pengaruh kadar tanin pada teh celup terhadap anemia gizi besi

advertisement
PENGARUH KADAR TANIN PADA TEH CELUP TERHADAP
ANEMIA GIZI BESI (AGB) PADA IBU HAMIL DI UPT
PUSKESMAS CITEUREUP KABUPATEN BOGOR TAHUN
2012
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister
Epidemiologi
PUTRI BUNGSU
1106120235
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM MAGISTER EPIDEMIOLOGI KOMUNITAS
DEPOK
DESEMBER 2012
45
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
46
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
47
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
48
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
49
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
50
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
52
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
53
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
54
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
55
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
56
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
57
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
58
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
60
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
61
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
62
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
63
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Kehamilan adalah masa seorang wanita membawa embrio atau fetus di dalam
tubuhnya. Dimana dalam kondisi tersebut seorang wanita merasa makin merasa
kesempurnaan sebagai seorang calon ibu. Namun pada kenyataannya, ibu hamil
adalah salah satu kelompok yang paling rawan dalam berbagai aspek, salah
satunya terhadap pangan dan gizi (Tristiyanti, 2006). Salah satu permasalahan
yang seringkali menyertai ibu hamil yaitu keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb)
darah kurang dari normal, disebut juga dengan istilah anemia.
Anemia terdapat pada 1,62 juta jiwa di dunia yaitu mencapai 24,8% populasi
dunia di tahun 2008. Prevalensi anemia saat kehamilan tahun 1993-2005
mencakup 41,8% populasi penderita anemia di dunia yaitu sebanyak 56 juta jiwa
penduduk dunia. Lebih dari 80% negara di dunia mengalami masalah kesehatan
masyarakat sedang ke berat akibat anemia pada ibu hamil (WHO, 2008). Riset
kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2010 tercatat bahwa 40% anemia ibu hamil di
indonesia. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa 40% kematian ibu disebebkan
oleh perdarahan pada saat melahirkan dan anemia gizi merupakan faktor pencetus
penting dari kematian ibu melahirkan. Diperkirakan sebesar 20% kematian itu
berkaitan dengan rendahnya kadar hemoglobin (anemia gizi) selama kehamilan.
Pada kehamilan, penyebab tersering anemia adalah defisiensi zat-zat nutrisi.
Penyebab mendasar anemia nutrisional berupa asupan gizi tidak terpenuhi,
absorpsi tidak adekuat, peningkatan kehilangan zat gizi, peningkatan kebutuhan,
dan utilisasi nutrisi homopoietik berkurang. Sekitar 75% anemia dalam kehamilan
disebabkan oleh defisiensi besi. Selain itu, defisiensi asam folat dan vitamin B12
juga merupakan penyebab yang sering ditemui (Santi, 2007). Menurut Royston
(1994), bahwa salah satu penyebab kematian obstetrik tidak langsung pada kasus
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
64
kematian langsung tetapi disebabkan antara lain adalah anemia. Prawirohardjo
(2002), mengungkapkan ”anemia defisiensi zat besi merupakan masalah gizi yang
paling lazim didunia dan menjangkiti lebih dari 600 juta manusia. Dengan
frekuensi yang masih cukup tinggi berkisar antara 10% dan 20 %”. Hal ini juga
diungkapkan oleh Simanjuntak tahun 1992, bahwa sekitar 70% orang di Indonesia
menderita anemia gizi. Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya di Kecamatan
Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa barat, didapatkan bahwa prevalensi anemia
pada ibu hamil sebesar 47,8% ( Tristiyanti, 2006)
Santi (2007) menyatakan bahwa salah satu penyebab anemia PADA IBU HAMIL
yaitu adanya perubahan fisiologis karena kehamilan yang diperberat dengan
kondisi kurang gizi, vitamin B12, asam folat dan Vitamin C. Faktor resiko lain
yang menyebabkan anemia pada ibu hamil adalah sering mengkonsumsi pangan
yang mengandung zat yang dapat menghambat penyerapan zat besi, seperti fitat
dan tanin. Selain itu, paritas tinggi, jarak kelahiran pendek, ANC/perawatan
kehamilan tidak memadai dan tingkat sosial ekonomi yang rendah juga menjadi
faktor resiko terjadinya anemia pada ibu hamil”. Hemoglobin pada ibu hamil
merupakan salah satu variabel yang menjadi perhatian untuk menilai status
anemia ibu hamil. Angka hemoglobin pada ibu hamil bukan hanya
menggambarkan status anemia, melainkan juga bisa menjadi acuan asupan gizi
selama kehamilan serta tingkat pengetahuan ibu mengenai perilaku yang tidak
dianjurkan selama kehamilan, seperti halnya mengkonsumsi teh, kopi dan alkohol.
Teh adalah jenis minuman yang paling banyak dikonsumsi manusia dewasa
setelah air dan diperkirakan manusia mengkonsusi teh tak kurang dari 120 ml
setiap harinya (Damayanthi, 2008). Teh memiliki potensi sebagai penyebab
anemia karena disinyalir mampu mengabsorbsi mineral sebagai bentuk zat besi.
Hal ini dikaitkan dengan peranan tanin yang terdapat dalam kandungan teh.
Mineral makanan sebagai salah satu pembentuk zat besi bila bereaksi dengan
tanin akan membentuk ikatan komplek yang tidak larut salam sistem pencernaan,
akibat mineral makanan tidak berfungsi lagi dan dikeluarkan oleh tubuh dalam
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
65
bentuk feses. Tanin memiliki kekuatan untuk mengikat protein sehingga
mempunyai kemampuan mengabsorbsi sari makanan.
Profil teh sebagai minuman kaya manfaat serta menjadi salah satu teman bagi ibu
hamil dalam melewati fase mual (ngidam) dapat menjadikan bomerang tidak
hanya bagi kesehatan ibu selama kehamilan dan masa persalinan, tetapi juga
berdampak buruk bagi bayi. Kemudahan mengkonsumsi teh dalam berbagai
kemasan secara tidak langsung turut meningkatkan dampak anemia pada ibu
hamil serta angka berat bayi lahir rendah (BBLR) ataupun prematuritas dan
mortalitas. Seiring dengan perkembangan teknologi yang memanjakan masyarakat
dengan segala kemudahan memiliki berbagai efek yang berdampak pada
kesehatan. Salah satunya kemudahan dalam mengkonsumsi makanan. Tidak sulit
kita jumpai berbagai minuman dengan berbagai kemasan yang di nilai higenis dan
aman di lingkungan sekitar kita dengan harga yang terjangkau.
Walaupun
beberapa makanan dan minuman tersebut telah lulus uji sebagai makanan aman
untuk konsumsi, tetapi pengetahuan serta kesadaran masyarakat dalam aturan
konsumsi juga tidak kalah penting dalam menjamin kesehatan. Hal diatas
merupakan salah satu hambatan dalam mencapai keberhasilan program yang
bertujuan untuk meningkatkan kesehatan ibu dan anak serta menurunkan angka
mortalitas dan morbiditas ibu dan anak.
Pada ibu hamil, anemia gizi besi dapat mengakibatkan keguguran, lahir mati,
kelahiran bayi dengan berat badan lahir rendah, perdarahan sebelum atau sewaktu
melahirkan dan kematian ibu (Khodyat 1995 dalam Khomsan 1997). Berdasarkan
data dan informasi diatas serta dampak yang cukup besar bagi kesehatan maka
peneliti tertarik untuk melakukan studi yang bertujuan untuk mengetahui
pengaruh kadar tanin pada teh celup terhadap anemia gizi besi (AGB) pada ibu
hamil.
1.2. Perumusan Masalah
Sejalan dengan perkembangan teknologi di berbagai bidang termasuk bidang
nutrisi, maka semakin bervariasi pula outcome yang berdampak pada kesehatan
baik bersifat positif maupun negatif. Kemudahan dalam akses pemenuhan
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
66
kebutuhan nutrisi juga menuntut masyarakat untuk lebih teliti sebagai konsumen.
Tidak sedikit penelitian yang melaporkan kejadian penyakit akibat kurangnya
pengetahuan masyarakat mengenai nutrisi serta dampak negatif yang mungkin
timbul. Diantaranya yaitu konsumsi teh yang merupakan salah satu penghambat
penyerapan zat besi dalam makanan. Teh yang juga merupakan penghambat zat
besi pada makanan turut menyumbang kenaikan angka anemia pada ibu hamil,
dimana angka prevalensi anemia gizi besi dengan analisa serum ferritin pada ibu
hamil di Kabupaten Bogor mencapai 33,3% sebagai salah satu dampak kurangnya
pengetahuan mengenai asupan nutrisi yang baik bagi ibu selama kehamilan
(Barunawati, 2000). Berdasarkan rumusan di atas, maka peneliti tertarik untuk
melihat pengaruh kadar tanin pada teh terhadap anemia gizi besi pada ibu hamil di
Puskesmas Kecamatan Citeureup Kabupaten Bogor tahun 2012.
1.3.Pertanyaan Penelitian
1.3.1. Apakah ada pengaruh kadar tanin pada teh celup terhadap Anemia Gizi
Besi (AGB) pada ibu hamil setelah dikontrol variabel covariat?
1.3.2. Apakah ada pengaruh kadar tanin pada teh celup terhadap Anemia Gizi
Besi (AGB) pada ibu hamil sebelum dikontrol variabel covariat?
1.3.3. Apa pengaruh dari usia ibu, aktivitas ibu hamil, usia kehamilan, jumlah
kehamilan, jarak kelahiran, status konsumsi tablet tambah darah (TTD),
pola konsumsi protein hewani, pola konsumsi protein nabati, pola konsumsi
nutrisi pengikat absorbs zat besi, pola konsumsi penghambat absorbs zat
besi, konsumsi tablet tambah darah, status gizi ibu hamil pada hubungan
kadar tannin teh celup terhadap anemia gizi besi pada ibu hamil?
1.4.Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh kadar tanin teh celup
terhadap Anemia Gizi Besi (AGB) pada ibu hamil setelah dikontrol
variabel covariat.
1.4.2. Tujuan Khusus
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
67
a) Melihat pengaruh kadar tanin teh celup terhadap Anemia Gizi Besi
(AGB) pada ibu hamil sebelum dikontrol variabel covariat.
b) Mengatahui pengaruh dari usia ibu, aktivitas ibu hamil, usia kehamilan,
jumlah kehamilan, jarak kelahiran, status konsumsi tablet tambah darah
(TTD), pola konsumsi protein hewani, pola konsumsi protein nabati,
pola konsumsi nutrisi pengikat absorbs zat besi, pola konsumsi
penghambat absorbs zat besi, konsumsi tablet tambah darah, status gizi
ibu hamil pada hubungan kadar tannin teh celup terhadap anemia gizi
besi pada ibu hamil.
1.5.Manfaat Penelitian
a) Hasil penelitian ini memberikan informasi yang bermanfaat bagi masyarakat
mengenai perilaku mengkonsumsi teh yang baik tanpa harus mengurangi
segudang manfaat dari teh.
b) Hasil penelitian diharapkan dapat menambah khasanah teori dan pengetahuan
mengenai pengaruh kadar tanin pada teh terhadap anemia gizi besi pada ibu
hamil.
c) Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan rujukan bagi penelitian
selanjutnya yang sejenis.
1.6.Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian dilakukan di Puskesmas Kecamatan Citeureup Kabupaten Bogor,
dimana subjek penelitian yaitu ibu hamil pada
usia kehamilan >16 minggu
(trimester Kedua dan Ketiga). Pelaksanaan penelitian dimulai di minggu ketiga
pada bulan September sampai dengan bulan Desember 2012.
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
68
Bab 2
Tinjauan Pustaka
2.1. Kehamilan
2.2.1. Perubahan hematologis pada kehamilan
Kehamilan merupakan urutan kejadian yang secara normal terdiri
atas pembuahan, implantasi, pertumbuhan embrio, pertumbuhan
janin, dan berakhir pada kelahiran bayi (Yongky, 2004). Selama
masa kehamilan terjadi pembentukan jaringan-jaringan baru
melalui
beberapa
tahapan
tertentu.
Jaringan-jaringan
yang
terbentuk tumbuh dan berkembang dalam janin, meliputi janin
serta jaringan-jaringan lain yang berfungsi sebagai pendukung
yang mampu menjaga kelangsungan hidup janin. Jaringan ini
meliputi plasenta, amnion, yolksac, dan chorion (Hardinsyah &
Martianto, 1992)
Pada masa kehamilan terjadi perubahan dalam tubuh ibu, yaitu
dengan adanya janin dalam kandungan. Selain itu terjadi pula
pertumbuhan berbagai organ sebagai pendukung proses kehamilan,
seperti
alat
kandungan
dengan
adneksanya,
mamae,
dan
sebagainya (Sediaoetama, 1987)
Menurut Hardinsyah dan Martianto (1992), selama kehamilan
terjadi
dua
proses
anabolik.
Proses
pertama
merupakan
pertumbuhan serta pematangan plasenta dan janin yang selanjutnya
menjadi bayi. Proses kedua merupakan penyesuaian fisiologik dan
metabolik yang dialami ibu hamil. Proses-proses tersebut
dikatalisis oleh perubahan-perubahan kelenjar endokrin ibu.
Keadaan ini mengakibatkan ukuran uterus, payudara, volume darah
ibu, cairan ketuban, massa jaringan lemak membesar.
Kehamilan selalu berhubungan dengan perubahan fisiologis yang
berakibat peningkatan volume cairan dan sel darah merah serta
penurunan konsentrasi protein pengikat gizi dalam sirkulasi darah,
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
69
begitu juga dengan penurunan gizi mikro (Parra BE, Manjarres LM
2005 diacu dalam Tristiyanti 2006)
Adaptasi anatomis, fisiologis, dan biokimiawi terhadap kehamilan
sangat besar. Banyak dari perubahan-perubahan tersebut segera
terjadi setelah fertilisasi dan berlanjut selama kehamilan. Sebagian
besar adaptasi pada kehamilan terjadi sebagai respon terhadap
rangsangan fisiologis yang ditimbulkan oleh janin. Salah satu
perubahan yang terjadi selama kehamilan adalah perubahan
hematologis. Perubahan pada sistem ini berupa peningkatan
volume darah ibu, penurunan hemoglobin dan hematokrit,
peningkatan kebutuhan besi, perubahan pada leukosit dan sistem
imunologis, serta kehilangan darah yang terjadi selama proses
kelahiran (Cunningham dkk., 2006)
2.2.1.1. Volume darah
Volume darah ibu meningkat secara nyata selama
kehamilan. Tingkat ekspansi sangat bervariasi, dimana
pada beberapa wanita hanya terjadi peningkatan sedang
dan pada wanita lain peningkatan hampir berlipat ganda.
Peningkatan volume darah disebabkan oleh meningkatnya
plasma dan eritrosit. Peningkatan plasma biasanya lebih
banyak daripada eritrosit pada sirkuliasi ibu. Menurut
Harstad dkk (1992), peningkaan kadar eritropoietin plasma
ibu dan produksi tertinggi eritrosit setelah usia gestasi 20
minggu menyebabkan hiperplasia erithosid sedang dalam
sumsum tulang belakang, dan hitung retikulosit sedikit
meningkat pada kehamilan normal. Pritchard (1965)
menyatakan
janin
tidak
berperan
penting
dalam
hiervolemia, sebab keadaan ini juga dapat terjadi pada
beberapa wanita dengan mola hidatidosa. Pada wanita
normal, volume darah saat aterm meningkat kira-kira 40%
– 45% di atas volume saat tidak hamil. Volume darah ibu
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
70
mulai meningkat pada trimester pertama, bertambah cepat
pada trimester kedua, kemudian naik dengan kecepatan
yang lebih pelan pada trimester ketiga untuk mencapai
kecepatan konstan (kondisi plateu) pada beberapa minggu
akhir kehamilan. Peningkatan progresif volume darah
terjadi pada minggu ke-6 sampai ke-8, dan mencapai
puncak pada minggu ke-32 sampai ke-34. Volume darah
akan kembali seperti semula pada 2-6 minggu setelah
persalinan. Hipovolemia yang diinduksi oleh kehamilan
mempunyai beberapa fungsi penting sebagai berikut :
a) Untuk memenuhi kebutuhan uterus yang membesar
dan sistem vaskuler yang hipertrofi.
b) Untuk melindungi ibu dan janin terhadap efek dari
gangguan aliran balik vena pada posisi terlentang dan
berdiri tegak.
c) Untuk menjaga ibu dari efek samping kehilangan darah
selama persalinan
(Cunningham dkk. ,2006)
2.2.1.2. Konsentrasi hemoglobin dan hematokrit
Konsentrasi hemoglobin dan hematokrit sedikit menurun
selama kehamilan normal walaupun terdapat peningkatan
eritropoiesis. Jika dibandingkan dengan peningkatan
volume plasma, peningkatan volume eritrosit sirkulasi
tidak begitu banyak, sekitar 450 ml atau 33%. Akibat nya,
viskositas
(Cunningham
darah
dkk.,
secara
2006).
keseluruhan
Konsentrasi
menurun
hemoglobin
tertinggi terdapat pada trimester pertama, mencapai nilai
terandah pada trimester kedua, dan mulai meningkat
kembali pada trimester ketiga. Konsentrasi hemoglobin
rata-rata adalah 12,73 ± 1,14 g/dl pada trimester pertama,
11,41 ± 1,16 g/dl pada trimester kedua, dan 11,67 ± 1,18
g/dl pada trimester ketiga (Tristiyanti, 2006). Pada
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
71
sebagian besar wanita, konsentrasi hemoglobin di bawah
11,0 g/dl, terutama di akhir kehamilan, dianggap abnormal
dan biasanya lebih berhubungan dengan defisiensi besi
daripada hipervolemia graidarum (Santi, 2006).
2.2.1.3. Metabolisme besi
Peningkatan volume eritrosit dan massa hemoglobin
selama kehamilan berhubungan dengan jumlah besi yang
tersedia dari cadangan besi dalam tubuh ibu hamil. Ratarata volume total eritrosit meningkat sekitar 450 ml dalam
sirkulasi, dimana dalam 1 ml eritrosit normal terkandung
1,1 mg besi. Dari 1000 mg kebutuhan besi pada
kehamilan, sekitar 300 mg ditrasfer secara aktif ke janin
dan plasenta, serta sekitar 200 mg hilang di sepanjang jalur
ekskresi normal. Keadaan ini tetap terjadi walaupun ibu
kekurangan zat besi. Bila zat besi tersebut tersedia, 500 mg
besi lainnya akan digunakan dalam eritrosit. Akibatnya,
semua zat besi akan terpakai selama paruh akhir
kehamilan dan dibutuhkan zat besi yang cukup besar
selama paruh kedua kehamilan. Pritchard dan Scott (1970)
menuliskan kebutuhan zat besi selama paruh kedua
kehamilan tersebut sekitar 6-7 mg/hari. Dalam keadaan
tidak ada zat besi suplemental, konsentrasi hemoglobin
dan hematokrit turun cukup besar saat volume darah ibu
bertambah, meskipun absorpsi zat besi dari traktus
gatrointestinal tampak meningkat. Pada ibu dengan anemia
defisiensi berat, produksi hemoglobin dalam janin tidak
akan terganggu. Hal ini disebabkan perolehan besi dari
plasenta ibu cukup untuk menghasilkan kadar hemoglobin
normal untuk janin (Cunningham dkk., 2006)
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
72
2.2.1.4. Fungsi leukosit dan sistem imunologis
Selama kehamilan, jumlah leukosit akan meningkat sekitar
5.000 – 12.000 per μl. Pada saat kelahiran dan masa nifas,
jumlah leukosit mencapai puncak, yaitu antara 14.000 –
16.000 per μl. Distribusi tipe sel juga berubah selama
kehamilan. Pada awal kehamilan, aktivitas leukosit alkalin
fosfatase dan C-Reactive Protein (CRP) meningkat. Selain
itu, reaktan serum akut dan Erythrocyte Sedimentation
Rate (ESR) meningkat akibat dari peningkatan plasma
globulin dan fibrinogen. Pada trimester ketiga kehamilan,
jumlah granulosit dan limfosit CD8 T meningkat, tetapi
limfosit dan monosit CD4 T menurun (Cunningjam dkk.,
2066).
2.2.1.5. Kehilangan darah
Pada mayoritas wanita, separuh dari eritrosit yang
ditambahkan ke sirkulasi ibu selama masa kehamilan akan
hilang saat kelahiran pervaginam normal sampai beberapa
hari setelahnya. Kehilangan ini terjadi melalui tempat
implantasi plasenta, plasenta, episiotomi atau laserasi, dan
lokia. Pritchard (1965) dan Ueland (1976) menyatakan
sekitar 500–600 ml darah pra kelahiran akan hilang saat
kelahiran per aginam bayi tunggal sampai setelahnya.
Sedangkan, sekitar 1000 ml darah hilang pada sectio
sesarea
dan kelahiran per
vaginam
bayi
kembar
(Cunningham dkk., 2006).
2.2.2. Kebutuhan Ibu di masa kehamilan
Selama kehamilan, kebutuhan akan vitamin dan mineral akan
meningkat. Dalam Nutrition During Pregnancy yang diterbitkan
oleh National of Science, USA diacu dalam Hardinsyah dan
Briawan (2000) direkomendasikan pemberian suplemen zat gizi
mikro pada ibu hamil seperti zat besi (Fe), Zinc (Zn), cuprum (Cu),
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
73
iodium (I), vitamin A, asam folat, dan asam lemak omega 3
(DHA). Pertimbangannya adalah karena adanya peningkatan
kebutuhan fisiologis tubuh untuk pertumbuhan janin (Tristiyanti,
2006).
Adanya kenaikan volume darah pada saat kehamilan akan
meningkatkan kebutuhan zat besi. Jumlah elemental Fe pada bayi
baru lahir kira-kira 300 mg dan jumlah yang diperlukan ibu untuk
mencegah anemia akibat meningkatnya volume darah adalah 500
mg, terutama dibutuhkan pada setengah akhir kehamilan. Pada diet
yang adekuat kandungan Fe sekitar 10-15 mg sehingga Fe pada diet
hanya memenuhi sedikit kebutuhan Fe pada ibu hamil (105 – 20%
dari kebutuhan). Oleh karena itu diperlukan suplemen Fe (Yongky,
2004). Besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat
di tubuh manusia dan hewan, yaitu sebanyak 35 gr di dalam tubuh
manusia dewasa (Almatsier, 2002). Zat gizi besi (Fe) merupakan
kelompok mineral yang diperlukan, sebagai inti dari hemoglobin,
unsur utama sel darah merah. Fungsi sel darah merah itu penting
mengingat tugasnya antara lain sebagai sarana transportasi zat gizi,
dan terutama juga oksigen yang diperlukan pada proses fisiologis
dan biokimia dalam setiap jaringan tubuh (Harli, 1999). Zat besi
merupakan mikroelemen yang esensial bagi tubuh. Zat ini terutama
diperlukan dalam hemopoiesis (pembentukan darah), yaitu dalam
sintesa hemoglobin (Sediaoetama, 1987).
Kandungan besi dalam tubuh sangat kecil, yaitu sekitar 35 mg per
kg berat badan wanita atau 50 mg per kg berat badan pria. Besi
yang ada dalam tubuh berasal dari tiga sumber, yaitu besi yang
diperolah dari perusakan sel-sel darah merah (hemolisis), besi yang
diambil dari cadangan yang tersimpan dalam tubuh, serta besi hasil
penyerapan saluran cerna (Winarno, 1997). Mengingat kebutuhan
zat besi selama kehamilan sangat tinggi, FAO/WHO (2001) diacu
dalam WNPG (2004) menganjurkan agar wanita hamil, khususnya
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
74
trimester 2 dan 3 mendapatkan tambahan (pil) besi dengan dosis
100 mg/hari. Selama masa kehamilan (280 hari) terjadi kehilangan
besi basal 250 mg, kebutuhan janin dan plasenta 315 mg dan
kebutuhan untuk meningkatkan massa hemoglobin (termasuk
simpanan) 500 mg atau total sekitar 1.1 gr. Pada trimester pertama
belum ada kebutuhan yang meningkat drastis sehingga kecukupan
besi pada trimester pertama sama dengan kecukupan pada wanita
dewasa yang masih menstruasi, yaitu 26 mg/hari. Kebutuhan zat
besi menurut trimester yaitu :
a) Pada trimester I, zat besi yang dibutuhkan adalah ±1 mg/hari,
yaitu untuk kebutuhan basal = 0,8 mg/hari ditambah dengan
kebutuha janin dan red cell mass = 30–40 mg.
b) Pada trimester II, zat besi yang dibutuhkan adalah ±5 mg/hari,
yaitu untuk kebutuhan basal = 0,8 mg/hari ditambah dengan
kebutuhan red cell mass = 300 mg dan conceptus = 115 mg.
c) Pada trimester III, zat besi yang dibutuhkan adalah 5 mg/hari,
yaitu untuk kebutuhan basal = 0,8/hari, ditambah dengan
kebutuhan red cell mass = 150 mg dan conceptus = 223 mg.
Atas dasar hal tersebut diatas, maka kebutuhan zat besi pada
trimester II dan III aka jauh lebih besar dari jumlah zat besi yag di
dapat dari makanan, walaupun makanan mengandung zat besi yang
tinggi bioavabilitasnya kecuali jika wanita itu pada sebelum hamil
telah mempunyai reserve zat besi yag tinggi yaitu lebih besar dari
500 mg di dalam tubuhnya. Wanita yang mempunyai simpanan zat
besi lebih besar dari 500 mg jarang ada walau pun pada masyarakat
yang maju sekalipun apalagi pada negara-negara yang sedag
berkembang. Besi dalam makanan terdapat dalam bentuk besi heme
seperti terdapat dalam hemoglobin dan mioglobin makanan hewani,
dan besi non heme dalam makanan nabati. Besi heme merupakan
bagian kecil dari besi yang diperolah makanan. Akan tetapi yang
dapat diabsobsi mencapai 25% sedangkan besi non heme hanya 5%
(Almatsier, 2002). Sumber zat besi yang terpenting dalam diet
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
75
adalah daging dan hati, ikan dan daging unggas yang harus
dikonsumsi setiap hari karena selain sebagai sumber zat besi, heme
juga dapat mendorong absorbsi besi non heme. Sumber besi non
heme yang tinggi kandungan zat besinya adalah kacang-kacangan,
sayuran berwarna hijau, umbi-umbian, dan buah-buahan (Darlina,
2003). Menurut Almatsier (2002), makan besi heme dan non heme
secara bersama dapat meningkatkan penyerapan zat besi non heme.
Daging, ayam, dan ikan mengandung suatu faktor yang membantu
penyerapan besi. Faktor ini terdiri atas asam amino yang mengikat
besi dan membantu penyerapannya. Susu sapi, keju, dan telur tidak
mengandung faktor ini hingga dapat membantu penyerapan zat besi.
Polifenol seperti tanin dalam teh, kopi, sayuran tertentu, mengikat
besi heme membentuk kompleks besi-tannat yang tidak larut
sehingga zat besi tidak dapat diserap dengan baik (Alsuhendra,
2005).
Zat
besi
pada
saat
kehamilan
digunakan
untuk
perkembangan janin, plasenta, ekspansi sel darah merah, dan untuk
kebutuhan basal tubuh (Darlina, 2003).Pembuangan zat besi dari
tubuh terjadi melalui beberapa jalan, diantaranya adalah melalui
keringat (0,2 0 1,2 mg/hari), air seni (0,1 mg/hari) dan melalui feses
serta darah menstruasi (0,5 – 1,4 mg/hari) (Winarno,1997).
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa ibu hamil, terutama di
pedesaan Indonesia mengkonsumsi pangan pokok, pangan hewani,
dan buah dalam jumlah yang tidak memadai (Tristiyanti 2006 diacu
dalam Hardiyansyah dan Briawan 2000). Hal tersebut berimplikasi
pada tidak terpenuhi kebutuhan energi, protein, dan berbagai
mineral yang penting bagi kehamilan seperti Fe, I, dan Zn serta
vitamin, terutama vitamin C dan asam folat. Menurut Riyadi et al.
(1997), konsumsi zat besi ibu hamil dibedakan antara konsumsi
tinggi
(≥15
mg/kapita/hari)
dan
konsumsi
rendah
(<15
mg/kapita/hari).
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
76
2.2.3. Anemia Ibu hamil
Masa
kehamilan
merupakan
masa
dimana
tubuh
sangat
membutuhkan asupan makan yang maksimal baik untuk jasmani
maupun rohani (selalu rileks dan tidak stress). Di masa-masa ini
pula, wanita hamil sangat rentan terhadap menurunnya kemampuan
tubuh untuk bekerja secara maksimal.Wanita hamil biasanya sering
mengeluh, sering letih, kepala pusing, sesak nafas, wajah pucat dan
berbagai macam keluhan lainnya. Semua keluhan tersebut
merupakan indikasi bahwa wanita hamil tersebut sedang menderita
anemia pada masa kehamilan. Penyakit terjadi akibat rendahnya
kandungan hemoglobin dalam tubuh semasa mengandung. Anemia
ini secara sederhana dapat kita artikan dengan kurangnya sel-sel
darah merah di dalam darah daripada biasanya. Anemia dalam
kehamilan ialah suatu kondisi ibu dengan kadar haemoglobin
dibawah 11 gr % terutama pada trimester I dan trimester ke III.
Kadar Hb yang normal untuk wanita hamil trimester akhir minimal
10,5 g/dL. Jika kurang, disebut anemia. Pada wanita tidak hamil,
kadar normal Hb adalah 12-16 g/dL. Anemia dalam masa
kehamilan merupakan hal yang sering terjadi. World Health
Organization (WHO) melaporkan bahwa 35-75% perempuan pada
negara berkembang dan 18% perempuan pada negara maju
mengalami anemia dalam masa kehamilan. Anemia dalam
kehamilan dapat dibagi menjadi dua yaitu anemia akibat perubahan
yang normal terjadi dalam kehamilan dan anemia akibat adanya hal
yang tidak normal. Anemia dapat timbul tanpa adanya abnormalitas
selama masa kehamilan karena selama kehamilan, jumlah plasma
ibu meningkat sampai 50% (sekitar 1000 cc). Jumlah sel darah juga
meningkat, tapi hanya 25% dan baru timbul pada kehamilan akhir.
Hal inilah yang menyebabkan kadar hemoglobin merosot.
(WHO, 2008).
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
77
2.2.4. Anemia Gizi besi
Anemia gizi merupakan hasil daripada kekurangan satu atau lebih
zat-zat gizi esensial, seperti zat besi asam folat dan vitamin B12
yang sangat dibutuhkan untuk pembentukan sel-sel darah merah.
Zat-zat gizi lainnya yang juga dibutuhkan ialah protein, vitamin C,
pyridoxine dan copper (Husaini, 1989). Dalam keadaan normal,
simpanan zat besi, asam folat dan vitamin B12 cukup didalam
badan. Bila simpanan ini berkurang jumlahnya akan terjadi
ketidakseimbangan zat-zat gizi tersebut didalam badan namun
belum menunjukkan kelainan bioklinis atau klinis. Tetapi bila
jumlah ini berkurang terus, akhirnya sampai pada keadaan yang
disebut anemia. Jumlah sel darah merah tidak cukup banyak
diproduksi, mengakibatkan kadar Hb di dalam darah menjadi
rendah. Anemia gizi karena kurang zat besi adalah yang paling
umum terjadi di masyarakat. Meskipun demikian, pada situasi
tertentu misalnya pada wanita hamil trimester ketiga dan bayi
premature, kekurangan asam folat dapat menyebabkan anemia,
kekurangan vitamin B12 dapat pula terjadi pada orang-orang yang
sering mengalami malabsorbsi. Pada penelitian di masyarakat,
penentuan asam folat dan vitamin B12 dalam darah kurang penting
dilakukan, kecuali ada indicator sebelumnya bahwa di daerah yag
bersangkutan banyak ditemukan defisiensi asam folat atau vitamin
B12. Jika dipandang dari segi kesehatan masyarakat praktis,
anemia gizi selalu diasosiasikan sebagai anemia gizi zat besi
(Almatsier, 2002).
Penyebab anemia yang paling sering pada kehamilan selain anemia
fisiologis yang telah dijelaskan di atas adalah anemia defisiensi
besi. Kekurangan zat gizi yang satu ini merupakan penyebab 75%
kasus anemia dalam kehamilan. Angka kejadiannya pada trimester
pertama hanya 3-9%, dan meningkat 1? Caranya adalah dengan
memeriksakan kadar simpanan besi yaitu fetritin dan kadar besi
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
78
dalam darah yaitu serum iron. Kadar serum iron dan ferritin yang
rendah jelas menggambarkan keadaan defisiensi besi. Namun
terkadang, defisiensi besi belum sampai menyebabkan simpanan
besi tubuh berkurang sehingga yang terlihat dalam pemeriksaan
adalah kadar serum iron yang turun. Jika pasien minum
suplementasi besi beberapa hari sebelum pemeriksaan pun, kadar
serum iron dapat terlihat normal. Oleh karena itu, diskusikanlah
hasil pemeriksaan dengan dokter untuk mendapatkan interpretasi
yang benar.
(Buana, 2004)
2.2.5. Penilaian Status Zat Besi
Ada beberapa indicator laboratorium untuk menentukan status besi
(Nyoman, 2002 dalam Ballada Santi 2006) yaitu:
a) Hemoglobin (Hb)
Hemoglobin
adalah parameter yang digunakan secara luas
untuk menetapkan prevalensi anemia. Hb merupakan senyawa
pembawa oksigen pada sel darah merah. Hb dapat diukur
secara kimia dalam jumlah Hb/100 ml gram darah dapat
digunakan sebagai indeks kapasitas pembawa oksigen pada
darah.
Kandungan Hb yang rendah dengan demikian
mengindikasi anemia. Nilai normal yang paling sering
dinyatakan adalah 14 – 18 gram/100 ml untuk laki-laki dan 12
– 16 gram/ 100 ml untuk wanita (gram/100 ml sering disingkat
dengan gr % atau gr/dl). Beberapa literatur menunjukkan nilai
lebih rendah sehingga pasien tidak dianggap anemia sampai Hb
kurag dari 13 gr/100 ml untuk laki-laki dan 11 gr/100 ml untuk
wanita. Kesalahan rata-rata nilai Hb antara 2% - 3%
bergantung metode yang digunakan. Metode yang lebih dulu
dikenal adalah Sahli, dalam metode ini Hb dihidrolisis dengan
HCL menjadi globin ferro-heme. Kemudian diperbandingkan
dengan warna standar dengan mata telanjang sehingga
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
79
subjektivitas sangat berpengaruh karena disamping factor mata,
ketajaman,
penyinaran dapat
juga
mempengaruhi
hasil
pembacaan. Akan tetapi untuk daerah yang belum mempunyai
peralatan canggih atau pemeriksaan di lapangan, metode sahli
masih memadai dan bila pemeriksanya telah terlatih hasilnya
dapat diandalkan. Metode Cyanmethemoglobin
merupakan
metode yang lebih canggih daripada metode sahli. Pada metode
ini
Hb
dioksidasi
oleh
Kalium
Ferrosianida
menjadi
methemoglobulin yang bereaksi dengan ion sianida (CN2-)
membentuk sian-methemoglobulin yang berwarna merah.
Intensitas warna dibaca dengan fotometer dan dibandingkan
dengan warna standar, sehingga hasilnya lebih objektif. Alat
fotometer sangat mahal sehingga belum semua laboratorium di
daerah memiliki sehingga metode sahli masih digunakan.
b) Hematocrit (HCT)
Adalah volume eritrosit yang dipisahkan dari plasma dengan
cara memutarnya di dalam tabung khusus yang nilainya
dinyatakan dalam persen (%). Persentase massa sel darah
merah pada volume darah yang asli merupakan hematocrit.
Hematocrit bergantung sebagia besar pada jumlah sel darah
merah. Hematocrit biasanya hamper 3 kali nilai hemoglobin.
Nilai normal adalah 40% - 54% untuk laki-laki dan 37% - 47%
untuk wanita. Kesalahan rata-rata pada prosedur HCT kira-kira
1% - 2%.
c) Ferritin Serum (Sf)
Untuk menilai status besi dalam hati perlu mengukur kadar
ferritin. Bayak ferritin yang dikeluarkan ke dalam darah secara
proporsional menggambarkan banyaknya simpanan zat besi
dalam hati. Apabila didapat serum ferritin sebesar 30 mg/dl
darah merah berarti di dalam hati terdapat 30 x 10 mg = 300
mg ferritin. Dalam keadaan normal kadar ferritin pada laki-laki
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
80
90 µg/dl darah merah dan wanita sebanyak 30 µg/dl darah
merah (Husaini, 2004).
d) Transferring Saturation (TS)
Penentuan kadar zat besi dalam serum merupakan satu cara
menentukan status besi. Salah satu indikator lainnya adalah
Total Iron Binding Capacity (TIBC) dalam serum. Kadar TIBC
ini meningkat pada penderita anemia karena kadar besi dalam
serum menurun sedangkan TIBC meningkat pada keadaan
defisiensi besi maka rasio keduanya (Transferrin Saturation)
lebih sensitive. Apabila TS>16% pembentukan sel-sel darah
merah dalam sumsum tulang belakang dan keadaan ini disebut
defisiensi besi.
e) Free eryrocytes protophophyrin (FEP)
Apabila penyediaan zat besi tidak cukup banyak untuk
pembentukan sel-sel darah merah di sumsum tulang maka
sirkulasi FEP di darah meningkat walau belum tampak anemia.
Dalam keadaan normal kadar FEP berkisar 35–50 µg/dl darah
merah, tetapi apabila kadar FEP dalam darah >100 µg/dl darah
merah menunjukkan individu menderita kekuragan besi.
Anemia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat maka
prediksi status besi denga menggunakan kadar Hb masih layak
untuk dilakukan di lapangan selama alternative lain yang
mudah dan sederhana belum tersedia, walaupun demikian perlu
juga diketahui status gizi. Karena cara-cara seperti FEP, TS. SF
dan Hematocrit sulit dilakukan di lapangan karena mahal dan
rumit, maka pengukuran kadar Hb masih layak dilakukan.
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
81
2.2.6. Indikator pada Defisiensi Besi
Besi merupakan suatu zat yag penting untuk proses metabolism
yang berkaitan dengan transportasi oksigen, metabolisme oksidatif
dan pertumbuhan selular.
Berikut tabel indikator pada defisensi besi:
Tabel 2.1. Indikator Defisiensi Besi.
Indikator
Normal
Serum Ferritin
130
(µg/l)
35(F)
TIBC (µg/l)
330
Transferrin
Pengurangan
Defisiensi
Defisiensi
simpanan zat
awal zat
zat besi/
besi
besi
anemia
(M), < 13
< 13
< 13
360
390
410
35
30
< 15
< 15
EP (µg/dl rbc)
30
30
100
200
STfR (mg/l)
5.5
5.5
10
14
Erithrosit
Normal
Normal
Normal
Mycrocytic,
Saturasi (%)
(Hb,Ht,rbc
hypochromic
indices)
anemia*
Sumber : Bothwell et al., Brittenham, Looker et al
*level ktiris untuk diagnose anemia (konsentrasi hemoglobin, g/dl) : 6 bulan sd 5
tahun, 11.0 ; 5 sd 11 tahun, 11.5 ; 12 sd 13 tahun, 12.0 ; wanita menstruasi, 12.0
; ibu hamil, 11.0 ; Pria, 13.0 nilai kritis hemoglobin adalah untuk individu yang
tinggal di ketinggian permukaan laut. Nilai hemoglobin berbeda untuk daerah
yang tinggi.
(Ramakrishnan, 2000)
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
82
2.2.7. Faktor-faktor yang mempengaruhi anemia pada ibu hamil
2.2.7.1. Umur ibu saat hamil
Umur ibu pada saat hamil akan mempengaruhi timbulnya
anemia. Bila umur ibu pada saat hamil relativ muda (<20
tahun) akan beresiko anemia. Hal itu dikarenakan pada
umur
tersebut
masih
terjadi
pertumbuhan
yang
membutuhkan zat gizi lebih banyak dibandingkan dengan
umur diatasnya. Bila zat gizi yang dibutuhkan tidak
terpenuhi, akan terjadi kompetisi zat gizi antara ibu
dengan janin yang dikandungnya (Wijianto, 2002).
Menurut Depkes RI (2001), kadar Hb 7.0–10.0 g/dl
banyak ditemukan pada kelompok umur <20 tahun (46%)
dan kelompok umur ≥ 35 tahun (48%).
2.2.7.2. Pendidikan Ibu
Rendahnya
tingkat
pendidikan
ibu
hamil
dapat
menyebabkan keterbatasan dalam upaya menangani
masalah gizi dan kesehatan keluarga (Wijiyanto 2992
diacu dalam Tristiyanti, 2006). Ibu hamil dengan tingkat
pendidikan rendah (tidak sekolah, tidak tamat SD dan
tamat SD) sebanyak 66.15% menderita anemia dan
merupakan prevalensi terbesar dibandingkan dengan
kategori pendidikan sedang maupun tinggi (Mulyono
1994 diacu dalam Wijianto 2002).
Pendidikan formal sangat penting dalam menentukan
status gizi keluarga. Kemampuan baca tulis di pedesaan
akan membantu dalam memeprlancar komunikasi dan
penerimaan
informasi,
dengan
demikian
informasi
tentang kesehatan akan lebih mudah diterima oleh
keluarga (Sukarni, 1989). Tingkat pendidikan yang
dicapai seseorang mempunyai hubungan nyata dengan
pengetahuan gizi dari makanan yang dikonsumsinya
(Handayani, 2000).
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
83
2.2.7.3. Pengetahuan gizi
Pengetahuan gizi dan kesehatan merupakan salah satu
jenis
pengetahuan
yang
dapat
diperoleh
melalui
pendidikan. Pengetahuan gizi dan kesehatan akan
berpengaruh terhadap pola konsumsi pangan. Semakin
banyak pengetahuan tentang gizi dan kesehatan, maka
semakin beragam pula jenis makanan yang dikonsumsi
sehingga
dapat
memenuhi
kecukupan
gizi
dan
memepertahankan kesehatan individu (Suhardjo, 1989).
Didapat data sebanyak 57,5% ibu hamil yang anemia
memiliki
tingkat
pengetahuan
gizi
yang
kurang,
sedangkan 50,0% ibu hamil anemia memiliki tingkat
pengetahuan gizi baik (Tristiyanti, 2006).
2.2.7.4. Pekerjaan Ibu
Status pekerjaan biasanya erat hubungannya dengan
pendapatan seseorang atau keluarga. Ibu hamil yang tidak
bekerja kemungkinan akan menderita anemia lebih besar
dibandingkan pada ibu yang berkerja. Hal ini disebabkan
pada ibu yang berkerja akan menyediakan makanan,
terutama yang mengandung sumber zat besi dalam jumlah
yang cukup dibandingkan ibu yang tidak berkerja
(Wijianto,
2002).
Pada
penelitain
sebelumnya
disimpulkan sebanyak 92,5% ibu hamil dengan status
anemia tidak berkerja, sedangkan 7,5% ibu hamil yag
menderita anemia berkerja (Tristiyanti, 2006).
2.2.7.5. Pendapatan Ibu
Dengan meningkatnya pendapatan perorangan, terjadilah
perubahan-perubahan dalam susunan makanan. Akan
tetapi, pengeluaran uang yang lebih banyak untuk pangan
tidak menjamin lebih beragamnya konsumsi pangan.
Kadang-kadang perubahan utama yang terjadi dalam
kebiasaan makanan ialah pangan yang dimakan lebih
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
84
mahal (Suhardjo, 1989). Pengeluaran pangan merupakan
sejumlah uang
yang digunakan untuk melakukan
pembelian pangan (Tristiyanti, 2006).
2.2.7.6. Usia kehamilan
Kebutuhan zat gizi pada ibu hamil terus meningkat sesuai
dengan bertambahnya umur kehamilan. Apabila terjadi
peningkatan kebutuhan zat besi tanpa disertai oleh
pemasukan yang cukup, maka cadangan besi akan
menurun dan dapat mengabaikan anemia. Meningkatnya
kejadian anemia dengan bertambahnya umur kehamilan
disebabkan
terjadinya
perubahan
fisiologis
pada
kehamilan yang dimulai pada minggu ke-6, yaitu
bertambahnya volume plasma dan mencapai puncaknya
pada minggu ke-26 sehingga terjadi penurunan kadar Hb
(Suwardono dan Soemantri, 1995 diacu dalam Darlina,
2003). Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan di
Kabupaten Lampung Utara didapatkan hasil 66,7% ibu
hamil anemia pada trimester ketiga, 38,7% pada trimester
kedua dan 50,7% pada trimester pertama (Buana, 2004).
2.2.7.7. Jarak kelahiran
Salah satu penyebab yang dapat mempercepat terjadinya
anemia pada wanita adalah jarak kelahiran yang pendek
(Soejonoes, 1991 dalam Darlina, 2003). Hal ini
disebabkan karena adanya kekurangan nutrisi yang
merupakan mekanisme biologis dari pemeulihan faktor
hormonal (Malem, 1998 diacu dalam Darlina, 2003).
Menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN, 1995) jarak persalinan yang baik adalah
minimal 24 bulan.
2.2.7.8. Paritas
Paritas atau jumlah persalinan juga berhubungan dengan
anemia. Hasil SKRT 1985-1986 yang diacu dalam
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
85
Wijianto (2002) menyatakan bahwa prevalensi anemia
pada kelompok paritas 0 lebih rendah daripada paritas 5
ke atas. Semakin sering seorang wanita melahirkan maka
semakin besar resiko kehilangan darah dan berdampak
pada penurunan kadar Hb. Setiap kali wanita melahirkan,
jumlah zat besi yang hilang diperkirakan sebesar 250 mg.
Hal
tersebut akan lebih berat lagi apabila jarak
melahirkan relatif pendek. Hasil yang didapat pada
penelitian sebelumnya menyimpulkan bahwa anemia
lebih banyak terjadi pada ibu hamil yang mempunyai
anak >2 (60%) dibanding ibu hamil yang memiliki anak
<2 (48%) (Buana, 2004).
2.2.7.9. ANC (Ante Natal Care)
Departemen kesehatan RI menganjurkan agar setiap ibu
hamil
diperiksa
kehamilan
(ANC)
oleh
petugas
kesehatan, minimal harus menerima 5T. Arti dari 5T
yaitu ibu hamil yang melakukan ANC pernah ditimbang
badan, diukur tensi/tekanan darah, menerima tablet Fe,
menerima imunisasi TT dan diperiksa tinggi fundus uteri
(SKRT, 2001). Pemeriksaan kehamilan sangat penting
bagi ibu hamil untuk mendeteksi keadaan hamil yang
mungkin membahayakan kesehatan ibu dan janin secara
dini. Dengan pemeriksaan kehamilan secara rutin, maka
ibu yang menderita anemia dapat ditanggulangi dengan
pemberian tablet besi (Buana, 2004).
2.2.7.10. Kurang Energi Kronis (KEK)
Gizi seimbang adalah pola konsumsi makanan sehari-hari
yang sesuai dengan kebutuhan gizi setiap individu untuk
hidup
sehat
dan
produktif.
Setiap
orang
harus
mengkonsumsi minimal satu jenis bahan makanan dari
tiap-tiap golongan bahan makanan (sumber karbohidrat,
hewani, nabati, sayur, dan buah) dalam sehari dengan
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
86
jumlah yang mencukupi (Kodyat, 1995 dalam Darlina,
2003). Angka kecukupan energi (AKE) adalah rata-rata
tingkat konsumsi energi dari pangan yang seimbang
dengan pengeluaran energi pada kelompok umur, jenis
kelamin, ukuran tubuh (berat) dan tingkat kegiatan fisik
agar hidup sehat dan dapat melakukan kegiatan ekonomi
dan sosial yang diharapkan. Untuk ibu hamil, AKE
termasuk kebutuhan energi untuk pertumbuhan janin dan
cadangan energi (hardinsyah dan Tambunan, 2004).
Timbulnya masalah gizi pada ibu hamil, seperti kejadian
KEK tidak terlepas dari keadaan sosial, ekonomi, dan
bio-sosial dari ibu hamil dan keluarganya seperti tingkat
pendidikan, tingkat pendapatan, konsumsi pangan, umur,
paritas, dan sebagainya.
Salah satu cara menilai status gizi ibu hamil yaitu dengan
menggunakan teknik estimasi berat badan ibu hamil
sebelum dan menilai penambahan berat yang adekuat
selama kehamilan (estimation of pre-pregnancy weight
and adequacy of weight gain during pregnancy). Untuk
melakukan analisis pada sampel, ibu hamil harus
memiliki 2 ukuran berat badan selama kehamilan, dengan
ukuran berat badan pertama di ukur pada 6 bulan pertama
kehamilan dan berat badan berikutnya diukur selama
bulan ketujuh dan kesembilan. Karena angka kenaikan
berat badan antara pengukuran pertama dan kedua diukur
untuk mengestimasi total kenaikan berat badan selama
kehamilan, maka dibutuhkan pengukuran berat badan
pertama dan kedua yang memiliki jarak setidaknya 11
minggu (Achadi, 1995).
2.2.7.11. Konsumsi Zat Besi
Sumber makanan yang kaya akan zat besi dan mudah
diserap dalam tubuh pada umumnya terdapat dalam
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
87
golongan hewani seperti hati, ikan, telur, dan daging.
Disamping itu terdapat bahan makanan sumber nabati
yang kaya akan zat besi dan sudah umum serta banyak
dikonsumsi, seperti daun singkong, kangkung, dan
sayuran berwarna hijau. Tetapi zat besi yang ada dalam
makanan tersebut sukar untuk diabsorbsi (1-6%) (Depkes,
1995). Absorbsi zat besi dalam tubuh dibagi berdasarkan
pola menu makanan sehari-hari. Pertama, pola menu yang
tergolong rendah penyerapan zat besinya (sekitar 5%) bila
makanan tersebut teridiri dari nasi, umbi-umbian, kacangkacangan dan sedikit mengandung daging, ikan, ayam,
dan vitamin C. pola menu seperti ini banyak mengandung
phytat, serat, polyphenol, dan
bekatul yang dapat
menghambat penyerapan zat besi. Kedua, menu makanan
yang mempunyai penyerapan zat besi sedang (sekitar
10%) terdiri atas nasi, roti, umbi-umbian atau jagung,
sayur-sayuran dan buah-buahan serta sering ada daging,
ikan, atau ayam walau jumlahnya sedikit didalam menu
sehari-hari. Ketiga, makanan yang tergolong mempunyai
absorbsi zat besinya tinggi (sekitar 15%) biasanya terdiri
dari beraneka ragam bahan makanan dan hewani . Ada
dua bentuk zat besi yang ada dalam tubuh, yaitu bentuk
heme berasal dari makanan kelompok hewani dan non
heme berasal dari makanan kelompok nabati atau
tumbuh-tumbuhan. Seluruh Fe yang ada dalam makanan,
rata-rata lebih dari 88% terdiri dari non heme (Santi,
2006).
Menurut Dettels (1997), heme iron merupakan sumber
makanan yang siap diserap dan tidak dipengaruhi oleh
unsur lain yang ada di dalam makanan, sedangkan
inorganic iron tidak langsung diserap da kadang-kadang
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
88
sagat dipengaruhi oleh factor lain yang ada dalam
makanan. Makanan yang berasal dari hewani dan dengan
adanya vitamin C aka meningkatkan daya serap dari
inorganic iron, sedangkan makanan yang terdiri dari
bahan utama sereal da umbi-umbian, kemungkinan bayak
mengandung zat besi, akan tetapi dengan tidak adanya
vitamin C sebagai co-factor, akan menyebabkan daya
serap Fe tetap rendah. Bahan makanan sumber Fe yang
dikonsumsi sehari-hari sangat besar pengaruhnya dalam
hal absorbsi. Kehilangan Fe yang diserap bervariasi
antara 1-20% tergatung dari makanannya. Makanan yang
haya terdiri dari sayuran saja mempunyai daya serap
paling rendah, dan daging menempati posisi teratas
karena heme daging paling baik untuk diabsorbsi
(Tristiyanti, 2006). Heme dapat diserap sekitar 25% aka
tetapi non heme diserap hanya 1-6% dan secara umum
keadaan atau status Fe dalam tubuh seseorang tergantung
dari jumlah protein yag ada, vitamin C yag diserap, asamasam yang dapat meningkatkan penyerapan Fe, phytat
dan beberapa zat yang menghambat penyerapan. Angka
kecukupan protein merupakan rata-rata konsumsi protein
untuk menyeimbangkan protein yang hilang ditambah
sejumlah tertentu agar mencapai hampir semua populasi
sehat (97,5%) di suatu kelompok umur, jenis kelamin,
dan ukuran tubuh tertentu pada tingkat aktifitas sedang
(Setiawan dan Rahayuningsih, 2004).
2.2.7.12. Faktor Peningkat dan Penghambat absrobsi zat besi
Ada dua
factor yang berpengaruh dalam
proses
penyerapan Fe dalam tubuh, antara lain factor yang
mempercepat atau meningkatkan penyerapan dan faktor
yang menghambat penyerapan zat besi.
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
89
a) Faktor Peningkat
Zat dari bahan makanan yang dapat meningkatkan
penyerapan Fe antara lain asam sitrat, asam askorbat,
cysteine-containing peptides, ethanol, asam laktat,
malic dan lactaric acids, hasil fermentasi yang terdapat
dalam guafa dan faw-faw, daging, daging babi, hati,
ayam, ikan, jeruk, pir, apel, nanas, cauliflower, pisang,
manga, wortel, kentang, labu, brokoli, tomat, turnip,
selada, cabe hijau, anggur merah, anggur putih, miso
dari besar dan saus kedelai (Husaini, 1989). Sumber
makanan hewani seperti daging, ikan, dan ayam jika
ada dalam makanan walaupun dalam jumlah sedikit
akan dapat meningkatkan penyerapan zat besi non
heme yang berasal dari tumbuh-tumbuhan.
b) Faktor Penghambat
Selain
senyawa-senyawa
meningkatkan
yang
penyerapan,
berperan
telah
dalam
teridentifikasi
beberapa senyawa yang dapat mengganggu atau
menghambat penyerapan zat besi. Senyawa tersebut
mampu berikatan dengan zat besi membentuk senyawa
kompleks yang bersifat tidak larut sehingga sulit atau
tidak bisa diserap melintasi dinding usus. Senyawasenyawa yang termasuk sebagai inhibitor penyerapan
zat besi antara lain tanin, fitat dan serat pangan.
Tanin yang banyak terdapat di dalam teh merupakan
inhibitor potensial karena dapat mengikat zat besi
secara kuat membentuk Fe-tanat yang bersifat tidak
larut. Fitat pada kulit serealia diketahui dapat
menghambat penyerapan zat besi. Selain itu, serat
pangan juga dapat menghalangi penyerapan zat besi
den beberapa mineral lainnya. Meskipun demikian,
efek serat pangan terhadap penyerapan zat besi masih
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
90
relatif kecil dibandingkan tanin dan fitat (Schmidl &
Labuza 2000).
2.2.7.13. Infeksi dan Penyakit
Beberapa infeksi penyakit memeperbesar risiko anemia.
Infeksi itu umumnya adalah cacing dan malaria. Pada
daerah-daerah tropis, lembab, dan sanitasi lingkungan
yang buruk, anemia gizi diperberat keadaannya oleh
investasi cacing. Cacing tambang menempel pada dinding
usus dan memakan darah. Akibat gigitan, sebagian darah
hilang dan dikeluarkan dari badan bersama tinja (Husaini
1989 dalam Santi, 2006). Ibu yang sedang hamil sangat
peka terhadap infeksi dan penyakit menular. Beberapa
diantaranya meskipun tidak mengancam nyawa ibu, tetapi
tidak dapat menimbulkan dampak berbahaya bagi janin.
Diantaranya, dapat mengakibatkan abortus, pertumbuhan
janin terhambat, bayi mati dalam kandungan, serta cacat
bawaan. Penyakit infeksi yang diidap ibu hamil biasanya
tidak diketahui saat kehamilan. Hal itu baru diketahui
setelah bayi lahir dengan kecacatan. Pada kondisi
terinfeksi penyakit, ibu hamil akan kekurangan banyak
cairan tubuh serta zat gizi lainnya (Hardisyah, 2000).
Seseorang dapat terkena anemia karena meningkatnya
kebutuhan tubuh akibat
kondisi fisiologis (hamil,
kehilangan darah karena kecelakaan, pasca bedah atau
menstruasi), adanya penyakit kronis atau infeksi (infeksi
cacing tambang, malaria, TBC) (Anonim, 2006).
2.2.8. Dampak Anemia
Efek anemia bagi ibu dan janin bervariasi dari ringan sampai berat.
Bila kadar hemoglobin lebih rendah dari 6 g/dL, maka dapat timbul
komplikasi yang signifikan pada ibu dan janin. Kadar hemoglobin
serendah itu tidak dapat mencukupi kebutuhan oksigen janin dan
dapat menyebabkan gagal jantung pada ibu. Beberapa penelitian
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
91
juga menemukan hubungan antara anemia ibu pada trimester satu
dan dua dengan kelahiran prematur (kurang dari 37 minggu).
Selain itu anemia pada ibu hamil juga menyebabkan hambatan
pada pertumbuhan janin baik sel tubuh maupun sel otak, Abortus,
lamanya waktu partus karena kurang daya dorong rahim,
pendarahan post – partum, rentan infeksi, rawan dekompensasi
cordis pada penderita dengan Hb kurang dari 4 g–persen. Hipoksia
akibat anemia dapat menyebabkan shock bahkan kematian ibu saat
persalinan, meskipun tak disertai pendarahan, kematian bayi dalam
kandungan, kematian bayi pada usia sangat muda serta cacat
bawaan, dan anemia pada bayi yang dilahirkan (Harli, 1999).
2.2. Teh
2.2.1. Sejarah teh
Teh adalah minuman yang sangat akrab dalam kehidupan seharihari. Dalam masyarakat Indonesia, teh hampir menjadi substitusi.
Konon penemua teh oleh sang kaisar terjadi secara tidak sengaja.
Suatu hari ketika ia beristirahat dalam perjalanan jauh bersama
rombongan, tiba-tiba saja sehelai daun teh dari tanaman yang ada di
kebun tempatnya beristirahat jatuh ke dalam salah satu baskom yang
berisi air panas. Ketika air yang sudah tercampur denga daun teh itu
mengeluarkan aroma yang sedap dan warnanya berubah menjadi
kecoklatan secara spontan Sang Kaisar langsung tergoda untuk
meminumnya. Aromanya yang sedap, rasanya yang sepat dan pahit
ternyata sangat disukai oleh Sang Kaisar. Kaisar percaya rasa sepat
dan pahit itu dapat membuat tubuh lebih segar. Sejak itu Kaisar Shen
Nung kerap kali meminum teh dan sejak itu pula teh menjadi sangat
popular di seluruh penjuru Cina (Ajisaka, 2012). Tanaman teh masuk
pertama kali di Indonesia pada tahun 1684, berupa biji teh dari
Jepang yang dibawa oleh orang Jerman bernama Andreas Cleyer dan
ditanam sebagai tanaman hias di Jakarta. Pada tahun 1694, seorang
pendeta bernama F. Valentijn mengatakan bahwa telah melihat perdu
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
92
teh muda berasal dari cina, tumbuh di taman Istana Gubenur Jendral
Champhusy di Jakarta (Diniatik, 2007). Saat ini teh telah
mendominasi di lebih dari 45 negara dan dikonsumsi di lebih dari
115 negara di seluruh dunia. Irlandia adalah konsumen terbesar di
dunia. Di sini setiap orang rata-rata mengkonsumsi teh delapan gelas
sehari. Namun produsen sekaligus konsumen terbesar teh adalah
India. Di negeri ini di mana saja dan kapan saja, chai (teh) menjadi
bagian penting dari kehidupan sehari-hari (Ajisaka, 2012).
2.2.2. Manfaat teh
Konon seorang penikmat teh memiliki pembawaan yang jauh lebih
rasional dan tenang dibandingkan penikmat kopi ataupun wine.
Selain itu, orang yang memiliki kebiasaan minum teh dalam
hidupnya juga akan tampak lebih muda dibandingkan dengan orangorang seusianya (Ajisaka, 2012). Sekarang tanaman teh dijadikan
sebagai bahan obat tradisional yang berkhasiat mengobati sakit
kepala, diare, diabetes, mengurangi karang gigi, kolesterol dan
gliserida hipertensi, infeksi saluran cerna, antikanker, penyubur dan
menghitamkan rambut (Andi nur, 2006).
2.2.3. Jenis dan Pengolahan teh
a) Teh hijau
Teh hijau bisa disebut sebagai teh yang memiliki potensi khasiat
untuk kesehatan yang paling baik. Hal ini dikarenakan pada teh
hijau kandungan katekin dapat dipertahankan secara lebih utuh.
Zay yang merupakan komponen bioaktif itu dapat dipertahankan
dengan cara menginaktivasi enzim polifenol oksidasi baik
melalui proses pelayuan maupun pemanasan. Pada proses
pengolahan lainnya, katekin dioksidasi menjadi senyawa
orthoquinon, bisflaanol, theaflavin dan thearubigin yang
kemampuannya tidak sehebat katekin. Pengolahan teh hijau di
Indonesia mengikuti serangkaian proses fisik dan mekanis tanpa
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
93
atau sedikit mengalami proses oksimasi terhadap daun teh
melalui sistem panning. Tahapan pengolahannya terdiiri atas
pelayuan, penggulungan, pengeringan, sortasi dan gradinasi
serta pengemasan.
b) Teh hitam / Merah
Secara umum, pengolahan teh hitam di Indonesia dapat
dikategorikan dalam dua sistem, yaitu sistem Orthodox dan
sistem baru seperti CTC (Crushing-Tearing-Curling) dan LTP
(Lowrie Tea Processor). Meski sistem yang digunakan berbeda,
secara prinsip proses pengolahannya tidak jauh berbeda.
c) Teh putih
Teh putih adalah jenis teh yang paling langka sekaligus paling
mahal di dunia, yang pada awalnya hanya dikonsumsi oleh
Kaisar China dan anggota istana sejak zaman Dinasti Tang
(618-907). Teh putih terbaik dibuah hanya dari tunas varietas
Camellia Sinensis , yang ditanam didaerah pegunungan tinggi di
Provinsi Fujian (China), sebagai tempat asal teh putih pertama
(Original) dan terbaik di dunia. Teh putih dengan kualitas
terbaik dipetik hanya dalam waktu dua hari (Supreme Grade)
hingga dua minggu (High Grade) setiap tahunnya pada awal
musim semi, saat tunas daun teh belum terbuka dan masih
diselimuti bulu-bulu halus berwarna putih. Teh ini dihasilkan
dari pucuk daun yang tak mengalami proses oksidasi dan
sebelum dipetik teh ini sengaja dilindungi dari sinar matahari
untuk menghadang pembentukan klorofil (zat penghijau daun).
Pemrosesan teh putih dilakukan secara tradisional, alami dan
sangat minimal dan hanya meliputi pelayuan dan pengeringan
segera
setelah
proses
penetikan
dilakukan.
Teh
putih
dikeringkan secara alami dengan bantuan angin dan sinar
matahari pegunungan, tanpa melalui proses fermentasi maupun
penggilingan sehingga tidak merusak bentuk teh putih yang
sebenarnya. Teh yang langka ini dipetik secara hati-hati dengan
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
94
tangan. Yang diambil hanya tunas dan daun teh termuda dengan
standar yang sangat ketat yang diwariskan secara turun-temurun
sejak zaman Dinasti Ming (1364-1644). Minimnya pemrosesan
menjadikan teh putih memiliki kandungan antioksidan polifenol
dan katekin tertinggi, lebih tinggi dari teh hijau maupun teh
hitam. Penelitian terbaru pada teh putih yang berasal dari Fujian,
China menyebutkan bahwa 1 cangkir teh putih mempunyai
kandungan antioksidan dan setara dengan 12 gelas jus jeruk
segar.
d) Teh Oolong
Nama oolong diambil dari nama pria Cina yakni Wu Long atau
Oolong. Pria ini menemukan teh oolong secara tidak sengaja
dengan mendapati daun tehnya telah teroksidasi oleh matahari
dan memberikan hasil seduhan yang enak. Teh oolong berasal
dari satu spesies tumbuhan teh Camellia Sinensis sama dengan
teh hijau, teh putih maupun teh merah. Perbedaan antara teh
oolong dengan teh lainnya yaitu pada proses pembuatan dan
pengeringannya. Teh oolong ditempatkan dalam kondisi
kelembapan dan temperatur tertentu untuk memungkinkan
oksidasi. Namun, proses oksidasi hanya dilakukan setengah
jalan. Daun-daun teh oolong tidak dibuat untuk pecah, sehingga
sebagian struktur sel daun masih relatif menyatu. Perbedaan
proses inilah yang membuat setiap jenis teh memiliki manfaat
berlainan, meski berasal dari daun tumbuhan yang sama.
Oksidasi setengah inilah yang justru memberi manfaat besar,
bahkan dianggap yang terbaik dari tipe fermentasi teh lain (teh
hijau dan teh hitam)
e) Teh hitam
Istilah teh hitam selain digunakan sebagai padanan teh merah
juga digunakan sebagai sebutan untuk teh tua atau teh yang
sengaja disimpan bertahun-tahun. Teh ini memiliki aroma
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
95
lembut dan berwarna kehitaman. Dapat menghilangkan lemak
dan koleterol dan berasal dari Yunan (China)
f) Teh bunga
Teh ini diproses dengan cara pengasapan dan penambahan teh
hijau atau merah dengan bunga-bungan alami. Teh bunga yang
paling populer adalah teh melati yang merupakan campuran teh
hijau atau teh oolong yang dicampur bunga melati. Bungabunga lain yang sering dijadikan campuran teh adalah mawar,
seroja, leci dan seruni.
(Ajisaka, 2012)
2.2.4. Kandungan Kimia Teh
Untuk mengetahui apakah teh itu bermanfaat atau berbahaya, maka
dapat dilihat dari kandungan teh itu sendiri. Daun teh mengandung
kafein, theofilin, tanin, xan-thine, adenine, minyak asiri, kuersetin,
naringenin, dan natural fluoride
a) Kafein
Daun teh mengandung kafein (2 – 3%). Kandungan kafein inilah
yang menjadi masalah utama manfaat dari teh. Di dalam
minuman teh mengandung kurang lebih 40 mg kafein. Kafein
ialah alkaloid yang tergolong dalam famili methylxanthine
bersama-sama senyawa teofilin dan teobromin. Kafein ialah
serbuk putih yang pahit. Kafein mempunyai daya kerja sebagai
stimulan
sistem
syaraf
pusat,
stimulan
otot
jantung,
meningkatkan aliran darah melalui arteri koroner, relaksasi otot
polos bronki, dan aktif sebagai diuretika, dengan tingkatan yang
berbeda. Dan, tidak sama dengan yang lain, daya kerja sebagai
stimulan sistem syaraf pusat dari kafein sangat menonjol
sehingga umumnya digunakan sebagai stimulan sentral.
Terlalu banyak kafein dapat menyebabkan intoksikasi kafein
(yaitu mabuk akibat kafein). Gejala penyakit ini ialah keresahan,
kerisauan, insomnia, keriangan, muka merah, kerap kencing
(diuresis), dan masalah gastrointestial. Gejala-gejala ini bisa
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
96
terjadi walaupun hanya 250 mg kafein yang diambil. Jika lebih
dari 1 g kafeina diambil dalam satu hari, gejala seperti kejangan
otot (muscle twitching), kekusutan pikiran dan perkataan, aritmia
kardium (gangguan pada denyutan jantung) dan bergejolaknya
psikomotor (psychomotor agitation) bisa terjadi. Intoksikasi
kafein juga bisa mengakibatkan kepanikan dan penyakit
kerisauan.
Setiap orang berbeda kadar kepekaannya terhadap kafein.
Beberapa kepekaan terhadap pengaruh kafein terhadap ibu yang
sedang hamil telah diungkapkan, yaitu dapat menyebabkan
kelahiran bayi yang cacat. Penelitian terhadap manusia dan
hewan belum konklusif hasilnya; apakah benar dengan konsumsi
normal sehari-hari dapat mengakibatkan kelahiran bayi yang
cacat. Walaupun demikian karena adanya ketidakpastian dalam
penelitian terhadap manusia dan telah adanya bukti yang nyata
bahwa beberapa bayi cacat terjadi pada hewan percobaan, maka
dapat disarankan untuk perempuan yang sedang hamil untuk
mengurangi konsumsi kafeinnya perhari.
Bagi orang yang mempunyai tekanan darah tinggi, teh memang
dapat membantu melindungi jantung. Akan tetapi bagi yang telah
terlanjur menderita penyakit jantung, mereka harus menghindari
minum teh kental, karena kadar kafein dalam teh bisa
merangsang orang dan menaikkan tekanan darahnya. Bila
mereka tetap minum teh maka jantungnya akan berdetak cepat,
merasa sangat gelisah bahkan mengalami arrhythmia atau tidak
adanya irama jantung.
Konsumsi teh bagi masyarakat Indonesia, seperti telah menjadi
tradisi yang mengakar dan sulit untuk ditinggalkan. Disatu sisi,
kafein merupakan senyawa yang bermanfaat bagi manusia, yang
telah
memberikan
banyak
keuntungan
terutama
untuk
meningkatkan daya konsentrasi dan menambah kenikmatan
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
97
dalam mengkonsumsi suatu minuman. Tetapi di sisi lain, kafein
juga diketahui merupakan senyawa beracun, yang dapat
menganggu kesehatan manusia dan keturunannya. Walaupun teh
mempunyai manfaat bagi kesehatan tetapi juga ada pengaruh
negative yang didapatkan dari teh dengan adanya kandungan
kafein seperti yang telah dijelaskan di atas. Maka sebaiknya teh
diminum secara teratur dan dengan takaran yang tepat (Putra,
2008).
b) Xanthine
Di dalam kopi, teh dan coklat terdapat senyawa kimia dari
golongan yang sama yaitu xantin. Derivat xantin terdiri dari
kafein, teofilin dan teobromin. Di dalam kopi disebut kafein, teh
mengandung kafein dan teofilin, sedangkan coklat mengandung
kafein dan teobromin.
Di dalam tubuh, derivat xantin dapat menyebabkan perangsangan
terhadap susunan saraf pusat, sistem pernafasan, sistem
pembuluh darah dan jantung. Itulah sebabnya jika kita minum
minuman yang mengandung derivat xantin dalam jumlah wajar,
dapat menyebabkan tubuh terasa lebih segar dan energik.
Pada dosis sedang, xantin dapat menyebabkan kenaikan sekresi
asam
lambung
yang
berlangsung
lama,
sehingga
bisa
memperbesar resiko penyakit lambung (maag) atau memperberat
penderita penyakit tukak lambung dan tukak usus halus.
Penderita penyakit lambung sebaiknya menghindari minuman
xantin.
Xantin
terutama
kafein
dapat
menyebabkan
kenaikan
metabolisme basal sekitar 10-25% dari metabolisme normal,
dengan efek maksimal 1-3 jam sesudah meminum 2-3 gelas kopi
atau teh. Dampak kenaikan metabolisme basal, diantaranya
badan terasa gerah, berkeringat, kulit hangat, kemerah-merahan,
cepat merasa lapar, dsb (Mentyadiputra, 2012).
c) Theofilin
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
98
Theofilin dapat ditemukan dalam jumlah kecil di dalam daun teh
dan diperoleh dengan cara ekstraksi. Theofilin mengkristal
dengan satu molekul air kristal. Kristal theofilin berwarna putih
dengan titik lebur 268°C. Theofilin sukar larut dalam air dingin,
tetapi mudah larut dalam air panas dan larutnya bereaksi netral.
Kristal theofilin tidak berbau, berasa pahit, dan berkhasiat
diuretik.
d) Tanin
Tanin dinamakan juga asam tanat dan asam galotanat, ada yang
tidak berwarna tetapi ada juga yang berwarna kuning atau coklat.
Asam tanat mempunyai berat molekul 1.701, Tanin terdiri dari
sembilan molekul asam galat dan molekul glukosa. Tanin
merupakan substrat kompleks yang berada pada beberapa
tanaman. Tanin memiliki campuran polifenol yang sulit untuk
dipisahkan karena substrat ini sulit untuk mengkristal, mudah
teroksidasi dan berpolimerisasi dalam larutan dan kelarutannya
dalam pelarut sangat rendah. oleh karena itu untuk memisahkan
atau mengisolasikan senyawa tanin sangat sulit. Tanin juga dapat
menyamak kulit dengan cara mengikat protein menjadi tahan
terhadap enzim proteoilitik. Tanin terbagi menjadi 2 kelas secara
kimia yaitu berdasarkan adanya gugus fenolik yang tercakup
pada masing=masing kelas. Kelas pertama terdiri asam gallic
yang berhubungan dengan ikatan polyhidrik yang merupakan
esterifikasi dari glukosa. Sedangkan kelas kedua menujukkan
yang merupakan nonhydrooable yang juga mengandung gugus
fenol tetapi jarang yang berikatan dengan karbohidrat dan
protein. Atau lebih dikenal dengan kelas yang terkondensasi dan
kelas yang terhidrolisis. Proses fermentasi pada teh hitam dapat
mengubah sebagian tanin menjadi senyawa turunan yaitu
theoflavin dan thearubigin. Dengan terbentuknya senyawa
turunan maka kadar tanin dalam daun teh akan berkurang
sehingga kadar tanin dalam teh hitam lebih rendah dari teh hijau.
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
99
Karena memiliki kandungan tanin lebih tinggi maka teh hijau
dapat melarutkan tanin lebih banyak dari teh hitam sehingga
kadar tanin dalam air hasil pencelupan teh hijau lebih tinggi jika
dibandingkan dengan kadar tanin dalam air hasil pencelupan teh
hitam. Perbedaan kadar komposisi kimia daun teh dipengaruhi
oleh
faktor
lingkungan
(saat
penanaman)
seperti
suhu,
kelembaban dan tinggi rendahnya permukaan tanah. Selain itu,
perbedaan tersebut juga disebabkan oleh adanya perbedaan
ukuran dan jumlah ukuran partikel bahan. Tanin merupakan
golongan flavonoid dimana senyawa ini bukan merupakan salah
satu nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh. Akan tetapi keberadaan
tanin dalam tubuh sangat bermanfaat yaitu berperan sebagai
antioksidan. Katekin merupakan penyusun tanin dimana katekin
ini mempunyai sifat antioksidatif yang berperan dalam melawan
radikal bebas yang sangat berbahaya bagi tubuh karena dapat
menimbulkan berbagai penyakit, salah satunya yaitu kanker
(Mentyadiputra, 2012).
e) Adenin
Adenin atau 6-aminopurin, C5H5N5, merupakan suatu purin
yang
terdapat
desoksiribonukleat,
dalam
asam-asam
ribonukleat
nukleosida-nukleosida,
dan
nukleotida-
nukleotida dan koenzima-koenzima penting lain. Berupa jarumjarum putih, tak berbau, rasanya asin, hanya larut sedikit dalam
air dingin dan alkohol, larut dalam air mendidih dan tak larut
dalam eter dan chloroform. Adenin diperoleh dari ekstraksi daun
teh atau dari asam urat. Digunakan dalam obat-obatan dan dalam
penelitian bidang biokimis (Victoria, 2011).
f) Minyak atsiri
Minyak atsiri, atau dikenal juga sebagai minyak eterik (aetheric
oil), minyak esensial (essential oil), minyak terbang (volatile oil),
serta minyak aromatik (aromatic oil), adalah kelompok besar
minyak nabati yang berwujud cairan kental pada suhu ruang
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
100
namun mudah menguap sehingga memberikan aroma yang khas.
Minyak atsiri merupakan bahan dasar dari wangi-wangian atau
minyak gosok (untuk pengobatan) alami. Di dalam perdagangan,
hasil sulingan (destilasi) minyak atsiri dikenal sebagai bibit
minyak wangi. Minyak atsiri bersifat mudah menguap karena
titik uapnya rendah. Selain itu, susunan senyawa komponennya
kuat memengaruhi saraf manusia (terutama di hidung) sehingga
seringkali memberikan efek psikologis tertentu. Setiap senyawa
penyusun memiliki efek tersendiri, dan campurannya dapat
menghasilkan rasa yang berbeda. Karena pengaruh psikologis
ini,
minyak atsiri merupakan komponen penting dalam
aromaterapi atau kegiatan-kegiatan liturgi dan olah pikiran/jiwa,
seperti yoga atau ayurveda. Sebagaimana minyak lainnya,
sebagian besar minyak atsiri tidak larut dalam air dan pelarut
polar lainnya. Dalam parfum, pelarut yang digunakan biasanya
alkohol. Dalam tradisi timur, pelarut yang digunakan biasanya
minyak yang mudah diperoleh, seperti minyak kelapa. Secara
kimiawi, minyak atsiri tersusun dari campuran yang rumit
berbagai senyawa, namun suatu senyawa tertentu biasanya
bertanggung jawab atas suatu aroma tertentu. Sebagian besar
minyak atsiri termasuk dalam golongan senyawa organik terpena
dan terpenoid yang bersifat larut dalam minyak atau lipid
(Anonim, 2012).
2.2.5. Faktor yang mempengaruhi efektifitas dari Kandungan Teh
a) Teknik penyeduhan
Proses penyeduhan merupakan proses ekstraksi atau pemisahan
satu atau lebih komponen. Penyeduhan merupakan proses
ekstraksi dari padat cair, artinya pemisahan senyawa padat
(theaflavin,
thearubigin,
cafein,
dan
lain-lain)
dengan
menggunakan air sebagai pelarutnya.
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
101
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses penyeduhan adalah
suhu air atau kondisi penyeduhan dan lama penyeduhan.
Semakin tinggi suhu air atau proses penyeduhan, kemampuan air
dalam mengekstrak kandungan kimia yang terdapat dalam teh
akan semakin tinggi, demikian juga halnya dengan lama
penyeduhan, lama penyeduhan akan mempengaruhi kadar bahan
terlarut, intensitas warna serta aroma.
b) Kualitas teh
Sejumlah penelitain menyatakan bahwa mutu teh dibentuk di
kebun. Dengan kata lain, baik tidaknya kualitas teh akan sangat
tergantung pada kualitas daun teh. Proses pengolahannya hanya
berfungsi untuk memperthankan kualitas yang sudah ada jangan
sampai mengalami penurunan yang cukup serius. Mutu atau
grade teh ini akan berbanding lurus dengan kandungan kimia
yang dapat larut dalam air. Semakin tinggi mutu atau grade teh,
maka kandungan kimia yang dapat larut dalam air adalah lebih
banyak. Menurut SNI 01-1902 tahun 2000 bahwa syarat minimal
kandungan kimia yang dapat larut dalam air adalah 32%.
c) Air penyeduh
Kualitas air secara kimia ditentukan oleh pH dan kandungan
garam-garam terlarut. Kandungan garam-garam terlarut akan
mempengaruhi sifat kesadahan dan daya ekstraksi air. Pengaruh
air terhadap warna dan rasa seduhan tah dihubungkan dengan
kemampuan air untuk mengekstraksi komponen teh terutama
theaflavin dan thearubigin pada teh hitam atau katekin pada teh
hijau. Komponen kimia teh lebih cepat larut dalam air lunak
dibandingkan denga air yang bersifat sadah. Hasil penelitian
menyebutkan bahwa air yang paling baik untuk proses
penyeduhan adalah air sumber yang berasal dari daerah
pegunungan. Hal inilah yang menyebabkan mengapa menyeduh
teh dengan air dari Jakarta lebih gelap bila dibandingkan dengan
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
102
air yang berasal dari Pangalengan meskipun kandungan teh dan
teknik penyeduhan yang sama.
d) Dosis
Dalam minum teh dosisnya harus benar-benar mendapatkan
perhatian. Dalam teh terkandung zat yang disebut kafein. Kafein
pada teh (tehine) dapat menyebabkan proses penyerapan
makanan menjadi terhambat. Batas aman untuk mengkonsumsi
kafein dalam sehari adalah 750 mg/hari atau setara dengan 5
cangkir teh berukuran 200 ml. Kalau mengkonsumsi lebih dari
ukuran itu maka akan bisa menyebabkan terjadinya keracunan
kafein kronis. Bila setiap hari kita mengkonsumsi teh melebihi
batas aman, maka lambat laun akan muncul tanda dan gejala
seperti gangguan pencernaan makanan (dispepsia), rasa lemah,
gelisah, tremor, sukar tidur, tidak nafsu makan, sakit kepala,
pusing (vertigo), bingung, berdebar, sesak nafas, dan kadang
sukar buang air besar.
e) Ukuran material dan Lama pencelupan
Pada penelitian sebelumnya didapatkan hasil bahawa lama
pencelupan (teh celup) selama 8 menit dengan jenis teh hijau
mempunyai kadar tanin tertinggi yaitu 83,503 ppm. Hal ini
karena teh celup yang digunakan memiliki ukuran bahan yang
kecil dengan jumlah yang lebih banyak. Sesuai dengan pendapat
yang dikemukakan oleh Suyitno (1989), bahwa material yang
dihancurkan sampai ukuran kecil, sel yang dirusak lebih banyak
sehingga pelarut dapat lebih cepat mengalir ke bagian sel. Selain
itu lama pencelupan 8 menit merupakan waktu yang cukup lama
sehingga tanin dapat larus maksimal dimana Suyitno (1989) juga
mengatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi
kelarutan suatu zat adalah waktu, dimana semakin lama waktu
kontak maka semakin banyak zat yang larut dalam air.
(Suryaningrum , 2006)
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
103
2.2.6. Langkah-langkah (Algoritma) untuk memprediksi penyerapan zat
besi yang merupakan efek konsumsi teh
Teh secara umum dikonsumsi sebagai minuman yang menyertai
makanan ringan. Minuman ini memiliki kandungan komposisi
Phenolic dan sudah terbukti secara kuat merupakan pernghambat
penyerapan zat besi non-heme. Secangkir teh (± 200ml) dapat
menurunkan penyerapan zat besi ± 75 sd 85%. Variasi dari hasil
studi yang berbeda kemungkinan berkaitan dengan perbedaan
jumlah komposisi phenolic tadi di dalam teh yang dihasilkan dari
perbedaan jumlah, merk dan lamanya teh iyu dicelupkan. Secangkir
kopi (± 150ml) dapat menurunkan penyerapan zat besi ±60 %.
Ketika teh atau kopi disajikan bersamaan dengan makanan ringan
yang mengandung ±100 gram daging (protein hewani) penghambat
penyerapan zat besi berkurang 50%. Hal ini sesuai dengan
persamaan : Ratio Penyerapan (Absorbtion Ratio) = (1 + 0,01M),
dimana M yaitu Meat (daging/Protein hewani).
Berkaitan dengan kandungan komposisi Phenolic, kopi diharapkan
mengurangi penyerapan zat besi bahkan melebihi dari yang pernah
diobservasi. Ini dikenal bahwa kopi menstimulasi sekresi gastrik
dari asam Hidroklorida. Kemungkinan ini dievaluasi dengan
mengukur penghambatan penyerapan zat besi dari kopi pada pasien
dengan Pentagastrin-proven achlothydria dan ditemukan bahwa
pada pasien tersebut memiliki efek penghambatan zat besi adalah
dua kali lebih tinggi (ratio penyerapan : 0.19 dibandingkan
0.39)pada orang yang sehat yang memiliki kaitan kandungan
komposisi phenolic dalam kopi (Hultthen L et al, 1995 dalam
Hallberg dan Hulthen, 2000).
Untuk mengabaikan masalah yang ditemukan ketiga algoritma itu
diaplikasikan kedalam kasus kopi dan teh, karena variasi didalam
kandungan ikatan besi pholifenol dan perbedaan waktu ekstrasi dari
minuman, maka digunakan faktor 15mg asam tanic sama dengan 1
cangkir kopi regular dan 30 mg asam tanic sama dengan 1 cangkir
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
104
teh. Nilai ini diaplikasi pada minuman yang dikonsumsi bersama
makanan ringan atau beberapa jam setelah makanan ringan. Perlu
diperhatikan kopi yang kuat mungkin mengurangi penyerapan besi
lebih dari kopi regular (50 mg asam tanic sama dengan memberikan
faktor asam tanic sebesar 0.17). dan untuk teh yang kuat atau jenis
lain mungkin mengurangi penyerapan zat besi labih banyak lagi.
Hal ini ditemukan pada teh hijau, misalnya faktor asam tanic 0.17
mengurangi penyerapaan besi sebesar 85% (Hallberg and Hulthen,
2000).
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
105
BAB 3
KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DEFINISI
OPERASIONAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1.Kerangka Teori
Berdasarkan teori Hendrik L. Blum, derajat kesehatan dipengaruhi
oleh 4 faktor utama yang saling terikat yaitu faktor herediter,
lingkungan (fisik, Biologi dan Kimia), Pelayanan kesehatan dan
Perilaku (Sosial dan Budaya).
Herediter :
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
Agama
Pendidikan
Usia Kehamilan
Paritas
Tingkat Kecukupan Gizi
Penyakit Infeksi
ï‚· Adat budaya
ï‚· Prilaku konsumsi
penghambat
konsumsi pengikat
zat besi
ï‚· Perilaku konsumsi
pengikat zat besi
Kadar Serum Ferritin
Lingkungan Fisik,
Kimia dan Biologi
Modifikasi HL Blum, 1974
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
106
3.2.Kerangka Konsep
Anemia Gizi Besi (Analisa
Serum Ferritin)
Kadar tanin pada teh
HEREDITER
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
Usia Ibu hamil
Pekerjaan
Usia Kehamilan (Trimester)
Jarak kehamilan
Jumlah kelahiran (Paritas)
Status Gizi Ibu Hamil (LILA)
PERILAKU
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
Pola Konsumsi Protein Hewani
Pola Konsumsi Protein Nabati
Pola Konsumsi Pengikat absorbsi zat besi (Fe)
Pola Konsumsi Penghambat absorbsi zat besi (Fe)
Konsumsi tablet tambah darah
Pada studi ini peneliti bertujuan melihat pengaruh kadar tannin yang
diukur secara kuatitatif dari perilaku konsumsi teh pada ibu hamil yang
dampaknya akan berpengaruh pada status anemia ibu hamil. Beberapa
faktor kovariat yang turut digali pada penelitian ini yaitu usia ibu hamil,
pekerjaan ibu, jumlah kehamilan, jarak kelahiran (Paritas), pola konsumsi
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
107
protein nabati dan hewani, pola konsumsi pengikat dan penghambat zat
besi, konsumsi tablet tambah darah dan juga status gizi ibu hamil (LILA).
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
3.3. Definisi Operasional
Variabel
Definisi Operasional
Cara Ukur
Variabel
Independen
Kadar tanin
Melakukan
wawancara
untuk
menggali
Kadar
informasi mengenai perilaku mengelola teh dan
Tanin teh dalam teh
yang
frekuensi meminum teh selanjutnya melakukan
dikonsumsi
simulasi untuk membuat teh (berdasarkan dari
oleh ibu
lama mencelup dan kantung teh dan sumber air
hamil.
yang digunakan dalam menyeduh teh), sampel
teh akan diuji kadar taninnya dengan metode
Titrimetri dengan permanganat. Kemudian kadar
tanin yang didapat dari hasil uji laboratorium
dimanfaatkan sebagai landasan untuk membuat
skoring sesuai frekuensi konsumsi per hari. Dari
hasil skoring tersebut maka didapatkan level
paparan berdasarkan kadar tanin masing-masing
responden per hari, maka peneliti membagi
kedalam 4 level, dimana level 1 digolongkan ke
dalam kategori kadar tanin rendah per hari, level
2 dan level 3 digolongkan sebagai kadar tanin
sedang per hari dan level 4 digolongkan sebagai
kadar tanin tinggi per harinya. Dari 3 kategori
ini, ekspose merupakan ibu hamil dengan
kategori kadar tanin sedang dan tinggi
sedangkan ibu hamil dengan kategori kadar tanin
rendah sebagai unekspose
Alat Ukur
Kategori
Kuesioner
FFQ
Test Laboratorium
(Metode Titrimetri
dengan
permanganat)
1=Kadar tanin tinggi
( kuartil 4 : ≥ 0.29 mg/mL)
2=Kadar tanin rendah
(kuartil 2 dan 3 ; 0.038 –
0.28)
3=kadar tanin rendah (kuartil
1 : ≤ 0.037)
45
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
Maka,
Ekspose : kadar tanin sedang
dan tinggi
Unekspose : kadar tanin
rendah
Skala
ordinal
46
Variabel
Definisi
Operasional
Cara Ukur
Alat Ukur
Kategori
Skala
Variabel Dependen
Anemia
Gizi Besi
Status keadaan dimana
kadar Serum Ferritin ibu
hamil lebih rendah dari
nilai normal, yaitu <13
μg/l
Melakukan pemeriksaan darah kadar
Serum Ferritin ibu hamil, dengan
pengambilan darah vena dan di analisa ke
Laboratorium Prodia Jakarta
1=Anemia Gizi Besi (Serum
Ferritin < 13,0 ng/l)
2=Bukan Anemi Gizi Besi
(Serum Ferritin ≥ 13,0 ng/l)
Ordinal
Variabel
Covariat
Usia Ibu
Hamil
Usia ibu saat dalam
kondisi hamil dalam
tahun menurut ulang
tahun terakhir pada saat
dilakukan penelitian
Wawancara
Kuesioner
1 = < 20 tahun dan > 35 tahun
2 = 20 tahun – 35 tahun
(Purnawan, 1998 dalam
Tristiyanti, 2006)
Ordinal
Usia
Kehamilan
Jumlah waktu yang telah
dijalani dalam masa
kehamilannya dihitung
dari haid terakhir
Wawancara
Kuesioner
1 = Trimester III
( > 28 minggu)
2 = Trimester II
( > 14 – 28 minggu)
(Buana, 2004)
Ordinal
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
47
Variabel
Jarak
Kelahiran
Paritas
Aktivitas
ibu
(Pekerjaan)
Definisi Operasional
Jarak Kelahiran antara
kelahiran terakhir dengan
sebelumnya
Jumlah kelahiran yang dialami
oleh ibu, baik kelahiran dengan
bayi hidup maupun bayi mati,
dengan jumlah bayi yang
dilahirkan tunggal atau kembar
Berat atau ringannya kegiatan
yang dilakukan responden seharihari termasuk pekerjaan rumah
tangga atau pun pekerjaan yang
dilakukan oleh responden untuk
mendapatkn imbalan
Cara Ukur
Alat Ukur
Wawancara
Kuesioner
Kategori
Skala
1 = < 2 tahun
2 = ≥ 2 tahun
Ordinal
Ordinal
Wawancara
Kuesioner
1 = > 2 orang
2 = ≤ 2 orang
Wawancara
Kuesioner
1=wanita dengan pekerjaan Nominal
ringan (ibu rumah tangga,
tidak berkerja)
2=wanita dengan pekerjaan
berat (petani, tukang cuci,
pekerjaan dengan mobilitas
tinggi, atlit, pekerjaan sebagai
operator, dokter, kerja kantor,
ahli hukum, guru, juru rawat,
industri ringan, kerja di toko
tetapi sebagai ibu rumah
tangga juga tanpa pembantu
dan
tanpa
bantuan
mesin.(WHO, 2002)
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
48
Variabel
Konsumsi
protein
hewani
dengan
bioavaiabilitas
tinggi
Konsumsi
protein
hewani
dengan
bioavaiabilitas
rendah
Definisi Operasional
Cara Ukur
Frekuensi konsumsi rata-rata dari jenis
makanan sumber hewani/Heme berupa :
daging, Ayam, dan Ikan (Citrakesuma,
2002). Sebelum dilakukan kategori, hasil
frekuensi konsumsi per hari kemudian
dibagi kedalam dua kategori yang
dibatasi (cut of point) nilai median
sehingga didapat nilai di bawah nilai
median sebagai pola makan jarang dan
nilai di atas nilai median sebagai pola
makan sering.
Frekuensi konsumsi rata-rata dari jenis
makanan sumber hewani/Heme berupa :
telur (Citrakesuma, 2002). Sebelum
dilakukan kategori, hasil frekuensi
konsumsi per hari kemudian dibagi
kedalam dua kategori yang dibatasi (cut
of point) nilai median sehingga didapat
nilai di bawah nilai median sebagai pola
makan jarang dan nilai di atas nilai
median sebagai pola makan sering.
Alat Ukur
Kategori
Skala
Wawancara
FFQ
Heme dengan Bioavabilitas
tinggi :
1 = jarang ( < 2 kali per hari)
2 = sering ( ≥ 2 kali per hari)
Ordinal
Wawancara
FFQ
Heme dengan Bioavabilitas
rendah :
1 = Jarang ( < 0.57 kali per
hari)
2 = sering ( ≥ 0.57 kali per
hari)
Ordinal
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
49
Konsumsi
nabati dengan
bioavaiabilitas
tinggi
Frekuensi konsumsi rata-rata dari jenis
makanan
sumber
nabati/non-heme
berupa : brokoli, kol, kembang kol, labu,
wortel, dan kentang (Citrakesuma, 2002).
Sebelum dilakukan kategori, hasil
frekuensi konsumsi per hari kemudian
dibagi kedalam dua kategori yang
dibatasi (cut of point) nilai median
sehingga didapat nilai di bawah nilai
median sebagai pola makan jarang dan
nilai di atas nilai median sebagai pola
makan sering.
Wawancara
FFQ
Heme dengan Bioavabilitas
tinggi :
1 = jarang ( < 1.143 kali per
hari)
2 = sering ( ≥ 1. 143 kali per
hari)
Ordinal
Konsumsi
protein nabati
dengan
bioavaiabilitas
rendah
Frekuensi konsumsi rata-rata dari jenis
makanan
sumber
nabati/non-heme
berupa : kacang tanah, terung dan olahan
tepung (Citrakesuma, 2002). Sebelum
dilakukan kategori, hasil frekuensi
konsumsi per hari kemudian dibagi
kedalam dua kategori yang dibatasi (cut
of point) nilai median sehingga didapat
nilai di bawah nilai median sebagai pola
makan jarang dan nilai di atas nilai
median sebagai pola makan sering.
Wawancara
FFQ
Heme dengan Bioavabilitas
rendah :
1 = Jarang ( < 1.143 kali per
hari)
2 = sering ( ≥ 1.143 kali per
hari)
Ordinal
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
50
Konsumsi
Penghambat
(inhibitor) zat
besi
Frekuensi konsumsi rata-rata dari jenis
makanan sumber pengikat absorbsi zat
besi : jeruk, pepaya, lemon, jambu biji,
stroberi, dan tomat (Citrakesuma, 2002).
Sebelum dilakukan kategori, hasil
frekuensi konsumsi per hari kemudian
dibagi kedalam dua kategori yang
dibatasi (cut of point) nilai median
sehingga didapat nilai di bawah nilai
median sebagai pola makan jarang dan
nilai di atas nilai median sebagai pola
makan sering.
Wawancara
FFQ
1 = rendah (< 2 kali per
hari)
2 = tinggi (≥ 2 kali per
hari)
Ordinal
Konsumsi
Peningkat zat
besi
Frekuensi konsumsi rata-rata dari jenis
makanan sumber penghambat zat besi :
kopi, coklat, teh, keju, minuman
bersoda, es krim/olahan susu, selai
kacang, olahan kedelai dan obat aspirin,
antasida dan sejenisnya (Citrakesuma,
2002). Sebelum dilakukan kategori,
hasil frekuensi konsumsi per hari
kemudian dibagi kedalam dua kategori
yang dibatasi (cut of point) nilai median
sehingga didapat nilai di bawah nilai
median sebagai pola makan jarang dan
nilai di atas nilai median sebagai pola
makan sering.
Wawancara
FFQ
1 = rendah ( < 100)
2 = tinggi ( ≥ 100)
Ordinal
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
51
Konsumsi tablet
tambah darah
Status konsumsi tablet
tablet
besi
selama
kehamilan
Wawancara
Kuesioner
Status Gizi Ibu
hamil (LILA)
Hasil
pengukuran
lingkar lengan atas
menggunakan pita ukur
lingkar lengan atas pada
pertengahan lengan kiri
yang
di
posisikan
menjadi bentuk siku.
.
Wawancara
Pita LLA dan
Kuesioner
1 = tidak mengkonsumsi
2 = mengkonsumsi
(Purnawan, 1998 dalam
Tristiyanti, 2006)
Ordinal
1 = Beresiko KEK
(< 23,5 cm)
2 = Tidak Beresiko KEK
( ≥ 23,5 cm)
(Buana, 2004)
Ordinal
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
53
3.4.Hipotesa Penelitian
Ada perbedaan pada kejadian anemia zat besi (Fe) antara ibu yang
mengkonsumsi
teh dengan
frekuensi
sering
terhadap
ibu
yang
mengkonsumsi teh jarang selama kehamilan setelah dikendalikan oleh
faktor usia ibu hamil, pekerjaan ibu, usia kehamilan (trimester), jumlah
kehamilan, jarak kelahiran (Paritas), pola konsumsi protein nabati dan
hewani, pola konsumsi pengikat dan penghambat zat besi, konsumsi tablet
tambah darah dan juga status gizi ibu hamil (LILA).
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
54
Bab 4
METODE PENELITIAN
4.1. Desain Penelitian
Desain yang digunakan dalam penelitian ini yaitu desain penelitian
observasional analitik Cross Sectional dengan model kausalitas.
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di UPT Puskesmas Citeureup Kabupaten Bogor.
Dimana Pemilihan puskesmas dilakukan dengan cara random dari 7
UPT Puskesmas yang masuk pada kriteria. Dimana kriteria puskesmas
yang terpilih dalam daftar random yaitu Puskesmas yang dinilai
memiliki lokasi terjangkau bagi peneliti, serta Puskesmas yang
memiliki
wilayah
dengan
karateristik
masyarakat
bervariasi.
Penelitian ini dilakukan pada minggu ketiga bulan September sampai
dengan Desember 2012.
4.3. Populasi Penelitian
Populasi penelitian yaitu seluruh ibu hamil yang berada di wilayah
kerja UPT Puskesmas Citeureup Kabupaten bogor tahun 2012.
4.4. Sampel Penelitian
Sampel penelitian terdiri dari kelompok ekspose dan kelompok
unekspose oleh tannin teh. Sampel yang terpilih pada penelitian ini
yaitu sampel yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria
inklusi dalam sampel yaitu: ibu dengan usia kehamilan ≥16 minggu,
ibu hamil yang memiliki data riwayat ANC lengkap, dan bersedia
menjadi responden. Sedangkan kriteria eksklusi dalam sample yaitu:
ibu hamil yang mempunyai penyakit infeksi atau kronis yang
berhubungan dengan kelainan darah sebagai penyakit penyerta
kehamilan, sampel yang mengkonsumsi selain teh celup
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
55
4.5. Jumlah Sampel
Jumlah sampel ditentukan dengan rumus hypothesis testing untuk
Cross Sectional, sebagai berikut :
[
]
Dimana,
Keterangan :
P1
= Probabilitas kelompok ekspose yang menjadi
kasus
P0
= Probabilitas kelompok unekspose yag menjadi
kasus
Z1-α/2
= tingkat kepercayaan 95% = 1,960
Z1-β
= tingkat kekuatan studi (power) 80%= 0,842
(Z1-α/2 + Z1-β )²
= 7,849
Maka,
[
]
[
]
n = 44,49  45 sampel
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya (pilot study)
mengenai “faktor-faktor yang mempengaruhi status anemia pada ibu
hamil di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa barat” ,
didapatkan bahwa proporsi bukan kasus yang tereskpose (P1) sebesar
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
56
41%. Dalam penelitian ini peneliti mengasumsikan bahwa resiko
ekspose sebesar 2 kali dari yang tidak terekspose (PR=2). Maka
didapatkan minimal sampel yang dibutuhkan dalam penelitain ini
dengan total 90 sampel yang terdiri dari 45 sampel ekspose dan 45
sampel unekspose.
4.6. Cara dan instrumen pengumpulan data
Penelitian ini mengunakan data primer. Sebelum melakukan
pengumpulan data, peneliti terlebih dahulu melakukan pemilihan ibu
hamil yang dianggap eligible berdasarkan kriteria inklusi. Selanjutnya
dilakukan pemilihan secara random sebanyak 100 ibu hamil. Untuk
menghemat watu dan mempermudah pengambilan data, maka peneliti
dibantu oleh 5 bidan desa dan 50 kader puskesmas untuk membuat
suatu acara pertemuan guna mengumpulkan responden terpilih dalam
satu hari. Pada hari yang sama peneliti melakukan pengumpulan data
untuk menilai status paparan dan status outcome. Peneliti melakukan
wawancara untuk menggali informasi mengenai perilaku mengelola
teh dan frekuensi meminum teh selanjutnya melakukan simulasi untuk
membuat teh (berdasarkan dari lama mencelup dan kantung teh dan
sumber air yang digunakan dalam menyeduh teh), sampel teh akan
diuji kadar taninnya dengan metode Titrimetri dengan permanganat.
Kemudian kadar tanin yang didapat dari hasil uji laboratorium
dimanfaatkan sebagai landasan untuk membuat skoring sesuai
frekuensi konsumsi per hari. Dari hasil skoring tersebut maka
didapatkan level paparan berdasarkan kadar tanin masing-masing
responden per hari, maka peneliti membagi kedalam 4 level, dimana
level 1 digolongkan ke dalam kategori kadar tanin rendah per hari,
level 2 dan level 3 digolongkan sebagai kadar tanin sedang per hari
dan level 4 digolongkan sebagai kadar tanin tinggi per harinya. Dari 3
kategori ini, ekspose merupakan ibu hamil dengan kategori kadar
tanin sedang dan tinggi sedangkan ibu hamil dengan kategori kadar
tanin rendah sebagai unekspose. Selanjutnya dalam pengukuran
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
57
outcome, peneliti melakukan pengukuran kadar serum Ferritin dengan
cara pengambilan darah vena sampel. Pengukuran tersebut dilakukan
di Laboratorium Prodia, Jakarta. Pengambilan sampel darah dilakukan
oleh petugas yang telah terlatih, sampel darah diambil melalui vena
radialis sebelah kiri dengan posisi duduk. Alat yang dipergunakan
dalam pengambilan darah yaitu, vacutainer dan needle wing
berukuran 27½, dan tabung kimia. Sebelum dilakukan penusukan,
dilakukan
pengecekan
lokasi
penusukan
disterilkan
dengan
menggunakan alkohol swab, derajat penusukan jarum sebesar 30-45°
dari permukaan kulit dengan jarum menghadap keatas. Selanjutnya
setelah tabung terisi oleh darah, luka tusukan segera di tutup oleh
kapas alkohol guna mengentikan perdarahan sekaligus membersihkan
bekas luka. Darah dalam tabung kimia langsung dilakukan pemutaran
guna proses pemisahan serum yang akan dianalisa dan dibawa oleh
kurir
ke
Laboratorium
Prodia
dengan
menggunakan
termos
pengiriman darah yang telah ter-standar kurang dari 24 jam setelah
pengambilan.
Selain dari informasi paparan dan outcome, peneliti juga menggali
informasi mengenai karateristik ibu hamil (usia, pekerjaan, usia
kehamilan,
peritas,
jumlah
kelahiran),
perilaku
ibu
dalam
mengkonsumsi tablet tambah darah selama kehamilan. Selain itu
digali pula mengenai informasi asupan makan heme, non heme,
pengikat zat besi dan penghambat zat besi dengan menggunakan FFQ
(Frequency Food Quasionare) dimana hasil ukur ditentukan dengan
metode skoring. Dilakukan pula pengukuran LILA yang dikerjakan
oleh bidan desa untuk menilai status gizi ibu hamil.
4.7. Pengolahan data
Data yang terkumpul diolah dengan menggunakan komputer dengan
program software analisa data melalui beberapa tahap yaitu entry data,
cleaning data dan recoding beberapa data jika diperlukan.
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
58
4.8. Analisa Data
Analisa data yang terkumpul dianalisis dan interpretasi guna menguji
hipotesis: Analisa yang dilakukan yaitu :
4.8.1. Analisa unisvariat
Analisis univariat digunakan untuk memperoleh gambaran
distribusi frekuensi dan proporsi dari masing-masing variabel
yaitu variabel kadar tanin mg/mL per hari, usia ibu, status
pekerjaan ibu, usia kehamilan ibu, jumlah kelahiran, jarak
kehamilan, pola konsumsi protein hewani, pola konsumsi
protein nabati, pola konsumsi penghambat absorbsi zat besi,
pola konsumsi pengikat absorbsi zat besi, dan konsumsi tablet
tambah darah..
4.8.2. Analisa bivariat
Untuk melihat pengaruh frekuensi dalam konsumsi teh
terhadap anemia pada ibu hamil digunakan uji Cox regression..
Pengujian ini dilakukan oleh karena nilai prevalensi kejadian
anemia gizi besi di populasi sampel melebihi dari 10% selain
itu penelitian ini tidak memenuhi asumsi steady state sehingga
ukuran HR lebih tepat digunakan untuk menilai besar resiko
terjadinya anemia gizi besi diantara ibu hamil dengan kadar
tanin rendah, sedang dan tinggi (Rothman, 1995).
4.8.3. Analisa stratifikasi
Sebelum memasuki analisis multivariat, maka terlebih dahulu
dilakukan analisis stratifikasi guna melihat pengaruh dari
masing-masing kovariat terhadap pengaruh frekuensi konsumsi
teh terhadap anemia pada ibu hamil. Dari analisis ini dapat
dilihat
secara
eye-balling
apakah
kovariat
merupakan
confounder atau kemungkinan variabel kovariat berinteraksi
terhadap eksposure.
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
59
4.8.4. Analisa multivariat
Analisis multivariat yang digunakan pada penelitian ini yaitu
analisis Cox Regression, dimana bertujuan untuk mengontrol
variabel kovariat
yang berperan sebagai confounder bagi
hubungan antara variabel bebas dengan variabel kofariat yang
berperan sebagai confounder bagi hubungan antara variabel
kadar tanin teh celup (mg/mL per hari) dengan variabel anemia
gizi besi..
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
60
BAB 5
Hasil Penelitian
5.1. Keadaan umum wilayah peneitian
5.1.1. Kabupatan Bogor
Kabupaten bogor termasuk dalam wilayah administratif Propinsi
Jawa Barat. Luas wilayah Kabupetn Bogor sekitar 299.019,06 Ha
terdiri dari 40 Kecamatan, 411 desa dan 17 kelurahan, 2.770 RW,
15.124 RT. Secara geografis terletak antara 6.19° - 6.47° LS dan
106.21° - 107.13° BT, sebelah utara berbatasan dengan wilayah
DKI Jakart, Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Bekasi, sebelah
selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi, sebelah timur
berbatasan dengan Kabupaten Cianjur, Purwakarta, dan Karawang,
sedangkan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Lebak,
Pandeglang dan Serang.
Kabupaten Bogor dibagi menjadi 3 wilayah Pembangunan yaitu
wilayah pembangunan Barat terdiri dari kecamatan Jasinga, Parung
panjang, Tenjo, Cigudeg, Sukajaya, Nanggung, Leuwiliang,
Cibungbulang, Ciamea, Paminjahan, Rumpin, Tenjolaya dan
Kecamatan Leuwisadeng. Wilayah pembangunan Tengah terdiri
dari 20 kecamatan yaitu kecamatan Gunung sindur, Parung,
Ciseeng, Kemang, Rancabungur, Cibinong, Sukaraja, Bojong gede,
Dramaga, Cijeruk, Caringin, Ciawi, Megamendung, Cisarua,
Citeureup, Babakan madang, Ciomas, Tamansari, Tajurhalang, dan
Kecamatan Cigombong. Wilayah pembangunan timur terditi dari 7
Kecamatan
yaitu
Kecamatan
Gunung
Putri,
Cileungsi,
Klapanunggal, Jonggol, Sukamakmur, Cariu dan Kecamatan
Tanjung sari.
5.1.2. UPT Puskesmas Citeureup
UPT Puskesmas Citeureup mempunyai wilayah kerja secara
keseluruhan terdiri dari 12 Desa dan 2 Kelurahan. Terbagi dalam 3
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
61
wilayah kerja, dan yang menjadi wilayah kerja UPT Puskesmas
Citeureup adalah 3 Desa dan Kelurahan yaitu Desa Citeureup
Kelurahan Puspanegara, Kelurahan Karang Asen Barat, Desa
Karang Asem Timur dan Desa Puspasari. Wilayah kerja UPF
Puskesmas Leuwinutung adalah terdiri dari 5 Desa yakni Desa
Leuwinutung, Desa Sanja, Desa Tangkil, Desa Sukahati dan Desa
Hambalang. Sedangkan UPF Puskesmas Tajur memiliki luas
wilayah kerja yang terdiri dari 4 desa, yaitu Desa Tajur, Desa Pasir
Mukti, Desa Tarikolot dan Desa Gunungsari.
Upaya kesehatan dibidang pelayanan kesehatan ibu, khususnya
mengenai pemeriksaan Antenatal Care (ANC) terhadap ibu,
idealnya dilakukan sebanyak 4 kali selama masa kehamilannya
dengan interval waktu 1 kali pada kehamialn trimester I, 1 kali
pada kehamilan trimester II dan 2 kali pada kehamilan trimester III,
sehingga indicator keberhasilan yang dipakai adalah kunjungan ke1 (K1) sebesar 90% dan kunjungan ke-4 (k4) sebesar 80% dari
seluruh Ibu hamil. Persalinan oleh Tenaga Kesehatan (Nakes)
termasuk persalinan pendampingan mencapai 89,9% lebih dari
target 80%. Hasil cakupan yang baik ini karena beberapa hal,
antara lain karena masyarakat sudah lebih senang bersalin ditolong
oleh bidan/nakes, sebagian besar bidannya tinggal di tempat, sudah
dimanfaatkannya Kantong Persalinan, selain itu juga karena
banyak sarana kesehatan Swasta yang terdapat di Kecamatan
Citeureup dan sudah bermitra baik dengan Puskesmas serta
Pertemuan Pembinaan IBI yang rutin. Sepanjang kurun tahun 2011
di Kecamatan Citeureup ditemukan 8 kasus kematian Ibu/Maternal.
Sedang kematian Bayi yang tercatat ada 12 kasus.
Pelayanan gizi yang dilaksanakan di UPT Puskesmas Citeureup
adalah penimbangan balita secara rutin setiap bulan di posyandu
serta pada bulan Februari dan Agustus secara serentak melalui
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
62
kegiatan Bulan Penimbangan Balita (BPB) bersamaan dengan
pemberian vitamin A dosis tinggi pada semua bayi umur 6-11 blan
dan balita 12-59 bulan, setelah itu dilaksanakan pula kegiatan
Validasi Balita Gizi Buruk. Selain melakukan penimbangan balita,
terhadap sasaran ibu hamil Puskesmas juga memberikan Tablet Fe
minimal 90 tablet selama masa kehamilannya dan Ibu Nifas
sebanyak 30 tablet. Disamping itu khusus Ibu Nifas juga diberikan
vitamin A dosis tinggi. Cakupa distribusi Fe-1 102,05% lebih dari
target 90% dan Fe-3 Bumil 82,29% labih dari target 84% serta Fe
Bufas 97% melebihi target 90%.
5.2. Analisis Univariat
5.2.1. Distribusi Kejadian Anemia Gizi Besi (Analisa Serum Ferritin)
pada Ibu Hamil
Dari total 94 ibu hamil yang ikut sampai dengan tahap analisa,
sebanyak 36 ibu hamil (38,3%) memiliki kadar serum ferritin
dibawah angka normal (< 13 ng/ml) dan dinyatakan sebagai ibu
hamil dengan anemia gizi besi. Selebihnya 58 ibu hamil (61,7%)
memiliki kadar serum ferritin normal (> 13 sd 150 ng/ml) dan
dinyatakan sebagai ibu hamil tanpa anemia gizi besi. Berikut tabel
distribusi kejadian anemia gizi besi pada ibu hamil.
Tabel 5.1
Distribusi Kejadian Anemia Gizi Besi (Analisa Serum
Ferritin) pada Ibu Hamil di UPT Puskesmas Citeureup
Kabupaten Bogor Tahun 2012
Status Anemia Gizi Besi
(Analisa Serum Ferritin)
Anemia Gizi Besi
(Serum Ferritin Rendah)
Tidak Anemia Gizi Besi
(Serum Ferritin Normal)
Total
Frekuensi
Persentase
36
38,3
58
61,7
94
100
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
63
5.2.2. Gambaran Konsumsi teh pada ibu hamil
Sebanyak 83 ibu hamil (88,3%) mengkonsumsi teh celup dengan
frekuensi bervariasi, selebihnya sebanyak 11 ibu hamil (11,7%)
tidak mengkonsumsi teh celup.
Tabel 5.2
Distribusi Konsumsi teh pada Ibu Hamil di UPT Puskesmas
Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012
Konsumsi Teh
Frekuensi
Persentase(%)
Ya
Tidak
84
10
94
89,4
10,6
100
Total
5.2.3. Gambaran paparan tannin teh celup
Untuk mendapatkan tingkatan paparan pada ibu hamil, maka
dilakukan tahapan yang menghasilkan gambaran sebagai berikut :
5.2.3.1. Gambaran perilaku mengolah teh celup pada ibu hamil
Tabel 5.3
Distribusi Sumber Air Panas dalam Menyeduh Teh Celup
pada Ibu Hamil di UPT Puskesmas Citeureup Kabupaten
Bogor Tahun 2012
Sumber Air Panas
Frekuensi
Persentase(%)
Tidak mengkonsumsi teh
10
10.6
Air dimasak mendidih
32
34
Air Dispenser
52
55.4
94
100
Total
Dari total 94 ibu yang mengkonsumsi teh celup, sebanyak 10 ibu
hamil (10.6%) tidak mengkonsumsi teh celup, 32 ibu hamil (34%)
menggunakan air panas yang dimasak mendidih untuk menyeduh
kantung teh sedangkan selebihnya yaitu 52 ibu hamil (55.4%)
menggunakan air panas yang berasal dari dispenser.
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
64
5.2.3.2. Gambaran perilaku lama mencelup kantung teh pada ibu
hamil
Tabel 5.4
Distribusi Perilaku Lama Mencelup Kantung Teh pada Ibu
Hamil di UPT Puskesmas Citeureup Kabupaten Bogor Tahun
2012
Lama Mencelup
Frekuensi
Persentase(%)
Tidak mengkonsumsi teh
10
10.6
1 menit
9
9.6
5 menit
40
42.5
8 menit
35
37.3
94
100
Total
Dari total 94 ibu hamil yang mengkonsumsi teh, sebanyak 10 ibu
hamil (10.6%) tidak mengkonsumsi teh celup, 9 ibu hamil (9.6%)
mencelup kantung teh teh selama 1 menit, 40 ibu hamil (42.5%)
mencelup kantung teh selama 5 menit dan selebihnya yaitu
sebanyak 35 ibu hamil (37.3%) mencelup kantung teh selama 8
menit.
5.2.3.3. Gambaran kandungan tanin teh celup berdasarkan parilaku
mengolah teh pada ibu hamil (hasil uji Laboratorium
Biofarmaka IPB)
Tabel 5.5
Distribusi Kandungan Tanin Teh Celup Berdasarkan Perilaku
Mengolah Teh pada Ibu Hamil di UPT Puskesmas Citeureup
Kabupaten Bogor Tahun 2012
Sumber Air Lama Mencelup Kandungan Frekuensi
%
Panas
Kantung Teh
Tanin
(mg/mL)
0
10
10.6
Tidak Konsumsi Teh
0.26
21
22.3
Air Dimasak
1 menit
0.29
25
26.6
Mendidih
5 menit
0.35
6
6.4
8 menit
0.21
14
14.9
Air Panas
1 menit
0.25
15
16.0
Dispenser
5 menit
0.30
3
3.2
8 menit
Total
94
100
Dari total 94 ibu hamil, sebanyak 10 ibu hamil mengkonsumsi teh
celup dengan kandungan tanin sebesar 0 mg/mL oleh karena ibu
hamil tidak mengkonsumsi teh. Sebanyak 21 ibu hamil (22.3%)
mengkonsumsi teh celup yang diolah dengan air yang dimasak
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
65
mendidih dan dengan lama pencelupan 1 menit sehingga
menghasilkan kadar tanin sebesar 0.26. Sebanyak 25 ibu hamil
(26.6%) mengkonsumsi teh celup yang diolah dengan air yang
dimasak mendidih dan dengan lama pencelupan 5 menit sehingga
menghasilkan kadar tanin sebesar 0.29. Sebanyak 6 ibu hamil
(6.4%) mengkonsumsi teh celup yang diolah dengan air yang
dimasak mendidih dan dengan lama pencelupan 8 menit sehingga
menghasilkan kadar tanin sebesar 0.35. Sebanyak 14 ibu hamil
(14.9%) mengkonsumsi teh celup yang diolah dengan air panas
dari dispenser dan dengan lama pencelupan 1 menit sehingga
menghasilkan kadar tanin sebesar 0.21. Sebanyak 15 ibu hamil
(16%) mengkonsumsi teh celup yang diolah dengan air panas dari
dispenser dan dengan lama pencelupan 5 menit sehingga
menghasilkan kadar tanin sebesar 0.25. Sebanyak 3 ibu hamil
(3.2%) mengkonsumsi teh celup yang diolah dengan air panas dari
dispenser dan dengan lama pencelupan 8 menit sehingga
menghasilkan kadar tanin sebesar 0.30.
5.2.3.4. Gambaran kandungan tanin teh celup berdasarkan
frekuensi minum per hari pada ibu hamil
Tabel 5.6
Distribusi Frekuensi Konsumsi Teh Per Hari pada Ibu Hamil
di UPT Puskesmas Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012
Variabel
Mean
SD
Minimal - Maksimal
Median
Frekuensi
0.96
Konsumsi Teh
0.57
1.22
0-7
Dari hasil analisa frekuensi konsumsi teh celup per hari, maka
didapatkan nilai rata-rata dari frekuensi konsumsi teh celup yaitu
0.96 kali per hari dengan nilai median yaitu 0.57 kali per hari dan
SD sebesar 1.22. nilai minimal frekuensi per hari yaitu 0 dan nilai
maksimal frekuensi yaitu 7 kali per hari. Setelah didapatkan nilai
frekuensi per hari maka dapat dinilai kadar tanin teh celup yang
dikonsumsi ibu hamil per hari dengan tabel berikut :
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
66
Tabel 5.7
Distribusi Kandungan Tanin Teh Celup Berdasarkan Perilaku
Mengolah Teh Dihubungkan dengan Frekuensi Per Hari
dalam Kuartil pada Ibu Hamil di UPT Puskesmas Citeureup
Kabupaten Bogor Tahun 2012
Sumber
Lama
Frekuensi Konsumsi Teh per Hari
Air Panas
Mencelup
(kandungan
tanin)
Air
Tidak
dimasak
Konsumsi teh
Kuartil 1
Kuartil 2
Kuartil 3
Kuartil 4
n
%
n
%
n
%
n
%
8
24.2
1
4.5
0
0
1
6.7
10
30.3
7
31.8
1
4.2
3
20
8
24.2
6
27.3
6
25
5
33.3
2
6.1
0
0
3
12.5
1
6.7
4
12.1
3
13.6
5
20.8
2
13.3
1
3.0
4
18.2
7
29.2
3
20
0
0
1
4.5
2
8.3
0
0
33
100
22
100
24
100
15
100
mendidih
1 menit
(0.26)
5 menit
(0.29)
8 menit
(0.35)
Air Pans
1 menit
Dispenser
(0.21)
5 menit
(0.25)
8 menit
(0.300
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
67
5.2.3.5. Gambaran kandungan tanin teh celup dengan frekuensi per
hari (mg/mL) pada ibu hamil
Tabel 5.8
Distribusi Kadar Tanin Berdasarkan Konsumsi per Hari pada
Ibu Hamil di UPT Puskesmas Citeureup Kabupaten Bogor
Tahun 2012
Variabel
Mean
SD
Minimal - Maksimal
Median
Kadar Tanin per hari
0.261
0.335
0 – 2.03
0.157
Dari hasil analisa kadar tanin teh celup per hari, maka didapatkan
nailai rata-rata dari kadar tanin teh celup per hari yaitu 0.96
mg/mL per hari dengan nilai median yaitu 0.157 mg/mL per hari
dan SD sebesar 0.335. nilai minimal kadar tanin per hari yaitu 0
mg/mL per hari dan nilai maksimal kadar tanin per hari yaitu 0.03
mg/mL per hari.
Tabel 5.9
Distribusi Kandungan Tanin Teh Celup dengan Frekuensi per
Hari (mg/mL per hari) pada Ibu Hamil di UPT Puskesmas
Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012
Kadar tanin per hari
Kategori
Frekuensi
%
Tanin
Kuartil 1 (0 – 0.037)
Tinggi
Kuartil 2 (0.038 – 0.157)
Kuartil 3 (0.158 – 0.28)
Kuartil 4 (0.29 – 2.03)
Sedang
Rendah
Total
26
27.6
20
21.4
24
25.5
24
25.5
94
100
Berdasarkan hasil diatas maka didapatkan sebanyak 26 ibu hamil
(27.6%) mengkonsumsi teh dengan kandungan tanin tinggi, 44 ibu
hamil (46.9%) mengkonsumsi teh dengan kandungan tanin sedang,
dan selebihnya sebanyak 24 ibu hamil (25.5%) mengkonsumsi teh
dengan kandungan tanin rendah.
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
68
5.2.3.6. Jarak konsumsi teh celup terhadap waktu makan
Sebanyak
94
ibu
hamil,
10
ibu
(10.6%)
tidak
mengkonsumsi teh celup, 56 ibu (59.6%) mengkonsumsi
teh celup < 2 jam sebelum dan sesudah makan sedangkan
28 ibu (29.8%) mengkonsumsi teh ≥ 2 jam sebelum atau
sesudah makan.
Tabel 5.10
Distribusi Jarak Konsumsi Teh terhadap Waktu Makan pada
Ibu Hamil di UPT Puskesmas Citeureup Kabupaten Bogor
Tahun 2012
Jarak waktu
Frekuensi
Persentase (%)
Tidak mengkonsumsi
20
10.6
< 2 jam
56
59.6
≥ 2 jam
28
29.8
94
100
Total
Gambaran kadar tanin teh pada ibu hamil
Berdasarkan hasil skoring antara kandungan tannin teh celup
berdasarkan sumber air panas dan lama mencelup teh yang di
kolaborasikan dengan nilai frekuensi teh masing-masing responden,
maka didapat sebanyak 23 ibu hamil (24,5%) mengkonsumsi teh
dengan
kandungan
tannin
tinggi,
49
ibu
hamil
(52,1)
mengkonsumsi teh dengan kandungan tannin sedang, dan
selebihnya sebanyak 22 ibu hamil (23,4%) mengkonsumsi teh
dengan kandungan tannin rendah.
5.2.4. Gambaran usia ibu hamil
Dari total 94 ibu hamil yang ikut sampai dengan tahap analisa, ibu
hamil yang berusia < 20 tahun dan ≥ 35 tahun sebanyak 19 orang
(20,2%). Sedangkan ibu hamil yang berusia 20 sd 35 tahun
berjumlah 75 orang (79,8%).
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
69
Tabel 5.11
Distribusi Usia Ibu Hamil di UPT Puskesmas Citeureup
Kabupaten Bogor Tahun 2012
Usia Ibu Hamil
Frekuensi
Persentase(%)
Usia < 20 tahun dan > 35 tahun
20 sd 35 tahun
Total
19
75
94
20,2
79,8
100
5.2.5. Gambaran status pekerjaan pada ibu hamil
Sebanyak 87 ibu hamil (92,6%) dengan status tidak berkerja atau
sebagai ibu rumah tangga, sedangkan selebihnya yaitu 7 ibu hamil
(7,4%) dengan status berkerja.
Tabel 5.12
Distribusi Status Pekerjaan Ibu Hamil di UPT Puskesmas
Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012
Status Pekerjaan Ibu
Tidak berkerja/IRT
Berkerja
Total
Frekuensi
Persentase(%)
87
7
94
92,6
7,4
100
5.2.6. Gambaran Usia Kehamilan Ibu
Didapatkan sebanyak 57 ibu hamil (60,6%) dengan usia kehamilan
> 28 minggu (trimester ketiga), sedangkan selebihnya berusia >14
sd 28 minggu (trimester kedua) yaitu 37 ibu hamil (39,4%)
Tabel 5.13
Distribusi Usia Kehamilan Ibu di UPT Puskesmas Citeureup
Kabupaten Bogor Tahun 2012
Usia Kehamilan
(Trimester)
Trimester 3
Trimester 2
Total
Frekuensi
Persentase(%)
71
23
75.5
24.5
94
100
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
70
5.2.7. Gambaran Jarak kehamilan
Dari total 94 ibu hamil didapatkan sebanyak 42 ibu (44,7%)
memiliki jarak kehamilan < 2 tahun sedangkan 52 ibu (55,3%)
memiliki jarak kelahiran ≥ 2 tahun dari kehamilan sebelumnya.
Tabel 5.14
Distribusi Jarak Kelahiran Ibu Hamil di UPT Puskesmas
Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012
Jarak Kelahiran
Frekuensi
< 2 tahun
≥ 2 tahun
42
52
94
Total
Persentase (%)
44,7
55,3
100
5.2.8. Gambaran Jumlah Kelahiran (Paritas)
Sebanyak 36 ibu hamil (38,3%) memiliki jumlah kelahiran > 2
anak sebelum kehamilan sekarang, sedangkan 58 ibu hamil
(61,7%) memiliki jumlah kelahiran ≤ 2 anak sebelum kehamilan
sekarang.
Tabel 5.15
Distribusi Jumlah Kelahiran (Paritas) Ibu Hamil di UPT
Puskesmas Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012
Jumlah Kelahiran
(Paritas)
> 2 anak
≤ 2 anak
Total
Frekuensi
Persentase(%)
36
58
94
38,3
61,7
100
5.2.9. Gambaran Status Konsumsi Tablet Tambah Darah (TTD)
Dari total ibu hamil, sebanyak 10 ibu (10,6%) yang tidak
mengkonsumi tablet tambah darah selama kehamilan, sedangkan
selebihnya sebanyak 84 ibu (89,4%) mengkonsumsi tablet tambah
darah selama kehamilan.
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
71
Tabel 5.16
Distribusi Status Konsumsi Tablet Tambah Darah (TTD) Ibu
Hamil di UPT Puskesmas Citeureup Kabupaten Bogor Tahun
2012
Status Konsumsi TTD
Frekuensi
Persentase(%)
Tidak
Ya
10
84
94
10,6
89,4
100
Total
5.2.10. Gambaran Status Gizi Ibu hamil (pengukuran LLA)
Berdasarkan pengukuran lingkar lengan atas (LLA), sebanyak 13
ibu hamil (13,8%) memiliki resiko Kurang energi kronik (KEK),
sedangkan 81 ibu hamil (86,2%) tidak beresiko kurang energy
kronik.
Tabel 5.17
Distribusi Status Gizi Ibu Hamil di UPT Puskesmas
Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012
Status Gizi Ibu Hamil
Frekuensi
Persentase(%)
Beresiko KEK
(LLA < 23,5)
Tidak beresiko KEK
(LLA ≥ 23,5)
Total
13
13,8
81
86,2
94
100
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
72
5.2.11. Gambaran pola konsumsi Ibu hamil
Berikut hasil analisa yang didapat dari data pola konsumsi protein
hewani, protein nabati, pengikat absorbsi zat besi dan penghambat
absorbsi zat besi.
Tabel 5.18
Distribusi pola konsumsi Protein Hewani (Heme), Protein
Nabati (non-Heme), Pengikat Absorbsi Zat Besi, Penghambat
Absorbsi Zat Besi pada Ibu Hamil di UPT Puskesmas
Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012
Pola Konsumsi
Mean
SD
Minimal Median
Maksimal
Protein Hewani
Bioavaiabiltas tinggi
0.1
0.101
0–6
0.071
Bioavaiabiltas Rendah
0.066
0.569
0–3
0.057
Protein Nabati
Bioavaiabiltas tinggi
0.145
0.741
0–3
0.114
Bioavaiabiltas tinggi
0.096
0.981
0–6
1
0.137
1.53
0–9
Pengikat Zat Besi
1
0.194
1.253
0-6
Penghambat Zat Besi
2
5.2.11.1. Gambaran pola konsumsi protein hewani (Heme)
Pada konsumsi protein hewani dengan bioavaiabilitas
tinggi, 45 ibu hamil (47,9%) mengkonsumsi dengan
pola jarang, 49 ibu hamil (52,1%) mengkonsumsi
dengan dengan pola sering. Sedangkan protein hewani
dengan bioavaiabilitas rendah, 45 ibu hamil (47,9%)
mengkonsumsi dengan pola jarang, 49 ibu hamil
(52,1%) mengkonsumsi dengan pola sering.
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
73
Tabel 5.19
Distribusi pola konsumsi Protein Hewani (Heme) pada Ibu
Hamil di UPT Puskesmas Citeureup Kabupaten Bogor Tahun
2012
Konsumsi Protein
Frekuensi
Persentase(%)
Hewani (Heme)
Bioavailabilitas Tinggi
Jarang
45
47,9
Sering
49
52,1
Total
94
100
Bioavailabilitas Rendah
Jarang
45
47,9
Sering
49
52,1
Total
94
100
5.2.11.2. Gambaran pola konsumsi protein nabati ( non heme)
Pada konsumsi protein nabati (non heme) dengan
bioavaiabilitas
tinggi,
45
ibu
hamil
(47,9%)
mengkonsumsi dengan pola jarang, 49 ibu hamil
(52,1%) mengkonsumsi dengan pola sering. Sedangkan
protein nabati dengan bioavaiabilitas rendah, 44 ibu
hamil (46,8%) mengkonsumsi dengan pola jarang, 50
ibu hamil (53,2%) mengkonsumsi dengan pola sering.
Tabel 5.20
Distribusi pola konsumsi Protein Nabati (Non Heme) pada
Ibu Hamil di UPT Puskesmas Citeureup Kabupaten Bogor
Tahun 2012
Konsumsi Protein
Frekuensi
Persentase(%)
Nabati (Non Heme)
Bioavailabilitas Tinggi
Jarang
45
47,9
Sering
49
52,1
Total
94
100
Bioavailabilitas Rendah
Jarang
44
46,8
Sering
50
53,2
Total
94
100
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
74
5.2.11.3. Gambaran pola konsumsi pengikat absobsi zat besi
(Enhauncer Fe)
Pada konsumsi pengikat absobsi zat besi (enhauncer Fe),
45 ibu hamil (47,9%) mengkonsumsi dengan pola
jarang, 49 ibu hamil (52,1%) mengkonsumsi dengan
pola sering.
Tabel 5.21
Distribusi Pola Konsumsi Pengikat Absorbsi Zat Besi
(Enhauncer Fe) pada Ibu Hamil di UPT Puskesmas Citeureup
Kabupaten Bogor Tahun 2012
Konsumsi Pengikat
Absorbsi Zat Besi
(Enhauncer Fe)
Jarang
Sering
Total
Frekuensi
Persentase(%)
45
49
94
47,9
52,1
100
5.2.11.4. Gambaran pola konsumsi penghambat absobsi zat besi
(Inhibitor Fe)
Pada konsumsi penghambat absobsi zat besi (inhibitor
Fe), 43 ibu hamil (54,7%) mengkonsumsi dengan pola
jarang, 51 ibu hamil (54,3%) mengkonsumsi dengan
pola sering.
Tabel 5.22
Distribusi Pola Konsumsi Penghambat Absorbsi Zat Besi
(Inhibitor Fe) pada Ibu Hamil di UPT Puskesmas Citeureup
Kabupaten Bogor Tahun 2012
Konsumsi Penghambat
Absorbsi Zat Besi
(Inhibitor Fe)
Jarang
Sering
Total
Frekuensi
Persentase(%)
43
51
94
45,7
54,3
100
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
75
5.3. Analisis Bivariat
5.3.1. Pengaruh kadar tannin terhadap anemia gizi besi (analisa serum
ferritin) pada ibu hamil
Dari 23 ibu hamil yang memiliki kadar tannin tinggi, terdapat 11
ibu hamil (47,8%) menderita anemia gizi besi (Serum Ferritin
rendah) dan 12 ibu hamil (52,2%) tidak menderita anemia gizi
besi (Serum Ferritin normal), dari 49 ibu hamil yang memiliki
kadar tannin sedang, terdapat 21 ibu hamil (42,9%) menderita
anemia gizi besi (Serum Ferritin rendah) dan 28 ibu hamil
(57,1%) tidak menderita anemia gizi besi (Serum Ferritin
normal), Sedangkan dari 22 ibu hamil yang memiliki kadar
tannin rendah, terdapat 4 ibu hamil (18,2%) menderita anemia
gizi besi (Serum Ferritin rendah) dan 18 ibu hamil (81,8%) tidak
menderita anemia gizi besi (Serum Ferritin normal).
Tabel 5.23
Hubungan Kadar Tanin dengan Anemia Gizi Besi (Analisa Serum
Ferritin) pada Ibu Hamil di UPT Puskesmas Citeureup Kabupaten
Bogor Tahun 2012
Kadar Tanin
Anemia Gizi Besi
Total
PR
P value
(Analisa Serum
( 95% CI )
Ferritin)
Rendah
Normal
Tanin Tinggi
11
14
26
2,77
0.08
( ≥ 0,29
(46.2%)
(53.8%) (100%)
(0.89 – 8.6)
mg/mL)
Tanin Sedang
20
24
49
2.73
0.06
( 0.038 – 0.28
(45.5%)
(54.5%) (100%)
(0.9 – 7.9)
mg/mL)
Tanin Rendah
4
20
24
( ≤ 0,037
(16.7%)
(83.3%) (100%)
mg/mL)
36
58
94
Total
(38.3%)
(61.7%) (100%)
Hasil uji statistic diperoleh nilai P (P value) sebesar 0.08
( α=0,05), menunjukkan bahwa hubungan antara kadar tannin
tinggi dengan anemia gizi besi tidak significan secara statistic.
Dari analisa ini didapatkan nilai PR sebesar 2.77 (CI 95% 0.89 –
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
76
8.6). Maka dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa prevalens
ibu hamil dengan kadar tannin tinggi 2.77 kali lebih tinggi untuk
menderita anemia gizi besi dibandingkan ibu hamil dengan kadar
tannin rendah. Selanjutnya Hasil uji statistic diperoleh nilai P (P
value) sebesar 0.06 ( α>0,05), menunjukkan bahwa hubungan
antara kadar tannin sedang dengan anemia gizi besi tidak
significan secara statistic. didapatkan pula nilai PR sebesar
2.73(CI 95% 0.9 – 7.9). Maka dari hasil tersebut dapat
disimpulkan bahwa prevalens ibu hamil dengan kadar tannin
sedang 2.73 kali lebih tinggi untuk menderita anemia gizi besi
dibadingkan ibu hamil yang memiliki kadar tannin rendah.
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
77
5.3.2. Pengaruh faktor lain terhadap anemia gizi besi pada ibu hamil
Tabel 5.24
Hubungan Variabel Covariat dengan Anemia Gizi Besi pada Ibu
Hamil di UPT Puskesmas Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012
Anemia Gizi Besi
(Serum Ferritin)
Total
PR
Variabel
(95%
CI)
Rendah
Normal
n
%
N
%
n
%
Usia Ibu
< 20 tahun dan > 35 tahun
20 sd 35 tahun
Pekerjaan
Tidak Berkerja
Berkerja
Usia Kehamilan
Trimester 3
Trimester 2
Jarak Kehamilan
< 2 tahun
≥ 2 tahun
Jumlah Kelahiran
>2 anak
≤ 2 anak
Konsumsi TTD
Tidak Konsumsi
Konsumsi
Status Gizi Ibu
Kurang Energi Kronik
Tidak Berseiko KEK
Hewani Bio.Tinggi
Jarang
Sering
Hewani Bio.Rendah
Jarang
Sering
Nabati Bio.Tinggi
Jarang
Sering
Nabati Bio.Rendah
Jarang
Sering
Pengikat Abs. Fe
Jarang
Sering
Penghambat Abs.Fe
Jarang
Sering
P
Value
4
32
21.1
42.7
15
43
78.9
57.3
19
75
100
100
2.03
90.7 – 5.70
35
1
40.2
14.3
52
6
59.8
85.7
87
7
100
100
0.35
(0.05 – 2.6)
0.3
30
6
42.3
26.1
41
17
57.5
73.9
71
23
100
100
1.62
(0.8 – 3.4)
0.22
13
23
31
44.2
29
29
69
55.8
42
52
100
100
1.42
(0.72 – 2.8)
0.3
11
25
30.6
43.1
25
33
69.4
56.9
36
58
100
100
1.4
(0.7 – 2.6)
0.34
4
32
40
38.1
6
25
60
61.9
10
84
100
100
0.95
(0.4 – 2.6)
0.93
5
31
38.5
38.3
8
50
61.5
61.7
13
81
100
100
0.99
(0.39 – 2.6)
0.99
17
19
37.8
38.8
28
30
62.2
61.2
45
49
100
100
1.03
(0.5 – 1.97)
0.94
12
24
26.7
49
33
25
73.3
51
45
49
100
100
1.84
(0.9 – 3.6)
0.08
20
16
44.4
32.7
25
33
55.6
67.3
45
49
100
100
0.73
(0.4 – 1.4)
0.36
14
22
31.8
44
30
28
68.2
56
44
50
100
100
1.38
(0.7 – 2.7)
0.34
15
21
33.3
42.9
30
28
66.7
57.1
45
49
100
100
1.3
(0.7 – 2.5)
0.46
14
22
32.6
43.1
29
29
67.4
56.9
43
51
100
100
1.32
(0.7 – 2.6)
0.4
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
0.18
78
5.3.2.1. Pengaruh usia ibu terhadap anemia gizi besi pada ibu hamil
Dari 19 ibu hamil yang berusia < 20 tahun dan > 35 tahun,
terdapat 4 ibu hamil (21,1%) menderita anemia gizi besi
(Serum Ferritin rendah) dan 15 ibu hamil (78,9%) tidak
menderita anemia gizi besi (Serum Ferritin normal),
Sedangkan dari 75 ibu hamil yang berusia 20 sd 35 tahun,
terdapat 32 ibu hamil (42,7%) menderita anemia gizi besi
(Serum Ferritin rendah) dan 43 ibu hamil (5,3%) tidak
menderita anemia gizi besi (Serum Ferritin normal). Hasil uji
statistic diperoleh nilai P (P value) sebesar 0,142 ( α=0,05),
menunjukkan bahwa hubungan antara usia ibu hamil dengan
anemia gizi besi tidak significan secara statistic. Dari analisa
ini didapatkan nilai PR sebesar 0,49 (CI 95% 0,2 – 1,23).
Maka dari hasil tersebut dapat disimpulkan ibu hamil dengan
usia < 20 tahun dan > 35 tahun dapat menurunkan resiko
sebesar 51% untuk menderita anemia gizi dibadingkan ibu
hamil yang berusia 20 sd 35 tahun.
5.3.2.2. Pengaruh status pekerjaan ibu terhadap anemia gizi besi pada
ibu hamil
Dari 87 ibu hamil yang tidak berkerja, terdapat 35 ibu hamil
(40,2%) menderita anemia gizi besi (Serum Ferritin rendah)
dan 52 ibu hamil (59,8%) tidak menderita anemia gizi besi
(Serum Ferritin normal), Sedangkan dari 7 ibu hamil yang
berkerja, terdapat 1 ibu hamil (14,3%) menderita anemia gizi
besi (Serum Ferritin rendah) dan 6 ibu hamil (85,7%) tidak
menderita anemia gizi besi (Serum Ferritin normal). Hasil uji
statistic diperoleh nilai P (P value) sebesar 0,244 ( α=0,05),
menunjukkan bahwa hubungan antara pekerjaan ibu dengan
anemia gizi besi tidak significan secara statistic. Dari analisa
ini didapatkan nilai PR sebesar 2,82 (CI 95% 0,45 – 17,6).
Maka dari hasil tersebut dapat disimpulkan ibu hamil dengan
status tidak berkerja beresiko 2,82 kali lebih besar untuk
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
79
menderita anemia gizi besi dibandingkan ibu hamil yang
berkerja.
5.3.2.3. Pengaruh usia kehamilan ibu terhadap anemia gizi besi pada
ibu hamil
Dari 57 ibu hamil dengan usia kehamilan trimester ketiga,
terdapat 22 ibu hamil (38,6%) menderita anemia gizi besi
(Serum Ferritin rendah) dan 35 ibu hamil (61,4%) tidak
menderita anemia gizi besi (Serum Ferritin normal),
Sedangkan dari 37 ibu hamil dengan usia kehamilan trimester
kedua, terdapat 14 ibu hamil (37,8%) menderita anemia gizi
besi (Serum Ferritin rendah) dan 23 ibu hamil (62,2%) tidak
menderita anemia gizi besi (Serum Ferritin normal). Hasil uji
statistic diperoleh nilai P (P value) sebesar 1,00 ( α=0,05),
menunjukkan bahwa hubungan antara usia kehamilan dengan
anemia gizi besi tidak significan secara statistic. Dari analisa
ini didapatkan nilai PR sebesar 1,02 (CI 95% 0,6 – 17,3).
Maka dari hasil tersebut dapat disimpulkan tidak ada
perbedaan resiko untuk menderita anemia gizi besi antara
usia kehamilan trimester 3 dengan usia kehamilan trimester
kedua.
5.3.2.4. Pengaruh Jarak Kehamilan ibu terhadap anemia gizi besi
pada ibu hamil
Dari 42 ibu hamil dengan jarak kehamilan < 2 tahun, terdapat
13 ibu hamil (31%) menderita anemia gizi besi (Serum
Ferritin rendah) dan 29 ibu hamil (69%) tidak menderita
anemia gizi besi (Serum Ferritin normal), Sedangkan dari 52
ibu hamil dengan jarak kehamilan ≥ 2 tahun, terdapat 23 ibu
hamil (44,2%) menderita anemia gizi besi (Serum Ferritin
rendah) dan 29 ibu hamil (55,8%) tidak menderita anemia
gizi besi (Serum Ferritin normal). Hasil uji statistic diperoleh
nilai P (P value) sebesar 0,27 ( α=0,05), menunjukkan bahwa
hubungan antara jarak kehamilan dengan anemia gizi besi
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
80
tidak significan secara statistic. Dari analisa ini didapatkan
nilai PR sebesar 0,7 (CI 95% 0,41 – 1,21). Maka dari hasil
tersebut dapat disimpulkan ibu hamil dengan jarak kehamilan
< 2 tahun
dapat menurunkan resiko sebesar 30% untuk
menderita anemia gizi dibadingkan ibu hamil yang memiliki
jarak kehamilan ≥ 2 tahun.
5.3.2.5. Pengaruh Jumlah Kelahiran (Paritas) terhadap anemia gizi
besi pada ibu hamil
Dari 36ibu hamil dengan jumlah kelahiran > 2 anak, terdapat
11 ibu hamil (30,6%) menderita anemia gizi besi (Serum
Ferritin rendah) dan 25 ibu hamil (69,4%) tidak menderita
anemia gizi besi (Serum Ferritin normal), Sedangkan dari 58
ibu hamil dengan jumlah kelahiran ≤ 2 anak, terdapat 25 ibu
hamil (43,1%) menderita anemia gizi besi (Serum Ferritin
rendah) dan 33 ibu hamil (56,9%) tidak menderita anemia
gizi besi (Serum Ferritin normal). Hasil uji statistic diperoleh
nilai P (P value) sebesar 0,32 ( α=0,05), menunjukkan bahwa
hubungan antara jumlah kelahiran (paritas) dengan anemia
gizi besi tidak significan secara statistic. Dari analisa ini
didapatkan nilai PR sebesar 0,71 (CI 95% 0,4 – 1,26). Maka
dari hasil tersebut dapat disimpulkan ibu hamil dengan
jumlah kelahiran (paritas) > 2 anak dapat menurunkan resiko
sebesar 29% untuk menderita anemia gizi dibandingkan ibu
hamil yang memiliki jumlah kelahiran ≤ 2 anak.
5.3.2.6. Pengaruh konsumsi tablet tambah darah (TTD) terhadap
anemia gizi besi pada ibu hamil
Dari 10 ibu hamil yang tidak mengkonsumsi tablet tambah
darah (TTD), terdapat 4 ibu hamil (40%) menderita anemia
gizi besi (Serum Ferritin rendah) dan 6 ibu hamil (60%) tidak
menderita anemia gizi besi (Serum Ferritin normal),
Sedangkan dari 84 ibu hamil yang mengkonsumsi tablet
tambah darah (TTD), terdapat 32 ibu hamil (38,1%)
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
81
menderita anemia gizi besi (Serum Ferritin rendah) dan 52
ibu hamil (61,9%) tidak menderita anemia gizi besi (Serum
Ferritin normal). Hasil uji statistic diperoleh nilai P (P value)
sebesar 1,0 ( α=0,05), menunjukkan bahwa hubungan antara
konsumsi tablet tambah darah (TTD) dengan anemia gizi besi
tidak significan secara statistic. Dari analisa ini didapatkan
nilai PR sebesar 1,05 (CI 95% 0,47 – 2,35). Maka dari hasil
tersebut dapat disimpulkan tidak ada perbedaan resiko untuk
menderita anemia gizi besi
antara ibu hamil yang tidak
mengkonsumsi tablet tambah darah (TTD) dibandingkan ibu
hamil yang mengkonsumsi tablet tambah darah (TTD).
5.3.2.7. Pengaruh status gizi ibu hamil terhadap anemia gizi besi pada
ibu hamil
Dari 13 ibu hamil yang beresiko KEK, terdapat 5 ibu hamil
(38,5%) menderita anemia gizi besi (Serum Ferritin rendah)
dan 8 ibu hamil (61,5%) tidak menderita anemia gizi besi
(Serum Ferritin normal), Sedangkan dari 81 ibu hamil yang
tidak beresiko KEK, terdapat 31 ibu hamil (38,3%) menderita
anemia gizi besi (Serum Ferritin rendah) dan 50 ibu hamil
(61,7%) tidak menderita anemia gizi besi (Serum Ferritin
normal). Hasil uji statistic diperoleh nilai P (P value) sebesar
1,00 ( α=0,05), menunjukkan bahwa hubungan antara status
gizi ibu hamil dengan anemia gizi besi tidak significan secara
statistic. Dari analisa ini didapatkan nilai PR sebesar 1,0 (CI
95% 0,48 – 2,2). Maka dari hasil tersebut dapat disimpulkan
tidak ada perbedaan resiko untuk menderita anemia gizi besi
antara status gizi ibu hamil yang beresiko KEK dengan yang
tidak beresiko KEK.
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
82
5.3.2.8. Pengaruh
konsumsi
protein
hewani
(heme)
dengan
bioavaiabilitas tinggi terhadap anemia gizi besi pada ibu
hamil
Dari 45 ibu hamil yang mengkonsumsi protein hewani
(heme) bioavaiabilitas tinggi dengan pola jarang, terdapat 17
ibu hamil (37.8%) menderita anemia gizi besi dan 28 ibu
hamil (62.2%) tidak menderita anemia gizi besi, sedangkan
dari 49 ibu hamil yang mengkonsumsi protein hewani
bioavaiabilitas tinggi dengan pola sering, terdapat 19 ibu
hamil (38.3%) menderita anemia gizi besi dan 30 ibu hamil
(61.2%) tidak menderita anemia gizi besi. Hasil uji statistik
diperoleh nilai P (Pvalue) sebesar 0.94 (α > 0.05),
menunjukkan bahwa hubungan antara pola konsumsi protein
hewani bioavaiabilitas tinggi per hari pada ibu hamil dengan
anemia gizi besi tidak signifikan secara statistik. Dari analisa
ini didapatkan nilai PR sebesar 1.03 (CI 95% 0.53 – 1.97).
maka dari hasil tersebut dapat disimpulkan tidak ada
perbedaan besar prevalensi untuk menderita anemia gizi besi
antara konsumsi protein hewani bioavaiabilitas tinggi per hari
dengan pola sering dengan konsumsi protein hewani
bioavaiabilitas tinggi per hari dengan pola jarang pada ibu
hamil.
5.3.2.9. Pengaruh
konsumsi
protein
hewani
(heme)
dengan
bioavaiabilitas rendah terhadap anemia gizi besi pada ibu
hamil
Dari 45 ibu hamil yang mengkonsumsi protein hewani
(heme) bioavaiabilitas tinggi dengan pola jarang, terdapat 12
ibu hamil (26.7%) menderita anemia gizi besi dan 33 ibu
hamil (73.3%) tidak menderita anemia gizi besi, sedangkan
dari 49 ibu hamil yang mengkonsumsi protein hewani
bioavaiabilitas tinggi dengan pola sering, terdapat 24 ibu
hamil (49%) menderita anemia gizi besi dan 25 ibu hamil
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
83
(51%) tidak menderita anemia gizi besi. Hasil uji statistik
diperoleh nilai P (Pvalue) sebesar 0.08 (α > 0.05),
menunjukkan bahwa hubungan antara pola konsumsi protein
hewani bioavaiabilitas tinggi per hari pada ibu hamil dengan
anemia gizi besi tidak signifikan secara statistik. Dari analisa
ini didapatkan nilai PR sebesar 1.84 (CI 95% 0.9 – 3.6). maka
dari hasil tersebut dapat disimpulkan prevalensi konsumsi
protein hewani bioavaiabilitas rendah per hari 1.84 kali lebih
tinggi untuk menderita anemia gizi besi antara pola konsumsi
sering dengan pola jarang pada ibu hamil.
5.3.2.10. Pengaruh konsumsi protein nabati (non-heme) dengan
bioavaiabilitas tinggi terhadap anemia gizi besi pada ibu
hamil
Dari 45 ibu hamil yang mengkonsumsi protein nabati (nonheme) bioavaiabilitas tinggi dengan pola jarang, terdapat 20
ibu hamil (44.4%) menderita anemia gizi besi dan 25 ibu
hamil (55.6%) tidak menderita anemia gizi besi, sedangkan
dari 49 ibu hamil yang mengkonsumsi protein hewani
bioavaiabilitas tinggi dengan pola sering, terdapat 16 ibu
hamil (7.3%) menderita anemia gizi besi dan 33 ibu hamil
(61.2%) tidak menderita anemia gizi besi. Hasil uji statistik
diperoleh nilai P (Pvalue) sebesar 0.36 (α > 0.05),
menunjukkan bahwa hubungan antara pola konsumsi protein
hewani bioavaiabilitas tinggi per hari pada ibu hamil dengan
anemia gizi besi tidak signifikan secara statistik. Dari analisa
ini didapatkan nilai PR sebesar 0.73 (CI 95% 0.38 – 1.42).
maka dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa prevalens
ibu yang mengkonsumsi proyein nabati bioavaiabilitas tinggi
dengan pola jarang sebsar 27% lebih rendah untuk menderita
anemia gizi besi dibandingkan ibu yang mengkonsumsi
protein nabati bioavaiabilitas tinggi dengan pola sering.
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
84
5.3.2.11. Pengaruh konsumsi protein nabati (non-heme) dengan
bioavaiabilitas rendah terhadap anemia gizi besi pada ibu
hamil
Dari 45 ibu hamil yang mengkonsumsi protein nabati (nonheme) bioavaiabilitas rendah dengan pola jarang, terdapat 14
ibu hamil (31.8%) menderita anemia gizi besi dan 30 ibu
hamil (68.2%) tidak menderita anemia gizi besi, sedangkan
dari 50 ibu hamil yang mengkonsumsi protein hewani
bioavaiabilitas tinggi dengan pola sering, terdapat 22 ibu
hamil (44%) menderita anemia gizi besi dan 28 ibu hamil
(56 %) tidak menderita anemia gizi besi. Hasil uji statistik
diperoleh nilai P (Pvalue) sebesar 0.34 (α > 0.05),
menunjukkan bahwa hubungan antara pola konsumsi protein
hewani bioavaiabilitas tinggi per hari pada ibu hamil dengan
anemia gizi besi tidak signifikan secara statistik. Dari analisa
ini didapatkan nilai PR sebesar 1.38 (CI 95% 0.7 – 2.7). maka
dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa prevalens ibu
yang mengkonsumsi protein nabati bioavaiabilitas rendah
dengan pola jarang 1.38 kali lebih tinggi untuk menderita
anemia gizi besi dibandingkan ibu yang mengkonsumsi
protein nabati bioavaiabilitas tinggi dengan pola sering.
5.3.2.12. Pengaruh konsumsi pengikat zat besi (enhauncer Fe) per hari
terhadap anemia gizi besi pada ibu hamil
Dari 45 ibu hamil yang mengkonsumsi pengikat zat besi
(enhauncer Fe) per hari dengan pola jarang, terdapat 15 ibu
hamil (33.3%) menderita anemia gizi besi dan 30 ibu hamil
(66.7%) tidak menderita anemia gizi besi, sedangkan dari 49
ibu hamil yang mengkonsumsi protein hewani bioavaiabilitas
tinggi dengan pola sering, terdapat 21 ibu hamil (42.9%)
menderita anemia gizi besi dan 28 ibu hamil (57.1 %) tidak
menderita anemia gizi besi. Hasil uji statistik diperoleh nilai
P (Pvalue) sebesar 0.46 (α > 0.05), menunjukkan bahwa
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
85
hubungan antara pola konsumsi pengikat zat besi (enhauncer
Fe) per hari pada ibu hamil dengan anemia gizi besi tidak
signifikan secara statistik. Dari analisa ini didapatkan nilai
PR sebesar 1.3(CI 95% 0.66 – 2.5). maka dari hasil tersebut
dapat disimpulkan bahwa prevalens ibu yang mengkonsumsi
pengikat zat besi (enhauncer Fe) per hari dengan pola jarang
1.3 kali lebih tinggi untuk menderita anemia gizi besi
dibandingkan ibu yang mengkonsumsi pengikat zat besi
(enhauncer Fe) per hari pola sering.
5.3.2.13. Pengaruh konsumsi penghambat zat besi (inhibitor Fe) per
hari terhadap anemia gizi besi pada ibu hamil
Dari 45 ibu hamil yang mengkonsumsi penghambat zat besi
(enhauncer Fe) per hari dengan pola jarang, terdapat 14 ibu
hamil (32.6%) menderita anemia gizi besi dan 29 ibu hamil
(67.4%) tidak menderita anemia gizi besi, sedangkan dari 51
ibu hamil yang mengkonsumsi protein hewani bioavaiabilitas
tinggi dengan pola sering, terdapat 22 ibu hamil (43.1%)
menderita anemia gizi besi dan 29 ibu hamil (56.9 %) tidak
menderita anemia gizi besi. Hasil uji statistik diperoleh nilai
P (Pvalue) sebesar 0.41 (α > 0.05), menunjukkan bahwa
hubungan antara pola konsumsi penghambat zat besi
(enhauncer Fe) per hari pada ibu hamil dengan anemia gizi
besi tidak signifikan secara statistik. Dari analisa ini
didapatkan nilai PR sebesar 1.32(CI 95% 0.6 – 2.59). maka
dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa prevalens ibu
yang mengkonsumsi penghambat zat besi (inhibitor Fe) per
hari dengan pola jarang 1.3 kali lebih tinggi untuk menderita
anemia gizi besi dibandingkan ibu yang mengkonsumsi
penghambat zat besi (inhibitor Fe) per hari pola sering.
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
86
5.4. Pengaruh kadar tannin teh terhadap anemi gizi besi (analisa serum
ferritin) dengan pengaruh faktor resiko lain
5.4.1. Gambaran pengaruh usia ibu terhadap hubungan kadar tannin
dengan anemia gizi besi pada ibu hamil
Dari analisa hubungan kadar tannin per hari terhadap anemia gizi
besi yang dipengaruhi oleh usia ibu hamil, maka didapatkan dari
total 19 ibu hamil yang berusia < 20 tahun dan > 35 tahun
terdapat diantaranya 2 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 2
ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan tidak ada ibu hamil
dengan kadar tannin rendah menderita anemi gizi besi (serum
ferritin rendah). Sedangkan 5 ibu hamil dengan kadar tannin
tinggi, 5 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 5 ibu hamil
dengan kadar tannin rendah tidak menderita anemia gizi besi
(serum ferritin normal). Selanjutnya dari total 75 ibu hamil yang
berusia
20 sd 35 tahun terdapat
diantaranya 10 ibu hamil
dengan kadar tannin tinggi, 18 ibu hamil dengan kadar tanin
sedang dan 4 ibu hamil dengan kadar tannin rendah menderita
anemi gizi besi (serum ferritin rendah). Sedangkan 9 ibu hamil
dengan kadar tannin tinggi, 19 ibu hamil dengan kadar tanin
sedang dan 15 ibu hamil dengan kadar tannin rendah tidak
menderita anemia gizi besi (serum ferritin normal)
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
87
Usia Ibu
Hamil
Usia < 20
dan > 35
tahun
Usia 20 sd
35 tahun
Tabel 5.25
Pengaruh Usia Ibu terhadap Hubungan Kadar Tanin dengan
Anemia Gizi Besi pada Ibu Hamil di UPT Puskesmas
Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012
Kadar
Anemia Gizi Besi
PR
Tanin
Tinggi
Sedang
Rendah
Total
Tinggi
Sedang
Rendah
Total
SF Rendah
n
%
2
28.6
2
28.6
0
0
4
21.1
10
52.6
18
48.6
4
21.1
32
42.7
SF Tinggi
N
%
5
71.4
5
71.4
5
100
15
78.9
9
47.4
19
51.4
15
78.9
43
57.3
Total
n
%
7
100
7
100
5
100
19
100
19
100
37
100
19
100
75
100
PR tanin
tinggi-rendah = sedang-rendah = -
0.068
PR tanin
tinggi-rendah = 2.83
sedang-rendah =
2.93
0.075
PR adjusted tanin tinggi-rendah = 2.87 (CI 95% 0.92 – 8.9)
PR adjusted tanin sedang-rendah = 2.65 (CI 95% 0.9 – 7.7)
Dari tabel diatas terdapat nilai masing-masing strata, dimana PR
adjusted pada kadar tanin tinggi terhadap kadar tanin rendah
sebesar = 2.87 dengan CI 95% 0.92 – 8.9 dan PR adjusted pada
kadar tanin sedang terhadap kadar tanin rendah sebesar = 2.65
dengan CI 95% 0.9 – 7.7 dan PR bivariat/crude untuk kadar tanin
sedang terhadap kadar tanin rendah sebesar 2.73, jika peneliti
menetapkan confounding sebesar 10%, maka PR Adjusted = PR
Crude. Sehingga dapat disimpulkan bahwa variable usia bukan
merupakan variable confounding (confouder Variabel). Sedangkan
dalam penilaian potensial efek modifikasi tidak dapat terlihat
interaksi secara statistik oleh karena pada strata pertama terdapat
nilai 0 pada salah satu sel dan juga belum ditemukan interaksi
biologis pada teori yang ada.
5.4.2. Gambaran pengaruh status pekerjaan ibu terhadap hubungan kadar
tannin dengan anemia gizi besi pada ibu hamil
Dari analisa hubungan kadar tannin per hari terhadap anemia gizi
besi yang dipengaruhi oleh usia ibu hamil, maka didapatkan dari
total 87 ibu hamil yang tidak berkerja/IRT terdapat diantaranya 11
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
P
Value
88
ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 20 ibu hamil dengan kadar
tanin sedang
dan 4 ibu hamil dengan kadar tannin rendah
menderita anemi gizi besi (serum ferritin rendah). Sedangkan 13
ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 23 ibu hamil dengan kadar
tanin sedang dan 16 ibu hamil dengan kadar tannin rendah tidak
menderita anemia gizi besi (serum ferritin normal). Selanjutnya
dari total 7 ibu hamil tidak berkerja terdapat diantaranya 1 ibu
hamil dengan kadar tannin tinggi, tidak ada ibu hamil dengan kadar
tanin sedang dan kadar tannin rendah menderita anemi gizi besi
(serum ferritin rendah). Sedangkan 1 ibu hamil dengan kadar
tannin tinggi, 1 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 4 ibu
hamil dengan kadar tannin rendah tidak menderita anemia gizi besi
(serum ferritin normal)
Usia
Kehamilan
Trimester
ketiga
Trimester
Kedua
Tabel 5.26
Pengaruh Status Pekerjaan Ibu terhadap Hubungan Kadar
Tanin dengan Anemia Gizi Besi pada Ibu Hamil di UPT
Puskesmas Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012
Kadar
Anemia Gizi Besi
PR
Tanin
Tinggi
Sedang
Rendah
Total
Tinggi
Sedang
Rendah
Total
SF Rendah
n
%
11
45.8
20
46.5
4
20
35
40.2
1
50
0
0
0
0
1
14.3
SF Tinggi
N
%
13
54.2
23
53.5
16
80
52
59.8
1
50
1
100
4
100
6
85.7
Total
n
%
24
100
43
100
20
100
87
100
2
100
1
100
1
100
7
100
PR tanin
tinggi-rendah = 2.19
sedang-rendah = 3.02
0.09
PR tanin
tinggi-rendah = sedang-rendah = -
0.09
PR adjusted tanin tinggi-rendah = 2.63 (CI 95% 0.84 – 8.2)
PR adjusted tanin sedang-rendah = 2.51 (CI 95% 0.85 – 7.4)
Dari tabel diatas terdapat nilai masing-masing strata, dimana PR
adjusted pada kadar tanin tinggi terhadap kadar tanin rendah
sebesar = 2.63 dengan CI 95% 0.84 – 8.2 dan PR adjusted pada
kadar tanin sedang terhadap kadar tanin rendah sebesar = 2.51
dengan CI 95% 0.85 – 7.4 dan PR bivariat/crude untuk kadar tanin
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
P
Value
89
tinggi terhadap rendah sebesar 2.77 dan PR Bivariat/crude kadar
tanin sedang terhadap kadar tanin rendah sebesar 2.73, jika peneliti
menetapkan confounding sebesar 10%, maka PR Adjusted = PR
Crude. Sehingga dapat disimpulkan bahwa variable usia bukan
merupakan variable confounding (confouder Variabel). Sedangkan
dalam penilaian potensial efek modifikasi tidak dapat terlihat
interaksi secara statistik oleh karena pada strata pertama terdapat
nilai 0 pada salah satu sel dan juga belum ditemukan interaksi
biologis pada teori yang ada.
5.4.3. Gambaran pengaruh usia kehamilan (trimester) ibu terhadap
hubungan kadar tannin dengan anemia gizi besi pada ibu hamil
Dari analisa hubungan kadar tannin per hari terhadap anemia gizi
besi yang dipengaruhi oleh usia kehamilan ibu hamil, maka
didapatkan
dari total 57 ibu hamil yang usia kehamilan > 28
minggu (trimsetr ketiga) terdapat diantaranya 9 ibu hamil dengan
kadar tannin tinggi, 11 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 2
ibu hamil dengan kadar tannin rendah menderita anemi gizi besi
(serum ferritin rendah). Sedangkan 10 ibu hamil dengan kadar
tannin tinggi, 13 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 12 ibu
hamil dengan kadar tannin rendah tidak menderita anemia gizi besi
(serum ferritin normal). Selanjutnya dari total 37 ibu dengan usia
kehamilan > 14 sd 28 minggu (trimester kedua) terdapat
diantaranya 3 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 9 ibu hamil
dengan kadar tanin sedang dan2 ibu hamil dengan kadar tannin
rendah menderita anemi gizi besi (serum ferritin rendah).
Sedangkan 4 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 11 ibu hamil
dengan kadar tanin sedang dan 8 ibu hamil dengan kadar tannin
rendah tidak menderita anemia gizi besi (serum ferritin normal).
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
90
Status
Pekerjaan
Ibu
Tidak
Berkerja /
IRT
Berkerja
Tabel 5.27
Pengaruh Usia Kehamilan Ibu terhadap Hubungan Kadar
Tanin dengan Anemia Gizi Besi pada Ibu Hamil di UPT
Puskesmas Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012
Kadar
Anemia Gizi Besi
PR
Tanin
Tinggi
Sedang
Rendah
Total
Tinggi
Sedang
Rendah
Total
SF Rendah
n
%
9
47.4
11
45.8
2
14.3
22
38.6
3
42.9
9
45
2
20
14
37.8
SF Tinggi
N
%
10
52.6
13
54.2
12
85.7
35
61.4
4
57.1
11
55
8
80
23
62.2
Total
n
%
19
100
24
100
14
100
57
100
7
100
20
100
10
100
37
100
PR tanin
tinggi-rendah = 2.67
sedang-rendah = 2.59
PR tanin
tinggi-rendah = 2.0
sedang-rendah =
2.91
PR adjusted tanin tinggi-rendah = 2.77 (CI 95% 0.89 – 8.63)
PR adjusted tanin sedang-rendah = 2.73 (CI 95% 0.93 – 7.9)
Dari tabel diatas terdapat nilai masing-masing strata, dimana PR
adjusted pada kadar tanin tinggi terhadap kadar tanin rendah
sebesar = 2.77 dengan CI 95% 0.89 – 8.63 dan PR adjusted pada
kadar tanin sedang terhadap kadar tanin rendah sebesar = 2.73
dengan CI 95% 0.93 – 7.9 dan PR bivariat/crude untuk kadar tanin
tinggi terhadap rendah sebesar 2.77 dan PR Bivariat/crude kadar
tanin sedang terhadap kadar tanin rendah sebesar 2.73, jika peneliti
menetapkan confounding sebesar 10%, maka PR Adjusted = PR
Crude. Sehingga dapat disimpulkan bahwa variable usia kehamilan
bukan merupakan variable confounding (confouder Variabel).
Sedangkan dalam penilaian potensial ada atau tidaknya efek
modifikasi, maka didapatkan nilai yang sama antara strata pertama
dengan strata kedua, sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel
usia kehamilan bukan variabel yang berpotensi sebagai efek
modifikasi pada hubungan kadar tanin terhadap anemia gizi besi.
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
P
Value
0.08
0.067
91
5.4.4. Gambaran pengaruh jarak kehamilan ibu terhadap hubungan kadar
tannin dengan anemia gizi besi pada ibu hamil.
Dari analisa hubungan kadar tannin per hari terhadap anemia gizi
besi yang dipengaruhi oleh jarak kehamila ibu hamil, maka
didapatkan dari total 42 ibu hamil yang usia kehamilan ≥ 2 tahun
terdapat diantaranya 4 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 7 ibu
hamil dengan kadar tanin sedang dan 2 ibu hamil dengan kadar
tannin rendah menderita anemi gizi besi (serum ferritin rendah).
Sedangkan 8 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 13 ibu hamil
dengan kadar tanin sedang dan 8 ibu hamil dengan kadar tannin
rendah tidak menderita anemia gizi besi (serum ferritin normal).
Selanjutnya dari total 52 ibu dengan jarak kehamilan < 2 tahun
terdapat diantaranya 8 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 13
ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 2 ibu hamil dengan
kadar tannin rendah menderita anemi gizi besi (serum ferritin
rendah). Sedangkan 6 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 11 ibu
hamil dengan kadar tanin sedang dan 12 ibu hamil dengan kadar
tannin rendah tidak menderita anemia gizi besi (serum ferritin
normal).
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
92
Jarak
Kehamilan
< 2 tahun
≥ 2 tahun
Tabel 5.28
Pengaruh Jarak Kehamilan Ibu terhadap Hubungan Kadar
Tanin dengan Anemia Gizi Besi pada Ibu Hamil di UPT
Puskesmas Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012
Kadar
Anemia Gizi Besi
PR
Tanin
Tinggi
Sedang
Rendah
Total
Tinggi
Sedang
Rendah
Total
SF Rendah
n
%
4
33.3
7
35
2
20
13
31
8
57.1
13
54.2
2
14.3
23
44.2
SF Tinggi
N
%
8
66.7
13
65
8
80
29
69
6
42.9
11
45.8
12
85.7
29
55.8
Total
n
%
12
100
20
100
10
100
42
100
14
100
24
100
14
100
52
100
PR tanin
tinggi-rendah = 1.67
sedang-rendah = 1.75
0.073
PR tanin
tinggi-rendah = 4.0
sedang-rendah =
3.79
0.063
PR adjusted tanin tinggi-rendah = 2.81 (CI 95% 0.9 – 8.7)
PR adjusted tanin sedang-rendah = 2.76 (CI 95% 0.95 – 8.09)
Dari tabel diatas terdapat nilai masing-masing strata, dimana PR
adjusted pada kadar tanin tinggi terhadap kadar tanin rendah
sebesar = 2.81 dengan CI 95% 0.9 – 8.7 dan PR adjusted pada
kadar tanin sedang terhadap kadar tanin rendah sebesar = 2.76
dengan CI 95% 0.95 – 8.09 dan PR bivariat/crude untuk kadar
tanin tinggi terhadap rendah sebesar 2.77 dan PR Bivariat/crude
kadar tanin sedang terhadap kadar tanin rendah sebesar 2.73, jika
peneliti menetapkan confounding sebesar 10%, maka PR Adjusted
= PR Crude. Sehingga dapat disimpulkan bahwa variable usia
kehamilan bukan merupakan variable confounding (confouder
Variabel). Sedangkan dalam penilaian potensial ada atau tidaknya
efek modifikasi, maka didapatkan nilai yang berbeda antara strata
pertama dengan strata kedua, sehingga dapat disimpulkan bahwa
variabel jarak kehamilan merupakan variabel yang berpotensi
sebagai efek modifikasi pada hubungan kadar tanin terhadap
anemia gizi besi. Tetapi setalh dilakukan Homogenity test,
didapatkan hasil > 0.05 sehingga dapat disimpulkan tidak adanya
interaksi statistik antara variabel jarak kehamilan dengan kadar
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
P
Value
93
tanin teh celup. Secara teori belum terbukti adanya interaksi
biologis antara jarak kehamilan dengan kadar tanin teh celup.
5.4.5. Gambaran pengaruh jarak kelahiran ibu terhadap hubungan kadar
tannin dengan anemia gizi besi pada ibu hamil
Dari analisa hubungan kadar tannin per hari terhadap anemia gizi
besi yang dipengaruhi oleh jarak kelahiran, maka didapatkan dari
total 36 ibu hamil yang jarak kelahiran ≥ 2 anak terdapat
diantaranya 4 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 7 ibu hamil
dengan kadar tanin sedang dan tidak ada ibu hamil dengan kadar
tannin rendah menderita anemi gizi besi (serum ferritin rendah).
Sedangkan 6 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 13 ibu hamil
dengan kadar tanin sedang dan 6 ibu hamil dengan kadar tannin
rendah tidak menderita anemia gizi besi (serum ferritin normal).
Selanjutnya dari total 58 ibu dengan jarak kelahiran < 2 anak
terdapat diantaranya 8 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 13
ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 4 ibu hamil dengan
kadar tannin rendah menderita anemi gizi besi (serum ferritin
rendah). Sedangkan 8 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 11 ibu
hamil dengan kadar tanin sedang dan 14 ibu hamil dengan kadar
tannin rendah tidak menderita anemia gizi besi (serum ferritin
normal).
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
94
Jarak
Kelahiran
≤ 2 anak
>2 anak
Tabel 5.29
Pengaruh Jumlah Kelahiran Ibu terhadap Hubungan Kadar
Tanin dengan Anemia Gizi Besi pada Ibu Hamil di UPT
Puskesmas Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012
Kadar
Anemia Gizi Besi
PR
Tanin
Tinggi
Sedang
Rendah
Total
Tinggi
Sedang
Rendah
Total
SF Rendah
n
%
4
40
7
35
0
0
11
30.6
8
50
13
54.2
4
22.2
25
43.1
SF Tinggi
N
%
6
60
13
65
6
100
25
69.4
8
50
11
45.8
14
77.8
33
56.9
Total
n
%
10
100
20
100
6
100
36
100
16
100
24
100
18
100
58
100
PR tanin
tinggi-rendah = sedang-rendah = -
0.063
PR tanin
tinggi-rendah = 2.25
sedang-rendah =
2.44
0.048
PR adjusted tanin tinggi-rendah = 2.93 (CI 95% 0.94 – 9.1)
PR adjusted tanin sedang-rendah = 2.97(CI 95% 1.00 – 8.76)
Dari tabel diatas terdapat nilai masing-masing strata, dimana PR
adjusted pada kadar tanin tinggi terhadap kadar tanin rendah
sebesar = 2.93 dengan CI 95% 0.94 – 9.1 dan PR adjusted pada
kadar tanin sedang terhadap kadar tanin rendah sebesar = 2.97
dengan CI 95% 1.00 – 8.76 dan PR bivariat/crude untuk kadar
tanin tinggi terhadap rendah sebesar 2.77 dan PR Bivariat/crude
kadar tanin sedang terhadap kadar tanin rendah sebesar 2.73, jika
peneliti menetapkan confounding sebesar 10%, maka PR Adjusted
≠ PR Crude. Sehingga dapat disimpulkan bahwa variable jumlah
kelahiran
merupakan
variable
yang
berpotensi
sebagai
confounding (confouder Variabel). Sedangkan dalam penilaian
potensial efek modifikasi tidak dapat terlihat interaksi secara
statistik oleh karena pada strata pertama terdapat nilai 0 pada salah
satu sel dan juga belum ditemukan interaksi biologis pada teori
yang ada.
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
P
Value
95
5.4.6. Gambaran pengaruh Konsumsi Tablet Tambah Darah (TTD) ibu
terhadap hubungan kadar tannin dengan anemia gizi besi pada ibu
hamil
Dari analisa hubungan kadar tannin per hari terhadap anemia gizi
besi yang dipengaruhi oleh konsumsi tablet tambah darah, maka
didapatkan
dari total 10 ibu hamil yang tidak mengkonsumsi
terdapat diantaranya 1 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 3 ibu
hamil dengan kadar tanin sedang dan tidak ada ibu hamil dengan
kadar tannin rendah menderita anemi gizi besi (serum ferritin
rendah). Sedangkan 1 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 2 ibu
hamil dengan kadar tanin sedang dan 3 ibu hamil dengan kadar
tannin rendah tidak menderita anemia gizi besi (serum ferritin
normal). Selanjutnya dari total 84 ibu yang mengkonsumsi tablet
tambah darah terdapat diantaranya 11 ibu hamil dengan kadar
tannin tinggi, 17 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 4 ibu
hamil dengan
kadar tannin rendah menderita anemi gizi besi
(serum ferritin rendah). Sedangkan 13 ibu hamil dengan kadar
tannin tinggi, 22 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 17 ibu
hamil dengan kadar tannin rendah tidak menderita anemia gizi besi
(serum ferritin normal).
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
96
Status
Konsumsi
TTD
Tidak
Ya
Tabel 5.30
Pengaruh Konsumsi Tablet Tambah Darah (TTD) Ibu
terhadap Hubungan Kadar Tanin dengan Anemia Gizi Besi
pada Ibu Hamil di UPT Puskesmas Citeureup Kabupaten
Bogor Tahun 2012
Kadar
Anemia Gizi Besi
PR
Tanin
Tinggi
Sedang
Rendah
Total
Tinggi
Sedang
Rendah
Total
SF Rendah
n
%
1
50
3
60
0
0
4
40
11
45.8
17
43.6
4
19
32
38.1
SF Tinggi
N
%
1
50
2
40
3
100
6
60
13
54.2
22
56.4
17
81
52
61.9
Total
n
%
2
100
5
100
3
100
10
100
24
100
39
100
21
100
84
100
PR tanin
tinggi-rendah = sedang-rendah = -
0.077
PR tanin
tinggi-rendah = 2.41
sedang-rendah =
2.29
0.07
PR adjusted tanin tinggi-rendah = 2.78 (CI 95% 0.89 – 8.6)
PR adjusted tanin sedang-rendah = 2.73 (CI 95% 0.93 – 7.99)
Dari tabel diatas terdapat nilai masing-masing strata, dimana PR
adjusted pada kadar tanin tinggi terhadap kadar tanin rendah
sebesar = 2.78 dengan CI 95% 0.89 – 8.6 dan PR adjusted pada
kadar tanin sedang terhadap kadar tanin rendah sebesar = 2.73
dengan CI 95% 0.93 – 7.99 dan PR bivariat/crude untuk kadar
tanin tinggi terhadap rendah sebesar 2.77 dan PR Bivariat/crude
kadar tanin sedang terhadap kadar tanin rendah sebesar 2.73, jika
peneliti menetapkan confounding sebesar 10%, maka PR Adjusted
= PR Crude. Sehingga dapat disimpulkan bahwa variable
konsumsi tablet tambah darah bukan merupakan variable
confounding (confouder Variabel). Sedangkan dalam penilaian
potensial efek modifikasi tidak dapat terlihat interaksi secara
statistik oleh karena pada strata pertama terdapat nilai 0 pada salah
satu sel dan juga belum ditemukan interaksi biologis pada teori
yang ada.
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
P
Value
97
5.4.7. Gambaran pengaruh Status Gizi Ibu terhadap hubungan kadar
tannin dengan anemia gizi besi pada ibu hamil
Dari analisa hubungan kadar tannin per hari terhadap anemia gizi
besi yang dipengaruhi oleh status gizi ibu hamil, maka didapatkan
dari total 13 ibu hamil yang memiliki status gizi kurang energi
kronik (KEK) terdapat diantaranya 2 ibu hamil dengan kadar
tannin tinggi, 2 ibu hamil dengan kadar tanin sedang 1 ibu hamil
dengan kadar tannin rendah menderita anemi gizi besi (serum
ferritin rendah). Sedangkan 4 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi,
1 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 3 ibu hamil dengan
kadar tannin rendah tidak menderita anemia gizi besi (serum
ferritin normal). Selanjutnya dari total 81 ibu yang tidak beresiko
kurang energi kronik (KEK) terdapat diantaranya 10 ibu hamil
dengan kadar tannin tinggi, 18 ibu hamil dengan kadar tanin
sedang dan 3 ibu hamil dengan kadar tannin rendah menderita
anemi gizi besi (serum ferritin rendah). Sedangkan 10 ibu hamil
dengan kadar
tannin tinggi, 23 ibu hamil dengan kadar tanin
sedang dan 17 ibu hamil dengan kadar tannin rendah tidak
menderita anemia gizi besi (serum ferritin normal).
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
98
Status Gizi
Kurang
Energi
Kronik
(KEK)
Tidak KEK
Tabel 5.31
Pengaruh Status Gizi Ibu terhadap Hubungan Kadar Tanin
dengan Anemia Gizi Besi pada Ibu Hamil di UPT Puskesmas
Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012
Kadar
Anemia Gizi Besi
PR
Tanin
Tinggi
Sedang
Rendah
Total
Tinggi
Sedang
Rendah
Total
SF Rendah
n
%
2
33.3
2
66.7
1
25
5
38.5
10
50
18
43.9
3
15
31
38.3
SF Tinggi
N
%
4
66.7
1
33.3
3
75
8
61.5
10
50
23
56.1
17
85
50
61.7
Total
n
%
6
100
3
100
4
100
13
100
20
100
41
100
20
100
81
100
PR tanin
tinggi-rendah = 1.33
sedang-rendah = 2.07
0.08
PR tanin
tinggi-rendah = 3.33
sedang-rendah =
2.93
0.067
PR adjusted tanin tinggi-rendah = 2.76 (CI 95% 0.89 – 8.6)
PR adjusted tanin sedang-rendah = 2.74 (CI 95% 0.93 – 8.05)
Dari tabel diatas terdapat nilai masing-masing strata, dimana PR
adjusted pada kadar tanin tinggi terhadap kadar tanin rendah
sebesar = 2.76 dengan CI 95% 0.89 – 8.6 dan PR adjusted pada
kadar tanin sedang terhadap kadar tanin rendah sebesar = 2.74
dengan CI 95% 0.93 – 8.05 dan PR bivariat/crude untuk kadar
tanin tinggi terhadap rendah sebesar 2.77 dan PR Bivariat/crude
kadar tanin sedang terhadap kadar tanin rendah sebesar 2.73, jika
peneliti menetapkan confounding sebesar 10%, maka PR Adjusted
= PR Crude. Sehingga dapat disimpulkan bahwa variable status
gizi ibu bukan merupakan variable confounding (confouder
Variabel). Sedangkan dalam penilaian potensial ada atau tidaknya
efek modifikasi, maka didapatkan nilai yang berbeda antara strata
pertama dengan strata kedua, sehingga dapat disimpulkan bahwa
variabel status gizi ibu merupakan variabel yang berpotensi
sebagai efek modifikasi pada hubungan kadar tanin terhadap
anemia gizi besi. Tetapi setelah dilakukan Homogenity test,
didapatkan hasil > 0.05 sehingga dapat disimpulkan tidak adanya
interaksi statistik antara variabel status gizi ibu dengan kadar tanin
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
P
Value
99
teh celup. Secara teori belum terbukti adanya interaksi biologis
antara status gizi ibu dengan kadar tanin teh celup.
5.4.8. Gambaran Pola Konsumsi Protein Hewani (Heme) terhadap
hubungan kadar tannin dengan anemia gizi besi pada ibu hamil
a) Protein Hewani (Heme) dengan Bioavaiabilitas tinggi
Dari analisa hubungan kadar tannin per hari terhadap anemia gizi
besi yang dipengaruhi oleh pola konsumsi protein hewani dengan
bioavaiabilitas tinggi, maka didapatkan dari total 45 ibu hamil
yang memiliki jarang mengkonsumsi protein hewani dengan
bioavaiabilitas tinggi terdapat diantaranya 6 ibu hamil dengan
kadar tannin tinggi, 9 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 2
ibu hamil dengan kadar tannin rendah menderita anemi gizi besi
(serum ferritin rendah). Sedangkan 7 ibu hamil dengan kadar
tannin tinggi, 9 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 12 ibu
hamil dengan kadar tannin rendah tidak menderita anemia gizi besi
(serum ferritin normal). Selanjutnya dari total
49 ibu jarang
mengkonsumsi protein hewani dengan bioavaiabilitas tinggi
terdapat diantaranya 6 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 11
ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 2 ibu hamil dengan
kadar tannin rendah menderita anemi gizi besi (serum ferritin
rendah). Sedangkan 7 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 15 ibu
hamil dengan kadar tanin sedang dan 8 ibu hamil dengan kadar
tannin rendah tidak menderita anemia gizi besi (serum ferritin
normal).
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
100
Pola
Konsumsi
Protein
Hewani dg
Bio. Tinggi
Jarang
Sering
Tabel 5.32
Pengaruh Pola Konsumsi Protein Hewani dengan
Bioavaiabilitas Tinggi terhadap Hubungan Kadar Tanin
dengan Anemia Gizi Besi pada Ibu Hamil di UPT Puskesmas
Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012
Kadar
Anemia Gizi Besi
PR
Tanin
Tinggi
Sedang
Rendah
Total
Tinggi
Sedang
Rendah
Total
SF Rendah
n
%
6
46.2
9
50
2
14.3
17
37.8
6
46.2
11
42.3
2
20
19
38.8
SF Tinggi
N
%
7
53.8
9
50
12
85.7
28
62.2
7
53.8
15
57.7
8
80
30
61.2
Total
n
%
13
100
18
100
14
100
45
100
13
100
26
100
10
100
49
100
PR tanin
tinggi-rendah = 3.23
sedang-rendah = 3.5
0.07
PR tanin
tinggi-rendah = 2.31
sedang-rendah =
2.12
0.06
PR adjusted tanin tinggi-rendah = 2.78 (CI 95% 0.89 – 8.64)
PR adjusted tanin sedang-rendah = 2.75 (CI 95% 0.9 – 8.1)
Dari tabel diatas terdapat nilai masing-masing strata, dimana PR
adjusted pada kadar tanin tinggi terhadap kadar tanin rendah
sebesar = 2.78 dengan CI 95% 0.89 – 8.64 dan PR adjusted
pada kadar tanin sedang terhadap kadar tanin rendah sebesar =
2.75 dengan CI 95% 0.9 – 8.1 dan PR bivariat/crude untuk
kadar tanin tinggi terhadap rendah sebesar 2.77 dan PR
Bivariat/crude kadar tanin sedang terhadap kadar tanin rendah
sebesar 2.73, jika peneliti menetapkan confounding sebesar 10%,
maka PR Adjusted = PR Crude. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa variable pola konsumsi protein hewani dengan
bioavaiabilitas
tinggi
ibu
bukan
merupakan
variable
confounding (confouder Variabel). Sedangkan dalam penilaian
potensial ada atau tidaknya efek modifikasi, maka didapatkan
nilai yang berbeda antara strata pertama dengan strata kedua,
sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel pola konsumsi
protein hewani dengan bioavaiabilitas tinggi ibu merupakan
variabel yang berpotensi sebagai efek modifikasi pada
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
P
Value
101
hubungan kadar tanin terhadap anemia gizi besi. Secara teori
dan beberapa penelitian telah menyimpulkan bahwa tanin dapat
menghambat zat besi yang terdapat di protein hewani dengan
bioavaiabilitas tinggi jika dikonsumsi secara bersamaan atau
dalam rentang waktu < 2 jam. Hal ini terjadi karena sifat tanin
sebagai penghambat absorbsi zat besi. Tetapi setelah dilakukan
Homogenity test, didapatkan hasil > 0.05 sehingga dapat
disimpulkan tidak adanya interaksi statistik antara variabel pola
konsumsi protein hewani dengan bioavaiabilitas tinggi dengan
kadar tanin teh celup. Dalam penelitian ini belum terbukti
adanya interaksi biologis antara variabel pola konsumsi protein
hewani dengan bioavaiabilitas tinggi dengan kadar tanin teh
celup oleh karena jumlah sampel yang kurang untuk
membuktikan adanya interaksi secara statistik.
b) Protein Hewani (Heme) dengan Bioavaiabilitas rendah
Dari analisa hubungan kadar tannin per hari terhadap anemia
gizi besi yang dipengaruhi oleh pola konsumsi protein hewani
dengan bioavaiabilitas rendah, maka didapatkan dari total 45
ibu hamil yang memiliki jarang mengkonsumsi protein hewani
dengan bioavaiabilitas rendah terdapat diantaranya 3 ibu hamil
dengan kadar tannin tinggi, 8 ibu hamil dengan kadar tanin
sedang dan 1 ibu hamil dengan kadar tannin rendah menderita
anemi gizi besi (serum ferritin rendah). Sedangkan 5 ibu hamil
dengan kadar tannin tinggi, 14 ibu hamil dengan kadar tanin
sedang dan 14 ibu hamil dengan kadar tannin rendah tidak
menderita anemia gizi besi (serum ferritin normal). Selanjutnya
dari total 49 ibu jarang mengkonsumsi protein hewani dengan
bioavaiabilitas rendah terdapat diantaranya 9 ibu hamil dengan
kadar tannin tinggi, 12 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan
3 ibu hamil dengan kadar tannin rendah menderita anemi gizi
besi (serum ferritin rendah). Sedangkan 9 ibu hamil dengan
kadar tannin tinggi, 10 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
102
6 ibu hamil dengan kadar tannin rendah tidak menderita anemia
gizi besi (serum ferritin normal).
Pola
Konsumsi
Protein
Hewani dg
Bio.Rendah
Jarang
Sering
Tabel 5.33
Pengaruh Pola Konsumsi Protein Hewani dengan
Bioavaiabilitas Rendah terhadap Hubungan Kadar Tanin
dengan Anemia Gizi Besi pada Ibu Hamil di UPT Puskesmas
Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012
Kadar
Anemia Gizi Besi
PR
Tanin
Tinggi
Sedang
Rendah
Total
Tinggi
Sedang
Rendah
Total
SF Rendah
n
%
3
37.5
8
36.4
1
6.7
12
26.7
9
50
12
54.5
3
33.3
24
49
SF Tinggi
N
%
5
62.5
14
63.6
14
93.3
33
73.3
9
50
10
45.5
6
66.7
25
51
Total
n
%
8
100
22
100
15
100
45
100
18
100
22
100
9
100
49
100
PR tanin
tinggi-rendah = 5.63
sedang-rendah = 5.45
0.14
PR tanin
tinggi-rendah = 1.50
sedang-rendah =
1.64
0.09
PR adjusted tanin tinggi-rendah = 2.36 (CI 95% 0.75 – 7.47)
PR adjusted tanin sedang-rendah = 2.56 (CI 95% 0.87 – 7.5)
Dari tabel diatas terdapat nilai masing-masing strata, dimana PR
adjusted pada kadar tanin tinggi terhadap kadar tanin rendah
sebesar = 2.36 dengan CI 95% 0.75 – 7.47 dan PR adjusted
pada kadar tanin sedang terhadap kadar tanin rendah sebesar =
2.56 dengan CI 95% 0.87 – 7.5 dan PR bivariat/crude untuk
kadar tanin tinggi terhadap rendah sebesar 2.77 dan PR
Bivariat/crude kadar tanin sedang terhadap kadar tanin rendah
sebesar 2.73, jika peneliti menetapkan confounding sebesar 10%,
maka PR Adjusted ≠ PR Crude. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa variable pola konsumsi protein hewani dengan
bioavaiabilitas
rendah
merupakan
variable
confounding
(confouder Variabel). Sedangkan dalam penilaian potensial ada
atau tidaknya efek modifikasi, maka didapatkan nilai yang
berbeda antara strata pertama dengan strata kedua, sehingga
dapat disimpulkan bahwa variabel pola konsumsi protein
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
P
Value
103
hewani dengan bioavaiabilitas rendah ibu merupakan variabel
yang berpotensi sebagai efek modifikasi pada hubungan kadar
tanin terhadap anemia gizi besi. Secara teori dan beberapa
penelitian telah menyimpulkan bahwa tanin dapat menghambat
zat besi yang terdapat di protein hewani dengan bioavaiabilitas
tinggi jika dikonsumsi secara bersamaan atau dalam rentang
waktu < 2 jam. Hal ini terjadi karena sifat tanin sebagai
penghambat absorbsi zat besi. Tetapi setelah dilakukan
Homogenity test, didapatkan hasil > 0.05 sehingga dapat
disimpulkan tidak adanya interaksi statistik antara variabel pola
konsumsi protein hewani dengan bioavaiabilitas rendah dengan
kadar tanin teh celup. Dalam penelitian ini belum terbukti
adanya interaksi biologis antara variabel pola konsumsi protein
hewani dengan bioavaiabilitas rendah dengan kadar tanin teh
celup oleh karena jumlah sampel yang kurang untuk
membuktikan adanya interaksi secara statistik.
5.4.9. Gambaran Pola Konsumsi Protein Nabati (Non-Heme) terhadap
hubungan kadar tannin dengan anemia gizi besi pada ibu hamil
a) Protein Nabati (Non-Heme) dengan Bioavaiabilitas tinggi
Dari analisa hubungan kadar tannin per hari terhadap anemia
gizi besi yang dipengaruhi oleh pola konsumsi protein nabati
dengan bioavaiabilitas tinggi, maka didapatkan dari total 45 ibu
hamil yang memiliki jarang mengkonsumsi protein nabati
dengan bioavaiabilitas tinggi terdapat diantaranya 7 ibu hamil
dengan kadar tannin tinggi, 11 ibu hamil dengan kadar tanin
sedang dan 2 ibu hamil dengan kadar tannin rendah menderita
anemi gizi besi (serum ferritin rendah). Sedangkan 5 ibu hamil
dengan kadar tannin tinggi, 10 ibu hamil dengan kadar tanin
sedang dan 10 ibu hamil dengan kadar tannin rendah tidak
menderita anemia gizi besi (serum ferritin normal). Selanjutnya
dari total 49 ibu jarang mengkonsumsi protein nabati dengan
bioavaiabilitas tinggi terdapat diantaranya 5 ibu hamil dengan
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
104
kadar tannin tinggi, 9 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan
2 ibu hamil dengan kadar tannin rendah menderita anemi gizi
besi (serum ferritin rendah). Sedangkan 9 ibu hamil dengan
kadar tannin tinggi, 14 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan
10 ibu hamil dengan kadar tannin rendah tidak menderita
anemia gizi besi (serum ferritin normal).
Pola
Konsumsi
Protein
Nabati dg
Bio. Tinggi
Jarang
Sering
Tabel 5.34
Pengaruh Pola Konsumsi Protein Nabati dengan
Bioavaiabilitas Tinggi terhadap Hubungan Kadar Tanin
dengan Anemia Gizi Besi pada Ibu Hamil di UPT Puskesmas
Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012
Kadar
Anemia Gizi Besi
PR
Tanin
Tinggi
Sedang
Rendah
Total
Tinggi
Sedang
Rendah
Total
SF Rendah
n
%
7
58.3
11
52.4
2
16.7
20
44.4
5
35.7
9
39.1
2
16.7
16
32.7
SF Tinggi
N
%
5
41.7
10
47.6
10
83.3
25
55.6
9
64.3
14
60.9
10
83.3
33
67.3
Total
n
%
12
100
21
100
12
100
45
100
14
100
23
100
12
100
49
100
PR tanin
tinggi-rendah = 3.50
sedang-rendah = 3.14
0.07
PR tanin
tinggi-rendah = 2.14
sedang-rendah =
2.35
0.06
PR adjusted tanin tinggi-rendah = 2.8 (CI 95% 0.9 – 8.6)
PR adjusted tanin sedang-rendah = 2.75 (CI 95% 0.94 – 8.04)
Dari tabel diatas terdapat nilai masing-masing strata, dimana
PR adjusted pada kadar tanin tinggi terhadap kadar tanin
rendah sebesar = 2.8 dengan CI 95% 0.9 – 8.6 dan PR adjusted
pada kadar tanin sedang terhadap kadar tanin rendah sebesar =
2.75 dengan CI 95% 0.94 – 8.04 dan PR bivariat/crude untuk
kadar tanin tinggi terhadap rendah sebesar 2.77 dan PR
Bivariat/crude kadar tanin sedang terhadap kadar tanin rendah
sebesar 2.73, jika peneliti menetapkan confounding sebesar
10%, maka PR Adjusted = PR Crude. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa variable pola konsumsi protein nabatai
dengan bioavaiabilitas tinggi ibu bukan merupakan variable
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
P
Value
105
confounding (confouder Variabel). Sedangkan dalam penilaian
potensial ada atau tidaknya efek modifikasi, maka didapatkan
nilai yang berbeda antara strata pertama dengan strata kedua,
sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel pola konsumsi
protein nabati dengan bioavaiabilitas tinggi ibu merupakan
variabel yang berpotensi sebagai efek modifikasi pada
hubungan kadar tanin terhadap anemia gizi besi. Tetapi setelah
dilakukan Homogenity test, didapatkan hasil > 0.05 sehingga
dapat disimpulkan tidak adanya interaksi statistik antara
variabel pola konsumsi protein nabati dengan bioavaiabilitas
tinggi dengan kadar tanin teh celup. Dalam penelitian ini
belum terbukti adanya interaksi biologis antara variabel pola
konsumsi protein nabati dengan bioavaiabilitas tinggi dengan
kadar tanin teh celup dan secara teori belum terbukti adanya
interaksi biologis antara pola konsumsi protein nabati dengan
bioavaiabilitas tinggi dengan kadar tanin teh celup.
b) Protein Nabati (Non-Heme) dengan Bioavaiabilitas rendah
Dari analisa hubungan kadar tannin per hari terhadap anemia
gizi besi yang dipengaruhi oleh pola konsumsi protein nabati
dengan bioavaiabilitas rendah, maka didapatkan dari total 44
ibu hamil yang memiliki jarang mengkonsumsi protein nabati
dengan bioavaiabilitas rendah terdapat diantaranya 2 ibu hamil
dengan kadar tannin tinggi, 11 ibu hamil dengan kadar tanin
sedang dan 1 ibu hamil dengan kadar tannin rendah menderita
anemi gizi besi (serum ferritin rendah). Sedangkan 9 ibu hamil
dengan kadar tannin tinggi, 12 ibu hamil dengan kadar tanin
sedang dan 9 ibu hamil dengan kadar tannin rendah tidak
menderita anemia gizi besi (serum ferritin normal). Selanjutnya
dari total 50 ibu jarang mengkonsumsi protein nabati dengan
bioavaiabilitas rendah terdapat diantaranya 10 ibu hamil dengan
kadar tannin tinggi, 9 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan
3 ibu hamil dengan kadar tannin rendah menderita anemi gizi
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
106
besi (serum ferritin rendah). Sedangkan 5 ibu hamil dengan
kadar tannin tinggi, 12 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan
11 ibu hamil dengan kadar tannin rendah tidak menderita
anemia gizi besi (serum ferritin normal).
Pola
Konsumsi
Protein
Nabati dg
Bio.Rendah
Jarang
Sering
Tabel 5.35
Pengaruh Pola Konsumsi Protein Nabati dengan
Bioavaiabilitas Rendah terhadap Hubungan Kadar Tanin
dengan Anemia Gizi Besi pada Ibu Hamil di UPT Puskesmas
Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012
Kadar
Anemia Gizi Besi
PR
Tanin
Tinggi
Sedang
Rendah
Total
Tinggi
Sedang
Rendah
Total
SF Rendah
n
%
2
18.2
11
47.8
1
10
14
31.8
10
66.7
9
42.9
3
21.4
22
44
SF Tinggi
N
%
9
81.8
12
52.2
9
90
30
68.2
5
33.3
12
57.1
11
78.6
28
56
Total
n
%
11
100
23
100
10
100
44
100
15
100
21
100
14
100
50
100
PR tanin
tinggi-rendah = 1.82
sedang-rendah = 4.78
0.07
PR tanin
tinggi-rendah = 3.11
sedang-rendah = 2.0
0.058
PR adjusted tanin tinggi-rendah = 2.77 (CI 95% 0.89 – 8.6)
PR adjusted tanin sedang-rendah = 2.83 (CI 95% 0.96 – 8.3)
Dari tabel diatas terdapat nilai masing-masing strata, dimana
PR adjusted pada kadar tanin tinggi terhadap kadar tanin
rendah sebesar = 2.77 dengan CI 95% 0.89 – 8.6 dan PR
adjusted pada kadar tanin sedang terhadap kadar tanin rendah
sebesar = 2.83 dengan CI 95% 0.96 – 8.3 dan PR bivariat/crude
untuk kadar tanin tinggi terhadap rendah sebesar 2.77 dan PR
Bivariat/crude kadar tanin sedang terhadap kadar tanin rendah
sebesar 2.73, jika peneliti menetapkan confounding sebesar
10%, maka PR Adjusted = PR Crude. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa variable pola konsumsi protein nabatai
dengan bioavaiabilitas rendah ibu bukan merupakan variable
confounding (confouder Variabel). Sedangkan dalam penilaian
potensial ada atau tidaknya efek modifikasi, maka didapatkan
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
P
Value
107
nilai yang berbeda antara strata pertama dengan strata kedua,
sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel pola konsumsi
protein nabati dengan bioavaiabilitas rendah ibu merupakan
variabel yang berpotensi sebagai efek modifikasi pada
hubungan kadar tanin terhadap anemia gizi besi. Tetapi setelah
dilakukan Homogenity test, didapatkan hasil > 0.05 sehingga
dapat disimpulkan tidak adanya interaksi statistik antara
variabel pola konsumsi protein nabati dengan bioavaiabilitas
rendah dengan kadar tanin teh celup. Dalam penelitian ini
belum terbukti adanya interaksi biologis antara variabel pola
konsumsi protein nabati dengan bioavaiabilitas rendah dengan
kadar tanin teh celup dan secara teori belum terbukti adanya
interaksi biologis antara pola konsumsi protein nabati dengan
bioavaiabilitas rendah dengan kadar tanin teh celup.
5.4.10. Gambaran Pola Konsumsi Pengikat Absorbsi Zat Besi (Enhauncer
Fe) terhadap hubungan kadar tannin dengan anemia gizi besi pada
ibu hamil
Dari analisa hubungan kadar tannin per hari terhadap anemia gizi
besi yang dipengaruhi oleh pola konsumsi pengikat absorbsi zat
besi, maka didapatkan
dari total 45 ibu hamil yang memiliki
jarang mengkonsumsi pengikat absorbsi zat besi terdapat
diantaranya 4 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 10 ibu hamil
dengan kadar tanin sedang dan 1 ibu hamil dengan kadar tannin
rendah menderita anemi gizi besi (serum ferritin rendah).
Sedangkan 6 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 10 ibu hamil
dengan kadar tanin sedang dan 14 ibu hamil dengan kadar tannin
rendah tidak menderita anemia gizi besi (serum ferritin normal).
Selanjutnya dari total
49 ibu jarang mengkonsumsi pengikat
absorbsi zat besi terdapat diantaranya 8 ibu hamil dengan kadar
tannin tinggi, 10 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 3 ibu
hamil dengan
kadar tannin rendah menderita anemi gizi besi
(serum ferritin rendah). Sedangkan 8 ibu hamil dengan kadar
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
108
tannin tinggi, 14 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 6 ibu
hamil dengan kadar tannin rendah tidak menderita anemia gizi besi
(serum ferritin normal).
Pola
Konsumsi
Pengikat
Abs. Zat
Besi
Jarang
Sering
Tabel 5.36
Pengaruh Pola Konsumsi Pengikat Absorbsi Zat Besi
(Enhauncer Fe) terhadap Hubungan Kadar Tanin dengan
Anemia Gizi Besi pada Ibu Hamil di UPT Puskesmas
Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012
Kadar
Anemia Gizi Besi
PR
Tanin
Tinggi
Sedang
Rendah
Total
Tinggi
Sedang
Rendah
Total
SF Rendah
n
%
4
40
10
50
1
6.7
15
33.3
8
50
10
41.7
3
33.3
21
42.9
SF Tinggi
N
%
6
60
10
50
14
93.3
30
66.7
8
50
14
58.3
6
66.7
28
57.1
Total
n
%
10
100
20
100
15
100
45
100
16
100
24
100
9
100
49
100
PR tanin
tinggi-rendah = 6.0
sedang-rendah = 7.5
0.09
PR tanin
tinggi-rendah = 1.5
sedang-rendah =
1.25
0.07
PR adjusted tanin tinggi-rendah = 2.68 (CI 95% 0.85 – 8.4)
PR adjusted tanin sedang-rendah = 2.66 (CI 95% 0.9 – 7.84)
Dari tabel diatas terdapat nilai masing-masing strata, dimana PR
adjusted pada kadar tanin tinggi terhadap kadar tanin rendah
sebesar = 2.68 dengan CI 95% 0.85 – 8.4 dan PR adjusted pada
kadar tanin sedang terhadap kadar tanin rendah sebesar = 2.66
dengan CI 95% 0.9 – 7.84 dan PR bivariat/crude untuk kadar tanin
tinggi terhadap rendah sebesar 2.77 dan PR Bivariat/crude kadar
tanin sedang terhadap kadar tanin rendah sebesar 2.73, jika peneliti
menetapkan confounding sebesar 10%, maka PR Adjusted = PR
Crude. Sehingga dapat disimpulkan bahwa variable pola konsumsi
pengikat absorbsi zat besi ibu bukan merupakan variable
confounding (confouder Variabel). Sedangkan dalam penilaian
potensial ada atau tidaknya efek modifikasi, maka didapatkan nilai
yang berbeda antara strata pertama dengan strata kedua, sehingga
dapat disimpulkan bahwa variabel pola konsumsi protein nabati
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
P
Value
109
dengan bioavaiabilitas rendah ibu merupakan variabel yang
berpotensi sebagai efek modifikasi pada hubungan kadar tanin
terhadap anemia gizi besi. Secara teori dan beberapa penelitian
telah menyimpulkan bahwa tanin dapat menghambat zat besi yang
terdapat di makanan yang bersifat sebagai pengikat zat besi jika
dikonsumsi secara bersamaan atau dalam rentang waktu < 2 jam.
Hal ini terjadi karena sifat tanin yang bertentangan yaitu sebagai
penghambat
absorbsi
zat
besi.
Tetapi
setelah
dilakukan
Homogenity test, didapatkan hasil > 0.05 sehingga dapat
disimpulkan tidak adanya interaksi statistik antara variabel pola
konsumsi pengikat absorbsi zat besi dengan kadar tanin teh celup.
Dalam penelitian ini belum terbukti adanya interaksi biologis
antara variabel pola konsumsi pengikat absorbsi zat besi dengan
kadar tanin teh celup dan secara teori belum terbukti adanya
interaksi biologis antara pola konsumsi pengikat absorbsi zat besi
dengan kadar tanin teh celup.
5.4.11. Gambaran Pola Konsumsi Penghambat Absorbsi Zat Besi
(Inhibitor Fe) terhadap hubungan kadar tannin dengan anemia gizi
besi pada ibu hamil
Dari analisa hubungan kadar tannin per hari terhadap anemia gizi
besi yang dipengaruhi oleh pola konsumsi penghambat absorbsi zat
besi, maka didapatkan
dari total 43 ibu hamil yang memiliki
jarang mengkonsumsi penghambat absorbsi zat besi terdapat
diantaranya 5 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 6 ibu hamil
dengan kadar tanin sedang dan 3 ibu hamil dengan kadar tannin
rendah menderita anemi gizi besi (serum ferritin rendah).
Sedangkan 5 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 11 ibu hamil
dengan kadar tanin sedang dan 13 ibu hamil dengan kadar tannin
rendah tidak menderita anemia gizi besi (serum ferritin normal).
Selanjutnya dari total 51 ibu jarang mengkonsumsi penghambat
absorbsi zat besi terdapat diantaranya 7 ibu hamil dengan kadar
tannin tinggi, 14 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 1 ibu
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
110
hamil dengan
kadar tannin rendah menderita anemi gizi besi
(serum ferritin rendah). Sedangkan 9 ibu hamil dengan kadar
tannin tinggi, 13 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 7 ibu
hamil dengan kadar tannin rendah tidak menderita anemia gizi besi
(serum ferritin normal).
Pola
Konsumsi
Penghambat
Abs. Zat Besi
Jarang
Sering
Tabel 5.36
Pengaruh Pola Konsumsi Penghambat Absorbsi Zat Besi
(Inhibitor Fe) terhadap Hubungan Kadar Tanin dengan
Anemia Gizi Besi pada Ibu Hamil di UPT Puskesmas
Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012
Kadar
Anemia Gizi Besi
PR
Tanin
Tinggi
Sedang
Rendah
Total
Tinggi
Sedang
Rendah
Total
SF Rendah
n
%
5
50
6
35.3
3
18.8
14
32.6
7
43.8
14
51.9
1
12.5
22
43.1
SF Tinggi
N
%
5
50
11
64.7
13
81.2
29
67.4
9
56.2
13
48.1
7
87.5
29
56.9
Total
n
%
10
100
17
100
16
100
43
100
16
100
27
100
8
100
51
100
PR tanin
tinggi-rendah = 2.67
sedang-rendah = 1.88
0.13
PR tanin
tinggi-rendah = 3.5
sedang-rendah =
4.15
0.08
PR adjusted tanin tinggi-rendah = 2.45 (CI 95% 0.78 – 7.76)
PR adjusted tanin sedang-rendah = 2.62 (CI 95% 0.88 – 7.77)
Dari tabel diatas terdapat nilai masing-masing strata, dimana PR
adjusted pada kadar tanin tinggi terhadap kadar tanin rendah
sebesar = 2.45 dengan CI 95% 0.78 – 7.76 dan PR adjusted pada
kadar tanin sedang terhadap kadar tanin rendah sebesar = 2.62
dengan CI 95% 0.88 – 7.77 dan PR bivariat/crude untuk kadar
tanin tinggi terhadap rendah sebesar 2.77 dan PR Bivariat/crude
kadar tanin sedang terhadap kadar tanin rendah sebesar 2.73, jika
peneliti menetapkan confounding sebesar 10%, maka PR Adjusted
≠ PR Crude. Sehingga dapat disimpulkan bahwa variable pola
konsumsi penghambat absorbsi zat besi merupakan variable
confounding (confouder Variabel). Sedangkan dalam penilaian
potensial ada atau tidaknya efek modifikasi, maka didapatkan nilai
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
P
Value
111
yang berbeda antara strata pertama dengan strata kedua, sehingga
dapat disimpulkan bahwa variabel pola konsumsi protein nabati
dengan bioavaiabilitas rendah ibu merupakan variabel yang
berpotensi sebagai efek modifikasi pada hubungan kadar tanin
terhadap anemia gizi besi. Secara teori dan beberapa penelitian
telah menyimpulkan bahwa tanin teh merupakan salah satu
komponen makanan yang bersifat sebagai penghambat absorbsi zat
besi. Tetapi setelah dilakukan Homogenity test, didapatkan hasil >
0.05 sehingga dapat disimpulkan tidak adanya interaksi statistik
antara variabel pola konsumsi penghambat absorbsi zat besi
dengan kadar tanin teh celup. Dalam penelitian ini belum terbukti
adanya
interaksi
biologis
antara
variabel
pola
konsumsi
penghambat absorbsi zat besi dengan kadar tanin teh celup dan
secara teori belum terbukti adanya interaksi biologis antara pola
konsumsi penghambat absorbsi zat besi dengan kadar tanin teh
celup.
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
112
5.5. Analisa Multivariat
Hasil uji bivariate yang yang tergambar dalam tabel 5.21 maka diseleksi
beberapa variabel untuk masuk ke dalam analisa multivariat.
Tabel 5.38
Penyaringan Variabel untuk diikutsertakan ke dalam analisa
mutivariat kejadian Anemia Gizi Besi
NO
Variabel
P value
Exp(B)
1
Usia ibu hamil *
0.256
0.512
2
Status Pekerjaan (Tidak)
0.562
1.851
3
Trimester ( ketiga)*
0.990
1.005
4
Jarak Kehamilan ( < 2 tahun)*
0.583
0.808
5
Jumlah anak / Paritas (> 2 anak)*
0.548
0.779
6
Konsumsi TTD (tidak)*
0.956
1.033
7
Status gizi (beresiko KEK)*
0.935
0.958
8
Heme dgn Bio. tinggi (jarang)*
0.635
1.183
9
Heme dgn Bio. rendah (jarang)
0.186
0.604
10
Non-Heme dgn Bio. tinggi (jarang)
0.227
1.564
11
Non-Heme dgn Bio. rendah (jarang)
0.197
0.610
12
Enhauncer Fe*
0.851
1.079
13
Inhibitor Fe*
0.845
0.929
14
Kadar tannin (Tinggi thd Rendah)
0.131
2.524
15
Kadar tannin (Sedang thd Rendah)
0.095
2.668
*Tidak diikutsertakan ke dalam permodelan.
** diikutsertakan dalam permodelan karna alasan substansi yang dianggap penting
(variable independen)
Setelah dilakukan penyaringan dari variable bivariate, maka didapatkan 4
variabel yang memenuhi syarat (P ≤ 0,25) yaitu variable Pola konsumsi
protein hewani (heme) dengan bioavaiabilitas rendah, dan Pola konsumsi
protein Nabati (Non-Heme) dengan bioavaiabilitas tinggi, Pola konsumsi
protein Nabati (Non-Heme) dengan bioavaiabilitas rendah, dan kadar tanin
pada teh celup. Selain itu diikutkan juga variabel usia ibu hamil karena
dianggap sebagai variabel yang penting secara substansi. Kelima variabel
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
113
tersebut di analisa dengan menggunakan Cox Regression dengan metode
Backward LR, dengan tahapan perubahan besar resiko pada variabel
independen sebagai berikut :
Tabel 5. 39
Tahapan Analisa Multivariat pada Pengaruh Kadar Tanin Teh Celup
terhadap Anemia Gizi Besi pada Ibu Hamil di UPT Puskesmas
Citeureup Kabupaten Bogor tahun 2012
NO
Variabel
P Value
PR
Perubahan
PR
1
2
3
4
Usia ibu
0.186
0.491
Protein Hewani dg Bio.Rendah
0.186
0.620
Protein Nabati dg Bio.Tinggi
0.143
1.659
Protein Nabati dg Bio.Rendah
0.220
0.647
Kadar Tanin Pada Teh Celup
0.111
2.540
Usia ibu
0.181
0.485
Protein Hewani dg Bio.Rendah
0.17
0.609
Protein Nabati dg Bio.Tinggi
0.222
0.513
Kadar Tanin Pada Teh Celup
0.111
2.552
Usia ibu
0.225
0.522
Protein Hewani dg Bio.Rendah
0.198
0.628
Kadar Tanin Pada Teh Celup
0.117
2.507
Usia ibu
0.183
0.492
Kadar Tanin Pada Teh Celup
0.068
2.869
0.6%
1.1%
0.67%
13.6%
Dari tabel diatas , tidak terjadi perubahan HR melebihi batasan peneliti
(10%) sehingga terdapat 2 variabel covariat yang dinaytakan sebagai
variabel confounder . sehingga didapatkan permodelan terakhir sebagai
berikut:
:
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
114
Tabel 5. 40
Variabel yang ikutserta dalam permodelan terakhir
NO
Variabel
B
PR
CI 95%
1
Protein Hewani dg Bio.Rendah
0.023
1.024
0.56- 1.85
2
Usia Ibu
-0.76
0.493
0.17 – 1.41
3
Kadar Tanin pd Teh Celup
1.044
2.840
0.9 – 9.06
Hasil PR Adjusted variabel kadar tanin sebesar 2.840 (CI 95% 0.9 – 9.06) yang
artinya prevalens ibu hamil dengan kadar tanin yang tinggi 2.084 kali lebih tinggi
untuk menderita anemia gizi besi dibandingkan ibu dengan kadar tani rendah per
harinya setelah di kontrol oleh variabel usia ibu dan pola konsumsi protein hewani
dengan bioavaiabilitas rendah. Dari hasil analisa multivariat dengan model final,
didapatkan pula faktor yang paling dominan yang berperan dalam kejadian
anemia gizi besi yaitu variabel kadar tanin teh celup. Dari tabel di atas dibuat
persamaan dari model terakhir, sebagai berikut :
Kadar Srum Ferritin = ho + e
0.023 (heme bio rendah)-0.76(usia ibu)+1.044(tanin teh celup)
Dengan demikian, meskipun hubungan tanin pada teh celup secara statistik tidak
significan tetapi kadar tanin, asupan protein hewani dengan bioavaiabilitas rendah
dan usia ibu dapat memprediksi terjadi kadar serun ferritin ibu hamil.
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
115
BAB 6
Pembahasan
6.1.
Keterbatasan Penelitian
Beberapa cara telah dilakukan oleh peneliti guna meminimalkan adanya
bias baik berupa bias seleksi, bias informasi, mapun confounding.
Dimana peneliti telah melakukan penggalian informasi pada variabel
covariat yang dianggap berpotensi sebagai confounder lebih dalam pada
tahap design, menggunakan instrument berupa kuesioner yang telah
terstruktur sehingga tidak ada peluang diagnostic Bias pada wawancara,
serta
melakukan
pengukuran
dengan
test
laboratorium
guna
mengkonfirmasi secara pasti status paparan dan outcome sehingga
terhindar dari ancaman validitas internal. Namun, pada studi ini peneliti
belum mampu mengontrol semua hal sehingga masih terdapat beberapa
kelemahan yang perlu dijelaskan dalam bab ini.
Penelitian ini menggunakan desain Cross sectional analytic dimana
kelemahan desain ini yaitu adanya peluang temporal ambiguity bias
akibat desain ini tidak dapat menentukan kausalitas, tetapi pada penelitian
ini telah ditentukan variabel independen utama sebagai penyebab dari
outcome berdasarkan teori yang ada dan dari penelitian-penelitian
sebelumnya. Pada studi ini peneliti melakukan pemilihan sampel dengan
metode random sampling
dari daftar ibu hamil di UPT Puskesmas
Citeureup yang terlebih dahulu dipilih berdasarkan kriteria inklusi. Tetapi
adanya kemungkinan terjadi random error atau chance sehingga
mengakibatkan presisi penelitian ini rendah (melebar). Presisi yang
rendah (lebar) pada hasil penelitin ini bias juga disebabkan oleh
penggalian faktor resiko lain diluar faktor resiko utama yang terlalu
banyak.
Terlihat besaran resiko cukup tinggi tetapi Confidence Interval berada di
batas nilai null value dan melewati null value serta nilai probabilitas (P
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
116
value) juga tidak menunjukkan signifikansi. Hal ini terjadi oleh karena
jumlah sampel yang pada awalnya dihitung dengan memprediksi populasi
eksposure terdiri dari dua populasi yaitu ekspose dan unekspose, tetapi
pada tahap analisa peneliti memutuskan untuk membagi menjadi tiga
level erksposure dengan beberapa pertimbangan sehingga sampel yang
semula dihitung tidak cukup untuk membuktikan signifikansi secara.
Untuk kemungkinan recall bias pada penelitian ini sangat kecil oleh
karena FFQ dan penilaian paparan merupakan suatu kebiasaan responden
yang dikerjakan sehari-hari.
Bias lain yang dialami oleh penelitian ini yaitu measurement Bias
dimana peneliti mengasumsikan perilaku responden dalam lama
merendam kantung teh, penggunaan sumber air panas dan frekuensi
dalam mengkonsumsi teh dianggap stabil (tidak berubah) tetapi pada
realitanya tidak mungkin terjadi sehingga menghasilkan bias dimana
peneliti tidak bisa mengontrol.
6.2. Karateristik Ibu hamil
Dari total 104 ibu hamil yang memenuhi kriteria inklusi, sebanyak 94 ibu
hamil (participant rate 90,4%) yang bisa diikutkan sampai pada tahap
analisa. 10 ibu hamil non participant terdiri dari 6 ibu mengkonsumsi teh
tubruk , 2 ibu mengkonsumsi teh kemasan yang kemudian di ekskusi dari
studi. 2 ibu hamil tidak dapat melanjutkan wawancara oleh karena kondisi
kesehatan yang tidak memungkinkan.
Dari seluruh ibu hamil yang diikutkan ke dalam analisa didapat
prevalensi anemia gizi besi (analisa serum ferritin) yaitu yang memiliki
nilai serum ferritin < 13 µg/dl sebesar 38,3%. Angka ini lebih rendah
dibandingkan angka yang didapat di penelitian Maria (2002) di
Kabupaten Demak tahun 2002 yang menemukan prevalnesi anemia gizi
besi dengan analisa serum ferritin sebesar 53,7%. Barunawati (2000)
mendapatkan prevalensi pada studinya di Kecamatan Leuwiliang,
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
117
Kabupaten Bogor tahun 2000 sebesar 33,3% ibu hamil yang memiliki
kadar serum ferritin di bawah normal. Sedangkan penelitian Tristiyanti
(2006) yang juga di lakukan di Kota Bogor pada tahun 2006 sebesar
62,5% yang dilakukan analisa Hemoglobin. Perbedaan angka tersebut
disebabkan oleh perbedaan budaya dalam mengkonsumsi makanan dan
perbedaan indicator pengukuran, dimana dapat disimpulkan bahwa
analisa serum ferritin lebih tepat digunakan dalam menangkap kasus
anemia gizi besi dibandingkan analisa hemoglobin, oleh karena
penurunan hemoglobin tidak hanya disebabkan oleh defisiensi Fe tetapi
juga dipengaruhi oleh defisiensi asam folat, anemia hemolitik, dsb.
Berdasarkan hasil skoring antara kandungan tannin teh celup berdasarkan
sumber air panas dan lama mencelup kantung teh yang dikolaborasikan
dengan nilai frekuensi konsumsi teh per hari masing-masing responden,
di dapatkan 89,4% ibu hamil mengkonsumsi teh dimana 47,9% nya
dengan kadar tannin tinggi (≥ 2,00 mg/mL). Pada penelitian Tristiyanti
(2006), sebesar 60,9% responden mengkonsumsi teh dengan frekuensi 130 kali sebulan. Pada penelitian ini, 20,2% ibu berusia < 20 dan > 35
tahun, yaitu usia yang beresiko untuk mengandung janin. Usia ibu hamil
merupakan salah satu factor yang dapat mempengaruhi kejadian anemia
karena berpengaruh terhadap kemampuan biologis untuk melahirkan,
tubuh harus siap secara fisik maupun psikis (Santi, 2007).
Sebagian besar ibu hamil tidak berkerja/ibu rumah tangga (92,6%)
sisanya berkerja sebagai buruh pabrik (7,45%). Pekerjaan berpengaruh
terhadap anemia karena ibu hamil mempunyai pendapatan untuk
meningkatkan kualitas makanan yang diolah dikeluarga, tetapi status
pekerjaan yang cukup berat juga turut serta dalam mnentukan resiko
anemia pada ibu hamil jika tidak diseimbangkan pola asupan makanan
dan istirahat. Sebanyak 54,3% ibu hamil memiliki jarak kelahiran < 2
tahun dari kehamilan sebelumnya. Jarak kelahiran yang berdekatan
beresiko meningkatkan anemia gizi besi pada ibu, hal ini berhubungan
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
118
dengan peningkatan kebutuhan zat besi pada masa kehamilan. Jumlah
kehamilan (paritas) berhubungan erat dengan anemia gizi besi, dimana
dengan banyaknya jumlah keluarga (anak) berpotensi menurunkan
kualitas asupan makanan seimbang terutama pada keluarga di ekonomi
dengan pendapatan rendah. Pada penelitian ini sebanyak 38,3% ibu hamil
memiliki > 2 anak. Lebih dari 80% ibu hamil mengaku mengkonsumsi
tablet tambah darah baik yang diberikan oleh bidan/Puskesmas maupun
tablet yang dibeli secara mandiri. Dari pengukuran lingkar lengan atas
yang dilakukan oleh para bidan desa saat mengumpulkan data, didapat
sebanyak 13,8% ibu hamil yang memiliki LLA < 23,5 dan digolongkan
sebagai ibu hamil yang beresiko KEK. Hal ini berkaitan dengan rasa mual
yang dikeluhkan ibu sehingga asupan makanan selama hamil tidak
tercukupi.
Berdasarkan penggalian informasi mengenai perilaku mengkonsumsi teh
serta metoda membuat teh sehari-hari, didapatkan sebanyak 55,3% ibu
menyeduh the dengan menggunakan air panas yang dimasak mendidih,
selebihnya sebanyak 34,7% menggunakan air panas dari dispenser.
Sedangkan dalam perilaku lama mencelupkan kantung teh, sebanyak
10,7% ibu mencelupkan kantung selama 1 menit, 47% ibu mencelupkan
kantung teh selama 5 menit dan selebihnya sebanyak 41,7% ibu
mencelupkan kantung teh selama 10 menit.
Pada penelitian ini ibu hamil yang jarang mengkonsumsi protein hewani
dengan bioavaiabilitas tinggi dan rendah masing-masing sebanyak 47,9%.
Ibu hamil yang mengkonsumsi protein nabati dengan bioavaiabilitas
tinggi sebanyak 47,9% dan ibu hamil yang jarang mengkonsumsi protein
nabati dengan bioavaiabilitas rendah sebanyak 46,8%. Untuk konsumsi
pengikat absorbsi zat besi (enhauncer Fe) sebanyak 47,9% persen yang
mengkonsumsi
dengan
pola
jarang
sedangkan
untuk
konsumsi
penghambat zat besi (inhibitor) sebanyak 45,7% yang mengkonsumsi
dengan pola jarang.
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
119
6.3. Pengaruh kadar tannin terhadap anemia gizi besi (analisa serum ferritin)
pada ibu hamil
Dengan mengabaikan adanya pengaruh dari factor resiko lain, maka
didapatkan hasil bahwa ibu hamil yang memiliki kadar tannin tinggi per
hari ( > 2,00 mg/mL) 1,217 kali lebih beresiko menderita anemia gizi besi
dibandingkan ibu hamil yang memiliki kadar tannin rendah perharinya.
Dimana dari 45 ibu hamil yang memiliki kadar tannin tinggi, 19 ibu
memiliki kadar serum ferritin yang rendah dan 26 ibu memiliki kadar
serum ferritin normal. Selebihnya dari total 49 ibu hamil yang memiliki
kadar tannin rendah per harinya, sebanyak 17 ibu memiliki kadar serum
ferritin yang rendah dan 32 ibu memiliki kadar serum ferritin normal.
Tidak jauh berbeda dengan penelitain sebelumnya, Tristiyanti (2006)
mendapatkan hasil sebanyak 36 ibu hamil yang mengkonsumsi teh 0-8
kali per bulan, sebanyak 23 ibu menderita anemia dan sisanya sebanyak
13 ibu tidak menderita anemia. Sedangkan pada dari total 28 ibu yang
mengkonsumsi teh dengan frekuensi 9-30 kali sebulan, sebanyak 17 ibu
menderita anemia dan 11 ibu tidak menderita anemia. Hal ini berarti
bahwa semakin sering frekuensi konsumsi teh, maka semakin rendah zat
besi yang diserap oleh tubuh.
6.4. Pengaruh kadar tannin teh terhadap anemi gizi besi (analisa serum
ferritin) dengan pengaruh faktor resiko lain
6.4.1. Pengaruh usia ibu terhadap hubungan kadar tannin pada anemia
gizi besi (analisa serum ferritin) ibu hamil
Dari hasil penelitian ini didapatkan hasil bahwa adanya perbedaan
resiko antara ibu yang berusia < 20 tahun dan > 35 tahun dengan
ibu yang berusia 20 sd 35 tahun. Dimana ibu yang berusia < 20
tahun dan > 35 tahun yang memiliki kadar tannin tinggi per
harinya beresiko 2,1 kali untuk menderita anemia gizi besi
dibandingkan ibu yang berusia sama yang memiliki kadar tannin
lebih rendah per harinya. Sedangkan pada ibu yang berusia 20 sd
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
120
35 tahun yang memiliki kadar tannin tinggi perharinya beresiko 1,2
kali untuk menderita anemia gizi besi dibandingkan ibu dengan
usia yang sama yang memiliki kadar tannin lebih rendah per
harinya. Belum ada penelitian yang menggali secara khusus
mengenai pengaruh kadar tannin pada anemia gizi besi jika
dipengaruhi oleh usia ibu hamil, tetapi secara statistik telah
ditemukan bahwa usia ibu pada saat hamil berhubungan dengan
kejadian anemia. Buana (2004) mendapatkan hasil bahwa ibu
hamil yang memiliki usia beresiko (< 20 tahun dan > 35 tahun)
memiliki resiko 5,04 kali untuk menderita anemia dibandingkan
ibu yang memiliki usia tidak beresiko ( 20 sd 35 tahun). Perbedaan
resiko ini bermakna secara statistic dengan nilai P sebesar 0,0005.
6.4.2. Pengaruh status pekerjaan terhadap hubungan kadar tannin pada
anemia gizi besi (analisa serum ferritin) ibu hamil
Hamper seluruh ibu hamil yang ikut dalam penelitian ini sebagai
sampel berstatus tidak berkerja/ ibu rumah tangga. Sehingga
analisa hanya dilakukan pada ibu hamil dengan status berkerja.
Hasil analisa dapat disimpulkan bahwa ibu hamil yang berkerja /
ibu rumah tangga yang mempunyai kadat tannin tinggi beresiko 1,2
kali untuk menderita anemi gizi besi dibandingkan ibu tidak
berkerja/ibu rumah tangga yang memiliki kadar tannin lebih rendah
per harinya. Belum ditemukan penelitian yang menggali mengenai
pengaruh tannin teh terhadap anemia gizi besi yang dipengaruhi
oleh status pekerjaan ibu hamil. Tetapi beberapa penelitian telah
membuktikan secara statistik bahwa tidak ada perbedaan yang
bermakna secara statistic antara status pekerjaan dengan kejadian
anemia. Santi (2006) mendapatkan hasil uji statistik yaitu tidak ada
perbedaan yang bermakna dari latar belakang pekerjaan ibu. Hasil
penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil yang diungkapkan
oleh penelitian Buana, dimana penelitian ini menghasilkan besaran
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
121
resiko yang mendekati nilai null yaitu mendekati tidak adanya
resiko.
6.4.3. Pengaruh usia kehamilan ibu terhadap hubungan kadar tannin pada
anemia gizi besi (analisa serum ferritin) ibu hamil
Uisa kehamilan pada penelitian ini terdiri dari ibu hamil dengan
usia trimester kedua dan trimester ketiga. Dari hasil analisa
didapatkan hasil bahwa ibu dengan usia kehamilan trimester kedua
( > 14 minggu sd 28 minggu) yang memiiki kadar tannin tinggi
perharinya
beresiko
1,56
kali
untuk
menderita
anemia
dibandingkan ibu dengan usia kehamilan yang sama yang memiliki
kadar tannin rendah perharinya.
Sedangkan ibu dengan usia
kehamilan trimester ketiga (> 28 minggu) tidak memiliki
perbedaan resiko antara ibu yang memiliki kadar tannin tinggi
ataupun rendah. Belum ada penelitian yang menggali secara
khusus mengenai pengaruh kadar tannin / frekuensi konsumsi teh
pada anemia gizi besi yang dipengaruhi oleh usia kehamilan ibu,
tetapi beberapa penelitian telah menemukan hubungan antara usia
kehamilan dengan kejadian anemia ibu hamil. Darlina dan
Hardinsyah (2003) menemukan prevalensi yang berbeda antara
kejadian anemia di masing-masing usia ibu hmail, dimana kejadian
anemia ibu hamil trimester II ( 43,0%) lebih tinggi dibandingkan
trimester III (36,3%). Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat
Suwandono dan Soemantri (1995) yang diacu dalam Tristiyanti
(2006) yang menyatakan bahwa meningkatnya kejadian anemia
dengan bertambahnya umur kehamilan disebabkan terjadinya
perubahan fisiologis pada kehamilan yang dimulai pada minggu
ke-6, yaitu bertambhanya volume plasma dan mencapai puncaknya
pada minggu ke-26 sehingga terjadi penurunan kadar hemoglobin.
Peningkatan
volume
plasma
darahterjadi
lebih
dahulu
dibandingkan produksi sel darah merah. Kondisi ini menyebabkan
pembentukan sel darah merah terjadi pada pertengahan akhir
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
122
kehamilan sehingga konsentrasi mulai meningkat pada trimetsre
ketiga kehamilan.
6.4.4. Pengaruh Jarak kehamilan terhadap hubungan kadar tannin pada
anemia gizi besi (analisa serum ferritin) ibu hamil
Tidak ada perbedaan kejadian anemia antara ibu yang memiliki
jarak kelahiran ≥ 2 tahun antara ibu yang memiliki kadar tannin
tinggi dengan ibu yang memiliki kadar tannin rendah. Berbeda hal
nya dengan ibu yang memiliki jarak kelahiran < 2 tahun, dimana
ibu yang memiliki kadar tannin tinggi beresiko 1,2 kali
dibandingkan yang memiliki kadar tannin rendah. Belum ada
penelitian yang menggali secara khusus mengenai pengaruh kadar
tannin / frekuensi konsumsi teh pada anemia gizi besi yang
dipengaruhi oleh jarak kelahiran, tetapi hal ini sesuai dengan teori
yang ada dimana salah satu penyebab yang dapat memepercepat
terjadinya anemia pada wanita adalah jarak kelahiran yang
pendek .Hal ini disebabkan karena adanya kekurangan nutrisi yang
merupakan mekanisme biologis dari pemulihan factor hormonal
(Tristiyanti, 2006).
6.4.5. Pengaruh jumlah kehamilan (paritas) terhadap hubungan kadar
tannin pada anemia gizi besi (analisa serum ferritin) ibu hamil
Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa ada perbedaan resiko
antara ibu yang memiliki paritas tinggi (> 2 anak) dengan ibu yang
memiliki paritas rendah ( ≤ 2 anak).dimana ibu yang memiliki
paritas tinggi yang memiliki kadar tannin tinggi beresiko 1,4 kali
untuk menderita anemia gizi besi dibandingkan ibu dengan paritas
sama yang memiliki kadar tannin rendah. Sedangkan ibu yang
memiliki paritas rendah yang memiliki kadar tannin tinggi
memiliki resiko 1,2 kali untuk menderita anemia gizi besi
dibandingkan ibu dengan paritas yang sama yang memiliki kadar
tannin lebih rendah perharinya. Paritas atau jumlah persalinan juga
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
123
berhubungan dengan anemia, semakin sering seorang wanita
melahirkan maka semakin besar resiko kehlangan darah dan
berdampak pada penurunan kadar hemoglobin (wijianto dalam
Tristiyanti, 2006). Hal ini berbeda dengen penelitin sebelumnya,
Tristiyanti (2006) menunjukkan hasil berupa tidak ada hubungan
yang nyata antara paritas dengan status anemia gizi besi. Tidak
adanya hubungan antara paritas dengan status anemia gizi besi
tersebut diduga karena homogenitas paritas responden, dimana
seluruh responden termasuk kedalam kategori paritas rendah.
6.4.6. Pengaruh konsumsi tablet tambah darah terhadap hubungan kadar
tannin pada anemia gizi besi (analisa serum ferritin) ibu hamil
Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa tidak ada perbedaan
besar resko anemia gizi besi antara ibu hamil yang mengkonsumsi
tablet tambah darah dengan ibu hamil yang tidak mengkonsumsi
tablet tambah darah. Dimana masing-masing ibu yang memiliki
kadar tannin beresiko 1,2 kali lebih tinggi dibandingkan ibu yang
memiliki kadar tannin yang lebih rendah per harinya. Hal ini
berbeda
dengan
penelitian
sebelumnya,
Buana
(2004)
mendapatkan hasil bahwa adanya kecenderungan semakin kecil ibu
hamil mengkonsumsi tablet besi semakin besar kemungkinan
untuk menderita anemia dan sebaliknya. Perbedaan hasil ini
disebabkan oleh karena homogenitas pada responden yang
mengkonsumsi tablet tambah darah. Penelitian Gabrielli dan De
sandre (1995) yang sebelumnya dilakukan di Italia berupa case
report mendapatkan hasil pada seorang wanita muda berusia 25
tahun yang menderita anemia gizi besi (serum ferritin 3.8 ng/mL),
dimana anemia yang diderita tidak membaik dengan menggunakan
terapi tablet
tambah darah sampai pada wanita tersebut
menghentikan kebiasaan minum teh yang biasa dilakukan. Hal ini
menyimpulkan bahwa tablet tambah darah tidak berfungsi atau
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
124
berkurang fungsinya jika masih mengkonsumsi teh selama
pengobatan.
6.4.7. Pengaruh status gizi ibu terhadap hubungan kadar tannin pada
anemia gizi besi (analisa serum ferritin) ibu hamil
Pada penelitian ini tidak ditemukan perbedaan resiko antara ibu
yang memiliki status gizi beresiko KEK dengan ibu yang memiliki
status gizi tidak beresiko KEK. Dimana ibu dengan status gizi yang
baik maupun yang buruk yang memiliki kadar tannin tinggi
bereseiko 1,2 kali untuk menderita anemia gizi besi dibandingkan
ibu yang memiliki kadar tannin rendah. Pada penelitian
sebelumnya Buana (2004) memiliki hasil yang berbeda, dimana
ibu hamil yang mempunyai LLA beresiko KEK mempunyai
peluang 4,5 kali untuk menderita anemia dibandingkan ibu hamil
yang tidak mempunyai resiko KEK. Perbedaan hasil analisa ini
terjadi oleh karena homogenitas responden. Ibu hamil yang
diikutkan dalam analisa sebagian besar memiliki status gizi baik
(LLA ≥ 23,5).
6.4.8. Pengaruh pola konsumsi protein hewani (heme) dan protein nabati
(Non-heme) terhadap hubungan kadar tannin pada anemia gizi besi
(analisa serum ferritin) ibu hamil
Pola konsumsi protein hewani (heme) dan protein nabati (nonheme) masing-masing dibagi menjadi 2, yaitu konsumsi protein
hewani dengan bioavabilitas tinggi dan protein hewani (heme)
dengan bioavaiabilitas rendah, serta protein nabati (non-heme)
dengan bioavaiabilitas tinggi dan protein nabati (non-heme)
dengan bioavaiabilitas rendah.
Pada protein hewani dan protein nabati dengan bioavaiablitas
tinggi, pola frekuensi jarang pada ibu hamil yang memiliki kadar
tannin tinggi lebih meningkatkan resiko untuk menderita anemia
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
125
gizi besi (protein hewani 1.83 kali dan protein nabati 1.4 kali)
dibandingkan ibu yang mengkonsumsi pola frekuensi sering baik
pada protein hewani maupun protein nabati dengan bioavaiabilitas
tinggi. Pada protein hewani dengan bioavaiabilitas rendah, ibu
yang mengkonsumsi dengan pola sering maupun jarang tidak
memiliki perbedaan secara bermakna untuk beresiko menderita
anemia gizi besi. Sedangkan pada protein nabati dengan
bioavaiabilitas tinggi, ibu yang memiliki pola frekuensi jarang dan
memiliki kadar tanin tinggi memiliki kemampuan untuk proteksi
diri dari anemia sebesar 0.73 kali dibandingkan ibu yang memiliki
pola frekuensi sering. Pada penelitian ini dilakukan penggalian
mengenai asupan makanan protein hewani yanitu frekuensi
konsumsi daging, ayam, ikan dan telur.
Sesuai dengan hasil diatas,
Misterianingtiyas dkk (2007)
mendapatkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa tingkat
konsumsi protein dan zat besi mempunyai hubungan yang
signifikan terhadap kejadian anemia pada ibu hamil. Hasil uji
statistic
Regresi
Linier
pada
tingkat
kepercayaan
95%
menunjukkan hubungan tingkat konsumsi protein terhadap
kejadian anemia diperolah OR=0,286 yang berarti nahwa setiap
penambahan 1 gram proyein akan meningkatkan kadar Hb sebesar
28,6% dari kadar Hb awal. Sedangkan hubungan tingkat konsumsi
zat besi terhadap kejadian anemia diperoleh OR=0,215 yang berarti
bahwa setiap penambahan 1 mg zat besi akan meningkatkan kadar
Hb sebesr 21,5% dari kadara Hb awal. Protein merupakan senyawa
yang dapat meningkatkan penyerapan zat besi dalam tubuh. Bahan
pengan yang mempunyai kualitas protein yang baik adalah bahan
pangan yang berasal dari hewan, hal ini dikarenakannkandungan
proyein dari pangan hewani lebih tinggi jika dibandingkan dengan
pangan nabati. Selain itu, bahan pangan hewani merupakan bahan
pangan dengan daya absorpsi zat besi yang baik. Namun, bahan
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
126
pangan sumber protein yang sering dikonsumsi oleh responden
merupakan bahan pangan nabati yang mempunyai daya serap zat
besi rendah seperti tahun dan tempe.
Hubungan negative antara konsumsi teh (dan kopi) dan status zat
besi yang diukur dengan serum ferritin dilakukan pada studi
dengan presentase defisiensi zat besi yang cukup tinggi (Soustre,
1986) dengan ukuran korelasi sebesar r = -0.20. hasil ini tidak di
adjust pada faktor intake makanan yang dapat mempengaruhi
bioavaiabilitas. Hubungan signifikan mungkin dapat hilang oleh
karena asupan kopi dan produk diet lainnya, tetapi bukan konsumsi
teh (Soustre, 1986 diacu dalam Temme, 2002).
Penelitian lain (van de Vijver et al, 1999) mendapatkan hasil
bahwa tidak ada hubungan antara konsumsi teh dan rendahnya
status zat besi yang dilakukan di Eropa. Selain itu di China (Root
et al, 1999) dengan presentase rendah pada penderita defisiensi
besi, juga menghasilkan bahwa tidak ada hubungan dengan kadar
serum ferritin. Pada studi yang dilakukan di China menunjukkan
dimana wanita dapat beradaptasi dengan baik terhadap intake besi
dan bioavaiabilitas dengan rentang yang luas (Van de Vijver, 1999
dan Root at et al, 1999 diacu dalam Temme, 2002).
6.4.9. Pengaruh pola konsumsi pengikat absorbsi zat besi (enhauncer Fe)
terhadap hubungan kadar tannin pada anemia gizi besi (analisa
serum ferritin) ibu hamil
Dari hasil analisis didapatkan ibu yang mengkonsumsi pengikat
absorbs zat besi dengan pola frekuensi jarang dan memiliki kadar
tannin tinggi
beresiko
1,7 kali untuk menderita anemia
dibandingkan ibu yang memiliki kadar tannin rendah. Sedangkan
pada ibu yang mengkonsumsi dengan pola sering dan memiliki
kadar tannin tinggi tidak memiliki perbedaan resiko terhadap ibu
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
127
yang memiliki kadar tannin rendah. Dari beberapa penelitian
dibuktikan bahwa tingkat penyerapan zat besi dapat ditingkatkan
dengan penambahan factor yang mempermudah. Vitamin C dapat
meningkatkan absorbs besi non heme hingga emapt kali lipat. Di
dalam tubuh, vitamin C dan besi membentuk senyawa kompleks
askorbat-besi sehingga lebih mudah diserap oleh usus. Karena itu,
sayuran hijau dan buah-buahan yang mengandung vitamin C tinggi
sangat baik sebagai sumber zat besi ( Nailul Izah, 2011).
6.4.10. Pengaruh pola konsumsi penghambat absorbsi zat besi (Inhibitor
Fe) terhadap hubungan kadar tannin pada anemia gizi besi (analisa
serum ferritin) ibu hamil
Pada konsumsi penghambat absorbsi zat besi dengan pola
frekuensi jarang, tidak ada perbedaan resiko bagi ibu yang
memiliki kadar tannin tinggi dengan ibu yang mempunyai kadar
tnin rendah. Sedangkan pada pola frekuensi sering, ibu yang
memiliki kadar tannin tinggi beresiko 1,2 kali untuk menderita
anemia gizi besi dibandingkan ibu yang memiliki kadar tannin
rendah. Raspati (2010) dan Anwar (2009) dalam Nailul Izah (2011)
menyatakn bahwa makanan selain memiliki zat yang membantu
peningkatan penyerapan zat besi, terdapat pula zat yang
menghambat
penyerapan
zat
besi.
Jenis
makanan
yang
mengandung asam tanat (terdapat dalam the dan kopi), kalsium,
fitata, polifenol, oksalat, fosfat, dan obat-obatan (antacid,
tetrasiklin dan kolestriamin) akan mengurangi penyerapan zat besi.
Zat besi dengan senyawa tersebut akan membentuk senyawa
kompleks yang sulit utnuk diserap usus. Dalam penelitian
sebelumnya, Nailul Izah (2011) mendapatkan hasil bahwa
responden yang mengkonsumsi makanan yang mengandung factor
pengahambat absorbs Fe minimal 1 kali sehari mempunyai
kemungkinan menderita anemia sebesar 2,091 kali dibandingkan
yang tidak anemia.
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
128
6.5. Pengaruh kadar tannin teh terhadap anemia gizi besi (analisa serum
ferritin) pada ibu hamil setelah di control oleh faktor resiko lain.
Setelah dilakukan analisa multivariate dengan tujuan mengontrol variabel
yang dianggap sebagai variabel confounder yang dapat mempengaruhi
besar resiko sebenarnya, maka didapatkan hasil pengaruh kadar tannin
terhadap anemia gizi besi setalh di control oleh variabel pekerjaan,
perilaku lama mencelup teh, sumber air panas yang digunakan untuk
menyeduh teh, pola konsumsi protein hewani dan pola konsumsi protein
nabati. Didapatkan hasil dengan besar OR adjusted sebsar 1,949 (CI 95%
0,630 – 6,027) yang artinya bahwa ibu yang memiliki kadar tannin tinggi
perharinya memiliki resiko 1,9 kali untuk menderita anemia gizi besi
dibandingkan ibu yang memiliki kadar tannin rendah per harinya. Sesuai
dengan penelitian sebelumnya, Akhmadi (2003) dalam Harnany (2006)
bahwa kebiasaan minum the dan kopi berselang kurang dari 2 jam dari
saat makan mempunyai resiko menderita anema hamper 2 kali (OR=
1,84). Tristiyanti (2006) melakukan uji korelasi rank spearman
menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara frekuensi
konsumsi the dengan kadar hemoglobin. Meskipun demikina, terdapat
hubungan nyata negative antara frekuensi konsumsi teh dengan konsumsi
zat besi (r=0,247 ; p< 0,05). Hal ini berarti bahwa semakin sering
frekuensi konsumsi the, maka semakin rendah zat besi yang dikonsumsi.
Sebagaimana yang diketahui bahwa salah satu penyebab anemia adalah
rendahnya konsumsi zat besi. Dengan demikian hubungan antara
frekuensi konsumsi teh dengan status anemia merupakan suatu hubungan
tidak langsung.
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
129
BAB 7
Kesimpulan dan Saran
7.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dalam penelitian ini, maka dapat
disimpulkan:
1) Pada tahap analisa multivariate, didapatkan hasil bahwa ibu hamil dengan
kadar tannin yang tinggi beresiko 2,84 kali untuk menderita anemia gizi
besi (analisa serum ferritin) setelah di control variabel pola konsumsi
protein hewani (heme) dengan bioavaiablitias rendah dan variabel usia
ibu.
2) Dari hasil analisa bivariate antara variabel independen dengan variabel
dependen tanpa memperhitungkan pengaruh dari variabel lain, maka
dapat disimpulkan bahwa ibu yang memiliki kadar tannin tinggi
perharinya beresiko 2,77 kali untuk menderita anemia gizi besi
dibandingkan ibu yang memiliki kadar tannin lebih rendah.
3) Dari hasil analisa stratifikasi ditemukan bahwa variabel jumlah kelahiran
dan konsumsi protein hewani dengan bioavaiabilitas rendah memiliki
pengaruh sebagai potensial confounding terhadap hubungan kadar tannin
teh celup dengan anemia gizi besi. Dan variabel jarak kehamilan, status
gizi ibu, konsumsi protein nabati dengan bioavaiabilitas tinggi, konsumsi
protein nabati dengan bioavaiabilitas rendah, konsumsi makanan pengikat
absorbsi zaat besi, dan konsumsi makanan penghambat absorbsi zat besi
memiliki pengaruh sebagai potensial efek modifikasi tetapi setelah di uji
variabel-variabel tersebut dinyatakan tidak berinteraksi secara statistik
maupun biologis. Sedangkan variabel konsumsi protein hewani dengan
bioavaiabilitas tinggi dan rendah memiliki interaksi terhadap kadar tanin
tetapi secara statistik belum dapat dibuktikan oleh karena kurangnya
jumlah sampel pada penelitian.
7.2. Saran
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
130
Berdasarkan kesimpulan yang ada, maka peneliti mengajukan beberapa saran
sebagai berikut :
1) Perlu adanya sosialisasi yang lebih mengenai perilaku beresiko dalam
mengkonsumsi makanan/minuman yang berpengaruh pada perubahan
manfaat dari makanan yang dikonsumsi oleh ibu hamil, sebagai salah satu
contohnya yaitu konsumsi teh yang tidak sesuai dengan waktu
mengakibatkan terbuangnya zat besi yang dibutuhkan tubuh.
2) Perlu adanya informasi tambahan bagi masyarakat khususnya para ibu
hamil mengenai asupana makanan baik dan tidak baik bagi kesehatan ibu
dan janin. Sekaligus dapat menjadikan ibu dan keluarga ibu hamil lebih
bijak dalam memilih makanan yang bermutu baik.
3) Perlu adanya penelitian yang lebih mendalam yang berkaitan dengan
jumlah sampel yang lebih banyak sehingga dapat memberikan hasil yang
lebih baik, presisi yang lebih sempit sehingga dapat menggali lebih dalam
mengenai kemungkinan adanya efek yang dapat memodifikasi hasil
hubungan kadar tannin teh celup pada kejadian anemia gizi besi pada ibu
hamil.
4) Perlu adanya penelitian lanjut dengan menggunakan design lebih
sempurna sehingga dapat menentukan hubungan kausalitas antara kadar
tanin pada teh terhadap penurunan kadar serum ferritin.
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
131
Daftar Pustaka
Almatsier S. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama.
Achadi E. L, Hansell M. J, Sloan N.L, Anderson M. A. 1995. Women’s
Nutritional Status, Iron Consumption and Weight Gain Pregnancy in
Relation to Neonatal Weight and Length in West Java Indonesia. Jakarta.
International Journal of Gynecology and Obstetrics p: 48-S103-S119.
Ajisaka. 2012. Teh Dahsyat dan Khasiatnya. Surabaya : Penerbit Stomata.
Buana A. 2004. Status Anemia Gizi Ibu Hamil dan Hubungannya dengan
Beberapa Faktor di Kecamatan Abung Surakarta Kabupaten Lampung
Utara tahun 2004 (Tesis). Depok : Program Studi Magister IKM FKMUI.
Cunningham, et al. 2006. Obstetric Williams. Edisi 21. Jakarta : EGC.
Damayanthi E, Kusharto C. M, Suprihartini R, Rohdiana D. 2008. Studi
Kandungan Katekin dan Turunannya sebagai Antioksidan Alami serta
Karateristik Organoleptik Produk Teh Murbei dan Teh Camellia-Mirbei.
Jakarta : Media Gizi dan Keluarga edisi 32(1) : 95-103.
Darlina. 2003. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Anemia Gizi
pada Ibu Hamil (Skripsi). Bogor : Departemen Gizi Masyarakat dan
Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertania Bogor.
Darlina, Hardinsyah. 2003. Faktor Resiko Anemia pada Ibu Hamil di Kota Bogor.
Media Gizi Keluaarga Edisi Desember 2003, 27(2):34-41.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2001. Laporan Survei Kesehatan
Rumah Tangga 2001 : Studi Tindak Lanjut Ibu Hamil. Jakarta : Depkes RI.
Diniatik, Soemardy E, Indri K. 2007. Perbandingan Kadar Flavonoid Total dan
Tanin Total pada Teh Hijau dan Teh Hitam Camellia Siniesis (L)O.K.
Jakarta : Pharmacy Vol.05 No.03hal : 143-152.
Effendi YH, D Briawan, M Barunawati. 2000. Keragaan Konsumsi Pangan dan
Kadar Serum Darah Mineral Besi (Fe) dan Seng (Zn) dalam Setum Darah
Ibu Hamil. Media Gizi dan Keluarga tahun XXIV No.1.
Handayani, R. 2000. Pengaruh Keadaan Sosio-Ekonomi terhadap Pola Konsumsi
Makan dan Hubungannya dengan Zobesitas pada Lansia [skripsi]. Bogor :
Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumbedaya Keluarga, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
132
Hardinsyah. 2000. Studi Analisis Faktor-faktor Sosial, Ekonomi, dan Biologi
yang Mempengaruhi Kejadian KEK pada Ibu Hamil. Bogor : Departemen
Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
_________, D Briawan. 2000. Dampak Pemberian Biskuit Maltigizi pada
Pertambahan Berat Badan Ibu Hamil. Media Gizi dan Keluarga tahun
XXIV No.2 : 132-138.
_________, D Martianto. 1992. Gizi Terapan. Bogor : Departemen Pendidikan
dan Kebidayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat antar
Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.
_________, V Tambunan. 2004. Angka Kecukupan Energi, Lemak, dan Serat
Makanan. Di dalam : Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah
dan Globalisasi. Prosiding Widya Karya Pangan dan Gizi VIII; Jakarta,
17-19 Mei 2004. Jakarta : Persagi. 317.
Harli
M.
1999.
Mengatasi
penyebab
Anemia
Kurang
Gizi.
http://www.indomedia.com/intisari/1999/oktober/anemia.htm
(tanggal
akses : 3 Juni 2012)
Karyadi E. 2001. Mabuk Pagi, Ibu Hamil Bisa Kurang Gizi.
http://www.indomedia.com/intisari/2001/Sept/warna_hamil.htm. (tanggal
akses : 3 Juni 2012)
Khomsan A. 1997. Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku tentang Anemia pada
Peserta dan Bukan Peserta Program Suplementasi Tablet Besi pada Ibu
Hamil. Media Gizi Keluarga tahun XXI No.2 : 1-7.
__________, 2000. Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Bogor : Jurusan Gizi
Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
King J. C , et al. 2006. Obstetric Williams. Edisi 21. Jakarta : EGC.
Mentayadiputra.A,
2011.
Kadar
Tanin
pada
Teh
Bunga.
http://adyisvip.blogspot.com/2011/10/Kadar-tanin-pada-teh-bunga.html
(tanggal akses : 8 Juni 2012)
Nelson M, Poulter J. 2004. Impact of Tea Drinking on Iron Status in the UK : a
review. England : The British Dietetic Association Ltd. Journal Human
Nutrition dietet, 17, pp: 43-54.
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
133
Pusat Pengembangan Konsumsi Pangan (PPKP) Deptan & GMSK-IPB. 2005.
Analisis Kebutuhan Konsumsi Pangan. Bogor : Gizi Masyarakat dan
Sumberdaya Keluarga, Institut Pertanian Bogor.
Riyadi H, Hardinsyah, F Anwar. 1997. Faktor-faktor Resiko Anemia pada Ibu
Hamil. Media Gizi dan Keluarga tahun XXI No.2.
Santi B. 2007. Pengaruh Pemberian Suplemen Tablet Besi folat dan Suplemen
Multivitamin Mineral terhadap Kadar Hemoglobin pada Ibu Hamil
Anemia di Kabupaten Kuningan tahun 2006(tesis). Depok : Program Studi
Magister IKM FKMUI.
Soediaoetama A. D. 1987. Ilmu Gizi. Jakarta : Dian Rakyat.
Setiawan B, S Rahayuningsih. 2004. Angka Kecukupan Vitamin Larut Air. Di
dalam : Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan
Globalisasi. Prosiding Widya Karya Pangan dan Gizi VIII; Jakarta, 17-19
Mei 2004. Jakarta : Persegi. 355.
Slamet. 1993. Analisis Kuantitatif untuk Data Sosial. Solo : Dabara Publidher.
Slamet J S. 1996. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press.
Suhardjo. 1989. Sosiso Budaya Gizi. Bogor : Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar
Universitas Pagan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.
Sukarni MC. 1989. Kesehatan Keluarga dan Lingkungan. Bogor : Pusat Antar
Universitas. Pagan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.
Suryaningrum R. D, Sulthan M, Profiadi S, Maghfiroh K. 2006. Sebagai Upaya
Peningkata Nilai Guna Teh Celup. Malang : Jurusan Pendidikan Biologi,
FKIP, Universitas Muhammadiyah Malang.
Tristiyanti W.F. 2006. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Anemia pada Ibu
Hamil di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor Jawa Barat (skripsi).
Bogor : Program Studi Sarjana Gizi Masyarakat dan Sumber daya
Keluarga, Fakultas Pertanian , Institut Pertania Bogor.
Wallace H.M, Gold E. M, Lis E. F. 1973. Maternal and Child Health Practice.
USA : Charles C Thomas Publisher.
WHO. 2000. A Health Profile Women of South-East Asia. New De;hi : Regional
Publication SEARO No.34. WHO.
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
134
Wijanto. 2002. Dampak Suplementasi Tablet Tambah Darah (TTD) dan Faktorfaktor yang Berpengaruh terhadap Anemia Gizi Ibu Hamil di Kabupaten
Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah (Skripsi). Bogor : Departemen Gizi
Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama.
Yongky. 2004. Pertumbuhan dan Perkembangan Prenatal(Tesis). Bogor :
Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Sekolah Pasca
Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Zheng W, et al. 1996. Tea consumption and Cancer Incidence in a Prospective
Cohort Study of Postmenopausal Women. American Journal of
epidemiology Vol.144 No.02 p:175-182.
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
135
Inform Concern Form
Pengaruh Kadar Tanin pada teh terhadap anemia gizi besi pada ibu hamil di
UPT Puskesmas Citeureup, Kabupaten Bogor tahun 2012
Peneliti : Putri Bungsu
Program Studi Magister Epidemiologi
Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia
Penjelasan Penelitian
Sejalan dengan perkembangan teknologi di berbagai bidang termasuk
bidang nutrisi, maka semakin bervariasi pula outcome yang berdampak
pada kesehatan baik bersifat positif maupun negatif. Kemudahan dalam
akses pemenuhan kebutuhan nutrisi juga menuntut masyarakat untuk lebih
teliti sebagai konsumen. Tidak sedikit penelitian yang melaporkan
kejadian penyakit akibat kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai
nutrisi serta dampak negatif yang mungkin timbul. Diantaranya yaitu
konsumsi teh yang merupakan salah satu penghambat zat besi dalam
makanan. Barbagai macam produk teh kemasan dangan suguhan variasi
rasa serta harga yang terjangkau akhir-akhir ini dapat ditemukan secara
mudah tidak hanya di supermarket besar melainkan juga mudah ditemukan
di warung-warung sederhana. Teh kemasan dengan suhu rendah dimana
menjadikan produk ini sebagai minuman populer diberbagai kalangan,
mengingat segudang manfaat teh dan juga rasa minuman yang menjadikan
teh sebagai minuman favorit para ibu hamil saat menghilangkan dahaga.
Penelitian ini bertujuan tertarik untuk melihat pengaruh frekuensi
konsumsi teh terhadap anemia gizi besi pada ibu hamil di Kabupaten
bogor tahun 2012.
Tahapan kegiatan yang dilaksanakan pada penelitian ini adalah :
1. Pemeriksaan darah (Serum ferritin)
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
136
2. Wawancara oleh peneliti tentang identitas, riwayat kehamilan,
konsumsi tablet tambah darah dan konsumsi makanan selama
kehamilan da perilaku mengolah serta mengkonsumsi teh.
Identitas ibu akan kami rahasiakan.
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
137
Lembar persetujuan
Mengikuti penelitian tentang pengaruh frekuensi teh terhadap anemia gizi besi pada
ibu hamil di Kabupaten Bogor tahun 2012
Saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama
: ........................................................................................................................
Umur
: ........................................................................................................................
Alamat
: ........................................................................................................................
Setelah membaca dan menerima informasi tentang maksud dan tujuan dari
penelitian/survey ini, maka Saya telah memahaminya dan dengan sukarela ikut
berpartisipasi dalam penelitian/survey ini.
Mengetahui,
2012
Bogor, Agustus
Peneliti
Hormat Saya
________________
__________________
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
138
E. Perilaku Konsumsi Teh
1. Apakah ibu pernah mimun teh
Sering
Jarang
Tidak pernah
(lanjut ke lembar terakhir,
FFQ)
2. Apa jenis teh yang sering di konsumsi (dibantu dengan alat berupa foto kemasan
teh)
(jawaban boleh lebih dari satu)
Teh celup
Teh saring
Teh tubruk
Teh kemasan (botol/kotak)
Lain-lain, sebutkan_________________________________
Bila mengkonsumsi teh
celup
1. sebutkan merk teh yang digunakan________________________ (hijau/hitam)
Frekuensi dan Kuantitas
2. Apa wadah/tempat yang biasa di gunakan dalam mengkonsumsi teh
cangkir
Gelas
Botol
ukuran :
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
139
3. seberapa sering mengkonsumsi teh celup?
< 1 kali sebulan
1-3 kali sebulan
1 kali per minggu
2-4 kali per minggu
5-6 kali per minggu
1 kali per hari
2-3 kali per hari
4-5 kali per hari
≥ 6 kali per hari
4. Berapa rentang waktu antara makan dengan minum teh
segera setelah makan
< 2 jam setelah/sebelum makan
≥ 2 jam setelah /sebelum makan
Lain-lain, sebutkan_________________________________
5. Berapa banyak cangkir/ gelas / botol yang dihabiskan setiap kali minum
<1
1
2
≥3
Metode Pembuatan Teh celup
6. Apa Wadah/ Tempat yag biasa dipergunaka dalam menyeduh / membuat teh celup
cangkir
gelas
Ukuran
Teko
Botol
Ukuran
7. berapa jumlah kantong teh yang dicelupkan setiap kali membuat teh
1 kantong
1 -3 kantong
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
140
> 3 kantong
8. Berapa lama kantong di
celupkan
< 1 menit
1-3 menit
3-8 menit
> 8 menit
9. Air yang digunakan pada saat pencelupan teh
Air yang dimasak mendidih
Air panas dispenser/ teko listrik
Air biasa
Bila mengkonsumsi teh seduh
1. sebutkan merk teh yang digunakan________________________ (hijau/hitam)
2. Apa wadah/tempat yang biasa di gunakan dalam mengkonsumsi teh
cangkir
Gelas
Botol
ukuran :
3. seberapa sering mengkonsumsi teh celup?
< 1 kali sebulan
1-3 kali sebulan
1 kali per minggu
2-4 kali per minggu
5-6 kali per minggu
1 kali per hari
2-3 kali per hari
4-5 kali per hari
≥ 6 kali per hari
4. Berapa rentang waktu antara makan dengan minum teh
segera setelah makan
< 2 jam setelah/sebelum makan
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
141
≥ 2 jam setelah /sebelum makan
Lain-lain, sebutkan_________________________________
5. Berapa banyak cangkir/ gelas / botol yang dihabiskan setiap kali minum
<1
1
2
≥3
Metoda Pembuatan Teh Seduh
6. Apa Wadah/ Tempat yang biasa dipergunakan dalam menyeduh / membuat teh seduh/siram
cangkir
gelas
Ukuran
_________
lainnya
__________________
7. Berapa banyak teh yang
digunakan_________________________________________________
1/2 sendok makan
1 sendok makan
> 2 sendok makan
8. Berapa lama pengendapan teh dalam tempat diseduhnya teh__________________________
< 1 menit
1-2 menit
2-7 menit
>7 menit
9. Apa wadah/tempat yang biasa digunakan dalam melarutkan teh yang telah diseduh
cangkir
Gelas
Botol
ukuran :
Teko
6. Air yang digunakan pada saat menyeduh teh
Air mendidih
Air panas dari dispenser/teko listrik
Air biasa
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
142
Bila mengkonsumsi teh kemasan
1. Sebutkan merk teh yang digunakan________________________
2. seberapa sering mengkonsumsi teh celup?
< 1 kali sebulan
1-3 kali sebulan
1 kali per minggu
2-4 kali per minggu
5-6 kali per minggu
1 kali per hari
2-3 kali per hari
4-5 kali per hari
≥ 6 kali per hari
3. Berapa rentang waktu antara makan dengan minum teh
segera setelah makan
< 2 jam setelah/sebelum makan
≥ 2 jam setelah /sebelum makan
Lain-lain, sebutkan_________________________________
4. Berapa Jumlah yang dihabiskan pada satu kali pembelian
Habis seluruhnya
Setengah botol/kemasan
< setengah botol/kemasan
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
143
FOOD FREQUENCY QUESIONARE
Konsumsi heme, non-heme, inhibitor dan enhaucer
Jenis bahan makanan
Frekuensi Makan
Ukuran
Per hari
Ket
Per minggu
Per Bulan
Sumber Heme
Bioavailabilitas Tinggi
Daging (50 gram)
Ayam (50 gram)
Ikan (50 gram)
Bioavailabilitas Rendah
Telur (60 gram)
Sumber Non- Heme
Bioavailabilitas Tinggi
Brokoli
Kol
Kembang Kol
Labu
wortel
Kentang
Bioavailabilitas Rendah
Kacang Tanah
terung
Tepung terigu
Enhaucer Fe
jeruk (100gram)
Pepaya (100gram)
Lemon
Jambu biji
Stroberi
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
144
Tomat
Inhibitor Fe
Teh (200ml)
Kopi (200ml)
Cokelat
Keju
minuman bersoda
Es Krim/Susu
Selai Kacang
Kedelai
Obat : aspirin, Antasida
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
145
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
146
Universitas Indonesia
Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
Download