PENGARUH IKLAN TELEVISI PARPOL NASDEM TERHADAP

advertisement
PENGARUH IKLAN TELEVISI PARPOL NASDEM TERHADAP
DUKUNGAN MASYARAKAT MENJELANG PEMILU 2014
Oleh
Yoseph Andreas Gual
Perilaku seseorang dalam mendukung partai atau figur tertentu dalam
kontestasi politik sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya yakni
iklan politik. Iklan politik merupakan strategi pemasaran yang cukup efektif
dalam mengkampanyekan kandidat atau partai politik. Iklan politik menjadi
sarana yang cukup menjanjikan untuk memperkenalkan dan mempromosikan
program, platform, isu-isu politik, keunggulan dan latar belakang serta sebagai
pencitraan kandidat. Dengan iklan politik, diharapkan pemilih mendapatkan
pandangan dan persepsi tertentu tentang kandidat atau partai politik.
Akhir-akhir ini iklan politik Partai Nasdem sangat sering muncul di
berbagai media baik cetak maupun elektronik, terutama televisi. Sebagai partai
baru, cara ini memang sangat efektif untuk “memperkenalkan” diri kepada publik
selain dengan cara mobilisasi kader ke berbagai daerah atau bentuk perkenalan
lain. Kemampuan media untuk mentransferkan pesan kepada khalayak luas
dengan cara yang cepat dan serentak memudahkan Partai Nasdem
mesosialisasikan diri dengan harapan mendulang dukungan.
Di lain sisi, berdasarkan hasil penelitian Lembaga Survei Indonesia (LSI),
Partai Nasdem dalam kurun waktu tiga tahun terakhir mendapatkan sambutan
antusias dari masyarakat. Pada tahun 2010, Nasdem yang masih berbentuk
organisasi masyarakat (ormas) mendapat 0,3 persen dukungan. Kala itu, jawaban
para responden bersifat spontan dalam arti nama Nasdem belum disertakan dalam
kuesioner. Tahun 2011, dukungan spontan masyarakat terhadap Nasdem
meningkat menjadi 0,6 persen. Dan Februari 2012 dukungan spontan yang diberi
masyarakat kepada Nasdem yang berganti jubah dari organisasi masyarakat ke
partai politik pada tanggal 26 Juli 2011, mencapai 1,6 persen. Sedangkan data
terakhir yang dirilis LSI pada 11 Maret 2012, survei tersebut sudah memasukan
Nasdem sebagai partai, dukungan masyarakat kian melonjak hingga 5,9 persen
(LSI, 2012).
Uniknya, LSI menyatakan bahwa meningkatnya dukungan masyarakat
kepada Partai Nasdem bukan disebabkan oleh pemberitaan politik dan talk show
walaupun sebanyak 75 persen masyarakat menonton televisi. Menurut hasil
temuan LSI, dari 75 persen responden yang menonton televisi, 32 persen
menonton berita dan talk show sedangkan sebagian besar yakni 44 persen
khalayak menonton sinetron atau film.
Pertanyaannya adalah jika iklan politik Partai Nasdem menyebar di
berbagai media, program acara dan jam tayang maka terpaan iklan politik Partai
Nasdem kepada masyarakat kemungkinan lebih besar dari berita politik dan talk
show. Ini berarti ada kemungkinan masyakat memberi dukungan kepada Partai
Nasdem karena dipengaruhi oleh iklan politik partai Nasdem terutama iklan
televisi. Tulisan ini, mencoba menelusuri alternatif kemungkinan ini.
Iklan Politik di Televisi
Iklan merupakan suatu proses komunikasi yang diarahkan untuk
membujuk dan menggiring orang untuk mengambil tindakan yang
menguntungkan bagi pihak pembuat iklan (Kasali, 2002: 10). Dun dan Barban
(dalam Pasoreh) mengatakan bahwa iklan adalah kegiatan komunikasi non
personal yang disampaikan lewat media dengan membayar ruang yang dipakai
untuk menyampaikan pesan yang bersifat persuasif kepada konsumen oleh
perusahaan, lembaga non-komersil maupun pribadi yang berkepentingan.
Berdasarkan kedua definisi di atas maka sifat utama iklan haruslah
informatif sekaligus persuasif. Jefkins (1997: 228) memaparkan karakteristik
iklan yang baik yang memenuhi syarat informasi dan persuasi yakni bersifat
menjual, pesan disampaikan secara langsung, repetisional, dan menggunakan
kata-kata yang singkat dan sederhana agar mudah dipahami.
Dalam dunia politik, iklan merupakan pesan yang dirancang dan dikontrol
untuk mempromosikan kepentingan partai dan atau kandidat politik (Perloff,
2002: 609). Karena dirancang dan dikontrol oleh politisi maka iklan politik
menjadi salah satu senjata ampuh dalam dunia perpolitikan kontemporer (Nimmo
dalam Suryatna: 2007:13).
Iklan politik itu sendiri memiliki keunggulan dan kelemahan karena itu,
iklan politik bukan satu-satunya cara untuk meraih dukungan massa. Wasesa
(2011: 120) secara cermat memilah keunggulan dan kelemahan iklan politik ini.
Kemampuan untuk menjangkau khalayak luas terutama menggunakan televisi,
pesan dapat dikontrol karena membeli space di media dan penyampaian pesan
dilakukan melalui cara yang kreatif menggugah merupakan keunggulan iklan
politik. Sedangkan kelemahannya, politisi diharuskan untuk mengalokasikan
anggaran yang cukup besar dan kredibiltas pesan lebih rendah karena disampaikan
langsung oleh pihak yang bersangkutan.
Dari segi konten, iklan politik tidak sama dengan iklan komersil. Jika iklan
komersil dilakukan agar barang dan/atau jasa perusahaan laku yang di dalamnya
bisa memasukan unsur manipulatif maka iklan politik harus lebih dari itu. Selain
“menjajakan” partai dan kandidat, iklan politik juga menjadi sarana pendidikan
politik. Karena itu, iklan politik harus lebih berorientasi pada isu, visi, misi dan
program yang diusung oleh partai politik atau politisi sehingga dapat menjadi
dasar pijakan bagi masyarakat untuk menentukan pilihan politik mereka (Setyono,
2008: 39).
Dari sisi efektivitas iklan politik, Valentino dan kawan-kawan (dalam
Gayatri 2005: 7) mengatakan bahwa fungsi iklan politik sangat tergantung dengan
tahap-tahap kampanye dan karakteristik calon. Pada tahap awal kampanye, iklan
harus difokuskan pada kualitas pribadi si calon dalam upaya memperkenalkan
nama calon dan menumbuhkan kesadaran mengenai posisi-posisi isu penting.
Sedangkan untuk tahap selanjutnya, iklan akan berisi hal-hal yang bertentangan
dengan posisi-posisi tersebut, kualifikasi dan perbedaan-perbedaan relevan
lainnya di antara para calon. Dan pada tahap akhir kampanye, materi iklan
difokuskan pada berbagai isu lain yang berkaitan dengan isu penting dalam upaya
mendorong pemilih untuk memilih calon dan menolak calon lain. Ini berarti, iklan
politik tidak bisa sama sepanjang waktu melainkan harus bervariasi agar
mendapatkan hasil yang maksimal.
Efek iklan politik kepada masyarakat sama halnya media massa kepada
audiensnya melingkupi tiga aspek yakni kognisi, afeksi dan psikomotorik
(Crawford dalam Sumartono, 2002 : 66). Namun syarat utama untuk sampai ke
sana adalah iklan politik harus menerpa masyarakat. Walau sudah terterpa,
masyarakat tidak serta merta mengikuti ajakan iklan politik. Ada berbagai
kemungkinan yang menyebabkan efek iklan politik tidak tercapai. McQuail
(2010: 472-473) mengatakan, efek kampanye sangat tergantung pada perhatian,
persepsi, motivasi dan pengaruh kelompok (menurut umur, lingkungan, pekerjaan,
tetangga, kepentingan, agama, pendidikan dan lain sebagainya). Karena itu, untuk
melihat efek iklan politik, orang harus memperhitungkan aspek-aspek ini.
Sementara menurut Kaid dan Holtz-Bacha (dalam Danial, 2009: 94), perbedaan
peran iklan politik yang membawa efek bagi masyarakat di berbagai negara sangat
tergantung dengan sistem politik, sistem pemilu dan regulasi pertelevisian di
negara bersangkutan.
Dari sisi regulasi, kampanye politik dengan menggunakan iklan sangat
bergantung dengan peraturan yang ditetapkan di setiap negara. Ada negara yang
memperbolehkan pembelian waktu tayang untuk iklan politik namun ada juga
negara yang tidak memperbolehkan hal semacam itu terjadi. Menurut Norris
(2000: 31) ada tiga isu penting yang menjadi fokus pembahasan sehubungan
dengan regulasi iklan politik: (1) pembelian waktu tayang di TV untuk iklan
politik (2) pengaturan keseimbangan politik dalam debat kampanye dan (3)
alokasi-waktu bebas bagi iklan partai politik.
Indonesia sendiri memiliki undang-undang yang memperbolehkan
pembelian waktu tayang televisi untuk iklan politik. Dalam pasal 72 UU No. 12
Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD dinyatakan
bahwa kampanye Pemilu dilakukan melalui pertemuan terbatas, tatap muka,
penyebaran melalui media cetak, dan media elektronik, penyebaran melalui
penyiaran radio dan/atau televisi, penyebaran bahan kampanye kepada umum,
pemasangan alat peraga di tempat umum, rapat umum dan kegiatan lain yang
tidak melanggar peraturan dan perundang-undangan. Sedangkan pada pasal 73
ayat 2 UU tersebut menyatakan bahwa media elektronik dan media cetak wajib
memberikan kesempatan yang sama kepada peserta Pemilu untuk memasang iklan
Pemilu dalam rangka kampanye.
Perilaku Politik
Interaksi antara pemerintah, masyarakat, lembaga-lembaga politik,
kelompok kepentingan, kelompok masyarakat dan individu dalam rangka proses
perjuangan, pembuatan, pelaksanaan dan penegakan keputusan politik pada
dasarnya merupakan perilaku politik. Karena itu, Surbakti (1999: 131)
mengatakan bahwa perilaku politik merupakan kegiatan yang berkenaan
dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Kemudian
Setiajid (2011: 21) mengembangkan definisi perilaku politik sebagai keseluruhan
tindakan aktor politik dan warga negara yang telah saling memiliki hubungan
antara pemerintah dan masyarakat, antara lembaga-lembaga pemerintah, dan
antara kelompok masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan,
dan penegakan keputusan politik.
Perilaku politik seseorang atau sekelompok anggota masyarakat tidak
berdiri sendiri tetapi berhubungan dengan berbagai faktor penentu. Kristiadi
(dalam Wicaksono, 2007: 24-27) mengatakan bahwa perilaku politik dipengaruhi
oleh (1) faktor sosiologi dalam hal ini lingkungan sekitar seseorang seperti sosial
ekonomi, afiliasi etnik, tradisi keluarga, keanggotaan dalam organisasi, usia, jenis
kelamin, pekerjaan, tempat tinggal dan lain-lain. (2) Faktor psikologis
memusatkan perhatian pada tiga aspek yakni keterikatan seseorang dengan partai
politik, orientasi seseorang kepada calon presiden atau anggota parlemen, dan
orientasi seseorang terhadap isu-isu politik. Inti pendekatan psikologis adalah
identifikasi seseorang terhadap partai tertentu yang kemudian akan
mempengaruhi sikap orangnya yang pada akhirnya mempengaruhi perilaku
orang tersebut terhadap partai, kandidat dan isu-isu politik yang sedang
berkembang. Kekuatan dan arah identifikasi kepartaian adalah kunci
dalam menjelaskan sikap dan perilaku pemilih. (3) Faktor ekonomi atau
pendekatan rasional dapat dijelaskan bahwa perilaku pemilih terhadap partai
politik tertentu berdasarkan perhitungan, tentang apa yang diperoleh bila
seseorang menentukan pilihannya, baik terhadap calon presiden maupun
anggota parlemen.
Sementara Sastroatmodjo (1995:14-15) mengemukakan empat faktor
yang mempengaruhi perilaku politik seseorang dalam memilih (1) faktor
lingkungan sosial politik tak langsung seperti sistem politik, sistem ekonomi,
sistem budaya dan sistem media masa. (2) Faktor lingkungan sosial politik
langsung yang mempengaruhi dan membentuk kepribadian aktor politik seperti
keluarga, agama, sekolah dan kelompok pergaulan. Lingkungan sosial politik
langsung ini memberikan bentuk-bentuk sosialisasi dan internalisasi nilai dan
norma masyarakat pada aktor politik serta memberikan pengalaman-pengalaman
hidup. (3) Faktor struktur kepribadian yang tercermin dalam sikap individu.
Pada faktor ini ada tiga basis fungsional sikap untuk memahaminya. Basis
pertama adalah yang didasarkan pada kepentingan yaitu penilaian seseorang
terhadap suatu objek didasarkan pada minat dan kebutuhan seseorang terhadap
objek tersebut. Basis yang kedua atas dasar penyesuaian diri yaitu penilaian
yang dipengaruhi oleh keinginan untuk menjaga keharmonisan dengan
subyek. Basis yang ketiga adalah sikap didasarkan pada fungsi eksternalisasi
diri dan pertahanan. (4) Faktor sosial politik langsung yang berupa situasi
yaitu, keadaan yang mempengaruhi aktor secara langsung ketika akan
melakukan sesuatu kegiatan.
Sementara Firmanzah (2008: 115) menyatakan bahwa ada tiga faktor besar
yang mendeterminasi perilaku pemilih (1) kondisi awal meliputi: sosial budaya
pemilih, nilai tradisional pemilih dan level pendidikan pemilih. (2) Media massa
meliputi data, informasi dan berita di media massa, permasalahan terkini,
perkembangan dan tren situasi. (3) Partai politik kontestan yang unsur-unsurnya
meliputi catatan dan reputasi, marketing politik, program kerja dan sistem nilai.
Pengaruh Iklan Politik terhadap Perilaku Pemilih
Efek media massa kepada khalayak bervariasi dari waktu ke waktu (Baran dan
Davis, 2010: 52-53; Sears, 1994: 173-176). Demikian pula, efek iklan politik yang
ada di media massa terutama di televisi, bervariasi dari satu penelitian ke
penelitian yang lain. Menurut Perloff (2002: 610) hal ini disebabkan oleh faktor
budaya, ekonomi dan sistem pemilu yang ada di negara bersangkutan.
Di akhir tahun 2008, Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Cirus
Surveyors Group melakukan survey untuk mengetahui partai politik mana yang
paling populer menjelang Pemilu 2009. Hasil survey menunjukkan Partai
Demokrat di urutan teratas. Hal ini disebabkan oleh keberanian Partai Demokrat
mengelontorkan uang untuk iklan politik. Hasil survey itu juga mengklaim bahwa
popularitas Partai Demokrat tidak hanya tergantung pada iklan politik tetapi juga
dari keyakinan masyarakat terhadap kinerja Presiden SBY selaku Ketua Pembina
Partai Demokrat (Tanuwidjaja, 2008, Kompas dalam CSIS. com).
Korelasi antara iklan politik dan dukungan masyarakat kepada Partai
Demokrat terlihat dari dana iklan politik yang dikeluarkan Partai Demokrat. Cirus
Survey Group menemukan pada bulan Mei 2008, Partai Demokrat mengeluarkan
dana sebesar 1 miliar per bulan untuk belanja iklan. Di bulan Agustus dana
dinaikan menjadi 8,29 miliar, bulan September 10,8 miliar dan bulan Oktober
15,15 miliar. Peningkatan belanja iklan ini mempengaruhi dukungan masyarakat
kepada Partai Demokrat yakni mengungguli persentase dukungan terhadap Partai
Golkar dan dan PDI-P.
Sama halnya dengan survey Cirus Survey Group, survey LSI
menunjukkan sejak Pemilu 2004 dukungan terendah yang didapat Partai
Demokrat terjadi pada bulan April dan Juni 2008 yakni 9,0 persen. Namun
perolehan dukungan ini kemudian berubah meningkat menjadi 12 persen setelah
Partai Demokrat mengeluarkan dana iklan yang sangat besar di bulan Agustus dan
September dan perolehan dukungan makin meningkat 17 persen di bulan
November. Hal ini berkorelasi positif dengan pengeluaran dana iklan Partai
Demokrat di bulan Oktober. Namun ada catatan lain yang menarik, bahwa iklan
politik tidak selalu mendongkrak dukungan masyarakat terhadap sebuah partai.
Hal itu, terjadi pada Partai Amanat Nasional yang walau beriklan namun
perolehan dukungan kurang meningkat.
Dalam penelitian lain, yang dilakukan Fil Ilmi (2010) untuk kepentingan
tesisnya, ditemukan bahwa khalayak tidak tertarik, paham dan percaya akan isi
pesan yang disampaikan dalam iklan politik sehingga iklan politik tidak memiliki
kekuatan dalam mempengaruhi perilaku khalayak. Iklan politik hanya dipakai
sebatas menambah wawasan khalayak akan figur kandidat yang diusung partai
politik dalam Pemilukada. Karena itu, iklan politik hanya sebatas
memperkenalkan kandidat dan menumbuhkan kesadaran khalayak tetapi tidak
sampai mempengaruhi perilaku khalayak untuk mendukung kandidat tertentu.
Penelitian lain yang hasilnya kontradiksi dalam mengungkap peran iklan
politik di televisi datang dari penelitian tesis Basrie. Hasil penelitian Basrie
menunjukkan di satu sisi, perilaku politik masyarakat Kelurahan Kebagusan
dalam mendukung kandidat presiden dan wakil presiden 2004 dipengaruhi oleh
iklan politik. Tetap di sisi lain, iklan politik kandidat Megawati-Hasyim tidak
mempengaruhi perilaku pemilih di Kelurahan Kebagusan. Faktor utama yang
menyebabkan iklan Megawati-Hasyim tidak mampu mempengaruhi perilaku
memilih warga adalah citra Megawati yang dianggap kurang mampu dalam
memimpin negara dan keberadaan Megawati di Kebagusan tidak memberi
manfaat maupun perubahan positif kepada warga.
Dari data di atas terlihat kontradiksi peran iklan terhadap perilaku politik
masyarakat. Ada banyak faktor yang bisa menjelaskan mengapa hal ini dapat
terjadi. Menurut Tanuwidjaja (2008, Kompas dalam CSIS. com), pengaruh iklan
politik terhadap perilaku masyarakat hanya terjadi kepada swing voters yakni
pemilih yang berganti-ganti pilihan politiknya dari satu partai ke partai yang lain.
Iklan politik akan sangat mempengaruhi swing voters terutama ketika iklan
politik disiarkan menjelang Pemilu. Hal ini didukung dengan survey terbaru LSI
yang dikeluarkan Maret 2012 bahwa menaiknya dukungan masyarakat kepada
Partai Nasdem menjadi 5,9 persen bukan berasal dari pemilih partai-partai atas
melainkan dari partai-partai kecil yang tidak lolos electoral treshols.
Pendapat yang mirip diungkapkan Perloff (2002: 612) bahwa iklan politik
jarang mengubah perilaku pemilih yang sudah memiliki pilihan tetap untuk
pindah ke partai lain. Sebaliknya, iklan politik berpengaruh kepada para pemilih
yang masih ragu atau berpengetahuan rendah. Sedangkan Franz dan Ridout dalam
artikel mereka “Political Advertising and Persuasion in the 2004 and 2008
Presidential Elections, mengemukakan asumsi dasar bahwa semakin banyak
pesan yang disampaikan kepada pemilih maka semakin besar juga peluang untuk
mendapatkan suara pemilih. Namun demikian, menurut mereka akan ada
resistensi terutama dari mereka yang sudah mengidentifikasi partai politik mana
yang akan mereka pilih dan mereka yang memiliki pengetahuan cukup di bidang
politik.
Iklan politik tidak beroperasi dalam lingkungan yang vakum; malah
beroperasi dalam lingkungan media yang dinamik di mana berita memainkan
peran yang penting (Perloff, 2002: 609-613). Hal ini hampir sama dengan yang
dikemukakan oleh Franz dan Ridout bahwa iklan politik sangat bergantung
dengan kampanye lain. Bila dibaca secara lebih luas berarti iklan politik dalam
kadar tertentu memiliki pengaruh terhadap perilaku pemilih namun di sisi lain
pengaruh itu juga tertutupi oleh faktor-faktor lain, baik faktor sosiologi, psikologi
maupun ekonomi/rasional.
Berdasarkan penjelasan ini, maka dapat saya jawab pertanyaan awal
tulisan ini; apakah iklan politik yang disiarkan Partai Nasdem sekarang ini
memiliki pengaruh besar terhadap makin meningkatnya dukungan masyarakat
terhadap Partai Nasdem?
Saya berkeyakinan bahwa iklan tersebut memiliki andil untuk
meningkatkan dukungan masyarakat terhadap Partai Nasdem. Dukungan tersebut
datang dari para swing voters partai kecil yang tidak lolos electoral trheshold
tahun 2014. Walau demikian sulit menentukan seberapa besar kekuatan iklan
politik Partai Nasdem mempengaruhi 5,9 persen masyarakat yang mendukungnya.
Yang jelas, dukungan masyarakat tersebut tidak hanya ditentukan oleh iklan
politik Partai Nasdem tetapi beririsan dengan dengan faktor-faktor lain
(sosiologis, psikologis, ekonomi/rasional) pun ketidakpuasan masyarakat akan
situasi bangsa ketika dipimpin oleh partai-partai politik yang sedang berkuasa saat
ini.
Daftar Pustaka
Baran, Stanley J dan Davis, Dennis K. 2010. Teori Dasar, Komunikasi,
Pergolakan dan Masa Depan Massa. Salemba Humanika. Jakarta.
Basrie. Tesis: Iklan politik di televisi dan perilaku memilih: studi kasus kekalahan
pasangan Megawati Soekarnoputri - Hasyim Muzadi dalam Pemilihan Presiden
pada Pemilu 2004 di Kelurahan Kebagusan, Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta
Selatan. Perpustakaan Universitas Indonesia.
Danial, Ahmad. 2009. Iklan Politik Televisi: Modernisasi Kampanye Politik Pasca
Orde Baru.
Fil Ilmi, A. Rasikh. 2010. Tesis: Persepsi Pemilih terhadap Iklan Politik dan
Voting Behavior pada Pemilukada Kabupaten Klaten 2010. Diponegoro
University-Institutional Repository.
Firmanzah. 2008. Marketing Politik.
Jakarta : Yayasan Obor. Indonesia.
Franz, Michael M dan Ridout, Travis N. Political Advertising and Persuasion in
the 2004 and 2008 Presidential Elections.
Gayatri, Gati. 2005. Makalah: Pengaruh Iklan Politik dalam Media Massa
Terhadap Perilaku Memilih dalam Pemilu.
Jefkins, Frank. 1997. Periklanan Edisi Ketiga. Erlangga. Jakarta.
Kasali, Renald. 2002. Manajemen Pemasaran: Analisa Perilaku Konsumen. Edisi
Pertama Cetakan Ketiga. Jakarta: BPFE.
Lembaga Survey Indonesia. 2012. Media Massa dan Sentimen terhadap Partai
Politik Menjelang Pemilu 2014. Jakarta.
McQuail, Denis. 2010. McQuil’s Mass Communication Theory 6th Edition. Sage.
Los Angeles.
Noris. 2000. Manajemen Penjualan Produk. Yogjakarta: Kanisius.
Pasoreh, Yuriewaty. 2009. Pengaruh Iklan Politik di RCTI Terhadap Partisipasi
Pemilih Pemula Pada Pemilihan Presiden 2009 di Keluruhan Bahu Kota Manado.
Dalam Jurnal Penelitian Komunikasi dan Opini Publik, Universitas Sam
Ratulangi.
Perloff, Richard. M. Political Campaign Persuation and Its Discutions. Dalam:
Dillard, James P. Dan Pfau, Michael. 2002. The Persuation Handbook:
Developments In Theory and Practice. Sage Publication. California, USA.
Setiajid. 2011. Orientasi Politik yang Mempengaruhi Pemilih Pemula Dalam
Menggunakan Hak Pilihnya pada Pemilihan Walikota Semarang tahun 2010
(Studi Kasus Pemilih Pemula di Kota Semarang) dalam Jurnal Integralistik No.
1/Th.XXII, Januari-Juni 2011.
Sastroatmodjo, Sudijono. 1995. Perilaku Politik. Semarang: IKIP Semarang
Press.
Sears, David O, dkk. 1985. Psikologi Sosial-Edisi Kedua. Erlangga. Jakarta.
Setiyono, Budi. 2008. Iklan dan Politik: Menjaring Suara dalam Pemilihan
Umum. AdGoal.com.
Sumartono, Basril Djabar. 2002. Terperangkap dalam Iklan: Meneropong Imbas
Pesan Iklan Televisi, Alfabeta, Bandung.
Surbakti, Ramlan. 1999. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT. Grasindo.
Suryatna, Undang. 2007. Tesis: Hubungan Karakteristik Pemilih dan Terpaan
Informasi Kampanye Politik dengan Perilaku Pemilih. Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor.
Tanuwidjaja, Sunny. 2008. Kompas dalam csis.com diunduh 15 Juni 2012.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Wasesa, Silih Agung. 2011. Political Branding and Public Relation. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
Wicaksono, Adhi Putra. 2009. Tesis: Perilaku Pemilih dalam Pemilihan Kepala
Daerah Langsung (Studi Penelitian pada Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur
Jawa Tengan 2008 di Kota Semarang. Universitas Diponegoro-Semarang.
Download