PERUBAHAN KURIKULUM DAN KINERJA GURU MIPA DI SMA NEGERI SE

advertisement
1
FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 28, NOMOR 1, SEPTEMBER 2008
PERUBAHAN KURIKULUM DAN KINERJA GURU MIPA
DI SMA NEGERI SE-KOTA MATARAM
Lale S. Yasmin, Burhanuddin, Agus A. Purwoko*)
Abstract. This research aimed to find out the impact of school curriculum change toward the
performance of mathematics and science teachers at senior high schools in Mataram city, West
Nusa Tenggara. The sample was selected by using purposive sampling technique, taking only
teachers who have at least six years teaching experience. The data were collected using
questionnaires which were developed from matrix instrument describing indicators and
descriptors. Percentage per indicator was then calculated from respondens’ answers (scores), and
was further converted to a certain performance category. The results showed that there was
significant impact of curriculum change on teachers’ performance. The percentage of teachers
performance change covered (1) teacher’s readiness (Pfh = 72.29%), (2) teaching planning (Pfh =
51.80 %), (3) syllaby development (Pfh = 50.90 %), (4) implementation of teaching and learning
process (Pfh = 56.34%), and (5) evaluation and assessment process (pfh = 50.50 %).
Keywords: Curriculum change, Mathematics and Science teachers’ performance
Perkembangan kurikulum bukan merupakan hal
baru bagi dunia pendidikan di Indonesia. Sejak
masa kemerdekaan tahun 1945 sampai dengan
sekarang telah tercatat lebih dari delapan kali
terjadi perubahan kurikulum; dimulai dengan
Kurikulum Rencana Pelajaran 1947 yang terus
disempurnakan sampai dengan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sekarang ini
(Tiar, 2007). Perubahan atau penyempurnaan
kurikulum merupakan suatu keniscayaan seiring
dengan perubahan zaman dengan segala implikasinya.
Dalam kurun waktu dua dasawarsa terakhir
juga telah terjadi perubahan kurikulum. Kurikulum 1984, misalnya, diganti atau disempurnakan menjadi Kurikulum 1994. Pergantian
kurikulum ini dilaksanakan sebagai bentuk implementasi dari Undang-undang No.2 tahun 1989
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Namun seperti diketahui bahwa setelah berjalan beberapa
tahun, Kurikulum 1994 dinilai memiliki beberapa kelemahan yang terkait dengan kecenderungan pada pendekatan penguasaan materi
(content oriented) dengan dampak seperti (1)
beban belajar siswa terlalu berat karena banyaknya ragam mata pelajaran dan kepadatan materi
pada setiap mata pelajaran; (2) materi pelajaran
dianggap terlalu sukar karena kurang relevan
dengan tingkat perkembangan berpikir siswa,
dan (3) kurang bermakna karena kurang terkait
dengan aplikasi kehidupan sehari-hari. Kelemah-
an-kelemahan inilah yang melatarbelakangi
usaha untuk menyempurnakan Kurikulum 1994
yang diwujudkan dalam bentuk Suplemen Kurikulum 1999 (Soekisno, 2007).
Seperti dimaklumi bahwa Kurikulum 1994
dan Suplemen Kurikulum 1999 mengalami penyempurnaan kembali, yang antara lain dimaksudkan sebagai respon dari perubahan sistem
pemerintahan, yakni dari model pemerintahan
sentralistik menjadi pemerintahan desentralistik.
Perubahan model pemerintahan ini merupakan
konsekuensi logis dari pelaksanaan kebijakan
tentang otonomi daerah. Kurikulum baru tersebut
kemudian dikenal sebagai KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) yang menitikberatkan pada
pengembangan kemampuan untuk melakukan
tugas-tugas tertentu sesuai dengan standar
kinerja yang telah ditetapkan (kompetensi).
Pengembangan KBK juga merupakan bentuk implementasi dari Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (UU Sisdiknas). Dalam pasal 36 ayat 2
disebutkan bahwa kurikulum pada semua jenjang
dan jenis pendidikan dikembangkan dengan
prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.
Namun, dalam kenyataannya KBK belum pernah
secara resmi diluncurkan sebagai kurikulum
sekolah pengganti Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999. Pemerintah pusat bersama-sama pemerintah daerah selama kurun
*) Lale S. Yasmin, Burhanuddin, Agus A. Purwoko adalah dosen Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Univ. Mataram
37
38 FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 28, NOMOR 1, SEPTEMBER 2008
waktu 2003–2005 hanya melaksanakan uji coba
KBK ke sebagian sekolah yang dimaksudkan sebagai sekolah rintisan pelaksanaan KBK.
UU Sisdiknas kemudian dijabarkan lebih
lanjut ke dalam sejumlah peraturan, antara lain
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Merujuk pada PP No.19/2005 maka perlu disusun
dan dilaksanakan delapan Standar Nasional Pendidikan, yaitu (1) Standar Isi, (2) Standar Proses,
(3) Standar Kompetensi Lulusan, (4) Standar
Pendidik dan Tenaga Kependidikan, (5) Standar
Sarana dan Prasarana, (6) Standar Pengelolaan,
(7) Standar Pembiayaan, dan (8) Standar Penilaian Pendidikan, yang terwujud dalam bentuk
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
Esensi isi dan arah pengembangan pembelajaran dalam KTSP masih tetap bercirikan tercapainya paket-paket kompetensi yaitu (1) menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa
baik secara individual maupun klasikal; (2) berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes)
dan keberagaman; (3) penyampaian pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang
bervariasi; (4) sumber belajar bukan hanya guru,
tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif; dan (5) penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam
upaya penguasaan atau pencapaian kompetensi
(Soekisno, 2007).
Guru sebagai pelaksana proses pembelajaran di kelas dihadapkan secara langsung
dengan adanya perubahan-perubahan di atas.
Perubahan kurikulum dari Kurikulum 1994 ke
KBK dan akhirnya ke KTSP sangat dimungkinkan mempengaruhi kinerja guru, yakni pengaruh
yang dimulai dari tahap perencanaan kegiatan
pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, evaluasi pembelajaran sampai pada tahap pengembangan bahan ajar.
Perbedaan yang khas dalam ketiga kurikulum terakhir adalah pada pendekatan pengembangan kurikulum. Jika pada Kurikulum 1994
pengembangan bersifat sentralistik maka pengembangan KBK lebih bersifat desentralistik,
akan tetapi aturan dan bagian-bagian Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) pada silabus
telah diatur secara lengkap dan guru cukup mencontoh pembuatan RPP dari contoh silabus
tersebut. Pada KTSP selain bersifat desentralistik
maka pengembangan silabus dan RPP disusun
oleh guru atau kelompok guru sebidang yang didasarkan pada standar kompetensi dan kompe-
tensi dasar. Pengembangan tersebut disesuaikan
dengan potensi yang dimiliki dan kompetensi
yang diinginkan sehingga masing-masing
sekolah dimungkinkan memiliki silabus dan RPP
yang berbeda.
Terkait dengan perubahan kurikulum
dengan segala implikasinya maka timbul pertanyaan penting tentang seberapa jauh pengaruh
perubahan kurikulum terhadap kinerja guru
MIPA dalam merencanakan, melaksanakan, dan
mengevaluasi proses pembelajaran di kelas.
Artikel ini menjelaskan hasil penelitian tentang
perubahan sikap/kinerja guru MIPA SMA Negeri
se-Kota Mataram dalam menghadapi perubahan
kurikulum, dengan menitikberatkan pada tugas
guru dalam merencanakan, mengimplementasikan dan mengadakan evaluasi kegiatan pembelajaran.
METODE PENELITIAN
Populasi penelitian adalah seluruh guru
MIPA di SMA Negeri se-Kota Mataram yang
berjumlah 100 orang dengan tehnik pengambilan
sampel purposive sampling. Sampel adalah guru
MIPA yang memiliki pengalaman mengajar di
atas 6 tahun dengan pertimbangan bahwa mereka
telah memiliki pengetahuan dan pengalaman
yang berhubungan dengan pergantian kurikulum
dari Kurikulum 1994 sampai dengan Kurikulum
2004 (KBK) dan Kurikulum 2006 (KTSP). Keseluruhan sampel berjumlah 64 orang yang terdiri atas guru kimia (13 orang), guru biologi (22
orang), guru fisika (13 orang), dan guru Matematika (16 orang).
Data dikumpulkan dengan menggunakan
angket yang dikembangkan dari kisi-kisi instrumen yang terdiri atas komponen penguasaan
kurikulum dan penerapannya dalam pembelajaran. Validitas angket didasarkan atas kesesuaian
butir-butir angket dengan kisi-kisi instrumen
(validitas isi). Pemberian skor pada angket dilakukan berdasarkan skala Likert, dimana tiaptiap item diatur secara bertingkat dengan pilihan
empat jawaban: selalu, sering, pernah, dan tidak
pernah (Sugiono, 1999). Skala ini dikonversi ke
dalam nilai (skor) berupa angka berturut-turut
adalah 4 (selalu), 3 (sering), 2 (pernah), 1 (tidak
pernah).
Analisis data dilakukan secara kuantitatif
untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang
pengaruh perubahan kurikulum terhadap kinerja
39 FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 28, NOMOR 1, SEPTEMBER 2008
guru MIPA dalam proses pembelajaran dan
proses evaluasi dalam pelaksanaan pembelajaran.
Analisis dilakukan dengan menghitung persentase dengan menggunakan rumus:
Pfh
skor
MxNxB.Maks
x100% .
(Tauhid dalam Zaidun, 2003)
Keterangan:
Pfh
= persentase perubahan kinerja guru
N
= jumlah responden (keseluruhan sampel)
B. Maks = skor maksimal nilai ideal item angket
Σ skor = jumlah skor
ΣM
= jumlah butir soal/deskriptor
Hasil hitungan dari data nilai angket kemudian dikelompokkan berdasarkan deskriptor
kemudian dihitung persentasenya berdasarkan
rumus Pfh di atas, dan dikonversikan ke dalam
kategori tertentu dengan menggunakan pedoman
konversi seperti pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Pedoman Konversi Kinerja Guru
Persentase
Perubahan
Tingkat Perubahan Kinerja
Kinerja Guru
1
80 – 100
Sangat berubah
2
61 – 80
Berubah
3
41 – 60
Cukup berubah
4
21 – 40
Kurang berubah
5
0 – 20
Sangat tidak berubah
Sumber : Tauhid dalam Zaidun (2003)
No
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis data perubahan kinerja guru
MIPA di SMA Negeri Se-Kota Mataram yang
terkait dengan adanya perubahan kurikulum,
khususnya dari kurikulum 1994 ke KBK sampai
dengan KTSP, dapat dilihat pada Tabel 2. Seperti
terlihat pada Tabel 2 maka harga pfh rata-rata per
indikator tertinggi adalah kesiapan guru dalam
menyikapi perubahan kurikulum, sedangkan
indikator lainnya memiliki persentase rata-rata
lebih rendah.
Dalam setiap pergantian kurikulum isu
pertama yang menjadi masalah adalah sosialisasi,
yakni bagaimana kurikulum baru tersebut dapat
dipahami dan diterima oleh guru sehingga
mereka dapat menerapkannya sesuai dengan
harapan dan tujuan kurikulum tersebut (Mulyasa,
2004). Isu ini terkait dengan kesiapan para guru
yang berfungsi sebagai subjek dalam menerima,
memahami serta melaksanakan kurikulum. Idealnya mereka perlu secara aktif mencari dan
memahami bagaimana esensi dari kurikulum,
misalnya dengan mengikuti kegiatan ilmiah
seperti seminar dan pelatihan. Kegiatan-kegiatan
ilmiah seperti itu merupakan cara yang banyak
digunakan terkait dalam pelaksanaan sosialisasi.
Dari hasil kegiatan-kegiatan tersebut para guru
seharusnya dapat menindaklanjuti dengan action
plan atau implementasi dari apa yang telah
didapatkannya.
Selain itu, faktor kebijakan dari pihak
manajemen sekolah juga menjadi bagian penting
dalam hal sosialisasi dalam pelaksanaan kurikulum baru. Terkait dengan keterlibatan manajemen sekolah, pihak yang cukup berperan
adalah keterlibatan kepala sekolah sebagai
mediator antara pihak Dinas Pendidikan dan para
guru yang ada di sekolahnya masing-masing.
Jadi jelaslah bahwa keterlibatan semua stakeholder seperti diungkapkan oleh Yamin (2006)
menjadi faktor penentu untuk keberhasilan
pelaksanaan kurikulum; artinya bahwa agen
kurikulum tidak hanya ada di tingkat sekolah,
dinas pendidikan dan Depdiknas saja, namun
harus tersebar luas pada semua lembaga seperti
LPTK, komite sekolah/dewan pendidikan,
organisasi profesi, dan lembaga lainnya.
Hasil analisis data menunjukkan bahwa
pada dasarnya tahap sosialisasi telah dilaksanakan dengan baik, dengan nilai pfh=79,29%
(masuk dalam kategori berubah). Artinya, proses
dan tahap sosialisasi kurikulum yang dilakukan
oleh Dinas Pendidikan Kota Mataram terhadap
guru-guru SMA Negeri se-Kota Mataram sudah
terlaksana dengan baik. Terkait dengan sosialisasi Jamal (2008) melaporkan bahwa para guru
mendapatkan pengetahuan tentang kurikulum
baru baik melalui kegiatan formal (pelatihan)
maupun dengan cara lain (informal) dengan
tingkat pemahaman yang tidak berbeda signifikan pada kedua cara tersebut.
Sementara itu hasil survei terkait dengan
sikap guru terhadap perubahan kurikulum adalah
cukup baik (Pfh=65,54 %). Artinya, responden
telah menunjukkan perubahan sikap (positif) terkait dengan pemberlakuan kurikulum baru. Perubahan sikap ini diindikasikan dari jawaban
angket yang menggambarkan bahwa responden/
guru peduli terhadap perubahan dengan melakukan beberapa adaptasi. Penyesuaian diri yang dilakukan oleh responden adalah dalam hal seperti
40 FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 28, NOMOR 1, SEPTEMBER 2008
Tabel 2: Persentase Perubahan Kinerja Guru MIPA
No
Indikator
1
 Kesiapan Guru
2
3
4
5
 Perencanaan
pembelajaran
 pengembangan
silabus
(oleh tim guru
atau MGMP)
 Penerapan
silabus dalam
proses
pembelajaran
di kelas
 Proses Evaluasi
Deskriptor
A.
B.
Pertukaran informasi
Sikap guru dengan
adanya pemberlakuan
kebijakan yang baru
C. Identifikasi kebutuhan
pembelajaran
D. Perumusan silabus
E. Penyusunan silabus
F. Penyusunan alat-alat
evaluasi
G. Pemilihan materi
H. Penetapan Jam
Semester
I. Penetapan SKBM
J. Proses pembuatan
Rencana
Pembelajaran.
K. Proses Pembelajaran di
kelas
L. Proses pembuatan alat
evaluasi
M. Proses pelaksanaan
evaluasi
N. Proses pemberian nilai
usaha untuk memahami standar kompetensi,
kompetensi dasar, indikator, standar ketuntasan
belajar minimal (SKBM) yang selanjutnya berubah lagi menjadi kriteria ketuntasan minimal
(KKM), dan lain-lain serta adanya perubahan
format dalam pembuatan RPP.
Pada aspek kinerja guru dalam perencanaan pembelajaran nilai Pfh rata-rata adalah
51,80%. Jawaban dari angket yang dominan terpilih adalah opsi “pernah” yang artinya responden merasa sedikit terganggu dengan pemberlakuan kurikulum baru. Resistansi ringan seperti
ini wajar terjadi pada setiap kali terjadi perubahan dari sesuatu yang telah ada (dianggap mapan).
Hasil ini juga mengindikasikan bahwa diperlukan waktu bagi para responden untuk melakukan
adaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi; misalnya, keharusan bagi guru untuk membuat perangkat evaluasi yang sesuai dengan
kurikulum baru, cara pembuatan RP/RPP, proses
pelaksanaan pembelajaran sampai dengan proses
penilaian. Hasil analisis ini senada dengan yang
dilaporkan oleh Jamal (2008) bahwa terjadi penurunan kinerja para guru dari pemahaman
kurikulum keimplementasinya di kelas; keadaan
ini disebabkan antara lain oleh intensitas pelatihan yang kurang, jumlah siswa per kelas yang
besar, dan minimnya fasilitas pendukung.
No. Soal
pfh (%)
1-3
4,5
79,05
65,54
6,7
72,30
8
9-11
12
41,22
54,50
39,19
14-16
22
62,16
51,35
13
17,18
39,19
50,68
19,20,21,
23
24,25
61,99
26
43,24
27,28
59,12
pfh rata-rata
perindikator
72,29
Tingkat
Perubahan
Berubah
51,80
Cukup
berubah
50,90
Cukup
berubah
56,34
Cukup
berubah
50,56
Cukup
berubah
49,32
Pengembangan silabus bukan merupakan
hal baru bagi para guru, karena pada Kurikulum
1994 pun mereka telah diharuskan untuk membuat Satuan Pelajaran (SP), Rencana Pelajaran
(RP) dan Analisis Materi Pelajaran (AMP),
namun perangkat tersebut dibuat dengan format
yang baku atau sama, dan ditentukan secara terpusat tanpa mempertimbangkan kemampuan
daerah. Ciri khas dari kebebasan daerah hanya
diberikan pada pengembangan muatan lokal saja.
Struktur pada KBK dan KTSP agak berbeda
karena memiliki format yang lebih fleksibel.
Dalam format seperti itu guru dituntut untuk
mampu mengembangkan silabus sesuai dengan
kebutuhan dan sumberdaya yang dimiliki oleh
sekolah maupun daerah (Tiar, 2007).
Pengembangan silabus yang dimaksud
dalam instrumen penelitian terbagi dalam tiga
bagian; yaitu pemilihan materi, penetapan jam
semester, dan penetapan SKBM/KKM. Hasil
analisis pada aspek pengembangan silabus menunjukkan nilai Pfh rata-rata 50,90%, dengan
rincian pemilihan materi 62,16%, penetapan jam
semester 51,35%, dan penetapan SKBM 39,19%.
Hasil ini menunjukkan bahwa secara umum
kinerja responden/guru masuk dalam kategori
cukup berubah. Perubahan ini diartikan sebagai
reaksi responden/guru cukup positif terhadap
41 FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 28, NOMOR 1, SEPTEMBER 2008
kebebasan bagi guru dan sekolah dalam mengembangkan silabus dan menetapkan indikator
pembelajaran sendiri.
Hasil analisis pada aspek perubahan kinerja guru yang berhubungan dengan proses
pembelajaran (implementasi kurikulum) adalah
56,34%. Artinya, proses pengembangan silabus
diikuti/diteruskan secara baik dengan pelaksanaan pembelajaran. Keadaan ini bertolak belakang
dengan temuan yang dilaporkan oleh Jamal
(2008) bahwa tingkat implementasi kurikulum
kurang baik. Jika dianalisis lebih lanjut maka
didapatkan bahwa adanya ketentuan untuk melakukan pengukuran ketuntasan belajar siswa
memberikan kontribusi positif terhadap kinerja
guru, misalnya dalam penyusunan/pengembangan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM).
Kelengkapan sarana dan prasarana sebagai
penunjang proses pembelajaran dirasakan sedikit
menggangu kinerja guru dalam menciptakan
proses pembelajaran siswa aktif. Situasi ini
terkait dengan ketersediaan waktu dan kelengkapan alat/bahan sebagai media pembelajaran.
Alokasi waktu tidak mencukupi jika dilaksanakan proses pembelajaran dengan menggunakan
metode demonstrasi atau praktikum karena keterbatasan peralatan. Lebih-lebih data yang didapat dari lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar SMA Negeri di Mataram tidak
memiliki laboran khusus yang dapat membantu
untuk mempersiapkan praktikum. Selain itu pendapat responden juga mengindikasikan bahwa
adanya Ujian Nasional (UN) kurang men-dukung
pengembangan proses pembelajaran yang baik.
Kebijakan UN ini memaksa para guru untuk
mengefektifkan waktu dalam menyelesaikan
materi yang disampaikan dan mengulangnya dari
awal melalui latihan soal, terutama pada kelas
XII, bukannya memfokuskan perhatian untuk
mengembangkan proses pembelajaran yang bermutu seperti tuntutan kurikulum.
Evaluasi merupakan salah satu tahapan
akhir dalam suatu proses pembelajaran. Proses
ini merupakan patokan dan gambaran dari apa
yang telah dikerjakan baik oleh guru maupun
siswa. Hasil angket untuk mengukur kinerja
guru yang berhubungan dengan proses pembuatan alat evaluasi menunjukkan Pfh= 50,56%.
Pengembangan alat evaluasi yang mengharuskan
adanya penilaian dengan memperhatikan beberapa aspek sekaligus (seperti aspek kognitif,
afektif dan psikomotorik) cukup membuat
kinerja para guru berubah. Namun, hasil analisis
juga menunjukkan bahwa sebagian responden
masih melakukan pola lama yaitu mengambil
contoh alat evaluasi dari contoh silabus yang
telah ada. Situasi ini dapat dimaklumi karena
penilaian yang mengharuskan guru untuk menilai
ketiga aspek ini masih baru, yang diberlakukan
sebagai produk dari KBK dan KTSP.
Menurut responden, aspek afektif dan psikomotorik yang penilaiannya membutuhkan
pengamatan merupakan hal yang agak sulit untuk
dilakukan. Hal ini cukup beralasan karena selain
faktor penilaian yang bersifat subjektif, jumlah
siswa dalam kelas (kelas gemuk) dan terbatasnya
waktu yang tersedia untuk melaku-kan evaluasi
secara maksimal juga dirasakan sebagai faktor
penghambat bagi guru. Lebih jauh responden
juga mengindikasikan adanya kesulitan untuk
melakukan pengamatan pada tugas siswa.
Kesulitan ini mudah dipahami karena diperlukan
keahlian guru untuk membahasakan aspek
penilaian yang bersifat teramati menjadi sesuatu
yang dapat dinilai/ternilai (Farid, 2006).
Faktor lain yang dirasakan memberatkan
guru, terkait dengan proses evaluasi, adalah
penggunaan portofolio; yaitu tugas yang berhubungan dengan hasil tulisan siswa baik berupa
Lembar Kerja Siswa (LKS), laporan kegiatan/
praktikum ataupun karya tulis yang lain. Alasan
yang dikemukakan responden menunjukkan
bahwa penilaian dengan cara portofolio membutuhkan waktu yang lama, baik dalam mempersiapkan ataupun dalam pemeriksaan akhir.
Semestinya penilaian model portofolio dapat
membantu guru untuk melihat keaktifan siswa,
paling tidak membantu penilaian untuk aspek
pskimotorik dan kognitif siswa.
Adanya ketentuan penetapan Standar Ketuntasan Belajar Minimal (SKBM) dalam menentukan ketercapaian kompetensi dasar, yang
kemudian dipakai sebagai dasar untuk menentukan perlu tidaknya tindakan remedi cukup berpengaruh positif terhadap kinerja guru. Artinya,
dengan adanya keharusan guru untuk membuat
SKBM, maka akan mempermudah guru untuk
menentukan tindakan remedi pada siswa pada
setiap kompetensi dasar yang belum tercapai.
SIMPULAN DAN SARAN
Hasil analisis data yang terkumpul menunjukkan bahwa perubahan kurikulum yang
terjadi pada kurun waktu kurang lebih sepuluh
tahun terakhir telah direspon cukup baik oleh
42 FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 28, NOMOR 1, SEPTEMBER 2008
para guru MIPA di SMA Negeri se-Kota
Mataram. Respon yang dimaksud adalah terjadinya perubahan sikap yang meliputi aspek perencanaan pembelajaran, pengembangan silabus,
pelaksanaan pembelajaran, dan proses evaluasi.
Meskipun usaha sosialisasi oleh pemerintah dan sekolah terhadap adanya kebijakan baru
yang diluncurkan dapat dilakukan dengan baik,
namun dampak perubahan kurikulum tergolong
masih belum memenuhi harapan seperti seharusnya. Beberapa kendala yang mengakibatkannya
antara lain adalah minimnya sarana dan prasarana sekolah, aspek penilaian yang belum sinkron
dengan kemampuan dan beban guru, serta kebijakan standarisasi mutu pendidikan yang berbentuk Ujian Nasional seperti sekarang ini.
Untuk mengeliminasi beberapa kendala
yang terungkap pada penelitian ini maka disarankan bahwa sebelum kurikulum diterapkan, selain
faktor sosialisasi, terdapat faktor lain yang seharusnya terlebih dahulu dilakukan; yakni pengembangan sumber daya guru, khususnya
dalam hal berbagai ketrampilan yang terkait, dan
penyiapan sarana penunjang pelaksanaan pembelajaran.
DAFTAR RUJUKAN
Farid, H.N, 2006. Penilaian Sistem KBK
Merepotkan Guru, http://www.pikiranrakyat.com/cetak/0904/06/0309.
Jamal, H. 2008. Kinerja Guru Dalam
Mengadopsi Inovasi Kurikulum:Kasus
KBK pada SMA Negeri di Provinsi Jambi,
http://www.puslitjaknov.org/data/file/200
8, diakses: 30 April 2009.
Mulyasa, E, 2004. Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK), Konsep, Karakteristik
dan Implementasi. Bandung: PT.Remaja
Rosdakarya.
Peraturan Pemerintah No.19/2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan.
Soekisno. Bambang R, 2007. Bagaimanakah
Perjalanan Kurikulum Nasional (Pada
Pendidikan Dasar dan Menengah),
http://www.Rbaryans.wordpress.com, diakses: 10 Maret 2008
Sugiyono, 1999. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta.
Tiar, 2007. Perkembangan Kurikulum di
Indonesia, http//www. Si-jeddah.com,
diakses: 3 Maret 2008.
Undang - Undang No.20 / 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
Undang-Undang RI No. 23/2004 tentang
Otonomi Daerah
Yamin, M., 2006. KBK: Antara Harapan dan
Kenyataan, Wajah Pendidikan Indonesia,
http://www.id.edublog.org, diakses: 30
April 2009.
Zaidun, F., 2003. "Sikap Profesional Guru Kimia
Dalam Meningkatkan Prestasi Belajar
Kimia di SMU Se-Kota Mataram Tahun
Ajaran 2002/2003" Skripsi UNRAM,
Mataram.
Download