kadar keton darah dapat diturunkan dengan meningkatkan ekskresinya melalui ginjal. Peningkatan ekskresi keton ini dapat dilakukan dengan meningkatkan perfusi ke ginjal melalui pemberian cairan yang cukup. Dalam penelitian ini pemberian cairan baik selama 6 jam maupun 72 jam tidak menghasilkan perbedaan median nilai keton yang bermakna di antara kedua kelompok. 5.2.2 Parameter Mikrosirkulasi Subyek Penelitian di Kedua Kelompok Dalam penelitian ini, parameter mikrosirkulasi dinilai di kedua kelompok karena parameter mikrosirkulasi merupakan target end point resusitasi pada protokol EGDT. Selain itu dalam penelitian Suhendro juga didapatkan bahwa pada KAD dapat terjadi disfungsi mikrosirkulasi yang tidak terlihat pada pengukuran parameter makrosirkulasi.7 Parameter mikrosirkulasi yang diukur dalam penelitian ini antara lain yaitu saturasi vena sentral (ScvO2), kadar laktat darah, dan perbedaan karbondioksida darah vena sentral dan arteri [P(cv-a)CO2]. Dalam penelitian ini, pemberian cairan baik dengan protokol KAD konvensional maupun protokol EGDT menghasilkan parameter mikrosirkulasi yang tidak berbeda bermakna secara statistik (tabel 4.3). Kedua protokol ini telah mampu menghasilkan nilai ScvO2 dan P(cv-a)CO2 yang sesuai dengan target EGDT, yaitu ScvO2 > 70% dan P(cv-a)CO2 < 6 mmHg. Akan tetapi pemberian cairan berdasarkan protokol KAD konvensional masih menghasilkan kadar laktat darah Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 53 > 2 mmol/L, sedangkan pemberian cairan berdasarkan protokol EGDT menghasilkan kadar laktat darah < 2 mmol/L, walaupun perbedaan ini tidak bermakna secara statistik. Saturasi vena sentral, P(cv-a)CO2, dan kadar laktat darah merupakan parameter mikrosirkulasi yang dapat menjadi indikator terjadinya keseimbangan DO2 dan VO2. Nilai ScvO2 saja tidak dapat menjamin terjadinya perfusi jaringan yang adekuat, sehingga dibutuhkan penilaian P(cv-a)CO2. Setelah target ScvO2 dan P(cv-a)CO2 tercapai, masih dibutuhkan penilaian kadar laktat darah untuk menggambarkan oksigenasi di jaringan. Dalam penelitian ini pemberian cairan di kedua protokol mampu menghasilkan perfusi jaringan yang adekuat, yang digambarkan dengan tercapainya nilai ScvO2 dan P(cv-a)CO2. Akan tetapi kadar laktat darah > 2 mmol/L pada kelompok yang diresusitasi menggunakan protokol konvensional dapat menjadi indikasi bahwa oksigenasi jaringan yang adekuat masih belum tercapai. Kadar laktat darah yang tinggi tidak hanya mencerminkan perfusi jaringan yang tidak adekuat, namun adanya metabolisme anaerob yang dapat disebabkan oleh disfungsi mitokondria. Sebaliknya, pada kelompok yang diresusitasi menggunakan protokol EGDT, dapat menghasilkan kadar laktat < 2 mmol/L. Meskipun secara statistik tidak bermakna, perbedaan kadar laktat ini dapat memiliki makna klinis tersendiri. Sesuai dengan penelitian Jansen dkk, peningkatan kadar laktat darah berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas.29,30 Resusitasi untuk menurunkan kadar laktat darah < 2 mmol/L dalam 24 jam akan menurunkan tingkat mortalitas.30 Tidak terdapatnya perbedaan parameter mikrosirkulasi yang bermakna di kedua kelompok ini dapat disebabkan karena kondisi komorbid subyek di kedua kelompok yang beragam. Parameter mikrosirkulasi menggambarkan oksigenasi jaringan secara umum. Oksigenasi jaringan yang adekuat tidak hanya dipengaruhi oleh pemberian cairan, namun juga dipengaruhi oleh ada tidaknya kondisi lain yang menyebabkan terjadinya disfungsi mitokondria, salah satunya yaitu sepsis. Dalam penelitian Suhendro, pasien KAD yang disertai dengan sepsis menunjukkan peningkatan kadar laktat yang mencerminkan terjadinya disfungsi mikrosirkulasi dan mitokondria sehingga ekstraksi oksigen di jaringan terganggu.7 Dalam penelitian ini terdapat nilai laktat yang ekstrim di kedua kelompok, yang Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 54 menunjukkan bahwa di kedua kelompok masih terdapat subjek yang oksigenasi jaringannya tidak baik, yang dapat disebabkan oleh berbagai kondisi komorbid yang menyertai KAD. Hal ini didukung dengan adanya faktor pencetus pada penelitian ini sebagian besar berupa infeksi. Adanya nilai laktat yang ekstrim di kedua kelompok dapat menyebabkan nilai median laktat dalam penelitian ini tidak menggambarkan sebagian besar nilai laktat subyek, dan perbedaan nilai laktat kedua kelompok menjadi tidak bermakna. 5.2.3 Jumlah Cairan yang diberikan dan Penggunaan Vasopresor di Kedua Kelompok Jumlah cairan yang diberikan selama 6 jam di kedua kelompok tidak berbeda bermakna secara statistik. Akan tetapi, jumlah cairan yang diberikan selama 72 jam di kelompok EGDT lebih besar dibandingkan kelompok kontrol, dan secara statistik bermakna (tabel 4.4). Sama seperti penelitian yang dilakukan oleh Rivers dan Jansen dkk, penggunaan EGDT dan laktat sebagai pedoman resusitasi cairan menghasilkan pemberian jumlah cairan yang lebih besar dibandingkan terapi standar.9,30 Jumlah subyek yang menggunakan vasopresor pada jam ke-6 sama di kedua kelompok. Selanjutnya pada jam ke-72, jumlah subyek yang menggunakan vasopresor di kelompok EGDT lebih sedikit dibandingkan kelompok kontrol. Akan tetapi perbedaan ini tidak bermakna secara statistik (tabel 4.5). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Trzeciak dkk, yaitu bahwa penggunaan vasopresor di kedua kelompok tidak berbeda bermakna, baik pada jam ke-6 maupun jam ke-72.56 5.3 Skor MSOFA Subyek di Kedua Kelompok Skor MSOFA yang dapat menggambarkan derajat disfungsi organ dinilai sebagai luaran terhadap resusitasi cairan yang dilakukan pada kedua kelompok. Skor MSOFA dinilai pada jam ke-0, jam ke-6, dan jam ke-72. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jones dkk, skor MSOFA pada jam ke-72 dapat memprediksi mortalitas pada pasien-pasien dengan penyakit kritis.57 Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 55 Median skor MSOFA di kedua kelompok baik pada jam ke-0, jam ke-6 maupun jam ke-72 tidak berbeda bermakna secara statistik (tabel 4.6). Hal ini dapat disebabkan karena resusitasi cairan menggunakan protokol KAD konvensional dan protokol EGDT tidak menghasilkan perbedaan parameter mikrosirkulasi yang bermakna (tabel 4.3). Kondisi mikrosirkulasi yang tidak berbeda di antara kedua kelompok ini dapat menjelaskan nilai skor MSOFA yang tidak berbeda di antara kedua kelompok. Dalam skor MSOFA, salah satu komponen yang dinilai ialah komponen kardiovaskular, dimana skor diberikan berdasarkan MAP dan penggunaan vasopresor. Dalam penelitian ini, penggunaan vasopresor di kedua kelompok tidak berbeda bermakna, baik selama 6 jam maupun 72 jam (tabel 4.5). Hal ini menyebabkan komponen kardiovaskular dari skor MSOFA tidak berbeda di antara kedua kelompok, sehingga dapat merupakan salah satu penyebab skor MSOFA di kedua kelompok tidak berbeda. Berdasarkan sebaran datanya, sebagian besar skor MSOFA kelompok EGDT pada jam ke-0 lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol (gambar 4.1). Pada jam ke-6, sebaran skor MSOFA kedua kelompok sama (gambar 4.2). Selanjutnya pada jam ke-72, sebaran skor MSOFA kelompok EGDT lebih kecil dibandingkan kelompok EGDT (gambar 4.3). Perbedaan sebaran data skor MSOFA jam ke-0 dan jam ke-72 menunjukkan bahwa sebagian besar skor MSOFA di kelompok EGDT mengalami penurunan dibandingkan kelompok kontrol, walaupun perbedaan ini tidak bermakna secara statistik. Selain skor MSOFA, penurunan skor MSOFA (∆ MSOFA) juga dapat digunakan untuk menggambarkan respons pasien terhadap terapi yang diberikan. Penelitian Ferreira dkk menemukan adanya hubungan antara ∆ MSOFA selama 72 jam dan tingkat mortalitas pasien penyakit kritis.33 Dalam penelitian ini ∆ MSOFA kedua kelompok, baik selama 6 jam maupun selama 72 jam tidak berbeda bermakna secara statistik (tabel 5.1). Tabel 5.1. Penurunan MSOFA (∆ MSOFA) di Kedua Kelompok ∆ MSOFA Kontrol EGDT p Jam ke 0-6, median (min-maks) 0 (-1 – 3) 0 (-1 – 3) 0,418* Jam ke 0-72, median (min-maks) 0 (-6 – 4 ) 1 (-5 – 5) 0,139* Jam ke 6-72, median (min-maks) 0 (-6 – 2) 1 (-5 – 4) 0,264* Uji normalitas menggunakan uji Saphiro-Wilk, dengan koreksi Lilieford significance * uji Mann Whitney Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 56 Tidak terdapatnya perbedaan skor MSOFA antara kedua kelompok dalam penelitian ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya ialah rentang skor MSOFA di masing-masing kelompok yang sangat lebar (tabel 5.2). Sesuai dengan penelitian Grissom dkk, skor MSOFA dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu skor 0-7 yang memiliki mortalitas 4%, skor 8-11 dengan tingkat mortalitas 31%, dan skor > 11 dengan tingkat mortalitas 58%.10 Dalam penelitian ini ditemukan skor MSOFA bervariasi di ketiga kelompok tersebut (tabel 5.2). Hal ini menunjukkan bahwa populasi terjangkau dalam penelitian ini memiliki kondisi yang beragam, yaitu KAD yang dapat disertai dengan berbagai kondisi komorbid. Selain itu sebagian besar skor MSOFA dalam penelitian ini berada pada kelompok 0-7, yang menunjukkan bahwa sebagian besar subyek berada pada kondisi ringan. Resusitasi yang dilakukan pada skor MSOFA yang rendah menyebabkan penurunan skor MSOFA yang tidak signifikan. Sesuai dengan penelitian Yealy dkk, EGDT yang dilakukan pada kelompok pasien dengan tingkat keparahan yang lebih rendah menyebabkan perbedaan tingkat mortalitas yang tidak bermakna.58 Tabel 5.2 Sebaran Skor MSOFA Subyek di Kedua Kelompok Skor MSOFA Jam ke-0, n (%) 0-7 8-11 >11 Jam ke-6, n (%) 0-7 8-11 >11 Jam ke-72, n(%) 0-7 8-11 >11 Secara Kontrol EGDT Total 11 (84,6%) 1 (7,7%) 1 (7,7%) 13 (100%) 0 0 24 (92,3%) 1 (3,8%) 1 (3,8%) 11 (84,6%) 1 (7,7%) 1 (7,7%) 12 (92,3%) 1 (7,7%) 0 23 (88,5%) 2 (7,7%) 1 (3,8%) 9 (69,2%) 4 (30,8%) 0 12 (92,3%) 1 (7,7%) 0 21 (80,8%) 5 (19,2%) 0 keseluruhan, skor MSOFA dalam penelitian ini mengalami peningkatan (tabel 5.2). Apabila dilihat berdasarkan kelompok perlakuannya, sebagian besar peningkatan skor MSOFA berasal dari kelompok kontrol. Terdapat 4 subyek (30,8%) dari kelompok kontrol dengan skor MSOFA 8-11 pada jam ke- Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 57 72, sedangkan pada kelompok EGDT hanya terdapat 1 subyek (7,7%) dengan skor MSOFA 8-11 pada jam ke-72. Skor MSOFA yang dinilai dalam penelitian ini memiliki 5 komponen, yaitu respirasi, hepar, kardiovaskuler, sistem saraf pusat dan ginjal. Resusitasi cairan yang diuji dalam penelitian ini dapat mempengaruhi penilaian kelima komponen tersebut. Akan tetapi tidak dapat disingkirkan pula bahwa terdapat faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi penilaian kelima komponen tersebut sehingga terjadi rentang skor MSOFA yang lebar di kedua kelompok. Berbeda dengan penelitian Rivers dkk yang dilakukan pada pasien dengan sepsis berat, subyek pada penelitian ini merupakan pasien KAD yang tidak selalu disertai dengan sepsis. Faktor lama pengamatan dalam penelitian ini juga perlu dipertimbangkan. Pengamatan dalam penelitian ini dilakukan dalam 72 jam sejak resusitasi dimulai. Dalam penelitian Halim dkk, komponen MSOFA yang dapat berubah secara signifikan dalam 72 jam setelah resusitasi ialah komponen respirasi, kardiovaskuler dan ginjal. Komponen MSOFA lain seperti hepar dan neurologis tidak menunjukkan perubahan yang signifikan dalam waktu 72 jam.37 Oleh karena itu dibutuhkan waktu pengamatan yang lebih lama untuk mendapatkan perubahan semua komponen MSOFA yang signifikan setelah resusitasi. Faktor lain yang perlu dipertimbangkan ialah penelitian ini dilakukan di RSCM yang merupakan rumah sakit pusat rujukan nasional. Pasien KAD yang menjadi subyek penelitian ini dapat merupakan rujukan dari rumah sakit atau pusat kesehatan lain. Hal ini menyebabkan pada saat resusitasi dimulai pasien dapat sudah berada pada kondisi lanjut. Sesuai penelitian yang dilakukan Otero dkk, skor fisiologis yang digunakan sangat tergantung dari waktu resusitasi mulai diperhitungkan.59 Oleh karena itu dibutuhkan penelitian lebih lanjut dengan populasi yang lebih homogen dan perhitungan awal resusitasi yang lebih tepat. Meskipun resusitasi cairan di kedua kelompok ini tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna akan tetapi terdapat kecenderungan penurunan skor MSOFA dan laktat pada kelompok yang mendapat resusitasi cairan berdasarkan kelompok EGDT. Hal ini disebabkan karena protokol EGDT tidak hanya menggunakan parameter makrosirkulasi, namun juga menggunakan parameter Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 58 mikrosirkulasi sebagai target akhir resusitasi yang ingin dicapai. Penggunaan parameter mikrosirkulasi ini akan mencerminkan keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen di tingkat seluler. Salah satunya ialah kadar laktat darah yang menggambarkan oksigenasi seluler. Penelitian-penelitian tentang keefektifan EGDT yang sudah dilakukan sebelumnya menunjukkan perbedaan yang bermakna pada kelompok pasien dengan tingkat keparahan yang tinggi, yaitu pada pasien sepsis berat dan syok sepsis.9,59 Oleh karena itu dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk menilai keefektifan EGDT pada kelompok pasien KAD yang memiliki kondisi awal yang berat. 5.4 Mortalitas Subyek dalam 28 hari di Kedua Kelompok Dalam 28 hari sejak proses inklusi penelitian terdapat 4 subyek yang meninggal dunia (tabel 4.7). Tiga subyek yang meninggal berasal dari kelompok kontrol, dan semuanya disebabkan oleh syok sepsis ireversibel. Satu subyek yang meninggal berasal dari kelompok EGDT dan disebabkan oleh ARDS. Hasil pemeriksaan parameter-parameter KAD keempat subyek tersebut sudah menunjukkan nilai normal. Keton darah subyek sudah mencapai nilai normal (< 0,6 g/dL), kadar gula darah < 200 g/dL dan pH darah arteri > 7,35 sejak jam ke-12 penelitian. Berdasarkan parameter mikrosirkulasinya keempat suyek tersebut memiliki ScvO2 < 70%, laktat > 2 mmol/L, dan P(cv-a)CO2 > 6 mmHg. Hal ini menunjukkan masih terjadinya ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen di jaringan sehingga mengakibatkan timbulnya hipoksia jaringan dan gangguan multiorgan. Skor MSOFA pada jam ke-72 keempat subyek tersebut juga lebih tinggi dibandingkan skor MSOFA pada awal penelitian. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa resusitasi cairan pada keempat subyek tersebut belum mampu mengatasi ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen sehingga menyebabkan gangguan multiorgan yang ditunjukkan dengan peningkatan skor MSOFA. Berdasarkan parameter-parameter KAD dan mikrosirkulasinya, penyebab kematian pada keempat subyek tersebut dapat diduga bukan berasal dari KAD itu sendiri, namun akibat faktor komorbid yang menyertainya. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wright dkk pada tahun 2009. Dalam penelitian Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 59 tersebut, angka kematian pada KAD berkisar dari 0-19%.52 Penyebab kematian pada pasien KAD dewasa dapat berupa berbagai hal, antara lain hipokalemia berat, ARDS, dan kelainan-kelainan komorbid yang menyertai KAD seperti pneumonia, infark miokard akut dan sepsis.52,60 Sepsis merupakan faktor komorbid penting pada KAD yang dapat meningkatkan angka mortalitas pada KAD.1 Dalam penelitian ini, penyebab kematian ketiga subyek dari kelompok kontrol disebabkan oleh syok sepsis, yang didukung oleh data bahwa faktor pencetus KAD pada subyek tersebut berupa infeksi. Tingkat mortalitas selama 28 hari pada kelompok EGDT lebih kecil dibandingkan kelompok kontrol, namun secara statistik tidak berbeda bermakna (tabel 4.7). Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Rivers dkk. Pada penelitian Rivers, strategi EGDT dapat menurunkan mortalitas selama 28 hari secara bermakna pada pasien dengan sepsis berat.9 Perbedaan ini dapat disebabkan karena pada penelitian Rivers, EGDT diterapkan pada populasi yang homogen, yaitu pasien dengan sepsis berat, sedangkan dalam penelitian ini populasi KAD yang menjadi subyek penelitian dapat memiliki kondisi yang beragam, mulai dari KAD dengan skor MSOFA yang rendah sampai KAD dengan skor MSOFA yang tinggi. Sama seperti penelitian yang dilakukan oleh Yealy dkk, EGDT yang diterapkan pada pasien syok sepsis di unit gawat darurat juga tidak memberikan perbedaan tingkat mortalitas yang bermakna secara statistik karena dalam penelitian tersebut, populasi yang menjadi subyek penelitian memiliki variasi kondisi klinis yang beragam. Oleh karena itu diperlukan penelitian lebih lanjut pada pasien KAD dengan subyek penelitian yang memiliki kondisi klinis lebih homogen, salah satunya yaitu dengan skor MSOFA yang tinggi. Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 1. Resusitasi cairan menggunakan protokol EGDT tidak lebih berhasil berdasarkan skor MSOFA dibandingkan protokol konvensional pada pasien KAD di IGD RSCM. 2. Nilai skor MSOFA di kedua kelompok memiliki sebaran tidak normal, sehingga tidak dapat ditampilkan dalam bentuk rerata. Median skor MSOFA antara kelompok pasien KAD yang diresusitasi cairan menggunakan protokol konvensional dan protokol EGDT pada jam ke-6 setelah resusitasi dimulai tidak berbeda bermakna. 3. Nilai skor MSOFA di kedua kelompok memiliki sebaran tidak normal, sehingga tidak dapat ditampilkan dalam bentuk rerata. Median skor MSOFA antara kelompok pasien KAD yang diresusitasi cairan menggunakan protokol konvensional dan protokol EGDT pada jam ke-72 setelah resusitasi dimulai tidak berbeda bermakna. 4. Tingkat mortalitas antara kelompok pasien KAD yang diresusitasi cairan menggunakan protokol konvensional dan protokol EGDT dalam 28 hari tidak berbeda bermakna. 6.2 Saran 1. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengevaluasi keberhasilan resusitasi cairan menggunakan protokol EGDT pada pasien KAD dengan waktu pengamatan yang lebih panjang. 2. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengevaluasi keberhasilan resusitasi cairan menggunakan protokol EGDT pada pasien KAD dengan jumlah sampel yang lebih besar. 3. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengevaluasi keberhasilan resusitasi cairan menggunakan protokol EGDT pada populasi KAD yang lebih homogen dengan nilai MSOFA yang tinggi atau dengan nilai laktat awal > 2 mmol/L. 60 Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 61 4. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengevaluasi keberhasilan resusitasi cairan menggunakan protokol EGDT pada pusat pelayanan primer. 5. Baik protokol KAD konvensional maupun protokol EGDT saat ini dapat digunakan sebagai pedoman dalam resusitasi cairan untuk mencegah terjadinya disfungsi organ dan menurunkan tingkat mortalitas pada pasien KAD. Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 DAFTAR REFERENSI 1. Soewondo P. Ketoasidosis diabetikum. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simandibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: FKUI; 2006. p. 1896-9. 2. Jones RE, Clement S. Diabetes mellitus. In: McDermott MT, editor. Endocrine secrets. 4th ed. New York: Elsevier; 2007. p. 652-5. 3. Joint British Diabetes Societies Inpatient Care Group. The management of diabetic ketoacidosis in adult. 2010 [diunduh 12 Oktober 2013]. Tersedia di: http://www.diabetes.org.uk 4. Chiasson JL, Jilwan NA, Belanger R, Bertrand S, Beauregard H, Ekoe JM, et al. Diagnosis and treatment of diabetic ketoacidosis and the hyperglycemic hyperosmolar state. CMAJ 2003;168(7):859-66. 5. American Diabetes Association. Hyperglycemic crises in patients with diabetes mellitus. Diabetes Care 2004;27(1):94-102. 6. Nasir A, Rani A, Soegondo S. Pedoman pelayanan medik ilmu penyakit dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2004. p. 367. 7. Suhendro. Disfungsi mikrosirkulasi, mitokondria, serta peran konsentrasi laktat serum sebagai prediktor mortalitas pada penderita ketoasidosis diabetik dengan sepsis. Universitas Indonesia, 2008. 8. Brealey D, Singer M. Multi-organ dysfunction in the critically ill: epidemiology, patophysiology and management. J R Coll Physicians Lond 2000;34:424-7. 9. Rivers E, Nguyen B, Havstad S, Ressler J, Muzzin A, Knoblich B, et al. Early goal-directed therapy in the treatment of severe sepsis and septic shock. N Engl J Med 2001;345(19):1368-76. 10. Grissom CK, Brown SM, Kuttler KG, Boltax JP, Jones J, Jephson AR, et al. A modified sequential organ failure assessment score for critical care triage. Disaster Med Public Health Prep 2010;4:277-84. 11. Silbernagl S, Lang F. Color atlas of pathophysiology. 3rd ed. New York: Thieme; 2000. p.286-91. 62 Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 63 12. Sherwood L. Human physiology: from cells to system. 2nd ed. Virginia: West; 1996. p. 564-73. 13. Gardner DG, Shoback D. Greenspan’s basic & clinical endocrinology. 8th ed. San Francisco: McGraw-Hill; 2007. p.1481-6 14. Watkins PJ. ABC of diabetes. 5th ed.. London: BMJ Books; 2003. p. 3746. 15. McLuckie A. Shock-an overview. In: Bersten AD, Soni N, editors. Oh’s intensive care manual. 6th ed. Philadelphia: Elsevier; 2009. p. 1362-7. 16. Nebout S, Pirrachio R. Should we monitor ScvO2 in critically ill patients? Cardiol Res Pract 2012;370697:1-7. 17. Pinsky MR. Goals of resuscitation from circulatory shock. In: Ronco C, Bellomo R, Brendolan A, editors. Sepsis, kidney and multiorgan dysfunction. Vol 144. Switzerland: Karger; 2007. p.167-82. 18. Kipnis E, Robin E, Vallet B. Refining the tools for early goal-directed therapy in septic shock. Yearbook 2009:205-18. 19. Haase N, Perner A. Central venous oxygen saturation in septic shock – a marker of cardiac output, microvascular shunting and/or dysoxia? Critical Care 2011;15:184-5. 20. Continuous ScvO2 monitoring with the presep oximetry catheter. 2008 [diunduh 12 Oktober 2013]. Tersedia di: http://www.Edwards.com/PreSep 21. Vallee F, Vallet B, Mathe O, Parraguette J, Mari A, Silva S, et al. Central venous-to-arterial carbon dioxide difference: an additional target for goaldirected therapy in septic shock? Intensive Care Med 2008;34(12):221825. 22. Futier E, Robin E, Jabaudon M, Guerin R, Petit A, Bazin JE, et al. Central venous O2 saturation and venous-to-arterial CO2 difference as complementary tools for goal-directed therapy during high-risk surgery. Critical Care 2010;14:193-205. 23. Troskot R, Simurina T, Zizak M, Majstorovic K, Marinac I, MrakovcicSutic I. Prognostic value of venoarterial carbon dioxide gradient in patients with severe sepsis and septic shock. Croat Med J 2010;5:501-8. Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 64 24. Neviere R, Chagnon JL, teboul JL, Vallet B, Wattel F. Small intestine intramucosal PCO2 and microvascular blood flow during hypoxic and ischemic hypoxia. Crit Care Med 2002;30:379-84. 25. Silva Jr JM, Oliveira AMR, Segura JL, Ribeiro MH, Sposito CN, Toledo D, et al. Large venous-arterial PCO2 is associated with poor otcomes in surgical patients. Anesthesiol Res Pract 2011;75792:1-8. 26. Kompanje EJO, Jansen TC, van der Hoven B, Bakker J. The first demonstration of lactic acid in human blood in shock by Johann Joseph Scherer (1814-1869) in January 1843. Intensive Care Med 2007;33(11):1967-71. 27. Blomkalns AL. Lactate-a marker for sepsis and trauma. 2007 [diunduh 12 Oktober 2013]. Tersedia di: http://www.emcreg.org 28. Jansen TC. Lactat revisited: is lactate monitoring beneficial for ICU patients? Neth J Crit Care 2011;15(1):16-36. 29. Jansen TC, van Bommel J, Bakker J. Blood lactate monitoring in critically ill patients: a systematic health technology assessment. Crit Care Med 2009;37(10):2827-39. 30. Jansen TC, van Bommel J, Schoonderbeek FJ, Visser SJS, van der Klooster JM, Lima AP, et al. Early lactate-guided therapy in ICU patients: a multicenter, open-label, randomized controlled trial. Am J Respir Crit Care Med 2010;182:752-61. 31. Jansen TC, van Bommel J, Mulder PG, Rommes JH, Schieveld SJM, Bakker J. The prognostic value of blood lactate levels relative to that of vital signs in the pre-hospital setting: a pilot study. Crit Care 2008;12(6):160-73. 32. Vincent JL, Moreno R, Takala J, Willatts S, De Mendonca A, Bruining H, et al. The SOFA (Sepsis-related Organ Failure Assesment) score to describe organ dysfunction/failure. Intensive Care Med 1996;22:707-10. 33. Ferreira FL, Bota DP, Bross A, Melot C, Vincent JL. Serial evaluation of the SOFA score to predict outcome in critically ill patients. JAMA 2001;286:1754-8. Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 65 34. Minne L, Abu-Hanna A, de Jonge E. Evaluation of SOFA-based models for predicting mortality in the ICU: a systematic review. Critical Care 2008;12(6):425-32. 35. Vincent JL, Ferreira F, Moreno R. Scoring system for assessing organ dysfunction and survival. Critical Care Clinics 2000;16(2):353-66. 36. Vincent JL, de Mendoca A, Cantraine F, Moreno R, Takala J, Suter P, et al. Use of the SOFA score to assess the incidence of organ dysfunction/failure in intensive care units: results of a multicenter, prospective study. Crit Care Med 1998;26:1793-800. 37. Halim DA, Murni TW, Redjeki IS. Comparison of APACHE II, SOFA, and Modified SOFA scores in predicting mortality of surgical patients in intensive care unit at dr. Hasan Sadikin general hospital. Crit Care & Shock 2009;12:157-69. 38. Kitabchi AE, Umpierrez GE, Miles JM, Fisher JN. Hyperglycemic crises in adult patients with diabetes. Diabetes Care 2009;32(7):1335-43. 39. National kidney foundation. KDQI clinical practice guidelines for chronic kidney disease: evaluation, classification, and stratification. 2002 [diunduh 26 Desember 2013]. Tersedia di: http:// www.kidney.org 40. Remme WJ, Swedberg K. Guidelines for the diagnosis and treatment of chronic heart failure. Eur Heart J 2001;22:1527-60. 41. National Digestive Diseases Information Clearinghouse (NDDIC). Cirrhosis of the liver. NIH Publication 2003;2:1104-34. 42. Raslan A, Bhardwaj A. Medical management of cerebral edema. Neurosurg Focus 2007;22(5):1-12. 43. Kapoor MC. Negative pressure pulmonary oedema. Indian J Anaesth 2011;55(1):10-1. 44. Feingold KR, Funk JL. Disorders of the endocrine pancreas. In: McPhee SJ, Lingappa VR, Ganong WF, Lange JD, editors. Pathophysiology of disease, an introduction. 3rd ed. New York: McGraw-Hill; 2006. p. 43954. 45. Centers for Disease Control and Prevention. Glasgow coma scale. 2003 [diunduh 18 Desember 2013]. Tersedia di: http://www.bt.cdc.gov Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 66 46. Saphiro DS, Loiacono LA. Mean arterial pressure: therapeutic goals and pharmacologic support. Crit Care Clin 2010;26:285-93. 47. Izakovic M. Central venous pressuical use in cardiovascularre – evaluation, interpretation, monitoring, clinical implications. Bratisl lek Listy 2008;109 (4):185-7. 48. Overgaard CB, Dzavik V. Inotropes and vasopressors: review of physiology and clinical use in cardiovascular disease. Circulation 2008;118:1047-56. 49. Johnson DD, Palumbo PJ, Chu CP. Diabetic ketoacidosis in a communitybased population. Mayo Clin Proc 1980;55(2):83-8. 50. Hilson R. National diabetes audit executive summary 2009-2010. 2011 [diunduh 18 Desember 2013]. Tersedia di: http://www.hqip.org.uk 51. Al-Rubeaan KA, Aftab SA, Alotaibi MS, Alghamdi AA, Rafiullah MR. Clinico-laboratory characteristics of diabetic keto acidosis in adults in a tertiary hospital in saudi arabia. European Review for Medical and Pharmacological Sciences 2011;15:1202-6. 52. Wright J, Ruck K, Rabbits R, Charlton M, De P, Barrett T, et al. Diabetic ketoacidosis (DKA) in birmingham, UK, 2000-2009:an evaluation of risk factors for reccurrence and mortality. Br J Diabetes Vasc Dis 2009;9:27882. 53. Chu CH, Lee JK, Lam HC, Lu CC. The occurrence of diabetic ketoacidosis in type 2 diabetic adults. 1998 [diunduh 21 Februari 2014]. Tersedia di: http//www.tsim.org.tw/journal/jour10-6 54. Newton CA, Raskin P. Diabetic ketoacidosis in type 1 and type 2 diabetes mellitus, clinical and biochemical differences. Arch Intern Med 2004;164:1925-31. 55. Lin SF, Lin JD, Huang YY. Diabetic ketoacidosis: comparisons of patient characteristics, clinical presentations, and outcomes today and 20 years ago. Chang gung Med J 2005;28(1):24-30. 56. Trzeciak S, Dellinger P, Abate NL, Cowan R, Stauss M, Kilgannon H, et al. Translating research to clinical practice: a 1-year experience with Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 67 implementing early goal-directed therapy for septic shick in the emergency department. CHEST 2006;129:225-32. 57. Jones AE, Trzeciak S, Kline JA. The sequential organ failure assessment score for predicting outcome in patients with severe sepsisand evidence of hypoperfusion at the time of emergency departement presentation. Crit Care Med 2009;37(5):1649-54. 58. Yealy DM, Kellum JA, Huang DT, Barnato AE, Weissfeld LA, Pike F, et al. A randomized trial of protocol-based care for early septic shock. N Engl J Med 2014;370:1683-93. 59. Otero R, Nguyen HB, Huang DT, Caieski DF, Goyal M, Gunnerson KJ, et al. Early goal-directed therapy in severe sepsis and septic shock revisited. CHEST 2006;130:1579-95. 60. Hamblin PS, Topliss DJ, Chosich N, Lording DW, Stockigt JR. Death associated with diabetic ketoacidosis and hyperosmolar coma, 1973-1988. Med J Aust 1989;151:439-44. Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 Lampiran 1: Lembar Informasi Penelitian Perbandingan Keberhasilan Resusitasi Cairan antara Protokol EGDT dan Konvensional pada Pasien Ketoasidosis Diabetikum di Instalasi Gawat Darurat RSCM: Kajian terhadap Rerata Nilai Skor MSOFA Kepada Yth: Bapak dan Ibu pasien IGD-RSCM Salam sejahtera bagi kita semua Saya, dr. Meliana Siswanto, peserta program pendidikan dokter spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, saat ini sedang mengadakan penelitian tentang perbandingan efek pengobatan ketoasidosis diabetikum (KAD) antara protokol konvensional dengan protokol Early Goal Directed Therapy (EGDT), yang menggunakan pemantauan keseimbangan oksigen di dalam tubuh untuk panduan pemberian cairan. Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan keefektifan protokol pemberian cairan yang baru dibandingkan dengan protokol yang lama. Protokol pemberian cairan pada KAD selama ini masih memiliki banyak kekurangan, diantaranya adalah tidak terdeteksinya kekurangan cairan secara dini karena pemberian cairan hanya berdasarkan pemantauan tanda-tanda vital saja yang kurang menggambarkan kondisi sel-sel dalam tubuh yang kekurangan oksigen. Deteksi kekurangan cairan yang lambat diketahui dan diterapi, akan menyebabkan gangguan fungsi organ-organ di dalam tubuh seperti ginjal, jantung, otak dan hati, serta memperpanjang lama rawat di rumah sakit. Sampai saat ini, pedoman EGDT telah banyak digunakan pada pasienpasien kritis untuk mencegah terjadinya gangguan organ lebih lanjut dan menurunkan angka kematian di rumah sakit. Dalam pedoman EGDT ini, pemberian cairan tidak hanya berdasarkan pemantauan tanda-tanda vital saja, akan tetapi juga memperhatikan parameter-parameter keseimbangan oksigen di dalam tubuh melalui hasil pemeriksaan laboratorium secara ketat selama 6 jam pertama. Dengan menggunakan pedoman EGDT ini, diharapkan kekurangan atau kelebihan pemberian cairan pada pasien KAD tidak terjadi, sehingga lama perawatan di rumah sakit akan lebih singkat. Penelitian ini bersifat sukarela, Bapak/Ibu berhak untuk keluar dari penelitian ini sewaktu-waktu. Selama penelitian berlangsung Bapak/Ibu tidak dibebankan biaya tambahan. Identitas Bapak/Ibu akan senantiasa dirahasiakan, baik selama penelitian, setelah penelitian dan pada saat hasil penelitian ini diikutsertakan dalam dipublikasikan. Apabila Bapak/Ibu bersedia untuk penelitian ini, maka kami akan mohon kesediaannya untuk dapat menandatangani surat persetujuan penelitian. Bila terdapat pertanyaan, bapak dan ibu dapat menghubungi saya di Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, Public Wing Gedung Staf FKUIRSCM lantai 6, atau melalui telepon dr. Meliana Siswanto 081348624295. Hormat saya, Dr. Meliana Siswanto PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI-RSCM 68 Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 Lampiran 2: Surat Persetujuan Surat Persetujuan Partisipasi dalam Penelitian Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Usia : Jenis Kelamin : Alamat : Setelah mendengar dan membaca penjelasan mengenai tujuan dan manfaat serta resiko penelitian, menyatakan dengan sukarela memberikan : PERSETUJUAN Pada diri saya sendiri/suami/istri/anak/ayah/ibu/keluarga saya: Nama : Usia : Jenis Kelamin : Alamat : No. Rekam Medik : untuk diikutsertakan dalam penelitian yang dilakukan oleh dr. Meliana Siswanto, yang berjudul: Perbandingan Keberhasilan Resusitasi Cairan antara Protokol EGDT dan Konvensional pada Pasien Ketoasidosis Diabetikum di Instalasi Gawat Darurat RSCM: Kajian terhadap Rerata Nilai Skor MSOFA Bila sewaktu-waktu saya/keluarga saya merasa dirugikan dalam bentuk apapun, berhak mengundurkan diri dari penelitian ini. Jakarta, / / 2013 Peneliti Yang membuat pernyataan dr. Meliana Siswanto ( ) 69 Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 Lampiran 3: Surat Keterangan Lolos Kaji Etik 70 Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 Lampiran 4: Formulir Seleksi Perbandingan Keberhasilan Resusitasi Cairan antara Protokol EGDT dan Konvensional pada Pasien Ketoasidosis Diabetikum di Instalasi Gawat Darurat RSCM: Kajian terhadap Rerata Nilai Skor MSOFA Tanggal pemeriksaan : Nama : Kriteria Inklusi : YA TIDAK 1. Pasien KAD usia 18-70 tahun. Kriteria Diagnosis KAD : o Gula darah sewaktu saat masuk rumah sakit >250 mg/dL o Keton darah positif atau > 0.6 o pH darah arteri <7.35 dan/atau HCO3 <18 meq/L dan/atau anion gap >10 meq/L 2. Pasien atau keluarga yang mewakili menyatakan bersedia secara tertulis untuk subyek diikutsertakan dalam penelitian Kriteria Eksklusi 1. : YA TIDAK Pasien dengan gagal ginjal kronik stadium 5 on hemodialisis atau pasien gagal ginjal kronik dengan restriksi cairan atau GFR<15 ml/mnt 2. Dekompensasio kordis 3. Infark miokard akut dengan tanda-tanda dekompensasio kordis 4. Cedera kepala dengan tanda-tanda edema serebri 5. Terdapat kontraindikasi pemasangan kateter vena sentral pada pasien 6. Sirosis hepatis 7. Peningkatan tekanan intrakranial (TIK) karena adanya Space Occupying Lesion (SOL) Kesimpulan : DAPAT / TIDAK DAPAT diikutsertakan sebagai subyek penelitia 71 Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 Lampiran 5: Formulir Penelitian Perbandingan Keberhasilan Resusitasi Cairan antara Protokol EGDT dan Konvensional pada Pasien Ketoasidosis Diabetikum di Instalasi Gawat Darurat RSCM: Kajian terhadap Rerata Nilai Skor MSOFA 1. Registrasi No. Sampel : Tanggal pemeriksaan : 2. Identitas No. Rekam medik : Nama : Tanggal lahir Usia : Jenis Kelamin : laki-laki Berat badan : ________kg perempuan No telp yang dapat dihubungi: 3. Tipe DM : Tipe I Tipe II Tipe lain DM Gestasional 4. Pencetus KAD : Infeksi : ___________ Penghentian terapi DM Lain-lain 5. Kelompok perlakuan : A (Kontrol) / B (Perlakuan) 6. Follow up hari ke-28 : Hidup Meninggal 72 Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 Lanjutan Formulir Penelitian KAD (Protokol KAD Konvensional) Jam ke Pukul GCS Ikterik (+/-) Tekanan darah (mmHg) MAP CVP Frekuensi Nadi (x/menit) Frekuensi napas (x/menit) SpO2 (%) FiO2 (%) Produksi urine (cc/kg/jam) Jumlah cairan (cc) GDS (g/dL) 0 Keton PH arteri PCO2 gap PCO2 arteri ScvO2 Laktat Ureum Creatinin Insulin (u/jam) Vasopresor (mcg/kg/menit) Skor MSOFA Efek samping : - edema paru : ya - pneumotoraks : ya 1 2 3 4 5 6 tidak tidak 73 Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 12 24 48 72 Lanjutan Formulir Penelitian KAD (Protokol EGDT) Jam ke Pukul GCS Ikterik (+/-) Tekanan darah (mmHg) MAP CVP Frekuensi Nadi (x/menit) Frekuensi napas (x/menit) SpO2 (%) FiO2 (%) Produksi urine (cc/kg/jam) Jumlah cairan (cc) GDS (g/dL) 0 Keton PH arteri PCO2 gap PCO2 arteri ScvO2 Laktat Ureum Creatinin Insulin (u/jam) Vasopresor (mcg/kg/menit) Skor MSOFA Efek samping : - edema paru : ya - pneumotoraks : ya 1 2 3 4 5 6 tidak tidak 74 Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 12 24 48 72 Lampiran 6: Protokol KAD Konvensional Protokol Penatalaksanaan KAD dengan Cairan, Insulin dan Bikarbonat Sesuai Panduan Pelayanan Medik RSCM Jam ke Pemberian cairan 0 Insulin Koreksi Kalium Koreksi bikarbonat 2 kolf dalam ½ jam, Bila pH: selanjutnya ½ kolf <7 : 100 meq dalam 1 jam 7-7,1 : 50 meq >7,1 : tidak diberikan Pada jam ke-2: 1 2 kolf 50 meq/6 jam Bolus 180mU/kgBB dilanjutkan dengan drip insulin 90 mU/kgBB/jam 2 1 kolf 3 2 kolf 4 ½ kolf 5 ½ kolf 6 dalam cairan resusitasi Bila kadar K Bila GDS<200, kecepatan <3 : 75meq/6jam dikurangi menjadi 3-4,5 : 50 meq/6jam 45mU/kgBB/jam. 4,5-6 : 25 meq/6jam Bila GDS stabil (200- >6 300mg%) selama 12 jam diberikan : tidak dilakukan drip insulin 1-2 U perjam, dan sliding scale tiap 6 jam. dan seterusnya Dosis insulin subkutan: <200 mg% tergantung kebutuhan 200-250 5U 250-300 10U 300-350 15U >350 20U Bila GDS<200, ganti dengan Dextrose Setelah sliding tiap 6 jam Bila sudah sadar kenaikan pH akan 5% dapat dihitung kebutuhan dapat dberikan diikutin penurunan K, insulin per hari Kalium oral selama oleh karena itu semingu pemberian bikarbonat disertai dengan pemberian kalium. 75 Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 Lampiran 7: Protokol EGDT Protokol Penelitian Pemberian Cairan pada KAD Berdasarkan Strategi EGDT 76 Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 Lampiran 8: Skor MSOFA Skor Modified Sequential Organ Failure Assessment (MSOFA) Sistem Organ Respirasi (SpO2/FiO2) Hepar Kardiovaskuler Sistem saraf pusat (GCS) Ginjal (creatinine, mg/dL) 0 1 2 3 4 > 400 ≤ 400 ≤ 315 ≤ 235 ≤ 150 Ikterus (-) Ikterus (-) Ikterus (-) Tidak hipotensi MAP <70 mmHg Dop atau dobu≤ 5 Ikterus (+) Dop >5, epi ≤ 0.1, norepi ≤ 0.1 Ikterus (+) Dop >15, epi > 0.1, norepi > 0.1 15 13-14 10-12 6-9 <6 <1.2 1.2-1.9 2-3.4 3.5-4.9 >5 *Dop: dopamin, dobu: dobutamin, epi: epinefrin, norepi: norepinefrin, dosis dalam μg/kgBB/menit 77 Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 Lampiran 9: Formulir Pengunduran Diri FORMULIR PENGUNDURAN DIRI Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Usia : Jenis Kelamin : Alamat : Menyatakan untuk : MENGUNDURKAN DIRI dari penelitian yang dilakukan pada diri saya sendiri/suami/istri/anak/ayah/ibu/ keluarga saya: Nama : Usia : Jenis Kelamin : Alamat : No. Rekam Medik: Demikian surat pernyataan ini dibuat untuk dapat dipergunakan sebaik-baiknya Jakarta, / / 2013 Yang membuat pernyataan ( ) 78 Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014 Lampiran 10: Formulir Pelaporan Subyek terhadap Efek Samping 79 Universitas Indonesia Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014