Untitled - Bappenas

advertisement
DAFTAR ISI
BIDANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN
LINGKUNGAN HIDUP .................................................................
X-1
BAB X
10.1
Permasalahan dan Isu Strategis ..............................................
10.1.1
10.1.2
10.1.3
10.1.4
10.1.5
10.1.6
10.1.7
10.1.8
10.1.9
10.1.10
10.2
X-5
Pengamanan Produksi untuk Kemandirian dan Diversifikasi
Konsumsi Pangan ..................................................................................
Pengembangan Agribisnis, Pertanian Berkelanjutan dan
Kesejahteraan Petani .............................................................................
Peningkatan Produksi dan Nilai Tambah Perikanan serta
Kesejahteraan Nelayan dan Pembudidaya Ikan .....................
Peningkatan Tata Kelola Laut, Pengelolaan Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil serta Pengembangan Ekonomi Kelautan
Berkelanjutan ...........................................................................
Peningkatan Produksi Hasil Hutan dan Pengembangan Jasa
Lingkungan ...............................................................................
Peningkatan Konservasi dan Tata Kelola Hutan serta
Pengelolaan DAS ......................................................................
Penguatan Pasokan, Bauran dan Efisiensi Konsumsi Energi..
Peningkatan Nilai Tambah Industri Mineral dan
Pertambangan Berkelanjutan .............................................................
Peningkatan Kualitas Lingkungan Hidup, Pengembangan
Pola Produksi dan Konsumsi Berkelanjutan dan Pelestarian
dan Pemanfaatan Keekonomian KEHATI sesuai dengan
Arahan dalam Indonesia Biodiversity Strategy and Action
Plan/IBSAP 2003-2020 ...........................................................
Penangkapan Perubahan Iklim dan Peningkatan Kualitas
Informasi Iklim dan Kebencanaan ....................................................
Sasaran Bidang ...........................................................................
10.2.1
10.2.2
10.2.3
10.2.4
10.2.5
10.2.6
10.2.7
10.2.8
10.2.9
X-11
X-13
X-17
X-21
X-28
X-39
X-55
X-57
X-65
X-71
Pengamanan Produksi untuk Kemandirian dan Diversifikasi
Konsumsi Pangan .....................................................................
Pengembangan Agribisnis, Pertanian Berkelanjutan dan
Kesejahteraan Petani ...............................................................
Peningkatan Produksi dan Nilai Tambah Perikanan serta
Kesejahteraan Nelayan dan Pembudidaya Ikan ...................
Peningkatan Tata Kelola Laut, Pengelolaan Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil serta Pengembangan Ekonomi Kelautan
Berkelanjutan ...........................................................................
Peningkatan Produksi Hasil Hutan dan Pengembangan Jasa
Lingkungan ...............................................................................
Peningkatan Konservasi dan Tata Kelola Hutan serta
Pengelolaan DAS ......................................................................
Penguatan Pasokan, Bauran dan Efisiensi Konsumsi Energi..
Peningkatan Nilai Tambah Industri Mineral dan
Pertambangan Berkelanjutan .................................................
Peningkatan Kualitas Lingkungan Hidup, Pengembangan
Pola Produksi dan Konsumsi Berkelanjutan dan Pelestarian
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-8
i
X-71
X-72
X-73
X-75
X-77
X-78
X-80
X-82
10.2.10
10.3
Arah Kebijakan dan Strategi Pembangunan Bidang ........
10.3.1
10.3.2
10.3.3
10.3.4
10.3.5
10.3.6
10.3.7
10.3.8
10.3.9
10.3.10
10.4
Pengamanan Produksi untuk Kemandirian dan Diversifikasi
Konsumsi Pangan .....................................................................
Pengembangan Agribisnis, Pertanian Berkelanjutan dan
Kesejahteraan Petani .............................................................................
Peningkatan Produksi dan Nilai Tambah Perikanan serta
Kesejahteraan Nelayan dan Pembudidaya Ikan .....................
Peningkatan Tata Kelola Laut, Pengelolaan Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil serta Pengembangan Ekonomi Kelautan
Berkelanjutan ...........................................................................
Peningkatan Produksi Hasil Hutan dan Pengembangan Jasa
Lingkungan ..............................................................................................
Peningkatan Konservasi dan Tata Kelola Hutan serta
Pengelolaan DAS ....................................................................................
Penguatan Pasokan, Bauran dan Efisiensi Konsumsi Energi..
Peningkatan Nilai Tambah Industri Mineral dan
Pertambangan Berkelanjutan .............................................................
Peningkatan Kualitas Lingkungan Hidup, Pengembangan
Pola Produksi dan Konsumsi Berkelanjutan dan Pelestarian
dan Pemanfaatan Keekonomian KEHATI sesuai dengan
Arahan dalam Indonesia Biodiversity Strategy and Action
Plan/IBSAP 2003-2020 .........................................................................
Penangkapan Perubahan Iklim dan Peningkatan Kualitas
Informasi Iklim dan Kebencanaan .............................................
Kerangka Pendanaan ................................................................
10.4.1
10.4.2
10.4.3
10.4.4
10.4.5
10.4.6
10.4.7
10.4.8
10.4.9
ii
dan Pemanfaatan Keekonomian KEHATI sesuai dengan
Arahan dalam Indonesia Biodiversity Strategy and Action
Plan/IBSAP 2003-2020 ...........................................................
X-82
Penangkapan Perubahan Iklim dan Peningkatan Kualitas
Informasi Iklim dan Kebencanaan .................................................... X-83
Pengamanan Produksi untuk Kemandirian dan Diversifikasi
Konsumsi Pangan ..................................................................................
Pengembangan Agribisnis, Pertanian Berkelanjutan dan
Kesejahteraan Petani .............................................................................
Peningkatan Produksi dan Nilai Tambah Perikanan serta
Kesejahteraan Nelayan dan Pembudidaya Ikan .....................
Peningkatan Tata Kelola Laut, Pengelolaan Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil serta Pengembangan Ekonomi Kelautan
Berkelanjutan ..........................................................................................
Peningkatan Produksi Hasil Hutan dan Pengembangan Jasa
Lingkungan ..............................................................................................
Peningkatan Konservasi dan Tata Kelola Hutan serta
Pengelolaan DAS ....................................................................................
Penguatan Pasokan, Bauran dan Efisiensi Konsumsi Energi..
Peningkatan Nilai Tambah Industri Mineral dan
Pertambangan Berkelanjutan .............................................................
Peningkatan Kualitas Lingkungan Hidup, Pengembangan
Pola Produksi dan Konsumsi Berkelanjutan dan Pelestarian
dan Pemanfaatan Keekonomian KEHATI sesuai dengan
| Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-84
X-84
X-87
X-90
X-94
X-96
X-98
X-102
X-110
X-113
X-117
X-119
X-119
X-119
X-120
X-121
X-121
X-123
X-129
X-130
10.4.10
10.5
Arahan dalam Indonesia Biodiversity Strategy and Action
Plan/IBSAP 2003-2020 .............................................................
X-131
Penangkapan Perubahan Iklim dan Peningkatan Kualitas
Informasi Iklim dan Kebencanaan .................................................... X-132
Kerangka Regulasi dan Kerangka Kelembagaan ................
10.5.1
10.5.2
10.5.3
10.5.4
10.5.5
10.5.6
10.5.7
10.5.8
10.5.9
10.5.10
Pengamanan Produksi untuk Kemandirian dan Diversifikasi
Konsumsi Pangan ..................................................................................
Pengembangan Agribisnis, Pertanian Berkelanjutan dan
Kesejahteraan Petani .............................................................................
Peningkatan Produksi dan Nilai Tambah Perikanan serta
Kesejahteraan Nelayan dan Pembudidaya Ikan ....................
Peningkatan Tata Kelola Laut, Pengelolaan Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil serta Pengembangan Ekonomi Kelautan
Berkelanjutan ..........................................................................................
Peningkatan Produksi Hasil Hutan dan Pengembangan Jasa
Lingkungan ..............................................................................................
Peningkatan Konservasi dan Tata Kelola Hutan serta
Pengelolaan DAS ....................................................................................
Penguatan Pasokan, Bauran dan Efisiensi Konsumsi Energi..
Peningkatan Nilai Tambah Industri Mineral dan
Pertambangan Berkelanjutan .............................................................
Peningkatan Kualitas Lingkungan Hidup, Pengembangan
Pola Produksi dan Konsumsi Berkelanjutan dan Pelestarian
dan Pemanfaatan Keekonomian KEHATI sesuai dengan
Arahan dalam Indonesia Biodiversity Strategy and Action
Plan/IBSAP 2003-2020 ........................................................................
Penangkapan Perubahan Iklim dan Peningkatan Kualitas
Informasi Iklim dan Kebencanaan ....................................................
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
iii
X-132
X-132
X-134
X-136
X-138
X-139
X-142
X-146
X-147
X-149
X-152
DAFTAR TABEL
iv
TABEL X.1
Sasaran Pokok Pembangunan Bidang SDA LH Tahun 2015-2019
X-4
TABEL X.2
Desa di Kawasan Hutan 2010
X-28
TABEL X.3
Luas Kawasan Konservasi Berdasarkan Fungsi
X-33
TABEL X.4
Sasaran Pembangunan Ketahanan Pangan
X-72
TABEL X.5
Produksi Komoditas Andalan
X-73
TABEL X.6
Sasaran Pembangunan Perikanan
X-74
TABEL X.7
Target Pencapaian Program Tahun 2015-2019
X-77
TABEL X.8
Target Pencapaian Program Tahun 2015-2019
X-78
TABEL X.9
Sasaran Pencapaian Skor Iklh Tahun 2015-2019
X-83
| Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
DAFTAR GAMBAR
GAMBAR X.1
Luas Kawasan Konservasi Perairan (Juta Ha) Tahun 2004-2012
X-19
GAMBAR X.2
Jumlah Hostpot dalam Kawasan Hutan Tahun 2004-2013
X-32
GAMBAR X.3
Luas Kebakaran dalam Kawasan Hutan Tahun 2004-2012
X-32
GAMBAR X.4
GAMBAR X.5
Nilai Devisa Perdagangan Tanaman dan Satwa Tahun 2008-2011
(dalam USD)
Nilai PNBP Tumbuhan dan Satwa Liar Tahun 2008-2013
X-36
X-37
GAMBAR X.6
Indeks Kualitas Lingkungan Hidup 2009-2012
X-58
GAMBAR X.7
Trend Keikutsertaan Perusahaan dalam Program Proper 2003-2014
X-59
GAMBAR X.8
Jumlah Kabupaten/Kota Penerima Anugerah Adipura Tahun 20042013
X-60
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
v
BAB X
BIDANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
DAN LINGKUNGAN HIDUP
Bidang SDA dan LH sangat strategis dalam mengamankan
kelangsungan pembangunan dan keberlanjutan kehidupan bangsa
dan negara. Bidang ini menjadi tulang punggung kehidupan sebagai
penyedia pangan, energi, air dan penyangga sistem kehidupan berupa
kualitas lingkungan hidup untuk kesehatan kehidupan bangsa dan
keberlanjutan kehidupan generasi mendatang. Sesuai dengan amanah
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional(RPJPN) 2005-2025,
bidang SDA dan LH menjadi tulang punggung untuk meningkatkan
daya saing ekonomi berbasis SDA dan LH.
Pertumbuhan penduduk menuntut penyediaan pangan dalam
jumlah yang terus membesar namun harus tetap mengamankan
ketersediaan, akses masyarakat terhadap konsumsi baik jumlah
maupun kualitas nutrisi yang seimbang. Pada saat yang sama, sektor
pangan juga menjadi lahan penghidupan bagi 26,14 juta rumah
tangga petani nelayan, dan pembudidaya ikan, serta menyumbang 15
persen Produk Domestik Bruto (PDB), atau menjadi industri kedua
terbesar secara nasional. Pada saat ini (2013) sektor pangan mampu
menyediakan 71,3 juta ton padi atau setara 41,2 juta ton beras dan
11,4 juta ton ikan serta bahan pangan penting lain, seperti gula,
kedelai, jagung, daging sapi, unggas, dan garam untuk konsumsi
rumah tangga, yang disediakan dari produksi dalam negeri.
Kebutuhan energi juga terus meningkat seiring dengan
pertumbuhan ekonomi dan peningkatan jumlah dan pendapatan
penduduk. Pada saat ini (2013) produksi minyak bumi mencapai 826
setara barel minyak (SBM). Ketergantungan penyediaan energi pada
saat ini masih sangat bertumpu pada minyak bumi. Bauran energi
nasional minyak bumi saat ini mencapai 49,7 persen sedangkan
energi baru dan terbarukan sebesar 5,7 persen.
Sumber daya alam dan lingkungan hidup merupakan penghasil
devisa dan penghidupan masyarakat secara luas. Industri primer
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-1
berbasis sumber daya alam yang meliputi pertanian (termasuk/di
luar pangan), perikanan, dan kehutanan menyumbang 14,8 persen
dari PDB dan menyediakan lapangan pekerjaan bagi 8,8 juta
penduduk Indonesia. Sementara itu, industri berbasis pertanian,
kehutanan dan perikanan menyumbang 13,7 persen PDB dan menjadi
lahan pekerjaan bagi 8,6 juta penduduk Indonesia. Perikanan telah
menyumbang 17,6 persen terhadap PDB pertanian, menempati
urutan kedua setelah tanaman bahan makanan. Dengan luas wilayah
laut sebesar 5,8 juta km2, potensi perikanan laut sangat besar yang
membutuhkan langkah terpadu untuk mendayagunakannnya.
Pertambangan dan penggalian menyumbang 11,9 persen PDB dan 0,1
persen pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, sumber daya mineral
yang selama ini diekspor dalam bentuk mentah, perlu ditingkatkan
nilai tambahnya secara bertahap, agar memperluas basis
perekonomian nasional dan lapangan pekerjaan bagi masyarakat
Indonesia.
Selama periode 2010-2013 pertumbuhan sektor pertanian
mencapai rata-rata 3,4 persen per tahun. Sumber pertumbuhannya
berasal dari tanaman bahan makanan, perkebunan, peternakan dan
perikanan yang masing-masing mencapai rata-rata 2,0 persen; 4,4
persen; 4,5 persen; dan 6,5 persen. Dari sisi kontribusinya terhadap
PDB, sektor pertanian pada periode 2004-2009 penyumbangrata-rata
sekitar 13,9 persen per tahun. Selama tahun 2010-2013 sumbangan
sektor pertanian terhadap PDB meningkat menjadi sekitar 14,9
persen per tahun. Meskipun kontribusi PDB sektor pertanian
terhadap PDB Nasional meningkat relatif kecil, akan tetapi secara
nominal mengalami peningkatan cukup besar yaitu dari sekitar
Rp.364,2 triliun pada tahun 2005 menjadi sekitar Rp.1.190,4 triliun
pada tahun 2012. Sementara itu, kontribusi penerimaan minyak dan
gas bumi terhadap PDB sebesar 10,2 persen pada periode 2004-2009
dan 7,8persen pada periode 2010-2013.
Pemanfaatan SDA dan LH yang sudah menyumbang cukup
signifikan pada perekonomian nasional sebagaimana diuraikan di
atas, dihadapkan pada dampak pemanfaatan SDA terhadap kualitas
lingkungan hidup. Peningkatan kebutuhan lahan baik untuk
kebutuhan pertanian, pertambangan serta kebutuhan untuk
X-2
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
permukiman dan infrastruktur, telah meningkatkan konversi hutan.
Selain itu,pemekaran wilayah yang merupakan dampak dari
berkembangnya kepadatan wilayah juga telah meningkatkan
kebutuhan lahan, yang dikonversi dari hutan. Demikian pula, kualitas
lingkungan hidup juga semakin dihadapkan pada potensi
pembuangan limbah yang tidak bertanggungjawab.Untuk itu, upaya
perlindungan dan pemeliharaan kualitas lingkungan hidup akan
semakin berat, sehingga diperlukan langkah pengendalian dan
pengelolaan lingkungan hidup yang lebih baik.
Sehubungan dengan itu, untuk mendukung pertumbuhan yang
tetap tinggi namun tetap menjaga kelestarian SDA dan LH diperlukan
peningkatan kualitas lingkungan hidup danpenggalian potensi baru
dalam pemanfaatan ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan hidup
yang selaras dengan pelestarian SDA dan LH. Potensi pertumbuhan
ekonomi berbasis SDA dan LH yang pertama adalah peningkatan nilai
tambah dari produksi pertanian, pertambangan, perikanan dan
kehutanan. Potensi kedua adalah pengembangan ekonomi dari hasil
konservasi dan perlindungan SDA dan LH, antara lain yaitu: (1)
pengembangan manfaat ekonomi dari keanekaragaman hayati
(bioresources); (2) pengembangan manfaat ekonomi dari jasa
lingkungan; dan (3) pengembangan ekonomi kelautan.
Selama ini konservasi sumber daya alam dan lingkungan hidup
yang manfaatnya berjangka panjang masih sering dikalahkan dengan
pemanfaatan jangka pendek untuk memenuhi kebutuhan hidup saat
ini. Seiring dengan perkembangan pengetahuan, sudah berkembang
pula pemanfaatan ekonomi dari jasa lingkungan maupun
pemanfaatan ekonomi keanekaragaman hayati (kehati) maka
ekonomi kehati dan jasa lingkungan merupakan potensi ekonomi
yang besar untuk sumber pendapatan dan pertumbuhan baru yang
selaras dengan kelestarian alam.
Ekonomi kelautan juga sangat potensial untuk peningkatan
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Potensi perekonomian
laut dan sumbangan di aspek lain, belum dimanfaatkan secara
optimal untuk meningkatkan posisi strategis geoekonomi Indonesia
di tingkat global. Kegiatan IUU fishing sangat merugikan terhadap
pengelolaan dan keberlanjutan sumberdaya perikanan. Illegal fishing
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-3
menjadi salah satu penyebab eksploitasi berlebih pada beberapa jenis
sumberdaya ikan. Dalam kurun RPJMN 2015-2019 perekonomian
sumber daya alam dan lingkungan hidup serta kelautan akan
dikembangkan untuk pertumbuhan ekonomi nasional untuk
memperkuat posisi geoekonomi dan geopolitik Indonesia.
Amanah RPJPN untuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2015-2019 di dalam Buku I RPJMN 2015-2019
diterjemahkan ke dalam isu strategis (1) Ketahanan Pangan, (2)
Ketahanan Energi,(3) Ketahanan Air dalam rangka mengamankan dan
mendukung ketahanan nasional;Selanjutnya, akan dilakukan pula (4)
Peningkatan Sektor Primer dalam rangka mendukung Agenda
pembangunan ekonomi, terutama pengembangan daya saing
ekonomi berbasis sumberdaya alam.Untuk menjaga kelestarian
sumberdaya alam dan kualitas lingkungan hidup, diterjemahkan
kebijakan dan strategi dalam (5) Agenda Pelestarian SDA, Lingkungan
Hidup dan Pengelolaan Bencana. Selanjutnya, untuk pengembangan
potensi strategis dan baru dilakukan melalui (6)Agenda
Pembangunan Kelautan.
Sasaran di bidang pengelolaan SDA dan LH terutama berkaitan
dengan isu-isu strategis di atas adalah sebagai berikut.
Tabel X.1.
Sasaran Pokok Pembangunan Bidang SDA LH Tahun 2015-2019
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Sasaran
Pertumbuhan PDB pertanian
(%, termasuk perikanan dan
kehutanan)
Pertumbuhan PDB Migas dan
Pertambangan (%)
Ekspor hasil perikanan (US$
miliar)
Ekspor hasil kehutanan (US$
miliar)
IKLH (skor)
Konservasi Kawasan Perairan
(juta ha)
X-4
2015
2016
2017
2018
2019
3,5
3,6
3,7
3,8
4,0
0,9
1,1
1,3
1,5
1,8
5,86
6,82
7,62
8,53
9,54
6,5
13
19,5
26
32,5
64,064,5
16,5
64,565,0
17,1
65,065,5
17,9
65,5-66,5
66,568,5
20,0
18,8
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
Secara rinci penjabaran isu-isu strategis dalam rangka
mendukung sasaran pembangunan bidang SDA dan LH tersebut di
atas untuk mendukung pelaksanaan Tema Pembangunan RPJMN
2915-2019 adalah sebagai berikut.
10.1. Permasalahan dan Isu Strategis
Dalam pelaksanaan amanah pembangunan bidang SDA dan LH
terdapat beberapa permasalahan yang akan menjadi fokus
perhatian dalam lima tahun mendatang. Permasalahan yang
dihadapi adalah : (1) Produktivitas lahan pertanian dan luas
lahan baku yang semakin menurun, (2) sistem irigasi termasuk
kondisi waduk pada saat musim kemarau yang semakin
memprihatinkan, (3) ketersediaan air khususnya di Pulau Jawa
yang semakin terbatas, (4) ketergantungan pada bahan bakar
fosil (batubara) sebagai sumber energi, (5) pemanfaatan
sumber energi terbarukan belum optimal, (6) 108 daerah aliran
sungai (DAS) dalam kondisi kritis, (7) luas lahan kritis dan laju
deforestrasi yang semakin meningkat dan tutupan lahan hutan
yang menurun, (8) kualitas lingkungan hidup yang menurun
dan pengelolaan limbah/beban pencemaran yang belum
optimal, (9) pengelolaan pelestarian dan pemanfaatan
keanekaragaman hayati yang belum optimal, (10) dampak
perubahan iklim terhadap target pembangunan Indonesia, dan
(11) wilayah Indonesia rentan terhadap bencana alam.
Permasalahan yang dihadapi di sektor pertanian khususnya,
antara lain adalah kontribusi sub sektor tanaman bahan
makanan terutama padi terhadap pertumbuhan sektor
pertanian cukup besar, akan tetapi peningkatan ke depan
semakin lambat. Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk
dan pertumbuhan ekonomi, permintaan terhadap penyediaan
bahan baku industri khususnya untuk industri pengolahan
pangan yang berasal dari hasil pertanian akan semakin tinggi
dengan diberlakukannya Komunitas Ekonomi ASEAN pada
tahun 2015. Sementara itu, permasalahan yang dihadapi dalam
menghasilkan produk-produk primer untuk mendukung
pengembangan industri pertanian adalah keberlanjutan
produksi komoditas pertanian yang dipengaruhi baik
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-5
produktivitas maupun kualitas, penerapan aspek keberlanjutan
dan ramah lingkungan seiring dengan menguatnya isu
lingkungan dalam tataran global, serta harmonisasi keterkaitan
baik antarkegiatan hulu-hilir, perundangan yang ada, maupun
sektor yang terlibat di dalamnya.
Sementara itu, permasalahan di sektor energi adalah
terbatasnya pasokan energi primer dalam 5 tahun ke depan,
sehingga perlu dilakukan optimalisasi dari pasokan yang ada,
termasuk optimalisasi penggunaan gas dan meningkatkan
kontribusi sumber energi baru dan terbarukan, panas bumi
serta melakukan efisiensi penggunaan energi. Permasalahan
lainnya dalam mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam
untuk pembangunan adalah peningkatan nilai tambah di dalam
negeri dan pengelolaan secara berkelanjutan.
Selanjutnya, permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan
hutan adalah menjadikan tata kelola hutan yang efektif dan
efisien dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, dengan
mempertimbangkan fungsi ekonomi, sosial dan lingkungan
hidup. Pada masa mendatang pemanfaatan sumber daya hutan
menghadapi permasalahan untuk tidak berfokus pada hasil
hutan kayu saja. Diversifikasi produk hutan diperlukan
sehingga sumber daya hutan dapat dioptimalkan sebagai
bioenergi mendukung penyediaan energi terbarukan, tanaman
pangan untuk mendukung ketahanan pangan, tanaman
biofarmaka untuk mengembangkan industri obat-obatan, serta
serat sebagai bahan baku industri biotekstil dan bioplastik.
Permasalahan di bidang perikanan adalah kemampuan
menyediakan ikan sebagai sumber protein bagi konsumsi
masyarakat maupun sebagai bahan baku industri pengolahan
dalam kondisi sumber daya ikan yang semakin terbatas, masih
maraknya kegiatan perikanan yang tidak dilaporkan, tidak
diatur, dan melanggar hukum (IUU Fishing), belum adanya
kepastian spasial bagi usaha perikanan, masih tingginya harga
input produksi, seperti pakan, benih, dan BBM, semakin
menurunnya kualitas lingkungan, khususnya kondisi perairan,
serta belum optimalnya peran riset dan inovasi dalam
X-6
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
pengelolaan perikanan. Selain itu, walaupun kontribusi sub
sektor perikanan terhadap PDB pertanian cukup tinggi,
mencapai 21,45 persen (BPS, 2012), namun tingkat
kesejahteraan masyarakat perikanan masih belum memadai.
Selanjutnya permasalahan pembangunan di bidang kelautan
adalah belum optimalnya tata kelola spasial kawasan pesisir
dan laut serta pulau-pulai kecil, terdegradasinya ekosistem
pesisir dan laut, masih rendahnya kualitas ekonomi masyarakat
pesisir, serta masih rendahnya pemanfaatan peluang-peluang
ekonomi baru melalui optimalisasi inovasi berbasis iptek
kelautan.
Selain itu, permasalahan dalam pengendalian dan peningkatan
kualitas lingkungan hidup adalah meskipun upaya
pengendalian pencemaran, kerusakan, dan peningkatan
kualitas lingkungan hidup terus dilakukan, namun kondisi
lingkungan hidup belum dapat ditingkatkan dan diukur secara
tepat. Untuk itu, metodologi dan parameter perhitungan Indeks
Kualitas Lingkungan Hidup perlu terus disempurnakan. Di
samping itu, upaya pemulihan lingkungan dan penegakan
hukum juga masih perlu terus ditingkatkan. Selanjutnya,
Permasalahan terkait dengan pengelolaan keanekaragaman
hayati dan peningkatan nilai keekonomiannya merupakan
agenda yang harus diselesaikan segera.
Terkait dengan penanganan perubahan iklim, permasalahan
yang dihadapi adalah perlunya penguatan pelaksanaan upaya
mitigasi perubahan iklim agar dapat mencapai target
penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 26 persen di
tahun 2020. Selain itu penguatan upaya adaptasi perubahan
iklim untuk meningkatkan ketahanan masyarakat di wilayah
rentan juga perlu dilakukan berpedoman pada dokumen
Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API).
Penguatan data dan informasi untuk peringatan dini iklim dan
bencana juga merupakan bagian yang tak terpisahkan.
Untuk melaksanakan pembangunanSDA dan LH dalam
mendukung pelaksanaan pembangunan nasional dalam kurun
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-7
waktu RPJMN 2015-2019, maka untuk pembangunan nasional
berkelanjutan terdapat 10 (sepuluh) isu strategis yang perlu
ditangani, yaitu: (1). Pengamanan Produksi Untuk Kemandirian
dan Diversifikasi Konsumsi Pangan; (2) Pengembangan
Agribisnis, Pertanian Berkelanjutan dan Kesejahteraan Petani;
(3) Peningkatan Produksi dan Nilai Tambah Perikanan serta
Kesejahteraan Nelayan dan Pembudidaya Ikan; (4) Peningkatan
Tata Kelola Laut, Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Serta Pengembangan Ekonomi Kelautan Berkelanjutan; (5)
Peningkatan Produksi Hasil Hutan dan Pengembangan Jasa
Lingkungan; (6) PeningkatanKonservasi dan Tata Kelola Hutan
serta Pengelolaan DAS; (7)Penguatan Pasokan, Bauran dan
Efisiensi Konsumsi Energi; (8) Peningkatan Nilai Tambah
Industri Mineral dan Pertambangan Berkelanjutan; (9)
Peningkatan Kualitas LH, SCP dan Pelestarian dan Pemanfaatan
Keekonomian KEHATI sesuai dengan arahan dalam Indonesia
Biodiversity Strategy and Action Plan/IBSAP 2003-2020; (10)
Pelaksanaan Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim serta
Peningkatan Kualitas Info Iklim dan Kebencanaan.
10.1.1. Pengamanan Produksi Untuk Kemandirian dan
Diversifikasi Konsumsi Pangan
Kontribusi sumber daya alam dan lingkungan hidup
untuk mendukung ketahanan pangan dalam lima
tahun ke depan diarahkan kepada upaya penguatan
pasokan pangan dan diversifikasi konsumsi dalam
mendukung penguatan ketahanan pangan nasional.
Pertumbuhan ekonomi yang positif dan bertambahnya
jumlah penduduk dalam lima tahun ke depan
mendorong peningkatanjumlah permintaan pangan,
dimana
diperkirakan
terdapat
dua
kondisi
permintaan, yaitu: (1) permintaan pangan akan
semakin beragam dan berkualitas yang didorong
dengan perubahan pola pangan akibat meningkatnya
penduduk kelas menengah; dan (2) kecenderungan
masih tingginya konsumsi beras/pangan padi-padian
pada kelompok masyarakat berpenghasilan rendah
X-8
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
sehingga menuntut penyediaan beras yang terus
meningkat.
Sementara itu, di sisi pasokan/produksi, pada saat ini
kita dihadapkan pada beberapa permasalahan yaitu:
1. Lahan pertanian yang semakin terbatas, sementara
upaya perluasan areal pertanian untuk pangan
semakin sulit karena persaingan lahan semakin
meningkat dengan adanya kebutuhan sektor lain
seperti pemukiman dan perkembangan perkotaan.
Pada saat yang sama, konversi lahan pertanian
pangan produktif ke pertanian lainnya maupun non
pertanian terus terjadi.
2. Ketersediaan sumberdaya air untuk mendukung
produksi pangan semakin langka karena kerusakan
sumber-sumber air dan persaingan penggunaan air
untuk kebutuhan sektor lain. Selain itu, sistem
pengelolaan air yang kurang baik menyebabkan
distribusi air pada lahan-lahan pertanian pangan
tidak merata baik dari sisi waktu maupun lokasi.
3. Sistem perbenihan yang belum tertata dengan baik
menyebabkan produksi dan pemanfaatan benih
unggul belum optimal. Adanya kesenjangan antara
lembaga perbenihan dengan petani pengguna
menyebabkan
benih-benih
unggul
tidak
termanfaatkan dengan baik. Selain itu, insentif yang
kurang mendorong berkembangnya penangkar
benih lokal.
4. Pemanfaatan pupuk bersubsidi masih dinilai
kurang tepat, baik dari sisi jumlah maupun sasaran
penerima. Belum tersedianya data petani penerima
yang
memadai
memunculkan
indikasi
permasalahan “tidak tepat sasaran”, selain juga
sulitnya perhitungan jumlah pupuk bersubsidi.
Untuk itu, subsidi pupuk sebagai salah satu bentuk
insentif bagi petani harus terus dibenahi
pengelolaannya.
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-9
5. Peran penyuluhan belum optimal karena berbagai
permasalahan terkait kelembagaan. Adanya
pemisahan lembaga antara penyuluhan dan dinas
teknis/produksi pangan memungkinkan kurang
optimalnya proses diseminasi hasil penelitian dan
pengawalan produksi di lapangan. Kondisi ini
diperburuk dengan adanya indikasi kurangnya
perhatian Pemerintah daerah terhadap keberadaan
dan peran penyuluh.
6. Produksi pangan masih sangat rentan terhadap
dampak iklim/cuaca ekstrim, khususnya perubahan
pola hujan dan meningkatnya ancaman hama dan
penyakit. Adanya bencana kekeringan maupun
banjir masih mengancam keberlangsungan
produksi
sehingga
dapat
mempengaruhi
ketersediaan pangan bagi masyarakat. Demikian
juga dengan cuaca dan gelombang laut
berpengaruh terhadap produksi perikanan. Kondisi
ini menunjukkan bahwa langkah-langkah adaptasi
dan mitigasi menjadi sangat penting dalam proses
produksi, misalnya informasi iklim/cuaca bagi
petani dalam menentukan masa tanam yang tepat.
7. Jumlah cadangan pangan yang dimiliki Pemerintah
dinilai
masih
kurang.
Keterbatasan
ini
menyebabkan upaya stabilisasi pangan maupun
bantuan bencana dengan memanfaatkan stok
Pemerintah masih kurang fleksibel. Padahal dengan
tingginya fluktuasi harga pangan baik karena
spekulasi maupun kurangnya suplai menuntut
ketersediaan cadangan pangan yang cukup.
8. Keragaman konsumsi, baik perlunya peningkatan
ragam konsumsi karbohidrat agar tidak tergantung
pada beras saja, maupun ketersediaan dan
konsumsi protein, baik dari protein nabati maupun
protein hewani (telur, daging, dan ikan).
X-10
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
10.1.2. Pengembangan Agribisnis, Pertanian
Berkelanjutan dan Kesejahteraan Petani
Peningkatan persainganperdagangan komoditas hasil
pertanian antarnegara. Dengan semakin terbukanya
pasar global dan akan diberlakukannya Komunitas
Ekonomi ASEAN/ASEAN Economy Community (AEC)
pada awal 2015, persaingan perdagangan komoditas
pertanian akan semakin meningkat dan pasar
domestik kemungkinan akan dibanjiri oleh produkproduk hasil pertanian dari luar.Untuk mengurangi
tekanan produk-produk dari luar tersebut, maka
diperlukan upaya peningkatan daya saing sekaligus
peningkatan nilai tambah produk-produk primer
pertanian dan olahannya. Dengan jumlah penduduk
terbesar di kawasan ASEAN dan ke-3 di kawasan Asia,
Indonesia merupakan target pasar yang cukup besar
bagi produk-produk pertanian dari negara lain. Selain
itu, peningkatan mutu hasil pertanian dan
pengembangan standardisasi mutu hasil pertanian
masih perlu terus dilakukan untuk menghadapi
persaingan perdagangan tersebut. Masih maraknya
pungutan liar dan hambatan perijinan/birokrasi
membuat biaya transportasi, pengangkutan komoditi
untuk dipasarkan dalam negeri lebih mahal
dibandingkan dengan ekspor.
Peningkatan produktivitas komoditi pertanian.
Peningkatan daya saing salah satunya dicapai melalui
peningkatan produktivitas. Saat ini, untuk subsektor
perkebunan, beberapa komoditi yang menjadi andalan
ekspor mengalami stagnasi/fluktuasi produktivitas.
Untuk komoditi karet misalnya, produktivitas karet
Indonesia masih kalah dibandingkan Thailand
meskipun luasan lahan karet Indonesia lebih luas
dibandingkan dengan Thailand. Sementara untuk
komoditas
unggulan
lain
seperti
kakao,
produktivitasnya cenderung fluktutatif padahal
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-11
Indonesia merupakan salah satu dari tiga negara
produser kakao dunia dengan produktivitasnya yang
paling tinggi dibandingkan dengan Pantai Gading dan
Ghana. Begitu juga dengan sawit, meskipun sampai
saat ini masih menjadi penyumbang terbesar untuk
ekspor di sektor pertanian, namun Permasalahan
terkait peningkatan produktivitas sawit akan
menghadapi Permasalahan khususnya yang terkait
dengan
kampanye
komoditas
berkelanjutan
(sustainable commodity) sehingga upaya peningkatan
produktivitas
sawit
harus
secara
saksama
memerhatikan aspek kelestarian lingkungan. Sebagai
komoditi utama ekspor, produktivitas subsektor
tanaman perkebunan masih rendah, bahkan beberapa
komoditi
perkebunan
mengalami
penurunan.
Rendahnya produktivitas ini disebabkan oleh usia
tanaman yang sudah tua sehingga diperlukan
peremajaan serta terbatasnya penggunaan bibit
unggul. Sebagai contoh, produktivitas tanaman karet
di tingkat petani masih rendah karena banyaknya
tanaman usia tua dan rusak serta penggunaan bibit
karet yang tidak unggul, dimana tingkat pengunaan
bibit unggul diperkirakan baru mencapai 40 persen.
Sementara itu, untuk subsektor hortikultura, impor
masih tinggi terutama untuk beberapa komoditi
sayuran dan buah-buahan.
Pengembangan agroindustri, terutama di perdesaan.
Selama ini, ekspor komoditi pertanian masih
berbentuk produk primer, yang artinya telah
kehilangan kesempatan untuk memperoleh nilai
tambah. Komoditi tersebut diolah oleh negara lain dan
diimpor oleh Indonesia. Dengan demikian, terjadi
pengurasan nilai, seperti yang terjadi pada komoditi
kakao dan karet. Hal ini disebabkan oleh belum
berkembangnya
industri
pengolahan
untuk
pemenuhan kebutuhan dalam negeri yang memiliki
potensi permintaan tinggi maupun untuk memasok
X-12
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
kebutuhan pasar dunia. Kendala yang dihadapi dalam
pengembangan agroindustri diantaranya adalah
minimnya
infrastruktur
untuk
mendukung
agroindustri seperti jalan, listrik dan air serta
kurangnya akses permodalan/perbankan. Selain itu
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen
terhadap produk pertanian yang diolah di dalam
negeri, memberikan dampak terhadap lebih mahalnya
biaya pengolahan di dalam negeri dibandingkan
dengan ekspor produk mentah dan impor produk
olahannya. Tenaga kerja di sektor pertanian terutama
yang berada di pedesaan masih sangat besar dan
menyebabkan produktivitas tenaga kerja masih
rendah. Pengembangan agroindustri khususnya di
pedesaan akan mengurangi beban tenaga kerja di
sektor primer pertanian.
10.1.3. Peningkatan Produksi dan Nilai Tambah
Perikanan serta Kesejahteraan Nelayan dan
Pembudidaya Ikan
Peranan sub sektor perikanan dalam pembangunan
ekonomi nasional dinilai semakin strategis, sejalan
dengan kontribusinya terhadap peningkatan PDB,
penyerapan tenaga kerja, serta berperan penting
dalam penyedia pangan protein bagi pemenuhan
kebutuhan gizi masyarakat. Produksi ikan Indonesia
yang berasal dari perikanan tangkap menempati
peringkat ketiga dunia setelah China dan Peru,
sementara produksi ikan budidaya (di luar rumput)
laut menempati peringkat ke-empat dunia setelah
China, India, dan Vietnam (FAO, 2012). Namun
demikian, Indonesia belum termasuk dalam 10 besar
negara eksportir ikan dan hasil perikanan dunia (FAO,
2012). Disamping beberapa kemajuan yang telah
diperoleh, masih terdapat beberapa permasalahan dan
Permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan
perikanan, diantaranya adalah:
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-13
Produktivitas Usaha Perikanan Cenderung Stagnan.
Hal ini karena usaha perikanan didominasi oleh
nelayan kecil dan pembudidaya ikan dengan
kepemilikan aset terbatas. Hampir 90 persen armada
kapal perikanan didominasi oleh kapal motor dan
kapal dibawah 5 GT. Sementara itu, kepemilikan lahan
usaha budidaya masih rata-rata dibawah 1 ha.
Disamping itu produksi perikanan masih sangat
rentan terhadap dampak dari kondisi iklim/cuaca
ekstrim. Terjadinya perubahan iklim, pola hujan yang
tidak menentu, dan meningkatnya ancaman hama dan
penyakit, merupakan salah satu acaman bagi
kelangsungan produksi perikanan budidayaAdanya
bencana
kekeringan
maupun
banjir,
gelombang/pasang yang tinggi di laut berpengaruh
terhadap
produksi
perikanan.
Kondisi
ini
menunjukkan bahwa langkah-langkah adaptasi dan
mitigasi terhadap dampak perubahan iklim menjadi
sangat penting dalam proses produksi.
Biaya Input Produksi yang Tinggi. Hal ini
menyebabkan ongkos produksi perikanan budidaya
cenderung semakin meningkat dan cenderung
menurunkan marjin yang diterima pembudidaya ikan.
Bahan baku pakan ikan yang masih dominan berasal
dari luar negeri, menjadikan pengeluaran untuk
pembiayaan pakan menjadi tinggi. Demikian juga,
dengan meningkatnya harga BBM dan sulitnya
memperoleh BBN untuk nelayan menyebabkan ongkos
produksi perikanan tangkap terus meningkat. Disisi
lain, kenaikan harga ikan cenderung lebih rendah
daripada ongkos produksi. Persoalan lainnya
adalahbelum
memadainya
skim
pembiayaan/
permodalan perikanan yang efektif, murah dan
mudah, sehingga menyebabkan usaha perikanan
cenderung stagnan.
X-14
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
Industri Pengolahan Perikanan masih Didominasi oleh
Industri Pengolahan Skala Mikro dan Kecil. Komposisi
industri/unit pengolahan ikan (UPI) skala mikro
mencapai hampir 95 persen dari industri pengolahan
perikanan yang ada (sekitar 60 ribu unit UPI).
Selanjutnya, produk perikanan pada umumnya masih
dipasarkan dalam bentuk primer, belum diolah
sehingga memiliki nilai tambah yang masih terbatas.
Distribusi UPI skala mikro didominasi oleh
penggaraman/pengeringan,
pemindangan,
dan
pengasapan/pemanggangan.
Terkait
dengan
komoditas rumput laut, yang merupakan salah satu
produk terbesar budidaya, mayoritas dijual dalam
bentuk bahan baku olahan, yang dikeringkan,
sementara industriyang mengolah rumput laut
menjadi Alkaline Treated Cottonii (ATC) dan Semi
Refined Carrageenan (SRC) masih terbatas.
LokusIndustri
Pengolahan
Perikanan
yang
Terkonsentrasi di Jawa dan Rendahnya Utilitas
Industri. Distribusi UPI cenderung terkonsentrasi di
Pulau Jawa, yaitu sekitar 45 persen, sisanya jumlah
UPI tersebar di Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan.
Padahal, sumber bahan baku utama pengolahan ikan
banyak berada di wilayah Indonesia bagian timur.
Selain itu utilitas industri pengolahan perikanan baru
mencapai sekitar 60 persen. Rendahnya utilitas
industri pengolahan terutama disebabkan oleh
ketersediaan bahan baku yang fluktuatif, musiman,
dan belum terjaganya kontinuitas produk.
Kurang Memadainya Sarana dan Prasarana Terkait
Logistik Perikanan, termasuk transportasi, sehingga
distribusi produk perikanan kurang efisien. Gudang
beku, gudang dingin, maupun infrastruktur lain dalam
rantai dingin masih terbatas, terutama pada wilayahwilayah yang masih menghadapi kendala kecukupan
energi, sehingga persediaan produk perikanan
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-15
menjadi sulit dipenuhi. Pergudangan juga menghadapi
kendala potensi inefisiensi, baik karena terbatasnya
infrastruktur dasar (air, listrik dan jalan) maupun
adanya lokasi yang kurang tepat. Terkait transportasi,
masih dihadapkan pada keterbatasan rute, frekuensi,
serta infrastruktur transportasi yang memadai yang
menyebabkan biaya transportasi per unit produk
menjadi sangat tinggi, disamping juga karena produk
perikanan yang menuntut pola pengangkutan yang
lebih spesifik (misalnya penggunaan refrigerated
container).
Dalam hal pengelolaan perikanan, platform
pengelolaan perikanan dinilai masih perlu dibenahi
dan diperkuat. Saat ini wilayah pengelolaan perikanan
(WPP) sebagai platformkawasan usaha perikanan
masih belum dilengkapi dengan struktur dan
mekanisme pengelolaan dan tata kelola perikanan
yang baik (good fisheries management), belum
seutuhnya mengadopsi prinsip-prinsipperikanan yang
bertanggungjawab (responsible fisheries). Selain itu,
Permasalahan pengelolaan perikanan ke depan adalah
bagaimana mengembangkan sistem traceability dari
hasil tangkapan ikan mengingat produk yang
dihasilkan harus memenuhi ketentuan keberlanjutan
(sustainability measures) yang semakin menjadi
preferensi bagi pasar domestik maupun internasional.
Komunitas Perikanan Masih Rentan terhadap
Kemiskinan, sekitar 25 persen penduduk miskin di
Indonesia atau 7,9 juta jiwa berasal dari masyarakat
pesisir. Saat ini terdapat sekitar 2,8 juta jiwa
masyarakat pesisir yang berprofesi sebagai nelayan.
Upaya peningkatan kesejahteraan nelayan ini
merupakan Permasalahan besar yang masih harus
dipecahkan serta membutuhkan peran semua pihak
secara sinergis, melalui program-program terpadu
yang memiliki fokus yang jelas dan lokus yang tepat.
X-16
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
10.1.4. Peningkatan Tata Kelola Laut, Pengelolaan Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil serta Pengembangan
Ekonomi Kelautan Berkelanjutan
Indonesia merupakan negara kepulauan yang hampir
70 persen wilayahnya merupakan laut, dengan
panjang pantai 95,2 ribu km dan 17.504 pulau, dengan
potensi yang demikian besar, kondisi ini juga
memberikan Permasalahan pengelolaan yang berat.
Pemanfaatan sumber daya kelautan dan pesisir yang
tidak memperhatikan daya dukung lingkungan tidak
hanya mengancam keberlanjutan sumber daya
tersebut, tetapi juga dapat menjadi gangguan bagi
wilayah sebagian besar Indonesia. Wilayah laut dan
pesisir yang bersifat transboundary sangat rentan
terhadap dampak negatif dari kegiatan yang merusak,
padahal di dalamnya banyak tersedia kekayaan
sumber daya hayati untuk menopang sistem
kehidupan pada saat ini dan di masa yang akan datang.
Oleh sebab itu, sebagai potensi ekonomi andalan ke
depan, sumber daya kelautan harus dikelola secara
berkelanjutan agar fungsinya sebagai penyangga
sistem kehidupan dapat berjalan optimal.
Tata Kelola Laut. Berdasarkan UU No.27/2007
Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil, dan revisinya UU No.1/2014, diamanatkan bagi
pemerintah pusat dan daerah untuk menyusun
rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,
yang mengatur wilayah darat sampai dengan batas
kecamatan dan perairan sampai dengan batas 12 mil
laut. Sampai dengan pertengahan tahun 2014 hanya 4
provinsi, 7 kabupaten dan 5 kota yang telah
menetapkan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulaupulau kecil melalui peraturan daerah. Selain
permasalahan penyelesaian rencana zonasi wilayah
pesisir tersebut, belum adanya peraturan tentang
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-17
penataan ruang laut sampai dengan wilayah zona
ekonomi ekslusif Indonesia menyebabkan pengelolaan
kelautan Indonesia belum efektif.
Pengelolaan pulau-pulau kecil, termasuk pulau-pulau
kecil terluar masih belum memadai. Dari 17.504 pulau
di Indonesia, sekitar 17.400 pulau merupakan pulau
kecil dan sekitar 1.600 merupakan pulau-pulau kecil
berpenduduk serta 92 pulau merupakan pulau-pulau
kecil terluar yang berbatasan dengan negara tetangga
termasuk didalamnya 31 pulau kecil terluar
berpenduduk. Permasalahan yang dihadapi dalam
pengelolaan pulau-pulau kecil, terutama yang
berpenduduk, adalah keterbatasan sarana prasarana
dasar, berupa listrik, air, telekomunikasi, serta sarana
prasarana pengembangan ekonomi di pulau-pulau
kecil serta kurang memadainya jumlah kapal dan rute
penghubung antar pulau kecil dan antara pulau kecil
dengan pulau besar. Peningkatan upaya diperlukan
untuk
mengakselerasi
pertumbuhan
ekonomi
masyarakat pulau-pulau kecil. Dari jumlah total pulau
di Indonesia, sebanyak 13.466 pulau telah dibakukan
namanya dan dilaporkan ke PBB pada tahun 2012,
sedangkan sisanya masih memerlukan pendataan,
pemetaan, penamaan serta pelaporan ke PBB sampai
dengan tahun 2017.
Pengelolaan kawasan konservasi perairan masih perlu
ditingkatkan efektivitasnya. Dalam pertemuan
Convention on Biological Diversity (CBD) pada tahun
2006, Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk
menetapkan 20 juta ha kawasan konservasi perairan
pada tahun 2020. Untuk mencapai target CBD
tersebut, masih diperlukan upaya peningkatan luasan
kawasan konservasi perairan. Sampai dengan tahun
2013, luas kawasan konservasi perairan Indonesia
adalah 15,7 juta ha dan dari luasan kawasan
konservasi tersebut baru sekitar 3,6 juta ha yang telah
X-18
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
dikelola secara efektif. Permasalahan yang dihadapi
dalam pengelolaan efektif adalah keterbatasan jumlah
SDM pengelola, sarana dan prasarana di kawasan
konservasi, serta belum selesainya rencana
pengelolaan atau rencana zonasi kawasan konservasi.
Gambar X.1.
Luas Kawasan Konservasi Perairan (Juta Ha)
Tahun 2004-2012
Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan 2013
Masih maraknya IUU fishing dan kegiatan pemanfaatan
sumberdaya kelautan yang merusak. Untuk
meningkatkan
pengawasan
dan
pengendalian
pemanfaatan
sumber
daya
kelautan,
telah
dilaksanakan
penguatan
sistem
monitoring,
controlling, and surveilance, dengan melibatkan 27 unit
kapal pengawas perikanan, serta meningkatkan
operasi terpadu lintas sektor. Permasalahan yang
dihadapi
antara
lain
cakupan
pengawasan
pemanfaatan sumber daya kelautan yang masih sangat
terbatas dan penegakan hukum yang belum efektif. Hal
tersebut terutama disebabkan oleh jumlah hari
operasi kapal pengawas yang sangat terbatas,
keterbatasan sarana dan prasarana, diantaranya
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-19
sistem monitoring, kapal pengawas, pos pengawas
serta kelompok masyarakat pengawas yang terbentuk
di daerah belum semuanya berperan secara aktif.
Selain
itu,belum
memadainya
kelembagaan
pengawasan sumber daya kelautan menyebabkan
pengawasan terhadap IUU fishing belum optimal.
Masih belum optimalnya pemanfaatan sumberdaya
kelautan untuk pembangunan. Kegiatan ekonomi yang
memanfaatkan
sumberdaya
kelautan
seperti
keindahan bawah laut dan eksotisme pulau-pulau kecil
Indonesia masih kurang dimanfaatkan untuk
meningkatkan pendapatan masyarakat maupun untuk
menggerakkan ekonomi wilayah. Demikian juga usaha
perikanan masih belum optimal dimanfaatkan
dibanding potensi yang ada. Demikian juga
sumberdaya lainnya seperti energi laut, dan kekayaan
plasma nutfah laut yang belum banyak tersentuh.
Wilayah pesisir merupakan wilayah yang rentan
terhadap bencana laut, seperti erosi, abrasi, dan
pencemaran. Untuk mendukung pengamanan wilayah
pesisir dan laut, terutama dari bahaya bencana, perlu
dilakukan upaya meningkatkan ketahanan wilayah
pesisir dari bencana pesisir dan laut, termasuk
pemulihan kawasan pesisir yang rusak.
SDM dan Iptek Kelautan. Kualitas dan kuantitas SDM
kelautan yang belum optimal, kelembagaan
pendidikan dan pelatihan yang belum terbangun
secara utuh serta kurang berperannya inovasi dan
pengembangan iptek tepat guna dalam pembangunan
kelautan dan perikanan masih menjadi isu yang perlu
diselesaikan.
X-20
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
10.1.5. Peningkatan Produksi Hasil Hutan dan
Pengembangan Jasa Lingkungan
10.1.5.1. Pengembangan KPH Produksi dan
Produk Kayu
Sumber daya hutan memiliki potensi
kontribusi yang tinggi dalam pembangunan
ekonomi yaitu dari penyediaan hasil hutan
kayu dan hasil hutan bukan kayu. Hasil
hutan tersebutmerupakan bahan baku bagi
industri pengolahan, seperti pertukangan,
bubur kertas, kertas, obat-obatan dan
kosmetik, plastik, tekstil dan energi. Selain
memenuhi kebutuhan dalam negeri, hasil
hutan dan produk hasil hutan Indonesia
berpotensi besar dalam meningkatkan
ekspor non-migas.
Hasil hutan kayu menjadi andalan ekspor
Indonesia dan menjadi salah satu
kontributor utama PDB nasional pada era
1970-1990an. Namun demikian, data
sepuluh tahun terakhir menunjukkan
kontribusi kehutanan terhadap PDB
nasional terus menurun. Berdasarkan harga
konstan tahun 2000 kontribusi PDB sektor
kehutanan terhadap PDB nasional dari
tahun 2004 hingga 2012 terus mengalami
penurunan, yaitu dari 1,05% tahun 2004
menjadi 0,67% tahun 2012.
Penurunan tersebut disebabkan oleh
rendahnya daya saing produk kehutanan
yang disebabkan oleh:
 Pemanfaatan kawasan hutan produksi
belum optimal. Dari kawasan hutan
produksi yang meliputi area seluas
73,94 juta ha, seluas 22,88 juta ha telah
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-21
dikeluarkan izin usaha pemanfaatan
hasil hutan kayu pada hutan alam, dan
10,28 juta ha hutan tanaman industri.
Sementara itu, pemanfaatan hutan
produksi untuk memberikan akses
pada masyarakat melalui hutan
tanaman rakyat masih sangat rendah,
pencadangan areal untuk hutan
tanaman rakyat baru seluas 0,70 juta
ha,
hutan
desa
dan
hutan
kemasyarakatan seluas 0,58 juta ha.
Hutan produksi seluas 38,44 juta ha
masih
berstatus
open
access,
mengakibatkan
terjadinya
konflik
penggunaan hutan, illegal logging,
illegal trading dan kerusakan hutan.
 Produksi dan produktivitas rendah.
Produksi kayu bulat dari hutan
tanaman meningkat hampir tiga kali
lipat yaitu dari 9,4 juta m3 pada tahun
2004 menjadi 26,1 juta m3 pada tahun
2011. Sementara itu, produksi kayu
bulat dari hutan alam relatif stabil,
yaitu berkisar antara 4,3-5,1 juta
m3/tahun. Pasokan hasil hutan kayu
untuk industri hilir juga didukung oleh
produksi kayu bulat yang berasal dari
hutan rakyat di luar kawasan hutan
yang meningkat dari 0,7 juta m3 pada
tahun 2004 menjadi 3,2 juta m3 pada
tahun
2012.
Meskipun
terlihat
meningkat, produktivitas hasil hutan
sebenarnya masih sangat rendah,
terutama
untuk
hutan
alam.
Berdasarkan perhitungan, dari 24 juta
ha izin usaha yang diberikan, hanya
mampu memproduksi 5,1 juta m3 atau
X-22
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
sekitar
0,28
m3/ha.
Apabila
diasumsikan daur tebang 35 tahun,
maka luasan blok tebang setiap tahun
sekitar 0,47 juta ha, sehingga potensi
produktivitasnya sebesar 10 m3/ha. Hal
ini menunjukkan bahwa produksi kayu
bulatdari hutan alam masih jauh dari
potensinya.
Beberapa
penelitian
menunjukkan
bahwa
potensi
produktivitas kayu komersial dengan
pengelolaan tebang pilih tanam
Indonesia (TPTI) di hutan alam bahkan
dapat mencapai sekitar 30-40 m3/ha.
 Belum
optimalnya
pemanfaatan
potensi hutan produksi yang sudah
dibebani hak. Banyak pemegang izin
usaha pemanfaatan hasil hutan yang
tidak aktif berproduksi. Dari 294 unit
perusahaan pemegang izin usaha
pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan
alam, sebanyak 179 (61%) tidak aktif.
Sementara itu dari 245 unit perusahaan
pemegang izin usaha pemanfaatan
hutan tanaman industri, 139 (58%)
tidak aktif. Kecenderungan penurunan
keaktifan pemegang izin disebabkan
harga jual kayu bulat di dalam negeri
lebih rendah dari biaya produksi.
Kebijakan pelarangan ekspor kayu
bulat, merupakan salah satu penyebab
distorsi pasar di dalam negeri, sehingga
harga kayu bulat di dalam negeri jatuh.
Kondisi ini juga menurunkan minat
investasi
di
industri
hulu,
meningkatkan illegal logging, illegal
tradingdan mematikan tingkat daya
saing industri hilir yang pada akhirnya
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-23
menurunkan daya saing produk kayu di
pasar global.
 Kurang
berkembangnya
industri
primer hasil hutan. Hasil industri
primer kehutanan yang menjadi
andalan produk kehutanan Indonesia
adalah kayu lapis, pulp and paper,
veneer, dan kayu gergajian. Selain dari
produk utama tersebut muncul
beberapa produk kayu olahan yang
menjadi tulang punggung industri
kehutanan, di antaranya particle board,
fiber board dan lainnya. Produksi kayu
lapis pada tahun 2005 tercatat sebesar
4,5 juta m3, menurun cukup tajam
menjadi hanya sekitar 2,9 juta m3 pada
tahun 2012 atau berkurang sekitar 36
persen selama delapan tahun. Produkproduk olahan lainnya mengalami
peningkatan. Produk pulp meningkat
cukup tinggi pada tahun 2012 hingga
mencapai 6,2 juta ton setelah sempat
mengalami
penurunan
produksi
terendah pada tahun 2007 yang hanya
sekitar 0,5 juta ton. Produksi veneer
pernah mencapai titik terendah pada
tahun 2006 yaitu sebesar 0,26 juta m3,
namun dapat bangkit kembali hingga
pada tahun 2012 mencapai 0,8 juta m3.
Pada tahun 2008 produk kayu
gergajian hanya 0,5 juta m3, namun
pada tahun 2012 menjadi 0,9 juta m3.
Sementara itu, pemanfaatan hasil hutan
kayu untuk bio-energi, tekstil, dan bioplastik belum dikembangkan
 Kinerja ekspor belum optimal. Kinerja
ekspor produk utama kehutanan dari
X-24
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
tahun ke tahun cenderung semakin
meningkat, antara tahun 2005 sampai
2012 mengalami kenaikan signifikan
sebesar 52 persen dari US$2.380,57
juta pada tahun 2005 menjadi
US$3.637,69 juta pada tahun 2012.
Produk utama kehutanan yaitu pulp,
kayu gergajian, plywood dan laminated
veneer lumber (LVL), veneer, particle
board,
dan
fiberboard.
Namun,
kenaikan kinerja ekspor sektor
kehutanan didominasi oleh produk
andalan, yaitu pulp, plywood dan LVL,
sedangkan untuk produk yang lainnya
nilai ekspor cenderung tidak berubah
hanya
sekitar
4
persen
dari
keseluruhan nilai ekspor.
 Penerapan prinsip pengelolaan hutan
berkelanjutan belum sepenuhnya.
Telah dilakukan pemberian sertifikat
Pengelolaan Hutan Produksi Lestari
(PHPL)
yang
diberikan
kepada
pemegang izin usaha pemanfaatan hasil
hutan kayu-hutan alam dan hutan
tanaman.
Hingga
tahun
2013,
persentase pemegang izin yang
bersertifikat PHPL masih sedikit. Hanya
48 unit dari 294 pemegang izin usaha
pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan
alam dan 26 unit dari 245 pemegang
izin usaha pemanfaatan hasil hutan
kayu-hutan tanaman yang aktif dan
bersertifikat.
Sejalan
dengan
peningkatan daya saing di tingkat
global, PHPL diperkuat dengan Sistem
Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang
melindungi produk kayu legal. Selain
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-25
itu, Pemerintah Indonesia dan Uni
Eropa telah menandatangani Voluntary
Partnership Agreement (VPA) sehingga
hanya produk yang bersertifikat SVLK
yang dapat masuk ke pasar Uni Eropa.
Selain untuk menerapkan prinsipprinsip Sustainable Forest Management,
hal tersebut sekaligus merupakan
upaya untuk memerangi illegal logging
dan illegal trading.
10.1.5.2. Pengembangan KPH Lindung dan Hasil
Hutan Bukan Kayu
Hutan lindung mempunyai fungsi pokok
sebagai perlindungan sistem penyangga
kehidupan untuk mengatur tata air,
mencegah banjir, mengendalikan erosi,
mencegah intrusi air laut, dan memelihara
kesuburan tanah. Hutan lindung dapat
ditetapkan di wilayah hulu sungai
(termasuk pegunungan di sekitarnya)
sebagai
wilayah
tangkapan
hujan
(catchment area), di sepanjang aliran
sungai, di tepi-tepi pantai pada hutan bakau,
dan tempat-tempat lain sesuai fungsi yang
diharapkan. Luas hutan lindung di
Indonesia kurang lebih 32,2juta ha atau
24% dari seluruh kawasan hutan Indonesia.
Berdasarkan data Statistik Kehutanan tahun
2012 tutupan hutan lindung seluas 24,76
juta ha atau sekitar 76,9%.
Keberadaan hutan, termasuk hutan lindung,
saat ini masih belum dimanfaatkan untuk
peningkatan ekonomi masyarakat yang
tinggal di sekitar kawasan hutan. Data
X-26
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013
menyebutkan bahwa jumlah penduduk
miskin di seluruh wilayah Indonesia
sebanyak 28,07 juta orang. Berdasarkan
data Renstra Kementerian Kehutanan 20102014, disebutkan bahwa terdapat 48,8 juta
penduduk pedesaan tinggal di sekitar
kawasan hutan dan sejumlah 10,2 juta
orang di antaranya termasuk sebagai
kelompok miskin. Hutan sebagai penyangga
kehidupan dapat dimanfaatkan sebagai
sumber penghidupan dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sampai dengan saat ini kesejahteraan
masyarakat di sekitar kawasan hutan masih
membutuhkan perhatian.
Berdasarkan data statistik Kementerian
Kehutanan tahun 2010 terdapat 31.957
desa yang berada di dalam kawasan hutan,
di tepi atau sekitar kawasan hutan. Jumlah
ini merupakan 36,17% dari seluruh desa
yang ada di Indonesia. Jumlah desa yang
berada di dalam kawasan hutan terbanyak
ada di Provinsi Kalimantan Tengah, jumlah
desa di tepi dan sekitar kawasan hutan
terbanyak ada di Provinsi Jawa Tengah.
Persentase desa yang berada di tepi
kawasan hutan relatif besar jumlahnya
yaitu 25,7% dari seluruh desa yang terkait
dengan hutan.
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-27
Tabel X.2.
Desa di Kawasan Hutan 2010
Desa terkait
kawasan hutan
Jumlah
Persentase (%)
dari seluruh
desa terkait
kawasan hutan
Persentase
(%) dari
seluruh desa
di Indonesia
Di dalam kawasan
1.305
4,08
1,48
Di sekitar kawasan
7.943
24,86
8,99
22.709
71,06
25,70
Di tepi kawasan
Sumber : Renstra Kemenhut 2010-2014; BPS,2010
Kebijakan yang telah diambil dalam rangka
pengentasan kemiskinan masyarakat di
sekitar kawasan hutan periode 2010-2014
salah satunya adalah pemberian akses
kepada masyarakat untuk memanfaatkan
kawasan hutan melalui pola Hutan
Kemasyarakatan (HKm) dan Hutan Desa
(HD). Secara kumulatif, jumlah HKm dan HD
yang telah dibangun hingga saat ini telah
mencapai seluas 1.538.199,80 ha dari target
2.500.000 ha. Selain itu, pemerintah juga
membangun Hutan Rakyat (HR) kemitraan
di luar kawasan hutan seluas 56.334 ha
pada tahun 2012 dan seluas 50.000 ha pada
tahun 2013.
10.1.6. Peningkatan Konservasi dan Tata Kelola Hutan
Serta Pengelolaan DAS
10.1.6.1. Peningkatan
Kehutanan
Kinerja
Tata
Kelola
Belum optimalnya pemanfaatan sumber
daya hutan baik dari sisi ekonomi, sosial
maupun lingkungan disebabkan tata kelola
hutan yang baik masih belum berjalan.
X-28
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
Pemanfaatan hasil hutan belum dapat
memberikan kontribusi yang signifikan
pada
pertumbuhan
ekonomi
dan
kesejahteraan rakyat. Tingkat kemiskinan
penduduk yang berada di dalam dan sekitar
kawasan hutan masih tinggi. Di sisi
lingkungan, kualitas sumber daya hutan
juga
semakin
menurun,
terjadinya
deforestasi dan degradasi hutan akibat
konversi kawasan hutan untuk kegiatan non
kehutanan, perambahan liar, kebakaran
hutan, penebangan liar dan perdagangan
hasil hutan tanpa izin. Meningkatnya
kebutuhan penduduk untuk pertanian,
pertambangan, industri, infrastruktur, dan
permukiman
semakin
meningkatkan
tekanan terhadap keberadaan kawasan
hutan yang pada akhirnya menurunkan
kinerja pengelolaan kawasan hutan. Untuk
mengantisipasi perubahan tersebut maka
diperlukan perbaikan tata kelola sumber
daya hutan.
Tata kelola kehutanan dimulai dengan
memberikan kejelasan status hukum (legal)
sebuah kawasan hutan. Sesuai dengan UU
No. 41/1999 dan Keputusan MK No.
45/2011 pengukuhan kawasan hutan
diwujudkan dalam proses penunjukkan,
penataan batas, pemetaan hingga diakhiri
dengan
penetapan
kawasan
hutan.
Kepastian tenurial dengan ditetapkannya
kawasan hutan memudahkan dilakukannya
penatagunaan kawasan hutan yang meliputi
penetapan fungsi dan penggunaan kawasan
hutan. Aspek lainnya dalam tata kelola
adalah pembentukan wilayah pengelolaan
hutan hingga tingkat unit pengelola yang
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-29
disebut Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).
KPH ini memastikan pembagian peran
regulator dan pelaksana (operator).
Ketidakjelasan status kawasan hutan
mengakibatkan konflik di tingkat tapak.
Saat ini, persentase kawasan hutan yang
telah ditetapkan masih sangat rendah, baru
mencapai sekitar 14% dari seluruh luas
kawasan hutan. Salah satu penyebab
rendahnya persentase penetapan kawasan
hutan adalah belum selesainya penataan
batas kawasan hutan. Upaya telah dilakukan
selama RPJMN 2010-2014 untuk mencapai
63.000 km tata batas, namun belum sampai
tahap penetapan. Ketidakpastian hukum
atas tenurial ini memunculkan berbagai
masalah. Konflik yang terjadi dapat berupa
tumpang tindih izin, misalnya antara izin
kehutanan, pertambangan, dan perkebunan.
Selain itu, terjadi perambahan hutan secara
liar oleh masyarakat yang secara illegal
melakukan alih fungsi kawasan hutan
menjadi kawasan budidaya non kehutanan.
Ketidakhadiran pengelola (KPH) di tingkat
tapak
menyebabkan
sejumlah
permasalahan yang tidak dapat segera
ditangani. Illegal activities (logging, hunting,
encroaching), pencurian plasma nutfah,
kebakaran hutan dan lahan masih terus
berlangsung di dalam kawasan hutan yang
berdampak pada rusaknya ekosistem hutan.
Kebijakan
pembangunan
KPH
dan
operasionalisasi KPH telah diterapkan
dalam RPJMN tahap kedua melalui
pembentukan 120 KPH model dan
X-30
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
dukungan
pembangunan
prasarananya.
sarana-
Masalah kebakaran hutan dan lahan di
Indonesia semakin meningkat dalam kurun
waktu sepuluh tahun terakhir ini. Banyak
pihak merasa berkepentingan untuk
menanggulangi masalah kebakaran hutan
dan lahan di Indonesia mengingat
dampaknya yang sangat merugikan baik
untuk skala nasional, skala regional Asia
Tenggara, maupun skala global. Kebakaran
hutan secara nyata berpengaruh terhadap
hilangnya
keanekaragaman
hayati,
pemanasan global, kesehatan, dan hilangnya
kesempatan ekonomi bagi masyarakat.
Beberapa akar permasalahan penyebab
kebakaran hutan dan lahan: (1) Revisi
RTRWP, RTRW Kabupaten/Kota yang
terjadi terus menerus; (2) Kebijakan alokasi
lahan yang tumpang tindih; (3) Masalah
konflik
pengusahaan
lahan;
(4)
Kependudukan,
laju
pertumbuhan
penduduk dan migrasi; (5) Peningkatan
degradasi hutan dan lahan; dan (6) Struktur
dan koordinasi kelembagaan dalam
pengelolaan sumber daya alam belum
berjalan dengan baik. Permasalahan
kebakaran hutan dan lahan ternyata
merupakan permasalahan yang kompleks
dan tidak hanya mencakup sektor
kehutanan tetapi harus dilihat secara lebih
luas dari segi pengelolaan landscape atau
bentang lahan, persoalan sosial serta
persoalan ekonomi.
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-31
Gambar X.2.
Jumlah Hotspot Dalam Kawasan Hutan Tahun 2004-2013
146.264
61.481
37.909
37.896
30.616
39.463
28.474
34.789
19.066
9.880
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Jumlah Hotspot
Sumber: Diolah dari Buku Statistik Kehutanan Indonesia Tahun 2004 s/d
Tahun 2012
Gambar X.3.
Luas Kebakaran Dalam Kawasan Hutantahun 2004-2012
8.269
7.619
6.975
6.793
5.502
4.141
3.500
3.344
2.612
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Luas Hutan Terbakar
Sumber : Diolah dari Buku Statistik Kehutanan Indonesia Tahun 2004 s/d
Tahun 2012
10.1.6.2. Peningkatan Konservasi dan
Keanekaragaman Hayati
Penyelenggaraan perlindungan hutan dan
konservasi alam bertujuan untuk menjaga
kawasan hutan dan lingkungannya agar
fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi
produksi, tercapai secara optimal dan
X-32
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
lestari. Sebagai kawasan yang berperan
sebagai pertahanan terakhir pelestarian
biodiversitas dan ekosistem di Indonesia,
kawasan konservasi atau KPH-Konservasi
merupakan kawasan dimana fungsi 3P
(Perlindungan,
Pemanfaatan
dan
Pengawetan)
diprioritaskan.
Menurut
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990,
kawasan konservasi tersebut dibagi
menjadi: Cagar Alam, Suaka Margasatwa,
Taman Nasional, Taman Wisata Alam,
Taman Buru dan Taman Hutan Raya.
Tabel X.3
Luas Kawasan Konservasi Berdasarkan Fungsi
No.
Fungsi
Jumlah
(unit)
Luas (ha)
% Luas
1.
Cagar Alam (CA)
221
4.075.611,7
15,0
2.
Suaka Margasatwa (SM)
75
5.029.726,5
18,6
3.
Taman Nasional (TN)
50
16.372.064,6
60,4
4.
Taman Wisata Alam (TWA)
115
748.571,9
2,8
5.
Taman Buru (TB)
13
220.951,4
0,8
6.
Taman Hutan Rakyat (TAHURA)
23
351.680,4
1,3
7.
Kawasan Suaka Alam -Kawasan
pelestarian Alam
24
309.880,3
1,1
527
27.108.486,8
100
Total
Sumber: Statistik Ditjen PHKA 2012
Dari tabel di atas, pengelolaan kawasan
konservasi dalam bentuk taman Nasional
merupakan kawasan konservasi terluas
meliputi 60.39% dari total kawasan
konservasi di Indonesia atau seluas 16,4
juta hektar. Secara keseluruhan, luas taman
nasional terbagi lagi ke dalam 50 unit
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-33
pengelola kawasan Taman Nasional atau
Kesatuan Pengelola Hutan KonservasiTaman Nasional (KPHK-TN) yang tersebar
di seluruh wilayah Indonesia. Hingga saat
ini, fungsi kawasan konservasi yang tidak
termasuk ke dalam pengelolaan KPHK–
TN(mencakup area seluas 10,7 juta Ha)
dikelola melalui Balai/Balai Besar KSDA.
Saat ini dirasakan bahwa penyelenggaraan
perlindungan hutan dan konservasi alam
belum dapat dilakukan dengan optimal
sehingga keberadaan kawasan konservasi
belum berperan dalam upaya meningkatkan
kemakmuran masyarakat. Adapun beberapa
permasalah utama yang dihadapi antara
lain:
Tingginya tekanan dan perambahan
kawasan konservasi oleh masyarakat
sekitar hutan. Peningkatan populasi,
tingginya jumlah penduduk di bawah garis
kemiskinan serta kebutuhan akan lahan
untuk berproduksi secara sistemik menjadi
faktor utama (underlying drivers) dalam
degradasi hutan konservasi di berbagai
wilayah
di
Indonesia.
Implikasinya,
intensitas perambahan liar, kebakaran
hutan, pencurian pelbagai plasma nutfah,
tidak terkendalinya Alien Invasive Species
(AIS), perdagangan tanaman dan satwa liar
secara ilegal, perburuan ilegal di kawasan
konservasi masih banyak terjadi dan
membutuhkan solusi yang komprehesif
dalam menanganinya.
Jumlah sumber daya manusia, serta sarana
dan prasana bidang pengamanan hutan
sangat terbatas dibandingkan luas kawasan
X-34
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
hutan yang harus diamankan. Perlindungan
dan pengamanan hutan dibutuhkan dengan
tujuan mencegah dan meminimalkan
kerusakan hutan serta menjaga hak negara
atas hutan dan hasil hutan, dan memiliki
nilai strategis dalam kehidupan masyarakat
dan negara. Saat ini Indonesia hanya
memiliki tenaga Polisi Hutan sebanyak
sekitar 8.000 orang yang hanya dilengkapi
dengan sarana dan prasarana sangat minim.
Rasio pengamanan kawasan hutan saat ini
masih berkisar antara 1 orang Polhut
meliputi wilayah sekitar 16.000 Ha. Dengan
wilayah operasi yang sangat luas dan sarana
dan prasarana yang sangat minim,
efektifitas pengamanan hutan menjadi tidak
optimal.
Pemanfaatan kawasan konservasi dan
keanekaragaman hayati di dalamnya perlu
ditingkatkan
untuk
meningkatkan
pendapatan negara maupun masyarakat
sekitar kawasan hutan. Sumber daya hutan
menyediakan berbagai keanekaragaman
hayati mulai dari tingkat keanekaragaman
ekosistem, keanekaragaman spesies hingga
keanekaragaman genetik yang dapat
dimanfaatkan secara ekonomi dalam bentuk
perdagangan tumbuhan dan satwa liar
(terutama ekspor) serta bioprospecting.
Sumber daya hutan juga memiliki jasa
lingkungan seperti wisata alam, penyediaan
air dan rosot karbon yang dapat
dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk
kesejahteraan masyarakat. Perdagangan
tumbuhan dan satwa liar hasil penangkaran
baik secara in-situ maupun ex-situ telah
memberikan
kontribusi
terhadap
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-35
penerimaan negara bukan pajak (PNBP)
dan devisa yang terus meningkat.
Penerimaan devisa untuk tumbuhan pada
tahun 2011 sebesar USD 4,4 juta, masih jauh
lebih rendah dibandingkan dengan satwa
yang mencapai USD 445,6 juta (Gambar
X.4x). Potensi penerimaan devisa tersebut
masih dapat dikembangkan mengingat
luasnya kawasan hutan konservasi serta
tingginya minat dunia usaha dalam
melakukan usaha penangkaran. Di sisi lain,
upaya pemerintah dalam memanfaatkan
sumber
daya
hutan
khususnya
keanekaragaman hayati, untuk memenuhi
bahan baku obat-obatan dan kosmetika
atau yang dikenal dengan Bioprospecting
perlu terus dikembangkan mengingat
potensi kekayaan keanekaragaman hayati
Indonesia.
Gambar X.4
Nilai Devisa Perdagangan Tanaman Dan Satwa
Tahun 2008-2011 (Dalam USD)
Sumber: Statistik Kehutanan 2012
X-36
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
Gambar X.5
Nilai PNBP Tumbuhan Dan Satwa Liar Tahun 2008-2013
Sumber: Statistik Kehutanan 2012
10.1.6.3. Peningkatan Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai (DAS)
UU No. 41/1999 tentang Kehutanan
mengamanatkan bahwa penyelenggaraan
kehutanan bertujuan untuk sebesarbesarnya
kemakmuran rakyat yang
berkeadilan dan berkelanjutan dengan salah
satunya meningkatkan daya dukung daerah
aliran sungai (DAS). Jumlah DAS di seluruh
wilayah Indonesia yaitu 17.088 DAS. Dari
seluruh DAS tersebut 180 DAS di antaranya
merupakan DAS prioritas Nasional yang
keseluruhannya saat ini merupakan DAS
yang kondisinya harus dipulihkan.
Sampai dengan tahun 2014, telah
diselesaikan 132 dokumen Rencana
Pengelolaan DAS Terpadu (RPDAST).
Dokumen ini merupakan langkah awal
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-37
untuk menuju pengelolaan DAS yang lebih
terintegrasi,
yang
didukung
aspek
kelembagaan, pendanaan dan regulasi. Pada
tahun 2011, luas lahan di dalam kawasan
hutan yang tergolong sangat kritis
mencapai 3,412 juta ha dan tergolong kritis
mencapai 11,42 juta ha. Pada tahun yang
sama, luas lahan di luar kawasan hutan yang
tergolong sangat kritis mencapai 5,27 juta
ha dan tergolong kritis mencapai 10,60 juta
ha.
Dalam rangka mempertahankan dan
meningkatkan daya dukung DAS telah
dilakukan rehabilitasi hutan dan lahan
(RHL). Pada tahun 2011 sampai dengan
tahun 2012 telah dilakukan rehabilitasi
hutan konservasi/lindung seluas 100.986
ha. Rehabilitasi lahan kritis mencapai seluas
398.631 ha; dan rehabilitasi mangrove,
gambut dan rawa seluas 8.869 ha.
Disamping itu Gerakan Menanam Satu
Miliar Pohon pada tahun 2010 telah
terealisasi sebanyak 1,39 miliar pohon,
pada tahun 2011 sebanyak 1,52 miliar
pohon, dan pada tahun 2012 meningkat
menjadi 1,6 miliar pohon. Selain kegiatan
penanaman dalam rangka memperbaiki
kondisi hutan serta mempertahankan fungsi
DAS, juga dilakukan kegiatan RHL dalam
bentuk sipil teknis dengan membangun dam
pengendali dan penahan, gully plug, sumur
resapan, dan embung yang tersebar di
beberapa DAS. Upaya RHL dengan berbagai
program melalui penanaman dan sipil
teknis telah berhasil menurunkan lahan
kritis seluas 2,9 juta ha dalam kurun waktu
5 (lima) tahun.
X-38
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
10.1.7.
Penguatan Pasokan, Bauran dan
Efisiensi Konsumsi Energi
Ketahanan
energi
(energy
security)
menggambarkan sampai sejauh mana
energi dapat disediakan secara tepat waktu
dan terjamin ketersediaannya dengan harga
yang terjangkaudan mutu yang dapat
diterima. Indikator yang digunakan untuk
menggambarkan
ketahanan
energi
termasuk jumlah energi (availability), baik
sumber
daya
maupun
cadangan,
ketersediaan infastruktur (accessability),
harga energi (affordability), kualitas energi
(acceptability), serta portofolio atau bauran
energi (energy mix). Di samping itu,
ketahanan energi juga mempunyai elemen
keberlanjutan (sustainability), sehingga
energi dituntut untuk dikelola dengan
memperhatikan daya dukung lingkungan
(environment).
Jumlah energi yang dibutuhkan selama lima
tahun mendatang diperkirakan akan
meningkat dengan laju pertumbuhan
masing-masing sebesar 5-6 persen untuk
energi primer, dan 7-8 persen per tahun
untuk energi final. Meningkatnya kebutuhan
energi ini menuntut tersedianya sumber
daya dan cadangan energi yang cukup serta
infrastruktur energi yang memadai, seperti
kilang BBM dan LPG. Selain itu, harga energi
perlu
disesuaikan
untuk
menjamin
ketersediaan pasokan energi dengan tidak
mengganggu
kemampuan
daya
beli
masyarakat. Ketergantungan terhadap
minyak bumi perlu dikurangi sehingga
bauran energi menjadi lebih sehat dengan
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-39
memaksimalkan
penggunaan
energi
terbarukan
dan
mengoptimalkan
pemanfaatan gas alam. Konsumsi energi
juga perlu dikelola dengan baik sehingga
pemborosan serta jumlah emisi dapat
dikurangi.
10.1.7.1. Produksi Energi Nasional
Produksi minyak mentah (crude) terus
menurun. Sepanjang lima tahun terakhir ini,
produksi rata-rata minyak bumi di bawah 1
juta barel per hari (bph). Pada tahun 2010,
produksi minyak bumi mencapai 945 ribu
barrel per hari, terus menurun menjadi 825
ribu bph (2013), dan diperkirakan akan
menjadi 804 ribu bph pada tahun 2014.
Tingkat produksi yang cukup rendah
initerutama disebabkan oleh sebagian besar
produksi minyak bumi berasal dari ladang
minyak tua (mature), sekitar 60 persen dari
total lapangan minyak saat ini, dimana
tingkat produksinya terus mengalami
penurunan
(natural
depletion).
Pemanfaatan teknologi EOR masih terbatas
di beberapa sumur, seperti teknologi injeksi
uap (steam-flooding) di lapangan minyak
Duri di Sumatera sejak tahun 1985, dan
teknologi injeksi air (water-flooding) di
beberapa lapangan minyak di Sumatera,
seperti Blok Intan di Sumatera Utara dan
Lapangan
Kenali
Asam
di
Jambi.
Penggunaan teknologi CO2-flooding dan
chemical/surfactant Injection di sumursumur lainnya masih dalam taraf studi
kelayakan
atau
penelitian.
Dengan
mempertimbangkan
bahwa
produksi
minyak Indonesia sudah dalam keadaan
X-40
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
darurat, maka penerapan teknologi EOR
untuk meningkatkan produksi perlu
dilakukan secara masif.
Mulai tahun 2013, asumsi makro
pembangunan telah memasukkan produksi
gas bumi,tidak hanya dari produksi minyak
bumi. Meskipun relatif stabil, produksi gas
bumi juga mengalami penurunan dari tahun
2010 ke 2012. Pada tahun 2010, produksi
gas bumi mencapai 1.582 ribu barrel setara
minyak (SBM) per hari, namun kemudian
turun menjadi 1.441 ribu SBMper hari pada
tahun 2013. Laju pertumbuhan penggunaan
gas bumi memang jauh berada di bawah
pertumbuhan penggunaan batubara, namun
kenaikan penggunaan gas terlihat stabil di
tingkat laju pertumbuhan tersebut.
Produksi batubara meningkat cukup pesat
sejalan dengan peningkatan permintaan
domestik dan ekspor. Pada tahun 2010,
produksi batubara mencapai 275 juta ton,
dan pada tahun 2013 mencapai 421 juta
ton. Pada tahun 2010 ekspor batubara
mencapai 208 juta ton, dan terus meningkat
mencapai 349 juta ton pada tahun 2013,
atau sekitar 76 persen dari total produksi
batubara nasional.
10.1.7.2. Cadangan Energi Nasional
Cadangan penyangga dan operasional
Minyak Mentah, BBM dan LPG masih sangat
terbatas. Penyediaan energi nasional saat
ini belum mempertimbangkan perlunya
ketersediaan cadangan BBM dan LPG jika
terjadi krisis atau kelangkaan energi.
Kapasitaspenyimpanan saat ini adalah
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-41
sebesar 7,7 juta KL untuk BBM dan 430 ribu
Metric Ton (MT) untuk LPG. Cadangan yang
ada berupa cadangan operasional minyak
mentah dengan fasilitas penyimpanan
(storage) atau penimbunan (stock) untuk 17
hari, cadangan operasional BBM untuk 2123 hari, dan cadangan LPG untuk 17 hari.
Untuk meningkatkan kehandalan dalam
pasokan energi, diperlukan sekurangkurangnya cadangan operasional dengan
kapasitas fasilitas penyimpanan atau
penimbunan BBM dan LPG selama 30 hari.
Cadangan minyak dan gas bumi yang
cenderung tidak meningkat sejak 5 tahun
yang
lalu.
Berdasarkan
rencana
pengembangan pada tahun 2012, potensi
cadangan minyak sebesar 3.671,6 MMSTB
dan gas bumi sebesar 48,4 TSCF.Untuk gas,
rasio produksi-cadangan (reserve to
production – R/P) saat ini mencapai 30-32
tahun dan rasio pergantian (replacement to
reserve, R/R) 67 persen. Hal ini
menunjukkan bahwa intensitas kegiatan
eksplorasi untuk menemukan cadangan gas
tidak dapat mengikuti intensitas kegiatan
produksi gas, yang saat ini mencapai 3,3
TCF per tahun.
10.1.7.3. Konsumsi Energi Nasional
Impor minyak mentah, BBM dan LPG
semakin meningkat. Guna memenuhi
kebutuhan minyak mentah dan BBM, impor
harus ditingkatkan karena produksi minyak
mentah dan BBM di dalam negeri terbatas.
Impor minyak mentah pada tahun 2013
mencapai 250-300 ribu barel per hari (bph),
atau 30 persen dari kebutuhan minyak
X-42
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
mentah yang menjadi intake kilang minyak
nasional. Hanya sekitar 550-600 bph atau
sekitar 60 persen dari produksi minyak
nasional yang diproduksi di dalam negeri
digunakan untuk intake kilang minyak
nasional, sedangkan sisanya diekspor oleh
perusahaan Kontraktor Kerja Sama (KKS).
Kapasitas kilang BBM didalam negeri hanya
6.740 ribu KL, jauh dari cukup untuk
memenuhi kebutuhan BBM nasional. Pada
tahun 2013, kilang nasional hanya mampu
memproduksi BBM sebanyak 1.051,9 ribu
bph, jauh dari kebutuhan BBM nasional,
yang mencapai 46,83 juta KL. Pada tahun
2013, impor BBM mencapai 23,03 Juta KL,
atau sekitar 49 persen dari kebutuhan BBM
nasional.
Dengan
diperkenalkannya
substitusi BBM jenis minyak tanah ke LPG
sejak tahun2007, kebutuhan LPG terus
meningkat. Kebutuhan ini tidak dapat
dipasok oleh kilang LPG nasional sehingga
59 persen harus di impor dari beberapa
negara penghasil LPG, terutama Arab Saudi.
Dalam lima tahun mendatang, kebutuhan
BBM dan LPG akan semakin meningkat dan
diproyeksikan akan mencapai masingmasing 752,64 Juta SBM dan 77,2 Juta SBM
pada tahun 2019, dan impor BBM dan LPG
masing-masing 292,89 Juta SBM dan 68,67
Juta SBM
Penggunaan gas bumi di dalam negeri
masih belum maksimal. Tidak seperti
halnya minyak bumi, penggunaan gas bumi
terus mengalami kenaikan, dengan laju
pertumbuhan sebesar 8,18 persen per
tahun (tahun 2001-2012). Pada tahun 2013,
pasokan gas ke dalam negeri mencapai
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-43
3.774 MMSCFD, atau sekitar 52,1 persen
dari total produksi gas nasional. Pasokan
gas untuk tiga pengguna strategis,
pembangkit listrik, pupuk, dan industri
manufaktur,
masing-masing
mencapai
912,42; 735,84 dan 1.345,05 BBTUD.
Namun angka ini jauh lebih rendah dari
angka kebutuhan gas nasional yang
mencapai 7.937,09 BBTUD. Kebijakan
Domestic Market Obligation (DMO) serta
harga gas yang relatif rendah, dibandingkan
dengan BBM, telah memicu konsumsi gas
secara signifikan. Selain itu,hal ini juga
dipicu oleh peningkatan permintaan untuk
industri pupuk ini mencapai 12 persen per
tahun dan untuk sektor industri manufaktur
sebesar 8 persen per tahun. Meskipun
pemanfaatan gas untuk pembangkit tenaga
listrik mengalami penurunan karena adanya
peralihan ke pembangkit dengan bahan
bakar batubara (PLTU), namun dalam lima
tahun
kedepan
permintaan
gas
diperkirakan akan kembali meningkat
untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional.
Di Sektor Rumah tangga,Konversi BBM jenis
minyak tanah ke LPG telah berhasil
menaikkan konsumsi LPG sebesar 1,11 juta
ton dibandingkan pada tahun 2010 sebesar
2,35 juta ton. Pada tahun 2013, konsumsi
LPG rumah tangga mencapai 4,40 juta ton,
dengan laju pertumbuhan rata-rata 2
persen per tahun.
Pasokan gas ke industri dalam negeri
terkendala oleh keterbatasan kapasitas
infrastruktur gas, yakni pipa transmisi dan
distribusi gas, serta fasilitas/terminal
regasifikasi. Saat ini pipa transmisi yang ada
X-44
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
sepanjang 3.773,82 km, menghubungkan
lapangan-lapangan gas di Sumatera ke
pusat permintaan gas di Jawa Barat. Namun
demikian, kapasitasnya masih terbatas, dan
pusat-pusat permintaan gas di Jawa,
sepanjang pantai utara Jawa Barat, Tengah,
dan Timur, belum terhubung oleh pipa
transmisi secara terpadu. Demikian juga
jaringan gas distribusi yang baru dibangun
di beberapa kota besar dengan kapasitas
terbatas, yaitusebanyak 73 ribu sambungan
rumah tangga di 13 kota. Fasilitas atau
terminal penerima dan regasifikasi LNG
masih belum terbangun sesuai degan
kebutuhan sehingga pasokan gas dalam
bentuk LNG masih terbatas. Saat ini, jumlah
SPBG yang dibangun pemerintah dan
badanusaha baru mencapai 41 unit yang
tersebar di di Jabodetabek, Palembang,
Surabaya, Gresik, Sidoarjo, Balikpapan dan
Pekanbaru.
Pemanfaatan batubara di dalam negeri
masih
terbatas
dan
menghadapi
Permasalahan isu lingkungan. Pengguna
terbesar batubara di dalam negeri adalah
pembangkit listrikyang mencapai 59 juta
ton pada tahun 2013, atau sekitar 14 persen
dari total konsumsi batubara nasional.
Jumlah cadangan batubara dengan jenis low
rank coal mencapai 8,7 Miliar ton, atau
sekitar 41 persen dari total cadangan
batubara nasional. Pemanfaatan batubara
jenis ini memerlukan teknologi khusus
melalui proses upgrading brown coal,
sehingga kadar airnya dapat diturunkan,
dan pengangkutannya akan lebih ekonomis.
Pengubahan batubara menjadi cair (Coal
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-45
Liquifaction) akan sangat diperlukan guna
memanfaatkan batubara menjadi bahan
bakar sintetik atau bahan bakar cair
pengganti BBM untuk sektor transportasi.
Demikian juga pengubahan batubara
menjadi gas (Coal Gasification) untuk
menghilangkan kandungan/senyawa sulfur
dan abu, dapat bermanfaat untuk
pembangkit listrik jenis Integrated Gas Coal
Combined Cycle (IGCC) sehingga tingkat
efisiensinya lebih tinggi, dan emisi CO2-nya
dapat dikurangi. Saat ini penerapan
beberapa teknologi bersih (Clean Coal
Technology) ini masih terbatas sebagai
obyek penelitian dan pilot project, dan
belum diterapkan secara komersial karena
penerapannya memerlukan biaya yang
cukup besar.
10.1.7.4. Penetapan Harga dan Pembangunan
Infrastruktur Energi
Besaran subsidi dalam penetapan harga
BBM yang semakin meningkat menjadi
beban keuangan negara. Sampai saat ini,
pemerintah
masih
mengalokasikan
anggaran untuk subsidi BBM. Subsidi dapat
memberikan tekanan fiskal seiring dengan
meningkatnya volume BBM bersubsidi dan
selisih harga BBM bersubsidi dengan nilai
keekonomiannya. Harga BBM punya
pengaruh
yang
signifikan
pada
perekonomian
dan
kebijakan
fiskal
mengingat pemenuhan BBM tersebut masih
sangat tergantung kepada impor dan harga
di pasaran dunia berfluktuasi. Pada tahun
2012 volume BBM bersubsidi mencapai
43,3 juta kilo liter, meningkat 13,4 persen
X-46
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
dibandingkan tahun 2008. Pada tahun yang
sama besaran subsidi sudah mencapai lebih
dari Rp200 Triliun atau naik sekitar 4 kali
lipat dibandingkan tahun 2009.
Harga gas didalam negeri saat ini relatif
rendah dibandingkan dengan harga gas
ekspor. Walaupun harga gas saat ini
ditetapkan
berdasarkan
tingkat
affordability, bahan bakar gas tidak
mungkin dapat berkompetisi dengan bahan
bakar minyak, yang saat ini masih disubsidi.
Meskipun dalam beberapa tahun terakhir
harga gas dalam negeri dinaikkan, dan
berdampak kepada kenaikkan harga gas
konsumen akhir, harga gas dalam negeri
masih
relatif
jauh
lebih
rendah
dibandingkan harga gas ekspor. Hal ini
memberikan kecenderungan bagi produsen
gas untuk tetap memprioritaskan penjualan
gas ke luar negeri (ekspor). Untuk
meningkatkan pasokan gas di dalam negeri
diperlukan penyempurnaan harga gas, baik
harga gas domestik maupun harga gas
konsumen akhir.Untuk harga patokan
batubara di dalam negeri ditetapkan
mengacu pada rata-rata indeks harga
batubara sesuai dengan mekanisme pasar
dan/atau sesuai dengan harga yang berlaku
umum di pasar internasional. Harga
patokan ini wajib digunakan sebagai acuan
harga batubara bagi pemegang IUP Operasi
Produksi dan IUPK Operasi Produksi
Batubara serta PKP2B dalam penjualan
batubara.
Penetapan
terbarukan
harga
energi
terus
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
baru dan
mengalami
X-47
penyempurnaan. Saat ini penetapan harga
Bahan Bakar Nabati (BBN) didasarkan pada
bahan yang dicampurkan ke dalam jenis
bahan bakar tertentu. Untuk jenis biodiesel,
mengacu pada harga patokan ekspor
biodiesel dari minyak sawit sementara
untuk jenis bioethanol mengacu pada harga
publikasi Argus untuk Ethanol FOB
Thailand. Untuk panas bumi, harga listrik
yang bersumber dari panas bumi saat ini
ditetapkan dengan memperhatikan ongkos
produksi uap dan listrik. Pada tahun 2012,
harga panas bumi ditetapkan berdasarkan
wilayah (Feed in Tariff). Ongkos produksi
uap umumnya sangat ‘site-spesifik’ dan
tergantung dari kedalaman sumur panas
bumi. Sebelumnya, pada tahun 2008, harga
panas listrik panas bumi ditentukan
berdasarkan harga patokan, mengacu
kepada biaya pokok produksi dan skala
pembangkit listrik. Pada tahun 2009, harga
listrik panas bumi ditentukan dengan
mengacu kepada HPS dan biaya eksplorasi
dan pengembangan, namun kemudian
diubah menjadi sebesar maksimum 9,7 sen
US$/kWh. Tahun 2011, harga patokan
ditentukan berdasarkanharga hasil lelang
WKP panas bumi.
Pembangunan infrastruktur energi mutlak
diperlukan untuk menjamin pasokan energi
ke seluruh tanah air. Pemenuhan konsumsi
BBM sangat tergantung dari kapasitas
kilang yang dapat berproduksi di dalam
negeri atau melalui impor. Saat ini,
kapasitas kilang yang ada hanya dapat
memenuhi sekitar 47 persen dari
kebutuhan gasoline dan 72 persen dari
X-48
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
kebutuhan diesel. Hal ini menunjukan
diperlukannya tambahan kilang baru
maupun upgrading kilang agar dapat
meningkatkan kemampuan produksi BBM
dalam negeri. Untuk gas bumi, pipa
umumnya merupakan sarana yang paling
efektif untuk biaya dari transportasi dengan
jarak
hingga
sekitar
2.000
km,
namunfasilitas pencairan gas yang selama
ini telah dikembangkan di lokasi terpencil
untuk tujuan ekspor juga memiliki kapasitas
cadangan yang dapat dimanfaatkan,
setidaknya dalam jangka pendek. Sebagai
gambaran, penyelesaian jaringan pipa dari
Sumatera Selatan ke Jawa Barat dan sistem
pipa Trans-Jawa yang menghubungkan Jawa
Barat dan Jawa Timur menjadi sangat
penting karena dapat menyelesaikan
interkoneksi sumber pasokan gas dari
Sumatera bagian selatan dan tengah ke Jawa
Barat dan kemudian seterusnya menuju
Jawa Timur. Interkoneksi ini sangat penting
untuk keamanan suplai dan juga untuk
tujuan manajemen beban.
10.1.7.5. Intensitas dan Efisiensi Energi
In-efisiensi dalam proses penyediaan energi
masih tinggi. Intensitas energi primer ratarata sebesar 500 SBM per miliar rupiah,
sedangkan intensitas energi final sekitar
rata-rata 63 persen dari intensitas energi
primer, dan hal ini menunjukkan adanya inefisiensi dalam proses dan konversi energi,
serta losses selama transmisi dan distribusi
energi, terutama listrik. Efisiensi dari
seluruh jenis pembangkit listrik masih
cukup rendah, bervariasi antara 29,1-33,7
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-49
persen dan hal ini menunjukkan bahwa
sebagian besar jenis pembangkit listrik
yang beroperasi saat ini adalah jenis
pembangkit konvensional. Losses dan own
use selama transmisi dan distribusi listrik
ke konsumen cukup bervariasi antara 11,516,9 persen. Disamping inefisiensi dalam
penyediaan listrik, in-efisiensi juga terjadi
dalam proses konversi minyak mentah ke
BBM. Rata-rata refinery fuel dan losses
kilang minyak nasional saat ini mencapai 84
ribu bph atau sekitar 8,08 persen terhadap
produksi kilang minyak sedangkan efisiensi
proses konversi gas alam ke LNG di Kilang
LNG rata-rata 84 persen.
Penghematan konsumsi energi masih
rendah. Gerakan penghematan energi masih
terbatas pada pengendalian penggunaan
BBM dan listrik. Sejak tahun 2011,
penghematan BBM dilakukan melalui
pengendalian sistem distribusi BBM,
pelarangan penggunaan BBM bersubsidi
bagi kendaraan dinas, termasuk kendaraan
angkutan perkebunan dan pertambangan,
konversi BBM ke BBG, penghematan
penggunaan listrik di kantor-kantor
pemerintah, dan penghematan penerangan
jalan.
Namun
demikian
potensi
penghematan dari penggunaan BBM dan
listrik masih belum dapat dicapai. Masih
banyak ditemui penyalahgunaan BBM
bersubsidi, yang mengarah ke pemborosan.
Beberapa kendala yang masih ditemui
antara lain adalah terbatasnya alat kendali
distribusi BBM, rendahnya kepatuhan
pengguna kendaraan dinas, sulitnya
mengidentifikasi
kendaraan
angkutan
X-50
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
perkebunan
dan
pertambangan,
terbatasnya jumlah konverter kit BBM-BBG
dan bengkel untuk pemasangan dan
pemeliharaan.
Audit energi telah dilakukan untuk
mengidentifikasi titik-titik pemborosan
energi
dan
langkah-langkah
untuk
meningkatkan efisiensi penggunaan energi
untuk industri manufaktur strategis, seperti
industri baja, aluminium, pulp/kertas,
pertambangan
dan
tekstil.
Potensi
penghematan energi per tahun cukup besar,
mencapai 10-15 persen, namun sampai saat
ini realisasi dari penghematan dari industri
ini masih rendah. Beberapa hal yang
menjadi kendala adalah i) pelaku industri
lebih fokus ke upaya peningkatan produksi
dengan margin yang besar, dibandingkan
dengan mengurangi biaya operasi dari
penghematan energi, dan pelaku juga
mengindari resiko interupsi dari produksi,
yang mungkin terjadi pada saat pergantian
mesin-mesin tua ke mesin-mesin baru yang
lebih hemat energi; ii) instrumen
keuangan/fiskal, seperti project financing
dan subsidi bunga bank untuk pembiayan
upaya energi efisiensi dari lembaga
keuangan belum tersedia, disamping
adanya hambatan aturan kolateral yang
memberatkan pembiayaan energi efisiensi;
dan iii) data mengenai penggunaan energi
umumnya tidak tersedia dan lembaga
keuangan/pembiayaan belum mempunyai
sumber daya manusia yang cukup untuk
melakukan kajian investasi efisiensi energi.
Di samping itu, guna menurunkan konsumsi
energi bangunan gedung, konsep bangunan
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-51
hijau (green building), sudah dikembangkan
dan mulai diterapkan. Lembaga Sertifikasi
Bangunan Ramah Lingkungan sudah
ditunjuk oleh Pemerintah yang bertugas
untuk memberikan rekomendasi dan
verifikasi mengenai efisiensi konsumsi
energi di gedung/perkantoran. Namun
sampai saat ini baru satu kantor pemerintah
yang dibangun dengan mengikuti konsep
ini, yakni gedung kantor di Kementerian
Pekerjaan Umum (PU).
Upaya penurunan emisi gas rumah kaca di
sektor energi masih terbatas. Langkahlangkah untuk menurunkan emisi gas
rumah kaca sudah ditetapkan, melalui
Perpres No. 61 tahun 2011 tentang Rencana
Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah
Kaca (RAN-GRK). Sampai saat ini,
penurunan gas rumah kaca di sektor energi
sudah mencapai 1.380 Kilo ton CO2, namun
masih belum memenuhi target trayektori
penurunan gas rumah kaca, yang mencapai
767 Juta ton CO2 pada tahun 2020. Rencana
aksi ini juga mengamanatkan pemerintah
daerah untuk melakukan mitigasi GRK
sebagai bentuk kontribusi daerah dalam
pelaksanaan RAN-GRK dan berdampak
langsung terhadap upaya konservasi energi.
Meskipun demikian, masih ada beberapa
provinsi yang program-program aksi di
dalam RAD-GRK-nya tidak terkait dengan
upaya konservasi energi. Hal ini disebabkan
oleh rencana aksi masih terfokus pada
kegiatan non-energi seperti pengelolaan
limbah, IPPU (Industrial Product and
Product Use), dan AFOLU (Agriculture,
Forestry, and Others Land Use).
X-52
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
10.1.7.6. Energi Baru dan Terbarukan
Pengembangan lapangan panas bumi untuk
pembangkit listrik terhambat. Potensi panas
bumi untuk pembangkit listrik mencapai
29.000 MW, namun sampai saat ini baru
1.346 MW (4,8 persen) yang dapat
dimanfaatkan untuk membangkitkan listrik.
Dalam lima tahun terakhir, penambahan
kapasitas pembangkit listrik panas bumi
(PLTP) hanya mencapai 157 MW. Lapangan
panas bumi umumnya terletak di kawasan
hutan lindung dan konservasi, sehingga
muncul beberapa konflik lahan yang
membutuhkan solusi dalam hal mekanisme
pengambilan
keputusan
maupun
metoda/alat/analisa yang menjadi dasar
dalam pengambilan keputusan. Saat ini,
insentif dan instrumen fiskal telah
diterapkan, baik berupa penyiapan dana
eksplorasi terbatas guna memitigasi
sebagian resiko eksplorasi, maupun feedintariff, namun belum mampu mempercepat
pengembangan lapangan secara sistematis.
Proses
pelelangan
wilayah
kerja
pengusahaan (WKP) belum optimal
dilakukan sehingga belum memberikan
kenyamanan
(comfortibility)
bagi
pengembang panas bumi yang berkualitas
untuk ikut-serta dalam proses pelelangan
WKP. Feed-in tariff untuk memasukkan
faktor eksternalitas dari panas bumi, belum
melembaga dan pendanaannya belum
dimasukkan sebagai bagian dari APBN.
Disamping itu, dengan aturan perundangan
yang saat ini berlaku, harga jual listrik yang
mejadi basis dari kontrak jual-beli listrik
(Power Purchase Agreement – PPA) dengan
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-53
PLN umumnya belum mendasarkan
informasi yang akurat mengenai kualitas
reservoir panas bumi.
Pemanfaatan BBN sebagai bahan bakar
terkendala Harga Indeks Pasar BBN yang
lebih rendah dari harga pasar. Penggunaan
BBN sebagai bahan campuran BBM, seperti
Bio-solar B10 (campuran FAME1 10 persen
dalam BBM jenis solar), dan Bio-premium
E5 (campuran ethanol 5 persen dalam BBM
jenis premium), telah diperkenalkan sejak
tahun 2009 dan telah masuk kedalam tata
niaga bahan bakar lain untuk sektor
transportasi, industri, dan pembangkit
listrik. Pada tahun 2013, volume Bio-solar
yang sudah dijual ke pasar BBN mencapai
2,2 juta KL, meingkat dibandingkan tahun
sebelumnya yang mencapai 3,4 juta KL.
Namun demikian, sampai saat ini
penggunaan B10 masih terbatas, jauh
dibawah target pemanfaatan BBN. Bahkan
E5, sejak tahun 2010, sudah tidak lagi
masuk di dalam tata niaga bahan bakar lain,
karena kekurangan pasokan ethanol.
Penyebab utama dari kekurangan pasokan
ini adalah harga pasar (ekspor) ethanol jauh
diatas harga yang ditetapkan, yakni Harga
Indeks Pasar BBN. Kebutuhan akan BBN,
baik Bio-solar maupun Bio-premium, akan
meningkat seiring dengan upaya substitusi
BBM oleh BBN, dan hal ini menuntut
penambahan produksi dari bahan mentah
BBN, seperti kelapa sawit (Crude Palm Oil CPO) untuk Bio-diesel dan tebu, ubi kayu,
dan sagu untuk bio-ethanol. Produksi CPO
1Fatty Acid Methyl Ester
X-54
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
saat ini mencapai 23,5 juta ton, dengan luas
areal tanaman mencapai 9 juta Hektar, dan
sekitar 30 persen atau sekitar 5,6 juta KL
berpotensi digunakan untuk BBN.
10.1.8. Peningkatan Nilai Tambah Industri Mineral dan
Pertambangan Berkelanjutan
UU No. 17/2007 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional mengamanatkan ekspor
bahan mentah dapat dikurangi kemudian digantikan
dengan ekspor produk yang bernilai tambah tinggi dan
berdaya saing global. Upaya pengurangan ekspor
bahan mentah dilakukan melalui kewajiban
pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di
dalam negeri sesuai UU No. 4/2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara. Namun,
pemberlakuan kewajian tersebut baru dilakukan pada
bulan Januari 2014. Berdasarkan arahan UU No.
17/2007 dan UU No. 4/2009, beberapa masalah dalam
peningkatan daya saing untuk komoditas tambang
adalah sebagai berikut:
Belum Efektifnya Pengembangan Industri Pengolahan
dan Pemurnian di Dalam Negeri. Nilai ekspor komoditi
tambang cukup besar yaitu sekitar 17 persen dari total
nilai ekspor dalam lima tahun terakhir. Pada tahun
2013, ekspor produk tambang mencapai 42,7 persen
dari total ekpor non-migas. Selama kurun waktu 20102013, ekspor komoditi tambang mengalami
peningkatan yang signifikan dengan laju pertumbuhan
mencapai 60 persen per tahun. Sumber daya mineral
dan batubara merupakan sumber daya alam yang
tidak terbarukan. Untuk itu, pemanfaatan produksi
mineral dan batubara diupayakan dapat memberikan
nilai tambah yang tinggi. Peningkatan nilai tambah
dilakukan melalui proses pengolahan dan pemurnian
produk tambang di dalam negeri.
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-55
Proses pengolahan dan pemurnian di dalam negeri
belum berjalan dengan efektif. Beberapa kendala yang
dihadapi antara lain adalah: (1) masih terbatasnya
sumber daya manusia dan penguasaan teknologi
pengolahan dan pemurnian; (2) belum memadainya
infrastruktur pendukung, terutama tenaga listrik dan
transportasi laut; dan (3) belum berkembangnya
industri hilir domestik yang dapat menyerap produk
tambang yang sudah menjadi bahan setengah jadi atau
bahan jadi.
Belum Selesainya Renegosiasi Kontrak Karya (KK) dan
Perjanjian
Karya
Pengusahaan
Pertambangan
Batubara (PKP2B). Sejak berlakunya UU No. 4/2009,
pengusahaan pertambangan mengalami perubahan
rezim dari bentuk kontrak/perjanjian menjadi izin
melalui Izin Usaha Pertambangan. Dengan demikian,
KK dan PKP2B harus disesuaikan dengan UU No.
4/2009 terkait dengan luas wilayah kerja,
perpanjangan kontrak, penerimaan negara, kewajiban
pengolahan dan pemurnian di dalam negeri, kewajiban
divestasi, dan kewajiban penggunaan barang/jasa
pertambangan dalam negeri. Proses penyesuaian
dilakukan dengan cara melakukan renegosiasi dengan
perusahaan KK dan PKP2B.
Sampai Maret 2014, belum semua perusahaan KK dan
PKP2B telah menyepakati isi penyesuaian kontraknya.
Dari 37 perusahaan KK dan 75 perusahaan PKP2B
yang ada, baru 6 perusahaan KK dan 19 perusahaan
PKP2B yang telah menyepakati seluruh hasil
renegosiasi kontraknya, sedangkan sisanya masih
belum menyepakati seluruh isi penyesuaian
kontraknya. Untuk kewajiban pengolahan dan
pemurnian masih ada 4 KK dan 6 PKP2B yang belum
menyepakati penyesuaian kontrak ini.
Kurangnya Pengawasan dan Pengendalian Aspek
Lingkungan Hidup pada Proses Penambangan.
X-56
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
Kegiatan usaha pertambangan banyak menimbulkan
dampak negatif terhadap kelestarian fungsi
lingkungan hidup fisik meliputi air, udara, tanah, dan
bentang alam, ataupun nonfisik seperti sosial ekonomi
dan budaya masyarakat. Persyaratan lingkungan yang
semakin ketat di tingkat nasional dan internasional
memerlukan perhatian yang semakin besar terhadap
aspek
lingkungan
hidup
dalam
kegiatan
pertambangan. Tanggung jawab reklamasi lahan dan
rehabilitasi kawasan pasca-tambang merupakan
upaya untuk mempertahankan kelestarian fungsi
lingkungan hidup dalam proses penambangan. Saat
ini, pengelolaan dan pemantauan pelaksanaan
tanggung
jawab
ini
masih
memerlukan
penyempurnaan. Pertambangan rakyat telah diatur
dalam UU No. 4/2009 dan PP No. 23/2010 Tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral
dan Batubara. Namun dalam implementasinya
kegiatan pertambangan seringkali masih mengabaikan
kelestarian lingkungan dan keselamatan kerja. Selain
itu, lambatnya proses penetapan WP beserta WIUP
juga menumbuhkan potensi penambangan liar tanpa
ijin (PETI) atau illegal mining. Kurangnya pengawasan
dan pengendalian lingkungan hidup pada proses
penambangan
diakibatkan
belum
optimalnya
kapasitas pemerintah daerah, baik dari sisi
kelembagaan maupun sumber daya manusianya.
10.1.9. Peningkatan
Kualitas
Lingkungan
Hidup,
Pengembangan Pola Produksi dan Konsumsi
Berkelanjutan dan Pelestarian dan Pemanfaatan
Keekonomian KEHATI Sesuai dengan Arahan
dalam Indonesia Biodiversity Strategy And Action
Plan/IBSAP 2003-2020
Beberapa isu strategis dalam periode 2015-2019 yang
berhubungan dengan perbaikan kualitas lingkungan
hidup, pengembangan pola produksi dan konsumsi
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-57
berkelanjutan dan pengembangan nilai ekonomi
keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan adalah
sebagai berikut:
 Metodologi dan parameter perhitungan Indeks
Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) masih perlu
disempurnakan, agar lebih mencerminkan
kondisi lingkungan hidup yang terjadi.
IKLH merupakan indeks komposit yang mengukur
kualitas lingkungan di tingkat Provinsi yang
meliputi tiga indikator utama, yaitu kualitas udara
(IKU), kualitas air (IKA), dan tutupan hutan (IHT).
Setelah IKLH ditetapkan pada akhir 2009, di setiap
Provinsi di Indonesia nilai IKLH secara umum
meningkat dari 2009-2012. Namun, jika melihat
kenyataan kondisi lingkungan, tingkat pencemaran
dan kerusakan masih cukup tinggi. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa metode dan parameter
IKLH masih belum sepenuhnya menggambarkan
kualitas
lingkungan
hidup
dan
perlu
disempurnakan.
Gambar X.6
Indeks Kualitas Lingkungan Hidup 2009-2012
Sumber: Data IKLH diolah, 2012
X-58
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
 Pemantauan kualitas lingkungan (air, udara,
dan tanah) perlu ditingkatkan sebagai dasar
untuk mendapatkan data dan informasi
lingkungan hidup
Hasil penilaian IKLH yang belum mencerminkan
kondisi lingkungan hidup mengindikasikan bahwa
data dan informasi lingkungan hidup masih lemah
dan perlu diperkuat. Pemantauan kualitas
lingkungan hidup yang menjadi tugas daerah di
bawah koordinasi Kementerian Lingkungan Hidup
saat ini belum memberikan data yang memadai dan
akurat. Selain itu, telah ada upaya pemantauan
padasumber pencemar yangdilakukan pemerintah,
antara lain melalui Program Penilaian Peringkat
Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan
Hidup (PROPER) dan Adipura. Jumlah peserta
PROPER dalam kurun waktu 2003-2012 terus
mengalami peningkatan, dari 251 perusahaan
menjadi 1.812 perusahaan. Namun, program
PROPER masih bersifat sukarela dan masih relatif
kecil jumlah pesertanya dibandingkan total
perusahaan yang berpotensi berdampak negatif
terhadap lingkungan. Disamping itu, cakupan dari
program PROPER masih terbatas. Untuk itu, perlu
ditingkatkan dan diperluas cakupannya.
Gambar X.7
Trend Keikutsertaan Perusahaan Dalam Program Proper
2003-2014
Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup, 2014
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-59
Penghargaan
Adipura
diberikan
kepada
kota/kabupaten yang memiliki komitmen dalam
mewujudkan kota bersih dan hijau (Clean and Green
City). Melalui Adipura, Pemda didorong untuk
menciptakan kota yang layak huni serta masyarakat
yang sehat dan lingkungan hidup yang baik (good
environment). Dalam kurun waktu 2004-2013,
jumlah kabupaten/kota penerima anugerah Adipura
terus
mengalami
peningkatan,
dari
37
kabupaten/kota menjadi 101 kabupaten/kota,
Penurunan jumlah penerima anugerah sempat
terjadi pada tahun 2011, disebabkan oleh adanya
perbaikan dan peningkatan peningkatan kriteria dan
mekanisme penilaian Adipura (Gambar xx). Upaya
perluasan kriteria penilaian Adipura diperlukan agar
dapat mencerminkan kondisi lingkungan hidup yang
sebenarnya.
Gambar X.8
Jumlah Kabupaten/Kota Penerima Anugerah Adipura
Tahun 2004-2013
Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup, 2014
X-60
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
 Masih
banyaknya
lahan/kawasan
terlantar yang perlu dipulihkan
kritis
 Tingkat ketaatan perusahaan tambang yang izinnya
dikeluarkan daerah umumnya relatif rendah, yaitu
sekitar 26 persen. Kondisi ini yang menyebabkan
timbulnya lahan/kawasan kritis terlantar yang
terkontaminasi limbah B3, sebagai contoh
terjadinya kasus “kontaminasi limbah B3 timbal
(Pb) akibat daur ulang aki bekas” di Desa Cinangka,
Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Kondisi tersebut
akan
menyebabkan
menurunnya
kualitas
lingkungan hidup dan juga mengganggu kesehatan
masyarakat.
Selama
periode
2010-2013,
pemerintah telah melakukan pemulihan lahan
terkontaminasi limbah B3 di 27 lokasi dengan luas
224.406,0 m2. Untuk mengantisipasi dampak
negatif yang timbul dari timbulnya lahan/kawasan
kritis terlantar tersebut, maka diperlukan
penguatan upaya identifikasi dan pemulihan atas
lahan/kawasan kritis terlantar.
 Perlunya penguatan kapasitas Pengelolaan
Lingkungan Hidup: kelembagaan dan SDM
lingkungan hidup daerah dan penguatan
penegakan
hukum
lingkungan
dan
penyelesaian peraturan turunan dari UU
No.32/2009
Tentang
Perlindungan
dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH)
Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) dan Pusat
Pengelolaan Ekoregion (PPE) mempunyai peran
penting
dalam
melakukan
pemantauan
kondisi/kualitas lingkungan hidup di daerah. Untuk
itu, kelembagaan dan kapasitas sumber daya
manusia BLHD dan PPE perlu ditingkatkan.
Dalam pelaksanaan instrumen penegakan hukum
perdata melalui mekanisme penyelesaian sengketa
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-61
lingkungan, selama tahun 2005-2013 telah
dilaksanakan Pengumpulan Bahan Keterangan
(PULBAKET) terhadap 109 sengketa lingkungan
hidup, 6 (enam) kasus diteruskan melalui
pengadilan dan 16 kasus diselesaikan melalui
mekanisme
musyawarah
atau
di
luar
pengadilanselama tahun 2005-2013. Selain itu,
terkait dengan kasus dugaan tindak pidana
lingkungan, selama tahun tahun 2005-2013 telah
ditangani 637 kasus. Melihat tingginya kasus
hukum yang terkait dengan lingkungan hidup,
maka diperlukan penguatan baik dari sisi
kelembagaan dan juga kapasitas sumber daya
manusia pelaksananya, yakni Penyidik Pegawai
Negeri Sipil (PPNS), termasuk di dalamnya jabatan
fungsional pengawasan lingkungan hidup (PPLH).
Sementara itu,untuk memperkuat pelaksanaan dari
UU No. 32/2009 Tentang PPLH diperlukan adanya
peraturan turunan/operasional yang secara
keseluruhan dimandatkan dalam bentuk Peraturan
Pemerintah (PP).
 Perlunya pengembangan kebijakan pola
konsumsi dan produksi berkelanjutan, untuk
mendukung
pelaksanaan
pembangunan
berkelanjutan
Pertumbuhan ekonomi dan daya saing nasional
bertumpu pada pemanfaatan sumber daya alam. Di
samping itu, terjadinya bonus demografi yang
diiringi dengan meningkatnya jumlah penduduk
produktif akan meningkatkan jumlah konsumsi dan
produksi. Situasi tersebut akan meningkatkan
tekanan pada cadangan dan persediaan sumber
daya alam serta kualitas lingkungan hidup. Untuk
tetap mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi
sejalan dengan pemenuhan kebutuhan dan kualitas
kehidupan
masyarakat
dan
pemeliharaan
X-62
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
ketersediaan sumber daya alam dan kualitas
lingkungan,
maka
pemerintah
mencoba
menerapkan pola konsumsi dan produksi yang
berkelanjutan.
Pada tahun 2013, Pemerintah telah meluncurkan
Kerangka Kerja 10 Tahun Konsumsi dan Produksi
yang Berkelanjutan (10 Year Framework
Programme on SCP/10YFP-SCP). Kerangka Kerja ini
memuat peta jalan Indonesia dalam periode 20132023 untuk pengarusutamaan pola konsumsi dan
produksi
2013-2023
ke
dalam
agenda
pembangunan nasional. Langkah konkrit yang akan
dilakukan adalah: (1) pengarusutamaan pola
konsumsi dan produksi yang ke dalam rencana
pembangunan; (2) penetapan program tematik
green building, green public procurement, green
industry, dan green tourism sebagai quick win, dan
pemantauannya; (3) Perumusan pola konsumsi dan
produksi yang resource pool Indonesia; serta (4)
penyiapan indikator pola konsumsi dan produksi
yang yang sejalan Agenda Paska 2015 yang sedang
dalam tahap penyusunan. Untuk itu, elaborasi
kebijakan tersebut di atas perlu dilakukan untuk
menkonkritkan ke dalam kegiatan pembangunan.
 Perlunya
Pelestarian
dan
Pemanfaatan
Keekonomian KEHATI sesuai dengan arahan
dalam Indonesia Biodiversity Strategy and
Action Plan/IBSAP 2003-2020
Sebagai negara megadiversity ke-3 di dunia,
Indonesia memiliki 11 persen tumbuhan berbunga,
12 persen dari mamalia, 15 persen amfibia dan
reptil, 17 persen burung, 37 persen ikan di dunia.
Indonesia juga memiliki lautan terbesar di dunia,
karena itu dikatakan pula bahwa keanekaragaman
laut Indonesia paling besar dibandingkan negara
lain di dunia. Walaupun Indonesia hanya memiliki
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-63
1,3 persen daratan dunia, namun mengandung
lebih dari 17 persen dari total jumlah jenis di dunia.
Tingginya keanekaragaman hayati (KEHATI) ini
tidak hanya karena terletak di jantung Asia Pasifik
yang lembap, tetapi juga karena terletak di daerah
yang beriklim bermusim, daerah hutan hujan dan
hutan muson.
Dengan kondisi demikian, pelestarian dan
pemanfaatan yang bijaksana atas keanekaragaman
hayati menjadi sangat penting untuk selalu
diupayakan dalam mengarungi abad ke-21 yang
sering juga disebut sebagai abad biologi atau abad
hayati. Pada masa ini, industri yang akan maju
pesat adalah “industri ilmu kehidupan” yaitu
farmasi, kesehatan, pangan, pertanian dan
kosmetika.
Industri-industri
tersebut
mengandalkan
keanekaragaman hayati sebagai bahan baku,
dengan pengetahuan dan teknologi yang
menyertainya, dan hanya bisa dilakukan dalam
kerangka
besar
pembangunan
secara
berkelanjutan. Pendekatan pembangunan yang
berkelanjutan menawarkan perspektif yang lebih
luas dari sekedar pertumbuhan ekonomi semata.
Aspek sosial dan lingkungan mendapat perhatian
yang sama pentingnya. Sejalan dengan tingkat
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan penguasaan
teknologi yang canggih, selalu membuka
kemungkinan terjadinya kerusakan sumber daya
alam dan ancaman populasi yang semakin
bervariasi bentuknya.
Pada tahun 2003, Pemerintah Indonesia telah
menyusun dokumen kebijakan pengelolaan
KEHATI yaitu Indonesia Biodiversity Strategy and
Action Plan (IBSAP) 2003-2020 pada tahun 2003
dan diupdate pada tahun 2014. Dokumen IBSAP
X-64
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
antara lain berisi target nasional yang ditujukan
bagi semua pemangku kepentingan agar dapat
dijadikan panduan bagi perumusan kebijakan dan
perencanaan kegiatan di bidang keanekaragaman
hayati, baik di sektor pemerintah maupun non
pemerintah.
Untuk itu, kita perlu menyadari bahwa seluruh
upaya pembangunan yang berkelanjutan tersebut
memerlukan komitmen yang kuat dan tindakan
yang nyata dari seluruh komponen bangsa guna
mewujudkan masa depan yang kita cita-citakan
bersama demi kemakmuran dan kejayaan bangsa.
Iklim usaha yang kondusif, serta penyusunan
panduan dan standar untuk mengembangkan
keekonomian keanekaragaman hayati dan jasa
lingkungan sangat diperlukan, untuk memperkuat
pembangunan
perekonomian,
serta
tetap
mempertahankan kelestarian sumber daya alam
dan kualitas lingkungan hidup. Selain itu,
kemudahan akses untuk mengembangkan dan
memanfaatkan nilai keanekaragaman hayati dan
jasa lingkungan yang berkelanjutan, serta
pengembangan
mekanisme
insentif
bagi
peningkatan nilai tambah keanekaragaman hayati
dan jasa lingkungan perlu dijamin oleh Pemerintah.
10.1.10. Penanganan Perubahan Iklim Dan Peningkatan
Kualitas Informasi Iklim Dan Kebencanaan
Dalam periode 2015-2019, isu yang berhubungan
dengan Peningkatan Kualitas Informasi Iklim dan
Kebencanaan dan Penanganan Perubahan Iklim adalah
sebagai berikut:
 Upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim
masih perlu ditingkatkan untuk mencapai
target penurunan emisi GRK mendekati 26
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-65
persen pada tahun 2019, dan peningkatan
ketahanan masyarakat di daerah rentan
Pada tahun 2011 telah diterbitkan Perpres No.
61/2011 Tentang Rencana Aksi Nasional
Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) dan
Perpres No. 71/2011 Tentang Inventarisasi Gas
Rumah Kaca, sebagai pedoman penurunan emisi di
lima sektor utama dan pemantauan penurunan
emisi. Sejalan dengan itu, telah diterbitkan
Keputusan Menteri PPN/Kepala Bappenas No.
38/M. PPN/HK/2012 Tentang Pembentukan Tim
Koordinasi Penanganan Perubahan Iklim di Tingkat
Nasional yang didukung oleh unit Sekretariat
Perubahan Iklim (terdiri dari Sekretariat RAN-GRK,
National Center for NAMA Development/NC4ND,
serta Sekretariat RAN-API). Selain itu, Permen LH
No.15/2013 Tentang Pengukuran, Pelaporan, dan
Verifikasi Aksi Mitigasi Perubahan Iklim, serta
dibentuknya Sistem Inventarisasi GRK Nasional
(SIGN Center). Upaya penurunan emisi baik di
pusat/daerah beserta pengukuran tingkat emisi
dan penurunannya perlu terus ditingkatkan untuk
dapat mencapai target/komitmen sebesar 26%
pada tahun 2020, danhasilnya dapat diverifikasi
baik di tingkat nasional maupun internasional.
Selanjutnya, pada tahun 2013 pemerintah telah
meluncurkan Rencana Aksi Nasional Adaptasi
Perubahan Iklim (RAN-API). Untuk meningkatkan
ketahanan pada daerah dan sektor yang sensitif
terhadap perubahan iklim, maka akan dilakukan
pelaksanaan RAN-API secara sinergis baik di
tingkat nasional, maupun di 15 daerah percontohan
RAN-API. Untuk itu daerah diharapkan mulai
melakukan penyusunan Strategi Adaptasi Daerah
yang mengacu pada RAN-API di bawah koordinasi
dengan Pemerintah Pusat. Selain itu, pelaksanaan
RAN-API ini perlu didukung ketersediaan data dan
X-66
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
informasi
yang
menggambarkan
kondisi
kerentanan daerah serta memberikan informasi
mengenai
indikator
keberhasilan
adaptasi
perubahan iklim yang dilakukan.
 Masih perlunya penguatan akurasi dan
kecepatan sistem peringatan dini: (1) cuaca
ekstrim dan iklim ekstrim, untuk mendukung
upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim,
serta (2) gempa dan tsunami, untuk
mendukung upaya penanganan bencana
Upaya peningkatan pelayanan informasi peringatan
dini cuaca ektrim secara berkesinambungan terus
dilakukan, dimana waktu yang dibutuhkan
menyampaikan informasi prediksi terjadinya cuaca
ekstrim berhasil ditingkatkan dari dua jam (2010)
menjadi tiga jam (2012) sebelum terjadinya cuaca
ekstrim. Disamping itu, pelayanan peringatan dini
cuaca ekstrim skala kabupaten dengan tingkat
akurasi 80 persen juga mengalami peningkatan,
dari 21 provinsi di tahun 2011 menjadi 25 provinsi
di tahun 2012. Untuk memperbesar ketersediaan
waktu bagi masyarakat untuk mengantisipasi
kejadian cuaca ekstrim, maka diperlukan upaya
peningkatan kecepatan dan akurasi peringatan dini
cuaca ekstrim.
Peringatan dini iklim ekstrim ditujukan untuk
memberikan informasi sesegera mungkin kepada
instansi terkait maupun masyarakat pengguna
mengenai prakiraan awal musim hujan, sifat hujan,
awal musim kemarau, dan kekeringan guna
mengurangi dampak negatif yang mungkin terjadi
akibat iklim ekstrim. Persentase kemajuan
pembangunan sistem informasi peringatan dini
iklim
ekstrim
(Climate
Early
Warning
System/CEWS) yang dibangun pada satu lokasi di
BMKG Jakarta telah mencapai 90 persen pada tahun
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-67
2013. Untuk mendukung upaya penanggulangan
bencana, pada tahun 2013 telah dilakukan
penyusunan peta/atlas banjir di 31 kabupaten/kota
di lima provinsi dan penyusunan peta kekeringan di
11 provinsi di Indonesia. Data prakiraan musim
hujan juga ditujukan untuk mendukung sektor
pertanian (ketahanan pangan). Hal ini diperkuat
dengan diselenggarakan Sekolah Lapang Iklim (SLI)
pada para petani, yang sampai dengan tahun 2012
telah dilakukan di 18 provinsi. Dari pihak sektor
pertanian sendiri juga memanfaatkan data dan
informasi meteorologi dan klimatologi antara lain
untuk penyusunan kalender tanam, penentuan
musim tanam, dan melakukan prediksi hama
penyakit. Untuk meningkatkan kecepatan dan
ketepatan prakiraan cuaca iklim ekstrim, maka
diperlukan upaya peningkatan kecepatan dan
akurasi peringatan dini cuaca ekstrim.
Terkait dengan upaya peningkatan peringatan dini
gempa dan tsunami, dengan dibangunnya Ina
TEWS, maka waktu untuk mengolah data sekaligus
menyebarkan informasinya kepada masyarakat
dapat dipertahankan selama lima menit.
Disamping itu, telah terpasang dan beroperasi 205
Digital
Video
Broadcast
(DVB)
untuk
mendiseminasikan informasi gempa dan tsunami
dan dilakukan pemasangan sirine tsunami
sebanyak 33 unit. Selain itu, untuk mendukung
perencanaan tata ruang dan kebencanaan
dikembangkan wahana informasi dalam bentuk
peta goncangan,sampai dengan tahun 2012, telah
terpasang akselerograph di 247 lokasi dan intensity
meter di 38 lokasi. Untuk memperbesar
ketersediaan waktu bagi masyarakat untuk
mengetahui informasi kejadian gempa bumi dan
mengantisipasi
terjadinya
tsunami,
maka
X-68
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
diperlukan upaya peningkatan kecepatan dan
akurasi peringatan dini gempa dan tsunami.
 Masih diperlukannya penambahan kerapatan
jaringan peralatan pengamatan dan sensor,
serta peningkatan penggunaan alat pengamatan
otomatis (persyaratan World Meteorological
Organization/WMO)
untuk
meningkatkan
akurasi proyeksi/perkiraan cuaca, iklim, dan
analisis gempa dan tsunami
Tingkat akurasi proyeksi/perkiraan cuaca, iklim,
dan analisis gempa dan tsunami sangat ditentukan
oleh tingkat kerapatan peralatan alat dan
kemampuan dari alat itu sendiri. Terkait dengan
itu, maka alat yang digunakan mengarah pada alat
digital/otomatis. Untuk mendukung prakiraan
cuaca dan iklim, hingga tahun 2013 telah dibangun
perangkat kerja pendukung, seperti Sistem Radar
Cuaca sebanyak 28 sistem, hingga 2012 telah
terbangun Automatic Weather Station (AWS) di 167
lokasi, hingga 2012 telah dibangun Automatic
Weather Observation System (AWOS) di 21 bandara,
dan hingga 2012 telah dibangunnya sistem
monitoring agroklimat otomatis (Automatic
Agroklimat Weather Station-AAWS) 65 lokasi di
wilayah sentra pangan dan pos pengamatan utama
pembangunan. Selain itu, terkait dengan analisis
gempa,untuk mendukung perencanaan tata ruang
dan kebencanaan dikembangkan wahana informasi
dalam bentuk peta goncangan,sampai dengan tahun
2012, telah terpasang akselerograph di 247 lokasi
dan intensity meter di 38 lokasi.
Perlunya peningkatan cakupan dan akurasi
data
dan
informasi
yang
mendukung
pemanfaatan energi baru terbarukan, seperti
angin dan gelombang laut.
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-69
Jumlah cadangan energi fosil khususnya minyak
bumi terus mengalami penurunan. Sementara itu,
jumlah permintaan energi akan terus meningkat
seiring dengan pertumbuhan penduduk. Untuk itu,
pemerintah perlu mengembangkan pemanfaatan
energi baru terbarukan, antara lain energi angin
dan gelombang. Untuk mendukung pemanfaatan
energi baru terbarukan tersebut, diperlukan
perkuatan akurasi data dan informasi mengenai
energi baru terbarukan tersebut, sebagai dasar
pembuatan kebijakan.
 Perlunya peningkatan kecepatan dan akurasi
data dan informasi meteorologi, klimatologi,
dan geofisika (MKG),
terutama untuk
mendukung keselamatan penerbangan dan
maritim
Pelayanan informasi cuaca bandara dan maritim
sangat penting dalam mendukung keselamatan
penerbangan dan maritim. Pada tahun 2012,
jumlah bandara yang memperoleh pelayanan
informasi cuaca penerbangan untuk take off and
landing dengan tingkat akurasi 100 persen,
mengalami peningkatan dari 15 bandara di tahun
2011 menjadi 21 bandara di tahun 2012.
Kemudian, jumlah bandara yang memperoleh
pelayanan
informasi
cuaca
untuk
rute
penerbangan dengan tingkat akurasi 80persen,
meningkat dari 25 bandara di tahun 2011 menjadi
30 bandara di tahun 2012. Untuk pelayanan
informasi cuaca maritim, jumlah pelabuhan yang
memperoleh informasi cuaca maritim dan
prakiraan tinggi gelombang laut dengan tingkat
akurasi 80 persen, meningkat dari 86 pelabuhan di
tahun 2011 menjadi 99 pelabuhan di tahun 2012.
X-70
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
 Perlunya penyempurnaan model proyeksi
perubahan iklim dalam penanganan perubahan
iklim
Dalam rangka mendukung penanganan perubahan
iklim, telah dilakukan penyusunan peta kerentaan
perubahan iklim untuk 12 provinsi dan pengukuran
GRK pada sepuluh Provinsi. Disamping itu, kegiatan
penguatan pemodelan perubahan iklim dilakukan
dalam rangka percepatan layanan informasi
perubahan iklim, dimana pada tahun 2011 telah
dimulai pembangunan sistem peringatan dini banjir
dan kekeringan melalui kegiatan validasi data
TRMM dengan data observasi, danpada tahun 2013,
kegiatan dilanjutkan dengan online system dan
running melalui server. untuk mendukung
mendukung penanganan perubahan iklim ke depan,
diperlukan penyempurnaan pemodelan perubahan
iklim.
10.2. Sasaran Bidang
10.2.1. Pengamanan Produksi Untuk Kemandirian dan
Diversifikasi Konsumsi Pangan
Sasaran utama dari penguatan pasokan pangan dan
diversifikasi konsumsi selama periode 2015-2019
adalah:
1.
Peningkatan
ketersediaan
pangan
yang
bersumber dari produksi dalam negeri:(a) Padi:
meningkatkan jumlah surplus dari produksi Dn;
(b) Kedelai:meningkatkan produksi terutama
untuk mencukupi kebutuhan konsumsi tahu dan
tempe; (c) Jagung:meningkatkan produksi DN
untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak dan
industri kecil; (d) Meningkatkan produksi daging
sapi dan konsumsi rumah tangga; (e)
Meningkatkan produksi gula untuk kebutuhan
rumah tangga;
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-71
2.
Peningkatan cadangan pangan pemerintah,
khususnya beras dan cadangan pangan daerah;
3. Peningkatan konsumsi pangan baik jumlah
maupun kualitas yang ditunjukkan dengan tingkat
konsumsi kalori pada tahun 2019 minimal
mencapai 2.150 kkal, dan skor Pola Pangan
Harapan (PPH) yang mencapai 92,5.
Tabel X.4
Sasaran Pembangunan Ketahanan Pangan
Sasaran
2019
Pertumbuhan
(%)
69,9
82,0
2,86
b. Jagung (Juta Ton)
c. Kedelai (RibuTon)
d. Gula (Juta Ton)
18,6
892,6
2,8
23,4
1.019,8
3,4
3,97
2,73
3,95
e. Daging Sapi (Ribu Ton)
395,1
459,9
3,08
1.967
81,8
2.150,0
92,5
1,90
0,67
Komoditi
Baseline
2014
1. Produksi Bahan Pangan Pokok
a. Padi (Juta Ton)
2. Konsumsi Kalori (kkal)
3. PPH
10.2.2. Pengembangan
Agribisnis,
Pertanian
Berkelanjutan dan Kesejahteraan Petani
Sasaran utama peningkatan nilai tambah dan daya
saing komoditas pertanian tahun 2015-2019 adalah:
1.
X-72
Meningkatnya PDB Industri Pengolahan Makanan
dan Minuman serta produksi komoditas andalan
ekspor dan komoditas prospektif:
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
Tabel X.5
Produksi Komoditas Andalan
No
Komoditi
Satuan
Baseline
2014
1.
PDB Industri
Pengolahan Makanan
dan Minuman
Perkebunan
(i) Kelapa Sawit
(ii) Karet
(iii) Kakao
(iv) Teh
(v) Kopi
(vi) Kelapa
Hortikultura
(i) Mangga
(ii) Nenas
(iii) Manggis
(iv) Salak
(v) Kentang
%
2,4
2,6
2015-2019
(rata-rata
per tahun)
2,6
Rb Ton
Rb Ton
Rb Ton
Rb Ton
Rb Ton
Rb Ton
29.513
3.204
817
148
711
3.263
36.420
3.810
913
163
778
3.491
4,3
3,5
2,3
2,0
1,8
1,4
Rb Ton
Rb Ton
Rb Ton
Rb Ton
Rb Ton
2.447
2.125
156
1.058
1.122
2.947
2.762
204
1.206
1.190
3,8
5,4
5,6
2,7
1,2
2.
3
2019
2.
Meningkatnya jumlah sertifikasiuntuk produk
pertanian yang diekspor.
3.
Berkembangnya
perdesaan.
4.
Meningkatnya neraca perdagangan
impor) komoditi pertanian.
5.
Meningkatnya Nilai Tukar Petani (NTP).
agroindustri
terutama
di
(ekspor-
10.2.3. Peningkatan Produksi dan Nilai Tambah
Perikanan Serta Kesejahteraan Nelayan Dan
Pembudidaya Ikan
Sasaran utama sektor perikanan sebagai pendukung
ketahanan pangan dan peningkatan daya saing produk
perikanan dalam rangka peningkatan kesejahteraan
nelayan, pembudidaya ikan, pengolah/pemasar hasil
perikanan, dan petambak garam pada tahun 2019
adalah: (1) peningkatan produksi ikan menjadi 18,7
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-73
juta ton, yang terdiri dari ikan hasil tangkapan sebesar
6,9 juta ton dan ikan dari hasil budidaya sebesar 11,8
juta ton; (2) peningkatan produksi rumput laut
menjadi 19,5 juta ton; (3) peningkatan produksi garam
rakyat menjadi 3,3 juta ton; (4) peningkatan konsumsi
ikan masyarakat menjadi 54,5 kg/kapita/tahun; (4)
tercapainya pertumbuhan PDB perikanan sebesar 7,2
persen per tahun ; (5) peningkatan nilai ekspor hasil
perikanan menjadi USD 9,5 miliar; peningkatan
volume produk olahan hasil perikanan menjadi 6,8
juta ton; dan peningkatan nilai tukar nelayan serta
pembudidaya ikan.
Tabel X.6
Sasaran Pembangunan Perikanan
Komoditi
Sasaran
2019
Pertumbuhan
(%)
12,4
18,7
8,44
a. Perikanan Tangkap
(Juta Ton)
5,5
6,9
2,71
b. Perikanan Budidaya
(juta Ton)
6,9
11,8
12,70
2. Produksi Rumput Laut (juta
ton)
10,0
19,5
16,74
2,5
3,3
7,39
38,0
54,5
7,44
6,9
7,2
0,71
5,0
9,5
12,97
5,2
6,8
4,97
1. Produksi Ikan (juta ton)
3. Produksi Garam (juta ton)
4. Konsumsi
Ikan(kg/kapita/tahun)
5. Pertumbuhan PDB
perikanan (persen/tahun)
6. Nilai ekspor hasil perikanan
(USD miliar)
7. Volume produk olahan hasil
perikanan (juta ton)
X-74
Baseline
2014
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
10.2.4. Peningkatan Tata Kelola Laut, Pengelolaan Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil Serta Pengembangan
Ekonomi Kelautan Berkelanjutan
Sasaran peningkatan tata kelola laut, pengelolaan
pesisir dan pulau-pulau kecil serta pengembangan
ekonomi kelautan berkelanjutan adalah:
1. Terwujudnya Tata Kelola Sumber Daya
Kelautan di wilayah perairan Indonesia dan
yuridiksi nasional, dengan sasaran:
a. Tersusunnya Roadmap Pembangunan Kelautan
dan Rencana Aksi kelautan nasional 2015-2019.
b. Penyusunan tata ruang laut dan penyelesaian
tata ruang/rencana zonasi wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil
c. Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil, termasuk pulaupulau terluar melalui pengembangan ekonomi
pulau-pulau kecil terluar berpenduduk di 31
pulau dan penyelesaian pembakuan nama pulau.
d. Penyelesaian pencatatan/deposit pulau-pulau
kecil ke PBB pada tahun 2017.
2. Termanfaatkannya sumber daya kelautan
untuk pembangunan ekonomi nasional, antara
lain melalui:
a. Pengembahangan wisata bahari dan pulau-pulau
kecil, termasuk promosi, investasi di lokus
andalan;
b. Peningkatan kesejahteraan masyarakat di 31
pulau-pulau kecil terluar, termasuk penyediaan
sarana dan prasarana serta fasilitas layanan
dasar;
c. Peningkatan keamanan (eksistensi) di 61 pulau
kecil terluar yang tidak berpenduduk; (4)
Peningkatan prdouski perikanan tangkap dan
budidaya sebesar 48 juta ton pada tahun 2019
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-75
(termasuk rumput laut dan garam serta produk
olahan perikanan);
d. Pengembangan komoditas andalan kelautan
lainnya dalam bentuk pilot di beberapa lokasi
terpilih
3. Terpeliharanya kelestarian fungsi lingkungan
hidup dan sumberdaya hayati laut, melalui
peningkatan Konservasi, Rehabilitasi dan
Pengawasan Sumber Daya Kelautan, dengan
sasaran:
a. Pengutuhan dan penambahan luasan kawasan
konservasi seluas 20 juta ha sampai dengan
tahun 2019 serta peningkatan pengelolaan
kawasan konservasi perairan dan PPK efektif di
34 kawasan
b. Memperkuat dan mengembangkan kerjasama
regional
maupun
Internasional
dalam
pengelolaan wilayah laut, seperti program Coral
Triangle Initiative (CTI), Sulu Sulawesi Marine
Ecoregion (SSME), Mangrove for the Future
(MFF) dan sebagainya
c. Peningkatan pengawasan pemanfaatan sumber
daya
kelautan
yang
merusak
melalui
peningkatan cakupan pengawasan sumber daya
kelautan dan perikanan sebesar 53,4 persen;
d. Kawasan pesisir yang rusak dan pulih kembali
sebanyak50
kawasan
dan
membaiknya
ketahanan masyarakat terhadap bencana.
4. Terwujudnya SDM dan Iptekkelautan yang
berkualitas dan meningkatnya wawasan dan
budaya bahari, difokuskan pada:
a. Peningkatan kapasitas SDM Kelautan dan
perikanan;
Peningkatan IPTEK kelautan dan diseminasi
teknologi.
X-76
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
10.2.5. Peningkatan
Produksi
Hasil
Pengembangan Jasa Lingkungan
Hutan
dan
10.2.5.1. Pengembangan KPH Produksi dan
Produk Kayu
1. Mengembangkan 347 unit Kesatuan
Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP);
2. Meningkatnya produksi kayu bulat dari
hutan alam menjadi 50 juta m3;
3. Meningkatnya produksi kayu bulat dari
hutan tanaman menjadi 160 juta m3;
4. Meningkatnya nilai ekspor produk kayu
rata-rata menjadi USD32,5 miliar.
Tabel X.7
Target Pencapaian Program Tahun 2015-2019
KPHP (unit)
Produksi kayu bulat HA(juta m3) *)
Produksi kayu bulat HT (juta m3)*)
Hutan Rakyat (juta m3)
Nilai Ekspor Produk Kayu
(US$ miliar)
*)
BASELINE 2014
80
5,5
26
3
5,7
SASARAN 2019
347
50
160
100
32,5
*) KPHP = Kesatuan Pengeloka Hutan Produksi; HA = Hutan Alam; HT = Hutan
Tanaman
10.2.5.2. Pengembangan KPH Lindung dan Hasil
Hutan Bukan Kayu
1. Mengembangkan 182 unit Kesatuan
Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL);
2. Meningkatnya HKm, HD dan HR
3. Meningkatnya
bukan kayu
produksi
hasil
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
hutan
X-77
4. Meningkatnya ekowisata dan jasa
lingkungan khususnya air baku untuk
domestik,pertanian, dan industri
Tabel X.8
Target Pencapaian Program Tahun 2015-2019
BASELINE
2014 *)
40
SASARAN
2019
182
Peningkatan Akses HKm dan HD (unit)
100
500
Peningkatan Produksi Kayu HR (juta m3)
15
100
Peningkatan produksi danragam HHBK (%)
Rehabilitasi KPHL (unit)
4
40
20
182
Pembentukan/operasionalisasi KPHL (unit)
*) Angka Perkiraan 2015
10.2.6. Peningkatan Konservasi dan Tata Kelola Hutan
Serta Pengelolaan DAS
10.2.6.1. Peningkatan Kinerja Tata Kelola
Kehutanan
1. Penyelesaian
pengukuhan/penetapan
kawasan hutan 100 persen;
2. Penyelesaian tata batas kawasan dan
tata batas fungsi sepanjang 50.000 km;
3. Operasionalisasi 547 KPH yang terdiri
dari 347 KPHP, 182 KPHL dan 50 KPH;
4. Peningkatan kinerja pengelolaan KPH;
5. Tertanganinya
pencegahan
dan
penangulangan kebakaran hutan;
6. Menurunnya jumlah hotspots kebakaran
hutan.
X-78
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
10.2.6.2. Peningkatan Konservasi dan
Keanekaragaman Hayati
Dengan mempertimbangkan isu strategis,
sasaran pengelolaan hutan konservasi
dalam kurun waktu 2015-2019 meliputi
beberapa hal sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Meningkatkan kualitas fungsi dan
kelestarian hutan konservasi serta
keanekaragaman hayati di dalamnya.
Meningkatkan 10% jumlah populasi
dari 25 species terancam punah dengan
tahun dasar 2013.
Terbentuknya KPHK sebanyak 50 unit.
Meningkatkan kesadaran masyarakat
akan nilai-nilai keekonomian KEHATI.
Menyempurnakan panduan mengenai
langkah-langkah untuk pengelolaan
dan pemanfaatan KEHATI secara
berkelanjutan.
Meningkatnya kapasitas sumber daya
manusia
dalam
pemanfaatan
keekonomiankeanekaragaman hayati
(KEHATI) dan jasa lingkungan secara
berkelanjutan untuk sumber bahan
baku dari sandang pangan, papan, obatobatan, kosmetik, energi alternatif,
danekowisata.
Termanfaatkannya
produk
hasil
keanekaragaman hayati dan jasa
lingkungan secara optimal, adil, dan
lestari bagi kesejahteraan masyarakat.
Terwujudnya
peluang
untuk
pengembangan
dan
pemanfaatan
teknologi pada kegiatan konservasi dan
pemanfaatan keanekaragaman hayati
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-79
dan
jasa
lingkungansecara
berkelanjutan.
9. Meningkatnya jumlah kerja sama jasa
lingkungan untuk meningkatkan nilai
transaksi dan penerimaan negara dari
pemanfaatan jasa lingkungan kawasan
hutan khususnya dari jasa lingkungan
air, karbon, pariwisata alam, dan
bioprospecting untuk produksi obatobatan, kosmetika dan bahan makanan;
10. Meningkatnya Pendapatan Negara
Bukan Pajak (PNBP) dari ekspor
tanaman dan satwa liar serta
bioprospecting.
10.2.6.3. Peningkatan Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai (DAS)
Mengurangi luasan lahan kritis, baik di
dalam kawasan hutan maupun di luar
kawasan hutan seluas 2,5 juta ha selama 5
tahun ke depan.
1.
Menyelesaikan
dokumen
rencana
pengelolaan 180 DAS terpadu dan
implementasi revitalisasi 4 (empat)
DAS
sangat
prioritas
(Brantas,
Bengawan Solo, Citarum, dan Musi).
10.2.7. Penguatan Pasokan, Bauran dan Efisiensi
Konsumsi Energi
Sasaran utama penguatan ketahanan energi yang akan
dicapai dalam kurun waktu 2015-2019 adalah:
1. Produksi sumberdaya energi:
a. Produksi minyak bumi sebesar 710 - 913 barel
per hari;
b. Produksi gas bumi 5.988 – 7.124 juta kaki
kubik per hari dengan pemanfaatan di dalam
negeri sebesar56 – 64 persen; dan
X-80
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
c. Produksi batubara sebesar 392 juta ton dengan
pemanfaatan di dalam negeri sebesar 30 – 40
persen.
2. Penyediaan sarana dan prasarana energi yang
terdiri dari:
a. Pembangunan kilang minyak sebanyak 2 unit
dengan total kapasitas 600 ribu barel per hari;
b. Pembangunan fasilitas penyimpanan dan
penimbunan BBM dan LPG, masing-masing
dengan kapasitas 4,1 juta KL dan 542 ribu MT;
c. Pembangunan Floating Storage Regasification
Unit (FSRU) sebanyak 5 unit;
d. Pembangunan regasifikasi onshore sebanyak 5
unit;
e. Pembangunan pipa gas sepanjang 6.278 km
f. Pembangunan SPBG sebanyak 45 unit.
3. Pemanfaatan bahan bakar nabati dan efisiensi
energi yang terdiri atas:
a.
b.
c.
d.
e.
Produksi biodiesel sebesar 2,35 – 4,12 juta KL;
Produksi bioetanol sebesar 0,2 – 0,58 juta KL.
Intensitas energi sebesar 517 SBM/Miliar;
Elastisitas energi sebesar 0,8; dan
Target penghematan energi sebesar 12,71
persen (skenario BAU).
4. Peningkatan bauran energi baru dan terbarukan
(EBT) yang terdiri dari:
a. Bauran EBT sebesar 10-16 persen;
b. Kapasitas terpasang pembangkit listrik (PLTP,
PLTA, PLTMH, PLTS, dan PLT Biomassa)
sebesar 20 GW;
c. Pelaksanaan pilot project PLTN sebesar 10
MW; dan
d. Pelaksanaan pilot project pembangkit listrik
tenaga arus laut di 3 lokasi.
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-81
5. Pengurangan subsidi energi secara berkala akan
diupayakan terdiri dari:
a. Penurunan besaran subsidi BBM dengan
menaikkan harga BBM Rp.500/liter per
semester; dan
b. Penurunan kapasitas pembangkit listrik yang
masih menggunakan BBM menjadi 0,8 persen.
10.2.8. Peningkatan Nilai Tambah Industri Mineral dan
Pertambangan Berkelanjutan
Dua sasaran utama peningkatan daya saing komoditas
mineral dan tambang yang akan dicapai dalam kurun
waktu 2015-2019 adalah:
1. Meningkatnya nilai tambah komoditas mineral
dan pertambangan di dalam negeri; dan
2. Terlaksananya kegiatan pertambangan yang
memenuhi persyaratan teknis dan lingkungan
(Sustainable Mining).
Sasaran kuantitatif pada akhir tahun 2019 adalah:
1. Fasilitasi pembangunan smelter sebanyak 66
perusahaan;
2. Recovery pengolahan dan pemurnian mineral
sebesar: (a) 82 persen untuk emas, (b) 76 persen
untuk tembaga, (c) 86 persen untuk nikel, (d) 82
persen untuk bauksit, (e) 80 persen untuk timah,
dan (f) 65 persen untuk pasir besi.
10.2.9. Peningkatan
Kualitas
Lingkungan
Hidup,
Pengembangan Pola Produksi dan Konsumsi
Berkelanjutan dan Pelestarian dan Pemanfaatan
Keekonomian Kehati Sesuai dengan Arahan Dalam
Indonesia Biodiversity Strategy And Action
Plan/IBSAP 2003-2020
1. Meningkatnya kualitas lingkungan hidup yang
tercermin dalam Indeks Kualitas Lingkungan
X-82
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
Hidup (IKLH) sebesar 66,5-68,5 yang didukung
oleh sistem data informasi lingkungan hidup yang
handal;
2. Menguatnya
kerangka
pengendalian
dan
kapasitaspengelolaan lingkungan hidup;
3. Meningkatnya pemanfaatan IPTEK dan SDM
untuk
peningkatan
nilai
ekonomi
keanekaragaman hayati dan menyempurnakan
panduan mengenai langkah-langkah untuk
pengelolaan dan pemanfataan KEHATI secara
berkelanjutan;
4. Mengarustamakan
keanekaragaman
hayati
(KEHATI)
pada
kegiatan
perencanaa
pembangunan nasional.
Tabel X.9
Sasaran Pencapaian Skor Iklh Tahun 2015-2019
Komoditi
Baseline 2014
Sasaran 2019
IKLH
63,0-64,0
66,5-68,5
10.2.10. Penanganan Perubahan Iklim dan Peningkatan
Kualitas Informasi Iklim dan Kebencanaan
1. Meningkatnya penanganan perubahan iklim
melalui
kegiatan
penurunan
emisi
dan
peningkatan ketahanan iklim yang terukur dan
terlaporkan serta terverifikasi.
2. Meningkatnya kualitas informasi peringatan dini
cuaca , iklim, dan bencana;
3. Tersedianya data dan informasi data dan
informasi iklim yang dipergunakan untuk upaya
mitigasi dan adaptasi perubahan iklim;
4. Meningkatnya kecepatan dan akurasi data dan
informasi meteorologi, klimatologi, dan geofisika
(MKG), terutama untuk mendukung keselamatan
penerbangan dan maritim.
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-83
10.3. Arah Kebijakan Dan Strategi Pembangunan Bidang
10.3.1. Pengamanan Produksi untuk Kemandirian dan
Diversifikasi Konsumsi Pangan
Dalam mendukung penguatan ketahanan pangan
nasional sebagaimana tertuang dalam UU No. 17/2007
tentang RPJPN 2005-2025, UU No. 18/2012 tentang
Pangan dan UU No. 19/2013 tentang Perlindungan
dan
Pemberdayaan
Petani,
maka
upaya
penguatanpasokan pangan dan diversifikasi konsumsi
akan dilakukan melalui strategi: (1) Peningkatan
produktivitas dan perluasan areal; (2) Penanganan
cadangan pangan dan diversifikasi konsumsi; dan (3)
Mitigasi kerawanan pangan.
1. Peningkatan produksi dan produktivitas hasil
pertaniandiarahkan
untuk
meningkatkan
kapasitas produksi dalam negeri sehingga
mengurangi ketergantungan terhadap pasar global
(impor). Strategi yang ditempuh adalah:
a. Pengamanan lahan pertanian produktif dan
pemanfaatan lahan terlantar, didukung dengan
sistem irigasi dan fasilitasi penyediaan air yang
terpadu;Adapun langkah yang akan dilakukan
adalah: (i) Pengamanan lahan pertanian padi
yang produktif; (ii) Perluasan areal pertanian
pangan baru dengan mendayagunakan lahanlahan terlantar, lahan-lahan di kawasan
transmigrasi, dan tumpang sari di lahan
perkebunan dengan komoditi pangan, serta
peningkatan indeks pertanaman dengan
optimasi lahan;(iii) Pembangunan tampungan
air seperti waduk dan embung; (iv)
Meningkatkan keterhubungan jaringan irigasi
yang menjadi kewenangan Pemerintah pusatprovinsi-kabupaen/kota sampai ke lahan
usahatani padi; serta (v) Pembangunan jaringan
X-84
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
irigasi, rawa dan air tanah untuk mendukung
peningkatan produksi pertanian khususnya
padi.
b. Peningkatan pendampingan dan ketepatan
sasaran dukungan produksi, dengan langkahlangkah: (i) Perbaikan sasaran petani padi dan
penerima subsidi pertanian; (ii) Penyediaan dan
penyaluran benih unggul dan pupuk yang
didukung subsidi yang lebih tepat sasaran
dengan dilengkapi data petani penerima; (iii)
Revitalisasi penyuluhan melalui penguatan
sistem
penyuluhan
pertanian
dengan
meningkatkan jumlah dan kapasitas penyuluh
serta memperkuat kelembagaan penyuluh
terutama Balai Penyuluhan Pertanian di tingkat
desa/kecamatan, kabupaten dan provinsi, dan
memperkuat kelembagaan petani, serta (iv)
Penguatan sistem pendidikan dan pelatihan
pertanian bagi aparat pertanian dan petani.
c. Revitalisasi sistem perbenihan padi dan
perbibitan sapi dan langkah, melalui langkahlangkah: (i) Revitalisasi sistem perbenihan padi
dari pusat-daerah; (ii) Penelitian dan
pengembangan untuk menghasilkan benihbenih tanaman pangan unggul dan bibit unggul
peternakan
serta
pengembanganinovasi
budidaya pertanian yang lebih efisien; (iii)
Penguatan penerapan replikasi inovasi
teknologi budidaya pertanian pangan yang
secara
signifikan
dapat
meningkatkan
produktivitas, efisien dan adaptif terhadap
perubahan iklim seperti system of rice
intensification
(SRI);
(iv)
Peningkatan/penambahan populasi bibit induk
sapi, pengembangan kawasan peternakan
dengan mendorong investasi swasta dan BUMN,
pengembangan peternakan rakyat non sapi
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-85
untuk meningkatkan penyediaan protein
hewani, peningkatan kapasitas pusat-pusat
perbibitan ternak untuk menghasilkan bibitbibit unggul, penyediaan pakan yang cukup dan
pengembangan padang penggembalaan, serta
(v) Memperkuat sistem pelayanan kesehatan
hewan nasional.
d. Penurunan
susut/kehilangan
produksi,
melalui:(i) Pengendalian organisme pengganggu
tanaman, penyakit bersumber hewan (zoonosis),
dan penyakit hewan lainnya; (ii) Penanganan
pasca panen dan kualitas hasil pertanian
pangan; serta (iii) Peningkatan produktivitas
dan rendemen tebu;
e. Peningkatan kualitas dukungan kepada petani,
melalui: (i) Perbaikan data petani untuk
peningkatan kualitas sasaran; (ii) Perbaikan
dalam upaya pemanfaatan sumber-sumber
pembiyaan bagi petani seperti KKP-E, KUPS dan
sebagainya agar realisasinya meningkat; dan
(iii)
Melanjutkan
penerapan
instrumen
kebijakan
penetapan
harga
pembelian
padi/beras, kedelai petani dan harga patokan
petani gula kristal putih untuk mengamankan
harga kedelai dan tebu di tingkat petani dalam
rangka mengamankan harga di tingkat petani
dan mendorong peningkatan produksi padi,
kedelai dan tebu di dalam negeri.
2. Menjaga stabilitas harga dan kualitas konsumsi
pangan,diarahkan kepada dua sasaran utama,
yaitu
untuk:
menjaminakses
pangan
masyarakat
dan
meningkatkan
kualitas
konsumsi masyarakat, baik dari sisi jumlah,
keberagaman,
maupun
mutunya.Untuk
mencapai sasaran tersebut, maka langkah yang
dilakukan adalah:
X-86
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
a. Pemantauan perkembangan harga pangan baik
pasar dalam negeri maupun internasional;
b. Penyediaan cadangan pangan pokok terutama
beras, kedelai dan gula,
c. Pengendalian impor bahan pangan untuk
stabilisasi pasokan dan harga pangan,
d. Diversifikasi penyediaan dan konsumsi pangan
yang bermutu, sehat, aman terutama dari
penyakit zoonosis, dan halal, serta
e. Peningkatan konsumsi protein hewani yang
berasal dari ternak.
3. Mitigasi kerawanan pangan dilakukan untuk
mengurangi risiko dan dampak negatif kondisi
iklim/cuaca maupun permasalahan pangan lainnya,
yang dilakukan melalui:
a. penyediaan dan penyaluran bantuan input
produksi bagi petani yang terkena puso;
b. pengembangan instrumen asuransi pertanian
untuk petani yang diawali dengan pilot project;
c. pengembangan benih unggul tanaman pangan
yang mampu beradaptasi terhadap perubahan
iklim;
d. penerapan kalender tanam yang telah
menyesuaikan terhadap perubahan iklim;
e. perluasan penggunaan teknologi budidaya yang
adaptif terhadap perubahan iklim.
10.3.2. Pengembangan
Agribisnis,
Pertanian
Berkelanjutan dan Kesejahteraan Petani
Untuk mencapai sasaran utama peningkatan nilai
tambah dan daya saing komoditi pertanian yang telah
ditetapkan tersebut, maka arah kebijakan dalam
RPJMN 2015-2019 terutama difokuskan pada:(1)
peningkatan produktivitas, standar mutu dan standar
ramah lingkungan hasil pertanian komoditi andalan
ekspor dan untuk penggunaan industri dalam negeri;
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-87
dan (2) mendorong pengembangan industri
pengolahan terutama di perdesaan serta peningkatan
ekspor hasil pertanian. Untuk itu strategi yang akan
dilakukan meliputi:
X-88
1.
Revitalisasi perkebunan dan hortikultura
rakyat, terutama melalui peremajaan tanaman
perkebunan dan hortikultura rakyat komoditi
andalan
ekspor
dan
memiliki
potensi
ekspor.Upaya peremajaan tersebut ditujukan
untuk tanaman perkebunan dan hortikultura yang
sudah tua dan menurun produktivitasnya, dengan
tanaman baru berbibit unggul. Selain peremajaan
dilakukan juga dengan melakukan upaya
intensifikasi
dengan
pemeliharaan
dan
pemupukan secara intensif dan sesuai kebutuhan.
2.
Peningkatan mutuhasil pertanian,peningkatan
kualitasperkarantinaan
dan
pengawasan
keamanan hayati. Penerapan standardisasi dan
keamanan pangan mulai dari proses produksi
hingga produk akhir melalui:(a) penguatan dan
perbaikan teknologi produksi dari hulu sampai
hilir; (b) pengembangan/penerapan standarmutu
komoditas pertanian dan standarpenanganan
produk segar dan produk olahan pertanian, serta
pada komoditas prospektif ekspor; (c)Pembinaan
dan Pengawasan Mutu Produk Pertanian; (d)
Peningkatan jumlah dan peran lembaga
sertifikasi, dan (e) Peningkatan kualitaslayanan
pengawasan perkarantinaan.
3.
Pengembangan
agroindustri
perdesaan.
Pengembangan agroindustri di perdesaan
diarahkan untuk meningkatkan nilai tambah
pertanian yang akan dilakukan melalui: (a)
Perbaikan dan penguatan teknologi agroindustri
perdesaan yang sudah ada; (b) Pertumbuhan
agroindustri
perdesaan
yang
dapat
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
memanfaatkan hasil samping secara optimal; (c)
Penumbuhan industri pengolahan pertanian yang
dapat dilaksanakan oleh kelompok tani dan
koperasi; serta (d) Pengembangan industri
perdesaan yang menangani produk segar
hortikultura.
4.
Penguatan kemitraan antara petani dengan
pelaku/pengusaha
pengolahan
dan
pemasaran (eksportir) melalui kemitraan
Gapoktan
dengan
industri
pengolahan
daneksportir serta membangun dan memperkuat
jaringan (networking) dengan asosiasi, industri,
dan sektor jasa terkait lainnya.
5.
Peningkatan aksesibilitas petani terhadap
teknologi, sumber-sumber pembiayaan, serta
informasi pasar dan akses pasar termasuk
pengembangan infrastruktur pengolahan dan
pemasaran melalui: (a) diseminasi informasi
teknologi melalui penyuluhan dan media
informasi; (b) penyediaan skim kredit yang
mudah diakses oleh petani dan pelaku usaha
pertanian; (c) pengembangan jaringan pasar, dan
pelayanan informasi pasar, pasar lelang komoditi,
dan market intelligence; serta (d) fasilitasi
infrastruktur ekspor.
6.
Akselerasi
ekspor
untuk
komoditaskomoditas
unggulan
serta
komoditas
prospektif melalui: (a) identifikasi daerah-daerah
potensial untuk pengembangan komoditi ekspor;
(b) harmonisasi standar mutu; (c) optimalisasi
negosiasi dan diplomasi perdagangan hasil
pertanian; (d) advokasi, pameran, dan pencitraan
produk dalam rangka promosi produk pertanian;
serta (e) promosi investasi agroindustri dan
permodalan.
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-89
10.3.3. Peningkatan Produksi dan Nilai Tambah
Perikanan Serta Kesejahteraan Nelayan dan
Pembudidaya Ikan
1.
X-90
Peningkatan
Produktivitas,
Optimalisasi
Kapasitas dan Kontinuitas ProduksiPerikanan,
melalui
langkah-langkah:
(a)peningkatan
kapasitas armada perikanan tangkap, melalui
alokasi yang proporsional antara stok sumber
daya ikan, kemampuan sumber daya manusia dan
jumlah
kapal
penangkapan
ikan;
(b)
pendayagunaan potensi perairan umum daratan
(PUD) untuk perikanan berwawasan lingkungan;
(c) intensifikasi dan ekstensifikasi perikanan
budidaya melalui pengembangan fisheries
development estate; (d) ekstensifikasi kegiatan
marikultur di lokasi-lokasi yang potensial; (e)
pengembangan
kawasan
sentra
produksi
perikanan dan/atau kawasan minapolitan di
wilayah
yang
potensial;
(f)
pengembanganmanajemen logistik dan sistem
distribusi yang mampu menjaga kesinambungan
pasokan produk untuk konsumsi dan kebutuhan
industri; (g) penyediaan dan pengembangan
teknologi penangkapan ikan yang efisien dan
ramah lingkungan; (h) pengembangan dan
penyebaran teknologi budidaya skala intensif dan
penerapan IntegratedMulti Thropic Aquacultur; (i)
penguasaan dan inovasi teknologi perbenihan dan
induk unggul komoditas strategis; (j) fasilitasi dan
introduksi teknologi budidaya terkini untuk
masyarakat; serta (k) peningkatan kualitas input
produksi, seperti benih ikan, induk yang
berkualitas, pakan murah berkualitas, obatobatan dan vitamin, serta ketersediaan dan
kemudahan distribusinya.
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
2.
Peningkatan Kualitas Prasarana dan Sarana
Perikanan, melalui: (a) revitalisasi fungsi dan
peran pelabuhan yang terbengkalai dan tidak
optimal; (b) peningkatan pelayanan dan
kelengkapan pelabuhan perikanan di tiga
pelabuhan contoh sesuai dengan standar
internasional; (c) peningkatan kualitas dan
kapasitas dan manajemen pelabuhan perikanan
(d) revitalisasi tambak-tambak dan kolam yang
tidak produktif dan pengembangan jalan
produksi; (e) lanjutan pengembangan Sistem
Logistik Ikan yang didukung oleh sarana
transportasi yang memadai, cepat dan tepat; (f)
fasilitasi dan pemenuhan kebutuhan BBM
bersubsidi pada sentra-sentra nelayan secara
memadai di seluruh Indonesia; (g) pengembangan
balai benih ikan/udang dan perbaikan jalan
produksi di sentra produksi perikanan; (h)
pengembangan teknologi pembuatan pakan
kompetitif dengan sumber bahan baku lokal; serta
(i) pengembangan sarana prasarana pengolahan
hasil perikanan.
3.
Peningkatan Mutu, Nilai Tambah dan Inovasi
Teknologi
Perikanan,
melalui:
(a)
pengembangan kapasitas, modernisasi, dan daya
saing UKMK pengolahan hasil perikanan; (b)
revitalisasidan pembangunan pabrik es, cold
storage dan rantai dingin di lokasi-lokasi yang
tepat; (c) penguatan upaya pengendalian,
pengawasan dan advokasi tentang mutu dan
keamanan produk perikanan, sertifikasi dan
pengembangan standarisasi mutu dalam negeri
(SNI); (d) perlindungan pasar domestik dari
serbuan produk luar yang tidak terkendali; (e)
pengembangan diversifikasi produk olahan
berbasis sumber daya ikan setempat; (f)
pengembangan dan penerapan sertifikasi eco
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-91
labelling dan ketelusuran product (product
traceability), serta penanganan ikan yang baik
(CPIB) dan penerapan sertifikasi hasil tangkapan
ikan (SHTI); (g)peningkatan promosi konsumsi
bahan pangan berbasis ikan; (h) pengembangan
inovasi dan intermediasi teknologi perikanan; (i)
peningkatan efektivitas dan peran karantina ikan
dalam pengendalian ancaman penyakit, jaminan
mutu produksi, dan keamanan pangan; (j)
peningkatan kinerja dan kapasitas Unit
Pengolahan Ikan (UPI); (k) penerapa standarisasi
dan sertifikasi proses produksi dan sarana
produksi; dan (l)pengembangan sinergi kebijakan
penerapan hasil riset dengan dunia industri.
4.
X-92
Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan melalui:
(a) Pengelolaan Sumber Daya Ikan (SDI) berbasis
WPP,penyusunan rencana pengelolaan perikanan
didukung oleh penguatan data dan statistik
perikanan; (b) reformasi pengelolaan perikanan
tangkap berbasis Wilayah Pengelolaan Perikanan
melalui penguatan lembaga pengelola WPP
(otoritas terpadu pengelola WPP);(c) revitalisasi
pengelolaan SDI di perairan umum daratan dan
pemulihan habitat ikan; (d) pengembangan
teknologi ramah lingkungan untuk perikanan
tangkap dan budidaya; (e) penguatan armada
pengawasan dan kerja sama lintas institusi untuk
pencegahan dan pemberantasan IUU Fishing
secara serius; (f) penguatan standar pengelolaan
perikanan ramah lingkungan; (g) menyusun
perbaikan rejim pengelolaan perikanan melalui
penataan mekanisme pengaturan userights dan
mekanisme pemberian ijin yang adil, transparan
dan efisien; dan (h) pengembangan kemampuan
armada
distant
water
fishing,
untuk
memanfaatkan potensi perikanan diluar batas
ZEE (i) partisipasi aktif di dalam organisasi
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
perikanan dunia untuk menjaga kepentingan
nasional.
5.
Perbaikan Tata Kelola Perikanan, untuk
terciptanya iklim yang kondusif bagi terwujudnya
kinerja, efektivitas kerjasama kelembagaan dan
perbaikan tata kelola perikanan. Arah kebijakan
akan ditempuh melalui: (a) penguatan forum
koordinasi pengelolaan dan pemanfaatan sumber
daya ikan menuju kelembagaan pengelolaan WPP;
(b) penguatan pengelolaan wilayah perikanan
sebagai sentra wilayah pertumbuhan produksi;
(c) penataan perizinan yang terintegrasi dan
berbasis IT; (d) penguatan kelompok usaha
perikanan dalam rangka pengembangan usaha
danfasilitasi
akses
permodalan;
(e)
pengembangan kapasitas dan kompetensi SDM
perikanan,
peningkatan
kualitas
kegiatan
penyuluhan, pendidikan dan pelatihan; (f)
pengembangan arsitektur riset perikanan dan
kelautan, termasuk peningkatan kualitas data dan
sistem informasi perikanan; (g) perbaikan
manajemen data stok ikan yang dapat diandalkan
(reliable data), (h) pemantapan tata ruang/zonasi
yang
mampu
mewujudkan
sinergitas
pendayagunaan
lahan
untuk
menjamin
kepentingan produksi perikanan;(h) penguatan
sistem dan kelembagaan penyuluhan, pendidikan,
dan pelatihan perikanan; serta (i) pengembangan
skema insentifuntuk peningkatan investasi
perikanan.
6.
Peningkatan
Kesejahteraan
Nelayan,
Pembudidaya,
Petambak
Garam,
dan
Pengolah/Pemasar Produk Ikan melalui: (a)
pembentukan sistem dan kelembagaan penjamin
pelaku usaha perikanan; (b) penyediaan sumber
permodalan dan pengembangan fasilitasi kredit
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-93
yang murah, mudah dan aksesibel; (c)
pengembangan asuransi nelayan dan usaha
penangkapan ikan; (d) pemberian pelatihan
teknis dan informasi pasar untuk nelayan,
pembudidaya ikan, petambak garam, dan
pengolah produk ikan; (e) pembinaan/penguatan
kapasitas kelompok nelayan, pembudidaya,
petambak garam, dan pengolah produk
perikanan; (f) mengembangkan sistem bagi hasil
yang berkeadilan bagi para pelaku usaha
perikanan tangkap/nelayan kecil; (g) penyediaan
dan penyaluran bantuan input produksi bagi
nelayan/petambak
garam/pembudidaya/pengolah produk ikan yang
terkena dampak perubahan iklim/bencana alam.
10.3.4. Peningkatan Tata Kelola Laut, Pengelolaan Pesisir
Dan Pulau-Pulau Kecil Serta Pengembangan
Ekonomi Kelautan Berkelanjutan
Dalam rangka pemeliharaan sumber daya sebagai aset
pembangunan
nasional
dan
dalam
rangka
mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya kelautan
untuk pembangunan, arah kebijakan pembangunan
difokuskan pada:
1.
X-94
Meningkatkan Tata Kelola Sumber Daya
Kelautan, dengan strategi: (a) penyusunan
rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil, penyusunan peraturan tentang tata ruang
laut dan harmonisasi tata ruang daratan dan laut,
pengembangan kebijakan kelautan dan roadmap
pembangunan kelautan; (b)Pengelolaan PulauPulau Kecil, terutama pulau-pulau terluar berupa
pemenuhankebutuhan infrastruktur dasar, seperti
listrik dan air bersih di pulau-pulau berpenduduk
dan
mengembangkan
kerjasama
instansi
terkait/pemda setempat dalam mendukung
eksistensi NKRI di pulau-pulau terluar yang
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
berpenduduk maupun tidak berpenduduk; (c)
pembakuan nama pulau kecil termasuk
identifikasi potensi dan pemetaan pulau kecil; dan
(d) Meningkatkan kapasitas SDM dan Iptek serta
data dan informasi kelautan.
2.
Meningkatkan Konservasi, Rehabilitasi dan
Pengawasan Sumber Daya Kelautan, dengan
strategi: (a) Pengutuhan dan penambahan luasan
kawasan konservasi melalui penambahan luas
kawasan
konservasi
perairan,
penguatan
koordinasi lintas sektor dalam pengelolaan
kawasan konservasi perairan, serta penguatan
kelembagaan pengelolaan kawasan konservasi;
(b) Memperkuat dan mengembangkan kerjasama
regional maupun internasional dalam pengelolaan
wilayah laut, seperti program CTI, SSME, MFF dan
sebagainya; (c) Meningkatkan pengawasan
wilayah dari pemanfaatan sumber daya kelautan
yang merusak termasuk mengintensifkan
penegakan hukum dan pengendalian IUU fishing
serta kegiatan yang merusak di laut melalui
peningkatan cakupan pengawasan sumber daya
kelautan, penguatan sarana dan prasarana
pengawasan, dan peningkatan hari operasi kapal
pengawas; (d) Rehabilitasi kawasan pesisir yang
rusak dan pengendalian bencana alam dan
dampak perubahan iklimmelalui penanaman
vegetasi
pantai
termasuk
mangrove,
pengembangan desa pesisir yang meningkat
ketahanannya terhadap dampak bencana dan
perubahan
iklim,
serta
penanggulangan
pencemaran wilayah pesisir dan laut.
3.
Mengembangkan industri kelautan berbasis
sumberdaya,
dengan
strategi:
(a)
Mengembangkan wisata bahari di lokasi-lokasi
andalan; (b) Pengembangkan usaha perikanan di
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-95
kawasan sentra produksi (dengan konsep huluhilir); (c) pengembangan energi laut sebagai
energi terbarukan; (d) Pengembangan komoditas
andalan lainnya
4.
Penguatan peran SDM dan Iptek Kelautan,
dengan strategi: (a) Meningkatkan kegiatan
pendidikan dan pelatihan; (b) Mengembangkan
pendidikan advokasi untuk kelautan dan
perikanan;
(c)
Mengembangkan
standar
kompetensi sumberdaya manusia di bidang
kelautan; (d) Meningkatkan peran Iptek, riset dan
sistem informasi kelautan dalam mendukung
pelaksanaan
pembangunankelautan
yang
berkelanjutan.
10.3.5. Peningkatan
Produksi
Hasil
Pengembangan Jasa Lingkungan
Hutan
dan
10.3.5.1. Pengembangan KPH Produksi dan
Produk Kayu
Potensi sumber daya hutan dalam bidang
ekonomi yang tinggi perlu dikembangkan
dengan tetap memperhatikan fungsi
lingkungan dan sosial. Selain aspek
pemanfaatan, aspek perlindungan dan
pengawetan
menjadi
bagian
dari
pengelolaan
hutan
produksi.
Pengembangan industri pengolahan hasil
hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu
ditujukan untuk meningkatkan nilai tambah
sektor kehutanan. Oleh karena itu, selaras
dengan
prinsip
pembangunan
berkelanjutan maka pengembangan industri
tersebut memerlukan dukungan sumber
bahan baku yang dikelola secara
berkelanjutan pula. Arah kebijakan sektor
kehutanan dalam kaitan dengan upaya
X-96
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
meningkatkan daya saing ekonomi adalah
peningkatan produksi dan produktivitas
sumber daya hutan, penerapan prinsip
pengelolaan hutan lestari, penerapan
prinsip tata kelola hutan yang baik (good
forest governance), pemberian jaminan
legalitas hasil hutan kayu dan produk kayu,
dan meningkatkan keterlibatan masyarakat
sebagai mitra usaha.
Strategi guna meningkatkan fungsi ekonomi
sumber daya hutan dilakukan dengan cara:
(1) Meningkatkan tata kelola kehutanan
(good forest governance) yaitu dengan
melakukan pemisahan peran administrator
(regulator) dengan pengelola (operator)
kawasan hutan melalui pembentukan
Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi
(KPHP); (2) Deregulasi dan de-bottlenecking
peraturan
perundang-undangan
yang
birokratis dan tidak pro investasi serta
mendesentralisasikan keputusan kemitraan
dalam pengelolaan kawasan hutan pada
tingkat tapak; (3) Optimalisasi pemanfaatan
sumber daya hutan sejak industri hulu
hingga
industri
hilir
dengan
mengembangkan keterpaduan industri
berbasis hasil hutan (forest based cluster
industry); dan (4) Meningkatkan efisiensi
dan efektivitas industri hulu dan hilir untuk
meningkatkan nilai tambah melalui aplikasi
ilmu pengetahuan dan teknologi, sumber
daya manusia yang berkompeten serta
penerapan good corporate governance.
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-97
10.3.5.2. Pengembangan KPH Lindung dan Hasil
Hutan Bukan Kayu
Dalam rangka peningkatan kesejahteraan
masyarakat/peningkatan pendapatan dan
kelestarian hutan lindung, maka akses
masyarakat terhadap sumber daya hutan
lindung perlu ditingkatkan. HKm dan HD
perlu
ditingkatkan
dan
diperluas
cakupannya dengan disertai peningkatan
kapasitas
masyarakat
dalam
pengelolaannya. Peningkatan kapasitas
masyarakat dalam pengelolaan hutan di
luar kawasan hutan lindung juga perlu
ditingkatkan dengan pengembangan Hutan
Rakyat.
Strategi
yang
diperlukan
dalam
pengembangan kawasan hutan yaitu: (1)
pengembangan dan perluasan HKm dan HD,
(2)
penegakan
hukum
dengan
pemberlakuan sanksi bagi yang melanggar
oleh pihak-pihak yang berwenang, (3)
peningkatan kapasitas masyarakat dalam
pengelolaan hutan, (4) reboisasi dan
penghijauan berkelanjutan yang dilakukan
dengan jenis tanaman sesuai keinginan
masyarakat dalam pemilihan jenisnya, (5)
pengembangan agro-forestry, (6) fasilitasi
permodalan dan teknologi tepat guna.
10.3.6. Peningkatan Konservasi dan Tata Kelola Hutan
Serta Pengelolaan DAS
10.3.6.1. Peningkatan Kinerja Tata Kelola
Kehutanan
Tata kelola hutan yang baik (good forest
governance)
menjadi
prinsip
dalam
pengelolaan
sumber
daya
hutan
X-98
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
berkelanjutan. Untuk menuju hal tersebut,
maka arah kebijakan sektor kehutanan
adalah mempercepat kepastian status
hukum kawasan hutan melalui inventarisasi
sumber daya hutan, penyelesaian tata batas
kawasan dan tata batas fungsi kawasan
hutan
dengan
melibatkan
semua
stakeholders,
percepatan
penyelesaian
pemetaan dan penetapan kawasan hutan,
meningkatkan keterbukaan data dan
informasi sumber daya hutan, dan
mempermudah perizinan dalam melakukan
investasi di sektor kehutanan. Strateginya
adalah sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
Melakukan percepatan pengukuhan
kawasan hutan melalui penataan batas,
pemetaan dan penetapan, yang
melibatkan berbagai pihak.
Membentuk dan mewujudkan unit
manajemen yang handal di seluruh
areal
kawasan
hutan
yang
mendukungfungsi produksi, lindung
dan konservasi.
Meningkatkan kapasitas pengelola KPH
sehingga mampu melakukan kegiatan
tata hutan dan penyusunan rencana
pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan
dan penggunaan kawasan hutan,
rehabilitasi dan reklamasi hutan, serta
perlindungan
dan
pengawetan
keanekaragaman
hayati
dalam
ekosistem hutan.
Meningkatkan sarana dan prasarana
KPH dalam rangka perlindungan hutan
dan pengendalian kebakaran hutan.
Meningkatkan
penelitian
dan
pengembangan
kehutanan
untuk
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-99
6.
mendukung peningkatan hasil hutan
kayu, hasil hutan bukan kayu dan jasa
lingkungan hutan dalam KPH.
Meningkatkan kuantitas dan kualitas
SDM dalam mengelola hutan di dalam
KPH.
10.3.6.2. Peningkatan Konservasi dan
Keanekaragaman Hayati
Untuk mencapai sasaran pengelolaan
kawasan HK yang telah ditetapkan selama
2015-2019, arah kebijakan yang ditetapkan
adalah memberikan kewenangan dan
keleluasan bagi pengelola kawasan HK di
tingkat tapak untuk melindungi kawasan
HK, meningkatkan kualitas habitat HK,
mengawetkan spesies serta sumber daya
genetik dan mendorong terselenggaranya
pemanfaatan jasa lingkungan HK sehingga
dapat memberikan manfaat ekonomi bagi
masyarakat sekitar dan di dalam kawasan
HK.
Strategi yang digunakan yaitu:
1.
2.
3.
X-100
Menyelesaikan seluruh tata batas dan
proses pengukuhan kawasan HK
(KPHK);
Meningkatkan efektivitas pola Resort
Based Management (RBM) pada
seluruh kawasan HK (KPHK) sehingga
fungsi pemanfaatan, perlindungan dan
pengawetan HK dapat berjalan dengan
baik;
Meningkatkan sarana dan prasarana
KPHK untuk meningkatkan efektifitas
pengelolaan kawaan HK;
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
4.
5.
6.
Meningkatkan kegiatan penelitian dan
pengembangan diseluruh KPHK-TN
dan KPHK lainnya untuk mendapatkan
profil potensi sumber daya hutan,
termasuk jasa lingkungan didalamnya;
Mengembangkan skema pendanaan
kawasan
konservasi
berikut
mekanisme pengawasannya;
Mengoptimalkan kerjasama dengan
pihak ke tiga dalam pengelolaan
penangkaran tanaman dan satwa liar
dan penyelamatan 25 satwa dan
tumbuhan langka.
10.3.6.3. Peningkatan Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai (DAS)
1.
2.
3.
4.
Pengelolaan
DAS
terpadu
dan
keserasian penggunaan lahan di daerah
tangkapan
air.
Meningkatkan
pemahaman dan kualitas koordinasi
pemangku
kepentingan
dalam
penyusunan rencana tata ruang
wilayah
(kabupaten/kota/provinsi)
yang berbasis kepada ekosistem DAS.
Rehabilitasi lahan sangat kritis dan
kritis.
Pengelolaan
DAS
terpadu:
(i)
Penyelesaian status DAS Lintas Negara
dan Lintas Provinsi; (ii) Percepatan
penyelesaian Rencana Pengelolaan DAS
secara terpadu; (iii) Peningkatan
penanganan dan pemulihan4 (empat)
DAS prioritas nasional.
Perbaikan struktur pendanaan seperti
penggunaan jasa lingkungan antar
wilayah dan antar masyarakat, serta
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-101
kelembagaan
dalam
meningkatkan kualitas.
rangka
10.3.7. Penguatan Pasokan, Bauran dan Efisiensi
Konsumsi Energi
Untuk mewujudkan sasaran penguatan ketahanan
energi, arah kebijakan yang akan ditempuh adalah
meningkatkan diversifikasi pemanfaatan energi dan
mempertahankan produksi minyak dan gas bumi yang
didukung dengan sarana prasarana memadai serta
teknologi yang lebih efisien dan ramah lingkungan.
Strategi pembangunan yang akan dilakukan meliputi:
(1) Peningkatan Pasokan Energi Primer; (2)
Penyediaan Infrastruktur Energi; (3) Pemanfaatan
Batubara Kalori Rendah; (4)Pengelolaan Energi yang
lebih Efisien; (5) Peningkatan Bauran Energi Baru dan
Terbarukan; dan (6) Pengurangan Subsidi Energi
Secara Berkala.
10.3.7.1. Peningkatan Pasokan Energi Primer
(a) Peningkatan Eksplorasi dan Produksi –
Peningkatan pasokan minyak dan gas
bumi sangat tergantung dari hasil
penemuan cadangan terbukti dari
potensi cadangan minyak dan gas bumi.
Untuk itu, dilakukan langkah-langkah
utama untuk meningkatkan cadangan
terbukti minyak dan gas yang meliputi:
(i) Peningkatan kegiatan eksplorasi
minyak dan gas bumi ke arah
offshore dan laut dalam, di
cekungan-cekungan
yang
diperkirakan masih kaya akan
minyak dan gas;
(ii) Penguasaan teknologi eksplorasi
maupun eksploitasi di wilayah laut
X-102
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
dalam melalui pengembangan dan
peningkatan
kapasitas
dan
kemampuan
sumber
daya
manusia.
(b) Mendorong peningkatan produksi
minyak dan gas dari sumur-sumur yang
akan, dan/atau sudah beroperasi dan
tua, dilakukan langkah-langkah sebagai
berikut:
(i) Penetapan
tahapan
secondary/tertiary
recovery,
termasuk penerapan EOR, yang
dirancang sejak persetujuan Plan
of Development (POD) I untuk
kontrak-kontrak
kerja
sama
(Production Sharing Contract –
PSC) yang baru;
(ii) Pemberian
insentif
secondary/tertiary recovery, antara
lain, melalui mekanisme bagi-hasil
(split) yang memperhitungkan
tambahan pengeluaran untuk
penelitian dan kajian kelayakan
EOR yang akan di terapkan,
ataupun
melalui
mekanisme
investment credit, dan Domestic
Market Obligation (DMO) untuk
gas dan batubara; dan
(iii) Kerja sama antara pemerintah
dengan kontraktor PSC dalam
melakukan
penelitian,
kajian
kelayakan, dan pilot project
penerapan EOR.
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-103
10.3.7.2. Penyediaan Infrastruktur Energi
(a) Peningkatan kapasitas kilang dan
pembangunan kilang baru. Langkahlangkah yang dilakukan guna menjamin
pasokan BBM dan LPG dari dalam
negeri,
serta
mengurangi
ketergantungan
terhadap
impor,
meliputi:
(i) Up-grading (revamping) kilang
BBM dan BBG yang saat ini sudah
beroperasi,
sehingga
faktor
kapasitasnya dapat meningkat;
(ii) Insentif
untuk
pembangunan
dan/atau up-grading beberapa unit
kilang BBM dan LPG; dan (iii)
pembangunan
fasilitas
depo,
penyimpanan dan penimbunan
minyak mentah, BBM dan LPG,
selain
untuk
meningkatkan
pelayanan
di
daerah-daerah
terpencil dan nelayan, juga untuk
meningkatkan kapasitas cadangan
operasional dan penyangga.
(b) Peningkatan infrastruktur gas, melalui
langkah-langkah:
(i) Penyempurnaan kontrak bagi-hasil
pengembangan lapangan gas,
terutama pola bagi hasil untuk
lapangan yang dedicated untuk
pasar dalam negeri;
(ii) Perbaikan regim harga gas
sehingga tetap terjangkau oleh
konsumen, namun memberikan
jaminan atau kepastian pasokan
gas oleh produsen gas;
X-104
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
(iii) Penyempurnaan
perencanaan
infastruktur gas yang terpadu
sehingga jaringan pipa gas dan
infrastruktur LNG dapat saling
melengkapi dan bersinergi dalam
mengalirkan gas dari wilayah
surplus ke wilayah defisit gas;
(iv) Pembangunan jaringan distribusi
gas terutama di wilayah perkotaan,
termasuk untuk sambungan rumah
tangga; dan
(v) Penyempurnaan
mekanisme
pembangunan dan pembiayaan
infrastruktur gas, baik oleh
pemerintah/BUMN
maupun
dengan melibatkan pihak swasta,
termasuk
penyempurnaan
kerangka
regulasi/prosedur
tender Kerjasama Pemerintah
Swasta (KPS).
(c) Peningkatan kapasitas dan tingkat
pelayanan infrastruktur batubara,
dengan langkah-langkah utama untuk
menjamin pasokan batubara ke pasar
dalam negeri adalah:
(i) Pembangunan
dan
perluasan
kapasitas
fasilitas
pelabuhan,
penimbunan (stockpiling) dan
pencampuran (blending) batubara;
(ii) Pengembangan
sistem
pengangkutan
batubara
terintegrasi/terpadu atau multimoda
dari
lokasi
tambang
batubara
ke
pusat-pusat
permintaan; dan
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-105
(iii) Perbaikan sistem keamanan dan
kehandalan armada pengangkutan
batubara.
(d) Pemanfaatan Batubara Kalori Rendah,
dengan
langkah-langkah
utama
meliputi:
(i) Penelitian dan proyek pilot untuk
meningkatkan kualitas batubara,
melalui
teknologi
up-grading
brown coal (UBC), sehingga
kandungan airnya berkurang;
(ii) Insentif
untuk
pembangunan
kilang pencairan batubara (coal
liquefaction) untuk menghasilkan
bahan bakar bagi pembangkit
listrik
yang
lebih
ramah
lingkungan, ataupun menggantikan
peran gas dalam pembuatan uap
(steam-flooding) untuk EOR;
(iii) Insentif
untuk
pembangunan
pabrik atau fasilitas gasifikasi
batubara
(coal
gasification),
sehingga gas sintetik dari hasil
gasifikasi
tersebut
dapat
dimanfaatkan untuk pembangkit
listrik, ataupun menjadi bahan
baku industri kimia; dan
(iv) Insentif
untuk
pembangunan
pembangkit listrik batubara mulut
tambang.
10.3.7.3. Pengelolaan Energi yang Lebih Efisien
Pengelolaan energi yang lebih efisien
dilakukan
melalui
penguasaan
dan
penerapan teknologi efisien energi dalam
penyediaan, pengusahaan, dan pemanfaatan
energi terutama di sektor industri,
X-106
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
transportasi, rumah tangga, dan bangunan
gedung. Langkah-langkah utama yang
dilakukan antara lain:
(a) Penerapan dan penguasaan teknologi
pembangkit listrik tenaga uap (PLTU)
dengan tingkat efisiensi yang tinggi,
seperti Super Critical, Ultra SuperCritical, ataupun IGCC;
(b) Insentif untuk memodernkan kilang
BBM dan BBG yang saat ini beroperasi
sehingga keandalan dan efisiensinya
meningkat;
(c) Pelibatan sektor swasta di dalam
investasi efisiensi energi melalui
penyempurnaan
insentif
serta
mekanisme pendanaan, terutama untuk
memanfaatkan pinjaman lunak serta
sumber-sumber dana perubahan iklim
(climate change funds);
(d) Pelibatan BUMN pemasok energi dan
lembaga pembiayaan dalam sistem
pembiayaan energi efisiensi di industri
pengolahan dan manufaktur; dan (5)
pemberdayaan perusahaan layanan
energi (Energy Service Company –
ESCOs) di dalam skim pembiayaan
energi efisiensi.
10.3.7.4. Peningkatan Bauran Energi Baru dan
Terbarukan
Peningkatan bauran energi baru dan
terbarukan dilakukan melalui percepatan
pemanfatan panas bumi dan tenaga air
untuk pembangkit tenaga listrik dan bahan
bakar nabati (BBN) untuk mensubstitusi
BBM, terutama di sektor transportasi.
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-107
(a) Langkah-langkah
utama
untuk
mempercepat pemanfaatan panas bumi
antara lain:
(i) Penyiapan lapangan panas bumi
sebagai WKP baru panas bumi;
(ii) Penyempurnaan
mekanisme
tender pengadaan pengembang
dalam pengusahaan panas bumi
dan
percepatan
pelaksanaan
tender WKP baru; dan
(iii) Pemberian insentif baik fiskal,
seperti subsidi untuk feed-in tariff
energi bersih, maupun non-fiskal
untuk
mengurangi
resiko
eksplorasi panas bumi.
(b) Langkah-langkah
utama
untuk
mempercepat pemanfaatan tenaga air
adalah:
(i) Pembangunan PLTA pada jaringan
yang sudah ada, baik itu jaringan
dengan bendungan pengairan
ataupun saluran primer irigasi;
(ii) Pembangunan PLTA baru pada
jaringan sungai atau air terjun;
(iii) Pembangunan
jaringan
mikrohidro; dan
(iv) Penyediaan
insentif
untuk
investasi badan usaha, termasuk
swasta, untuk dapat berpartisipasi
dalam pembangunan PLTA.
(c) Peningkatan pemanfaatan Bahan Bakar
Nabati (BBN) difokuskan kepada 3
(tiga) jenis bahan bakar nabati, yaitu
bio-ethanol, bio-diesel, serta bio-gas.
Ketiga jenis BBN ini digunakan sebagai
X-108
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
bahan pencampur untuk bahan bakar
minyak dengan prosentase tertentu.
Langkah-langkah
utama
untuk
meningkatkan
pemanfaatan
BBN
meliputi:
(i) Penyediaan bahan baku BBN, terutama
dalam hal pengembangan atau
intensifikasi komoditas pertanian yang
saat ini sudah ditanam secara luas,
seperti kelapa sawit, kelapa, tebu, sagu,
dan ubi kayu;
(ii) Pengembangan
komoditas
yang
potensial/varietas
unggul
seperti
kemiri sunan, jarak pagar, nyamplung,
aren, dan nipah, serta biomasa limbah
pertanian; dan
(iii) penyempurnaan makanisme off taker
BBN (jaminan pasar), termasuk
standar, subsidi, dan harga bahan baku
serta harga jual BBN.
Langkah-langkah ini perlu didukung oleh
ketersediaan lahan yang cukup, pengelolaan
penyediaan bahan baku BBN yang
dilakukan
melalui
pengembangan
perkebunan energi secara terintegrasi, serta
industri
pengolahan
BBN
yang
dikembangkan dengan skala pedesaan
(Desa Energi Mandiri).
10.3.7.5. Pengurangan
Berkala
Subsidi
Energi
Secara
Subsidi BBM akan dikurangi secara berkala,
sehingga pada akhirnya harga BBM akan
mengikuti harga pasar. Pengurangan
subsidi BBM ini secara tidak langsung akan
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-109
mendorong berkembangnya produksi dan
pemanfaatan energi baru dan terbarukan
serta meningkatkan efisiensi konsumsi
BBM.
Langkah-langkah
utama
yang
diakukan antara lain:
(a) Perluasan
pengendalian
sistem
distribusi BBM bersubsidi;
(b) Peningkatan
kualitas/mutu
BBM
dengan kandungan oktan yang lebih
baik;
(c) Perbaikan infrastruktur SPBU sesuai
dengan kualitas BBM yang disediakan;
dan
(d) Pemantapan rumusan harga energi.
10.3.8. Peningkatan Nilai Tambah Industri Mineral dan
Pertambangan Berkelanjutan
Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan
sekaligus meningkatkan daya saing produk tambang,
arah kebijakan yang ditempuh adalah:
1. Meningkatkan Keterpaduan Pengembangan
Industri. Strategi yang perlu dilakukan adalah:
a. Menentukan produk tambang strategis
sebagai bahan baku yang akan diolah menjadi
barang setengah jadi atau barang jadi yang
mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi;
b. Menyempurnakan pola Domestic Market
Obligation (DMO) dan membatasi ekspor
produk tambang strategis guna menjamin
kontinuitas pasokan bahan baku; dan
c. Mengembangkan zonasi industri berbasis
produk tambang strategis, melalui antara lain
pengembangan wilayah pusat pertumbuhan
industri dan kawasan peruntukan industri,
pembangunan kawasan industri,
dan
X-110
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
pengembangan sentra industri kecil dan
industri menengah.
2. Penerapan Insentif Fiskal dan Non-Fiskal,
melalui:
a. Menyusun rencana pembangunan smelter
yang diselaraskan dengan potensi cadangan
mineral dan ketersediaan infrastruktur
pendukung;
b. Menyiapkan dan menyediakan infrastruktur
seperti jalan dan listrik untuk mendukung
fasilitas smelter yang sudah beroperasi
maupun yang akan dibangun;
c. Melakukan verifikasi ketersediaan teknologi
pengolahan dan pemurnian dan mengakuisisi
teknologi baru yang dibutuhkan;
d. Mengembangkan proyek percontohan pola
kerjasama pemerintah dan swasta dalam
membangun smelter, termasuk infrastruktur
pendukungnya; dan
e. Mengembangkan insentif keringanan bea
keluar, tax allowance, dan skema pembayaran
royalti bagi pengusahaan smelter yang
terintegrasi dengan pengusahaan tambang.
3. Meningkatkan Kepastian Hukum Pengusahaan
Pertambangan. Strategi yang perlu dilakukan
untuk meningkatkan kepastian hukum adalah:
a. Menyempurnakan pengaturan peningkatan
nilai tambah di dalam negeri dan peningkatan
penerimaan negara melalui penyesuaian tarif
iuran tetap dan iuran produksi;
b. Meningkatkan koordinasi antar kementerian
terkait dalam pembahasan isu-isu utama
renegosiasi KK dan PKP2B; dan
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-111
c. Memfasilitasi dan mempercepat penyelesaian
sengketa yang timbul dalam pengusahaan
pertambangan.
4. Memperkuat
Penanganan
Rehabilitasi Pasca-tambang
PETI
dan
Pengurangan dampak negatif akibat dari kegiatan
pertambangan dilakukan untuk mencegah
kerusakan lingkungan, baik air, tanah, maupun
udara, yang berlebihan akibat kegiatan eksplorasi
dan eksploitasi sumber daya mineral dan
pertambangan,
dengan
memperhatikan
kelestarian fungsi lingkungan hidup. Dua hal
utama yang menjadi fokus dalam pengurangan
dampak ini adalah kegiatan penambangan tanpa
izin (PETI) dan upaya rehabilitasi lingkungan
pasca kegiatan penambangan. Strategi yang perlu
dilakukan untuk memperkuat penanganan kedua
hal tersebut adalah:
a. Meningkatkan
pembinaan
upaya
perlindungan
lingkungan,
keselamatan
operasi, dan usaha penunjang bidang
tambang;
b. Mengembangkan mekanisme pelaksanaan
prinsip-prinsip konservasi mineral dan
batubara
kepada
pelaku
usaha
pertambangan;
c. Meningkatkan rehabilitasi kawasan bekas
tambang melalui penyempurnaan pengaturan
dan mekanisme pelaksanaannya; dan
d. Mengembangkan sistem monitoring dan
koordinasi antar kementerian dan dengan
pemerintah daerah untuk mengurangi
kegiatan PETI.
X-112
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
10.3.9. Peningkatan
Kualitas
Lingkungan
Hidup,
Pengembangan Pola Produksi dan Konsumsi
Berkelanjutan dan Pelestarian dan Pemanfaatan
Keekonomian KEHATI Sesuai dengan Arahan
dalam Indonesia Biodiversity Strategy and Action
Plan/IBSAP 2003-2020
10.3.9.1. Meningkatkan kualitas lingkungan hidup
a. Menerapkan IKLH sebagai ukuran
kualitas lingkungan hidup nasional,
melalui strategi (i) menjaga kualitas dan
ketersediaan data
dan informasi
parameter yang dipergunakan di dalam
IKLH; (ii) memantapkan metodologi
analisis yang digunakan untuk penilaian;
dan (iii) memantapkan aspek kriteria
dan ukuran yang lebih komprehensif dan
konsisten.
b. Menerapkan
pola
konsumsi
dan
produksi
berkelanjutan
dengan
peningkatan kebijakan standardisasi,
teknologi dan produksi bersih dalam
pengelolaan lingkungan hidup, melalui
strategi: (i) menyediakan standar dan
panduan teknologi ramah lingkungan,
serta rekomendasi alih teknologi, dan
pengembangan teknologi lokal; (ii)
memberikan
pelayanan
registrasi
produk
dan
kompetensi;
(iii)
meningkatkan jumlah/jenis kompetensi
yang distandarkan untuk pelaksanaan
pola
produksi
dan
konsumsi
berkelanjutan.
c. Menguatkan
data
dan
informasi
lingkungan hidup yang berkualitas dan
berkelanjutan, melalui strategi: (i)
memperluas cakupan dan meningkatkan
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-113
frekuensi
pemantauan
kualitas
lingkungan hidup, terutama udara, air,
dan tanah; (ii) memperkuat sistem
pemantauan kualitas lingkungan hidup
yang terpadu baik pusat dan daerah,
maupun antar sektor; (iii) memantapkan
sistem informasi lingkungan hidup; (iv)
memantapkan database pencemaran dan
kerusakan lingkungan hidup.
10.3.9.2. Mengendalikan
pencemaran
kerusakan lingkungan hidup
dan
a. Mengendalikan
pencemaran
dan
kerusakan lingkungan hidup, melalui
strategi: (i) memperluas kriteria
program Adipura yang komprehensif
(matra air, udara, lahan, sampah,
kelembagaan, dan kapasitas SDM); (ii)
memperluas cakupan program Proper
yang mengarah pada industri yang lebih
ramah lingkungan; (iii) mengembangkan
dan
mengimplementasikan
skema
insentif dan disinsentif.
b. Mengelola limbah dan bahan B3, melalui
strategi: (i) menerapkan standar/aturan
mengenai limbah dan bahan B3; (ii)
memperkuat pengawasan limbah dan
bahan B3.
c. Melakukan upaya pemulihan pada
kawasan yang sudah dalam kondisi kritis
(terdegradasi/tercemar) yang terlantar
secara terkoordinasi, melalui strategi: (i)
melakukan inventarisasi dan penilaian
(assessment); (ii) secara terkoordinasi
melakukan pemulihan kawasan bekas
X-114
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
tambang, hutan/tutupan lahan, pesisir
dan laut serta badan air yang terlantar.
10.3.9.3. Memperkuat Kapasitas
Lingkungan Hidup:
Pengelolaan
a. Membina dan meningkatkan kapasitas
SDM lingkungan hidup, melalui strategi:
(i) mengembangan Penyidik Pegawai
Negeri Sipil (PPNS), termasuk di
dalamnya
jabatan
fungsional
pengawasan lingkungan hidup (PPLH);
dan (ii) memberikan pembinaan dan
pelatihan kepada PPNS dan PPLH secara
berkesinambungan.
b. Meningkatkan
kepastian
hukum
lingkungan,
melalui
strategi:
(i)
menyelesaikan peraturan pelaksanaan
turunan dari UU No. 32/2009 tentang
PPLH; (ii) meningkatkan pelayanan
penyelesaian kasus dan sengketa
lingkungan
hidup;
dan
(iii)
meningkatkan
kerjasama
dengan
instansi penegak hukum.
10.3.9.4. Pelestarian
dan
Pemanfaatan
Keekonomian KEHATI sesuai dengan
arah kebijakan dan strategi dalam
Indonesia Biodiversity Strategy and
Action Plan/IBSAP 2003-2020:
a. Meningkatnya
pemeliharaan
dan
pemanfaatan KEHATI sebagai modal
dasar pembangunan berkelanjutan yang
bisa dirasakan dampak dan manfaatnya
oleh
berbagai
pihak,
terutama
masyarakat,
melalui
strategi:
(i)kebijakan pemanfaatan teknologi
ramah lingkungan; (ii) pemanfaatan
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-115
potensi KEHATI yang sudah terbukti;
(iii) peningkatan hubungan antara
industri dan hasil kajian penelitian
lembaga riset Indonesia; dan (iv)
kebijakan yang mendukung keunggulan
komparatif industri hilir (nilai tambah);
industri berbasis bioresource (energi,
farmasi, kesehatan, kosmetik, pangan,
dan biomaterial).
b. Membaiknya upaya pelestarian fungsi
KEHATI yang tercermin oleh terjaganya
daya
dukung
lingkungan
dan
kemampuan pemulihan (restorasi),
melalui strategi: (i) peningkatkan
kualitas dan kuantitas biodiversitas
dengan melakukan perlindungan spesies,
ekosistem,
dan
genetik;
(ii)
pengembangan dan penerapan kebijakan
pelestarian keanekaragaman hayati baik
secara in-situ maupun eks-situ; dan (iii)
penangkaran flora dan fauna yang
terancam punah untuk pelestarian flora
dan fauna di habitat alaminya, serta
memenuhi permintaan pasar.
c. Mantapnya kelembagaan dan kapasitas
penataan ruang, sertameningkatnya
kesadaran, sikap mental, dan perilaku
masyarakat
dalam
mendukung
implementasi pengelolaan KEHATI,
melalui strategi : (i) dukungan
pendanaan pengembangan riset, data
base, & tenaga ahli; (ii) penelitian
mendasar pemanfaatan & pengelolaan
KEHATI, serta pengembangan IPTEK
&inovasi teknologi terapan yg tepat
(termasuk
local
wisdom)
secara
X-116
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
terintegrasi; (iii) valuasi KEHATI terkait
kontribusinya terhadap pembangunan;
(iv) kerjasama pemerintah, swasta,
masyarakat & institusi penelitian dalam
pengembangan bio-basedeconomy; dan
(v) implementasi konvensi melalui
perencanaan, manajemen pengetahuan,
dan capacity building.
d. Meningkanya kualitas SDM, serta
dukungan politik, regulasi, dan anggaran
dalam pengelolaan KEHATI melalui
pengarusutamaan isu KEHATI pada
setiap
tataran
kelembagaan
dan
masyarakat, melalui strategi : gerakan
penyadaran pentingnya bioresources dan
biodiversitas dalam sektor pangan,
bioenergi,
obat‐obatan
dan
jasa
lingkungan.
10.3.10. Penanganan Perubahan Iklim dan Peningkatan
Kualitas Informasi Iklim dan Kebencanaan
1. Melaksanakan mitigasi dan adaptasi perubahan
iklim, melalui strategi: (a) melaksanakan kegiatan
yang secara langsung dan tidak langsung
mengurangi/menurunkan
emisi
GRK;
(b)
melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan
RAN-GRK dan RAD-GRK; (c) melaksanakan
inventarisasi GRK yang berkesinambungan setiap
tahunnya melalui SIGN Center; (d) menerapkan
sistem MRV di setiap bidang; (e) menyempurnakan
indeks kerentanan dan indikator adaptasi.
2. Meningkatkan jangkauan layanan, kecepatan
penyampaian dan analisis, serta akurasi informasi
peringatan dini, melalui strategi: (a) menambah
kerapatan jaringan peralatan peringatan dini,
seperti Automatic Rain Gauge (ARG), Automatic
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-117
Weather Station (AWS), Agroclimate Automatic
Weather Station (AAWS), dan sensor gempa; (b)
meningkatkan
kapasitas
sumber
daya
manusia/forecaster;
(c)
mengembangkan
sarana/media komunikasi/diseminasi informasi
peringatan dini; (d) melakukan perawatan dan
kalibrasi peralatan secara rutin; dan (e)
meningkatkan koordinasi dan sinergisitas layanan
peringatan dini gempa bumi dan tsunami dengan
instansi terkait, seperti BPPT dan BNPB/BPBD.
3. Menyediakan dan memperkuat akurasi data dan
informasi pendukung penanganan perubahan iklim
yang berkesinambungan, melalui strategi: (a)
membuat dan menyempurnakan pemodelan
proyeksi perubahan iklim; (b) menyediakan dan
memperkuat akurasi informasi untuk mendukung
upaya ketahanan pangan (pertanian dan
perikanan) dan ketahanan energi.
4. Meningkatkan kecepatan dan akurasi data dan
informasi MKG yang mudah diakses dan
berkesinambungan,
melalui
strategi:
(a)
meningkatkan kualitas data dan informasi dengan
mengganti peralatan analog menjadi peralatan
otomasi/digital; (b) meningkatkan akurasi dan
kecepatan
penyampaian
informasi
yang
mendukung
kelancaran
dan
keselamatan
penerbangan dan maritim; (c) memperkuat
database MKG yang terintegrasi dan memperluas
jaringan
diseminasi
informasi
MKG;
(d)
peningkatan kapasitas sumber daya manusia
pengelola data dan informasi MKG; dan (e)
menyediakan dan meningkatkan akurasi data dan
informasi pendukung pemantauan kualitas udara
ambien, sesuai dengan standar parameter yang
ditentukan.
X-118
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
10.4. Kerangka Pendanaan
10.4.1. Pengamanan Produksi Untuk Kemandirian dan
Diversifikasi Konsumsi Pangan
Pendanaan
pembangunan
dalam
mendukung
peningkatan pasokan pangan dan diversifikasi
konsumsi akan bersumber pemerintah(APBN dan
APBD), swasta, dan masyarakat. Sumber pendanaan
APBN difokuskan pada beberapa kegiatan yang sesuai
dengan fungsi publik yaitu penyediaan infrastruktur
pertanian dan perdesaan seperti irigasi dan jalan
usaha tani, penelitian dan pengembangan, penguatan
sistem perbenihan dan penyuluhan dan pendataan
petani sertasubsidi pertanian. Pendanaan dari APBD
akan diarahkan kepada kegiatan pendukung di tingkat
daerah, seperti infrastruktur (irigasi tersier dan jalan
usahatani), penyuluhan, dan pengawalan produksi. Di
luar APBN/APBD, pendanaan dari BUMN/BUMD dan
swasta seperti perusahaan dan kredit perbankan
untuk mendukung budidaya maupun usaha
pengolahan pangan.
10.4.2. Pengembangan
Agribisnis,
Pertanian
Berkelanjutan dan Kesejahteraan Petani
Upaya
pengembangan
agribisnis,
pertanian
berkelanjutan dan kesejahteraan petani akan menjadi
tanggungjawab para pihak khususnya Pemerintah, dan
dunia swasta. Khususnya untuk pengembangan daya
saing dan nilai tambah komoditas pertanian, pihak
swasta akan lebih banyak berperan baik di hulu
ataupun hilir untuk pengembangan komoditaskomoditas khususnya perkebunan yang memiliki daya
saing ekspor.
Sementara untuk pengembangan hortikultura akan
diarahkan untuk mengurangi impor hortikultura,
maka peran Pemerintah masih akan besar berupa
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-119
pemberian insentif bagi pengembangan komoditikomoditi hortikultura unggulan seperti nenas,
manggis, salak yang sudah mulai mendapat tempat di
pasaran ekspor.
Pemberian kredit dan insentif pajak masih diperlukan
untuk pengembangan berbagai komoditi yang
sebetulnya memiliki daya saing yang masih potensial
untuk dikembangkan. Pemberian kredit dan bantuan
lainnya penting mengingat masih diperlukannya
anggaran yang besar khususunya untuk peremajaan
tanaman-tanaman perkebunan yang menjadi kunci
daya saing peningkatan.
10.4.3. Peningkatan Produksi dan Nilai Tambah
Perikanan Serta Kesejahteraan Nelayan dan
Pembudidaya Ikan
Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam dan luar
negeri terhadap produk perikanan, diperlukan upaya
peningkatan produksi dan memelihara keberlanjutan
dari sumberdaya perikanan melalui penerapan konsep
sustainable fisheries. Selain itu dilakukan pula
pengawalan, promosi dan penyediaan infratruktur
untuk meningkatkan daya saing produk dan
peningkatan ekspor. Dukungan Iptek dan SDM untuk
mengawalan usaha perikanan dan peningkatan daya
saing juga sangat diperlukan. Kesemuanya ini
memerlukan
investasi
pemerintah
berupa
APBN/APBD. Selain itu, upaya perlindungan,
penguatan kelembagaan nelayan dan pembudidaya
ikan masih tetap diperlukan dalam rangka
memperkuat posisi nelayan dan pembudidaya sebagai
produsen maupun pelaku usaha perikanan. Kegiatan
ini diwadahi dalam program peningkatan kehidupan
nelayan (PKN) yang akan diperluas sampai ke pulaupulau kecil. Untuk pembangunan usaha perikanan,
baik untuk pengolahan maupun budidaya perikanan
dan
penangkapan
ikan
dilakukan
oleh
X-120
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
swasta/masyarakat. Selain itu, pendanaan dari
BUMN/BUMD dan swasta seperti perusahaan dan
perbankan melalui CSR ataupun skema tertentu sangat
dibutuhkan
dalam
mendukung
pembangunan
perikanan.
10.4.4. Peningkatan Tata Kelola Laut, Pengelolaan Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil Serta Pengembangan
Ekonomi Kelautan Berkelanjutan
Pembangunan kelautan dalam Bidang SDA dan LH
dilaksanakan melalui peningkatan tata kelola sumber
daya kelautan dengan melakukan pengaturan wilayah
dan zonasi untuk kegiatan pembangunan sebagaimana
yang dilaksanakan di wilayah daratan, dan pembakuan
nama pulau. Selain itu, dilakukan pula upaya
konservasi, rehabilitasi kawasan yang rusak serta
pengendalian dan pengawasan pemanfaatan sumber
daya kelautan, termasuk IUU fishing.
10.4.5. Peningkatan
Produksi
Hasil
Pengembangan Jasa Lingkungan
Hutan
dan
10.4.5.1. Pengembangan KPH Produksi dan
Produk Kayu
Upaya peningkatan daya saing produksi
hutan perlu didukung dengan sumber
pendanaan dari APBN, APBD dan dana
masyarakat.
Pendanaan
APBN
dimanfaatkan
untuk
fasilitasi
pengembangan KPHP serta investasi yang
bersifat initial capital, untuk mendorong
pemerintah daerah berperan aktif sesuai
kewenangannya dalam pembangunan dan
pengelolaan KPHP. Diharapkan KPHP pada
tahap selanjutnya dapat menjadi unit bisnis
daerah yang mampu meningkatkan PAD. Di
samping itu, sumber pendanaan diharapkan
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-121
juga dari pihak swasta, melalui pola Public
Private Partnership dengan KPH.
Untuk menunjang pengembangan KPH
Produksi dan Produk Kayu maka akan
dilakukan kegiatan sebagai berikut :
1. Pembentukan KPHP;
2. Peningkatan hasil hutan kayu dari
hutan tanaman (HTI, HTR), hutan alam
dan hutan desa (HD) dengan
mengembangkan pola kerja sama
antara pemerintah dan swasta (public
private partnership/PPP). Pola kerja
sama ini dilakukan melalui KPHP yang
telah terbangun;
3. Peningkatan pemanfaatan lahan kritis
pada kawasan hutan produksi yang
belum dibebani izin dilakukan melalui
regenerasi tanaman dan reboisasi;
4. Penyediaan
sarana
prasarana
perlindungan dan pengamanan KPHP.
10.4.5.2. Pengembangan KPH Lindung dan Hasil
Hutan Bukan Kayu
Untuk mempertahankan fungsi hutan
lindung sebagai penyangga kehidupan maka
pemerintah pusat dan daerah akan
mengalokasikan anggarannya melalui APBN
dan APBD. Selain itu, pendanaan dari APBN
melalui dana transfer dari pusat ke daerah
berupa Dana Alokasi Khusus (DAK) dapat
menjadi sumber pendanaan. Selain itu
potensi pendanaan melalui kerjasama
kemitraan dapat menjadi alternatif.
Untuk menunjang pengembangan KPH
Lindung dan hasil hutan bukan kayu maka
akan dilakukan kegiatan sebagai berikut :
X-122
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
1. Pembentukan KPHL;
2. Pembentukan
kemitraan
dalam
pengelolaan KPHL dalam bentuk HKm,
HD;
3. Pengembangan HR;
4. Peningkatan HHBK (madu, rotan,
damar, sutra, getah, minyak atsiri,
minyak kayu putih);
5. Peningkatan ekowisata;
6. Pengembangan jasa air baku;
7. Rehabilitasi KPHL;
8. Perlindungan dan pengamanan KPHL.
10.4.6. Peningkatan Konservasi dan Tata Kelola Hutan
Serta Pengelolaan DAS
10.4.6.1. Peningkatan Kinerja Tata Kelola
Kehutanan
Pendanaan yang bersumber pada APBN
menjadi prioritas dalam perbaikan tata
kelola
untuk
pembangunan
hutan
berkelanjutan. Dukungan APBD diperlukan
untuk menjembatani proses yang dilakukan
di pusat sesuai dengan di daerah, juga untuk
meningkatkan keterlibatan masyarakat
dalam pengelolaan hutan. Kemitraan
dengan dunia usaha swasta dan kelompok
masyarakat juga merupakan salah satu
sumber pendanaan untuk meningkatkan
kinerja tata kelola kehutanan.
Untuk meningkatkan kinerja tata kelola
kehutanan maka akan dilakukan kegiatan
sebagai berikut :
1. Inventarisasi sumber daya hutan di
seluruh kawasan hutan, meliputi
kegiatan inventory sumber daya hutan
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-123
kayu, bukan kayu, tanaman, satwa dan
keanekaragaman hayati;
2. Penyelesaian tata batas, meliputi
penyelesaian tata batas kawasan hutan
dengan non kawasan hutan serta tata
batas fungsi kawasan hutan;
3. Pemetaan
dan
penetapan
KPH
merupakan langkah berikut dari
inventarisasi dan penataan batas
kawasan hutan sehingga semua
kawasan hutan merupakan bagian dari
unit KPH;
4. Pengendalian kebakaran hutan, yang
dijabarkan menjadi beberapa kegiatan
berikut:
a. Menurunkan jumlah hotspots pada
kawasan hutan di Pulau Sumatera,
Kalimantan dan Sulawesi menurun
dari toleransi maksimum tahun
2014 (17.820 hotspots) menjadi
16.038 hotspots;
b. Menurunkan luas Kawasan Suaka
Alam dan Pelestarian Alam yang
terbakar di Pulau Sumatera,
Kalimantan dan Sulawesi menurun
dari toleransi maksimal tahun
2014 (3.861,3 Ha) menjadi 3.475,2
Ha;
c. Meningkatkan kapasitas SDM
Pengendalian Kebakaran Hutan
sejumlah 3.000 orang;
d. Membentuk Brigade Pengendalian
Kebakaran Hutan pada Kesatuan
Pemangkuan Hutan di Pulau
Sumatera,
Kalimantan
dan
Sulawesi sebanyak 100 Brigade.
X-124
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
5. Peningkatan
pengamanan
dan
penyidikan kasus terkait dengan
kehutanan, yang diturunkan menjadi
beberapa kegiatan sebagai berikut:
a. Menyelesaikan
Penanganan
Perkara Tindak Pidana Kehutanan
minimal 75 kasus per tahun;
b. Melakukan
Pengamanan
dan
Penindakan terhadap gangguan
dan ancaman bidang Kehutanan
Terlaksana di 70 Lokasi pada UPT
PHKA;
c. Memenuhi
standar
minimum
sarana dan prasarana pengamanan
hutan di 88 Lokasi pada UPT PHKA
dan Brigade SPORC;
d. Meningkatkan kapasitas sumber
daya
manusia
di
bidang
pengamanan hutan sebesar 10.000
orang;
e. Penelitian dan pengembangan
kehutanan;
f. Peningkatan SDM kehutanan.
10.4.6.2. Peningkatan Konservasi dan
Keanekaragaman Hayati
Untuk mencapai target-target Badan
Litbang Kehutanan yang tertuang dalam
RPJMN 2015-2019, sumber pendanaan
utama diperoleh dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN). Selain itu,
untuk mengatasi keterbatasan pendanaan,
maka dirasakan perlu untuk mendapatkan
pendanaan dari sumber lainnya seperti
lembaga
swadaya
masyarakat
dan
kerjasama dengan mitra internasional.
Dalam
rangka
menampung
dan
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-125
mengkoordinasikan dana-dana yang berasal
dari non-APBN tersebut, maka akan
dibentuk trust fund di bidang konservasi
kehutanan. Dengan adanya mekanisme
pendanaan ini maka diharapkan upaya
konservasi dapat diwujudkan dengan
mengelola secara baik dan terintegrasi
dana-dana konservasi, baik yang berasal
dari lembaga internasional maupun dalam
negeri serta menyalurkan secara bijak
kepada pengelola kawasan konservasi.
Untuk mencapai meningkatnya kinerja
konservasi dan keanekaragaman hayati
maka akan dilakukan kegiatan sebagai
berikut :
1. Pengelolaan kawasan konservasi dan
pengembangan kawasan ekosistem
essensial, yang dijabarkan menjadi
beberapa kegiatan yaitu:
a. Menjamin beroperasinya 50 unit
KPHK pada kawasan konservasi
non Taman Nasional;
b. Menyusun
150
Rencana
Pengelolaan
di
Kawasan
Konservasi;
c. Menjamin keberadaan kawasan
ekosistem esensial pada 16 lokasi;
d. Melakukan pemulihan ekosistem
kawasan
konservasi
yang
terdegradasi
seluas
250.000
hektar.
2. Konservasi keanekaragaman hayati
sumber daya hutan, dengan beberapa
kegiatan turunan yaitu:
X-126
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
a. Meningkatkan populasi 25 spesies
terancam punah (menurut Redlist
IUCN) sebesar 10% sesuai data
tahun dasar 2013;
b. Mendorong sertifikasi 60 unit
penangkaran
dalam
rangka
melakukan peredaran luar negeri;
c. Meningkatkan
nilai
ekspor
pemanfaatan tanaman satwa liar
dan bioprospecting sebesar Rp 25
trilliyun,
d. Meningkatkan nilai PNBP dari
pemanfaatan tumbuhan dan satwa
liar sebesar 50 milliar;
e. Menjamin jumlah jenis satwa liar
yang
dikembangbiakkan
di
lembaga konservasi bertambah 10
jenis dari database 2013.
3. Pemanfaatan jasa lingkungan kawasan
konservasi termasuk KPHK, yang dapat
dirinci menjadi kegiatan-kegiatan:
a. Meningkatkan
pengusahaan
pariwisata alam sebesar 100 unit
dari tahun 2013;
b. Menjamin usaha lingkungan air
sebanyak 25 perusahaan;
c. Mendapatkan
registrasi
dan
sertifikasi
Voluntary
Carbon
Standard (VCS) dan/atau Climate
Community
and
Biodiversity
Alliance (CCBA) REDD+ pada 2
kawasan konservasi;
d. Membentuk Kader Konservasi
(KK), Kelompok Pecinta Alam
(KPA),
Kelompok
Swadaya
Masyarakat/ Kelompok Profesi
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-127
(KSM/KP) yang aktif sejumlah
6.000 kader;
e. Meningkatkan kontribusi PNBP
dari pengusahaan jasa lingkungan
mencapai Rp 1 Triliun.
10.4.6.3. Peningkatan Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai (DAS)
Program
yang
bertujuan
untuk
mempertahankan dan mengembalikan
kondisi DAS dibutuhkan investasi yang
tidak sedikit. Peraturan penggunaan dana
reboisasi yang tertuang dalam PP 35 tahun
2002 perlu disempurnakan sehingga
penggunaan dana tidak hanya terbatas pada
penanaman saja, tetapi juga penggunaan
lebih luas yang mendukung upaya
memulihkan kekritisan DAS. Sumberdana
APBN difokuskan pada rehabilitasi lahan
kritis di daerah kawasan, penanganan dan
revitalisasi DAS dan penyelesaian status
DAS nasional, penyusunan pedoman
pengelolaann DAS serta pembangunan
infrastruktur sumber daya air yang selaras
dengan ekosistem DAS. APBD akan
digunakan untuk rehabilitasi lahan kritis di
luar kawasan serta penguatan kelembagaan
di daerah serta pemberdayaan masyarakat.
Untuk mencapai peningkatan pengelolaan
DAS maka akan dilakukan kegiatan sebagai
berikut :
1.
2.
3.
X-128
Penyusunan RPDAS Terpadu;
Pemulihan DAS kritis;
Peningkatan kelembagaan.
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
10.4.7. Penguatan Pasokan,
Konsumsi Energi
Bauran
dan
Efisiensi
Pendanaan dalam rangka penguatan ketahanan energi
dapat bersumber dari APBN, APBD maupun Badan
Usaha baik milik pemerintah maupun swasta. Untuk
mendukung strategi peningkatan pasokan energi
primer, pemerintah dapat membiayai pelaksanaan
survei umum, promosi dan penyiapan wilayah kerja
baru, dan monitoring dan evaluasi kegiatan eksplorasi
dan eksploitasi, sedangkan pembiayaan swasta
meliputi pelaksanaan eksplorasi dan eksploitasi serta
pelaksanaan pilot project gas unconventional(shale gas
dan CBM).
Dalam rangka penyediaan sarana dan prasarana
energi,
pembiayaan
pemerintah
mencakup
pelaksanaan pra-studi kelayakan, pengadaan lahan,
penyiapan dan pelaksanaan tender, pembangunan
jaringan prasarana migas, serta monitoring dan
evaluasi pembangunan. Di lain pihak, pembiayaan
swasta diarahkan pada pembangunan, pengoperasian,
dan pemeliharaan sarana dan prasarana energi
(kilang,
FSRU,
regasifikasi,
SPBG).
Untuk
mengoptimalkan pemanfaatan bahan bakar nabati,
pemerintah memberikan subsidi terhadap bahan
bakar nabati serta membiayai pelaksanaan monitoring
dan evaluasi produksi/pemanfaatan BBN sedangkan
pembangunan, pengoperasian, dan pemeliharaan
kapasitas produksi melalui pembiayaan swasta.
Untuk mendorong penggunaan energi yang lebih
efisien, pembiayaan pemerintah meliputi pembinaan
dan pengawasan konservasi energi dan layanan audit
energi sedangkan investasi alih tehnologi yang ramah
lingkungan dan efisiensi energi merupakan
pembiayaan swasta. Dalam rangka meningkatkan
bauran energi baru dan terbarukan pembiayaan
pemerintah mencakup studi pendahuluan potensi
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-129
energi baru dan terbarukan, pembinaan dan
pengawasan pemanfaatan energi baru dan terbarukan,
serta bantuan PLTS, PLTMH, biogas, dan DME. Di lain
pihak,
pembangunan,
pengoperasian,
dan
pemeliharaan pembangkit energi terbarukan tersebut
dilakukan dengan pembiayaan swasta. Strategi
pengurangan subsidi energi
secara
berkala
dilaksanakan melalui pembiayaan pemerintah untuk
pemberian subsidi energi, pengawasan distribusi BBM
bersubsidi, pengembangan teknologi informasi, serta
monitoring dan evaluasi pelaksanaannya, sedangkan
pembiayaan swasta diarahkan untuk menyalurkan
BBM, BBN, dan LPG.
10.4.8. Peningkatan Nilai Tambah Industri Mineral dan
Pertambangan Berkelanjutan
Pendanaan dalam rangka peningkatan daya saing
untuk komoditas mineral dan tambang dapat
bersumber dari APBN, APBD, CSR, dan Badan Usaha.
Pendanaan dari APBN/APBD dapat membiayai
kegiatan-kegiatan antara lain koordinasi dan
sinkronisasi lintas sektor, fasilitasi pembangunan
industri pengolahan dan pemurnian, penyediaan
infrastruktur pendukung seperti listrik, jalan,
transportasi laut, serta monitoring dan evaluasi.
Sementara, badan usaha baik melalui dana CSR
maupun dana investasinya diharapkan dapat
mendukung dan atau membangun industri pengolahan
dan pemurnian beserta fasilitas pendukungnya.
X-130
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
10.4.9. Peningkatan
Kualitas
Lingkungan
Hidup,
Pengembangan Pola Produksi dan Konsumsi
Berkelanjutan dan Pelestarian dan Pemanfaatan
Keekonomian KEHATI Sesuai dengan Arahan
dalam Indonesia Biodiversity Strategy And Action
Plan/IBSAP 2003-2020
10.4.9.1. Kerangka Pendanaan untuk Perbaikan
Kualitas Lingkungan Hidup
Kerangka pendanaan untuk perbaikan
kualitas lingkungan hidup bersumber dari
pendanaan pemerintah pusat (APBN), baik
yang bersumber dari dana Rupiah Murni
maupun pendanaan hibah internasional
(bilateral dan multilateral). Total anggaran
pemerintah pusat untuk perbaikan kualitas
lingkungan hidup periode 2015-2019
adalah sebesar Rp4,4 Triliun.
10.4.9.2. Kerangka Pendanaan untuk Pelestarian
dan Pemanfaatan Keekonomian KEHATI
Kerangka pendanaan untuk pelestarian dan
pemanfaatan
keekonomian
KEHATIbersumber
dari
pendanaan
pemerintah pusat (APBN) dan APBD, baik
yang bersumber dari dana Rupiah Murni
maupun pendanaan hibah internasional
(bilateral dan multilateral). Pendanaan ini
salah satunya merupakan stimulus untuk
mobilisasi
pendanaan
(resources
mobilization)dari multiplier effect dari
danaswasta serta
pemanfaatan
dan
pengembangan keekonomian KEHATI dan
jasa lingkungan.
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-131
10.4.10. Penanganan Perubahan Iklim dan Peningkatan
Kualitas Informasi Iklim dan Kebencanaan
Kerangka pendanaan untuk pengembangan dan
pembinaan meteorologi, klimatologi dan geofisika
bersumber dari pendanaan pemerintah (APBN) dan
sumber-sumber dana lain baik dari dalam negeri
maupun luar negeri yang tidak mengikat. Total
anggaran pemerintah pusat untuk pengelolaan data
dan informasi meteorologi, klimatologi dan geofisika
periode 2015-2019 adalah sebesar Rp9,1 Triliun.
Untuk peningkatan usaha pengumpulan dana untuk
Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF), perlu
disempurnakan Perpres terkait Dana Perwalian
Nasional yang mengatur tentang: (1) sumber
pendanaan; dan (2) mekanisme penyaluran
pendanaan.
10.5. Kerangka Regulasi dan Kerangka Kelembagaan
10.5.1. Pengamanan Produksi untuk Kemandirian dan
Diversifikasi Konsumsi Pangan
 Kerangka Regulasi
Dalam mendukung penguatan pasokan pangan dan
diversifikasi konsumsi, maka terdapat regulasi yang
akan didorong dalam lima tahun ke depan, yaitu:
1. Melengkapi peraturan turunan dari UU No.
18/2012, terutama berkaitan pembentukan
lembaga otoritas pangan. Sesuai dengan UU No.
18/2012 Tentang Pangandiperlukan adanya
suatu lembaga/otoritas pangan yang memiliki
wewenang dalam perencanaan, dan juga
implementasi kebijakan pangan baik di tingkat
pusat maupun di tingkat daerah.
X-132
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
2. Peraturan Menteri Pertanian yang mengatur
detail implementasi asuransi pertanian yang
juga dapat menjadi payung hukum bagi
Pemda untuk dapat berpartisipasi dalam
skema pendanaan asuransi pertanian. Sesuai
Undang-undang
No.
19/2013
Tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Petani,
asuransi pertanian merupakan salah satu
instrumen penting yang diamanatkan dalam
rangka peningkatan produktivitas tanaman
pangan (padi) dan perlindungan terhadap usaha
tani. Permentan yang mengatur hal ini
diperlukan sehinggaprogram asuransi pertanian
dapat dijalankan baik dalam bentuk pilot project
ataupun program yang sifatnya massal.
Peraturan ini perlu didukung oleh peraturan di
bidang perbankan dan lembaga keuangan.
 Kerangka Kelembagaan
1. Pembentukan
otoritas
pangan
yang
merupakan amanat UU No. 18/2012.
Lembaga ini merupakan lembaga yang
independen dari Kementerian Pertanian yang
lebih memiliki tuksi di bidang produksi pangan
dan pertanian. Lembaga ini sekaligus akan
mengkoordinasikan ketahanan pangan, dan
otoritas
berada
di
bawah
presiden
sertadiharapkan
dapat
memiliki
fungsi
koordinasi secara vertikal dan horizontal.
2. Peningkatan koordinasi antar lembaga, terutama
dalam mengintegrasikan: (a) pengamanan lahan
irigasi teknis; (b) sinergi terpadu pengelolaan
jaringan irigasi teknis primer-sekunder-tersier
dan kwarter, antara Kementerian PU-Pemda
Provinsi-Pemda Kabutapen/Kota-Kementerian
Pertanian.
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-133
3. Peningkatan koordinasi dan sinergi untuk pola
konsumsi yang seimbang dan kualitas
nutrisi/gizi.
10.5.2. Pengembangan
Agribisnis,
Pertanian
Berkelanjutan dan Kesejahteraan Petani
 Kerangka regulasi
Dalam rangka peningkatan nilai tambah dan daya
saing produk-produk pertanian, diperlukan
Permentan yang mengatur tentang ketertelusuran
(traceability) untuk komoditi-komoditi ekspor dan
impor. Melalui ketertelusuran ini, maka diharapkan
dapat menjamin keamanan, syarat kesehatan, serta
praktek-praktek pertanian yang baik (GAP) untuk
komoditi-komoditi tersebut. Selain itu, untuk
penerapan ISPO perlu disusun instrumen
pelaksanaan dan pengawasannya agar dapat
dipertanggungjawabkan dan digunakan dalam
diplomasi perdagangan internasional.
Regulasi lain yang perlu ditinjau kembali adalah
yang terkait dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
khususnya untuk produk-produk yang berorientasi
ekspor, serta ketentuan bea masuk untuk produkproduk impor. Dengan telaahan tersebut, maka
penerapan PPN dan juga bea masuk akan
disesuaikan dengan jenis komoditas yang akan
dikembangkan oleh Pemerintah. Penerapan PPN
dan bea masuk yang lebih fair adalah salah satu
bentuk pemihakan Pemerintah terhadap upaya
peningkatan nilai tambah dan daya saing, serta
untuk melindungi industri kecil dan menengah
yang mengandalkan bahan baku komoditas
pertanian.
Selain itu, diperlukan juga peta jalan (road map)
untuk percepatan dan penguatan industri berbasis
komoditas unggulan khususnya untuk komoditasX-134
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
komoditas yang termasuk ke dalam andalan ekspor
(kelapa sawit, kakao, dan karet), serta yang
komoditas yang termasuk potensial ekspor. Melalui
peta jalan ini, diharapkan kontribusi para
pemangku kepentingan akan lebih terarah dan
target-target yang ditetapkan dapat tercapai.
 Kerangka Kelembagaan
Peningkatan daya saing dan nilai tambah
komoditas pertanian memerlukan pengaturan
kelembagaan (institutional arrangement) baik di
sisi hulu maupun di sisi hilir. Pada aspek hulu,
peran Kementerian Pertanian akan sangat dominan
sebagai lembaga teknis yang membina aspek
produksi. Sementara pada sisi hilir, peran
kementerian/lembaga lain juga cukup penting
khususnya Kementerian Perindustrian (terkait
dengan peta jalan pengembangan industri agro
industri nasional), Kementerian Keuangan untuk
hal yang terkait dengan insentif fiskal seperti
keringanan pajak dan bea masuk, serta
Kementerian UMKM yang terkait dengan
pembinaan dan pengembangan usaha kecil, mikro,
dan menengah.
Peran
lembaga-lembaga
non
pemerintah
khususnya KADIN dan asosiasi-asosiasi juga
penting karena lembaga-lembaga tersebut yang
umumnya langsung bersentuhan dengan faktafakta keseharian di lapangan sehingga banyak
informasi yang diperoleh dari mereka yang menjadi
input bagi para pengambil kebijakan di tingkat
pusat. Penguatan hubungan antara pemerintahdunia usaha-organisasi masyarakat sipil (OMS)
serta akademia semakin krusial mengingat upaya
peningkatan nilai tambah dan daya saing ini
bersifat lintas sektor serta memerlukan masukan
yang simultan dari pemangku kepentingan terkait.
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-135
10.5.3. Peningkatan Produksi dan Nilai Tambah
Perikanan Serta Kesejahteraan Nelayan dan
Pembudidaya Ikan
 Kerangka Regulasi
Kerangka regulasi yang diperlukan dalam
pembangunan
perikanan
adalah
berupa
perlindungan terhadap pelaku usaha perikanan,
meliputi:
nelayan,
pembudidaya
ikan,
pengolah/pemasar ikan, dan petambak garam,
khususnya ketika dihadapkan pada kondisi
bencana alam. Hal ini dilakukan dalam rangka
melindungi kelompok masyarakat perikanan yang
kehidupannya rentan terhadap kemiskinan dan
sangat bergantung pada sumber daya alam. Hal ini
juga
diharapkan
dapat
melengkapi
dan
menyempurnakan UU No. 19/2013 Tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, dengan
memasukkan
nelayan,
pembudidaya
ikan,
pengolah/pemasar ikan, dan petambak garam.
Selanjutnya, skema kredit seperti kredit ketahanan
pangan dan energi di bidang kelautan dan
perikanan juga perlu disempurnakan untuk
memperluas akses bantuan modal, khususnya bagi
pelaku
usaha
perikanan
yang
memiliki
keterbatasan materi yang bisa diagunkan.
Implementasi penyaluran kredit bagi kelompok
masyarakat pelaku usaha perikanan perlu diperluas
lagi cakupannya guna memberikan hasil yang
optimal
dalam
mengentaskan
kemiskinan
masyarakat pesisir. Sementara itu, permasalahan
distribusi ikan dari sentra produksi yang terletak di
wilayah timur ke sentra-sentra pengolahan dan
pemasaran di wilayah baratNKRI belum optimal
dan kurang terpadu serta fluktuasi harga yang
signifikan saat musim panen serta paceklik.
Pengembangan sistem logistik ikan nasional (SLIN)
X-136
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
yang juga merupakan amanat Perpres No. 26/2012
tentang cetak biru sistem logistik nasional
diaktualisasikan sebagai salah satu upaya untuk
mendukung ketahanan pangan nasional. SLIN
diharapkan dapat memberikan jaminan terhadap
ketersediaan, stabilitas harga, ketahanan pangan
serta mendorong pertumbuhan industri pengolahan dan pertumbuhan ekonomi masyarakat
yang pada gilirannya akan membawa multiplier
effect bagi nelayan.
Selain itu, beberapa regulasi yang diperlukan
adalah: (1) Penetapan usaha perikanan di WPP
(RPP); (2) Penataan perizinan usaha penangkapan
ikan di pusat dan daerah; (3) Penetapan lahan
irigasi teknis untuk tambak; (4) Sinkronisasi Tata
Ruang Lintas Sektor untuk pengembangan
perikanan budidaya; (5) Tata Ruang Pesisir untuk
marikultur; (6) Penurunan tarif impor bahan baku
pakan; (7) Peraturan tentang subsidi BBM, pakan,
dan benih; (8) penguatan regulasi terkait
pengembangan sentra perikanan; dan (9) insentif
untuk ekspor produk olahan untuk mengurangi
kecenderungan ekspor bahan mentah.
 Kerangka Kelembagaan
Perlunya dikembangkan kerangka kelembagaan
dan skema kerjasama untuk mengelola wilayah
penangkapan perikanan (WPP) yang berjumlah 11
WPP, mencakup semua perairan nusantara.
Kerangka regulasi dan kelembagaan ini mencakup
pelibatan segenap unsur pemangku kepentingan
yang ada di setaiap WPP untuk bersama-sama
bertanggungjawab dalam menyeimbangkan upaya
pemanfaatan dan kelestarian sumberdaya ikan
yang bersifat diluar batas adminstratifnya. Selain
itu, diperlukan pembentukan kelembagaan
pengelola
SLIN,
penguatan
kelembagaan
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-137
Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil
Perikanan
(LPPMHP)
di
daerah,
serta
pengembangan kelembagaan penyuluh perikanan
di daerah.
10.5.4. Peningkatan Tata Kelola Laut, Pengelolaan Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil serta Pengembangan
Ekonomi Kelautan Berkelanjutan
 Kerangka Regulasi
Penataan ruang wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia sudah diatur dalam Undang-Undang,
yakni UU No. 26/2007 Tentang Penataan Ruang,
khususnya di wilayah darat Provinsi dan
kabupaten/kota di pulau-pulau besar, dan UU No.
1/2014 Tentang perubahan atas 27/2007 Tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Namun demikian masih terdapat kekosongan
hukum dalam pengaturan tata ruang kelola laut,
khususnya di kolom perairan laut di luar 12 mil
hingga kolom perairan laut di atas landas kontinen
di luar Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia belum
diatur.
 Kerangka Kelembagaan
Diperlukan
penguatan
kelembagaan
dalam
melaksanakan koordinasi perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan kelautan, termasuk
penguatan Badan Koordinasi Penataan Ruang
Daerah (BKPRD) dalam akselerasi penyusunan
Rencana Zonasi wilayah pesisir dan laut.
X-138
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
10.5.5. Peningkatan
Produksi
Hasil
Pengembangan Jasa Lingkungan
Hutan
dan
10.5.5.1. Pengembangan KPH Lindung dan Hasil
Hutan Bukan Kayu
 Kerangka Regulasi
Dalam upaya meningkatkan daya saing
hasil hutan kayu maka diperlukan revisi
Permendag No. 44/M-DAG/PER/7/2012
Tentang Barang Dilarang Ekspor. Pada
permen tersebut terdapat larangan
untuk
mengekspor
kayu
bulat.
Sementara itu, beberapa komoditas kayu
tertentu memiliki value yang tinggi serta
memiliki daya saing tinggi dalam
perdagangan kayu bulat global. Larangan
tersebut menurunkan value kayu serta
menurunkan investasi pada kawasan
hutan produksi. Revisi diperlukan untuk
membuka ekspor kayu bulat namun
dengan ketentuan tertentu yang ketat
antara lain jenis kayu bulat yang dapat
diekspor, kuota ekspor kayu bulat,
kriteria perusahaan yang mendapatkan
izin untuk melakukan penebangan bagi
keperluan
ekspor
serta
kriteria
perusahaan
yang
diperbolehkan
melakukan ekspor.
Produksi hasil hutan kayu melalui KPHP
diharapkan meningkat dengan dukungan
regulasi yang terkait dengan pengaturan
kerja sama pemerintah dan swasta
dalam pengelolaan KPH melalui pola
Public Private Partnership yang diatur
minimal melalui Peraturan Presiden.
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-139
 Kerangka Kelembagaan
Bentuk konkrit kelembagaan yang
dibutuhkan untuk peningkatan daya
saing kehutanan adalah pemisahan
fungsi
regulator
dan
pelaksana
(operator) di tingkat tapak. Pelaksana
pemanfaatan produksi difokuskan pada
terbentuknya
dan
beroperasinya
kelembagaan KPHP sebanyak 347 unit.
Hal ini sesuai dengan jiwa pembagian
kewenangan antara pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah (provinsi,
dan
kabupaten/kota)
yang
memungkinkan pemerintah daerah
memanfaatkan sumber daya hutan
seoptimal mungkin dan secara lestari
sesuai Rencana Kehutanan Tingkat
Nasional
melalui
operator
yang
merupakan unit pelayanan teknis daerah
(UPTD) dan/atau badan layanan umum
daerah (BLUD).
10.5.5.2. Pengembangan KPH Lindung Dan Hasil
Hutan Bukan Kayu
 Kerangka Regulasi
Akses masyarakat yang bertempat
tinggal di dalam dan di sekitar hutan
masih rendah sejalan dengan rendahnya
proporsi perhutanan sosial dalam
pemanfaatan kawasan hutan, baik di
hutan produksi maupun hutan lindung.
Salah satu kendala yang dirasakan
adalah rumitnya perizinan yang sulit
diikuti oleh komunitas masyarakat tanpa
pendampingan serta panjangnya jalur
birokrasi hingga ke Pemerintah Pusat.
X-140
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
Untuk itu diperlukan revisi Peraturan
Menteri Kehutanan yang mempermudah
proses
perizinan
untuk
Hutan
Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman
Rakyat,
dan Hutan Desa serta
mendelegasikan kewenangan tersebut
kepada
tingkat
KPH
(Kesatuan
Pengelolaan Hutan). Permenhut No.
P.49/MENHUT-II /2008 jo p.14/
MENHUT-II /2010 jo p.53/ MENHUT-II
/2011 Tentang Hutan Desa, Permenhut
No. P.37/ MENHUT-II /2007 jo
P.18/MENHUT-II/2009
jo
P.13/MENHUT-II/2010 Tentang Hutan
Kemasyarakatan,
Permenhut
No.
P.23/MENHUT-II/2007
jo
P.5/
MENHUT-II/2008 jo P.55/MENHUTII/2011
jo
P.31/MENHUT-II/2013
Tentang Tata Cara Permohonan Izin
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada
Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan
Tanaman. Terkait dengan hutan adat
perlu diterbitkannya peraturan yang
memuat
pengelolaan
hutan
oleh
masyarakat hukum adat.
 Kerangka Kelembagaan
Hutan
lindung
yang
menjadi
kewenangan pemerintah daerah pada
umumnya kurang mendapat perhatian
baik
dari
sisi
pengurusannya,
pengelolaannya hingga program maupun
pendanaannya. Dengan mendorong
Hutan
Lindung
menjadi
KPHL
diharapkan
hutan
lindung
dapat
dimanfaatkan secara optimal tanpa
mengurangi fungsinya.
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-141
Dalam
rangka
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat
dan
menurunkan
tingkat
kemiskinankhususnya
di
sekitar
kawasan hutan, diperlukan penguatan
kelembagaan masyarakat. Pembentukan
kelompok tani hutan terutama di luar
Pulau
Jawa
perlu
ditingkatkan,
sedangkan kelompok-kelompok yang
sudah terbentuk perlu diperkuat melalui
perkuatan
kelembagaan,
legalitas
kelembagaan dan kemudahan akses
terhadap permodalan.
10.5.6. Peningkatan Konservasi dan Tata Kelola Hutan
SertaPengelolaan DAS
10.5.6.1. Peningkatan Kinerja Tata Kelola
Kehutanan
 Kerangka Regulasi
Perbaikan
tata
kelola
hutan
mengindikasikan perlunya revisi PP No.
6/2007 jo PP No. 3/2008 tentang Tata
Hutan dan Penyusunan
Rencana
Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan
Hutan, PP No. 44/2004 tentang
Perencanaan
Hutan,
Permenhut
P.44/2012 dan Permenhut P.47/2010
Revisi PP No. 44/2004 tentang
Perencanaan
Hutan,
Permenhut
P.44/2012 dan Permenhut P.47/2010.
Terkait peraturan tersebut, perlu
dilakukan
penyempurnaan
aturan
pengukuhan kawasan hutan yang secara
subtansi menjamin kepastian hukum
atas status, letak, batas dan luas kawasan
hutan, melindungi hak masyarakat atas
X-142
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
tanah
dan sumber daya
alam,
transparan, partisipatif, dan bebas dari
korupsi.
Konflik di dalam kawasan hutan yang
terjadi karena ketidakjelasan tata batas
dan tenurial ataupun hal lainnya sering
terjadi dalam pengelolaan hutan.
Diperlukan
Peraturan
Menteri
Kehutanan
dalam
penyelesaian
sengketa/konflik tersebut antara lain
melalui percepatan penyelesaian tata
batas, percepatan penetapan kawasan
hutan,
dan
penyediaan
serta
regularupdatedata dan informasi serta
penyediaan peta kerja yang sama untuk
semua provinsi, kabupaten, dan KPH.
Revisi Peraturan Pemerintah No.
38/2007 tentang Pembagian Wewenang
Pusat-Daerah
Bidang
Kehutanan.
Penetapan kehutanan sebagai urusan
pilihan menyebabkan pemerintah daerah
tidak
banyak
memperhatikan
pengelolaan sumber daya hutan dalam
rangka
pertumbuhan
ekonomi,
peningkatan kesejahteraan masyarakat
dan pelestarian lingkungan.
 Kerangka Kelembagaan
Pembentukan KPH merupakan upaya
peningkatan
kinerja
pengurusan
kawasan hutan agar memberikan
manfaat kepada negara secara optimal.
KPH
dimaksudkan
lebih
kepada
pemisahan
peran
regulator
dan
pelaksana di tingkat tapak sesuai dengan
jiwa pembagian kewenangan antara
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-143
pemerintah pusat dan daerah. KPH juga
memungkinkan pemerintah daerah
memanfaatkan sumber daya hutan
seoptimal
mungkin
melalui
Unit
Pengelola Teknis Daerah (UPTD) dan
atau BLUD.
10.5.6.2. Peningkatan Konservasi dan
Keanekaragaman Hayati
 Kerangka Regulasi
Dalam rangka mendukung pelaksanaan
strategi dan program pengelolaan hutan
konservasi maka diperlukan 3 kerangka
regulasi sebagai berikut:
1. Revisi terhadap UU No.5/1990
Tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistem.
2. Peraturan mengenai kerjasama
pemerintah dan swasta di bidang
pemanfaatan kawasan konservasi.
3. Turunan regulasi yang mengatur
tentang Jasa Lingkungan dari hutan
dan kawasan konservasi pada
khususnya,
Sinkronisasi
antara
peraturan
mengenai kehutanan dan minerba
dalam pemanfaatan panas bumi di
kawasan konservasi.
 Kerangka Kelembagaan
Sejalan dengan kebijakan pembentukan dan
operasionalisasi
KPH
di
tingkat
kementerian, maka akan dibentuk 50 unit
KPH Konservasi. Pembentukan KPHK ini
juga ditujukan untuk mengelola beberapa
X-144
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
kawasan hutan konservasi yang saat ini
cenderung terlantar dan belum terkelola
dengan baik, baik karena lokasinya yang
tersebar maupun karena luasannya yang
terlalu kecilnamun memiliki arti penting
dari sisi konservasi. Dengan dibentuknya 50
unit KPH Konservasi tersebut, yang selama
ini dikelola oleh Balai Konservasi dan
Sumber Daya Alam, maka diperlukan
penguatan kelembagaan baik struktur,
personal,
program
kegiatan
dan
pendanaannya.
10.5.6.3. Peningkatan Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai (DAS)
 Kerangka Regulasi
Sinkronisasi Peraturan Pemerintah No. 42
Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber
Daya Airdan Peraturan Pemerintah No. 37
Tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS untuk
meningkatkan pelaksanaan pengelolaan
DAS secara sinergis. Hal ini perlu diperkuat
dengan Peraturan Presiden atau Peraturan
Gubernur/Bupati/Walikota dalam bentuk
perintah implementasi pengelolaan DAS
yang saling bersinergi/berjalan selaras dan
terintegrasi. Selain itu diperlukan juga
regulasi
pendukung
untuk
rencana
mekanisme pendanaan penggunaan jasa
lingkungan antar wilayah dan antar
masyarakat.
 Kerangka Kelembagaan
Dalam rangka meningkatkan pengelolaan
DAS, diperlukan koordinasi yang kuat
antara instansi serta penggunaan DAS
sebagai basis Rencana Tata Ruang. Oleh
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-145
karena itu, penyusunan Rencana Tata
Ruangseharusnya
berdasarkan
atau
menyesuaikan pada Rencana Pengelolaan
DAS Terpadu yang telah disusun.
Diperlukan sinergi lebih baik dan intensif
antara Badan Koordinasi Penataan Ruang
Nasional (BKPRN) danBadan Koordinasi
Penataan Ruang Daerah (BKPRD) dengan
instansi koordinator penyusun RPDAST
yaitu Kementerian Kehutanan (koordinator
RPDAST Lintas negara dan lintas provinsi)
dan Bappeda Provinsi maupun Bappeda
kabupaten/Kota.
10.5.7. Penguatan Pasokan, Bauran dan Efisiensi
Konsumsi Energi
 Kerangka Regulasi
Untuk mendukung strategi peningkatan pasokan
energi primer diperlukan penataan kelembagaan
industri hulu dan hilir, pembentukan petroleum
fund, serta harmonisasi regulasi dan peran
pemerintah daerah. Strategi penyediaan sarana dan
prasarana energi memerlukan aturan pemberian
insentif untuk menarik minat partisipasi swasta
berinvestasi membangun sarana dan prasarana
energi. Untuk mengoptimalkan pemanfaatan bahan
bakar nabati, penetapan off taker, standar, dan
harga produk BBN.
Untuk mendorong penggunaan energi yang lebih
efisien, diperlukan insentif bagi pelaku industri dan
pemilik bangunan dalam alih teknologi penggunaan
energi yang lebih efisien. Peningkatan bauran
energi baru dan terbarukan memerlukan
penerapan feed in tariff dan penyederhanaan
proses perizinan, sedangkan pengurangan subsidi
energi secara berkala memerlukan regulasi
X-146
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
kebijakan harga dan penentuan target sasaran yang
realistis.
 Kerangka Kelembagaan
Penguatan ketahanan energi dapat diwujudkan
melalui masing-masing Kementerian/Lembaga
dengan melaksanakan tugas pokok dan fungsinya
masing-masing dan bersinergi dalam gerak langkah
arah kebijakan. Di samping itu, peran badan usaha
baik BUMN/BUMD dan swasta juga sangat penting
dalam menentukan keberhasilan pembangunan
ketahanan energi ini. Kementerian ESDM,
Kementerian Keuangan, Satuan Kerja Khusus
Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas),
Kementerian BUMN, BPH Migas, dan Pemerintah
Daerah
menjadi
pelaksana
kunci
dalam
peningkatan pasokan energi primer dan
infrastrukturnya.
Selain
itu,
Kementerian
Perindustrian, Kementerian PU, BATAN dan BPPT
juga berperan penting dalam mempromosikan
pemanfaatan EBT dan efisiensi penggunaan energi.
10.5.8. Peningkatan Nilai Tambah Industri Mineral dan
Pertambangan Berkelanjutan
 Kerangka Regulasi
Beberapa ketentuan dalam UU No. 4/2009 perlu
dilakukan penyempurnaan agar pengelolaan dan
pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral
dan batubara dapat memberikan nilai tambah
secara nyata untuk pertumbuhan ekonomi nasional
dan pembangunan daerah yang berkelanjutan guna
mencapai kesejahteraan rakyat dengan tetap
memperhatikan lingkungan hidup. Di samping itu,
perlu juga ada perubahan lain terkait Putusan
Mahkamah
Konstitusi
terkait
mekanisme
penetapan
Wilayah
Pertambangan
serta
penambahan
Badan
Usaha
Pertambangan,
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-147
Pengaturan Pasar, dan Pengembalian Wilayah Kerja
Pertambangan.
 Kerangka Kelembagaan
Peningkatan daya saing untuk komoditas mineral
dan tambang dapat diwujudkan melalui masingmasing
Kementerian/Lembaga
dengan
melaksanakan tugas pokok dan fungsinya masingmasing dan bersinergi dalam gerak langkah arah
kebijakan. Di samping itu, peran badan usaha baik
BUMN/BUMD dan swasta juga sangat penting
untuk dapat berinvestasi membangun industri
pengolahan dan pemurnian di dalam negeri.
Peran dan kerjasama antar Kementerian/Lembaga
adalah sebagai berikut:
1. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
merumuskan arah kebijakan pengaturan,
pembinaan, dan pengawasan pengusahaan
pertambangan strategis serta penyediaan
ketenagalistrikan untuk industri pengolahan dan
pemurnian;
2. Kementerian Perindustrian merumuskan arah
kebijakan
pengaturan,
pembinaan,
dan
pengawasan
pengembangan
industri
manufaktur yang bersinergi dengan industri
berbasis produk tambang strategis;
3. Kementerian Perdagangan merumuskan arah
kebijakan
pengaturan,
pembinaan,
dan
pengawasan di bidang perdagangan yang
mendukung pengembangan industri pengolahan
dan pemurnian;
4. Kementerian PU dan Perhubungan menyediakan
sarana dan prasarana transportasi yang
mendukung
industri
pengolahan
dan
pemurnian;
X-148
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
5. Kementerian
Keuangan
mengembangkan
insentif dan non-insentif bagi pengusahaan
industri pengolahan dan pemurnian serta
industri manufaktur yang menyerap hasil
produk bahan setengah jadi dan bahan jadi;
6. BKPM memberikan kemudahan perizinan bagi
badan usaha yang berinvestasi di industri
pengolahan dan pemurnian;
7. Kementerian
BUMN
dapat
mendorong
partisipasi BUMN untuk membangun industri
pengolahan dan pemurnian di dalam negeri
serta infrastruktur pendukungnya; dan
8. Pemerintah Daerah memberikan kemudahan
perizinan dan penyediaan lahan bagi badan
usaha yang akan mengembangkan industri
pengolahan dan pemurnian di dalam negeri.
10.5.9. Peningkatan
Kualitas
Lingkungan
Hidup,
Pengembangan Pola Produksi dan Konsumsi
Berkelanjutan danPelestarian dan Pemanfaatan
Keekonomian KEHATI Sesuai dengan Arahan
dalam Indonesia Biodiversity Strategy And Action
Plan/IBSAP 2003-2020
 Kerangka Regulasi
Dalam mendukung upaya peningkatan kualitas
lingkungan hidup,pengembangan pola produksi
dan konsumsi berkelanjutan danpelestarian dan
pemanfaatan
keekonomian
KEHATI,
perlu
dilakukan percepatan penyelesaian Peraturan
Pemerintah (PP) turunan dari UU No.32/2009.
Pada saat ini, dari total 20 PP yang diamanatkan
oleh UU No.32/2009 baru satu PP yang diterbitkan,
yaitu PP No.27/2012 tentang Izin Lingkungan.
Pengembangan
kerangka
regulasi
untuk
pelestarian dan pemanfaatan keekonomian
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-149
Keanekaragaman Hayati antara lain dapat mengacu
pada peraturan perundangan sebagai berikut:
1. UU No.5/1990 tentang Pelestarian Sumber Daya
Hayati dan Ekosistemnya yang mengatur
konservasi ekosistem dan spesies terutama di
kawasan lindung.
2. Undang-undang (UU) No. 5 Tahun 1994 tentang
Pengesahan United Nations Convention on
Biological Diversity (CBD).
3. Undang – Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11
Tahun 2013 Tentang Pengesahan Nagoya
Protocol On Access To Genetic Resources And The
Fair And Equitable Sharing Of Benefits Arising
From Their Utilization To The Convention On
Biological Diversity (Protokol Nagoya Tentang
Akses Pada Sumber Daya Genetik dan
Pembagian Keuntungan Yang Adil Dan Seimbang
Yang Timbul Dari Pemanfaatannya Atas
Konvensi Keanekaragaman Hayati)
5. UU No 4 Tahun 2006 tentang Pengesahan
International Treaty on Plant Genetic Resources
for Food and Agriculture (Perjanjian mengenai
Sumber Daya Genetika Tanaman Untuk Pangan
dan Pertanian).
6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan Dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta
Pemanfaatan Hutan.
Selanjutnya, ke depan akan diselesaikan Rancangan
Peraturan Pemerintah mengenai Perlindungan dan
Pengelolaan Ekosistem Karst; Perlindungandan
Pengelolaan Ekosistem Mangrove, TerumbuKarang
X-150
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
dan Padang Lamun; dan Perlindungan dan
Pengelolaan Ekosistem Gambut (PPEG). Selain itu
Rancangan Peraturan Pemerintah mengenai
Instrumen Ekonomi juga diprioritaskan untuk
segera diselesaikan, untuk mengatur perencanaan
pembangunan dan kegiatan ekonomi, pendanaan
lingkungan hidup, serta insentif dan/atau
disinsentif lingkungan hidup untuk mendorong
pemerintah, pemerintah daerah atau setiap orang
ke arah pelestarian fungsi lingkungan hidup,
termasuk
juga
ke
arah
pengembangan
keekonomian keanekaragaman hayati.
 Kerangka Kelembagaan
1. Diperlukan penguatan kelembagaan PPE dan
BLHD
untuk
memperkuat
pengelolaan
lingkungan hidup di daerah;
2. Diperlukan penguatan Jabatan Fungsional
Pengawas Lingkungan Hidup;
3. Diperlukan mekanisme koordinasi antar pihak
terkait (K/L dan Pemda, serta institusi penegak
hukum), dalam penanganan permasalahan
lingkungan hidup;
4. Diperlukan
penguatan
Pusat
Sarana
Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup
(Pusarpedal) untuk mendukung penyediaan
data dan informasi, serta pengembangan
kapasitas pengelolaan lingkungan hidup.
5. Khusus untuk Pelestarian dan Pemanfaatan
Keekonomian KEHATI, kelembagaan yang
diperlukan antara lain Komisi Keamanan Hayati
Produk Rekayasa Genetik/KKH PRG (Peraturan
Presiden Nomor 39 Tahun 2010); Komisi
Nasional Sumber Daya Genetik/KNSDG dan 19
Komisi
Daearah
Sumber
Daya
Genetik/KOMDASDG (berdasarkan Keputusan
Menteri
Pertanian
Nomor
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
X-151
734/Kpts/OT.140/12/2006);dan Pokja Nasional
(National Taskforce) untuk Koordinator isu
prioritas KEHATI.
6. Diperlukan penguatan kerangka kelembagaan
untuk: (1) meningkatkan program koordinasi
dan
implementasi
untuk
menjembatanipengelolaan dan pemanfaatan
keekonomianKEHATI dan jasa lingkungan yang
berkelanjutan;
(2)
menyempurnakan
mekanisme kebijakan dan kelembagaan yang
memfasilitasiperbaikan
pola
hubungan
kelembagaan dan hasil dariimplementasi tugas
dan fungsi kelembagaan; (3) mengembangkan
sistem lembaga keuangan dan pasar modal yang
ramah lingkungan.
10.5.10. Penanganan Perubahan Iklim dan Peningkatan
Kualitas Informasi Iklim Dan Kebencanaan
 Kerangka Regulasi
Dalam upaya peningkatan pengelolaan data dan
informasi MKG, maka diperlukan penyelesaian
dari Peraturan Pemerintah (PP) turunan dari UU
No.31/2009 tentang Meteorologi, Klimatologi dan
Geofisika, yaitu PP yang mengatur tentang: (1)
Pelayanan MKG; (2) Sumber Daya Manusia MKG;
(3) Rekayasa dan Penelitian MKG.
 Kerangka Kelembagaan
Dalam memperkuat peran dan koordinasi BMKG
di tingkat daerah, maka diperlukan penguatan
kelembagaan Unit Pelayanan Teknis (UPT) yang
ada di daerah.Untuk mendukung pelaksanaan
program/kegiatan Perubahan iklim, perlu
penguatan untuk ICCTF.
X-152
Penyusunan Konsep Rancangan RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berkelanjutan
Download