faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di pulau

advertisement
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI INFLASI DI
PULAU JAWA: ANALISIS DATA PANEL
OLEH
ADITYA RAKHMAN
H14080100
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
RINGKASAN
ADITYA RAKHMAN. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Inflasi di Pulau Jawa:
Analisis Data Panel (dibimbing oleh HERMANTO SIREGAR)
Inflasi merupakan fenomena ekonomi yang sering terjadi pada
perekonomian suatu negara. Inflasi membawa pengaruh buruk bagi
perekonomian, antara lain yaitu dapat menurunkan kesejahteraan riil masyarakat
yang berpenghasilan tetap dan menciptakan pengangguran. Sejarah mencatat
inflasi di Indonesia pernah mencapai titik tertinggi yaitu pada tahun 1966 dan
tahun 1998. Inflasi yang terjadi pada tahun 1966 disebabkan oleh defisit anggaran
belanja pemerintah yang dibiayai dalam bentuk pencetakan uang, sedangkan
inflasi yang terjadi pada tahun 1998 disebabkan oleh krisis moneter yang terjadi
pada tahun 1997. Fakta sejarah juga menunjukkan bahwa jatuhnya dua rezim yang
telah lama berkuasa di Indonesia yaitu Rezim Orde Lama dan Rezim Orde baru
bersamaan dengan saat terjadinya inflasi yang cukup tinggi. Berdasarkan
pengalaman Rezim Orde Lama dan Rezim Orde Baru mengenai bahaya inflasi,
pihak berwenang khususnya Bank Sentral telah melakukan berbagai upaya untuk
memelihara kestabilan inflasi di dalam negeri. Namun sejak dimulainya era
otonomi daerah pada tahun 2001, pengendalian inflasi semakin mendapat
tantangan yang berat disebabkan semakin meluasnya sumber-sumber penyebab
inflasi dan perbedaan faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di setiap wilayah di
Indonesia (Brodjonegoro et al, 2005). Mengingat masih relatif terbatasnya studi
mengenai inflasi regional dan cukup besarnya pengaruh yang diberikan Pulau
Jawa terhadap perekonomian Indonesia membuat studi mengenai inflasi di Pulau
Jawa ini menjadi penting dan menarik untuk dilakukan. Untuk mengidentifikasi
faktor-faktor penyebabnya inflasi dibagi menjadi dua kategori, demand pull
inflation atau inflasi yang disebabkan oleh tarikan permintaan dan cost push
inflation atau inflasi yang disebabkan oleh dorongan biaya.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang
memengaruhi inflasi di Pulau Jawa. Setelah diketahui faktor-faktor yang
memengaruhi inflasi pada provinsi-provinsi di Pulau Jawa, kemudian dirumuskan
beberapa implikasi kebijakan dalam rangka pengendalian inflasi. Cakupan sampel
yang dianalisis dalam penelitian ini adalah enam provinsi di Pulau Jawa yaitu DKI
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur dan Banten. Penelitian ini
menggunakan data sekunder provinsi-provinsi di Pulau Jawa dan beberapa data
nasional dan internasional dalam bentuk data panel yakni gabungan data time
series dan cross section dari tahun 2001-2010. Data penelitian diperoleh dari BPS,
BI, FAO, OPEC dan beberapa dari penelitian terdahulu serta literatur terkait.
Variabel yang diteliti antara lain adalah jumlah uang beredar, pengeluaran
pemerintah, pertumbuhan ekonomi, upah minimum regional, kondisi infrastruktur
jalan raya, harga minyak dunia dan harga pangan dunia. Metode analisis
kuantitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode regresi data panel
dengan model penelitian yang mengacu pada penelitian Lestari (2003) dengan
melakukan beberapa modifikasi pada variabel-variabel yang diteliti.
Hasil Pengujian mendapatkan metode terbaik untuk mengestimasi model
penelitian adalah dengan metode regresi data panel first differencing melalui
pendekatan Pooled Least Square (PLS). Estimasi dengan pendekatan PLS
menunjukkan bahwa dari sisi permintaan inflasi secara signifikan dipengaruhi
oleh variabel perubahan pengeluaran pemerintah dan tingkat pertumbuhan
ekonomi (berpengaruh positif), sementara variabel perubahan jumlah uang
beredar tidak berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi. Dari sisi penawaran
inflasi secara signifikan dipengaruhi oleh variabel perubahan upah minimum,
perubahan kondisi infrastruktur jalan raya serta perubahan harga minyak dunia
(berpengaruh positif), sedangkan variabel perubahan harga pangan dunia tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi. Merujuk kepada hasil estimasi,
sebaiknya BI bersama-sama dengan pemerintah pusat maupun daerah
berkoordinasi dalam menentukan target inflasi dan memfokuskan arah kebijakan
pada sumber-sumber utama yang memengaruhi inflasi terutama dari sisi
penawaran karena menurut hasil estimasi inflasi lebih dipengaruhi dari sisi
penawaran.
Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa inflasi di Pulau Jawa bukan
semata-mata disebabkan oleh fenomena moneter, tetapi lebih merupakan
fenomena fiskal. Hal tersebut juga sejalan dengan teori strukturalis yang
menyatakan bahwa inflasi di negara berkembang juga ikut disebabkan oleh
kenaikan biaya produksi atau cost push inflation. Sementara itu, temuan penting
lainnya dalam penelitian ini ternyata peningkatan pada perubahan kondisi
infrastruktur jalan raya menjadi lebih baik malah mengakibatkan inflasi semakin
meningkat. Setelah ditelusuri lebih lanjut, hal tersebut disebabkan oleh nilai
ekspor komoditi di Pulau Jawa yang lebih rendah bila dibandingkan nilai
impornya. Sehingga untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk menambahkan
variabel-variabel lain yang diperkirakan memengaruhi inflasi terutama variabel
ekspor dan impor serta memperluas ruang lingkup penelitian menjadi provinsiprovinsi lain di Indonesia untuk melengkapi hasil penelitian ini agar lebih mampu
untuk menjelaskan dinamika inflasi pada perekonomian regional di Indonesia.
Kata Kunci: Pulau Jawa, Inflasi Regional, Regresi Data Panel
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI INFLASI DI
PULAU JAWA: ANALISIS DATA PANEL
Oleh
ADITYA RAKHMAN
H14080100
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
Judul Skripsi : Faktor-Faktor yang Memengaruhi Inflasi di Pulau Jawa:
Analisis Data Panel
Nama
: Aditya Rakhman
NIM
: H14080100
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Prof. Hermanto Siregar, M.Ec., Ph.D
NIP. 19630805 198811 1 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec.
NIP. 19641022 198903 1 003
Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH
BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH
DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA TULIS ILMIAH PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Juli 2012
Aditya Rakhman
H14080100
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Aditya Rakhman lahir pada tanggal 04 Oktober 1990 di
kota Surakarta, sebuah kota yang terletak di provinsi Jawa Tengah. Penulis
merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Ashari Haryanto dan
Wirastuti. Jenjang pendidikan formal penulis dimulai pada Taman Kanak-kanak
Tunas Rimba Karang Mulya yang lulus pada tahun 1996, kemudian dilanjutkan ke
Sekolah Dasar Budi Luhur Ciledug dan lulus pada tahun 2002. Pendidikan penulis
dilanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Islam Al-Azhar 10 Kembangan
yang lulus pada tahun 2005. Pada tahun yang sama penulis diterima di Sekolah
Menengah Umum Negeri 78 Jakarta dan lulus pada tahun 2008. Pada tahun 2008,
penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Beasiswa
Utusan Daerah (BUD) dan diterima sebagai mahasiswa Program Ilmu Ekonomi
pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. IPB merupakan pilihan penulis dengan
harapan besar dapat memperoleh ilmu dan menjadi media untuk pengembangan
diri penulis.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif mengikuti kegiatan dan
organisasi dalam bidang kemahasiswaan antara lain penulis pernah menjadi wakil
ketua divisi bidang informasi, promosi, dan komunikasi Hipotesa periode
2010/2011. Besarnya minat penulis dalam bidang olahraga juga membuat penulis
aktif dalam berbagai lomba dibidang olahraga internal IPB. Beberapa prestasi
yang pernah penulis raih antara lain meraih Runner Up Basket Putra Olimpiade
Mahasiswa IPB (OMI) 2010, Peringkat 3 futsal SPORTAKULER FEM IPB 2010,
Runner Up futsal SPORTAKULER FEM IPB 2011 dan Peringkat 3 Basket Putra
SPORTAKULER FEM IPB 2011. Selain itu penulis juga aktif di kepanitiaan
dalam beberapa acara internal kampus seperti Indonesian’s Economics Festival
(INVEST) 2009 dan Economic Contest 2009 sebagai staff Publikasi, Dekorasi dan
Dokumentasi (PDD).
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena
atas berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan
skripsi ini. Skripsi dengan judul “Faktor-Faktor yang Memengaruhi Inflasi di
Pulau Jawa: Analisis Data Panel” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak
Prof. Hermanto Siregar yang telah memberikan bimbingan dan arahan bagi
penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Kesabaran dan keikhlasan
beliau dalam memberi masukan baik teknis maupun teoritis sampai pada nasihat
moril merupakan sesuatu yang berharga bagi penulis sehingga penulis mampu
menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Ucapan terima kasih juga penulis
sampaikan kepada segenap pihak yang telah memberikan kontribusi dan bantuan
dalam penyelesaian skripsi ini, diantaranya adalah:
1.
Kedua orang tua penulis, Bapak dan Mamah serta keluarga tercinta, adik
penulis Chandranita Retno Satuti yang telah memberikan doa, motivasi, kasih
sayang, materi dan dorongan moral, serta jasa besarnya sehingga penulis
mampu menyelesaikan skripsi ini.
2.
Prof. Bambang Juanda selaku dosen penguji utama dalam sidang skripsi yang
telah memberikan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan
penyelesaian skripsi ini.
3.
Widyastutik, M.Si selaku komisi pendidikan yang telah memberikan banyak
informasi mengenai tata cara penulisan skripsi yang baik.
4.
Dosen-dosen Departemen Ilmu Ekonomi yang tidak dapat disebutkan satu
persatu yang telah membentuk pola pikir ilmiah penulis sehingga penulis
terbantu dalam penyusunan skripsi ini.
5.
Seluruh Staff Departemen Ilmu Ekonomi dan Staff Fakultas Ekonomi dan
Manajemen atas kerjasamanya selama penulis menuntut ilmu di Departemen
Ilmu Ekonomi.
6.
Bapak Iwan M.Si dari Badan Pusat Statistik yang telah memberikan bantuan
informasi dalam mencari dan mengolah data yang dibutuhkan dalam skripsi
ini.
7.
Teman-teman satu bimbingan Astary Pradipta Hadiputri dan Nisa Karami
yang senantiasa memberikan bantuan, bertukar pikiran, dan berdiskusi selama
proses penyelesaian skripsi ini.
8.
Teman-teman satu angkatan yaitu Ilmu Ekonomi 45 yang saling memberi
semangat dan dukungan selama masa perkuliahan.
9.
Peserta seminar dalam memberi saran dan kritik terhadap skripsi.
10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu dalam
memberikan kontribusi penyusunan skripsi.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna,
karena keterbatasan pengetahuan, pengalaman dan kemampuan yang dimiliki.
Semoga karya ini dapat bermanfaat terutama bagi penulis dan semua pihak yang
membacanya
serta
memberikan
tambahan
wawasan
bagi
pihak
membutuhkan.
Bogor, Juli 2012
Aditya Rakhman
H14080100
yang
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL................................................................................................. xii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN..........................................................................................xv
I.
PENDAHULUAN .......................................... Error! Bookmark not defined.
1.1. Latar Belakang ......................................... Error! Bookmark not defined.
1.2. Perumusan Masalah ...................................................................................5
1.3. Tujuan Penelitian .......................................................................................6
1.4. Manfaat Penelitian .....................................................................................6
1.5. Ruang Lingkup Penelitian .........................................................................7
II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................8
2.1. Definisi Inflasi ...........................................................................................8
2.2. Inflasi Regional ..........................................................................................8
2.3. Teori Inflasi ............................................. Error! Bookmark not defined.
2.4. Jenis-Jenis Inflasi ..................................... Error! Bookmark not defined.
2.5. Perhitungan Inflasi ................................... Error! Bookmark not defined.
2.6. Sumber-Sumber Inflasi ............................ Error! Bookmark not defined.
2.6.1. Jumlah Uang Beredar……………………………………………...15
2.6.2. Pengeluaran Pemerintah…………………………………………...16
2.6.3. Pertumbuhan Ekonomi…………………………………………….16
2.6.4. Harga Minyak Dunia………………………………………………17
2.6.5. Harga Pangan Dunia………………………………………………17
2.6.6. Upah……………………………………………………………….18
2.6.7. Kondisi Infrastruktur………………………………………………18
2.7. Penelitian Terdahulu ................................ Error! Bookmark not defined.
2.8. Kerangka Pemikiran ................................ Error! Bookmark not defined.
2.9. Hipotesis Penelitian ................................. Error! Bookmark not defined.
III. METODOLOGI PENELITIAN...................... Error! Bookmark not defined.
3.1. Jenis dan Sumber Data............................. Error! Bookmark not defined.
3.2. Metode Analisis ....................................... Error! Bookmark not defined.
3.2.1. Analisis Deskriptif………………………………………………...28
3.2.2. Analisis Ekonometrika…………………………………………….29
3.2.2.1. Pooled Least Square…………………………………….32
3.2.2.2. Fixed Effect Model………………………………………32
3.2.2.3. Random Effect Model……………………………………33
3.2.2.4. Pengujian Model…………..…………………………….33
3.2.2.5 Metode Evaluasi Model………………………………….35
3.2.3. Aplikasi Regresi Data Panel……………………………………….40
3.3. Perumusan Model Penelitian…………………………........………...….41
IV. GAMBARAN UMUM ................................... Error! Bookmark not defined.
4.1. Gambaran Umum Inflasi di Pulau Jawa .. Error! Bookmark not defined.
4.2. Hubungan Inflasi dengan Jumlah Uang Beredar dan Pengeluaran
Pemerintah ............................................... Error! Bookmark not defined.
4.3. Hubungan Inflasi dengan Upah MinimumError! Bookmark not defined.
4.4. Hubungan Inflasi dan Kondisi InfrastrukturError! Bookmark not defined.
4.5. Hubungan Inflasi dengan Harga Minyak dan Harga Pangan DuniaError! Bookmark not de
V. HASIL DAN PEMBAHASAN....................... Error! Bookmark not defined.
5.1. Pengujian Stasioneritas Data Panel .........................................................55
5.2. Tahapan pemilihan Pendekatan Model Terbaik ......................................56
5.3. Tahapan Evaluasi Model .........................................................................58
5.3.1. Tahapan Evaluasi Model Berdasarkan Kriteria Ekonometrika…....58
5.3.1.1. Uji Normalitas…………………………………………...58
5.3.1.2. Uji Multikoliniearitas……………………………………58
5.3.1.3. Uji Heteroskedastisitas…………………………………..59
5.3.1.4. Uji Autokorelasi…………..……………………………..59
5.3.2. Tahapan Evaluasi Model Berdasarkan Kriteria Statistika………...60
5.3.3. Tahapan Evaluasi Model Berdasarkan Kriteria Ekonomi………....62
5.3.3.1. Variabel Perubahan Pengeluaran Pemerintah……..…….62
5.3.3.2. Variabel Perubahan Harga Minyak Dunia………………63
5.3.3.3. Variabel Perubahan Kondisi Infrastruktur………………63
5.3.3.4. Variabel Perubahan Pertumbuhan Ekonomi…………….65
5.3.3.5 Variabel Perubahan Upah Minimum…………………….65
5.4. Implikasi Kebijakan Pengendalian InflasiError! Bookmark not defined.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN....................... Error! Bookmark not defined.
6.1. Kesimpulan .............................................. Error! Bookmark not defined.
6.2. Saran ........................................................ Error! Bookmark not defined.
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………71
LAMPIRAN……………………………………………………………………...74
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
2.1. Ringkasan Hasil Penelitian Terdahulu.......... Error! Bookmark not defined.
3.1. Variabel, Data yang Digunakan dan SumbernyaError! Bookmark not defined.
5.1. Rangkuman Hasil Pengujian Panel Unit RootError! Bookmark not defined.
5.2. Nilai Statistik Model Inflasi di Pulau Jawa ..................................................60
5.3. Hasil Estimasi Model Inflasi di Pulau Jawa . Error! Bookmark not defined.
5.4.
Neraca Perdagangan Provinsi Pulau Jawa..................................................64
5.5. Implikasi Kebijakan Berdasarkan Hasil PenelitianError! Bookmark not defined.
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.1. Inflasi Indonesia Periode 1961-2010 ..............................................................2
1.2. Bobot Inflasi Kota Menurut SBH 2007 ........ Error! Bookmark not defined.
2.1. Demand Pull Inflation .................................. Error! Bookmark not defined.
2.2. Cost Push Inflation .......................................................................................14
2.3. Kerangka Pemikiran ..................................... Error! Bookmark not defined.
4.1. Dinamika Inflasi Pulau Jawa terhadap Rata-Rata Inflasi Nasional 2001 2010 .............................................................. Error! Bookmark not defined.
4.2. Perbandingan Perubahan Pertumbuhan Ekonomi terhadap Inflasi di Pulau
Jawa 2002-2010 ........................................... Error! Bookmark not defined.
4.3. Perbandingan Perubahan Laju Jumlah Uang Beredar terhadap Inflasi di
Pulau Jawa 2002-2010 ................................. Error! Bookmark not defined.
4.4. Perbandingan Perubahan Laju Pengeluaran Pemerintah terhadap Inflasi di
Pulau Jawa 2002-2010 ................................. Error! Bookmark not defined.
4.5. Perbandingan Perubahan Upah Minimum Regional terhadap Inflasi di Pulau
Jawa 2002-2010 .......................................... Error! Bookmark not defined.
4.6. Perbandingan Kondisi Infrastruktur Terhadap Inflasi di Pulau Jawa 20012010 .............................................................. Error! Bookmark not defined.
4.7. Perkembangan Harga Minyak Dunia dan Inflasi di Pulau Jawa 20012010..............................................................................................................Er
ror! Bookmark not defined.
4.8. Perkembangan Indeks Harga Komoditi Pangan Dunia dan Inflasi di Pulau
Jawa 2001-2010 ............................................................................................53
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1
Hasil Pengujian Panel Unit Root dengan Software Eviews 6.........................75
2
Korelasi Antar Variabel Independen Pada Model 1st DifferencingError! Bookmark not defined
3
Hasil Estimasi Model dengan Pendekatan Pooled Least Square Model 1st
Differencing .................................................... Error! Bookmark not defined.
4
Hasil Estimasi Model dengan Pendekatan Fixed Effect Model 1st
Differencing ................................................... Error! Bookmark not defined.
5
Hasil Chow Test Model 1st Differencing ........ Error! Bookmark not defined.
6
Hasil Uji Normalitas Model 1st Differencing.. Error! Bookmark not defined.
7
Grafik Standardized Residuals Model 1st DifferencingError! Bookmark not defined.
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Inflasi merupakan fenomena ekonomi yang sering terjadi pada
perekonomian suatu negara. Gejala-gejala inflasi pada perekonomian ditandai
dengan kenaikan harga-harga secara umum dan berlangsung secara terus menerus
(kontinu) ini akan memengaruhi dan berdampak luas dalam berbagai bidang baik
ekonomi, sosial maupun politik.
Inflasi membawa pengaruh yang buruk bagi perekonomian, antara lain
yaitu dapat menurunkan kesejahteraan riil masyarakat yang berpenghasilan tetap.
Gaji buruh, Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan karyawan swasta lainnya mengalami
penurunan nilai riil, kendati nilai nominalnya tidak berubah. Inflasi yang
terlampau tinggi akan mengakibatkan terjadinya overheating economy yang
mengarah pada situasi resesi. Pada masa resesi pengusaha swasta akan
mengadakan rasionalisasi melalui pembatalan investasi yang telah disetujui
karena beban bunga yang terlampau tinggi disertai prospek usaha yang menurun
drastis. Hal ini pada akhirnya akan menimbulkan masalah yang krusial di bidang
ketenagakerjaan yaitu munculnya pengangguran.
Inflasi
juga
berdampak
negatif
pada
neraca
pembayaran
yaitu
menyebabkan naiknya harga-harga ekspor, sehingga produksi dalam negeri tidak
mampu bersaing dengan produk-produk luar negeri yang berakibat kepada
turunnya neraca perdagangan. Selain itu, inflasi juga berpengaruh pada nilai tukar
rupiah, yaitu tingginya inflasi membuat mata uang rupiah menjadi over valued
yang akan berdampak pada isu devaluasi dan menyebabkan rush valuta asing.
Ketidakpercayaan terhadap rupiah mengakibatkan aliran modal keluar (capital
outflow) yang akan berakibat buruk pada iklim investasi dalam negeri.
Sejarah mencatat inflasi di Indonesia pernah mencapai titik tertinggi yaitu
pada tahun 1966 dan tahun 1998. Inflasi pada tahun 1966 merupakan inflasi
tertinggi pada era tahun 1960-an, sementara pada tahun 1998 merupakan inflasi
tertinggi sejak era orde baru (Gambar 1.1). Hyperinflation yang terjadi pada tahun
2
1966 disebabkan oleh defisit anggaran belanja pemerintah yang kemudian
dibiayai Bank Indonesia (BI) dalam bentuk pencetakan uang, sedangkan inflasi
yang terjadi pada tahun 1998 disebabkan oleh krisis moneter yang terjadi pada
tahun 1997. Fakta sejarah juga menunjukkan bahwa jatuhnya dua rezim yang
telah lama berkuasa di Indonesia yaitu Rezim Orde Lama dan Rezim Orde Baru
bersamaan dengan saat terjadinya inflasi yang cukup tinggi.
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2012
Gambar 1.1. Inflasi Indonesia Periode 1961-2010
Berdasarkan pengalaman Rezim Orde Lama dan Rezim Orde Baru
mengenai bahaya inflasi, pada tahum 1999 Bank Sentral Indonesia dalam hal ini
BI mengeluarkan peraturan nomor 23/1999 mengenai perubahan sasaran pokok
BI dari multiple objectives menjadi lebih terfokus kepada tujuan mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah. Peraturan ini bertujuan untuk meningkatkan
efektivitas kebijakan moneter. Hal tersebut tercantum dalam UU No.23 Tahun
1999.
Menurut UU No.23 Tahun 1999, tujuan utama Bank Sentral adalah untuk
memelihara kestabilan rupiah. Definisi khusus dari memelihara kestabilan nilai
rupiah adalah untuk mengendalikan laju inflasi dalam negeri. Dalam menjalankan
3
tugas pokoknya, Bank Sentral menetapkan target inflasi yang akan dicapai
sebagai landasan bagi perencanaan dan pengendalian sasaran-sasaran moneter.
Selain itu, BI pun mengeluarkan UU No.29/1999 mengenai indepedensi
Bank Sentral. Peraturan tersebut memberikan keleluasaan bagi BI untuk
menetapkan target inflasi tanpa campur tangan pihak manapun. Pada tahun 2005,
terjadi amandemen UU tersebut dimana pemerintah yang akan menetapkan target
inflasi dengan pertimbangan dari BI dan diharapkan BI dapat mencapai target
tersebut.
Berbagai upaya Bank Sentral diatas dalam pengendalian inflasi tentunya
semakin mendapat tantangan yang berat sejak dimulainya era otonomi daerah.
Meskipun banyak khalayak yang menganggap otonomi daerah sebagai fenomena
politik, namun otonomi daerah juga membawa konsekuensi pada perekonomian
regional. Salah satu dampak otonomi daerah terhadap perekonomian regional
adalah terhadap inflasi regional. Mengingat salah satu pertimbangan pemerintah
dalam menyusun Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) adalah tingkat
inflasi domestik. Pada era otonomi daerah, wilayah-wilayah diberikan
kewenangan untuk mengelola perekonomian masing-masing, termasuk meminjam
dari luar negeri, disamping kewenangan untuk menentukan Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah (APBD) masing-masing wilayah. Kebijakan ini mengakibatkan
semakin meluasnya sumber-sumber inflasi yang akan membuat pengendalian
inflasi menjadi semakin sulit (Brodjonegoro et al, 2005).
Jika melihat lebih cermat, rumitnya proses pengendalian inflasi oleh Bank
Sentral disebabkan karena pada dasarnya pembentukan inflasi nasional merupkan
angka agregat dari inflasi regional. Sebagai bukti, inflasi nasional dihitung
berdasarkan rataan dari 66 kota yang disurvei oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Berdasarkan perhitungan tersebut, setiap wilayah masing-masing memiliki
perbedaan tingkat komoditi yang dikonsumsi. Perbedaan tersebut mencakup harga
serta kualitas komoditi tersebut, yang membedakan tiap wilayah. Hal ini dapat
terjadi akibat perbedaan struktur biaya pada masing-masing wilayah seperti biaya
hidup, biaya transportasi, pajak regional, tingkat upah, termasuk juga kondisi
infrastruktur dan sebagainya. Secara umum, kajian inflasi regional lebih
4
mempertimbangkan bahwa masing-masing wilayah memiliki karakteristik inflasi
yang berimplikasi kepada kebijakan pengendalian inflasi yang lebih spesifik.
Berdasarkan perhitungan rata-rata inflasi regional menurut bobotnya
(persentase) pada pembentukan inflasi nasional yang dilakukan oleh BPS
berdasarkan Survei Biaya Hidup (SBH) pada tahun 2007, ditemukan fakta bahwa
bobot Jakarta mencapai 22,49 persen atau yang tertinggi dalam pembentukan
inflasi nasional, disusul oleh Surabaya (6,47 persen), Bandung (5,38 persen),
Medan (4,67 persen), Semarang (3,48 persen), Palembang (2,96 persen), Makasar
(2,56 persen), Padang (1,69 persen), Denpasar (1,53 persen), Banjarmasin (1,54
persen), dan gabungan 56 kota lainnya dengan porsi 47,23 persen (Gambar 1.2).
Jakarta
Surabaya
Bandung
22,49
Medan
Semarang
47,23
6,47
5,38
Palembang
Makasar
Padang
4,67
1,53
1,54
2,96
3,48
Denpasar
Banjarmasin
2,56
1,69
Gabungan 56 Kota
Lainnya
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2012
Gambar 1.2. Bobot Inflasi Kota Menurut SBH 2007
Fakta selanjutnya adalah empat dari lima kota dengan bobot persentase
tertinggi dalam pembentukan inflasi nasional yaitu Jakarta, Surabaya, Bandung
dan Semarang merupakan ibukota provinsi yang berada pada regional yang sama
(Pulau Jawa). Fakta ini didukung oleh pernyataan BI yang menyatakan bahwa
pada tahun 2011 tiga provinsi di Pulau Jawa yaitu Daerah Khusus Ibukota (DKI)
5
Jakarta, Jawa Barat dan Banten memiliki bobot hampir 50 persen dalam
pembentukan inflasi nasional.
Disamping fakta-fakta diatas, Wimanda (2006) berargumen bahwa inflasi
di suatu region memiliki keterkaitan dengan region lainnya. Setelah mengetahui
keterkaitan antar inflasi wilayah tersebut, beliau kemudian mengklasifikasikan
inflasi di suatu wilayah apakah sebagai leader atau sebagai follower. Lebih lanjut,
penelitiannya mengkategorikan wilayah di Jawa, Kalimantan Barat dan
Kalimantan Tengah sebagai leader, sehingga Inflasi yang terjadi pada wilayah
tersebut cenderung memengaruhi inflasi di wilayah lain yang dikategorikan
sebagai follower. Penelitiannya juga berpendapat bahwa apabila pemerintah dan
Bank Sentral dapat mengendalikan inflasi pada wilayah yang dikategorikan
sebagai leader maka inflasi nasional akan lebih mudah untuk dikendalikan.
Beberapa uraian diatas menjelaskan betapa pentingnya peranan inflasi
regional dalam dinamika inflasi nasional di Indonesia. Oleh sebab itu, diperlukan
perhatian khusus dalam menangani inflasi yang terjadi pada tataran wilayah
khususnya Pulau Jawa. Mengingat masih relatif terbatasnya studi mengenai inflasi
regional dan cukup besarnya pengaruh yang diberikan regional khususnya Pulau
Jawa terhadap perekonomian Indonesia membuat studi mengenai faktor-faktor
yang memengaruhi inflasi di Pulau Jawa menjadi sangat penting dan menarik
untuk diteliti. Untuk itu, penelitian ini akan secara fokus menganalisis faktorfaktor yang berpengaruh dalam pembentukan inflasi di Pulau Jawa. Penelitian
mengenai faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di Pulau Jawa ini diharapkan
dapat memberikan informasi kepada pihak berwenang khususnya Bank Sentral,
sehingga dapat mengarahkan kebijakan moneternya untuk menjaga kestabilan
nilai rupiah.
1.2
Perumusan Masalah
Meskipun inflasi merupakan salah satu persoalan ekonomi yang cukup
rumit, bukan berarti inflasi tidak dapat dikendalikan. Untuk dapat mengendalikan
inflasi caranya adalah dengan terlebih dahulu mendiagnosis jenis inflasi dan
6
penyebabnya. Pada negara-negara berkembang khususnya Indonesia, inflasi
bukan semata-mata dipengaruhi oleh fenomena moneter saja, tetapi fenomena
struktural juga turut memberikan pengaruh. Hal ini lebih disebabkan oleh struktur
perekonomian Indonesia, terutama pada struktur perekonomian regionalnya yang
berbeda satu sama lain.
Bila diidentifikasi berdasarkan penyebabnya inflasi dibagi menjadi dua
kategori, pertama demand pull inflation atau inflasi yang disebabkan karena
permintaan masyrakat akan komoditi barang dan jasa meningkat. Kedua, cost
push inflation atau inflasi yang disebabkan karena kenaikan harga atas komoditi
yang dipicu oleh naiknya biaya produksi. Dari analisa tersebut, diharapkan
gambaran meneyluruh tentang perilaku inflasi di Pulau Jawa akan dapat terlihat
secara lebih jelas.
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah diatas, permasalahan
yang menjadi dasar penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.
Faktor-faktor apa sajakah yang memengaruhi inflasi di Pulau Jawa?
2.
Bagaimana implikasi kebijakan yang dilakukan dalam mengendalikan inflasi
di Pulau Jawa?
1.3
Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1.
Menganalisis faktor-faktor apa sajakah yang memengaruhi inflasi di Pulau
Jawa.
2.
1.4
Merumuskan implikasi kebijakan pengendalian inflasi di Pulau Jawa.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat
bagi pihak-pihak berkepentingan, antara lain:
7
1.
Bagi pemerintah atau instansi terkait, penelitian ini bermanfaat untuk melihat
faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di Pulau Jawa sehingga dapat diambil
kebijakan yang tepat untuk pengendalian inflasi.
2.
Bagi akademisi, diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan
pengetahuan pada penelitian lainnya yang ingin menganalisis tentang inflasi.
3.
Bagi penulis, diharapkan penelitian ini memberikan wawasan baru mengenai
inflasi.
1.5
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dalam penelitian ini meliputi. Pertama, memberikan
gambaran umum mengenai dinamika inflasi di Pulau Jawa melalui analisis
deskriptif. Kedua, menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di Pulau
Jawa. Ketiga, memberikan saran implikasi kebijakan yang dapat ditempuh oleh
pemerintah terkait dengan hasil penelitian.
Dalam penelitian ini cakupan sampel yang dianalisis adalah enam provinsi
di pulau Jawa yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY), Jawa Timur dan Banten. Penelitian ini terbatas pada Provinsi
Banten yang baru terbentuk pada tahun 2000 sehingga periode analisis dalam
penelitian ini terbatas pada tahun 2001-2010.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi Inflasi
Dalam ilmu ekonomi, inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga-
harga secara umum dan terus menerus (kontinu). Mankiw (2007) menyebutkan
bahwa inflasi adalah seluruh kenaikan harga output dalam perekonomian. BPS
(2008) mendefinisikan inflasi sebagai angka gabungan dari perubahan harga
sekelompok komoditi barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat dan dianggap
mewakili seluruh komoditi barang dan jasa yang dijual di pasar.
Dalam arti relatif, inflasi dapat didefinisikan sebagai suatu periode dimana
kekuatan membeli dalam kesatuan moneter menurun atau terjadi kenaikan harga
dari sebagian besar komoditi barang dan jasa secara terus menerus. Jika kenaikan
komoditi hanya satu atau beberapa macam tidak dapat dikatakan telah terjadi
inflasi, begitu juga kenaikan harga yang bersifat musiman seperti pada hari raya
keagamaan dan hari libur. Sementara itu dalam arti luas, inflasi dapat
didefinisikan sebagai suatu kenaikan relatif dan memiliki porsi yang besar dalam
tingkat harga umum.
Inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara kontinu.
Dengan kata lain, harga yang dianggap tinggi belum tentu menunjukkan inflasi.
inflasi dapat dikatakan terjadi apabila tingkat harga yang tinggi tersebut tidak
dibarengi dengan peningkatan pendapatan secara riil maka sudah dipastikan
bahwa daya beli masyarakat semakin melemah dan akan mengakibatkan tingkat
kesejahteraan akan semakin berkurang.
2.2
Inflasi Regional
Teori lokasi (location theory) menyatakan bahwa pemilihan lokasi
perusahaan ditentukan oleh permasalahan minimisasi biaya pengangkutan output
atas beberapa lokasi alternatif dan dipengaruhi oleh aglomerasi ekonomi.
Aglomerasi ekonomi sendiri mendorong perusahaan-perusahaan sejenis untuk
9
terintegrasi dalam suatu lokasi sebagai akibat penurunan biaya transaksi
perusahaan baik karena economies of scale, localization economies atau
urbanization economies (Hoover dan Giarratani, 1989).
Teori lokasi juga menjelaskan bagaimana biaya transportasi yang terkait
erat dengan masalah infrastruktur, aglomerasi yang kemudian akan memicu
terjadinya kompetisi antar perusahaan dan melakukan pembagian pasar sehingga
dapat menjangkau dan memperoleh pasar yang lebih luas demi mendapatkan
keuntungan
maksimum.
Meskipun
tidak
secara
langsung,
teori
lokasi
sesungguhnya secara implisit menjelaskan mengenai permasalahan mekanisme
perbedaan tingkat pembentukan harga antara suatu wilayah dengan wilayah
lainnya yang bisa bervariasi tergantung dari karakteristik dan struktur
perekonomian di masing-masing wilayah. Akibat perbedaan tersebut, sangat
dimungkinkan terjadinya divergensi inflasi antar wilayah.
2.3
Teori Inflasi
Atmadja (1999) menjelaskan, terdapat berbagai macam teori yang
berusaha untuk menjelaskan inflasi dari berbagai sudut pandang. Teori tersebut,
antara lain Teori Kuantitas Uang, Keynesian Model, Mark-up Model dan
Teori Struktural.
Teori Kuantitas Uang adalah teori yang menekankan pada peranan
jumlah uang beredar dan ekspektasi masyarakat mengenai kenaikan harga
terhadap timbulnya inflasi. Teori ini juga dikenal sebagai teori kaum monetaris
(monetarist theory). Inti dari teori ini adalah sebagai berkut:
1. Inflasi hanya dapat terjadi apabila terjadi penambahan volume pada
jumlah uang yang beredar dalam perekonomian.
2. Laju inflasi juga dipengaruhi oleh ekspektasi masyarakat mengenai
kenaikan harga pada masa yang akan datang.
Teori Keynesian Model, dasar dari terciptanya model inflasi Keynes ini
adalah bahwa inflasi terjadi karena masyarakat menginginkan kehidupan diluar
10
batas kemampuan ekonomisnya, sehingga menyebabkan permintaan masyarakat
terhadap barang dan jasa efektif (permintaan agregat) mengalami peningkatan
melebihi jumlah komoditi yang tersedia (penawaran agregat) di pasar, akibatnya
terjadi inflationary gap pada perekonomian tersebut. Ketidakmampuan pasar
dalam mencukupi permintaan barang dan jasa oleh masyarakat terjadi karena
dalam jangka pendek sangat sulit untuk memenuhi kenaikan permintaan agregat
tersebut.
Mark-up Model, teori ini mendasarkan pemikiran bahwa inflasi
ditentukan oleh dua komponen, yaitu cost of production dan profit margin.
Dengan demikian, ketika terjadi kenaikan biaya produksi akan menyebabkan
turunnya keuntungan yang didapat oleh perusahaan, yang berdampak kepada
kenaikan harga jual komoditi di pasar.
Teori Struktural, teori ini merupakan cerminan teori inflasi yang terjadi
pada negara-negara berkembang. Teori struktural menganggap inflasi bukan
semata-mata fenomena moneter saja, melainkan juga merupakan fenomena
struktural. Teori ini menekankan pada kekakuan harga dan struktur perekonomian
negara berkembang. Terkait dengan perekonomian regional hal ini murni
disebabkan oleh struktur perekonomian dan kekakuan harga pada masing-masing
wilayah. Oleh karenanya fenomena inflasi yang muncul akibat perbedaan struktur
perekonomian wilayah sering menjadi suatu permasalahan jangka panjang yang
tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang pendek. Menurut teori ini
penyebab terjadi kekauan dan kesenjangan struktural pada perekonomian negara
berkembang adalah sebagai berikut:
1. Supply dari sektor pertanian tidak elsatis. Hal ini dikarenakan pengelolaan
dan pengejaran sektor pertanian yang masih menggunakan metode dan
teknologi yang sederhana, sehingga seringkali terjadi supply dari sektor
pertanian tidak mampu mengimbangi pertumbuhan permintaannya.
2. Cadangan valuta saing yang terbatas (kecil) akibat dari pendapatan ekspor
yang lebih kecil daripada pembiayaan impor. Keterbatsan cadangan valuta
asing ini menyebabkan kemampuan untuk mengimpor barang-barang baik
bahan baku; input antara; maupun barang modal sangat dibutuhkan untuk
11
pembangunan menjadi terbatas pula. Akibat dari lambatnya pembangunan
sektor industri, seringkali menyebabkan laju pertumbuhan supply barang
tidak mampu mengimbangi laju pertumbuhan permintaan.
3. Pengeluaran pemerintah terbatas. Hal ini disebabkan oleh sektor
penerimaan rutin yang terbatas, yang tidak cukup untuk membiayai
pembangunan, akibat timbulnya defisit anggaran belanja, sehingga
seringkali menyebabkan dibutuhkannya pinjaman luar negeri. Apabila
pinjaman luar negeri sulit untuk didapat, maka pada umumnya defisit
anggaran dibiayai melalui percetakan uang (printing of money).
2.4
Jenis-Jenis Inflasi
Boediono (1994) mengemukakan bahwa inflasi dapat dibedakan menjadi
tiga jenis berdasarkan pada:
1.
Asal usulnya
a. Inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation).
b. Inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation).
2.
Tingkat keparahannya
a. Inflasi ringan (creeping inflation), jika inflasi yang terjadi berada pada
level dibawah 10 persen per tahun.
b. Inflasi sedang (moderate inflation), jika inflasi yang terjadi berada pada
level antara 10 sampai dengan 30 persen per tahun.
c. Inflasi berat, jika inflasi yang terjadi berada pada level antara 30 sampai
dengan 100 persen per tahun.
d. Inflasi sangat berat (hyperinflation), jika inflasi yang terjadi berada pada
level diatas 100 persen per tahun.
3.
Sebab awalnya
Berdasarkan teori kuantitas, dijelaskan bahwa sumber utama terjadinya
inflasi adalah karena adanya kelebihan permintaan (demand) sehingga uang yang
beredar di masyarakat bertambah banyak. Dalam teori ini sumber inflasi
dibedakan menjadi dua yaitu demand pull inflation dan cost push inflation.
12
a. Demand Pull Inflation
Inflasi jenis ini bermula dari adanya kenaikan permintaan total (aggregate
demand), sedangkan produksi berada pada keadaan yang hampir mendekati atau
pada kondisi full employment. Dalam keadaan mendekati full employment,
kenaikan permintaan total disamping menaikkan harga dapat juga menaikkan
output. Dalam keadaan full employment, kenaikan permintaan selanjutnya
hanyalah akan menaikkan harga saja. Apabila kenaikan permintaan ini
menyebabkan kondisi keseimbangan output berada di atas atau melebihi output
full employment maka akan menimbulkan inflationary gap. Inflationary gap inilah
yang menyebabkan munculnya inflasi (Nophirin, 2009). Inflasi yang disebabkan
oleh demand pull inflation dapat ditunjukkan dengan Gambar 2.1 dibawah ini:
P
Inflationary
Gap
AS
P4
P3
AD4
AD3
P2
P1
AD2
AD1
Q1
QFE
Sumber : Nophirin, 2009
Gambar 2.1 Demand Pull Inflation
b. Cost Push Inflation
Berbeda dengan demand pull inflation, cost push inflation biasanya
ditandai dengan kenaikan harga serta turunnya produksi. Keadaan ini timbul
akibat adanya penurunan dalam penawaran total (aggregate supply) sebagai
konsekuensi kenaikan biaya produksi. Apabila keadaan tersebut berlangsung
cukup lama, maka akan terjadi inflasi yang disertai dengan resesi ekonomi.
Kenaikan biaya produksi ini dapat timbul karena beberapa faktor diantaranya:
13
1. Perjuangan serikat buruh yang berhasil untuk menuntut kenaikan upah.
2. Suatu industri yang bersifat monopolistis, memberikan kekuatan kepada
produsen untuk menguasai pasar dan selanjutnya menaikkan harga lebih
tinggi.
3. Kenaikan bahan baku industri.
4. Pemerintah yang terlalu berambisi untuk menguasai sumber-sumber
ekonomi dalam jumlah yang besar yang seharusnya dapat diserahkan
kepada pihak swasta.
5. Adanya kebijakan pemerintah, baik bersifat ekonomi maupun non
ekonomi yang dapat memicu kenaikan harga-harga (administred prices).
6. Pengaruh alam yang dapat menurunkan produksi dan menaikkan harga
seperti musim kemarau panjang yang berakibat pada gagal panen.
7. Pengaruh inflasi dari luar negeri, terutama bagi negara-negara yang
menganut sistem perekonomian terbuka seperti Indonesia.
Sedangkan menurut Lipsey (1995) menyatakan bahwa cost push inflation
dapat disebabkan oleh:
1. Wage cost push inflation
Wage cost push inflation menyatakan bahwa kenaikan yang terjadi pada
biaya upah, yang sesungguhnya tidak ada kaitannya dengan permintaan
merupakan penyebab awal terjadinya inflasi.
2. Price push inflation
Price push inflation atau juga dikenal dengan istilah administred price
inflation menyatakan bahwa para produsen mempunyai kekuatan
monopoli, dan mereka ingin sekali menaikkan harga, tetapi karena mereka
mengkhawatirkan terjadinya ketidakpercayaan dari pihak pemerintah maka
mereka menggunakan kenaikan dalam biaya produksi yang dapat dijadikan
alasan untuk membenarkan terjadinya kenaikan harga.
3. Import cost push inflation
Import cosh push inflation terjadi karena dorongan biaya impor yang
merupakan barang yang penting, umumnya bahan baku untuk produksi.
14
4. Structural rigidity inflation
Menekankan kekauan struktural, mengasumsikan bahwa sumber-sumber
daya tidak dengan cepat beralih dari penggunaan yang satu ke penggunaan
yang lain dan adalah mudah untuk menaikkan upah dan harga barang
daripada menurunkannya. Mengingat bahwa upah dan harga adalah kaku,
maka tidak akan terlihat adanya penurunan upah dan harga pada sektorsektor yang potensial. Sehingga proses penyesuaian upah dan harga di
dalam sebuah perekonomain dengan adanya kekakuan struktural
menyebabkan munculnya inflasi.
Nophirin (2009) menyatakan inflasi yang disebabkan oleh cost push
inflation dapat ditunjukkan dengan Gambar 2.2 dibawah ini:
AS3 AS2 AS1
P
P4
P3
P2
P1
AD
Q2 Q1 QFE
Q
Sumber : Nophirin, 2009
Gambar 2.2 Cost Push Inflation
2.5
Perhitungan Inflasi
Menurut Mankiw (2007) Consumer Price Index (CPI) merupakan
indikator yang umum digunakan untuk menggambarkan pergerakan harga. CPI
berupa data yang mengukur rata-rata perubahan harga yang dibayarkan oleh
15
konsumen (dalam rata-rata) untuk sekelompok barang dan jasa tertentu. CPI
disebut juga Indeks Harga Konsumen (IHK), yang mengukur harga rata-rata
barang dan jasa yang dibeli oleh rata-rata konsumen disuatu negara, termasuk
Indonesia. Perhitungan IHK dapat dirumuskan sebagai berikut:
……………………………………………………………(2.1)
dimana:
= Indeks Harga Konsumen pada tahun ke-t
= Harga pada tahun ke-t
= Harga pada tahun sebelumnya
= Nilai konsumsi pada tahun sebelumnya
= Nilai konsumsi pada tahun dasar
Setelah diperoleh IHK, maka inflasi dapat diketahui, perhitungan inflasi
dengan laju inflasi dapat dirumuskan sebagai berikut:
……………………………………………………(2.2)
dimana:
= Inflasi pada tahun ke-t
= Indeks harga konsumen pada tahun ke-t
= Indeks harga konsumen pada tahun sebelumnya
2.6
Sumber-Sumber Inflasi
2.6.1
Jumlah Uang Beredar
Fisher (1930) dalam teorinya mengenai kuantitas uang menyatakan bahwa
jumlah uang yang beredar dalam perekonomian adalah faktor yang mempunyai
peranan penting dalam proses terjadinya inflasi. Menurut teori tersebut dalam
setiap transaksi selalu ada pembeli dan penjual. Jumlah uang yang dibayarkan
oleh pembeli harus sama dengan jumlah uang yang diterima penjual. Hal tersebut
berlaku pula untuk seluruh perekonomian dalam suatu periode tertentu. Apabila
terjadi kelebihan jumlah uang yang ditawarkan oleh bank sentral maka akan
16
berakibat kepada peningkatan uang yang dipegang oleh masyarakat sehingga
memacu hasrat masyarakat untuk meningkatkan konsumsi. Jika peningkatan
dalam keinginan untuk mengonsumsi barang tersebut tidak diimbangi dengan
supply barang pada pasar, maka hal tersebut akan menimbulkan excess demand
sehingga menyebabkan tingkat harga menjadi naik.
Mekanisme transimisi dampak jumlah uang beredar terhadap inflasi
dijelaskan oleh Keynes dalam Boediono (1994) oleh teori inflasi permintaan
agregat (demand pull inflation).
2.6.2
Pengeluaran Pemerintah
Keynes dalam Boediono (1994) menyatakan bahwa inflasi bukan hanya
disebabkan oleh ekspansi moneter Bank Sentral saja melainkan juga melalui
pengeluaran pemerintah. Menurut Keynes, apabila pemerintah melakukan
kebijakan fiskal yang ekspansif, yaitu dengan meningkatkan pengeluaran
pemerintah, maka hal tersebut akan mendorong peningkatan harga atau akan
memicu terjadi inflasi. Dengan kata lain, peningkatan pengeluaran pemerintah
melalui kebijakan fiskal ekspansif akan mendorong perekonomian sektor riil
untuk tumbuh. Produktivitas perekonomian tersebut kemudian akan berdampak
baik pada peningktan permintaan akan barang input produksi maupun barang
konsumsi sehingga menaikkan tingkat harga.
Mekanisme transimisi dampak jumlah uang beredar terhadap inflasi
dijelaskan oleh Keynes dalam Boediono (1994) oleh teori inflasi permintaan
agregat (demand pull inflation).
2.6.3
Pertumbuhan Ekonomi
Mekanisme transmisi pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap inflasi
dijelaskan oleh Mishkin (2001). Pertumbuhan ekonomi mencerminkan tingkat
produktivitas masyarakat di negara tersebut. Semakin tinggi produktivitas
menandakan semakin meningkatnya tingkat konsumsi masyarakat. Pertumbuhan
17
ekonomi juga akan menyebabkan semakin meningkatnya konsumsi pemerintah
sehingga hal tersebut akan meningkatkan permintaan atas barang dan jasa
konsumsi kedua pelaku perekonomian tersebut. Apabila peningkatan dalam
keinginan untuk mengonsumsi barang tersebut tidak diimbangi dengan supply
barang pada pasar, maka hal tersebut akan menimbulkan excess demand sehingga
menyebabkan tingkat harga menjadi naik.
2.6.4
Harga Minyak Dunia
Mekanisme transmisi dampak oil price shock terhadap harga dan inflasi
dijelaskan oleh Blanchard (2004). Ketika terjadi kenaikan harga minyak dunia
maka perusahaan akan merespon dengan menaikkan markup sehingga harga akan
naik, karena hubungan keduanya berbanding lurus. Dengan asumsi upah tetap,
peningkatan harga minyak menyebabkan peningkatan biaya produksi dan
mendorong perusahaan untuk meningkatkan harga.
2.6.5
Harga Pangan Dunia
Kenaikan harga pangan di belahan dunia merupakan fenomena unik bagi
sebagian orang yang melihat kaitannya dengan perkembangan makroekonomi dan
hubungannya dengan inflasi. Disadari atau tidak, peningkatan harga pangan secara
logika dasar makroekonomi dapat menyebabkan peningkatan inflasi. Dalam
kaitannya dengan negara berkembang, hal tersebut terjadi karena rata-rata
konsumsi pangan menempati porsi terbesar dari dari tingkat konsumsi
masyarakat.
Rahardja dalam Wahyuni (2011) menyatakan bahwa harga komoditas di
Indonesia seperti gula, minyak goreng, kedelai dan jagung berhubungan dengan
harga pangan dunia. Dalam periode sekitar satu tahun, satu persen kenaikkan ratarata harga komoditas pangan dunia akan menyebabkan kenaikan sebesar satu
persen harga pangan domestik di Indonesia. Komoditas yang lain akan merespon
hal yang sama dengan waktu respon yang bervariasi. Kecepatan transmisi
18
terhadap guncangan harga pangan internasional juga berbeda-beda diantara
provinsi di Indonesia.
2.6.6
Upah
Hubungan antara upah dan inflasi ditunjukkan oleh konsep cost push
inflation. Konsep tersebut menyatakan bahwa kenaikan-kenaikan yang terjadi
pada biaya upah, yang sesungguhnya tidak ada kaitannya dengan permintaan
merupakan penyebab awal terjadinya inflasi. Disamping itu kekakuan struktural
menyebabkan harga-harga dan upah menjadi lebih mudah untuk naik daripada
turun. Dengan menganggap bahwa upah dan harga-harga adalah kaku, maka tidak
akan terlihat adanya penurunan upah dan harga pada sektor-sektor yang
berkontraksi potensial. Mengingat buruh merupakan salah satu komponen penting
produksi, maka suatu perusahaan akan bertindak rasional dengan menaikkan
markup sehingga menyebabkan munculnya inflasi.
2.6.7
Kondisi Infrastruktur
Menurut teori pertumbuhan export base dan growth poles; kapasitas
ekspor, sistem produksi yang kompetitif dan kemampuan wilayah dalam menarik
suatu kegiatan ekonomi baru merupakan hasil endowment dari infrastruktur yang
sudah terbangun. Infrastruktur yang dimaksud adalah infrastruktur ekonomi
seperti fasilitas transportasi, jalan raya, pelabuhan laut dan udara, rel kereta api
dan pembangkit tenaga listrik, karena berhubungan secara langsung terhadap
produktivitas suatu perusahaan (Cappelo dalam Subekti, 2011).
Mengacu pada teori pertumbuhan ekonomi regional tersebut, maka
diprediksikan bahwa peningkatan dalam kualitas infrastruktur dalam distribusi
produk akan menyebabkan penurunan biaya transport dan penghematan waktu
dalam perjalanan. Penghematan tersebut secara langsung akan mempengaruhi
permintaan terhadap produk berupa input antara serta tingkat konsumsi. Secara
agregat, dampak dari peningkatan kualitas infrastruktur bisa menyebabkan
kenaikan tingkat harga atau sebaliknya tergantung dari struktur perekonomian
19
suatu negara atau wilayah. Peningkatan kualitas infrastruktur transportasi dapat
menyebabkan dua kondisi yang berbeda, yaitu akan mendorong peningkatan
ekspor atau sebaliknya akan meningkatkan permintaan atas produk impor. Bila
kemudian yang terjadi adalah peningkatan ekspor maka pengaruhnya terhadap
harga cenderung menjadi negatif, namun jika yang terjadi sebaliknya dampaknya
terhadap inflasi menjadi positif (Oosterhaven dan Elhorst, 2003).
2.7
Penelitian Terdahulu
Novi Lestari (2003) dalam Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Inflasi Pada Perekonomian Regional Indonesia menganalisis faktor-faktor apa
saja yang memengaruhi inflasi dan menyebabkan perubahan tingkat harga umum
di dua puluh enam provinsi di Indonesia. Penelitian ini diestimasi menggunakan
metode regresi data panel dengan pendekatan Fixed Effect Model (FEM). Hasil
regresi menunjukkan bahwa dari sisi permintaan agregat inflasi dipengaruhi oleh
jumlah uang beredar (berpengaruh negatif), pendapatan perkapita (berpengaruh
positif), sedangkan investasi tidak berpengaruh signifikan terhadap inflasi. Dari
sisi penawaran agregat inflasi dipengaruhi oleh upah (berpengaruh negatif), impor
(berpengaruh positif), sedangkan investasi tahun lalu tidak berpengaruh signifikan
terhadap inflasi. Penelitian ini menemukan bahwa inflasi regional juga dipicu oleh
sisi penawaran agregat. Hal tersebut sesuai dengan teori strukturalis yang
menyatakan bahwa inflasi pada negara berkembang juga disebabkan oleh naiknya
biaya-biaya produksi.
Bambang P.S Brodjonegoro, Telissa Falianty dan Beta Y Gitaharie (2005)
dalam Determinant Factors of Regional Inflation in Decentralized Indonesia
meneliti faktor-faktor yang memengaruhi inflasi pada perekonomian regional
pada perekonomian yang ter-desentralisasi. Penelitian ini menggunakan metode
Ordinary Least Square (OLS) dan Vector Auto Regression (VAR) dalam
menentukan determinan (moneter atau non-moneter) yang memiliki kontribusi
terbesar terhadap inflasi pada perekonomian regional. Kemudian dilakukan
estimasi dengan menggunakan metode regresi data panel dengan pendekatan FEM
terhadap
determinan
yang
paling
dominan
memengaruhi
inflasi
pada
20
perekonomian regional. Hasil yang didapat ternyata inflasi lebih dipengaruhi
determinan non-moneter dengan faktor-faktor yang memengaruhi antara lain,
Pendapatan Asli Daerah (PAD), pengeluaran rutin pemerintah daerah dan biaya
transportasi yang semuanya berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi
regional.
Rizki E Wimanda (2006) dalam Regional Inflation in Indonesia:
Characteristic, Convergence, and Determinants melakukan penelitian mengenai
karakteristik, konvergensi dan determinan inflasi regional di Indonesia. Penelitian
ini menggunakan metode Granger Causality dan koefisien korelasi untuk
menganalisis karakteristik inflasi, metode koefisien konvergensi β untuk
menganalisis konvergensi tingkat harga dan metode OLS untuk menganalisis
faktor-faktor yang memengaruhi inflasi pada perekonomian regional. Hasilnya
adalah banyak wilayah di Indonesia yang memiliki keterkaitan inflasi yang tinggi
terutama regional pulau Jawa terhadap wilayah lainnya, inflasi regional di
Indonesia cenderung divergen dan determinan yang paling memengaruhi inflasi
pada perekonomian regional adalah ekspektasi inflasi dan perubahan nilai tukar.
Muhammad Z Hamzah dan Eleonora Solfida (2006) dalam Pengaruh
Jumlah Uang Beredar, Pengeluaran Pemerintah dan Nilai Tukar terhadap Inflasi
di Indonesia: Pendekatan Error Correction Model (ECM) meneliti tentang
seberapa besar pengaruh yang diberikan jumlah uang beredar, pengeluaran
pemerintah dan nilai tukar terhadap inflasi di Indonesia pada jangka pendek dan
jangka panjang. Penelitian ini diestimasi dengan metode Error Correction Model
(ECM). Hasil estimasi model dalam jangka pendek menyimpulkan bahwa jumlah
uang beredar, pengeluaran pemerintah dan nilai tukar memiliki hubungan yang
positif dan tidak signifikan terhadap laju inflasi. Sedangkan dalam jangka
panjang, hasil estimasi menyimpulkan bahwa jumlah uang beredar, pengeluaran
pemerintah dan nilai tukar memiliki hubungan yang positif dan signifikan
terhadap laju inflasi.
Reza Satrya Arjakusuma (2009) dalam Analisis Inflasi Regional di
Indonesia melakukan penelitian untuk mengidentifikasi penyebab terjadinya
inflasi regional di Indonesia, terutama terkait apakah berasal dari demand-pull
21
inflation ataukah cost-push inflation. Penelitian ini diestimasi dengan metode
VAR dan Vector Error Correction Model (VECM). Hasil estimasi menyimpulkan
bahwa varaibel harga beras dunia paling mempengaruhi tingkat inflasi regional di
Indonesia disusul dengan harga minyak dunia akibatnya hampir seluruh regional
di Indonesia mengalami incomplete passthrough akibat guncangan harga beras
dan minyak dunia.
John Beirne (2009) dalam Vulnerability of Inflation in The New EU
Member States to Country-Specific and Global Factors melakukan penelitian
untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan atau memicu terjadinya inflasi
secara komprehensif pada sepuluh negara anggota baru dari Uni Eropa. Penelitian
ini diestimasi dengan dengan metode regresi data panel dinamis SystemGeneralized Method of Moment (SYS-GMM). Hasil regresi menyimpulkan bahwa
inflasi inersia, nilai tukar nominal efektif (NEER), defist fiskal, belanja
pemerintah, investasi (PMTB), kondisi infrastruktur dan variabel-variabel yang
menggambarkan tekanan inflasi yang berasal dari faktor global (harga minyak,
harga pangan, shock nilai tukar dan aksesi uni eropa) berpengaruh positif dan
signifikan terhadap inflasi di negara-negara yang diteliti.
Jun Nagayasu (2009) dalam Regional Inflation in China melakukan
penelitian mengenai perkembangan dalam tingkat harga dan inflasi di dua puluh
tujuh region di China. Penelitian ini diestimasi dengan menggunakan metode
regresi data panel dengan pendekatan Random Effect Model (REM). Hasil
estimasi menunjukkan bahwa inflasi secara signifikan dipengaruhi oleh jumlah
uang beredar M1&M2 (berpengaruh positif), kredit (berpengaruh positif),
produktivitas (berpengaruh negatif) dan nilai tukar (berpengaruh positif). Secara
keseluruhan disimpulkan bahwa semua parameter pada penelitian ini bersesuaian
dengan teori ekonomi.
Dwi Wahyuni (2011) dalam Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Inflasi dari Sisi Penawaran meneliti faktor-faktor yang memengaruhi inflasi dan
menyebabkan perubahan tingkat harga umum di Indonesia bila dilihat dari
gangguan sisi penawaran. Penelitian ini diestimasi dengan menggunakan metode
VAR dan VECM. Hasilnya adalah dalam jangka pendek variabel yang
22
berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi adalah nilai tukar rupiah,
sedangkan dalam jangka panjang inflasi dipengaruhi oleh expected inflation, nilai
tukar rupiah, harga minyak dunia, harga pangan dunia dan upah buruh riil.
Adji Subekti (2011) dalam Dinamika Inflasi Indonesia Pada Tataran
Provinsi melakukan penelitian mengenai pengaruh variabel kebijakan dan nonkebijakan terhadap inflasi di Indonesia. Penelitian ini diestimasi dengan dengan
metode regresi data panel dinamis First Difference-Generalized Method of
Moment (FD-GMM) dan Spatially Corrected Arellano-Bond (SCAB). Hasil yang
didapat adalah dinamika inflasi Indonesia di pengaruhi oleh variabel kebijakan:
inersia inflasi, fluktuasi nilai tukar, perubahan kondisi infrastruktur dan derajat
keterbukaan perdagangan. Dinamika inflasi Indonesia juga dipengaruhi oleh
variabel non kebijakan antara lain: penyesuaian upah, harga Bahan Bakar Minyak
(BBM) dalam negeri dan BI rate.
Tabel 2.1 Ringkasan Hasil Penelitian Terdahulu
Penulis
Judul
Lestari (2003)
Analisis FaktorFaktor yang
Mempengaruhi
Inflasi Pada
Perekonomian
Regional
Indonesia
Determinant
Factors of
Regional Inflation
in Decentralized
Indonesia
Regional Inflation
in Indonesia:
Characteristic,
Convergence and
Determinants
Brodjonegoro
et al (2005)
Wimanda
(2006)
Variabel Ekonomi
Observasi
IHK, Pendapatan
Perkapita, Jumlah
Uang Beredar,
Investasi, Investasi
Tahun Lalu, Impor
dan Upah
26 Provinsi
di Indonesia
Rentang
Waktu
19912001
IHK, PAD,
Pengeluaran Rutin
Pemerintah dan Biaya
Transportasi
43 Kota di
Indonesia
19902002
CPI, Nilai Tukar,
Pendapatan Asli
Daerah (PAD), Dana
Perimbangan,
Pengeluaran Rutin
Pemerintah dan
Pengeluaran
Pembangunan
26 Provinsi
di Indonesia
1991M92004M12
23
Hamzah dan
Solfida (2006)
Arjakusuma
(2009)
Pengaruh Jumlah
Uang Beredar,
Pengeluaran
Pemerintah dan
Nilai Tukar
terhadap Inflasi di
Indonesia:
Pendekatan Error
Correction Model
(ECM)
Analisis Inflasi
Regional di
Indonesia
Beirne (2009)
Vulnerability of
Inflation in The
New EU Member
States to CountrySpecific and
Global Factors
Nagasayu
(2009)
Regional Inflation
in China
Wahyuni
(2011)
Analisis FaktorFaktor yang
Mempengaruhi
Inflasi dari Sisi
Penawaran
IHK, Jumlah Uang
Beredar, Pengeluaran
Pemerintah dan Nilai
Tukar
Indonesia
19902005
Harga Minyak Dunia,
Harga Beras Dunia,
Output Gap, CPI dan
Wholesale Price
Inflation
HICP, NEER,
Current Account
Deficit, GDP Riil
Perkapita,
Pengeluaran
Pemerintah, Harga
Relatif, Tingkat
Penganguran,
Kapitalisasi Pasar
Modal, Kredit Swasta
Domestik, Rezim
Nilai Tukar, Indeks
Kebebasan Ekonomi,
Indeks Reformasi
Infrastruktur dan
Derajat Keterbukaan
Perdagangan
Retail Price Index
(RPI), jumlah uang
beredar (M1&M2),
Kredit perbankan,
produktivitas,
pertumbuhan populasi
dan Renminbi (RMB)
exchange rate
IHK, Harga Minyak
Dunia, Harga Pangan
Dunia, Nilai Tukar
dan Upah
48 Kota di
Indonesia
2005M12008M12
Bulgaria,
Rep.Ceko,
Estonia,
Hungaria,
Latvia,
Lithuania,
Polandia,
Slovakia,
Slovenia dan
Rumania
1998Q12007Q4
26 Provinsi
di China
19912005
Indonesia
1998M12010M12
24
Subekti
(2011)
Dinamika Inflasi
Indonesia Pada
Tataran Provinsi
IHK, Output Gap,
26 Provinsi
Nilai Tukar, Suku
di Indonesia
Bunga Nominal,
Jumlah Uang Beredar,
Pengeluaran
Pemerintah, Indeks
Harga BBM, Upah
Minimum Nominal,
Kondisi Infrastruktur
dan Derajat
Keterbukaan
Perdagangan
19992009
25
2.8
Kerangka Pemikiran
Sebagai konsekuensi dari era otonomi daerah pada tahun 2001
menyebabkan semakin meluasnya faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di
Indonesia. Dalam hal ini akan membuat proses pengendalian inflasi akan menjadi
semakin rumit karena inflasi nasional pada dasarnya merupakan angka agregasi
dari inflasi di masing-masing wilayah di Indonesia. Oleh karena itu,
pengidentifikasian faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di Pulau Jawa penting
untuk dipahami untuk merumuskan kebijakan pengendalian inflasi yang tepat.
Berikut ini adalah gambaran dari kerangka pemikiran penelitian ini:
Indonesia
Otonomi Daerah
Inflasi Regional
Demand Pull Inflation
Pulau Jawa
Cost Push Inflation
Implikasi Kebijakan
Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran
Penelitian ini akan menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di
Pulau Jawa. Variabel-variabel yang akan dianalisis dalam penelitian ini seperti
jumlah uang beredar, pengeluaran pemerintah, pertumbuhan ekonomi, upah
minimum, kondisi infrastruktur, harga minyak dunia dan harga pangan dunia.
Selanjutnya variabel-variabel tersebut akan dianalisis dengan menggunakan
metode regresi data panel.
26
2.9
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan tinjauan pustaka dan beberapa penelitian terdahulu maka
disusunlah beberapa hipotesis sementara, yaitu:
1. Jumlah uang beredar memiliki hubungan yang positif terhadap inflasi di
Pulau Jawa.
2. Pengeluaran pemerintah memiliki hubungan yang positif terhadap inflasi
di Pulau Jawa.
3. Pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang positif terhadap inflasi di
Pulau Jawa.
4. Upah minimum memiliki hubungan yang positif terhadap inflasi di Pulau
Jawa.
5. Kondisi infrastruktur memiliki hubungan yang negatif terhadap inflasi di
Pulau Jawa.
6. Harga minyak dunia memiliki hubungan yang positif terhadap inflasi di
Pulau Jawa.
7. Harga pangan dunia memiliki hubungan yang positif terhadap inflasi di
Pulau Jawa.
III. METODE PENELITIAN
3.1
Jenis dan Sumber Data
Pada penelitian ini terdapat dua variabel yang merupakan data dunia dan
satu variabel yang merupakan data nasional. Variabel yang merupakan data dunia
yaitu harga minyak dunia dan harga pangan dunia, sedangkan variabel yang
merupakan data nasional yaitu jumlah uang beredar. Penggunaan data harga
minyak dunia dan harga pangan dunia mengacu pada penelitian-penelitian
terdahulu dan dimaksudkan untuk melihat dampak fenomena guncangan luar
negeri terhadap perekonomian regional. Penggunaan data jumlah uang beredar
pada level nasional, disebabkan tidak tersedianya data jumlah uang beredar pada
level provinsi. Selebihnya penggunaan variabel lainnya merupakan data pada
level provinsi.
Pengguanaan data IHK hanya pada lingkup ibu kota provinsi sebagai
proksi dari inflasi mengacu pada penelitian Subekti (2011), yang menganggap
bahwa ibukota provinsi sebagai pusat pertumbuhan yang akan mempengaruhi
daerah lainnya yang berada pada provinsi yang sama cukup merepresentasikan
tingkat harga pada level provinsi.
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder
berupa data tahunan periode 2001-2010 yang diambil dari publikasi resmi
pemerintah. Variabel, data, satuan dan sumber data yang digunakan dalam
penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.1. Proses pengolahan data pada penelitian
ini dilakukan dengan menggunakan bantuan paket program software Microsoft
Office Excel 2007 dan Eviews 6.
28
Tabel 3.1 Variabel, Data yang Digunakan dan Sumbernya
Data (Variabel)
Inflasi (P)
Data yang digunakan
Indeks Harga Konsumen
(IHK) Masing-Masing Ibu
Kota Provinsi rebasing :
tahun dasar 2002
Jumlah Uang Beredar dalam
Arti Sempit (M1)
Pengeluaran Pemerintah
Daerah
Satuan
Indeks
Sumber Data
Badan Pusat
Statistik
(BPS)
Miliar
Rupiah
Miliar
Rupiah
Bank
Indonesia (BI)
BPS
Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB) rebasing :
tahun dasar 2000
Harga Minyak Dunia
Juta Rupiah
BPS
US$/Barel
Harga Pangan
Dunia
(FOOD_P)
Indeks Harga Komoditi
Pangan Dunia (55 Komoditi)
Indeks
Tingkat Upah
(W)
Upah Minimum Regional
(UMR) Masing-Masing
Provinsi
Rasio Panjang Jalan Raya
dengan Kondisi Baik dan
Luas Wilayah Provinsi
Rupiah
Organization
of the
Petroleum
Exporting
Country
(OPEC)
Food
Agricultural
Organization
(FAO)
BPS
Km/Km2
BPS
Jumlah Uang
Beredar (M)
Pengeluaran
Pemerintah
(GEXP)
Pertumbuhan
Ekonomi (Y)
Harga Minyak
Dunia (OIL_P)
Kondisi
Infrastruktur
(KI)
3.2
Metode Analisis
3.2.1
Analisis Deskriptif
Metode analisis deskriptif merupakan suatu metode analisis sederhana
yang dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi suatu observasi dengan
menyajikannya dalam bentuk tabel, grafik maupun narasi dengan tujuan untuk
memudahkan pembaca dalam menafsirkan hasil observasi.
Metode analisis deskriptif dalam penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui gambaran umum mengenai perkembangan laju inflasi yang terjadi di
Pulau Jawa selama kurun waktu 2001-2010 dan juga untuk menggambarkan
29
hubungan antara inflasi dengan variabel-variabel yang memengaruhi pada
peneltian ini.
3.2.2
Analisis Ekonometrika
Metode analisis ekonometrika yang digunakan pada penelitian ini adalah
metode analisis regresi data panel (pooled data). Data panel adalah gabungan dari
data time series dan data cross section. Penggunaan metode data panel sudah
banyak dipakai saat ini sebab adanya kelemahan dalam pendekatan metode cross
section saja atau pendekatan time series. Jika hanya menggunakan metode cross
section saja, pengamatan yang diamati hanya pada titik tertentu saja, sehingga
perkembangan pengamatan tersebut dalam kurun waktu tertentu tidak dapat
diestimasi. Pada pendekatan metode time series juga menimbulkan persoalan
yaitu peubah-peubah yang diobservasi secara agregat hanya dari satu unit individu
sehingga memberi peluang untuk menghasilkan estimasi yang sifatnya bias.
Penggunaan data panel ini merupakan konsekuensi dari kemampuan dan
keterbatasan kedua metode analisis diatas. Penggabungan data cross section dan
time series dalam studi data panel digunakan untuk mengatasi kelemahan dan
menjawab pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh pendekatan metode cross
section dan time series murni. Data cross section yang sama diobservasi menurut
waktu. Jika setiap unit cross section memiliki observasi time series yang sama
maka disebut sebagai balanced panel, sebaliknya jika jumlah observasi berbeda
maka disebut sebagai unbalanced panel.
Beberapa keunggulan dari penggunaan data panel dalam analisis
ekonometrika dikemukakan oleh Baltagi (2005) yaitu, pertama mengontrol
heterogenitas individu. Data panel menyatakan bahwa individu, perusahaan,
tempat atau negara adalah heterogen. Dalam data panel terdiri dari besaran dan
waktu sehingga ada banyak variabel-variabel lain yang mungkin menjadi stateinvariant atau time-invariant yang dapat memengaruhi variabel dependen. Data
panel memberikan peluang perlakuan setiap unit-unit individu yang dianalisis
adalah heterogen. Kedua, data panel memberikan informasi yang lebih banyak
dan beragam, meminimalisasi masalah kolinieritas antar variabel, meningkatkan
30
derajat bebas dan lebih efisien. Pendekatan metode time series dapat
menyebabkan multikoliniearitas, dengan data cross section menambah banyak
variabilitas, menambah lebih banyak informasi sehingga dapat menghasilkan
parameter estimasi yang dapat diandalkan. Ketiga, data panel lebih baik dalam
mempelajari dynamics of adjustment. Distribusi cross section yang kelihatan
stabil dapat menyembunyikan banyak perubahan yang sulit untuk diidentifikasi.
Masa pengangguran, pergantian pekerjaan, tempat tinggal dan pergerakan
pendapatan merupakan contoh data yang lebih baik dipelajari dengan data panel.
Data panel juga cocok untuk mempelajari durasi dari variabel besaran ekonomi
seperti pengangguran, kemiskinan dan inflasi dan juga dapat menjelaskan dalam
kecepatan respon perubahan kebijakan ekonomi.
Data panel juga dibutuhkan untuk mengestimasi hubungan antar massa,
siklus hidup dan intergenerasi (intergenerational). Data panel ini dapat
menghubungkan pengalaman individu dan tingkah laku dalam satu titik waktu
dengan pengalaman dan tingkah laku dalam titik waktu yang berbeda. Keempat,
data panel lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang tidak dapat
dideteksi oleh cross section murni maupun time series murni. Seperti contoh,
dalam menentukan apakah anggota serikat buruh dapat meningkatkan atau
menurunkan upah. Hal ini dapat dijawab dengan mengobservasi seorang pekerja
yang bergerak dari serikat buruh ke nonserikat buruh atau sebaliknya. Dengan
mengasumsikan karakteristik individu yang konstan, dilengkapi dengan variabel
yang lain untuk menentukan apakah keanggotaan serikat buruh memengaruhi
upah dan dengan berapa banyak upah tersebut bisa berpengaruh terhadap
keanggotaan serikat buruh (Friedman dalam Baltagi (2005)). Kelima, model data
panel dapat digunakan untuk mengkonstruksi dan menguji model perilaku secara
kompleks apabila dibandingkan dengan cross section atau time series murni. Pada
kenyataanya, indikator dalam perekonomian sebagian besar bersifat dinamis.
Hubungan dinamis ini dapat diketahui dengan adanya lag variabel endogen yang
terdapat pada variabel eksogen. Verbeek (2004) menjelaskan kelebihan dari
penggunaan metode data panel bila dibandingkan dengan metode cross section
dan time series murni. Kombinasi data cross section dan time series membuat
jumlah data atau observasi yang digunakan dalam model data panel umumnya
31
lebih besar bila dibandingkan dengan model cross section dan time series murni.
Selain itu, variabel penjelas dalam model data panel lebih bervariasi atau
marginal effect dalam dua dimensi (ruang atau individu dan waktu), sehingga
selain dapat dianalisis variasi antar ruang (individu) dan waktu, penduga yang
didasari oleh data panel lebih akurat dibandingkan cross section dan time series
murni. Menurut Baltagi (2005), permasalahan tersebut antara lain: (i) relatif
terbatasnya data karena melibatkan komponen cross section dan time series
menimbulkan masalah desain survei panel, pengumpulan dan manajemen data
(masalah
yang umumnya dihadapi diantaranya: coverage, nonresponse,
kemampuan daya ingat responden (recall), frekuensi dan waktu wawancara); (ii)
distorsi kesalahan pengamatan (measurement error) yang umumnya terjadi karena
kegagalan respon (contoh: pertanyaan yang tidak jelas, ketidaktepatan informasi,
dan lain-lain); (iii) masalah selektivitas, yakni: selfselectivity, nonresponse,
attrition (jumlah responden yang terus berkurang pada survei lanjutan); (iv) cross
section dependence (contoh: apabila macropanel data dengan unit analisis negara
atau wilayah dengan deret waktu yang panjang mengabaikan cross-country
dependence maka dapat mengakibatkan kesimpulan-kesimpulan yang tidak tepat
(misleading inference)).
Umumnya terdapat tiga pendekatan yang biasa diaplikasikan pada metode
data panel, yaitu Pooled Least Square (PLS), Fixed Effect Model (FEM) dan
Random Effect Model (REM). Selain itu, didalam melakukan pengolahan data
panel juga terdapat kriteria pembobotan yang berbeda-beda yaitu No weighting
(semua observasi diberi bobot sama), Cross section weight (Generalized Least
Square (GLS) dengan menggunakan estimasi varians residual cross section,
digunakan apabila terdapat pelanggaran asumsi cross section heteroskedasticity),
dan Seemingly Uncorrelated Regression (SUR) (GLS dengan menggunakan
covariance matrix cross section). Metode ini mengoreksi baik heteroskedastisitas
maupun autokorelasi antar unit cross section.
32
3.2.2.1 Pooled Least Square
Pada prinsipnya, pendekatan ini adalah menggunakan gabungan dari
seluruh data (pooled), sehingga terdapat N × T observasi, dimana N menunjukkan
jumlah unit cross-section dan T menunjukkan jumlah time-series yang digunakan.
Persamaan pada estimasi yang menggunakan Pooled Least Square (PLS) dapat
dituliskan dalam bentuk sebagai berikut (Baltagi, 2005):
........................................................................................(3.1)
dimana :
= nilai variabel terikat (dependent variable) untuk setiap unit cross section
= nilai variabel penjelas (explanatory variable) ke-j untuk setiap cross section
α = intercept yang konstan antar waktu dan cross section
= slope untuk variabel ke-j yang konstan antar waktu dan cross section
= komponen error untuk setiap unit cross section ke-i pada periode waktu t.
N adalah jumlah unit cross section, T adalah jumlah periode waktunya dan K
adalah jumlah variabel penjelas.
Keunggulan
dalam
penggunaan
metode
PLS
adalah
dengan
mengkombinasikan semua data cross-section dan data time-series, dapat
meningkatkan derajat kebebasan sehingga dapat memberikan hasil estimasi yang
lebih efisien. Sementara, kelemahan pada metode PLS terletak pada dugaan
parameter
akan bias. Parameter yang bias ini disebabkan karena PLS tidak
dapat membedakan observasi yang berbeda pada periode yang sama, atau tidak
dapat membedakan observasi yang sama pada periode yang berbeda (Firdaus,
2011).
3.2.2.2 Fixed Effect Model
Fixed effect model (FEM) memasukkan unsur variabel dummy sehingga
intersept α bervariasi antar individu maupun antar unit waktu. FEM lebih tepat
digunakan jika data yang diteliti ada pada tingkat individu serta jika terdapat
korelasi antara ε it dan x it . Persamaan pada estimasi menggunakan FEM dapat
dituliskan dalam bentuk sebagai berikut (Baltagi, 2005):
33
= β 1i
Y it
+
β 2 X 2it
+
β 3 X 3it
+
u it ..............................................................................(3.2)
Kelebihan pendekatan FEM adalah dapat menghasilkan dugaan parameter
yang tidak bias dan efisien. Tetapi kelemahannya adalah jika jumlah unit
observasinya besar maka akan mengurangi derajat bebas model, sehingga akan
mengurangi tingkat keakuratan model (Firdaus, 2011).
3.2.2.3 Random Effect Model
Random Effect Model (REM) muncul ketika antara efek individu dan
regresor tidak memiliki korelasi. Asumsi ini membuat komponen error dari efek
individu dimasukkan ke dalam error pada persamaan regresi. Persamaan estimasi
pada REM adalah sebagai berikut (Baltagi, 2005):
…………………………………………………………(3.3)
dengan
dimana :
~ N (0, δu2) = komponen cross section error
~ N (0, δv2) = komponen time series error
~ N (0, δw2) = komponen error kombinasi
Asumsinya adalah bahwa error secara individual tidak saling berkorelasi begitu
juga dengan error kombinasinya.
3.2.2.4 Pengujian Model
Untuk memilih model mana yang paling tepat digunakan untuk
pengolahan data panel, maka terdapat beberapa pengujian yang dapat dilakukan,
antara lain:
34
1. Chow Test
Chow Test merupakan pengujian untuk memilih apakah model yang
digunakan PLS atau FEM. Dalam pengujian ini dilakukan dengan hipotesis
sebagai berikut:
H 0 : PLS
H 1 : FEM
Dasar penolakan terhadap hipotesis nol tersebut adalah dengan
menggunakan F-statistic seperti yang dirumuskan oleh Chow (1967):
……...…………………………(3.4)
dimana:
RRSS = Restricted Residual Sum Square (Sum Square Residual PLS)
URSS = Unrestricted Residual Sum Square (Sum Square Residual FEM)
N
= jumlah data cross section
T
= jumlah data time series
K
= jumlah variabel independen
Dimana pengujian ini mengikuti distribusi F yaitu
. Jika
nilai Chow Test (F-statistic) hasil pengujian lebih besar dari F-Tabel, maka cukup
bukti bagi kita untuk melakukan penolakan terhadap H 0 sehingga model yang kita
gunakan adalah FEM, begitu juga sebaliknya.
2. Hausman Test
Hausman Test adalah pengujian statistik sebagai dasar pertimbangan kita
dalam memilih apakah menggunakan FEM atau REM. Pengujian ini dilakukan
dengan hipotesis sebagai berikut:
H 0 : REM
H 1 : FEM
Sebagai dasar penolakan H 0 maka digunakan statistik Hausman dan
membandingkannya dengan Chi square. Statistik Hausman dirumuskan dengan:
…………....(3.5)
35
dimana M adalah matriks kovarians untuk parameter β dan k adalah derajat bebas
yang merupakan jumlah variabel independen.
Jika nilai statistik Hausman hasil pengujian lebih besar dari
, maka
cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H 0 sehingga model yang
digunakan adalah FEM, begitu juga sebaliknya.
3.2.2.5 Metode Evaluasi Model
Setelah selesai melakukan pengolahan data dengan metode analisis data
panel, harus dilakukan evaluasi terhadap model estimasi yang dihasilkan. Metode
estimasi yang dihasilkan melalui metode analisis data panel tersebut harus
dievaluasi berdasarkan tiga kriteria sebagai berikut:
I. Kriteria Ekonometrika
II. Kriteria Statistik
III. Kriteria Ekonomi
I. Kriteria Ekonometrika
Model estimasi regresi linear yang ideal dan optimal harus menghasilkan
estimator yang memenuhi kriteria Best Linear Unbiased Estimator (BLUE),
antara lain sebagai berikut :
a. Estimator linear artinya adalah estimator merupkan sebuah fungsi linear
atas sebuah variabel dependen yang stokastik.
b. Estimator tidak bias artinya nilai ekspektasi sesuai dengan nilai yang
sebenarnya.
c. Estimator harus mempunyai varians yang minimum. Estimator yang tidak
bias dan memiliki varians minimum disebut estimator yang efisien.
Terdapat beberapa permasalahan yang dapat menyebabkan sebuah
estimator dikatakan tidak memenuhi kriteria BLUE jika melanggar beberapa
asumsi antara lain sebagai berikut:
1. Normalitas
Pengujian asumsi normalitas dilakukan untuk melihat apakah error term
mengikuti distribusi normal atau tidak. Jika asumsi normalitas ini tidak dipenuhi
36
maka prosedur pengujian dengan menggunakan uji t-statistic menjadi tidak sah.
Pengujian asumsi normalitas dilakukan dengan Jarque Bera Test atau dengan
melihat plot dari sisaan. Hipotesis dalam pengujian normalitas adalah:
H 0 : Residual berdistribusi Normal
H 1 : Residual tidak berdistribusi Normal
Dasar penolakan H 0 dilakukan dengan membandingkan nilai Jarque Bera
dengan taraf nyata α sebesar 0,05, dimana jika nilai Jarque Bera Test lebih besar
dari taraf nyata α 0,05 menandakan H 0 tidak ditolak dan residual berdistribusi
normal.
2. Multikolinearitas
Istilah multikolinearitas berarti terdapat hubungan linier sempurna antar
peubah bebas dalam suatu model regresi. Dalam prakteknya, kita sering
dihadapkan
dengan
masalah
peubah-peubah
bebas
yang
tingkat
multikoliniearitasnya tidak sempurna tetapi tinggi. Jika kita berhadapan dengan
adanya peubah-peubah bebas yang seperti ini, maka dugaan parameter koefisien
regresi masih mungkin diperoleh, tetapi interpretasinya akan menjadi sulit.
Gujarati (2003) menyatakan indikasi terjadinya multikolinearitas dapat terlihat
melalui:
a. Nilai R2 yang tinggi tetapi sedikit rasio yang signifikan.
b. Korelasi berpasangan yang tinggi antara variabel-variabel independennya.
c. Melakukan regresi tambahan (auxiliary) dengan memberlakukan variabel
independen sebagai salah satu variabel dependen dan variabel independen
lainnya tetap diberlakukan sebagai variabel independen.
Menurut Juanda (2009), ada beberapa cara untuk mendeteksi adanya
multikolinearitas di dalam suatu model. Pertama atau merupakan syarat cukup
(sufficient condition) adalah melalui Uji koefisien korelasi sederhana (Pearson
correlation coefficient), jika korelasi antar peubah-peubah bebas sangat tinggi dan
nyata, dapat dikatakan terjadi multikolinearitas. Menurut Gujarati (2003), batas
terjadinya korelasi antar variabel bebas adalah tidak boleh lebih dari tanda mutlak
0,8. Kedua atau merupakan syarat perlu (necessary condition) apabila syarat
cukup tidak terpenuhi yaitu, dapat dilakukan dengan melihat nilai Variance
Inflation Factor (VIF), dimana:
37
……………………………………………………………(3.6)
nilai VIF ini menggambarkan kenaikan varians dari dugaan parameter antar
peubah penjelas. Apabila nilai VIF lebih dari 5 atau 10, maka taksiran parameter
kurang baik atau terjadi multikoliniearitas.
Perlu diingat jika tujuan pemodelan hanya untuk peramalan nilai peubah
tak bebas dan bukan untuk mengkaji hubungan atau pengaruh peubah-peubah
bebas terhadap peubah tak bebas, maka masalah multikolinearitas bukan masalah
yang serius. Akan tetapi jika tujuan pemodelan adalah untuk menduga hubungan
atau pengaruh peubah-peubah bebas terhadap peubah tak bebas, maka masalah
multikoliniearitas menjadi masalah yang serius. Oleh karena itu terdapat beberapa
cara yang dapat digunakan untuk mengatasi multikoliniearitas, antara lain
(Juanda, 2009):
a. Memanfaatkan informasi sebelumnya (prior information).
b. Mengeluarkan
peubah
dengan
koliniearitas
tinggi,
tetapi
dapat
menimbulkann bias spesifikasi model.
c. Melakukan transformasi terhadap peubah-peubah dalam model menjadi
bentuk first difference.
d. Menggunakan regresi komponen utama (principal component).
e. Penambahan data baru.
3. Heteroskedastisitas
Salah satu asumsi dasar dari metode regresi linear adalah varians tiap
unsur error adalah suatu angka konstan yang sama dengan δ2. Heteroskedastisitas
terjadi ketika varians tiap unsur error tidak konstan. Guajarati (2003) menyatakan
heteroskedastisitas memiliki beberapa konsekuensi, diantaranya adalah :
a. Dugaan parameter koefisien regresi tetap tidak bias dan masih konsisten,
tetapi standar errornya dapat bias ke bawah.
b. Perhitungan standar error tidak lagi dapat dipercaya kebenarannya karena
varians tidak minimum sehingga dapat menghasilkan estimasi regresi yang
tidak efisien.
c. Uji hipotesis yang didasarkan pada uji F-statistic dan t-statistic tidak
dipercaya.
38
Cara mendeteksi adanya pelanggaran asumsi heteroskedastisitas dalam
metode data panel dapat dilakukan dengan menggunakan grafik standardized
residual, apabila secara grafis menunjukkan bahwa ragam sisaan menyebar
normal
maka
dapat
dinyatakan
tidak
terjadi
pelanggaran
asumsi
heteroskedastisitas.
4. Autokorelasi
Gujarati (2003) menyatakan autokorelasi adalah korelasi antara anggota
serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu seperti dalam data time
series atau diurutkan menurut ruang seperti dalam data cross section. Suatu model
dikatakan memiliki autokorelasi jika error dari periode waktu (time series) yang
berbeda saling berkorelasi. Masalah autokorelasi ini akan menyebabkan model
menjadi tidak efisien meskipun masih tidak bias dan konsisten. Autokorelasi
menyebabkan estimasi standar error dan varian koefisien regresi yang diperoleh
akan underestimate, sehingga R2 akan besar tetapi di uji t-statistic dan uji Fstatistic menjadi tidak valid.
Untuk mendeteksi masalah autokorelasi yang paling umum dapat
dilakukan dengan melihat nilai Durbin-Watson statistic pada model dibandingkan
dengan nilai DW-Tabel. Sebuah model dapat dikatakan terbebas dari autokorelasi
jika nilai Durbin-watson statistic terletak di area nonautokorelasi. Penentuan area
tersebut dibantu dengan nilai tabel D L dan D U. Jumlah observasi (N) dan jumlah
variabel independen (K). Dengan menggunakan hipotesis pengujian sebagai
berikut:
H 0 : Tidak terdapat autokorelasi
H 1 : Terdapat autokorelasi
Maka aturan pengujiannya adalah sebagai berikut :
0 < d < DL
: tolak H 0 , ada autokorelasi positif
DL ≤ d ≤ DU
: daerah ragu-ragu, tidak ada keputusan
DU < d < 4 – DU
: terima H 0 , tidak ada autokorelasi
4 - D U ≤ d ≤ 4-D L
: daerah ragu-ragu, tidak ada keputusan
4 – DL < d < 4
: tolak H 0 , ada autokorelasi negatif
39
II. Kriteria Statistik
Evaluasi model berdasarkan kriteria statistik dilakukan dengan beberapa
pengujian antara lain sebagai berikut:
a. Koefesien Determinasi (R2)
Nilai R2 digunakan untuk mengukur seberapa besar tingkat variabel
independen yang digunakan dalam penelitian dapat menjelaskan variabel
dependen. Nilai tersebut menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang kita
estimasi dengan data yang sesungguhnya. Nilai R2 terletak antara nol hingga satu
dimana semakin mendekati satu maka model akan semakin baik.
b. Uji F-statistic
Uji F-statistic digunakan untuk mengetahui apakah variabel-variabel
independen yang digunakan dalam penelitian secara bersama-sama signifikan
memengaruhi variabel dependen. Nilai F-statistic yang besar lebih baik
dibandingkan dengan F-statistic yang rendah. Nilai Prob(F-statistic) merupakan
tingkat signifikansi marginal dari F-statistic. Dengan menggunakan hipotesis
pengujian sebagai berikut:
H 0 : β 1 =β 2 =…=β k =0
H 1 : minimal ada salah satu β j yang tidak sama dengan nol
Tolak H 0 jika F-statistic > F
α(k-1,NT-N-K)
atau Prob(F-statistic) < α. Jika H 0 ditolak,
maka artinya dengan tingkat keyakinan 1-α kita dapat menyimpulkan bahwa
variabel independen yang digunakan di dalam model secara bersama-sama
signifikan memengaruhi variabel dependen.
c. Uji t-statistic
Uji t-statistic digunakan untuk mengetahui apakah variabel-variabel
independen secara parsial berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen.
Dengan menggunakan hipotesis pengujian sebagai berikut:
H0 : βj = 0
H1 : βj ≠ 0
Tolak H 0 jika t-statistic > t
α/2(NT-K-1)
atau (t-statistic) < t-tabel. Jika H 0 ditolak,
maka artinya dengan tingkat keyakinan 1-α kita dapat menyimpulkan bahwa
variabel independen ke-i secara parsial memengaruhi variabel dependen.
40
III. Kriteria Ekonomi
Evaluasi model estimasi berdasarkan kriteria ekonomi dilakukan dengan
membandingkan kesesuaian tanda dan nilai estimator dengan teori ekonomi dan
kesesuaian dengan logika.
3.2.3
Aplikasi Regresi Data Panel
Analisis data panel pada umumnya menggunakan data dalam bentuk level
dengan tujuan untuk memudahkan interpretasi model, namun jika kemudian
penelitian menggunakan data time series yang mengandung tren, maka sebaiknya
dilakukan pengujian unit root, untuk memastikan bahwa hubungan antara peubah
tak bebas dan peubah bebas tidak menunjukkan spurious regression. Bila hasil
pengujian unit root menunjukkan adanya tren pada data level, maka seperti
biasanya, harus dilakukan pembedaan pertama (first differencing) untuk
menghindari hasil yang misleading. Perlu diingat bahwa metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode regresi data panel, maka pengujian unit root
yang digunakan bukan menggunakan metode biasa, tetapi menggunakan panel
unit root. Pengujian ini disarankan oleh Baltagi (2005) untuk data panel dengan N
dan T yang relatif tidak besar.
Hipotesis nol yang digunakan dalam pengujian panel unit root sama
seperti pada pengujian unit root untuk data time series murni, hanya saja statistik
uji yang digunakan merupakan pengembangan lebih lanjut dari statistik uji
Augmented Dickey-Fuller (ADF) dan Phillips-Perron (PP). Statistik uji yang
digunakan dalam menguji panel unit root terdiri dari dua jenis, yaitu common unit
root yang terdiri dari statistik uji Levin, Lin and Chu (LLC) dan Breitung’s test;
serta individual unit root yang terdiri dari statistik uji Im, Pesaran and Shin (IPS),
ADF - Fisher test dan PP - Fisher test. Setelah diperoleh hasil pengujian yang
menyatakan bahwa series dari data panel tidak mengandung unit root maka
estimasi bisa dilakukan.
41
3.3
Perumusan Model Penelitian
Rancangan model yang akan diajukan adalah mengacu pada penelitian
Lestari (2003) dengan melakukan beberapa modifikasi pada variabel. Pada model
penelitian ini terdapat tujuh variabel independen, dengan variabel dependennya P
dan variabel independennya adalah M, GEXP, Y, W, KI, OIL_P dan FOOD_P.
Data yang diperoleh pada variabel-variabel tersebut ternyata berbeda satuan dan
berada dalam nilai yang sangat besar. Oleh karena itu, untuk memudahkan dalam
mengolah data dan interpretasi hasil akhir, seluruh variabel yang berbeda satuan
akan ditransformasi sehingga menjadi bentuk satuan yang sama, yaitu dalam
bentuk logaritma natural. Dengan model tersebut diharapkan bahwa hasil regresi
yang diperoleh akan lebih efisien dan mudah untuk diinterpretasikan.
Sesuai dengan keterangan di atas, maka spesifikasi model tersebut secara
ekonometrika akan menjadi model sebagai berikut :
Ln(P it ) = α +β 1 Ln(M it ) + β 2 Ln(GEXP it ) + β 3 ln(Y it ) + β 4 Ln(W it ) +
β5
Ln(KI it )
+
β6
Ln(OIL_P it )
+
β7
Ln(FOOD_P it )
+
ε it ……………………..…..(3.7)
Model pada persamaan (3.7) merupakan model pada data level, jika
kemudian terdapat unit root pada data level, maka persamaan (3.8) harus dirubah
menjadi persamaan pada first differencing, sehingga akan diperoleh persamaan
sebagai berikut :
Ln(∆P it ) = α +β 1 Ln(∆M it ) + β 2 Ln(∆GEXP it ) + β 3 ln(∆Y it ) + β 4 Ln(∆W it ) +
β5
Ln(∆KI it )
+
β6
Ln(∆OIL_P it )
+
β7
ε it …………...……..…(3.8)
dimana:
∆P
: Perubahan harga (Inflasi)
∆M
: Perubahan jumlah uang beredar
∆GEXP
: Perubahan pengeluaran pemerintah daerah
∆Y
: Perubahan pertumbuhan ekonomi daerah
∆W
: Perubahan upah minimum regional
∆KI
: Perubahan kondisi infrastruktur daerah
Ln(∆FOOD_P it )
+
42
∆OIL_P
: Perubahan harga minyak dunia
∆FOOD_P
: Perubahan harga pangan dunia
Subskrip ( i ) menandakan kondisi pada provinsi ke-i dan ( t ) menandakan
pengamatan pada tahun ke-t.
IV. GAMBARAN UMUM
4.1
Gambaran Umum Inflasi di Pulau Jawa
Selama periode 2001-2010, terlihat tingkat inflasi Indonesia selalu bernilai
positif, dengan inflasi terendah sebesar 2,78 persen terjadi pada tahun 2009 ketika
terjadi penurunan harga BBM dan tertinggi pada tahun 2005 dengan laju inflasi
sebesar 17,11 persen pada saat dilaksanakannya kebijakan penyesuaian harga
BBM oleh pemerintah akibat kenaikan harga minyak dunia (Gambar 1,1). Kondisi
ini ternyata tidak berbeda jauh dengan kondisi inflasi yang terjadi pada
perekonomian provinsi di Pulau Jawa. Sepanjang tahun 2001-2010, tercatat inflasi
tertinggi dan terendah terjadi di Provinsi Jawa Barat, yaitu sebesar 19,58 persen
pada tahun 2005 dan 2,11 persen pada tahun 2009 (Gambar 4.1). Bila dilihat dari
struktur perekonomiannya, pada Provinsi Jawa Barat didominasi oleh sektor
industri, disusul oleh sektor perdagangan kemudian sektor pertanian. Hal tersebut
berimplikasi kepada tingginya ketergantungan masing-masing sektor akan Bahan
Bakar Minyak (BBM) sebagi salah satu input yang berpengaruh pada produksi
masing-masing sektor tersebut, sehingga guncangan yang terjadi pada BBM
memiliki pengaruh yang dominan pada tingkat inflasi di provinsi Jawa Barat.
Secara umum, bila dibandingkan dengan rata-rata inflasi nasional (Gambar
4.1), dapat dilihat bahwa inflasi pada tahun 2001, 2005 dan 2008 untuk semua
provinsi di Pulau Jawa melebihi rata-rata inflasi nasional pada tahun 2001-2010.
Bila dilihat lebih jauh, tingginya tingkat inflasi pada tahun 2001 dan 2005
disebabkan oleh kenaikan harga minyak dunia dan berdampak pada kenaikan
harga BBM sedangkan pada tahun 2008 terjadi krisis finansial global yang
menyebabkan nilai tukar Indonesia terdepresiasi dan lebih berfluktuatif yang
kemudian memicu terjadinya inflasi.
44
Sumber : BPS (Diolah)
Gambar 4.1 Dinamika Inflasi Pulau Jawa terhadap Rata-Rata Inflasi
Nasional 2001-2010
Terkait dengan kebijakan Inflation Targeting Framework (ITF) yang
diimplementasikan oleh BI sejak tahun 2005, maka dari masing-masing provinsi
dapat di ketahui bagaimana perilaku inflasi sebelum dan sesudah kebijakan
dengan membandingkan dengan rata-rata inflasi nasional 2001-2010. Berdasarkan
Gambar 4.1, diketahui bahwa inflasi di seluruh provinsi di Pulau Jawa memiliki
jumlah periode inflasi dengan nilai dibawah rata-rata inflasi nasional lebih banyak
setelah diimplementasikannya kebijakan ITF apabila dibandingkan dengan
periode sebelum diterapkannya kebijakan tersebut. Hal ini membuktikan bahwa
kebijakan ITF cukup efektif untuk menurunkan dan mengontrol kestabilan tingkat
inflasi pada Pulau Jawa.
45
Sumber : BPS (Diolah)
Gambar 4.2 Perbandingan Perubahan Pertumbuhan Ekonomi terhadap
Inflasi di Pulau Jawa 2002-2010
Inflasi dapat memiliki dampak positif atau negatif tergantung seberapa
tingginya tingkat inflasi yang terjadi. Inflasi yang ringan atau moderat akan
membuat perekonomian menjadi meningkat karena dapat mendorong laju
investasi yang kemudian membuka lapangan pekerjaan sehingga dapat
mengurangi pengangguran dan pada akhirnya akan mendorong pertumbuhan
ekonomi. Sebaliknya, inflasi yang tinggi dan tidak stabil akan menciptakan
ketidakpastian bagi para pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan untuk
melakukan konsumsi, investasi dan produksi yang pada akhirnya akan
46
menurunkan pertumbuhan ekonomi (Boediono, 1995). Gambar 4.2 merupakan
perbandingan pertumbuhan ekonomi daerah dengan laju inflasi di masing-masing
provinsi di Pulau Jawa. Gambar 4.2 menunjukkan bahwa inflasi dan pertumbuhan
ekonomi di Pulau Jawa cenderung memiliki dampak yang negatif. Ketika terjadi
inflasi yang cukup tinggi (2005 &2008) akan diikuti dengan menurunnya laju
pertumbuhan ekonomi di masing-masing provinsi pada tahun berikutnya.
4.2
Hubungan Inflasi dengan Jumlah Uang Beredar dan Pengeluaran
Pemerintah
Hubungan antara inflasi, jumlah uang beredar dan pengeluaran pemerintah
menjadi isu penting dalam literatur kebijakan moneter dan fiskal sebagaimana kita
ketahui uang beredar merupakan salah satu instrumen kebijakan moneter,
sedangkan pengeluaran pemerintah merupakan salah satu instrumen kebijakan
fiskal.
Uang yang beredar di masyarakat lebih banyak diterjemahkan sebagai
narrow money (M1). Hal ini disebabkan karena masih adanya anggapan bahwa
uang kuasi hanya merupakan bagian dari likuiditas perbankan. Gambar 4.3
memberikan informasi persentase laju jumlah uang yang beredar pada
perekonomian. Apabila dikaitkan dengan laju inflasi di masing-masing provinsi
pada perekonomian regional, maka secara umum hubungan jumlah uang beredar
dan inflasi memiliki hubungan yang negatif. Ketika laju inflasi cenderung tinggi,
maka Bank Sentral meresponnya dengan mengurangi jumlah uang beredar.
Sebaliknya ketika laju inflasi cenderung rendah maka persentase jumlah uang
beredar cenderung meningkat.
Sebagai salah satu kebijakan fiskal, pengeluaran pemerintah memegang
peranan yang penting dalam mendukung kelancaran mekanisme sistem
pemerintahan sebagai upaya efisiensi dan produktivitas nasional. Sejak
dimulainya era otonomi daerah pada tahun 2001, hal ini membawa konsekuensi
tidak saja pada desentralisasi politik dan administrasi, tetapi juga pada
desentralisasi fiskal. Implikasi dari kebijakan desentralisasi fiskal ini adalah
pemerintah diberikan kewenangan untuk menggali sumber-sumber pendapatan,
47
termasuk meminjam dari luar negeri, disamping kewenangan untuk menentukan
belanja rutin dan belanja investasi. Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan
efisiensi alokasi sumber daya daerah sehingga idealnya akan mendorong daya
saing daerah yang akan berujung pada peningkatan kesejahteraan daerah.
Sumber: BI & BPS (Diolah)
Gambar 4.3 Perbandingan Perubahan Laju Jumlah Uang Beredar terhadap
Inflasi di Pulau Jawa 2002-2010
Selama periode 2001-2002 pengeluaran pemerintah daerah rutin
mengalami peningkatan, tetapi besarnya kenaikan pengeluaran pemerintah
berbeda-beda di masing-masing provinsi di Pulau Jawa. Terkait dengan inflasi,
Gambar 4.4 memberikan informasi mengenai pertumbuhan laju pengeluaran
pemerintah dan laju inflasi di masing-masing provinsi. Berdasarkan Gambar 4.4
48
hubungan antara laju pengeluaran pemerintah dengan laju inflasi di masingmasing provinsi cenderung beragam. Hal tersebut disebabkan karena besarnya
pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah harus mempertimbangkan
besarnya penerimaan daerah. Penerimaan daerah sendiri cenderung beragam di
masing-masing provinsi. Beragamnya pengeluaran pemerintah masing-masing
provinsi disebabkan oleh perbedaan struktur perekonomian pada masing-masing
daerah. Akibatnya hubungan pengeluaran pemerintah dan inflasi cenderung
beragam pada masing-masing provinsi di Pulau Jawa.
Sumber: BPS (Diolah)
Gambar 4.4 Perbandingan Perubahan Laju Pengeluaran Pemerintah
terhadap Inflasi di Pulau Jawa 2002-2010
49
4.3
Hubungan Inflasi dengan Upah Minimum
Salah satu implikasi dari pemberlakuan otonomi daerah adalah mekanisme
penetapan besarnya Upah Minimum Regional (UMR) yang sebelumnya menganut
sistem sentralisasi. Sejak tahun 2001 menggunakan sistem desentralisasi.
Perkembangan UMR provinsi di Pulau Jawa dijelaskan oleh Gambar 4.5.
Sumber : BPS, diolah
Gambar 4.5 Perbandingan Perubahan Upah Minimum Regional terhadap
Inflasi di Pulau Jawa 2002-2010
Kondisi UMR Pulau Jawa terus menerus mengalami peningkatan, hal
tersebut bertujuan agar menjaga daya beli masyarakat agar tidak tergerus oleh
inflasi. Gambar 4.5 memberikan informasi mengenai laju pertumbuhan UMR
provinsi di Pulau Jawa terhadap laju inflasi sejak tahun 2002. Berdasarkan
Gambar 4.5 dapat dilihat bahwa dinamika penyesuaian UMR selalu berusaha
50
berada pada tingkatan di bawah laju inflasi di setiap provinsi di Pulau Jawa agar
tidak malah memacu meningkatnya tingkat harga. Penyesuaian UMR diatas laju
inflasi hanya terjadi pasca terjadinya lonjakan inflasi pada tahun 2005 dan 2008.
Sebagaimana kita ketahui dampak negatif akibat tingginya laju inflasi dapat
menurunkan daya beli masyarakat, maka pemerintah-pemerintah daerah berusaha
menyesuaikan tingkat upah pada masing-masing wilayah pasca terjadinya inflasi
yang tinggi dengan meningkatkan UMR diatas laju inflasi sebagai insentif agar
roda perekonomian daerah tetap dapat tumbuh dan berlangsung tanpa mengalami
gangguan.
4.4
Hubungan Inflasi dengan Kondisi Infrastruktur
Kondisi infrastruktur mempunyai peranan penting didalam aliran distribusi
produk. Semakin membaik kondisi infrastruktur tentunya akan semakin
memperlancar aliran distribusi produk dan penghematan dalam waktu perjalanan.
Penghematan biaya ini tentunya diprediksi akan berdampak pada penurunan harga
produk di dalam pasar.
Gambar 4.6 memberikan gambaran mengenai hubungan antara inflasi
dengan persentase panjang jalan dengan kondisi baik di Pulau Jawa. Berdasarkan
gambar tersebut ternyata kondisi infrastruktur cenderung memberikan hubungan
yang negatif dengan inflasi. Saat terjadi penurunan persentase kondisi jalan baik,
hal tersebut kemudian memicu kenaikan inflasi pada beberapa provinsi di Pulau
Jawa.
Peningkatan kondisi infrastruktur, selain akan menurunkan biaya transpor
terkait dengan lancarnya arus barang ke dalam atau keluar suatu wilayah,
disamping itu juga akan meningkatkan volume ekspor dan impor suatu wilayah
serta memungkinkan terjadinya transfer teknologi dan informasi yang lebih cepat
antar wilayah.
51
Sumber : BPS, diolah
Gambar 4.6 Perbandingan Kondisi Infratruktur terhadap Inflasi di Pulau
Jawa 2001-2010
4.5
Perkembangan Harga Minyak dan Harga Pangan Dunia
Pada periode tahun 2001-2010, fluktuasi harga minyak dunia cenderung
mengalami kenaikan terus menerus. Harga minyak masih cenderung stabil dari
awal tahun 2001 sampai dengan tahun 2004. Selama tahun 2005 harga minyak
dunia mulai mengalami kenaikan. Selama periode 2006-2008, harga minyak dunia
tetap menunjukkan perkembangan yang selalu naik. Kenaikan dalam tahun-tahun
ini bahkan sudah mulai menembus $90 per barel, harga yang sangat tinggi bila
dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
52
Sumber : OPEC, diolah
Gambar 4.7 Perkembangan Harga Minyak Dunia dan Inflasi di Pulau Jawa
2001-2010
Pada Tahun 2009 harga minyak dunia mulai turun akibat telah berakhirnya
krisis finansial global yang melanda pada tahun 2008, namun harga minyak dunia
kembali naik pada tahun 2010 disebabkan menurnnya pasokan minyak dari
negara-negara eksportir utama.
Gambar 4.7 memberikan informasi mengenai pengaruh kenaikan harga
minyak dunia terhadap inflasi pada perekonomian provinsi di Pulau Jawa. Dapat
dilihat bahwa ketika harga minyak dunia mengalami kenaikan akan disusul oleh
kenaikan laju inflasi di setiap provinsi di Pulau Jawa. Kondisi tersebut terjadi
mengingat input utama dalam setiap proses produksi perusahaan adalah energi
53
(BBM) yang merupakan komoditas yang termasuk ke dalam komoditas impor
Indonesia, sehingga guncangan terhadap harga minyak dunia akan sangat
berdampak kepada tingkat harga.
Sumber : FAO, diolah
Gambar 4.8 Perkembangan Indeks Harga Komoditi Pangan Dunia dan
Inflasi di Pulau Jawa 2001-2010
Kenaikan juga dialami pada harga komoditi pangan dunia. Selama kurun
waktu tahun 2001-2003, indeks harga komoditi pangan dunia cenderung stabil.
Indeks harga komoditi pangan dunia mulai meningkat pada awal tahun 2006.
Perubahan iklim yang bersifat ekstrem di beberapa negara penghasil komoditi
pengan utama menyebabkan terganggunya siklus panen di banyak negara yang
juga menyebabkan kenaikan harga pangan.
54
Berdasarkan Gambar 4.8, kenaikan harga pangan dunia yang paling tinggi
terjadi pada tahun 2007-2008. Pada tahun 2008, indeks harga pangan dunia
mencapai 22,41 persen yang merupakan posisi tertinggi selama kurun waktu
2001-2010, penyababnya antara lain adalah: gangguan pasokan akibat gangguan
cuaca, larangan ekspor dari negara-negara eksportir pangan untuk mengamankan
pasokan domestik. Dari Gambar 4.8, juga dapat dilihat bahwa kenaikan pada
indeks harga komoditi dunia akan diikuti juga dengan kenaikan laju inflasi pada
perekonomian provinsi di Pulau Jawa.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1
Pengujian Stasioneritas Data Panel
Pengujian kestasioneran data merupakan tahap yang paling penting dalam
menganalisis data panel untuk melihat ada tidaknya panel unit root yang
terkandung diantara variabel, sehingga hubungan diantara variabel menjadi valid.
Pengujian panel unit root yang digunakan penelitian ini didasarkan pada beberapa
statistik uji tingkat level dan first differencing seperti telah dijelaskan pada bab
sebelumnya. Hasil pengujian panel unit root secara lengkap dapat dilihat pada
Lampiran.1, sementara rangkumannya disajikan pada Tabel 5.1.
Seperti dapat dilihat pada Tabel 5.1, pengujian panel unit root dilakukan
pada variabel IHK (P), jumlah uang beredar (M), pengeluaran pemerintah
(GEXP), pertumbuhan ekonomi (Y), upah minimum regional (W), kondisi
infrastruktur (KI), harga minyak dunia (OIL_P) dan harga pangan dunia
(FOOD_P) semuanya dinyatakan dalam logaritma natural dari nilai riilnya.
Sebelum dilakukan pengujian, terlebih dahulu dilakukan plotting data
untuk melihat metode pengujian, apakah panel unit root akan digunakan untuk
data dengan intersep tanpa tren (kode 2) atau dengan intersep dan tren (kode 3).
Berdasarkan plotting data tersebut, untuk data level diketahui seluruhnya
menggunakan metode dengan intersep dan tren. Berdasarkan berbagai statistik uji
yang digunakan, data level menunjukkan adanya common unit root (uji Breitung)
kecuali pada variabel upah minimum regional (W), bahkan beberapa variabel
menunjukkan adanya individual unit root. Oleh karena itu, dilakukan first
differencing kepada seluruh variabel untuk menjaga robustness hasil penelitian.
Setelah dilakukan first differencing pada semua variabel, hasil pengujian
dengan metode dengan intersep tanpa tren menunjukkan, baik dengan statistik uji
common unit root maupun individual unit root seluruhnya signifikan pada taraf
nyata α 5 persen dan beberapa pada 1 persen. Hasil pengujian kemudian
menyatakan tidak ditemukannya panel unit root pada variabel sehingga estimasi
dapat dilakukan pada model first difference atau pada model persamaan (3.8).
56
Tabel 5.1 Rangkuman Hasil Pengujian Panel Unit Root
p-Value Statistik Uji 3)
Diff 1)
Variabel
Metode 2)
LLC
Breitung
IPS
ADFFisher
PP-Fisher
P
0
3
0.1341
0.6139
0.7396
0.9141
0.9841
∆P
1
2
0.0000**
-
0.0200***
0.0143***
0.0058**
M
0
3
0.6738
0.8069
0.8802
0.9983
0.9963
∆M
1
2
0.0000**
-
0.0351***
0.0304***
0.0344***
+
GEXP
0
3
0.0000**
0.1262
0.0887
0.0061**
0.0000**
∆GEXP
1
2
0.0000**
-
0.0003**
0.0002**
0.0000**
+
Y
0
3
0.0000**
0.3037
0.2266
0.0864
0.0001**
∆Y
1
2
0.0000**
-
0.0124***
0.0082**
0.0002**
+
W
0
3
0.0000**
0.9421
0.0551
0.0023**
0.0000**
∆W
1
2
0.0000**
-
0.0000**
0.0000**
0.0000**
KI
0
3
0.0000**
0.0123
0.3940
0.2874
0.1227
∆KI
1
2
0.0000**
-
0.0003**
0.0002**
0.0000**
OIL_P
0
3
0.3454
0.1271
0.8068
0.9877
0.9877
∆OIL_P
1
2
0.0000**
-
0.0004**
0.0003**
0.0003**
FOOD_P
0
3
0.0000**
0.0016**
0.3796
0.2533
0.0001**
∆FOOD_P
1
2
0.0000**
-
0.0181***
0.0092**
0.0000**
Keterangan :
1)
Differencing :
2)
Metode :
3)
Statistik Uji :
4)
Signifikansi :
5.2
Tahapan Pemilihan Pendekatan Model Terbaik
0
1
1
2
3
LLC
Breitung
IPS
ADF-Fisher
PP-Fisher
**
***
+
= data level
= data first differencing
= tanpa intersep – tanpa tren
= dengan intersep – tanpa tren
= dengan intersep – dengan tren
= Levin, Lin & Chu t*
= Breitung t-stat
= Im, Pesaran and Shin W-stat
= ADF-Fisher Chi-square
= PP-Fisher Chi-square
= pada taraf nyata α 1 %
= pada taraf nyata α 5 %
= pada taraf nyata α 10 %
Estimasi model untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi inflasi
di Pulau Jawa yang menggunakan analisis data panel, dapat dilakukakan melalui
tiga pendekatan estimasi model yaitu Pooled Least Square (PLS), Fixed Effect
Model (FEM) dan Random Effect Model (REM).
57
Pertama-tama, dilakukan estimasi model regresi data panel faktor-faktor
yang memengaruhi inflasi di Pulau Jawa dengan pendekatan PLS (Lampiran.3)
menghasilkan estimasi model dengan nilai R2 sebesar 0,421998. Dengan melihat
nilai Prob(F-statistic) sebesar 0,000409 yang lebih kecil dibandingkan taraf nyata
α sebesar 1 persen, hal ini berarti model PLS menyatakan bahwa secara
keseluruhan minimal ada satu variabel diantara jumlah uang beredar, pengeluaran
pemerintah, pertumbuhan ekonomi, upah minimum, kondisi infrastruktur, harga
minyak dunia dan harga pangan dunia yang secara signifikan memengaruhi inflasi
dengan tingkat kepercayaan 99 persen.
Selanjutnya, estimasi model regresi data panel faktor-faktor yang
memengaruhi inflasi di Pulau Jawa dilakukan dengan metode FEM (lampiran.4)
menghasilkan estimasi model dengan R2 0,523606. Secara sekilas estimasi model
dengan pendekatan FEM menunjukkan hasil yang lebih baik bila dibandingkan
dengan PLS, namun Chow Test tetap harus dilakukan untuk memilih pendekatan
model terbaik antara PLS dan FEM. Hasil Chow Test (Lampran.5) menunjukkan
nilai statistik dengan probability sebesar 0,1120 yang lebih besar bila
dibandingkan dengan taraf nyata α 1, 5, maupun 10 persen. Hal tersebut
menyatakan bahwa pendekatan PLS lebih baik daripada pendekatan FEM,
sehingga dinyatakan bahwa pendekatan terbaik untuk mengestimasi model pada
penelitian ini adalah PLS.
Langkah berikutnya adalah mengestimasi model regresi data panel faktorfaktor yang memengaruhi inflasi di Pulau Jawa melalui pendekatan REM.
Disebabkan jumlah pengamatan cross section pada penelitian ini tidak mencukupi
untuk di estimasinya model dengan pendekatan REM, maka estimasi dengan
pendekatan REM tidak dapat di lakukan. Dengan demikian, tahapan pengujian
untuk memilih model terbaik antara FEM dan REM dengan menggunakan
Hausman Test dapat diabaikan.
58
5.3
Tahapan Evaluasi Model
5.3.1
Tahapan Evaluasi Model Berdasarkan Kriteria Ekonometrika
Tahapan pemilihan pendekatan model terbaik berdasarkan Chow Test
menunjukkan bahwa PLS merupakan pendekatan terbaik untuk mengestimasi
model penelitian. Langkah berikutnya adalah melakukan pengujian asumsi klasik
terhadap model estimasi data panel PLS. Pengujian asumsi klasik harus tetap
dilakukan agar model dapat menghasilkan estimator yang memenuhi kriteria Best
Liniear Unbiased Estimator (BLUE). Pengujian asumsi klasik meliputi uji
normalitas, uji multikoliniearitas, uji heteroskedastisitas dan uji autokorelasi.
5.3.1.1 Uji Normalitas
Pengujian normalitas dilakukan dengan Jarque Bera Test yang terdapat
dalam software Eviews 6. Hasil perhitungan dengan menggunakan software
Eviews 6 menghasilkan output pada Lampiran.6. Dari hasil tersebut diperoleh
nilai p-value sebesar 0,419674 (Lampiran.6). Hal tersebut menandakan bahwa
nilai p-value lebih besar dibandingkan dengan taraf nyata α 1, 5, maupun 10
persen, dimana jika nilai p-value lebih besar menandakan H 0 tidak ditolak dan
menandakan bahwa residual berdistribusi normal. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa kriteria normalitas model estimasi telah terpenuhi.
5.3.1.2 Uji Multikoliniearitas
Multikolinearitas menandakan terdapat hubungan linier antar variabel
independennya. Uji multikolinieritas dilakukan dengan melihat nilai perhitungan
koefisien korelasi sederhana (Pearson correlation coefficient) antar peubah
bebasnya. Persyaratan kecukupan (sufficient condition) untuk terbebas dari
pelanggaran asumsi multikoliniearitas ini adalah nilai koefisien korelasi antar
variabel bebas pada model tidak boleh melebihi tanda mutlak 0.8. Sedangkan
syarat perlu (necessary condition) yang perlu dipenuhi apabila syarat cukup tidak
terpenuhi adalah nilai dari Variance Inflation Factor (VIF) yang tidak boleh
melebihi 5 atau 10.
59
Hasil perhitungan nilai koefisien korelasi dengan menggunakan software
Eviews 6 menghasilkan output pada lampiran.2. Dengan melihat hasil output
tersebut, tidak terdapat nilai koefisien korelasi yang melebihi kisaran nilai 0,80
pada peubah bebas dalam model, dengan demikian persyatatan kecukupan telah
terpenuhi sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi pelanggaran asumsi
multikoliniearitas dalam estimasi model penelitian.
5.3.1.3 Uji Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas dapat menyebabkan estimator tidak lagi BLUE karena
tidak lagi mempunyai varians yang minimum, perhitungan standar error tidak lagi
dapat dipercaya kebenarannya karena estimasi regresi yang dihasilkan tidak
efisien serta uji hipotesis yang didasarkan pada uji F-statistic dan t-statistic tidak
dapat dipercaya. Jika model mengalami masalah heteroskedastisitas, dengan
menggunakan metode GLS Weight Cross-section SUR permasalahan tersebut
sudah dapat teratasi dan model estimasi dapat dikatakan telah terbebas dari
masalah heteroskedastisitas.
Disamping hal tersebut, heteroskedastisitas juga dapat diketahui dengan
melakukan plotting pada sebaran standardized residualnya. Apabila secara grafis
terlihat bahwa residual dari model terdistribusi normal maka dapat dikatakan tidak
terjadi pelanggaran asumsi heteroskedastisitas. Lampiran.7 menunjukkan uji
heteroskedastisitas berdasarkan grafik. Berdasarkan grafik tersebut dapat
disimpulkan tidak terjadi pelanggaran asumsi heteroskedastisitas.
5.3.1.4 Uji Autokorelasi
Autokorelasi adalah korelasi antar anggota serangkaian observasi yang
diurutkan menurut waktu atau diurutkan menurut ruang. Autokorelasi akan
menyebabkan model menjadi tidak efisien meskipun masih tidak bias dan
konsisten. Pengujian untuk mendeteksi permasalahan autokorelasi dapat
dilakukan dengan melihat nilai Durbin-Watson Statistic pada model dan
membandingkannya dengan nilai DW-Tabel. Namun, karena model sudah
60
diestimasi dengan menggunakan metode pembobotan GLS Weights Cross section
SUR maka masalah tersebut langsung dapat terkoreksi. Metode GLS Cross
section SUR dapat digunakan untuk mengoreksi masalah autokorelasi, dengan
demikian, model estimasi regresi data panel pada penelitian ini telah terbebas dari
masalah autokorelasi.
5.3.2
Tahapan Evaluasi Model Berdasarkan Kriteria Statistika
Setelah dilakukan tahapan pengujian asumsi klasik maka dapat ditentukan
bahwa model estimasi analisis data panel yang terbaik pada penelitian ini
menggunakan pendekatan PLS dengan metode pembobotan GLS Weight Cross
section SUR. Dengan nilai R2 model sebesar 0,421998 menandakan bahwa
variabel jumlah uang beredar, pengeluaran pemerintah, pertumbuhan ekonomi,
upah minimum, kondisi infrastruktur, harga minyak dunia dan harga pangan dunia
mampu menjelaskan keragaman dalam inflasi di Pulau Jawa sebesar 42,20 persen
dan sisanya sebesar 57,80 persen keragaman dalam inflasi di Pulau Jawa
dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Kriteria statistik lainnya dapat dilihat
pada Tabel 5.2
Tabel 5.2 Nilai Statistik Model Inflasi di Pulau Jawa
Kriteria Statistik
R
2
Nilai
0.421998
Adjusted R2
0.334041
S.E. of regression
0.967544
F-statistic
4.797779
Prob(F-statistic)
0.000409
Mean dependent var
1.782925
S.D. dependent var
2.049364
Sum squared resid
43.06251
Durbin-Watson statistic
1.613516
61
Dengan melihat nilai Prob(F-statistic) sebesar 0,000409 yang lebih kecil
jika dibandingkan taraf nyata α sebesar 1 persen, hal ini menyatakan bahwa secara
keseluruhan minimal ada satu variabel diantara jumlah uang beredar, pengeluaran
pemerintah, pertumbuhan ekonomi, upah minimum, kondisi infrastruktur, harga
minyak dunia dan harga pangan dunia yang secara signifikan memengaruhi inflasi
di Pulau Jawa dengan tingkat kepercayaan 99 persen.
Kemudian, secara parsial dengan melihat nilai Prob(t-statistic) dari
masing-masing variabel yang lebih kecil dari taraf nyata α sebesar 10 persen
(variabel pengeluaran pemerintah, harga minyak dunia dan pertumbuhan
ekonomi) serta beberapa signifikan pada taraf nyata α 1 persen (kondisi
infrastruktur dan upah minimum), maka dapat disimpulkan bahwa pengeluaran
pemerintah, pertumbuhan ekonomi, upah minimum, kondisi infrastruktur dan
harga minyak dunia berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi di Pulau Jawa,
sementara variabel jumlah uang beredar dan harga pangan dunia tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi di Pulau Jawa.
Tabel 5.3 Hasil Estimasi Model Inflasi di Pulau Jawa
Variabel
Koefisien
Standar Error
t-Statistic
Prob
C
0.054130
0.014785
3.661005
0.0006
D(GEXP)
0.015390
0.008338
1.845891
0.0713+
D(OIL_P)
0.086558
0.047303
1.829861
0.0738+
D(FOOD_P)
-0.133759
0.092028
-1.453463
0.1529
D(M)
0.049431
0.077068
0.641392
0.5245
D(KI)
0.002159
0.000615
3.507293
0.0010**
D(Y)
0.124943
0.071513
1.747137
0.0873+
D(W)
0.084064
0.019137
4.392706
0.0001**
Keterangan :
(**) Signifikan pada taraf nyata 1 persen
(***) Signifikan pada taraf nyata 5 persen
(+) Signifikan pada taraf nyata 10 persen
Selanjutnya, dengan melihat koefisien dari masing-masing variabel dapat
diketahui bahwa semua variabel yang signifikan memiliki pengaruh positif
62
terhadap inflasi di Pulau Jawa. Tabel 5.3 menyajikan hasil estimasi untuk masingmasing variabel dalam model inflasi di Pulau Jawa.
5.3.3
Tahapan Evaluasi Model Berdasarkan Kriteria Ekonomi
Estimasi yang diberikan oleh pendekatan PLS menunjukkan hasil yang
cukup baik karena telah melampaui berbagai syarat-syarat pengujian model.
Tahap selanjutnya perlu diperiksa kembali tanda dari koefisien regresi, apakah
sudah sesuai dengan nilai parameter yang diharapkan. Berdasarkan tujuh penduga
koefisien yang diperoleh melalui metode PLS, dua diantaranya yaitu pertumbuhan
jumlah uang beredar dan perubahan harga pangan dunia memiliki pengaruh yang
tidak signifikan terhadap inflasi di Pulau Jawa. Anomali dari dampak
pertumbuhan jumlah uang beredar memiliki pengaruh yang sesuai dengan teori
namun tidak signifikan terhadap inflasi, hal tersebut disebabkan oleh penggunaan
data yang belum akurat merepresentasikan kondisi jumlah uang beredar untuk
studi kasus pada tataran provinsi. Anomali lainnya dari hasil estimasi model
adalah tanda dari koefisien perubahan harga pangan dunia berpengaruh negatif,
namun karena pengaruhnya tidak signifikan terhadap inflasi, maka fakta ini dapat
diterima, meskipun sangat sulit menjelaskan pengaruh yang negatif akibat
kenaikan harga pangan dunia pada kondisi yang sebenarnya. Selanjutnya variabelvariabel yang signifikan memengaruhi inflasi dijelaskan pada sub-bab berikut.
5.3.3.1 Variabel Perubahan Pengeluaran Pemerintah
Hasil analisis regresi diperoleh hasil koefisien untuk variabel perubahan
pengeluaran pemerintah D(GEXP) sebesar 0,015390. Hal ini menandakan bahwa
perubahan pengeluaran pemerintah berpengaruh positif terhadap inflasi di Pulau
Jawa. Peningkatan persentase perubahan pengeluaran pemerintah sebesar 1 persen
akan menyebabkan kenaikan inflasi 0,015 persen dengan asumsi cateris paribus.
Pada kenyataannya hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis yang
diajukan
sebelumnya
maupun
teori
demand-pull
inflation.
Pengeluaran
pemerintah merupakan salah satu instrumen kebijakan fiskal yang dilaksanakan
63
untuk mendukung kegiatan perekonomian dalam memacu pertumbuhan.
Berdasarkan teori demand-pull inflation dalam keadaan perekonomian yang sudah
full employment, peningkatan pengeluaran pemerintah daerah justru hanya akan
meningkatkan tingkat inflasi tanpa memengaruhi output. Penelitian ini juga
konsisten dengan penelitian terdahulu (Brodjonegoro et al, 2005) dan (Hamzah
dan Sofilda, 2006).
5.3.3.2 Variabel Perubahan Harga Minyak Dunia
Hasil analisis regresi diperoleh hasil koefisien untuk variabel perubahan
harga minyak dunia D(OIL_P) sebesar 0,086558. Hal ini menandakan bahwa
perubahan harga minyak dunia berpengaruh positif terhadap inflasi di Pulau Jawa.
Peningkatan persentase perubahan harga minyak dunia sebesar 1 persen, akan
meningkatkan inflasi di Pulau Jawa sebesar 0,087 persen dengan asumsi cateris
paribus.
Pada kenyataanya hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis yang
diajukan sebelumnya maupun dengan teori cost-push inflation. Peningkatan pada
harga minyak dunia tentunya akan memengaruhi Indonesia sebagai salah satu
negara importir minyak tentunya juga tekena imbas akibat kenaikan harga minyak
dunia. Kenaikan harga minyak dunia akan direspon pemerintah dengan
menaikkan harga minyak domestik untuk mengurangi beban fiskal pemerintah
sehingga akan menyebabkan biaya produksi hampir seluruh sektor perekonomian
di Pulau Jawa akan mengalami peningkatan. Sebagai produsen yang rasional
tentunya kenaikan biaya produksi hanya akan direspon dengan mengurangi
produksi atau meningkatkan harga jual yang keduanya akan berakibat memicu
inflasi untuk naik. Penelitian ini konsisten mendukung penelitian terdahulu
(Satrya, 2009) dan (Wahyuni, 2011).
5.3.2.3 Variabel Perubahan Kondisi Infrastruktur
Hasil analisis regresi diperoleh hasil koefisien untuk variabel perubahan
kondisi infrastruktur D(KI) sebesar 0,002159. Hal ini menandakan bahwa
64
perubahan kondisi infrastruktur memiliki pengaruh yang positif terhadap inflasi di
Pulau Jawa. Peningkatan persentase perubahan kondisi infrastruktur sebesar 1
persen, akan meningkatkan inflasi di Pulau Jawa sebesar 0,002 persen dengan
asumsi cateris paribus.
Pada kenyataannya hasil penelitian ini berbeda dengan hipotesis penelitian
yang telah diajukan maupun dengan teori cost-push inflation. dampak dari
peningkatan kualitas infrastruktur bisa menyebabkan kenaikan tingkat harga atau
sebaliknya tergantung dari struktur perekonomian suatu negara atau wilayah.
Peningkatan kualitas infrastruktur transportasi dapat menyebabkan dua kondisi
yang berbeda, yaitu akan mendorong peningkatan ekspor atau sebaliknya akan
meningkatkan permintaan atas produk impor. Bila kemudian yang terjadi adalah
peningkatan ekspor maka pengaruhnya terhadap harga cenderung menjadi negatif,
namun jika yang terjadi sebaliknya dampaknya terhadap inflasi menjadi positif
(Oosterhaven dan Elhorst, 2003).
Tabel 5.4 Neraca Perdagangan Provinsi Pulau Jawa
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DIY
Jawa Timur
Banten
2007
-2.796.238.297,0
-1.059.322.629,0
-3.537.144.871,0
2.380.630,0
629.964.532,0
-4.247.554.150,0
2008
-27.364.025.047,0
-2.037.976.611,0
-6.889.828.191,0
2.125.652,0
-8.432.895.247,0
-6.428.958.937,0
2009
-15.562.798.072,0
-1.370.358.114,0
-3.183.795.800,0
2.700.587,0
-254.368.113,0
-4.837.155.878,0
2010
-30.432.900.226,0
-249.465.961,0
-5.776.463.859,0
11.436.587,0
-643.748.407,0
-6.665.677.315,0
Sumber: Kemendag, 2012
Tabel 5.4 memberikan informasi mengenai neraca perdagangan provinsi di
Pulau Jawa. Berdasarkan tabel tersebut apabila diagregsi pada keseluruhan
provinsi, Pulau Jawa memeiliki neraca perdagangan yang defisit (impor lebih
besar dibandingkan ekspor). Defisit tersebut diakibatkan oleh tingginya
ketergantungan impor akan bahan baku produksi pada tiap-tiap sektor pada
perekonomian Pulau Jawa baik migas maupun non-migas. Satu-satunya provinsi
yang tidak mengalami defisit neraca perdagangan pada tabel adalah provinsi DIY,
namun jumlahnya tidak dapat menutupi defisit yang terjadi pada provinsi-provinsi
lainnya di Pulau Jawa.
65
5.3.2.4 Variabel Perubahan Pertumbuhan Ekonomi
Hasil analisis regresi diperoleh hasil koefisien untuk variabel perubahan
pertumbuhan ekonomi D(Y) sebesar 0,124943. Hal ini menandakan bahwa
perubahan pertumbuhan ekonomi memiliki pengaruh yang positif terhadap inflasi
di Pulau Jawa. Peningkatan persentase perubahan pertumbuhan ekonomi sebesar 1
persen, akan meningkatkan inflasi di Pulau Jawa sebesar 0,12 persen dengan
asumsi cateris paribus.
Pada kenyataanya hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis awal yang
diajukan maupun dengan teori demand-pull inflation. Chowdhury dan Siregar
(2004) menyatakan bahwa inflasi adalah sebagai pendorong pertumbuhan
ekonomi, sehingga saat perekonomian mengalami pertumbuhan maka hal tersebut
kemudian akan dibarengi dengan semakin meningkatnya tingkat inflasi.
5.3.2.5 Variabel Perubahan Upah Minimum
Hasil analisis regresi diperoleh hasil koefisien untuk variabel perubahan
upah minimum D(W) sebesar 0,084064. Hal ini menandakan bahwa perubahan
upah minimum memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap inflasi di
Pulau Jawa. Peningkatan persentase pertumbuhan upah minimum sebesar 1
persen, akan meningkatkan inflasi di Pulau Jawa sebesar 0,084 persen dengan
asumsi cateris paribus.
Pada kenyataanya hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis awal yang
diajukan maupun dengan teori cost-push inflation. Upah merupakan salah satu
input utama dalam proses produksi. Kenaikan dalam upah akan menyebabkan
kenaikan biaya produksi sehingga produsen akan mengurangi outputnya untuk
mengantisipasi kenaikan biaya tersebut, dengan penurnan output ini membuat
harga barang dan jasa akan meningkat.
66
5.4
Implikasi Kebijakan Pengendalian Inflasi
Kestabilan inflasi merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang
berkesinambungan yang pada akhirnya memberikan manfaat bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Untuk mengendalikan inflasi dapat dilakukan dengan
menggunakan kebijakan moneter, fiskal atau kebijakan yang menyangkut
kenaikan produksi.
Sasaran kebijakan moneter dapat dicapai melalui pengaturan jumlah uang
beredar (M). Salah satu komponen M adalah uang giral (demand deposit), dengan
demikian Bank Sentral (BI) dapat mengatur uang giral ini melalui penetapan
cadangan minimum. Disamping itu, BI juga dapat menggunakan tingkat diskonto
(discount rate) dan operasi pasar terbuka. Discount rate merupakan tingkat bunga
pinjaman yang diberikan oleh Bank Sentral terhadap Bank Umumm, sedangkan
operasi pasar terbuka adalah jual beli surat-surat berharga BI dengan tujuan
menekan jumlah uang beredar.
Kebijakan fiskal menyangkut pengaturan tentang pengeluaran pemerintah
serta perpajakan yang secara langsung dapat memengaruhi permintaan total dan
dengan demikian akan memengaruhi harga. Inflasi dapat dikendalikan melalui
penurunan pengeluaran pemerintah serta kenaikan pajak.
Kebijakan penentuan harga juga dapat dilakukan untuk pengendalian
inflasi. Kebijakan tersebut dilakukan dengan penentuan ceiling harga, serta
mendasarkan pada indeks harga tertentu untuk upah dan komoditas lain yang
menguasai hajat hidup orang banyak, shingga pemerintah dapat dengan langsung
bertindak terhadap kondisi yang terjadi.
Merujuk kepada hasil penelitian yang diuraikan sebelumnya, Tabel 5.5.
berikut menyajikan rangkuman arah kebijakan yang disarankan oleh penulis
dalam rangka pengendalian inflasi di Pulau Jawa.
67
Tabel 5.5 Implikasi Kebijakan Berdasarkan Hasil Penelitian
No.
1.
2.
3.
Hasil Penelitian
Pengeluaran pemerintah
berpengaruh positif dan
signifikan terhadap inflasi di
Pulau Jawa.
Implikasi Kebijakan
Pemerintah daerah sebaiknya
mengendalikan pengeluarannya
dengan peningkatan efisiensi alokasi
anggaran dan memberikan bobot yang
lebih besar kepada belanja modal bila
dibandingkan dengan belanja barang.
Harga minyak dunia berpengaruh Pemerintah pusat sebaiknya:
positif dan signifikan terhadap
1. Tetap memberikan bantuan subsidi
inflasi di Pulau Jawa.
namun, diiringi dengan
melaksanakan kebijakan
penyesuaian harga BBM secara
perlahan-lahan menyesuaikan
dengan proporsi keuagan
pemerintah.
2. Terkait dengan kebutuhan konsumsi
bahan bakar untuk keperluan
produksi industri perlu dialihkan ke
penggunaan energi alternatif lain
seperti gas maupun panas bumi
sehingga tekanan terhadap
kebutuhan bahan bakar (minyak
bumi) semakin berkurang.
Kondisi infrastruktur jalan raya
Pemerintah baik pusat, provinsi dan
berpengaruh positif dan
kabupaten/kota disarankan agar:
signifikan terhadap inflasi di
1. Meningkatkan daya saing produk
Pulau Jawa.
karena dengan peningkatan daya
saing maka ekspor neto akan terus
meningkat serta memacu ekspor
untuk komoditas unggulan sehingga
peningkatan kondisi infrastruktur
memiliki dampak seperti diharapkan
yaitu mengurangi biaya transportasi
serta lancarnya arus barang sehingga
tingkat harga menjadi turun
2. Memelihara, memperbaiki dan terus
meningkatkan infrastruktur jalan
raya yang sudah tersedia.
68
4.
Pertumbuhan ekonomi
berpengaruh positif dan
signifikan terhadap inflasi di
Pulau Jawa.
5.
Upah minimum regional
berpengaruh positif dan
signifikan terhadap inflasi di
Pulau Jawa
Pemerintah pusat maupun daerah
sebaiknya menciptakan iklim yang
mendorong peningkatan produksi
sekaligus membantu menyediakan
atau paling tidak mempermudah
penyediaan baik secara langsung
maupun tidak langsung atas barangbarang komoditas utama yang banyak
dikonsumsi pada perekonomian
daerah masing-masing untuk
mencukupi kenaikan pada sisi
permintaan.
Pemerintah pusat sebaiknya
memepertimbangkan besarnya
penyesuain upah minimum regional
agar peningkatannya tidak lebih tinggi
dari tingkat inflasi.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1
Kesimpulan
Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan dalam penulisan skripsi ini,
maka hasil penelitian faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di Pulau Jawa dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Pengujian variabel pada estimasi faktor-faktor yang memengaruhi inflasi
di Pulau Jawa dilakukan dengan menggunakan metode data panel Pooled
Least Square (PLS). Secara keseluruhan dapat dikemukakan bahwa
signifikansi pengaruh variabel-variabel seperti perubahan pengeluaran
pemerintah, perubahan pertumbuhan ekonomi, perubahan upah minimum,
perubahan kondisi infrastruktur dan perubahan harga minyak dunia
menunjukkan berpengaruh terhadap pergerakan inflasi di Pulau Jawa.
Sedangkan variabel perubahan jumlah uang beredar dan perubahan harga
pangan
dunia
tidak
berpengaruh
signifikan
dalam
memengaruhi
pergerakan tingkat inflasi di Pulau Jawa.
2. Implikasi kebijakan yang harus dilakukan untuk mengatasi inflasi tidak
terlepas
dari
sumber-sumber
yang
menyebabkan
inflasi
pada
perekonomian regional. Berdasarkan hasil analisis regresi penyebab
munculnya inflasi pada perekonomian regional lebih disebabkan dari sisi
penawaran. Oleh karena itu perhatian sebaiknya lebih difokuskan kepada
sektor produksi dalam mengendalikan inflasi. Temuan penting dari
penelitian ini adalah perubahan kondisi infrastruktur di Pulau Jawa
ternyata memberikan pengaruh yang positif terhadap inflasi. oleh
karenanya disamping tetap menjaga dan meningkatkan kualitas dari
kondisi infrastruktur yang sudah tersedia, sebaiknya pemerintah juga
memperhatikan keseimbangan ekspor dan impor di Pulau Jawa dengan
mendorong ekspor supaya dapat mengimbangi impornya. Dengan
meningkatkatnya kuantitas nilai ekspor maka diharapkan peningkatan
kondisi infrastruktur dapat optimal mendukung ekspor tersebut, sehingga
dapat mengurangi tingkat inflasi.
70
6.2
Saran
Keterbatasan penelitian ini adalah hanya membahas inflasi pada Pulau
Jawa saja. Saran untuk penelitian lebih lanjut adalah sebgai berikut:
1. Merubah cakupan penelitian menjadi provinsi-provinsi lain selain Pulau
Jawa, sehingga melengkapi hasil penelitian ini.
2. Memasukkan variabel lain yang diperkirakan akan berpengaruh terhadap
volatilitasi inflasi baik di Pulau Jawa maupun di provinsi-provinsi lainnya
di Indonesia, yaitu suku bunga sebagai proksi lain kebijakan moneter dan
variabel ekspor-impor.
3. Mengumpulkan keterbatasan data yang tidak diperoleh penulis pada
penelitian ini, seperti jumlah uang beredar pada level provinsi, maupun
penggunaan data harga komoditas pangan yang paling besar dikonsumsi di
masing-masing provinsi sebagai proksi harga pangan dunia agar lebih
mampu untuk menjelaskan dinamika inflasi pada perekonomian regional
secara lebih akurat.
DAFTAR PUSTAKA
Alam, K. dan Shahiduzzaman. Md. 2008. “Inflation and Food Security: Some Emerging
Issues in Developing Countries”, Australian Conference of Economics, September
29 – October 03, pp. 1-17.
Apriani, D. K. 2007. Analisis Dampak Guncangan Harga Minyak Dunia Terhadap Inflasi
dan Output di Indonesia: Periode 1990-2006 [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian
Bogor.
Arimurti, T. dan Budi, T. 2011. “Presistensi Inflasi di Jakarta dan Implikasinya Terhadap
Kebijakan Pengendalian Inflasi Daerah”, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan
(BEMP), Juli, Bank Indonesia.
Arjakusuma, R.S, 2009. Analisis Inflasi Regional di Indonesia [Skripsi]. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Atmadja, A. S. 1999. “Inflasi di Indonesia : Sumber-sumber Penyebab dan
pengendaliannya”, Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 1, No. 1, pp. 55-67.
Badan Pusat Statistik. 2005. Metode Pengukuran Inflasi di Indonesia. Direktorat Statistik
Keuangan dan Harga, Badan Pusat Statistik, Jakarta.
Baer, W. 1967. “The Inflation Controversy in Latin America : A Survey”, Latin American
Research Review, Vol. 2, No. 2 (Spring, 1967), pp. 3-25.
Baltagi, B. H. 2005. Econometric Analysis of Panel Data. Third Editions. Chicester: John
Wiley & Sons. Ltd. West Sussex.
Barro, R. J. 1996. “Inflation and Growth”, Journal of Federal Reserve Bank of St. Louis,
May/June edition.
Beirne, J. 2009. “Vulnerability of Inflation in The New EU Member States to Countryspecific and Global Factors”, Economics Bulletin, Vol. 29, No. 2, pp. 1420-1431.
Blanchard, O. 2004. Macroeconomics 4th Editions, Prentice Hall, New Jersey.
Boediono. 1999. Ekonomi Moneter, Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi Moneter,
LPBFE, Jogjakarta.
Brodjonegoro, B.P.S., Telissa, F dan Beta, Y.G. 2005. “Determinant Factor of Regional
Inflation in Decentralized Indonesia”, Journal Economics and Finance in
Indonesia, Vol. 53, No. 1, pp. 1-31.
Chowdhury, A. dan Siregar, H. 2004. “Indonesia’s Monetary Policy Dilemma: Constraints
of Inflation Targeting”, The Journal of Developing Areas, Vol. 37, No. 2, pp. 137153.
Dumairy. 1996. Perekonomian Indonesia. Erlangga, Jakarta.
72
Fielding, D. 2008. “Inflation Volatility and Economic Development: Evidence from
Nigeria:, University of Otago Economics Discussion Papers, No. 0807, September
2008.
Firdaus, M. 2011. Aplikasi Ekonometrika untuk Data Panel dan Time Series. IPB Press,
Bogor.
Gali, J. dan Gertler, M. 1999. “Inflation Dynamics: A Structural Econometric Analysis”,
Journal of Monetary Economics, Vol. 44, pp. 195-222.
Gemmell, N. 1994. Ilmu Ekonomi Pembangunan: Beberapa Survai. LP3ES, Jakarta.
Gujarati, D. N. 2003. Basic Econometrics. Fourth Editions. McGraw-Hill, New York.
Hamzah, M. Z. dan Sofilda, E. 2006. “Pengaruh Jumlah Uang Beredar, Pengeluaran
Pemerintah dan Nilai Tukar terhadap Inflasi di Indonesia: Pendekatan Error
Correction Model (ECM)”, Jurnal Kebijakan Ekonomi, Vol. 2, No, 1, pp. 21-35.
Hoover, E.M. dan Giarratani, F. 1989. An Indtroduction to Regional Economics. Third
Editions.
Hossain, A. dan Chowdhury, A. 1998. Open Economy Macroeconomics for Developing
Countries. Edward Elgar, Massachusetts.
Juanda, B. 2009. Ekonometrika: Pemodelan dan Pendugaan. IPB Press, Bogor.
______. 2009. Metodologi Penelitian Ekonomi & Bisnis. IPB Press, Bogor.
Lestari, N. 2003. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inflasi Pada Perekonomian
Regional Indonesia [Thesis]. Depok: Universitas Indonesia.
Lipsey, R.G., P.O Steiner, D.D Purvis dan P.N Cournant. 1995. Pengantar Makroekonomi
edisi Sepuluh. Terj. Jaka Wasana dan Kirbrandoko. Binarupa Aksara, Jakarta.
Mankiw, N. G. 2007. Makroekonomi Edisi Keenam. Erlangga, Jakarta.
Mallik, G. dan Anis, C. 2001. “Inflation and Economic Growth: Evidence From Four South
Asian Countries”, Asia-Pacific Development Journal, Vol. 8, No. 1, June.
Mishkin, F. S. 2007. “Inflation Dynamics”, NBER Working Paper, No. 13147, June 2007.
___________. 2009. Ekonomi Uang, Perbankan, dan Pasar Keuangan Edisi 8 buku 2.
Salemba Empat, Jakarta.
Nagayasu, J. 2009. “Regional Inflation in China”, 83rd Annual Conference of the Western
Economics Association International. Ltd.
Oosterhaven, J. and Elhorst, J.P. 2003. “Indirect Economic Benefits of Transport
Infrastructure Investment”, Across The Border. pp. 143-161. De Boeck, Ltd.
Prasetyo, R. B. dan Muhammad, F. 2009. “Pengaruh Infrastruktur Pada Pertumbuhan
Ekonomi Wilayah di Indonesia”, Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan,
Vol. 2, No. 2, pp. 222-236.
73
Rahardja, P. dan Mandala, M. 2008. Pengantar Ilmu Ekonomi, Edisi Ketiga. LPFEUI,
Depok.
Solikin. 2007. “Karakteistik Tekanan Inflasi di Indonesia: Pengaruh Dinamis Sisi
Permintaan-Penawaran dan Prospek Ke Depan”, Buletin Ekonomi Moneter dan
Perbankan (BEMP), Januari, Bank Indonesia.
Subekti, A. 2011. Dinamika Inflasi Indonesia pada Tataran Provinsi [Thesis]. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Todaro, M.P. dan Smith, S.C. 2004. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Buku 1, Edisi
Ketiga. Erlangga, Jakarta.
Verbeek, M. 2004. A Guide to Modern Econometric. 2nd Edition. Chicester : John Wiley &
Sons. Ltd.
Wahyuni, D. 2011. Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Inflasi di Indonesia dari Sisi
Penawaran Tahun 1998-2010 [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Wimanda, R. E. 2006. “Regional Inflation in Indonesia: Characteristic, Convergence, and
Determinants”, Bank Indonesia Working Papers, No. WP/ 13/ 2006.
________. 2011. “Dampak Depresiasi Nilai Tukar dan Pertumbuhan Uang Beredar
Terhadap Inflasi: Aplikasi Threshold Model”, Buletin Ekonomi dan Moneter
Perbankan (BEMP), April, Bank Indonesia.
LAMPIRAN
75
Lampiran.1 Hasil Pengujian Panel Unit Root dengan Software Eviews 6
Ln IHK (P)
Panel unit root test: Summary
Series: P
Date: 06/19/12 Time: 13:30
Sample: 2001 2010
Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends
Automatic selection of maximum lags
Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method
Statistic
Prob.**
Null: Unit root (assumes common unit root process)
Levin, Lin & Chu t*
-1.10707
0.1341
Breitung t-stat
0.28950
0.6139
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
Im, Pesaran and Shin W-stat
0.64213
0.7396
ADF - Fisher Chi-square
6.03986
0.9141
PP - Fisher Chi-square
3.96552
0.9841
Crosssections
Obs
6
6
52
46
6
6
6
52
52
54
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
st
1 Differencing Ln IHK (∆P)
Panel unit root test: Summary
Series: D(P)
Date: 06/19/12 Time: 13:30
Sample: 2001 2010
Exogenous variables: Individual effects
Automatic selection of maximum lags
Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method
Statistic
Prob.**
Null: Unit root (assumes common unit root process)
Levin, Lin & Chu t*
-5.34697
0.0000
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
Im, Pesaran and Shin W-stat
-2.05331
0.0200
ADF - Fisher Chi-square
25.1167
0.0143
PP - Fisher Chi-square
27.8389
0.0058
Crosssections
Obs
6
47
6
6
6
47
47
48
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
76
Ln Jumlah Uang Beredar (M)
Panel unit root test: Summary
Series: M
Date: 06/19/12 Time: 15:59
Sample: 2001 2010
Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends
Automatic selection of maximum lags
Automatic selection of lags based on SIC: 0
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Balanced observations for each test
Method
Statistic
Prob.**
Null: Unit root (assumes common unit root process)
Levin, Lin & Chu t*
0.45053
0.6738
Breitung t-stat
0.86652
0.8069
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
Im, Pesaran and Shin W-stat
1.17619
0.8802
ADF - Fisher Chi-square
2.47139
0.9983
PP - Fisher Chi-square
2.89123
0.9963
Crosssections
Obs
6
6
54
48
6
6
6
54
54
54
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
st
1 Differencing Ln Jumlah Uang Beredar (∆M)
Panel unit root test: Summary
Series: D(M)
Date: 06/19/12 Time: 16:00
Sample: 2001 2010
Exogenous variables: Individual effects
Automatic selection of maximum lags
Automatic selection of lags based on SIC: 0
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Balanced observations for each test
Method
Statistic
Prob.**
Null: Unit root (assumes common unit root process)
Levin, Lin & Chu t*
-4.68980
0.0000
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
Im, Pesaran and Shin W-stat
-1.81017
0.0351
ADF - Fisher Chi-square
22.6966
0.0304
PP - Fisher Chi-square
22.2914
0.0344
Crosssections
Obs
6
48
6
6
6
48
48
48
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
77
Ln Pengeluaran Pemerintah (GEXP)
Panel unit root test: Summary
Series: GEXP
Date: 06/19/12 Time: 16:07
Sample: 2001 2010
Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends
Automatic selection of maximum lags
Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method
Statistic
Prob.**
Null: Unit root (assumes common unit root process)
Levin, Lin & Chu t*
-8.61066
0.0000
Breitung t-stat
-1.14444
0.1262
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
Im, Pesaran and Shin W-stat
-1.34896
0.0887
ADF - Fisher Chi-square
27.7055
0.0061
PP - Fisher Chi-square
44.7740
0.0000
Crosssections
Obs
6
6
49
43
6
6
6
49
49
54
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
st
1 Differencing Ln Pengeluaran Pemerintah (∆GEXP)
Panel unit root test: Summary
Series: D(GEXP)
Date: 06/19/12 Time: 16:08
Sample: 2001 2010
Exogenous variables: Individual effects
Automatic selection of maximum lags
Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method
Statistic
Prob.**
Null: Unit root (assumes common unit root process)
Levin, Lin & Chu t*
-6.08833
0.0000
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
Im, Pesaran and Shin W-stat
-3.39869
0.0003
ADF - Fisher Chi-square
37.2476
0.0002
PP - Fisher Chi-square
65.7363
0.0000
Crosssections
Obs
6
44
6
6
6
44
44
48
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
78
Ln Pertumbuhan Ekonomi (Y)
Panel unit root test: Summary
Series: Y
Date: 06/19/12 Time: 16:11
Sample: 2001 2010
Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends
Automatic selection of maximum lags
Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method
Statistic
Prob.**
Null: Unit root (assumes common unit root process)
Levin, Lin & Chu t*
-5.94205
0.0000
Breitung t-stat
-0.51374
0.3037
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
Im, Pesaran and Shin W-stat
-0.75004
0.2266
ADF - Fisher Chi-square
19.0887
0.0864
PP - Fisher Chi-square
40.2838
0.0001
Crosssections
Obs
6
6
52
46
6
6
6
52
52
54
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
st
1 Differencing Ln Pertumbuhan Ekonomi (∆Y)
Panel unit root test: Summary
Series: D(Y)
Date: 06/19/12 Time: 16:11
Sample: 2001 2010
Exogenous variables: Individual effects
Automatic selection of maximum lags
Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method
Statistic
Prob.**
Null: Unit root (assumes common unit root process)
Levin, Lin & Chu t*
-5.62746
0.0000
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
Im, Pesaran and Shin W-stat
-2.24458
0.0124
ADF - Fisher Chi-square
26.8316
0.0082
PP - Fisher Chi-square
37.2356
0.0002
Crosssections
Obs
6
47
6
6
6
47
47
48
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
79
Ln Upah Minimum Regional (W)
Panel unit root test: Summary
Series: W
Date: 06/19/12 Time: 16:14
Sample: 2001 2010
Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends
Automatic selection of maximum lags
Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method
Statistic
Prob.**
Null: Unit root (assumes common unit root process)
Levin, Lin & Chu t*
-7.54105
0.0000
Breitung t-stat
1.57231
0.9421
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
Im, Pesaran and Shin W-stat
-1.59724
0.0551
ADF - Fisher Chi-square
30.5468
0.0023
PP - Fisher Chi-square
61.1681
0.0000
Crosssections
Obs
6
6
52
46
6
6
6
52
52
54
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
st
1 Differencing Ln Upah Minimum Regional (∆W)
Panel unit root test: Summary
Series: D(W)
Date: 06/19/12 Time: 16:14
Sample: 2001 2010
Exogenous variables: Individual effects
Automatic selection of maximum lags
Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method
Statistic
Prob.**
Null: Unit root (assumes common unit root process)
Levin, Lin & Chu t*
-9.49763
0.0000
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
Im, Pesaran and Shin W-stat
-4.88357
0.0000
ADF - Fisher Chi-square
46.8814
0.0000
PP - Fisher Chi-square
76.6750
0.0000
Crosssections
Obs
6
47
6
6
6
47
47
48
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
80
Ln Kondisi Infrastruktur (KI)
Panel unit root test: Summary
Series: KI
Date: 06/19/12 Time: 16:15
Sample: 2001 2010
Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends
Automatic selection of maximum lags
Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method
Statistic
Prob.**
Null: Unit root (assumes common unit root process)
Levin, Lin & Chu t*
-4.57443
0.0000
Breitung t-stat
-2.24877
0.0123
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
Im, Pesaran and Shin W-stat
-0.26889
0.3940
ADF - Fisher Chi-square
14.2121
0.2874
PP - Fisher Chi-square
17.7755
0.1227
Crosssections
Obs
6
6
50
44
6
6
6
50
50
54
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
st
1 Differencing Ln Kondisi Infrastruktur (∆KI)
Panel unit root test: Summary
Series: D(KI)
Date: 06/19/12 Time: 16:16
Sample: 2001 2010
Exogenous variables: Individual effects
Automatic selection of maximum lags
Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method
Statistic
Prob.**
Null: Unit root (assumes common unit root process)
Levin, Lin & Chu t*
-7.63797
0.0000
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
Im, Pesaran and Shin W-stat
-3.45702
0.0003
ADF - Fisher Chi-square
37.3333
0.0002
PP - Fisher Chi-square
49.0901
0.0000
Crosssections
Obs
6
46
6
6
6
46
46
48
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
81
Ln Harga Minyak Dunia (OIL_P)
Panel unit root test: Summary
Series: OIL_P
Date: 06/19/12 Time: 16:18
Sample: 2001 2010
Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends
Automatic selection of maximum lags
Automatic selection of lags based on SIC: 0
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Balanced observations for each test
Method
Statistic
Prob.**
Null: Unit root (assumes common unit root process)
Levin, Lin & Chu t*
-0.39781
0.3454
Breitung t-stat
-1.14023
0.1271
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
Im, Pesaran and Shin W-stat
0.86633
0.8068
ADF - Fisher Chi-square
3.74051
0.9877
PP - Fisher Chi-square
3.74051
0.9877
Crosssections
Obs
6
6
54
48
6
6
6
54
54
54
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
st
1 Differencing Ln Harga Minyak Dunia (∆OIL_P)
Panel unit root test: Summary
Series: D(OIL_P)
Date: 06/19/12 Time: 16:18
Sample: 2001 2010
Exogenous variables: Individual effects
Automatic selection of maximum lags
Automatic selection of lags based on SIC: 0
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Balanced observations for each test
Method
Statistic
Prob.**
Null: Unit root (assumes common unit root process)
Levin, Lin & Chu t*
-7.93437
0.0000
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
Im, Pesaran and Shin W-stat
-3.38853
0.0004
ADF - Fisher Chi-square
36.0853
0.0003
PP - Fisher Chi-square
36.0853
0.0003
Crosssections
Obs
6
48
6
6
6
48
48
48
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
82
Ln Indeks Harga Komoditi Pangan Dunia (FOOD_P)
Panel unit root test: Summary
Series: FOOD_P
Date: 06/19/12 Time: 16:20
Sample: 2001 2010
Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends
Automatic selection of maximum lags
Automatic selection of lags based on SIC: 1
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Balanced observations for each test
Method
Statistic
Prob.**
Null: Unit root (assumes common unit root process)
Levin, Lin & Chu t*
-5.22390
0.0000
Breitung t-stat
-2.95602
0.0016
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
Im, Pesaran and Shin W-stat
-0.30640
0.3796
ADF - Fisher Chi-square
14.7876
0.2533
PP - Fisher Chi-square
38.7855
0.0001
Crosssections
Obs
6
6
48
42
6
6
6
48
48
54
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
st
1 Differencing Ln Indeks Harga Komoditi Pangan Dunia (∆FOOD_P)
Panel unit root test: Summary
Series: D(FOOD_P)
Date: 06/19/12 Time: 16:21
Sample: 2001 2010
Exogenous variables: Individual effects
Automatic selection of maximum lags
Automatic selection of lags based on SIC: 1
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Balanced observations for each test
Method
Statistic
Prob.**
Null: Unit root (assumes common unit root process)
Levin, Lin & Chu t*
-5.29265
0.0000
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
Im, Pesaran and Shin W-stat
-2.09418
0.0181
ADF - Fisher Chi-square
26.4815
0.0092
PP - Fisher Chi-square
68.4211
0.0000
Crosssections
Obs
6
42
6
6
6
42
42
48
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
83
Lampiran.2 Korelasi Antar Variabel Independen Pada Model 1st
Differencing
D(M)
D(GEXP)
D(Y)
D(W)
D(KI)
D(OIL_P)
D(FOOD_P)
D(M)
1.0000
-0.1023
-0.2999
0.0640
-0.1256
-0.1419
-0.0323
D(GEXP)
-0.1023
1.0000
-0.0352
0.5617
0.0370
0.0049
-0.1235
D(Y)
-0.2999
-0.0352
1.0000
-0.1420
0.0084
0.2447
0.2808
D(W)
0.0640
0.5617
-0.1420
1.0000
-0.2034
-0.1529
-0.2190
D(KI)
-0.1256
0.0370
0.0084
-0.2034
1.0000
-0.0041
-0.0754
D(OIL_P)
-0.1419
0.0049
0.2447
-0.1529
-0.0041
1.0000
0.8044
D(FOOD_P)
-0.0323
-0.1235
0.2808
-0.2190
-0.0754
0.8044
1.0000
84
Lampiran.3 Hasil Estimasi Model dengan Pendekatan Pooled Least Square
Model 1st Differencing
Dependent Variable: D(P)
Method: Panel EGLS (Cross-section SUR)
Date: 06/21/12 Time: 02:15
Sample (adjusted): 2002 2010
Periods included: 9
Cross-sections included: 6
Total panel (balanced) observations: 54
Linear estimation after one-step weighting matrix
Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (d.f. corrected)
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(M)
D(GEXP)
D(Y)
D(W)
D(KI)
D(OIL_P)
D(FOOD_P)
C
0.049431
0.015390
0.124943
0.084064
0.002159
0.086558
-0.133759
0.054130
0.077068
0.008338
0.071513
0.019137
0.000615
0.047303
0.092028
0.014785
0.641392
1.845891
1.747137
4.392706
3.507293
1.829861
-1.453463
3.661005
0.5245
0.0713
0.0873
0.0001
0.0010
0.0738
0.1529
0.0006
Weighted Statistics
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.421998
0.334041
0.967544
4.797779
0.000409
Mean dependent var
S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat
1.782925
2.049364
43.06251
1.613516
Unweighted Statistics
R-squared
Sum squared resid
0.375425
0.027218
Mean dependent var
Durbin-Watson stat
0.081592
1.891161
85
Lampiran.4 Hasil Estimasi Model dengan Pendekatan Fixed Effect Model 1st
Differencing
Dependent Variable: D(P)
Method: Panel EGLS (Cross-section SUR)
Date: 06/21/12 Time: 02:18
Sample (adjusted): 2002 2010
Periods included: 9
Cross-sections included: 6
Total panel (balanced) observations: 54
Linear estimation after one-step weighting matrix
Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (d.f. corrected)
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(M)
D(GEXP)
D(Y)
D(W)
D(KI)
D(OIL_P)
D(FOOD_P)
C
0.083627
0.023415
0.188878
0.085713
0.001921
0.094602
-0.154601
0.041552
0.075954
0.009337
0.075511
0.022540
0.000908
0.045473
0.088205
0.014756
1.101029
2.507786
2.501332
3.802649
2.116836
2.080410
-1.752753
2.815900
0.2773
0.0162
0.0165
0.0005
0.0404
0.0438
0.1171
0.0074
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
Weighted Statistics
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.523606
0.384173
1.020650
3.755264
0.000729
Mean dependent var
S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat
1.777053
2.495105
42.71078
1.842296
Unweighted Statistics
R-squared
Sum squared resid
0.419790
0.025285
Mean dependent var
Durbin-Watson stat
0.081592
2.105064
86
Lampiran .5 Hasil Chow Test Model 1st Differencing
Redundant Fixed Effects Tests
Equation: Untitled
Test cross-section fixed effects
Effects Test
Statistic
Cross-section F
1.918846
d.f.
Prob.
(5,41)
0.1120
87
Lampiran.6 Hasil Uji Normalitas Model 1st Differencing
9
Series: Standardized Residuals
Sample 2002 2010
Observations 54
8
7
6
5
4
3
Mean
Median
Maximum
Minimum
Std. Dev.
Skewness
Kurtosis
-3.29e-17
-0.086370
2.134483
-1.749589
0.897699
0.335640
2.433268
Jarque-Bera
Probability
1.736555
0.419674
2
1
0
-1
0
1
2
88
Lampiran.7 Grafik Standardized Residuals Model 1st Differencing
3
2
1
0
-1
-2
5
10
15
20
25
30
35
40
45
Standardized Residuals
50
55
60
Download