HAK ASASI MANUSIA DAN KONSITUSI. Pendahuluan

advertisement
 HAK ASASI MANUSIA DAN KONSITUSI. Pendahuluan. Hak asasi manusia sebagai perangkat hak yang melekat pada kodrat manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa, merupakan anugrah Tuhan untuk menempatkan manusia dalam harkat dan martabatnya sebagai manusia. Hak asasi tersebut bukan pemberian negara, dan telah ada sebelum negara dan organisasi kekuasaan dalam masyarakat terbentuk. Penghormatan dan jaminan perlindungan serta pemenuhan hak asasi manusia secara efektif merupakan indikator akan tingkat perkembangan peradaban satu bangsa. Ciri‐ciri negara modern, yang mengaku sebagai negara hukum yang demokratis dan dan negara demokrasi yang berdasarkan konstitusi, menetapkan bahwa hak asasi manusia tersebut merupakan unsur penting yang harus ada dan memperoleh perlindungan dan penghormatan yang dijamin dan dipenuhi oleh Negara dan Pemerintah. Justru perlindungan dan jaminan pemenuhan terhadapnya menjadi salah satu tujuan yang paling dasar dari dibentuknya negara, dan menjadi tolok ukur keabsahan tindakan pemerintahan. Pelanggaran terhadapnya yang dilakukan pemerintah, baik dalam tindakan atau perbuatan tertentu dan terutama dalam pembentukan kebijakan‐kebijakan publik, menyebabkan tindakan dan produk kebijakan publik yang dibuat menjadi tidak sah. Hak asasi yang meliputi hak sipil dan politik maupun hak sosial, ekonomi, dan budaya, telah menjadi bagian dari hukum dan konstitusi Indonesia setelah ratifikasi ICCPR dan ICSCR yang menjadi tolok ukur keabsahan kebijakan dan tindakan pemerintahan. Konstitusionalisme Baru dan HAM. Perkembangan konstitusionalisme yang didasarkan pada konstitusi sebagai hukum tertinggi yang mengatur lembaga‐lembaga negara, memberi kewenangan dan membatasi penggunaannya, secara tradisional hanya didasarkan pada konstitusi yang lebih menekankan pada pemisahan kekuasaan (separation of powers) dan/atau pembagian kekuasaan negara (division of powers), untuk mencegah pemusatan kekuasaan di satu tangan, dan untuk mencegah kesewenang‐wenangan serta penindasan atas hak‐hak warga. Konstitusionalisme tradisional atas dasar pembatasan kekuasaan semacam itu, tidak menegaskan hak asasi manusia sebagai bagian dari pembatasan yang substantif atas kekuasaan yang diselenggarakan oleh cabang‐cabang kekuasan yang ada. Hak asasi manusia dalam konstitusionalisme tradisional tidak mempunyai akibat langsung dalam arti warga tidak memiliki hak untuk menuntut Pemerintah yang dapat ditegakkan oleh suatu pengadilan. Orang dapat mendalilkan hak asasi nya, dan dapat diterapkan oleh hakim, tetapi hanya sejauh hak‐hak ini telah diciptakan atau diatur dalam undang‐undang. Dengan kata lain, perlindungan dan penegakannya tergantung pada pembuat undang‐undang untuk terlebih dahulu memerintahkkan hakim, sehingga HAM tidak secara langsung masuk dalam sistim hukum. Hirarki Normatif Norma Hukum. Hukum konstitusi membentuk hierarki norma, dan hirarki ini mengkondisikan interpretasi. Akibat langsung dari inkorporasi hak asasi manusia dalam konstitusi, adalah terbentuknya hubungan hierarkis antara teks norma konstitusi dengan undang‐undang. Tiap pasal undang‐undang yang melanggar hak asasi manusia, maka undang‐undang demikian cacat sejak awal ( void ab initio). Secara khusus hukum menyiratkan status istimewa kepada hak asasi yang menjadi hak konstitusi. Bagi banyak orang – sebagaimana telah diuraikan – hak asasi manusia memiliki eksistensi yang lebih awal dan independen atau tidak tergantung kepada negara. Statusnya yang istimewa tersebut didasarkan pada jenis normativitasnya yang lebih unggul sehingga disebut norma supra konstitusional (supraconstitutional normativity) 1 yang membuatnya tidak dapat diubah dengan revisi atau amandemen konstitusi, meskipun dengan mayoritas di MPR. Pergeseran menuju konstitusionalisme baru terjadi setelah perang dunia kedua yang melihat kehancuran dan penghinaan martabat manusia, sehingga Eropah mengalami revolusi yang sangat penting dengan mengkodifikasi hak‐hak asasi manusia. 2 Secara masif diseluruh dunia terjadi konstitusionalisasi hak asasi manusia, sehingga konstitusi mengatur dan menjadikan hak asasi manusia sebagai bagian dari kontitusi serta membentuk suatu sistem keadilan konstitusi untuk menjamin dan mempertahankan hak‐hak tersebut, mana kala terjadi pelanggaran terhadapnya. Gerak menginkorporasikan hak‐hak asasi manusia kedalam konstitusi dan menjadikannya sebagai tolok ukur dan pembatasan kekuasaan negara dan pemerintahan, menciptakan hirarki norma dalam konstitusi itu sendiri. Hak asasi yang memiliki satu kedudukan yang lebih tinggi dan permanen,dan yang tidak dapat diubah dan dihapus oleh kekuatan politik mayoritas, menduduki hirarki yang lebih tinggi dibandingkan dengan hak lain yang bukan hak asasi, menyebabkan dalam hal terjadi pertentangan antara norma konstitusi yang merupakan hak asasi dengan yang norma yang bukan Hak asasi, maka norma yang merupakan hak asasi akan mengesampingkan norma yang 1 Alec Stone Sweet, The Politics of Constitutional Review in France and Europe, I.CONVolume 5, 2007.
2 ibid
bukan hak asasi. Ketegangan yang bersifat “intraconstitutional” seperti ini dalam hirarki norma konstitusi, harus mendahulukan norma hak asasi. Sementara itu ketegangan di antara norma hak asasi manusia, yang mengenal hirarki tersendiri di antara hak asasi yang tidak dapat dikesampingkan (non‐derogable rights) dengan yang dapat dikesampingkan, atau diantara hak asasi yang memiliki status yang sama dalam hirarki norma konstitusi, membutuhkan prinsip tertentu bagi penyelesaian ketegangan semacam itu. Mahkamah Konstitusi dan Constitutional Review. Penegakan konstitusionalisme dengan isi yang memberi pembatasan terhadap penyelenggaraan kekuasaan, memuat tolok ukur hak asasi manusia untuk menguji tindakan‐tindakan pemerintahan dalam kerangka perlindungan dan kebahagiaan warga. Tugas dan fungsi untuk menegakkan konstitusionalisme berdasarkan hak asasi yang membentuk norma konstitusi – sebagai sistim kontrol yang demokratis ‐ diserahkan kepada sebuah Mahkamah Konstitusi. Lembaga dengan tugas pokok mengawal konstitusionalitas tindakan pemerintahan, dengan kewenangan constitutional review untuk membatalkan tindakan pemerintah – dalam legislasi ‐ atas dasar bahwa tindakan itu telah melanggar konstitusi termasuk hak asasi manusia. Meskipun kewenangan MK Indonesia masih terbatas dalam penegakan atau jaminan atas hak asasi manusia 3 , MK dapat, dengan konsepsi judicial activism yang lebih kuat, memampukan diri untuk lebih memberdayakan diri untuk mengawal konstitusi dan HAM, tanpa harus terlebih dahulu melakukan perubahan konstitusi. Melalui interpretasi dan konstruksi hukum konstitusi berdasarkan prinsip umum konstitusi, hakim dapat menciptakan judge‐made constitutional law. Melindungi hak asasi manusia merupakan tugas yang tidak mudah. Hakim MK harus memiliki atau diberi kewenangan diskresioner yang luas untuk melaksanakannya secara wajar. Ketegangan intrakonstitusional dari norma‐norma konstitusi, termasuk HAM, misalnya harus diselesaikan berdasarkan hubungan hirarkis antara : (i) tiap norma HAM tertentu norma HAM lain;(ii) norma HAM dengan norma konstitusi lain yang tidak secara langsung berhubungan dengan HAM; norma dengan ketentuan serta praktek yang dikenal dalam bidang hukum lain. Sering MK dihadapkan pada masalah hirarki norma yang sangat sulit ketika terjadi ketegangan dintara norma‐norma tersebut secara intrakonstitusi. Misalnya dalam hal pencemaran nama baik, apakah kebebasan eskpresi pers atau hak perseorangan atas kehormatan pribadi dan martabatnya yang lebih di utamakan. Apakah perlindungan atas hak milik lebih diutamakan dari kepentingan umum 3
Pasal 24C Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, penegakan HAM dalam kewenangannya baru secara tegas
dapat dilakukan melalui pengujian konstitutionalitas undang-undang terhada UUD 1945 (constitutional review).
yang memerlukan pengambil‐alihan hak milik sebagai hak yang asasi. Bagaimana menempatkan hak untuk hidup berhadapan dengan kepentingan umum akan ancaman kejahatan yang serious. Ketegangan ini dapat diteruskan secara berkelanjukan. UUD 1945 mengenal satu pembatasan atas hak asasi, dengan syarat‐
syarat dan bentuk pembatasan yang disebut dengan tegas, tetapi toh tidak mudah menerapkannya dalam praktek, ketika dikatakan bahwa : “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang‐undang dengan maksud semata‐
mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis”. 4 Ketegangan intrakonstitusional yang terjadi tidaklah dengan mudah dapat diselesaikan dengan petunjuk seperti diuraikan diatas. Hakim masih harus melihat dan mempertimbangkan secara holistik sebagai satu perangkat hak dan kepentingan konstitusional yang utuh dalam memberi perlindungan ketertiban umum, moralitas publik dan kebahagian umum maupun kepentingan lain yang sah secara konstitutional. Dalam hal seperti ini, sering ketentuan tersebut dijadikan justifikasi untuk dengan mudah mengesampingkan satu hak asasi, tanpa 4
Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
rasionalitas dan tolok ukur minimum yang dapat diterima secara wajar. MK harus mengembangkan satu doktrin dan asas yang dirancang untuk mampu menerangkan, melakukan sisntesa atau memberi justifikasi kapan satu hak asasi dapat dibatasi atau dikesampingkan. MK harus melakukan balancing atau penyeimbangan secara rasional antara satu ketentuan HAM dengan kepentingan konstitusional Pemerintah yang tidak dapat diabaikan untuk memelihara ketertiban umum, moralitas publik dan melindungi hak kolektif. Dalam balancing seperti ini, hakim harus menentukan sejauh mana satu nilai hukum, kepentingan konstitusional atau hak individu harus memberi jalan kepada nilai atau kepentingan konstitusional lain secara sah. Teknik yang bersifat interpretasi harus digunakan untuk menentukan prioritas, ketika diperhadapkan pada nilai‐nilai hukum atau hak‐hak asasi yang memiliki status yang sama derajatnya dalam hirarki norma. MK di negara‐negara lain menggunakan batu ujian yang disebut “proportionality test”, yaitu menyeimbangkan dua hak konstitusional dengan batu uji proporsioalitas, yaitu menempatkan hak‐hak yang berada dalam situasi konflik tersebut atas dasar yang adil, seimbang atau proporsional. Jikalau dalam proses balancing tersebut ditemukan bahwa satu undang‐undang melanggar satu norma hak asasi, tetapi ketika diukur dari keuntungan yang diterima atau dihadapi secara proporsional melebihi kerugiannya, dan dengan demikian pelanggaran minimal yang terjadi diperlukan untuk melayani kepentingan yang lebih besar, undang‐undang demikian dapat ditentukan tidak melanggar konstitusi. Namun keuntungan secara konstitusional demikian harus dapat dicapai dengan harga atau biaya konstitusional yang paling sedikit. Dalam praktek MKRI, hakim harus melibatkan diri dalam proses penyeimbangan demikian, meskipun masih dalam tahap yang belum optimal. Kasus‐kasus yang dihadapi dengan angka yang cukup significan dimana undang‐undang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat, mayoritas berdasarkan permohonan pengujian dengan dalil‐dalil hak asasi manusia. Tantangan yang dihadapi Penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM adalah merupakan tugas dan tanggung jawab negara, terutama Pemerintah. 5 Oleh karenanya dalam menyelenggarakan kekuasaan negara untuk mencapai tujuan dibentuknya negara Indonesia, antara lain untuk mensejahterakan rakyat, mencerdaskan kehidupan bangsa dan melindungi segenap bangsa dan tumpah darah, Pemerintah dan Negara akan selalu memperhitungkan hak asasi warga negara, sebagai salah satu batas yang sangat mendasar terhadap kekuasaan yang dilimpahkan padanya. Tujuan dan kepentingan negara akan selalu berada dalam sorotan kritis hak asasi 5
Pasal 28I ayat (4) UUD 1945.
warganegara, dimana MK melakukan peran sentral untuk memberi jaminan perlindungan tersebut. Instrumen dan mekanisme yang tersedia dengan kewenangan terbatas MK sekarang ini, untuk menegakkan hak asasi manusia sebagai pembatasan dan tolok ukur kebasahan kebijakan publik, baru menyangkut pengujian konstitusionalitas undang‐undang. Hal yang lebih atau sama pentingnya adalah menguji konstitusionalitas tindakan‐tindakan pemerintahan lain, termasuk Putusan Pengadilan yang melanggar HAM, belum menjadi bagian dari politik konstitusi saat ini. Mekanisme untuk itu yang dikenal dengan constitutional complaint di masa depan harus menjadi bagian dari penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Penutup. Martabat dan kehormatan manusia yang diwujudkan dalam hak‐hak asasi yang menjadi bagian pertimbangan seluruh keputusan kebijakan publik, sangat bersesuaian dengan pandangan hidup, falsafah dan dasar negara Pancasila. Nilai‐
nilai dalam rechtsidee dan staatsidee Pancasila tersebut harus terus diperjuangkan, sehingga terdapat satu konsistensi dan keutuhan antara staatsfundamentalnorm yang menjadi sumber legitimasi seluruh aturan hukum, dengan aturan hukum dibawahnya, sehingga terwujud satu sistim hukum yang utuh (the integrity of the legal system based on Pancasila). Pengembangan doktrin balancing yang sehat atas dasar proportionality test yang rasional, akan memampukan MK melakukan tugas tersebut, meskipun dengan kewenangan yang masih terbatas. Kreativitas dan judicial activism akan memungkinkan MK lebih berdaya dalam proses pembelajaran kedepan. Jakarta, 29 Juni 2010. Maruarar Siahaan. Putusan‐putusan yang paling penting dari MK sebagian besar merupakan penyelesaian hak asasi manusia. Tugas‐tugas ini merupakan hal yang sulit karena dalam setiap sengketa konstitusi di depan MK yang berkenaan dengan ketentuan HAM terdapat kemungkinan pertentangan ketentuan HAM yang satu dengan ketentuan HAM lainnya. Dalam menyelesaikan persoalan‐persoalan konstitusional dan hak asasi manusia, untuk membangun norma dan nilai‐nilai dalam konstitusi itu sendiri. 6 Putusan hakim MK dengan demikian menjadi kebijakan publik yang memuat bimbingan, arahan dan rambu‐rambu yang harus dilaksanakan oleh pembuat undang‐undang tentang bagaimana hak‐hak asasi yang menjadi hak konstitusional itu harus dilindungi. Model konstitusionalisme hukum tertinggi, memiliki ciri yang pertama : aturan konstitusi membentuk lembaga2 negara dan menghubungkan lembaga2 ini kepada masyarakat melalui pemilihan. Namun, dalam tipe ini satu lapisan batasan2 substantif terhadap penggunaan kewenangan publik ditambahkan, dan Pembatasan substantif ini – yang paling penting diantaranya adalah hak asasi – memberi kepada aktor non‐negara tuntutan yang dapat ditegakkan terhadap negara. Tuntutan ini muncul dalam bentuk argumen bahwa tindakan negara tidak sah atau cacat sejauh mereka melanggar hak‐hak asasi individu. Constitutional Review C.review merupakan kewenangan satu lembaga untuk membatalkan tindakan pemerintah –seperti legislasi, putusan adminitrasi, putusan pengadilan – atas dasar bahwa tindakan2 ini telah melanggar aturan konstitusi termasuk ham. Itu merupakan satu ciri pembeda konstitusionalisme hukum yang lebih tinggi. Dalam 6
Ibid hal 29.
menjalankan review, hakim menafsirkan dan menerapkan (menegakkan) hukum konstitusi yang secara normatif lebih superior terhadap semua norma hukum lainnya. Perlindungan HAM merupakan tujuan sentral konstitusionalisme modern Eropah. Jumlah terbesar putusan2 paling penting yang diberikan oleh MK adalah penyelesain sengketa tentang makna hak‐hak asasi. Tugas ini, lagi2, secara normatif sulit karena, dalam setiap sengketa konstitusi didepan hakim MK, ketentuan tentang HAM yang dipersoalkan mungkin bertentangan dengan ketentuan HAM lainnya, ataupun dengan pasal2 yang tidak menyangkut HAM. Dalam menyelesaikan soal semacam itu, MK bertindak mengkonstruksikan teori hak konstitusional atau keadilan konstitusional, dengan membangun hierarki norma dan nilai2 dalam konsmtitusi itu sendiri. Dilihat sebagai politik, teori demikian menghasilkan perintah, kurang lebih, cermat, tentang bagaimana hak konstitusional harus dilindungi oleh legislator, administrator dan Pengadilan. Karenanya mereka merupakan instrumen pemerintahan. Ajaran konstitusionalisme baru ini secara sederhana diurutkan : 1. Lembaga negara dibentuk oleh dan memperoleh wewenangnya semata‐
mata dari konstitusi tertulis; 2. Konstitusi ini menugaskan kekuasaan akhir kepada rakyat melalui pemilihan umum. 3. Penggunaan kewenangan publik, termasuk kewenangan legislatif, hanya sah sepanjang sesuai dengan hukum konsmtitusi. 4. Bahwa Hukum menyertakan HAM dan satu sistem keadilan untuk mempertahankannya. Sebagai ideologi politik yang jmenjangkau luas, atau teori negara, konstitusionalisme baru ini tidak menghadapi tantangan serious masa kini. Sejak perang dunia ke II, Eropah telah mengalami satu revolusi yang sangat penting untuk mengkodifikasikan hak‐hak asasi manusia baik di tingkat nasional maupun suprnasional. Indonesia juga mengalaminya, ketika perubahan UUD 1945 pada tahun 2000 sampai dengan 2002, menginkorporasikan HAM dalam Bab XA UUD 1945. Beban untuk melindungi hak‐hak asasi ini karenanya menjadi kewajiban Mahkamah Konstitusi. Melindungi HAM.
Perlindungan HAM merupakan satu proses sosial yang sangat terstruktur,
didorong oleh interaksi terus menerus.
Diskusi tentang HAM dan tempatnya
dalam konstitusi, serta tantangan yang dihadapkannya kepada hakim MK dan
pembuat undang-undang. Terdapat dua perangkat dialog tentang sifat, isi dan
penerapan HAM. Karena MK telah mengkosolidasikan posisinya sebagai penafsir
tertinggi dari hukum konstitusi, pembuat undang-undang telah diarahkan untuk
bersikap, sebagian sebagai pembuat putusan MK. Demikian juga, peradilan
konstitusi menghembuskan napas kehidupan hukum dan kelembagaan kedalam
pasal2 tentang HAM, merangsang hakim biasa juga, untuk terlibat dalam
pembuatan putusan konstitusional. Di Eropah sekarang, pembuat undang-undang
dan hakim membentuk pembantu pembuat hukum konstitusi yang penting.
HAM, HIRARKI NORMATIF
KONSTITUSIONAAL.
DAN
PEMBUATAN
PUTUSAN
Setting makro atau struktur normatif politik konstitusi dan HAM, tentu saja
adalah hukum konstitusi yang memuat HAM tersebut. Hukum ini menetapkan
– dengan bahasa dan logika internal berkaitan dengan
bagaimana aturan
diekspresikan dalam bahasa – hubungan formal hierarkis antara seperangkat
norma hukum. Untuk tujuan kita, yang paling penting dari padanya menyangkut
hubungan hirarkis yang ditetapkan antara : (1) tiap pasal HAM tertentu dan
pasal HAM lainnya; (2) pasal-pasal HAM dan pasal konstitusi yang tidak
secara langsung berhubungan dengan HAM; dan (3) ketentuan HAM dan aturan
serta praktek yang mengakar dalam tertib hukum lainnya.
Titik tolak saya adalah bahwa meski makna
berkelanjutan
konstitusional secara
dibentuk kembali dengan pengadilan, bahasa konstitusi dan
makna konstitusi meskipun demikian tetap berbeda secara analitis. Pasal2
konstitusi merupakan tempat persaingan tentang makna; mereka mengorganisir
argumen
tentang
sifat
,
isi
dan
dapat
diterapkannya
satu
aturan
tertentu.Persaingan ini mendorong pertumbuhan konstitusi. Hakim wajib
memutus kontorversi hukum tentang HAM yang secara inheren merupakan
kontroversi tentang aplikabilitas norma dalam situasi tertentu; mereka juga
diminta membela putusannya secara publik, dalam apa yang di Eropah disebut
jurisprudensi (apa yang orang Amerika sebut hukum kasus (case-law). Dengan
menyederhanakan, hakim Eropah cenderung menguraikan pembuatan putusan
seolah-olah hal itu satu proses yang terdiri dari dua tahap yang berbeda.
Pertama, sifat dan isi pasal2 konstitusi yang relevan ditentukan. Kedua, satu
kontroversi yang spesifik tentang makna pasal2 konstitusi diputus dengan
menerapkan
hukum
itu.
Hakim2
mengatakan
bahwa
seteleh
mempertimbangkan bahasa dan arsitektur konstitusi, mereka ada dalam posisi
untuk memutus satu perkara khusus. Dalam kenyataan, kedua tahap tersebut
sangat saling tergantung, terjadi kurang lebih secara simultan di dalam
rangkaian proses2 interpretasi. Kebenaran yang sederhana ini ternyata sangat
penting terhadap pengertian kita tentang
politik konstitusi. Bagaimanapun,
karena interpretasi konstitusi terletak di pusat politik konstitusi, dan karena
bahasa konstitusi membentuk intepretasi konstitusi, mahasiswa politik
konstitusi
memiliki sedikit pilihan kecuali mengambil struktur normatif
pembuatan putusan konstitusi (perbuatan interpretasi) dengan serious.
Akibat Langsung Hak Konstitusi
Ketika pembentuk konstitusi Jerman, Itali dan Spanyol untuk menegakkan hak
knstitusi sebagai hakum tertinggi, mereka mengawali transformasi revolusioner
sistem politik dan hukum. Di Perancis, satu transformasi perbandingan dimuali
pada
tahun
1970,
ketika
Dewan
Perancis
(1971)
bergerak
untuk
menginkorporasikan satu set teks tentang hak asasi secara historis (hal 93)
kedalam konstitusi 1958.
Sebelum revolusi ini, hanya mayoritas legislatif dapat menentukan jika dan
bagaimana hak konstitusional itu dihormati. Hak2 demikian tidak mempunyai
akibat langsung, yaitu mereka tidak memberi hak untuk menuntut pemerintah
yang dapat ditegakkan oleh Pengadilan. Pemohon dapat mendalilkan ‘public
liberties’ di MK, dan hakim dapat menerapkannya, tetapi hanya sejauh hak2
ini telah diciptakan oleh undang-undang, yaitu, hanya setelah legislator
memerintahkan hakim untuk menegakkannya. Dengan demikian, dalam sistim
parlementer yang tradisional, HAM masuk kedalam sistem hukum secara tidak
langsung berdasar satu tindakan legislatif, katimbang secara langsung, berdasar
status hukum tertinggi.Sekarang, sumber posistif hak-hak individu adalah
konstitusi.
Bab 2 memuat satu daftar hak dan kewajiban
konstitusional
di Peancis,
Jerman, Italia dan Spanyol. Sebagaimana diperjelas oleh konsepsi kewajiban
konstitusional, perlindungan HAM merupakan satu proses yang bersifat
partisipatoris.
Bukan
saja
konstitusi
menyiapkan
perlindungan
hak
konstitusional oleh MK, dia juga memerintahkan kepada legislator untuk
menciptakan kondisi yang diperlukan bagi penikmatan beberapa HAM, dan
memajukan, mendorong dan melindungi hak2 asasi yang lain, Dengan demikian
HAM di Eropah tidak hanya menyuruh , apa yang lembaga2 negara seperti
legislator, administrator dan hakim2 harus tidak dilakukan (negative rights)
tetapi juga apa yang mesti dilakukan (positive rights) Sebagian halk itu
disebabkan akibat langsung hak positif, yang dipersepsikan mengikat terhadap
negara dan sebagainya.KARENANY KITA MENEMUKAN Pasrlemen harus
memproduksi regiem legislatif yang menjamin pluralitas dalam pencetakan dan
media ; bahasa daerah harus dipelihara, dan Jerman hasu melindungi bahsa
lokal; sedang konstitusi Jerman harus melindungi bagasa daerah, dan hukum
pidana jerman harus merehabilitasi mereka yang telah melakukan the most
haeinous crime.
Hirarki Normatif.
Hukum konstitusi membentuk hierarki norma, dan hirarki2 ini
mengkondisikan interpretasi konstitusi. Akibat langsung dari hak asasi manusia
misalnya membentuk satu hubungan hierarkis antara teks konstitusi dan
undang-undang : tiap pasal undang-undang yang melanggar hak asasi manapun
cacat, sejak awal (ab initio)
Satu hirarki dalam konstitusi (intraconstitutional hierarchies) lebih
rumit, tetapi hukum menyiratkan
satu status yang istimewa bagi hak
konstitusi. Di Jerman, Italia dan Spanyol, teks konstitusi memproklamasikan
HAM sebelum membentuk lembaga negara dan sebelum dibagikan fungsi2
pemerintahan. Akibat fakta ini, HAM dilihat oleh sarjana hukum dan banyak
hakim sebagai memiliki satu eksistensi juridis yang lebih awal dan bebas dari
negara. Doktrin menyatakan bahwa HAM dimodali dengan satu jenis
normativitas
suprakonstitutional
(supraconstitutional
normativity)
yang
membuat mereka (setidaknya sebagian dari padanya) kebal terhadap perubahan
melalui revisi konstitusi. Ini melekat dalam posisi hukum alam, meskipun
hukum alam sangat jarang dikemukakan(invoked). Status istimewa hak asasi
ini, tentu saja, ditegakkan oleh ketentuan yang mengatur perubahan konstitusi :
sebagaimana telah didiskusikan dalam bab sebelumnya, hukum konstitusi
Jerman dan Spanyol memperlakukan ketentuan tentang HAM sebagai kaku dan
tidak dapat berubah, sedang hak-hak yang bukan HAM fleksibel. memberi apa
yang kenyataanya berstatus suprakonstitusional terhadap “hak asasi yang
tidak dapat dilanggar (‘inviolable rights’) yang disebut.
Sejauh ini, masalah hirarki norma yang paling rumit yang dihadapi
MK tampak ketika dua norma HAM bertentangan satu dengan yang lain dalam
satu kasus tertentu. Bahkan pengamatan secara sekilas menyarankan jarak
(range)
yang luas potensi masalah seperti itu. Dalam perselisihan tentang
hukum aborsi, apakah hak untuk hidup menginjak hak seorang wanita untuk
mengembangkan kepribadiannya? Dalam kasus penistaan, apakah kebebasan
ekspresi pers atau hak individu atas kehirmatan pribadi akan diberi keutamaan ?
dalam satu sengketa tentang penyitaan (expropriation), seberapa banyak
bimbingan akan diberikan konstitusi kepada hakim bila, disatu pihak, hak milik
dinyatakan, sedang dipihak lain, milik harus digunakan untuk kebaikan
masyarakat, dan dapat dirampas oleh pejabat publik untuk kegunaan semacam
itu. Kita dapat melanjutkannya terus. Apa yang jelas adalah bahwa jenis
masalah ini tidak dapat dielakkan dan tidak mungkin dipecahkan secara
definitif. Tidak heran, ketegangan intraconstitutional seperti ini merupakan
sumber besar bagi pembuatan putusan dan perkembangan konstitusi.
Constitutional Decision Making.
Dengan pembuatan putusan konstitusi saya maksudkan perbuatan
menentukan makna dari sebuah ketentuan konstitusi (atau seperangkat
ketentuan konstitusi) untuk memutus satu sengketa tentang konstitusionalitas
dari, baik (1) satu norma infrakonstitusional; atau (2) satu praktek atau tindakan
seorang individu atau
lebih. Tiap tindakan CR merupakan satu tindakan
pembuatan putusan konstitusi. Dalam memutus, satu MK secara simultan
membuat kebijakan dan mengkonstruksi konstitusi. Fungsi pembuatan
kebijakan dari jurisprudensi secara jelas ditunjukkan ketika kita memusatkan
perhatian
terhadap hasil dari sengketa tertentu dari sisi pihak-pihak yang
terlibat. Penyelesaian sengketa menetapkan hukum yang mengatur interaksi
pihak-pihak
yang
bersengketa.
Fungsi
pengembangan
konstitusi
dari
jurisprudensi sangat jelas ketika kita melihat (attend) alasan atau pembenaran
pengadilan mengenai mengapa satu norma atau tindakan infrakonstitutional
konstitusional atau tidak. Seperti terlihat dalam bab sebelumnya, tafsiran
otoritatif atas satu teks konstitusi – pembuatan putusan konstitusi menghasilkan akibat yang sangat kuat dimasa depan atas pembuatan kebijakan
dan penyelesaian sengketa. Ia melegitimasi beberapa jalur kebijakan dan
mendeligitimasi yang lainnya, dan memberi sinyal kepada parlemen, kekuasaan
kehakiman dan pemohon di masa depan bahwa beberapa garis persaingan
konstitusi telah ditutup atau dipersempit, sementara yang lain telah dibuka.
Hak-Hak Konstitusional dan Pembuatan Putusan.
Struktur ketentuan HAM secara implisit membentuk delegasi kekuasaan
diskresioner yang luar biasa kepada hakim MK. Meskipun sebagian hak
dinyatakan dalam istilah yang absolut – yang paling penting diantaranya
ketentuan equality before the law, di temukan diempat negara, dan ‘human
dignity’ di Jerman – sebagian besar HAM dinyatakan secara terbatas. Untuk
memberi ilustrasi, dibawah ini sejumlah hak terbatas yang tegas:
Spanyol, hak untuk kebebasan menyatakan pendapat, yang dibatas oleh hak
lain, termasuk kehormatan dan privasi pribadi. Pasal 33.1 menyatakan hak
milik sedang pasal 33.3 memberi batasan hak milik bagi keuntungan umum
“public benefit”, yang diatur dalam undang-undang.
Di Italia, pasal 14.1 menyatakan bahwa domisili pribadi tidak dapat diganggu
gugat, kecuali untuk penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan
‘dalam perkara dan dengan cara yang diletakkan oleh undang-undang
sesuai dengan …kebebasan pribadi’. Pasa; 21.1 mengumumkan bahwa
“pers tidak tunduk kepada wewenang sensor manapun”, sementara Pasal
21.6 mengatur bahwa “ publikasi cetak… yang bertentangan dengan moralitas
dilarang”, dan Pasal 21.7 menyatakan bahwa parlemen memiliki tanggung
jawab untuk ‘mencegah dan menindak semua pelanggaran demikian’.
Di Jerman, Pasal 2.1 menyatakan bahwa ‘setiap orang meiliki hak bagi
pengembangan pribadi secara bebas sejauh tidak melanggar hak asasi orang lain
atau melanggar ketertiban konstitusional dan aturan moral’. Pasal 10.1
menyatakan bahwa ‘privasi pos dan telekomunikasi tida boleh dilanggar,
sementara Pasal 10.2 menyatakan bahwa ‘hak ini boleh dibatasi dengan
undang-undang’.(hal 96)
Ketegangan intraconstitutional tidak hanya semata-mata menjadi urusan hakim
MK. Konstitusi2 Eropah mensyaratkan pembuat undang-undang terlibat dalam
pembuatan putusan konstitusi, yaitu untuk menjamin penghormatan bagi hakhak konstitusional dan mengatur hak bagaimana hak-hak tersebut dinikmati dan
dilaksanakan bagi kebaikan kolektivitas. Meskipun dinyatakan dalam pasalpasal yang berbeda (disparate), kompetensi terakhir ini biasanya dilihat secara
holistik, sebagai satu set kepentingan konstitusional yang utuh yang dimiliki
oleh Pemerintah : untuk memberi ketertiban publik, melindungi moralitas
publik, menjamin kebahagiaan (weal) umum, dan lain-lain. Meski konstitusi2
eropa memerintahkan Parlemen dan hakim memutus sengketa diantara
kepentingan pemerintah yang dilindungi secara konstitusional danhak-hak
konstitusional dalam tiap kasus tertentu, hanya sedikit indikasi yang diberikan
bagaimana melakukan hal demikian. Sebaliknya, struktur pasal-pasal HAM
Eropah mengundang – sebaiknya mensyaratkan apa yang orang Amemrika dan
Eropah menamai ‘balancing/penyeimbang’ : pertimbangan tentang batas
rasional yang pantas dari (i) satu hak konstitusional individu dan kelompok
tertentu yang telah berada dalam konflik dengan (2) hak individu orang lain,
atau kepentingan konstitusional pemerintah. (97)
Balancing (Penyeimbang).
Sarjana hukum, dan Mahkamah sendiri, telah menghasilkan satu tubuh doktrin
dan asas yang semakin bertumbuh yang dirancang untuk menerangkan,
mensintesiskan, dan membenarkan jenis pembuatan putusan ini. Semua
mengelaborasi berdasar sekuens yang sama : penafsiran, penyeimbangan,
proporsionalitas (satu rasionalitas atau sarana paling sedikit/Least means).
Hakim MK, pertama mencoba mengeluarkan dengan tafsir konflik
intrakonstitusional berdasar asumsi bahwa konstitusi adalah satu tubuh dari
norma2 yang harmonis, dan konflik diantara norma konstitusi hanya khayalan.
Namun, jika satu sengketa memuat satu perlawanan yang inheren
diantara dua ketentuan HAM (atau antara satu ketentuan HAM dengan
kepentingan konstitusional pemerintah) yang tidak dapat diabaikan dengan
tafsir, hakim bergerak kearah penyeimbangan. Dalam penyeimbangan, hakim
menentukan apakah, dan sejauh mana, satu nilai hukum (satu hak individu2,
atau satu kepentingan konstitusional pemerintah) harus memberi jalan kepada
satu nilai hukum kedua. (97)
Dan latihan atau penggunaan ini diatur oleh batu ujian proporsionalitas (sarana
paling sedikit).
Penyeimbangan merupakan teknik interpretif yang disukai, yang digunakan
untuk memutus kasus tersebut dimana nilai2 hukum diajukan (invoked) pihak2
keduanya memiliki status yang sederajat (dalam hierarki norma), namun
ditentang satu sama lain( dalam konflik spesifik yang dihadapi). Ketika
Mahkamah mengklaim menyeimbangkan dua hak konstitusional, atau hak
konstitusional terhadap
satu tujuan negara yang sah secara
konstitusional,, satu batu uji proporsionalitas – sesungguhnya satu sarana
paling sedikit – yang secara logis mengikut dari penggunaan penyeimbang,
(balancing exercise) dan hampir di semua perkara sesungguhnya
mengikut. Jika dalam balancing, MK menentukan bahwa satu undang-
undang melanggar penggunaan satu hak konstitusional, namun demikian
konstitusional – sejauh bahwa secara seimbang bantuan/pelayanan undangundang terhadap beberapa nilai konstitusi yang lain melampaui keburukannya
– kemudian akibatnya bahwa semua kecuali pelanggaran minimum yang
absolut yang perlu untuk melayani nilai lainnya, inkonstitusional. Ini
disebabkan karena tiap pengurangan tambahan atas hak2 tidak dapat dibenarkan
oleh balancing, karena pengurangan demikian tidak menambahkan sesuatu yang
positif yang tidak dapat melampaui efek negatifnya yang marginal. Dikatakan
secara sederhana, tidak pernah cukup secara konstitusional, menurut satu
standar balancing, bahwa keuntungan konstitusional lebih besar dari ongkos
konstitusional; sebaliknya keuntungan harus didapat dicapai setidaknya ongkos
konstitusional ( paling sedikit.) Dalam jenis peradilan seperti ini hakim MK
tidak mempunyai pilihan kecuali menjawab pertanyaan berikut : dapatkah kita
bayangkan adanya ketentuan undang-undang selain dari pada yang ada
dihadapan kita yang dapat mencapai hasil yang sama, melayani nilai
konstitusional yang sama, dengan ongkos konstitusi yang lebih rendah? Jika
jawabannya ya, maka undang-undang yang dibayangkan itu konstitusional,
tetapi yang ada dihadapan kita tidak. Satu jurisprudensi HAM berdasarkan
penyeimbangan konstitusi (constitutional balancing) memimpin hakim untuk
menempatkan dirinya ditempat legislator, dan melakonkan pertimbangan yang
bergaya legislatif, yang sebagian menjelaskan mengapa kita menemukan MK
sangat sering memerintahkan parlemen untuk membuat undang-undang dengan
cara tertentu (lihat Bab 3). Satu jurisprudensi penyeimbang tidak hany
memberi MK diskresi yang besar, tetapi pada akhirnya menggolongkan MK
kedalam pertimbangan dan pembuatan putusan yang lebih bergaya legislatif
katimbang jurisprudensi HAM yang absolut. (hal 98).
Batu uji penyeimbang dan doktrin proporsionalitas hanya berbuat sedikit dari
pada mengakui, meskipun dalam cara yang berbelit (convoluted), berikut ini :
bahwa melindungi hak konstitusional merupakan kerja yang sukar; hakim MK
harus memiliki dan menggunakan kekuasaan diskresioner yang luas agar dapat
melaksanakan pekerjaan ini dengan sewajarnya; dan tidak terdapat aturan yang
ketat dan tegas bagi perlindungan HAM yang dapat diartikulasikan. Tidak
bermaksud mengatakan bahwa MK tidak mencoba membangkitkan aturan yang
satbil untuk mengatur jenis pembuatan putusan konstitusi jenis ini, maupun
tidak juga hasil putusan bersifat acak (random) Makna penyeimbang lebih
dalam. MK tidak melindungi HAM tanpa menjadi terlibat secara mendalam
dalam fakta, atau konteks sosial, atau pembuatan putusan legisaltif yang
menggaris bawahi atau telah membangkitkan persoalan konstitusi. Dalam cara
pembuatan keputusan semacam ini,, dimensi kebijakanlah yang berbeda, bukan
hukum per se, dan perbedaan ini secara berat mengkondisikan pembangunan
konstitusi dengan menyeret hakim MK kedalam kehidupan warga, dan karya
legislator
maupun hakim biasa.Logika sosial balancing dan beberap
konsekwensinya, dibicarakan dalam bab 5. (hal 99)
The Politics of Judging
Pemisahan kekuasaan yang tradisional digunakan sebagai tolok ukur untuk
mengevaluasi perkembanagan berikut, dan logika tertentu delegasi digunakan
untuk membantu menerangkan pergerakan kearah CR. Tetapi saya tidka
embahasa dengan apa yang Capeletti (1989) dengan benar menyebut
“persoalan besar/mighty problem” yang dihadapkan oleh CR :
persoalan lgitimasi demokratisnya. Kita membahasa bagaimana persoalan ini
paling biasa ditangani di Eropa, dengan mencangkok (grafting) teori konstitusi
Kelsenian lanjut ke arah pembedaan klasik (tapi bukan karenanya Kelsenian)
antara ‘hukum (judicial function) dan politics (fungsi legislatif) Saya
menawarkan perspektif yang sangat berbeda tentang soal, dengan berpendapat
bahwa legitimasi CR merupakan hasil dari sifat partisipatoris peradilan
konstitusi. (hal 126)
**** 
Download