Konsep Keabadian, Serta Kajian Tektonika Arsitektur Candi di Jawa

advertisement
SEMINAR HERITAGEIPLBI 2017 | DISKURSUS
Konsep Keabadian, Serta Kajian Tektonika Arsitektur Candi
di Jawa Timur Yang Disandingkan dengan Gereja Puh Sarang
Kadiri
R.Bambang Gatot Soebroto (1), Nuffida(1)
subrotobambang11@y ahoo.com
(1)Lab.
P erkembangan Jurusan A rsitektur, F TS P ITS S urabaya
Abstrak
Pusat kerajaan berpindah ke wilayah Timur Jawa, diikuti munculnya arsitektur candi memakai bahan
baku baru; dari batu andesit ke bata merah. Bahan baku candi beralih seolah adanya perobahan
konsep keabadian. Permasalahannya kalau demikian berakibat berobah pada; pengolahan bahan
hingga tektonikanya. Penelitian ini betujuan mengaji konsep keabadian yang berhubungnya dengan
tektonika arsitektur candi di Jawa Timur, disandingkan dengan Gereja Puh Sarang di Kadiri.
Metodenya Kualitatif; kajian literatur, wawancara, pengamatan langsung lalu dianalisis. Dilakukan
analisis tektonikanya, kemudian dibuatkan diagram. Lalu disusun menjadi kritik deskriptif arsitektur.
Hasilnya, perobahan konsep keabadian berpengaruh terhadap tektonika candi maupun gereja.
Kata kunci : arsitektur, candi, gereja, keabadian, tektonika
Pendahuluan
Pendahuluan berisikan; latar belakang judul yang penulis ambil yaitu kajian konsep keabadian. Latar
belakang mengandung motivasi, konsep, dan tektonika candi. Percandian dibuat memakai batu
andesit di wilayah tengah pulau Jawa. Di daerah Timur pulau Jawa muncul candi berbahan baru
yakni tanah liat atau bata merah. Batu andesit yang ditambang, dibawa, dibentuk persegi, disusun
(membentuk candi),
digambar (sesuai arahan pendeta) lalu batu diukir atau dit atah ,
Tjahjono,(2002). Bahan baku percandian perobahan karena konsep keabadian ; batu andesit tak
lekang terhadap cuaca – abadi. Batu bata (tanah liat) digali, dibentuk persegi, dikeringkan lalu
dibakar dan disusun (mungkin masih di tat ah atau ukir). Percandian bata merah tersebut di
sandingkan dengan gereja Puh Sarang Kadiri, gereja yang dirancang oleh arsitek Henry Macline
Pont. Bagunan yang Memanfaatkan batu-batu bundar, lonjong dan gepeng untuk penataannnya.
Batu-batu dipilah dan dipilih kemudian disusun sesuai bentuk menyesuaikan fungsinya. Mcline Pont
memanfaatkan tanah liat sekitar dengan membuat berbagai kelengkapan sebuah bangunan gereja;
bata untuk dinding altar, tegel untuk lantai gereja, patung serta relief untuk hiasan altar dan genting
yang tipis dengan bentuk serta peletakannya yang unik. Beberpa contoh peralihan bahan dalam
pembangunan candi, dan gereja Puh Sarang penyandingnya. Kemudian mengkaji Tektonikanya
sebagai sentuhan akhir. Pengolahan serta pemanfaatan bahan -bahan pembangun tersebut tidak
lepas dari pemakaian peralatan yang aneka ragam dan memungkinkan tidak sama penggunaannya;
mengolah batu dan membuat bata merah.
Kemudian permasalahan yang dihadapi tidak mudah mendapatkan literatur yang sebidang
jurusannya; di Seni keramik dan tektonika arsitektur, melainkan beberapa jurusan yang berada
diluar arsitektur; Sipil, atau Mesin.
Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | A 161
Konsep Keabadian, Serta Kajian Tektonika Arsitektur Candi di Jaw a Timur Yang Disandingkan dengan Gereja Puh Sarang Kadiri
Latar Belakang
Percandian didirikan memakai batu andesit (di Jawa Tengah- candi-candinya dibangun memakai
batu andesit). Percandian dibangun disekitar lereng gunung Merapi (gunung berapi) menurut buku
Indonesian Heritage . Bahan bakunya diambil dari dua kawasan; perbukitan Menoreh dan sungai
Progo”, Miksic(2002)
Percandian yang dibangun di wilayah Timur pulau Jawa, masih terdapat candi berbahan batu andesit.
Candi-candinya dibuat lebih langsing, tidak ‘tambun’, Priotomo, (2008), akan tetapi sudah muncul
bahan lain, yakni bata merah.
Batu andesit bisa bertahan ratusan tahun, berbeda dengan batu merah dibuat memakai tanah liat
kemungkinan jauh lebih rapuh, tidak bertahan lama, terkena panas terik, angin maupun hujan.
Tektonika hubungannya dengan ‘ketukangan’ Frampton (1995) dalam pembuatan candi. Tukang
berhubungan dengan alat -alat kerja yang digunakan. Tektonika adalah kerja sentuhan akhir
memakai estetika, tepatnya sebuah upaya tertentu pada sebuah teknologi, atau olah suatu bahan.
Batu – batu andesit ditatah kemudian disambung , batu bundar - batu bundar, batu andesit dengan
bata merah atau bata merah dengan bata merah. Didalam bukunya Sopandi, Setiadi (2013),
Sejarah Arsitektur, sebuah pengantar, di halaman 33,34,35 ‘menumpuk’ batu andesit pada candi
dilakukan tektonika berbagai cara sambungan; menggunakan purus, takikan, batu berbentuk ekor
burung, menggunakan pasak, dinding pe lapis serupa cor beton”. Gereja Puh Sarang Kadiri memakai
sentuhan tektonika tampak perpaduan bahannya. Henry Mcline Pont melakukan; pengolahan,
pemilihan dan pemanfaatan batuan bulat dan lonjong, kemudian disusun membentuk terasan,
gapura, tiang atau kolom, ‘ sculpture’ menara lonceng, dinding gereja dan termasuk gua Maria dan
Josep. Batu bundar di pilih dan di pilah dengan rinci menyesuaikan bentuk dan fungsi nya. Batu
yang kecil setelapak hingga seukuran rantang, disusun sedemikian rupa disesuaikan antara bentuk
keadaannya dengan fungsi posisinya. Undak-undak digunakan batu lonjong yang gepeng, untuk
dinding ditempatkan pada kolom atau dinding, untuk daerah’kaki’ supaya terlihat berat dibagian
bawah digunakan batu seukuran rantang.
Gereja Puh Sarang ini memperlihatkan seni perletakan batu bundar namun tanah liat yang di olah
dan dibentuk tidak kalah menariknya. Bata merah dibuat untuk area altar , serta relief- patung
dibuat imajiner di tengah-tengah. lantai tegel terrakotta berukuran ;20 cm x 20 cm x tebal 2,5 cm.
Relief kisah jalan Salib dibentuk dengan khusus berukuran 30 cm x 40 cm. Genting-genting yang
kecil dan tipis, dibentuk dan dipasang dengan cara di ikat pada kawat baja lonjoran. Relief yang
diukir secara manual satu-satu dicetak ukuran 20 cm x 20 cm untuk teras ruang utama gereja (muka
altar).
Genting yang dibuat khusus berukuran kecil, tipis, berukuran 15-20 cm berbentuk
penampangnya huruf U, berketebalan lebih kurang 1 cm. Genting tipis in i di pasang memakai
ikatan kawat kabel. Bolak balik U, N,U,N dst. Kawat kabel diikatkan ke kawat beton Tu baja lonjoran.
Genting yang dibuat berbeda seperti jaman sekarang lebih lebar dan tebal, menggunakan takik
untuk mengait pada reng. Genting gereja Puh Sarang berkesan, menggayut atau lendut (serupa
tenda terpal komando, milik TNI).
Permasalahan
Batu-batu yang disusun dijadikan sebuah tempat khusus dan disakralkan. Bangunan itu dibuat utuh,
tahan cuaca dan lama usianya. Bangunan batu tersebut menjadi saksi untuk dinikmati, dipelajari
atau masih bisa dipergunakan sebagai sarana berdoa atau pemujaan .
A 162 | ProsidingSeminar Heritage IPLBI 2017
R.Bambang Gatot Soebroto
Candi yang utuh bertahan ratusan tahun memberikan kesan lebih kepada banyak orang.
Masyarakat generasi berikutnya, dapat merawat sebaik-baiknya dengan mudah. Bencana alam,
gunung berapi, tanah longsor atau gempa bumi dapat menimbun, merobohkan atau membuat tidak
utuh lagi.
Candi yang terbuat dari tanah liat sesungguhnya tidak berbeda. Bencana alam tertulis diatas
tersebut juga dapat merusak keadaan candi. Bata merah yang dibuat seperti perajin sekarang
mudah rusak dan hancur tetapi dengan teknik pembuatan yang prima, dapat sekuat batu andesit .
Batu andesit diukir, sedangkan batu merah apakah juga dapat diukir? Candi d i kawasan Trowulan
(candi Ringin Lawang, Bajang Ratu, Tikus, Gentong, Brahu, Kolam Segaran dan masih banyak yang
ujud candinya t idak utuh lagi), Sidoarjo (Candi Pari, Dermo dll) , Beji-Pasuruan (Candi Gunung
Gangsir), Probolinggo (Candi Jabung), candi bata merahnya penuh berukir yang cukup dalam. Candi
bata merah untuk dapat diukir harus memiliki dinding yang cukup padat dan solid.
Candi bata merah pembuatannya berbeda dengan candi batu andesit (seperti di daerah pulau Jawa
bagian tengah). Candi Borobudur dibuat setelah dinding candi dibentuk dan di susun berbentuk
undak-undak memakai balok-balok batu andesit yang belum berelief alias kosong. Dinding batu
andesit digambar dan ditatah diatas, setelah candi berdiri.
Sedangkan candi bata merah (diwilayah Timur pulau Jawa) dibuat dibawah ketika tanah liat dalam
keadaan mentah, atau paduan keduanya; candi dibuat memakai bata merah ‘kosongan’, tetapi diberi
rongga-rongga. Rongga tersebut diisi relief yang dibuat dibawah: Tanah liat mentah dibentuk,
diukir,dikeringkan lalu dibakar. (contoh yang dilakukan pada candi Gunung Gangsir di Beji-Pasuruan).
‘Kosod” adalah teknik menggosok-gosokan antar sesama dinding batu bata merah dicampur air
untuk perekat antar bata yang satu dengan bata merah lainnya. Menurut arkeolog Museum
Trowulan (ibu Ninies), selain kosod, perpindahan atau peralihan bahan pembangunan candi dari
batu andesit ke bata merah adalah karena peralihan ‘konsep keabadian’ . Konsep kepercayaan Jawa
(Pangudi); membuat memakai batu merah sama halnya penggambaran sosok manusia berasal dari
empat unsur; “ api, angin, air dan tanah (Amarah, Supiah, Mutmainah dan Aluamah) Haryono, 2012,
Gitanjali, ITS Press, Surabaya”.
Gereja Puh Sarang Kadiri, sebagai penyandingnya tampak keindahan permainan batu kali bulat,
maupun lonjong. Komplek bangunan gereja yang dibentuk dan kreasikan sebagai kerangka
bebatuan, olahan tanah liat untuk perimbangan kreatifitas tangan bebas terlihat. Bangunan yang
dibuat memakai dua tipe bahan memperlihatkan filosofi keabadian disandingkan dengan harmonis.
Batu-batu kali yang bulat, lonjong dan gepeng dipilah, klasifikasi, disatukan dan disusun . Benda
terrakotta; tegel, relief jalan salib, bata untuk dinding altar, relief serta patung imajin er pada tengah
altar dibuat menjadi aksen, berkesan hangat . Atap genteng yang melendut memperlihatkan ke
monumentalan kompleks percandian Puh Sarang Kadiri.
Tujuan
Konsep Keabadian dikaji pada karya arsitektur percandian masa silam dengan gereja Puh Sarang
Kadiri.
Tektonika arsitektur candi di daerah pulau Jawa sebelah Timur yang disandingkan Gereja Puh
Sarang di daerah Kadiri. Peralatan yang dipakai turut berobah akibat peralihan konsep keabadian.
Alat untuk membentuk batu Andesit yang keras berbeda untuk pembuatan bata merah yang lebih
lunak.
Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | A 163
Konsep Keabadian, Serta Kajian Tektonika Arsitektur Candi di Jaw a Timur Yang Disandingkan dengan Gereja Puh Sarang Kadiri
Manfaat
Batu andesit yang mencerminkan keabadian, segala informasi maupun ajaran ketuhanan,
disampaikan untuk masa itu maupun yang akan datang. Candi batu andesit memperlihatkan
tentang kekuatan, kekokohan sehingga ajaran yang tereliefkan bisa dicermati lebih seksama. Batu
andesit yang berkesan dingin, tidak akrab, dikombinasikan dengan relief yang bentuk dan u kurannya
proporsional naturalis. Anatomi yang menyerupai ukuran manusia pada umumnya, ujud wungkul
tiga dimensi, menampilkan candi berbatu andesit yang berkesan dingin menjadi berimbang hangat.
Sebaliknya candi yang dibangun dari bata merah, adanya warna terracotta yang akrab, berkesan
hangat pembuatan reliefnya lebih terlihat menghias dan di gayakan (stilasi) (candi Jabung
Probolinggo).
Bahan batu dan hasil o lahan tanah liat di bentuk dengan mengkombinasikan, dijejer atau
disandingkan, pada karya Henry Mcline Pont; gereja Puh Sarang di Kadiri. Batu bulat yang beraneka
ragam dan ukuran, disusun membentuk ‘hiasan’ atau tekstur tersendiri.
Batu andesit yang di tambang, di olah, di angkut, mempergunakan peralatan khusus yang berbeda.
Ujud bongkahan dibuat balok persegi terlebih dahulu. Bentuk persegi memudahkan perbandingan
ukuran skala, proporsi (contoh pembuatan arca dan lainnya) daripada masih bongkahan. Balok batu
tersebut disusun (terlebih dahulu ‘disesuaikan’ dengan memberi sentuhan Tektonika berupa koncian,
sambungan batu) membentuk candi kemudian digambar dan ditatah.
Tanah liat yang digali pada daerah tertentu disaring, digemblong (diulet) lalu dibentuk dengan cara
cetak seukuran bata Majapahit; 25 cmx 40 cm x 5 cm. Bata Majapahit tersebut dikeringkan, lalu
dibakar atau diukir terlebih dahulu sebelum dibakar. Bata kondisi mentah diukir jauh lebih mudah
dan ringan; setelah tanah disaring dan dibentuk bata, sebelum kering betul (tapi cukup padat)
dilakukan pengukiran, kemudian dilakukan ‘kosod’ (menggosok-gosok permukaan bata dengan bata
merah lainnya. Gunanya untuk dapat dilakukan penyambungan tanpa bahan lainnya, kecuali air.
Kajian Pustaka
Candi berbahan batu andesit dan bata merah (tanah liat) perobahan konsep keabadian.
Batu andesit sebagai bahan pembuatan percandian, diambil, digali dibentuk persegi, disusun,
digambar, ditatah, sesuai petunjuk pendeta(Tjahjono,2002), tahan cuaca, panas matahari, angin
maupun hujan. Batu andesit diambil dari perbukitan Menoreh dan Sungai Progo (Miksic,2002).
Percandian yang dibangun di sekitar kota Yogya dan Magelang sesungguhnya berada pada lereng
gunung Merapi (Tjahjono,2002). Berbeda percandian di wilayah Timur pulau Jawa, dibangun
memakai bahan bata merah. Pulau Jawa bagian Timur diduga lebih banyak persawahan atau tegalan,
sehingga tanah liat mudah didapat, tetapi menurut pendapat (Noerwarsito,2017; arkeolog museum
Trowulan ibu Ninies,2008) adanya ‘perobahan konsep keabadian’ (bata merah adalah gambaran
filosofi spiritual Jawa; terdiri dari unsur tanah-air-angin-ap i). Hal tersebut juga tertulis dalamm kitab
“Gelare Jagad” (2010), spritual Jawa Pangudi- yang berpusat di kota Surabaya. Noerwarsito, (2017)
Doktor Arsitektur ITS, ahli struktur, memiliki penelitian dan paten bata tanpa dibakar, menurut
penuturannya; “adanya pengambilan tanah liat dari daerah tertentu “(tidak sembarang tempat).
Secara logika, candi adalah bangunan khusus; “pemujaan, pendarmaan” dalam Desertasi Soekmono
dan ‘makam’Raffles dalam Soekmono (1977), oleh sebab itu bahannyapun musti khusus setidaknya
dari daerah tertentu. Percandian jaman kerajaan Majapahit, dibuat memakai bata merah dengan
ukuran lebih tebal dan lebar dibanding bata merah jaman sekarang. Sumber tanah liat yang
A 164 | ProsidingSeminar Heritage IPLBI 2017
R.Bambang Gatot Soebroto
berkualitas, seperti di Sumber Pucung Malang, kawasan Tuban, Klaten, Kasongan Bantul Yogjakarta,
Plered Purwakarta, Jawa Barat (daerah Cianting). “Tanah liat juga mengandung mineral-mineral lain
yang dapat bertindak sebagai bahan pembentuk bahan gelas waktu dibakar....Penggelasan dan
ikatan-ikatan unsur inilah yang memberikan sifat keras bagaikan batu kepada tanah liat yang dib akar
itu”,Astuti, Ambar,1997.
Menjejerkan dengan Gereja Poh Sarang (Pohsarang) di Kadiri
Henry Mcline Pont mempelajari reruntuhan kerajaan Majapahit,... mendapat inspirasi dari gambargambar bangunan yang terdapat pada relief Candi-candi Majapah it, misal candi Penataran dan Jago.
Demikian juga sistem strukturnya, mengeksploitasi kekuatan bambu dalam menahan gaya
membujur (longitudinal). Semua it u tergambar pada relief candi, dipakai pada hampir semua
bangunan primitif.....Altar dan dinding-dindingnya, memakai hiasan, ukiran dan relief bergaya Jawa
Sumalyo,Yulianto,1995,....terdapat “makhluk imajiner” pada hampir semua candi di Jawa Timur
(perempuan berbadan singa, manusia berkepala hewan di candi Jago, manusia garuda di candi Kidal
dan Rimbi), Soebroto,2011. Dibuat juga oleh Mcline Pont dimuka altar, binatang serupa sapi
bersayap.
Untuk membangun gereja Puh Sarang selalu menggunakan bahan-bahan lokal. Mcline Pont
menggunakan juga buruh-buruh setempat selain beberapa tukang yang sudah berpengalaman pada
saat membangun museum. Gereja yang sarat dengan simbolisme ini merupakan suatu karya
arsitektur yang sangat berhasil dilihat dari berbagai segi;mulai dari lokasi, tata masa, konstruksi, tata
ruang, bahan bangunan, struktur dan tentu saja fungsi dan keindahannya. Semua aspek termasuk
budaya setempat dan filsafat agama d ipadukan dalam bentuk arsitektur dengan amat selaras.
Sumalyo,Yulianto,1995. Bangunan biar benda mati namun tidak berarti tak “berjiwa”. Rumah yang
kita bangun adalah rumah manusia. Oleh karena itu merupakan sesuatu sebenarnya selalu dinapasi
oleh kehidupan manusia, oeh watak dan kecenderungan-kecenderungan, oleh napsu dan cit acitanya. Rumah adalah CITRA sang manusia pembangunnya. Mangunwijaya, 2009. Dengan upaya
yang luar biasa tersebut, bangunan yang dihasilkan diharapkan dapat bertahan dalam jangka waktu
yang lama. Terlebih jika bangunan yang dibuat memang ditujukan untuk menjadi bangunan
monumental, yang menyandang makna mendalam-diharapkan dapat diwariskan ke generasi
berikutnya- lebih dari sekedar memenuhi kebutuhan praktik semata. Meskipun manusia adalah
makhluk yang fana yang hidup di dunia yang serba sementara, mereka mengharapkan bangunan
ciptaan mereka dapat lestari lebih lama dari keberadaan mereka didunia, atau secara ideal adalah
“abadinya,” Zeitlos” kata orang Jerman, ...ideal kesempurnaan orang Yunani adalah
keabadian...”Mangunwijaya, (2009:417). Arsitektur dapat dipahami dengan baik bila ia dianggap
jauh lebih daripada sekedar tempat bernaung dan suatu tanggapan untuk memanifestasikan fungsi.
Jadi pengekspresian semua hal lain yang dilakukan bangunan -bangunan dan lingkungan buatan
menjadi hakiki dan perlu terjadi. Makin sering kita semua berfikir dengan cara ini, makin mungkinlah
hal itu terjadi. Snyder, James S, 1991. Teori-teori Arsitektur pun dirumuskan untuk membangun
argumen tentang status ontologis arsitektur sebagai yang ciptaan abadi, cara-cara untuk mencapai
keabadian, hingga kemanfaatan dari keabadian bangunan. Bangunan yang dibuat dengan sempurna,
adalah yang tak lapuk dan lekang oleh cuaca selamanya Santosa, Revianto Budi, 2017.
Tektonika
“ Teknik membangun candi di Indonesia dikembangkan dengan kekhasannya sendiri. Teknik
membangun di Indonesia berbeda dengan Piramida di Mesir Kuno yang menggunakan balok -balok
batu besar, juga dengan kuil-kuil Hindu India yang banyak dipahat dari gunung batu yang monolit.
Candi-candi di Indonesia menggunakan potongan batu-batu andesit atau batu-batu yang relatif lebih
kecil. Sopandi,Setiadi, 2013 Berbeda dengan lubang serupa pada stupa Candi Borobudur yang
Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | A 165
Konsep Keabadian, Serta Kajian Tektonika Arsitektur Candi di Jaw a Timur Yang Disandingkan dengan Gereja Puh Sarang Kadiri
mempertegas simbolisme arupa dari teras Arupadatu, Roesmanto, 1985. Pengamatan penulis; stupa
Borobudur berbahan batu andesit mempunyai dua tipe; persegi yang dibentuk serupa limas
terpancung ke posisi dalam, sementara sudut -sudutnya dicoak, dan yang berbentuk huruf X, atau
silang-silangan tersusun. Bila batu-batu besar tidak mudah bergeser karena bobotnya sendiri,
potongan batu-batu kecil memerlukan sistem perekatan supaya tidak mudah runtuh akibat
pergeseran” Kosod ” menggosokan antara dua bata merah kemudian diberi perekat air, menurut
Arkeolog museum Trowulan (ibu Ninies, 2008; Tribinuka, 2015) . Batu-batu kecil tersebut dipotong
sedemikian rupa agar saling mengunci apabila dipasang dengan tepat. Sambungan batu
menggunakan pen/purus, sambungan batu menggunakan takikan, sambungan menggunakan ekor
burung (dove tail),sambungan batu mengunakan pasak,Sopandi,Setiadi, 2013. Macline Pont,
memilah dan memilih berbagai tipe batuan bundar dari kali , batu bundar ukuran kecil, gepeng,
besar, lonjong, mirip, kontras disendirikan, kemudian disusun, disesuaikan posisinya; untuk t angga
pijakan ditempatkan batu gepeng lonjong, untuk batas pagar dipilih bundar bulat, untuk
ditempatkan pada menara lonceng ditempatkan bagian bawah yang berukuran besar gepeng lagi
melebar. Untuk batu sebesar helm yang menyerupai bulat segi tiga dijdikan aksen pojok pagar. dan
seterusnya.“Bangunan Jawa yang berbentuk joglo adalah perkembangan dari bentuk tenda; seni
bangun dinding keliling ( omwalling architectuur): keampuhan bahan lokal dari segi kemudahan
didapat dan murahnya harga bangunan, dasar gotong royong yang menandai proses membangun
dan berlingkungan hidup....Gereja yang berdiri di tahun 1936 ini...ungkapan rupa yang total dari
teori dan pemikiran Macline Pont. Tentang bambu misalnya, Pont meyakini bahwa dengan
pengawetan dan pencanggihan ( sophistication ) konstruksi tradisional dapat diperoleh bentangan
ruang sebesar 12 meter dan tahan puluhan tahun” Prijotomo, (2008);49.
Obyek/Subyek Persoalan
Pembahasan
Abad 9 kegiatan pembangunan percandian berbahan batu andesit di pulau Jawa di bagian tengah
sudah tidak ada. Abad 11 di Jawa bagian Timur mulai muncul kegiatan pembangunan percandian,
A 166 | ProsidingSeminar Heritage IPLBI 2017
R.Bambang Gatot Soebroto
petirtaan, dengan memakai batu andesit, batu kapur tetapi dengan ukuran yang lebih kecil, tinggi
langsing tidak ‘tambun’ mengingatkan ‘batu tegak (menhir) di jaman prasejarah’ Prijotomo (2008).
Bentuk percandian orientasinya tidak lagi vertikal tetapi menghadap - berlatar belakang ke gununggunung (Arjuno dan Penanggungan), gunung Penanggungan’Mahameru baru’, Munandar (2009)
yang memiliki empat puncak mengelilinginya, dipenuhi lerengnya puluhan percandian berbentuk
‘altar berundak’ berbahan bata merah Miksic,(2002).
Masih terdapat percandian memakai batu andesit, berelief, hanya berukuran kecil dan beberapa
tidak memiliki puncak bagian ‘kepala’ (kompleks candi Penataran di Blitar bagian muka relief Kisahan,
dan bagian belakang, kecuali candi angka tahun yang memiliki puncak), demikian juga candi
Tegowangi dan Surwana di Kadiri. Percandian demikian diduga bagian atasnya adalah serupa Meru
di Bali. Meru adalah tempat atau area khusus (Utama seperti di Bali). Disamping bentuk
percandian tersebut, di wilayah Jawa Timur masih dapat dijumpai percandian utuh; “kepala-badan
dan kaki”, (Roesmanto, 1994;Tjahjono, 2002). Sekalipun ukuran percandian Jawa Timur berukuran
kecil dan langsing, akan tetapi teknik pengolahan sambungan dan koncian batu tidak terlalu berbeda
dengan percandian di Jawa Tengah; “pemakaian pen, purus, batu berbentuk ekor
burung”Sopandi,Setiadi (2013). Beberapa percandian batu andesit yang memiliki kepala-badan dan
kaki yang paling terlhat utuh dan bagus adalah candi Jawi di Prigen, candi Kidal dekat Tumpang
Malang, candi Singhasari (sedikit tidak jelas bag ian atasnya, dan di sebagian ahli mengatakan belum
selesai).
Percandian bata merah identik dengan kerajaan Majapahit. Percandian dan segala perlengkapan
hidup keseharian terjadi varian seperti; tugu batas, batu penghalus, coek serta arca-arca dan
sebagainya masih dibuat dari batu andesit, juga bahan gerabah ( terracotta), seperti; pipa air
pembuangan, tegel, bata, relief, maket candi setinggi 40 cm, bak mandi, guci, pilar, perangkat
makan, minum dan lain sebagainya. Melihat sangat banyak perlengkapan keseharian memakai
bahan gerabah, tampaknya terjadi pergeseran bahan pembuatan, perlengkapan dari batu ke bahan
gerabah ( terracotta).
Percandian bata merah dibangun sekitar Trowulan, didekatnya juga terdapat Museum, yang banyak
artefak kegiatan keseharian memakai gerabah. Bangunan candi yang akan dibangun oleh seniman
Majapah it terlebih dahulu dibuatkan sebuah maket setinggi 40-50 cm dari tanah liat. Makaet candi
tersebut diibentuk, dikeringkan, lalu dibakar. Artefak maket gerabah yang dit emukan menunjukan
orang-orang Majapahit lebih menghadirkan contoh bangunan ujud tiga dimensi, karena mudah
diputar-putar untuk mengamati dari segala arah.
Relief batu andesit dibuat pada dinding candi, menurut Tjahjono,(2002), pembuatan ‘diatas’, saat
candi sudah berdiri dalam keadaan kosongan (balok batu andesit). Candi yang dibuat memakai
tanah liat atau bat a merah, lebih fleksibel; sebagian bahan bata merah dibangun, tetapi disiapkan
rongga-rongga (seperti pada candi Gunung Gangsir) kemudian pembentukan dibawah, dari mentah,
dibentuk, diukir, ditambal atau tambah (karena masih lunak) dikeringkan lalu dibaka r. Relief yang
telah jadi dimasukan kedalam rongga-rongga yang telah disiapkan. Apakah pembangunan candi
memakai cara seperti bahan batu andesit, dibangun, lalu diukir diatas, kemungkinan seperti itu
dapat dilakukan, tetapi bata merah jauh lebih rapuh dibandingkan batu andesit. Batu atau bata
yang ditatah pada sebagian kecil dapat memecahkan pada sisi sebelah lainnya. Kalau sudah
demikian, candi tidak mendapatkan relief yang utuh tetapi banyak yang rusak dan tidak bisa
ditambal lagi. Relief dibuat dibawah lebih leluasa, dan dapat ditukar atau diganti, bila tidak
sesuai/buruk.
Batu andesit dan bata menyusunnya jauh berbeda. Batu andesit dibentuk menjadi balok-balok batu,
sedangkan bata merah dibentuk selebar bata-khas Majapahit 5-6 cm x 25 cm ; 40 cm.
Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | A 167
Konsep Keabadian, Serta Kajian Tektonika Arsitektur Candi di Jaw a Timur Yang Disandingkan dengan Gereja Puh Sarang Kadiri
Penyatuannya menurut beberapa literatur seperti sekarang masih dilakukan di pulau Bali, teknik
Kosod, Tribinuka, (2015). Bata dengan bata digosok-gosokan dicampur sedikit air dan debu hasil
kosod an.
Alam itu bernafas, sesungguhnya ia hidup (ada angin, hujan, panas, muncul tumbuhan dari dalam
tanah, lumut pada bebatuan) juga kering, layu dan gersang. Apabila disebabkan alam akan kembali
lagi dalam siklus hidupnya.
Candi dari batu andesit, bata merah atau gereja (Puh Sarang Kadiri) adalah benda mati, diber i nilainilai oleh manusia, di proses, dibuat perlambangan atau simbol-simbol. Bata merah menyimbolkan
keadaan manusia yang terdiri dari unsur api, air, tanah dan angin, sehingga candi bata merah
sebagai perlambang; manusia melakukan pemujaan kearah gunung -gunung (nenek moyang atau
para leluhur). Candi batu andesit atau bata merah yang dibuat manusia sesungguhnya sesuatu yang
tangible, tetapi pemberian nilai atau simbol-simbol inilah sesuatu yang intangible , tidak teraba
hanya dapat dirasakan.
Alam itu hidup, sementara bangunan akan terpengaruh oleh alam, bisa rusak, ditumbuhi tanaman,
atau terkena bencana.
Mau tidak mau bangunan harus ada yang menjaga, memelihara,
merenovasi-mengganti yang rusak atau aus, supaya tetap tahan. Bangunan yang mengesankan
keabadian tergantung ‘keabadian’ perawatannya; orang-orang yang masih memakai atau
mempergunakan bangunan itu sejalan dengan keabadian pelestariannya. Adapun upaya-upaya
renovasi atau konservasi sebetulnya adalah memperpanjang usia atau memperpanjang keabadian
bangunan tersebut. Upaya, perencanaan, cit a-cita, sebuah keinginan, adalah (Intangible )
sesungguhnya sebuah keabadian.
Kesimpulan
Candi batu andesit dan bata merah, beralihnya menurut arkeolog Trowulan karena perobahan
konsep; dari batu yang tahan cuaca ke bata merah yang mudah aus, tetapi bata memiliki filosofi
empat simbol unsur manusia; air, api, tanah dan angin.
Bangunan apapun bentuk desainnya, dibuat sedemikian rupa agar kokoh, kuat dan tahan lama,
tetapi menghadapi iklim; panas dan hujan, dan ada kelembaban. Selain itu ancaman adanya
bencana alam; gunung berapi, tanah longsor, gempa bumi atau mungkin banjir, serta tangan-tangan
manusia yang merusak.
A 168 | ProsidingSeminar Heritage IPLBI 2017
R.Bambang Gatot Soebroto
Alam menumbuhkan tanaman di bebatuan, lumut, atau biji-bijian yang dijatuhkan unggas atau
kelelawar akan menumbuhkan dimana terjatuhnya.
Kalau demikian semua itu dapat disebut alam, yang hidup dan memiliki kehendaknya sendiri.
Keabadian tidak terjadi sebab ada yang hidup dan terus hidup, sementara bangunan candi ataupun
gereja dari bahan apapun sesungguhnya benda mati akan menghadapi kemauan -kemauan alam.
Bagaimana untuk menghindarnya, manusia berupaya memanfaatkan, memakai bangunan tersebut,
kemudian melakukan renovasi atau konservasi.
Adanya konservasi yang kesinambungan sesungguhnya menghidupkan upaya-upaya pelestarian atau
keabadian bangunan it u.
Candi batu andesit, bata merah ataupun gereja, yang dibuat memakai sentuhan teknologi atau
tektonika sehingga bangunan menjadi menarik dan indah. Namun bangunan sesungguhnya benda
mati tangible (mampu teraba, nyata)
Sedangkan upaya, cita-cita, supaya bangunan tahan lama adalah intangible, sesuatu yang tidak
nyata tetapi berperan menjadikan bangunan abadi selamanya.
Daftar Pustaka
Astuti, A. (1997). Pengetahuan Keramik. Gajah Mada University Pers: Yogyakarta.
Hartoko, D. (1984). Manusia dan Seni. Penerbit Kanisius: Yogyakarta.
Haryono. (2012). Gitanjali. ITS Press: Surabaya.
Mangunwijaya. (1988). Wastu Citra . Penerbit Gramedia: Jakarta.
Miksic, J. (2002). Indonesian Heritage, Sejarah Awal, Penerbit Buku Antar Bangsa vol 1, Jakarta.
Munandar. (1993). Kesenian Pada Masa Majapahit, Tinjuan Ringkas, Bidang Kesenian Rupa, Dan Seni Sastra,
Makalah Simposium Peringatan 100 tahun Majapahit, Mojokerto Jawa Timur.
Santosa, R.B. (2017). TRUSMI. Berarsitektur yang Tak Abadi. MataBangsa: Yogyakarta.
Prijotomo, J. (2008). Pasang Surut Arsitektur Indonesia . Wastu Lanas Grafika: Surabaya.
Rahadian, P.H (dodo). (1999). Menelusuri Jejak Arsitektur Candi Peninggalan Singosari-Majapahit Melalui Naskah
Negarakretagama. Prosiding Simposium Nasional: Surabaya 9-9-99. Arsitektur ITS.
Roesmanto. (1999). Rinupa Rupa-Arupa Arsitektur Nusantara, In Ngawangun Ki Nusantara, Penerbit Unpar:
Bandung.
Sopandi, S. (2013). Sejarah Arstektur, Sebuah Pengantar, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Soekmono. (1977). Candi, Fungsi Dan Pengertiannya, Desertasi Ph.D, Universitas Inodnesia, Jakarta.
Soebroto. (2011). Kajian Estetika Yang Beda Relief Candi Jawa Timur, Tesis Jurusan Arsitektur, FTSP ITS
Surabaya.
Sumalyo,Y. (1995). Arsitektur Kolonial Belanda Di Indonesia , Gajah Mada University Pers: Yogyakarta.
Snyder, James S. (1991). Pengantar Arsitektur. Penerbit Erlangga: Jakarta.
Tjahjono, G. (2002). Indonesian Heritage, Arsitektur, Penerbit Buku Antar Bangsa vol 6: Jakarta.
Tribinuka, T. (2015). Konstruksi Bata Merah. Makalah dalam Seminar Nasional di Bali
Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | A 169
Konsep Keabadian, Serta Kajian Tektonika Arsitektur Candi di Jaw a Timur Yang Disandingkan dengan Gereja Puh Sarang Kadiri
Lampiran
Gambar 1,2. Tektonika sambungan batu andesit- candi Borobudur
Gambar 3,4. Candi bata merah; Ringin Lawang dan Tikus- Trowulan
Gambar 5,6. Komplek Gereja Puh Sarang Kadiri, pemanfatan batu kali
A 170 | ProsidingSeminar Heritage IPLBI 2017
Download