peranan procalcitonin dalam diagnostik infeksi intrauterin

advertisement
PERANAN PROCALCITONIN DALAM DIAGNOSTIK
INFEKSI INTRAUTERIN
dr. Tjokorda Gde Agung Suwardewa, SpOG (K)
BAGIAN/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FK UNUD/RS SANGLAH
2011
i
DAFTAR ISI
Daftar Isi ........................................................................................................
i
Daftar Singkatan ............................................................................................
ii
Daftar Gambar ...............................................................................................
iii
Daftar Tabel ..................................................................................................
iv
BAB 1. PENDAHULUAN ........................................................................
1
BAB 2. PERSALINAN PRETERM . .........................................................
4
2.1
Persalinan preterm .....................................................................
4
2.2
Etiologi dan faktor risiko persalinan preterm ............................
5
2.3
Infeksi dan inflamasi .................................................................
6
2.4
Marker infeksi ............................................................................
8
BAB 3. PROCALCITONIN ........................................................................
11
BAB 4. RINGKASAN...................................................................................
22
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
23
ii
DAFTAR SINGKATAN
ADM
: Adrenomedullin
AP-1
: Activator Protein-1
AVP
: Arginine Vasopressin
BBL
: Berat Badan Lahir
CRP
: C-Reactive Protein
GCS
: Granulocyte Colony Stimulating Factor
HMG-1
: High Mobility Group-1
IFN-γ
: Interferon-γ
IL
: Interleukin
IVH
: Intraventricular Hemorrhage
LTs
: Leukotrienes
MIF
: Monocyte Migration Inhibitory Factor
NF-κB
: Nuclear Factor-κB
NO
: Nitric Oxide
NPN
: Nilai Prediksi Negatif
NPP
: Nilai Prediksi Positif
PAF
: Platelet Activating Factor
PAMPS
: Pathogen Associated Molecular Patterns
PCT
: Procalcitonin
PGs
: Prostaglandins
PPROM
: Preterm Premature Rupture of the Membrane
PROM
: Premature Rupture of Membrane
PTX
: Pertussis Toxin
RANTES
: Regulation on Activation Normal T-Expressed and Secreted
iii
RDS
: Respiratory Distress Syndrome
ROI
: Reactive Oxygen Intermediates
SIRS
: Systemic Inflamatory Response Syndrome
TBs
: Tromboxanes
TNF-α
: Tumor Necrosis Factor-α
UK
: Umur Kehamilan
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Lokasi Potensial Infeksi Bakteri .................................................. .
7
Gambar 2. Mekanisme potensial persalinan preterm akibat kolonisasi bakteri
koriodesidual ............................................................................... .
8
Gambar 3. Struktur dan pemecahan procalcitonin ........................................ .
12
Gambar 4. Skema kejadian dan faktor humoral dalam respon inflamasi ........
14
Gambar 5. Skema pemeriksaan procalcitonin dengan imunoluminometrik
assai ........................................................................................ .... .
v
16
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Data demografis dan kadar procalcitonin pada kelompok korioamnionitis
dibandingkan kontrol ....................................................................
17
Tabel 2. Karakteristik populasi penelitian pada dua kelompok: bayi baru lahir
tanpa korioamnionitis (‘ No chorioamnionitis’ group) dan bayi baru
lahir dengan korioamnionitis (‘ Chorioamnionitis’ group) .........
18
Tabel 3. Sensitifitas, spesifisitas, nilai prediksi positif dan negatif(%) PCT, kadar
serum CRP pada tali pusat dan WBC pada darah vena dalam
memprediksi infeksi bakteri intrauterin (jumlah sampel n=187) ..
20
Tabel 4. Perbandingan konsentrasi procalcitonin plasma ibu antara beberapa
kelompok .....................................................................................
vi
21
BAB 1
PENDAHULUAN
Persalinan preterm merupakan salah satu masalah penting di bidang obstetri
dan perinatologi. Sebanyak 80 % kematian perinatal dan 50 % kelainan neurologis
jangka panjang berhubungan dengan persalinan preterm. Dua pertiga persalinan
preterm terjadi secara spontan sedangkan sisanya terjadi karena persalinan elektif
akibat indikasi medis dan obstetri. Penyebab pasti terjadinya persalinan preterm
tidak diketahui, namun infeksi intrauterin dianggap sebagai penyebab terbanyak
terjadinya
persalinan
preterm
spontan.
Diagnosis
infeksi
intrauterin
(korioamnionitis) sangat sulit diketahui oleh karena tidak adanya gejala-gejala
klinis infeksi. Pencegahan dan prediksi persalinan preterm merupakan kesempatan
besar dibidang obstetri. Seorang wanita yang telah diketahui berisiko tinggi terjadi
persalinan preterm menjadi sasaran untuk dilakukan tindakan pencegahan dan
pemeriksaan antenatal yang lebih intensif.1,2
Persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi antara usia kehamilan 20
minggu sampai kurang dari 37 minggu atau 259 hari gestasi, dihitung dari haid
pertama hari terakhir.3 Bayi preterm terutama yang lahir dengan usia kehamilan <
32 minggu, mempunyai risiko kematian 70 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
bayi yang lahir cukup bulan karena imaturitas sistem organ tubuhnya. Komplikasi
yang sering terjadi adalah Respiratory Distress Syndrome (RDS), Intraventricular
Hemorrhage
(IVH),
displasia bronkopulmoner, sepsis
dan
enterokolitis
nekrotikans. Tujuh puluh lima persen kematian perinatal disebabkan oleh
prematuritas.4
Masalah lain yang dapat timbul adalah masalah perkembangan neurologis
seperti serebral palsi, gangguan intelektual, retardasi mental, gangguan sensoris,
kelainan perilaku, dan gangguan konsentrasi. Hal ini dapat mengakibatkan
rendahnya kualitas sumber daya manusia di masa yang akan datang. Selain itu,
perawatan bayi preterm juga membutuhkan teknologi kedokteran canggih dan
mahal.5
1
Pada tahun 2005, sebanyak 12,5 juta kelahiran atau 9,6% dari semua
kelahiran di seluruh dunia adalah kelahiran preterm. Kejadian tertinggi kelahiran
preterm berada di Afrika dan Amerika Utara (11,9% dan 10,6% dari semua
kelahiran), dan terendah berada di Eropa (6,2%).3 Di Indonesia diperkirakan
persalinan preterm terjadi 10% dari sekitar 4 juta kelahiran, dan angka kematian
neonatal sebanyak 20% dari seluruh persalinan preterm.6
Para ahli terus mengembangkan pengetahuan tentang etiologi, pencegahan,
penanganan persalinan dan kelahiran preterm dengan tujuan meningkatkan
outcome bayi preterm. Idealnya, ibu hamil memerlukan skrining yang menjadi
bagian dari pelayanan antenatal untuk mengidentifikasi risiko dan mencegah
terjadinya kelahiran preterm. Telah banyak tes diagnostik yang digunakan untuk
memprediksi kelahiran preterm sebelumnya, namun belum ada yang memiliki
sensitivitas dan spesifitas yang baik untuk digunakan klinisi dalam praktek seharihari.7
Pada abad ke-20, procalcitonin (PCT) berkembang menjadi sebuah parameter
baru. Procalcitonin mampu menjadi penanda respon inflamasi berat yang penting,
sensitif dan spesifik meskipun cara kerja dan peran fisiologisnya masih belum
dapat digambarkan dengan jelas. Akhir-akhir ini, PCT dipercaya sebagai penanda
yang lebih spesifik dalam menentukan keparahan sepsis dibandingkan dengan
interleukin-6 (IL-6) dan C-reactive protein (CRP).8 Beberapa penelitian juga
menunjukkan bahwa PCT dapat digunakan sebagai penanda spesifik pada infeksi
bakteri dan prediktor yang baik dalam menentukan derajat keparahan penyakit.9
Procalcitonin adalah suatu peptida asam amino-116 dan prekursor dari
calcitonine. Peningkatan kadar serum PCT terjadi pada pasien dengan infeksi
bakteri yang berat.10,11 Produksi PCT dirangsang oleh endotoksin dan sitokin
proinflamasi seperti tumor necrosis factor-α (TNF- α), interleukin-1 (IL-1),
interleukin-2 (IL-2) dan interleukin-6 (IL-6). Procalcitonin akan dikeluarkan
secara konsisten kedalam sirkulasi, 2-4 jam setelah penyuntikan endotoksin dan
akan meningkat secara bertahap dalam 24 jam.12
Sari pustaka ini akan membahas mengenai peranan procalcitonin dalam
diagnostik infeksi intrauterin dan persalinan preterm. Penggunaan procalcitonin
pada praktek klinik sebagai penanda infeksi berkembang pesat akhir- akhir ini,
2
namun penelitian tentang procalcitonin dalam kehamilan dan atau komplikasinya
masih sangat terbatas. Dari alasan tersebut diatas, penulis mengangkat
procalcitonin sebagai sebuah saripustaka, yang mana nantinya bisa dikembangkan
lebih lanjut menjadi sebuah penelitian dalam diagnostik infeksi intrauterin dan
persalinan preterm.
3
BAB 2
PERSALINAN PRETERM
2.1 Persalinan Preterm
Persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi antara usia kehamilan 20
minggu sampai kurang dari 37 minggu atau 259 hari gestasi, dihitung dari haid
pertama hari terakhir.3
Creasy dan Herron (2009) mendefinisikan persalinan preterm sebagai
persalinan pada usia gestasi 20 – 36 minggu, dengan kontraksi uterus empat kali
setiap 20 menit atau delapan kali setiap 60 menit selama enam hari, dan diikuti
oleh satu dari beberapa hal berikut: ketuban pecah dini (premature rupture of
membrane/ PROM), dilatasi serviks ≥ 2 cm, penipisan serviks > 50%, atau
perubahan dalam hal dilatasi dan penipisan serviks pada pemeriksaan secara
serial. Definisi persalinan preterm lainnya yaitu munculnya kontraksi uterus
dengan intensitas dan frekuensi yang cukup untuk menyebabkan penipisan dan
dilatasi serviks sebelum memasuki usia gestasi yang matang, antara 20 sampai 37
minggu.13
Indikator yang sering dipakai untuk menyatakan terjadinya persalinan adalah
kontraksi uterus dengan frekuensi paling sedikit 4 kali setiap 20 menit dengan
lama setiap kontraksi 30 detik atau lebih, disertai perubahan serviks yang
progresif, dilatasi serviks > 1 cm dan penipisian ≥ 80 %.14
Insiden persalinan preterm berbeda-beda pada berbagai negara tergantung
populasi. Insiden persalinan preterm di Amerika Serikat berkisar antara 12-13%,
Afrika 11,9%, Asia 9,1%, Australia 6,4% dan Eropa 6,2%. Pengetahuan tentang
faktor risiko dan mekanisme persalinan preterm terus dipelajari, namun angka
kejadian persalinan preterm cenderung meningkat, di Amerika Serikat dari 9,5%
pada tahun 1981 menjadi 12,7% pada tahun 2005.15 Insiden persalinan preterm di
beberapa rumah sakit pemerintah di Indonesia beberapa tahun terakhir bervariasi
antara 3-9%, di RS Hasan Sadikin Bandung pada tahun 1998-2000 sebesar 8,2%,
di RS Sanglah Denpasar tahun 2001-2003, persalinan preterm sebesar 8,3% dari
seluruh persalinan.16
4
2.2 Etiologi dan faktor risiko persalinan preterm
Persalinan preterm terjadi oleh karena berbagai mekanisme, termasuk infeksi,
inflamasi, iskemi atau perdarahan uteroplasenta, peregangan uterus yang
berlebihan, stres, dan berbagai macam proses imunologi.17 Berbagai penelitian
telah dilakukan untuk mencari faktor-faktor risiko persalinan preterm, namun
adanya faktor risiko tersebut tidak selalu menyebabkan terjadinya persalinan
preterm, bahkan sebagian persalinan preterm yang terjadi spontan tidak
mempunyai faktor risiko yang jelas.18
Beberapa faktor risiko yang diketahui meningkatkan kejadian persalinan
preterm yaitu :19,20,21
1. Faktor psiko-sosio demografik
a. Sosial, ekonomi dan pendidikan rendah
b. Status perkawinan
c. Usia ibu (< 16 tahun atau > 35 tahun)
d. Ras dan etnis
e. Status gizi
f. Perilaku ibu
g. Stres
2. Faktor ibu
a. Riwayat kehamilan sebelumnya (persalinan preterm, abortus, interval
kehamilan)
b. Inkompetensi serviks
c. Kelainan uterus
d. Kelainan medis pada ibu (hipertensi, diabetes mellitus, penyakit
jantung dan hipertiroid)
e. Peregangan
uterus
yang
berlebihan
(kehamilan
polihidramnion)
f. Perdarahan pervaginam ( plasenta previa atau solusio plasenta)
3. Faktor infeksi
a. Infeksi intrauterin :
1) Ascenden dari vagina dan servik
5
kembar,
2) Hematogen melewati plasenta
3) Iatrogenic akibat prosedur invasif
4) Penyebaran melalui saluran telur
b. Infeksi Ekstra uterin
1) Pielonefritis
2) Bakteriuria asimptomatis
3) Pneumonia
4) Periodontitis
5) Infeksi virus (varicella,malaria)
c. Infeksi Genital
1) Bakterial vaginosis
2) Chlamydia trachomatis
4. Faktor genetik dan biologi
2.3 Infeksi dan Inflamasi
Infeksi intrauterin merupakan penyebab tersering dan terbanyak terjadinya
kelahiran preterm. Mekanisme terjadinya persalinan preterm oleh karena infeksi
intrauterin dihubungkan dengan sistem imun. Mikroorganisme akan dikenali oleh
reseptor ( misalnya toll-like receptors) yang akan menghasilkan sitokin dan
kemokin inflamasi seperti interleukin-8 (IL-8), interleukin-1ß (IL-1ß) dan tumor
necrosis factor (TNF)-α. Endotoksin mikrobial dan sitokin proinflamasi akan
merangsang produksi prostaglandin, mediator-mediator inflamasi lainnya dan
enzim degradasi matriks. Prostaglandin akan merangsang kontraksi uterus,
dimana degradasi matriks ekstraseluler membran janin menimbulkan preterm
premature rupture of the membrane (PPROM).2,17
Sebanyak dua puluh lima sampai empat puluh persen kelahiran preterm
disebabkan karena infeksi intrauterin, namun angka ini merupakan perkiraan
minimal karena kesulitan untuk mendeteksi infeksi intrauterin dengan teknik
kultur konvensional.2 Beberapa peneliti memerlukan pemeriksaan tambahan untuk
mendeteksi mikroba pada ruang amnion yaitu dengan menggunakan teknik
mikrobiologi molekuler.22
6
Infeksi intrauterin dapat terjadi di desidua, meluas sampai ruang antara korionamnion, dan mencapai ruang amnion dan janin. Mikroorganisme dapat mencapai
ruang amnion dengan beberapa jalur yaitu : 2, 23
a. Ascenden dari vagina dan servik
b. Hematogen melalui plasenta
c. Iatrogenik
d. Penyebaran retrogade melalui tuba falopii
Gambar 1. Lokasi Potensial Infeksi bakteri
( Sumber : Goldenberg, 2000)
Mekanisme infeksi intrauterin yang paling umum adalah melalui jalur
ascenden. Infeksi janin merupakan infeksi intrauterin ascenden yang paling serius
dan tingkat lanjut. Caroll dkk melaporkan bahwa bakteremia terjadi pada 33%
janin dengan kultur cairan amnion positif dibandingkan dengan kultur negatif
sebanyak 4 %.24 Pada penelitian lain menyebutkan spesies Mycoplasma genital
ditemukan sebanyak 23 % dari kultur tali pusat bayi dengan umur kehamilan
7
kurang dari 32 minggu. Invasi mikroba pada ruang amnion biasanya dihubungkan
dengan inflamasi intra-amnion dan respon inflamasi janin. Inflamasi janin
dihubungkan dengan onset persalinan preterm, cedera janin, dan kecacatan jangka
panjang termasuk leukomalasia periventrikuler, serebral palsi, dan penyakit paru
kronis.25
Gambar 2. Mekanisme Potensial Persalinan Preterm akibat Kolonisasi
Bakteri Koriodesidual ( Sumber : Goldenberg, 2000)
2.4 Marker infeksi
Infeksi intrauterin seringkali bersifat kronis dan biasanya tanpa gejala sampai
mulai terjadi persalinan atau pecah selaput ketuban. Selama proses persalinan,
sebagian besar wanita yang kemudian terbukti mengalami korioamnionitis
(berdasarkan bukti histologis atau kultur) tetap tidak menunjukkan gejala selain
kontraksi preterm, tidak ada demam, nyeri perut atau leukositosis pada darah tepi
dan biasanya tidak didapatkan takikardia janin.26 Infeksi intrauterin sering tidak
bergejala maka untuk mengidentifikasinya merupakan tantangan yang besar.
8
Lokasi yang terbaik untuk diperiksa adalah cairan amnion, yang selain
mengandung bakteri, cairan amnion ibu hamil dengan infeksi intrauterin
mengandung kadar glukosa yang rendah, leukositosis dan peningkatan konsentrasi
komplemen C3 dan sejumlah sitokin lain dibandingkan dengan cairan amnion ibu
hamil
yang tidak terinfeksi. Prosedur tersebut membutuhkan tindakan
amniosentesis, dan hingga saat ini belum jelas peran amniosintesis dalam
meningkatkan luaran kehamilan, terrmasuk pada wanita dengan kontraksi
preterm. Saat ini, tidak dianjurkan untuk melakukan amniosintesis rutin untuk
memeriksa infeksi intrauterin pada ibu hamil diluar persalinan.27
Pemeriksaan sekret vagina yang positif menunjukkan bakterial vaginosis baik
dengan pewarnaan gram maupun dengan menggunakan kriteria Amsel (sekret
vagina homogen, clue cell, bau amis bila cairan vagina ditetesi dengan KOH dan
pH > 4,5) berhubungan dengan infeksi intrauterin dan dapat menjadi prediktor
persalinan preterm.28
Hasil fibronektin (suatu protein yang dihasilkan selaput korioamnion) yang
positif dari sekret servikovagina ibu hamil yang mengalami kontraksi preterm atau
tanpa gejala, tidak saja merupakan prediktor persalinan preterm spontan, juga
sangat berhubungan dengan kemungkinan timbulnya dan sepsis neonatorum.
Infeksi intrauterin merusak membran basalis koriodesidual ekstraseluler yang
menyebabkan bocornya protein tersebut ke serviks dan vagina.29
Ibu hamil yang menunjukkan gejala kontraksi preterm disertai konsentrasi
sejumlah sitokin yang tinggi pada sekret servikovagina, termasuk TNF-α, IL-1,
IL-6, IL-6, dan IL-8, berhubungan dengan persalinan preterm dini. Konsentrasi
IL-6 serviks yang tinggi dapat memprediksi persalinan preterm dan menambah
nilai prediktif fibronektin.29
Pemendekkan serviks yang dapat dideteksi dengan ultrasonografi, berkorelasi
dengan beberapa marker infeksi dan korioamnionitis. Adanya pemendekkan
serviks dapat mempermudah infeksi ascendens bakteri ke uterus, namun pada
beberapa wanita pemendekkan serviks dapat merupakan respons adanya infeksi
traktus genitalia atas yang telah terjadi sebelumnya.28
Wanita dengan gejala persalinan preterm memiliki konsentrasi IL-6, IL-8 dan
TNF-α serum yang tinggi. Granulocyte colony stimulating factor (GCSF) adalah
9
satu-satunya sitokin yang kadarnya di sirkulasi meningkat sebelum onset
kontraksi preterm, sehingga dapat digunakan sebagai skrinning rutin pada wanita
hamil tanpa gejala.30
Marker infeksi non sitokin diantaranya adalah kadar C-reactive protein (CRP)
dan feritin serum yang tinggi. Konsentrasi feritin serum yang rendah
menunjukkan kadar besi yang besi rendah, tetapi konsentrasi feritin serum yang
tinggi tampaknya merupakan fase akut dan dapat memprediksi persalinan preterm.
Konsentrasi feritin serum biasanya meningkat dua kali lipat dalam satu minggu
setelah pecah ketuban, hal ini kemungkinan menunjukkan adanya infeksi
intrauterin yang progresif. Konsentrasi feritin serviks yang tinggi juga dapat
memprediksi terjadinya persalinan preterm spontan.30
Cairan biologis ( misalnya : cairan amnion, urine, mukus serviks, sekret
vagina, serum atau plasma dan saliva) dapat digunakan sebagai biomarker dalam
memprediksi terjadinya persalinan preterm. Sitokin, kemokin, estriol dan bahanbahan lain yang berhubungan dengan inflamasi dihubungkan dengan terjadinya
persalinan preterm.31 Penelitian tentang biomarker terus dikembangkan untuk
memahami mekanisme yang mengawali terjadinya persalinan preterm spontan,
hal ini dilakukan untuk mengurangi mortalitas dan morbiditas yang timbul akibat
terjadinya kelahiran preterm.1
10
BAB 3
PROCALCITONIN
3.1 Procalcitonin
Procalcitonin (PCT) pertama kali dikenali dari sel karsinoma medula tiroid.
Procalcitonin adalah protein yang terdiri dari 116 asam amino dengan berat
molekul 13kDa, yang disandi oleh gen Calc-I yang terletak pada kromosom 11
dan diproduksi pada sel C kelenjar tiroid sebagai prohormon dari calcitonin.
Secara normal, semua PCT dipecah di dalam tiroid menjadi calcitonin.32
Gen Calc-I menghasilkan dua transkripsi yang berbeda oleh tissue spesific
alternative splicing. Transkripsi pertama yaitu turunan ekson 1 sampai dengan 4
dari keseluruhan 6 ekson, disandi untuk pre PCT, merupakan 141 asam amino
peptida yang mempunyai 25 asam amino hydroprobic signal peptide. Pada sel-sel
C tiroid ini secara proteolitik diproses guna menghasilkan fragmen N terminal
yaitu aminoprocalcitonin (57 asam amino), calcitonin (32 asam amino) yang
terletak dipusat peptida dan calcitonin carboxyterminal peptide-1 (CC-1) atau
katacalcin (21 asam amino) di ujung terminal karboksil (gambar 2). Jalur ini
secara kuat aktif dan dihasilkan hanya dalam getah calcitonin. Munculnya isyarat
peptida memungkinkan PCT tersekresi secara utuh, sesudah glikosilasi oleh sel
lainnya. Hal ini meningkatkan bukti bahwa PCT dan calcitonin sangat berbeda
fungsi. 32
Transkrip kedua adalah yang dihubungkan ke isi ekson 1,2,3,5,6 dan
menyandi gen calcitonin yang berhubungan dengan peptida, yang secara luas
diekspresikan dalam saraf di otak, pembuluh darah, dan usus. Hal ini bisa
berperan dalam imunomodulasi, neurotransmisi dan kendali vaskularis.11,32
11
Gambar 3. Struktur dan Pemecahan PCT (Sumber: Assicot M, 1993)
Waktu paruh PCT adalah 20-24 jam. Pada kondisi sehat, serum PCT tidak
terdeteksi namun akan meningkat dalam keadaan infeksi. Pada keadaan infeksi,
PCT berasal dari ekstra tiroidal. Sejak tahun 1990an, PCT menjadi alat diagnostik
untuk mengidentifikasi adanya infeksi bakteri sistemik. Pada keadaan fisiologis,
kadar PCT rendah bahkan tidak terdeteksi (dalam ng/mL), tetapi akan meningkat
bila terjadi bakteremia atau fungimia yang timbul sesuai dengan berat infeksi.
Produksi PCT oleh jaringan plasenta atau PCT dapat melewati tahanan plasenta
masih belum diketahui.33 Assuma dkk (2000) menyatakan bahwa peningkatan
PCT pada neonatus menunjukkan pertukaran transplasenta PCT ibu.34 Kepekatan
serum PCT sangat rendah pada orang sehat yaitu < 0,1 ng/ml, tetapi dapat
mencapai 1000 ng/mL saat sepsis berat dan syok sepsis. Akhir-akhir ini,
penggunaan PCT sebagai deteksi awal terjadinya infeksi meningkat oleh karena
sensitivitas, spesifisitas, respon cepat, dan waktu paruh yang pendek.35
Procalcitonin dirangsang oleh endotoksin yang dihasilkan bakteri selama
infeksi sistemik. Infeksi yang disebabkan protozoa, virus, dan penyakit autoimun
tidak menginduksi PCT. Kadar PCT muncul cepat dalam 2 jam setelah
rangsangan, puncaknya setelah 12 sampai 48 jam dan secara perlahan menurun
dalam 48 sampai 72 jam. Pada keadaan inflamasi akibat bakteri kadar PCT selalu
> 2 ng/ml. Pada kasus akibat infeksi virus kadar PCT > 0,05 ng/ml tetapi biasanya
< 1ng/ml. Peningkatan plasma PCT terjadi secara singkat sesudah kadar sitokin
mencapai puncak.36
12
Patofisiologi
Inflamasi adalah suatu reaksi terhadap beragam cedera, merupakan kejadian
kompleks yang dapat memberikan keuntungan dan atau kerugian terhadap host.
Inflamasi dapat bersifat lokal atau sistemik, ditandai dengan vasodilatasi, migrasi
PMN dan leukosit, aktivasi makrofag, perubahan fungsi kapiler, transudasi serum
ke dalam jaringan dan pelepasan berbagai substansi hormonal.32
Ada berbagai kondisi yang dapat menyebabkan inflamasi sistemik ( luka bakar
berat, pneumonitis atau infeksi lokal lainnya, bakteremi, endotoksinemi, trauma,
dan pankreatitis). Secara khas, masing-masing kondisi ini dapat menyebabkan
sindroma klinis yang dikenal dengan SIRS, yaitu kombinasi dari demam atau
hipotermia,
takipneu,
takikardi,
polimorfonukleositosis
atau
leukopeni.
Berhubungan dengan manifestasi ini, terjadi peningkatan berbagai sitokin dan
molekul messenger hormonal lokal dan sistemik (misalnya : TNF-α, IL-1ß, IL-6,
Interferon-γ, turunan asam arakidonat, kortisol). Beberapa sitokin dan molekul
messenger hormonal lokal dan sistemik tersebut bersifat sebagai hemokrin dan
atau parakrin yang protektif terhadap host, namun ada beberapa yang bersifat
merugikan. Sifat menguntungkan dan merugikan ini tergantung pada konsentrasi
dan waktu keseimbangannya. Definisi sepsis digunakan pada SIRS dimana bakteri
dan produk mikrobiologinya diketahui atau diduga sebagai penyebabnya. Pada
beberapa kasus, tidak dapat dibuktikan adanya infeksi oleh karena hasil kultur
yang tidak menunjukkkan adanya mikroba patogenik. Pada kasus seperti ini,
sepsis sendiri disebabkan oleh mikroba namun tidak dapat dideteksi dengan baik.
Pada kasus lain, sindrom ini dapat disebabkan oleh produk antara yang bersifat
toksik dari patogen. Sebagai contoh adalah translokasi toksin melalui dinding
saluran cerna (endotoksin (lipopolisakarida)) yang berasal dari bakteri yang
mendiami saluran cerna dapat menjadi penyebab sepsis. Pada kondisi sepsis,
keadaan sakitnya lebih disebabkan oleh reaksi humoral dan seluler dari host yang
berlebihan. Ketidakseimbangan respon humoral dan sitokin ini dapat berakibat
kegagalan organ multipel dengan gejala insufisiensi miokardial, hipoperfusi, syok,
koagulopati, gagal napas, hipoksemia, gagal ginjal dan koma.32
13
Inflamatory triggers
(luka bakar,endotoksin,infeksi,cedera,dll)
Activation of host Leucocytes, Lymphocytes,
Endothelial cells and various Parenchymal cells
(CD14,toll like receptors,AP-1,NF-kB,dll)
Humoral Response Repertoire
Cytokines and
related factors
Coagulation
&
complement
cascade
activation
Immuno-
Pro-
regulatory inflamatory
Acute phase
proteins
Antiinflamatory
Stress
hormones
Hormokines
α1-acid
ACTH
ADM
heat shock
glycoprotein
AVP
CGRP
proteins
CTpr
HMG-1
NO
Angiotensinogen Cathecolamin
IFN-γ
MIF Adhesion-
IL-4
CRP
Cortisol
IL-6
IL-2
IL-1ß molecules
IL-6
Ferritin
Endorphine
Leptin
IL-4
IL-6 Chemokines
IL-10
Fibronectin
GH
MIF
IL-5
IL-8 Elastase
IL-11
Haptoglobin
Histamine
IL-7
IL-12 Endothelin
IL-13 Lipopolysaccharide
IL-11
IL-15 Growth factor
IL-ra
Phospolipaseα2
IL-18 IL-1 decoy
Leptin
PTX-3
NO
RO
Proteases
Prolactin
Serum amyloid A
PAF RANTES
TNFγ
PGs
TGF-ß
ROI
Intracellular
factors
TNF-α TBs
Local Inflamation
Systemic Inflamation
Gambar 4. Skema Kejadian dan Faktor Humoral Dalam Respon Inflamasi
(Sumber : Becker, 2004)
14
a. Fungsi Imunologi
Pola produksi PCT mirip dengan beberapa komponen sitokin dan petanda
aktivasi imunitas seluler yang menunjukkan bahwa ini merupakan reaksi fase
akut. Kadar PCT dalam serum yang ditemukan sangat berhubungan dengan
keparahan infeksi bakteri dan SIRS (Systemic Inflamatory Response
Syndrome). Infeksi yang terbatas pada satu organ tanpa ada tanggap sistemik
reaksi inflamasi menghasilkan kadar PCT rendah atau sedang. 37
b. Fungsi Procalcitonin terhadap sepsis
Pemberian rekombinan human PCT terhadap sepsis menghasilkan peningkatan
mortalitas yang berbanding terbalik dengan pemberian netralisasi antibodi.
Kemungkinan peran PCT dalam fisiologi sepsis didukung oleh untaian
(sequensing homolog) antara PCT dan sitokin seperti TNF, IL-6 dan
granulocyte colony stimulating factor (GCSF).11
c. Procalcitonin sebagai petanda infeksi penyakit berat
Procalcitonin merupakan petanda diagnostik infeksi bakteri pada anak. Kadar
PCT akan menurun bila mendapat terapi antibiotika. Pada neonatus, PCT
merupakan petanda infeksi bakteri yang lebih akurat dibandingkan dengan
CRP.12
Assicot dkk (1993) mempublikasikan bahwa kadar serum PCT mencapai
puncaknya pada penderita yang terinfeksi bakteri dan malaria, sedangkan pada
sepsis akibat jamur hasilnya kurang meyakinkan.11 Ada beberapa penelitian
yang menyatakan sedikit atau tidak adanya peningkatan PCT pada penderita
dengan penyebaran sepsis akibat jamur. Hal ini bertentangan dengan infeksi
bakteri dan parasit, peningkatan PCT yang ringan terlihat pada infeksi virus.
Kadar serum PCT dapat digunakan sebagai tanda untuk membedakan antara
sepsis virus dan sepsis bakteri.38
d. Procalcitonin dibandingkan dengan petanda inflamasi lainnya
Pada beberapa penelitian menyatakan bahwa PCT lebih sensitif dan spesifik
untuk diagnosis infeksi dibandingkan dengan CRP, IL-6, IL-8 pada berbagai
situasi klinis.32,39 O’Connor dkk meneliti pasien yang sedang dirawat di unit
perawatan intensif dengan lama perawatan lebih dari 24 jam dan dibagi dalam
beberapa kelompok yaitu : tanpa infeksi (SIRS dan infeksi), SIRS dan tanpa
15
infeksi, sepsis, sepsis berat dan syok sepsis. Pada cut-off point 1,0 ng/mL,
kadar PCT meningkat secara bermakna pada pasien dengan sepsis, sepsis berat
dan syok sepsis dibandingkan dengan pasien tanpa SIRS atau infeksi.
Procalcitonin merupakan variabel uji laboratorium yang paling tepat untuk
diagnosis infeksi dengan sensitifitas 89 %, spesifisitas 94 %, NPN 90 %, dan
NPP 94 %.39
Pemeriksaan Serum Procalcitonin
Procalcitonin diukur pada serum dengan menggunakan pemeriksaan
imunoluminometrik. Pemeriksaan menggunakan dua antibodi monoklonal antigen
spesifik, satu diarahkan ke calcitonin (menggunakan label luminescence) dan
lainnya ke katacalcin (gambar 5). Batas untuk mengetahui pemeriksaan adalah 0,1
ng/mL dan koefisien variasinya 5 sampai 10 % dengan rentang 1 sampai 1000
ng/mL. Pemeriksaan juga tidak dipengaruhi antibiotika, sedatif, dan agen
vasoaktif yang secara umum digunakan di dalam unit perawatan intensif 18.
Gambar 5. Skema Pemeriksaan PCT dengan Imunoluminometric Assay
(Sumber : Leclerc, 2002)
Kegunaaan pengukuran serum PCT sebagai petanda infeksi adalah sebagai
berikut:35
16
1. Procalcitonin dapat membedakan antara infeksi dan non infeksi pada SIRS
2. Procalcitonin dapat membedakan antara sepsis bakteri dan virus
3. Cut off point procalcitonin memberikan sensitifitas dan spesifisitas
optimum untuk mendiagnosis beragam infeksi dengan keadaan yang
berbeda
4. Pengaruh antibiotika, vasoaktif dan obat-obatan terhadap procalcitonin
sangat rendah
Ten Chin dkk (2006) mengemukakan bahwa kadar PCT bayi lebih tinggi
pada ibu dengan korioamnionitis dibandingkan dengan kontrol. Perbedaan kadar
PCT terjadi pada masing-masing kelompok (tabel 1), yakni pada bayi kurang dari
1 jam (1,68±3,13 vs 0,26±0,34; p< 0,002), bayi usia 24 jam (19,68±18,84 vs
2,13±1,85; p<0,000) dan pada bayi usia 48 jam (5,6±5,99vs0,74±0,69; p<0,000).
Peningkatan serum PCT janin dari ibu dengan korioamnionitis terjadi melalui
mekanisme endogen.40
Tabel 1. Data demografis dan kadar
procalcitonin pada kelompok
korioamnionitis dibandingkan kontrol ( Sumber : Ten Chin, 2007)
UK(minggu)
BBL (g)
1 min Apgar
5 min Apgar
Kadar (ng/mL)
0 hr PCT
Korioamnionitis
30.1±2.9
1600.0±810.0
6.1±2.1
8.0±1.8
Korioamnionitis (n=13)
1.68±3.13
Normal (n=58)
0.26±0.34
p value
0.002
24 hr PCT
19.68±18.84
2.13±1.85
<0.000
48 hr PCT
5.68±5.99
0.74±0.69
<0.000
Janota dkk (2001) mengemukakan bahwa terdapat peningkatan serum PCT
yang signifikan pada bayi preterm berumur 72 jam dengan ibu korioamnionitis.41
17
Tabel 2. Karakteristik populasi penelitian pada dua kelompok :bayi baru
lahir tanpa korioamnionitis (`No chorioamnionitis' group) dan bayi baru
lahir dengan korioamnionitis (`Chorioamnionitis' group) ( Sumber : Janota,
2001)
Pasien
Kelompok
No chorioamnionitis
Chorioamnionitis
Jumlah
UK (minggu)
BBL (gram)
Apgar skor
PCT (ng/mL)
Antenatal steroid
Antibiotik ibu
Sepsis dalam 24 jam
Sepsis dalam 1 minggu
37
29 (0,3)
1073 (40)
7,6 (0,1)
0,44 (0,06)
28 (76%)
23 (62%)
9 (24%)
29
29 (0,3)
1080 (49)
7,6 (0,2)
0,37 (0,04)
24 (83%)
16 (55%)
5 (17%)
8
28 (0,4)
1048 (61)
7,6 (0,2)
0,69 (0,24)
4 (50%)
7 (88%)
4 (50%)
12 (32%)
8 (28%)
4 (50%)
Pada penelitian Janota (tabel 2) didapatkan delapan pasien dengan
korioamnionitis diantara tiga puluh tujuh pasien (21,6%). Korioamnionitis pada
kelompok pasien korioamnionitis dibuktikan dengan pemeriksaan histologis.
Pemberian antibiotik dimulai lebih awal pada kelompok korioamnionitis (P<0,05).
Insiden sepsis neonatal pada 72 jam pertama dan minggu pertama ditemukan lebih
tinggi pada kelompok korioamnionitis, namun tidak berbeda bermakna secara
statistik. Procalcitonin ditemukan meningkat setelah tiga hari jika dibandingkan
dengan kadarnya pada satu jam pertama pada kedua kelompok (P <0,001).41
Torbe dan Czajka (2004) membandingkan antara CRP, PCT, dan IL-6 dalam
cairan servikovagina untuk memprediksi persalinan preterm, dimana didapatkan
peningkatan secara signifikan ketiga kadar marker tersebut. Procalcitonin
merupakan parameter baru untuk mendiagnosis infeksi, dimana kejadian dan
mekanismenya dalam kehamilan masih belum diketahui sampai saat ini. Torbe
dkk menggunakan cut off point PCT ≥ 1,7 ng/mL dan didapatkan sensitifitas
sebesar 52%, spesifisitas 70%, NPP 57% dan NPN 66% dalam memprediksi
persalinan preterm.42
Greksova dkk (2009) mendapatkan kadar PCT yang tinggi pada persalinan
pretem sebesar 27,41%, pada korioamnionitis yang dikonfirmasi dengan
pemeriksaan histologi plasenta sebesar 16,12% dan PPROM sebesar 24,19%.
18
Penelitian Greksova mendapatkan kejadian infeksi perinatal pada bayi baru lahir
sebanyak 61,29%, dimana kadar PCT yang tinggi dalam serum ibu dihubungkan
dengan kejadian infeksi intrauterin dan persalinan preterm.43
Brianne dkk (2011) meneliti serum PCT sebagai petanda aktivitas monosit
pada infeksi bakteri untuk mendiagnosis korioamnionitis dalam kehamilan dengan
komplikasi PPROM. Penelitian Brianne menggunakan cut off point PCT sebesar
> 0,01 ng/mL pada pasien dengan gejala klinis dan histopatologis plasenta
korioamnionitis yang positif (klinis) dibandingkan dengan pasien tanpa gejala
klinis tetapi postif histologi plasentanya (patologis). Hasil yang diperoleh adalah
terdapat peningkatan kadar PCT pada 40% pasien dengan klinis atau patologis
korioamnionitis. Rerata PCT lebih tinggi pada kelompok pasien dengan klinis
dibandingkan dengan hanya diagnosis patologis. Kadar PCT tidak meningkat
pada pasien dengan PPROM dibandingkan dengan ketuban utuh.44
Ginekol (2010) menyimpulkan bahwa PCT mempunyai nilai tertinggi dalam
memprediksi gejala klinis infeksi intra amnion dan infeksi neonatus pada wanita
hamil dengan PPROM.45
Amany M.E. dkk (2011) meneliti tentang peranan PCT, CRP dan IL-6 dalam
memprediksi infeksi intrauterin subklinis pada wanita hamil dengan PPROM.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat peningkatan kadar PCT serum ibu pada
kasus PPROM dibandingkan dengan kontrol (1,95 versus 0,39 ; P = 0.001), untuk
mendukung hipotesis bahwa infeksi sebagai penyebab pecah ketuban. Kadar PCT
dan CRP meningkat pada kasus PPROM, namun PCT lebih bernilai dan menjadi
penanda yang lebih spesifik pada respon inflamasi. Peningkatan kadar serum PCT
terjadi lebih awal daripada CRP, dari 2-3 jam pada PCT sedangkan CRP
meningkat lebih dari batas normal dalam waktu 6 jam. Procalcitonin juga
merupakan penanda yang spesifik untuk infeksi bakteri.46
Agnieszka dkk (2003) meneliti tentang kadar serum PCT pada darah tali
pusat untuk mendiagnosis infeksi bakteri intrauterin, dengan cut off point PCT ≤
1,2 ng/mL diperoleh nilai NPN sebesar 93%, NPP 42%, sensitifitas 69%, dan
spesifisitas 81% sedangkan pada CRP ≤ 2,5 mg/L diperoleh nilai NPN sebesar
86%, NPP 20%, sensitifitas 22%, dan spesifisitas 97 % (tabel 3). Hal ini
19
menunjukkan bahwa kadar PCT pada darah tali pusat lebih sensitif dibandingkan
dengan CRP dalam mendiagnosis infeksi bakteri intrauterin.47
Tabel 3. Sensitifitas, spesifisitas, nilai prediksi positif dan negatif (%) PCT,
kadar serum CRP pada tali pusat dan WBC pada darah vena dalam
memprediksi infeksi bakteri intrauterin ( jumlah sampel n =187)
(Sumber : Agnieszka, 2003)
PCT ≤ 0.8 ng/mL
PCT ≤ 1.0 ng/mL
PCT ≤ 1.2 ng/mL
PCT ≤ 1.4 ng/mL
PCT ≤ 1.8 ng/mL
PCT ≤ 2.0 ng/mL
PCT ≤ 2.6 ng/mL
PCT ≤ 3.0 ng/mL
PCT ≤ 5.0 ng/mL
PCT ≤ 10.0 ng/mL
PCT ≤ 80.0 ng/mL
CRP ≤ 0.5 mg/L
CRP ≤ 1.0 mg/L
CRP ≤ 2.0 mg/L
CRP ≤ 2.5 mg/L
CRP ≤ 5.0 mg/L
CRP ≤ 20.0 mg/L
WBC ≤ 5 G/l
WBC ≤ 12 G/l
WBC ≤ 20 G/l
WBC ≤ 25 G/l
WBC ≤ 70 G/l
Spesifisitas
53
68
81
86
92
92
95
96
98
99
100
66
88
94
97
99
100
0
42
87
95
1
Sensitifitas
81
72
69
44
38
25
16
3
3
3
3
50
28
22
22
16
9
88
63
16
6
0
NPP
26
32
42
40
50
40
42
14
25
33
100
19
19
19
20
19
18
15
18
2
2
0
NPN
93
92
93
88
88
86
85
83
83
83
83
86
86
85
86
85
84
0
85
83
83
83
Optimum cut-off point diagnostik dari kurva ROC ditunjukkan dengan huruf
tebal.
CRP = C-reactive protein; PCT = procalcitonin; WBC = white blood cell ;
NPN = nilai prediksi negatif; NPP = nilai prediksi positif ; ROC = receiver
operating characteristic.
Sebanyak 48 pasien dengan PPROM dan 30 pasien dengan PROM menjadi
sampel dalam penelitian Torbe (2004) dan didapatkan bukti bahwa konsentrasi
PCT cairan vagina pada pasien PPROM lebih tinggi dibandingkan dengan pasien
PROM aterm ( 1,5 vs 0,83 ng/mL ; P<0,001). 48
20
Torbe (2007) membandingkan konsentrasi PCT plasma ibu PPROM dan PROM
dengan kehamilan normal, didapatkan bahwa terdapat peningkatan kadar PCT
pada PPROM maupun PROM dibandingkan dengan kehamilan normal (tabel 4).49
Tabel 4 : Perbandingan konsentrasi procalcitonin plasma ibu antara
beberapa kelompok (Sumber : Torbe, 2007)
Kelompok
Kelompok 1: PPROM
Kelompok 2: PROM
Kelompok 3: healthy-preterm gestation
Kelompok 4: healthy at term
n
48
30
31
33
Perbandingan antar kelompok:
*1 dan 2: tidak signifikan
†1 dan 3: P =0,002
‡2 dan 4: P =0,045
Δ3dan 4:tidak signifikan
21
PCT (ng/mL): median
1.97∗ †
1.60∗ ‡
1.06†Δ
0.71‡Δ
BAB 4
RINGKASAN
Persalinan preterm yang menjadi kelahiran preterm merupakan penyebab
utama morbiditas dan mortalitas perinatal di dunia. Komplikasi persalinan preterm
terhadap janin dapat melibatkan berbagai sistem organ tubuh, hematologi,
endokrin, dan sistem saraf pusat. Dimana komplikasi yang ditimbulkan tentunya
akan mengakibatkan dampak merugikan dari segi ekonomi, sosial, dan terutama
kualitas hidup janin yang dapat bertahan hidup.1
Penyebab pasti persalinan preterm tidak diketahui, namun infeksi
intrauterin dianggap sebagai penyebab terbanyak terjadinya persalinan preterm.
Diagnosa infeksi intrauterin pada neonatus sulit ditegakkan oleh karena tandatanda klinis yang muncul tidak spesifik, selain itu pemeriksaan laboratorium rutin
memiliki sensitifitas yang rendah.2
Procalcitonin (PCT) merupakan prohormon calcitonin yang dihasilkan
oleh kelenjar tiroid dan terdiri dari 116 asam amino dengan berat molekul 13kDa
protein. PCT tidak selalu dapat dideteksi pada serum orang sehat, namun
konsentrasi serum akan meningkat saat terjadi infeksi bakteri, oleh karena itu PCT
digunakan sebagai alat diagnostik infeksi bakteri. Konsentrasi serum PCT akan
meningkat secara cepat dalam 2-6 jam sebagai respon tubuh terhadap stimulasi
endotoksin. Serum PCT memiliki waktu paruh 25-30 jam.32 Dari karakteristik
seperti yang tersebut diatas, konsentrasi serum PCT dapat digunakan sebagai
penanda sepsis bakterial perinatal. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa PCT
dapat digunakan sebagai penanda infeksi intrauterin dan terjadinya persalinan
preterm.
Penggunaan PCT dalam praktek klinis modern terus meningkat, namun
hanya sedikit data tentang PCT dalam kehamilan dan atau komplikasi kehamilan
dan masa tumbuh kembang, oleh karena itu diperlukan penelitian lebih lanjut
mengenai peranan PCT dalam diagnostik infeksi intrauterin dan terjadinya
persalinan preterm.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Romero. R. et al. 2008. Epidemiology and causes of preterm birth. Lancet ;
371 : 75-84.
2. Goldenberg. R. et al. 2000. Intrauterine infection and preterm delivery. The
New England Journal of Med ; 342 : 1500-1507.
3. WHO Bulletin. 2009. The worldwide incidence of preterm birth: a systematic
review of maternal mortality and morbidity ; 88: 31-38.
4. John. G. 2009. Gestasional age. Medlineplus medical encyclopedia ; 121: 322326.
5. Greer. I. Norman. J. 2005. Preterm labor, managing risk in clinical practice,
Cambridge university press : 1-26.
6. Himpunan Kedokteran FetoMaternal POGI. 2005. Manajemen persalinan
preterm.
7. Masset. 2003. Public perceptions about prematurity: a national survey. Am J
Prev Med ; 24: 120-127.
8. Whang. K. et al. 1998. Serum Calcitonin precursors in sepsis and systemic
inflammation. J Clin Endocrinol Metab ; 83 : 3296-3301.
9. Meisner. M. 2002. Pathobiochemistry and clinical use of procalcitonin. Clin
Chim Acta ; 323 : 17-29
10. Muller. B. et al. 2000. Calcitonin precursors are reliable markers of sepsis in a
medical intensive care units. Crit Care Med ; 28 : 977-983.
11. Assicot. M. et al. 1993. High serum procalcitonin consentrations in patient
with sepsis and infections. Lancet ; 342 : 515-518.
12. Dandona. P. et al. 1994. Procalcitonin increase after endotoxin injection in
normal subjects. J Clin Endocrinol Metab ; 79 : 1605-1608.
13. Ross. M. G. 2009. Preterm labor. Available from: www.emedicine.com.
Accesed on: July 6th, 2011.
14. Cunningham. et al. 2005. Preterm delivery in Williams Obstetric, 22nd ed, The
McGraw Hill Comp, New York : 763-808.
15. Hamilton. 2005. Births : preliminary data for 2005. Health E-stats : 10-14.
23
16. Udiarta & Suwardewa. 2004. Profil persalinan preterm di RS Sanglah periode
Januari 2001 sampai Desember 2003. Lab/SMF Obstetri Ginekologi RS
Sanglah Denpasar.
17. Romero. R. et al. 2006. The preterm parturition syndrome. Br J Obstet
Gynaecol ; 113 : 17-42.
18. Goldenberg, Culhane. 2005. Prepregnancy health status and the risk of
preterm delivery. Arch Pediatr Adolesc Med ; 159 : 89-90.
19. Smith. et al. 2007. Sosioeconomic inequalities in very preterm birth rates.
Arch Dis Child Fetal Neonatal ; 92 : 11-14.
20. Thompson. et al. 2006. Secular trends in sosioeconomic status and the
implications for preterm birth. Paediatr perinat epidemiology ; 20 : 182-187.
21. Hendler. et al. 2005. The preterm prediction study : association between bodi
mass index and spontaneous preterm birth ; 192 : 882-886.
22. Jalava. J. et al. 1996. Bacterial 16S rDNA polymerase chain reaction in the
detection of intra amiotic infection. Br J Obstet Gynaecol ; 103 : 664-669.
23. Gomez. 1997. The role of infection in preterm labor and delivery. Churchill
Livingstone : 85-125.
24. Carroll. et al. 1996. Lower genital tract swabs in the prediction of intrauterine
infection in PPROM. Br J Obstet Gynaecol ; 103 : 54-59.
25. Yoon. et al. 1999. A systemic fetal inflammatory response and the
development of bronchopulmonary dysplasia. Am J Obstet Gynaecol ; 181:
773- 779.
26. Guzick, Winn. 1985. The association of chorioamnionitis with preterm
delivery. Obstet Gynaecol ; 65 : 11-16.
27. Elimian. A. et al. 1998. Amniotic fluid complement C3 as a marker of intra
amniotic infection. Obstet Gynaecol ; 92 : 72-76.
28. Hiller. et al. 1994. The role of bacterial vaginosis and vaginal bacteria in
amniotic fluid infection in preterm labor with intact fetal membranes. Clin
Infec Dis ; 20 : 276-278.
29. Lockwood. et al. 1991. Fetal fibronectin in cervical and vaginal secretions as
a predictor of preterm delivery. N Engl J Med ; 325 : 669-674.
24
30. Thorsen. et al. 2001. Identification of biological/biochemical markers of
infection for preterm delivery. Paediatric and perinatology epidemiology ; 15 :
90-103.
31. Goldenberg. et al. 2005. Biochemical markers for the prediction of preterm
birth. Am Journal Obstet Gynecol ; 192 : 36-46.
32. Becker. K. L. et al . 2004. Procalcitonin and the calcitonin gene family of
peptides in inflammation, infection and sepsis. Journal of clinical
endocrinology and metabolism ; 89 : 1512-1525.
33. Chan. Y. L. et al.2004. Procalcitonin as a marker of bacterial infection in the
emergency departement ; 8(1) : 12-20
34. Assuma. M. et al.2000. Serum procalcitonin concentration in term delivering
mothers and their healthy offspring ; 46 : 1583-1587.
35. Buchori, Prihartini. 2006. Sepsis diagnosis by procalcitonin. Indonesian
journal of clinical pathology and medical laboratory ; 12(3) : 131-137.
36. Bohuon. C. et al. 2002. Biochemistry of the calcitonin gene : Discovery of
procalcitonin as a remarkable marker of bacterial diseases : 2-3.
37. Hatherill. M. et al. 1999. Diagnostic markers of infection: comparison of
procalcitonin with C reactive protein and leucocyte count. Arch Dis Child ; 81
; 417-421.
38. Delevaux. I. et al. 2003. Can calcitonin measurement help in differentiating
between bacterial infection and other kinds of inflammatory processes? Ann
Rheuma Dis ; 62:337-340.
39. O’Connor. E.O. et al. 2001. Procalcitonin in critical illness. Critical care
resucitation ; 3 : 236-243.
40. Ten-Chin. S.et al. 2007. Procalcitonin levels of infants admitted to the
neonatal intensive care unit during the first 48 hours of life. Clinical
neonatology; 14 : 28-32.
41. Janota. J. et al. 2001. Postnatal increase of procalcitonin in premature newborns is
enhanced by chorioamnionitis and neonatal sepsis. Eur J Clin Invest ; 31 : 978983.
25
42. Torbe. A. Czajka. R. Proinflammatory cytokines and other indications of
inflammation in cervico-vaginal secretions and preterm delivery. International
Journal of Gynecology and Obstetric ; 87: 125–130.
43. Greksova. et al. 2009. Procalcitonin, neopterin and C-reactive protein in
diagnostics of intrauterine infection and preterm delivery. Bratisl lek listy, 110
(10): 623-626.
44. Brianne. B. G. et al. 2011. Procalcitonin for assesment of chorioamnionitis in
preterm premature rupture of membrane. American Journal of Obstetric and
Gynaecologic ; 187 : 466-470.
45. Ginekol. 2010. Usefulness of PCT, IL-6, CRP measurement in the prediction
of intra amniotic infection and newborn status in pregnant women with
premature rupture of membrane. Clinical perinatology ; 81 : 336-341.
46. Amany M. E. 2011. Role of Maternal Serum Procalcitonin, Interleukin-6 and
hs-C Reactive Protein in Prediciton of Subclinical (Intrauterine) Infection in
Preterm Premature Rupture of Membranes. The Egyptian Journal of Hospital
Medicine ; 42 : 12 – 20.
47. Agnieszka. et al. 2003. Umbilical cord blood serum procalcitonin in the diagnosis
of early neonatal infection. Journal of perinatology ; 23 : 148-153.
48. Torbe. et al. 2004. Are vaginal fluid procalcitonin levels useful for the prediction
of subclinical infection in patients with preterm premature rupture of the
membranes? Journal Obstet gynecol res ; 31 : 464-470.
49. Torbe. et al. 2007. Maternal plasma procalcitonin concentrations in pregnancy
complicated by preterm premature rupture of membranes. Hindawi publishing
corporation of inflammation ;10 : 1-5.
26
Download