BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Belajar dan Pembelajaran a. Definisi Belajar Pengertian belajar dapat didefinisikan, “Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interkasi dengan lingkungannya” (Daryanto, 2009: 2). Belajar berkaitan dengan tingkah laku sesuai pernyataan Hilgard dan Bower (Thobroni, 2015: 18) belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap sesuatu situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya yang berulang-ulang dalam situasi itu, perubahan tingkah laku tidak dapat dijelaskan atau dasar kecenderungan respons pembawaan, kematangan, atau keadaan-keadaan sesaat, misalnya kelelahan, pengaruh obat, dan sebagainya. Sesuai dengan simpulan Cronbach (Suprijono, 2009: 2) learning is shown by a change in behavior as result of experience (belajar adalah perubahan perilaku sebagai hasil dari pengalaman). Ciri-ciri belajar yang diungkapkan oleh Burhanuddin dan Wahyuni (2007: 15-16), yaitu sebagai berikut: 1) Belajar ditandai dengan adanya perubahan tingkah laku (change behavior). 2) Perubahan perilaku relatif permanen. 3) Perubahan perilaku tidak harus segera dapat dimati pada saat proses belajar berlangsung, perubahan perilaku tersebut bersifat potensial. 4) Perubahan perilaku merupakan hasil latihan atau pengalaman. 5) Pengalaman atau latihan itu dapat memberi penguatan. Terdapat tiga prinsip-prinsip belajar menurut Suprijono (2009: 4-5), yakni: Pertama, prinsip belajar adalah perubahan perilaku sebagai hasil belajar yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 7 8 1) Sebagai hasil tindakan rasional instrumental, yaitu perubahan yang disadari. 2) Kontinu atau berkesinambungan dengan perilaku lainnya. 3) Fungsional atau bermanfaat sebagai bekal hidup. 4) Positif atau berakumulasi. 5) Aktif sebagai usaha yang direncanakan dan dilakukan. 6) Permanen atau tetap, sebagaimana dikatakan oleh Wittig, belajar sebagai “any relatively permanent change in an organism’s behavioral repertoire that accurs as a result of experience”. 7) Bertujuan dan terarah. 8) Mencakup keseluruhan potensi kemanusiaan. Kedua, belajar merupakan proses. Belajar terjadi karena dorongan kebutuhan dan tujuan yang ingin dicapai. Belajar adalah proses sistemik yang dinamis, konstruktif, dan organik. Belajar merupakan kesatuan fungsional dari berbagai komponen belajar. Ketiga, belajar merupakan bentuk pengalaman. Pengalaman pada dasarnya adalah hasil interaksi antara peserta didik dan lingkungannya. Suprijono (2009: 5) juga menuliskan tujuan dari belajar, yakni sebagai berikut: Tujuan belajar yang eksplisit diusahakan untuk dicapai dengan tindakan instruksional yang dinamakan instructional effects, yang biasanya berbentuk pengetahuan dan keterampilan. Sedangkan, tujuan belajar sebagai hasil yang menyertai tujuan belajar instruksional disebut nurturant effects. Bentuknya berupa kemampuan berpikir kritis dan kreatif, sikap terbuka dan demokratis, menerima orang lain, dan sebagainya. Tujuan ini merupakan konsekuensi logis dari peserta didik “menghidupi” (live in) suatu sistem lingkungan belajar tertentu. Mengacu pada beberapa pengertian di atas, belajar merupakan proses perubahan tingkah laku seseorang sesuai pengalamannya yang dialami secara berulang-ulang. Proses belajar dapat membentuk pola pikir manusia agar dapat berpikir kritis, kreatif, bersikap terbuka dan demokratis. b. Definisi Pembelajaran Mengenai definisi pembelajaran Thobroni (2015: 16) mengutip pengertian yang terdapat di Kamus Besar Bahasa Indonesia, yakni kata “pembelajaran” berasal dari kata “ajar” yang berarti petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui atau diturut, sedangkan “pembelajaran” berarti proses, cara, perbuatan menjadikan orang atau makhluk hidup belajar. 9 Pembelajaran merupakan hasil praktik yang diulang, hal ini sesuai dengan pernyataan Kimble dan Garmezy (Pringgawidagda, 2002: 20), pembelajaran adalah suatu perubahan perilaku yang relatif tetap dan merupakan hasil praktik yang diulang-ulang. Pembelajaran memiliki makna bahwa subjek belajar harus dibelajarkan bukan diajarkan. Subjek belajar yang dimaksud adalah siswa atau disebut juga pembelajar yang menjadi pusat kegiatan belajar. Siswa sebagai subjek belajar dituntut untuk aktif mencari, menemukan, menganalisis, merumuskan, memecahkan masalah, dan menyimpulkan suatu masalah. Menurut Syaiful Sagala (Setiyoningsih, 2013: 11) mengatakan bahwa pembelajaran ialah membelajarkan siswa menggunakan asas pendidikan maupun teori belajar yang merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan. Sesuai pendapat Corey (Setiyoningsih, 2013: 11), pembelajaran adalah suatu proses di mana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi-kondisi khusus atau menghasilkan respon terhadap situasi tertentu pembelajaran merupakan subset khusus dari pendidikan. “Pembelajaran adalah pemerolehan suatu mata pelajaran atau pemerolehan suatu keterampilan melalui pelajaran, pengalaman, atau pengajaran” (Rombepajung, 1988: 25). Brown (2007: 8) merinci karakteristik pembelajaran antara lain sebagai berikut: 1) Belajar adalah menguasai atau “memperoleh”. 2) Belajar adalah mengingat-ingat informasi atau keterampilan. 3) Proses mengingat-ingat melibatkan sistem penyimpanan, memori, dan organisasi kognitif. 4) Belajar melibatkan perhatian aktif sadar dan bertindak menurut peristiwa-peristiwa di luar serta di dalam organisme. 5) Belajar itu bersifat permanen, tetapi tunduk pada lupa. 6) Belajar melibatkan berbagai bentuk latihan, mungkin latihan yang ditopang dengan imbalan dan hukum. 7) Belajar adalah suatu perubahan dalam perilaku. 10 Dalam proses pembelajaran terdapat keterampilan untuk mengingat sesuatu yang disimpan dalam memori, hal ini sesuai dengan pendapat Thobroni (2015: 17), yakni: Pembelajaran membutuhkan sebuah proses yang disadari yang cenderung bersifat permanen dan mengubah perilaku. Pada proses tersebut terjadi pengingatan informasi yang kemudian disimpan dalam memori dan organisasi kognitif. Selanjutnya, keterampilan tersebut diwujudkan secara praktis pada keaktifan siswa dalam merespons dan bereaksi terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi pada diri siswa ataupun lingkungannya. Berdasarkan beberapa pendapat yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran merupakan suatu proses belajar yang berulang-ulang dan menyebutkan adanya perubahan perilaku yang disadari dan cenderung bersifat tetap. 2. Pengertian Hasil Belajar Suprijono (2009: 5) mendefinisikan hasil belajar, “Hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap, apresiasi, dan keterampilan.” Terdapat beberapa hal mengenai hasil belajar merujuk pada pemikiran Gagne, yakni sebagai berikut: a. Informasi verbal, yaitu kapabilitas mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk bahasa, baik lisan maupun tertulis. Kemampuan merespons secara spesifik terhadap rangsangan spesifik. Kemampuan tersebut tidak memerlukan manipulasi simbol, pemecahan masalah, maupun penerapan aturan. b. Keterampilan intelektual, yaitu kemampuan mempresentasikan konsep dan lambang. Keterampilan intelektual terdiri dari kemampuan mengategorisasi, kemampuan analitis-sintetis fakta-konsep, dan mengembangkan prinsip-prinsip keilmuan. Keterampilan intelektual merupakan kemampuan melakukan aktivitas kognitif bersifat khas. c. Strategi kognitif, yaitu kecakapan menyalurkan dan mengarahkan aktivitas kognitifnya. Kemampuan ini meliputi penggunaan konsep dan kaidah dalam memecahkan masalah. d. Keterampilan motorik, yaitu kemampuan melakukan serangkaian gerak jasmani dalam urusan dan koordinasi sehingga terwujud otomatisme gerak jasmani. e. Sikap adalah kemampuan menerima atau menolak objek berdasarkan penilaian terhadap objek tersebut. Sikap berupa kemampuan 11 menginternalisasi dan eksternalisasi nilai-nilai. Sikap merupakan kemampuan menjadikan nilai-nilai sebagai standar perilaku. (Thobroni, 2015: 20-21) Teori hasil belajar berdasarkan Taksonomi Bloom baru versi Kreathwohl di jurnal Theory into Practice (hasil revisi Taksonomi Bloom versi lama yang dilakukan pada tahun 2001) menyatakan bahwa hasil belajar mencakup kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik antara lain sebagai berikut (Rusmin, 2014: 15-24): a. Domain kognitif mencakup: 1) Remembering/mengingat (C1) 2) Understanding/memahami (C2) 3) Applying/menerapkan (C3) 4) Analyzing/menganalisis (C4) 5) Evaluating/menilai (C5) 6) Creating/mencipta (C6) b. Domain afektif mencakup: 1) Menerima (A1) 2) Menanggapi (A2) 3) Menilai (A3) 4) Mengelola (A4) 5) Menghayati (A5) c. Domain psikomotorik mencakup: 1) Menirukan (P1) 2) Memanipulasi (P2) 3) Pengalamiahan (P3) 4) Artikulasi (P4) Lebih jelasnya mengenai beberapa aspek pembelajaran di atas menurut Daryanto (2009: 318-322), ranah kognitif berhubungan dengan kemampuan berpikir, termasuk di dalamnya kemampuan menghafal, memahami, mengaplikasi, menganalisis, mensintesis, dan kemampuan mengevaluasi. Ranah afektif mencakup watak perilaku seperti perasa, minat, sikap, emosi, dan 12 nilai. Sementara ranah psikomotorik mencakup imitasi, manipulasi, presisi, artikulasi, dan naturalisasi. a. Kognitif Aspek mengetahui, penilaian memahami, ranah kognitif terkait mengaplikasikan, dengan menganalisis, kemampuan melakukan sintesis, dan mengevaluasi. Kemampuan mengetahui artinya kemampuan mengetahui fakta, konsep, prinsip dan skill. Kemampuan memahami artinya kemampuan mengerti tentang hubungan antar faktor, antar konsep, antar prinsip, antar data, hubungan sebab akibat dan penarikan kesimpulan. Kemampuan mengaplikasikan sesuatu, artinya menggunakan pengetahuan untuk memecahkan masalah atau menerapkan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari. Kemampuan menganalisis, artinya menentukan bagian-bagian dari suatu masalah dan penyelesaian atau gagasan serta menunjukkan hubungan antarbagian itu. Kemampuan melakukan sintesis, artinya menggabungkan berbagai informasi menjadi satu kesimpulan atau konsep, meramu atau merangkai berbagai gagasan menjadi sesuatu yang baru. Kemampuan melakukan evaluasi, artinya mempertimbangkan dan menilai benar salah, baik buruk, bermanfaat tak bermanfaat. b. Afektif Aspek penilaian ranah afektif terkait dengan kemampuan menerima, merespons, menilai, mengorganisasi, dan memiliki karakter. Kemampuan menerima, yaitu kemampuan menerima fenomena (gejala atau sesuatu hal yang dapat disaksikan dengan panca indera) dan stimulus (rangsangan) atau kemampuan menunjukkan perhatian yang terkontrol dan terseleksi. Kemampuan merespons, dalam arti kemampuan menunjukkan perhatian yang aktif, kemampuan melakukan sesuatu dan kemampuan menanggapi. Kemampuan menilai, dalam arti menunjukkan konsistensi perilaku yang mengandung nilai, mempunyai motivasi untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai, menunjukkan komitmen terhadap suatu nilai. Kemampuan mengorganisasi, dalam arti mengorganisasi nilai-nilai yang relevan ke dalam suatu sistem, menentukan hubungan antarnilai, memantapkan nilai 13 yang dominan dan diterima. Kemampuan memiliki karakter, dalam arti suatu nilai telah menjadi karakternya atau nilai-nilai tertentu telah mendapat tempat dalam dirinya dan mewarnai kehidupannya. c. Psikomotorik Aspek penilaian ranah psikomotorik terkait dengan kemampuan melakukan gerakan refleks, gerakan dasar, gerakan persepsi, gerakan berkemampuan fisik, gerakan terampil, gerakan indah dan kreatif. Kemampuan melakukan gerakan refleks, artinya respons terhadap stimulus tanpa sadar. Kemampuan melakukan gerakan dasar, artinya gerakan yang muncul tanpa latihan, tetapi dapat diperhalus melalui praktik. Gerakan dasar merupakan gerakan terpola dan dapat ditebak. Kemampuan melakukan gerakan persepsi, atinya gerakan yang lebih halus dibanding gerakan refleks dan dasar karena sudah dibantu kemampuan perseptual. Kemampuan melakukan gerakan berkemampuan fisik, artinya gerakan yang lebih efisien dan berkembang melalui kematangan dan belajar. Kemampuan melakukan gerakan terampil, gerakan yang dapat mengontrol berbagai tingkatan gerakan, gerakan yang sulit, rumit, kompleks dengan tangkas dan cekatan. Kemampuan melakukan gerakan indah dan kreatif, artinya gerakan untuk mengomunikasikan perasaan, gerakan terampil yang efisien dan indah. Selain itu, menurut Lindgren (Suprijono, 2009: 7), hasil pembelajaran meliputi kecakapan, informasi, pengertian, dan sikap. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah perubahan perilaku secara keseluruhan bukan hanya salah satu aspek potensi kemanusiaan saja. Artinya, hasil pembelajaran yang dikategorisasikan oleh para pakar pendidikan sebagaimana disebutkan di atas tidak dilihat secara fragmentaris atau terpisah, tetapi secara komprehensif. Penilaian hasil belajar dalam penelitian ini menggunakan skala 4, dikarenakan sekolah tempat penelitian menerapkan kurikulum 2013 dengan KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) yakni 2,67 untuk hasil belajar kognitif dan psikomotorik. Hasil belajar afektif dengan KKM kriteria siswa bersikap Baik. 14 Rumus menilai hasil belajar: Nilai = skor yang diperoleh x Skala skor maksimum (Sumber: Purwanto, 2014: 207) Penilaian dalam skala 4, maka rumus dapat diturunkan menjadi: Nilai = skor yang diperoleh x 4 skor maksimum 3. Pembelajaran Kooperatif Robert E. Slavin (Yusron, 2005: 4) menuliskan bahwa pembelajaran kooperatif merujuk pada berbagai macam metode pengajaran di mana para siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil untuk saling membantu satu sama lainnya dalam mempelajari materi pelajaran. Dalam kelas kooperatif, para siswa diharapkan dapat saling membantu, saling mendiskusikan dan berargumentasi, untuk mengasah pengetahuan yang mereka kuasai saat itu dan menutup kesenjangan dalam pemahaman masing-masing. Pembelajaran kooperatif merupakan suatu proses pembelajaran yang peserta didik belajar dalam kelompok kecil, yang memiliki tingkat kemampuan berbeda. Ketika menyelesaikan tugas kelompok, setiap anggota harus saling bekerjasama dan membantu satu sama lain untuk dapat memahami pelajaran. Pembelajaran kooperatif ditandai adanya kerjasama antar peserta didik dan kebersamaan dalam urutan tugas, tujuan dan penghargaan. Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk saling berkomunikasi dan bekerjasama serta berinteraksi dengan susunan dan rancangan tugas yang dibuat oleh pendidik, sehingga tercipta kesempatan munculnya suatu aktivitas berupa kerjasama. Beberapa ahli berpendapat bahwa pembelajaran kooperatif tidak hanya unggul dalam membantu peserta didik dalam memahami konsep-konsep yang sulit. Pembelajaran kooperatif juga sangat membantu peserta didik dalam menumbuhkan kerjasama, berpikir kritis, kemampuan membantu teman sekelompok dalam memahami materi dan menyelesaikan tugas-tugas bersama serta mengembangkan keterampilan sosial peserta didik. Struktur penghargaan pada pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan penilaian peserta didik terhadap belajar akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar (Sujarwo, 2014: 100). 15 “Pembelajaran kooperatif memberikan ruang secara luas untuk mengembangkan softskills (kerjasama dan sosial) diperlukan belajar dan bekerja secara bersama dalam penemuan konsep, prinsip dan fakta” (Sujarwo, 2014: 99). Pembelajaran kooperatif menekankan proses kerjasama antar anggota kelompok, sesuai dengan pernyataan Sujarwo (2014: 101) yang mengutip simpulan Elliot bahwa pembelajaran kooperatif didefinisikan sebagai metode pembelajaran yang menganjurkan para peserta didik untuk bekerjasama dalam menyelesaikan tugas. Dalam metode ini peserta didik duduk bersama untuk berdiskusi atau saling membantu menyelesaikan tugas atau permasalahan yang lebih kompleks. Pembelajaran kooperatif berbeda dengan peer learning. Dalam pembelajaran peer learning semua peserta didik belajar materi yang sama, tidak ada pendidik dan informasi awal berasal dari pendidik. Menurut Slavin (Sujarwo, 2014: 102) ada lima model pembelajaran kooperatif, yaitu: a. Student Teams-Achievement Divisions (STAD), b. Teams Games Tournament (TGT), c. Jigsaw, d. Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC) dan e. Team Accelerated Instruction (TAI). Mengacu pada beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang dilakukan dengan membuat peserta didik menjadi beberapa kelompok, yang tiap kelompok terdiri dari beberapa peserta, bisa tiga sampai lima anak. Dalam tim, tiap anak harus saling bekerjasama dan membantu, serta bergai ilmu pada anggota kelompok yang lain agar tidak terjadi kesenjangan. Masalah yang diberikan oleh pendidik pun harus dipecahkan bersama. Proses kerja kelompok ini pun akan membentuk kepribadian sosial peserta didik. Ada banyak alasan yang membuat pembelajaran kooperatif memasuki jalur utama praktik pendidikan. Salah satunya adalah berdasarkan penelitian dasar yang mendukung penggunaan pembelajaran kooperatif untuk meningkatkan pencapaian prestasi para siswa, dan juga akibat-akibat positif lainnya yang dapat mengembangkan hubungan antar kelompok, penerimaan 16 terhadap teman sekelas yang lemah dalam bidang akademik, dan meningkatkan rasa harga diri. Alasan lain adalah tumbuhnya kesadaran bahwa para siswa perlu belajar untuk berpikir, mengaplikasikan menyelesaikan kemampuan masalah, dan dan pengetahuan mengintegrasikan mereka, dan serta bahwa pembelajaran kooperatif merupakan sarana yang sangat baik untuk mencapai hal-hal semacam itu. 4. Model Pembelajaran TGT (Teams Games Tournament) Robert E. Slavin (Yusron, 2005: 13) menyatakan bahwa Teams Games Tournament (TGT), pada mulanya dikembangkan oleh David DeVries dan Keith Edwards, ini merupakan metode pembelajaran pertama dari Johns Hopkins. Metode ini menggunakan pelajaran yang sama yang disampaikan guru dan tim kerja yang sama seperti dalam STAD, tetapi menggantikan kuis dengan turnamen mingguan, di mana siswa memainkan game akademik dengan anggota tim lain untuk menyumbangkan poin bagi skor timnya. Sujarwo (2014: 105) dalam bukunya menjelaskan tentang TGT adalah sebagai berikut: TGT atau Pertandingan Permainan Tim merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang masih berkaitan dengan STAD. Dalam TGT, peserta didik memainkan permainan dengan anggota-anggota tim lain untuk memperoleh tambahan poin pada skor tim mereka. Permainan disusun dari pertanyaan-pertanyaan yang relevan dengan materi pelajaran yang dirancang untuk mengetes pengetahuan yang diperoleh peserta didik dari penyampaian materi pelajaran di kelas dan kegiatan-kegiatan kelompok. Tujuan utama dari TGT adalah adanya kerjasama antar sesama anggota kelompok dalam satu tim untuk persiapan menghadapi turnamen antar kelompok dengan sistem permainan yang dirancang oleh pendidik. Turnamen ini memungkinkan bagi peserta didik dari semua tingkat untuk menyumbangan dengan maksimal bagi skor-skor kelompoknya bila mereka berusaha dengan maksimal. Penerapan model pembelajaran TGT hampir sama dengan STAD dalam beberapa hal seperti komposisi kelompok, format instruksional, dan lembar kerjanya. Namun perbedaannya, jika STAD fokus pada komposisi kelompok berdasarkan kemampuan, ras, etnik, dan gender, maka TGT umumnya fokus hanya pada level kemampuan saja. Selain itu, jika dalam STAD yang 17 digunakan adalah kuis, maka dalam TGT istilah tersebut biasanya berganti menjadi game akademik. Cara pelaksanaan dari TGT adalah siswa ditempatkan dalam satu kelompok yang terdiri dari 3 orang yang berkemampuan rendah, sedang, dan tinggi. Dengan demikian, masing-masing kelompok memiliki komposisi anggota yang comparable. Komposisi ini dicatat dalam tabel khusus (tabel turnamen), yang setiap minggunya harus diubah. Sama seperti STAD, dalam TGT setiap anggota ditugaskan untuk mempelajari materi terlebih dahulu bersama dengan anggota-anggota yang lain, lalu mereka diuji secara individual melalui game akademik. Nilai yang mereka peroleh dari game ini akan menentukan skor kelompok mereka masing-masing. Dalam TGT semua anggota kelompok memiliki peluang yang sama untuk sukses. Sukses kelompok merupakan hasil dari pertanggungjawaban individu dalam satu tim. Adapun langkah-langkah pembelajaran kooperatif dengan tipe TGT antara lain: a. Membentuk kelompok kecil yang beranggotakan 3 sampai 5 peserta didik yang heterogen, b. Menyajikan materi pembelajaran dalam bentuk permainan, c. Berdiskusi kelompok atau tutorial antar anggota kelompok dalam bentu kuis yang terpisah, d. Melakukan penilaian. Pada TGT, setelah belajar bersama kelompoknya masing-masing, para anggota suatu kelompok akan berlomba dengan anggota kelompok lain sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing. Penilaian didasarkan pada jumlah nilai yang diperoleh kelompok. Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa TGT merupakan salah satu model pembelajaran yang bersifat kooperatif atau kelompok, di mana nantinya akan dibuat pertandingan/turnamen antar anggota kelompok dengan anggota kelompok yang lain dengan materi yang telah disampaikan. Tiap anggota kelompok akan berlomba untuk menjawab pertanyaan yang telah diajukan dengan anggota kelompok lain. Akan diberikan skor pada kelompok yang anggotanya menjawab pertanyaan dengan benar. 18 Pembelajaran kooperatif model TGT adalah salah satu tipe atau model pembelajaran kooperatif yang mudah diterapkan, melibatkan aktivitas seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan status, melibatkan peran siswa sebagai tutor sebaya dan mengandung unsur permainan dan reinforcement. Aktivitas belajar dengan permainan yang dirancang dalam pembelajaran kooperatif model TGT memungkinkan siswa dapat belajar lebih rileks di samping menumbuhkan tanggungjawab, kerjasama, persaingan sehat dan keterlibatan belajar. Terdapat lima komponen utama dalam dalam TGT, yaitu: a. Penyajian kelas Pada awal pembelajaran guru menyampaikan materi dalam penyajian kelas, biasanya dilakukan dengan pembelajaran langsung atau dengan ceramah, diskusi yang dipimpin guru. Pada saat penyajian kelas ini siswa harus benar-benar memperhatikan dan memahami materi yang disampaikan guru, karena akan membantu siswa bekerja lebih baik pada saat kerja kelompok dan pada saat game karena skor game akan menentukan skor kelompok. b. Kelompok (team) Kelompok biasanya terdiri dari 4 sampai 5 orang siswa yang anggotanya heterogen dilihat dari prestasi akademik, jenis kelamin dan ras atau etnik. Fungsi kelompok adalah untuk lebih mendalami materi bersama teman kelompoknya dan lebih khusus untuk mempersiapkan anggota kelompok agar bekerja dengan baik dan optimal pada saat game. c. Game Game terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk menguji pengetahuan yang didapat siswa dari penyajian kelas dan beajar kelompok. Kebanyakan game terdiri dari pertanyaan-pertanyaan sederhana bernomor. Siswa memiliki kartu bernomor dan mencoba menjawab pertayaan yang sesuai dengan nomor itu. Siswa yang menjawab benar pertanyaan itu akan mendapat skor. Skor ini yang nantinya dikumpulkan siswa untuk turnamen mingguan. 19 d. Turnamen Biasanya turnamen dilakukan pada akhir minggu atau pada setiap unit setelah guru melakukan presentasi kelas dan kelompok sudah mengerjakan lembar kerja. Turnamen pertama guru membagi siswa ke dalam beberapa meja turnamen. Tiga siswa tertinggi prestasinya dikelompokkan pada meja I, tiga siswa selanjutnya pada meja II dan seterusnya. e. Team recognize (penghargaan kelompok) Guru tim mengumumkan kelompok yang menang, masing-masing tim akan mendapat sertifikat atau hadiah apabila rata-rata skor memenuhi kriteria yang ditentukan. tim mendapat julukan “Super Team” jika rata-rata skor 45 atau lebih, “Great Team” apabila rata-rata mencapai 40-45 dan “Good Team” apabila rata-ratanya 30-40. Berkaitan dengan penerapan model pembelajaran Teams Games Tournament (TGT), hasil penelitian Setiyoningsih (2013) menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif tipe TGT dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Nilai rata-rata siswa ketika siklus I adalah 71,74 dan meningkat pada siklus II menjadi 78,18. Selain peningkatan nilai rata-rata juga terdapat peningkatan ketuntasan siswa dalam dua siklus, yakni siklus I jumlah siswa yang mencapai ketuntasan sebanyak 25 siswa (73,53%) sedangkan pada siklus II terdapat 29 siswa yang tuntas (85,29%). Peningkatan ketuntasan siswa dari siklus I ke siklus II yakni 11.76%. Untuk peningkatan kualitas penerapan TGT pada siklus I kualitas pembelajarannya sebesar 85% sedangkan pada siklus II meningkat menjadi 90%. Begitu juga dengan hasil penelitian dari Natalia (2014) yang menyimpulkan bahwa pengaplikasian model pembelajaran TGT dapat meningkatkan hasil belajar servis atas bola SMP Negeri 8 Surakarta tahun pelajaran 2013/2014. Hasil penelitian menunjukkan terjadi peningkatan signifikan dari pra siklus ke siklus I dan dari siklus I ke siklus II. Terdapat 28 siswa di kelas VIII D, dan yang mencapai ketuntasan hasil belajar servis atas bola voli pra sikus sebesar 28,57% (8 siswa). Pada siklus I sebesar 64,29% (18 siswa) dan pada siklus II sebesar 89,29% (25 siswa). 20 Hal yang sama juga disampaikan oleh van Wyk (2011) bahwa hasil tes pada kelas yang menerapkan model pembelajaran TGT lebih baik dengan skor 52,99 daripada kelas kontrol yang tidak menggunakan TGT yakni dengan skor 50,13. 5. Keaktifan Keaktifan menurut Dimyati dan Mudjiono (2013: 51) yakni “Keaktifan merupakan motor dalam kegiatan pembelajaran maupun kegiatan belajar, siswa dituntut selalu aktif memproses dan mengolah perolehan belajarnya.” Mengenai keaktifan belajar, mengacu pada simpulan Sardiman (2001: 99) “Keaktifan belajar adalah aktifitas yang bersifat fisik maupun mental.” Sedangkan Aunurrahman (2009 : 119) menyatakan bahwa “Keaktifan anak dalam belajar merupakan persoalan penting dan mendasar yang harus dipahami, disadari dan dikembangkan oleh setiap guru didalam proses pembelajaran.” Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa keaktifan belajar merupakan hal penting yang harus dimiliki siswa ketika belajar yakni berupa kegiatan aktif yang akan mendukung berlangsungnya proses pembelajaran. Keaktifan belajar sesuai pernyataan Soemanto (Puspitarini, 2013: 4), macam-macam keaktifan belajar yang dapat dilakukan oleh siswa dalam beberapa situasi adalah sebagai berikut: a) Mendengarkan, b) Memandang, c) Meraba, mencium, dan mencicipi, d) Menulis atau mencatat, e) Membaca, f) Membuat ringkasan, g) Mengamati tabel, diagram dan bagan, h) Menyusun kertas kerja, i) Mengingat, j) Berpikir, k) Latihan atau praktek. Kegiatan belajar siswa dibagi menjadi 8 kelompok menurut Diedrich antara lain yakni: a. Visual activeties (kegiatan-kegiatan visual) seperti membaca, mengamati eksperimen, demonstrasi, pameran, dan mengamati orang lain bekerja atau bermain. b. Oral activities (kegiatan-kegiatan lisan) seperti mengemukakan suatu fakta, menghubungkan sutu kejadian, mengajukan pertanyaan, memberi saran, mengemukakan pendapat, wawancara, diskusi, dan interupsi. 21 c. Listening activities (kegiatan-kegiatan mendengarkan) seperti mendengarkan uraian, percakapan, diskusi, musik, pidato, dan sebagainya. d. Writing activities (kegiatan-kegiatan menulis) seperti menulis cerita, karangan, laporan, tes, angket, menyalin, dan sebagaianya. e. Drawing activities (kegiatan-kegiatan menggambar) seperti menggambar, membuat grafik, peta, diagaram, pola, dan sebagainya. f. Motor activities (kegiatan-kegiatan motorik) seperti melakukan percobaan, membuat konstruksi, model, bermain, berkebun, memelihara binatang, dan sebagainya. g. Mental activities (kegiatan-kegiatan mental) seperti merenungkan, mengingat, memecahkan masalah, menganalisis, melihat hubungan, mengambil keputusan, dan sebagainya. h. Emotional activities (kegiatan-kegiatan emosional) seperti menaruh minat, merasa bosan, gembira, berani, tenang, gugup, dan sebagainya. (Hamalik, 2005: 172) Berdasarkan pendapat di atas, indikator keaktifan belajar yang akan diteliti yakni kegiatan keaktifan meliputi bertanya, menjawab, membaca, menulis dan mendengarkan. Keaktifan siswa yang diamati dalam penelitian ini, diukur menggunakan rumus berikut. Rumus pencapaian penguasaan materi = skor capaian x 100% skor maksimum (Sumber: Arikunto, 2012: 272) Rumus tersebut dapat diturunkan untuk menilai kegiatan keaktifan dalam kelas dengan rumus sebagai berikut: Keaktifan = Jumlah siswa aktif x 100% Total siswa 6. Simulator Cisco Packet Tracer a. Pengertian Simulator Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989: 842) menyatakan bahwa “Definisi dari kata simulator adalah program yang berfungsi untuk menyimulasikan suatu peralatan, tetapi kerjanya agak lambat daripada keadaan yang sebenarnya.” 22 Simulator dapat digunakan sebagai salah satu media pembelajaran untuk mensimulasikan, mempraktikkan dan memperagakan suatu proses pembelajaran, sehingga siswa dapat melakukan langkah-langkah yang seharusnya dilakukan sebagai latihan. Dengan adanya latihan tersebut, maka keterampilan siswa akan semakin terasah. b. Simulator Cisco Packet Tracer Packet Tracer merupakan salah satu media pembelajaran berupa simulator yang dapat digunakan untuk simulasi jaringan, hal ini sesuai dengan pendapat Iqbal (2012:1) yang mendefinisikan bahwa: Packet Tracer adalah software simulator alat-alat jaringan Cisco yang sering digunakan sebagai media pembelajaran dan pelatihan, dan juga dalam bidang penelitian simulasi jaringan komputer. Program ini dibuat oleh Cisco Systems dan disediakan gratis untuk fakultas, siswa dan alumni yang telah berpartisipasi di Cisco Networking Academy. Tujuan utama Packet Tracer adalah untuk menyediakan alat bagi siswa dan pengajar agar dapat memahami prinsip jaringan komputer dan juga membangun skill di bidang alat-alat jaringan Cisco. Selain itu, pada halaman berikutnya Iqbal (2012: 5) menuliskan bahwa Cisco Packet Tracer mudah digunakan dan memiliki banyak fitur: Cisco Packet Tracer merupakan program simulasi jaringan yang sangat cocok digunakan untuk media pembelajaran/pengenalan terhadap jaringan. Penggunaanya yang mudah dan fiturnya yang banyak membuat kita dengan mudah mengerti mengenai jaringan dan pada akhirnya simulasi yang dibuat akan diterapkan. Merujuk pada pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa Packet Tracer merupakan sebuah media pembelajaran dalam bentuk software (perangkat lunak dalam komputer atau aplikasi) yang dapat digunakan untuk melakukan simulasi jaringan. Packet Tracer dapat digunakan setelah dilakukan proses instalasi pada komputer dilanjutkan dengan praktik sesuai langkah-langkah penggunaan tools yang ada di dalamnya. Software Pakcet Tracer telah sering digunakan di bidang jaringan komputer, biasanya dimanfaatkan untuk mensimulasikan jaringan sebagai rancangan sebelum jaringan sesungguhnya dibuat. Hal ini dilakukan agar rancangan jaringan dapat dikoreksi terlebih dahulu jika jaringan yang dibuat 23 tersebut belum sesuai harapan, dan bermanfaat untuk mencegah error saat mengatur jaringan secara nyata. Dengan adanya simulator Packet Tracer, proses simulasi jaringan komputer akan lebih mudah dilengkapi dengan tools dan device yang tersedia. B. Kerangka Berpikir Berdasarkan beberapa kajian teori yang telah disebutkan, dapat disusun suatu kerangka pemikiran atas permasalahan yang telah dirumuskan. Pembelajaran merupakan suatu hal penting dalam pendidikan dan keberhasilan untuk dapat mencapai hasil belajar yang baik merupakan salah satu inti dari pembelajaran tersebut. Hasil belajar siswa dapat dilihat dari beberapa ranah, yakni kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dalam ranah afektif, terdapat beberapa penilaian terhadap sikap belajar siswa, salah satunya adalah keaktifan. Keaktifan merupakan hal yang penting dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran Jaringan Dasar kelas X TKJ yang terdapat di SMK Negeri 1 Banyudono telah berjalan baik, namun untuk hasil belajar siswa masih perlu ditingkatkan. Hasil belajar dapat ditingkatkan jika siswa telah menguasai materi, dan salah satu cara agar siswa menguasai materi Jaringan Dasar yakni dengan menggunakan simulator Cisco Packet Tracer. Simulator Cisco Packet Tracer merupakan media belajar yang dapat memvisualisasikan penerapan jaringan, yang akan membangun pola pikir siswa tentang jaringan secara lebih nyata. Menggunakan simulator ini siswa pun dapat berlatih dan mempraktikkan penerapan jaringan tersebut, dan diharapkan hasil belajar siswa dapat meningkatkan setelah diterapkannya simulator Cisco Packet Tracer. Salah satu sikap penting yang menjadi penilaian dari hasil belajar siswa yakni keaktifan. Tingkat keaktifan siswa ketika proses pembelajaran Jaringan Dasar kelas X TKJ SMK Negeri 1 Banyudono masih tergolong rendah, dan diharapkan dengan diterapkannya model pembelajaran TGT (Teams Games Tournament) keaktifan siswa dapat mengalami peningkatan. Setelah keaktifan siswa mengalami peningkatan maka hasil belajar siswa pun meningkat. 24 Penerapan media pembelajaran simulator Cisco Packet Tracer dengan model pembelajaran TGT (Teams Games Tournament) diharapkan dapat meningkatkan keaktifan siswa ketika proses pembelajaran dan hasil belajar Jaringan Dasar kelas X TKJ SMK Negeri 1 Banyudono. Kerangka berpikir tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.1 Berdasarkan uraian di atas, dapat digambarkan kerangka berpikir yang menggambarkan secara singkat konsep penelitian pada Gambar 2.1. 25 Masalah Siswa: Hasil belajar rendah Keaktifan rendah Guru: Model Konvensional Penerapan Simulator Cisco Packet Tracer dengan menggunakan model pembelajaran TGT Tindakan Hasil belajar meningkat Keaktifan meningkat Hasil Gambar 2.1 Kerangka Berpikir C. Hipotesis Tindakan Berdasarkan refleksi kerangka berpikir di atas, dapat dirumuskan hipotesis tindakan sebagai berikut: 1. Penerapan simulator Cisco Packet Tracer dengan model pembelajaran TGT dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas X TKJ dalam mata pelajaran Jaringan Dasar. 2. Penerapan simulator Cisco Packet Tracer dengan model pembelajaran TGT dapat meningkatkan keaktifan siswa kelas X TKJ dalam mata pelajaran Jaringan Dasar.