DAFTAR ISI BIDANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP ................................................................. X-1 BAB X 10.1 Permasalahan dan Isu Strategis .............................................. 10.1.1 10.1.2 10.1.3 10.1.4 10.1.5 10.1.6 10.1.7 10.1.8 10.1.9 10.1.10 10.2 X-5 Pengamanan Produksi untuk Kemandirian dan Diversifikasi Konsumsi Pangan .................................................................................. Pengembangan Agribisnis, Pertanian Berkelanjutan dan Kesejahteraan Petani ............................................................................. Peningkatan Produksi dan Nilai Tambah Perikanan serta Kesejahteraan Nelayan dan Pembudidaya Ikan ..................... Peningkatan Tata Kelola Laut, Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta Pengembangan Ekonomi Kelautan Berkelanjutan ........................................................................... Peningkatan Produksi Hasil Hutan dan Pengembangan Jasa Lingkungan ............................................................................... Peningkatan Konservasi dan Tata Kelola Hutan serta Pengelolaan DAS ...................................................................... Penguatan Pasokan, Bauran dan Efisiensi Konsumsi Energi.. Peningkatan Nilai Tambah Industri Mineral dan Pertambangan Berkelanjutan ............................................................. Peningkatan Kualitas Lingkungan Hidup, Pengembangan Pola Produksi dan Konsumsi Berkelanjutan dan Pelestarian dan Pemanfaatan Keekonomian KEHATI sesuai dengan Arahan dalam Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan/IBSAP 2003-2020 ........................................................... Penangkapan Perubahan Iklim dan Peningkatan Kualitas Informasi Iklim dan Kebencanaan .................................................... Sasaran Bidang ........................................................................... 10.2.1 10.2.2 10.2.3 10.2.4 10.2.5 10.2.6 10.2.7 10.2.8 10.2.9 X-11 X-13 X-17 X-21 X-28 X-39 X-55 X-57 X-65 X-71 Pengamanan Produksi untuk Kemandirian dan Diversifikasi Konsumsi Pangan ..................................................................... Pengembangan Agribisnis, Pertanian Berkelanjutan dan Kesejahteraan Petani ............................................................... Peningkatan Produksi dan Nilai Tambah Perikanan serta Kesejahteraan Nelayan dan Pembudidaya Ikan ................... Peningkatan Tata Kelola Laut, Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta Pengembangan Ekonomi Kelautan Berkelanjutan ........................................................................... Peningkatan Produksi Hasil Hutan dan Pengembangan Jasa Lingkungan ............................................................................... Peningkatan Konservasi dan Tata Kelola Hutan serta Pengelolaan DAS ...................................................................... Penguatan Pasokan, Bauran dan Efisiensi Konsumsi Energi.. Peningkatan Nilai Tambah Industri Mineral dan Pertambangan Berkelanjutan ................................................. Peningkatan Kualitas Lingkungan Hidup, Pengembangan Pola Produksi dan Konsumsi Berkelanjutan dan Pelestarian Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-8 i X-71 X-72 X-73 X-75 X-77 X-78 X-80 X-82 10.2.10 10.3 Arah Kebijakan dan Strategi Pembangunan Bidang ........ 10.3.1 10.3.2 10.3.3 10.3.4 10.3.5 10.3.6 10.3.7 10.3.8 10.3.9 10.3.10 10.4 Pengamanan Produksi untuk Kemandirian dan Diversifikasi Konsumsi Pangan ..................................................................... Pengembangan Agribisnis, Pertanian Berkelanjutan dan Kesejahteraan Petani ............................................................................. Peningkatan Produksi dan Nilai Tambah Perikanan serta Kesejahteraan Nelayan dan Pembudidaya Ikan ..................... Peningkatan Tata Kelola Laut, Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta Pengembangan Ekonomi Kelautan Berkelanjutan ........................................................................... Peningkatan Produksi Hasil Hutan dan Pengembangan Jasa Lingkungan .............................................................................................. Peningkatan Konservasi dan Tata Kelola Hutan serta Pengelolaan DAS .................................................................................... Penguatan Pasokan, Bauran dan Efisiensi Konsumsi Energi.. Peningkatan Nilai Tambah Industri Mineral dan Pertambangan Berkelanjutan ............................................................. Peningkatan Kualitas Lingkungan Hidup, Pengembangan Pola Produksi dan Konsumsi Berkelanjutan dan Pelestarian dan Pemanfaatan Keekonomian KEHATI sesuai dengan Arahan dalam Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan/IBSAP 2003-2020 ......................................................................... Penangkapan Perubahan Iklim dan Peningkatan Kualitas Informasi Iklim dan Kebencanaan ............................................. Kerangka Pendanaan ................................................................ 10.4.1 10.4.2 10.4.3 10.4.4 10.4.5 10.4.6 10.4.7 10.4.8 10.4.9 ii dan Pemanfaatan Keekonomian KEHATI sesuai dengan Arahan dalam Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan/IBSAP 2003-2020 ........................................................... X-82 Penangkapan Perubahan Iklim dan Peningkatan Kualitas Informasi Iklim dan Kebencanaan .................................................... X-83 Pengamanan Produksi untuk Kemandirian dan Diversifikasi Konsumsi Pangan .................................................................................. Pengembangan Agribisnis, Pertanian Berkelanjutan dan Kesejahteraan Petani ............................................................................. Peningkatan Produksi dan Nilai Tambah Perikanan serta Kesejahteraan Nelayan dan Pembudidaya Ikan ..................... Peningkatan Tata Kelola Laut, Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta Pengembangan Ekonomi Kelautan Berkelanjutan .......................................................................................... Peningkatan Produksi Hasil Hutan dan Pengembangan Jasa Lingkungan .............................................................................................. Peningkatan Konservasi dan Tata Kelola Hutan serta Pengelolaan DAS .................................................................................... Penguatan Pasokan, Bauran dan Efisiensi Konsumsi Energi.. Peningkatan Nilai Tambah Industri Mineral dan Pertambangan Berkelanjutan ............................................................. Peningkatan Kualitas Lingkungan Hidup, Pengembangan Pola Produksi dan Konsumsi Berkelanjutan dan Pelestarian dan Pemanfaatan Keekonomian KEHATI sesuai dengan | Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-84 X-84 X-87 X-90 X-94 X-96 X-98 X-102 X-110 X-113 X-117 X-119 X-119 X-119 X-120 X-121 X-121 X-123 X-129 X-130 10.4.10 10.5 Arahan dalam Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan/IBSAP 2003-2020 ............................................................. X-131 Penangkapan Perubahan Iklim dan Peningkatan Kualitas Informasi Iklim dan Kebencanaan .................................................... X-132 Kerangka Regulasi dan Kerangka Kelembagaan ................ 10.5.1 10.5.2 10.5.3 10.5.4 10.5.5 10.5.6 10.5.7 10.5.8 10.5.9 10.5.10 Pengamanan Produksi untuk Kemandirian dan Diversifikasi Konsumsi Pangan .................................................................................. Pengembangan Agribisnis, Pertanian Berkelanjutan dan Kesejahteraan Petani ............................................................................. Peningkatan Produksi dan Nilai Tambah Perikanan serta Kesejahteraan Nelayan dan Pembudidaya Ikan .................... Peningkatan Tata Kelola Laut, Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta Pengembangan Ekonomi Kelautan Berkelanjutan .......................................................................................... Peningkatan Produksi Hasil Hutan dan Pengembangan Jasa Lingkungan .............................................................................................. Peningkatan Konservasi dan Tata Kelola Hutan serta Pengelolaan DAS .................................................................................... Penguatan Pasokan, Bauran dan Efisiensi Konsumsi Energi.. Peningkatan Nilai Tambah Industri Mineral dan Pertambangan Berkelanjutan ............................................................. Peningkatan Kualitas Lingkungan Hidup, Pengembangan Pola Produksi dan Konsumsi Berkelanjutan dan Pelestarian dan Pemanfaatan Keekonomian KEHATI sesuai dengan Arahan dalam Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan/IBSAP 2003-2020 ........................................................................ Penangkapan Perubahan Iklim dan Peningkatan Kualitas Informasi Iklim dan Kebencanaan .................................................... Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan iii X-132 X-132 X-134 X-136 X-138 X-139 X-142 X-146 X-147 X-149 X-152 DAFTAR TABEL iv TABEL X.1 Sasaran Pokok Pembangunan Bidang SDA LH Tahun 2015-2019 X-4 TABEL X.2 Desa di Kawasan Hutan 2010 X-28 TABEL X.3 Luas Kawasan Konservasi Berdasarkan Fungsi X-33 TABEL X.4 Sasaran Pembangunan Ketahanan Pangan X-72 TABEL X.5 Produksi Komoditas Andalan X-73 TABEL X.6 Sasaran Pembangunan Perikanan X-74 TABEL X.7 Target Pencapaian Program Tahun 2015-2019 X-77 TABEL X.8 Target Pencapaian Program Tahun 2015-2019 X-78 TABEL X.9 Sasaran Pencapaian Skor Iklh Tahun 2015-2019 X-83 | Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan DAFTAR GAMBAR GAMBAR X.1 Luas Kawasan Konservasi Perairan (Juta Ha) Tahun 2004-2012 X-19 GAMBAR X.2 Jumlah Hostpot dalam Kawasan Hutan Tahun 2004-2013 X-32 GAMBAR X.3 Luas Kebakaran dalam Kawasan Hutan Tahun 2004-2012 X-32 GAMBAR X.4 GAMBAR X.5 Nilai Devisa Perdagangan Tanaman dan Satwa Tahun 2008-2011 (dalam USD) Nilai PNBP Tumbuhan dan Satwa Liar Tahun 2008-2013 X-36 X-37 GAMBAR X.6 Indeks Kualitas Lingkungan Hidup 2009-2012 X-58 GAMBAR X.7 Trend Keikutsertaan Perusahaan dalam Program Proper 2003-2014 X-59 GAMBAR X.8 Jumlah Kabupaten/Kota Penerima Anugerah Adipura Tahun 20042013 X-60 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan v BAB X BIDANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP Bidang SDA dan LH sangat strategis dalam mengamankan kelangsungan pembangunan dan keberlanjutan kehidupan bangsa dan negara. Bidang ini menjadi tulang punggung kehidupan sebagai penyedia pangan, energi, air dan penyangga sistem kehidupan berupa kualitas lingkungan hidup untuk kesehatan kehidupan bangsa dan keberlanjutan kehidupan generasi mendatang. Sesuai dengan amanah Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional(RPJPN) 2005-2025, bidang SDA dan LH menjadi tulang punggung untuk meningkatkan daya saing ekonomi berbasis SDA dan LH. Pertumbuhan penduduk menuntut penyediaan pangan dalam jumlah yang terus membesar namun harus tetap mengamankan ketersediaan, akses masyarakat terhadap konsumsi baik jumlah maupun kualitas nutrisi yang seimbang. Pada saat yang sama, sektor pangan juga menjadi lahan penghidupan bagi 26,14 juta rumah tangga petani nelayan, dan pembudidaya ikan, serta menyumbang 15 persen Produk Domestik Bruto (PDB), atau menjadi industri kedua terbesar secara nasional. Pada saat ini (2013) sektor pangan mampu menyediakan 71,3 juta ton padi atau setara 41,2 juta ton beras dan 11,4 juta ton ikan serta bahan pangan penting lain, seperti gula, kedelai, jagung, daging sapi, unggas, dan garam untuk konsumsi rumah tangga, yang disediakan dari produksi dalam negeri. Kebutuhan energi juga terus meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan jumlah dan pendapatan penduduk. Pada saat ini (2013) produksi minyak bumi mencapai 826 setara barel minyak (SBM). Ketergantungan penyediaan energi pada saat ini masih sangat bertumpu pada minyak bumi. Bauran energi nasional minyak bumi saat ini mencapai 49,7 persen sedangkan energi baru dan terbarukan sebesar 5,7 persen. Sumber daya alam dan lingkungan hidup merupakan penghasil devisa dan penghidupan masyarakat secara luas. Industri primer Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-1 berbasis sumber daya alam yang meliputi pertanian (termasuk/di luar pangan), perikanan, dan kehutanan menyumbang 14,8 persen dari PDB dan menyediakan lapangan pekerjaan bagi 8,8 juta penduduk Indonesia. Sementara itu, industri berbasis pertanian, kehutanan dan perikanan menyumbang 13,7 persen PDB dan menjadi lahan pekerjaan bagi 8,6 juta penduduk Indonesia. Perikanan telah menyumbang 17,6 persen terhadap PDB pertanian, menempati urutan kedua setelah tanaman bahan makanan. Dengan luas wilayah laut sebesar 5,8 juta km2, potensi perikanan laut sangat besar yang membutuhkan langkah terpadu untuk mendayagunakannnya. Pertambangan dan penggalian menyumbang 11,9 persen PDB dan 0,1 persen pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, sumber daya mineral yang selama ini diekspor dalam bentuk mentah, perlu ditingkatkan nilai tambahnya secara bertahap, agar memperluas basis perekonomian nasional dan lapangan pekerjaan bagi masyarakat Indonesia. Selama periode 2010-2013 pertumbuhan sektor pertanian mencapai rata-rata 3,4 persen per tahun. Sumber pertumbuhannya berasal dari tanaman bahan makanan, perkebunan, peternakan dan perikanan yang masing-masing mencapai rata-rata 2,0 persen; 4,4 persen; 4,5 persen; dan 6,5 persen. Dari sisi kontribusinya terhadap PDB, sektor pertanian pada periode 2004-2009 penyumbangrata-rata sekitar 13,9 persen per tahun. Selama tahun 2010-2013 sumbangan sektor pertanian terhadap PDB meningkat menjadi sekitar 14,9 persen per tahun. Meskipun kontribusi PDB sektor pertanian terhadap PDB Nasional meningkat relatif kecil, akan tetapi secara nominal mengalami peningkatan cukup besar yaitu dari sekitar Rp.364,2 triliun pada tahun 2005 menjadi sekitar Rp.1.190,4 triliun pada tahun 2012. Sementara itu, kontribusi penerimaan minyak dan gas bumi terhadap PDB sebesar 10,2 persen pada periode 2004-2009 dan 7,8persen pada periode 2010-2013. Pemanfaatan SDA dan LH yang sudah menyumbang cukup signifikan pada perekonomian nasional sebagaimana diuraikan di atas, dihadapkan pada dampak pemanfaatan SDA terhadap kualitas lingkungan hidup. Peningkatan kebutuhan lahan baik untuk kebutuhan pertanian, pertambangan serta kebutuhan untuk X-2 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan permukiman dan infrastruktur, telah meningkatkan konversi hutan. Selain itu,pemekaran wilayah yang merupakan dampak dari berkembangnya kepadatan wilayah juga telah meningkatkan kebutuhan lahan, yang dikonversi dari hutan. Demikian pula, kualitas lingkungan hidup juga semakin dihadapkan pada potensi pembuangan limbah yang tidak bertanggungjawab.Untuk itu, upaya perlindungan dan pemeliharaan kualitas lingkungan hidup akan semakin berat, sehingga diperlukan langkah pengendalian dan pengelolaan lingkungan hidup yang lebih baik. Sehubungan dengan itu, untuk mendukung pertumbuhan yang tetap tinggi namun tetap menjaga kelestarian SDA dan LH diperlukan peningkatan kualitas lingkungan hidup danpenggalian potensi baru dalam pemanfaatan ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang selaras dengan pelestarian SDA dan LH. Potensi pertumbuhan ekonomi berbasis SDA dan LH yang pertama adalah peningkatan nilai tambah dari produksi pertanian, pertambangan, perikanan dan kehutanan. Potensi kedua adalah pengembangan ekonomi dari hasil konservasi dan perlindungan SDA dan LH, antara lain yaitu: (1) pengembangan manfaat ekonomi dari keanekaragaman hayati (bioresources); (2) pengembangan manfaat ekonomi dari jasa lingkungan; dan (3) pengembangan ekonomi kelautan. Selama ini konservasi sumber daya alam dan lingkungan hidup yang manfaatnya berjangka panjang masih sering dikalahkan dengan pemanfaatan jangka pendek untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini. Seiring dengan perkembangan pengetahuan, sudah berkembang pula pemanfaatan ekonomi dari jasa lingkungan maupun pemanfaatan ekonomi keanekaragaman hayati (kehati) maka ekonomi kehati dan jasa lingkungan merupakan potensi ekonomi yang besar untuk sumber pendapatan dan pertumbuhan baru yang selaras dengan kelestarian alam. Ekonomi kelautan juga sangat potensial untuk peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Potensi perekonomian laut dan sumbangan di aspek lain, belum dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan posisi strategis geoekonomi Indonesia di tingkat global. Kegiatan IUU fishing sangat merugikan terhadap pengelolaan dan keberlanjutan sumberdaya perikanan. Illegal fishing Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-3 menjadi salah satu penyebab eksploitasi berlebih pada beberapa jenis sumberdaya ikan. Dalam kurun RPJMN 2015-2019 perekonomian sumber daya alam dan lingkungan hidup serta kelautan akan dikembangkan untuk pertumbuhan ekonomi nasional untuk memperkuat posisi geoekonomi dan geopolitik Indonesia. Amanah RPJPN untuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 di dalam Buku I RPJMN 2015-2019 diterjemahkan ke dalam isu strategis (1) Ketahanan Pangan, (2) Ketahanan Energi,(3) Ketahanan Air dalam rangka mengamankan dan mendukung ketahanan nasional;Selanjutnya, akan dilakukan pula (4) Peningkatan Sektor Primer dalam rangka mendukung Agenda pembangunan ekonomi, terutama pengembangan daya saing ekonomi berbasis sumberdaya alam.Untuk menjaga kelestarian sumberdaya alam dan kualitas lingkungan hidup, diterjemahkan kebijakan dan strategi dalam (5) Agenda Pelestarian SDA, Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana. Selanjutnya, untuk pengembangan potensi strategis dan baru dilakukan melalui (6)Agenda Pembangunan Kelautan. Sasaran di bidang pengelolaan SDA dan LH terutama berkaitan dengan isu-isu strategis di atas adalah sebagai berikut. Tabel X.1. Sasaran Pokok Pembangunan Bidang SDA LH Tahun 2015-2019 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Sasaran Pertumbuhan PDB pertanian (%, termasuk perikanan dan kehutanan) Pertumbuhan PDB Migas dan Pertambangan (%) Ekspor hasil perikanan (US$ miliar) Ekspor hasil kehutanan (US$ miliar) IKLH (skor) Konservasi Kawasan Perairan (juta ha) X-4 2015 2016 2017 2018 2019 3,5 3,6 3,7 3,8 4,0 0,9 1,1 1,3 1,5 1,8 5,86 6,82 7,62 8,53 9,54 6,5 13 19,5 26 32,5 64,064,5 16,5 64,565,0 17,1 65,065,5 17,9 65,5-66,5 66,568,5 20,0 18,8 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan Secara rinci penjabaran isu-isu strategis dalam rangka mendukung sasaran pembangunan bidang SDA dan LH tersebut di atas untuk mendukung pelaksanaan Tema Pembangunan RPJMN 2915-2019 adalah sebagai berikut. 10.1. Permasalahan dan Isu Strategis Dalam pelaksanaan amanah pembangunan bidang SDA dan LH terdapat beberapa permasalahan yang akan menjadi fokus perhatian dalam lima tahun mendatang. Permasalahan yang dihadapi adalah : (1) Produktivitas lahan pertanian dan luas lahan baku yang semakin menurun, (2) sistem irigasi termasuk kondisi waduk pada saat musim kemarau yang semakin memprihatinkan, (3) ketersediaan air khususnya di Pulau Jawa yang semakin terbatas, (4) ketergantungan pada bahan bakar fosil (batubara) sebagai sumber energi, (5) pemanfaatan sumber energi terbarukan belum optimal, (6) 108 daerah aliran sungai (DAS) dalam kondisi kritis, (7) luas lahan kritis dan laju deforestrasi yang semakin meningkat dan tutupan lahan hutan yang menurun, (8) kualitas lingkungan hidup yang menurun dan pengelolaan limbah/beban pencemaran yang belum optimal, (9) pengelolaan pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati yang belum optimal, (10) dampak perubahan iklim terhadap target pembangunan Indonesia, dan (11) wilayah Indonesia rentan terhadap bencana alam. Permasalahan yang dihadapi di sektor pertanian khususnya, antara lain adalah kontribusi sub sektor tanaman bahan makanan terutama padi terhadap pertumbuhan sektor pertanian cukup besar, akan tetapi peningkatan ke depan semakin lambat. Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi, permintaan terhadap penyediaan bahan baku industri khususnya untuk industri pengolahan pangan yang berasal dari hasil pertanian akan semakin tinggi dengan diberlakukannya Komunitas Ekonomi ASEAN pada tahun 2015. Sementara itu, permasalahan yang dihadapi dalam menghasilkan produk-produk primer untuk mendukung pengembangan industri pertanian adalah keberlanjutan produksi komoditas pertanian yang dipengaruhi baik Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-5 produktivitas maupun kualitas, penerapan aspek keberlanjutan dan ramah lingkungan seiring dengan menguatnya isu lingkungan dalam tataran global, serta harmonisasi keterkaitan baik antarkegiatan hulu-hilir, perundangan yang ada, maupun sektor yang terlibat di dalamnya. Sementara itu, permasalahan di sektor energi adalah terbatasnya pasokan energi primer dalam 5 tahun ke depan, sehingga perlu dilakukan optimalisasi dari pasokan yang ada, termasuk optimalisasi penggunaan gas dan meningkatkan kontribusi sumber energi baru dan terbarukan, panas bumi serta melakukan efisiensi penggunaan energi. Permasalahan lainnya dalam mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam untuk pembangunan adalah peningkatan nilai tambah di dalam negeri dan pengelolaan secara berkelanjutan. Selanjutnya, permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan hutan adalah menjadikan tata kelola hutan yang efektif dan efisien dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, dengan mempertimbangkan fungsi ekonomi, sosial dan lingkungan hidup. Pada masa mendatang pemanfaatan sumber daya hutan menghadapi permasalahan untuk tidak berfokus pada hasil hutan kayu saja. Diversifikasi produk hutan diperlukan sehingga sumber daya hutan dapat dioptimalkan sebagai bioenergi mendukung penyediaan energi terbarukan, tanaman pangan untuk mendukung ketahanan pangan, tanaman biofarmaka untuk mengembangkan industri obat-obatan, serta serat sebagai bahan baku industri biotekstil dan bioplastik. Permasalahan di bidang perikanan adalah kemampuan menyediakan ikan sebagai sumber protein bagi konsumsi masyarakat maupun sebagai bahan baku industri pengolahan dalam kondisi sumber daya ikan yang semakin terbatas, masih maraknya kegiatan perikanan yang tidak dilaporkan, tidak diatur, dan melanggar hukum (IUU Fishing), belum adanya kepastian spasial bagi usaha perikanan, masih tingginya harga input produksi, seperti pakan, benih, dan BBM, semakin menurunnya kualitas lingkungan, khususnya kondisi perairan, serta belum optimalnya peran riset dan inovasi dalam X-6 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan pengelolaan perikanan. Selain itu, walaupun kontribusi sub sektor perikanan terhadap PDB pertanian cukup tinggi, mencapai 21,45 persen (BPS, 2012), namun tingkat kesejahteraan masyarakat perikanan masih belum memadai. Selanjutnya permasalahan pembangunan di bidang kelautan adalah belum optimalnya tata kelola spasial kawasan pesisir dan laut serta pulau-pulai kecil, terdegradasinya ekosistem pesisir dan laut, masih rendahnya kualitas ekonomi masyarakat pesisir, serta masih rendahnya pemanfaatan peluang-peluang ekonomi baru melalui optimalisasi inovasi berbasis iptek kelautan. Selain itu, permasalahan dalam pengendalian dan peningkatan kualitas lingkungan hidup adalah meskipun upaya pengendalian pencemaran, kerusakan, dan peningkatan kualitas lingkungan hidup terus dilakukan, namun kondisi lingkungan hidup belum dapat ditingkatkan dan diukur secara tepat. Untuk itu, metodologi dan parameter perhitungan Indeks Kualitas Lingkungan Hidup perlu terus disempurnakan. Di samping itu, upaya pemulihan lingkungan dan penegakan hukum juga masih perlu terus ditingkatkan. Selanjutnya, Permasalahan terkait dengan pengelolaan keanekaragaman hayati dan peningkatan nilai keekonomiannya merupakan agenda yang harus diselesaikan segera. Terkait dengan penanganan perubahan iklim, permasalahan yang dihadapi adalah perlunya penguatan pelaksanaan upaya mitigasi perubahan iklim agar dapat mencapai target penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 26 persen di tahun 2020. Selain itu penguatan upaya adaptasi perubahan iklim untuk meningkatkan ketahanan masyarakat di wilayah rentan juga perlu dilakukan berpedoman pada dokumen Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API). Penguatan data dan informasi untuk peringatan dini iklim dan bencana juga merupakan bagian yang tak terpisahkan. Untuk melaksanakan pembangunanSDA dan LH dalam mendukung pelaksanaan pembangunan nasional dalam kurun Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-7 waktu RPJMN 2015-2019, maka untuk pembangunan nasional berkelanjutan terdapat 10 (sepuluh) isu strategis yang perlu ditangani, yaitu: (1). Pengamanan Produksi Untuk Kemandirian dan Diversifikasi Konsumsi Pangan; (2) Pengembangan Agribisnis, Pertanian Berkelanjutan dan Kesejahteraan Petani; (3) Peningkatan Produksi dan Nilai Tambah Perikanan serta Kesejahteraan Nelayan dan Pembudidaya Ikan; (4) Peningkatan Tata Kelola Laut, Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Serta Pengembangan Ekonomi Kelautan Berkelanjutan; (5) Peningkatan Produksi Hasil Hutan dan Pengembangan Jasa Lingkungan; (6) PeningkatanKonservasi dan Tata Kelola Hutan serta Pengelolaan DAS; (7)Penguatan Pasokan, Bauran dan Efisiensi Konsumsi Energi; (8) Peningkatan Nilai Tambah Industri Mineral dan Pertambangan Berkelanjutan; (9) Peningkatan Kualitas LH, SCP dan Pelestarian dan Pemanfaatan Keekonomian KEHATI sesuai dengan arahan dalam Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan/IBSAP 2003-2020; (10) Pelaksanaan Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim serta Peningkatan Kualitas Info Iklim dan Kebencanaan. 10.1.1. Pengamanan Produksi Untuk Kemandirian dan Diversifikasi Konsumsi Pangan Kontribusi sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk mendukung ketahanan pangan dalam lima tahun ke depan diarahkan kepada upaya penguatan pasokan pangan dan diversifikasi konsumsi dalam mendukung penguatan ketahanan pangan nasional. Pertumbuhan ekonomi yang positif dan bertambahnya jumlah penduduk dalam lima tahun ke depan mendorong peningkatanjumlah permintaan pangan, dimana diperkirakan terdapat dua kondisi permintaan, yaitu: (1) permintaan pangan akan semakin beragam dan berkualitas yang didorong dengan perubahan pola pangan akibat meningkatnya penduduk kelas menengah; dan (2) kecenderungan masih tingginya konsumsi beras/pangan padi-padian pada kelompok masyarakat berpenghasilan rendah X-8 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan sehingga menuntut penyediaan beras yang terus meningkat. Sementara itu, di sisi pasokan/produksi, pada saat ini kita dihadapkan pada beberapa permasalahan yaitu: 1. Lahan pertanian yang semakin terbatas, sementara upaya perluasan areal pertanian untuk pangan semakin sulit karena persaingan lahan semakin meningkat dengan adanya kebutuhan sektor lain seperti pemukiman dan perkembangan perkotaan. Pada saat yang sama, konversi lahan pertanian pangan produktif ke pertanian lainnya maupun non pertanian terus terjadi. 2. Ketersediaan sumberdaya air untuk mendukung produksi pangan semakin langka karena kerusakan sumber-sumber air dan persaingan penggunaan air untuk kebutuhan sektor lain. Selain itu, sistem pengelolaan air yang kurang baik menyebabkan distribusi air pada lahan-lahan pertanian pangan tidak merata baik dari sisi waktu maupun lokasi. 3. Sistem perbenihan yang belum tertata dengan baik menyebabkan produksi dan pemanfaatan benih unggul belum optimal. Adanya kesenjangan antara lembaga perbenihan dengan petani pengguna menyebabkan benih-benih unggul tidak termanfaatkan dengan baik. Selain itu, insentif yang kurang mendorong berkembangnya penangkar benih lokal. 4. Pemanfaatan pupuk bersubsidi masih dinilai kurang tepat, baik dari sisi jumlah maupun sasaran penerima. Belum tersedianya data petani penerima yang memadai memunculkan indikasi permasalahan “tidak tepat sasaran”, selain juga sulitnya perhitungan jumlah pupuk bersubsidi. Untuk itu, subsidi pupuk sebagai salah satu bentuk insentif bagi petani harus terus dibenahi pengelolaannya. Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-9 5. Peran penyuluhan belum optimal karena berbagai permasalahan terkait kelembagaan. Adanya pemisahan lembaga antara penyuluhan dan dinas teknis/produksi pangan memungkinkan kurang optimalnya proses diseminasi hasil penelitian dan pengawalan produksi di lapangan. Kondisi ini diperburuk dengan adanya indikasi kurangnya perhatian Pemerintah daerah terhadap keberadaan dan peran penyuluh. 6. Produksi pangan masih sangat rentan terhadap dampak iklim/cuaca ekstrim, khususnya perubahan pola hujan dan meningkatnya ancaman hama dan penyakit. Adanya bencana kekeringan maupun banjir masih mengancam keberlangsungan produksi sehingga dapat mempengaruhi ketersediaan pangan bagi masyarakat. Demikian juga dengan cuaca dan gelombang laut berpengaruh terhadap produksi perikanan. Kondisi ini menunjukkan bahwa langkah-langkah adaptasi dan mitigasi menjadi sangat penting dalam proses produksi, misalnya informasi iklim/cuaca bagi petani dalam menentukan masa tanam yang tepat. 7. Jumlah cadangan pangan yang dimiliki Pemerintah dinilai masih kurang. Keterbatasan ini menyebabkan upaya stabilisasi pangan maupun bantuan bencana dengan memanfaatkan stok Pemerintah masih kurang fleksibel. Padahal dengan tingginya fluktuasi harga pangan baik karena spekulasi maupun kurangnya suplai menuntut ketersediaan cadangan pangan yang cukup. 8. Keragaman konsumsi, baik perlunya peningkatan ragam konsumsi karbohidrat agar tidak tergantung pada beras saja, maupun ketersediaan dan konsumsi protein, baik dari protein nabati maupun protein hewani (telur, daging, dan ikan). X-10 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan 10.1.2. Pengembangan Agribisnis, Pertanian Berkelanjutan dan Kesejahteraan Petani Peningkatan persainganperdagangan komoditas hasil pertanian antarnegara. Dengan semakin terbukanya pasar global dan akan diberlakukannya Komunitas Ekonomi ASEAN/ASEAN Economy Community (AEC) pada awal 2015, persaingan perdagangan komoditas pertanian akan semakin meningkat dan pasar domestik kemungkinan akan dibanjiri oleh produkproduk hasil pertanian dari luar.Untuk mengurangi tekanan produk-produk dari luar tersebut, maka diperlukan upaya peningkatan daya saing sekaligus peningkatan nilai tambah produk-produk primer pertanian dan olahannya. Dengan jumlah penduduk terbesar di kawasan ASEAN dan ke-3 di kawasan Asia, Indonesia merupakan target pasar yang cukup besar bagi produk-produk pertanian dari negara lain. Selain itu, peningkatan mutu hasil pertanian dan pengembangan standardisasi mutu hasil pertanian masih perlu terus dilakukan untuk menghadapi persaingan perdagangan tersebut. Masih maraknya pungutan liar dan hambatan perijinan/birokrasi membuat biaya transportasi, pengangkutan komoditi untuk dipasarkan dalam negeri lebih mahal dibandingkan dengan ekspor. Peningkatan produktivitas komoditi pertanian. Peningkatan daya saing salah satunya dicapai melalui peningkatan produktivitas. Saat ini, untuk subsektor perkebunan, beberapa komoditi yang menjadi andalan ekspor mengalami stagnasi/fluktuasi produktivitas. Untuk komoditi karet misalnya, produktivitas karet Indonesia masih kalah dibandingkan Thailand meskipun luasan lahan karet Indonesia lebih luas dibandingkan dengan Thailand. Sementara untuk komoditas unggulan lain seperti kakao, produktivitasnya cenderung fluktutatif padahal Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-11 Indonesia merupakan salah satu dari tiga negara produser kakao dunia dengan produktivitasnya yang paling tinggi dibandingkan dengan Pantai Gading dan Ghana. Begitu juga dengan sawit, meskipun sampai saat ini masih menjadi penyumbang terbesar untuk ekspor di sektor pertanian, namun Permasalahan terkait peningkatan produktivitas sawit akan menghadapi Permasalahan khususnya yang terkait dengan kampanye komoditas berkelanjutan (sustainable commodity) sehingga upaya peningkatan produktivitas sawit harus secara saksama memerhatikan aspek kelestarian lingkungan. Sebagai komoditi utama ekspor, produktivitas subsektor tanaman perkebunan masih rendah, bahkan beberapa komoditi perkebunan mengalami penurunan. Rendahnya produktivitas ini disebabkan oleh usia tanaman yang sudah tua sehingga diperlukan peremajaan serta terbatasnya penggunaan bibit unggul. Sebagai contoh, produktivitas tanaman karet di tingkat petani masih rendah karena banyaknya tanaman usia tua dan rusak serta penggunaan bibit karet yang tidak unggul, dimana tingkat pengunaan bibit unggul diperkirakan baru mencapai 40 persen. Sementara itu, untuk subsektor hortikultura, impor masih tinggi terutama untuk beberapa komoditi sayuran dan buah-buahan. Pengembangan agroindustri, terutama di perdesaan. Selama ini, ekspor komoditi pertanian masih berbentuk produk primer, yang artinya telah kehilangan kesempatan untuk memperoleh nilai tambah. Komoditi tersebut diolah oleh negara lain dan diimpor oleh Indonesia. Dengan demikian, terjadi pengurasan nilai, seperti yang terjadi pada komoditi kakao dan karet. Hal ini disebabkan oleh belum berkembangnya industri pengolahan untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri yang memiliki potensi permintaan tinggi maupun untuk memasok X-12 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan kebutuhan pasar dunia. Kendala yang dihadapi dalam pengembangan agroindustri diantaranya adalah minimnya infrastruktur untuk mendukung agroindustri seperti jalan, listrik dan air serta kurangnya akses permodalan/perbankan. Selain itu pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen terhadap produk pertanian yang diolah di dalam negeri, memberikan dampak terhadap lebih mahalnya biaya pengolahan di dalam negeri dibandingkan dengan ekspor produk mentah dan impor produk olahannya. Tenaga kerja di sektor pertanian terutama yang berada di pedesaan masih sangat besar dan menyebabkan produktivitas tenaga kerja masih rendah. Pengembangan agroindustri khususnya di pedesaan akan mengurangi beban tenaga kerja di sektor primer pertanian. 10.1.3. Peningkatan Produksi dan Nilai Tambah Perikanan serta Kesejahteraan Nelayan dan Pembudidaya Ikan Peranan sub sektor perikanan dalam pembangunan ekonomi nasional dinilai semakin strategis, sejalan dengan kontribusinya terhadap peningkatan PDB, penyerapan tenaga kerja, serta berperan penting dalam penyedia pangan protein bagi pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat. Produksi ikan Indonesia yang berasal dari perikanan tangkap menempati peringkat ketiga dunia setelah China dan Peru, sementara produksi ikan budidaya (di luar rumput) laut menempati peringkat ke-empat dunia setelah China, India, dan Vietnam (FAO, 2012). Namun demikian, Indonesia belum termasuk dalam 10 besar negara eksportir ikan dan hasil perikanan dunia (FAO, 2012). Disamping beberapa kemajuan yang telah diperoleh, masih terdapat beberapa permasalahan dan Permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan perikanan, diantaranya adalah: Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-13 Produktivitas Usaha Perikanan Cenderung Stagnan. Hal ini karena usaha perikanan didominasi oleh nelayan kecil dan pembudidaya ikan dengan kepemilikan aset terbatas. Hampir 90 persen armada kapal perikanan didominasi oleh kapal motor dan kapal dibawah 5 GT. Sementara itu, kepemilikan lahan usaha budidaya masih rata-rata dibawah 1 ha. Disamping itu produksi perikanan masih sangat rentan terhadap dampak dari kondisi iklim/cuaca ekstrim. Terjadinya perubahan iklim, pola hujan yang tidak menentu, dan meningkatnya ancaman hama dan penyakit, merupakan salah satu acaman bagi kelangsungan produksi perikanan budidayaAdanya bencana kekeringan maupun banjir, gelombang/pasang yang tinggi di laut berpengaruh terhadap produksi perikanan. Kondisi ini menunjukkan bahwa langkah-langkah adaptasi dan mitigasi terhadap dampak perubahan iklim menjadi sangat penting dalam proses produksi. Biaya Input Produksi yang Tinggi. Hal ini menyebabkan ongkos produksi perikanan budidaya cenderung semakin meningkat dan cenderung menurunkan marjin yang diterima pembudidaya ikan. Bahan baku pakan ikan yang masih dominan berasal dari luar negeri, menjadikan pengeluaran untuk pembiayaan pakan menjadi tinggi. Demikian juga, dengan meningkatnya harga BBM dan sulitnya memperoleh BBN untuk nelayan menyebabkan ongkos produksi perikanan tangkap terus meningkat. Disisi lain, kenaikan harga ikan cenderung lebih rendah daripada ongkos produksi. Persoalan lainnya adalahbelum memadainya skim pembiayaan/ permodalan perikanan yang efektif, murah dan mudah, sehingga menyebabkan usaha perikanan cenderung stagnan. X-14 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan Industri Pengolahan Perikanan masih Didominasi oleh Industri Pengolahan Skala Mikro dan Kecil. Komposisi industri/unit pengolahan ikan (UPI) skala mikro mencapai hampir 95 persen dari industri pengolahan perikanan yang ada (sekitar 60 ribu unit UPI). Selanjutnya, produk perikanan pada umumnya masih dipasarkan dalam bentuk primer, belum diolah sehingga memiliki nilai tambah yang masih terbatas. Distribusi UPI skala mikro didominasi oleh penggaraman/pengeringan, pemindangan, dan pengasapan/pemanggangan. Terkait dengan komoditas rumput laut, yang merupakan salah satu produk terbesar budidaya, mayoritas dijual dalam bentuk bahan baku olahan, yang dikeringkan, sementara industriyang mengolah rumput laut menjadi Alkaline Treated Cottonii (ATC) dan Semi Refined Carrageenan (SRC) masih terbatas. LokusIndustri Pengolahan Perikanan yang Terkonsentrasi di Jawa dan Rendahnya Utilitas Industri. Distribusi UPI cenderung terkonsentrasi di Pulau Jawa, yaitu sekitar 45 persen, sisanya jumlah UPI tersebar di Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan. Padahal, sumber bahan baku utama pengolahan ikan banyak berada di wilayah Indonesia bagian timur. Selain itu utilitas industri pengolahan perikanan baru mencapai sekitar 60 persen. Rendahnya utilitas industri pengolahan terutama disebabkan oleh ketersediaan bahan baku yang fluktuatif, musiman, dan belum terjaganya kontinuitas produk. Kurang Memadainya Sarana dan Prasarana Terkait Logistik Perikanan, termasuk transportasi, sehingga distribusi produk perikanan kurang efisien. Gudang beku, gudang dingin, maupun infrastruktur lain dalam rantai dingin masih terbatas, terutama pada wilayahwilayah yang masih menghadapi kendala kecukupan energi, sehingga persediaan produk perikanan Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-15 menjadi sulit dipenuhi. Pergudangan juga menghadapi kendala potensi inefisiensi, baik karena terbatasnya infrastruktur dasar (air, listrik dan jalan) maupun adanya lokasi yang kurang tepat. Terkait transportasi, masih dihadapkan pada keterbatasan rute, frekuensi, serta infrastruktur transportasi yang memadai yang menyebabkan biaya transportasi per unit produk menjadi sangat tinggi, disamping juga karena produk perikanan yang menuntut pola pengangkutan yang lebih spesifik (misalnya penggunaan refrigerated container). Dalam hal pengelolaan perikanan, platform pengelolaan perikanan dinilai masih perlu dibenahi dan diperkuat. Saat ini wilayah pengelolaan perikanan (WPP) sebagai platformkawasan usaha perikanan masih belum dilengkapi dengan struktur dan mekanisme pengelolaan dan tata kelola perikanan yang baik (good fisheries management), belum seutuhnya mengadopsi prinsip-prinsipperikanan yang bertanggungjawab (responsible fisheries). Selain itu, Permasalahan pengelolaan perikanan ke depan adalah bagaimana mengembangkan sistem traceability dari hasil tangkapan ikan mengingat produk yang dihasilkan harus memenuhi ketentuan keberlanjutan (sustainability measures) yang semakin menjadi preferensi bagi pasar domestik maupun internasional. Komunitas Perikanan Masih Rentan terhadap Kemiskinan, sekitar 25 persen penduduk miskin di Indonesia atau 7,9 juta jiwa berasal dari masyarakat pesisir. Saat ini terdapat sekitar 2,8 juta jiwa masyarakat pesisir yang berprofesi sebagai nelayan. Upaya peningkatan kesejahteraan nelayan ini merupakan Permasalahan besar yang masih harus dipecahkan serta membutuhkan peran semua pihak secara sinergis, melalui program-program terpadu yang memiliki fokus yang jelas dan lokus yang tepat. X-16 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan 10.1.4. Peningkatan Tata Kelola Laut, Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta Pengembangan Ekonomi Kelautan Berkelanjutan Indonesia merupakan negara kepulauan yang hampir 70 persen wilayahnya merupakan laut, dengan panjang pantai 95,2 ribu km dan 17.504 pulau, dengan potensi yang demikian besar, kondisi ini juga memberikan Permasalahan pengelolaan yang berat. Pemanfaatan sumber daya kelautan dan pesisir yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan tidak hanya mengancam keberlanjutan sumber daya tersebut, tetapi juga dapat menjadi gangguan bagi wilayah sebagian besar Indonesia. Wilayah laut dan pesisir yang bersifat transboundary sangat rentan terhadap dampak negatif dari kegiatan yang merusak, padahal di dalamnya banyak tersedia kekayaan sumber daya hayati untuk menopang sistem kehidupan pada saat ini dan di masa yang akan datang. Oleh sebab itu, sebagai potensi ekonomi andalan ke depan, sumber daya kelautan harus dikelola secara berkelanjutan agar fungsinya sebagai penyangga sistem kehidupan dapat berjalan optimal. Tata Kelola Laut. Berdasarkan UU No.27/2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan revisinya UU No.1/2014, diamanatkan bagi pemerintah pusat dan daerah untuk menyusun rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, yang mengatur wilayah darat sampai dengan batas kecamatan dan perairan sampai dengan batas 12 mil laut. Sampai dengan pertengahan tahun 2014 hanya 4 provinsi, 7 kabupaten dan 5 kota yang telah menetapkan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulaupulau kecil melalui peraturan daerah. Selain permasalahan penyelesaian rencana zonasi wilayah pesisir tersebut, belum adanya peraturan tentang Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-17 penataan ruang laut sampai dengan wilayah zona ekonomi ekslusif Indonesia menyebabkan pengelolaan kelautan Indonesia belum efektif. Pengelolaan pulau-pulau kecil, termasuk pulau-pulau kecil terluar masih belum memadai. Dari 17.504 pulau di Indonesia, sekitar 17.400 pulau merupakan pulau kecil dan sekitar 1.600 merupakan pulau-pulau kecil berpenduduk serta 92 pulau merupakan pulau-pulau kecil terluar yang berbatasan dengan negara tetangga termasuk didalamnya 31 pulau kecil terluar berpenduduk. Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan pulau-pulau kecil, terutama yang berpenduduk, adalah keterbatasan sarana prasarana dasar, berupa listrik, air, telekomunikasi, serta sarana prasarana pengembangan ekonomi di pulau-pulau kecil serta kurang memadainya jumlah kapal dan rute penghubung antar pulau kecil dan antara pulau kecil dengan pulau besar. Peningkatan upaya diperlukan untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi masyarakat pulau-pulau kecil. Dari jumlah total pulau di Indonesia, sebanyak 13.466 pulau telah dibakukan namanya dan dilaporkan ke PBB pada tahun 2012, sedangkan sisanya masih memerlukan pendataan, pemetaan, penamaan serta pelaporan ke PBB sampai dengan tahun 2017. Pengelolaan kawasan konservasi perairan masih perlu ditingkatkan efektivitasnya. Dalam pertemuan Convention on Biological Diversity (CBD) pada tahun 2006, Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menetapkan 20 juta ha kawasan konservasi perairan pada tahun 2020. Untuk mencapai target CBD tersebut, masih diperlukan upaya peningkatan luasan kawasan konservasi perairan. Sampai dengan tahun 2013, luas kawasan konservasi perairan Indonesia adalah 15,7 juta ha dan dari luasan kawasan konservasi tersebut baru sekitar 3,6 juta ha yang telah X-18 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan dikelola secara efektif. Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan efektif adalah keterbatasan jumlah SDM pengelola, sarana dan prasarana di kawasan konservasi, serta belum selesainya rencana pengelolaan atau rencana zonasi kawasan konservasi. Gambar X.1. Luas Kawasan Konservasi Perairan (Juta Ha) Tahun 2004-2012 Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan 2013 Masih maraknya IUU fishing dan kegiatan pemanfaatan sumberdaya kelautan yang merusak. Untuk meningkatkan pengawasan dan pengendalian pemanfaatan sumber daya kelautan, telah dilaksanakan penguatan sistem monitoring, controlling, and surveilance, dengan melibatkan 27 unit kapal pengawas perikanan, serta meningkatkan operasi terpadu lintas sektor. Permasalahan yang dihadapi antara lain cakupan pengawasan pemanfaatan sumber daya kelautan yang masih sangat terbatas dan penegakan hukum yang belum efektif. Hal tersebut terutama disebabkan oleh jumlah hari operasi kapal pengawas yang sangat terbatas, keterbatasan sarana dan prasarana, diantaranya Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-19 sistem monitoring, kapal pengawas, pos pengawas serta kelompok masyarakat pengawas yang terbentuk di daerah belum semuanya berperan secara aktif. Selain itu,belum memadainya kelembagaan pengawasan sumber daya kelautan menyebabkan pengawasan terhadap IUU fishing belum optimal. Masih belum optimalnya pemanfaatan sumberdaya kelautan untuk pembangunan. Kegiatan ekonomi yang memanfaatkan sumberdaya kelautan seperti keindahan bawah laut dan eksotisme pulau-pulau kecil Indonesia masih kurang dimanfaatkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat maupun untuk menggerakkan ekonomi wilayah. Demikian juga usaha perikanan masih belum optimal dimanfaatkan dibanding potensi yang ada. Demikian juga sumberdaya lainnya seperti energi laut, dan kekayaan plasma nutfah laut yang belum banyak tersentuh. Wilayah pesisir merupakan wilayah yang rentan terhadap bencana laut, seperti erosi, abrasi, dan pencemaran. Untuk mendukung pengamanan wilayah pesisir dan laut, terutama dari bahaya bencana, perlu dilakukan upaya meningkatkan ketahanan wilayah pesisir dari bencana pesisir dan laut, termasuk pemulihan kawasan pesisir yang rusak. SDM dan Iptek Kelautan. Kualitas dan kuantitas SDM kelautan yang belum optimal, kelembagaan pendidikan dan pelatihan yang belum terbangun secara utuh serta kurang berperannya inovasi dan pengembangan iptek tepat guna dalam pembangunan kelautan dan perikanan masih menjadi isu yang perlu diselesaikan. X-20 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan 10.1.5. Peningkatan Produksi Hasil Hutan dan Pengembangan Jasa Lingkungan 10.1.5.1. Pengembangan KPH Produksi dan Produk Kayu Sumber daya hutan memiliki potensi kontribusi yang tinggi dalam pembangunan ekonomi yaitu dari penyediaan hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu. Hasil hutan tersebutmerupakan bahan baku bagi industri pengolahan, seperti pertukangan, bubur kertas, kertas, obat-obatan dan kosmetik, plastik, tekstil dan energi. Selain memenuhi kebutuhan dalam negeri, hasil hutan dan produk hasil hutan Indonesia berpotensi besar dalam meningkatkan ekspor non-migas. Hasil hutan kayu menjadi andalan ekspor Indonesia dan menjadi salah satu kontributor utama PDB nasional pada era 1970-1990an. Namun demikian, data sepuluh tahun terakhir menunjukkan kontribusi kehutanan terhadap PDB nasional terus menurun. Berdasarkan harga konstan tahun 2000 kontribusi PDB sektor kehutanan terhadap PDB nasional dari tahun 2004 hingga 2012 terus mengalami penurunan, yaitu dari 1,05% tahun 2004 menjadi 0,67% tahun 2012. Penurunan tersebut disebabkan oleh rendahnya daya saing produk kehutanan yang disebabkan oleh: Pemanfaatan kawasan hutan produksi belum optimal. Dari kawasan hutan produksi yang meliputi area seluas 73,94 juta ha, seluas 22,88 juta ha telah Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-21 dikeluarkan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam, dan 10,28 juta ha hutan tanaman industri. Sementara itu, pemanfaatan hutan produksi untuk memberikan akses pada masyarakat melalui hutan tanaman rakyat masih sangat rendah, pencadangan areal untuk hutan tanaman rakyat baru seluas 0,70 juta ha, hutan desa dan hutan kemasyarakatan seluas 0,58 juta ha. Hutan produksi seluas 38,44 juta ha masih berstatus open access, mengakibatkan terjadinya konflik penggunaan hutan, illegal logging, illegal trading dan kerusakan hutan. Produksi dan produktivitas rendah. Produksi kayu bulat dari hutan tanaman meningkat hampir tiga kali lipat yaitu dari 9,4 juta m3 pada tahun 2004 menjadi 26,1 juta m3 pada tahun 2011. Sementara itu, produksi kayu bulat dari hutan alam relatif stabil, yaitu berkisar antara 4,3-5,1 juta m3/tahun. Pasokan hasil hutan kayu untuk industri hilir juga didukung oleh produksi kayu bulat yang berasal dari hutan rakyat di luar kawasan hutan yang meningkat dari 0,7 juta m3 pada tahun 2004 menjadi 3,2 juta m3 pada tahun 2012. Meskipun terlihat meningkat, produktivitas hasil hutan sebenarnya masih sangat rendah, terutama untuk hutan alam. Berdasarkan perhitungan, dari 24 juta ha izin usaha yang diberikan, hanya mampu memproduksi 5,1 juta m3 atau X-22 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan sekitar 0,28 m3/ha. Apabila diasumsikan daur tebang 35 tahun, maka luasan blok tebang setiap tahun sekitar 0,47 juta ha, sehingga potensi produktivitasnya sebesar 10 m3/ha. Hal ini menunjukkan bahwa produksi kayu bulatdari hutan alam masih jauh dari potensinya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa potensi produktivitas kayu komersial dengan pengelolaan tebang pilih tanam Indonesia (TPTI) di hutan alam bahkan dapat mencapai sekitar 30-40 m3/ha. Belum optimalnya pemanfaatan potensi hutan produksi yang sudah dibebani hak. Banyak pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan yang tidak aktif berproduksi. Dari 294 unit perusahaan pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan alam, sebanyak 179 (61%) tidak aktif. Sementara itu dari 245 unit perusahaan pemegang izin usaha pemanfaatan hutan tanaman industri, 139 (58%) tidak aktif. Kecenderungan penurunan keaktifan pemegang izin disebabkan harga jual kayu bulat di dalam negeri lebih rendah dari biaya produksi. Kebijakan pelarangan ekspor kayu bulat, merupakan salah satu penyebab distorsi pasar di dalam negeri, sehingga harga kayu bulat di dalam negeri jatuh. Kondisi ini juga menurunkan minat investasi di industri hulu, meningkatkan illegal logging, illegal tradingdan mematikan tingkat daya saing industri hilir yang pada akhirnya Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-23 menurunkan daya saing produk kayu di pasar global. Kurang berkembangnya industri primer hasil hutan. Hasil industri primer kehutanan yang menjadi andalan produk kehutanan Indonesia adalah kayu lapis, pulp and paper, veneer, dan kayu gergajian. Selain dari produk utama tersebut muncul beberapa produk kayu olahan yang menjadi tulang punggung industri kehutanan, di antaranya particle board, fiber board dan lainnya. Produksi kayu lapis pada tahun 2005 tercatat sebesar 4,5 juta m3, menurun cukup tajam menjadi hanya sekitar 2,9 juta m3 pada tahun 2012 atau berkurang sekitar 36 persen selama delapan tahun. Produkproduk olahan lainnya mengalami peningkatan. Produk pulp meningkat cukup tinggi pada tahun 2012 hingga mencapai 6,2 juta ton setelah sempat mengalami penurunan produksi terendah pada tahun 2007 yang hanya sekitar 0,5 juta ton. Produksi veneer pernah mencapai titik terendah pada tahun 2006 yaitu sebesar 0,26 juta m3, namun dapat bangkit kembali hingga pada tahun 2012 mencapai 0,8 juta m3. Pada tahun 2008 produk kayu gergajian hanya 0,5 juta m3, namun pada tahun 2012 menjadi 0,9 juta m3. Sementara itu, pemanfaatan hasil hutan kayu untuk bio-energi, tekstil, dan bioplastik belum dikembangkan Kinerja ekspor belum optimal. Kinerja ekspor produk utama kehutanan dari X-24 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan tahun ke tahun cenderung semakin meningkat, antara tahun 2005 sampai 2012 mengalami kenaikan signifikan sebesar 52 persen dari US$2.380,57 juta pada tahun 2005 menjadi US$3.637,69 juta pada tahun 2012. Produk utama kehutanan yaitu pulp, kayu gergajian, plywood dan laminated veneer lumber (LVL), veneer, particle board, dan fiberboard. Namun, kenaikan kinerja ekspor sektor kehutanan didominasi oleh produk andalan, yaitu pulp, plywood dan LVL, sedangkan untuk produk yang lainnya nilai ekspor cenderung tidak berubah hanya sekitar 4 persen dari keseluruhan nilai ekspor. Penerapan prinsip pengelolaan hutan berkelanjutan belum sepenuhnya. Telah dilakukan pemberian sertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) yang diberikan kepada pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan alam dan hutan tanaman. Hingga tahun 2013, persentase pemegang izin yang bersertifikat PHPL masih sedikit. Hanya 48 unit dari 294 pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan alam dan 26 unit dari 245 pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan tanaman yang aktif dan bersertifikat. Sejalan dengan peningkatan daya saing di tingkat global, PHPL diperkuat dengan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang melindungi produk kayu legal. Selain Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-25 itu, Pemerintah Indonesia dan Uni Eropa telah menandatangani Voluntary Partnership Agreement (VPA) sehingga hanya produk yang bersertifikat SVLK yang dapat masuk ke pasar Uni Eropa. Selain untuk menerapkan prinsipprinsip Sustainable Forest Management, hal tersebut sekaligus merupakan upaya untuk memerangi illegal logging dan illegal trading. 10.1.5.2. Pengembangan KPH Lindung dan Hasil Hutan Bukan Kayu Hutan lindung mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Hutan lindung dapat ditetapkan di wilayah hulu sungai (termasuk pegunungan di sekitarnya) sebagai wilayah tangkapan hujan (catchment area), di sepanjang aliran sungai, di tepi-tepi pantai pada hutan bakau, dan tempat-tempat lain sesuai fungsi yang diharapkan. Luas hutan lindung di Indonesia kurang lebih 32,2juta ha atau 24% dari seluruh kawasan hutan Indonesia. Berdasarkan data Statistik Kehutanan tahun 2012 tutupan hutan lindung seluas 24,76 juta ha atau sekitar 76,9%. Keberadaan hutan, termasuk hutan lindung, saat ini masih belum dimanfaatkan untuk peningkatan ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Data X-26 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013 menyebutkan bahwa jumlah penduduk miskin di seluruh wilayah Indonesia sebanyak 28,07 juta orang. Berdasarkan data Renstra Kementerian Kehutanan 20102014, disebutkan bahwa terdapat 48,8 juta penduduk pedesaan tinggal di sekitar kawasan hutan dan sejumlah 10,2 juta orang di antaranya termasuk sebagai kelompok miskin. Hutan sebagai penyangga kehidupan dapat dimanfaatkan sebagai sumber penghidupan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sampai dengan saat ini kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan hutan masih membutuhkan perhatian. Berdasarkan data statistik Kementerian Kehutanan tahun 2010 terdapat 31.957 desa yang berada di dalam kawasan hutan, di tepi atau sekitar kawasan hutan. Jumlah ini merupakan 36,17% dari seluruh desa yang ada di Indonesia. Jumlah desa yang berada di dalam kawasan hutan terbanyak ada di Provinsi Kalimantan Tengah, jumlah desa di tepi dan sekitar kawasan hutan terbanyak ada di Provinsi Jawa Tengah. Persentase desa yang berada di tepi kawasan hutan relatif besar jumlahnya yaitu 25,7% dari seluruh desa yang terkait dengan hutan. Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-27 Tabel X.2. Desa di Kawasan Hutan 2010 Desa terkait kawasan hutan Jumlah Persentase (%) dari seluruh desa terkait kawasan hutan Persentase (%) dari seluruh desa di Indonesia Di dalam kawasan 1.305 4,08 1,48 Di sekitar kawasan 7.943 24,86 8,99 22.709 71,06 25,70 Di tepi kawasan Sumber : Renstra Kemenhut 2010-2014; BPS,2010 Kebijakan yang telah diambil dalam rangka pengentasan kemiskinan masyarakat di sekitar kawasan hutan periode 2010-2014 salah satunya adalah pemberian akses kepada masyarakat untuk memanfaatkan kawasan hutan melalui pola Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan Hutan Desa (HD). Secara kumulatif, jumlah HKm dan HD yang telah dibangun hingga saat ini telah mencapai seluas 1.538.199,80 ha dari target 2.500.000 ha. Selain itu, pemerintah juga membangun Hutan Rakyat (HR) kemitraan di luar kawasan hutan seluas 56.334 ha pada tahun 2012 dan seluas 50.000 ha pada tahun 2013. 10.1.6. Peningkatan Konservasi dan Tata Kelola Hutan Serta Pengelolaan DAS 10.1.6.1. Peningkatan Kehutanan Kinerja Tata Kelola Belum optimalnya pemanfaatan sumber daya hutan baik dari sisi ekonomi, sosial maupun lingkungan disebabkan tata kelola hutan yang baik masih belum berjalan. X-28 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan Pemanfaatan hasil hutan belum dapat memberikan kontribusi yang signifikan pada pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Tingkat kemiskinan penduduk yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan masih tinggi. Di sisi lingkungan, kualitas sumber daya hutan juga semakin menurun, terjadinya deforestasi dan degradasi hutan akibat konversi kawasan hutan untuk kegiatan non kehutanan, perambahan liar, kebakaran hutan, penebangan liar dan perdagangan hasil hutan tanpa izin. Meningkatnya kebutuhan penduduk untuk pertanian, pertambangan, industri, infrastruktur, dan permukiman semakin meningkatkan tekanan terhadap keberadaan kawasan hutan yang pada akhirnya menurunkan kinerja pengelolaan kawasan hutan. Untuk mengantisipasi perubahan tersebut maka diperlukan perbaikan tata kelola sumber daya hutan. Tata kelola kehutanan dimulai dengan memberikan kejelasan status hukum (legal) sebuah kawasan hutan. Sesuai dengan UU No. 41/1999 dan Keputusan MK No. 45/2011 pengukuhan kawasan hutan diwujudkan dalam proses penunjukkan, penataan batas, pemetaan hingga diakhiri dengan penetapan kawasan hutan. Kepastian tenurial dengan ditetapkannya kawasan hutan memudahkan dilakukannya penatagunaan kawasan hutan yang meliputi penetapan fungsi dan penggunaan kawasan hutan. Aspek lainnya dalam tata kelola adalah pembentukan wilayah pengelolaan hutan hingga tingkat unit pengelola yang Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-29 disebut Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). KPH ini memastikan pembagian peran regulator dan pelaksana (operator). Ketidakjelasan status kawasan hutan mengakibatkan konflik di tingkat tapak. Saat ini, persentase kawasan hutan yang telah ditetapkan masih sangat rendah, baru mencapai sekitar 14% dari seluruh luas kawasan hutan. Salah satu penyebab rendahnya persentase penetapan kawasan hutan adalah belum selesainya penataan batas kawasan hutan. Upaya telah dilakukan selama RPJMN 2010-2014 untuk mencapai 63.000 km tata batas, namun belum sampai tahap penetapan. Ketidakpastian hukum atas tenurial ini memunculkan berbagai masalah. Konflik yang terjadi dapat berupa tumpang tindih izin, misalnya antara izin kehutanan, pertambangan, dan perkebunan. Selain itu, terjadi perambahan hutan secara liar oleh masyarakat yang secara illegal melakukan alih fungsi kawasan hutan menjadi kawasan budidaya non kehutanan. Ketidakhadiran pengelola (KPH) di tingkat tapak menyebabkan sejumlah permasalahan yang tidak dapat segera ditangani. Illegal activities (logging, hunting, encroaching), pencurian plasma nutfah, kebakaran hutan dan lahan masih terus berlangsung di dalam kawasan hutan yang berdampak pada rusaknya ekosistem hutan. Kebijakan pembangunan KPH dan operasionalisasi KPH telah diterapkan dalam RPJMN tahap kedua melalui pembentukan 120 KPH model dan X-30 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan dukungan pembangunan prasarananya. sarana- Masalah kebakaran hutan dan lahan di Indonesia semakin meningkat dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini. Banyak pihak merasa berkepentingan untuk menanggulangi masalah kebakaran hutan dan lahan di Indonesia mengingat dampaknya yang sangat merugikan baik untuk skala nasional, skala regional Asia Tenggara, maupun skala global. Kebakaran hutan secara nyata berpengaruh terhadap hilangnya keanekaragaman hayati, pemanasan global, kesehatan, dan hilangnya kesempatan ekonomi bagi masyarakat. Beberapa akar permasalahan penyebab kebakaran hutan dan lahan: (1) Revisi RTRWP, RTRW Kabupaten/Kota yang terjadi terus menerus; (2) Kebijakan alokasi lahan yang tumpang tindih; (3) Masalah konflik pengusahaan lahan; (4) Kependudukan, laju pertumbuhan penduduk dan migrasi; (5) Peningkatan degradasi hutan dan lahan; dan (6) Struktur dan koordinasi kelembagaan dalam pengelolaan sumber daya alam belum berjalan dengan baik. Permasalahan kebakaran hutan dan lahan ternyata merupakan permasalahan yang kompleks dan tidak hanya mencakup sektor kehutanan tetapi harus dilihat secara lebih luas dari segi pengelolaan landscape atau bentang lahan, persoalan sosial serta persoalan ekonomi. Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-31 Gambar X.2. Jumlah Hotspot Dalam Kawasan Hutan Tahun 2004-2013 146.264 61.481 37.909 37.896 30.616 39.463 28.474 34.789 19.066 9.880 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Jumlah Hotspot Sumber: Diolah dari Buku Statistik Kehutanan Indonesia Tahun 2004 s/d Tahun 2012 Gambar X.3. Luas Kebakaran Dalam Kawasan Hutantahun 2004-2012 8.269 7.619 6.975 6.793 5.502 4.141 3.500 3.344 2.612 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Luas Hutan Terbakar Sumber : Diolah dari Buku Statistik Kehutanan Indonesia Tahun 2004 s/d Tahun 2012 10.1.6.2. Peningkatan Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam bertujuan untuk menjaga kawasan hutan dan lingkungannya agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi, tercapai secara optimal dan X-32 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan lestari. Sebagai kawasan yang berperan sebagai pertahanan terakhir pelestarian biodiversitas dan ekosistem di Indonesia, kawasan konservasi atau KPH-Konservasi merupakan kawasan dimana fungsi 3P (Perlindungan, Pemanfaatan dan Pengawetan) diprioritaskan. Menurut Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990, kawasan konservasi tersebut dibagi menjadi: Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Wisata Alam, Taman Buru dan Taman Hutan Raya. Tabel X.3 Luas Kawasan Konservasi Berdasarkan Fungsi No. Fungsi Jumlah (unit) Luas (ha) % Luas 1. Cagar Alam (CA) 221 4.075.611,7 15,0 2. Suaka Margasatwa (SM) 75 5.029.726,5 18,6 3. Taman Nasional (TN) 50 16.372.064,6 60,4 4. Taman Wisata Alam (TWA) 115 748.571,9 2,8 5. Taman Buru (TB) 13 220.951,4 0,8 6. Taman Hutan Rakyat (TAHURA) 23 351.680,4 1,3 7. Kawasan Suaka Alam -Kawasan pelestarian Alam 24 309.880,3 1,1 527 27.108.486,8 100 Total Sumber: Statistik Ditjen PHKA 2012 Dari tabel di atas, pengelolaan kawasan konservasi dalam bentuk taman Nasional merupakan kawasan konservasi terluas meliputi 60.39% dari total kawasan konservasi di Indonesia atau seluas 16,4 juta hektar. Secara keseluruhan, luas taman nasional terbagi lagi ke dalam 50 unit Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-33 pengelola kawasan Taman Nasional atau Kesatuan Pengelola Hutan KonservasiTaman Nasional (KPHK-TN) yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Hingga saat ini, fungsi kawasan konservasi yang tidak termasuk ke dalam pengelolaan KPHK– TN(mencakup area seluas 10,7 juta Ha) dikelola melalui Balai/Balai Besar KSDA. Saat ini dirasakan bahwa penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam belum dapat dilakukan dengan optimal sehingga keberadaan kawasan konservasi belum berperan dalam upaya meningkatkan kemakmuran masyarakat. Adapun beberapa permasalah utama yang dihadapi antara lain: Tingginya tekanan dan perambahan kawasan konservasi oleh masyarakat sekitar hutan. Peningkatan populasi, tingginya jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan serta kebutuhan akan lahan untuk berproduksi secara sistemik menjadi faktor utama (underlying drivers) dalam degradasi hutan konservasi di berbagai wilayah di Indonesia. Implikasinya, intensitas perambahan liar, kebakaran hutan, pencurian pelbagai plasma nutfah, tidak terkendalinya Alien Invasive Species (AIS), perdagangan tanaman dan satwa liar secara ilegal, perburuan ilegal di kawasan konservasi masih banyak terjadi dan membutuhkan solusi yang komprehesif dalam menanganinya. Jumlah sumber daya manusia, serta sarana dan prasana bidang pengamanan hutan sangat terbatas dibandingkan luas kawasan X-34 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan hutan yang harus diamankan. Perlindungan dan pengamanan hutan dibutuhkan dengan tujuan mencegah dan meminimalkan kerusakan hutan serta menjaga hak negara atas hutan dan hasil hutan, dan memiliki nilai strategis dalam kehidupan masyarakat dan negara. Saat ini Indonesia hanya memiliki tenaga Polisi Hutan sebanyak sekitar 8.000 orang yang hanya dilengkapi dengan sarana dan prasarana sangat minim. Rasio pengamanan kawasan hutan saat ini masih berkisar antara 1 orang Polhut meliputi wilayah sekitar 16.000 Ha. Dengan wilayah operasi yang sangat luas dan sarana dan prasarana yang sangat minim, efektifitas pengamanan hutan menjadi tidak optimal. Pemanfaatan kawasan konservasi dan keanekaragaman hayati di dalamnya perlu ditingkatkan untuk meningkatkan pendapatan negara maupun masyarakat sekitar kawasan hutan. Sumber daya hutan menyediakan berbagai keanekaragaman hayati mulai dari tingkat keanekaragaman ekosistem, keanekaragaman spesies hingga keanekaragaman genetik yang dapat dimanfaatkan secara ekonomi dalam bentuk perdagangan tumbuhan dan satwa liar (terutama ekspor) serta bioprospecting. Sumber daya hutan juga memiliki jasa lingkungan seperti wisata alam, penyediaan air dan rosot karbon yang dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat. Perdagangan tumbuhan dan satwa liar hasil penangkaran baik secara in-situ maupun ex-situ telah memberikan kontribusi terhadap Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-35 penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan devisa yang terus meningkat. Penerimaan devisa untuk tumbuhan pada tahun 2011 sebesar USD 4,4 juta, masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan satwa yang mencapai USD 445,6 juta (Gambar X.4x). Potensi penerimaan devisa tersebut masih dapat dikembangkan mengingat luasnya kawasan hutan konservasi serta tingginya minat dunia usaha dalam melakukan usaha penangkaran. Di sisi lain, upaya pemerintah dalam memanfaatkan sumber daya hutan khususnya keanekaragaman hayati, untuk memenuhi bahan baku obat-obatan dan kosmetika atau yang dikenal dengan Bioprospecting perlu terus dikembangkan mengingat potensi kekayaan keanekaragaman hayati Indonesia. Gambar X.4 Nilai Devisa Perdagangan Tanaman Dan Satwa Tahun 2008-2011 (Dalam USD) Sumber: Statistik Kehutanan 2012 X-36 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan Gambar X.5 Nilai PNBP Tumbuhan Dan Satwa Liar Tahun 2008-2013 Sumber: Statistik Kehutanan 2012 10.1.6.3. Peningkatan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) UU No. 41/1999 tentang Kehutanan mengamanatkan bahwa penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan salah satunya meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai (DAS). Jumlah DAS di seluruh wilayah Indonesia yaitu 17.088 DAS. Dari seluruh DAS tersebut 180 DAS di antaranya merupakan DAS prioritas Nasional yang keseluruhannya saat ini merupakan DAS yang kondisinya harus dipulihkan. Sampai dengan tahun 2014, telah diselesaikan 132 dokumen Rencana Pengelolaan DAS Terpadu (RPDAST). Dokumen ini merupakan langkah awal Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-37 untuk menuju pengelolaan DAS yang lebih terintegrasi, yang didukung aspek kelembagaan, pendanaan dan regulasi. Pada tahun 2011, luas lahan di dalam kawasan hutan yang tergolong sangat kritis mencapai 3,412 juta ha dan tergolong kritis mencapai 11,42 juta ha. Pada tahun yang sama, luas lahan di luar kawasan hutan yang tergolong sangat kritis mencapai 5,27 juta ha dan tergolong kritis mencapai 10,60 juta ha. Dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan daya dukung DAS telah dilakukan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL). Pada tahun 2011 sampai dengan tahun 2012 telah dilakukan rehabilitasi hutan konservasi/lindung seluas 100.986 ha. Rehabilitasi lahan kritis mencapai seluas 398.631 ha; dan rehabilitasi mangrove, gambut dan rawa seluas 8.869 ha. Disamping itu Gerakan Menanam Satu Miliar Pohon pada tahun 2010 telah terealisasi sebanyak 1,39 miliar pohon, pada tahun 2011 sebanyak 1,52 miliar pohon, dan pada tahun 2012 meningkat menjadi 1,6 miliar pohon. Selain kegiatan penanaman dalam rangka memperbaiki kondisi hutan serta mempertahankan fungsi DAS, juga dilakukan kegiatan RHL dalam bentuk sipil teknis dengan membangun dam pengendali dan penahan, gully plug, sumur resapan, dan embung yang tersebar di beberapa DAS. Upaya RHL dengan berbagai program melalui penanaman dan sipil teknis telah berhasil menurunkan lahan kritis seluas 2,9 juta ha dalam kurun waktu 5 (lima) tahun. X-38 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan 10.1.7. Penguatan Pasokan, Bauran dan Efisiensi Konsumsi Energi Ketahanan energi (energy security) menggambarkan sampai sejauh mana energi dapat disediakan secara tepat waktu dan terjamin ketersediaannya dengan harga yang terjangkaudan mutu yang dapat diterima. Indikator yang digunakan untuk menggambarkan ketahanan energi termasuk jumlah energi (availability), baik sumber daya maupun cadangan, ketersediaan infastruktur (accessability), harga energi (affordability), kualitas energi (acceptability), serta portofolio atau bauran energi (energy mix). Di samping itu, ketahanan energi juga mempunyai elemen keberlanjutan (sustainability), sehingga energi dituntut untuk dikelola dengan memperhatikan daya dukung lingkungan (environment). Jumlah energi yang dibutuhkan selama lima tahun mendatang diperkirakan akan meningkat dengan laju pertumbuhan masing-masing sebesar 5-6 persen untuk energi primer, dan 7-8 persen per tahun untuk energi final. Meningkatnya kebutuhan energi ini menuntut tersedianya sumber daya dan cadangan energi yang cukup serta infrastruktur energi yang memadai, seperti kilang BBM dan LPG. Selain itu, harga energi perlu disesuaikan untuk menjamin ketersediaan pasokan energi dengan tidak mengganggu kemampuan daya beli masyarakat. Ketergantungan terhadap minyak bumi perlu dikurangi sehingga bauran energi menjadi lebih sehat dengan Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-39 memaksimalkan penggunaan energi terbarukan dan mengoptimalkan pemanfaatan gas alam. Konsumsi energi juga perlu dikelola dengan baik sehingga pemborosan serta jumlah emisi dapat dikurangi. 10.1.7.1. Produksi Energi Nasional Produksi minyak mentah (crude) terus menurun. Sepanjang lima tahun terakhir ini, produksi rata-rata minyak bumi di bawah 1 juta barel per hari (bph). Pada tahun 2010, produksi minyak bumi mencapai 945 ribu barrel per hari, terus menurun menjadi 825 ribu bph (2013), dan diperkirakan akan menjadi 804 ribu bph pada tahun 2014. Tingkat produksi yang cukup rendah initerutama disebabkan oleh sebagian besar produksi minyak bumi berasal dari ladang minyak tua (mature), sekitar 60 persen dari total lapangan minyak saat ini, dimana tingkat produksinya terus mengalami penurunan (natural depletion). Pemanfaatan teknologi EOR masih terbatas di beberapa sumur, seperti teknologi injeksi uap (steam-flooding) di lapangan minyak Duri di Sumatera sejak tahun 1985, dan teknologi injeksi air (water-flooding) di beberapa lapangan minyak di Sumatera, seperti Blok Intan di Sumatera Utara dan Lapangan Kenali Asam di Jambi. Penggunaan teknologi CO2-flooding dan chemical/surfactant Injection di sumursumur lainnya masih dalam taraf studi kelayakan atau penelitian. Dengan mempertimbangkan bahwa produksi minyak Indonesia sudah dalam keadaan X-40 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan darurat, maka penerapan teknologi EOR untuk meningkatkan produksi perlu dilakukan secara masif. Mulai tahun 2013, asumsi makro pembangunan telah memasukkan produksi gas bumi,tidak hanya dari produksi minyak bumi. Meskipun relatif stabil, produksi gas bumi juga mengalami penurunan dari tahun 2010 ke 2012. Pada tahun 2010, produksi gas bumi mencapai 1.582 ribu barrel setara minyak (SBM) per hari, namun kemudian turun menjadi 1.441 ribu SBMper hari pada tahun 2013. Laju pertumbuhan penggunaan gas bumi memang jauh berada di bawah pertumbuhan penggunaan batubara, namun kenaikan penggunaan gas terlihat stabil di tingkat laju pertumbuhan tersebut. Produksi batubara meningkat cukup pesat sejalan dengan peningkatan permintaan domestik dan ekspor. Pada tahun 2010, produksi batubara mencapai 275 juta ton, dan pada tahun 2013 mencapai 421 juta ton. Pada tahun 2010 ekspor batubara mencapai 208 juta ton, dan terus meningkat mencapai 349 juta ton pada tahun 2013, atau sekitar 76 persen dari total produksi batubara nasional. 10.1.7.2. Cadangan Energi Nasional Cadangan penyangga dan operasional Minyak Mentah, BBM dan LPG masih sangat terbatas. Penyediaan energi nasional saat ini belum mempertimbangkan perlunya ketersediaan cadangan BBM dan LPG jika terjadi krisis atau kelangkaan energi. Kapasitaspenyimpanan saat ini adalah Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-41 sebesar 7,7 juta KL untuk BBM dan 430 ribu Metric Ton (MT) untuk LPG. Cadangan yang ada berupa cadangan operasional minyak mentah dengan fasilitas penyimpanan (storage) atau penimbunan (stock) untuk 17 hari, cadangan operasional BBM untuk 2123 hari, dan cadangan LPG untuk 17 hari. Untuk meningkatkan kehandalan dalam pasokan energi, diperlukan sekurangkurangnya cadangan operasional dengan kapasitas fasilitas penyimpanan atau penimbunan BBM dan LPG selama 30 hari. Cadangan minyak dan gas bumi yang cenderung tidak meningkat sejak 5 tahun yang lalu. Berdasarkan rencana pengembangan pada tahun 2012, potensi cadangan minyak sebesar 3.671,6 MMSTB dan gas bumi sebesar 48,4 TSCF.Untuk gas, rasio produksi-cadangan (reserve to production – R/P) saat ini mencapai 30-32 tahun dan rasio pergantian (replacement to reserve, R/R) 67 persen. Hal ini menunjukkan bahwa intensitas kegiatan eksplorasi untuk menemukan cadangan gas tidak dapat mengikuti intensitas kegiatan produksi gas, yang saat ini mencapai 3,3 TCF per tahun. 10.1.7.3. Konsumsi Energi Nasional Impor minyak mentah, BBM dan LPG semakin meningkat. Guna memenuhi kebutuhan minyak mentah dan BBM, impor harus ditingkatkan karena produksi minyak mentah dan BBM di dalam negeri terbatas. Impor minyak mentah pada tahun 2013 mencapai 250-300 ribu barel per hari (bph), atau 30 persen dari kebutuhan minyak X-42 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan mentah yang menjadi intake kilang minyak nasional. Hanya sekitar 550-600 bph atau sekitar 60 persen dari produksi minyak nasional yang diproduksi di dalam negeri digunakan untuk intake kilang minyak nasional, sedangkan sisanya diekspor oleh perusahaan Kontraktor Kerja Sama (KKS). Kapasitas kilang BBM didalam negeri hanya 6.740 ribu KL, jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan BBM nasional. Pada tahun 2013, kilang nasional hanya mampu memproduksi BBM sebanyak 1.051,9 ribu bph, jauh dari kebutuhan BBM nasional, yang mencapai 46,83 juta KL. Pada tahun 2013, impor BBM mencapai 23,03 Juta KL, atau sekitar 49 persen dari kebutuhan BBM nasional. Dengan diperkenalkannya substitusi BBM jenis minyak tanah ke LPG sejak tahun2007, kebutuhan LPG terus meningkat. Kebutuhan ini tidak dapat dipasok oleh kilang LPG nasional sehingga 59 persen harus di impor dari beberapa negara penghasil LPG, terutama Arab Saudi. Dalam lima tahun mendatang, kebutuhan BBM dan LPG akan semakin meningkat dan diproyeksikan akan mencapai masingmasing 752,64 Juta SBM dan 77,2 Juta SBM pada tahun 2019, dan impor BBM dan LPG masing-masing 292,89 Juta SBM dan 68,67 Juta SBM Penggunaan gas bumi di dalam negeri masih belum maksimal. Tidak seperti halnya minyak bumi, penggunaan gas bumi terus mengalami kenaikan, dengan laju pertumbuhan sebesar 8,18 persen per tahun (tahun 2001-2012). Pada tahun 2013, pasokan gas ke dalam negeri mencapai Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-43 3.774 MMSCFD, atau sekitar 52,1 persen dari total produksi gas nasional. Pasokan gas untuk tiga pengguna strategis, pembangkit listrik, pupuk, dan industri manufaktur, masing-masing mencapai 912,42; 735,84 dan 1.345,05 BBTUD. Namun angka ini jauh lebih rendah dari angka kebutuhan gas nasional yang mencapai 7.937,09 BBTUD. Kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) serta harga gas yang relatif rendah, dibandingkan dengan BBM, telah memicu konsumsi gas secara signifikan. Selain itu,hal ini juga dipicu oleh peningkatan permintaan untuk industri pupuk ini mencapai 12 persen per tahun dan untuk sektor industri manufaktur sebesar 8 persen per tahun. Meskipun pemanfaatan gas untuk pembangkit tenaga listrik mengalami penurunan karena adanya peralihan ke pembangkit dengan bahan bakar batubara (PLTU), namun dalam lima tahun kedepan permintaan gas diperkirakan akan kembali meningkat untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional. Di Sektor Rumah tangga,Konversi BBM jenis minyak tanah ke LPG telah berhasil menaikkan konsumsi LPG sebesar 1,11 juta ton dibandingkan pada tahun 2010 sebesar 2,35 juta ton. Pada tahun 2013, konsumsi LPG rumah tangga mencapai 4,40 juta ton, dengan laju pertumbuhan rata-rata 2 persen per tahun. Pasokan gas ke industri dalam negeri terkendala oleh keterbatasan kapasitas infrastruktur gas, yakni pipa transmisi dan distribusi gas, serta fasilitas/terminal regasifikasi. Saat ini pipa transmisi yang ada X-44 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan sepanjang 3.773,82 km, menghubungkan lapangan-lapangan gas di Sumatera ke pusat permintaan gas di Jawa Barat. Namun demikian, kapasitasnya masih terbatas, dan pusat-pusat permintaan gas di Jawa, sepanjang pantai utara Jawa Barat, Tengah, dan Timur, belum terhubung oleh pipa transmisi secara terpadu. Demikian juga jaringan gas distribusi yang baru dibangun di beberapa kota besar dengan kapasitas terbatas, yaitusebanyak 73 ribu sambungan rumah tangga di 13 kota. Fasilitas atau terminal penerima dan regasifikasi LNG masih belum terbangun sesuai degan kebutuhan sehingga pasokan gas dalam bentuk LNG masih terbatas. Saat ini, jumlah SPBG yang dibangun pemerintah dan badanusaha baru mencapai 41 unit yang tersebar di di Jabodetabek, Palembang, Surabaya, Gresik, Sidoarjo, Balikpapan dan Pekanbaru. Pemanfaatan batubara di dalam negeri masih terbatas dan menghadapi Permasalahan isu lingkungan. Pengguna terbesar batubara di dalam negeri adalah pembangkit listrikyang mencapai 59 juta ton pada tahun 2013, atau sekitar 14 persen dari total konsumsi batubara nasional. Jumlah cadangan batubara dengan jenis low rank coal mencapai 8,7 Miliar ton, atau sekitar 41 persen dari total cadangan batubara nasional. Pemanfaatan batubara jenis ini memerlukan teknologi khusus melalui proses upgrading brown coal, sehingga kadar airnya dapat diturunkan, dan pengangkutannya akan lebih ekonomis. Pengubahan batubara menjadi cair (Coal Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-45 Liquifaction) akan sangat diperlukan guna memanfaatkan batubara menjadi bahan bakar sintetik atau bahan bakar cair pengganti BBM untuk sektor transportasi. Demikian juga pengubahan batubara menjadi gas (Coal Gasification) untuk menghilangkan kandungan/senyawa sulfur dan abu, dapat bermanfaat untuk pembangkit listrik jenis Integrated Gas Coal Combined Cycle (IGCC) sehingga tingkat efisiensinya lebih tinggi, dan emisi CO2-nya dapat dikurangi. Saat ini penerapan beberapa teknologi bersih (Clean Coal Technology) ini masih terbatas sebagai obyek penelitian dan pilot project, dan belum diterapkan secara komersial karena penerapannya memerlukan biaya yang cukup besar. 10.1.7.4. Penetapan Harga dan Pembangunan Infrastruktur Energi Besaran subsidi dalam penetapan harga BBM yang semakin meningkat menjadi beban keuangan negara. Sampai saat ini, pemerintah masih mengalokasikan anggaran untuk subsidi BBM. Subsidi dapat memberikan tekanan fiskal seiring dengan meningkatnya volume BBM bersubsidi dan selisih harga BBM bersubsidi dengan nilai keekonomiannya. Harga BBM punya pengaruh yang signifikan pada perekonomian dan kebijakan fiskal mengingat pemenuhan BBM tersebut masih sangat tergantung kepada impor dan harga di pasaran dunia berfluktuasi. Pada tahun 2012 volume BBM bersubsidi mencapai 43,3 juta kilo liter, meningkat 13,4 persen X-46 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan dibandingkan tahun 2008. Pada tahun yang sama besaran subsidi sudah mencapai lebih dari Rp200 Triliun atau naik sekitar 4 kali lipat dibandingkan tahun 2009. Harga gas didalam negeri saat ini relatif rendah dibandingkan dengan harga gas ekspor. Walaupun harga gas saat ini ditetapkan berdasarkan tingkat affordability, bahan bakar gas tidak mungkin dapat berkompetisi dengan bahan bakar minyak, yang saat ini masih disubsidi. Meskipun dalam beberapa tahun terakhir harga gas dalam negeri dinaikkan, dan berdampak kepada kenaikkan harga gas konsumen akhir, harga gas dalam negeri masih relatif jauh lebih rendah dibandingkan harga gas ekspor. Hal ini memberikan kecenderungan bagi produsen gas untuk tetap memprioritaskan penjualan gas ke luar negeri (ekspor). Untuk meningkatkan pasokan gas di dalam negeri diperlukan penyempurnaan harga gas, baik harga gas domestik maupun harga gas konsumen akhir.Untuk harga patokan batubara di dalam negeri ditetapkan mengacu pada rata-rata indeks harga batubara sesuai dengan mekanisme pasar dan/atau sesuai dengan harga yang berlaku umum di pasar internasional. Harga patokan ini wajib digunakan sebagai acuan harga batubara bagi pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi Batubara serta PKP2B dalam penjualan batubara. Penetapan terbarukan harga energi terus Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan baru dan mengalami X-47 penyempurnaan. Saat ini penetapan harga Bahan Bakar Nabati (BBN) didasarkan pada bahan yang dicampurkan ke dalam jenis bahan bakar tertentu. Untuk jenis biodiesel, mengacu pada harga patokan ekspor biodiesel dari minyak sawit sementara untuk jenis bioethanol mengacu pada harga publikasi Argus untuk Ethanol FOB Thailand. Untuk panas bumi, harga listrik yang bersumber dari panas bumi saat ini ditetapkan dengan memperhatikan ongkos produksi uap dan listrik. Pada tahun 2012, harga panas bumi ditetapkan berdasarkan wilayah (Feed in Tariff). Ongkos produksi uap umumnya sangat ‘site-spesifik’ dan tergantung dari kedalaman sumur panas bumi. Sebelumnya, pada tahun 2008, harga panas listrik panas bumi ditentukan berdasarkan harga patokan, mengacu kepada biaya pokok produksi dan skala pembangkit listrik. Pada tahun 2009, harga listrik panas bumi ditentukan dengan mengacu kepada HPS dan biaya eksplorasi dan pengembangan, namun kemudian diubah menjadi sebesar maksimum 9,7 sen US$/kWh. Tahun 2011, harga patokan ditentukan berdasarkanharga hasil lelang WKP panas bumi. Pembangunan infrastruktur energi mutlak diperlukan untuk menjamin pasokan energi ke seluruh tanah air. Pemenuhan konsumsi BBM sangat tergantung dari kapasitas kilang yang dapat berproduksi di dalam negeri atau melalui impor. Saat ini, kapasitas kilang yang ada hanya dapat memenuhi sekitar 47 persen dari kebutuhan gasoline dan 72 persen dari X-48 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan kebutuhan diesel. Hal ini menunjukan diperlukannya tambahan kilang baru maupun upgrading kilang agar dapat meningkatkan kemampuan produksi BBM dalam negeri. Untuk gas bumi, pipa umumnya merupakan sarana yang paling efektif untuk biaya dari transportasi dengan jarak hingga sekitar 2.000 km, namunfasilitas pencairan gas yang selama ini telah dikembangkan di lokasi terpencil untuk tujuan ekspor juga memiliki kapasitas cadangan yang dapat dimanfaatkan, setidaknya dalam jangka pendek. Sebagai gambaran, penyelesaian jaringan pipa dari Sumatera Selatan ke Jawa Barat dan sistem pipa Trans-Jawa yang menghubungkan Jawa Barat dan Jawa Timur menjadi sangat penting karena dapat menyelesaikan interkoneksi sumber pasokan gas dari Sumatera bagian selatan dan tengah ke Jawa Barat dan kemudian seterusnya menuju Jawa Timur. Interkoneksi ini sangat penting untuk keamanan suplai dan juga untuk tujuan manajemen beban. 10.1.7.5. Intensitas dan Efisiensi Energi In-efisiensi dalam proses penyediaan energi masih tinggi. Intensitas energi primer ratarata sebesar 500 SBM per miliar rupiah, sedangkan intensitas energi final sekitar rata-rata 63 persen dari intensitas energi primer, dan hal ini menunjukkan adanya inefisiensi dalam proses dan konversi energi, serta losses selama transmisi dan distribusi energi, terutama listrik. Efisiensi dari seluruh jenis pembangkit listrik masih cukup rendah, bervariasi antara 29,1-33,7 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-49 persen dan hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar jenis pembangkit listrik yang beroperasi saat ini adalah jenis pembangkit konvensional. Losses dan own use selama transmisi dan distribusi listrik ke konsumen cukup bervariasi antara 11,516,9 persen. Disamping inefisiensi dalam penyediaan listrik, in-efisiensi juga terjadi dalam proses konversi minyak mentah ke BBM. Rata-rata refinery fuel dan losses kilang minyak nasional saat ini mencapai 84 ribu bph atau sekitar 8,08 persen terhadap produksi kilang minyak sedangkan efisiensi proses konversi gas alam ke LNG di Kilang LNG rata-rata 84 persen. Penghematan konsumsi energi masih rendah. Gerakan penghematan energi masih terbatas pada pengendalian penggunaan BBM dan listrik. Sejak tahun 2011, penghematan BBM dilakukan melalui pengendalian sistem distribusi BBM, pelarangan penggunaan BBM bersubsidi bagi kendaraan dinas, termasuk kendaraan angkutan perkebunan dan pertambangan, konversi BBM ke BBG, penghematan penggunaan listrik di kantor-kantor pemerintah, dan penghematan penerangan jalan. Namun demikian potensi penghematan dari penggunaan BBM dan listrik masih belum dapat dicapai. Masih banyak ditemui penyalahgunaan BBM bersubsidi, yang mengarah ke pemborosan. Beberapa kendala yang masih ditemui antara lain adalah terbatasnya alat kendali distribusi BBM, rendahnya kepatuhan pengguna kendaraan dinas, sulitnya mengidentifikasi kendaraan angkutan X-50 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan perkebunan dan pertambangan, terbatasnya jumlah konverter kit BBM-BBG dan bengkel untuk pemasangan dan pemeliharaan. Audit energi telah dilakukan untuk mengidentifikasi titik-titik pemborosan energi dan langkah-langkah untuk meningkatkan efisiensi penggunaan energi untuk industri manufaktur strategis, seperti industri baja, aluminium, pulp/kertas, pertambangan dan tekstil. Potensi penghematan energi per tahun cukup besar, mencapai 10-15 persen, namun sampai saat ini realisasi dari penghematan dari industri ini masih rendah. Beberapa hal yang menjadi kendala adalah i) pelaku industri lebih fokus ke upaya peningkatan produksi dengan margin yang besar, dibandingkan dengan mengurangi biaya operasi dari penghematan energi, dan pelaku juga mengindari resiko interupsi dari produksi, yang mungkin terjadi pada saat pergantian mesin-mesin tua ke mesin-mesin baru yang lebih hemat energi; ii) instrumen keuangan/fiskal, seperti project financing dan subsidi bunga bank untuk pembiayan upaya energi efisiensi dari lembaga keuangan belum tersedia, disamping adanya hambatan aturan kolateral yang memberatkan pembiayaan energi efisiensi; dan iii) data mengenai penggunaan energi umumnya tidak tersedia dan lembaga keuangan/pembiayaan belum mempunyai sumber daya manusia yang cukup untuk melakukan kajian investasi efisiensi energi. Di samping itu, guna menurunkan konsumsi energi bangunan gedung, konsep bangunan Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-51 hijau (green building), sudah dikembangkan dan mulai diterapkan. Lembaga Sertifikasi Bangunan Ramah Lingkungan sudah ditunjuk oleh Pemerintah yang bertugas untuk memberikan rekomendasi dan verifikasi mengenai efisiensi konsumsi energi di gedung/perkantoran. Namun sampai saat ini baru satu kantor pemerintah yang dibangun dengan mengikuti konsep ini, yakni gedung kantor di Kementerian Pekerjaan Umum (PU). Upaya penurunan emisi gas rumah kaca di sektor energi masih terbatas. Langkahlangkah untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sudah ditetapkan, melalui Perpres No. 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). Sampai saat ini, penurunan gas rumah kaca di sektor energi sudah mencapai 1.380 Kilo ton CO2, namun masih belum memenuhi target trayektori penurunan gas rumah kaca, yang mencapai 767 Juta ton CO2 pada tahun 2020. Rencana aksi ini juga mengamanatkan pemerintah daerah untuk melakukan mitigasi GRK sebagai bentuk kontribusi daerah dalam pelaksanaan RAN-GRK dan berdampak langsung terhadap upaya konservasi energi. Meskipun demikian, masih ada beberapa provinsi yang program-program aksi di dalam RAD-GRK-nya tidak terkait dengan upaya konservasi energi. Hal ini disebabkan oleh rencana aksi masih terfokus pada kegiatan non-energi seperti pengelolaan limbah, IPPU (Industrial Product and Product Use), dan AFOLU (Agriculture, Forestry, and Others Land Use). X-52 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan 10.1.7.6. Energi Baru dan Terbarukan Pengembangan lapangan panas bumi untuk pembangkit listrik terhambat. Potensi panas bumi untuk pembangkit listrik mencapai 29.000 MW, namun sampai saat ini baru 1.346 MW (4,8 persen) yang dapat dimanfaatkan untuk membangkitkan listrik. Dalam lima tahun terakhir, penambahan kapasitas pembangkit listrik panas bumi (PLTP) hanya mencapai 157 MW. Lapangan panas bumi umumnya terletak di kawasan hutan lindung dan konservasi, sehingga muncul beberapa konflik lahan yang membutuhkan solusi dalam hal mekanisme pengambilan keputusan maupun metoda/alat/analisa yang menjadi dasar dalam pengambilan keputusan. Saat ini, insentif dan instrumen fiskal telah diterapkan, baik berupa penyiapan dana eksplorasi terbatas guna memitigasi sebagian resiko eksplorasi, maupun feedintariff, namun belum mampu mempercepat pengembangan lapangan secara sistematis. Proses pelelangan wilayah kerja pengusahaan (WKP) belum optimal dilakukan sehingga belum memberikan kenyamanan (comfortibility) bagi pengembang panas bumi yang berkualitas untuk ikut-serta dalam proses pelelangan WKP. Feed-in tariff untuk memasukkan faktor eksternalitas dari panas bumi, belum melembaga dan pendanaannya belum dimasukkan sebagai bagian dari APBN. Disamping itu, dengan aturan perundangan yang saat ini berlaku, harga jual listrik yang mejadi basis dari kontrak jual-beli listrik (Power Purchase Agreement – PPA) dengan Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-53 PLN umumnya belum mendasarkan informasi yang akurat mengenai kualitas reservoir panas bumi. Pemanfaatan BBN sebagai bahan bakar terkendala Harga Indeks Pasar BBN yang lebih rendah dari harga pasar. Penggunaan BBN sebagai bahan campuran BBM, seperti Bio-solar B10 (campuran FAME1 10 persen dalam BBM jenis solar), dan Bio-premium E5 (campuran ethanol 5 persen dalam BBM jenis premium), telah diperkenalkan sejak tahun 2009 dan telah masuk kedalam tata niaga bahan bakar lain untuk sektor transportasi, industri, dan pembangkit listrik. Pada tahun 2013, volume Bio-solar yang sudah dijual ke pasar BBN mencapai 2,2 juta KL, meingkat dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 3,4 juta KL. Namun demikian, sampai saat ini penggunaan B10 masih terbatas, jauh dibawah target pemanfaatan BBN. Bahkan E5, sejak tahun 2010, sudah tidak lagi masuk di dalam tata niaga bahan bakar lain, karena kekurangan pasokan ethanol. Penyebab utama dari kekurangan pasokan ini adalah harga pasar (ekspor) ethanol jauh diatas harga yang ditetapkan, yakni Harga Indeks Pasar BBN. Kebutuhan akan BBN, baik Bio-solar maupun Bio-premium, akan meningkat seiring dengan upaya substitusi BBM oleh BBN, dan hal ini menuntut penambahan produksi dari bahan mentah BBN, seperti kelapa sawit (Crude Palm Oil CPO) untuk Bio-diesel dan tebu, ubi kayu, dan sagu untuk bio-ethanol. Produksi CPO 1Fatty Acid Methyl Ester X-54 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan saat ini mencapai 23,5 juta ton, dengan luas areal tanaman mencapai 9 juta Hektar, dan sekitar 30 persen atau sekitar 5,6 juta KL berpotensi digunakan untuk BBN. 10.1.8. Peningkatan Nilai Tambah Industri Mineral dan Pertambangan Berkelanjutan UU No. 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional mengamanatkan ekspor bahan mentah dapat dikurangi kemudian digantikan dengan ekspor produk yang bernilai tambah tinggi dan berdaya saing global. Upaya pengurangan ekspor bahan mentah dilakukan melalui kewajiban pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri sesuai UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Namun, pemberlakuan kewajian tersebut baru dilakukan pada bulan Januari 2014. Berdasarkan arahan UU No. 17/2007 dan UU No. 4/2009, beberapa masalah dalam peningkatan daya saing untuk komoditas tambang adalah sebagai berikut: Belum Efektifnya Pengembangan Industri Pengolahan dan Pemurnian di Dalam Negeri. Nilai ekspor komoditi tambang cukup besar yaitu sekitar 17 persen dari total nilai ekspor dalam lima tahun terakhir. Pada tahun 2013, ekspor produk tambang mencapai 42,7 persen dari total ekpor non-migas. Selama kurun waktu 20102013, ekspor komoditi tambang mengalami peningkatan yang signifikan dengan laju pertumbuhan mencapai 60 persen per tahun. Sumber daya mineral dan batubara merupakan sumber daya alam yang tidak terbarukan. Untuk itu, pemanfaatan produksi mineral dan batubara diupayakan dapat memberikan nilai tambah yang tinggi. Peningkatan nilai tambah dilakukan melalui proses pengolahan dan pemurnian produk tambang di dalam negeri. Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-55 Proses pengolahan dan pemurnian di dalam negeri belum berjalan dengan efektif. Beberapa kendala yang dihadapi antara lain adalah: (1) masih terbatasnya sumber daya manusia dan penguasaan teknologi pengolahan dan pemurnian; (2) belum memadainya infrastruktur pendukung, terutama tenaga listrik dan transportasi laut; dan (3) belum berkembangnya industri hilir domestik yang dapat menyerap produk tambang yang sudah menjadi bahan setengah jadi atau bahan jadi. Belum Selesainya Renegosiasi Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Sejak berlakunya UU No. 4/2009, pengusahaan pertambangan mengalami perubahan rezim dari bentuk kontrak/perjanjian menjadi izin melalui Izin Usaha Pertambangan. Dengan demikian, KK dan PKP2B harus disesuaikan dengan UU No. 4/2009 terkait dengan luas wilayah kerja, perpanjangan kontrak, penerimaan negara, kewajiban pengolahan dan pemurnian di dalam negeri, kewajiban divestasi, dan kewajiban penggunaan barang/jasa pertambangan dalam negeri. Proses penyesuaian dilakukan dengan cara melakukan renegosiasi dengan perusahaan KK dan PKP2B. Sampai Maret 2014, belum semua perusahaan KK dan PKP2B telah menyepakati isi penyesuaian kontraknya. Dari 37 perusahaan KK dan 75 perusahaan PKP2B yang ada, baru 6 perusahaan KK dan 19 perusahaan PKP2B yang telah menyepakati seluruh hasil renegosiasi kontraknya, sedangkan sisanya masih belum menyepakati seluruh isi penyesuaian kontraknya. Untuk kewajiban pengolahan dan pemurnian masih ada 4 KK dan 6 PKP2B yang belum menyepakati penyesuaian kontrak ini. Kurangnya Pengawasan dan Pengendalian Aspek Lingkungan Hidup pada Proses Penambangan. X-56 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan Kegiatan usaha pertambangan banyak menimbulkan dampak negatif terhadap kelestarian fungsi lingkungan hidup fisik meliputi air, udara, tanah, dan bentang alam, ataupun nonfisik seperti sosial ekonomi dan budaya masyarakat. Persyaratan lingkungan yang semakin ketat di tingkat nasional dan internasional memerlukan perhatian yang semakin besar terhadap aspek lingkungan hidup dalam kegiatan pertambangan. Tanggung jawab reklamasi lahan dan rehabilitasi kawasan pasca-tambang merupakan upaya untuk mempertahankan kelestarian fungsi lingkungan hidup dalam proses penambangan. Saat ini, pengelolaan dan pemantauan pelaksanaan tanggung jawab ini masih memerlukan penyempurnaan. Pertambangan rakyat telah diatur dalam UU No. 4/2009 dan PP No. 23/2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Namun dalam implementasinya kegiatan pertambangan seringkali masih mengabaikan kelestarian lingkungan dan keselamatan kerja. Selain itu, lambatnya proses penetapan WP beserta WIUP juga menumbuhkan potensi penambangan liar tanpa ijin (PETI) atau illegal mining. Kurangnya pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup pada proses penambangan diakibatkan belum optimalnya kapasitas pemerintah daerah, baik dari sisi kelembagaan maupun sumber daya manusianya. 10.1.9. Peningkatan Kualitas Lingkungan Hidup, Pengembangan Pola Produksi dan Konsumsi Berkelanjutan dan Pelestarian dan Pemanfaatan Keekonomian KEHATI Sesuai dengan Arahan dalam Indonesia Biodiversity Strategy And Action Plan/IBSAP 2003-2020 Beberapa isu strategis dalam periode 2015-2019 yang berhubungan dengan perbaikan kualitas lingkungan hidup, pengembangan pola produksi dan konsumsi Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-57 berkelanjutan dan pengembangan nilai ekonomi keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan adalah sebagai berikut: Metodologi dan parameter perhitungan Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) masih perlu disempurnakan, agar lebih mencerminkan kondisi lingkungan hidup yang terjadi. IKLH merupakan indeks komposit yang mengukur kualitas lingkungan di tingkat Provinsi yang meliputi tiga indikator utama, yaitu kualitas udara (IKU), kualitas air (IKA), dan tutupan hutan (IHT). Setelah IKLH ditetapkan pada akhir 2009, di setiap Provinsi di Indonesia nilai IKLH secara umum meningkat dari 2009-2012. Namun, jika melihat kenyataan kondisi lingkungan, tingkat pencemaran dan kerusakan masih cukup tinggi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa metode dan parameter IKLH masih belum sepenuhnya menggambarkan kualitas lingkungan hidup dan perlu disempurnakan. Gambar X.6 Indeks Kualitas Lingkungan Hidup 2009-2012 Sumber: Data IKLH diolah, 2012 X-58 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan Pemantauan kualitas lingkungan (air, udara, dan tanah) perlu ditingkatkan sebagai dasar untuk mendapatkan data dan informasi lingkungan hidup Hasil penilaian IKLH yang belum mencerminkan kondisi lingkungan hidup mengindikasikan bahwa data dan informasi lingkungan hidup masih lemah dan perlu diperkuat. Pemantauan kualitas lingkungan hidup yang menjadi tugas daerah di bawah koordinasi Kementerian Lingkungan Hidup saat ini belum memberikan data yang memadai dan akurat. Selain itu, telah ada upaya pemantauan padasumber pencemar yangdilakukan pemerintah, antara lain melalui Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup (PROPER) dan Adipura. Jumlah peserta PROPER dalam kurun waktu 2003-2012 terus mengalami peningkatan, dari 251 perusahaan menjadi 1.812 perusahaan. Namun, program PROPER masih bersifat sukarela dan masih relatif kecil jumlah pesertanya dibandingkan total perusahaan yang berpotensi berdampak negatif terhadap lingkungan. Disamping itu, cakupan dari program PROPER masih terbatas. Untuk itu, perlu ditingkatkan dan diperluas cakupannya. Gambar X.7 Trend Keikutsertaan Perusahaan Dalam Program Proper 2003-2014 Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup, 2014 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-59 Penghargaan Adipura diberikan kepada kota/kabupaten yang memiliki komitmen dalam mewujudkan kota bersih dan hijau (Clean and Green City). Melalui Adipura, Pemda didorong untuk menciptakan kota yang layak huni serta masyarakat yang sehat dan lingkungan hidup yang baik (good environment). Dalam kurun waktu 2004-2013, jumlah kabupaten/kota penerima anugerah Adipura terus mengalami peningkatan, dari 37 kabupaten/kota menjadi 101 kabupaten/kota, Penurunan jumlah penerima anugerah sempat terjadi pada tahun 2011, disebabkan oleh adanya perbaikan dan peningkatan peningkatan kriteria dan mekanisme penilaian Adipura (Gambar xx). Upaya perluasan kriteria penilaian Adipura diperlukan agar dapat mencerminkan kondisi lingkungan hidup yang sebenarnya. Gambar X.8 Jumlah Kabupaten/Kota Penerima Anugerah Adipura Tahun 2004-2013 Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup, 2014 X-60 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan Masih banyaknya lahan/kawasan terlantar yang perlu dipulihkan kritis Tingkat ketaatan perusahaan tambang yang izinnya dikeluarkan daerah umumnya relatif rendah, yaitu sekitar 26 persen. Kondisi ini yang menyebabkan timbulnya lahan/kawasan kritis terlantar yang terkontaminasi limbah B3, sebagai contoh terjadinya kasus “kontaminasi limbah B3 timbal (Pb) akibat daur ulang aki bekas” di Desa Cinangka, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Kondisi tersebut akan menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan hidup dan juga mengganggu kesehatan masyarakat. Selama periode 2010-2013, pemerintah telah melakukan pemulihan lahan terkontaminasi limbah B3 di 27 lokasi dengan luas 224.406,0 m2. Untuk mengantisipasi dampak negatif yang timbul dari timbulnya lahan/kawasan kritis terlantar tersebut, maka diperlukan penguatan upaya identifikasi dan pemulihan atas lahan/kawasan kritis terlantar. Perlunya penguatan kapasitas Pengelolaan Lingkungan Hidup: kelembagaan dan SDM lingkungan hidup daerah dan penguatan penegakan hukum lingkungan dan penyelesaian peraturan turunan dari UU No.32/2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) dan Pusat Pengelolaan Ekoregion (PPE) mempunyai peran penting dalam melakukan pemantauan kondisi/kualitas lingkungan hidup di daerah. Untuk itu, kelembagaan dan kapasitas sumber daya manusia BLHD dan PPE perlu ditingkatkan. Dalam pelaksanaan instrumen penegakan hukum perdata melalui mekanisme penyelesaian sengketa Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-61 lingkungan, selama tahun 2005-2013 telah dilaksanakan Pengumpulan Bahan Keterangan (PULBAKET) terhadap 109 sengketa lingkungan hidup, 6 (enam) kasus diteruskan melalui pengadilan dan 16 kasus diselesaikan melalui mekanisme musyawarah atau di luar pengadilanselama tahun 2005-2013. Selain itu, terkait dengan kasus dugaan tindak pidana lingkungan, selama tahun tahun 2005-2013 telah ditangani 637 kasus. Melihat tingginya kasus hukum yang terkait dengan lingkungan hidup, maka diperlukan penguatan baik dari sisi kelembagaan dan juga kapasitas sumber daya manusia pelaksananya, yakni Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), termasuk di dalamnya jabatan fungsional pengawasan lingkungan hidup (PPLH). Sementara itu,untuk memperkuat pelaksanaan dari UU No. 32/2009 Tentang PPLH diperlukan adanya peraturan turunan/operasional yang secara keseluruhan dimandatkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP). Perlunya pengembangan kebijakan pola konsumsi dan produksi berkelanjutan, untuk mendukung pelaksanaan pembangunan berkelanjutan Pertumbuhan ekonomi dan daya saing nasional bertumpu pada pemanfaatan sumber daya alam. Di samping itu, terjadinya bonus demografi yang diiringi dengan meningkatnya jumlah penduduk produktif akan meningkatkan jumlah konsumsi dan produksi. Situasi tersebut akan meningkatkan tekanan pada cadangan dan persediaan sumber daya alam serta kualitas lingkungan hidup. Untuk tetap mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi sejalan dengan pemenuhan kebutuhan dan kualitas kehidupan masyarakat dan pemeliharaan X-62 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan ketersediaan sumber daya alam dan kualitas lingkungan, maka pemerintah mencoba menerapkan pola konsumsi dan produksi yang berkelanjutan. Pada tahun 2013, Pemerintah telah meluncurkan Kerangka Kerja 10 Tahun Konsumsi dan Produksi yang Berkelanjutan (10 Year Framework Programme on SCP/10YFP-SCP). Kerangka Kerja ini memuat peta jalan Indonesia dalam periode 20132023 untuk pengarusutamaan pola konsumsi dan produksi 2013-2023 ke dalam agenda pembangunan nasional. Langkah konkrit yang akan dilakukan adalah: (1) pengarusutamaan pola konsumsi dan produksi yang ke dalam rencana pembangunan; (2) penetapan program tematik green building, green public procurement, green industry, dan green tourism sebagai quick win, dan pemantauannya; (3) Perumusan pola konsumsi dan produksi yang resource pool Indonesia; serta (4) penyiapan indikator pola konsumsi dan produksi yang yang sejalan Agenda Paska 2015 yang sedang dalam tahap penyusunan. Untuk itu, elaborasi kebijakan tersebut di atas perlu dilakukan untuk menkonkritkan ke dalam kegiatan pembangunan. Perlunya Pelestarian dan Pemanfaatan Keekonomian KEHATI sesuai dengan arahan dalam Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan/IBSAP 2003-2020 Sebagai negara megadiversity ke-3 di dunia, Indonesia memiliki 11 persen tumbuhan berbunga, 12 persen dari mamalia, 15 persen amfibia dan reptil, 17 persen burung, 37 persen ikan di dunia. Indonesia juga memiliki lautan terbesar di dunia, karena itu dikatakan pula bahwa keanekaragaman laut Indonesia paling besar dibandingkan negara lain di dunia. Walaupun Indonesia hanya memiliki Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-63 1,3 persen daratan dunia, namun mengandung lebih dari 17 persen dari total jumlah jenis di dunia. Tingginya keanekaragaman hayati (KEHATI) ini tidak hanya karena terletak di jantung Asia Pasifik yang lembap, tetapi juga karena terletak di daerah yang beriklim bermusim, daerah hutan hujan dan hutan muson. Dengan kondisi demikian, pelestarian dan pemanfaatan yang bijaksana atas keanekaragaman hayati menjadi sangat penting untuk selalu diupayakan dalam mengarungi abad ke-21 yang sering juga disebut sebagai abad biologi atau abad hayati. Pada masa ini, industri yang akan maju pesat adalah “industri ilmu kehidupan” yaitu farmasi, kesehatan, pangan, pertanian dan kosmetika. Industri-industri tersebut mengandalkan keanekaragaman hayati sebagai bahan baku, dengan pengetahuan dan teknologi yang menyertainya, dan hanya bisa dilakukan dalam kerangka besar pembangunan secara berkelanjutan. Pendekatan pembangunan yang berkelanjutan menawarkan perspektif yang lebih luas dari sekedar pertumbuhan ekonomi semata. Aspek sosial dan lingkungan mendapat perhatian yang sama pentingnya. Sejalan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan penguasaan teknologi yang canggih, selalu membuka kemungkinan terjadinya kerusakan sumber daya alam dan ancaman populasi yang semakin bervariasi bentuknya. Pada tahun 2003, Pemerintah Indonesia telah menyusun dokumen kebijakan pengelolaan KEHATI yaitu Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) 2003-2020 pada tahun 2003 dan diupdate pada tahun 2014. Dokumen IBSAP X-64 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan antara lain berisi target nasional yang ditujukan bagi semua pemangku kepentingan agar dapat dijadikan panduan bagi perumusan kebijakan dan perencanaan kegiatan di bidang keanekaragaman hayati, baik di sektor pemerintah maupun non pemerintah. Untuk itu, kita perlu menyadari bahwa seluruh upaya pembangunan yang berkelanjutan tersebut memerlukan komitmen yang kuat dan tindakan yang nyata dari seluruh komponen bangsa guna mewujudkan masa depan yang kita cita-citakan bersama demi kemakmuran dan kejayaan bangsa. Iklim usaha yang kondusif, serta penyusunan panduan dan standar untuk mengembangkan keekonomian keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan sangat diperlukan, untuk memperkuat pembangunan perekonomian, serta tetap mempertahankan kelestarian sumber daya alam dan kualitas lingkungan hidup. Selain itu, kemudahan akses untuk mengembangkan dan memanfaatkan nilai keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan yang berkelanjutan, serta pengembangan mekanisme insentif bagi peningkatan nilai tambah keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan perlu dijamin oleh Pemerintah. 10.1.10. Penanganan Perubahan Iklim Dan Peningkatan Kualitas Informasi Iklim Dan Kebencanaan Dalam periode 2015-2019, isu yang berhubungan dengan Peningkatan Kualitas Informasi Iklim dan Kebencanaan dan Penanganan Perubahan Iklim adalah sebagai berikut: Upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim masih perlu ditingkatkan untuk mencapai target penurunan emisi GRK mendekati 26 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-65 persen pada tahun 2019, dan peningkatan ketahanan masyarakat di daerah rentan Pada tahun 2011 telah diterbitkan Perpres No. 61/2011 Tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) dan Perpres No. 71/2011 Tentang Inventarisasi Gas Rumah Kaca, sebagai pedoman penurunan emisi di lima sektor utama dan pemantauan penurunan emisi. Sejalan dengan itu, telah diterbitkan Keputusan Menteri PPN/Kepala Bappenas No. 38/M. PPN/HK/2012 Tentang Pembentukan Tim Koordinasi Penanganan Perubahan Iklim di Tingkat Nasional yang didukung oleh unit Sekretariat Perubahan Iklim (terdiri dari Sekretariat RAN-GRK, National Center for NAMA Development/NC4ND, serta Sekretariat RAN-API). Selain itu, Permen LH No.15/2013 Tentang Pengukuran, Pelaporan, dan Verifikasi Aksi Mitigasi Perubahan Iklim, serta dibentuknya Sistem Inventarisasi GRK Nasional (SIGN Center). Upaya penurunan emisi baik di pusat/daerah beserta pengukuran tingkat emisi dan penurunannya perlu terus ditingkatkan untuk dapat mencapai target/komitmen sebesar 26% pada tahun 2020, danhasilnya dapat diverifikasi baik di tingkat nasional maupun internasional. Selanjutnya, pada tahun 2013 pemerintah telah meluncurkan Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API). Untuk meningkatkan ketahanan pada daerah dan sektor yang sensitif terhadap perubahan iklim, maka akan dilakukan pelaksanaan RAN-API secara sinergis baik di tingkat nasional, maupun di 15 daerah percontohan RAN-API. Untuk itu daerah diharapkan mulai melakukan penyusunan Strategi Adaptasi Daerah yang mengacu pada RAN-API di bawah koordinasi dengan Pemerintah Pusat. Selain itu, pelaksanaan RAN-API ini perlu didukung ketersediaan data dan X-66 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan informasi yang menggambarkan kondisi kerentanan daerah serta memberikan informasi mengenai indikator keberhasilan adaptasi perubahan iklim yang dilakukan. Masih perlunya penguatan akurasi dan kecepatan sistem peringatan dini: (1) cuaca ekstrim dan iklim ekstrim, untuk mendukung upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, serta (2) gempa dan tsunami, untuk mendukung upaya penanganan bencana Upaya peningkatan pelayanan informasi peringatan dini cuaca ektrim secara berkesinambungan terus dilakukan, dimana waktu yang dibutuhkan menyampaikan informasi prediksi terjadinya cuaca ekstrim berhasil ditingkatkan dari dua jam (2010) menjadi tiga jam (2012) sebelum terjadinya cuaca ekstrim. Disamping itu, pelayanan peringatan dini cuaca ekstrim skala kabupaten dengan tingkat akurasi 80 persen juga mengalami peningkatan, dari 21 provinsi di tahun 2011 menjadi 25 provinsi di tahun 2012. Untuk memperbesar ketersediaan waktu bagi masyarakat untuk mengantisipasi kejadian cuaca ekstrim, maka diperlukan upaya peningkatan kecepatan dan akurasi peringatan dini cuaca ekstrim. Peringatan dini iklim ekstrim ditujukan untuk memberikan informasi sesegera mungkin kepada instansi terkait maupun masyarakat pengguna mengenai prakiraan awal musim hujan, sifat hujan, awal musim kemarau, dan kekeringan guna mengurangi dampak negatif yang mungkin terjadi akibat iklim ekstrim. Persentase kemajuan pembangunan sistem informasi peringatan dini iklim ekstrim (Climate Early Warning System/CEWS) yang dibangun pada satu lokasi di BMKG Jakarta telah mencapai 90 persen pada tahun Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-67 2013. Untuk mendukung upaya penanggulangan bencana, pada tahun 2013 telah dilakukan penyusunan peta/atlas banjir di 31 kabupaten/kota di lima provinsi dan penyusunan peta kekeringan di 11 provinsi di Indonesia. Data prakiraan musim hujan juga ditujukan untuk mendukung sektor pertanian (ketahanan pangan). Hal ini diperkuat dengan diselenggarakan Sekolah Lapang Iklim (SLI) pada para petani, yang sampai dengan tahun 2012 telah dilakukan di 18 provinsi. Dari pihak sektor pertanian sendiri juga memanfaatkan data dan informasi meteorologi dan klimatologi antara lain untuk penyusunan kalender tanam, penentuan musim tanam, dan melakukan prediksi hama penyakit. Untuk meningkatkan kecepatan dan ketepatan prakiraan cuaca iklim ekstrim, maka diperlukan upaya peningkatan kecepatan dan akurasi peringatan dini cuaca ekstrim. Terkait dengan upaya peningkatan peringatan dini gempa dan tsunami, dengan dibangunnya Ina TEWS, maka waktu untuk mengolah data sekaligus menyebarkan informasinya kepada masyarakat dapat dipertahankan selama lima menit. Disamping itu, telah terpasang dan beroperasi 205 Digital Video Broadcast (DVB) untuk mendiseminasikan informasi gempa dan tsunami dan dilakukan pemasangan sirine tsunami sebanyak 33 unit. Selain itu, untuk mendukung perencanaan tata ruang dan kebencanaan dikembangkan wahana informasi dalam bentuk peta goncangan,sampai dengan tahun 2012, telah terpasang akselerograph di 247 lokasi dan intensity meter di 38 lokasi. Untuk memperbesar ketersediaan waktu bagi masyarakat untuk mengetahui informasi kejadian gempa bumi dan mengantisipasi terjadinya tsunami, maka X-68 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan diperlukan upaya peningkatan kecepatan dan akurasi peringatan dini gempa dan tsunami. Masih diperlukannya penambahan kerapatan jaringan peralatan pengamatan dan sensor, serta peningkatan penggunaan alat pengamatan otomatis (persyaratan World Meteorological Organization/WMO) untuk meningkatkan akurasi proyeksi/perkiraan cuaca, iklim, dan analisis gempa dan tsunami Tingkat akurasi proyeksi/perkiraan cuaca, iklim, dan analisis gempa dan tsunami sangat ditentukan oleh tingkat kerapatan peralatan alat dan kemampuan dari alat itu sendiri. Terkait dengan itu, maka alat yang digunakan mengarah pada alat digital/otomatis. Untuk mendukung prakiraan cuaca dan iklim, hingga tahun 2013 telah dibangun perangkat kerja pendukung, seperti Sistem Radar Cuaca sebanyak 28 sistem, hingga 2012 telah terbangun Automatic Weather Station (AWS) di 167 lokasi, hingga 2012 telah dibangun Automatic Weather Observation System (AWOS) di 21 bandara, dan hingga 2012 telah dibangunnya sistem monitoring agroklimat otomatis (Automatic Agroklimat Weather Station-AAWS) 65 lokasi di wilayah sentra pangan dan pos pengamatan utama pembangunan. Selain itu, terkait dengan analisis gempa,untuk mendukung perencanaan tata ruang dan kebencanaan dikembangkan wahana informasi dalam bentuk peta goncangan,sampai dengan tahun 2012, telah terpasang akselerograph di 247 lokasi dan intensity meter di 38 lokasi. Perlunya peningkatan cakupan dan akurasi data dan informasi yang mendukung pemanfaatan energi baru terbarukan, seperti angin dan gelombang laut. Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-69 Jumlah cadangan energi fosil khususnya minyak bumi terus mengalami penurunan. Sementara itu, jumlah permintaan energi akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk. Untuk itu, pemerintah perlu mengembangkan pemanfaatan energi baru terbarukan, antara lain energi angin dan gelombang. Untuk mendukung pemanfaatan energi baru terbarukan tersebut, diperlukan perkuatan akurasi data dan informasi mengenai energi baru terbarukan tersebut, sebagai dasar pembuatan kebijakan. Perlunya peningkatan kecepatan dan akurasi data dan informasi meteorologi, klimatologi, dan geofisika (MKG), terutama untuk mendukung keselamatan penerbangan dan maritim Pelayanan informasi cuaca bandara dan maritim sangat penting dalam mendukung keselamatan penerbangan dan maritim. Pada tahun 2012, jumlah bandara yang memperoleh pelayanan informasi cuaca penerbangan untuk take off and landing dengan tingkat akurasi 100 persen, mengalami peningkatan dari 15 bandara di tahun 2011 menjadi 21 bandara di tahun 2012. Kemudian, jumlah bandara yang memperoleh pelayanan informasi cuaca untuk rute penerbangan dengan tingkat akurasi 80persen, meningkat dari 25 bandara di tahun 2011 menjadi 30 bandara di tahun 2012. Untuk pelayanan informasi cuaca maritim, jumlah pelabuhan yang memperoleh informasi cuaca maritim dan prakiraan tinggi gelombang laut dengan tingkat akurasi 80 persen, meningkat dari 86 pelabuhan di tahun 2011 menjadi 99 pelabuhan di tahun 2012. X-70 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan Perlunya penyempurnaan model proyeksi perubahan iklim dalam penanganan perubahan iklim Dalam rangka mendukung penanganan perubahan iklim, telah dilakukan penyusunan peta kerentaan perubahan iklim untuk 12 provinsi dan pengukuran GRK pada sepuluh Provinsi. Disamping itu, kegiatan penguatan pemodelan perubahan iklim dilakukan dalam rangka percepatan layanan informasi perubahan iklim, dimana pada tahun 2011 telah dimulai pembangunan sistem peringatan dini banjir dan kekeringan melalui kegiatan validasi data TRMM dengan data observasi, danpada tahun 2013, kegiatan dilanjutkan dengan online system dan running melalui server. untuk mendukung mendukung penanganan perubahan iklim ke depan, diperlukan penyempurnaan pemodelan perubahan iklim. 10.2. Sasaran Bidang 10.2.1. Pengamanan Produksi Untuk Kemandirian dan Diversifikasi Konsumsi Pangan Sasaran utama dari penguatan pasokan pangan dan diversifikasi konsumsi selama periode 2015-2019 adalah: 1. Peningkatan ketersediaan pangan yang bersumber dari produksi dalam negeri:(a) Padi: meningkatkan jumlah surplus dari produksi Dn; (b) Kedelai:meningkatkan produksi terutama untuk mencukupi kebutuhan konsumsi tahu dan tempe; (c) Jagung:meningkatkan produksi DN untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak dan industri kecil; (d) Meningkatkan produksi daging sapi dan konsumsi rumah tangga; (e) Meningkatkan produksi gula untuk kebutuhan rumah tangga; Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-71 2. Peningkatan cadangan pangan pemerintah, khususnya beras dan cadangan pangan daerah; 3. Peningkatan konsumsi pangan baik jumlah maupun kualitas yang ditunjukkan dengan tingkat konsumsi kalori pada tahun 2019 minimal mencapai 2.150 kkal, dan skor Pola Pangan Harapan (PPH) yang mencapai 92,5. Tabel X.4 Sasaran Pembangunan Ketahanan Pangan Sasaran 2019 Pertumbuhan (%) 69,9 82,0 2,86 b. Jagung (Juta Ton) c. Kedelai (RibuTon) d. Gula (Juta Ton) 18,6 892,6 2,8 23,4 1.019,8 3,4 3,97 2,73 3,95 e. Daging Sapi (Ribu Ton) 395,1 459,9 3,08 1.967 81,8 2.150,0 92,5 1,90 0,67 Komoditi Baseline 2014 1. Produksi Bahan Pangan Pokok a. Padi (Juta Ton) 2. Konsumsi Kalori (kkal) 3. PPH 10.2.2. Pengembangan Agribisnis, Pertanian Berkelanjutan dan Kesejahteraan Petani Sasaran utama peningkatan nilai tambah dan daya saing komoditas pertanian tahun 2015-2019 adalah: 1. X-72 Meningkatnya PDB Industri Pengolahan Makanan dan Minuman serta produksi komoditas andalan ekspor dan komoditas prospektif: Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan Tabel X.5 Produksi Komoditas Andalan No Komoditi Satuan Baseline 2014 1. PDB Industri Pengolahan Makanan dan Minuman Perkebunan (i) Kelapa Sawit (ii) Karet (iii) Kakao (iv) Teh (v) Kopi (vi) Kelapa Hortikultura (i) Mangga (ii) Nenas (iii) Manggis (iv) Salak (v) Kentang % 2,4 2,6 2015-2019 (rata-rata per tahun) 2,6 Rb Ton Rb Ton Rb Ton Rb Ton Rb Ton Rb Ton 29.513 3.204 817 148 711 3.263 36.420 3.810 913 163 778 3.491 4,3 3,5 2,3 2,0 1,8 1,4 Rb Ton Rb Ton Rb Ton Rb Ton Rb Ton 2.447 2.125 156 1.058 1.122 2.947 2.762 204 1.206 1.190 3,8 5,4 5,6 2,7 1,2 2. 3 2019 2. Meningkatnya jumlah sertifikasiuntuk produk pertanian yang diekspor. 3. Berkembangnya perdesaan. 4. Meningkatnya neraca perdagangan impor) komoditi pertanian. 5. Meningkatnya Nilai Tukar Petani (NTP). agroindustri terutama di (ekspor- 10.2.3. Peningkatan Produksi dan Nilai Tambah Perikanan Serta Kesejahteraan Nelayan Dan Pembudidaya Ikan Sasaran utama sektor perikanan sebagai pendukung ketahanan pangan dan peningkatan daya saing produk perikanan dalam rangka peningkatan kesejahteraan nelayan, pembudidaya ikan, pengolah/pemasar hasil perikanan, dan petambak garam pada tahun 2019 adalah: (1) peningkatan produksi ikan menjadi 18,7 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-73 juta ton, yang terdiri dari ikan hasil tangkapan sebesar 6,9 juta ton dan ikan dari hasil budidaya sebesar 11,8 juta ton; (2) peningkatan produksi rumput laut menjadi 19,5 juta ton; (3) peningkatan produksi garam rakyat menjadi 3,3 juta ton; (4) peningkatan konsumsi ikan masyarakat menjadi 54,5 kg/kapita/tahun; (4) tercapainya pertumbuhan PDB perikanan sebesar 7,2 persen per tahun ; (5) peningkatan nilai ekspor hasil perikanan menjadi USD 9,5 miliar; peningkatan volume produk olahan hasil perikanan menjadi 6,8 juta ton; dan peningkatan nilai tukar nelayan serta pembudidaya ikan. Tabel X.6 Sasaran Pembangunan Perikanan Komoditi Sasaran 2019 Pertumbuhan (%) 12,4 18,7 8,44 a. Perikanan Tangkap (Juta Ton) 5,5 6,9 2,71 b. Perikanan Budidaya (juta Ton) 6,9 11,8 12,70 2. Produksi Rumput Laut (juta ton) 10,0 19,5 16,74 2,5 3,3 7,39 38,0 54,5 7,44 6,9 7,2 0,71 5,0 9,5 12,97 5,2 6,8 4,97 1. Produksi Ikan (juta ton) 3. Produksi Garam (juta ton) 4. Konsumsi Ikan(kg/kapita/tahun) 5. Pertumbuhan PDB perikanan (persen/tahun) 6. Nilai ekspor hasil perikanan (USD miliar) 7. Volume produk olahan hasil perikanan (juta ton) X-74 Baseline 2014 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan 10.2.4. Peningkatan Tata Kelola Laut, Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Serta Pengembangan Ekonomi Kelautan Berkelanjutan Sasaran peningkatan tata kelola laut, pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil serta pengembangan ekonomi kelautan berkelanjutan adalah: 1. Terwujudnya Tata Kelola Sumber Daya Kelautan di wilayah perairan Indonesia dan yuridiksi nasional, dengan sasaran: a. Tersusunnya Roadmap Pembangunan Kelautan dan Rencana Aksi kelautan nasional 2015-2019. b. Penyusunan tata ruang laut dan penyelesaian tata ruang/rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil c. Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil, termasuk pulaupulau terluar melalui pengembangan ekonomi pulau-pulau kecil terluar berpenduduk di 31 pulau dan penyelesaian pembakuan nama pulau. d. Penyelesaian pencatatan/deposit pulau-pulau kecil ke PBB pada tahun 2017. 2. Termanfaatkannya sumber daya kelautan untuk pembangunan ekonomi nasional, antara lain melalui: a. Pengembahangan wisata bahari dan pulau-pulau kecil, termasuk promosi, investasi di lokus andalan; b. Peningkatan kesejahteraan masyarakat di 31 pulau-pulau kecil terluar, termasuk penyediaan sarana dan prasarana serta fasilitas layanan dasar; c. Peningkatan keamanan (eksistensi) di 61 pulau kecil terluar yang tidak berpenduduk; (4) Peningkatan prdouski perikanan tangkap dan budidaya sebesar 48 juta ton pada tahun 2019 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-75 (termasuk rumput laut dan garam serta produk olahan perikanan); d. Pengembangan komoditas andalan kelautan lainnya dalam bentuk pilot di beberapa lokasi terpilih 3. Terpeliharanya kelestarian fungsi lingkungan hidup dan sumberdaya hayati laut, melalui peningkatan Konservasi, Rehabilitasi dan Pengawasan Sumber Daya Kelautan, dengan sasaran: a. Pengutuhan dan penambahan luasan kawasan konservasi seluas 20 juta ha sampai dengan tahun 2019 serta peningkatan pengelolaan kawasan konservasi perairan dan PPK efektif di 34 kawasan b. Memperkuat dan mengembangkan kerjasama regional maupun Internasional dalam pengelolaan wilayah laut, seperti program Coral Triangle Initiative (CTI), Sulu Sulawesi Marine Ecoregion (SSME), Mangrove for the Future (MFF) dan sebagainya c. Peningkatan pengawasan pemanfaatan sumber daya kelautan yang merusak melalui peningkatan cakupan pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan sebesar 53,4 persen; d. Kawasan pesisir yang rusak dan pulih kembali sebanyak50 kawasan dan membaiknya ketahanan masyarakat terhadap bencana. 4. Terwujudnya SDM dan Iptekkelautan yang berkualitas dan meningkatnya wawasan dan budaya bahari, difokuskan pada: a. Peningkatan kapasitas SDM Kelautan dan perikanan; Peningkatan IPTEK kelautan dan diseminasi teknologi. X-76 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan 10.2.5. Peningkatan Produksi Hasil Pengembangan Jasa Lingkungan Hutan dan 10.2.5.1. Pengembangan KPH Produksi dan Produk Kayu 1. Mengembangkan 347 unit Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP); 2. Meningkatnya produksi kayu bulat dari hutan alam menjadi 50 juta m3; 3. Meningkatnya produksi kayu bulat dari hutan tanaman menjadi 160 juta m3; 4. Meningkatnya nilai ekspor produk kayu rata-rata menjadi USD32,5 miliar. Tabel X.7 Target Pencapaian Program Tahun 2015-2019 KPHP (unit) Produksi kayu bulat HA(juta m3) *) Produksi kayu bulat HT (juta m3)*) Hutan Rakyat (juta m3) Nilai Ekspor Produk Kayu (US$ miliar) *) BASELINE 2014 80 5,5 26 3 5,7 SASARAN 2019 347 50 160 100 32,5 *) KPHP = Kesatuan Pengeloka Hutan Produksi; HA = Hutan Alam; HT = Hutan Tanaman 10.2.5.2. Pengembangan KPH Lindung dan Hasil Hutan Bukan Kayu 1. Mengembangkan 182 unit Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL); 2. Meningkatnya HKm, HD dan HR 3. Meningkatnya bukan kayu produksi hasil Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan hutan X-77 4. Meningkatnya ekowisata dan jasa lingkungan khususnya air baku untuk domestik,pertanian, dan industri Tabel X.8 Target Pencapaian Program Tahun 2015-2019 BASELINE 2014 *) 40 SASARAN 2019 182 Peningkatan Akses HKm dan HD (unit) 100 500 Peningkatan Produksi Kayu HR (juta m3) 15 100 Peningkatan produksi danragam HHBK (%) Rehabilitasi KPHL (unit) 4 40 20 182 Pembentukan/operasionalisasi KPHL (unit) *) Angka Perkiraan 2015 10.2.6. Peningkatan Konservasi dan Tata Kelola Hutan Serta Pengelolaan DAS 10.2.6.1. Peningkatan Kinerja Tata Kelola Kehutanan 1. Penyelesaian pengukuhan/penetapan kawasan hutan 100 persen; 2. Penyelesaian tata batas kawasan dan tata batas fungsi sepanjang 50.000 km; 3. Operasionalisasi 547 KPH yang terdiri dari 347 KPHP, 182 KPHL dan 50 KPH; 4. Peningkatan kinerja pengelolaan KPH; 5. Tertanganinya pencegahan dan penangulangan kebakaran hutan; 6. Menurunnya jumlah hotspots kebakaran hutan. X-78 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan 10.2.6.2. Peningkatan Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Dengan mempertimbangkan isu strategis, sasaran pengelolaan hutan konservasi dalam kurun waktu 2015-2019 meliputi beberapa hal sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Meningkatkan kualitas fungsi dan kelestarian hutan konservasi serta keanekaragaman hayati di dalamnya. Meningkatkan 10% jumlah populasi dari 25 species terancam punah dengan tahun dasar 2013. Terbentuknya KPHK sebanyak 50 unit. Meningkatkan kesadaran masyarakat akan nilai-nilai keekonomian KEHATI. Menyempurnakan panduan mengenai langkah-langkah untuk pengelolaan dan pemanfaatan KEHATI secara berkelanjutan. Meningkatnya kapasitas sumber daya manusia dalam pemanfaatan keekonomiankeanekaragaman hayati (KEHATI) dan jasa lingkungan secara berkelanjutan untuk sumber bahan baku dari sandang pangan, papan, obatobatan, kosmetik, energi alternatif, danekowisata. Termanfaatkannya produk hasil keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan secara optimal, adil, dan lestari bagi kesejahteraan masyarakat. Terwujudnya peluang untuk pengembangan dan pemanfaatan teknologi pada kegiatan konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-79 dan jasa lingkungansecara berkelanjutan. 9. Meningkatnya jumlah kerja sama jasa lingkungan untuk meningkatkan nilai transaksi dan penerimaan negara dari pemanfaatan jasa lingkungan kawasan hutan khususnya dari jasa lingkungan air, karbon, pariwisata alam, dan bioprospecting untuk produksi obatobatan, kosmetika dan bahan makanan; 10. Meningkatnya Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari ekspor tanaman dan satwa liar serta bioprospecting. 10.2.6.3. Peningkatan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Mengurangi luasan lahan kritis, baik di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan seluas 2,5 juta ha selama 5 tahun ke depan. 1. Menyelesaikan dokumen rencana pengelolaan 180 DAS terpadu dan implementasi revitalisasi 4 (empat) DAS sangat prioritas (Brantas, Bengawan Solo, Citarum, dan Musi). 10.2.7. Penguatan Pasokan, Bauran dan Efisiensi Konsumsi Energi Sasaran utama penguatan ketahanan energi yang akan dicapai dalam kurun waktu 2015-2019 adalah: 1. Produksi sumberdaya energi: a. Produksi minyak bumi sebesar 710 - 913 barel per hari; b. Produksi gas bumi 5.988 – 7.124 juta kaki kubik per hari dengan pemanfaatan di dalam negeri sebesar56 – 64 persen; dan X-80 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan c. Produksi batubara sebesar 392 juta ton dengan pemanfaatan di dalam negeri sebesar 30 – 40 persen. 2. Penyediaan sarana dan prasarana energi yang terdiri dari: a. Pembangunan kilang minyak sebanyak 2 unit dengan total kapasitas 600 ribu barel per hari; b. Pembangunan fasilitas penyimpanan dan penimbunan BBM dan LPG, masing-masing dengan kapasitas 4,1 juta KL dan 542 ribu MT; c. Pembangunan Floating Storage Regasification Unit (FSRU) sebanyak 5 unit; d. Pembangunan regasifikasi onshore sebanyak 5 unit; e. Pembangunan pipa gas sepanjang 6.278 km f. Pembangunan SPBG sebanyak 45 unit. 3. Pemanfaatan bahan bakar nabati dan efisiensi energi yang terdiri atas: a. b. c. d. e. Produksi biodiesel sebesar 2,35 – 4,12 juta KL; Produksi bioetanol sebesar 0,2 – 0,58 juta KL. Intensitas energi sebesar 517 SBM/Miliar; Elastisitas energi sebesar 0,8; dan Target penghematan energi sebesar 12,71 persen (skenario BAU). 4. Peningkatan bauran energi baru dan terbarukan (EBT) yang terdiri dari: a. Bauran EBT sebesar 10-16 persen; b. Kapasitas terpasang pembangkit listrik (PLTP, PLTA, PLTMH, PLTS, dan PLT Biomassa) sebesar 20 GW; c. Pelaksanaan pilot project PLTN sebesar 10 MW; dan d. Pelaksanaan pilot project pembangkit listrik tenaga arus laut di 3 lokasi. Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-81 5. Pengurangan subsidi energi secara berkala akan diupayakan terdiri dari: a. Penurunan besaran subsidi BBM dengan menaikkan harga BBM Rp.500/liter per semester; dan b. Penurunan kapasitas pembangkit listrik yang masih menggunakan BBM menjadi 0,8 persen. 10.2.8. Peningkatan Nilai Tambah Industri Mineral dan Pertambangan Berkelanjutan Dua sasaran utama peningkatan daya saing komoditas mineral dan tambang yang akan dicapai dalam kurun waktu 2015-2019 adalah: 1. Meningkatnya nilai tambah komoditas mineral dan pertambangan di dalam negeri; dan 2. Terlaksananya kegiatan pertambangan yang memenuhi persyaratan teknis dan lingkungan (Sustainable Mining). Sasaran kuantitatif pada akhir tahun 2019 adalah: 1. Fasilitasi pembangunan smelter sebanyak 66 perusahaan; 2. Recovery pengolahan dan pemurnian mineral sebesar: (a) 82 persen untuk emas, (b) 76 persen untuk tembaga, (c) 86 persen untuk nikel, (d) 82 persen untuk bauksit, (e) 80 persen untuk timah, dan (f) 65 persen untuk pasir besi. 10.2.9. Peningkatan Kualitas Lingkungan Hidup, Pengembangan Pola Produksi dan Konsumsi Berkelanjutan dan Pelestarian dan Pemanfaatan Keekonomian Kehati Sesuai dengan Arahan Dalam Indonesia Biodiversity Strategy And Action Plan/IBSAP 2003-2020 1. Meningkatnya kualitas lingkungan hidup yang tercermin dalam Indeks Kualitas Lingkungan X-82 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan Hidup (IKLH) sebesar 66,5-68,5 yang didukung oleh sistem data informasi lingkungan hidup yang handal; 2. Menguatnya kerangka pengendalian dan kapasitaspengelolaan lingkungan hidup; 3. Meningkatnya pemanfaatan IPTEK dan SDM untuk peningkatan nilai ekonomi keanekaragaman hayati dan menyempurnakan panduan mengenai langkah-langkah untuk pengelolaan dan pemanfataan KEHATI secara berkelanjutan; 4. Mengarustamakan keanekaragaman hayati (KEHATI) pada kegiatan perencanaa pembangunan nasional. Tabel X.9 Sasaran Pencapaian Skor Iklh Tahun 2015-2019 Komoditi Baseline 2014 Sasaran 2019 IKLH 63,0-64,0 66,5-68,5 10.2.10. Penanganan Perubahan Iklim dan Peningkatan Kualitas Informasi Iklim dan Kebencanaan 1. Meningkatnya penanganan perubahan iklim melalui kegiatan penurunan emisi dan peningkatan ketahanan iklim yang terukur dan terlaporkan serta terverifikasi. 2. Meningkatnya kualitas informasi peringatan dini cuaca , iklim, dan bencana; 3. Tersedianya data dan informasi data dan informasi iklim yang dipergunakan untuk upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim; 4. Meningkatnya kecepatan dan akurasi data dan informasi meteorologi, klimatologi, dan geofisika (MKG), terutama untuk mendukung keselamatan penerbangan dan maritim. Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-83 10.3. Arah Kebijakan Dan Strategi Pembangunan Bidang 10.3.1. Pengamanan Produksi untuk Kemandirian dan Diversifikasi Konsumsi Pangan Dalam mendukung penguatan ketahanan pangan nasional sebagaimana tertuang dalam UU No. 17/2007 tentang RPJPN 2005-2025, UU No. 18/2012 tentang Pangan dan UU No. 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, maka upaya penguatanpasokan pangan dan diversifikasi konsumsi akan dilakukan melalui strategi: (1) Peningkatan produktivitas dan perluasan areal; (2) Penanganan cadangan pangan dan diversifikasi konsumsi; dan (3) Mitigasi kerawanan pangan. 1. Peningkatan produksi dan produktivitas hasil pertaniandiarahkan untuk meningkatkan kapasitas produksi dalam negeri sehingga mengurangi ketergantungan terhadap pasar global (impor). Strategi yang ditempuh adalah: a. Pengamanan lahan pertanian produktif dan pemanfaatan lahan terlantar, didukung dengan sistem irigasi dan fasilitasi penyediaan air yang terpadu;Adapun langkah yang akan dilakukan adalah: (i) Pengamanan lahan pertanian padi yang produktif; (ii) Perluasan areal pertanian pangan baru dengan mendayagunakan lahanlahan terlantar, lahan-lahan di kawasan transmigrasi, dan tumpang sari di lahan perkebunan dengan komoditi pangan, serta peningkatan indeks pertanaman dengan optimasi lahan;(iii) Pembangunan tampungan air seperti waduk dan embung; (iv) Meningkatkan keterhubungan jaringan irigasi yang menjadi kewenangan Pemerintah pusatprovinsi-kabupaen/kota sampai ke lahan usahatani padi; serta (v) Pembangunan jaringan X-84 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan irigasi, rawa dan air tanah untuk mendukung peningkatan produksi pertanian khususnya padi. b. Peningkatan pendampingan dan ketepatan sasaran dukungan produksi, dengan langkahlangkah: (i) Perbaikan sasaran petani padi dan penerima subsidi pertanian; (ii) Penyediaan dan penyaluran benih unggul dan pupuk yang didukung subsidi yang lebih tepat sasaran dengan dilengkapi data petani penerima; (iii) Revitalisasi penyuluhan melalui penguatan sistem penyuluhan pertanian dengan meningkatkan jumlah dan kapasitas penyuluh serta memperkuat kelembagaan penyuluh terutama Balai Penyuluhan Pertanian di tingkat desa/kecamatan, kabupaten dan provinsi, dan memperkuat kelembagaan petani, serta (iv) Penguatan sistem pendidikan dan pelatihan pertanian bagi aparat pertanian dan petani. c. Revitalisasi sistem perbenihan padi dan perbibitan sapi dan langkah, melalui langkahlangkah: (i) Revitalisasi sistem perbenihan padi dari pusat-daerah; (ii) Penelitian dan pengembangan untuk menghasilkan benihbenih tanaman pangan unggul dan bibit unggul peternakan serta pengembanganinovasi budidaya pertanian yang lebih efisien; (iii) Penguatan penerapan replikasi inovasi teknologi budidaya pertanian pangan yang secara signifikan dapat meningkatkan produktivitas, efisien dan adaptif terhadap perubahan iklim seperti system of rice intensification (SRI); (iv) Peningkatan/penambahan populasi bibit induk sapi, pengembangan kawasan peternakan dengan mendorong investasi swasta dan BUMN, pengembangan peternakan rakyat non sapi Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-85 untuk meningkatkan penyediaan protein hewani, peningkatan kapasitas pusat-pusat perbibitan ternak untuk menghasilkan bibitbibit unggul, penyediaan pakan yang cukup dan pengembangan padang penggembalaan, serta (v) Memperkuat sistem pelayanan kesehatan hewan nasional. d. Penurunan susut/kehilangan produksi, melalui:(i) Pengendalian organisme pengganggu tanaman, penyakit bersumber hewan (zoonosis), dan penyakit hewan lainnya; (ii) Penanganan pasca panen dan kualitas hasil pertanian pangan; serta (iii) Peningkatan produktivitas dan rendemen tebu; e. Peningkatan kualitas dukungan kepada petani, melalui: (i) Perbaikan data petani untuk peningkatan kualitas sasaran; (ii) Perbaikan dalam upaya pemanfaatan sumber-sumber pembiyaan bagi petani seperti KKP-E, KUPS dan sebagainya agar realisasinya meningkat; dan (iii) Melanjutkan penerapan instrumen kebijakan penetapan harga pembelian padi/beras, kedelai petani dan harga patokan petani gula kristal putih untuk mengamankan harga kedelai dan tebu di tingkat petani dalam rangka mengamankan harga di tingkat petani dan mendorong peningkatan produksi padi, kedelai dan tebu di dalam negeri. 2. Menjaga stabilitas harga dan kualitas konsumsi pangan,diarahkan kepada dua sasaran utama, yaitu untuk: menjaminakses pangan masyarakat dan meningkatkan kualitas konsumsi masyarakat, baik dari sisi jumlah, keberagaman, maupun mutunya.Untuk mencapai sasaran tersebut, maka langkah yang dilakukan adalah: X-86 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan a. Pemantauan perkembangan harga pangan baik pasar dalam negeri maupun internasional; b. Penyediaan cadangan pangan pokok terutama beras, kedelai dan gula, c. Pengendalian impor bahan pangan untuk stabilisasi pasokan dan harga pangan, d. Diversifikasi penyediaan dan konsumsi pangan yang bermutu, sehat, aman terutama dari penyakit zoonosis, dan halal, serta e. Peningkatan konsumsi protein hewani yang berasal dari ternak. 3. Mitigasi kerawanan pangan dilakukan untuk mengurangi risiko dan dampak negatif kondisi iklim/cuaca maupun permasalahan pangan lainnya, yang dilakukan melalui: a. penyediaan dan penyaluran bantuan input produksi bagi petani yang terkena puso; b. pengembangan instrumen asuransi pertanian untuk petani yang diawali dengan pilot project; c. pengembangan benih unggul tanaman pangan yang mampu beradaptasi terhadap perubahan iklim; d. penerapan kalender tanam yang telah menyesuaikan terhadap perubahan iklim; e. perluasan penggunaan teknologi budidaya yang adaptif terhadap perubahan iklim. 10.3.2. Pengembangan Agribisnis, Pertanian Berkelanjutan dan Kesejahteraan Petani Untuk mencapai sasaran utama peningkatan nilai tambah dan daya saing komoditi pertanian yang telah ditetapkan tersebut, maka arah kebijakan dalam RPJMN 2015-2019 terutama difokuskan pada:(1) peningkatan produktivitas, standar mutu dan standar ramah lingkungan hasil pertanian komoditi andalan ekspor dan untuk penggunaan industri dalam negeri; Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-87 dan (2) mendorong pengembangan industri pengolahan terutama di perdesaan serta peningkatan ekspor hasil pertanian. Untuk itu strategi yang akan dilakukan meliputi: X-88 1. Revitalisasi perkebunan dan hortikultura rakyat, terutama melalui peremajaan tanaman perkebunan dan hortikultura rakyat komoditi andalan ekspor dan memiliki potensi ekspor.Upaya peremajaan tersebut ditujukan untuk tanaman perkebunan dan hortikultura yang sudah tua dan menurun produktivitasnya, dengan tanaman baru berbibit unggul. Selain peremajaan dilakukan juga dengan melakukan upaya intensifikasi dengan pemeliharaan dan pemupukan secara intensif dan sesuai kebutuhan. 2. Peningkatan mutuhasil pertanian,peningkatan kualitasperkarantinaan dan pengawasan keamanan hayati. Penerapan standardisasi dan keamanan pangan mulai dari proses produksi hingga produk akhir melalui:(a) penguatan dan perbaikan teknologi produksi dari hulu sampai hilir; (b) pengembangan/penerapan standarmutu komoditas pertanian dan standarpenanganan produk segar dan produk olahan pertanian, serta pada komoditas prospektif ekspor; (c)Pembinaan dan Pengawasan Mutu Produk Pertanian; (d) Peningkatan jumlah dan peran lembaga sertifikasi, dan (e) Peningkatan kualitaslayanan pengawasan perkarantinaan. 3. Pengembangan agroindustri perdesaan. Pengembangan agroindustri di perdesaan diarahkan untuk meningkatkan nilai tambah pertanian yang akan dilakukan melalui: (a) Perbaikan dan penguatan teknologi agroindustri perdesaan yang sudah ada; (b) Pertumbuhan agroindustri perdesaan yang dapat Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan memanfaatkan hasil samping secara optimal; (c) Penumbuhan industri pengolahan pertanian yang dapat dilaksanakan oleh kelompok tani dan koperasi; serta (d) Pengembangan industri perdesaan yang menangani produk segar hortikultura. 4. Penguatan kemitraan antara petani dengan pelaku/pengusaha pengolahan dan pemasaran (eksportir) melalui kemitraan Gapoktan dengan industri pengolahan daneksportir serta membangun dan memperkuat jaringan (networking) dengan asosiasi, industri, dan sektor jasa terkait lainnya. 5. Peningkatan aksesibilitas petani terhadap teknologi, sumber-sumber pembiayaan, serta informasi pasar dan akses pasar termasuk pengembangan infrastruktur pengolahan dan pemasaran melalui: (a) diseminasi informasi teknologi melalui penyuluhan dan media informasi; (b) penyediaan skim kredit yang mudah diakses oleh petani dan pelaku usaha pertanian; (c) pengembangan jaringan pasar, dan pelayanan informasi pasar, pasar lelang komoditi, dan market intelligence; serta (d) fasilitasi infrastruktur ekspor. 6. Akselerasi ekspor untuk komoditaskomoditas unggulan serta komoditas prospektif melalui: (a) identifikasi daerah-daerah potensial untuk pengembangan komoditi ekspor; (b) harmonisasi standar mutu; (c) optimalisasi negosiasi dan diplomasi perdagangan hasil pertanian; (d) advokasi, pameran, dan pencitraan produk dalam rangka promosi produk pertanian; serta (e) promosi investasi agroindustri dan permodalan. Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-89 10.3.3. Peningkatan Produksi dan Nilai Tambah Perikanan Serta Kesejahteraan Nelayan dan Pembudidaya Ikan 1. X-90 Peningkatan Produktivitas, Optimalisasi Kapasitas dan Kontinuitas ProduksiPerikanan, melalui langkah-langkah: (a)peningkatan kapasitas armada perikanan tangkap, melalui alokasi yang proporsional antara stok sumber daya ikan, kemampuan sumber daya manusia dan jumlah kapal penangkapan ikan; (b) pendayagunaan potensi perairan umum daratan (PUD) untuk perikanan berwawasan lingkungan; (c) intensifikasi dan ekstensifikasi perikanan budidaya melalui pengembangan fisheries development estate; (d) ekstensifikasi kegiatan marikultur di lokasi-lokasi yang potensial; (e) pengembangan kawasan sentra produksi perikanan dan/atau kawasan minapolitan di wilayah yang potensial; (f) pengembanganmanajemen logistik dan sistem distribusi yang mampu menjaga kesinambungan pasokan produk untuk konsumsi dan kebutuhan industri; (g) penyediaan dan pengembangan teknologi penangkapan ikan yang efisien dan ramah lingkungan; (h) pengembangan dan penyebaran teknologi budidaya skala intensif dan penerapan IntegratedMulti Thropic Aquacultur; (i) penguasaan dan inovasi teknologi perbenihan dan induk unggul komoditas strategis; (j) fasilitasi dan introduksi teknologi budidaya terkini untuk masyarakat; serta (k) peningkatan kualitas input produksi, seperti benih ikan, induk yang berkualitas, pakan murah berkualitas, obatobatan dan vitamin, serta ketersediaan dan kemudahan distribusinya. Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan 2. Peningkatan Kualitas Prasarana dan Sarana Perikanan, melalui: (a) revitalisasi fungsi dan peran pelabuhan yang terbengkalai dan tidak optimal; (b) peningkatan pelayanan dan kelengkapan pelabuhan perikanan di tiga pelabuhan contoh sesuai dengan standar internasional; (c) peningkatan kualitas dan kapasitas dan manajemen pelabuhan perikanan (d) revitalisasi tambak-tambak dan kolam yang tidak produktif dan pengembangan jalan produksi; (e) lanjutan pengembangan Sistem Logistik Ikan yang didukung oleh sarana transportasi yang memadai, cepat dan tepat; (f) fasilitasi dan pemenuhan kebutuhan BBM bersubsidi pada sentra-sentra nelayan secara memadai di seluruh Indonesia; (g) pengembangan balai benih ikan/udang dan perbaikan jalan produksi di sentra produksi perikanan; (h) pengembangan teknologi pembuatan pakan kompetitif dengan sumber bahan baku lokal; serta (i) pengembangan sarana prasarana pengolahan hasil perikanan. 3. Peningkatan Mutu, Nilai Tambah dan Inovasi Teknologi Perikanan, melalui: (a) pengembangan kapasitas, modernisasi, dan daya saing UKMK pengolahan hasil perikanan; (b) revitalisasidan pembangunan pabrik es, cold storage dan rantai dingin di lokasi-lokasi yang tepat; (c) penguatan upaya pengendalian, pengawasan dan advokasi tentang mutu dan keamanan produk perikanan, sertifikasi dan pengembangan standarisasi mutu dalam negeri (SNI); (d) perlindungan pasar domestik dari serbuan produk luar yang tidak terkendali; (e) pengembangan diversifikasi produk olahan berbasis sumber daya ikan setempat; (f) pengembangan dan penerapan sertifikasi eco Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-91 labelling dan ketelusuran product (product traceability), serta penanganan ikan yang baik (CPIB) dan penerapan sertifikasi hasil tangkapan ikan (SHTI); (g)peningkatan promosi konsumsi bahan pangan berbasis ikan; (h) pengembangan inovasi dan intermediasi teknologi perikanan; (i) peningkatan efektivitas dan peran karantina ikan dalam pengendalian ancaman penyakit, jaminan mutu produksi, dan keamanan pangan; (j) peningkatan kinerja dan kapasitas Unit Pengolahan Ikan (UPI); (k) penerapa standarisasi dan sertifikasi proses produksi dan sarana produksi; dan (l)pengembangan sinergi kebijakan penerapan hasil riset dengan dunia industri. 4. X-92 Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan melalui: (a) Pengelolaan Sumber Daya Ikan (SDI) berbasis WPP,penyusunan rencana pengelolaan perikanan didukung oleh penguatan data dan statistik perikanan; (b) reformasi pengelolaan perikanan tangkap berbasis Wilayah Pengelolaan Perikanan melalui penguatan lembaga pengelola WPP (otoritas terpadu pengelola WPP);(c) revitalisasi pengelolaan SDI di perairan umum daratan dan pemulihan habitat ikan; (d) pengembangan teknologi ramah lingkungan untuk perikanan tangkap dan budidaya; (e) penguatan armada pengawasan dan kerja sama lintas institusi untuk pencegahan dan pemberantasan IUU Fishing secara serius; (f) penguatan standar pengelolaan perikanan ramah lingkungan; (g) menyusun perbaikan rejim pengelolaan perikanan melalui penataan mekanisme pengaturan userights dan mekanisme pemberian ijin yang adil, transparan dan efisien; dan (h) pengembangan kemampuan armada distant water fishing, untuk memanfaatkan potensi perikanan diluar batas ZEE (i) partisipasi aktif di dalam organisasi Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan perikanan dunia untuk menjaga kepentingan nasional. 5. Perbaikan Tata Kelola Perikanan, untuk terciptanya iklim yang kondusif bagi terwujudnya kinerja, efektivitas kerjasama kelembagaan dan perbaikan tata kelola perikanan. Arah kebijakan akan ditempuh melalui: (a) penguatan forum koordinasi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan menuju kelembagaan pengelolaan WPP; (b) penguatan pengelolaan wilayah perikanan sebagai sentra wilayah pertumbuhan produksi; (c) penataan perizinan yang terintegrasi dan berbasis IT; (d) penguatan kelompok usaha perikanan dalam rangka pengembangan usaha danfasilitasi akses permodalan; (e) pengembangan kapasitas dan kompetensi SDM perikanan, peningkatan kualitas kegiatan penyuluhan, pendidikan dan pelatihan; (f) pengembangan arsitektur riset perikanan dan kelautan, termasuk peningkatan kualitas data dan sistem informasi perikanan; (g) perbaikan manajemen data stok ikan yang dapat diandalkan (reliable data), (h) pemantapan tata ruang/zonasi yang mampu mewujudkan sinergitas pendayagunaan lahan untuk menjamin kepentingan produksi perikanan;(h) penguatan sistem dan kelembagaan penyuluhan, pendidikan, dan pelatihan perikanan; serta (i) pengembangan skema insentifuntuk peningkatan investasi perikanan. 6. Peningkatan Kesejahteraan Nelayan, Pembudidaya, Petambak Garam, dan Pengolah/Pemasar Produk Ikan melalui: (a) pembentukan sistem dan kelembagaan penjamin pelaku usaha perikanan; (b) penyediaan sumber permodalan dan pengembangan fasilitasi kredit Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-93 yang murah, mudah dan aksesibel; (c) pengembangan asuransi nelayan dan usaha penangkapan ikan; (d) pemberian pelatihan teknis dan informasi pasar untuk nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, dan pengolah produk ikan; (e) pembinaan/penguatan kapasitas kelompok nelayan, pembudidaya, petambak garam, dan pengolah produk perikanan; (f) mengembangkan sistem bagi hasil yang berkeadilan bagi para pelaku usaha perikanan tangkap/nelayan kecil; (g) penyediaan dan penyaluran bantuan input produksi bagi nelayan/petambak garam/pembudidaya/pengolah produk ikan yang terkena dampak perubahan iklim/bencana alam. 10.3.4. Peningkatan Tata Kelola Laut, Pengelolaan Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Serta Pengembangan Ekonomi Kelautan Berkelanjutan Dalam rangka pemeliharaan sumber daya sebagai aset pembangunan nasional dan dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya kelautan untuk pembangunan, arah kebijakan pembangunan difokuskan pada: 1. X-94 Meningkatkan Tata Kelola Sumber Daya Kelautan, dengan strategi: (a) penyusunan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, penyusunan peraturan tentang tata ruang laut dan harmonisasi tata ruang daratan dan laut, pengembangan kebijakan kelautan dan roadmap pembangunan kelautan; (b)Pengelolaan PulauPulau Kecil, terutama pulau-pulau terluar berupa pemenuhankebutuhan infrastruktur dasar, seperti listrik dan air bersih di pulau-pulau berpenduduk dan mengembangkan kerjasama instansi terkait/pemda setempat dalam mendukung eksistensi NKRI di pulau-pulau terluar yang Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan berpenduduk maupun tidak berpenduduk; (c) pembakuan nama pulau kecil termasuk identifikasi potensi dan pemetaan pulau kecil; dan (d) Meningkatkan kapasitas SDM dan Iptek serta data dan informasi kelautan. 2. Meningkatkan Konservasi, Rehabilitasi dan Pengawasan Sumber Daya Kelautan, dengan strategi: (a) Pengutuhan dan penambahan luasan kawasan konservasi melalui penambahan luas kawasan konservasi perairan, penguatan koordinasi lintas sektor dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan, serta penguatan kelembagaan pengelolaan kawasan konservasi; (b) Memperkuat dan mengembangkan kerjasama regional maupun internasional dalam pengelolaan wilayah laut, seperti program CTI, SSME, MFF dan sebagainya; (c) Meningkatkan pengawasan wilayah dari pemanfaatan sumber daya kelautan yang merusak termasuk mengintensifkan penegakan hukum dan pengendalian IUU fishing serta kegiatan yang merusak di laut melalui peningkatan cakupan pengawasan sumber daya kelautan, penguatan sarana dan prasarana pengawasan, dan peningkatan hari operasi kapal pengawas; (d) Rehabilitasi kawasan pesisir yang rusak dan pengendalian bencana alam dan dampak perubahan iklimmelalui penanaman vegetasi pantai termasuk mangrove, pengembangan desa pesisir yang meningkat ketahanannya terhadap dampak bencana dan perubahan iklim, serta penanggulangan pencemaran wilayah pesisir dan laut. 3. Mengembangkan industri kelautan berbasis sumberdaya, dengan strategi: (a) Mengembangkan wisata bahari di lokasi-lokasi andalan; (b) Pengembangkan usaha perikanan di Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-95 kawasan sentra produksi (dengan konsep huluhilir); (c) pengembangan energi laut sebagai energi terbarukan; (d) Pengembangan komoditas andalan lainnya 4. Penguatan peran SDM dan Iptek Kelautan, dengan strategi: (a) Meningkatkan kegiatan pendidikan dan pelatihan; (b) Mengembangkan pendidikan advokasi untuk kelautan dan perikanan; (c) Mengembangkan standar kompetensi sumberdaya manusia di bidang kelautan; (d) Meningkatkan peran Iptek, riset dan sistem informasi kelautan dalam mendukung pelaksanaan pembangunankelautan yang berkelanjutan. 10.3.5. Peningkatan Produksi Hasil Pengembangan Jasa Lingkungan Hutan dan 10.3.5.1. Pengembangan KPH Produksi dan Produk Kayu Potensi sumber daya hutan dalam bidang ekonomi yang tinggi perlu dikembangkan dengan tetap memperhatikan fungsi lingkungan dan sosial. Selain aspek pemanfaatan, aspek perlindungan dan pengawetan menjadi bagian dari pengelolaan hutan produksi. Pengembangan industri pengolahan hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu ditujukan untuk meningkatkan nilai tambah sektor kehutanan. Oleh karena itu, selaras dengan prinsip pembangunan berkelanjutan maka pengembangan industri tersebut memerlukan dukungan sumber bahan baku yang dikelola secara berkelanjutan pula. Arah kebijakan sektor kehutanan dalam kaitan dengan upaya X-96 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan meningkatkan daya saing ekonomi adalah peningkatan produksi dan produktivitas sumber daya hutan, penerapan prinsip pengelolaan hutan lestari, penerapan prinsip tata kelola hutan yang baik (good forest governance), pemberian jaminan legalitas hasil hutan kayu dan produk kayu, dan meningkatkan keterlibatan masyarakat sebagai mitra usaha. Strategi guna meningkatkan fungsi ekonomi sumber daya hutan dilakukan dengan cara: (1) Meningkatkan tata kelola kehutanan (good forest governance) yaitu dengan melakukan pemisahan peran administrator (regulator) dengan pengelola (operator) kawasan hutan melalui pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP); (2) Deregulasi dan de-bottlenecking peraturan perundang-undangan yang birokratis dan tidak pro investasi serta mendesentralisasikan keputusan kemitraan dalam pengelolaan kawasan hutan pada tingkat tapak; (3) Optimalisasi pemanfaatan sumber daya hutan sejak industri hulu hingga industri hilir dengan mengembangkan keterpaduan industri berbasis hasil hutan (forest based cluster industry); dan (4) Meningkatkan efisiensi dan efektivitas industri hulu dan hilir untuk meningkatkan nilai tambah melalui aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi, sumber daya manusia yang berkompeten serta penerapan good corporate governance. Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-97 10.3.5.2. Pengembangan KPH Lindung dan Hasil Hutan Bukan Kayu Dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat/peningkatan pendapatan dan kelestarian hutan lindung, maka akses masyarakat terhadap sumber daya hutan lindung perlu ditingkatkan. HKm dan HD perlu ditingkatkan dan diperluas cakupannya dengan disertai peningkatan kapasitas masyarakat dalam pengelolaannya. Peningkatan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan hutan di luar kawasan hutan lindung juga perlu ditingkatkan dengan pengembangan Hutan Rakyat. Strategi yang diperlukan dalam pengembangan kawasan hutan yaitu: (1) pengembangan dan perluasan HKm dan HD, (2) penegakan hukum dengan pemberlakuan sanksi bagi yang melanggar oleh pihak-pihak yang berwenang, (3) peningkatan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan hutan, (4) reboisasi dan penghijauan berkelanjutan yang dilakukan dengan jenis tanaman sesuai keinginan masyarakat dalam pemilihan jenisnya, (5) pengembangan agro-forestry, (6) fasilitasi permodalan dan teknologi tepat guna. 10.3.6. Peningkatan Konservasi dan Tata Kelola Hutan Serta Pengelolaan DAS 10.3.6.1. Peningkatan Kinerja Tata Kelola Kehutanan Tata kelola hutan yang baik (good forest governance) menjadi prinsip dalam pengelolaan sumber daya hutan X-98 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan berkelanjutan. Untuk menuju hal tersebut, maka arah kebijakan sektor kehutanan adalah mempercepat kepastian status hukum kawasan hutan melalui inventarisasi sumber daya hutan, penyelesaian tata batas kawasan dan tata batas fungsi kawasan hutan dengan melibatkan semua stakeholders, percepatan penyelesaian pemetaan dan penetapan kawasan hutan, meningkatkan keterbukaan data dan informasi sumber daya hutan, dan mempermudah perizinan dalam melakukan investasi di sektor kehutanan. Strateginya adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. Melakukan percepatan pengukuhan kawasan hutan melalui penataan batas, pemetaan dan penetapan, yang melibatkan berbagai pihak. Membentuk dan mewujudkan unit manajemen yang handal di seluruh areal kawasan hutan yang mendukungfungsi produksi, lindung dan konservasi. Meningkatkan kapasitas pengelola KPH sehingga mampu melakukan kegiatan tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan, serta perlindungan dan pengawetan keanekaragaman hayati dalam ekosistem hutan. Meningkatkan sarana dan prasarana KPH dalam rangka perlindungan hutan dan pengendalian kebakaran hutan. Meningkatkan penelitian dan pengembangan kehutanan untuk Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-99 6. mendukung peningkatan hasil hutan kayu, hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan hutan dalam KPH. Meningkatkan kuantitas dan kualitas SDM dalam mengelola hutan di dalam KPH. 10.3.6.2. Peningkatan Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Untuk mencapai sasaran pengelolaan kawasan HK yang telah ditetapkan selama 2015-2019, arah kebijakan yang ditetapkan adalah memberikan kewenangan dan keleluasan bagi pengelola kawasan HK di tingkat tapak untuk melindungi kawasan HK, meningkatkan kualitas habitat HK, mengawetkan spesies serta sumber daya genetik dan mendorong terselenggaranya pemanfaatan jasa lingkungan HK sehingga dapat memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar dan di dalam kawasan HK. Strategi yang digunakan yaitu: 1. 2. 3. X-100 Menyelesaikan seluruh tata batas dan proses pengukuhan kawasan HK (KPHK); Meningkatkan efektivitas pola Resort Based Management (RBM) pada seluruh kawasan HK (KPHK) sehingga fungsi pemanfaatan, perlindungan dan pengawetan HK dapat berjalan dengan baik; Meningkatkan sarana dan prasarana KPHK untuk meningkatkan efektifitas pengelolaan kawaan HK; Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan 4. 5. 6. Meningkatkan kegiatan penelitian dan pengembangan diseluruh KPHK-TN dan KPHK lainnya untuk mendapatkan profil potensi sumber daya hutan, termasuk jasa lingkungan didalamnya; Mengembangkan skema pendanaan kawasan konservasi berikut mekanisme pengawasannya; Mengoptimalkan kerjasama dengan pihak ke tiga dalam pengelolaan penangkaran tanaman dan satwa liar dan penyelamatan 25 satwa dan tumbuhan langka. 10.3.6.3. Peningkatan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) 1. 2. 3. 4. Pengelolaan DAS terpadu dan keserasian penggunaan lahan di daerah tangkapan air. Meningkatkan pemahaman dan kualitas koordinasi pemangku kepentingan dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah (kabupaten/kota/provinsi) yang berbasis kepada ekosistem DAS. Rehabilitasi lahan sangat kritis dan kritis. Pengelolaan DAS terpadu: (i) Penyelesaian status DAS Lintas Negara dan Lintas Provinsi; (ii) Percepatan penyelesaian Rencana Pengelolaan DAS secara terpadu; (iii) Peningkatan penanganan dan pemulihan4 (empat) DAS prioritas nasional. Perbaikan struktur pendanaan seperti penggunaan jasa lingkungan antar wilayah dan antar masyarakat, serta Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-101 kelembagaan dalam meningkatkan kualitas. rangka 10.3.7. Penguatan Pasokan, Bauran dan Efisiensi Konsumsi Energi Untuk mewujudkan sasaran penguatan ketahanan energi, arah kebijakan yang akan ditempuh adalah meningkatkan diversifikasi pemanfaatan energi dan mempertahankan produksi minyak dan gas bumi yang didukung dengan sarana prasarana memadai serta teknologi yang lebih efisien dan ramah lingkungan. Strategi pembangunan yang akan dilakukan meliputi: (1) Peningkatan Pasokan Energi Primer; (2) Penyediaan Infrastruktur Energi; (3) Pemanfaatan Batubara Kalori Rendah; (4)Pengelolaan Energi yang lebih Efisien; (5) Peningkatan Bauran Energi Baru dan Terbarukan; dan (6) Pengurangan Subsidi Energi Secara Berkala. 10.3.7.1. Peningkatan Pasokan Energi Primer (a) Peningkatan Eksplorasi dan Produksi – Peningkatan pasokan minyak dan gas bumi sangat tergantung dari hasil penemuan cadangan terbukti dari potensi cadangan minyak dan gas bumi. Untuk itu, dilakukan langkah-langkah utama untuk meningkatkan cadangan terbukti minyak dan gas yang meliputi: (i) Peningkatan kegiatan eksplorasi minyak dan gas bumi ke arah offshore dan laut dalam, di cekungan-cekungan yang diperkirakan masih kaya akan minyak dan gas; (ii) Penguasaan teknologi eksplorasi maupun eksploitasi di wilayah laut X-102 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan dalam melalui pengembangan dan peningkatan kapasitas dan kemampuan sumber daya manusia. (b) Mendorong peningkatan produksi minyak dan gas dari sumur-sumur yang akan, dan/atau sudah beroperasi dan tua, dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: (i) Penetapan tahapan secondary/tertiary recovery, termasuk penerapan EOR, yang dirancang sejak persetujuan Plan of Development (POD) I untuk kontrak-kontrak kerja sama (Production Sharing Contract – PSC) yang baru; (ii) Pemberian insentif secondary/tertiary recovery, antara lain, melalui mekanisme bagi-hasil (split) yang memperhitungkan tambahan pengeluaran untuk penelitian dan kajian kelayakan EOR yang akan di terapkan, ataupun melalui mekanisme investment credit, dan Domestic Market Obligation (DMO) untuk gas dan batubara; dan (iii) Kerja sama antara pemerintah dengan kontraktor PSC dalam melakukan penelitian, kajian kelayakan, dan pilot project penerapan EOR. Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-103 10.3.7.2. Penyediaan Infrastruktur Energi (a) Peningkatan kapasitas kilang dan pembangunan kilang baru. Langkahlangkah yang dilakukan guna menjamin pasokan BBM dan LPG dari dalam negeri, serta mengurangi ketergantungan terhadap impor, meliputi: (i) Up-grading (revamping) kilang BBM dan BBG yang saat ini sudah beroperasi, sehingga faktor kapasitasnya dapat meningkat; (ii) Insentif untuk pembangunan dan/atau up-grading beberapa unit kilang BBM dan LPG; dan (iii) pembangunan fasilitas depo, penyimpanan dan penimbunan minyak mentah, BBM dan LPG, selain untuk meningkatkan pelayanan di daerah-daerah terpencil dan nelayan, juga untuk meningkatkan kapasitas cadangan operasional dan penyangga. (b) Peningkatan infrastruktur gas, melalui langkah-langkah: (i) Penyempurnaan kontrak bagi-hasil pengembangan lapangan gas, terutama pola bagi hasil untuk lapangan yang dedicated untuk pasar dalam negeri; (ii) Perbaikan regim harga gas sehingga tetap terjangkau oleh konsumen, namun memberikan jaminan atau kepastian pasokan gas oleh produsen gas; X-104 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan (iii) Penyempurnaan perencanaan infastruktur gas yang terpadu sehingga jaringan pipa gas dan infrastruktur LNG dapat saling melengkapi dan bersinergi dalam mengalirkan gas dari wilayah surplus ke wilayah defisit gas; (iv) Pembangunan jaringan distribusi gas terutama di wilayah perkotaan, termasuk untuk sambungan rumah tangga; dan (v) Penyempurnaan mekanisme pembangunan dan pembiayaan infrastruktur gas, baik oleh pemerintah/BUMN maupun dengan melibatkan pihak swasta, termasuk penyempurnaan kerangka regulasi/prosedur tender Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS). (c) Peningkatan kapasitas dan tingkat pelayanan infrastruktur batubara, dengan langkah-langkah utama untuk menjamin pasokan batubara ke pasar dalam negeri adalah: (i) Pembangunan dan perluasan kapasitas fasilitas pelabuhan, penimbunan (stockpiling) dan pencampuran (blending) batubara; (ii) Pengembangan sistem pengangkutan batubara terintegrasi/terpadu atau multimoda dari lokasi tambang batubara ke pusat-pusat permintaan; dan Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-105 (iii) Perbaikan sistem keamanan dan kehandalan armada pengangkutan batubara. (d) Pemanfaatan Batubara Kalori Rendah, dengan langkah-langkah utama meliputi: (i) Penelitian dan proyek pilot untuk meningkatkan kualitas batubara, melalui teknologi up-grading brown coal (UBC), sehingga kandungan airnya berkurang; (ii) Insentif untuk pembangunan kilang pencairan batubara (coal liquefaction) untuk menghasilkan bahan bakar bagi pembangkit listrik yang lebih ramah lingkungan, ataupun menggantikan peran gas dalam pembuatan uap (steam-flooding) untuk EOR; (iii) Insentif untuk pembangunan pabrik atau fasilitas gasifikasi batubara (coal gasification), sehingga gas sintetik dari hasil gasifikasi tersebut dapat dimanfaatkan untuk pembangkit listrik, ataupun menjadi bahan baku industri kimia; dan (iv) Insentif untuk pembangunan pembangkit listrik batubara mulut tambang. 10.3.7.3. Pengelolaan Energi yang Lebih Efisien Pengelolaan energi yang lebih efisien dilakukan melalui penguasaan dan penerapan teknologi efisien energi dalam penyediaan, pengusahaan, dan pemanfaatan energi terutama di sektor industri, X-106 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan transportasi, rumah tangga, dan bangunan gedung. Langkah-langkah utama yang dilakukan antara lain: (a) Penerapan dan penguasaan teknologi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dengan tingkat efisiensi yang tinggi, seperti Super Critical, Ultra SuperCritical, ataupun IGCC; (b) Insentif untuk memodernkan kilang BBM dan BBG yang saat ini beroperasi sehingga keandalan dan efisiensinya meningkat; (c) Pelibatan sektor swasta di dalam investasi efisiensi energi melalui penyempurnaan insentif serta mekanisme pendanaan, terutama untuk memanfaatkan pinjaman lunak serta sumber-sumber dana perubahan iklim (climate change funds); (d) Pelibatan BUMN pemasok energi dan lembaga pembiayaan dalam sistem pembiayaan energi efisiensi di industri pengolahan dan manufaktur; dan (5) pemberdayaan perusahaan layanan energi (Energy Service Company – ESCOs) di dalam skim pembiayaan energi efisiensi. 10.3.7.4. Peningkatan Bauran Energi Baru dan Terbarukan Peningkatan bauran energi baru dan terbarukan dilakukan melalui percepatan pemanfatan panas bumi dan tenaga air untuk pembangkit tenaga listrik dan bahan bakar nabati (BBN) untuk mensubstitusi BBM, terutama di sektor transportasi. Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-107 (a) Langkah-langkah utama untuk mempercepat pemanfaatan panas bumi antara lain: (i) Penyiapan lapangan panas bumi sebagai WKP baru panas bumi; (ii) Penyempurnaan mekanisme tender pengadaan pengembang dalam pengusahaan panas bumi dan percepatan pelaksanaan tender WKP baru; dan (iii) Pemberian insentif baik fiskal, seperti subsidi untuk feed-in tariff energi bersih, maupun non-fiskal untuk mengurangi resiko eksplorasi panas bumi. (b) Langkah-langkah utama untuk mempercepat pemanfaatan tenaga air adalah: (i) Pembangunan PLTA pada jaringan yang sudah ada, baik itu jaringan dengan bendungan pengairan ataupun saluran primer irigasi; (ii) Pembangunan PLTA baru pada jaringan sungai atau air terjun; (iii) Pembangunan jaringan mikrohidro; dan (iv) Penyediaan insentif untuk investasi badan usaha, termasuk swasta, untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan PLTA. (c) Peningkatan pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (BBN) difokuskan kepada 3 (tiga) jenis bahan bakar nabati, yaitu bio-ethanol, bio-diesel, serta bio-gas. Ketiga jenis BBN ini digunakan sebagai X-108 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan bahan pencampur untuk bahan bakar minyak dengan prosentase tertentu. Langkah-langkah utama untuk meningkatkan pemanfaatan BBN meliputi: (i) Penyediaan bahan baku BBN, terutama dalam hal pengembangan atau intensifikasi komoditas pertanian yang saat ini sudah ditanam secara luas, seperti kelapa sawit, kelapa, tebu, sagu, dan ubi kayu; (ii) Pengembangan komoditas yang potensial/varietas unggul seperti kemiri sunan, jarak pagar, nyamplung, aren, dan nipah, serta biomasa limbah pertanian; dan (iii) penyempurnaan makanisme off taker BBN (jaminan pasar), termasuk standar, subsidi, dan harga bahan baku serta harga jual BBN. Langkah-langkah ini perlu didukung oleh ketersediaan lahan yang cukup, pengelolaan penyediaan bahan baku BBN yang dilakukan melalui pengembangan perkebunan energi secara terintegrasi, serta industri pengolahan BBN yang dikembangkan dengan skala pedesaan (Desa Energi Mandiri). 10.3.7.5. Pengurangan Berkala Subsidi Energi Secara Subsidi BBM akan dikurangi secara berkala, sehingga pada akhirnya harga BBM akan mengikuti harga pasar. Pengurangan subsidi BBM ini secara tidak langsung akan Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-109 mendorong berkembangnya produksi dan pemanfaatan energi baru dan terbarukan serta meningkatkan efisiensi konsumsi BBM. Langkah-langkah utama yang diakukan antara lain: (a) Perluasan pengendalian sistem distribusi BBM bersubsidi; (b) Peningkatan kualitas/mutu BBM dengan kandungan oktan yang lebih baik; (c) Perbaikan infrastruktur SPBU sesuai dengan kualitas BBM yang disediakan; dan (d) Pemantapan rumusan harga energi. 10.3.8. Peningkatan Nilai Tambah Industri Mineral dan Pertambangan Berkelanjutan Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan sekaligus meningkatkan daya saing produk tambang, arah kebijakan yang ditempuh adalah: 1. Meningkatkan Keterpaduan Pengembangan Industri. Strategi yang perlu dilakukan adalah: a. Menentukan produk tambang strategis sebagai bahan baku yang akan diolah menjadi barang setengah jadi atau barang jadi yang mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi; b. Menyempurnakan pola Domestic Market Obligation (DMO) dan membatasi ekspor produk tambang strategis guna menjamin kontinuitas pasokan bahan baku; dan c. Mengembangkan zonasi industri berbasis produk tambang strategis, melalui antara lain pengembangan wilayah pusat pertumbuhan industri dan kawasan peruntukan industri, pembangunan kawasan industri, dan X-110 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan pengembangan sentra industri kecil dan industri menengah. 2. Penerapan Insentif Fiskal dan Non-Fiskal, melalui: a. Menyusun rencana pembangunan smelter yang diselaraskan dengan potensi cadangan mineral dan ketersediaan infrastruktur pendukung; b. Menyiapkan dan menyediakan infrastruktur seperti jalan dan listrik untuk mendukung fasilitas smelter yang sudah beroperasi maupun yang akan dibangun; c. Melakukan verifikasi ketersediaan teknologi pengolahan dan pemurnian dan mengakuisisi teknologi baru yang dibutuhkan; d. Mengembangkan proyek percontohan pola kerjasama pemerintah dan swasta dalam membangun smelter, termasuk infrastruktur pendukungnya; dan e. Mengembangkan insentif keringanan bea keluar, tax allowance, dan skema pembayaran royalti bagi pengusahaan smelter yang terintegrasi dengan pengusahaan tambang. 3. Meningkatkan Kepastian Hukum Pengusahaan Pertambangan. Strategi yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kepastian hukum adalah: a. Menyempurnakan pengaturan peningkatan nilai tambah di dalam negeri dan peningkatan penerimaan negara melalui penyesuaian tarif iuran tetap dan iuran produksi; b. Meningkatkan koordinasi antar kementerian terkait dalam pembahasan isu-isu utama renegosiasi KK dan PKP2B; dan Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-111 c. Memfasilitasi dan mempercepat penyelesaian sengketa yang timbul dalam pengusahaan pertambangan. 4. Memperkuat Penanganan Rehabilitasi Pasca-tambang PETI dan Pengurangan dampak negatif akibat dari kegiatan pertambangan dilakukan untuk mencegah kerusakan lingkungan, baik air, tanah, maupun udara, yang berlebihan akibat kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya mineral dan pertambangan, dengan memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup. Dua hal utama yang menjadi fokus dalam pengurangan dampak ini adalah kegiatan penambangan tanpa izin (PETI) dan upaya rehabilitasi lingkungan pasca kegiatan penambangan. Strategi yang perlu dilakukan untuk memperkuat penanganan kedua hal tersebut adalah: a. Meningkatkan pembinaan upaya perlindungan lingkungan, keselamatan operasi, dan usaha penunjang bidang tambang; b. Mengembangkan mekanisme pelaksanaan prinsip-prinsip konservasi mineral dan batubara kepada pelaku usaha pertambangan; c. Meningkatkan rehabilitasi kawasan bekas tambang melalui penyempurnaan pengaturan dan mekanisme pelaksanaannya; dan d. Mengembangkan sistem monitoring dan koordinasi antar kementerian dan dengan pemerintah daerah untuk mengurangi kegiatan PETI. X-112 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan 10.3.9. Peningkatan Kualitas Lingkungan Hidup, Pengembangan Pola Produksi dan Konsumsi Berkelanjutan dan Pelestarian dan Pemanfaatan Keekonomian KEHATI Sesuai dengan Arahan dalam Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan/IBSAP 2003-2020 10.3.9.1. Meningkatkan kualitas lingkungan hidup a. Menerapkan IKLH sebagai ukuran kualitas lingkungan hidup nasional, melalui strategi (i) menjaga kualitas dan ketersediaan data dan informasi parameter yang dipergunakan di dalam IKLH; (ii) memantapkan metodologi analisis yang digunakan untuk penilaian; dan (iii) memantapkan aspek kriteria dan ukuran yang lebih komprehensif dan konsisten. b. Menerapkan pola konsumsi dan produksi berkelanjutan dengan peningkatan kebijakan standardisasi, teknologi dan produksi bersih dalam pengelolaan lingkungan hidup, melalui strategi: (i) menyediakan standar dan panduan teknologi ramah lingkungan, serta rekomendasi alih teknologi, dan pengembangan teknologi lokal; (ii) memberikan pelayanan registrasi produk dan kompetensi; (iii) meningkatkan jumlah/jenis kompetensi yang distandarkan untuk pelaksanaan pola produksi dan konsumsi berkelanjutan. c. Menguatkan data dan informasi lingkungan hidup yang berkualitas dan berkelanjutan, melalui strategi: (i) memperluas cakupan dan meningkatkan Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-113 frekuensi pemantauan kualitas lingkungan hidup, terutama udara, air, dan tanah; (ii) memperkuat sistem pemantauan kualitas lingkungan hidup yang terpadu baik pusat dan daerah, maupun antar sektor; (iii) memantapkan sistem informasi lingkungan hidup; (iv) memantapkan database pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. 10.3.9.2. Mengendalikan pencemaran kerusakan lingkungan hidup dan a. Mengendalikan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, melalui strategi: (i) memperluas kriteria program Adipura yang komprehensif (matra air, udara, lahan, sampah, kelembagaan, dan kapasitas SDM); (ii) memperluas cakupan program Proper yang mengarah pada industri yang lebih ramah lingkungan; (iii) mengembangkan dan mengimplementasikan skema insentif dan disinsentif. b. Mengelola limbah dan bahan B3, melalui strategi: (i) menerapkan standar/aturan mengenai limbah dan bahan B3; (ii) memperkuat pengawasan limbah dan bahan B3. c. Melakukan upaya pemulihan pada kawasan yang sudah dalam kondisi kritis (terdegradasi/tercemar) yang terlantar secara terkoordinasi, melalui strategi: (i) melakukan inventarisasi dan penilaian (assessment); (ii) secara terkoordinasi melakukan pemulihan kawasan bekas X-114 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan tambang, hutan/tutupan lahan, pesisir dan laut serta badan air yang terlantar. 10.3.9.3. Memperkuat Kapasitas Lingkungan Hidup: Pengelolaan a. Membina dan meningkatkan kapasitas SDM lingkungan hidup, melalui strategi: (i) mengembangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), termasuk di dalamnya jabatan fungsional pengawasan lingkungan hidup (PPLH); dan (ii) memberikan pembinaan dan pelatihan kepada PPNS dan PPLH secara berkesinambungan. b. Meningkatkan kepastian hukum lingkungan, melalui strategi: (i) menyelesaikan peraturan pelaksanaan turunan dari UU No. 32/2009 tentang PPLH; (ii) meningkatkan pelayanan penyelesaian kasus dan sengketa lingkungan hidup; dan (iii) meningkatkan kerjasama dengan instansi penegak hukum. 10.3.9.4. Pelestarian dan Pemanfaatan Keekonomian KEHATI sesuai dengan arah kebijakan dan strategi dalam Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan/IBSAP 2003-2020: a. Meningkatnya pemeliharaan dan pemanfaatan KEHATI sebagai modal dasar pembangunan berkelanjutan yang bisa dirasakan dampak dan manfaatnya oleh berbagai pihak, terutama masyarakat, melalui strategi: (i)kebijakan pemanfaatan teknologi ramah lingkungan; (ii) pemanfaatan Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-115 potensi KEHATI yang sudah terbukti; (iii) peningkatan hubungan antara industri dan hasil kajian penelitian lembaga riset Indonesia; dan (iv) kebijakan yang mendukung keunggulan komparatif industri hilir (nilai tambah); industri berbasis bioresource (energi, farmasi, kesehatan, kosmetik, pangan, dan biomaterial). b. Membaiknya upaya pelestarian fungsi KEHATI yang tercermin oleh terjaganya daya dukung lingkungan dan kemampuan pemulihan (restorasi), melalui strategi: (i) peningkatkan kualitas dan kuantitas biodiversitas dengan melakukan perlindungan spesies, ekosistem, dan genetik; (ii) pengembangan dan penerapan kebijakan pelestarian keanekaragaman hayati baik secara in-situ maupun eks-situ; dan (iii) penangkaran flora dan fauna yang terancam punah untuk pelestarian flora dan fauna di habitat alaminya, serta memenuhi permintaan pasar. c. Mantapnya kelembagaan dan kapasitas penataan ruang, sertameningkatnya kesadaran, sikap mental, dan perilaku masyarakat dalam mendukung implementasi pengelolaan KEHATI, melalui strategi : (i) dukungan pendanaan pengembangan riset, data base, & tenaga ahli; (ii) penelitian mendasar pemanfaatan & pengelolaan KEHATI, serta pengembangan IPTEK &inovasi teknologi terapan yg tepat (termasuk local wisdom) secara X-116 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan terintegrasi; (iii) valuasi KEHATI terkait kontribusinya terhadap pembangunan; (iv) kerjasama pemerintah, swasta, masyarakat & institusi penelitian dalam pengembangan bio-basedeconomy; dan (v) implementasi konvensi melalui perencanaan, manajemen pengetahuan, dan capacity building. d. Meningkanya kualitas SDM, serta dukungan politik, regulasi, dan anggaran dalam pengelolaan KEHATI melalui pengarusutamaan isu KEHATI pada setiap tataran kelembagaan dan masyarakat, melalui strategi : gerakan penyadaran pentingnya bioresources dan biodiversitas dalam sektor pangan, bioenergi, obat‐obatan dan jasa lingkungan. 10.3.10. Penanganan Perubahan Iklim dan Peningkatan Kualitas Informasi Iklim dan Kebencanaan 1. Melaksanakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, melalui strategi: (a) melaksanakan kegiatan yang secara langsung dan tidak langsung mengurangi/menurunkan emisi GRK; (b) melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan RAN-GRK dan RAD-GRK; (c) melaksanakan inventarisasi GRK yang berkesinambungan setiap tahunnya melalui SIGN Center; (d) menerapkan sistem MRV di setiap bidang; (e) menyempurnakan indeks kerentanan dan indikator adaptasi. 2. Meningkatkan jangkauan layanan, kecepatan penyampaian dan analisis, serta akurasi informasi peringatan dini, melalui strategi: (a) menambah kerapatan jaringan peralatan peringatan dini, seperti Automatic Rain Gauge (ARG), Automatic Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-117 Weather Station (AWS), Agroclimate Automatic Weather Station (AAWS), dan sensor gempa; (b) meningkatkan kapasitas sumber daya manusia/forecaster; (c) mengembangkan sarana/media komunikasi/diseminasi informasi peringatan dini; (d) melakukan perawatan dan kalibrasi peralatan secara rutin; dan (e) meningkatkan koordinasi dan sinergisitas layanan peringatan dini gempa bumi dan tsunami dengan instansi terkait, seperti BPPT dan BNPB/BPBD. 3. Menyediakan dan memperkuat akurasi data dan informasi pendukung penanganan perubahan iklim yang berkesinambungan, melalui strategi: (a) membuat dan menyempurnakan pemodelan proyeksi perubahan iklim; (b) menyediakan dan memperkuat akurasi informasi untuk mendukung upaya ketahanan pangan (pertanian dan perikanan) dan ketahanan energi. 4. Meningkatkan kecepatan dan akurasi data dan informasi MKG yang mudah diakses dan berkesinambungan, melalui strategi: (a) meningkatkan kualitas data dan informasi dengan mengganti peralatan analog menjadi peralatan otomasi/digital; (b) meningkatkan akurasi dan kecepatan penyampaian informasi yang mendukung kelancaran dan keselamatan penerbangan dan maritim; (c) memperkuat database MKG yang terintegrasi dan memperluas jaringan diseminasi informasi MKG; (d) peningkatan kapasitas sumber daya manusia pengelola data dan informasi MKG; dan (e) menyediakan dan meningkatkan akurasi data dan informasi pendukung pemantauan kualitas udara ambien, sesuai dengan standar parameter yang ditentukan. X-118 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan 10.4. Kerangka Pendanaan 10.4.1. Pengamanan Produksi Untuk Kemandirian dan Diversifikasi Konsumsi Pangan Pendanaan pembangunan dalam mendukung peningkatan pasokan pangan dan diversifikasi konsumsi akan bersumber pemerintah(APBN dan APBD), swasta, dan masyarakat. Sumber pendanaan APBN difokuskan pada beberapa kegiatan yang sesuai dengan fungsi publik yaitu penyediaan infrastruktur pertanian dan perdesaan seperti irigasi dan jalan usaha tani, penelitian dan pengembangan, penguatan sistem perbenihan dan penyuluhan dan pendataan petani sertasubsidi pertanian. Pendanaan dari APBD akan diarahkan kepada kegiatan pendukung di tingkat daerah, seperti infrastruktur (irigasi tersier dan jalan usahatani), penyuluhan, dan pengawalan produksi. Di luar APBN/APBD, pendanaan dari BUMN/BUMD dan swasta seperti perusahaan dan kredit perbankan untuk mendukung budidaya maupun usaha pengolahan pangan. 10.4.2. Pengembangan Agribisnis, Pertanian Berkelanjutan dan Kesejahteraan Petani Upaya pengembangan agribisnis, pertanian berkelanjutan dan kesejahteraan petani akan menjadi tanggungjawab para pihak khususnya Pemerintah, dan dunia swasta. Khususnya untuk pengembangan daya saing dan nilai tambah komoditas pertanian, pihak swasta akan lebih banyak berperan baik di hulu ataupun hilir untuk pengembangan komoditaskomoditas khususnya perkebunan yang memiliki daya saing ekspor. Sementara untuk pengembangan hortikultura akan diarahkan untuk mengurangi impor hortikultura, maka peran Pemerintah masih akan besar berupa Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-119 pemberian insentif bagi pengembangan komoditikomoditi hortikultura unggulan seperti nenas, manggis, salak yang sudah mulai mendapat tempat di pasaran ekspor. Pemberian kredit dan insentif pajak masih diperlukan untuk pengembangan berbagai komoditi yang sebetulnya memiliki daya saing yang masih potensial untuk dikembangkan. Pemberian kredit dan bantuan lainnya penting mengingat masih diperlukannya anggaran yang besar khususunya untuk peremajaan tanaman-tanaman perkebunan yang menjadi kunci daya saing peningkatan. 10.4.3. Peningkatan Produksi dan Nilai Tambah Perikanan Serta Kesejahteraan Nelayan dan Pembudidaya Ikan Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam dan luar negeri terhadap produk perikanan, diperlukan upaya peningkatan produksi dan memelihara keberlanjutan dari sumberdaya perikanan melalui penerapan konsep sustainable fisheries. Selain itu dilakukan pula pengawalan, promosi dan penyediaan infratruktur untuk meningkatkan daya saing produk dan peningkatan ekspor. Dukungan Iptek dan SDM untuk mengawalan usaha perikanan dan peningkatan daya saing juga sangat diperlukan. Kesemuanya ini memerlukan investasi pemerintah berupa APBN/APBD. Selain itu, upaya perlindungan, penguatan kelembagaan nelayan dan pembudidaya ikan masih tetap diperlukan dalam rangka memperkuat posisi nelayan dan pembudidaya sebagai produsen maupun pelaku usaha perikanan. Kegiatan ini diwadahi dalam program peningkatan kehidupan nelayan (PKN) yang akan diperluas sampai ke pulaupulau kecil. Untuk pembangunan usaha perikanan, baik untuk pengolahan maupun budidaya perikanan dan penangkapan ikan dilakukan oleh X-120 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan swasta/masyarakat. Selain itu, pendanaan dari BUMN/BUMD dan swasta seperti perusahaan dan perbankan melalui CSR ataupun skema tertentu sangat dibutuhkan dalam mendukung pembangunan perikanan. 10.4.4. Peningkatan Tata Kelola Laut, Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Serta Pengembangan Ekonomi Kelautan Berkelanjutan Pembangunan kelautan dalam Bidang SDA dan LH dilaksanakan melalui peningkatan tata kelola sumber daya kelautan dengan melakukan pengaturan wilayah dan zonasi untuk kegiatan pembangunan sebagaimana yang dilaksanakan di wilayah daratan, dan pembakuan nama pulau. Selain itu, dilakukan pula upaya konservasi, rehabilitasi kawasan yang rusak serta pengendalian dan pengawasan pemanfaatan sumber daya kelautan, termasuk IUU fishing. 10.4.5. Peningkatan Produksi Hasil Pengembangan Jasa Lingkungan Hutan dan 10.4.5.1. Pengembangan KPH Produksi dan Produk Kayu Upaya peningkatan daya saing produksi hutan perlu didukung dengan sumber pendanaan dari APBN, APBD dan dana masyarakat. Pendanaan APBN dimanfaatkan untuk fasilitasi pengembangan KPHP serta investasi yang bersifat initial capital, untuk mendorong pemerintah daerah berperan aktif sesuai kewenangannya dalam pembangunan dan pengelolaan KPHP. Diharapkan KPHP pada tahap selanjutnya dapat menjadi unit bisnis daerah yang mampu meningkatkan PAD. Di samping itu, sumber pendanaan diharapkan Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-121 juga dari pihak swasta, melalui pola Public Private Partnership dengan KPH. Untuk menunjang pengembangan KPH Produksi dan Produk Kayu maka akan dilakukan kegiatan sebagai berikut : 1. Pembentukan KPHP; 2. Peningkatan hasil hutan kayu dari hutan tanaman (HTI, HTR), hutan alam dan hutan desa (HD) dengan mengembangkan pola kerja sama antara pemerintah dan swasta (public private partnership/PPP). Pola kerja sama ini dilakukan melalui KPHP yang telah terbangun; 3. Peningkatan pemanfaatan lahan kritis pada kawasan hutan produksi yang belum dibebani izin dilakukan melalui regenerasi tanaman dan reboisasi; 4. Penyediaan sarana prasarana perlindungan dan pengamanan KPHP. 10.4.5.2. Pengembangan KPH Lindung dan Hasil Hutan Bukan Kayu Untuk mempertahankan fungsi hutan lindung sebagai penyangga kehidupan maka pemerintah pusat dan daerah akan mengalokasikan anggarannya melalui APBN dan APBD. Selain itu, pendanaan dari APBN melalui dana transfer dari pusat ke daerah berupa Dana Alokasi Khusus (DAK) dapat menjadi sumber pendanaan. Selain itu potensi pendanaan melalui kerjasama kemitraan dapat menjadi alternatif. Untuk menunjang pengembangan KPH Lindung dan hasil hutan bukan kayu maka akan dilakukan kegiatan sebagai berikut : X-122 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan 1. Pembentukan KPHL; 2. Pembentukan kemitraan dalam pengelolaan KPHL dalam bentuk HKm, HD; 3. Pengembangan HR; 4. Peningkatan HHBK (madu, rotan, damar, sutra, getah, minyak atsiri, minyak kayu putih); 5. Peningkatan ekowisata; 6. Pengembangan jasa air baku; 7. Rehabilitasi KPHL; 8. Perlindungan dan pengamanan KPHL. 10.4.6. Peningkatan Konservasi dan Tata Kelola Hutan Serta Pengelolaan DAS 10.4.6.1. Peningkatan Kinerja Tata Kelola Kehutanan Pendanaan yang bersumber pada APBN menjadi prioritas dalam perbaikan tata kelola untuk pembangunan hutan berkelanjutan. Dukungan APBD diperlukan untuk menjembatani proses yang dilakukan di pusat sesuai dengan di daerah, juga untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Kemitraan dengan dunia usaha swasta dan kelompok masyarakat juga merupakan salah satu sumber pendanaan untuk meningkatkan kinerja tata kelola kehutanan. Untuk meningkatkan kinerja tata kelola kehutanan maka akan dilakukan kegiatan sebagai berikut : 1. Inventarisasi sumber daya hutan di seluruh kawasan hutan, meliputi kegiatan inventory sumber daya hutan Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-123 kayu, bukan kayu, tanaman, satwa dan keanekaragaman hayati; 2. Penyelesaian tata batas, meliputi penyelesaian tata batas kawasan hutan dengan non kawasan hutan serta tata batas fungsi kawasan hutan; 3. Pemetaan dan penetapan KPH merupakan langkah berikut dari inventarisasi dan penataan batas kawasan hutan sehingga semua kawasan hutan merupakan bagian dari unit KPH; 4. Pengendalian kebakaran hutan, yang dijabarkan menjadi beberapa kegiatan berikut: a. Menurunkan jumlah hotspots pada kawasan hutan di Pulau Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi menurun dari toleransi maksimum tahun 2014 (17.820 hotspots) menjadi 16.038 hotspots; b. Menurunkan luas Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam yang terbakar di Pulau Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi menurun dari toleransi maksimal tahun 2014 (3.861,3 Ha) menjadi 3.475,2 Ha; c. Meningkatkan kapasitas SDM Pengendalian Kebakaran Hutan sejumlah 3.000 orang; d. Membentuk Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan pada Kesatuan Pemangkuan Hutan di Pulau Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi sebanyak 100 Brigade. X-124 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan 5. Peningkatan pengamanan dan penyidikan kasus terkait dengan kehutanan, yang diturunkan menjadi beberapa kegiatan sebagai berikut: a. Menyelesaikan Penanganan Perkara Tindak Pidana Kehutanan minimal 75 kasus per tahun; b. Melakukan Pengamanan dan Penindakan terhadap gangguan dan ancaman bidang Kehutanan Terlaksana di 70 Lokasi pada UPT PHKA; c. Memenuhi standar minimum sarana dan prasarana pengamanan hutan di 88 Lokasi pada UPT PHKA dan Brigade SPORC; d. Meningkatkan kapasitas sumber daya manusia di bidang pengamanan hutan sebesar 10.000 orang; e. Penelitian dan pengembangan kehutanan; f. Peningkatan SDM kehutanan. 10.4.6.2. Peningkatan Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Untuk mencapai target-target Badan Litbang Kehutanan yang tertuang dalam RPJMN 2015-2019, sumber pendanaan utama diperoleh dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selain itu, untuk mengatasi keterbatasan pendanaan, maka dirasakan perlu untuk mendapatkan pendanaan dari sumber lainnya seperti lembaga swadaya masyarakat dan kerjasama dengan mitra internasional. Dalam rangka menampung dan Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-125 mengkoordinasikan dana-dana yang berasal dari non-APBN tersebut, maka akan dibentuk trust fund di bidang konservasi kehutanan. Dengan adanya mekanisme pendanaan ini maka diharapkan upaya konservasi dapat diwujudkan dengan mengelola secara baik dan terintegrasi dana-dana konservasi, baik yang berasal dari lembaga internasional maupun dalam negeri serta menyalurkan secara bijak kepada pengelola kawasan konservasi. Untuk mencapai meningkatnya kinerja konservasi dan keanekaragaman hayati maka akan dilakukan kegiatan sebagai berikut : 1. Pengelolaan kawasan konservasi dan pengembangan kawasan ekosistem essensial, yang dijabarkan menjadi beberapa kegiatan yaitu: a. Menjamin beroperasinya 50 unit KPHK pada kawasan konservasi non Taman Nasional; b. Menyusun 150 Rencana Pengelolaan di Kawasan Konservasi; c. Menjamin keberadaan kawasan ekosistem esensial pada 16 lokasi; d. Melakukan pemulihan ekosistem kawasan konservasi yang terdegradasi seluas 250.000 hektar. 2. Konservasi keanekaragaman hayati sumber daya hutan, dengan beberapa kegiatan turunan yaitu: X-126 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan a. Meningkatkan populasi 25 spesies terancam punah (menurut Redlist IUCN) sebesar 10% sesuai data tahun dasar 2013; b. Mendorong sertifikasi 60 unit penangkaran dalam rangka melakukan peredaran luar negeri; c. Meningkatkan nilai ekspor pemanfaatan tanaman satwa liar dan bioprospecting sebesar Rp 25 trilliyun, d. Meningkatkan nilai PNBP dari pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar sebesar 50 milliar; e. Menjamin jumlah jenis satwa liar yang dikembangbiakkan di lembaga konservasi bertambah 10 jenis dari database 2013. 3. Pemanfaatan jasa lingkungan kawasan konservasi termasuk KPHK, yang dapat dirinci menjadi kegiatan-kegiatan: a. Meningkatkan pengusahaan pariwisata alam sebesar 100 unit dari tahun 2013; b. Menjamin usaha lingkungan air sebanyak 25 perusahaan; c. Mendapatkan registrasi dan sertifikasi Voluntary Carbon Standard (VCS) dan/atau Climate Community and Biodiversity Alliance (CCBA) REDD+ pada 2 kawasan konservasi; d. Membentuk Kader Konservasi (KK), Kelompok Pecinta Alam (KPA), Kelompok Swadaya Masyarakat/ Kelompok Profesi Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-127 (KSM/KP) yang aktif sejumlah 6.000 kader; e. Meningkatkan kontribusi PNBP dari pengusahaan jasa lingkungan mencapai Rp 1 Triliun. 10.4.6.3. Peningkatan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Program yang bertujuan untuk mempertahankan dan mengembalikan kondisi DAS dibutuhkan investasi yang tidak sedikit. Peraturan penggunaan dana reboisasi yang tertuang dalam PP 35 tahun 2002 perlu disempurnakan sehingga penggunaan dana tidak hanya terbatas pada penanaman saja, tetapi juga penggunaan lebih luas yang mendukung upaya memulihkan kekritisan DAS. Sumberdana APBN difokuskan pada rehabilitasi lahan kritis di daerah kawasan, penanganan dan revitalisasi DAS dan penyelesaian status DAS nasional, penyusunan pedoman pengelolaann DAS serta pembangunan infrastruktur sumber daya air yang selaras dengan ekosistem DAS. APBD akan digunakan untuk rehabilitasi lahan kritis di luar kawasan serta penguatan kelembagaan di daerah serta pemberdayaan masyarakat. Untuk mencapai peningkatan pengelolaan DAS maka akan dilakukan kegiatan sebagai berikut : 1. 2. 3. X-128 Penyusunan RPDAS Terpadu; Pemulihan DAS kritis; Peningkatan kelembagaan. Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan 10.4.7. Penguatan Pasokan, Konsumsi Energi Bauran dan Efisiensi Pendanaan dalam rangka penguatan ketahanan energi dapat bersumber dari APBN, APBD maupun Badan Usaha baik milik pemerintah maupun swasta. Untuk mendukung strategi peningkatan pasokan energi primer, pemerintah dapat membiayai pelaksanaan survei umum, promosi dan penyiapan wilayah kerja baru, dan monitoring dan evaluasi kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, sedangkan pembiayaan swasta meliputi pelaksanaan eksplorasi dan eksploitasi serta pelaksanaan pilot project gas unconventional(shale gas dan CBM). Dalam rangka penyediaan sarana dan prasarana energi, pembiayaan pemerintah mencakup pelaksanaan pra-studi kelayakan, pengadaan lahan, penyiapan dan pelaksanaan tender, pembangunan jaringan prasarana migas, serta monitoring dan evaluasi pembangunan. Di lain pihak, pembiayaan swasta diarahkan pada pembangunan, pengoperasian, dan pemeliharaan sarana dan prasarana energi (kilang, FSRU, regasifikasi, SPBG). Untuk mengoptimalkan pemanfaatan bahan bakar nabati, pemerintah memberikan subsidi terhadap bahan bakar nabati serta membiayai pelaksanaan monitoring dan evaluasi produksi/pemanfaatan BBN sedangkan pembangunan, pengoperasian, dan pemeliharaan kapasitas produksi melalui pembiayaan swasta. Untuk mendorong penggunaan energi yang lebih efisien, pembiayaan pemerintah meliputi pembinaan dan pengawasan konservasi energi dan layanan audit energi sedangkan investasi alih tehnologi yang ramah lingkungan dan efisiensi energi merupakan pembiayaan swasta. Dalam rangka meningkatkan bauran energi baru dan terbarukan pembiayaan pemerintah mencakup studi pendahuluan potensi Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-129 energi baru dan terbarukan, pembinaan dan pengawasan pemanfaatan energi baru dan terbarukan, serta bantuan PLTS, PLTMH, biogas, dan DME. Di lain pihak, pembangunan, pengoperasian, dan pemeliharaan pembangkit energi terbarukan tersebut dilakukan dengan pembiayaan swasta. Strategi pengurangan subsidi energi secara berkala dilaksanakan melalui pembiayaan pemerintah untuk pemberian subsidi energi, pengawasan distribusi BBM bersubsidi, pengembangan teknologi informasi, serta monitoring dan evaluasi pelaksanaannya, sedangkan pembiayaan swasta diarahkan untuk menyalurkan BBM, BBN, dan LPG. 10.4.8. Peningkatan Nilai Tambah Industri Mineral dan Pertambangan Berkelanjutan Pendanaan dalam rangka peningkatan daya saing untuk komoditas mineral dan tambang dapat bersumber dari APBN, APBD, CSR, dan Badan Usaha. Pendanaan dari APBN/APBD dapat membiayai kegiatan-kegiatan antara lain koordinasi dan sinkronisasi lintas sektor, fasilitasi pembangunan industri pengolahan dan pemurnian, penyediaan infrastruktur pendukung seperti listrik, jalan, transportasi laut, serta monitoring dan evaluasi. Sementara, badan usaha baik melalui dana CSR maupun dana investasinya diharapkan dapat mendukung dan atau membangun industri pengolahan dan pemurnian beserta fasilitas pendukungnya. X-130 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan 10.4.9. Peningkatan Kualitas Lingkungan Hidup, Pengembangan Pola Produksi dan Konsumsi Berkelanjutan dan Pelestarian dan Pemanfaatan Keekonomian KEHATI Sesuai dengan Arahan dalam Indonesia Biodiversity Strategy And Action Plan/IBSAP 2003-2020 10.4.9.1. Kerangka Pendanaan untuk Perbaikan Kualitas Lingkungan Hidup Kerangka pendanaan untuk perbaikan kualitas lingkungan hidup bersumber dari pendanaan pemerintah pusat (APBN), baik yang bersumber dari dana Rupiah Murni maupun pendanaan hibah internasional (bilateral dan multilateral). Total anggaran pemerintah pusat untuk perbaikan kualitas lingkungan hidup periode 2015-2019 adalah sebesar Rp4,4 Triliun. 10.4.9.2. Kerangka Pendanaan untuk Pelestarian dan Pemanfaatan Keekonomian KEHATI Kerangka pendanaan untuk pelestarian dan pemanfaatan keekonomian KEHATIbersumber dari pendanaan pemerintah pusat (APBN) dan APBD, baik yang bersumber dari dana Rupiah Murni maupun pendanaan hibah internasional (bilateral dan multilateral). Pendanaan ini salah satunya merupakan stimulus untuk mobilisasi pendanaan (resources mobilization)dari multiplier effect dari danaswasta serta pemanfaatan dan pengembangan keekonomian KEHATI dan jasa lingkungan. Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-131 10.4.10. Penanganan Perubahan Iklim dan Peningkatan Kualitas Informasi Iklim dan Kebencanaan Kerangka pendanaan untuk pengembangan dan pembinaan meteorologi, klimatologi dan geofisika bersumber dari pendanaan pemerintah (APBN) dan sumber-sumber dana lain baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang tidak mengikat. Total anggaran pemerintah pusat untuk pengelolaan data dan informasi meteorologi, klimatologi dan geofisika periode 2015-2019 adalah sebesar Rp9,1 Triliun. Untuk peningkatan usaha pengumpulan dana untuk Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF), perlu disempurnakan Perpres terkait Dana Perwalian Nasional yang mengatur tentang: (1) sumber pendanaan; dan (2) mekanisme penyaluran pendanaan. 10.5. Kerangka Regulasi dan Kerangka Kelembagaan 10.5.1. Pengamanan Produksi untuk Kemandirian dan Diversifikasi Konsumsi Pangan Kerangka Regulasi Dalam mendukung penguatan pasokan pangan dan diversifikasi konsumsi, maka terdapat regulasi yang akan didorong dalam lima tahun ke depan, yaitu: 1. Melengkapi peraturan turunan dari UU No. 18/2012, terutama berkaitan pembentukan lembaga otoritas pangan. Sesuai dengan UU No. 18/2012 Tentang Pangandiperlukan adanya suatu lembaga/otoritas pangan yang memiliki wewenang dalam perencanaan, dan juga implementasi kebijakan pangan baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. X-132 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan 2. Peraturan Menteri Pertanian yang mengatur detail implementasi asuransi pertanian yang juga dapat menjadi payung hukum bagi Pemda untuk dapat berpartisipasi dalam skema pendanaan asuransi pertanian. Sesuai Undang-undang No. 19/2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, asuransi pertanian merupakan salah satu instrumen penting yang diamanatkan dalam rangka peningkatan produktivitas tanaman pangan (padi) dan perlindungan terhadap usaha tani. Permentan yang mengatur hal ini diperlukan sehinggaprogram asuransi pertanian dapat dijalankan baik dalam bentuk pilot project ataupun program yang sifatnya massal. Peraturan ini perlu didukung oleh peraturan di bidang perbankan dan lembaga keuangan. Kerangka Kelembagaan 1. Pembentukan otoritas pangan yang merupakan amanat UU No. 18/2012. Lembaga ini merupakan lembaga yang independen dari Kementerian Pertanian yang lebih memiliki tuksi di bidang produksi pangan dan pertanian. Lembaga ini sekaligus akan mengkoordinasikan ketahanan pangan, dan otoritas berada di bawah presiden sertadiharapkan dapat memiliki fungsi koordinasi secara vertikal dan horizontal. 2. Peningkatan koordinasi antar lembaga, terutama dalam mengintegrasikan: (a) pengamanan lahan irigasi teknis; (b) sinergi terpadu pengelolaan jaringan irigasi teknis primer-sekunder-tersier dan kwarter, antara Kementerian PU-Pemda Provinsi-Pemda Kabutapen/Kota-Kementerian Pertanian. Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-133 3. Peningkatan koordinasi dan sinergi untuk pola konsumsi yang seimbang dan kualitas nutrisi/gizi. 10.5.2. Pengembangan Agribisnis, Pertanian Berkelanjutan dan Kesejahteraan Petani Kerangka regulasi Dalam rangka peningkatan nilai tambah dan daya saing produk-produk pertanian, diperlukan Permentan yang mengatur tentang ketertelusuran (traceability) untuk komoditi-komoditi ekspor dan impor. Melalui ketertelusuran ini, maka diharapkan dapat menjamin keamanan, syarat kesehatan, serta praktek-praktek pertanian yang baik (GAP) untuk komoditi-komoditi tersebut. Selain itu, untuk penerapan ISPO perlu disusun instrumen pelaksanaan dan pengawasannya agar dapat dipertanggungjawabkan dan digunakan dalam diplomasi perdagangan internasional. Regulasi lain yang perlu ditinjau kembali adalah yang terkait dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) khususnya untuk produk-produk yang berorientasi ekspor, serta ketentuan bea masuk untuk produkproduk impor. Dengan telaahan tersebut, maka penerapan PPN dan juga bea masuk akan disesuaikan dengan jenis komoditas yang akan dikembangkan oleh Pemerintah. Penerapan PPN dan bea masuk yang lebih fair adalah salah satu bentuk pemihakan Pemerintah terhadap upaya peningkatan nilai tambah dan daya saing, serta untuk melindungi industri kecil dan menengah yang mengandalkan bahan baku komoditas pertanian. Selain itu, diperlukan juga peta jalan (road map) untuk percepatan dan penguatan industri berbasis komoditas unggulan khususnya untuk komoditasX-134 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan komoditas yang termasuk ke dalam andalan ekspor (kelapa sawit, kakao, dan karet), serta yang komoditas yang termasuk potensial ekspor. Melalui peta jalan ini, diharapkan kontribusi para pemangku kepentingan akan lebih terarah dan target-target yang ditetapkan dapat tercapai. Kerangka Kelembagaan Peningkatan daya saing dan nilai tambah komoditas pertanian memerlukan pengaturan kelembagaan (institutional arrangement) baik di sisi hulu maupun di sisi hilir. Pada aspek hulu, peran Kementerian Pertanian akan sangat dominan sebagai lembaga teknis yang membina aspek produksi. Sementara pada sisi hilir, peran kementerian/lembaga lain juga cukup penting khususnya Kementerian Perindustrian (terkait dengan peta jalan pengembangan industri agro industri nasional), Kementerian Keuangan untuk hal yang terkait dengan insentif fiskal seperti keringanan pajak dan bea masuk, serta Kementerian UMKM yang terkait dengan pembinaan dan pengembangan usaha kecil, mikro, dan menengah. Peran lembaga-lembaga non pemerintah khususnya KADIN dan asosiasi-asosiasi juga penting karena lembaga-lembaga tersebut yang umumnya langsung bersentuhan dengan faktafakta keseharian di lapangan sehingga banyak informasi yang diperoleh dari mereka yang menjadi input bagi para pengambil kebijakan di tingkat pusat. Penguatan hubungan antara pemerintahdunia usaha-organisasi masyarakat sipil (OMS) serta akademia semakin krusial mengingat upaya peningkatan nilai tambah dan daya saing ini bersifat lintas sektor serta memerlukan masukan yang simultan dari pemangku kepentingan terkait. Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-135 10.5.3. Peningkatan Produksi dan Nilai Tambah Perikanan Serta Kesejahteraan Nelayan dan Pembudidaya Ikan Kerangka Regulasi Kerangka regulasi yang diperlukan dalam pembangunan perikanan adalah berupa perlindungan terhadap pelaku usaha perikanan, meliputi: nelayan, pembudidaya ikan, pengolah/pemasar ikan, dan petambak garam, khususnya ketika dihadapkan pada kondisi bencana alam. Hal ini dilakukan dalam rangka melindungi kelompok masyarakat perikanan yang kehidupannya rentan terhadap kemiskinan dan sangat bergantung pada sumber daya alam. Hal ini juga diharapkan dapat melengkapi dan menyempurnakan UU No. 19/2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, dengan memasukkan nelayan, pembudidaya ikan, pengolah/pemasar ikan, dan petambak garam. Selanjutnya, skema kredit seperti kredit ketahanan pangan dan energi di bidang kelautan dan perikanan juga perlu disempurnakan untuk memperluas akses bantuan modal, khususnya bagi pelaku usaha perikanan yang memiliki keterbatasan materi yang bisa diagunkan. Implementasi penyaluran kredit bagi kelompok masyarakat pelaku usaha perikanan perlu diperluas lagi cakupannya guna memberikan hasil yang optimal dalam mengentaskan kemiskinan masyarakat pesisir. Sementara itu, permasalahan distribusi ikan dari sentra produksi yang terletak di wilayah timur ke sentra-sentra pengolahan dan pemasaran di wilayah baratNKRI belum optimal dan kurang terpadu serta fluktuasi harga yang signifikan saat musim panen serta paceklik. Pengembangan sistem logistik ikan nasional (SLIN) X-136 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan yang juga merupakan amanat Perpres No. 26/2012 tentang cetak biru sistem logistik nasional diaktualisasikan sebagai salah satu upaya untuk mendukung ketahanan pangan nasional. SLIN diharapkan dapat memberikan jaminan terhadap ketersediaan, stabilitas harga, ketahanan pangan serta mendorong pertumbuhan industri pengolahan dan pertumbuhan ekonomi masyarakat yang pada gilirannya akan membawa multiplier effect bagi nelayan. Selain itu, beberapa regulasi yang diperlukan adalah: (1) Penetapan usaha perikanan di WPP (RPP); (2) Penataan perizinan usaha penangkapan ikan di pusat dan daerah; (3) Penetapan lahan irigasi teknis untuk tambak; (4) Sinkronisasi Tata Ruang Lintas Sektor untuk pengembangan perikanan budidaya; (5) Tata Ruang Pesisir untuk marikultur; (6) Penurunan tarif impor bahan baku pakan; (7) Peraturan tentang subsidi BBM, pakan, dan benih; (8) penguatan regulasi terkait pengembangan sentra perikanan; dan (9) insentif untuk ekspor produk olahan untuk mengurangi kecenderungan ekspor bahan mentah. Kerangka Kelembagaan Perlunya dikembangkan kerangka kelembagaan dan skema kerjasama untuk mengelola wilayah penangkapan perikanan (WPP) yang berjumlah 11 WPP, mencakup semua perairan nusantara. Kerangka regulasi dan kelembagaan ini mencakup pelibatan segenap unsur pemangku kepentingan yang ada di setaiap WPP untuk bersama-sama bertanggungjawab dalam menyeimbangkan upaya pemanfaatan dan kelestarian sumberdaya ikan yang bersifat diluar batas adminstratifnya. Selain itu, diperlukan pembentukan kelembagaan pengelola SLIN, penguatan kelembagaan Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-137 Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP) di daerah, serta pengembangan kelembagaan penyuluh perikanan di daerah. 10.5.4. Peningkatan Tata Kelola Laut, Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta Pengembangan Ekonomi Kelautan Berkelanjutan Kerangka Regulasi Penataan ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah diatur dalam Undang-Undang, yakni UU No. 26/2007 Tentang Penataan Ruang, khususnya di wilayah darat Provinsi dan kabupaten/kota di pulau-pulau besar, dan UU No. 1/2014 Tentang perubahan atas 27/2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Namun demikian masih terdapat kekosongan hukum dalam pengaturan tata ruang kelola laut, khususnya di kolom perairan laut di luar 12 mil hingga kolom perairan laut di atas landas kontinen di luar Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia belum diatur. Kerangka Kelembagaan Diperlukan penguatan kelembagaan dalam melaksanakan koordinasi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kelautan, termasuk penguatan Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) dalam akselerasi penyusunan Rencana Zonasi wilayah pesisir dan laut. X-138 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan 10.5.5. Peningkatan Produksi Hasil Pengembangan Jasa Lingkungan Hutan dan 10.5.5.1. Pengembangan KPH Lindung dan Hasil Hutan Bukan Kayu Kerangka Regulasi Dalam upaya meningkatkan daya saing hasil hutan kayu maka diperlukan revisi Permendag No. 44/M-DAG/PER/7/2012 Tentang Barang Dilarang Ekspor. Pada permen tersebut terdapat larangan untuk mengekspor kayu bulat. Sementara itu, beberapa komoditas kayu tertentu memiliki value yang tinggi serta memiliki daya saing tinggi dalam perdagangan kayu bulat global. Larangan tersebut menurunkan value kayu serta menurunkan investasi pada kawasan hutan produksi. Revisi diperlukan untuk membuka ekspor kayu bulat namun dengan ketentuan tertentu yang ketat antara lain jenis kayu bulat yang dapat diekspor, kuota ekspor kayu bulat, kriteria perusahaan yang mendapatkan izin untuk melakukan penebangan bagi keperluan ekspor serta kriteria perusahaan yang diperbolehkan melakukan ekspor. Produksi hasil hutan kayu melalui KPHP diharapkan meningkat dengan dukungan regulasi yang terkait dengan pengaturan kerja sama pemerintah dan swasta dalam pengelolaan KPH melalui pola Public Private Partnership yang diatur minimal melalui Peraturan Presiden. Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-139 Kerangka Kelembagaan Bentuk konkrit kelembagaan yang dibutuhkan untuk peningkatan daya saing kehutanan adalah pemisahan fungsi regulator dan pelaksana (operator) di tingkat tapak. Pelaksana pemanfaatan produksi difokuskan pada terbentuknya dan beroperasinya kelembagaan KPHP sebanyak 347 unit. Hal ini sesuai dengan jiwa pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah (provinsi, dan kabupaten/kota) yang memungkinkan pemerintah daerah memanfaatkan sumber daya hutan seoptimal mungkin dan secara lestari sesuai Rencana Kehutanan Tingkat Nasional melalui operator yang merupakan unit pelayanan teknis daerah (UPTD) dan/atau badan layanan umum daerah (BLUD). 10.5.5.2. Pengembangan KPH Lindung Dan Hasil Hutan Bukan Kayu Kerangka Regulasi Akses masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan di sekitar hutan masih rendah sejalan dengan rendahnya proporsi perhutanan sosial dalam pemanfaatan kawasan hutan, baik di hutan produksi maupun hutan lindung. Salah satu kendala yang dirasakan adalah rumitnya perizinan yang sulit diikuti oleh komunitas masyarakat tanpa pendampingan serta panjangnya jalur birokrasi hingga ke Pemerintah Pusat. X-140 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan Untuk itu diperlukan revisi Peraturan Menteri Kehutanan yang mempermudah proses perizinan untuk Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat, dan Hutan Desa serta mendelegasikan kewenangan tersebut kepada tingkat KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan). Permenhut No. P.49/MENHUT-II /2008 jo p.14/ MENHUT-II /2010 jo p.53/ MENHUT-II /2011 Tentang Hutan Desa, Permenhut No. P.37/ MENHUT-II /2007 jo P.18/MENHUT-II/2009 jo P.13/MENHUT-II/2010 Tentang Hutan Kemasyarakatan, Permenhut No. P.23/MENHUT-II/2007 jo P.5/ MENHUT-II/2008 jo P.55/MENHUTII/2011 jo P.31/MENHUT-II/2013 Tentang Tata Cara Permohonan Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman. Terkait dengan hutan adat perlu diterbitkannya peraturan yang memuat pengelolaan hutan oleh masyarakat hukum adat. Kerangka Kelembagaan Hutan lindung yang menjadi kewenangan pemerintah daerah pada umumnya kurang mendapat perhatian baik dari sisi pengurusannya, pengelolaannya hingga program maupun pendanaannya. Dengan mendorong Hutan Lindung menjadi KPHL diharapkan hutan lindung dapat dimanfaatkan secara optimal tanpa mengurangi fungsinya. Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-141 Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menurunkan tingkat kemiskinankhususnya di sekitar kawasan hutan, diperlukan penguatan kelembagaan masyarakat. Pembentukan kelompok tani hutan terutama di luar Pulau Jawa perlu ditingkatkan, sedangkan kelompok-kelompok yang sudah terbentuk perlu diperkuat melalui perkuatan kelembagaan, legalitas kelembagaan dan kemudahan akses terhadap permodalan. 10.5.6. Peningkatan Konservasi dan Tata Kelola Hutan SertaPengelolaan DAS 10.5.6.1. Peningkatan Kinerja Tata Kelola Kehutanan Kerangka Regulasi Perbaikan tata kelola hutan mengindikasikan perlunya revisi PP No. 6/2007 jo PP No. 3/2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, PP No. 44/2004 tentang Perencanaan Hutan, Permenhut P.44/2012 dan Permenhut P.47/2010 Revisi PP No. 44/2004 tentang Perencanaan Hutan, Permenhut P.44/2012 dan Permenhut P.47/2010. Terkait peraturan tersebut, perlu dilakukan penyempurnaan aturan pengukuhan kawasan hutan yang secara subtansi menjamin kepastian hukum atas status, letak, batas dan luas kawasan hutan, melindungi hak masyarakat atas X-142 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan tanah dan sumber daya alam, transparan, partisipatif, dan bebas dari korupsi. Konflik di dalam kawasan hutan yang terjadi karena ketidakjelasan tata batas dan tenurial ataupun hal lainnya sering terjadi dalam pengelolaan hutan. Diperlukan Peraturan Menteri Kehutanan dalam penyelesaian sengketa/konflik tersebut antara lain melalui percepatan penyelesaian tata batas, percepatan penetapan kawasan hutan, dan penyediaan serta regularupdatedata dan informasi serta penyediaan peta kerja yang sama untuk semua provinsi, kabupaten, dan KPH. Revisi Peraturan Pemerintah No. 38/2007 tentang Pembagian Wewenang Pusat-Daerah Bidang Kehutanan. Penetapan kehutanan sebagai urusan pilihan menyebabkan pemerintah daerah tidak banyak memperhatikan pengelolaan sumber daya hutan dalam rangka pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pelestarian lingkungan. Kerangka Kelembagaan Pembentukan KPH merupakan upaya peningkatan kinerja pengurusan kawasan hutan agar memberikan manfaat kepada negara secara optimal. KPH dimaksudkan lebih kepada pemisahan peran regulator dan pelaksana di tingkat tapak sesuai dengan jiwa pembagian kewenangan antara Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-143 pemerintah pusat dan daerah. KPH juga memungkinkan pemerintah daerah memanfaatkan sumber daya hutan seoptimal mungkin melalui Unit Pengelola Teknis Daerah (UPTD) dan atau BLUD. 10.5.6.2. Peningkatan Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Kerangka Regulasi Dalam rangka mendukung pelaksanaan strategi dan program pengelolaan hutan konservasi maka diperlukan 3 kerangka regulasi sebagai berikut: 1. Revisi terhadap UU No.5/1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem. 2. Peraturan mengenai kerjasama pemerintah dan swasta di bidang pemanfaatan kawasan konservasi. 3. Turunan regulasi yang mengatur tentang Jasa Lingkungan dari hutan dan kawasan konservasi pada khususnya, Sinkronisasi antara peraturan mengenai kehutanan dan minerba dalam pemanfaatan panas bumi di kawasan konservasi. Kerangka Kelembagaan Sejalan dengan kebijakan pembentukan dan operasionalisasi KPH di tingkat kementerian, maka akan dibentuk 50 unit KPH Konservasi. Pembentukan KPHK ini juga ditujukan untuk mengelola beberapa X-144 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan kawasan hutan konservasi yang saat ini cenderung terlantar dan belum terkelola dengan baik, baik karena lokasinya yang tersebar maupun karena luasannya yang terlalu kecilnamun memiliki arti penting dari sisi konservasi. Dengan dibentuknya 50 unit KPH Konservasi tersebut, yang selama ini dikelola oleh Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam, maka diperlukan penguatan kelembagaan baik struktur, personal, program kegiatan dan pendanaannya. 10.5.6.3. Peningkatan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Kerangka Regulasi Sinkronisasi Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Airdan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS untuk meningkatkan pelaksanaan pengelolaan DAS secara sinergis. Hal ini perlu diperkuat dengan Peraturan Presiden atau Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota dalam bentuk perintah implementasi pengelolaan DAS yang saling bersinergi/berjalan selaras dan terintegrasi. Selain itu diperlukan juga regulasi pendukung untuk rencana mekanisme pendanaan penggunaan jasa lingkungan antar wilayah dan antar masyarakat. Kerangka Kelembagaan Dalam rangka meningkatkan pengelolaan DAS, diperlukan koordinasi yang kuat antara instansi serta penggunaan DAS sebagai basis Rencana Tata Ruang. Oleh Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-145 karena itu, penyusunan Rencana Tata Ruangseharusnya berdasarkan atau menyesuaikan pada Rencana Pengelolaan DAS Terpadu yang telah disusun. Diperlukan sinergi lebih baik dan intensif antara Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) danBadan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) dengan instansi koordinator penyusun RPDAST yaitu Kementerian Kehutanan (koordinator RPDAST Lintas negara dan lintas provinsi) dan Bappeda Provinsi maupun Bappeda kabupaten/Kota. 10.5.7. Penguatan Pasokan, Bauran dan Efisiensi Konsumsi Energi Kerangka Regulasi Untuk mendukung strategi peningkatan pasokan energi primer diperlukan penataan kelembagaan industri hulu dan hilir, pembentukan petroleum fund, serta harmonisasi regulasi dan peran pemerintah daerah. Strategi penyediaan sarana dan prasarana energi memerlukan aturan pemberian insentif untuk menarik minat partisipasi swasta berinvestasi membangun sarana dan prasarana energi. Untuk mengoptimalkan pemanfaatan bahan bakar nabati, penetapan off taker, standar, dan harga produk BBN. Untuk mendorong penggunaan energi yang lebih efisien, diperlukan insentif bagi pelaku industri dan pemilik bangunan dalam alih teknologi penggunaan energi yang lebih efisien. Peningkatan bauran energi baru dan terbarukan memerlukan penerapan feed in tariff dan penyederhanaan proses perizinan, sedangkan pengurangan subsidi energi secara berkala memerlukan regulasi X-146 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan kebijakan harga dan penentuan target sasaran yang realistis. Kerangka Kelembagaan Penguatan ketahanan energi dapat diwujudkan melalui masing-masing Kementerian/Lembaga dengan melaksanakan tugas pokok dan fungsinya masing-masing dan bersinergi dalam gerak langkah arah kebijakan. Di samping itu, peran badan usaha baik BUMN/BUMD dan swasta juga sangat penting dalam menentukan keberhasilan pembangunan ketahanan energi ini. Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), Kementerian BUMN, BPH Migas, dan Pemerintah Daerah menjadi pelaksana kunci dalam peningkatan pasokan energi primer dan infrastrukturnya. Selain itu, Kementerian Perindustrian, Kementerian PU, BATAN dan BPPT juga berperan penting dalam mempromosikan pemanfaatan EBT dan efisiensi penggunaan energi. 10.5.8. Peningkatan Nilai Tambah Industri Mineral dan Pertambangan Berkelanjutan Kerangka Regulasi Beberapa ketentuan dalam UU No. 4/2009 perlu dilakukan penyempurnaan agar pengelolaan dan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara dapat memberikan nilai tambah secara nyata untuk pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah yang berkelanjutan guna mencapai kesejahteraan rakyat dengan tetap memperhatikan lingkungan hidup. Di samping itu, perlu juga ada perubahan lain terkait Putusan Mahkamah Konstitusi terkait mekanisme penetapan Wilayah Pertambangan serta penambahan Badan Usaha Pertambangan, Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-147 Pengaturan Pasar, dan Pengembalian Wilayah Kerja Pertambangan. Kerangka Kelembagaan Peningkatan daya saing untuk komoditas mineral dan tambang dapat diwujudkan melalui masingmasing Kementerian/Lembaga dengan melaksanakan tugas pokok dan fungsinya masingmasing dan bersinergi dalam gerak langkah arah kebijakan. Di samping itu, peran badan usaha baik BUMN/BUMD dan swasta juga sangat penting untuk dapat berinvestasi membangun industri pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Peran dan kerjasama antar Kementerian/Lembaga adalah sebagai berikut: 1. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral merumuskan arah kebijakan pengaturan, pembinaan, dan pengawasan pengusahaan pertambangan strategis serta penyediaan ketenagalistrikan untuk industri pengolahan dan pemurnian; 2. Kementerian Perindustrian merumuskan arah kebijakan pengaturan, pembinaan, dan pengawasan pengembangan industri manufaktur yang bersinergi dengan industri berbasis produk tambang strategis; 3. Kementerian Perdagangan merumuskan arah kebijakan pengaturan, pembinaan, dan pengawasan di bidang perdagangan yang mendukung pengembangan industri pengolahan dan pemurnian; 4. Kementerian PU dan Perhubungan menyediakan sarana dan prasarana transportasi yang mendukung industri pengolahan dan pemurnian; X-148 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan 5. Kementerian Keuangan mengembangkan insentif dan non-insentif bagi pengusahaan industri pengolahan dan pemurnian serta industri manufaktur yang menyerap hasil produk bahan setengah jadi dan bahan jadi; 6. BKPM memberikan kemudahan perizinan bagi badan usaha yang berinvestasi di industri pengolahan dan pemurnian; 7. Kementerian BUMN dapat mendorong partisipasi BUMN untuk membangun industri pengolahan dan pemurnian di dalam negeri serta infrastruktur pendukungnya; dan 8. Pemerintah Daerah memberikan kemudahan perizinan dan penyediaan lahan bagi badan usaha yang akan mengembangkan industri pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. 10.5.9. Peningkatan Kualitas Lingkungan Hidup, Pengembangan Pola Produksi dan Konsumsi Berkelanjutan danPelestarian dan Pemanfaatan Keekonomian KEHATI Sesuai dengan Arahan dalam Indonesia Biodiversity Strategy And Action Plan/IBSAP 2003-2020 Kerangka Regulasi Dalam mendukung upaya peningkatan kualitas lingkungan hidup,pengembangan pola produksi dan konsumsi berkelanjutan danpelestarian dan pemanfaatan keekonomian KEHATI, perlu dilakukan percepatan penyelesaian Peraturan Pemerintah (PP) turunan dari UU No.32/2009. Pada saat ini, dari total 20 PP yang diamanatkan oleh UU No.32/2009 baru satu PP yang diterbitkan, yaitu PP No.27/2012 tentang Izin Lingkungan. Pengembangan kerangka regulasi untuk pelestarian dan pemanfaatan keekonomian Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-149 Keanekaragaman Hayati antara lain dapat mengacu pada peraturan perundangan sebagai berikut: 1. UU No.5/1990 tentang Pelestarian Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya yang mengatur konservasi ekosistem dan spesies terutama di kawasan lindung. 2. Undang-undang (UU) No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity (CBD). 3. Undang – Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2013 Tentang Pengesahan Nagoya Protocol On Access To Genetic Resources And The Fair And Equitable Sharing Of Benefits Arising From Their Utilization To The Convention On Biological Diversity (Protokol Nagoya Tentang Akses Pada Sumber Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan Yang Adil Dan Seimbang Yang Timbul Dari Pemanfaatannya Atas Konvensi Keanekaragaman Hayati) 5. UU No 4 Tahun 2006 tentang Pengesahan International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture (Perjanjian mengenai Sumber Daya Genetika Tanaman Untuk Pangan dan Pertanian). 6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan. Selanjutnya, ke depan akan diselesaikan Rancangan Peraturan Pemerintah mengenai Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Karst; Perlindungandan Pengelolaan Ekosistem Mangrove, TerumbuKarang X-150 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan dan Padang Lamun; dan Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (PPEG). Selain itu Rancangan Peraturan Pemerintah mengenai Instrumen Ekonomi juga diprioritaskan untuk segera diselesaikan, untuk mengatur perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi, pendanaan lingkungan hidup, serta insentif dan/atau disinsentif lingkungan hidup untuk mendorong pemerintah, pemerintah daerah atau setiap orang ke arah pelestarian fungsi lingkungan hidup, termasuk juga ke arah pengembangan keekonomian keanekaragaman hayati. Kerangka Kelembagaan 1. Diperlukan penguatan kelembagaan PPE dan BLHD untuk memperkuat pengelolaan lingkungan hidup di daerah; 2. Diperlukan penguatan Jabatan Fungsional Pengawas Lingkungan Hidup; 3. Diperlukan mekanisme koordinasi antar pihak terkait (K/L dan Pemda, serta institusi penegak hukum), dalam penanganan permasalahan lingkungan hidup; 4. Diperlukan penguatan Pusat Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup (Pusarpedal) untuk mendukung penyediaan data dan informasi, serta pengembangan kapasitas pengelolaan lingkungan hidup. 5. Khusus untuk Pelestarian dan Pemanfaatan Keekonomian KEHATI, kelembagaan yang diperlukan antara lain Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik/KKH PRG (Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2010); Komisi Nasional Sumber Daya Genetik/KNSDG dan 19 Komisi Daearah Sumber Daya Genetik/KOMDASDG (berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan X-151 734/Kpts/OT.140/12/2006);dan Pokja Nasional (National Taskforce) untuk Koordinator isu prioritas KEHATI. 6. Diperlukan penguatan kerangka kelembagaan untuk: (1) meningkatkan program koordinasi dan implementasi untuk menjembatanipengelolaan dan pemanfaatan keekonomianKEHATI dan jasa lingkungan yang berkelanjutan; (2) menyempurnakan mekanisme kebijakan dan kelembagaan yang memfasilitasiperbaikan pola hubungan kelembagaan dan hasil dariimplementasi tugas dan fungsi kelembagaan; (3) mengembangkan sistem lembaga keuangan dan pasar modal yang ramah lingkungan. 10.5.10. Penanganan Perubahan Iklim dan Peningkatan Kualitas Informasi Iklim Dan Kebencanaan Kerangka Regulasi Dalam upaya peningkatan pengelolaan data dan informasi MKG, maka diperlukan penyelesaian dari Peraturan Pemerintah (PP) turunan dari UU No.31/2009 tentang Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, yaitu PP yang mengatur tentang: (1) Pelayanan MKG; (2) Sumber Daya Manusia MKG; (3) Rekayasa dan Penelitian MKG. Kerangka Kelembagaan Dalam memperkuat peran dan koordinasi BMKG di tingkat daerah, maka diperlukan penguatan kelembagaan Unit Pelayanan Teknis (UPT) yang ada di daerah.Untuk mendukung pelaksanaan program/kegiatan Perubahan iklim, perlu penguatan untuk ICCTF. X-152 Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan