4 TINJAUAN PUSTAKA Kepentingan Higiene dan Sanitasi Higiene berasal dari bahasa Yunani yang artinya sehat atau baik untuk kesehatan. Tujuan higiene adalah untuk menjamin agar daging tetap aman dan layak dikonsumsi untuk manusia, tanpa menimbulkan gangguan kesehatan. Pengertian daging adalah semua bagian dari hewan sembelih yang aman (safe) dan layak (suitable) untuk konsumsi manusia. Arti aman dalam bahan makanan adalah tidak mengandung bahan berbahaya (biologis, kimia dan fisik) yang dapat mengganggu kesehatan manusia. Pengertian layak dalam bahan makanan dapat diterima oleh manusia misalnya tidak berbau, penampilan tidak menyimpang, etis dan halal. Higiene daging didefinisikan sebagai semua kondisi dan tindakan untuk menjamin keamanan dan kelayakan daging pada semua tahap dalam rantai makanan (Lukman 2004). Kepentingan penerapan higiene dalam rantai makanan adalah (a) melindungi dan menjaga kesehatan manusia, (b) melindungi dan menjaga kesehatan hewan dan lingkungan, (c) menjamin kebersihan, (d) menghindari kerugian ekonomis, (e) menjaga kesegaran dan keutuhan makanan, serta (f) menghindari ketidak puasan konsumen. Secara umum higiene perlu juga diterapkan pada bangunan, proses/ produksi dan karyawan (Lukman 2004). Salah satu persyaratan higiene dan sanitasi juga terletak pada higiene karyawan (higiene personal). Tujuan higiene personal adalah untuk menjamin bahwa orang yang berhubungan langsung atau tidak langsung melalui tubuhnya tidak mencemari bahan makanan, berperilaku dan bekerja sesuai aturan serta diharapkan pekerja yang sakit atau diduga sakit tidak ikut melakukan penanganan daging qurban (Lukman 2004). Sanitasi adalah suatu upaya dalam menjaga kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi kesehatan. Tujuan sanitasi tempat pemotongan hewan adalah mencegah pencemaran lingkungan agar diperoleh daging higienis dan sehat (Sudarwanto 2004). Dalam Undang-Undang Pangan Nomor 7 tahun 1997 yang disebut pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun 5 tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan atau minuman. Bakteri indikator adalah bakteri yang keberadaannya dalam pangan menunjukkan bahwa air atau makanan tersebut pernah tercemar oleh kotoran manusia dan atau hewan. Bakteri indikator pada umumnya adalah bakteri yang lazim terdapat didalam usus mahluk hidup. Jadi adanya bakteri tersebut pada air atau makanan menunjukkan bahwa dalam tahap pengolahan air atau makanan pernah dicemari dengan kotoran yang berasal dari usus manusia dan atau hewan oleh karenanya kemungkinan juga dapat ditemukan bakteri patogen. Sampai saat ini ada tiga jenis bakteri indikator yang dapat dipergunakan untuk menunjukkan adanya masalah sanitasi, yaitu Escherichia coli, kelompok Streptococcus (Enterococcus) fecal dan Clostridium perfringens (Dewanti 2003). Kualitas Daging Daging adalah salah satu hasil ternak yang hampir tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Selain penganekaragaman sumber pangan, daging dapat menimbulkan kepuasan atau kenikmatan bagi yang mengkonsumsinya karena kandungan gizinya yang lengkap sehingga keseimbangan gizi dapat terpenuhi. Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya termasuk organ-organ seperti hati, ginjal, otak, paru-paru, jantung, limpa, pancreas dan jaringan otot (Soepardi dan Soekamto1999). Daging terdiri dari tiga komponen utama yaitu jaringan otot (muscle tissue), jaringan lemak (adipose tissue) dan jaringan ikat (connective tissue). Daging merupakan sumber protein yang berkualitas tinggi, mengandung vitamin B dan mineral khususnya besi. Secara umum dapat dikatakan bahwa daging terdiri dari air dan bahan padat. Bahan padat daging terdiri dari bahan-bahan yang mengandung nitrogen, mineral, garam dan abu. Lebih kurang 20 % dari semua bahan padat dalam daging adalah protein (Muchtadi dan Sugiono 1989). 6 Menurut Sudarisman dan Elvina (1996), daging merupakan produk hewani yang sangat digemari, karena rasa yang lezat dan mengandung nilai gizi yang tinggi. Dibandingkan dengan sumber protein nabati, daging merupakan sumber protein yang lebih baik bagi tubuh karena mengandung asam amino esensial yang lengkap dan seimbang serta mudah dicerna. Daging juga merupakan media yang sangat baik untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan kuman (mikroorganisme) sehingga daging dikategorikan sebagai bahan makanan ya ng mudah rusak dan juga sebagai bahan makanan yang berpotensi berbahaya. Ada 2 (dua) kelompok kuman yang dapat dijumpai pada daging yaitu a) kuman patogen dan b) kuman pembusuk. Kuman patogen merupakan kuman yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia dan hewan. Pertumbuhan kuman ini pada daging tidak akan memperlihatkan perubahan fisik pada daging (misalnya bau dan warna tidak berubah), sehingga tidak dapat diketahui atau dideteksi secara kasat mata, tetapi harus menggunakan pengujian laboratorium. Kuman pembusuk adalah kuman yang menyebabkan perubahan pada fisik daging misalnya timbul bau, perubahan warna dan terdapat lendir pada daging (Lukman 2004). Daging kambing adalah daging yang diperoleh dari kambing yang telah dipotong/disembelih. Pemeriksaan Antemortem dan Postmortem. Pemeriksaan antemortem dilakukan sebelum hewan dipotong dan bertujuan .untuk menentukan hewan qurban benar-benar sehat sebelum disembelih sehingga konsumen mendapat jaminan keamanan dari daging qurban yang akan dikonsumsi. Pemeriksaan postmortem dilakukan segera setelah hewan dipotong dengan tujuan antara lain (a) mengenali kelainan atau abnormalitas pada daging, isi dada dan isi perut sehingga hanya daging sehat dan baik yang akan dikonsumsi, (b) menjamin bahwa proses pemotongan dilaksanakan dengan benar, (c) menjamin kualitas dan keamanan daging, (d) meneguhkan diagnosa pameriksaan antemortem (Dinas PEKANLA 2003b). Lima tahap yang harus dilalui dalam memperoleh karkas yaitu pemeriksaan antemortem, penyembelihan, penuntasan darah, dressing dan pemeriksaan post mortem. Prinsip penyembelihan adalah pemotongan pembuluh darah besar (vena 7 Jugularis), arteri carotis, saluran nafas dan sekaligus saluran makanan . Pada saat penyembelihan, hewan harus dalam keadaan tenang, dianjurkan pelaksanaan sebaiknya dilakukan secepat mungkin. Kebersihan selama proses penyembelihan bertujuan untuk mengurangi kontaminasi oleh mikroba. Penuntasan darah harus sempurna karena bakteri dari usus dan darah yang tertinggal merupakan media untuk pertumbuhan mikroba. Dressing adalah pemisahan bagian kepala, kulit dan jeroan dari tubuh ternak (Muchtadi dan Sugiono 1989). Berdasarkan laporan FKH IPB 2004 pada kegiatan pemotongan hewan qurban di DKI Jakarta, lebih dari separuh tempat pemotongan hewan menyediakan alat penggantung untuk pengerjaan karkas setelah pengeluaran darah (59.0%) selebihnya pengerjaan karkas dilaksanakan diatas alas plastik (25.2%), diatas tanah/rumput atau tanpa alas (15.8%). Sebagian besar tempat pemotongan melakukan pemisahan tulang (deboning) sebelum daging dibagikan. Secara umum penanganan jeroan dan organ lain masih kurang baik, karena kebanyakan tempat pemotongan membuang jeroan (lambung dan usus) langsung ke parit/selokan/sungai (43.6%). Beberapa tempat pemotongan membuang jeroan tersebut ke dalam lubang yang digali (40.1%) dan yang lainnya membuang ketempat lain misalnya tempat sampah (16.3%). Pembagian atau pemotongan daging pada umumnya dilaksanakan diatas alas plastik (50.9%). Pada tempat lainnya, pemotongan /pembagian daging dan penyimpanan dilaksanakan diatas lantai beralaskan plastik (26.9%), diatas papan/kayu (13.7%) dan diatas meja (8.5%). Hal ini sudah baik, karena daging tidak berkontak langsung dengan tanah. Umumnya penyimpanan daging dan jeroan dipisah (69.4%), namun masih ada tempat pemotongan yang mencampurkan daging dan jeroan (30.6%). Pengemasan potongan daging dan jeroan sebagian dilakukan secara terpisah (50.0%), dan sebagian lainnya menyatukan keduanya (50.0%). Sebaiknya daging dipisahkan dengan jeroan mengingat jeroan relatif banyak mengandung kotoran dan mikroorganisme, sehingga akan mencemari daging. 8 Mikroba Pencemar Daging Mikroba yang merusak daging dapat berasal dari hewan yang terinfeksi pada saat masih hidup serta kontaminasi daging pasca penyembelihan. Kontaminasi permukaan daging dapat terjadi sejak saat penyembelihan hewan hingga daging dikonsumsi (Soeparno 1998). Di Rumah Potong Hewan, sumber kontaminasi dapat berasal dari tanah, kulit, isi saluran pencernaan, air, alat-alat yang dipergunakan selama proses mempersiapkan daging (misalnya pisau, gergaji, katrol dan pengait, serta peralatan untuk jeroan), kotoran, udara dan pekerja (Hansson 2001). Mikroba yang berasal dari isi saluran pencernaan dapat mencapai 103 sampai 1011 cfu/gram (Lukman 2001). Kontaminasi feses terhadap karkas dapat beresiko terhadap penyebaran bakteri patogen seperti Salmonella, Campylobacter, Yersinia dan E. Coli (Hansson 2001). Bakteri patogen juga dapat mencemari daging karena pengaruh stress dan terkontaminasi pada saat pencucian dan apabila berkembang sejalan dengan pertumbuhannya dapat menjadikan daging sebagai makanan yang beresiko (Samelis et al. 2002). Jumlah Mikroba Perhitungan jumlah mikroba aerob biasa dilakukan sebagai indikator adanya pencemaran terhadap daging. Mikroba aerob yang biasa dijumpai pada daging berkisar antara 103 sampai 105 per cm2 (Hayes 1996). Dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-6366-2000 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba telah ditetapkan maksimum jumlah mikroba pada daging adalah 104 cfu/g (BSN 2000). Mikroba pada daging dapat meningkat karena beberapa faktor seperti kontaminasi lingkungan, adanya perkembangan mikroba secara normal di dalam daging, sanitasi yang buruk dan adanya kontaminasi selama proses penanganan oleh pekerja (Hansson 2001; Hayes 1996). 9 Koliform Koliform merupakan mikroorganisme yang sering ditemukan mencemari daging. Koliform termasuk golongan bakteri gram negatif, sifat anaerob fakultatif, berbentuk batang non spora dan terdiri dari beberapa jenis mikroorga nisme yang termasuk kedalam famili Enterobacteriaceae yaitu Citrobacter, Enterobacter, Escherichia dan Klebsiella (Jay 1997). Kehadiran Koliform maupun Escherichia coli pada daging mengindikasikan daging tersebut telah terkontaminasi oleh feses dan dapat dipakai sebagai bakteri indikator terhadap kehadiran bakteri patogen lain seperti Salmonella (Hansson 2001). Dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-63662000 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba telah ditetapkan maksimum jumlah Koliform pada daging adalah 102 cfu/g (BSN 2000). Koliform ditemukan pada kulit, kuku serta rambut. Begitu hewan dipotong, bakteri yang berasal dari usus dapat mengkontaminasi daging selama proses eviscerasi. Grup Koliform dapat menetap di dalam air, tanah atau pada makanan dalam waktu yang lama. Kehadiran koliform menunjukkan pencemaran makanan oleh feses yang mungkin berasal dari manusia, hewan atau dari tanah, peralatan, atau oleh teknik pasteurisasi yang tidak benar, atau rekontaminasi setelah pasteurisasi atau pemasakan (Banwart 1989). Gambar 1 Bakteri Koliform http://www.great- lakes.net/beachcast/bw.waterborne.html. 10 Escherichia coli Escherichia coli diklasifikasikan ke dalam famili Enterobacteriaceae, dan termasuk salah satu anggota koliform (Jay 1997). Menurut Doyle (1989) E. Coli sering ditemukan dalam jumlah banyak di dalam usus besar hewan dan merupakan bakteri komensal dalam saluran pencernaan. Dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-6366-2000 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba telah ditetapkan maksimum jumlah Escherichia coli pada daging adalah 50 cfu/g (BSN 2000). Serotipe E. coli didasarkan pada antigen somatik (O), flagela (H), dan antigen kapsul (K). Antigen O merupakan lipopolisakarida outer membrane cell yang spesifik (Doyle 1989; Brown 1982). Antigen O merupakan dasar dari klasifikasi E. Coli menjadi serogrup. Ada lebih dari 170 serogrup berdasarkan antigen O dan 56 dari antigen H. Tiap serogrup mempunyai respon terhadap inangnya. Menurut Brown (1982) galur E. coli yang dapat menimbulkan sindroma patogen dibagi menjadi empat kategori yaitu : (a) Enteropathogenic E. coli (EPEC), (b) Enteroinvasive E. coli (EHEC), (c) Enterotoxigenic E. coli (ETEC), dan (d) Enterohemorrhagic E. coli (EHEC) atau biasa dikenal dengan E. coli O157:H7. Semua tipe tersebut berasosiasi dengan foodborne disease. E. coli O157:H7 menjadi perhatian para ahli mikrobiologi dan telah menimbulkan wabah di berbagai negara karena mencemari makanan cepat saji. Gambar 2 Bakteri Esherichia coli (Dennis Kunkel 2004). 11 Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus paling sering ditemukan pada tangan dan wajah manusia. Pekerja dapat mencemari bahan makanan atau daging sebesar 103 sampai 104 per menit oleh tangan, pakaian maupun alat-alat yang dipergunakan. Dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-6366-2000 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba telah ditetapkan maksimum jumlah Staphylococcus aureus pada daging adalah 102 cfu/g (BSN 2000). Staphylococcus aureus hidup optimal dan dapat memproduksi enterotoksin pada temperatur 35.0-37.0o C, tetapi beberapa spesies dapat tumbuh pada kisaran 10.0-45.0oC dengan pH optimalnya 7.0-7.5 Keracunan makanan terjadi apabila kandungan Staphylococcus aureus berada dalam jumlah besar yaitu diatas 2,0 x 108 cfu/gram dapat membentuk toksin (Doyle 1989). Gambar 3 Bakteri Staphylococcus aureus ( Heritage 2003). http://www.bmb.leeds.ac.uk/mbiology/ug/ug teach/dental/tutorial/ classification/g pcexplain.htm. Salmonella Salmonella merupakan salah satu agen yang mempunyai prevalensi tertinggi sebagai foodborne disease. Di beberapa negara Salmonella juga merupakan salah satu mikroba patogen yang sering ditemukan keberadaannya pada daging atau pada makanan. Salmonella paling sering diisolasi dari daging pada daerah yang berdekatan dengan kulit dan daerah anus (Dickson dan Anderson 1992). Dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-6366-2000 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba telah ditetapkan keberadaan Salmonella pada daging haruslah negatif per gram daging (BSN 2000). 12 Genus Salmonella terdiri dari lebih 2600 serovar (Portillo 2000). Klasifikasi dan deteksi bakteri ini didasarkan atas uji serologik (Jay 1997). Suhu pertumbuhan Salmonella adalah pada temperatur 35.0-37.0o C, tetapi pada kenyataannya Salmonella dapat ditemukan pada kisaran suhu 5.0-47.0o C. Sedangkan pH optimum pertumbuhannya adalah 6.5 – 7.5 dengan pertumbuhan pH 4.5-9.0 (Doyle 1989). Gambar 4 Bakteri Salmonella http://www.nature.com/news/2001/01125/full/011025-10.html. selang