INTERAKSI SOSIAL ANTAR-ANAK TUNARUNGU

advertisement
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
INTERAKSI SOSIAL ANTAR-ANAK TUNARUNGU DAN ANAK
TUNARUNGU DENGAN ‘ANAK DENGAR’
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh:
Margaretha Langen Sekar Lelyana
NIM : 119114018
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2017
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya Tulis Ini saya persembahkan untuk:
Keluarga yang sudah mendukung dan mendoakan.
SLB B Karnnamanohara.
iv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalan kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 16 Desember 2016
Penulis
Margaretha Langen Sekar Lelyana
v
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
INTERAKSI SOSIAL ANTAR-ANAK TUNARUNGU DAN ANAK
TUNARUNGU DENGAN ‘ANAK DENGAR’
Margaretha Langen Sekar Lelyana
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan perilaku interaksi sosial antar-anak tunarungu dan
anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan
metode pengambilan data obsevasi dan metode analisis data menggunakan analisis isi kualitatif
dengan pendekatan deduktif. Responden dalam penelitian ini merupakan anak tunarungu yang
berusia 6 – 12 tahun dan memiliki interaksi sosial dengan sesama anak tunarungu serta „anak
dengar‟. Hasil penelitian ini menemukan bahwa kontak sosial dan komunikasi terjadi dalam
interaksi sosial antar-anak tunarungu dan „anak dengar‟. Interaksi sosial antar-anak tunarungu
tampak dalam ajakan bermain, mendekati sesama teman tunarungu, berkomunikasi baik secara
oral maupun bahasa isyarat dalam bentuk abjad atau gerak tubuh. Selain itu, mereka juga
melibatkan ekspresi perasaan dalam beragam bentuk baik mimik wajah ataupun tingkah laku.
Anak tunarungu tampak lebih pasif karena menunggu ajakan interaksi „anak dengar‟ ketika sedang
bersama. Mereka juga cenderung untuk mengajak anak kecil untuk berinteraksi dibandingkan
dengan teman sebayanya. Selain itu, anak tunarungu berkomunikasi dengan cara menggerakkan
bibir atau menuliskan pesan. Anak tunarungu juga berinteraksi dengan „orang dengar‟. Bentuk
interaksi sosial kompleks dan penolakan sosial tampak dalam interaksi antar-anak tunarungu
maupun anak tunarungu dengan „anak dengar‟.
Kata kunci : interaksi sosial, anak tunarungu, „anak dengar‟
vi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
THE SOCIAL INTERACTION BETWEEN DEAF CHILDREN AND DEAF
CHILDREN WITH HEARING CHILDREN
Margaretha Langen Sekar Lelyana
ABSTRACT
This study aimed to describe the behavior patterns of social interaction between children with
hearing impairment and deaf children with hearing peers. This study was a qualitative research.
The method of data collection was an observation and data analyzed with qualitative content
analysis, using deductive approach. Respondents in this study was deaf children aged 6-12 years
and had social interactions with other deaf children as well as hearing peers. Our research found
that social contact and communication occurred in social interaction between deaf children and
deaf children with hearing peers. Social interaction between deaf children appeared on an appeal
play, approached fellow deaf, communicated orally or in the form of sign language alphabet or
gestures. In addition, they engaged in various forms of emotional expression either faces or
behavior. Deaf children seemed more passive, waiting for call-interaction hearing peers when it is
being shared. They also tend to encourage children to interact small compared with their peers.
Moreover, deaf children communicated by moving their lips or write a message. Children with
hearing impairment also interacted with the hearing peers. Complex forms of social interaction
and social rejection appeared in the interaction between deaf children and deaf children with
hearing peers.
.
Keywords: social interaction, deaf, hearing peers.
vii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM
Yang bertandatangan dibawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma
Nama
: Margaretha Langen Sekar Lelyana
NIM
: 119114018
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
INTERAKSI SOSIAL ANTAR-ANAK TUNARUNGU DAN ANAK
TUNARUNGU DENGAN ‘ANAK DENGAR’
Beserta perangkat yang diperlukan (bila perlu). Dengan demikian saya
memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk
menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau
media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya
maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya
sebagai penulis.
Demikian persetujuan ini saya buat dengan sebenarnya
dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal :
Yang menyatakan
(Margaretha Langen Sekar Lelyana)
viii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
KATA PENGANTAR
Puji Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan berkat dan rahmatnya penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi pada Fakultas Psikologi Universitas
Sanata Dharma.
Penulis menyadari bahwa selama persiapan, penyusunan, hingga
terselesainya skripsi ini, penulis tidak lepas dari bantuan pihak yang terus menerus
memberikan dukungan dan ide-ide yang dapat memperlancar skripsi ini. Untuk
itu, dengan ketulusan dan kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1) Tuhan Yang Maha Esa, terima kasih atas berkat dan penyertaan yang sudah
diberikan selama penulis berproses dengan karya tulisnya.
2) Bapak Dr T. Priyo Widiyanto, M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma dan segenap jajaran Dekanat.
3) Bapak Eddy selaku Kepala Program Studi Fakultas Psikologi Universitas
Sanata Dharma yang telah membantu dalam kelancaran penulisan skripsi ini.
4) Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah
membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan dukungan dari awal
penyusunan skripsi sehingga dapat selesai dengan baik serta mendapat
pengalaman berdinamika dengan anak-anak tunarungu di Dena Upakara.
5) Papi Laurensius Ady Gassing, Mami Fransiska Rustiana, dan Adik
Vincentius Fernaldy yang senantiasa memberikan dukungan baik materil
maupun doa yang tiada hentinya.
ix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6) Dosen Penguji Skripsi terima kasih atas ilmu, dukungan dan bimbingan yang
telah diberikan kepada penulis sehingga memberikan hal positif bagi penulis.
7) Segenap staf administrasi dan laboratorium Fakultas Psikologi Universitas
Sanata Dharma; Ibu M.B. Rohaniwati, Mas Y. Gandung Widyantoro, Pak Gi,
Mas P. Mujiono dan Mas AG. Doni Indarto, terimakasih atas pelayanan,
bantuan dan keramahan yang diberikan.
8) Segenap Dosen pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma,
terima kasih atas ilmu, pengalaman dan pembelajaran yang Bapak dan Ibu
berikan kepada penulis.
9) Pak Wawan selaku Kepala Sekolah SLB B Karnnamanohara yang telah
memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian disana.
10) Bu Ambar dan Bu Milah selaku Walikelas Dasar 4 dan Dasar 3 yang telah
mengjijnkan penulis untuk berdinamika di dalam kelas dan memberikan
informasi tentang responden.
11) Ketiga responden beserta orangtua responden yang sangat terbuka dan
memberikan ijin kepada penulis untuk mengamati responden di lingkungan
rumah serta memberikan informasi yang dibutuhkan oleh penulis.
12) Pak Adi, Pak Toni, Mbak Thia, dan staff P2TKP lainnya yang sudah
membagikan pengalaman selama saya berdinamika di P2TKP.
13) Teman-teman seperjuangan di P2TKP, Pudar, Stanis, Cia, Tiara, Dimas,
Jejes, Lenny, Estu, Pipit, Sasha, Grace, Yovino, Bibin, Christy, Wuri, Fiona,
Ester, yang selalu memberikan dukungan serta tempat berkeluh kesah selama
penulis mengerjakan skripsi. SEE YOU ON TOP guys!
x
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14) Teman-teman seperjuangan “masih Remaja menuju S.Psi”, Vania, Ria, dan
Acil yang selalu menemani makan siang, memberi dukungan, dan membantu
segala kesulitan selama penulis menyelesaikan skripsi.
15) Tim “Babi” yang selalu memberikan hiburan dikala sepi, rindu celotehan
kalian di grup dan dukungan yang tiada henti.
16) My girls, Stefi, Maria, Gloria, Tya, Meme, sahabat seperjuangan sedari putih
abu-abu, sahabat yang mengerjakan skripsi bersamaan tapi selesainya
berbeda-beda. Terima kasih sudah memberikan warna dalam kehidupanku,
mengerjakan skripsi bersama, dan saling mendengarkan keluh kesah masingmasing. Semangat girls!
17) Pasangan setia, Benedictus Alit Purwa Arintaka, terima kasih sudah menjadi
pendengar atas keluh kesah, terima kasih sudah meluangkan waktu untuk
membantu dalam proses penyelesaian skripsi, terima kasih untuk penemanan
yang kamu berikan selama aku menyelesaikan tugas akhir. Love.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa penelitian jauh dari kesempurnaan.
Oleh sebab itu, penulis terbuka akan saran dan kritik yang diberikan demi
kesempurnaan penelitian ini.
Yogyakarta, 16 Desember 2016
Penulis
xi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ....................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ................................................................ iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................ iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ................................................................. v
ABSTRAK ............................................................................................................. vi
ABSTRACT ............................................................................................................ vii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH
UNTUK KEPENTINGAN UMUM ..................................................................... viii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ix
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xii
DAFTAR TABEL ................................................................................................. xv
BAB I ..................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
A.
B.
C.
D.
Latar Belakang Masalah ................................................................................ 1
Rumusan Masalah .......................................................................................... 7
Tujuan Penelitian ........................................................................................... 8
Manfaat Penelitan .......................................................................................... 8
1. Secara Teoretis .......................................................................................... 8
2. Secara Praktis ............................................................................................ 8
BAB II ..................................................................................................................... 9
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 9
A. Interaksi Sosial............................................................................................... 9
1. Definisi ...................................................................................................... 9
2. Komponen Interaksi Sosial pada Anak Tunarungu ................................ 10
3. Bentuk-bentuk Interaksi Sosial pada Anak Tunarungu .......................... 16
4. Tahap-tahap Interaksi Sosial pada Anak Tunarungu .............................. 17
5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Interaksi Sosial pada Anak Tunarungu
18
B. Ketunarunguan ............................................................................................. 20
1. Definisi .................................................................................................... 20
2. Klasifikasi Ketunarunguan...................................................................... 21
3. Karakteristik Anak Tunarungu ............................................................... 25
4. Penyebab Ketunarunguan ....................................................................... 25
xii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5. Dampak Ketunarunguan ......................................................................... 26
C. Perkembangan Anak Tunarungu ................................................................. 27
1. Perkembangan Fisik ................................................................................ 28
2. Perkembangan Motorik ........................................................................... 28
3. Perkembangan Kognitif .......................................................................... 31
4. Perkembangan Bahasa ............................................................................ 33
5. Perkembangan Sosio-emosi .................................................................... 35
D. Kerangka Konseptual................................................................................... 37
BAB III ................................................................................................................. 39
METODOLOGI PENELITIAN ............................................................................ 39
A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.
Jenis dan Desain Penelitian ......................................................................... 39
Responden Penelitian................................................................................... 40
Fokus Penelitian........................................................................................... 41
Metode Pengumpulan Data.......................................................................... 41
Proses Pengambilan Data ............................................................................ 45
Metode Analisis Data .................................................................................. 45
Verifikasi Penelitian .................................................................................... 48
1. Validitas .................................................................................................. 48
2. Reliabilitas .............................................................................................. 48
BAB IV ................................................................................................................. 49
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 49
A. Responden Penelitian................................................................................... 49
1. Responden 1 (R1) ................................................................................... 49
2. Responden 2 (R2) ................................................................................... 49
3. Responden 3 (R3) ................................................................................... 50
B. Pelaksanaan Penelitian................................................................................. 51
C. Hasil Penelitian ............................................................................................ 53
1. Kontak Sosial .......................................................................................... 53
2. Komunikasi ............................................................................................. 57
3. Hasil Temuan Menarik ........................................................................... 75
D. Pembahasan ................................................................................................. 89
1. Kontak Sosial .......................................................................................... 89
2. Komunikasi Nonlinguistik ...................................................................... 91
3. Komunikasi Linguistik............................................................................ 94
4. Anak Tunarungu VS „Orang Dengar‟ ..................................................... 95
5. Bentuk Interaksi Sosial Kompleks VS Penolakan Interaksi Sosial ........ 96
BAB V................................................................................................................. 100
KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... 100
xiii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
A. Kesimpulan ................................................................................................ 100
B. Keterbatasan Penelitian ............................................................................. 101
C. Saran .......................................................................................................... 101
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 103
xiv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Kategori Tingkat Pendengaran................................................................. 21
Tabel 2 Data Umum Responden ........................................................................... 41
Tabel 3 Daftar Susunan Perilaku........................................................................... 43
Tabel 4 Definisi Koding Komunikasi Nonlinguistik ............................................ 47
Tabel 5 Hasil Penelitian Antara Anak Tunarungu dengan Sesama Anak
Tunarungu dan Anak Tunarungu dengan „Anak Dengar‟ ...................... 73
Tabel 6 Hasil Penelitian Antara Anak Tunarungu dengan „Anak Dengar‟ .......... 82
Tabel 7 Bentuk Interaksi Sosial dan Penolakan Interaksi Sosial .......................... 87
xv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
World
Health
Organization
(WHO)
mengatakan
bahwa
80%
penyandang disabilitas berada di negara-negara berkembang tidak terkecuali
Indonesia. Sepertiga dari 80% jumlah penyandang disabilitas merupakan anakanak. Data WHO tahun 2003 menunjukkan bahwa jumlah anak penyandang
disabilitas di Indonesia ada 7-10% dari jumlah populasi di Indonesia atau
sekitar 295.250 jiwa. Berdasarkan Pusat Data dan Informasi Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia (2014) disabilitas pendengaran menempati
posisi ketiga setelah disabilitas lebih dari satu jenis (disabilitas ganda) dan
disabilitas penglihatan. Jumlah prosentase untuk disabilitas adalah 7,87% dari
total disabilitas yang ada di Indonesia (www.depkes.go.id).
Data sensus penduduk tahun 2010 yang diolah oleh Badan Pusat
Statistik (BPS) terdapat 53.180 jiwa yang menyandang disabilitas pendengaran
ringan dan 9.866 jiwa yang menyandang disabilitas pendengaran parah di
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (dalam Infodatin Kementrian Kesehatan
2014). Hasil presentase tersebut menunjukkan bahwa tidak sedikit orang yang
mengalami disabilitas pendengaran (www.depkes.go.id).
Anak-anak yang menyandang disabilitas pendengaran disebut dengan
anak tunarungu. Anak tunarungu merupakan anak-anak yang mengalami
disfungsi pendengaran dan mempengaruhi kehidupan sehari-sehari (Somantri,
1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
2007). Sedangkan, untuk anak-anak yang tidak mengalami disabilitas
pendengaran akan disebut sebagai „anak dengar‟. Disfungsi pendengaran yang
dialami oleh anak tunarungu memiliki beberapa dampak, misalnya anak
tunarungu mengalami kesulitan memproduksi bahasa dan mengalami
keterlambatan dalam meniti fase perkembangan. (Arifin, 2015).
Kesulitan anak tunarungu dalam mendengar dan memproduksi bahasa
menyebabkan mereka mengalami hambatan dalam perkembangan bahasa.
Marschark dan Spencer (2003) mengatakan bahwa anak tunarungu mengalami
keterlambatan berbicara jika dibandingkan dengan „anak dengar‟ pada
umumnya. Selain itu, anak tunarungu memerlukan waktu yang lebih lama
untuk belajar sesuatu dibandingkan dengan „anak dengar‟. Misalnya, seorang
„anak dengar‟ mampu untuk membuat frasa bermakna pada usia 5 tahun
sedangkan anak tunarungu belum tentu menguasai hal tersebut di usia yang
sama (Liben, 1978). „Anak dengar‟ mampu menguasai kosakata yang lebih
banyak karena mereka memiliki pendengaran yang baik sehingga mampu
untuk menangkap hal tersebut dan tersimpan di memori.
Disfungsi pendengaran juga membuat anak tunarungu mengalami
keterlambatan dalam perkembangan sosio-emosi. Mereka mengalami kesulitan
untuk memahami perasaan dan pikiran orang lain (Brown dan Remine, Prescot,
dan Rickards, 2000) sehingga mereka lebih sering menghasilkan emosi negatif.
Emosi negatif inilah yang membuat mereka mengalami kesulitan untuk
berinteraksi dengan sebaya. Mereka cukup sulit untuk diterima dan dipahami
oleh orang-orang di sekitarnya (Liben, 1978).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
Kesulitan berinteraksi dengan sebaya juga merupakan hambatan dalam
perkembangan sosio-emosi. Menurut Hartup dalam (Most, Ingber, dan HeledAriam, 2011) kapabilitas seseorang untuk berelasi dalam lingkungan sosial
akan berkembang pada masa anak-anak. Berelasi dalam lingkungan sosial akan
tampak ketika anak-anak sedang bermain. Yuhan (2013) mengatakan bahwa
bermain dengan teman sebaya memiliki peran penting dalam kualitas
pertemanan di masa depan. Hal ini juga yang menjadi penentu keberhasilan
seorang anak untuk mempertahankan relasinya dengan teman sebayanya
(Martin, Bat-Chava, Lalwani, dan Waltzman, 2010).
Berelasi dalam lingkungan sosial dan bermain akan membangun
interaksi sosial. Interaksi sosial merupakan suatu proses yang dialami oleh
semua manusia tidak terkecuali antar-anak tunarungu dan anak tunarungu
dengan „anak dengar‟. Proses interaksi ini terjadi antara dua orang atau lebih
yang melibatkan komunikasi dan kontak sosial (Soekanto, 2006). Interaksi
sosial pada anak tunarungu juga merujuk pada adanya komunikasi linguistik
dan nonlinguistik serta permainan sosial (Yuhan, Potmesil, dan Peters, 2013).
Anak tunarungu cenderung untuk membangun interaksi sosial dengan
sesama anak tunarungu karena mereka memiliki tingkat pendengaran yang
kurang lebih sama (Yuhan, 2013). Selain itu, komunikasi yang terjadi antara
anak tunarungu dengan „anak dengar‟ terjadi lebih sedikit dibandingkan
dengan antar-anak tunarungu. Hal ini tampak pada penelitian sebelumnya yang
menemukan bahwa anak tunarungu seringkali ditolak oleh „anak dengar‟ ketika
mencoba untuk melakukan kontak sosial. Terkadang komunikasi yang terjadi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
antara anak tunarungu dengan „anak dengar‟ juga mengalami kekurangan
konten linguistik dan berakhir dengan cepat (Yuhan, Potmesil, dan Peters,
2013).
Berdasarkan pengalaman peneliti, anak tunarungu yang menempuh
pendidikan di sekolah inklusi lebih sering menghabiskan waktu di sekolah
sendirian. Teman-teman yang mendengar cenderung untuk mengabaikan
kehadirannya. Di luar jam sekolah, anak tunarungu ini bisa berinteraksi dengan
cukup baik dengan sesama teman tunarungu dan bergabung dalam suatu
komunitas. Mereka bisa bercerita suatu hal dengan bahasa mereka sendiri. Hal
ini membuktikan bahwa anak tunarungu merasa lebih nyaman untuk
berinteraksi dengan sesama tunarungu dibandingkan dengan „anak dengar‟
(Bat-Chava dan Deignan, 2001).
Anak tunarungu juga cenderung meminta klarifikasi terutama tentang
informasi baru dibandingkan dengan „anak dengar‟ (Yuhan, Potmesil, dan
Peters, 2013). Anak tunarungu juga memberikan sentuhan netral ketika
mengajak „anak dengar‟ berinteraksi sedangkan ketika dengan sesama anak
tunarungu mereka memutar kepala temannya agar melihat dirinya ketika
mengajak berinteraksi. Terkadang, anak tunarungu langsung bergabung dalam
permainan ketika sedang bersama sesama anak tunarungu lainnya (Yuhan,
Potmesil, dan Peters, 2013).
Kontak sosial seperti sentuhan fisik bisa terjadi di antara sesama anak
tunarungu dan „anak dengar‟ akan tetapi hal ini belum tentu berlaku sama pada
komunikasi. Terkadang, setelah kontak sosial terjadi akan ada proses
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
penyampaian ide atau perasaan. Hal ini yang terkadang tidak tersampaikan
oleh anak tunarungu dan „anak dengar‟. Sesama anak tunarungu mampu untuk
berkomunikasi satu sama lain sehingga mereka paham pesan yang disampaikan
tetapi hal ini berbeda dengan komunikasi antara anak tunarungu dan „anak
dengar‟. Terkadang mereka mencoba untuk berkomunikasi tetapi pesan atau
maksud tidak tersampaikan karena anak tunarungu sulit untuk menerima
stimulus berupa audio. Hal ini didukung oleh Gregory, Knight, McCracken,
Powers, dan Watson (1998) yang mengatakan bahwa anak tunarungu
cenderung untuk menggunakan komunikasi non linguistik ketika berinteraksi
baik dengan sesama tunarungu atau dengan „anak dengar‟.
Bentuk komunikasi dan kontak sosial anak tunarungu yang berbeda
membuat anak tunarungu sering mengalami penolakan dari „anak dengar‟
(Yuhan, 2013). Penolakan yang dialami anak tunarungu membuat mereka
kesulitan membangun interaksi sosial sehingga mereka tidak memiliki banyak
teman (Bat-Chava dan Deignan, 2001). Mereka tidak memiliki banyak teman
dari kalangan „anak dengar‟ karena cara berinteraksi yang berbeda. Beberapa
„anak dengar‟ juga merasa kurang nyaman dengan keterbatasan yang dialami
oleh anak tunarungu sehingga memilih untuk mengacuhkan mereka.
Kegagalan anak tunarungu dalam interaksi sosial memiliki andil yang
cukup besar untuk kehidupan jangka panjang mereka. Mereka yang mengalami
penolakan saat berinteraksi dengan teman sebayanya akan merasa kesepian
yang berkepanjangan (Most, 2007). Penolakan ini juga menjadi acuan apakah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
seorang anak tunarungu akan terus berinteraksi atau menghindari suatu
interaksi.
Bentuk interaksi sosial yang berbeda antar-anak tunarungu dan anak
tunarungu dengan „anak dengar‟ membuat peneliti ingin menggambarkan
bagaimana interaksi sosial antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan
„anak dengar‟. Hal ini disebabkan penelitian sebelumnya meneliti tentang
interaksi sosial pada anak tunarungu yang menggunakan alat bantu dengar
(Bat-Chava Deignan, 2001; Martin et al, 2010; Boyd et al, 2000; Punch &
Hyde, 2011 dalam Yuhan, Potmesil, dand Peters tahun 2013) dan gambaran
tentang interaksi sosial mereka pun belum banyak diteliti. Selain itu, Yuhan,
dkk (2013) memaparkan pula bahwa penelitian antara komunikasi dan
permulaan interaksi dilakukan secara terpisah pada anak tunarungu dan „anak
dengar‟.
Ada pula penelitian yang meneliti interaksi sosial anak tunarungu pada
usia sekolah sehingga rentang usia responden 2 tahun – 10 tahun (Weisel et al,
2005; Preisler et al, 2002; Bat-Chava & Deignan, 2001 dalam Yuhan, Potmesil,
dand Peters tahun 2013). Berdasarkan hal tersebut, peneliti membatasi rentang
usia responden dalam penelitian ini 6 tahun – 12 tahun. Responden di sini
adalah anak tunarungu yang tidak menggunakan alat bantu dengar. Mereka
juga berinteraksi baik dengan anak tunarungu maupun dengan „anak dengar‟.
Pengambilan data pada penelitian sebelumnya menggunakan berbagai
macam metode, seperti observasi, kuesioner, dan eksperimen (Yuhan,
Potmesil, dan Peters tahun 2013). Observasi banyak digunakan pada responden
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
dengan usia pra sekolah dan pengambilan data responden usia sekolah
menggunakan kuesioner dan eksperimen (Yuhan, dkk, 2013). Metode
pengambilan data dalam penelitian ini akan menggunakan observasi untuk
melihat interaksi sosial antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak
dengar‟. Alasannya adalah untuk menggambarkan interaksi antar-anak
tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟ diperlukan pengamatan
secara langsung pada lingkungan yang sesungguhnya.
Harapan peneliti dengan adanya penelitian ini hasil yang ditemukan
merupakan perilaku-perilaku interaksi sosial antar-anak tunarungu dan anak
tunarungu dengan „anak dengar‟. Berdasarkan hal tersebut, maka gambaran
perilaku anak tunarungu ketika berinteraksi dengan sesamanya dan „anak
dengar‟ dapat terlihat jelas bagaimanakah perilaku yang muncul selama
interaksi berlangsung.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:
Bagaimanakah interaksi sosial antar-antar-anakanak tunarungu dan anak
tunarungu dengan „anak dengar‟?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk
menggambarkan bagaimana interaksi sosial antar-anak tunarungu dan anak
tunarungu dengan „anak dengar‟.
D. Manfaat Penelitan
1. Secara Teoretis
Memberikan sumbangan pengetahuan dalam ranah psikologi
perkembangan dan psikologi sosial tentang interaksi sosial antar-anak
tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟.
2. Secara Praktis
Penelitian ini memberikan informasi interaksi sosial bagi orangtua
dan guru agar memahami interaksi sosial antar-anak tunarungu dan anak
tunarungu dengan „anak dengar‟. Selain memberikan informasi, diharapkan
orangtua dan guru bisa memberikan dukungan kepada anak tunarungu untuk
berinteraksi dengan „anak dengar‟ agar anak tunarungu dapat menjalin relasi
dan mempertahan relasi dengan „anak dengar‟ di masa depan sehingga
mereka
tidak
merasa
kesepian.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Interaksi Sosial
Berinteraksi dengan teman sebaya memiliki fungsi krusial terhadap
perkembangan kehidupan sosial individu terutama anak-anak. Salah satu
bentuk sosialisasi adalah interaksi sosial. Interaksi sosial bisa terjadi dengan
siapa saja dan di mana saja.
Interaksi sosial pertama kali terjadi pada masa kanak-kanak. Pentingnya
interaksi sosial pada masa ini adalah membantu anak untuk belajar memahami
perspektif orang lain terhadap realita yang ada. Hal penting lainnya adalah
seorang anak belajar untuk bernegosiasi dan belajar mengenai manajemen
konflik.
1. Definisi
Secara umum definisi interaksi sosial dikemukakan oleh Soekanto
(2006) dalam sudut pandang sosiologi, yaitu interaksi sosial merupakan
suatu hubungan sosial yang dinamis, menyangkut hubungan antara individu,
antara kelompok maupun antara individu dengan kelompok. Beberapa ahli
dalam psikologi sosial melihat interaksi sosial sebagai suatu kebutuhan
individu di mana salah satu individu mempengaruhi, mengubah atau
memperbaiki perilaku individu lainnya, adanya aksi dan reaksi antarindividu
(Arifin, 2015; Ahmadi, 1991; Walgito, 2003; Cerulo, 2009; Reber&Reber,
2010).
9
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
Definisi interaksi sosial di atas merupakan definisi bagi orang-orang
yang tidak mengalami disabilitas. Sedangkan interaksi sosial pada anak
tunarungu merupakan sebuah hubungan yang melibatkan pertukaran sosial,
komunikasi linguistik, komunikasi nonlinguistik, dan permainan sosial
(Yuhan, Potmesil, dan Peters, 2013).
Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas dapat disimpulkan
bahwa interaksi sosial pada anak tunarungu dalam penelitian ini adalah
hubungan antar individu baik perorangan atau kelompok yang dinamis dan
saling mempengaruhi satu sama lain sehingga tercipta tindakan (aksi) dan
respon (reaksi) dalam proses kehidupan yang melibatkan komunikasi
linguistik, komunikasi nonlinguistik, dan permainan sosial.
Interaksi sosial tidak dapat terjadi jika hanya ada satu orang.
Interaksi sosial membutuhkan dua orang atau lebih untuk saling
berdinamika dan menciptakan interaksi. Keterlibatan individu dalam
interaksi sosial tidak hanya perorangan tetapi juga bisa antar kelompok
maupun individu dengan kelompok. Sebuah interaksi sosial dapat terwujud
apabila masing-masing pihak memiliki sebuah tujuan yang dapat dicapai
bersama-sama melalui kontak sosial dan komunikasi sebagai syarat interaksi
sosial (Loomis dalam Arifin, 2015).
2. Komponen Interaksi Sosial pada Anak Tunarungu
Soekanto (2006) mengemukakan bahwa suatu interaksi sosial baru
akan terjadi apabila ada kontak sosial dan komunikasi. Dua hal ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
ditetapkan sebagai syarat terjadinya interaksi sosial. Apabila hanya terjadi
kontak sosial tanpa ada komunikasi maka kontak sosial tidak berarti apaapa. Berikut penjelasan tentang kontak sosial dan komunikasi:
a. Kontak Sosial
Kontak sosial merupakan tahap pertama terjadinya interaksi
sosial. Menurut Arifin (2015) kontak sosial merupakan hubungan antara
individu atau kelompok yang di dalamnya terdapat pemahaman tentang
tujuan masing-masing. Menurut Soekanto (2013) kontak sosial terjadi
apabila terdapat suatu tindakan dari satu orang dan ditanggapi oleh orang
yang lainnya. Selain itu, kontak sosial terjadi apabila salah satu individu
menyadari keberadaan individu lain. Berdasarkan paparan pendapat ahli
di atas dapat disimpulkan bahwa kontak sosial adalah hubungan antara
individu atau kelompok yang melibatkan kesadaran akan keberadaan
individu lainnya.
Menurut Soekanto (2013) kontak sosial memiliki dua sifat, yaitu
Kontak sosial primer (langsung) dan kontak sosial sekunder (tidak
langsung). Kontak sosial primer merupakan suatu hubungan antar
individu yang saling bertatap muka secara visual dan memiliki emosi
tertentu dalam pergaulan. Misalnya, berjabat tangan, saling senyum, dan
kontak mata.
Sebaliknya, kontak sosial sekunder (tidak langsung) merupakan
kontak sosial yang membutuhkan pihak perantara di antara individu dan
ada pengaruh dari luar. Perantara ini bisa berupa alat atau benda untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
membantu 2 atau lebih individu. Misalnya berbicara jarak jauh dengan
menggunakan telepon. Selain itu, perantara juga bisa individu itu sendiri.
Misalnya Individu A menceritakan perilaku individu B kepada individu
C. Hal ini memunculkan kontak antara individu A dan B dengan
informasi yang diberikan oleh individu C (Soekanto, 2006).
Berdasarkan pemaparan di atas, definisi kontak sosial dalam
penelitian ini adalah hubungan antara individu atau kelompok yang
menyadari keberadaan orang lain, bertemu secara visual, dan melibatkan
emosi tertentu sehingga ada tindakan yang ditanggapi oleh orang lain.
Definisi ini disimpulkan berdasarkan definisi kontak sosial secara umum
dan definisi kontak sosial primer karena hal tersebut yang akan
dideskripsikan dalam penelitian ini.
b. Komunikasi
Komunikasi merupakan suatu proses penyampaian pesan antar
individu yang melibatkan bahasa lugas, gerak tubuh, sikap, dan perasaan
tertentu (Arifin, 2015).
Menurut
Walgito
(2003)
komunikasi
merupakan
proses
penyampaian dan penerimaan lambang-lambang yang mengandung arti
(informasi, pemikiran, pengetahuan, dll) yang disampaikan oleh pengirim
pesan kepada penerima pesan.
Berdasarkan pendapat ahli atas dapat disimpulkan bahwa
komunikasi merupakan proses penyampaian pesan berupa informasi, ide,
pikiran, dan perasaan seseorang kepada orang lain.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
Menurut Marschark dan Spencer (2003) ada dua jenis komunikasi
yang digunakan oleh anak-anak tunarungu, yaitu:
1) Komunikasi Nonlinguistik
Komunikasi nonlinguistik merupakan komunikasi yang tidak
melibatkan oral. Komunikasi jenis ini banyak menggunakan ekspresi
wajah, gestur tubuh, dan aktivitas fisik. Hal ini sangat lazim
ditemukan pada anak-anak yang memiliki keterbatasan pendengaran.
Pendapat ini juga diperkuat oleh Macionis (2012) bahwa
komunikasi nonlinguistik (nonverbal) merupakan komunikasi yang
menggunakan gerak tubuh (body movement), gestur, dan ekspresi
wajah. Hal ini lebih banyak muncul dibandingan dengan kata-kata
atau ucapan.
Menurut Berkowitz (1980) komunikasi nonlinguistik akan
tampak pada perilaku nonverbal dan ekspresi wajah. Ekman dan
Friesen (dalam Berkowitz, 1980) mendeskripsikan 5 macam perilaku
nonverbal. Perilaku tersebut adalah emblems, illustrators, affects,
regulators, dan adapters.
Pertama adalah emblems. Emblems merupakan suatu gerakan
yang digunakan sebagai pengganti kata atau kalimat. Contohnya,
melambaikan
tangan
untuk
memanggil.
Kedua,
illustrators
merupakan pelengkap pernyataan verbal. Hal ini biasanya tampak
pada seseorang yang sedang memberikan petunjuk arah sambil
menunjukkannya menggunakan tangannya. Ketiga adalah affect.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
Affects mengekspresikan sebagian emosi yang sedang dirasakan
seseorang, seperti marah, senang, dan sedih. Biasanya, afek akan
muncul pada ekspresi wajah seseorang akan tetapi Ekman dan
Friesen (dalam Berkowitz, 1980) mengatakan bahwa afek juga dapat
tampak pada gerakan tubuh seseorang.
Keempat, regulators merupakan suatu sinyal yang dapat
muncul dalam sebuah interaksi. Regulator biasa digunakan untuk
melengkapi pernyataan, mengklarifikasi penyataan, dan sebagainya.
Contoh regulator adalah anggukan kepala, kontak mata, dan
perubahan postural. Kelima, adapters merupakan salah satu perilaku
yang membantu dalam manajemen interaksi atau mengekspresikan
perasaan. Hal ini bisa berbeda pada setiap orang. Misalnya, perasaan
cemas yang tampak dengan menggerakan kaki atau tangan.
Selanjutnya
adalah
ekspresi
wajah.
Ekspresi
wajah
merupakan perubahan raut muka sesuai dengan emosi yang muncul
dalam diri seseorang (Berkowitz, 1980). Ekspresi wajah seseorang
tidak terlepas dari latar belakang lingkungannya dan sangat mudah
dikenali apabila kita mengenal baik seseorang. Ekman (2010)
menjelaskan bahwa manusia memiliki 5 emosi dasar, yaitu marah,
sedih, senang, takut, dan jijik.
Emosi yang pertama adalah marah. Marah merupakan
ekspresi wajah beringas yang siap menyerang. Ciri-ciri ekspresi
kemarahan dapat dilihat dengan otot yang kencang pada alis, yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
apabila berkontraksi akan menurunkan dan menautkan alis,
mengencangkan otot yang membuat kelompak mata tertarik naik,
dan menyempitkan bibir dengan cara mengencangkan otot bibir.
Kedua, sedih. Ekspresi sedih memiliki ciri-ciri seperti
kelopak mata yang terkulai atau layu, alis yang terangkat, dan sudut
bibir yang ditarik ke bawah. Ketiga adalah perasaan senang. Ciri-ciri
ekspresi senang tampak pada kedua pipi yang terangkat lebih tinggi,
kontur pipi berubah, dan alis yang sedikit menurun. Selain itu,
ekspresi senang juga dapat diperlihatkan dengan senyuman lebar
yang mendorong pipi ke atas sampai membentuk kerutan.
Keempat, ekspresi jijik pada wajah akan tampak pada bibir
atas yang dinaikkan setinggi mungkin, bibir bawah dinaikkan dan
sedikit dicibirkan. Selain itu, kerutan meluas mulai dari atas
cupingnya mengarah ke bawah sampai di belakang sudut bibirnya.
Kemudian, sayap-sayap cuping hidungynya naik, kerutan muncul
pada kedua isi dan jembatan hidungnya. Kenaikan pipi dan
penurunan alis membentuk kerutan kaki gagak.
Terakhir adalah takut. Ciri-ciri wajah untuk ekspresi takut
adalah kelopak mata yang naik, bibir yang kencang dan horizontal
mengarah ke belakang, rahang terbuka sedikit, dan alis yang naik.
Berdasarkan penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa
komunikasi nonlinguistik merupakan komunikasi tanpa suara yang
melibatkan gerak tubuh, perilaku nonverbal dan ekspresi wajah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
2) Komunikasi Linguistik
Komunikasi linguistik merupakan kebalikan dari komunikasi
nonlinguistik. Komunikasi jenis ini menggunakan bahasa oral atau
bahasa bibir. Komunikasi linguistik adalah komunikasi yang terjadi
ketika salah satu individu berbicara menggunakan mulut mereka dan
menggunakan bahasa yang dipahami.
Kontak sosial dan komunikasi merupakan dua aspek atau komponen
yang harus ada untuk membentuk interaksi sosial. Jika yang terjadi hanya
kontak sosial maka hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai interaksi
sosial. Kontak sosial harus berjalan beriringan bersama dengan komunikasi.
Komunikasi terjadi apabila satu sama lain mampu memahami maksud
masing-masing sehingga pesan, emosi, dan perasaan dapat tersampaikan
(Soekanto, 2013).
Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini akan mendeskripsikan
interaksi sosial anak tunarungu dengan sesama anak tunarungu dan anak
tunarungu dengan „anak dengar‟ melalui perilaku kontak sosial dan
komunikasi mereka, baik secara nonlinguistik maupun linguistik.
3. Bentuk-bentuk Interaksi Sosial pada Anak Tunarungu
Interaksi sosial memiliki beberapa bentuk. Menurut Arifin (2015)
ada empat bentuk pokok interaksi sosial. Bentuk-bentuk tersebut dapat
dijabarkan sebagai berikut:
a. Kerjasama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
Hal ini merupakan suatu bentuk interaksi sosial di mana
seseorang dan beberapa orang lain memiliki suatu tujuan yang ingin
dicapai bersama sehingga mereka berusaha untuk memahami satu sama
lain.
b. Persaingan
Persaingan merupakan salah satu proses interaksi sosial yang
pasti terjadi. Persaingan adalah suatu proses di mana individu merasa
bahwa ada orang lain yang menjadi akan menjadi penghambat dalam
mencapai suatu tujuan.
c. Pertentangan (Konflik)
Sebuah konflik akan terjadi apabila terdapat suatu perbedaan
antara individu dengan individu lainnya atau dengan kelompok.
Perbedaan ini bisa bermacam-macam bentuknya, seperti pendapat atau
pandangan terhadap suatu hal.
d. Akomodasi
Akomodasi merupakan salah satu cara yang digunakan untuk
menyelesaikan suatu konflik tanpa harus menghancurkan pihak lawan.
Hal ini merupakan penyeimbang yang baik dari beberapa bentuk
interaksi sosial yang menimbulkan konflik tertentu antar individu.
4. Tahap-tahap Interaksi Sosial pada Anak Tunarungu
Ada 2 tahapan yang dialami oleh anak tunarungu ketika berinteraksi
dengan sesamanya. Menurut Yuhan (2013), tahapan-tahapan tersebut
adalah:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
a. Inisiasi interaksi sebaya
Inisiasi merupakan tahap awal anak tunarungu dalam membangun
sebuah interaksi. Anak tunarungu berusaha untuk mengamati lingkungan
sekitarnya terlebih dahulu. Mereka mempelajari bagaimana orang lain
saling berinteraksi satu sama lain. Pengamatan yang mereka lakukan juga
membuat mereka melihat kesempatan untuk bergabung dalam sebuah
interaksi sosial. Adanya sebuah kesempatan inilah yang akan membuat
anak tunarungu akan memulai interaksi sosial mereka dengan cara
berkomunikasi. Komunikasi yang mereka gunakan biasanya bahasa nonverbal atau gestur tubuh.
b. Memantau Interaksi Sebaya
Tahap kedua ini merupakan cara seorang anak tunarungu
mempertahankan sebuah interaksi yang sudah terjadi. Anak tunarungu
mengalami kesulitan untuk mempertahankan sebuah interaksi sosial
dalam jangka panjang. Hal ini disebabkan dengan banyaknya faktorfaktor yang menghambat anak tunarungu dalam berinteraksi.
5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Interaksi Sosial pada Anak
Tunarungu
Menurut Yuhan (2013) ada beberapa faktor yang mempengaruhi
interaksi sosial pada anak tunarungu, yaitu:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
a. Bahasa dan kemampuan berbicara
Seorang
anak
tunarungu
memiliki
keterlambatan
dalam
perkembangan berbicara. Mereka membutuhkan waktu yang lebih lama
untuk mengucapkan suatu kata sehingga mereka memiliki masalah
dengan interaksi sosial mereka. Kemampuan berbahasa mereka juga
dijadikan sebagai indikator perkembangan kognitif dan sosio-emosi
mereka.
b. Familiaritas dan tingkat pendengaran yang sama dengan tema
sebaya
Anak-anak tunarungu lebih nyaman untk berinteraksi dengan
sebayanya yang memiliki tingkat pendengaran yang sama. Hal ini
membuat mereka lebih mudah dalam berkomunikasi karena mereka
memahami hal yang sama. Setiap anak tunarungu memiliki strategi
masing-masing untuk berinteraksi dengan teman sebanyanya.
Salah satu kunci mereka untuk berinteraksi adalah kesamaan
pemahaman akan suatu hal. Mereka akan lebih mudah membangun
sebuah interaksi dengan anak yang mendengar apabila mereka memiliki
pemahaman yang sama dengan anak yang mendengar. Hal in juga terjadi
sebaliknya pada „anak dengar‟.
c. Model komunikasi
Ada dua model komunikasi yang biasa dimiliki oleh anak
tunarungu. Model yang pertama adalah komunikasi oral. Komunikasi ini
yang paling banyak dikuasai oleh anak tunarungu karena ini merupakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
model yang paling mudah untuk dipahami. Mereka terbiasa untuk
membaca gerak bibir lawan bicaranya atau mereka berusaha untuk bisa
mengucapkan kata-kata dengan pelafalan yang jelas. Model komunikasi
yang kedua adalah komunikasi menggunakan bahasa isyarat. Beberapa
anak tunarungu mampu untuk berkomunikasi dengan bahasa ini tapi
tidak banyak. Biasanya, anak-anak yang mampu berkomunikasi dengan
bahasa isyarat sudah terlatih sejak kecil di mana orangtua mereka juga
belajar bahasa isyarat. Akan tetapi, komunikasi menggunakan bahasa
isyarat sangat sulit untuk mereka berinteraksi sosial dengan teman
sebanyanya yang mendengar. Hal ini disebabkan dengan anak-anak yang
mendengar tidak memahami bahasa isyarat mereka.
B. Ketunarunguan
1. Definisi
Menurut Arifin (2015) anak tunarungu adalah seorang anak yang
mengalami kerusakan pada satu atau lebih pada organ telinga luar, organ
telinga bagian tengah, dan organ telinga bagian dalam sehingga organ
tersebut tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik.
Pengertian tersebut juga didukung oleh Effendi (2006) yang
mengatakan bahwa seorang anak dikatakan tunarungu apabila mengalami
kerusakan pada organ telinga. Kerusakan organ ini bisa karena sebuah
kecelakaan atau tidak diketahui sebabnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
Menurut Somantri (2007) tunarungu merupakan suatu keadaan di
mana seorang anak kehilangan sebagian atau seluruhnya yang menyebabkan
pendengarannya tidak memiliki nilai fungsional di dalam kehidupan seharihari.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa
ketunarunguan adalah suatu kerusakan pada organ pendengaran seseorang
yang menyebabkan mereka kehilangan nilai fungsional pendengaran dalam
kehidupan sehari-hari. Gangguan pendengaran ini bisa disebabkan karena
kecelakaan atau bawaan atau tidak diketahui sebabnya.
2. Klasifikasi Ketunarunguan
a. Berdasarkan Satuan Bunyi Desibel (dB)
Berdasarkan kriteria International Standard Organization (ISO)
(dalam Arifin, 2015) klasifikasi gangguan pendengaran pada anak
tunarungu dapat dibedakan menjadi 6 kategori. Penjabaran kategori
tingkat pendengaran dan intensitas bunyi dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1
Intensitas Bunyi (dB)
Tingkat Pendengaran
0-20 dB
Normal
20-30 dB
Slight Losses
30-40 dB
Mild Losses
40-60 dB
Moderate Losses
60-75 dB
Severe Losses
>75 dB
Profoundly Losses
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
Anak-anak tunarungu yang masuk dalam kategori slight losses
adalah anak-anak yang mengalami gangguan pendengaran ringan.
Mereka tidak mengalami kesulitan berbicara karena masih berada pada
batas normal pendengaran. Mereka juga mampu belajar bicara
menggunakan kemampuan pendengarannya dan butuh perhatian khusus
terhadap perbendaharaan kata agar perkembangan bahasa tidak
terhambat. Anak-anak tunarungu dalam kategori ini juga masih dapat
mendengar menggunakan alat bantu dengar.
Ciri khas anak-anak tunarungu dalam kategori mild losses adalah
mengerti pembicaraan dalam jarak dekat dan tidak kesulitan untuk
mengekspresikan isi hatinya. Mereka mengalami kesulitan untuk
menangkap percakapan yang lemah sehinga sulit untuk menangkap isi
pesan lawan bicaranya. Mereka juga akan semakin kesulitan menangkap
isi pesan apabila tidak berbicara berhadapan. Anak-anak tunarungu
kategori ini masih dapat mendengar dengan alat bantu dengar dan masih
membutuhkan bimbingan intensif untuk menghindari kesulitan berbicara.
Anak-anak tunarungu dalam kategori moderate losses dapat
mengerti percakapan apabila dilakukan dengan volume yang keras dan
dalam jarak dekat (1 meter) sehingga mereka sering salah tangkap atau
salah
paham
terhadap
lawan
bicaranya.
Ciri
lainnya
adalah
perbendaharaan kata mereka yang terbatas, adanya ketidakjelasan dalam
berbicara, dan kesulitan menggunakan bahasa dengan benar dalam
percakapan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
Ciri-ciri anak tunarungu dalam kategori severe losses adalah
mereka mengalami kesulitan untuk membedakan suara, tidak memiliki
kesadaran bahwa benda-benda di sekitarnya memiliki getaran suara, dan
membutuhkan pelayanan khusus untuk belajar bicara dan berbahasa.
Profoundly losses merupakan tingkat pendengaran yang paling
parah sehingga anak tunarungu hanya dapat mendengar dengan suara
keras dalam jarak 2,54 cm. Selain itu, mereka juga tidak menyadari
bunyi-bunyian di sekitarnya. Mereka juga tidak mampu menangkap
pesan walaupun menggunakan pengeras suara sehingga mereka
membutuhkan banyak latihan khusus agar bisa berkomunikasi.
b. Berdasarkan Letak Kerusakan Organ Pendengaran
Kategori anak tunarungu berdasarkan letak kerusakan organ
pendengaran dibagi menjadi 3 jenis, yaitu tunarungu konduktif,
tunarungu perseptif, dan tunarungu campuran. Tunarungu konduktif
merupakan kondisi anak-anak yang mengalami kerusakan pada liang
telinga, selaput gendang, dinding-dinding labirin, dan tiga tulang
pendengaran (malleus, incus, dan stapes). Bagian-bagian tersebut
memiliki fungsi untuk menghantarkan suara sehingga seseorang bisa
mendengar.
Lalu, tunarungu perseptif merupakan gangguan pendengaran
yang terjadi karena rusaknya organ-organ pendengaran yang terdapat
pada telinga bagian dalam. Keadaan ini terjadi karena rumah siput,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
serabut saraf pendengaran, dan corti yang mengubah rangsang mekanis
menjadi elektris tidak diteruskan ke otak.
Sedangkan tunarungu campuran adalah suatu keadaan di mana
kerusakan organ terjadi pada organ telinga yang berfungsi sebagai
penghantar dan penerima rangsang.
c. Berdasarkan Waktu Terjadinya Ketunarunguan
Berdasarkan waktu terjadinya, ketunarunguan dibagi menjadi dua
jenis, yaitu tuli bawaan (Deafness Conginetal) dan tuli fungsional
(Deafness Functional). Tuli bawaan merupakan ketunarunguan yang
terjadi saat bayi dilahirkan. Hal ini disebabkan oleh hereditas atau faktor
lainnya yang terjadi selama ibu mengandung. Sedangkan tuli fungsional
merupakan hilangnya pendengaran seorang anak tetapi tidak ditemukan
adanya disfungsi organik.
d. Berdasarkan Terjadinya Tahap Perkembangan
Menurut Denmark (1994) anak tunarungu dibagi menjadi dua
jenis, yaitu preverbal deafness dan postlingual deafness. Preverbal
deafness adalah suatu kondisi ketunarunguan yang dialami seorang anak
sebelum mengenal bahasa dan masuk dalam tahap perkembangan bahasa.
Ketunarunguan ini sangat banyak dialami oleh anak-anak. Mereka
kehilangan kemampuan mendengar sejak lahir sehingga membuat
mereka kesulitan untuk berinteraksi. Ketunarunguan macam ini
merupakan hambatan yang sangat besar bagi anak-anak dalam
perkembangan bahasa verbal mereka.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
Sebaliknya, postlingual deafness merupakan ketunarunguan yang
dialami setelah seorang anak mengenal bahasa dan masuk dalam tahap
perkembangan bahasa. Hal ini terjadi karena adanya penurunan
kemampuan pendengaran yang dimiliki seseorang. Biasanya, hal ini
sangat jarang dialami oleh anak-anak.
3. Karakteristik Anak Tunarungu
Menurut Telford dan Sawrey (dalam Mangunsong, 1998) ada
beberapa karakteristik anak tunarungu. Kekhasan tersebut adalah anak
tunarungu kurang mampu untuk memusatkan perhatian. Kemudian, anak
tunarungu juga sering mengalami kegagalan respon ketika diajak berbicara.
Kegagalan respon tersebut juga bisa disebabkan oleh keterlambatan bicara
yang dialami oleh anak tunarungu. Keterlambatan bicara juga membuat
anak
tunarungu
mengalami
kesalahan
artikulasi
dan
mengalami
keterbelakangan di sekolah.
4. Penyebab Ketunarunguan
Sebagian besar ketunarunguan pada anak-anak terjadi sebelum
mereka mengenal bahasa. Hal ini menyebabkan mereka mengalami
hambatan dalam perkembangan bahasa. Adapun beberapa penyebab seorang
anak mengalami ketunarunguan, yaitu prenatal, neonatal, dan post natal.
Pertama, penyebab prenatal merupakan penyebab yang diperkirakan
terjadi saat bayi masih dalam kandungan ibu. Beberapa penyebab
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
ketunarunguan yang terjadi saat masa prenatal adalah hereditas atau
keturunan, maternal rubella, pemakaian antibiotika yang berlebihan, dan
Toxoemia. Kedua, penyebab neonatal merupakan penyebab yang muncul
saat seorang bayi dilahirkan. Beberapa penyebabnya adalah kelahiran
premature, faktor resus, dan Tang Verlossing. Ketiga, penyebab
ketunarunguan yang terjadi setelah proses melahirkan (postnatal) adalah
meningitis cebralis, infeksi, dan otitis media kronis.
5. Dampak Ketunarunguan
Ketunarunguan tentu saja memberikan banyak dampak terhadap
penyandangnya. Dampak tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Secara Fisik
Menurut Arifin (2015) ada beberapa dampak yang dialami oleh
anak yang memiliki keterbatasan pendengaran, seperti kehilangan indera
pendengatan karena ada kerusakan pada organ tersebut dan kesulitan
menerima rangsang dalam bentuk audio. Selain itu, anak tunarungu
mengalami kesulitan memproduksi bahasa dan mengalami keterlambatan
dalam meniti fase-fase perkembangan.
b. Secara Sosial-Emosi
Menurut Efendi (2006) dan Van Uden (dalam Efendi, 2006)
beberapa dampak ketunarunguan dalam kehidupan sosial adalah anak
tunarungu lebih menampakkan sikap asosial. Anak tunarungu juga lebih
menunjukkan sikap bermusuhan dan lebih menarik diri dari lingkungan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
Lalu, anak tunarungu juga lebih egosentris dan lebih mudah marah serta
tersinggung. Anak tunarungu juga lebih bergantung pada orang lain dan
beberapa hal yang sudah dikenal sebelumnya. Selain itu, anak tunarungu
juga memiliki perasaan yang cenderung ekstrem tanpa banyak nuansa
dan memiliki perasaan takut akan hidup yang lebih besar.
c. Secara Bahasa
Dampak yang dialami oleh anak tunarungu secara bahasa tampak
pada kekurangan anak tunarunngu akan perbendaharaan kata. Anak
tunarungu juga mengalami kesulitan untuk mengartikan bahasa yang
mengandung arti kiasan atau sindiran sehingga mereka juga kesulitan
untuk mengartikan kata-kata abstrak seperti Tuhan. Anak tunarungu
mengalami kesulitan menguasai irama dan gaya bahasa sehingga mereka
juga menggunakkan struktur bahasa yang lebih berbeda.
C. Perkembangan Anak Tunarungu
Tahap perkembangan merupakan suatu fase yang pasti dialami oleh
setiap individu. Setiap individu mengalami hal yang sama hanya saja dalam
satu tahap atau fase individu membutuhkan waktu yang berbeda-beda, terutama
pada anak-anak berkebutuhan khusus. Tinjauan pustaka dalam penelitian ini
hanya akan menjelaskan tahap perkembangan masa anak-anak tengah menuju
akhir. Masa perkembangan ini mencakup anak yang berusia 6-12 tahun
(Bukatko, 2008).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
1. Perkembangan Fisik
Perkembangan fisik merupakan tahap perkembangan yang terkait
dengan perubahan fisik
seorang anak. Menurut Santrock (2009)
perkembangan fisik seorang anak dibagi menjadi:
a. Tubuh
Umumnya, seorang anak pada usia 6-12 tahun mengalami
perkembangan tinggi badan sebanyak 5-7,6 cm setiap tahunnya.
Perkembangan lainnya, yaitu berat badan. Berat badan anak-anak pada
masa ini bertambah 2,3-3,2 kg setiap tahunnya.
b. Otak
Volume otak anak-anak di masa ini sudah lebih stabil
dibandingkan dengan masa perkembangan sebelumnya. Perkembangan
otak juga menjadi lebih cepat terutama pada variasi struktur dan area
otak. Salah satu area otak yang berkembang adalah korteks prefrontal.
Perubahan signifikan yang terjadi pada area ini berkaitan dengan kontrol
kognitif. Kontrol kognitif inilah yang berperan untuk mengontrol
perhatian, mengurangi pikiran-pikiran yang mengganggu atau tercampur
aduk, menghambat gerakan motorik, dan fleksibel dalam menentukan
pilihan yang berlawanan (Munkata dalam Santrock, 2009).
2. Perkembangan Motorik
Perkembangan motorik anak-anak semakin berkembang yang
ditandai dengan semakin baiknya koordinasi gerak yang mereka lakukan.
Perkembangan motorik dibagi menjadi 2, yaitu motorik kasar dan motorik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
halus. Motorik kasar lebih melibatkan otot-otot besar pada anak-anak
sehingga motorik kasar anak laki-laki lebih unggul daripada anak
perempuan (Santrock, 2009). Sebaliknya, perkembangan motorik halus anak
perempuan lebih unggul dibandingkan dengan anak laki-laki (Santrock
2009).
a. Perkembangan Motorik ‘anak dengar’
Otot besar anak-anak yang menginjak usia 6-12 tahun sudah lebih
kuat dibandingkan tahap usia sebelumnya. Hal ini membuat kemampuan
motorik kasar mereka pun berkembang. Misalnya, mereka sudah mampu
untuk adalah berlari, memanjat, bermain bulutangkis, dan bermain
lompat tali.
Motorik halus yang mampu dilakukan oleh anak berusia 6 tahun
adalah mengikatkan tali sepatunya sendiri dan mengancingkan baju
mereka. Saat mereka berusia 7 tahun mereka mampu untuk mewarnai
menggunakan pensil warna. Hal ini disebabkan oleh tangan mereka yang
sudah lebih ajeg sehingga mereka lebih memilih menggunakan pensil
warna dibandingkan dengan krayon. Mereka juga mampu untuk
mewarnai bidang yang lebih kecil. Menginjak usia 8 sampai 10 tahun
anak-anak mampu untuk menulis huruf tegak bersambung dibandingkan
dengan huruf cetak. Hal ini disebabkan kemampuan tangan mereka sudah
lebih presisi sehingga lengkungan huruf atau ukuran tulisan sudah lebih
kecil. Usia 11 sampai 12 tahun seorang anak mampu untuk membuat
suatu kerajinan tangan yang lebih kompleks, misalnya membuat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
keranjang telur paskah. Mereka juga sudah mampu untuk memainkan
suatu alat musik.
b. Perkembangan Motorik Anak Tunarungu
Penjelasan di atas merupakan kemampuan yang mampu
dilakukan oleh anak-anak usia 6-12 tahun yang tidak mengalami
disfungsi apapun. Perkembangan motorik terhadap anak tunarungu
memiliki perbedaan dengan „anak dengar‟. Menurut Gheysen, Loots, dan
Waelvelde (2008) anak tunarungu mengalami kekurangan dalam
keseimbangan,
koordinasi
dinamis
umum
(general
dynamic
coordination), kemampuan visual-motor, kemampuan menangkap bola,
dan perbedaan yang jelas pada kecepatan perpindahan.
Pertumbuhan tubuh dan otak antara anak tunarungu dengan „anak
dengar‟ tidak ada perbedaan. Tubuh dan otak mereka berkembang sesuai
dengan tahap usia mereka. Hal ini berbeda dengan perkembangan
motorik yang dialami oleh anak tunarungu dan „anak dengar‟. Anak
tunarungu mengalami keterlambatan dalam perkembangan motorik
mereka. Wiegersma dan Van der Velde (dalam Gheysen, Loots, dan
Waelvelde, 2008) mengatakan hal yang menyebabkan anak tunarungu
mengalami
keterlambatan
adalah
gangguan
syaraf,
disfungsi
pendengaran, kekurangan rasa percaya diri, perlindungan dari orangtua
yang berlebihan atau pengabaian orangtua sehingga anak tunarungu
kekurangan rasa ingin tahu untuk mengeksplor lingkungannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
3. Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif merupakan suatu perkembangan pikiran
yang disadari oleh seseorang (Santrock, 2009). Salah satu perkembangan
proses kognitif terkait fungsi eksekutif, bahasa, dan komunikasi adalah
theory of mind (Marschark dan Hauser, 2012).
Theory of mind adalah kesadaran seorang anak terhadap proses
mental dirinya dan proses mental orang lain (Santrock, 2009). Menurut
Marschark dan Hauser (2012) theory of mind merupakan kemampuan
seorang anak untuk mengetahui pikiran orang lain, emosi orang lain, dan
kepercayaan (belief) orang lain. Perkembangan theory of mind sangat
penting untuk anak-anak dalam berkomunikasi, belajar, dan berinteraksi
sosial.
Perkembangan theory of mind pada anak-anak sangat bergantung
pada efektivitas komunikasi dengan orangtua mereka. Selain itu,
kemampuan orangtua untuk menjelaskan emosi dan keadaan kognitif
seseorang dalam konteks sebab akibat (Marschark dan Hauser, 2012).
Theory of mind juga membuat anak-anak belajar maksud dari orang lain
yang mengatakan sesuatu secara tidak langsung. Misalnya, “anginnya
kencang sekali” maksud yang sebenarnya adalah “tolong tutup jendelanya.
Perkembangan theory of mind antara anak tunarungu dan „anak
dengar‟ juga berbeda. Courtin (dalam Santrock, 2009) mengatakan bahwa
anak tunarungu menunjukkan perkembangan yang tidak cukup baik pada
tugas theory of mind mereka, terutama anak-anak tunarungu yang memiliki
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
„orangtua yang mendengar‟ (hearing parents). Marschark dan Hauser
(2012) juga mengatakan bahwa anak tunarungu mengalami keterbelakangan
dalam theory of mind dibandingkan dengan „anak dengar‟ seusianya.
Selain theory of mind, intelegensi anak tunarungu juga sering
dibedakan dengan „anak dengar‟. Inteligensi merupakan sebuah kemampuan
untuk mengatasi masalah, beradaptasi, dan belajar dari suatu pengalaman
(Santrock, 2009).
Pada dasarnya anak tunarungu memiliki intelegensi yang sama
dengan „anak dengar‟ (Furth dalam Efendi, 2006). Hambatan-hambatan
inteligensi yang terjadi pada anak tunarungu disebabkan oleh pengalaman
berbahasa. Anak-anak tunarungu mengalami kesulitan untuk menghubungan
atau menarik sebuah kesimpulan (Somantri, 2007).
Hambatan tersebut yang membuat anak tunarungu sering dilabel
bodoh. Hal ini disebabkan inteligensi sering dikaitkan dengan pencapaian
akademi seorang anak. Anak tunarungu memiliki kemampuan inteligensi
yang setara dengan „anak dengar‟ akan tetapi disfungsi pendengaran yang
dialami membuat mereka kesulitan memahami bahasa dan membutuhkan
waktu yang lebih lama untuk belajar. Mereka juga membutuhkan bantuan
orangtua atau guru di sekolah untuk bisa mencapai prestasi akademik seperti
„anak dengar‟. Hal ini tidak dirasakan oleh „anak dengar‟ karena mereka
bisa belajar sesuai dengan tahap perkembangan mereka.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
4. Perkembangan Bahasa
Perkembangan bahasa pada anak-anak yang „mendengar‟ dan pada
anak tunarungu jelas berbeda. Anak-anak tunarungu membutuhkan waktu
yang lebih lama untuk belajar berbahasa. Hal ini disebabkan oleh
keterbatasan yang dimilikinya (Marschark dan Spencer, 2003). Anak-anak
tunarungu yang mengalami keterlambatan berbicara juga kesulitan untuk
mengungkapkan emosi mereka secara verbal.
Normalnya seorang anak akan mengalami fase reflexive vocalization
(0-6 minggu), babbling (6 minggu-6 bulan), lalling (6 bulan-9 bulan),
yargon (9 bulan-12 bulan), dan true speech (12 bulan- 18 bulan) (Smith
dalam Efendi, 2006). Bagi anak tunarungu yang menderita gangguan
pendengaran sejak lahir, fase perkembangan mereka terhambat pada fase
babbling. Fase ini merupakan fase seorang anak mulai untuk mencoba
merespon suaranya sendiri. Hal ini terhambat atau terhenti karena anak
tunarungu tidak mampu untuk mendengar umpan balik dari suaranya sendiri
maupun orang lain.
Menurut Denmark (1994) anak tunarungu memiliki hambatan untuk
belajar bahasa secara verbal karena mereka tidak mampu untuk mendengar
ucapan mereka sendiri maupun ucapan orang lain. Hal ini justru salah satu
cara seorang anak belajar untuk berbicara dan mulai mengenal bahasa.
Keterbatasan anak-anak tunarungu untuk mendengar membuat mereka harus
mengandalkan indera yang lainnya untuk belajar bahasa agar bisa
berinteraksi dengan orang lain.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
Menurut Marschark dan Spencer (2003) yang termasuk dalam
perkembangan bahasa anak tunarungu adalah:
a. Fonologi
Normalnya fonologi sudah berkembang sejak seorang anak
berusia 1 tahun sampai 6 tahun (bagi anak-anak yang belajar bahasa
inggris sebagai bahasa ibu). Hal ini tentu berbeda dengan anak-anak
tunarungu. Sebuah studi dalam Marschark dan Spencer (2003)
menemukan bahwa penguasaan fonem anak tunarungu terjadi lebih
lambat dibandingkan dengan „anak dengar‟.
Seiring meningkatnya jumlah kosakata seorang anak, maka
dibutuhkan fonem yang lebih banyak dalam membantu mempertahankan
perbedaan fonetik antara kosakata yang sudah dipelajari sebelumnya
dengan kosakata yang baru.
Anak tunarungu menguasai konsonan /p, b, m/ lebih awal
dibandingkan /f,v/. Bagi anak-anak tunarungu ada beberapa fonem yang
dikuasai lebih dulu dan ada beberapa fonem yang membutuhkan waktu
yang lama untuk dikuasai.
b. Morfologi dan Sintaks
Morfologi
merupakan
stuktur
bahasa
yang
lebih
luas
dibandingkan dengan fonologi. Morfologi mencakup morfem, suku kata,
kosakata, frasa, dan kalimat. Kompleksitas struktur bahasa ini yang
menjadi tolak ukur perkembangan bahasa yang dialami seorang anak
(Marschack dan Spencer, 2003).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
c. Kosakata
Pada umumnya, anak-anak usia 6 tahun mampu untuk menguasai
14.000 kata dan anak usia 11 tahun mampu menguasai 40.000 kata
(Santrock, 2009). Anak-anak tunarungu menguasai 12.000-18.000 kata
saat mereka menginjak usia 18 tahun (Marschark dan Spencer, 2003).
Menurut Jensema (dalam Efendi, 2006) anak-anak tunarungu
yang beusia 8-10 tahun memiliki perbendaharaan kata yang setara
dengan „anak-anak mendengar‟ dari awal TK hingga akhir kelas II SD.
5. Perkembangan Sosio-emosi
Perkembangan sosio-emosi merupakan salah satu perkembangan
yang memilih pengaruh terhadap interaksi sosial anak tunarungu selain
perkembangan bahasa. Perkembangan sosio-emosi merupakan tahap kritis
dan mendasar untuk mencapai kesuksesan kehidupan (Marschark dan
Spencer, 2003). Umumnya, seorang anak pada fase ini mampu untuk
mendeskripsikan diri mereka secara psikologis, misalnya mendeskripsikan
sifat-sifat yang dimiliki. Anak-anak juga mampu untuk membandingkan diri
mereka dengan sesamanya (Santrock, 2009).
Sosio-emosi ini juga mampu untuk membantu seseorang untuk
menyadari potensi diri yang dimiliki dan mencakup kemampuan serta
kemauan untuk mempertimbangkan berbagai sudut pandang dalam melihat
suatu realita. Menurut Santrock (2009) hal ini disebut dengan perspective
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
taking di mana seorang anak memiliki kemampuan untuk memahami
perspektif, pikiran, dan perasaan orang lain.
Disfungsi pendengaran yang dimiliki oleh anak tunarungu menjadi
hambatan mereka untuk bisa memahami adanya perbedaan perspektif dari
orang lain. Anak tunarungu yang berada pada masa tengah dan akhir anakanak masih memiliki egosentrisme yang tinggi dibandingkan dengan „anak
dengar‟.
Keterlambatan
dalam
perkembangan
bahasa
membuat
anak
tunarungu kesulitan untuk berinteraksi sosial dengan „anak dengar‟. Hal ini
disebabkan oleh ketidakjelasan pengucapan anak tunarungu sehingga
mereka sulit unutk memahami perasaan dan pikiran orang lain.
Ketidakmampuan mereka untuk mendengar juga membuat mereka kesulitan
untuk memahami bahasa lisan dari orang lain. Hal ini membuat anak-anak
tunarungu sering menafsirkan segala sesuatu secara negatif atau salah
menafsirkan sehingga mereka memiliki tekanan tersendiri terhadap
emosinya. Keterbatasan pemahaman terhadap orang lain juga membuat
mereka lebih sering bertindak secara agresif dan lebih sering merasa gelisah
(Somantri, 2007).
Anak
tunarungu
yang
mengalami
keterlambatan
dalam
perkembangan sosio-emosi mereka jelas memberikan dampak tersendiri
bagi interaksi sosial mereka. Mereka mengalami kesulitan untuk
berinteraksi dengan teman sebayanya baik yang mendengar maupun sesama
yang tunarungu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
D. Kerangka Konseptual
Interaksi sosial akan terjadi apabila ada dua individu atau lebih yang
sedang bersama dan melibatkan kontak sosial serta komunikasi. Interaksi sosial
juga terjadi pada anak tunarungu dengan sesama anak tunarungu dan anak
tunarungu dengan „anak dengar‟. Kontak sosial yang terjadi dalam interaksi
keduanya akan melibatkan kesadaran dan emosi sehingga ada tindakan yang
ditanggapi oleh orang lain. Kontak sosial tersebut akan digambarkan dari
perilaku yang tampak antara anak tunarungu dengan sesama anak tunarungu
dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Selain kontak sosial, peneliti juga
akan menggambarkan perilaku komunikasi antara anak tunarungu dengan
sesama anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Komunikasi
yang akan digambarkan memiliki dua jenis, yaitu komunikasi linguistik dan
komunikasi nonlinguistik.
Peneliti berharap melalui penelitian ini dapat menggambarkan perilaku
kontak sosial dan komunikasi antar-anak tunarungu dan anak tunarungu
dengan „anak dengar‟. Gambaranperilaku yang tampak antara anak tunarungu
dengan sesama anak tunarungu akan dibandingkan dengan gambaran perilaku
antara anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Penjabaran kerangka konseptual
akan
tampak
pada
skema
1.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
Skema 1
Anak Tunarungu
dengan Sesama Anak
Tunarungu
Kontak Sosial
Anak Tunarungu
dengan 'Anak Dengar'
Anak Tunarungu
dengan Sesama Anak
Tunarungu
Interaksi Sosial
Komunikasi
Linguistik
Anak Tunarungu
dengan 'Anak Dengar'
Komunikasi
Anak Tunarungu
dengan Sesama Anak
Tunarungu
Komunikasi
Nonlinguistik
Anak Tunarungu
dengan 'Anak Dengar'
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Desain Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan sebuah penelitian yang bersifat
eksploratorik karena belum banyak kepustakaan yang menyediakan laporan
penelitian yang sedang diteliti. Penelitian kualitatif juga melibatkan peneliti
secara langsung untuk terjun ke lokasi partisipan yang mengalami masalah
yang sedang diteliti. Bentuk dari data penelitian kualitatif dapat berupa hasil
wawancara, hasil observasi, atau dokumen yang bisa menjawab tentang
masalah yang diteliti (Creswell dalam Supratiknya, 2015).
Penelitian ini akan menggunakan analisis isi kualitatif (AIK) untuk
menafsirkan secara data teks secara subjektif dengan klasifikasi coding dan
pengidentifikasian aneka tema dan pola (Hsieh & Shannon dalam Supratiknya,
2015). AIK merupakan metode yang bertujuan untuk menganalisis pesan-pesan
komunikasi baik bersifat lisan, tertulis, atau visual (Elo & Kyngas dalam
Supratiknya, 2008).
Semua data berasal dari catatan observasi tentang gambaran tingkah
laku anak tunarungu ketika berinteraksi dengan sesama tunarungu dan „anak
dengar‟. Hasil observasi ini kemudian diberikan kode dan dikelompokkan ke
dalam tema-tema sehingga dapat terlihat perilaku interaksi sosial keduanya.
39
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
B. Responden Penelitian
Responden dalam penelitian ini adalah anak tunarungu yang
berinteraksi dengan sesama anak tunarungu dan „anak dengar‟. „Anak dengar‟
yang dimaksud bisa dengan teman bermain di rumah atau dengan saudara yang
bisa mendengar. Kemudian, anak tunarungu juga menderita ketulian sebelum
mereka mengenal bahasa sehingga mereka mengalami kesulitan berkomunikasi
secara verbal.
Rentang usia sesama anak tunarungu atau anak dengar adalah 6 tahun
sampai 12 tahun. Hal ini dikarenakan usia anak tunarungu dan kemampuan
kognitif di sekolah tidak semuanya sama dengan „anak dengar‟. Mereka sudah
berusia lebih tua akan tetapi masih duduk di kelas 3 atau kelas 4 SLB B.
Selain itu, cara peneliti mendapatkan responden adalah membagikan informed
consent kepada seluruh siswa dari kelas dasar 2 sampai dengan dasar 5.
Informed consent yang kembali kemudian dikonfirmasi kepada orangtua
apakah peneliti bisa datang ke rumah untuk melihat responden bermain. Bagi
orangtua yang menyetujui maka peneliti akan menjadikan putra/i orangtua
sebagai responden penelitian.
Jumlah responden yang berpartisipasi dalam penelitian ini berjumlah 3
orang. Hal ini disebabkan dari 20 informed consent yang kembali hanya 3
orangtua yang mengijinkan peneliti untuk datang ke rumah. Ketiga subjek ini
berusia 10 tahun dan dua diantaranya duduk di kelas dasar 3. Subjek lainnya
duduk di kelas dasar 4.
Data umum responden dapat dilihat pada tabel 2 di bawah ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
Tabel 2
Kode
Usia
Usia mulai tuli
Jenis
Penyebab
Kelamin
Ketulian
R1
11 tahun
2 tahun
Perempuan Tidak diketahui
R2
11 tahun
2 tahun
Laki-laki
R3
11 tahun
2,5 tahun
Perempuan Tidak diketahui
Tidak diketahui
C. Fokus Penelitian
Bagian yang ingin dilihat pada penelitian ini adalah interaksi sosial
antara sesama anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟
berdasarkan perilaku yang muncul. Perilaku-perilaku yang muncul akan
dikelompokkan dalam kategori sehingga dapat menggambarkan bagaimana
interaksi sosial pada sesama anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak
dengar‟.
D. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini dengan
menggunakan teknik observasi. Observasi merupakan teknik pengamatan yang
sistematis untuk memperoleh data yang tercermin melalui tingkah laku
individu (Kusdiati dan Fahmi, 2015).
Peneliti yang menggunakan teknik observasi akan disebut dengan
observer. Observer memiliki beberapa tipe untuk mendapatkan data yang
diinginkan, salah satunya adalah menjadi observer partisipan. Observer
partisipan adalah keterlibatan peneliti secara langsung dalam proses
pengambilan data. Dalam penelitian ini, peneliti/observer akan mengamati
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
subjek dari satu titik tertentu akan tetapi observer juga bisa berinteraksi
langsung dengan subjek.
Observasi memiliki beberapa cara untuk mencatat data-data yang
diperoleh. Penelitian ini akan menggunakan teknik pencacatan naratif. Teknik
pencacatan naratif adalah teknik mencatat semua perilaku yang muncul saat
waktu
observasi.
Selain
pencacatan
secara
tertulis,
peneliti
juga
mendokumentasikan perilaku-perilaku yang muncul selama observasi sesuai
dengan kriteria yang masuk dalam indikator yang ditentukan peneliti.
Sebelum melakukan observasi, peneliti juga membuat daftar susunan
perilaku yang akan dilihat pada saat observasi. Daftar susunan perilaku
merupakan perkiraan perilaku apa saja yang akan tampak selama observasi
berlangsung. Hal ini mengacu pada teori yang digunakan, yaitu komponen
interaksi sosial (kontak sosial dan komunikasi). Daftar susunan perilaku akan
dijabarkan dalam tabel 3 berikut ini:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
Tabel 3
Aspek
Kontak Sosial
Komunikasi Linguistik
Komunikasi
Nonlinguistik
Emblems
Perilaku
Anak tunarungu bertatap muka dengan sesama anak tunarungu atau „anak dengar‟.
Anak tunarungu menatap mata sesama anak tunarungu atau „anak dengar‟.
Anak tunarungu melihat kegiatan yang sedang dilakukan oleh sesama anak
tunarungu atau „anak dengar‟.
Anak tunarungu melihat anak tunarungu atau „anak dengar‟ yang sedang bermain.
Anak tunarungu memberikan sapaan kepada sesama anak tunarungu atau „anak
dengar‟ dengan melambaikan tangannya.
Anak tunarungu menghampiri atau mendekati sesama anak tunarungu atau „anak
dengar‟.
Anak tunarungu melihat ke arah terjadinya sesuatu ke sesama anak tunarungu atau
„anak dengar‟.
Anak tunarungu menyampaikan pesan dengan menggerakkan bibir atau mulut
kepada sesama tunarungu atau „anak dengar‟.
Anak tunarungu menangkap pesan dengan melihat gerakan bibir atau mulut
sesama anak tunarungu atau „anak dengar‟.
Anak tunarungu menyampaikan pesan dengan abjad jari kepada sesama anak
tunarungu atau „anak dengar‟.
Anak tunarungu melambaikan tangan untuk memberikan tanda memanggil sesama
anak tunarungu atau „anak dengar‟.
Anak tunarungu memberikan sentuhan fisik kepada sesama anak tunarungu atau
„anak dengar‟ untuk mengajak memanggil.
Anak tunarungu memberikan tanda lambaian tangan ke arah kanan atau kiri untuk
menandakan menyingkir.
Anak tunarungu menunjuk arah atau tempat menggunakan tangannya atau jari
telunjuk ketika ditanya tentang arah/tempat oleh sesama anak tunarungu atau „anak
dengar‟.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
Illustrators
Affects
Regulators
Adapters
Anak tunarungu menyampaikan pesan dengan gerakan bibir disertai gerakan
tangan kepada sesama anak tunarungu atau „anak dengar‟.
Anak tunarungu memberikan senyum (melengkungkan bibirnya ke atas dan
membentuk huruf U) kepada sesama tunarungu atau „anak dengar‟.
Anak tunarungu yang tertawa ketika sedang bercengkrama dengan sesama
tunarungu atau „anak dengar‟.
Anak tunarungu yang melengkungkan bibirnya ke bawah (membentuk huruf U
terbalik) untuk mengekspresikan kesedihan.
Anak tunarungu mengekspresikan perasaan dengan melompat-lompat.
Anak tunarungu mengekspresikan perasaan dengan menghentakkan kaki.
Anak tunarungu menganggukkan kepala untuk menyetujui sebuah pendapat
sesama anak tunarungu atau „anak dengar‟.
Anak tunarungu menggelengkan kepala untuk menyanggah pendapat oleh sesama
anak tunarungu atau „anak dengar‟.
Anak tunarungu melambaikan tangan untuk menyanggah pendapat oleh sesama
anak tunarungu atau „anak dengar‟.
Anak tunarungu menggerakkan kaki atau tangan untuk menunjukkan perasan
cemas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
E. Proses Pengambilan Data
Responden yang dapat berpartisipasi dalam penelitian ini merupakan
anak tunarungu yang berinteraksi dengan sesama anak tunarungu dan
berinteraksi juga dengan „anak dengar‟. Mereka juga berada dalam masa
kanak-kanak akhir sehingga usia mereka masuk dalam rentang 6 – 12 tahun.
Peneliti datang ke salah satu sekolah luar biasa B (khusus tunarungu) untuk
meminta bantuan menemukan responden. Setelah pihak sekolah setuju apabila
peneliti diijinkan untuk melakukna observasi disana, peneliti segera membuat
informed consent yang akan dibagikan kepada calon responden dan disetujui
oleh orangtua responden. Dari 40 kuesioner yang disebar, hanya ada 7
informed consent yang kembali kepada peneliti. Dari 7 informed consent yang
kembali hanya 3 responden yang memenuhi kriteria.
Setelah peneliti meminta ijin ke pihak sekolah, peneliti bertemu dengan
orangtua calon responden untuk memperkenalkan diri, meminta ijin secara
langsung, dan meminta ijin untuk merekam kegiatan. Setelah semuanya siap
maka peneliti segera melakukan observasi di sekolah dan di rumah responden.
Observasi di sekolah dilakukan pada saat jam istirahat ketika semua anak-anak
bisa bermain dan berinteraksi dengan teman-temannya. Observasi di rumah
dilakukan saat sore hari ketika responden melakukan kegiatan dengan „anak
dengar‟.
F. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang akan digunakan adalah analisis isi kualitatif
(AIK) dengan pendekatan deduktif, yaitu Analisis Isi Terarah. Analisi Isi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
Terarah merupakan analisis yang tepat untuk digunakan dalam penelitian ini
karena menggunakan hasil penelitian sebelumnya untuk menentukan skema
awal pengkodean (Hsieh & Shannon dalam Supratiknya, 2015). Kategori
pengkodean dalam penelitian ini dibuat oleh peneliti dengan menggunakan
teori interaksi sosial dimana interaksi sosial terdiri dari dua komponen yaitu
kontak sosial dan komunikasi.
Kategori pengkodean dibagi menjadi 3 kategori besar, yaitu kontak
sosial, komunikasi nonlinguistik, dan komunikasi linguistik. Kontak sosial
merupakan hubungan antara individu atau kelompok yang menyadari
keberadaan orang lain, bertemu secara visual, dan melibatkan emosi tertentu
sehingga ada tindakan yang ditanggapi oleh orang lain. Lalu, komunikasi
nonlingustik adalah komunikasi yang tidak melibatkan komunikasi secara oral.
Komunikasi nonlinguistik diklasifikasikan lagi menjadi 5 jenis, yaitu emblems,
illustrator, affect, regulator, dan adapters. Sedangkan komunikasi linguistik
merupakan proses penyampaian pesan dengan gerakan bibir dan dipahami oleh
satu
sama
lain.
Penjabaran
definisi
dapat
dilihat
pada
Tabel
4.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
Tabel 4
Kategori
Sesama Anak Tunarungu
Anak Tunarungu dengan ‘Anak Dengar’
Kontak Sosial
Hubungan antara individu atau kelompok yang
menyadari keberadaan orang lain, bertemu
secara visual, dan melibatkan emosi tertentu
sehingga ada tindakan yang ditanggapi oleh
orang lain
Penyampaian pesan dengan gerakan tangan
atau tubuh tanpa ada kata-kata atau kalimat.
Penyampaian pesan secara verbal disertai
dengan gerakan tangan atau tubuh untuk
memperjelas pesan.
Bentuk ungkapan perasaan yang sedang
dialami dan ditunjukkan melalui mimik wajah.
Perilaku anak yang membantu untuk
memberikan
klarifikasi
ketika
sedang
berinteraksi. Contohnya, anggukkan kepala.
Salah satu perilaku yang membantu dalam
manajemen interaksi atau mengekspresikan
perasaan. Misalnya, gerakan kaki untuk
mereduksi perasaan cemas.
Proses penyampaian pesan dengan gerakan
bibir.
Hubungan antara individu atau kelompok yang
menyadari keberadaan orang lain, bertemu secara
visual, dan melibatkan emosi tertentu sehingga ada
tindakan yang ditanggapi oleh orang lain
Komunikasi
Nonlinguistik
Emblems
Illustrator
Affect
Regulator
Adapters
Komunikasi Linguistik
Penyampaian pesan dengan gerakan tangan atau
tubuh tanpa ada kata-kata atau kalimat.
Penyampaian pesan secara verbal disertai dengan
gerakan tangan atau tubuh untuk memperjelas pesan.
Bentuk ungkapan perasaan yang sedang dialami dan
ditunjukkan melalui mimik wajah.
Perilaku anak yang membantu untuk memberikan
klarifikasi ketika sedang berinteraksi. Contohnya,
anggukkan kepala.
Salah satu perilaku yang membantu dalam
manajemen interaksi atau mengekspresikan perasaan.
Misalnya, gerakan kaki untuk mereduksi perasaan
cemas.
Proses penyampaian pesan dengan gerakan bibir.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
G. Verifikasi Penelitian
1. Validitas
Menurut Creswell (dalam Supratiknya, 2015) ada beberapa strategi
yang dapat digunakan untuk menguji validitas sebuah penelitian. Salah satu
strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah berada dalam jangka
waktu yang panjang di lapangan. Strategi ini dapat mengembangkan
pemahaman yang mendalam tentang fenomen yang diteliti sehingga dapat
memberikan informasi yang rinci. Informasi tersebut berupa lokasi
penelitian dan partisipan. Hal ini juga dapat mendukung strategi validitas
bias. Bias merupakan proses menguraikan kemungkinan bias yang dibawa
oleh peneliti dalam bentuk refleksi diri yang jujur.
Selain itu, peneliti juga menggunakan strategi thick description atau
deskripsi mendalam. Validitas ini memaparkan temuan dengan sangat rinci
tentang lingkungan penelitian serta mendeskripsikan penelitian dari
berbagai sudut pandang.
2. Reliabilitas
Reliabilitas yang digunakan adalah reliabilitas interobserver.
Reliabilitas intraobserver adalah melihat adanya konsistensi dan stabilitas
dalam pencatatan yang dilakukan oleh lebih dari satu observer. Observer
akan mengamati subjek yang sama, dalam waktu yang bersamaan, dan
format pencatatan yang sama (Kusdiyati dan Fahmi, 2015). Dalam
penelitian ini yang akan berperan sebagai observer adalah peneliti dan rekan
peneliti.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Responden Penelitian
1. Responden 1 (R1)
Responden 1 adalah seorang anak laki-laki yang berusia 11 tahun.
Saat ini, ia duduk di kelas 3 Sekolah Dasar Luar Biasa. Responden 1
menyandang tunarungu sejak ia berusia 2 tahun. Kedua orangtua responden
tidak mengetahui pasti penyebab disabilitas yang menimpa responden.
Informasi yang didapat dari orangtuanya, kelainan tersebut mulai diketahui
ketika Responden 1 menderita panas tinggi hingga kejang-kejang. Sejak saat
itu Responden 1 tidak mampu untuk merespon suara. Tingkat pendengaran
Responden 1 masuk dalam kategori profoundly losses dengan intensitas
bunyi sebesar 110 dB. Responden 1 menyandang disabilitas tersebut
sebelum ia mengenal bahasa.
Responden 1 berinteraksi dengan teman-teman sesama tunarungu
saat Akan tetapi, di lingkungan rumah, Responden 1 berinteraksi dengan
anak-anak seusianya yang tidak menyandang disabilitas.
2. Responden 2 (R2)
Responden 2 merupakan seorang anak perempuan yang berusia 11
tahun. Saat ini, Responden 2 duduk di kelas 3 Sekolah Dasar Luar Biasa.
Responden 2 didiagnosa menyandang disabilitas tunarungu saat ia berusia 2
tahun. Penyebab pastinya tidak diketahui oleh kedua orangtuanya.
49
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
Perubahan Responden 2 terasa saat Responden 2 tidak mampu merespon
panggilan orangtuanya. Responden 2 tidak mampu merespon suara yang ada
sebelum ia mengenal bahasa. Awalnya Responden 2 pernah terjatuh dan
terjadi benturan di kepalanya. Saat itu, Responden 2 baik-baik saja sampai
tiba-tiba ia tidak mampu merespon suara. Tingkat pendengaran responden 2
masuk dalam kategori profound losses dengan intensitas bunyi sebesar 110
dB.
Saat di sekolah Responden 2 berinteraksi dengan teman-temannya
sesama tunarungu. mereka menggunakan bahasa yang mereka pahami
bersama. Sedangkan di lingkungan rumah, Responden 2 berinteraksi dengan
teman-teman sebaya yang tidak memiliki disabilitas seperti Responden 2. Ia
berinteraksi dengan „anak-anak dengar‟ saat mengikuti kegiatan di
lingkungan rumah.
3. Responden 3 (R3)
Responden 3 adalah seorang anak perempuan berusia 11 tahun. Ia
duduk di kelas 4 Sekolah Dasar Luar Biasa. Responden 3 kehilangan fungsi
pendengarannya sejak ia berusia 2,5 tahun. Ia kehilangan fungsi
pendengaran sebelum ia mengenal bahasa. Tingkat pendengaran responden
masuk dalam kategori profoundly losses dengan intensitas bunyi 120 dB.
Selain itu, penyebab Responden 3 menyandang tunarungu tidak diketahui.
Responden 3 tiba-tiba saja tidak merespon suara orangtuanya dan
mengalami keterlambatan bicara. Ia tidak mengalami jatuh atau panas tinggi
seperti dua responden sebelumnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
Saat ini, Responden 3 duduk di kelas 4 Sekolah Dasar Luar Biasa.
Responden 3 berinteraksi dengan sesama tunarungu ketika berasa di
lingkungan sekolah. Ketika di lingkungan rumah, Responden 3 berinteraksi
dengan teman-teman sebayanya yang tidak menyandang disabilitas. Mereka
berinteraksi ketika sdang ada acara khusus, seperti mengaji saat bulan
Ramadhan. Selain itu, ia berinteraksi dengan adiknya yang memenuhi
kriteria „anak dengar‟.
B. Pelaksanaan Penelitian
Pengambilan data dilakukan sejak 25 April 2016 hingga 30 Mei 2016.
Rentang waktu ini merupakan rentang waktu pengambilan data untuk ketiga
responden. Observer datang setiap hari ke sekolah untuk melakukan
pendekatan sekaligus pengamatan di sekolah. Setiap hari observer mengamati 1
responden. Observer datang dari pagi hari jam 10.00 hingga jam 14.00 untuk
mengamati lingkungan dan berdinamika dengan responden.
Pengambilan data dilakukan pada saat jam istirahat sekolah sehingga
tidak mengganggu kegiatan belajar mengajar. Pengambilan data saat di sekolah
berlangsung pada pukul 12.00 WIB hingga pukul 13.00. Waktu ini merupakan
saat istirahat siang responden di sekolah yang cukup lama. Biasanya mereka
mengawali istirahat dengan makan siang bersama, shalat berjamaah, dan
dilanjutkan dengan menghabiskan waktu bersama teman-teman.
Selama observasi berlangsung, observer dan rekan observer harus
berpindah-pindah tempat untuk mengamati responden. Hal ini disebabkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
tempat yang bersekat-sekat dan tidak memungkinkan untuk mengamati
kegiatan responden. Selain itu, responden juga menyadari kehadiran kamera
yang sedang merekam kegiatan mereka. Terkadang responden justru
memperhatikan kamera daripada bermain dengan teman-temannya. Ada pula
siswa lain yang menganggu dengan meminjam kamera yang sedang digunakan
atau berdiri di hadapan lensa sehingga menutupi perilaku responden.
Setelah melakukan pengambilan data di sekolah, observer melanjutkan
mengamati kegiatan para responden ketika di lingkungan rumah. Pengamatan
dilakukan bertepatan dengan bulan Ramadhan sehingga setiap sore responden
1 dan responden 2 mengikuti kegiatan TPA di masjid. Pengamatan dilakukan
dari pukul 16.30 WIB hingga pukul 17.45 WIB. Hal ini berbeda dengan
responden 3 yang hanya berkegiatan di rumah bersama adiknya.
Ketika pengambilan data berlangsung di lingkungan rumah, observer
datang sekitar pukul 16.00 WIB. Hal ini disebabkan responden baru pulang
sekolah pukul 15.00 WIB. Selama di rumah responden, observer mengamati
kegiatan untuk persiapan TPA kemudian berangkat ke masjid bersama
responden. Lingkungan di masjid sangat ramai dengan anak-anak seusia
responden akan tetapi mereka jarang yang berinteraksi dengan responden.
Terkadang responden juga kesulitan memahami pesan yang disampaikan
teman-temannya secara verbal.
Kesulitan komunikasi yang dialami oleh responden justru menjadi
distraksi bagi observer. Selama melakukan pengamatan saat di masjid,
responden banyak membutuhkan bantuan observer atau orang lain untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
berkomunikasi dengan „anak dengar‟. Sesekali observer membantu untuk
menterjemahkan pesan yang disampaikan kepada anak tunarungu oleh „anak
dengar‟ dan begitu pun sebaliknya. Hal ini menjadi distraksi observer ketika
sedang melakukan pengamatan.
Pengamatan responden 3 dilakukan di rumahnya ketika sedang bermain
bersama adiknya. Observer datang pada malam hari karena rumah subjek yang
cukup jauh dan jam pulang sekolah yang hampir sore. Ketika observer datang,
responden sedang bercengkrama dengan keluarganya. Responden terlihat
malu-malu dan memilih untuk menemani adiknya.
C. Hasil Penelitian
1. Kontak Sosial
a. Anak Tunarungu dengan Sesama Anak Tunarungu
Berdasarkan hasil observasi, kontak sosial yang terjadi antara
anak tunarungu dengan sesamanya melibatkan kesadaran responden dan
kontak fisik, serta adanya ajakan interaksi. Kesadaran akan kehadiran
orang lain tampak pada perilaku R1 yang menghampiri teman-temannya
untuk memberitahukan kedatangan teman yang lain.
“Ketika jam istirahat R1 melihat ada teman lamanya yang datang dan
duduk di samping sekolah.”
“R1 menghampiri temannya yang berada di aula.”
Perilaku lain tampak pada perilaku R2 yang melihat temannya sedang
menangis.
“Setelah R2 melihat temannya menangis, tidak lama ibu guru datang
untuk bertanya ada apa.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
Perilaku berbeda tampak dari R3 yang menyadari kehadiran sesama anak
tunarugu dengan berbagi makanan yang dimiliki.
“Lalu, R3 mengambil 2 wafer dan membagikan wafernya pada teman
yang lain.”
Setelah menyadari kehadiran sesama anak tunarungu, para
responden menyadari kegiatan yang dilakukan oleh sesama anak
tunarungu. R1 memperhatikan temannya yang sedang bermain game
pada tabnya.
“R1 berdiri di samping temannya sambil menyilangkan tangannya di
dada dan melihat temannya yang sedang bermain game di tab tersebut.”
R2 dan R3 memperhatikan teman-temannya yang sedang bermain tebaktebakan dan bola kertas.
“Lalu, R2 duduk dan melihat teman-temannya yang sekarang bermain
tebak-tebakan.”
“Selama itu sambil duduk, R3 juga melihat kakak kelas dan teman-teman
sebaya yang laki-laki ketika mereka sedang bermain bola.”
Ketiga responden menyadari bahwa mereka sedang direkam
dengan kamera sehingga mereka beberapa kali melihat ke arah kamera.
Hal ini tampak pada:
“R1 juga sesekali melihat ke arah kamera.”
“R2 juga terkadang melihat ke arah kamera.”
“R3 juga sempat melihat ke arah kamera.”
Kemudian, R2 dan R3 juga menyadari kepemilikan sebuah benda.
Hal ini tampak pada perilaku R2 yang mengembalikan sebuah benda
kepada
temannya.
Sedangkan
perilaku
R3
tampak
ketika
ia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
memperhatikan ponsel milik temannya. Akan tetapi perilaku ini tidak
tampak pada R1.
“Saat di tangga R2 memegang sesuatu dan dikembalikan kepada
temannya yang lebih kecil.”
“Kemudian, R3 juga melihat ke arah HP temannya.”
Ketiga responden tidak hanya sadar akan kehadiran sesama
tunarungu atau kegiatan sesama tunarungu. Responden juga sadar akan
lingkungan atau situasi yang ada di sekitarnya.
“Kemudian R1 berjalan-jalan kecil dan hanya melihat sekitarnya.”
“Kemudian R2 mengamati teman-teman di sekililingnya sambil
bertopang dagu.”
“R3 sempat melihat ke arah pintu masuk.”
Selain melibatkan kesadaran, kontak sosial juga melibatkan
kontak fisik yang tampak pada tatapan wajah dan sentuhan fisik. Perilaku
menatap wajah sesama anak tunarungu lain tampak pada:
“Kemudian, R1 berhadapan dengan teman yang berada pada urutan
terakhir.”
“Sampai di depan kelasnya R2 menatap wajah temannya yang
mengajaknya berkomunikasi.”
“Sambil makan R3 melihat wajah dan gerakan tangan teman di
hadapannya yang sedang berbicara.”
Sedangkan perilaku yang melibatkan sentuhan fisik tampak pada:
“R1 berbicara sambil dirangkul oleh temannya.”
“R2 berjalan mundur dan tidak sengaja langkahnya terkena lutut
temannya yang sedang duduk.”
“R3 juga makan sambil bersandar dengan temannya dengan meletakkan
siku R3 di atas lutut temannya di sampingnya.”
R1 juga sadar akan adanya ajakan interaksi. Perilaku ini tampak
pada:
“R1 juga menghampiri teman yang memanggilnya.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
b. Anak Tunarungu dengan ‘Anak Dengar’
Kontak sosial yang terjadi antara anak tunarungu dengan „anak
dengar‟ juga melibatkan kesadaran, kontak fisik, serta adanya ajakan
interaksi. Kesadaran yang terlibat adalah kesadaran akan kehadiran „anak
dengar‟, sadar akan kegiatan „anak dengar‟, dan sadar akan
lingkungan/situasi.
R1 sadar akan kehadiran „anak dengar‟ ketika ia bertemu dengan
„anak dengar‟.
“Disana R1 bertemu dengan anak kecil yang tadi bermain dengannya.”
Sedangkan R2 duduk bersama „anak dengar‟ dan R3 mendekati „anak
dengar‟.
“Seperti biasa, R2 datang ke masjid lebih awal daripada temantemannya.Sesampainya di masjid R2 duduk di dekat 2 orang temannya.”
“Kemudian R3 mendekati kardus mainan dan adiknya.”
Mereka juga menyadari kegiatan yang dilakukan oleh „anak
dengar‟.Misalnya, R1 yang melihat adik kecil yang sedang makan.
“Kemudian R1 kembali melanjutkan makan sambil melihat adik kecil
yang juga makan di sampingnya.”
Ada juga R2 yang melihat teman-temannya berkejar-kejaran dan R3 yang
melihat adik yang sedang bermain keyboard.
“Lalu R2 sempat melihat ke arah temannya yang sedang berkejarkejaran.”
“R3 berdiri di sebelah adiknya yang sedang bermain keyboard.”
Dari
ketiga
responden,
hanya
R1
yang
sadar
akan
lingkungan/situasi. R1 melihat-lihat sekitarnya ketika sedang mengikuti
kegiatan TPA.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
“Setelah itu R1 hanya berdiri dan melihat sekelilingnya.”
Dari ketiga responden, hanya R3 yang melibatkan tatap wajah
dengan „anak dengar‟ ketika sedang bersama.
“R3 bergantian melihat wajah adiknya dan kardus yang dipegang
adiknya.”
Ajakan interaksi tampak pada R1 yang mengajak seorang „anak
dengar‟ yang berusia lebih muda untuk berkomunikasi dengan
menampilkan ekspresi-ekspresi lucu.
“Kemudian R1 menghampiri balita tersebut dan menggoyang-goyangkan
pinggulnya sambil berekspresi lucu (membuka mulutnya lebar dan
berkedip-kedip).”
Pada R2, justru ia yang diajak berinteraksi terlebih dahulu oleh
„anak dengar‟.
“Tidak lama satu per satu teman R2 datang ke masjid.Ada satu
temannya yang mendekati R2 dan bertanya sesuatu kepada R2.”
Akan tetapi, ajakan interaksi tidak tampak pada R3.
2. Komunikasi
a. Komunikasi Linguistik
1) Anak Tunarungu dengan Sesama Anak Tunarungu
Berdasarkan
hasil
penelitian,
ditemukan
tiga
bentuk
komunikasi linguistik, yaitu melafalkan pesan, menangkap pelafalan
pesan, dan
berkomunikasi
dengan
abjad jari.
R2 dan R3
menyampaikan pesan kepada sesama anak tunarungu dengan
menggerakkan mulut/bibir mereka.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
“R1 bertanya kepada temannya dengan cara menunjuk tab tersebut
sambil menggerakkan mulutnya.”
“R2 diminta untuk memberikan jawaban dan R2 menatap wajah
temannya sambil menggerakan mulutnya untuk memberikan
jawaban.”
“R3 banyak menghabiskan waktu dengan bercerita kepada T bahkan
terkadang sampai menutupi mulut dan berbisik kepada T.”
Selain menyampaikan pesan, R1, R2, dan R3 juga menangkap
pesan dengan gerakan bibir. Misalnya, R1, R2, dan R3 melihat teman
yang sedang berbicara.
“R1 melihat teman yang sedang berbicara sambil menyilangkan
tangannya di belakang badan.”
“Lalu, R2 berdiri sambil melihat temannya yang berbicara.”
“R3 juga melihat gerakan mulut teman.”
Selain
menggerakkan
bibir
untuk
menyampaikan
dan
menangkap pesan, ketiga responden juga menggunakan bahasa isyarat
berupa abjad jari untuk berkomunikasi secara verbal.R1 dan R3
menyampaikan pesan dengan gerakan abjad jari.
“R1 menyampaikan pesan dengan cara membentuk abjad-abjad
dengan tangannya dan mulutnya ikut melafalakan.”
“R2 melihat wajah temannya sambil berbicara dengan menggerakan
jarinya membentuk abjad”
“R3 juga membentuk abjad dengan jari-jarinya ketika
berkomunikasi.”
2) Anak Tunarungu dengan ‘Anak Dengar’
Komunikasi linguistik antara anak tunarungu dengan „anak
dengar‟ terdapat tiga perilaku. Perilaku tersebut adalah melafalkan
pesan, menangkap pelafalan pesan, dan menuliskan pesan.
Melafalkan pesan tampak pada kegiatan R1 yang sedang
mengajari „anak dengar‟ bahasa isyarat dengan melafalkan abjad.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
“R1 mengajari sambil tersenyum dan melafalkan huruf-huruf tersebut
dengan gerakan mulutnya.”
Menangkap pelafalan pesan tampak pada R2 yang dihampiri
dan diajak berbicara oleh „anak dengar‟. Selain itu, R3 juga melihat
gerakan bibir adiknya.
“Lalu temannya mengajak berbicara sambil menunjukkan buku yang
dipegangnya dan R2 mencondongkan badannya untuk melihat.”
“R3 melihat gerakan mulut adiknya kemudian melihat ke arah
ibunya.”
Ketika
„anak
dengar‟
tidak
memahami
pesan
yang
disampaikan oleh anak tunarungu, ia mencoba untuk menuliskan
pesan. Hal ini tampak pada R2 yang menuliskan pesan di lantai
menggunakan jari tangannya.
“R2 juga mencoba menggunakan bahasa isyarat dan mencoba
menuliskan di lantai menggunakan jarinya.”
b. Komunikasi Nonlinguistik
Komunikasi nonlinguistik juga merupakan bagian dari
komunikasi. Hal ini tampak dalam kebersamaan antara anak
tunarungu dengan sesama anak tunarungu dan anak tunarungu dengan
„anak dengar‟.
1) Anak Tunarungu dengan Sesama Anak Tunarungu
Emblems merupakan perilaku pengganti kalimat atau pesan
yang akan disampaikan. Berdasarkan hasil penelitian, emblems
tampak dalam menyampaikan pesan dengan lambaian tangan,
menyampaikan pesan dengan sentuhan fisik, menyampaikan pesan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
dengan tindakan langsung, menyampaikan pesan dengan simbol,
menyampaikan pesan dengan peragaan, dan menunjuk pesan yang
dimaksud.
Menyampaikan pesan dengan lambaian tangan tampak pada
perilaku R1 yang akan memanggil teman.
“R1 memanggil teman-temannya
melambaikan tangannya”
yang
lain
dengan
cara
Cara yang sama untuk menyampaikan pesan yang berbeda
tampak pada perilaku R2. R2 melambaikan tangannya untuk
mengatakan bergeser kepada temannya.
“R2 menginstruksikan ke teman-temannya untuk bergeser
menggunakan tangannya kemudian melanjutkan bermain”
R3 melambaikan tangannya untuk mengajak temannya
pergi.
“R3 tersenyum dan melambaikan tangannya untuk mengajak
temannya mengikutinya.”
Cara lain untuk menyampaikan pesan adalah dengan
melibatkan sentuhan fisik. Cara ini biasanya digunakan R1, R2, dan
R3 untuk memanggil temannya. R1, R2 dan R3menepuk pundak
untuk memanggil temannya.
“R1 menepuk pundak temannya yang sedang bermain dan
bertanya bagaimana cara memainkannya.”
“R2 hanya ditanggapi sesekali oleh teman-temannya sehingga ia
menepuk pundak dan menarik lengan temannya karena tidak
melihat dirinya.”
“Selama bercengkrama dengan temannya, R3 terlihat beberapa
kali menepuk bahu temannya untuk memanggil dan mengajak
berbicara.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
Setelah lambaian tangan dan sentuhan fisik, responden juga
menyampaikan pesan dengan tindakan langsung, seperti R1 yang
memegang bahu teman dengan maksud jangan pergi.
“R1 memegang bahu temannya untuk menahan temannya agar
tidak pergi.”
R2 terlihat menarik baju temannya agar temannya kembali
pada posisinya.
“R2 juga menarik baju temannya agar temannya kembali mundur
ke posisinya.”
R3 tampak menjulurkan tangannya untuk mengambil kertas
yang dibagikan.
“R3 menjulurkan tangannya untuk mengambil kertas yang
dibagikan.”
Setelah itu, responden menyampaikan pesan dalam bentuk
simbol. R1 menempelkan jari telunjuknya di bibir untuk
mengatakan diam kepada temannya.
“Kemudian R1 juga berbalik badan dan meminta temannya untuk
diam dengan menempelkan jari telunjuknya di bibirnya.”
R2 menunjukan angka-angka dengan jarinya.
“R2 menunjuk temannya sambil tertawa-tawa dan seperti
menghitung karena jari-jari R2 menunjukkan angka 1 sampai 3.”
R3 tampak mengangkat jempol atau kelingkingnya.
“R3 sesekali mengangkat jempol atau kelingkingnya untuk
menandakan bahwa ia setuju.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
Setelah itu, responden juga menyampaikan pesan dengan
peragaan. Hal ini tampak pada perilaku R1 yang memperagakan
kegiatan memompa.
“R1 menggerakkan kedua tangannya dan menirukan gerakan
orang yang sedang memompa.”
R3 juga memperlihatkan penyampaian pesan dengan
peragaan. Hal ini tampak ketika R3 memperagakan kegiatan
bermain computer.
“R3 memperagakan seperti bermain computer dan menggerakkan
tangannya untuk menyampaikan pesan.”
Penyampaian pesan dengan peragaan hanya tampak dalam
perilaku R1 dan R3. Hal in justru tidak tampak pada R2.
Selain dengan gerakan tangan atau tubuh, sering pula
responden menunjuk pesan yang dimaksud. Misalnya, R1
menunjuk dirinya untuk menyampaikan pesan terkait dirinya.
“Lalu, ada teman R1 yang menunjuk-nunjuk kamera, R1 tersenyum
kepada temannya dan menunjuk dirinya dengan jari telunjuk yang
di arahkan ke dadanya.”
R3 juga tampak menunjukkan pesan dengan menunjuk
rambut dan menggaris poni.
“R3 juga menunjuk rambutnya dan menggaris dahinya dengan
telunjuknya untuk menyampaikan tentang poni.”
Selanjutnya adalah illustrators. Illustrator adalah sebuah
perilaku yang tampak untuk mempertegas pesan yang disampaikan.
Berdasarkan hasil observasi ditemukan bahwa ketiga responden
menyertakan gerakan tangan/jari dan menangkap pesan verbal yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
disertai gerakan tangan/jari. Menyertakan gerakan tangan/jari
tampak pada perilaku R1 yang menurunkan jari-jari tangan seperti
berhitung.
“R1 berbicara dengan 2 orang teman yang berada di sampingnya
dengan melihat wajah dan gerakan tangannya.R1 juga
menggerakkan tangannya seperti orang menghitung karena R1
menurunkan jarinya satu per satu.”
R2 tampak menunjuk wajah teman sambil berbicara dan R3
menggerakkan mulut disertai gerakan tangan.
“R2 terlihat menunjuk wajahnya ketika sedang berbicara dengan
seorang temannya.”
“R3 O berbincang dengan temannya sambil memegang botol
minumnya, melafalkan pesan, dan menggerakkan tangannya
seperti mengibas-ngibaskan.”
Adapula penyampaian pesan yang disertai dengan gerakan
tubuh. Hal ini hanya tampak pada R1 dan R3, sedangkan pada R2
tidak tampak. Perilaku R1 yang menyertakan gerakan tubuh adalah
menyampaikan pesan disertai peragaan kegiatan.
“Kemudian R1 berjalan menjauh, bercakap-cakap dengan
temannya sambil menggerakkan tangan dan mulutnya.R1
memperagakan seseorang yang sedang makan dan ditunjukkan
kepada temannya.”
Sedangkan R3 memberikan contoh cara berjalan saat
menyampaikan pesan.
“Mereka membicarakan tentang tarian karena R3 memberikan
contoh cara berjalan seperti model dan beberapa gerakan seperti
menari.”
Setelah emblems dan illustrators, ada yang disebut dengan
affects atau ungkapan perasaan. Affects muncul dalam dua bentuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
yaitu mimik wajah dan perilaku. Ketiga responden memunculkan
ungkapan perasaan mimik wajah dengan tersenyum dan tertawa.
“R1 tersenyum ketika melihat temannya menyampaikan pesan.”
“R2 memperhatikan temannya yang sedang bernyanyi sambil
tersenyum.”
“R3 juga tersenyum ketika menyampaikan pesan.”
Ungkapan perasaan tertawa tampak pada:
“R1 tertawa-tawa dengan membuka lebar mulutnya ketika melihat
temannya datang.”
“R2 tertawa-tawa dengan membuka lebar mulutnya dan
mengeluarkan suara.”
“R3 tertawa-tawa dan mengangkat botol minumnya.”
Selain tersenyum dan tertawa, ada pula ungkapan perasaan
lain yang hanya muncul pada masing-masing responden. Misalnya,
R1 yang matanya sayu, bibir yang dilengkungkan ke bawah, dan
menangis.
“Matanya terlihat sayu dan bibirnya di lengkungkan ke
bawah.Kemudian R1 ditanya oleh temannya yang naik tangga
kenapa menangis. R1 terdiam dan menghapus air matanya dengan
tangannya.”
Kemudian, R2 menunjukkan perasaan bingung dengan
mengerutkan dahi.
“R2 juga mengerutkan dahi ketika berbicara dengan teman yang
ada di sampingnya dan berjalan keluar sambil berbicara dengan
temannya.”
Lalu, R3 menunjukkan perasaan kesal dengan raut wajah
yang ditekuk.
“R3 juga menunjukkan sikap pura-pura kesal dengan ekspresi
wajah muka yang ditekuk tidak lama kemudian ia tersenyum
kepada temannya.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
Ada pula ungkapan perasaan yang tampak pada perilaku
responden. R1 tampak berpura-pura akan terjatuh ketika didorong
kakak kelasnya. Selain itu, R1 juga berteriak dan melompat-lompat
kecil.
“R1 didorong pelan oleh kakak kelasnya dan mengayunkan
tangannya ke depan seakan-akan akan terjatuh.”
“R1 melompat-lompat kecil dan tersenyum sambil berpindahpindah tempat di aula sekolah.”
“R1 bersandar pada pagar kayu di dekatnya sambil memainkan
jari telunjuknya. Mereka seperti tidak sependapat tentang jam
tarawih.”
Ungkapan perasaan melalui perilaku yang tampak pada R2
adalah menggaruk-garuk kepala, menari-nari, dan menghentakkan
kaki.
“Kemudian R2 melanjutkan pembicaraan dengan temannya sambil
menggaruk-garuk kepalanya.”
“R2 menari-nari ketika menunggu untuk dipanggil dan I
memegang kedua telinganya.”
“R2 mengerutkan dahi, menghentakan kaki dan mencubit tangan
teman laki-laki yang datang.”
Ungkapan perasaan dengan menari-nari juga tampak pada
R3.
“Kemudian R3 menari-nari dan melihat ke arah temannya.”
R3 terlihat menundukkan kepala dan menutupi wajahnya.
“R3 juga sempat menundukkan kepalanya dan menutup wajahnya
dengan tangannya ketika berbicara.”
Lalu, ada yang disebut dengan regulators. Regulators
merupakan perilaku yang tampak untuk mengklarifikasi pesan, baik
benar atau salah, setuju atau tidak setuju. Selain itu, penyampaian
pesan melalui kontak mata juga masuk dalam regulators.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
Berdasarkan hasil penelitian, regulators yang tampak adalah
melambaikan tangan untuk menyanggah, menganggukkan kepala,
menggelengkan kepala, dan menyampaikan pesan dengan kontak
mata.
Melambaikan tangan untuk menyanggah pesan tampak
dalam perilaku ketiga responden.
“R1 juga melambaikan tangan untuk mengatakan tidak dan
berteriak sambil mengangkat tangan.”
“Setelah temannya menangkap bola R2 melambaikan tangan
menyatakan “bukan begitu” kemudian memberikan contoh
bagaimana posisi tangan untuk menangkap bola.”
“R3 juga melambaikan tangan menandakan tidak.”
Menganggukan kepala hanya tampak pada perilaku R2 dan
R3.
“R2 sambil memegang buku. R2 bercerita dengan menggerakan
tangan dan menganggukan kepala”
“R3 setuju dengan pesan yang disampaikan temannya karena ia
menganggukkan kepala sambil menggerakkan tangannya juga.”
Sebaliknya, menggelengkan kepala hanya tampak pada
perilaku R1 dan R3.R1 mengatakan tidak dengan menggelengkan
kepala.
“Beberapa kali R1 menggelengkan kepala untuk mengatakan tidak
setuju dan melambaikan tangannya untuk mengatakan tidak. R1
kembali menunjukkan jari-jarinya tentang jam tarawih.”
“R3 juga menggelengkan kepala kepada teman yang ada di
hadapannya.”
Penyampaian pesan dengan kontak mata hanya tampak pada
perilaku R2 yang menunjuk pesan dengan kontak mata.
“R2 lalu menepuk kaki temannya dan menunjuk sesuatu dengan
kontak mata.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
Ada pula yang disebut dengan adapters akan tetapi hal ini
tidak tampak pada perilaku ketiga responden.
2) Anak Tunarungu dengan ‘Anak Dengar’
Komunikasi
nonlinguistik
juga
terjadi
antara
anak
tunarungu dengan „anak dengar‟. Bentuknya pun sama, yaitu
emblems, illustrators, affects, regulators, dan adapters. Emblems
yang muncul dari hasil observasi adalah menyampaikan pesan
dengan lambaian tangan, menyampaikan pesan dengan sentuhan
fisik,
menyampaikan
pesan
dengan
tindakan
langsung,
menyampaikan pesan dengan simbol, menyampaikan pesan dengan
peragaan, dan menunjuk pesan yang dimaksud.
Menyampaikan pesan dengan lambaian tangan tampak pada
R2. R2 memanggil temannya dengan lambaian tangan sedangkan
R3 dipanggil dengan lambaian.
“Lalu R2 melambaikan tangan ke arah anak kecil tersebut ketika
anak tersebut mendekat.”
“Lalu, adiknya memanggil R3 dengan menggerakan tangannya di
depan wajah R3.”
Lalu, menyampaikan pesan dengan sentuhan fisik tampak
pada R1, R2, dan R3. R1 dipanggil oleh „anak dengar‟ dengan
menepuk lutut.
“R1 juga dipanggil oleh teman yang lain dengan cara siku
temannya disentuhkan ke lutut R1. ”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
R2 tampak menepuk lengan dan menepuk kaki „anak
dengar‟.
“Lalu teman di depan R2 tidak sengaja menyenggol hidung R2 dan
reaksi R2 menepuk lengan temannya beberapa kali sambil
memegang hidungnya.”
R3 memanggil „anak dengar‟ dengan menepuk tangan.
“Setelah itu R3 melihat adiknya dan menepuk tangan adiknya.”
Kemudian, ada perilaku menyampaikan pesan dengan
tindakan langsung. Hal ini tampak dari R1 yang meminta „anak
dengar‟ untuk duduk dengan memegang kakinya. R2 juga
menyampaikan pesan dengan cara mendorong teman dengan
sikutnya dan R3 menarik baju „anak dengar‟.
“Kemudian, R1 mengajarkan bahasa isyarat berdiri, kemudian ada
temannya yang berdiri.R1 tertawa dan memegang belakang lutut
temannya untuk membuat temannya duduk kembali.”
“Lalu anak laki-laki di belakang R2 agak maju ke depan dan dekat
dengan R2. R2 agak mendorong anak tersebut dengan
menggunakan sikunya”
“R3 juga menarik baju adiknya agar duduk di sampingnya”
Selain itu penyampaian pesan dengan menggunakan simbol
hanya tampak pada R1 yang mengibaskan tangannya sebagai tanda
untuk bergeser.
“Setelah itu, R1 menepuk lutut temanya yang sedang duduk dan
mengibaskan tangannya untuk meminta temannya bergeser.”
Lalu, R1 dan R2 menyampaikan pesan dengan gerakan
tubuh atau peragaan. R1 tampak memperagakan sebuah gambar
sedangkan R2 memperagakan gerakan mencuci tangan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
“Kemudian, R1 juga menunjuk gambar pada buku dan bergantian
menunjuk temannya.Ia juga memperagakan sesuatu dari buku
tersebut.”
“R2 memperagakan pesan yang ingin ia sampaikan dengan
menggerakkan tangannya seperti orang yang sedang mencuci
tangan.”
Penyampaian pesan dengan cara menunjuk hal yang ingin
disampaikan tampak pada ketiga responden. R1 menunjuk dirinya
untuk bertanya.
“R1 menunjuk dirinya dan anak perempuan di depannya
mengangguk.”
R2 dan R3 menangkap pesan dari tulisan dan mainan yang
ditunjukkan.
“Anak tersebut menunjuk buku yang dipegang R2 dan R2
memberikan respon dengan melihat tulisan yang ditunjuk oleh
anak tersebut dan tersenyum.”
“R3 melihat kartu yang ditunjukkan oleh adiknya.”
Perilaku illustrator pada anak tunarungu ada 3 perilaku
sedangkan pada interaksi antara anak tunarungu dengan „anak
dengar‟ hanya ada 2. Perilaku tersebut adalah menyampaikan pesan
disertai gerakan tangan/jari dan menyampaikan pesan disertai
dengan gerakan badan.
Menyampaikan pesan disertai gerakan tangan/jari hanya
tampak pada R2 dan R3. R2 menyampaikan pesan sambil
menunjuk arah.
“R2 terlihat menggunakan telunjuknya untuk menunjuk beberapa
arah ketika sedang menyampaikan sesuatu kepada temannya.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
R3 juga menyampaikan pesan disertai dengan menunjuk
pesan yang dimaksud.
“R3 menceritakan objek yang ia gambar dengan menunjuk
gambarnya dan menggerakkan mulutnya.”
Penyampaian pesan disertai gerakan badan, hanya tampak
pada R1. R1 mengelus dada sambil melafalkan pesan sabar.
“Kemudian ada teman yang duduk di hadapan R1 dan R1
mengatakan sabar dengan mengelus dadanya.”
Selanjutnya adalah affects atau ungkapan perasaan.
Ungkapan perasaan tampak pada mimik wajah dan ungkapan
perilaku. Kedua bentuk ungkapan perasaan ini tampak pada ketiga
responden. Ungkapan perasaan dengan mimik wajah hadir dalam
bentuk
tersenyum,
tertawa,
membuat
ekspresi
lucu,
dan
mengerutkan dahi.
Tersenyum dan tertawa tampak pada ketiga responden.
“R1 memperbaiki bentuk abjad teman yang lainnya dan tersenyumsenyum sambil memperlihatkan giginya.”
“Kemudian ada satu teman R2 yang menghampiri dan R2
melihatnya sambil tersenyum.”
“R3 tersnyum sambil menggerakkan tangannya kepada adiknya.”
Membuat ekspresi lucu tampak pada perilaku R1 ketika
sedang bersama dengan „anak dengar‟.
“R1 memegang kedua tangan balita tersebut dan berekspresi
memajukan bibirnya dan mengerutkan dahinya.”
Mengerutkan dahi tampak dari ekspresi R2 ketika ada
temannya yang tidak sengaja lewat di depannya dan mengenaik
hidungnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
“Lalu anak laki-laki di belakang R2 agak maju ke depan dan dekat
dengan R2. R2 agak mendorong anak tersebut dengan
menggunakan sikunya dan memunculkan ekspresi tidak suka
(mengerutkan dahi).”
Selain dengan mimik wajah, ungkapan perasaan juga hadir
dalam bentuk perilaku. Hal ini tampak dari perilaku ketiga
responden. Berdasarkan hasil observasi, ungkapan perasaan dengan
perilaku ditunjukkan dengan memegang dan memeluk dengan
perasaan gemas, menggaruk-garuk kepala, serta mengelus leher.
Perilaku ini tampak pada perilaku R1.
“R1 memegang anak kecil itu dan memeluk anak kecil itu dengan
gaya seperti gemas.”
“Teman R1 menunjukkan kosakata untuk R1 dan ia melihatnya
sambil menggaruk-garuk kepalanya.”
“Setelah itu R1 meminum teh sambil mengelus lehernya dan sambil
tersenyum.”
Kemudian, ada pula perilaku menegakkan punggung dan
membelalakan mata sambil tertawa yang tampak dari R2.
“R2 disandari oleh temannya dan tiba-tiba R2 menegakan
punggungnya, membelalakan matanya, dan membuka mulutnya
lebar sambil sedikit tersenyum.”
Perilaku yang muncul dari R3 cukup berbeda. Hal ini
tampak dari perilaku menggosok-gosokkan kaki, mengepalkan
tangan dan mengisi mulut dengan udara.
“R3 menggosok-gosokkan kakiknya di lantai sambil melafalkan I
dan U dengan bibirnya.”
“R3 juga berekspresi mengepalkan tangannya, mengisi mulutnya
dengan udara, dan menegangkan badannya.”
Selanjutnya adalah regulators. Regulators merupakan
bentuk perilaku untuk mengklarifikasi pesan baik benar atau salah,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
setuju atau tidak setuju. Hal ini tampak pada perilaku
menganggukkan kepala. Perilaku ini juga hanya tampak pada R1.
R1 menangkap pesan dengan anggukkan kepala.
“R1 menunjuk dirinya dan anak perempuan di depannya
mengangguk.”
Adapters juga tidak tampak dalam kebersamaan antara anak
tunarungu dengan „anak dengar‟.
Penjabaran hasil penelitian di atas dapat dilihat pada Tabel 5
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
Tabel 5
Sesama Anak Tunarungu
Kontak Sosial
Komunikasi
Komunikasi
Nonlinguistik
Emblems
 Sadar akan kehadiran orang lain.
 Sadar akan kegiatan orang lain.
 Sadar akan situasi/lingkungan.
 Sadar akan kamera.
 Sadar akan kepemilikan.
 Adanya tatap wajah.
 Adanya sentuhan fisik.
 Adanya ajakan interaksi.
 Menyampaikan pesan dengan
lambaian.
 Menyampaikan pesan dengan
sentuhan fisik.
 Menyampaikan pesan dengan
tindakan langsung.
 Menyampaikan pesan dengan
simbol.
 Menyampaikan pesan dengan
peragaan.
 Menunjuk pesan.






Anak Tunarungu dengan ‘Anak
Dengar’
Sadar akan kehadiran orang lain.
Sadar akan kegiatan orang lain.
Sadar akan situasi/lingkungan.
Adanya tatap wajah.
Adanya sentuhan fisik.
Adanya ajakan interaksi.
 Menyampaikan pesan dengan
lambaian.
 Menyampaikan pesan dengan
sentuhan fisik.
 Menyampaikan pesan dengan
tindakan langsung.
 Menyampaikan pesan dengan
simbol.
 Menyampaikan pesan dengan
peragaan.
 Menunjuk pesan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
Illustrators  Menyampaikan pesan dengan
gerakan bibir disertai gerakan
tangan/jari.
 Menyampaikan pesan dengan
gerakan bibir disertai gerakan badan.
 Menangkap pesan dengan gerakan
bibir disertai gerakan tangan/jari.
 Ungkapan perasaan dengan mimik
Affects
wajah.
 Ungkapan perasaan dengan perilaku.
Regulators  Melambaikan tangan untuk
menyanggah pendapat.
 Menyampaikan pesan dengan
kontak mata.
 Menggelengkan kepala.
 Menganggukkan kepala.
Adapters  Tidak ada temuan.
 Melafalkan pesan.
Komunikasi Linguistik
 Menangkap pelafalan pesan.
 Berkomunikasi dengan abjad jari.
 Menyampaikan pesan dengan
gerakan bibir disertai gerakan
badan.
 Menyampaikan pesan dengan
gerakan bibir disertai gerakan
tangan/jari.
 Ungkapan perasaan dengan mimik
wajah.
 Ungkapan perasaan dengan perilaku.
 Menganggukkan kepala.
 Tidak ada temuan.
 Melafalkan pesan.
 Menangkap pelafalan pesan.
 Menuliskan pesan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
3. Hasil Temuan Menarik
Berdasarkan hasil observasi ditemukan pula temuan menarik.
Temuan menarik tersebut adalah interaksi sosial antara anak tunarungu
dengan „orang dengar‟, bentuk interaksi sosial yang lebih kompleks,
penolakan interaksi sosial, dan tidak ada interaksi sosial.
a. Anak Tunarungu VS ‘Orang Dengar’
Hasil observasi tidak hanya menemukan kontak sosial dan
komunikasi antara sesama anak tunarungu dan anak tunarungu dengan
„anak dengar‟. Akan tetapi, ada pula kontak sosial dan komunikasi antara
anak tunarungu dengan „orang dengar‟. „Orang dengar‟ merupakan orang
yang berada di sekitar subjek tetapi tidak masuk dalam kriteria „anak
dengar‟.
Temuan tambahan berupa kontak sosial dengan „orang dengar‟
adalah melibatkan kesadaran responden, adanya kontak fisik, dan adanya
ajakan interaksi. R1, R2, dan R3 melibatkan kesadaran mereka ketika
sedang bersama dengan orang lain. Hal ini tampak dalam perilaku R1
yang menyapa observer dengan lambaian tangan.
“R1 juga sempat melambaikan tangan ke arah observer.”
Perilaku R2 adalah mendekati observer.
“Namun observer nampak kurang paham jadi 2 mendekati observer.”
Perilaku R3 melihat ke guru yang datang.
“Kemudian, O mendangak ke atas ketika gurunya menghampiri.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
Para responden juga menyadari kegiatan yang sedang dilakukan
oleh „orang dengar‟. Hal ini tampak pada perilaku R1 yang melihat
„orang dengar‟ sedang mengajari bahasa isyarat.
“R1 juga sesekali melihat ke arah ibunya ketika mengajari temantemannya.”
Kesadaran R2 akan kegiatan orang lain tampak ketika ia melihat
ibu yang sedang menyapu tikar.
“Kemudian ada seorang ibu menyapu tikar, R2 melihatnya dan
berpindah tempat.”
Selanjutnya adalah kontak fisik, yaitu adanya tatap wajah dan
sentuhan fisik. Tatap wajah tampak pada ketiga responden ketika sedang
bersama „orang dengar‟.
“R1 juga melihat wajah gurunya yang sedang mengatakan sudah,
jangan menangis.”
“R2 juga menatap wajah observer ketika berbicara.”
“R3 menoleh ke arah ibunya ketika memanggil.”
Kontak fisik tampak pada perilaku R1 dan R2 yang menyentuh
lutut „orang dengar‟.
“R1 tersenyum sambil membuka lebar mulutnya dan menyentuh lutut
ibunya ketika ibunya membentuk huruf A dengan jari untuk membantu D
mengajari teman-temannya.”
“Lalu R2 menepuk lutut ibunya yang ada di depannya dengan tangannya
setelah itu I menepuk menggunakan bukunya.”
Sedangkan pada R3 tampak kakinya disentuh oleh „orang dengar‟.
“Kemudian ibunya tidak sengaja menabrak kaki O dan ia menoleh untuk
melihat ibunya sambil tersenyum tanggung.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
Kemudian, ada pula ajakan interaksi yang tampak pada perilaku
R1 dan R3. R1 mengajak observer untuk berinteraksi dan R3 tampak
mengajak „orang dengar‟ berkomunikasi.
“R1 juga sempat melihat ke arah observer dan memperagakan orang
yang sedang membawa kamera sambil tersenyum memperlihatkan
giginya.”
“R3 melihat observer dan menggerakkan mulutnya untuk menanyakan
sesuatu.”
Anak tunarungu juga tampak berkomunikasi dengan „orang
dengar‟ baik secara linguistik maupun nonlinguistik. Komunikasi
linguistik tampak melalui responden yang menyampaikan secara verbal,
menangkap pesan secara verbal, berkomunikasi dengan abjad jari, dan
menuliskan pesan.
Menyampaikan pesan tampak pada perilaku R1 yang bertanya
kepada „orang dengar‟.
“R1 juga bertanya kembali kepada ibunya tentang suatu kosakata
dengan menunjukkan kosakata tersebut.”
Kemudian ada pula R2 yang menyampaikan dan menangkap
pesan dengan cara menggerakkan bibir, menggunakan abjad jari, dan
menuliskan pesan di lantai.
“Tiba-tiba R2 bertanya kepada observer apakah bisa meminta video di
dalam CD dengan menggerakan tangan dan tubuhnya untuk
menjelaskan. R2 terus bercerita akan tetapi observer tidak paham
maksud yang disampaikan oleh R2 sampai R2 harus menggerakan
tangan membentuk abjad dan menulis di lantai.”
Sedangkan perilaku R3 tampak ketika menyampaikan dan
menangkap pesan secara verbal.
“Lalu R3 memanggil mamanya dengan bersuara dan dilafalkan.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
“R3 melanjutkan menggambar lalu dipanggil oleh ibunya.”
Komunikasi nonlinguistik juga tampak pada ketiga responden
ketika sedang bersama „orang dengar‟. Komunikasi yang tampak adalah
emblems, illustrators, affects, dan regulators. Adapters tidak tampak
dalam interaksi antara anak tunarungu dengan „orang dengar‟.
Emblems yang tampak dalam perilaku responden adalah
menyampaikan pesan dengan lambaian, menyampaikan pesan dengan
sentuhan fisik, menyampaikan pesan dengan tindakan langsung,
menyampaikan pesan dengan simbol, menyampaikan pesan dengan
peragaan dan menunjuk pesan. Menyampaikan pesan dengan lambaian
tampak pada perilaku R1 yang meminta minum dengan lambaian tangan.
“Lalu ada ibu lain yang membawa air mineral gelas. R1 melambaikan
tangan kepada ibu tersebut untuk meminta segelas air mineral.”
Perilaku yang sama juga tampak pada R2 yang melambaikan tangan
untuk memanggil.
“Akhirnya R2 mengajak observer berbicara dengan cara melambaikan
tangan ke observer untuk mendapatkan respon dari observer.”
Menyampaikan pesan melalui sentuhan fisik hanya tampak pada perilaku
R2. R2 menepuk lutut ibunya untuk memanggil.
“Lalu R2 menepuk lutut ibunya yang ada di depannya dengan tangannya
setelah itu R2 menepuk menggunakan bukunya.”
Kemudian ada menyampaikan pesan dengan tindakan langsung yang
tampak pada R2. Saat itu, R2 menarik catatan guru mengaji secara paksa.
“Lalu R2 mendekati gurunya untuk melihat catatannya, gurunya menarik
catatannya tetapi I justru menarik catatannya dengan paksa.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
R3 juga memperlihatkan perilaku menyampaikan pesan dengan tindakan
langsung ketika mengambil kartu secara langsung.
“R3 menjulurkan tangannya untuk melihat kartu yang sedang dipegang
oleh ibunya.”
Menyampaikan pesan dengan menggunakan simbol hanya tampak pada
perilaku R2 yang membentuk kotak dengan tangannya.
“R2 menggerakan tangan untuk membentuk kotak untuk menggambarkan
bentuk yang ia maksud.”
R1 memperlihatkan perilaku menyampaikan pesan dengan peragaan
ketika akan meminta minum.
“R1 menggerakkan tangannya seperti orang yang sedang minum karena
melihat ibu yang sedang membawa teh dan D ingin meminum teh
tersebut.”
Menunjuk pesan tampak dari perilaku R3 yang menunjuk benda.
“Lalu R3 menunjuk sesuatu yang ada di kursi di dekat ibunya.”
Selanjutnya adalah illustrators. Illustrators yang tampak pada
responden adalah menyampaikan dan menangkap pesan dengan
menggerakkan bibir disertai dengan gerakan tangan/jari. Menyampaikan
pesan disertai dengan gerakan tangan ditunjukkan dengan perilaku R1
yang memanggil ibu dengan melafalkan pesan disertai lambaian tangan.
“Lalu R1 melambaikan tangannya untuk memanggil ibunya dan
menggerakan mulutnya.”
Perilaku ini juga tampak dari perilaku R2 yang menggerakkan bibir serta
tanganya ketika menyampaikan pesan.
“Lalu R2 melambaikan tangan dan berbicara kepada observer apakah
bisa melihat videonya? Dengan menggerakan mulut dan gerakan
tangan.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
Menangkap pesan yang disertai gerakan tangan/jari hanya muncul pada
R1.
“R! berbicara kepada ibunya dengan menggunakan gerakan tangan dan
pelafalan mulut untuk mengatakan sesuatu.”
Kemudian, affects juga tampak pada ketiga responden. Affects
memiliki dua bentuk, yaitu ungkapan perasaan dengan mimik wajah dan
ungkapan perasaan dengan perilaku. Ungkapan perasaan dengan mimik
wajah tampak dari perilaku ketiga responden yang tersenyum.
“R1 juga melihat ke arah yang ditunjuk oleh ibunya, kemudian ia
tersenyum-senyum.”
“Ketika observer tidak paham R2 terus menjelaskan sambil tersenyum.”
“Kemudian, R3 berjongkok sambil menghadap ke ibunya dan
tersenyum.”
Selain tersenyum ada juga mimik wajah mengerutkan dahi yang tampak
pada perilaku R1.
“Ketika R1 bingung dengan pesan yang disampaikan oleh ibunya D
mengerutkan dahinya kemudian menyampaikan pendapatnya dengan
menggerakan mulut dan tangannya.”
Ungkapan perasaan dengan perilaku juga terlihat dari perilaku ketiga
responden. R1 tampak melihat ke kanan dan ke kiri ketika kebingungan.
“Ketika itu gurunya melontarkan pertanyaan siapakah yang ingin
mendapatkan hadiah dan semua anak-anak mengacungkan tangan
sebagai tanda mau, kecuali R1. R1 diam saja karena bingung dan tidak
paham dengan ucapan yang disampaikan oleh guru mengajinya. Ia
melihat teman-temannya di samping kanan dan kirinya.”
Lalu R2 tampak menggerakkan punggungnya ketika sedang belajar
mengaji.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
“R2 merespon dengan membuka buku dan menunjuk pada sebuah
halaman. lalu gurunya mengatakan bukan dan R2 merespon dengan
menggerakan badannya sambil duduk.”
R3 menunjukkan perasaan tidak nyaman dengan menghindari kamera.
“R3 juga tersenyum ketika melihat kamera dan berpindah posisi untuk
menghindari kamera. ”
Terakhir adalah regulators. Regulators hanya tampak pada R1
dan R2. Bentuk perilaku regulators yang tampak adalah anggukkan
kepala dan gelengan kepala. Anggukkan kepala tampak pada R1 dan R2.
“R1 juga mengangguk ketika ibunya mengatakan sesuatu dan ia juga
menggerakan kedua tangannya untuk membentuk abjad „Mawar” nama
salah satu temannya.”
“R2 juga menganggukan kepala apabila ia mengerti yang diucapkan
oleh observer.”
Sedangkan gelengan kepala tampak pada R1.
“R1 menggelengkan kepala ketika ibunya berkata sesuatu.”
Penjabaran hasil penelitian antara anak tunarungu dengan „orang dengar‟
dapat dilihat pada Tabel 6.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
Tabel 6
Anak Tunarungu dengan ‘Orang
Dengar’
 Sadar akan kehadiran orang lain.
 Sadar akan kegiatan orang lain.
 Adanya tatap wajah.
 Adanya sentuhan fisik.
 Adanya ajakan interaksi.
Komunikasi Komunikasi
Emblems  Menyampaikan pesan dengan
lambaian.
Nonlinguistik
 Menyampaikan pesan dengan
sentuhan fisik.
 Menyampaikan pesan dengan
tindakan langsung.
 Menyampaikan pesan dengan
simbol.
 Menunjuk pesan.
Illustrators  Menyampaikan pesan dengan
gerakan bibir disertai gerakan
tangan/jari.
 Menangkap pesan dengan
gerakan bibir disertai gerakan
tangan/jari.
 Ungkapan perasaan dengan
Affects
mimik wajah.
 Ungkapan perasaan dengan
perilaku.
Regulators  Menanggukkan kepala.
 Menggelengkan kepala.
Kontak Sosial
Adapters
Komunikasi Linguistik
 Tidak ada temuan.
 Melafalkan pesan.
 Menangkap pelafalan pesan.
 Menuliskan pesan.
 Berkomunikasi dengan abjad
jari.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
b. Bentuk Interaksi Sosial Kompleks
Hasil temuan lain yang muncul adalah bentuk interaksi sosial
yang lebih kompleks. Interaksi sosial tersebut dikatakan kompleks karena
kontak sosial dan komunikasi menjadi satu kesatuan. Bentuk interaksi
sosial ini terlihat ketika anak tunarungu sedang bersama sesama anak
tunarungu. Interaksi sosial yang terlihat berdasarkan hasil observasi
adalah bermain bersama, berkegiatan bersama, bersenda gurau,
berbincang-bincang, dan membantu sesama anak tunarungu. Bermain
bersama dan berkegiatan bersama tampak dari ketiga responden. R1
bermain petak umpet bersama sesama anak tunarungu. R2 dan R3 terlihat
bermain kejar-kejaran bersama sesama tunarungu.
“Saat bermain petak umpet, R1 bermain dengan teman sekelasnya.”
“R2 berlarian bersama temannya mengelilingi gedung sekolahnya.”
“Terkadang R3 juga terlihat menjahili temannya dengan menarik rambut
kuciran rambut temannya dengan disengaja kemudian mereka berkejarkejaran.”
Mereka juga berkegiatan bersama, seperti R1 yang membaca buku
bersama.
“R1 sedang duduk bersama teman laki-lakinya dan membaca buku
bersama.”
Lalu, R2 yang pergi berjalan bersama temannya dan R3 yang makan
siang bersama.
“Lalu R2 berjalan pergi bersama teman-temannya.”
“R3 dari awal jam istirahat, ia membawa botol minum dari ruang kelas
yang berada di lantai dua ke lantai satu. Kemudian menuju tempat
makan untuk makan siang bersama teman-teman yang lain.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
Bersenda gurau dengan sesama tunarungu lainnya hanya tampak pada R2
dan R3.
“Lalu R2 menggoda temannya di depan kamera yang kemudian
dikonfirmasi oleh temannya. R2 lalu melafalkan sesuatu di depan kamera
(menggerakan mulutnya).”
“Pertama kali R3 mengambil 1 wafer, kemudian ia mengambil
bungkusnya dan menjauhi teman lainnya yang meminta (bercanda
maksudnya).”
Selain itu, ada pula yang berbincang-bincang bersama. Hal ini tampak
pada R3 yang berbincang dan berkumpul bersama teman-temannya.
“R3 memilih untuk berbincang dengan teman-temannya sesama
perempuan.”
Ada pula perilaku membantu sesama tunarungu yang tampak pada R2.
“Ketika sedang bersembunyi R2 membantu seorang temannya untuk
melepaskan kalung yang sedang digunakan.”
Interaksi sosial juga terjadi antara anak tunarungu dengan „anak
dengar‟. Mereka bisa berinteraksi satu sama lain walaupun sebagian
besar interaksi terjadi dengan usia „anak dengar‟ yang lebih muda. Hal
ini terjadi kepada ketiga responden. Bentuk interaksi sosial yang terjadi
juga hamper sama, yaitu bermain bersama, berkegiatan bersama,
bersenda gurau, dan membantu „anak dengar‟.
Bermain bersama anak tunarungu tampak pada ketiga responden.
“R1 sedang bermain dengan anak-anak. Saat itu kegiatan TPA di dalam
sebuah ruangan. R1 melihat teman dan balita yang sedang mewarnai
sambil tengkurep.”
“R2 bermain dengan anak kecil di depannya, mengelus-ngelus
rambutnya, dan membenarkan hijab anak kecil itu.”
“R3 terlihat sedang membagikan kartu dan ia meminta kembali kartu
yang tadi diberikan kepada adiknya dengan cara langsung
mengambilnya saat masih dipegang oleh adiknya yang paling kecil.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
Mereka juga tampak berkegiatan bersama-sama dengan „anak
dengar‟.
“R1 sedang di rumah dan ada 3 orang teman perempuannya yang
datang ke rumahnya. D sedang belajar bersama teman-temannya.
Teman-temannya semua perempuan.”
“Lalu mereka (R2 dan „anak dengar‟) membaca bersama.”
“R3 dan adiknya melanjutkan menggambar.”
Selain bermain dan berkegiatan, mereka juga terlihat bersenda
gurau bersama. Hal ini tampak pada perilaku R1 saja.
“Setelah itu hidung R1 disentuh oleh balita yang tadi bermain
dengannya dan R1 berekspresi mengerutkan dahi dan membuka mulut
dengan menunjukkan giginya untuk membuat balita tersebut merasa
takut.”
Berdasarkan hasil observasi, R1 tampak membantu dan
mendapatkan bantuan „anak dengar‟ ketika sedang bersama.
“Kemudian R1 dibantu oleh teman yang ada di depannya untuk
memberikan lauk tersebut kepada ibunya.”
“R1 juga membantu membagian sedotan untuk teman-temannya yang
sedang mengambil minum.”
Sedangkan R2 terlihat hanya memberikan bantuan untuk „anak dengar‟.
“Setelah itu R2 juga membantu teman tersebut untuk mengikat
rambutnya.”
Bentuk interaksi sosial juga terjadi antara anak tunarungu dengan
„orang dengar‟. Bentuk interaksi sosial yang terjadi berupa bantuan yang
diberikan oleh „orang dengar‟ untuk menterjemahkan pesan kepada „anak
dengar‟. Hal ini tampak pada R1 yang dibantu oleh ibunya ketika sedang
berkomunikasi dengan „anak dengar‟.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
“R1 memanggil ibunya dengan melambaikan tangan di atas kepalanya
agar ibunya dapat melihat. R1 mulai mengajari gerakan isyarat yang
lain setelah abjad. Ia meminta ibunya untuk membantu memberitahu
temannya dengan melafalkan sesuatu dan menunjuk temannya.”
“Setelah R1 diberitahukan oleh observer pesan yang dikatakan oleh
gurunya R1 baru mengacungkan tangan sebagai respon dan temanteman lainnya sudah menurunkan tangannya.”
Akan tetapi, ada pula responden yang membantu „orang dengar‟.
Hal ini tampak pada perilaku R2 yang membantu merantingkan makanan
untuk berbuka puasa.
“Lalu I mengikuti gerakan yang dicontohkan oleh gurunya. I juga
membantu untuk merantingkan makanan buka puasa kepada temantemannya.”
c. Penolakan Interaksi Sosial
Interaksi sosial tidak selalu terjadi di antara anak tunarungu
dengan sesama anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak
dengar‟. Hasil observasi memperlihatkan bahwa kadang terjadi pula
penolakan interaksi sosial. Penolakan interaksi sosial merupakan adanya
ajakan interaksi yang ditolak. Hal ini tampak dalam interaksi anak
tunarungu dengan sesama anak tunarungu. Penolakan interaksi sosial
terjadi dalam interaksi R1, R2, dan R3.
“Kemudian ada bola kertas yang menggelinding di hadapannya. Ada
temannya yang meminta bola tersebut kepada R1 tetapi ia justru
melemparkan bola tersebut kepada temannya yang lain.”
“Lalu ada temannya memeluk R2 dari belakang tetapi R2 mengelak
dengan melepaskan tangan temannya ”
“Temannya mengatakan sesuatu tetapi R3 tidak melihat dan membaca
kertas yang ia pegang.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
Penolakan interaksi juga terjadi ketika anak tunarungu sedang bersama
„anak dengar‟. Hal ini terlihat dari adanya perilaku mengabaikan orang
lain. Hal ini tampak pada:
“Ketika sedang bertanya kaki R1 dipegang oleh temannya dan R1 tidak
melihat ke arah temannya.”
“R2 diam saja dan fokus pada foto-foto yang ada di kamera.”
“R3 tidak menunjukkan interaksi dengan adiknya yang paling kecil yang
duduk di hadapannya.”
Terkadang ketiga responden tidak mendapatkan respon dari „anak
dengar‟. Hal ini terlihat pada:
“R1 melihat ke kanan dan kirinya sambil menggerakkan mulutnya untuk
mengatakan sesuatu akan tetapi teman-temannya tidak ada yang
memberikan respon kepada R1 karena semuanya sedang berdoa dan R1
tidak tahu jika teman-temannya sedang dalam keadaan berdoa.”
“Kemudian R2 juga menepuk bahu adiknya dan tidak mendapatkan
respon.”
“R3 menepuk bahu adiknya tetapi adiknya tidak menoleh.”
Penjabaran hasil di atas dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7
Bentuk Interaksi
Sosial
Bentuk Penolakan
Interaksi Sosial











Sesama Anak
Tunarungu
Bermain bersama.
Berkegiatan bersama.
Bersenda gurau.
Berbincang-bincang.
Membantu sesama.
Mengabaikan
kehadiran orang lain.
Tidak mendapatkan
respon.
Menolak ajakan
interaksi.
Berkegiatan sendiri.
Tidak terlibat dalam
percakapan.
Duduk berjarak.
Anak Tunarungu
dengan ‘Anak Dengar’
 Bermain bersama.
 Berkegiatan bersama.
 Bersenda gurau.
 Berbincang-bincang.
 Membantu sesama.
 Mengabaikan
kehadiran orang lain.
 Tidak mendapatkan
respon.
 Gagal
menyampaikan/mena
ngkap pesan.
 Berkegiatan sendiri.
 Tidak terlibat dalam
percakapan.
 Duduk berjarak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
d. Tidak Ada Interaksi Sosial
Tidak ada interaksi sosial merupakan tidak ada kontak maupun
komunikasi antara sesama anak tunarungu atapun „anak dengar‟. Hal ini
terlihat dari perilaku R1 dan R3.
“R1 meninggalkan temannya dan temannya mengambil kertas yang
terjatuh itu kemudian pergi. ”
“R3 duduk sendiri sambil memainkan tempat pensil.”
Selain itu juga, mereka memilih untuk berdiam diri dan tidak
terlibat dalam interaksi sosial dengan „anak dengar‟. Hal ini tampak pada
perilaku R2 dan R3 saja.
“Selama menunggu antrian mengaji R2 hanya duduk diam dan
bertopang dagu. Sesekali I berkaca dan membetulkan letak
kerudungnya.”
“Di depan R2 ada 4 orang temannya yang saling berbicara satu sama
lain akan tetapi I hanya diam saja.”
“R3 mengambil satu buku lagu dan membacanya.”
“R3 fokus pada gambarnya karena ia hanya menggambar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
D. Pembahasan
Bagian pembahasan ini akan membahas tentang bentuk kontak sosial
yang terjadi antara anak tunarungu dengan sesama anak tunarungu dan anak
tunarungu dengan „anak dengar‟. Kemudian, diikuti pembahasan tentang
komunikasi nonlinguistik, baik antara anak tunarungu dengan sesama anak
tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Selanjutnya tentang
komunikasi linguistik antara anak tunarungu dengan sesama anak tunarungu
dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Setelah itu, dilanjutkan dengan
pembahasan temuan menarik berupa bentuk interaksi sosial yang kompleks,
penolakan interaksi sosial, dan tidak ada interaksi sosial.
1. Kontak Sosial
Kontak sosial terjadi di dalam kebersamaan anak tunarungu dengan
sesama anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Kontak
sosial antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟
sama-sama memperlihatkan adanya kesadaran akan orang lain, kegiatan
orang lain, dan lingkungan. Kedua kontak sosial tersebut juga melibatkan
tatap wajah dan sentuhan fisik. Temuan tersebut menyatakan bahwa kontak
sosial anak tunarungu bisa terjadi dengan siapa saja dan dimana saja, baik
dengan sesama tunarungu ataupun dengan „anak dengar‟. Hal ini sejalan
dengan definisi yang dinyatakan oleh Soekanto (2006) bahwa kontak sosial
terjadi ketika ada orang lain yang memberikan tanggapan atas tindakan
orang lain.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
Kontak sosial antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan
„anak dengar‟ juga memperlihatkan adanya ajakan interaksi atau permulaan
interaksi. Hal tersebut tampak sama apabila dilihat secara keseluruhan. Jika
ditelisik lebih dalam ada perilaku kontak sosial yang berbeda antar-anak
tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Anak tunarungu
memilih untuk berdiam diri dan menunggu „anak dengar‟ yang memulai
sebuah interaksi karena mengalami kesulitan dan menghadapi tantangan
yang lebih besar (Yuhan, dkk, 2013). Selain kesulitan untuk memulai
sebuah interaksi, anak tunarungu juga sering mengalami penolakan atau
diabaikan oleh „anak dengar‟ ketika berusaha untuk berinteraksi dengan
„anak dengar‟ sehingga mereka memilih untuk berinteraksi dengan sesama
anak tunarungu (Yuhan, 2013). Hal tersebut didukung oleh Keating dan
Mirus (dalam Yuhan, dkk tahun 2013) bahwa percobaan anak tunarungu
untuk turn-taking dan melibatkan kontak mata sering ditolak oleh „anak
dengar‟.
Akan tetapi, dalam kontak sosial antar-anak tunarungu mereka
dengan mudah mengajak teman lain untuk berkomunikasi atau bermain.
Mereka juga tidak segan untuk mendekati teman lain terlebih dahulu.
Kecenderungan anak tunarungu untuk memulai interaksi dengan anak
tunarungu didasari oleh tingkat pendengaran yang kurang lebih sama.
Kecenderungan yang sama juga dialami oleh „anak dengar‟ (Vandell &
George, 1981; Rodriguez & Lana, 1996 dalam Yuhan tahun 2013).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
2. Komunikasi Nonlinguistik
Secara umum, komunikasi nonlinguistik tampak dalam interaksi
antara anak tunarungu dengan sesama anak tunarungu dan anak tunarungu
dengan „anak dengar‟. Salah satu perilaku komunikasi nonlinguistik adalah
emblems dimana perilaku ini menggantikan bahasa verbal anak tunarungu
untuk berinteraksi. Perilaku ini tampak pada anak tunarungu yang sedang
berinteraksi dengan sesama anak tunarungu maupun dengan „anak dengar‟.
Mereka sama-sama memanggil sesama anak tunarungu dan „anak dengar‟
dengan lambaian tangan, menyampaikan pesan dengan sentuhan fisik
(memanggil), menyampaikan pesan dengan tindakan langsung, simbol,
ataupun peragaan. Mereka juga menyampaikan pesan dengan menunjuk
maksud atau pesannya.
Perilaku-perilaku nonverbal dalam komunikasi nonlinguistik sangat
membantu anak tunarungu untuk bisa berinteraksi dengan „anak dengar‟.
Yuhan (2013) menunjukkan bahwa permulaan interaksi secara nonverbal
dan menirukan perilaku „anak dengar‟ merupakan strategi yang bisa
dilakukan oleh anak tunarungu dengan sukses. Selain itu penggunaan gestur
tubuh dan sentuhan juga perilaku bisa dilakukan anak tunarungu untuk
memulai sebuah interaksi dengan „anak dengar‟. Pemaparan ini mendukung
hasil penelitian bahwa perilaku emblems anak tunarungu dengan sesama
anak tunarungu maupun „anak dengar‟ sama-sama muncul dalam
komunikasi nonlinguistic keduanya karena perilaku tersebut merupakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
strategi anak tunarungu untuk berinteraksi dengan sesama anak tunarungu
dan „anak dengar‟.
Selanjutnya, perbedaan perilaku illustrators antara anak tunarungu
dengan sesama anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟.
Perbedaan yang tampak adalah anak tunarungu mampu menyampaikan dan
menangkap pesan dan gerakan yang disertakan oleh sesama anak tunarungu.
Gerakan tersebut bisa gerakan tangan atau badan. Weisel, Most, dan Efron
(2005) menemukan bahwa anak tunarungu dengan sesama anak tunarungu
juga menggunakan gerakan visual-motor seperti sentuhan atau gestur untuk
menyertai komunikasi. Vandell dan George (dalam Weisel, Most, dan Efron
tahun 2005) juga menemukan bahwa interaksi antara anak tunarungu
dengan sesama anak tunarungu melibatkan gestur dan ekspresi wajah untuk
menyertai vokalisasi (bahasa verbal). Temuan sebelumnya memperkuat
bahwa illustrators tersampaikan dengan baik ketika anak tunarungu
berinteraksi dengan sesama anak tunarungu. Weisel, Most, dan Efron (2005)
juga mengatakan bahwa gestur atau sentuhan yang disertai komunikasi
verbal merupakan salah satu strategi bagi anak tunarungu untuk berinteraksi
dengan sesama anak tunarungu. Hal tersebut mendukung temuan dalam
penelitian ini sebagai salah satu strategi yang bisa membantu anak
tunarungu dalam berinteraksi sosial dengan sesama anak tunarungu.
Kesuksesan perilaku illustrator sebagai salah satu strategi interaksi
sosial anak tunarungu dengan sesama anak tunarungu tidak berlaku bagi
interaksi sosial antara anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Penelitian ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
menemukan bahwa anak tunarungu mampu menyampaikan pesan secara
verbal disertai dengan gerakan tangan akan tetapi anak tunarungu tidak
mampu untuk menangkap pesan dari „anak dengar‟. Dalam Weisel, Most,
dan Efron (2005) dijelaskan bahwa strategi yang sama tetap memberikan
kegagalan interaksi sosial antara anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Hal
tersebut disebabkan karena vokalisasi yang digunakan untuk berinteraksi
dengan „anak dengar‟ memiliki level yang berbeda.
Temuan Vandell dan George (dalam Weisel, Most, dan Efron tahun
2005) terkait adanya ekspresi wajah dalam interaksi sosial antara anak
tunarungu dengan anak tunarungu juga tampak dalam penelitian ini. Anak
tunarungu juga melibatkan
affects
atau perasaan selama mereka
berkomunikasi dengan sesama anak tunarungu. Penelitian ini juga
memperkaya penelitian sebelumnya ternyata ungkapan perasaan juga
tampak dalam interaksi sosial antara anak tunarungu dengan „anak dengar.
Bentuk ungkapan perasaan juga ada dua, yaitu ungkapan perasaan melalui
mimik wajah dan ungkapan perasaan melalui perilaku. Kedua bentuk ini
sama-sama muncul pada komunikasi anak tunarungu baik dengan sesama
anak tunarungu maupun „anak dengar‟. Hal ini menunjukkan bahwa affects
memiliki fungsi yang sama dengan emblems dan illustrators.
Ungkapan perasaan tampak lebih variatif ketika anak tunarungu
sedang berkomunikasi dengan sesama anak tunarungu. Misalnya, kerutan
dahi disertai mulut yang ternganga untuk menunjukkan perasaan sakit dan
menghentakkan kaki untuk mengungkapkan perasaan kesal. Sedangkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
ekspresi perasaan yang tampak dengan „anak dengar‟ hanya tertawa,
tersenyum, dan berekpresi lucu.
Perbedaan tampak juga pada regulators. Regulators ketika sedang
bersama „anak dengar‟ hanya tampak satu, yaitu menanggukkan kepala
sebagai tanda bahwa mereka memahami pesan yang disampaikan. Tetapi,
regulators yang tampak pada sesama anak tunarungu lebih bervariasi,
seperti menggelengkan kepala dan melambaikan tangan untuk mengatakan
bukan. Mereka menggelengkan kepala atau melambaikan tangan ketika
merasa tidak sependapat dengan sesama anak tunarungu yang sedang
berbicara.
Perbedaan
perilaku
regulators
menunjukkan
adanya
pertentangan atau konflik dalam interaksi sosial anak tunarungu dengan
sesama anak tunarungu (Arifin, 2015). Sedangkan antara anak tunarungu
dengan „anak dengar‟ bentuk perilaku ini tidak tampak.
3. Komunikasi Linguistik
Menurut Yuhan (2013), model komunikasi yang banyak dikuasai
anak tunarungu adalah bahasa oral atau gerakan bibir. Hal ini tampak pada
komunikasi linguistik anak tunarungu baik dengan sesama tunarungu
maupun dengan „anak dengar‟. Anak tunarungu menyampaikan pesan
kepada sesama anak tunarungu dengan menggerakkan bibir. Ketika bersama
dengan „anak dengar‟, mereka menyampaikan pesan dengan gerakan bibir
ditambah dengan suara pelafalan yang tidak cukup jelas. Hal ini juga
didukung oleh paparan Yuhan, dkk (2013) yaitu bahasa isyarat bukan model
komunikasi utama antara anak tunarungu dengan „anak dengar‟.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
Komunikasi
dengan
gerakan
bibir
juga
akan
meningkatkan
dan
mempermudah interaksi sosial anak tunarungu dengan „anak dengar‟.
Yuhan (2013) memaparkan bahwa familiaritas memainkan peran
penting dalam interaksi anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Anak
tunarungu mampu untuk berinteraksi dengan „anak dengar‟ dengan tingkat
familiaritas yang sama dibandingkan dengan „anak dengar‟ yang tidak
familiar. Temuan familiaritas juga tampak dalam penelitian ini hanya saja
temuan ini justru tampak pada interaksi antara anak tunarungu dengan anak
tunarungu dalam berkomunikasi. Penelitian ini menemukan anak tunarungu
berkomunikasi dengan sesama anak tunarungu dengan menggunakan bahasa
isyarat berupa abjad jari.
Pemaparan hasil beberapa penelitian yang dilakukan oleh Yuhan
(2013) menggambarkan bahwa interaksi sosial antara anak tunarungu
dengan „anak dengar‟ akan berlangsung dengan cukup baik apabila
menggunakan komunikasi linguistik sebagai salah satu cara untuk
menyampaikan pesan. Anak tunarungu bisa saja menggunakan bahasa
isyarat dengan sesama anak tunarungu tetapi isyarat tersebut belum tentu
bisa dilakukan untuk berinteraksi dengan „anak dengar‟. Hal tersebut
disebabkan oleh tingkat familiaritas yang berbeda antara anak tunarungu
dengan „anak dengar‟ terkait abjad jari (Yuhan, 2013).
4. Anak Tunarungu VS ‘Orang Dengar’
Adapun temuan lainnya, yaitu anak tunarungu tidak hanya
berinteraksi dengan sesama tunarungu ataupun „anak dengar‟, tetapi mereka
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
juga berinteraksi dengan „orang dengar‟. Interaksi yang terjadi melibatkan
kontak sosial dan komunikasi, baik nonlinguistik ataupun linguistik.
Interaksi sosial yang melibatkan „orang dengar‟ berupa bantuan untuk
berkomunikasi dengan „anak dengar‟.
Salah satu dampak ketunarunguan adalah anak tunarungu menjadi
lebih bergantung pada orang lain dan beberapa hal yang sudah dikenal
sebelumnya (Efendi, 2006). Hal ini juga tampak dari temuan dimana anak
tunarungu meminta bantuan „orang dengar‟ untuk menterjemahkan pesan
kepada „anak dengar‟ agar dipahami. Selain itu, familiaritas antara anak
tunarungu dengan „orang dengar‟ juga menjadi hal penting dalam interaksi
sosial mereka. Familiaritas juga didukung oleh kemampuan anak tunarungu
untuk berkomunikasi secara verbal dengan „orang dengar‟. Yuhan (2013)
juga memaparkan bahwa komunikasi oral akan mempermudah interaksi
sosial anak tunarungu dengan „anak dengar‟.
5. Bentuk Interaksi Sosial Kompleks VS Penolakan Interaksi Sosial
Temuan lainnya adalah macam-macam interaksi sosial yang terjadi
ketika anak tunarungu sedang bersama sesama tunarungu dan dengan „anak
dengar‟. Interaksi sosial antara anak tunarungu dengan sesama anak
tunarungu terjadi saat mereka sedang bermain bersama atau membantu
sesama. Temuan ini justru tidak sejalan dengan dampak ketunarunguan
secara sosial-emosi yang dipaparkan oleh Efendi (2006). Efendi (2006)
justru memaparkan bahwa anak tunarungu lebih menampakkan sikap asosial
dan menunjukkan sikap bermusuhan. Sikap negatif ini justru tidak tampak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
pada anak tunarungu dan sebaliknya anak tunarungu justru banyak
menghabiskan waktu untuk bercengkrama dan bersenda gurau bersama.
Perilaku di atas menunjukkan bahwa anak tunarungu sangat nyaman
ketika berinteraksi dengan sesama anak tunarungu. Most, dkk (2011)
mendukung temuan tersebut karena penelitian sebelumnya menyatakan
bahwa kesuksesan interaksi sosial anak tunarungu dipengaruhi oleh tingkat
pendengaran yang sama. Mereka terbiasa untuk memulai interaksi terlebih
dahulu dan menghabiskan waktu lebih lama. Selain itu, mereka juga lebih
ekspresif ketika sedang berkomunikasi satu sama lain. Temuan ini didukung
oleh Most, dkk (2011) bahwa anak tunarungu memiliki pengalaman yang
baik ketika berinteraksi dengan sesama anak tunarungu sehingga interaksi di
antara mereka berjalan dengan sukses. Walaupun ada perasaan nyaman,
tidak semua interaksi sosial antara anak tunarungu dengan sesama anak
tunarungu dapat terjadi. Penelitian ini menemukan bahwa kadang pula
terjadi penolakan interaksi sosial, seperti menolak pelukan atau sentuhan.
Kadang anak tunarungu menolak sebuah interaksi sosial dengan cara
mengabaikan. Selain itu, interaksi sosial juga bisa saja tidak terjadi karena
anak tunarungu juga memilih untuk berkegiatan sendiri dan tidak menjalin
interaksi dengan siapapun.
Interaksi sosial antara anak tunarungu dengan „anak dengar‟ justru
berbeda dengan sesama anak tunarungu. Interaksi sosial mereka
berlangsung cukup singkat karena mereka lebih memilih untuk diam dan
memperhatikan keadaan sekitarnya. Brown & Remine, Prescott, dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
Rickards (2000) menemukan bahwa anak tunarungu memilih menunggu
didekati oleh „anak dengar‟ dalam aktifitas nonpermainan. Hal tersebut
disebabkan oleh kurangnya konten linguistik dalam interaksi mereka
sehingga interaksi mereka tidak terjadi atau terjadi dalam durasi yang
singkat (Keating dan Mirus dalam Yuhan, dkk tahun 2013). Penelitian ini
juga menemukan bahwa anak tunarungu memilih untuk berkegiatan sendiri,
duduk berjarak, tidak terlibat dalam percakapan, dan mengabaikan
kehadiran orang lain. Temuan ini sejalan dengan penelitian sebelumnya
dimana anak tunarungu menghindari untuk berinteraksi dengan „anak
dengar‟ karena memiliki ketakutan akan kegagalan dalam berinteraksi
(Most, dkk tahun 2011). Menghindari interaksi dengan „anak dengar‟ juga
merupakan salah satu cara adaptasi anak tunarungu terhadap kesulitan
mereka untuk berbahasa (Yuhan, 2013).
Bentuk interaksi sosial yang kompleks menunjukkan adanya
perbedaan durasi interaksi sosial antara anak tunarungu dengan sesama anak
tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Interaksi sosial anak
tunarungu
dengan
anak
tunarungu
bisa
berlangsung
lebih
lama
dibandingkan dengan interaksi sosial antara anak tunarungu dengan „anak
dengar‟. Hal tersebut bisa terjadi karena adanya familiaritas antara anak
tunarungu dengan sesama anak tunarungu (Yuhan, 2013). Penyebab lainnya
adalah „anak dengar‟ yang kurang mampu memahami anak tunarungu
sehingga interaksi sosial berakhir dengan durasi yang tidak panjang (Weisel
dalam Yuhan, dkk tahun 2013). Penelitian ini juga menemukan penolakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
interaksi sosial yang terjadi dalam interaksi antara anak tunarungu dengan
„anak dengar‟. Penolakan interaksi terjadi karena kegagalan dalam
penyampaian pesan antara anak tunarungu dengan „anak dengar‟ dan tidak
mendapatkan respon dari „anak dengar‟. Yuhan, dkk (2013) memaparkan
bahwa anak tunarungu memiliki kesulitan untuk mengekspresikan sesuatu
secara verbal sehingga meraka mengalami kegagalan berkomunikasi atau
tidak mendapatkan respon dari „anak dengar‟.
Temuan menarik lainnya adalah anak tunarungu juga cenderung
menghabiskan waktu dengan „anak dengar‟ yang usianya lebih muda.
Interaksi sosial yang terjadi di antara mereka saling bercanda dengan
membuat ekspresi lucu. Interaksi ini terjadi karena anak tunarungu dan
„anak dengar‟ yang usianya lebih muda memiliki tingkat familiaritas yang
sama sehingga mereka bisa memahami maksud satu sama lain (Yuhan,
2013). Selain itu, interaksi antara anak tunarungu dengan „anak dengar‟
yang usianya lebih muda tidak melibatkan banyak komunikasi linguistik
atau penyampaian pesan secara verbal (Yuhan, dkk tahun 2013). Temuan ini
juga didukung oleh beberapa penelitian sebelumnya dimana anak tunarungu
memiliki keterbatasan dalam kosakata (Yuhan, dkk tahun 2013) sehingga
membuat mereka lebih mudah membangun interaksi sosial dengan „anak
dengar‟
yang
tidak
banyak
melibatkan
komunikasi
linguistik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil temuan yang dipaparkan dalam pembahasan maka
dapat disimpulkan bahwa:
1. Interaksi sosial antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak
dengar‟ terjadi dengan melibatkan dua komponen interaksi sosial, yaitu
kontak sosial dan komunikasi.
2. Interaksi sosial antar-anak tunarungu tampak dalam ajakan bermain,
mendekati sesama teman tunarungu, berkomunikasi baik secara oral
maupun bahasa isyarat dalam bentuk abjad atau gerak tubuh. Selain itu,
mereka juga melibatkan ekspresi perasaan dalam beragam bentuk baik
mimik wajah ataupun tingkah laku.
3. Anak tunarungu tampak lebih pasif karena menunggu ajakan interaksi
„anak dengar‟ ketika sedang bersama. Mereka juga cenderung untuk
mengajak anak kecil untuk berinteraksi dibandingkan dengan teman
sebayanya. Selain itu, anak tunarungu berkomunikasi dengan cara
menggerakkan bibir atau menuliskan pesan.
4. Interaksi sosial tidak hanya terjadi antar-anak tunarungu dan anak
tunarungu dengan „anak dengar‟ tetapi interaksi sosial juga terjadi antara
anak tunarungu dengan „orang dengar‟.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
5. Interaksi sosial yang terjadi dalam bentuk permainan atau percakapan
tampak pada interaksi anak tunarungu baik dengan sesama maupun dengan
„anak dengar‟.
6. Penolakan interaksi sosial antar-anak tunarungu terjadi karena anak
tunarungu tidak ingin untuk membangun sebuah interaksi. Sedangkan
penolakan interaksi sosial antara anak tunarungu dengan „anak dengar‟
terjadi karena anak tunarungu tidak menangkap pesan yang disampaikan
oleh „anak dengar‟.
B. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, yaitu:
1. Penelitian ini hanya menggambarkan bentuk perilaku interaksi sosial yang
tampak tetapi tidak dilihat dorongan atau motif yang melatarbelakangi
munculnya perilaku.
2. Jumlah jam observasi antara di rumah dan di sekolah yang tidak seimbang
sehingga kurang menggambarkan interaksi sosial dengan „anak dengar‟.
3. Perilaku guru terhadap masing-masing responden yang tidak dapat dikontrol
oleh peneliti.
4. Situasi atau lingkungan di sekolah dan di rumah yang tidak sama.
C. Saran
1. Bagi penelitian selanjutnya
Penelitian ini hanya menggambarkan bentuk perilaku responden
ketika berinteraksi dengan sesama anak tunarungu dan „anak dengar‟. Ada
baiknya apabila penelitian diteruskan dengan meneliti dorongan atau motif
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
munculnya perilaku tersebut sehingga dapat memperkaya data tentang
interaksi sosial anak tunarungu.
2. Bagi Praktisi Psikologi
Adanya pendampingan bagi orangtua dan anak tunarungu agar bias
berinteraksi dengan semua orang tanpa merasa rendah diri atau
berkekurangan. Pendampingan ini bisa berupa pelatihan atau seminar
tentang perkembangan anak tunarungu yang terhambat dan mendorong anak
tunarungu untuk berinteraksi dengan „anak dengar‟.
3. Bagi Orangtua
Anak tunarungu mengalami kesulitan berkomunikasi dengan „anak
dengar‟ sehingga perlu pendampingan dalam berkomunikasi. Anak
tunarungu juga sebaiknya dibiasakan berinteraksi dengan „anak dengar‟ agar
mampu berinteraksi sehingga mereka tidak merasa kesepian.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, A. (1991). Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta.
Bat-Chava, Y., & Deignan, E. (2001). Peer Relationships of Children With
Cochlear Implants .
Beazley, S., & Moore, M. (1995). Deaf Children, Their Families and
Professionals. New York: David Fulton Publishers.
Berkowitz, L. (1980). A Survey of Social Psychology (2nd Edition). New York:
Holt, Rinehart and Winston.
Brown, P. M., Remine, M. D., Prescott, S. J., & Rickards, F. W. (2000). Social
Interactions of Preschoolers With and Without Impaired Hearing in
Integrated Kindergarten. Journal of Early Intervention, 23, 200-211.
Bukatko, D. (2008). Child and Adolescent Development. New York: Houghton
Mifflin Company.
Denmark , J. C. (1994). Deafness and Mental Health . London: Jessica Kingsley
Publishers.
Efendi, M. (2006). Pengantar Psikopedagogik Anak Berkebutuhan Khusus.
Jakarta: Bumi Aksara.
Ekman, P. (2010). Membaca Emosi. (Jamilia, & T. W. Utomo, Trans.)
Yogyakarta: Pustaka Baca.
Gerungan, Dipl.Psych, D. (2009). Psikologi Sosial (Edisi 3 ed.). Bandung: PT
Refika Aditama.
Gregory, S., Knight, P., McCracken, W., Powers, S., & Watson , L. (Eds.).
(1998). Issues in Deaf Education. London: David Fulton Publishers.
Hambali, M. Pd, P. (2015). Psikologi Sosial. Bandung: CV Pustaka Setia.
Kusdiyati, S., & Fahmi, I. (2015). Observasi Psikologi. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Liben, L. S. (1978). Deaf Children: Developmental Perspective. New York:
Academic Press Inc.
Macionis, J. J. (2012). Sociology (14th ed.). New Jersey: Pearson.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
Marschark, M. (2007). Raising and Educating A Deaf Child : A Comprehensive
Guide To The Choices, Controversies, and Decisions Faced by Parents
and Rducators (2nd edition). Oxford: Oxford University Press.
Marschark, M., & Spencer, P. E. (2003). Deaf Studies, Language, and Education.
Oxford: Oxford University Press.
Marschark, Ph.D, M., & Hauser, Ph.D, P. C. (2012). How Deaf Children Learn:
What Parents and Teachers Need to Know. New York: Oxford University
Press.
Martin, D., Bat-Chava, Y., Lalwani, A., & Waltzman, S. B. (2010). Peer
Relationship of Deaf Children With Cochlear Implants: Predictors of Peer
Entry and Peer Interaction Success. Journal of Deaf Studies and Deaf
Education.
Medinnus, G. R. (1976). Child Study and Observation Guide. New York : John
Willey and Sons.
Most, T. (2007). Speech Intelligibility, Loneliness, and Sense of Coherence
Among Deaf and Hard-of-Hearing Children in Individual Inclusion and
Group Inclusion.
Most, T., Ingber, S., & Heled-Ariam, E. (2011). Social Competence, Sense of
Loneliness, and Speech Intelligibility of Young Children With Hearing
Loss in Individual Inclusion and Group Inclusion. Journal of Deaf Studies
and Deaf Education.
Reber, A. S., & Reber, E. S. (2010). Kamus Psikologi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Santrock, J. W. (1997). Life-span Development. London: Brown & Benchmark.
Soekanto, S. (2006). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Supratiknya, A. (2015). Metodologi Penelitian Kuantitatif & Kualitatif Dalam
Psikologi. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
Thompson, J. (2010). Memahami Anak Berkebutuhan Khusus. Ind: Erlangga.
Walgito , B. (1991). Psikologi Sosial: Suatu Pengantar (rev ed.). Yogyakarta:
Andi Offset.
Walgito, P. (2003). Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Andi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
Weisel, A., Most, T., & Efron, C. (2005). Initiations Social Interaction by Young
Hearing Implants Preschoolers. Journal of Deaf Studies and Deaf
Education, 10.
Wie, PhD, O. B., Pripp, ScD, A. H., & Tvete, MS, O. (2010). Unilateral Deafness
in Adults: Effects on Communication and Social Interaction. Annals of
Otology, Rhinology, & Larynology, 119, 772-781.
Yuhan, X. (2013). Peer Interaction of Children with Hearing Impairment.
International Journal of Psychological Studies, 5.
Yuhan, X., Potmesil, M., & Peters , B. (2013). Children Who Are Deaf or Hard of
Hearing in Inclusive Educational Settings: A Literature Review on
Interaction With Peers. Journal of Deaf Studies and Deaf Education.
Pedoman Yankes Anak di SLB Bagi Petugas Kesehatan. (2011). Retrieved March
20,
2015,
from
www.gizikia.depkes.go.id:
http://www.gizikia.depkes.go.id/wpcontent/uploads/downloads/2011/01/
PEDOMAN-YANKES-ANAK-DI-SLB-BAGI-PETUGASKESEHATAN.pdf
Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. (2014). Retrieved March 20,
2015,
from
www.depkes.go.id:
http://www.depkes.go.id/folder/view/01/structure-publikasi-pusdatin-infodatin.html.
Download