universitas indonesia perbandingan keberhasilan resusitasi cairan

advertisement
UNIVERSITAS INDONESIA
PERBANDINGAN KEBERHASILAN RESUSITASI CAIRAN
ANTARA PROTOKOL EGDT DAN KONVENSIONAL
PADA PASIEN KETOASIDOSIS DIABETIKUM
DI INSTALASI GAWAT DARURAT RSCM:
KAJIAN TERHADAP RERATA NILAI SKOR MSOFA
TESIS
MELIANA SISWANTO
1006767203
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
PROGRAM STUDI ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. CIPTO MANGUNKUSUMO
JAKARTA
JUNI 2014
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
UNIVERSITAS INDONESIA
PERBANDINGAN KEBERHASILAN RESUSITASI CAIRAN
ANTARA PROTOKOL EGDT DAN KONVENSIONAL
PADA PASIEN KETOASIDOSIS DIABETIKUM
DI INSTALASI GAWAT DARURAT RSCM:
KAJIAN TERHADAP RERATA NILAI SKOR MSOFA
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Dokter
Spesialis Anestesi
MELIANA SISWANTO
1006767203
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
PROGRAM STUDI ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. CIPTO MANGUNKUSUMO
JAKARTA
JUNI 2014
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang
dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
Meliana Siswanto
NPM
Tanda Tangan
Tanggal
Univercitas lndonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
HALAMAN PENGESAHAN
Nama
Meliana Siswanto
1006767203
Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif
Judul
Perbandingan Keberhasilan Resusitasi Cairan antara Protokol
EGDT dan Konvensional pada Pasien Ketoasidosis Diabetikum di Instalasi Gawat
Darurat RSCM: Kajian terhadap Rerata Nilai Skor MSOFA
NPM
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai
bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Dokter Spesialis
Anestesiologi pada Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas
Kedokteran, Universitas Indonesia.
PEMBIMBTNG
Pembimbing I
Pembimbing
Il
dr. Dita Aditianingsih, Sp.An-KIC
dr. Yohanes W George, Sp.An-KIC
PENGUJI
Penguji
dr. Rudyanto Sedono, Sp.An-KIC
Penguji
dr. Pryambodho, Sp.An-KAR
Penguji
dr. Adhrie Sugiarto, Sp.An-KIC
Ditetapkan
di
Tanggal
.--..--
: Jakarta
:4 Juni2014
ilt
Universitas lndonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
KATA PENGANTAR
Puji Syukur saya panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya saya dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Penulisan tesis penelitian ini
dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat dalam mencapai gelar Dokter
Spesialis Anestesiologi pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Saya mengucapkan terimakasih kepada:
1.
Dr. dr. Ratna Sitompul, SpM-K, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia atas kesempatan dan kepercayaan yang diberikan kepada
penulis.
2.
dr. Aries Perdana, SpAn-K, Kepala Departemen Anestesiologi dan
Terapi Intensif FKUI/RSCM atas fasilitas yang diberikan kepada penulis,
dr.Ratna Farida S, SpAn-K, Ketua Program Studi Program Pendidikan
Dokter Spesialis I Anestesiologi & Terapi Intensif FKUI/RSCM dan
dr. Ahdrie Sugiarto, SpAn, Sekertaris Program Studi Pendidikan Dokter
Spesialis Anestesiologi & Terapi Intensif FKUI/RSCM atas perhatian
kepada penulis
3.
dr.
Dita
Aditianingsih,
SpAn-KIC,
Pembimbing
I
yang
telah
menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam
penyusunan tesis ini.
4.
dr. Yohanes WH George, SpAn-KIC, Pembimbing II yang telah
membantu dan mengarahkan saya dalam penyusunan tesis ini.
5.
dr. Em Yunir, SpPD-KEMD, sebagai Kepala Divisi Endokrin dan
Metabolik Departemen Ilmu Penyakit Dalam yang telah membantu saya
dalam penyusunan tesis ini.
6.
dr. Dante Saksono, SpPD-KEMD, PhD, sebagai pembimbing dari Divisi
Endokrin dan Metabolik Departemen Ilmu Penyakit Dalam yang telah
membantu saya dalam penyusunan tesis ini.
7.
dr. Andi Ade Wijaya, SpAn-K, Kepala IGD RSCM dan seluruh tim IGD
RSCM yang telah membantu saya dalam pelaksanaan penelitian ini.
8.
Teman-teman residen Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI/RSCM
atas segala bantuan selama berlangsungnya penelitian ini.
iv
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
9.
Kepada ayah dan ibu saya Bayu Siswanto dan drg. Susianti Tanuwidjaja
serta kakak saya dr. Carolina Siswanto yang selalu memberikan doa dan
dukungan kepada saya selama penyusunan tesis ini.
10. Kepada suami saya, dr. Irwin Tedja yang telah membantu dan
memberikan dukungan kepada saya selama penyusunan tesis ini.
Akhir kata saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas
segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga penelitian ini dapat
bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan
Jakarta,
Juni 2014
Meliana Siswanto
v
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS
AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan
di
bawah ini:
Nama
Meliana Siswanto
NPM
1006767203
Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas
Kedokteran
Jenis Karya
Tesis
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklu sif (Non-exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
Perbandingan Keberhasilan Resusitasi Cairan antara Protokol EGDT dan
Konvensional pada Pasien Ketoasidosis Diabetikum di Instalasi Gawat Darurat
RSCM: Kajian terhadap Rerata Nilai Skor MSOFA
Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif
ini
Universitas Indonesia berhak
menyimpan, mengalihmedia, mengelola daram bentuk pangkalan data (databose),
merawat, dan mempublikasikan tulisan saya selama tetap mencantumkan nama
saya sebagai penulis dan sebagai pemilik hak cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya
Dibuat di: Jakarta
Pada tanggal: 4 Juni 2014
Yang Menyatakan
,lth{
\J' 'r
(Meliana Siswanto)
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
ABSTRAK
Nama
: Meliana Siswanto
Program Studi : Anestesiologi dan Terapi Intensif
Judul
: Perbandingan Keberhasilan Resusitasi Cairan antara Protokol
EGDT dan Konvensional pada Pasien Ketoasidosis Diabetikum di Instalasi Gawat
Darurat RSCM: Kajian terhadap Rerata Nilai Skor MSOFA
Latar Belakang: Ketoasidosis diabetikum (KAD) merupakan salah satu
komplikasi akut diabetes mellitus (DM) yang serius dengan tingkat mortalitas
yang tinggi. Salah satu terapi yang penting pada KAD ialah resusitasi cairan.
Protokol KAD yang ada selama ini menggunakan parameter makrosirkulasi,
sedangkan pada KAD juga dapat terjadi disfungsi mikrosirkulasi. Protokol Early
Goal Directed Therapy (EGDT) menggunakan parameter mikrosirkulasi untuk
menggambarkan keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen jaringan. Penelitian
kali ini bertujuan untuk membandingkan keberhasilan resusitasi cairan antara
kelompok KAD yang menggunakan protokol konvensional dan protokol EGDT
dengan skor MSOFA sebagai parameter keberhasilan tersebut.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis tersamar tunggal dengan randomisasi
pada pasien KAD di IGD RSCM pada bulan Desember 2013 sampai Maret 2014.
Pasien dibagi menjadi kelompok kontrol dan kelompok EGDT berdasarkan tabel
randomisasi, kemudian masing-masing kelompok diresusitasi cairan
menggunakan protokol konvensional dan protokol EGDT. Kedua kelompok
mendapatkan terapi KAD lainnya yang sama. Skor MSOFA dihitung pada jam
ke-0, jam ke-6 dan jam ke-72 perawatan.
Hasil: Sebanyak 26 subjek diikutsertakan dalam penelitian ini, dengan 13 subjek
di masing-masing kelompok. Tidak didapatkan perbedaan skor MSOFA yang
bermakna diantara kedua kelompok pada jam ke-6 dan jam ke-72, namun
berdasarkan sebarannya, skor MSOFA di kelompok EGDT lebih menurun
dibandingkan kelompok kontrol. Tidak terdapat perbedaan tingkat mortalitas
selama 28 hari di kedua kelompok (RR 0,333; IK 95% 0,04-2,801; p = 0,593).
Kesimpulan: Belum terdapat perbedaan skor MSOFA dan tingkat mortalitas yang
bermakna antara protokol KAD konvensional dan protokol EGDT.
Kata Kunci: EGDT, KAD, MSOFA, resusitasi cairan
vii
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
ABSTRACT
Name
: Meliana Siswanto
Study Program
: Anesthesiology and Intensive Care
Title
: Comparison of the Fluid Resuscitation Successfullness
between Conventional and EGDT Protocol in Diabetic Ketoacidosis Patients in
Emergency Room of Ciptomangunkusumo Hospital: Study of the Mean MSOFA
Score
Background: Diabetic ketoacidosis (DKA) is one of the serious complication of
diabetes mellitus (DM) with high mortality rate . One important therapy in DKA
is fluid resuscitation. DKA protocol that recently used, is guided by
macrocirculation parameters, whereas microcirculation dysfunction can occur in
DKA. Early Goal Directed Therapy Protocol (EGDT) uses microcirculation
parameters to describe the balance of tissue oxygen supply and demand. The aim
of this study aimed to compare the success of DKA fluid resuscitation between the
groups using conventional protocols and EGDT protocol with MSOFA score as
the parameter.
Methods: This study was a single-blind randomized clinical trial of DKA patients
in the Emergency Room of Ciptomangunkusumo Hospital from December 2013 to
March 2014. Patients were divided into control and EGDT group based on
computerized randomization, then each group was resuscitated using a
conventional and EGDT protocol. Both groups received the same other DKA
treatment. MSOFA score is calculated at the beginning of this study, 6th hour and
72nd hour.
Results: A total of 26 subjects enrolled in this study, with 13 subjects in each
group. There were no significant differences between the two groups in the 6th
and 72nd hour, but based on the distribution, MSOFA score in EGDT group was
more decreased compared to the control group. There were no significant
differences of the mortality within 28 days between two groups (RR 0.333; 95 %
CI 0.04- 2.801, p = 0.593)
Conclusions: There were no significant differences of MSOFA scores dan the
mortality within 28 days between conventional DKA protocol and EGDT
protocol.
Keywords: DKA, EGDT, MSOFA, fluid resuscitation
viii
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………….
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS…………………………...
HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………
KATA PENGANTAR………………………………………………………
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI…………….
ABSTRAK………………………………………………………………......
ABSTRACT…………………………………………………………………..
DAFTAR ISI………………………………………………………………...
DAFTAR TABEL…………………………………………………………...
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………..
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………..
DAFTAR TANDA DAN SINGKATAN…………………………………...
i
ii
iii
iv
vi
vii
viii
ix
xi
xii
xiii
xiv
1.
PENDAHULUAN……………………………………………………..
1.1 Latar Belakang Masalah…………………………………………...
1.2 Perumusan Masalah………………………………………………..
1.3 Pertanyaan Penelitian………………………………………………
1.4 Hipotesis…………………………………………………………...
1.5 Tujuan Penelitian…………………………………………………..
1.5.1 Tujuan Umum………………………………………………
1.5.2 Tujuan Khusus……………………………………………...
1.6 Manfaat Penelitian…………………………………………….......
1
1
3
3
3
4
4
4
4
2.
TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………
2.1 Ketoasidosis Diabetikum………………………………………….
2.1.1 Definisi dan Patofisiologi Ketoasidosis Diabetikum………
2.1.2 Tatalaksana Ketoasidosis Diabetikum……………………..
2.2 Resusitasi Mikrosirkulasi …………………………………………
2.3 Skor Modified sequential Organ Failure Asssesment (MSOFA)....
2.4 Kerangka Teori……………………………………………………
2.5 Kerangka Konsep………………………………………………….
5
5
5
8
11
21
24
25
3.
METODOLOGI PENELITIAN……………………………………...
3.1 Desain Penelitian………………………………………………….
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian……………………………………..
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian……………………………….......
3.4 Kriteria Inklusi, Eksklusi, dan Pengeluaran……………………….
3.4.1 Kriteria Inklusi……………………………………………..
3.4.2 Kriteria Eksklusi…………………………………………...
3.4.3 Kriteria Pengeluaran……………………………………….
3.5 Besar Sampel……………………………………………………...
3.6 Cara Pengambilan Sampel………………………………………...
3.7 Alokasi Sampel……………………………………………………
26
26
26
26
26
26
26
27
27
27
28
ix
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
3.8 Cara Kerja Penelitian……………………………………………...
3.9 Analisis Data…………………………………………………..
3.10 Batasan Operasional………………………………………………
3.11 Etika……………………………………………………………….
28
33
33
41
HASIL PENELITIAN………………………………………………...
4.1 Karakteristik Subyek Penelitian…………………………………...
4.2 Parameter Makrosirkulasi, Mikrosirkulasi, Jumlah Cairan yang
Diberikan dan Penggunaan Vasopresor di Kedua Kelompok……..
4.2.1 Parameter Makrosirkulasi Subyek Penelitian di Kedua
Kelompok…..........................................................................
4.2.2 Parameter Mikrosirkulasi Subyek Penelitian di Kedua
Kelompok………………………………………………….
4.2.3 Jumlah Cairan dan Penggunaan Vasopresor di Kedua
Kelompok…………….…………………………………….
4.3 Skor MSOFA Subyek di Kedua Kelompok……………………….
4.4 Mortalitas Subyek dalam 28 Hari pada Kedua Kelompok………..
42
42
PEMBAHASAN……………………………………………………….
5.1 Karakteristik Subyek Penelitian…………………………………...
5.2 Parameter Makrosirkulasi, Mikrosirkulasi, Jumlah Cairan yang
Diberikan dan Penggunaan Vasopresor di Kedua Kelompok……..
5.2.1 Parameter Makrosirkulasi Subyek Penelitian di Kedua
Kelompok…..........................................................................
5.2.2 Parameter Mikrosirkulasi Subyek Penelitian di Kedua
Kelompok………………………………………………….
5.2.3 Jumlah Cairan dan Penggunaan Vasopresor di Kedua
Kelompok…………….…………………………………….
5.3 Skor MSOFA Subyek di Kedua Kelompok……………………….
5.4 Mortalitas Subyek dalam 28 Hari pada Kedua Kelompok………..
50
50
KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………….
6.1 Kesimpulan………………………………………………………..
6.2 Saran………………………………………………………………
60
60
60
DAFTAR REFERENSI……………………………………………………
62
4.
5.
6.
43
43
44
45
46
49
51
51
52
54
54
58
x
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Petunjuk Pemberian Insulin Berdasarkan Kadar Gula Darah…….
Tabel 2.2. Skor Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) …………….
Tabel 2.3. Skor Modified Sequential Organ Failure Assessment (MSOFA)...
Tabel 3.1. Protokol Penatalaksanaan KAD dengan Cairan, Insulin dan
Bikarbonat Sesuai Panduan Pelayanan Medik RSCM....................
Tabel 3.2. Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik ………………………………….
Tabel 3.3. Penilaian Glasgow Coma Scale (GCS)…………………………...
Tabel 4.1. Karakteristik Subyek Penelitian…………………………………..
Tabel 4.2. Parameter Makrosirkulasi Subyek Penelitian di Kedua
Kelompok…………………………………………………………
Tabel 4.3. Parameter Mikrosirkulasi Subyek
Penelitian di Kedua
Kelompok…………………………………………………………
Tabel 4.4. Jumlah Cairan yang Diberikan pada Subyek di Kedua
Kelompok…………………………………………………………
Tabel 4.5. Penggunaan Vasopresor pada Subyek di Kedua Kelompok……...
Tabel 4.6. Median Skor MSOFA Kelompok Kontrol dan Kelompok EGDT.
Tabel 4.7. Mortalitas Subyek dalam 28 Hari pada Kedua Kelompok………..
Tabel 5.1. Penurunan MSOFA (∆ MSOFA) di Kedua Kelompok…………..
Tabel 5.2. Sebaran Skor MSOFA Subyek di Kedua Kelompok……………..
10
22
23
29
34
38
42
44
45
46
46
46
49
55
56
xi
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Patofisiologi Komplikasi Akut Diabetes Mellitus……………..
Gambar 2.2. Algoritme EGDT Menurut Rivers pada Syok Sepsis…………
Gambar 2.3. Komponen ScvO2……………………………………………...
Gambar 2.4. Konversi Piruvat menjadi Asetil ko-A dalam Keadaan Aerob..
Gambar 2.5. Konversi Piruvat menjadi Laktat pada Kondisi Anaerob……..
Gambar 3.1. Protokol Penelitian Pemberian Cairan pada KAD Berdasarkan
Strategi EGDT…………………………………………………
Gambar 3.2. Alur Penelitian…………………………………………………
Gambar 4.1. Boxplot skor MSOFA jam ke-0………………………………..
Gambar 4.2. Boxplot skor MSOFA jam ke-6………………………………..
Gambar 4.3. Boxplot skor MSOFA jam ke-72………………………………
7
15
17
19
19
30
32
47
47
48
xii
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Lembar Informasi Penelitian……………………………………
Lampiran 2. Surat Persetujuan………………………………………………..
Lampiran 3. Surat Keterangan Lolos Kaji Etik………………………………
Lampiran 4. Formulir Seleksi…………………………………………………
Lampiran 5. Formulir Penelitian……………………………………………...
Lampiran 6. Protokol KAD Konvensional……………………………………
Lampiran 7. Protokol EGDT………………………………………………….
Lampiran 8. Skor MSOFA……………………………………………………
Lampiran 9. Formulir Pengunduran Diri……………………………………...
Lampiran 10. Formulir Pelaporan Subyek terhadap Efek Samping………….
68
69
70
71
72
75
76
77
78
79
xiii
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
DAFTAR TANDA DAN SINGKATAN
AGD
: Analisa Gas Darah
ARDS
: Acute Respiratory Distress Syndrome
ATP
: Adenosin Trifosfat
BB
: Berat Badan
CaO2
: Arterial
CO
: Cardiac Output / curah jantung
CO2
: Karbondioksida
CVC
: Central Venous Catheter / Kateter vena sentral
CVP
: Central Venous Pressure / Tekanan vena sentral
DIC
: Disseminated Intravascular Coagulation
dkk
: dan kawan-kawan
dL
: desi-liter
DM
: Diabetes Mellitus
DO2
: Delivery Oksigen / Penghantaran oksigen
EGDT
: Early Goal Directed Therapy
EKG
: Elektrokardiografi
EO2
: Ekstraksi Oksigen
FiO2
: Fraksi Oksigen
GCS
: Glasgow Coma Scale
GDS
: Gula Darah Sewaktu
GFR
: Glomerular Filtration Rate
Hb
: Hemoglobin
Ht
: Hematokrit
IDDM
: Insulin Dependent Diabetes Mellitus
IGD
: Instalasi Gawat Darurat
iv
: intravena
+
Oxygen Content
K
: ion Kalium
KAD
: Ketoasidosis Diabetikum
KCl
: Kalium Chlorida
kg
: kilogram
xiv
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
L
: Liter
maks
: maksimum
MAP
: Mean Arterial Pressure / Tekanan rerata arteri
mEq
: mili-Equivalent
mg
: miligram
min
: minimum
mL
: mili-liter
mmHg
: milimeter air raksa
mOsm
: mili-Osmol
MSOFA
: Modified Sequential Organ Failure Assessment
mU
: mili-Unit
Na+
: ion Natrium
NaCl
: Natrium Klorida
NIDDM
: Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus
PaO2
: Tekanan Parsial Oksigen Arteri
PCO2
: Tekanan Karbondioksida Arteri
P(cv-a)CO2 : Selisih Tekanan Karbondioksida Vena Sentral dan Arteri
PDH
: Pyruvate Dehidrogenase
PPDS
: Program Pendidikan Dokter Spesialis
P(v-a)CO2
: Selisih Tekanan Karbondioksida Vena dan Arteri
RI
: Reguler Insulin
RSCM
: Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
SB
: Simpang Baku
ScvO2
: Saturasi Oksigen Vena Sentral
SOFA
: Sequential Organ Failure Assessment
SOL
: Space Occupying Lesion
SpO2
: Saturasi Oksigen Perifer
TDD
: Tekanan Darah Diastolik
TDS
: Tekanan Darah Sistolik
TIK
: Tekanan Intra Kranial
USG
: Ultrasonografi
VO2
: Oxygen Demand / Konsumsi Oksigen
xv
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Ketoasidosis diabetikum (KAD) merupakan suatu salah satu komplikasi akut
diabetes mellitus (DM) yang dipicu oleh defisiensi insulin baik relatif maupun
absolut dan ditandai dengan asidosis metabolik, hiperglikemia serta ketosis.1-3
Ketoasidosis diabetikum merupakan kondisi yang cukup sering ditemui dengan
tingkat mortalitas yang masih cukup tinggi sehingga membutuhkan pengelolaan
gawat darurat yang tepat. Prevalensi KAD di Amerika Serikat diperkirakan
sebesar 8 per 1000 penderita diabetes setiap tahunnya.4 Walaupun data komunitas
di Indonesia belum ada, namun insidens KAD di Indonesia tidak sebanyak di
negara barat. American Diabetes Association pada tahun 2005 melaporkan bahwa
angka kematian pada KAD berkisar antara 9-10% pada negara maju. Angka
kematian KAD di RS Cipto Mangunkusumo tahun 2002 masih cukup besar, yaitu
sebesar 15%.5
Pada KAD, terjadi kondisi hiperglikemia yang akan menyebabkan
terjadinya diuresis osmotik sehingga beresiko terjadinya dehidrasi dan kegagalan
sirkulasi perifer. Oleh karena itu dalam tatalaksana KAD, salah satu terapi yang
penting ialah koreksi cairan untuk mengembalikan volume intravaskuler dan
ekstravaskuler serta perfusi renal. Keberhasilan koreksi cairan dinilai melalui
pemantauan hemodinamik, perbaikan tekanan darah, pengukuran balans cairan
dan pemeriksaan klinis.5 Protokol pemberian cairan pada KAD yang diterapkan di
RSCM pada saat ini dihitung berdasarkan perkiraan hilangnya cairan yang
mencapai 100 ml/kg berat badan. Cairan ini diberikan berdasarkan pemantauan
makrodinamik, seperti tekanan darah, produksi urine dan kadar gula darah
pasien.1,6
Berdasarkan penelitian Suhendro pada tahun 2008, diketahui bahwa pada
KAD dapat terjadi disfungsi mikrosirkulasi dan disfungsi mitokondria sehingga
mengakibatkan terjadinya hipoksia di jaringan. Hasil pengukuran oksigen dan
karbondioksida transkutan pada pasien dengan KAD menunjukkan bahwa kadar
oksigen dan karbondioksida ini dapat berbeda pada pasien dengan tekanan darah
dan tekanan rerata arteri yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa parameter
1
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
2
makrodinamik, seperti tekanan darah dan tekanan rerata arteri,
mencerminkan keadaan di tingkat mikrosirkulasi.
tidak selalu
7
Kelainan sirkulasi yang terjadi pada KAD dapat menyebabkan
ketidakseimbangan antara penghantaran oksigen sistemik dan kebutuhan oksigen
jaringan, sehingga dapat terjadi hipoksia jaringan secara global atau yang lebih
dikenal dengan syok. Hipoksia jaringan merupakan awal dari terjadinya kegagalan
multiorgan dan kematian. Kegagalan multiorgan merupakan pola klinis dari
disfungsi organ yang beruntun dan progresif yang umum terjadi pada pasien
dengan penyakit kritis.8 Oleh karena itu, pasien-pasien dengan KAD termasuk ke
dalam pasien-pasien dengan penyakit kritis yang memerlukan pemantauan ketat
dan terapi yang cepat dan tepat. Penanganan KAD secara cepat dan tepat dapat
membantu menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pada pasien KAD.
Rivers dkk pada tahun 2001 memperkenalkan protokol Early Goal
Directed Therapy (EGDT) yang bertujuan untuk memperbaiki hemodinamik dan
transport oksigen pada pasien sepsis berat. Protokol ini menggunakan parameterparameter mikrosirkulasi sebagai target akhir (end point) resusitasi untuk
menggambarkan keseimbangan antara penghantaran oksigen dan kebutuhan
oksigen jaringan dan mendeteksi kondisi hipoksia jaringan secara dini.
Identifikasi dini dan terapi yang tepat pada masa transisi antara hipoksia jaringan
dan terjadinya kegagalan multiorgan dapat menurunkan tingkat disfungsi organ
dan mortalitas.9
Upaya pencegahan disfungsi organ yang terjadi pada KAD dimulai pada
saat diagnosis KAD ditegakkan di unit gawat darurat. Salah satu sistem skoring
untuk menilai derajat disfungsi organ pada pasien dengan penyakit kritis ialah
skor Modified Sequential Organ Failure Assessment (MSOFA). Sistem skoring
ini merupakan modifikasi skor Sequential Organ Failure Assessment (SOFA)
yang telah disederhanakan untuk digunakan di triase atau unit gawat darurat
karena hanya membutuhkan pemeriksaan laboratorium sederhana yang rutin
diperiksa.10
Penelitian kali ini bertujuan untuk membandingkan keberhasilan resusitasi
antara kelompok KAD yang ditatalaksana dengan menggunakan protokol
konvensional, yaitu protokol tatalaksana KAD sesuai dengan panduan pelayanan
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
3
medik Departemen Endokrin, Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM dan protokol
yang menggunakan strategi goal directed therapy sebagai pedoman resusitasi
cairan pada pasien KAD, dengan menggunakan skor MSOFA sebagai parameter
keberhasilan tersebut.
1.2 Perumusan Masalah
Peningkatan prevalensi KAD menghasilkan tingkat mortalitas yang juga semakin
meningkat. Berbagai studi telah dilakukan untuk mengevaluasi tatalaksana KAD.
Sampai saat ini terapi cairan sebagai salah satu poin penting yang digunakan
dalam protokol tatalaksana KAD memiliki kekurangan-kekurangan yang dapat
menimbulkan berbagai komplikasi dari terapi cairan itu sendiri. Angka kematian
yang disebabkan oleh KAD masih cukup tinggi, yang menunjukkan bahwa
protokol resusitasi cairan pada KAD masih belum optimal dan belum memakai
parameter objektif yang menggambarkan perfusi jaringan di mikrosirkulasi.
Dengan demikian, dalam penelitian ini akan dibandingkan keberhasilan
resusitasi cairan pada tatalaksana KAD berdasarkan parameter-parameter objektif
mikrosirkulasi seperti ScvO2, P(cv-a)CO2 dan laktat dengan protokol KAD
konvensional. Salah satu parameter yang dapat digunakan untuk menilai
keberhasilan resusitasi pada KAD ialah dengan mengukur derajat disfungsi organ
menggunakan skor MSOFA dan tingkat mortalitas.
1.3 Pertanyaan Penelitian
Bagaimanakah keberhasilan resusitasi cairan berdasarkan skor MSOFA antara
protokol EGDT dengan protokol konvensional pada pasien KAD di IGD RSCM?
1.4 Hipotesis
Pasien KAD di IGD RSCM yang dilakukan resusitasi cairan menggunakan
protokol EGDT akan lebih berhasil berdasarkan skor MSOFA dibandingkan
protokol konvensional.
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
4
1.5 Tujuan Penelitian
1.5.1
Tujuan Umum
Mengetahui keberhasilan resusitasi cairan berdasarkan skor MSOFA antara
protokol EGDT dengan protokol konvensional pada pasien KAD di IGD RSCM.
1.5.2
Tujuan Khusus

Mengetahui rerata skor MSOFA pada kelompok pasien KAD yang
diresusitasi cairan menggunakan protokol konvensional dan protokol
EGDT pada jam ke-6 setelah resusitasi dimulai.

Mengetahui rerata skor MSOFA pada kelompok pasien KAD yang
diresusitasi cairan menggunakan protokol konvensional dan protokol
EGDT pada jam ke-72 setelah resusitasi dimulai.

Mengetahui tingkat mortalitas pada kelompok pasien KAD yang
diresusitasi cairan menggunakan protokol konvensional dan protokol
EGDT dalam 28 hari.
1.6 Manfaat Penelitian
Untuk tatalaksana KAD secara tepat dan efektif terutama pada fase resusitasi
cairan pada KAD sehingga tidak menimbulkan berbagai komplikasi baik akibat
pemberian cairan yang kurang maupun berlebihan. Penelitian ini bermanfaat bagi
penentu kebijakan tatalaksana KAD, tenaga kesehatan dan pasien.
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ketoasidosis Diabetikum
2.1.1 Definisi dan Patofisiologi Ketoasidosis Diabetikum
Ketoasidosis diabetikum (KAD) merupakan suatu kondisi katabolisme yang tidak
terkontrol yang dipicu oleh defisiensi insulin baik relatif maupun absolut. Trias
ketoasidosis diabetik ialah asidosis metabolik (pH < 7.35), hiperglikemia (gula
darah > 250 mg/dL) dan ketosis (terdapatnya badan keton baik di urine ataupun di
darah). Defisiensi insulin absolut atau relatif ini juga diikuti oleh peningkatan
hormon-hormon
counter-regulasi
(seperti
glukagon,
epinefrin,
hormon
pertumbuhan, dan kortisol), yang menyebabkan peningkatan produksi glukosa
oleh hati (glukoneogenesis) dan katabolisme lemak (lipolisis). Lipolisis
menghasilkan substrat untuk produksi badan keton oleh hati. Produksi badan
keton ini menyebabkan terjadinya asidosis dan peningkatan anion gap, yang
hampir selalu terjadi pada KAD.2
Defisiensi insulin akut yang mempengaruhi metabolisme glukosa
menyebabkan terjadinya kondisi hiperglikemia. Akumulasi glukosa ekstraseluler
ini menyebabkan terjadinya kondisi hiperosmolaritas.11 Ketika kadar glukosa
darah meninggi ke tingkat pada saat jumlah glukosa yang difiltrasi melebihi
kapasitas sel-sel tubulus melakukan reabsorpsi, glukosa akan dieksresikan di urine
(glukosuria). Adanya glukosa di urine ini akan menimbulkan efek osmotik yang
menarik air bersamanya, sehingga menimbulkan diuresis osmotik yang ditandai
oleh poliuria dan ekskresi Na+ serta K+ melalui ginjal. Poliuria ini menyebabkan
cairan keluar berlebihan dari tubuh sehingga menyebabkan dehidrasi, yang pada
gilirannya dapat menyebabkan kegagalan sirkulasi perifer. Selain itu juga timbul
rasa haus
berlebihan (polidipsia) yang sebenarnya merupakan mekanisme
kompensasi untuk mengatasi dehidrasi. Kegagalan sirkulasi apabila tidak
diperbaiki dapat menyebabkan penurunan aliran darah ke otak yang pada akhirnya
dapat menyebabkan kematian, atau menimbulkan gagal ginjal sekunder akibat
tekanan filtrasi yang tidak adekuat. Penurunan aliran darah ke ginjal juga
menyebabkan ekskresi glukosa melalui ginjal berkurang, sehingga semakin
memperberat kondisi hiperglikemia tersebut. Selain itu, sel-sel kehilangan air
5
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
6
karena tubuh mengalami dehidrasi akibat perpindahan osmotik air dari dalam sel
ke cairan ekstrasel yang hipertonik..11,12
Selain itu akibat terjadinya defisiensi glukosa intrasel, nafsu makan
meningkat sehingga timbul polifagia. Akan tetapi walaupun terjadi peningkatan
pemasukan makanan, berat tubuh menurun secara progresif akibat efek defisiensi
insulin pada metabolisme lemak dan protein. Defisiensi insulin menyebabkan
terjadinya pergeseran ke arah katabolisme protein, salah satunya di otot, dan
bersamaan dengan abnormalitas kadar elektrolit akan menyebabkan otot rangka
melemah dan mengecil sehingga terjadi penurunan berat badan. Peningkatan
penguraian protein ini menyebabkan peningkatan kadar asam amino dalam
sirkulasi darah, yang selanjutnya dapat digunakan untuk glukoneogenesis dan
memperparah kondisi hiperglikemia yang telah terjadi.11-13
Dalam metabolisme lemak, defisiensi insulin menyebabkan peningkatan
lipolisis, sehingga terjadi peningkatan kadar asam lemak dalam darah yang
sebagian besar digunakan oleh sel sebagai sumber energi alternatif. Peningkatan
penggunaan lemak oleh hati ini menyebabkan
pengeluaran berlebihan badan
keton (asam asetoasetat, beta hidroksibutirat, dan aseton) ke dalam darah. Di
samping itu, terjadinya peningkatan kadar hormon-hormon counter-regulasi
seperti glukagon, epinefrin dan kortisol juga menyebabkan peningkatan produksi
badan keton. Akumulasi badan-badan keton ini menyebabkan terjadinya asidosis
metabolik progresif. Sebagai kompensasi terhadap asidosis metabolik, terjadi
peningkatan ventilasi untuk meningkatkan pengeluaran CO2 pembentuk asam.
(pernapasan Kussmaul). Ekshalasi salah satu badan keton, yaitu aseton,
menyebabkan napas penderita yang mengalami KAD berbau seperti “buah”.
Kondisi asidosis, kelainan kadar elektrolit dan dehidrasi yang terjadi selanjutnya
dapat mengganggu fungsi sel saraf, menekan fungsi otak dan dapat menimbulkan
terjadinya koma diabetikum dan kematian.11-13
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
7
Defisiensi insulin akut
proteolisis
Lipolisis
↓BB
Kelemahan otot
Asam lemak di
darah ↑
Asam amino↑
Pemecahan
glikogen
Glukoneogenesis
Kelebihan Glukosa
osmolaritas↑
Badan keton
Glikolisis
↓
asidosis
Ginjal
koma
Dehidrasi
- Glukosuria
- aminoaciduria
- poliuria
- kehilangan
elektrolit
Napas
aroma buah
Napas Kusmaul
Rasa haus
Gambar 2.1. Patofisiologi Komplikasi Akut Diabetes Mellitus
Sumber: telah diolah kembali dari Silbernagl S, Lang F. Color atlas of pathophysiology. 3rd ed.
New York: Thieme; 2000. p.286-91
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
8
2.1.2 Tatalaksana Ketoasidosis Diabetikum
Pasien-pasien KAD sebaiknya dirawat di area dimana mereka dapat diobservasi
secara reguler, dengan tenaga medis yang berpengalaman, atau dirawat di unit
intensif jika kondisi pasien sangat buruk.13 Prinsip pengelolaan KAD ialah:1

Penggantian cairan dan garam yang hilang

Menekan lipolisis sel lemak dan menekan glukoneogenesis sel hati
dengan pemberian insulin

Mengatasi stres sebagai pencetus ketoasidosis diabetikum

Mengembalikan keadaan fisiologi normal dan menyadari pentingnya
pemantauan dan penyesuaian pengobatan
Dalam tatalaksana KAD, terdapat beberapa hal yang harus diberikan, yaitu
cairan, garam, insulin, kalium dan glukosa. Selain itu pengobatan umum juga
perlu diberikan pada pasien KAD, yaitu pemberian antibiotik yang adekuat untuk
mengatasi infeksi yang terjadi, pemberian oksigen bila PO2 < 80 mmHg, dan
heparin bila ada DIC atau bila ada hiperosmolar (> 380 mOsm/L).1 Pada pasien
dengan kelainan jantung atau ginjal atau pada pasien dengan kondisi syok,
sebaiknya dilakukan pemasangan kateter vena sentral untuk mengevaluasi derajat
hipovolemia dan untuk monitor pemberian cairan.13
Jika diagnosis KAD telah ditegakkan, pemberian cairan isotonik minimal
2 L dalam 2-3 jam pertama pada pasien dewasa merupakan hal yang penting
dilakukan untuk membantu mengembalikan volume plasma dan stabilisasi
tekanan darah sambil mengurangi kondisi hiperosmolar yang terjadi. Selain itu,
pemberian cairan akan membantu memperbaiki aliran darah ke ginjal, sehingga
dapat membantu mengembalikan kapasitas ginjal untuk mengekskresi ion
hidrogen, dan memperbaiki kondisi asidosis yang terjadi.13 Pemberian cairan ini
dapat dimodifikasi disesuaikan dengan usia, berat badan, dan adanya kelainan
jantung pada pasien.14
Pada sebagian besar pasien dewasa, defisit cairan yang terjadi ialah
sebanyak 4-5 L atau 100 ml/kgBB.2,12 Seperti telah disebutkan di atas, pemberian
cairan dilakukan secara cepat untuk mencapai 1-2 L/jam dalam 1-2 jam pertama.
Setelah 2 jam pertama, cairan diberikan dengan kecepatan 300-400 ml/jam.
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
9
Kegagalan penggantian secara cukup (minimal 3-4 L dalam 8 jam pertama) untuk
mengenbalikan kondisi perfusi normal merupakan salah satu penyebab kegagalan
terapi ketoasidosis diabetikum. Akan tetapi, pemberian cairan berlebihan (> 5 liter
dalam 8 jam) dapat menyebabkan timbulnya acute respiratory distress syndrome
(ARDS) atau edema serebri.13 Pedoman terapi cairan pada tatalaksana KAD yang
digunakan di RSCM yaitu: 6
 NaCl 0,9% diberikan 1-2 L pada 1 jam pertama, lalu  1 L pada jam
kedua, lalu 0,5 L pada jam ketiga dan keempat, dan  0,25 L pada jam
kelima dan keenam, selanjutnya sesuai kebutuhan
 Jumlah cairan yang diberikan dalam 15 jam sekitar 5 L
 Jika Na+ > 155 mEq/L  ganti cairan dengan NaCl 0,45%
 Jika gula darah < 200 mg/dL  ganti cairan dengan Dextrose 5%
Segera setelah pemberian cairan inisial, pemberian insulin secara bolus
cepat intravena harus diberikan. Pemberian insulin ini akan menurunkan kadar
hormon glukagon, sehingga dapat menekan produksi benda keton di hati,
pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak, pelepasan asam amino dari
jaringan otot dan meningkatkan penggunaan glukosa oleh jaringan.1,13
Insulin yang digunakan pada tatalaksana KAD hanya regular insulin.
Insulin dapat diberikan secara intravena, intramuskular ataupun subkutan. Akan
tetapi pemberian secara drip intravena lebih dianjurkan karena lebih mudah
mengontrol dosis insulin, menurunkan kadar glukosa darah lebih lambat, efek
insulin lebih cepat menghilang, masuknya kalium ke intrasel lebih lambat,
komplikasi hipoglikemia dan hipokalemia lebih sedikit terjadi.1 Protokol
pemberian insulin yang digunakan pada tatalaksana KAD di RSCM yaitu :6
 Regular Insulin (RI) diberikan setelah 2 jam rehidrasi cairan
 RI bolus 180 mU/kgBB iv, dilanjutkan RI drip 90 mU/kgBB/jam dalam
NaCl 0,9%
 Jika kadar gula darah < 200 mg/dL: kecepatan dikurangi RI drip 45
mU/kgBB/jam dalam NaCl 0,9%
 Jika kadar gula darah stabil 200-300 mg/dL selama 12 jam RI drip
1–2 U/jam iv, disertai sliding scale setiap 6 jam:
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
10
Tabel 2.1. Petunjuk Pemberian Insulin Berdasarkan Kadar Gula Darah
Gula darah
(mg/dL)
<200
RI
(Unit, subkutan)
0
200–250
5
250–300
10
300–350
15
>350
20
Sumber: Nasir A, Rani A, Soegondo S. Pedoman pelayanan medik ilmu penyakit dalam. Jakarta:
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2004. p. 36-7
 Jika kadar gula darah ada yang <100 mg/dL: drip RI dihentikan
 Setelah dosis koreksi tiap 6 jam, dapat diperhitungkan kebutuhan insulin
sehari dibagi 3 dosis sehari subkutan, sebelum makan (bila pasien
sudah makan)
Kehilangan kalium dari poliuria dan muntah pada pasien KAD dapat
mencapai 200 meq (3-5 meq/kgBB). Akan tetapi akibat pergeseran kalium dari
intrasel ke esktrasel sebagai akibat kondisi asidosis, serum kalium pada umumnya
normal atau sedikit meningkat. Bersamaan dengan dikoreksinya asidosis, kalium
akan kembali masuk ke intrasel dan dapat terjadi hipokalemia jika tidak dilakukan
penggantian kalium. Jika pasien tidak dalam kondisi uremikum dan produksi
urinenya adekuat, pemberian kalium secara intravena sebaiknya diberikan 10-30
meq/jam dalam jam ke-2 dan ke-3 bersamaan dengan terkoreksinya kondisi
asidosis. Selama penggantian kalium, sebaiknya dilakukan monitoring EKG
secara berkala untuk mengevaluasi status kalium pasien.1
Protokol pemberian kalium yang digunakan dalam tatalaksana KAD di
RSCM ialah:6
 Kalium (KCl) drip dimulai bersamaan dengan drip RI, dengan dosis 50
mEq/6 jam. Syarat: tidak ada gagal ginjal, tidak ditemukan gelombang T
yang lancip dan tinggi pada EKG, dan jumlah urine cukup adekuat
 Bila kadar K+ pada pemeriksaan elektrolit kedua:
<3,5  drip KCl 75 mEq/6jam
3,0–4,5 drip KCl 50 mEq/6jam
4,5–6,0 drip KCl 25 mEq/6jam
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
11
>6,0 drip distop
 Bila sudah sadar, diberikan K+ oral selama seminggu
Penggunaaan natrium bikarbonat dalam tatalaksana KAD menjadi
kontroversi karena terdapat beberapa konsekuensi yang dapat membahayakan
untuk pasien:
 Terjadinya hipokalemia akibat pergeseran kalium secara cepat ke intrasel
jika asidosis dikoreksi secara berlebihan
 Anoksia jaringan akibat berkurangnya disosiasi oksigen dari hemoglobin
apabila asidosis dikoreksi secara cepat
 Asidosis serebri akibat berkurangnya pH cairan serebrospinal
Oleh karena itu, pemberian bikarbonat hanya dianjurkan jika pH gas darah
arteri ≤ 7.0 dengan monitoring ketat untuk mencegah overkoreksi.3 Walaupun
demikian komplikasi asidosis laktat dan hiperkalemia yang mengancam jiwa tetap
merupakan indikasi pemberian bikarbonat.1
2.2 Resusitasi Mikrosirkulasi
Hiperglikemia dan ketonemia yang terjadi pada pasien KAD akan menyebabkan
diuresis osmotik, yang akan menyebabkan hilangnya cairan intravaskuler.
Dehidrasi seluler akan menyebabkan pergeseran cairan dari intravaskuler ke
intrasel. Kedua hal tersebut akan menyebabkan semakin berkurangnya preload
jantung. Berkurangnya preload jantung akan menurunkan curah jantung.
Berkurangnya curah jantung akan berakibat berkurangnya perfusi oksigen ke
organ-organ tubuh. Perfusi organ yang tidak adekuat apabila tidak segera
dilakukan penggantian cairan yang hilang akan berakibat ketidakseimbangan
antara kebutuhan dan suplai oksigen sehingga selanjutnya dapat berakibat
terjadinya hipoksia jaringan secara global atau disebut juga dengan syok, yang
pada akhirnya dapat menimbulkan gangguan multiorgan.9,15
Salah satu tujuan dari sirkulasi darah dalam tubuh ialah menjamin
tercapainya penghantaran oksigen yang adekuat ke organ-organ dan jaringan
tubuh. Faktor-faktor yang mempengaruhi penghantaran atau delivery oksigen
(DO2) ialah curah jantung / cardiac output (CO) dan arterial oxygen content
(CaO2). Arterial oxygen content (CaO2) memiliki 2 komponen, yaitu oksigen yang
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
12
terikat pada hemoglobin (Hb) sebagai komponen utama dan oksigen yang terlarut
sebagai komponen kedua. Komponen pertama tergantung dari afinitas
hemoglobin terhadap oksigen dan saturasi oksigen arteri, sedangkan komponen
kedua tergantung dari tekanan parsial oksigen arteri (PaO2) yang dapat diabaikan
karena koefisien kelarutan oksigen dalam plasma. Oleh karena itu, dapat ditarik
rumus seperti di bawah ini:15
DO2 = CO x CaO2
(2.1)
CaO2 = (Hb x 1.34 x SaO2) + (0.003 x PaO2)
(2.2)
Dengan mengabaikan komponen oksigen yang terlarut, maka:
DO2 = CO x 1.34 x Hb x SaO2
(2.3)
Darah arteri selanjutnya akan terdeoksigenasi di jaringan. Ekstraksi oksigen di
jaringan tergantung dari kebutuhan jarigan tersebut dan kemampuan mereka untuk
mengekstraksi oksigen. Oleh karena itu, komponen oksigen pembuluh darah vena
tergantung dari komponen oksigen arteri dan eksraksi oksigen di jaringan.16
Syok merupakan salah satu penyebab utama perawatan di unit perawatan
intensif. Pada umumnya syok didefinisikan sebagai tekanan rerata arteri / mean
arterial pressure (MAP) <60 mmHg, atau tekanan darah sistolik (TDS) < 90
mmHg, atau penurunan tekanan darah sistolik (TDD) > 40 mmHg dari tekanan
darah basal sehari-hari. Hal ini merupakan definisi secara makrosirkulasi yang
menggunakan parameter tekanan darah dan curah jantung. Akan tetapi, parameter
makrosirkulasi ini saja tidak cukup untuk menggambarkan keadaan instabilitas
hemodinamik yang terjadi pada syok, sehingga secara lebih spesifik, syok
digambarkan
sebagai
suatu
kondisi
klinis
yang
disebabkan
oleh
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen jaringan, yang memiliki
tanda dan gejala tertentu dan berakibat pada hipoksia jaringan.16,17
Secara klinis syok dibagi menjadi syok kardiogenik, syok obstruktif, syok
hipovolemik, atau syok septik. Pada KAD, terjadi diuresis osmotik yang dapat
berakibat terjadinya syok hipovolemik.16 Penghantaran oksigen (DO2) akan turun
pada kondisi syok. Pada awal terjadinya penurunan DO2, tubuh akan
mengkompensasi dengan cara meningkatkan ekstraksi oksigen jaringan, sehingga
konsumsi oksigen (VO2) jaringan dipertahankan. Akan tetapi apabila kondisi ini
terus berlanjut sampai suatu saat dimana kapasitas ekstraksi oksigen terlampaui,
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
13
maka VO2 akan mulai menurun dan terjadi peningkatan konsentrasi laktat yang
menunjukkan terjadinya perubahan metabolisme dari glikolisis aerobik menjadi
glikolisis anaerobik untuk memperoleh energi. Titik ini merupakan saat tandatanda awal terjadinya kerusakan organ. Oleh karena itu, tatalaksana hemodinamik
yang tepat tidak hanya bertujuan untuk mengkoreksi parameter makrosirkulasi,
namun juga parameter-parameter mikrosirkulasi untuk mencegah penurunan
suplai oksigen di bawah titik ini. 15,16
Ekstraksi oksigen di jaringan dapat didefinisikan secara matematis sebagai
berikut:
EO2 = CO x (CaO2-CvO2)
(2.4)
EO2 = VO2/DO2
(2.5)
dengan CvO2 merupakan kandungan oksigen pembuluh darah vena dan VO2
merupakan konsumsi oksigen. Dengan demikian, saturasi oksigen vena dapat
dihitung dengan rumus sebagai berikut:
SvO2 = SaO2 – (VO2 / ( CO x Hb x 1.34))
(2.6)
Dari persamaan di atas, maka penurunan saturasi oksigen vena dapat disebabkan
karena:
 penurunan SaO2
 penurunan curah jantung
 penurunan kadar hemoglobin
 peningkatan konsumsi oksigen
Pada kondisi SaO2, konsumsi oksigen dan kadar hemoglobin dalam batas
normal, maka SvO2 dapat digunakan untuk mewakili curah jantung.
Dari persamaan di atas, maka EO2 dapat dihitung dengan:
EO2 = (SaO2 - SvO2) / SaO2
(2.7)
Bila SaO2 = 100%, maka EO2 = 1 - SvO2 dan SvO2 = 1- EO2. Maka SvO2 juga
dapat mewakili EO2.
Resusitasi pada kondisi hipovolemik dibagi menjadi dua, yaitu periode
primer dan periode sekunder. Periode primer memiliki tujuan resusitasi jantung,
paru dan otak. Tujuannya adalah memberikan perfusi oksigen yang cukup ke
pembuluh darah koroner dan otak. Pada tahap ini ditekankan pada pemeliharaan
jalan napas yang adekuat, pemberian ventilasi mekanik, mempertahankan MAP >
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
14
60 mmHg. Pada periode sekunder bertujuan untuk memberikan aliran darah dan
perfusi ke semua organ, menjamin ketersediaan oksigen bagi semua sel yang
aktif. Pemberian aliran darah dan perfusi ke semua organ aktif dapat dicapai
dengan menggunakan teknik ekspansi volume dan penggunaan obat-obat
vasoaktif.17
Strategi resusitasi secara definitif mencakup manipulasi preload, afterload
dan kontraktilitas jantung untuk mencapai keseimbangan antara DO2 sistemik dan
VO2. Parameter yang digunakan dalam resusitasi ini mencakup saturasi mixed
vein, konsentrasi laktat darah, base excess dan pH. Saturasi mixed vein merupakan
pengganti cardiac index sebagai target terapi hemodinamik. Pada kondisi dimana
insersi kateter arteri pulmoner tidak dilakukan, parameter saturasi mixed vein
dapat diwakilkan dengan pengukuran saturasi vena sentral.9
Resusitasi pada kondisi sepsis dilakukan berdasarkan Early Goal Directed
Therapy (EGDT) berdasarkan penelitian yang dilakukan Rivers dkk. Berdasarkan
EGDT yang dilakukan dalam enam jam pertama sejak pasien masuk ke rumah
sakit ini, dilakukan identifikasi dini keadaan hipoksia jaringan melalui parameterparameter mikrosirkulasi, meskipun parameter makro seperti tanda-tanda vital
pasien masih dalam batas normal. Identifikasi dini hipoksia jaringan pada masa
transisi ini memungkinkan dilakukannya intervensi cepat untuk mengembalikan
keseimbangan DO2 dan VO2. Hipoksia jaringan sendiri berkontribusi terhadap
aktivasi endotel dan gangguan keseimbangan antara koagulasi, permeabilitas
vaskuler dan tonus vaskuler yang merupakan mekanisme kunci yang dapat
menimbulkan terjadinya kegagalan mikrosirkulasi, hipoksia jaringan refrakter dan
disfungsi organ. Dengan demikian, intervensi cepat untuk mengembalikan
keseimbangan antara DO2 dan VO2 dapat mencegah terjadinya kegagalan
mikrosirkulasi, hipoksia jaringan refrakter dan disfungsi organ sehingga akan
menurunkan angka mortalitas dan lama rawat di rumah sakit.9,18
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
15
Gambar 2.2. Algoritme EGDT Menurut Rivers pada Syok Sepsis
Sumber: telah diolah kembali dari Rivers E, Nguyen B, Havstad S, Ressler J, Muzzin A, Knoblich
B, et al. Early goal-directed therapy in the treatment of severe sepsis and septic shock. N Engl J
Med 2001;345(19):1368-76
Dalam EGDT terdapat beberapa prinsip tatalaksana untuk mencapai
perfusi jaringan global yang adekuat. Pertama, pemberian cairan secara cepat dan
tepat yang dititrasi berdasarkan fluid responsiveness dan MAP. Kedua, apabila
target perfusi jaringan masih belum tercapai, dilakukan transfusi darah untuk
mencapai target transfusi yang diinginkan. Ketiga, pemberian terapi inotropik
secara titrasi dan keempat, ialah terapi yang bertujuan untuk menurunkan
konsumsi oksigen.18
Dalam EGDT, selain parameter-parameter makrosirkulasi, juga digunakan
parameter mikrosirkulasi untuk identifikasi secara dini ketidakseimbangan antara
VO2 dan DO2. Beberapa parameter mikrosirkulasi yang digunakan antara lain:8,17
a. ScvO2
Pada syok, penurunan suplai oksigen sebagian besar berkaitan dengan
penurunan aliran darah, baik secara relatif (seperti pada syok distributif) atau
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
16
definitif (seperti syok hemoragik). Rekomendasi utama untuk resusitasi pada
syok mencakup optimalisasi curah jantung dengan pemberian cairan untuk
mengkoreksi ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen. Pada kondisi
ini, pengukuran SvO2 dapat membantu dalam memberikan petunjuk
pemberian cairan pada pasien-pasien syok.16
Pengukuran SvO2 untuk memberikan informasi mengenai oksigenasi
jaringan secara global dapat dilakukan melalui pemasangan kateter arteri
pulmonal. Namun pemasangan kateter ini memiliki beberapa keterbatasan
dan kemungkinan komplikasi yang dapat timbul akibat pemasangan. Oleh
karena itu, teknik pengukuran suplai oksigen dapat diwakilkan dengan
pengukuran saturasi oksigen vena sentral (ScvO2) melalui pemasangan
kateter vena sentral dengan ujung kateter berada di vena cava superior dan
atrium kanan. Akan tetapi pengukuran ScvO2 tidak mencakup darah vena
yang berasal dari sinus koronarius, sehingga tidak mencerminkan oksigenasi
miokardium.16,19
Karena ScvO2 dapat memberikan informasi mengenai keseimbangan
antar VO2 dan DO2, maka pemantauan nilai ScvO2 memungkinkan deteksi
dini dan tatalaksana hipoksia jaringan secara cepat.19,20 Pemantauan nilai
ScvO2 ini telah banyak digunakan sebagai parameter target resusitasi dan
nilai ScvO2 < 70% akan meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas.
Keuntungan klinis yang paling besar ditunjukkan pada penelitian Rivers dkk
yang menggunakan ScvO2 sebagai salah satu parameter target dalam
resusitasi secara dini dan agresif pada pasien sepsis berat. Pada penelitian
tersebut, dengan menggunakan ScvO2 sebagai salah satu target parameter
resusitasi, dapat menurunkan angka mortalitas secara bermakna.9,16
Seperti telah dijelaskan di atas, nilai ScvO2 tergantung dari saturasi
oksigen arteri, curah jantung, kadar hemoglobin, adanya shunting dan
konsumsi oksigen. Kemampuan ScvO2 untuk menggambarkan keseimbangan
antara suplai dan konsumsi oksigen tidak konstan sepanjang waktu. Hal ini
tergantung dari beberapa kondisi seperti pemakaian sedasi, ventilator, ujung
kateter vena sentral yang tergantung dari posisi tubuh, dan hal-hal lain. Oleh
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
17
karena itu, interpretasi nilai ScvO2 sebaiknya dilakukan bersamaan dengan
pemantauan parameter mikrosirkulasi lainnya, seperti laktat atau P(cv-a)O2.19
ScvO2
Penghantaran Oksigen
Curah Jantung
Hb
Heart
rate
Stroke
volume
Perdarahan
Hemodilusi
anemia
preload
afterload
kontraktilitas
Konsumsi Oksigen
oksigenasi
Kebutuhan metabolik
SaO2
FiO2
ventilasi
Demam
Cemas
Nyeri
Mengigil
Aktivitas otot
Gambar 2.3. Komponen ScvO2
Sumber: telah diolah kembali dari Continuous ScvO2 monitoring with the presep oximetry
catheter [Online]. 2008 [diunduh 12 Oktober 2013]. Tersedia di:
URL:http://www.Edwards.com/PreSep
Dalam penelitiannya, Rivers dkk menunjukkan bahwa optimalisasi
secara dini (dalam 6 jam pertama) dengan menjadikan ScvO2 dan parameter
hemodinamik umum lainnya sebagai target resusitasi dapat memperbaiki
outcome pada pasien-pasien dengan syok sepsis. Hal ini dapat disebabkan
karena ScvO2 merupakan indikator kuat yang mencerminkan keseimbangan
antara VO2 dan DO2. 9,21
b. Selisih tekanan karbondioksida vena dan arteri [P(v-a)O2]
Setelah penelitian yang dilakukan oleh Rivers dkk, terdapat banyak penelitian
yang menunjukkan bahwa pada pasien-pasien yang telah diresusitasi dengan
nilai ScvO2 > 70%, masih terdapat kemungkinan oksigenasi jaringan yang
tidak adekuat. Hal ini dapat disebabkan karena terdapat hipoperfusi jaringan
persisten dan defek ekstraksi oksigen yang berkaitan dengan kelainan
mikrosirkulasi dan / atau kerusakan mitokondria. Oleh karena itu, setelah
dilakukan resusitasi, ScvO2 saja tidak cukup untuk dijadikan pedoman dalam
pemberian cairan dan terapi vasopresor.21-23
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
18
Terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa selisih tekanan
karbondioksida vena dan arteri [P(v-a) CO2] berkorelasi dengan cardiac
index, baik pada kasus sepsis atau non sepsis. Neviere et al menunjukkan
bahwa peningkatan P(v-a)CO2 terutama berkaitan dengan penurunan cardiac
output, karena P(v-a)CO2 meningkat pada hipoksia iskemik, namun tidak
meningkat pada hipoksia hipoksik.23 P(v-a)CO2 dapat digunakan sebagai
marker untuk menggambarkan adekuat atau tidaknya aliran darah vena intuk
mengeluarkan CO2 yang diproduksi oleh jaringan perifer. Peningkatan PCO2
vena dapat menggambarkan aliran darah untuk mengeluarkan CO2 dari tubuh
yang relatif lebih rendah dibandingkan produksi CO2 oleh tubuh. Untuk
pengukuran ini, dapat digunakan sampel darah dari vena sentral, karena
masih terdapat korelasi antara selisih tekanan karbondioksida vena sentral dan
arteri [P(cv-a)CO2] dan nilai cardiac index.21-23
Pada penelitian yang dilakukan oleh Vallee dkk, pasien-pasien sepsis
yang telah diresusitasi dengan ScvO2 > 70% dengan nilai P(cv-a)CO2 < 6
mmHg menunjukkan konsentrasi laktat yang lebih rendah dan penurunan
nilai SOFA yang lebih besar pada hari pertama dibandingkan dengan
P(cv-a)CO2 > 6 mmHg. Hal ini menunjukkan bahwa adanya nilai P(cv-a)CO2
dapat digunakan untuk mengidentifikasi pasien-pasien yang masih belum
teresusitasi secara adekuat walaupun nilai ScvO2 telah mencapai > 70%.21
Peningkatan P(cv-a)CO2 ini dapat disebabkan karena: 20,24

peningkatan PCO2 vena secara sekunder akibat berkurangnya
aliran darah yang disebabkan stagnasi CO2

peningkatan respiratory quotient dengan produksi CO2 tambahan
relatif terhadap uptake oksigen, sekunder terhadap efek buffer
bikarbonat akibat kelebihan ion hidrogen.

peningkatan produksi dan stagnasi CO2 meskipun ScvO2 > 70%
Berdasarkan hal ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa P(cv-a)CO2
berkaitan secara linear dengan produksi CO2 (VCO2), dan secara terbalik
dengan cardiac index (CI). Sedangkan VCO2 sendiri berkaitan dengan
konsumsi oksigen. Dalam kondisi dimana curah jantung mampu beradaptasi
terhadap peningkatan VO2, meskipun terdapat peningkatan produksi CO2 oleh
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
19
tubuh akibat adanya metabolisme anaerob, terjadi aliran darah yang cukup
adekuat untuk membuang produksi CO2 yang berlebih tersebut. Sebaliknya,
aliran darah yang menurun dapat menyebabkan P(cv-a)CO2 menjadi lebar
meskipun tidak terjadi peningkatan produksi CO2, namun lebih disebabkan
karena adanya fenomena stagnasi CO2.22,23,25
c. Laktat
Asam laktat pertama kali ditemukan dalam susu asam oleh Karl Wilhelm
Schele pada tahun 1780, dan didapatkan bahwa asam laktat akan dibentuk
dan produksinya meningkat di otot apabila suplai oksigen ke organ tersebut
terganggu.26 Pada kondisi nomal dengan oksigenasi jaringan yang adekuat,
energi seluler dapat diekstraksi oleh siklus asam sitrat dan rantai transport
elektron. Dalam kondisi ini, sel akan mengubah piruvat menjadi asetil ko-A
melalui dekarboksilase oksidatif. Sebaliknya saat tubuh mengalami perfusi
jaringan yang tidak adekuat, akan terjadi metabolisme anaerob untuk
membentuk energi meskipun dalam jumlah yang lebih kecil. Pada kondisi ini,
piruvat dimetabolisme menjadi laktat oleh laktat dehidrogenase dan melepas
ATP dalam jumlah yang lebih kecil dibandingkan metabolisme aerob.27
Laktat yang terbentuk akan masuk ke dalam sirkulasi dan menyebabkan
penurunan pH. Jika kebutuhan oksigen terpenuhi kembali, maka laktat akan
diubah di hati menjadi piruvat dan akan masuk kembali ke siklus Krebs.7
Pyruvate + NAD+ + CoA Acetyl CoA + CO2 + NADH
Gambar 2.4. Konversi Piruvat menjadi Asetil ko-A dalam Keadaan Aerob
Sumber: Kompanje EJO, Jansen TC, van der Hoven B, Bakker J. The first demonstration of lactic
acid in human blood in shock by Johann Joseph Scherer (1814-1869) in January 1843. Intensive
Care Med 2007;33(11):1967-71
Gambar 2.5. Konversi Piruvat menjadi Laktat pada Kondisi Anaerob
Sumber: Blomkalns AL. Lactate-a marker for sepsis and trauma [Online]. 2007 [diunduh 12
Oktober 2013]. Tersedia di: URL:http://www.emcreg.org
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
20
Produksi laktat terjadi di semua jaringan, termasuk otot skelet, otak,
sel darah merah, dan ginjal. Bahkan pada kondisi basal dimana terdapat
oksigen yang cukup, produksi laktat dapat terjadi dalam jumlah kecil.
Laktat pada tubuh manusia dimetabolisme oleh hepar dan di rekonversi
kembali menjadi piruvat. Hal ini akan mempertahankan kadar laktat tetap
di bawah 1 mmol/L baik pada darah arteri atau vena.27
Kadar laktat darah seringkali diukur pada pasien-pasien kritis untuk
mendeteksi hipoksia jaringan. Peningkatan kadar laktat dapat merupakan
hasil dari peningkatan produksinya atau penurunan metabolisme laktat,
atau kombinasi kedua proses ini.28 Secara anaerobik, ketidakseimbangan
oksigen sistemik akan menyebabkan peningkatan produksi laktat.
Hipoksia jaringan akan meningkatkan kadar laktat, dan sudah dikonfirmasi
melalui beberapa penelitian eksperimental maupun klinis.29 Rivers dkk
menunjukkan bahwa hiperlaktatemia pada sepsis berat atau syok sepsis
berkaitan dengan DO2 yang buruk dan peningkatan DO2 dapat mengurangi
kadar laktat.9 Peningkatan kadar laktat darah berkaitan dengan
meningkatnya tingkat morbiditas dan mortalitas.29,30 Deteksi dini dan
resusitasi yang adekuat untuk menjaga kondisi hemodinamik global tetap
normal dan mempertahankan kadar laktat dibawah 2.5 mmol/L dalam 24
jam akan menurunkan tingkat mortalitas.7
Selain glikolisis anaerobik, terdapat mekanisme aerobik lain yang
dapat menyebabkan peningkatan kadar laktat pada pasien kritis, yaitu
peningkatan glikolisis aerobik oleh katekolamin yang distimulasi
hiperaktivitas pompa Na-K, disfungsi mitokondria, gangguan aktivitas
pyruvate-dehidrogenase (PDH) yang penting dalam konversi piruvat
menjadi asetil ko-enzim, disfungsi hepar dan operasi hepar, kelainan
paru,alkalosis, beberapa obat-obatan dan intoksikasi obat seperti
nucleosidic reverse transcriptase inhibitor, metformin (dengan adanya
insufisiensi ginjal), sianida, metanol atau intoksikasi etilene-glikol.28-29
Berdasarkan studi sebelumnya yang dilakukan oleh Suhendro, pada
KAD terdapat peningkatan kadar laktat, terutama pada KAD yang disertai
dengan sepsis. Peningkatan kadar laktat pada KAD ini disebabkan akibat
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
21
hipovolemia yang terjadi akibat diuresis osmotik. Pada kondisi
hipovolemia, terjadi gangguan perfusi baik di makrosirkulasi maupun
mikrosirkulasi, sehingga dapat menyebabkan hipoksia jaringan secara
global. Apabila kondisi ini disertai dengan sepsis, maka hipoksia jaringan
yang sudah terjadi akan semakin diperberat karena pada kondisi sepsis
terjadi disfungsi mitokondria untuk melakukan ekstraksi oksigen. Keadaan
tersebut mengakibatkan VO2 berada di bawah titik kritis DO2 sehingga
terjadi metabolisme anaerob dan peningkatan produksi laktat.9
Setelah adanya beberapa studi yang menunjukkan bahwa
peningkatan kadar laktat pada metabolisme anaerob disebabkan adanya
ketidakseimbangan oksigen sistemik, hal ini dapat menjadi pemicu untuk
meningkatkan DO2 atau menurunkan kebutuhan oksigen, mencakup
pemberian cairan, agen inotropik, transfusi sel darah merah, pemberian
ventilasi mekanik, agen sedatif dan analgetik.28-31 Pada terapi yang
diberikan berdasarkan pemantauan laktat, kadar laktat menurun secara
signifikan bersamaan dengan peningkatan ScvO2. Tingkat mortalitas dan
lama perawatan di ruang rawat intensif juga menurun pada terapi yang
dipandu berdasarkan kadar laktat darah.29,31
Parameter-parameter di atas sebagai pedoman resusitasi mikrosirkulasi,
berfungsi sebagai “warning signal” apabila kadarnya meningkat dalam darah,
bahwa resusitasi yang dilakukan masih belum cukup, meskipun tanda-tanda vital
pasien masih dalam batas normal. Hal ini disebabkan karena tanda-tanda vital
seperti tekanan darah dan frekuensi nadi seringkali tidak berubah sampai pasien
mencapai keadaan kritis. Beberapa faktor seperti nyeri, ansietas dapat
berkontribusi meningkatkan tonus simpatis, mempengaruhi tanda vital tersebut
sehingga tanda vital menjadi tidak sensitif untuk memonitor perfusi jaringan yang
adekuat.2
2.3 Skor Modified Sequential Organ Failure Assesment (MSOFA)
Pada pasien dengan penyakit kritis, dapat terjadi ketidakseimbangan antara DO2
dan VO2. Sindrom gagal organ multipel merupakan pola klinis dari disfungsi
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
22
organ yang beruntun dan progresif yang biasa terjadi pada pasien dengan penyakit
kritis.32 Skor Sequential Organ Failure Assesment (SOFA) merupakan salah satu
skor untuk menilai derajat disfungsi organ dan prediktor mortalitas pada pasienpasien kritis. Skor ini dikembangkan oleh European Society of Critical Care
Medicine (ESCCM) pada tahun 1994 untuk menilai derajat disfungsi organ pada
pasien sepsis di ICU dengan nama Sepsis-related Organ Failure Assesment.33
Selanjutnya terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa skor ini juga
dapat digunakan pada pasien non-sepsis, sehingga skor ini dapat digunakan pada
semua pasien kritis.34-36 Dalam penilaian skor SOFA, terdapat enam sistem organ
yang dinilai menggunakan skor 1-4 berdasarkan derajat disfungsinya, yaitu sistem
respirasi, sirkulasi, ginjal, hematologi, hepar dan sistem saraf pusat dengan skor
maksimal 24.35 Penilaian skor SOFA dapat dilihat pada tabel 2.2. Penilaian skor
SOFA secara berkala dapat digunakan sebagai prediktor yang baik untuk
prognosis pada pasien-pasien kritis. Adanya peningkatan skor SOFA dalam 72
jam pertama di unit perawatan intensif dapat memperkirakan tingkat kematian ≥
50%. 34,36
Tabel 2.2. Skor Sequential Organ Failure Assessment (SOFA)
Sistem organ
Respirasi
PaO2/FiO2,
mmHg
Koagulasi
Trombosit,
x103/mm3
Hepar
Bilirubin, mg/dl
Kardiovaskular
Hipotensi
0
1
2
3
4
>400
<400
<300
<200 atau
dengan bantuan
respirasi
<100 atau
dengan bantuan
respirasi
>150
<150
<100
<50
<20
<1,2
Tidak
ada
hipotensi
1,2-1,9
MAP
<70
mmHg
2-5,9
Dop ≤ 5 atau
dobu (dosis
apapun)*
6,0-11,9
Dop >5 atau epi
≤0,1, atau
norepi ≤ 0,1*
>12,0
Dop >15 atau
epi >0,1 atau
norepi > 0,1*
Sistem saraf
pusat
GCS
15
13-14
10-12
6-9
<6
Ginjal
Creatinin, mg/dl
<1,2
1,2-1,9
2,0-3,4
3,5-4,9
>5,0
atau produksi
atau <500
atau <200
urine
ml/hari
ml/hari
*Dop: dopamin, dobu: dobutamin, epi: epinefrin, norepi: norepinefrin, dosis dalam μg/kgBB/menit
Telah diolah kembali dari: Vincent JL, de Mendoca A, Cantraine F, Moreno R, Takala J, Suter P,
et al. Use of the SOFA score to assess the incidence of organ dysfunction/failure in intensive care
units: results of a multicenter, prospective study. Crit Care Med 1998;26:1793-800
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
23
Dalam perkembangan selanjutnya,
Grissom dkk memperkenalkan
modifikasi skor SOFA yaitu Modified Sequential Organ Failure Assesment
(MSOFA), yang lebih sederhana dan mudah diterapkan di triase unit gawat
darurat. Dalam penilaian skor MSOFA, komponen trombosit dieliminasi,
komponen tekanan parsial oksigen arteri (PaO2) digantikan dengan saturasi
oksigen arteri yang diukur dengan alat pulse oximeter (SpO2), komponen bilirubin
digantikan dengan penilaian klinis adanya sklera yang ikterus atau jaundice. Nilai
laboratorium yang diperlukan hanya kadar kreatinin darah, yang mudah dilakukan
di unit gawat darurat.10 Skor MSOFA ini juga dapat digunakan dalam
memprediksi mortalitas pada pasien kritis, baik dalam kasus medis maupun
bedah, dan sama efektifnya seperti skor SOFA.10,37 Pada penelitian Grissom dkk,
nilai skor MSOFA 0-7 memiliki tingkat mortalitas 4%, skor 8-11 memiliki tingkat
mortalitas 31%, dan skor >11 memiliki tingkat mortalitas 58%.10
Tabel 2.3. Skor Modified Sequential Organ Failure Assesment (MSOFA)
Sistem Organ
Respirasi
(SpO2/FiO2)
Hepar
Kardiovaskuler
0
1
2
3
4
> 400
≤ 400
≤ 315
≤ 235
≤ 150
Ikterus (-)
Ikterus (-)
Ikterus (-)
Tidak
hipotensi
MAP <70
mmHg
Dop atau
dobu≤ 5
Ikterus (+)
Dop >5,
epi ≤ 0.1,
norepi ≤ 0.1
Ikterus (+)
Dop >15,
epi > 0.1,
norepi > 0.1
Sistem saraf
15
13-14
10-12
6-9
<6
pusat (GCS)
Ginjal
<1.2
1.2-1.9
2-3.4
3.5-4.9
>5
(creatinine,
mg/dL)
*Dop: dopamin, dobu: dobutamin, epi: epinefrin, norepi: norepinefrin, dosis dalam μg/kgBB/menit
Telah diolah kembali dari: Grissom CK, Brown SM, Kuttler KG, Boltax JP, Jones J, Jephson AR
et al. A modified sequential organ failure assessment score for critical care triage. Disaster
Medicine and Public Health Preparedness 2010;4:277-84
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
24
2.4 Kerangka Teori
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
25
2.3 Kerangka Konsep
Keterangan :
: Variabel independen
: Variabel dependen
: Variabel perancu
: hubungan
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1
Desain Penelitian
Desain penelitian ini adalah uji klinis tersamar tunggal dengan randomisasi
3.2
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di IGD RSCM pada bulan Desember 2013 sampai Maret
2014.
3.3
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi target adalah penderita KAD berusia 18-70 tahun. Populasi terjangkau
adalah penderita KAD berusia 18-70 tahun di IGD RSCM pada bulan Desember
2013 sampai Maret 2014. Sampel penelitian adalah bagian dari populasi
terjangkau yang memenuhi kriteria penelitian sampai jumlah yang diperlukan
terpenuhi.
3.4
Kriteria Inklusi, Eksklusi dan Pengeluaran
3.4.1
Kriteria inklusi:

Pasien KAD usia 18-70 tahun.

Pasien atau keluarga yang mewakili menyatakan bersedia secara
tertulis untuk subyek diikutsertakan dalam penelitian
3.4.2

Kriteria eksklusi:
Pasien dengan gagal ginjal kronik stadium 5 on hemodialisis atau
pasien gagal ginjal kronik dengan restriksi cairan atau GFR<15
ml/mnt

Dekompensasio kordis

Infark miokard akut dengan tanda-tanda dekompensasio kordis

Cedera kepala dengan tanda-tanda edema serebri

Terdapat kontraindikasi pemasangan kateter vena sentral pada
pasien

Sirosis hepatis
26
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
27

Peningkatan tekanan intrakranial (TIK) karena adanya Space
Occupying Lesion (SOL)
3.4.3

Kriteria Pengeluaran:
Dalam
pengamatan
selama
penelitian,
pasien
mengalami
dekompensasio kordis atau edema paru

Dalam waktu < 6 jam sejak dimulai protokol penelitian, pasien
meninggal dunia

Ujung kateter vena sentral tidak berada di vena kava superior
Besar Sampel
3.5
Masalah pada penelitian ini diklasifikasikan pada analitik komparatif numerik
tidak berpasangan. Kesalahan tipe I sebesar 5%, hipotesis satu arah, kesalahan
tipe II sebesar 20%.
n1 = n2 = 2 (Zα+Zβ)2s2
(3.1)
(x1-x2)2
Zα = kesalahan tipe I, ditetapkan 5% hipotesis satu arah, maka nilainya 1.645
Zβ = kesalahan tipe II, ditetapkan 20%, maka nilainya 0.842
S = simpangan baku, nilainya 1.99
X1 = nilai skor MSOFA pada kelompok subyek yang mendapatkan resusitasi
cairan berdasarkan protokol KAD konvensional
X2 = nilai skor MSOFA pada kelompok subyek yang mendapatkan resusitasi
cairan berdasarkan protokol EGDT
(X1-X2) = perbedaan nilai skor MSOFA yang dianggap bermakna adalah 2
Maka n1=n2 =12.2=13
3.6
Cara Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel secara non probabilitas sampling (consecutive sampling).
Semua pasien KAD di IGD RSCM yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak
dieksklusi pada periode Desember 2013 sampai Maret 2014 diambil sebagai
sampel.
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
28
3.7
Alokasi Sampel
Peneliti mengambil semua subyek yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak
dieksklusi hingga jumlah subyek minimal terpenuhi.
3.8
Cara Kerja penelitian
Setelah mendapat persetujuan penelitian dari Komite Etik Fakultas Kedokteran
Indonesia maka dilakukan pengambilan sampel di IGD RSCM. Keluarga pasien
diberikan lembar informasi dan dijelaskan mengenai tujuan penelitian,
pemeriksaan yang akan dilakukan, terapi yang akan diberikan, serta manfaat
penelitian. Keluarga pasien yang menyatakan bersedia untuk pasien diikutsertakan
dalam penelitian diminta mengisi dan menandatangani lembar persetujuan yang
akan dikembalikan pada peneliti, kemudian dilakukan seleksi subyek penelitian
dengan memperhatikan kriteria penelitian
Diagnosis KAD ditegakkan berdasarkan pemeriksaan gula darah sewaktu,
analisa gas darah arteri dan keton darah. Subyek penelitian yang telah terdiagnosis
KAD, akan dilakukan penilaian awal oleh PPDS Anestesi tahap Mandiri berupa
kesadaran yang dinilai dalam bentuk skala Glasgow Coma Scale (GCS),
pemeriksaan tanda-tanda vital berupa tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi
napas dan pemeriksaan adanya sklera atau warna kulit yang ikterik atau tidak.
Subyek penelitian juga akan dilakukan pemasangan akses intravena perifer dan
kateter vena sentral, kateter urine, serta dilakukan pemeriksaan darah perifer
lengkap, ureum dan kreatinin darah, elektrolit darah dan laktat darah. Setelah
kateter vena sentral terpasang, dilakukan konfirmasi letak ujung kateter vena
sentral melalui foto rontgen dada, penilaian tekanan vena sentral oleh PPDS
Anestesi tahap Mandiri dan pemeriksaan analisa gas darah dengan sampel yang
diambil dari ujung kateter vena sentral.
Subyek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak dieksklusi
mendapat perlakuan terapi sebagai kelompok kontrol atau sebagai kelompok
perlakuan (EGDT) berdasarkan tabel randomisasi. Subyek yang termasuk dalam
kelompok kontrol akan mendapatkan terapi cairan, koreksi insulin, kalium dan
bikarbo nat sesuai protokol penatalaksanaan KAD secara konvensional seperti
yang tertera pada tabel 3.1. Sedangkan subyek yang termasuk dalam kelompok
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
29
perlakuan, akan mendapatkan koreksi insulin, kalium dan bikarbonat sesuai
dengan kelompok kontrol yaitu sama seperti protokol penatalaksanaan KAD
secara konvensional, namun terapi cairan pada kelompok perlakuan selama 6 jam
pertama diberikan berdasarkan strategi EGDT seperti tertera pada gambar 3.1.
Terapi cairan setelah jam ke-6 di kedua kelompok diberikan sesuai kebutuhan
pasien berdasarkan penilaian dokter yang merawat.
Tabel 3.1. Protokol Penatalaksanaan KAD dengan Cairan, Insulin dan Bikarbonat
Sesuai Panduan Pelayanan Medik RSCM
Jam ke
0
Pemberian
cairan
Insulin
Koreksi
Kalium
Koreksi
bikarbonat
2 kolf dalam ½ jam,
Bila pH:
selanjutnya ½ kolf
<7 : 100 meq
dalam 1 jam
7-7,1 : 50 meq
>7,1 : tidak diberikan
1
2 kolf
2
1 kolf
3
2 kolf
4
½ kolf
5
½ kolf
6
dan
Pada jam ke-2:
Bolus 180mU/kgBB
dilanjutkan dengan drip
insulin 90 mU/kgBB/jam
dalam cairan resusitasi
Bila GDS<200, kecepatan
dikurangi menjadi
45mU/kgBB/jam.
Bila GDS stabil (200300mg%) selama 12 jam
dilakukan drip insulin 1-2 U
perjam, dan sliding scale tiap
6 jam.
50 meq/6 jam
Bila kadar K
<3 : 75meq/6jam
3-4,5 : 50 meq/6jam
4,5-6 : 25 meq/6jam
>6
: tidak
diberikan
Dosis insulin subkutan:
seterusnya
<200 mg%
tergantung
200-250
5U
250-300
10U
300-350
15U
>350
20U
kebutuhan
Bila GDS<200, ganti dengan Dextrose
5%
Setelah sliding tiap 6 jam
dapat dihitung kebutuhan
insulin per hari
Bila sudah sadar
dapat dberikan
Kalium oral selama
semingu
kenaikan pH akan
diikutin penurunan K,
oleh karena itu
pemberian bikarbonat
disertai dengan
pemberian kalium.
Sumber: Nasir A, Rani A, Soegondo S. Pedoman pelayanan medik ilmu penyakit dalam. Jakarta:
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2004. p.36-7
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
30
Gambar 3.1. Protokol Penelitian Pemberian Cairan pada KAD Berdasarkan
Strategi EGDT
Pada kelompok EGDT, setelah subyek dilakukan penilaian awal berupa
tanda-tanda vital dan kesadaran serta dilakukan pemasangan kateter vena sentral,
dinilai tekanan vena sentral (CVP). Apabila CVP < 8 mmHg atau < 10 cmH2O,
maka diberikan cairan sebanyak 30 cc/kgBB dalam 30 menit sampai tercapai CVP
8-12 mmHg atau 10-15 cmH2O. Setelah tercapai CVP tersebut, apabila nilai Mean
Arterial Pressure (MAP) masih < 65 mmHg, maka dapat dilakukan pemberian
agen vasoaktif secara titrasi sampai nilai MAP mencapai > 65 mmHg. Setelah
nilai MAP tercapai, apabila nilai saturasi oksigen vena sentral (ScvO2) < 70% dan
nilai hematokrit (Ht) darah < 30% maka dilakukan transfusi darah sampai nilai Ht
mencapai > 30%. Apabila nilai Ht telah >30% namun nilai ScvO2 masih < 70%,
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
31
maka dilakukan pemberian agen inotropik secara titrasi sampai nilai ScvO2
mencapai > 70%. Setelah nilai ScvO2 mencapai > 70%, dilakukan penilaian
P(cv-a)CO2. Apabila nilai P(cv-a)CO2 ≤ 6, maka target telah tercapai. Namun
apabila nilai P(cv-a)CO2 > 6, maka akan dilakukan penilaian ulang mulai dari
nilai CVP dan seterusnya seperti tertera pada gambar 3.1. Resusitasi cairan secara
EGDT ini dilakukan dalam 6 jam pertama sejak pasien terdiagnosis KAD.
Subyek di kedua kelompok akan tetap diberikan antibiotik yang adekuat
apabila terdapat infeksi, suplementasi oksigen apabila PO2 < 80 mmHg atau
pemberian ventilasi mekanik jika terjadi gagal napas yaitu PO2 arteri < 60 mmHg
atau PCO2 arteri > 45 mmHg, pemberian heparin bila terjadi DIC atau
hiperosmoler berat (> 380 mOsm/l), pemberian diuretik bila terdapat tanda-tanda
overload cairan atau edema paru, pemasangan water sealed drainage apabila
terjadi pneumotoraks, dan penatalaksanaan bila terjadi kondisi kegawatdaruratan.
Data penelitian diambil oleh PPDS Anestesi tahap magang dan dicatat
dalam lembar penelitian. Setiap satu jam selama enam jam pertama, jam ke-12,
jam ke-24, jam ke-48 dan jam ke-72 dilakukan pemeriksaan tanda vital berupa
tingkat kesadaran, tanda ikterus, tekanan darah, frekuensi napas, frekuensi nadi,
CVP, SpO2, diuresis, dan jumlah cairan yang diberikan. Pemeriksaan kadar gula
darah sewaktu (GDS) dilakukan setiap jam selama 6 jam pertama, jam ke-12, jam
ke-24, jam ke-48 dan jam ke-72. Pemeriksaan AGD arteri, vena sentral, elektrolit
darah dilakukan pada awal penelitian, jam ke-6, jam ke-12 dan jam ke-24. Keton
darah diperiksa setiap 6 jam sampai jam ke-72. Ureum dan kreatinin darah
diperiksa pada jam ke 0, jam ke 6, jam ke 24 dan jam ke 72. Dosis insulin yang
diberikan serta agen vasoaktif maupun inotropik yang diberikan akan dicatat
selama 6 jam dan 72 jam pertama. Nilai skor MSOFA akan dinilai oleh PPDS
Anestesi tahap magang pada jam ke-0, jam ke-6 dan jam ke-72. Pasien akan di
follow-up selama 28 hari ke depan untuk menilai tingkat mortalitas.
Karakteristik subyek penelitian berupa usia subyek, jenis kelamin, tipe
DM, faktor pencetus KAD, parameter-parameter makrosirkulasi (berupa GCS,
MAP, CVP, produksi urine, kadar gula darah sewaktu, dan keton darah),
parameter-parameter mikrosirkulasi (berupa ScvO2, laktat darah, P(cv-a)CO2)
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
32
akan dilaporkan secara deskriptif pada kedua kelompok. Rerata nilai skor
MSOFA dan jumlah kematian akan dibandingkan antara kedua kelompok.
Subyek Penelitian
Kelompok kontrol
Kelompok perlakuan
Dilakukan penilaian awal berupa GCS, tekanan darah, frekuensi nadi dan
napas.
Dilakukan pemasangan akses intravena perifer, CVC, kateter urine.
Subyek diambil darah untuk pemeriksaan DPL, GDS, Keton, AGD arteri
dan vena, elektrolit, ureum dan kreatinin darah, laktat darah.
Konfirmasi ujung CVC di vena kava superior dengan Rontgen thoraks
dilanjutkan penilaian CVP.
Kelompok kontrol mendapat
terapi cairan, koreksi insulin,
kalium dan bikarbonat sesuai
protokol KAD konvensional
sesuai yang tercantum pada
tabel 3.1.
Kelompok perlakuan mendapat terapi
cairan sesuai protokol goal directed
therapy seperti yang tercantum pada
gambar 3.1.
Koreksi insulin, kalium dan bikarbonat
sesuai
dengan
protokol
KAD
konvensional sesuai tabel 3.1.
Dilakukan pemeriksaan GCS, tekanan darah, nadi, napas, SpO2, produksi urine,
jumlah cairan yang diberikan tiap 1 jam selama 6 jam pertama, jam ke-6, jam ke-12,
jam ke-24, jam ke-48 dan jam ke-72
Pemeriksaan GDS setiap jam selama 6 jam pertama, jam ke-12, jam ke-24, jam ke-48,
jam ke-72.
Pemeriksaan AGD arteri, vena sentral, laktat pada jam ke-0, jam ke-6, dan jam ke-24
Pemeriksaan keton darah pada jam ke-0, jam ke-6, jam ke-12, jam ke-24, jam ke-48,
jam ke-72
Pemeriksaan ureum dan kreatinin darah jam ke-0, jam ke-6, jam ke-72.
Skor MSOFA dihitung pada jam ke-0, jam ke-6, jam ke-72
Pasien di follow up selama 28 hari untuk menghitung tingkat mortalitas
Gambar 3.2. Alur Penelitian
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
33
3.9
Analisis Data
Seluruh data dicatat pada formulir data dan dipindahkan ke media penyimpanan
elektronik untuk dilakukan kodifikasi data, untuk kemudian siap dideskripsi dan
dianalisis. Penyajian untuk hasil deskriptif dan analisis dibuat dalam bentuk teks
(naskah), tabel, maupun gambar sesuai keperluan.
Data numerik bila terdistribusi normal akan disajikan dalam bentuk rerata
dengan simpangan bakunya, namun bila data tidak terdistribusi normal akan
disajikan dalam bentuk median dengan minimum-maksimumnya. Data kategorik
akan disajikan jumlah dan presentasenya.
Analisis data menggunakan program SPSS dengan menggunakan uji t
tidak berpasangan jika sebaran data normal, atau menggunakan uji Mann Whitney
bila sebaran data tidak normal. Perbedaan kedua kelompok dianggap signifikan
apabila nilai p < 0,05. Uji normalitas data menggunakan uji Saphiro-Wilk.
3.10
Batasan Operasional
1. Ketoasidosis diabetikum (KAD): kondisi katabolisme pada diabetes
mellitus yang tidak terkontrol yang dipicu oleh defisiensi insulin baik
relatif maupun absolut.2 Kriteria diagnosis KAD ialah :1,38
o
Gula darah sewaktu saat masuk rumah sakit >250 mg/dL
o
Keton darah positif atau > 0.6
o
pH darah arteri < 7.35 dan/atau HCO3 < 18 meq/L dan/atau anion
gap > 10 meq/L
Diagnosis KAD ditetapkan dengan memenuhi ketiga kriteria diagnosis di
atas oleh PPDS Ilmu Penyakit Dalam ataupun PPDS Anestesi tahap
Mandiri.
2. Protokol EGDT: Protokol resusitasi cairan berdasarkan penelitian Rivers
dkk yang menggunakan parameter mikrosirkulasi sebagai target akhir
resusitasi. Protokol EGDT dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar
3.1. Pelaksanaan protokol EGDT dapat dilihat pada subbab 3.8. Protokol
EGDT dalam penelitian ini dilakukan oleh peneliti (PPDS Anestesi tahap
Mandiri)
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
34
3. Protokol KAD Konvensional : Protokol penatalaksanaan KAD yang saat
ini berlaku di RSCM. Protokol KAD Konvensional dapat dilihat pada
tabel 3.1 dan subbab 3.8. Protokol KAD Konvensional dilakukan oleh
PPDS Ilmu Penyakit Dalam yang bertugas di ruang resusitasi.
4. Keberhasilan Resusitasi Cairan : Keberhasilan resusitasi cairan pada
pasien KAD akan dinilai dengan rerata nilai skor MSOFA pada kelompok
EGDT yang lebih rendah pada jam ke-6 dan jam ke-72 serta tingkat
mortalitas dalam 28 hari kelompok EGDT yang lebih rendah dibandingkan
kelompok yang diresusitasi menggunakan protokol konvensional. Dalam
hal ini perbedaan nilai skor MSOFA yang dianggap bermakna ialah 2.10
Skala : Numerik
5. Gagal ginjal kronik: kerusakan ginjal baik kelainan secara struktural
maupun fungsional ginjal, dengan atau tanpa penurunan Glomerular
Filtration Rate (GFR) < 60 mL/menit/1.73 m2 selama ≥ 3 bulan. Gagal
ginjal kronik dibagi menjadi beberapa stadium:39
Tabel 3.2. Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik
Stadium
Deskripsi
1
Kerusakan ginjal dengan GFR
normal atau ↑
2
Kerusakan ginjal dengan ↓
GFR ringan
3
↓ GFR sedang
4
↓ GFR berat
5
Gagal ginjal
GFR (mL/menit/1.73 m2)
≥ 90
60-89
30-59
15-29
<15 (atau dialisis)
Telah diolah kembali dari: National kidney foundation. KDQI clinical practice guidelines for
chronic kidney disease: evaluation, classification, and stratification [Online]. 2002 [diunduh 26
Desember 2013]. Tersedia di: URL:http:// www.kidney.org
6. Dekompensasio kordis atau gagal jantung kongestif: ketidakmampuan
jantung untuk mempertahankan curah jantung untuk mencukupi kebutuhan
tubuh, paling sering disebabkan oleh infark miorkard yang mempengaruhi
ventrikel kanan atau kiri jantung. Diagnosis dekompensasio kordis dibuat
berdasarkan kriteria Framingham, yaitu minimal memenuhi 2 kriteria
mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor. Kriteria mayor tersebut
antara lain: 40
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
35
- kardiomegali pada rontgen thoraks
- bunyi jantung ke-3 atau gallop
- edema paru akut
- paroxysmal nocturnal dyspnea
- rhonki pada auskultasi paru
- CVP > 16 cmH2O
- distensi vena jugularis
- tes abdominojugular positif
- penurunan berat badan > 4.5 kg dalam 5 hari sebagai respon terapi
Kriteria minor antara lain :
- takikardia > 120x/menit
- batuk yang bersifat nokturnal
- dispnea yang diperberat saat berajtivitas
- efusi pleura
- penurunan kapasitas vital sebanyak 1/3 dari nilai maksimal
- hepatomegali
- edema tungkai bilateral
Diagnosis dekompensasio kordis dapat dibuat oleh PPDS Ilmu Penyakit
Dalam atau PPDS Anestesi tahap Mandiri.
7. Sirosis hepatis: komplikasi berbagai kelainan hepar yang menyebabkan
struktur dan fungsi hepar menjadi abnormal. Diagnosis pasti sirosis hepatis
ialah melalui pemeriksaan histopatologi yang didapat melalui biopsi hepar.
Diagnosis sirosis hepatis juga dapat dibuat berdasarkan gejala-gejala yang
timbul maupun dari pemeriksaan fisik dan penunjang seperti USG hepar.
Gejala dan tanda sirosis hepatis antara lain: riwayat konsumsi alkohol atau
penyalahgunaan obat intravena dalam waktu lama, riwayat hepatitis B atau
C kronik, hepatomegali dan/atau splenomegali, teleangiektasis pada kulit,
ikterus, asites, edema tungkai, hipoalbuminemia, peningkatan enzim hepar
seperti SGOT dan SGPT.41
8. Edema serebri: akumulasi cairan berlebih pada ruang intrasel atau
ekstrasel dari jaringan otak. Edema serebri dapat disebabkan oleh trauma
fisik atau sebab non traumatik pada jaringan otak seperti stroke iskemik,
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
36
keganasan, atau inflamasi jaringan otak. Diagnosis edema serebri dapat
ditegakkan melalui CT scan kepala atau gejala dan tanda peningkatan
tekanan intrakranial seperti mual, muntah, gangguan penglihatan, kejang
dan penurunan kesadaran sampai koma.42
9. Edema paru: akumulasi cairan di parenkim paru sehingga mengganggu
pertukaran gas dan dapat menyebabkan terjadinya gagal napas. Gejala dan
tanda edema paru ialah kesulitan bernapas, pink, frothy sputum,
orthopnea, dan/atau paroxysmal nocturnal dyspnea, edema tungkai,
peningkatan tekanan vena jugularis dan hepatomegali, rhonki pada
auskultasi paru dan adanya bunyi jantung ke-3. Diagnosis edema paru
dibuat berdasarkan gejala dan tanda klinis serta pemeriksaan rontgen
thoraks yang menggambarkan adanya cairan di alveolus paru, Kerley B
lines, peningkatan corakan vaskuler di daerah hillus, dan efusi pleura.43
Diagnosis edema paru dilakukan oleh PPDS Anestesi tahap Mandiri.
10. Peningkatan tekanan intrakranial (TIK) karena Space Occupying Lesion
(SOL): terdapatnya gejala-gejala peningkatan tekanan intrakranial seperti
nyeri kepala, mual, muntah proyektil, kejang dan penurunan kesadaran
yang disebabkan oleh keganasan intrakranial, adanya hematoma atau abses
serebri. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik serta pemeriksaan penunjang berupa CT scan kepala.
Diagnosis dilakukan oleh PPDS Anestesi tahap Mandiri
11. Usia: usia biologis subyek dalam tahun dari tanggal subyek dilahirkan
sampai saat data penelitian diambil. Pada penelitian diambil subyek yang
berusia ≥ 18 tahun 0 hari sampai ≤ 70 tahun 0 hari.
Skala: numerik
12. Jenis Kelamin: status biologis subyek, berupa laki-laki atau perempuan.
Skala: kategorik
13. Tipe Diabetes Mellitus (DM): Tipe DM subyek, dibagi menjadi:
a. DM tipe 1: DM yang disebabkan oleh kerusakan sel beta pankreas
sehingga terjadi defisiensi insulin absolut dan membutuhkan terapi
insulin pengganti, atau disebut juga dengan Insulin Dependent
Diabetes Mellitus (IDDM).44
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
37
b. DM tipe 2: DM yang disebabkan oleh kelainan pada fungsi sel beta
pankreas sehingga menyebabkan terjadinya resistensi insulin. Pada
DM tipe ini terjadi defisiensi insulin relatif, sehingga tidak
tergantung pada suplai insulin eksogen atau disebut juga dengan
Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). 44
c. DM tipe lain : termasuk di dalamnya DM yang disebabkan oleh
kerusakan pankreas (pankreatitis) atau peningkatan hormonhormon counter-regulasi (misalnya sindrom Cushing).44
d. DM gestasional (DMG): DM yang terjadi pada wanita hamil
cenderung mengalami perbaikan setelah partus. 44
Skala: kategorik
14. Faktor Pencetus KAD: faktor-faktor yang dapat menyebabkan timbulnya
KAD, dibagi menjadi infeksi, penghentian terapi DM dan lain-lain. Data
didapatkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan oleh
PPDS Anestesi tahap Mandiri.
Skala: kategorik
15. Glasgow Coma Scale (GCS): skala untuk menilai tingkat kesadaran
subyek. Skala GCS dinilai oleh PPDS Anestesi tahap Mandiri dengan
memberi skor sesuai respons mata, verbal dan motorik terhadap pemberian
stimulus sesuai dengan tabel 3.3. Skor dijumlahkan untuk mendapatkan
total skor GCS yaitu dari nilai terendah 3 sampai nilai tertinggi yaitu 15.45
Skala: numerik
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
38
Tabel 3.3. Penilaian Glasgow Coma Scale (GCS)
Kategori
Eye (Mata)
Verbal
response
(respon
verbal)
Motor
response
(Respons
motorik)
Deskripsi
Membuka spontan
Membuka dengan stimulus, perintah, atau kata-kata
Membuka hanya dengan stimulus nyeri
Tidak ada respons
Orientasi baik
Disorientasi dalam percakapan, namun dapat menjawab
pertanyaan yang diajukan
Kata-kata tidak membentuk kalimat
Tidak membentuk kata-kata
Tidak ada respons
Gerakan mematuhi perintah
Gerakan bertujuan terhadap stimulus nyeri
Respons menghindar terhadap nyeri
Respons fleksi terhadap nyeri (postur dekortikasi)
Respons ekstensi terhadap nyeri (postur deserebrasi)
Tidak ada respons
Skor
4
3
2
1
5
4
3
2
1
6
5
4
3
2
1
Telah diolah kembali dari: Centers for Disease Control and Prevention. Glasgow coma
scale [Online]. 2003 [diunduh 18 Desember 2013]. Tersedia di:
URL://http:www.bt.cdc.gov
16. Mean Arterial Pressure (MAP): tekanan rerata arteri yang didefinisikan
sebagai daerah di bawah kurva tekanan darah dibagi dengan waktu yang
diperlukan untuk satu siklus jantung. MAP ini dapat dihitung berdasarkan
tekanan darah sistolik dan tekanan diastolik yang diukur secara invasif
maupun noninvasif dengan menggunakan formula:46
MAP = (2 TDD + TDS) / 3
(3.2)
Dengan TDD merupakan tekanan darah diastolik dan TDS merupakan
tekanan darah sistolik.46
Pengukur : PPDS Anestesi tahap Mandiri
Alat ukur: MAP diukur secara non invasif dengan menggunakan
tensimeter digital merk Phillips atau tensimeter manual.
Skala: numerik
17. Tekanan vena sentral (CVP): tekanan yang diukur pada vena sentral yang
dekat dengan jantung. Tekanan ini merefleksikan tekanan rerata atrium
kanan dan digunakan untuk memperkirakan preload jantung. CVP dapat
diukur secara manual dengan menggunakan manometer atau secara
kontinu dengan menggunakan transduser. CVP dapat diukur setelah letak
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
39
ujung kateter vena sentral dikonfirmasi berada di vena cava superior, tepat
sebelum atrium kanan melalui rontgen thoraks.47
Alat ukur: kateter vena sentral, penggaris CVP, manometer CVP
Cara ukur: Pada awalnya ditetapkan nilai nol CVP secara manual dahulu
yaitu setinggi atrium kanan, atau setinggi garis mid aksilaris apabila pasien
dalam posisi tidur terlentang. Nilai CVP didapatkan dengan menutup three
way ke arah pasien, alirkan cairan ke arah tabung pengukur, kemudian
arahkan three way ke arah pasien dan tabung pengukur. Cairan pada
tabung pengukur akan mengalir turun sampai level tertentu. Jarak antara
level tersebut dengan nilai nol yang sudah ditetapkan sebelumnya
merupakan nilai CVP dalam cmH2O.47
Pengukur: PPDS Anestesi tahap Mandiri.
Skala: numerik
18. P(cv-a)CO2: selisih kadar karbondioksida vena sentral dan arteri yang
menggambarkan adekuat atau tidaknya aliran darah vena intuk
mengeluarkan CO2 yang diproduksi oleh jaringan perifer.24 Nilai normal
< 6 mmHg.
Alat ukur: mesin periksa analisis gas darah (AGD) di laboratorium IGD
RSCM.
Cara ukur: sampel darah arteri dan sampel darah vena dari CVC diperiksa
untuk analisis gas darah dan dihitung selisih PCO2 antara keduanya.
Skala: numerik
19. Saturasi oksigen vena sentral (ScvO2): saturasi oksigen darah yang
kembali ke jantung yang menggambarkan kecukupan penghantaran
oksigen (DO2) ke jaringan berkaitan dengan kebutuhan oksigen jaringan
global (VO2).16 Nilai normal: ≥ 70 %
Alat ukur: mesin periksa analisis gas darah (AGD) di laboratorium IGD
RSCM
Cara ukur: Sampel darah vena diambil dari ujung distal kateter CVC
(warna kuning) untuk kemudian diperiksa analisis gas darah dan dilihat
saturasi oksigennya.
Skala: numerik
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
40
20. Kadar laktat: hasil dari metabolisme seluler anaerob yang meningkat pada
keadaan hipoperfusi yaitu ketika piruvat tidak dapat memasuki siklus
krebs dan selanjutnya proses fosforilasi oksidatif mitokondria akibat tidak
cukupnya suplai oksigen selular.27 Nilai normal <2 mmol/L
Alat ukur: mesin pengukur kadar laktat darah di laboratorium IGD RSCM
Cara ukur: sampel untuk pengukuran kadar laktat diambil dari darah vena,
arteri, atau dari vena sentral.
Skala: numerik
21. Vasopresor dan inotropik: vasopresor ialah beberapa jenis obat-obatan
yang dapat menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan MAP. Yang
termasuk ke dalam vasopresor ialah epinefrin, norepinefrin, fenilefrin,
vasopresin. Inotropik ialah beberapa jenis obat-obatan yang dapat
meningkatkan kontraktilitas jantung, seperti dobutamin, dopamin, dan lain
sebagainya.48
22. Skor Modified Sequential Organ Failure Assessment (MSOFA): sistem
skoring untuk menilai derajat disfungsi organ pada pasien dengan
memberi skor berdasarkan sistem respirasi, hepar, kardiovaskuler, sistem
saraf pusat dan ginjal. Semakin tinggi nilai skor MSOFA, derajat disfungsi
organ semakin tinggi dan prognosis subyek akan semakin buruk.10
Cara ukur: nilai skor MSOFA dihitung berdasarkan tabel 2.3 oleh PPDS
Anestesi tahap Mandiri kemudian dimasukkan ke dalam data penelitian.
Skala: numerik
23. Tingkat mortalitas: presentase orang yang didiagnosa dengan penyakit
tertentu kemudian meninggal karena penyakit tersebut dalam kurun waktu
tertentu.
Cara ukur: subyek akan diikuti perjalanan penyakitnya oleh peneliti
sampai jam ke-72 penelitian dan hari ke-28 apakah pasien meninggal atau
tidak.
Skala: numerik
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
41
3.11
Etika
Data diperoleh dari subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak
dieksklusi. Identitas subyek penelitian akan disamarkan, dan dirahasiakan. Data
akan dipublikasikan dalam jurnal ilmiah nasional dengan tetap menjaga
kerahasiaan subyek penelitian.
Sebelum data diambil dari subyek penelitian, subyek akan terlebih dulu
dijelaskan mengenai perlakuan yang akan diterima, prosedur penelitian, risiko
yang mungkin dialami subyek selama penelitian, manfaat penelitian, prosedur
penyelamatan bila terjadi kegawatdaruratan, dan menjamin kerahasiaan identitas
subyek. Pengambilan data penelitian berdasarkan sukarela dan persetujuan secara
tertulis dari subyek penelitian.
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Instalasi Gawat Darurat RSCM pada bulan Desember
2013 sampai Maret 2014. Selama periode penelitian didapatkan 26 subyek
penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi.
Dari jumlah tersebut, 13 subyek masuk ke dalam kelompok kontrol dan 13 subyek
masuk ke dalam kelompok perlakuan (EGDT) berdasarkan tabel randomisasi.
Selama periode penelitian tidak terdapat subyek yang dikeluarkan maupun
terjadinya komplikasi seperti edema paru atau pneumotoraks.
4.1 Karakteristik Subyek Penelitian
Dari 26 subyek penelitian didapatkan median usia kelompok kontrol ialah 57
tahun dan kelompok EGDT ialah 50 tahun, dengan usia termuda ialah 24 tahun
dan usia tertua ialah 66 tahun. Proporsi subyek perempuan lebih banyak
dibandingkan subyek laki-laki, baik pada kelompok kontrol maupun kelompok
EGDT. Terdapat 2 pasien dengan diabetes mellitus (DM) tipe I dan 24 pasien
dengan DM tipe II. Terdapat 21 pasien dengan pencetus KAD berupa infeksi dan
5 pasien dengan pencetus KAD berupa penghentian terapi DM, 2 diantaranya
ialah penderita DM tipe I. Karakteristik subyek berdasarkan usia, jenis kelamin,
tipe DM dan pencetus KAD di kedua kelompok dapat dilihat pada tabel 4.1.
Tabel 4.1 Karakteristik Subyek Penelitian (N = 26)
Variabel
Usia (tahun), median (min-maks)
Jenis Kelamin, n (%)
Laki-laki
Perempuan
Tipe DM, n (%)
Tipe I
Tipe II
Pencetus KAD, n (%)
Infeksi
Penghentian terapi DM
Kontrol (n=13)
57 (24-66)
EGDT (n=13)
50 (25-63)
Total (N=26)
52 (24-66)
5 (38,5%)
8 (61,5%)
5 (38,5%)
8 (61,5%)
10 (38,5%)
16 (61,5%)
1 (7,7%)
12 (92,3%)
1 (7,7%)
12 (92,3%)
2 (7,7%)
24 (92,3%)
9 (69,2%)
4 (30,8%)
12 (92,3%)
1 (7,7%%)
21 (80,8%)
5 (19,2%)
42
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
43
4.2 Parameter Makrosirkulasi,
Mikrosirkulasi, Jumlah Cairan yang
Diberikan dan Penggunaan Vasopresor di Kedua Kelompok
4.2.1 Parameter Makrosirkulasi Subyek Penelitian di Kedua Kelompok
Parameter makrosirkulasi yang dinilai dalam penelitian ini antara lain tingkat
kesadaran dalam skor GCS, MAP, CVP, produksi urine, kadar gula darah dan
keton darah (tabel 4.2). Berdasarkan tingkat kesadarannya, pada awal penelitian
terdapat 17 subyek compos mentis, dengan 7 subyek dengan GCS 10-14, dan 2
subyek dengan GCS < 10. Pada jam ke-6, terdapat 16 subyek yang compos mentis
dan 7 subyek dengan GCS 10-14. Tidak terdapat subyek dengan GCS < 10 pada
jam ke-6 ini. Pada jam ke-72 setelah pengambilan data, terdapat 18 subyek
compos mentis, 7 subyek dengan GCS 10-14, dan 1 subyek dengan GCS < 10.
Perbedaan tingkat kesadaran di antara kedua kelompok baik pada awal penelitian,
jam ke-6 maupun jam ke-72, secara statistik tidak memiliki perbedaan bermakna
(p > 0,05).
Rerata MAP di kedua kelompok berada di atas 65 mmHg baik pada awal
penelitian, jam ke-6 dan jam ke-72 penelitian, dan secara statistik tidak memiliki
perbedaan bermakna (p > 0,05). Rerata CVP di kedua kelompok pada awal
penelitian berada < 10 cmH20, namun pada jam ke-6 penelitian, rerata CVP pada
kelompok EGDT lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol, akan tetapi hal ini
secara statistik tidak bermakna (p = 0,771). Pada jam ke-72 penelitian, rerata CVP
pada kelompok kontrol dan EGDT kembali berada < 10 cmH20 dan tidak berbeda
bermakna secara statistik (p = 0,623). Produksi urine di kedua kelompok pada
awal penelitian, jam ke-6 dan jam ke-72 penelitian memiliki rerata > 0,5
ml/kgBB/jam dan secara statistik tidak berbeda bermakna (p > 0,05).
Rerata kadar gula darah di kedua kelompok pada awal penelitian memiliki
nilai > 250 g/dL. Pada jam ke-6 dan jam ke-72 penelitian, rerata kadar gula darah
tersebut telah turun menjadi < 250 g/dL di kedua kelompok. Rerata kadar gula
darah sewaktu di kedua kelompok pada awal penelitian, jam ke-6 dan jam ke-72
secara statistik tidak memiliki perbedaan yang bermakna (p > 0,05).
Rerata keton darah pada awal penelitian di kelompok EGDT lebih tinggi
dibandingkan kelompok kontrol, dan secara statistik berbeda bermakna (p =
0.025). Rerata keton darah di kelompok EGDT tetap lebih tinggi dibandingkan
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
44
kelompok kontrol pada jam ke-6 dan jam ke-72 penelitian, akan tetapi perbedaan
ini secara statistik tidak bermakna (p > 0,05).
Tabel 4.2 Parameter Makrosirkulasi Subyek Penelitian di Kedua Kelompok
Variabel
Kontrol (n=13)
EGDT (n=13)
p
GCS, median (min-maks)
jam ke-0
15 (9-15)
15 (10-15)
0,629**
jam ke-6
15 (10-15)
15 (10-15)
0,363**
jam ke-72
15 (3-15)
15 (12-15)
0,064**
MAP (mmHg), rerata (SB)
jam ke-0
96,59 (16,01)
90,33 (16,12)
0,331*
jam ke-6
93,1(9,29)
94,51 (14,57)
0,771*
jam ke-72
91,08 (10,34)
89,64 (10,44)
0,728*
CVP (cmH20), rerata (SB)
jam ke-0
6,42 (3,14)
6,5 (6,0553)
0,968*
jam ke-6
7,69 (3,47)
10,12 (3,01)
0,069*
jam ke-72
9,15 (3,46)
8,5 (3,23)
0,623*
Produksi urine (ml/kg/jam)
jam ke-0, median (min-maks)
3 (1-6)
1,7 (0,6-9,6)
0,09**
jam ke-6, median (min-maks)
2 (0,8-8)
2,4 (1-11,7)
0,356**
jam ke-72, rerata (SB)
1,62 (0,91)
1,59 (0,65)
0,930*
Kadar gula darah sewaktu (g/dL),
median (min-maks)
jam ke-0, rerata (SB)
472,31 (237,59)
443,38 (172,72) 0,726*
jam ke-6, median (min-maks)
218 (76-471)
214 (93-495)
0,817**
jam ke-72, median (min-maks)
152 (86-299)
162 (73-390)
0,858**
Keton darah (g/dL)
jam ke-0, rerata (SB)
2,37 (0,99)
3,51 (1,40)
0,025*
jam ke-6, median (min-maks)
0,8 (0-4,6)
1,3 (0-5)
0,979**
jam ke-72, median (min-maks)
0 (0-2.5)
0,3 (0-2,4)
0,098**
Uji normalitas menggunakan uji Saphiro-Wilk, dengan koreksi Lilieford significance
*uji t tidak berpasangan
** uji Mann Whitney
4.2.2 Parameter Mikrosirkulasi Subyek Penelitian di Kedua Kelompok
Terdapat
tiga parameter mikrosirkulasi
yang diukur selama
penelitian
berlangsung, yaitu saturasi vena sentral (ScvO2), kadar laktat darah, dan
perbedaan karbondioksida darah vena sentral dan arteri [P(cv-a)CO2]. Parameterparameter ini digunakan sebagai panduan dalam melakukan protokol EGDT pada
kelompok EGDT. Rerata ScvO2 di kedua kelompok pada awal penelitian, jam ke6 penelitian dan jam ke-72 penelitian memiliki nilai > 70% dan secara statistik
tidak berbeda bermakna (p > 0,05). Rerata kadar laktat darah di kelompok EGDT
pada awal penelitian lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol dan hal ini
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
45
secara statistik berbeda bermakna (p = 0,023). Kadar laktat darah pada kelompok
EGDT pada jam ke-6 dan jam ke-72 tetap lebih rendah dibandingkan kelompok
kontrol, akan tetapi hal ini secara statistik tidak berbeda bermakna. (p > 0,05).
Rerata P(cv-a)CO2 kelompok EGDT pada awal dan jam ke-72 penelitian lebih
rendah dibandingkan kelompok kontrol, namun secara statistik tidak berbeda
bermakna (p > 0,05). Parameter mikrosirkulasi subyek di kedua kelompok dapat
dilihat pada tabel 4.3.
Tabel 4.3 Parameter Mikrosirkulasi Subyek Penelitian di Kedua Kelompok
Variabel
ScvO2 (%), rerata (SB)
jam ke-0
jam ke-6
jam ke-72
Laktat darah (mmol/L)
jam ke-0, median (min-maks)
jam ke-6, rerata (SB)
jam ke-72, median (min-maks)
Kontrol (n=13)
EGDT (n=13)
p
73,47 (8,67)
80,77 (6,99)
73,47 (7,99)
75 (11,14)
74,94 (5,07)
75,97 (9,52)
0,951*
0,064*
0,874*
3,25 (0,5-14,6)
2,48 (1,43)
2,95 (0,6-5,6)
1,7 (0,9-2,8)
1,39 (0,85)
1,4 (0,9-10,3)
0,023**
0,077*
0,332**
P(cv-a)CO2
jam ke-0, rerata (SB)
8,11 (2,07)
5,31 (3,55)
0,055*
jam ke-6, median (min-maks)
3,6 (1,1-18,7)
5,1 (1,3-9,3)
0,512**
jam ke-72, median (min-maks) 5,05 (2,8-16,9)
4,55 (0,8-10,1)
0.422**
Uji normalitas menggunakan uji Saphiro-Wilk, dengan koreksi Lilieford significance
* uji t tidak berpasangan
**uji Mann-Whitney
4.2.3 Jumlah Cairan dan Penggunaan Vasopresor di Kedua Kelompok
Jumlah cairan yang diberikan selama 6 jam pada kedua kelompok memiliki nilai
yang hampir sama besarnya, namun jumlah cairan yang diberikan selama 72 jam
pada kelompok EGDT lebih besar dibandingkan kelompok kontrol dan secara
statistik berbeda bermakna (p = 0,005). Jumlah subyek yang menggunakan
vasopresor pada jam ke-6 penelitian di kedua kelompok sama besarnya. Akan
tetapi pada jam ke-72 penelitian, jumlah subyek yang menggunakan vasopresor di
kelompok kontrol lebih banyak dibandingkan kelompok EGDT, namun hal ini
secara statistik tidak berbeda bermakna (p > 0,05). Jumlah cairan yang diberikan
dan penggunaan vasopresor pada subyek penelitian dapat dilihat pada tabel 4.4
dan tabel 4.5.
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
46
Tabel 4.4 Jumlah Cairan yang Diberikan pada Subyek di Kedua Kelompok
Jumlah cairan yg diberikan (ml)
Selama 6 jam, rerata (SB)
Kontrol (n=13)
EGDT (n=13)
p
2161,82
2676,77
0,303*
(1222,28)
(1273,66)
Selama 72 jam, median (min7000
8018,5
0,005**
maks)
(4890-11633,3)
(6000-20213,3)
Uji normalitas menggunakan uji Saphiro-Wilk, dengan koreksi Lilieford significance
* uji t tidak berpasangan
**uji Mann-Whitney
Tabel 4.5. Penggunaan Vasopresor pada Subyek di Kedua Kelompok
Penggunaan Vasopresor
Jam ke-6, n (%)
Ya
Tidak
Jam ke-72, n (%)
Ya
Tidak
* uji Fisher
Kontrol (n=13)
EGDT (n=13)
p
2 (15,4%)
11 (84,6%)
2 (15,4%)
11 (84,6%)
1,00*
5 (38,5%)
8 (61,5%)
2 (15,4%)
11 (84,6%)
0,378*
4.3 Skor MSOFA Subyek di Kedua Kelompok
Skor MSOFA pada jam ke-0, jam ke-6 dan jam ke-72 di kedua kelompok
memiliki sebaran data tidak normal, oleh karena itu data ditampilkan dalam
bentuk median dan uji signifikansi dilakukan menggunakan uji Mann Whitney.
Berdasarkan uji tersebut didapatkan skor MSOFA jam ke-0, jam ke-6 dan jam ke72 di kedua kelompok tidak berbeda bermakna ( p > 0,05). Median skor MSOFA
di kedua kelompok dapat dilihat pada tabel 4.6, sedangkan sebaran data skor
MSOFA di kedua kelompok pada jam ke-0, jam ke-6 dan jam ke-72 dapat dilihat
pada gambar 4.1 sampai 4.3.
Tabel 4.6. Median Skor MSOFA Kelompok Kontrol dan Kelompok EGDT
Skor MSOFA
Kontrol (n=13)
EGDT (n=13)
p
jam ke-0, median (min-maks)
2 (0-12)
3 (1-7)
0,532*
jam ke-6, median (min-maks)
2 (0-12)
3 (0-8)
0,917*
jam ke-72, median (min-maks) 2 (0-11)
1 (0-11)
0,480*
Uji normalitas menggunakan uji Saphiro-Wilk, dengan koreksi Lilieford significance
*uji Mann Whitney
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
47
Gambar 4.1. Boxplot skor MSOFA jam ke-0
Dari gambar boxplot skor MSOFA jam ke-0, pada kelompok kontrol 50%
skor MSOFA berkisar pada nilai 1-5 dengan nilai median 2, nilai ekstrim bawah 0
dan nilai ekstrim atas 10. Pada kelompok EGDT, 50% skor MSOFA berkisar pada
nilai 2-6 dengan nilai median 3, nilai ekstrim bawah 1 dan nilai ekstrim atas 7.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada awal penelitian, sebagian besar
skor MSOFA pada kelompok EGDT lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol.
Gambar 4.2. Boxplot skor MSOFA jam ke-6
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
48
Dari gambar boxplot skor MSOFA jam ke-6, pada kelompok kontrol 50%
skor MSOFA berkisar pada nilai 1-5 dengan nilai median 2, nilai ekstrim bawah 0
dan nilai ekstrim atas 9. Pada kelompok EGDT, 50% skor MSOFA berkisar pada
nilai 1-5 dengan nilai median 3, nilai ekstrim bawah 0, dan nilai ekstrim atas 8.
Dibandingkan sebaran data skor MSOFA jam ke-0, pada jam ke-6 terlihat
penurunan nilai skor MSOFA pada kelompok EGDT, sedangkan pada kelompok
kontrol tetap.
Gambar 4.3. Boxplot skor MSOFA jam ke-72
Dari gambar boxplot skor MSOFA jam ke-72, pada kelompok kontrol
50% skor MSOFA berkisar pada nilai 0-9 dengan nilai median 2 dan nilai ekstrim
atas 11. Pada kelompok EGDT, 50% skor MSOFA berkisar pada nilai 0-4 dengan
nilai median 1 dan nilai ekstrim atas 7. Hal ini menunjukkan bahwa di kelompok
EGDT pada jam ke-72, sebagian besar sampel mengalami penurunan skor
MSOFA dibandingkan jam ke-0 maupun jam ke-6 sehingga sebaran data skor
MSOFA pada kelompok EGDT semakin menyempit. Sebaliknya pada kelompok
kontrol, terjadi peningkatan skor MSOFA pada beberapa subyek sehingga sebaran
data skor MSOFA pada jam ke-72 kembali melebar.
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
49
4.4 Mortalitas Subyek dalam 28 Hari pada Kedua Kelompok
Dalam follow up selama 28 hari sejak pengambilan data dimulai, terdapat 4
subyek yang meninggal, 1 subyek dari kelompok EGDT, dan 3 subyek dari
kelompok kontrol. Satu subyek dari kelompok EGDT meninggal karena acute
respiratory distress syndrome (ARDS) selama perawatan di unit perawatan
intensif, dua subyek dari kelompok kontrol meninggal karena sepsis berat selama
perawatan di unit perawatan intensif, dan satu subyek dari kelompok kontrol
pulang paksa dan meninggal di rumah.
Berdasarkan tingkat mortalitas subyek dalam 28 hari, jumlah subyek yang
meninggal di kelompok EGDT lebih sedikit dibandingkan kelompok kontrol,
dengan resiko relatif sebesar 0,333 kali, akan tetapi secara statistik tidak bermakna
(p = 0,593). Mortalitas subyek dalam 28 hari dapat dilihat pada tabel 4.7.
Tabel 4.7. Mortalitas Subyek dalam 28 Hari pada Kedua Kelompok
Kelompok perlakuan
EGDT
Kontrol
*Uji Fisher
Meninggal
n (%)
Hidup
n (%)
RR
(IK 95%)
1 (7,7%)
3 (23,1%)
12 (92,3%)
10 (76,9%)
0,333
(0,040-2,801)
p
0,593*
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
BAB 5
PEMBAHASAN
Salah satu pilar penatalaksanaan KAD ialah resusitasi cairan untuk mengatasi
hipoperfusi organ yang terjadi. Rivers dkk pada tahun 2001 mengajukan protokol
EGDT yang menggunakan parameter-parameter mikrosirkulasi sebagai target
akhir (end point) resusitasi untuk menyeimbangkan kembali suplai dan kebutuhan
oksigen di jaringan sehingga hipoksia jaringan dan disfungsi organ dapat
dicegah.9 Dalam penelitian ini, akan dibandingkan derajat disfungsi organ pada
kelompok kontrol yang diresusitasi cairan menggunakan protokol KAD
konvensional dengan kelompok EGDT yang diresusitasi cairan menggunakan
protokol EGDT. Derajat disfungsi organ dinilai dengan menggunakan skor
MSOFA.
5.1 Karakteristik Subyek Penelitian
Ketoasidosis diabetikum dapat terjadi pada berbagai kelompok usia. Dari 26
subyek penelitian dengan KAD didapatkan median usia kelompok kontrol ialah
57 tahun dan kelompok EGDT ialah 50 tahun dengan proporsi subyek perempuan
lebih banyak dibandingkan subyek laki-laki (tabel 4.1). Dari beberapa penelitian
yang dilakukan di luar negeri, KAD lebih umum ditemui pada jenis kelamin
perempuan dan pada DM tipe I dengan rentang usia tersering ialah 16-24 tahun.4952
Akan tetapi terdapat beberapa penelitian lain yang menunjukkan bahwa KAD
juga dapat terjadi pada DM tipe II dengan rentang usia tersering lebih tua
dibandingkan KAD yang ditemukan pada DM tipe I, yaitu pada usia > 40
tahun.53,54 Pada penelitian ini, jumlah subyek yang menderita DM tipe II lebih
banyak dibandingkan DM tipe I dan median usia subyek berada di atas > 40
tahun, sesuai dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya.
Dalam penelitian ini ditemukan bahwa pencetus KAD terbanyak adalah
infeksi (80,8%), diikuti dengan penghentian terapi DM (19,2%) (tabel 4.1). Hal
ini sesuai dengan literatur, yaitu bahwa KAD dapat dicetuskan oleh beberapa
faktor, antara lain infeksi, ketidakteraturan atau penghentian terapi DM, kelainan
serebrovaskular, penyalahgunaan alkohol, trauma, pankreatitis, dan obat-obatan
seperti kortikosteroid, thiazid, dan obat-obat simpatomimetik. Di antara beberapa
50
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
51
pencetus KAD tersebut, infeksi dan penghentian terapi merupakan pencetus yang
sering ditemukan pada beberapa penelitian lain.1,49,51,53-55
5.2 Parameter Makrosirkulasi, Mikrosirkulasi, Jumlah Cairan yang
Diberikan dan Penggunaan Vasopresor di Kedua Kelompok
5.2.1 Parameter Makrosirkulasi Subyek Penelitian di Kedua Kelompok
Dalam penelitian ini, dinilai perbedaan parameter makrosirkulasi di kedua
kelompok untuk melihat perbedaan efek resusitasi cairan menggunakan protokol
KAD konvensional dan EGDT terhadap parameter makrosirkulasi subyek.
Parameter makrosirkulasi yang dinilai antara lain tingkat kesadaran dalam skor
GCS, nilai CVP, MAP, kadar GDS dan keton darah. Nilai median skor GCS pada
kelompok EGDT dan kelompok kontrol tidak berbeda bermakna secara statistik,
meskipun nilai minimal skor GCS pada
kelompok kontrol lebih rendah
dibandingkan kelompok EGDT (tabel 4.2). Parameter makrosirkulasi lainnya
seperti rerata MAP dan produksi urine di antara kedua kelompok menunjukkan
hasil yang tidak berbeda bermakna secara statistik
(tabel 4.2). Hal ini
menunjukkan bahwa resusitasi cairan baik pada protokol KAD konvensional
maupun EGDT tidak menghasilkan perbedaan parameter makrosirkulasi yang
bermakna.
Rerata nilai CVP di kedua kelompok baik pada jam ke-0, jam ke-6
maupun jam ke-72 tidak berbeda bermakna secara statistik, meskipun pada jam
ke-6 nilai rerata CVP kelompok EGDT mencapai target, yaitu > 10 cmH2O,
dimana target ini tidak tercapai pada kelompok kontrol (tabel 4.2). Terapi cairan
di kelompok EGDT diberikan berdasarkan “fluid responsiveness”, salah satunya
dengan menilai CVP, dan terapi cairan pada kelompok kontrol diberikan
berdasarkan jam pengamatan, penilaian MAP dan produksi urine. Penelitian ini
menunjukkan bahwa perbedaan pemberian terapi cairan antara kelompok EGDT
dan kelompok kontrol tidak menghasilkan perbedaan nilai CVP subyek yang
bermakna.
Rerata gula darah sewaktu di kedua kelompok pada jam ke-0, jam ke-6
dan jam ke-72 tidak berbeda bermakna secara statistik (tabel 4.2). Hal ini dapat
terjadi karena protokol pemberian insulin yang sama di kedua kelompok. Selain
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
52
terapi cairan, dalam penatalaksanaan KAD terdapat terapi lain yang sama
pentingnya. Salah satu dari terapi tersebut ialah terapi insulin yang berperan
dalam patogenesis KAD.1
Rerata keton kelompok EGDT pada jam ke-0 lebih tinggi dibandingkan
kelompok kontrol dan bermakna secara statistik. Akan tetapi dalam pengamatan
jam ke-6 dan jam ke-72, median nilai keton di antara kedua kelompok tidak
berbeda bermakna secara statistik (tabel 4.2). Peningkatan kadar keton dalam
darah disebabkan peningkatan produksi atau penurunan ekskresi keton melalui
ginjal. Peningkatan produksi keton selain dapat disebabkan oleh defisiensi insulin,
namun juga dapat disebabkan oleh alkoholisme, starvasi, dan diet tinggi lemak
atau protein.1,11 Pada penelitian ini, kedua kelompok mendapatkan terapi insulin
dan nutrisi yang sama. Selain mencegah peningkatan produksi keton, kadar keton
darah dapat diturunkan dengan meningkatkan ekskresinya melalui ginjal.
Peningkatan ekskresi keton ini dapat dilakukan dengan meningkatkan perfusi ke
ginjal melalui pemberian cairan yang cukup. Dalam penelitian ini pemberian
cairan baik selama 6 jam maupun 72 jam tidak menghasilkan perbedaan median
nilai keton yang bermakna di antara kedua kelompok.
5.2.2 Parameter Mikrosirkulasi Subyek Penelitian di Kedua Kelompok
Dalam penelitian ini, parameter mikrosirkulasi dinilai di kedua kelompok karena
parameter mikrosirkulasi merupakan target end point resusitasi pada protokol
EGDT. Selain itu dalam penelitian Suhendro juga didapatkan bahwa pada KAD
dapat terjadi disfungsi mikrosirkulasi yang tidak terlihat pada pengukuran
parameter makrosirkulasi.7 Parameter mikrosirkulasi yang diukur dalam penelitian
ini antara lain yaitu saturasi vena sentral (ScvO2), kadar laktat darah, dan
perbedaan karbondioksida darah vena sentral dan arteri [P(cv-a)CO2]. Dalam
penelitian ini, pemberian cairan baik dengan protokol KAD konvensional maupun
protokol EGDT menghasilkan parameter mikrosirkulasi yang tidak berbeda
bermakna secara statistik (tabel 4.3). Kedua protokol ini telah mampu
menghasilkan nilai ScvO2 dan P(cv-a)CO2 yang sesuai dengan target EGDT, yaitu
ScvO2 > 70% dan P(cv-a)CO2 < 6 mmHg. Akan tetapi pemberian cairan
berdasarkan protokol KAD konvensional masih menghasilkan kadar laktat darah
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
53
> 2 mmol/L, sedangkan pemberian cairan berdasarkan protokol EGDT
menghasilkan kadar laktat darah < 2 mmol/L, walaupun perbedaan ini tidak
bermakna secara statistik.
Saturasi vena sentral, P(cv-a)CO2, dan kadar laktat darah merupakan
parameter mikrosirkulasi yang dapat menjadi indikator terjadinya keseimbangan
DO2 dan VO2. Nilai ScvO2 saja tidak dapat menjamin terjadinya perfusi jaringan
yang adekuat, sehingga dibutuhkan penilaian P(cv-a)CO2. Setelah target ScvO2
dan P(cv-a)CO2 tercapai, masih dibutuhkan penilaian kadar laktat darah untuk
menggambarkan oksigenasi di jaringan. Dalam penelitian ini pemberian cairan di
kedua protokol mampu menghasilkan perfusi jaringan yang adekuat, yang
digambarkan dengan tercapainya nilai ScvO2 dan P(cv-a)CO2. Akan tetapi kadar
laktat darah > 2 mmol/L pada kelompok yang diresusitasi menggunakan protokol
konvensional dapat menjadi indikasi bahwa oksigenasi jaringan yang adekuat
masih belum tercapai. Kadar laktat darah yang tinggi tidak hanya mencerminkan
perfusi jaringan yang tidak adekuat, namun adanya metabolisme anaerob yang
dapat disebabkan oleh disfungsi mitokondria. Sebaliknya, pada kelompok yang
diresusitasi menggunakan protokol EGDT, dapat menghasilkan kadar laktat < 2
mmol/L. Meskipun secara statistik tidak bermakna, perbedaan kadar laktat ini
dapat memiliki makna klinis tersendiri. Sesuai dengan penelitian Jansen dkk,
peningkatan kadar laktat darah berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan
mortalitas.29,30 Resusitasi untuk menurunkan kadar laktat darah < 2 mmol/L dalam
24 jam akan menurunkan tingkat mortalitas.30
Tidak terdapatnya perbedaan parameter mikrosirkulasi yang bermakna di
kedua kelompok ini dapat disebabkan karena kondisi komorbid subyek di kedua
kelompok yang beragam. Parameter mikrosirkulasi menggambarkan oksigenasi
jaringan secara umum. Oksigenasi jaringan yang adekuat tidak hanya dipengaruhi
oleh pemberian cairan, namun juga dipengaruhi oleh ada tidaknya kondisi lain
yang menyebabkan terjadinya disfungsi mitokondria, salah satunya yaitu sepsis.
Dalam penelitian Suhendro, pasien KAD yang disertai dengan sepsis
menunjukkan peningkatan kadar laktat yang mencerminkan terjadinya disfungsi
mikrosirkulasi dan mitokondria sehingga ekstraksi oksigen di jaringan terganggu.7
Dalam penelitian ini terdapat nilai laktat yang ekstrim di kedua kelompok, yang
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
54
menunjukkan bahwa di kedua kelompok masih terdapat subjek yang oksigenasi
jaringannya tidak baik, yang dapat disebabkan oleh berbagai kondisi komorbid
yang menyertai KAD. Hal ini didukung dengan adanya faktor pencetus pada
penelitian ini sebagian besar berupa infeksi. Adanya nilai laktat yang ekstrim di
kedua kelompok dapat menyebabkan nilai median laktat dalam penelitian ini tidak
menggambarkan sebagian besar nilai laktat subyek, dan perbedaan nilai laktat
kedua kelompok menjadi tidak bermakna.
5.2.3 Jumlah Cairan yang diberikan dan Penggunaan Vasopresor di Kedua
Kelompok
Jumlah cairan yang diberikan selama 6 jam di kedua kelompok tidak berbeda
bermakna secara statistik. Akan tetapi, jumlah cairan yang diberikan selama 72
jam di kelompok EGDT lebih besar dibandingkan kelompok kontrol, dan secara
statistik bermakna (tabel 4.4). Sama seperti penelitian yang dilakukan oleh Rivers
dan Jansen dkk, penggunaan EGDT dan laktat sebagai pedoman resusitasi cairan
menghasilkan pemberian jumlah cairan yang lebih besar dibandingkan terapi
standar.9,30
Jumlah subyek yang menggunakan vasopresor pada jam ke-6 sama di
kedua kelompok. Selanjutnya pada jam ke-72, jumlah subyek yang menggunakan
vasopresor di kelompok EGDT lebih sedikit dibandingkan kelompok kontrol.
Akan tetapi perbedaan ini tidak bermakna secara statistik (tabel 4.5). Hasil
penelitian ini sesuai dengan penelitian Trzeciak dkk, yaitu bahwa penggunaan
vasopresor di kedua kelompok tidak berbeda bermakna, baik pada jam ke-6
maupun jam ke-72.56
5.3 Skor MSOFA Subyek di Kedua Kelompok
Skor MSOFA yang dapat menggambarkan derajat disfungsi organ dinilai sebagai
luaran terhadap resusitasi cairan yang dilakukan pada kedua kelompok. Skor
MSOFA dinilai pada jam ke-0, jam ke-6, dan jam ke-72. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Jones dkk, skor MSOFA pada jam ke-72 dapat memprediksi
mortalitas pada pasien-pasien dengan penyakit kritis.57
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
55
Median skor MSOFA di kedua kelompok baik pada jam ke-0, jam ke-6
maupun jam ke-72 tidak berbeda bermakna secara statistik (tabel 4.6). Hal ini
dapat disebabkan karena resusitasi cairan menggunakan protokol KAD
konvensional dan protokol EGDT tidak menghasilkan perbedaan parameter
mikrosirkulasi yang bermakna (tabel 4.3). Kondisi mikrosirkulasi yang tidak
berbeda di antara kedua kelompok ini dapat menjelaskan nilai skor MSOFA yang
tidak berbeda di antara kedua kelompok. Dalam skor MSOFA, salah satu
komponen yang dinilai ialah komponen kardiovaskular, dimana skor diberikan
berdasarkan MAP dan penggunaan vasopresor. Dalam penelitian ini, penggunaan
vasopresor di kedua kelompok tidak berbeda bermakna, baik selama 6 jam
maupun 72 jam (tabel 4.5). Hal ini menyebabkan komponen kardiovaskular dari
skor MSOFA tidak berbeda di antara kedua kelompok, sehingga dapat merupakan
salah satu penyebab skor MSOFA di kedua kelompok tidak berbeda.
Berdasarkan sebaran datanya, sebagian besar skor MSOFA kelompok
EGDT pada jam ke-0 lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol (gambar 4.1).
Pada jam ke-6, sebaran skor MSOFA kedua kelompok sama (gambar 4.2).
Selanjutnya pada jam ke-72, sebaran skor MSOFA kelompok EGDT lebih kecil
dibandingkan kelompok EGDT (gambar 4.3).
Perbedaan sebaran data skor
MSOFA jam ke-0 dan jam ke-72 menunjukkan bahwa sebagian besar skor
MSOFA di kelompok EGDT mengalami penurunan dibandingkan kelompok
kontrol, walaupun perbedaan ini tidak bermakna secara statistik.
Selain skor MSOFA, penurunan skor MSOFA (∆ MSOFA) juga dapat
digunakan untuk menggambarkan respons pasien terhadap terapi yang diberikan.
Penelitian Ferreira dkk menemukan adanya hubungan antara ∆ MSOFA selama
72 jam dan tingkat mortalitas pasien penyakit kritis.33 Dalam penelitian ini ∆
MSOFA kedua kelompok, baik selama 6 jam maupun selama 72 jam tidak
berbeda bermakna secara statistik (tabel 5.1).
Tabel 5.1. Penurunan MSOFA (∆ MSOFA) di Kedua Kelompok
∆ MSOFA
Kontrol
EGDT
p
Jam ke 0-6, median (min-maks)
0 (-1 – 3)
0 (-1 – 3)
0,418*
Jam ke 0-72, median (min-maks)
0 (-6 – 4 )
1 (-5 – 5)
0,139*
Jam ke 6-72, median (min-maks)
0 (-6 – 2)
1 (-5 – 4)
0,264*
Uji normalitas menggunakan uji Saphiro-Wilk, dengan koreksi Lilieford significance
* uji Mann Whitney
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
56
Tidak terdapatnya perbedaan skor MSOFA antara kedua kelompok dalam
penelitian ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya ialah rentang
skor MSOFA di masing-masing kelompok yang sangat lebar (tabel 5.2). Sesuai
dengan penelitian Grissom dkk, skor MSOFA dapat dikelompokkan menjadi tiga
kelompok, yaitu skor 0-7 yang memiliki mortalitas 4%, skor 8-11 dengan tingkat
mortalitas 31%, dan skor > 11 dengan tingkat mortalitas 58%.10 Dalam penelitian
ini ditemukan skor MSOFA bervariasi di ketiga kelompok tersebut (tabel 5.2).
Hal ini menunjukkan bahwa populasi terjangkau dalam penelitian ini memiliki
kondisi yang beragam, yaitu KAD yang dapat disertai dengan berbagai kondisi
komorbid. Selain itu sebagian besar skor MSOFA dalam penelitian ini berada
pada kelompok 0-7, yang menunjukkan bahwa sebagian besar subyek berada pada
kondisi ringan. Resusitasi yang dilakukan pada skor MSOFA yang rendah
menyebabkan penurunan skor MSOFA yang tidak signifikan. Sesuai dengan
penelitian Yealy dkk, EGDT yang dilakukan pada kelompok pasien dengan
tingkat keparahan yang lebih rendah menyebabkan perbedaan tingkat mortalitas
yang tidak bermakna.58
Tabel 5.2 Sebaran Skor MSOFA Subyek di Kedua Kelompok
Skor MSOFA
Jam ke-0, n (%)
0-7
8-11
>11
Jam ke-6, n (%)
0-7
8-11
>11
Jam ke-72, n(%)
0-7
8-11
>11
Secara
Kontrol
EGDT
Total
11 (84,6%)
1 (7,7%)
1 (7,7%)
13 (100%)
0
0
24 (92,3%)
1 (3,8%)
1 (3,8%)
11 (84,6%)
1 (7,7%)
1 (7,7%)
12 (92,3%)
1 (7,7%)
0
23 (88,5%)
2 (7,7%)
1 (3,8%)
9 (69,2%)
4 (30,8%)
0
12 (92,3%)
1 (7,7%)
0
21 (80,8%)
5 (19,2%)
0
keseluruhan, skor MSOFA dalam penelitian ini mengalami
peningkatan (tabel 5.2). Apabila dilihat berdasarkan kelompok perlakuannya,
sebagian besar peningkatan skor MSOFA berasal dari kelompok kontrol. Terdapat
4 subyek (30,8%) dari kelompok kontrol dengan skor MSOFA 8-11 pada jam ke-
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
57
72, sedangkan pada kelompok EGDT hanya terdapat 1 subyek (7,7%) dengan
skor MSOFA 8-11 pada jam ke-72.
Skor MSOFA yang dinilai dalam penelitian ini memiliki 5 komponen,
yaitu respirasi, hepar, kardiovaskuler, sistem saraf pusat dan ginjal. Resusitasi
cairan yang diuji dalam penelitian ini dapat mempengaruhi penilaian kelima
komponen tersebut. Akan tetapi tidak dapat disingkirkan pula bahwa terdapat
faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi penilaian kelima komponen tersebut
sehingga terjadi rentang skor MSOFA yang lebar di kedua kelompok. Berbeda
dengan penelitian Rivers dkk yang dilakukan pada pasien dengan sepsis berat,
subyek pada penelitian ini merupakan pasien KAD yang tidak selalu disertai
dengan sepsis.
Faktor lama pengamatan dalam penelitian ini juga perlu dipertimbangkan.
Pengamatan dalam penelitian ini dilakukan dalam 72 jam sejak resusitasi dimulai.
Dalam penelitian Halim dkk, komponen MSOFA yang dapat berubah secara
signifikan dalam 72 jam setelah resusitasi ialah komponen respirasi,
kardiovaskuler dan ginjal. Komponen MSOFA lain seperti hepar dan neurologis
tidak menunjukkan perubahan yang signifikan dalam waktu 72 jam.37 Oleh karena
itu dibutuhkan waktu pengamatan yang lebih lama untuk mendapatkan perubahan
semua komponen MSOFA yang signifikan setelah resusitasi.
Faktor lain yang perlu dipertimbangkan ialah penelitian ini dilakukan di
RSCM yang merupakan rumah sakit pusat rujukan nasional. Pasien KAD yang
menjadi subyek penelitian ini dapat merupakan rujukan dari rumah sakit atau
pusat kesehatan lain. Hal ini menyebabkan pada saat resusitasi dimulai pasien
dapat sudah berada pada kondisi lanjut. Sesuai penelitian yang dilakukan Otero
dkk, skor fisiologis yang digunakan sangat tergantung dari waktu resusitasi mulai
diperhitungkan.59 Oleh karena itu dibutuhkan penelitian lebih lanjut dengan
populasi yang lebih homogen dan perhitungan awal resusitasi yang lebih tepat.
Meskipun resusitasi cairan di kedua kelompok ini tidak menunjukkan
perbedaan yang bermakna akan tetapi terdapat kecenderungan penurunan skor
MSOFA dan laktat pada kelompok yang mendapat resusitasi cairan berdasarkan
kelompok EGDT. Hal ini disebabkan karena protokol EGDT tidak hanya
menggunakan parameter makrosirkulasi, namun juga menggunakan parameter
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
58
mikrosirkulasi sebagai target akhir resusitasi yang ingin dicapai. Penggunaan
parameter mikrosirkulasi ini akan mencerminkan keseimbangan suplai dan
kebutuhan oksigen di tingkat seluler. Salah satunya ialah kadar laktat darah yang
menggambarkan oksigenasi seluler. Penelitian-penelitian tentang keefektifan
EGDT yang sudah dilakukan sebelumnya menunjukkan perbedaan yang
bermakna pada kelompok pasien dengan tingkat keparahan yang tinggi, yaitu
pada pasien sepsis berat dan syok sepsis.9,59 Oleh karena itu dibutuhkan penelitian
lebih lanjut untuk menilai keefektifan EGDT pada kelompok pasien KAD yang
memiliki kondisi awal yang berat.
5.4 Mortalitas Subyek dalam 28 hari di Kedua Kelompok
Dalam 28 hari sejak proses inklusi penelitian terdapat 4 subyek yang meninggal
dunia (tabel 4.7). Tiga subyek yang meninggal berasal dari kelompok kontrol, dan
semuanya disebabkan oleh syok sepsis ireversibel. Satu subyek yang meninggal
berasal dari kelompok EGDT dan disebabkan oleh ARDS. Hasil pemeriksaan
parameter-parameter KAD keempat subyek tersebut sudah menunjukkan nilai
normal. Keton darah subyek sudah mencapai nilai normal (< 0,6 g/dL), kadar gula
darah < 200 g/dL dan pH darah arteri > 7,35 sejak jam ke-12 penelitian.
Berdasarkan parameter mikrosirkulasinya keempat suyek tersebut memiliki ScvO2
< 70%, laktat > 2 mmol/L, dan P(cv-a)CO2 > 6 mmHg. Hal ini menunjukkan
masih terjadinya ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen di
jaringan sehingga mengakibatkan timbulnya hipoksia jaringan dan gangguan
multiorgan. Skor MSOFA pada jam ke-72 keempat subyek tersebut juga lebih
tinggi dibandingkan skor MSOFA pada awal penelitian. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa resusitasi cairan pada keempat subyek tersebut belum mampu
mengatasi
ketidakseimbangan
suplai
dan
kebutuhan
oksigen
sehingga
menyebabkan gangguan multiorgan yang ditunjukkan dengan peningkatan skor
MSOFA.
Berdasarkan parameter-parameter KAD dan mikrosirkulasinya, penyebab
kematian pada keempat subyek tersebut dapat diduga bukan berasal dari KAD itu
sendiri, namun akibat faktor komorbid yang menyertainya. Hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Wright dkk pada tahun 2009. Dalam penelitian
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
59
tersebut, angka kematian pada KAD berkisar dari 0-19%.52 Penyebab kematian
pada pasien KAD dewasa dapat berupa berbagai hal, antara lain hipokalemia
berat, ARDS, dan kelainan-kelainan komorbid yang menyertai KAD seperti
pneumonia, infark miokard akut dan sepsis.52,60 Sepsis merupakan faktor
komorbid penting pada KAD yang dapat meningkatkan angka mortalitas pada
KAD.1 Dalam penelitian ini, penyebab kematian ketiga subyek dari kelompok
kontrol disebabkan oleh syok sepsis, yang didukung oleh data bahwa faktor
pencetus KAD pada subyek tersebut berupa infeksi.
Tingkat mortalitas selama 28 hari pada kelompok EGDT lebih kecil
dibandingkan kelompok kontrol, namun secara statistik tidak berbeda bermakna
(tabel 4.7). Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Rivers dkk. Pada
penelitian Rivers, strategi EGDT dapat menurunkan mortalitas selama 28 hari
secara bermakna pada pasien dengan sepsis berat.9 Perbedaan ini dapat
disebabkan karena pada penelitian Rivers, EGDT diterapkan pada populasi yang
homogen, yaitu pasien dengan sepsis berat, sedangkan dalam penelitian ini
populasi KAD yang menjadi subyek penelitian dapat memiliki kondisi yang
beragam, mulai dari KAD dengan skor MSOFA yang rendah sampai KAD dengan
skor MSOFA yang tinggi. Sama seperti penelitian yang dilakukan oleh Yealy dkk,
EGDT yang diterapkan pada pasien syok sepsis di unit gawat darurat juga tidak
memberikan perbedaan tingkat mortalitas yang bermakna secara statistik karena
dalam penelitian tersebut, populasi yang menjadi subyek penelitian memiliki
variasi kondisi klinis yang beragam. Oleh karena itu diperlukan penelitian lebih
lanjut pada pasien KAD dengan subyek penelitian yang memiliki kondisi klinis
lebih homogen, salah satunya yaitu dengan skor MSOFA yang tinggi.
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Resusitasi cairan menggunakan protokol EGDT tidak lebih berhasil
berdasarkan skor MSOFA dibandingkan protokol konvensional pada
pasien KAD di IGD RSCM.
2. Nilai skor MSOFA di kedua kelompok memiliki sebaran tidak normal,
sehingga tidak dapat ditampilkan dalam bentuk rerata. Median skor
MSOFA antara kelompok pasien KAD yang diresusitasi cairan
menggunakan protokol konvensional dan protokol EGDT pada jam ke-6
setelah resusitasi dimulai tidak berbeda bermakna.
3. Nilai skor MSOFA di kedua kelompok memiliki sebaran tidak normal,
sehingga tidak dapat ditampilkan dalam bentuk rerata. Median skor
MSOFA antara kelompok pasien KAD yang diresusitasi cairan
menggunakan protokol konvensional dan protokol EGDT pada jam ke-72
setelah resusitasi dimulai tidak berbeda bermakna.
4. Tingkat mortalitas antara kelompok pasien KAD yang diresusitasi cairan
menggunakan protokol konvensional dan protokol EGDT dalam 28 hari
tidak berbeda bermakna.
6.2 Saran
1. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengevaluasi keberhasilan
resusitasi cairan menggunakan protokol EGDT pada pasien KAD dengan
waktu pengamatan yang lebih panjang.
2. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengevaluasi keberhasilan
resusitasi cairan menggunakan protokol EGDT pada pasien KAD dengan
jumlah sampel yang lebih besar.
3. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengevaluasi keberhasilan
resusitasi cairan menggunakan protokol EGDT pada populasi KAD yang
lebih homogen dengan nilai MSOFA yang tinggi atau dengan nilai laktat
awal > 2 mmol/L.
60
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
61
4. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengevaluasi keberhasilan
resusitasi cairan menggunakan protokol EGDT pada pusat pelayanan
primer.
5. Baik protokol KAD konvensional maupun protokol EGDT saat ini dapat
digunakan sebagai pedoman dalam resusitasi cairan untuk mencegah
terjadinya disfungsi organ dan menurunkan tingkat mortalitas pada pasien
KAD.
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
DAFTAR REFERENSI
1. Soewondo P. Ketoasidosis diabetikum. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simandibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Jakarta: FKUI; 2006. p. 1896-9.
2. Jones RE, Clement S. Diabetes mellitus. In: McDermott MT, editor.
Endocrine secrets. 4th ed. New York: Elsevier; 2007. p. 652-5.
3. Joint British Diabetes Societies Inpatient Care Group. The management of
diabetic ketoacidosis in adult. 2010 [diunduh 12 Oktober 2013]. Tersedia
di: http://www.diabetes.org.uk
4. Chiasson JL, Jilwan NA, Belanger R, Bertrand S, Beauregard H, Ekoe JM,
et al. Diagnosis and treatment of diabetic ketoacidosis and the
hyperglycemic hyperosmolar state. CMAJ 2003;168(7):859-66.
5. American Diabetes Association. Hyperglycemic crises in patients with
diabetes mellitus. Diabetes Care 2004;27(1):94-102.
6. Nasir A, Rani A, Soegondo S. Pedoman pelayanan medik ilmu penyakit
dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2004. p. 367.
7. Suhendro. Disfungsi mikrosirkulasi, mitokondria, serta peran konsentrasi
laktat serum sebagai prediktor mortalitas pada penderita ketoasidosis
diabetik dengan sepsis. Universitas Indonesia, 2008.
8. Brealey D, Singer M. Multi-organ dysfunction in the critically ill:
epidemiology, patophysiology and management. J R Coll Physicians Lond
2000;34:424-7.
9. Rivers E, Nguyen B, Havstad S, Ressler J, Muzzin A, Knoblich B, et al.
Early goal-directed therapy in the treatment of severe sepsis and septic
shock. N Engl J Med 2001;345(19):1368-76.
10. Grissom CK, Brown SM, Kuttler KG, Boltax JP, Jones J, Jephson AR, et
al. A modified sequential organ failure assessment score for critical care
triage. Disaster Med Public Health Prep 2010;4:277-84.
11. Silbernagl S, Lang F. Color atlas of pathophysiology. 3rd ed. New York:
Thieme; 2000. p.286-91.
62
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
63
12. Sherwood L. Human physiology: from cells to system. 2nd ed. Virginia:
West; 1996. p. 564-73.
13. Gardner DG, Shoback D. Greenspan’s basic & clinical endocrinology. 8th
ed. San Francisco: McGraw-Hill; 2007. p.1481-6
14. Watkins PJ. ABC of diabetes. 5th ed.. London: BMJ Books; 2003. p. 3746.
15. McLuckie A. Shock-an overview. In: Bersten AD, Soni N, editors. Oh’s
intensive care manual. 6th ed. Philadelphia: Elsevier; 2009. p. 1362-7.
16. Nebout S, Pirrachio R. Should we monitor ScvO2 in critically ill patients?
Cardiol Res Pract 2012;370697:1-7.
17. Pinsky MR. Goals of resuscitation from circulatory shock. In: Ronco C,
Bellomo R, Brendolan A, editors. Sepsis, kidney and multiorgan
dysfunction. Vol 144. Switzerland: Karger; 2007. p.167-82.
18. Kipnis E, Robin E, Vallet B. Refining the tools for early goal-directed
therapy in septic shock. Yearbook 2009:205-18.
19. Haase N, Perner A. Central venous oxygen saturation in septic shock – a
marker of cardiac output, microvascular shunting and/or dysoxia? Critical
Care 2011;15:184-5.
20. Continuous ScvO2 monitoring with the presep oximetry catheter. 2008
[diunduh 12 Oktober 2013]. Tersedia di: http://www.Edwards.com/PreSep
21. Vallee F, Vallet B, Mathe O, Parraguette J, Mari A, Silva S, et al. Central
venous-to-arterial carbon dioxide difference: an additional target for goaldirected therapy in septic shock? Intensive Care Med 2008;34(12):221825.
22. Futier E, Robin E, Jabaudon M, Guerin R, Petit A, Bazin JE, et al. Central
venous O2 saturation and venous-to-arterial CO2 difference as
complementary tools for goal-directed therapy during high-risk surgery.
Critical Care 2010;14:193-205.
23. Troskot R, Simurina T, Zizak M, Majstorovic K, Marinac I, MrakovcicSutic I. Prognostic value of venoarterial carbon dioxide gradient in
patients with severe sepsis and septic shock. Croat Med J 2010;5:501-8.
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
64
24. Neviere R, Chagnon JL, teboul JL, Vallet B, Wattel F. Small intestine
intramucosal PCO2 and microvascular blood flow during hypoxic and
ischemic hypoxia. Crit Care Med 2002;30:379-84.
25. Silva Jr JM, Oliveira AMR, Segura JL, Ribeiro MH, Sposito CN, Toledo
D, et al. Large venous-arterial PCO2 is associated with poor otcomes in
surgical patients. Anesthesiol Res Pract 2011;75792:1-8.
26. Kompanje EJO, Jansen TC, van der Hoven B, Bakker J. The first
demonstration of lactic acid in human blood in shock by Johann Joseph
Scherer
(1814-1869)
in
January
1843.
Intensive
Care
Med
2007;33(11):1967-71.
27. Blomkalns AL. Lactate-a marker for sepsis and trauma. 2007 [diunduh 12
Oktober 2013]. Tersedia di: http://www.emcreg.org
28. Jansen TC. Lactat revisited: is lactate monitoring beneficial for ICU
patients? Neth J Crit Care 2011;15(1):16-36.
29. Jansen TC, van Bommel J, Bakker J. Blood lactate monitoring in critically
ill patients: a systematic health technology assessment. Crit Care Med
2009;37(10):2827-39.
30. Jansen TC, van Bommel J, Schoonderbeek FJ, Visser SJS, van der
Klooster JM, Lima AP, et al. Early lactate-guided therapy in ICU patients:
a multicenter, open-label, randomized controlled trial. Am J Respir Crit
Care Med 2010;182:752-61.
31. Jansen TC, van Bommel J, Mulder PG, Rommes JH, Schieveld SJM,
Bakker J. The prognostic value of blood lactate levels relative to that of
vital signs in the pre-hospital setting: a pilot study. Crit Care
2008;12(6):160-73.
32. Vincent JL, Moreno R, Takala J, Willatts S, De Mendonca A, Bruining H,
et al. The SOFA (Sepsis-related Organ Failure Assesment) score to
describe organ dysfunction/failure. Intensive Care Med 1996;22:707-10.
33. Ferreira FL, Bota DP, Bross A, Melot C, Vincent JL. Serial evaluation of
the
SOFA score to predict outcome in critically ill patients. JAMA
2001;286:1754-8.
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
65
34. Minne L, Abu-Hanna A, de Jonge E. Evaluation of SOFA-based models
for predicting mortality in the ICU: a systematic review. Critical Care
2008;12(6):425-32.
35. Vincent JL, Ferreira F, Moreno R. Scoring system for assessing organ
dysfunction and survival. Critical Care Clinics 2000;16(2):353-66.
36. Vincent JL, de Mendoca A, Cantraine F, Moreno R, Takala J, Suter P, et
al. Use of the SOFA score to assess the incidence of organ
dysfunction/failure in intensive care units: results of a multicenter,
prospective study. Crit Care Med 1998;26:1793-800.
37. Halim DA, Murni TW, Redjeki IS. Comparison of APACHE II, SOFA,
and Modified SOFA scores in predicting mortality of surgical patients in
intensive care unit at dr. Hasan Sadikin general hospital. Crit Care &
Shock 2009;12:157-69.
38. Kitabchi AE, Umpierrez GE, Miles JM, Fisher JN. Hyperglycemic crises
in adult patients with diabetes. Diabetes Care 2009;32(7):1335-43.
39. National kidney foundation. KDQI clinical practice guidelines for chronic
kidney disease: evaluation, classification, and stratification. 2002 [diunduh
26 Desember 2013]. Tersedia di: http:// www.kidney.org
40. Remme WJ, Swedberg K. Guidelines for the diagnosis and treatment of
chronic heart failure. Eur Heart J 2001;22:1527-60.
41. National Digestive Diseases Information Clearinghouse (NDDIC).
Cirrhosis of the liver. NIH Publication 2003;2:1104-34.
42. Raslan A, Bhardwaj A. Medical management of cerebral edema.
Neurosurg Focus 2007;22(5):1-12.
43. Kapoor MC. Negative pressure pulmonary oedema. Indian J Anaesth
2011;55(1):10-1.
44. Feingold KR, Funk JL. Disorders of the endocrine pancreas. In: McPhee
SJ, Lingappa VR, Ganong WF, Lange JD, editors. Pathophysiology of
disease, an introduction. 3rd ed. New York: McGraw-Hill; 2006. p. 43954.
45. Centers for Disease Control and Prevention. Glasgow coma scale. 2003
[diunduh 18 Desember 2013]. Tersedia di: http://www.bt.cdc.gov
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
66
46. Saphiro DS, Loiacono LA. Mean arterial pressure: therapeutic goals and
pharmacologic support. Crit Care Clin 2010;26:285-93.
47. Izakovic M. Central venous pressuical use in cardiovascularre –
evaluation, interpretation, monitoring, clinical implications. Bratisl lek
Listy 2008;109 (4):185-7.
48. Overgaard CB, Dzavik V. Inotropes and vasopressors: review of
physiology and clinical use in cardiovascular disease. Circulation
2008;118:1047-56.
49. Johnson DD, Palumbo PJ, Chu CP. Diabetic ketoacidosis in a communitybased population. Mayo Clin Proc 1980;55(2):83-8.
50. Hilson R. National diabetes audit executive summary 2009-2010. 2011
[diunduh 18 Desember 2013]. Tersedia di: http://www.hqip.org.uk
51. Al-Rubeaan KA, Aftab SA, Alotaibi MS, Alghamdi AA, Rafiullah MR.
Clinico-laboratory characteristics of diabetic keto acidosis in adults in a
tertiary hospital in saudi arabia. European Review for Medical and
Pharmacological Sciences 2011;15:1202-6.
52. Wright J, Ruck K, Rabbits R, Charlton M, De P, Barrett T, et al. Diabetic
ketoacidosis (DKA) in birmingham, UK, 2000-2009:an evaluation of risk
factors for reccurrence and mortality. Br J Diabetes Vasc Dis 2009;9:27882.
53. Chu CH, Lee JK, Lam HC, Lu CC. The occurrence of diabetic
ketoacidosis in type 2 diabetic adults. 1998 [diunduh 21 Februari 2014].
Tersedia di: http//www.tsim.org.tw/journal/jour10-6
54. Newton CA, Raskin P. Diabetic ketoacidosis in type 1 and type 2 diabetes
mellitus, clinical and biochemical differences. Arch Intern Med
2004;164:1925-31.
55. Lin SF, Lin JD, Huang YY. Diabetic ketoacidosis: comparisons of patient
characteristics, clinical presentations, and outcomes today and 20 years
ago. Chang gung Med J 2005;28(1):24-30.
56. Trzeciak S, Dellinger P, Abate NL, Cowan R, Stauss M, Kilgannon H, et
al. Translating research to clinical practice: a 1-year experience with
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
67
implementing early goal-directed therapy for septic shick in the
emergency department. CHEST 2006;129:225-32.
57. Jones AE, Trzeciak S, Kline JA. The sequential organ failure assessment
score for predicting outcome in patients with severe sepsisand evidence of
hypoperfusion at the time of emergency departement presentation. Crit
Care Med 2009;37(5):1649-54.
58. Yealy DM, Kellum JA, Huang DT, Barnato AE, Weissfeld LA, Pike F, et
al. A randomized trial of protocol-based care for early septic shock. N
Engl J Med 2014;370:1683-93.
59. Otero R, Nguyen HB, Huang DT, Caieski DF, Goyal M, Gunnerson KJ, et
al. Early goal-directed therapy in severe sepsis and septic shock revisited.
CHEST 2006;130:1579-95.
60. Hamblin PS, Topliss DJ, Chosich N, Lording DW, Stockigt JR. Death
associated with diabetic ketoacidosis and hyperosmolar coma, 1973-1988.
Med J Aust 1989;151:439-44.
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
Lampiran 1: Lembar Informasi Penelitian
Perbandingan Keberhasilan Resusitasi Cairan antara Protokol EGDT dan
Konvensional pada Pasien Ketoasidosis Diabetikum di Instalasi Gawat
Darurat RSCM: Kajian terhadap Rerata Nilai Skor MSOFA
Kepada Yth: Bapak dan Ibu pasien IGD-RSCM
Salam sejahtera bagi kita semua
Saya, dr. Meliana Siswanto, peserta program pendidikan dokter spesialis
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, saat
ini sedang mengadakan penelitian tentang perbandingan efek pengobatan
ketoasidosis diabetikum (KAD) antara protokol konvensional dengan protokol
Early Goal Directed Therapy (EGDT), yang menggunakan pemantauan
keseimbangan oksigen di dalam tubuh untuk panduan pemberian cairan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan keefektifan protokol
pemberian cairan yang baru dibandingkan dengan protokol yang lama. Protokol
pemberian cairan pada KAD selama ini masih memiliki banyak kekurangan,
diantaranya adalah tidak terdeteksinya kekurangan cairan secara dini karena
pemberian cairan hanya berdasarkan pemantauan tanda-tanda vital saja yang
kurang menggambarkan kondisi sel-sel dalam tubuh yang kekurangan oksigen.
Deteksi kekurangan cairan yang lambat diketahui dan diterapi, akan menyebabkan
gangguan fungsi organ-organ di dalam tubuh seperti ginjal, jantung, otak dan hati,
serta memperpanjang lama rawat di rumah sakit.
Sampai saat ini, pedoman EGDT telah banyak digunakan pada pasienpasien kritis untuk mencegah terjadinya gangguan organ lebih lanjut dan
menurunkan angka kematian di rumah sakit. Dalam pedoman EGDT ini,
pemberian cairan tidak hanya berdasarkan pemantauan tanda-tanda vital saja,
akan tetapi juga memperhatikan parameter-parameter keseimbangan oksigen di
dalam tubuh melalui hasil pemeriksaan laboratorium secara ketat selama 6 jam
pertama. Dengan menggunakan pedoman EGDT ini, diharapkan kekurangan atau
kelebihan pemberian cairan pada pasien KAD tidak terjadi, sehingga lama
perawatan di rumah sakit akan lebih singkat.
Penelitian ini bersifat sukarela, Bapak/Ibu berhak untuk keluar dari
penelitian ini sewaktu-waktu. Selama penelitian berlangsung Bapak/Ibu tidak
dibebankan biaya tambahan. Identitas Bapak/Ibu akan senantiasa dirahasiakan,
baik selama penelitian, setelah penelitian dan pada saat hasil penelitian ini
diikutsertakan dalam
dipublikasikan. Apabila Bapak/Ibu bersedia untuk
penelitian ini, maka kami akan mohon kesediaannya untuk dapat menandatangani
surat persetujuan penelitian.
Bila terdapat pertanyaan, bapak dan ibu dapat menghubungi saya di
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, Public Wing Gedung Staf FKUIRSCM lantai 6, atau melalui telepon dr. Meliana Siswanto 081348624295.
Hormat saya,
Dr. Meliana Siswanto
PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif
FKUI-RSCM
68
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
Lampiran 2: Surat Persetujuan
Surat Persetujuan Partisipasi dalam Penelitian
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
:
Usia
:
Jenis Kelamin :
Alamat
:
Setelah mendengar dan membaca penjelasan mengenai tujuan dan manfaat serta
resiko penelitian, menyatakan dengan sukarela memberikan :
PERSETUJUAN
Pada diri saya sendiri/suami/istri/anak/ayah/ibu/keluarga saya:
Nama
:
Usia
:
Jenis Kelamin
:
Alamat
:
No. Rekam Medik
:
untuk diikutsertakan dalam penelitian yang dilakukan oleh dr. Meliana Siswanto,
yang berjudul:
Perbandingan Keberhasilan Resusitasi Cairan antara Protokol EGDT dan
Konvensional pada Pasien Ketoasidosis Diabetikum di Instalasi Gawat
Darurat RSCM: Kajian terhadap Rerata Nilai Skor MSOFA
Bila sewaktu-waktu saya/keluarga saya merasa dirugikan dalam bentuk apapun,
berhak mengundurkan diri dari penelitian ini.
Jakarta,
/
/ 2013
Peneliti
Yang membuat pernyataan
dr. Meliana Siswanto
(
)
69
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
Lampiran 3: Surat Keterangan Lolos Kaji Etik
70
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
Lampiran 4: Formulir Seleksi
Perbandingan Keberhasilan Resusitasi Cairan antara Protokol EGDT dan
Konvensional pada Pasien Ketoasidosis Diabetikum di Instalasi Gawat
Darurat RSCM: Kajian terhadap Rerata Nilai Skor MSOFA
Tanggal pemeriksaan :
Nama
:
Kriteria Inklusi
:
YA
TIDAK
1. Pasien KAD usia 18-70 tahun.
Kriteria Diagnosis KAD :
o
Gula darah sewaktu saat masuk rumah sakit >250 mg/dL
o
Keton darah positif atau > 0.6
o
pH darah arteri <7.35 dan/atau HCO3 <18 meq/L dan/atau anion gap
>10 meq/L
2. Pasien atau keluarga yang mewakili menyatakan bersedia secara tertulis
untuk subyek diikutsertakan dalam penelitian
Kriteria Eksklusi
1.
:
YA
TIDAK
Pasien dengan gagal ginjal kronik stadium 5 on hemodialisis atau pasien
gagal ginjal kronik dengan restriksi cairan atau GFR<15 ml/mnt
2.
Dekompensasio kordis
3.
Infark miokard akut dengan tanda-tanda dekompensasio kordis
4.
Cedera kepala dengan tanda-tanda edema serebri
5.
Terdapat kontraindikasi pemasangan kateter vena sentral pada pasien
6.
Sirosis hepatis
7.
Peningkatan tekanan intrakranial (TIK) karena adanya Space Occupying
Lesion (SOL)
Kesimpulan : DAPAT / TIDAK DAPAT diikutsertakan sebagai subyek
penelitia
71
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
Lampiran 5: Formulir Penelitian
Perbandingan Keberhasilan Resusitasi Cairan antara Protokol EGDT dan
Konvensional pada Pasien Ketoasidosis Diabetikum di Instalasi Gawat
Darurat RSCM: Kajian terhadap Rerata Nilai Skor MSOFA
1. Registrasi
No. Sampel
:
Tanggal pemeriksaan :
2. Identitas
No. Rekam medik
:
Nama
:
Tanggal lahir
Usia
:
Jenis Kelamin
: laki-laki
Berat badan
: ________kg
perempuan
No telp yang dapat dihubungi:
3. Tipe DM
:
 Tipe I
 Tipe II
 Tipe lain
 DM Gestasional
4. Pencetus KAD :
 Infeksi : ___________
 Penghentian terapi DM
 Lain-lain
5. Kelompok perlakuan : A (Kontrol) / B (Perlakuan)
6. Follow up hari ke-28 :
 Hidup
 Meninggal
72
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
Lanjutan
Formulir Penelitian KAD (Protokol KAD Konvensional)
Jam ke
Pukul
GCS
Ikterik (+/-)
Tekanan darah
(mmHg)
MAP
CVP
Frekuensi Nadi
(x/menit)
Frekuensi napas
(x/menit)
SpO2 (%)
FiO2 (%)
Produksi urine
(cc/kg/jam)
Jumlah cairan (cc)
GDS (g/dL)
0
Keton
PH arteri
PCO2 gap
PCO2 arteri
ScvO2
Laktat
Ureum
Creatinin
Insulin (u/jam)
Vasopresor
(mcg/kg/menit)
Skor MSOFA
Efek samping :
- edema paru : ya
- pneumotoraks : ya
1
2
3
4
5
6
tidak
tidak
73
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
12
24
48
72
Lanjutan
Formulir Penelitian KAD (Protokol EGDT)
Jam ke
Pukul
GCS
Ikterik (+/-)
Tekanan darah
(mmHg)
MAP
CVP
Frekuensi Nadi
(x/menit)
Frekuensi napas
(x/menit)
SpO2 (%)
FiO2 (%)
Produksi urine
(cc/kg/jam)
Jumlah cairan (cc)
GDS (g/dL)
0
Keton
PH arteri
PCO2 gap
PCO2 arteri
ScvO2
Laktat
Ureum
Creatinin
Insulin (u/jam)
Vasopresor
(mcg/kg/menit)
Skor MSOFA
Efek samping :
- edema paru : ya
- pneumotoraks : ya
1
2
3
4
5
6
tidak
tidak
74
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
12
24
48
72
Lampiran 6: Protokol KAD Konvensional
Protokol Penatalaksanaan KAD dengan Cairan, Insulin dan Bikarbonat
Sesuai Panduan Pelayanan Medik RSCM
Jam ke
Pemberian
cairan
0
Insulin
Koreksi
Kalium
Koreksi
bikarbonat
2 kolf dalam ½ jam,
Bila pH:
selanjutnya ½ kolf
<7 : 100 meq
dalam 1 jam
7-7,1 : 50 meq
>7,1 : tidak diberikan
Pada jam ke-2:
1
2 kolf
50 meq/6 jam
Bolus 180mU/kgBB
dilanjutkan dengan drip
insulin 90 mU/kgBB/jam
2
1 kolf
3
2 kolf
4
½ kolf
5
½ kolf
6
dalam cairan resusitasi
Bila kadar K
Bila GDS<200, kecepatan
<3 : 75meq/6jam
dikurangi menjadi
3-4,5 : 50 meq/6jam
45mU/kgBB/jam.
4,5-6 : 25 meq/6jam
Bila GDS stabil (200-
>6
300mg%) selama 12 jam
diberikan
: tidak
dilakukan drip insulin 1-2 U
perjam, dan sliding scale tiap
6 jam.
dan
seterusnya
Dosis insulin subkutan:
<200 mg%
tergantung
kebutuhan
200-250
5U
250-300
10U
300-350
15U
>350
20U
Bila GDS<200, ganti dengan Dextrose
Setelah sliding tiap 6 jam
Bila sudah sadar
kenaikan pH akan
5%
dapat dihitung kebutuhan
dapat dberikan
diikutin penurunan K,
insulin per hari
Kalium oral selama
oleh karena itu
semingu
pemberian bikarbonat
disertai dengan
pemberian kalium.
75
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
Lampiran 7: Protokol EGDT
Protokol Penelitian Pemberian Cairan pada KAD
Berdasarkan Strategi EGDT
76
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
Lampiran 8: Skor MSOFA
Skor Modified Sequential Organ Failure Assessment (MSOFA)
Sistem Organ
Respirasi
(SpO2/FiO2)
Hepar
Kardiovaskuler
Sistem saraf
pusat (GCS)
Ginjal
(creatinine,
mg/dL)
0
1
2
3
4
> 400
≤ 400
≤ 315
≤ 235
≤ 150
Ikterus (-)
Ikterus (-)
Ikterus (-)
Tidak
hipotensi
MAP <70
mmHg
Dop atau
dobu≤ 5
Ikterus (+)
Dop >5,
epi ≤ 0.1,
norepi ≤ 0.1
Ikterus (+)
Dop >15,
epi > 0.1,
norepi > 0.1
15
13-14
10-12
6-9
<6
<1.2
1.2-1.9
2-3.4
3.5-4.9
>5
*Dop: dopamin, dobu: dobutamin, epi: epinefrin, norepi: norepinefrin, dosis dalam μg/kgBB/menit
77
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
Lampiran 9: Formulir Pengunduran Diri
FORMULIR PENGUNDURAN DIRI
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
:
Usia
:
Jenis Kelamin
:
Alamat
:
Menyatakan untuk :
MENGUNDURKAN DIRI
dari penelitian yang dilakukan pada diri saya sendiri/suami/istri/anak/ayah/ibu/
keluarga saya:
Nama
:
Usia
:
Jenis Kelamin
:
Alamat
:
No. Rekam Medik:
Demikian surat pernyataan ini dibuat untuk dapat dipergunakan sebaik-baiknya
Jakarta,
/
/ 2013
Yang membuat pernyataan
(
)
78
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
Lampiran 10: Formulir Pelaporan Subyek terhadap Efek Samping
79
Universitas Indonesia
Perbandingan keberhasilan ..., Meliana Siswanto, FK UI, 2014
Download