16 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kerangka Teori Dalam suatu penelitian teori berperan untuk mendorong pemecahan suatu permasalahan dengan jelas dan sistematis. Hal ini sangat berkaitan erat dengan pengertian teori yakni serangkaian asumsi, konsep, konstrak, definisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan antar konsep (Singarimbun, 1995:37). Sedangkan Kerlinger menjabarkan, pengertian teori sebagai suatu himpunan constuct (konsep) defenisi dan proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menjabarkan relasi diantara variabel untuk menjelaskan gejala tersebut (Rakhmat, 2004:6). Adapun teori-teori yang relevan dalam penelitian ini sebagai berikut : 2.1.1 Representasi Representasi merupakan bentuk konkret (penanda) yang berasal dari konsep abstrak. Representasi dapat berwujud kata, gambar, sekuen, cerita, yang mewakili ide, emosi fakta dan sebagainya. Representasi bergantung pada tanda dan citra yang sudah ada dan dipahami secara kultural, dalam pembelajaran bahasa dan penandaan yang bermacam-macam atau sitem tekstual secara timbal balik. Hal ini melalui fungsi tanda ‘mewakili’ sehingga kita tahu dan mempelajari realitas. Beberapa diantaranya dangkal atau tidak kontroversial. Sebagai contoh bagaimana hujan direpresentasikan dalam film, karena sebenarnya hujan sulit ditangkap oleh mata kamera dan susah diproduksi. Beberapa representasi merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan budaya dan politik, sebagai contoh : gender, bangsa usia, kelas, dst. Karena representasi tidak terhindarkan untuk terlibat dalam proses seleksi sehingga beberapa tanda tertentu lebih istimewa daripada yang lain, hal ini terkait dengan bagaimana konsep tersebut direpresentasikan dalam media berita, film, atau bahkan dalam percakapan sehari-hari. Pada faktanya seperti yang dikemukakan Dyer (2009:266) bagaimana ‘kita terlihat menentukan sebagian bagaimana kita diperlakukan; bagaimana kita memperlakukan orang lain didasarkan bagaimana kita melihat mereka (dan) penglihatan semacam itu FISIP USU| Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 17 datang dari representasi’. Selanjutnya, bagaimana cara representasi diatur melalui pelbagai macam media, genre, dan dalam pelbagai macam wacana memerlukan perhatian menyeluruh. Menurut David Croteau dan William Hoynes (2000:194) representasi merupakan hasil dari suatu proses penyeleksian yang menggaris bawahi hal-hal tertentu dan hal lain diabaikan. Dalam representasi media, tanda yang akan digunakan untuk melakukan representasi tentang sesuuatu mengalami proses seleksi. Mana yang sesuai dengan kepentingan dan pencapaian tujuan komunikasi, ideologisnya itu yang digunakan sementara tanda-tanda lain diabaikan. Marcel Danesi (2010:3) mendefinisikan representasi sebagai, proses perekaman gagasan, pengetahuan, atau pesan secara fisik. Secara lebih tepat dapat didefinisikan sebagai penggunaan ‘tanda-tanda’ (gambar, suara, dan sebagainya) untuk menampilkan ulang sesuatu yang diserap, diindra, dibayangkan, atau dirasakan dalam bentuk fisik. Didalam semiotika dinyatakan bahwa bentuk fisik sebuah representasi, yaitu X, pada umumnya disebut sebagai penanda. Makna yang dibangkitkannya (baik itu jelas maupun tidak), yaitu Y, pada umumnya dinamakan petanda; dan makna secara potensial bisa diambil dari representasi ini (X = Y) dalam sebuah lingkungan budaya tertentu, disebut sebagai signifikasi (sistem penandaan). Hal ini bisa dicirikan sebagai proses membangun suatu bentuk X dalam rangka mengarahkan perhatian sesuatu, Y, yang ada baik dalam bentuk material maupun konseptual, dengan cara tertentu, yaitu X = Y. Meskipun demikian, upaya menggambarkan arti X = Y bukan suatu hal yang mudah. Maksud dari pembuat bentuk, konteks historis dan sosial yang terkait dengan terbuatnya bentuk ini, tujuan pembuatannya, dan seterusnya merupakan faktor-faktor kompleks, yang memasuki gambaran tersebut. Agar tugas ini bisa dilakukan secara sistematis, terbentuklah disini suatu terminologi yang khas ( Danesi, 2010: 3-4). Menurut Stuart Hall ( ada dua proses representasi. Pertama, representasi mental, yaitu konsep tentang ‘sesuatu ‘ yang ada dikepala kita masing-masing (peta konseptual), representasi mental masih merupakan sesuatu yang abstrak. Kedua, ‘bahasa’ yang berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam FISIP USU| Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 18 kepala kita harus diterjemahkan dalam ‘bahasa’ yang lazim, supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dari simbolsimbol tertentu. Media sebagai suatu teks banyak menebarkan bentuk-bentuk representasi pada isinya. Representasi dalam media menunjukan bagaimana seseorang atau suatu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan. Isi media bukan hanya pemberitaan tetapi juga iklan dan hal-hal lain di luar pemberitaan, intinya sama dengan berita. Iklan juga merepresentasikan orang-orang, kelompok atau gagasan tertentu. John Fiske merumuskan tiga proses yang terjadi dalam representasi melalui tabel dibawah ini : Tabel 2.1 Tiga Proses Dalam Representasi PERTAMA REALITAS (Dalam bahasa tulis, seperti dokumen wawancara transkrip dan sebagainya. Dalam televisi seperti perilaku, make up, pakaian, ucapan, gerak-gerik dan sebagainya. KEDUA REPRESENTASI Elemen tadi ditandakan secara teknis. Dalam bahasa tulis seperti kata, proposisi, kalimat, foto, caption, grafik, dan sebagainya. Dalam TV seperti kamera, musik, tata cahaya, dan lain-lain). Elemen-elemen tersebut di transmisikan ke dalam kode representasional yang memasukkan diantaranya bagaimana objek digambarkan (karakter, narasi setting, dialog, dan lain lain) KETIGA IDEOLOGI Semua elemen diorganisasikan dalam koheransi dan kode ideologi, seperti individualisme, liberalisme, sosialisme, patriarki, ras, kelas, materialisme, dan sebagainya. Sumber :Wibowo, Semiotika komunikasi aplikasi praktis bagi penelitian dan skripsi komunikasi (Jakarta: Mitra Wacana Media,2011), hal.123 FISIP USU| Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 19 Pertama, realitas, dalam proses ini peristiwa atau ide dikonstruksi sebagai realitas oleh media dalam bentuk bahasa gambar ini umumnya berhubungan dengan aspek seperti pakaian, lingkungan, ucapan ekspresi dan lain-lain. Di sini realitas selalu siap ditandakan. Kedua, representasi dalam proses ini realitas digambarkan dalam perangkat-perangkat teknis seperti bahasa tulis, gambar, grafik, animasi, dan lain-lain. Ketiga, tahap ideologis dalam proses ini peristiwa-peristiwa dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam konvensi yang diterima secara ideologis. Bagaimana kodekode representasi dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam koherensi sosial atau kepercayaan dominan yang ada dalam masyarakat. Representasi bekerja pada hubungan tanda dan makna. Konsep representasi sendiri bisa berubah-ubah, selalu ada pemaknaan baru. Representasi berubah-ubah akibat makna yang juga berubah-ubah. Setiap waktu terjadi proses negoisasi dalam pemaknaan. Jadi representasi bukanlah suatu kegiatan atau proses statis, tetapi merupakan proses dinamis yang terus berkembang seiring dengan kemampuan intelektual dan kebutuhan para pengguna tanda, yaitu manusia sendiri yang juga terus bergerak dan berubah. Representasi merupakan suatu proses usaha konstruksi. Karena pandangan-pandangan baru menghasilkan pemaknaan baru, Merupakan hasil pertumbuhan konstruksi pemikiran manusia, melalui representasi makna diproduksi dan dikonstruksi. Ini menjadi proses penandaan, praktik yang membuat suatu hal bermakna sesuatu. 2.1.2 Budaya Kroeber dan Klukohn (1950) mengajukan konsep kebudayaan sebagai kupasan kritis dari definisi-definisi kebudayaan (konsensus) yang mendekati. Definisinya adalah : Kebudayaan terdiiri atas berbagai pola, bertingkah laku mantap, pikiran, perasaan dan reaksi yang diperoleh dan terutama diturunkan oleh simbol-simbol yang menyususun pencapaiannya secara tersendiri dari kelompok-kelompok manusia, termasuk didalamnya perwujudan benda-benda materi; pusat esensi kebudayaan terdiri atas tradisi cita-cita atau paham, dan terutama keterikatan terhadap nilai-nilai (Soelaeman, 2007:21). FISIP USU| Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 20 Menurut Koentjaraningrat (1980), kata “kebudayaan” berasal dari kata Sanskerta budhayah, yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. Sedangkan kata “budaya” merupakan perkembangan majemuk dari “budi daya” yang berarti “daya dari budi” sehingga dibedakan antara “budaya” yang bearti “ daya dari budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa, dengan “kebudayaan” yang berarti hasil dari cipta, karsa dan rasa. Dalam disiplin ilmu antropologi budaya, kebudayaan dan budaya itu artinya sama saja. Menganalisis konsep kebudayaan perlu dilakukan dengan pendekatan dimensi wujud dan isi dari wujud kebudayaan (Sulaeman 2007:22). Raymond Williams (1965) mengemukakan bahwa kebudayaan memiliki dua aspek : makna dan tujuan yang telah diketahui, dimana anggotanya terlatih untuk itu; pengamatan dan makna baru, yang ditawarkan dan telah dicoba. Semua itu merupakan proses yang dilakukan oleh manusia, oleh karena itu kita dapat melihat sifat kebudayaan yaitu dia selalu bersifat tradisional dan kreatif. Keduanya merupakan makna paling umum dan makna individual yang paling halus. Kita memakai kata kebudayaan berdasarkan atas dua logika: sebagai keseluruhan cara hidup-makna umum; sebagai seni dan pembelajaran-proses khusus penemuan dan usaha kreatif (Barker, 2000:39). Pergeseran kebudayaan manusia terus berlanjut. Gagasan-gagasan kebudayaan terus diciptakan. Pergerakan kebudayaan yang berpusat pada perkataan ke gagasan kebudayaan yang berpusat pada citra atau bentuk visual, tidak bisa dihindari lagi. Kebudayaan itu ‘seni’ sekaligus nilai, norma dan benda simbolis kehidupan sehari-hari. Clifford Geertz (1973) mengemukakan suatu definisi kebudayaan sebagai : (1) suatu sistem keteraturan dari makna dan simbol-simbol, yang dengan makna dan simbol tersebut individu mendefinisikan dunia mereka, mengekpresikan perasaan-perasaan mereka, dan membuat penilaian mereka; (2) suatu pola makna-makna yang ditransmisikan secara historis yang terkandung dalam bentuk-bentuk simbolik yang melalui bentuk-bentuk simbolik tersebut manusia berkomunikasi, memantapkan, dan mengembangkan pengetahuan mereka mengenai dan bersikap terhadap kehidupan, (3) suatu peralatan simbolik bagi mengontrol perilaku, sumber-sumber ekstrasomatik dari FISIP USU| Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 21 informasi; dan (4) oleh karena kebudayaan adalah suatu sistem simbol, maka proses kebudayaan harus dipahami, diterjemahkan, dan diinterpretasi (Saifuddin, 2005:289). Simbol-simbol yang melekat pada suatu kebudayaan merupakan wahana dari konsepsi, hasilnya berupa unsur-unsur intelektual dalam proses sosial. Dan preposisipreposisi kebudayaan dapat mengartikulasikan dunia sebagai suatu simbol, proposisiproposisi ini juga memberikan pedoman bagi perilaku. Simbol adalah objek, kejadian, bunyi bicara, atau bentuk-bentuk tertulis yang diberi makna oleh manusia. Bentuk primer dari simbolisasi oleh manusia adalah melalui bahasa. Tetapi, manusia juga berkomunikasi dengan menggunakan tanda dan simbol dalam lukisan, tarian, musik, arsitektur, mimik wajah, gerak-gerik, postur tubuh, perhiasan, pakaian, ritus agama, kekerabatan, nasionalitas, tata ruang, pemilikan barang, dan banyak lagi lainnya. Manusia dapat memberikan makna kepada setiap kejadian, tindakan, atau objek yang berkaitan dengan pikiran, gagasan, dan emosi. Persepsi tentang penggunaan simbol sebagai salah satu ciri signifikan manusia menjadi sasaran penting kijian-kajian kebudayaan. Leslie white (1940), dalam suatu tulisan tentang manusia sebagai spesies yang mampu menggunakan simbol, menunjuk pentingnya konteks dalam makna simbol. Ernest Cassier (1944) berpendapat bahwa tanpa suatu kompleks simbol, pikiran rasional tidak akan mungkin terjadi. Manusia memiliki kemampuan untuk mengisolasi hubungan hubungan dan mengembangkannya dalam abstrak. Cassirer menunjuk geometrik sebagai suatu contoh klasik. Geometrik secara konseptual berkaitan dengan hubungan-hubungan spasial yang ekspresinya adalah bahasa simbolik dan suatu bentuk representasi. Cassirer mengekpresikan hakikat simbolik pengalaman manusia sebagai berikut : “ Manusia tidak lagi hidup semata-mata dalam semesta fisik, manusia hidup dalam semesta simbolik. Bahasa, mite, seni, dan agama adalah bagian-bagian dari semesta ini. Bagian-bagian dari semesta itu bagaikan aneka ragam benang yang terjalin membangun anyaman jaring-jaring simbolik. Semua kemajuan manusia dalam pemikiran dan pengalaman memperhalus dan memperkuat jaring-jaring ini”. Sebagian besar pengetahuan, pikiran, perasaan, dan persepsi manusia terkandung dalam bahasa suatu simbol. Kata-kata mengandung makna atau nama yang menggolong-golongkan objek dan pikiran. Simbol-simbol kata, bahasa, sesuai bagi FISIP USU| Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 22 suatu masyarakat pada waktu dan tempat tertentu. Dalam perspektif simbolik, kebudayaan adalah aspek yang bermakna mengenai realitas konkret atau realitas objektif dan yang akan datang (coming-to-be), kesesuaian dengan kesadaran, dari realitas objektif (Saifuddin, 2005:292). Dimana saja sistem simbol adalah pedoman bagi tindakan, sistem ini bekerja dalam konteks sosial. Konteks sosial ini memberikan suatu simbol atau tanda makna spesifik, karena suatu simbol atau tanda dapat memiliki suatu makna spesifik, karena suatu simbol atau tanda dapat memiliki satu makna dalam konteks sosial dan makna lain dalam konteks yang berbeda pula. Kata ayah memiliki satu makna dalam struktur kekerabatan dan berbeda maknanya dalam konteks struktur agama Katolik. Kata ayah yang diterjemahkan dari kata bahasa Inggris father, telah menghilangkan makna keagamaan father bagi penganut Katolik. Yang berarti pemimpin agama Katolik, meskipun sehari-hari kata father juga berarti sama dengan ayah dalam bahasa Indonesia. Masyarakat adalah hasil dari perilaku dan tindakan orang-orang yang saling terjalin satu sama lain yang menempati batas-batas dan konteks sosial yang berbedabeda, dan kerap kali secara simultan. Konteks itu mungkin tempat, organisasi, suku bangsa, kelompok kekerabatan, institusi, usia, kelompok pekerjaan atau jenis kelamin, atau dimensi sosial lainnya yang mendefinisikan, mengatur, dan menentukan batasbatas penggunaan perilaku . Tanda dan simbol bersama-sama menentukan manusia dalam gerakannya. Dalam pandangan simbolik, kombinasi tanda, simbol, dan konteks memberikan makna dan interpretasi bagi tindakan dan perilaku manusia. Manusia harus memiliki konsep tertentu mengenai apa yang diyakini oleh orang lain dalam komunitas mereka, pengharapan tertentu terhadap apa barangkali respons orang lain, dan orang lain terhadap mereka, sehingga mereka mampu berinteraksi dan berkomunikasi. Jika komunikasi adalah sine qua non dari masyarakat manusia, simbolisasi (istilah leslie White), penandaan dan pembawa makna bagi pikiran dan tindakan, adalah apa yang disebut kebudayaan. FISIP USU| Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 23 2.1.3 Semiotika Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata yunani Semeion yang bearti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai suatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya-dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Tanda pada awalnya dimaknai sebagai sesuatu hal yang menunjuk adanya hal lain. Contohnya asap menandaai adanya api, sirine mobil yang keras meraung-raung menandai adanya kebakaran di sudut kota (Wibowo, 2011: 5). Secara terminologis, semiotika dapat diidentifikasikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas dan objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Pada dasarnya, analisis semiotika merupakan sebuah ikhtiar untuk merasakan sesuatu yang aneh, sesuatu yang dipertanyakan lebih lanjut ketika kita membaca teks atau narasi/ wacana tertentu. Analisisnya bersifat paradigmatic . Seorang pakar semiotika kontemporer, yaitu Umberto Eco memberikan definisi tentang semiotika, bahwa disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang bisa dipakai untuk berbohong, karena jika sesuatu tidak bisa dipakai untuk berbohong, sebaliknya itu tidak bisa dipakai untuk apapun juga (Denesi, 2010:33). Charles Saunders Peirce, yang dianggap sebagai pendiri semiotika modern. Ia mendefinisikan semiotika sebagai hubungan antara tanda (simbol), objek, dan makna (Morissan, 2009: 28). Tanda mewakili objek (referent) yang ada di dalam pikiran orang yang meninterpretasikan (interpreter). Peirce menyatakan bahwa representasi dari suatu objek disebut dengan interpretant. Bagi Pierce, tanda “is something whichstands to somebody for something in some respect or capacity.” Sesuatu yang digunakan agar tanda bisa berfungsi, oleh Peirce disebut ground. Konsekuensinya, tanda (sign atau representamen) selalu terdapat dalam hubungan triadik, yakni ground, object, dan interpretant. Atas dasar hubungan ini, Pierce mengadakan klasifikasi tanda. Tanda yang dikaitkan dengan ground baginya menjadi qualisgn, sinsign dan lesign. Qualisign adalah kualitas yang ada pada tanda, misalnya kata-kata kasar, lemah, lembut, merdu. Sinsign adalah eksitensi aktual atau benda atau peristiwa yang ada pada tanda; misalnya kata kabur atau keruh yang ada FISIP USU| Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 24 pada urutan kata air sungai keruh yang menandakan bahwa ada hujan di hulu sungai. Lesign adalah norma yang dikandung oleh tanda, misalnya rambu-rambu lalu lintas yang menandakan hal-hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan manusia (Sobur, 2004:41). Charles Morris memudahkan kita memahami ruang lingkup kajian semiotika yang menaruh perhatian atas ilmu tentang tanda-tanda. Menurut dia, kajian semiotika pada dasarnya dapat di bedakan ke dalam tiga cabang penyelidikan (Branches of inquiry) yakni sintaktik, semantik, dan pragmatik. (Wibowo, 2011 : 4) 1) Sintaktik (syntactics) atau sintaksis (syntax) : suatu cabang penyelidikan semiotika mengkaji “hubungan-hubungan formal diantara satu tandatanda yang lain”. Dengan begitu hubungan-hubungan formal ini merupaakan kaidah-kaidah yang mengendalikan tuturan dan interpretasi, pengertian sintaktik kurang lebih adalah semacam gramatika. 2) Semantik (semantics): suatu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari “ hubungan di antara tanda-tanda sebelum digunakan dalam tuturan tertentu 3) Paragmatik (pragmatics) : Suatu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari “hubungan di antara tanda-tanda interpreter-interpreter atau para pemakain tanda-tanda. Pragmatik secara khusus berurusan dengan aspek-aspek komunikasi, khususnya fungsi-fungsi situasional yang melatari tuturan. Konteks semiotik yang paling penting dalam pemikiran Saussure adalah pandangan mengenai tanda. Saussure meletakkan tanda dalam konteks komunikasi manusia dengan melakukan pemilihan antara apa yang disebut signifier (penanda) dan signified (petanda). Signifier adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna (aspek material), yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau dibaca. Signified adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep aspek mental dari bahasa. Kedua unsur ini seperti dua sisi dari sekeping mata uang atau selembar kertas. Tanda bahasa dengan demikian menyatukan, bukan hal dengan nama, melainkan konsep dan FISIP USU| Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 25 gambaran akustis. Sausure menggambarkan tanda yang terdiri atas signifier dan signified itu sebagai berikut : Gambar 2.1 Elemen-Elemen Makna Saussure Sign Composed Of signification Signifier plus (physical Signified external reality (mental concept) Of meaning existence of the sign) Diadaptasi dari Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2004), hal 125 Saussure menyebut signifier sebagai bunyi atau coretan bermakna, sedangkan signified adalah gambaran mental atau konsep sesuatu dari signifier. Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep mental tersebut dinamakan signification. Dengan kata lain, signification adalah upaya dalam memberi makna terhadap dunia (Sobur, 2004:125). Salah seorang pengikut Saussure, Roland Barthes, membuat sebuah model sistematis dalam menganalisa makna dari tanda-tanda. Fokus perhatian Barthes lebih tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua tahap (two order of signification) seperti terlihat pada gambar. FISIP USU| Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 26 Gambar 2.2 Signifikasi Dua Tahap Barthes First Order Reality Second order Sign Signifier Denotation ---------------- Culture Form Connotation Content Signified Myth Diadaptasi dari Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2004), hal 127. Melalui gambar 2.2 ini Barthes, seperti dikutip Fiske, menjelaskan: signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau paling tidak intersubjektif. Pemilihan kata-kata kadang merupakan pilihan terhadap konotasi, misalnya kata “penyuapan” dengan memberi uang pelicin”. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan terhadap sebuah objek; sedangkan konotasi adalah bagaimana menggambarkannya. FISIP USU| Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 27 Charles Morris memudahkan kita memahami ruang lingkup kajian semiotika yang menaruh perhatian atas ilmu tentang tanda-tanda. Menurut dia, kajian semiotika pada dasarnya dapat di bedakan ke dalam tiga cabang penyelidikan (Branches of inquiry) yakni sintaktik, semantik, dan pragmatik. (Wibowo, 2011 : 4). 1. Semantik Semantik membahas bagaimana tanda berhubungan dengan referennya, atau apa yang diwakili suatu tanda. Semiotika menggunakan dua dunia, yaitu ‘dunia benda (world of Things) dan dunia tanda dan menjelaskan hubungan keduanya. Prinsip dasar dalam semiotika adalah bahwa representasi selalu diperantai atau dimediasi oleh kesadaran interpretasi seorang individu, dan setiap interpretasi atau makna dari suatu tanda akan berubah dari suatu situasi ke situasi lainnya (Morissan, 2009: 29). Semantik dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Yunani ‘sema’ (kata benda) yang berarti ‘tanda’ atau ‘lambang’. Kata kerjanya adalah‘semaino’ yang berarti ‘menandai’atau ‘melambangkan’. Yang dimaksud tanda atau lambang disini adalah tanda-tanda linguistik (Perancis : signé linguistique). Menurut Ferdinan de Saussure (1966), melihat semiotika melalui sudut pandang lingustik yang terdiri dari : 1) Komponen yang menggantikan, yang berwujud bunyi bahasa. 2) Komponen yang diartikan atau makna dari komponen pertama. (http://www.scribd.com/doc/4634605/Pengertian-Semantik,01.15/26/02/2012) Kedua komponen ini adalah tanda atau lambang, dan sedangkan yang ditandai atau dilambangkan adalah sesuatu yang berada di luar bahasa, atau yang lazim disebut sebagai referent / acuan / hal yang ditunjuk. Jadi, Ilmu Semantik adalah : - Ilmu yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan halhal yang ditandainya. - Ilmu tentang makna atau arti Semantik mengacu pada makna dari sebuah tanda. Sebagai contoh, dua jari dipasangkan di belakang kepala seseorang adalah sebuah cara untuk memanggilnya seorang “setan”. Dalam analisis semantik, bahasa bersifat unik dan memiliki hubungan FISIP USU| Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 28 yang erat dengan budaya masyarakat penuturnya. Maka, suatu hasil analisis pada suatu bahasa, tidak dapat digunakan untuk menganalisi bahasa lain. Contohnya penutur bahasa Inggris yang menggunakan kata ‘rice’ pada bahasa Inggris yang mewakili nasi, beras, gabah dan padi. Kata ‘rice’ akan memiliki makna yang berbeda dalam masingmasing konteks yang berbeda. Dapat bermakna nasi, beras, gabah, atau padi. Tentu saja penutur bahasa Inggris hanya mengenal ‘rice’ untuk menyebut nasi, beras, gabah, dan padi. Itu dikarenakan mereka tidak memiliki budaya mengolah padi, gabah, beras dan nasi, seperti bangsa Indonesia. Kesulitan lain dalam menganalisis makna adalah adanya kenyataan bahwa tidak selalu penanda dan referent-nya memiliki hubungan satu lawan satu. Yang artinya, setiap tanda lingustik tidak selalu hanya memiliki satu makna. Adakalanya, satu tanda lingustik memiliki dua acuan atau lebih. Dan sebaliknya, dua tanda lingustik, dapat memiliki satu acuan yang sama. Hubungan tersebut dapat digambarkan dengan contohcontoh berikut : Gambar 2.3 Racun Bisa Dapat Buku Lembar kertas berjilid Kitab 2. Sintaktik Sintaktik (syntactics) yaitu studi mengenai hubungan di antara tanda. Dalam hal ini, tanda tidak pernah mewakili dirinya, tanda adalah selalu menjadi bagian dari sistem tanda yang lebih besar atau kelompok yang diorganisir melalui cara tertentu. Sistem tanda seperti ini disebut kode (code). Kode dikelola dalam berbagai aturan. Dengan FISIP USU| Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 29 demikian, tanda yang berbeda mengacu atau menunjukkan benda berbeda dan tanda digunakan bersama-sama melalui cara-cara yang diperbolehkan (Morissan, 2009:30). Tanda-tanda tersebut disusun kedalam sistem dengan tanda lainnya. Sebagai contoh, seseorang mungkin menyimpan dua buah jarinya di belakang kepala seseorang, tertawa dan berkata “mengejek Anda!” Hal tersebut adalah sebuah gerak tubuh, sebuah tanda suara (tertawa), ekspresi wajah, dan bahasa bersatu untuk menciptakan makna. Menurut pandangan semiotika tanda selalu dipahami dalam hubungannya dengan tanda lainnya. Dalam situasi pembicaraan biasa tanda-tanda dari berbagai sistem tanda berfungsi secara bersama-sama, sistem tanda bahasa berdampingan dengan sistem tanda paralinguistik (getaran suara, intonasi) dan yang lain (gerak, sikap, pancaran mata, mimik, jarak,dll). Sintaksis semiotis menganalisis hubungan antartanda. Dalam suatu sistem yang sama, sintaksis semiotis tidak dapat membatasi diri dengan hanya mempelajari hubungan antar tanda, tetapi harus melihat hubungan-hubungan lain yang pada prinsipnya bekerja sama. 3. Pragmatik Pragmatik yaitu bidang yang mempelajari bagaimana tanda menghasilkan perbedaan dalam kehidupan manusia atau dengan kata lain, pragmatik adalah studi yang mempelajari penggunaan tanda serta efek yang dihasilkan tanda. Aspek pragmatik dari tanda memiliki peran penting dalam komunikasi, khususnya untuk mempelajari mengapa terjadi pemahaman (understanding) atau kesalahpahaman (misunderstanding) dalam berkomunikasi. Pragmatik mengacu pada pengaruh atau perilaku yang dimunculkan oleh sebuah tanda atau sekelompok tanda tanda, seperti ketika tanda “setan” dianggap sebuah lelucon daripada sebuah penghinaan. Dari perspektif semiotika, kita harus memiliki pengertian sama, tidak saja terhadap setiap kata dan tata bahasa yang digunakan, tetapi juga masyarakat dan kebudayaan yang melatarbelakanginya, agar komunikasi dapat berlangsung dengan baik. Sistem hubungan diantara tanda harus memungkinkan komunikator untuk mengacu pada sesuatu yang sama. Kita harus memiliki kesatuan rasa (sense of FISIP USU| Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 30 coherance) terhadap pesan. Jika tidak, maka tidak akan ada pengertian komunikasi. Kita juga harus memastikan bahwa apabila kita menggunakan aturan tata bahasa, maka mereka yang menerima pesan kita juga harus memiliki pemahaman yang sama terhadap tata bahasa yang kita gunakan. Dengan demikian, makna yang kita maksudkan, people can communicateif they share meaning (orang hanya dapat berkomunikasi jika mereka melihat makna yang sama) (Morissan, 2009:30). Unsur pragmatik yakni hubungan antara tanda dengan pemakai (user atau interpreter ), menjadi bagian dari sistem semiotik sehingga juga menjadi salah satu cabang kajiannya karena keberadaan tanda tidak dapat dilepaskan dari pemakainya.Bahkan lebih luas lagi keberadaan suatu tanda dapat dipahami hanya dengan mengembalikan tanda itu ke dalam masyarakat pemakainya, ke dalam konteks sosial budaya yang dimiliki. Sehubungan dengan itu Abrams (1981: 171) mengungkapkan bahwa the focus of semiotic interest is on the under lying system of language,not on the parol. Hal itu sesuai dengan pernyataan bahwa bahasa adalah cermin kepribadian dan budaya bangsa. 2.1.4 Semiotika Komunikasi Visual Semiotika komunikasi mengkaji tanda dalam konteks komunikasi yang lebih luas, yang melibatkan pelbagai elemen komunikasi, seperti saluran (channel), sinyal (signal), media, pesan, kode (bahkan juga (noise). ‘semiotika komunikasi’ menekankan aspek ‘produksi tanda’ (sign production) di dalam pelbagai rantai komunikasi, saluran, dan media ketimbang ‘sistem tanda’ (sign system). Didalam semiotika komunikasi, tanda ditempatkan dalam rantai komunikasi, sehingga mempunyai peran penting dalam penyampaian pesan. Semiotika komunikasi visual diperlukan untuk mengkaji tanda verbal (judul, subjudul, dan teks) dan tanda visual ilustrasi, logo, tipografi dan tata visual). Desain komunikasi visual dengan pendekatan teori semiotika. Diharapkan pisau analisis semiotika visual mampu menjadi salah satu pendekatan untuk memperoleh makna yang terkandung dibalik tanda verbal dan tanda visual karya desain komunikasi visual (Tinarbuko, 2010: 9). FISIP USU| Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 31 Desain komunikasi visual adalah ilmu yang mempelajari konsep komunikasi dan ungkapan daya kreatif, yang diaplikasikan dalam pelbagai media komunikasi visual dengan mengolah elemen desain grafis yang terdiri atas gambar (ilustrasi) huruf dan tipografi, warna, teknik pengambilan gambar. Semua itu dilakuakan guna menyampaikan pesan secara visual, audio, dan/atau audio visual kepada target sasaran yang dituju. 1. Tipografi Tipografi dalam konteks komunikasi visual mencakup pemilihan bentuk huruf; besar huruf; cara dan teknik penyusunan huruf menjadi kata atau kalimat yang sesuai dengan karakter pesan (sosial atau komersial) yang ingin disampaikan (Tinarbuko, 2010:25). Huruf dan tipografi dalam perkembangannya menjadi ujung tombak guna menyampaikan pesan verbal dan pesan visual kepada seseorang, sekumpulan orang, bahkan masyarakat luas yang dijadikan tujuan akhir proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan atau terget sasaran. Tipografi dalam hal ini adalah seni memilih dan menata huruf untuk pelbagai kepentingan menyampaikan informasi berbentuk pesan sosial ataupun komersial. Dewasa ini, perkembangan tipografi banyak dipengaruhi oleh kemajuan teknologi digital. Huruf yang telah disusun secara tipografis merupakan elemen dasar dalam membentuk sebuah tampilan desain komunikasi visual. Hal ini diyakini dapat memberikan inspirasi untuk membuat suatu komposisi yang menarik. sedangkan bentuk-bentuk tipografi itu sendiri dapat dipergunakan secara terpisah atau dapat pula dikomposisikan dengan materi lain seperti ilustrasi hand drawing ataupun image. Dalam perkembanganya, ada lebih dari seribu macam huruf Romawi atau Latin yang telah diakui oleh masyarakat dunia. Tetapi huruf tersebut sejatinya merupakan hasil perkawinan silang lima jenis huruf berikut ini : 1) Huruf Romein. Garis hurufnya memperlihatkan perbedaan antara tebal-tipis dan mempunyai kaki atau kait yang lancip pada setiap batang hurufnya. FISIP USU| Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 32 2) Huruf egyptian. Garis hurufnya memiliki ukuran yang sama tebal pada setiap sisinya. Kaki atau kaitnya berbentuk lurus atau kaku. 3) Huruf Sans Serif. Garis hurufnya sama tebal dan tidak mempunyai kaki atau kait. 4) Huruf miscellaneous. Jenis huruf ini lebih mementingkan nilai hiasnya daripada nilai komunikasinya. Bentuknya senantiasa mengedepankan aspek dekoratif dan ornamental. 5) Huruf Script. Jenis huruf ini menyerupai tulisan tangan dan bersifat spontan. Sementara itu, Danton Sihombing (2001: 96) mengelompokkan keluarga huruf berdasarkan latar belakang sejarahnya : 1) Old Style, jenis huruf ini meliputi : Bembo, Caslon, Galliard, Garamond. 2) Transitional, jenis huruf ini meliputi : baskerville, Perpetua, Times New Roman. 3) Modern, jenis huruf ini meliputi : Bodoni 4) Egyptian atau Slab Serif, jenis huruf ini meliputi : Bookman, Serifa. 5) Sans Serif, jenis huruf ini meliputi : Franklin Gothic, Futura, Gill Sans, Optima. Huruf-huruf tertentu dalam melakukan aktivitas perancangan. Ia harus menjadikan rangkaian huruf (kata atau kalimat) tidak sekedar bisa di baca dan dimengerti maknanya. Tetapi lebih dari itu, seorang desainer komunikasi visual harus piawai menampilkan tipografi yang enak di pandang mata dan lebih melancarkan pembaca dalam memahami media komunikasi visual. Dengan demikian, keberadaan tipografi dalam rancangan karya desain komunikasi visual sangat penting. Sebab, perencanaan dan pemilihan tipografi yang tepat, baik ukuran, warna, maupun bentuk, diyakini mampu menguatkan isi pesan verbal desain komunikasi visual tersebut. Dalam social communication seperti dikutip Bebe Indah Maryam, ada beberapa faktor yang mempengaruhi mudah tidaknya ketersampaian sebuah pesan verbal yang terkandung dalam karya desain komunikasi visual, diantaranya: pertama, latar belakang, yakni warna dasar dan tekstur yang digunakan. Teks menjadi unsur utama dari sebuah FISIP USU| Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 33 pesan verbal akan terlihat jelas manakala keberadaan warna huruf dan latarnya cukup kontras Kedua, besar huruf yang digunakan. Ukuran standar teks adalah antara 6 sampai 10 point, tergantung luas ruangan yang tersedia dan banyak sedikitnya teks yang akan ditampilkan, juga menyesuaikan keluarga huruf yang ingin ditampilkan. Selain itu, Danton Sihombing (2001:28) mengingatkan, keluarga huruf terdiri dari kembangan yang berakar dari struktur bentuk dasar (regular) sebuah alfabet dan setiap perubahan huruf masih memiliki kesinambungan bentuk. Perbedaan tampilan yang pokok dalam keluarga huruf dibagi menjadi tiga bentuk pengembangan : (1)kelompok berat terdiri atas light, regular, dan bold. (2) Kelompok proporsi condesed, regular, dan extended. (3) kelompok kemiringan yaitu italic.Ketiga, spasi antarhuruf, kata, maupun jarak antar baris kalimat. Keempat, faktor-faktor subjektif seperti jarak baca maupun kualitas penerangan ketika membaca. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka ketika desainer komunikasi visual mahir mengusai tipografi yang dipergunakan untuk menyampaikan informasi yang bersifat sosial ataupun komersial, maka sejatinya sang desainer tersebut mampu memposisikan dirinya sebagai kurir komunikasi (visual) yang bertanggung jawab kepada masyarakat luas yang dijadikan target . 2. Komposisi Warna Warna memegang peranan penting dalam sebuah iklan, yakni untuk mempertegas dan memperkuat kesan atau tujuan iklan tersebut. Warna juga mempunyai fungsi untuk memperkuat aspek identitas menurut pakar Psikologi, J. Linschoeten dan Mansyur (dalam Kasali, 1995 : 87) warna itu bukanlah suatu gejala yang hanya dapat diamati saja, warna itu mempengaruhi kelakuan, memegang peranan penting dalam penilaian estetis dan turut menentukan suka tidaknya kita terhadap berbagai benda. Bagi yang ingin mendesain sebuah gambar visual periklanan tidak terlepas dari artistik, desain, warna serta tema dari gambar yang ingin di buat. Dibawah ini dipaparkan potensi karakter warna yang mampu memberikan kesan pada seseorang, FISIP USU| Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 34 yang akan dideskripsikan sebagaimana yang diungkapkan Barker (1954) dalam Mulyana : 1. Merah, Melambangkan kesan energi, kekuatan, hasrat, erotisme, keberanian, simbol dari api, pencapaian tujuan, darah, resiko, ketenaran, cinta, perjuangan, perhatian, perang, bahaya, kecepatan, panas, kekerasan. Warna ini dapat menyampaikan kecenderungan untuk menampilkan gambar dan teks secara lebih besar dan dekat. warna merah dapat mengganggu apabila digunakan pada ukuran yang besar. Merah cocok untuk tema yang menunjukkan keberanian seseorang. energi misal mobil, kendaraan bermotor, olahraga dan permainan. 2. Putih. Menunjukkan spiritualitas, kedamaian, kedewaan, Permohonan keperawanan atau maaf, pencapaian kesucian, diri, kesederhanaan, kesempurnaan, kebersihan, cahaya, takbersalah, keamanan, persatuan. Warna putih sangat bagus untuk menampilkan atau menekankan warna lain serta memberi kesan kesederhanaan dan kebersihan. 3. Hitam. Melambangkan perlindungan, pengusiran, sesuatu yang negatif, mengikat, kekuatan, formalitas, misteri, kekayaan, ketakutan, kejahatan, ketidak bahagiaan, perasaan yang dalam, kesedihan, kemarahan, sesuatu yang melanggar (underground), modern music, harga diri, anti kemapanan. Sangat tepat untuk menambahkan kesan misteri. latar belakang warna hitam dapat menampilkan perspektif dan kedalaman. Sangat bagus untuk menampilkan karya seni atau fotografi karena membantu penekanan pada warna-warna lain. 4. Biru. Memberikan kesan Komunikasi, Peruntungan yang baik, kebijakan, perlindungan, inspirasi spiritual, tenang, kelembutan, dinamis, air, laut, kreativitas, cinta, kedamaian, kepercayaan, loyalitas, kepandaian, panutan, kekuatan dari adlam, kesedihan, kestabilan, kepercayaan diri, kesadaran, pesan, ide, berbagi, idealisme, persahabatan dan harmoni, kasih sayang. Warna ini memberi kesan tenang dan menekankan keinginan. Biru tidak meminta mata FISIP USU| Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 35 untuk memperhatikan. Obyek dan gambar biru pada dasarnya dapat menciptakan perasaan yang dingin dan tenang. Warna Biru juga dapat menampilkan kekuatan teknologi, kebersihan, udara, air dan kedalaman laut. Selain itu, jika digabungkan dengan warna merah dan kuning dapat memberikan kesan kepercayaan dan kesehatan. 5. Hijau Menunjukkan warna bumi, penyembuhan fisik, kelimpahan, keajaiban, tanaman dan pohon, kesuburan, pertumbuhan, muda, kesuksesan materi, pembaharuan, daya tahan, keseimbangan, ketergantungan dan persahabatan. Dapat digunakan untuk relaksasi, menetralisir mata, memenangkan pikiran, merangsang kreatifitas. 6. Kuning Merujuk pada matahari, ingatan, imajinasi logis, energi sosial, kerjasama, kebahagiaan, kegembiraan, kehangatan, loyalitas, tekanan mental, persepsi, pemahaman, kebijaksanaan, penghianatan, kecemburuan, penipuan, kelemahan, penakut, aksi, idealisme, optimisme, imajinasi, harapan, musim panas, filosofi, ketidakpastian,resah dan curiga. Warna kuning merangsang aktivitas mental dan menarik perhatian, Sangat efektif digunakan pada blogsite yang menekankan pada perasaan bahagia dan kekanakan. 7. Merah Muda Warna Merah Muda menunjukkan simbol kasih sayang dan cinta, persahabatan, feminin, kepercayaan, niat baik, pengobatan emosi, damai, perasaan yang halus, perasaan yang manis dan indah. 8. Ungu Menunjukkan pengaruh, pandangan ketiga, kekuatan spiritual, pengetahuan yang tersembunyi, aspirasi yang tinggi, kebangsawanan, upacara, misteri, pencerahan, telepati, empati, arogan, intuisi, kepercayaan yang dalam, ambisi, magic atau keajaiban, harga diri. FISIP USU| Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 36 9. Orange Menunjukkan kehangatan, antusiasme, persahabatan, pencapaian bisnis, karier, kesuksesan, kesehatan pikiran, keadilan, daya tahan, kegembiraan, gerak cepat, sesuatu yang tumbuh, ketertarikan, independensi. Pada Blog dapat meningkatkan aktifitas mental. Disamping itu warna Orange memberi kesan yang kuat pada elemen yang dianggap penting. 10. Coklat Menunjukkan Persahabatan, kejadian yang khusus, bumi, pemikiran yang materialis, reliabilitas, kedamaian, produktivitas, praktis, kerja keras. Warna coklat sangat tidak menarik apabila digunakan tanpa tambahan gambar dan ornamen tertentu, coklat harus didukung ornament lain agar menarik. 11. Abu-Abu Mencerminkan kesederhanaan, keamanan, kedewasaaan, kepandaian, konservatif, tenang praktis, dan serius, kesedihan, bosan, profesional, kualitas, diam, tenang. 12. Emas Mencerminkan prestis (kedudukan), kesehatan, keamanan, kegembiraan, kebijakan, arti, tujuan, pencarian kedalam hati, kekuatan mistis, ilmu pengetahuan, perasaan kagum, konsentrasi. 3. Teknik Pengambilan Gambar Dalam analisis visual gambar menjadi suatu elemen terpenting yang menjadikannya bermakna, Ada dua aspek yang difokuskan dalam menganalisis iklan yakni aspek visual yang berupa ekspresi para tokoh, cara pengambilan gambar dan setting. Kedua aspek audio yang berupa narasi, gaya bahasa dan pilihan kata yang ada pada iklan. FISIP USU| Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 37 Konsep pengambilan gambar, teknik editing dan pergerakan kamera yang dijelaskan oleh Asa Berger. Cara pengambilan gambar dalam penelitian ini dapat berfungsi sebagai penanda. Gambar menjadi elemen terpenting untuk membentuk suatu tayangan berdurasi. Teknik pengambilan suatu gambar akan menentukan kualitas gambar yang dihasilkan apakah memenuhi kriteria menjadi gambar yang layak. Teknik pengambilan suatu gambar memiliki kode-kode yang memiliki makna tersendiri. Kodekode tersebut menginformasikan hampir seluruh aspek tentang keberadaan kita dan menyediakan konsep yang bermanfaat bagi analisis seni populer dan media. Beberapa elemen gambar dapat ditemui dalam kode, terutama yang berhubungan dengan bahasa gambar yang bisa dilihat sebagai berikut : Tabel 2.2 Teknik Dalam Pengambilan Gambar PENANDA (SIGNIFIER) MENANDAKAN (SIGNIFIED) PENGAMBILAN GAMBAR Extreme Long Shot Kesan luas dan keluarbiasaan Full Shot Hubungan sosial Big Close Up Emosi, dramatik, moment penting Close Up Intim atau dekat Medium Shot Hubungan personal dengan subjek Long Shot Konteks Perbedaan dengan publik SUDUT PANDANG (Angle) Pengambilan Gambar: High Dominasi, Kekuasaan dan otoritas Eye-Level Kesejajaran, keamanan dan sederajat Low Didominasi, dikuasai dan kurang otoritas TIPE LENSA Wide Angle Dramatis Normal Normalitas dan keseharian Telephoto Tidak personal, Voyeuristik FISIP USU| Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 38 FOKUS Selective Focus Meminta perhatian (tertuju pada satu objek) Soft Focus Romantis serta nostalgia Deep Focus Semua unsur adalah penting (melihat secara keseluruhan objek) PENCAHAYAAN High Key Riang dan Cerah Low Key Suram dan Muram High Contrast Dramatikal dan teartikal Low Contrast Realistik serta terkesan seperti dokumenter PEWARNAAN Warm (kuning,orange, merah dan abu- Optimisme, harapan, hasrat dan agitasi abu) Cool (biru dan hijau) Pesimisme, tidak ada harapan Black and White (hitam dan Putih) Realisme,aktualisme, dan faktual Sumber : Selby, keith dan Codery, Ron, How to Study Television”, London, Mc Millisan, 1995 Tabel 2.3 Teknik Editing dan Gerakan Kamera Penanda Definisi Petanda Pan down Kamera mengarah ke Menunjukkan kekuasaan, bawah kewenangan Kamera mengarah ke Menunjukkan kelemahan, atas pengecilan Kamera mengarah ke Memperlihatkan sebuah dalam observasi, fokus Image muncul dari gelap Permulaan dan akhir cerita Pan up Dolly in Fade in/out ke terang dan sebaliknya FISIP USU| Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 39 Cut Perpindahan dari gambar Simultan, kegairahan satu ke gambar yang lain Wipe Gambar terhapus dari “penutupan”kesimpulan layar Sumber : Berger, tanda-tanda dalam kebudayaan kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000,. Hal 33 Menurut Berger, TV merupakan medium “close up” untuk menunjukkan sebuah karakter (Berger, 2000:33). Dalam penerapan semiotik pada televisi pengetahuan tentang aspek-aspek medium yang berfungsi sebagai tanda. Setiap angel gambar yang diambil mempunyai makna dan interpretasi tersendiri. Dari cara pengambilan gambar di atas dapat disimpulkan bahwa setiap cara pengambilan gambar dapat menggambarkan hubungan personal antar tokoh, ekspresi, emosi, waktu, kejadian dan tempat secara lebih jelas. Dari gambar tersebut kita juga dapat melihat makna-makna dan ideologi tertentu yang ada dibalik potongan sebuah adegan. 2.1.5 Semiologi Roland Barthes Roland barthes mengembangkan dua tingkatan pertandaan (stanggered systems), yang memungkinkan untuk di hasilkannya makna yang juga bertingkattingkat, yaitu dengan denotasi (denotation) dan konotasi (conotation). Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna ekplisit, langsung dan pasti. Makna denotasi (denotative meaning), dalaam hal ini, adalah makna pada apa yang tampak. Misalnya, foto wajah SBY berarti wajah SBY yang sesungguhnya. Denotasi adalah tanda yang penandanya mempunyai tingkat konvensi atau kesepakatan yang tinggi. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda atau petanda, yang didalamnya beroperasi makna tidak ekplisit, tidak langsung dan tidak pasti (artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan). Ia menciptakan makna lapis kedua, yang terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis, FISIP USU| Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 40 seperti perasaan, emosi atau keyakinan. Misalnya, tanda bunga mengkonotasikan ‘kasih sayang’ atau tanda tengkorak mengkonotasikan ‘bahaya’. Konotasi dapat menghasilkan makna lapis kedua yang bersifat implisist, tersembunyi, yang disebut makna konotatif (connotative meaning). Selain itu, Roland Barthes juga melihat makna yang lebih dalam tingkatnya, tetapi lebih bersifat konvensional, yaitu makna-makna yang berkaitan dengan mitos. Mitos dalam pemahaman semiotika Barthes adalah pengkodean makna dan nilai-nilai sosial ( yang sebetulnya arbiter atau konotatif) sebagai sesuatu yang dianggap alamiah. Kancah penelitian semiotika tak bisa begitu saja melepaskan nama Roland Barthes (1915-1980) ahli semiotika yang mengembangkan kajian yang sebelumnya punya warna kental dalam strukturalisme semiotika teks. Sebagai pengikut Saussurean yang berpandangan bahwa sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Semiotik, atau dalam istilah Barthes semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity ) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify ) dalam hal ini tidak dapat dicampurdukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak dikomunikasikan, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Salah satu wilayah penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (The reader ). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara lugas mengulas apa yang sering disebutnya sebagai sistem pemaknaan tataran kedua,yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sistem ke-dua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam buku Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama. Demi memperjelas signifikasi dua tahap, Barthes menciptakan peta bagaimana tanda bekerja sebagai berikut : FISIP USU| Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 41 Gambar 2.4 Peta Tanda Roland Barthes 2. Signified 1. Signifier (penanda) (Petanda) 3. denotative sign (tanda denotatif) 4. CONOTATIVE SIGNIFIER 5. CONOTATIVE SIGNIFIED (PETANDA KONOTATIF (PETANDA KONOTATIF) 6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF) Sumber : Roland Barthes, Mythologies (New York: The NOONDAY Press, 1991), hal. 113 Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekadar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Pada dasarnya, ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang dipahami oleh Barthes. Di dalam semiotika Barthes dan para pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna. Sebagai reaksi untuk melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif ini, Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya yang ada hanyalah konotasi. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa makna harfiah merupakan sesuatu yang bersifat. Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai mitos dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda. Namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan FISIP USU| Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 42 tataran kedua. Didalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda. (http://www.scribd.com/doc/46455415/TELAAH-kajian-semiotika 12:30/26/02/2012). Barthes melontarkan konsep tentang konotasi dan denotasi sebagai kunci dari analisisnya, Barthes menggunakan versi yang jauh lebih sederhana membahas model ‘glossematic sign’ (tanda-tanda glossematic). Mengabaikan dimensi dari bentuk dan substansi, dan fokus pada makna konotasi. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Pada level ini, keseluruhan tanda yang diciptakan dalam denotasi menjadi penanda bagi babak kedua pemunculan makan. Petanda pada level ini adalah konteks, baik personal maupun budaya, yang didalamnya pembaca pendengar, atau pengamat tanda memahami dan menafsirkannya (Barton, 2010:108). Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaanya. Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau paling tidak intersubjektif. Dengan kata lain, konotasi bekerja dalam tingkat intersubjektif sehingga kehadirannya tidak disadari. Pembaca mudah sekali membaca makna konotatif sebagai fakta denotatif. Karena itu, salah satu tujuan analisis semiotika adalah untuk menyediakan metode analisis dan kerangka berpikir dan mengatasi terjadinya salah baca (misereading) atau salah dalam mengartikan makna suatu tanda (Wibowo, 2011: 174). Mitos adalah suatu wahana dimana suatu ideologi berwujud. Mitos dapat berangakai menjadi suatu mitologi yang memainkan peranan penting dalam kesatuan budaya-budaya. Sedangkan Van Zoest (1991) menegaskan, siapapun bisa menemukan ideologi dalam teks dengan jalan meneliti konotasi-konotasi yang terdapat didalmnya. Dalam pandangan Umar Yunus (1990), mitos tidak dibentuk melalui penyelidikan, tetapi melalui anggapan berdasarkan observasi kasar yang digeneralisasikan oleh karenannya lebih banyak hidup dalam masyarakat. Ia mungkin hidup dalam ‘gosip’ kemudian ia mungkin dibuktikan dengan tindakan nyata. Sikap kita terhadap sesuatu ditentukan oleh mitos yang ada dalam diri kita. Mitos menyebabkan kita mempunyai prasangka tertentu terhadap sesuatu yang dinyatakan dalam mitos. FISIP USU| Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 43 Sebuah teks, Aart van Zoest tidak pernah lepas dari ideologi dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembaca kearah suatu ideologi. Sedangkan Eriyanto (2001:146) menempatkan ideologi sebagai konsep sentral dalam analisis wacana yang bersifat kritis. Hal ini menurutnya, karena teks, percakapan dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi atau pencerminan dari ideologi tertentu. Secara etimologis ideologi berasal dari bahasa Greek, terdiri atas kata idea dan logos, Idea berasal dari kata idein yang berarti melihat, sedangkan kata logia berasal dari kata logos yang berarti kata-kata. Dan arti kata logia berarti science (pengetahuan) atau teori. Konsep ideologi juga bisa dikaitkan dengan wacana. Menurut Teun A van Dijk, ideologi terutama dimaksudkan untuk mengatur masalah tindakan dan praktik individu atau anggota suatu kelompok. Ideologi membuat anggota suatu kelompok akan bertindak dalam situasi yang sama, dapat menghubungkan masalah mereka dan memberinya kontribusi dalam membentuk solidaritas dari kohesi di dalam kelompok.. Dalam perspektif ini, ideologi mempunyai beberapa implikasi penting. Pertama, ideologi secara inharen bersifat sosial, tidak personal atau individual: ia membutuhkan ’share’ diantara anggota kelompok organisasi atau kreativitas dengan orang lainnya. Hal-hal yang dibagi (sharing) tersebut bagi anggota kelompok digunakan untuk membentuk solidaritas dan kesatuan langkah dalam bertindak dan bersikap. Misalnya, kelompok tertentu yang mempunyai ideologi feminis, antirasis dan pro lingkungan akan membawa nilai-nilai itu dalam semua tindakan mereka. Kedua, ideologi meskipun bersifat sosial, ia digunakan secara internal di antara anggota kelompok atau komunitas. Oleh karena itu ideologi tidak hanya menyediakan fungsi koordinat dan kohesi. Tetapi juga membentuk identitas diri kelompok, membedakannya dengan kelompok lain. Ideologi di sini bersifat umum, abstrak dan nilai-nilai yang terbagi antar kelompok menyediakan dasar bagaimana masalah harus dilihat. Dengan pandangan semacam itu, wacana lalu tidak dipahami sebagai sesuatu yang netral dan berlangsung secara ilmiah, karena dalam setiap wacana selalu terkandung ideologi untuk mendominasi dan berebut pengaruh. FISIP USU| Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 44 2.1.6 Iklan Dalam peradaban manusia, tulisan pertama yang terkait dengan iklan adalah tanda-tanda yang ditampilkan di atas pintu toko kota-kota kuno di Timur Tengah. Sejak tahun 3000 Sebelum Masehi orang-orang Babilonia menggunakan tanda seperti itu untuk mengiklankan toko mereka. Orang-orang Yunani dan Romawi Kuno juga menggantungkan tanda-tanda tersebut di luar toko mereka. Ketika orang sudah mulai bisa membaca, para pedagang dizaman itu manatahkan simbol-simbol yang bisa dikenal pada batu, tanah liat, atau kayu untuk menampilkan tanda-tanda yang ingin mereka tunjukan. Bahkan sebenarnya, sepanjang sejarah iklan poster dan gambar dipasar dan kuil merupakan media populer yang dipakai untuk menyebarkan informasi dan untuk mempromosikan barter serta penjualan barang dan jasa (Danesi, 2010:225). Diawal tahun 1920-an, semakin banyaknya penggunaan listrik menghasilkan kemungkinan semakin besar dalam mamapankan iklan didalam cakrawala sosial melalui penggunaan media elektronik baru. Munculnya radio dan televisi telah menghasilkan perpaduan iklan dalam bentuk komersial disertai sebuah narasi mini atau jingle musik yang berkisar pada suatu barang atau jasa dan kegunaannya. Komersial segera menjadi satu bentuk iklan yang sangat persuasif, karena secara serentak bisa mencapai massa konsumen potensial, baik melek huruf maupun tidak. Selanjutnya komersialisasi di televisi menjadi tidak asing dalam menciptakan persepi tentang produk sebagai yang terjalin sangat erat dengan gaya dan isi komersial yang dipakai untuk mempromosikannya. Belum lama berselang, Internet bergerak maju dalam melengkapi dan menambahi bentuk-bentuk iklan baik yang tercetak maupun komersial (radio dan televisi). Meskipun demikian, teks iklan tidak pernah berubah secara drastis dari sejak dibentuk oleh media tradisonal. Seperti di dalam komersial televisi, para pemasang iklan di Internet menggunakan gambar, audio, dan pelbagai teknik visual untuk meningkatkan efektivitas pesan yang akan mereka sampaikan. Pada akhirnya iklan menjadi salah satu bentuk diskursus sosial yang paling tersebar dan menyeluruh yang pernah dibuat manusia. Seperti yang pernah disinggung McLuhan (1964), dalam hal ini medium sudah menjadi pesan. Sekarang bahkan sudah ada situs seperti AdCritic.com FISIP USU| Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 45 yang menampilkan iklan sebagai iklan itu sendiri, sehingga para pengakses situs itu bisa melihatnya hanya dari segi estetiknya saja. Iklan adalah bagian penting dari serangkaian kegiatan mempromosikan produk yang menekankan unsur citra. Dengan demikian, objek iklan tidak sekedar tampil dalam wajah utuh, akan tetapi melalui proses pencitraan, sehingga citra produk lebih mendominasi bila dibandingkan produk itu sendiri. Pada proses ini cita produk di ubah menjadi citra produk (Bungin, 2008:79). Iklan dikategorisasikan sebagai iklan nonkomersial dan iklan komersial. Iklan nonkomersial adalah iklan yang bersifat pelayanan masyarakat. Iklan komersial ditandai dengan syarat imajinasi dalam proses pencitraan dan pembentukan nilai-nilai estetika untuk memperkuat citra terhadap objek iklan itu sendiri. Sehingga terbentuk image, semakin tinggi estetika dan citra objek iklan, maka semakin komersial objek tersebut (Bungin,2008:65). Hant dan Seldon mengatakan, periklanan komersial sebagai media publik, dibuat dengan informasi dan promosi penjualan untuk tujuan pasar. Didalam abad ke-20, iklan berevolusi menjadi sebentuk diskursus sosial persuasif yang terutama diarahkan untuk mempengaruhi bagaimana kita memahami pembelian dan konsumsi barang-barang. Diskursus iklan berkisar dari pernyataan sederhana di bagian terklasifikasi pada suratkabar dan majalah sampai iklan gaya hidup majalah yang canggih serta komersial televisi dan internet. Oleh sebab itu, iklan telah menjadi diskursus istimewa yang telah menggantikan bentuk-bentuk diskursus lebih tradisional khotbah, pidato politik, peribahasa, kata-kata bijak, dan sebagainya- yang diabad-abad yang telah lewat memiliki kekuatan retoris dan otoritas moral. Akan tetapi, iklan menjunjung dan menanamkan nilai-nilai Epikurean, bukan moralistik. Dalam proses periklanan terjadi proses yang berkaitan dengan disiplin psikologi; mulai dari tahap penyebaran informasi sebagai proses awal, hingga ke tahap menggerakkan konsumen untuk membeli atau menggunakan jasa adalah suatu proses psikologi. Iklan dapat dikatakan berhasil apabila mampu menggerakan konsumen untuk pertama kali saat melihat penampilan iklan tersebut; rangsangan visual dari penampilan iklan langsung mendapat perhatian dari pemerhati. Proses berikut adalah hadirnya FISIP USU| Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 46 penilaian akhir terhadap isi atau pesan dari iklan, dengan mempertimbangkan perasaan calon konsumen, yang memunculkan tindakan atau sikap sesuai dengan penilaian akhirnya. Iklan melihat manusia sebagai ‘satuan-satuan berulang’ yang bisa diklasifikasikan kedalam pelbagai ‘kelompok selera’, ‘kelompok gaya hidup’, atau ‘pangsa pasar’ yang bisa dikelola dan dimanipulasi mengikuti hukum statistik. Seperti yang telah diingatkan oleh pakar psikoanalisis Carl Jung (1957: 19-20) beberapa dasawarsa lalu, kita memang hidup di dalam masa yang secara berbahaya melihat manusia sebagai sekrup di dalam mesin, bukannya ‘sebagai sesuatu yang unik dan tunggal yang pada akhirnya tidak bisa diketahui dan dibandingkan dengan apa pun. Untuk mengkaji iklan dalam perspektif semiotika, kita bisa mengkajinya lewat sistem tanda dalam iklan. Iklan menggunakan sistem tanda yang terdiri atas lambang, baik yang verbal maupun yang berupa ikon. Iklan juga menggunakan tiruan indeks, terutama dalam iklan radio, televisi, dan film (Sobur, 2004:116). Fenomena-fenomena sosial-budaya seperti fashion, makanan, furniture, arsitektur, pariwisata, mobil, barang-barang konsumer, seni, desain dan iklan dapat dipahami berdasarkan model bahasa (Yasraf Amir Piliang, 2003: 27). Menurut ancangan semiotik apabila keseluruhan praktek sosial dapat dianggap sebagai fenomena bahasa, maka semuanya juga dapat dianggap sebagai "tanda-tanda" (signs). Dalam semiotika Saussurean 'tanda' merupakan dua bidang yang tak dapatdipisahkan, yaitu bidang penanda (signifier) atau bentuk dan bidang petanda (signified) atau makna. Menurut semiotika Saussurean tanda harus mengikuti model kaitan struktural antara penanda dan petanda yang bersifat stabil dan pasti.(http://andriew.blogspot.com/2011/05/bab-i-pendahuluan-iklan-selalu hidup.html12:30/26/02/2012.) Kajian sistem tanda dalam iklan mencakup objek. Objek iklan adalah hal yang diiklankan. Dalam iklan produk atau jasa, produk atau jasa itulah objeknya. Yang penting dalam menelaah iklan adalah penafsiran kelompok sasaran dalam proses interpretan. Jadi, sebuah kata seperti eksekutif meskipun dasarnya mengacu pada manajer menengah, tetapi selanjutnya manager menengah ini ditafsirkan sebagai “suatu FISIP USU| Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 47 tingkat keadaan ekonomi tertentu “ yang juga kemudian dapat ditafsirkan sebagai “gaya hidup tertentu” yang selanjutnya dapat ditafsirkan sebagai “kemewahan”, dan seterusnya. Penafsiran yang bertahap itu merupakan segi penting dalam iklan. Proses seperti itu disebut semiosis (Hoed, 2001 : 97). Pada saat ini budaya terbuat dari makna antara konsumen dan pemasar. hal ini digambarkan dalam tanda-tanda dan simbol yang dikodekan dalam benda sehari-hari. Semiotika adalah studi tentang tanda dan bagaimana suatu tanda itu ditafsirkan. Periklanan memiliki tanda-tanda tersembunyi dan arti dalam nama merek, logo, desain kemasan, cetak iklan, dan iklan televisi. Tujuan dari semiotika adalah untuk mempelajari dan menginterpretasikan pesan yang disampaikan dalam iklan . Logo dan iklan dapat ditafsirkan pada dua tingkatan yang dikenal sebagai tingkat permukaan dan tingkat yang mendasarinya. Tingkat permukaan menggunakan tanda-tanda kreatif untuk membuat gambar atau kepribadian untuk suatu produk mereka. Tanda-tanda ini dapat berupa gambar, kata, font, warna, atau slogan. Sedangkan tingkat mendasarinya terdiri dari makna tersembunyi. Kombinasi gambar, kata, warna, dan slogan harus ditafsirkan oleh penonton atau konsumen. Kunci untuk analisis iklan adalah penanda dan yang ditandakan. Penanda adalah obyek dan Petanda adalah konsep mental. Sebuah produk terdiri dari penanda dan yang ditandakan. Penanda adalah warna , nama merek, desain logo, dan teknologi. Petanda memiliki dua makna denotatif dan satu lagi bisa berupa sebagai konotatif. Makna denotatif adalah makna dari produk. Makna denotatif sebuah televisi akan menjadi bahwa itu adalah definisi yang sebenarnya. Makna konotatif adalah makna produk dalam dan tersembunyi. Sebuah makna konotatif dari televisi memerlukan penafsiran untuk dipecahkan. Saat ini banyak produk-produk menerapkan konsep semiotika dalam pertarungan pasar, semiotika tampaknya telah menjadi tren dalam dunia periklanan, kini hampir semua produk yang dapat kita temui menerapkan semiotika seperti yang terdapat pada iklan rokok, produk-produk perawatan kulit dan tubuh, bahkan sampai ke iklan Kopi Kapal Api seperti pada produk-produk yang menerapkan semiotika masih FISIP USU| Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 48 didominasi oleh rokok dan perawatan wanita. Inilah ranah tektualitas berupa tanda dan makna yang masih menjadi misteri menunggu untuk dipecahkan dan di bedah. 2.2 Model Teoritik Salah seorang ahli teori kunci semiotika, Roland Barthes, mengembangkan gagasan-gagasan Saussure dan mencoba menerapakan kajian tanda-tanda secara lebih luas lagi (1967). Melalui sebuah karier yang produktif dan menggairahkan dalam banyak fase budaya, barthes memasukkan fesyen (1990), fotografi (1984) sastra (1987), majalah, dan musik diantara sekian banyak minatnya (1973;1984). Salah satu keasyikan utamanya adalah “bagaimana makna masuk kedalam citra/image” (Barthes, 1984:32). Dan itulah kunci menuju semiotika : tentang bagaimana pencipta sebuah citra membuatnya bermakna sesuatu dengan bagaimana kita, sebagai pembaca, mendapatkan maknanya. (Stokes, 2006:76) Barthes berpendapat bahwa kita dapat berbicara tentang dua sistem pemaknaan: donotasi dan konotasi. Denotasi adalah level makna deskriptif dan lliteral yang secara virtual dimiliki semua anggota suatu kebudayaan. kata, ‘keledai’ bermakna denotatif konsep binatang ternak yang berguna dan bewarna abu-abu dengan mulut dan ekor, dan seterusnya. Pada level kedua konotasi makna dibangun oleh penanda yang mengaitkan dengan aspek budaya yang lebih luas : keyakinan, sikap, kerangka kerja dan ideologi suatu bangunan sosial. Jadi ‘keledai’ bisa bermakna konotatif orang bodoh atau mudah dibohongi, menurut sub-kode atau leksikon yang digunakan Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran kedua, yang dibangun diatas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sistem kedua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama (Sobur,2004:69). FISIP USU| Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 49 Berbagai tingkatan pertandaan ini sangat penting dalam penelitian desain, karena dapat digunakan sebagai model dalam membongkar makna desain (iklan, produk, interior, fesyen) yang berkaitan secara implisist dengan nilai-nilai ideologi, budaya, moral, spritual. Tingkatan tanda dan makna barthes ini dapat digambarkan sebagai berikut : Gambar 2.5 Tingkatan Makna Barthes Christomy, T dan Untung Yuwono. 2004. Semiotika Budaya. Jakarta: Pusat Kemasyarakatan dan Budaya UI, hal .163. 1. Tanda Tanda itu adalah keseluruhan yang dihasilkan antara penanda atau petanda, tanda harus memiliki baik signifier dan signified. Tanda adalah juga parole yang membawa pesan. Parole dapat berbentuk lisan, tulisan atau representasi lain, misalnya wacana tulis, iklan foto, film, sport, tontonan, dan lain-lain. (Christomy, 2004:269). Secara figuratif, tanda memberi kita kesempatan untuk membawa dunia sekitar kita di dalam pikiran kita. Akan tetapi, ini bukan dunia yang sebenarnya; ini adalah dunia mental yang menjadi kenyataan oleh lingkup referen di batasi oleh tanda. 2. Denotasi Denotasi memiliki makna yang bersifat secara langsung, yaitu makna khusus yang terdapat pada tanda, dan pada intinya dapat disebut sebagai gambaran petanda.makna ini didasarkan atas penunjukan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan atas konvensi tertentu; memiliki sifat objektif. FISIP USU| Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 50 3. Konotasi Konotasi diartikan sebagai aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada pembicara dan pendengar selain itu juga memiliki makna subjektif dan berhubungan dengan emosional. 4. Mitos Mitos berasal dari kata bahasa Yunani mythos yang artinya’ kata-kata’, ‘wicara’, ‘kisah tentang para dewa’. Ini bisa didefinisikan sebagai narasi yang didalamnya karakter-karakternya adalah para dewa, pahlawan, dan makhluk-makluk mitis, dengan plotnya adalah tentang asal usul segala sesuatu atau tentang peristiwa metafisis yang berlangsung didalam kehidupan manusia, dan disini setting-nya adalah penggabungan dunia metafisis dengan dunia nyata. Dalam tahap-tahap awal budaya manusia, mitos berfungsi sebagai ‘teori narasi’ yang asli tentang dunia. Itulah sebabnya semua budaya menciptakan kisah ini untuk menjelaskan asal-usulnya (Danesi,2010:56). Barthes berpendapat bahwa dalam mitos ada dua sistem semiologis yaitu satu sistem bahasa, yang disebut bahasa-objek, yang dipakai oleh mitos untuk membentuk sistemnya sendiri, yang merupakan metabahasa, karena merupakan bahasa kedua yang “membicarakan” (dibuat atas dasar) yang pertama. Mitos tidak mempertanyakan lagi susunan bahasa-objek atau mempermasalahkan unsur-unsur kebahasaanya, melainkan hanya tanda globalnya (Cristomy, 2004: 269). Joseph Campbell (1904-1987) memaparkan Mitos menjelaskan dunia dalam pelbagai cara yang terus dipahami secara intuitif oleh semua orang, tanpa melihat tingkat kemelekhurufan dan kecanggihan teknologi yang mereka miliki. FISIP USU| Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara