PENGARUH IKLAN TELEVISI PARPOL NASDEM TERHADAP DUKUNGAN MASYARAKAT MENJELANG PEMILU 2014 Oleh Yoseph Andreas Gual Perilaku seseorang dalam mendukung partai atau figur tertentu dalam kontestasi politik sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya yakni iklan politik. Iklan politik merupakan strategi pemasaran yang cukup efektif dalam mengkampanyekan kandidat atau partai politik. Iklan politik menjadi sarana yang cukup menjanjikan untuk memperkenalkan dan mempromosikan program, platform, isu-isu politik, keunggulan dan latar belakang serta sebagai pencitraan kandidat. Dengan iklan politik, diharapkan pemilih mendapatkan pandangan dan persepsi tertentu tentang kandidat atau partai politik. Akhir-akhir ini iklan politik Partai Nasdem sangat sering muncul di berbagai media baik cetak maupun elektronik, terutama televisi. Sebagai partai baru, cara ini memang sangat efektif untuk “memperkenalkan” diri kepada publik selain dengan cara mobilisasi kader ke berbagai daerah atau bentuk perkenalan lain. Kemampuan media untuk mentransferkan pesan kepada khalayak luas dengan cara yang cepat dan serentak memudahkan Partai Nasdem mesosialisasikan diri dengan harapan mendulang dukungan. Di lain sisi, berdasarkan hasil penelitian Lembaga Survei Indonesia (LSI), Partai Nasdem dalam kurun waktu tiga tahun terakhir mendapatkan sambutan antusias dari masyarakat. Pada tahun 2010, Nasdem yang masih berbentuk organisasi masyarakat (ormas) mendapat 0,3 persen dukungan. Kala itu, jawaban para responden bersifat spontan dalam arti nama Nasdem belum disertakan dalam kuesioner. Tahun 2011, dukungan spontan masyarakat terhadap Nasdem meningkat menjadi 0,6 persen. Dan Februari 2012 dukungan spontan yang diberi masyarakat kepada Nasdem yang berganti jubah dari organisasi masyarakat ke partai politik pada tanggal 26 Juli 2011, mencapai 1,6 persen. Sedangkan data terakhir yang dirilis LSI pada 11 Maret 2012, survei tersebut sudah memasukan Nasdem sebagai partai, dukungan masyarakat kian melonjak hingga 5,9 persen (LSI, 2012). Uniknya, LSI menyatakan bahwa meningkatnya dukungan masyarakat kepada Partai Nasdem bukan disebabkan oleh pemberitaan politik dan talk show walaupun sebanyak 75 persen masyarakat menonton televisi. Menurut hasil temuan LSI, dari 75 persen responden yang menonton televisi, 32 persen menonton berita dan talk show sedangkan sebagian besar yakni 44 persen khalayak menonton sinetron atau film. Pertanyaannya adalah jika iklan politik Partai Nasdem menyebar di berbagai media, program acara dan jam tayang maka terpaan iklan politik Partai Nasdem kepada masyarakat kemungkinan lebih besar dari berita politik dan talk show. Ini berarti ada kemungkinan masyakat memberi dukungan kepada Partai Nasdem karena dipengaruhi oleh iklan politik partai Nasdem terutama iklan televisi. Tulisan ini, mencoba menelusuri alternatif kemungkinan ini. Iklan Politik di Televisi Iklan merupakan suatu proses komunikasi yang diarahkan untuk membujuk dan menggiring orang untuk mengambil tindakan yang menguntungkan bagi pihak pembuat iklan (Kasali, 2002: 10). Dun dan Barban (dalam Pasoreh) mengatakan bahwa iklan adalah kegiatan komunikasi non personal yang disampaikan lewat media dengan membayar ruang yang dipakai untuk menyampaikan pesan yang bersifat persuasif kepada konsumen oleh perusahaan, lembaga non-komersil maupun pribadi yang berkepentingan. Berdasarkan kedua definisi di atas maka sifat utama iklan haruslah informatif sekaligus persuasif. Jefkins (1997: 228) memaparkan karakteristik iklan yang baik yang memenuhi syarat informasi dan persuasi yakni bersifat menjual, pesan disampaikan secara langsung, repetisional, dan menggunakan kata-kata yang singkat dan sederhana agar mudah dipahami. Dalam dunia politik, iklan merupakan pesan yang dirancang dan dikontrol untuk mempromosikan kepentingan partai dan atau kandidat politik (Perloff, 2002: 609). Karena dirancang dan dikontrol oleh politisi maka iklan politik menjadi salah satu senjata ampuh dalam dunia perpolitikan kontemporer (Nimmo dalam Suryatna: 2007:13). Iklan politik itu sendiri memiliki keunggulan dan kelemahan karena itu, iklan politik bukan satu-satunya cara untuk meraih dukungan massa. Wasesa (2011: 120) secara cermat memilah keunggulan dan kelemahan iklan politik ini. Kemampuan untuk menjangkau khalayak luas terutama menggunakan televisi, pesan dapat dikontrol karena membeli space di media dan penyampaian pesan dilakukan melalui cara yang kreatif menggugah merupakan keunggulan iklan politik. Sedangkan kelemahannya, politisi diharuskan untuk mengalokasikan anggaran yang cukup besar dan kredibiltas pesan lebih rendah karena disampaikan langsung oleh pihak yang bersangkutan. Dari segi konten, iklan politik tidak sama dengan iklan komersil. Jika iklan komersil dilakukan agar barang dan/atau jasa perusahaan laku yang di dalamnya bisa memasukan unsur manipulatif maka iklan politik harus lebih dari itu. Selain “menjajakan” partai dan kandidat, iklan politik juga menjadi sarana pendidikan politik. Karena itu, iklan politik harus lebih berorientasi pada isu, visi, misi dan program yang diusung oleh partai politik atau politisi sehingga dapat menjadi dasar pijakan bagi masyarakat untuk menentukan pilihan politik mereka (Setyono, 2008: 39). Dari sisi efektivitas iklan politik, Valentino dan kawan-kawan (dalam Gayatri 2005: 7) mengatakan bahwa fungsi iklan politik sangat tergantung dengan tahap-tahap kampanye dan karakteristik calon. Pada tahap awal kampanye, iklan harus difokuskan pada kualitas pribadi si calon dalam upaya memperkenalkan nama calon dan menumbuhkan kesadaran mengenai posisi-posisi isu penting. Sedangkan untuk tahap selanjutnya, iklan akan berisi hal-hal yang bertentangan dengan posisi-posisi tersebut, kualifikasi dan perbedaan-perbedaan relevan lainnya di antara para calon. Dan pada tahap akhir kampanye, materi iklan difokuskan pada berbagai isu lain yang berkaitan dengan isu penting dalam upaya mendorong pemilih untuk memilih calon dan menolak calon lain. Ini berarti, iklan politik tidak bisa sama sepanjang waktu melainkan harus bervariasi agar mendapatkan hasil yang maksimal. Efek iklan politik kepada masyarakat sama halnya media massa kepada audiensnya melingkupi tiga aspek yakni kognisi, afeksi dan psikomotorik (Crawford dalam Sumartono, 2002 : 66). Namun syarat utama untuk sampai ke sana adalah iklan politik harus menerpa masyarakat. Walau sudah terterpa, masyarakat tidak serta merta mengikuti ajakan iklan politik. Ada berbagai kemungkinan yang menyebabkan efek iklan politik tidak tercapai. McQuail (2010: 472-473) mengatakan, efek kampanye sangat tergantung pada perhatian, persepsi, motivasi dan pengaruh kelompok (menurut umur, lingkungan, pekerjaan, tetangga, kepentingan, agama, pendidikan dan lain sebagainya). Karena itu, untuk melihat efek iklan politik, orang harus memperhitungkan aspek-aspek ini. Sementara menurut Kaid dan Holtz-Bacha (dalam Danial, 2009: 94), perbedaan peran iklan politik yang membawa efek bagi masyarakat di berbagai negara sangat tergantung dengan sistem politik, sistem pemilu dan regulasi pertelevisian di negara bersangkutan. Dari sisi regulasi, kampanye politik dengan menggunakan iklan sangat bergantung dengan peraturan yang ditetapkan di setiap negara. Ada negara yang memperbolehkan pembelian waktu tayang untuk iklan politik namun ada juga negara yang tidak memperbolehkan hal semacam itu terjadi. Menurut Norris (2000: 31) ada tiga isu penting yang menjadi fokus pembahasan sehubungan dengan regulasi iklan politik: (1) pembelian waktu tayang di TV untuk iklan politik (2) pengaturan keseimbangan politik dalam debat kampanye dan (3) alokasi-waktu bebas bagi iklan partai politik. Indonesia sendiri memiliki undang-undang yang memperbolehkan pembelian waktu tayang televisi untuk iklan politik. Dalam pasal 72 UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD dinyatakan bahwa kampanye Pemilu dilakukan melalui pertemuan terbatas, tatap muka, penyebaran melalui media cetak, dan media elektronik, penyebaran melalui penyiaran radio dan/atau televisi, penyebaran bahan kampanye kepada umum, pemasangan alat peraga di tempat umum, rapat umum dan kegiatan lain yang tidak melanggar peraturan dan perundang-undangan. Sedangkan pada pasal 73 ayat 2 UU tersebut menyatakan bahwa media elektronik dan media cetak wajib memberikan kesempatan yang sama kepada peserta Pemilu untuk memasang iklan Pemilu dalam rangka kampanye. Perilaku Politik Interaksi antara pemerintah, masyarakat, lembaga-lembaga politik, kelompok kepentingan, kelompok masyarakat dan individu dalam rangka proses perjuangan, pembuatan, pelaksanaan dan penegakan keputusan politik pada dasarnya merupakan perilaku politik. Karena itu, Surbakti (1999: 131) mengatakan bahwa perilaku politik merupakan kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Kemudian Setiajid (2011: 21) mengembangkan definisi perilaku politik sebagai keseluruhan tindakan aktor politik dan warga negara yang telah saling memiliki hubungan antara pemerintah dan masyarakat, antara lembaga-lembaga pemerintah, dan antara kelompok masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan, dan penegakan keputusan politik. Perilaku politik seseorang atau sekelompok anggota masyarakat tidak berdiri sendiri tetapi berhubungan dengan berbagai faktor penentu. Kristiadi (dalam Wicaksono, 2007: 24-27) mengatakan bahwa perilaku politik dipengaruhi oleh (1) faktor sosiologi dalam hal ini lingkungan sekitar seseorang seperti sosial ekonomi, afiliasi etnik, tradisi keluarga, keanggotaan dalam organisasi, usia, jenis kelamin, pekerjaan, tempat tinggal dan lain-lain. (2) Faktor psikologis memusatkan perhatian pada tiga aspek yakni keterikatan seseorang dengan partai politik, orientasi seseorang kepada calon presiden atau anggota parlemen, dan orientasi seseorang terhadap isu-isu politik. Inti pendekatan psikologis adalah identifikasi seseorang terhadap partai tertentu yang kemudian akan mempengaruhi sikap orangnya yang pada akhirnya mempengaruhi perilaku orang tersebut terhadap partai, kandidat dan isu-isu politik yang sedang berkembang. Kekuatan dan arah identifikasi kepartaian adalah kunci dalam menjelaskan sikap dan perilaku pemilih. (3) Faktor ekonomi atau pendekatan rasional dapat dijelaskan bahwa perilaku pemilih terhadap partai politik tertentu berdasarkan perhitungan, tentang apa yang diperoleh bila seseorang menentukan pilihannya, baik terhadap calon presiden maupun anggota parlemen. Sementara Sastroatmodjo (1995:14-15) mengemukakan empat faktor yang mempengaruhi perilaku politik seseorang dalam memilih (1) faktor lingkungan sosial politik tak langsung seperti sistem politik, sistem ekonomi, sistem budaya dan sistem media masa. (2) Faktor lingkungan sosial politik langsung yang mempengaruhi dan membentuk kepribadian aktor politik seperti keluarga, agama, sekolah dan kelompok pergaulan. Lingkungan sosial politik langsung ini memberikan bentuk-bentuk sosialisasi dan internalisasi nilai dan norma masyarakat pada aktor politik serta memberikan pengalaman-pengalaman hidup. (3) Faktor struktur kepribadian yang tercermin dalam sikap individu. Pada faktor ini ada tiga basis fungsional sikap untuk memahaminya. Basis pertama adalah yang didasarkan pada kepentingan yaitu penilaian seseorang terhadap suatu objek didasarkan pada minat dan kebutuhan seseorang terhadap objek tersebut. Basis yang kedua atas dasar penyesuaian diri yaitu penilaian yang dipengaruhi oleh keinginan untuk menjaga keharmonisan dengan subyek. Basis yang ketiga adalah sikap didasarkan pada fungsi eksternalisasi diri dan pertahanan. (4) Faktor sosial politik langsung yang berupa situasi yaitu, keadaan yang mempengaruhi aktor secara langsung ketika akan melakukan sesuatu kegiatan. Sementara Firmanzah (2008: 115) menyatakan bahwa ada tiga faktor besar yang mendeterminasi perilaku pemilih (1) kondisi awal meliputi: sosial budaya pemilih, nilai tradisional pemilih dan level pendidikan pemilih. (2) Media massa meliputi data, informasi dan berita di media massa, permasalahan terkini, perkembangan dan tren situasi. (3) Partai politik kontestan yang unsur-unsurnya meliputi catatan dan reputasi, marketing politik, program kerja dan sistem nilai. Pengaruh Iklan Politik terhadap Perilaku Pemilih Efek media massa kepada khalayak bervariasi dari waktu ke waktu (Baran dan Davis, 2010: 52-53; Sears, 1994: 173-176). Demikian pula, efek iklan politik yang ada di media massa terutama di televisi, bervariasi dari satu penelitian ke penelitian yang lain. Menurut Perloff (2002: 610) hal ini disebabkan oleh faktor budaya, ekonomi dan sistem pemilu yang ada di negara bersangkutan. Di akhir tahun 2008, Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Cirus Surveyors Group melakukan survey untuk mengetahui partai politik mana yang paling populer menjelang Pemilu 2009. Hasil survey menunjukkan Partai Demokrat di urutan teratas. Hal ini disebabkan oleh keberanian Partai Demokrat mengelontorkan uang untuk iklan politik. Hasil survey itu juga mengklaim bahwa popularitas Partai Demokrat tidak hanya tergantung pada iklan politik tetapi juga dari keyakinan masyarakat terhadap kinerja Presiden SBY selaku Ketua Pembina Partai Demokrat (Tanuwidjaja, 2008, Kompas dalam CSIS. com). Korelasi antara iklan politik dan dukungan masyarakat kepada Partai Demokrat terlihat dari dana iklan politik yang dikeluarkan Partai Demokrat. Cirus Survey Group menemukan pada bulan Mei 2008, Partai Demokrat mengeluarkan dana sebesar 1 miliar per bulan untuk belanja iklan. Di bulan Agustus dana dinaikan menjadi 8,29 miliar, bulan September 10,8 miliar dan bulan Oktober 15,15 miliar. Peningkatan belanja iklan ini mempengaruhi dukungan masyarakat kepada Partai Demokrat yakni mengungguli persentase dukungan terhadap Partai Golkar dan dan PDI-P. Sama halnya dengan survey Cirus Survey Group, survey LSI menunjukkan sejak Pemilu 2004 dukungan terendah yang didapat Partai Demokrat terjadi pada bulan April dan Juni 2008 yakni 9,0 persen. Namun perolehan dukungan ini kemudian berubah meningkat menjadi 12 persen setelah Partai Demokrat mengeluarkan dana iklan yang sangat besar di bulan Agustus dan September dan perolehan dukungan makin meningkat 17 persen di bulan November. Hal ini berkorelasi positif dengan pengeluaran dana iklan Partai Demokrat di bulan Oktober. Namun ada catatan lain yang menarik, bahwa iklan politik tidak selalu mendongkrak dukungan masyarakat terhadap sebuah partai. Hal itu, terjadi pada Partai Amanat Nasional yang walau beriklan namun perolehan dukungan kurang meningkat. Dalam penelitian lain, yang dilakukan Fil Ilmi (2010) untuk kepentingan tesisnya, ditemukan bahwa khalayak tidak tertarik, paham dan percaya akan isi pesan yang disampaikan dalam iklan politik sehingga iklan politik tidak memiliki kekuatan dalam mempengaruhi perilaku khalayak. Iklan politik hanya dipakai sebatas menambah wawasan khalayak akan figur kandidat yang diusung partai politik dalam Pemilukada. Karena itu, iklan politik hanya sebatas memperkenalkan kandidat dan menumbuhkan kesadaran khalayak tetapi tidak sampai mempengaruhi perilaku khalayak untuk mendukung kandidat tertentu. Penelitian lain yang hasilnya kontradiksi dalam mengungkap peran iklan politik di televisi datang dari penelitian tesis Basrie. Hasil penelitian Basrie menunjukkan di satu sisi, perilaku politik masyarakat Kelurahan Kebagusan dalam mendukung kandidat presiden dan wakil presiden 2004 dipengaruhi oleh iklan politik. Tetap di sisi lain, iklan politik kandidat Megawati-Hasyim tidak mempengaruhi perilaku pemilih di Kelurahan Kebagusan. Faktor utama yang menyebabkan iklan Megawati-Hasyim tidak mampu mempengaruhi perilaku memilih warga adalah citra Megawati yang dianggap kurang mampu dalam memimpin negara dan keberadaan Megawati di Kebagusan tidak memberi manfaat maupun perubahan positif kepada warga. Dari data di atas terlihat kontradiksi peran iklan terhadap perilaku politik masyarakat. Ada banyak faktor yang bisa menjelaskan mengapa hal ini dapat terjadi. Menurut Tanuwidjaja (2008, Kompas dalam CSIS. com), pengaruh iklan politik terhadap perilaku masyarakat hanya terjadi kepada swing voters yakni pemilih yang berganti-ganti pilihan politiknya dari satu partai ke partai yang lain. Iklan politik akan sangat mempengaruhi swing voters terutama ketika iklan politik disiarkan menjelang Pemilu. Hal ini didukung dengan survey terbaru LSI yang dikeluarkan Maret 2012 bahwa menaiknya dukungan masyarakat kepada Partai Nasdem menjadi 5,9 persen bukan berasal dari pemilih partai-partai atas melainkan dari partai-partai kecil yang tidak lolos electoral treshols. Pendapat yang mirip diungkapkan Perloff (2002: 612) bahwa iklan politik jarang mengubah perilaku pemilih yang sudah memiliki pilihan tetap untuk pindah ke partai lain. Sebaliknya, iklan politik berpengaruh kepada para pemilih yang masih ragu atau berpengetahuan rendah. Sedangkan Franz dan Ridout dalam artikel mereka “Political Advertising and Persuasion in the 2004 and 2008 Presidential Elections, mengemukakan asumsi dasar bahwa semakin banyak pesan yang disampaikan kepada pemilih maka semakin besar juga peluang untuk mendapatkan suara pemilih. Namun demikian, menurut mereka akan ada resistensi terutama dari mereka yang sudah mengidentifikasi partai politik mana yang akan mereka pilih dan mereka yang memiliki pengetahuan cukup di bidang politik. Iklan politik tidak beroperasi dalam lingkungan yang vakum; malah beroperasi dalam lingkungan media yang dinamik di mana berita memainkan peran yang penting (Perloff, 2002: 609-613). Hal ini hampir sama dengan yang dikemukakan oleh Franz dan Ridout bahwa iklan politik sangat bergantung dengan kampanye lain. Bila dibaca secara lebih luas berarti iklan politik dalam kadar tertentu memiliki pengaruh terhadap perilaku pemilih namun di sisi lain pengaruh itu juga tertutupi oleh faktor-faktor lain, baik faktor sosiologi, psikologi maupun ekonomi/rasional. Berdasarkan penjelasan ini, maka dapat saya jawab pertanyaan awal tulisan ini; apakah iklan politik yang disiarkan Partai Nasdem sekarang ini memiliki pengaruh besar terhadap makin meningkatnya dukungan masyarakat terhadap Partai Nasdem? Saya berkeyakinan bahwa iklan tersebut memiliki andil untuk meningkatkan dukungan masyarakat terhadap Partai Nasdem. Dukungan tersebut datang dari para swing voters partai kecil yang tidak lolos electoral trheshold tahun 2014. Walau demikian sulit menentukan seberapa besar kekuatan iklan politik Partai Nasdem mempengaruhi 5,9 persen masyarakat yang mendukungnya. Yang jelas, dukungan masyarakat tersebut tidak hanya ditentukan oleh iklan politik Partai Nasdem tetapi beririsan dengan dengan faktor-faktor lain (sosiologis, psikologis, ekonomi/rasional) pun ketidakpuasan masyarakat akan situasi bangsa ketika dipimpin oleh partai-partai politik yang sedang berkuasa saat ini. Daftar Pustaka Baran, Stanley J dan Davis, Dennis K. 2010. Teori Dasar, Komunikasi, Pergolakan dan Masa Depan Massa. Salemba Humanika. Jakarta. Basrie. Tesis: Iklan politik di televisi dan perilaku memilih: studi kasus kekalahan pasangan Megawati Soekarnoputri - Hasyim Muzadi dalam Pemilihan Presiden pada Pemilu 2004 di Kelurahan Kebagusan, Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Perpustakaan Universitas Indonesia. Danial, Ahmad. 2009. Iklan Politik Televisi: Modernisasi Kampanye Politik Pasca Orde Baru. Fil Ilmi, A. Rasikh. 2010. Tesis: Persepsi Pemilih terhadap Iklan Politik dan Voting Behavior pada Pemilukada Kabupaten Klaten 2010. Diponegoro University-Institutional Repository. Firmanzah. 2008. Marketing Politik. Jakarta : Yayasan Obor. Indonesia. Franz, Michael M dan Ridout, Travis N. Political Advertising and Persuasion in the 2004 and 2008 Presidential Elections. Gayatri, Gati. 2005. Makalah: Pengaruh Iklan Politik dalam Media Massa Terhadap Perilaku Memilih dalam Pemilu. Jefkins, Frank. 1997. Periklanan Edisi Ketiga. Erlangga. Jakarta. Kasali, Renald. 2002. Manajemen Pemasaran: Analisa Perilaku Konsumen. Edisi Pertama Cetakan Ketiga. Jakarta: BPFE. Lembaga Survey Indonesia. 2012. Media Massa dan Sentimen terhadap Partai Politik Menjelang Pemilu 2014. Jakarta. McQuail, Denis. 2010. McQuil’s Mass Communication Theory 6th Edition. Sage. Los Angeles. Noris. 2000. Manajemen Penjualan Produk. Yogjakarta: Kanisius. Pasoreh, Yuriewaty. 2009. Pengaruh Iklan Politik di RCTI Terhadap Partisipasi Pemilih Pemula Pada Pemilihan Presiden 2009 di Keluruhan Bahu Kota Manado. Dalam Jurnal Penelitian Komunikasi dan Opini Publik, Universitas Sam Ratulangi. Perloff, Richard. M. Political Campaign Persuation and Its Discutions. Dalam: Dillard, James P. Dan Pfau, Michael. 2002. The Persuation Handbook: Developments In Theory and Practice. Sage Publication. California, USA. Setiajid. 2011. Orientasi Politik yang Mempengaruhi Pemilih Pemula Dalam Menggunakan Hak Pilihnya pada Pemilihan Walikota Semarang tahun 2010 (Studi Kasus Pemilih Pemula di Kota Semarang) dalam Jurnal Integralistik No. 1/Th.XXII, Januari-Juni 2011. Sastroatmodjo, Sudijono. 1995. Perilaku Politik. Semarang: IKIP Semarang Press. Sears, David O, dkk. 1985. Psikologi Sosial-Edisi Kedua. Erlangga. Jakarta. Setiyono, Budi. 2008. Iklan dan Politik: Menjaring Suara dalam Pemilihan Umum. AdGoal.com. Sumartono, Basril Djabar. 2002. Terperangkap dalam Iklan: Meneropong Imbas Pesan Iklan Televisi, Alfabeta, Bandung. Surbakti, Ramlan. 1999. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT. Grasindo. Suryatna, Undang. 2007. Tesis: Hubungan Karakteristik Pemilih dan Terpaan Informasi Kampanye Politik dengan Perilaku Pemilih. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tanuwidjaja, Sunny. 2008. Kompas dalam csis.com diunduh 15 Juni 2012. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Wasesa, Silih Agung. 2011. Political Branding and Public Relation. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Wicaksono, Adhi Putra. 2009. Tesis: Perilaku Pemilih dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Studi Penelitian pada Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur Jawa Tengan 2008 di Kota Semarang. Universitas Diponegoro-Semarang.