TINJAUAN PUSTAKA Pengenalan Cacing Tanah Cacing tanah E. fetida dan L. rubellus termasuk ke dalam filum Annelida. Kedua spesies cacing tanah ini banyak dijumpai di tempat yang lembab, dan hidup dalam kotoran hewan (Hartenstein et al. 1979; Edwards et al. 1988; Gunadi et al. 2003). Cacing belang atau E. fetida, memiliki warna tubuh coklat tua dengan belang kuning antar segmen (Gambar 1a). Bentuk tubuh bulat dengan panjang ± 32−130 mm dan segmen tubuhnya berjumlah ± 80−110 segmen (Edward & Lofty 1972). Cacing merah atau L. rubellus, memiliki warna merah kecoklatan atau merah violet pada bagian dorsalnya sedang bagian ventralnya berwarna lebih pucat (Gambar 1b). Bentuk tubuh agak pipih dengan panjang 25−105 mm, dan segmen berjumlah 95−120 segmen (Edward & Lofty 1972). Disetiap segmennya terdapat rambut yang keras, berukuran pendek dan jumlahnya sedikit, yang disebut sebagai seta. Berdasarkan karakteristik tersebut, maka kedua spesies cacing ini dimasukkan ke dalam subkelas Oligochaeta (Brusca & Brusca 2003). Edward dan Lofty (1972) menyatakan Oligochaeta terdiri dari 5 famili, satu diantaranya adalah Lumbricidae dengan klasifikasi sebagai berikut: Filum : Annelida Kelas : Clitellata Ordo : Oligochaeta Famili : Lumbricidae a b Gambar 1 Cacing tanah E. fetida (a), L. rubellus (b). (Sumber: Kinderzeichnungen 2005). Famili Lumbricidae mencakup semua spesies cacing tanah, dengan tubuh yang relatif besar, dan pemakan serasah. Lumbricidae memiliki seta yang kadang dengan ornamen sigmoid. Lubang jantan (male pore) umumnya terdapat pada segmen ke-15, sedangkan lubang betina (female pore) terdapat pada segmen ke14. Testes terdiri dari dua pasang, dan terdapat pada segmen 10 dan 11. Testes tidak mempunyai prostata, tetapi kadangkala terdapat kelenjar berbentuk prostata, dan spermatekanya sangat sederhana. Ovari terdapat pada segmen ke-13 bagian posterior testes. Lambung sederhana dan berkembang baik, terdapat di depan usus. Esophagus mengandung kelenjar kalsiferus yang berfungsi untuk menetralisir media jika dalam kondisi asam. Klitelum berbentuk saddle , terdapat di bagian posterior dari lubang jantan (Edward & Lofty 1972). Distribusi geografi Lumbricidae Lumbricidae dengan berbagai spesies banyak dijumpai di seluruh dunia. Namun jarang sekali terdapat di gurun pasir, lahan yang tetap dilapisi salju, bukit berbatu, dan kawasan miskin lapisan tanah dan vegetasi (Lee 1985). Cacing tanah umumnya hidup di darat dan beberapa hidup di air tawar. Cacing tanah hidup pada suhu sedikit panas sampai daerah lebih dingin di daerah Hemisphere bagian Utara, Jepang, Siberia, Asia Tengah, Eropa, India Utara dan Pakistan, Israel, Jordan, dan Amerika Utara. Namun beberapa spesies dapat tersebar luas atau perigrin (kosmopolitan) dan beberapa bersifat endemik yaitu terdapat di kawasan tertentu (Edward & Lofty 1972). Wilayah distribusi Eisenia sp. terdapat di Siberia, Rusia bagian selatan, Israel, Eropa dan Amerika Utara. Wilayah distribusi Lumbricus sp. terdapat di Siberia, Eropa, Iceland, Amerika Utara, dan telah tersebar luas di dunia (Edward & Lofty 1972). Hal ini berkaitan dengan pola distribusi yang meliputi tiga faktor utama yaitu barrier geografi, distribusi alami dan distribusi oleh manusia (Monroy et al. 2006). Fisiologi Cacing Tanah Sistem pencernaan Sistem pencernaan cacing tanah berupa tabung lurus dengan spesialisasi regional dari rongga mulut, faring, esofagus, tembolok, lambung, dan usus. Rongga mulut berhubungan secara langsung dengan saluran pencernaan. Bahan organik atau substrat melalui gerakan silia masuk ke dalam rongga mulut dan ditarik ke perut depan. Tembolok berupa esofagus yang membesar untuk menyimpan makanan. Lambung mencerna pakan secara mekanis dengan bantuan batuan kecil yang turut masuk bersama pakan. Kelenjar kalsiferus yang dihasilkan oleh organ pencernaan berfungsi untuk menyerap kalsium dari bahan yang dicerna. Kalsium berguna untuk menetralisir media jika kondisinya asam. Tiflosol merupakan bagian dari usus yang berlipat-lipat, berguna untuk memperluas permukaan usus. Lambung dan usus mensekret enzim-enzim seperti protease, lipase, amilase, sellulase, dan kitinase (Hand 1988). Selain itu fungi, algae, aktinomisetes, dan mikroba hidup pada usus cacing tanah. Sel kloragen adalah sel berpigmen pada usus tengah yang berfungsi sebagai tempat metabolisme dan berperan dalam ekskresi. Bahan organik atau substrat melewati saluran pencernaan akan dicerna dan diserap, sedangkan bahan yang tidak dicerna akan dibuang lewat anus (Edward & Lofty 1972). Lambung dan usus bekerja sebagai bioreaktor dan hanya 5−10% komponen organik dicerna dan diserap tubuh selanjutnya dikeluarkan berupa butiran yang dilapisi mukus disebut vermikompos (Hand 1988). Sistem ekskresi Organ ekskresi cacing tanah terdiri atas sepasang metanefridia yang terletak di seluruh segmen tubuh kecuali pada tiga segmen pertama dan terakhir. Sistem ekskresi bersifat sebagai penyaring yang menggerakkan sisa atau sampah dan mengembalikan substansi yang berguna ke sistem sirkulasi (Edward & Lofty 1972). Metanefridia cacing tersusun atas preseptal nefrostom, postsegmental nefridioduct dan nefridiofor. Nefrostom bersilia bermuara di rongga tubuh (pseudoselom) dan berlanjut pada saluran berliku-liku (nefridioduct). Bagian akhir dari nefridioduct akan membesar seperti gelembung. Gelembung ini akan bermuara ke bagian luar tubuh melalui pori yang merupakan lubang nefridiofor. Ujung nefridiofor berbentuk bulbus berfungsi untuk mendorong sisa atau sampah keluar tubuh (Edward & Lofty 1972). Cairan atau larutan yang diserap pada proses ekskresi berupa sisa atau sampah nitrogen (amonia, urea, asam urat), protein selomik, air dan ion (Na+, K+, Cl-). Cairan tubuh akan ditarik ke nefrostom dan masuk ke nefridium oleh gerakan silia dan otot. Saat cairan tubuh mengalir melalui nefridioduct, bahan-bahan yang berguna seperti air, protein dan ion akan diambil oleh sel-sel tertentu dari tabung. Bahan-bahan ini akan menembus kapiler dan disirkulasikan kembali. Sedangkan sampah nitrogen dan sedikit air yang tersisa dalam nefridium akan diekskresikan keluar melalui nefridiofor (Edward & Lofty 1972). Sistem reproduksi dan perkembangan Cacing tanah bersifat hermaprodit atau biseksual, artinya pada setiap tubuh cacing tanah terdapat alat kelamin jantan dan betina sekaligus (unisex). Namun, dalam proses kawin (mating) cacing tanah akan berpasangan dengan cacing lain, dan saling mentransferkan spermanya. Klitelum adalah bagian dari tubuh yang menebal dan warnanya lebih terang merupakan ciri cacing yang telah dewasa, fungsinya sebagai produksi kokon. Struktur klitelum E. fetida terletak pada segmen 24, 25, dan 26−32, sedangkan klitelum L. rubellus terletak pada segmen 26, menghasilkan 27−32. Klitelum tiga tipe kelenjar, yaitu: kelenjar penghasil mukus (untuk kopulasi), kelenjar pembentuk kokon, dan kelenjar penghasil albumin (dalam kokon) (Edward & Lofty 1972). Klitelum pada cacing tanah berkembang berusia ± 2−3 bulan (Garg et al. 2005), dan semakin meningkat perkembangannya pada kelembaban 64% (Reinecke & Venter 1987). Sistem reproduksi jantan terdiri dari 1−2 pasang testis pada segmen ke 10−11. Sperma yang diproduksi dilepaskan ke rongga selom hingga dewasa. Selanjutnya, sperma dewasa masuk ke vesikula seminalis hingga matang. Kemudian melalui corong bersilia, sperma yang matang dibawa menuju gonofor jantan. Pada sistem reproduksi betina, terdiri dari sepasang ovarium di bagian posterior sistem reproduksi jantan (segmen ke 12). Sel telur diproduksi di ovarium dilepas ke rongga selom, dan disimpan hingga matang pada kantung dinding septa (ovisac). Melalui corong bersilia, sel telur dibawa menuju gonofor betina (Edward & Lofty 1972). Cacing tanah melakukan perkawinan (mating) pada posisi yang berlawanan bagian anterior (Gambar 2a). Proses perkawinan dapat berlangsung selama beberapa jam, dan dari klitelum dikeluarkan lendir yang berguna untuk melindung sel-sel sperma. Pada saat terjadinya kopulasi, kedua cacing tanah tidak sensitif dalam merespon rangsangan luar seperti sentuhan dan cahaya (Edwards & Lofty 1972). Setelah cacing berpisah, klitelum akan membentuk selubung kokon dan bergerak ke arah anterior. Selubung kokon akan bertemu sel telur (keluar dari gonofor) dan sperma (keluar dari spermateka). Fertilisasi terjadi di dalam selubung kokon, dan terbentuk zigot yang terselubung di dalam kokon (Gambar 2b). Kokon yang berisi sel telur ini akan bergerak kearah anterior tubuh cacing berkembang mulai dari telur yang tersimpan dalam kokon. Kokon akan menetas sekitar 14−21 hari dan menghasilkan juvenil (Gambar 2c) (Edward & Lofty 1972) a b c Gambar 2 Tahap-tahap reproduksi cacing tanah, mating (a) (modifikasi dari Tembe dan Dubash 1963), kokon E. fetida (b), juvenil keluar dari kokon E. fetida (c). Sistem saraf Sistem saraf utama pada cacing tanah terdiri atas sebuah ganglion serebral dorsal, sepasang konektif atau penghubung sirkumenterik dan satu buah atau lebih tali saraf longitudinal. Ganglion serebral dorsal mensuplai saraf bagian anterior tubuh dan saraf prostomial. Pergerakan tubuh cacing tanah diatur oleh ganglion subenterik. Sedangkan konektif sirkumenterik dan tali saraf longitudinal cacing tanah mengontrol saraf sensoris dan motoris keseluruh dinding tubuh serta organ di setiap segmen. Cacing tanah mempunyai prostomium yang terletak di bagian segmen anterior merupakan kumpulan organ saraf perasa yang berbentuk seperti bibir. Pada cacing tanah ditemukan dua tipe organ sensoris, yaitu fotoreseptor dan organ perasa epitelia yang berfungsi sebagai kemoreseptor (Edward & Lofty 1972). Kemoreseptor dapat mendeteksi bahan makanan, dan memberi informasi tentang kondisi lingkungan. Disamping itu, kemoreseptor juga berperan dalam proses perkawinan dengan mendeteksi getah mukus yang dihasilkan oleh cacing tanah yang lain (Smith 1902). Cacing tanah sangat respon terhadap rangsangan cahaya, terutama pada cahaya yang tiba-tiba terpapar setelah berdiam lama dalam kondisi gelap (Laverack 1963). Lumbricidae bersifat fotopositif terhadap cahaya yang lemah, dan bersifat fotonegatif pada cahaya yang kuat (Hess 1924). Ekologi dan pola pencarian pakan cacing tanah. Cacing tanah dapat hidup hampir pada semua jenis tanah. Tanah sebagai media hidup cacing harus mengandung bahan organik dalam jumlah yang besar. Bahan-bahan organik tanah dapat berasal dari serasah (daun yang gugur), kotoran ternak atau tanaman dan hewan yang mati. Cacing tanah menyukai bahan-bahan yang mudah membusuk karena lebih mudah dicerna oleh tubuhnya. Cacing tanah berdasarkan tempat hidupnya dan ketersediaan pakannya dikelompokkan sebagai berikut: 1. Epigeic, spesies cacing tanah yang hidup dan mencari serasah di lapisan atas tanah. Cacing tanah epigeic memiliki tubuh kecil (1−7 cm), dan sangat sensitif terhadap perubahan cahaya, contohnya E. fetida (Hartenstein et al. 1979; Sherman 2003) , L. rubellus dan E. euginiae (Kale & Bano 1988). 2. Endogeic, spesies cacing tanah yang mempunyai daerah pakan luas, membuat liang secara horizontal dengan kedalaman ± 50 cm dan sangat baik untuk aerasi (Sherman 2003). Cacing tanah ini memiliki ukuran panjang tubuh 2−12 cm sebagai contoh Aporrectodea calignosa. 3. Anecic, cacing tanah yang hidup memakan organik debris dan mengubahnya menjadi humus. Cara hidupnya dengan mengambil serasah dari permukaan tanah dan membawanya dengan menggali tanah sampai kedalaman mencapai 2 m. Spesies cacing tanah yang hidup di lokasi ini memiliki ukuran tubuh yang besar (8−15 cm) contoh L. terrestris. Cacing Tanah Sebagai Dekomposer Cacing tanah berperan penting dalam perombakan bahan-bahan organik. Dekomposisi bahan organik merupakan suatu proses biokimia dan fisik yang melibatkan berbagai kelompok mikroba dan makroorganisme lainnya seperti cacing tanah. Proses perombakan bahan organik dapat dilakukan oleh bakteri, fungi, aktinomisetes, protozoa, dan cacing tanah. Keberadaan cacing tanah dapat meningkatkan populasi mikroba yang bermanfaat bagi tanaman. Selain itu cacing tanah juga dapat mendekomposisi sampah organik menjadi humus (Sharma et al. 2005). Proses perombakan bahan organik dapat berlangsung secara aerobik dan menghasilkan kompos secara cepat, sedangkan anaerobik membutuhkan waktu dekomposisi yang lebih lama dan menimbulkan masalah bau (Obeng & Wright 1987). Proses perombakan bahan organik secara aerob merupakan proses dekomposisi yang berlangsung dengan bantuan oksigen. Hasil akhir dekomposisi adalah CO2, air, unsur hara, senyawa-senyawa sederhana dan energi (Gaur 1981). Selama proses dekomposisi bahan organik mikroba berperan mendegradasi secara biokimia bahan organik ke bentuk yang lebih sederhana dan mudah diserap tumbuhan seperti nitrogen, kalium, dan fosfor (Ndegwa et al. 2001). Cacing tanah secara fisik dan biokimia menguraikan bahan organik ke dalam bentuk partikel tanah (Sharma et al. 2005). Cacing tanah vermicomposting. menguraikan bahan organik melalui proses Cacing tanah dan mikroba akan bersimbiosis untuk mempercepat proses dekomposisi bahan organik (Ronald et al. 1977). Vermicomposting merupakan suatu proses perubahan bahan organik menjadi komponen yang berguna dengan melibatkan kerja sama cacing tanah dan mikroba (Edward et al. 1988; Dominguez et al. 1997; Aire et al. 2002; Naddafi et al. 2004). Proses ini berlangsung pada rentang suhu mesofilik (35−40 oC). Hasil akhir proses ini menghasilkan vermikompos dan biomasa cacing tanah itu sendiri (Sharma et al. 2005). Vermikompos yang dihasilkan memiliki stuktur lebih halus, warna coklat gelap, tidak berbau dan mudah terserap air (Ismail 1997), memiliki porositas, aerasi, drainase dan kapasitas menahan kelembaban yang sangat baik (Dominguez et al. 1997), juga kaya dengan keragaman mikroba (Subler et al. 1998). Cacing tanah dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang optimal untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Beberapa faktor tersebut antara lain: suhu, kelembaban, pH, dan rasio C/N. Suhu media hidup cacing tanah sangat mempengaruhi periode pertumbuhan mulai dari penetasan sampai dewasa kelamin. Menurut Selden et al. (2005) suhu media sebaiknya dijaga pada kisaran 21−27 oC. Cacing tanah hidup pada kisaran suhu 20−30 oC (Khwairakpam et al. 2005). Spesies E. fetida merupakan cacing tanah yang sangat peka terhadap suhu lingkungan hidupnya. Jenis cacing ini akan mengalami perkembangan yang baik pada suhu optimum 25 o C (Venter & Reinecke 1988; Gunadi et al. 2003). Kelembaban mempengaruhi pertumbuhan dan daya reproduksi cacing tanah. Kelembaban yang ideal antara 60−90% (Haukka 1987), dan pada 70−80% (Khwairakpam et al. 2005). Kelembaban yang terlalu tinggi dapat menyebabkan cacing tanah berwarna pucat dan kemudian mati. Cacing tanah dapat tumbuh dan berkembang dengan baik pada tanah yang sedikit asam sampai netral. Kemasaman tanah pada pH 6.0−7.2 merupakan pH optimum bagi aktivitas cacing (Gaddie & Douglas 1975). Spesies E. fetida hidup baik pada media dengan pH 6.5–8.6 (Hou et al. 2005). Tanah yang pH-nya asam dapat mengganggu pertumbuhan dan daya berkembang biak cacing tanah serta kurang mendukung percepatan proses pembusukan bahan-bahan organik. Dengan demikian tanah yang asam dan ditambah dengan kapur dapat menaikkan pH tanah. Penambahan kapur sebanyak 0.3% dari berat campuran media akan menaikkan pH antara 0.14−0.30 (Waluyo 1993) Kualitas pakan tidak hanya mempengaruhi jumlah populasi cacing tanah tapi pertumbuhan dan reproduksinya (Aira et al. 2006). Cacing tanah lebih memilih bahan organik dengan rasio C/N yang rendah sebagai pakannya, dan ini tergantung kepada spesies cacing tanahnya (Naddafi et al. 2004). Hou et al. (2005) menyatakan bahwa laju dekomposisi optimum pada rasio C/N substrat 20 pada suhu 20 oC pada bahan organik yang telah difermentasi selama 18 hari. Vermikompos mengandung banyak zat hara yang berguna untuk meningkatkan kesuburan tanah. Vermikompos dapat memperbaiki struktur tanah dan membantu menahan kelembaban dan mineral sehingga tidak hanyut tercuci air. Pada tanah berpasir atau liat, vermikompos meningkatkan porositas yang memungkinkan akar tanaman dengan mudah menembus tanah dan memungkinkan air permukaan mengalir di antara partikel-partikel tanah. Vermikompos dapat menyuburkan halaman, kebun, taman, dan lahan pertanian. Vermikompos dapat juga digunakan untuk lapisan penutup (mulching), seperti disekeliling pepohonan atau tanaman berbunga. menyatakan Vermikompos dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman, diameter stem, pertumbuhan akar, dan jumlah bunga (Hidalgo et al. 2006). Selain itu vermikompos juga mengandung banyak mikroba tanah yang penting seperti aktinomisetes (2.8 x 106 sel/g BK), bakteri (1.8 x 108 sel /g BK) dan fungi (2.6 x 105 sel/g BK) dan enzim-enzim yang penting antara lain protease, amilase, lipase dan selulase (Taylor et al. 2004).