KONFLIK KELEMBAGAAN DALAM PEMANFAATAN DAN PENATAAN LAHAN PERTANIAN Sahat M. Pasaribu Lahan merupakan salah satu sumber daya alam dan sangat penting bagi petani. Hasilhasil pertanian bukan hanya untuk konsumsi dan kehidupan manusia, tetapi juga sebagai sumber ekonomi bagi masyarakat pertanian. Pembangunan pertanian sangat menentukan ketersediaan bahan pangan bagi suatu bangsa dan keberlanjutan pembangunan pertanian akan memengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat dalam rangka penurunan angka kemiskinan. Semakin meningkatnya jumlah penduduk, terutama di pedesaan, masalah penyediaan lahan bagi usaha pertanian semakin banyak dan semakin rumit. Tingginya fraksi lahan, terutama karena warisan dan luasnya lahan yang terkonversi untuk penggunaan di luar sektor pertanian telah mengakibatkan terhambatnya pencapaian ketahanan pangan secara nasional. Kondisi ini diperparah lagi oleh semakin lebarnya kesenjangan distribusi lahan dan semakin sempitnya akses petani kecil dan masyarakat miskin pada lahan. Banyaknya lahan tidur yang tidak digarap terutama disebabkan oleh status kepemilikan lahan yang bersangkutan, khususnya lahan-lahan pertanian di pedesaan yang dikuasai masyarakat perkotaan. Jika dikaitkan dengan kepentingan petani dan pemerintah, ketersediaan lahan sangat perlu untuk dimanfaatkan dalam rangka meningkatkan produksi pertanian, membuka lapangan kerja, serta memperbaiki taraf hidup masyarakat yang sekaligus membantu penanggulangan kemiskinan. Permintaan produk-produk pertanian pada waktu yang akan datang akan terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk, sehingga ketersediaan lahan untuk pertanian harus bertambah bersamaan dengan pemanfaatan teknologi dan inovasi pertanian. Membuka lahan pertanian yang baru di berbagai daerah tidak mudah dan selalu membutuhkan biaya yang besar, sehingga pemanfaatan lahan yang ada sambil menekan konversi lahan ke penggunaan lain akan mendorong peningkatan pendapatan masyarakat dan laju pertumbuhan ekonomi regional. Tantangan besar dan mendasar dalam kebijakan ekonomi lahan di masa mendatang terletak pada ketersediaan dan akses terhadap lahan itu sendiri bagi petani kecil dan petani yang tidak memiliki lahan (buruh tani). Pemerintah telah melakukan berbagai usaha untuk melindungi petani dari masalah-masalah kepemilikan dan penggarapan lahan pertanian, tetapi banyak juga masalah yang dihadapi untuk mengurangi berbagai KONFLIK KELEMBAGAAN DALAM PEMANFAATAN DAN PENATAAN LAHAN PERTANIAN benturan kepentingan penguasan lahan ini. Diterbitkannya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman, dan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang misalnya untuk melindungi kepentingan petani dan keberlanjutan pembangunan pertanian. Tidak dapat disangkal bahwa banyak di antara lembaga yang terkait (khususnya lembaga pemerintahan) dalam pengaturan tanah dan lahan untuk berbagai kepentingan yang harus menghadapi kendala pelaksanaan, tidak selalu terkoordinasi dengan baik bahkan lebih memihak kepentingan sendiri (ego-sektoral), meskipun penjabaran pelaksanaannya di lapangan selalu dikatakan sesuai dengan semangat undang-undang dan memenuhi ketentuan yang berlaku. Pertentangan yang terjadi di berbagai instansi di tingkat pusat dan daerah telah menimbulkan banyak persoalan, baik di instansi yang bersangkutan, maupun pada masyarakat/kelompok masyarakat sendiri. Di sini, konflik kelembagaan dalam pemanfaatan dan penataan lahan untuk berbagai keperluan tadi tidak dapat dihindarkan. Memerhatikan pentingnya penataan lahan untuk pertanian, pertanyaan yang sangat relevan dalam konteks ini dan perlu diuraikan adalah (a) seperti apa konflik kelembagaan itu, (b) apa yang menyebabkan dan yang diakibatkan konflik, dan (c) bagaimana konflik kelembagaan tersebut dapat ditekan agar pemanfaatan dan penataan lahan yang lebih adil dan lebih memuaskan banyak kalangan dapat tercapai? Dengan latar belakang seperti di atas, makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan berbagai bentuk konflik kelembagaan dan pentingnya penataan lahan untuk menjamin ketersediaan lahan bagi keberlanjutan produksi pertanian dan kemandirian pangan, termasuk ketahanan dan keamanan pangan dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Kelembagaan dan Konflik Kepentingan Sebelum menguraikan lebih jauh tentang kelembagaan, perlu dipahami terlebih dulu pengertian kelembagaan itu sendiri jika dibandingkan dengan organisasi (yang terdapat pada kelembagaan pemerintahan). Menurut Uphoff (1999), organisasi, apakah dalam bentuk lembaga atau tidak, merupakan struktur dari peranan yang dikenal dan diterima. Sementara kelembagaan, dalam bentuk organisasi atau tidak, merupakan sekumpulan norma dan tingkah laku yang secara terus-menerus memberikan pelayanan yang secara kolektif memiliki nilai. Lusk dan Parlin (1991) menyebutkan dua aspek utama dalam organisasi yang berkontribusi pada efektivitas dan efisiensi dalam orientasi ekonomi, yakni desentralisasi dan penyatuan perangkat pasar. Desentralisasi diarahkan untuk mencapai efektivitas administrasi yang mencakup kepentingan lokal, sementara organisasi akan lebih bersaing jika akan merespons kebutuhan pasar lokal tertentu. Dengan demikian, organisasi akan menjadi lebih akuntabel jika representasi demokratis membuat pelakunya responsif secara politis dan kompetitif secara ekonomi. Messer dan Townsley (2003) mendefinisikan kelembagaan sebagai cakupan organisasi, kebijakan, dan proses yang memengaruhi 55 ANCAMAN TERHADAP KEMANDIRIAN PANGAN NASIONAL pilihan terhadap aset serta jenis dan jumlah aset yang dapat diakses. Pengertian ini diberi penekanan penggunaannya pada konteks panduan analisis peran kelembagaan di pedesaan yang melibatkan rumah tangga pedesaan yang miskin (rural poor) dan mata pencahariannya (pertanian). Pada publikasi yang lebih baru, Scott (2008) menyatakan bahwa kelembagaan terdiri dari regulasi, norma, dan unsur budaya yang mendorong secara bersama-sama dengan kegiatan dan sumber daya yang ada dapat menciptakan stabilitas yang bermakna bagi kehidupan sosial. Dengan pengertian tersebut, pemahaman terhadap kelembagaan menjadi cukup jelas. Kelembagaan dapat dipandang secara situasional yang mengedepankan organisasi dan proses pelaksanaan kegiatannya menurut kebijakan, peraturan, dan nilai yang melekat padanya. Peran dan konflik dalam tubuh kelembagaan pemerintahan terkait dengan pemanfaatan dan penataan lahan pertanian akan lebih banyak dibahas dalam tulisan ini. Withers dan Wisinski (2007) menguraikan bentuk-bentuk konflik sebagai fakta kehidupan. Semua orang atau lembaga mengalami konflik (masalah) dan konflik yang diabaikan tidak dapat berlalu dengan sendirinya tetapi perlu diselesaikan. Konflik yang ada di depan mata sebaiknya segera dituntaskan, jangan diabaikan seolah-olah konflik tersebut tidak memiliki konsekuensi. Pada dasarnya, semua konflik dapat diselesaikan bahkan dapat membantu membangun hubungan yang lebih harmonis. Kebanyakan di antara konflik dapat dikelola dengan baik. Di sini terdapat lima pilihan penyelesaian, yaitu dapat menimbulkan persaingan (competition), dapat diakomodasi/ditampung (accommodation), dapat dihindari (avoidance), dapat disetujui bersama (compromise), dan dapat bekerja sama (collaboration). Dalam resolusi konflik (penyelesaian masalah), pilihan apapun yang akan diambil, umumnya sangat tergantung pada kompleksitas konflik tersebut serta keterkaitannya dengan berbagai pihak. Pada konteks konflik kelembagaan dalam pemanfaatan dan penataan lahan, lembagalembaga pemerintah menjalankan tugas dan tanggung jawab dengan mengacu pada mandat instansi yang bersangkutan. Konflik biasanya dimulai dari ruang gerak lembaga yang dibatasi oleh kisi-kisi peraturan dan ketentuan yang berlaku. Jika ada dua lembaga yang memiliki tugas pokok yang tumpang tindih, konflik antara kedua lembaga ini akan sangat jelas terlihat hingga mengakibatkan persaingan yang tajam dan dapat mengancam keberlanjutan kegiatan lembaga yang bersangkutan. Tumpang tindih tugas pokok pada lembaga pemerintahan, termasuk lembaga yang terkait dengan pemanfaatan dan penataan lahan dapat terjadi, terutama pada unit kerja di bawah kementerian yang berbeda. Banyak kalangan menduga bahwa terus berlangsungnya konversi lahan pertanian ke penggunaan lainnya telah mengganggu upaya penyediaan berbagai produk pertanian, khususnya upaya peningkatan ketahanan pangan secara nasional. Kenyataannya produksi bahan pangan pokok beras dari lahan sawah tetap dapat ditingkatkan. Angka statistik yang resmi menunjukkan bahwa produksi beras terus meningkat dari tahun ke tahun 56 KONFLIK KELEMBAGAAN DALAM PEMANFAATAN DAN PENATAAN LAHAN PERTANIAN (lihat tabel pada Lampiran 1). Itu berarti bahwa konversi lahan sawah tidak berpengaruh terhadap produksi padi. Di lain pihak, tidak tercatat adanya pembukaan lahan sawah dengan luas yang signifikan di berbagai wilayah di Indonesia. Jika deskripsi ini benar, lahan yang ada dan tersedia untuk usaha tani sawah telah dimanfaatkan lebih intensif. Hasil kajian Swastika et al. (2007) menunjukkan bahwa peningkatan intensitas tanam telah meningkatkan efisiensi pemanfaatan lahan sawah yang tersedia. Patut diduga bahwa penggunaan teknologi pertanian, seperti benih unggul, pupuk kimia, dan ketersediaan air irigasi turut menyumbang keberhasilan produksi padi secara nasional. Namun demikian, paradoks yang muncul antara konversi lahan dan peningkatan produksi pangan perlu diklarifikasi lebih lanjut mengingat akhir-akhir ini impor beras terus berlangsung dan dalam jumlah yang meningkat. Patut diduga bahwa konversi lahan merupakan ancaman serius bagi ketahanan pangan nasional. Berdasarkan pemikiran ini, konflik kepentingan, baik antarsistem birokrasi, maupun antarmasyarakat pengguna, secara langsung atau tidak langsung, apabila tidak ada aturan yang dapat diandalkan dalam mengatasi konflik kelembagaan, dapat merupakan ancaman terhadap kemandirian pangan nasional. Secara ekonomi, pendapatan petani kecil dari lahan usaha taninya sebenarnya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangganya. Akan tetapi, mengapa petani kecil dan petani yang tidak memiliki lahan/buruh tani bertahan dalam situasi demikian? Kemungkinan jawabannya ada dua, yakni (a) tidak ada pilihan pekerjaan lain bagi petani yang bersangkutan kecuali pekerjaan ”serabutan” serta sumber pendapatan lainnya dan (b) bertani adalah profesi dan ”way of life” petani tersebut. Kesabaran petani Indonesia sangat tinggi, sehingga kebanggaannya sebagai petani akan menjadi lebih lengkap jika diberikan sertifikat tanah milik/garapannya. Laporan wartawan yang meliput pemberian sertifikat dalam rangka reforma agraria pada peringatan Hari Agraria Nasional ke-50 di Jakarta mengungkapkan bahwa sempitnya lahan petani telah membuat petani Indonesia terperangkap dalam kemiskinan tiada akhir (Liputan 6 2010). Penyerahan 142.159 ha tanah kepada petani pada peringatan tersebut diapresiasi, namun diharapkan dapat terus dilanjutkan. Pelanggaran terhadap PP No. 11/2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar sudah memiliki ketegasan penggunaan tanah, yakni jika tanah yang dimiliki pemegang hak tidak digunakan selama tiga tahun, maka pemerintah akan menertibkan haknya. Pengalihan hak kepemilikan atas pelanggaran di atas kepada petani akan semakin menggairahkan pertanian nasional, terlebih lagi jika tanah tersebut ditunjang oleh infrastruktur pertanian yang memadai. 57 ANCAMAN TERHADAP KEMANDIRIAN PANGAN NASIONAL Peran Kelembagaan dalam Konflik Pemanfaatan Lahan Pertanian Ketidakmampuan pemerintah menjalankan undang-undang dan peraturan secara konsekuen telah mengakibatkan banyak konflik dengan pertikaian yang tidak jarang harus dibawa ke pengadilan. Bentuk-bentuk konflik yang banyak terjadi akhir-akhir ini tidak terlepas dari kepentingan politik dan ekonomi masyarakat sendiri. Contoh pemanfaatan lahan yang sering mengundang konflik di antaranya adalah lahan-lahan di wilayah kehutanan, lahan pertambangan (galian tanah), dan lahan produktif dengan infrastruktur memadai di wilayah pedesaan dan sekitar perkotaan. Lembaga pemerintah harus membela kepentingan masyarakat. Lembaga ini berperan menegakkan peraturan dan ketentuan yang berlaku. Pemihakan kepada salah satu lembaga lain untuk kepentingan individu, kelompok, atau pihak lain hanya akan mengundang konflik baru. Seluruh stakeholders yang terkait dengan pemanfaatan dan penataan lahan harus terintegrasi, berdiri di atas semua kepentingan dengan menjunjung tinggi peraturan dan ketentuan yang ada, termasuk dan lebih utama undang-undang yang berlaku. Secara garis besar, beberapa pasal pada UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, dan UU No. 12/1992 tentang budi Daya Tanaman cukup relevan sebagai rambu-rambu pemanfaatan lahan pertanian yang berhubungan dengan konflik kelembagaan (kutipan beberapa pasal pada ketiga UU tersebut dapat dilihat pada Lampiran 2). Ketiga aturan hukum ini berjalan beriringan sehingga lembaga yang terlibat dalam menjalankan fungsinya harus mengacu pada peraturan tersebut dan menjalankannya secara konsekuen. Dengan memerhatikan seluruh isi undang-undang ini dan menjalankannya secara bersama-sama, pemanfaatan lahan akan semakin terkendali dan konflik kepentingan semakin dapat dikurangi. Koordinasi yang lebih intensif antarlembaga yang mengurusi pemanfaatan lahan umumnya menghasilkan keadilan yang merata bagi masyarakat yang terlibat di dalamnya. Lembaga-lembaga ini perlu mengambil inisiatif perubahan dan berperan aktif mengendalikan konflik yang terjadi oleh berbagai pihak dalam pemanfaatan lahan. 1. Konflik Kelembagaan dalam Pemanfaatan Lahan Kemajuan ekonomi global tidak terlepas dari kebutuhan penyediaan tanah untuk berbagai keperluan bisnis/komersial. Lembaga-lembaga swasta dan lembaga pemerintah di pusat dan atau di daerah bersepakat untuk mengeluarkan izin tertentu yang menguntungkan pihak-pihak tertentu. Hal ini ditunjang oleh kekuasaan otonomi yang dimiliki pemerintah daerah untuk mengelola sumber daya yang tersedia di daerahnya dan tidak jarang melewati ketentuan yang lebih tinggi, seperti undang-undang. Di lain pihak, penguasaan tanah atau 58 KONFLIK KELEMBAGAAN DALAM PEMANFAATAN DAN PENATAAN LAHAN PERTANIAN lahan pertanian bernilai ekonomi tinggi di daerah sekitar perkotaan (urban pheripheral) dapat dipindahtangankan dengan mudah, dari pertanian ke penggunaan bukan pertanian. Pemindahtanganan penguasaan lahan sering kali diikuti oleh alasan untuk kepentingan publik. Dengan demikian, ketika petani keberatan, khususnya karena nilai ekonomi (ganti rugi) yang diterima tidak sesuai dengan harga pasar, mereka berada di pihak yang terkalahkan. Petani ini pun akan kesulitan mencari lahan garapan pengganti (usaha tani) yang baru. Konflik kepentingan dalam pemanfaatan lahan dimulai dari sejarah penjarahan hutan di Indonesia. Sebelum pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia, telah berdiri kelompok-kelompok sosial politik yang mandiri, yang mengelola sumber daya dengan mengembangkan aturan-aturan tertentu yang dikeluarkan oleh raja/sultan di wilayah masing-masing dan berhasil merampas hak-hak rakyat atas tanah dan hutan serta menghilangkan pengendalian oleh masyarakat (Nababan 2003). Elit kekuasaan pada waktu itu mengembangkan kekuatannya dengan mengendalikan rakyat dan menguasai tanah (termasuk hutan) dan hak atas tanah secara individual atau hak secara bersama (hak adat). Dengan legitimasi yang dibangun, para raja/sultan memiliki kekuasaan atas tanah yang kini jadi miliknya dan mengelolanya sesuai dengan kebutuhannya, termasuk keuntungan finansial atas pemanfaatan tanah tersebut. Pada masa kolonialisme, para pedagang bangsa Belanda yang masuk ke Pulau Jawa, yang memiliki kekayaan sumber daya alam melimpah pada waktu itu, membentuk usaha dagang, Vereneedge Oost-Indische Compagni (VOC tahun 1602) untuk menggali kekayaan alam tersebut dan memperdagangkannya. Pada tahun 1609, Pemerintah Hindia Belanda menempatkan seorang Gubernur Jenderal dengan alasan untuk melindungi kepentingan ekonomi perusahaan Belanda dan Negara Belanda. Di sinilah mulai terbentuk kekuasaan lain yang mengendalikan sumber daya alam, termasuk tanah dan tanaman di atasnya untuk kepentingan golongan/kelompok/negara tertentu. Organisasi dagang dan pemerintah Hindia Belanda selanjutnya merambah kekuasaan ke wilayah lain Indonesia dan menguasai para Bupati dan raja/sultan setempat untuk tunduk pada peraturan yang dibangun sendiri untuk sebesar-besarnya kepentingan penjajah. Kerusakan hutan mulai dirasakan ketika itu dan berlanjut secara terbuka dan besar-besaran demi kepentingan ekonomi sepihak. Rakyat tidak memiliki hak sama sekali dan bahkan berada dalam tekanan kekuasaan, baik dari bangsa penjajah maupun dari bangsa sendiri yang mematuhi hukum dan peraturan Hindia Belanda. Pada masa Orde Lama, setelah proklamasi kemerdekaan (1945), keberadaan elit politik dan masyarakat lokal semakin menguat. Semangat untuk menguasai negara dan tanah beserta isinya sangat kuat sehingga kekuatan dan kekuasaan yang ada diarahkan seluruhnya untuk menguasai dan mengembalikan hak-hak rakyat atas tanah yang telah hilang dengan masyarakat ”dipakai” sebagai pendukung dinamika perubahan politik, 59 ANCAMAN TERHADAP KEMANDIRIAN PANGAN NASIONAL bukan sebagai pelaku. Hasilnya dapat dirasakan dengan berkurangnya penjarahan hutan di Pulau Jawa dan wilayah lain di Indonesia. Partai politik pada saat itu cenderung mendorong berakarnya ideologi dan mempertahankan kelestarian sumber daya alam sebagai alatnya, meski terdapat beberapa wilayah yang tetap mengusahakan hutan sebagai sumber pendapatan. Namun, tidak efektifnya negara mengurus ekonomi rakyat telah membuat kekuatan militer sebagai lembaga penguasa lain menguasai dan mengendalikan sumber daya alam di Indonesia. Pada masa Orde Baru, mulai timbul perpaduan antara kapitalisme, militerisme, dan budaya politik kerajaan yang dibungkus dalam politik pembangunan ekonomi masyarakat (Nababan 2004). Perambahan hutan mulai dilakukan melalui perusahaan-perusahaan swasta yang dikukuhkan dengan pelaksanaan undang-undang menjalankan konsesi hutan (HPH). Dengan kedekatan kepada pemegang kekuasaan, baik di tingkat pusat maupun daerah, para pengusaha berlomba-lomba menguasai hutan dan tanah dan secara dramatis telah menuju pada kerusakan hutan yang semakin meluas. BUMN dilahirkan dan turut mengeksploitasi hutan untuk kepentingan berbagai golongan tertentu, termasuk partai yang sedang berkuasa turut menikmati hasil hutan yang melimpah. Lembaga-lembaga lain juga bermunculan, termasuk asosiasi dan LSM yang turut membuat aturan-aturan tertentu untuk mendapatkan nilai ekonomi dari hutan. Sumber daya alam Indonesia, hutan dan tambang-tambang, semakin merusak lingkungan dan seperti tidak ada yang perduli, kecuali segelintir pakar/ilmuwan dan politisi yang hanya dapat khawatir akan dampak kerusakan hutan tanpa memiliki akses apalagi kekuatan untuk mengendalikannya. Pada masa Reformasi dan Otonomi Daerah, euforia perubahan kekuasaan sangat menonjol dan keberlanjutan eksploitatif sumber daya alam mulai diusahakan untuk diperbaiki. Reformasi hampir di segala bidang bermunculan hampir tidak terkendali. Dalam situasi seperti ini, reformasi dicoba untuk diisi dengan membuat kesejajaran berbagai pihak, sehingga pemerintah pusat memberikan kekuasaan lebih kepada pemerintah daerah melalui penerbitan undang-undang otonomi daerah. Namun, tidak tegasnya kebebasan rakyat untuk turut menentukan kebijakan telah membuat perilaku elit penguasa dalam politik pembangunan menjadi lebih tidak terkendali dengan menguras kekayaan alam yang tersisa. Persekongkolan penguasa dan pengusaha terus berlanjut, meski dalam perjalanan politik Indonesia banyak tumbuh LSM-LSM yang semakin kuat menyuarakan pentingnya pelestarian hutan dan penjagaan hutan dari kehancuran. Suara dunia yang bergema untuk mengurangi emisi dan mengendalikan kerusakan hutan semakin terdengar nyaring dan mulai ditangkap oleh para pelaku dalam lembaga-lembaga yang berkepentingan. Untuk menyebutkan beberapa hal, moratorium penebangan pohon di hutan sudah dilakukan, perjanjian untuk kelestarian hutan dengan negara-negara di dunia juga sudah disetujui, dan perbaikan penguasaan hutan sudah mulai dikendalikan. Dari sini, kondisi hutan yang lebih baik diharapkan dapat terwujud dan kelestarian sumber daya alam akan semakin dapat diperbaiki. 60 KONFLIK KELEMBAGAAN DALAM PEMANFAATAN DAN PENATAAN LAHAN PERTANIAN Berbagai konflik kepentingan penguasaan lahan dan sumber daya alam lainnya di tengah-tengah masyarakat saat ini juga tidak terlepas dari perkembangan ekonomi yang pesat. Berbagai bentuk penguasaan tanah melalui pemberian sertifikat perlu terus didorong dan ditingkatkan hingga dapat memberikan kenyamanan bagi semua pihak terkait. 2. Resolusi Konflik Kelembagaan Harmonisasi hubungan struktural antarlembaga dalam pemerintahan pada era otonomi daerah, baik di tingkat pusat maupun di tingkat lokal terganggu karena faktorfaktor internal yang tidak dapat dikendalikan, seperti ego sektoral dan ego kedaerahan (Pasaribu dan Suradisastra 2010). Hal ini dipersulit lagi oleh ketidakseimbangan potensi sumber daya alam dan kondisi keuangan masing-masing daerah. Tidak dapat disangkal bahwa banyak lembaga pemerintahan lokal yang memiliki program dan kegiatan yang saling tumpang tindih, termasuk dalam penentuan peruntukan tanah dan pemanfaatan lahan pertanian. Hubungan disharmoni antarlembaga pemerintahan pusat dan daerah dan antarpemerintahan lokal harus diperbaiki. Reformasi kelembagaan pemerintahan harus dimajukan dengan keberanian menegakkan undang-undang, peraturan serta ketentuan yang berlaku seraya mengembangkan sistem yang mampu menjalin kerja sama, komitmen, dan koordinasi menurut batas-batas tugas pokok masing-masing lembaga. Integritas yang dimiliki individu yang berwenang dalam satu lembaga yang mengurusi berbagai hal pertanahan/pemanfaatan lahan harus dikembangkan dan diperlihatkan dalam berbagai kesempatan di depan publik. Sebagai pelayan masyarakat, para petugas pemerintahan seyogianya berada dalam kapasitas yang strategis menegakkan peraturan dan menjunjung keadilan, bukan sebaliknya seolah-olah memiliki kekuasaan yang lebih daripada pihak lain. Tugas pokok masing-masing lembaga, baik di pusat maupun di daerah, perlu ditinjau ulang dan disesuaikan dengan fungsi lembaganya sendiri. Kementerian PAN di tingkat pusat dan atau wakilnya di daerah harus memerhatikan dualisme kelembagaan yang terjadi saat ini. Pelurusan tugas dan tanggung jawab, serta hak dan kewajiban lembaga harus mampu menjangkau sinergitas pelayanan, baik secara internal (di dalam kantor dan lembaga terkait) maupun eksternal (publik). Resolusi konflik kelembagaan hanya dapat dilakukan jika setiap individu yang ada di dalam lembaga/instansi yang bersangkutan memahami tanggung jawabnya masingmasing sesuai dengan beban dan kewenangan yang dimilikinya. Dengan menyadari semua peraturan yang berlaku, kewenangan lembaga menjadi jelas; berjalan pada koridor yang tersedia. Selanjutnya, pemahaman terhadap tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabnya harus melekat pada aksi yang dilakukan dalam menjalankan pekerjaannya. 61 ANCAMAN TERHADAP KEMANDIRIAN PANGAN NASIONAL Penutup Dibutuhkan kearifan birokrasi untuk mengurangi konflik kelembagaan dan dampak yang ditimbulkannya pada pelaksanaan program dan kegiatan lembaga yang bersangkutan di lapangan. Evaluasi terhadap tugas pokok dan fungsi setiap lembaga atau organisasi birokrasi pada setiap kementerian hingga pada jajaran paling rendah di daerah perlu dilakukan. Upaya ini dimaksudkan untuk menata kembali tugas pokok dan fungsi setiap lembaga pelayan masyarakat dari pusat hingga daerah sehingga tercipta harmonisasi kelembagaan mulai dari tingkat perumus kebijakan di pusat sampai pada tingkat pelaksana kegiatan di lapangan. Penataan tugas dan fungsi birokrasi ini tidak hanya berdampak pada upaya perbaikan pengaturan pemanfaatan dan penataan lahan pertanian, tetapi juga terkait dengan banyak aspek lainnya. Kegiatan besar ini disarankan dapat diakomodasikan dalam tugas pokok Kementerian PAN, walaupun pelaksanaannya dapat didelegasikan kepada lembaga lain yang diberi wewenang khusus. Banyaknya peraturan yang diterbitkan di daerah perlu dipelajari lebih seksama untuk mengetahui adanya ketidaksesuaian program dan kegiatan antarlembaga/instansi yang menjalankannya di lapangan. Sinkronisasi program dan kegiatan antarlembaga/instansi, baik di pusat dan terutama di daerah harus dilakukan dan menjadi agenda kegiatan musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) pada setiap level pemerintahan. Peraturan dan ketentuan dirumuskan dan diterbitkan untuk dipatuhi dan dan dijalankan secara konsekuen karena hal ini sudah disesuaikan dengan tugas dan tanggung jawab masing-masing lembaga/instansi. Namun, jika peraturan dan ketentuan tersebut dinilai tidak memuaskan atau menyulitkan pelaksanaan atau bahkan bertentangan dengan keadaan di lapangan, peraturan dan ketentuan tersebut harus dievaluasi dan diganti dengan yang lebih sesuai. Harmonisasi program dan kegiatan antarlembaga, baik di tingkat pusat maupun daerah harus menjadi perhatian utama. Pelaksanaan kegiatan di lapangan tidak selalu sesuai dengan perencanaannya. Oleh karena itu, setiap lembaga/instansi pemerintah yang melakukan kegiatan di lapangan harus berkoordinasi dengan lembaga terkait dan selalu mengupayakan komunikasi intensif antarinstansi yang bersangkutan dan semua stakeholders terkait, termasuk kelompok masyarakat apabila terlibat di dalamnya. 62 KONFLIK KELEMBAGAAN DALAM PEMANFAATAN DAN PENATAAN LAHAN PERTANIAN Daftar Pustaka Liputan 6. 2010. Kepemilikan Tanah Rakyat Kurang dari Setengah Hektare. Liputan 6. com. http://id.news.yahoo.com/lptn/20101022/tpl. (22 Oktober 2010). Lusk MW dan BW Palin. 1991. Bureaucratic and Farmer Participation in Irrigation Development. Dalam B. W. Parlin dan M. W. Lusk (Eds.): Farmer Participation and Irrigation Organization. Studies in Water Policy and Management, No. 17. Westview Press, Inc. Boulder, CO. pp. 3-33. Messer N dan P Townsley. 2003. Local Institutions and Livelihoods: Guideline for Analysis. FAO. Rome. pp. 10-11. Nababan A. 2003. Intip Hutan. Edisi Mei-Juli 2003: 4-7. Nababan A. 2004. Intip Hutan. Edisi Februari 2004: 5-8. Pasaribu S dan K Suradisastra. 2010. Harmonisasi Kelembagaan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai di Indonesia. Dalam S. Pasaribu, K. Suradisastra, B. Sayaka dan A. Dariah (Eds.): Degradasi Sumber Daya Alam dan Upaya Penataan Kembali. Bogor: IPB Press. Scott WR. 2008. Institutions and Organizations: Ideas and Interests. Edisi Ketiga. Los Angeles: Sage Publication. pp. 48-50. Swastika DKS, J Wargiono, Soejitno dan A Hasanuddin. Analisis Kebijakan Peningkatan Produksi Padi Melalui Efisiensi Pemanfaatan Lahan Sawah di Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian 5 (1): 36-52. Uphoff NT. 1999. The Role of Institutions in Rural Community Development: What Have We Learned? Report of APO Study Meeting on Role of Institutions in Rural Community Development. Colombo, 21-29 September 1998. Asian Productivity Organization. Tokyo. pp. 97-115. Withers B dan J Wilsinski. 2007. Resolving Conflicts on the Job. Edisi Kedua. New York: Amacom. pp. 2-4. 63 ANCAMAN TERHADAP KEMANDIRIAN PANGAN NASIONAL Lampiran 1. Perkembangan produksi beberapa komoditas pangan, 2005–2009 No. Komoditas 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. Padi Jagung Kedelai Kacang tanah Ubikayu Ubijalar Sayuran Buah-buahan Minyak kelapa sawit (CPO) Gula Daging (sapi & kerbau) Ayam Telur Susu Ikan Produksi (000 ton) 2005 2006 2007 2008 2009* 54,151 12,524 808 836 19,321 1,857 9,102 14,787 11,862 2,393 397 1,081 1,052 536 7,218 54,455 11,609 748 838 19,987 1,854 9,527 16,171 17,351 2,267 440 1,203 1,204 617 7,395 57,157 13,288 593 789 19,988 1,887 9,941 17,352 17,373 2,297 381 1,238 1,382 568 7,608 60,280 15,860 761 765 20,834 62,561 17,041 925 764 21,990 1,947 10,190 18,302 na 3,046 263 781 1,475 678 8,711 1,824 10 234 19,275 17,110 2,39 396 1,300 1,485 574 8,048 Pertumb Pertumb. 05–09 (%) 08–09 (%) 3,69 8,49 5,43 (2,20) 3,31 1,26 (2,88) 5,68 na 6,88 (8,06) (5,18) 9,00 6,59 4,84 3,78 7,45 21,55 (0,13) 5,55 6,74 (0,43) (5,07) na 27,23 (33,59) (39,92) -0,67 18,12 8,24 Sumber: Dewan Ketahanan Pangan (2010) Catatan: * Angka perkiraan Lampiran 2. Beberapa pasal dari UU No. 5/1960; UU No. 26/2007; dan UU No. 12/1992 Pasal 10 (Ayat 1 dan 2) 1. Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan. 2. Pelaksanaan daripada ketentuan dalam Ayat (1) pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan peraturan perundangan. Dalam Pasal 10 Ayat 1 dan 2 dirumuskan suatu asas yang pada dewasa ini sedang menjadi dasar daripada perubahan-perubahan dalam struktur pertanahan hampir di seluruh dunia, yaitu di negara-negara yang telah/sedang menyelenggarakan apa yang disebut “landreform” atau “agrarian reform” yaitu, bahwa “Tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri”. Agar semboyan ini dapat diwujudkan perlu diadakan ketentuan-ketentuan lainnya. Misalnya perlu ada ketentuan tentang batas minimum luas tanah yang harus dimiliki oleh orang tani, supaya ia mendapat penghasilan yang cukup untuk hidup layak bagi diri sendiri dan keluarganya (Pasal 13 yo Pasal 17). Pula perlu ada ketentuan mengenai batas maksimum 64 KONFLIK KELEMBAGAAN DALAM PEMANFAATAN DAN PENATAAN LAHAN PERTANIAN luas tanah yang boleh dipunyai dengan hak milik (Pasal 17), agar dicegah tertumpuknya tanah di tangan golongan-golongan yang tertentu saja. Dalam hubungan ini, Pasal 7 memuat suatu asas yang penting, yaitu bahwa pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak dipekenankan, karena hal yang demikian itu adalah merugikan kepentingan umum. Akhirnya, ketentuan itu perlu dibarengi pula dengan pemberian kredit, bibit, dan bantuanbantuan lainnya dengan syarat-syarat yang ringan, sehingga pemiliknya tidak akan terpaksa bekerja dalam lapangan lain, dengan menyerahkan penguasaan tanahnya kepada orang lain. Mengingat susunan masyarakat pertanian kita sekarang ini, kiranya sementara waktu yang akan datang masih perlu dibuka kemungkinan adanya penggunaan tanah pertanian oleh orang-orang yang bukan pemiliknya, misalnya secara sewa, berbagi-hasil, gadai dan lain sebagainya. Tetapi segala sesuatu peraturan-peraturan lainnya, yaitu untuk mencegah hubungan-hubungan hukum yang bersifat penindasan si lemah oleh si kuat (Pasal 24, 41 dan 53). Begitulah misalnya pemakaian tanah atas dasar sewa, perjanjian bagi-hasil, gadai dan sebagainya itu tidak boleh diserahkan pada persetujuan pihak-pihak yang berkepentingan sendiri atas dasar “freefight”, tetapi penguasa akan memberi ketentuan-ketentuan tentang cara dan syarat-syaratnya, agar dapat memenuhi pertimbangan keadilan dan dicegah caracara pemerasan (“exploitation de l-’homme par l’homme”). Sebagai misal dapat dikemukakan ketentuan-ketentuan di dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1960 tentang “Perjanjian Bagi Hasil” (L.N. 1960 - 2). Pasal 13 (Ayat 1, 2, 3, dan 4) (1) Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian rupa, sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (3) serta menjamin bagi setiap warga-negara Indonesia derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya. (2) Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari organisasiorganisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta. (3) Usaha-usaha Pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan undang-undang. (4) Pemerintah berusaha untuk memajukan kepastian dan jaminan sosial,termasuk bidang perburuhan, dalam usaha-usaha dilapangan agraria. Ketentuan dalam Ayat 4 adalah pelaksanaan daripada asas keadilan sosial yang berperikemanusiaan dalam bidang agraria. Pasal 14 (Ayat 1) 1. Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 2 Ayat (2) dan (3), Pasal 9 Ayat (2) serta Pasal 10 Ayat (1) dan (2) Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat 65 ANCAMAN TERHADAP KEMANDIRIAN PANGAN NASIONAL suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya: a. untuk keperluan Negara, b. untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya, sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa; c. untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan; d. untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan serta sejalan dengan itu; e. untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan. Pasal ini mengatur soal perencanaan persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa sebagai yang telah dikemukakan dalam penjelasan umum (II Angka 8). Mengingat akan corak perekonomian Negara di kemudian hari di mana industri dan pertambangan akan mempunyai peranan yang penting, maka di samping perencanaan untuk pertanian perlu diperhatikan, pula keperluan untuk industri dan pertambangan (Ayat 1 Huruf d dan e). Perencanaan itu tidak saja bermaksud menyediakan tanah untuk pertanian, peternakan, perikanan, industri dan pertambangan, tetapi juga ditujukan untuk memajukannya. Pengesahan peraturan Pemerintah Daerah harus dilakukan dalam rangka rencana umum yang dibuat oleh Pemerintah Pusat dan sesuai dengan kebijaksanaan Pusat. UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang Pasal 1 (Ayat 3–6) 3. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. 4. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukanruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya. 5. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. 6. Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan,dan pengawasan penataan ruang. Pasal 1 (Ayat 20–24) 20. Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budi daya. 21. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. 66 KONFLIK KELEMBAGAAN DALAM PEMANFAATAN DAN PENATAAN LAHAN PERTANIAN 22. Kawasan budi daya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan. 23. Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. 24. Kawasan agropolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agrobisnis. Pasal 3 (Ayat c) c. Terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang. Pasal 7 (Ayat 1–3) 1. Negara menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. 2. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), negara memberikan kewenangan penyelenggaraan penataan ruang kepada Pemerintah dan pemerintah daerah. 3. Penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) dilakukan dengan tetap menghormati hak yang dimiliki orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. UU No. 12/1992 Bab V tentang Tata Ruang dan Tata Guna Tanah Budi Daya Tanaman 1. Pemanfaatan lahan untuk keperluan budi daya tanaman disesuaikan dengan ketentuan tata ruang dan tata guna tanah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), dilakukan dengan memerhatikan kesesuaian dan kemampuan lahan maupun pelestarian lingkungan hidup khususnya konservasi tanah. Pasal 45 Perubahan rencana tata ruang yang mengakibatkan perubahan peruntukan budi daya tanaman guna keperluan lain dilakukan dengan memerhatikan rencana produksi budi daya tanaman secara nasional. 67 ANCAMAN TERHADAP KEMANDIRIAN PANGAN NASIONAL Pasal 46 1. Pemerintah menetapkan luas maksimum lahan untuk unit usaha budi daya tanaman yang dilakukan di atas tanah yang dikuasai oleh Negara. 2. Setiap pcrubahan jenis tanaman pada unit usaha budi daya tanaman di atas tanah yang dikuasai oleh negara harus memperoleh persetujuan Pemerintah. 3. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), dan Ayat (2), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 68