PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI INTERAKSI SOSIAL ANTAR-ANAK TUNARUNGU DAN ANAK TUNARUNGU DENGAN ‘ANAK DENGAR’ SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi Oleh: Margaretha Langen Sekar Lelyana NIM : 119114018 PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2017 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI ii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI iii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI HALAMAN PERSEMBAHAN Karya Tulis Ini saya persembahkan untuk: Keluarga yang sudah mendukung dan mendoakan. SLB B Karnnamanohara. iv PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PERNYATAAN KEASLIAN KARYA Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalan kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah. Yogyakarta, 16 Desember 2016 Penulis Margaretha Langen Sekar Lelyana v PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI INTERAKSI SOSIAL ANTAR-ANAK TUNARUNGU DAN ANAK TUNARUNGU DENGAN ‘ANAK DENGAR’ Margaretha Langen Sekar Lelyana ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan perilaku interaksi sosial antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode pengambilan data obsevasi dan metode analisis data menggunakan analisis isi kualitatif dengan pendekatan deduktif. Responden dalam penelitian ini merupakan anak tunarungu yang berusia 6 – 12 tahun dan memiliki interaksi sosial dengan sesama anak tunarungu serta „anak dengar‟. Hasil penelitian ini menemukan bahwa kontak sosial dan komunikasi terjadi dalam interaksi sosial antar-anak tunarungu dan „anak dengar‟. Interaksi sosial antar-anak tunarungu tampak dalam ajakan bermain, mendekati sesama teman tunarungu, berkomunikasi baik secara oral maupun bahasa isyarat dalam bentuk abjad atau gerak tubuh. Selain itu, mereka juga melibatkan ekspresi perasaan dalam beragam bentuk baik mimik wajah ataupun tingkah laku. Anak tunarungu tampak lebih pasif karena menunggu ajakan interaksi „anak dengar‟ ketika sedang bersama. Mereka juga cenderung untuk mengajak anak kecil untuk berinteraksi dibandingkan dengan teman sebayanya. Selain itu, anak tunarungu berkomunikasi dengan cara menggerakkan bibir atau menuliskan pesan. Anak tunarungu juga berinteraksi dengan „orang dengar‟. Bentuk interaksi sosial kompleks dan penolakan sosial tampak dalam interaksi antar-anak tunarungu maupun anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Kata kunci : interaksi sosial, anak tunarungu, „anak dengar‟ vi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI THE SOCIAL INTERACTION BETWEEN DEAF CHILDREN AND DEAF CHILDREN WITH HEARING CHILDREN Margaretha Langen Sekar Lelyana ABSTRACT This study aimed to describe the behavior patterns of social interaction between children with hearing impairment and deaf children with hearing peers. This study was a qualitative research. The method of data collection was an observation and data analyzed with qualitative content analysis, using deductive approach. Respondents in this study was deaf children aged 6-12 years and had social interactions with other deaf children as well as hearing peers. Our research found that social contact and communication occurred in social interaction between deaf children and deaf children with hearing peers. Social interaction between deaf children appeared on an appeal play, approached fellow deaf, communicated orally or in the form of sign language alphabet or gestures. In addition, they engaged in various forms of emotional expression either faces or behavior. Deaf children seemed more passive, waiting for call-interaction hearing peers when it is being shared. They also tend to encourage children to interact small compared with their peers. Moreover, deaf children communicated by moving their lips or write a message. Children with hearing impairment also interacted with the hearing peers. Complex forms of social interaction and social rejection appeared in the interaction between deaf children and deaf children with hearing peers. . Keywords: social interaction, deaf, hearing peers. vii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM Yang bertandatangan dibawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma Nama : Margaretha Langen Sekar Lelyana NIM : 119114018 Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul: INTERAKSI SOSIAL ANTAR-ANAK TUNARUNGU DAN ANAK TUNARUNGU DENGAN ‘ANAK DENGAR’ Beserta perangkat yang diperlukan (bila perlu). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian persetujuan ini saya buat dengan sebenarnya dibuat di Yogyakarta Pada tanggal : Yang menyatakan (Margaretha Langen Sekar Lelyana) viii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI KATA PENGANTAR Puji Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan berkat dan rahmatnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi pada Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Penulis menyadari bahwa selama persiapan, penyusunan, hingga terselesainya skripsi ini, penulis tidak lepas dari bantuan pihak yang terus menerus memberikan dukungan dan ide-ide yang dapat memperlancar skripsi ini. Untuk itu, dengan ketulusan dan kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1) Tuhan Yang Maha Esa, terima kasih atas berkat dan penyertaan yang sudah diberikan selama penulis berproses dengan karya tulisnya. 2) Bapak Dr T. Priyo Widiyanto, M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma dan segenap jajaran Dekanat. 3) Bapak Eddy selaku Kepala Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah membantu dalam kelancaran penulisan skripsi ini. 4) Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan dukungan dari awal penyusunan skripsi sehingga dapat selesai dengan baik serta mendapat pengalaman berdinamika dengan anak-anak tunarungu di Dena Upakara. 5) Papi Laurensius Ady Gassing, Mami Fransiska Rustiana, dan Adik Vincentius Fernaldy yang senantiasa memberikan dukungan baik materil maupun doa yang tiada hentinya. ix PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 6) Dosen Penguji Skripsi terima kasih atas ilmu, dukungan dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis sehingga memberikan hal positif bagi penulis. 7) Segenap staf administrasi dan laboratorium Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma; Ibu M.B. Rohaniwati, Mas Y. Gandung Widyantoro, Pak Gi, Mas P. Mujiono dan Mas AG. Doni Indarto, terimakasih atas pelayanan, bantuan dan keramahan yang diberikan. 8) Segenap Dosen pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, terima kasih atas ilmu, pengalaman dan pembelajaran yang Bapak dan Ibu berikan kepada penulis. 9) Pak Wawan selaku Kepala Sekolah SLB B Karnnamanohara yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian disana. 10) Bu Ambar dan Bu Milah selaku Walikelas Dasar 4 dan Dasar 3 yang telah mengjijnkan penulis untuk berdinamika di dalam kelas dan memberikan informasi tentang responden. 11) Ketiga responden beserta orangtua responden yang sangat terbuka dan memberikan ijin kepada penulis untuk mengamati responden di lingkungan rumah serta memberikan informasi yang dibutuhkan oleh penulis. 12) Pak Adi, Pak Toni, Mbak Thia, dan staff P2TKP lainnya yang sudah membagikan pengalaman selama saya berdinamika di P2TKP. 13) Teman-teman seperjuangan di P2TKP, Pudar, Stanis, Cia, Tiara, Dimas, Jejes, Lenny, Estu, Pipit, Sasha, Grace, Yovino, Bibin, Christy, Wuri, Fiona, Ester, yang selalu memberikan dukungan serta tempat berkeluh kesah selama penulis mengerjakan skripsi. SEE YOU ON TOP guys! x PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 14) Teman-teman seperjuangan “masih Remaja menuju S.Psi”, Vania, Ria, dan Acil yang selalu menemani makan siang, memberi dukungan, dan membantu segala kesulitan selama penulis menyelesaikan skripsi. 15) Tim “Babi” yang selalu memberikan hiburan dikala sepi, rindu celotehan kalian di grup dan dukungan yang tiada henti. 16) My girls, Stefi, Maria, Gloria, Tya, Meme, sahabat seperjuangan sedari putih abu-abu, sahabat yang mengerjakan skripsi bersamaan tapi selesainya berbeda-beda. Terima kasih sudah memberikan warna dalam kehidupanku, mengerjakan skripsi bersama, dan saling mendengarkan keluh kesah masingmasing. Semangat girls! 17) Pasangan setia, Benedictus Alit Purwa Arintaka, terima kasih sudah menjadi pendengar atas keluh kesah, terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membantu dalam proses penyelesaian skripsi, terima kasih untuk penemanan yang kamu berikan selama aku menyelesaikan tugas akhir. Love. Akhir kata, penulis menyadari bahwa penelitian jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, penulis terbuka akan saran dan kritik yang diberikan demi kesempurnaan penelitian ini. Yogyakarta, 16 Desember 2016 Penulis xi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI DAFTAR ISI HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ....................................... ii HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ................................................................ iii HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................ iv PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ................................................................. v ABSTRAK ............................................................................................................. vi ABSTRACT ............................................................................................................ vii LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM ..................................................................... viii KATA PENGANTAR ........................................................................................... ix DAFTAR ISI ......................................................................................................... xii DAFTAR TABEL ................................................................................................. xv BAB I ..................................................................................................................... 1 PENDAHULUAN .................................................................................................. 1 A. B. C. D. Latar Belakang Masalah ................................................................................ 1 Rumusan Masalah .......................................................................................... 7 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 8 Manfaat Penelitan .......................................................................................... 8 1. Secara Teoretis .......................................................................................... 8 2. Secara Praktis ............................................................................................ 8 BAB II ..................................................................................................................... 9 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 9 A. Interaksi Sosial............................................................................................... 9 1. Definisi ...................................................................................................... 9 2. Komponen Interaksi Sosial pada Anak Tunarungu ................................ 10 3. Bentuk-bentuk Interaksi Sosial pada Anak Tunarungu .......................... 16 4. Tahap-tahap Interaksi Sosial pada Anak Tunarungu .............................. 17 5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Interaksi Sosial pada Anak Tunarungu 18 B. Ketunarunguan ............................................................................................. 20 1. Definisi .................................................................................................... 20 2. Klasifikasi Ketunarunguan...................................................................... 21 3. Karakteristik Anak Tunarungu ............................................................... 25 4. Penyebab Ketunarunguan ....................................................................... 25 xii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 5. Dampak Ketunarunguan ......................................................................... 26 C. Perkembangan Anak Tunarungu ................................................................. 27 1. Perkembangan Fisik ................................................................................ 28 2. Perkembangan Motorik ........................................................................... 28 3. Perkembangan Kognitif .......................................................................... 31 4. Perkembangan Bahasa ............................................................................ 33 5. Perkembangan Sosio-emosi .................................................................... 35 D. Kerangka Konseptual................................................................................... 37 BAB III ................................................................................................................. 39 METODOLOGI PENELITIAN ............................................................................ 39 A. B. C. D. E. F. G. Jenis dan Desain Penelitian ......................................................................... 39 Responden Penelitian................................................................................... 40 Fokus Penelitian........................................................................................... 41 Metode Pengumpulan Data.......................................................................... 41 Proses Pengambilan Data ............................................................................ 45 Metode Analisis Data .................................................................................. 45 Verifikasi Penelitian .................................................................................... 48 1. Validitas .................................................................................................. 48 2. Reliabilitas .............................................................................................. 48 BAB IV ................................................................................................................. 49 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 49 A. Responden Penelitian................................................................................... 49 1. Responden 1 (R1) ................................................................................... 49 2. Responden 2 (R2) ................................................................................... 49 3. Responden 3 (R3) ................................................................................... 50 B. Pelaksanaan Penelitian................................................................................. 51 C. Hasil Penelitian ............................................................................................ 53 1. Kontak Sosial .......................................................................................... 53 2. Komunikasi ............................................................................................. 57 3. Hasil Temuan Menarik ........................................................................... 75 D. Pembahasan ................................................................................................. 89 1. Kontak Sosial .......................................................................................... 89 2. Komunikasi Nonlinguistik ...................................................................... 91 3. Komunikasi Linguistik............................................................................ 94 4. Anak Tunarungu VS „Orang Dengar‟ ..................................................... 95 5. Bentuk Interaksi Sosial Kompleks VS Penolakan Interaksi Sosial ........ 96 BAB V................................................................................................................. 100 KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... 100 xiii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI A. Kesimpulan ................................................................................................ 100 B. Keterbatasan Penelitian ............................................................................. 101 C. Saran .......................................................................................................... 101 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 103 xiv PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI DAFTAR TABEL Tabel 1 Kategori Tingkat Pendengaran................................................................. 21 Tabel 2 Data Umum Responden ........................................................................... 41 Tabel 3 Daftar Susunan Perilaku........................................................................... 43 Tabel 4 Definisi Koding Komunikasi Nonlinguistik ............................................ 47 Tabel 5 Hasil Penelitian Antara Anak Tunarungu dengan Sesama Anak Tunarungu dan Anak Tunarungu dengan „Anak Dengar‟ ...................... 73 Tabel 6 Hasil Penelitian Antara Anak Tunarungu dengan „Anak Dengar‟ .......... 82 Tabel 7 Bentuk Interaksi Sosial dan Penolakan Interaksi Sosial .......................... 87 xv PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah World Health Organization (WHO) mengatakan bahwa 80% penyandang disabilitas berada di negara-negara berkembang tidak terkecuali Indonesia. Sepertiga dari 80% jumlah penyandang disabilitas merupakan anakanak. Data WHO tahun 2003 menunjukkan bahwa jumlah anak penyandang disabilitas di Indonesia ada 7-10% dari jumlah populasi di Indonesia atau sekitar 295.250 jiwa. Berdasarkan Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2014) disabilitas pendengaran menempati posisi ketiga setelah disabilitas lebih dari satu jenis (disabilitas ganda) dan disabilitas penglihatan. Jumlah prosentase untuk disabilitas adalah 7,87% dari total disabilitas yang ada di Indonesia (www.depkes.go.id). Data sensus penduduk tahun 2010 yang diolah oleh Badan Pusat Statistik (BPS) terdapat 53.180 jiwa yang menyandang disabilitas pendengaran ringan dan 9.866 jiwa yang menyandang disabilitas pendengaran parah di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (dalam Infodatin Kementrian Kesehatan 2014). Hasil presentase tersebut menunjukkan bahwa tidak sedikit orang yang mengalami disabilitas pendengaran (www.depkes.go.id). Anak-anak yang menyandang disabilitas pendengaran disebut dengan anak tunarungu. Anak tunarungu merupakan anak-anak yang mengalami disfungsi pendengaran dan mempengaruhi kehidupan sehari-sehari (Somantri, 1 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 2 2007). Sedangkan, untuk anak-anak yang tidak mengalami disabilitas pendengaran akan disebut sebagai „anak dengar‟. Disfungsi pendengaran yang dialami oleh anak tunarungu memiliki beberapa dampak, misalnya anak tunarungu mengalami kesulitan memproduksi bahasa dan mengalami keterlambatan dalam meniti fase perkembangan. (Arifin, 2015). Kesulitan anak tunarungu dalam mendengar dan memproduksi bahasa menyebabkan mereka mengalami hambatan dalam perkembangan bahasa. Marschark dan Spencer (2003) mengatakan bahwa anak tunarungu mengalami keterlambatan berbicara jika dibandingkan dengan „anak dengar‟ pada umumnya. Selain itu, anak tunarungu memerlukan waktu yang lebih lama untuk belajar sesuatu dibandingkan dengan „anak dengar‟. Misalnya, seorang „anak dengar‟ mampu untuk membuat frasa bermakna pada usia 5 tahun sedangkan anak tunarungu belum tentu menguasai hal tersebut di usia yang sama (Liben, 1978). „Anak dengar‟ mampu menguasai kosakata yang lebih banyak karena mereka memiliki pendengaran yang baik sehingga mampu untuk menangkap hal tersebut dan tersimpan di memori. Disfungsi pendengaran juga membuat anak tunarungu mengalami keterlambatan dalam perkembangan sosio-emosi. Mereka mengalami kesulitan untuk memahami perasaan dan pikiran orang lain (Brown dan Remine, Prescot, dan Rickards, 2000) sehingga mereka lebih sering menghasilkan emosi negatif. Emosi negatif inilah yang membuat mereka mengalami kesulitan untuk berinteraksi dengan sebaya. Mereka cukup sulit untuk diterima dan dipahami oleh orang-orang di sekitarnya (Liben, 1978). PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 3 Kesulitan berinteraksi dengan sebaya juga merupakan hambatan dalam perkembangan sosio-emosi. Menurut Hartup dalam (Most, Ingber, dan HeledAriam, 2011) kapabilitas seseorang untuk berelasi dalam lingkungan sosial akan berkembang pada masa anak-anak. Berelasi dalam lingkungan sosial akan tampak ketika anak-anak sedang bermain. Yuhan (2013) mengatakan bahwa bermain dengan teman sebaya memiliki peran penting dalam kualitas pertemanan di masa depan. Hal ini juga yang menjadi penentu keberhasilan seorang anak untuk mempertahankan relasinya dengan teman sebayanya (Martin, Bat-Chava, Lalwani, dan Waltzman, 2010). Berelasi dalam lingkungan sosial dan bermain akan membangun interaksi sosial. Interaksi sosial merupakan suatu proses yang dialami oleh semua manusia tidak terkecuali antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Proses interaksi ini terjadi antara dua orang atau lebih yang melibatkan komunikasi dan kontak sosial (Soekanto, 2006). Interaksi sosial pada anak tunarungu juga merujuk pada adanya komunikasi linguistik dan nonlinguistik serta permainan sosial (Yuhan, Potmesil, dan Peters, 2013). Anak tunarungu cenderung untuk membangun interaksi sosial dengan sesama anak tunarungu karena mereka memiliki tingkat pendengaran yang kurang lebih sama (Yuhan, 2013). Selain itu, komunikasi yang terjadi antara anak tunarungu dengan „anak dengar‟ terjadi lebih sedikit dibandingkan dengan antar-anak tunarungu. Hal ini tampak pada penelitian sebelumnya yang menemukan bahwa anak tunarungu seringkali ditolak oleh „anak dengar‟ ketika mencoba untuk melakukan kontak sosial. Terkadang komunikasi yang terjadi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 4 antara anak tunarungu dengan „anak dengar‟ juga mengalami kekurangan konten linguistik dan berakhir dengan cepat (Yuhan, Potmesil, dan Peters, 2013). Berdasarkan pengalaman peneliti, anak tunarungu yang menempuh pendidikan di sekolah inklusi lebih sering menghabiskan waktu di sekolah sendirian. Teman-teman yang mendengar cenderung untuk mengabaikan kehadirannya. Di luar jam sekolah, anak tunarungu ini bisa berinteraksi dengan cukup baik dengan sesama teman tunarungu dan bergabung dalam suatu komunitas. Mereka bisa bercerita suatu hal dengan bahasa mereka sendiri. Hal ini membuktikan bahwa anak tunarungu merasa lebih nyaman untuk berinteraksi dengan sesama tunarungu dibandingkan dengan „anak dengar‟ (Bat-Chava dan Deignan, 2001). Anak tunarungu juga cenderung meminta klarifikasi terutama tentang informasi baru dibandingkan dengan „anak dengar‟ (Yuhan, Potmesil, dan Peters, 2013). Anak tunarungu juga memberikan sentuhan netral ketika mengajak „anak dengar‟ berinteraksi sedangkan ketika dengan sesama anak tunarungu mereka memutar kepala temannya agar melihat dirinya ketika mengajak berinteraksi. Terkadang, anak tunarungu langsung bergabung dalam permainan ketika sedang bersama sesama anak tunarungu lainnya (Yuhan, Potmesil, dan Peters, 2013). Kontak sosial seperti sentuhan fisik bisa terjadi di antara sesama anak tunarungu dan „anak dengar‟ akan tetapi hal ini belum tentu berlaku sama pada komunikasi. Terkadang, setelah kontak sosial terjadi akan ada proses PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 5 penyampaian ide atau perasaan. Hal ini yang terkadang tidak tersampaikan oleh anak tunarungu dan „anak dengar‟. Sesama anak tunarungu mampu untuk berkomunikasi satu sama lain sehingga mereka paham pesan yang disampaikan tetapi hal ini berbeda dengan komunikasi antara anak tunarungu dan „anak dengar‟. Terkadang mereka mencoba untuk berkomunikasi tetapi pesan atau maksud tidak tersampaikan karena anak tunarungu sulit untuk menerima stimulus berupa audio. Hal ini didukung oleh Gregory, Knight, McCracken, Powers, dan Watson (1998) yang mengatakan bahwa anak tunarungu cenderung untuk menggunakan komunikasi non linguistik ketika berinteraksi baik dengan sesama tunarungu atau dengan „anak dengar‟. Bentuk komunikasi dan kontak sosial anak tunarungu yang berbeda membuat anak tunarungu sering mengalami penolakan dari „anak dengar‟ (Yuhan, 2013). Penolakan yang dialami anak tunarungu membuat mereka kesulitan membangun interaksi sosial sehingga mereka tidak memiliki banyak teman (Bat-Chava dan Deignan, 2001). Mereka tidak memiliki banyak teman dari kalangan „anak dengar‟ karena cara berinteraksi yang berbeda. Beberapa „anak dengar‟ juga merasa kurang nyaman dengan keterbatasan yang dialami oleh anak tunarungu sehingga memilih untuk mengacuhkan mereka. Kegagalan anak tunarungu dalam interaksi sosial memiliki andil yang cukup besar untuk kehidupan jangka panjang mereka. Mereka yang mengalami penolakan saat berinteraksi dengan teman sebayanya akan merasa kesepian yang berkepanjangan (Most, 2007). Penolakan ini juga menjadi acuan apakah PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 6 seorang anak tunarungu akan terus berinteraksi atau menghindari suatu interaksi. Bentuk interaksi sosial yang berbeda antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟ membuat peneliti ingin menggambarkan bagaimana interaksi sosial antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Hal ini disebabkan penelitian sebelumnya meneliti tentang interaksi sosial pada anak tunarungu yang menggunakan alat bantu dengar (Bat-Chava Deignan, 2001; Martin et al, 2010; Boyd et al, 2000; Punch & Hyde, 2011 dalam Yuhan, Potmesil, dand Peters tahun 2013) dan gambaran tentang interaksi sosial mereka pun belum banyak diteliti. Selain itu, Yuhan, dkk (2013) memaparkan pula bahwa penelitian antara komunikasi dan permulaan interaksi dilakukan secara terpisah pada anak tunarungu dan „anak dengar‟. Ada pula penelitian yang meneliti interaksi sosial anak tunarungu pada usia sekolah sehingga rentang usia responden 2 tahun – 10 tahun (Weisel et al, 2005; Preisler et al, 2002; Bat-Chava & Deignan, 2001 dalam Yuhan, Potmesil, dand Peters tahun 2013). Berdasarkan hal tersebut, peneliti membatasi rentang usia responden dalam penelitian ini 6 tahun – 12 tahun. Responden di sini adalah anak tunarungu yang tidak menggunakan alat bantu dengar. Mereka juga berinteraksi baik dengan anak tunarungu maupun dengan „anak dengar‟. Pengambilan data pada penelitian sebelumnya menggunakan berbagai macam metode, seperti observasi, kuesioner, dan eksperimen (Yuhan, Potmesil, dan Peters tahun 2013). Observasi banyak digunakan pada responden PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 7 dengan usia pra sekolah dan pengambilan data responden usia sekolah menggunakan kuesioner dan eksperimen (Yuhan, dkk, 2013). Metode pengambilan data dalam penelitian ini akan menggunakan observasi untuk melihat interaksi sosial antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Alasannya adalah untuk menggambarkan interaksi antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟ diperlukan pengamatan secara langsung pada lingkungan yang sesungguhnya. Harapan peneliti dengan adanya penelitian ini hasil yang ditemukan merupakan perilaku-perilaku interaksi sosial antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Berdasarkan hal tersebut, maka gambaran perilaku anak tunarungu ketika berinteraksi dengan sesamanya dan „anak dengar‟ dapat terlihat jelas bagaimanakah perilaku yang muncul selama interaksi berlangsung. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah interaksi sosial antar-antar-anakanak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟? PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 8 C. Tujuan Penelitian Berdasarkan masalah tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan bagaimana interaksi sosial antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. D. Manfaat Penelitan 1. Secara Teoretis Memberikan sumbangan pengetahuan dalam ranah psikologi perkembangan dan psikologi sosial tentang interaksi sosial antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. 2. Secara Praktis Penelitian ini memberikan informasi interaksi sosial bagi orangtua dan guru agar memahami interaksi sosial antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Selain memberikan informasi, diharapkan orangtua dan guru bisa memberikan dukungan kepada anak tunarungu untuk berinteraksi dengan „anak dengar‟ agar anak tunarungu dapat menjalin relasi dan mempertahan relasi dengan „anak dengar‟ di masa depan sehingga mereka tidak merasa kesepian. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Interaksi Sosial Berinteraksi dengan teman sebaya memiliki fungsi krusial terhadap perkembangan kehidupan sosial individu terutama anak-anak. Salah satu bentuk sosialisasi adalah interaksi sosial. Interaksi sosial bisa terjadi dengan siapa saja dan di mana saja. Interaksi sosial pertama kali terjadi pada masa kanak-kanak. Pentingnya interaksi sosial pada masa ini adalah membantu anak untuk belajar memahami perspektif orang lain terhadap realita yang ada. Hal penting lainnya adalah seorang anak belajar untuk bernegosiasi dan belajar mengenai manajemen konflik. 1. Definisi Secara umum definisi interaksi sosial dikemukakan oleh Soekanto (2006) dalam sudut pandang sosiologi, yaitu interaksi sosial merupakan suatu hubungan sosial yang dinamis, menyangkut hubungan antara individu, antara kelompok maupun antara individu dengan kelompok. Beberapa ahli dalam psikologi sosial melihat interaksi sosial sebagai suatu kebutuhan individu di mana salah satu individu mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki perilaku individu lainnya, adanya aksi dan reaksi antarindividu (Arifin, 2015; Ahmadi, 1991; Walgito, 2003; Cerulo, 2009; Reber&Reber, 2010). 9 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 10 Definisi interaksi sosial di atas merupakan definisi bagi orang-orang yang tidak mengalami disabilitas. Sedangkan interaksi sosial pada anak tunarungu merupakan sebuah hubungan yang melibatkan pertukaran sosial, komunikasi linguistik, komunikasi nonlinguistik, dan permainan sosial (Yuhan, Potmesil, dan Peters, 2013). Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa interaksi sosial pada anak tunarungu dalam penelitian ini adalah hubungan antar individu baik perorangan atau kelompok yang dinamis dan saling mempengaruhi satu sama lain sehingga tercipta tindakan (aksi) dan respon (reaksi) dalam proses kehidupan yang melibatkan komunikasi linguistik, komunikasi nonlinguistik, dan permainan sosial. Interaksi sosial tidak dapat terjadi jika hanya ada satu orang. Interaksi sosial membutuhkan dua orang atau lebih untuk saling berdinamika dan menciptakan interaksi. Keterlibatan individu dalam interaksi sosial tidak hanya perorangan tetapi juga bisa antar kelompok maupun individu dengan kelompok. Sebuah interaksi sosial dapat terwujud apabila masing-masing pihak memiliki sebuah tujuan yang dapat dicapai bersama-sama melalui kontak sosial dan komunikasi sebagai syarat interaksi sosial (Loomis dalam Arifin, 2015). 2. Komponen Interaksi Sosial pada Anak Tunarungu Soekanto (2006) mengemukakan bahwa suatu interaksi sosial baru akan terjadi apabila ada kontak sosial dan komunikasi. Dua hal ini PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 11 ditetapkan sebagai syarat terjadinya interaksi sosial. Apabila hanya terjadi kontak sosial tanpa ada komunikasi maka kontak sosial tidak berarti apaapa. Berikut penjelasan tentang kontak sosial dan komunikasi: a. Kontak Sosial Kontak sosial merupakan tahap pertama terjadinya interaksi sosial. Menurut Arifin (2015) kontak sosial merupakan hubungan antara individu atau kelompok yang di dalamnya terdapat pemahaman tentang tujuan masing-masing. Menurut Soekanto (2013) kontak sosial terjadi apabila terdapat suatu tindakan dari satu orang dan ditanggapi oleh orang yang lainnya. Selain itu, kontak sosial terjadi apabila salah satu individu menyadari keberadaan individu lain. Berdasarkan paparan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa kontak sosial adalah hubungan antara individu atau kelompok yang melibatkan kesadaran akan keberadaan individu lainnya. Menurut Soekanto (2013) kontak sosial memiliki dua sifat, yaitu Kontak sosial primer (langsung) dan kontak sosial sekunder (tidak langsung). Kontak sosial primer merupakan suatu hubungan antar individu yang saling bertatap muka secara visual dan memiliki emosi tertentu dalam pergaulan. Misalnya, berjabat tangan, saling senyum, dan kontak mata. Sebaliknya, kontak sosial sekunder (tidak langsung) merupakan kontak sosial yang membutuhkan pihak perantara di antara individu dan ada pengaruh dari luar. Perantara ini bisa berupa alat atau benda untuk PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 12 membantu 2 atau lebih individu. Misalnya berbicara jarak jauh dengan menggunakan telepon. Selain itu, perantara juga bisa individu itu sendiri. Misalnya Individu A menceritakan perilaku individu B kepada individu C. Hal ini memunculkan kontak antara individu A dan B dengan informasi yang diberikan oleh individu C (Soekanto, 2006). Berdasarkan pemaparan di atas, definisi kontak sosial dalam penelitian ini adalah hubungan antara individu atau kelompok yang menyadari keberadaan orang lain, bertemu secara visual, dan melibatkan emosi tertentu sehingga ada tindakan yang ditanggapi oleh orang lain. Definisi ini disimpulkan berdasarkan definisi kontak sosial secara umum dan definisi kontak sosial primer karena hal tersebut yang akan dideskripsikan dalam penelitian ini. b. Komunikasi Komunikasi merupakan suatu proses penyampaian pesan antar individu yang melibatkan bahasa lugas, gerak tubuh, sikap, dan perasaan tertentu (Arifin, 2015). Menurut Walgito (2003) komunikasi merupakan proses penyampaian dan penerimaan lambang-lambang yang mengandung arti (informasi, pemikiran, pengetahuan, dll) yang disampaikan oleh pengirim pesan kepada penerima pesan. Berdasarkan pendapat ahli atas dapat disimpulkan bahwa komunikasi merupakan proses penyampaian pesan berupa informasi, ide, pikiran, dan perasaan seseorang kepada orang lain. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 13 Menurut Marschark dan Spencer (2003) ada dua jenis komunikasi yang digunakan oleh anak-anak tunarungu, yaitu: 1) Komunikasi Nonlinguistik Komunikasi nonlinguistik merupakan komunikasi yang tidak melibatkan oral. Komunikasi jenis ini banyak menggunakan ekspresi wajah, gestur tubuh, dan aktivitas fisik. Hal ini sangat lazim ditemukan pada anak-anak yang memiliki keterbatasan pendengaran. Pendapat ini juga diperkuat oleh Macionis (2012) bahwa komunikasi nonlinguistik (nonverbal) merupakan komunikasi yang menggunakan gerak tubuh (body movement), gestur, dan ekspresi wajah. Hal ini lebih banyak muncul dibandingan dengan kata-kata atau ucapan. Menurut Berkowitz (1980) komunikasi nonlinguistik akan tampak pada perilaku nonverbal dan ekspresi wajah. Ekman dan Friesen (dalam Berkowitz, 1980) mendeskripsikan 5 macam perilaku nonverbal. Perilaku tersebut adalah emblems, illustrators, affects, regulators, dan adapters. Pertama adalah emblems. Emblems merupakan suatu gerakan yang digunakan sebagai pengganti kata atau kalimat. Contohnya, melambaikan tangan untuk memanggil. Kedua, illustrators merupakan pelengkap pernyataan verbal. Hal ini biasanya tampak pada seseorang yang sedang memberikan petunjuk arah sambil menunjukkannya menggunakan tangannya. Ketiga adalah affect. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 14 Affects mengekspresikan sebagian emosi yang sedang dirasakan seseorang, seperti marah, senang, dan sedih. Biasanya, afek akan muncul pada ekspresi wajah seseorang akan tetapi Ekman dan Friesen (dalam Berkowitz, 1980) mengatakan bahwa afek juga dapat tampak pada gerakan tubuh seseorang. Keempat, regulators merupakan suatu sinyal yang dapat muncul dalam sebuah interaksi. Regulator biasa digunakan untuk melengkapi pernyataan, mengklarifikasi penyataan, dan sebagainya. Contoh regulator adalah anggukan kepala, kontak mata, dan perubahan postural. Kelima, adapters merupakan salah satu perilaku yang membantu dalam manajemen interaksi atau mengekspresikan perasaan. Hal ini bisa berbeda pada setiap orang. Misalnya, perasaan cemas yang tampak dengan menggerakan kaki atau tangan. Selanjutnya adalah ekspresi wajah. Ekspresi wajah merupakan perubahan raut muka sesuai dengan emosi yang muncul dalam diri seseorang (Berkowitz, 1980). Ekspresi wajah seseorang tidak terlepas dari latar belakang lingkungannya dan sangat mudah dikenali apabila kita mengenal baik seseorang. Ekman (2010) menjelaskan bahwa manusia memiliki 5 emosi dasar, yaitu marah, sedih, senang, takut, dan jijik. Emosi yang pertama adalah marah. Marah merupakan ekspresi wajah beringas yang siap menyerang. Ciri-ciri ekspresi kemarahan dapat dilihat dengan otot yang kencang pada alis, yang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 15 apabila berkontraksi akan menurunkan dan menautkan alis, mengencangkan otot yang membuat kelompak mata tertarik naik, dan menyempitkan bibir dengan cara mengencangkan otot bibir. Kedua, sedih. Ekspresi sedih memiliki ciri-ciri seperti kelopak mata yang terkulai atau layu, alis yang terangkat, dan sudut bibir yang ditarik ke bawah. Ketiga adalah perasaan senang. Ciri-ciri ekspresi senang tampak pada kedua pipi yang terangkat lebih tinggi, kontur pipi berubah, dan alis yang sedikit menurun. Selain itu, ekspresi senang juga dapat diperlihatkan dengan senyuman lebar yang mendorong pipi ke atas sampai membentuk kerutan. Keempat, ekspresi jijik pada wajah akan tampak pada bibir atas yang dinaikkan setinggi mungkin, bibir bawah dinaikkan dan sedikit dicibirkan. Selain itu, kerutan meluas mulai dari atas cupingnya mengarah ke bawah sampai di belakang sudut bibirnya. Kemudian, sayap-sayap cuping hidungynya naik, kerutan muncul pada kedua isi dan jembatan hidungnya. Kenaikan pipi dan penurunan alis membentuk kerutan kaki gagak. Terakhir adalah takut. Ciri-ciri wajah untuk ekspresi takut adalah kelopak mata yang naik, bibir yang kencang dan horizontal mengarah ke belakang, rahang terbuka sedikit, dan alis yang naik. Berdasarkan penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa komunikasi nonlinguistik merupakan komunikasi tanpa suara yang melibatkan gerak tubuh, perilaku nonverbal dan ekspresi wajah. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 16 2) Komunikasi Linguistik Komunikasi linguistik merupakan kebalikan dari komunikasi nonlinguistik. Komunikasi jenis ini menggunakan bahasa oral atau bahasa bibir. Komunikasi linguistik adalah komunikasi yang terjadi ketika salah satu individu berbicara menggunakan mulut mereka dan menggunakan bahasa yang dipahami. Kontak sosial dan komunikasi merupakan dua aspek atau komponen yang harus ada untuk membentuk interaksi sosial. Jika yang terjadi hanya kontak sosial maka hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai interaksi sosial. Kontak sosial harus berjalan beriringan bersama dengan komunikasi. Komunikasi terjadi apabila satu sama lain mampu memahami maksud masing-masing sehingga pesan, emosi, dan perasaan dapat tersampaikan (Soekanto, 2013). Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini akan mendeskripsikan interaksi sosial anak tunarungu dengan sesama anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟ melalui perilaku kontak sosial dan komunikasi mereka, baik secara nonlinguistik maupun linguistik. 3. Bentuk-bentuk Interaksi Sosial pada Anak Tunarungu Interaksi sosial memiliki beberapa bentuk. Menurut Arifin (2015) ada empat bentuk pokok interaksi sosial. Bentuk-bentuk tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: a. Kerjasama PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 17 Hal ini merupakan suatu bentuk interaksi sosial di mana seseorang dan beberapa orang lain memiliki suatu tujuan yang ingin dicapai bersama sehingga mereka berusaha untuk memahami satu sama lain. b. Persaingan Persaingan merupakan salah satu proses interaksi sosial yang pasti terjadi. Persaingan adalah suatu proses di mana individu merasa bahwa ada orang lain yang menjadi akan menjadi penghambat dalam mencapai suatu tujuan. c. Pertentangan (Konflik) Sebuah konflik akan terjadi apabila terdapat suatu perbedaan antara individu dengan individu lainnya atau dengan kelompok. Perbedaan ini bisa bermacam-macam bentuknya, seperti pendapat atau pandangan terhadap suatu hal. d. Akomodasi Akomodasi merupakan salah satu cara yang digunakan untuk menyelesaikan suatu konflik tanpa harus menghancurkan pihak lawan. Hal ini merupakan penyeimbang yang baik dari beberapa bentuk interaksi sosial yang menimbulkan konflik tertentu antar individu. 4. Tahap-tahap Interaksi Sosial pada Anak Tunarungu Ada 2 tahapan yang dialami oleh anak tunarungu ketika berinteraksi dengan sesamanya. Menurut Yuhan (2013), tahapan-tahapan tersebut adalah: PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 18 a. Inisiasi interaksi sebaya Inisiasi merupakan tahap awal anak tunarungu dalam membangun sebuah interaksi. Anak tunarungu berusaha untuk mengamati lingkungan sekitarnya terlebih dahulu. Mereka mempelajari bagaimana orang lain saling berinteraksi satu sama lain. Pengamatan yang mereka lakukan juga membuat mereka melihat kesempatan untuk bergabung dalam sebuah interaksi sosial. Adanya sebuah kesempatan inilah yang akan membuat anak tunarungu akan memulai interaksi sosial mereka dengan cara berkomunikasi. Komunikasi yang mereka gunakan biasanya bahasa nonverbal atau gestur tubuh. b. Memantau Interaksi Sebaya Tahap kedua ini merupakan cara seorang anak tunarungu mempertahankan sebuah interaksi yang sudah terjadi. Anak tunarungu mengalami kesulitan untuk mempertahankan sebuah interaksi sosial dalam jangka panjang. Hal ini disebabkan dengan banyaknya faktorfaktor yang menghambat anak tunarungu dalam berinteraksi. 5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Interaksi Sosial pada Anak Tunarungu Menurut Yuhan (2013) ada beberapa faktor yang mempengaruhi interaksi sosial pada anak tunarungu, yaitu: PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 19 a. Bahasa dan kemampuan berbicara Seorang anak tunarungu memiliki keterlambatan dalam perkembangan berbicara. Mereka membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mengucapkan suatu kata sehingga mereka memiliki masalah dengan interaksi sosial mereka. Kemampuan berbahasa mereka juga dijadikan sebagai indikator perkembangan kognitif dan sosio-emosi mereka. b. Familiaritas dan tingkat pendengaran yang sama dengan tema sebaya Anak-anak tunarungu lebih nyaman untk berinteraksi dengan sebayanya yang memiliki tingkat pendengaran yang sama. Hal ini membuat mereka lebih mudah dalam berkomunikasi karena mereka memahami hal yang sama. Setiap anak tunarungu memiliki strategi masing-masing untuk berinteraksi dengan teman sebanyanya. Salah satu kunci mereka untuk berinteraksi adalah kesamaan pemahaman akan suatu hal. Mereka akan lebih mudah membangun sebuah interaksi dengan anak yang mendengar apabila mereka memiliki pemahaman yang sama dengan anak yang mendengar. Hal in juga terjadi sebaliknya pada „anak dengar‟. c. Model komunikasi Ada dua model komunikasi yang biasa dimiliki oleh anak tunarungu. Model yang pertama adalah komunikasi oral. Komunikasi ini yang paling banyak dikuasai oleh anak tunarungu karena ini merupakan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 20 model yang paling mudah untuk dipahami. Mereka terbiasa untuk membaca gerak bibir lawan bicaranya atau mereka berusaha untuk bisa mengucapkan kata-kata dengan pelafalan yang jelas. Model komunikasi yang kedua adalah komunikasi menggunakan bahasa isyarat. Beberapa anak tunarungu mampu untuk berkomunikasi dengan bahasa ini tapi tidak banyak. Biasanya, anak-anak yang mampu berkomunikasi dengan bahasa isyarat sudah terlatih sejak kecil di mana orangtua mereka juga belajar bahasa isyarat. Akan tetapi, komunikasi menggunakan bahasa isyarat sangat sulit untuk mereka berinteraksi sosial dengan teman sebanyanya yang mendengar. Hal ini disebabkan dengan anak-anak yang mendengar tidak memahami bahasa isyarat mereka. B. Ketunarunguan 1. Definisi Menurut Arifin (2015) anak tunarungu adalah seorang anak yang mengalami kerusakan pada satu atau lebih pada organ telinga luar, organ telinga bagian tengah, dan organ telinga bagian dalam sehingga organ tersebut tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Pengertian tersebut juga didukung oleh Effendi (2006) yang mengatakan bahwa seorang anak dikatakan tunarungu apabila mengalami kerusakan pada organ telinga. Kerusakan organ ini bisa karena sebuah kecelakaan atau tidak diketahui sebabnya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 21 Menurut Somantri (2007) tunarungu merupakan suatu keadaan di mana seorang anak kehilangan sebagian atau seluruhnya yang menyebabkan pendengarannya tidak memiliki nilai fungsional di dalam kehidupan seharihari. Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa ketunarunguan adalah suatu kerusakan pada organ pendengaran seseorang yang menyebabkan mereka kehilangan nilai fungsional pendengaran dalam kehidupan sehari-hari. Gangguan pendengaran ini bisa disebabkan karena kecelakaan atau bawaan atau tidak diketahui sebabnya. 2. Klasifikasi Ketunarunguan a. Berdasarkan Satuan Bunyi Desibel (dB) Berdasarkan kriteria International Standard Organization (ISO) (dalam Arifin, 2015) klasifikasi gangguan pendengaran pada anak tunarungu dapat dibedakan menjadi 6 kategori. Penjabaran kategori tingkat pendengaran dan intensitas bunyi dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Intensitas Bunyi (dB) Tingkat Pendengaran 0-20 dB Normal 20-30 dB Slight Losses 30-40 dB Mild Losses 40-60 dB Moderate Losses 60-75 dB Severe Losses >75 dB Profoundly Losses PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 22 Anak-anak tunarungu yang masuk dalam kategori slight losses adalah anak-anak yang mengalami gangguan pendengaran ringan. Mereka tidak mengalami kesulitan berbicara karena masih berada pada batas normal pendengaran. Mereka juga mampu belajar bicara menggunakan kemampuan pendengarannya dan butuh perhatian khusus terhadap perbendaharaan kata agar perkembangan bahasa tidak terhambat. Anak-anak tunarungu dalam kategori ini juga masih dapat mendengar menggunakan alat bantu dengar. Ciri khas anak-anak tunarungu dalam kategori mild losses adalah mengerti pembicaraan dalam jarak dekat dan tidak kesulitan untuk mengekspresikan isi hatinya. Mereka mengalami kesulitan untuk menangkap percakapan yang lemah sehinga sulit untuk menangkap isi pesan lawan bicaranya. Mereka juga akan semakin kesulitan menangkap isi pesan apabila tidak berbicara berhadapan. Anak-anak tunarungu kategori ini masih dapat mendengar dengan alat bantu dengar dan masih membutuhkan bimbingan intensif untuk menghindari kesulitan berbicara. Anak-anak tunarungu dalam kategori moderate losses dapat mengerti percakapan apabila dilakukan dengan volume yang keras dan dalam jarak dekat (1 meter) sehingga mereka sering salah tangkap atau salah paham terhadap lawan bicaranya. Ciri lainnya adalah perbendaharaan kata mereka yang terbatas, adanya ketidakjelasan dalam berbicara, dan kesulitan menggunakan bahasa dengan benar dalam percakapan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 23 Ciri-ciri anak tunarungu dalam kategori severe losses adalah mereka mengalami kesulitan untuk membedakan suara, tidak memiliki kesadaran bahwa benda-benda di sekitarnya memiliki getaran suara, dan membutuhkan pelayanan khusus untuk belajar bicara dan berbahasa. Profoundly losses merupakan tingkat pendengaran yang paling parah sehingga anak tunarungu hanya dapat mendengar dengan suara keras dalam jarak 2,54 cm. Selain itu, mereka juga tidak menyadari bunyi-bunyian di sekitarnya. Mereka juga tidak mampu menangkap pesan walaupun menggunakan pengeras suara sehingga mereka membutuhkan banyak latihan khusus agar bisa berkomunikasi. b. Berdasarkan Letak Kerusakan Organ Pendengaran Kategori anak tunarungu berdasarkan letak kerusakan organ pendengaran dibagi menjadi 3 jenis, yaitu tunarungu konduktif, tunarungu perseptif, dan tunarungu campuran. Tunarungu konduktif merupakan kondisi anak-anak yang mengalami kerusakan pada liang telinga, selaput gendang, dinding-dinding labirin, dan tiga tulang pendengaran (malleus, incus, dan stapes). Bagian-bagian tersebut memiliki fungsi untuk menghantarkan suara sehingga seseorang bisa mendengar. Lalu, tunarungu perseptif merupakan gangguan pendengaran yang terjadi karena rusaknya organ-organ pendengaran yang terdapat pada telinga bagian dalam. Keadaan ini terjadi karena rumah siput, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 24 serabut saraf pendengaran, dan corti yang mengubah rangsang mekanis menjadi elektris tidak diteruskan ke otak. Sedangkan tunarungu campuran adalah suatu keadaan di mana kerusakan organ terjadi pada organ telinga yang berfungsi sebagai penghantar dan penerima rangsang. c. Berdasarkan Waktu Terjadinya Ketunarunguan Berdasarkan waktu terjadinya, ketunarunguan dibagi menjadi dua jenis, yaitu tuli bawaan (Deafness Conginetal) dan tuli fungsional (Deafness Functional). Tuli bawaan merupakan ketunarunguan yang terjadi saat bayi dilahirkan. Hal ini disebabkan oleh hereditas atau faktor lainnya yang terjadi selama ibu mengandung. Sedangkan tuli fungsional merupakan hilangnya pendengaran seorang anak tetapi tidak ditemukan adanya disfungsi organik. d. Berdasarkan Terjadinya Tahap Perkembangan Menurut Denmark (1994) anak tunarungu dibagi menjadi dua jenis, yaitu preverbal deafness dan postlingual deafness. Preverbal deafness adalah suatu kondisi ketunarunguan yang dialami seorang anak sebelum mengenal bahasa dan masuk dalam tahap perkembangan bahasa. Ketunarunguan ini sangat banyak dialami oleh anak-anak. Mereka kehilangan kemampuan mendengar sejak lahir sehingga membuat mereka kesulitan untuk berinteraksi. Ketunarunguan macam ini merupakan hambatan yang sangat besar bagi anak-anak dalam perkembangan bahasa verbal mereka. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 25 Sebaliknya, postlingual deafness merupakan ketunarunguan yang dialami setelah seorang anak mengenal bahasa dan masuk dalam tahap perkembangan bahasa. Hal ini terjadi karena adanya penurunan kemampuan pendengaran yang dimiliki seseorang. Biasanya, hal ini sangat jarang dialami oleh anak-anak. 3. Karakteristik Anak Tunarungu Menurut Telford dan Sawrey (dalam Mangunsong, 1998) ada beberapa karakteristik anak tunarungu. Kekhasan tersebut adalah anak tunarungu kurang mampu untuk memusatkan perhatian. Kemudian, anak tunarungu juga sering mengalami kegagalan respon ketika diajak berbicara. Kegagalan respon tersebut juga bisa disebabkan oleh keterlambatan bicara yang dialami oleh anak tunarungu. Keterlambatan bicara juga membuat anak tunarungu mengalami kesalahan artikulasi dan mengalami keterbelakangan di sekolah. 4. Penyebab Ketunarunguan Sebagian besar ketunarunguan pada anak-anak terjadi sebelum mereka mengenal bahasa. Hal ini menyebabkan mereka mengalami hambatan dalam perkembangan bahasa. Adapun beberapa penyebab seorang anak mengalami ketunarunguan, yaitu prenatal, neonatal, dan post natal. Pertama, penyebab prenatal merupakan penyebab yang diperkirakan terjadi saat bayi masih dalam kandungan ibu. Beberapa penyebab PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 26 ketunarunguan yang terjadi saat masa prenatal adalah hereditas atau keturunan, maternal rubella, pemakaian antibiotika yang berlebihan, dan Toxoemia. Kedua, penyebab neonatal merupakan penyebab yang muncul saat seorang bayi dilahirkan. Beberapa penyebabnya adalah kelahiran premature, faktor resus, dan Tang Verlossing. Ketiga, penyebab ketunarunguan yang terjadi setelah proses melahirkan (postnatal) adalah meningitis cebralis, infeksi, dan otitis media kronis. 5. Dampak Ketunarunguan Ketunarunguan tentu saja memberikan banyak dampak terhadap penyandangnya. Dampak tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: a. Secara Fisik Menurut Arifin (2015) ada beberapa dampak yang dialami oleh anak yang memiliki keterbatasan pendengaran, seperti kehilangan indera pendengatan karena ada kerusakan pada organ tersebut dan kesulitan menerima rangsang dalam bentuk audio. Selain itu, anak tunarungu mengalami kesulitan memproduksi bahasa dan mengalami keterlambatan dalam meniti fase-fase perkembangan. b. Secara Sosial-Emosi Menurut Efendi (2006) dan Van Uden (dalam Efendi, 2006) beberapa dampak ketunarunguan dalam kehidupan sosial adalah anak tunarungu lebih menampakkan sikap asosial. Anak tunarungu juga lebih menunjukkan sikap bermusuhan dan lebih menarik diri dari lingkungan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 27 Lalu, anak tunarungu juga lebih egosentris dan lebih mudah marah serta tersinggung. Anak tunarungu juga lebih bergantung pada orang lain dan beberapa hal yang sudah dikenal sebelumnya. Selain itu, anak tunarungu juga memiliki perasaan yang cenderung ekstrem tanpa banyak nuansa dan memiliki perasaan takut akan hidup yang lebih besar. c. Secara Bahasa Dampak yang dialami oleh anak tunarungu secara bahasa tampak pada kekurangan anak tunarunngu akan perbendaharaan kata. Anak tunarungu juga mengalami kesulitan untuk mengartikan bahasa yang mengandung arti kiasan atau sindiran sehingga mereka juga kesulitan untuk mengartikan kata-kata abstrak seperti Tuhan. Anak tunarungu mengalami kesulitan menguasai irama dan gaya bahasa sehingga mereka juga menggunakkan struktur bahasa yang lebih berbeda. C. Perkembangan Anak Tunarungu Tahap perkembangan merupakan suatu fase yang pasti dialami oleh setiap individu. Setiap individu mengalami hal yang sama hanya saja dalam satu tahap atau fase individu membutuhkan waktu yang berbeda-beda, terutama pada anak-anak berkebutuhan khusus. Tinjauan pustaka dalam penelitian ini hanya akan menjelaskan tahap perkembangan masa anak-anak tengah menuju akhir. Masa perkembangan ini mencakup anak yang berusia 6-12 tahun (Bukatko, 2008). PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 28 1. Perkembangan Fisik Perkembangan fisik merupakan tahap perkembangan yang terkait dengan perubahan fisik seorang anak. Menurut Santrock (2009) perkembangan fisik seorang anak dibagi menjadi: a. Tubuh Umumnya, seorang anak pada usia 6-12 tahun mengalami perkembangan tinggi badan sebanyak 5-7,6 cm setiap tahunnya. Perkembangan lainnya, yaitu berat badan. Berat badan anak-anak pada masa ini bertambah 2,3-3,2 kg setiap tahunnya. b. Otak Volume otak anak-anak di masa ini sudah lebih stabil dibandingkan dengan masa perkembangan sebelumnya. Perkembangan otak juga menjadi lebih cepat terutama pada variasi struktur dan area otak. Salah satu area otak yang berkembang adalah korteks prefrontal. Perubahan signifikan yang terjadi pada area ini berkaitan dengan kontrol kognitif. Kontrol kognitif inilah yang berperan untuk mengontrol perhatian, mengurangi pikiran-pikiran yang mengganggu atau tercampur aduk, menghambat gerakan motorik, dan fleksibel dalam menentukan pilihan yang berlawanan (Munkata dalam Santrock, 2009). 2. Perkembangan Motorik Perkembangan motorik anak-anak semakin berkembang yang ditandai dengan semakin baiknya koordinasi gerak yang mereka lakukan. Perkembangan motorik dibagi menjadi 2, yaitu motorik kasar dan motorik PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 29 halus. Motorik kasar lebih melibatkan otot-otot besar pada anak-anak sehingga motorik kasar anak laki-laki lebih unggul daripada anak perempuan (Santrock, 2009). Sebaliknya, perkembangan motorik halus anak perempuan lebih unggul dibandingkan dengan anak laki-laki (Santrock 2009). a. Perkembangan Motorik ‘anak dengar’ Otot besar anak-anak yang menginjak usia 6-12 tahun sudah lebih kuat dibandingkan tahap usia sebelumnya. Hal ini membuat kemampuan motorik kasar mereka pun berkembang. Misalnya, mereka sudah mampu untuk adalah berlari, memanjat, bermain bulutangkis, dan bermain lompat tali. Motorik halus yang mampu dilakukan oleh anak berusia 6 tahun adalah mengikatkan tali sepatunya sendiri dan mengancingkan baju mereka. Saat mereka berusia 7 tahun mereka mampu untuk mewarnai menggunakan pensil warna. Hal ini disebabkan oleh tangan mereka yang sudah lebih ajeg sehingga mereka lebih memilih menggunakan pensil warna dibandingkan dengan krayon. Mereka juga mampu untuk mewarnai bidang yang lebih kecil. Menginjak usia 8 sampai 10 tahun anak-anak mampu untuk menulis huruf tegak bersambung dibandingkan dengan huruf cetak. Hal ini disebabkan kemampuan tangan mereka sudah lebih presisi sehingga lengkungan huruf atau ukuran tulisan sudah lebih kecil. Usia 11 sampai 12 tahun seorang anak mampu untuk membuat suatu kerajinan tangan yang lebih kompleks, misalnya membuat PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 30 keranjang telur paskah. Mereka juga sudah mampu untuk memainkan suatu alat musik. b. Perkembangan Motorik Anak Tunarungu Penjelasan di atas merupakan kemampuan yang mampu dilakukan oleh anak-anak usia 6-12 tahun yang tidak mengalami disfungsi apapun. Perkembangan motorik terhadap anak tunarungu memiliki perbedaan dengan „anak dengar‟. Menurut Gheysen, Loots, dan Waelvelde (2008) anak tunarungu mengalami kekurangan dalam keseimbangan, koordinasi dinamis umum (general dynamic coordination), kemampuan visual-motor, kemampuan menangkap bola, dan perbedaan yang jelas pada kecepatan perpindahan. Pertumbuhan tubuh dan otak antara anak tunarungu dengan „anak dengar‟ tidak ada perbedaan. Tubuh dan otak mereka berkembang sesuai dengan tahap usia mereka. Hal ini berbeda dengan perkembangan motorik yang dialami oleh anak tunarungu dan „anak dengar‟. Anak tunarungu mengalami keterlambatan dalam perkembangan motorik mereka. Wiegersma dan Van der Velde (dalam Gheysen, Loots, dan Waelvelde, 2008) mengatakan hal yang menyebabkan anak tunarungu mengalami keterlambatan adalah gangguan syaraf, disfungsi pendengaran, kekurangan rasa percaya diri, perlindungan dari orangtua yang berlebihan atau pengabaian orangtua sehingga anak tunarungu kekurangan rasa ingin tahu untuk mengeksplor lingkungannya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 31 3. Perkembangan Kognitif Perkembangan kognitif merupakan suatu perkembangan pikiran yang disadari oleh seseorang (Santrock, 2009). Salah satu perkembangan proses kognitif terkait fungsi eksekutif, bahasa, dan komunikasi adalah theory of mind (Marschark dan Hauser, 2012). Theory of mind adalah kesadaran seorang anak terhadap proses mental dirinya dan proses mental orang lain (Santrock, 2009). Menurut Marschark dan Hauser (2012) theory of mind merupakan kemampuan seorang anak untuk mengetahui pikiran orang lain, emosi orang lain, dan kepercayaan (belief) orang lain. Perkembangan theory of mind sangat penting untuk anak-anak dalam berkomunikasi, belajar, dan berinteraksi sosial. Perkembangan theory of mind pada anak-anak sangat bergantung pada efektivitas komunikasi dengan orangtua mereka. Selain itu, kemampuan orangtua untuk menjelaskan emosi dan keadaan kognitif seseorang dalam konteks sebab akibat (Marschark dan Hauser, 2012). Theory of mind juga membuat anak-anak belajar maksud dari orang lain yang mengatakan sesuatu secara tidak langsung. Misalnya, “anginnya kencang sekali” maksud yang sebenarnya adalah “tolong tutup jendelanya. Perkembangan theory of mind antara anak tunarungu dan „anak dengar‟ juga berbeda. Courtin (dalam Santrock, 2009) mengatakan bahwa anak tunarungu menunjukkan perkembangan yang tidak cukup baik pada tugas theory of mind mereka, terutama anak-anak tunarungu yang memiliki PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 32 „orangtua yang mendengar‟ (hearing parents). Marschark dan Hauser (2012) juga mengatakan bahwa anak tunarungu mengalami keterbelakangan dalam theory of mind dibandingkan dengan „anak dengar‟ seusianya. Selain theory of mind, intelegensi anak tunarungu juga sering dibedakan dengan „anak dengar‟. Inteligensi merupakan sebuah kemampuan untuk mengatasi masalah, beradaptasi, dan belajar dari suatu pengalaman (Santrock, 2009). Pada dasarnya anak tunarungu memiliki intelegensi yang sama dengan „anak dengar‟ (Furth dalam Efendi, 2006). Hambatan-hambatan inteligensi yang terjadi pada anak tunarungu disebabkan oleh pengalaman berbahasa. Anak-anak tunarungu mengalami kesulitan untuk menghubungan atau menarik sebuah kesimpulan (Somantri, 2007). Hambatan tersebut yang membuat anak tunarungu sering dilabel bodoh. Hal ini disebabkan inteligensi sering dikaitkan dengan pencapaian akademi seorang anak. Anak tunarungu memiliki kemampuan inteligensi yang setara dengan „anak dengar‟ akan tetapi disfungsi pendengaran yang dialami membuat mereka kesulitan memahami bahasa dan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk belajar. Mereka juga membutuhkan bantuan orangtua atau guru di sekolah untuk bisa mencapai prestasi akademik seperti „anak dengar‟. Hal ini tidak dirasakan oleh „anak dengar‟ karena mereka bisa belajar sesuai dengan tahap perkembangan mereka. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 33 4. Perkembangan Bahasa Perkembangan bahasa pada anak-anak yang „mendengar‟ dan pada anak tunarungu jelas berbeda. Anak-anak tunarungu membutuhkan waktu yang lebih lama untuk belajar berbahasa. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan yang dimilikinya (Marschark dan Spencer, 2003). Anak-anak tunarungu yang mengalami keterlambatan berbicara juga kesulitan untuk mengungkapkan emosi mereka secara verbal. Normalnya seorang anak akan mengalami fase reflexive vocalization (0-6 minggu), babbling (6 minggu-6 bulan), lalling (6 bulan-9 bulan), yargon (9 bulan-12 bulan), dan true speech (12 bulan- 18 bulan) (Smith dalam Efendi, 2006). Bagi anak tunarungu yang menderita gangguan pendengaran sejak lahir, fase perkembangan mereka terhambat pada fase babbling. Fase ini merupakan fase seorang anak mulai untuk mencoba merespon suaranya sendiri. Hal ini terhambat atau terhenti karena anak tunarungu tidak mampu untuk mendengar umpan balik dari suaranya sendiri maupun orang lain. Menurut Denmark (1994) anak tunarungu memiliki hambatan untuk belajar bahasa secara verbal karena mereka tidak mampu untuk mendengar ucapan mereka sendiri maupun ucapan orang lain. Hal ini justru salah satu cara seorang anak belajar untuk berbicara dan mulai mengenal bahasa. Keterbatasan anak-anak tunarungu untuk mendengar membuat mereka harus mengandalkan indera yang lainnya untuk belajar bahasa agar bisa berinteraksi dengan orang lain. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 34 Menurut Marschark dan Spencer (2003) yang termasuk dalam perkembangan bahasa anak tunarungu adalah: a. Fonologi Normalnya fonologi sudah berkembang sejak seorang anak berusia 1 tahun sampai 6 tahun (bagi anak-anak yang belajar bahasa inggris sebagai bahasa ibu). Hal ini tentu berbeda dengan anak-anak tunarungu. Sebuah studi dalam Marschark dan Spencer (2003) menemukan bahwa penguasaan fonem anak tunarungu terjadi lebih lambat dibandingkan dengan „anak dengar‟. Seiring meningkatnya jumlah kosakata seorang anak, maka dibutuhkan fonem yang lebih banyak dalam membantu mempertahankan perbedaan fonetik antara kosakata yang sudah dipelajari sebelumnya dengan kosakata yang baru. Anak tunarungu menguasai konsonan /p, b, m/ lebih awal dibandingkan /f,v/. Bagi anak-anak tunarungu ada beberapa fonem yang dikuasai lebih dulu dan ada beberapa fonem yang membutuhkan waktu yang lama untuk dikuasai. b. Morfologi dan Sintaks Morfologi merupakan stuktur bahasa yang lebih luas dibandingkan dengan fonologi. Morfologi mencakup morfem, suku kata, kosakata, frasa, dan kalimat. Kompleksitas struktur bahasa ini yang menjadi tolak ukur perkembangan bahasa yang dialami seorang anak (Marschack dan Spencer, 2003). PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 35 c. Kosakata Pada umumnya, anak-anak usia 6 tahun mampu untuk menguasai 14.000 kata dan anak usia 11 tahun mampu menguasai 40.000 kata (Santrock, 2009). Anak-anak tunarungu menguasai 12.000-18.000 kata saat mereka menginjak usia 18 tahun (Marschark dan Spencer, 2003). Menurut Jensema (dalam Efendi, 2006) anak-anak tunarungu yang beusia 8-10 tahun memiliki perbendaharaan kata yang setara dengan „anak-anak mendengar‟ dari awal TK hingga akhir kelas II SD. 5. Perkembangan Sosio-emosi Perkembangan sosio-emosi merupakan salah satu perkembangan yang memilih pengaruh terhadap interaksi sosial anak tunarungu selain perkembangan bahasa. Perkembangan sosio-emosi merupakan tahap kritis dan mendasar untuk mencapai kesuksesan kehidupan (Marschark dan Spencer, 2003). Umumnya, seorang anak pada fase ini mampu untuk mendeskripsikan diri mereka secara psikologis, misalnya mendeskripsikan sifat-sifat yang dimiliki. Anak-anak juga mampu untuk membandingkan diri mereka dengan sesamanya (Santrock, 2009). Sosio-emosi ini juga mampu untuk membantu seseorang untuk menyadari potensi diri yang dimiliki dan mencakup kemampuan serta kemauan untuk mempertimbangkan berbagai sudut pandang dalam melihat suatu realita. Menurut Santrock (2009) hal ini disebut dengan perspective PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 36 taking di mana seorang anak memiliki kemampuan untuk memahami perspektif, pikiran, dan perasaan orang lain. Disfungsi pendengaran yang dimiliki oleh anak tunarungu menjadi hambatan mereka untuk bisa memahami adanya perbedaan perspektif dari orang lain. Anak tunarungu yang berada pada masa tengah dan akhir anakanak masih memiliki egosentrisme yang tinggi dibandingkan dengan „anak dengar‟. Keterlambatan dalam perkembangan bahasa membuat anak tunarungu kesulitan untuk berinteraksi sosial dengan „anak dengar‟. Hal ini disebabkan oleh ketidakjelasan pengucapan anak tunarungu sehingga mereka sulit unutk memahami perasaan dan pikiran orang lain. Ketidakmampuan mereka untuk mendengar juga membuat mereka kesulitan untuk memahami bahasa lisan dari orang lain. Hal ini membuat anak-anak tunarungu sering menafsirkan segala sesuatu secara negatif atau salah menafsirkan sehingga mereka memiliki tekanan tersendiri terhadap emosinya. Keterbatasan pemahaman terhadap orang lain juga membuat mereka lebih sering bertindak secara agresif dan lebih sering merasa gelisah (Somantri, 2007). Anak tunarungu yang mengalami keterlambatan dalam perkembangan sosio-emosi mereka jelas memberikan dampak tersendiri bagi interaksi sosial mereka. Mereka mengalami kesulitan untuk berinteraksi dengan teman sebayanya baik yang mendengar maupun sesama yang tunarungu. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 37 D. Kerangka Konseptual Interaksi sosial akan terjadi apabila ada dua individu atau lebih yang sedang bersama dan melibatkan kontak sosial serta komunikasi. Interaksi sosial juga terjadi pada anak tunarungu dengan sesama anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Kontak sosial yang terjadi dalam interaksi keduanya akan melibatkan kesadaran dan emosi sehingga ada tindakan yang ditanggapi oleh orang lain. Kontak sosial tersebut akan digambarkan dari perilaku yang tampak antara anak tunarungu dengan sesama anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Selain kontak sosial, peneliti juga akan menggambarkan perilaku komunikasi antara anak tunarungu dengan sesama anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Komunikasi yang akan digambarkan memiliki dua jenis, yaitu komunikasi linguistik dan komunikasi nonlinguistik. Peneliti berharap melalui penelitian ini dapat menggambarkan perilaku kontak sosial dan komunikasi antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Gambaranperilaku yang tampak antara anak tunarungu dengan sesama anak tunarungu akan dibandingkan dengan gambaran perilaku antara anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Penjabaran kerangka konseptual akan tampak pada skema 1. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 38 Skema 1 Anak Tunarungu dengan Sesama Anak Tunarungu Kontak Sosial Anak Tunarungu dengan 'Anak Dengar' Anak Tunarungu dengan Sesama Anak Tunarungu Interaksi Sosial Komunikasi Linguistik Anak Tunarungu dengan 'Anak Dengar' Komunikasi Anak Tunarungu dengan Sesama Anak Tunarungu Komunikasi Nonlinguistik Anak Tunarungu dengan 'Anak Dengar' PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Desain Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan sebuah penelitian yang bersifat eksploratorik karena belum banyak kepustakaan yang menyediakan laporan penelitian yang sedang diteliti. Penelitian kualitatif juga melibatkan peneliti secara langsung untuk terjun ke lokasi partisipan yang mengalami masalah yang sedang diteliti. Bentuk dari data penelitian kualitatif dapat berupa hasil wawancara, hasil observasi, atau dokumen yang bisa menjawab tentang masalah yang diteliti (Creswell dalam Supratiknya, 2015). Penelitian ini akan menggunakan analisis isi kualitatif (AIK) untuk menafsirkan secara data teks secara subjektif dengan klasifikasi coding dan pengidentifikasian aneka tema dan pola (Hsieh & Shannon dalam Supratiknya, 2015). AIK merupakan metode yang bertujuan untuk menganalisis pesan-pesan komunikasi baik bersifat lisan, tertulis, atau visual (Elo & Kyngas dalam Supratiknya, 2008). Semua data berasal dari catatan observasi tentang gambaran tingkah laku anak tunarungu ketika berinteraksi dengan sesama tunarungu dan „anak dengar‟. Hasil observasi ini kemudian diberikan kode dan dikelompokkan ke dalam tema-tema sehingga dapat terlihat perilaku interaksi sosial keduanya. 39 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 40 B. Responden Penelitian Responden dalam penelitian ini adalah anak tunarungu yang berinteraksi dengan sesama anak tunarungu dan „anak dengar‟. „Anak dengar‟ yang dimaksud bisa dengan teman bermain di rumah atau dengan saudara yang bisa mendengar. Kemudian, anak tunarungu juga menderita ketulian sebelum mereka mengenal bahasa sehingga mereka mengalami kesulitan berkomunikasi secara verbal. Rentang usia sesama anak tunarungu atau anak dengar adalah 6 tahun sampai 12 tahun. Hal ini dikarenakan usia anak tunarungu dan kemampuan kognitif di sekolah tidak semuanya sama dengan „anak dengar‟. Mereka sudah berusia lebih tua akan tetapi masih duduk di kelas 3 atau kelas 4 SLB B. Selain itu, cara peneliti mendapatkan responden adalah membagikan informed consent kepada seluruh siswa dari kelas dasar 2 sampai dengan dasar 5. Informed consent yang kembali kemudian dikonfirmasi kepada orangtua apakah peneliti bisa datang ke rumah untuk melihat responden bermain. Bagi orangtua yang menyetujui maka peneliti akan menjadikan putra/i orangtua sebagai responden penelitian. Jumlah responden yang berpartisipasi dalam penelitian ini berjumlah 3 orang. Hal ini disebabkan dari 20 informed consent yang kembali hanya 3 orangtua yang mengijinkan peneliti untuk datang ke rumah. Ketiga subjek ini berusia 10 tahun dan dua diantaranya duduk di kelas dasar 3. Subjek lainnya duduk di kelas dasar 4. Data umum responden dapat dilihat pada tabel 2 di bawah ini. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 41 Tabel 2 Kode Usia Usia mulai tuli Jenis Penyebab Kelamin Ketulian R1 11 tahun 2 tahun Perempuan Tidak diketahui R2 11 tahun 2 tahun Laki-laki R3 11 tahun 2,5 tahun Perempuan Tidak diketahui Tidak diketahui C. Fokus Penelitian Bagian yang ingin dilihat pada penelitian ini adalah interaksi sosial antara sesama anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟ berdasarkan perilaku yang muncul. Perilaku-perilaku yang muncul akan dikelompokkan dalam kategori sehingga dapat menggambarkan bagaimana interaksi sosial pada sesama anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. D. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini dengan menggunakan teknik observasi. Observasi merupakan teknik pengamatan yang sistematis untuk memperoleh data yang tercermin melalui tingkah laku individu (Kusdiati dan Fahmi, 2015). Peneliti yang menggunakan teknik observasi akan disebut dengan observer. Observer memiliki beberapa tipe untuk mendapatkan data yang diinginkan, salah satunya adalah menjadi observer partisipan. Observer partisipan adalah keterlibatan peneliti secara langsung dalam proses pengambilan data. Dalam penelitian ini, peneliti/observer akan mengamati PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 42 subjek dari satu titik tertentu akan tetapi observer juga bisa berinteraksi langsung dengan subjek. Observasi memiliki beberapa cara untuk mencatat data-data yang diperoleh. Penelitian ini akan menggunakan teknik pencacatan naratif. Teknik pencacatan naratif adalah teknik mencatat semua perilaku yang muncul saat waktu observasi. Selain pencacatan secara tertulis, peneliti juga mendokumentasikan perilaku-perilaku yang muncul selama observasi sesuai dengan kriteria yang masuk dalam indikator yang ditentukan peneliti. Sebelum melakukan observasi, peneliti juga membuat daftar susunan perilaku yang akan dilihat pada saat observasi. Daftar susunan perilaku merupakan perkiraan perilaku apa saja yang akan tampak selama observasi berlangsung. Hal ini mengacu pada teori yang digunakan, yaitu komponen interaksi sosial (kontak sosial dan komunikasi). Daftar susunan perilaku akan dijabarkan dalam tabel 3 berikut ini: PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 43 Tabel 3 Aspek Kontak Sosial Komunikasi Linguistik Komunikasi Nonlinguistik Emblems Perilaku Anak tunarungu bertatap muka dengan sesama anak tunarungu atau „anak dengar‟. Anak tunarungu menatap mata sesama anak tunarungu atau „anak dengar‟. Anak tunarungu melihat kegiatan yang sedang dilakukan oleh sesama anak tunarungu atau „anak dengar‟. Anak tunarungu melihat anak tunarungu atau „anak dengar‟ yang sedang bermain. Anak tunarungu memberikan sapaan kepada sesama anak tunarungu atau „anak dengar‟ dengan melambaikan tangannya. Anak tunarungu menghampiri atau mendekati sesama anak tunarungu atau „anak dengar‟. Anak tunarungu melihat ke arah terjadinya sesuatu ke sesama anak tunarungu atau „anak dengar‟. Anak tunarungu menyampaikan pesan dengan menggerakkan bibir atau mulut kepada sesama tunarungu atau „anak dengar‟. Anak tunarungu menangkap pesan dengan melihat gerakan bibir atau mulut sesama anak tunarungu atau „anak dengar‟. Anak tunarungu menyampaikan pesan dengan abjad jari kepada sesama anak tunarungu atau „anak dengar‟. Anak tunarungu melambaikan tangan untuk memberikan tanda memanggil sesama anak tunarungu atau „anak dengar‟. Anak tunarungu memberikan sentuhan fisik kepada sesama anak tunarungu atau „anak dengar‟ untuk mengajak memanggil. Anak tunarungu memberikan tanda lambaian tangan ke arah kanan atau kiri untuk menandakan menyingkir. Anak tunarungu menunjuk arah atau tempat menggunakan tangannya atau jari telunjuk ketika ditanya tentang arah/tempat oleh sesama anak tunarungu atau „anak dengar‟. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 44 Illustrators Affects Regulators Adapters Anak tunarungu menyampaikan pesan dengan gerakan bibir disertai gerakan tangan kepada sesama anak tunarungu atau „anak dengar‟. Anak tunarungu memberikan senyum (melengkungkan bibirnya ke atas dan membentuk huruf U) kepada sesama tunarungu atau „anak dengar‟. Anak tunarungu yang tertawa ketika sedang bercengkrama dengan sesama tunarungu atau „anak dengar‟. Anak tunarungu yang melengkungkan bibirnya ke bawah (membentuk huruf U terbalik) untuk mengekspresikan kesedihan. Anak tunarungu mengekspresikan perasaan dengan melompat-lompat. Anak tunarungu mengekspresikan perasaan dengan menghentakkan kaki. Anak tunarungu menganggukkan kepala untuk menyetujui sebuah pendapat sesama anak tunarungu atau „anak dengar‟. Anak tunarungu menggelengkan kepala untuk menyanggah pendapat oleh sesama anak tunarungu atau „anak dengar‟. Anak tunarungu melambaikan tangan untuk menyanggah pendapat oleh sesama anak tunarungu atau „anak dengar‟. Anak tunarungu menggerakkan kaki atau tangan untuk menunjukkan perasan cemas. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 45 E. Proses Pengambilan Data Responden yang dapat berpartisipasi dalam penelitian ini merupakan anak tunarungu yang berinteraksi dengan sesama anak tunarungu dan berinteraksi juga dengan „anak dengar‟. Mereka juga berada dalam masa kanak-kanak akhir sehingga usia mereka masuk dalam rentang 6 – 12 tahun. Peneliti datang ke salah satu sekolah luar biasa B (khusus tunarungu) untuk meminta bantuan menemukan responden. Setelah pihak sekolah setuju apabila peneliti diijinkan untuk melakukna observasi disana, peneliti segera membuat informed consent yang akan dibagikan kepada calon responden dan disetujui oleh orangtua responden. Dari 40 kuesioner yang disebar, hanya ada 7 informed consent yang kembali kepada peneliti. Dari 7 informed consent yang kembali hanya 3 responden yang memenuhi kriteria. Setelah peneliti meminta ijin ke pihak sekolah, peneliti bertemu dengan orangtua calon responden untuk memperkenalkan diri, meminta ijin secara langsung, dan meminta ijin untuk merekam kegiatan. Setelah semuanya siap maka peneliti segera melakukan observasi di sekolah dan di rumah responden. Observasi di sekolah dilakukan pada saat jam istirahat ketika semua anak-anak bisa bermain dan berinteraksi dengan teman-temannya. Observasi di rumah dilakukan saat sore hari ketika responden melakukan kegiatan dengan „anak dengar‟. F. Metode Analisis Data Metode analisis data yang akan digunakan adalah analisis isi kualitatif (AIK) dengan pendekatan deduktif, yaitu Analisis Isi Terarah. Analisi Isi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 46 Terarah merupakan analisis yang tepat untuk digunakan dalam penelitian ini karena menggunakan hasil penelitian sebelumnya untuk menentukan skema awal pengkodean (Hsieh & Shannon dalam Supratiknya, 2015). Kategori pengkodean dalam penelitian ini dibuat oleh peneliti dengan menggunakan teori interaksi sosial dimana interaksi sosial terdiri dari dua komponen yaitu kontak sosial dan komunikasi. Kategori pengkodean dibagi menjadi 3 kategori besar, yaitu kontak sosial, komunikasi nonlinguistik, dan komunikasi linguistik. Kontak sosial merupakan hubungan antara individu atau kelompok yang menyadari keberadaan orang lain, bertemu secara visual, dan melibatkan emosi tertentu sehingga ada tindakan yang ditanggapi oleh orang lain. Lalu, komunikasi nonlingustik adalah komunikasi yang tidak melibatkan komunikasi secara oral. Komunikasi nonlinguistik diklasifikasikan lagi menjadi 5 jenis, yaitu emblems, illustrator, affect, regulator, dan adapters. Sedangkan komunikasi linguistik merupakan proses penyampaian pesan dengan gerakan bibir dan dipahami oleh satu sama lain. Penjabaran definisi dapat dilihat pada Tabel 4. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 47 Tabel 4 Kategori Sesama Anak Tunarungu Anak Tunarungu dengan ‘Anak Dengar’ Kontak Sosial Hubungan antara individu atau kelompok yang menyadari keberadaan orang lain, bertemu secara visual, dan melibatkan emosi tertentu sehingga ada tindakan yang ditanggapi oleh orang lain Penyampaian pesan dengan gerakan tangan atau tubuh tanpa ada kata-kata atau kalimat. Penyampaian pesan secara verbal disertai dengan gerakan tangan atau tubuh untuk memperjelas pesan. Bentuk ungkapan perasaan yang sedang dialami dan ditunjukkan melalui mimik wajah. Perilaku anak yang membantu untuk memberikan klarifikasi ketika sedang berinteraksi. Contohnya, anggukkan kepala. Salah satu perilaku yang membantu dalam manajemen interaksi atau mengekspresikan perasaan. Misalnya, gerakan kaki untuk mereduksi perasaan cemas. Proses penyampaian pesan dengan gerakan bibir. Hubungan antara individu atau kelompok yang menyadari keberadaan orang lain, bertemu secara visual, dan melibatkan emosi tertentu sehingga ada tindakan yang ditanggapi oleh orang lain Komunikasi Nonlinguistik Emblems Illustrator Affect Regulator Adapters Komunikasi Linguistik Penyampaian pesan dengan gerakan tangan atau tubuh tanpa ada kata-kata atau kalimat. Penyampaian pesan secara verbal disertai dengan gerakan tangan atau tubuh untuk memperjelas pesan. Bentuk ungkapan perasaan yang sedang dialami dan ditunjukkan melalui mimik wajah. Perilaku anak yang membantu untuk memberikan klarifikasi ketika sedang berinteraksi. Contohnya, anggukkan kepala. Salah satu perilaku yang membantu dalam manajemen interaksi atau mengekspresikan perasaan. Misalnya, gerakan kaki untuk mereduksi perasaan cemas. Proses penyampaian pesan dengan gerakan bibir. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 48 G. Verifikasi Penelitian 1. Validitas Menurut Creswell (dalam Supratiknya, 2015) ada beberapa strategi yang dapat digunakan untuk menguji validitas sebuah penelitian. Salah satu strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah berada dalam jangka waktu yang panjang di lapangan. Strategi ini dapat mengembangkan pemahaman yang mendalam tentang fenomen yang diteliti sehingga dapat memberikan informasi yang rinci. Informasi tersebut berupa lokasi penelitian dan partisipan. Hal ini juga dapat mendukung strategi validitas bias. Bias merupakan proses menguraikan kemungkinan bias yang dibawa oleh peneliti dalam bentuk refleksi diri yang jujur. Selain itu, peneliti juga menggunakan strategi thick description atau deskripsi mendalam. Validitas ini memaparkan temuan dengan sangat rinci tentang lingkungan penelitian serta mendeskripsikan penelitian dari berbagai sudut pandang. 2. Reliabilitas Reliabilitas yang digunakan adalah reliabilitas interobserver. Reliabilitas intraobserver adalah melihat adanya konsistensi dan stabilitas dalam pencatatan yang dilakukan oleh lebih dari satu observer. Observer akan mengamati subjek yang sama, dalam waktu yang bersamaan, dan format pencatatan yang sama (Kusdiyati dan Fahmi, 2015). Dalam penelitian ini yang akan berperan sebagai observer adalah peneliti dan rekan peneliti. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Responden Penelitian 1. Responden 1 (R1) Responden 1 adalah seorang anak laki-laki yang berusia 11 tahun. Saat ini, ia duduk di kelas 3 Sekolah Dasar Luar Biasa. Responden 1 menyandang tunarungu sejak ia berusia 2 tahun. Kedua orangtua responden tidak mengetahui pasti penyebab disabilitas yang menimpa responden. Informasi yang didapat dari orangtuanya, kelainan tersebut mulai diketahui ketika Responden 1 menderita panas tinggi hingga kejang-kejang. Sejak saat itu Responden 1 tidak mampu untuk merespon suara. Tingkat pendengaran Responden 1 masuk dalam kategori profoundly losses dengan intensitas bunyi sebesar 110 dB. Responden 1 menyandang disabilitas tersebut sebelum ia mengenal bahasa. Responden 1 berinteraksi dengan teman-teman sesama tunarungu saat Akan tetapi, di lingkungan rumah, Responden 1 berinteraksi dengan anak-anak seusianya yang tidak menyandang disabilitas. 2. Responden 2 (R2) Responden 2 merupakan seorang anak perempuan yang berusia 11 tahun. Saat ini, Responden 2 duduk di kelas 3 Sekolah Dasar Luar Biasa. Responden 2 didiagnosa menyandang disabilitas tunarungu saat ia berusia 2 tahun. Penyebab pastinya tidak diketahui oleh kedua orangtuanya. 49 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 50 Perubahan Responden 2 terasa saat Responden 2 tidak mampu merespon panggilan orangtuanya. Responden 2 tidak mampu merespon suara yang ada sebelum ia mengenal bahasa. Awalnya Responden 2 pernah terjatuh dan terjadi benturan di kepalanya. Saat itu, Responden 2 baik-baik saja sampai tiba-tiba ia tidak mampu merespon suara. Tingkat pendengaran responden 2 masuk dalam kategori profound losses dengan intensitas bunyi sebesar 110 dB. Saat di sekolah Responden 2 berinteraksi dengan teman-temannya sesama tunarungu. mereka menggunakan bahasa yang mereka pahami bersama. Sedangkan di lingkungan rumah, Responden 2 berinteraksi dengan teman-teman sebaya yang tidak memiliki disabilitas seperti Responden 2. Ia berinteraksi dengan „anak-anak dengar‟ saat mengikuti kegiatan di lingkungan rumah. 3. Responden 3 (R3) Responden 3 adalah seorang anak perempuan berusia 11 tahun. Ia duduk di kelas 4 Sekolah Dasar Luar Biasa. Responden 3 kehilangan fungsi pendengarannya sejak ia berusia 2,5 tahun. Ia kehilangan fungsi pendengaran sebelum ia mengenal bahasa. Tingkat pendengaran responden masuk dalam kategori profoundly losses dengan intensitas bunyi 120 dB. Selain itu, penyebab Responden 3 menyandang tunarungu tidak diketahui. Responden 3 tiba-tiba saja tidak merespon suara orangtuanya dan mengalami keterlambatan bicara. Ia tidak mengalami jatuh atau panas tinggi seperti dua responden sebelumnya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 51 Saat ini, Responden 3 duduk di kelas 4 Sekolah Dasar Luar Biasa. Responden 3 berinteraksi dengan sesama tunarungu ketika berasa di lingkungan sekolah. Ketika di lingkungan rumah, Responden 3 berinteraksi dengan teman-teman sebayanya yang tidak menyandang disabilitas. Mereka berinteraksi ketika sdang ada acara khusus, seperti mengaji saat bulan Ramadhan. Selain itu, ia berinteraksi dengan adiknya yang memenuhi kriteria „anak dengar‟. B. Pelaksanaan Penelitian Pengambilan data dilakukan sejak 25 April 2016 hingga 30 Mei 2016. Rentang waktu ini merupakan rentang waktu pengambilan data untuk ketiga responden. Observer datang setiap hari ke sekolah untuk melakukan pendekatan sekaligus pengamatan di sekolah. Setiap hari observer mengamati 1 responden. Observer datang dari pagi hari jam 10.00 hingga jam 14.00 untuk mengamati lingkungan dan berdinamika dengan responden. Pengambilan data dilakukan pada saat jam istirahat sekolah sehingga tidak mengganggu kegiatan belajar mengajar. Pengambilan data saat di sekolah berlangsung pada pukul 12.00 WIB hingga pukul 13.00. Waktu ini merupakan saat istirahat siang responden di sekolah yang cukup lama. Biasanya mereka mengawali istirahat dengan makan siang bersama, shalat berjamaah, dan dilanjutkan dengan menghabiskan waktu bersama teman-teman. Selama observasi berlangsung, observer dan rekan observer harus berpindah-pindah tempat untuk mengamati responden. Hal ini disebabkan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 52 tempat yang bersekat-sekat dan tidak memungkinkan untuk mengamati kegiatan responden. Selain itu, responden juga menyadari kehadiran kamera yang sedang merekam kegiatan mereka. Terkadang responden justru memperhatikan kamera daripada bermain dengan teman-temannya. Ada pula siswa lain yang menganggu dengan meminjam kamera yang sedang digunakan atau berdiri di hadapan lensa sehingga menutupi perilaku responden. Setelah melakukan pengambilan data di sekolah, observer melanjutkan mengamati kegiatan para responden ketika di lingkungan rumah. Pengamatan dilakukan bertepatan dengan bulan Ramadhan sehingga setiap sore responden 1 dan responden 2 mengikuti kegiatan TPA di masjid. Pengamatan dilakukan dari pukul 16.30 WIB hingga pukul 17.45 WIB. Hal ini berbeda dengan responden 3 yang hanya berkegiatan di rumah bersama adiknya. Ketika pengambilan data berlangsung di lingkungan rumah, observer datang sekitar pukul 16.00 WIB. Hal ini disebabkan responden baru pulang sekolah pukul 15.00 WIB. Selama di rumah responden, observer mengamati kegiatan untuk persiapan TPA kemudian berangkat ke masjid bersama responden. Lingkungan di masjid sangat ramai dengan anak-anak seusia responden akan tetapi mereka jarang yang berinteraksi dengan responden. Terkadang responden juga kesulitan memahami pesan yang disampaikan teman-temannya secara verbal. Kesulitan komunikasi yang dialami oleh responden justru menjadi distraksi bagi observer. Selama melakukan pengamatan saat di masjid, responden banyak membutuhkan bantuan observer atau orang lain untuk PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 53 berkomunikasi dengan „anak dengar‟. Sesekali observer membantu untuk menterjemahkan pesan yang disampaikan kepada anak tunarungu oleh „anak dengar‟ dan begitu pun sebaliknya. Hal ini menjadi distraksi observer ketika sedang melakukan pengamatan. Pengamatan responden 3 dilakukan di rumahnya ketika sedang bermain bersama adiknya. Observer datang pada malam hari karena rumah subjek yang cukup jauh dan jam pulang sekolah yang hampir sore. Ketika observer datang, responden sedang bercengkrama dengan keluarganya. Responden terlihat malu-malu dan memilih untuk menemani adiknya. C. Hasil Penelitian 1. Kontak Sosial a. Anak Tunarungu dengan Sesama Anak Tunarungu Berdasarkan hasil observasi, kontak sosial yang terjadi antara anak tunarungu dengan sesamanya melibatkan kesadaran responden dan kontak fisik, serta adanya ajakan interaksi. Kesadaran akan kehadiran orang lain tampak pada perilaku R1 yang menghampiri teman-temannya untuk memberitahukan kedatangan teman yang lain. “Ketika jam istirahat R1 melihat ada teman lamanya yang datang dan duduk di samping sekolah.” “R1 menghampiri temannya yang berada di aula.” Perilaku lain tampak pada perilaku R2 yang melihat temannya sedang menangis. “Setelah R2 melihat temannya menangis, tidak lama ibu guru datang untuk bertanya ada apa.” PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 54 Perilaku berbeda tampak dari R3 yang menyadari kehadiran sesama anak tunarugu dengan berbagi makanan yang dimiliki. “Lalu, R3 mengambil 2 wafer dan membagikan wafernya pada teman yang lain.” Setelah menyadari kehadiran sesama anak tunarungu, para responden menyadari kegiatan yang dilakukan oleh sesama anak tunarungu. R1 memperhatikan temannya yang sedang bermain game pada tabnya. “R1 berdiri di samping temannya sambil menyilangkan tangannya di dada dan melihat temannya yang sedang bermain game di tab tersebut.” R2 dan R3 memperhatikan teman-temannya yang sedang bermain tebaktebakan dan bola kertas. “Lalu, R2 duduk dan melihat teman-temannya yang sekarang bermain tebak-tebakan.” “Selama itu sambil duduk, R3 juga melihat kakak kelas dan teman-teman sebaya yang laki-laki ketika mereka sedang bermain bola.” Ketiga responden menyadari bahwa mereka sedang direkam dengan kamera sehingga mereka beberapa kali melihat ke arah kamera. Hal ini tampak pada: “R1 juga sesekali melihat ke arah kamera.” “R2 juga terkadang melihat ke arah kamera.” “R3 juga sempat melihat ke arah kamera.” Kemudian, R2 dan R3 juga menyadari kepemilikan sebuah benda. Hal ini tampak pada perilaku R2 yang mengembalikan sebuah benda kepada temannya. Sedangkan perilaku R3 tampak ketika ia PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 55 memperhatikan ponsel milik temannya. Akan tetapi perilaku ini tidak tampak pada R1. “Saat di tangga R2 memegang sesuatu dan dikembalikan kepada temannya yang lebih kecil.” “Kemudian, R3 juga melihat ke arah HP temannya.” Ketiga responden tidak hanya sadar akan kehadiran sesama tunarungu atau kegiatan sesama tunarungu. Responden juga sadar akan lingkungan atau situasi yang ada di sekitarnya. “Kemudian R1 berjalan-jalan kecil dan hanya melihat sekitarnya.” “Kemudian R2 mengamati teman-teman di sekililingnya sambil bertopang dagu.” “R3 sempat melihat ke arah pintu masuk.” Selain melibatkan kesadaran, kontak sosial juga melibatkan kontak fisik yang tampak pada tatapan wajah dan sentuhan fisik. Perilaku menatap wajah sesama anak tunarungu lain tampak pada: “Kemudian, R1 berhadapan dengan teman yang berada pada urutan terakhir.” “Sampai di depan kelasnya R2 menatap wajah temannya yang mengajaknya berkomunikasi.” “Sambil makan R3 melihat wajah dan gerakan tangan teman di hadapannya yang sedang berbicara.” Sedangkan perilaku yang melibatkan sentuhan fisik tampak pada: “R1 berbicara sambil dirangkul oleh temannya.” “R2 berjalan mundur dan tidak sengaja langkahnya terkena lutut temannya yang sedang duduk.” “R3 juga makan sambil bersandar dengan temannya dengan meletakkan siku R3 di atas lutut temannya di sampingnya.” R1 juga sadar akan adanya ajakan interaksi. Perilaku ini tampak pada: “R1 juga menghampiri teman yang memanggilnya.” PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 56 b. Anak Tunarungu dengan ‘Anak Dengar’ Kontak sosial yang terjadi antara anak tunarungu dengan „anak dengar‟ juga melibatkan kesadaran, kontak fisik, serta adanya ajakan interaksi. Kesadaran yang terlibat adalah kesadaran akan kehadiran „anak dengar‟, sadar akan kegiatan „anak dengar‟, dan sadar akan lingkungan/situasi. R1 sadar akan kehadiran „anak dengar‟ ketika ia bertemu dengan „anak dengar‟. “Disana R1 bertemu dengan anak kecil yang tadi bermain dengannya.” Sedangkan R2 duduk bersama „anak dengar‟ dan R3 mendekati „anak dengar‟. “Seperti biasa, R2 datang ke masjid lebih awal daripada temantemannya.Sesampainya di masjid R2 duduk di dekat 2 orang temannya.” “Kemudian R3 mendekati kardus mainan dan adiknya.” Mereka juga menyadari kegiatan yang dilakukan oleh „anak dengar‟.Misalnya, R1 yang melihat adik kecil yang sedang makan. “Kemudian R1 kembali melanjutkan makan sambil melihat adik kecil yang juga makan di sampingnya.” Ada juga R2 yang melihat teman-temannya berkejar-kejaran dan R3 yang melihat adik yang sedang bermain keyboard. “Lalu R2 sempat melihat ke arah temannya yang sedang berkejarkejaran.” “R3 berdiri di sebelah adiknya yang sedang bermain keyboard.” Dari ketiga responden, hanya R1 yang sadar akan lingkungan/situasi. R1 melihat-lihat sekitarnya ketika sedang mengikuti kegiatan TPA. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 57 “Setelah itu R1 hanya berdiri dan melihat sekelilingnya.” Dari ketiga responden, hanya R3 yang melibatkan tatap wajah dengan „anak dengar‟ ketika sedang bersama. “R3 bergantian melihat wajah adiknya dan kardus yang dipegang adiknya.” Ajakan interaksi tampak pada R1 yang mengajak seorang „anak dengar‟ yang berusia lebih muda untuk berkomunikasi dengan menampilkan ekspresi-ekspresi lucu. “Kemudian R1 menghampiri balita tersebut dan menggoyang-goyangkan pinggulnya sambil berekspresi lucu (membuka mulutnya lebar dan berkedip-kedip).” Pada R2, justru ia yang diajak berinteraksi terlebih dahulu oleh „anak dengar‟. “Tidak lama satu per satu teman R2 datang ke masjid.Ada satu temannya yang mendekati R2 dan bertanya sesuatu kepada R2.” Akan tetapi, ajakan interaksi tidak tampak pada R3. 2. Komunikasi a. Komunikasi Linguistik 1) Anak Tunarungu dengan Sesama Anak Tunarungu Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan tiga bentuk komunikasi linguistik, yaitu melafalkan pesan, menangkap pelafalan pesan, dan berkomunikasi dengan abjad jari. R2 dan R3 menyampaikan pesan kepada sesama anak tunarungu dengan menggerakkan mulut/bibir mereka. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 58 “R1 bertanya kepada temannya dengan cara menunjuk tab tersebut sambil menggerakkan mulutnya.” “R2 diminta untuk memberikan jawaban dan R2 menatap wajah temannya sambil menggerakan mulutnya untuk memberikan jawaban.” “R3 banyak menghabiskan waktu dengan bercerita kepada T bahkan terkadang sampai menutupi mulut dan berbisik kepada T.” Selain menyampaikan pesan, R1, R2, dan R3 juga menangkap pesan dengan gerakan bibir. Misalnya, R1, R2, dan R3 melihat teman yang sedang berbicara. “R1 melihat teman yang sedang berbicara sambil menyilangkan tangannya di belakang badan.” “Lalu, R2 berdiri sambil melihat temannya yang berbicara.” “R3 juga melihat gerakan mulut teman.” Selain menggerakkan bibir untuk menyampaikan dan menangkap pesan, ketiga responden juga menggunakan bahasa isyarat berupa abjad jari untuk berkomunikasi secara verbal.R1 dan R3 menyampaikan pesan dengan gerakan abjad jari. “R1 menyampaikan pesan dengan cara membentuk abjad-abjad dengan tangannya dan mulutnya ikut melafalakan.” “R2 melihat wajah temannya sambil berbicara dengan menggerakan jarinya membentuk abjad” “R3 juga membentuk abjad dengan jari-jarinya ketika berkomunikasi.” 2) Anak Tunarungu dengan ‘Anak Dengar’ Komunikasi linguistik antara anak tunarungu dengan „anak dengar‟ terdapat tiga perilaku. Perilaku tersebut adalah melafalkan pesan, menangkap pelafalan pesan, dan menuliskan pesan. Melafalkan pesan tampak pada kegiatan R1 yang sedang mengajari „anak dengar‟ bahasa isyarat dengan melafalkan abjad. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 59 “R1 mengajari sambil tersenyum dan melafalkan huruf-huruf tersebut dengan gerakan mulutnya.” Menangkap pelafalan pesan tampak pada R2 yang dihampiri dan diajak berbicara oleh „anak dengar‟. Selain itu, R3 juga melihat gerakan bibir adiknya. “Lalu temannya mengajak berbicara sambil menunjukkan buku yang dipegangnya dan R2 mencondongkan badannya untuk melihat.” “R3 melihat gerakan mulut adiknya kemudian melihat ke arah ibunya.” Ketika „anak dengar‟ tidak memahami pesan yang disampaikan oleh anak tunarungu, ia mencoba untuk menuliskan pesan. Hal ini tampak pada R2 yang menuliskan pesan di lantai menggunakan jari tangannya. “R2 juga mencoba menggunakan bahasa isyarat dan mencoba menuliskan di lantai menggunakan jarinya.” b. Komunikasi Nonlinguistik Komunikasi nonlinguistik juga merupakan bagian dari komunikasi. Hal ini tampak dalam kebersamaan antara anak tunarungu dengan sesama anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. 1) Anak Tunarungu dengan Sesama Anak Tunarungu Emblems merupakan perilaku pengganti kalimat atau pesan yang akan disampaikan. Berdasarkan hasil penelitian, emblems tampak dalam menyampaikan pesan dengan lambaian tangan, menyampaikan pesan dengan sentuhan fisik, menyampaikan pesan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 60 dengan tindakan langsung, menyampaikan pesan dengan simbol, menyampaikan pesan dengan peragaan, dan menunjuk pesan yang dimaksud. Menyampaikan pesan dengan lambaian tangan tampak pada perilaku R1 yang akan memanggil teman. “R1 memanggil teman-temannya melambaikan tangannya” yang lain dengan cara Cara yang sama untuk menyampaikan pesan yang berbeda tampak pada perilaku R2. R2 melambaikan tangannya untuk mengatakan bergeser kepada temannya. “R2 menginstruksikan ke teman-temannya untuk bergeser menggunakan tangannya kemudian melanjutkan bermain” R3 melambaikan tangannya untuk mengajak temannya pergi. “R3 tersenyum dan melambaikan tangannya untuk mengajak temannya mengikutinya.” Cara lain untuk menyampaikan pesan adalah dengan melibatkan sentuhan fisik. Cara ini biasanya digunakan R1, R2, dan R3 untuk memanggil temannya. R1, R2 dan R3menepuk pundak untuk memanggil temannya. “R1 menepuk pundak temannya yang sedang bermain dan bertanya bagaimana cara memainkannya.” “R2 hanya ditanggapi sesekali oleh teman-temannya sehingga ia menepuk pundak dan menarik lengan temannya karena tidak melihat dirinya.” “Selama bercengkrama dengan temannya, R3 terlihat beberapa kali menepuk bahu temannya untuk memanggil dan mengajak berbicara.” PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 61 Setelah lambaian tangan dan sentuhan fisik, responden juga menyampaikan pesan dengan tindakan langsung, seperti R1 yang memegang bahu teman dengan maksud jangan pergi. “R1 memegang bahu temannya untuk menahan temannya agar tidak pergi.” R2 terlihat menarik baju temannya agar temannya kembali pada posisinya. “R2 juga menarik baju temannya agar temannya kembali mundur ke posisinya.” R3 tampak menjulurkan tangannya untuk mengambil kertas yang dibagikan. “R3 menjulurkan tangannya untuk mengambil kertas yang dibagikan.” Setelah itu, responden menyampaikan pesan dalam bentuk simbol. R1 menempelkan jari telunjuknya di bibir untuk mengatakan diam kepada temannya. “Kemudian R1 juga berbalik badan dan meminta temannya untuk diam dengan menempelkan jari telunjuknya di bibirnya.” R2 menunjukan angka-angka dengan jarinya. “R2 menunjuk temannya sambil tertawa-tawa dan seperti menghitung karena jari-jari R2 menunjukkan angka 1 sampai 3.” R3 tampak mengangkat jempol atau kelingkingnya. “R3 sesekali mengangkat jempol atau kelingkingnya untuk menandakan bahwa ia setuju.” PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 62 Setelah itu, responden juga menyampaikan pesan dengan peragaan. Hal ini tampak pada perilaku R1 yang memperagakan kegiatan memompa. “R1 menggerakkan kedua tangannya dan menirukan gerakan orang yang sedang memompa.” R3 juga memperlihatkan penyampaian pesan dengan peragaan. Hal ini tampak ketika R3 memperagakan kegiatan bermain computer. “R3 memperagakan seperti bermain computer dan menggerakkan tangannya untuk menyampaikan pesan.” Penyampaian pesan dengan peragaan hanya tampak dalam perilaku R1 dan R3. Hal in justru tidak tampak pada R2. Selain dengan gerakan tangan atau tubuh, sering pula responden menunjuk pesan yang dimaksud. Misalnya, R1 menunjuk dirinya untuk menyampaikan pesan terkait dirinya. “Lalu, ada teman R1 yang menunjuk-nunjuk kamera, R1 tersenyum kepada temannya dan menunjuk dirinya dengan jari telunjuk yang di arahkan ke dadanya.” R3 juga tampak menunjukkan pesan dengan menunjuk rambut dan menggaris poni. “R3 juga menunjuk rambutnya dan menggaris dahinya dengan telunjuknya untuk menyampaikan tentang poni.” Selanjutnya adalah illustrators. Illustrator adalah sebuah perilaku yang tampak untuk mempertegas pesan yang disampaikan. Berdasarkan hasil observasi ditemukan bahwa ketiga responden menyertakan gerakan tangan/jari dan menangkap pesan verbal yang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 63 disertai gerakan tangan/jari. Menyertakan gerakan tangan/jari tampak pada perilaku R1 yang menurunkan jari-jari tangan seperti berhitung. “R1 berbicara dengan 2 orang teman yang berada di sampingnya dengan melihat wajah dan gerakan tangannya.R1 juga menggerakkan tangannya seperti orang menghitung karena R1 menurunkan jarinya satu per satu.” R2 tampak menunjuk wajah teman sambil berbicara dan R3 menggerakkan mulut disertai gerakan tangan. “R2 terlihat menunjuk wajahnya ketika sedang berbicara dengan seorang temannya.” “R3 O berbincang dengan temannya sambil memegang botol minumnya, melafalkan pesan, dan menggerakkan tangannya seperti mengibas-ngibaskan.” Adapula penyampaian pesan yang disertai dengan gerakan tubuh. Hal ini hanya tampak pada R1 dan R3, sedangkan pada R2 tidak tampak. Perilaku R1 yang menyertakan gerakan tubuh adalah menyampaikan pesan disertai peragaan kegiatan. “Kemudian R1 berjalan menjauh, bercakap-cakap dengan temannya sambil menggerakkan tangan dan mulutnya.R1 memperagakan seseorang yang sedang makan dan ditunjukkan kepada temannya.” Sedangkan R3 memberikan contoh cara berjalan saat menyampaikan pesan. “Mereka membicarakan tentang tarian karena R3 memberikan contoh cara berjalan seperti model dan beberapa gerakan seperti menari.” Setelah emblems dan illustrators, ada yang disebut dengan affects atau ungkapan perasaan. Affects muncul dalam dua bentuk PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 64 yaitu mimik wajah dan perilaku. Ketiga responden memunculkan ungkapan perasaan mimik wajah dengan tersenyum dan tertawa. “R1 tersenyum ketika melihat temannya menyampaikan pesan.” “R2 memperhatikan temannya yang sedang bernyanyi sambil tersenyum.” “R3 juga tersenyum ketika menyampaikan pesan.” Ungkapan perasaan tertawa tampak pada: “R1 tertawa-tawa dengan membuka lebar mulutnya ketika melihat temannya datang.” “R2 tertawa-tawa dengan membuka lebar mulutnya dan mengeluarkan suara.” “R3 tertawa-tawa dan mengangkat botol minumnya.” Selain tersenyum dan tertawa, ada pula ungkapan perasaan lain yang hanya muncul pada masing-masing responden. Misalnya, R1 yang matanya sayu, bibir yang dilengkungkan ke bawah, dan menangis. “Matanya terlihat sayu dan bibirnya di lengkungkan ke bawah.Kemudian R1 ditanya oleh temannya yang naik tangga kenapa menangis. R1 terdiam dan menghapus air matanya dengan tangannya.” Kemudian, R2 menunjukkan perasaan bingung dengan mengerutkan dahi. “R2 juga mengerutkan dahi ketika berbicara dengan teman yang ada di sampingnya dan berjalan keluar sambil berbicara dengan temannya.” Lalu, R3 menunjukkan perasaan kesal dengan raut wajah yang ditekuk. “R3 juga menunjukkan sikap pura-pura kesal dengan ekspresi wajah muka yang ditekuk tidak lama kemudian ia tersenyum kepada temannya.” PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 65 Ada pula ungkapan perasaan yang tampak pada perilaku responden. R1 tampak berpura-pura akan terjatuh ketika didorong kakak kelasnya. Selain itu, R1 juga berteriak dan melompat-lompat kecil. “R1 didorong pelan oleh kakak kelasnya dan mengayunkan tangannya ke depan seakan-akan akan terjatuh.” “R1 melompat-lompat kecil dan tersenyum sambil berpindahpindah tempat di aula sekolah.” “R1 bersandar pada pagar kayu di dekatnya sambil memainkan jari telunjuknya. Mereka seperti tidak sependapat tentang jam tarawih.” Ungkapan perasaan melalui perilaku yang tampak pada R2 adalah menggaruk-garuk kepala, menari-nari, dan menghentakkan kaki. “Kemudian R2 melanjutkan pembicaraan dengan temannya sambil menggaruk-garuk kepalanya.” “R2 menari-nari ketika menunggu untuk dipanggil dan I memegang kedua telinganya.” “R2 mengerutkan dahi, menghentakan kaki dan mencubit tangan teman laki-laki yang datang.” Ungkapan perasaan dengan menari-nari juga tampak pada R3. “Kemudian R3 menari-nari dan melihat ke arah temannya.” R3 terlihat menundukkan kepala dan menutupi wajahnya. “R3 juga sempat menundukkan kepalanya dan menutup wajahnya dengan tangannya ketika berbicara.” Lalu, ada yang disebut dengan regulators. Regulators merupakan perilaku yang tampak untuk mengklarifikasi pesan, baik benar atau salah, setuju atau tidak setuju. Selain itu, penyampaian pesan melalui kontak mata juga masuk dalam regulators. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 66 Berdasarkan hasil penelitian, regulators yang tampak adalah melambaikan tangan untuk menyanggah, menganggukkan kepala, menggelengkan kepala, dan menyampaikan pesan dengan kontak mata. Melambaikan tangan untuk menyanggah pesan tampak dalam perilaku ketiga responden. “R1 juga melambaikan tangan untuk mengatakan tidak dan berteriak sambil mengangkat tangan.” “Setelah temannya menangkap bola R2 melambaikan tangan menyatakan “bukan begitu” kemudian memberikan contoh bagaimana posisi tangan untuk menangkap bola.” “R3 juga melambaikan tangan menandakan tidak.” Menganggukan kepala hanya tampak pada perilaku R2 dan R3. “R2 sambil memegang buku. R2 bercerita dengan menggerakan tangan dan menganggukan kepala” “R3 setuju dengan pesan yang disampaikan temannya karena ia menganggukkan kepala sambil menggerakkan tangannya juga.” Sebaliknya, menggelengkan kepala hanya tampak pada perilaku R1 dan R3.R1 mengatakan tidak dengan menggelengkan kepala. “Beberapa kali R1 menggelengkan kepala untuk mengatakan tidak setuju dan melambaikan tangannya untuk mengatakan tidak. R1 kembali menunjukkan jari-jarinya tentang jam tarawih.” “R3 juga menggelengkan kepala kepada teman yang ada di hadapannya.” Penyampaian pesan dengan kontak mata hanya tampak pada perilaku R2 yang menunjuk pesan dengan kontak mata. “R2 lalu menepuk kaki temannya dan menunjuk sesuatu dengan kontak mata.” PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 67 Ada pula yang disebut dengan adapters akan tetapi hal ini tidak tampak pada perilaku ketiga responden. 2) Anak Tunarungu dengan ‘Anak Dengar’ Komunikasi nonlinguistik juga terjadi antara anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Bentuknya pun sama, yaitu emblems, illustrators, affects, regulators, dan adapters. Emblems yang muncul dari hasil observasi adalah menyampaikan pesan dengan lambaian tangan, menyampaikan pesan dengan sentuhan fisik, menyampaikan pesan dengan tindakan langsung, menyampaikan pesan dengan simbol, menyampaikan pesan dengan peragaan, dan menunjuk pesan yang dimaksud. Menyampaikan pesan dengan lambaian tangan tampak pada R2. R2 memanggil temannya dengan lambaian tangan sedangkan R3 dipanggil dengan lambaian. “Lalu R2 melambaikan tangan ke arah anak kecil tersebut ketika anak tersebut mendekat.” “Lalu, adiknya memanggil R3 dengan menggerakan tangannya di depan wajah R3.” Lalu, menyampaikan pesan dengan sentuhan fisik tampak pada R1, R2, dan R3. R1 dipanggil oleh „anak dengar‟ dengan menepuk lutut. “R1 juga dipanggil oleh teman yang lain dengan cara siku temannya disentuhkan ke lutut R1. ” PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 68 R2 tampak menepuk lengan dan menepuk kaki „anak dengar‟. “Lalu teman di depan R2 tidak sengaja menyenggol hidung R2 dan reaksi R2 menepuk lengan temannya beberapa kali sambil memegang hidungnya.” R3 memanggil „anak dengar‟ dengan menepuk tangan. “Setelah itu R3 melihat adiknya dan menepuk tangan adiknya.” Kemudian, ada perilaku menyampaikan pesan dengan tindakan langsung. Hal ini tampak dari R1 yang meminta „anak dengar‟ untuk duduk dengan memegang kakinya. R2 juga menyampaikan pesan dengan cara mendorong teman dengan sikutnya dan R3 menarik baju „anak dengar‟. “Kemudian, R1 mengajarkan bahasa isyarat berdiri, kemudian ada temannya yang berdiri.R1 tertawa dan memegang belakang lutut temannya untuk membuat temannya duduk kembali.” “Lalu anak laki-laki di belakang R2 agak maju ke depan dan dekat dengan R2. R2 agak mendorong anak tersebut dengan menggunakan sikunya” “R3 juga menarik baju adiknya agar duduk di sampingnya” Selain itu penyampaian pesan dengan menggunakan simbol hanya tampak pada R1 yang mengibaskan tangannya sebagai tanda untuk bergeser. “Setelah itu, R1 menepuk lutut temanya yang sedang duduk dan mengibaskan tangannya untuk meminta temannya bergeser.” Lalu, R1 dan R2 menyampaikan pesan dengan gerakan tubuh atau peragaan. R1 tampak memperagakan sebuah gambar sedangkan R2 memperagakan gerakan mencuci tangan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 69 “Kemudian, R1 juga menunjuk gambar pada buku dan bergantian menunjuk temannya.Ia juga memperagakan sesuatu dari buku tersebut.” “R2 memperagakan pesan yang ingin ia sampaikan dengan menggerakkan tangannya seperti orang yang sedang mencuci tangan.” Penyampaian pesan dengan cara menunjuk hal yang ingin disampaikan tampak pada ketiga responden. R1 menunjuk dirinya untuk bertanya. “R1 menunjuk dirinya dan anak perempuan di depannya mengangguk.” R2 dan R3 menangkap pesan dari tulisan dan mainan yang ditunjukkan. “Anak tersebut menunjuk buku yang dipegang R2 dan R2 memberikan respon dengan melihat tulisan yang ditunjuk oleh anak tersebut dan tersenyum.” “R3 melihat kartu yang ditunjukkan oleh adiknya.” Perilaku illustrator pada anak tunarungu ada 3 perilaku sedangkan pada interaksi antara anak tunarungu dengan „anak dengar‟ hanya ada 2. Perilaku tersebut adalah menyampaikan pesan disertai gerakan tangan/jari dan menyampaikan pesan disertai dengan gerakan badan. Menyampaikan pesan disertai gerakan tangan/jari hanya tampak pada R2 dan R3. R2 menyampaikan pesan sambil menunjuk arah. “R2 terlihat menggunakan telunjuknya untuk menunjuk beberapa arah ketika sedang menyampaikan sesuatu kepada temannya.” PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 70 R3 juga menyampaikan pesan disertai dengan menunjuk pesan yang dimaksud. “R3 menceritakan objek yang ia gambar dengan menunjuk gambarnya dan menggerakkan mulutnya.” Penyampaian pesan disertai gerakan badan, hanya tampak pada R1. R1 mengelus dada sambil melafalkan pesan sabar. “Kemudian ada teman yang duduk di hadapan R1 dan R1 mengatakan sabar dengan mengelus dadanya.” Selanjutnya adalah affects atau ungkapan perasaan. Ungkapan perasaan tampak pada mimik wajah dan ungkapan perilaku. Kedua bentuk ungkapan perasaan ini tampak pada ketiga responden. Ungkapan perasaan dengan mimik wajah hadir dalam bentuk tersenyum, tertawa, membuat ekspresi lucu, dan mengerutkan dahi. Tersenyum dan tertawa tampak pada ketiga responden. “R1 memperbaiki bentuk abjad teman yang lainnya dan tersenyumsenyum sambil memperlihatkan giginya.” “Kemudian ada satu teman R2 yang menghampiri dan R2 melihatnya sambil tersenyum.” “R3 tersnyum sambil menggerakkan tangannya kepada adiknya.” Membuat ekspresi lucu tampak pada perilaku R1 ketika sedang bersama dengan „anak dengar‟. “R1 memegang kedua tangan balita tersebut dan berekspresi memajukan bibirnya dan mengerutkan dahinya.” Mengerutkan dahi tampak dari ekspresi R2 ketika ada temannya yang tidak sengaja lewat di depannya dan mengenaik hidungnya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 71 “Lalu anak laki-laki di belakang R2 agak maju ke depan dan dekat dengan R2. R2 agak mendorong anak tersebut dengan menggunakan sikunya dan memunculkan ekspresi tidak suka (mengerutkan dahi).” Selain dengan mimik wajah, ungkapan perasaan juga hadir dalam bentuk perilaku. Hal ini tampak dari perilaku ketiga responden. Berdasarkan hasil observasi, ungkapan perasaan dengan perilaku ditunjukkan dengan memegang dan memeluk dengan perasaan gemas, menggaruk-garuk kepala, serta mengelus leher. Perilaku ini tampak pada perilaku R1. “R1 memegang anak kecil itu dan memeluk anak kecil itu dengan gaya seperti gemas.” “Teman R1 menunjukkan kosakata untuk R1 dan ia melihatnya sambil menggaruk-garuk kepalanya.” “Setelah itu R1 meminum teh sambil mengelus lehernya dan sambil tersenyum.” Kemudian, ada pula perilaku menegakkan punggung dan membelalakan mata sambil tertawa yang tampak dari R2. “R2 disandari oleh temannya dan tiba-tiba R2 menegakan punggungnya, membelalakan matanya, dan membuka mulutnya lebar sambil sedikit tersenyum.” Perilaku yang muncul dari R3 cukup berbeda. Hal ini tampak dari perilaku menggosok-gosokkan kaki, mengepalkan tangan dan mengisi mulut dengan udara. “R3 menggosok-gosokkan kakiknya di lantai sambil melafalkan I dan U dengan bibirnya.” “R3 juga berekspresi mengepalkan tangannya, mengisi mulutnya dengan udara, dan menegangkan badannya.” Selanjutnya adalah regulators. Regulators merupakan bentuk perilaku untuk mengklarifikasi pesan baik benar atau salah, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 72 setuju atau tidak setuju. Hal ini tampak pada perilaku menganggukkan kepala. Perilaku ini juga hanya tampak pada R1. R1 menangkap pesan dengan anggukkan kepala. “R1 menunjuk dirinya dan anak perempuan di depannya mengangguk.” Adapters juga tidak tampak dalam kebersamaan antara anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Penjabaran hasil penelitian di atas dapat dilihat pada Tabel 5 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 73 Tabel 5 Sesama Anak Tunarungu Kontak Sosial Komunikasi Komunikasi Nonlinguistik Emblems Sadar akan kehadiran orang lain. Sadar akan kegiatan orang lain. Sadar akan situasi/lingkungan. Sadar akan kamera. Sadar akan kepemilikan. Adanya tatap wajah. Adanya sentuhan fisik. Adanya ajakan interaksi. Menyampaikan pesan dengan lambaian. Menyampaikan pesan dengan sentuhan fisik. Menyampaikan pesan dengan tindakan langsung. Menyampaikan pesan dengan simbol. Menyampaikan pesan dengan peragaan. Menunjuk pesan. Anak Tunarungu dengan ‘Anak Dengar’ Sadar akan kehadiran orang lain. Sadar akan kegiatan orang lain. Sadar akan situasi/lingkungan. Adanya tatap wajah. Adanya sentuhan fisik. Adanya ajakan interaksi. Menyampaikan pesan dengan lambaian. Menyampaikan pesan dengan sentuhan fisik. Menyampaikan pesan dengan tindakan langsung. Menyampaikan pesan dengan simbol. Menyampaikan pesan dengan peragaan. Menunjuk pesan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 74 Illustrators Menyampaikan pesan dengan gerakan bibir disertai gerakan tangan/jari. Menyampaikan pesan dengan gerakan bibir disertai gerakan badan. Menangkap pesan dengan gerakan bibir disertai gerakan tangan/jari. Ungkapan perasaan dengan mimik Affects wajah. Ungkapan perasaan dengan perilaku. Regulators Melambaikan tangan untuk menyanggah pendapat. Menyampaikan pesan dengan kontak mata. Menggelengkan kepala. Menganggukkan kepala. Adapters Tidak ada temuan. Melafalkan pesan. Komunikasi Linguistik Menangkap pelafalan pesan. Berkomunikasi dengan abjad jari. Menyampaikan pesan dengan gerakan bibir disertai gerakan badan. Menyampaikan pesan dengan gerakan bibir disertai gerakan tangan/jari. Ungkapan perasaan dengan mimik wajah. Ungkapan perasaan dengan perilaku. Menganggukkan kepala. Tidak ada temuan. Melafalkan pesan. Menangkap pelafalan pesan. Menuliskan pesan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 75 3. Hasil Temuan Menarik Berdasarkan hasil observasi ditemukan pula temuan menarik. Temuan menarik tersebut adalah interaksi sosial antara anak tunarungu dengan „orang dengar‟, bentuk interaksi sosial yang lebih kompleks, penolakan interaksi sosial, dan tidak ada interaksi sosial. a. Anak Tunarungu VS ‘Orang Dengar’ Hasil observasi tidak hanya menemukan kontak sosial dan komunikasi antara sesama anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Akan tetapi, ada pula kontak sosial dan komunikasi antara anak tunarungu dengan „orang dengar‟. „Orang dengar‟ merupakan orang yang berada di sekitar subjek tetapi tidak masuk dalam kriteria „anak dengar‟. Temuan tambahan berupa kontak sosial dengan „orang dengar‟ adalah melibatkan kesadaran responden, adanya kontak fisik, dan adanya ajakan interaksi. R1, R2, dan R3 melibatkan kesadaran mereka ketika sedang bersama dengan orang lain. Hal ini tampak dalam perilaku R1 yang menyapa observer dengan lambaian tangan. “R1 juga sempat melambaikan tangan ke arah observer.” Perilaku R2 adalah mendekati observer. “Namun observer nampak kurang paham jadi 2 mendekati observer.” Perilaku R3 melihat ke guru yang datang. “Kemudian, O mendangak ke atas ketika gurunya menghampiri.” PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 76 Para responden juga menyadari kegiatan yang sedang dilakukan oleh „orang dengar‟. Hal ini tampak pada perilaku R1 yang melihat „orang dengar‟ sedang mengajari bahasa isyarat. “R1 juga sesekali melihat ke arah ibunya ketika mengajari temantemannya.” Kesadaran R2 akan kegiatan orang lain tampak ketika ia melihat ibu yang sedang menyapu tikar. “Kemudian ada seorang ibu menyapu tikar, R2 melihatnya dan berpindah tempat.” Selanjutnya adalah kontak fisik, yaitu adanya tatap wajah dan sentuhan fisik. Tatap wajah tampak pada ketiga responden ketika sedang bersama „orang dengar‟. “R1 juga melihat wajah gurunya yang sedang mengatakan sudah, jangan menangis.” “R2 juga menatap wajah observer ketika berbicara.” “R3 menoleh ke arah ibunya ketika memanggil.” Kontak fisik tampak pada perilaku R1 dan R2 yang menyentuh lutut „orang dengar‟. “R1 tersenyum sambil membuka lebar mulutnya dan menyentuh lutut ibunya ketika ibunya membentuk huruf A dengan jari untuk membantu D mengajari teman-temannya.” “Lalu R2 menepuk lutut ibunya yang ada di depannya dengan tangannya setelah itu I menepuk menggunakan bukunya.” Sedangkan pada R3 tampak kakinya disentuh oleh „orang dengar‟. “Kemudian ibunya tidak sengaja menabrak kaki O dan ia menoleh untuk melihat ibunya sambil tersenyum tanggung.” PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 77 Kemudian, ada pula ajakan interaksi yang tampak pada perilaku R1 dan R3. R1 mengajak observer untuk berinteraksi dan R3 tampak mengajak „orang dengar‟ berkomunikasi. “R1 juga sempat melihat ke arah observer dan memperagakan orang yang sedang membawa kamera sambil tersenyum memperlihatkan giginya.” “R3 melihat observer dan menggerakkan mulutnya untuk menanyakan sesuatu.” Anak tunarungu juga tampak berkomunikasi dengan „orang dengar‟ baik secara linguistik maupun nonlinguistik. Komunikasi linguistik tampak melalui responden yang menyampaikan secara verbal, menangkap pesan secara verbal, berkomunikasi dengan abjad jari, dan menuliskan pesan. Menyampaikan pesan tampak pada perilaku R1 yang bertanya kepada „orang dengar‟. “R1 juga bertanya kembali kepada ibunya tentang suatu kosakata dengan menunjukkan kosakata tersebut.” Kemudian ada pula R2 yang menyampaikan dan menangkap pesan dengan cara menggerakkan bibir, menggunakan abjad jari, dan menuliskan pesan di lantai. “Tiba-tiba R2 bertanya kepada observer apakah bisa meminta video di dalam CD dengan menggerakan tangan dan tubuhnya untuk menjelaskan. R2 terus bercerita akan tetapi observer tidak paham maksud yang disampaikan oleh R2 sampai R2 harus menggerakan tangan membentuk abjad dan menulis di lantai.” Sedangkan perilaku R3 tampak ketika menyampaikan dan menangkap pesan secara verbal. “Lalu R3 memanggil mamanya dengan bersuara dan dilafalkan.” PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 78 “R3 melanjutkan menggambar lalu dipanggil oleh ibunya.” Komunikasi nonlinguistik juga tampak pada ketiga responden ketika sedang bersama „orang dengar‟. Komunikasi yang tampak adalah emblems, illustrators, affects, dan regulators. Adapters tidak tampak dalam interaksi antara anak tunarungu dengan „orang dengar‟. Emblems yang tampak dalam perilaku responden adalah menyampaikan pesan dengan lambaian, menyampaikan pesan dengan sentuhan fisik, menyampaikan pesan dengan tindakan langsung, menyampaikan pesan dengan simbol, menyampaikan pesan dengan peragaan dan menunjuk pesan. Menyampaikan pesan dengan lambaian tampak pada perilaku R1 yang meminta minum dengan lambaian tangan. “Lalu ada ibu lain yang membawa air mineral gelas. R1 melambaikan tangan kepada ibu tersebut untuk meminta segelas air mineral.” Perilaku yang sama juga tampak pada R2 yang melambaikan tangan untuk memanggil. “Akhirnya R2 mengajak observer berbicara dengan cara melambaikan tangan ke observer untuk mendapatkan respon dari observer.” Menyampaikan pesan melalui sentuhan fisik hanya tampak pada perilaku R2. R2 menepuk lutut ibunya untuk memanggil. “Lalu R2 menepuk lutut ibunya yang ada di depannya dengan tangannya setelah itu R2 menepuk menggunakan bukunya.” Kemudian ada menyampaikan pesan dengan tindakan langsung yang tampak pada R2. Saat itu, R2 menarik catatan guru mengaji secara paksa. “Lalu R2 mendekati gurunya untuk melihat catatannya, gurunya menarik catatannya tetapi I justru menarik catatannya dengan paksa.” PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 79 R3 juga memperlihatkan perilaku menyampaikan pesan dengan tindakan langsung ketika mengambil kartu secara langsung. “R3 menjulurkan tangannya untuk melihat kartu yang sedang dipegang oleh ibunya.” Menyampaikan pesan dengan menggunakan simbol hanya tampak pada perilaku R2 yang membentuk kotak dengan tangannya. “R2 menggerakan tangan untuk membentuk kotak untuk menggambarkan bentuk yang ia maksud.” R1 memperlihatkan perilaku menyampaikan pesan dengan peragaan ketika akan meminta minum. “R1 menggerakkan tangannya seperti orang yang sedang minum karena melihat ibu yang sedang membawa teh dan D ingin meminum teh tersebut.” Menunjuk pesan tampak dari perilaku R3 yang menunjuk benda. “Lalu R3 menunjuk sesuatu yang ada di kursi di dekat ibunya.” Selanjutnya adalah illustrators. Illustrators yang tampak pada responden adalah menyampaikan dan menangkap pesan dengan menggerakkan bibir disertai dengan gerakan tangan/jari. Menyampaikan pesan disertai dengan gerakan tangan ditunjukkan dengan perilaku R1 yang memanggil ibu dengan melafalkan pesan disertai lambaian tangan. “Lalu R1 melambaikan tangannya untuk memanggil ibunya dan menggerakan mulutnya.” Perilaku ini juga tampak dari perilaku R2 yang menggerakkan bibir serta tanganya ketika menyampaikan pesan. “Lalu R2 melambaikan tangan dan berbicara kepada observer apakah bisa melihat videonya? Dengan menggerakan mulut dan gerakan tangan.” PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 80 Menangkap pesan yang disertai gerakan tangan/jari hanya muncul pada R1. “R! berbicara kepada ibunya dengan menggunakan gerakan tangan dan pelafalan mulut untuk mengatakan sesuatu.” Kemudian, affects juga tampak pada ketiga responden. Affects memiliki dua bentuk, yaitu ungkapan perasaan dengan mimik wajah dan ungkapan perasaan dengan perilaku. Ungkapan perasaan dengan mimik wajah tampak dari perilaku ketiga responden yang tersenyum. “R1 juga melihat ke arah yang ditunjuk oleh ibunya, kemudian ia tersenyum-senyum.” “Ketika observer tidak paham R2 terus menjelaskan sambil tersenyum.” “Kemudian, R3 berjongkok sambil menghadap ke ibunya dan tersenyum.” Selain tersenyum ada juga mimik wajah mengerutkan dahi yang tampak pada perilaku R1. “Ketika R1 bingung dengan pesan yang disampaikan oleh ibunya D mengerutkan dahinya kemudian menyampaikan pendapatnya dengan menggerakan mulut dan tangannya.” Ungkapan perasaan dengan perilaku juga terlihat dari perilaku ketiga responden. R1 tampak melihat ke kanan dan ke kiri ketika kebingungan. “Ketika itu gurunya melontarkan pertanyaan siapakah yang ingin mendapatkan hadiah dan semua anak-anak mengacungkan tangan sebagai tanda mau, kecuali R1. R1 diam saja karena bingung dan tidak paham dengan ucapan yang disampaikan oleh guru mengajinya. Ia melihat teman-temannya di samping kanan dan kirinya.” Lalu R2 tampak menggerakkan punggungnya ketika sedang belajar mengaji. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 81 “R2 merespon dengan membuka buku dan menunjuk pada sebuah halaman. lalu gurunya mengatakan bukan dan R2 merespon dengan menggerakan badannya sambil duduk.” R3 menunjukkan perasaan tidak nyaman dengan menghindari kamera. “R3 juga tersenyum ketika melihat kamera dan berpindah posisi untuk menghindari kamera. ” Terakhir adalah regulators. Regulators hanya tampak pada R1 dan R2. Bentuk perilaku regulators yang tampak adalah anggukkan kepala dan gelengan kepala. Anggukkan kepala tampak pada R1 dan R2. “R1 juga mengangguk ketika ibunya mengatakan sesuatu dan ia juga menggerakan kedua tangannya untuk membentuk abjad „Mawar” nama salah satu temannya.” “R2 juga menganggukan kepala apabila ia mengerti yang diucapkan oleh observer.” Sedangkan gelengan kepala tampak pada R1. “R1 menggelengkan kepala ketika ibunya berkata sesuatu.” Penjabaran hasil penelitian antara anak tunarungu dengan „orang dengar‟ dapat dilihat pada Tabel 6. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 82 Tabel 6 Anak Tunarungu dengan ‘Orang Dengar’ Sadar akan kehadiran orang lain. Sadar akan kegiatan orang lain. Adanya tatap wajah. Adanya sentuhan fisik. Adanya ajakan interaksi. Komunikasi Komunikasi Emblems Menyampaikan pesan dengan lambaian. Nonlinguistik Menyampaikan pesan dengan sentuhan fisik. Menyampaikan pesan dengan tindakan langsung. Menyampaikan pesan dengan simbol. Menunjuk pesan. Illustrators Menyampaikan pesan dengan gerakan bibir disertai gerakan tangan/jari. Menangkap pesan dengan gerakan bibir disertai gerakan tangan/jari. Ungkapan perasaan dengan Affects mimik wajah. Ungkapan perasaan dengan perilaku. Regulators Menanggukkan kepala. Menggelengkan kepala. Kontak Sosial Adapters Komunikasi Linguistik Tidak ada temuan. Melafalkan pesan. Menangkap pelafalan pesan. Menuliskan pesan. Berkomunikasi dengan abjad jari. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 83 b. Bentuk Interaksi Sosial Kompleks Hasil temuan lain yang muncul adalah bentuk interaksi sosial yang lebih kompleks. Interaksi sosial tersebut dikatakan kompleks karena kontak sosial dan komunikasi menjadi satu kesatuan. Bentuk interaksi sosial ini terlihat ketika anak tunarungu sedang bersama sesama anak tunarungu. Interaksi sosial yang terlihat berdasarkan hasil observasi adalah bermain bersama, berkegiatan bersama, bersenda gurau, berbincang-bincang, dan membantu sesama anak tunarungu. Bermain bersama dan berkegiatan bersama tampak dari ketiga responden. R1 bermain petak umpet bersama sesama anak tunarungu. R2 dan R3 terlihat bermain kejar-kejaran bersama sesama tunarungu. “Saat bermain petak umpet, R1 bermain dengan teman sekelasnya.” “R2 berlarian bersama temannya mengelilingi gedung sekolahnya.” “Terkadang R3 juga terlihat menjahili temannya dengan menarik rambut kuciran rambut temannya dengan disengaja kemudian mereka berkejarkejaran.” Mereka juga berkegiatan bersama, seperti R1 yang membaca buku bersama. “R1 sedang duduk bersama teman laki-lakinya dan membaca buku bersama.” Lalu, R2 yang pergi berjalan bersama temannya dan R3 yang makan siang bersama. “Lalu R2 berjalan pergi bersama teman-temannya.” “R3 dari awal jam istirahat, ia membawa botol minum dari ruang kelas yang berada di lantai dua ke lantai satu. Kemudian menuju tempat makan untuk makan siang bersama teman-teman yang lain.” PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 84 Bersenda gurau dengan sesama tunarungu lainnya hanya tampak pada R2 dan R3. “Lalu R2 menggoda temannya di depan kamera yang kemudian dikonfirmasi oleh temannya. R2 lalu melafalkan sesuatu di depan kamera (menggerakan mulutnya).” “Pertama kali R3 mengambil 1 wafer, kemudian ia mengambil bungkusnya dan menjauhi teman lainnya yang meminta (bercanda maksudnya).” Selain itu, ada pula yang berbincang-bincang bersama. Hal ini tampak pada R3 yang berbincang dan berkumpul bersama teman-temannya. “R3 memilih untuk berbincang dengan teman-temannya sesama perempuan.” Ada pula perilaku membantu sesama tunarungu yang tampak pada R2. “Ketika sedang bersembunyi R2 membantu seorang temannya untuk melepaskan kalung yang sedang digunakan.” Interaksi sosial juga terjadi antara anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Mereka bisa berinteraksi satu sama lain walaupun sebagian besar interaksi terjadi dengan usia „anak dengar‟ yang lebih muda. Hal ini terjadi kepada ketiga responden. Bentuk interaksi sosial yang terjadi juga hamper sama, yaitu bermain bersama, berkegiatan bersama, bersenda gurau, dan membantu „anak dengar‟. Bermain bersama anak tunarungu tampak pada ketiga responden. “R1 sedang bermain dengan anak-anak. Saat itu kegiatan TPA di dalam sebuah ruangan. R1 melihat teman dan balita yang sedang mewarnai sambil tengkurep.” “R2 bermain dengan anak kecil di depannya, mengelus-ngelus rambutnya, dan membenarkan hijab anak kecil itu.” “R3 terlihat sedang membagikan kartu dan ia meminta kembali kartu yang tadi diberikan kepada adiknya dengan cara langsung mengambilnya saat masih dipegang oleh adiknya yang paling kecil.” PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 85 Mereka juga tampak berkegiatan bersama-sama dengan „anak dengar‟. “R1 sedang di rumah dan ada 3 orang teman perempuannya yang datang ke rumahnya. D sedang belajar bersama teman-temannya. Teman-temannya semua perempuan.” “Lalu mereka (R2 dan „anak dengar‟) membaca bersama.” “R3 dan adiknya melanjutkan menggambar.” Selain bermain dan berkegiatan, mereka juga terlihat bersenda gurau bersama. Hal ini tampak pada perilaku R1 saja. “Setelah itu hidung R1 disentuh oleh balita yang tadi bermain dengannya dan R1 berekspresi mengerutkan dahi dan membuka mulut dengan menunjukkan giginya untuk membuat balita tersebut merasa takut.” Berdasarkan hasil observasi, R1 tampak membantu dan mendapatkan bantuan „anak dengar‟ ketika sedang bersama. “Kemudian R1 dibantu oleh teman yang ada di depannya untuk memberikan lauk tersebut kepada ibunya.” “R1 juga membantu membagian sedotan untuk teman-temannya yang sedang mengambil minum.” Sedangkan R2 terlihat hanya memberikan bantuan untuk „anak dengar‟. “Setelah itu R2 juga membantu teman tersebut untuk mengikat rambutnya.” Bentuk interaksi sosial juga terjadi antara anak tunarungu dengan „orang dengar‟. Bentuk interaksi sosial yang terjadi berupa bantuan yang diberikan oleh „orang dengar‟ untuk menterjemahkan pesan kepada „anak dengar‟. Hal ini tampak pada R1 yang dibantu oleh ibunya ketika sedang berkomunikasi dengan „anak dengar‟. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 86 “R1 memanggil ibunya dengan melambaikan tangan di atas kepalanya agar ibunya dapat melihat. R1 mulai mengajari gerakan isyarat yang lain setelah abjad. Ia meminta ibunya untuk membantu memberitahu temannya dengan melafalkan sesuatu dan menunjuk temannya.” “Setelah R1 diberitahukan oleh observer pesan yang dikatakan oleh gurunya R1 baru mengacungkan tangan sebagai respon dan temanteman lainnya sudah menurunkan tangannya.” Akan tetapi, ada pula responden yang membantu „orang dengar‟. Hal ini tampak pada perilaku R2 yang membantu merantingkan makanan untuk berbuka puasa. “Lalu I mengikuti gerakan yang dicontohkan oleh gurunya. I juga membantu untuk merantingkan makanan buka puasa kepada temantemannya.” c. Penolakan Interaksi Sosial Interaksi sosial tidak selalu terjadi di antara anak tunarungu dengan sesama anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Hasil observasi memperlihatkan bahwa kadang terjadi pula penolakan interaksi sosial. Penolakan interaksi sosial merupakan adanya ajakan interaksi yang ditolak. Hal ini tampak dalam interaksi anak tunarungu dengan sesama anak tunarungu. Penolakan interaksi sosial terjadi dalam interaksi R1, R2, dan R3. “Kemudian ada bola kertas yang menggelinding di hadapannya. Ada temannya yang meminta bola tersebut kepada R1 tetapi ia justru melemparkan bola tersebut kepada temannya yang lain.” “Lalu ada temannya memeluk R2 dari belakang tetapi R2 mengelak dengan melepaskan tangan temannya ” “Temannya mengatakan sesuatu tetapi R3 tidak melihat dan membaca kertas yang ia pegang.” PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 87 Penolakan interaksi juga terjadi ketika anak tunarungu sedang bersama „anak dengar‟. Hal ini terlihat dari adanya perilaku mengabaikan orang lain. Hal ini tampak pada: “Ketika sedang bertanya kaki R1 dipegang oleh temannya dan R1 tidak melihat ke arah temannya.” “R2 diam saja dan fokus pada foto-foto yang ada di kamera.” “R3 tidak menunjukkan interaksi dengan adiknya yang paling kecil yang duduk di hadapannya.” Terkadang ketiga responden tidak mendapatkan respon dari „anak dengar‟. Hal ini terlihat pada: “R1 melihat ke kanan dan kirinya sambil menggerakkan mulutnya untuk mengatakan sesuatu akan tetapi teman-temannya tidak ada yang memberikan respon kepada R1 karena semuanya sedang berdoa dan R1 tidak tahu jika teman-temannya sedang dalam keadaan berdoa.” “Kemudian R2 juga menepuk bahu adiknya dan tidak mendapatkan respon.” “R3 menepuk bahu adiknya tetapi adiknya tidak menoleh.” Penjabaran hasil di atas dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Bentuk Interaksi Sosial Bentuk Penolakan Interaksi Sosial Sesama Anak Tunarungu Bermain bersama. Berkegiatan bersama. Bersenda gurau. Berbincang-bincang. Membantu sesama. Mengabaikan kehadiran orang lain. Tidak mendapatkan respon. Menolak ajakan interaksi. Berkegiatan sendiri. Tidak terlibat dalam percakapan. Duduk berjarak. Anak Tunarungu dengan ‘Anak Dengar’ Bermain bersama. Berkegiatan bersama. Bersenda gurau. Berbincang-bincang. Membantu sesama. Mengabaikan kehadiran orang lain. Tidak mendapatkan respon. Gagal menyampaikan/mena ngkap pesan. Berkegiatan sendiri. Tidak terlibat dalam percakapan. Duduk berjarak. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 88 d. Tidak Ada Interaksi Sosial Tidak ada interaksi sosial merupakan tidak ada kontak maupun komunikasi antara sesama anak tunarungu atapun „anak dengar‟. Hal ini terlihat dari perilaku R1 dan R3. “R1 meninggalkan temannya dan temannya mengambil kertas yang terjatuh itu kemudian pergi. ” “R3 duduk sendiri sambil memainkan tempat pensil.” Selain itu juga, mereka memilih untuk berdiam diri dan tidak terlibat dalam interaksi sosial dengan „anak dengar‟. Hal ini tampak pada perilaku R2 dan R3 saja. “Selama menunggu antrian mengaji R2 hanya duduk diam dan bertopang dagu. Sesekali I berkaca dan membetulkan letak kerudungnya.” “Di depan R2 ada 4 orang temannya yang saling berbicara satu sama lain akan tetapi I hanya diam saja.” “R3 mengambil satu buku lagu dan membacanya.” “R3 fokus pada gambarnya karena ia hanya menggambar. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 89 D. Pembahasan Bagian pembahasan ini akan membahas tentang bentuk kontak sosial yang terjadi antara anak tunarungu dengan sesama anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Kemudian, diikuti pembahasan tentang komunikasi nonlinguistik, baik antara anak tunarungu dengan sesama anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Selanjutnya tentang komunikasi linguistik antara anak tunarungu dengan sesama anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Setelah itu, dilanjutkan dengan pembahasan temuan menarik berupa bentuk interaksi sosial yang kompleks, penolakan interaksi sosial, dan tidak ada interaksi sosial. 1. Kontak Sosial Kontak sosial terjadi di dalam kebersamaan anak tunarungu dengan sesama anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Kontak sosial antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟ sama-sama memperlihatkan adanya kesadaran akan orang lain, kegiatan orang lain, dan lingkungan. Kedua kontak sosial tersebut juga melibatkan tatap wajah dan sentuhan fisik. Temuan tersebut menyatakan bahwa kontak sosial anak tunarungu bisa terjadi dengan siapa saja dan dimana saja, baik dengan sesama tunarungu ataupun dengan „anak dengar‟. Hal ini sejalan dengan definisi yang dinyatakan oleh Soekanto (2006) bahwa kontak sosial terjadi ketika ada orang lain yang memberikan tanggapan atas tindakan orang lain. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 90 Kontak sosial antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟ juga memperlihatkan adanya ajakan interaksi atau permulaan interaksi. Hal tersebut tampak sama apabila dilihat secara keseluruhan. Jika ditelisik lebih dalam ada perilaku kontak sosial yang berbeda antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Anak tunarungu memilih untuk berdiam diri dan menunggu „anak dengar‟ yang memulai sebuah interaksi karena mengalami kesulitan dan menghadapi tantangan yang lebih besar (Yuhan, dkk, 2013). Selain kesulitan untuk memulai sebuah interaksi, anak tunarungu juga sering mengalami penolakan atau diabaikan oleh „anak dengar‟ ketika berusaha untuk berinteraksi dengan „anak dengar‟ sehingga mereka memilih untuk berinteraksi dengan sesama anak tunarungu (Yuhan, 2013). Hal tersebut didukung oleh Keating dan Mirus (dalam Yuhan, dkk tahun 2013) bahwa percobaan anak tunarungu untuk turn-taking dan melibatkan kontak mata sering ditolak oleh „anak dengar‟. Akan tetapi, dalam kontak sosial antar-anak tunarungu mereka dengan mudah mengajak teman lain untuk berkomunikasi atau bermain. Mereka juga tidak segan untuk mendekati teman lain terlebih dahulu. Kecenderungan anak tunarungu untuk memulai interaksi dengan anak tunarungu didasari oleh tingkat pendengaran yang kurang lebih sama. Kecenderungan yang sama juga dialami oleh „anak dengar‟ (Vandell & George, 1981; Rodriguez & Lana, 1996 dalam Yuhan tahun 2013). PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 91 2. Komunikasi Nonlinguistik Secara umum, komunikasi nonlinguistik tampak dalam interaksi antara anak tunarungu dengan sesama anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Salah satu perilaku komunikasi nonlinguistik adalah emblems dimana perilaku ini menggantikan bahasa verbal anak tunarungu untuk berinteraksi. Perilaku ini tampak pada anak tunarungu yang sedang berinteraksi dengan sesama anak tunarungu maupun dengan „anak dengar‟. Mereka sama-sama memanggil sesama anak tunarungu dan „anak dengar‟ dengan lambaian tangan, menyampaikan pesan dengan sentuhan fisik (memanggil), menyampaikan pesan dengan tindakan langsung, simbol, ataupun peragaan. Mereka juga menyampaikan pesan dengan menunjuk maksud atau pesannya. Perilaku-perilaku nonverbal dalam komunikasi nonlinguistik sangat membantu anak tunarungu untuk bisa berinteraksi dengan „anak dengar‟. Yuhan (2013) menunjukkan bahwa permulaan interaksi secara nonverbal dan menirukan perilaku „anak dengar‟ merupakan strategi yang bisa dilakukan oleh anak tunarungu dengan sukses. Selain itu penggunaan gestur tubuh dan sentuhan juga perilaku bisa dilakukan anak tunarungu untuk memulai sebuah interaksi dengan „anak dengar‟. Pemaparan ini mendukung hasil penelitian bahwa perilaku emblems anak tunarungu dengan sesama anak tunarungu maupun „anak dengar‟ sama-sama muncul dalam komunikasi nonlinguistic keduanya karena perilaku tersebut merupakan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 92 strategi anak tunarungu untuk berinteraksi dengan sesama anak tunarungu dan „anak dengar‟. Selanjutnya, perbedaan perilaku illustrators antara anak tunarungu dengan sesama anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Perbedaan yang tampak adalah anak tunarungu mampu menyampaikan dan menangkap pesan dan gerakan yang disertakan oleh sesama anak tunarungu. Gerakan tersebut bisa gerakan tangan atau badan. Weisel, Most, dan Efron (2005) menemukan bahwa anak tunarungu dengan sesama anak tunarungu juga menggunakan gerakan visual-motor seperti sentuhan atau gestur untuk menyertai komunikasi. Vandell dan George (dalam Weisel, Most, dan Efron tahun 2005) juga menemukan bahwa interaksi antara anak tunarungu dengan sesama anak tunarungu melibatkan gestur dan ekspresi wajah untuk menyertai vokalisasi (bahasa verbal). Temuan sebelumnya memperkuat bahwa illustrators tersampaikan dengan baik ketika anak tunarungu berinteraksi dengan sesama anak tunarungu. Weisel, Most, dan Efron (2005) juga mengatakan bahwa gestur atau sentuhan yang disertai komunikasi verbal merupakan salah satu strategi bagi anak tunarungu untuk berinteraksi dengan sesama anak tunarungu. Hal tersebut mendukung temuan dalam penelitian ini sebagai salah satu strategi yang bisa membantu anak tunarungu dalam berinteraksi sosial dengan sesama anak tunarungu. Kesuksesan perilaku illustrator sebagai salah satu strategi interaksi sosial anak tunarungu dengan sesama anak tunarungu tidak berlaku bagi interaksi sosial antara anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Penelitian ini PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 93 menemukan bahwa anak tunarungu mampu menyampaikan pesan secara verbal disertai dengan gerakan tangan akan tetapi anak tunarungu tidak mampu untuk menangkap pesan dari „anak dengar‟. Dalam Weisel, Most, dan Efron (2005) dijelaskan bahwa strategi yang sama tetap memberikan kegagalan interaksi sosial antara anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Hal tersebut disebabkan karena vokalisasi yang digunakan untuk berinteraksi dengan „anak dengar‟ memiliki level yang berbeda. Temuan Vandell dan George (dalam Weisel, Most, dan Efron tahun 2005) terkait adanya ekspresi wajah dalam interaksi sosial antara anak tunarungu dengan anak tunarungu juga tampak dalam penelitian ini. Anak tunarungu juga melibatkan affects atau perasaan selama mereka berkomunikasi dengan sesama anak tunarungu. Penelitian ini juga memperkaya penelitian sebelumnya ternyata ungkapan perasaan juga tampak dalam interaksi sosial antara anak tunarungu dengan „anak dengar. Bentuk ungkapan perasaan juga ada dua, yaitu ungkapan perasaan melalui mimik wajah dan ungkapan perasaan melalui perilaku. Kedua bentuk ini sama-sama muncul pada komunikasi anak tunarungu baik dengan sesama anak tunarungu maupun „anak dengar‟. Hal ini menunjukkan bahwa affects memiliki fungsi yang sama dengan emblems dan illustrators. Ungkapan perasaan tampak lebih variatif ketika anak tunarungu sedang berkomunikasi dengan sesama anak tunarungu. Misalnya, kerutan dahi disertai mulut yang ternganga untuk menunjukkan perasaan sakit dan menghentakkan kaki untuk mengungkapkan perasaan kesal. Sedangkan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 94 ekspresi perasaan yang tampak dengan „anak dengar‟ hanya tertawa, tersenyum, dan berekpresi lucu. Perbedaan tampak juga pada regulators. Regulators ketika sedang bersama „anak dengar‟ hanya tampak satu, yaitu menanggukkan kepala sebagai tanda bahwa mereka memahami pesan yang disampaikan. Tetapi, regulators yang tampak pada sesama anak tunarungu lebih bervariasi, seperti menggelengkan kepala dan melambaikan tangan untuk mengatakan bukan. Mereka menggelengkan kepala atau melambaikan tangan ketika merasa tidak sependapat dengan sesama anak tunarungu yang sedang berbicara. Perbedaan perilaku regulators menunjukkan adanya pertentangan atau konflik dalam interaksi sosial anak tunarungu dengan sesama anak tunarungu (Arifin, 2015). Sedangkan antara anak tunarungu dengan „anak dengar‟ bentuk perilaku ini tidak tampak. 3. Komunikasi Linguistik Menurut Yuhan (2013), model komunikasi yang banyak dikuasai anak tunarungu adalah bahasa oral atau gerakan bibir. Hal ini tampak pada komunikasi linguistik anak tunarungu baik dengan sesama tunarungu maupun dengan „anak dengar‟. Anak tunarungu menyampaikan pesan kepada sesama anak tunarungu dengan menggerakkan bibir. Ketika bersama dengan „anak dengar‟, mereka menyampaikan pesan dengan gerakan bibir ditambah dengan suara pelafalan yang tidak cukup jelas. Hal ini juga didukung oleh paparan Yuhan, dkk (2013) yaitu bahasa isyarat bukan model komunikasi utama antara anak tunarungu dengan „anak dengar‟. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 95 Komunikasi dengan gerakan bibir juga akan meningkatkan dan mempermudah interaksi sosial anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Yuhan (2013) memaparkan bahwa familiaritas memainkan peran penting dalam interaksi anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Anak tunarungu mampu untuk berinteraksi dengan „anak dengar‟ dengan tingkat familiaritas yang sama dibandingkan dengan „anak dengar‟ yang tidak familiar. Temuan familiaritas juga tampak dalam penelitian ini hanya saja temuan ini justru tampak pada interaksi antara anak tunarungu dengan anak tunarungu dalam berkomunikasi. Penelitian ini menemukan anak tunarungu berkomunikasi dengan sesama anak tunarungu dengan menggunakan bahasa isyarat berupa abjad jari. Pemaparan hasil beberapa penelitian yang dilakukan oleh Yuhan (2013) menggambarkan bahwa interaksi sosial antara anak tunarungu dengan „anak dengar‟ akan berlangsung dengan cukup baik apabila menggunakan komunikasi linguistik sebagai salah satu cara untuk menyampaikan pesan. Anak tunarungu bisa saja menggunakan bahasa isyarat dengan sesama anak tunarungu tetapi isyarat tersebut belum tentu bisa dilakukan untuk berinteraksi dengan „anak dengar‟. Hal tersebut disebabkan oleh tingkat familiaritas yang berbeda antara anak tunarungu dengan „anak dengar‟ terkait abjad jari (Yuhan, 2013). 4. Anak Tunarungu VS ‘Orang Dengar’ Adapun temuan lainnya, yaitu anak tunarungu tidak hanya berinteraksi dengan sesama tunarungu ataupun „anak dengar‟, tetapi mereka PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 96 juga berinteraksi dengan „orang dengar‟. Interaksi yang terjadi melibatkan kontak sosial dan komunikasi, baik nonlinguistik ataupun linguistik. Interaksi sosial yang melibatkan „orang dengar‟ berupa bantuan untuk berkomunikasi dengan „anak dengar‟. Salah satu dampak ketunarunguan adalah anak tunarungu menjadi lebih bergantung pada orang lain dan beberapa hal yang sudah dikenal sebelumnya (Efendi, 2006). Hal ini juga tampak dari temuan dimana anak tunarungu meminta bantuan „orang dengar‟ untuk menterjemahkan pesan kepada „anak dengar‟ agar dipahami. Selain itu, familiaritas antara anak tunarungu dengan „orang dengar‟ juga menjadi hal penting dalam interaksi sosial mereka. Familiaritas juga didukung oleh kemampuan anak tunarungu untuk berkomunikasi secara verbal dengan „orang dengar‟. Yuhan (2013) juga memaparkan bahwa komunikasi oral akan mempermudah interaksi sosial anak tunarungu dengan „anak dengar‟. 5. Bentuk Interaksi Sosial Kompleks VS Penolakan Interaksi Sosial Temuan lainnya adalah macam-macam interaksi sosial yang terjadi ketika anak tunarungu sedang bersama sesama tunarungu dan dengan „anak dengar‟. Interaksi sosial antara anak tunarungu dengan sesama anak tunarungu terjadi saat mereka sedang bermain bersama atau membantu sesama. Temuan ini justru tidak sejalan dengan dampak ketunarunguan secara sosial-emosi yang dipaparkan oleh Efendi (2006). Efendi (2006) justru memaparkan bahwa anak tunarungu lebih menampakkan sikap asosial dan menunjukkan sikap bermusuhan. Sikap negatif ini justru tidak tampak PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 97 pada anak tunarungu dan sebaliknya anak tunarungu justru banyak menghabiskan waktu untuk bercengkrama dan bersenda gurau bersama. Perilaku di atas menunjukkan bahwa anak tunarungu sangat nyaman ketika berinteraksi dengan sesama anak tunarungu. Most, dkk (2011) mendukung temuan tersebut karena penelitian sebelumnya menyatakan bahwa kesuksesan interaksi sosial anak tunarungu dipengaruhi oleh tingkat pendengaran yang sama. Mereka terbiasa untuk memulai interaksi terlebih dahulu dan menghabiskan waktu lebih lama. Selain itu, mereka juga lebih ekspresif ketika sedang berkomunikasi satu sama lain. Temuan ini didukung oleh Most, dkk (2011) bahwa anak tunarungu memiliki pengalaman yang baik ketika berinteraksi dengan sesama anak tunarungu sehingga interaksi di antara mereka berjalan dengan sukses. Walaupun ada perasaan nyaman, tidak semua interaksi sosial antara anak tunarungu dengan sesama anak tunarungu dapat terjadi. Penelitian ini menemukan bahwa kadang pula terjadi penolakan interaksi sosial, seperti menolak pelukan atau sentuhan. Kadang anak tunarungu menolak sebuah interaksi sosial dengan cara mengabaikan. Selain itu, interaksi sosial juga bisa saja tidak terjadi karena anak tunarungu juga memilih untuk berkegiatan sendiri dan tidak menjalin interaksi dengan siapapun. Interaksi sosial antara anak tunarungu dengan „anak dengar‟ justru berbeda dengan sesama anak tunarungu. Interaksi sosial mereka berlangsung cukup singkat karena mereka lebih memilih untuk diam dan memperhatikan keadaan sekitarnya. Brown & Remine, Prescott, dan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 98 Rickards (2000) menemukan bahwa anak tunarungu memilih menunggu didekati oleh „anak dengar‟ dalam aktifitas nonpermainan. Hal tersebut disebabkan oleh kurangnya konten linguistik dalam interaksi mereka sehingga interaksi mereka tidak terjadi atau terjadi dalam durasi yang singkat (Keating dan Mirus dalam Yuhan, dkk tahun 2013). Penelitian ini juga menemukan bahwa anak tunarungu memilih untuk berkegiatan sendiri, duduk berjarak, tidak terlibat dalam percakapan, dan mengabaikan kehadiran orang lain. Temuan ini sejalan dengan penelitian sebelumnya dimana anak tunarungu menghindari untuk berinteraksi dengan „anak dengar‟ karena memiliki ketakutan akan kegagalan dalam berinteraksi (Most, dkk tahun 2011). Menghindari interaksi dengan „anak dengar‟ juga merupakan salah satu cara adaptasi anak tunarungu terhadap kesulitan mereka untuk berbahasa (Yuhan, 2013). Bentuk interaksi sosial yang kompleks menunjukkan adanya perbedaan durasi interaksi sosial antara anak tunarungu dengan sesama anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Interaksi sosial anak tunarungu dengan anak tunarungu bisa berlangsung lebih lama dibandingkan dengan interaksi sosial antara anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Hal tersebut bisa terjadi karena adanya familiaritas antara anak tunarungu dengan sesama anak tunarungu (Yuhan, 2013). Penyebab lainnya adalah „anak dengar‟ yang kurang mampu memahami anak tunarungu sehingga interaksi sosial berakhir dengan durasi yang tidak panjang (Weisel dalam Yuhan, dkk tahun 2013). Penelitian ini juga menemukan penolakan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 99 interaksi sosial yang terjadi dalam interaksi antara anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Penolakan interaksi terjadi karena kegagalan dalam penyampaian pesan antara anak tunarungu dengan „anak dengar‟ dan tidak mendapatkan respon dari „anak dengar‟. Yuhan, dkk (2013) memaparkan bahwa anak tunarungu memiliki kesulitan untuk mengekspresikan sesuatu secara verbal sehingga meraka mengalami kegagalan berkomunikasi atau tidak mendapatkan respon dari „anak dengar‟. Temuan menarik lainnya adalah anak tunarungu juga cenderung menghabiskan waktu dengan „anak dengar‟ yang usianya lebih muda. Interaksi sosial yang terjadi di antara mereka saling bercanda dengan membuat ekspresi lucu. Interaksi ini terjadi karena anak tunarungu dan „anak dengar‟ yang usianya lebih muda memiliki tingkat familiaritas yang sama sehingga mereka bisa memahami maksud satu sama lain (Yuhan, 2013). Selain itu, interaksi antara anak tunarungu dengan „anak dengar‟ yang usianya lebih muda tidak melibatkan banyak komunikasi linguistik atau penyampaian pesan secara verbal (Yuhan, dkk tahun 2013). Temuan ini juga didukung oleh beberapa penelitian sebelumnya dimana anak tunarungu memiliki keterbatasan dalam kosakata (Yuhan, dkk tahun 2013) sehingga membuat mereka lebih mudah membangun interaksi sosial dengan „anak dengar‟ yang tidak banyak melibatkan komunikasi linguistik. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 100 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil temuan yang dipaparkan dalam pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Interaksi sosial antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟ terjadi dengan melibatkan dua komponen interaksi sosial, yaitu kontak sosial dan komunikasi. 2. Interaksi sosial antar-anak tunarungu tampak dalam ajakan bermain, mendekati sesama teman tunarungu, berkomunikasi baik secara oral maupun bahasa isyarat dalam bentuk abjad atau gerak tubuh. Selain itu, mereka juga melibatkan ekspresi perasaan dalam beragam bentuk baik mimik wajah ataupun tingkah laku. 3. Anak tunarungu tampak lebih pasif karena menunggu ajakan interaksi „anak dengar‟ ketika sedang bersama. Mereka juga cenderung untuk mengajak anak kecil untuk berinteraksi dibandingkan dengan teman sebayanya. Selain itu, anak tunarungu berkomunikasi dengan cara menggerakkan bibir atau menuliskan pesan. 4. Interaksi sosial tidak hanya terjadi antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟ tetapi interaksi sosial juga terjadi antara anak tunarungu dengan „orang dengar‟. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 101 5. Interaksi sosial yang terjadi dalam bentuk permainan atau percakapan tampak pada interaksi anak tunarungu baik dengan sesama maupun dengan „anak dengar‟. 6. Penolakan interaksi sosial antar-anak tunarungu terjadi karena anak tunarungu tidak ingin untuk membangun sebuah interaksi. Sedangkan penolakan interaksi sosial antara anak tunarungu dengan „anak dengar‟ terjadi karena anak tunarungu tidak menangkap pesan yang disampaikan oleh „anak dengar‟. B. Keterbatasan Penelitian Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, yaitu: 1. Penelitian ini hanya menggambarkan bentuk perilaku interaksi sosial yang tampak tetapi tidak dilihat dorongan atau motif yang melatarbelakangi munculnya perilaku. 2. Jumlah jam observasi antara di rumah dan di sekolah yang tidak seimbang sehingga kurang menggambarkan interaksi sosial dengan „anak dengar‟. 3. Perilaku guru terhadap masing-masing responden yang tidak dapat dikontrol oleh peneliti. 4. Situasi atau lingkungan di sekolah dan di rumah yang tidak sama. C. Saran 1. Bagi penelitian selanjutnya Penelitian ini hanya menggambarkan bentuk perilaku responden ketika berinteraksi dengan sesama anak tunarungu dan „anak dengar‟. Ada baiknya apabila penelitian diteruskan dengan meneliti dorongan atau motif PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 102 munculnya perilaku tersebut sehingga dapat memperkaya data tentang interaksi sosial anak tunarungu. 2. Bagi Praktisi Psikologi Adanya pendampingan bagi orangtua dan anak tunarungu agar bias berinteraksi dengan semua orang tanpa merasa rendah diri atau berkekurangan. Pendampingan ini bisa berupa pelatihan atau seminar tentang perkembangan anak tunarungu yang terhambat dan mendorong anak tunarungu untuk berinteraksi dengan „anak dengar‟. 3. Bagi Orangtua Anak tunarungu mengalami kesulitan berkomunikasi dengan „anak dengar‟ sehingga perlu pendampingan dalam berkomunikasi. Anak tunarungu juga sebaiknya dibiasakan berinteraksi dengan „anak dengar‟ agar mampu berinteraksi sehingga mereka tidak merasa kesepian. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 103 DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, A. (1991). Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta. Bat-Chava, Y., & Deignan, E. (2001). Peer Relationships of Children With Cochlear Implants . Beazley, S., & Moore, M. (1995). Deaf Children, Their Families and Professionals. New York: David Fulton Publishers. Berkowitz, L. (1980). A Survey of Social Psychology (2nd Edition). New York: Holt, Rinehart and Winston. Brown, P. M., Remine, M. D., Prescott, S. J., & Rickards, F. W. (2000). Social Interactions of Preschoolers With and Without Impaired Hearing in Integrated Kindergarten. Journal of Early Intervention, 23, 200-211. Bukatko, D. (2008). Child and Adolescent Development. New York: Houghton Mifflin Company. Denmark , J. C. (1994). Deafness and Mental Health . London: Jessica Kingsley Publishers. Efendi, M. (2006). Pengantar Psikopedagogik Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta: Bumi Aksara. Ekman, P. (2010). Membaca Emosi. (Jamilia, & T. W. Utomo, Trans.) Yogyakarta: Pustaka Baca. Gerungan, Dipl.Psych, D. (2009). Psikologi Sosial (Edisi 3 ed.). Bandung: PT Refika Aditama. Gregory, S., Knight, P., McCracken, W., Powers, S., & Watson , L. (Eds.). (1998). Issues in Deaf Education. London: David Fulton Publishers. Hambali, M. Pd, P. (2015). Psikologi Sosial. Bandung: CV Pustaka Setia. Kusdiyati, S., & Fahmi, I. (2015). Observasi Psikologi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Liben, L. S. (1978). Deaf Children: Developmental Perspective. New York: Academic Press Inc. Macionis, J. J. (2012). Sociology (14th ed.). New Jersey: Pearson. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 104 Marschark, M. (2007). Raising and Educating A Deaf Child : A Comprehensive Guide To The Choices, Controversies, and Decisions Faced by Parents and Rducators (2nd edition). Oxford: Oxford University Press. Marschark, M., & Spencer, P. E. (2003). Deaf Studies, Language, and Education. Oxford: Oxford University Press. Marschark, Ph.D, M., & Hauser, Ph.D, P. C. (2012). How Deaf Children Learn: What Parents and Teachers Need to Know. New York: Oxford University Press. Martin, D., Bat-Chava, Y., Lalwani, A., & Waltzman, S. B. (2010). Peer Relationship of Deaf Children With Cochlear Implants: Predictors of Peer Entry and Peer Interaction Success. Journal of Deaf Studies and Deaf Education. Medinnus, G. R. (1976). Child Study and Observation Guide. New York : John Willey and Sons. Most, T. (2007). Speech Intelligibility, Loneliness, and Sense of Coherence Among Deaf and Hard-of-Hearing Children in Individual Inclusion and Group Inclusion. Most, T., Ingber, S., & Heled-Ariam, E. (2011). Social Competence, Sense of Loneliness, and Speech Intelligibility of Young Children With Hearing Loss in Individual Inclusion and Group Inclusion. Journal of Deaf Studies and Deaf Education. Reber, A. S., & Reber, E. S. (2010). Kamus Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Santrock, J. W. (1997). Life-span Development. London: Brown & Benchmark. Soekanto, S. (2006). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Supratiknya, A. (2015). Metodologi Penelitian Kuantitatif & Kualitatif Dalam Psikologi. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma. Thompson, J. (2010). Memahami Anak Berkebutuhan Khusus. Ind: Erlangga. Walgito , B. (1991). Psikologi Sosial: Suatu Pengantar (rev ed.). Yogyakarta: Andi Offset. Walgito, P. (2003). Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Andi. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 105 Weisel, A., Most, T., & Efron, C. (2005). Initiations Social Interaction by Young Hearing Implants Preschoolers. Journal of Deaf Studies and Deaf Education, 10. Wie, PhD, O. B., Pripp, ScD, A. H., & Tvete, MS, O. (2010). Unilateral Deafness in Adults: Effects on Communication and Social Interaction. Annals of Otology, Rhinology, & Larynology, 119, 772-781. Yuhan, X. (2013). Peer Interaction of Children with Hearing Impairment. International Journal of Psychological Studies, 5. Yuhan, X., Potmesil, M., & Peters , B. (2013). Children Who Are Deaf or Hard of Hearing in Inclusive Educational Settings: A Literature Review on Interaction With Peers. Journal of Deaf Studies and Deaf Education. Pedoman Yankes Anak di SLB Bagi Petugas Kesehatan. (2011). Retrieved March 20, 2015, from www.gizikia.depkes.go.id: http://www.gizikia.depkes.go.id/wpcontent/uploads/downloads/2011/01/ PEDOMAN-YANKES-ANAK-DI-SLB-BAGI-PETUGASKESEHATAN.pdf Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. (2014). Retrieved March 20, 2015, from www.depkes.go.id: http://www.depkes.go.id/folder/view/01/structure-publikasi-pusdatin-infodatin.html.