masa iddah suami dalam talak raj`i (studi penerapan

advertisement
“MASA IDDAH SUAMI DALAM TALAK RAJ’I
(STUDI PENERAPAN SURAT EDARAN DIREKTUR
PEMBINAAN BADAN PERADILAN AGAMA ISLAM
(DITBINBAPERA) NO. DIV/E.D/17/1979)
DI KUA DAN PA BANGKALAN”
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum
Oleh :
MUHLASIN
211 11 001
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2016
“MASA IDDAH SUAMI DALAM TALAK RAJ’I
(STUDI PENERAPAN SURAT EDARAN DIREKTUR
PEMBINAAN BADAN PERADILAN AGAMA ISLAM
(DITBINBAPERA) NO. DIV/E.D/17/1979)
DI KUA DAN PA BANGKALAN”
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum
Oleh :
MUHLASIN
211 11 001
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2016
i
ii
iii
iv
MOTTO
“Yang Kita Lakukan Baik Belum Tentu Benar Untuk Orang
Lain, dan Sebaliknya Yang Kita Lakukan Benar Belum Tentu
Baik Untuk Orang Lain.
v
PERSEMBAHAN
1. Kedua orang tua yang saya sayangi dan banggakan Bapak Alm. H. Umar
Muhtadi dan Ibu Hj. Shofiyah yang senantiasa mencurahkan kasih
sayangnya, dukungan serta doanya sehingga skripsi ini akhirnya selesai.
2. Kakakku Muh Thoib, Siti Rohmatun, Siti Mahmudah, M. Fathoni, Alm.
Siti Muawanah, Siti Halimah Sakdiyah, dan Siti Muzaroah sekeluarga
yang selalu mendukung dan membimbing setiap langkahku.
3. Irinna Ika Wulandari, S. Sy. yang selalu mendukung dan memberikan
motivasi.
4. Sahabat-sahabati Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota
Salatiga.
5. Sahabat-sahabati GANAS PMII Kota Salatiga.
6. Sahabat-sahabati Teater Lintang Songo, SALAMS, eLKaJe, dan Sapu
Angin FC PMII Kota Salatiga.
7. Keluarga besar LPM DinamikA, DEMA (2013 dan 2015), LDK, dan SSC
IAIN Salatiga
8. Sahabat-sahabati Remaja Masjid Nuruz Zahroh dan Karang Taruna
Kembangarum Salatiga.
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang senantiasa memberikan rahmat
dan hidayah Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, dan Solawat
serta salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW. Skripsi ini
merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum di jurusan
Ahwal Al-Syakhsiyyah Fakultas Syari‟ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Salatiga.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis memperoleh bimbingan dan
pengarahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan
segala kerendahan hati penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1.
Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M. Pd. Selaku Rektor IAIN Salatiga.
2.
Ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag. Selaku Dekan Syari‟ah IAIN Salatiga.
3.
Bapak Sukron Makmun, S.HI. M.Si. Selaku Kepala Jurusan Ahwal AlSyakhsiyyah IAIN Salatiga.
4.
Bapak H. M. Yusuf Khummaini, S.HI., M.H, Selaku dosen pembimbing
skripsi yang selalu memotivasi serta sabar dalam membimbing penulis.
5.
Bapak Dr. Ilyya Muhsin, S.Hi., M.Si. selaku dosen pembimbing akademik
selama kuliah di IAIN Salatiga.
6.
Bapak dan Ibu dosen IAIN Salatiga yang telah menjadi perantara ilmu.
7.
Segenap sivitas akademik IAIN Salatiga yang telah memberikan pelayanan
yang baik serta ramah.
vii
viii
ABSTRAK
Muhlasin. 211 11 001. “Masa Iddah Suami Dalam Talak Raj‟i (Studi Penerapan
Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam
(DITBINBAPERA) No. DIV/E.D/17/1979) di KUA dan PA Bangkalan”.
Skripsi. Fakultas Syari‟ah. Jurusan Ahwal Al-Syakhsiyyah. Institut Agama
Islam Negeri Salatiga. Pembimbing H. M. Yusuf Khummaini, S.H.I., M.H.
Kata kunci : Masa Iddah Suami, No. DIV/E.D/17/1979
Penelitian ini terkait masa „iddahsuami yang bercerai dalam talak
raj‟ibertujuan untuk; (1) Bagaimana landasan dan ketentuan Surat Edaran
Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam (DITBINBAPERA) No.
DIV/Ed/17/1979 terhadap KUA dan PA Bangkalan. (2) Bagaimana sikap dan
penerapan Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam
(DITBINBAPERA) No. DIV/Ed/17/1979 di KUA dan PA Bangkalan.(3)
Bagaimana status perkawinan yang melanggar Surat Edaran Direktur Pembinaan
Badan Peradilan Agama Islam (DITBINBAPERA)No. DIV/Ed/17/1979.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode pengumpulan datanya
penyusun menggunakan metode observasi, wawancara dan dokumentasi. Data
yang diperoleh peneliti dari beberapa informan baik dari orang yang
bersangkutan, Kantor Urusan Agama (KUA) dan juga Pengadilan Agama (PA)
Bangkalan Madura Jawa Timur.
Berdasarkan ketentuan kelembagaan, dimana KUA & PA setelah tahun
1999. Maka Surat Edaran Direkturat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam
(DITBINBAPERA) No. DIV/E.D/17/1979 bersifat mengikat, artinya lembaga
dibawah Departemen Agama (DEPAG) Pusat yang setelahnya menjadi
Kementerian Agama mempunyai kewajiban untuk memperhatikan dan
menerapkan hal tersebut. Namun karena hanya sebatas surat edaran maka tidak
mempuyai kekuatan hukum yang kuat, bisa dikatakan sebagai himbauan.KUA dan
PA Bangkalan menolak Surat Edaran Direkturat Pembinaan Badan Peradilan
Agama Islam (DITBINBAPERA) No. DIV/E.D/17/1979, karena menganggap
surat edaran tersebut tidak memiliki kedudukan hukum yang jelas. Dalam hal ini
KUA dan PA Bangkalan mengambil kebijakan tidak menerapkan karena surat
edaran tersebut hanya bersifat himbauan (boleh/tidak diterapkan).Status
perkawinan duda talak raj‟i yang melanggar Surat Edaran Direkturat Pembinaan
Badan Peradilan Agama Islam (DITBINBAPERA) No. DIV/E.D/17/1979
dihukumi sebagai perkawinan poligami atau beristri lebih dari satu tanpa harus
ada izin dari istri pertama. Pada hakekatnya duda talak raj‟i yang akan menikah
dengan wanita lain segi kewajiban dan inti hukum sama seperti beristri lebih dari
seorang (poligami). Oleh karena itu dapat diterapkan Undang-undang perkawinan
No. 1 Tahun 1974 pasal 4 dan 5 tentang dasar perkawinan yang mengatur tatacara
perkawinan poligami.
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………………....…… i
HALAMAN BERLOGO ……………………………………………...……..
ii
NOTA PEMBIMBING……………………………………………....……….
iii
HALAMAN PENGESAHAN ………...…………………………...………..
iv
HALAMAN PERNYATAAN ……………………….…………....…………
v
MOTTO………………………………………………………………………. vi
PERSEMBAHAN………………………………………………………….....
vii
KATA PENGANTAR………………………………………………………..
viii
ABSTRAK……………………………………………………………………
x
DAFTAR ISI………………………………………………………………….
xi
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………….
xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah……………………………………………
1
B. Rumusan Masalah………………………………………………….
6
C. Tujuan Penelitian……………………………………………………
6
D. Penegasan Istilah.....…………………………………………………
7
E. Metode Penelitian…………………………………………………….
8
F. Sistematika Penulisan………………….……………………………
12
x
BAB II LANDASAN TEORI
A. Pengertian Pernikahan..............………………………………………. 14
B. Rukun Nikah.....………………………………………………………
15
C. Syarat Nikah.......................................................................................... 15
D. Hukum Perkawinan............................................................................... 15
E. Asas-Asas Hukum Perkawinan............................................................. 16
F. Tujuan Perkawinan...............................................................................
17
G. Pengertian Iddah...................................................................................
17
H. Landasan Filosofis Iddah Suami...........................................................
21
I. Asas Perundang-Undangan ..................................................................
26
BAB III HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum KUA Bangkalan Madura Jawa Timur .................... 36
1. Visi dan Misi .................…………………………………………
36
2. Standar Waktu ......................................................................…...... 37
3. Kode Etik........................................................................................
38
4. Panca Prasetya KORPRI................................................................. 38
5. Budaya Kerja................................................................................... 39
6. Maklumat Pelayanan....................................................................... 39
B. Hasil Wawancara KUA Bangkalan ...................................................... 43
C. Gambaran umum Pengadilan Agama Bangkalan ............................
45
a) Visi dan Misi .................................................................................. 49
b) Rencana Strategik...........................................................................
49
D. Hasil Wawancara PA Bangkalan .........................................................
51
xi
BAB IV ANALISA
A. Analisa Landasan Surat Edaran Direktorat Pembinaan Badan
Peradilan Agama Islam (DITBINBAPERA) No.DIV/E.D/17/1979 ...
57
B. Analisa Penerapan Surat Edaran Direktorat Pembinaan Badan
Peradilan Agama Islam (DITBINBAPERA) No.DIV/E.D/17/1979 di
KUA dan PA Bangkalan ....................................................................
62
C. Analisa Status Perkawinan yang Melanggar Surat Edaran Direktorat
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam (DITBINBAPERA)
No.DIV/E.D/17/1979 ........................................................................... 68
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan……………………………………………….….....….
73
B. Saran…………………………………………………….….….…..
74
C. Penutup .................................................................................................. 75
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 76
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Struktur Organisasi KUA Bangkalan .............. …………………...
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xii
31
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
I
: Daftar Riwayat Hidup
Lampiran
II
: Daftar SKK
Lampiran
III
: Surat Izin Penelitian
Lampiran
IV
: Pedoman Wawancara
Lampiran
V
: Data Wawancara Surat
Lampiran
VI
: Lampiran Akta Cerai
Lampiran
VII
: Dokumentasi Penelitian
Lampiran
VIII
: Keterangan Telah Meneliti
Lampiran
IX
: Lembar Konsultasi Skripsi
xiii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.Perkawinan
merupakan hal penting dalam kehidupan manusia, baik perseorangan maupun
kelompok. Melalui perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan
terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk yang
berkehormatan (Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, Surabaya: Arkola,
Hal. 5).
Dalam pengertian lain pernikahan merupakan pintu gerbang untuk
memasuki kehidupan baru yang sah menurut kaca mata agama Islam bagi pria dan
wanita. Pernikahan bagi masyarakat Jawa sendiri diyakini sebagai sesuatu yang
sakral, sehingga diharapkan dalam menjalaninya cukup sekali dalam seumur
hidup. Oleh karena itu pengertian perkawinan dalam ajaran agama Islam
mempunyai nilai ibadah, dalam Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam menegaskan
bahwa perkawinan adalah akad yang sangat kuat (mitsaqan ghalidhan) untuk
menaati perintah Allah SWT, dan melaksanakannya merupakan ibadah (Zainudin,
2006:7).
1
Dalam syariat Islam yang berlandaskan kepada Al-Qur‟an dan Hadist,
dalam penerapanya sangat fokus kepada lima perkara yaitu penjagaan terhadap
jiwa, agama, harta, akal, dan keturunan (nasab). Perkawinan yang berkah
merupakan tujuan yang sangat diinginkan oleh Islam. Akad nikah diadakan untuk
selamanya dan seterusnya hinga meninggal dunia agar suami istri dapat
mewujudkan rumah tangga sebagai tempat berlindung dapat memelihara anakanaknya hidup dalam pertumbuhan yang baik. Apabila suami istri tidak dapat
hidup bersama dengan bahagia dan perkawinan mereka tidak lagi membawa kasih
sayang maka Allah SWT tidak memaksakan suami dan istri tersebut untuk tetap
bertahan dalam suatu rumah tangga yang kacau.
Perlu diketahui bahwa Islam tidak menyukai suatu perceraian. Islam
memandang sebagai sesuatu yang musykil, suatu yang tidak diinginkan terjadinya.
Perceraian merupakan alternatif terakhir kehidupan rumah tangga bila tidak dapat
lagi dipertahankan keutuhannya. Ikatan pernikahan antara suami-istri
dinyatakan habis baik di waktu hidupnya (yakni bercerai) maupun
meninggal salah satu diantara keduanya. Setiap keadaan ini terdapat
kewajiban masa ‘Iddah yaitu waktu terbatas (menunggu untuk menikah lagi)
secara syar’i. „Iddah bermakna perhitungan atau sesuatu yang dihitung. Secara
bahasa mengandung pengertian hari-hari haidh atau hari-hari suci pada wanita.
sedangkan secara istilah, „Iddah mengandung arti masa menunggu arti masa
menunggu bagi wanita untuk melakukan perkawinan setelah terjadinya perceraian
dengan suaminya, baik cerai hidup maupun cerai mati, dengan tujuan untuk
mengetahui keadaan rahimnya atau untuk berfikir bagi suami.
2
Firman Allah SWT Al-Qur‟an Surat Al-Ahzab Ayat 49 :



Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuanperempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka
sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas
mereka „Iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.
Maka berilah mereka mut‟ah dan lepaskanlah mereka itu dengan
cara yang sebaik-baiknya.
Sedangkan Firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 229 :




Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.
tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah
kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir
tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu
khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan
hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang
bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah
hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya.
Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah
orang-orang yang zalim.
Waktu tunggu atau „Iddah ialah tenggang waktu dimana janda
bersangkutan
tidak
boleh
kawin,
bahkan
dilarang
pula
menerima
pinangan/lamaran. Ketentuan waktu tunggu ini dimaksudkan antara lain untuk
3
menentukan nasab dari kandungan janda itu bila ia hamil, dan juga sebagai masa
berkabung bila suami yang bersangkutan meningal dunia, begitu pula untuk
menentukan masa ruju‟ bagi suami, bila talak itu berupa talak raj‟i.
Seorang janda karena kematian suaminya, sedang ia tidak hamil maka
Iddahnya ialah 4 (empat) bulan 10 hari atau 130 hari. Iddah ini lebih panjang dari
pada Iddah karena talak atau cerai; dalam Iddah kematian selain untuk
menentukan apakah janda itu hamil atau tidak guna penentuan nasab sianak juga
ia perlu berkabung kepada almarhum suaminya.
Jika perkawinan putus karena talak, sedang talak itu adalah talak raj‟i
yaitu talak kesatu atau kedua, maka Iddahnya ialah 3 kali suci atau 90 hari (pasal
39 ayat (1) huruf b PP.). Dalam hukum Islam, talak raj‟i itu mempunyai akibatakibat hukum sebagai berikut :
1. Suami masih berkewajiban memberi nafkah, sandang dan pangan
kepada istrinya yang ditalak.
2. Suami berhak meruju‟ (kembali kepada) istri selama masih dalam
Iddah.
3. Bila salah seorang dari suami istri meninggal dunia dalam masa Iddah,
maka pihak yang masih hidup berhak mewarisi dari yang meninggal.
Hal ini disebabkan karena pada hakikatnya perkawinan itu belum bubar,
melainkan hanya berhenti sementara. Nasib perkawinan tersebut ditentukan dalam
masa Iddah, apakah terjadi ruju‟ atau tidak. Bila sampai akhir masa Iddah tiada
terjadi ruju‟, maka perkawinan itu menjadi bubar. Adapun Iddah dari talak ketiga
(bain kubra), atau bain yang lain (bain sugra), maka suami tidak dapat meruju‟,
4
begitu pula tidak ada hak saling mewaris antara keduanya. Sebab pada hakikatnya
perkawinan itu sudah bubar. Dan Iddah di sini gunaya ialah untuk menentukan
nasab sianak bila janda itu hamil (Depag, 1975: 70-71).
Dalam Surat Edaran DITBINBAPERA No. DIV/Ed/17/1979 ayat 1 dan 2
Juga disebutkan :
1.
Bagi seorang suami yang telah menceraikan istrinya dengan talak raj‟i
danmau menikah lagi dengan wanita lain sebelum habis masa „Iddah
bekasistrinya, maka dia harus mengajukan izin poligami ke PA.
2.
Sebagai pertimbangan hukumnya adalah penafsiran bahwa padahakikatnya
suami istri yang bercerai dengan talak raj‟i adalah masih dalamikatan
perkawinan selama belum habis masa „Iddahnya.
Karenanya jika suami tersebut akan menikah lagi dengan wanita lain, pada
hakikatnya, dari segi kewajiban hukum dan inti hukum adalah beristri lebih dari
seorang.
Dalam hal ini berarti pemohon harus menjamin keperluan hidup bekas
istrinya selama dalam masa „Iddah, sebagaimana disebutkan dalam pasal 152 KHI
yaitu : “Bekas istri berhak mendapat nafkah „Iddah dari bekas suaminya kecuali
nusyuz”. Oleh karena itu, perkawinan itu belum putus sepenuhnya, maka apabila
bekas suami hendak menikah lagi dalam masa „Iddah bekas istrinya, pada
hakikatnya bekas suami tersebut menikah dengan lebih dari seorang/poligami.
Dari hal-hal diatas kemudian timbulah banyak sekali permasalahan. Selain
permasalahan diatas, permasalahan lain yang muncul adalah sebatas manakah
pemahaman pegawai di lingkungan Kementerian Agama terhadap Surat Edaran
5
tersebut. Hal yang perlu diketahu juga adalah bagaimana penerapan suratedaran
tersebut di lingkungan Peradilan Agama. Berangkat dari pemikiran tersebut di
atas maka saya menyusun skripsi ini.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana landasan dan ketentuanSurat Edaran Direktur Pembinaan Badan
Peradilan Agama Islam (DITBINBAPERA) No. DIV/Ed/17/1979 terhadap
KUA dan PA Bangkalan?
2.
Bagaimana
sikap
danpenerapanSurat
Edaran
Direktur
Pembinaan
BadanPeradilan Agama Islam (DITBINBAPERA)No. DIV/Ed/17/1979 di
KUA dan PA Bangkalan?
3.
Bagaimana status perkawinan yang melanggar Surat Edaran Direktur
Pembinaan
BadanPeradilan
Agama
Islam
(DITBINBAPERA)No.
DIV/Ed/17/1979?
C. Tujuan Penelitian
1.
Untuk mengetahui landasan dan ketentuanSurat Edaran Direktur Pembinaan
Badan Peradilan Agama Islam (DITBINBAPERA) No. DIV/Ed/17/1979
terhadapPegawai KUA dan PA Bangkalan.
2.
Untuk mengetahuisikap danpenerapanSurat Edaran Direktur Pembinaan
BadanPeradilan Agama Islam (DITBINBAPERA)No. DIV/Ed/17/1979 di
KUA dan PA Bangkalan.
3.
Untuk mengetahui status perkawinan yang melanggar Surat Edaran Direktur
Pembinaan
BadanPeradilan
Agama
DIV/Ed/17/1979.
6
Islam
(DITBINBAPERA)No.
D. PENEGASAN ISTILAH
1. Iddah : mengandung arti masa menunggu arti masa menunggu bagi wanita
untuk melakukan perkawinan setelah terjadinya perceraian dengan suaminya,
baik cerai hidup maupun cerai mati, dengan tujuan untuk mengetahui keadaan
rahimnya atau untuk berfikir bagi suami (Syarifuddin, 2006: 303).
2. Suami : Suami pria yang menjadi pasangan hidup resmi seorang wanita
(Http://kbbi.web.id/suami, Akses 23 April 2016).
3. Talak Raj‟i : Talak raj‟i adalah talak yang boleh dirujuk kembali oleh mantan
suaminya selama masa Iddah atau sebelum masa Iddahnya berakhir
(http://alifudin.mywapblog.com, Akses 23 April 2016).
4. Surat : Surat kertas dan sebagainya yang bertulis berbagai isi sebagai tanda/
keterangan (Http://kbbi.web.id.surat, Akses 23 April 2016).
5. Edaran : Edaran sesuatu yang diedarkan (Http://kbbi.web.id/edaran, Akses 23
April 2016).
7
E. METODE PENELITIAN
1.
Jenis Penelitian dan Pendekatan
Untuk membantu memudahkan peneliti dalam melakukan penelitian,
peneliti akan menggunakan jenis pendekatan kualitatif dan menggunakannya
sebagai acuan dalam penulisan proposal skripsi. Pendekatan Kualitatif adalah
jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat
dicapai dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik atau dengan caracara lain dari kualifikasi pengukuran (Ghani,1997:11). Sedang menurut
Taylor, penelitian kualitatif adalah sebuah prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskripsi berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orangorang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong, 2002:3). Dari pengertian
tersebut, sudah tentu sesuai dengan judul yang telah ada ini, peneliti akan
berada pada latar yang alamiah sehingga metode yang akan digunakan adalah
dengan melakukan wawancara, observasi, catatan lapangan dan pemanfaatan
dokumen.
Penelitian kualitatif merupakan sebuah penelitian yang menghasilkan
data tertulis. Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah diskripsi.
Penelitian diskripsi menurut Suryabrata adalah penelitian yang bermaksud
untuk membuat pencandraan uraian, paparan mengenai situasi kejadiankejadian (Suryabrata,1998:19).
8
2.
Kehadiran Peneliti
Seperti yang telah diterangkan di atas bahwasannya peneliti akan
melaksankan observasi dan wawancara langsung pada obyek kajian sehingga
sudah tentu peneliti barada pada lapangan bersama nara sumber yang ada.
Penelitian akan dilaksanakan di Pengadilan Agama dan Kantor Urusan
Agama Bangkalan Madura Jawa Timur.
3.
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Pengadilan Agama dan Kantor Urusan
Agama Bangkalan Madura Jawa Timur.
4.
Sumber Data
Data dalam penelitian ini adalah semua data yang diperoleh dari
informan yang dianggap penting dan juga dihasilkan dari dokumentasi yang
menunjang. Data yang peneliti gali berasal dari unsur-unsur yang terkait
dengan judul yang diteliti.
5.
Prosedur Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling penting
dalam sebuah penelitian, karena tujuan dari peneliti adalah untuk
mendapatkan data. Dalam pelaksanaan penelitian ini, data akan diperoleh
dengan menggunakan teknik pengumpulan data:
a.
Observasi Langsung
Observasi adalah pengamatan dan pencatatan secara sistematis
terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian. Menurut Nawawi,
observasi dapat diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara
9
sistematis terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian
(Nawawi,1990:100).
b.
Wawancara
Wawancara dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara
(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan wawancara (interviewe)
yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2011:186 ).
c.
Dokumen
Dokumen terdiri dari kata-kata dan gambar yang telah direkam
tanpa campur tangan pihak peneliti. Dokumen tersebut tersedia dalam
bentuk tulisan, catatan, suara dan gambar (Daymon, 2008:3). Metode
ini digunakan untuk memperluas pengamatan dan pengumpulan data.
Data yang diambil berasal dari catatan hasil wawancara, foto-foto
dokumentasi.
6.
Analisis Data
Menurut Muhadjir, analisis data merupakan upaya untuk mencapai dan
menata secara sistematis catatan hasil observasi, wawancara, dan lainnya
untuk meningkatkan pemahaman penelitian tentang kasus yang diteliti dan
menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain (Muhadjir,1994:104). Penulis
akan menunjukkan laporan penelitian yang berisi kutipan-kutipan data dan
memberikan gambaran penyajian laporan. Data yang penulis sajikan seperti
naskah wawancara, catatan lapangan, foto, dokumen pribadi, dan sebagainya.
10
7.
Keabsahan Data
Untuk keabsahan data dalam penelitian ini ditentukan dalam kriteria
kreadibilitas. Hal ini dimaksud untuk membuktikan bahwa apa yang berhasil
dikumpulkan sesuai dengan kenyataan yang ada dalam penelitian. Metode
yang digunakan dalam pengecekan keabsahan data:
a.
Triangulasi Sumber
Trianggulasi Sumber yaitu membandingkan dan mengecek balik
derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan
alat yang berbeda. Dalam metode ini penulis mengecek informan satu
dengan yang lain yang diwawancara dan dari sini dapat diukur benar
tidaknya kenyataan yang ada.
b.
Triangulasi Metode
Triangulasi Metode Yaitu pengecekan derajat kepercayaan
penemuan hasil penelitian beberapa teknik pengumpulan data dan
sumber data dengan metode yang sama (Moleong,2002:178). Dalam
metode ini penulis melakukan kroscek antara wawancara dengan hasil
observasi yang dilakukan.
8.
Tahap-tahap Penelitian
Menurut Moloeng, bahwa tahap-tahap penelitian yang digunakan oleh
peneliti sebagai berikut:
a.
Tahap Pra Lapangan
1) Mengajukan judul penelitian.
2) Menyusun proposal skripsi.
11
3) Konsultasi penelitian kepada pembimbing.
b.
Tahap Pekerjaan Lapangan
1) Persiapan diri untuk memasuki lapangan.
2) Pengumpulan data atau informasi yang terkait dengan fokus
penelitian.
3) Pencatatan data yang telah dikumpulkan.
c.
Tahap Analisis Data
1) Penemuan hal-hal yang penting dari data penelitian.
2) pengecekan keabsahan data (Moloeng, 2002:84-105).
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Untuk mempermudah pemahaman pembaca pada penelitian ini, peneliti
menyusun sebuah sistematika penulisan. Sistematika penulisan ini ada lima
macam bab, yang masing-masing membahas masalah yang berbeda. hal itu
merupakan satu kesatuan yang menyambung. Adapun rincian dari kelima bab
tersebut adalah sebagai berikut:
Bab Satu, bab ini berisi pendahuluan yang bertujuan untuk memberikan
gambaran objek kajian secara umum. Pada bab ini akan memuat pembahasan
yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode dan
sistematika penulisan serta berisi hal-hal yang aneh dan menarik untuk diteliti.
Bab dua, bab ini membahas perkawinan syarat dan rukunnya yang
menyangkut masa „Iddah suami dalam talak raj‟i berdasarkan landasan, tujuan,
dan kekuatan hukum Surat Edaran DITBINBAPERA No. DIV/E.D/17/1979
dalam birokrasi KUA dan PA Bangkalan.
12
Bab tiga, bab ini mendeskripsikan, pertama: tentang data penelitian yang
mencakup seting penelitian yang telah dinarasikan oleh penulis agar mudah
dipahami oleh pembaca. Seting penelitian tersebut berisi tentang letak geografis,
demografis Kantor Urusan Agama (KUA) dan Pengadilan Agama (PA)
Bangkalan sumber data yang diperoleh serta landasan hukum, birokrasi,
TUPOKSI, tata cara cerai, tata cara nikah, tata cara rujuk yang telah terjadi di
masyarakat berdasarkan catatan KUA Bangkalan, dan sikap PA atas Surat Edaran
DITBINBAPERA No. DIV/E.D/17/1979.
Bab empat, analisis berisi tentang landasan hukum, filosofi mengenai
Surat Edaran DITBINBAPERA No. DIV/E.D/17/1979 yang terjadi dan sikap
Kantor Urusan Agama (KUA) dan Pengadilan Agama (PA) Bangkalan atas Surat
Edaran tersebut.
Bab lima, adalah penutup yang berisi kesimpulan dari hasil pembahasan
secara keseluruhan dan disertai dengan saran-saran, kemudian diakhiri dengan
kata penutup.
13
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Pernikahan
Dalam bahasa Indonesia perkawinan berasal dari kata kawin yang menurut
bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan
intim atau bersetubuh (Depdikbud,1994:456). Pengertian perkawinan dalam
ajaran agama Islam mempunyai nilai ibadah. Dalam Pasal 2 Kompilasi Hukum
Islam menegaskan bahwa perkawinan adalah akad yang sangat kuat (mitsaqan
ghalidhan) untuk menaati perintah Allah, dan melaksanakannya merupakan
ibadah (Zainudin, 2006:7).
Pengertian
perkawinan
menurut
ketentuan
pasal
1
undang-undang
Perkawinan No 1 tahun 1974 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri (Anshary, 1993:74). Sebagai salah satu syarat
sahnya nikah adalah adanya seorang wali, sebab wali menempati kedudukan yang
sangat penting dalam pernikahan. Seperti dalam prakteknya yang mengucapkan
“ijab” adalah pihak perempuan dan yang mengucapkan ikrar “qobul” adalah
pihak laki-laki.
Kedudukan wali nikah dalam hukum Islam adalah sebagai salah satu rukun
nikah. Menurut Imam Syafi‟i bahwa nikah dianggap tidak sah atau batal, apabila
wali dari pihak calon pengantin perempuan tidak ada.
14
B. Rukun Nikah
Jumhur ulama sepakat bahwa rukun pernikahan itu terdiri atas 5 hal yang
harus dipenuhi. Adapun kelima hal tersebut adalah
1.
2.
3.
4.
5.
Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan.
Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita.
Akad nikah akan dianggap sah apabila ada seorang wali atau wakilnya yang
akan menikahkannya.
Adanya dua orang saksi.
Sighat akad nikah, yaitu ijab kabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya
dari pihak wanita, dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki (Departemen
Agama, 1992:18).
C. Syarat Nikah
Syarat-syarat perkawinan seperti yang diisyaratkan oleh para Ulama‟ ada 9.
Syarat-syarat tersebut adalah:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Adanya persetujuan kedua calon mempelai.
Pria sudah berumur 19 tahun, wanita 16 tahun.
Izin orang tua/ pengadilan jika belum berumur 21 tahun.
Tidak masih terikat dalam suatu perkawinan.
Tidak bercerai untuk kedua kali dengan suami atau istri yang sama yang akan
dinikahi.
Bagi janda sudah lewat masa tunggu.
Sudah memberitahu kepada pegawai pencatat perkawinan 10 hari sebelum
dilangsungkan perkawinan.
Tidak ada yang mengajukan pencegahan.
Tidak ada larangan perkawinan (Anshary, 1993:76-80).
D. Hukum Perkawinan
Hukum perkawinan seperti yang disebutkan oleh paraulama ada 5. Adapun
pembagian ke 5 hukum perkawinan tersebut adaah sebagai berikut:
1.
Wajib, yaitu bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan
untuk kawin dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina
seandainya tidak kawin maka hukum melakukan perkawinan bagi orang
15
tersebut adalah wajib. Dengan maksud untuk menjaga diri dari perbuatan
maksiat.
2.
Sunah, yaitu bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan
untuk
melangsungkan
perkawinan, tetapi
kalau tidak kawin tidak
dikhawatirkan akan berbuat zina, maka hukum melakukan perkawinan bagi
orang tersebut menjadi sunah.
3.
Haram, yaitu bagi orang yang tidak mempunyai kemauan dan kemampuan
serta tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah
tangga sehingga apabila melangsungkan perkawinan akan terlantarkan dirinya
dan istrinya.
4.
Makruh, yaitu bagi orang yang mempunyai kemampuan dan kemauan untuk
meaksanakan perkawinan dan cukup untuk bisa menahan diri sehingga tidak
memungkinkan dirinya terjerumus berbuat zina sekiranya tidak kawin.
5.
Mubah, yaitu bagi Orang-orang yang mempunyai kemampuan untuk
melakukannya, tetapi apabila tidak melakukannya tidak dikhawatirkan
berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak akan menelantarkan istri
(Tihami, 2009: 12).
E. Asas-Asas Hukum Perkawinan
Dalam Asas hukum perkawinan ikatan perkawinan sebagai salah satu
bentuk perjanjian (suci) antara seorang pria dengan seorang wanita yang
mempunyai segi-segi perdata, berlaku beberapa asas, diantaranya adalah (1)
kesukarelaan, (2) persetujuan kedua belah fihak, (3) kebebasan memilih, (4)
16
kemitraan suami-istri, (5) untuk selama-lamanya, dan (6) monogami terbuka
(karena darurat) (Zainuddin, 2006: 124).
F. Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi petunjuk
agma dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia.
Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggotan keluarga, sejahtera
artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya keperluan
hidup lahir dan bathinyanya sehingga timbullah kebahagiannya, yakni kasih
sayang antar anggota keluarga (Darajat, 1995:48).
Sedangkan menurut Imam Ghazali, yang menjadi tujuan pernikahan adaah
sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
Mendapatkan dan melangsungkan keturunan.
Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan
kasih sayangnya.
Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan
Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak dan
kewajiban juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang
halal.
Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas
dasar cinta dan kasih sayang(Gazali,2003:50).
G. Pengertian Iddah
„Iddah bermakna perhitungan atau sesuatu yang di hitung. Secara bahasa
mengandung pengertian hari-hari haidh atau hari-hari suci pada wanita.
Sedangkan secara istilah, „Iddah mengandung arti masa menunggu arti masa
menunggu bagi wanita untuk melakukan perkawinan setelah terjadinya perceraian
dengan suaminya, baik cerai hidup maupun cerai mati, dengan tujuan untuk
mengetahui keadaan rahimnya atau untuk berfikir bagi suami.
17
Para ulama mendefinisikan „Iddah sebagai nama waktu untuk menanti
kesuciaan seorang istri yang ditinggal mati atau diceraikan oleh suami, yang
sebelum habis masa itu dilarang untuk di nikahkan.Dengan redaksi yang agak
panjang Ahmad Al-Ghundur memberikan definisi „Iddah dengan, jenjang waktu
yang di tentukan untuk menanti kesucian (kebersihan rahim) dari pengaruh
hubungan suami istri setelah sang istri di ceraikan atau ditinggal mati suami, yaitu
waktu yang biasa dipikul oleh istri setelah putus ikatan pernikahan karena
dikhawatirkan terjadi kesyubhatan dalam pengaruh hubungan kelamin atau yang
sesamanya seperti bermesra-mesraan (dengan pria lain jika ia segera menikah)
(Syarifuddin, 2006: 303).
Perceraian perkawinan dalam Islam belumlah putus sama sekali dikala suami
mengikrarkan lafal talak kepada istrinya itu. Yang terjadi ialah bahwa sejak talak
itu diikrarkan suami, terjadinya masa „Iddah yang harus dilalui istrinya itu. Masa
„Iddah adalah masa berpikir panjang, dimana salah satu fungsi „Iddah adalah
memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk memikirkan kemungkinankemungkinan agar bisa rujuk kembali dan rujuk itu sendiri merupakan hak suami.
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 228:




Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh mereka
18
Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya,
jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suamisuaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika
mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut
cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu
tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Allah berfirman dalam surat Ath-Talaq ayat 6 :




Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat
tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu
menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka dan
jika mereka istri-istri yang sudah ditalak itu sedang hamil
maka berikanlah kepada mereka nafkah hingga mereka
bersalin, kemudian jika mereka menyusukan anak-anakmu
maka
berikanlah
kepada
mereka
upahnya;
dan
musyawarakanlah diantara segala sesuatu, dengan baik; dan
jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh
menyusukan anak itu untuknya.
Ayat ini merupakan dasar bagi suami untuk memberikan tempat tinggal
bagi istri-istri yang ditalaknya, bahkan ayat ini memberikan pengertian yang tegas
tentang kewajiban lainnya yang harus dipenuhi oleh suami seperti memberikan
biaya untuk menyusukan anak-anaknya.
Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan kepada bekas istri (pasal 41 UU No. 1 1974). Ketentuan ini
dimaksud agar bekas istri yang telah diceraikan suaminya jangan sampai
19
menderita karena tidak mampu memenuhi kebutuhan kehidupannya. Dengan
demikian apabila terjadi perceraian, suami mempunyai kewajiban-kewajiban
tertentu yang harus dipenuhi kepada bekas istrinya. Kewajiban-kewajiban tersebut
ialah:
1.
2.
3.
4.
Memberikan mut‟ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau
benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al dhukhul;
Memberikan nafkah kepada bekas istri selama masa „Iddah, kecuali bekas
istri telah dijatuhi talak ba‟in atau nasyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
Melunasi mahar yang masih terutang dan apababila perkawinan itu qabla al
dhukul mahar dibayar setengahnya;
Memberikan biaya hadanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur
21 tahun(Nuruddin, 1974:39).
Sedangkan untuk hak dan kewajiban seorang istri yang berada dalam masa
„Iddah, khususnya talak raj‟i diantarannya ialah:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Tidak boleh dipinang oleh laki-laki lain, baik secara terang-terangan maupun
dengan cara sindiran. Namun bagi wanita yang ditinggal mati suaminya
dikecualikan bahwa ia boleh dipinang dengan sindiran.
Dilarang keluar rumah menurut jumhur ulama fikih selain mazhab Syafi‟i
apabila tidak ada keperluan mendesak, seperti untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-harinya. Larangan ini merupakan penegasan terhadap surat AtThalaq ayat 1 yang telah disebutkan sebelumnya. Larangan ini juga dikuatkan
dengan beberapa hadis Rasululullah SAW Berhak untuk tetap tinggal
dirumah suaminya selama menjalani masa „Iddah.
Wanita yang berada dalam „Iddahtalak raj‟i terlebih lagi yang sedang hamil,
berhak mendapatkan nafkah lahir dari suaminya.
Bagi wanita yang ditinggal mati suaminya tentu tidak lagi mendapatkan apaapa kecuali harta waris, namun berhak untuk tetap tinggal di rumah suaminya
sampai berakhirnya masa „Iddah.
Wanita yang berada dalam „Iddahtalak raj‟i ia berhak mendapatkan harta
waris dari suaminya yang wafat, sedangkan wanita yang telah ditalak tiga
tidak berhak mendapatkanya.
„Iddah wanita yang ditinggal mati suaminya yaitu tidak mempergunakan alatalat kosmetik untuk mempercantik diri selama empat bulan sepuluh hari.
Wanita yang berada dalam „Iddahtalak raj‟i ia berhak mendapatkan harta
waris dari suaminya yang wafat, sedangkan wanita yang telah ditalak tiga
tidak berhak mendapatkanya (Depag, 1992:71).
20
H. Landasan
Filosofis
Iddah
Bagi
Suami
Dalam
Surat
Edaran
DITBINBAPERA No. DIV/E.D/17/1979
Di dalam hukum Islam tidak dijelaskan tentang izin menikah bagi suami
dalam masa „Iddah talak raj‟i maupun syarat-syaratnya. Surat Edaran Direktur
Pembinaan
Badan
Peradilan
Agama
Islam
(DITBINBAPERA)
No.
DIV/Ed/17/1979, mempunyai dampak positif yaitu setidak-tidaknya mencegah
terjadinya suatu penyimpangan dari tujuan perkawinan yang dalam pasal 1 UU
No. 1/1974 yaitu “untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, karena terjadinya poligami otomatis
yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, selain itu juga
untuk memperhatikan kesejahteraan wanita baik wanita yang masih dalam masa
„Iddah maupun wanita yang akan dinikah. Dengan demikian, adanya izin menikah
dalam masa „Iddah talak raj‟i yang diatur dalam Surat Edaran DITBINBAPERA
No. D1V/Ed/17/1979 adalah sejalan dengan prinsip hukum Islam yang lebih
mengutamakan kemaslahatan umum dari pada perorangan.
Dalam penetapan ini masih terdapat beberapa hal yang mungkin perlu
dipertimbangkan kembali antara lain adalah alasan pemohon untuk menikah lagi
dengan wanita lain dalam masa „Iddah bekas istri pemohon. Hal ini menunjukkan
bahwa pemohon tidak memanfaatkan masa „Iddah bekas istrinya yang masih
panjang. Jika memang benar tidak sanggup menduda telalu lama atau takut
berbuat maksiat mengapa tidak rujuk saja, karena masa „Iddah bekas istrinya
belum habis.
21
Masalahnya, tanpa menaruh rasa curiga terhadap pemohon sering terjadi
seorang suami yang mentalak istrinya dengan talak raj‟i lalu si suami menikah
lagi dalam masa „Iddah bekas istrinya itu dengan memperlihatkan akta cerainya
kepada pegawai pencatat nikah untuk menikah lagi dengan istri yang baru. Hal ini
lah yang kemudian karena masa „Iddah bekas istrinya itu belum habis maka
memungkinkan si suami merujuknya kembali. Terjadilah apa yang disebut
poligami. Dalam masalah seperti ini sangat besar kemungkinan terjadinya fasakh,
karena salah satu pihak tidak terima atau merasa dibohongi. Disinilah arti
pentingnya izin menikah bagi suami dalam masa Iddah talak raj‟i walaupun
dengan adanya izin ini tidak menutup kemungkinan terjadinya poligami otomatis.
Sebab bisa jadi alasan yang diajukan di PA hanya alasan untuk mendapatkan izin
saja dan setelah suami menikah segera rujuk dengan bekas istrinya. Oleh karena
itu, sangat diperlukan sekali keterangan dari pemohon untuk benar-benar tidak
akan merujuk bekas istrinya kembali.
Dalam hal ini berarti pemohon harus menjamin keperluan hidup bekas
istrinya selama dalam masa „Iddah, sebagaimana disebutkan dalam pasal 152 KHI
yaitu : “Bekas istri berhak mendapat nafkah „Iddah dari bekas suaminya kecuali
nusyuz”. Oleh karena itu, perkawinan itu belum putus sepenuhnya. Maka apabila
bekas suami hendak menikah lagi dalam masa „Iddah bekas istrinya, pada
hakikatnya bekas suami tersebut menikah dengan lebih dari seorang/poligami.
Dapat diambil kesimpulan bahwa izin menikah dalam masa „Iddah talak raj‟i
yang dibuat oleh Pemerintah dalam hal ini adalah Surat Edaran Direktur
Pembinaan
Badan
Peradilan
Agama
22
Islam
(DITBINBAPERA)
No.
DIV/Ed/17/1979, mempunyai dampak positif. Dampak positf tersebut yaitu
setidak-tidaknya
mencegah
terjadinya
suatu
penyimpangan
dari
tujuan
perkawinan yang dalam pasal 1 UU No. 1/1974 yaitu untuk membentuk suatu
keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh
karena itu terjadinya poligami otomatis tidak sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku.
MengenaiSurat Edaran No: DIV/E.D/17/1979 Dirjen Bimbingan Islam
masalah poligami dalam Iddah istri di terbitkan oleh Departemen Agama
Republik Indonesia, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam,
Jakarta pada tanggal 10 februari 1979 diberikan kepada:
a. Saudara ketua Pengadilan Agama tingkat pertama.
b. Saudara ketua Pengadilan Agama tingkat Banding di seluruh Indonesia.
Sedangkan isi Surat Edaran tersebut adalah menunjuk Keputusan Rapat Dinas
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Negara tanggal 24 sampai 28 Mei 1976 di
Tugu Bogor lampiran IV point c. 3 perihal seperti tersebut pada pokok surat,
maka dengan ini kami berikan penjelasan sebagai berikut:
a. Bagi seorang suami yang telah menceraikan isterinya dengan thalak
raj‟i dan mau menikah lagi dengan wanita lain sebelum habis masa
Iddah bekas isterinya. Maka ia harus mengajukan ijin poligami ke
Pengadilan Agama.
b. Sebagai pertimbangan hukumnya adalah penafsiran bahwa pada
hakekatnya suami isteri yang bercerai dengan thalak raj‟i adalah masih
ada ikatan perkawinan sebelum habis masa Iddahnya. Karena kalau
suami tersebut kalau menikah lagi dengan wanita lain, pada
hakekatnya dari segi kewajiban hukum dan inti hukum adalah beristeri
lebih dari seorang (poligami). Oleh karena itu terhadap kasus tersebut
dapat ditetapkan pasal 4 dan 5 UU No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan.
23
Sebagai produk pengadilan, penolakan atau ijin permohonan tersebut harus
dituangkan dalam bentuk penetapan pengadilan agama.
Dalam hukum positif adalah kumpulan asas kaidah hukum tertulis dan tidak
tertulis yang pada saat ini sedang berlaku mengikat secara umum atau khusus
ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara Indonesia.
Pengertian hukum positif diperluas, bukan saja yang sedang berlaku sekarang
melainkan termasuk juga hukum yang pernah berlaku dimasa lalu.
Hukum positif dibagi menjadi hukum positif tertulis dan tidak tertulis.
Sedangkan hukum positif tertulis dibedakan antara hukum positif tertulis yang
berlaku umum dan hukum positif tertulis yang berlaku khusus. Hukum positif
yang berlaku umum terdiri dari peraturan perundang-undangan dan peraturan
kebijakan termasuk didalamnya yakni surat edaran, juklak, juknis.
Suatu peraturan tertulis atau kaidah hukum benar-benar berfungsi senantiasa
dikembalikan pada empat faktor yakni kaidah hukum atau peraturan itu sendiri,
petugas yang menegakkan atau penerap hukum, sarana yang dapat membantu,
warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan. Kaidah hukum berfungsi
apabila kaidah berlaku secara yuridis atau atas dasar yang telah ditetapkan,
sosiologis atau dapat dipaksakan dan filosofis sesuai dengan cita hukum
(http://dokumen.tips/documents/makalah-Iddah.html, Akses : 18 Agustus 2016).
Selain hal diatas, Surat Edaran No. DIV/E.D/17/1979 tersebutdikeluarkan
juga untuk memperhatikan kesejahteraan wanita baik wanita yang masih dalam
masa „Iddah maupun wanita yang akan dinikah. Maka jelaslah bahwa Surat
Edaran DITBINBAPERA No. DIV/Ed/17/1979 tentang izin menikah dalam
24
masa„Iddah telah sesuai dengan prinsip dan ketentuan-ketentuan hukum Islam.
Prinsip dan ketentuan tersebut yaitu sebagai ijtihad pemerintah untuk
mewujudkan kemaslahatan masyarakat Islam di Indonesia pada khususnya.
Di dalam Al-Qur'an maupun Hadits yang merupakan sumber hukum Islam
utama, tidak ditemukan adanya keterangan yang mengatur tentang izin menikah
bagi suami dalam masa „Iddah talak raj‟i. Beberapa referensi yang berhasil
penulis temukan, hal tersebut diterangkan sebagai akibat hukum dari „Iddah talak
raj‟i. Salah satunya dalam firman Allah SWT dalam Al-Qur'an surat al-Baqorah
ayat 231 :


“Apabila kamu mentalak istri-istrimu lalu mereka mendekati
akhir Iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang
ma‟ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma‟ruf
(pula)”.
Dalam ayat tersebut mengisyaratkan bahwa wanita yang berada dalam
masa „Iddah masih mempunyai ikatan perkawinan dengan suami yang
mentalaknya. Adanya hak memilih bagi suami, apakah ia akan menceraikan
istrinya atau akan merujuk kembali, menunjukkan bahwa pada masa itu pihak
lain belum boleh masuk. Hal ini menunjukkan bahwa ikatan antara suami istri
belum putus sama sekali sebelum habis masa „Iddah bekas istrinya, karena
masih banyak hak dan kewajiban yang harus dipenuhi diantara calon bekas
suami istri tersebut walaupun suami sudah mengikrarkan talaknya dan telah
mendapatkan akta cerai dari pengadilan.
25
I. ASAS PERUNDANG-UNDANGAN
1. Asas Tingkatan Hirarki
Suatu Perundang-undangan isinya tidak boleh bertentangan dengan isi
perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatan atau derajatnya.
Berdasarkan asas ini dapatlah diperinci hal-hal sebagai berikut :
a. Perundang-undangan yang rendah derajatnya tidak dapat mengubah
atau mengenyampingkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan
yang lebih tinggi. Tetapi yang sebaliknya dapat.
b. Perundang-undangan hanya dicabut, diubah atau ditambah oleh atau
dengan perundang-undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi
tingkatannya.
c. Ketentuan-ketentuan
perundang-undangan
yang
lebih
rendah
tingkatannya tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak mengikat
apabila bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi
tingkatannya. Dan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih
tinggi tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum serta mengikat,
walaupun diubah, ditambah, diganti atau dicabut oleh perundangundangan yang lebih rendah.
d. Materi yang harusnya diatur oleh perundang-undangan yang lebih
tinggi tingkatannya tidak dapat diatur oleh perundang-undangan yang
lebih rendah. Tetapi hal yang sebaliknya dapat. Namun demikian,
tidaklah baik apabila perundang-undangan yang lebih tinggi mengambil
alih fungsi perundang-undangan yang lebih rendah. Apabila terjadi hal
26
demikian itu maka menjadi kaburlah pembagian wewenang mengatur
didalam suatu negara. Di samping itu, badan pembentuk perundangundangan yang lebih tinggi tersebut akan teramat sibuk dengan
persoalan-persoalan yang selayaknya diatur oleh badan pembentuk
perundang-undangan yang lebih rendah.
Asas tersebut diatas penting untuk ditaati. Tidak ditaatinya asas tersebut
akan dapat menimbulkan ketidak tertiban dan ketidak pastian dari sistem
perundang-undangan. Bahkan dapat menimbulkan kekacauan atau
kesimpang-siuran perundang-undangan.
2. Undang-Undang Tak Dapat Diganggu Gugat
Asas ini berkaitan dengan hak menguji perundang-undangan (toe tsings
rect). Sebagaimana diketahui hak menguji perundang-undangan ada dua
macam yakni:
a. Hak menguji secara materiel (materiele toe tsingsrecht) yaitu,
menguji materi atau isi dari perundang-undangan apakah
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan
yang lebih tinggi derajatnya;
b. Hak menguji secara formal (formele toe tsingsricht) yaitu
menguji
apakah
semua
formalitas
atau
tata
cara
pembentukannya sudah dipenuhi.
Materi atau isi undang-undang tidak dapat diuji oleh siapapun,
kecuali oleh badan pembentuknya sendiri atau badan yang berwenang
yang lebih tinggi. Jadi yang dapat menguji dan mengadakan perubahan
27
hanyalah badan pembentuk undang-undang itu sendiri (Pemerintah dengan
persetujuan DPR) atau badan yang berwenang yang lebih tinggi. Sebagai
contoh mengenai badan yang berwenang yang lebih tinggi, dalam sejarah
perundang-undangan RI ialah Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
(MPRS) yang pernah mengeluarkan ketetapan (TAP) yaitu TAP nomor
XIX/MPRS tahun 1966 yang menugaskan kepada Pemerintah dan DPRGR untuk meninjau kembali semua produk legislatif yang dikeluarkan
sejak 5 Juli 1959 sampai 5 Juli 1966 terkecuali produk-produk MPRS
(seperti yang telah diuraikan terlebih dahulu).
Mahkamah Agung Republik Indonesia mempunyai hak menguji
perundang-undangan secara materiel yang terbatas yakni, terhadap
perundang-undangan di bawah derajat undang-undang (yang lebih rendah
dari undang-undang). Ketentuan tersebut terdapat dalam pasal 26 undangundang nomor 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok
kekuasaan kehakiman (LN 1970, 74), dan dalam TAP MPR nomor
VI/MPR tahun 1973 pasal 11 ayat (4).
Hak menguji tersebut dilakukan oleh Mahkamah Agung secara
kasuistis yaitu, melalui perkara yang diajukan, baik karena adanya
permohonan kasasi maupun permohonan peninjauan kembali perkara yang
telah memperoleh petusan yang berkekuatan tetap (herziening). Apabila
Mahkamah Agung berpendapat bahwa ketentan perundang-undangan
(yang lebih rendah derajatnya dari undang-undang) tersebut bertentangan
dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi
28
derajatnya maka Mahkamah Agung menyatakan bahwa ketentuan tersebut
adalah tidak sah dan tidak berlaku untuk umum, dan karena itu pencabutan
ketentuan perundang-undangan tersebut harus segera dilakukan oleh
instansi yang bersangkutan (yang membuatnya).
Tentang hak menguji perundang-undangan secara materiel tidaklah
sama di berbagai negara. Di Amerika Serikat misalnya, Supreme Court
(Mahkamah Agung) mempunyai hak menguji secara materiel terhadap
undang-undang. Dan pengadilan biasa (court) dapat menolak untuk
menerapkan ketentuan-ketentuan dari suatu perundang-undangan kedalam
suatu kasus, apabila ketentuan-ketentuan tersebut bertentangan dengan
sumbernya (perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya).
3. Undang-Undang Yang Bersifat Khusus Menyampingkan Undang-Undang
Yang Bersifat Umum (Lex Specia-Lis Derogat Generalis)
Undang-undang yang umum adalah yang mengatur persoalanpersoalan pokok secara umum dan berlaku umum pula. Di samping itu ada
undang-undang yang menyangkut persoalan pokok tersebut tetapi
mengaturnya secara khusus menyimpang dari ketentuan-ketentuan
undang-undang yang umum tersebut. Yang terakhir ini disebut undangundang yang khusus.
Kekhususan itu karena sifat hakikatnya dari masalah atau persoalan
sendiri. Atau karena kepentingan yang hendak diatur mempunyai nilai
intrinsik yang khusus. Sehingga perlu pengaturan secara khusus. Sebagai
contoh, bahwa dalam negara RI ada hukum pidana umum yaitu terdapat
29
dalam KUHP yang berlaku umum (berlaku bagi setiap penduduk).
Sungguhpun demikian, bagi suatu golongan tertentu, dalam hal ini
misalnya untuk militer, disebabkan sifat hakikat tugasnya yang khusus
yaitu: untuk bertempur dengan menggunakan kekerasan (senjata), maka
perlu bagi militer tersebut dalam beberapa hal mengenai hukum pidana
diatur secara khusus. Menyimpang dari hukum pidana umum. Masalah
yang khusus itu, antara lain misalnya apa yang dikenal tindak pidana
desersi yaitu, perbuatan meninggalkan kesatuan untuk selama-lamanya
tanpa izin atau tindak pidana melarikan diri dari pertempuran, dan lain
sebagainya. Oleh karena itu untuk kalangan militer (KUHPM) yang
khusus disamping KUHP yang bersifat umum.
Dalam KUHP telah diatur misalnya mengenai tindak pidana
pencurian (pasal 362 dan seterusnya). Akan tetapi pencurian yang
dilakukan oleh militer di dalam kesatriaan militer diatur pula dalam
KUHPM (pasal 140). Dengan demikian terhadap militer yang mencuri
dalam kesatriaan militer tersebut berlaku dua ketentuan hukum. Yaitu
pasal 362 KUHP dan pasal 140 KUHPM. Dalam keadaan demikian maka
yang digunakan atau yang berlaku adalah KUHPM pasal 140.
Perbedaanya ialah antara hukuman lebih berat daripada ancaman hukuman
pasal 362 KUHP. Jadi dalam hal ini disebut undang-undang khusus
menyampingkan undang-undang yang umum. Atau dapat dikatakan dalam
hal ini undang-undang yang umum.
30
Kekhususan termaksud dapat terlihat dari rumusan undang-undang
itu sendiri. Misalnya, pasal 1 KUHPM merumuskan berlakunya KUHP
(undang-undang yang umum) dalam penerapan KUHPM, kecuali jika
ditetapkan secara menyimpang. Demikian dengan hubungan hukum yang
umum dibidang perdata yaitu, antara hukum dagang dan hukum perdata
terlibat pada rumusan pasal 1 KUHD yang pada intinya menyatakan
bahwa KUH perdata berlaku terhadap persoalan-persoalan yang diatur
oleh KUHD kecuali yang ditentukan menyimpang.
4. Undang-Undang Tidak Berlaku Surut
Asas tersebut berkaitan dengan lingkungan kuasa hukum (geldingsgebied
van het recht). Lingkungan kuasa hukum meliputi:
a. Lingkungan kuasa tempat (ruim tegebied) yang menunjukkan
tempat berlakunya hukum atau perundang-undangan. Apakah suatu
ketentuan hukum atau perundang-undangan berlaku untuk wilayah
Negara atau hanya untuk sebagian wilayah Negara (daerah Tingkat
I tertentu atau daerah tingkat II tertentu saja);
b. Lingkungan kuasa persoalan (zakengebied) yaitu menyangkut
masalah atau persoalan yang diatur; misalnya, apakah mengatur
persoalan perdata atau mengatur persoalan publik; lebih sempit lagi,
apakah mengatur persoalan pajak ataukah mengatur persoalan
kewarganegaraan dan lain-lain sebagainya;
c. Lingkungan kuasa orang (personengebied) yaitu, menyangkut orang
yang diatur, apakah berlaku untuk setiap penduduk ataukah hanya
31
untuk pegawai negeri saja misalnya, ataukah hanya untuk kalangan
anggota ABRI saja dan lain sebagainya;
d. Lingkungan kuasa waktu (tijdsgebied) yang menunjukkan sejak
kapan dan sampai kapan berlakunya sesuatu ketentuan hukum atau
perundang-undangan.
Dalam bahasa Inggris masing-masing disebut sebagai berikut:
1) Territorial Sphere (lingkungan kuasa tempat);
2) Material Sphere (lingkungan kuasa persoalan);
3) Personal Sphere (lingkungan kuasa orang);
4) Temporal Sphere (lingkungan kuasa waktu).
Asas “undang-undang tidak berlaku surut” berkaitan dengan
lingkungan kuasa waktu atau tijdsgebiedatau Temporal Sphereyang
disebutkan diatas.
Undang-undang dibuat dengan maksud untuk keperluan masa depan
semenjak undang-undang itu diundangkan. Tidaklah layak apabila sesuatu
yang ditentukan dalam undang-undang diberlakukan untuk masa silam
sebelum
undang-undang
itu
dibuat
dan
diundangkan.
Apabila
diberlakukan surut akan dapat menimbulkan bermacam-macam akibat
yang tidak baik.
Mengenai asas ini dalam perundang-undangan RI belum ada
aturannya. Akan tetapi dalam perundangan produk zaman Hindia Belanda
(yang masih berlaku sekarang berdasarkan ketentuan peralihan Hukum
32
Dasar Negara yang pernah berlaku di Indonesia) terdapat dalam pasal 2.
A.B. (S. 1847 : 23) yang berbunyi:
“De wet verbint allen voor het toekomende en heeft geen
trugwerkendekracht” (undang-undang hanyalah mengikat untuk
masa depan dan tidak mempunyai kekuatan berlaku surut).
Akan tetapi di dalam penggunaan undang-undang ada pengecualian
berlakunya asas tersebut di atas. Yaitu dikecualikan untuk hal-hal yang
khusus dengan berdasarkan kepada ketentuan-ketentuan undang-undang
pula. Contoh: Pasal I ayat (2) KUHP menyatakan bahwa apabila ada
perubahan perundang-undangan sesudah tindak pidana dilakukan, maka
digunakan ketentuan paling menguntungkan bagi si tersangka atai si
terdakwa. Jadi kalau ketentuan undang-undang yang baru (menyangkut
pidana) yang paling menguntungkan si tersangka atau si terdakwa maka
digunakan ketentuan undang-undang yang baru terhadap kasus yang sudah
terjadi sebelumnya apabila perkara itu belum diputus pada waktu
berlakunya perubahan undang-undang termaksud. Sehingga dalam hal ini
undang-undang yang baru diberlakukan surut terhadap kasus yang telah
terjadi sebelumnya. Dalam ilmu hukum pidana ketentuan pasal 1 ayat (2)
KUHP itu disebut dengan istilah “gunstige bepaling” atau ketentuan yang
menguntungkan.
5. Undang-Undang Yang Baru Menyampingkan Undang-Undang Yang Lama
(Lex Posteriori Derogat Lex Priori)
33
Apabila ada sesuatu masalah yang diatur dalam suatu undangundang (lama), diatur pula dalam undang-undang yang baru, maka
ketentuan undang-undang yang baru yang berlaku, dalam hal ini tentunya
apabila ada perbedaan, baik mengenai maksud atau tujuan maupun
maknanya.
Berlakunya asas ini ada juga pengecualian dalam penggunaan
undang-undang. Contoh: Kembali pada ketentuan pasal 1 ayat (2) KUHP
seperti tersebut di atas. Ketentuan tersebut memungkinkan pula masih
tetapnya dapat diberlakukan ketentuan-ketentuan undang-undang yang
lama apabila memang ketentuan itu yang paling menguntungkan si
tersangka atau si terdakwa.
Jadi dengan demikian asas tersebut diatas tidak mutlak karena ada
pengecualian; tetapi juga harus didasarkan kepada ketentuan undangundang. Memang tidak ada hukum yang mutlak, tetapi senantiasa ada
pengecualian. Adagiumnya “geen recht zonder uitzondering” (Syarif,
1997 : 78-84).
34
J. Undang Undang Republik IndonesiaNomor 10 Tahun 2004
Pasal 1 dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Pembentukan
Peraturan
Perundang
undangan
adalah
proses
pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang pada dasarnya
dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan,
pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan.
2.
Peraturan Perundang undangan adalah peraturan tertulis yang
dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan
mengikat secara umum.
35
BAB III
A. GAMBARAN UMUM KUA BANGKALAN MADURA JAWA TIMUR
Daerah penelitian yang dijadikan penulis sebagai obyek untuk penulisan
skripsi ini adalah kabupaten Bangkalan, Jawa Timur. Yaitu desa Bangkalan
kabupaten Bangkalan propinsi Jawa Timur.
1. Visi Dan Misi Kantor Urusan Agamakecamatan Bangkalan Kab.
Bangkalan madura jawa timur
a) Visi
”prima dalam pelayanan nikah, rujuk dan bimbingan umat
islam berdasarkan profesionalisme dan akhlak mulia, dalam
memberikanpelayanan
kepada
pelanggan
senantiasa
mengedepankan pelayanan yang cepat, tepat dan benar sehingga
kepuasan pelanggan benar benar dapat terpenuhi “.
b) Misi :
1) Meningkatkanpelayanandanpengelolaanadministrasinikahdanruj
uksesuaistandar.
2) Meningkatkanpengelolaanadministrasi zakat, wakafdan haji.
3) Meningkatkanpelayanantekniskependudukankeluargasakinah,
dankemitraanumatberagama.
4) Meningkatkanpemahamantentangpelayanan
prima
kepadapegawai, penghulumaupunpembantupenghulu.
36
2. Standart waktu dan pelaksana tugas pelayanan kantor urusan agama
kecamatan bangkalan kab. Bangkalan
1) Proses akad nikah
a. Pendaftaran administrasi calon pengantin
: 5 menit
Kepala / Penghulu
b. Pemeriksaan calon pengantin dan wali
: 5 menit
Kepala / Penghulu
c. Penasehatan pra nikah
: 7 menit
Kepala / Penghulu
d. Pelaksanaan akad nikah
: 15 menit
Kepala / Penghulu
e. Penulisan kutipan akta nikah
: 10 menit
Abd. Latif,S.Pd.I/Nurhayati,S.Ag
2) Legalisir
:5 menit
Kurnia Fajrin,S.E/Istianah
3) Rekomendasi
: 5 menit
Rizal Efendi,S.Pd/Kurnia Fajrin,S.E
4) Pembuatan surat keterangan
: 5 menit
Nur Hayati,S.Ag/Kurnia Fajrin,S.E
5) Pembuatan duplikat kutipan akta nikah
Abd. Latif,S.Pd.I/ Rizal Efendi,S.Pd
37
: 10 menit
6) Sidang BP-4 dan keluarga sakinah
: 10 menit
Kepala / Penghulu
7) Pembuatan akta ikrar wakaf
: 10 menit
Kepala / Nurhayati,S.Ag
8) Ikrar masuk islam dan penasehatan muallaf
: 10 menit
Kepala / Abd. Latif,S.Pd.I
9) Surat mahrom haji
: 5 menit
Abd. Latif,S.Pd.I
10) konsultasi perkawinan
: 10 menit
Kepala / Penghulu
Pelayanan tersebut dapat terlaksana sesuai waktunyaapabila semua
persyaratan administrasinya lengkap.
3. KODE ETIK PEGAWAI KEMENTERIAN AGAMA
“ kami pegawai kementerian agama yang beriman dan bertaqwa
kepada tuhan yang maha esa “
a. Menjunjungtinggipersatuandankesatuan.
b. Mengutamakanpengabdiandanpelayanankepadamasyarakat
c. Bekerjadenganjujur, adildanamanah.
d. Melaksanakantugasdengandisiplin, professionaldaninovatif.
e. Setiakawandanbertanggungjawabataskesejahteraankorps.
4. PANCA PRASETYA KORPRI
Kami anggota korpri yang beriman dan bertaqwa kepada tuhan
yang mahaesa adalah insan yang :
38
1) SetiadantaatkepadaNegarakesatuandanpemerintah Republik Indonesia
yang berdasarkanpancasiladanundangundangdasar 1945
2) MenjunjungtinggikehormatanbangsadanNegarasertamemegangteguhra
hasiajabatandanrahasianegara;
3) MengutamakankepentinganNegaradanmasyarakatdiataskepentinganpri
badidangolongan;
4) Bertekadmemeliharapersatuandankesatuanbangsasertakesetiakawanan
korpri
5) Berjuangmenegakkankejujurandankeadilansertameningkatkankesejaht
eraandanprofesionalisme.
5. Budaya kerja Kementerian Agama Republik Indonesia KUA Kec.
Bangkalan Kab. Bangkalan
a) Integritas
b) Profesionalitas
c) Inovasi
d) Tanggung jawab
e) Keteladanan
6. Maklumat pelayanan“ kami siap memberikan pelayanan sesuai dengan
standar pelayanan dan apabila kami tidak memberikan pelayanan sesuai
dengan standar yang telah ditetapkan, kami siap menerima sanksi sesuai
dengan peraturan perundang-undangan “.
39
Tabel 3.1
Struktur Organisasi KUA Kecamatan Bangkalan
Tahun 2016
Prosedur Pendaftaran Pernikahan
1. Calonpengantindatingke
KUA
untukmengisiformulirpendaftarannikah
yang disediakanoleh KUA kecamatansetempat.
2. Waktupendaftaran minimal 10 harisebelummenikahjikakurangdari 10
hariharusadadispensasidaricamatsetempat.
3. Membawasuratketeranganuntuknikah
model
n.1
s/d
n.7
darikantordesa/kelurahansetempat.
4. Membawabuktiimunisasi
TT
bagicalonpengantinwanitadaripuskesma/rumahsakitsetempat.
40
1
5. Membawa :
a. Surat izin pengadilan apabila tidak ada izin dari orang
tua/wali
(bagi yang belum berusia 21 tahun).
b. Dispensasi dari pengadilan bagi calon suami yang belum berumur
19 tahun dan bagi calon istri yang belum berumur 16 tahun.
c. Surat izin dari atasan/kesatuan jika calon pengantin adalah anggota
Tni/Polri.
d. Surat izin pengadilan bagi suami yang hendak beristri lebih dari
seorang.
e. Akta cerai atau kutipan buku pendaftaran talak/cerai bagi mereka
yang perceraiannya terjadi sebelum berlakunya undang-undang
nomor 7 tahun 1989.
f. Akta kematian atau surat keterangan kematian
suami/istri
yang
ditanda tangani oleh kepala desa/lurah atau pejabat berwenang
yang menjadi dasar pengisian model N6 bagi janda/duda yang akan
menikah, serta surat ganti nama bagi warga negara indonesia
keturunan.
g. Calon pengantin wajib mengikuti kursus calon pengantin(suscatin).
h. Pelaksanaan akad nikah diawasi langsung oleh pegawai pencatat
nikah/penghulu.
i. PPN/Penghulu menyerahkan buku kutipan akta nikah kepada calon
pengantin sesaat setelah akad nikah.
41
J. Membayar biaya nikah diluar kantor sebesar Rp. 600,000,- sesuai
dengan PMA no.46 th 2014 jo pp. No.48 th. 2014.
k. Bagi warga negara asing ( wna ) yang akan melakukan pernikahan
campuran di indonesia, maka yang bersangkutan harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
l. Photo copy paspor yang bersangkutan
m. Surat izin menikah/status dari negara atau perwakilan negara yang
bersangkutan dan telah diterjemahkan kedalam bahasa indonesia
oleh penerjemah resmi
n. Pas photo ukuran 2x3 sebanyak 3 lembar
o. Kepastian kehadiran wali , atau menyerahkan wakalah wali bagi
WNA wanita
p. Bagi WNI harus memenuhi prosedur sebagaimana biasa.
42
B. Hasil Wawancara dengan Kepala KUA Kecamatan Bangkalan
Penerapan terkait “Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama
Islam (DITBINBAPERA) No. D.IV/E.D/17/1979” dan kasus penolakan
pernikahan Agung Widyanto bin Masdjudi dan Maftuhatin Nikmah binti Ahmad
Habibillah oleh Kantor Urusan Agama Sidorejo Salatiga, Itu adalah kewenangan
dan hak KUA setempat. Setelah Agung Widyanto bin Masdjudi yang statusnya
masih dalam duda talak raj‟i melakukan konsultasi kepada pihak KUA Bangkalan
terkait penolakan menikah di KUA sidorejo salatiga yang mengacu surat edaran
tersebut karena masih terhalang masa Iddah mantan istrinya yaitu Rusmilah binti
Abd. Salam, dalam akta cerai putusan talak raj‟i 20 April 2016 tentuya masa
Iddahnya habis 20 Juli 2016 sedangkan Agung Widyanto bin Masdjudi dan
Maftuhatin Nikmah binti Ahmad Habibillah berencana menikah di Kantor Urusan
Agama Sidorejo Salatiga pada tanggal 14 Mei 2016, dari pihak KUA sidorejo
salatiga mengambil kebijakan bisa menikah setelah masa Iddah Rusmilah binti
Abd. Salam telah habis. Dalam mengambil kebijakan dan penerapan KUA
Bangkalan menegaskan bahwa tidak ada masa Iddah laki-laki yang sudah
mendapatkan putusan talak, tentunya tidak harus menunggu masa Iddah mantan
istri habis untuk menikah dengan wanita lain, dalam hal ini tidak mengacu surat
edaran tersebut dan juga sudah berbeda secara kelembagaan karena tidak memiliki
akses hukum dan sifatnya hanya sebatas himbauan kepada Kantor Urusan Agama
untuk berhati-hati dalam memutuskan dan melaksanakan suatu pernikahan yang
sah. Dalam hal ini Kepala KUA Bangkalan memberikan suatu penjelasan bahwa
jika melihat surat edaran tersebut agar tidak terjadi poligami harus mempunyai
43
landasan untuk berhati-hati dalam menikahkan seseorang tentunya dari syarat dan
rukunnya menikah dan rujuk.
1. Prosedur Rujuk di KUA Proses pencatatan rujuk adalah sebagai berikut :
Orang yang akan rujuk, harus datang bersama istrinya ke Kantor Urusan
Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri, dengan membawa dan
menyerahkan surat-surat sebagai berikut :
a. Foto Copy KTP dan Kartu Keluarga (KK) masing-masing 1 (satu)
lembar.
b. Surat Keterangan untuk rujuk dari Kepala Desa/Lurah tempat
berdomisili (blanko model R1).
c. Akta Cerai asli beserta lampiran putusan dari Pengadilan Agama.
2. Sebelum rujuk dicatat akan diperiksa terlebih dahulu :
a. Apakah suami yang akan merujuk itu memenuhi syarat-syarat rujuk.
b. Apakah rujuk yang akan dilakukan itu masih dalam masa iddah talak
raj‟i.
c. Apakah perempuan yang akan dirujuk itu bekas istrinya. Apakah ada
persetujuan bekas istri.
44
C. GAMBARAN UMUM PENGADILAN AGAMA BANGKALAN
MADURA JAWA TIMUR
Sekilas Tentang Pengadilan Agama Bangkalan Madura Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaaan Kehakiman
menyebutkan bahwa tugas pokok Pengadilan (termasuk Pengadilan Agama
Bangkalan) adalah menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan
setiap perkara yang diajukan kepadanya. Untuk dapat terselenggaranya
tugas-tugas
tersebut
Pengadilan
Agama
Bangkalan
menerapkanbeberapaKebijakanUmumPeradilan, antaralain:
1.
Meningkatkanpelayananpenerimaanperkarakepadapencarikeadilansehin
ggadapatmewujudkanpelayananprima.
2.
Menyelenggarakanpersidanganperkarasecaracepat,
sederhana
dan
biayaringan;
3.
Melakukankoordinasidenganpihak-pihakterkait
dan
mengatasisegalahambatanuntukmelaksanakanputusan (eksekusi);
4.
Menyelenggarakanadministrasikepaniteraansecaratertib
5.
Menyelenggarakanurusanadministrasikesekretariatansecaratertib
dan
akurat;
DalampenerapankebijakanumumperadilantersebutPengadilan
Bangkalan
Agama
berpedomanpadaketentuanperaturanperundang-
undangansebagaiberikut :
45
1. Staatsblad 1941 Nomor 44 tetang Reglemen Indonesia yang diperbaharui
(RIB=HIR) jo. Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951.
2. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan di Jawa
dan Madura.
3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang
Nomor 1 tahun 1974.
4. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
5. Undang-Undang.Nomor.3 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas
Undang-Undang.No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
6. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Jo Undang Undang No.50 Tahun
2009
7. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
8. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
9. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah
Milik, jo. Peraturan Menteri Agama RI. Nomor 1 Tahun 1978 tentang
Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977.
10. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan
Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil , jo. Peraturan Pemerintah Nomor
46
45 Tahun 1990 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 1983 jo Surat Edaran Ketua Mahkamah agung R.I. Nomor 10
Tahun 1983.
11. Keputusan Ketua MARI No.KMA/032/SK/IV/06 tentang pemberlakuan
buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan.
12. Keputusan Ketua Mahkamah Agung R.I. Nomor : KMA/004/SK/II/1992
tanggal 24 Pebruari 1992 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Kepaniteraan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama
13. Keputusan Ketua Mahkamah Agung R.I. Nomor : KMA/006/SK/III/1994
tentang Pengawasan dan Evaluasi atas Hasil Pengawasan oleh Pengadilan
Tingkat Banding dan Pengadilan Tingkat Pertama.
14. Peraturan MARI No.02 tahun 2009 tentang biaya proses penyelesaian
perkara dan pengelolaannya pada MA dan Badan Peradilan yang berada di
daerahnya.
15. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
jo. Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas
Undang-undang
Nomor
8
Tahun
1974
tentang
Pokok-Pokok
Kepegawaian;
16. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan
Pajak;
17. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
47
18. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
19. Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan, Pengelolaan
dan Tanggung Jawab Keuangan Negara;
20. Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 22 Tahun 1997 tentang Jenis dan
Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak;
21. Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 99 Tahun 2000 tentang Kenaikan
Pangkat Pegawai Negeri Sipil;
22. Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 41 Tahun 2002 tentang Kenaikan
Pangkat dan Jabatan Hakim;
23. Keputusan Presiden R.I. Nomor 138 Tahun 2000 tentang Tunjangan
Panitera;
24. Keputusan Presiden R.I. Nomor 89 Tahun 2001 tentang Tunjangan Hakim;
25. Keputusan Presiden R.I. Nomor 130 Tahun 2001 tentang Tunjangan
Jabatan Fungsional Jurusita dan Jurusita Pengganti;
26. Keputusan Ketua Mahkamah Agung R.I. Nomor KMA/006/SK/III/1994
tentang Pengawasan dan Evaluasi atas Hasil Pengawasan oleh Pengadilan
Tingkat Banding dan Pengadilan Tingkat Pertama;
27. Peraturan Presiden R.I. Nomor 19 Tahun 2008 tentang Tunjangan Khusus
Kinerja Hakim dan Pegawai Negeri di Lingkungan Mahkamah Agung dan
Badan Peradilan yang berada dibawahnya;
28. Keputusan Ketua Mahkamah Agung R.I. Nomor 070/KMA/SK/V/2008
tentang Tunjangan Khusus Kinerja Pegawai Negeri di Lingkungan
Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada dibawahnya;
48
29. Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 53 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif
Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Mahkamah
Agung dan Badan Peradilan yang berada dibawahnya.
Kebijakaninidilakukandalamrangkamelaksanakantugas di Jl. Soekarno
Hatta No. 19 Telp/Fax.(031) 3095582 Bangkalan Madura Jawa Timur 69116,
wilayahhukumPengadilan Agama Bangkalan yang meliputi 18 Kecamatan
yang terdiri dari 279 Desa/ Kelurahan.
a. VISI DAN MISI
Visi Pengadilan Agama Bangkalan mengacu pada visi Mahkamah
Agung Republik Indonesia sebagaiu puncak kekuasaan kehakiman di
negara Indonesia yaitu "Terwujudnya Badan Peradilan Indonesia yang
Agung‟‟.Untuk mencapai visi tersebut diatas ditetapkan misi-misi sebagai
berikut:
1) Meningkatkan profesionalisme aparatur peradilan agama;
2) Mewujudkan manajemen Peradilan Agama yang modern;
3) Meningkatkan kualitas sistem pemberkasan perkara kasasi dan PK;
4) Meningkatkan Kajian syariah sebagai sumber hukum materi
peradilan Agama.
b. RENCANA STRATEGIK
Dalam upaya mendukung dan merealisasikan Visi dan Misi
tersebut diatas Pengadilan Agama Bangkalan mempunyai beberapa
Rencana Strategik dalam menghadapi tahun 2012, antara lain:
1. Bidang Yustisial
49
a. Penyelesaian perkara tahun 2012 dan sisa perkara tahun 2011
b. Meningkatkan terciptanya pelayanan administrasi perkara sesuai
dengan pola Bindalmin
2. Bidang Kepaniteraan
a. Meningkatkan tertib administrasi perkara sesuai dengan pola
Bindalmin
b. Meningkatkan kemampuan dan kualitas SDM PaniteraPengganti
yang produktif
c. Meningkatkan penyampaian pemanggilan kepada para pihak yang
mencari keadilan
d. Meningkatkan arsiparis secara dinamis.
3. Meningkatkan pemanfaatan dan pengembangan teknologi informasi,
guna
meningkatkan
kualitas
Kesekretariatan,khususnya
pengelolaan
kinerja
data
pegawai
bidang
telah
menggunakan Sistem Informasi Pegawai (SIMPEG).Pengelolaan
BMN dengan
menggunakan Aplikasi SIMAK-BMN,Pengelolaan
belanja pegawai dengan aplikasi GPP serta pengelolaan informasi
keuangan melalui aplikasi SAKPA.
50
D. Pendapat Pengadilan Agama Bangkalan Atas Surat Edaran Direktur
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam (DITBINBAPERA)
No. DIV/E.D/17/1979
1.
Pengadilan Agama Bangkalan oleh Umi Sangadah, S.H yang bertugas
sebagai Panitera Muda Gugatan memberikan penjelasan terkait “Surat
Edaran
Direktur
Pembinaan
Badan
Peradilan
Agama
Islam
(DITBINBAPERA) No. DIV/E.D/17/1979” Tidak mempunyai akses
hukum, karena surat edaran tersebut hanya sebatas himbauan kepada
Kantor Urusan Agama (tidak atau boleh di terapkan). Tanggapan
Pengadilan Agama Bangkalan terkait kasus penolakan pernikahan
Agung Widyanto bin Masdjudi dan Maftuhatin Nikmah binti Ahmad
Habibillah oleh Kantor Urusan Agama Sidorejo Salatiga, Hal tersebut
adalah tidak tepat karena Kalau ikrar talak sudah diputuskan maka
tidak ada ikatan lagi bagi mereka. oleh hal tersebut maka Laki-laki
tidak harus menunggu masa iddah mantan istri habis untuk
melangsungkan pernikan dengan wanita lain. Dalam Al-quran telah
dijelaskan : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi
perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan
mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib
atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.
Maka berilah mereka mut‟ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara
yang sebaik-baiknya (QS. Al-ahzab/33:49).
51
Dalam iddah wanita, laki-laki harus menafkahi atau
memberikan uang tunggu seiklasnya (ngantarodhin) sama-sama
ridho tidak menuntut nafkah lebih selama iddah wanita atau kurang
lebih 100 Hari, dimulai saat putusan talak di tetapkan.
2. Dalam Prosedur Cerai Talak
Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon (Suami) atau
Kuasanya :
a. 1. Mengajukan permohonan secara tertulis atau lisan kepada
Pengadilan Agama/Mahkamah Syari'ah (Pasal 118 HIR, 142
R.Bg. Jo. Pasal 66 Undang Undang No. 7 tahun 1989 yang telah
diubah dengan Undang Undang No. 3 tahun 2006);
2. Pemohon dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada Pengadilan
Agama/Mahkamah Syari'ah tentang tata cara membuat surat
permohonan (Pasal 119 HIR, 143 R.Bg. Jo. Pasal 58 Undang
Undang No. 7 tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang
Undang No. 3 tahun 2006);
3. Surat permohonan dapat ddirubah sepanjang tidak merubah
posita dan petitum. Jika Termohon telah menjawab surat
permohonan ternyata ada perubahan, maka perubahan tersebut
harus atas persetujuan Termohon.
52
b. Permohonan tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah
Syari'ah :
1. Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Termohon (Pasal 66
ayat (2) Undang Undang No. 7 tahun 1989 yang telah diubah dengan
Undang Undang No. 3 tahun 2006);
2. Bila Termohon meninggalkan tempat kediaman yang telah disepakati
bersama tanpa izin Pemohon, maka permohonan harus diajukan kepada
Pengadilan Agama/Mahkamah Syari'ah yang daerah hukumnya meliputi
tempat kediaman Pemohon (Pasal 66 ayat (2) Undang Undang No. 7
tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang Undang No.3 tahun 2006);
3. Bila Termohon berkediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan
kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari'ah yang daerah hukumnya
meliputi tempat kediaman Pemohon (Pasal 66 ayat (3) Undang Undang
No. 7 tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang Undang No. 3 tahun
2006);
4. Bila Pemohon dan Termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka
permohonan diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari'ah
yang daerah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya perkawinan
atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat (Pasal 66 ayat (4) Undang
Undang No. 7 tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang Undang No.
3 tahun 2006);
53
5. Permohonan tersebut memuat :
a. Nama, umur, pekerjaan, agama dan tempat kediaman Pemohon dan
Termohon;
b. Posita (fakta kejadian dan fakta hukum);
c. Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita);
6. Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta
bersama dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak
atau sesudah ikrar talak diucapkan (Pasal 66 ayat (5) Undang Undang
No. 7 tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang Undang No. 3 tahun
2006).
7. Membayar biaya perkara (pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat (4) R.Gb. Jo.
Pasal 89 Undang Undang No. 7 tahun 1989 yang telah diubah dengan
Undang Undang No. 3 tahun 2006), bagi yang tidak mampu dapat
berperkara secara cuma-cuma (prodeo) (Pasal 237 HIR, 273 R.Bg.).
c. Proses Penyelesaian Perkara :
1. Pemohon mendaftarkan perkara permohonan cerai talak ke Pengadilan
Agama/Mahkamah Syari'ah.
2. Pemohon dan Termohon dipanggil oleh Pengadilan Agama/Mahkamah
Syari'ah untuk menghadiri persidangan.
54
3. a. Tahapan persidangan
1) Pada pemeriksaan sidang pertama, hakim berusaha mendamaikan
kedua belah pihak, dan suami istri harus datang secara pribadi
(Pasal 82 Undang Undang No. 7 tahun 1989 yang telah diubah
dengan Undang Undang No. 3 tahun 2006);
2) Apabila tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kedua belah pihak
agar lebih dahulu menempuh mediasi (Pasal 3 ayat (1) PERMA
No. 2 tahun 2003);
3) Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara
dilanjutkan dengan membacakan surat gugatan, jawaban, jawab
menjawab, pembuktian dan kesimpulan. Dalam tahap jawab
menjawab (sebelum pembuktian) Tergugat dapat mengajukan
gugatan rekonvensi (gugatan balik) (Pasal 132a HIR, 158 R.Bg.).
b. Putusan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari'ah atas cerai gugat talak
sebagai berikut :
1) Gugatan dikabulkan. Apabila Tergugat tidak puas dapat
mengajukan banding melalui Pengadilan Agama/Mahkamah
Syari'ah tersebut.
2) Gugatan ditolak. Penggugat dapat mengajukan banding melalui
Pengadilan Agama/Mahkamah Syari'ah tersebut.
3) Gugatan tidak diterima. Penggugat dapat mengajukan permohonan
baru.
55
4. Setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap maka panitera
Pengadilan Agama/Mahkamah Syari'ah memberikan Akta Cerai sebagai
surat bukti cerai kepada kedua belah pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh)
harisetelah putusan tersebut diberitahukan kepada para pihak.
3. Status Perkawinan yang melanggar Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan
Peradilan Agama Islam (DITBINBAPERA) No. D.IV/E.D/17/1979
Umi Sangadah, S.H menegaskan bahwa dalam suatu perceraian bagi
suami atau calon duda yang sudah mendapat putusan talak itu sudah putus
hubungan perkawinannya, karena dalam Al-Qur‟an ataupun hadist hanya
menerangkan masa Iddah bagi perempuan, Tidak ada masa Iddah bagi lakilaki.
56
BAB IV
ANALISA
A. Analisa Landasan Surat Edaran Direktorat Pembinaan Badan Peradilan
Agama Islam (DITBINBAPERA) No. DIV/E.D/17/1979
Adapun talak raj‟i artinya perceraian yang masih dimungkinkan suami
rujuk kembali kepada istrinya dengan syarat lima perkara. Seorang suami
merujuk istrinya kembali berkata: “Saya rujuk kepada istriku, “Saya kembali
kepada istriku dengan nikahku”. Adapun wanita yang bisa dirujuk lagi tanpa
akad nikah baru adalah wanita merdeka yang di talak satu atau dua(Depag,
1982: 170).
Surat Edaran DITBINBAPERA No. DIV/Ed/17/1979 ayat 1 dan 2
disebutkan :
1. Bagi seorang suami yang telah menceraikan istrinya dengan talak
raj‟i dan mau menikah lagi dengan wanita lain sebelum habis masa
Iddah bekas istrinya, maka dia harus mengajukan izin poligami ke
PA.
2. Sebagai pertimbangan hukumnya adalah penafsiran bahwa pada
hakikatnya suami istri yang bercerai dengan talak raj‟i adalah masih
dalam ikatan perkawinan selama belum habis masa Iddahnya.
Karenanya jika suami tersebut akan menikah lagi dengan wanita lain,
pada hakikatnya, dari segi kewajiban hukum dan inti hukum adalah
beristri lebih dari seorang.
57
Dalam hal ini berarti pemohon harus menjamin keperluan hidup bekas
istrinya selama dalam masa Iddah.Firman Allah SWT dalam surah AlBaqarah ayat 229 :




Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.
tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah
kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir
tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu
khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan
hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang
bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah
hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya.
Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah
orang-orang yang zalim.
Waktu tunggu atau Iddah ialah tenggang waktu di mana janda
bersangkutan
tidak
boleh
kawin,
bahkan
dilarang
pula
menerima
pinangan/lamaran.Ketentuan waktu tunggu ini dimaksudkan antara lain untuk
menentukan nasab dari kandungan janda itu bila ia hamil, dan juga sebagai
masa berkabung bila suami yang bersangkutan meningal dunia, begitu pula
untuk menentukan masa ruju‟ bagi suami, bila talak itu berupa talak raj‟i.
Seorang janda karena kematian suaminya, sedang ia tidak hamil maka
Iddahnya ialah 4 (empat) bulan 10 hari atau 130 hari. Iddah ini lebih panjang
58
dari pada Iddah karena talak atau cerai; dalam Iddah kematian selain untuk
menentukan apakah janda itu hamil atau tidak guna penentuan nasab sianak
juga ia perlu berkabung kepada almarhum suaminya.
Jika perkawinan putus karena talak, sedang talak itu adalah talak raj‟i
yaitu talak kesatu atau kedua, maka Iddahnya ialah 3 kali suci atau 90 hari
(pasal 39 ayat (1) huruf b PP.). Dalam hukum Islam, talak raj‟i itu mempunyai
akibat-akibat hukum sebagai berikut :
4. Suami masih berkewajiban memberi nafkah, sandang dan pangan
kepada istrinya yang ditalak.
5. Suami berhak meruju‟ (kembali kepada) istri selama masih dalam
Iddah.
6. Bila salah seorang dari suami istri meninggal dunia dalam masa Iddah,
maka pihak yang masih hidup berhak mewarisi dari yang meninggal.
Hal ini disebabkan karena pada hakikatnya perkawinan itu belum bubar,
melainkan hanya berhenti sementara.Dan nasib perkawinan tersebut ditentukan
dalam masa Iddah, apakah terjadi ruju‟ atau tidak.Bila sampai akhir masa
Iddah tiada terjadi ruju‟, maka perkawinan itu menjadi bubar. Adapun Iddah
dari talak ketiga (bain kubra), atau bain yang lain (bain sugra), maka suami
tidak dapat meruju‟, begitu pula tidak ada hak saling mewaris antara keduanya.
Sebab pada hakikatnya perkawinan itu sudah bubar.Dan Iddah di sini gunaya
ialah untuk menentukan nasab sianak bila janda itu hamil (Depag, 1975: 7071).
59
sebagaimana disebutkan dalam pasal 152 KHI yaitu : “Bekas istri berhak
mendapat nafkah Iddah dari bekas suaminya kecuali nusyuz”. Oleh karena itu,
perkawinan itu belum putus sepenuhnya, maka apabila bekas suami hendak
menikah lagi dalam masa Iddah bekas istrinya, pada hakikatnya bekas suami
tersebut menikah dengan lebih dari seorang/poligami.Berangkat dari pemikiran
tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa izin menikah dalam masa
Iddahtalak raj‟i yang dibuat oleh pemerintah dalam hal ini adalah Surat Edaran
Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam (Ditbinbapera) No.
DIV/Ed/17/1979, mempunyai dampak positif yaitu setidak-tidaknya mencegah
terjadinya suatu penyimpangan dari tujuan perkawinan yang dalam pasal 1 UU
No. 1/1974 yaitu “untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, karena terjadinya poligami otomatis
yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, selain itu juga
untuk memperhatikan kesejahteraan wanita baik wanita yang masih dalam
masa Iddah maupun wanita yang akan dinikah.
Maka jelaslah bahwa Surat Edaran Ditbinbapera No. DIV/Ed/17/1979
tentang izin menikah dalam masanIddah telah sesuai dengan prinsip dan
ketentuan-ketentuan hukum Islam yaitu sebagai ijtihad pemerintah untuk
mewujudkan kemaslahatan masyarakat Islam di Indonesia pada khususnya.
Dalam peraturan ketentuan hukum mengenai poligami yang boleh dilakukan atas
kehendak yang bersangkutan melalui izin pengadilan agama, setelah dibuktikan
kemaslahatan. Yaitu terwujudnya cita-cita dan tujuan perkawinan itu sendiri, yaitu rumah
tangga yang kekal dan abadi yang diridhai Allah SWT. Dan didasarkan pada cinta dan
60
kasihsayang (mawaddah dan rohmah). Karena itu segala persoalan yang dimungkinkan
akan menjadi penghalang bagi terwujudnya tujuan perkawinan tersebut harus dihilangkan
atau setidaknya dikurangi. Ini sejalan dengan kaidah usul fiqh :
‫درء المفاسد مقدم على جلب المصالح‬
Menghindari madzarat (kerusakan atau kesusahan) harus di dahulukan
dari pada mengambil manfaat (kemaslahatan)(Rofiq, 1998:1).
Dalam Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam
(Ditbinbapera) No. DIV/Ed/17/1979, mempunyai dampak positif yaitu setidaktidaknya mencegah terjadinya suatu penyimpangan dari tujuan perkawinan
yang dalam pasal 1 UU No. 1/1974 yaitu “untuk membentuk suatu keluarga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, karena
terjadinya poligami otomatis yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan
yang berlaku, selain itu juga untuk memperhatikan kesejahteraan wanita baik
wanita yang masih dalam masa Iddah maupun wanita yang akan dinikah.
Dengan demikian adanya izin menikah dalam masa Iddahtalak raj‟i yang
diatur dalam Surat Edaran Ditbinbapera No.D1V/Ed/17/1979 adalah sejalan
dengan prinsip hukum Islam yang lebih mengutamakan kemaslahatan umum
dari pada perorangan.
B. Analisa Penerapan Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan
Agama Islam (DITBINBAPERA) No. D.IV/E.D/17/1979 di KUA dan PA
Bangkalan
61
1. Penerapan “Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama
Islam (DITBINBAPERA) No. D.IV/E.D/17/1979” dan kasus penolakan
pernikahan Agung Widyanto bin Masdjudi dan Maftuhatin Nikmah binti
Ahmad Habibillah oleh Kantor Urusan Agama Sidorejo Salatiga, itu adalah
kewenangan dan hak KUA setempat. Setelah Agung Widyanto bin
Masdjudi yang statusnya masih dalam duda talak raj‟i melakukan konsultasi
kepada pihak Kementerian Agama (KEMENAG) dan KUA Bangkalan
terkait penolakan menikah di KUA sidorejo salatiga yang mengacu surat
edaran tersebut karena masih terhalang masa Iddah mantan istrinya yaitu
Rusmilah binti Abd. Salam, dalam akta cerai putusan talak raj‟i 20 April
2016 tentuya masa Iddahnya habis 20 Juli 2016 sedangkan Agung
Widyanto bin Masdjudi dan Maftuhatin Nikmah binti Ahmad Habibillah
berencana menikah di Kantor Urusan Agama Sidorejo Salatiga pada tanggal
14 Mei 2016, dari pihak KUA sidorejo salatiga mengambil kebijakan bisa
menikah setelah masa Iddah Rusmilah binti Abd. Salam telah habis. Dalam
mengambil kebijakan dan penerapan KUA Bangkalan menegaskan bahwa
tidak ada masa Iddah laki-laki yang sudah mendapatkan putusan
talak,tentunya tidak harus menunggu masa Iddah mantan istri habis untuk
menikah dengan wanita lain, dalam hal ini tidak mengacu surat edaran
tersebut dan juga sudah berbeda secara kelembagaan karena tidak memiliki
akses hukum dan sifatnya hanya sebatas himbauan kepada Kantor Urusan
Agama untuk berhati-hati dalam memutuskan dan melaksanakan suatu
pernikahan yang sah. Pada dasarnya adalah qur‟an dan hadis tidak ada yang
62
menjelaskan terkait masa iddah bagi laki-laki secara jelas. Yang menjalani
masa iddah tersebut adalah perempuan yang bercerai dari suaminya, bukan
laki-laki atau suaminya. Dalam Al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat 228
menerangkan bahwa :


wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu)
tiga kali quru'. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang
diciptakan Allah dalam rahimnya.
Dalam hal ini Kepala KUA Bangkalan memberikan suatu penjelasan
bahwa jika melihat dari perspektif surat edaran tersebut agar tidak terjadi
poligami otomatis harus mempunyai landasan untuk berhati-hati dalam
menikahkan seseorang tentunya dari syarat, rukun menikah dan rujuk
seperti halnya yaitu :
a. Rukun menikah :
1. Pengantin lelaki (Suami).
2. Pengantin perempuan (Istri).
3. Wali.
4. Dua orang saksi lelaki.
63
5. Ijab dan kabul (akad nikah).
b. Syarat Nikah bakal suami :
1. Islam.
2. Lelaki yang tertentu bukan lelaki mahram dengan bakal istri.
3. Mengetahui wali yang benar bagi akad nikah tersebut bukan dalam
ihram haji atau umrah.
6. Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan.
7. Tidak mempunyai empat orang isteri yang sah dalam satu masa.
8. Mengetahui bahwa perempuan yang hendak dikahwini adalah sah
dijadikan istri.
c. Syarat bakal Istri :
1. Islam.
2. Perempuan yang tertentu bukan perempuan mahram dengan bakal
suami.
3. Bukan seorang khunsa.
4. Bukan dalam ihram haji atau umrah.
5. Tidak dalam Iddah.
64
6. Bukan isteri orang.
d. Syarat wali :
1. Islam, bukan kafir dan murtad.
2. Lelaki dan bukannya perempuan.
3. Baligh.
4. Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan.
5. Bukan dalam ihram haji atau umrah.
6. Tidak fasik.
7. Tidak cacat akal fikiran, gila, terlalu tua dan sebagainya.
8. Merdeka.
e. Lima Ketentuan Sebagai Syarat Rujuk Atas Talak raj‟i ialah :
1. Hendaklah wanita itu sudah disetubuhi oleh suaminya. kalau
wanita itu bleum disetubuhi, maka tidak boleh rujuk pada istrinya.
2. Hendaklah wanita itu disetubuhi farjinya dan bukan duburnya. Bila
yang disetubuhi ternyata dubur, maka tidak boleh rujuk pada
istrinya.
65
3. Hendaklah hasyafah lelaki masuk ke dalam farji istrinya. Bila
ternyata hasyafah belum masuk farjinya, maka tidak boleh rujuk
pada istrinya.
4. Hendaklah talaknya bukan karena pengganti dari istrinya (khulu‟)
ditalaknya karena „iwadl, maka tidak boleh merujuk kembali
istrinya.
5. Hendaklah dalam merujuk kembali suami pada istrinya masih
dalam Iddah. Bila wanita telah selesai Iddah, maka suami tidak
boleh merujuk kembali pada istrinya.
f. Prosedur Rujuk di KUA Proses pencatatan rujuk adalah sebagai berikut :
Orang yang akan rujuk, harus datang bersama istrinya ke Kantor
Urusan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri, dengan membawa
dan menyerahkan surat-surat sebagai berikut :
1. Foto Copy KTP dan Kartu Keluarga (KK) masing-masing 1
(satu) lembar.
2. Surat Keterangan untuk rujuk dari Kepala Desa/Lurah
tempat berdomisili (blanko model R1).
3. Akta Cerai asli beserta lampiran putusan dari Pengadilan
Agama.
Terkait hal ini Kepala KUA Bangkalan memberikan suatu penjelasan
bahwa jika melihat surat edaran tersebut agar tidak terjadi poligami otomatis
66
harus mempunyai landasan untuk berhati-hati dalam menikahkan seseorang
duda talak, kemudian dalam hal rujuk ada persyaratan menyerahkan akta
cerai asli apabila ingin rujuk kembali.
2. Hasil wawancara Pengadilan Agama Umi Sangadah, S.H, yang bertugas
sebagai Panitera Muda Gugatan memberikan penjelasan terkait “Surat Edaran
Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam (DITBINBAPERA) No.
D.IV/E.D/17/1979” Tidak mempunyai akses hukum, karena surat edaran
tersebut hanya sebatas himbauan kepada Kantor Urusan Agama (tidak atau
boleh di terapkan). Tanggapan Pengadilan Agama Bangkalan terkait kasus
penolakan pernikahan Agung Widyanto bin Masdjudi dan Maftuhatin
Nikmah binti Ahmad Habibillah oleh Kantor Urusan Agama Sidorejo
Salatiga, Hal tersebut adalah tidak tepat karena Kalau ikrar talak sudah
diputuskan maka tidak ada ikatan lagi bagi mereka. oleh hal tersebut maka
Laki-laki tidak harus menunggu masa Iddah mantan istri habis untuk
melangsungkan pernikahan dengan wanita lain. Dalam Al-quran telah
dijelaskan : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi
perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka
sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka
Iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka
mut‟ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.(QS. Alahzab:49).
67
Dalam Iddah wanita, laki-laki harus menafkahi atau memberikan uang
tunggu seiklasnya (ngantarodhin) sama-sama ridho tidak menuntut nafkah
lebih selama Iddah wanita atau kurang lebih 100 Hari, dimulai saat putusan
talak di tetapkan.
C. Analisa Status Perkawinan yang Melanggar Surat Edaran Direktur
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam (DITBINBAPERA) No.
D.IV/E.D/17/1979
Di dalam al-Qur'an maupun hadits yang merupakan sumber hukum
Islam utama, tidak ditemukan adanya keterangan yang mengatur tentang izin
menikah bagi suami dalam masa Iddahtalak raj‟i. Akan tetapi dari beberapa
referensi yang berhasil penulis temukan ada diterangkan tentang akibat
hukum dari Iddahtalak raj‟i. Dalam al-Qur'an surat al-Baqorah ayat 231
“Apabila kamu mentalak istri-istrimu lalu mereka mendekati akhirIddahnya,
maka rujukilah mereka dengan cara yang ma‟ruf, atauceraikanlah mereka
dengan cara yang ma‟ruf (pula)”.
Dalam ayat tersebut mengisyaratkan bahwa wanita yang berada
dalammasa Iddah masih mempunyai ikatan perkawinan dengan suami
yangmentalaknya. Adanya hak memilih bagi suami, apakah ia akan
menceraikanistrinya atau akan merujuk kembali, menunjukkan bahwa pada
masa itu pihak lain belum boleh masuk. Hal ini menunjukkan bahwa ikatan
antara suami istri belum putus sama sekali sebelum habis masa Iddah bekas
istrinya, karena masih banyak hak dan kewajiban yang harus dipenuhi
68
diantara bekas suami istri tersebut walaupun suami sudah mengikrarkan
talaknya dan telah mendapatkan akta cerai dari pengadilan. Hal ini juga
diperjelas dalam Al-Qur‟an surat Al-Baqarah ayat 228 :




wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu)
tiga kali quru' (1). tidak boleh mereka Menyembunyikan apa
yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman
kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak
merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami)
menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan
tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada
istrinya(2). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
1) Quru' dapat diartikan suci atau haidh.
2) Hal ini disebabkan karena suami bertanggung jawab terhadap keselamatan
dan Kesejahteraan rumah tangga.
69
1. Mengenai Surat Edaran No: DIV/E.D/17/1979 Dirjen Bimbingan Islam
masalah poligami dalam Iddah istri di terbitkan oleh Departemen
Agama
Republik
Indonesia,
Direktorat
Jendral
Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam, Jakarta pada tanggal 10 februari 1979
diberikan kepada:
a. Saudara ketua Pengadilan Agama tingkat pertama.
b. Saudara ketua Pengadilan Agama tingkat Banding di
seluruh Indonesia.
Sedangkan isi Surat Edaran tersebut adalah menunjuk Keputusan
Rapat Dinas Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Negara tanggal 24
sampai 28 Mei 1976 di Tugu Bogor lampiran IV point c. 3 perihal
seperti tersebut pada pokok surat, maka dengan ini kami berikan
penjelasan sebagai berikut:
c.
d.
Bagi seorang suami yang telah menceraikan isterinya dengan
thalak raj‟i dan mau menikah lagi dengan wanita lain
sebelum habis masa Iddah bekas istrinya. Maka ia harus
mengajukan ijin poligami ke Pengadilan Agama.
Sebagai pertimbangan hukumnya adalah penafsiran bahwa
pada hakekatnya suami isteri yang bercerai dengan thalak
raj‟i adalah masih ada ikatan perkawinan sebelum habis masa
Iddahnya. Karena kalau suami tersebut kalau menikah lagi
dengan wanita lain, pada hakekatnya dari segi kewajiban
hukum dan inti hukum adalah beristri lebih dari seorang
(poligami). Oleh karena itu terhadap kasus tersebut dapat
ditetapkan pasal 4 dan 5 UU No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan.
Sebagai produk pengadilan, penolakan atau ijin permohonan
tersebut harus dituangkan dalam bentuk penetapan pengadilan agama.
70
2. Prinsip-prinsip hukum perkawinan yang bersumber dari Alquran dan
Alhadis, yang kemudian dituangkan dalam garis-garis hukum melalui
undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam Tahun 1991 mengandung 7 (tujuh) asas atau kaidah
hukum, yaitu sebagai berikut.
a.
Asas membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
b.
Asas keabsahan perkawinan didasarkan pada hukum agama dan
kepercayaan bagi pihak yang melaksanakan perkawinan, dan harus
dicatat oleh petugas yang berwenang.
c.
Asas monogami terbuka.
Artinya, jika suami tidak mampu berlaku adil terhadap hak-hak istri
bila lebih seorang maka cukup seorang istri saja.
d.
Asas calon suami dan calon istri telah matang jiwa raganya dapat
melangsungkan pernikahan, agar terwujudnya tujuan perkawinan
secara baik dan sehat, sehingga tidak berfikir kepada perceraian.
e.
Asas mempersulit terjadinya perceraian.
f.
Asas keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan istri, baik
dalam rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat.
g.
Asas pencatatan perkawinan.
Pencatat perkawinan mempermudah mengetahui manusia yang
sudah menikah atau melakukan ikatan perkawinan (Zainuddin,
2006: 7-8).
71
3. Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam
(DITBINBAPERA) No. D.IV/E.D/17/1979 adalah dikeluarkan pada
tahun 1979, kondisi Pengadilan Agama pada waktu itu dibawah
Departemen Agama berdasarkan pasal 11 UU No. 14 tahun 1970. Atau
dengan kata lain DEPAG dapat mengatur Pengadilan Agama namun
setelah UU No. 14 tahun 1970 dimana dengan UU No. 35 tahun 1999
yang mana Pengadilan Agama dibawah Mahkamah Agung baik secara
Organisatoris, Administratif, Finansial dan Tehnis peradilannya, maka
Pengadilan Agama tidak mempunyai garis koordinasi lagi dengan
Departemen Agama maka surat edaran Direktur Pembinaan Badan
Peradilan Agama Islam (DITBINBAPERA) No. D.IV/E.D/17/1979
tersebut hanya bersifat himbauan. Karena sekarang kementerian agama
tidak lagi mempunyai kewenangan dalam pengaturan di Pengadilan
Agama.
72
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari beberapa uraian yang telah lalu, maka dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut :
1. Berdasarkan ketentuan kelembagaan, dimana KUA & PA setelah tahun 1999.
Maka Surat Edaran Direkturat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam
(DITBINBAPERA) No. DIV/E.D/17/1979 bersifat mengikat, artinya lembaga
dibawah Departemen Agama (DEPAG) Pusat yang setelahnya menjadi
Kementerian Agama mempunyai kewajiban untuk memperhatikan dan
menerapkan hal tersebut. Namun karena hanya sebatas surat edaran maka tidak
mempuyai kekuatan hukum yang kuat, bisa dikatakan sebagai himbauan.
2. KUA dan PA Bangkalan menolak Surat Edaran Direkturat Pembinaan Badan
Peradilan Agama Islam (DITBINBAPERA) No. DIV/E.D/17/1979, karena
menganggap surat edaran tersebut tidak memiliki kedudukan hukum yang
jelas. Dalam hal ini KUA dan PA Bangkalan mengambil kebijakan tidak
menerapkan karena surat edaran tersebut hanya bersifat himbauan (boleh/tidak
diterapkan).
3. Status perkawinan duda talak raj‟i
yang melanggar Surat Edaran
Direkturat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam (DITBINBAPERA)
No. DIV/E.D/17/1979 dihukumi sebagai perkawinan poligami atau beristri
lebih dari satu tanpa harus ada izin dari istri pertama. Bahwasannya, suami dan
73
istri yang bercerai dalam talak raj‟i masih dalam ikatan perkawinan selama
masih belum habis masa iddahnya. Pada hakekatnya duda talak raj‟i yang akan
menikah dengan wanita lain segi kewajiban dan inti hukum sama seperti
beristri lebih dari seorang (poligami). Sesuai dengan Surat Edaran
Direkturat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam (DITBINBAPERA)
No. DIV/E.D/17/1979 ayat 2, oleh karena itu dapat diterapkan Undang-undang
perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 4 dan 5 tentang dasar perkawinan yang
mengatur tatacara perkawinan poligami.
B. Saran
Sehubungan dengan adanya masa iddah suami dalam talak raj‟i (Studi
Penerapan Surat Edaran Direkturat Pembinaan Badan Peradilan Agama
Islam (DITBINBAPERA) No. DIV/E.D/17/1979).
1. Sebaiknya ketika ada himbauan dari pihak pemerintahan pusat KUA
Bangkalan Madura Jawa Timur jangan sampai ketinggalan informasi.
2. Ketika ada kasus yang sama yaitu calon pengantin duda talak raj‟i
KUA Bangkalan Madura Jawa Timur untuk bisa menerapkan Surat
Edaran DITBINBAPERA No. DIV/E.D/17/1979.
3. KUA Bangkalan Madura Jawa Timur ketika ada calon pengantin duda
talak raj‟i sebaiknya memberikan pemahaman terkait Surat Edaran
DITBINBAPERA
No.
DIV/E.D/17/1979
bersangkutan.
74
kepada
orang
yang
C. Penutup
Puji syukur kehadirad Allah SWT, yang telah memberikan rahmat serta
hidayah sehingga skripsi ini bisa terselesaikan dengan perjuangan dan
semangat.Semoga skripsi ini bisa bermanfaat khususnya bagi penulis,
mahasiswa Ahwal Al-Syakhshiyyah dan umumnya bagi pembaca, Amin.
75
DAFTAR PUSTAKA
Anshary, Muhammad. 1993. Hukum Perkawinan di Indonesia. Yogyakarta:
Pustaka Belajar.
DEPAG RI. 1997. Al-Quran dan Terjemahannya.Penyelenggara Penterjemah AlQuran: Departemen Agama RI.
Darajad, Zakiyah. 1995. Ilmu Fiqh Jilid 2. Yogyakarta: Dana Bhakti.
Daymon, Cristine. 2008. Metode Riset Kualitatif Dalam Public Relation dan
Marketing Communication. Jakarta: Benteng Pustaka.
DEPDIKBUD. 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Departemen Agama. 1975. Ilmu Fiqh. Jakarta: Departemen Agama.
Departemen Agama. 1992. Ilmu Fiqh. Jakarta: Departemen Agama.
Ghani, Djuandi. 1997. Dasar-dasar Pendidikan Kualitatif, Prosedur, Tehnik dan
Teori. Surabaya: PT. Bila Ilmu.
Ghazaly, Abdurahman. 2003. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana.
Ghazaly, Abdurahman. 2006. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Kompilasi Hukum Islam. 2007. Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
Bandung: Citra Umbara.
Muhadjir, Neong. 1994. Metodologi Penelitian Kualitatif. Ygyakarta: Reka
Sarasin.
Moleong, lexy J. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda
Karya.
Moleong, lexy J. 2011. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda
Karya.
Nawawi, Hadari. 1990. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Sosial. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.
76
Nurudin, Amiur dan Akmal. 1974. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta:
Kencana.
Rofiq, Ahmad. 1998. Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Suryabrata, Sumadi. 1998. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Syarifudin,Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam (Antara Fiqh dan UU
Perkawinan). Jakarta: Kencana.
Syarif, Amiroeddin. 1997. Perundang-Undangan Dasar, Jenis dan Teknik
Membuatnya. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Tihami, Sohari Sahrani. 2009. Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap.
Jakarta: Rajawali Pers.
Undang-undang Perkawinan. Tt. Surabaya: Arkola.
Zainuddin, Ali. 2006. Hukum Perdata Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Wawancara dengan Agung Widyanto. Senin, 18 Juli 2016. Pukul 09.00 WIB. Di
depan rumah Jl. KH. Moh kholil IX A NO. 12 RT 03 RW 01
Kelurahan Demangan, kec Bangkalan kab. Bangkalan.
Wawancara dengan Umi Sangadah S.H. Kamis, 21 Juli 2016. Pukul 12.30 WIB.
Di Kantor Pengadilan Agama Bangkalan.
Wawancara dengan H. Mas‟ud. M.HI. Kamis, 21 Juli 2016. Pukul 14.30 WIB. Di
Kantor Urusan Agama Kec. Bangkalan.
Rahmad, Dkk. 2015. Izin Menikah Dalam Masa „Iddah Talak Raj‟i. (Online).
http://dokumen.tips/documents/makalah-Iddah.html.
Akses:
18
Agustus 2016.
KBBI. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Online). Http://kbbi.web.id. Akses: 23
April 2016.
Alifudin. 2012. Pengertian Talak Raj‟i. (Online). http://alifudin.mywapblog.com,
Akses: 23 April 2016.
77
78
Biodata Penulis
Muhlasin lahir 23-Juli-1992 di Salatiga.
Bertempat tinggal di Jl. Nakula Sadewa III No.
6A Kembangarum Kel. Dukuh Kec. Sidomukti
Kota Salatiga. adalah putra dari pasangan
Bapak Alm H. Umar Muhtadi dan Ibu Hj.
Sofiah. Muhlasin adalah anak terahir dari
delapan bersaudara. Ketujuh saudaranya adalah
pertama Muh Thoib, kedua Siti Rohmatun,
ketiga Siti Mahmudah, keempat Muhammad
Fathoni, Kelima Alm. Siti Muawanah, Keenam
Siti Halimah Sakdiyah, dan ketujuh Siti
Muzaroah.
Setelah lulus MI Ma‟arif Dukuh
Salatiga (2005) melanjutkan pendidikan di MTs
Ma‟arif NU Koripan Dawung Tegalrejo
Magelang (lulus 2008) sekaligus tinggal dan
ikut pendidikan non formal di Pon-Pes AnNajach Koripan Dawung Magelang asuhan AlMukarom Kyai Haji Abdul Mukti Muhdi.
Setelah lulus MTs Ma‟arif NU, melanjutkan
pendidikan di SMK PGRI 3 Multimedia Salatiga dan kembali tinggal di Salatiga.
Kemudian setelah lulus dari SMK PGRI 3 Multimedia salatiga tahun 2011
melanjutkan ke Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga Fakultas Syari‟ah
Jurusan Ahwal Al-Syakshiyyah untuk meraih gelar sarjana S1 Hukum Islam.
Adapun pengalaman berorganisasi baik di kampus dan lingkungan
masyarakat di Salatiga yaitu :
1. Ketua Teater Lintang Songo (2012-2013)
2. Ketua LPM DinamikA (2013-2014)
3. Ketua PMII Komisariat Djoko Tingkir (2014-2015)
4. Pengurus DEMA IAIN Salatiga (2014-2016)
5. Pendiri sekaligus Ketua Remaja Masjid Nuruz Zahroh Kembangarum
Salatiga (2012-2016)
79
80
81
82
83
84
kkk
85
86
PEDOMAN WAWANCARA
1. Daftar pertanyaan wawancara dengan Agung widyanto
a. Apakah bapak yang bernama Agung Widyanto bin Masdjudi?
b. Bagaimana sikap anda terkait penolakan menikah di KUA Sidorejo
Salatiga?
c. Penjelasan apa yang disampaikan pihak KUA Sidorejo Salatiga
menolak ijin menikah anda?
d. Apakah pihak pengadilan agama bangkalan madura tidak memberikan
penjelasan
tentang
masa
iddah
suami
seperti
Surat
Edaran
DITBINBAPERA No. DIV/E.D/17/1979 ketika sidang perceraian
anda?
e. Bagaimana kronologi anda bisa menikah dengan maftuhatin nikmah
binti ahmad habibillah di KUA Bangkalan tanpa menunggu masa
iddah mantan istri habis?
2. Daftar pertanyaan wawancara dengan Pengadilan Agama Bangkalan
Madura Jawa Timur
a. Bagaimana landasan dan ketentuan PA terkait Surat Edaran
DITBINBAPERA No. DIV/E.D/17/1979?
b. Bagaimana prosedur untuk melakukan proses perceraian?
c. Apakah dari pihak Pengadilan Agama Bangkalan memberikan
penjelasan
terkait
Surat
87
Edaran
DITBINBAPERA
No.
DIV/E.D/17/1979
pada
calon
talak
duda
raj‟isaat
sidang
Surat
Edaran
perceraian/putusan talak?
d. Bagaimana
pendapat
anda
terkait
penerapan
DITBINBAPERA No. DIV/E.D/17/1979?
e. Bagaimana pandangan anda Terkait penolakan nikah Agung Widyanto
bin Masdjudi dengan maftuhatin nikmah binti ahmad habibillah di
KUA
Sidorejo
Salatiga
karena
mengacu
Surat
Edaran
DITBINBAPERA No. DIV/E.D/17/1979?
3. Daftar pertanyaan wawancara dengan Kantor Urusan Agama (KUA)
Bangkalan Madura Jawa Timur
a.
Bagaimana prosedur perkawinan di KUA Bangkalan?
b.
Apakah dari pihak KUA Bangkalan memberikan penjelasan terkait
Surat Edaran DITBINBAPERA No. DIV/E.D/17/1979 pada duda
talak raj‟i dalam prosedur perkawinan?
c.
Bagaimana pemahaman anda terkait Surat Edaran DITBINBAPERA
No. DIV/E.D/17/1979?
d.
Bagaimana tanggapan anda terkait penolakan nikah Agung Widyanto
bin Masdjudi dengan maftuhatin nikmah binti ahmad habibillah di
KUA
Sidorejo
Salatiga
karena
DITBINBAPERA No. DIV/E.D/17/1979?
88
mengacu
Surat
Edaran
TRANSKIP WAWANCARA
1. Identitas informan
A. Nama
: Agung Widyanto bin Masdjudi
B. Alamat
: Jl. KH. Moh kholil IX A NO. 12 RT 03 RW 01
Kelurahan
Demangan,
kec
Bangkalan
kab
Bangkalan.
C. Hari/Tanggal
: Senin/18 Juli 2016
D. Pekerjaan
: Swasta
E. Waktu
: 09.00 WIB
2. Daftar pertanyaan wawancara
MASA
IDDAH
PENERAPAN
SUAMI
SURAT
DALAM
EDARAN
TALAK
DIREKTUR
RAJ’I
(STUDI
PEMBINAAN
BADAN PERADILAN AGAMA ISLAM (DITBINBAPERA) NO.
DIV/E.D/17/1979).
A. Apakah bapak yang bernama Agung Widyanto bin Masdjudi?
Jawaban : Benar mas.
B. Bagaimana sikap anda terkait penolakan menikah di KUA Sidorejo
Salatiga?
Jawaban : Sangat kecewa sekali mas.
C. Penjelasan apa yang disampaikan pihak KUA Sidorejo Salatiga
menolak ijin menikah anda?
Jawaban : KUA Sidorejo Salatiga dalam intinya untuk duda talak raj‟i
baru bisa menikah dengan maftuhatin nikmah binti ahmad
89
habibillahharus menunggu masa iddah mantan istri saya Rusmilah
binti Abd. Salam habis.
D. Apakah pihak pengadilan agama bangkalan madura tidak memberikan
penjelasan tentang masa iddah suami seperti Surat Edaran
DITBINBAPERA No. DIV/E.D/17/1979 ketika sidang perceraian
anda?
Jawaban :Saya tidak diberi tahu hal tersebut, dan saya tidak paham surat
edaran seperti itu, yang saya tahu laki-laki tidak mempunyai masa iddah.
E. Bagaimana kronologi anda bisa menikah dengan maftuhatin nikmah
binti ahmad habibillah di KUA Bangkalan tanpa menunggu masa
iddah mantan istri habis?
Jawaban :Saya menikah di KUA Bangkalan Madura Jawa Timur
dengan maftuhatin nikmah binti ahmad habibillah pada tanggal 19
Mei 2016, bisa menikah dengan dasar agama islam tentunya laki-laki
tidak memiliki masa iddah dan tidak harus menunggu masa iddah
mantan istri saya.
90
TRANSKIP WAWANCARA
1. Identitas informan
A. Nama
: Umi Sangadah, S.H
B. Alamat
: Solo
C. Tanggal
: 21 Juli 2016
D. Pekerjaan
: Panitera Muda Gugatan PA Bangkalan
E. Waktu
: 12.30 WIB
2. Daftar pertanyaan wawancara
MASA
IDDAH
PENERAPAN
SUAMI
SURAT
DALAM
EDARAN
TALAK
DIREKTUR
RAJ’I
(STUDI
PEMBINAAN
BADAN PERADILAN AGAMA ISLAM (DITBINBAPERA) NO.
DIV/E.D/17/1979).
A. Bagaimana landasan dan ketentuan PA terkait Surat Edaran
DITBINBAPERA No. DIV/E.D/17/1979?
Jawaban :Surat Edaran DITBINBAPERA No. DIV/E.D/17/1979
hanya sebatas himbauan, disini PA Bangkalan memiliki kebijakan
sendiri untuk menentukan suatu keputusan.
B. Bagaimana prosedur untuk melakukan proses perceraian?
Jawaban : Untuk prosedur perceraian sudah ada dicetak dan di pajang
berupa MMT/spanduk di bagian ruang tunggu sidang, atau tidak saya
berikan softfilenya untuk di kopi.
C. Apakah dari pihak Pengadilan Agama Bangkalan memberikan
penjelasan
terkait
Surat
91
Edaran
DITBINBAPERA
No.
DIV/E.D/17/1979pada
calon
duda
talak
raj‟i
saat
sidang
perceraian/putusan talak?
Jawaban : Tidak mas
D. Bagaimana pemahaman anda terkait Surat Edaran DITBINBAPERA
No. DIV/E.D/17/1979?
Jawaban
:
Dalam
Surat
Edaran
DITBINBAPERA
No.
DIV/E.D/17/1979 tidak memiliki akses hukum.
E. Bagaimana
pendapat
anda
terkait
penerapan
Surat
Edaran
DITBINBAPERA No. DIV/E.D/17/1979?
Jawaban :Surat Edaran DITBINBAPERA No. DIV/E.D/17/1979
hanya sebatas himbauan, boleh diterapkan boleh tidak.
F. Bagaimana pandangan anda Terkait penolakan nikah Agung
Widyanto bin Masdjudi dengan maftuhatin nikmah binti ahmad
habibillah di KUA Sidorejo Salatiga karena mengacu Surat Edaran
DITBINBAPERA No. DIV/E.D/17/1979?
Jawaban :Kurang/tidak tepat, baik dalam pandangan agama laki-laki
tidak memiliki masa iddah.
Untuk laki-laki yang sudah mendapat putusan talak sudah tidak memilki
hubungan lagi dengan mantan istrinya, jadi tidak perlu harus menunggu
masa iddah mantan istri habis baru bisa menikah dengan wanita lain.
Laki-laki atau mantan suami hanya berkewajiban membayar Mut‟ah
kepada mantan istri selama iddah itu habis.
92
TRANSKIP WAWANCARA
1. Identitas informan
A. Nama
: H. Mas‟ud. M.HI
B. Alamat
: Jombang
C. Tanggal
: 21 Juli 2016
D. Pekerjaan
: Kepala KUA Bangkalan
E. Waktu
: 14.30 WIB
2. Daftar pertanyaan wawancara
MASA
IDDAH
PENERAPAN
SUAMI
SURAT
DALAM
EDARAN
TALAK
RAJ’I
DIREKTUR
(STUDI
PEMBINAAN
BADAN PERADILAN AGAMA ISLAM (DITBINBAPERA) NO.
DIV/E.D/17/1979).
A. Bagaimana prosedur perkawinan di KUA Bangkalan?
Jawaban : Dalam prosedur, Syarat, rukun dan rujuk menikah sudah di
cetak di mading, atau tidak nanti bisa saya beri soft filenya untuk
dicopy.
B. Apakah dari pihak KUA Bangkalan memberikan penjelasan terkait
Surat Edaran DITBINBAPERA No. DIV/E.D/17/1979 pada Agung
Widyanto saat proses menikah?
Jawaban : Tidak
C. Bagaimana pemahaman anda terkait Surat Edaran DITBINBAPERA
No. DIV/E.D/17/1979?
93
Jawaban
:
Dalam
Surat
Edaran
DITBINBAPERA
No.
DIV/E.D/17/1979 yang saya ketahui hanyalah sebatas himbauan dan
tidak memiliki akses hukumnya .
D. Bagaimana tanggapan anda terkait penolakan nikah Agung Widyanto
bin Masdjudi dengan maftuhatin nikmah binti ahmad habibillah di
KUA
Sidorejo
Salatiga
karena
mengacu
Surat
Edaran
DITBINBAPERA No. DIV/E.D/17/1979?
Jawaban : Itu adalah hak kewenangan dan kebijakan dari masingmasing KUA.
jika melihat dari sudut pandang surat edaran tersebut agar tidak terjadi
poligami yang tidak diinginkan harus mempunyai landasan untuk
berhati-hati dalam menikahkan seseorang tentunya dari syarat,
rukunnya menikah dan rujuk.
94
95
Lampiran Dokumentasi Foto
Wawancara dengan Agung Widyanto bin Masdjuji
96
Saat memasukkan surat ijin penelitian di Pengadilan Agama
Bangkalan Madura Jawa Timur
Wawancara dengan Ibu Umi Sangadah, S.H
97
Tampak dari depan gedung Pengadilan Agama Bangkalan Madura
Jawa Timur
Ruang tunggu tamu Pengadilan Agama Bangkalan Madura Jawa
Timur
98
Menunggu surat disposisi Pengadilan Agama di temani Bapak H.
Supriyadi, S.Ag selaku Hakim
struktur organisasi Pengadilan Agama Bangkalan Madura Jawa
Timur
99
Foto kepala Pengadilan Agama Bangkalan Madura Jawa Timur dari
tahun ketahun
Bagian Informasi Pengadilan Agama Bangkalan Madura Jawa Timur
Wawancara dengan kepala KUA Bangkalan Madura Jawa Timur
100
Ruang Administrasi KUA Bangkalan Madura Jawa Timur
Ruang Kepala KUA Bangkalan Madura Jawa Timur
101
Ruang Ijab Qabul Nikah KUA Bangkalan Madura Jawa Timur
Peresmian KUA Bangkalan Madura Jawa Timur
102
Foto bersama dengan Kepala dan Karyawan KUA Bangkalan Madura
Jawa Timur
Bukti pernikahan Agung Widyanto danRusmilah
Di KUA Bangkalan Madura Jawa Timur
103
Bukti pernikahan Agung Widyanto danRusmilah
Di KUA Bangkalan Madura Jawa Timur
Bukti pernikahan Agung Widyanto danRusmilah
Di KUA Bangkalan Madura Jawa Timur
104
Bukti pernikahan Agung Widyanto danRusmilah
Di KUA Bangkalan Madura Jawa Timur
Bukti pernikahan Agung Widyanto danRusmilah
Di KUA Bangkalan Madura Jawa Timur
105
Bukti pernikahan Agung Widyanto danRusmilah
Di KUA Bangkalan Madura Jawa Timur
106
107
108
109
110
s
111
Download