“MASA IDDAH SUAMI DALAM TALAK RAJ’I (STUDI PENERAPAN SURAT EDARAN DIREKTUR PEMBINAAN BADAN PERADILAN AGAMA ISLAM (DITBINBAPERA) NO. DIV/E.D/17/1979) DI KUA DAN PA BANGKALAN” SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Oleh : MUHLASIN 211 11 001 JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2016 “MASA IDDAH SUAMI DALAM TALAK RAJ’I (STUDI PENERAPAN SURAT EDARAN DIREKTUR PEMBINAAN BADAN PERADILAN AGAMA ISLAM (DITBINBAPERA) NO. DIV/E.D/17/1979) DI KUA DAN PA BANGKALAN” SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Oleh : MUHLASIN 211 11 001 JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2016 i ii iii iv MOTTO “Yang Kita Lakukan Baik Belum Tentu Benar Untuk Orang Lain, dan Sebaliknya Yang Kita Lakukan Benar Belum Tentu Baik Untuk Orang Lain. v PERSEMBAHAN 1. Kedua orang tua yang saya sayangi dan banggakan Bapak Alm. H. Umar Muhtadi dan Ibu Hj. Shofiyah yang senantiasa mencurahkan kasih sayangnya, dukungan serta doanya sehingga skripsi ini akhirnya selesai. 2. Kakakku Muh Thoib, Siti Rohmatun, Siti Mahmudah, M. Fathoni, Alm. Siti Muawanah, Siti Halimah Sakdiyah, dan Siti Muzaroah sekeluarga yang selalu mendukung dan membimbing setiap langkahku. 3. Irinna Ika Wulandari, S. Sy. yang selalu mendukung dan memberikan motivasi. 4. Sahabat-sahabati Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Salatiga. 5. Sahabat-sahabati GANAS PMII Kota Salatiga. 6. Sahabat-sahabati Teater Lintang Songo, SALAMS, eLKaJe, dan Sapu Angin FC PMII Kota Salatiga. 7. Keluarga besar LPM DinamikA, DEMA (2013 dan 2015), LDK, dan SSC IAIN Salatiga 8. Sahabat-sahabati Remaja Masjid Nuruz Zahroh dan Karang Taruna Kembangarum Salatiga. vi KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang senantiasa memberikan rahmat dan hidayah Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, dan Solawat serta salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum di jurusan Ahwal Al-Syakhsiyyah Fakultas Syari‟ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis memperoleh bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terimakasih kepada : 1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M. Pd. Selaku Rektor IAIN Salatiga. 2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag. Selaku Dekan Syari‟ah IAIN Salatiga. 3. Bapak Sukron Makmun, S.HI. M.Si. Selaku Kepala Jurusan Ahwal AlSyakhsiyyah IAIN Salatiga. 4. Bapak H. M. Yusuf Khummaini, S.HI., M.H, Selaku dosen pembimbing skripsi yang selalu memotivasi serta sabar dalam membimbing penulis. 5. Bapak Dr. Ilyya Muhsin, S.Hi., M.Si. selaku dosen pembimbing akademik selama kuliah di IAIN Salatiga. 6. Bapak dan Ibu dosen IAIN Salatiga yang telah menjadi perantara ilmu. 7. Segenap sivitas akademik IAIN Salatiga yang telah memberikan pelayanan yang baik serta ramah. vii viii ABSTRAK Muhlasin. 211 11 001. “Masa Iddah Suami Dalam Talak Raj‟i (Studi Penerapan Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam (DITBINBAPERA) No. DIV/E.D/17/1979) di KUA dan PA Bangkalan”. Skripsi. Fakultas Syari‟ah. Jurusan Ahwal Al-Syakhsiyyah. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing H. M. Yusuf Khummaini, S.H.I., M.H. Kata kunci : Masa Iddah Suami, No. DIV/E.D/17/1979 Penelitian ini terkait masa „iddahsuami yang bercerai dalam talak raj‟ibertujuan untuk; (1) Bagaimana landasan dan ketentuan Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam (DITBINBAPERA) No. DIV/Ed/17/1979 terhadap KUA dan PA Bangkalan. (2) Bagaimana sikap dan penerapan Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam (DITBINBAPERA) No. DIV/Ed/17/1979 di KUA dan PA Bangkalan.(3) Bagaimana status perkawinan yang melanggar Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam (DITBINBAPERA)No. DIV/Ed/17/1979. Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode pengumpulan datanya penyusun menggunakan metode observasi, wawancara dan dokumentasi. Data yang diperoleh peneliti dari beberapa informan baik dari orang yang bersangkutan, Kantor Urusan Agama (KUA) dan juga Pengadilan Agama (PA) Bangkalan Madura Jawa Timur. Berdasarkan ketentuan kelembagaan, dimana KUA & PA setelah tahun 1999. Maka Surat Edaran Direkturat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam (DITBINBAPERA) No. DIV/E.D/17/1979 bersifat mengikat, artinya lembaga dibawah Departemen Agama (DEPAG) Pusat yang setelahnya menjadi Kementerian Agama mempunyai kewajiban untuk memperhatikan dan menerapkan hal tersebut. Namun karena hanya sebatas surat edaran maka tidak mempuyai kekuatan hukum yang kuat, bisa dikatakan sebagai himbauan.KUA dan PA Bangkalan menolak Surat Edaran Direkturat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam (DITBINBAPERA) No. DIV/E.D/17/1979, karena menganggap surat edaran tersebut tidak memiliki kedudukan hukum yang jelas. Dalam hal ini KUA dan PA Bangkalan mengambil kebijakan tidak menerapkan karena surat edaran tersebut hanya bersifat himbauan (boleh/tidak diterapkan).Status perkawinan duda talak raj‟i yang melanggar Surat Edaran Direkturat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam (DITBINBAPERA) No. DIV/E.D/17/1979 dihukumi sebagai perkawinan poligami atau beristri lebih dari satu tanpa harus ada izin dari istri pertama. Pada hakekatnya duda talak raj‟i yang akan menikah dengan wanita lain segi kewajiban dan inti hukum sama seperti beristri lebih dari seorang (poligami). Oleh karena itu dapat diterapkan Undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 4 dan 5 tentang dasar perkawinan yang mengatur tatacara perkawinan poligami. ix DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL …………………………………………………....…… i HALAMAN BERLOGO ……………………………………………...…….. ii NOTA PEMBIMBING……………………………………………....………. iii HALAMAN PENGESAHAN ………...…………………………...……….. iv HALAMAN PERNYATAAN ……………………….…………....………… v MOTTO………………………………………………………………………. vi PERSEMBAHAN…………………………………………………………..... vii KATA PENGANTAR……………………………………………………….. viii ABSTRAK…………………………………………………………………… x DAFTAR ISI…………………………………………………………………. xi DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………. xiv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah…………………………………………… 1 B. Rumusan Masalah…………………………………………………. 6 C. Tujuan Penelitian…………………………………………………… 6 D. Penegasan Istilah.....………………………………………………… 7 E. Metode Penelitian……………………………………………………. 8 F. Sistematika Penulisan………………….…………………………… 12 x BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Pernikahan..............………………………………………. 14 B. Rukun Nikah.....……………………………………………………… 15 C. Syarat Nikah.......................................................................................... 15 D. Hukum Perkawinan............................................................................... 15 E. Asas-Asas Hukum Perkawinan............................................................. 16 F. Tujuan Perkawinan............................................................................... 17 G. Pengertian Iddah................................................................................... 17 H. Landasan Filosofis Iddah Suami........................................................... 21 I. Asas Perundang-Undangan .................................................................. 26 BAB III HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum KUA Bangkalan Madura Jawa Timur .................... 36 1. Visi dan Misi .................………………………………………… 36 2. Standar Waktu ......................................................................…...... 37 3. Kode Etik........................................................................................ 38 4. Panca Prasetya KORPRI................................................................. 38 5. Budaya Kerja................................................................................... 39 6. Maklumat Pelayanan....................................................................... 39 B. Hasil Wawancara KUA Bangkalan ...................................................... 43 C. Gambaran umum Pengadilan Agama Bangkalan ............................ 45 a) Visi dan Misi .................................................................................. 49 b) Rencana Strategik........................................................................... 49 D. Hasil Wawancara PA Bangkalan ......................................................... 51 xi BAB IV ANALISA A. Analisa Landasan Surat Edaran Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam (DITBINBAPERA) No.DIV/E.D/17/1979 ... 57 B. Analisa Penerapan Surat Edaran Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam (DITBINBAPERA) No.DIV/E.D/17/1979 di KUA dan PA Bangkalan .................................................................... 62 C. Analisa Status Perkawinan yang Melanggar Surat Edaran Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam (DITBINBAPERA) No.DIV/E.D/17/1979 ........................................................................... 68 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan……………………………………………….….....…. 73 B. Saran…………………………………………………….….….….. 74 C. Penutup .................................................................................................. 75 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 76 DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Struktur Organisasi KUA Bangkalan .............. …………………... LAMPIRAN-LAMPIRAN xii 31 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran I : Daftar Riwayat Hidup Lampiran II : Daftar SKK Lampiran III : Surat Izin Penelitian Lampiran IV : Pedoman Wawancara Lampiran V : Data Wawancara Surat Lampiran VI : Lampiran Akta Cerai Lampiran VII : Dokumentasi Penelitian Lampiran VIII : Keterangan Telah Meneliti Lampiran IX : Lembar Konsultasi Skripsi xiii BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.Perkawinan merupakan hal penting dalam kehidupan manusia, baik perseorangan maupun kelompok. Melalui perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk yang berkehormatan (Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, Surabaya: Arkola, Hal. 5). Dalam pengertian lain pernikahan merupakan pintu gerbang untuk memasuki kehidupan baru yang sah menurut kaca mata agama Islam bagi pria dan wanita. Pernikahan bagi masyarakat Jawa sendiri diyakini sebagai sesuatu yang sakral, sehingga diharapkan dalam menjalaninya cukup sekali dalam seumur hidup. Oleh karena itu pengertian perkawinan dalam ajaran agama Islam mempunyai nilai ibadah, dalam Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa perkawinan adalah akad yang sangat kuat (mitsaqan ghalidhan) untuk menaati perintah Allah SWT, dan melaksanakannya merupakan ibadah (Zainudin, 2006:7). 1 Dalam syariat Islam yang berlandaskan kepada Al-Qur‟an dan Hadist, dalam penerapanya sangat fokus kepada lima perkara yaitu penjagaan terhadap jiwa, agama, harta, akal, dan keturunan (nasab). Perkawinan yang berkah merupakan tujuan yang sangat diinginkan oleh Islam. Akad nikah diadakan untuk selamanya dan seterusnya hinga meninggal dunia agar suami istri dapat mewujudkan rumah tangga sebagai tempat berlindung dapat memelihara anakanaknya hidup dalam pertumbuhan yang baik. Apabila suami istri tidak dapat hidup bersama dengan bahagia dan perkawinan mereka tidak lagi membawa kasih sayang maka Allah SWT tidak memaksakan suami dan istri tersebut untuk tetap bertahan dalam suatu rumah tangga yang kacau. Perlu diketahui bahwa Islam tidak menyukai suatu perceraian. Islam memandang sebagai sesuatu yang musykil, suatu yang tidak diinginkan terjadinya. Perceraian merupakan alternatif terakhir kehidupan rumah tangga bila tidak dapat lagi dipertahankan keutuhannya. Ikatan pernikahan antara suami-istri dinyatakan habis baik di waktu hidupnya (yakni bercerai) maupun meninggal salah satu diantara keduanya. Setiap keadaan ini terdapat kewajiban masa ‘Iddah yaitu waktu terbatas (menunggu untuk menikah lagi) secara syar’i. „Iddah bermakna perhitungan atau sesuatu yang dihitung. Secara bahasa mengandung pengertian hari-hari haidh atau hari-hari suci pada wanita. sedangkan secara istilah, „Iddah mengandung arti masa menunggu arti masa menunggu bagi wanita untuk melakukan perkawinan setelah terjadinya perceraian dengan suaminya, baik cerai hidup maupun cerai mati, dengan tujuan untuk mengetahui keadaan rahimnya atau untuk berfikir bagi suami. 2 Firman Allah SWT Al-Qur‟an Surat Al-Ahzab Ayat 49 : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuanperempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka „Iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut‟ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya. Sedangkan Firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 229 : Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim. Waktu tunggu atau „Iddah ialah tenggang waktu dimana janda bersangkutan tidak boleh kawin, bahkan dilarang pula menerima pinangan/lamaran. Ketentuan waktu tunggu ini dimaksudkan antara lain untuk 3 menentukan nasab dari kandungan janda itu bila ia hamil, dan juga sebagai masa berkabung bila suami yang bersangkutan meningal dunia, begitu pula untuk menentukan masa ruju‟ bagi suami, bila talak itu berupa talak raj‟i. Seorang janda karena kematian suaminya, sedang ia tidak hamil maka Iddahnya ialah 4 (empat) bulan 10 hari atau 130 hari. Iddah ini lebih panjang dari pada Iddah karena talak atau cerai; dalam Iddah kematian selain untuk menentukan apakah janda itu hamil atau tidak guna penentuan nasab sianak juga ia perlu berkabung kepada almarhum suaminya. Jika perkawinan putus karena talak, sedang talak itu adalah talak raj‟i yaitu talak kesatu atau kedua, maka Iddahnya ialah 3 kali suci atau 90 hari (pasal 39 ayat (1) huruf b PP.). Dalam hukum Islam, talak raj‟i itu mempunyai akibatakibat hukum sebagai berikut : 1. Suami masih berkewajiban memberi nafkah, sandang dan pangan kepada istrinya yang ditalak. 2. Suami berhak meruju‟ (kembali kepada) istri selama masih dalam Iddah. 3. Bila salah seorang dari suami istri meninggal dunia dalam masa Iddah, maka pihak yang masih hidup berhak mewarisi dari yang meninggal. Hal ini disebabkan karena pada hakikatnya perkawinan itu belum bubar, melainkan hanya berhenti sementara. Nasib perkawinan tersebut ditentukan dalam masa Iddah, apakah terjadi ruju‟ atau tidak. Bila sampai akhir masa Iddah tiada terjadi ruju‟, maka perkawinan itu menjadi bubar. Adapun Iddah dari talak ketiga (bain kubra), atau bain yang lain (bain sugra), maka suami tidak dapat meruju‟, 4 begitu pula tidak ada hak saling mewaris antara keduanya. Sebab pada hakikatnya perkawinan itu sudah bubar. Dan Iddah di sini gunaya ialah untuk menentukan nasab sianak bila janda itu hamil (Depag, 1975: 70-71). Dalam Surat Edaran DITBINBAPERA No. DIV/Ed/17/1979 ayat 1 dan 2 Juga disebutkan : 1. Bagi seorang suami yang telah menceraikan istrinya dengan talak raj‟i danmau menikah lagi dengan wanita lain sebelum habis masa „Iddah bekasistrinya, maka dia harus mengajukan izin poligami ke PA. 2. Sebagai pertimbangan hukumnya adalah penafsiran bahwa padahakikatnya suami istri yang bercerai dengan talak raj‟i adalah masih dalamikatan perkawinan selama belum habis masa „Iddahnya. Karenanya jika suami tersebut akan menikah lagi dengan wanita lain, pada hakikatnya, dari segi kewajiban hukum dan inti hukum adalah beristri lebih dari seorang. Dalam hal ini berarti pemohon harus menjamin keperluan hidup bekas istrinya selama dalam masa „Iddah, sebagaimana disebutkan dalam pasal 152 KHI yaitu : “Bekas istri berhak mendapat nafkah „Iddah dari bekas suaminya kecuali nusyuz”. Oleh karena itu, perkawinan itu belum putus sepenuhnya, maka apabila bekas suami hendak menikah lagi dalam masa „Iddah bekas istrinya, pada hakikatnya bekas suami tersebut menikah dengan lebih dari seorang/poligami. Dari hal-hal diatas kemudian timbulah banyak sekali permasalahan. Selain permasalahan diatas, permasalahan lain yang muncul adalah sebatas manakah pemahaman pegawai di lingkungan Kementerian Agama terhadap Surat Edaran 5 tersebut. Hal yang perlu diketahu juga adalah bagaimana penerapan suratedaran tersebut di lingkungan Peradilan Agama. Berangkat dari pemikiran tersebut di atas maka saya menyusun skripsi ini. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana landasan dan ketentuanSurat Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam (DITBINBAPERA) No. DIV/Ed/17/1979 terhadap KUA dan PA Bangkalan? 2. Bagaimana sikap danpenerapanSurat Edaran Direktur Pembinaan BadanPeradilan Agama Islam (DITBINBAPERA)No. DIV/Ed/17/1979 di KUA dan PA Bangkalan? 3. Bagaimana status perkawinan yang melanggar Surat Edaran Direktur Pembinaan BadanPeradilan Agama Islam (DITBINBAPERA)No. DIV/Ed/17/1979? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui landasan dan ketentuanSurat Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam (DITBINBAPERA) No. DIV/Ed/17/1979 terhadapPegawai KUA dan PA Bangkalan. 2. Untuk mengetahuisikap danpenerapanSurat Edaran Direktur Pembinaan BadanPeradilan Agama Islam (DITBINBAPERA)No. DIV/Ed/17/1979 di KUA dan PA Bangkalan. 3. Untuk mengetahui status perkawinan yang melanggar Surat Edaran Direktur Pembinaan BadanPeradilan Agama DIV/Ed/17/1979. 6 Islam (DITBINBAPERA)No. D. PENEGASAN ISTILAH 1. Iddah : mengandung arti masa menunggu arti masa menunggu bagi wanita untuk melakukan perkawinan setelah terjadinya perceraian dengan suaminya, baik cerai hidup maupun cerai mati, dengan tujuan untuk mengetahui keadaan rahimnya atau untuk berfikir bagi suami (Syarifuddin, 2006: 303). 2. Suami : Suami pria yang menjadi pasangan hidup resmi seorang wanita (Http://kbbi.web.id/suami, Akses 23 April 2016). 3. Talak Raj‟i : Talak raj‟i adalah talak yang boleh dirujuk kembali oleh mantan suaminya selama masa Iddah atau sebelum masa Iddahnya berakhir (http://alifudin.mywapblog.com, Akses 23 April 2016). 4. Surat : Surat kertas dan sebagainya yang bertulis berbagai isi sebagai tanda/ keterangan (Http://kbbi.web.id.surat, Akses 23 April 2016). 5. Edaran : Edaran sesuatu yang diedarkan (Http://kbbi.web.id/edaran, Akses 23 April 2016). 7 E. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian dan Pendekatan Untuk membantu memudahkan peneliti dalam melakukan penelitian, peneliti akan menggunakan jenis pendekatan kualitatif dan menggunakannya sebagai acuan dalam penulisan proposal skripsi. Pendekatan Kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik atau dengan caracara lain dari kualifikasi pengukuran (Ghani,1997:11). Sedang menurut Taylor, penelitian kualitatif adalah sebuah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskripsi berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orangorang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong, 2002:3). Dari pengertian tersebut, sudah tentu sesuai dengan judul yang telah ada ini, peneliti akan berada pada latar yang alamiah sehingga metode yang akan digunakan adalah dengan melakukan wawancara, observasi, catatan lapangan dan pemanfaatan dokumen. Penelitian kualitatif merupakan sebuah penelitian yang menghasilkan data tertulis. Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah diskripsi. Penelitian diskripsi menurut Suryabrata adalah penelitian yang bermaksud untuk membuat pencandraan uraian, paparan mengenai situasi kejadiankejadian (Suryabrata,1998:19). 8 2. Kehadiran Peneliti Seperti yang telah diterangkan di atas bahwasannya peneliti akan melaksankan observasi dan wawancara langsung pada obyek kajian sehingga sudah tentu peneliti barada pada lapangan bersama nara sumber yang ada. Penelitian akan dilaksanakan di Pengadilan Agama dan Kantor Urusan Agama Bangkalan Madura Jawa Timur. 3. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pengadilan Agama dan Kantor Urusan Agama Bangkalan Madura Jawa Timur. 4. Sumber Data Data dalam penelitian ini adalah semua data yang diperoleh dari informan yang dianggap penting dan juga dihasilkan dari dokumentasi yang menunjang. Data yang peneliti gali berasal dari unsur-unsur yang terkait dengan judul yang diteliti. 5. Prosedur Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling penting dalam sebuah penelitian, karena tujuan dari peneliti adalah untuk mendapatkan data. Dalam pelaksanaan penelitian ini, data akan diperoleh dengan menggunakan teknik pengumpulan data: a. Observasi Langsung Observasi adalah pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian. Menurut Nawawi, observasi dapat diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara 9 sistematis terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian (Nawawi,1990:100). b. Wawancara Wawancara dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan wawancara (interviewe) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2011:186 ). c. Dokumen Dokumen terdiri dari kata-kata dan gambar yang telah direkam tanpa campur tangan pihak peneliti. Dokumen tersebut tersedia dalam bentuk tulisan, catatan, suara dan gambar (Daymon, 2008:3). Metode ini digunakan untuk memperluas pengamatan dan pengumpulan data. Data yang diambil berasal dari catatan hasil wawancara, foto-foto dokumentasi. 6. Analisis Data Menurut Muhadjir, analisis data merupakan upaya untuk mencapai dan menata secara sistematis catatan hasil observasi, wawancara, dan lainnya untuk meningkatkan pemahaman penelitian tentang kasus yang diteliti dan menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain (Muhadjir,1994:104). Penulis akan menunjukkan laporan penelitian yang berisi kutipan-kutipan data dan memberikan gambaran penyajian laporan. Data yang penulis sajikan seperti naskah wawancara, catatan lapangan, foto, dokumen pribadi, dan sebagainya. 10 7. Keabsahan Data Untuk keabsahan data dalam penelitian ini ditentukan dalam kriteria kreadibilitas. Hal ini dimaksud untuk membuktikan bahwa apa yang berhasil dikumpulkan sesuai dengan kenyataan yang ada dalam penelitian. Metode yang digunakan dalam pengecekan keabsahan data: a. Triangulasi Sumber Trianggulasi Sumber yaitu membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda. Dalam metode ini penulis mengecek informan satu dengan yang lain yang diwawancara dan dari sini dapat diukur benar tidaknya kenyataan yang ada. b. Triangulasi Metode Triangulasi Metode Yaitu pengecekan derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian beberapa teknik pengumpulan data dan sumber data dengan metode yang sama (Moleong,2002:178). Dalam metode ini penulis melakukan kroscek antara wawancara dengan hasil observasi yang dilakukan. 8. Tahap-tahap Penelitian Menurut Moloeng, bahwa tahap-tahap penelitian yang digunakan oleh peneliti sebagai berikut: a. Tahap Pra Lapangan 1) Mengajukan judul penelitian. 2) Menyusun proposal skripsi. 11 3) Konsultasi penelitian kepada pembimbing. b. Tahap Pekerjaan Lapangan 1) Persiapan diri untuk memasuki lapangan. 2) Pengumpulan data atau informasi yang terkait dengan fokus penelitian. 3) Pencatatan data yang telah dikumpulkan. c. Tahap Analisis Data 1) Penemuan hal-hal yang penting dari data penelitian. 2) pengecekan keabsahan data (Moloeng, 2002:84-105). F. SISTEMATIKA PENULISAN Untuk mempermudah pemahaman pembaca pada penelitian ini, peneliti menyusun sebuah sistematika penulisan. Sistematika penulisan ini ada lima macam bab, yang masing-masing membahas masalah yang berbeda. hal itu merupakan satu kesatuan yang menyambung. Adapun rincian dari kelima bab tersebut adalah sebagai berikut: Bab Satu, bab ini berisi pendahuluan yang bertujuan untuk memberikan gambaran objek kajian secara umum. Pada bab ini akan memuat pembahasan yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode dan sistematika penulisan serta berisi hal-hal yang aneh dan menarik untuk diteliti. Bab dua, bab ini membahas perkawinan syarat dan rukunnya yang menyangkut masa „Iddah suami dalam talak raj‟i berdasarkan landasan, tujuan, dan kekuatan hukum Surat Edaran DITBINBAPERA No. DIV/E.D/17/1979 dalam birokrasi KUA dan PA Bangkalan. 12 Bab tiga, bab ini mendeskripsikan, pertama: tentang data penelitian yang mencakup seting penelitian yang telah dinarasikan oleh penulis agar mudah dipahami oleh pembaca. Seting penelitian tersebut berisi tentang letak geografis, demografis Kantor Urusan Agama (KUA) dan Pengadilan Agama (PA) Bangkalan sumber data yang diperoleh serta landasan hukum, birokrasi, TUPOKSI, tata cara cerai, tata cara nikah, tata cara rujuk yang telah terjadi di masyarakat berdasarkan catatan KUA Bangkalan, dan sikap PA atas Surat Edaran DITBINBAPERA No. DIV/E.D/17/1979. Bab empat, analisis berisi tentang landasan hukum, filosofi mengenai Surat Edaran DITBINBAPERA No. DIV/E.D/17/1979 yang terjadi dan sikap Kantor Urusan Agama (KUA) dan Pengadilan Agama (PA) Bangkalan atas Surat Edaran tersebut. Bab lima, adalah penutup yang berisi kesimpulan dari hasil pembahasan secara keseluruhan dan disertai dengan saran-saran, kemudian diakhiri dengan kata penutup. 13 BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Pernikahan Dalam bahasa Indonesia perkawinan berasal dari kata kawin yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan intim atau bersetubuh (Depdikbud,1994:456). Pengertian perkawinan dalam ajaran agama Islam mempunyai nilai ibadah. Dalam Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa perkawinan adalah akad yang sangat kuat (mitsaqan ghalidhan) untuk menaati perintah Allah, dan melaksanakannya merupakan ibadah (Zainudin, 2006:7). Pengertian perkawinan menurut ketentuan pasal 1 undang-undang Perkawinan No 1 tahun 1974 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri (Anshary, 1993:74). Sebagai salah satu syarat sahnya nikah adalah adanya seorang wali, sebab wali menempati kedudukan yang sangat penting dalam pernikahan. Seperti dalam prakteknya yang mengucapkan “ijab” adalah pihak perempuan dan yang mengucapkan ikrar “qobul” adalah pihak laki-laki. Kedudukan wali nikah dalam hukum Islam adalah sebagai salah satu rukun nikah. Menurut Imam Syafi‟i bahwa nikah dianggap tidak sah atau batal, apabila wali dari pihak calon pengantin perempuan tidak ada. 14 B. Rukun Nikah Jumhur ulama sepakat bahwa rukun pernikahan itu terdiri atas 5 hal yang harus dipenuhi. Adapun kelima hal tersebut adalah 1. 2. 3. 4. 5. Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita. Akad nikah akan dianggap sah apabila ada seorang wali atau wakilnya yang akan menikahkannya. Adanya dua orang saksi. Sighat akad nikah, yaitu ijab kabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya dari pihak wanita, dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki (Departemen Agama, 1992:18). C. Syarat Nikah Syarat-syarat perkawinan seperti yang diisyaratkan oleh para Ulama‟ ada 9. Syarat-syarat tersebut adalah: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Adanya persetujuan kedua calon mempelai. Pria sudah berumur 19 tahun, wanita 16 tahun. Izin orang tua/ pengadilan jika belum berumur 21 tahun. Tidak masih terikat dalam suatu perkawinan. Tidak bercerai untuk kedua kali dengan suami atau istri yang sama yang akan dinikahi. Bagi janda sudah lewat masa tunggu. Sudah memberitahu kepada pegawai pencatat perkawinan 10 hari sebelum dilangsungkan perkawinan. Tidak ada yang mengajukan pencegahan. Tidak ada larangan perkawinan (Anshary, 1993:76-80). D. Hukum Perkawinan Hukum perkawinan seperti yang disebutkan oleh paraulama ada 5. Adapun pembagian ke 5 hukum perkawinan tersebut adaah sebagai berikut: 1. Wajib, yaitu bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk kawin dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina seandainya tidak kawin maka hukum melakukan perkawinan bagi orang 15 tersebut adalah wajib. Dengan maksud untuk menjaga diri dari perbuatan maksiat. 2. Sunah, yaitu bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk melangsungkan perkawinan, tetapi kalau tidak kawin tidak dikhawatirkan akan berbuat zina, maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut menjadi sunah. 3. Haram, yaitu bagi orang yang tidak mempunyai kemauan dan kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga sehingga apabila melangsungkan perkawinan akan terlantarkan dirinya dan istrinya. 4. Makruh, yaitu bagi orang yang mempunyai kemampuan dan kemauan untuk meaksanakan perkawinan dan cukup untuk bisa menahan diri sehingga tidak memungkinkan dirinya terjerumus berbuat zina sekiranya tidak kawin. 5. Mubah, yaitu bagi Orang-orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya, tetapi apabila tidak melakukannya tidak dikhawatirkan berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak akan menelantarkan istri (Tihami, 2009: 12). E. Asas-Asas Hukum Perkawinan Dalam Asas hukum perkawinan ikatan perkawinan sebagai salah satu bentuk perjanjian (suci) antara seorang pria dengan seorang wanita yang mempunyai segi-segi perdata, berlaku beberapa asas, diantaranya adalah (1) kesukarelaan, (2) persetujuan kedua belah fihak, (3) kebebasan memilih, (4) 16 kemitraan suami-istri, (5) untuk selama-lamanya, dan (6) monogami terbuka (karena darurat) (Zainuddin, 2006: 124). F. Tujuan Perkawinan Tujuan perkawinan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi petunjuk agma dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggotan keluarga, sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir dan bathinyanya sehingga timbullah kebahagiannya, yakni kasih sayang antar anggota keluarga (Darajat, 1995:48). Sedangkan menurut Imam Ghazali, yang menjadi tujuan pernikahan adaah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih sayangnya. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak dan kewajiban juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas dasar cinta dan kasih sayang(Gazali,2003:50). G. Pengertian Iddah „Iddah bermakna perhitungan atau sesuatu yang di hitung. Secara bahasa mengandung pengertian hari-hari haidh atau hari-hari suci pada wanita. Sedangkan secara istilah, „Iddah mengandung arti masa menunggu arti masa menunggu bagi wanita untuk melakukan perkawinan setelah terjadinya perceraian dengan suaminya, baik cerai hidup maupun cerai mati, dengan tujuan untuk mengetahui keadaan rahimnya atau untuk berfikir bagi suami. 17 Para ulama mendefinisikan „Iddah sebagai nama waktu untuk menanti kesuciaan seorang istri yang ditinggal mati atau diceraikan oleh suami, yang sebelum habis masa itu dilarang untuk di nikahkan.Dengan redaksi yang agak panjang Ahmad Al-Ghundur memberikan definisi „Iddah dengan, jenjang waktu yang di tentukan untuk menanti kesucian (kebersihan rahim) dari pengaruh hubungan suami istri setelah sang istri di ceraikan atau ditinggal mati suami, yaitu waktu yang biasa dipikul oleh istri setelah putus ikatan pernikahan karena dikhawatirkan terjadi kesyubhatan dalam pengaruh hubungan kelamin atau yang sesamanya seperti bermesra-mesraan (dengan pria lain jika ia segera menikah) (Syarifuddin, 2006: 303). Perceraian perkawinan dalam Islam belumlah putus sama sekali dikala suami mengikrarkan lafal talak kepada istrinya itu. Yang terjadi ialah bahwa sejak talak itu diikrarkan suami, terjadinya masa „Iddah yang harus dilalui istrinya itu. Masa „Iddah adalah masa berpikir panjang, dimana salah satu fungsi „Iddah adalah memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk memikirkan kemungkinankemungkinan agar bisa rujuk kembali dan rujuk itu sendiri merupakan hak suami. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 228: Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh mereka 18 Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suamisuaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Allah berfirman dalam surat Ath-Talaq ayat 6 : Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka dan jika mereka istri-istri yang sudah ditalak itu sedang hamil maka berikanlah kepada mereka nafkah hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan anak-anakmu maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan musyawarakanlah diantara segala sesuatu, dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan anak itu untuknya. Ayat ini merupakan dasar bagi suami untuk memberikan tempat tinggal bagi istri-istri yang ditalaknya, bahkan ayat ini memberikan pengertian yang tegas tentang kewajiban lainnya yang harus dipenuhi oleh suami seperti memberikan biaya untuk menyusukan anak-anaknya. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan kepada bekas istri (pasal 41 UU No. 1 1974). Ketentuan ini dimaksud agar bekas istri yang telah diceraikan suaminya jangan sampai 19 menderita karena tidak mampu memenuhi kebutuhan kehidupannya. Dengan demikian apabila terjadi perceraian, suami mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu yang harus dipenuhi kepada bekas istrinya. Kewajiban-kewajiban tersebut ialah: 1. 2. 3. 4. Memberikan mut‟ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al dhukhul; Memberikan nafkah kepada bekas istri selama masa „Iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba‟in atau nasyuz dan dalam keadaan tidak hamil. Melunasi mahar yang masih terutang dan apababila perkawinan itu qabla al dhukul mahar dibayar setengahnya; Memberikan biaya hadanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun(Nuruddin, 1974:39). Sedangkan untuk hak dan kewajiban seorang istri yang berada dalam masa „Iddah, khususnya talak raj‟i diantarannya ialah: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Tidak boleh dipinang oleh laki-laki lain, baik secara terang-terangan maupun dengan cara sindiran. Namun bagi wanita yang ditinggal mati suaminya dikecualikan bahwa ia boleh dipinang dengan sindiran. Dilarang keluar rumah menurut jumhur ulama fikih selain mazhab Syafi‟i apabila tidak ada keperluan mendesak, seperti untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya. Larangan ini merupakan penegasan terhadap surat AtThalaq ayat 1 yang telah disebutkan sebelumnya. Larangan ini juga dikuatkan dengan beberapa hadis Rasululullah SAW Berhak untuk tetap tinggal dirumah suaminya selama menjalani masa „Iddah. Wanita yang berada dalam „Iddahtalak raj‟i terlebih lagi yang sedang hamil, berhak mendapatkan nafkah lahir dari suaminya. Bagi wanita yang ditinggal mati suaminya tentu tidak lagi mendapatkan apaapa kecuali harta waris, namun berhak untuk tetap tinggal di rumah suaminya sampai berakhirnya masa „Iddah. Wanita yang berada dalam „Iddahtalak raj‟i ia berhak mendapatkan harta waris dari suaminya yang wafat, sedangkan wanita yang telah ditalak tiga tidak berhak mendapatkanya. „Iddah wanita yang ditinggal mati suaminya yaitu tidak mempergunakan alatalat kosmetik untuk mempercantik diri selama empat bulan sepuluh hari. Wanita yang berada dalam „Iddahtalak raj‟i ia berhak mendapatkan harta waris dari suaminya yang wafat, sedangkan wanita yang telah ditalak tiga tidak berhak mendapatkanya (Depag, 1992:71). 20 H. Landasan Filosofis Iddah Bagi Suami Dalam Surat Edaran DITBINBAPERA No. DIV/E.D/17/1979 Di dalam hukum Islam tidak dijelaskan tentang izin menikah bagi suami dalam masa „Iddah talak raj‟i maupun syarat-syaratnya. Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam (DITBINBAPERA) No. DIV/Ed/17/1979, mempunyai dampak positif yaitu setidak-tidaknya mencegah terjadinya suatu penyimpangan dari tujuan perkawinan yang dalam pasal 1 UU No. 1/1974 yaitu “untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, karena terjadinya poligami otomatis yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, selain itu juga untuk memperhatikan kesejahteraan wanita baik wanita yang masih dalam masa „Iddah maupun wanita yang akan dinikah. Dengan demikian, adanya izin menikah dalam masa „Iddah talak raj‟i yang diatur dalam Surat Edaran DITBINBAPERA No. D1V/Ed/17/1979 adalah sejalan dengan prinsip hukum Islam yang lebih mengutamakan kemaslahatan umum dari pada perorangan. Dalam penetapan ini masih terdapat beberapa hal yang mungkin perlu dipertimbangkan kembali antara lain adalah alasan pemohon untuk menikah lagi dengan wanita lain dalam masa „Iddah bekas istri pemohon. Hal ini menunjukkan bahwa pemohon tidak memanfaatkan masa „Iddah bekas istrinya yang masih panjang. Jika memang benar tidak sanggup menduda telalu lama atau takut berbuat maksiat mengapa tidak rujuk saja, karena masa „Iddah bekas istrinya belum habis. 21 Masalahnya, tanpa menaruh rasa curiga terhadap pemohon sering terjadi seorang suami yang mentalak istrinya dengan talak raj‟i lalu si suami menikah lagi dalam masa „Iddah bekas istrinya itu dengan memperlihatkan akta cerainya kepada pegawai pencatat nikah untuk menikah lagi dengan istri yang baru. Hal ini lah yang kemudian karena masa „Iddah bekas istrinya itu belum habis maka memungkinkan si suami merujuknya kembali. Terjadilah apa yang disebut poligami. Dalam masalah seperti ini sangat besar kemungkinan terjadinya fasakh, karena salah satu pihak tidak terima atau merasa dibohongi. Disinilah arti pentingnya izin menikah bagi suami dalam masa Iddah talak raj‟i walaupun dengan adanya izin ini tidak menutup kemungkinan terjadinya poligami otomatis. Sebab bisa jadi alasan yang diajukan di PA hanya alasan untuk mendapatkan izin saja dan setelah suami menikah segera rujuk dengan bekas istrinya. Oleh karena itu, sangat diperlukan sekali keterangan dari pemohon untuk benar-benar tidak akan merujuk bekas istrinya kembali. Dalam hal ini berarti pemohon harus menjamin keperluan hidup bekas istrinya selama dalam masa „Iddah, sebagaimana disebutkan dalam pasal 152 KHI yaitu : “Bekas istri berhak mendapat nafkah „Iddah dari bekas suaminya kecuali nusyuz”. Oleh karena itu, perkawinan itu belum putus sepenuhnya. Maka apabila bekas suami hendak menikah lagi dalam masa „Iddah bekas istrinya, pada hakikatnya bekas suami tersebut menikah dengan lebih dari seorang/poligami. Dapat diambil kesimpulan bahwa izin menikah dalam masa „Iddah talak raj‟i yang dibuat oleh Pemerintah dalam hal ini adalah Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama 22 Islam (DITBINBAPERA) No. DIV/Ed/17/1979, mempunyai dampak positif. Dampak positf tersebut yaitu setidak-tidaknya mencegah terjadinya suatu penyimpangan dari tujuan perkawinan yang dalam pasal 1 UU No. 1/1974 yaitu untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu terjadinya poligami otomatis tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. MengenaiSurat Edaran No: DIV/E.D/17/1979 Dirjen Bimbingan Islam masalah poligami dalam Iddah istri di terbitkan oleh Departemen Agama Republik Indonesia, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Jakarta pada tanggal 10 februari 1979 diberikan kepada: a. Saudara ketua Pengadilan Agama tingkat pertama. b. Saudara ketua Pengadilan Agama tingkat Banding di seluruh Indonesia. Sedangkan isi Surat Edaran tersebut adalah menunjuk Keputusan Rapat Dinas Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Negara tanggal 24 sampai 28 Mei 1976 di Tugu Bogor lampiran IV point c. 3 perihal seperti tersebut pada pokok surat, maka dengan ini kami berikan penjelasan sebagai berikut: a. Bagi seorang suami yang telah menceraikan isterinya dengan thalak raj‟i dan mau menikah lagi dengan wanita lain sebelum habis masa Iddah bekas isterinya. Maka ia harus mengajukan ijin poligami ke Pengadilan Agama. b. Sebagai pertimbangan hukumnya adalah penafsiran bahwa pada hakekatnya suami isteri yang bercerai dengan thalak raj‟i adalah masih ada ikatan perkawinan sebelum habis masa Iddahnya. Karena kalau suami tersebut kalau menikah lagi dengan wanita lain, pada hakekatnya dari segi kewajiban hukum dan inti hukum adalah beristeri lebih dari seorang (poligami). Oleh karena itu terhadap kasus tersebut dapat ditetapkan pasal 4 dan 5 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. 23 Sebagai produk pengadilan, penolakan atau ijin permohonan tersebut harus dituangkan dalam bentuk penetapan pengadilan agama. Dalam hukum positif adalah kumpulan asas kaidah hukum tertulis dan tidak tertulis yang pada saat ini sedang berlaku mengikat secara umum atau khusus ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara Indonesia. Pengertian hukum positif diperluas, bukan saja yang sedang berlaku sekarang melainkan termasuk juga hukum yang pernah berlaku dimasa lalu. Hukum positif dibagi menjadi hukum positif tertulis dan tidak tertulis. Sedangkan hukum positif tertulis dibedakan antara hukum positif tertulis yang berlaku umum dan hukum positif tertulis yang berlaku khusus. Hukum positif yang berlaku umum terdiri dari peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijakan termasuk didalamnya yakni surat edaran, juklak, juknis. Suatu peraturan tertulis atau kaidah hukum benar-benar berfungsi senantiasa dikembalikan pada empat faktor yakni kaidah hukum atau peraturan itu sendiri, petugas yang menegakkan atau penerap hukum, sarana yang dapat membantu, warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan. Kaidah hukum berfungsi apabila kaidah berlaku secara yuridis atau atas dasar yang telah ditetapkan, sosiologis atau dapat dipaksakan dan filosofis sesuai dengan cita hukum (http://dokumen.tips/documents/makalah-Iddah.html, Akses : 18 Agustus 2016). Selain hal diatas, Surat Edaran No. DIV/E.D/17/1979 tersebutdikeluarkan juga untuk memperhatikan kesejahteraan wanita baik wanita yang masih dalam masa „Iddah maupun wanita yang akan dinikah. Maka jelaslah bahwa Surat Edaran DITBINBAPERA No. DIV/Ed/17/1979 tentang izin menikah dalam 24 masa„Iddah telah sesuai dengan prinsip dan ketentuan-ketentuan hukum Islam. Prinsip dan ketentuan tersebut yaitu sebagai ijtihad pemerintah untuk mewujudkan kemaslahatan masyarakat Islam di Indonesia pada khususnya. Di dalam Al-Qur'an maupun Hadits yang merupakan sumber hukum Islam utama, tidak ditemukan adanya keterangan yang mengatur tentang izin menikah bagi suami dalam masa „Iddah talak raj‟i. Beberapa referensi yang berhasil penulis temukan, hal tersebut diterangkan sebagai akibat hukum dari „Iddah talak raj‟i. Salah satunya dalam firman Allah SWT dalam Al-Qur'an surat al-Baqorah ayat 231 : “Apabila kamu mentalak istri-istrimu lalu mereka mendekati akhir Iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma‟ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma‟ruf (pula)”. Dalam ayat tersebut mengisyaratkan bahwa wanita yang berada dalam masa „Iddah masih mempunyai ikatan perkawinan dengan suami yang mentalaknya. Adanya hak memilih bagi suami, apakah ia akan menceraikan istrinya atau akan merujuk kembali, menunjukkan bahwa pada masa itu pihak lain belum boleh masuk. Hal ini menunjukkan bahwa ikatan antara suami istri belum putus sama sekali sebelum habis masa „Iddah bekas istrinya, karena masih banyak hak dan kewajiban yang harus dipenuhi diantara calon bekas suami istri tersebut walaupun suami sudah mengikrarkan talaknya dan telah mendapatkan akta cerai dari pengadilan. 25 I. ASAS PERUNDANG-UNDANGAN 1. Asas Tingkatan Hirarki Suatu Perundang-undangan isinya tidak boleh bertentangan dengan isi perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatan atau derajatnya. Berdasarkan asas ini dapatlah diperinci hal-hal sebagai berikut : a. Perundang-undangan yang rendah derajatnya tidak dapat mengubah atau mengenyampingkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi. Tetapi yang sebaliknya dapat. b. Perundang-undangan hanya dicabut, diubah atau ditambah oleh atau dengan perundang-undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi tingkatannya. c. Ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak mengikat apabila bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Dan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum serta mengikat, walaupun diubah, ditambah, diganti atau dicabut oleh perundangundangan yang lebih rendah. d. Materi yang harusnya diatur oleh perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya tidak dapat diatur oleh perundang-undangan yang lebih rendah. Tetapi hal yang sebaliknya dapat. Namun demikian, tidaklah baik apabila perundang-undangan yang lebih tinggi mengambil alih fungsi perundang-undangan yang lebih rendah. Apabila terjadi hal 26 demikian itu maka menjadi kaburlah pembagian wewenang mengatur didalam suatu negara. Di samping itu, badan pembentuk perundangundangan yang lebih tinggi tersebut akan teramat sibuk dengan persoalan-persoalan yang selayaknya diatur oleh badan pembentuk perundang-undangan yang lebih rendah. Asas tersebut diatas penting untuk ditaati. Tidak ditaatinya asas tersebut akan dapat menimbulkan ketidak tertiban dan ketidak pastian dari sistem perundang-undangan. Bahkan dapat menimbulkan kekacauan atau kesimpang-siuran perundang-undangan. 2. Undang-Undang Tak Dapat Diganggu Gugat Asas ini berkaitan dengan hak menguji perundang-undangan (toe tsings rect). Sebagaimana diketahui hak menguji perundang-undangan ada dua macam yakni: a. Hak menguji secara materiel (materiele toe tsingsrecht) yaitu, menguji materi atau isi dari perundang-undangan apakah bertentangan dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya; b. Hak menguji secara formal (formele toe tsingsricht) yaitu menguji apakah semua formalitas atau tata cara pembentukannya sudah dipenuhi. Materi atau isi undang-undang tidak dapat diuji oleh siapapun, kecuali oleh badan pembentuknya sendiri atau badan yang berwenang yang lebih tinggi. Jadi yang dapat menguji dan mengadakan perubahan 27 hanyalah badan pembentuk undang-undang itu sendiri (Pemerintah dengan persetujuan DPR) atau badan yang berwenang yang lebih tinggi. Sebagai contoh mengenai badan yang berwenang yang lebih tinggi, dalam sejarah perundang-undangan RI ialah Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang pernah mengeluarkan ketetapan (TAP) yaitu TAP nomor XIX/MPRS tahun 1966 yang menugaskan kepada Pemerintah dan DPRGR untuk meninjau kembali semua produk legislatif yang dikeluarkan sejak 5 Juli 1959 sampai 5 Juli 1966 terkecuali produk-produk MPRS (seperti yang telah diuraikan terlebih dahulu). Mahkamah Agung Republik Indonesia mempunyai hak menguji perundang-undangan secara materiel yang terbatas yakni, terhadap perundang-undangan di bawah derajat undang-undang (yang lebih rendah dari undang-undang). Ketentuan tersebut terdapat dalam pasal 26 undangundang nomor 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman (LN 1970, 74), dan dalam TAP MPR nomor VI/MPR tahun 1973 pasal 11 ayat (4). Hak menguji tersebut dilakukan oleh Mahkamah Agung secara kasuistis yaitu, melalui perkara yang diajukan, baik karena adanya permohonan kasasi maupun permohonan peninjauan kembali perkara yang telah memperoleh petusan yang berkekuatan tetap (herziening). Apabila Mahkamah Agung berpendapat bahwa ketentan perundang-undangan (yang lebih rendah derajatnya dari undang-undang) tersebut bertentangan dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi 28 derajatnya maka Mahkamah Agung menyatakan bahwa ketentuan tersebut adalah tidak sah dan tidak berlaku untuk umum, dan karena itu pencabutan ketentuan perundang-undangan tersebut harus segera dilakukan oleh instansi yang bersangkutan (yang membuatnya). Tentang hak menguji perundang-undangan secara materiel tidaklah sama di berbagai negara. Di Amerika Serikat misalnya, Supreme Court (Mahkamah Agung) mempunyai hak menguji secara materiel terhadap undang-undang. Dan pengadilan biasa (court) dapat menolak untuk menerapkan ketentuan-ketentuan dari suatu perundang-undangan kedalam suatu kasus, apabila ketentuan-ketentuan tersebut bertentangan dengan sumbernya (perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya). 3. Undang-Undang Yang Bersifat Khusus Menyampingkan Undang-Undang Yang Bersifat Umum (Lex Specia-Lis Derogat Generalis) Undang-undang yang umum adalah yang mengatur persoalanpersoalan pokok secara umum dan berlaku umum pula. Di samping itu ada undang-undang yang menyangkut persoalan pokok tersebut tetapi mengaturnya secara khusus menyimpang dari ketentuan-ketentuan undang-undang yang umum tersebut. Yang terakhir ini disebut undangundang yang khusus. Kekhususan itu karena sifat hakikatnya dari masalah atau persoalan sendiri. Atau karena kepentingan yang hendak diatur mempunyai nilai intrinsik yang khusus. Sehingga perlu pengaturan secara khusus. Sebagai contoh, bahwa dalam negara RI ada hukum pidana umum yaitu terdapat 29 dalam KUHP yang berlaku umum (berlaku bagi setiap penduduk). Sungguhpun demikian, bagi suatu golongan tertentu, dalam hal ini misalnya untuk militer, disebabkan sifat hakikat tugasnya yang khusus yaitu: untuk bertempur dengan menggunakan kekerasan (senjata), maka perlu bagi militer tersebut dalam beberapa hal mengenai hukum pidana diatur secara khusus. Menyimpang dari hukum pidana umum. Masalah yang khusus itu, antara lain misalnya apa yang dikenal tindak pidana desersi yaitu, perbuatan meninggalkan kesatuan untuk selama-lamanya tanpa izin atau tindak pidana melarikan diri dari pertempuran, dan lain sebagainya. Oleh karena itu untuk kalangan militer (KUHPM) yang khusus disamping KUHP yang bersifat umum. Dalam KUHP telah diatur misalnya mengenai tindak pidana pencurian (pasal 362 dan seterusnya). Akan tetapi pencurian yang dilakukan oleh militer di dalam kesatriaan militer diatur pula dalam KUHPM (pasal 140). Dengan demikian terhadap militer yang mencuri dalam kesatriaan militer tersebut berlaku dua ketentuan hukum. Yaitu pasal 362 KUHP dan pasal 140 KUHPM. Dalam keadaan demikian maka yang digunakan atau yang berlaku adalah KUHPM pasal 140. Perbedaanya ialah antara hukuman lebih berat daripada ancaman hukuman pasal 362 KUHP. Jadi dalam hal ini disebut undang-undang khusus menyampingkan undang-undang yang umum. Atau dapat dikatakan dalam hal ini undang-undang yang umum. 30 Kekhususan termaksud dapat terlihat dari rumusan undang-undang itu sendiri. Misalnya, pasal 1 KUHPM merumuskan berlakunya KUHP (undang-undang yang umum) dalam penerapan KUHPM, kecuali jika ditetapkan secara menyimpang. Demikian dengan hubungan hukum yang umum dibidang perdata yaitu, antara hukum dagang dan hukum perdata terlibat pada rumusan pasal 1 KUHD yang pada intinya menyatakan bahwa KUH perdata berlaku terhadap persoalan-persoalan yang diatur oleh KUHD kecuali yang ditentukan menyimpang. 4. Undang-Undang Tidak Berlaku Surut Asas tersebut berkaitan dengan lingkungan kuasa hukum (geldingsgebied van het recht). Lingkungan kuasa hukum meliputi: a. Lingkungan kuasa tempat (ruim tegebied) yang menunjukkan tempat berlakunya hukum atau perundang-undangan. Apakah suatu ketentuan hukum atau perundang-undangan berlaku untuk wilayah Negara atau hanya untuk sebagian wilayah Negara (daerah Tingkat I tertentu atau daerah tingkat II tertentu saja); b. Lingkungan kuasa persoalan (zakengebied) yaitu menyangkut masalah atau persoalan yang diatur; misalnya, apakah mengatur persoalan perdata atau mengatur persoalan publik; lebih sempit lagi, apakah mengatur persoalan pajak ataukah mengatur persoalan kewarganegaraan dan lain-lain sebagainya; c. Lingkungan kuasa orang (personengebied) yaitu, menyangkut orang yang diatur, apakah berlaku untuk setiap penduduk ataukah hanya 31 untuk pegawai negeri saja misalnya, ataukah hanya untuk kalangan anggota ABRI saja dan lain sebagainya; d. Lingkungan kuasa waktu (tijdsgebied) yang menunjukkan sejak kapan dan sampai kapan berlakunya sesuatu ketentuan hukum atau perundang-undangan. Dalam bahasa Inggris masing-masing disebut sebagai berikut: 1) Territorial Sphere (lingkungan kuasa tempat); 2) Material Sphere (lingkungan kuasa persoalan); 3) Personal Sphere (lingkungan kuasa orang); 4) Temporal Sphere (lingkungan kuasa waktu). Asas “undang-undang tidak berlaku surut” berkaitan dengan lingkungan kuasa waktu atau tijdsgebiedatau Temporal Sphereyang disebutkan diatas. Undang-undang dibuat dengan maksud untuk keperluan masa depan semenjak undang-undang itu diundangkan. Tidaklah layak apabila sesuatu yang ditentukan dalam undang-undang diberlakukan untuk masa silam sebelum undang-undang itu dibuat dan diundangkan. Apabila diberlakukan surut akan dapat menimbulkan bermacam-macam akibat yang tidak baik. Mengenai asas ini dalam perundang-undangan RI belum ada aturannya. Akan tetapi dalam perundangan produk zaman Hindia Belanda (yang masih berlaku sekarang berdasarkan ketentuan peralihan Hukum 32 Dasar Negara yang pernah berlaku di Indonesia) terdapat dalam pasal 2. A.B. (S. 1847 : 23) yang berbunyi: “De wet verbint allen voor het toekomende en heeft geen trugwerkendekracht” (undang-undang hanyalah mengikat untuk masa depan dan tidak mempunyai kekuatan berlaku surut). Akan tetapi di dalam penggunaan undang-undang ada pengecualian berlakunya asas tersebut di atas. Yaitu dikecualikan untuk hal-hal yang khusus dengan berdasarkan kepada ketentuan-ketentuan undang-undang pula. Contoh: Pasal I ayat (2) KUHP menyatakan bahwa apabila ada perubahan perundang-undangan sesudah tindak pidana dilakukan, maka digunakan ketentuan paling menguntungkan bagi si tersangka atai si terdakwa. Jadi kalau ketentuan undang-undang yang baru (menyangkut pidana) yang paling menguntungkan si tersangka atau si terdakwa maka digunakan ketentuan undang-undang yang baru terhadap kasus yang sudah terjadi sebelumnya apabila perkara itu belum diputus pada waktu berlakunya perubahan undang-undang termaksud. Sehingga dalam hal ini undang-undang yang baru diberlakukan surut terhadap kasus yang telah terjadi sebelumnya. Dalam ilmu hukum pidana ketentuan pasal 1 ayat (2) KUHP itu disebut dengan istilah “gunstige bepaling” atau ketentuan yang menguntungkan. 5. Undang-Undang Yang Baru Menyampingkan Undang-Undang Yang Lama (Lex Posteriori Derogat Lex Priori) 33 Apabila ada sesuatu masalah yang diatur dalam suatu undangundang (lama), diatur pula dalam undang-undang yang baru, maka ketentuan undang-undang yang baru yang berlaku, dalam hal ini tentunya apabila ada perbedaan, baik mengenai maksud atau tujuan maupun maknanya. Berlakunya asas ini ada juga pengecualian dalam penggunaan undang-undang. Contoh: Kembali pada ketentuan pasal 1 ayat (2) KUHP seperti tersebut di atas. Ketentuan tersebut memungkinkan pula masih tetapnya dapat diberlakukan ketentuan-ketentuan undang-undang yang lama apabila memang ketentuan itu yang paling menguntungkan si tersangka atau si terdakwa. Jadi dengan demikian asas tersebut diatas tidak mutlak karena ada pengecualian; tetapi juga harus didasarkan kepada ketentuan undangundang. Memang tidak ada hukum yang mutlak, tetapi senantiasa ada pengecualian. Adagiumnya “geen recht zonder uitzondering” (Syarif, 1997 : 78-84). 34 J. Undang Undang Republik IndonesiaNomor 10 Tahun 2004 Pasal 1 dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Pembentukan Peraturan Perundang undangan adalah proses pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan. 2. Peraturan Perundang undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. 35 BAB III A. GAMBARAN UMUM KUA BANGKALAN MADURA JAWA TIMUR Daerah penelitian yang dijadikan penulis sebagai obyek untuk penulisan skripsi ini adalah kabupaten Bangkalan, Jawa Timur. Yaitu desa Bangkalan kabupaten Bangkalan propinsi Jawa Timur. 1. Visi Dan Misi Kantor Urusan Agamakecamatan Bangkalan Kab. Bangkalan madura jawa timur a) Visi ”prima dalam pelayanan nikah, rujuk dan bimbingan umat islam berdasarkan profesionalisme dan akhlak mulia, dalam memberikanpelayanan kepada pelanggan senantiasa mengedepankan pelayanan yang cepat, tepat dan benar sehingga kepuasan pelanggan benar benar dapat terpenuhi “. b) Misi : 1) Meningkatkanpelayanandanpengelolaanadministrasinikahdanruj uksesuaistandar. 2) Meningkatkanpengelolaanadministrasi zakat, wakafdan haji. 3) Meningkatkanpelayanantekniskependudukankeluargasakinah, dankemitraanumatberagama. 4) Meningkatkanpemahamantentangpelayanan prima kepadapegawai, penghulumaupunpembantupenghulu. 36 2. Standart waktu dan pelaksana tugas pelayanan kantor urusan agama kecamatan bangkalan kab. Bangkalan 1) Proses akad nikah a. Pendaftaran administrasi calon pengantin : 5 menit Kepala / Penghulu b. Pemeriksaan calon pengantin dan wali : 5 menit Kepala / Penghulu c. Penasehatan pra nikah : 7 menit Kepala / Penghulu d. Pelaksanaan akad nikah : 15 menit Kepala / Penghulu e. Penulisan kutipan akta nikah : 10 menit Abd. Latif,S.Pd.I/Nurhayati,S.Ag 2) Legalisir :5 menit Kurnia Fajrin,S.E/Istianah 3) Rekomendasi : 5 menit Rizal Efendi,S.Pd/Kurnia Fajrin,S.E 4) Pembuatan surat keterangan : 5 menit Nur Hayati,S.Ag/Kurnia Fajrin,S.E 5) Pembuatan duplikat kutipan akta nikah Abd. Latif,S.Pd.I/ Rizal Efendi,S.Pd 37 : 10 menit 6) Sidang BP-4 dan keluarga sakinah : 10 menit Kepala / Penghulu 7) Pembuatan akta ikrar wakaf : 10 menit Kepala / Nurhayati,S.Ag 8) Ikrar masuk islam dan penasehatan muallaf : 10 menit Kepala / Abd. Latif,S.Pd.I 9) Surat mahrom haji : 5 menit Abd. Latif,S.Pd.I 10) konsultasi perkawinan : 10 menit Kepala / Penghulu Pelayanan tersebut dapat terlaksana sesuai waktunyaapabila semua persyaratan administrasinya lengkap. 3. KODE ETIK PEGAWAI KEMENTERIAN AGAMA “ kami pegawai kementerian agama yang beriman dan bertaqwa kepada tuhan yang maha esa “ a. Menjunjungtinggipersatuandankesatuan. b. Mengutamakanpengabdiandanpelayanankepadamasyarakat c. Bekerjadenganjujur, adildanamanah. d. Melaksanakantugasdengandisiplin, professionaldaninovatif. e. Setiakawandanbertanggungjawabataskesejahteraankorps. 4. PANCA PRASETYA KORPRI Kami anggota korpri yang beriman dan bertaqwa kepada tuhan yang mahaesa adalah insan yang : 38 1) SetiadantaatkepadaNegarakesatuandanpemerintah Republik Indonesia yang berdasarkanpancasiladanundangundangdasar 1945 2) MenjunjungtinggikehormatanbangsadanNegarasertamemegangteguhra hasiajabatandanrahasianegara; 3) MengutamakankepentinganNegaradanmasyarakatdiataskepentinganpri badidangolongan; 4) Bertekadmemeliharapersatuandankesatuanbangsasertakesetiakawanan korpri 5) Berjuangmenegakkankejujurandankeadilansertameningkatkankesejaht eraandanprofesionalisme. 5. Budaya kerja Kementerian Agama Republik Indonesia KUA Kec. Bangkalan Kab. Bangkalan a) Integritas b) Profesionalitas c) Inovasi d) Tanggung jawab e) Keteladanan 6. Maklumat pelayanan“ kami siap memberikan pelayanan sesuai dengan standar pelayanan dan apabila kami tidak memberikan pelayanan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, kami siap menerima sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan “. 39 Tabel 3.1 Struktur Organisasi KUA Kecamatan Bangkalan Tahun 2016 Prosedur Pendaftaran Pernikahan 1. Calonpengantindatingke KUA untukmengisiformulirpendaftarannikah yang disediakanoleh KUA kecamatansetempat. 2. Waktupendaftaran minimal 10 harisebelummenikahjikakurangdari 10 hariharusadadispensasidaricamatsetempat. 3. Membawasuratketeranganuntuknikah model n.1 s/d n.7 darikantordesa/kelurahansetempat. 4. Membawabuktiimunisasi TT bagicalonpengantinwanitadaripuskesma/rumahsakitsetempat. 40 1 5. Membawa : a. Surat izin pengadilan apabila tidak ada izin dari orang tua/wali (bagi yang belum berusia 21 tahun). b. Dispensasi dari pengadilan bagi calon suami yang belum berumur 19 tahun dan bagi calon istri yang belum berumur 16 tahun. c. Surat izin dari atasan/kesatuan jika calon pengantin adalah anggota Tni/Polri. d. Surat izin pengadilan bagi suami yang hendak beristri lebih dari seorang. e. Akta cerai atau kutipan buku pendaftaran talak/cerai bagi mereka yang perceraiannya terjadi sebelum berlakunya undang-undang nomor 7 tahun 1989. f. Akta kematian atau surat keterangan kematian suami/istri yang ditanda tangani oleh kepala desa/lurah atau pejabat berwenang yang menjadi dasar pengisian model N6 bagi janda/duda yang akan menikah, serta surat ganti nama bagi warga negara indonesia keturunan. g. Calon pengantin wajib mengikuti kursus calon pengantin(suscatin). h. Pelaksanaan akad nikah diawasi langsung oleh pegawai pencatat nikah/penghulu. i. PPN/Penghulu menyerahkan buku kutipan akta nikah kepada calon pengantin sesaat setelah akad nikah. 41 J. Membayar biaya nikah diluar kantor sebesar Rp. 600,000,- sesuai dengan PMA no.46 th 2014 jo pp. No.48 th. 2014. k. Bagi warga negara asing ( wna ) yang akan melakukan pernikahan campuran di indonesia, maka yang bersangkutan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : l. Photo copy paspor yang bersangkutan m. Surat izin menikah/status dari negara atau perwakilan negara yang bersangkutan dan telah diterjemahkan kedalam bahasa indonesia oleh penerjemah resmi n. Pas photo ukuran 2x3 sebanyak 3 lembar o. Kepastian kehadiran wali , atau menyerahkan wakalah wali bagi WNA wanita p. Bagi WNI harus memenuhi prosedur sebagaimana biasa. 42 B. Hasil Wawancara dengan Kepala KUA Kecamatan Bangkalan Penerapan terkait “Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam (DITBINBAPERA) No. D.IV/E.D/17/1979” dan kasus penolakan pernikahan Agung Widyanto bin Masdjudi dan Maftuhatin Nikmah binti Ahmad Habibillah oleh Kantor Urusan Agama Sidorejo Salatiga, Itu adalah kewenangan dan hak KUA setempat. Setelah Agung Widyanto bin Masdjudi yang statusnya masih dalam duda talak raj‟i melakukan konsultasi kepada pihak KUA Bangkalan terkait penolakan menikah di KUA sidorejo salatiga yang mengacu surat edaran tersebut karena masih terhalang masa Iddah mantan istrinya yaitu Rusmilah binti Abd. Salam, dalam akta cerai putusan talak raj‟i 20 April 2016 tentuya masa Iddahnya habis 20 Juli 2016 sedangkan Agung Widyanto bin Masdjudi dan Maftuhatin Nikmah binti Ahmad Habibillah berencana menikah di Kantor Urusan Agama Sidorejo Salatiga pada tanggal 14 Mei 2016, dari pihak KUA sidorejo salatiga mengambil kebijakan bisa menikah setelah masa Iddah Rusmilah binti Abd. Salam telah habis. Dalam mengambil kebijakan dan penerapan KUA Bangkalan menegaskan bahwa tidak ada masa Iddah laki-laki yang sudah mendapatkan putusan talak, tentunya tidak harus menunggu masa Iddah mantan istri habis untuk menikah dengan wanita lain, dalam hal ini tidak mengacu surat edaran tersebut dan juga sudah berbeda secara kelembagaan karena tidak memiliki akses hukum dan sifatnya hanya sebatas himbauan kepada Kantor Urusan Agama untuk berhati-hati dalam memutuskan dan melaksanakan suatu pernikahan yang sah. Dalam hal ini Kepala KUA Bangkalan memberikan suatu penjelasan bahwa jika melihat surat edaran tersebut agar tidak terjadi poligami harus mempunyai 43 landasan untuk berhati-hati dalam menikahkan seseorang tentunya dari syarat dan rukunnya menikah dan rujuk. 1. Prosedur Rujuk di KUA Proses pencatatan rujuk adalah sebagai berikut : Orang yang akan rujuk, harus datang bersama istrinya ke Kantor Urusan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri, dengan membawa dan menyerahkan surat-surat sebagai berikut : a. Foto Copy KTP dan Kartu Keluarga (KK) masing-masing 1 (satu) lembar. b. Surat Keterangan untuk rujuk dari Kepala Desa/Lurah tempat berdomisili (blanko model R1). c. Akta Cerai asli beserta lampiran putusan dari Pengadilan Agama. 2. Sebelum rujuk dicatat akan diperiksa terlebih dahulu : a. Apakah suami yang akan merujuk itu memenuhi syarat-syarat rujuk. b. Apakah rujuk yang akan dilakukan itu masih dalam masa iddah talak raj‟i. c. Apakah perempuan yang akan dirujuk itu bekas istrinya. Apakah ada persetujuan bekas istri. 44 C. GAMBARAN UMUM PENGADILAN AGAMA BANGKALAN MADURA JAWA TIMUR Sekilas Tentang Pengadilan Agama Bangkalan Madura Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaaan Kehakiman menyebutkan bahwa tugas pokok Pengadilan (termasuk Pengadilan Agama Bangkalan) adalah menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Untuk dapat terselenggaranya tugas-tugas tersebut Pengadilan Agama Bangkalan menerapkanbeberapaKebijakanUmumPeradilan, antaralain: 1. Meningkatkanpelayananpenerimaanperkarakepadapencarikeadilansehin ggadapatmewujudkanpelayananprima. 2. Menyelenggarakanpersidanganperkarasecaracepat, sederhana dan biayaringan; 3. Melakukankoordinasidenganpihak-pihakterkait dan mengatasisegalahambatanuntukmelaksanakanputusan (eksekusi); 4. Menyelenggarakanadministrasikepaniteraansecaratertib 5. Menyelenggarakanurusanadministrasikesekretariatansecaratertib dan akurat; DalampenerapankebijakanumumperadilantersebutPengadilan Bangkalan Agama berpedomanpadaketentuanperaturanperundang- undangansebagaiberikut : 45 1. Staatsblad 1941 Nomor 44 tetang Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB=HIR) jo. Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951. 2. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura. 3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974. 4. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 5. Undang-Undang.Nomor.3 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang.No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung 6. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Jo Undang Undang No.50 Tahun 2009 7. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. 8. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. 9. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, jo. Peraturan Menteri Agama RI. Nomor 1 Tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977. 10. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil , jo. Peraturan Pemerintah Nomor 46 45 Tahun 1990 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo Surat Edaran Ketua Mahkamah agung R.I. Nomor 10 Tahun 1983. 11. Keputusan Ketua MARI No.KMA/032/SK/IV/06 tentang pemberlakuan buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan. 12. Keputusan Ketua Mahkamah Agung R.I. Nomor : KMA/004/SK/II/1992 tanggal 24 Pebruari 1992 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama 13. Keputusan Ketua Mahkamah Agung R.I. Nomor : KMA/006/SK/III/1994 tentang Pengawasan dan Evaluasi atas Hasil Pengawasan oleh Pengadilan Tingkat Banding dan Pengadilan Tingkat Pertama. 14. Peraturan MARI No.02 tahun 2009 tentang biaya proses penyelesaian perkara dan pengelolaannya pada MA dan Badan Peradilan yang berada di daerahnya. 15. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian jo. Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian; 16. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak; 17. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; 47 18. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; 19. Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan, Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara; 20. Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 22 Tahun 1997 tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak; 21. Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 99 Tahun 2000 tentang Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri Sipil; 22. Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 41 Tahun 2002 tentang Kenaikan Pangkat dan Jabatan Hakim; 23. Keputusan Presiden R.I. Nomor 138 Tahun 2000 tentang Tunjangan Panitera; 24. Keputusan Presiden R.I. Nomor 89 Tahun 2001 tentang Tunjangan Hakim; 25. Keputusan Presiden R.I. Nomor 130 Tahun 2001 tentang Tunjangan Jabatan Fungsional Jurusita dan Jurusita Pengganti; 26. Keputusan Ketua Mahkamah Agung R.I. Nomor KMA/006/SK/III/1994 tentang Pengawasan dan Evaluasi atas Hasil Pengawasan oleh Pengadilan Tingkat Banding dan Pengadilan Tingkat Pertama; 27. Peraturan Presiden R.I. Nomor 19 Tahun 2008 tentang Tunjangan Khusus Kinerja Hakim dan Pegawai Negeri di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada dibawahnya; 28. Keputusan Ketua Mahkamah Agung R.I. Nomor 070/KMA/SK/V/2008 tentang Tunjangan Khusus Kinerja Pegawai Negeri di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada dibawahnya; 48 29. Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 53 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada dibawahnya. Kebijakaninidilakukandalamrangkamelaksanakantugas di Jl. Soekarno Hatta No. 19 Telp/Fax.(031) 3095582 Bangkalan Madura Jawa Timur 69116, wilayahhukumPengadilan Agama Bangkalan yang meliputi 18 Kecamatan yang terdiri dari 279 Desa/ Kelurahan. a. VISI DAN MISI Visi Pengadilan Agama Bangkalan mengacu pada visi Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagaiu puncak kekuasaan kehakiman di negara Indonesia yaitu "Terwujudnya Badan Peradilan Indonesia yang Agung‟‟.Untuk mencapai visi tersebut diatas ditetapkan misi-misi sebagai berikut: 1) Meningkatkan profesionalisme aparatur peradilan agama; 2) Mewujudkan manajemen Peradilan Agama yang modern; 3) Meningkatkan kualitas sistem pemberkasan perkara kasasi dan PK; 4) Meningkatkan Kajian syariah sebagai sumber hukum materi peradilan Agama. b. RENCANA STRATEGIK Dalam upaya mendukung dan merealisasikan Visi dan Misi tersebut diatas Pengadilan Agama Bangkalan mempunyai beberapa Rencana Strategik dalam menghadapi tahun 2012, antara lain: 1. Bidang Yustisial 49 a. Penyelesaian perkara tahun 2012 dan sisa perkara tahun 2011 b. Meningkatkan terciptanya pelayanan administrasi perkara sesuai dengan pola Bindalmin 2. Bidang Kepaniteraan a. Meningkatkan tertib administrasi perkara sesuai dengan pola Bindalmin b. Meningkatkan kemampuan dan kualitas SDM PaniteraPengganti yang produktif c. Meningkatkan penyampaian pemanggilan kepada para pihak yang mencari keadilan d. Meningkatkan arsiparis secara dinamis. 3. Meningkatkan pemanfaatan dan pengembangan teknologi informasi, guna meningkatkan kualitas Kesekretariatan,khususnya pengelolaan kinerja data pegawai bidang telah menggunakan Sistem Informasi Pegawai (SIMPEG).Pengelolaan BMN dengan menggunakan Aplikasi SIMAK-BMN,Pengelolaan belanja pegawai dengan aplikasi GPP serta pengelolaan informasi keuangan melalui aplikasi SAKPA. 50 D. Pendapat Pengadilan Agama Bangkalan Atas Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam (DITBINBAPERA) No. DIV/E.D/17/1979 1. Pengadilan Agama Bangkalan oleh Umi Sangadah, S.H yang bertugas sebagai Panitera Muda Gugatan memberikan penjelasan terkait “Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam (DITBINBAPERA) No. DIV/E.D/17/1979” Tidak mempunyai akses hukum, karena surat edaran tersebut hanya sebatas himbauan kepada Kantor Urusan Agama (tidak atau boleh di terapkan). Tanggapan Pengadilan Agama Bangkalan terkait kasus penolakan pernikahan Agung Widyanto bin Masdjudi dan Maftuhatin Nikmah binti Ahmad Habibillah oleh Kantor Urusan Agama Sidorejo Salatiga, Hal tersebut adalah tidak tepat karena Kalau ikrar talak sudah diputuskan maka tidak ada ikatan lagi bagi mereka. oleh hal tersebut maka Laki-laki tidak harus menunggu masa iddah mantan istri habis untuk melangsungkan pernikan dengan wanita lain. Dalam Al-quran telah dijelaskan : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut‟ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya (QS. Al-ahzab/33:49). 51 Dalam iddah wanita, laki-laki harus menafkahi atau memberikan uang tunggu seiklasnya (ngantarodhin) sama-sama ridho tidak menuntut nafkah lebih selama iddah wanita atau kurang lebih 100 Hari, dimulai saat putusan talak di tetapkan. 2. Dalam Prosedur Cerai Talak Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon (Suami) atau Kuasanya : a. 1. Mengajukan permohonan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari'ah (Pasal 118 HIR, 142 R.Bg. Jo. Pasal 66 Undang Undang No. 7 tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang Undang No. 3 tahun 2006); 2. Pemohon dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari'ah tentang tata cara membuat surat permohonan (Pasal 119 HIR, 143 R.Bg. Jo. Pasal 58 Undang Undang No. 7 tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang Undang No. 3 tahun 2006); 3. Surat permohonan dapat ddirubah sepanjang tidak merubah posita dan petitum. Jika Termohon telah menjawab surat permohonan ternyata ada perubahan, maka perubahan tersebut harus atas persetujuan Termohon. 52 b. Permohonan tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari'ah : 1. Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Termohon (Pasal 66 ayat (2) Undang Undang No. 7 tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang Undang No. 3 tahun 2006); 2. Bila Termohon meninggalkan tempat kediaman yang telah disepakati bersama tanpa izin Pemohon, maka permohonan harus diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari'ah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Pemohon (Pasal 66 ayat (2) Undang Undang No. 7 tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang Undang No.3 tahun 2006); 3. Bila Termohon berkediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari'ah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Pemohon (Pasal 66 ayat (3) Undang Undang No. 7 tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang Undang No. 3 tahun 2006); 4. Bila Pemohon dan Termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari'ah yang daerah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya perkawinan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat (Pasal 66 ayat (4) Undang Undang No. 7 tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang Undang No. 3 tahun 2006); 53 5. Permohonan tersebut memuat : a. Nama, umur, pekerjaan, agama dan tempat kediaman Pemohon dan Termohon; b. Posita (fakta kejadian dan fakta hukum); c. Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita); 6. Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak atau sesudah ikrar talak diucapkan (Pasal 66 ayat (5) Undang Undang No. 7 tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang Undang No. 3 tahun 2006). 7. Membayar biaya perkara (pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat (4) R.Gb. Jo. Pasal 89 Undang Undang No. 7 tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang Undang No. 3 tahun 2006), bagi yang tidak mampu dapat berperkara secara cuma-cuma (prodeo) (Pasal 237 HIR, 273 R.Bg.). c. Proses Penyelesaian Perkara : 1. Pemohon mendaftarkan perkara permohonan cerai talak ke Pengadilan Agama/Mahkamah Syari'ah. 2. Pemohon dan Termohon dipanggil oleh Pengadilan Agama/Mahkamah Syari'ah untuk menghadiri persidangan. 54 3. a. Tahapan persidangan 1) Pada pemeriksaan sidang pertama, hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak, dan suami istri harus datang secara pribadi (Pasal 82 Undang Undang No. 7 tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang Undang No. 3 tahun 2006); 2) Apabila tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kedua belah pihak agar lebih dahulu menempuh mediasi (Pasal 3 ayat (1) PERMA No. 2 tahun 2003); 3) Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat gugatan, jawaban, jawab menjawab, pembuktian dan kesimpulan. Dalam tahap jawab menjawab (sebelum pembuktian) Tergugat dapat mengajukan gugatan rekonvensi (gugatan balik) (Pasal 132a HIR, 158 R.Bg.). b. Putusan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari'ah atas cerai gugat talak sebagai berikut : 1) Gugatan dikabulkan. Apabila Tergugat tidak puas dapat mengajukan banding melalui Pengadilan Agama/Mahkamah Syari'ah tersebut. 2) Gugatan ditolak. Penggugat dapat mengajukan banding melalui Pengadilan Agama/Mahkamah Syari'ah tersebut. 3) Gugatan tidak diterima. Penggugat dapat mengajukan permohonan baru. 55 4. Setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap maka panitera Pengadilan Agama/Mahkamah Syari'ah memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti cerai kepada kedua belah pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) harisetelah putusan tersebut diberitahukan kepada para pihak. 3. Status Perkawinan yang melanggar Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam (DITBINBAPERA) No. D.IV/E.D/17/1979 Umi Sangadah, S.H menegaskan bahwa dalam suatu perceraian bagi suami atau calon duda yang sudah mendapat putusan talak itu sudah putus hubungan perkawinannya, karena dalam Al-Qur‟an ataupun hadist hanya menerangkan masa Iddah bagi perempuan, Tidak ada masa Iddah bagi lakilaki. 56 BAB IV ANALISA A. Analisa Landasan Surat Edaran Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam (DITBINBAPERA) No. DIV/E.D/17/1979 Adapun talak raj‟i artinya perceraian yang masih dimungkinkan suami rujuk kembali kepada istrinya dengan syarat lima perkara. Seorang suami merujuk istrinya kembali berkata: “Saya rujuk kepada istriku, “Saya kembali kepada istriku dengan nikahku”. Adapun wanita yang bisa dirujuk lagi tanpa akad nikah baru adalah wanita merdeka yang di talak satu atau dua(Depag, 1982: 170). Surat Edaran DITBINBAPERA No. DIV/Ed/17/1979 ayat 1 dan 2 disebutkan : 1. Bagi seorang suami yang telah menceraikan istrinya dengan talak raj‟i dan mau menikah lagi dengan wanita lain sebelum habis masa Iddah bekas istrinya, maka dia harus mengajukan izin poligami ke PA. 2. Sebagai pertimbangan hukumnya adalah penafsiran bahwa pada hakikatnya suami istri yang bercerai dengan talak raj‟i adalah masih dalam ikatan perkawinan selama belum habis masa Iddahnya. Karenanya jika suami tersebut akan menikah lagi dengan wanita lain, pada hakikatnya, dari segi kewajiban hukum dan inti hukum adalah beristri lebih dari seorang. 57 Dalam hal ini berarti pemohon harus menjamin keperluan hidup bekas istrinya selama dalam masa Iddah.Firman Allah SWT dalam surah AlBaqarah ayat 229 : Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim. Waktu tunggu atau Iddah ialah tenggang waktu di mana janda bersangkutan tidak boleh kawin, bahkan dilarang pula menerima pinangan/lamaran.Ketentuan waktu tunggu ini dimaksudkan antara lain untuk menentukan nasab dari kandungan janda itu bila ia hamil, dan juga sebagai masa berkabung bila suami yang bersangkutan meningal dunia, begitu pula untuk menentukan masa ruju‟ bagi suami, bila talak itu berupa talak raj‟i. Seorang janda karena kematian suaminya, sedang ia tidak hamil maka Iddahnya ialah 4 (empat) bulan 10 hari atau 130 hari. Iddah ini lebih panjang 58 dari pada Iddah karena talak atau cerai; dalam Iddah kematian selain untuk menentukan apakah janda itu hamil atau tidak guna penentuan nasab sianak juga ia perlu berkabung kepada almarhum suaminya. Jika perkawinan putus karena talak, sedang talak itu adalah talak raj‟i yaitu talak kesatu atau kedua, maka Iddahnya ialah 3 kali suci atau 90 hari (pasal 39 ayat (1) huruf b PP.). Dalam hukum Islam, talak raj‟i itu mempunyai akibat-akibat hukum sebagai berikut : 4. Suami masih berkewajiban memberi nafkah, sandang dan pangan kepada istrinya yang ditalak. 5. Suami berhak meruju‟ (kembali kepada) istri selama masih dalam Iddah. 6. Bila salah seorang dari suami istri meninggal dunia dalam masa Iddah, maka pihak yang masih hidup berhak mewarisi dari yang meninggal. Hal ini disebabkan karena pada hakikatnya perkawinan itu belum bubar, melainkan hanya berhenti sementara.Dan nasib perkawinan tersebut ditentukan dalam masa Iddah, apakah terjadi ruju‟ atau tidak.Bila sampai akhir masa Iddah tiada terjadi ruju‟, maka perkawinan itu menjadi bubar. Adapun Iddah dari talak ketiga (bain kubra), atau bain yang lain (bain sugra), maka suami tidak dapat meruju‟, begitu pula tidak ada hak saling mewaris antara keduanya. Sebab pada hakikatnya perkawinan itu sudah bubar.Dan Iddah di sini gunaya ialah untuk menentukan nasab sianak bila janda itu hamil (Depag, 1975: 7071). 59 sebagaimana disebutkan dalam pasal 152 KHI yaitu : “Bekas istri berhak mendapat nafkah Iddah dari bekas suaminya kecuali nusyuz”. Oleh karena itu, perkawinan itu belum putus sepenuhnya, maka apabila bekas suami hendak menikah lagi dalam masa Iddah bekas istrinya, pada hakikatnya bekas suami tersebut menikah dengan lebih dari seorang/poligami.Berangkat dari pemikiran tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa izin menikah dalam masa Iddahtalak raj‟i yang dibuat oleh pemerintah dalam hal ini adalah Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam (Ditbinbapera) No. DIV/Ed/17/1979, mempunyai dampak positif yaitu setidak-tidaknya mencegah terjadinya suatu penyimpangan dari tujuan perkawinan yang dalam pasal 1 UU No. 1/1974 yaitu “untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, karena terjadinya poligami otomatis yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, selain itu juga untuk memperhatikan kesejahteraan wanita baik wanita yang masih dalam masa Iddah maupun wanita yang akan dinikah. Maka jelaslah bahwa Surat Edaran Ditbinbapera No. DIV/Ed/17/1979 tentang izin menikah dalam masanIddah telah sesuai dengan prinsip dan ketentuan-ketentuan hukum Islam yaitu sebagai ijtihad pemerintah untuk mewujudkan kemaslahatan masyarakat Islam di Indonesia pada khususnya. Dalam peraturan ketentuan hukum mengenai poligami yang boleh dilakukan atas kehendak yang bersangkutan melalui izin pengadilan agama, setelah dibuktikan kemaslahatan. Yaitu terwujudnya cita-cita dan tujuan perkawinan itu sendiri, yaitu rumah tangga yang kekal dan abadi yang diridhai Allah SWT. Dan didasarkan pada cinta dan 60 kasihsayang (mawaddah dan rohmah). Karena itu segala persoalan yang dimungkinkan akan menjadi penghalang bagi terwujudnya tujuan perkawinan tersebut harus dihilangkan atau setidaknya dikurangi. Ini sejalan dengan kaidah usul fiqh : درء المفاسد مقدم على جلب المصالح Menghindari madzarat (kerusakan atau kesusahan) harus di dahulukan dari pada mengambil manfaat (kemaslahatan)(Rofiq, 1998:1). Dalam Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam (Ditbinbapera) No. DIV/Ed/17/1979, mempunyai dampak positif yaitu setidaktidaknya mencegah terjadinya suatu penyimpangan dari tujuan perkawinan yang dalam pasal 1 UU No. 1/1974 yaitu “untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, karena terjadinya poligami otomatis yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, selain itu juga untuk memperhatikan kesejahteraan wanita baik wanita yang masih dalam masa Iddah maupun wanita yang akan dinikah. Dengan demikian adanya izin menikah dalam masa Iddahtalak raj‟i yang diatur dalam Surat Edaran Ditbinbapera No.D1V/Ed/17/1979 adalah sejalan dengan prinsip hukum Islam yang lebih mengutamakan kemaslahatan umum dari pada perorangan. B. Analisa Penerapan Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam (DITBINBAPERA) No. D.IV/E.D/17/1979 di KUA dan PA Bangkalan 61 1. Penerapan “Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam (DITBINBAPERA) No. D.IV/E.D/17/1979” dan kasus penolakan pernikahan Agung Widyanto bin Masdjudi dan Maftuhatin Nikmah binti Ahmad Habibillah oleh Kantor Urusan Agama Sidorejo Salatiga, itu adalah kewenangan dan hak KUA setempat. Setelah Agung Widyanto bin Masdjudi yang statusnya masih dalam duda talak raj‟i melakukan konsultasi kepada pihak Kementerian Agama (KEMENAG) dan KUA Bangkalan terkait penolakan menikah di KUA sidorejo salatiga yang mengacu surat edaran tersebut karena masih terhalang masa Iddah mantan istrinya yaitu Rusmilah binti Abd. Salam, dalam akta cerai putusan talak raj‟i 20 April 2016 tentuya masa Iddahnya habis 20 Juli 2016 sedangkan Agung Widyanto bin Masdjudi dan Maftuhatin Nikmah binti Ahmad Habibillah berencana menikah di Kantor Urusan Agama Sidorejo Salatiga pada tanggal 14 Mei 2016, dari pihak KUA sidorejo salatiga mengambil kebijakan bisa menikah setelah masa Iddah Rusmilah binti Abd. Salam telah habis. Dalam mengambil kebijakan dan penerapan KUA Bangkalan menegaskan bahwa tidak ada masa Iddah laki-laki yang sudah mendapatkan putusan talak,tentunya tidak harus menunggu masa Iddah mantan istri habis untuk menikah dengan wanita lain, dalam hal ini tidak mengacu surat edaran tersebut dan juga sudah berbeda secara kelembagaan karena tidak memiliki akses hukum dan sifatnya hanya sebatas himbauan kepada Kantor Urusan Agama untuk berhati-hati dalam memutuskan dan melaksanakan suatu pernikahan yang sah. Pada dasarnya adalah qur‟an dan hadis tidak ada yang 62 menjelaskan terkait masa iddah bagi laki-laki secara jelas. Yang menjalani masa iddah tersebut adalah perempuan yang bercerai dari suaminya, bukan laki-laki atau suaminya. Dalam Al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat 228 menerangkan bahwa : wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya. Dalam hal ini Kepala KUA Bangkalan memberikan suatu penjelasan bahwa jika melihat dari perspektif surat edaran tersebut agar tidak terjadi poligami otomatis harus mempunyai landasan untuk berhati-hati dalam menikahkan seseorang tentunya dari syarat, rukun menikah dan rujuk seperti halnya yaitu : a. Rukun menikah : 1. Pengantin lelaki (Suami). 2. Pengantin perempuan (Istri). 3. Wali. 4. Dua orang saksi lelaki. 63 5. Ijab dan kabul (akad nikah). b. Syarat Nikah bakal suami : 1. Islam. 2. Lelaki yang tertentu bukan lelaki mahram dengan bakal istri. 3. Mengetahui wali yang benar bagi akad nikah tersebut bukan dalam ihram haji atau umrah. 6. Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan. 7. Tidak mempunyai empat orang isteri yang sah dalam satu masa. 8. Mengetahui bahwa perempuan yang hendak dikahwini adalah sah dijadikan istri. c. Syarat bakal Istri : 1. Islam. 2. Perempuan yang tertentu bukan perempuan mahram dengan bakal suami. 3. Bukan seorang khunsa. 4. Bukan dalam ihram haji atau umrah. 5. Tidak dalam Iddah. 64 6. Bukan isteri orang. d. Syarat wali : 1. Islam, bukan kafir dan murtad. 2. Lelaki dan bukannya perempuan. 3. Baligh. 4. Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan. 5. Bukan dalam ihram haji atau umrah. 6. Tidak fasik. 7. Tidak cacat akal fikiran, gila, terlalu tua dan sebagainya. 8. Merdeka. e. Lima Ketentuan Sebagai Syarat Rujuk Atas Talak raj‟i ialah : 1. Hendaklah wanita itu sudah disetubuhi oleh suaminya. kalau wanita itu bleum disetubuhi, maka tidak boleh rujuk pada istrinya. 2. Hendaklah wanita itu disetubuhi farjinya dan bukan duburnya. Bila yang disetubuhi ternyata dubur, maka tidak boleh rujuk pada istrinya. 65 3. Hendaklah hasyafah lelaki masuk ke dalam farji istrinya. Bila ternyata hasyafah belum masuk farjinya, maka tidak boleh rujuk pada istrinya. 4. Hendaklah talaknya bukan karena pengganti dari istrinya (khulu‟) ditalaknya karena „iwadl, maka tidak boleh merujuk kembali istrinya. 5. Hendaklah dalam merujuk kembali suami pada istrinya masih dalam Iddah. Bila wanita telah selesai Iddah, maka suami tidak boleh merujuk kembali pada istrinya. f. Prosedur Rujuk di KUA Proses pencatatan rujuk adalah sebagai berikut : Orang yang akan rujuk, harus datang bersama istrinya ke Kantor Urusan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri, dengan membawa dan menyerahkan surat-surat sebagai berikut : 1. Foto Copy KTP dan Kartu Keluarga (KK) masing-masing 1 (satu) lembar. 2. Surat Keterangan untuk rujuk dari Kepala Desa/Lurah tempat berdomisili (blanko model R1). 3. Akta Cerai asli beserta lampiran putusan dari Pengadilan Agama. Terkait hal ini Kepala KUA Bangkalan memberikan suatu penjelasan bahwa jika melihat surat edaran tersebut agar tidak terjadi poligami otomatis 66 harus mempunyai landasan untuk berhati-hati dalam menikahkan seseorang duda talak, kemudian dalam hal rujuk ada persyaratan menyerahkan akta cerai asli apabila ingin rujuk kembali. 2. Hasil wawancara Pengadilan Agama Umi Sangadah, S.H, yang bertugas sebagai Panitera Muda Gugatan memberikan penjelasan terkait “Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam (DITBINBAPERA) No. D.IV/E.D/17/1979” Tidak mempunyai akses hukum, karena surat edaran tersebut hanya sebatas himbauan kepada Kantor Urusan Agama (tidak atau boleh di terapkan). Tanggapan Pengadilan Agama Bangkalan terkait kasus penolakan pernikahan Agung Widyanto bin Masdjudi dan Maftuhatin Nikmah binti Ahmad Habibillah oleh Kantor Urusan Agama Sidorejo Salatiga, Hal tersebut adalah tidak tepat karena Kalau ikrar talak sudah diputuskan maka tidak ada ikatan lagi bagi mereka. oleh hal tersebut maka Laki-laki tidak harus menunggu masa Iddah mantan istri habis untuk melangsungkan pernikahan dengan wanita lain. Dalam Al-quran telah dijelaskan : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka Iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut‟ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.(QS. Alahzab:49). 67 Dalam Iddah wanita, laki-laki harus menafkahi atau memberikan uang tunggu seiklasnya (ngantarodhin) sama-sama ridho tidak menuntut nafkah lebih selama Iddah wanita atau kurang lebih 100 Hari, dimulai saat putusan talak di tetapkan. C. Analisa Status Perkawinan yang Melanggar Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam (DITBINBAPERA) No. D.IV/E.D/17/1979 Di dalam al-Qur'an maupun hadits yang merupakan sumber hukum Islam utama, tidak ditemukan adanya keterangan yang mengatur tentang izin menikah bagi suami dalam masa Iddahtalak raj‟i. Akan tetapi dari beberapa referensi yang berhasil penulis temukan ada diterangkan tentang akibat hukum dari Iddahtalak raj‟i. Dalam al-Qur'an surat al-Baqorah ayat 231 “Apabila kamu mentalak istri-istrimu lalu mereka mendekati akhirIddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma‟ruf, atauceraikanlah mereka dengan cara yang ma‟ruf (pula)”. Dalam ayat tersebut mengisyaratkan bahwa wanita yang berada dalammasa Iddah masih mempunyai ikatan perkawinan dengan suami yangmentalaknya. Adanya hak memilih bagi suami, apakah ia akan menceraikanistrinya atau akan merujuk kembali, menunjukkan bahwa pada masa itu pihak lain belum boleh masuk. Hal ini menunjukkan bahwa ikatan antara suami istri belum putus sama sekali sebelum habis masa Iddah bekas istrinya, karena masih banyak hak dan kewajiban yang harus dipenuhi 68 diantara bekas suami istri tersebut walaupun suami sudah mengikrarkan talaknya dan telah mendapatkan akta cerai dari pengadilan. Hal ini juga diperjelas dalam Al-Qur‟an surat Al-Baqarah ayat 228 : wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' (1). tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya(2). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. 1) Quru' dapat diartikan suci atau haidh. 2) Hal ini disebabkan karena suami bertanggung jawab terhadap keselamatan dan Kesejahteraan rumah tangga. 69 1. Mengenai Surat Edaran No: DIV/E.D/17/1979 Dirjen Bimbingan Islam masalah poligami dalam Iddah istri di terbitkan oleh Departemen Agama Republik Indonesia, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Jakarta pada tanggal 10 februari 1979 diberikan kepada: a. Saudara ketua Pengadilan Agama tingkat pertama. b. Saudara ketua Pengadilan Agama tingkat Banding di seluruh Indonesia. Sedangkan isi Surat Edaran tersebut adalah menunjuk Keputusan Rapat Dinas Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Negara tanggal 24 sampai 28 Mei 1976 di Tugu Bogor lampiran IV point c. 3 perihal seperti tersebut pada pokok surat, maka dengan ini kami berikan penjelasan sebagai berikut: c. d. Bagi seorang suami yang telah menceraikan isterinya dengan thalak raj‟i dan mau menikah lagi dengan wanita lain sebelum habis masa Iddah bekas istrinya. Maka ia harus mengajukan ijin poligami ke Pengadilan Agama. Sebagai pertimbangan hukumnya adalah penafsiran bahwa pada hakekatnya suami isteri yang bercerai dengan thalak raj‟i adalah masih ada ikatan perkawinan sebelum habis masa Iddahnya. Karena kalau suami tersebut kalau menikah lagi dengan wanita lain, pada hakekatnya dari segi kewajiban hukum dan inti hukum adalah beristri lebih dari seorang (poligami). Oleh karena itu terhadap kasus tersebut dapat ditetapkan pasal 4 dan 5 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Sebagai produk pengadilan, penolakan atau ijin permohonan tersebut harus dituangkan dalam bentuk penetapan pengadilan agama. 70 2. Prinsip-prinsip hukum perkawinan yang bersumber dari Alquran dan Alhadis, yang kemudian dituangkan dalam garis-garis hukum melalui undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam Tahun 1991 mengandung 7 (tujuh) asas atau kaidah hukum, yaitu sebagai berikut. a. Asas membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. b. Asas keabsahan perkawinan didasarkan pada hukum agama dan kepercayaan bagi pihak yang melaksanakan perkawinan, dan harus dicatat oleh petugas yang berwenang. c. Asas monogami terbuka. Artinya, jika suami tidak mampu berlaku adil terhadap hak-hak istri bila lebih seorang maka cukup seorang istri saja. d. Asas calon suami dan calon istri telah matang jiwa raganya dapat melangsungkan pernikahan, agar terwujudnya tujuan perkawinan secara baik dan sehat, sehingga tidak berfikir kepada perceraian. e. Asas mempersulit terjadinya perceraian. f. Asas keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan istri, baik dalam rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat. g. Asas pencatatan perkawinan. Pencatat perkawinan mempermudah mengetahui manusia yang sudah menikah atau melakukan ikatan perkawinan (Zainuddin, 2006: 7-8). 71 3. Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam (DITBINBAPERA) No. D.IV/E.D/17/1979 adalah dikeluarkan pada tahun 1979, kondisi Pengadilan Agama pada waktu itu dibawah Departemen Agama berdasarkan pasal 11 UU No. 14 tahun 1970. Atau dengan kata lain DEPAG dapat mengatur Pengadilan Agama namun setelah UU No. 14 tahun 1970 dimana dengan UU No. 35 tahun 1999 yang mana Pengadilan Agama dibawah Mahkamah Agung baik secara Organisatoris, Administratif, Finansial dan Tehnis peradilannya, maka Pengadilan Agama tidak mempunyai garis koordinasi lagi dengan Departemen Agama maka surat edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam (DITBINBAPERA) No. D.IV/E.D/17/1979 tersebut hanya bersifat himbauan. Karena sekarang kementerian agama tidak lagi mempunyai kewenangan dalam pengaturan di Pengadilan Agama. 72 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari beberapa uraian yang telah lalu, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Berdasarkan ketentuan kelembagaan, dimana KUA & PA setelah tahun 1999. Maka Surat Edaran Direkturat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam (DITBINBAPERA) No. DIV/E.D/17/1979 bersifat mengikat, artinya lembaga dibawah Departemen Agama (DEPAG) Pusat yang setelahnya menjadi Kementerian Agama mempunyai kewajiban untuk memperhatikan dan menerapkan hal tersebut. Namun karena hanya sebatas surat edaran maka tidak mempuyai kekuatan hukum yang kuat, bisa dikatakan sebagai himbauan. 2. KUA dan PA Bangkalan menolak Surat Edaran Direkturat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam (DITBINBAPERA) No. DIV/E.D/17/1979, karena menganggap surat edaran tersebut tidak memiliki kedudukan hukum yang jelas. Dalam hal ini KUA dan PA Bangkalan mengambil kebijakan tidak menerapkan karena surat edaran tersebut hanya bersifat himbauan (boleh/tidak diterapkan). 3. Status perkawinan duda talak raj‟i yang melanggar Surat Edaran Direkturat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam (DITBINBAPERA) No. DIV/E.D/17/1979 dihukumi sebagai perkawinan poligami atau beristri lebih dari satu tanpa harus ada izin dari istri pertama. Bahwasannya, suami dan 73 istri yang bercerai dalam talak raj‟i masih dalam ikatan perkawinan selama masih belum habis masa iddahnya. Pada hakekatnya duda talak raj‟i yang akan menikah dengan wanita lain segi kewajiban dan inti hukum sama seperti beristri lebih dari seorang (poligami). Sesuai dengan Surat Edaran Direkturat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam (DITBINBAPERA) No. DIV/E.D/17/1979 ayat 2, oleh karena itu dapat diterapkan Undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 4 dan 5 tentang dasar perkawinan yang mengatur tatacara perkawinan poligami. B. Saran Sehubungan dengan adanya masa iddah suami dalam talak raj‟i (Studi Penerapan Surat Edaran Direkturat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam (DITBINBAPERA) No. DIV/E.D/17/1979). 1. Sebaiknya ketika ada himbauan dari pihak pemerintahan pusat KUA Bangkalan Madura Jawa Timur jangan sampai ketinggalan informasi. 2. Ketika ada kasus yang sama yaitu calon pengantin duda talak raj‟i KUA Bangkalan Madura Jawa Timur untuk bisa menerapkan Surat Edaran DITBINBAPERA No. DIV/E.D/17/1979. 3. KUA Bangkalan Madura Jawa Timur ketika ada calon pengantin duda talak raj‟i sebaiknya memberikan pemahaman terkait Surat Edaran DITBINBAPERA No. DIV/E.D/17/1979 bersangkutan. 74 kepada orang yang C. Penutup Puji syukur kehadirad Allah SWT, yang telah memberikan rahmat serta hidayah sehingga skripsi ini bisa terselesaikan dengan perjuangan dan semangat.Semoga skripsi ini bisa bermanfaat khususnya bagi penulis, mahasiswa Ahwal Al-Syakhshiyyah dan umumnya bagi pembaca, Amin. 75 DAFTAR PUSTAKA Anshary, Muhammad. 1993. Hukum Perkawinan di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Belajar. DEPAG RI. 1997. Al-Quran dan Terjemahannya.Penyelenggara Penterjemah AlQuran: Departemen Agama RI. Darajad, Zakiyah. 1995. Ilmu Fiqh Jilid 2. Yogyakarta: Dana Bhakti. Daymon, Cristine. 2008. Metode Riset Kualitatif Dalam Public Relation dan Marketing Communication. Jakarta: Benteng Pustaka. DEPDIKBUD. 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Departemen Agama. 1975. Ilmu Fiqh. Jakarta: Departemen Agama. Departemen Agama. 1992. Ilmu Fiqh. Jakarta: Departemen Agama. Ghani, Djuandi. 1997. Dasar-dasar Pendidikan Kualitatif, Prosedur, Tehnik dan Teori. Surabaya: PT. Bila Ilmu. Ghazaly, Abdurahman. 2003. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana. Ghazaly, Abdurahman. 2006. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Kompilasi Hukum Islam. 2007. Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Bandung: Citra Umbara. Muhadjir, Neong. 1994. Metodologi Penelitian Kualitatif. Ygyakarta: Reka Sarasin. Moleong, lexy J. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. Moleong, lexy J. 2011. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. Nawawi, Hadari. 1990. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 76 Nurudin, Amiur dan Akmal. 1974. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana. Rofiq, Ahmad. 1998. Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Suryabrata, Sumadi. 1998. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Syarifudin,Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam (Antara Fiqh dan UU Perkawinan). Jakarta: Kencana. Syarif, Amiroeddin. 1997. Perundang-Undangan Dasar, Jenis dan Teknik Membuatnya. Jakarta: PT Rineka Cipta. Tihami, Sohari Sahrani. 2009. Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta: Rajawali Pers. Undang-undang Perkawinan. Tt. Surabaya: Arkola. Zainuddin, Ali. 2006. Hukum Perdata Islam. Jakarta: Sinar Grafika. Wawancara dengan Agung Widyanto. Senin, 18 Juli 2016. Pukul 09.00 WIB. Di depan rumah Jl. KH. Moh kholil IX A NO. 12 RT 03 RW 01 Kelurahan Demangan, kec Bangkalan kab. Bangkalan. Wawancara dengan Umi Sangadah S.H. Kamis, 21 Juli 2016. Pukul 12.30 WIB. Di Kantor Pengadilan Agama Bangkalan. Wawancara dengan H. Mas‟ud. M.HI. Kamis, 21 Juli 2016. Pukul 14.30 WIB. Di Kantor Urusan Agama Kec. Bangkalan. Rahmad, Dkk. 2015. Izin Menikah Dalam Masa „Iddah Talak Raj‟i. (Online). http://dokumen.tips/documents/makalah-Iddah.html. Akses: 18 Agustus 2016. KBBI. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Online). Http://kbbi.web.id. Akses: 23 April 2016. Alifudin. 2012. Pengertian Talak Raj‟i. (Online). http://alifudin.mywapblog.com, Akses: 23 April 2016. 77 78 Biodata Penulis Muhlasin lahir 23-Juli-1992 di Salatiga. Bertempat tinggal di Jl. Nakula Sadewa III No. 6A Kembangarum Kel. Dukuh Kec. Sidomukti Kota Salatiga. adalah putra dari pasangan Bapak Alm H. Umar Muhtadi dan Ibu Hj. Sofiah. Muhlasin adalah anak terahir dari delapan bersaudara. Ketujuh saudaranya adalah pertama Muh Thoib, kedua Siti Rohmatun, ketiga Siti Mahmudah, keempat Muhammad Fathoni, Kelima Alm. Siti Muawanah, Keenam Siti Halimah Sakdiyah, dan ketujuh Siti Muzaroah. Setelah lulus MI Ma‟arif Dukuh Salatiga (2005) melanjutkan pendidikan di MTs Ma‟arif NU Koripan Dawung Tegalrejo Magelang (lulus 2008) sekaligus tinggal dan ikut pendidikan non formal di Pon-Pes AnNajach Koripan Dawung Magelang asuhan AlMukarom Kyai Haji Abdul Mukti Muhdi. Setelah lulus MTs Ma‟arif NU, melanjutkan pendidikan di SMK PGRI 3 Multimedia Salatiga dan kembali tinggal di Salatiga. Kemudian setelah lulus dari SMK PGRI 3 Multimedia salatiga tahun 2011 melanjutkan ke Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga Fakultas Syari‟ah Jurusan Ahwal Al-Syakshiyyah untuk meraih gelar sarjana S1 Hukum Islam. Adapun pengalaman berorganisasi baik di kampus dan lingkungan masyarakat di Salatiga yaitu : 1. Ketua Teater Lintang Songo (2012-2013) 2. Ketua LPM DinamikA (2013-2014) 3. Ketua PMII Komisariat Djoko Tingkir (2014-2015) 4. Pengurus DEMA IAIN Salatiga (2014-2016) 5. Pendiri sekaligus Ketua Remaja Masjid Nuruz Zahroh Kembangarum Salatiga (2012-2016) 79 80 81 82 83 84 kkk 85 86 PEDOMAN WAWANCARA 1. Daftar pertanyaan wawancara dengan Agung widyanto a. Apakah bapak yang bernama Agung Widyanto bin Masdjudi? b. Bagaimana sikap anda terkait penolakan menikah di KUA Sidorejo Salatiga? c. Penjelasan apa yang disampaikan pihak KUA Sidorejo Salatiga menolak ijin menikah anda? d. Apakah pihak pengadilan agama bangkalan madura tidak memberikan penjelasan tentang masa iddah suami seperti Surat Edaran DITBINBAPERA No. DIV/E.D/17/1979 ketika sidang perceraian anda? e. Bagaimana kronologi anda bisa menikah dengan maftuhatin nikmah binti ahmad habibillah di KUA Bangkalan tanpa menunggu masa iddah mantan istri habis? 2. Daftar pertanyaan wawancara dengan Pengadilan Agama Bangkalan Madura Jawa Timur a. Bagaimana landasan dan ketentuan PA terkait Surat Edaran DITBINBAPERA No. DIV/E.D/17/1979? b. Bagaimana prosedur untuk melakukan proses perceraian? c. Apakah dari pihak Pengadilan Agama Bangkalan memberikan penjelasan terkait Surat 87 Edaran DITBINBAPERA No. DIV/E.D/17/1979 pada calon talak duda raj‟isaat sidang Surat Edaran perceraian/putusan talak? d. Bagaimana pendapat anda terkait penerapan DITBINBAPERA No. DIV/E.D/17/1979? e. Bagaimana pandangan anda Terkait penolakan nikah Agung Widyanto bin Masdjudi dengan maftuhatin nikmah binti ahmad habibillah di KUA Sidorejo Salatiga karena mengacu Surat Edaran DITBINBAPERA No. DIV/E.D/17/1979? 3. Daftar pertanyaan wawancara dengan Kantor Urusan Agama (KUA) Bangkalan Madura Jawa Timur a. Bagaimana prosedur perkawinan di KUA Bangkalan? b. Apakah dari pihak KUA Bangkalan memberikan penjelasan terkait Surat Edaran DITBINBAPERA No. DIV/E.D/17/1979 pada duda talak raj‟i dalam prosedur perkawinan? c. Bagaimana pemahaman anda terkait Surat Edaran DITBINBAPERA No. DIV/E.D/17/1979? d. Bagaimana tanggapan anda terkait penolakan nikah Agung Widyanto bin Masdjudi dengan maftuhatin nikmah binti ahmad habibillah di KUA Sidorejo Salatiga karena DITBINBAPERA No. DIV/E.D/17/1979? 88 mengacu Surat Edaran TRANSKIP WAWANCARA 1. Identitas informan A. Nama : Agung Widyanto bin Masdjudi B. Alamat : Jl. KH. Moh kholil IX A NO. 12 RT 03 RW 01 Kelurahan Demangan, kec Bangkalan kab Bangkalan. C. Hari/Tanggal : Senin/18 Juli 2016 D. Pekerjaan : Swasta E. Waktu : 09.00 WIB 2. Daftar pertanyaan wawancara MASA IDDAH PENERAPAN SUAMI SURAT DALAM EDARAN TALAK DIREKTUR RAJ’I (STUDI PEMBINAAN BADAN PERADILAN AGAMA ISLAM (DITBINBAPERA) NO. DIV/E.D/17/1979). A. Apakah bapak yang bernama Agung Widyanto bin Masdjudi? Jawaban : Benar mas. B. Bagaimana sikap anda terkait penolakan menikah di KUA Sidorejo Salatiga? Jawaban : Sangat kecewa sekali mas. C. Penjelasan apa yang disampaikan pihak KUA Sidorejo Salatiga menolak ijin menikah anda? Jawaban : KUA Sidorejo Salatiga dalam intinya untuk duda talak raj‟i baru bisa menikah dengan maftuhatin nikmah binti ahmad 89 habibillahharus menunggu masa iddah mantan istri saya Rusmilah binti Abd. Salam habis. D. Apakah pihak pengadilan agama bangkalan madura tidak memberikan penjelasan tentang masa iddah suami seperti Surat Edaran DITBINBAPERA No. DIV/E.D/17/1979 ketika sidang perceraian anda? Jawaban :Saya tidak diberi tahu hal tersebut, dan saya tidak paham surat edaran seperti itu, yang saya tahu laki-laki tidak mempunyai masa iddah. E. Bagaimana kronologi anda bisa menikah dengan maftuhatin nikmah binti ahmad habibillah di KUA Bangkalan tanpa menunggu masa iddah mantan istri habis? Jawaban :Saya menikah di KUA Bangkalan Madura Jawa Timur dengan maftuhatin nikmah binti ahmad habibillah pada tanggal 19 Mei 2016, bisa menikah dengan dasar agama islam tentunya laki-laki tidak memiliki masa iddah dan tidak harus menunggu masa iddah mantan istri saya. 90 TRANSKIP WAWANCARA 1. Identitas informan A. Nama : Umi Sangadah, S.H B. Alamat : Solo C. Tanggal : 21 Juli 2016 D. Pekerjaan : Panitera Muda Gugatan PA Bangkalan E. Waktu : 12.30 WIB 2. Daftar pertanyaan wawancara MASA IDDAH PENERAPAN SUAMI SURAT DALAM EDARAN TALAK DIREKTUR RAJ’I (STUDI PEMBINAAN BADAN PERADILAN AGAMA ISLAM (DITBINBAPERA) NO. DIV/E.D/17/1979). A. Bagaimana landasan dan ketentuan PA terkait Surat Edaran DITBINBAPERA No. DIV/E.D/17/1979? Jawaban :Surat Edaran DITBINBAPERA No. DIV/E.D/17/1979 hanya sebatas himbauan, disini PA Bangkalan memiliki kebijakan sendiri untuk menentukan suatu keputusan. B. Bagaimana prosedur untuk melakukan proses perceraian? Jawaban : Untuk prosedur perceraian sudah ada dicetak dan di pajang berupa MMT/spanduk di bagian ruang tunggu sidang, atau tidak saya berikan softfilenya untuk di kopi. C. Apakah dari pihak Pengadilan Agama Bangkalan memberikan penjelasan terkait Surat 91 Edaran DITBINBAPERA No. DIV/E.D/17/1979pada calon duda talak raj‟i saat sidang perceraian/putusan talak? Jawaban : Tidak mas D. Bagaimana pemahaman anda terkait Surat Edaran DITBINBAPERA No. DIV/E.D/17/1979? Jawaban : Dalam Surat Edaran DITBINBAPERA No. DIV/E.D/17/1979 tidak memiliki akses hukum. E. Bagaimana pendapat anda terkait penerapan Surat Edaran DITBINBAPERA No. DIV/E.D/17/1979? Jawaban :Surat Edaran DITBINBAPERA No. DIV/E.D/17/1979 hanya sebatas himbauan, boleh diterapkan boleh tidak. F. Bagaimana pandangan anda Terkait penolakan nikah Agung Widyanto bin Masdjudi dengan maftuhatin nikmah binti ahmad habibillah di KUA Sidorejo Salatiga karena mengacu Surat Edaran DITBINBAPERA No. DIV/E.D/17/1979? Jawaban :Kurang/tidak tepat, baik dalam pandangan agama laki-laki tidak memiliki masa iddah. Untuk laki-laki yang sudah mendapat putusan talak sudah tidak memilki hubungan lagi dengan mantan istrinya, jadi tidak perlu harus menunggu masa iddah mantan istri habis baru bisa menikah dengan wanita lain. Laki-laki atau mantan suami hanya berkewajiban membayar Mut‟ah kepada mantan istri selama iddah itu habis. 92 TRANSKIP WAWANCARA 1. Identitas informan A. Nama : H. Mas‟ud. M.HI B. Alamat : Jombang C. Tanggal : 21 Juli 2016 D. Pekerjaan : Kepala KUA Bangkalan E. Waktu : 14.30 WIB 2. Daftar pertanyaan wawancara MASA IDDAH PENERAPAN SUAMI SURAT DALAM EDARAN TALAK RAJ’I DIREKTUR (STUDI PEMBINAAN BADAN PERADILAN AGAMA ISLAM (DITBINBAPERA) NO. DIV/E.D/17/1979). A. Bagaimana prosedur perkawinan di KUA Bangkalan? Jawaban : Dalam prosedur, Syarat, rukun dan rujuk menikah sudah di cetak di mading, atau tidak nanti bisa saya beri soft filenya untuk dicopy. B. Apakah dari pihak KUA Bangkalan memberikan penjelasan terkait Surat Edaran DITBINBAPERA No. DIV/E.D/17/1979 pada Agung Widyanto saat proses menikah? Jawaban : Tidak C. Bagaimana pemahaman anda terkait Surat Edaran DITBINBAPERA No. DIV/E.D/17/1979? 93 Jawaban : Dalam Surat Edaran DITBINBAPERA No. DIV/E.D/17/1979 yang saya ketahui hanyalah sebatas himbauan dan tidak memiliki akses hukumnya . D. Bagaimana tanggapan anda terkait penolakan nikah Agung Widyanto bin Masdjudi dengan maftuhatin nikmah binti ahmad habibillah di KUA Sidorejo Salatiga karena mengacu Surat Edaran DITBINBAPERA No. DIV/E.D/17/1979? Jawaban : Itu adalah hak kewenangan dan kebijakan dari masingmasing KUA. jika melihat dari sudut pandang surat edaran tersebut agar tidak terjadi poligami yang tidak diinginkan harus mempunyai landasan untuk berhati-hati dalam menikahkan seseorang tentunya dari syarat, rukunnya menikah dan rujuk. 94 95 Lampiran Dokumentasi Foto Wawancara dengan Agung Widyanto bin Masdjuji 96 Saat memasukkan surat ijin penelitian di Pengadilan Agama Bangkalan Madura Jawa Timur Wawancara dengan Ibu Umi Sangadah, S.H 97 Tampak dari depan gedung Pengadilan Agama Bangkalan Madura Jawa Timur Ruang tunggu tamu Pengadilan Agama Bangkalan Madura Jawa Timur 98 Menunggu surat disposisi Pengadilan Agama di temani Bapak H. Supriyadi, S.Ag selaku Hakim struktur organisasi Pengadilan Agama Bangkalan Madura Jawa Timur 99 Foto kepala Pengadilan Agama Bangkalan Madura Jawa Timur dari tahun ketahun Bagian Informasi Pengadilan Agama Bangkalan Madura Jawa Timur Wawancara dengan kepala KUA Bangkalan Madura Jawa Timur 100 Ruang Administrasi KUA Bangkalan Madura Jawa Timur Ruang Kepala KUA Bangkalan Madura Jawa Timur 101 Ruang Ijab Qabul Nikah KUA Bangkalan Madura Jawa Timur Peresmian KUA Bangkalan Madura Jawa Timur 102 Foto bersama dengan Kepala dan Karyawan KUA Bangkalan Madura Jawa Timur Bukti pernikahan Agung Widyanto danRusmilah Di KUA Bangkalan Madura Jawa Timur 103 Bukti pernikahan Agung Widyanto danRusmilah Di KUA Bangkalan Madura Jawa Timur Bukti pernikahan Agung Widyanto danRusmilah Di KUA Bangkalan Madura Jawa Timur 104 Bukti pernikahan Agung Widyanto danRusmilah Di KUA Bangkalan Madura Jawa Timur Bukti pernikahan Agung Widyanto danRusmilah Di KUA Bangkalan Madura Jawa Timur 105 Bukti pernikahan Agung Widyanto danRusmilah Di KUA Bangkalan Madura Jawa Timur 106 107 108 109 110 s 111