konflik kelembagaan dalam pemanfaatan dan

advertisement
KONFLIK KELEMBAGAAN DALAM PEMANFAATAN
DAN PENATAAN LAHAN PERTANIAN
Sahat M. Pasaribu
Lahan merupakan salah satu sumber daya alam dan sangat penting bagi petani. Hasilhasil pertanian bukan hanya untuk konsumsi dan kehidupan manusia, tetapi juga sebagai
sumber ekonomi bagi masyarakat pertanian. Pembangunan pertanian sangat menentukan
ketersediaan bahan pangan bagi suatu bangsa dan keberlanjutan pembangunan pertanian
akan memengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat dalam rangka penurunan angka
kemiskinan.
Semakin meningkatnya jumlah penduduk, terutama di pedesaan, masalah penyediaan
lahan bagi usaha pertanian semakin banyak dan semakin rumit. Tingginya fraksi lahan,
terutama karena warisan dan luasnya lahan yang terkonversi untuk penggunaan di luar
sektor pertanian telah mengakibatkan terhambatnya pencapaian ketahanan pangan secara
nasional. Kondisi ini diperparah lagi oleh semakin lebarnya kesenjangan distribusi lahan
dan semakin sempitnya akses petani kecil dan masyarakat miskin pada lahan. Banyaknya
lahan tidur yang tidak digarap terutama disebabkan oleh status kepemilikan lahan yang
bersangkutan, khususnya lahan-lahan pertanian di pedesaan yang dikuasai masyarakat
perkotaan.
Jika dikaitkan dengan kepentingan petani dan pemerintah, ketersediaan lahan sangat
perlu untuk dimanfaatkan dalam rangka meningkatkan produksi pertanian, membuka
lapangan kerja, serta memperbaiki taraf hidup masyarakat yang sekaligus membantu
penanggulangan kemiskinan. Permintaan produk-produk pertanian pada waktu yang
akan datang akan terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk, sehingga
ketersediaan lahan untuk pertanian harus bertambah bersamaan dengan pemanfaatan
teknologi dan inovasi pertanian. Membuka lahan pertanian yang baru di berbagai daerah
tidak mudah dan selalu membutuhkan biaya yang besar, sehingga pemanfaatan lahan yang
ada sambil menekan konversi lahan ke penggunaan lain akan mendorong peningkatan
pendapatan masyarakat dan laju pertumbuhan ekonomi regional.
Tantangan besar dan mendasar dalam kebijakan ekonomi lahan di masa mendatang
terletak pada ketersediaan dan akses terhadap lahan itu sendiri bagi petani kecil dan
petani yang tidak memiliki lahan (buruh tani). Pemerintah telah melakukan berbagai
usaha untuk melindungi petani dari masalah-masalah kepemilikan dan penggarapan
lahan pertanian, tetapi banyak juga masalah yang dihadapi untuk mengurangi berbagai
KONFLIK KELEMBAGAAN DALAM PEMANFAATAN
DAN PENATAAN LAHAN PERTANIAN
benturan kepentingan penguasan lahan ini. Diterbitkannya UU No. 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem
Budi Daya Tanaman, dan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang misalnya
untuk melindungi kepentingan petani dan keberlanjutan pembangunan pertanian.
Tidak dapat disangkal bahwa banyak di antara lembaga yang terkait (khususnya
lembaga pemerintahan) dalam pengaturan tanah dan lahan untuk berbagai kepentingan
yang harus menghadapi kendala pelaksanaan, tidak selalu terkoordinasi dengan baik bahkan
lebih memihak kepentingan sendiri (ego-sektoral), meskipun penjabaran pelaksanaannya
di lapangan selalu dikatakan sesuai dengan semangat undang-undang dan memenuhi
ketentuan yang berlaku. Pertentangan yang terjadi di berbagai instansi di tingkat pusat dan
daerah telah menimbulkan banyak persoalan, baik di instansi yang bersangkutan, maupun
pada masyarakat/kelompok masyarakat sendiri. Di sini, konflik kelembagaan dalam
pemanfaatan dan penataan lahan untuk berbagai keperluan tadi tidak dapat dihindarkan.
Memerhatikan pentingnya penataan lahan untuk pertanian, pertanyaan yang sangat
relevan dalam konteks ini dan perlu diuraikan adalah (a) seperti apa konflik kelembagaan
itu, (b) apa yang menyebabkan dan yang diakibatkan konflik, dan (c) bagaimana konflik
kelembagaan tersebut dapat ditekan agar pemanfaatan dan penataan lahan yang lebih adil
dan lebih memuaskan banyak kalangan dapat tercapai? Dengan latar belakang seperti di
atas, makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan berbagai bentuk konflik kelembagaan
dan pentingnya penataan lahan untuk menjamin ketersediaan lahan bagi keberlanjutan
produksi pertanian dan kemandirian pangan, termasuk ketahanan dan keamanan pangan
dalam upaya penanggulangan kemiskinan.
Kelembagaan dan Konflik Kepentingan
Sebelum menguraikan lebih jauh tentang kelembagaan, perlu dipahami terlebih dulu
pengertian kelembagaan itu sendiri jika dibandingkan dengan organisasi (yang terdapat
pada kelembagaan pemerintahan). Menurut Uphoff (1999), organisasi, apakah dalam
bentuk lembaga atau tidak, merupakan struktur dari peranan yang dikenal dan diterima.
Sementara kelembagaan, dalam bentuk organisasi atau tidak, merupakan sekumpulan
norma dan tingkah laku yang secara terus-menerus memberikan pelayanan yang secara
kolektif memiliki nilai. Lusk dan Parlin (1991) menyebutkan dua aspek utama dalam
organisasi yang berkontribusi pada efektivitas dan efisiensi dalam orientasi ekonomi, yakni
desentralisasi dan penyatuan perangkat pasar. Desentralisasi diarahkan untuk mencapai
efektivitas administrasi yang mencakup kepentingan lokal, sementara organisasi akan lebih
bersaing jika akan merespons kebutuhan pasar lokal tertentu. Dengan demikian, organisasi
akan menjadi lebih akuntabel jika representasi demokratis membuat pelakunya responsif
secara politis dan kompetitif secara ekonomi. Messer dan Townsley (2003) mendefinisikan
kelembagaan sebagai cakupan organisasi, kebijakan, dan proses yang memengaruhi
55
ANCAMAN TERHADAP KEMANDIRIAN
PANGAN NASIONAL
pilihan terhadap aset serta jenis dan jumlah aset yang dapat diakses. Pengertian ini
diberi penekanan penggunaannya pada konteks panduan analisis peran kelembagaan di
pedesaan yang melibatkan rumah tangga pedesaan yang miskin (rural poor) dan mata
pencahariannya (pertanian). Pada publikasi yang lebih baru, Scott (2008) menyatakan
bahwa kelembagaan terdiri dari regulasi, norma, dan unsur budaya yang mendorong secara
bersama-sama dengan kegiatan dan sumber daya yang ada dapat menciptakan stabilitas
yang bermakna bagi kehidupan sosial. Dengan pengertian tersebut, pemahaman terhadap
kelembagaan menjadi cukup jelas. Kelembagaan dapat dipandang secara situasional yang
mengedepankan organisasi dan proses pelaksanaan kegiatannya menurut kebijakan,
peraturan, dan nilai yang melekat padanya. Peran dan konflik dalam tubuh kelembagaan
pemerintahan terkait dengan pemanfaatan dan penataan lahan pertanian akan lebih banyak
dibahas dalam tulisan ini.
Withers dan Wisinski (2007) menguraikan bentuk-bentuk konflik sebagai fakta
kehidupan. Semua orang atau lembaga mengalami konflik (masalah) dan konflik yang
diabaikan tidak dapat berlalu dengan sendirinya tetapi perlu diselesaikan. Konflik yang
ada di depan mata sebaiknya segera dituntaskan, jangan diabaikan seolah-olah konflik
tersebut tidak memiliki konsekuensi. Pada dasarnya, semua konflik dapat diselesaikan
bahkan dapat membantu membangun hubungan yang lebih harmonis. Kebanyakan di
antara konflik dapat dikelola dengan baik. Di sini terdapat lima pilihan penyelesaian,
yaitu dapat menimbulkan persaingan (competition), dapat diakomodasi/ditampung
(accommodation), dapat dihindari (avoidance), dapat disetujui bersama (compromise), dan
dapat bekerja sama (collaboration). Dalam resolusi konflik (penyelesaian masalah), pilihan
apapun yang akan diambil, umumnya sangat tergantung pada kompleksitas konflik
tersebut serta keterkaitannya dengan berbagai pihak.
Pada konteks konflik kelembagaan dalam pemanfaatan dan penataan lahan, lembagalembaga pemerintah menjalankan tugas dan tanggung jawab dengan mengacu pada
mandat instansi yang bersangkutan. Konflik biasanya dimulai dari ruang gerak lembaga
yang dibatasi oleh kisi-kisi peraturan dan ketentuan yang berlaku. Jika ada dua lembaga
yang memiliki tugas pokok yang tumpang tindih, konflik antara kedua lembaga ini akan
sangat jelas terlihat hingga mengakibatkan persaingan yang tajam dan dapat mengancam
keberlanjutan kegiatan lembaga yang bersangkutan. Tumpang tindih tugas pokok pada
lembaga pemerintahan, termasuk lembaga yang terkait dengan pemanfaatan dan penataan
lahan dapat terjadi, terutama pada unit kerja di bawah kementerian yang berbeda.
Banyak kalangan menduga bahwa terus berlangsungnya konversi lahan pertanian
ke penggunaan lainnya telah mengganggu upaya penyediaan berbagai produk pertanian,
khususnya upaya peningkatan ketahanan pangan secara nasional. Kenyataannya produksi
bahan pangan pokok beras dari lahan sawah tetap dapat ditingkatkan. Angka statistik
yang resmi menunjukkan bahwa produksi beras terus meningkat dari tahun ke tahun
56
KONFLIK KELEMBAGAAN DALAM PEMANFAATAN
DAN PENATAAN LAHAN PERTANIAN
(lihat tabel pada Lampiran 1). Itu berarti bahwa konversi lahan sawah tidak berpengaruh
terhadap produksi padi. Di lain pihak, tidak tercatat adanya pembukaan lahan sawah
dengan luas yang signifikan di berbagai wilayah di Indonesia. Jika deskripsi ini benar,
lahan yang ada dan tersedia untuk usaha tani sawah telah dimanfaatkan lebih intensif.
Hasil kajian Swastika et al. (2007) menunjukkan bahwa peningkatan intensitas tanam
telah meningkatkan efisiensi pemanfaatan lahan sawah yang tersedia. Patut diduga bahwa
penggunaan teknologi pertanian, seperti benih unggul, pupuk kimia, dan ketersediaan air
irigasi turut menyumbang keberhasilan produksi padi secara nasional.
Namun demikian, paradoks yang muncul antara konversi lahan dan peningkatan
produksi pangan perlu diklarifikasi lebih lanjut mengingat akhir-akhir ini impor beras
terus berlangsung dan dalam jumlah yang meningkat. Patut diduga bahwa konversi lahan
merupakan ancaman serius bagi ketahanan pangan nasional. Berdasarkan pemikiran ini,
konflik kepentingan, baik antarsistem birokrasi, maupun antarmasyarakat pengguna,
secara langsung atau tidak langsung, apabila tidak ada aturan yang dapat diandalkan dalam
mengatasi konflik kelembagaan, dapat merupakan ancaman terhadap kemandirian pangan
nasional.
Secara ekonomi, pendapatan petani kecil dari lahan usaha taninya sebenarnya tidak
mencukupi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangganya. Akan tetapi,
mengapa petani kecil dan petani yang tidak memiliki lahan/buruh tani bertahan dalam
situasi demikian? Kemungkinan jawabannya ada dua, yakni (a) tidak ada pilihan pekerjaan
lain bagi petani yang bersangkutan kecuali pekerjaan ”serabutan” serta sumber pendapatan
lainnya dan (b) bertani adalah profesi dan ”way of life” petani tersebut. Kesabaran petani
Indonesia sangat tinggi, sehingga kebanggaannya sebagai petani akan menjadi lebih
lengkap jika diberikan sertifikat tanah milik/garapannya. Laporan wartawan yang meliput
pemberian sertifikat dalam rangka reforma agraria pada peringatan Hari Agraria Nasional
ke-50 di Jakarta mengungkapkan bahwa sempitnya lahan petani telah membuat petani
Indonesia terperangkap dalam kemiskinan tiada akhir (Liputan 6 2010). Penyerahan
142.159 ha tanah kepada petani pada peringatan tersebut diapresiasi, namun diharapkan
dapat terus dilanjutkan. Pelanggaran terhadap PP No. 11/2010 tentang Penertiban dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar sudah memiliki ketegasan penggunaan tanah, yakni jika
tanah yang dimiliki pemegang hak tidak digunakan selama tiga tahun, maka pemerintah
akan menertibkan haknya. Pengalihan hak kepemilikan atas pelanggaran di atas kepada
petani akan semakin menggairahkan pertanian nasional, terlebih lagi jika tanah tersebut
ditunjang oleh infrastruktur pertanian yang memadai.
57
ANCAMAN TERHADAP KEMANDIRIAN
PANGAN NASIONAL
Peran Kelembagaan dalam Konflik Pemanfaatan
Lahan Pertanian
Ketidakmampuan pemerintah menjalankan undang-undang dan peraturan secara
konsekuen telah mengakibatkan banyak konflik dengan pertikaian yang tidak jarang harus
dibawa ke pengadilan. Bentuk-bentuk konflik yang banyak terjadi akhir-akhir ini tidak
terlepas dari kepentingan politik dan ekonomi masyarakat sendiri. Contoh pemanfaatan
lahan yang sering mengundang konflik di antaranya adalah lahan-lahan di wilayah
kehutanan, lahan pertambangan (galian tanah), dan lahan produktif dengan infrastruktur
memadai di wilayah pedesaan dan sekitar perkotaan.
Lembaga pemerintah harus membela kepentingan masyarakat. Lembaga ini berperan
menegakkan peraturan dan ketentuan yang berlaku. Pemihakan kepada salah satu lembaga
lain untuk kepentingan individu, kelompok, atau pihak lain hanya akan mengundang
konflik baru. Seluruh stakeholders yang terkait dengan pemanfaatan dan penataan lahan
harus terintegrasi, berdiri di atas semua kepentingan dengan menjunjung tinggi peraturan
dan ketentuan yang ada, termasuk dan lebih utama undang-undang yang berlaku.
Secara garis besar, beberapa pasal pada UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria, UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, dan UU No. 12/1992
tentang budi Daya Tanaman cukup relevan sebagai rambu-rambu pemanfaatan lahan
pertanian yang berhubungan dengan konflik kelembagaan (kutipan beberapa pasal pada
ketiga UU tersebut dapat dilihat pada Lampiran 2). Ketiga aturan hukum ini berjalan
beriringan sehingga lembaga yang terlibat dalam menjalankan fungsinya harus mengacu
pada peraturan tersebut dan menjalankannya secara konsekuen.
Dengan memerhatikan seluruh isi undang-undang ini dan menjalankannya secara
bersama-sama, pemanfaatan lahan akan semakin terkendali dan konflik kepentingan
semakin dapat dikurangi. Koordinasi yang lebih intensif antarlembaga yang mengurusi
pemanfaatan lahan umumnya menghasilkan keadilan yang merata bagi masyarakat yang
terlibat di dalamnya. Lembaga-lembaga ini perlu mengambil inisiatif perubahan dan
berperan aktif mengendalikan konflik yang terjadi oleh berbagai pihak dalam pemanfaatan
lahan.
1. Konflik Kelembagaan dalam Pemanfaatan Lahan
Kemajuan ekonomi global tidak terlepas dari kebutuhan penyediaan tanah untuk
berbagai keperluan bisnis/komersial. Lembaga-lembaga swasta dan lembaga pemerintah di
pusat dan atau di daerah bersepakat untuk mengeluarkan izin tertentu yang menguntungkan
pihak-pihak tertentu. Hal ini ditunjang oleh kekuasaan otonomi yang dimiliki pemerintah
daerah untuk mengelola sumber daya yang tersedia di daerahnya dan tidak jarang melewati
ketentuan yang lebih tinggi, seperti undang-undang. Di lain pihak, penguasaan tanah atau
58
KONFLIK KELEMBAGAAN DALAM PEMANFAATAN
DAN PENATAAN LAHAN PERTANIAN
lahan pertanian bernilai ekonomi tinggi di daerah sekitar perkotaan (urban pheripheral)
dapat dipindahtangankan dengan mudah, dari pertanian ke penggunaan bukan pertanian.
Pemindahtanganan penguasaan lahan sering kali diikuti oleh alasan untuk kepentingan
publik. Dengan demikian, ketika petani keberatan, khususnya karena nilai ekonomi
(ganti rugi) yang diterima tidak sesuai dengan harga pasar, mereka berada di pihak yang
terkalahkan. Petani ini pun akan kesulitan mencari lahan garapan pengganti (usaha tani)
yang baru.
Konflik kepentingan dalam pemanfaatan lahan dimulai dari sejarah penjarahan
hutan di Indonesia. Sebelum pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia, telah berdiri
kelompok-kelompok sosial politik yang mandiri, yang mengelola sumber daya dengan
mengembangkan aturan-aturan tertentu yang dikeluarkan oleh raja/sultan di wilayah
masing-masing dan berhasil merampas hak-hak rakyat atas tanah dan hutan serta
menghilangkan pengendalian oleh masyarakat (Nababan 2003). Elit kekuasaan pada
waktu itu mengembangkan kekuatannya dengan mengendalikan rakyat dan menguasai
tanah (termasuk hutan) dan hak atas tanah secara individual atau hak secara bersama
(hak adat). Dengan legitimasi yang dibangun, para raja/sultan memiliki kekuasaan atas
tanah yang kini jadi miliknya dan mengelolanya sesuai dengan kebutuhannya, termasuk
keuntungan finansial atas pemanfaatan tanah tersebut.
Pada masa kolonialisme, para pedagang bangsa Belanda yang masuk ke Pulau Jawa,
yang memiliki kekayaan sumber daya alam melimpah pada waktu itu, membentuk usaha
dagang, Vereneedge Oost-Indische Compagni (VOC tahun 1602) untuk menggali kekayaan
alam tersebut dan memperdagangkannya. Pada tahun 1609, Pemerintah Hindia Belanda
menempatkan seorang Gubernur Jenderal dengan alasan untuk melindungi kepentingan
ekonomi perusahaan Belanda dan Negara Belanda. Di sinilah mulai terbentuk kekuasaan
lain yang mengendalikan sumber daya alam, termasuk tanah dan tanaman di atasnya untuk
kepentingan golongan/kelompok/negara tertentu. Organisasi dagang dan pemerintah
Hindia Belanda selanjutnya merambah kekuasaan ke wilayah lain Indonesia dan menguasai
para Bupati dan raja/sultan setempat untuk tunduk pada peraturan yang dibangun sendiri
untuk sebesar-besarnya kepentingan penjajah. Kerusakan hutan mulai dirasakan ketika
itu dan berlanjut secara terbuka dan besar-besaran demi kepentingan ekonomi sepihak.
Rakyat tidak memiliki hak sama sekali dan bahkan berada dalam tekanan kekuasaan, baik
dari bangsa penjajah maupun dari bangsa sendiri yang mematuhi hukum dan peraturan
Hindia Belanda.
Pada masa Orde Lama, setelah proklamasi kemerdekaan (1945), keberadaan elit
politik dan masyarakat lokal semakin menguat. Semangat untuk menguasai negara dan
tanah beserta isinya sangat kuat sehingga kekuatan dan kekuasaan yang ada diarahkan
seluruhnya untuk menguasai dan mengembalikan hak-hak rakyat atas tanah yang telah
hilang dengan masyarakat ”dipakai” sebagai pendukung dinamika perubahan politik,
59
ANCAMAN TERHADAP KEMANDIRIAN
PANGAN NASIONAL
bukan sebagai pelaku. Hasilnya dapat dirasakan dengan berkurangnya penjarahan hutan
di Pulau Jawa dan wilayah lain di Indonesia. Partai politik pada saat itu cenderung
mendorong berakarnya ideologi dan mempertahankan kelestarian sumber daya alam
sebagai alatnya, meski terdapat beberapa wilayah yang tetap mengusahakan hutan sebagai
sumber pendapatan. Namun, tidak efektifnya negara mengurus ekonomi rakyat telah
membuat kekuatan militer sebagai lembaga penguasa lain menguasai dan mengendalikan
sumber daya alam di Indonesia.
Pada masa Orde Baru, mulai timbul perpaduan antara kapitalisme, militerisme, dan
budaya politik kerajaan yang dibungkus dalam politik pembangunan ekonomi masyarakat
(Nababan 2004). Perambahan hutan mulai dilakukan melalui perusahaan-perusahaan
swasta yang dikukuhkan dengan pelaksanaan undang-undang menjalankan konsesi hutan
(HPH). Dengan kedekatan kepada pemegang kekuasaan, baik di tingkat pusat maupun
daerah, para pengusaha berlomba-lomba menguasai hutan dan tanah dan secara dramatis
telah menuju pada kerusakan hutan yang semakin meluas. BUMN dilahirkan dan turut
mengeksploitasi hutan untuk kepentingan berbagai golongan tertentu, termasuk partai
yang sedang berkuasa turut menikmati hasil hutan yang melimpah. Lembaga-lembaga lain
juga bermunculan, termasuk asosiasi dan LSM yang turut membuat aturan-aturan tertentu
untuk mendapatkan nilai ekonomi dari hutan. Sumber daya alam Indonesia, hutan dan
tambang-tambang, semakin merusak lingkungan dan seperti tidak ada yang perduli, kecuali
segelintir pakar/ilmuwan dan politisi yang hanya dapat khawatir akan dampak kerusakan
hutan tanpa memiliki akses apalagi kekuatan untuk mengendalikannya.
Pada masa Reformasi dan Otonomi Daerah, euforia perubahan kekuasaan sangat
menonjol dan keberlanjutan eksploitatif sumber daya alam mulai diusahakan untuk
diperbaiki. Reformasi hampir di segala bidang bermunculan hampir tidak terkendali.
Dalam situasi seperti ini, reformasi dicoba untuk diisi dengan membuat kesejajaran berbagai
pihak, sehingga pemerintah pusat memberikan kekuasaan lebih kepada pemerintah daerah
melalui penerbitan undang-undang otonomi daerah. Namun, tidak tegasnya kebebasan
rakyat untuk turut menentukan kebijakan telah membuat perilaku elit penguasa dalam
politik pembangunan menjadi lebih tidak terkendali dengan menguras kekayaan alam yang
tersisa. Persekongkolan penguasa dan pengusaha terus berlanjut, meski dalam perjalanan
politik Indonesia banyak tumbuh LSM-LSM yang semakin kuat menyuarakan pentingnya
pelestarian hutan dan penjagaan hutan dari kehancuran. Suara dunia yang bergema untuk
mengurangi emisi dan mengendalikan kerusakan hutan semakin terdengar nyaring dan
mulai ditangkap oleh para pelaku dalam lembaga-lembaga yang berkepentingan. Untuk
menyebutkan beberapa hal, moratorium penebangan pohon di hutan sudah dilakukan,
perjanjian untuk kelestarian hutan dengan negara-negara di dunia juga sudah disetujui,
dan perbaikan penguasaan hutan sudah mulai dikendalikan. Dari sini, kondisi hutan yang
lebih baik diharapkan dapat terwujud dan kelestarian sumber daya alam akan semakin
dapat diperbaiki.
60
KONFLIK KELEMBAGAAN DALAM PEMANFAATAN
DAN PENATAAN LAHAN PERTANIAN
Berbagai konflik kepentingan penguasaan lahan dan sumber daya alam lainnya di
tengah-tengah masyarakat saat ini juga tidak terlepas dari perkembangan ekonomi yang
pesat. Berbagai bentuk penguasaan tanah melalui pemberian sertifikat perlu terus didorong
dan ditingkatkan hingga dapat memberikan kenyamanan bagi semua pihak terkait.
2. Resolusi Konflik Kelembagaan
Harmonisasi hubungan struktural antarlembaga dalam pemerintahan pada era
otonomi daerah, baik di tingkat pusat maupun di tingkat lokal terganggu karena faktorfaktor internal yang tidak dapat dikendalikan, seperti ego sektoral dan ego kedaerahan
(Pasaribu dan Suradisastra 2010). Hal ini dipersulit lagi oleh ketidakseimbangan potensi
sumber daya alam dan kondisi keuangan masing-masing daerah. Tidak dapat disangkal
bahwa banyak lembaga pemerintahan lokal yang memiliki program dan kegiatan yang
saling tumpang tindih, termasuk dalam penentuan peruntukan tanah dan pemanfaatan
lahan pertanian.
Hubungan disharmoni antarlembaga pemerintahan pusat dan daerah dan antarpemerintahan lokal harus diperbaiki. Reformasi kelembagaan pemerintahan harus
dimajukan dengan keberanian menegakkan undang-undang, peraturan serta ketentuan
yang berlaku seraya mengembangkan sistem yang mampu menjalin kerja sama, komitmen,
dan koordinasi menurut batas-batas tugas pokok masing-masing lembaga. Integritas yang
dimiliki individu yang berwenang dalam satu lembaga yang mengurusi berbagai hal
pertanahan/pemanfaatan lahan harus dikembangkan dan diperlihatkan dalam berbagai
kesempatan di depan publik. Sebagai pelayan masyarakat, para petugas pemerintahan
seyogianya berada dalam kapasitas yang strategis menegakkan peraturan dan menjunjung
keadilan, bukan sebaliknya seolah-olah memiliki kekuasaan yang lebih daripada pihak
lain.
Tugas pokok masing-masing lembaga, baik di pusat maupun di daerah, perlu ditinjau
ulang dan disesuaikan dengan fungsi lembaganya sendiri. Kementerian PAN di tingkat
pusat dan atau wakilnya di daerah harus memerhatikan dualisme kelembagaan yang
terjadi saat ini. Pelurusan tugas dan tanggung jawab, serta hak dan kewajiban lembaga
harus mampu menjangkau sinergitas pelayanan, baik secara internal (di dalam kantor dan
lembaga terkait) maupun eksternal (publik).
Resolusi konflik kelembagaan hanya dapat dilakukan jika setiap individu yang ada
di dalam lembaga/instansi yang bersangkutan memahami tanggung jawabnya masingmasing sesuai dengan beban dan kewenangan yang dimilikinya. Dengan menyadari semua
peraturan yang berlaku, kewenangan lembaga menjadi jelas; berjalan pada koridor yang
tersedia. Selanjutnya, pemahaman terhadap tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabnya
harus melekat pada aksi yang dilakukan dalam menjalankan pekerjaannya.
61
ANCAMAN TERHADAP KEMANDIRIAN
PANGAN NASIONAL
Penutup
Dibutuhkan kearifan birokrasi untuk mengurangi konflik kelembagaan dan dampak
yang ditimbulkannya pada pelaksanaan program dan kegiatan lembaga yang bersangkutan
di lapangan. Evaluasi terhadap tugas pokok dan fungsi setiap lembaga atau organisasi
birokrasi pada setiap kementerian hingga pada jajaran paling rendah di daerah perlu
dilakukan. Upaya ini dimaksudkan untuk menata kembali tugas pokok dan fungsi setiap
lembaga pelayan masyarakat dari pusat hingga daerah sehingga tercipta harmonisasi
kelembagaan mulai dari tingkat perumus kebijakan di pusat sampai pada tingkat pelaksana
kegiatan di lapangan.
Penataan tugas dan fungsi birokrasi ini tidak hanya berdampak pada upaya perbaikan
pengaturan pemanfaatan dan penataan lahan pertanian, tetapi juga terkait dengan banyak
aspek lainnya. Kegiatan besar ini disarankan dapat diakomodasikan dalam tugas pokok
Kementerian PAN, walaupun pelaksanaannya dapat didelegasikan kepada lembaga lain
yang diberi wewenang khusus.
Banyaknya peraturan yang diterbitkan di daerah perlu dipelajari lebih seksama untuk
mengetahui adanya ketidaksesuaian program dan kegiatan antarlembaga/instansi yang
menjalankannya di lapangan. Sinkronisasi program dan kegiatan antarlembaga/instansi,
baik di pusat dan terutama di daerah harus dilakukan dan menjadi agenda kegiatan
musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) pada setiap level pemerintahan.
Peraturan dan ketentuan dirumuskan dan diterbitkan untuk dipatuhi dan dan
dijalankan secara konsekuen karena hal ini sudah disesuaikan dengan tugas dan tanggung
jawab masing-masing lembaga/instansi. Namun, jika peraturan dan ketentuan tersebut
dinilai tidak memuaskan atau menyulitkan pelaksanaan atau bahkan bertentangan dengan
keadaan di lapangan, peraturan dan ketentuan tersebut harus dievaluasi dan diganti dengan
yang lebih sesuai.
Harmonisasi program dan kegiatan antarlembaga, baik di tingkat pusat maupun
daerah harus menjadi perhatian utama. Pelaksanaan kegiatan di lapangan tidak selalu
sesuai dengan perencanaannya. Oleh karena itu, setiap lembaga/instansi pemerintah yang
melakukan kegiatan di lapangan harus berkoordinasi dengan lembaga terkait dan selalu
mengupayakan komunikasi intensif antarinstansi yang bersangkutan dan semua stakeholders
terkait, termasuk kelompok masyarakat apabila terlibat di dalamnya.
62
KONFLIK KELEMBAGAAN DALAM PEMANFAATAN
DAN PENATAAN LAHAN PERTANIAN
Daftar Pustaka
Liputan 6. 2010. Kepemilikan Tanah Rakyat Kurang dari Setengah Hektare. Liputan 6. com.
http://id.news.yahoo.com/lptn/20101022/tpl. (22 Oktober 2010).
Lusk MW dan BW Palin. 1991. Bureaucratic and Farmer Participation in Irrigation
Development. Dalam B. W. Parlin dan M. W. Lusk (Eds.): Farmer Participation and
Irrigation Organization. Studies in Water Policy and Management, No. 17. Westview
Press, Inc. Boulder, CO. pp. 3-33.
Messer N dan P Townsley. 2003. Local Institutions and Livelihoods: Guideline for Analysis.
FAO. Rome. pp. 10-11.
Nababan A. 2003. Intip Hutan. Edisi Mei-Juli 2003: 4-7.
Nababan A. 2004. Intip Hutan. Edisi Februari 2004: 5-8.
Pasaribu S dan K Suradisastra. 2010. Harmonisasi Kelembagaan Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai di Indonesia. Dalam S. Pasaribu, K. Suradisastra, B. Sayaka dan A. Dariah (Eds.):
Degradasi Sumber Daya Alam dan Upaya Penataan Kembali. Bogor: IPB Press.
Scott WR. 2008. Institutions and Organizations: Ideas and Interests. Edisi Ketiga. Los Angeles:
Sage Publication. pp. 48-50.
Swastika DKS, J Wargiono, Soejitno dan A Hasanuddin. Analisis Kebijakan Peningkatan
Produksi Padi Melalui Efisiensi Pemanfaatan Lahan Sawah di Indonesia. Analisis Kebijakan
Pertanian 5 (1): 36-52.
Uphoff NT. 1999. The Role of Institutions in Rural Community Development: What Have We
Learned? Report of APO Study Meeting on Role of Institutions in Rural Community
Development. Colombo, 21-29 September 1998. Asian Productivity Organization.
Tokyo. pp. 97-115.
Withers B dan J Wilsinski. 2007. Resolving Conflicts on the Job. Edisi Kedua. New York:
Amacom. pp. 2-4.
63
ANCAMAN TERHADAP KEMANDIRIAN
PANGAN NASIONAL
Lampiran 1. Perkembangan produksi beberapa komoditas pangan, 2005–2009
No.
Komoditas
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
Padi
Jagung
Kedelai
Kacang tanah
Ubikayu
Ubijalar
Sayuran
Buah-buahan
Minyak kelapa sawit
(CPO)
Gula
Daging (sapi &
kerbau)
Ayam
Telur
Susu
Ikan
Produksi (000 ton)
2005
2006
2007
2008
2009*
54,151
12,524
808
836
19,321
1,857
9,102
14,787
11,862
2,393
397
1,081
1,052
536
7,218
54,455
11,609
748
838
19,987
1,854
9,527
16,171
17,351
2,267
440
1,203
1,204
617
7,395
57,157
13,288
593
789
19,988
1,887
9,941
17,352
17,373
2,297
381
1,238
1,382
568
7,608
60,280
15,860
761
765
20,834
62,561
17,041
925
764
21,990
1,947
10,190
18,302
na
3,046
263
781
1,475
678
8,711
1,824
10 234
19,275
17,110
2,39
396
1,300
1,485
574
8,048
Pertumb
Pertumb.
05–09 (%) 08–09 (%)
3,69
8,49
5,43
(2,20)
3,31
1,26
(2,88)
5,68
na
6,88
(8,06)
(5,18)
9,00
6,59
4,84
3,78
7,45
21,55
(0,13)
5,55
6,74
(0,43)
(5,07)
na
27,23
(33,59)
(39,92)
-0,67
18,12
8,24
Sumber: Dewan Ketahanan Pangan (2010)
Catatan: * Angka perkiraan
Lampiran 2. Beberapa pasal dari UU No. 5/1960; UU No. 26/2007; dan UU No.
12/1992
Pasal 10 (Ayat 1 dan 2)
1. Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada
asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan
mencegah cara-cara pemerasan.
2. Pelaksanaan daripada ketentuan dalam Ayat (1) pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan
peraturan perundangan.
Dalam Pasal 10 Ayat 1 dan 2 dirumuskan suatu asas yang pada dewasa ini sedang
menjadi dasar daripada perubahan-perubahan dalam struktur pertanahan hampir di
seluruh dunia, yaitu di negara-negara yang telah/sedang menyelenggarakan apa yang disebut
“landreform” atau “agrarian reform” yaitu, bahwa “Tanah pertanian harus dikerjakan atau
diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri”.
Agar semboyan ini dapat diwujudkan perlu diadakan ketentuan-ketentuan lainnya.
Misalnya perlu ada ketentuan tentang batas minimum luas tanah yang harus dimiliki oleh
orang tani, supaya ia mendapat penghasilan yang cukup untuk hidup layak bagi diri sendiri
dan keluarganya (Pasal 13 yo Pasal 17). Pula perlu ada ketentuan mengenai batas maksimum
64
KONFLIK KELEMBAGAAN DALAM PEMANFAATAN
DAN PENATAAN LAHAN PERTANIAN
luas tanah yang boleh dipunyai dengan hak milik (Pasal 17), agar dicegah tertumpuknya
tanah di tangan golongan-golongan yang tertentu saja. Dalam hubungan ini, Pasal 7 memuat
suatu asas yang penting, yaitu bahwa pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas
tidak dipekenankan, karena hal yang demikian itu adalah merugikan kepentingan umum.
Akhirnya, ketentuan itu perlu dibarengi pula dengan pemberian kredit, bibit, dan bantuanbantuan lainnya dengan syarat-syarat yang ringan, sehingga pemiliknya tidak akan terpaksa
bekerja dalam lapangan lain, dengan menyerahkan penguasaan tanahnya kepada orang lain.
Mengingat susunan masyarakat pertanian kita sekarang ini, kiranya sementara waktu
yang akan datang masih perlu dibuka kemungkinan adanya penggunaan tanah pertanian
oleh orang-orang yang bukan pemiliknya, misalnya secara sewa, berbagi-hasil, gadai dan
lain sebagainya. Tetapi segala sesuatu peraturan-peraturan lainnya, yaitu untuk mencegah
hubungan-hubungan hukum yang bersifat penindasan si lemah oleh si kuat (Pasal 24, 41
dan 53). Begitulah misalnya pemakaian tanah atas dasar sewa, perjanjian bagi-hasil, gadai
dan sebagainya itu tidak boleh diserahkan pada persetujuan pihak-pihak yang berkepentingan
sendiri atas dasar “freefight”, tetapi penguasa akan memberi ketentuan-ketentuan tentang
cara dan syarat-syaratnya, agar dapat memenuhi pertimbangan keadilan dan dicegah caracara pemerasan (“exploitation de l-’homme par l’homme”). Sebagai misal dapat dikemukakan
ketentuan-ketentuan di dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1960 tentang “Perjanjian Bagi
Hasil” (L.N. 1960 - 2).
Pasal 13 (Ayat 1, 2, 3, dan 4)
(1) Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian
rupa, sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat sebagai yang dimaksud
dalam Pasal 2 Ayat (3) serta menjamin bagi setiap warga-negara Indonesia derajat hidup
yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.
(2) Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari organisasiorganisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta.
(3) Usaha-usaha Pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli hanya dapat
diselenggarakan dengan undang-undang.
(4) Pemerintah berusaha untuk memajukan kepastian dan jaminan sosial,termasuk bidang
perburuhan, dalam usaha-usaha dilapangan agraria.
Ketentuan dalam Ayat 4 adalah pelaksanaan daripada asas keadilan sosial yang
berperikemanusiaan dalam bidang agraria.
Pasal 14 (Ayat 1)
1. Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 2 Ayat (2) dan (3), Pasal 9 Ayat (2)
serta Pasal 10 Ayat (1) dan (2) Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat
65
ANCAMAN TERHADAP KEMANDIRIAN
PANGAN NASIONAL
suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan
ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya:
a. untuk keperluan Negara,
b. untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya, sesuai dengan dasar
Ketuhanan Yang Maha Esa;
c. untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan lain-lain
kesejahteraan;
d. untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan
serta sejalan dengan itu;
e. untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan.
Pasal ini mengatur soal perencanaan persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi,
air dan ruang angkasa sebagai yang telah dikemukakan dalam penjelasan umum (II Angka
8). Mengingat akan corak perekonomian Negara di kemudian hari di mana industri dan
pertambangan akan mempunyai peranan yang penting, maka di samping perencanaan
untuk pertanian perlu diperhatikan, pula keperluan untuk industri dan pertambangan
(Ayat 1 Huruf d dan e). Perencanaan itu tidak saja bermaksud menyediakan tanah untuk
pertanian, peternakan, perikanan, industri dan pertambangan, tetapi juga ditujukan untuk
memajukannya. Pengesahan peraturan Pemerintah Daerah harus dilakukan dalam rangka
rencana umum yang dibuat oleh Pemerintah Pusat dan sesuai dengan kebijaksanaan Pusat.
UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang
Pasal 1 (Ayat 3–6)
3. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana
dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang
secara hierarkis memiliki hubungan fungsional.
4. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi
peruntukanruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya.
5. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang,
dan pengendalian pemanfaatan ruang.
6. Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan,
pelaksanaan,dan pengawasan penataan ruang.
Pasal 1 (Ayat 20–24)
20. Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budi daya.
21. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi
kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya
buatan.
66
KONFLIK KELEMBAGAAN DALAM PEMANFAATAN
DAN PENATAAN LAHAN PERTANIAN
22. Kawasan budi daya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk
dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia,
dan sumber daya buatan.
23. Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk
pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman
perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
24. Kawasan agropolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada
wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam
tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan
satuan sistem permukiman dan sistem agrobisnis.
Pasal 3 (Ayat c)
c. Terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap
lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Pasal 7 (Ayat 1–3)
1. Negara menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
2. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), negara memberikan
kewenangan penyelenggaraan penataan ruang kepada Pemerintah dan pemerintah
daerah.
3. Penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) dilakukan dengan
tetap menghormati hak yang dimiliki orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
UU No. 12/1992
Bab V tentang Tata Ruang dan Tata Guna Tanah Budi Daya Tanaman
1. Pemanfaatan lahan untuk keperluan budi daya tanaman disesuaikan dengan ketentuan
tata ruang dan tata guna tanah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
2. Pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), dilakukan dengan
memerhatikan kesesuaian dan kemampuan lahan maupun pelestarian lingkungan hidup
khususnya konservasi tanah.
Pasal 45
Perubahan rencana tata ruang yang mengakibatkan perubahan peruntukan budi daya
tanaman guna keperluan lain dilakukan dengan memerhatikan rencana produksi budi daya
tanaman secara nasional.
67
ANCAMAN TERHADAP KEMANDIRIAN
PANGAN NASIONAL
Pasal 46
1. Pemerintah menetapkan luas maksimum lahan untuk unit usaha budi daya tanaman
yang dilakukan di atas tanah yang dikuasai oleh Negara.
2. Setiap pcrubahan jenis tanaman pada unit usaha budi daya tanaman di atas tanah yang
dikuasai oleh negara harus memperoleh persetujuan Pemerintah.
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), dan Ayat (2), diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
68
Download