HUBUNGAN KONTROL DIRI DENGAN KREATIVITAS PEKERJA ZULKARNAIN, S. Psi Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Latar Belakang Masalah Kondisi tenaga kerja Indonesia saat ini kurang begitu menggembirakan. Data BPS tahun 1996, tenaga kerja Indonesia menurut golongan usia dan pendidikan tertinggi yang ditamatkan diperoleh 6,664 persen (729.858) tidak sekolah, 12,460 persen (1.364.605) tidak tamat sekolah, 28,168 persen (3.048.859) Sekolah Dasar, 13, 874 persen (1.519.436) Sekolah Menengah Pertama, 30,259 persen (3.313.510) Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, 4,153 persen (454.841) Diploma dan 4,423 persen (484.374) Universitas. Melihat kenyataan tersebut, kondisi tenaga kerja perlu mendapat perhatian lebih dalam era PJP II ini. Pada pembangunan jangka panjang kedua disebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi harus didukung oleh produktivitas dan efisiensi sumber daya manusia yang berkualitas (GBHN, 1993). Untuk mencapai sasaran itu diperlukan usaha mengembangkan kemampuan individu yang berkesinambungan dan memenuhi syarat-syarat sebagai seorang tenaga kerja yang berkualitas. Sunardi (1992) menyatakan syarat seorang calon tenaga kerja yang baik antara lain yaitu memiliki pengetahuan luas, ketrampilan yang memadai, mampu berkomunikasi secara lisan maupun tertulis dengan baik, memiliki motivasi yang kuat, mau bekerja keras, serta mampu bekerja secara cermat dan tepat. Tenaga kerja Indonesia perlu dibenahi karena ada lima sikap mental yang tidak mendukung peningkatan produktivitas yaitu : (a) Kurang disiplin, (b) kurang kreatif, (c) kurang inovatif, (d) kurang motivasi, (e) kurang dinamis dalam melaksanakan pekerjaan (Batubara, 1988). Pembinaan dan pengembangan tenaga kerja, mulai tampak dilakukan baik pada sektor pemerintahaan maupun sektor swasta. Di pihak pemerintah, pembenahan tenaga kerja dilakukan dalam wujud peningkatan efisiensi dan produktifitas kerja aparat-aparatnya mulai dari pegawai eselon tingkat bawah sampai kepada pegawai eselon tingkat atas. Kemudian di pihak swasta, setiap perusahaan mulai merencanakan dan melebihkan perhatiannya pada program HRD atau Human Resource Development. Wujud HRD dalam perusahaan nampak pada proses rekruitmen dan seleksi yang kian ketat, serta juga gencarnya training-training yang dilakukan. Salah satu konsekuensi dalam penggunaan pendekatan ketenagakerjaan dalam proses pembangunan nasional adalah pengembangan kemampuan para tenaga kerja. Usaha membangun dan mengembangkan kemampuan yang dimiliki oleh individu itu bisa diwujudkan dengan meningkatkan pendidikan dan pelatihan serta dengan memberinya kepercayaan untuk ikut memecahkan persoalan dan memperbaiki lingkungan dan iklim kerja (Ravianto, 1985). Potensi dan kemampuan tenaga kerja perlu dikembangkan terus menerus, sehingga daya guna dapat semakin meningkat dan individu tidak saja dilihat sebagai mahluk yang berkebutuhan sandang-pangan-papan, keamanan, sosial, dan 2002 digitized by USU digital library 1 penghargaan, tetapi juga sebagai mahkluk mengaktualisasikan dirinya (Munandar, 1988). yang berkebutuhan untuk Dunia industri dan bisnis merupakan dunia yang bersifat kompetitif. Dikatakan demikian karena setiap perusahaan berorientasi pada laba atau profit oriented. Untuk mendapatkan laba komersial tentunya setiap perusahaan (organisasi) berusaha keras merebut pangsa pasar yang menjadi sasaran produknya. Padahal kondisi pasar sekarang sudah mulai ketat, sebab telah dimasuki oleh banyak perusahaan yang tumbuh dengan produk sejenis. Akibatnya, kompetisi bisnis saat ini kian bertambah ketat. Soejatmiko (1990) menekankan bahwa hal yang penting dalam dunia yang terus berubah dan sangat kompetitif ini adalah kemampuan untuk kreatif terhadap tantangan baru, bersama dengan suatu kemampuan mengantisipasi perkembangan dan inovatif. Dalam era globalisasi ini, kemajuan di segala bidang serta arus informasi yang demikian pesat menuntut pengembangan kemampuan kerja individu secara maksimal. Pengembangan kemampuan kerja individu ini dimaksudkan untuk membentuk atau menggali seluruh kemampuan yang dimiliki oleh individu. Sehingga diharapkan individu mampu menjawab tantangan jaman. Individu dituntut untuk senantiasa menyesuaikan diri, mampu bergerak dengan cepat, serta dituntut untuk lebih mampu mencari alternatif baru dalam mencari pemecahan masalah yang dihadapi. Selanjutnya berbicara mengenai ketenagakerjaan, dengan sendirinya terkait dengan pembicaraan mengenai keseluruhan aspek psikis, terutama soal kepribadian. Bila dikaji secara lebih mendalam, ternyata aspek kepribadian ini merupakan faktor yang paling essensial dalam hal peningkatan tenaga kerja. Betapa hebatnya kualitas kepribadian pekerja-pekerja Jepang, negara ini miskin sumber daya alam, tetapi kaya akan kreativitas, inovasi, dan kesungguhan untuk maju, sehingga mampu mensejajarkan diri dengan negara-negara maju, Amerika Serikat dan Eropa, serta bahkan mampu mengunggulinya (Gellerman, 1983), terutama dalam soal perdagangan produk otomotif, robot dan “microchip”. Pekerja-pekerja Jepang merupakan tangki berbagai ide, yang menawarkan berjuta-juta gagasan untuk memperoleh mutu terbaik dalam setiap tindakan dan hasil kerja mereka, usaha ini tentu saja memerlukan pemunculan potensi kreatif setiap karyawan (Barra, 1986). Marbun (1985) menyatakan berkat pendidikan yang teratur, berencana dan konsekuen, maka manusia Jepang menjadi tenaga kerja yang terbaik di dunia, dimana orang Jepang tidak cepat puas dalam arti selalu mencari kemungkinankemungkinan perbaikan atau suatu gerakan dinamis yang tidak ada dan tidak pernah ada selesai-selesainya. Kualitas pribadi pekerja Jepang nampak pada kedisiplinan, keuletan dan yang tidak kalah pentingnya adalah kreativitas pekerjanya. Oleh sebab kreativitas pekerjanya, mereka dapat menghasilkan temuan-temuan baru dalam hal teknologi, antara lain produk otomotif dan elektronika, serta juga produk softwarenya. Kreativitas tidak lain adalah suatu usaha setiap karyawan untuk mengindentifikasi masalah, berpikir dan menggunakan kebijakan yang ada pada diri mereka. Proses kreativitas terlibat secara efektif, baik dalam kualitas maupun kuantitas (Juse, 1983). Kreativitas merupakan potensi yang dimiliki oleh para tenaga kerja yang sangat penting dan harus dibina serta dikembangkan pada diri setiap pekerja. Kreativitas 2002 digitized by USU digital library 2 pekerja akan sangat menunjang produktivitas kerja, dan secara keseluruhan akan meningkatkan performance kerja atau kinerja suatu perusahaan, sehingga efisiensi serta efektivitas kerja perusahaan akan tercapai. Individu yang kreatif adalah individu yang penuh dengan keterbukaan terhadap segala sumber yang dimilikinya, mempermainkan dan mengolah sumber tersebut untuk mencari alternatif. Karena itu terkadang akan terasa sulit bagi orang lain untuk menarik kesimpulan apakah individu kreatif tersebut sedang bersungguhsungguh atau tidak, dalam perilaku mereka (Anastasi, 1982). Guildford (1971) berpendapat bahwa kreativitas merupakan suatu kemampuan berpikir divergen atau pemikiran dalam menjajaki bermacam-macam alternatif jawaban terhadap suatu persoalan, yang sama benarnya. Selanjutnya Guilford (1971) mengemukakan faktor penting yang merupakan sifat dari kemampuan kreatif yaitu : fluency, flexibility, originality dan elaboration. Pada dasarnya, setiap individu mempunyai potensi untuk menjadi kreatif, tetapi potensi tersebut tidak akan berkembang dengan baik apabila individu tidak menjumpai lingkungan yang memacu sejak awal (Amien, 1983). Lingkungan yang memberikan kebebasan dalam berpikir dan bertindak (Noerhadi, 1980) serta mampu menciptakan kondisi keamanan dan kebebasan secara psikologis merupakan salah satu peluang yang memungkinkan timbulnya kreativitas (Rogers dalam Munandar, 1985). Namun demikian, terdapat faktor internal yang penting yang kemungkinan dapat menghambat kreativitas pekerja, yaitu faktor self-control (kontrol diri) yang sudah barang tentu dimiliki oleh setiap pekerja. Budaya ketimuran yang terinternalisasi dalam setiap pekerja akan bisa memperlambat usaha pembinaan kreativitas pekerja. Budaya timur tersebut memiliki kaitan dengan kontrol diri. Dalam dunia kerja, kontrol diri tampak pada perilaku pekerja dalam wujud tidak adanya insiatif dalam mengambil keputusan karena takut terhadap atasan, takut menghadapi risiko, kurang aktif dalam mencari informasi-informasi mengenai pekerjaannya, tidak adanya suatu keinginan untuk mengubah cara-cara kerja yang telah baku. Perilaku karyawan di tempat kerja merupakan faktor utama yang mempengaruhi kinerja dan pertumbuhan setiap organisasi. Sehingga untuk meningkatkan produktivitas dan efektivitas perusahaan para pekerja dituntut untuk lebih kreatif dan mampu menampilkan alternatif dari cara kerja atau prosedur kerja yang biasa dilakukan oleh pekerja. 2002 digitized by USU digital library 3 TINJAUAN PUSTAKA A. Kreativitas Manusia adalah mahkluk berkarakteristik kerja atau sebagai homo faber. Untuk mengaktualisasikan segala kebutuhannya individu perlu sarana atau media, dan pilihan yang tidak dapat dibantah lagi ialah hanya melalui bekerja, sebagai media pemenuhan kebutuhan-kebutuhan (Noerhadi, 1980). Kerja memiliki nilai yang penting dalam kehidupan manusia. Dengan bekerja, seseorang akan dapat memperoleh segala yang ia butuhkan, sekaligus mencetuskan karya-karya kreatif dan inovasi sebagai akibat dari kecenderungan seseorang untuk mencoba menggapai efektivitas dan efisiensi dalam pekerjaannya. Dua faktor utama yang mempengaruhi proses kerja dalam usahanya mencapai prestasi kerja terbaik adalah keyakinan terhadap kemampuan diri yang disebut sebagai kepercayaan diri (Kumara, 1988) dan kemampuan individu dalam menghasilkan ide atau gagasan untuk diolah kembali menjadi gagasan yang baru yang diistilahkan dengan kreativitas (Rawlinson, 1981). Pada dunia industri persoalan kreativitas pekerja dipandang sangat penting. Ini dimaksudkan agar timbul suatu solusi mengenai penggunaan cara atau pun metode kerja yang lebih efektif dan efisien serta dengan penemuan-penemuan produk baru. Namun demikian, kreativitas pekeja tidak akan pernah lepas dari persoalan kontrol diri pekerja. 1. Pengertian Kreativitas Dalam era globalisasi saat ini, kreativitas merupakan pendukung kerja yang penting, karena kemajuan suatu negara sangat tergantung pada sumbangan kreatif yang berupa ide-ide baru dan teknologi baru dari masyarakat (Jersild, Sawrey dan Telford dalam Mulyani, 1987). Setiap individu memiliki potensi kreatif dalam bertingkah laku, yang secara luas dapat diartikan bahwa setiap orang mempunyai potensi kreatif dalam hal berpikir, bertindak serta berasa. Potensi kreatif ini berbeda dengan aktualisasi, kualitas, maupun kuantitasnya pada masing-masing orang, tergantung pada faktor-faktor tertentu, seperti halnya kontrol diri (Semiawan, 1983). Rogers (dalam Robert, 1975) berpendapat bahwa kreativitas merupakan gerakan humanistis, kecenderungan-kecenderungan manusia untuk mengaktualisasikan dirinya sesuai kemampuan yang dimilikinya. Rogers (1975) mendefinisikan kreativitas sebagai munculnya suatu hasil yang baru, berkembangnya satu sisi individual secara unik serta materi, kejadian, orang-orang atau lingkungan hidup menjadi lain. Pengertian kreativitas dikemukan oleh Drevdahl (dalam Medinnus dan Johnson, 1976), menyatakan bahwa kreativitas merupakan kemampuan untuk mencipta karangan, hasil atau ide-ide baru yang sebelumnya tidak dikenal oleh pencipta, kemampuan ini merupakan aktivitas imajinatif atau berpikir sintesis, yang hasilnya bukan merupakan pembentukan kombinasi dari informasi yang diperoleh dari pengalaman-pengalaman sebelumnya menjadi hal yang baru, harus berarti dan bermanfaat. Campbell (dalam Manguhardjana, 1986) mengemukakan pendapatnya mengenai kreativitas. Kreativitas merupakan suatu kegiatan yang mendatangkan hasil yang sifatnya : 1. Baru atau novel, yang diartikan sebagai inovatif, belum ada sebelumnya, segar, menarik, aneh dan mengejutkan. 2002 digitized by USU digital library 4 2. Berguna atau useful, yang diartikan sebagai lebih enak, lebih praktis, mempermudah, mendorong, mengembangkan, mendidik, memecahkan masalah, mengurangi hambatan, mengatasi kesulitan, mendatangkan hasil yang baik. 3. Dapat dimengerti atau understandable, yang diartikan hasil yang sama dapat dimengerti dan dapat dibuat di lain waktu, atau sebaliknya peristiwa-peristiwa yang terjadi begitu saja, tak dapat dimengerti, tak dapat diramalkan dan tak dapat diulangi. Guilford (dalam Munandar, 1977) mengatakan bahwa kreativitas merupakan kemampuan berpikir divergen atau pemikiran menjajaki bermacam-macam alternatif jawaban terhadap suatu persoalan, yang sama benarnya. Selanjutnya dilakukan penelitian mengenai kreativitas dengan menggunakan analisis faktor, ditemukan faktor penting yang merupakan sifat dari kemampuan berpikir kreatif yaitu : a. Fluency of thinking atau kelancaran berpikir, yaitu banyaknya ide yang keluar dari pemikiran seseorang. b. Flexibility atau keluwesan, yaitu kemampuan untuk menggunakan bermacammacam pendekatan dalam mengatasi persoalan; orang yang kreatif adalah orang yang luwes dalam berpikir, mereka dengan mudah dapat meninggalkan cara berpikir lama dan menggantikan dengan cara berpikir yang baru. c. Elaboration, yaitu kemampuan dalam mengembangkan gagasan dan mengurai secara terinci. d. Originality atau keaslian, yaitu kemampuan untuk mencetuskan gagasan asli. Kreativitas merupakan kemampuan untuk menampilkan alternatif dari apa yang sudah ada atau dari prosedur yang biasa dilakukan (Renzulli dalam Monks, Knoers dan Haditono, 1992). Para ahli beranggapan bahwa kreativitas adalah potensi yang pada dasarnya dimiliki oleh setiap orang, dalam derajat yang berbeda-beda (Semiawan, 1983). Meskipun telah disetujui bahwa kreativitas adalah konsep yang luas dan majemuk meliputi aspek kognitif dan non kognitif, tetapi penelitian yang membahas konsep ini lebih banyak menekankan pada keterkaitan antara kreativitas dengan aspek kognitif seperti inteligensi dan prestasi belajar (Kuwato, 1993). Munandar (1990) beranggapan bahwa untuk mengembangkan potensi kreatif, dibutuhkan usaha-usaha mengembangkan aspek non kognitif. Salah satu aspek non kognitif tersebut adalah sifat-sifat dalam kepribadian seseorang. Banyak penelitian yang berkesimpulan bahwa aspek-aspek non-kognitif seperti sifat, minat dan tempramen, akan turut menentukan produktivitas kreatif (Munandar, 1990). Latihan-latihan pengembangan aspek non-kognitif seperti berani mencoba sesuatu, berani mengambil resiko, usaha peningkatan minat dan motivasi berkreasi, pandai memanfaatkan waktu, serta kepercayaan diri dan harga diri akan sangat menetukan kreativitas (Munandar, 1985). Berdasarkan uraian di atas, definisi kreativitas dengan demikian diperoleh. Kreativitas dalam kerja merupakan kemampuan untuk menampilkan alternatif dari cara kerja yang sudah ada atau dari prosedur kerja yang biasa dilakukan. Mengarah pada penggunaan cara-cara kerja yang lain dari biasanya dan mendukung pencapaian efektivitas, efisiensi, serta produktivitas kerja. Individu yang kreativitasnya tinggi berusaha secara terus-menerus untuk menemukan dan mencoba cara-cara kerja yang lain yang lebih efektif dan efisien, serta dimaksudkan untuk mencapai produktivitas kerja yang tinggi. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kreativitas 2002 digitized by USU digital library 5 Faktor-faktor yang mempengaruhi kreativitas menurut Munandar (1985) adalah kemampuan berpikir dan sifat kepribadian yang berinteraksi dengan lingkungan tertentu. Faktor kemampuan berpikir terdiri dari kecerdasan (inteligensi) dan pemerkayaan bahan berpikir berupa pengalaman dan ketrampilan. Faktor kepribadian terdiri dari ingin tahu, harga diri dan kepercayaan diri, sifat mandiri, berani mengambil resiko dan sifat asertif (Kuwato, 1993). Faktor individu yang mendukung berkembangnya kreativitas (Rogers dalam Robert, 1975) adalah keterbukaan individu terhadap pengalaman di sekitarnya, kemampuan untuk mengevaluasi hasil yang diciptakan dan kemampuan untuk menggunakan elemen dan konsep yang ada. Ditambahkan bahwa yang membedakan kreativitas antara individu dengan individu yang lain adalah perbedaan aspek internal individu dan aspek eksternalnya. Faktor internal individu, Rogers (1975) mengatakan bahwa kondisi internal yang memungkinkan timbulnya proses kreatif adalah : a. Keterbukaan terhadap pengalaman, terhadap rangsangan-rangsangan dari luar maupun dari dalam (firasat, alam pra sadar). Keterbukaan terhadap pengalaman adalah kemampuan menerima segala sumber informasi dari pengalaman hidupnya sendiri dengan menerima apa adanya, tanpa ada usaha defense, tanpa kekakuan terhadap pengalaman-pengalaman tersebut dan keterbuka- an terhadap konsep secara utuh, kepercayaan, persepsi dan hipotesis. Dengan demikian individu kreatif adalah individu yang mampu menerima perbedaan. b. Evaluasi internal, yaitu bahwa pada dasarnya penilaian terhadap produk ciptaan seseorang terutama ditentukan oleh diri sendiri, bukan karena kritik dan pujian dari orang lain. Walaupun demikian individu tidak tertutup dari kemungkinan masukan dan kritikan dari orang lain. c. Kemampuan untuk bermain dan bereksplorasi dengan unsur-unsur, bentukbentuk, konsep-konsep. Kemampuan untuk membentuk kombinasi dari hal-hal yang sudah ada sebelumnya. Sprinthall dan Sprinthall (1974) mengatakan bahwa di samping faktor lingkungan yang mampu menerima dan mendorong individu untuk selalu mencoba alternatif dari apa yang selama ini telah diketahui, maka individu kreatif juga dituntut untuk memiliki pengetahuan dan kemampuan mengolah segala apa yang telah dimilikinya untuk mencapai tujuan yang telah ditentukannya. Kemampuan menguasai pengetahuan sangat ditentukan oleh kemampuan inteligensi. Inteligensi merupakan kemampuan untuk belajar secara luas. Untuk mencari jawaban atas permasalahan atau untuk menampilkan alternatif dari apa yang sudah ada atau dari prosedur yang biasa, sangat ditentukan oleh pengetahuan subjek tentang apa-apa yang dapat dilakukan dan cara yang biasa dilakukan sebelumnya. Pengetahuan ini membutuhkan penguasaan terhadap materi yang ada dan permasalahan yang dihadapi. Dapat dikatakan bahwa untuk dapat menampilkan gagasan-gagasan individu dituntut memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai materi yang dihadapi. Ini berarti diperlukan kemampuan menyerap pengetahuan yang memadai (Munandar, 1988). Para ahli mengasumsikan bahwa asertivitas penting juga bagi pengembangan kreativitas. Asertivitas merupakan salah satu cara yang paling efektif untuk mencapai kebebasan diri dan rasa kepercayaan diri. Di dalam asertivitas terkandung sifat-sifat rasa kepercayaan diri, kebebasan berekspresi secara jujur, tegas dan terbuka tanpa mengecilkan dan mengesampingkan arti orang lain dan berani bertanggung jawab (Reputrawati 1996). Neilage dan Adam (1982) menyatakan 2002 digitized by USU digital library 6 bahwa asertivitas merupakan proses untuk menghilangkan hambatan personal sehingga dapat mengembangkan kreativitasnya. Norton dan Warnick (dalam DeVito, 1986) menyebutkan ciri-ciri orang yang asertif sebagai berikut : a. Terbuka, dalam arti dapat mengemukakan perasaannya secara jujur kepada semua orang. b. Mempunyai intensitas komunikasi yang tinggi dan dominan. c. Mampu menyesuaikan diri dengan segala macam situasi komunikasi sehingga tidak mempunyai kecemasan dalam berkomunikasi. d. Mampu berdebat dan berargumentasi. e. Tidak dapat diintimidasi dan tidak mudah dipengaruhi. Perilaku asertif mencakup komponen tingkah laku yang membentuk kemampuan seseorang untuk berkomunikasi. Orang yang asertif tidak mempunyai kecemasan sehingga mampu bersikap tegas dan tidak ragu-ragu dalam berbicara. Baer (dalam Rakos, 1991) menyatakan bahwa individu yang sudah terbiasa merespon secara asertif, akan tetap berperilaku asertif dalam segala macam situasi. Sebaliknya, Galassi (dalam Rakos, 1991) berpendapat bahwa perilaku asertif merupakan suatu situasi yang spesifik, sehingga individu yang berperilaku asertif pada suatu lingkungan tertentu, belum tentu akan berperilaku asertif pula dalam lingkungan yang berbeda. Kreativitas merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi cara individu dalam mengambil keputusan. Keputusan yang kreatif penting untuk kelangsungan efektivitas organisasi, karena keberadaannya berpengaruh langsung terhadap produktivitas, memberi sumbangan dalam riset dan strategi pemunculan produk baru atau bidang-bidang lain. Keputusan kreatif seringkali baru dan berbeda dari apa yang berlaku, namun tidak bersifat eksentrik (Campbell dalam Mangunhardjana, 1986). Para ahli mencoba merumuskan pengertian dalam melakukan pertimbangan dan pengambilan keputusan. Diantaranya adalah Stoner (1982) yang mendefinisikan bahwa pengambilan keputusan merupakan kegiatan memilih satu atau lebih dari sejumlah alternatif untuk mencari penyelesaian suatu masalah tertentu. Dalam organisasi-organisasi yang berorientasi pada tugas, aktivitas pemecahan masalah kerapkali dinamakan pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan bersifat fundamental bagi kehidupan manusia dan perilaku organisasi karena merupakan alat untuk melaksanakan pengawasan terhadap individu yang bekerja. Herbert (1977) merumuskan proses pengambilan keputusan tiga fase pokok dalam proses pengambilan keputusan, yaitu : a. Aktivitas intelijen. Dengan meminjam istilah “intelejen” dari kaum militer, maka fase inisial ini terdiri dari tindakan meneliti lingkungan untuk menemukan kondisi-kondisi yang mengharuskan adanya keputusan. b. Aktivitas disain. Pada fase kedua ini, terjadi tindakan : menemukan (penemuan), mengembangkan dan menganalisa tindakan-tindakan yang akan dilakukan. c. Aktivitas pilihan. fase ketiga dan yang terakhir adalah pilihan sebenarnya dimana orang memilih kelompok tindakan-tindakan dari alternatif yang tersedia. Aspek eksternal (lingkungan) yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya kreativitas adalah lingkungan kebudayaan yang mengandung keamanan dan kebebasan psikologis. Kreativitas muncul dari kualitas dan keunikan 2002 digitized by USU digital library 7 individu yang memungkinkan terciptanya hal-hal yang baru. Faktor lingkungan yang terpenting adalah lingkungan yang memberikan dukungan dan kebebasan bagi individu (Rogers, 1975). Timbul dan berkembangnya kreativitas menjadi suatu kreasi, tidak lepas dari pengaruh kebudayaan serta pengaruh masyarakat tempat individu tinggal (Soemardjan, 1983). Adiyanti (dalam Munandar, 1988) mengatakan bahwa kebudayaan yang memungkinkan pertumbuhan dan perkembangan kreativitas adalah kebudayaan yang menghargai kreativitas. Pada kebudayaan yang menghargai kreativitas akan muncul interaksi antara individu-individu yang berarti. Interaksi ini mencakup sekelompok orang yang ahli dalam bidang tertentu dengan kelompok dari ahli-ahli bidang lain, dengan kesempatan bekerjasama. Berdasarkan pada uraian di atas, disimpulkan bahwa ada faktor-faktor yang mempengaruhi kreativitas yaitu faktor internal individu dan faktor eksternal (lingkungan) individu. 3. Tahapan dalam berpikir kreatif Individu yang kreatif memiliki tahapan dalam berpikir kreatif. Tahapan-tahapan (Rossman, dalam Morgan dan King, 1975) tersebut yaitu periode preparation (persiapan), periode incubation (inkubasi) dan periode illumination (penerangan). a. Periode persiapan. Pada periode ini individu meletakkan dasar pemikiran, menyatakan masalah dan mengumpulkan materi-materi yang diperlukan untuk pemecahan masalah. Individu juga mempelajari mengenai latar belakang masalah serta seluk beluknya. b. Periode inkubasi. Individu seolah-olah melepaskan diri untuk sementara dari masalah yang dihadapi atau tidak memikirkan secara sadar, tetapi menyimpannya dalam alam pra dasar. Artinya individu mencari kegiatankegiatan yang melepaskan diri dari kesibukan pikiran terhadap masalah yang dihadapi, namun untuk sementara waktu. c. Periode penerangan. Hasil kreatif baru muncul pada periode ini, individu mengalami insight, ide untuk pemecahan masalah muncul secara tiba-tiba dan diikuti dengan perasaan senang. Para ahli lain yaitu Campbell (dalam Mangunhardjana, 1986) menambahkan periode concentration (konsentrasi), dan Wallas (dalam Morgan dan King, 1975) menambahkan periode terakhir yaitu periode verification (pembuktian). Pada periode konsentrasi Individu secara sepenuhnya memusatkan mengenai permasalahan yang dihadapi, sedangkan pada periode pembuktian ini merupakan periode terakhir dalam berpikir kreatif. Individu mengekspresikan ide-idenya dalam bentuk yang nyata. Dalam menentukan apakah penyelesaian masalah nampak dalam fakta-fakta yang benar, individu mengevaluasi hasil penyelesaian masalah. Pada periode ini diperlukan pola berpikir kritis. 4. Ciri-ciri dan Kepribadian individu kreatif Individu yang kreatif menunjukan ciri yang berbeda dalam hal motivasi, intelektual, dan kepribadian pada suatu bidang. Sejumlah studi yang membahas mengenai pola kepribadian anak, remaja, maupun orang dewasa yang kreatif ditemukan bahwa tidak ada ciri yang tunggal yang secara khas terdapat pada orang kreatif, melainkan sejumlah ciri yang berhubungan yang disebut ciri pribadi kreatif (Hurlock, 1978). Kuwato (1993) mengatakan bahwa ciri pribadi kreatif di antaranya adalah : keberanian dalam mengambil resiko, sifat asertif (cara kerja yang cenderung pada 2002 digitized by USU digital library 8 tugas dan permasalahannya, bukan pada individu), mandiri dan independen, percaya diri, dan dorongan ingin tahu yang kuat. Allport (dalam Suryabrata, 1983) mengatakan bahwa perbedaan ciri sifat antara satu orang dengan orang yang lain akan menyebabkan perbedaan cara penyesuaian terhadap lingkungan, misalnya cara pemecahan masalah. Pada individu yang menonjol kreativitasnya akan tampak beberapa ciri sifat yang menonjol yang berbeda dibandingkan individu yang kurang kreatif (Hurlock, 1978). Ciri tersebut di antaranya adalah sifat mandiri, keberanian mengambil resiko, minat yang luas, serta dorongan ingin tahu yang kuat. Individu yang kreatif adalah individu yang memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas dalam bentuk ingatan yang berupa data informasi atau kemampuan dalam memecahkan masalah. Data informasi merupakan sesuatu yang sudah dikenal sebelumnya dan yang dipelajari oleh individu selama hidupnya. Steiner (1962) mengemukakan pendapatnya mengenai sifat dari individu yang kreatif. Individu yang kreatif adalah individu yang : a. Memiliki kelancaran konseptual. Ia mampu menghasilkan sejumlah ide dengan cepat. b. Memiliki ide bersifat orisinal dan luar biasa. c. Mempertimbangkan ide-ide atas dasar baik atau buruk ide tersebut, dan bukan atas dasar sumber ide, termotivasi oleh problem itu sendiri dan mengikutinya kemanapun arahnya. d. Menangguhkan penilaian dan menghindari komitmen secara dini. Menggunakan banyak waktu untuk melaksanakan analisis dan menerangkannya. e. Bersikap tidak otoriter, dalam arti mampu bersikap fleksibel, menerima impulsimpuls, dan eksplorasi tanpa disiplin. f. Bebas dalam hal penilaian. Kurang bersifat konformis. Kerapkali menyimpang dari ide-ide yang berlaku. Memandang diri sendiri berbeda dengan orang lain. g. Mempunyai kehidupan fantasi yang kaya dan pandangannya tentang realitas jelas. Gilmer (1978) berpendapat bahwa orang yang kreatif mampu untuk memotivasi diri, mereka tidak konvensional tetapi lebih senang untuk memperoleh ide-ide yang baru. Munandar (1985) menyatakan bahwa individu yang kreatif senang dan tertarik pada tugas-tugas majemuk, mereka berani mengambil resiko untuk membuat kesalahan dan dikritik oleh orang lain, menghargai keindahan dan tidak mudah putus asa. Hurlock (1978) menyatakan beberapa ciri kepribadian kreatif, yaitu individualitas yang kuat, yang tercermin pada sifat mandiri, keberanian dalam mengambil resiko, minat yang luas, serta dorongan ingin tahu yang kuat. Ditambahkan bahwa kreativitas juga didukung oleh keterbukaan terhadap segala sumber yang dimilikinya, mempermainkan dan mengolah sumber tersebut untuk mencari alternatif yang lain. Dapat dikatakan secara kese- luruhan, kepribadian seseorang mempengaruhi daya kreativitasnya. B. Kontrol Diri Kontrol diri merupakan salah satu potensi yang dapat dikembangkan dan digunakan individu selama proses-proses dalam kehidupan, termasuk dalam menghadapi kondisi yang terdapat di lingkungan tempat tinggalnya. Para ahli berpendapat bahwa selain dapat mereduksi efek-efek psikologis yang negatif dari 2002 digitized by USU digital library 9 stressor-stessor lingkungan, kontrol diri juga dapat digunakan sebagai suatu intervensi yang bersifat pencegahan (Gustinawati, 1990). Kontrol diri dapat mencakup semua bidang perilaku, yaitu perilaku politik, sosial, spritual, budaya dan perilaku kerja. Pengaruh kontrol diri terhadap timbulnya tingkah laku seseorang dapat dianggap cukup besar, karena tingkah laku overt merupakan hasil proses pengontrolan diri seseorang. 1. Pengertian Kontrol Diri Kontrol diri merupakan suatu kecakapan individu dalam kepekaan membaca situasi diri dan lingkungannya serta kemampuan untuk mengontrol dan mengelola faktor-faktor perilaku sesuai dengan situasi dan kondisi untuk menampilkan diri dalam melakukan sosialisasi. Kemampuan untuk mengendalikan perilaku, kecenderungan untuk menarik perhatian, keinginan untuk mengubah perilaku agar sesuai untuk orang lain, menyenangkan orang lain, selalu konform dengan orang lain, menutup perasaannya (Roosianti, 1994). Calhoun dan Acocella (1990) mendefinisikan kontrol diri (self-control) sebagai pengaturan proses-proses fisik, psikologis, dan perilaku seseorang; dengan kata lain serangkaian proses yang membentuk dirinya sendiri. Goldfried dan Merbaum (dalam Lazarus, 1976), mendefinisi-kan kontrol diri sebagai suatu kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa individu ke arah konsekuensi positif. Selain itu kontrol diri juga menggambarkan keputusan individu yang melalui pertimbangan kognitif untuk menyatukan perilaku yang telah disusun untuk meningkatkan hasil dan tujuan tertentu seperti yang diinginkan (Lazarus, 1976). Snyder dan Gangestad (1986) mengatakan bahwa konsep mengenai kontrol diri secara langsung sangat relevan untuk melihat hubungan antara pribadi dengan lingkungan masyarakat dalam mengatur kesan masyarakat yang sesuai dengan isyarat situasional dalam bersikap dan berpendirian yang efektif. Individu dengan kontrol diri tinggi sangat memperhatikan cara-cara yang tepat untuk berperilaku dalam situasi yang bervariasi. Ia cendrung untuk mengubah perilakunya sesuai dengan permintaan situasi sosial yang kemudian dapat mengatur kesan yang dibuat. Perilakunya lebih responsif terhadap petunjuk situsional, lebih fleksibel, berusaha untuk memperlancar interaksi sosial, bersikap hangat dan terbuka (Roosianti, 1994). Berinteraksi dengan orang lain, seseorang akan berusaha menampilkan perilaku yang dianggap paling tepat bagi dirinya yaitu perilaku yang dapat menyelamatkan interaksinya dari akibat negatif yang disebabkan karena respon yang dilakukannya. Calhoun dan Acocella (1990), mengemukakan dua alasan yang mengharuskan individu untuk mengontrol diri secara kontinyu. Pertama, individu hidup bersama kelompok sehingga dalam memuaskan keinginannya individu harus mengontrol perilakunya agar tidak menggangu kenyamanan orang lain. Kedua, masyarakat mendorong individu untuk secara konstan menyusun standar yang lebih baik bagi dirinya. Sehingga dalam rangka memenuhi tuntutan tersebut dibutuhkan pengontrolan diri agar dalam proses pencapaian standar tersebut individu tidak melakukan hal-hal yang menyimpang. Kontrol diri berkaitan dengan bagaimana individu mengendalikan emosi serta dorongan-dorongan dari dalam dirinya (Hurlock, 1990). Menurut konsep ilmiah, pengendalian emosi berarti mengarahkan energi emosi ke saluran ekspresi yang bermanfaat dan dapat diterima secara sosial. Memang konsep ilmiah 2002 digitized by USU digital library 10 menitikberatkan pada pengendalian, tetapi tidak sama artinya dengan penekanan. Mengontrol emosi berarti mendekati suatu situasi dengan menggunakan sikap yang rasional untuk merespon situasi tersebut dan mencegah munculnya reaksi yang berlebihan (Elfida, 1995). Ada dua kriteria yang menentukan apakah kontrol emosi dapat diterima secara sosial atau tidak. Kontrol emosi dapat diterima bila reaksi masyarakat terhadap pengendalian emosi adalah positif. Namun reaksi positif saja tidaklah cukup. Karenanya perlu diperhatikan kriteria lain, yaitu efek yang muncul setelah mengontrol emosi terhadap kondisi fisik dan psikis. Kontrol emosi seharusnya tidak membahayakan fisik dan psikis individu. Artinya, dengan mengontrol emosi kondisi fisik dan psikis individu harus membaik (Hurlock, 1973). Hurlock (1973) menyebutkan tiga kriteria emosi yang masak sebagai berikut : a. Dapat melakukan kontrol diri yang bisa diterima secara sosial. b. Dapat memahami seberapa banyak kontrol yang dibutuhkan untuk memuaskan kebutuhannya dan sesuai dengan harapan masyarakat. c. Dapat menilai situasi secara kritis sebelum meresponnya dan memutuskan cara beraksi terhadap situasi tersebut. Dalam kontrol diri individu sendiri yang menyusun standar bagi kinerjanya dan akan menghargai atau menghukum dirinya bila berhasil atau tidak berhasil mencapai standar tersebut. Dalam kontrol eksternal orang lainlah yang menyusun standar dan memberi ganjaran atau hukum. Tidak mengherankan bila kontrol diri dianggap sebagai suatu ketrampilan berharga (Calhoun dan Acocella, 1990). Kontrol diri sebagaimana yang dikemukakan di atas, secara langsung sangat relevan untuk melihat hubungan antara pribadi dengan lingkungan masyarakat dalam mengatur kesan yang sesuai dengan isyarat situasional (Snyder dan Gangestad, 1976). Schlenker (dalam Shaw dan Constanzo, 1984) mengemukakan bahwa dalam mengatur kesan ada beberapa elemen penting yang harus diperhatikan, yaitu konsep diri dan identitas sosial. Asumsi dalam teori membentuk kesan bahwa seseorang termotivasi untuk membuat dan memelihara harga diri setinggi mungkin, sehingga seseorang harus berusaha mengatur kesan diri, sedemikian rupa untuk menampilkan identitas sosial yang positif. Dengan cara memantau dan mengatur suatu identitas dalam penampilannya terhadap orang lain. Ini berarti untuk dapat mengatur kesan seseorang harus memiliki konsep diri terlebih dahulu, selanjut dapat menampilkan dirinya sesuai dengan situasi interaksi sosial sehingga terbentuk identitas sosialnya. Motivasi individu untuk mengatur kesan akan menguat apabila berada dalam situasi yang melibatkan tujuan-tujuan penting, seperti mengharapkan persetujuan atau imbalan materi (Brigham, 1991), juga apabila individu merasa tergantung kepada orang lain yang berkuasa untuk mengatur dirinya (Leary dan Kowalski, dalam Brigham, 1991). Kondisi-kondisi seperti itu merupakan kondisi penekanan (pressure condition) bagi individu, sehingga individu cenderung akan mengatur tingkah lakunya agar memberikan kesan yang positif. Berdasarkan penjelasan di atas, maka kontrol diri dapat diartikan sebagai suatu aktivitas pengendalian tingkah laku. Pengendalian tingkah laku mengandung makna yaitu melakukan pertimbangan-pertimbangan terlebih dahulu sebelum memutuskan sesuatu untuk bertindak. Semakin intens pengendalian tingkah laku, semakin tinggi pula kontrol diri seseorang. 2002 digitized by USU digital library 11 2. Jenis dan aspek-aspek kontrol diri Block dan Block (dalam Lazarus, 1976) menjelaskan ada tiga jenis kualitas kontrol diri, yaitu over control, under control, dan appropriate control. Over control merupakan kontrol diri yang dilakukan oleh individu secara berlebihan yang menyebabkan individu banyak menahan diri dalam beraksi terhadap stimulus. Under control merupakan suatu kecenderungan individu untuk melepaskan impuls dengan bebas tanpa perhitungan yang masak. Appropriate control merupakan kontrol individu dalam upaya mengendalikan impuls secara tepat. Berdasarkan Konsep Averill (1973), terdapat 3 jenis kemampuan mengontrol diri yang meliputi 5 aspek. Averill (1973) menyebut kontrol diri dengan sebutan kontrol personal, yaitu kontrol perilaku (behavior control), Kontrol kognitif (cognitive control), dan mengontrol keputusan (decisional control). a. Behavioral control Merupakan kesiapan atau tersedianya suatu respon yang dapat secara langsung mempengaruhi atau memodifikasi suatu keadaan yang tidak menyenangkan. Kemampuan mengontrol perilaku ini diperinci menjadi dua komponen, yaitu mengatur pelaksanaan (regulated administration) dan kemampuan memodifikasi stimulus (stimulus modifiability). Kemampuan mengatur pelaksanaan merupakan kemampuan individu untuk menentukan siapa yang mengendalikan situasi atau keadaan, dirinya sendiri atau sesuatu diluar dirinya. Individu yang kemampuan mengontrol dirinya baik akan mampu mengatur perilaku dengan menggunakan kemampuan dirinya dan bila tidak mampu individu akan menggunakan sumber eksternal. Kemampuan mengatur stimulus merupakan kemampuan untuk mengetahui bagaimana dan kapan suatu stimulus yang tidak dikehendaki dihadapi. Ada beberapa cara yang dapat digunakan, yaitu mencegah atau menjauhi stimulus, menempatkan tenggang waktu di antara rangkaian stimulus yang sedang berlangsung, menghentikan stimulus sebelum waktunya berakhir, dan membatasi intensitasnya. b. Cognitive control Merupakan kemampuan individu dalam mengolah informasi yang tidak diinginkan dengan cara menginterpretasi, menilai, atau menggabungkan suatu kejadian dalam suatu kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologis atau untuk mengurangi tekanan. Aspek ini terdiri atas dua komponen, yaitu memperoleh informasi (information gain) dan melakukan penilaian (appraisal). Dengan informasi yang dimiliki oleh individu mengenai suatu keadaan yang tidak menyenangkan, individu dapat mengantisipasi keadaan tersebut dengan berbagai pertimbangan. Melakukan penilaian berarti individu berusaha menilai dan dan menafsirkan suatu keadaan atau peristiwa dengan cara memperhatikan segi-segi positif secara subjektif. c. Decisional control Merupakan kemampuan seseorang untuk memilih hasil atau suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya. Kontrol diri dalam menentukan pilihan akan berfungsi baik dengan adanya suatu kesempatan, kebebasan, atau kemungkinan pada diri individu untuk memilih berbagai kemungkinan tindakan. Dari uraian dan penjelasan di atas, maka untuk mengukur kontrol diri digunakan aspek-aspek sebagai berikut : a. Kemampuan mengontrol perilaku 2002 digitized by USU digital library 12 b. Kemampuan mengontrol stimulus c. Kemampuan mengantisipasi suatu peristiwa atau kejadian d. Kemampuan menafsirkan peristiwa atau kejadian e. Kemampuan mengambil keputusan Alasan penggunaan konsep dari Averill dalam mengukur tingkat kontrol diri yang dimiliki oleh individu yaitu dapat diketahui mengenai jenis kontrol diri yang digunakan oleh individu lebih jelas dan lebih rinci.Hal ini disebabkan pada konsep ini dapat diketahui mengenai aspek-aspek yang digunakan oleh individu dalam melakukan proses pengontrolan diri. C. Hubungan Kontrol Diri dan Kreativitas Kemajuan di segala bidang serta informasi yang semakin pesat, menuntut pengembangan sumber daya secara maksimal. Pengembangan sumber daya manusia dimaksudkan agar membentuk seluruh kemampuan yang dimiliki oleh individu. Dengan demikian individu mampu untuk menghadapi tantangan jaman. Individu dituntut untuk mampu menyesuaikan diri, bergerak dengan cepat serta mampu untuk mencari alternatif baru dalam proses pemecahan masalah. Sehingga dalam mengantisipasi hal tersebut individu dituntut memiliki kemampuan untuk kreatif terhadap tantangan yang baru. Para ahli berpendapat bahwa individu yang kreatif memiliki kebebasan berpikir dan bertindak. Teori-teori yang membahas mengenai kreativitas menyebutkan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perbedaan kreativitas adalah faktor lingkungan dan faktor-faktor dalam diri seseorang, diantaranya faktor kepribadian. MacKinnon dan Barron (dalam Munandar, 1977) dalam penelitian mereka terhadap subjek yang dikategorikan kreatif, berkesimpulan bahwa perbedaan antara individu kreatif dan tidak kreatif adalah pada karakteristik tertentu dalam kepribadian mereka. Munandar (1977) pada penelitiannya memperoleh kesimpulan bahwa ciriciri sifat yang dapat dipelajari seperti minat, sikap, dan motivasi, mempunyai peran yang penting dalam hal produktivitas kreatif. Pada Penelitian sebelumnya disimpulkan bahwa individu yang memiliki ketekunan terhadap tugas serta penghayatan terhadap apa yang dikerjakan mampu menghasilkan karya-karya kreatif yang lebih banyak dibandingkan mereka yang kurang tekun dan merasa cepat puas terhadap hasil kerja. Barron, MacKinnon, dan Roe (dalam Munandar 1990) dalam penelitian mereka menyimpulkan bahwa aspek kepribadian yang mendukung munculnya perilaku kreatif yaitu : keberanian menanggung resiko, energik, adanya dorongan untuk mengetahui lebih lanjut hal-hal yang belum jelas,terbuka dalam menyatakan pendapat, memiliki rasa keindahan, mandiri dalam sikap, daya imajinasi yang kuat, senang mencoba hal-hal yang baru, memiliki minat yang luas dan bebas. Barron (dalam Meeker, 1985) pada penelitiannya menemukan bahwa orangorang kreatif menunjukan kelancaran dalam ucapan, ketrampilan tangan atau dalam pengungkapan gagasan. Individu yang memiliki kreatif motoris akan berbicara lewat ketrampilan tangan mereka sebagai cara mengungkapkan gagasan, sedangkan kreatif alami akan menunjukkan bakat dan keluwesan dalam cara berpikir, yang kadan disebut inspirasi. Individu yang kreatif menunjukan energi yang berlebih dan jadwal kerja yang menantang. Individu yang kreatif memiliki rasa percaya diri yang tinggi, mengembangkan kemampuan diri untuk tidak tergantung dan cenderung untuk menggunakan pendapat dan pertimbangannya sendiri, mampu menguasai diri dan mandiri. 2002 digitized by USU digital library 13 Potensi kreatif individu yang semula masih dalam diri menjadi teraktualisasi atau terwujudkan dalam perilaku, karena ada situasi yang aman dan bebas. Makna kebebasan dan keamanan dalam hal menyatakan pendapat, perasaan dan pikiran. Kebebasan tersebut berasal dari dirinya sendiri, termasuk di dalamnya kemampuan untuk mengendalikan diri dalam menarik alternatif yang memungkinkan untuk mengaktualisasikan potensi kreatif yang dimiliki. Sehingga pada pemunculan proses kreativitas individu, perilaku yang bersifat mandiri sangat diperlukan (Mulyani, 1987). Pribadi mandiri tiada lain dibangun oleh pribadi yang penuh rasa percaya diri. Terbentuknya rasa percaya diri pada diri individu akan meningkatkan kualitas diri individu. Perkembangan kemampuan mengontrol diri pada individu berkenaan dengan kemasakan emosi. Individu dikatakan telah mencapai kemasakan emosi apabila ia mampu untuk melepaskan emosinya dengan cara yang bisa diterima dan pada waktu yang tepat. Kontrol emosi yang sehat akan mungkin dimiliki bila individu memiliki kekuatan ego (ego strength) yaitu suatu kemampuan untuk menahan diri dari terjadinya ledakan emosi bila ingin melakukan sesuatu atau mengesampingkan perasaaan bila itu yang diinginkannya (Hurlock, 1973). Meskipun tidak secara eksplisit, kehidupan emosional seseorang juga berpengaruh terhadap kreativitas. Emosi yang labil atau dinamis, seringkali membuat orang menjadi merasa cepat bosan, tidak suka untuk mengerjakan hal-hal yang sifatnya monoton, selalu menginginkan perubahan-perubahan, bersikap aktif, dan optimis. Cara berpikir individu terhadap stimulus dapat membedakan kemampuan mereka dalam mengontrol diri. Individu yang mempunyai kemampuan berpikir positif dalam menghadapi suatu situasi dengan stimulus tertentu, akan lebih mampu mengendalikan dirinya dan dapat meneruskan kegiatannya dalam situasi tersebut. Hal ini dimungkinkan karena berpikir positif meliputi ide-ide dan kreativitas, termasuk ide individu dalam membuat perencanaan ketika bertindak. Sehubungan dengan pernyataan tersebut, Mischel dkk. (dalam Kail dan Nelson, 1993) dalam penelitian mereka, menyimpulkan bahwa kemampuan individu untuk mengendalikan diri dipengaruhi oleh perencanaan yang baik dalam bertindak. Individu dapat melakukan berbagai usaha untuk mengendalikan dirinya dengan cara berusaha untuk tidak melihat stimulus; berusaha untuk tidak menyentuh stimulus atau melakukan kegiatan yang dapat mengalihkan perhatian dari stimulus. Usaha tersebut merupakan perilaku yang terencana dan efektif sehingga individu mampu mengontrol dirinya. Penelitian yang dilakukan oleh Brigham (1991) menyimpulkan bahwa individu yang memiliki kontrol diri dalam melaksanakan tugas-tugas yang diberikan sangat dipengaruhi oleh kepemimpinan atasannya. Individu berusaha untuk mengatur kontrol dirinya agar mendapatkan persetujuan atau pun mendapatkan imbalan materi. Ini juga dilakukan oleh individu apabila individu merasa tergantung kepada orang lain yang lebih berkuasa untuk mengatur dirinya 2002 digitized by USU digital library 14 PEMBAHASAN Penelitian yang dilakukan oleh Barron, MacKinnon dan Roe (dalam Munandar, 1990) menjelaskan bahwa aspek kepribadian yang mendukung munculnya perilaku yang kreatif yaitu : keberanian menanggung resiko, energik, adanya dorongan untuk mengetahui lebih lanjut hal-hal yang belum jelas, terbuka dalam menyatakan pendapat, memiliki rasa keindahan, mandiri dalam hidup, daya imajinasi yang kuat, senang mencoba hal-hal yang sifatnya baru, memiliki minat yang luas dan bebas. Individu yang kreatif memiliki rasa percaya diri yang tinggi dalam mengembangkan kemampuan diri untuk tidak tergantung pada orang lain dan cenderung untuk menggunakan pendapat dan pertimbangannya sendiri, sehingga hal ini menyebabkan individu yang memiliki kreativitas yang tinggi berusaha secara terus menerus untuk menemukan dan mencoba cara-cara kerja yang lain dari biasanya serta berusaha agar lebih efektif dan efisien. Sesuai dengan konsep yang dijelaskan oleh Averill (1973) mengenai kontrol diri, yaitu di dalam kontrol diri tercakup tiga konsep yang berbeda yaitu behavioral control, Cognitive control dan decisional control. Behavioral control didefinisikan sebagai suatu kesiapan atau tersedianya suatu respon yang dapat secara langsung mempengaruhi atau memodifikasi karakteristik objektif di suatu keadaan yang tidak menyenangkan. Dalam hal ini subjek memiliki suatu kemampuan dalam mengendalikan atau mengatur suatu keadaan atau stimulus baik yang datang dari luar dirinya. Seseorang yang memiliki kontrol diri yang baik akan mampu mengatur tindakan berdasarkan suatu keadaan yang masih dapat diubah dan juga subjek memiliki suatu kemampuan kapan suatu stimulus tidak diinginkan atau dihadapi. Cognitive control yaitu suatu kemampuan yang dimiliki oleh subjek dalam mengolah informasi yang tidak diinginkan yang mungkin datang dari suatu cara tertentu sebagai adaptasi psikologis. Subjek melihat suatu ancaman atau sesuatu yang tidak diinginkan secara relatif objektif dan juga ancaman tersebut dimodifikasikan melalui penyesuaian dengan kebutuhan dan ukuran individu tersebut, sedangkan decisional control merupakan suatu ksempatan yang dihadapi oleh subjek untuk memilih bermacam-macam pilihan tindakan. Subjek biasanya akan memilih suatu tindakan yang dilakukan apabila dihadapkan pada suatu pilihan atau keadaan yang sedikitnya hanya terdapat dua hal yang sama beratnya dan pilihan yang diambil berdasarkan pada apa yang diyakini atau yang disetujui. Ini dilakukan oleh subjek agar perilakunya sesuai dengan tuntutan lingkungan di sekelilingnya. Kontrol diri berkaitan dengan bagaimana individu mengendalikan emosi serta dorongan-dorongan dari dalam dirinya (Hurlock, 1990). Menurut konsep ilmiah, pengendalian emosi berarti mengarahkan energi emosi ke saluran ekpresi yang bermanfaat dan dapat diterima secara sosial. Mengontrol emosi berarti mendekati suatu situasi dengan menggunakan sikap yang rasional untuk merespon situas tersebut dan mencegah munculnya reaksi yang berlebihan. Individu dengan kontrol diri yang tinggi cenderung berusaha untuk mengubah perilakunya sesuai dengan permintaan sosial yang kemudian dapat mengatur kesan yang dibuat. Motivasi individu untuk mengatur kesan akan kuat apabila berada dalam situasi yang melibatkan tujuan-tujuan penting, seperti mengharapkan persetujuan atau imbalam materi, juga apabila individu merasa tergantung kepada orang lain yang berkuasa untuk mengatur dirinya. Kondisi-kondisi ini yang menyebabkan individu cenderung akan mengatur tingkah lakunya agar memberikan kesan yang positif. Sprinthal dan Sprinthal (1974) mengatakan bahwa di samping faktor lingkungan yang mampu menerima dan mendorong individu untuk selalu mencoba alternatif dari apa yang selama ini telah diketahui, maka individu yang kreatif juga 2002 digitized by USU digital library 15 dituntut memiliki pengetahuan dan kemampuan mengolah segala apa yang telah dimilikinya untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Kemampuan menguasai pengetahuan sangat ditentukan oleh kemampuan inteligensi. Inteligensi merupakan suatu kemampuan untuk belajar secara luas. Untuk mencari jawaban atas permasalahan atau untuk menampilkan alternatif dari apa yang sudah ada atau prosedur yang biasa, sangat ditentukan oleh pengetahuan subjek tentang apa-apa yang dapat dilakukan sebelumnya. Pengetahuan ini membutuhkan penguasaan terhadap materi yang ada dan permasalahan yang dihadapi. Sehingga dapat dikatakan bahwa subjek untuk dapat menampilkan gagasannya, subjek dituntut memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai materi yang dihadapi. Hal ini berarti diperlukan kemampuan untuk menyerap pengetahuan yang memadai. 2002 digitized by USU digital library 16 KESIMPULAN Individu dalam bertindak terlebih dahulu selalu mengunakan proses filter, yaitu mempertimbangkan serta memutuskan segala aspek dari tindakan yang akan direalisasikannya. Individu mendapatkan nilai-nilai yang sudah mengkristal dalam dirinya untuk memberikan pernilaian terhadap suatu aspek konsekuensi, efektivitas, efisiensi serta kegunaan dari tindakan yang akan dilakukan. Dapat dikatakan bahwa individu memiliki sistem kontrol diri atas segala tingkah lakunya. Secara kongkrit, perilaku yang kreatif berwujud kecenderungan bekerja dengan cara-cara yang tidak konvensional. Hal ini didasari oleh dorongan keinginan yang kuat akan suatu perubahan, disertai dengan usaha terus-menerus mencoba. Akibatnya timbul kemungkinan akan penemuan cara maupun strategi yang baru. Berdasarkan pada telaah pustaka diperoleh suatu kesimpulan bahwa ada hubungan yang negatif antara kontrol diri dengan kreativitas pekerja. Ini berarti semakin tinggi kontrol diri yang dimiliki seseorang maka makin rendah kreativitas yang dimilikinya. Kontrol diri berperan dalam kreativitas seseorang pada saat individu bekerja. Hal ini sejalan dengan beberapa teori yang menyatakan bahwa kontrol diri yang dilakukan karena individu hidup bersama kelompok sehingga dalam memuaskan keinginannya individu harus mengontrol perilakunya agar tidak mengganggu kenyamanan orang lain, dan juga masyarakat mendorong individu untuk secara konstan menyusun standar yang lebih baik bagi dirinya, sehingga dalam rangka memenuhi tuntutan tersebut dibutuhkan pengontrolan diri agar dalam proses pencapaian standar tersebut individu tidak melakukan hal-hal yang menyimpang. 2002 digitized by USU digital library 17 DAFTAR PUSTAKA Amin, M., 1983. Peranan Kreativitas Dalam Pendidikan. Analisis Pendidikan. No.3. Jakarta. Armstrong. M., 1994. Performance Management. London : Kogan Page Ltd. Averill, J.R., 1973. Personal Control Over Aversive Stimuli and It’s Relationship to Stress. Psychological Bulletin, No. 80. p. 286-303. Barra, R., 1986. Menerapkan Gugus Kendali Mutu : Strategi Praktis Untuk Meningkatkan Produktivitas dan Keuntungan. Jakarta : Penerbit Erlangga. _______,.1996. Keadaan Angkatan Kerja Indonesia. Biro Pusat Statistika. Jakarta. Brigham, J.C., 1991. Social Psychology. New York : Harper Collins Publisher. Calhoun, J.F., Acocella, J.R., 1990. Psychology Relationship. New York : McGraw Hill, Inc. of Adjustment and Human Elfida, D., 1995. Hubungan Kemampuan Mengontrol Diri dan Kecenderungan Berperilaku Delinkuen pada Remaja. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi UGM. Gustinawati., 1990. Peranan Kontrol Pribadi Dalam Kesesakan Pada Penghuni Perumahan Dengan Kepadatan Tinggi di Kota Bandung. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi UGM. Guildford, J.P., 1971. The Nature of Human Intelligence. London : Mc.Graw Hill. Hurlock, E.B., 1973., Adolescent Development.(Terjemahan) Tokyo : McGraw Hill Kogakusha, Ltd. Johnson, R.C. and Medinnus, G.R., 1968. Child Psychology : Behavior and Development. (2nd edition). New York : John Willey Sons, Inc. Juse, Q.C., 1983. Gugus Kendali Mutu. Seri Manajemen PPM, No. 7. Jakarta : Pustaka Binaman Pressindo. Kail, R.V. and Nelson, R.W., 1993. Developmental Psychology. New Jersey : Prentice Hall. Kumara, A., 1988. Studi penelitian tentang Validitas dan Realibilitas “The test of Self Confidence”. Laporan penelitian. Yogyakarta : Fakultas Psikologi UGM. Lazarus, R.S., 1976. Paterns of Adjustment. Tokyo : McGraw Hill Kogakusha, Ltd. Marbun, B.N., 1985. Pengendalian Mutu Terpadu. Seri Manajemen No.110. Jakarta : Pustaka Binaman Pressindo. Meeker, M., 1985. Toward A Psychology Of Giftedness. In B.B. Wolman (eds). Handbook of Intelligence : Theories, Measurement, and Application. New York : Wiley and Sons. 2002 digitized by USU digital library 18 Mulyani. S., 1987. Hubungan Antara Kreativitas Dengan Perilaku Mandiri. Skripsi (Tidak diterbitkan). Yogyakarta. Fakultas Psikologi UGM. Munandar, A.S., 1988. Kreativitas Dalam Pekerjaan. Dalam S.C. Utami Munandar, (Penghimpun). Kreativitas Sepanjang Masa. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. Noerhadi, T.H., 1980. Kreativitas : Suatu Tinjauan Filsafat.Makalah Simposium Kreativitas. Jakarta. Ravianto, J., 1985. Produktivitas dan Manajemen. Seri Produktivitas IV. Jakarta Lembaga Informasi Usaha dan Produktivitas. Rawlinson, J.G., 1986. Berpikir Kreatif dan Brain Storming. Jakarta : Penerbit Erlangga. Rogers, C.R., 1975. Toward A Theory of Creativity, In T.B. Roberts (Eds.). Four Psychologies Applied to Education: Freudian, Behavioral, Humanistic, Transpersonal. New York : Wiley & Sons Inc. Roosianti, W., 1994. Hubungan Antara Pemantauan Diri dan Popularitas Dengan Pengungkapan Diri Pada Remaja. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi UGM. Soedjatmiko., 1990. Manusia Indonesia Menjelang Abad ke-21 dan Pendidikan. Parameter. no.98. Tahun IX. Februari. IKIP Jakarta. Sprinthall, R.C. and Sprinthall, N.A., 1974. Educational Psychology, Developmental Approach. Manila : Addison - Willey publishing Co. Steiner, G.A., 1962. The Creative organization. Graduate School of Bussiness Administration. The University Of Chicago. Stoner, J.A.F., 1982. Management. (2nd. edition). New Jersey : Prentice Hall, Inc. Suryabrata, S,. 1983. Psikologi Kepribadian. Jakarta : C.V. Rajawali. 2002 digitized by USU digital library 19