Keterlibatan, Keberhargaan, dan Kompetensi Sosial

advertisement
JURNAL PSIKOLOGI
VOLUME 38, NO. 1, JUNI 2011: 52 – 60
Keterlibatan, Keberhargaan, dan Kompetensi Sosial sebagai
Prediktor Kompetisi pada Remaja
Singgih Wibowo Santoso1
Fakultas Psikologi
Universita Gadjah Mada
Abstrak
Competition is a common phenomenon among adolescents, that shows the drives to
express the ability, to compare self with others, and to strive to be the best. This study was
aimed to assess whether the engagement, sense of worth, and social competence can be the
predictors of the emergence of competition in adolescents. Subjects were amounted to 232
students, including the students from favorite and non-favorite junior and high school in the
city of Yogyakarta and Gunungkidul. The instrument used were the engagement’ scale, sense
of worth’ scale, social competence’ scale, and competition’ scale. The data then were analized
using regression approach and also t-test for additional analysis. The results showed that there
was the influence of engagement, sense of worth, and social competence to the competition
(F=65.274, p<0.01). Taken together anyway, engagement, sense of worth, and social
competence in adolescents can predict competition for 46.3% (R2=0.463). Based on t-test as an
additional analysis of the obtained results that there is a difference in competition between
favorite and non-favorite schools. Competition in non-favorite schools is higher (t=–2.752,
p<0.01) than favorite ones. In addition, there is a difference of social competence between the
school in Gunungkidul and Yogyakarta. Social competence of students in Gunungkidul is
higher than students in Yogyakarta (t=–2.083, p<0.05). Another result shows that competition
among the students in favorite schools is lower than in non-favorites ones (t=–2.752,
p<0.01). Especially for high school students, the result showed that high school students' social
competence in Gunungkidul is higher than in Yogyakarta (t=–3.966, p<0.05) and social
competence of favorite high school students are lower than non-favorite high school students.
Keywords: competition, engagement, sense of worth, social competence
Masa1 remaja merupakan masa yang
sangat dinamis dalam tahapan kehidupan
manusia yang ditandai berbagai percepatan
bagi individu yang bersangkutan, baik
dalam perkembangan fisik, kognitif, afektif,
moral, maupun sosialnya (Santrock, 2007).
Pada masa ini terjadi perubahan besar pada
kelompok primer mereka dengan semakin
besarnya pengaruh teman sebaya terhadap
kehidupan remaja yang berakibat pada
1
Korespondesi dengan penulis dapat dilakukan
melalui: [email protected]
52
makin banyaknya waktu dan kegiatan yang
dipergunakan untuk melaksanakan kebutuhan sosial mereka (Rice & Dolgin, 2002).
Menurut teori ekologi Bronfenbrenner,
teman sebaya merupakan bagian dari mikrosistem remaja. Dalam teori ekologi
dinyatakan bahwa lingkungan memiliki
pengaruh yang besar dalam perkembangan
seseorang. Pada level mikrosistem ini
hubungan dan interaksi individu dengan
lingkungan terdekat disekelilingnya, termasuk teman sebaya, akan sangat mempe-
KETERLIBATAN, KEBERHARGAAN, DAN KOMPETENSI SOSIAL PADA REMAJA
ngaruhi
perkembangannya
(Santrock,
2007). Namun, ketika remaja berinteraksi
dalam lingkungan sosial akan selalu tersirat adanya dua sisi yang saling bertentangan. Pada satu sisi interaksi akan
menghadirkan kesatuan, tetapi di sisi lain
interaksi akan menghadirkan persaingan
atau kompetisi baik dengan teman sekelompok atau dengan kelompok lain. Dunia
remaja adalah dunia yang ditandai dengan
kontradiksi antara sikap tunduk dan sikap
ingin unggul. Remaja akan sangat tunduk
pada kelompok sebaya tetapi cenderung
sangat agresif terhadap saingannya.
Perasaan berkompetisi sebenarnya mulai muncul sedari masa kanak-kanak terkait
dengan pengalaman dalam keluarga.
Tanpa disadari bahwa sebenarnya sebagai
anggota keluarga, anak-anak berlomba untuk memperoleh perhatian, cinta, kekaguman, atau untuk menjadi anak kesayangan orang tua. Identifikasi individual
anak dengan orang tuanya akan menentukan bagaimana anak akan berdamai
dengan rasa berkompetisi, keinginan untuk
menjadi yang terbaik, dan memperoleh apa
yang diinginkan (Ross, 2007). Rasa berkompetisi dengan saudara lambat laun akan
berubah menjadi kompetisi dengan teman
sebaya ketika anak mulai beranjak remaja
dan banyak berinteraksi dengan lingkungan sosial. Cobb (2007) menyatakan
bahwa ketika remaja berkumpul dan
beraktivitas dengan teman sebayanya,
tidak jarang hal tersebut harus disertai
munculnya persaingan dengan kelompok
lain. Dalam dinamika seperti ini, remaja
menjadi tertantang untuk menunjukkan
nilai lebih yang dimilikinya meskipun
disadari juga bahwa mereka membutuhkan
penerimaan dari orang lain untuk berkembang.
Kompetisi ternyata bisa terjadi dalam
banyak hal, baik hal positif maupun hal
yang cenderung negatif. Berdasarkan peneJURNAL PSIKOLOGI
litian yang dilakukan oleh Faer, Hendricks,
Abed, & Figueredo (2005) ditemukan hasil
bahwa ternyata remaja putri berkompetisi
dalam hal bentuk tubuh. Kompetisi ini
akan makin kuat ketika mereka berada
dalam kelompok. Tujuan kompetisi ini
dibedakan menjadi dua yaitu untuk
pasangan dan untuk status. Keinginan
untuk ‘kurus’ demi pasangan menjadi
prediktor kuat untuk bulimia sedangkan
kompetisi untuk status menjadi prediktor
kuat untuk anorexia nervosa. Hasil
penelitian lain yang diperoleh oleh Kilduff,
Elfenbein, & Staw (2010) menunjukkan
bahwa persaingan antar tim olahraga yang
ada di sekolah akan meningkatkan motivasi dan performansi siswa. Hal ini senada
dengan hasil penelitian Hinzsz (2005) yang
menyatakan bahwa perasaan sedang berkompetisi berkorelasi positif dengan performansi tugas, efikasi diri, dan komitmen
mencapai tujuan. Selain itu, ketika remaja
berada di dalam situasi yang penuh
persaingan, mereka cenderung ingin dinilai/dievaluasi karena mereka merasa sudah
berusaha keras untuk mencapai tujuan dan
menjadi yang terbaik.
Secara harfiah dalam Webster Dictionary
of English Language (Ross, 2007) kompetisi
diartikan sebagai perilaku untuk memperoleh atau mencapai tujuan tertentu dimana
orang lain juga berjuang memperoleh hal
yang sama; ada persaingan untuk mencapai superioritas. Doherty, Moses, &
Perlow (dalam Dublin, 2007) mengartikan
kompetisi sebagai kemampuan untuk
menggunakan keahlian dan talenta untuk
meraih kesuksesan dibandingkan orang
lain atau grup lain dalam lingkungan
kerja/belajar atau lingkungan pergaulan.
Kompetisi pada remaja bisa dipengaruhi
oleh banyak faktor, antara lain antara lain
kepribadian (Matsumoto, 2005), jenis kelamin (Ross, 2007), keluarga (Ross, 2007),
keterlibatan dalam kelompok/tim (Cobb,
53
SANTOSO
2007), kepercayaan diri (Matsumoto, 2007),
self-esteem, dan kompetensi.
Deutsch (dalam Singleton-Jr & Vacca,
2007) mengartikan kompetisi sebagai interdependensi sosial yakni sebuah situasi
sosial dimana tujuan seseorang dipengaruhi oleh perilaku orang lain. Sebaliknya,
Ryckman (dalam Fülöp, 2002) menyatakan
bahwa kompetisi juga bersumber dari
dalam diri dan bisa menghasilkan dua hal
yaitu, sesuatu yang positif dan membangun
(personal development competitiveness) dan
sesuatu yang merusak (hypercompetitiveness). Remaja yang memiliki personal
development competitiveness tidak melihat
menang-kalah sebagai faktor yang terpenting, tetapi mereka lebih mengutamakan
proses dalam mencapai tujuan dan
pengembangan diri. Selain itu, mereka juga
memiliki coping yang baik dalam mengatasi
kekalahan dan melihat kompetitor sebagai
kawan yang sama-sama berjuang mencapai
tujuan. Sebaliknya, remaja yang hypercompetitiveness memiliki kepercayaan diri yang
rendah dan cenderung berkepribadian neurotik. Mereka beranggapan bahwa mereka
harus menang dan tidak ada kata kalah
dalam ‘kamus’ mereka. Hubungan sosial
mereka dengan teman sebaya cenderung
tidak stabil dan penuh konflik yang disertai
perilaku agresif, manipulatif, dan narsistik.
Pada dasarnya kedua pendapat Deutsch &
Ryckman ini dapat diterima dan sebagian
besar ahli menyatakan bahwa kompetisi
adalah pembandingan sosial yang melibatkan minimal dua individu, tetapi tidak
begitu saja terlepas dari faktor personal.
Keterlibatan dalam kelompok dianggap paling mempengaruhi kompetisi pada
remaja karena karena ketika remaja berada
dalam kelompok tidak jarang hal tersebut
harus disertai munculnya persaingan
dengan kelompok lain (Cobb, 2007). Pada
masa remaja, individu memang lebih
tertarik untuk berkumpul dengan teman
54
sebayanya dan mulai “meninggalkan” keluarganya. Burton-Chellew, Ross-Gillespie,
& West (2009) menyatakan bahwa ketika
remaja berada di dalam satu kelompok dan
harus bersaing dengan kelompok lain,
mereka akan memberikan kontribusi yang
lebih besar dalam kelompoknya dan menganggap teman sekelompoknya sebagai
kolaborator bukan kompetitor. Dalam dinamika seperti ini, remaja menjadi tertantang
untuk menunjukkan nilai lebih yang dimilikinya meskipun disadari juga bahwa mereka membutuhkan penerimaan dari orang
lain untuk berkembang.
Csikzenmihalyi (dalam Diener dkk.,
1997) mengatakan bahwa keterlibatan remaja dalam kegiatan akan mendorong
hadirnya kesejahteraan subjektif pada diri
remaja tersebut. Semakin banyak teman
maka semakin bervariasi sumber kesejahteraan subjektif remaja karena makin
banyak juga tuntutan yang harus dipenuhi
agar diterima oleh kelompok. Kegiatan
yang menghadirkan kesejahteraan subjektif
adalah kegiatan yang sehat yaitu kegiatan
yang memperhitungkan keseimbangan antara tantangan dan kemampuan. Lebih lanjut dapat diartikan bahwa dalam kegiatan
yang sehat akan timbul upaya untuk
merepresentasikan kelebihan yang dimiliki
untuk membandingkan dengan temantemannya. Utami (2009) menemukan bahwa mahasiswa yang terlibat dalam kegiatan
lebih sejahtera dibandingkan mahasiswa
yang tidak mengikuti kegiatan. Hal serupa
diungkapkan oleh penelitian Csikzenmihalyi & Hun (dalam Tkach & Lyubomirsky,
2006) yang menyatakan bahwa remaja yang
mengikuti kegiatan sosial menunjukkan
kecenderungan lebih merasa bahagia pada
waktu berada dalam kelompoknya karena
dalam kelompok ini dirinya bisa melakukan koalisi dan persaingan yang lebih
adil.
JURNAL PSIKOLOGI
KETERLIBATAN, KEBERHARGAAN, DAN KOMPETENSI SOSIAL PADA REMAJA
Selain keterlibatan, keberhargaan/rasa
berharga juga mempengaruhi persaingan
atau kompetisi. Keberhargaan ini merupakan pondasi dari self-esteem yang akan
mempengaruhi dirinya dan dunianya. Rasa
ini muncul karena adanya penerimaan
yang baik dari orang-orang di sekitarnya,
terutama teman sekelompoknya. Rasa
berharga yang dimiliki akan membuat
remaja berusaha menghindari kegagalan.
Menurut Crocker & Wolf (dalam Ferraro,
Escalas, & Bettman, 2011) pandangan seseorang tentang keberhargaan dirinya sangat
tergantung pada penerimaannya terhadap
kesuksesan dan kegagalan, dimana rasa
berharga yang tinggi akan muncul ketika
mereka mendapat kesuksesan dan sedikit
memperoleh kegagalan. Kesuksesan atau
kegagalannya di masa lampau akan sangat
mempengaruhi rasa berharga dalam dirinya dan selanjutnya mempengaruhi pandangan dan usahanya dalam menghadapai
tantangan yang ada berikutnya.
Kompetensi sosial juga dianggap mempengaruhi kompetisi pada remaja, selain
keterlibatan dan keberhargaan. Kompetensi
sosial membuat remaja mampu menghadapi konflik yang timbul dalam interaksi
sosial. Persaingan muncul karena ada
interaksi sosial baik antar individu maupun
antar kelompok. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, peneliti menemukan
bahwa tidak ada perbedaan kompetensi
sosial antara remaja daerah pedesaan dan
perkotaan (Santoso, 2009). Baik remaja
pedesaan maupun perkotaan sama-sama
merasa memiliki kemampuan untuk menggunakan sumber sosial yang berupa kesempatan dan fasilitas di lingkungan serta
memanfaatkan sumber personal untuk
menghadapi masalah yang timbul dalam
interaksi sosial. Kompetensi sosial sangat
dibutuhkan remaja agar bisa diterima oleh
kelompok atau teman sebayanya. Pada saat
remaja menyadari bahwa mereka memiliki
JURNAL PSIKOLOGI
kompetensi sosial dan diterima oleh kelompoknya, mereka akan berusaha semaksimal
mungkin ketika menghadapi sebuah persaingan.
Kompetisi remaja dalam kelompok
sosial juga dapat dipengaruhi oleh kompetensi sosial remaja tersebut. Kompetensi
sosial memiliki peran agar remaja bisa
berinteraksi dengan baik dalam kelompoknya atau dengan teman sebayanya. Kompetensi sosial merupakan kemampuan
untuk menggunakan sumber sosial yang
berupa kesempatan dan fasilitas di lingkungan serta memanfaatkan sumber personal untuk menghadapi masalah yang
timbul dalam interaksi sosial. Remaja
dengan kompetensi sosial yang tinggi akan
menunjukkan kesanggupan yang baik untuk memahami dan menguasai masalah
sosial secara objektif dan tidak mudah
mengalami kebingungan untuk menentukan sikap dan tindakannya. Menurut
Mönks, Knoers, & Haditono (1994) kompetensi sosial sangat penting bagi remaja
karena remaja membutuhkan kompetensi
ini agar bisa diterima oleh kelompok atau
teman sebayanya. Ketika teman sebaya
atau kelompok menerima dirinya, maka
remaja akan merasa dibutuhkan dan
diapresiasi. Pada saat remaja menyadari
bahwa mereka memiliki kompetensi sosial
dan diterima oleh kelompoknya, mereka
akan berusaha semaksimal mungkin ketika
menghadapi sebuah persaingan, terutama
persaingan antar kelompok. Hasil penelitian Singleton-Jr & Vacca (2007) menunjukkan bahwa kompetisi akan meningkat
ketika remaja berada dalam satu tim atau
satu kelas. Namun, ketika remaja berusaha
untuk lebih unggul atau menjadi yang
terbaik di kelas, di sisi lain ternyata
kompetisi ini akan mengurangi keintiman
atau kualitas hubungan pertemanan.
Kompetisi dapat muncul dari konflik atau
ketidaksepahaman dan implikasi dari
55
SANTOSO
konflik tersebut adalah remaja meyakini
dan mencoba untuk menunjukkan pada
kompetitornya bahwa pikiran atau pilihannyalah yang terbaik.
Penelitian ini dilakukan pada siswa
SMP dan SMA sekolah favorit dan tidak
favorit di daerah Yogyakarta dan Gunung
Kidul. Pertimbangan pemilihannya adalah
kegiatan dan tuntutan di sekolah tersebut
berbeda sehingga sangat memungkinkan
juga ada perbedaan kompetisi. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengkaji
apakah keterlibatan, keberhargaan, dan
kompetisi sosial dapat dijadikan prediktor
kompetisi pada remaja. Hipotesis yang
diajukan dalam penelitian ini adalah kompetisi pada remaja dapat diprediksi oleh
keterlibatan, keberhargaan, dan kompetensi sosial. Selain itu, ada perbedaan
kompetisi antara sekolah favorit dan tidak
favorit, antara sekolah di Yogyakarta
dengan sekolah di Gunung Kidul, dan
antara siswa SMP dengan siswa SMA.
Metode
a. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah siswa SMP
dan SMA favorit dan tidak favorit di kota
Yagyakarta dan Kabupaten Gunungkidul
yang totalnya berjumlah 232 siswa. Rincian
subjek penelitian adalah sebagai berikut
(lihat tabel 1).
Pengambilan data dilakukan pada
minggu kedua dan ketiga bulan September.
Data sekolah favorit dan tidak favorit
diperoleh dari Dinas Pendidikan. Sekolah
yang dianggap favorit adalah sekolah yang
masuk kategori RSBI/SSN dan banyak
diminati oleh siswa. Selanjutnya, pemilihan
sekolah dilakukan secara random. Pada
setiap sekolah, pengambilan data dilakukan hanya pada satu kelas, siswa kelas XI.
56
Tabel 1
Deskripsi Subjek Penelitian
Sekolah
Jumlah
SMA 8 Yogyakarta (favorit)
27
SMA 11 Yogyakarta
30
SMA 1 Wonosari (favorit)
30
SMA 1 Karangmojo
25
SMP 8 Yogyakarta (favorit)
33
SMP 12 Yogyakarta
32
SMP 1 Wonosari (favorit)
24
SMP 1 Ponjong
31
TOTAL
232
b. Instrumen
Untuk memperoleh data penelitian
digunakan 4 skala, yaitu skala kompetisi,
skala keterlibatan, skala keberhargaan, dan
skala kompetensi sosial. Setiap pernyataan
terdiri dari 5 tingkat jawaban yang dikemukakan dalam opsi jawaban SS (Sangat
Sesuai), S (Sesuai), AS (Agak Sesuai), KS
(Kurang Sesuai), dan STS (Sangat Tidak
Sesuai).
c. Metode Analisis Data
Data yang terkumpul dianalisis dengan analisis regresi, untuk melihat seberapa besar kontribusi masing-masing prediktor terhadap daya kompetisi remaja.
Selain itu, digunakan juga uji t (t-test)
untuk mengetahui perbedaan kompetisi,
keterlibatan, keberhargaan, dan kompetensi sosial siswa.
Hasil
a. Uji Hipotesis
Hasil analisis regresi pengaruh keterlibatan, keberhargaan, dan kompetensi
sosial terhadap kompetisi menghasilkan
F=65,274 (p<0,01). Berdasarkan hasil ana-
JURNAL PSIKOLOGI
KETERLIBATAN, KEBERHARGAAN, DAN KOMPETENSI SOSIAL PADA REMAJA
lisis diperoleh R=0,680 sehingga dapat
diartikan secara keseluruhan bahwa keterlibatan, keberhargaan, dan kompetensi
sosial berkorelasi dengan kompetisi pada
remaja. Secara bersama-sama pula, keterlibatan, keberhargaan, dan kompetensi sosial
dapat memprediksi kompetisi pada remaja
sebesar 46,3% (R2=0,463). Hipotesis penelitian ini dapat diterima.
-2,752, p<0,01). Khusus untuk subjek SMA,
diperoleh hasil bahwa kompetensi sosial
siswa SMA Gunung Kidul lebih tinggi
dibandingkan kompetensi sosial siswa
SMA di Yogyakarta (t=-3,966, p<0,05) dan
kompetensi siswa SMA tidak favorit lebih
tinggi daripada kompetensi sosial siswa
SMA favorit.
Persamaan regresi yang diperoleh dari
hasil tersebut adalah:
Diskusi
Y = 27,309 + 0,166 X1 + 0,6 X2 + 0,181 X3
b. Analisis tambahan
Selain analisis regresi, ada analisis
tambahan yang dilakukan yaitu t-test untuk
mengetahui perbedaan kompetisi antara
sekolah favorit dan tidak favorit, SMP dan
SMA, serta sekolah di Yogyakarta dan
Gunung Kidul. Berdasarkan perhitungan
perbedaan kompetisi antara sekolah favorit
dan tidak favorit diperoleh hasil bahwa
siswa sekolah yang tidak favorit memiliki
kompetisi yang lebih tinggi dibandingkan
siswa sekolah favorit (t=-2,752, p<0,01).
Berdasarkan perhitungan perbedaan kompetisi antara siswa SMP dan SMA ternyata
tidak ada perbedaan kompetisi pada siswa
di kedua jenjang sekolah tersebut. Hasil
yang sama diperoleh yaitu tidak ada perbedaan kompetisi antara siswa di Yogyakarta
dengan siswa di Gunung Kidul.
Pada analisis tambahan ini diperoleh
juga hasil bahwa tidak ada perbedaan
keterlibatan antara sekolah favorit dan
tidak favorit, SMP dan SMA, serta sekolah
di Yogyakarta dan Gunung Kidul. Namun,
ada perbedaan kompetensi sosial antara
sekolah di Yogyakarta dan di Gunung
Kidul dimana kompetensi sosial siswa di
Gunung Kidul lebih tinggi dibandingkan
siswa di Yogyakarta (t=-2,083, p<0,05).
Hasil lain yang diperoleh adalah kompetisi
siswa di sekolah favorit lebih rendah
dibandingkan sekolah tidak favorit (t=
JURNAL PSIKOLOGI
Hasil uji statistik membuktikan bahwa
keterlibatan, keberhargaan, dan kompetensi sosial dapat memprediksi kompetisi
pada remaja. Sesuai dengan tahapan perkembangan, remaja mulai mengembangkan
kemampuan dan menggunakan kesempatan untuk berinteraksi dengan teman
sebaya, berpartisipasi dalam kelompok,
dan berkompetisi untuk mencapai tujuan.
Keterlibatan remaja dalam berbagai kegiatan, terutama kegiatan di sekolah, akan
mendorong mereka untuk membandingkan
diri dengan teman yang lain dan berusaha
menjadi yang terbaik (Cobb, 2007). Hinzsz
(2005) juga menyatakan bahwa perasaan
sedang berkompetisi berkorelasi positif
dengan performansi tugas, efikasi diri, dan
komitmen mencapai tujuan. Remaja yang
berada dalam situasi yang kompetitif
cenderung ingin dinilai/dievaluasi karena
mereka merasa sudah berusaha keras
untuk mencapai tujuan dan menjadi yang
terbaik.
Berdasarkan hasil wawancara dengan
beberapa subjek, alasan subjek terlibat dalam berbagai kegiatan di sekolah karena
ingin menggali potensi diri, ingin mendapat teman banyak, dan tidak mau kalah
dengan teman-teman yang lain. Hal ini
menunjukkan bahwa perasaan berkompetisi muncul bahkan ketika mereka belum
terlibat langsung dalam kegiatan yang ada.
Hampir senada dengan hasil ini, Fredricks
& Eccles (2008) menyatakan bahwa alasan
57
SANTOSO
remaja terlibat dalam berbagai kegiatan
adalah ingin mencari wadah yang dapat
digunakan untuk meraih masa depan,
ingin mencari dukungan sosial di luar
dukungan dari keluarga, membangun
hubungan sosial dan emosional dengan
teman, dan ingin mengeksplorasi kemampuan agar bisa menjadi pribadi yang hebat.
Aspek lain yang mempengaruhi kompetisi pada remaja adalah rasa berharga
atau keberhargaan. Remaja yang memiliki
rasa berharga yang tinggi cenderung tidak
ragu untuk bergabung dalam kelompok
dan bersaing dengan teman yang lain
karena merasa dirinya dinilai positif dan
akan diterima oleh orang-orang di sekitarnya. Temuan ini sejalan dengan hasil
penelitian Crocker & Wolf (dalam Ferraro,
Escalas, & Bettman, 2011) bahwa rasa berharga yang dimiliki akan membuat remaja
semangat untuk berkompetisi dan berusaha menghindari kegagalan. Kesuksesan
atau kegagalannya di masa lampau akan
sangat mempengaruhi rasa berharga dalam
dirinya dan selanjutnya mempengaruhi
pandangan dan usahanya dalam menghadapai tantangan yang ada berikutnya.
Kompetisi juga ternyata dipengaruhi
oleh kompetensi sosial remaja. Kompetensi
sosial sangat diperlukan dalam berinteraksi
dengan orang lain. Terkait dengan kompetisi, kompetensi sosial sangat penting agar
mereka bisa diterima teman sebayanya
(Mönks, Knoers, & Haditono, 1994) dan
meminimalisir masalah yang mungkin
timbul ketika harus bersaing dengan orang
lain. Remaja dengan kompetensi sosial
yang tinggi akan menunjukkan kesanggupan yang baik untuk memahami dan
menguasai masalah sosial secara objektif
dan tidak mudah mengalami kebingungan
untuk menentukan sikap dan tindakannya.
Apabila kompetensi sosial remaja kurang
baik, kompetisi dapat mengurangi kein-
58
timan atau kualitas hubungan pertemanan.
Kompetisi dapat menimbulkan konflik atau
ketidaksepahaman dan implikasi dari konflik tersebut adalah remaja meyakini dan
mencoba untuk menunjukkan pada kompetitornya bahwa pikiran atau pilihannyalah
yang terbaik.
Terkait dengan hasil yang menunjukkan kompetisi di sekolah tidak favorit lebih
tinggi daripada di sekolah favorit, hal ini
sangat mungkin terjadi karena adanya
tekanan yang cukup kuat dari para guru di
sekolah yang kurang favorit pada para
siswa untuk berprestasi agar sekolah mereka menjadi sekolah favorit. Berdasarkan
hasil wawancara dengan guru di sekolahsekolah tempat pengambilan data, penulis
menyimpulkan bahwa kegiatan yang diadakan di sekolah yang kurang favorit jauh
lebih ketat dan banyak dibandingkan
kegiatan di sekolah favorit. Selain itu,
secara jelas diungkapkan bahwa guru di
sekolah yang kurang favorit terus memompa semangat dan mendorong siswa untuk
meraih prestasi tinggi agar ranking sekolah
meningkat. Penggolongan sekolah menjadi
sekolah RSBI, sekolah SSN, dan sekolah
regular telah menimbulkan persaingan
yang cukup ketat antar sekolah.
Tidak adanya perbedaan kompetisi
antara siswa SMP dan SMA serta antara
siswa di Yogyakarta dengan siswa di kabupaten Gunung Kidul menunjukkan bahwa
setiap siswa memiliki kemauan berkompetisi yang sama agar bisa menjadi yang
terbaik. Perbedaan lokasi tempat tinggal
ternyata tidak menimbulkan perbedaan
kompetisi karena semua sekolah, baik di
Yogyakarta maupun Gunung Kidul, memiliki kemauan yang sama untuk mendorong
siswanya berprestasi. Kompetisi untuk
meningkatkan kualitas sekolah ini tentunya
harus dilihat sebagai bentuk kompetisi
yang positif.
JURNAL PSIKOLOGI
KETERLIBATAN, KEBERHARGAAN, DAN KOMPETENSI SOSIAL PADA REMAJA
Kepustakaan
Burton-Chellew, M. N., Ross-Gilespie, A., &
West, S. A. (2010). Cooperation in
humans: Competition between groups
and proximate emotions. Evolution and
Human Behavior, 31 (2), 104-108.
Cobb N. J. (2007). Adolescence: Continuity,
change, and diversity. Boston: McGrawHill
Diener E., Suh E., & Oishi, S. (1997). Recent
findings on subjective well-being.
Indian Journal of Clinical Psychology, 24,
diakses dari http//www.psych.uiuc.
edu/-ediener/ hottopic/paper1.html
Dublin, H. (2007). The evolution of the
female self: Attachment, identification,
individuation, competition, collaboration, and mentoring. In Navaro, L., &
Schwartzberg, S. L. (Ed.), Envy, competition, and gender (hal. 59-78). Routledge: New York.
Faer, L. M., Hendriks, A., Abed, R. T., &
Figueredo, A. J. (2005). The evolutionary psychology of eating disorders:
Female competition for mates or for
status?. Psychology and Psychotherapy:
Theory, Research, & Practice, 78, 397-417.
Ferraro, R., Escalas, J. E., Bettman, J. R.
(2011). Our possessions, our selves:
Domains of self-worth and the
possessions of self link. Journal of
Consumer Psychology, 21 (2), 169-177.
Fredricks, J. A., & Eccles, J. S. (2008).
Participation in extracurricular activities in the middle school years: Are
there developmental benefits for
African American and European American Youth. Journal Youth Adolescence,
37, 1029-1043.
Fülöp, M. (2002). Competition in educational
settings. Paper presented in University
of Ljubljana. http://www.see-educoop.
net/education_in/pdf/comp-in-edu-othJURNAL PSIKOLOGI
enl-t07.pdf. Diakses tanggal 7 April
2011.
Hinzsz, V. B. (2005). The influence of social
aspects of competition in goal-settings
situation. Current Psychology, 24 (4),
258-273.
Kilduff, G. J., Elfenbein, H. A., & Staw, B.
M. (2010). The psychology of rivalry: A
relationally dependent analysis of competition. Academy of Management
Journal, 53 (5), 943-969.
Matsumoto, D., Takeuchi, M., Nakajima, D.,
& Iida, E. (2000). Competition anxiety,
self confidence, personality, and competition performance of American elite
and non-elite judo athletes. Research
Journal of Judo, 32 (3), 12-21
Mönks, F. J., Knoers, A. M. P., & Haditono,
S. R. (2004). Psikologi perkembangan:
Pengantar dalam Berbagai Bagiannya (ed.
kelimabelas).
Yogyakarta:
Gadjah
Mada University Press.
Rice, F .P. & Dolgin, K. G. (2003). The Adolescence: Development, relationship, and
culture. Boston: Pearson International
Edition.
Ross, M. R. (2007). Anti-group as a phenomenon: The destructive aspecrs of
envy, competition, and gender differences in groups, as seen through the
apprentice. In Navaro, L., & Schwartzberg, S. L. (Ed.), Envy, competition, and
gender (hal.205-227). Routledge: New
York.
Santoso, S. W. (2009). Kepercayaan diri dan
kompetensi sosial remaja pedesaan dan
perkotaan. Laporan Penelitian (tidak
diterbitkan). Yogyakarta: UGM
Santrock, J. W. (2007). Adolescence 11th
edition. New York: McGraw-Hill.
Singleton-Jr, R. A. & Vacca, J. (2007).
Interpersonal competition in friendship. Sex Roles, 57, 617-627.
59
SANTOSO
Tkach, C. & Lyubomirsky, S. (2006). How
do people pursue hapinness?: Relating
personality, hapinness-increasing strategies, and well-being. Journal of
Hapinness Studies, 7 , 183-225.
60
Utami M. S. (2009). Keterlibatan dalam
kegiatan dan kesejahteraan subjektif
mahasiswa, Jurnal Psikologi Fakultas
Psikologi Universitas Gadjah Mada, 36 (2).
JURNAL PSIKOLOGI
Download