TINJAUAN PUSTAKA 1. Kebutuhan Mineral untuk Mikroba Rumen Mineral di dalam rumen dibutuhkan oleh mikroba untuk pembentukan komponen sel, komponen enzim dan kofaktor. Mengingat aktivitas mikroba rumen memegang peranan penting dalam proses fermentasi, maka defisiensi mineral akan mempengaruhi fermentabilitas pakan. Kebutuhan mikroba rumen pada mineral sampai saat ini masih didasarkan pada kebutuhan ternak inang. Berdasarkan rekomendasi NRC (1988) kebutuhan mineral untuk sapi perah dengan produksi susu sebesar 13 - 27 kglhari adalah sebagai berikut : Ca 0.5 1%, P 0.33%, Mg 0.20%, K 0.90%, Na 0.1 8%, C1 0.25%, S 0.20%, Fe 50 ppm, Co 0.1 0 ppm, Cu 10 ppm, Mn 40 ppm, Zn 40 ppm, I 0.60 pprn dan Se 0.3 ppm. Ca dan P merupakan dua mineral makro yang berkaitan erat baik secara fisiologis maupun fungsinya. Kalsium (Ca) merupakan mineral yang diperiukan untuk pembentukan tulang kerangka dan gigi, dan juga terdistribusi pada jaringan lunak serta cairan ekstraseluler. Hewan membutuhkan Ca untuk pembentukan tulang dan gigi, transmisi impuls syaraf, kontraksi otot, regulasi gerak jantung, pembekuan darah dan aktivitas serta stabilisasi enzim. Tulang merupakan sumber dan cadangan Ca. Pada awal laktasi dapat terjadi keseimbangan kalsium yang negatif, karena pengeluaran Ca dalam air susu lebih besar dibandingkan pasokan Ca dalam pakannya. Ketersediaan Ca bagi ternak bergantung pada : konsumsi Ca, status Ca dan umur ternak, jumlah Ca yang dibutuhkan, bentuk kimia dan sumber kalsium serta hubungan antar mineral (NRC, 1988). Berdasarkan hasil penelitian peneliti- peneliti sebelumnya, rasio Ca dan P dalam ransum 1 :I sampai 7 : 1 masih berada dalam kisaran yang dapat ditoleransi oleh ternak. Hibbs dan Conrad (1983) melaporkan bahwa sapi laktasi dapat menyerap 1.71 g Ca untuk setiap 1 g P. Pakan yang tinggi lemaknya akan meningkatkan Ca fecal yang hilang melalui pembentukan sabun, oleh karenanya kebutuhan dalam pakan meningkat. I:osfor (P) mcri~pakan ~iiiricral kunci dalam metabolisme energi dan merupakan komponen yang esensial pada sistem buffer dalam darah dan cairan tubuh lainnya. Halnpir 85% P dalam tubuh sapi ditemukan dalam tulang rangka, gigi dan jaringan Iunak. Jumlah P yang diserap ternak sangat berganti~ngpada sumber P, jumlah konsumsi ransum, rasio Ca:P, pH usus dan level kalsium (NRC, 1988). Penyerapan fosfat terjadi di usus halus, melalui transport aktif yang dirangsang oleh bentuk aktif vitamin D. Kebutuhan P untuk sapi perah yang berproduksi susu 13-27 kglhari adalah 0.33 %, namun tidak ada masalah jika sapi mengkonsu~iisiP dua kali dari yang direkomendasikan. U Salah salu kcutamaan ternak ruminansia adalah kernampuannya dalaln riicngi~bahpakan serat inenjadi senyawa organik sebagai sumber energinya. Proses pencernaan pada ruminansia merupakan interaksi antara pakan, populasi mikroorganisme dan aktivitas enzim serta hormonal. Sutardi (1980) menyatakan bahwa proses pencernaan pada ruminansia terjadi secara mekanis (di mulut), fermentasi (oleh enzim-enzim yang berasal dari mikroorganisme rumen) dan hidrolisis (oleh enzim-enzim hewan induk semang). Mikroorganisme yang dominan dalam proses fermentasi terdiri atas bakteri, protozoa dan fungi. Popi~lasibakteri dalam rumen berkisar antara 10' - 1 01°, sedangkan protozoa berkisar 1 o6 - lo7 per gram isi rumen (Hungate, 1963). Pada proses ini serat pakan akan mengalami proses fermentasi yang sangat luas sehingga menghasilkan Volatil Fafty Acid (VFA). Proses ini sebagian besar dilakukan oleh adanya aktivitas bakteri selulolitik yang perannya diinduksi oleh substrat pakan (Prayitno, 1994), sedangkan protein akan dirombak menjadi NH3 dengan tidak mengenal batas, meskipun ammonia yang dihasilkan sudah cukup untuk pertumbuhannya (Sutardi, 1977). Produk fermentasi retikulorumen akan disalurkan ke organ selanjutnya yaitu omasum dan abomasum. Pencernaan abomasum merupakan tahapan lanjutan, pada organ ini dihasilkan HCI dan pepsin yang berperan di dalam perombakan protein, sedangkan pada omasum akan terjadi penyerapan air, ammonia. elektrolit dan ~nungkinVFA. Pada organ pencernaan bagian belakang seperti sekum, kolon dan rektum juga terjadi aktivitas fermentasi, tapi informasi mengenai ha1 itu belum banyak terungkap (Forbes dan France, 1993). 2. Pencernaan dan Absorbsi Karbohidrat pada Ruminansia Karbohidrat pada pakan ruminansia merupakan nutrien yang dominan dala~nmenycdiakan sil~iibereriergi untuk proses faali, di samping menyediakan bahan yang bersifat bulky yang berguna untuk memelihara kelancaran proses pencernaan. Kandungan karbohidrat dalam pakan ternak ruminansia dapat mencapai 60 - 75% dari bahan kering ransum yang berasal dari isi sel (gula dan pati) dan dinding sel (selulosa dan hemiselulosa) (Sutardi, 1980). Komponen karbohidrat berupa selulosa, hemiselulosa, pektin, pati, fruktan dan sukrosa di dalam rumen mengalami pencernaan oleh enzim-enzim yang dihasilkan oleh mikroba rumen. Proses metabolisme karbohidrat dalam retikulorumen sangat komplek. Pertama-tama selulosa dan hemiselulosa akan mengalami hidrolisis oleh enzim P- I -4-glukosidase yang dihasilkan oleh mikroba menjadi sakarida sederhana seperti heksosan, pentosan, maitosa, sul<,rosa, selobiosa. Sakarida sederhana yang terbentuk akan diubah menjadi asam piruvat melalui jalur lintasan EmbdenMeyerhol' ('l'illman e/ a/., 1 983; 1:rancc dan Siddons, 1 993). Piruvat selanjutnya diubah menjadi VFA yang terdiri atas asetat, butirat, propionat dan sejumlah kecil valerat serta asam lemak rantai cabang yaitu isobutirat, isovalerat dan 2metilbutirat ( Sutardi, 1977; Church dan Pond, 1988; Van Soest, 1994). Perubahan piruvat menjadi VFA terjadi melalui beberapa lintasan. Asetat dihasilkan melalui jalur yang sederhana (Chesworth el al., 1998). Piruvat bereaksi dengan KoA membentuk asetil KoA dan kehilangan asam format. Asam format dipecah menjadi C 0 2 dan gas Hz Gas hidrogen dikonversi menjadi metan. Pembentukan asetat juga dapat melalui jalur laktat. Stokiomctri reaksi I'crmcntasi hcksosa met~jaditiga kolnponen utama VFA dalam rumen terdiri atas 3 macam yaitu (Orskov dan Ryle 1990): 1. Asam asetat : ChH , 2 0 6 + 2H20 + 2 CH3COOH + 2 C02 + 4H2 2. Asam propionat : C6Hl206+ 2 H2 3 2 CH3CH2COOH+ 2H20 3. Asam butirat : C6HI2063 CH3(CH2)2COOH+2C02+2H2 4 Hz+ COz Reaksi + CH4+ 2 H20 tersebut menunjukkan bahwa produksi propionat lebih menguntungkan dibandingkan asetat, ha1 ini karena pada pembentukan asetat selalu disertai prodi~ksihidrogen, yang akan bereaksi dengan C02 membentuk metan yang tidak bermanfaat bagi ternak. Pada pembentukan 2 mol propionat 9 dibutuhkan 1 mol heksosa dan hidrogen. Jadi pembentukan propionat dapat digunakan sebagai "hidrogen sink" dan menurunkan energi yang hilang dalam bentuk metan. Leng (1991) menambahkan bahwa proses fermentasi di dalarn rumen menghasilkan sel mikroba (merupakan 113 bagian bahan organik) dan sisanya VFA, COz dan CH4 Prinsip penggunaan substrat dan hasil produknya dari proses fermentasi 4 kg karbohidrat adalah sebagai berikut : 1. Karbohidrat menjadi VFA 16.7 CHO -,21 Asam asetat + 6 Asam Propionat + 3 Asam Butirat + 7.5 CI-IJ + 78ATP 2. Karbohidrat menjadi precilrsor sel mikroba 8.3 CHO + 1.4 polisakarida + 13.8 piruvat + 2CH 4 + I7ATP 3. Reaksi keseluruhan : 25 CHO +=2 1 Asam asetat + 6 Asam propionat + 3 Asam butirat + 9.5 CH4 + 1300 g sel kering Propionat merupakan satu-satunya VFA yang dapat digunakan sebagai sumber glukosa. Chesworth et a1.(1998) menyatakan bahwa pembentukan propinat dapat melalui dua jalur, yang sangat ditentukan oleh jenis mikroba. Jalur pertama, piruvat diubah menjadi laktat. Laktat selanjutnya diaktivasi oleh pembentukan ester KoA (Laktil KoA), selanjutnya akan kehilangan C02 dan Hz0 untuk membentilk propernoil KoA. Proses selanjutnya propernoil KoA dihidrogenasi menjadi propionil KoA. Langkah yang terakhir dengan kehilangan KoA sehingga terbentuk propionat. Jalur kedua merupakan jalur kebalikannya, jalur ini digunakan pada sel-sel hewan, utamanya hati untuk mensintesis glukosa dari propionat (sering juga disebut jalur suksinat). Pembentukan butirat melalui 3 tahapan utama, yaitu piruvat dehidrogenasi menghasilkan asetoasetil KoA. Asetoasetil KoA akan direduksi menghasilkan 3hidroksilbutiril KoA dengan menggunakan NADH dan NAD'. Tahapan selanjutnya yaitu pembentukan Krotonil KoA. Krotonil KoA direduksi untuk menghasilkan ester KoA dan asam butirat. Ester dihidrolisis untuk menghasilkan butirat dan KoA bebas. Selain tiga komponen VFA di atas proses fermentasi karbohidrat dalam rumen juga menghasilkan metan. Chesworth et al. (1998) menyatakan bahwa 8% energi dalam pakan yang dikonsumsi oleh ternak diubah menjadi metan. Fermentasi dalam rumen akan menghasilkan asetat dalam jumlah banyak, dengan laju sekitar 20-25 mol per hari pada sapi perah, laju produksi asam propionat sekitar 113 laju produksi asain asetat. Asam butirat diproduksi sekitar 10% dari total VFA, sedangkan asam valerat dan isovalerat masing-masing sekitar 1% (Forbes dan France, 1993). Konsentrasi VFA total dalam cairan rumen secara normal adalah 70 - 130 mM, dan konsentrasi parsial yang terbentuk selalu berbeda sesuai pola produk VFA cairan rumen yang sangat dipengaruhi oleh jenis karbohidrat yang dikonsumsi. Konsentrasi asetat yang tinggi dalam cairan rumen erat kaitannya dengan peningkatan kandungan hijauan atau pakan serat yang dikonsumsi, sebaliknya peningkatan konsentrasi propionat dalam cairan rumen berkaitan dengan peningkatan konsentrat dalam pakan (Banerjee, 1978; Tillman et al., 1983; Arora, 1989; Forbes dan France, 1993). Produk akhir pencernaan karbohidrat dalain bentuk VFA selanjutnya diabsorbsi ke dalam jaringan tubuh ternak untuk digunakan sebagai sumber energi II dan bahan sintesis lemak. Asam propionat diabsorbsi melalui epitel rumen dan ~nasilkkc sirkulasi clurall clan Jibawu kc hati ilntuk sclanjutnya diubah n~cl~jacli glukosa dan menjadi bagian dari cadahgan glukosa hati. Asam butirat sebelum masuk ke sirkulasi darah untuk dibawa ke hati bersama-sama asetat, terlebih dahulu dikonversi menjadi asam beta hidroksi butirat (BHBA) di dalam epitel rumen (Banerjee, 1978; Crampton et a]., 1978). Asetat dan BHBA dari hati disalurkan ke sistem sirkulasi dan dipakai oleh jaringan terutama sebagai sumber energi melalui siklus asam sitrat (Tillman et al., 1983; Forbes dan France, 1993). Forbes dan France (1993) menalnbahkan bahwa asetat dan propionat yang diabsorbsi masing-nlasing digunakan sebagai sumber energi dan bahan untuk sintesis glukosa. Di samping itu asetat juga digunakan sebagai substrat untuk lipogenesis dan propionat untuk glukoneogenesis. Oleh sebab itu asam propionat dikatakan bersi fat glukogenik karena asam tersebut dapat dikatabolisme menjadi glukosa dan juga sebagai prekursor glukosa, sedangkan asetat dan butirat bersifat ketogenik (Orskov, 1 977). 3. Pencernaan dan Absorbsi Lemak Ada dua ha1 penting nasib asaln lemak selama berada dalam rumen, yaitu liposisis dan biohidrogenasi (Jenkins, 1993; Scott dan Ashes, 1993). Lipolisis akan menyebabkan pelepasan asarn lemak bebas (FFA) dari hasil esterifikasi lipid tanaman yang dikonsumsi ternak ruminansia. Dalam proses liposisis, lipase mikroba berperan menghidrolisis asilgliserol hasil esterifikasi lemak menjadi FFA, gliserol dan galaktosa (Palmquist dan Jenkins, 1980; Scott dan Ashes, 1993). FFA yang terbentuk selanjutnya secara cepat dihidrogenasi oleh sejumlah mikroba rumen menjadi produk akhir berupa asam lemak jenuh. Pada proses hidrogenasi terjadi pengurangan asam lemak tidak jenuh dan berubah menjadi asam lemak jenuh melalui beberapa aksi yaitu isomerase, kemudian hidrogenasi ikatan rangkap sis, pada C 18:2 terjadi reduktase dan selanjutnya dengan trans pada CIS: I dihidrogenasi menjadi C18:O. Menurut Moir (1991) dari hasil penulusuran pustakanya menyebutkan bahwa dalam proses hidrogenasi, selain terjadi perubahan asam linolenat, linoleat dan oleat menjadi asam stearat juga terdapat sejumlah kecil asam lemak tidak jenuh dengan ikatan rangkap trans, di mana asam lemak tersebut resisten terhadap mikroba yang berperan dalam hidrogenasi dan menambah karotinoid yang dapat mensuplai betakarotin untuk ternak. Produk akhir lipolisis dan biohidrogenasi sebagian diserap oleh dinding rumen dan sebagian lagi mengalir ke abomasum. Banerjee (1978) menyatakan bahwa asam lemak rantai pendek dan VFA hasil hidrolisis dan fermentasi Lipid, diserap melalui dinding rumen sedangkan asam lemak rantai panjang terus mengalir ke abomasum. Proses di abomasum, digesta lipid pasca rumen yang sebagian besar (70%) terdiri atas asam lemak jenuh pakan dan dari sintesis lemak "de-novo" serta sedikit (1 0%) fosfolipid mikroorganisme akan bergabung dengan benda padat lainnya (Bauchart, 1973). Selanjutnya setelah dari abomasum campuran digesta mengalir ke usus halus. Di dalam usus halus garam-garam empedu akan mengemulsikan lemak dan diikuti dengan gerakan peristaltik, sehingga lemak terdispersi menjadi butir-butir kecil dan diikuti dengan masuknya lipase (Linder, 1992). Lemak yang sebagian sudah dicerna, terutama dalam bentuk yang larut dalam air membentuk misel-misel yang stabil (asam lemak rantai panjang, monogliserol dan asam-asam empedu) yang berdifusi ke permukaan sel mukosa usus halus dan melepaskan materi untuk siap diserap. Asam - asam lemak dan monogliserida oleh mukosa usus diubah kembali menjadi trigliserida dan membentuk kilomikron. Kilomikron selanjutnya dibebaskan ke dalam jaringan limfe dan masuk ke peredaran darah untuk ditransport ke dalam sel jaringan yang membutuhkan yaitu jaringan perifer, adiposa dan ambing (Linder, 1992; Collier, 1985). 4. Pencernaan dan Absorbsi Protein Sumber protein untuk ruminansia dapat berasal dari protein pakan maupun non protein nitrogen (NPN). Perombakan protein oleh enzim proteolitik di dalam rumen menghasilkan peptida dan asam-asam amino. Produk ini sebagian besar akan mengalami katabolisme lebih lanjut (deaminasi) sehingga dihasilkan amonia (NH,). Amonia asal perombakan pakan sangat besar kontribusinya terhadap pool amonia rumen. Proses proteolitik dan deaminasi asam-asam amino menghasilkan amonia diduga bersifat konstitutif, artinya tidak ada kontrol metabolik. Degradasi protein dan deaminasi terhadap asam amino akan terus berlangsung, walaupun telah terjadi akumulasi amonia yang cukup tinggi di dalam rumen (Sutardi, 1976). Manfaat proses proteolitik tidak hanya memberi pasokan amonia untuk mikroba, tetapi juga pasokan peptida. Beberapa spesies bakteri rumen mampu menggunakan peptida secara langsung untuk sintesis protein (Chalupa, 1975). Leng ( 1 991) menambahkan bahwa suplementasi urea dalam ransum diperlukan i ~ n t u kmencukupi kebutuhan a~iionia~ ~ n t upertumbuhan k organisme fibrolitik dan sakarolitik dalam rumen. Amonia adalah su~nbernitrogen utama dan sangat penting untuk sintesis protein mikroba rumen. Satter dan Slyter (1974) menyatakan bahwa konsentrasi optimal untuk sintesis protein mikroba rumen pada kultur kontinyu menggunakan cairan rumen sapi adalah 5 mg% atau setara dengan 3.57 mM, sedangkan Preston dan Leng (1987) menyatakan bahwa kisaran optimum untuk sintesis mikroba adalah 150 -200 mglliter (I 0.7 - 14.3 mM). ......... Asam Amino Oligopeptida ..............................................-......................................................................""."....-."..",....".-"...-.-""...........,"........................................ " Gambar 1. Pencernaan protein dan utilisasi N di dalam rumen (Sutardi, 1977) Sintesis protein mikroba di samping membutuhkan NH3 sebagai sumber N, juga dibutuhkan asam keto-cc sebagai kerangka karbon dan VFA sebagai sumber energi (Maynard et al., 1979). Si~tardi( 1 977) menyatakan bahwa 82% mikroba rumen membutuhkan N-NH3 untuk mensintetis protein tubuhnya. Oleh karenanya perombakan asam amino menjadi NH3 lebih disukai. Penggunaan NPN sebagai sumber nitrogen untuk sintesis protein mikroba rumen akan efektif pada ransum dengan berprotein rendah, dan cukup tersedia energi. Cappock et al. (1976) mengemukakan bahwa pembatas utama efisiensi penggunaan urea adalah pelepasan amonia yang begitu cepat ketika terjadi kontak dengan enzim urease di dalaln cairan rumen. Kecepatan pelepasan amonia dapat mencapai 4 kali lebih cepat daripada kecepatan penggunaannya oleh mikroba rumen (Bloomfield el al., 1960). Manalu (1 999) menyatakan terdapat dua syarat agar amonia yang terbentuk dalam rumen efisien untuk sintesis protein mikroba : pertama, konsentrasi amonia awal harus di bawah optimal, kedua : mikroorganisme rumen harus mempunyai sumber energi yang mudah tersedia untuk sintesis protein. Maiga el al. (1996) menyatakan bahwa asam amino yang tersedia untuk absorbsi usus pada ruminansia disuplai dari protein mikroba yang disintesis di dalam rumen, protein yang tidak terdegradasi dalam rumen dan sekresi endegenus dari saluran pencernaan. Laju aliran senyawa nitrogen ke dalam usus dipengaruhi oleh intensitas degradasi protein pakan dan sintesis protein mikroba dalam rumen. Jumlah protein mikroba tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan asam amino dari sapi perah yang berproduksi tinggi (Sutardi, 1981). 5. Biosintesis Komponen Susu Komponen dalam susu dapat dikelompokan berdasarkan sumbernya, yaitu : 1. Yang khas organ (kelenjar) ambing dan yang khas spesies (contohnya beberapa protein dan lemak) 2. Yang khas organ tetapi tidak khas spesies (laktosa) 3. Yang khas spesies tetapi tidak khas organ (beberapa protein) 4. Tidak khas organ dan juga tidak khas spesies (air, garam, dan vitamin). Komponen laktosa, lipid dan beberapa protein disintesis pada kelenjar ambing yang berasal dari nutrien yang ada dalam darah. Nutrien utama yang diserap oleh kelenjar ambing adalah glukosa, asam amino, asam lemak (kilomikron, LDL, NEFA), asetat, P-hidroksi butirat dan mineral (Collier, 1985; Fox dan McSweeney, 1996;). Laktosa adalah disakarida yang terdiri atas galaktosa dan glukosa melalui ikatan /3 1-4 glikosidik. Nama sistematiknya adalah f3-0-D-galaktopiranosil (1-)-P-D-glukopiranosa (P-laktosa) atau dalam bentuk a-laktosa (Fox dan McSweeney, 1996). Glukosa dapat berasal dari perombakan glikogen hati dan pembentukan glukosa dari propionat serta asam amino melalui proses glukoneogenesis (Collier, 1985; Mepham, 1988). Wikantadi (1977) menyebutkan bahwa glukosa meri~pakanbahan pembentuk utama laktosa pada susu sapi dan kambing. Beberapa atom karbon dari laktosa terutama residu galaktosa, berasal dari senyawa lain misalnya asetat dan gliserol. Perbedaan darah arteri-vena untuk glukosa lebih kurang dua kali dari yang diperlukan untuk sintesis laktosa, dengan demikian kelebihan glukosa akan digunakan untuk sumber energi dan pembentukan gliserol. Karena glukosa merupakan sumber utama sintesis laktosa dan tekanan osinotik air susu harus dipertahankan tekanan osmotiknya agar isotonis dengan darah, peningkatan atau penurunan produksi laktosa akan menyebabkan penurilnan sekresi air ke dalam air susu, sehingga volume produksi susu juga akan berkurang (Fox dan McSweeney, 1996), sehingga glukosa juga dapat dikatakan sebagai faktor pembatas sekresi susu. Sumber utama sintesis protein susu berasal dari peptida-peptida, plasma protein dan asam-asam amino bebas (Wikantadi, 1977; Larson, 1985; Chesworth el al., 1998; Fox dan McSweeney, 1996). Asam-asam amino yang bebas yang diserap oleh kelenjar ambing dari darah merupakan sumber utama untuk sintesis protein susu, sedangkan plasma protein menyumbang sekitar 10%. Kasein, beta laktoglobulin dan alfa laktalbumin merupakan 90-95% protein susu. 5.1. Sintesis Lemak Susu Sintesis asam lemak susu utamanya berasal dari asetat, P-hidroksi butirat dan trigliserida plasma dalam bentuk ki!omikron, Low Density Lipoprotein (LDL) dan Non Esterified Fatty Acids (NEFA). Berbeda dengan ternak monogastrik sintesis asam lemak SLISLIpada ternak ruminansia tidak berasal dari glukosa. Ilal ini karena pada sitoplasma sel sekretoris kelenjar ambing ruminansia tidak terdapat enzim sitrut liase, sehingga asam sitrat tidak dapat diubah menjadi asetill-KoA dalam taliapan sintesis asam lemak. Sitrat yang terbentuk sebagian diserap ke dalatn Aparatus Golgi dan disekresikan ke dalam lumen kelenjar susu. Hal ini menyebabkan kandungan sitrat susu ruminansia lebih tinggi dibandingkan ternak monogastrik (Collier, 1985). Kadar lemak susu ternak mamalia sangat bervariasi antar spesies, dengan kisaran konsentrasi 2% sampai 50% (Larson, 1985; Fox dan McSweeney, 1996). Dikatakan lebih lanjut bahwa susu sapi tnengandung 3.5% lemak dan konsentrasi ini sangat bergantung pada beberapa faktor, misalnya bangsa, individu ternak, periode laktasi, musim, status nutrisi, tipe pakan, kesehatan, umur ternak dan interval pemerahan. 5.2. Sintesis Protein Susu Tiga sumber utama pembentuk protein susu yang berasal dari darah yaitu peptida-peptida, plasma protein dan asam-asam amino bebas. Kasein, P-laktoglob~~lin dan K-laktalbumin disintesis di dalam sel kelenjar ambing, sedangkan imniunoglobulin, seroalbumin dan gamma kasein tidak disintesis di dalam kelenjar ambing tetapi langsilng diserap dari darah dalam bentuk yang sama tanpa mengalami perubahan (W ikantadi, 1977; Fox dan McSweeny, 1996). Sintesis protein dapat dibagi menjadi empat tahapan yaitu : aktivasi asam amino, inisiasi pembentukan rantai peptida, pemanjangan rantai dan penutupan rantai (Chesworth el al., 1998; McDonald, 1980). Pada tahap aktivasi asam amino bereaksi dengan ATP membentuk aminoasil denilat, selanjutnya gugus aminoasil dikopel molekul tRNA untuk membentuk aminoasil tRNA, kedua reaksi ini dikatalisis oleh enzim yang sama (amino asil tRNA sintetase) dan ATP. Amino-asil + ATP + Enzitn -+ Aminoasil-AMP-Enzim + pirofosfat Jika asam amino sudah dikopel dengan tRNA maka asam amino akan dibawa ke ribosom. Kombinasi ini akan membentuk struktur polisom, di mana ribosom akan terikat pada untaian messenger RNA (mRNA). Tahap inisiasi : pada tahap ini akan terbentuk kompleks komponen ribosom yang lebih kecil, mRNA dan tRNA dengan formil metionin atau metionin sebagai asam amino yang terikat (AAI). Asam amino yang terikat oleh t-RNA mempunyai antikodon tertentu, ditempatkan pada m-RNA sesuai dengan kodonnya, penempatan ini membutuhkan GTP (Guanosin Tri Fosfat). Tahap pemanjangan : t-RNA kedua membawa asam amino ke kodon kedua dari mRNA dengan bantuan GTP. Molekul basa tRNA berpasangan dengan kodon kedua dari mRNA. Pada tahap ini enzim peptidil transferase mengkatalisis pembentukan ikatan peptida antara dua molekul asam amino pada sisi A dari ribosom. Penempatan asam amino diikuti pergerakan ribosom sepanjang m-RNA hingga terjadi pemanjangan rantai asam amino dan t-RNA dilepaskan kembali ke sitoplasma. Tahap terminasi : tahap pemanjangan rantai peptida terus berlanjut sampai salah satu dari kodon itu konsentrasinya tinggi pada mRNA. Apabila ribosoin sudah inelnpunyai salah sat11 kodon itu (UAA, UAG, UGA) dalam jumlah yang tinggi maka ikatan polipeptida akan putus dan polipeptida dilepaskan. tRNA dan subunit ribosom berdisosiasi dan siap memulai sintesis protein yang lain. 5.3. Sintesis Laktosa Susu Laktosa adaiah disakarida yang terdiri atas galaktosa dan glukosa melalui ikatan p 1-4 glikosidik. Nama sistematiknya adalah P-0-D-galaktopiranosil (1 -)- P-D-glukopiranosa (P-laktosa) atau dalam bentuk a-laktosa (Fox dan McSweeney, 1996). Suplai glukosa dengan mudah tersedia akan tetapi galaktosa harus disintesis, dari glukosa yang melibatkan perubahan kontigurasi atom karbon 4. hewase n lGlukosa ATP , Glukosa 6 fosfat I ADP 1 Fosfoglukomutase Glukosa- l -fosfat UDP-Glukosa UDP-glukosa UDP glukosa-epimerase UDP Ga:akfosal 1 gaIaklosiItlnnslbrasc J ~lukosa Laktosa a-laktalbumin Gambar 2. Lintasan pembentukan laktosa Konsentrasi laktosa untuk susu sapi 'adalah 4.8% (Fox dan McSweeney, 1996). Jalur sintesis laktosa dan sejumlah enzim yang terlibat disajikan dalam Gambar 2. Galaktosil transferase bersama-sama dengan a-laktalbumin sering disebut juga laktosasintetase. Kepentingan petnbentukan laktosa pada mamalia bertujuan sebagai regulasi dan kontrol tekanan osmotik susu agar isotonik dengan darah. Oleh karenanya produksi laktosa mempengaruhi volume air yang dialirkan ke dalain lumen susu. >. 6. Selenium dan Fungsinya dalam Tubuh Ternak Selenium (Se) adalah unsur penting dari glutathione peroksidase (GSHPx), dengan 4 g atom Se per mol enzim (Rotruck et al., 1973; Ian Lean, 1987, McDowell, 1992). Bilangan oksidasi selenium adalah +6, +4, 0 dan -2. Pada bilangan oksidasi +6, Se dalam bentuk asam selenit (H2Se03, merupakan asam kuat) dan garam selenat (se0i2). Pada bilangan oksidasi +4, Se dalam bentuk Selenium dioksida (SeOz), asam seleniuos (H2Se03) dan garam selenit (se0i2). Garam selenit kurang larut dibandingkan garam selenat, khususnya pada pH 1 alkali, sedangkan selenit mudah direduksi pada pH rendah menjadi selenium elemental dan selenat tidak mildah direduksi menjadi selenit (Smith, 1988). McDowell (1 992) menyatakan unsur Se dapat direduksi menjadi selenide (se2? atau dioksidasi menjadi selenite (se43 atau selenate (se6+). Selenium kurang dapat diabsorbsi pada rulninansia dibandingkan monogastrik. Rendahnya absorbsi ini mungkin karena selenite direduksi menjadi senyawa yng tidak larut dalam rumen. Retensi absorbsi Se dipengaruhi oleh status ternak dan bentuk Se. Secara umuln Se organik dapat dideposisikan dalam jaringan lebih tinggi dibandingkan dalam bentuk anorganik. Gerloff (1992) menambahkan baliwa di dala~nrumcn bentuk Sc anorganik akan direduksi dari selenite menjadi selenide oleh proses hidrogenasi. Selenide tidak diabsorbsi di dalam rumen dan juga tidak di dalam usus. Hampir 75 persen Se dalam kapang merupakan selenometionin (Stone, 1998). Ditambahkan oleh Carolyn Berdanier (1998) bahwa sintesis selenoprotein melibatkan asam-asam amino yang mengandung sulfur dan selenium. Proses ini melibatkan selenofosfat untuk membentuk selenosistein, di mana reaksinya dikatalisis oleh selenofosfat sintetase dan vitamin B berperan sebagai koenzimnya. Kira-kira 40 persen Se dalam tubuh tikus sebagai komponen GSH-Px. Aktivitas GSH-Ps ekstraseluler hanya 1110 dari intraseluler (Xin Gei Lei, 1995). GSH-Px membutuhkan reduce glutation (GSH) sebagai cosubstrat. Glutation adalah sulfhidril yang mengandung tripeptida yang dibentuk dari asam glutamat, sistein dan glisin (Krogmeier et al., 1993; Stamler dan Slivka, 1996; Groff dan Gropper, 2000). Reaksi pembentukannya membutuhkan adenosin trifosfat (ATP), dengan tahapan reaksi sebagai beri~ut: ATP 1. L-glutamat + L-sistein ------------- -+ L- y -glutamil-L-sistein ~ g ~ + Enzim yang berperan : y-glutamilsistein sintetase ATP 2. L- y -glutamil-L-sistein + glisin -------------+ glutation ~ g Enzim yang berperan : glutation sintctase Persson-Moschos el ~ + al. (1 996) dan Carolyn Berdainer (1998) menggolongkan selenoprotein pada mamalia menjadi 8, yaitu : 1. Glutation peroksidase sitosol 2. Glutat ion peroksidase ekstrseluler 3. phospholipid hydroperoxide glutathione peroxidase (phGSHPx) 4. Glutation peroksidase gastrointestinal 5. Tipe I 5'iodothyronine deiodonase (5'-1-DI) 6. Selenoprotein P (SeP) 7. Selenoprotein W (Sew) 8. Mitochondria1 capsule selenoprotein (MCS) Fungsi GSH-Px dalam sel adalah melindungi membran sel dan subseluler dari kerusakan oksidatif (Rotruct el al., 1973; Williams dan Dickerson, 1990; McDowell, 1992; Brody, 1994; Ellis et crl., 1995; Stamler dan Slivka, 1996; Smith et al., 1997; Parodi, 1998; Groff dan Gropper, 2000) baik oleh group sulfhidril maupun radikal bebas dengan jalan mereduksinya menjadi senyawa yang aman bagi sel. Hidrogen peroksida dikonversi menjadi air, lipid peroksida dikonversi menjadi alkohol dan air (Combs dan Combs, 1986; Stamler dan Slivka, 1996, Carolyn Berdanier, 1998; Surai et al., 2001). 2GSH Hz0 2 atau LOOHIROOH GSH-PX GS-SG H20 LOHIROH + H20 Groff dan Gropper (2000) menatnbahkan bahwa GSH-Px lebih aktif dibandingkan dengan katalase dalani mereduksi hidrogen peroksida dan organik peroksida. Peroksida-peroksida harus dinetralisir karena dapat merusak membran sel. Dikemukakan oleh Brzezinska-Slebodzinska et a1.(1994) pada sapi perah menjelang proses partus akan terjadi stress oksidatif yang akan menghasilkan ketidakseimbangan antara produksi oksigen dan radikal bebas. Radikal bebas merupakan metabolit oksigen reaktif (MOR) yang dalam metabolisme normal metnpunyai fungsi fisiologis yang penting, namun pada saat kekurangan substansi alami yang bersifat proteksi, maka akan terjadi peningkatan MOR yang dapat menurunkan kekebalan dan performans, di sini peranan Se menjadi penting di samping antioksidan yang lain. Ditambahkan oleh Miller et al. (1993) jika MOR tidak dapat dinetralisir maka akan menurunkan kesehatan sapi perah baik langsung maupun tidak langsung. Secara langsung MOR akan merusak lipidalipida penting serta makromolekul, sedangkan secara tidak langsung MOR akan mengi~bah membral sel, sehingga mengubah jalur menghasilkan perubahan fisiologi dan mungkin juga patologi. metabolisme yang Smith et al. (1997) menyatakan bahwa glutation berfungsi dalam sitosol sel sedangkan vitamin E di dalam membran, keduanya berfungsi dalam melindungi poliunsaturated fatty acid (PUFA) membran sel. Groff dan Grapper (2000) menambahkan bahwa GSH-Px ditemukan utamanya di dalam sitosol (70%). scdangkan lainnya tcrdapat pada matrik mitokondria (30%). Bentuk selenoprotein lain yang mempunyai arti penting dalam metabolisme adalah enzim tipe I S'iodothyronine deiodonase (5'-I-DI), di mana selenosistein menempati pusat aktifnya (Arthur et al., 1993; Aro, 1996). Enzim ini dite~nukandi dalam retikulum endoplasmik hati, ginjal dan otot. Enzim ini ~iiengkonversi tiroksin (T 4) rnenjadi 3.3.5-triiodotironin (T3) (Arthur et al., 1993, Groff dan Gropper, 2000). T3 merupakan bentuk aktif hormon tiroid yang berperan dalam metabolis~ne(Nunez, 1988; Rose dan Obara, 2000; Surai et al., 2001). McDonald (1980) menyatakan bahwa salah satu pengaruh penting dari tiroksin adalah dalam menstimulasi penggunaan oksigen, konsekuensinya akan terjadi peningkatan laju metabolisme basal. Hormon ini juga berfungsi dalam peningkatan jumlah mitokhondria per unit jaringan tubuh, akibatnya akan terjadi peningkatan aktivitas metabolisme mengingat organel ini merupakan mesin dari sel. Aktivitas hormon ini juga dapat melenturkan mitokhondria sehingga akan terjadi peningkatan permeabilitas dari membran mitokhondria. Permeabilitas membran berkaitan erat dengan reaksi fosforilasi. Sehingga akan terjadi peningkatan fungsi organ ini sebagai tranduser energi dan konversi aliran elektron ke bentuk energi kimia (ATP). Cartens et al. (1996) menegaskan bahwa T 3 mampu meningkatkan sintesis protein. T3 masuk dalam sel dan mengikat reseptor protein menjadi bentuk kompleks. Bentuk komplek ini yang mempengaruhi laju transkripsi dari mRNA di dalam nukleus (Brody, 1994). Swecker et al. (1995) menambahkan bahwa bentuk kimia Se mempengaruhi konsentrasi T 3 dan ratio antara T3:T4 dalam plasma sapi. Dari hasil penelitiannya selama 22 bulan membuktikan bahwa Se bentuk organik (yeast) menghasilkan konsentrasi T3 yang lebih tinggi. , McNabb (1995) menyatakan bahwa hormon tiroid berperan dalam metabolisme intermedier yaitu sebagai regulator enzim malat pada hati. Enzim ini mengkatalisis konversi malat menjadi piruvat, yang merupakan reaksi kunci dalam pembentukan NADPH pada lipogenesis. Hormon tiroid merupakan pengontrol utama enzim malat di samping hormon insulin, dengan kontrol penghambatnya oleh hormon glukagon. 7. Absorbsi dan Ekskresi Se dalam Tubuh Absorbsi Se dalam tubuh sangat dipengaruhi oleh bentuknya. Combs dan Combs ( 1 986) menyatakan bahwa L-selenometionin ditransport lnelalui gradien dari mukosa ke sisi serosa usus, yang dihambat oleh L-metionin. Kecepatan tranport DL,-selenometionin setengah kali dibandingkan L- selenometionin dengan carrier yang sama dengan L-metionin. Selenit tidak dapat melalui mukosa jika konsentrasi di dalam mukosa sama dengan konsentrasi serosa. Reasbeck et al. ( 1981) menyatakan bahwa selenometionin diabsorbsi 2 kali lebih banyak dibandingkan seienosistein atau 4 kali lebih banyak dibandingkan selenit. Whanger el al. (1 976) menyatakan bahwa selenit dan selenometionin diabsorbsi pada seluruh segmen intestin dengan absorbsi tertinggi pada duodenum. Wright dan Bell (1966) menginformasikan bahwa tidak ada selenit dan selenometionin yang diabsorbsi di rumen sapi maupun lambung babi. Abdelrahman dan Kincaid (1995) menyatakan bahwa suplementasi Se secara nyata meningkatkan konsentrasi Se darah induk, Se kolostrum dan kasein. Gerloff (1992) membakukan kisaran konsentrasi ideal dalam serum adalah 70 100 ngSeIml serum. Konsentrasi ini dapat dicapai dengan suplementasi lebih dari 6 mg Se per hari. Knowles el ul. (1999) menambahkan bahwa suplementasi Se ragi lebih efektif 2-3 kali dibandingkan Na $5eO4 dalam meningkatkan status Se dan kandungan Se dalam susu serta kasein. Transfer Se ke kelenjar ambing dapat tercapai apabila ternak mendapat Se lebih banyak di atas kebuti~hankritisnya (Gerloff, 1992). 'Ellis c/ (11. (1 997) nienyatakan konsi~~nsi Se - dalam bentuk sodium selenite dalam jumlah 10 30 kali dari kebutuhan tidak akan menyebabkan problem kesehatan pada sapi muda. Suplementasi Se dalam bentuk sodium selenite sebanyak 3 mglkg bahan kering ransum selama 90 hari meningkatkan sel darah putih. Ditambahkan lebih lanjut konsentrasi Se dalam serum dan darah juga ~neningkatsejalan dengan peningkatan suplementasi Se. I'enggunaan Sc organik, karena bentuknya terikat dengan molekul protcin, makn aknn digi~nakanolch ~nikroorganismedi dalam rumen atail bypass ke dalam usus halus dan akan dihidrolisis oleh enzim-enzim usus halus. Senyawa Se organik secara aktif ditransfer ke enterosit usus halus. pada eritrosit Aktivitas GSH-Px sapi perah dara yang mendapat Se-kapang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan selenometionin, kobalt selenit ataupun sodium selenit. Sapi perah yang mengkonsumsi Se organik menghasilkan susu yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang mengkonsumsi anorganik (Awadeh et al., 1999). Mahan ( 1 995) menyatakan bahwa GSH-Px dalam plasma mRNAnya diregulasi oleh ketersediaan Se, sedangkan dalam jaringan, mRNA tidak dipengaruhi oleh supplai Se. Oleh karenanya ada prioritas penggunaan Se dalam jaringan tubuh dan dalam bentuk GSH-Px aktivitasnya dalam jaringan mempunyai prioritas sesuai dengan bentuknya. Enjalbert et al. (1999) menambahkan bahwa aktivitas GSH-Px di dalam sel darah merah meningkat secara cepat dengan suplementasi 45.5 mg Selhari. Aktivitas GSH-Px dapat digunakan sebagai estimasi yang baik dari status Se, karena enzim ini merupakan fungsi fisiologi dari selenium. 98% aktivitas GSH-Px di dalam darah berasosiasi dengan eritrosit, oleh karenanya analisis GSH-Px di dalam sel darah akan efektif menggambarkan status Se dalain jangka waktu yang lama. Kandungan tertinggi glutation ditemukan dalam hati, yang merupakan organ utama dalatn detoksifikasi dan eliminasi xenobiotik. Glutation disintesis di dalam hati dari komponen asam amino dan diedarkan ke plasma darah dan empedu. Ketersediaan asam amino sistein nampaknya merupakan tahapan pembatasan sintesis. Kelebihan protein pakan atau asam amino bersulfur tidak akan meningkatkan konsentrasi maksimum glutation hati melebihi level maksimal secara fisiologi. Meskipun demikian dua asam amino lain yaitu asam glutamat dan glisin merupakan dua asam amino lain yang diperlukan untuk sintesisnya. Glutation penting dalam aktivitas limposit, khususnya sel T dan respons kekebalan (Combs dan Combs, 1986; Larsen, 1993; Ellis et al., 1997). Dikemukakan oleh Baumrucker (1985) bahwa glutation darah pertamatama dihidrolisis oleh y-glutam il transpeptidase (GTP-ase) ektraseluker pada selsel mem bran kelenjar am bing dan kemudian dihidrolisis lebih jauh menjadi asamasam amino bebas oleh peptidase nonspesifik. Tiga komponen asam amino (glutamat, sistin dan glisin) ditransport sesuai dengan mekanisme transport asam amino. Glutamat ditransport rnelalui sistem anion, sistin melalui sistem ASC dan glisin melalui sistem A. Akhirnya ketiga asam amino masuk dalam pool asam amino dan tersedia untuk sintesis protein susu atau resintesis glutation intraseluler. Jaringan kelenjar ambing mempunyai konsentrasi glutation 4 - 6 mM. Ditambahkan oleh Baumrucker (1985) bahwa darah menggunakan GSH (reduce GSH) untuk pertahanan dari oksidasi hidrogen peroksida maupun lipid peroksida atau mempertahankan status redok dari sel darah merah (Carolyn Berdanier, 1998). Combs dan Combs (1986) menyatakan bahwa eksresi Se dari tubuh dapat melalui tiga jalur utama, yaitu : paru-paru, urin dan saluran pencemaan (melalui feses). Mahan dan Parrett (1996) menyatakan bahwa urin merupakan jalur utama ekskresi Se pada nonruminan dan manusia yang mendapatkan suplai Se anorganik. Sedangkan pada suplai Se-ragi jalur terbesarnya melalui feces. Groff dan Gropper (2000) menambahkan bahwa 50 - 60% selenium atau sekitar 50 pg diekskresikan melalui urin. Eli~ninasimelalui paru-paru pada dosis Se yang tinggi juga dapat terjadi melalui volatile dimethyl selenite (Hirooka dan Galambos, 1966; Groff dan Grapper, 2000). Sedangkan studi Kim dan Mahan (2001) pada babi mendapat jalur ekskresi yang berlainan yaitu jalur ekskresi lewat feces merupakan jalur utama jika ternak mendapat suplai Se organik, sedangkan dalam bentuk anorganik jalur ekskresinya melalui urin. 8. Hubungan Mineral Selenium dengan Kekebalan Tubuh Sistem kekebalan tubuh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : sistem kekebalan paraspesifik (antigen non-spesifik) dan sistem kekebalan spesifik (spesifik antigen) (Mayr, 1993). Pengaruh selenium terhadap kekebalan humoral dijelaskan oleh Combs dan Combs (1986). Selenium mempunyai peran dalam peningkatan sel-sel B, yang bertanggung jawab terhadap sintesis immunoglobulin G (IgG). Di samping itu selenium juga berperan pada peningkatan sel T yang berfungsi dalam sistem kekebalan yang diperantarai oleh sel. Selenium juga berfungsi meningkatkan aktivitas sel-sel fagosit (makrofag dan neutrofil). Fungsi sel-sel 13 sangat dipengaruhi oleh scl 'T dan makrofag. Konsentrasi immunoglobulin (Ig) dalam kolostrum berkisar antara 50 150 g/L, yang terdiri atas 85-90% IgG, 7 % IgM dan 5% IgA. Kelenjar ambing memproduksi dalam jumlah besar IgM dan IgA tetapi sedikit IgG. IgG sebagian besar ditransfer dari serum ke susu (Awadeh et al., 1998). Defisiensi Se akan menurunkan imunoglobulin (Ig) G dan Ig M pada plasma (Larsen, 1993; Corvilan et al., 1993, Swecker et al., 1995), aktivitas neutrofil dalam membunuh bakteri patogen juga menurun (Sohn et al., 2001). Swecker et al. (1995) menambahkan bahwa suplementasi Se pada sapi perah malnpu menurunkan jumlah bakteri dalam intramammary ambing, menurunkan jurnlah sel somatik serta meningkatkan aktivitas neutropil dalam membunuh bakteri. Dikemukakan lebih lanjut bahwa suplementasi Se pada pakan sapi meningkatkan IgG dalam serum dan juga meningkatkan transfer IgM dari serum ke kolostrum. IgG ditransfer dari serum ke kolostrum melalui sistem transport selektif pada sel sekretori. Finch dan Tuner (1996) melaporkan bahwa sapi yang disuplementasi Se 0.1 mg Se dan 1 mg vitamin E per kg ransumnya akan meningkat konsentrasi total IgGnya. 9. Potensi Tepung Bulu Sebagai Sumber Protein Sapi Perah Data Ditjen Peternakan (2001) menyebutkan bahwa populasi ayam pedaging sampai bulan Mei sebesar 524.272.857 ekor atau 1.179.61 3.928 ekor pada akhir tahun, dengan asumsi bobot bulu mencapai 5% bobot hidup maka akan didapatkan bulu sebesar 58.98 1 ton. Tepung bulu pada pakan sapi perah diperlukan, mengingat bahan pakan ini merupakan salah satu sumber protein yang tahan degradasi mikroba rumen (rumen undegradable protein, RUP), Protein bulu sekitar 85 - 90% yang terdiri atas keratin yang tergolong ke dalam protein serat (fibrous). Keratin dikarakteristikan sebagai protein yang kaya akan asam amino bersulfur sistin. Ikatan sistin disulfida yang terbentuk antar asam amino sistin menyebabkan protein ini sulit dicerna oleh enzim proteolitik dalam saluran pencernaan (Aderibigbe dan Church, 1983). Oleh sebab itu pemanfaatan bulu ayam sebagai sumber protein harus melalui pengolahan terlebih dahulu. Lisin dan metionin merupakan asam amino pembatas dalam sintesis protein susu pada awal laktasi (Schwab, 1996). Oleh karenanya sumber RUP dan profil asam aminonya penting untuk supplai optimal dari asam amino pembatas. Jika sapi perah mendapatkan pakan yang mengandung bungkil kedelai, tepung darah, tepung bulu atau kombinasi antara tepung bulu dan tepung darah, maka laju lisin, histidin, leusin dan sistin ke dalam duodenum rendah pada pakan yang mengandung tepilng bulu dibandingkan dengan pakan yang mengandung tepung darah. Oleh karenanya formulasi pakan seharusnya mengandung protein yang mudah didegradasi mikroba rumen (rumen degradable protein, RDP) yang cukup untuk kebutuhan mikroba dan RUP yang mempunyai pola asam amino yang dapat melengkapi AA mikroba dan secara optimal dapat mensuplai asam amino esensial pasca rumen. Harris et al. (1992) mendapatkan data bahwa terdapat pengaruh linier yang menguntungkan pada penggunaan tepung bulu sebesar 3 prsen pada pakan yang mengandung protein kasar 14 persen dalam meningkatkan produksi susu, ha1 ini mungkin terjadi akibat adanya keseimbangan asam amino. Keuntungan pemakaian hidrolisat bulu ayam dibandingkan dengan bungkil kedelai dalam ransum ruminansia adalah karena hidrolisat bulu ayam mempunyai kandungan protein tahan degradasi (rumen undegradable protein, RUP) yang tinggi. Seperti hasil yang dilaporkan oleh Aderibigbe dan Church (1983) bahwa produksi NH3 dan kecernaan ransum yang mengandung hidrolisat bulu ayam di dalam rumen secara in vitro termasuk rendah, namun demikian kecernaan in vivo dan kecernaan hidrolisat bulu ayam oleh pepsin HCI cukup tinggi yaitu antara 57 - 78%. Pasokan RUP sangat penting bagi sapi perah karena protein mikroba saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan asam amino dari sapi perah yang berproduksi tinggi (Sutardi, 1981). 10. Fungsi dan Peranan Seng dalam Tubuh Ternak Seng adalah salah satu mikronutrien yang tidak beracun yang tersebar merata dalam jaringan tubuh (Georgievskii et a]., 1982). Konsentrasinya dalam - jaringan tidak konstan, namun bervariasi tergantung umur, jenis kelamin dan level mineral pakan yang dikonsumsi ternak. Ketergantungan mineral pakan sangat tinggi karena tubuh tidak dapat membuatnya. Hasil studi Little (1986) menunjukkan bahwa kandungan Zn pakan ruminansia di Indonesia berkisar antara 20-38 mglkg bahan kering ransum, nilai ini jauh di bawah kebutuhan ternak ruminansia (NRC, 1988). Rata-rata k~nsentrasiseng dalam darah ternak antara 0.25 - 0.60 mg.lOO ml-', sedangkan dalam plasma antara 0.1 - 0.2 mg.lOO ml-' (Georgievski et al., 1982). Seng dalam plasma ditemukan dalam dua bentuk yaitu yang berkaitan dengan globulin dan albumin dengan proporsi 1:2 dan masing-masing terlibat dalam fungsi enzim dan sebagai agen transportasi. Brown et al. (2001) menyatakan bahwa Seng berasosiasi dengan lebih dari 50 metaloenzim, dengan fungsi yang sangat luas, termasuk dalam sintesis asam nukleat dan protein yang spesifik (hormon dan reseptornya). Oleh karenanya Zn memainkan peranan sentral dalam pertumbuhan sel, diferensiasi dan metabolisme. Sedangkan Georgievski et al. (1982) menyatakan seng berperan sebagai aktivator berbagai enzim dan bertindak sebagai komponen esensial pada sejumlah besar metaloenzim yang penting seperti alkalin fosfatase, karboksi peptidase A dan B, dan karbonat anhidrase. Seng diabsorbsi ke dalam tubuh melalui usus usus, dan diregulasi melalui sistem homeostasi tubuh lewat mekanisme absorbsi dan ekskresi seng endegenus dari pankreas dan juga saluran pencernaan yang lain (Miller et al., 1970, Underwood, 1977; Brown, 2001). Pada peristiwa absorbsi dan transfer, seng akan lewat dari satu ikatan protein ke protein lainnya dan mungkin juga dalam suatu ikatan metal kompleks dengan asam amino atau EDTA sebagai ikatan non protein. Metabolisme setelah absorbsi dipengaruhi oleh ikatan yang terbentuk (Georgievskii et al., 1982). Hasil penelitian Rojas et al. (1995) memperlihatkan bahwa penggunaan Zn-lisinat lebih efektif dibandingkan dengan Zn-metionin maupun ZnS04 dilihat dari Zn yang terserap pada ginjal, liver dan pankreas.