BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perjalanan

advertisement
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Perjalanan politik di Indonesia selama ini telah menorehkan sejarah panjang
di tanah air. Setiap perubahan regulasi yang menyangkut kebijakan tentang partai
politik selalu menjadi topik perbincangan yang hangat dan menarik di masyarakat.
Baik seperti perubahan mengenai peraturan perundang-undangan tentang partai
politik maupun petunjuk teknis pelaksanaannya yang diatur dalam peraturan
pemerintah. Hal yang paling menarik pada akhir-akhir ini ialah tentang isu
keuangan partai politik yang saat ini masih belum transparan dan akuntabel. Kesi
mpulan ini didapat dari penelitian sebelumnya yakni, Anomali keuangan
partai politik tahun 2011 tentang pengaturan dan praktik keuangan partai politik
oleh Kemitraan dan Perludem, Laporan studi standar akuntansi keuangan partai
politik oleh Transparency International Indonesia (TII) dan seterusnya periksa
yang lain.
Pada awal mulanya hubungan ideologis partai politik sangat kuat ketika
dalam melaksanakan perkerjaan semua dana operasional maupun kampanye
diperoleh lewat iuran maupun sumbangan para anggotanya. Sumbangan ini
merupakan alat pemersatu ideologi dan perjuangan antara partai politik dengan
anggotanya. Akan tetapi, seiring dengan semakin pudarnya ikatan ideologis
anggotanya dan ditambah semakin besarnya kebutuhan akan dana untuk menjaga
eksistensi partai politik, terutama kegiatan utamanya dalam pemilu, yakni
kampanye atau unjuk publik (public expose). Maka partai politik mulai
menggalang dana yang bersumber baik dari sumbangan perorangan maupun
badan usaha. Disinilah kepentingan rakyat dan anggota yang seharusnya
diperjuangkan mulai diabaikan dan tergeser karena partai politik tampak elitis dan
lebih cenderung memihak kepentingan para penyumbang.
Pada akhirnya kesenjangan antara anggota partai dengan pengurus partai,
membuat partai politik semakin gencar memburu dana sumbangan dari pihak
ekternal. Dana yang diperoleh ini tentunya tidak sukarela begitu saja diberikan
oleh penyumbang. Banyak motif jebakan kepentingan yang melatarbelakangi
pemberian sumbangan ini, seperti membantu pengusaha dalam melancarkan
proyek-proyeknya apabila terkendala dengan pemerintah daerah (perlindungan
politik) dan menukarkan sumbangan tersebut dengan kebijakan/keputusan yang
memihak dan menguntungkan para penyumbang.
Hasil penelitian Kholmi (2013) menunjukkan bahwa pengurus partai politik
sependapat untuk menerapkan tiga kategori akuntabilitas keuangan dalam
mengelola organisasi partai politik, yaitu akuntabilitas keuangan tahunan;
akuntabilitas keuangan dana kampanye; dan akuntabilitas keuangan dana bantuan
APBD. Sebagian besar responden menjawab sangat setuju (47,26%) dan setuju
(43,24%) adanya akuntabilitas keuangan partai politik, tetapi masih terdapat
pengurus partai sangat tidak setuju (2,31%) atas akuntabilitas keuangan partai
politik. Dan sangat tidak setuju jika partai melakukan penyusunan program dan
rencana keuangan, partai membuat rekening khusus dana kampanye, dan partai
memiliki rekening atas nama partai masing-masing prosentase jawaban responden
17,65%. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Emmy Hafild bersama
Transparency Internasional Indonesia (2008), menunjukkan bahwa partai politik
di tingkat pusat sangat rendah kepatuhannya terhadap kewajiban menyajikan
laporan keuangan partai politik yang baik dan benar sehingga akuntabilitas partai
politik di tingkat pusat rendah, karena masyarakat tidak dapat mengakses secara
luas sumber-sumber pendanaan yang digunakan oleh partai politik. Simanjuntak
(2009) mengungkapkan bahwa partai politik miskin akuntabilitas. Demikian pula
media masa juga mengkritik bahwa akuntabilitas keuangan partai politik lemah
(Masduki, 2009; Radikun et al., 2008).
Partai politik memiliki peran yang fundamental dalam pemerintahan yang
demokratis, karena jajaran anggota legislatif berasal dari kader partai politik dan
para eksekutif yang duduk di kursi pemerintahan merupakan individu yang
dicalonkan oleh partai politik. Sehingga, penyumbang yang memiliki konstribusi
sumbangan yang sangat besar tentunya akan sangat berpengaruh terhadap setiap
pekerjaan partai politik. Oleh karena itu, untuk menjaga kemandirian partai politik
maka perlu undang-undang yang mengatur lebih jauh tentang pengelolaan
keuangan partai politik yang mengedepankan prinsip transparansi dan
akuntabilitas.
Undang-undang partai politik pertama kali muncul pada awal zaman orde
baru, dengan diterbitkannya UU No. 3/1975 tentang Partai Politik dan Golongan
Karya. Partai politik yang pertama kali didirikan pada masa ini, yaitu PPP, Golkar
dan PDI dan UU No. 3/1975 inilah yang digunakan oleh partai poltik sebagai
pedoman dalam melaksanakan kegiatan politiknya. Namun undang-undang
tersebut hanya sedikit yang menyinggung soal keuangan partai politik, yaitu
tentang sumber keuangan partai politik. UU No. 3/1975 tersebut menyatakan
bahwa sumber keuangan partai politik dan golongan karya diperoleh dari: iuran
anggota, sumbangan yang tidak mengikat, usaha lain yang sah, dan bantuan dari
negara/pemerintah.
Menginjak era reformasi dimana keterbukaan politik mulai dipraktekkan
dengan diselenggarakannya pemilu. Maka terbilah UU No. 2/1999 tentang partai
poltik dalam rangka menjamin kebebasan rakyat untuk membentuk partai politik.
Dengan memasukkan pengaturan keuangan partai politik, UU No. 2/1999 mulai
memperhatikan isu keuangan yang selama ini memberikan kesan buruk terhadap
kredibilitas partai politik. Selain itu, UU No. 2/1999 tersebut juga memberikan
batasan-batasan tertentu terutama mengenai sumbangan agar partai politik bisa
tetap mandiri dan terlindungi dari pengaruh penyumbang.
Berdasarkan UU No. 2/1999 partai politik wajib melaporkan daftar
penyumbang beserta laporan keuangannya yang dapat sewaktu-waktu diaudit oleh
Akuntan Publik. Akan tetapi, karena dana yang dibutuhkan untuk kampanye pada
masa itu cukup besar terutama dana kampanye media massa maka UU No. 2/1999
tidak diperhatikan dan diabaikan oleh partai politik. Kampanye media massa
dengan dana yang besar dilakukan demi mendapatkan perolehan suara yang besar
agar kursi-kursi kekuasaan dan posisi strategis dalam pemerintahan dimiliki oleh
partai politik.
Permasalahan politik tersebut menjadi sebuah pekerjaan dan program jangka
panjang yang harus diselesaikan oleh pemerintah agar kepentingan anggota dan
rakyat yang menyuarakan hak suaranya lewat partai politik terlindungi dari
kepentingan para kelompok elits/penyumbang. UU No. 3/1975 dan UU No.
2/1999 yang menjadi awal pengaturan praktek keuangan partai politik pada masa
itu nampaknya belum cukup dan tidak berarti apa-apa. Hal ini terbukti
berdasarkan hasil kunjungan tim Transparency International Indonesia (TII) ke
Mahkamah Agung pada agustus 2003. Dari hasil kunjungan tersebut diketahui
bahwa sebagian besar laporan keuangan partai politik yang disampaikan ke
Mahkamah Agung adalah penggunaan dana kampanye tahun 1999. Sementara itu,
untuk laporan keuangan tahunan hanya 5 partai yang menyampaikan laporan
keuangan tahun 2000 dan hanya 1 partai yang menyampaikan laporan keuangan
tahun 2001. Sebagian dari partai yang menyerahkan laporan kepada Mahkamah
Agung hanya mengirimkan Anggaran Dasar mereka tanpa ada laporan
keuangannya.
Tuntutan terhadap transparansi dan akuntabilitas keuangan partai politik
semakin gencar disuarakan oleh rakyat. Hal ini mendorong terbitnya UU No.
31/2002 tentang partai politik sebagai pengganti atas UU No. 2/1999 yang dinilai
sudah
tidak
sesuai
dengan
perkembangan
masyarakat
dan
perubahan
ketatanegaraan. UU No. 31/2002 memuat secara lebih tegas tentang sanksi yang
diberikan oleh Komisi Pemilihan Umum kepada partai politik apabila tidak
melaksanakan kewajibannya. Seperti, terkait masalah pembukuan dikenai berupa
sanksi teguran dan sanksi penghentian bantuan anggaran apabila tidak
memberikan laporan keuangan. Dan ketegasan pemerintah perlu dipertanyakan
kembali ketika pada tahun 2005 hanya 3 dari 50 partai politik yang memberikan
laporan keuangan. Ketiga partai politik tersebut adalah Partai Indonesia Baru,
Partai Golongan Karya dan Partai Demokrat, namun kepada 47 partai politik
yang tidak memberikan laporan keuangan tidak dikenakan sanksi apapun. Padahal
Menurut ketentuan pasal 26 ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002
tentang partai politik, pelanggaran terhadap pasal 9 huruf (i) dikenai sanksi
administratif berupa dihentikannya bantuan dari anggaran negara.
Perubahan regulasi tentang partai politik yang selanjutnya yakni dengan
diterbitkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 dan diubah lagi dengan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang partai politik. Setelah
diterbitkannya dua undang-undang ini tidak ada perubahan yang masif terlihat
pada pengaturan keuangan partai politik. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
dan Undang Nomor 2 Tahun 2011 justru melonggarkan keleluasaan partai politik
untuk menggalang dana dengan menaikkan nominal sumbangan badan usaha.
Dorongan yang diberikan oleh dua undang-undang ini terasa sangat lemah karena
tidak adanya sanksi yang tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh partai
politik dan mekanisme pelaporan yang tidak jelas juga membuat kebingungan
para pengurus partai politik. Kepada siapa laporan keuangan partai politik harus
diserahkan, hal ini tidak dimuat dalam undang-undang tersebut.
Beberapa kajian terdahulu yang berkaitan dengan transparansi dan
akuntabilitas keuangan partai politik di Indonesia yang sudah dilakukan, antara
lain oleh Simanjuntak (2011), Rizal (2010), Ichwanuddin (2009), Masduki (2009),
Husodo (2009), Radikun, et al. (2008), dan Krina (2003), namun kajian yang lebih
mendalam tentang isu transparansi dan akuntabilitas terutama yang menyinggung
soal pelaporan keuangan partai politik masih jarang dilakukan. Kholmi (2013)
telah melakukan kajian tentang persepsi pengurus partai politik terhadap
akuntabilitas keuangan partai politik. Akan tetapi, penelitian tersebut memiliki
keterbatasan pada teknik pengambilan data, yakni hanya dengan menggunakan
kuesioner sehingga dirasa bias karena responden cenderung kurang memberikan
jawaban secara tepat. Hal yang membedakan penelitian ini dengan peneliti
terdahulu adalah pembahasan yang diangkat lebih terfokus pada penerapan prinsip
transparansi dan akuntablitas dalam kewajiban pelaporan keuangan partai politik
pada UU No. 2/2011. Perbedaan selanjutnya ada pada metode penelitian, yakni
menggunakan wawancara sebagai teknik pengumpulan data dengan pendekatan
fenomenologis untuk mendeskripsikan hasil temuan penelitian. Sehingga, hasil
dari penelitian ini dapat memberikan simpulan yang lebih akurat dibandingkan
dengan penggunaan kuesioner karena peneliti secara langsung memahami
karakteristik dan kondisi dari para informan.
Mengingat di era keterbukaan informasi publik ini masyarakat semakin
menuntut keterbukaan informasi yang menyangkut kepentingan publik agar
diungkapkan secara transparan, dalam hal ini informasi keuangan partai politik
menjadi penting untuk dipublikasikan agar masyarakat semakin cerdas dalam
memlih wakil rakyat. Sehingga, berdasarkan isu keuangan partai politik diatas,
peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam lagi mengenai isu transparansi dan
akuntabilitas pada laporan keuangan partai politik. Penelitian ini berfokus pada
pengaturan pelaporan keuangan partai politik berdasarkan undang-undang partai
politik terbaru yakni, UU No. 2/2011 dan menganalisanya dengan studi
fenomenologis untuk menggali keterangan lebih dalam mengenai bagaimana
praktek pelaporan keuangan partai politik saat ini. Sejauh mana partai poiltik
dalam memahami kewajiban pelaporan keuangan partai politik yang ada pada UU
No. 2/2011 tentang partai politik? Apakah partai politik sudah mengedepankan
prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam laporan keuangannya? Atau prinsip
transparansi dan akuntabilitas tersebut hanyalah sebuah wacana saja dalam UU
No. 2/2011.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan mengenai isu pelaporan keuangan partai politik yang
telah dijelaskan dalam latar belakang masalah, maka rumusan masalah yang
menjadi pokok bahasan pada penelitian ini yaitu:
Bagaimana pemahaman pengurus partai politik atas pelaporan keuangan partai
politik yang diatur dalam UU No. 2/2011 tentang partai politik?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini, maka
tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Memahami pelaporan keuangan partai politik yang diatur dalam UU No.
2/2011 tentang partai politik pada DPC Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP) di Kota Mojokerto.
2. Pembahasan dilanjutkan dengan pemahaman atas prinsip tansparansi dan
akuntabilitas pada laporan keuangan partai politik saat ini.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini, antara lain:
1. Kontribusi Praktis
a. Bagi partai politik, melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi tambahan agar dalam menyusun laporan keuangan lebih
mengedepankan prinsip transparansi dan akuntabilitas sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.
b. Bagi pemerintah, melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi tambahan mengenai praktek pelaporan keuangan partai politik,
sehingga dalam merumuskan kebijakan pemerintah lebih tegas bila
menyangkut pengaturan keuangan partai politik.
c. Bagi masyarakat, melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi tambahan mengenai keterbukan informasi atas laporan keuangan
partai politik sebagai bahan pertimbangan agar lebih cermat dalam
menggunakan hak pilihnya dalam pemilu.
2. Kontribusi Teoritis
a. Bagi penulis, melalui penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan
mengenai pelaporan keuangan partai politik dan isu keuangan yang
meliputinya serta permasalahan yang terkait dengan pelaporan keuangan
parta politik.
b. Bagi pembaca, melalui hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah
wawasan mengenai praktek pelaporan keuangan partai politik serta isu
transparansi dan akuntabilitas dalam laporan keuangan partai politik
c. Bagi akademisi, melalui penelitian ini diharapkan dapat menambah literatur
dan dapat digunakan sebagai media referensi apabila melakukan penelitian
mengenai pelaporan keuangan partai politik.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian merupakan pembatasan atas suatu pembahasan.
Hal ini dimaksudkan agar arah pembatasan dalam penulisan skripsi ini tidak
mengalami kesimpangsiuran serta terhindar dari pembahasan yang terlalu luas dan
tidak mengarah pada tujuan yang diharapkan. Agar penelitian ini dapat mudah
dipahami oleh pembaca, maka penelitian ini dibatasi pada tiga hal. Pertama,
penelitian ini dibatasi lokasinya hanya pada kantor DPC Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP) di Kota Mojokerto. Kedua, pada penelitian ini juga
dibatasi lingkupnya hanya pada praktek penerepan prinsip transparansi dan
akuntabilitas pada laporan keuangan partai politik yang diatur menurut UU No.
2/2011 tentang partai politik. Dan ketiga, penelitian ini dibatasi pada peliputan
subjek penelitian yaitu hanya pengurus DPC Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP) di Kota Mojokerto.
Download