BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kerangka Teori Dalam suatu

advertisement
16
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Kerangka Teori
Dalam suatu penelitian teori berperan untuk mendorong pemecahan suatu
permasalahan dengan jelas dan sistematis. Hal ini sangat berkaitan erat dengan
pengertian teori yakni serangkaian asumsi, konsep, konstrak, definisi dan proposisi
untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan
antar konsep (Singarimbun, 1995:37). Sedangkan Kerlinger menjabarkan, pengertian
teori sebagai suatu himpunan constuct (konsep) defenisi dan proposisi yang
mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menjabarkan relasi diantara
variabel untuk menjelaskan gejala tersebut (Rakhmat, 2004:6).
Adapun teori-teori yang relevan dalam penelitian ini sebagai berikut :
2.1.1 Representasi
Representasi merupakan bentuk konkret (penanda) yang berasal dari konsep
abstrak. Representasi dapat berwujud kata, gambar, sekuen, cerita, yang mewakili ide,
emosi fakta dan sebagainya. Representasi bergantung pada tanda dan citra yang sudah
ada dan dipahami secara kultural, dalam pembelajaran bahasa dan penandaan yang
bermacam-macam atau sitem tekstual secara timbal balik. Hal ini melalui fungsi tanda
‘mewakili’ sehingga kita tahu dan mempelajari realitas. Beberapa diantaranya dangkal
atau tidak kontroversial. Sebagai contoh bagaimana hujan direpresentasikan dalam film,
karena sebenarnya hujan sulit ditangkap oleh mata kamera dan susah diproduksi.
Beberapa representasi merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan
budaya dan politik, sebagai contoh : gender, bangsa usia, kelas, dst. Karena representasi
tidak terhindarkan untuk terlibat dalam proses seleksi sehingga beberapa tanda tertentu
lebih istimewa daripada yang lain, hal ini terkait dengan bagaimana konsep tersebut
direpresentasikan dalam media berita, film, atau bahkan dalam percakapan sehari-hari.
Pada faktanya seperti yang dikemukakan Dyer (2009:266) bagaimana ‘kita terlihat
menentukan sebagian bagaimana kita diperlakukan; bagaimana kita memperlakukan
orang lain didasarkan bagaimana kita melihat mereka (dan) penglihatan semacam itu
FISIP USU| Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
17
datang dari representasi’. Selanjutnya, bagaimana cara representasi diatur melalui
pelbagai macam media, genre, dan dalam pelbagai macam wacana memerlukan
perhatian menyeluruh.
Menurut David Croteau dan William Hoynes (2000:194) representasi
merupakan hasil dari suatu proses penyeleksian yang menggaris bawahi hal-hal tertentu
dan hal lain diabaikan. Dalam representasi media, tanda yang akan digunakan untuk
melakukan representasi tentang sesuuatu mengalami proses seleksi. Mana yang sesuai
dengan kepentingan dan pencapaian tujuan komunikasi, ideologisnya itu yang
digunakan sementara tanda-tanda lain diabaikan.
Marcel Danesi (2010:3) mendefinisikan representasi sebagai, proses perekaman
gagasan, pengetahuan, atau pesan secara fisik. Secara lebih tepat dapat didefinisikan
sebagai penggunaan ‘tanda-tanda’ (gambar, suara, dan sebagainya) untuk menampilkan
ulang sesuatu yang diserap, diindra, dibayangkan, atau dirasakan dalam bentuk fisik.
Didalam semiotika dinyatakan bahwa bentuk fisik sebuah representasi, yaitu X, pada
umumnya disebut sebagai penanda. Makna yang dibangkitkannya (baik itu jelas
maupun tidak), yaitu Y, pada umumnya dinamakan petanda; dan makna secara potensial
bisa diambil dari representasi ini (X = Y) dalam sebuah lingkungan budaya tertentu,
disebut sebagai signifikasi (sistem penandaan).
Hal ini bisa dicirikan sebagai proses membangun suatu bentuk X dalam rangka
mengarahkan perhatian sesuatu, Y, yang ada baik dalam bentuk material maupun
konseptual, dengan cara tertentu, yaitu X = Y. Meskipun demikian, upaya
menggambarkan arti X = Y bukan suatu hal yang mudah. Maksud dari pembuat bentuk,
konteks historis dan sosial yang terkait dengan terbuatnya bentuk ini, tujuan
pembuatannya, dan seterusnya merupakan faktor-faktor kompleks, yang memasuki
gambaran tersebut. Agar tugas ini bisa dilakukan secara sistematis, terbentuklah disini
suatu terminologi yang khas ( Danesi, 2010: 3-4).
Menurut Stuart Hall ( ada dua proses representasi. Pertama, representasi mental,
yaitu konsep tentang ‘sesuatu ‘ yang ada dikepala kita masing-masing (peta konseptual),
representasi mental masih merupakan sesuatu yang abstrak. Kedua, ‘bahasa’ yang
berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam
FISIP USU| Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
18
kepala kita harus diterjemahkan dalam ‘bahasa’ yang lazim, supaya kita dapat
menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dari simbolsimbol tertentu. Media sebagai suatu teks banyak menebarkan bentuk-bentuk
representasi pada isinya. Representasi dalam media menunjukan bagaimana seseorang
atau suatu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan.
Isi media bukan hanya pemberitaan tetapi juga iklan dan hal-hal lain di luar
pemberitaan, intinya sama dengan berita. Iklan juga merepresentasikan orang-orang,
kelompok atau gagasan tertentu. John Fiske merumuskan tiga proses yang terjadi dalam
representasi melalui tabel dibawah ini :
Tabel 2.1
Tiga Proses Dalam Representasi
PERTAMA
REALITAS
(Dalam bahasa tulis, seperti dokumen wawancara transkrip dan
sebagainya. Dalam televisi seperti perilaku, make up, pakaian,
ucapan, gerak-gerik dan sebagainya.
KEDUA
REPRESENTASI
Elemen tadi ditandakan secara teknis. Dalam bahasa tulis seperti
kata, proposisi, kalimat, foto, caption, grafik, dan sebagainya.
Dalam TV seperti kamera, musik, tata cahaya, dan lain-lain).
Elemen-elemen
tersebut
di
transmisikan
ke
dalam
kode
representasional yang memasukkan diantaranya bagaimana objek
digambarkan (karakter, narasi setting, dialog, dan lain lain)
KETIGA
IDEOLOGI
Semua elemen diorganisasikan dalam koheransi dan kode
ideologi, seperti individualisme, liberalisme, sosialisme, patriarki,
ras, kelas, materialisme, dan sebagainya.
Sumber :Wibowo, Semiotika komunikasi aplikasi praktis bagi penelitian dan skripsi komunikasi (Jakarta:
Mitra Wacana Media,2011), hal.123
FISIP USU| Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
19
Pertama, realitas, dalam proses ini peristiwa atau ide dikonstruksi sebagai
realitas oleh media dalam bentuk bahasa gambar ini umumnya berhubungan dengan
aspek seperti pakaian, lingkungan, ucapan ekspresi dan lain-lain. Di sini realitas selalu
siap ditandakan. Kedua, representasi dalam proses ini realitas digambarkan dalam
perangkat-perangkat teknis seperti bahasa tulis, gambar, grafik, animasi, dan lain-lain.
Ketiga, tahap ideologis dalam proses ini peristiwa-peristiwa dihubungkan dan
diorganisasikan ke dalam konvensi yang diterima secara ideologis. Bagaimana kodekode representasi dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam koherensi sosial atau
kepercayaan dominan yang ada dalam masyarakat.
Representasi bekerja pada hubungan tanda dan makna. Konsep representasi
sendiri bisa berubah-ubah, selalu ada pemaknaan baru. Representasi berubah-ubah
akibat makna yang juga berubah-ubah. Setiap waktu terjadi proses negoisasi dalam
pemaknaan. Jadi representasi bukanlah suatu kegiatan atau
proses statis, tetapi
merupakan proses dinamis yang terus berkembang seiring dengan kemampuan
intelektual dan kebutuhan para pengguna tanda, yaitu manusia sendiri yang juga terus
bergerak dan berubah. Representasi merupakan suatu proses usaha konstruksi. Karena
pandangan-pandangan
baru
menghasilkan
pemaknaan
baru,
Merupakan
hasil
pertumbuhan konstruksi pemikiran manusia, melalui representasi makna diproduksi dan
dikonstruksi. Ini menjadi proses penandaan, praktik yang membuat suatu hal bermakna
sesuatu.
2.1.2 Budaya
Kroeber dan Klukohn (1950) mengajukan konsep kebudayaan sebagai kupasan
kritis dari definisi-definisi kebudayaan (konsensus) yang mendekati. Definisinya adalah
: Kebudayaan terdiiri atas berbagai pola, bertingkah laku mantap, pikiran, perasaan dan
reaksi yang diperoleh dan terutama diturunkan oleh simbol-simbol yang menyususun
pencapaiannya
secara
tersendiri
dari
kelompok-kelompok
manusia,
termasuk
didalamnya perwujudan benda-benda materi; pusat esensi kebudayaan terdiri atas tradisi
cita-cita atau paham, dan terutama keterikatan terhadap nilai-nilai (Soelaeman,
2007:21).
FISIP USU| Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
20
Menurut Koentjaraningrat (1980), kata “kebudayaan” berasal dari kata Sanskerta
budhayah, yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan
demikian kebudayaan dapat diartikan
“hal-hal yang bersangkutan dengan akal”.
Sedangkan kata “budaya” merupakan perkembangan majemuk dari “budi daya” yang
berarti “daya dari budi” sehingga dibedakan antara “budaya” yang bearti “ daya dari
budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa, dengan “kebudayaan” yang berarti hasil dari
cipta, karsa dan rasa. Dalam disiplin ilmu antropologi budaya, kebudayaan dan budaya
itu artinya sama saja. Menganalisis konsep kebudayaan perlu dilakukan dengan
pendekatan dimensi wujud dan isi dari wujud kebudayaan (Sulaeman 2007:22).
Raymond Williams (1965) mengemukakan bahwa kebudayaan memiliki dua
aspek : makna dan tujuan yang telah diketahui, dimana anggotanya terlatih untuk itu;
pengamatan dan makna baru, yang ditawarkan dan telah dicoba. Semua itu merupakan
proses yang dilakukan oleh manusia, oleh karena itu kita dapat melihat sifat kebudayaan
yaitu dia selalu bersifat tradisional dan kreatif. Keduanya merupakan makna paling
umum dan makna individual yang paling halus. Kita memakai kata kebudayaan
berdasarkan atas dua logika: sebagai keseluruhan cara hidup-makna umum; sebagai seni
dan pembelajaran-proses khusus penemuan dan usaha kreatif (Barker, 2000:39).
Pergeseran kebudayaan manusia terus berlanjut. Gagasan-gagasan kebudayaan
terus diciptakan. Pergerakan kebudayaan yang berpusat pada perkataan ke gagasan
kebudayaan yang berpusat pada citra atau bentuk visual, tidak bisa dihindari lagi.
Kebudayaan itu ‘seni’ sekaligus nilai, norma dan benda simbolis kehidupan sehari-hari.
Clifford Geertz (1973) mengemukakan suatu definisi kebudayaan sebagai : (1)
suatu sistem keteraturan dari makna dan simbol-simbol, yang dengan makna dan simbol
tersebut individu mendefinisikan dunia mereka, mengekpresikan perasaan-perasaan
mereka, dan membuat penilaian mereka; (2) suatu pola makna-makna yang
ditransmisikan secara historis yang terkandung dalam bentuk-bentuk simbolik yang
melalui bentuk-bentuk simbolik tersebut manusia berkomunikasi, memantapkan, dan
mengembangkan pengetahuan mereka mengenai dan bersikap terhadap kehidupan, (3)
suatu peralatan simbolik bagi mengontrol perilaku, sumber-sumber ekstrasomatik dari
FISIP USU| Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
21
informasi; dan (4) oleh karena kebudayaan adalah suatu sistem simbol, maka proses
kebudayaan harus dipahami, diterjemahkan, dan diinterpretasi (Saifuddin, 2005:289).
Simbol-simbol yang melekat pada suatu kebudayaan merupakan wahana dari
konsepsi, hasilnya berupa unsur-unsur intelektual dalam proses sosial. Dan preposisipreposisi kebudayaan dapat mengartikulasikan dunia sebagai suatu simbol, proposisiproposisi ini juga memberikan pedoman bagi perilaku. Simbol adalah objek, kejadian,
bunyi bicara, atau bentuk-bentuk tertulis yang diberi makna oleh manusia. Bentuk
primer dari simbolisasi oleh manusia adalah melalui bahasa. Tetapi, manusia juga
berkomunikasi dengan menggunakan tanda dan simbol dalam lukisan, tarian, musik,
arsitektur, mimik wajah, gerak-gerik, postur tubuh, perhiasan, pakaian, ritus agama,
kekerabatan, nasionalitas, tata ruang, pemilikan barang, dan banyak lagi lainnya.
Manusia dapat memberikan makna kepada setiap kejadian, tindakan, atau objek
yang berkaitan dengan pikiran, gagasan, dan emosi. Persepsi tentang penggunaan
simbol sebagai salah satu ciri signifikan manusia menjadi sasaran penting kijian-kajian
kebudayaan. Leslie white (1940), dalam suatu tulisan tentang manusia sebagai spesies
yang mampu menggunakan simbol, menunjuk pentingnya konteks dalam makna simbol.
Ernest Cassier (1944) berpendapat bahwa tanpa suatu kompleks simbol, pikiran rasional
tidak akan mungkin terjadi. Manusia memiliki kemampuan untuk mengisolasi
hubungan hubungan dan mengembangkannya dalam abstrak. Cassirer menunjuk
geometrik sebagai suatu contoh klasik. Geometrik secara konseptual berkaitan dengan
hubungan-hubungan spasial yang ekspresinya adalah bahasa simbolik dan suatu bentuk
representasi. Cassirer mengekpresikan hakikat simbolik pengalaman manusia sebagai
berikut : “ Manusia tidak lagi hidup semata-mata dalam semesta fisik, manusia hidup
dalam semesta simbolik. Bahasa, mite, seni, dan agama adalah bagian-bagian dari
semesta ini. Bagian-bagian dari semesta itu bagaikan aneka ragam benang yang terjalin
membangun anyaman jaring-jaring simbolik. Semua kemajuan manusia dalam
pemikiran dan pengalaman memperhalus dan memperkuat jaring-jaring ini”.
Sebagian besar pengetahuan, pikiran, perasaan, dan persepsi manusia
terkandung dalam bahasa suatu simbol. Kata-kata mengandung makna atau nama yang
menggolong-golongkan objek dan pikiran. Simbol-simbol kata, bahasa, sesuai bagi
FISIP USU| Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
22
suatu masyarakat pada waktu dan tempat tertentu. Dalam perspektif simbolik,
kebudayaan adalah aspek yang bermakna mengenai realitas konkret atau realitas
objektif dan yang akan datang (coming-to-be), kesesuaian dengan kesadaran, dari
realitas objektif (Saifuddin, 2005:292).
Dimana saja sistem simbol adalah pedoman bagi tindakan, sistem ini bekerja
dalam konteks sosial. Konteks sosial ini memberikan suatu simbol atau tanda makna
spesifik, karena suatu simbol atau tanda dapat memiliki suatu makna spesifik, karena
suatu simbol atau tanda dapat memiliki satu makna dalam konteks sosial dan makna lain
dalam konteks yang berbeda pula. Kata ayah memiliki satu makna dalam struktur
kekerabatan dan berbeda maknanya dalam konteks struktur agama Katolik. Kata ayah
yang diterjemahkan dari kata bahasa Inggris father, telah menghilangkan makna
keagamaan father bagi penganut Katolik. Yang berarti pemimpin agama Katolik,
meskipun sehari-hari kata father juga berarti sama dengan ayah dalam bahasa Indonesia.
Masyarakat adalah hasil dari perilaku dan tindakan orang-orang yang saling
terjalin satu sama lain yang menempati batas-batas dan konteks sosial yang berbedabeda, dan kerap kali secara simultan. Konteks itu mungkin tempat, organisasi, suku
bangsa, kelompok kekerabatan, institusi, usia, kelompok pekerjaan atau jenis kelamin,
atau dimensi sosial lainnya yang mendefinisikan, mengatur, dan menentukan batasbatas penggunaan perilaku . Tanda dan simbol bersama-sama menentukan manusia
dalam gerakannya. Dalam pandangan simbolik, kombinasi tanda, simbol, dan konteks
memberikan makna dan interpretasi bagi tindakan dan perilaku manusia. Manusia harus
memiliki konsep tertentu mengenai apa yang diyakini oleh orang lain dalam komunitas
mereka, pengharapan tertentu terhadap apa barangkali respons orang lain, dan orang
lain terhadap mereka, sehingga mereka mampu berinteraksi dan berkomunikasi. Jika
komunikasi adalah sine qua non dari masyarakat manusia, simbolisasi (istilah leslie
White), penandaan dan pembawa makna bagi pikiran dan tindakan, adalah apa yang
disebut kebudayaan.
FISIP USU| Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
23
2.1.3 Semiotika
Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata yunani Semeion yang
bearti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai suatu yang atas dasar konvensi
sosial yang terbangun sebelumnya-dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Tanda
pada awalnya dimaknai sebagai sesuatu hal yang menunjuk adanya hal lain. Contohnya
asap menandaai adanya api, sirine mobil yang keras meraung-raung menandai adanya
kebakaran di sudut kota (Wibowo, 2011: 5).
Secara terminologis, semiotika dapat diidentifikasikan sebagai ilmu yang
mempelajari sederetan luas dan objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan
sebagai tanda. Pada dasarnya, analisis semiotika merupakan sebuah ikhtiar untuk
merasakan sesuatu yang aneh, sesuatu yang dipertanyakan lebih lanjut ketika kita
membaca teks atau narasi/ wacana tertentu. Analisisnya bersifat paradigmatic .
Seorang pakar semiotika kontemporer, yaitu Umberto Eco memberikan definisi
tentang semiotika, bahwa disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang bisa dipakai
untuk berbohong, karena jika sesuatu tidak bisa dipakai untuk berbohong, sebaliknya itu
tidak bisa dipakai untuk apapun juga (Denesi, 2010:33). Charles Saunders Peirce, yang
dianggap sebagai pendiri semiotika modern. Ia mendefinisikan semiotika sebagai
hubungan antara tanda (simbol), objek, dan makna (Morissan, 2009: 28). Tanda
mewakili objek (referent) yang ada di dalam pikiran orang yang meninterpretasikan
(interpreter). Peirce menyatakan bahwa representasi dari suatu objek disebut dengan
interpretant.
Bagi Pierce, tanda “is something whichstands to somebody for something in
some respect or capacity.” Sesuatu yang digunakan agar tanda bisa berfungsi, oleh
Peirce disebut ground. Konsekuensinya, tanda (sign atau representamen) selalu terdapat
dalam hubungan triadik, yakni ground, object, dan interpretant. Atas dasar hubungan
ini, Pierce mengadakan klasifikasi tanda. Tanda yang dikaitkan dengan ground baginya
menjadi qualisgn, sinsign dan lesign. Qualisign adalah kualitas yang ada pada tanda,
misalnya kata-kata kasar, lemah, lembut, merdu. Sinsign adalah eksitensi aktual atau
benda atau peristiwa yang ada pada tanda; misalnya kata kabur atau keruh yang ada
FISIP USU| Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
24
pada urutan kata air sungai keruh yang menandakan bahwa ada hujan di hulu sungai.
Lesign adalah norma yang dikandung oleh tanda, misalnya rambu-rambu lalu lintas
yang menandakan hal-hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan manusia (Sobur,
2004:41).
Charles Morris memudahkan kita memahami ruang lingkup kajian semiotika
yang menaruh perhatian atas ilmu tentang tanda-tanda. Menurut dia, kajian semiotika
pada dasarnya dapat di bedakan ke dalam tiga cabang penyelidikan (Branches of
inquiry) yakni sintaktik, semantik, dan pragmatik. (Wibowo, 2011 : 4)
1) Sintaktik (syntactics) atau sintaksis (syntax) : suatu cabang penyelidikan
semiotika mengkaji “hubungan-hubungan formal diantara satu tandatanda yang lain”. Dengan begitu hubungan-hubungan formal ini
merupaakan kaidah-kaidah yang mengendalikan tuturan dan interpretasi,
pengertian sintaktik kurang lebih adalah semacam gramatika.
2) Semantik (semantics): suatu cabang penyelidikan semiotika yang
mempelajari “ hubungan di antara tanda-tanda sebelum digunakan dalam
tuturan tertentu
3) Paragmatik (pragmatics) : Suatu cabang penyelidikan semiotika yang
mempelajari “hubungan di antara tanda-tanda interpreter-interpreter atau
para pemakain tanda-tanda. Pragmatik secara khusus berurusan dengan
aspek-aspek komunikasi, khususnya fungsi-fungsi situasional yang
melatari tuturan.
Konteks semiotik yang
paling penting dalam pemikiran
Saussure adalah
pandangan mengenai tanda. Saussure meletakkan tanda dalam konteks komunikasi
manusia dengan melakukan pemilihan antara apa yang disebut signifier (penanda) dan
signified (petanda). Signifier adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna
(aspek material), yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau dibaca. Signified
adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep aspek mental dari bahasa. Kedua
unsur ini seperti dua sisi dari sekeping mata uang atau selembar kertas. Tanda bahasa
dengan demikian menyatukan, bukan hal dengan nama, melainkan konsep dan
FISIP USU| Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
25
gambaran akustis. Sausure menggambarkan tanda yang terdiri atas signifier dan
signified itu sebagai berikut :
Gambar 2.1
Elemen-Elemen Makna Saussure
Sign
Composed Of
signification
Signifier
plus
(physical
Signified
external reality
(mental concept)
Of meaning
existence
of the sign)
Diadaptasi dari Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2004), hal 125
Saussure menyebut signifier sebagai bunyi atau coretan bermakna, sedangkan
signified adalah gambaran mental atau konsep sesuatu dari signifier. Hubungan antara
keberadaan fisik tanda dan konsep mental tersebut dinamakan signification. Dengan
kata lain, signification adalah upaya dalam memberi makna terhadap dunia (Sobur,
2004:125).
Salah seorang
pengikut Saussure, Roland Barthes, membuat sebuah model
sistematis dalam menganalisa makna dari tanda-tanda. Fokus perhatian Barthes lebih
tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua tahap (two order of signification) seperti
terlihat pada gambar.
FISIP USU| Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
26
Gambar 2.2
Signifikasi Dua Tahap Barthes
First Order
Reality
Second order
Sign
Signifier
Denotation
----------------
Culture
Form
Connotation
Content
Signified
Myth
Diadaptasi dari Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2004), hal 127.
Melalui gambar 2.2 ini Barthes, seperti dikutip Fiske, menjelaskan: signifikasi
tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda
terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai denotasi, yaitu makna paling
nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan
signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda
bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya.
Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau paling tidak intersubjektif. Pemilihan
kata-kata kadang merupakan pilihan terhadap konotasi, misalnya kata “penyuapan”
dengan memberi uang pelicin”. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang
digambarkan terhadap sebuah objek; sedangkan konotasi adalah bagaimana
menggambarkannya.
FISIP USU| Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
27
Charles Morris memudahkan kita memahami ruang lingkup kajian semiotika
yang menaruh perhatian atas ilmu tentang tanda-tanda. Menurut dia, kajian semiotika
pada dasarnya dapat di bedakan ke dalam tiga cabang penyelidikan (Branches of
inquiry) yakni sintaktik, semantik, dan pragmatik. (Wibowo, 2011 : 4).
1. Semantik
Semantik membahas bagaimana tanda berhubungan dengan referennya, atau apa
yang diwakili suatu tanda. Semiotika menggunakan dua dunia, yaitu ‘dunia benda
(world of Things) dan dunia tanda dan menjelaskan hubungan keduanya. Prinsip dasar
dalam semiotika adalah bahwa representasi selalu diperantai atau dimediasi oleh
kesadaran interpretasi seorang individu, dan setiap interpretasi atau makna dari suatu
tanda akan berubah dari suatu situasi ke situasi lainnya (Morissan, 2009: 29).
Semantik dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Yunani ‘sema’ (kata
benda) yang berarti ‘tanda’ atau ‘lambang’. Kata kerjanya adalah‘semaino’ yang berarti
‘menandai’atau ‘melambangkan’. Yang dimaksud tanda atau lambang disini adalah
tanda-tanda linguistik (Perancis : signé linguistique). Menurut Ferdinan de Saussure
(1966), melihat semiotika melalui sudut pandang lingustik yang terdiri dari : 1)
Komponen yang menggantikan, yang berwujud bunyi bahasa. 2) Komponen yang
diartikan
atau
makna
dari
komponen
pertama.
(http://www.scribd.com/doc/4634605/Pengertian-Semantik,01.15/26/02/2012)
Kedua komponen ini adalah tanda atau lambang, dan sedangkan yang ditandai
atau dilambangkan adalah sesuatu yang berada di luar bahasa, atau yang lazim disebut
sebagai referent / acuan / hal yang ditunjuk. Jadi, Ilmu Semantik adalah :
-
Ilmu yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan halhal yang ditandainya.
-
Ilmu tentang makna atau arti
Semantik mengacu pada makna dari sebuah tanda. Sebagai contoh, dua jari
dipasangkan di belakang kepala seseorang adalah sebuah cara untuk memanggilnya
seorang “setan”. Dalam analisis semantik, bahasa bersifat unik dan memiliki hubungan
FISIP USU| Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
28
yang erat dengan budaya masyarakat penuturnya. Maka, suatu hasil analisis pada suatu
bahasa, tidak dapat digunakan untuk menganalisi bahasa lain. Contohnya penutur
bahasa Inggris yang menggunakan kata ‘rice’ pada bahasa Inggris yang mewakili nasi,
beras, gabah dan padi. Kata ‘rice’ akan memiliki makna yang berbeda dalam masingmasing konteks yang berbeda. Dapat bermakna nasi, beras, gabah, atau padi. Tentu saja
penutur bahasa Inggris hanya mengenal ‘rice’ untuk menyebut nasi, beras, gabah, dan
padi. Itu dikarenakan mereka tidak memiliki budaya mengolah padi, gabah, beras dan
nasi, seperti bangsa Indonesia.
Kesulitan lain dalam menganalisis makna adalah adanya kenyataan bahwa tidak
selalu penanda dan referent-nya memiliki hubungan satu lawan satu. Yang artinya,
setiap tanda lingustik tidak selalu hanya memiliki satu makna. Adakalanya, satu tanda
lingustik memiliki dua acuan atau lebih. Dan sebaliknya, dua tanda lingustik, dapat
memiliki satu acuan yang sama. Hubungan tersebut dapat digambarkan dengan contohcontoh berikut :
Gambar 2.3
Racun
Bisa
Dapat
Buku
Lembar kertas berjilid
Kitab
2. Sintaktik
Sintaktik (syntactics) yaitu studi mengenai hubungan di antara tanda. Dalam hal
ini, tanda tidak pernah mewakili dirinya, tanda adalah selalu menjadi bagian dari sistem
tanda yang lebih besar atau kelompok yang diorganisir melalui cara tertentu. Sistem
tanda seperti ini disebut kode (code). Kode dikelola dalam berbagai aturan. Dengan
FISIP USU| Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
29
demikian, tanda yang berbeda mengacu atau menunjukkan benda berbeda dan tanda
digunakan bersama-sama melalui cara-cara yang diperbolehkan (Morissan, 2009:30).
Tanda-tanda tersebut disusun kedalam sistem dengan tanda lainnya. Sebagai
contoh, seseorang mungkin menyimpan dua buah jarinya di belakang kepala seseorang,
tertawa dan berkata “mengejek Anda!” Hal tersebut adalah sebuah gerak tubuh, sebuah
tanda suara (tertawa), ekspresi wajah, dan bahasa bersatu untuk menciptakan makna.
Menurut pandangan semiotika tanda selalu dipahami dalam hubungannya dengan tanda
lainnya. Dalam situasi pembicaraan biasa tanda-tanda dari berbagai sistem tanda
berfungsi secara bersama-sama, sistem tanda bahasa berdampingan dengan sistem tanda
paralinguistik (getaran suara, intonasi) dan yang lain (gerak, sikap, pancaran mata,
mimik, jarak,dll).
Sintaksis semiotis menganalisis hubungan antartanda. Dalam suatu sistem yang
sama, sintaksis semiotis tidak dapat membatasi diri dengan hanya mempelajari
hubungan antar tanda, tetapi harus melihat hubungan-hubungan lain yang pada
prinsipnya bekerja sama.
3. Pragmatik
Pragmatik yaitu bidang yang mempelajari bagaimana tanda menghasilkan
perbedaan dalam kehidupan manusia atau dengan kata lain, pragmatik adalah studi
yang mempelajari penggunaan tanda serta efek yang dihasilkan tanda. Aspek pragmatik
dari tanda memiliki peran penting dalam komunikasi, khususnya untuk mempelajari
mengapa terjadi pemahaman (understanding) atau kesalahpahaman (misunderstanding)
dalam berkomunikasi. Pragmatik mengacu pada pengaruh atau perilaku yang
dimunculkan oleh sebuah tanda atau sekelompok tanda tanda, seperti ketika tanda
“setan” dianggap sebuah lelucon daripada sebuah penghinaan.
Dari perspektif semiotika, kita harus memiliki pengertian sama, tidak saja
terhadap setiap kata dan tata bahasa yang digunakan, tetapi juga masyarakat dan
kebudayaan yang melatarbelakanginya, agar komunikasi dapat berlangsung dengan
baik. Sistem hubungan diantara tanda harus memungkinkan komunikator untuk
mengacu pada sesuatu yang sama. Kita harus memiliki kesatuan rasa (sense of
FISIP USU| Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
30
coherance) terhadap pesan. Jika tidak, maka tidak akan ada pengertian komunikasi. Kita
juga harus memastikan bahwa apabila kita menggunakan aturan tata bahasa, maka
mereka yang menerima pesan kita juga harus memiliki pemahaman yang sama terhadap
tata bahasa yang kita gunakan. Dengan demikian, makna yang kita maksudkan, people
can communicateif they share meaning (orang hanya dapat berkomunikasi jika mereka
melihat makna yang sama) (Morissan, 2009:30).
Unsur pragmatik yakni hubungan antara tanda dengan pemakai (user atau
interpreter ), menjadi bagian dari sistem semiotik sehingga juga menjadi salah satu
cabang
kajiannya
karena
keberadaan
tanda
tidak
dapat
dilepaskan
dari
pemakainya.Bahkan lebih luas lagi keberadaan suatu tanda dapat dipahami hanya
dengan mengembalikan tanda itu ke dalam masyarakat pemakainya, ke dalam konteks
sosial budaya yang dimiliki. Sehubungan dengan itu Abrams (1981: 171)
mengungkapkan bahwa the focus of semiotic interest is on the under lying system
of language,not on the parol. Hal itu sesuai dengan pernyataan bahwa bahasa adalah
cermin kepribadian dan budaya bangsa.
2.1.4 Semiotika Komunikasi Visual
Semiotika komunikasi mengkaji tanda dalam konteks komunikasi yang lebih
luas, yang melibatkan pelbagai elemen komunikasi, seperti saluran (channel), sinyal
(signal), media, pesan, kode (bahkan juga (noise). ‘semiotika komunikasi’ menekankan
aspek ‘produksi tanda’ (sign production) di dalam pelbagai rantai komunikasi, saluran,
dan media ketimbang ‘sistem tanda’ (sign system). Didalam semiotika komunikasi,
tanda ditempatkan dalam rantai komunikasi, sehingga mempunyai peran penting dalam
penyampaian pesan.
Semiotika komunikasi visual diperlukan untuk mengkaji tanda verbal (judul,
subjudul, dan teks) dan tanda visual ilustrasi, logo, tipografi dan tata visual). Desain
komunikasi visual dengan pendekatan teori semiotika. Diharapkan pisau analisis
semiotika visual mampu menjadi salah satu pendekatan untuk memperoleh makna yang
terkandung dibalik tanda verbal dan tanda visual karya desain komunikasi visual
(Tinarbuko, 2010: 9).
FISIP USU| Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
31
Desain komunikasi visual adalah ilmu yang mempelajari konsep komunikasi dan
ungkapan daya kreatif, yang diaplikasikan dalam pelbagai media komunikasi visual
dengan mengolah elemen desain grafis yang terdiri atas gambar (ilustrasi) huruf dan
tipografi,
warna,
teknik
pengambilan
gambar.
Semua
itu
dilakuakan
guna
menyampaikan pesan secara visual, audio, dan/atau audio visual kepada target sasaran
yang dituju.
1. Tipografi
Tipografi dalam konteks komunikasi visual mencakup pemilihan bentuk huruf;
besar huruf; cara dan teknik penyusunan huruf menjadi kata atau kalimat yang sesuai
dengan karakter pesan (sosial atau komersial) yang ingin disampaikan (Tinarbuko,
2010:25). Huruf dan tipografi dalam perkembangannya menjadi ujung tombak guna
menyampaikan pesan verbal dan pesan visual kepada seseorang, sekumpulan orang,
bahkan masyarakat luas yang dijadikan tujuan akhir proses penyampaian pesan dari
komunikator kepada komunikan atau terget sasaran.
Tipografi dalam hal ini adalah seni memilih dan menata huruf untuk pelbagai
kepentingan menyampaikan informasi berbentuk pesan sosial
ataupun komersial.
Dewasa ini, perkembangan tipografi banyak dipengaruhi oleh kemajuan teknologi
digital.
Huruf yang telah disusun secara tipografis merupakan elemen dasar dalam
membentuk
sebuah tampilan desain komunikasi visual. Hal ini diyakini dapat
memberikan inspirasi untuk membuat suatu komposisi yang menarik. sedangkan
bentuk-bentuk tipografi itu sendiri dapat dipergunakan secara terpisah atau dapat pula
dikomposisikan dengan materi lain seperti ilustrasi hand drawing ataupun image.
Dalam perkembanganya, ada lebih dari seribu macam huruf Romawi atau Latin
yang telah diakui oleh masyarakat dunia. Tetapi huruf tersebut sejatinya merupakan
hasil perkawinan silang lima jenis huruf berikut ini :
1) Huruf Romein. Garis hurufnya memperlihatkan perbedaan antara tebal-tipis dan
mempunyai kaki atau kait yang lancip pada setiap batang hurufnya.
FISIP USU| Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
32
2) Huruf egyptian. Garis hurufnya memiliki ukuran yang sama tebal pada setiap
sisinya. Kaki atau kaitnya berbentuk lurus atau kaku.
3) Huruf Sans Serif. Garis hurufnya sama tebal dan tidak mempunyai kaki atau
kait.
4) Huruf miscellaneous. Jenis huruf ini lebih mementingkan nilai hiasnya daripada
nilai komunikasinya. Bentuknya senantiasa mengedepankan aspek dekoratif dan
ornamental.
5) Huruf Script. Jenis huruf ini menyerupai tulisan tangan dan bersifat spontan.
Sementara itu, Danton Sihombing (2001: 96) mengelompokkan keluarga huruf
berdasarkan latar belakang sejarahnya :
1) Old Style, jenis huruf ini meliputi : Bembo, Caslon, Galliard, Garamond.
2) Transitional, jenis huruf ini meliputi : baskerville, Perpetua, Times New
Roman.
3) Modern, jenis huruf ini meliputi : Bodoni
4) Egyptian atau Slab Serif, jenis huruf ini meliputi : Bookman, Serifa.
5) Sans Serif, jenis huruf ini meliputi : Franklin Gothic, Futura, Gill Sans,
Optima.
Huruf-huruf tertentu dalam melakukan aktivitas perancangan. Ia harus
menjadikan rangkaian huruf (kata atau kalimat) tidak sekedar bisa di baca dan
dimengerti maknanya. Tetapi lebih dari itu, seorang desainer komunikasi visual harus
piawai menampilkan tipografi yang enak di pandang mata dan lebih melancarkan
pembaca dalam memahami media komunikasi visual. Dengan demikian, keberadaan
tipografi dalam rancangan karya desain komunikasi visual sangat penting. Sebab,
perencanaan dan pemilihan tipografi yang tepat, baik ukuran, warna, maupun bentuk,
diyakini mampu menguatkan isi pesan verbal desain komunikasi visual tersebut.
Dalam social communication seperti dikutip Bebe Indah Maryam, ada beberapa
faktor yang mempengaruhi mudah tidaknya ketersampaian sebuah pesan verbal yang
terkandung dalam karya desain komunikasi visual, diantaranya: pertama, latar belakang,
yakni warna dasar dan tekstur yang digunakan. Teks menjadi unsur utama dari sebuah
FISIP USU| Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
33
pesan verbal akan terlihat jelas manakala keberadaan warna huruf dan latarnya cukup
kontras
Kedua, besar huruf yang digunakan. Ukuran standar teks adalah antara 6 sampai
10 point, tergantung luas ruangan yang tersedia dan banyak sedikitnya teks yang akan
ditampilkan, juga menyesuaikan keluarga huruf yang ingin ditampilkan. Selain itu,
Danton Sihombing (2001:28) mengingatkan, keluarga huruf terdiri dari kembangan
yang berakar dari struktur bentuk dasar (regular) sebuah alfabet dan setiap perubahan
huruf masih memiliki kesinambungan bentuk. Perbedaan tampilan yang pokok dalam
keluarga huruf dibagi menjadi tiga bentuk pengembangan : (1)kelompok berat terdiri
atas light, regular, dan bold. (2) Kelompok proporsi condesed, regular, dan extended.
(3) kelompok kemiringan yaitu italic.Ketiga, spasi antarhuruf, kata, maupun jarak antar
baris kalimat. Keempat, faktor-faktor subjektif seperti jarak baca maupun kualitas
penerangan ketika membaca.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka ketika desainer komunikasi visual mahir
mengusai tipografi yang dipergunakan untuk menyampaikan informasi yang bersifat
sosial ataupun komersial, maka sejatinya sang desainer tersebut mampu memposisikan
dirinya sebagai kurir komunikasi (visual) yang bertanggung jawab kepada masyarakat
luas yang dijadikan target .
2. Komposisi Warna
Warna memegang peranan penting dalam sebuah iklan, yakni untuk
mempertegas dan memperkuat kesan atau tujuan iklan tersebut. Warna juga mempunyai
fungsi untuk memperkuat aspek identitas menurut pakar Psikologi, J. Linschoeten dan
Mansyur (dalam Kasali, 1995 : 87) warna itu bukanlah suatu gejala yang hanya dapat
diamati saja, warna itu mempengaruhi kelakuan, memegang peranan penting dalam
penilaian estetis dan turut menentukan suka tidaknya kita terhadap berbagai benda.
Bagi yang ingin mendesain sebuah gambar visual periklanan tidak terlepas dari
artistik, desain, warna serta tema dari gambar yang ingin di buat. Dibawah ini
dipaparkan potensi karakter warna yang mampu memberikan kesan pada seseorang,
FISIP USU| Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
34
yang akan dideskripsikan sebagaimana yang diungkapkan Barker (1954) dalam
Mulyana :
1. Merah,
Melambangkan kesan energi, kekuatan, hasrat, erotisme, keberanian,
simbol dari api, pencapaian tujuan, darah, resiko, ketenaran, cinta, perjuangan,
perhatian, perang, bahaya, kecepatan, panas, kekerasan. Warna ini dapat
menyampaikan kecenderungan untuk menampilkan gambar dan teks secara lebih
besar dan dekat. warna merah dapat mengganggu apabila digunakan pada
ukuran yang besar. Merah cocok untuk tema yang menunjukkan keberanian
seseorang. energi misal mobil, kendaraan bermotor, olahraga dan permainan.
2. Putih.
Menunjukkan
spiritualitas,
kedamaian,
kedewaan,
Permohonan
keperawanan
atau
maaf,
pencapaian
kesucian,
diri,
kesederhanaan,
kesempurnaan, kebersihan, cahaya, takbersalah, keamanan, persatuan. Warna
putih sangat bagus untuk menampilkan atau menekankan warna lain serta
memberi kesan kesederhanaan dan kebersihan.
3. Hitam.
Melambangkan
perlindungan,
pengusiran,
sesuatu
yang
negatif,
mengikat, kekuatan, formalitas, misteri, kekayaan, ketakutan, kejahatan, ketidak
bahagiaan, perasaan yang dalam, kesedihan, kemarahan, sesuatu yang melanggar
(underground), modern music, harga diri, anti kemapanan. Sangat tepat untuk
menambahkan kesan misteri. latar belakang warna hitam dapat menampilkan
perspektif dan kedalaman. Sangat bagus untuk menampilkan karya seni atau
fotografi karena membantu penekanan pada warna-warna lain.
4. Biru.
Memberikan kesan Komunikasi, Peruntungan yang baik, kebijakan,
perlindungan, inspirasi spiritual, tenang, kelembutan, dinamis, air, laut,
kreativitas, cinta, kedamaian, kepercayaan, loyalitas, kepandaian, panutan,
kekuatan dari adlam, kesedihan, kestabilan, kepercayaan diri, kesadaran, pesan,
ide, berbagi, idealisme, persahabatan dan harmoni, kasih sayang. Warna ini
memberi kesan tenang dan menekankan keinginan. Biru tidak meminta mata
FISIP USU| Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
35
untuk memperhatikan. Obyek dan gambar biru pada dasarnya dapat menciptakan
perasaan yang dingin dan tenang. Warna Biru juga dapat menampilkan kekuatan
teknologi, kebersihan, udara, air dan kedalaman laut. Selain itu, jika
digabungkan dengan warna merah dan kuning dapat memberikan kesan
kepercayaan dan kesehatan.
5. Hijau
Menunjukkan warna bumi, penyembuhan fisik, kelimpahan, keajaiban,
tanaman dan pohon, kesuburan, pertumbuhan, muda, kesuksesan materi,
pembaharuan, daya tahan, keseimbangan, ketergantungan dan persahabatan.
Dapat digunakan untuk relaksasi, menetralisir mata, memenangkan pikiran,
merangsang kreatifitas.
6. Kuning
Merujuk pada matahari, ingatan, imajinasi logis, energi sosial,
kerjasama, kebahagiaan, kegembiraan, kehangatan, loyalitas, tekanan mental,
persepsi, pemahaman, kebijaksanaan, penghianatan, kecemburuan, penipuan,
kelemahan, penakut, aksi, idealisme, optimisme, imajinasi, harapan, musim
panas, filosofi, ketidakpastian,resah dan curiga. Warna kuning merangsang
aktivitas mental dan menarik perhatian, Sangat efektif digunakan pada blogsite
yang menekankan pada perasaan bahagia dan kekanakan.
7. Merah Muda
Warna Merah Muda menunjukkan simbol kasih sayang dan cinta,
persahabatan, feminin, kepercayaan, niat baik, pengobatan emosi, damai,
perasaan yang halus, perasaan yang manis dan indah.
8. Ungu
Menunjukkan
pengaruh,
pandangan
ketiga,
kekuatan
spiritual,
pengetahuan yang tersembunyi, aspirasi yang tinggi, kebangsawanan, upacara,
misteri, pencerahan, telepati, empati, arogan, intuisi, kepercayaan yang dalam,
ambisi, magic atau keajaiban, harga diri.
FISIP USU| Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
36
9. Orange
Menunjukkan kehangatan, antusiasme, persahabatan, pencapaian bisnis,
karier, kesuksesan, kesehatan pikiran, keadilan, daya tahan, kegembiraan, gerak
cepat, sesuatu yang tumbuh, ketertarikan, independensi. Pada Blog dapat
meningkatkan aktifitas mental. Disamping itu warna Orange memberi kesan
yang kuat pada elemen yang dianggap penting.
10. Coklat
Menunjukkan Persahabatan, kejadian yang khusus, bumi, pemikiran
yang materialis, reliabilitas, kedamaian, produktivitas, praktis, kerja keras.
Warna coklat sangat tidak menarik apabila digunakan tanpa tambahan gambar
dan ornamen tertentu, coklat harus didukung ornament lain agar menarik.
11. Abu-Abu
Mencerminkan
kesederhanaan,
keamanan,
kedewasaaan,
kepandaian,
konservatif,
tenang
praktis,
dan
serius,
kesedihan,
bosan,
profesional, kualitas, diam, tenang.
12. Emas
Mencerminkan prestis (kedudukan), kesehatan, keamanan, kegembiraan,
kebijakan, arti, tujuan, pencarian kedalam hati, kekuatan mistis, ilmu
pengetahuan, perasaan kagum, konsentrasi.
3. Teknik Pengambilan Gambar
Dalam analisis
visual gambar menjadi suatu elemen terpenting yang
menjadikannya bermakna, Ada dua aspek yang difokuskan dalam menganalisis iklan
yakni aspek visual yang berupa ekspresi para tokoh, cara pengambilan gambar dan
setting. Kedua aspek audio yang berupa narasi, gaya bahasa dan pilihan kata yang ada
pada iklan.
FISIP USU| Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
37
Konsep pengambilan gambar, teknik editing dan pergerakan kamera yang
dijelaskan oleh Asa Berger. Cara pengambilan gambar dalam penelitian ini dapat
berfungsi sebagai penanda. Gambar menjadi elemen terpenting untuk membentuk suatu
tayangan berdurasi. Teknik pengambilan suatu gambar akan menentukan kualitas
gambar yang dihasilkan apakah memenuhi kriteria menjadi gambar yang layak. Teknik
pengambilan suatu gambar memiliki kode-kode yang memiliki makna tersendiri. Kodekode tersebut menginformasikan hampir seluruh aspek tentang keberadaan kita dan
menyediakan konsep yang bermanfaat bagi analisis seni populer dan media. Beberapa
elemen gambar dapat ditemui dalam kode, terutama yang berhubungan dengan bahasa
gambar yang bisa dilihat sebagai berikut :
Tabel 2.2
Teknik Dalam Pengambilan Gambar
PENANDA (SIGNIFIER)
MENANDAKAN (SIGNIFIED)
PENGAMBILAN GAMBAR
Extreme Long Shot
Kesan luas dan keluarbiasaan
Full Shot
Hubungan sosial
Big Close Up
Emosi, dramatik, moment penting
Close Up
Intim atau dekat
Medium Shot
Hubungan personal dengan subjek
Long Shot
Konteks Perbedaan dengan publik
SUDUT PANDANG (Angle)
Pengambilan Gambar:
High
Dominasi, Kekuasaan dan otoritas
Eye-Level
Kesejajaran, keamanan dan sederajat
Low
Didominasi, dikuasai dan kurang
otoritas
TIPE LENSA
Wide Angle
Dramatis
Normal
Normalitas dan keseharian
Telephoto
Tidak personal, Voyeuristik
FISIP USU| Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
38
FOKUS
Selective Focus
Meminta perhatian (tertuju pada satu
objek)
Soft Focus
Romantis serta nostalgia
Deep Focus
Semua unsur adalah penting (melihat
secara keseluruhan objek)
PENCAHAYAAN
High Key
Riang dan Cerah
Low Key
Suram dan Muram
High Contrast
Dramatikal dan teartikal
Low Contrast
Realistik serta terkesan seperti
dokumenter
PEWARNAAN
Warm (kuning,orange, merah dan abu-
Optimisme, harapan, hasrat dan agitasi
abu)
Cool (biru dan hijau)
Pesimisme, tidak ada harapan
Black and White (hitam dan Putih)
Realisme,aktualisme, dan faktual
Sumber : Selby, keith dan Codery, Ron, How to Study Television”, London, Mc Millisan, 1995
Tabel 2.3
Teknik Editing dan Gerakan Kamera
Penanda
Definisi
Petanda
Pan down
Kamera mengarah ke
Menunjukkan kekuasaan,
bawah
kewenangan
Kamera mengarah ke
Menunjukkan kelemahan,
atas
pengecilan
Kamera mengarah ke
Memperlihatkan sebuah
dalam
observasi, fokus
Image muncul dari gelap
Permulaan dan akhir cerita
Pan up
Dolly in
Fade in/out
ke terang dan sebaliknya
FISIP USU| Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
39
Cut
Perpindahan dari gambar
Simultan, kegairahan
satu ke gambar yang lain
Wipe
Gambar terhapus dari
“penutupan”kesimpulan
layar
Sumber : Berger, tanda-tanda dalam kebudayaan kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000,. Hal
33
Menurut Berger, TV merupakan medium “close up” untuk menunjukkan sebuah
karakter (Berger, 2000:33).
Dalam penerapan semiotik pada televisi pengetahuan
tentang aspek-aspek medium yang berfungsi sebagai tanda. Setiap angel gambar yang
diambil mempunyai makna dan interpretasi tersendiri. Dari cara pengambilan gambar di
atas dapat disimpulkan bahwa setiap cara pengambilan gambar dapat menggambarkan
hubungan personal antar tokoh, ekspresi, emosi, waktu, kejadian dan tempat secara
lebih jelas. Dari gambar tersebut kita juga dapat melihat makna-makna dan ideologi
tertentu yang ada dibalik potongan sebuah adegan.
2.1.5 Semiologi Roland Barthes
Roland barthes mengembangkan dua tingkatan pertandaan (stanggered
systems), yang memungkinkan untuk di hasilkannya makna yang juga bertingkattingkat, yaitu dengan denotasi (denotation) dan konotasi (conotation). Denotasi adalah
tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau antara
tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna ekplisit, langsung dan
pasti. Makna denotasi (denotative meaning), dalaam hal ini, adalah makna pada apa
yang tampak. Misalnya, foto wajah SBY berarti wajah SBY yang sesungguhnya.
Denotasi adalah tanda yang penandanya mempunyai tingkat konvensi atau kesepakatan
yang tinggi.
Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda
atau petanda, yang didalamnya beroperasi makna tidak ekplisit, tidak langsung dan
tidak pasti (artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan). Ia menciptakan makna
lapis kedua, yang terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis,
FISIP USU| Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
40
seperti perasaan, emosi atau keyakinan. Misalnya, tanda bunga mengkonotasikan ‘kasih
sayang’ atau tanda tengkorak mengkonotasikan ‘bahaya’. Konotasi dapat menghasilkan
makna lapis kedua yang bersifat implisist, tersembunyi, yang disebut makna konotatif
(connotative meaning).
Selain itu, Roland Barthes juga melihat makna yang lebih dalam tingkatnya,
tetapi lebih bersifat konvensional, yaitu makna-makna yang berkaitan dengan mitos.
Mitos dalam pemahaman semiotika Barthes adalah pengkodean makna dan nilai-nilai
sosial
( yang sebetulnya arbiter atau konotatif) sebagai sesuatu yang dianggap
alamiah.
Kancah penelitian semiotika tak bisa begitu saja melepaskan nama Roland
Barthes (1915-1980) ahli semiotika yang mengembangkan kajian yang sebelumnya
punya warna kental dalam strukturalisme semiotika teks. Sebagai pengikut Saussurean
yang berpandangan bahwa sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari
suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Semiotik, atau dalam istilah Barthes
semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity )
memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify ) dalam hal ini tidak dapat
dicampurdukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti
bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu
hendak dikomunikasikan, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Salah
satu wilayah penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran
pembaca (The reader ).
Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan
pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara lugas mengulas apa yang sering
disebutnya sebagai sistem pemaknaan tataran kedua,yang dibangun di atas sistem lain
yang telah ada sebelumnya. Sistem ke-dua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif,
yang di dalam buku Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem
pemaknaan tataran pertama. Demi memperjelas signifikasi dua tahap, Barthes
menciptakan peta bagaimana tanda bekerja sebagai berikut :
FISIP USU| Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
41
Gambar 2.4
Peta Tanda Roland Barthes
2. Signified
1. Signifier
(penanda)
(Petanda)
3. denotative sign
(tanda denotatif)
4. CONOTATIVE SIGNIFIER
5. CONOTATIVE SIGNIFIED
(PETANDA KONOTATIF
(PETANDA KONOTATIF)
6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)
Sumber : Roland Barthes, Mythologies (New York: The NOONDAY Press, 1991), hal. 113
Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda
(1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga
penanda konotatif (4). Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekadar
memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang
melandasi keberadaannya. Pada dasarnya, ada perbedaan antara denotasi dan konotasi
dalam pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang dipahami oleh Barthes.
Di dalam semiotika Barthes dan para pengikutnya, denotasi merupakan sistem
signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini
denotasi justru lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna. Sebagai reaksi untuk
melawan
keharfiahan
denotasi
yang
bersifat
opresif
ini,
Barthes
mencoba
menyingkirkan dan menolaknya. Baginya yang ada hanyalah konotasi.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa makna harfiah merupakan sesuatu yang
bersifat. Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang
disebutnya sebagai mitos dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan
pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Di
dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda. Namun
sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah
ada sebelumnya atau dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan
FISIP USU| Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
42
tataran kedua. Didalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda.
(http://www.scribd.com/doc/46455415/TELAAH-kajian-semiotika 12:30/26/02/2012).
Barthes melontarkan konsep tentang konotasi dan denotasi sebagai kunci dari
analisisnya, Barthes menggunakan versi yang jauh lebih sederhana membahas model
‘glossematic sign’ (tanda-tanda glossematic). Mengabaikan dimensi dari bentuk dan
substansi, dan fokus pada makna konotasi. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes
untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Pada level ini, keseluruhan tanda yang diciptakan
dalam denotasi menjadi penanda bagi babak kedua pemunculan makan. Petanda pada level
ini adalah konteks, baik personal maupun budaya, yang didalamnya pembaca pendengar,
atau pengamat tanda memahami dan menafsirkannya (Barton, 2010:108). Hal ini
menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari
pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaanya.
Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau paling tidak intersubjektif.
Dengan kata lain, konotasi bekerja dalam tingkat intersubjektif sehingga kehadirannya
tidak disadari. Pembaca mudah sekali membaca makna konotatif sebagai fakta
denotatif. Karena itu, salah satu tujuan analisis semiotika adalah untuk menyediakan
metode analisis dan kerangka berpikir dan mengatasi terjadinya salah baca
(misereading) atau salah dalam mengartikan makna suatu tanda (Wibowo, 2011: 174).
Mitos adalah suatu wahana dimana suatu ideologi berwujud.
Mitos dapat
berangakai menjadi suatu mitologi yang memainkan peranan penting dalam kesatuan
budaya-budaya. Sedangkan Van Zoest (1991) menegaskan, siapapun bisa menemukan
ideologi dalam teks dengan jalan meneliti konotasi-konotasi yang terdapat didalmnya.
Dalam pandangan Umar Yunus (1990), mitos tidak dibentuk melalui
penyelidikan,
tetapi
melalui
anggapan
berdasarkan
observasi
kasar
yang
digeneralisasikan oleh karenannya lebih banyak hidup dalam masyarakat. Ia mungkin
hidup dalam ‘gosip’ kemudian ia mungkin dibuktikan dengan tindakan nyata. Sikap kita
terhadap sesuatu ditentukan oleh mitos yang ada dalam diri kita. Mitos menyebabkan
kita mempunyai prasangka tertentu terhadap sesuatu yang dinyatakan dalam mitos.
FISIP USU| Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
43
Sebuah teks, Aart van Zoest tidak pernah lepas dari ideologi dan memiliki
kemampuan untuk memanipulasi pembaca kearah suatu ideologi. Sedangkan Eriyanto
(2001:146) menempatkan ideologi sebagai konsep sentral dalam analisis wacana yang
bersifat kritis. Hal ini menurutnya, karena teks, percakapan dan lainnya adalah bentuk
dari praktik ideologi atau pencerminan dari ideologi tertentu. Secara etimologis ideologi
berasal dari bahasa Greek, terdiri atas kata idea dan logos, Idea berasal dari kata idein
yang berarti melihat, sedangkan kata logia berasal dari kata logos yang berarti kata-kata.
Dan arti kata logia berarti science (pengetahuan) atau teori.
Konsep ideologi juga bisa dikaitkan dengan wacana. Menurut Teun A van Dijk,
ideologi terutama dimaksudkan untuk mengatur masalah tindakan dan praktik individu
atau anggota suatu kelompok. Ideologi membuat anggota suatu kelompok akan
bertindak dalam situasi yang sama, dapat menghubungkan masalah mereka dan
memberinya kontribusi dalam membentuk solidaritas dari kohesi di dalam kelompok..
Dalam perspektif ini, ideologi mempunyai beberapa implikasi penting. Pertama,
ideologi secara inharen bersifat sosial, tidak personal atau individual: ia membutuhkan
’share’ diantara anggota kelompok organisasi atau kreativitas dengan orang lainnya.
Hal-hal yang dibagi (sharing) tersebut bagi anggota kelompok digunakan untuk
membentuk solidaritas dan kesatuan langkah dalam bertindak dan bersikap. Misalnya,
kelompok tertentu yang mempunyai ideologi feminis, antirasis dan pro lingkungan akan
membawa nilai-nilai itu dalam semua tindakan mereka.
Kedua, ideologi meskipun bersifat sosial, ia digunakan secara internal di antara
anggota kelompok atau komunitas. Oleh karena itu ideologi tidak hanya menyediakan
fungsi koordinat dan kohesi. Tetapi juga membentuk identitas diri kelompok,
membedakannya dengan kelompok lain. Ideologi di sini bersifat umum, abstrak dan
nilai-nilai yang terbagi antar kelompok menyediakan dasar bagaimana masalah harus
dilihat. Dengan pandangan semacam itu, wacana lalu tidak dipahami sebagai sesuatu
yang netral dan berlangsung secara ilmiah, karena dalam setiap wacana selalu
terkandung ideologi untuk mendominasi dan berebut pengaruh.
FISIP USU| Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
44
2.1.6 Iklan
Dalam peradaban manusia, tulisan pertama yang terkait dengan iklan adalah
tanda-tanda yang ditampilkan di atas pintu toko kota-kota kuno di Timur Tengah. Sejak
tahun 3000 Sebelum Masehi orang-orang Babilonia menggunakan tanda seperti itu
untuk mengiklankan toko mereka. Orang-orang Yunani dan Romawi Kuno juga
menggantungkan tanda-tanda tersebut di luar toko mereka. Ketika orang sudah mulai
bisa membaca, para pedagang dizaman itu manatahkan simbol-simbol yang bisa dikenal
pada batu, tanah liat, atau kayu untuk menampilkan tanda-tanda yang ingin mereka
tunjukan. Bahkan sebenarnya, sepanjang sejarah iklan poster dan gambar dipasar dan
kuil merupakan media populer yang dipakai untuk menyebarkan informasi dan untuk
mempromosikan barter serta penjualan barang dan jasa (Danesi, 2010:225).
Diawal tahun 1920-an, semakin banyaknya penggunaan listrik
menghasilkan kemungkinan semakin besar dalam mamapankan iklan didalam
cakrawala sosial melalui penggunaan media elektronik baru. Munculnya radio dan
televisi telah menghasilkan perpaduan iklan dalam bentuk komersial disertai sebuah
narasi mini atau jingle musik yang berkisar pada suatu barang atau jasa dan
kegunaannya. Komersial segera menjadi satu bentuk iklan yang sangat persuasif, karena
secara serentak bisa mencapai massa konsumen potensial, baik melek huruf maupun
tidak. Selanjutnya komersialisasi di televisi menjadi tidak asing dalam menciptakan
persepi tentang produk sebagai yang terjalin sangat erat dengan gaya dan isi komersial
yang dipakai untuk mempromosikannya. Belum lama berselang, Internet bergerak maju
dalam melengkapi dan menambahi bentuk-bentuk iklan baik yang tercetak maupun
komersial (radio dan televisi).
Meskipun demikian, teks iklan tidak pernah berubah secara drastis dari sejak
dibentuk oleh media tradisonal. Seperti di dalam komersial televisi, para pemasang
iklan di Internet menggunakan gambar, audio, dan pelbagai teknik visual untuk
meningkatkan efektivitas pesan yang akan mereka sampaikan. Pada akhirnya iklan
menjadi salah satu bentuk diskursus sosial yang paling tersebar dan menyeluruh yang
pernah dibuat manusia. Seperti yang pernah disinggung McLuhan (1964), dalam hal ini
medium sudah menjadi pesan. Sekarang bahkan sudah ada situs seperti AdCritic.com
FISIP USU| Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
45
yang menampilkan iklan sebagai iklan itu sendiri, sehingga para pengakses situs itu bisa
melihatnya hanya dari segi estetiknya saja.
Iklan adalah bagian penting dari serangkaian kegiatan mempromosikan produk
yang menekankan unsur citra. Dengan demikian, objek iklan tidak sekedar tampil dalam
wajah utuh, akan tetapi melalui proses pencitraan, sehingga citra produk lebih
mendominasi bila dibandingkan produk itu sendiri. Pada proses ini cita produk di ubah
menjadi citra produk (Bungin, 2008:79).
Iklan dikategorisasikan sebagai iklan nonkomersial dan iklan komersial. Iklan
nonkomersial adalah iklan yang bersifat pelayanan masyarakat. Iklan komersial ditandai
dengan syarat imajinasi dalam proses pencitraan dan pembentukan nilai-nilai estetika
untuk memperkuat citra terhadap objek iklan itu sendiri. Sehingga terbentuk image,
semakin tinggi estetika dan citra objek iklan, maka semakin komersial objek tersebut
(Bungin,2008:65). Hant dan Seldon mengatakan, periklanan komersial sebagai media
publik, dibuat dengan informasi dan promosi penjualan untuk tujuan pasar.
Didalam abad ke-20, iklan berevolusi menjadi sebentuk diskursus sosial
persuasif yang terutama diarahkan untuk mempengaruhi bagaimana kita memahami
pembelian dan konsumsi barang-barang. Diskursus iklan berkisar dari pernyataan
sederhana di bagian terklasifikasi pada suratkabar dan majalah sampai iklan gaya hidup
majalah yang canggih serta komersial televisi dan internet. Oleh sebab itu, iklan telah
menjadi diskursus istimewa yang telah menggantikan bentuk-bentuk diskursus lebih
tradisional khotbah, pidato politik, peribahasa, kata-kata bijak, dan sebagainya- yang
diabad-abad yang telah lewat memiliki kekuatan retoris dan otoritas moral. Akan tetapi,
iklan menjunjung dan menanamkan nilai-nilai Epikurean, bukan moralistik.
Dalam proses periklanan terjadi proses yang berkaitan dengan disiplin psikologi;
mulai dari tahap penyebaran informasi sebagai proses awal, hingga ke tahap
menggerakkan konsumen untuk membeli atau menggunakan jasa adalah suatu proses
psikologi. Iklan dapat dikatakan berhasil apabila mampu menggerakan konsumen untuk
pertama kali saat melihat penampilan iklan tersebut; rangsangan visual dari penampilan
iklan langsung mendapat perhatian dari pemerhati. Proses berikut adalah hadirnya
FISIP USU| Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
46
penilaian akhir terhadap isi atau pesan dari iklan, dengan mempertimbangkan perasaan
calon konsumen, yang memunculkan tindakan atau sikap sesuai dengan penilaian
akhirnya.
Iklan
melihat
manusia
sebagai
‘satuan-satuan
berulang’
yang
bisa
diklasifikasikan kedalam pelbagai ‘kelompok selera’, ‘kelompok gaya hidup’, atau
‘pangsa pasar’ yang bisa dikelola dan dimanipulasi mengikuti hukum statistik. Seperti
yang telah diingatkan oleh pakar psikoanalisis Carl Jung (1957: 19-20) beberapa
dasawarsa lalu, kita memang hidup di dalam masa yang secara berbahaya melihat
manusia sebagai sekrup di dalam mesin, bukannya ‘sebagai sesuatu yang unik dan
tunggal yang pada akhirnya tidak bisa diketahui dan dibandingkan dengan apa pun.
Untuk mengkaji iklan dalam perspektif semiotika, kita bisa mengkajinya lewat
sistem tanda dalam iklan. Iklan menggunakan sistem tanda yang terdiri atas lambang,
baik yang verbal maupun yang berupa ikon. Iklan juga menggunakan tiruan indeks,
terutama dalam iklan radio, televisi, dan film (Sobur, 2004:116).
Fenomena-fenomena
sosial-budaya
seperti
fashion,
makanan,
furniture,
arsitektur, pariwisata, mobil, barang-barang konsumer, seni, desain dan iklan dapat
dipahami berdasarkan model bahasa (Yasraf Amir Piliang, 2003: 27). Menurut
ancangan semiotik apabila keseluruhan praktek sosial dapat dianggap sebagai fenomena
bahasa, maka semuanya juga dapat dianggap sebagai "tanda-tanda" (signs). Dalam
semiotika Saussurean 'tanda' merupakan dua bidang yang tak dapatdipisahkan, yaitu
bidang penanda (signifier) atau bentuk dan bidang petanda (signified) atau makna.
Menurut semiotika Saussurean tanda harus mengikuti model kaitan struktural antara
penanda
dan
petanda
yang
bersifat
stabil
dan
pasti.(http://andriew.blogspot.com/2011/05/bab-i-pendahuluan-iklan-selalu
hidup.html12:30/26/02/2012.)
Kajian sistem tanda dalam iklan mencakup objek. Objek iklan adalah hal yang
diiklankan. Dalam iklan produk atau jasa, produk atau jasa itulah objeknya. Yang
penting dalam menelaah iklan adalah penafsiran kelompok sasaran dalam proses
interpretan. Jadi, sebuah kata seperti eksekutif
meskipun dasarnya mengacu pada
manajer menengah, tetapi selanjutnya manager menengah ini ditafsirkan sebagai “suatu
FISIP USU| Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
47
tingkat keadaan ekonomi tertentu “ yang juga kemudian dapat ditafsirkan sebagai “gaya
hidup tertentu” yang selanjutnya dapat ditafsirkan sebagai “kemewahan”, dan
seterusnya. Penafsiran yang bertahap itu merupakan segi penting dalam iklan. Proses
seperti itu disebut semiosis (Hoed, 2001 : 97).
Pada saat ini budaya terbuat dari makna antara konsumen dan pemasar. hal ini
digambarkan dalam tanda-tanda dan simbol yang dikodekan dalam benda sehari-hari.
Semiotika adalah studi tentang tanda dan bagaimana suatu tanda itu ditafsirkan.
Periklanan memiliki tanda-tanda tersembunyi dan arti dalam nama merek, logo, desain
kemasan, cetak iklan, dan iklan televisi. Tujuan dari semiotika adalah untuk
mempelajari dan menginterpretasikan pesan yang disampaikan dalam iklan . Logo dan
iklan dapat ditafsirkan pada dua tingkatan yang dikenal sebagai tingkat permukaan dan
tingkat yang mendasarinya. Tingkat permukaan menggunakan tanda-tanda kreatif untuk
membuat gambar atau kepribadian untuk suatu produk mereka. Tanda-tanda ini dapat
berupa gambar, kata, font, warna, atau slogan. Sedangkan tingkat mendasarinya terdiri
dari makna tersembunyi.
Kombinasi gambar, kata, warna, dan slogan harus ditafsirkan oleh penonton atau
konsumen. Kunci untuk analisis iklan adalah penanda dan yang ditandakan. Penanda
adalah obyek dan Petanda adalah konsep mental. Sebuah produk terdiri dari penanda
dan yang ditandakan. Penanda adalah warna , nama merek, desain logo, dan teknologi.
Petanda memiliki dua makna denotatif dan satu lagi bisa berupa sebagai konotatif.
Makna denotatif adalah makna dari produk. Makna denotatif sebuah televisi akan
menjadi bahwa itu adalah definisi yang sebenarnya. Makna konotatif adalah makna
produk dalam dan tersembunyi. Sebuah makna konotatif dari televisi memerlukan
penafsiran untuk dipecahkan.
Saat ini banyak produk-produk menerapkan konsep semiotika dalam
pertarungan pasar, semiotika tampaknya telah menjadi tren dalam dunia periklanan, kini
hampir semua produk yang dapat kita temui menerapkan semiotika seperti yang
terdapat pada iklan rokok, produk-produk perawatan kulit dan tubuh, bahkan sampai ke
iklan Kopi Kapal Api seperti pada produk-produk yang menerapkan semiotika masih
FISIP USU| Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
48
didominasi oleh rokok dan perawatan wanita. Inilah ranah tektualitas berupa tanda dan
makna yang masih menjadi misteri menunggu untuk dipecahkan dan di bedah.
2.2 Model Teoritik
Salah seorang ahli teori kunci semiotika, Roland Barthes, mengembangkan
gagasan-gagasan Saussure dan mencoba menerapakan kajian tanda-tanda secara lebih
luas lagi (1967). Melalui sebuah karier yang produktif dan menggairahkan dalam
banyak fase budaya, barthes memasukkan fesyen (1990), fotografi (1984) sastra (1987),
majalah, dan musik diantara sekian banyak minatnya (1973;1984). Salah satu keasyikan
utamanya adalah “bagaimana makna masuk kedalam citra/image” (Barthes, 1984:32).
Dan itulah kunci menuju semiotika : tentang bagaimana pencipta sebuah citra
membuatnya
bermakna sesuatu dengan bagaimana kita, sebagai pembaca,
mendapatkan maknanya. (Stokes, 2006:76)
Barthes berpendapat bahwa kita dapat berbicara tentang dua sistem pemaknaan:
donotasi dan konotasi. Denotasi adalah level makna deskriptif dan lliteral yang secara
virtual dimiliki semua anggota suatu kebudayaan. kata, ‘keledai’ bermakna denotatif
konsep binatang ternak yang berguna dan bewarna abu-abu dengan mulut dan ekor, dan
seterusnya. Pada level kedua konotasi makna dibangun oleh penanda yang mengaitkan
dengan aspek budaya yang lebih luas : keyakinan, sikap, kerangka kerja dan ideologi
suatu bangunan sosial. Jadi ‘keledai’ bisa bermakna konotatif orang bodoh atau mudah
dibohongi, menurut sub-kode atau leksikon yang digunakan
Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda
adalah peran pembaca (the reader). Konotasi walaupun merupakan sifat asli tanda,
membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar
mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran kedua, yang
dibangun diatas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sistem kedua ini oleh Barthes
disebut dengan konotatif, yang di dalam Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari
denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama (Sobur,2004:69).
FISIP USU| Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
49
Berbagai tingkatan pertandaan ini sangat penting dalam penelitian desain, karena
dapat digunakan sebagai model dalam membongkar makna desain (iklan, produk,
interior, fesyen) yang berkaitan secara implisist dengan nilai-nilai ideologi, budaya,
moral, spritual. Tingkatan tanda dan makna barthes ini dapat digambarkan sebagai
berikut :
Gambar 2.5
Tingkatan Makna Barthes
Christomy, T dan Untung Yuwono. 2004. Semiotika Budaya. Jakarta: Pusat Kemasyarakatan dan Budaya
UI, hal .163.
1. Tanda
Tanda itu adalah keseluruhan yang dihasilkan antara penanda atau petanda,
tanda harus memiliki baik signifier dan signified. Tanda adalah juga parole yang
membawa pesan. Parole dapat berbentuk lisan, tulisan atau representasi lain, misalnya
wacana tulis, iklan foto, film, sport, tontonan, dan lain-lain. (Christomy, 2004:269).
Secara figuratif, tanda memberi kita kesempatan untuk membawa dunia sekitar
kita di dalam pikiran kita. Akan tetapi, ini bukan dunia yang sebenarnya; ini adalah
dunia mental yang menjadi kenyataan oleh lingkup referen di batasi oleh tanda.
2. Denotasi
Denotasi memiliki makna yang bersifat secara langsung, yaitu makna khusus
yang terdapat pada tanda, dan pada intinya dapat disebut sebagai gambaran
petanda.makna ini didasarkan atas penunjukan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa
atau yang didasarkan atas konvensi tertentu; memiliki sifat objektif.
FISIP USU| Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
50
3. Konotasi
Konotasi diartikan sebagai aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang
didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada pembicara dan
pendengar selain itu juga memiliki makna subjektif dan berhubungan dengan
emosional.
4. Mitos
Mitos berasal dari kata bahasa Yunani
mythos yang artinya’ kata-kata’,
‘wicara’, ‘kisah tentang para dewa’. Ini bisa didefinisikan sebagai narasi yang
didalamnya karakter-karakternya adalah para dewa, pahlawan, dan makhluk-makluk
mitis, dengan plotnya adalah tentang asal usul segala sesuatu atau tentang peristiwa
metafisis yang berlangsung didalam kehidupan manusia, dan disini setting-nya adalah
penggabungan dunia metafisis dengan dunia nyata. Dalam tahap-tahap awal budaya
manusia, mitos berfungsi sebagai ‘teori narasi’ yang asli tentang dunia. Itulah sebabnya
semua budaya menciptakan kisah ini untuk menjelaskan asal-usulnya (Danesi,2010:56).
Barthes berpendapat bahwa dalam mitos ada dua sistem semiologis yaitu satu
sistem bahasa, yang disebut bahasa-objek, yang dipakai oleh mitos untuk membentuk
sistemnya sendiri, yang merupakan metabahasa, karena merupakan bahasa kedua yang
“membicarakan” (dibuat atas dasar) yang pertama. Mitos tidak mempertanyakan lagi
susunan bahasa-objek atau mempermasalahkan unsur-unsur kebahasaanya, melainkan
hanya tanda globalnya (Cristomy, 2004: 269). Joseph Campbell (1904-1987)
memaparkan Mitos menjelaskan dunia dalam pelbagai cara yang terus dipahami secara
intuitif oleh semua orang, tanpa melihat tingkat kemelekhurufan dan kecanggihan
teknologi yang mereka miliki.
FISIP USU| Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Download