BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KELOMPOK SOSIAL, SIGNBOARD, TANDA VISUAL, ELEMEN VISUAL DAN MAKNA VISUAL 2.1. Kelompok Sosial Manusia sebagai makhluk hidup yang saling berdampingan satu-sama lainnya tidak akan lepas hubungannya dengan manusia lainnya untuk dapat tetap mempertahankan kelangsungan hidupnya. Menurut Soekamto, (1982:110) naluri manusia untuk selalu hidup dengan orang lain disebut gregariousness dan karena itu manusia juga disebut social animal (hewan sosial; hewan yang mempunyai naluri untuk senantiasa hidup bersama). Menarik untuk dilihat adalah munculnya reaksi-reaksi yang timbul sebagai akibat dari hubungan yang terjadi dari interaksi antar manusia. Pada dasarnya reaksi tersebut disebabkan oleh makin bertambah luasnya tindakan-tindakan yang dilakukan masingmasing individu. Misalnya seseorang bernyanyi, dia memerlukan reaksi baik itu berupa pujian atau celaan yang kemudian akan mendorong bagi tindakan-tindakan selanjutnya. Di dalam memberikan reaksi tersebut ada suatu kecenderungan manusia untuk memberikan keserasian dengan tindakan-tindakan orang lain, yang dikarenakan manusia memiliki hasrat atau keinginan pokok. Hasrat atau keinginan tersebut terbagi dua, yaitu: 1. Keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lain disekelilingnya (masyarakat) 2. Keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam sekelilingnya Untuk dapat menghadapi dan menyesuaikan diri dengan kedua lingkungan tersebut di atas, manusia mempergunakan pikiran, perasaan, dan kehendaknya, dan bersama-sama dengan individu lain mempertahankan hidupnya baik mencari makan, ataupun mencari perlindungan bagi dirinya. Kesemuanya itu memunculkan kelompok-kelompok sosial atau social group. 1. Kelompok sosial adalah merupakan himpunan atau kesatuan-kesatuan manusia yang hidup bersama, oleh karena adanya hubungan antar mereka. Setiap anggota kelompok tersebut harus sadar bahwa dia merupakan bagian dari kelompok yang bersangkutan 2. Adanya hubungan timbal-balik antara anggota yang satu dengan anggota lainnya dalam kelompok tersebut 3. Ada suatu faktor yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota kelompok itu, sehingga hubungan antara mereka bertambah erat. Faktor tadi dapat merupakan nasib yang sama, kepentingan yang sama, tujuan yang sama, ideologi politik yang sama dll. Tentunya faktor mempunyai musuh bersama misalnya, dapat pula menjadi faktor pengikat/pemersatu 4. Berstruktur, berkaidah dan mempunyai pola prilaku. Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa manusia tidak lepas peranannya dari kehadiran orang lain dan lingkungan sekitarnya dalam mempertahankan hidup. Hubungan timbal balik yang harmonis antara manusia sebagai individu dan individu lainnya menciptakan pertalian yang erat dan ketergantungan satu dan lainnya dalam sebuah lingkungan yang dinamakan kelompok. 2.1.1. Macam-Macam Kelompok Sosial Secara garis besar kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat menurut Soekamto (1982:132), dapat dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu formal group dan informal group. Formal group atau association adalah suatu kelompok yang mempunyai peraturan-peraturan yang tegas dan dengan sengaja diciptakan oleh anggotanya untuk mengatur hubungan antara anggotanya tersebut. Contoh dari kelompok ini adalah seperti perkumpulan pelajar, himpunan dalam suatu instansi pemerintah atau institusi pendidikan. Kelompok sosial besar kedua yang ada di masyarakat adalah kelompok informal group, kelompok ini terbentuk karena adanya pertemuan yang berulang-ulang dan tidak mempunyai struktur dan organisasi tertentu yang pasti. Kelompok ini berkumpul atas dasar kepentingan dan pengalaman yang sama, yang kemudian memunculkan kelompok yang lebih kecil lagi yaitu Clique atau kelompok yang lebih berdasarkan kepentingan “antara kita saja”, seperti contoh kelompok pertemanan, yang akrab karena adanya pengalaman bersama. Berdasarkan pembagian dua kelompok sosial besar yang ada dimasyarakat tersebut, kemudian munculah kriteria atau derajat interaksi yang muncul sebagai ciri dari keberadaan kedua kelompok sosial besar dalam masyarakat, ciri-ciri tersebut memunculkan dua kelompok sosial yang lebih kecil, yaitu kelompok sosial membership group dan kelompok sosial reference group. Kelompok sosial reference group nantinya akan menjadi salah-satu objek dalam penelitian ini, yang akan diterangkan lebih dalam pada sub-bab berikutnya. 2.1.2. Membership Group Menurut Soekamto (1982:133), membership Group merupakan kelompok dimana setiap orang secara fisik menjadi anggota kelompok tersebut. Batasannya secara fisik tidak dapat dilakukan secara mutlak, karena perubahan keadaan dapat mempengaruhi derajat dalam interaksi tersebut. Untuk membedakan secara tegas keangotaan atas derajat interaksi tersebut, maka munculah istilah nominal group member dan peripheral group member. Nominal group member adalah anggota kelompok yang dianggap masih berinteraksi dengan kelompok sosial tersebut, tetapi interaksi dengan anggotanya telah berkurang. Sedangkan anggota kelompok peripheral group adalah anggota kelompok sosial yang seolah-olah tidak berhubungan lagi dengan kelompok sosialnya. Contoh dari membership Group adalah Karang Taruna, dimana anggota yang tergabung di dalamnya secara fisik adalah bagian dari wilayah sebuah Rukun Tetangga (RT) atau Rukun Warga (RW). 2.1.3. Reference Group Berbeda dengan membership group yang menitikberatkan pada peranserta dan interaksi anggotanya pada suatu kelompok sosial, reference group lebih melihat perilaku pribadi yang mengidentifikasikan dirinya dengan sebuah kelompok sosial. Contohnya anak-anak muda yang berkumpul karena kesamaan minat terhadap ideologi punk, musik rock, atau minat terhadap kendaraan bermotor. Robert. K. Merton (Soekamto, 1982:135) mengemukakan adanya dua tipe umum dari reference group, yakni: 1. Tipe normatif (normative type) yang menentukan dasar-dasar bagi kepribadian seseorang. Merupakan sumber nilai-nilai bagi individu, baik yang menjadi anggota maupun bukan anggota kelompok tersebut 2. Tipe perbandingan (comparison type) yang merupakan suatu pegangan bagi individu di dalam menilai kepribadiannya. Digunakan sebagai perbandingan untuk memberi kedudukan seseorang, seperti status ekonomi. Pendapat lainnya yang diungkapkan oleh Robert. K. Merton (Soekamto, 1982:135) bahwa semakin besar jumlah anggotanya maka pengaruh kelompok-kelompok tersebut (reference group) semakin besar dalam kehidupan sosial di masyarakatnya. Kota Bandung sebagai salah-satu kota besar di Indonesia dengan jumlah penduduk melebihi dua juta jiwa, dengan beragam interaksi dan aktivitas sosial masyarakatnya, memungkinkan munculnya beragam kelompok sosial, dari yang kecil sampai yang berpengaruh. Kelompok sosial reference group banyak kita lihat pada kelompokkelompok yang muncul dikalangan anak mudanya, seperti kelompok-kelompok yang hadir karena aktivitas berkendaraan seperti motor besar, offroad, bermain musik, hobi khusus seperti bermain skate board, olahraga ekstrim dan lainnya. Mengacu pada pendapat Robert. K. Merton, maka reference group sebagai salah-satu objek kajian akan dipilih yang benar-benar memiliki pengaruh besar di masyarakat, baik yang muncul karena minat terhadap musik, ataupun terhadap minat lainnya, seperti olah raga dan kendaraan bermotor (minat khusus). 2.2. Identitas Kelompok Sosial Manusia sebagai makhluk pribadi sekaligus sosial menggunakan ciri-cirinya untuk dapat berinteraksi dengan pribadi maupun kelompok lainnya. Ciri-ciri tersebut dijadikan patokan seseorang atau orang lain untuk menilai pribadi atau kelompoknya. Menurut Barker (2005:218), identitas adalah esensi yang dapat ditandakan (signified) dengan tanda-tanda selera, keyakinan, sikap, dan gaya hidup. Maka bentuk representatif identitas dapat terlihat dari produk-produk yang digunakannya, yang sekaligus memunculkan perbedaan dan persamaan yang dikenal dengan identitas. Contohnya orang yang menggunakan jaket jeans lusuh dengan emblem menempel diseluruh jaket, menggunakan celana jeans ketat dengan spatu boots, rante yang melilit di pinggang dan leher, dengan anting dan rambut meruncing, orang pasti mengenal individu tersebut sebagai penganut aliran punk. Image yang muncul terhadap diri dan sikapnya adalah anarkis, tidak senang kemapanan, dan dianggap rendah dalam pergaulan dimasyarakatnya. Weeks menyatakan bahwa identitas adalah persoalan kesamaan dan perbedaan soal personal dan sosial, apa yang dimiliki secara bersama-sama dengan beberapa orang dan apa yang membedakanmu dengan orang-orang lain (Barker, 2005:221). Artinya identitas merupakan nilai-nilai yang disepakati bersama oleh kelompok terlepas dari perbedaan presepsi masing-masing individu. Namun dalam identitas sosial kebersamaan menjadi dasar dari identitas kolektif tiap-tiap anggotanya, dasar tersebut menurut Giddens adalah hak-hak, kewajiban-kewajiban, dan sanksi-sanksi normatif yang dalam masyarakat tertentu menjadi dasar penentuan peran (Barker, 2005:221). Peran tersebut selain mencirikan gender tubuh, umur, juga sekaligus menempatkan seseorang pada kedudukan tertentu dalam kelompok sosialnya, sebagai contoh: pejabat, pelajar, polisi dll. Contoh lainnya adalah identitas visual berupa logo, yang merupakan representasi dari kelompok ataupun korporat yang sering kita jumpai sehari-hari. Unsur-unsur visual yang terdapat dalam sebuah logo tersebut memiliki makna-makna (konsep) tertentu sebagai sikap dari kelompok atau korporat. Menurut Wally Ollins (1989:7) identitas korporat (corporate identity) menunjukan sistem dan relasi pertandaan sebagai identitas perusahaan yang memiliki pengaruh terhadap pasar dan bagaimana tujuan perusahaan diperjelas dengan desain dan sikap. Artinya bahwa identitas korporat dengan sengaja diciptakan perusahaan untuk membedakan diri, produknya, dan unsur-unsur perusahaan dengan perusahaan lainnya dengan tujuan menciptakan kebudayaan kesamaan dengan khalayaknya (segmentasi). Sama halnya dengan identitas korporat pada identitas sosial implementasinya dapat dilihat dari ekspresi nama, simbol-simbol, imaji, warna dan statement yang digunakan untuk mempertegas eksistensi kelompoknya. Bahkan untuk kelompok-kelompok tertentu simbol, imaji, bahkan warna dianggap sebagai bagian ritual yang sangat sakral. Contohnya pada upacara keagamaan umat kristen salib dan gambar bunda maria menjadi bagian penting dari ritual doa. 2.3. Teori Identitas Kelompok Sosial Identitas kelompok sosial dibangun tidak lepas dari pengaruh struktur-struktur yang ada dilingkungan sekitarnya. Struktur tersebut berupa skema-skema atau pola-pola yang sudah terbentuk kuat di dalam masyarakat. Teori identitas kelompok sosial dalam penelitian ini menggunakan teori dari Bourdieu dan Wacquant yang menerangkan tiga hal yang mempengaruhi munculnya identitas kelompok sosial yang akan diterangkan pada sub bab berikutnya, yaitu Kebiasaan (habitus), Lingkungan (field), dan Kehormatan (distinction). 2.3.1. Kebiasaan (Habitus) Individu sebagai bagian kolektivitas sosial tidak akan lepas dari pengaruh struktural dilingkungannya, bahkan setiap individu mempunyai peran dan kedudukan di dalamnya. Individu sebagai aktor dalam masyarakat tentu terpengaruh oleh struktur yang ada dimasyarakatnya, bahkan mungkin mempengaruhi perkembangan strukturnya, karena sebagai aktor setiap individu mengalami proses merasakan, memikirkan, dan membangun pola strukturnya. Karena hubungan yang erat antara individu sebagai aktor dalam struktur sosial dimasyarakatnya memungkinkan individu bertindak dan berperilaku berdasarkan struktur yang dibangunnya. Menurut Bourdieu (George Ritzer, Douglas J. Goodman, 2003:522), Habitus (kebiasaan) adalah salah-satu tindakan individu yang tercipta karena interaksinya dengan kehidupan sosial yang diwujudkan dalam praktik (tindakan). Dalam kehidupan individu sebagai aktor habitus adalah “struktur mental atau kognitif” yang digunakan aktor untuk menghadapi kehidupan sosial. Aktor dibekali serangkaian skema atau pola yang diinternalisasikan yang mereka gunakan untuk merasakan, memahami, menyadari, dan menilai dunia sosial. Melalui pola-pola itulah aktor memproduksi tindakan mereka dan juga menilainya. Habitus mencerminkan pembagian objektif dalam struktur kelas seperti menurut umur, jenis kelamin, kelompok, dan kelas sosial. Habitus diperoleh akibat lamanya seseorang menduduki posisi dikehidupan sosialnya, jadi habitus akan berbeda-beda setiap individunya tergantung posisi seseorang dalam kehidupan sosialnya. Orang yang mempunyai posisi yang sama dikehidupan sosialnya cenderung mempunyai kebiasaan yang sama, begitu pula dengan kebiasaan kolektif yang memungkinkan dinilai dari habitus individunya sebagai bagian fenomena kolektif. Habitus dapat bertahan lama dan dapat pula berubah dalam arti dapat dialihkan dari satu bidang ke bidang yang lain, akan tetapi ada kemungkinan bagi seseorang mempunyai habitus yang tak pantas, dan menderita apa yang disebut hysteresis. Bourdieu menggambarkan hysteresis ini dengan mencontohkan masyarakat prakapitalis masa kini (kaum agraris) yang dipekerjakan di Wall Street, yang akhirnya tidak mampu mengatasi masalah kehidupannya dengan baik menggunakan kebiasaan pola hidup prakapitalisnya. Jadi menurut Bourdieu tindakan adalah perantara antara habitus dan kehidupan sosial dan habitus adalah sistem yang tertata dan menata kecenderungan yang ditimbulkan oleh tindakan yang terus-menerus tertuju pada fungsi praktis, sementara habitus itu pada gilirannya berfungsi menjadi penyatu dan menghasilkan praktik/tindakan. Jadi habitus secara kolektif dapat menjadi pengendali pikiran dan pilihan tindakan pada setiap individu (aktor) dalam sebuah kelompok sosial. Aktor dalam menentukan pilihan menggunakan pertimbangan mendalam berdasarkan kesadaran, meski akhirnya pembuatan keputusan ini mencerminkan berperannya habitus. Karena habitus selain mempengaruhi keputusan seseorang, juga menyediakan prinsipprinsip dalam menentukan pilihan dan memilih strategi yang akan digunakan dalam kehidupan sosial. Aktor dalam memilih tindakan menggunakan cara yang masuk akal (reasonable), mereka mempunyai perasaan dalam bertindak dan ada logikanya, yang kemudian oleh Bourdieu dinamakan “logika tindakan”. Tindakan sendiri bekerja dibawah tingkat kesadaran dan bahasa, diluar jangkauan pengamatan dan pengendalian oleh kemauan. Meski kita tak menyadari kehadiran dari habitus, namun ia mewujudkan dirinya sendiri dalam aktivitas kita yang sangat praktis seperti cara kita makan, berjalan, berbicara, dan aktivitas keseharian lainnya. 2.3.2. Lingkungan (Field) Menurut Bourdieu dan Wacquant (George Ritzer, Douglas J. Goodman, 2003:97), lingkungan adalah jaringan antar posisi objektif di dalamnya. Terdapat penghuni posisi di dalam lingkungan, yang mungkin sebagai agen individual atau lembaga yang dikendalikan oleh struktur lingkungan. Dalam lingkungan juga terdapat lingkungan semiotonom (contoh, kesenian, keagamaan, ekonomi) dan semuanya memiliki logika khusus sendiri-sendirinya, yang juga membangkitkan keyakinan di kalangan aktor mengenai sesuatu yang dipertaruhkan dalam lingkungan. Lingkungan juga adalah sejenis pasar kompetisi dimana berbagai jenis modal (ekonomi, kultur, sosial, simbolik) digunakan dan disebarkan, lingkungan juga adalah lingkungan politik yang sangat penting; hierarki hubungan kekuasaan di dalam lingkungan politik membantu menata semua lingkungan yang lain. Di dalam lingkungan sebagai arena pertempuran, struktur lingkungan mengambil peranan penting dan turut membimbing penghuni posisi dalam menyiapkan strategi baik secara individual maupun kolektif dengan tujuan mencoba melindungi atau meningkatkan posisi mereka untuk memaksakan prinsip penjenjangan sosial yang paling menguntungkan bagi produk mereka sendiri. Bourdieu menyusun tiga langkah proses untuk menganalisis lingkungan. Langkah pertama, menggambarkan keutamaan lingkungan kekuasaan (politik) untuk menemukan hubungan setiap lingkungan khusus dengan lingkungan politik. Langkah kedua menggambarkan struktur objektif hubungan antar berbagai posisi di dalam lingkungan tertentu. Ketiga, analis harus mencoba menentukan ciri-ciri kebiasaan agen yang menempati berbagai tipe posisi di dalam lingkungan. Dalam teori lingkungan ini Bourdieu melihat posisi agen-agen dalam lingkungan ditentukan oleh bobot relatif modal yang mereka miliki, meliputi: modal ekonomi yaitu kemampuan secara finansial, modal kultural yaitu meliputi berbagai pengetahuan yang sah, modal sosial terdiri dari hubungan sosial yang bernilai antar individu, dan modal simbolik berasal dari kehormatan dan prestise seseorang. Aktor sendiri menurut Bourdieu memiliki kebebasan dalam menentukan derajatnya dalam lingkungan, karena mereka telah dibekali oleh strategi-strategi. Melalui strategi itulah penghuni posisi di dalam lingkungan secara individu maupun kolektif melindungi atau meningkatkan posisi mereka dan berupaya memaksakan prinsip perjenjangan yang paling menguntungkan terhadap produk mereka sendiri. 2.3.3. Kehormatan (Distinction) Perbedaan dalam kelas sosial karena lingkungan dan habitus merupakan sistem yang saling berkaitan, Bourdieu melihat bahwa kelas-kelas dalam masyarakat dapat dibedakan melalui selera keindahan terhadap berbagai objek kultural. Dalam penelitiannya Bourdieu menemukan bahwa selera keindahaan berbagai kelas sosial itu cenderung berbeda-beda secara signifikan, selera ternyata juga adalah praktik antara lain membantu memberikan seorang individu maupun orang lain pemahaman mengenai posisinya di dalam tatanan sosial. Selera juga berfungsi membantu membedakan antara individu dengan orang lain, dengan kata lain setiap orang dapat dikategorikan melalui selera yang mereka wujudkan, menurut preferensi musik, film, sport, makanan, seni bahkan gaya rambut yang berbedabeda. Ada dua lingkungan yang saling berkaitan tentang selera, yakni hubungan kelas dan hubungan kultur. Hubungan ini berperan menciptakan tingkatan dalam kelas sosial, karena selera adalah menunjukan posisi kelas maka mereka secara kolektif mempunyai kemampuan untuk mempertahankan selera mereka dan menentang selera orang yang berada dikelas yang lebih rendah. Bourdieu juga menegaskan bahwa selera ini terbentuk karena habitus yang sudah berlangsung lama, bukan terbentuk karena opini dangkal dan retorika. Sedangkan modal kultur lebih diposisikan seperti kemampuan ekonomi atau pasar dalam, modal kultur ini sebagaian besar adalah asal-usul kelas sosial dan pengalaman pendidikan mereka. Dalam pasar ini orang menambah atau mengurangi modal dan membelanjakannya untuk meningkatkan atau kehilangan posisi mereka, dengan demikian menyebabkan posisinya dalam ekonomi memburuk. Ada hubungan dialektika antara sifat produk kultural atau selera. Perubahan barangbarang kultural menimbulkan perubahan selera, tetapi perubahan selera juga ada kemungkinan mengakibatkan perubahan produk kultural. Struktur lingkungan tak hanya memelihara hasrat konsumen atas produk kultural, tetapi juga menentukan apa yang akan diciptakan produsen untuk memuaskan selera konsumen. Perubahan selera adalah akibat pertarungan antara kekuatan yang berlawanan, baik dalam lingkungan kultural (misalnya, pendukung mode lama versus mode baru) maupun dalam arena kelas (antara fraksi yang dominan versus yang didominasi). Dari tiga pola yang mempengaruhi identitas kelompok sosial, yaitu habitus, field, dan distinction, dapat dilihat bahwa identitas yang digunakan oleh kelompok-kelompok sosial memiliki motivasi-motivasi yang berbeda, yang kesemuanya mengarah kepada perbedaan dan mencerminkan selera dari kelompok masing-masing. Tiga pola tersebut dalam penelitian ini akan digunakan untuk melihat motivasi yang memunculkan konsep-konsep dari identitas visual berupa logo yang dimiliki oleh reference group yang ada di kota Bandung, yang nantinya menjadi bahan acuan untuk melihat refleksi pada signboard distro. 2.4. Pengertian Signboard Sign board atau sering juga disebut papan nama toko adalah bagian dari media luar ruang atau out of home media. Media luar ruang ini menurut Tom Duncan (2002:401), adalah media komunikasi yang dilihat oleh target audiencenya di luar rumah. Fungsi media luar ruang adalah sebagai penyampai informasi yang harus dapat dikenali oleh khalayak dan mudah dilihat. Sebagai media penyampai informasi yang terus berkembang signboard secara fungsi kemudian berkembang tidak hanya sebagai papan nama toko semata, tetapi telah menjadi media untuk beriklan dan sebagai rambu. Gambar 2.1. Contoh Media Luar Ruang Signboard sebagai papan nama toko, (sumber: Wayne Hunt, 1994) Untuk mengetahui lebih jauh perbedaan fungsi dari signboard sebagai media luar ruang yang berkembang tidak sebatas papan nama toko, maka pada sub-bab berikutnya akan dibahas mengenai signboard sebagai media luar ruang beriklan dan signboard sebagai media sistem rambu. 2.4.1. Signboard Sebagai Media Luar Ruang Beriklan Media luar ruang sebagai media iklan menurut M. Suyanto (2006:2), dibagi menjadi empat kategori media yaitu Billboard, Street Furniture, Transit dan Alternative Media. Kategori-ketegori tersebut dikeluarkan oleh Outdoor Advertising Association of Amerika (OAAA) sebagai lembaga yang menaungi industri media luar ruang di Amerika. Berikut uraian dari kategori media luar ruang: 1. Billboard Billboard merupakan media periklanan utama, billboard dirancang untuk memperkenalkan nama merek. Billboard biasanya terpampang di jalan raya yang lalu-lintasnya ramai. Iklan yang menempel pada billboard sekarang ini lebih banyak dibuat dengan menggunakan teknologi komputer atau digital. Billboard meliputi; bulletin, spectacular display, wall mural, vinyl/wripped poster, 30-sheet poster dan 8-sheet poster. (lihat lampiran B). 2. Street Furniture Media luar ruang bentuk lainnya adalah street furniture, adalah media iklan yang menempati bagian-bagian dari sarana umum seperti, bus shelter, urban panel, kiosk, convenience storedi and shopping mall, bus station, train station. dan airport. (lihat lampiran B) 3. Transit Transit adalah kategori media luar ruang yang biasa terdapat pada kendaraan, tetapi kemudian berkembang pada fasilitas lainnya seperti banner, poster, petunjuk pada statsiun, kios dan lainnya. (lihat lampiran B). 4. Alternative Media Media luar ruang ini merupakan media yang tergolong unik, karena ditempatkan pada tempat-tempat yang jarang kita duga seperti misalnya tulisan di udara, arena dan stadion, kapal laut, kampus, resort and leisure, interior place-based, digital media, dan gedung bioskop. (lihat lampiran B). Signboard termasuk ke dalam kategori media luar ruang transit, karena masuk dalam kategori sign/poster/banner pada media ini yang dikategorikan berdasarkan penempatan medianya. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada tabel kategori media luar griya (lampiran A), yang dibuat oleh Gabriel Mahal pada majalah Cakram edisi khusus Media Luar Griya (2004:37). 2.4.2. Signboard Sebagai Sistem Rambu Istilah signboard tidak hanya berkembang pada wilayah media luar ruang yang mengkategorikan berdasarkan penempatan media sebagai media iklan. Dalam bidang Graphic Design atau desain grafis media dilihat tidak hanya pada penempatannya, tetapi lebih kepada fungsinya. Signboard masuk ke dalam kategori sign system atau sistem rambu. Menurut Indra Abidin (1973:9), Sign mengandung arti stimulus atau rangsangan sebagai pengganti pengertian lain seperti halnya signal dan simbol adalah signs atau rambu, namun keduanya mempunyai tujuan yang komunikatif. Sedangkan sign system adalah sekelompok rambu atau simbol yang saling berhubungan satu-sama lainnya, yang mempunyai tujuan untuk memberitahukan sesuatu. Josep De Chiara (1992:934) membagi sistem informasi ini kedalam dua fungsi, yaitu sebagai fungsi praktis dan fungsi estetis. Sebagai fungsi praktis sistem rambu berfungsi sebagai penyampai informasi kepada khalayak yang akan menuju suatu tempat tertentu atau menunjukan keberadaan suatu tempat tertentu. Sedangkan sebagai fungsi estetis adalah sebagai elemen pelengkap atau pendukung keindahan suatu tempat. De Chiara juga mengkategorikan sistem rambu ini menjadi tiga kategori, yaitu: 1. Signage (rambu identitas) Adalah rambu-rambu yang digunakan untuk memberitahukan nama suatu tempat atau wilayah, yang dibagi menjadi tiga kategori khusus: - Primary identification sign (rambu identitas utama), adalah rambu-rambu yang ditempatkan sebagai identitas utama seperti billboard perumahan. - Secondary identification sign (rambu identitas pendukung), adalah rambu yang ditempatkan sesudah rambu identitas utama seperti papan nama jalan. - Personnel identification sign (rambu identitas khusus), adalah rambu-rambu yang digunakan untuk menunjukan tempat-tempat pelayanan umum, seperti signboard untuk pendidikan, ibadah, olah raga, hiburan dan perdagangan. 2. Directional sign (rambu petunjuk) Adalah rambu-rambu yang digunakan untuk menunjukan suatu lokasi atau wilayah, yang dibagi menjadi dua kategori yaitu: - Primary directional sign (rambu petunjuk utama), adalah rambu-rambu yang digunakan sebagai petunjuk suatu area atau wilayah dalam suatu kawasan, seperti petunjuk area blok. - Secondary directional sign (rambu petunjuk pendukung), adalah rambu-rambu yang digunakan sebagai petunjuk cara berkendaraan atau berlalu-lintas. 3. Informational sign (rambu layanan informasi) Adalah rambu-rambu yang dibuat untuk menjelaskan sebuah lokasi atau wilayah tertentu secara detai, yang dibagi menjadi: - Main sign (kumpulan rambu petunjuk area penting), adalah sekelompok ramburambu yang berisikan informasi untuk menunjukan keberadaan tempat-tempat penting dalam area suatu wilayah. - Map sign (rambu peta), adalah rambu-rambu yang menjelaskan keberadaan suatu tempat melalui penjabaran visual atau gambar peta. Untuk lebih jelasnya visual-visual signboard sebagai rambu dapat dilihat pada halaman lampiran B. Melihat uraian pada fungsi signboard sebagai media beriklan dan signboard sebagai sistem rambu, memiliki kesamaan sebagai media informasi yang ditujukan untuk mengidentifikasikan suatu tempat atau tujuan. Kategori-kategori yang muncul pada signboard lebih kepada penempatan dan konten yang terdapat di dalamnya sebagai informasi yang ditujukan kepada khalayak, yang akhirnya memunculkan dua konsep, yaitu (1) signboard sebagai media penyampai pesan (iklan) dan (2) signboard sekedar penyampai informasi (praktis). Seperti halnya signboard distro yang memiliki fungsi praktis sebagai rambu pengidentifikasi kiosk atau gerai, tetapi juga merupakan penyampai pesan (ideologi kelompok) yang ditujukan kepada khalayak khusus yang memiliki kesamaan atau minat terhadap ideologi tertentu. Bila ditelaah lebih lanjut signboard distro dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari fungsi praktis dan fungsi informasi (pesan). Pada penelitian ini signboard distro masuk dalam media yang memiliki fungsi informasi (pesan) atau masuk dalam kategori media luar ruang untuk beriklan, maka untuk masuk pada kajian pembacaan tanda, terlebih dahulu akan dibahas relasi tanda dalam beriklan pada sub bab berikutnya. Pembahasan tersebut berguna untuk melihat nilai-nilai makna sebagai acuan untuk melihat indikasi refleksi visual pada signboard distro. 2.5. Tanda Visual Untuk memahami bagaimana visual pada signboard distro dan identitas visual reference group disusun, berarti harus memahami tanda visual, yaitu sistem yang digunakan berdasarkan aturan atau kode-kode tertentu. Sistem tanda ini didesain dan direproduksi sedemikian rupa dengan berbagai kepentingan, yang dalam konteks penelitian ini adalah visualisasi yang terdapat pada signboard distro dan identitas visual (logo) dari reference group. Tanda adalah sesuatu yang digunakan untuk merepresentasikan dan memberi makna sesuatu yang lain. Tanda-tanda yang digunakan dan berwujud visual, disebut sebagai tanda visual. Visualisasi pada signboard distro dan identitas visual reference group yang ada di kota Bandung, disusun berdasarkan tanda-tanda visual. Tanda-tanda visual tersebut berupa tulisan (tipografi), gambar (ilustrasi), dan warna sebagai representasi dari kepentingan atau maksud tertentu. Bidang ilmu yang mempelajari mengenai pembacaan tanda disebut dengan semiotika (the science of signs). Semiotika biasanya didefinisikan sebagai ilmu yang mengkaji tanda-tanda (the study of sign). Pada dasarnya semiotika adalah studi atas kode-kode, yaitu sistem apapun yang memungkinkan kita memandang entitas-entitas tertentu sebagai sesuatu yang bermakna. Pada perkembangannya terdapat istilah semiotika dan semiologi, walaupun berbeda istilah namun keduanya merujuk kepada ilmu tentang tanda-tanda. Menurut Charles S. Peirce (Kris Budiman, 2003:3) semiotika tak lain daripada sebuah nama lain logika, yakni doktrin tentang tanda-tanda. Sementara bagi Ferdinand de Saussure semiologi adalah ilmu umum tentang tanda yang mengkaji tanda-tanda di dalam masyarakat. Definisi semiotika yang diutarakan oleh Charles S. Peirce lebih menegaskan semiotika sebagai suatu cabang dari filsafat, sedangkan definisi semiologi yang diutarakan oleh Ferdinand de Saussure lebih ke arah disiplin ilmu psikologi sosial. Dalam pandangan Saussure, makna pada sebuah tanda sangat dipengaruhi oleh tanda lain. Tanda merupakan representasi dari gejala-gejala dan memiliki kriteria seperti: nama, peran, fungsi, tujuan, dan keinginan yang berada pada seluruh kehidupan manusia (Alex Sobur, 2006:124). Budaya adalah salah-satu bagian dari kehidupan manusia dan menjadi sistem tanda yang digunakan sebagai pengatur kehidupannya. Karena itu tanda sangatlah akrab dalam kehidupan manusia yang penuh dengan makna-makna. Karya sastra, film, bangunan, bendera dan lainnya adalah tanda-tanda yang merupakan produk strukturisasi dari subjek kolektif. Subjek kolektif sendiri dapat berupa sebuah sistem kekerabatan, kelompok kerja, kelompok teritori dan lainnya. Saussure menggambarkan tanda terdiri atas signifier dan signified . Signifier adalah bunyi atau coretan tanda sedangkan signified adalah gambaran mental atau konsep dari signifier (Alex Sobur, 2006:125). Hubungan keduanya bersifat arbitrer dan hanya berdasarkan konvensi, kesepakatan, atau peraturan dari kultur pemakai bahasa tersebut. Karena tandatanda itu saling berkaitan dan sangat dipengaruhi oleh tanda yang lain, maka Saussure membagi tanda menjadi tiga jenis, yaitu: 1. Ikon, adalah tanda yang memunculkan kembali benda atau realitas yang ditandainya, misalnya foto adalah duplikasi dari realitas objek yang difotonya. 2. Indeks, adalah tanda yang kehadirannya menunjukan adanya hubungan dengan yang ditandainya, misalnya asap adalah indeks dari api. 3. Simbol, adalah sebuah tanda dimana hubungan antara signifier dan signified sematamata adalah masalah konvensi, kesepakatan, atau peraturan. Kemudian oleh pengikutnya yaitu Roland Barthes, jenis tanda tersebut dikembangkan untuk dapat menganalisis makna yang terkandung di dalam sebuah tanda. Barthes membagi dua tahap signifikasi dari tanda, yaitu signifikasi tahap pertama dan signifikasi tahap kedua. Untuk tahap pertama disebutnya sebagai denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda, dan untuk tahap kedua disebut sebagai konotasi. Konotasi merupakan makna yang subyektif dari sebuah objek hasil dari interaksi antara tanda dengan nilai-nilai kebudayaan yang dimiliki pembacanya. Pembagian dua signifikasi tanda yang dikemukakan oleh Barthes dapat dilihat dari gambar 2.2 berikut ini. FIRST ORDER reality denotation SECOND ORDER signs culture Signifier connotation form content Gambar 2.2 . Signifikasi dua tahap dari Roland Barthes (sumber: Alex Sobur, 2006:127) Sedangkan sesuatu yang berhubungan dengan isi (content) Barthes menyebutnya dengan mitos, yang dapat diartikan sebagai produk kelas sosial yang sudah mempunyai satu dominasi. Hidup dan mati, dewa adalah gambaran dari mitos primitif, femininitas, maskulinitas, kesuksesan adalah mitos masa kini yang berkembang dimasyarakat. Tanda merupakan sebuah sistem yang dijalankan oleh aturan-aturan yang telah disepakati dan dijalankan oleh semua anggota dalam sebuah komunitas, yang disebut dengan kode. Lampu lalu-lintas merupakan sebuah kode, karena memiliki tanda berupa lampu berwarna merah, kuning, dan hijau dan memiliki aturan yang telah disepakati bersama (Fiske, 2004:91). Menurut Scholes pada umumnya pengertian kode (code) di dalam strukturalisme dan semiotik menyangkut sistem yang memungkinkan manusia untuk memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda, dan sesuatu yang bermakna (Kris Budiman, 2003:54). Menurut Barthes (Kris Budiman, 2003:55), di dalam teks setidak-tidaknya beroperasi lima kode pokok (five major codes) yang di dalamnya semua penanda tekstual (leksia) yang dapat dikelompokan, dimana kode-kode ini nantinya akan membentuk sebuah jaringan. Berikut ini adalah lima kode pokok menurut Roland Barthes (Kris Budiman, 2003: 55-57): 1. Kode Hermeneutik (hyrmeneutik code) Adalah satuan-satuan yang dengan berbagai cara berfungsi untuk mengartikulasikan suatu persoalan, penyelesaiannya, serta aneka peristiwa yang dapat memformulasikan persoalan tersebut, atau menunda penyelesaiannya, bahkan dapat menyusun semacam teka-teki (enigma) dan sekedar memberi isyarat bagi penyelesaiannya. Kesimpulannya kode merupakan kode ‘penceritaan’, yang dengannya sebuah narasi dapat mempertajam permasalahan, menciptakan ketegangan, pertanyaan dan misteri sebelum memberikan sebuah pemecahan atau jawaban. 2. Kode Semik (code of semes) Adalah juga disebut konotasi berupa kode yang memanfaatkan isyarat, petunjuk, atau ”kilasan makna” yang ditimbulkan oleh penanda-penanda tertentu. Pada tataran tertentu kode konotatif ini agak mirip dengan apa yang disebut oleh para kritikus sastra AngloAmerika sebagai ”tema” atau ”Struktur tematik”. 3. Kode Simbolik (symbolic code) Merupakan kode “pengelompokan” atau konfigurasi yang gampang dikenali karena kemunculannya yang berulang-ulang secara teratur melalui berbagai cara dan sarana tekstual. Contohnya rangkaian antitesis seperti hidup mati, gelap terang, dingin panas, dan lainnya, dimana kode ini memberikan dasar bagi suatu struktur simbolik. 4. Kode Proairetik (proairetic code) Merupakan kode “tindakan” (action). Kode ini didasarkan atas konsep proairesis, yakni ‘kemampuan untuk menentukan hasil atau akibat dari suatu tindakan secara rasional, yang mengimplikasikan suatu logika perilaku manusia. 5. Kode Kultural (cultural code) atau Kode Referensial (reference code) Adalah kode yang berwujud sebagai semacam suara kolektif yang anonim dan otoritatif. Sumbernya berasal pengalaman manusia, yang mewakili atau berbicara tentang sesuatu yang hendak dikukuhkannya sebagai pengetahuan atau kebijaksanaan yang ”diterima umum”. Kode ini berupa kode-kode pengetahuan atau kearifan (wisdom) yang terus menerus dirujuk oleh teks, atau yang menyediakan semacam dasar autoritas moral dan pengetahuan ilmiah bagi suatu wacana. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dengan semiotika tanda-tanda visual dapat diuraikan dan diketahui konsep-konsepnya lewat interpretasi makna pada relasi jenis tanda; ikon, indeks, dan simbol. Tanda visual tersebut disusun menurut aturan-aturan atau sistem tertentu yang telah disepakati bersama (konvensi) baik oleh komunitas tertentu atau umum, yang disebut dengan kode. Pembacaan tanda dan kode seperti yang telah diuraikan, kemudian akan digunakan dalam menganalisis tanda visual dan sistem kode yang dibangun pada visualisasi signboard distro dan identitas visual reference group pada penelitian ini. Kemudian hasil interpretasi makna yang muncul pada pembacaan tanda visual signboard distro maupun identitas visual reference group akan digunakan untuk melihat hubungan atau keterkaitan diantara keduanya sebagai acuan untuk mengungkap refleksi identitas visual reference group pada signboard distro. 2.6. Relasi Tanda Dalam Iklan Seperti yang sudah dibahas pada sub-bab sebelumnya, bahwa signboard distro masuk dalam kategori media luar ruang untuk beriklan, maka pada sub-bab ini akan dijelaskan bagaimana relasi tanda-tanda digunakan dalam iklan tersebut berlaku. Judith Williamson (Marion Boyars, 1991:24) mengatakan bahwa cara kerja iklan adalah dengan menciptakan suatu nilai tukar dengan menggunakan relasi sistem pertandaan. Nilai tukar tersebut adalah suatu konsep yang dapat ditukar dengan konsep lainnya. Konsep lain tersebut adalah suatu metafora yang berguna untuk mentransfer makna-makna. Terdapat enam (6) nilai tukar yang digunakan dalam membentuk cara kerja iklan, yaitu: a. Pembedaan (differentiation) Membentuk citra pada produk untuk memunculkan perbedaan antara satu produk dengan produk lainnya yang berada dalam satu kategori. Citra tersebut dimunculkan sebagai bagian dari sistem pembeda (system of differences). Contohnya pada dua buah iklan parfum dengan merek sama, sebut saja merk A dan parfum B. Kedua merk parfum tersebut tidak memiliki informasi jelas pada khalayaknya, karena wewangian parfum tidak dapat diinformasikan. Kemudian dimunculkanlah figur wanita cantik pada merk A dan lelaki tampan pada merk B sebagai icon dalam iklan. Wanita cantik pada iklan A digunakan untuk menginformasikan keanggunan, sedangkan pria tampan pada iklan B digunakan untuk menginformasikan maskulinitas. Penggunaan kedua figur pada dua iklan tersebut menimbulkan peralihan makna (transference of meaning) dari figur perempuan cantik atau lelaki tampan yang merupakan simbol keanggunan dan maskulinitas, kepada produk parfum yang bersangkutan. Hasilnya adalah bahwa produk parfum A memiliki asosiasi anggun, sedangkan produk parfum B memiliki asosiasi maskulin. Namun proses peralihan makna dapat berlangsung apabila khalayak terlebih dahulu mengenal citra dari figur-figur yang digunakan. Pada prinsip ini figur perempuan cantik atau lelaki tampan merupakan petanda sedangkan asosiatif anggun dan maskulin merupakan penanda. Penanda pada parfum A dan B yang berbeda walaupun memiliki merk produk parfum yang sama karena asosiatif yang dilekatkan pada kedua produknya berbeda, hal tersebut terjadi karena adanya perbedaan dalam penggunaan sistem tanda atau yang disebut dengan prinsip differensiasi. b. Korelasi Obyektif (an objective corelative) Iklan pada dasarnya adalah untuk membangkitkan emosi tetapi tidak secara langsung melainkan melalui suatu janji atau kepuasan (pleasure). Wujud dari iklan sendiri adalah bagian dari ideologi, yang mengakibatkan asumsi palsu (false assumption) pada pemaknaan produk. Asumsi tersebut muncul dari presepsi pembaca iklan yang tertanam dalam benaknya lewat asosiasi yang telah dibentuk sebelumnya. Produk dan presepsi tersebut seolah-olah menyatu dalam sebuah produk, padahal keduanya berbeda, hanya memiliki peletakan yang sama saja. Proses tersebut sebenarnya terbentuk dengan tidak sadar (unconscious) dalam benak pembaca iklan, namun efeknya dapat membangkitkan emosinya. Respon emosional yang berlangsung dalam iklan ini menjadi petanda yang memberikan makna pada produk. Contohnya pada iklan parfum yang telah dibahas sebelumnya, baik pada iklan parfum A dan B akhirnya memiliki kaitan dengan figur perempuan cantik dan pria tampan, yang kemudian menjadi identik dengan keanggunan dan maskulinitas. Proses korelasi ini bila dilakukan berulang-ulang maka lambat-laun akan diterima sebagai suatu kebenaran (ideologi). c. Produk Sebagai Petanda (Product as Signified) Produk pada dasarnya tidak memiliki makna, karena pelekatan citra pada produk, maka munculah asosiasi-asosiasi di benak khalayak, sehingga produk tersebut memiliki makna. Pada proses ini produk berfungsi sebagai petanda, dan objek lainnya (figur) berfungsi sebagai penandanya. Contoh seperti pada iklan parfum yang dibahas sebelumnya, dimana produk parfum sebagai petanda memiliki makna penandanya yang didapat dari citra figur yang digunakan dalam iklannya. Namun relasi tanda ini sangat lemah dan rentan apabila figur memiliki reputasi buruk, maka akan berpengaruh buruk juga terhadap produk yang diiklankan, seperti pada iklan puyer No. 16 dari Bintang Toejoeh yang menggunakan figur pelawak kondang Doyok, yang selanjutnya terkait kasus narkoba dan memberikan citra buruk pada produk yang diiklankannya. d. Produk Sebagai Penanda (Product as Signifier) Produk yang awalnya tidak memiliki suatu makna, kemudian dilekatkan makna hasil perolehan dari objek lain, maka produk tersebut lambat-laun akan menjadi makna itu sendiri. Sehingga suatu saat produk menyatu dengan suatu tanda maka korelasinya menjadi suatu hal alami bagi pembacanya, kemudian menyatu dan menjadi tanda itu sendiri. Contohnya pada iklan produk kendaraan bermotor seperti BMW dan Mercedes Benz yang pada awalnya dikaitkan dengan gaya hidup kelas atas (kemewahan), lambat laun menjadi realitas dan menjadi tanda gaya hidup itu sendiri, yaitu gaya hidup kelas atas. e. Produk Sebagai Pembangkit (Product as Generator) Produk dapat dianggap mewakili suatu perasaan yang abstrak, dan dapat membangkitkan perasaan tersebut. Bahkan produk tersebut dapat hadir lebih dari sebuah tanda dan menjadi referensi nyata dari tanda itu sendiri. Iklan sering memberikan sebuah asumsi palsu (false assumption), contohnya pada iklan rokok yang seolah-olah membuat seorang pria terlihat lebih dewasa dan berani. f. Produk sebagai nilai tukar (Product as Currency) Ketika kedua hal dapat dipertukarkan dan memiliki suatu nilai yang sama, maka sering salah-satu dari keduanya kemudian dapat digunakan sebagai nilai tukar bagi yang lainnya. Contohnya pada iklan coklat yang dapat memberikan seseorang kebahagiaan, maka jika seseorang ingin mendapatkan kebahagiaan, dia akan memenuhi kebutuhan tersebut dengan membeli coklat. Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ternyata cara beriklan merupakan sebuah proses transfer tanda dari sesuatu kepada produknya, dan tanda tersebut dapat bermakna ketika dapat dipresepsi oleh pembacanya, bahkan dapat menjadi sebuah realita ketika produk sudah menjadi tanda itu sendiri. Begitu juga dengan visualisasi yang terdapat pada signboard distro yang merupakan media penyampai pesan (iklan), dengan enam prinsip cara kerja iklan yang telah diuraikan tersebut, maka dapat dijadikan indikator dalam melihat keterkaitan relasi tanda visual dengan tanda pada identitas visual reference group. Dari proses transfer tanda yang terjadi dapat dilihat sejauh mana tandatanda visual identitas reference group diimplementasikan, sebagai pembeda, sebagai petanda, sebagai penanda, sebagai pembangkit, atau hanya sekedar nilai tukar saja. Namun enam cara beriklan tersebut tidak akan bermakna bila pembaca (audience) tidak memahami dan memaknai nilai-nilai yang terkandung dalam tanda-tanda yang hadir pada tayangan iklan. Untuk itu iklan memberikan ruang kosong yang disediakan secara sengaja untuk dimaknai oleh pembaca saat melihat iklan. Sistem pemaknaan tersebut bekerja melalui kesadaran palsu (false assumptions) dari pembaca yang sengaja diciptakan pengiklan dengan beberapa proses antara lain: a. Nilai tukar memerlukan subjek untuk melakukan pertukaran. Seperti halnya uang yang memberikan nilai lebih terhadap barang, pada proses ini tanda diberi nilai oleh orang yang menganggap mewakili hal yang bernilai tertentu bagi dirinya. Pada proses ini makna tidak hanya dialih sandi (decoding), tetapi ditransfer untuk menciptakan struktur lainnya. Contohnya orang lebih memilih mobil buatan Eropa daripada membeli produk mobil buatan Jepang, bukan karena keunggulan teknologi, tetapi nilai prestisenya lebih tinggi. b. Subjek Sebagai Petanda (Totemism: Subject as signified) Pada proses ini pembaca membedakan dirinya dari orang lain melalui apa yang dibelinya (produk yang diiklankan), contohnya adalah ketika seseorang membeli mobil Mercedes dengan maksud supaya masuk dalam golongan kelas atas (eksekutif) yang membedakannya dengan kelompok orang-orang yang memiliki mobil biasa. c. Appellation and Individualism Untuk membuat pembaca (konsumen) sebagai bagian dari suatu kelompok, maka dalam strategi beriklan konsumen harus diberlakukan sebagai seorang individu (subyek). Penekanan individualisme ini merefleksikan kebutuhan sosial konsumen untuk diperlakukan berbeda. Perlakuan ini merupakan fungsi ideologi dari iklan, yaitu memberikan konsumen keyakinan (false conscious) sebagai diri mereka sendiri, individu yang berbeda dan kebebasan memilih (mitos). d. Bagian-bagian (divisions) Setelah menempatkan subyek (konsumen) dalam suatu kelompok, kemudian memberikan perlakuan sebagai individu-individu, proses selanjutnya adalah membagi individu tersebut sebagai sebuah ego yang terpisah-pisah yang disatukan dalam produk. Contohnya seorang wanita dalam tampilan iklan yang berperan sebagai kekasih, wanita karir, istri, dan ibu sekaligus dalam sebuah iklan. Semua digambarkan (seolah-olah) menyukai produk yang diiklankan. e. Periklanan dan Fase Cermin (Advertising and the ‘Mirror-Phase’) Iklan merupakan proses untuk menandakan (signify), yaitu mempresentasikan produk kepada konsumen melalui sebuah obyek, yaitu hasrat (desire). Konsumen dibagun kesadaranya (tidak alami) lewat citraan dan simbolik-simbolik untuk menggambarkan kesamaan dan perbedaan. Contohnya ketika kita sedang bercermin, maka yang kita lihat adalah diri kita yang lain, maka timbullah konflik, kita melihat sesuatu yang serupa (sama) tetapi bukan diri kita (berbeda). f. Diri yang Diciptakan (The Created Self) Setelah fase cermin kemudian dalam proses beriklan ada juga yang menggunakan suatu obyek yang ideal sebagai model citraan produknya (gagah, cantik, kuat, dan lainnya). Penggunaan citraan tersebut menggugah rasa konsumen akan kekurangan yang ada pada dirinya, ketika melihat sajian sebuah iklan. Contohnya adalah pada iklan-iklan kosmetik yang menggunakan citraan wanita cantik, kulit putih bersih tanpa cacat yang terlihat sangat ideal karena menggunakan produk yang diiklankan, padahal mungkin wanita figur tersebut sudah secara alami memiliki kulit bersih tanpa bantuan kosmetik. Setelah melihat figur wanita ideal tersebut pembaca (wanita) mulai merasakan keinginan untuk menyerupai sang model, sehingga berusaha membeli produknya, sebagai suatu bentuk simbolik (diri yang ideal). Pada enam sistem pemaknaan dalam beriklan terlihat bahwa pembaca (konsumen) mengalami proses pembentukan makna yang dipaksakan. Alam bawah sadar (benak) pembaca iklan secara tidak sadar digugah perasaannya kedalam sebuah struktural nilainilai yang semu (seolah-olah) yang diciptakan oleh perancang iklan. Proses tersebut merupakan bentuk transformasi tanda yang berhasil, karena antara penyampai pesan dan pembaca pesan telah mencapai tahap pemaknaan yang sama (diciptakan). Begitu juga yang terjadi dengan signboard distro sebagai media luar ruang untuk beriklan, yang merupakan bagian dari sebuah komunitas (kelompok) dibangun dengan beberapa tanda. Tanda-tanda tersebut dapat juga mencerminkan pembacanya, karena dibangun dengan proses pembentukan makna (ideologis) bagi kelompoknya. Proses ini dapat dijadikan rujukan untuk melihat keterkaitan pembentukan tanda pada visualisasi signboard distro dengan identitas visual reference group, karena secara tidak langsung konsumen dari distro adalah juga bagian dari reference group. 2.7. Elemen Visual dan Makna Visual 2.7.1. Elemen Visual Elemen Visual adalah bagian dari susunan dalam desain yang membentuk sebuah citra. A.A.M. Djelantik (2004:18-66) membagi elemen visual kedalam empat bagian yaitu; Bentuk (shape), Garis (line),Terang-Gelap, dan Warna. Semua itu membentuk sebuah wujud atau citra, artinya semua tampak kongkrit (dapat dipresepsikan dengan mata) yang dalam bahasa sehari-hari kita sebut dengan istilah rupa. Dalam semua jenis kesenian, visual atau akustis, baik yang kongkrit maupun yang abstrak, wujud dari apa yang ditampilkan dan dapat dinikmati oleh kita, mengandung dua unsur yang mendasar: 1. Bentuk (form) Bentuk merupakan sebuah wujud yang timbul akibat adanya kumpulan unsur-unsur rupa. Titik adalah unsur rupa yang paling sederhana yang tidak memiliki ukuran atau dimensi. Jika unsur titik-titik ini berkumpul dalam jumlah besar dan jarak yang berdekatan, maka akan membentuk sebuah bentuk. Contohnya jika titik-titik itu berkumpul dalam sebuah lintasan maka akan membentuk sebuah garis, beberapa garis akhirnya bisa membentuk sebuah bidang, beberapa bidang bersama akhirnya akan membentuk sebuah ruang seperti terdapat pada gambar 2. 3. Gambar 2.3. Contoh unsur-unsur visual ketika menjadi sebuah bentuk (form) 2. Garis (line) Garis sebagai bentuk mempunyai arti yang lebih daripada titik, karena bentuk garis menimbulkan sebuah kesan tersendiri bagi yang melihatnya. Garis yang kencang memberikan perasaan lain dari pada garis yang membelok atau melengkung. Garis kencang memberi kesan kaku atau keras, sedangkan garis lengkung memberi kesan luwes atau lembut, seperti pada gambar 2.4. Garis-garis juga dapat disusun secara geometris dengan menggunakan ukuran, proporsi, dan siku-siku tertentu secara teratur yang akhirnya memunculkan sebuah keseimbangan bentuk, seperti pada gambar 2.5. Gambar 2.4. Contoh kesan kaku dan luwes yang ditimbulkan oleh bentuk garis Gambar 2. 5. Contoh garis dapat membentuk sebuah bidang 3. Terang-Gelap Sinar memegang peranan yang penting dalam semua seni visual, berkat adanya sinar kita bias melihat benda disekitar kita. Sinar yang jatuh pada suatu benda dipantulkan kembali oleh benda tersebut kesegala jurusan. Pantulan yang sampai pada mata mengakibatkan kita bias melihat benda tersebut, persepsi dari wujud benda tergantung dari pantulan sinar yang sampai. Dalam seni lukis permainan antara terang dan gelap di atas kanvas memberikan bayangan yang berkesan dalam atau dangkal, jarak, suasana, ritme, dan intensitas yang tidak terbatas jumlahnya seperti pada gambar 2.6. Mata kita juga sebenarnya bias menafsirkan kekuatan sinar, tetapi tafsiran dengan mata seringkali salah, karena mata terpengaruh oleh sinar-sinar dan warna yang ada disekitarnya. Gambar 2. 6. Contoh bentuk cahaya dan kedalaman 4. Warna Warna yang kita lihat selama ini adalah berasal dari sinar matahari atau lampu, yang terpantulkan dalam spektrum-spektrum yang kemudian terlihat menjadi warna-warni, bentuk kongkritnya adalah pelangi yang biasa kita lihat. Warna muncul karena pantulan sinar yang datang ke mata kita berbeda-beda tibanya. Bila sinar yang bergelombang hanya 700-800 nano maka yang munculnya warna merah, sekitar 600 nano berwarna kuning, 400 nano berwarna ungu, dan benda yang memantulkan semua spektrumakan nampak putih, sementara yang tidak memantulkan akan tampak hitam. Spektrum warna yang dapat kita lihat terbagi atas: 1. Warna primer, yakni warna yang tidak bisa dibuat dengan memakai warna yang lain sebagai bahannya. Warna-warna primer ini adalah: merah, kuning, dan biru 2. Warna sekunder, yakni warna tahap kedua atau warna-warna yang dapat dibuat dengan campuran antara dua warna primer. Warna merah dan kuning akan membentuk warna oranye, kuning dan biru membentuk hijau, biru dan merah membentuk ungu. 3. Warna tersier, yakni warna tahap ketiga, dibuat dengan campuran warna sekunder dan primer yang bukan komplemen dari warna tersebut: merah dan oranye jadi oranye kemerahan, merah dengan ungu jadi ungu kemerahan, kuning dengan oranye jadi oranye kekuningan, kuning dengan hijau jadi hijau kekuningan, biru dengan hijau jadi hijau kebiruan, biru dengan ungu jadi ungu kebiruan dan jumlah-jumlah warna yang dihasilkan tidak terbatas tergantung zat warna dari elemen yang disertakan. Semua warna memiliki sifat-sifat yang mendasar yang ikut menentukan presepsi (kesan) yang terjadi pada kita setelah tahap penangkapan (sensasi) oleh mata kita, sifat-sifat itu adalah: a. Corak (hue), adalah yang menyatakan warna itu sendiri b. Nada (tone), adalah menunjukan kualitas seperti warna tua atau warna muda c. Cerah (intensity), adalah taraf kejenuhan dari zat warna yang digunakan, kuat atau luntur warna tersebut tampaknya. d. Kesan suhu (temperature), adalah kesan yang ditimbulkan oleh warna, seperti warna merah memunculkan kesan panas, warna hijau dan biru memunculkan kesan sejuk, dan warna ungu memberi kesan dingin. e. Suasana (mood), adalah rasa yang ditimbulkan oleh warna, seperti warna kuning, mas, perak, oranye, merah muda menimbulkan kesan gembira, warna merah cerah dan merah tua berkesan marah, hijau, biru muda, abu-abu muda menimbulkan rasa tenang, warna ungu, coklat, hitam menimbulkan suasana sedih, warna putih dan kuning muda menimbulkan suasana suci, dan warna hitam, abu-abu tua, ungu, dan coklat tua menimbulkan kesan suram. f. Kesan-jarak (distance), pada umumnya setiap warna memberikan kesan jarak, seperti warna cerah akan memberikan kesan dekat dibanding warna yang gelap. Setelah diuraikan dapat dilihat bahwa elemen visual memiliki empat unsur, yaitu bentuk (form), garis (line), terang-gelap, dan warna. Unsur-unsur tersebut bila digabungkan dapat memunculkan suatu citraan (image), yang terbentuk dari relasi tanda dengan makna-makna tertentu. Elemen visual dalam penelitian ini (signboard distro) akan diuraikan menjadi tanda-tanda, yang nantinya akan diinterpretasikan maknanya dan menjadi acuan untuk melihat refleksi identitas visual dari reference group. Dalam penelitian ini makna-makna pada tanda yang muncul dari visualisasi mengacu kepada tanda-tanda yang telah disepakati bersama (konvensi), untuk menghindari kekaburan makna. Karena itu pada sub- bab berikutnya akan diuraikan makna visual sebagai bentuk tanda-tanda yang umum terdapat pada visualisasi signboard. 2.7.2. Makna Visual Unsur-unsur visual seperti yang telah diuraikan pada sub-bab sebelumnya dapat membentuk sebuah citraan (image), yang merupakan sebuah kesatuan makna. Dalam Desain Komunikasi Visual bentuk, garis, terang-gelap, dan warna digabungkan akan menghasilkan elemen grafis seperti Tipografi, Ilustrasi (imaji), warna, dan lain-lain. Elemen grafis tersebut merupakan aspek pembentuk tanda yang digunakan dalam berbagai bidang dan kebudayaan, salah-satunya dalam bidang periklanan, yang sarat dengan sistem pertandaan pada penyampaian pesannya. 1. Tipografi, yaitu bidang ilmu yang mempelajari seluk-beluk mengenai huruf, yang mempunyai dua fungsi, yaitu sebagai fungsi estetis dan fungsi komunikasi, sebagai fungsi estetis, tipografi digunakan untuk menunjang penampilan sebuah pesan agar terlihat menarik, sedangkan sebagai fungsi komunikasi tipografi digunakan untuk menyampaikan pesan (informasi) berupa teks dengan jelas dan tepat (Danton Sihombing, 2003:67). Teks sendiri dibangun dari huruf-huruf yang berdiri sendiri dan memiliki karakter berbeda yang bila digabungkan akan membentuk sebuah kata, kemudian kata dirangkaikan akan membentuk sebuah kalimat, yang merupakan bentuk transformasi dari bahasa verbal ke bahasa visual. Karakter-karakter dalam tipografi sangat dipengaruhi oleh aspek bentuk (form), ukuran (size), terang-gelap (contrast), ruang (space), dan tekstur (grain). Bentuk dalam tipografi diwakili oleh jenis huruf yaitu, huruf berkait (serif) dan huruf tanpa kait (sans serif). Kedua jenis huruf tersebut memiliki kesan-kesan tersendiri, menurut Danton Sihombing, MFA, (2003:66) memilih bentuk huruf sama dengan ketika kita memilih pakaian, pertimbangannya adalah keselarasan, kenyamanan, atau trend-nya. Sebuah trend dalam tipografi lahir karena terkonfrontasi oleh kebutuhan jaman, sehingga pesan-pesan yang muncul memiliki korelasi dengan periode waktu tertentu. Korelasi tersebut menjadikan bentuk huruf sebagai perekam visual dari jaman yang kemudian melekatkan asosiatif tertentu pada berbagai jenis huruf. Contohnya jenis huruf Roman Script yang lahir pada jaman kejayaan kerajaan Romawi, memiliki bentuk huruf serif dan digunakan sebagai huruf pada buku-buku dan Al-kitab di gereja-gereja, karena itu huruf serif sering diasosiatifkan dengan halhal yang religius dan anggun. Berbeda dengan jenis huruf Universal yang lahir pada abad ke-20 di Jerman yang memiliki bentuk sans serif, yang dirancang oleh institusi Bauhaus dengan semangat penolakan terhadap gaya-gaya huruf lama. Cirinya adalah dengan meminimalisasikan bahkan menghilangkan unsur dekoratif dalam huruf, sehingga sebuah bentuk huruf akan terlihat sederhana (simple). Penolakan terhadap gaya huruf lama memberikan asosiatif pada huruf sans serif sebagai huruf modern, terbebas dari unsur dekoratif yang akhirnya memberikan kesan dinamis. (A) (B) Gambar 2.7. (A) Bentuk huruf serif (berkait) Roman Scripts dan (B) bentuk huruf sans serif (tanpa kait) Universal merupakan representasi jaman dan memiliki asosiatif berbeda. Serif memiliki asosiatif religius dan anggun, sedangkan sans serif memiliki asosiatif simple dan modern (sumber: Danton Sihombing, 2003) Selain pada bentuk, ukuran (size) pada tipografi memiliki asosiatif-asosiatif tertentu juga yang berfungsi untuk memberikan efek penekanan pada pesan, seperti contohnya dalam komik, huruf dibuat besar untuk memberikan efek teriakan atau keras. Dalam tipografi ukuran terbagi dalam ketebalan, proporsi, dan kemiringan yang semuanya mempunyai fungsi sebagai penekanan (vocal point). Ketebalan huruf diasosiatifkan dengan sesuatu yang berat atau ringan, sedangkan proporsi, tinggi dan pendek diasosiatifkan dengan keras dan lemah. Kemiringan biasa diasosiatifkan dengan sesuatu yang penting atau dinamis. Kemudian terang dan gelap (contrast) pada huruf berkaitan dengan kesan optik pada mata. Kesan tersebut terbagi menjadi dua, yaitu kesan background dan foreground, background atau latar merupakan huruf yang intensitasnya lebih gelap dari huruf lainnya dan diasosiatifkan dengan ‘kedua’, sedangkan foreground adalah huruf yang berada di depan atau yang intensitasnya paling kuat dan diasosiatifkan dengan ‘utama’. Tipografi juga melihat jarak atau ruang (space) sebagai bagian dari pendukung kemunculan huruf. Ruang tersebut biasa dinamakan kerning (jarak antar huruf) dan leading (jarak antar baris huruf) yang menghasilkan interval kerapatan antar huruf. Kesan yang muncul dari permainan interval ini adalah renggang dan padat, asosiatif yang muncul pada kerenggangan huruf adalah ringan, sedangkan jarak yang padat menghasilkan asosiatif gelap dan berat. Terakhir adalah tekstur yang dalam tipografi digunakan sebagai penguat tampilan huruf agar dapat tampil lebih vokal serta menambah nilai dramatik pada pesan. Contohnya efek rusak pada anatomi huruf dimaksudkan untuk mendramatisisr atmosfir dari pesan-pesan yang berkaitan dengan kehancuran dan ketakutan. Untuk lebih jelas melihat makna-makna yang muncul pada huruf, dapat dilihat dari rangkuman yang tertuang dalam tabel 2.1. berikut ini: Tabel 2.1. Unsur-unsur yang membentuk asosiatif pada huruf (sumber: Danton Sihombing, MFA. 2003) Bentuk Ukuran Contrast Ruang Tekstur Asosiatif Religius, Serif anggun, old Sans Simple, Serif modern, dinamis Ketebalan • Tebal Berat • Tipis Ringan Proporsi • Tinggi Keras • Pendek Lemah Kemiringan Penting • Italic Dinamis • Background Kedua • Foreground Utama • Padat Berat • Renggang Ringan • Rata Formal • Blur Imajinasi • Distorsi Kehancuran (rusak) Ketakutan 2. Ilustrasi (illustration), diartikan segala bentuk gambar, lukisan, diagram, dan foto, yang digunakan untuk menjelaskan atau menerangkan teks (Alastair Campbell, 200:316). Ilustrasi banyak digunakan untuk media publikasi seperti surat kabar, majalah, dan brosur yang semuanya merupakan bagian dari media cetak. Karena itu ilustrasi sering diidentifikasikan sebagai bagian dari media cetak yang sifatnya statis, walaupun teknologi diluar cetak seperti televisi dan komputer juga menggunakan ilustrasi dalam format yang lebih canggih (bergerak). Sama halnya seperti tipografi, ilustrasi juga dipengaruhi oleh ukuran, bentuk, dan tekstur. Dalam kebudayaan aspek ukuran sering menjadi ukuran untuk menunjukan keagungan, seperti halnya piramida di mesir. Begitu juga dengan bentuk yang merupakan aspek penting dalam memberikan pemaknaan, contohnya cinta diimplementasikan dalam ilustrasi berbentuk hati yang merupakan makna simbolik. Tekstur juga dalam ilustrasi merupakan salah-satu aspek pembentuk makna, seperti bentuk kabur pada fotografi yang memunculkan kesan imajinasi. Ilustrasi sebagai implementasi bahasa yang diterjemahkan dalam visual memiliki sifat arbitrer, yaitu dapat memiliki beragam makna, tergantung dari pengalaman si pembacanya. Perbedaan tersebut dapat muncul karena masing-masing individu (pembaca) memiliki pengalaman atau referensi yang berbeda, baik yang muncul secara alamiah ataupun karena faktor kultural. Namun perbedaan tersebut dapat diatasi dengan makna-makna yang telah disepakati bersama (konvensi) terhadap sebuah ilustrasi (simbolik), contohnya seperti ilustrasi yang sudah disinggung sebelumnya, yaitu ilustrasi bentuk hati untuk mengungkapan cinta, yang bentuknya sesungguhnya di dalam tubuh manusia berbeda dengan hati untuk acara valentine, tetapi secara konvensi bentuk tersebut sudah menjadi simbolik untuk ungkapan cinta. Karena sifatnya yang arbitrer maka untuk menghindari terjadinya pengkaburan makna pada analisis ilustrasi, dalam penelitian ini digunakan makna-makna ilustrasi yang sudah menjadi bentuk konvensi dan menjadi simbol universal. Terdapat beberapa makna ilustrasi yang akan digunakan dalam penelitian ini yang dapat dilihat pada tabel 2.2 berikut ini: Tabel 2.2. Makna-Makna Universal Pada Ilustrasi Dari Beberapa Sumber BENTUK ILUSTRASI Aliens Angka ‘1’ Angka ‘5’ Angka ‘12’ Bangunan Tua Bintang MAKNA YANG TERKANDUNG Secara harfiah memiliki arti asing, tetapi sering juga digunakan untuk menggambarkan perbedaan yang jauh. (John M. Echols, 1975:22) Bukan sekedar angka, tetapi merupakan simbol kesatuan (Unity). Angka ini telah berkembang maknanya dan menjadi simbolik untuk menunjukan unit single dan utama. (Didier Colin, 2000:362) Angka lima identik dengan kehidupan manusia, karena manusia memiliki 5 jari di tangan kiri dan kanan, begitu juga dengan lima jari kaki di bagian kiri dan kanan, memiliki 5 indra. Dalam agama Hindu manusia dilahirkan dengan 5 elemen, oleh bangsa Mesir digambarkan sebagai bintang sisi lima yang memiliki makna kehidupan. Didefinisikan sebagai satuan unit dari waktu, hampir sama pada semua kebudayaan bangsa angka 12 dimaknai sebagai (sistem) waktu . (Didier Colin, 2000:394) Identik dengan hal-hal yang menyeramkan, tetapi di Inggris Bangunan tua, seperti castle-castle merupakan simbol dari kebanggaan (kebesaran, hebat). (Didier Colin, 2000:362) Dalam kebudayaan Arab, bintang memiliki makna berkah atau harapan, sedangkan dikebudayaan barat bintang sering digunakan sebagai simbol untuk menggambarkan sesuatu yang harus dicapai tinggi (dream). (Didier Colin, 2000:473) Burung Hitam Cross (Tanda Silang) Burung hitam (Blackbird) dikenal sebagai jenis burung yang suka berada di pinggiran kota. Di Barat burung hitam disimbolkan sebagai burung yang tidak mendatangkan “Summer’, karena kehadirannya dianggap mengakhiri musim yang cerah. Oleh karena itu burung hitam diasosiatifkan dengan kegelapan (musim dingin). (Didier Colin, 2000:60) Di dunia barat tanda silang merupakan simbol kesatuan, yang dianonimkan antara bumi dan langit, pohon kehidupan, dimana jagat raya dan waktu bersatu. Dalam agama kristen tanda silang (salib) merupakan simbol sakral sebagai representasi dari hubungan manusia dan tuhan. Tanda silang juga sering digunakan untuk menterjemahkan bahasa verbal tentang dua arah yang berhubungan yang saling melintas, dimana perlintasan keduanya diterjemahkan sebagai pusat arah. Berawal dari situlah tanda silang kemudian digunakan menjadi simbolik dari kesatuan atau pusat. (Didier Colin, 2000:134)