PERANAN PROCALCITONIN DALAM DIAGNOSTIK INFEKSI INTRAUTERIN dr. Endang Sri Widiyanti, M.Biomed, SpOG BAGIAN/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FK UNUD/RS SANGLAH 2014 BAB 1 PENDAHULUAN Persalinan preterm merupakan salah satu masalah penting di bidang obstetri dan perinatologi. Sebanyak 80 % kematian perinatal dan 50 % kelainan neurologis jangka panjang berhubungan dengan persalinan preterm. Dua pertiga persalinan preterm terjadi secara spontan sedangkan sisanya terjadi karena persalinan elektif akibat indikasi medis dan obstetri. Penyebab pasti terjadinya persalinan preterm tidak diketahui, namun infeksi intrauterin dianggap sebagai penyebab terbanyak terjadinya persalinan preterm spontan. Diagnosis infeksi intrauterin (korioamnionitis) sangat sulit diketahui oleh karena tidak adanya gejala-gejala klinis infeksi. Pencegahan dan prediksi persalinan preterm merupakan kesempatan besar dibidang obstetri. Seorang wanita yang telah diketahui berisiko tinggi terjadi persalinan preterm menjadi sasaran untuk dilakukan tindakan pencegahan dan pemeriksaan antenatal yang lebih intensif.1,2 Persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi antara usia kehamilan 20 minggu sampai kurang dari 37 minggu atau 259 hari gestasi, dihitung dari haid pertama hari terakhir.3 Bayi preterm terutama yang lahir dengan usia kehamilan < 32 minggu, mempunyai risiko kematian 70 kali lebih tinggi dibandingkan dengan bayi yang lahir cukup bulan karena imaturitas sistem organ tubuhnya. Komplikasi yang sering terjadi adalah Respiratory Distress Syndrome (RDS), Intraventricular Hemorrhage (IVH), displasia bronkopulmoner, sepsis dan enterokolitis nekrotikans. Tujuh puluh lima persen kematian perinatal disebabkan oleh prematuritas.4 Masalah lain yang dapat timbul adalah masalah perkembangan neurologis seperti serebral palsi, gangguan intelektual, retardasi mental, gangguan sensoris, kelainan perilaku, dan gangguan konsentrasi. Hal ini dapat mengakibatkan rendahnya kualitas sumber daya manusia di masa yang akan datang. Selain itu, perawatan bayi preterm juga membutuhkan teknologi kedokteran canggih dan mahal.5 1 Pada tahun 2005, sebanyak 12,5 juta kelahiran atau 9,6% dari semua kelahiran di seluruh dunia adalah kelahiran preterm. Kejadian tertinggi kelahiran preterm berada di Afrika dan Amerika Utara (11,9% dan 10,6% dari semua kelahiran), dan terendah berada di Eropa (6,2%).3 Di Indonesia diperkirakan persalinan preterm terjadi 10% dari sekitar 4 juta kelahiran, dan angka kematian neonatal sebanyak 20% dari seluruh persalinan preterm.6 Para ahli terus mengembangkan pengetahuan tentang etiologi, pencegahan, penanganan persalinan dan kelahiran preterm dengan tujuan meningkatkan outcome bayi preterm. Idealnya, ibu hamil memerlukan skrining yang menjadi bagian dari pelayanan antenatal untuk mengidentifikasi risiko dan mencegah terjadinya kelahiran preterm. Telah banyak tes diagnostik yang digunakan untuk memprediksi kelahiran preterm sebelumnya, namun belum ada yang memiliki sensitivitas dan spesifitas yang baik untuk digunakan klinisi dalam praktek seharihari.7 Pada abad ke-20, procalcitonin (PCT) berkembang menjadi sebuah parameter baru. Procalcitonin mampu menjadi penanda respon inflamasi berat yang penting, sensitif dan spesifik meskipun cara kerja dan peran fisiologisnya masih belum dapat digambarkan dengan jelas. Akhir-akhir ini, PCT dipercaya sebagai penanda yang lebih spesifik dalam menentukan keparahan sepsis dibandingkan dengan interleukin-6 (IL-6) dan C-reactive protein (CRP).8 Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa PCT dapat digunakan sebagai penanda spesifik pada infeksi bakteri dan prediktor yang baik dalam menentukan derajat keparahan penyakit.9 Procalcitonin adalah suatu peptida asam amino-116 dan prekursor dari calcitonine. Peningkatan kadar serum PCT terjadi pada pasien dengan infeksi bakteri yang berat.10,11 Produksi PCT dirangsang oleh endotoksin dan sitokin proinflamasi seperti tumor necrosis factor-α (TNF- α), interleukin-1 (IL-1), interleukin-2 (IL-2) dan interleukin-6 (IL-6). Procalcitonin akan dikeluarkan secara konsisten kedalam sirkulasi, 2-4 jam setelah penyuntikan endotoksin dan akan meningkat secara bertahap dalam 24 jam.12 Sari pustaka ini akan membahas mengenai peranan procalcitonin dalam diagnostik infeksi intrauterin dan persalinan preterm. Penggunaan procalcitonin pada praktek klinik sebagai penanda infeksi berkembang pesat akhir- akhir ini, 2 namun penelitian tentang procalcitonin dalam kehamilan dan atau komplikasinya masih sangat terbatas. Dari alasan tersebut diatas, penulis mengangkat procalcitonin sebagai sebuah saripustaka, yang mana nantinya bisa dikembangkan lebih lanjut menjadi sebuah penelitian dalam diagnostik infeksi intrauterin dan persalinan preterm. 3 BAB 2 PERSALINAN PRETERM 2.1 Persalinan Preterm Persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi antara usia kehamilan 20 minggu sampai kurang dari 37 minggu atau 259 hari gestasi, dihitung dari haid pertama hari terakhir.3 Creasy dan Herron (2009) mendefinisikan persalinan preterm sebagai persalinan pada usia gestasi 20 – 36 minggu, dengan kontraksi uterus empat kali setiap 20 menit atau delapan kali setiap 60 menit selama enam hari, dan diikuti oleh satu dari beberapa hal berikut: ketuban pecah dini (premature rupture of membrane/ PROM), dilatasi serviks ≥ 2 cm, penipisan serviks > 50%, atau perubahan dalam hal dilatasi dan penipisan serviks pada pemeriksaan secara serial. Definisi persalinan preterm lainnya yaitu munculnya kontraksi uterus dengan intensitas dan frekuensi yang cukup untuk menyebabkan penipisan dan dilatasi serviks sebelum memasuki usia gestasi yang matang, antara 20 sampai 37 minggu.13 Indikator yang sering dipakai untuk menyatakan terjadinya persalinan adalah kontraksi uterus dengan frekuensi paling sedikit 4 kali setiap 20 menit dengan lama setiap kontraksi 30 detik atau lebih, disertai perubahan serviks yang progresif, dilatasi serviks > 1 cm dan penipisian ≥ 80 %.14 Insiden persalinan preterm berbeda-beda pada berbagai negara tergantung populasi. Insiden persalinan preterm di Amerika Serikat berkisar antara 12-13%, Afrika 11,9%, Asia 9,1%, Australia 6,4% dan Eropa 6,2%. Pengetahuan tentang faktor risiko dan mekanisme persalinan preterm terus dipelajari, namun angka kejadian persalinan preterm cenderung meningkat, di Amerika Serikat dari 9,5% pada tahun 1981 menjadi 12,7% pada tahun 2005.15 Insiden persalinan preterm di beberapa rumah sakit pemerintah di Indonesia beberapa tahun terakhir bervariasi antara 3-9%, di RS Hasan Sadikin Bandung pada tahun 1998-2000 sebesar 8,2%, di RS Sanglah Denpasar tahun 2001-2003, persalinan preterm sebesar 8,3% dari seluruh persalinan.16 4 2.2 Etiologi dan faktor risiko persalinan preterm Persalinan preterm terjadi oleh karena berbagai mekanisme, termasuk infeksi, inflamasi, iskemi atau perdarahan uteroplasenta, peregangan uterus yang berlebihan, stres, dan berbagai macam proses imunologi.17 Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mencari faktor-faktor risiko persalinan preterm, namun adanya faktor risiko tersebut tidak selalu menyebabkan terjadinya persalinan preterm, bahkan sebagian persalinan preterm yang terjadi spontan tidak mempunyai faktor risiko yang jelas.18 Beberapa faktor risiko yang diketahui meningkatkan kejadian persalinan preterm yaitu :19,20,21 1. Faktor psiko-sosio demografik a. Sosial, ekonomi dan pendidikan rendah b. Status perkawinan c. Usia ibu (< 16 tahun atau > 35 tahun) d. Ras dan etnis e. Status gizi f. Perilaku ibu g. Stres 2. Faktor ibu a. Riwayat kehamilan sebelumnya (persalinan preterm, abortus, interval kehamilan) b. Inkompetensi serviks c. Kelainan uterus d. Kelainan medis pada ibu (hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung dan hipertiroid) e. Peregangan uterus yang berlebihan (kehamilan polihidramnion) f. Perdarahan pervaginam ( plasenta previa atau solusio plasenta) 3. Faktor infeksi a. Infeksi intrauterin : 1) Ascenden dari vagina dan servik 5 kembar, 2) Hematogen melewati plasenta 3) Iatrogenic akibat prosedur invasif 4) Penyebaran melalui saluran telur b. Infeksi Ekstra uterin 1) Pielonefritis 2) Bakteriuria asimptomatis 3) Pneumonia 4) Periodontitis 5) Infeksi virus (varicella,malaria) c. Infeksi Genital 1) Bakterial vaginosis 2) Chlamydia trachomatis 4. Faktor genetik dan biologi 2.3 Infeksi dan Inflamasi Infeksi intrauterin merupakan penyebab tersering dan terbanyak terjadinya kelahiran preterm. Mekanisme terjadinya persalinan preterm oleh karena infeksi intrauterin dihubungkan dengan sistem imun. Mikroorganisme akan dikenali oleh reseptor ( misalnya toll-like receptors) yang akan menghasilkan sitokin dan kemokin inflamasi seperti interleukin-8 (IL-8), interleukin-1ß (IL-1ß) dan tumor necrosis factor (TNF)-α. Endotoksin mikrobial dan sitokin proinflamasi akan merangsang produksi prostaglandin, mediator-mediator inflamasi lainnya dan enzim degradasi matriks. Prostaglandin akan merangsang kontraksi uterus, dimana degradasi matriks ekstraseluler membran janin menimbulkan preterm premature rupture of the membrane (PPROM).2,17 Sebanyak dua puluh lima sampai empat puluh persen kelahiran preterm disebabkan karena infeksi intrauterin, namun angka ini merupakan perkiraan minimal karena kesulitan untuk mendeteksi infeksi intrauterin dengan teknik kultur konvensional.2 Beberapa peneliti memerlukan pemeriksaan tambahan untuk mendeteksi mikroba pada ruang amnion yaitu dengan menggunakan teknik mikrobiologi molekuler.22 6 Infeksi intrauterin dapat terjadi di desidua, meluas sampai ruang antara korionamnion, dan mencapai ruang amnion dan janin. Mikroorganisme dapat mencapai ruang amnion dengan beberapa jalur yaitu : 2, 23 a. Ascenden dari vagina dan servik b. Hematogen melalui plasenta c. Iatrogenik d. Penyebaran retrogade melalui tuba falopii Gambar 1. Lokasi Potensial Infeksi bakteri ( Sumber : Goldenberg, 2000) Mekanisme infeksi intrauterin yang paling umum adalah melalui jalur ascenden. Infeksi janin merupakan infeksi intrauterin ascenden yang paling serius dan tingkat lanjut. Caroll dkk melaporkan bahwa bakteremia terjadi pada 33% janin dengan kultur cairan amnion positif dibandingkan dengan kultur negatif sebanyak 4 %.24 Pada penelitian lain menyebutkan spesies Mycoplasma genital ditemukan sebanyak 23 % dari kultur tali pusat bayi dengan umur kehamilan 7 kurang dari 32 minggu. Invasi mikroba pada ruang amnion biasanya dihubungkan dengan inflamasi intra-amnion dan respon inflamasi janin. Inflamasi janin dihubungkan dengan onset persalinan preterm, cedera janin, dan kecacatan jangka panjang termasuk leukomalasia periventrikuler, serebral palsi, dan penyakit paru kronis.25 Gambar 2. Mekanisme Potensial Persalinan Preterm akibat Kolonisasi Bakteri Koriodesidual ( Sumber : Goldenberg, 2000) 2.4 Marker infeksi Infeksi intrauterin seringkali bersifat kronis dan biasanya tanpa gejala sampai mulai terjadi persalinan atau pecah selaput ketuban. Selama proses persalinan, sebagian besar wanita yang kemudian terbukti mengalami korioamnionitis (berdasarkan bukti histologis atau kultur) tetap tidak menunjukkan gejala selain kontraksi preterm, tidak ada demam, nyeri perut atau leukositosis pada darah tepi dan biasanya tidak didapatkan takikardia janin.26 Infeksi intrauterin sering tidak bergejala maka untuk mengidentifikasinya merupakan tantangan yang besar. 8 Lokasi yang terbaik untuk diperiksa adalah cairan amnion, yang selain mengandung bakteri, cairan amnion ibu hamil dengan infeksi intrauterin mengandung kadar glukosa yang rendah, leukositosis dan peningkatan konsentrasi komplemen C3 dan sejumlah sitokin lain dibandingkan dengan cairan amnion ibu hamil yang tidak terinfeksi. Prosedur tersebut membutuhkan tindakan amniosentesis, dan hingga saat ini belum jelas peran amniosintesis dalam meningkatkan luaran kehamilan, terrmasuk pada wanita dengan kontraksi preterm. Saat ini, tidak dianjurkan untuk melakukan amniosintesis rutin untuk memeriksa infeksi intrauterin pada ibu hamil diluar persalinan.27 Pemeriksaan sekret vagina yang positif menunjukkan bakterial vaginosis baik dengan pewarnaan gram maupun dengan menggunakan kriteria Amsel (sekret vagina homogen, clue cell, bau amis bila cairan vagina ditetesi dengan KOH dan pH > 4,5) berhubungan dengan infeksi intrauterin dan dapat menjadi prediktor persalinan preterm.28 Hasil fibronektin (suatu protein yang dihasilkan selaput korioamnion) yang positif dari sekret servikovagina ibu hamil yang mengalami kontraksi preterm atau tanpa gejala, tidak saja merupakan prediktor persalinan preterm spontan, juga sangat berhubungan dengan kemungkinan timbulnya dan sepsis neonatorum. Infeksi intrauterin merusak membran basalis koriodesidual ekstraseluler yang menyebabkan bocornya protein tersebut ke serviks dan vagina.29 Ibu hamil yang menunjukkan gejala kontraksi preterm disertai konsentrasi sejumlah sitokin yang tinggi pada sekret servikovagina, termasuk TNF-α, IL-1, IL-6, IL-6, dan IL-8, berhubungan dengan persalinan preterm dini. Konsentrasi IL-6 serviks yang tinggi dapat memprediksi persalinan preterm dan menambah nilai prediktif fibronektin.29 Pemendekkan serviks yang dapat dideteksi dengan ultrasonografi, berkorelasi dengan beberapa marker infeksi dan korioamnionitis. Adanya pemendekkan serviks dapat mempermudah infeksi ascendens bakteri ke uterus, namun pada beberapa wanita pemendekkan serviks dapat merupakan respons adanya infeksi traktus genitalia atas yang telah terjadi sebelumnya.28 Wanita dengan gejala persalinan preterm memiliki konsentrasi IL-6, IL-8 dan TNF-α serum yang tinggi. Granulocyte colony stimulating factor (GCSF) adalah 9 satu-satunya sitokin yang kadarnya di sirkulasi meningkat sebelum onset kontraksi preterm, sehingga dapat digunakan sebagai skrinning rutin pada wanita hamil tanpa gejala.30 Marker infeksi non sitokin diantaranya adalah kadar C-reactive protein (CRP) dan feritin serum yang tinggi. Konsentrasi feritin serum yang rendah menunjukkan kadar besi yang besi rendah, tetapi konsentrasi feritin serum yang tinggi tampaknya merupakan fase akut dan dapat memprediksi persalinan preterm. Konsentrasi feritin serum biasanya meningkat dua kali lipat dalam satu minggu setelah pecah ketuban, hal ini kemungkinan menunjukkan adanya infeksi intrauterin yang progresif. Konsentrasi feritin serviks yang tinggi juga dapat memprediksi terjadinya persalinan preterm spontan.30 Cairan biologis ( misalnya : cairan amnion, urine, mukus serviks, sekret vagina, serum atau plasma dan saliva) dapat digunakan sebagai biomarker dalam memprediksi terjadinya persalinan preterm. Sitokin, kemokin, estriol dan bahanbahan lain yang berhubungan dengan inflamasi dihubungkan dengan terjadinya persalinan preterm.31 Penelitian tentang biomarker terus dikembangkan untuk memahami mekanisme yang mengawali terjadinya persalinan preterm spontan, hal ini dilakukan untuk mengurangi mortalitas dan morbiditas yang timbul akibat terjadinya kelahiran preterm.1 10 BAB 3 PROCALCITONIN 3.1 Procalcitonin Procalcitonin (PCT) pertama kali dikenali dari sel karsinoma medula tiroid. Procalcitonin adalah protein yang terdiri dari 116 asam amino dengan berat molekul 13kDa, yang disandi oleh gen Calc-I yang terletak pada kromosom 11 dan diproduksi pada sel C kelenjar tiroid sebagai prohormon dari calcitonin. Secara normal, semua PCT dipecah di dalam tiroid menjadi calcitonin.32 Gen Calc-I menghasilkan dua transkripsi yang berbeda oleh tissue spesific alternative splicing. Transkripsi pertama yaitu turunan ekson 1 sampai dengan 4 dari keseluruhan 6 ekson, disandi untuk pre PCT, merupakan 141 asam amino peptida yang mempunyai 25 asam amino hydroprobic signal peptide. Pada sel-sel C tiroid ini secara proteolitik diproses guna menghasilkan fragmen N terminal yaitu aminoprocalcitonin (57 asam amino), calcitonin (32 asam amino) yang terletak dipusat peptida dan calcitonin carboxyterminal peptide-1 (CC-1) atau katacalcin (21 asam amino) di ujung terminal karboksil (gambar 2). Jalur ini secara kuat aktif dan dihasilkan hanya dalam getah calcitonin. Munculnya isyarat peptida memungkinkan PCT tersekresi secara utuh, sesudah glikosilasi oleh sel lainnya. Hal ini meningkatkan bukti bahwa PCT dan calcitonin sangat berbeda fungsi. 32 Transkrip kedua adalah yang dihubungkan ke isi ekson 1,2,3,5,6 dan menyandi gen calcitonin yang berhubungan dengan peptida, yang secara luas diekspresikan dalam saraf di otak, pembuluh darah, dan usus. Hal ini bisa berperan dalam imunomodulasi, neurotransmisi dan kendali vaskularis.11,32 11 Gambar 3. Struktur dan Pemecahan PCT (Sumber: Assicot M, 1993) Waktu paruh PCT adalah 20-24 jam. Pada kondisi sehat, serum PCT tidak terdeteksi namun akan meningkat dalam keadaan infeksi. Pada keadaan infeksi, PCT berasal dari ekstra tiroidal. Sejak tahun 1990an, PCT menjadi alat diagnostik untuk mengidentifikasi adanya infeksi bakteri sistemik. Pada keadaan fisiologis, kadar PCT rendah bahkan tidak terdeteksi (dalam ng/mL), tetapi akan meningkat bila terjadi bakteremia atau fungimia yang timbul sesuai dengan berat infeksi. Produksi PCT oleh jaringan plasenta atau PCT dapat melewati tahanan plasenta masih belum diketahui.33 Assuma dkk (2000) menyatakan bahwa peningkatan PCT pada neonatus menunjukkan pertukaran transplasenta PCT ibu.34 Kepekatan serum PCT sangat rendah pada orang sehat yaitu < 0,1 ng/ml, tetapi dapat mencapai 1000 ng/mL saat sepsis berat dan syok sepsis. Akhir-akhir ini, penggunaan PCT sebagai deteksi awal terjadinya infeksi meningkat oleh karena sensitivitas, spesifisitas, respon cepat, dan waktu paruh yang pendek.35 Procalcitonin dirangsang oleh endotoksin yang dihasilkan bakteri selama infeksi sistemik. Infeksi yang disebabkan protozoa, virus, dan penyakit autoimun tidak menginduksi PCT. Kadar PCT muncul cepat dalam 2 jam setelah rangsangan, puncaknya setelah 12 sampai 48 jam dan secara perlahan menurun dalam 48 sampai 72 jam. Pada keadaan inflamasi akibat bakteri kadar PCT selalu > 2 ng/ml. Pada kasus akibat infeksi virus kadar PCT > 0,05 ng/ml tetapi biasanya < 1ng/ml. Peningkatan plasma PCT terjadi secara singkat sesudah kadar sitokin mencapai puncak.36 12 Patofisiologi Inflamasi adalah suatu reaksi terhadap beragam cedera, merupakan kejadian kompleks yang dapat memberikan keuntungan dan atau kerugian terhadap host. Inflamasi dapat bersifat lokal atau sistemik, ditandai dengan vasodilatasi, migrasi PMN dan leukosit, aktivasi makrofag, perubahan fungsi kapiler, transudasi serum ke dalam jaringan dan pelepasan berbagai substansi hormonal.32 Ada berbagai kondisi yang dapat menyebabkan inflamasi sistemik ( luka bakar berat, pneumonitis atau infeksi lokal lainnya, bakteremi, endotoksinemi, trauma, dan pankreatitis). Secara khas, masing-masing kondisi ini dapat menyebabkan sindroma klinis yang dikenal dengan SIRS, yaitu kombinasi dari demam atau hipotermia, takipneu, takikardi, polimorfonukleositosis atau leukopeni. Berhubungan dengan manifestasi ini, terjadi peningkatan berbagai sitokin dan molekul messenger hormonal lokal dan sistemik (misalnya : TNF-α, IL-1ß, IL-6, Interferon-γ, turunan asam arakidonat, kortisol). Beberapa sitokin dan molekul messenger hormonal lokal dan sistemik tersebut bersifat sebagai hemokrin dan atau parakrin yang protektif terhadap host, namun ada beberapa yang bersifat merugikan. Sifat menguntungkan dan merugikan ini tergantung pada konsentrasi dan waktu keseimbangannya. Definisi sepsis digunakan pada SIRS dimana bakteri dan produk mikrobiologinya diketahui atau diduga sebagai penyebabnya. Pada beberapa kasus, tidak dapat dibuktikan adanya infeksi oleh karena hasil kultur yang tidak menunjukkkan adanya mikroba patogenik. Pada kasus seperti ini, sepsis sendiri disebabkan oleh mikroba namun tidak dapat dideteksi dengan baik. Pada kasus lain, sindrom ini dapat disebabkan oleh produk antara yang bersifat toksik dari patogen. Sebagai contoh adalah translokasi toksin melalui dinding saluran cerna (endotoksin (lipopolisakarida)) yang berasal dari bakteri yang mendiami saluran cerna dapat menjadi penyebab sepsis. Pada kondisi sepsis, keadaan sakitnya lebih disebabkan oleh reaksi humoral dan seluler dari host yang berlebihan. Ketidakseimbangan respon humoral dan sitokin ini dapat berakibat kegagalan organ multipel dengan gejala insufisiensi miokardial, hipoperfusi, syok, koagulopati, gagal napas, hipoksemia, gagal ginjal dan koma.32 13 Inflamatory triggers (luka bakar,endotoksin,infeksi,cedera,dll) Activation of host Leucocytes, Lymphocytes, Endothelial cells and various Parenchymal cells (CD14,toll like receptors,AP-1,NF-kB,dll) Humoral Response Repertoire Cytokines and related factors Coagulation & complement cascade activation Immuno- Pro- regulatory inflamatory Acute phase proteins Antiinflamatory Stress hormones Hormokines α1-acid ACTH ADM heat shock glycoprotein AVP CGRP proteins CTpr HMG-1 NO Angiotensinogen Cathecolamin IFN-γ MIF Adhesion- IL-4 CRP Cortisol IL-6 IL-2 IL-1ß molecules IL-6 Ferritin Endorphine Leptin IL-4 IL-6 Chemokines IL-10 Fibronectin GH MIF IL-5 IL-8 Elastase IL-11 Haptoglobin Histamine IL-7 IL-12 Endothelin IL-13 Lipopolysaccharide IL-11 IL-15 Growth factor IL-ra Phospolipaseα2 IL-18 IL-1 decoy Leptin PTX-3 NO RO Proteases Prolactin Serum amyloid A PAF RANTES TNFγ PGs TGF-ß ROI Intracellular factors TNF-α TBs Local Inflamation Systemic Inflamation Gambar 4. Skema Kejadian dan Faktor Humoral Dalam Respon Inflamasi (Sumber : Becker, 2004) 14 a. Fungsi Imunologi Pola produksi PCT mirip dengan beberapa komponen sitokin dan petanda aktivasi imunitas seluler yang menunjukkan bahwa ini merupakan reaksi fase akut. Kadar PCT dalam serum yang ditemukan sangat berhubungan dengan keparahan infeksi bakteri dan SIRS (Systemic Inflamatory Response Syndrome). Infeksi yang terbatas pada satu organ tanpa ada tanggap sistemik reaksi inflamasi menghasilkan kadar PCT rendah atau sedang. 37 b. Fungsi Procalcitonin terhadap sepsis Pemberian rekombinan human PCT terhadap sepsis menghasilkan peningkatan mortalitas yang berbanding terbalik dengan pemberian netralisasi antibodi. Kemungkinan peran PCT dalam fisiologi sepsis didukung oleh untaian (sequensing homolog) antara PCT dan sitokin seperti TNF, IL-6 dan granulocyte colony stimulating factor (GCSF).11 c. Procalcitonin sebagai petanda infeksi penyakit berat Procalcitonin merupakan petanda diagnostik infeksi bakteri pada anak. Kadar PCT akan menurun bila mendapat terapi antibiotika. Pada neonatus, PCT merupakan petanda infeksi bakteri yang lebih akurat dibandingkan dengan CRP.12 Assicot dkk (1993) mempublikasikan bahwa kadar serum PCT mencapai puncaknya pada penderita yang terinfeksi bakteri dan malaria, sedangkan pada sepsis akibat jamur hasilnya kurang meyakinkan.11 Ada beberapa penelitian yang menyatakan sedikit atau tidak adanya peningkatan PCT pada penderita dengan penyebaran sepsis akibat jamur. Hal ini bertentangan dengan infeksi bakteri dan parasit, peningkatan PCT yang ringan terlihat pada infeksi virus. Kadar serum PCT dapat digunakan sebagai tanda untuk membedakan antara sepsis virus dan sepsis bakteri.38 d. Procalcitonin dibandingkan dengan petanda inflamasi lainnya Pada beberapa penelitian menyatakan bahwa PCT lebih sensitif dan spesifik untuk diagnosis infeksi dibandingkan dengan CRP, IL-6, IL-8 pada berbagai situasi klinis.32,39 O’Connor dkk meneliti pasien yang sedang dirawat di unit perawatan intensif dengan lama perawatan lebih dari 24 jam dan dibagi dalam beberapa kelompok yaitu : tanpa infeksi (SIRS dan infeksi), SIRS dan tanpa 15 infeksi, sepsis, sepsis berat dan syok sepsis. Pada cut-off point 1,0 ng/mL, kadar PCT meningkat secara bermakna pada pasien dengan sepsis, sepsis berat dan syok sepsis dibandingkan dengan pasien tanpa SIRS atau infeksi. Procalcitonin merupakan variabel uji laboratorium yang paling tepat untuk diagnosis infeksi dengan sensitifitas 89 %, spesifisitas 94 %, NPN 90 %, dan NPP 94 %.39 Pemeriksaan Serum Procalcitonin Procalcitonin diukur pada serum dengan menggunakan pemeriksaan imunoluminometrik. Pemeriksaan menggunakan dua antibodi monoklonal antigen spesifik, satu diarahkan ke calcitonin (menggunakan label luminescence) dan lainnya ke katacalcin (gambar 5). Batas untuk mengetahui pemeriksaan adalah 0,1 ng/mL dan koefisien variasinya 5 sampai 10 % dengan rentang 1 sampai 1000 ng/mL. Pemeriksaan juga tidak dipengaruhi antibiotika, sedatif, dan agen vasoaktif yang secara umum digunakan di dalam unit perawatan intensif 18. Gambar 5. Skema Pemeriksaan PCT dengan Imunoluminometric Assay (Sumber : Leclerc, 2002) Kegunaaan pengukuran serum PCT sebagai petanda infeksi adalah sebagai berikut:35 16 1. Procalcitonin dapat membedakan antara infeksi dan non infeksi pada SIRS 2. Procalcitonin dapat membedakan antara sepsis bakteri dan virus 3. Cut off point procalcitonin memberikan sensitifitas dan spesifisitas optimum untuk mendiagnosis beragam infeksi dengan keadaan yang berbeda 4. Pengaruh antibiotika, vasoaktif dan obat-obatan terhadap procalcitonin sangat rendah Ten Chin dkk (2006) mengemukakan bahwa kadar PCT bayi lebih tinggi pada ibu dengan korioamnionitis dibandingkan dengan kontrol. Perbedaan kadar PCT terjadi pada masing-masing kelompok (tabel 1), yakni pada bayi kurang dari 1 jam (1,68±3,13 vs 0,26±0,34; p< 0,002), bayi usia 24 jam (19,68±18,84 vs 2,13±1,85; p<0,000) dan pada bayi usia 48 jam (5,6±5,99vs0,74±0,69; p<0,000). Peningkatan serum PCT janin dari ibu dengan korioamnionitis terjadi melalui mekanisme endogen.40 Tabel 1. Data demografis dan kadar procalcitonin pada kelompok korioamnionitis dibandingkan kontrol ( Sumber : Ten Chin, 2007) UK(minggu) BBL (g) 1 min Apgar 5 min Apgar Kadar (ng/mL) 0 hr PCT Korioamnionitis 30.1±2.9 1600.0±810.0 6.1±2.1 8.0±1.8 Korioamnionitis (n=13) 1.68±3.13 Normal (n=58) 0.26±0.34 p value 0.002 24 hr PCT 19.68±18.84 2.13±1.85 <0.000 48 hr PCT 5.68±5.99 0.74±0.69 <0.000 Janota dkk (2001) mengemukakan bahwa terdapat peningkatan serum PCT yang signifikan pada bayi preterm berumur 72 jam dengan ibu korioamnionitis.41 17 Tabel 2. Karakteristik populasi penelitian pada dua kelompok :bayi baru lahir tanpa korioamnionitis (`No chorioamnionitis' group) dan bayi baru lahir dengan korioamnionitis (`Chorioamnionitis' group) ( Sumber : Janota, 2001) Pasien Kelompok No chorioamnionitis Chorioamnionitis Jumlah UK (minggu) BBL (gram) Apgar skor PCT (ng/mL) Antenatal steroid Antibiotik ibu Sepsis dalam 24 jam Sepsis dalam 1 minggu 37 29 (0,3) 1073 (40) 7,6 (0,1) 0,44 (0,06) 28 (76%) 23 (62%) 9 (24%) 29 29 (0,3) 1080 (49) 7,6 (0,2) 0,37 (0,04) 24 (83%) 16 (55%) 5 (17%) 8 28 (0,4) 1048 (61) 7,6 (0,2) 0,69 (0,24) 4 (50%) 7 (88%) 4 (50%) 12 (32%) 8 (28%) 4 (50%) Pada penelitian Janota (tabel 2) didapatkan delapan pasien dengan korioamnionitis diantara tiga puluh tujuh pasien (21,6%). Korioamnionitis pada kelompok pasien korioamnionitis dibuktikan dengan pemeriksaan histologis. Pemberian antibiotik dimulai lebih awal pada kelompok korioamnionitis (P<0,05). Insiden sepsis neonatal pada 72 jam pertama dan minggu pertama ditemukan lebih tinggi pada kelompok korioamnionitis, namun tidak berbeda bermakna secara statistik. Procalcitonin ditemukan meningkat setelah tiga hari jika dibandingkan dengan kadarnya pada satu jam pertama pada kedua kelompok (P <0,001).41 Torbe dan Czajka (2004) membandingkan antara CRP, PCT, dan IL-6 dalam cairan servikovagina untuk memprediksi persalinan preterm, dimana didapatkan peningkatan secara signifikan ketiga kadar marker tersebut. Procalcitonin merupakan parameter baru untuk mendiagnosis infeksi, dimana kejadian dan mekanismenya dalam kehamilan masih belum diketahui sampai saat ini. Torbe dkk menggunakan cut off point PCT ≥ 1,7 ng/mL dan didapatkan sensitifitas sebesar 52%, spesifisitas 70%, NPP 57% dan NPN 66% dalam memprediksi persalinan preterm.42 Greksova dkk (2009) mendapatkan kadar PCT yang tinggi pada persalinan pretem sebesar 27,41%, pada korioamnionitis yang dikonfirmasi dengan pemeriksaan histologi plasenta sebesar 16,12% dan PPROM sebesar 24,19%. 18 Penelitian Greksova mendapatkan kejadian infeksi perinatal pada bayi baru lahir sebanyak 61,29%, dimana kadar PCT yang tinggi dalam serum ibu dihubungkan dengan kejadian infeksi intrauterin dan persalinan preterm.43 Brianne dkk (2011) meneliti serum PCT sebagai petanda aktivitas monosit pada infeksi bakteri untuk mendiagnosis korioamnionitis dalam kehamilan dengan komplikasi PPROM. Penelitian Brianne menggunakan cut off point PCT sebesar > 0,01 ng/mL pada pasien dengan gejala klinis dan histopatologis plasenta korioamnionitis yang positif (klinis) dibandingkan dengan pasien tanpa gejala klinis tetapi postif histologi plasentanya (patologis). Hasil yang diperoleh adalah terdapat peningkatan kadar PCT pada 40% pasien dengan klinis atau patologis korioamnionitis. Rerata PCT lebih tinggi pada kelompok pasien dengan klinis dibandingkan dengan hanya diagnosis patologis. Kadar PCT tidak meningkat pada pasien dengan PPROM dibandingkan dengan ketuban utuh.44 Ginekol (2010) menyimpulkan bahwa PCT mempunyai nilai tertinggi dalam memprediksi gejala klinis infeksi intra amnion dan infeksi neonatus pada wanita hamil dengan PPROM.45 Amany M.E. dkk (2011) meneliti tentang peranan PCT, CRP dan IL-6 dalam memprediksi infeksi intrauterin subklinis pada wanita hamil dengan PPROM. Hasil penelitian menunjukkan terdapat peningkatan kadar PCT serum ibu pada kasus PPROM dibandingkan dengan kontrol (1,95 versus 0,39 ; P = 0.001), untuk mendukung hipotesis bahwa infeksi sebagai penyebab pecah ketuban. Kadar PCT dan CRP meningkat pada kasus PPROM, namun PCT lebih bernilai dan menjadi penanda yang lebih spesifik pada respon inflamasi. Peningkatan kadar serum PCT terjadi lebih awal daripada CRP, dari 2-3 jam pada PCT sedangkan CRP meningkat lebih dari batas normal dalam waktu 6 jam. Procalcitonin juga merupakan penanda yang spesifik untuk infeksi bakteri.46 Agnieszka dkk (2003) meneliti tentang kadar serum PCT pada darah tali pusat untuk mendiagnosis infeksi bakteri intrauterin, dengan cut off point PCT ≤ 1,2 ng/mL diperoleh nilai NPN sebesar 93%, NPP 42%, sensitifitas 69%, dan spesifisitas 81% sedangkan pada CRP ≤ 2,5 mg/L diperoleh nilai NPN sebesar 86%, NPP 20%, sensitifitas 22%, dan spesifisitas 97 % (tabel 3). Hal ini 19 menunjukkan bahwa kadar PCT pada darah tali pusat lebih sensitif dibandingkan dengan CRP dalam mendiagnosis infeksi bakteri intrauterin.47 Tabel 3. Sensitifitas, spesifisitas, nilai prediksi positif dan negatif (%) PCT, kadar serum CRP pada tali pusat dan WBC pada darah vena dalam memprediksi infeksi bakteri intrauterin ( jumlah sampel n =187) (Sumber : Agnieszka, 2003) PCT ≤ 0.8 ng/mL PCT ≤ 1.0 ng/mL PCT ≤ 1.2 ng/mL PCT ≤ 1.4 ng/mL PCT ≤ 1.8 ng/mL PCT ≤ 2.0 ng/mL PCT ≤ 2.6 ng/mL PCT ≤ 3.0 ng/mL PCT ≤ 5.0 ng/mL PCT ≤ 10.0 ng/mL PCT ≤ 80.0 ng/mL CRP ≤ 0.5 mg/L CRP ≤ 1.0 mg/L CRP ≤ 2.0 mg/L CRP ≤ 2.5 mg/L CRP ≤ 5.0 mg/L CRP ≤ 20.0 mg/L WBC ≤ 5 G/l WBC ≤ 12 G/l WBC ≤ 20 G/l WBC ≤ 25 G/l WBC ≤ 70 G/l Spesifisitas 53 68 81 86 92 92 95 96 98 99 100 66 88 94 97 99 100 0 42 87 95 1 Sensitifitas 81 72 69 44 38 25 16 3 3 3 3 50 28 22 22 16 9 88 63 16 6 0 NPP 26 32 42 40 50 40 42 14 25 33 100 19 19 19 20 19 18 15 18 2 2 0 NPN 93 92 93 88 88 86 85 83 83 83 83 86 86 85 86 85 84 0 85 83 83 83 Optimum cut-off point diagnostik dari kurva ROC ditunjukkan dengan huruf tebal. CRP = C-reactive protein; PCT = procalcitonin; WBC = white blood cell ; NPN = nilai prediksi negatif; NPP = nilai prediksi positif ; ROC = receiver operating characteristic. Sebanyak 48 pasien dengan PPROM dan 30 pasien dengan PROM menjadi sampel dalam penelitian Torbe (2004) dan didapatkan bukti bahwa konsentrasi PCT cairan vagina pada pasien PPROM lebih tinggi dibandingkan dengan pasien PROM aterm ( 1,5 vs 0,83 ng/mL ; P<0,001). 48 20 Torbe (2007) membandingkan konsentrasi PCT plasma ibu PPROM dan PROM dengan kehamilan normal, didapatkan bahwa terdapat peningkatan kadar PCT pada PPROM maupun PROM dibandingkan dengan kehamilan normal (tabel 4).49 Tabel 4 : Perbandingan konsentrasi procalcitonin plasma ibu antara beberapa kelompok (Sumber : Torbe, 2007) Kelompok Kelompok 1: PPROM Kelompok 2: PROM Kelompok 3: healthy-preterm gestation Kelompok 4: healthy at term n 48 30 31 33 Perbandingan antar kelompok: *1 dan 2: tidak signifikan †1 dan 3: P =0,002 ‡2 dan 4: P =0,045 Δ3dan 4:tidak signifikan 21 PCT (ng/mL): median 1.97∗ † 1.60∗ ‡ 1.06†Δ 0.71‡Δ BAB 4 RINGKASAN Persalinan preterm yang menjadi kelahiran preterm merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas perinatal di dunia. Komplikasi persalinan preterm terhadap janin dapat melibatkan berbagai sistem organ tubuh, hematologi, endokrin, dan sistem saraf pusat. Dimana komplikasi yang ditimbulkan tentunya akan mengakibatkan dampak merugikan dari segi ekonomi, sosial, dan terutama kualitas hidup janin yang dapat bertahan hidup.1 Penyebab pasti persalinan preterm tidak diketahui, namun infeksi intrauterin dianggap sebagai penyebab terbanyak terjadinya persalinan preterm. Diagnosa infeksi intrauterin pada neonatus sulit ditegakkan oleh karena tandatanda klinis yang muncul tidak spesifik, selain itu pemeriksaan laboratorium rutin memiliki sensitifitas yang rendah.2 Procalcitonin (PCT) merupakan prohormon calcitonin yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid dan terdiri dari 116 asam amino dengan berat molekul 13kDa protein. PCT tidak selalu dapat dideteksi pada serum orang sehat, namun konsentrasi serum akan meningkat saat terjadi infeksi bakteri, oleh karena itu PCT digunakan sebagai alat diagnostik infeksi bakteri. Konsentrasi serum PCT akan meningkat secara cepat dalam 2-6 jam sebagai respon tubuh terhadap stimulasi endotoksin. Serum PCT memiliki waktu paruh 25-30 jam.32 Dari karakteristik seperti yang tersebut diatas, konsentrasi serum PCT dapat digunakan sebagai penanda sepsis bakterial perinatal. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa PCT dapat digunakan sebagai penanda infeksi intrauterin dan terjadinya persalinan preterm. Penggunaan PCT dalam praktek klinis modern terus meningkat, namun hanya sedikit data tentang PCT dalam kehamilan dan atau komplikasi kehamilan dan masa tumbuh kembang, oleh karena itu diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai peranan PCT dalam diagnostik infeksi intrauterin dan terjadinya persalinan preterm. 22 DAFTAR PUSTAKA 1. Romero. R. et al. 2008. Epidemiology and causes of preterm birth. Lancet ; 371 : 75-84. 2. Goldenberg. R. et al. 2000. Intrauterine infection and preterm delivery. The New England Journal of Med ; 342 : 1500-1507. 3. WHO Bulletin. 2009. The worldwide incidence of preterm birth: a systematic review of maternal mortality and morbidity ; 88: 31-38. 4. John. G. 2009. Gestasional age. Medlineplus medical encyclopedia ; 121: 322326. 5. Greer. I. Norman. J. 2005. Preterm labor, managing risk in clinical practice, Cambridge university press : 1-26. 6. Himpunan Kedokteran FetoMaternal POGI. 2005. Manajemen persalinan preterm. 7. Masset. 2003. Public perceptions about prematurity: a national survey. Am J Prev Med ; 24: 120-127. 8. Whang. K. et al. 1998. Serum Calcitonin precursors in sepsis and systemic inflammation. J Clin Endocrinol Metab ; 83 : 3296-3301. 9. Meisner. M. 2002. Pathobiochemistry and clinical use of procalcitonin. Clin Chim Acta ; 323 : 17-29 10. Muller. B. et al. 2000. Calcitonin precursors are reliable markers of sepsis in a medical intensive care units. Crit Care Med ; 28 : 977-983. 11. Assicot. M. et al. 1993. High serum procalcitonin consentrations in patient with sepsis and infections. Lancet ; 342 : 515-518. 12. Dandona. P. et al. 1994. Procalcitonin increase after endotoxin injection in normal subjects. J Clin Endocrinol Metab ; 79 : 1605-1608. 13. Ross. M. G. 2009. Preterm labor. Available from: www.emedicine.com. Accesed on: July 6th, 2011. 14. Cunningham. et al. 2005. Preterm delivery in Williams Obstetric, 22nd ed, The McGraw Hill Comp, New York : 763-808. 15. Hamilton. 2005. Births : preliminary data for 2005. Health E-stats : 10-14. 23 16. Udiarta & Suwardewa. 2004. Profil persalinan preterm di RS Sanglah periode Januari 2001 sampai Desember 2003. Lab/SMF Obstetri Ginekologi RS Sanglah Denpasar. 17. Romero. R. et al. 2006. The preterm parturition syndrome. Br J Obstet Gynaecol ; 113 : 17-42. 18. Goldenberg, Culhane. 2005. Prepregnancy health status and the risk of preterm delivery. Arch Pediatr Adolesc Med ; 159 : 89-90. 19. Smith. et al. 2007. Sosioeconomic inequalities in very preterm birth rates. Arch Dis Child Fetal Neonatal ; 92 : 11-14. 20. Thompson. et al. 2006. Secular trends in sosioeconomic status and the implications for preterm birth. Paediatr perinat epidemiology ; 20 : 182-187. 21. Hendler. et al. 2005. The preterm prediction study : association between bodi mass index and spontaneous preterm birth ; 192 : 882-886. 22. Jalava. J. et al. 1996. Bacterial 16S rDNA polymerase chain reaction in the detection of intra amiotic infection. Br J Obstet Gynaecol ; 103 : 664-669. 23. Gomez. 1997. The role of infection in preterm labor and delivery. Churchill Livingstone : 85-125. 24. Carroll. et al. 1996. Lower genital tract swabs in the prediction of intrauterine infection in PPROM. Br J Obstet Gynaecol ; 103 : 54-59. 25. Yoon. et al. 1999. A systemic fetal inflammatory response and the development of bronchopulmonary dysplasia. Am J Obstet Gynaecol ; 181: 773- 779. 26. Guzick, Winn. 1985. The association of chorioamnionitis with preterm delivery. Obstet Gynaecol ; 65 : 11-16. 27. Elimian. A. et al. 1998. Amniotic fluid complement C3 as a marker of intra amniotic infection. Obstet Gynaecol ; 92 : 72-76. 28. Hiller. et al. 1994. The role of bacterial vaginosis and vaginal bacteria in amniotic fluid infection in preterm labor with intact fetal membranes. Clin Infec Dis ; 20 : 276-278. 29. Lockwood. et al. 1991. Fetal fibronectin in cervical and vaginal secretions as a predictor of preterm delivery. N Engl J Med ; 325 : 669-674. 24 30. Thorsen. et al. 2001. Identification of biological/biochemical markers of infection for preterm delivery. Paediatric and perinatology epidemiology ; 15 : 90-103. 31. Goldenberg. et al. 2005. Biochemical markers for the prediction of preterm birth. Am Journal Obstet Gynecol ; 192 : 36-46. 32. Becker. K. L. et al . 2004. Procalcitonin and the calcitonin gene family of peptides in inflammation, infection and sepsis. Journal of clinical endocrinology and metabolism ; 89 : 1512-1525. 33. Chan. Y. L. et al.2004. Procalcitonin as a marker of bacterial infection in the emergency departement ; 8(1) : 12-20 34. Assuma. M. et al.2000. Serum procalcitonin concentration in term delivering mothers and their healthy offspring ; 46 : 1583-1587. 35. Buchori, Prihartini. 2006. Sepsis diagnosis by procalcitonin. Indonesian journal of clinical pathology and medical laboratory ; 12(3) : 131-137. 36. Bohuon. C. et al. 2002. Biochemistry of the calcitonin gene : Discovery of procalcitonin as a remarkable marker of bacterial diseases : 2-3. 37. Hatherill. M. et al. 1999. Diagnostic markers of infection: comparison of procalcitonin with C reactive protein and leucocyte count. Arch Dis Child ; 81 ; 417-421. 38. Delevaux. I. et al. 2003. Can calcitonin measurement help in differentiating between bacterial infection and other kinds of inflammatory processes? Ann Rheuma Dis ; 62:337-340. 39. O’Connor. E.O. et al. 2001. Procalcitonin in critical illness. Critical care resucitation ; 3 : 236-243. 40. Ten-Chin. S.et al. 2007. Procalcitonin levels of infants admitted to the neonatal intensive care unit during the first 48 hours of life. Clinical neonatology; 14 : 28-32. 41. Janota. J. et al. 2001. Postnatal increase of procalcitonin in premature newborns is enhanced by chorioamnionitis and neonatal sepsis. Eur J Clin Invest ; 31 : 978983. 25 42. Torbe. A. Czajka. R. Proinflammatory cytokines and other indications of inflammation in cervico-vaginal secretions and preterm delivery. International Journal of Gynecology and Obstetric ; 87: 125–130. 43. Greksova. et al. 2009. Procalcitonin, neopterin and C-reactive protein in diagnostics of intrauterine infection and preterm delivery. Bratisl lek listy, 110 (10): 623-626. 44. Brianne. B. G. et al. 2011. Procalcitonin for assesment of chorioamnionitis in preterm premature rupture of membrane. American Journal of Obstetric and Gynaecologic ; 187 : 466-470. 45. Ginekol. 2010. Usefulness of PCT, IL-6, CRP measurement in the prediction of intra amniotic infection and newborn status in pregnant women with premature rupture of membrane. Clinical perinatology ; 81 : 336-341. 46. Amany M. E. 2011. Role of Maternal Serum Procalcitonin, Interleukin-6 and hs-C Reactive Protein in Prediciton of Subclinical (Intrauterine) Infection in Preterm Premature Rupture of Membranes. The Egyptian Journal of Hospital Medicine ; 42 : 12 – 20. 47. Agnieszka. et al. 2003. Umbilical cord blood serum procalcitonin in the diagnosis of early neonatal infection. Journal of perinatology ; 23 : 148-153. 48. Torbe. et al. 2004. Are vaginal fluid procalcitonin levels useful for the prediction of subclinical infection in patients with preterm premature rupture of the membranes? Journal Obstet gynecol res ; 31 : 464-470. 49. Torbe. et al. 2007. Maternal plasma procalcitonin concentrations in pregnancy complicated by preterm premature rupture of membranes. Hindawi publishing corporation of inflammation ;10 : 1-5. 26