1 ANALISIS RISIKO EKOLOGIS (diabstraksikan oleh: soemarno, pm.pslp.ppsub 2010) Kata EKOLOGI berasal dari bahasa Yunani, oikos = rumah atau ilmu tentang makhluk hidup dan tempat hidupnya; logos = ilmu. EKOLOGI = ilmu pengetahuan rumahnya atau ilmu tentang rumah tangga makhluk hidup, ilmu yang mengkaji tentang hubungan antara organisme dan lingkungannya; mempelajari hubungan antara tumbuhan, binatang dan manusia dengan lingkungan hidupnya, bagaimana kehidupannya dan mengapa mereka ada di situ. Secara harfiah, ekologi adalah pengkajian hubungan organisme-organisme atau kelompok organisme terhadap lingkungannya . apa yang ada, apa yang terjadi di alam, tidak melakukan percobaan. Menurut Odum dan Cox (1971), ekologi adalah suatu studi yang mempelajari struktur dan fungsi ekosistem atau alam dimana manusia adalah bagian dari alam. Struktur mencirikan keadaan sistem tersebut. Fungsi menggambarkan hubungan sebab akibatnya. Jadi pokok utama ekologi adalah ilmu dasar yang berkaitan dengan berbagai ilmu pengetahuan yang relevan dengan kehidupan (peradaban). Seorang yang belajar ekologi sebenarnya bertanya tentang berbagai hal berikut ini: 1. Bagaimana suatu species beradaptasi dalam habitatnya? 2. Bagaimana alam bekerja ? 3. Apa yang mereka perlukan dari habitatnya ? 4. Bagaimana mereka itu untuk dapat dimanfaatkan guna kelangsungan hidupnya ? 5. Bagaimana mereka mencukupi kebutuhannya akan unsur hara (materi) dan energi ? 6. Bagaimana individu-individu dalam spesies berinteraksi dengan species lainnya itu diatur dan berfungsi sebagai populasi ? Ekologi merupakan disiplin ilmu baru dari biologi yang merupakan mata rantai fisik dan proses biologi serta bentuk-bentuk yang menjembatani antara ilmu alam dan ilmu sosial. Hubungan Ekologi dengan Ilmu Lain Ekologi dan ekonomi mempunyai banyak persamaan dan perbedaan. Dalam ekologi , yang dipakai dalam transaksi adalah materi, energi dan informasi. Manusia tidak cukup memperhatikan materi, energi dan sudut kepentingan manusia. Dalam kehidupan modern, arus uang-lah yang lebih penting, tetapi bukan satu-satunya masukan untuk mengambil 2 keputusan dalam permasalahan LH. Faktor lainnya adalah ekonomi, teknologi, politik, dan sosial budaya. Ekologi adalah salah satu komponen dalam sistem pengelolaan lingkungan hidup yang harus ditinjau bersama dengan komponen lain untuk mendapatkan keputusan yang seimbang. Dalam hal ini, EKOLOGI-lah yang menjadi titik pusat perhatian. KONSEP EKOSISTE M Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal-balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya; terbentuk oleh komponen hidup dan tak hidup di suatu tempat yang berinteraksi membentuk suatu kesatuan yang teratur. Unsur-unsur dalam ekosistem tidak secara tersendiri, terintegrasi sebagai komponen yang berkaitan dalam suatu kesatuan. Pendekatan ekositem/holistik, hubungan fungsional antara komponen yang mengikat dalam kesatuan yang teratur. Suatu ekosistem diatur dan dikendalikan secara alamiah. Mempunyai daya kemampuan yang optimal dalam keadaan berimbang. Terdapat interaksi antara seluruh unsur-unsur lingkungan yang saling mempengaruhi dan bersifat timbal-balik. Interaksi terjadi antara : komponen2 biotis dgn abiotis sesama komponen biotis sesama komponen abiotis. Setiap ekositem tergantung dan dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor tempat, waktu dan masing-masing perbedaan dari ekositem itu sendiri sebagai pencerminan sifat-sifat yang khas. Keterkaitan dan ketergantungan dalam ekosistem dapat dipelajari dalam : Siklus / daur hidrologi Siklus mineral / biogeokimia Aliran energi Rantai dan jaring makanan Makhluk hidup dan lingkungannya. Kelentingan Lingkungan Kelentingan merupakan sifat suatu ekosistem yang memungkinkannya kembali kepada stabilitas / keseimbangan semula, bahkan untuk menyerap dan memanfaatkan gangguan yang menimbulkan dinamika / perubahan kecil. Sifat ini menunjukkan kemampuan suatu sistem untuk pulih setelah ia terkena gangguan. 3 Daya Dukung Lingkungan Batas teratas dari pertumbuhan suatu populasi diatas mana jumlah populasi itu tidak lagi dapat didukung oleh sarana, sumber daya dan lingkungan yang ada. Jumlah individu yang dapat didukung oleh suatu habitat (pengertian dalam ilmu pengetahuan margasatwa). Sumber: www.blogger.com/feeds/2533972858.../default ; diakses 2/10/2010 PERANAN VEGETASI DALAM EKOSISTEM Sebagai perubah terbesar dari lingkungan, berfungsi sebagai perlindungan yang dapat mengurangi radiasi matahari, mengurangi temperatur ekstrim, dll. Sebagai sumber hara mineral. Sebagai pengikat energi untuk ekosistem. Pengelolaan Lingkungan Usaha secara sadar untuk memelihara dan atau memperbaiki mutu lingkungan agar kebutuhan dasar terpenuhi. Kelenturan dalam pengelolaan lingkungan tidak memberikan akomodasi/tempat pada adaptasi yang buruk/tidak sehat . Bersifat lentur, untuk mendapatkan mutu lingkungan yang baik memperbesar manfaat lingkungan dan atau memperkecil risiko lingkungan. 4 Pembalakan Liar Mengancam Terjadinya Bencana Ekologi Di Sulawesi Tenggara (Free Bumi, Senin, 23 Februari 2009, diposkan o l e h M I D W A N ) Aktivitas pembalakan hutan secara tidak terkendali di wilayah Sulawesi Tenggara semakin meresahkan dan beresiko sangat besar. Hadirnya perusahaan HPH yang beroperasi di wilayah Kecamatan Asera-Wiwirano Kabupaten Konawe Utara telah berdampak pada kerusakan hutan yang semakin sporadis. Dengan berbekal izin HPH, telah dilakukan penebangan kayu di dalam areal konsesinya, dan diduga juga tetapi telah merambah kawasan hutan hingga ke luar areal. Bukan saja hanya banjir bandang, ancaman terjadinya bencana ekologis di daerah itu makin terbuka lebar. Sumber: http://midwancoy.blogspot.com/2009_02_01_archive.html; diakses 2/10/2010 Sumber: http://midwancoy.blogspot.com/2009_02_01_archive.html ; diakses 2/10/2010 5 Sumber: http://midwancoy.blogspot.com/2009_02_01_archive.html ; diakses 25/12/2010 Mengapa hutan sangat penting bagi kehidupan? Hutan merupakan sumber daya alam yang mengandung berbagai spesies tumbuhan dan hewan, hutan juga merupakan tumpuan dan harapan bagi setiap mahkluk hidup yang ada di bumi saat ini, karena hutan memberikan banyak manfaat yang dapat diambil. Manfaat yang banyak ini telah mendorong manusia untuk mengeksploitasi hutan secara berlebihan untuk kepentingan manusia baik itu disengaja maupun tidak disengaja. Apa yang terjadi? Sumberdaya hutan telah mengalami degradasi fungsi secara drastis dimana hutan tidak lagi berfungsi secara maksimal, seperti fungsi hidrologis, pengaturan iklim mikro, serta habitat satwa liar, dan spesiesspesies tanaman. Eksploitasi yang berlebihan oleh manusia telah membuat hutan dan lahan rusak. Berdasarkan data yang ada di Dephut dan juga didasarkan pada pemantauan satelit Citra Lansat, baik oleh Indonesia maupun Belanda, tingkat kerusakan hutan yang terjadi setiap tahunnya rata-rata 1,188 juta hektar/tahun. Mengingat manfaat dan fungsi penting hutan, maka diperlukan upaya pelestarian hutan dengan segala konsekuensi yang akan dihadapi. Mengambil kebijakan untuk penyelamatan hutan, merupakan hal yang utama yang harus dilakukan bukan malah untuk menambah konversi areal hutan khususnya di Indonesia. 6 Sumber: sauddaniel.wordpress.com/tag/iklim/ ; diakses 22/10/2010 Kerusakan Hutan di Singkawang By admin on October 21st, 2009 Sumber: akcayanews.com/%3Fp%3D73 Kerusakan hutan di daerah hulu Sedau, Singkawang Selatan semakin parah, Minggu (18/10). Kerusakan hutan bisa mengakibatkan banjir di daerah hilir sungai yakni di kelurahan Sedau, Singkawang Selatan. [Foto kiriman Agus Sutomo] 7 RISIKO EKOLOGIS Beragam permasalahan dalam lingkup sistem sosial, proses sosial, dan relasi sosial telah memunculkan tiga macam risiko ekologis, yaitu: 1. Risiko fisik-ekologis (physical-ecological risk), yaitu aneka risiko kerusakan fisik pada manusia dan lingkungannya; 2. Risiko mental (mental risk), yaitu aneka risiko kerusakan mental akibat perlakuan buruk pada tatanan psikis; 3. Risiko sosial (social risk), yaitu aneka risiko yang menggiring pada rusaknya bangunan dan lingkungan sosial (eco-social). Resiko fisik-ekologis berupa kerusakan arsitektur homo humanus dan oikos, yang dapat disebabkan oleh proses alam (seperti gempa, tsunami, letusan gunung) atau yang diakibatkan oleh kegiatan manusia (man made risks). Banjir banding merupakan kejadian yang paling sering menimbulkan kerusakan fisik-ekologis. Aneka risiko biologis yang diproduksi melalui aneka makanan, sayuran, hewan ternak, buah-buahan yang menciptakan aneka penyakit kanker, tumor ganas, syaraf, kulit disebabkan oleh intervensi proses artifisial-kimiawi terhadap proses alam yang melampaui batas. Misalnya, risiko akibat penggunaan zat kimia dalam proses reproduksi hewan atau tanaman, atau zat kimia (seperti formalin dan boraks) pada makanan hyper-artificiality. Estimasi Debit Banjir Kategori: | 18 December 2006 | 9:29 am | Banyak cara yang dapat dipakai untuk membuat estimasi debit banjir, dan ini tergantung pada data yang tersedia. Bilamana tidak tersedia debit banjir, debit banjir dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus-rumus empiris. Metode perkiraan debit banjir dapat dikelompokkan atas dasar kelompok data hidrologi sbb.: 8 Metode Perkiraan Debit Banjir Sumber: mayong.staff.ugm.ac.id/site/%3Fp...id%3D109 PENGELOLAAN DAS vs. RISIKO BANJIR Pengelolaan lahan dan air untuk penanggulangan banjir atau kekeringan di suatu DAS sebagai daerah tangkapan air (Watershed 9 Management) harus mempertimbangkan aspek sumberdaya lahan, hidrologi dan iklim. Dengan mempertimbangkan ketiga aspek tersebut, dam parit (channel reservoir) dapat dibangun untuk menanggulangi kekurangan air di musim kemarau dan banjir di musim hujan. Pengelolaan air secara terpadu dilakukan dengan menyimpan air yang berlebihan pada musim penghujan untuk dapat didistribusikan ke lahan pertanian pada musim kemarau. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik biofisik daerah tangkapan air di daerah Damit dan pengaruhnya terhadap produksi dan pemanfaatan air, mempelajari manfaat dam parit untuk mengurangi resiko banjir di musim hujan dan manfaatnya bagi peningkatan produktifitas lahan di musim kemarau. Sumber: www.bpdas-jeneberang.net/htmlfol...itis.htm ; diakses 12/6/2010 FAKTOR PENYEBAB LAHAN KRITIS - Perambahan hutan - Penebangan liar (illegal logging) - Kebakaran hutan - Pemanfaatan sumberdaya hutan yang tidak berazaskan kelestarian - Penataan zonasi kawasan belum berjalan - Pola pengelolaan lahan tidak konservatif - Pengalihan status lahan (berbagai kepentingan), dll. RISIKO LAHAN KRITIS Daya resap tanah terhadap air menurun sehingga kandungan air tanah berkurang yang mengakibatkan kekeringan pada waktu musim kemarau. Terjadinya arus permukaan tanah pada waktu musim hujan yang mengakibatkan bahaya banjir dan longsor. Menurunnya kesuburan tanah, dan daya dukung lahan serta keanekaragaman hayati 10 Sumber: ristyz.blogspot.com/2009_06_01_a...ive.html ; diakses 2/10/2010 Sumber: ristyz.blogspot.com/2009_06_01_a...ive.html ; diakses 2/10/2010 Beragam penelitian dilakukan untuk mengkaji karakteristik biofisik DAS yang berpengaruh terhadap produksi air dan pemanfaatannya, informasi tentang manfaat dam parit dalam mengurangi volume debit puncak dan perlambatan waktu respon di musim penghujan, dan manfaat dam parit dalam penyediaan air bagi pertanian dan domestik, untuk meningkatkan luas areal tanam, peningkatan produktivitas lahan dan ketersediaan air baku bagi keperluan rumah tangga di musim kemarau. 11 Sumber: ristyz.blogspot.com/2009_06_01_a...ive.html ; diakses 2/10/2010 Kejadian banjir dan kekeringan dalam suatu wilayah (DAS) terjadi akibat fenomena iklim yaitu distribusi curah hujan cenderung terjadi dalam waktu yang singkat dengan intensitas tinggi, atau periode kemarau yang terjadi lebih panjang dari normalnya. Secara umum penyebab banjir dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok yaitu: masukan (hujan) dan sistem DAS. Masukan (hujan) meliputi faktor intensitas, lama dan distribusi hujan, sedangkan sistem DAS meliputi faktor topografi, jenis tanah, penggunaan lahan dan sistem transfer hujan dalam DAS. Tingginya frekuensi hujan dengan jumlah yang besar dalam waktu relatif singkat di musim penghujan, disertai perubahan penggunaan lahan menuju makin luasnya pemukaan kedap (impermeable) menyebabkan hanya sebagian kecil curah hujan yang dapat diserap dan ditampung oleh tanah melalui intersepsi maupun infiltrasi sebagai cadangan air dimusim kemarau. Dampaknya air hujan yang di transfer menjadi aliran permukaan meningkat, sehingga terjadi banjir dengan besaran (magnitude) yang makin meningkat. Kondisi ini akan diperburuk apabila periode tanah sudah dalam keadaan jenuh akibat hujan sebelumnya. Banjir terjadi saat debit aliran sungai menjadi sangat tinggi, sehingga melampaui kapasitas daya tampung sungai. Akibatnya bagian air yang tidak tertampung melimpas melampaui badan/bibir/tanggul sungai dan pada akhirnya akan menggenangi daerah sekitar aliran yang lebih rendah. 12 Sumber: ristyz.blogspot.com/2009_06_01_a...ive.html ; diakses 2/10/2010 Keberadaan tanggul sungai untuk mengendalikan resiko banjir akibat debit aliran air sungai, secara langsung dan tidak langsung juga mempengaruhi keseimbangan ekosistem setempat. Apabila curah hujan tinggi, dan aliran air dari daerah hulu DAS meningkat, maka tidak menutup kemungkinan tanggul akan jebol. Seperti yang terjadi di daerah bendungan Damit yang sudah tiga kali mengalami jebolnya tanggul akibat debit air yang melebihi kapasitas, dan kali terakhir peristiwa jebolnya tanggul ini terjadi pada tahun januari 2008 dan sedang dalam tahap perbaikan. Pemanfaatan daerah tangkapan air di Damit sebagian besar adalah untuk perairan irigasi sawah dan perkebunan petani setempat. Menurut data hasil korespondensi praktikan dengan masyarakat di daerah Damit, apabila keadaan air bendungan sedang naik, airnya keruh dan lebih dimanfaatkan menjadi potensi irigasi. Sebaliknya, dalam keadaan kemarau air bendungan menjadi jernih karena pasokan air di daerah Damit hanya berasal dari gunung. Oleh karena itu, pada saat kemarau, penduduk daerah Damit memanfaatkan air bendungan untuk dikonsumsi, dan tidak memaksimalkan untuk irigasi sawah. Irigasi sawah pada saat kemarau hanya diupayakan pada intensitas air hujan yang turun. Risiko Sosial Risiko sosial berupa kerusakan bangunan sosial, sebagai akibat dari faktor-faktor eksternal kondisi alam, teknologi, industri. Resiko fisik kecelakaan (lalu lintas jalan, pesawat terbang, kecelakaan laut), bencana (banjir, longsor, kebakaran hutan, kekeringan) menciptakan pula 13 secara bersamaan risiko sosial, berupa tumbuhnya aneka penyakit sosial : ketakpedulian, ketakacuhan, indisipliner, fatalitas, selfishness, egoisme dan immoralitas. Risiko sosial paling besar sebagai akibat dari berbagai risiko fisik lainnya adalah mulai terkikisnya rasa sosial itu sendiri, yang menciptakan masyarakat tanpa rasa, kepekaan, kebersamaan dan tanggung jawab sosial asocial. GOTONG ROYONG DI KECAMATAN ANGKOLA SELATAN Kamis, 4 Juni 2009 08:44:30 - oleh : gengbeng Sumber: www.tapselkab.go.id/01/index.php...6id%3D49 ; diakses 2/10/2010 Untuk meningkatkan kepedulian dan peran aktif masyarakat dalam pembangunan daerah berdasarkan semangat kebersamaan dan kekeluargaan menuju pada penguatan interaksi sosial, dilaksanakan kegiatan gotong royong di kecamatan Angkola Selatan. Kegiatan yang dilaksanakan kurang lebih oleh 130 orang pada tanggal 02 Juni 2009 di Desa Napa, mengerjakan jalan keliling Desa Napa sepanjang kurang lebih 600 m dengan lebar 2 meter. Melihat kondisi saat ini yang masih jalan tanah, diharapkan dengan kegiatan gotong royong dimaksud dapat ditingkatkan sampai dengan pembatuan jalan. Pembangunanan yang murni swadaya masyarakat ini diperkirakan setara dengan nilai pembangunan lebih kurang 35 Juta rupiah. Dalam kegiatan ini, Unsur Muspika Kecamatan Angkola Selatan, antara lain Danramil 19 Kecamatan Angkola Selatan,Ka Pospol dan Camat Angkola Selatan beserta Staf, juga turun langsung ke lokasi bergotong-royong bersama masyarakat Desa Napa. 14 Risiko Mental Risiko mental berupa hancurnya bangunan psyche, berupa perkembangan aneka bentuk abnormalitas, penyimpangan (deviance) atau kerusakan psikis lainnya, baik yang disebabkan faktor eksternal maupun internal. Pembiaran berbagai bentuk kelainan psikis (seksual, kekerasan, kriminalitas) dengan membiarkan berbagai risikonya telah menciptakan manusia-manusia yang kehilangan rasa kemanusiaannya sendiri, yaitu manusia yang tanpa perasaan, rasa malu, empati, simpati dan tanggung jawab. Kerusakan parah ekosistem mental disebabkan pembiaran aneka risiko mental dari berbagai tindakan sosial, misalnya pembiaran kekerasan, korupsi, seks bebas dalam waktu yang lama inhuman condition. Tiga macam risiko ekologis tersebut di atas menciptakan sebuah kondisi ruang kehidupan yang sarat ancaman, ketakutan, dan paranoia. Kondisi sarat risiko ini tidak dapat dibiarkan terus membiak dan berlipat ganda secara eksponensial, yang dapat menggiring pada kerusakan total fisik, mental dan sosial. Tidak saja diperlukan pikiran-pikiran reflexive dalam mengantisipasi, mengurangi atau mengatasi dampak-dampak risiko, tetapi juga diperlukan renungan-renungan reflective melalui sentuhan halus kemanusiaan dalam mencari pemecahan-pemecahan lebih fundamental di balik aneka risiko yang dihadapi masyarakat. Resiko Ekologis vs. Pembangunan Ekonomi Perubahan fungsi hutan untuk pembangunan ekonomi dapat mendatangkan keuntungan dan manfaat ekonomi, serta mengakibatkab beragam kerugian. Selain kerusakan fungsi hutan, ternyata juga berdampak pada menurunya populasi satwa liar, bahkan terjadi kepunahan secara lokal pada spesies tertentu di beberapa daerah. Salah satu dampak yang nyata dari konversi hutan menjadi lahan perkebunan Sawit, di beberapa wilayah adalah puluhan gajah mengamuk di lahan perkebunan masyarakat dan pedesaan. Beberapa ekor Harimau turun ke kampung meresahkan masyarakat desa, serta di beberapa daerah lainnya telah terasa bahwa pada saat musim kemarau persediaan air tanah sangat sedikit, namun saat musim penghujan terjadi banjir bandang yang ternyata juga membawa bencana bagi manusia, di Kalimantan puluhan orangutan terpaksa turun ke desa-desa karena makanan di habitatnya telah menjadi perkebunan sawit, di Sulawesi beberapa daerah selalu mengalami bencana banjir saat musim penghujan. 15 Dalam valuasi ekonomi memang diuntungkan adanya alih fungsi hutan untuk sebuah perkebunan, selain menyedot lapangan pekerjaan juga menghasilkan uang untuk devisa Negara. Namun apabila dihitung biaya eksternalitas ekologisnya ternyata ada banyak kerugian, dimana valuasi matematis tidak pernah menghitung seberapa besar dampak ekologis yang terjadi akibat konversi hutan tersebut. Tanah menjadi lebih kritis, hilangnya kawasan resapan air, hilangnya keragaman jenis biota baik flora maupun fauna. HUTAN INDONESIA Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.504 pulau, tersebar dari Sabang hingga ke Merauke. Sejumlah besar (lebih dari 10.000 buah) dari pulau-pulau tersebut adalah merupakan pulau-pulau berukuran kecil, memiliki keanekaragaman tumbuhan, hewan jasad renik yang tinggi. Hal ini terjadi karena keadaan alam yang berbeda dari satu pulau ke pulau lainnya, bahkan dari satu tempat ke tempat lainnya dalam pulau yang sama. Sumber: irwantoforester.wordpress.com/20...donesia/ ; diakses 2/8/2010 Sistem perpaduan antara sumber daya hayati dan tempat hidupnya yang khas itu, menumbuhkan berbagai ekosistem, yang masing-masing menampilkan kekhususan pula dalam kehidupan jenis-jenis yang terdapat didalamnya. Sebagian besar hutan-hutan di Indonesia termasuk dalam Hutan Hujan Tropis, yang merupakan masyarakat hutan yang kompleks, terdapat pohon dari berbagai ukuran. Di dalam kanopi iklim mikro berbeda dengan keadaan sekitarnya; cahaya lebih sedikit, kelembaban sangat tinggi, dan temperatur lebih rendah. Pohon-pohon kecil berkembang dalam naungan pohon yang lebih besar, di dalam iklim mikro inilah terjadi 16 pertumbuhan. Di dalam lingkungan pohon-pohon dengan iklim mikro dari kanopi berkembang juga tumbuhan yang lain seperti pemanjat, epifit, tumbuhan pencekik, parasit dan saprofit. Pohon-pohon dan banyak tumbuhan lain berakar menyerap unsur hara dan air dari dalam tanah. Daun-daun yang gugur, ranting, cabang, dan bagian lainnya tersedia menjadi nutrisi untuk sejumlah inang hewan invertebrata, seperti rayap juga untuk jamur dan bakteri. Unsur hara dikembalikan ke tanah lewat pembusukan dari bagian yang gugur dan dengan pencucian daun-daun oleh air hujan. Ini merupakan ciri hutan hujan tropis persediaan unsur hara total sebagian besar terdapat dalam tumbuhan; relatif kecil disimpan dalam tanah. Keanekaragaman hayati yang sangat tinggi merupakan suatu koleksi yang unik dan mempunyai potensi genetik yang besar pula. Namun hutan yang merupakan sumberdaya alam ini telah mengalami banyak perubahan dan sangat rentan terhadap kerusakan. Sebagai salah satu sumber devisa negara, hutan telah dieksploitasi secara besar-besaran untuk diambil kayunya. Ekploitasi ini menyebabkan berkurangnya luasan hutan dengan sangat cepat. Keadaan semakin diperburuk dengan adanya konversi lahan hutan secara besar-besaran untuk lahan pertambangan, pemukiman, perindustrian, pertanian, perkebunan, peternakan serta kebakaran hutan yang selalu terjadi di sepanjang tahun. Sumber: irwantoforester.wordpress.com/20...donesia/ ; diakses 12/7/2010 Risiko dan dampak dari eksploitasi ini adalah terjadinya banjir pada musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau. Dengan demikian jelas terlihat bahwa fungsi hutan sebagai pengatur tata air telah terganggu dan telah mengakibatkan berkurangnya keanekaragaman hayati yang ada didalamnya. 17 Hutan sebagai ekosistem harus dapat dipertahankan kualitas dan kuantitasnya dengan cara pendekatan konservasi dalam pengelolaan ekosistem. Pemanfaatan ekosistem hutan akan tetap dilaksanakan dengan mempertimbangkan kehadiran keseluruhan fungsinya. Pengelolaan hutan yang hanya mempertimbangkan salah satu fungsi saja akan menyebabkan kerusakan hutan. SELAMATKAN HUTAN DI BANTEN BANTEN KURING Banten was not built in a day (Blog 0009) SELASA, 06 JANUARI 2009 Sumber: bantenkuring.blogspot.com/2009/01/selamatkan-... Propinsi Banten memiliki hutan tropis yang luas, namun bersamaan dengan peningkatan jumlah penduduk kualitas dan kuantitas hutan terus mengalami penurunan. Dari sekitar 250 ribu hektar hutan yang ada di Banten, 90 ribu hektar atau 36 persen di antaranya dalam kondisi rusak parah. Tekanan terhadap ekosistem hutan di bagian utara Banten jauh lebih besar dibandingkan bagian selatan. Bagian utara Banten yang meliputi Kota dan kabupaten Tangerang, Kabupaten Serang dan Kota Cilegon memiliki tingkat kepadatan penduduk yang sangat tinggi, sehingga eksploitasi sumberdaya alam termasuk hutan, berlangsung cepat dan boros. Tak dapat dipungkiri, keberadaan kawasan industri dan pemukiman yang terkonsentrasi di bagian utara menyebabkan degradasi kualitas lingkungan sulit dihindari. Idealnya setiap industri harus berwawasan lingkungan, bahkan perlu memenuhi standar manajemen lingkungan seperti ISO 14000. Namun kenyataan di lapangan kepentingan ekonomi selalu mengalahkan kepentingan ekologi, makin pesat pembangunan berlangsung makin banyak komponen lingkungan yang dikorbankan, termasuk hutan. 18 Di bagian selatan Banten, yang meliputi Kabupaten Lebak dan Pandeglang, kerusakan hutan tidak separah di bagian utara. Namun eksploitasi terus berlangsung, sebagai gambaran di kawasan hutan Gunung Halimun dan Gunung Kendeng, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak yang berbatasan dengan Kabupaten Bogor, jawa Barat, areal yang tertutup vegetasi hutan tinggal 75-80 persen, dengan kata lain 20-25 persen areal hutan sudah gundul. Sementara di perbatasan Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Serang, seperti di Gunung Karang (meliputi perbatasan wilayah Kecamatan Ciomas, Keduhejo, Pandeglang dan Cadasari) 60 persen areal hutan gundul dan di Gunung Aseupan (perbatasan wilayah Kecamatan Menes, Mandalawangi, Jiput dan Padarincang) 45 persen gundul. Sedangkan di kawasan hutan Gunung Pulosari, perbatasan antara Kecamatan Mandalawangi dan Saketi, Kabupaten Pandeglang 65 persen gundul. Eksploitasi ternyata tidak hanya terjadi di hutan pegunungan, tetapi juga di kawasan hutan lainnya, seperti hutan yang ada di sekitar daerah aliran sungai (DAS) Ci Danau, Ci Beureum, Ci Simeut, Ci Ujung, Ci Baliung, Ci Banten, Ci Bogor, Ci Durian, Ci Manceuri dan Cisadane. Begitu pula di hutan pantai, baik pantai barat, pantai selatan dan pantai utara, bahkan di Taman Nasional Ujung Kulon, Kecamatan Sumur Kabupaten Pandeglang juga terjadi perusakan dan penjarahan hutan. Keruskan hutan juga terjadi di kawasan cagar alam Rawa Dano, Kecamatan Mancak Kabupaten Serang. Sebagai akibat tekanan penduduk, perambahan dan pengelolaan lahan ilegal di cagar alam seluas 2.500 hektar tersebut sangat berpengaruh terhadap penurunan kualitas lingkungan, antara lain dengan melorotnya debit air dari 2.000 liter per detik menjadi hanya 200 liter per detik. Dampaknya berbagai kawasan industri di Kota Cilegon mengalami krisis air. Secara umum eksplotasi hutan menimbulkan terganggunya berbagai fungsi hutan yang sangat sulit untuk dipulihkan kembali. Multi Fungsi Hutan Hutan memiliki multi fungsi, mulai dari fungsi klimatologis, hidrologis, sosiologis, biologis, dan ekonomis. Fungsi klimatologis hutan erat kaitannya dengan unsurunsur iklim seperti hujan, suhu, kelembaban, angin dan sinar matahari. Seluruh hutan yang ada di Banten berperan sebagai 'paru-paru' seluruh ekosistem Propinsi Banten. Sulit dibayangkan, jika seorang manusia mengalami kerusakan paru-paru, maka kehidupannya mengalami banyak gangguan. Begitu pula suatu ekosistem seluas Propinsi Banten, jika hutannya mengalami kerusakan, maka ekosistem itupun menjadi 'sakit'. Jika pohon di hutan terus ditebangi, maka 'sakit' yang diderita ekosistem semakin parah. Gejala-gejala ekosistem yang 'sakit' antara lain, pemasukan dan pengeluaran (siklus) air tidak terkendali, suhu dan kelembaban meningkat, sinar matahari dan angin kurang termanfaatkan dan tidak terarah. Sinar matahari yang mengenai pohon-pohonan atau vegetasi hutan, maka energinya akan dimanfaatkan dalam proses fotosintesis, sehingga terbentuk karbohidrat untuk pertumbuhan tanaman, termasuk untuk proses terbentuknya kayu. Selain itu, dalam proses fotosintesis itupun, gas karbondioksida (CO2) yang merupakan polutan di udara diserap oleh daun pohon-pohonan, dan dari proses tersebut dikeluarkan oksigen (O2) yang sangat dibutuhkan untuk pernafasan manusia. Hal inilah yang dimaksud bahwa hutan di Banten merupakan paru-parunya ekosistem Banten. Sulit dibayangkan, bagaimana kondisi paru-paru dan kesehatan masyarakat perkotaan seperti yang ada di Cilegon, Serang dan Tangerang, yang atmosfirnya penuh dengan gas CO2, CO, SOx, NOx dan polutan lainnya sebagai buangan dari 19 asap kendaraan bermotor, rumah tangga dan pabrik. Sedangkan di sisi lainnya, kawasan hijau di kota-kota tersebut sangat terbatas, bahkan pohon-pohonan di pinggir jalan makin banyak yang ditebangi. Fungsi hidrologis hutan berhubungan dengan siklus air. Ekosistem hutan memiliki tajuk yang berlapis, mulai dari pohon-pohon berukuran raksasa sampai perdu dan rumput yang menutupi tanah, selain itu daun-daun yang berguguran menjadi serasah dan humus yang juga menutupi tanah. Sistem tajuk berlapis tersebut dapat mengurangi energi kinetik yang berasal dari tetesan atau jatuhan air hujan, sehingga tidak merusak tanah dan tidak menimbulkan erosi. Pada lahan yang tidak bervegetasi seperti hutan yang gundul, maka ketika hujan datang tetesannya langsung mengenai butiran tanah sehingga dapat menimbulkan erosi. Aliran permukaan yang membawa butiran tanah tersebut akhirnya masuk ke badan sungai dan menimbulkan pendangkalan. Jika curah hujan tinggi maka badan sungai tidak dapat menampungnya, terjadilah luapan air atau banjir, baik di bagian hulu maupun bagian hilir DAS. Kawasan bervegetasi sebenarnya merupakan daerah resapan air, sehingga air yang dialirkan ke sungai sesuai dengan kapasitas sungai dan tidak menimbulkan banjir. Pada musim kemarau di kawasan ini cadangan air masih tersedia, meskipun debit air yang masuk sungai menurun. Sebaliknya pada kawasan yang tidak bervegetasi, seperti hutan gundul, ketika musim kemarau tiba tidak ada lagi cadangan air, sungaipun menjadi kering kerontang. Kawasan hutan di sekitar Gunung Karang menjadi hulu beberapa sungai yang mengalir ke bagian barat, utara, timur dan selatan Banten, seperti Ci Lamer, Ci Ujung, Ci Asem, Ci Bogor dan Ci Banten. Setiap penebangan pohon di Gunung Karang berdampak langsung terhadap penyusutan debit air di musim kemarau untuk DAS tersebut, sebaliknya pada musim hujan berdampak langsung terhadap kejadian banjir di sekitar DAS tersebut. Posisi kota Serang dan Pandeglang dengan Gunung Karang identik dengan posisi kota Jakarta dengan kawasan Puncak. Dengan kata lain, jika penebangan pohon dan kerusakan hutan di sekitar Gunung Karang tidak terkendali, maka kota Serang dan Pandeglang siap-siap terkena banjir bandang, sebagaimana Kota Jakarta selalu menerima banjir kiriman dari Bogor, sebagai akibat penggundulan kawasan Puncak. Kondisi saat ini, areal bervegetasi di kawasan Gunung Karang hanya tersisa 40 persen. Fungsi sosiologis hutan berkaitan dengan kehidupan masyarakat sekitar hutan. Masyarakat sekitar hutan harus meningkat kesejahteraannya, namun jika cara yang ditempuh melalui eksploitasi hutan secara habis-habisan, seperti penebangan kayu, penjarahan hasil hutan dan lahan, maka yang terjadi hanyalah pemiskinan masyarakat sekitar hutan. Dalam hal ini perlu dikembangkan pengelolaan sekitar kawasan hutan yang berkelanjutan, bagaimana agar sumberdaya hutan tersebut bisa awet. Konsep agroforestry merupakan langkah yang tepat jika diterapkan dengan penuh tanggungjawab. Dalam hal ini petani di sekitar hutan diwajibkan untuk menanam pohon yang disela-selanya dibudidayakan tanaman pangan dan hortikultura. Pengembangan konsep hulu-hilir di setiap DAS juga merupakan langkah yang baik, yaitu supaya masyarakat di sekitar hulu tidak menebang pohon, maka masyarakat pengguna air dan hasil sumberdaya alam di hilir harus memberikan kompensasi kepada pemilik lahan yang ada di hulu. Bagaimanapun sangat tidak efektif jika masyarakat di hulu dilarang menebang pohon, sementara kebutuhan ekonominya dibiarkan tidak tercukupi. Fungsi biologis hutan kaitannya dengan hutan sebagai bank plasma nuftah atau sebagai cadangan genetik. Hutan menyimpan beragam flora dan fauna yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia, seperti plasma nuftah untuk tanaman obat, buah-buahan, sayuran, pangan, hias, industri dan energi. Di hutan tersimpan 20 plasma nuftah tanaman energi seperti jarak, yang dapat digunakan untuk substitusi BBM melalui aplikasi biodiesel. Berbagai plasma nuftah tanaman industri seperti industri kayu, kertas, getah (karet), residu (mentol, terpentin), minyak (cengkeh, kayu putih), farmasi dan kosmetik ada di hutan. Selain itu, hutan pun menyimpan plasma nuftah hewan ternak dan peliharaan, seperti berbagai jenis burung, reptil, mamalia dan sebagainya. Fungsi ekonomis hutan berhubungan dengan pemanfaatan hutan untuk memperoleh nilai tambah ekonomi, seperti pemanfaatan kayu. Berdasarkan data dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Propinsi Banten, dalam setahun jumlah pohon yang ditebang di areal hutan dan non-hutan di Banten mencapai 5-6 juta pohon. Hal itu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan kayu yang mencapai 750 ribu 1 juta kubik. Reboisasi dan penghijauan yang dilakukan hanya mencapai 4 juta pohon per tahun, maka terjadi penyusutan jumlah pohon antara 1-2 juta pohon per tahun. Hal tersebut sangat tidak kondusif bagi kondisi lingkungan Propinsi Banten, bahkan bagi Planet Bumi secara keseluruhan. Setiap penyusutan vegetasi hutan tropis, termasuk yang ada di Banten, akan berpengaruh terhadap kondisi iklim di seluruh Planet Bumi, antara lain memberikan kotribusi terhadap pemanasan global. Revitalisasi Sumberdaya hutan di Propinsi Banten harus direvitalisasi, begitu juga kebijakan dan strategi pengelolaan hutan. Upaya yang harus ditempuh Pemerintah Daerah (Pemda) dan masyarakat, adalah penerapan teknik silvikultur (perbaikan kualitas tegakan), pengelolaan aspek ekologi (biodiversity), konservasi tanah dan air, pencegahan bahaya kebakaran hutan, serta penelitian dan pengembangan (Litbang) kehutanan. Litbang kehutanan di Propinsi Banten, beberapa perguruan tinggi yang ada di Tangerang, Serang, Cilegon, Pandeglang, dan Lebak perlu diikutsertakan. Perguruan tinggi tersebut diharapkan dapat menyelenggarakan kajian kehutanan yang spesifik untuk kawasan masing-masing. Selain itu, melalui program pengabdian masyarakat atau kuliah kerja nyata (KKN) berupaya melakukan pendampingan terhadap masyarakat di sekitar hutan. Untuk menyelamatkan hutan yang tersisa di Propinsi Banten, bukan hanya menjadi tanggung jawab Pemda semata, tetapi juga seluruh komponen masyarakat, seperti lembaga pendidikan (dasar-menengah-tinggi), LSM, Ormas, Orsospol, pengusaha, media massa, dan sebagainya. Pada tahun 1970-an di Propinsi Jawa Barat pernah ada Gerakan Gandrung Tatangkalan (Rakgantang), alangkah baiknya jika di Propinsi Banten dilaksanakan langkah serupa. Setelah Kota Serang menjadi kota otonom, rencana induk pengembangan (RIP) harus memperhatikan pengembangan hutan kota. Kota Serang perlu memiliki ruang terbuka dan hijau (RTH) minimal 20 persen dari luas kota, kalau bisa dibuat Kebun Raya Serang, sebagaimana Kebun Raya Bogor. Reboisasi dan penghijauan harus dilakukan di seluruh wilayah Propinsi Banten, jika tidak maka Banten akan mengalami desertikasi atau penggurunan. Seluruh masyarakat Banten tidak ada yang mau kalau nanti harus tinggal di sebuah gurun yang bernama 'Gurun Banten'. Salah satu hal yang sangat penting dan tidak pernah menjadi perhitungan dalam Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) adalah hilangnya oksigen yang diproduksi oleh bebagai macam jenis flora di dalam hutan melalui proses fotosintesis. 21 Photosynthesis Photosynthesis produces all of the oxygen in the atmosphere. The fundamental task of photosynthesis is to make it possible for cells to convert carbon dioxide and water into carbohydrates with energy absorbed from the sun. In green plants, chlorophyll molecules collect light energy and funnel it to a reaction center. Sumber: www.forestinfo.org/discover/energy.htm ; diakses 12/10/2010 Sumber: wiki.openthinklabs.com/science-c...tang-bio; diakses 12/10/2010 Respiration is the reverse of photosynthesis. In respiration, glucose is consumed, with energy, water and carbon dioxide produced. We breath in the oxygen produced by healthy growing tree and we breath out (respire) carbon dioxide and water. 22 A chemical can be part of a living thing at one moment and part of the non-living environment a moment later. Chemicals move in and out of living organisms and are used again and again. Some of the carbon atoms forming a protein molecule in your arm may have once been a part of a chicken liver, the hide of a dinosaur, or even a limestone formation. The kinds and amounts of chemicals in an ecosystem regulate the activities of the plants and thus the animals in that system. Maybe you have some atoms from Einstein or a redwood tree. FOTOSINTESIS Fotosintesis adalah suatu proses biokimia yang dilakukan tumbuhan, alga, dan beberapa jenis bakteri untuk memproduksi energi terpakai (nutrisi) dengan memanfaatkan energi cahaya. Hampir semua makhluk hidup bergantung dari energi yang dihasilkan dalam fotosintesis. Akibatnya fotosintesis menjadi sangat penting bagi kehidupan di bumi. Fotosintesis juga berjasa menghasilkan sebagian besar oksigen yang terdapat di atmosfer bumi. Organisme yang menghasilkan energi melalui fotosintesis (photos berarti cahaya) disebut sebagai fototrof. Fotosintesis merupakan salah satu cara asimilasi karbon karena dalam fotosintesis karbon bebas dari CO2 diikat (difiksasi) menjadi gula sebagai molekul penyimpan energi. Sumber: x-3smanix.blogspot.com/2009_01_0...ive.html ; diakses 12/6/2010 Tumbuhan bersifat autotrof. Autotrof artinya dapat mensintesis makanan langsung. dari senyawa anorganik. Tumbuhan menggunakan karbon 23 dioksida dan air untuk menghasilkan gula dan oksigen yang diperlukan sebagai makanannya. Energi untuk menjalankan proses ini berasal dari fotosintesis. Perhatikan persamaan reaksi yang menghasilkan glukosa berikut ini: 6H2O + 6CO2 + cahaya C6H12O6 (glukosa) + 6O2 Glukosa dapat digunakan untuk membentuk senyawa organik lain seperti selulosa dan dapat pula digunakan sebagai bahan bakar. Proses ini berlangsung melalui respirasi seluler yang terjadi baik pada hewan maupun tumbuhan. Secara umum reaksi yang terjadi pada respirasi seluler berkebalikan dengan persamaan di atas. Pada respirasi, gula (glukosa) dan senyawa lain akan bereaksi dengan oksigen untuk menghasilkan karbon dioksida, air, dan energi kimia. Tumbuhan menangkap cahaya menggunakan pigmen yang disebut klorofil. Pigmen inilah yang memberi warna hijau pada tumbuhan. Klorofil terdapat dalam organel yang disebut kloroplas. klorofil menyerap cahaya yang akan digunakan dalam fotosintesis. Meskipun seluruh bagian tubuh tumbuhan yang berwarna hijau mengandung kloroplas, namun sebagian besar energi dihasilkan di daun. Di dalam daun terdapat lapisan sel yang disebut mesofil yang mengandung setengah juta kloroplas setiap milimeter perseginya. Cahaya akan melewati lapisan epidermis tanpa warna dan yang transparan, menuju mesofil, tempat terjadinya sebagian besar proses fotosintesis. Permukaan daun biasanya dilapisi oleh kutikula dari lilin yang bersifat anti air untuk mencegah terjadinya penyerapan sinar matahari ataupun penguapan air yang berlebihan. Sumber: ellerbruch.nmu.edu/.../teabbott/p4/page1.html ; diakses 12/7/2010 24 Pendugaan Risiko Ekologis (PRE) = Ecological Risk Assessment (ERA) Ecological risk assessment is the appraisal of potential adverse effects of exposure to contaminants on flora and fauna (plants and animals). Ecological risk assessment : Process for analyzing and evaluating the possibility of adverse ecological effects caused by environmental pollutants. An ERA evaluates the potential adverse effects that human activities have on the living organisms that make up ecosystems. The risk assessment process provides a way to develop, organize and present scientific information so that it is relevant to environmental decisions. When conducted for a particular place such as a watershed, the ERA process can be used to identify vulnerable and valued resources, prioritize data collection activity, and link human activities to their potential effects. ERA results provide a basis for comparing different management options, enabling decision-makers and the public to make better informed decisions about the management of ecological resources. The framework for ERA is described in the Framework for Ecological Risk Assessment. The framework consists of three phases (problem formulation, analysis, and risk characterization) with analysis consisting of the following two parts: characterization of exposure and characterization of effects. 25 A basic framework for conducting Ecological Risk Assessment (adapted from US EPA1998): Sumber: www.environment.gov.au/ssd/resea...isk.html ; diakses 2/4/2010 Problem formulation involves identifying goals and assessment endpoints, preparing a conceptual model, and developing an analysis plan. An assessment endpoint is an explicit expression of the environmental value (species, ecological resource, or habitat type) that is to be protected. Assessment endpoints relate to statutory mandates (protection of the environment), but must be specific enough to guide the development of the risk assessment study design at a particular site. Useful assessment endpoints define both the valued ecological resource and a characteristic of the resource to protect (reproductive success, production per unit area, areal extent). The conceptual model describes a series of working hypotheses of how the exposures might affect the ecological components of an environment. Sentry Scan Automated Vulnerability Assessment Essant provides an easy to deploy and user friendly solution to continuously assess your risk exposure. Using our automated services is like having a highly skilled security team constantly probing your network to discover vulnerabilities. Identified vulnerabilities are rated and reported together with the recommended remedy. The process of correcting 26 identified vulnerabilities is supported by workflow tools for delegating remediation tasks to appropriate administrators. The results can also be compared over time, to monitor trends in risk exposure. In contrast to manual penetration testing, automated vulnerability scanning is typically performed very frequently. This is important as new vulnerabilities are discovered much earlier and your risk exposure is minimised. Sumber: www.sentry-scan.co.uk/services.html ; diakses 12/10/2010 The ecosystem or ecosystem components potentially at risk and the relationships between assessment and measures of effects and exposure scenarios also are described in the conceptual model. Measures of effects are changes in attributes of assessment endpoints or their surrogates in response to the stressors to which they were exposed. Two additional types of measures are used since data other than those used to evaluated responses (i.e., measures of effects) is often required for an ERA: measures of exposures (which include the stressor and source measurements) and measures of ecosystems and receptor characteristics (which include water quality conditions, soil parameters, and habitat measures). The analysis plan specifies the data required to evaluate the impacts to the assessment endpoints and the methods that will be used to analyze the data. ECOSYSTEM CHARACTERISTICS 27 There are two major sets of challenges to the adoption and implementation of EAF (The ecosystem approach to fisheries). The first set is rather familiar to all fisheries managers as it is at the origin of the conventional management failure. It relates to the adjustment of fishing capacity to the resources' productivity and its implications in terms of use rights and resource allocation. The problems and the potential solutions are well known and thoroughly dealt with elsewhere in the literature. We shall not dwell on them here. The second set is "new", at least to the fisheries arena, or has recently got a new and higher level of priority in policy, the media and with a growing fraction of society at large. It relates to ecosystem issues of key relevance to EAF such as: (1) the characteristics of ecosystems, their complexity, structure, functioning, natural variability and boundaries, and (2) their modification and degradation by fisheries and other land- and sea-based economic activities. Both are further elaborated below. An ecosystem is a very complex entity with many interactive components. It can be defined as "a system of complex interactions of populations between themselves and with their environment" or as "the joint functioning and interaction of these two compartments (populations and environment) in a functional unit of variable size". In this review, and in EAF, we will consider "populations" as including people, and especially people involved in fisheries, with their technology and institutions Simplified diagram of an ecosystem and its components Sumber: www.fao.org/DOCREP/006/Y4773E/y4...3e04.htm 28 The description of the fishers' interaction within the ecosystem requires identification of four main ecosystem compartments: (1) a biotic compartment, including target fish resources, associated and dependent species and the living habitat (seagrass, algal beds, corals); (2) an abiotic compartment, characterized by its topography, bottom types, water quality and local weather/climate; (3) a fishery compartment, in which harvesting and processing activities take place, with a strong technological character, and (4) an institutional compartment, comprising laws, regulations and organizations needed for fisheries governance. Humans are part of the biotic component of the ecosystem from which they draw resources, food, services and livelihood as well as part of the fishery component which they drive. These components interact and are affected by: (i) non-fishing activities; (ii) the global climate; (iii) other ecosystems, usually adjacent, with which they exchange matter and information; and (iv) the socio-economic environment as reflected in the market, relevant policies and societal values. The analysis phase involves creation of profiles to evaluate the exposure of ecological receptors to stressors and the relationships between stressor levels and ecological effects. Risk characterization is the process of estimating risk through integration of exposure and stressor- response profiles. The framework for ERA is conceptually similar to the approach used for human health risk assessments, but is distinctive in its emphasis in three areas. First, ERA can consider effects beyond the individual or species level and may examine a variety of assessment endpoints, an entire population, community, or ecosystem. Second, the ecological values to be protected are selected from a wide range of possibilities based on both scientific and policy considerations. Finally, ERAs consider nonchemical stressors to the environment, such as loss of wildlife habitat. ERA includes the following three general phases: (1) problem formulation, (2) analysis, and (3) risk characterization. The Ecological Risk Assessment process Ecological Risk Assessment is the term ascribed to the method(s) for determining risk posed by a stressor (contaminant or perceived threat) to the survival and health of ecosystems. Under these procedures risk is defined as the probability that an adverse effect will occur as a result of ecosystem exposure to a particular concentration of the stressor. Hence risk is determined by measuring two components: the consequences (also measured as effects)of an adverse event; and the likelihood or probability of the event occurring (exposure). 29 Using these criteria, risk is quantified as the probability of an adverse event, or the likelihood of exposure multiplied by the consequences or effects of that exposure (Prisk = Pexposure x Peffects). Hence, the aim of Ecological Risk Assessment is to estimate the probability of adverse events from identified environmental stressors. Traditionally, Ecological Risk Assessment has been used to investigate the effects of the release of particular chemical pollutants (toxicants) into the receiving environment . However, Ecological Risk Assessment is now applied more broadly to assess the relative impact potential of multiple threats against measured and/or predicted impacts on environmental values (appropriate & measurable monitoring endpoints). The systematic steps for performing Ecological Risk Assessment are applied to an identified stressor. Here it is important to emphasise the iterative nature of risk assessment in that results are updated periodically based on inclusion of new data and/or monitoring information. Further, risk-reduction strategies are developed from improved understanding of both the risks posed by specific stressors and of the processes contributing to them. In this context Ecological Risk Assessment plays an important role in best-practice natural resource management based on adaptive management principles. The Superfund Ecological Risk ssessment Process EPA recently developed new guidance for conducting ERAs within the Superfund Program. This guidance combines scientific methods and stakeholder input into the process for assessing site risks. ERAs conducted specifically for the Superfund Program refer to a qualitative and/or quantitative appraisal of the actual or potential impacts of contaminants from a hazardous waste site on plants and animals other than humans and domesticated species. A risk does not exist unless an exposure has the ability to cause one or more adverse effects, and that exposure co-occurs with or contacts an ecological component long enough and at a sufficient intensity to elicit the identified adverse effect. The goal of the ERA process in the Superfund Program is to provide risk information that will assist risk managers at Superfund sites to make informed decisions regarding releases of hazardous substances. The specific objectives of the process are as follows: (1) to identify and characterize the current and potential threats to the environment from a hazardous substance release; and (2) to identify cleanup levels that would protect those natural resources from risk. The ERA process for Superfund is composed of the eight steps summarized below. 30 Step 1: Screening Level - Problem Formulation and Ecological Effects Evaluation A problem formulation and ecological effects evaluation is part of this initial step. Though site-specific data will be limited, the following information should be available upon the completion of this step: Description of the environmental setting, including habitat types, observed species and species likely to be present based on habitat types documented, and threatened, rare, and endangered species; Description of contaminants known or suspected to exist at the site and the maximum concentrations present in each medium; Contaminant fate and transport mechanisms that might exist; Mechanisms of ecotoxicity associated with contaminants and categories of receptors that may be affected; Complete exposure pathways that might exist; and Screening ecotoxicity values equivalent to chronic No Observable Adverse Effects Levels (NOAELs) based on conservative assumptions. METHODOLOGICAL APPROACH The trust of the study is the evaluation of ecological impacts of the proposed DHPU as part of the augmentation of the existing refinery of BRPL. The expected outcome of such an evaluation is the identification of ecological resources within the area that could be at risk, prediction and evaluation of impacts that may occur and the mitigation of ecological impacts through the incorporation of the appropriate measures to avoid, ameliorate and compensate the associated impacts of the project. Ecological assessment is thus aimed to provide a scientifically defensible rational for decision-making and better environmental management. The methodological approach adopted for this study conforms to standard practices being adopted worldwide for ecological impact assessment. A broad framework of procedures followed for this study is presented below. 31 Sumber: oldwww.wii.gov.in/eianew/eia/cas...atus.htm Step 2: Screening Level - Preliminary Exposure Estimate and Risk Calculations In the second step, risk is estimated by comparing maximum documented exposure concentrations with the ecotoxicity screening values developed in Step 1. Based on the outcome, the risk manager will decide either that the screening-level ERA is adequate to determine that ecological threats are negligible, or the process should continue to the more detailed ERA outlined in steps 3 through 7 below. 32 Risk Calculation The Curve Model The curve model is used to describe the risk to wildlife that forage over the contaminated site. The model is based off of grids or areas of sampling in the site map. If the organisms are sessile, then the model reduces to the spatially distinct risk quotient calculation. Freshman and Menzie (1996) present the entire derivation and an adapted step by step progression is presented below. It is recommended that the calculations be conducted using a computer spreadsheet and a linked graph. a) b) c) d) e) f) Plot the first data point as the highest environmental concentration for a site (c1) by its associated area (a1). Plot the next data point as the average concentration for the two highest contaminated areas (c1 + c2)/2 versus the associated area (a1 + a2). Plot additional data points by progressively including lesser contaminated areas until the entire site is included. Add to the graph horizontal lines that represent the ECx values appropriate for the particular land use and the species involved. Plot the foraging area of the organism as a vertical line. Compare the intersection of the area line to the line representing the average environmental concentration. If this intersection is below the horizontal line representing the ECx , then the risk is low. If the intersection is above the ECx line, then the risk is above the cut-off limit for effects. Curve Exposure Model. Site 1 exceeds the EC20. Site 2, with a slightly different average concentration curve is now below the EC20 when it crosses the size of the foraging area. Sumber: www.env.gov.bc.ca/epd/remediatio...ter8.htm An additional use of this approach is that it can be used to estimate clean up goals. A clean up would ensure that the intersection of the concentration curve is below the ECx value for the proposed land use. As sites or concentrations are proposed for 33 clean-up, the model can be computed to examine the intersection of the foraging area with the ECx value. Decisions can then be made to clean up sites with a few very contaminated areas versus sites that are not as contaminated by are of a larger surface area. Step 3: Problem Formulation Step 3, Problem Formulation, refines the screening-level problem formulation and, with input from stakeholders and other involved parties, expands on the ecological issues that are of concern at the particular site. The results of the screening assessment and additional site-specific information are used to determine the scope and goals of the baseline ERA and form the basis of the conceptual model, which is completed in Step 4. A conceptual model describes a series of working hypotheses of how an exposure might affect the ecological components of an environment. Step 4: Study Design and Data Quality Objective Process Step 4 completes the conceptual model, which was initiated in Step 3, by developing the measure of effect. The conceptual model is then used as the basis to develop the study design and data quality objectives (DQOs). The end products of Step 4 are the Work Plan (WP) and the Sampling and Analysis Plan (SAP). The WP documents the decisions and evaluations made during problem formulation and identifies additional research tasks needed to fully evaluate the risks to ecological resources. The SAP provides a detailed description of sampling and data-gathering procedures, as well as a description of the steps required to achieve the study objectives. Step 5: Verification of Field Sampling Design In this step, the sampling plan, exposure pathways, and measures of effects, are evaluated to verify that the SAP is appropriate for the site. Step 6: Site Investigation and Data Analysis Step 6, Site Investigation and Data Analysis, involves the collection of information to characterize exposures and ecological effects at the site. While much of the data for characterizing potential ecological effects will have been collected during the problem formulation stage, the site investigation provides evidence of existing ecological impacts and additional exposure- effects information response information. Both the site investigation and data analysis should be conducted according to the WP and SAP developed in Step 4. 34 Step 7: Risk Characterization The Risk Characterization step integrates the results of the exposure profile and exposure-effects information (or stressor-response analysis), and is the final phase of the risk assessment process. Risk characterization includes two major components, risk estimation and risk description. Risk estimation involves integrating exposure profiles with the exposure-effects information and summarizing the associated uncertainties. Risk descriptions provide information important for interpreting the risk results and, in the Superfund Program, identifies a threshold for adverse effects on the assessment endpoints. Risk Characterization Describe the interpretation of the data and analysis. If a risk quotient suggests that there might be risk to a receptor of concern (RQ>1), but that receptor is observed on-site without obvious signs of toxicant-induced stress (or the bioassay data suggest that it can survive in 100% site soil or water), give preference to the observed effects over the RQ estimation in your conclusion of risk. Include, at a minimum, a discussion of the following questions: a) Which species are most likely to be at risk? b) For which portion of a year is risk likely to occur? c) Is the risk even over the entire area or are there "hot spots" of high risk? d) How do the pollutants move from the site of release to the plants or animals of concern (surface water run-off, groundwater movement, foodchain uptake from soil, etc.)? e) What is known about the ecology or biology of a species that appears to be at risk that may mitigate this risk? f) What is known about the ecology, biology or behavior of the species that appears to be at risk that may enhance this risk? g) Are some of the life stages of the organism put at more risk than others? h) Should some of the species be of more concern because they create habitat or are a food source for a critical species of concern? i) Where are data lacking for making an adequate risk estimation? For each contaminant-receptor combination, provide a qualitative estimate of risk in the following format: Contaminant Receptor of Risk of Concern Quotient Concern (Endpoint) Site Observations (none, few, many, toxic, healthy) Bioassay Results Risk Characterization (low, medium, high) 35 Step 8: Risk Management The risk assessment should have established whether a risk is present and defined a range or magnitude of that risk. With this information, a site risk manager must integrate the risk assessment results with other considerations to make and justify risk management decisions. Other considerations in making risk management decisions include existing background levels of contamination, available cleanup technologies, and costs of alternative actions and remedy selections. Uncertainty Estimate Uncertainty exits in every risk estimation, due to natural variability in environmental processes, sampling methods, and analytical techniques. The following items must be included in the risk assessment report: 1. analytical detection limits 2. analytical precision 3. 4. 5. 6. the range of any values used in dietary estimations (e.g., body weights, food consumption rates etc.) representativeness of test species environmental or ecological effects that may confound the site-specific observations (e.g., a cold late spring, reducing the amount of vegetation present; a hot dry summer so all grass has dried up and appears "dead", etc.) assumptions for the BAF, BCF determinations 7. range of quotients, minimum, maximum as well as the mode for the quotients in a spatially heterogenous site 8. uncertainties associated with the use of the quotient method 9. uncertainties associated with the spatial and temporal distribution of the assessment endpoints. Ecological Risk Management Decisions at Superfund Sites In October 1999 the Agency published Ecological Risk Assessment and Risk Management Principles for Superfund Sites. This final guidance 36 intends to help Superfund risk managers from all regions make consistent ecological risk management decisions based on sound science, and to communicate site risks to the public. It provides risk managers with six principles to consider when making ecological risk management decisions. The guidance specifically declares that all ERAs should be performed according to the eight-step process described in Ecological Risk Assessment Guidance for Superfund: Process for Designing and Conducting Ecological Risk Assessments and summarized above. The Risk Management Principles supplement the ERA guidance and will help remedial project managers and on-scene coordinators in planning ERAs of appropriate scope and complexity and in identifying response alternatives that are protective of the environment. By adhering to these principles, risk managers will be able to present a clear rationale for their ecological risk management actions as presented to the public in the proposed plan and the Record of Decision steps of the Superfund response process. In addition, the guidance provides a question and answer section to help guide risk managers and assessors through the eight-step ERA process. The guidance asks risk mangers to adhere to the six principles summarized below when scoping ecological risk assessments and when making ecological risk management decisions. Principle 1: Superfund's Goal is to Reduce Ecological Risks to Levels that will Result in the Recovery and Maintenance of Healthy Local Populations and Communities of Biota Superfund risk managers and risk assessors should select assessment endpoints and measures that (1) are ecologically relevant to the site and (2) include species that are exposed to and sensitive to siterelated contaminants. Principle 2: Coordinate with Federal, Tribal, and State Natural Resource Trustees EPA recognizes that its response action may not lead to complete recovery of the ecosystem and that additional restoration activities by Natural Resource Trustees may be needed to bring natural resources back to their baseline condition within an acceptable timeframe. It is important that EPA and Trustees coordinate both EPA investigations of risk and Trustee investigations of resource injuries in order to make efficient use of Federal and State resources. Principle 3: Use Site-specific Ecological Risk Data to Support Cleanup Decisions Site-specific data should be collected and used, wherever practical, to determine whether or not site releases present unacceptable risks and to 37 develop quantitative cleanup levels that are protective. Site-specific data includes plant and animal tissue residue data, bioavailability factors, and population- or community-level effect studies. Principle 4: Characterize Site Risks When evaluating ecological risks and the potential for response alternatives to achieve acceptable levels of protection, Superfund risk managers should characterize risk in terms of (1) magnitude, (2) severity, (3) distribution, and (4) the potential for recovery of the affected receptors. Principle 5: Communicate Risks to the Public Clearly communicate to the public the scientific basis and ecological relevance of the assessment endpoints used in the site risk assessment. Risk Communication The information generated during this risk assessment should be compiled into a report. Include all the worksheets from this guide and all maps, photos, and other attachments that were requested. The final section of the report should summarize the risk assessment by clearly stating the current and proposed use of the site, the ecological setting, the plant and animal species of concern, and the probable risk from all current or potential contaminants. Discussion of potential management or remediation alternatives is optional. Principle 6: Remediate Unacceptable Ecological Risks Superfund's goal is to eliminate unacceptable risks due to any release or threatened release. Contaminated media that may affect the ability of local populations of plants or animals to recover and maintain themselves in a healthy state at or near the site should be remediated to an acceptable level. Contaminated Sites Remediation Framework (CSRF) Environment Canada The Contaminated Sites Remediation Framework (CSRF) ties in with the overall effort of Environment Canada (EC) to reduce risk to human health and the environment. It incorporates components of other technical resources and should be used together with such documents. Risk Based Corrective Action (RBCA) is suggested as an alternative method for dealing with contaminated sites. Based on a "Listing" approach proposed by the CSRF, nearly 900 EC potentially contaminated sites have been identified across Canada. 38 An action plan for implementing the framework, calls for a more accurate inventory of EC's sites, a funding protocol and a thorough comprehension of the roles and responsibilities of the people involved in the process. This TAB outlines the main components of the CSRF. CONTAMINATED SITES REMEDIATION FRAMEWORK: CSRF Components of the CSRF include: Site Assessment. Identification of risks to the environment and human health. Evaluation of different remediation/risks management options. Selection of a remediation technology or risk management option. Completion of an environmental assessment of the proposed clean-up technology. Implementation of a remediation or site management strategy. Post remediation monitoring. The basic components of CSRF are similar to the following six phases of the National Guideline for Decommissioning Industrial Sites (CCME/WM-TRE013E, March 1991) which is applicable to contaminated sites in general. Phase I Site Information Assessment. Phase II Reconnaissance Testing Program. Phase III Detailed Testing Program. Phase IV Development of Remediation Plan. Phase V Implementation of the Site Remediation Plan. Phase VI Confirmatory Sampling and Completion of Report. 1. Phase I. Site Information Assessment The purpose of Phase I is to gather available information about a site, and then conduct a historical review of activities in order to evaluate the site for contamination. The following sources of historical information (not exhaustive) can be consulted: a. b. c. d. Published reports (e.g. geological reports, ground water reports, soil surveys). Topographical, soil and flood plain maps. Discussions with informed people. Aerial photos and historical maps to locate landfills, waste sites, dumps, fuel storage tanks, etc. e. Past/present operations on the site, and/or on the adjacent property, etc. f. Archived Information. Note: To ensure regulatory agreement and determine the need for public participation, the appropriate regulatory agency should be consulted at this stage, on proposed future actions. 2. Phase II - Reconnaissance Testing Program In this phase, a Field Survey (FS) and, if necessary, a Site Investigation (SI) are used to characterize the contamination and site conditions to enable a remedial plan to be considered. 2.1 Field Survey (FS) The objective of a FS is to determine the presence, type and concentration of contaminants in samples of surface and subsurface soil. Samples of surface water and ground water must be collected at sites adjacent to water bodies, or where ground water contamination is suspected. Refer to CCME- 39 48E, 1993 and CCME, EPC-NCS62E, 1993, for information on sampling protocols and techniques. Contaminant concentrations of the samples are then compared to CCME and/or provincial criteria/guidelines. To determine potential risks to the environment and human health, a Screening Assessment (SA) must also be conducted to determine potential migration pathways for the contaminant(s), and potential receptors such as: streams, lakes, schools, drinking water wells, endangered species, etc. must be identified. 2.2. Site Investigation (SI) A SI must be conducted, after a FS, if additional site data are required in order to decide on a cost effective remediation or risk management plan. The site is further characterized during a SI, by using boreholes, test pits, electromagnetic survey (EMS), ground penetrating radar (GPR) and/or other investigative technologies in order to define the contaminant, delineate the extent of contamination, describe the sites' subsurface geology and hydrogeology, characterize the soil, etc. 3. Phase III - Detailed Testing Program Detailed testing is done if the results of phase II are not conclusive enough to enable the formulation of a remediation/risk management plan. The investigative procedures and protocol of phase II are used to collect a greater number of samples and a smaller suite of chemicals are analyzed. Additional investigative technologies, such as computer modeling may be used to further characterize the site. 4. Phase IV - Development of Remediation Plans The two basic approaches recommended by the CCME, towards the development of remediation goals are, criteria-based and site-specific risk assessment. The former approach directly adopts the CCME Interim Canadian Environmental Quality Criteria for Contaminated Sites. The latter characterizes potential risks, hazards and exposures of receptors to contaminants at a particular site. Data collected during the site characterization stage are used to select either a site remediation technology or a risk management plan. Where a risk management plan is opted for, the plan can vary from the building of a containment system to installing monitoring wells. For sites that need remediation, a performance-oriented approach should be preferred over specifying a particular remediation technology. This action enables Environment Canada, subject to the approval of specialists in the department, to explore new technologies which could be more efficient, less expensive and yet meet CCME criteria or site-specific criteria. However, if there is an immediate threat to an environmentally sensitive area or the spread of contamination is to be avoided, the selection of a specific remediation technology is recommended. Health and safety issues should be reviewed by an appropriate regulatory agency before the implementation of remediation efforts. 5. Phase V . Implementation of Site Remediation Plans When funds are allocated for site restoration, the site's manager and representatives of the contracting agency should supervise the project and ensure that the chosen technology is properly applied by consultants and/or contractors. A health and safety plan should be in place prior to the commencement of any work. 6. Phase VI. Confirmatory Sampling and Completion Reporting 40 After the site is restored, there is need for long term monitoring to determine the effectiveness of the remediation/risk management plan. A completion report is prepared for submission to the appropriate regulatory agency. RISK-BASED CORRECTIVE ACTION (RBCA) RBCA is an alternative method for determining the extent and urgency of problems at contaminated sites and for identifying necessary and appropriate corrective action. RBCA is efficient and less expensive for the following reasons: a. It minimizes and/or eliminates the expense of adopting site specific plans and applying similar inspection and reporting standards to all sites. This is achieved on the one hand by limiting site specific plans to high-risk sites and on the other hand by establishing generic goals, criteria and initial response that are applicable to low risk sites. Most sites are considered as low-risk, thus the need for constant supervision by regulators and the frequency and content of reporting by owners and operators are reduced or eliminated. b. The five stages of RBCA are not arbitrarily applied to every site. Two initial stages are used at the onset and the others are applied only when necessary. It has been demonstrated that RBCA is a scientifically sound and effective way of restoring a large number of sites which require immediate action. Sumber: www.on.ec.gc.ca/pollution/ecnpd/...4-e.html. Contaminated Sites Remediation Framework Phased Approach to Contaminated Site Management 41 PHASED APPROACH A thorough site assessment and investigation will enable site managers to make informed decisions about remediation. To save time and minimize cost, a phased approach can be used to narrow down the scope of the investigation by utilizing screening techniques. EC (Environment Canada) must remediate sites across Canada to levels consistent with the CCME (Canadian Council of Ministers of the Environment ) criteria. If provincial standards are more stringent, then provincial criteria must be used. In the absence of CCME criteria for specific contaminants, clean-up criteria acceptable to federal and provincial regulatory agencies must be developed after a risk assessment is conducted. Risk Assessment Fundamentals Risk assessment (RA) is a technique by which the actual or potential adverse effects of contaminants on plants, animals, or ecosystem integrity can be assessed in a systematic fashion. Sumber: contamsites.landcareresearch.co.nz/risk_asses... 42 Bencana Ekologi Sebagai Dampak Perubahan Iklim Global dan Upaya Peredaman Risiko Pemanasan global menjadi isu utama di dunia, merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh di dunia di abad 21, hal ini berdampak pada terjadinya kenaikan suhu di bumi, yang mengakibatkan hilangnya keseimbangan dalam siklus bumi, kenaikan suhu permukaan dan perubahan musim yang tidak dapat diprediksi. Perubahan iklim berdampak pada terjadinya bencana alam dimana-mana mulai dari badai topan, badai siklon tropis, banjir, endemic, kekeringan, El Nino, kelaparan, tsunami dan berbagai bencana lainnya yang mengakibatkan hilangnya fungsi ekosistem yang berdampak pada terjadinya bencana ekologis. Bencana terjadi akibat adanya faktor-faktor ancaman (hazard) berupa fenomena alam akibat pemanasan global dan adanya kerentanan (vulnerability) di dalam suatu masyarakat dalam menerima risiko bencana, untuk itulah perlu dilakukan upaya-upaya peredaman risiko bencana (disaster risk reduction) yang merupakan suatu kegiatan manajemen bencana untuk mengurangi risiko bencana dari dampak perubahan iklim global mulai dari sebelum bencana terjadi (mitigasi dan kesiaapsiagaan), saat terjadi bencana (emergency response) dan setelah terjadi bencana (recovery and rencana strategis). GLOBAL WARMING HAZARD The current pace of carbon dioxide increase is higher than it has been in the past decade. This increase exists because of the irreversible momentum of warmer temperatures feeding a compromised existing ecological situation. Today green house gas content of the atmosphere is increasing at 2 ppm in heavy pollution years and 1.7 ppm in good years. The ubiquity of the air and oceans as they influence life and economies around the world, and the relentless rationale of everyone maximizing their own best interests at the cost of degrading the commonwealth exacerbates these recent increases in carbon dioxide. Through destabilizing the natural greenhouse effect on Earth, pollution from fossil fuels has changed the weather, melted glaciers, flooded arctic coastal areas, and thawed permafrost across Siberia, Alaska and Canada, thereby altering the chemistry and biology of the Arctic Ocean. The present momentum is due to an unprecedented immediacy and prolonged rise in CO2 over the past 200 years. The fossil record does not reveal a precipitous rise in the rate of CO2 accumulation since middle of the Wisconsin Ice Age, 20,000 years ago. No human civilization has ever encountered either the levels or the brisk rate of accumulation of greenhouse gasses in the seas and the air. The principal causes of this rapid increase in pollution are from combustion of fossil fuels for electricity and transportation in industrial countries and deforestation worldwide. The loss of vegetation to absorb the increased emissions of greenhouse gases exacerbates the thermal capacity of 43 the air and the oceans to retain additional radiation and release it over time as heat (The Challenges for Tomorrow, J. V. Siry, Nov 14, 2005 ). Two intersecting loops of the carbon cycle. 44 Pemanasan global telah terjadi semenjak abad 20, mulai dari awal revolosi industri di negara-negara eropa, pemanasan global memberikan dampak terhadap perubahan iklim global sebagai akibat dari efek rumah kaca dan pemenuhan emisi gas CO2 di udara yang dapat mengakibatkan perubahan kondisi suhu golobal dan mempengaruhi kondisi siklus metereologi dan geologi, yang mengakibatakan bencana alam dimana kondisi terjadinya bencana memiliki hubungan dengan pemanasan global dan kenaikan muka air laut oleh karena adanya penambahan masa air laut akibat pencairan es di kutub yang ditimbulkan setiap tahunnya, terjadinya El Nino, banjir akibat faktor cuaca yang tidak menentu dan sering juga berbarengan dengan bencana longsor, badai tropis, dan badai siklon. Risiko bencana yang dapat ditimbulkan berupa hilangnya keberfungsiaan masyarakat, korban, kerugian material, kerusakan fisik dan kerusakan lingkungan. Dalam dua dekade ini telah terjadi pertumbuhan penduduk di dunia yang sangat pesat, kebutuhan akan pemenuhan hidupnya mengakibatkan bertambahnya pasokan emisi gas dan efek rumah kaca di bumi yang tidak seimbang dengan daya tampung wilayahnya, kondisi ini akan terjadi dari tahun ke tahun yang menjadi permasalahan serius bagi dunia sebagai dampak perubahan iklim. Bencana ekologis akan terjadi apabila keseimbangan antara makluk hidup dan tempat tinggalnya tidak terpenuhi, sehingga menjadi suatu ancaman (hazard) yang dapat mengakibatkan risiko bencana apabila ada kerentanan (vulnerability) di dalam suatu lingkungan masyarakat dalam menerima ancaman. Selain itu juga pemanasan global terjadi akibat dari kegiatan ekploitasi secara besarbesaran terhadap sumberdaya alam yang menjadi bagian dari siklus keseimbangan alam. Dampak pemanasan global Para ilmuan menggunakan model komputer dari temperatur, pola presipitasi, dan sirkulasi atmosfer untuk mempelajari pemanasan global. Berdasarkan model tersebut, para ilmuan telah membuat beberapa prakiraan mengenai dampak pemanasan global terhadap cuaca, tinggi permukaan air laut, pantai, pertanian, kehidupan hewan liar dan kesehatan manusia. Para ilmuan memperkirakan bahwa selama pemanasan global, daerah bagian Utara dari belahan Bumi Utara akan memanas lebih dari daerah-daerah lain di Bumi. Akibatnya, gunung-gunung es akan mencair dan daratan akan mengecil. Akan lebih sedikit es yang terapung di perairan Utara tersebut. Daerah-daerah yang sebelumnya mengalami salju ringan, mungkin tidak akan mengalaminya lagi. Pada pegunungan di daerah subtropis, bagian yang ditutupi salju akan semakin sedikit serta akan lebih cepat mencair. Musim tanam akan lebih panjang di beberapa area. Temperatur pada musim dingin dan malam hari akan cenderung untuk meningkat. Daerah hangat akan menjadi lebih lembab karena lebih banyak air yang menguap dari lautan. Para ilmuan belum begitu yakin apakah kelembaban tersebut malah akan meningkatkan atau menurunkan pemanasan yang lebih 45 jauh lagi. Hal ini disebabkan karena uap air merupakan gas rumah kaca, sehingga keberadaannya akan meningkatkan efek insulasi pada atmosfer. Akan tetapi, uap air yang lebih banyak juga akan membentuk awan yang lebih banyak, sehingga akan memantulkan cahaya matahari kembali ke angkasa luar, di mana hal ini akan menurunkan proses pemanasan (lihat siklus air). Kelembaban yang tinggi akan meningkatkan curah hujan, secara rata-rata, sekitar 1 persen untuk setiap derajat Fahrenheit pemanasan. (Curah hujan di seluruh dunia telah meningkat sebesar 1 persen dalam seratus tahun terakhir ini). Badai akan menjadi lebih sering. Selain itu, air akan lebih cepat menguap dari tanah. Akibatnya beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari sebelumnya. Angin akan bertiup lebih kencang dan mungkin dengan pola yang berbeda. Topan badai (hurricane) yang memperoleh kekuatannya dari penguapan air, akan menjadi lebih besar. Berlawanan dengan pemanasan yang terjadi, beberapa periode yang sangat dingin mungkin akan terjadi. Pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrim. Sumber: firmansyah11.wordpress.com/2008/...agian-3/ ; diakses 3/8/2010 Dalam konferensi internasional tentang pemanasan global di Jepang tahun 2005 telah menghasilkan Kyoto Protokol yang menjadi landasan dan kerangka kerja bagi seluruh negara-negara di dunia untuk menekan laju pemanasan global dan perubahan iklim. Akhir-akhir ini bencana sering terjadi dimana-mana mulai dari tsunami, gempa, badai, 46 banjir, longsor, erupsi gunungapi, kekeringan dan lainnya, hal ini harus menjadi suatu pemikiran bersama dalam mengatasinya dan menyelesaikan permasalahan ini. Bencana yang selalu terjadi silih berganti tanpa mengenal waktu dan wilayah, kondisi alam yang tidak seimbang dan perubahan siklus iklim yang tedak sesuai mengakibatkan bencana tidak dapat diprediksi secara pasti, hilangnya keseimbangan lingkungan akibat kerusakan alam yang tidak stabil menjadi sesuatu yang harus diatasi oleh semua pihak yang ada. Bencana menjadi semakin meluas di mana-mana sehingga pentingnya tindakan yang dilakukan secara konprehensif untuk mengurangi risiko bencana dan risiko perubahan iklim. Manajemen bencana dan rencana aksi pengurangan risiko bencana antara lain (1) mitigasi; (2) manajemen kesiapsiagaan dan manajemen krisis; (3) kedaruratan (emergency response); dan (4) pemulihan dan rencana aksi. Perubahan Iklim dan Bencana Ekologis Perubahan iklim global diakibatkan oleh meningkatnya konsentrasi gas CO2 di atmosfer bumi sebagai efek rumah kaca (greenhouse), kegiatan industri, pemanfaatan sumberdaya minyak bumi dan batubara, serta kebakaran hutan sebagai penyumbang emisi gas CO2 terbesar di dunia yang mengakibatkan perubahan pada lingkungan dan tataguna lahan (landuse), karena adanya ketidakseimbangan antara energi yang diterima dengan energi yang dilepaskan ke udara dan terjadi perubahan tatanan pada atmosfir sehingga dapat mempengaruhi siklus menjadi tidak seimbang di alam, akibatnya terjadi perubahan temperature yang sangat signifikan di atmosfer. Pemanasan global berdampak pada perubahan iklim di dunia menjadi tidak stabil, apabila pemananasan global terus bertambah setiap tahunnya dapat menimbulkan dampak yang sangat besar terhadap percepatan ancaman yang seperti badai siklon tropis, air pasang dan banjir, kenaikan temperature ekstrim, tsunami, kekeringan dan El Nino yang dapat menimbulkan risiko bencana pada sistem ekologis. Bencana ekologis merupakan fenomena alam yang terjadi akibat adanya perubahan tatanan ekologi yang mengalami ganguan atas beberapa faktor yang saling mempengaruhi antara manusia, makluk hidup dan kondisi alam. Alam sebagai tempat tinggal dan segala sesuatu yang memberikan keseimbangan lingkungan, bencana ekologi sering terjadi akibat akumulasi krisis ekologi yang disebabkan oleh ketidakadilan dan gagalnya pengurusan alam yang mengakibatkan kolapsnya tata kehidupan manusia, kondisi ini juga dipercepat dengan dampak yang dilakukan oleh kegiatan manusia dalam mengelola lingkungan sehingga mempengaruhi pemanasan global di bumi yang berujung pada terjadinya bencanabencana dimana-mana, pengaruhuh utama dari pemanasan global 47 terhadap terjadinya bencana adalah perubahan suhu udara yang semakin meningkat sehingga mengakibatkan perubahan musim yang tidak seimbang dan memicu percepatan siklus geologi dan metereologi. Meningkatnya suhu udara dari waktu ke waktu rata-rata pertahun mencapai 1,4 5,8 derajat celcius hingga tahun 2100 yang dapat mempengaruhi kenaikan muka air laut mencapai 88 meter, pemanasan suhu global di udara memberi dampak terhadap keseimbangan energi dalam suatu wilayah hingga mengaklibatkan kekeringan berkapanjangan, menurunnya produktifitas pertanian, rusaknya suatu ekosistem dan tatanan kehidupan manusia dalam jangka panjang. Badai siklon tropis merupakan fenomena badai yang terjadi akibat system tekanan udara rendah pada daerah tropis yang menjadi sebuah ancaman (hazard) yang dapat menimbulkan bencana, badai siklon tropis dapat menghancurkan wilayah yang dilewatinya memiliki diameter antara 20 150 kilometer, dan dapat mengakibatkan banjir akibat naiknya masa air dilaut dan di daratan yang terbawa oleh angin dengan kekuatan yang tinggi. Beberapa tahun terakhir banjir merupakan fenomena yang biasa terjadi di berbagai negara ada yang diakibatkan oleh rusaknya fungsi hutan sebagai pengatur siklus air, tata kelola lahan yang tidak baik, kondisi morfologi dan adanya air pasang laut, yang tidak mengenal batas wilayah dan waktu, hal ini dipengaruhi juga dengan kondisi cuaca yang tidak menentu dimana musim hujan tidak lagi pada siklusnya, siklus hidrologi menjadi tidak seimbang antara evaporasi, prefipitasi, infiltrasi dan daya dukung lahan terhadap air permukaan, kondisi musim yang tidak stabil diakibatkan oleh adanya perubahan iklim global di bumi sehingga sulit untuk di prediksi secara pasti. Jumlah populasi yang sangat tinggi menjadi faktor-faktor penentu terjadinya bencana, perlu di ingat bahwa sustu ancaman (hazard) akan menjadi bencana apabila menimbulkan dampak yang sangat besar dan luas, yang mempengaruhi kehidupan dan penghidupan masyarakat serta aset-aset kehidupan yang ada meliputi manusia, fisik (infrastruktur), ekonomi, sosial budaya dan sumberdaya alam. Dampak yang terbesar akibat dari perubahan iklim di dunia adanya bencana El Nino, merupakan bencana kekeringan yang terjadi yang terjadi akibat meningkatnya suhu dari rata-rata suhu normalnya sehingga terjadi perubahan musim yang sangat signifikan, hal ini berdampak pada kondisi lahan dan mempengaruhi produktifitas pertanian untuk menghasilkan dapat berdampak pada rusaknya satu ekosistem, tatanank kehidupan manusia, dan kerusakan ekologi. Selain itu dapat mempengaruhi ketersediaan sumberdaya air baik yang ada di permukaan maupun yang ada di bawah permukaan, menjadi fenomena sosial ketika banyak terjadi kekeringan, berkurangnya daya tahan pangan dan hilangnya keberfungsiaan lahan. Bencana ekologi terjadi akibat adanya akumulasi dari seluruh rangkaian proses yang di akibatkan oleh pemanasan global di dunia. 48 Upaya Peredaman Risiko Bencana Bencana (disaster) merupakan fenomena yang terjadi akibat kolektifitas atas komponen ancaman (hazard) yaitu berbagai isu-isu pemanasan global yang mempengaruhi kondisi alam dan lingkungan, serta bagaimana tingkat kerentanan (vulnerability) suatu komunitas memiliki nilai yang sangat tinggi sehingga ada hubungan antara tiga faktor diatas untuk menjadi suatu bencana (Paripurno, 2000). Dalam konfrensi dunia tentang pengurangan risiko bencana di jepang (World Confrence on Disaster Reduction, Kobe, Japan 2005), dengan mengacu pada United Framework Convention on Climate Changes (UNFCCC) bencana dan perubahan iklim menjadi isu utama karena memliki hubungan atas terjadinya berbagai bencana di dunia dan menghasilkan rencana aksi Hyogo (Hyogo Framework for Action 2005 - 20015), dari hasil konfrensi ini, pengurangan risiko bencana diimplementasikan sampai ke tingkat komunitas dimana setiap negara didorong untuk memiliki rencana aksi sebagai upaya peredaman risiko bencana. Selain itu upaya-upaya peredaman risiko bencana telah dilakukan dengan adanya Kyoto Protokol tahun 2005, sebagai kerangka kerja untuk setiap Negara-negara di dunian melakukan rencana aksi pengurangan perubahan iklim dan pengelolaan lingkungan untuk mengurangi dunia dari pemanasan global yang dapat mengakibatkan bencana ekologis. Bencana ekologis menjadi ancaman bagi setiap negara sehingga perlu adanya tindakan preventif dalam mereduksi risiko bencana yang akan ditimbulkan, perubahan iklim dalam waktu yang sangat lama tidak terbatas pada aspek-aspek iklim dan lingkungan, pengurangan emisi gas CO2 di udara menjadi sesuatu yang penting untuk dilakukan pengurangan dampak pemanasan global di dunia. Pencegahan dan pengelolaan lingkungan harus dimulai secara dini untuk menilai risiko dan kondisi alam yang tidak stabil terhadap ancaman bencana ekologis. Pengurangan risiko bencana meliputi tahapan sebelum bencana, saat bencana dan setelah bencana, pada tahapan sebelum bencana manajemen risiko dapat dilakukan dengan melakukan upaya-upaya pencegahan atau mitigasi, merupakan upaya terpadu yang dilakukan untuk meminimalkan risiko bencana, mitigasi dapat dilakukan denganpenilaian risiko bencana berdasarkan atas analisa ancaman (hazard) yang diakibatkan perubahan iklim global, mengenal ancaman untuk mengetahui faktor- faktor yang mempengaruhi terjadinya bencana, khususnya bencana ekologis, dari faktor-faktor di atas kemudian dilakukan penilaian terhadap kerentanan (vulnerability) dalam suatu komunitas untuk menerima dampak ancaman sehingga dapat mengetahui tingkat risiko bencana. Mitigasi dapat dilakukan dengan melakukan du pendekatan antara lain pendekatan structural yang mengacu pada infrastruktur yang mendukung pengurangan pengaruh pemanasan global dan risiko bencana, serta pendekatan non 49 structural dengan pendekatan masyarakat sebagai perancang dan perencana suatu tindakan mitigasi bencana. Ancaman adalah sesuatu yang dapat mengkibatkan terjadinya bencana baik secara alamiah (natural disaster) maupun akibat ulah manusia itu sendiri (man-made disaster). Atas penilaian risiko bencana dapat dijadikan tolak ukur suatu rencana strategis dalam membangun suatu kesiapsiagaan dalam satu komunitas untuk menghadapi risiko bencana, sistem peringatan dini harus dimiliki sebagai tanda yang dapat memberikan informasi adanya ancaman risiko bencana. Risiko bencana merupakan hubungan antara komponenkomponen ancaman (hazard), kerentanan (vulnerability) dan kemampuan (capacity) dalam mengelola ancaman. Jika dilihat hubungannya risiko bencana dapat dirumuskan RI = Hazard x Vulnerability/Capacity Dimana : RI = Risiko Bencana H = Hazard V = Vulnerability C = Capacity Semakin tinggi nilai ancaman dan nilai kerentanan maka risiko bencana semakin tinggi, untuk mengurangi risiko bencana perlu melakukan peningkatan nilai kerentanan (vulnerability) menjadi kapasitas (capacity) dengan melakukan penguatan kapasitas di dalam masyarakat dalam mengelola lingkungan, mengenal ancaman, mengetahui dampak yang dapat ditimbulkan oleh faktor-faktor yang mengakibatkan terjadinya bencana dalam lingkungan (disaster ecology). Upaya kesiapsiagaan dapat dilakukan dengan melakukan suatu rencana aksi yang diimplementasikan dalam suatu kegiatan yang bertujuan untuk pengurangan risiko bencana. Rencana aksi harus meliputi upayaupaya yang dilakukan untuk pengurangan laju perubahan iklim di setiap negara, meliputi 3 isu yang harus di perhatikan : (1) pengurangan risiko bencana; (2) perubahan iklim global dan (3) pembangunan berkelanjutan, yang menjadi satu kesatuan yang saling berhubungan dalam mengelola ancaman bencana alam (natural disaster). Saat terjadinya bencana di suatu wilayah perlu dilakukan penanganan cepat (emergency response) untuk memberi jaminan keselamatan, kesehatan dan hak-hak dasar kepada seluruh komponen yang terlanda tanpa terkecuali, dalam masa krisis pemulihan cepat terhadap kehidupan dan penghidupan masyarakat harus dilakukan secara terencana dan terpadu sehingga dapat ditangani dengan cepat. Proses pemulihan (recovery) menjadi bagian dari upaya peredaman risiko bencana dimana dalam perencanaan suatu program pemulihan harus memiliki unsur-unsur terhadap pengurangan risiko 50 bencana, berguna bagi keberlanjutan dan pembangunan berkelanjutan aman dari risiko bencana. Perubahan iklim yang terjadi akibat pemanasan global di dunia memberikan dampak terhadap terjadinya bencana-bencana alam yang merupakan bencana ekologis, dimana terjadi hilangnya keseimbangan ekologi seperti badai siklon tropis, air pasang dan banjir, kenaikan temperature ekstrim, endemic, tsunami, kekeringan dan El Nino. Hal ini berdampak pada kondisi lingkungan disekitarnya. Bencana merupakan akumulasi dari faktor-faktor alam yang telah mengalami ganguan keseimbangan dimana ada suatu kerentanan (vulnerability) pada suatu wilayah yang terkena dampak sehingga menurunnya daya tangkal masyarakat dalam menerima risiko bencana, seringkali bencana yang terjadi silih berganti dalam satu waktu yang sama (bencana kembar). Upaya pengurangan risiko bencana dapat dilakukan dengan melakukan tahapan manajemen bencana yang meliputi pencegahan dan mitigasi; kesiapsiagaan; manajemen emergensi, pemulihan dan rencana aksi yang dapat berimplikasi terhadap pengurangan risiko bencana. Upaya peredaman risiko bencana merupakan upaya terpadu dan terencana yang dilakukan dalam manajemen bencana sehingga dapat diimplementasikan ke dalam pengeloalaan lingkungan yang berbasis pengurangan risiko bencana, dengan mengurangi efek pemanasan global yang saling berhubungan antara pengurangan risiko bencana, pengurangan global warming dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Sumber: https:/.../bsi/981-BSI.html ; diakses 12/9/2010 51 DAFTAR PUSTAKA Andersen MC, Thompson B & Boykin K. 2004. Spatial risk assessment across large landscapes with varied land use: lessons from a conservation assessment of military lands. Risk Analysis 24, 1231 1242. AS/NZS. 2004a. Risk management. AS/NZS 4360:2004, Standards Australia International, Sydney. AS/NZS. 2004b. Risk management guidelines companion to AS/NZS 4360:2004. HB 436:2004, Standards Australia International, Sydney. Aspinall R. dan Pearson D. 2000. Integrated geographical assessment of environmental condition in water catchments: Linking landscape ecology, environmental modelling and GIS, Journal of Environmental Management 59, 299 319. Bayliss B, Brennan K, Eliot I, Finlayson C.M, Hall R, House T, Pidgeon R, Walden D. & Waterman P. 1997. Vulnerability assessment of predicted climate change and sea level rise in the Alligator Rivers Region, Northern Territory Australia. Supervising Scientist Report 123, Supervising Scientist, Canberra. Bayliss P, van Dam R, Boyden J. & Walden D. 2006. Ecological risk assessment of Magela floodplain to differentiate mining and nonmining impacts. In eriss research summary 2004 2005. eds Evans KG, Rovis-Hermann J, Webb A & Jones DR, Supervising Scientist Report 189, Supervising Scientist, Darwin NT. Bayliss P. & Walden D. 2003. An ecological risk assessment of the major weeds on the Magela Creek floodplain, Kakadu National Park. Internal report 439, June, Supervising Scientist, Darwin. Unpublished paper. Bayliss P., Camilleri C., Hogan A., Walden D., Boyden J. & Begg G. 2003. Uncertainty analysis of data, linking conceptual models to on-site management and communications. Discussion series on ARRTC Key Knowledge Needs: Powerpoint presentation and accompanying notes. Presentation for eriss Planning Workshop. Internal report 435, June, Supervising Scientist, Darwin. Unpublished paper. Begg G.W, van Dam R.A, Lowry J.B, Finlayson C.M & Walden D.J. 2001. Inventory and risk assessment of water dependent ecosystems in the Daly basin, Northern Territory, Australia. Supervising Scientist Report 162, Supervising Scientist, Darwin NT. Billington K. 2005. The River Murray and Lower Lakes Catchment Risk Assessment Project for Water Quality-Concepts and Methods. Environmental Protection Authority, South Australia. 52 Burgman M.A. 2001. Flaws in subjective assessments of ecological risks and means of correcting them. Australian Journal of Environmental Management 8 (4), 219 226. Burgman M.A. 2005. Risks and decisions for conservation and environmental management. Cambridge University Press, Cambridge, UK Cain J. 2001. Planning improvements in natural resources management. Guidelines for using Bayesian networks to support the planning and management of development programmes in the water sector and beyond. Natural Environment Research Council, Centre for Ecology and Hydrology (CEH) Wallingford, UK. CCME (1996) A Framework for Ecological Risk Assessment : General Guidance. Winnipeg, Manitoba Davison D. and Deere D. 2004. Risk assessment in water supply. National Water Surveillance Conference, Dhaka, 4 6 July. Deere D. & Davidson P. 2005. The Ps and Qs of risk assessment. Water March 2005. Diamond J.M. & Serveiss V.B. 2001. Identifying Sources of Stress to Native Aquatic Fauna Using a Watershed Ecological Risk Assessment Framework. Environmental Science & Technology 35, 4711-4718. Eliot I, Finlayson C.M. & Waterman P. 1999. Predicted climate change, sea level rise and wetland management in the Australian wet-dry tropics. Wetlands Ecology and Management 7, 63-81. Environment Canada (1993) A Framework for Ecological Risk Assessment at Contaminated Sites in Canada. Environment Canada, Hull, Quebec. Environment Canada (1994. A Framework for Ecological Risk Assessment at Contaminated Sites in Canada: Review and Recommendations. 1994. Scientific Series No. 199. Ottawa. Ferdinands K. 2006. Assessing the relative risk of para grass invasion in the Magela Creek wetlands. Unpublished consultancy report to the Supervising Scientist Division, Darwin, NT. Finlayson C.M. & Bayliss P. 2003. Conceptual model of ecosystem processes and pathways for pollutant/propagule transport in the environment of the Alligator Rivers Region 2003 Finlayson C.M. & Bayliss. P. 2003. Conceptual model of ecosystem processes and pathways for pollutant/propagule transport in the environment of the Alligator Rivers Region. Discussion Paper prepared for the 11th meeting of ARRTC, 17 19 February 2003. Finlayson C.M. & Spiers A.G. (eds) 1999. Techniques for enhanced wetland inventory and monitoring. Supervising Scientist Report 147, Supervising Scientist, Canberra. 53 Freites, C. 2005. Perceived Changein Risk of Natural Disasters caused by Global Warming. International Science Journal Climate Reserch, Volume 1, 2005, pp 34-38. Glicken J. 2000. Getting stakeholder participation right : a discussion of participatory processes and pitfalls. Environmental Science and Policy 3, 305-310. Gordon S.I. & Majumder S. 2000. Empirical stressor-response relationships for prospective risk analysis. Environmental Toxicology and Chemistry 19, 1106-112. Hart B, Burgman M, Webb A, Allison G, Chapman M, Duivenvoorden L, Feehan P, Grace M, Lund M, Pollino C, Carey J & McCrae A. 2005. Ecological risk management framework for the irrigation industry. Report to National Program for Sustainable Irrigation (NPSI), Water Studies Centre, Monash University, Clayton, Australia. Hart B.T. 2004. Environmental risks associated with new irrigation schemes in Northern Australia. Ecological Management and Restoration 5, 107-111. Hayes E.H. & Landis W.G. 2004. Regional Ecological Risk Assessment of a Near Shore Environment: Cherry point, WA. Human and Ecological Risk Assessment 10, 299-325. Helmer, M. and Hilhorst,D. 2006. Natural Disasters and Climate Change. Journal of Disasters, Volume 30, Number 1, Mar 2006, pp 1-4. Hession W.C., Storm D.E., Haan C.T., Burks S.L. & Matlock M.D. 1996. A Watershed-Level Ecological Risk Assessment Methodology. Water Resources Bulletin 32, 1039-1054. Hogsett WE, Weber JE, Tingey D, Herstrom A, Lee EH & Laurence JA 1997. An Approach for Characterizing Tropospheric Ozone Risk to Forests. Environmental Management 21, 105-120. Iles M 2004. Water quality objectives for Magela Creek revised November 2004. Internal Report 489, December, Supervising Scientist, Darwin. Unpublished paper. Jonatan, A, 2001.Public Healt Risk Assesment Linked to Climaic and Ecologycal Change. Journal Human and Ecological Risk Assesment, Volume 7, Number 5, September Oktober 2001, pp 373-385 (13) Landis, W.G. and Yu, M.H. (1995) Introduction to Environmental Toxicology and Chemistry. Lewis Publishers, Boca Raton, FL. McDonald T.L & McDonald L.L. 2002. A new ecological risk assessment procedure using resource selection models and geographic information systems. Wildlife Society Bulletin 30, 1015-1021. Millenium Ecosystem Assessment. 2003. Ecosystems and human well being a framework for assessment. World Resources Institute, USA. 54 Moares R, Landis W.G. & Molander S. 2002. Regional risk assessment of a Brazilian rain forest reserve. Human and Ecological Risk Assessment 8, 1179-1803. OECD 2003. OECD Environmental indicators: Development, measurement and use. Reference Paper. OECD Environment Directorate, Environmental Performance and Information Division, Paris, France. Pascoe G.A. 1993. Wetland risk assessment. Environmental Toxicology and Chemistry 12, 2293-2307. Petty A.M. 2008. Landscape as process: An exploration of social and physical aspects of ecology and change in the Alligator Rivers Region, Northern Australia. PhD Thesis, University of California, Davis. Preston B.L & Shackelford J. 2002. Multiple stressor effects on benthic biodiversity of Chesapeake Bay: implications for ecological risk assessment. Ecotoxicology 11, 85-99. Riethmuller N, Camilleri C, Franklin N, Hogan A.C, King A, Koch A, Markich S.J, Turley C & van Dam R. 2003. Ecotoxicological testing protocols for Australian tropical freshwater ecosystems. Supervising Scientist Report 173, Supervising Scientist, Darwin NT. Rouget M, Richardson, D.M, Nel J.L & Van Wilgen B.W. 2002. Commercially important trees as invasive aliens-towards spatially explicit risk assessment at a national scale. Biological Invasions 4, 397-412. Schipper, L and Pelling, M. 2006. Disaster Risk, Climate Change and International Development: Scope for, and Challenges to, Integration. Journal of Disasters, Volume 30, Number 1, Maret 2006, pp 19-38. Serveiss V.B. 2001. Applying ecological risk principles to watershed assessment and management. Environmental Management 29, 145-154. Solomon K.R., Baker D.B., Richards R.P., Dixon K.R, Klaine S.J, La Point T.W, Kendall R.J, Weisskopf C.P, Giddings J.M, Giesy J.P, Hall, L.W & Williams W.M. 1996. Ecological risk assessment of atrazine in North American surface waters. Environmental Toxicology and Chemistry 15, 31-76. Suter, G.W. 1993. Ecological Risk Assessment. Lewis Publishers, Boca Raton, FL. Thomas Mitchell, 2007. An Operational Framework for Mainstreaming Disaster Risk. The ISME Journal, Volume 1, September 2007, pp 567-584. US EPA (U.S. Environmental Protection Agency). 1998. Guidelines for Ecological Risk Assessment. EPA/630/R-95/002F. Risk Assessment Forum, Washington, DC, USA. 55 US EPA (U.S. Environmental Protection Agency). 2003. Framework for Cumulative Risk Assessment. EPA/630/P-02/001F. Risk Assessment Forum, Washington, DC, USA. Van Aalst and Marteen, K. 2006. The Impacts of Climate Changes on The Risk Natural Disaster. Journal of Disaster, Volume 30, Number 1, Maret 2006, pp 5-18 (14). van Dam R, Bartolo R & Bayliss P. 2006. Ecological risk assessments of key threats to Australia s tropical rivers: Overview, proposed framework and methodologies for the Tropical Rivers Inventory and Assessment Project. Report to Land & Water Australia, June 2006 van Dam R, Bartolo R. & Bayliss P. 2006. Ecological risk assessments of key threats to Australia's tropical rivers. Overview, proposed framework and methodologies for the Tropical Rivers Inventory and Assessment Project. [Tropical Rivers Inventory and Assessment Project, Sub Project 2]. van Dam R, Finlayson C.M. & Bayliss P. 2004. Progress on the development of a conceptual model of contaminant pathways from Ranger uranium mine. Internal Report 474, June, Supervising Scientist, Darwin. Unpublished paper. van Dam R.A., Finlayson C.M. & Humphrey C.L. 1999. Wetland risk assessment: a framework and methods for predicting and assessing change in ecological character. In Techniques for enhanced wetland inventory, assessment and monitoring. eds CM Finlayson & AG Spiers, Supervising Scientist Report 147, Supervising Scientist, Darwin, 83-118. van Dam R.A., Humphrey C.L. & Martin P. 2002. Mining in the Alligator Rivers Region, northern Australia: Assessing potential and actual impacts on ecosystem and human health. Toxicology 181/182, 505 515. van Dam R.A., Walden D.J. & Begg G.W. 2002. A preliminary risk assessment of cane toads in Kakadu National Park. Supervising Scientist Report 164, Supervising Scientist, Darwin. van Leeuwen C.J. 1995. General introduction. In Risk assessment of chemicals: An introduction, eds CJ van Leeuwen & JLM Hermens, Kluwer Academic Publishers, Dordrecht, Netherlands, 1 17. Walker R, Landis W. & Brown. P. 2001. Developing a regional ecological risk assessment: a case study of a Tasmanian agricultural catchment. Human and Ecological Risk Assessment 7, 417-439. Wiegers JK, Feder HM, Mortensen LS, Shaw DG, Wilson VJ & Landis WG 1998. A regional multiple-stressor rank-based ecological risk assessment for the Fjord of Port Valdez, Alaska. Human and Ecological Risk Assessment 4, 1125-1173.